ISTANA DURJANA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam
1
Malam ini langit tak menampakkan keindahan-
nya. Jutaan bintang di angkasa tersaput gumpalan
mega kelabu. Arakan awan tambun merayap tersendat
memamerkan bentuknya yang menyebalkan, dan ju-
stru menghalangi keindahan yang mestinya terlihat.
Pada tanggal-tanggal seperti ini semestinya cakrawala
bertabur cahaya bulan penuh. Sayangnya keharusan
itu tak selamanya berlaku. Karena, bulan purnama
bernasib sama dengan gugus gemintang.
Mungkin suasana itu sudah biasa bila terjadi pa-
da setiap musim penghujan. Arakan awan pekat, uda-
ra dingin menggigit, gelap yang meraja, adalah hal bi-
asa. Tapi, akan jadi tak biasa bila nyatanya suasana
seperti sekarang ini justru terjadi pada musim-musim
kering.
Apakah ada yang tak beres dengan alam? Sebuah
pertanyaan yang sesungguhnya amat pantas diperta-
nyakan siapa pun dan oleh manusia dari mana pun.
Kecuali, seorang lelaki tua yang kini berjalan sendiri di
satu dataran kerontang.
Lelaki tua itu berambut amat panjang. Hitam
bergelombang kasar. Ujung rambutnya hampir-hampir
menyentuh betis. Seperti tidak ingin sedikit pun mem-
perlihatkan wajahnya, rambut depannya dibiarkan
menjuntai liar.
Wajah orang ini bisa dibilang mirip suasana ma-
lam. Dingin, penuh kegelapan. Sepertinya memang
pancaran kehitaman jiwanya. Kulit wajahnya pucat,
seakan darahnya telah terperah sekian puluh tahun
lalu. Bibirnya kerontang, pecah-pecah seperti tanah di
bawah kakinya. Malah, terlalu tipis untuk bisa dikata
kan memiliki bibir. Sepasang matanya selalu mele-
satkan pandangan menikam. Besar dan berwarna hi-
tam di sekujur kelopaknya.
Pakaian lelaki ini tak mengisyaratkan apa-apa,
kecuali sebongkah kesan kematian. Dengan kain hitam
kelam panjang yang tergerai begitu saja, seluruh tu-
buhnya tertutupi.
Di pusat dataran tandus yang dikepung bukit-
bukit tanah berpasir ini, lelaki itu memantek kaki. Di-
am mengarca. Tangannya menjuntai, tanpa kehendak.
Angin membekukan mengusik rambut dan pakaian-
nya. Sikapnya tetap tak peduli. Dia sungguh tak peduli
apa-apa. Tak peduli pada suasana mencekam. Atau
bahkan seperti tak peduli pada diri sendiri.
Yang ingin dilakukan lelaki ini agaknya hanya
mendongak kaku-kaku ke angkasa, tepat mengarah
pada gumpalan-gumpalan awan pekat kelabu yang
membiaskan cahaya tipis bulan. Wajahnya yang lurus
sepintas menampakkan susunan tulang pipi yang me-
nonjol bengis.
Jika ada yang melihatnya, maka akan sulit me-
nentukan, apakah dia manusia atau mayat hidup.
Pada saatnya, gumpalan awan tambun mulai ter-
gebah angin. Perlahan-lahan awan-awan itu menying-
kir. Purnama di atas sana sejenak punya kesempatan
meneroboskan cahayanya, yang kemudian cahaya pu-
cat itu jatuh ke tempat yang tak kalah pucat wajah si
lelaki tadi.
Mendapati siraman cahaya bulan, lelaki ini seper-
ti mendapat limpahan kepuasan ganjil. Ditariknya na-
pas dalam-dalam. Seakan dia hendak menghirup rasa
dari cahaya bulan. Setelah bertahan beberapa saat,
barulah dadanya dihempos kembali. Seperti sebelum-
nya, dada lelaki itu mencekung kembali.
Awan pekat rupanya memberi kesempatan cukup
lama pada bulan untuk menampakkan keindahan ca-
hayanya ke bumi. Waktu pun merayap. Lewat titik ten-
gah malam, bulan bulat perlahan-lahan ditelan bayan-
gan. Bukan, bukan oleh awan. Tapi oleh Sang Batara
Kala.
Gerhana tengah malam berlangsung.... Tepat ke-
tika bulan tertelan penuh oleh sang Batara Kala, lelaki
tadi mendengking-dengking seperti seekor anjing ter-
siksa. Tubuh kurusnya tersentak-sentak, terhenyak ke
belakang. Lalu, rubuh. Matikah dia?
Tidak! Bukankah tidak pernah ada orang mati
yang dapat menggeser-geserkan tubuhnya pada tanah
kerontang? Ya! Sungguh mengherankan! Dengan
punggungnya, lelaki itu menyapu permukaan tanah
tandus. Tubuhnya merayap-rayap ke belakang, tak be-
danya ular ajaib yang berjalan telentang!
Setelah merayap dengan cara terlalu aneh, tubuh
lelaki itu berhenti di bagian lain dari dataran tandus.
Sejenak dia terdiam, kemudian bangkit mendadak se-
kali.
Belum lagi cukup lama kaki kurusnya menjejak,
lelaki ini sudah tersungkur lagi. Tidak. Sesungguhnya
tak tersungkur. Sengaja kedua lututnya dijatuhkan.
Selanjutnya dengan tangan yang berkuku panjang, dia
mulai menggali, mengais, mendongkel sarat kejalan-
gan. Tingkahnya mirip anjing malam yang hendak
menggali pendaman tulang.
Caranya menggali lelaki ini tak lagi seperti manu-
sia biasa, Tangannya mengais amat kuat. Seakan, ada
tenaga yang berasal dari puluhan makhluk-makhluk
gaib dalam dirinya. Setiap kali tangannya mencakar
tanah, maka bongkahan besar tanah terhambur ke-
luar.
Tak memakan waktu lama, sudah terbentuk se-
macam kubangan kering besar pada dataran tadi. Le-
bar lingkarannya sekitar sembilan kaki dengan keda-
laman tak kurang dari lima depa! Di dasarnya mencuat
semacam benda tumpul dari batu.
Mendapati benda tersebut, kesibukan menggali si
lelaki berambut panjang di dasar kubangan terhenti
sejenak. Diamatinya benda itu tanpa kedip. Bagai seo-
rang yang memendam kerinduan asing, diusap-
usapnya tonjolan benda tumpul tadi. Dienyahkan pula
debu di permukaannya. Bahkan diciuminya benda itu
dengan garis bibir yang sulit diartikan.
Selang sekian waktu berikutnya, lelaki ini sudah
mulai mengais-ngais lagi. Sepertinya dia hendak men-
coba mengeluarkan benda menonjol tadi.
Jika melihat bentuknya, masih sulit diduga ben-
da apa gerangan. Namun yang jelas bukan sekadar
benda biasa. Ukuran yang tampak sekarang pun bu-
kanlah ukuran sesungguhnya. Karena, benda yang
menonjol seperti batu tumpul di permukaan lubang
yang dibuat si lelaki kurus, sesungguhnya adalah
ujung stupa. Dan melihat corak serta ukiran yang ada,
lelaki ini yakin kalau itu adalah istana yang pernah hi-
lang selama ratusan tahun! Bangunan yang dikenal
sebagai Istana Durjana!
"Ha ha ha ha...! Hanya dengan menyusun satu
batu bagian istana ini, guruku akan menjadi penguasa
jagat yang tak pernah mati!" pekik si lelaki kurus me-
nyaingi sentakan petir. "Jadi, aku tinggal mencari batu
yang tertinggal dan tersimpan entah di mana...."
Ya! Lelaki. ini telah mendapatkan sesuatu yang
begitu meluapkan perasaannya!
Betapa tidak? Sebab, baru tiga hari yang lalu le-
laki ini bangkit dari tapa selama setahun lebih. Dari
tapanya di puncak Gunung Mayit, sesosok makhluk
yang tak tergambarkan wujudnya mendatangi. Dan di-
perintahkannya lelaki itu untuk menggali tempat yang
kini sedang dikangkanginya.
Dalam mimpi dikatakan, lelaki ini akan mene-
mukan sebuah istana yang tak terlalu besar. Dan jika
ia berhasil menyempurnakan bangunan istana itu
dengan meletakkan batu terakhir ke tempatnya, maka
makhluk dari alam kegelapan akan memberi apa yang
diminta!
Lelaki ini terus menggali, dan menggali Sampai
akhirnya tercipta sebuah kubangan sangat besar yang
di tengah-tengahnya terdapat bangunan megah yang
disebut Istana Durjana.
Sesungguhnya, bagaimana asal-usul Istana Dur-
jana?
***
Konon ratusan tahun yang lampau, pernah hidup
seorang berhati amat kelam. Namanya Durja, seorang
yang tak pernah puas pada kehidupan. Dari hari ke
hari hatinya makin mengeras dan mengeras. Sampai
akhirnya, hatinya benar-benar bagai batu. Dalam di-
rinya yang ada hanya mimpi untuk berkuasa. Keingi-
nan untuk sepenuhnya menguasai manusia lain sela-
manya di dunia.
Durja sadar, dirinya tak bisa mewujudkan mimpi itu.
Maka jalan sesat diambilnya. Dia mencoba bersekutu
dengan makhluk-makhluk alam kegelapan.
Iblis terkutuk diundangnya datang untuk memberi
padanya janji kekuasaan dan keabadian.
Iblis datang memenuhi undangan. Namun untuk
mengabulkan keinginan Durja, iblis meminta satu syarat yang teramat berat bagi manusia mana pun di mu-
ka bumi. Durja diminta untuk membangun satu istana
untuk sang iblis dalam waktu dua purnama, menje-
lang matahari terbit.
Istana itu harus dibangun dari tumpukan batu
Gunung Mayit. Setiap batu, mesti dipindahkan Durja
dengan tangannya sendiri. Tanpa bantuan orang lain!
Namun bukan itu sesungguhnya yang tersulit. Selain
memindahkan batu gunung satu persatu lalu disusun
menjadi istana, Durja juga harus memandikan setiap
potongan batu dengan darah manusia!
Hati Durja memang sudah mati. Maka, persyara-
tan yang amat berat sekaligus mengerikan pun disetu-
juinya. Dan mulai hari itu, dia bekerja memindahkan
sepotong demi sepotong batu Gunung Mayit. Dipin-
dahkan, lalu disusun di sebuah dataran amat kering
yang jaraknya memakan waktu setengah hari dari Gu-
nung Mayit. Setengah hari sisanya digunakan untuk
mencari darah manusia.
Sejak saat itu, desa-desa di sekitar Gunung Mayit
menjadi tidak tentram. Setiap hari selalu ditemukan
seseorang menemui ajal secara menggidikkan. Leher-
nya tergorok, sementara darahnya telah terperas habis.
Tak peduli lelaki wanita, tak peduli tua muda.
Hari berganti hari. Setiap hari, istana persemba-
han Durja pada iblis laknat makin memperlihatkan
bentuknya. Sepanjang itu pula, korban terus berjatu-
han.
Penduduk sendiri tak pernah tahu, siapa yang te-
lah melakukan perbuatan keji di tempat mereka, Dari
hari ke hari mereka terus dihantui ketakutan. Bila sore
terpuruk dan malam menjelang, semua penduduk
mengunci diri di rumah masing-masing. Namun begi-
tu, tetap saja ada korban untuk yang kesekian.
Benak mereka mulai menerka-nerka kalau semua
kekejian itu adalah kerja semacam dedemit. Makhluk
halus yang meminum darah manusia!
Hari terus bergulir. Purnama kedua telah hampir
tamat. Sementara Durja terus menyempurnakan ista-
na persembahannya. Sedangkan penduduk makin tak
sanggup menghadapi ketakutan. Satu demi satu, ke-
luarga demi keluarga di desa-desa sekitar Gunung
Mayit akhirnya mengungsi ke daerah lain. Mereka tak
peduli bila mesti berjalan sejauh apa pun. Tak juga di-
pedulikan rintangan yang harus dihadapi selama per-
jalanan. Yang mereka inginkan hanya secepatnya me-
nyingkir dari desa.
Menjelang satu hari sebelum purnama kedua, se-
luruh desa di sekitar Gunung Mayit benar-benar men-
jadi desa mati. Tak ada kehidupan di sana. Mereka
semua telah pergi meninggalkan onggokan-onggokan
sisa kehidupan.
Durja sendiri pada saat itu nyaris menyelesaikan
kerja laknatnya. Tinggal tersisa batu terakhir yang ha-
rus ditempatkan di bagian pintu istana kecilnya.
Malam nanti adalah purnama kedua. Tadi Durja telah
mendapatkan bongkahan batu terakhir dari Gunung
Mayit. Berarti malamnya, dia harus segera berangkat
ke desa terdekat. Hatinya sudah tak sabar untuk me-
nyiramkan darah pada batu terakhir, seperti tak sa-
barnya menantikan janji Iblis Durjana. Terbayang su-
dah di benaknya kekuasaan tak terbatas dan keaba-
dian baginya. Dia akan menjadi raja di raja dunia.
Menjadi penguasa tak terbantah!
Bayangan di benak lelaki ini terberangus ketika men-
dapati desa sudah tak berpenghuni lagi. Padahal, be-
lum lama dia masih sempat membantai seorang bocah
kecil untuk diambil darahnya!
Durja mencoba menghibur diri. Kalau desa ini
tak ada, pasti desa yang lain masih berpenghuni. Begi-
tu pikirnya. Segera dia pergi ke desa sebelah. Nya-
tanya, di sana tak juga ditemuinya seorang pun. Juga,
di desa-desa lain yang berada di sekitar Gunung Mayit.
Durja menjadi gusar teramat sangat. Dia harus men-
dapatkan darah manusia sebelum pagi menjelang. Jika
ayam jantan berkokok dan darah belum didapat, maka
hancurlah harapannya. Iblis telah memberinya batas
waktu hanya sampai matahari membuka cahaya di
ufuk timur di purnama kedua!
Dengan kegusaran meletup-letup, Durja pergi ke
desa yang lebih jauh dari Gunung Mayit. Lelaki ini
memang berhasil mendapatkan darah manusia. Seo-
rang petani desa yang pulang kemalaman telah diter-
kamnya dari belakang.
Tergesa-gesa, Durja kembali ke tempat istana per-
sembahan. Sampai di sana, ternyata matahari telah
tercukil ke angkasa. Sinarnya menerobos mata Durja,
seperti hendak mengoyak isi kepalanya!
Durja menjerit-jerit sejadinya. Dia telah gagal.
Sementara, perjanjian dengan iblis terkutuk telah ter-
gurat. Bukanlah kekuasaan dan keabadian yang dida-
pat, tapi malah kematian! Sehimpun lidah petir yang
ganjil di tengah hari cerah, mendadak menghantami
tubuhnya, tepat di saat tangannya hendak menyiram-
kan darah manusia ke batu terakhir.
Durja mati seketika. Sambaran petir bertubi-tubi yang
menghantami tubuhnya tak berhenti meski lelaki ini
sudah tersungkur tanpa nyawa. Petir baru menghilang,
manakala tubuhnya sudah tuntas menjadi hangus.
Abu jenazahnya tersapu angin ke mana-mana.
Sekitar tiga ratus tahun berlalu sejak peristiwa
itu, Gunung Mayit mendadak meletus. Lahar panas
mengalir merajalela. Istana persembahan Durja pun
terkubur. Sementara, batu terakhir yang tersisa, ko-
non ditemukan oleh seorang laki-laki berilmu tinggi,
yang mengerti sejarah Istana Durjana. Dengan alasan
akan terjadi malapetaka bila batu itu terpasang di Is-
tana Durjana, maka dia menyimpannya di suatu tem-
pat yang tersembunyi.
***
Di sebuah telaga yang letaknya tak begitu jauh
dari Gunung Mayit, seorang perempuan sedang asyik
menjala. Usianya memang tidak muda. Mungkin sudah
memasuki usia kepala empat. Meski begitu, bukan be-
rarti wajah dan tubuhnya tidak menarik lagi. Wajah-
nya justru memancarkan kecantikan yang berkesan
matang. Dan tubuhnya yang terbungkus pakaian me-
rah jambu begitu berisi. Potongan pinggangnya padat
dengan pinggul molek. Kulitnya agak kecoklatan. Bisa
jadi karena sering tersengat matahari.
Telah beberapa kali perempuan itu melempar jala
ke telaga, kemudian menariknya. Cara memainkan ja-
lanya tak seperti cara seorang nelayan biasa. Perem-
puan berambut ikal mengembang sepunggung itu bu-
kan saja sangat lihai, tapi juga amat memukau orang
awam.
Ketika melempar jala, perempuan ini menjentik-
kan satu bandul pemberat disalah satu jala. Kekuatan
jentikan jari halus yang terlihat remeh, ternyata sang-
gup membuat jala besar tadi membentang lebar-lebar
di udara. Sebentar benda itu melayang dalam gerak
berputar, selanjutnya menyergap permukaan air tela-
ga!
Pyarrr...!
Sementara untuk menariknya, perempuan itu
menyentak ujung jala seketika. Itu pun dilakukannya
hanya dengan menggerakkan jari telunjuk! Dari bawah
permukaan telaga, jala seperti hendak mencuat ke lan-
git. Air bertebaran tak karuan. Tepat ketika jala tadi
melayang di atas, telunjuk perempuan ini membuat
sentakan kembali. Maka, jala pun jatuh tepat di lam-
bung perahu bersama puluhan ikan air tawar yang
menggelepar-gelepar tentunya!
Dari caranya menjala, agaknya perempuan itu
memiliki kepandaian tak sembarangan. Paling tidak,
berada beberapa tingkat dari orang-orang dunia persi-
latan kalangan bawah.
Begitu matahari condong sepenggalan, ikan yang
didapat sudah cukup melimpah. Sambil melihat hasil
tangkapannya, perempuan itu menyeka peluh dengan
ujung tangan baju.
"Kurasa cukup," katanya pada diri sendiri.
Si perempuan berpakaian merah jambu meletak-
kan jala di sudut perahu kecil. Dijemputnya kayu be-
sar yang sejak tadi tergolek minta disentuh tangan mo-
lek. Perlahan, dikayuhnya perahu kecil itu ke tepian.
"Mau ke mana kau?!" hardik seseorang yang tiba-
tiba telah berada di tepian telaga, Suaranya terlalu be-
rat berdegam untuk seorang berusia muda.
Wanita tadi mengangkat kepala. Disaksikannya
seorang lelaki tua. Tak ada kumis, jenggot, rambut,
bahkan sekadar alis di wajah keriput yang memucat.
Dengan pakaian putih mengabur sepucat wajahnya, le-
laki tua itu menaikkan pangkal hidung. Kemarahan
diperlihatkan dari caranya mendengus.
Tiba-tiba, lelaki tua berpakaian putih kusam itu
melompat ringan. Jarak yang cukup jauh antara tepian
telaga dengan perahu, dilaluinya hanya dua lompatan.
Sekali kakinya menyentak permukaan air, lalu melent-
ing kembali seperti seekor burung camar menyambar
ikan.
Usai berjumpalitan, tangan si tua berpakaian pu-
tih itu melepaskan ikatan kain panjang dari pinggang.
Masih di udara, dilepaskannya satu lecutan tajam ke
kepala perempuan di perahu.
Ctar!
Dari bunyi dan angin yang tercipta, terlihat jelas
tenaga dalam yang terbawa bersama lecutan kain tadi
begitu tinggi. Jika ada sebongkah batu sebesar kerbau
melayang di depannya, bisa dipastikan saat itu juga
akan hancur lebur berkeping-keping!
Kepala si perempuan di atas perahu tentu tak se-
keras batu. Dia sadar akan hal itu. Maka harus dila-
kukan tindakan segera untuk menyelamatkan batok
kepalanya.
"Heaaa!"
Teramat gesit, si perempuan di atas perahu ber-
jumpalitan ke belakang. Di ujung perahu kakinya
hinggap bertengger sebentar. Dan dengan tangkas tan-
gannya meraih ujung jala.
Wishhh!
Tepat ketika jarak lecutan kain putih lelaki tua
yang menyerangnya tinggal berjarak dua jengkal lagi,
jala perempuan itu menyongsongnya.
Slet!
Dua benda itu seketika saling pagut. Pada saat
bersamaan, perempuan di atas perahu menyentak
ujung jala.
Bettt!
Seketika itu juga terdengar bunyi kebatan kain
putih milik lelaki tua di udara. Menyusul, tersentaknya
tubuh si lelaki tua ke arah perahu. Luncuran deras
tubuhnya ternyata disambut perempuan berpakaian
merah jambu dengan satu tendangan kaki kanan lurus
ke depan.
Deb!
Dada si lelaki tua terancam.
Tapi dengan sangat mengagumkan, orang tua berpa-
kaian putih ini hanya membuat sedikit sentakan di
udara. Luar biasa! Dia telah memanfaatkan udara di
bawah telapak kakinya untuk menyentak tubuhnya ke
atas! Dengan begitu, terlihat betapa tinggi tingkat ilmu
meringankan tubuhnya....
Hebatnya lagi, kaki orang tua itu hinggap di betis
lawannya.
Tep!
"He he he! Kemajuanmu boleh juga, Seruni!" puji
si orang tua, masih di atas kaki perempuan tadi.
Tanpa berniat menurunkan kaki kanannya cepat-
cepat, bibir perempuan yang dipanggil Seruni terse-
nyum.
"Terima kasih, Guru!" ucapnya seraya menarik
kakinya.
Orang tua berpakaian putih yang ternyata gu-
runya sendiri hinggap di atas perahu.
"Ayo cepat kayuh perahu ke tepi! Kita harus mem-
bakar ikan untuk makan siang. Tamu-tamu kita sudah
menunggu dengan. perut keroncongan di gubuk!" pe-
rintah lelaki tua seraya membuat berang wajahnya.
Seruni hanya bisa tertawa sambil mendekati
kayuh.
***
2
Aduh Emak..., aduh Bapak... Langit bumi menga-
barkan tangisnya
Di hulu tiap pergantian hari...
Senandung enteng meluncur dari mulut seseorang
di jalan setapak. Seperti tanpa beban di wajahnya,
orang itu melenggang seringan senandungnya. Utara
tujuannya. Apa yang hendak dilakukan di sana, cuma
dia yang tahu.
Dia seorang pemuda, berambut gondrong tak ber-
tata. Garis wajahnya mengisyaratkan kejantanan den-
gan mata sembilu dan alis menukik. Pakaiannya hijau
pupus. Sementara dada bidang dan bahu kekarnya
tertutup kain bercorak catur.
Diselingi siulan, si pemuda meneruskan senan-
dungnya.
Langit tangisi bumi,
bumi tangisi diri
Sebab disini, kian banyak terkapar
Mata hati yang terjangkit... E, copot-copot!
Senandung penuh hikmah si pemuda diakhiri ka-
limat yang tak mengenakkan telinga, ketika kakinya
tersandung sesuatu. Pemuda tampan tapi berpenampi-
lan sembarangan itu mencak-mencak sambil menyem-
burkan makian pedas tak terperikan.
"Sompret! Mentang-mentang bumi luas, tidur
sembarangan saja!" rutuknya pada seseorang yang ba-
ru saja mengusik langkahnya.
Orang itu terbaring pulas sembarangan di pinggir
jalan setapak. Kakinya melintang sembarang pula.
Si pemuda berpakaian hijau pupus tak bisa men-
genali orang yang terpulas. Karena tidurnya tertelung-
kup. Yang terlihat hanyalah pakaian berwarna kuning
dari bahan yang tergolong mewah.
Menilik penilaiannya, si pemuda berpakaian hijau pu-
pus mau tak mau menjadi heran. Orang yang tidur pu-
las ini jelas dari kalangan berada. Setidak-tidaknya,
bangsawan yang sanggup membeli pakaian dengan
bahan yang dipakainya. Kalau benar dia bangsawan,
kenapa tidur seenaknya di jalan berdebu? Sungguh itu
sesuatu yang di luar kebiasaan kaum berada.
"Hei, Saudara!" tegur si pemuda agak sengit. Tak
terlihat orang yang tertelungkup hendak menanggapi
teguran si pemuda.
"Saudara!" ulang si pemuda sedikit dongkol. Memang,
kaum bangsawan banyak yang bertingkah memua-
kkan. Mereka sering tak menganggap pada orang ba-
wah. Mentang-mentang bisa hidup lebih baik dari yang
lain!
Karena jengkel, si pemuda menyepak kaki orang
tertelungkup tadi.
Pak!
Sekali.. Kedua.. Sampai ketiga kali, orang itu tetap
tak bergerak. Sudah aneh seorang bangsawan berbar-
ing sembarangan, tambah aneh lagi kalau sudah dis-
epak tiga kali tetap tak bergerak.
Si pemuda mulai curiga.
"Jangan-jangan...," bisik si pemuda menduga-
duga, seraya berjongkok. Dengan tangannya dibalik-
kannya tubuh orang tadi.
Sekarang persoalan jadi jelas. Orang itu memang tidak
pernah berniat tidur sembarangan di pinggir jalan. Le-
bih dari itu, dia 'tertidur' untuk selamanya! Mati dengan amat mengerikan. Sekujur tubuh bagian depan,
dari kaki sampai wajah, membengkak biru legam se-
perti digilas sesuatu. Wajahnya sudah sulit dikenali.
Bahkan hidung dan bibirnya sudah tak berbentuk lagi,
karena kulitnya sudah kelewat menggelembung!
Mual seketika memutar-mutar perut si pemuda
berpakaian hijau pupus. Bukan cuma keadaan si
mayat yang sudah demikian menjijikkan, juga karena
dari bagian yang membengkak keluar bau busuk me-
nyengat!
"Biang monyet!" maki si pemuda seraya cepat
membalikkan kembali tubuh mayat tadi.
Pemuda tampan ini cepat berdiri. Kakinya mundur
beberapa langkah.
"Apa yang terjadi padanya?" bisiknya setelah agak
jauh.
Si pemuda seperti berpikir sejenak. Ditelitinya se-
genap tempat itu. Tak ada secuil pun sesuatu yang
mencurigakan. Cuma ada sebuah sumur. Bentuknya
tidak berbeda dengan sumur biasa, dibangun dari be-
ton. Lucunya, sumur itu dikelilingi pagar besi berukir.
Padahal, untuk apa dipagar kalau dibuat di tempat
terbuka seperti itu? Bukankah sumur di tempat terbu-
ka, biasanya dibuka untuk para petualang yang ke-
hausan di jalan? Lagi pula, apa gunanya dipagari besi
mahal? Dia jadi tak habis pikir.
"Sumur kok diperlakukan seperti kuburan!"
Karena begitu penasaran, anak muda itu mencoba
meneliti. Ditengoknya juga mulut sumur, setelah me-
lompati pagar besi mewah tak berpintu. Di dalam sana
tak ada apa-apa. Seperti sumur biasa, bau tanah. Cu-
ma tak ada air di dasarnya.
Mau tak mau si anak muda jadi garuk-garuk ke-
pala. Selanjutnya bahunya mengedik. Bibirnya menci
bir.
"Kenapa pusing-pusing memikirkannya. Nanti ju-
ga aku tahu!" tukasnya enteng.
Si pemuda pun melanjutkan langkah. Melan-
jutkan senandungnya pula.
Kini, pemuda berbaju hijau pupus ini sampai di
dekat sebuah gubuk cukup besar di bahu bukit sebe-
lah telaga. Hidungnya langsung kembang-kempis tak
karuan, mencium aroma ikan panggang. Dengan sedi-
kit mengendus-endus, hendak dipastikan apakah bau
mengundang perutnya itu berasal dari gubuk.
Melihat asap tipis putih melayang di atap gubuk,
pemuda itu semakin yakin ada orang yang sedang ber-
pesta panggang ikan di sana. Dan perutnya pun ber-
kukuruyuk, menghasutnya untuk mendatangi gubuk
itu.
"Mudah-mudahan ada sepotong ikan bakar besar
yang sudi menjadi penghuni perutku.. Nyam, nyam!"
seloroh pemuda ini seraya mengeluarkan kecapan.
Si pemuda kian mendekat, lalu mengetuk pintu.
Tok.... Tok.... tok....
Karena terlalu dipengaruhi 'seradak-seruduk' cac-
ing dalam perut, ketukan si pemuda jadi terlalu ken-
cang. Malah, terdengar seperti hendak membegal.
"Siapa?!" tanya suara di dalam. Suara orang tua.
"Aku.. Seorang pengelana!" sahut si pemuda.
"Apa maksudmu datang ke gubuk ini?!"
"Lapar! Eh! Anu..., maksudku, aku hendak num-
pang berteduh di tempatmu. Apa boleh?"
"Tentu saja boleh!"
Sahutan terakhir dibarengi dengan terbukanya
pintu gubuk. Tampak orang tua berpakaian putih
muncul.
"Ayo masuk, Anak Muda!"
Si pemuda masuk. Di dalam sana, terlihat sudah
banyak orang berkumpul. Ada sekitar tiga orang du-
duk membentuk setengah lingkaran dekat tungku pe-
manas gubuk yang dijadikan tempat membakar ikan.
Satu di antaranya seorang wanita berusia sekitar em-
pat puluh tahun berpakaian merah jambu. Dia tak lain
dari Seruni. Semuanya duduk pada bangku kecil pen-
dek tanpa penyanggah punggung.
"Waduh.... Sudah banyak yang antri. Kira-kira,
apa aku akan kebagian jatah?" kasak-kusuk hati si
pemuda.
"Jangan berdiri saja seperti itu, Anak Muda! Ayo
bergabung!" ajak lelaki tua, berpakaian putih, guru Se-
runi. Didahuluinya pemuda berbaju hijau pupus me-
nuju kumpulan.
"Berapa ikan yang dibakar?" tanya pemuda berpa-
kaian hijau pupus tanpa malu-malu. Biar saja diang-
gap muka tembok. Yang penting, tak kelaparan. Den-
gan mulut terus mengecap-ngecap, didekatinya orang-
orang yang berkumpul itu.
Di antara mereka, hanya Seruni yang begitu ber-
minat mengawasi wajah sang tamu muda. Tampan ju-
ga, bisik hati Seruni. Dia tahu, usianya tentu terpaut
lebih tua beberapa tahun dari pemuda itu. Tapi, usia
toh tak akan pernah menjadi kendala bagi ketertarikan
hatinya.
Sewaktu mendapati mata bergaris tegas berkesan
tegar si pemuda, Seruni merasakan desir halus di da-
danya. Mata itu demikian menggetarkan! Hanya di da-
lam hati Seruni bisa berkata.
Lain yang sungguh-sungguh memperhatikan, lain
juga orang yang diperhatikan. Entah sadar atau tidak
kalau sedang diperhatikan seorang wanita matang
mempesona, pemuda berambut gondrong justru mulai
sibuk menghitung ikan bakar.
"Satu, dua, tiga..., sembilan, sebelas. Wah, banyak
juga! Mujair besar itu boleh buatku?!"
Seruni tersenyum. Rasanya, sulit dipercaya me-
nyaksikan seorang pemuda yang tak hanya tampan
tapi gagah ternyata mempunyai sikap rada memalu-
kan.
"Silakan!" guru Seruni menjulurkan telapak tan-
gannya menuju ikan-ikan bakar.
Pemuda berpakaian hijau pupus lantas saja me-
nyambar mujair besar yang sudah diincar-incarnya.
Acuh saja! Tak perlu heran. Karena, dia memang salah
seorang paling acuh di atas jagat.... Siapa lagi kalau
bukan Pendekar Slebor?!
"Sebenarnya, siapa yang tengah disunat sehingga
kalian berkumpul seperti ini?"
Didahului sendawa santer seenaknya, Pendekar
Slebor yang mempunyai nama asli Andika bertanya
pada lelaki tua berpakaian putih. Anak muda itu cuma
mau berbasa-basi dengan orang-orang yang telah begi-
tu baik padanya. .
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah
kami tahu siapa namamu? Juga, julukanmu jika kau
punya?" tanya lelaki tua, guru Seruni .
Andika cengengesan. Dia paling tak suka kalau ju-
lukannya dikutak-kutik.
"Namaku Andika...," akunya. Sementara, julukan-
nya tak ingin disebutkan.
"Kau orang persilatan, bukan?" cukil guru Seruni
lagi.
Andika cengengesan lagi. Mau berbohong tak ter-
lalu pandai. Mau menjawab, nanti-nantinya malah
akan didesak untuk menyebutkan julukannya. Ja-
dinya, memang serba salah.
"Jadi kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya An-
dika, berusaha mengalihkan persoalan.
Guru Seruni mengalah. Lelaki tua berbaju putih
ini cukup maklum tamunya tak ingin diketahui lebih
jauh. Khususnya, soal julukan. Di dunia persilatan, ju-
lukan terkadang mempengaruhi sikap seseorang pada
yang lain. Orang persilatan seringkali menyanjung ber-
lebihan, jika seseorang memiliki julukan besar. Sikap
mereka terkadang terlalu merendah, kalau tahu nama
besar orang itu. Golongan hitam akan mengangkat-
angkat tokoh berpamor hebat yang berdiri di golongan
mereka. Golongan putih pun sering kali terjebak pada
hal seperti itu. Dan pemuda ini nampaknya tak begitu
suka. Begitu pikir guru Seruni.
Lelaki itu melirik yang lain, meminta pertimban-
gan. Tampak sekali dia tak mau sembarangan membi-
carakan alasan berkumpul. Apalagi, pada seorang ta-
mu yang tak dikenal.
Selain Seruni, lima lelaki lain tampaknya tak setu-
ju Andika tahu urusan mereka. Guru Seruni bisa me-
nyimpulkan itu dari isyarat garis wajah mereka.
"Sayang sekali, Anak Muda. Kami tak bisa menga-
takannya padamu...," sesal guru Seruni.
Dari hanya berbasa-basi, Andika malah jadi be-
nar-benar penasaran. Apa-apaan? Masa memberitahu
alasan berkumpul saja pelit sekali? Pasti ada sesuatu
yang disembunyikan! Pasti ada sesuatu yang amat
penting, sehingga mereka harus bersikap hati-hati! Ha-
ti anak muda dari Lembah Kutukan itu berkecamuk.
Apa akalnya supaya mereka mau buka mulut?
Mereka rata-rata berusia lebih tua. Tiga lelaki itu beru-
sia paling tidak sekitar tujuh puluhan. Termasuk, guru
Seruni. Cuma Seruni yang berusia empat puluhan. Ka-
lau orang-orang tua seperti mereka sedikit diusili, apa
nanti tidak kualat? Bisik hati Andika. Pikiran urakan-
nya mulai menjangkit.
Ah, peduli setan!
"Wadoo, wadoo, wadooo...!" Mendadak sontak
anak muda brengsek itu menjerit-jerit kalang-kabut.
Tangannya mendekap perut kencang-kencang, seolah-
olah isi perutnya, hendak ditahan agar tidak brojol!
"Kenapa, Anak Muda?!" sentak guru Seruni kaget.
Mata keriputnya membeliak.
"Ada yang telah meracuni ku! Ada yang telah me-
racuni ku!" erang Andika dengan wajah dibuat seme-
melas mungkin. Raut wajahnya seribu kali lebih me-
nyedihkan daripada seorang perempuan tua yang ter-
lambat melahirkan. Bayangkan!
Yang lain, ikut kaget. Mereka saling menoleh. Saat
itu juga mulai terbersit kecurigaan di mata masing-
masing antara satu dengan yang lain.
Dalam hati, Pendekar Slebor cekikikan. Perutnya
jadi mulas sungguhan, karena terlalu menahan tawa
yang hendak meledak saat itu juga.
Karena keempat orang itu hanya saling melirik,
Andika merasa harus memperseru sandiwaranya. Ba-
dannya segera disentak-sentakkan seperti kuda lump-
ing kerasukan. Bola matanya mendelik dengan warna
hitam melejit-lejit ke atas. Makin gila dia!
"Kalian..., ugh!" bual Andika meyakinkan sekali.
"Kkkh..., kalian kenapa begitu tega meracuni ku? Apa
salahku? Ap..., ap...."
Andika megap-megap. Persis seperti ikan mujair
besar yang sudah menjadi penghuni perutnya..
"Ap..., apa hanya karena aku dianggap terlalu ba-
nyak ta... tahu, sehingga kal... kal, ugh! Kalian hendak
menyingkirkan ak..., ku?"
Sambil terus sungsang-sumbel menahan geli, Andika pura-pura terhuyung limbung. Sebentar lagi, dia
pura-pura tak sadarkan diri. Kalau sudah begitu, dia
ingin tahu apa tanggapan mereka. Dalam keadaan sal-
ing curiga, biasanya kegusaran yang bakal mencuat.
Kalau mereka semua gusar, biasanya bicara pun ser-
ing tak terpikirkan. Mudah-mudahan mereka akan
mengocehkan rencana secara tak sadar saat saling
tuding. Dan Andika makin geli.
Bruk!
Andika menjatuhkan tubuhnya. Biar lebih terlihat
sungguh-sungguh, sengaja badannya dijatuhkan ke-
ras-keras. Sakit sedikit tidak apa-apa, yang penting
rencananya berhasil. Bibirnya meringis, tetapi yang
penting hatinya puas.
Perangkap Andika mulai mengena. Orangtua ber-
pakaian putih terdengar mendengus.
"Ada apa sesungguhnya ini? Apakah di antara kita
telah ada yang lancang main hakim sendiri?" desisnya
dengan mata merah terbakar. Ditatapnya dua lelaki
tua sebayanya, seakan ingin menyudutkan. Bahkan
muridnya sendiri, Seruni.
"Guru menuduhku?" tukas Seruni, tersinggung
melihat tatapan gurunya.
"Kau pun mencurigai aku, Senta!" tukas orang tua
berjubah serba merah. Ucapannya tak begitu jelas.
Terdengar bagai desisan ular yang melilit di tangan
kanan.
Sementara orang tua berpakaian hitam terus me-
mainkan dua bola baja di tangannya. Biar pun terlihat
tenang, wajahnya tak bisa menyembunyikan kegusa-
ran..
"Jadi, apa maksudnya?" desak orang tua berpa-
kaian putih yang dipanggil Senta.
"Apa maksudmu?!" ledak orang tua berpakaian ke
lam. Daya tahan kesabarannya hanya sampai di situ.
"Aku tahu, kita sedang menghadapi persoalan be-
sar. Tapi, bukan berarti aku menghalalkan kalian ber-
buat sekehendak hati dengan meracuni anak muda tak
berdosa ini!" hardik Senta bertekanan, berkekuatan.
"Hei?! Kau sudah kelewatan, Senta! Aku memang
tidak setuju anak muda ini mengetahui masalah besar
yang sedang kita hadapi. Tapi, bukan berarti aku akan
tega meracuninya!" sangkal orang tua berpakaian hi-
tam. Kalimatnya menyerocos lancar seperti ada mercon
dalam mulutnya. Diremasnya geram-geram dua bola
baja di kedua tangannya. Ditantangnya tatapan mem-
berangus Senta.
"Jadi siapa?" desis Senta, terseret "Siapa yang te-
lah lancang meracuni anak muda ini?!"
Kalimat Senta tua menanjak tajam. Urat lehernya
menggelembung, menahan kegusaran.
"Yang jelas bukan aku," tandas orang tua berju-
bah merah. Tetap dengan suara terdengar samar men-
desis.
"Aku belum mengatakan kau yang melakukannya,
bukan? Kenapa tiba-tiba merasa harus membela diri,
Danji?" desis Senta. Kecurigaannya beralih pada Danji,
orang tua berpakaian merah.
Danji tua tergelak. Mungkin hanya saat tertawa
suaranya jelas terdengar.
"Kau benar-benar tak waras, Senta! Jangan men-
tang-mentang aku ahli dalam racun, tiba-tiba kau see-
naknya menuduhku. Persoalan terbongkarnya Istana
Durjana adalah tanggung jawabku. Tanggung jawab ki-
ta. Kita sama-sama tahu, ada orang yang berhasil me-
nemukannya. Orang itu akan amat berbahaya jika te-
lah menempatkan batu terakhir yang hilang ke tem-
patnya. Tapi, aku tak pernah berpikir bahwa anak
muda ini orangnya...," desisnya berliku-liku.
"Kau jangan mencoba mengelak dari tanggung ja-
wab, Danji! Mengakulah! Kau mencurigai anak muda
ini sebagai orang yang telah menemukan Istana Durja-
na. Kau merasa harus membunuhnya, karena kau be-
gitu takut...," Senta kian memojokkan.
Danji terbahak lagi. Ada bara kegusaran yang di-
tahan-tahan pada kerut wajah dengan tawanya.
"Katakan padaku, bagaimana aku mencurigai
anak muda ini sebagai orang yang telah menemukan
rahasia tempat Istana Durjana? Apakah dia memperli-
hatkan tanda-tanda mencurigakan?" kelit Danji.
Sekarang, ganti Senta yang tersudut. Danji tua
memang benar. Tak ada secuil pun yang bisa dicurigai
pada diri pemuda berpakaian hijau pupus. Tidak wa-
jah tampannya yang lebih banyak memperlihatkan ke-
tololan, tidak sifatnya. Juga, tidak ada benda-benda
dari Istana Durjana yang dibawanya. Jadi, tak ada ke-
mungkinan bagi siapa pun di antara mereka yang bisa
mencurigai si pemuda.
"Ukh! Ukh! Ukh!"
Kecamuk kekalutan Senta diberantas habis seke-
tika manakala, pemuda 'biang kerok' di lantai gubuk,
terbatuk-batuk.
"Debu sial! Kalian pasti tak pernah membersihkan lan-
tai gubuk ini!"
Kedok pemuda brengsek itu mesti dibuka seka-
rang! Kepepet!
***
3
Danji adalah lelaki tua berperawakan aneh untuk
seorang berusia lanjut seperti dia. Kesan yang paling
lekat adalah lehernya yang terlalu pendek. Bukan ka-
rena gemuk. Badannya justru cenderung kurus. Di
lain sisi, tulang dadanya malah terlalu mencembung
keluar. Dengan begitu, dagunya menjadi rapat dengan
dada. Untuk menoleh sedikit saja, mau tak mau harus
memiringkan badan. Namun, di antara yang lain, di-
alah yang paling pendek.
Untuk wajah, Danji tak terbilang istimewa. Paras-
nya bahkan terbilang terlalu kampungan.
Keanehan lain, tangan Danji tak pernah lepas dari
seekor ular pohon berbisa berwarna hijau terang.
Binatang itu selalu melilit di pergelangan tangan
kanannya seperti gelang hidup.
Danji sebenarnya termasuk salah seorang tokoh
persilatan yang menguasai berbagai jenis racun. Teru-
tama, segala jenis racun ular berbisa. Meski wajahnya
tak mirip ular, giginya justru seperti taring seekor ular
sendok. Begitu akrabnya Danji dengan berjenis-jenis
ular, tak heran kalau dunia persilatan menjulukinya
Moyang Ular.
Orang tua ini sangat jarang berbicara. Rupanya
dia sadar, suara dan ucapannya tidak jelas terdengar.
Orang sering kali menganggapnya sedang berdesis ke-
tika berbicara.
Danji adalah adik seperguruan Senta, guru Seru-
ni. Di samping Danji, Senta memiliki adik bungsu se-
perguruan. Namanya, Moja. Orang tua ini senang
mengenakan pakaian kelam.
Usia Moja lebih muda empat tahun daripada Dan
ji. Perawakannya tak ada yang menarik. Biasa-biasa
saja. Wajahnya berkerut, berhias jenggot tipis kemera-
han seperti serabut jagung.
Yang menarik perhatian dari Moja justru sifat dan
kebiasaannya. Mulutnya terlalu cerewet. Apa saja yang
tidak disukai akan diceletukinya. Seperti juga jika se-
dang menyenangi sesuatu.
Kalau Moja berbicara, maka mulutnya akan meli-
lit-lilit simpang-siur. Pantasnya dia adalah seorang ne-
nek-nenek yang mulutnya disumpal sirih!
Kebiasaan aneh dan satu-satunya hanya memain-
kan dua buah bola baja di tangannya. Sebentar bola-
bola itu dipilin-pilin dengan telapak tangan. Di lain
waktu, dilempar-lemparnya. Di waktu lain, dibentur-
benturkannya hingga menimbulkan bunyi menyebal-
kan.
Senta, Danji, dan Moja semasa muda dikenal se-
bagai Tiga Penunggu Telaga Larang. Sebuah telaga
yang berada tak jauh dari gubuk mereka. Menurut ce-
rita, batu terakhir Istana Durjana terlempar ke telaga
ketika terjadi letusan Gunung Mayit.
Guru mereka menugasi ketiga tokoh tua untuk
menjaga agar tak ada seorang pun yang mengambil ba-
tu dari dasar telaga. Jika batu ditemukan dan dapat
ditempatkan kembali ke bagian lowong Istana Durjana,
kiamat dunia persilatan akan segera terjadi!
Iblis akan memiliki kesempatan untuk membuka
gerbang kekuatan gelapnya, dan mengambil seorang
manusia berhati mati untuk dijadikan penguasa keba-
tilan, sebagai wakil iblis di bumi.
Seruni yang telah mendapat gemblengan matang
dari ketiga lelaki uzur itu, nantinya akan meneruskan
tugas Tiga Penunggu Telaga Larang.
Dan ketika mengetahui ada seseorang telah berhasil menemukan letak Istana Durjana, mereka pun
segera mengatur pertemuan guna membicarakan ma-
salah teramat besar yang siap menerkam dunia persi-
latan!
"Siapa kau sebenarnya? Kau pasti telah menipu
kami dengan bualan tengik mu!" maki Moja sengit, be-
gitu menyadari mereka baru saja 'dikadali' Pendekar
Slebor.
Andika bangun dari pingsan buatannya. Bibirnya
cengar-cengir menyebalkan.
"Kalau kalian menghadapi masalