"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 18 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE ISTANA DURJANA

Istana Durjana

 

ISTANA DURJANA

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor dalam


1


Malam ini langit tak menampakkan keindahan-

nya. Jutaan bintang di angkasa tersaput gumpalan 

mega kelabu. Arakan awan tambun merayap tersendat 

memamerkan bentuknya yang menyebalkan, dan ju-

stru menghalangi keindahan yang mestinya terlihat. 

Pada tanggal-tanggal seperti ini semestinya cakrawala 

bertabur cahaya bulan penuh. Sayangnya keharusan 

itu tak selamanya berlaku. Karena, bulan purnama 

bernasib sama dengan gugus gemintang.

Mungkin suasana itu sudah biasa bila terjadi pa-

da setiap musim penghujan. Arakan awan pekat, uda-

ra dingin menggigit, gelap yang meraja, adalah hal bi-

asa. Tapi, akan jadi tak biasa bila nyatanya suasana 

seperti sekarang ini justru terjadi pada musim-musim 

kering.

Apakah ada yang tak beres dengan alam? Sebuah

pertanyaan yang sesungguhnya amat pantas diperta-

nyakan siapa pun dan oleh manusia dari mana pun. 

Kecuali, seorang lelaki tua yang kini berjalan sendiri di 

satu dataran kerontang.

Lelaki tua itu berambut amat panjang. Hitam 

bergelombang kasar. Ujung rambutnya hampir-hampir 

menyentuh betis. Seperti tidak ingin sedikit pun mem-

perlihatkan wajahnya, rambut depannya dibiarkan 

menjuntai liar. 

Wajah orang ini bisa dibilang mirip suasana ma-

lam. Dingin, penuh kegelapan. Sepertinya memang 

pancaran kehitaman jiwanya. Kulit wajahnya pucat, 

seakan darahnya telah terperah sekian puluh tahun 

lalu. Bibirnya kerontang, pecah-pecah seperti tanah di 

bawah kakinya. Malah, terlalu tipis untuk bisa dikata

kan memiliki bibir. Sepasang matanya selalu mele-

satkan pandangan menikam. Besar dan berwarna hi-

tam di sekujur kelopaknya.

Pakaian lelaki ini tak mengisyaratkan apa-apa, 

kecuali sebongkah kesan kematian. Dengan kain hitam 

kelam panjang yang tergerai begitu saja, seluruh tu-

buhnya tertutupi.

Di pusat dataran tandus yang dikepung bukit-

bukit tanah berpasir ini, lelaki itu memantek kaki. Di-

am mengarca. Tangannya menjuntai, tanpa kehendak. 

Angin membekukan mengusik rambut dan pakaian-

nya. Sikapnya tetap tak peduli. Dia sungguh tak peduli 

apa-apa. Tak peduli pada suasana mencekam. Atau 

bahkan seperti tak peduli pada diri sendiri.

Yang ingin dilakukan lelaki ini agaknya hanya 

mendongak kaku-kaku ke angkasa, tepat mengarah 

pada gumpalan-gumpalan awan pekat kelabu yang 

membiaskan cahaya tipis bulan. Wajahnya yang lurus 

sepintas menampakkan susunan tulang pipi yang me-

nonjol bengis.

Jika ada yang melihatnya, maka akan sulit me-

nentukan, apakah dia manusia atau mayat hidup.

Pada saatnya, gumpalan awan tambun mulai ter-

gebah angin. Perlahan-lahan awan-awan itu menying-

kir. Purnama di atas sana sejenak punya kesempatan 

meneroboskan cahayanya, yang kemudian cahaya pu-

cat itu jatuh ke tempat yang tak kalah pucat wajah si 

lelaki tadi.

Mendapati siraman cahaya bulan, lelaki ini seper-

ti mendapat limpahan kepuasan ganjil. Ditariknya na-

pas dalam-dalam. Seakan dia hendak menghirup rasa 

dari cahaya bulan. Setelah bertahan beberapa saat, 

barulah dadanya dihempos kembali. Seperti sebelum-

nya, dada lelaki itu mencekung kembali.

Awan pekat rupanya memberi kesempatan cukup 

lama pada bulan untuk menampakkan keindahan ca-

hayanya ke bumi. Waktu pun merayap. Lewat titik ten-

gah malam, bulan bulat perlahan-lahan ditelan bayan-

gan. Bukan, bukan oleh awan. Tapi oleh Sang Batara 

Kala.

Gerhana tengah malam berlangsung.... Tepat ke-

tika bulan tertelan penuh oleh sang Batara Kala, lelaki 

tadi mendengking-dengking seperti seekor anjing ter-

siksa. Tubuh kurusnya tersentak-sentak, terhenyak ke 

belakang. Lalu, rubuh. Matikah dia?

Tidak! Bukankah tidak pernah ada orang mati 

yang dapat menggeser-geserkan tubuhnya pada tanah 

kerontang? Ya! Sungguh mengherankan! Dengan 

punggungnya, lelaki itu menyapu permukaan tanah 

tandus. Tubuhnya merayap-rayap ke belakang, tak be-

danya ular ajaib yang berjalan telentang!

Setelah merayap dengan cara terlalu aneh, tubuh 

lelaki itu berhenti di bagian lain dari dataran tandus. 

Sejenak dia terdiam, kemudian bangkit mendadak se-

kali.

Belum lagi cukup lama kaki kurusnya menjejak, 

lelaki ini sudah tersungkur lagi. Tidak. Sesungguhnya 

tak tersungkur. Sengaja kedua lututnya dijatuhkan. 

Selanjutnya dengan tangan yang berkuku panjang, dia 

mulai menggali, mengais, mendongkel sarat kejalan-

gan. Tingkahnya mirip anjing malam yang hendak 

menggali pendaman tulang.

Caranya menggali lelaki ini tak lagi seperti manu-

sia biasa, Tangannya mengais amat kuat. Seakan, ada 

tenaga yang berasal dari puluhan makhluk-makhluk 

gaib dalam dirinya. Setiap kali tangannya mencakar 

tanah, maka bongkahan besar tanah terhambur ke-

luar.

Tak memakan waktu lama, sudah terbentuk se-

macam kubangan kering besar pada dataran tadi. Le-

bar lingkarannya sekitar sembilan kaki dengan keda-

laman tak kurang dari lima depa! Di dasarnya mencuat 

semacam benda tumpul dari batu.

Mendapati benda tersebut, kesibukan menggali si 

lelaki berambut panjang di dasar kubangan terhenti 

sejenak. Diamatinya benda itu tanpa kedip. Bagai seo-

rang yang memendam kerinduan asing, diusap-

usapnya tonjolan benda tumpul tadi. Dienyahkan pula 

debu di permukaannya. Bahkan diciuminya benda itu 

dengan garis bibir yang sulit diartikan.

Selang sekian waktu berikutnya, lelaki ini sudah 

mulai mengais-ngais lagi. Sepertinya dia hendak men-

coba mengeluarkan benda menonjol tadi.

Jika melihat bentuknya, masih sulit diduga ben-

da apa gerangan. Namun yang jelas bukan sekadar 

benda biasa. Ukuran yang tampak sekarang pun bu-

kanlah ukuran sesungguhnya. Karena, benda yang 

menonjol seperti batu tumpul di permukaan lubang 

yang dibuat si lelaki kurus, sesungguhnya adalah 

ujung stupa. Dan melihat corak serta ukiran yang ada, 

lelaki ini yakin kalau itu adalah istana yang pernah hi-

lang selama ratusan tahun! Bangunan yang dikenal 

sebagai Istana Durjana!

"Ha ha ha ha...! Hanya dengan menyusun satu 

batu bagian istana ini, guruku akan menjadi penguasa 

jagat yang tak pernah mati!" pekik si lelaki kurus me-

nyaingi sentakan petir. "Jadi, aku tinggal mencari batu 

yang tertinggal dan tersimpan entah di mana...."

Ya! Lelaki. ini telah mendapatkan sesuatu yang 

begitu meluapkan perasaannya!

Betapa tidak? Sebab, baru tiga hari yang lalu le-

laki ini bangkit dari tapa selama setahun lebih. Dari

tapanya di puncak Gunung Mayit, sesosok makhluk 

yang tak tergambarkan wujudnya mendatangi. Dan di-

perintahkannya lelaki itu untuk menggali tempat yang 

kini sedang dikangkanginya.

Dalam mimpi dikatakan, lelaki ini akan mene-

mukan sebuah istana yang tak terlalu besar. Dan jika 

ia berhasil menyempurnakan bangunan istana itu 

dengan meletakkan batu terakhir ke tempatnya, maka 

makhluk dari alam kegelapan akan memberi apa yang 

diminta!

Lelaki ini terus menggali, dan menggali Sampai 

akhirnya tercipta sebuah kubangan sangat besar yang 

di tengah-tengahnya terdapat bangunan megah yang 

disebut Istana Durjana.

Sesungguhnya, bagaimana asal-usul Istana Dur-

jana? 

***

Konon ratusan tahun yang lampau, pernah hidup 

seorang berhati amat kelam. Namanya Durja, seorang

yang tak pernah puas pada kehidupan. Dari hari ke 

hari hatinya makin mengeras dan mengeras. Sampai 

akhirnya, hatinya benar-benar bagai batu. Dalam di-

rinya yang ada hanya mimpi untuk berkuasa. Keingi-

nan untuk sepenuhnya menguasai manusia lain sela-

manya di dunia.

Durja sadar, dirinya tak bisa mewujudkan mimpi itu. 

Maka jalan sesat diambilnya. Dia mencoba bersekutu 

dengan makhluk-makhluk alam kegelapan.

Iblis terkutuk diundangnya datang untuk memberi 

padanya janji kekuasaan dan keabadian.

Iblis datang memenuhi undangan. Namun untuk 

mengabulkan keinginan Durja, iblis meminta satu syarat yang teramat berat bagi manusia mana pun di mu-

ka bumi. Durja diminta untuk membangun satu istana 

untuk sang iblis dalam waktu dua purnama, menje-

lang matahari terbit.

Istana itu harus dibangun dari tumpukan batu 

Gunung Mayit. Setiap batu, mesti dipindahkan Durja 

dengan tangannya sendiri. Tanpa bantuan orang lain! 

Namun bukan itu sesungguhnya yang tersulit. Selain 

memindahkan batu gunung satu persatu lalu disusun 

menjadi istana, Durja juga harus memandikan setiap 

potongan batu dengan darah manusia!

Hati Durja memang sudah mati. Maka, persyara-

tan yang amat berat sekaligus mengerikan pun disetu-

juinya. Dan mulai hari itu, dia bekerja memindahkan 

sepotong demi sepotong batu Gunung Mayit. Dipin-

dahkan, lalu disusun di sebuah dataran amat kering 

yang jaraknya memakan waktu setengah hari dari Gu-

nung Mayit. Setengah hari sisanya digunakan untuk 

mencari darah manusia.

Sejak saat itu, desa-desa di sekitar Gunung Mayit 

menjadi tidak tentram. Setiap hari selalu ditemukan

seseorang menemui ajal secara menggidikkan. Leher-

nya tergorok, sementara darahnya telah terperas habis. 

Tak peduli lelaki wanita, tak peduli tua muda.

Hari berganti hari. Setiap hari, istana persemba-

han Durja pada iblis laknat makin memperlihatkan 

bentuknya. Sepanjang itu pula, korban terus berjatu-

han.

Penduduk sendiri tak pernah tahu, siapa yang te-

lah melakukan perbuatan keji di tempat mereka, Dari 

hari ke hari mereka terus dihantui ketakutan. Bila sore 

terpuruk dan malam menjelang, semua penduduk 

mengunci diri di rumah masing-masing. Namun begi-

tu, tetap saja ada korban untuk yang kesekian.

Benak mereka mulai menerka-nerka kalau semua 

kekejian itu adalah kerja semacam dedemit. Makhluk 

halus yang meminum darah manusia!

Hari terus bergulir. Purnama kedua telah hampir 

tamat. Sementara Durja terus menyempurnakan ista-

na persembahannya. Sedangkan penduduk makin tak 

sanggup menghadapi ketakutan. Satu demi satu, ke-

luarga demi keluarga di desa-desa sekitar Gunung 

Mayit akhirnya mengungsi ke daerah lain. Mereka tak 

peduli bila mesti berjalan sejauh apa pun. Tak juga di-

pedulikan rintangan yang harus dihadapi selama per-

jalanan. Yang mereka inginkan hanya secepatnya me-

nyingkir dari desa.

Menjelang satu hari sebelum purnama kedua, se-

luruh desa di sekitar Gunung Mayit benar-benar men-

jadi desa mati. Tak ada kehidupan di sana. Mereka 

semua telah pergi meninggalkan onggokan-onggokan 

sisa kehidupan.

Durja sendiri pada saat itu nyaris menyelesaikan 

kerja laknatnya. Tinggal tersisa batu terakhir yang ha-

rus ditempatkan di bagian pintu istana kecilnya.

Malam nanti adalah purnama kedua. Tadi Durja telah 

mendapatkan bongkahan batu terakhir dari Gunung 

Mayit. Berarti malamnya, dia harus segera berangkat 

ke desa terdekat. Hatinya sudah tak sabar untuk me-

nyiramkan darah pada batu terakhir, seperti tak sa-

barnya menantikan janji Iblis Durjana. Terbayang su-

dah di benaknya kekuasaan tak terbatas dan keaba-

dian baginya. Dia akan menjadi raja di raja dunia. 

Menjadi penguasa tak terbantah!

Bayangan di benak lelaki ini terberangus ketika men-

dapati desa sudah tak berpenghuni lagi. Padahal, be-

lum lama dia masih sempat membantai seorang bocah 

kecil untuk diambil darahnya!

Durja mencoba menghibur diri. Kalau desa ini 

tak ada, pasti desa yang lain masih berpenghuni. Begi-

tu pikirnya. Segera dia pergi ke desa sebelah. Nya-

tanya, di sana tak juga ditemuinya seorang pun. Juga, 

di desa-desa lain yang berada di sekitar Gunung Mayit.

Durja menjadi gusar teramat sangat. Dia harus men-

dapatkan darah manusia sebelum pagi menjelang. Jika 

ayam jantan berkokok dan darah belum didapat, maka 

hancurlah harapannya. Iblis telah memberinya batas 

waktu hanya sampai matahari membuka cahaya di 

ufuk timur di purnama kedua!

Dengan kegusaran meletup-letup, Durja pergi ke 

desa yang lebih jauh dari Gunung Mayit. Lelaki ini 

memang berhasil mendapatkan darah manusia. Seo-

rang petani desa yang pulang kemalaman telah diter-

kamnya dari belakang.

Tergesa-gesa, Durja kembali ke tempat istana per-

sembahan. Sampai di sana, ternyata matahari telah 

tercukil ke angkasa. Sinarnya menerobos mata Durja, 

seperti hendak mengoyak isi kepalanya!

Durja menjerit-jerit sejadinya. Dia telah gagal. 

Sementara, perjanjian dengan iblis terkutuk telah ter-

gurat. Bukanlah kekuasaan dan keabadian yang dida-

pat, tapi malah kematian! Sehimpun lidah petir yang 

ganjil di tengah hari cerah, mendadak menghantami 

tubuhnya, tepat di saat tangannya hendak menyiram-

kan darah manusia ke batu terakhir.

Durja mati seketika. Sambaran petir bertubi-tubi yang 

menghantami tubuhnya tak berhenti meski lelaki ini 

sudah tersungkur tanpa nyawa. Petir baru menghilang, 

manakala tubuhnya sudah tuntas menjadi hangus. 

Abu jenazahnya tersapu angin ke mana-mana.

Sekitar tiga ratus tahun berlalu sejak peristiwa 

itu, Gunung Mayit mendadak meletus. Lahar panas

mengalir merajalela. Istana persembahan Durja pun 

terkubur. Sementara, batu terakhir yang tersisa, ko-

non ditemukan oleh seorang laki-laki berilmu tinggi, 

yang mengerti sejarah Istana Durjana. Dengan alasan 

akan terjadi malapetaka bila batu itu terpasang di Is-

tana Durjana, maka dia menyimpannya di suatu tem-

pat yang tersembunyi.

***

Di sebuah telaga yang letaknya tak begitu jauh 

dari Gunung Mayit, seorang perempuan sedang asyik 

menjala. Usianya memang tidak muda. Mungkin sudah 

memasuki usia kepala empat. Meski begitu, bukan be-

rarti wajah dan tubuhnya tidak menarik lagi. Wajah-

nya justru memancarkan kecantikan yang berkesan 

matang. Dan tubuhnya yang terbungkus pakaian me-

rah jambu begitu berisi. Potongan pinggangnya padat 

dengan pinggul molek. Kulitnya agak kecoklatan. Bisa 

jadi karena sering tersengat matahari.

Telah beberapa kali perempuan itu melempar jala 

ke telaga, kemudian menariknya. Cara memainkan ja-

lanya tak seperti cara seorang nelayan biasa. Perem-

puan berambut ikal mengembang sepunggung itu bu-

kan saja sangat lihai, tapi juga amat memukau orang 

awam.

Ketika melempar jala, perempuan ini menjentik-

kan satu bandul pemberat disalah satu jala. Kekuatan 

jentikan jari halus yang terlihat remeh, ternyata sang-

gup membuat jala besar tadi membentang lebar-lebar 

di udara. Sebentar benda itu melayang dalam gerak 

berputar, selanjutnya menyergap permukaan air tela-

ga!

Pyarrr...!

Sementara untuk menariknya, perempuan itu 

menyentak ujung jala seketika. Itu pun dilakukannya 

hanya dengan menggerakkan jari telunjuk! Dari bawah 

permukaan telaga, jala seperti hendak mencuat ke lan-

git. Air bertebaran tak karuan. Tepat ketika jala tadi 

melayang di atas, telunjuk perempuan ini membuat 

sentakan kembali. Maka, jala pun jatuh tepat di lam-

bung perahu bersama puluhan ikan air tawar yang 

menggelepar-gelepar tentunya!

Dari caranya menjala, agaknya perempuan itu 

memiliki kepandaian tak sembarangan. Paling tidak, 

berada beberapa tingkat dari orang-orang dunia persi-

latan kalangan bawah.

Begitu matahari condong sepenggalan, ikan yang 

didapat sudah cukup melimpah. Sambil melihat hasil 

tangkapannya, perempuan itu menyeka peluh dengan 

ujung tangan baju.

"Kurasa cukup," katanya pada diri sendiri.

Si perempuan berpakaian merah jambu meletak-

kan jala di sudut perahu kecil. Dijemputnya kayu be-

sar yang sejak tadi tergolek minta disentuh tangan mo-

lek. Perlahan, dikayuhnya perahu kecil itu ke tepian.

"Mau ke mana kau?!" hardik seseorang yang tiba-

tiba telah berada di tepian telaga, Suaranya terlalu be-

rat berdegam untuk seorang berusia muda.

Wanita tadi mengangkat kepala. Disaksikannya 

seorang lelaki tua. Tak ada kumis, jenggot, rambut, 

bahkan sekadar alis di wajah keriput yang memucat. 

Dengan pakaian putih mengabur sepucat wajahnya, le-

laki tua itu menaikkan pangkal hidung. Kemarahan 

diperlihatkan dari caranya mendengus.

Tiba-tiba, lelaki tua berpakaian putih kusam itu

melompat ringan. Jarak yang cukup jauh antara tepian 

telaga dengan perahu, dilaluinya hanya dua lompatan.

Sekali kakinya menyentak permukaan air, lalu melent-

ing kembali seperti seekor burung camar menyambar 

ikan.

Usai berjumpalitan, tangan si tua berpakaian pu-

tih itu melepaskan ikatan kain panjang dari pinggang. 

Masih di udara, dilepaskannya satu lecutan tajam ke 

kepala perempuan di perahu.

Ctar!

Dari bunyi dan angin yang tercipta, terlihat jelas 

tenaga dalam yang terbawa bersama lecutan kain tadi 

begitu tinggi. Jika ada sebongkah batu sebesar kerbau 

melayang di depannya, bisa dipastikan saat itu juga 

akan hancur lebur berkeping-keping!

Kepala si perempuan di atas perahu tentu tak se-

keras batu. Dia sadar akan hal itu. Maka harus dila-

kukan tindakan segera untuk menyelamatkan batok 

kepalanya.

"Heaaa!"

Teramat gesit, si perempuan di atas perahu ber-

jumpalitan ke belakang. Di ujung perahu kakinya 

hinggap bertengger sebentar. Dan dengan tangkas tan-

gannya meraih ujung jala.

Wishhh!

Tepat ketika jarak lecutan kain putih lelaki tua 

yang menyerangnya tinggal berjarak dua jengkal lagi, 

jala perempuan itu menyongsongnya.

Slet! 

Dua benda itu seketika saling pagut. Pada saat 

bersamaan, perempuan di atas perahu menyentak 

ujung jala.

Bettt!

Seketika itu juga terdengar bunyi kebatan kain 

putih milik lelaki tua di udara. Menyusul, tersentaknya 

tubuh si lelaki tua ke arah perahu. Luncuran deras

tubuhnya ternyata disambut perempuan berpakaian 

merah jambu dengan satu tendangan kaki kanan lurus 

ke depan.

Deb!

Dada si lelaki tua terancam.

Tapi dengan sangat mengagumkan, orang tua berpa-

kaian putih ini hanya membuat sedikit sentakan di 

udara. Luar biasa! Dia telah memanfaatkan udara di 

bawah telapak kakinya untuk menyentak tubuhnya ke 

atas! Dengan begitu, terlihat betapa tinggi tingkat ilmu 

meringankan tubuhnya....

Hebatnya lagi, kaki orang tua itu hinggap di betis 

lawannya.

Tep!

"He he he! Kemajuanmu boleh juga, Seruni!" puji 

si orang tua, masih di atas kaki perempuan tadi.

Tanpa berniat menurunkan kaki kanannya cepat-

cepat, bibir perempuan yang dipanggil Seruni terse-

nyum.

"Terima kasih, Guru!" ucapnya seraya menarik 

kakinya.

Orang tua berpakaian putih yang ternyata gu-

runya sendiri hinggap di atas perahu.

"Ayo cepat kayuh perahu ke tepi! Kita harus mem-

bakar ikan untuk makan siang. Tamu-tamu kita sudah

menunggu dengan. perut keroncongan di gubuk!" pe-

rintah lelaki tua seraya membuat berang wajahnya.

Seruni hanya bisa tertawa sambil mendekati 

kayuh.

***


2


Aduh Emak..., aduh Bapak... Langit bumi menga-

barkan tangisnya 

Di hulu tiap pergantian hari...

Senandung enteng meluncur dari mulut seseorang 

di jalan setapak. Seperti tanpa beban di wajahnya, 

orang itu melenggang seringan senandungnya. Utara 

tujuannya. Apa yang hendak dilakukan di sana, cuma 

dia yang tahu.

Dia seorang pemuda, berambut gondrong tak ber-

tata. Garis wajahnya mengisyaratkan kejantanan den-

gan mata sembilu dan alis menukik. Pakaiannya hijau

pupus. Sementara dada bidang dan bahu kekarnya 

tertutup kain bercorak catur.

Diselingi siulan, si pemuda meneruskan senan-

dungnya.

Langit tangisi bumi, 

bumi tangisi diri

Sebab disini, kian banyak terkapar 

Mata hati yang terjangkit... E, copot-copot!

Senandung penuh hikmah si pemuda diakhiri ka-

limat yang tak mengenakkan telinga, ketika kakinya 

tersandung sesuatu. Pemuda tampan tapi berpenampi-

lan sembarangan itu mencak-mencak sambil menyem-

burkan makian pedas tak terperikan.

"Sompret! Mentang-mentang bumi luas, tidur 

sembarangan saja!" rutuknya pada seseorang yang ba-

ru saja mengusik langkahnya.

Orang itu terbaring pulas sembarangan di pinggir

jalan setapak. Kakinya melintang sembarang pula.

Si pemuda berpakaian hijau pupus tak bisa men-

genali orang yang terpulas. Karena tidurnya tertelung-

kup. Yang terlihat hanyalah pakaian berwarna kuning 

dari bahan yang tergolong mewah.

Menilik penilaiannya, si pemuda berpakaian hijau pu-

pus mau tak mau menjadi heran. Orang yang tidur pu-

las ini jelas dari kalangan berada. Setidak-tidaknya, 

bangsawan yang sanggup membeli pakaian dengan 

bahan yang dipakainya. Kalau benar dia bangsawan, 

kenapa tidur seenaknya di jalan berdebu? Sungguh itu 

sesuatu yang di luar kebiasaan kaum berada.

"Hei, Saudara!" tegur si pemuda agak sengit. Tak 

terlihat orang yang tertelungkup hendak menanggapi

teguran si pemuda.

"Saudara!" ulang si pemuda sedikit dongkol. Memang, 

kaum bangsawan banyak yang bertingkah memua-

kkan. Mereka sering tak menganggap pada orang ba-

wah. Mentang-mentang bisa hidup lebih baik dari yang 

lain!

Karena jengkel, si pemuda menyepak kaki orang 

tertelungkup tadi.

Pak!

Sekali.. Kedua.. Sampai ketiga kali, orang itu tetap 

tak bergerak. Sudah aneh seorang bangsawan berbar-

ing sembarangan, tambah aneh lagi kalau sudah dis-

epak tiga kali tetap tak bergerak.

Si pemuda mulai curiga.

"Jangan-jangan...," bisik si pemuda menduga-

duga, seraya berjongkok. Dengan tangannya dibalik-

kannya tubuh orang tadi.

Sekarang persoalan jadi jelas. Orang itu memang tidak 

pernah berniat tidur sembarangan di pinggir jalan. Le-

bih dari itu, dia 'tertidur' untuk selamanya! Mati dengan amat mengerikan. Sekujur tubuh bagian depan, 

dari kaki sampai wajah, membengkak biru legam se-

perti digilas sesuatu. Wajahnya sudah sulit dikenali. 

Bahkan hidung dan bibirnya sudah tak berbentuk lagi, 

karena kulitnya sudah kelewat menggelembung!

Mual seketika memutar-mutar perut si pemuda

berpakaian hijau pupus. Bukan cuma keadaan si 

mayat yang sudah demikian menjijikkan, juga karena 

dari bagian yang membengkak keluar bau busuk me-

nyengat!

"Biang monyet!" maki si pemuda seraya cepat 

membalikkan kembali tubuh mayat tadi.

Pemuda tampan ini cepat berdiri. Kakinya mundur 

beberapa langkah.

"Apa yang terjadi padanya?" bisiknya setelah agak

jauh.

Si pemuda seperti berpikir sejenak. Ditelitinya se-

genap tempat itu. Tak ada secuil pun sesuatu yang 

mencurigakan. Cuma ada sebuah sumur. Bentuknya 

tidak berbeda dengan sumur biasa, dibangun dari be-

ton. Lucunya, sumur itu dikelilingi pagar besi berukir. 

Padahal, untuk apa dipagar kalau dibuat di tempat 

terbuka seperti itu? Bukankah sumur di tempat terbu-

ka, biasanya dibuka untuk para petualang yang ke-

hausan di jalan? Lagi pula, apa gunanya dipagari besi 

mahal? Dia jadi tak habis pikir.

"Sumur kok diperlakukan seperti kuburan!"

Karena begitu penasaran, anak muda itu mencoba 

meneliti. Ditengoknya juga mulut sumur, setelah me-

lompati pagar besi mewah tak berpintu. Di dalam sana 

tak ada apa-apa. Seperti sumur biasa, bau tanah. Cu-

ma tak ada air di dasarnya.

Mau tak mau si anak muda jadi garuk-garuk ke-

pala. Selanjutnya bahunya mengedik. Bibirnya menci

bir.

"Kenapa pusing-pusing memikirkannya. Nanti ju-

ga aku tahu!" tukasnya enteng. 

Si pemuda pun melanjutkan langkah. Melan-

jutkan senandungnya pula.

Kini, pemuda berbaju hijau pupus ini sampai di 

dekat sebuah gubuk cukup besar di bahu bukit sebe-

lah telaga. Hidungnya langsung kembang-kempis tak 

karuan, mencium aroma ikan panggang. Dengan sedi-

kit mengendus-endus, hendak dipastikan apakah bau 

mengundang perutnya itu berasal dari gubuk.

Melihat asap tipis putih melayang di atap gubuk, 

pemuda itu semakin yakin ada orang yang sedang ber-

pesta panggang ikan di sana. Dan perutnya pun ber-

kukuruyuk, menghasutnya untuk mendatangi gubuk 

itu.

"Mudah-mudahan ada sepotong ikan bakar besar 

yang sudi menjadi penghuni perutku.. Nyam, nyam!" 

seloroh pemuda ini seraya mengeluarkan kecapan. 

Si pemuda kian mendekat, lalu mengetuk pintu.

Tok.... Tok.... tok....

Karena terlalu dipengaruhi 'seradak-seruduk' cac-

ing dalam perut, ketukan si pemuda jadi terlalu ken-

cang. Malah, terdengar seperti hendak membegal.

"Siapa?!" tanya suara di dalam. Suara orang tua. 

"Aku.. Seorang pengelana!" sahut si pemuda. 

"Apa maksudmu datang ke gubuk ini?!" 

"Lapar! Eh! Anu..., maksudku, aku hendak num-

pang berteduh di tempatmu. Apa boleh?" 

"Tentu saja boleh!"

Sahutan terakhir dibarengi dengan terbukanya 

pintu gubuk. Tampak orang tua berpakaian putih 

muncul. 

"Ayo masuk, Anak Muda!"

Si pemuda masuk. Di dalam sana, terlihat sudah 

banyak orang berkumpul. Ada sekitar tiga orang du-

duk membentuk setengah lingkaran dekat tungku pe-

manas gubuk yang dijadikan tempat membakar ikan. 

Satu di antaranya seorang wanita berusia sekitar em-

pat puluh tahun berpakaian merah jambu. Dia tak lain 

dari Seruni. Semuanya duduk pada bangku kecil pen-

dek tanpa penyanggah punggung.

"Waduh.... Sudah banyak yang antri. Kira-kira, 

apa aku akan kebagian jatah?" kasak-kusuk hati si 

pemuda. 

"Jangan berdiri saja seperti itu, Anak Muda! Ayo 

bergabung!" ajak lelaki tua, berpakaian putih, guru Se-

runi. Didahuluinya pemuda berbaju hijau pupus me-

nuju kumpulan.

"Berapa ikan yang dibakar?" tanya pemuda berpa-

kaian hijau pupus tanpa malu-malu. Biar saja diang-

gap muka tembok. Yang penting, tak kelaparan. Den-

gan mulut terus mengecap-ngecap, didekatinya orang-

orang yang berkumpul itu.

Di antara mereka, hanya Seruni yang begitu ber-

minat mengawasi wajah sang tamu muda. Tampan ju-

ga, bisik hati Seruni. Dia tahu, usianya tentu terpaut 

lebih tua beberapa tahun dari pemuda itu. Tapi, usia 

toh tak akan pernah menjadi kendala bagi ketertarikan 

hatinya.

Sewaktu mendapati mata bergaris tegas berkesan 

tegar si pemuda, Seruni merasakan desir halus di da-

danya. Mata itu demikian menggetarkan! Hanya di da-

lam hati Seruni bisa berkata.

Lain yang sungguh-sungguh memperhatikan, lain 

juga orang yang diperhatikan. Entah sadar atau tidak 

kalau sedang diperhatikan seorang wanita matang 

mempesona, pemuda berambut gondrong justru mulai

sibuk menghitung ikan bakar.

"Satu, dua, tiga..., sembilan, sebelas. Wah, banyak 

juga! Mujair besar itu boleh buatku?!"

Seruni tersenyum. Rasanya, sulit dipercaya me-

nyaksikan seorang pemuda yang tak hanya tampan 

tapi gagah ternyata mempunyai sikap rada memalu-

kan.

"Silakan!" guru Seruni menjulurkan telapak tan-

gannya menuju ikan-ikan bakar.

Pemuda berpakaian hijau pupus lantas saja me-

nyambar mujair besar yang sudah diincar-incarnya. 

Acuh saja! Tak perlu heran. Karena, dia memang salah 

seorang paling acuh di atas jagat.... Siapa lagi kalau 

bukan Pendekar Slebor?!

"Sebenarnya, siapa yang tengah disunat sehingga 

kalian berkumpul seperti ini?"

Didahului sendawa santer seenaknya, Pendekar 

Slebor yang mempunyai nama asli Andika bertanya 

pada lelaki tua berpakaian putih. Anak muda itu cuma 

mau berbasa-basi dengan orang-orang yang telah begi-

tu baik padanya. .

"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah 

kami tahu siapa namamu? Juga, julukanmu jika kau 

punya?" tanya lelaki tua, guru Seruni .

Andika cengengesan. Dia paling tak suka kalau ju-

lukannya dikutak-kutik.

"Namaku Andika...," akunya. Sementara, julukan-

nya tak ingin disebutkan.

"Kau orang persilatan, bukan?" cukil guru Seruni

lagi.

Andika cengengesan lagi. Mau berbohong tak ter-

lalu pandai. Mau menjawab, nanti-nantinya malah 

akan didesak untuk menyebutkan julukannya. Ja-

dinya, memang serba salah.

"Jadi kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya An-

dika, berusaha mengalihkan persoalan.

Guru Seruni mengalah. Lelaki tua berbaju putih 

ini cukup maklum tamunya tak ingin diketahui lebih 

jauh. Khususnya, soal julukan. Di dunia persilatan, ju-

lukan terkadang mempengaruhi sikap seseorang pada 

yang lain. Orang persilatan seringkali menyanjung ber-

lebihan, jika seseorang memiliki julukan besar. Sikap 

mereka terkadang terlalu merendah, kalau tahu nama 

besar orang itu. Golongan hitam akan mengangkat-

angkat tokoh berpamor hebat yang berdiri di golongan 

mereka. Golongan putih pun sering kali terjebak pada 

hal seperti itu. Dan pemuda ini nampaknya tak begitu 

suka. Begitu pikir guru Seruni.

Lelaki itu melirik yang lain, meminta pertimban-

gan. Tampak sekali dia tak mau sembarangan membi-

carakan alasan berkumpul. Apalagi, pada seorang ta-

mu yang tak dikenal.

Selain Seruni, lima lelaki lain tampaknya tak setu-

ju Andika tahu urusan mereka. Guru Seruni bisa me-

nyimpulkan itu dari isyarat garis wajah mereka.

"Sayang sekali, Anak Muda. Kami tak bisa menga-

takannya padamu...," sesal guru Seruni.

Dari hanya berbasa-basi, Andika malah jadi be-

nar-benar penasaran. Apa-apaan? Masa memberitahu 

alasan berkumpul saja pelit sekali? Pasti ada sesuatu 

yang disembunyikan! Pasti ada sesuatu yang amat 

penting, sehingga mereka harus bersikap hati-hati! Ha-

ti anak muda dari Lembah Kutukan itu berkecamuk. 

Apa akalnya supaya mereka mau buka mulut? 

Mereka rata-rata berusia lebih tua. Tiga lelaki itu beru-

sia paling tidak sekitar tujuh puluhan. Termasuk, guru 

Seruni. Cuma Seruni yang berusia empat puluhan. Ka-

lau orang-orang tua seperti mereka sedikit diusili, apa

nanti tidak kualat? Bisik hati Andika. Pikiran urakan-

nya mulai menjangkit.

Ah, peduli setan! 

"Wadoo, wadoo, wadooo...!" Mendadak sontak 

anak muda brengsek itu menjerit-jerit kalang-kabut. 

Tangannya mendekap perut kencang-kencang, seolah-

olah isi perutnya, hendak ditahan agar tidak brojol!

"Kenapa, Anak Muda?!" sentak guru Seruni kaget. 

Mata keriputnya membeliak.

"Ada yang telah meracuni ku! Ada yang telah me-

racuni ku!" erang Andika dengan wajah dibuat seme-

melas mungkin. Raut wajahnya seribu kali lebih me-

nyedihkan daripada seorang perempuan tua yang ter-

lambat melahirkan. Bayangkan!

Yang lain, ikut kaget. Mereka saling menoleh. Saat 

itu juga mulai terbersit kecurigaan di mata masing-

masing antara satu dengan yang lain.

Dalam hati, Pendekar Slebor cekikikan. Perutnya 

jadi mulas sungguhan, karena terlalu menahan tawa 

yang hendak meledak saat itu juga.

Karena keempat orang itu hanya saling melirik, 

Andika merasa harus memperseru sandiwaranya. Ba-

dannya segera disentak-sentakkan seperti kuda lump-

ing kerasukan. Bola matanya mendelik dengan warna 

hitam melejit-lejit ke atas. Makin gila dia!

"Kalian..., ugh!" bual Andika meyakinkan sekali. 

"Kkkh..., kalian kenapa begitu tega meracuni ku? Apa 

salahku? Ap..., ap...."

Andika megap-megap. Persis seperti ikan mujair 

besar yang sudah menjadi penghuni perutnya..

"Ap..., apa hanya karena aku dianggap terlalu ba-

nyak ta... tahu, sehingga kal... kal, ugh! Kalian hendak 

menyingkirkan ak..., ku?"

Sambil terus sungsang-sumbel menahan geli, Andika pura-pura terhuyung limbung. Sebentar lagi, dia 

pura-pura tak sadarkan diri. Kalau sudah begitu, dia 

ingin tahu apa tanggapan mereka. Dalam keadaan sal-

ing curiga, biasanya kegusaran yang bakal mencuat. 

Kalau mereka semua gusar, biasanya bicara pun ser-

ing tak terpikirkan. Mudah-mudahan mereka akan 

mengocehkan rencana secara tak sadar saat saling 

tuding. Dan Andika makin geli.

Bruk!

Andika menjatuhkan tubuhnya. Biar lebih terlihat 

sungguh-sungguh, sengaja badannya dijatuhkan ke-

ras-keras. Sakit sedikit tidak apa-apa, yang penting 

rencananya berhasil. Bibirnya meringis, tetapi yang 

penting hatinya puas.

Perangkap Andika mulai mengena. Orangtua ber-

pakaian putih terdengar mendengus.

"Ada apa sesungguhnya ini? Apakah di antara kita 

telah ada yang lancang main hakim sendiri?" desisnya 

dengan mata merah terbakar. Ditatapnya dua lelaki 

tua sebayanya, seakan ingin menyudutkan. Bahkan 

muridnya sendiri, Seruni.

"Guru menuduhku?" tukas Seruni, tersinggung 

melihat tatapan gurunya.

"Kau pun mencurigai aku, Senta!" tukas orang tua 

berjubah serba merah. Ucapannya tak begitu jelas. 

Terdengar bagai desisan ular yang melilit di tangan 

kanan.

Sementara orang tua berpakaian hitam terus me-

mainkan dua bola baja di tangannya. Biar pun terlihat 

tenang, wajahnya tak bisa menyembunyikan kegusa-

ran.. 

"Jadi, apa maksudnya?" desak orang tua berpa-

kaian putih yang dipanggil Senta.

"Apa maksudmu?!" ledak orang tua berpakaian ke

lam. Daya tahan kesabarannya hanya sampai di situ.

"Aku tahu, kita sedang menghadapi persoalan be-

sar. Tapi, bukan berarti aku menghalalkan kalian ber-

buat sekehendak hati dengan meracuni anak muda tak 

berdosa ini!" hardik Senta bertekanan, berkekuatan.

"Hei?! Kau sudah kelewatan, Senta! Aku memang 

tidak setuju anak muda ini mengetahui masalah besar 

yang sedang kita hadapi. Tapi, bukan berarti aku akan 

tega meracuninya!" sangkal orang tua berpakaian hi-

tam. Kalimatnya menyerocos lancar seperti ada mercon 

dalam mulutnya. Diremasnya geram-geram dua bola 

baja di kedua tangannya. Ditantangnya tatapan mem-

berangus Senta.

"Jadi siapa?" desis Senta, terseret "Siapa yang te-

lah lancang meracuni anak muda ini?!"

Kalimat Senta tua menanjak tajam. Urat lehernya 

menggelembung, menahan kegusaran.

"Yang jelas bukan aku," tandas orang tua berju-

bah merah. Tetap dengan suara terdengar samar men-

desis.

"Aku belum mengatakan kau yang melakukannya, 

bukan? Kenapa tiba-tiba merasa harus membela diri, 

Danji?" desis Senta. Kecurigaannya beralih pada Danji, 

orang tua berpakaian merah.

Danji tua tergelak. Mungkin hanya saat tertawa 

suaranya jelas terdengar.

"Kau benar-benar tak waras, Senta! Jangan men-

tang-mentang aku ahli dalam racun, tiba-tiba kau see-

naknya menuduhku. Persoalan terbongkarnya Istana 

Durjana adalah tanggung jawabku. Tanggung jawab ki-

ta. Kita sama-sama tahu, ada orang yang berhasil me-

nemukannya. Orang itu akan amat berbahaya jika te-

lah menempatkan batu terakhir yang hilang ke tem-

patnya. Tapi, aku tak pernah berpikir bahwa anak

muda ini orangnya...," desisnya berliku-liku.

"Kau jangan mencoba mengelak dari tanggung ja-

wab, Danji! Mengakulah! Kau mencurigai anak muda 

ini sebagai orang yang telah menemukan Istana Durja-

na. Kau merasa harus membunuhnya, karena kau be-

gitu takut...," Senta kian memojokkan.

Danji terbahak lagi. Ada bara kegusaran yang di-

tahan-tahan pada kerut wajah dengan tawanya.

"Katakan padaku, bagaimana aku mencurigai 

anak muda ini sebagai orang yang telah menemukan 

rahasia tempat Istana Durjana? Apakah dia memperli-

hatkan tanda-tanda mencurigakan?" kelit Danji.

Sekarang, ganti Senta yang tersudut. Danji tua 

memang benar. Tak ada secuil pun yang bisa dicurigai 

pada diri pemuda berpakaian hijau pupus. Tidak wa-

jah tampannya yang lebih banyak memperlihatkan ke-

tololan, tidak sifatnya. Juga, tidak ada benda-benda 

dari Istana Durjana yang dibawanya. Jadi, tak ada ke-

mungkinan bagi siapa pun di antara mereka yang bisa 

mencurigai si pemuda.

"Ukh! Ukh! Ukh!"

Kecamuk kekalutan Senta diberantas habis seke-

tika manakala, pemuda 'biang kerok' di lantai gubuk, 

terbatuk-batuk.

"Debu sial! Kalian pasti tak pernah membersihkan lan-

tai gubuk ini!"

Kedok pemuda brengsek itu mesti dibuka seka-

rang! Kepepet!

***

3


Danji adalah lelaki tua berperawakan aneh untuk

seorang berusia lanjut seperti dia. Kesan yang paling 

lekat adalah lehernya yang terlalu pendek. Bukan ka-

rena gemuk. Badannya justru cenderung kurus. Di 

lain sisi, tulang dadanya malah terlalu mencembung 

keluar. Dengan begitu, dagunya menjadi rapat dengan 

dada. Untuk menoleh sedikit saja, mau tak mau harus 

memiringkan badan. Namun, di antara yang lain, di-

alah yang paling pendek.

Untuk wajah, Danji tak terbilang istimewa. Paras-

nya bahkan terbilang terlalu kampungan.

Keanehan lain, tangan Danji tak pernah lepas dari

seekor ular pohon berbisa berwarna hijau terang. 

Binatang itu selalu melilit di pergelangan tangan 

kanannya seperti gelang hidup.

Danji sebenarnya termasuk salah seorang tokoh 

persilatan yang menguasai berbagai jenis racun. Teru-

tama, segala jenis racun ular berbisa. Meski wajahnya 

tak mirip ular, giginya justru seperti taring seekor ular 

sendok. Begitu akrabnya Danji dengan berjenis-jenis 

ular, tak heran kalau dunia persilatan menjulukinya 

Moyang Ular.

Orang tua ini sangat jarang berbicara. Rupanya 

dia sadar, suara dan ucapannya tidak jelas terdengar. 

Orang sering kali menganggapnya sedang berdesis ke-

tika berbicara.

Danji adalah adik seperguruan Senta, guru Seru-

ni. Di samping Danji, Senta memiliki adik bungsu se-

perguruan. Namanya, Moja. Orang tua ini senang 

mengenakan pakaian kelam.

Usia Moja lebih muda empat tahun daripada Dan

ji. Perawakannya tak ada yang menarik. Biasa-biasa 

saja. Wajahnya berkerut, berhias jenggot tipis kemera-

han seperti serabut jagung.

Yang menarik perhatian dari Moja justru sifat dan 

kebiasaannya. Mulutnya terlalu cerewet. Apa saja yang 

tidak disukai akan diceletukinya. Seperti juga jika se-

dang menyenangi sesuatu.

Kalau Moja berbicara, maka mulutnya akan meli-

lit-lilit simpang-siur. Pantasnya dia adalah seorang ne-

nek-nenek yang mulutnya disumpal sirih!

Kebiasaan aneh dan satu-satunya hanya memain-

kan dua buah bola baja di tangannya. Sebentar bola-

bola itu dipilin-pilin dengan telapak tangan. Di lain 

waktu, dilempar-lemparnya. Di waktu lain, dibentur-

benturkannya hingga menimbulkan bunyi menyebal-

kan.

Senta, Danji, dan Moja semasa muda dikenal se-

bagai Tiga Penunggu Telaga Larang. Sebuah telaga 

yang berada tak jauh dari gubuk mereka. Menurut ce-

rita, batu terakhir Istana Durjana terlempar ke telaga 

ketika terjadi letusan Gunung Mayit.

Guru mereka menugasi ketiga tokoh tua untuk 

menjaga agar tak ada seorang pun yang mengambil ba-

tu dari dasar telaga. Jika batu ditemukan dan dapat 

ditempatkan kembali ke bagian lowong Istana Durjana, 

kiamat dunia persilatan akan segera terjadi!

Iblis akan memiliki kesempatan untuk membuka 

gerbang kekuatan gelapnya, dan mengambil seorang 

manusia berhati mati untuk dijadikan penguasa keba-

tilan, sebagai wakil iblis di bumi.

Seruni yang telah mendapat gemblengan matang 

dari ketiga lelaki uzur itu, nantinya akan meneruskan 

tugas Tiga Penunggu Telaga Larang.

Dan ketika mengetahui ada seseorang telah berhasil menemukan letak Istana Durjana, mereka pun 

segera mengatur pertemuan guna membicarakan ma-

salah teramat besar yang siap menerkam dunia persi-

latan!

"Siapa kau sebenarnya? Kau pasti telah menipu 

kami dengan bualan tengik mu!" maki Moja sengit, be-

gitu menyadari mereka baru saja 'dikadali' Pendekar 

Slebor.

Andika bangun dari pingsan buatannya. Bibirnya 

cengar-cengir menyebalkan.

"Kalau kalian menghadapi masalah besar yang 

menyangkut nyawa banyak orang, kenapa mesti dis-

embunyikan?" tukas anak muda acuh itu. "Kalian ten-

tunya butuh banyak tenaga untuk itu, bukan?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Tengik!" te-

rabas Moja lagi.

Bibir lelaki tua ini kemudian melintir-lintir. Andi-

ka sampai pegal sendiri menyaksikannya.

"Pertanyaan yang mana?" tanya Andika, berlagak

bodoh.

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" sela Senta, 

mengulang pertanyaan adik bungsu seperguruannya. 

Bertolak belakang dengan sikap Moja, Senta jauh lebih 

ramah.

"Aku suka kau, Orang Tua. Dengan tata krama 

seperti itu, kau pantas dituakan...," puji Andika, nge-

lantur. Lain yang ditanya, lain yang dijawab.

"E.... Kau menghinaku, ya?!" ketus Moja berang.

"Cukup, Moja!" bentak Senta.

Biar pun sudah maklum dengan sifat adik seper-

guruannya, tetap saja orang tua berpakaian putih itu 

kesal juga melihat sikap Moja yang dianggap kekanak-

kanakan.

"Terima kasih..., terima kasih!" hatur Andika, merasa telah dibela.

Pendekar Slebor menjura. Bukan untuk meng-

hormat. Namun, sekadar untuk mengolok-olok Moja. 

"Sekarang, kuharap kau sudi menjelaskan siapa 

dirimu sebenarnya...," lanjut Senta.

Andika masih mau mengulur-ulur persoalan. Ha-

tinya masih belum puas dalam menggoda Moja.

"Sebentar!" sela Seruni.

Setelah lebih banyak diam, perempuan itu men-

dadak berbaur dalam suasana kacau.

"Rasanya aku ingat sekarang!" sambungnya nyaris 

berseru. Wajahnya menampakkan garis keterkejutan. 

Terkejut karena apa? Masih belum jelas. Yang pasti, 

dia telah ingat sesuatu. Maka dihampirinya Pendekar 

Slebor. Mata jelinya terus mengawasi potongan wajah 

dan tubuh Andika. Pakaiannya pun tak luput.

Andika jadi risih juga diteliti dalam jarak dekat 

oleh seorang perempuan yang memiliki kematangan, 

baik pada wajah atau tubuh. Terlebih, waktu hidung-

nya mengendus aroma tubuh Seruni. Hmmm... Andika 

menarik napas panjang-panjang dan dalam-dalam....

"Nona.... Apa ada yang kurang padaku? Hidungku 

kebanyakan lubang? Atau, daguku pindah ke jidat?"

oceh Andika.

"Ya, benar!" cetus Seruni tiba-tiba. Wajahnya ber-

binar gembira. Dia benar-benar yakin pada ingatannya 

sekarang.

Tololnya, Andika malah salah tanggap. . "Astaga! 

Jadi benar?! Benar lubang hidungku sudah bertam-

bah? Dan jidatku...."

Andika cepat meraba hidung dan dahinya. Kok 

masih sama seperti kemarin?

"Aku tahu siapa dia, Eyang Guru!" lapor Seruni 

bersemangat pada Senta. "Dia Pendekar Slebor!"

***

Satu pertarungan sedang berkecamuk sengit jauh 

di sebelah tenggara Gunung Mayit. Dua orang yang se-

dang bertukar jurus sama-sama berilmu tinggi.

Salah seorang adalah lelaki berambut sepanjang 

betis, yang terlihat di dataran kering beberapa waktu 

lalu. Sedangkan lawannya, seorang lelaki tua berusia 

sembilan puluhan. Usia yang terlalu tua untuk berta-

rung melawan musuh berusia tak lebih dari empat pu-

luh tahun.

Meski demikian, pertarungan tidak berarti dikua-

sai lelaki berambut panjang. Sebab, si tua bangka itu 

tampaknya mempunyai ilmu olah kanuragan tak sem-

barangan. Ibarat tua-tua keladi, ketuaannya justru 

menyempurnakan kematangan kesaktiannya.

Si orang tua mengenakan cawat dari akar tumbu-

han. Tubuhnya tidak ditutupi apa-apa lagi. Pun, untuk 

penutup dada yang kurusnya kelewatan. Rambut keri-

tingnya memutih rata sampai batas. Jenggotnya yang 

terlalu panjang, dililitkan ke leher.

Kakek Penjaga Makam, sebutan orang tua itu.

Dalam menghadapi lawan, Kakek Penjaga Makam 

menggunakan sebilah batu nisan besar sebagai senja-

ta. Beratnya jangan dikira. Jauh lebih berat dari tubuh 

si tua itu sendiri. Lebarnya saja sudah setengah meja. 

Tebalnya, tak kurang dari setengah jengkal. Makam 

orang edan mana yang mau memakai nisan sebongsor 

itu? Kakek Penjaga Makam sendiri tak memusingkan 

itu.

Hanya saja, siapa yang tak jadi berdecak heran? 

Bagaimana seorang jompo seperti Kakek Penjaga Ma-

kam mau-maunya bersenjatakan benda menyusah-

kan? Tapi di tangannya batu nisan itu justru menjadi

senjata mematikan! Dengan amat mudah senjata itu 

dikebutkan, diputar, dan dibabatkan sekehendak hati.

Yang jadi masalah sekarang, apakah senjata se-

rampangan itu bisa meruntuhkan kehebatan lelaki pu-

cat berambut panjang? Sementara sudah lewat seratus 

jurus, Kakek Penjaga Makam menggenjot kesaktian 

dalam usaha menjatuhkan lawan. Hasilnya? Tidak bisa 

dibilang menggembirakan. Biar pun lawan cukup ke-

repotan, tapi tetap belum menjamin bisa melumpuh-

kannya.

Wukh, wukh, wukh!

Kakek Penjaga Makam memutar-mutar batu nisan 

raksasa di tangannya, ketika keprukan terakhir luput 

mendarat di kepala lawan. Putaran senjata anehnya 

bukan cuma untuk menangkis sodokan jari yang me-

lebihi kecepatan patukan ular sekalipun. Selain itu, 

Kakek Penjaga Makam memang sudah mulai bosan 

dengan pertarungan yang dianggap tak ada juntrun-

gannya. Dia hendak membuat benteng yang memung-

kinkannya mengambil jarak.

"Tak ada angin tak ada hujan, kenapa kau tiba-

tiba menyerangku, Kutu Busuk?!" maki Kakek Penjaga 

Makam, muak bukan main dengan perbuatan lawan-

nya, sesudah berhasil mundur beberapa depa.

"Aku hendak menggali makam itu!" sahut lelaki 

pucat, langsung ditunjuknya makam tua tak jauh dari 

tempat mereka bertarung. 

Agak menyimpang dari kuburan biasa, makam itu 

terletak di batang sebuah pohon beringin besar. Itu sa-

ja sudah cukup ganjil. Tapi yang lebih ganjil lagi, ma-

kam tua itu bukan terletak melebar, tapi tegak lurus 

pada sisi batang pohon. Seolah-olah, menempel begitu 

saja bagai cecak raksasa di badan pohon!

"Hmmm.. " gumam Kakek Penjaga Makam. "Pantas saja kau bernafsu sekali ingin membuatku mam-

pus. Rupanya kau ingin menggali makam ini. Kalau 

kau tak membunuhku, maksudmu tentu akan ku ha-

langi.... Hm hm hm...." Kepala Kakek Penjaga Makam 

terangguk-angguk.

"Kalau kau sudah tahu, kuperintahkan menying-

kir dari sini! Jika bersikeras menghalangiku, kau akan 

cepat masuk lubang kuburmu!" ancam lelaki pucat tak 

main-main.

"Aa hi hi hi!"

Kakek Penjaga Makam terkikik seperti nenek ke-

ropos. Tubuhnya terguncang-guncang menahan geli.

"Aku tanya kau sedikit, Kutu Busuk! Apa kau mau 

kuperintahkan meninggalkan kepalamu?!"

Lelaki bertubuh kurus sepucat mayat mendengus. 

Pertanyaan Kakek Penjaga Makam tak perlu dijawab.

"Nan, makam itu...."

Kakek Penjaga Makam menunjuk dengan jempol 

ke arah makam. Sikapnya khidmat sekali.

"Makam itu ibarat kepalaku sendiri. Mana mau 

aku meninggalkan kepalaku? Sableng sekali kau ini!" 

lanjut Kakek Penjaga Makam, merutuk.

"Kalau menyayangkan makam yang kau ibaratkan 

sebagai kepalamu, maka kau akan segera kehilangan 

kepalamu yang sesungguhnya!" tandas lelaki pucat, 

berkawal suara gemeletuk dari rahang.

Tangan Kakek Penjaga Makam menepis udara.

"Kau pikir aku ini tikus bengek yang bisa dibikin 

mampus sekali kepruk?! Kau ngelindur, Kutu Busuk! 

Sana, lebih baik cuci muka biar pikiran waras mu bi-

sa...."

Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, Kakek 

Penjaga Makam Sudah dikejar serangan lawan! 

Wrrr!

Untuk serangan baru, lelaki pucat pun mengelua-

rkan simpanan baru pula. Satu ajian pamungkas dike-

luarkannya. Dia tak ingin lebih banyak buang waktu. 

Pertarungan mesti cepat dituntaskan. Dengan begitu, 

makam di pohon beringin bisa secepatnya dibongkar.

Apa yang dicarinya? Masih belum jelas. Hanya dia 

yang tahu.

Serangan sambungan lelaki pucat tak bisa diang-

gap remeh. Betapa pun Kakek Penjaga Makam sulit 

untuk memperkirakan bahaya sebesar apa yang men-

gikuti sampokan rambut panjang lelaki pucat.

Maka ketika rambut panjang itu berseliwer deras 

menuju dada kurusnya, kakek ini dengan gesit mema-

pak.

Trash!

Getar berdesir tajam terhentak ke udara, begitu 

rambut panjang lelaki pucat tertahan nisan di tangan 

Kakek Penjaga Makam. Hawa berbau sangit menyusul.

Sepersekian kejap kemudian, memporakkan udara di 

sekitarnya.

Kenyataan itu mengejutkan Kakek Penjaga Ma-

kam. Pertama karena merasakan nyeri menjalar di ke-

dua tangannya. Kedua, karena mencium bau sangit 

tadi.

Tahulah si tua bangka yang telah kenyang makan 

asam garam dunia persilatan itu, kalau lawan ternyata 

memiliki rambut beracun. Dari baunya saja sudah ter-

gambar seberapa ganas racun tersebut!

Wukh wukh wukh!

Wrrr!

Diawali putaran rambut liar bersama kayuhan

menggila kepala, lelaki pucat mengejar terus lawan

bangkotannya. Satu sabetan dilakukan. 

Wusss...!

Rambut lelaki pucat mendesis di udara lurus-

lurus ke arah kening si tua bangka penjaga makam. 

Luar biasa! Jika semula rambut itu terlihat gemulai, 

saat itu juga mengejang amat tegang. Sepertinya, ram-

but itu telah berubah dalam sekedipan mata menjadi 

bilah-bilah baja halus!

Siapa yang mau keningnya dilubangi? Maka se-

raya mengempos tenaga dalam lebih kuat, tangan ku-

rus Kakek Penjaga Makam menyorongkan nisan besar 

di depan kepala. Dikiranya, rambut maut lawan bakal 

terjegal lagi. Nyatanya, tidak sekali ini. 

Traaakh!

Nisan raksasa di tangan Kakek Penjaga Makam 

kontan terbelah. Wajah lelaki tua itu terlihat pucat se-

kilas di antara belahan batu nisan. Matanya membe-

liak, tak mempercayai apa yang terjadi!

***

4


"Kalau nyatanya batu itu sebagai kunci bencana, 

kenapa tidak dimusnahkan saja? Kita ambil batu itu 

dari dalam telaga, lalu hancurkan!" usul Andika pada 

Tiga Penunggu Telaga Larang dan Seruni.

Pendekar muda kesohor itu baru saja mendengar-

kan kisah Tiga Penunggu Telaga Larang tentang Istana 

Durjana. Termasuk, bahaya amat besar yang mengan-

cam dunia dengan ditemukannya kembali istana ter-

sebut.

Ketiga lelaki tua bangka di dekat Pendekar Slebor 

tersentak. Mereka seperti baru siuman, setelah meng-

habiskan hampir seluruh hidup untuk menjaga Telaga

Larang. Kenapa tak terpikir sejak dulu? Bisik hati mas-

ing-masing.

"Bagaimana?" cetus Andika, ingin jawaban.

Pendekar Slebor tak mau lebih banyak menunggu. 

Waktu terus menggilas, ditunggu atau tidak. Dalam 

hal ini, kalah cepat menyiasati waktu, dengan orang 

sesat yang menginginkan batu di dasar telaga, bisa be-

rarti kebodohan besar! Keangkaramurkaan punya ke-

sempatan untuk jadi raja dunia!

"Aku setuju," sambut Senta cepat. Dua adik se-

perguruannya mengangguki putusan Senta.

Andika mengedipi Seruni dengan sebelah mata.

"Aku setuju!" jawab perempuan itu cepat.

Wanita ini mengira Andika hendak meminta per-

timbangannya juga. Julukannya saja Pendekar Slebor. 

Tak terlalu luar biasa kalau dia meminta persetujuan 

dengan cara yang sedikit keblinger!

"Bagus! Kalau kau setuju, besok kita bisa meni-

kah!" ucap Andika ngawur, seraya melangkah ke luar 

gubuk seenaknya pula.

Tinggal Seruni menjadi merah padam.

Tanpa memusingkan rupa Seruni yang tak karuan 

lagi, pendekar muda pemilik nama besar di dunia! per-

silatan itu ngeloyor ke luar gubuk. Tiga orang tua satu 

perguruan mengikuti di belakang. Sementara, Seruni 

memilih berjalan paling akhir. Dia masih belum bisa 

membenahi perasaan kacaunya.

Seperti telah disepakati, mereka akan menuju ke 

Telaga Larang.

Karena tak begitu jauh, tak lama mereka sudah 

sampai dan di tepi telaga, anak muda dari Lembah Ku-

tukan itu berjongkok. Dicelupkannya tangan ke per-

mukaan telaga.

"Hiiyyy...!"

Seketika pemuda itu berjingkat. Bahunya menyu-

sut cepat seperti kucing tertimpa hujan.

"Sial! Dingin sekali air telaga ini," rutuknya meng-

gumam.

Senta tak bisa menahan geli, hingga terpaksa 

mengeluarkan kekehannya.

"Satu kelebihan telaga ini adalah airnya yang amat 

dingin. Meski hari sedang membakar sekalipun, airnya 

tetap bisa membuat beku!" jelasnya seperti membang-

gakan benda miliknya.

Andika melirik. "Kau tampaknya bangga sekali 

dengan telaga sial ini...."

"Tentu saja! Berpuluh tahun kami menunggu tela-

ga ini sebagai satu kehormatan besar dari guru kami!" 

sahut Moja, mewakili Senta.

Ringisan Andika terungkit.

"Kalau begitu, sebaiknya satu di antara kalian saja 

yang menyelam, ya?" usul Pendekar Slebor, lebih mirip 

mengejek.

Seruni mendeliki Andika. Tega-teganya pemuda ini 

meminta orang setua mereka menyelam ke dasar da-

nau yang bukan hanya dalam, tapi juga dingin mem-

bekukan? Seruni mangkel dalam hati.

Danji yang lebih banyak diam malah menanggapi 

sungguh-sungguh kalimat main-main Andika. Tanpa 

banyak basa-basi, jubahnya dibuka.

"Hei, hei! Memang kau hendak berbuat apa, Pak 

Tua?" tahan Andika.

"Aku hendak menyelam," jawab Danji, tak mau 

banyak cincong. Dia tak suka ucapan mendesisnya le-

bih sering terdengar.

Andika mau tak mau terbahak.

"Kalian kira aku tak punya perasaan membiarkan 

badan keropos kalian jadi tiang kaku di dasar telaga

sial ini?"

Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan kepala. 

Dibukanya baju atas dengan sikap acuh saja.

Seruni terkesiap. Cepat-cepat wajahnya dibuang 

ke arah lain. Siapa tahu pemuda brengsek itu lupa ka-

lau Seruni berdiri di sana. Lalu membuka semua pa-

kaiannya. Bisa berabe!

"Seruni!" panggil Andika.

"Apa?!" sahut Seruni ketus, tanpa mau menoleh.

"Hei?! Kalau ada seorang memanggilmu, kau mesti 

menoleh. Jangan cuma menyahut. Itu baru namanya 

tata krama!" omel Andika sok berkhotbah. Padahal, dia 

sendiri lupa pada tata krama dengan membuka baju 

sembarangan.

Tapi yang dibuka Pendekar Slebor cuma pakaian atas. 

Jadi, apa salahnya?

"Seruni!" ulang Andika setengah jengkel karena 

perempuan itu tetap tak ingin menoleh.

Sambil membuang napas, Andika melempar pa-

kaian atasnya ke bahu perempuan itu.

"Au!" pekik Seruni, kaget bukan main. Sedang te-

gang begitu, mana tidak kaget?

Byur!

Sebentar kemudian, tubuh tegap Andika sudah 

tertelan ketenangan permukaan telaga.

"Phuah!"

Anak muda dari Lembah Kutukan itu membuang 

sisa udara, lalu menghirup yang masih segar di atas 

permukaan telaga. Rambut gondrongnya basah kuyup. 

Sekuyup sekujur tubuhnya bersimbah air telaga. Se-

lama lebih dari sepenanakan pemuda ini berusaha 

mencari batu yang dimaksud Tiga Penunggu Telaga 

Larang. Hasilnya, nihil. Padahal hampir seluruh dasar 

telaga yang cukup luas itu telah dijelajahi dengan dada

hampir meledak!

"Tidak ada!" kata Andika, ke arah Senta.

"Mungkin kau belum menyisir seluruh dasar tela-

ga!" sahut Senta ragu dari tepi Telaga Larang.

"Jangan menyiksaku, Orang Tua! Sudah lima kali 

aku mondar-mandir di dasar telaga ini. Seluruh dasar-

nya tak luput kujelajahi. Bisa-bisanya kau tak percaya 

pada kerja ku?" gerutu Andika mangkel.

"Barangkali kau kurang teliti?" sela Moja. Tak 

puas dengan satu kalimat, tua bangka bermulut rewel 

semerdu kaleng rombeng itu menambah ucapannya. 

"Siapa tahu matamu tersamar. Banyak batu serupa di 

dasarnya. Kau pasti kurang teliti. Apa kau benar-benar 

yakin tak menemukan batu sebesar setengah badan 

manusia berukir halilintar."

"Aku belum rabun. Tentu saja aku yakin!" jawab 

Andika.

"Yakin benar?"

Andika mencibir.

"Kalau tak yakin, kenapa bukan kau saja yang 

menyelam?!" sungut pendekar muda yang mulai bere-

nang ke tepian itu. Biar kulit kendor dan daging pahit 

mu jadi beku sekalian! Begitu umpatan Andika dalam 

hati.

"Tapi bagaimana mungkin?" ujar Senta begitu An-

dika beranjak dari permukaan, naik ke darat 

"Kau yang mesti menjawabnya. Bukan aku. Ba-

gaimana mungkin batu itu tidak ada, sementara kalian

telah menjaga telaga ini selama puluhan tahun. Bhuh!"

Acuh saja, Andika menjentikkan jarinya pada Se-

runi.

Seruni datang membawakan pakaian atas pemuda 

itu. Darah wanita empat puluhan itu berdesir deras, 

menyaksikan bentuk dada berotot Andika yang meng

kilat di bawah siraman sinar matahari. Malah dia 

sampai merasa harus membuang wajah.

Andika tak terlalu peduli. Diambilnya baju yang 

disodorkan Seruni. Dengan baju itu, disapunya sisa air 

di wajah. 

"Aku jadi tak mengerti," gumam Senta.

Andika ngeloyor. Perutnya jadi lapar lagi, karena 

serangan dingin air telaga. Seingatnya, dia gubuk ma-

sih banyak tersisa ikan bakar. Bakal disikat semuanya!

Tubuh Pendekar Slebor yang basah kuyup meng-

hilang di balik pintu gubuk. Tak lama, pemuda ini ber-

lari-lari keluar sambil membawa sepotong ikan bakar 

besar. "Apa kalian tak merasa aneh dengan tidak dite-

mukannya batu itu?"

Tanpa peduli pada mulut yang masih sesak, pe-

muda urakan itu berusaha memancing tanggapan Tiga 

Penunggu Telaga Larang.

Senta mengangguk lamat. Pikirannya diusik ke-

camuk pertanyaan. Bagaimana mungkin batu itu tak 

ada? Sementara, guru mereka telah menugasi untuk 

menjaga telaga agar batu tak diambil seorang pun. 

Kerja puluhan tahun seperti itu bukan hal kecil.

Tangan lelaki tua berpakaian putih kusam itu 

mengusap dagu tak sadar.

"Mhh, glek! Aku bertanya pada kalian, lho.. Bukan 

pada dedemit...," cetus Andika, merasa pertanyaannya 

diacuhkan.

"Kau benar, Anak Muda. Ada sesuatu yang ter-

sembunyi selama puluhan tahun. Dan itu luput dari 

pengamatan kami," tutur Senta.

"Jangan salahkan aku!" tukas Andika, sambil 

mencukil tulang ikan yang terselip di giginya. "Tapi 

yang jelas, kalau mau tahu soal senjata, kita mesti da-

tangi seorang empu...."

Tiga Penunggu Telaga Larang mengernyitkan ken-

ing. Rasanya anak muda satu ini sudah mulai ngelan-

tur lagi. Mata mereka mengeroyok Andika. 

"Aku tak sedang bergurau!" tandas Andika.

Mata melotot Andika menghujam pada tiga lelaki 

tua itu bergantian.

"Maksudku, kita harus mencari tahu sesuatu dari 

sumbernya. Jadi, sebaiknya kita berangkat ke Istana 

Durjana. Bukankah dari sana batu itu berasal? Aku 

yakin, di sana ada hal yang bisa memperjelas teka-teki 

ini...," papar Andika, sok tahu.

Baru tiga prang tua di dekatnya manggut-

manggut.

***

5


Istana Durjana masih berdiri megah, kaku dan 

bisu. Sebuah istana yang menyimpan keangkeran di 

antara luncuran angin menggiring debu.

Andika, Senta, Danji, Moja, dan Seruni tiba dis-

ana. Dalam jarak sekitar dua puluh lima tombak dari 

bangunan kuno itu mereka berdiri berjajar. Beku tan-

pa gerak. Sepertinya, mereka sedang dilingkupi te-

nung. Mata kelima orang itu pun tertancap lurus-lurus 

ke arah Istana Durjana.

"Luar biasa.... Setelah empat puluh tahun lebih 

aku hanya pernah mendengar cerita tentang istana ini, 

baru kali ini bisa menyaksikannya dengan mata kepala 

sendiri," cetus Moja dengan suara cemprengnya yang 

menyakitkan telinga.

Senta hanya tampak mengangguk-anggukkan

kepala samar. Sedangkan Danji mendesis-desis tak ta-

hu juntrungan. Baik Senta, Danji, atau Moja, sama-

sama baru kali itu menyaksikan Istana Durjana yang 

telah menjadi cerita dongeng di benak masing-masing. 

Lebih dari empat puluh tahun lalu, guru besar mereka 

menceritakan tentang hal itu.

"Aku tak mengira kalau aku masih sempat me-

nyaksikan istana ini..." sambung Moja, belum puas. 

"Bukan begitu, Senta?!"

Senta berdehem saja.

Moja tak puas mendapat jawaban ala kadarnya. 

"Bukan begitu, Danji?" tanya Moja, kali ini dialihkan 

pada Danji.

Danji cuma mendesis.

Moja jengkel. Dia baru mau menggerutu, tapi....

"Mulutmu pasti kesemutan kalau tak diam se-

bentar saja...," celetuk Andika, mendahului.

Moja menggeram. Sehimpun sumpah serapah ra-

sanya mau dimuntahkan begitu saja di depan wajah 

anak muda itu. Eit! Jangan berani-berani! Andika 

mungkin punya dua himpun sumpah serapah untuk 

membalasnya!

"Sebaiknya kita memeriksa istana itu, Orang 

Tua," ajak Andika meminta persetujuan Senta.

"Ayo," ajak Senta.

Lelaki berbaju putih ini pun sebenarnya sudah 

begitu ingin meneliti Istana Durjana. Setidak-tidaknya 

bisa mencari tahu, kenapa istana itu begitu istimewa. 

Bukan hanya dari cerita yang pernah didengarnya.

Kelima orang itu mulai melangkah lagi.

Pada langkah kesekian.... Srrraattt...!

Mereka semua disentak oleh sambaran lidah petir. 

Kekuatan alam raksasa itu seperti membelah jalan di 

depan Tiga Penunggu Telaga Larang dan Seruni sampai nyaris berseru berbarengan karena begitu terkejut. 

Dengan sigap tangan mereka melindungi mata dari 

terkaman sinar menyilaukan. Bahkan Andika yang bi-

asa dengan serbuan petir di Lembah Kutukan pun se-

perti hendak rontok jantungnya!

Untuk beberapa saat, kembali mereka semua se-

perti dikuasai tenung kuat. Mereka terpaku diam kem-

bali.

"Sebaiknya kita terus melangkah," ujar Senta, se-

perti menyadarkan.

Didahului saling pandang, hendak meyakinkan 

satu dengan yang lain, mereka mulai melangkah lagi.

Anehnya, baru saja satu jejakan mencoba mene-

ruskan langkah....

Sraaat...!

Glarrr...!

Kilat kembali berkelebat, menyusul guntur di be-

lakangnya. Seperti sebelumnya, mereka merasa han-

taman petir melintas amat dekat di depan.

Dalam ketercengangan, hati mereka bertanya-

tanya, apa alam telah murka? Bukankah mereka se-

dang menuju tempat terkutuk yang diminta makhluk 

terkutuk?

Dua kali mendapat kejadian tak terduga, mem-

buat telinga mereka seperti tuli sejenak. Dan untuk 

kali yang kedua ini, Seruni tak bisa lagi menguasai di-

ri. Wanita tetaplah wanita. Kodratnya memang mem-

butuhkan perlindungan seorang pria. Manakala petir 

menyalak, disergapnya dada bidang Andika. Dia ingin 

bersembunyi sampai setenang mungkin dalam pelukan 

pemuda perkasa itu.

Dalam keadaan begitu rupa, sempat-sempatnya 

Andika cengengesan. Rezeki nomplok, kicau hatinya 

mekar. Tahu kalau Seruni butuh ditenangkan, Andika

mendesis-desis seperti seorang bapak menenangkan 

bayinya. Ditepuk-tepuknya bahu perempuan itu. Kalau 

tidak dalam keadaan seperti itu, maunya sih menepuk-

nepuk pantat padat Seruni saja! Anak muda itu meng-

geleng-gelengkan kepala, heran pada pikiran dekilnya 

sendiri yang masih bisa gentayangan ke mana-mana.

"Bagaimana, Anak Muda?" tanya Senta, membegal 

keasyikan Andika.

Andika berdehem. Urusan tak akan beres ten-

tunya kalau Seruni masih melekat erat di dadanya.

Dengan wajah sematang-matangnya, wanita itu

buru-buru mengangkat wajah dari dada Andika.

"Kita tak punya pilihan, kecuali tetap menuju is-

tana itu. Tapi karena alam tampaknya tak begitu suka, 

sebaiknya aku saja yang ke sana. Kalian tunggu di si-

ni...," tandas Andika, mencoba memutuskan. Menu-

rutnya, cukup bijaksana untuk tidak menyertakan tiga 

orang tua dan perempuan ke Istana Durjana.

"Eit, kau pikir kami takut?" elak Moja, gusar. Bi-

birnya menari maju-mundur, kiri-kanan.

Senta berdehem.

"Beri kesempatan pada yang muda, Moja...," ujar-

nya mengingatkan adik seperguruannya.

Moja cemberut. Wajah keriputnya jadi mirip gom-

bal.

Andika tersenyum, merasa menang.

Lalu dengan nyali tetap kembang kempis, anak

muda itu menyiagakan diri sepenuhnya. Seluruh ke-

mampuan kecepatan warisan Pendekar Slebor dike-

rahkan pada satu kewaspadaan puncak.

Kaki Pendekar Slebor pun melangkah. Amat pelan, 

amat hati-hati.

Satu langkah, dua, tiga, empat..., sampai Pende-

kar Slebor tiba di Istana Durjana, nyatanya sambaran

petir tak kunjung datang. Andika lega....

Mungkin itu tadi hanya gejala alam biasa, simpul

Andika akhirnya.

Mulailah anak muda itu meneliti. Pertama-tama 

yang menarik perhatiannya adalah lubang besar di sisi 

pintu. Otak encernya bisa cepat menduga, kalau batu 

di bagian itulah yang menjadi pangkal perkara.

Selanjutnya, Pendekar Slebor meneliti lebih sek-

sama. Tak terlalu sulit. Sebentar saja ditemukannya 

satu yang menarik perhatiannya lagi. Pada dinding se-

belah timur istana, ada semacam gambar timbul yang 

menggambarkan tentang air, memenuhi satu bagian 

batu dinding saja.

Andika mencari petunjuk lain ke sisi dinding ba-

rat. Di sana, ditemukan gambar timbul pula. Seperti 

bagian timur, ada satu batu dinding yang dipenuhi 

gambar akar yang menghujam bumi.

Sementara di dua sisi lain, selatan dan utara, Andika 

menemukan hal yang sama. Bedanya satu batu besar 

di dua bagian ini, menggambarkan semburan api besar 

ke angkasa. Satunya lagi, menggambarkan semacam 

liang dalam.

"Apa arti ini semua?" desis Andika terdiam di 

tempat. Teka-teki ini masih terlalu samar buatnya. Itu 

saja masih kabur. Belum lagi jika memeriksa bagian 

dalamnya....

Pendekar Slebor masuk ke dalam istana yang

sebenarnya lebih tepat disebut puri dari bentuknya 

yang tak terlalu besar. Di dalam dadanya, ketegangan 

kian menjadi-jadi. Ketidaktahuan memang seringkali 

menjadi biang keladi dari kecemasan berlebihan. Itu 

dialami pendekar muda ini.

Andika tidak tahu, ada apa di dalam sana. Ti-

dak tahu pula, apa yang akan menimpanya di dalam

sana. Jika diperhatikan dari sebutan angker Istana 

Durjana, sudah menggerayang di segenap bagian be-

naknya bahwa di dalam bangunan kuno itu bakal ber-

hadapan dengan bahaya maut. Setidak-tidaknya bisa 

saja menghadapi sosok jadi-jadian. Siluman mengeri-

kan yang memiliki jasad kasar!

Membayangkan hal itu, Pendekar Slebor jadi ingat 

bagaimana saat dulu menghadapi lawan-lawan yang 

bersekutu dengan makhluk kegelapan. Seorang lawan 

yang paling diingatnya adalah Manusia Dari Pusat 

Bumi. Untuk menghadapi orang itu, Pendekar Slebor 

mesti memasuki satu alam yang selama hidup baru 

kali itu diinjaknya. (Untuk lebih jelas, bacalah tiga epi-

sode: 'Manusia Dari Pusat Bumi', 'Pengadilan Perut 

Bumi', dan 'Cermin Alam Gaib'!).

Apakah sekarang ini dia pun akan terperosok da-

lam keadaan serupa?

Sementara itu, di luar istana empat orang lain ter-

seret ketegangan masing-masing. Mereka melihat tu-

buh pendekar muda dari Lembah Kutukan telah dite-

lan pintu masuk yang menguak lebar, seperti mulut 

sosok dedemit raksasa. 

Benarkah hanya Senta, Danji, Moja, dan Seruni 

yang menyaksikan itu?

Tidak!

Di kejauhan sana sekitar lima puluh tombak dari 

tempat mereka berdiri, seorang lelaki bermata satu 

ikut juga mengawasi seluruh kejadian. Dia mengintai 

di kungkungan kegelapan, di balik sebuah gundukan 

tanah besar yang menyerupai bukit kecil.... 

Si pengintai berperawakan tinggi besar. Satu ma-

tanya telah cacat. Dari bekas lukanya, tampak ada 

benda tajam telah mendongkel sebelah matanya bebe-

rapa tahun lalu.

Wajah lelaki mata satu ini terlalu bengis. Mulut-

nya lebar seperti ikan mujair. Hidungnya selalu kem-

bang-kempis layaknya kelinci. Rambutnya pendek dan 

berdiri kaku. Pada seluruh dagu perseginya, tumbuh 

brewok tipis kehijauan.

Pakaian si pengintai ini gelap, hingga tersamar 

oleh malam yang meraja saat ini. Sebagian pakaian 

atasnya tidak tertutup rapat, memperlihatkan otot-otot 

keras di bagian dadanya yang selalu bersimbah kerin-

gat.

Meski bermata satu, lelaki ini ternyata memiliki 

ketajaman pandangan luar biasa daripada orang lain. 

Meski hari saat itu terbilang gelap, matanya masih bisa 

meneropong di kejauhan. Bahkan dengan sedikit me-

najamkan pandangan, bisa disaksikannya secara jelas 

seluruh gambar timbul di dinding Istana Durjana! Pa-

dahal jaraknya dengan bangunan sudah tidak me-

mungkinkan lagi bagi mata biasa untuk melihatnya. 

"Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda membahaya-

kan, Senta," cetus Danji, melantakkan kebisuan den-

gan suara mendesis-desis. "Apa tak sebaiknya kita 

menyusul anak muda itu?"

"Kau tak percaya pada pendekar muda itu?" tukas 

Senta.

"Bukan! Aku cuma khawatir. Bukankah kita be-

lum sempat menceritakan padanya tentang keadaan di 

dalam istana itu?" sergah Danji mendesis lagi.

Dengan tangan kanan yang selalu dililit ular po-

hon kecil, Danji menunjuk tegas-tegas ke Istana Dur-

jana.

Wajah Senta berubah. Benar, kata adik sepergu-

ruannya. Dia baru ingat, ada hal yang luput dicerita-

kan pada anak muda yang kini berada di dalam sana,

"Gusti...! Kenapa aku jadi begitu bodoh?" bisik

Senta. Kekhawatiran menyelinapi wajahnya cepat. "Se-

baiknya aku menyusul dia ke dalam sana. Sementara, 

kalian tetap waspada di sini. Siapa tahu ada orang 

yang tidak kita kehendaki."

Secepatnya, lelaki tua berpakaian putih kusam itu 

berlari ke arah Istana Durjana.

***

Apa yang sesungguhnya dikhawatirkan Senta tua? 

Menurut cerita guru besar Tiga Penunggu Telaga 

Larang, dalam Istana Durjana terdapat ancaman maut. 

Siapa pun, orang yang memasukinya, akan ditunggu 

bahaya. Tak terkecuali, Pendekar Slebor. Di dalam sa-

na setidaknya ada empat penunggu untuk empat 

ruang berbeda.

Ruang pertama yang terletak di bagian timur, kini 

sedang dipandangi Pendekar Slebor. Ada pintu masuk 

besar yang bergambar sama dengan dinding luar sebe-

lah timur Istana Durjana. Bedanya, gambar ini dibuat 

dari cairan logam.

"Air bah...?" gumam Pendekar Slebor. Apa artinya? 

Terbersit tanya di hati anak muda itu. Tanpa sadar, 

kepalanya menggeleng. Gambar itu masih tetap samar 

maknanya. Cuma satu yang mesti dilakukan untuk bi-

sa mengerti. Memasuki ruang itu! 

Sebelum sempat Andika menjamah badan pintu....

"Anak Muda, tunggu!"

Senta sudah datang dan mencegahnya.

Niat Andika terjegal. Semula hatinya terkesiap 

mendapati seruan lelaki tua yang tiba-tiba di bela-

kangnya. Keadaan dirinya saat itu sedang berada di

puncak ketegangan. Barangkali, sedikit jawilan kecil di 

belakangnya bisa membuatnya meruntunkan serangan

seketika. Tapi karena telinganya sudah cukup terlatih 

untuk mengenali suara apa pun, terlebih suara seseo-

rang, Andika hanya sempat sedikit terlonjak.

"Ada apa, Orang Tua? Kenapa menyusul ku? Apa 

ada sesuatu terjadi di luar?!" tanya Andika beruntun. 

Wajahnya yang sudah tegang, kian menegang.

Senta sampai di dekat Andika.

"Tenang.... Tak ada apa-apa di luar sana. Aku 

hanya ingin memberitahukan kau tentang cerita yang 

luput," jelas Senta satu-satu.

Dari wajahnya terlihat kalau orang tua itu pun te-

gang. Berkali-kali matanya melirik cepat ke ruang 

utama serta empat ruang yang memagarinya.

Takut-takut ada sesuatu yang tiba-tiba menye-

rang.

"Sebaiknya kau cepat menceritakan kepadaku," 

pinta Pendekar Slebor bergegas.

"Kita tak cukup punya waktu untuk itu."

"Tapi setidaknya, kau memberitahukan aku satu 

bagian yang paling penting!" tandas Andika bersikeras.

Senta mengangkat tangan.

"Sebentar," katanya. Lalu dia pun mengingat-

ingat. "Menurut guruku, kita tak perlu memasuki Ista-

na Durjana untuk mengetahui rahasia yang tersem-

bunyi. Kalau tak salah, dia memberi ungkapan, 'untuk 

mengetahui isi manggis, cukup melihat kulitnya'."

Otak seencer bubur bayi pendekar muda dari 

Lembah Kutukan itu berputar tangkas. Direka-rekanya 

maksud ucapan mendiang guru besar Senta.

"Kau ingin mengatakan aku tak perlu memasuki 

empat ruangan dalam istana itu?" tebak Andika kemu-

dian.

Senta mengangguk.

"Dan, maksud kulit manggis seperti kata guru besarmu, tentu semacam lambang untuk...." Andika ber-

pikir sejenak. "Dinding luar bangunan ini!" lanjutnya.

"Tepat, Anak Muda!" timpal Senta Tua.

"Sompret! Untung saja kau cepat datang mempe-

ringati. Kalau tidak, aku akan lebih lama berkutat da-

lam empat ruang yang sudah pasti siap merepotkan 

ku. Sementara waktu terus berjalan, orang yang me-

nemukan Istana Durjana bisa-bisa lebih dahulu me-

nemukan batu yang hilang daripada kita!" cerocos An-

dika, seperti bergumam pada diri sendiri. Semuanya 

telah jadi jelas kini.

Tanpa banyak tanya lagi, Pendekar Slebor lang-

sung menggerakkan kaki diikuti Senta. Mereka keluar 

dari dalam Istana Durjana yang sesungguhnya tak le-

bih dari perangkap.

Di luar, mereka dikejutkan laporan Danji dan Mo-

ja.

"Seruni menghilang!" seru mereka berbarengan

pada Andika dan Senta.

Hilang? Bagaimana mungkin?

"Bagaimana kau ini, Orang Tua?! Katamu tadi, tak 

ada apa-apa di luar!" sahut Andika pada Senta Tua.

Seruni? Perempuan molek itu hilang? Bagaimana 

pemuda itu jadi tidak sewot? Kalau saja Moja atau 

Danji yang hilang atau ditelan bumi sekalipun, Andika 

tak begitu ambil pusing!

"Ah! Dasar brengsek!" maki Pendekar Slebor. Di-

maki Andika, Senta cuma bisa melotot.

***

Di tempat yang sudah cukup jauh dari Istana

Durjana, Seruni terlihat sedang menghadang seseo-

rang.

"Kau tak bisa menyingkir begitu saja tanpa mem-

beritahukan alasanmu padaku, kenapa kau mengintai 

kami!"

Seruni berbicara lantang pada lelaki tinggi besar. 

Ternyata, lelaki itulah yang mengawasi dari balik bukit 

kecil di sekitar Istana Durjana.

Lelaki itu diam saja. Diawasinya Seruni seperti 

seekor rubah jantan mengawasi seekor anak rusa. Bi-

nar matanya tergabung dari bersit kebengisan dan naf-

su.

"Hei?! Aku bertanya padamu! Apa kau tuli?!" ben-

tak Seruni kembali.

"Kenapa kau pikir aku akan mengatakan alasan 

ku padamu?" tukas lelaki itu, baru buka suara.

Seruni jadi gusar mendapat jawaban demikian ru-

pa. Sudah tatapannya demikian kurang ajar mengge-

rayangi sekujur tubuhnya, berani-beraninya pula ber-

kata meremehkan seperti itu.

Seruni mendengus. Geram terikut hempasan na-

fasnya. "Kalau tak ingin mengatakan alasanmu, maka 

kau perlu ku curigai."

Lelaki itu mengangkat kedua tangannya. Telapak 

tangannya terbuka lebar.

"Silakan...," katanya. Tetap dengan raut wajah 

mencemooh. "Aku malah lebih suka kau tidak hanya 

mencurigaiku. Tapi, lebih dari itu. Kau tahu maksud-

ku?"

Bola mata lelaki ini bergulir genit, memuakkan Seruni.

"Kau memang lelaki kurang ajar yang perlu kuha-

jar!"

"Aku menunggumu, Nona Manis!" sambut lelaki

ini, kian mengarah pada kecabulan.

"Keparat! Hia!"

Kemarahan yang terus menjangkit ke ubun-ubun, 

tak bisa lagi ditahan Seruni Perempuan berusia ma-

tang itu menerjang calon lawannya dengan wajah amat 

murka.

Jep!

Satu tendangan terbang dilakukan Seruni. Kaki 

kanannya mengarah ke kepala.

Namun tanpa kesulitan lelaki ini menepis ke sisi.

Meski punya kesempatan untuk melakukan serangan 

balasan, tidak dilakukannya. Sepertinya, dia mencoba 

mengejek Seruni.

Seruni membuat serangan susulan. Kakinya yang 

lain berputar setengah lingkaran. Lagi-lagi, kepala la-

wan hendak dihantanmya. Namun lagi-lagi, lelaki itu 

berhasil mementahkan tanpa kesulitan dengan me-

runduk sedikit. Maka sapuan tinggi Seruni pun luput.

"Jangan diam saja seperti itu! Lawan aku!" ledak 

Seruni, merasa diremehkan.

Lelaki bermata satu menertawainya. Terdengar 

meremehkan.

"Terlalu menyedihkan kalau tubuhmu yang meng-

giurkan terluka, Kalau kau terluka, nanti aku tak begi-

tu bisa menikmatinya, bukan?!"

"Busuk!"

Seruni makin murka. 

"Heaaah!"

Tangan perempuan berusia empat puluhan itu 

mencecar habis bagian dada. Tinjunya menderu bertu-

bi-tubi. Satu pukulan yang dikawal angin kencang me-

luncur dengan tenaga dalam ditingkatkan menuju 

puncak.

Deb, deb, deb!

Seruni sudah terperangkap dalam nafsunya sendiri. Dia terlalu ingin melenyapkan lawan sesegera 

mungkin. Padahal, itu sangat membahayakan diri sen-

diri. Lelaki ini bisa memanfaatkan kecerobohan yang 

terlahir akibat nafsu tarungnya!

***

6


Seruni ternyata bukan tandingan lawannya. Me-

mang, perempuan itu telah dididik sekaligus oleh tiga 

orang tua yang tergolong sakti. Memang, gurunya Sen-

ta telah menganggapnya sudah cukup sempurna. Tapi 

bukan berarti cukup pantas memenangkan pertarun-

gan.

Lawan yang dihadapi di samping memiliki penga-

laman lebih kental dalam dunia persilatan, bahkan ju-

ga salah satu dari tokoh teras dunia hitam. Namanya 

mulai santer selama tiga tahun belakangan. Dia ada-

lah, Kumbang Mata Tunggal!

Kumbang Mata Tunggal turun ke dunia persilatan 

tiga tahun lalu. Tak seorang pun mengetahui secara je-

las asal-usulnya. Banyak yang berpendapat begini, dan 

tak sedikit yang berpendapat begitu. Semuanya serba 

simpang siur.

Jika asal-usulnya samar, maka tindak-tanduknya 

sejak turun ke dunia persilatan begitu jelas. Dia seper-

ti mengumumkan kemunculannya sebagai salah satu 

batu penguat dari benteng golongan hitam.

Baru menjejakkan kaki di dunia persilatan saja,

Kumbang Mata Tunggal telah menggagahi seorang 

pendekar wanita yang cukup disegani di golongan pu-

tih. Setelah puas melampiaskan hawa nafsu binatang

nya, tanpa perasaan si pendekar wanita dihabisinya 

secara telengas.

Sepekan kemudian, Kumbang Mata Tunggal

membuat kegemparan lagi dengan menculik anak pe-

rawan salah seorang tokoh sesepuh golongan putih!

Berhari-hari tokoh hitam ini dicari dan diburu.

Kesaktian membuatnya tak pernah bisa diringkus. Ba-

nyak orang bilang, dia memiliki ilmu menghilang. Ba-

nyak juga orang tak mempercayai. Bisa saja dia hanya 

menggunakan akal licik. Begitu bantah mereka.

Sekian lama semenjak kejadian itu, Kumbang Ma-

ta Tunggal terus saja membangun kekacauan demi ke-

kacauan. Di mana pun ulahnya, seorang perempuan 

akan menjadi korban birahi tak terkendalinya.

Ada satu kekhasan dari perilaku sesat Kumbang Mata 

Tunggal. Perempuan-perempuan yang digagahinya ra-

ta-rata dari warga dunia persilatan. Orang sering ber-

tanya, kenapa hanya perempuan warga persilatan? 

Mengapa tak pernah memilih korban perempuan bi-

asa? Bukankah mereka pun tak kalah cantik? Tak ka-

lah menggiurkan?

Sementara itu, anak sesepuh golongan putih yang 

pernah diculiknya tak pernah lagi terdengar kabarnya. 

Perawan itu seperti menghilang tanpa rimba. Hanya 

kenihilan yang ditemui para pencari.

Sampai kini, sesepuh golongan putih yang kehi-

langan anak perawannya masih terus memburu Kum-

bang Mata Tunggal.

Dan, bukti keunggulan kesaktian tokoh bejat itu 

dibuktikan kembali hari ini. Pada jurus-jurus ke dela-

pan puluh, dia berhasil mendongkel pertahanan Seru-

ni.

Wanita itu terdesak, terdesak, dan terdesak. Sam-

pai akhirnya.... Plak!

Satu tamparan keras menghantam rahang kanan 

perempuan itu. Amat keras. Bukan sekadar perih yang 

diderita, tapi juga rasa mual tak terhingga disertai 

pandangan gelap.

Hanya dengan satu tamparan itu, Seruni dibuat 

tersungkur ke belakang. Telentang. Tenaganya bagai 

baru diisap bumi.

"Sudah kubilang, aku tak mau melukai tubuhmu. 

Sayangnya, kau terus saja ngotot...," oceh Kumbang 

Mata Tunggal.

Mata satu-satunya lelaki ini menjilati tubuh Seru-

ni yang telentang. liar sekali.

"Coba kalau kau mau berbaik-baik padaku. Kita 

bisa membangun satu kemesraan yang melangit!" tam-

bahnya ceriwis.

"Cuih!"

Seruni membuang ludahnya sendiri ke tanah. Le-

laki di depannya dianggap tak lebih berharga daripada 

ludah itu. Meski kesadarannya nyaris terlempar Seruni 

tetap memelihara kegeraman. Kemuakan yang me-

muncak.

"Kau pikir aku akan sudi!" hardiknya melengking.

"Tentu saja kau akan sudi. Kalau pun tidak, aku

akan membuatmu terpaksa melakukannya. Ha, ha, ha, 

haaa!"

Lalu meledaklah tawa Kumbang Mata Tunggal

terbahak. Bergejolak.

"Kau...," desisan Seruni terpancung.

Merasa sudah kepepet, Seruni mengambil jalan

nekat. Tangannya terangkat ke atas dengan telapak

terbuka. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan mata 

terpejam. Lalu....

Crottt...!

"Aaa...!"

Didasari tak ingin kehormatannya terkoyak wanita 

itu menghujamkan tangannya ke perutnya sendiri. Su-

atu tindakan yang tak diduga Kumbang Mata Tunggal. 

Dikiranya, Seruni hendak mengerahkan ajian atau ju-

rus lain. Tak tahunya, bunuh diri!

"Sial!" dengus Kumbang Mata Tunggal, tepat keti-

ka Seruni melepas nyawanya.

Tanpa belas kasihan lagi, bagai serigala lapar 

Kumbang Mata Tunggal mencabik-cabik mayat Seruni. 

Dia benar-benar kesal, karena santapannya lebih me-

milih bunuh diri. Tak selera bagi Kumbang Mata Tung-

gal untuk mencumbui mayat. Padahal, birahinya su-

dah bergolak.

Kekesalan itu dilampiaskan dengan mencabik-

cabik mayat Seruni. Benar-benar biadab dia!

***

Sampai saat itu, Andika masih digayuti sekian 

pertanyaan yang belum terjawab. Tentang bagaimana 

mereka bisa melacak tempat tergoleknya batu terakhir 

Istana Durjana. Tentunya saat ini, orang yang mene-

mukan bangunan tua terkutuk itu sedang menyusuri 

petunjuk yang dapat mengantar ke batu tersebut.

Sementara itu, gambar timbul di empat penjuru 

dinding luar Istana Durjana belum cukup dapat dis-

ingkap oleh keenceran otak si pemuda tampan itu.

Belum lagi teka-teki bisa tersingkap, sudah dige-

recoki perkara lain. Seruni menghilang!

Karena tak ingin nyawa Seruni terancam, Pendekar 

Slebor dan Tiga Penunggu Telaga Larang memutuskan 

untuk mencari terlebih dahulu.

Mereka semua, khususnya si pemuda 'mata 

bongsang' Andika, tentu saja khawatir Seruni mengalami sesuatu yang membahayakan jiwanya. Bisa saja 

tanpa diketahui, wanita itu telah berurusan dengan 

orang yang menemukan kembali Istana Durjana. Itu 

bahaya paling besar, mengingat Istana Durjana adalah 

kunci rahasia untuk bisa menyerap kekuatan alam ke-

gelapan!

"Seruni! Oiii, Seruni!"

Andika berteriak-teriak di dataran kering sebelah 

utara, berbatasan dengan kaki Gunung Mayit.

Mereka sebelumnya memutuskan untuk berpen-

car. Karena mereka berempat, maka masing-masing

bisa menuju empat penjuru angin. Pendekar Slebor ke 

utara, Senta ke selatan. Sedangkan Danji dan Moja ke 

barat dan timur.

"Seruniii! Di mana kauuu!"

Andika mengulang teriakannya. Rasanya sudah 

nyaris terkoyak urat lehernya karena berteriak seperti 

itu. Tapi, orang yang diteriaki tetap tak tampak batang 

hidungnya. Yang terdengar di telinga anak muda itu 

justru pantulan balik suaranya. Menjengkelkan! Me-

nyebalkan!

"Ke mana lagi aku harus mencari perempuan ba-

henol itu?!" rutuk hati Pendekar Slebor, mulai digelitik 

kedongkolan.

Andika berhenti di tengah-tengah arus angin ken-

cang yang melarikan sehimpun debu. Menurutnya, 

perlu dipikirkan kemungkinan ke mana Seruni pergi.

Ah! Bagaimana Pendekar Slebor bisa membuat 

dugaan, sementara Seruni menghilang tanpa jejak, tak 

beda air menguap di luasnya Sahara...? Artinya, cuma 

keberuntungan saja yang bisa diandalkan untuk me-

nemukan Seruni. Dalam adukan rasa kebingungan, 

Andika dipanggil seseorang dari jauh.

"Anak Muda! Seruni telah kami temukan!"

Andika mengenali suara tadi. Itu panggilan Senta. 

Dari suaranya, telinga tajamnya menangkap kegetiran.

Ah! Ada apa dengan Seruni? Andika berbisik da-

lam hati. Lantas tubuhnya digenjot ke arah panggilan 

Senta.

"Apa yang terjadi pada Seruni, Orang Tuaaa?" le-

mah Pendekar Slebor bertanya setibanya di tempat ke-

jadian.

Tiga Penunggu Telaga Larang sudah berdiri di sa-

na. Masing-masing menahan kekakuan, memerani ke-

bisuan. Mereka hening, menyaksikan bagaimana men-

genaskan keadaan perempuan yang pernah dianggap 

anak mereka sendiri.

Ketiganya tidak menyahuti pertanyaan Andika ba-

rusan. Bukan tak mau menjawab, tapi memang tidak 

bisa berkata apa-apa. Lidah mereka kelu oleh peman-

dangan menyakitkan yang disaksikan.

Hanya mata mereka yang menatap nanar ke arah 

jasad Seruni, mewakili kata yang tak terucap.

Di atas tanah, Seruni sudah kehilangan nyawa. 

Pada beberapa bagian tubuhnya terlihat koyakan se-

perti baru saja dicakari sekawanan serigala.

Mereka tahu, bukan serigala yang telah melaku-

kan itu. Serigala hanya akan membunuh jika lapar. 

Kalau benar binatang itu, tentu sebagian tubuh Seruni 

sudah dibawa lari.

"Biadab! Perbuatan siapa ini?!" geram Pendekar 

Slebor.

Dalam dada si pemuda seperti diguncang gempa 

saat itu. Terasa mau meledak. Nafasnya terombang-

ambing. Luapan kemurkaan itu membuatnya tanpa

sadar menggeleng-gelengkan kepala.

"Akan ku rencah siapa pun manusia busuk yang 

telah melakukan ini!" jerit Pendekar Slebor mengoyak

langit malam. Wajahnya sulit tergambarkan. Seakan 

ada yang tergarang di sana.

Anak muda dari Lembah Kutukan itu tak bisa lagi 

menatap tubuh Seruni yang terkoyak. Dilemparnya 

pandangan ke arah lain. Sementara, suasana dirinya 

tetap seperti neraka.

"Pasti akan ku rencah kau...," desisnya seperti 

bersumpah pada semesta.

***

7


Jasad perempuan malang Seruni, baru selesai di-

kuburkan di bumi yang sama tempat dia menjemput

ajal. Gundukan tanah kering dikelilingi empat orang

yang tertunduk dalam, sedalam kedukaan atas per-

ginya Seruni.

Andika meski belum cukup lama mengenal pe-

rempuan itu, dapat merasakan pula segala apa yang

dirasa Tiga Penunggu Telaga Larang.

Kematian memang terkadang terlalu menyakitkan. 

Apalagi, jika si mayat adalah orang terdekat. Lebih

menyakitkan dari itu semua bagi Tiga Penunggu Telaga 

Larang adalah, bagaimana Seruni menemui ajal. Si 

pembunuh mencabik-cabik mayatnya. Bagaimana me-

reka tidak teramat sakit membayangkan hal itu?

Doa dipanjatkan dalam kebisuan, dengan patah 

demi patah kata hati masing-masing. Angin malam te-

tap memburu ke segenap arah. Tak peduli pada kedu-

kaan, debu tetap beterbangan menerpa pakaian mere-

ka yang berkibaran.

Mereka semua yakin, Seruni telah dibunuh orang

yang kini dicari. Manusia yang juga telah menemukan 

kembali Istana Durjana. Mereka menduga, tentu sang 

musuh berusaha membunuh mereka satu persatu. Se-

tidaknya, membuat gentar tekad mereka untuk meng-

gagalkan dikembalikannya batu terakhir ke Istana 

Durjana.

"Kita tak bisa lebih lama di sini," Senta membuka 

kesunyian mereka.

Danji dan Moja menatap Senta. Wajah mereka se-

perti ingin meminta pada kakak seperguruannya un-

tuk tinggal lebih lama. Kalau mungkin, ingin mengha-

biskan malam menyakitkan itu dengan berdiri diam di 

sisi makam Seruni.

"Aku tahu, aku pun ingin lebih lama berdiri di 

tempat ini. Rasanya, aku masih tak percaya kalau mu-

ridku yang sudah seperti anakku, telentang kaku di 

dalam gundukan ini...," desah Senta. Matanya nanar 

menatap gundukan tanah kering berdebu. "Tapi kita 

mesti sadar. Dunia sedang terancam satu malapetaka 

besar, jika orang terkutuk itu menemukan kembali ba-

tu terakhir Istana Durjana...."

"Aku tak peduli!" sentak Moja tiba-tiba. Wajahnya 

menegang seketika. "Aku tak bisa meninggalkan Seru-

ni di sini sendiri!"

Suara Moja dibayangi getaran mirip isak. Rupanya 

lelaki tua bermulut cerewet itu tetap menganggap Se-

runi masih hidup.

Senta menggeleng-geleng. Sementara Andika me-

natap iba. Sudah sebegitu dekatnya mereka pada Se-

runi, hingga kematiannya pun sulit dipercaya.

"Seruni sudah mati, Moja!" tandas Danji dengan 

kalimat mendesisnya.

Moja menggeleng-geleng kuat-kuat. Sepertinya ke-

palanya sendiri hendak dilepaskan dengan gelengan

nya.

"Aku tak percaya! Aku tak percaya!" pekik Moja

Senta dan Danji yang masih mampu bertahan dari 

rasa kehilangan yang luar biasa, saling berpandangan. 

Keduanya sadar, bahwa tak bisa lebih lama di tempat 

itu. Yang mati akan tetap menjadi mayat, meski me-

nunggui makam sampai kiamat. Tapi entah di mana, 

seseorang siap meletuskan petaka besar! 

Danji yang berdiri di sisi Moja seperti mengerti 

isyarat mata Senta. Hati-hati, didekatinya Moja yang 

menutup wajah. Tiba di dekatnya....

Tuk!

Moja dilumpuhkan dengan satu totokan. "Bagai-

mana?" tanya Andika, ketika berhasil memapah tubuh 

Moja agar tak tersungkur.

"Kita terpaksa membawanya...," keluh Senta. Wa-

jah Pendekar Slebor mulai berubah kecut.

Kalau begitu urusannya, sudah pasti si anak mu-

da yang bakal membopong tubuh Moja. Padahal biar 

tua, lelaki itu lebih berat daripada anak kerbau. Malah 

baunya tak karuan lagi!

"Dasar nasib apes!" gerutu Andika dalam hati.

Mereka pun meninggalkan makam Seruni.

"Ke mana harus mencari orang durjana itu, Anak 

Muda?" tanya Senta. "Sementara harus segera mene-

mukannya, kita malah tidak tahu ke mana harus 

memburu. Ini sama artinya mencari jarum dalam tum-

pukan jerami."

"Yaaa...," timpal Danji mendesis.

Andika meletakkan tubuh Moja ke tanah. Sebe-

narnya, lebih tepat dikatakan 'membanting'. Habis..., 

badan Pendekar Slebor sudah pegal-pegal setelah se-

kian lama membopong orang tua berpakaian hitam-

hitam itu.

Pendekar muda itu melepas napas sarat-sarat. 

Dihenyakkannya badan ke sebatang pohon besar yang 

tumbang. Membopong Moja membuatnya nyaris modar 

kecapek-an. Sompret sekali! 

"Menurutku, kita harus lebih dahulu memecahkan 

teka-teki yang ada di empat penjuru dinding luar Ista-

na Durjana," cetus Andika setelah napas senin-

kemisnya sudah tak terlalu merongrong.

Senta dan Danji menunggu ucapan si pendekar 

muda kesohor Tanah Jawa lebih lanjut.

Dipandangi begitu, wajah simpang siur Pendekar 

Slebor makin berantakan.

"Kenapa kalian menatap ku seperti itu? O, kalian 

pikir aku juga yang harus memikirkan teka-teki yang 

ada di dinding istana sial itu?" omelnya sewot. "Huh..

rumit! Rumit...!"

"Tapi, kami mengandalkan kau, Anak Muda. Kami 

dengar, kecerdikan dan kepandaianmu seringkali 

mampu memecahkan teka-teki yang orang persilatan 

lain sulit menduganya," sanjung Senta.

Sebenarnya, lelaki tua itu bersungguh-sungguh.

Dia sudah kehabisan akal. Di samping sudah terlalu 

tua untuk memecahkan teka-teki, pikirannya masih 

tak bisa disatukan. Otak tuanya masih sering diusik 

bayangan Seruni.

"Kalau soal itu, aku sudah tahu dari dulu," Andika 

mencibir. Diam-diam, hidungnya jadi kembang kempis 

juga mendapat sanjungan tadi.

"Kalau begitu, tolonglah kami...," pinta Senta. Ter-

selip getar memelas pada suaranya, meski lelaki tua 

itu berusaha tegar.

Pendekar Slebor mengangkat bahu. Kalau ada 

orang yang memelas seperti itu, Andika pasti tak ber-

kutik. Padahal, jengkelnya masih tersedak di tenggoro

kan. 

Andika diam. Keningnya berkerut. Alisnya bertaut. 

Dia berkutat, memikirkan teka-teki gambar timbul di 

dinding Istana Durjana. Sekian lama berpikir, otaknya 

jadi memanas. Tapi, tak berarti ada percikan jalan ke-

luar.

Apa maksudnya dengan gambar air yang tergurat 

di dinding utara Istana Durjana? Apa pula maksud 

gambar lain di dinding berbeda?

"Sompret! Buntu! Buntu!" maki si pemuda, sewot 

sendiri. Sambil memaki dilepasnya tinju ke sebuah po-

hon cemara kering besar.

Dukh! Praaak! Bruk!

Dini hari menjelang pagi, dikotori suara riuh tum-

bangnya a pohon kering itu. Ujung pohon yang me-

runcing, jatuh ke arah semburat sinar merah tembaga 

sinar matahari muda.

Menyaksikan hal itu, benak Andika terusik. Da-

han cemara kering memberinya ilham.

"Arah! Arah!" pekik Pendekar Slebor, seperti orang 

gila.

"Arah?! Arah apa maksudnya?!" tanya Senta, ter-

belalak.

Pendekar Slebor menandak kian kemari.

"Setiap gambar di Istana Durjana diletakkan pada 

sisi berbeda, bukan?" tukasnya kemudian, setelah ke-

sintingannya mendadak reda.

"Iya," Senta dan Danji membenarkan. "Lalu?!"

Jari telunjuk si pemuda berontak encer berputar-

putar di udara. 

"Artinya, batu itu kemungkinan ada di empat pen-

juru berbeda!" jelas Andika menggebu-gebu. "Sekarang 

aku ingin bertanya padamu, Orang Tua!"

"Tanyalah!," sambut kedua lelaki tua itu, berbarengan lagi. Sepertinya, mereka adalah dua orang bo-

cah yang baru belajar bicara.

"Telaga Larang terletak di sebelah mana dari Ista-

na Durjana?"

Senta dan adik seperguruannya saling berpandan-

gan.

"Timur," jawab mereka, lagi-lagi berbarengan. 

"Nah!"

Kontan dua tua bangka yang sedang sungguh-

sungguh memperhatikan wajah Andika terlonjak men-

dengar gebahan begitu. Nyaris saja mereka melompat.

"Apa?!" desis Danji, tak sabar.

"Bukankah dinding sebelah timur menggambar-

kan air? Itu artinya, Telaga Larang adalah salah satu 

tempat di mana batu itu kemungkinan berada," papar 

Andika.

"Tapi, kenapa batu itu malah tidak ada sewaktu 

dicari?" tukas Senta ingin tahu. Penasaran dia.

"Itu untuk sedikit mengelabui orang yang hendak 

mencari batu. Setidak-tidaknya, pencariannya akan 

terhambat. Atau malah, tidak mendapatkan sama se-

kali, kalau sampai terbunuh penjaga tempat."

"Jadi kami hanya menunggu telaga yang sesung-

guhnya hanya pancingan untuk mengalihkan perha-

tian?"

"Nah! Betul! Dan kalau di empat bagian dinding is-

tana sial itu ada empat gambar berbeda, artinya batu 

itu mungkin berada di salah satu dari empat tempat 

berbeda pula. Lalu kalau telaga ditunggu oleh kalian, 

tentu tiga tempat lain pun dijaga pula."

"Kenapa begitu?" tanya Danji, tak jelas.

Andika menyumpahi dalam hati. Dasar tua bang-

ka. Otaknya pasti sudah setumpul pantat wajan!

"Tentu saja agar orang yang berusaha mendapatkan batu itu akan dihalangi mereka yang menjaga 

keempat tempat yang dimaksud. Seperti kalian menja-

ga Telaga Larang. Sementara, meski sudah berhasil

mengalahkan para penjaga tempat, belum tentu pem-

buru batu akan mendapatkannya! Karena, batu itu 

hanya ada di salah satu dari empat tempat!" papar 

Pendekar Slebor, sambil menelan kejengkelannya.

Bibir Danji melekuk.

"Ah, aku belum paham juga!" cetusnya.

Andika makin kenyang menelan kejengkelan. Be-

nar-benar bebal!

"Kalau begitu, ke mana sekarang kita harus mem-

buru orang itu?" sela Senta.

"Karena telaga tak didatangi seorang pun sampai 

saat kita berangkat, sebaiknya cari ke arah lain."

"Bagaimana cara menentukan tempat yang kita 

tuju, sementara kita punya tiga pilihan?" tanya Danji. 

"Kalau Telaga Larang di sebelah timur, berarti ada tiga 

arah lagi. Utara, barat, dan selatan.... Lalu, apa artinya 

gambar di tiga bagian itu?"

Andika menekan kening dengan telunjuk. Wajah-

nya berkerut. Jelek sekali.

"Wah iya, ya...," bisiknya samar.

Pendekar Slebor lantas menatap pada dua orang 

tua di depannya. Sebuah tatapan penuh binar.

"Eh, tunggu!" cetus Andika setelah berpikir seje-

nak. "Sebelum sampai ke gubuk kalian, aku menemu-

kan mayat yang tergeletak di dekat sebuah sumur

aneh. Sumur itu dipagar besi berukir. Sementara, di 

dasarnya tidak ada air sama sekali. Aku jadi ingat pa-

da gambar liang dalam yang tergurat di dinding sebe-

lah utara. Sumur itu pun berada di sebelah utara Ista-

na Durjana. Bukankah sumur bentuknya seperti hang 

dalam?" gumam Andika sendirian. Seperti orang lin

glung.

Di depan Pendekar Slebor, dua lelaki jompo sibuk 

mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti tidak men-

gerti, pokoknya mengangguk!

Andika berjalan hilir-mudik.

"Itu artinya, si pemburu batu telah mendatangi 

tempat di sebelah utara. Mungkin, lelaki perlente ber-

pakaian ningrat itulah yang menjadi penunggu sumur. 

Dia mati di tangan si pemburu batu, karena memper-

tahankan sumur aneh itu.... Ya..ya..ya.... Kalau si 

pemburu batu sampai saat ini belum juga tiba, artinya 

batu itu belum didapatkan.

"Hei, Anak Muda! Jangan terus mondar-mandir 

saja! Ayo, katakan! Apa yang mesti kita lakukan?!"

Maksud Danji mau menghardik. Tapi karena sua-

ranya tak begitu jelas, malah terdengar seperti geru-

tuan.

"Kalau begitu, kita tinggal menentukan dua arah 

lagi. Selatan, atau barat!"

"Tentukanlah" paksa Senta.

"Kalian orang tua, kenapa hanya bisa mengatur-

atur anak muda saja?!" kilah Pendekar Slebor. Hatinya 

dongkol terus didikte seperti itu. "Mana mungkin aku 

bisa memastikan ke mana orang hendak pergi!"

"Lalu, apa usulmu?" desak Senta.

"Mau tak mau kita harus membagi tugas!"

"Nah begitu...," desis Danji, ingin memuji.

Andika malah menyangka dia menggerutu lagi.

"Aku akan melacak ke sebelah barat. Sedangkan 

kalian berangkat ke selatan!" putus Pendekar Slebor, 

cepat.

"Tempat apa yang harus kami tuju?" tanya Senta.

Andika memikirkan kembali gambar timbul dind-

ing sisi-sisi selatan. Di sana, ada gambar semburan api

besar ke angkasa

"Semburan api besar ke angkasa?" gumam Andi-

ka.

Sulit juga Andika memecahkanhya. Karena sulit, 

pandangannya diarahkan ke selatan. Gambar itu me-

mang berada di dinding selatan. Jadi arah itu yang di-

maksud. 

Sinar mentari yang kian berani memancar, me-

nyapu puncak Gunung Mayit yang menjulang kokoh di 

sebelah selatan. Dan puncak gunung kini jadi pusat 

perhatiannya.

"Gunung itu!" ledak Andika pasti. "Gambar di 

dinding selatan hendak menggambarkan gunung bera-

pi itu!"

Menyaksikan bagaimana cepat otak pemuda 

brengsek itu berputar, Senta dan Danji nyengir berba-

rengan. Kepala mereka menggeleng-geleng.

"Kalian tunggu apa lagi?!" bentak Pendekar Slebor. 

Dasar pemuda tak tahu adat!

"Tapi, bagaimana dengan Moja?" kilah Senta.

Wajah Andika kontan berantakan. Sudah pasti dia 

juga yang mesti membopong orang tua bau itu! Ya..., 

apes lagi.

***

8


"Hum!" Takdes!

Pagi damai dilantak hentakan-hentakan berirama 

maut, tepat di ubun-ubun Gunung Mayit. Tepat di sisi 

kawah besar berisi gejolak lahar panas, dua lelaki ter-

libat pertarungan ganas.

Seorang dari mereka adalah lelaki berambut pan-

jang. Sementara lawannya melihat ciri-cirinya yang 

khas berupa matanya yang cuma satu, jelas dia adalah 

si Kumbang Mata Tunggal. Setelah mencabik-cabik 

mayat Seruni, Kumbang Mata Tunggal langsung menu-

ju ke puncak Gunung Mayit. Memang, selama ini dia 

telah menguntit lelaki berambut panjang sejak Istana 

Durjana ditemukan, hingga memergoki rombongan 

Pendekar Slebor meneliti Istana Durjana.

Lelaki itu rupanya tahu hikayat purba tentang 

berdirinya Istana Durjana. Dalam hatinya sudah terpe-

ram demikian lama keinginan untuk menemukan ban-

gunan itu, sekaligus mengembalikan batu terakhirnya. 

Jiwa laknatnya pun mendambakan keabadian dan ke-

kuasaan tanpa batas. Seperti juga, setiap manusia di 

muka bumi. Bedanya, setiap manusia punya tingkat 

kekuatan batin berbeda untuk menghadapi godaan se-

perti itu.

Dengan akal liciknya, Kumbang Mata Tunggal mem-

biarkan si lelaki berambut panjang menyusuri tempat 

batu terakhir berada. Bila tiba saatnya nanti, tinggal 

direbutnya dari si lelaki gondrong tanpa harus meng-

hadapi seluruh penjaga empat tempat yang ditunjuki 

di dinding Istana Durjana. Tanpa menanam, dia ingin 

memetik buahnya.

Untuk beberapa lama, rencana licik Kumbang 

Mata Tunggal berjalan mulus. Sampai akhirnya, lelaki 

berambut panjang memergokinya sedang mengintai 

dari kejauhan. Maka meledaklah kemarahan si lelaki 

gondrong. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan 

orang lain mendapatkan batu dari nasi perjuangan-

nya? Seperti tidak mungkinnya seekor anjing ingin 

berbagi tulang dengan anjing lain.

Maka pertarungan pun tak bisa dihindari lagi.

Malah kini, baku hantam di antara mereka telah 

memasuki jurus-jurus paling mematikan. Si lelaki be-

rambut panjang telah pula mengandalkan rambutnya 

sebagai senjata. Jika rambut itu sudah berubah men-

jadi senjata maut, artinya tidak ingin mengulur waktu 

lebih lama. Lawan akan dihabisi secepatnya.

Menjelang pendakian ke puncak pertarungan dua 

orang lain sampai di tempat itu. Mereka tak lain dari 

Senta dan adik seperguruannya, Danji. "Hentikan 

pertarungan!" teriak Senta, sarat wibawa bercampur 

kemurkaan. 

Mata lelaki berbaju putih kusam itu berkilat-kilat 

menerkam bergantian dua lelaki yang langsung meng-

hentikan pertarungan.

"Jawab pertanyaanku! Siapa di antara kalian yang 

telah lancang mengusik Istana Durjana?" teriak Senta, 

meledak-ledak. Ketuaan pada wajahnya tidak berarti 

mengurangi keberingasan. Dia laksana seekor naga 

tua yang siap memangsa.

Dua lelaki di sana tidak ada yang berniat menja-

wab.

"Ku ulangi! Siapa di antara kalian yang telah lan-

cang mengusik Istana Durjana?!" ulang Senta lebih 

menggelegar.

"Aku...," sahut lelaki berambut panjang. Wajah 

amat pucatnya tidak menampakkan perubahan sama 

sekali. Teramat dingin, seperti tak pernah lagi memiliki 

rasa.

"Bagus...!" geram Senta terseret. Mata lelaki ini 

semakin menyorot tajam, menyiratkan kemurkaan.

"Kalau begitu, pasti kau pula yang telah memper-

lakukan muridku demikian biadab!" tandas Senta 

kembali. 

Mungkin tak salah bila Senta memusuhi si lelaki

berambut panjang. Sebab biar bagaimanapun, orang 

itu berdiri di barisan tokoh sesat. Tapi untuk melem-

parkan tuduhkan kedua, Senta jelas keliru. Si lelaki 

berambut panjang tak pernah melakukan apa pun ter-

hadap Seruni. Bertemu saja belum.

"Aku tak ada waktu untuk mendengar bualan mu, 

Orang Jompo!" tepis lelaki berambut panjang amat ka-

sar.

"Heh?!" dengus Danji tak kentara.

"Enak sekali kau mau lari dari tanggung jawab, 

setelah puas menghambur-hamburkan kelaknatan

mu!" hardik Senta.

"Kau harus membayar nyawa murid kami!" timpal 

Danji mendesis-desis.

Lalu....

"Huaaa!"

Berbarengan, dua orang tua kalap itu meluruk ke 

arah lelaki berambut panjang. Selaku orang yang su-

dah terlalu kenyang menelan garam dunia persilatan, 

tidak sepantasnya mereka segelap mata itu. Karena 

kemungkinan besar, justru akan rugi sendiri.

Cuma karena mereka benar-benar tidak bisa me-

nerima keadaan Seruni, perempuan yang telah diang-

gap seperti anak sendiri, membuat pikiran waras jadi 

mengabur.

"Pergilah kau ke neraka!"

Wush!

Sambaran tangan kanan Danji datang hendak 

mematuk wajah lawan. Tak hanya tangan itu. Ular po-

hon berbisa yang melilitnya pun siap mengirim bi-

sanya.

Lelaki berambut panjang hanya menggelengkan

kepala ringan ke samping.

Pada saat nyaris bersamaan, Senta melancarkan

sambaran cakar dari samping ke wajah lawan pula.

Dari serangan awal itu saja, tampak sekali bagai-

mana dua lelaki tua sudah terbiasa menyiapkan jurus

gabungan. Jika satu orang menyerang ke satu arah 

maka yang lain akan menyerang dari arah lain. Den-

gan begitu, ruang gerak lawan bisa terkunci.

Namun meski usia lelaki berambut panjang ber-

taut jauh dengan kedua lawan, bukan berarti bakal 

terkecoh. Tanpa terlihat kelimpungan, dipapakinya 

sambaran cakar Senta dengan siku. 

Debs!

Hebatnya lagi, ujung siku itu tepat menghantam 

bagian tengah telapak tangan Senta. Padahal sikunya 

meleset sedikit saja, maka jari tangan sekeras baja 

Senta akan mengoyaknya. Kejelian mata lelaki beram-

but panjang rupanya bisa menangkap keampuhan jari 

Senta. Itu sebabnya, sikunya ditempatkan tepat di ten-

gah telapak tangan lawan.

"Pintar juga kau, Bocah!"

Selesai menyanjung yang sesungguhnya tak lebih 

dari cemoohan, cakar Senta merenggut cepat. Siku la-

wan masih menempel di telapaknya. Dan dia ingin me-

rontokkannya dalam sekali cengkeram!

Crep!

Cuma bunyi itu yang tercipta. Sementara, cengke-

raman jari Senta tak berhasil meremukkan tulang siku 

lawan, karena maksudnya terlalu cepat terbaca.

Pecahnya pertarungan antara Senta dan Danji mela-

wan lelaki berambut panjang, membuka peluang amat 

lebar bagi Kumbang Mata Tunggal untuk menggulirkan 

rencana liciknya. Betapa mekar hati busuknya menge-

tahui dua lelaki tua telah menimpakan semua perbua-

tan yang dilakukannya pada lelaki berambut panjang! 

Sungguh, ini di luar rencananya.

Meski begitu, tidak ada yang ingin disiakan Kum-

bang Mata Tunggal. Sementara tak ada seorang pun 

mempedulikannya lagi, akan didahuluinya lelaki be-

rambut panjang untuk mengambil batu. Dia sendiri

kini tahu tempat batu itu, ketika menguntit. 

Sebelumnya, lelaki berambut panjang bersemedi

cukup lama di tepian kawah Gunung Mayit. Usai me-

nyelesaikan tapa singkatnya, dia berjalan dengan mata 

terpejam. Seolah, ada yang menuntunnya untuk me-

nuruni lereng kawah. Di depan salah satu bagian le-

reng yang mencekung ke dalam, barulah matanya di-

buka. Saat itu bibirnya melengkung. Entah menyerin-

gai, entah pula tersenyum. Sesudahnya, dia terbahak 

tergelak-gelak.

Kumbang Mata Tunggal pun yakin, lelaki beram-

but panjang telah berhasil menemukan tempat terku-

burnya batu terakhir Istana Durjana, sebelum akhir-

nya tertangkap basah oleh lelaki berambut panjang.

"Bertarunglah kalian sampai mampus!" serapah-

nya mendesis. Bibirnya menyeringai memendam ke-

menangan.

Mengendap-endap, Kumbang Mata Tunggal menu-

runi lereng kawah. Di seberang sana, bagian mence-

kung terlihat. Kalau berjalan dari atas, maka orang 

yang bertarung di sana akan melihatnya. Satu-satunya 

jalan, harus beringsut menyusuri lereng kawah. Na-

mun kendalanya, sedikit saja salah pijak, tubuhnya 

tak ayal lagi akan ditelan gelegak lahar di bawah sana!

"Ah, peduli setan!" 

Kumbang Mata Tunggal tak lagi peduli. Yang me-

nari-nari dalam benaknya hanya janji sang Durjana 

untuk memberinya keabadian dan kekuasaan tak ter-

hingga!

Perlahan dan hati-hati, kaki Kumbang Mata Tunggal menjejaki satu bagian demi bagian lereng yang me-

nonjol. Setiap bagian, teramat rapuh. Berat seekor 

kucing saja sudah bisa menggugurkannya. Kalau saja 

tingkat ilmu meringankan tubuhnya tang-gung-

tanggung, jangan harap bisa tiba di seberang lereng 

dengan selamat!

Dengan menguras segenap kemampuan ilmu me-

ringankan tubuhnya, Kumbang Mata Tunggal terus 

menyusuri lingkaran lereng. Jarak yang mesti ditem-

puh cukup jauh. Dengan jalan perlahan-lahan seperti 

itu, akan memakan waktu cukup lama. Tapi, dia tetap 

yakin kalau pertarungan di atas sana akan berlang-

sung alot. Dua lelaki tua bukan orang sembarangan. 

Sementara, lawannya pun sudah membuktikan kedig-

dayaannya ketika bertarung dengan Kumbang Mata 

Tunggal.

Jadi, tak ada yang perlu dirisaukan. Kumbang 

Mata Tunggal tetap yakin bisa memetik keuntungan 

tanpa harus banyak mengeluarkan keringat. Satu-

satunya yang mesti diusahakan kini adalah, bagaima-

na agar perhatiannya benar-benar terpusat pada le-

reng.

Tidak sulit kalau lereng itu memiliki pijakan cu-

kup luas. Kalau yang mesti dijadikan pijakan hanya

tonjolan sebesar telapak tangan, apa itu tidak jadi ma-

salah?

Di tengah jalan, mendadak tonjolan lereng yang

dipijak lelaki ini berguguran. Bagian itu rupanya terla-

lu rapuh, meski Kumbang Mata Tunggal telah mengu-

ras ilmu meringankan tubuhnya. 

Gruuuk! Wrrr!

Pecahan rapuh bagian lereng berguliran cepat 

menuju gelegak kawah. Kumbang Mata Tunggal terke-

siap. Keseimbangannya saat itu juga tak terkendali.

Tubuhnya limbung ke arah mulut kawah. Mata lelaki 

itu mendelik. Uap panas di bawah sana menerpa wa-

jahnya. Keringat sebesar biji jagung yang telah berbaur 

uap kawah, sepertinya terasa mengering tiba-tiba begi-

tu tubuhnya bergulingan di lereng menurun, menuju 

mulut kawah yang meletup-letup!

***

9


Sepanjang perjalanan ke arah barat, benak Pen-

dekar Slebor terus berkutat. Semua gambar di empat 

sisi dinding Istana Durjana diingatnya, terpatri jelas-

jelas dalam ingatannya, Termasuk, gambar di dinding 

sebelah barat.

Persoalannya sekarang, Pendekar Slebor masih 

belum bisa menemukan titik terang maksud gambar 

timbul tersebut.

"Akar menghujam bumi?" gumamnya mengingat 

gambar itu.

Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari seratus 

kali menyebut-nyebut gambar itu. Dia bingung, tapi 

merasa harus memecahkannya. Jadinya, malah mirip 

orang linglung yang mengulang-ulang ucapan serupa, 

selagi terus berlari. Apalagi, di punggungnya ada be-

ban berat menjengkelkan!

"Kutu Buduk! Tikus Borok!" maki Pendekar Slebor 

keras-keras. "Kenapa aku selalu mendapat bagian pal-

ing menyusahkan?!"

Karena merasa tak berguna hanya memikirkan ar-

ti gambar timbul di benaknya, anak muda itu memu-

tuskan untuk tetap berlari ke arah timur. Berlari saja,"

pikirnya. Tak peduli pada Moja tua yang terguncang-

guncang tak karuan. Siapa tahu, secara kebetulan bisa 

menemukan jawaban di jalan!

Setelah cukup lama berlari ke arah barat, anak 

muda buyut Pendekar Lembah Kutukan ini tiba di se-

buah hutan yang membentang di ujung barat Gunung 

Mayit. 

"Hutan?" gumam Pendekar Slebor seperti baru

tersadar dari mimpi.

Andika mengedarkan pandangan ke seluruh pen-

juru kegelapan hutan. Sinar sengit siang tak berdaya 

di dalam sana. Pohon-pohon tumbuh terlalu bongsor. 

Daunnya memadati angkasa, seolah menjadi benteng 

terhadap serbuan sinar matahari. 

Sampai di situ, bibir Pendekar Slebor terungkit. 

Ada yang membuatnya terasa tertimpa berkah melim-

pah ruah.

"Pohon!" pekiknya seperti perawan tua bertemu 

perjaka tampan. Kakinya melonjak-lonjak kegirangan. 

Merasa kegirangannya, tak akan sempurna kalau ma-

sih membopong tubuh Moja. Maka, anak muda itu me-

lempar tubuh tua bangka itu seenaknya.

Bruk!

Kalau saja si tua bangka itu sedang siuman, su-

dah pasti bakal dilabraknya Pendekar Slebor sampai 

terkencing-kencing!

Dari lonjakan-lonjakannya, Pendekar Slebor men-

dadak pula berhenti. Dia terdiam lagi. Wajahnya terli-

pat rapat-rapat.

"Kalau gambar itu adalah perlambang pohon, ba-

gaimana aku bisa menemukan pohon yang dijadikan 

tempat menyembunyikan batu dari istana sial itu, se-

mentara di tempat ini ada sekian ratus pohon besar!" 

gerutu Andika, menyadari ketololannya sendiri.

Dan sumpah serapah paling meriah pun tersem-

prot dari mulutnya.

Tak lama berikutnya, sikap si anak muda urakan 

ini berubah mendadak lagi. Seperti sebelumnya, tu-

buhnya terdiam. Bola matanya terangkat, memikirkan 

sesuatu.

"Tapi, tentu pohon yang dijadikan tempat me-

nyembunyikan batu memiliki ciri tertentu," bisiknya. 

"Pohon itu pasti berbeda dengan yang lain. Ah! Aku 

harus mulai mencari satu pohon yang berbeda!"

Dari bersemangatnya, secepat itu pula wajah An-

dika terlipat kembali.

"Tapi..., sompret! Pohon sebanyak ini?!" maki Pen-

dekar Slebor dengan mata terbelalak. Dia hendak men-

gajukan ketidaksenangannya, tapi pada siapa? Andika 

tak peduli. Pemuda itu hanya tahu kalau saat ini 

dongkol besar! Besuaaar!

Sambil terus memaki-maki, Pendekar Slebor men-

gangkat kembali tubuh Moja. Lalu pencariannya dilan-

jutkan.

"Mudah-mudahan ada dedemit hutan yang sudi 

memungut tua bangka ini menjadi menantunya!" geru-

tu si pemuda tak kentara saat mulai berlari.

Selang sepeminum teh, langkah lari Pendekar Sle-

bor mendadak dihadang satu terjangan.

Wusss...!

"Hah?!"

Si penyerang menyeruak ganas dari semak-semak 

lebat. Andika tahu, kalau saat ini tidak sedang diter-

kam binatang buas. Ada seseorang yang tidak menyu-

kai bila pencariannya dilanjutkan. Yang tidak diketa-

huinya, siapa orang itu?

Pendekar Slebor cepat berjumpalitan. Gerakannya 

lincah, biar pun ada beban seberat anak gajah di pun

daknya. 

"Heaaa!"

Tep!

Anak muda sakti itu hinggap di sebatang ranting! 

sebesar jari kelingking, di atas pohon randu besar. 

"Siapa kau?!" bentak Andika bertanya.

Pendekar Slebor melihat seorang tua berdiri di 

bawah sana. Dari cara berdirinya yang agak limbung, 

bisa ditebak kalau orang itu sedang menderita luka da-

lam parah.

"Kau siapa?!" orang itu balik bertanya.

"Eee.... Belum menjawab sudah bertanya pula?! 

Aku tanya, siapa kau?!"

"Hmm.... Kau yang mesti menjawab, siapa kau?!"

Andika menarik napas dalam-dalam. Kalau terus-

terusan berebut pertanyaan seperti itu, urusan bakal 

tidak selesai sampai kiamat!

"Baik! Aku Pendekar Slebor! Kedatanganku ke sini 

karena satu urusan yang teramat genting!" jelas Andi-

ka, mencoba mengalah.

Si penyerang yang ternyata Kakek Penjaga Makam 

memaksakan diri untuk tertawa. Meskipun, yang 

muncul malah ringisan menahan sakit.

"Kau pikir, kalau aku tahu kau pendekar muda 

yang sedang melangit itu, lalu membiarkan mu kelaya-

pan seenaknya di dalam hutan ku?! Beh! Tak usah, 

ya...!" cibir Kakek Penjaga Makam.

Andika geleng-geleng kepala. Sedang runyam uru-

san, ada lagi 'setan hutan' yang bikin kacau! Serapah-

nya dalam hati.

"Kalau begitu tolong katakan padaku, bagaimana 

agar aku bisa mendapatkan izinmu, Orang Tua?!" bu-

juk Andika. 

"Tidak!"

"Tidak apa?!"

"Tidak akan kuizinkan! Memang kau pikir apa?!"

"Sebaiknya kau mengizinkan," paksa Andika. Dia 

jadi rada runyam juga.

"Kau mengancamku, heh?! Hua ha ha... ugh..

ugh!"

Lelaki ini cepat memberesi batuk yang mengelua-

rkan darah. Diusapnya sudut-sudut bibirnya yang ber-

lendir merah.

"Jangan mentang-mentang kau sudah punya na-

ma besar di dunia persilatan! Aku tak gemetar men-

dengar namamu! Pendekar Slebor.... Huh! Apa itu?!" 

sambung Kakek Penjaga Makam.

"Sompret!" desis Andika.

Anak muda itu melayang turun dari atas pohon. 

Keadaan sudah begitu mendesak. Dia tidak bisa mem-

buang-buang waktu lagi melayani kesintingan orang 

tua satu ini.

"Jadi, apa maumu sebenarnya, Orang Tua?!" ben-

tak Pendekar Slebor, ngotot. Semena-mena dibanting-

nya tubuh Moja ke tanah.

Bruk!

Paling tidak, si anak muda urakan ini bisa sedikit 

melampiaskan kedongkolan....

Moja telentang pasrah di tanah. Mulutnya men-

ganga, lupa dikunci ketika terkena totokan. Menyaksi-

kan wajah Moja, Kakek Penjaga Makam terpana. Mu-

lutnya ikut ternganga, seperti Moja.

"Moja?!" seru Kakek Penjaga Makam.

"Kau kenal dia, Orang Tua?!"

"Kau apakah dia, haaah?!" teriak Kakek Penjaga 

Makam kalap.

Saking kerasnya lelaki ini berteriak, dedaunan 

berguguran. Bumi bergetar. Yang paling kasihan, ya

Moja. Badan bongsornya tersentak mendadak. Ah! Sial 

lagi dia...,

"Aku tak berbuat apa-apa padanya, Orang Tua! 

Sumpah mampus dicium bidadari!" sangkal Andika 

mendelik, ketika Kakek Penjaga Makam memelototi.

Tangan anak muda itu terangkat ke depan, men-

coba menyabarkan Kakek Penjaga Makam.

"Aku tak percaya!" sentak lelaki tua itu.

"Ah! Aku percaya!" balas Andika.

"Kalau begitu, katakan padaku! Kau apakan dia?!"

"Kalau kau bisa tenang sedikit, baru akan ku je-

laskan," ujar Andika, setengah mengancam.

Mestinya tidak pantas kalau orang setua Kakek 

Penjaga Makam merajuk seperti bocah ingusan. Na-

mun, dia memang benar-benar merajuk saat itu.

"Baik," katanya.

Andika pun mulai menceritakan semuanya.

***

10


"Apa?!"

Moja yang baru siuman dari tidur panjangnya ber-

teriak kalap.

"Kau jangan main-main, Danggi!" semprotnya lagi 

pada Kakek Penjaga Makam.

"Aku tak main-main, Tolol! Aku mengenal benar, 

bagaimana jurus-jurusnya. Bagaimana keampuhan ra-

cun pada pukulannya...!"

Kakek Penjaga Makam yang rupanya bernama 

Danggi balas menyemprot. Dia baru saja menceritakan 

pada Moja kejadian yang belum lama dialaminya. Tentang seseorang yang datang hendak membongkar ma-

kam aneh di atas pohon yang selama ini dijaga oleh-

nya.

Sesungguhnya, siapakah Kakek Penunggu Ma-

kam? Bagaimana dia kenal Moja?

Seluruh penjaga tempat yang dilambangkan den-

gan gambar pada dinding Istana Durjana sebenarnya 

berasal dari satu perguruan. Guru besar mereka telah 

menugaskan untuk menjaga tempat masing-masing. 

Satu dengan yang lain tidak pernah diberitahu, tempat 

mana yang dijaga.

Terkadang mereka sering bertemu, tanpa pernah 

tahu tugas apa yang diemban masing-masing.

Dari keempat tempat tersebut, hanya kawah Gu-

nung Mayit yang tidak dijaga. Itu memang mengun-

dang teka-teki. Bukankah jika batu benar-benar bera-

da di puncak gunung, pemburunya akan mudah sekali

mendapatkan kalau tak ada penjagaan? Dan itupun 

tak pernah diketahui baik oleh Tiga Penunggu Telaga 

Larang, Kakek Penjaga Makam, atau Penunggu Sumur 

Kering yang berasal dari kalangan berada. Lelaki te-

rakhir jelas ditemukan Andika dalam keadaan tewas 

secara mengerikan. Badan bagian depannya membu-

suk!

Maka, tak begitu aneh kalau Kakek Penjaga Ma-

kam mengenali Moja ketika masih tertidur pulas dari 

menerima pelampiasan kejengkelan Pendekar Slebor 

berkali-kali.

Setelah Andika berhasil menjelaskan duduk per-

karanya pada Danggi yang berjuluk Kakek Penjaga 

Makam, barulah orang tua itu mulai jinak. Moja pun 

dibebaskan.

Belum lagi Moja sempat menyadari apa yang ter-

jadi pada dirinya, Danggi sudah mengatakan sesuatu

yang sulit dipercaya. 

"Aku tak mungkin bisa percaya kalau si Danji te-

lah berkhianat pada kita. Bahkan telah berkhianat pu-

la pada amanat Guru Besar!" tolak Moja mencak-

mencak di depan Kakek Penjaga Makam.

Andika duduk membiarkan kedua tua bangka itu 

mengomel-ngomel. Bacot meski sudah kiwir-kiwir se-

perti popok bayi, masih tetap selincah mulut perawan. 

Mereka membuat anak muda itu jadi pusing tujuh ke-

liling jagad! Andika akhirnya hanya bisa memperhati-

kan polah mereka sambil bertopang dagu..

Kakek Penjaga Makam tak mau kalah mencak. 

Padahal, dia masih menderita luka dalam akibat puku-

lan lelaki berambut panjang beberapa waktu lalu, sete-

lah terjadi pertarungan.

"Lalu kau mau berkata apa pada luka yang ku de-

rita sekarang?! Luka ini akibat pukulan beracun 

'Pembusuk Daging'! Kau tahu, siapa yang telah diwari-

si pukulan itu oleh Guru Besar? Danji!"

"Tapi selama beberapa hari belakangan, Danji se-

lalu bersama kami! Tak mungkin dia datang ke sini 

tanpa sepengetahuan kami!" sanggah Moja.

"Kau memang berotak kerupuk! Aku tak mengata-

kan Danji yang telah melukai ku!" dengus Danggi.

"Tapi, tadi kau bilang itu pukulan Danji!"

Teriakan-teriakan kedua tua bangka itu makin 

melengking-lengking, kian mendengking-dengking. Me-

reka sudah seperti dua ekor anjing memperebutkan tu-

lang yang tersimpan dalam tanah!

Pendekar Slebor tak tahan lagi. Bisa kena seran-

gan darah tinggi kalau telinganya terus dirasuki suara 

cempreng mereka.

"Cukup, cukup, cukup!" hardik Andika seraya 

bangkit.

Dua kakek yang sedang berbaku bacot langsung 

berhenti. Andika dipelototi.

"Sekarang, jelaskan perlahan! Mulai dari kau, 

Orang Tua!" ujar Andika, menengahi. Ditunjuknya Ka-

kek Penjaga Makam.

Kakek Penjaga Makam menghempas napas sesak-

nya. Dada kerempeng itu kembang-kempis. Di samping 

pengaruh luka dalam, juga terlalu gusar dengan Moja.

"Dua hari lalu, aku didatangi seorang lelaki beru-

sia sekitar tiga puluhan. Dia berambut panjang...," tu-

tur Danggi setelah mengatur napas.

"Apa perlunya dia datang ke tempat ini?!" susul 

Andika.

Kakek Penjaga Makam mendengus. Matanya ber-

kilat-kilat, gusar mengingat kejadian dua hari lalu.

"Dia mau membongkar makam itu!" jelasnya sam-

bil melirik makam ganjil yang menempel di batang po-

hon beringin besar. "Seenaknya saja dia mau mem-

bongkar. Padahal, aku sudah dipercaya Guru Besar 

untuk menjaganya dengan nyawaku sendiri! Aku lan-

tas bertarung dengannya. Ketika aku berhasil dilukai 

dan tak mampu melanjutkan pertarungan secara aneh 

dia menatap makam Guru. Sekian lama menatap, tak 

banyak yang dilakukan. Hanya mengangguk, lalu ber-

lalu begitu saja. Sepertinya dia sudah bisa menduga 

tentang makam."

"Kuburan siapa yang seaneh itu?" Andika berbisik.

Kalau tak diberitahu Kakek Penjaga Makam, An-

dika tak pernah sadar di dekatnya ada makam.

"Tentu saja makam guruku!" bentak Kakek Penja-

ga Makam.

"Guru dimakamkan di sini?! Apa yang telah kau 

lakukan?! Apa kau sudah sinting, Danggi?! Kau mau 

menghina Guru?!" cerocos Moja bertubi-tubi.

Sungguh! Moja sendiri baru tahu kalau gurunya 

telah dimakamkan seperti itu.

Andika tak cepat percaya. Bukan tidak percaya 

pada Kakek Penjaga Makam. Dia hanya tidak yakin 

apakah guru besar mereka benar-benar dimakamkan

di tempat itu. Sebab kalau teringat pada gambar tim-

bul di dinding barat Istana Durjana, mestinya makam 

itu adalah salah satu kemungkinan tempat batu te-

rakhir. Bukan tempat peristirahatan terakhir seseo-

rang.

"Kau yakin?" tukas Andika, mencoba mengorek le-

bih jauh.

Mata Kakek Penjaga Makam melotot besar.

"Bheh! Pertanyaan macam apa itu?!" cibirnya.

"Jawab saja pertanyaanku, Orang Tua...."

"Tentu saja aku yakin!" tandas Kakek Penjaga Ma-

kam jengkel.

"Bagaimana kau bisa yakin?!" sela Moja. Mulutnya 

mulai gatal lagi.

Kakek Penjaga Makam mau berbicara lagi. Tapi, 

dia terjebak pertanyaan Moja. Dengan kepala bergerak 

kian kemari, dia tergagap.

"Yaaa, aku yakin saja...," kilahnya, asal bisa men-

jawab.

"Jawab yang benar, Orang Tua. Kita sedang bera-

da dalam keadaan amat genting! Jangan main-main!" 

omel Pendekar Slebor, tegas.

Danggi terbatuk-batuk.

"Baik, baik.... Aku tidak yakin makam itu adalah 

tempat peristirahatan terakhir Guru Besar. Aku cuma 

mendapat amanat dari beliau, untuk menjaga makan 

aneh ini. Puas?!"

Pendekar Slebor mengangguk-angguk. Ada yang 

mulai jelas sekarang. Kalau kuburan itu kini masih

utuh, tentu si pemburu batu telah mengetahui benda 

yang dikehendakinya tidak ada di sana. Kini, yang ter-

sisa hanya satu tempat... puncak Gunung Mayit!

Andika menjentikkan jari.

"O, ya! Kau bilang tadi, terkena pukulan beracun? 

Apakah pukulan itu mengakibatkan tubuh korbannya 

menjadi membusuk?" tanya Pendekar Slebor pada Ka-

kek Penjaga Makam. Dia ingin menyakinkan dugaan 

pada mayat yang ditemukan di dekat sumur. 

"Dari mana kau tahu?" tanya Kakek Penjaga Ma-

kam, terperangah.

Andika tak peduli pada pertanyaan tadi.

"Lalu, kenapa kau tidak tewas?"

"Bangsaaat! Kau menyumpahiku, Anak Muda?!"

"Aku cuma ingin tahu!"

"Aku tidak mati, karena hanya aku yang diberikan 

penangkal pukulan itu oleh Guru Besar!" Kakek Penja-

ga Makam mau juga menjawab.

"Kau bilang juga tadi, cuma Danji yang diwarisi 

pukulan itu. Tapi tadi katamu, kau bukan dilukai

olehnya?"

Untuk bagian ini, Kakek Penjaga Makam menjadi 

bersemangat. Dia merasa mendapat dukungan Andika, 

setelah sebelumnya ditentang Moja.

"Ya..ya..betul!"

"Lalu kau berpendapat Danji telah mendidik se-

seorang. Dan, muridnya itulah yang telah melukaimu?"

"Ya..ya..ya, betul! Betuuul!" wajah Kakek Penjaga 

Makam makin meriah. Diliriknya Moja dengan sinar 

mata mengejek.

Sementara kedua orang tua itu bermain lirik-

lirikan, tubuh Andika malah mengejang. Dadanya ba-

gai disentak sesuatu. Dia ingat, Senta kini berada di 

puncak Gunung Mayit bersama Danji. Sementara, si

pemburu batu pun tentu sudah pula ke sana. Kalau 

benar Danji telah berkhianat dan si pemburu batu 

adalah muridnya, maka Senta berada di ujung taring 

maut!

"Astaga! Aku harus cepat-cepat ke sana!" desis 

Pendekar Slebor.

Andika lantas menatap kedua orang tua di depan-

nya.

"Kita harus ke Gunung Mayit, Orang Tua!" se-

runya pada Moja dan Kakek Penjaga Makam.

"Aku tidak bisa.... Aku harus menunggu makam 

ini!" semprot Kakek Penjaga Makam.

***

Gelegak lahar kawah Gunung Mayit nyatanya lu-

put memamah tubuh Kumbang Mata Tunggal. Lelaki 

itu berhasil menguasai keseimbangan lagi. Sewaktu 

tubuhnya berguliran menuruni lereng kawah, tangan-

nya membuat satu hentakan kuat. Dan hentakan itu 

dimanfaatkan untuk membuat putaran tubuh, hingga 

kakinya bisa menjejak pada tonjolan batu yang cukup 

kuat.

"Fhuhhh....".

Kumbang Mata Tunggal membuang napas lega. 

Bulir-bulir keringat sudah tercelup dalam gelegak la-

har di bawah sana. Untung cuma keringat. Coba kalau 

tubuhnya yang masuk ke cairan merah bara itu? Sulit 

dibayangkan!

Usai menenangkan diri, lelaki bermata satu itu 

melanjutkan penyusuran mautnya. Kakinya menjejak 

tonjolan demi tonjolan rapuh kembali. Satu demi satu.

Perjuangan lelaki ini tidak sia-sia. Akhirnya, dia 

tiba juga di seberang lereng kawah. Bagian yang mencekung ke dalam ditengoknya. Rupanya, ada sebuah 

gua kecil di dalam sana.

"Bagus! Tampaknya aku akan segera menda-

patkan batu itu!" pekiknya dalam hati.

Kumbang Mata Tunggal pun masuk.

Belum lama tubuh lelaki ini menghilang di mulut 

gua yang setinggi setengah badan manusia, mendadak 

saja....

Bekhr!

"Aaa!"

Dari mulut gua kecil, tubuh Kumbang Mata Tung-

gal termuntah deras. Ada satu tenaga amat kuat yang 

telah menghempasnya demikian kuat.

Lelaki ini bukan orang sembarangan. Tingkat te-

naga dalamnya pun tidak diragukan. Maka kalau ada 

tenaga yang berhasil melempar tubuhnya tak bedanya 

kerikil, tentu tenaga itu berkekuatan luar biasa.

Kalau sebelumnya Kumbang Mata Tunggal masih 

bisa menyelamatkan diri dari gelegak cairan merah ba-

ra di bawah sana, kali ini tidak! Tenaga dorongan itu 

terlalu hebat dalam mengendalikan arah luncuran tu-

buhnya. Begitu melewati batas lereng, tidak ada lagi 

kesempatan baginya untuk mempertahankan nyawa. 

Dan....

Blep, blep, blep!

Tubuh lelaki berhati busuk itu ditelan perlahan 

oleh lahar menyala. Dia menjerit-jerit, meraung-raung. 

Tapi manusia mana yang bisa meluputkannya dari 

jemputan tangan maut?

Tak terlalu lama, beriring gemeritik daging ma-

tang, Kumbang Mata Tunggal tertelan permukaan ka-

wah.

Di atas sana, pertarungan masih berlangsung 

sengit. Kalau semula lelaki berambut panjang dikeroyok dua orang, kini justru Senta yang ditekan dua 

lawan sekaligus!

Benar kecurigaan Kakek Penjaga Makam, Danji te-

lah berkhianat. Lelaki pewaris Ilmu Pukulan Pembu-

suk Daging itu rupanya tergiur selentingan kabar ten-

tang Istana Durjana.

Maka selama dua puluh tahun Danji merencana-

kan untuk mendapatkan batu terakhir! Langkah awal-

nya, diangkatnya seorang murid untuk membantu 

menjalankan rencana.

Sang murid bernama Mutaka, anak seorang du-

kun ilmu hitam yang telah lama mati. Terpilihnya Mu-

taka menjadi murid, karena anak itu mewarisi seba-

gian kekuatan ayahnya. Sejak muda, dia sudah men-

guasai beberapa kekuatan. Terutama, kekuatan batin. 

Dengan kekuatan itu, Danji berharap suatu hari Mu-

taka berhasil melacak letak Istana Durjana.

Mutaka memang tak lain lelaki berambut panjang 

yang kini membantu Danji dalam melenyapkan Senta.

Mendapat tekanan yang semula tak pernah didu-

ga, Senta tua jadi cepat terdesak. Di samping harus 

kerepotan menghadapi terjangan-terjangan dua la-

wannya, harus pula menghadapi terjangan ketidakper-

cayaan pada perbuatan Danji di hatinya. Perhatiannya 

jadi tak terpusat. Dia terus terdesak, terus tertekan.

Sampai....

Desssh!

Satu tendangan lelaki berambut panjang telak 

bersarang di ulu hati lelaki tua itu. Tubuhnya terje-

rembab, lalu terseret ke tepi kawah. Kalau saja tan-

gannya tak sempat meraih tepian tebing kawah, tentu 

akan langsung meluncur ke dalam kubangan besar la-

har mendidih!

"Kenapa...? Kenapaaa kau lakukan ini, Danji?" keluh Senta pada Danji.

Tubuh lemah orang tua itu menggelantung di teb-

ing kawah. Cuma satu tangan yang diandalkan untuk 

menahan tubuhnya.

Danji mendekati tebing. Ditatapnya kakak sepergu-

ruannya dengan sinar mata dingin. Mutaka di sisinya..

"Kekuasaan, Senta.... Kekuasaan.... Dan Satu 

lagi, keabadian! Guru tak bisa memberikan itu pada-

ku. Tapi Sang Durjana bisa!" kata Danji, mendesis.

"Kau tertipu, Danji! Tak ada satu makhluk yang 

bisa memberikan keabadian, kecuali janji kosong!" lirih 

Senta. Nyawanya tak dipikirkan. Dia hanya tak sampai 

hati menyaksikan saudara seperguruan yang sudah 

seperti saudara kandung sendiri telah diperdaya tipu 

manis iblis.

"Itu menurutmu, bukan? Aku tetap percaya 

Sang Durjana sanggup membuatku menjadi abadi dan 

memberikan kekuasaan tak terbatas padaku.... Hsss, 

hsss, hsss...."

Danji tertawa. Namun lebih mirip desis ular.

"Jadi, aku tak perlu minta maaf padamu, jika 

aku harus membunuhmu, Senta. Karena kau telah 

menghalangi jalanku...," desis Danji lagi. "Temuilah 

Guru di alam kubur!"

Danji segera menurunkan tangannya yang dili-

lit ular kecil paling berbisa ke tangan Senta. Jika bisa 

ular teratuk ke tangan, lelaki itu akan mengalami sik-

saan paling menyakitkan sebelum menemui ajal di da-

lam lahar panas yang menanti.

Danji rupanya telah benar-benar menjadi seku-

tu sejati Sang Durjana!

Sebelum sempat ular kecil itu mematuk tangan 

Senta yang meregang menahan berat tubuhnya, seke-

lebat bayangan mencelat dari gua di seberang lereng:Bayangan itu amat cepat bergerak ke arah dua 

guru murid berhati busuk di atas Senta. Amat cepat, 

seolah hantu pencuri hari....

Desh!

Desh!

"Wuaaa!"

Berbarengan, Danji dengan ular kecil di tangan 

dan muridnya seketika terlempar deras ke tengah-

tengah kawah, Di udara mereka bergelinjang-gelinjang 

liar, meronta dari panggilan mulut Gunung Mayit. Ta-

pi, lagi-lagi tak seorang pun bisa lari dari maut bila 

waktunya tiba.

Dan....

Bup, blup!

Mereka tertelan lahar membara. Tubuh mereka 

dimatangkan di sana, dengan gemeritik ramai men-

gawal lepasnya nyawa.

Senta menatap tertelannya dua wajah meregang 

maut di bawah sana. Wajahnya pucat. Namun, hatinya 

lebih pucat mengingat Danji telah mati sebagai manu-

sia durjana!

Lamat-lamat, mata Senta menyaksikan sesosok 

tubuh berdiri di antara layangan uap kawah. Berdiri di 

bagian yang mencekung lereng kawah. Sosok berpa-

kaian putih terang. Sosok yang dikenal sebagai, guru 

besarnya....

Bagaimana dengan nasib Istana Durjana?

Tanpa sepengetahuan murid-muridnya, sang 

Guru Besar dengan kesaktiannya telah menguruk 

kembali kubangan amat besar, sehingga Istana Durja-

na terpendam kembali. Entah sampai kapan. Mungkin 

bila ada sosok yang terhasut iblis durjana, istana itu 

akan muncul kembali.

Tepat ketika Pendekar Slebor dan Moja tiba di puncak

Gunung Mayit, Senta telah berhasil naik ke bibir ka-

wah.

"Kau tak apa-apa, Pak Tua?" tanya Andika.

"Semuanya sudah berakhir, Anak Muda," sahut 

Senta.

"Mana Danji keparat dan muridnya?" susul Moja.

"Mereka terkubur di kawah bersama nafsu iblis 

mereka...."

"Lantas, bagaimana kau bisa mengalahkan mereka, 

Pak Tua?" kali ini Andika agak heran, sekaligus me-

nyangsikan kemampuan Senta.

"Nanti sajalah kuceritakan di gubukku...."

Hanya itu yang terucap dari mulut Senta, lalu ber-

lalu dari tempat ini. Sementara Pendekar Slebor dan 

Moja mengikuti, setelah saling berpandangan tak mengerti.





                            SELESAI




















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive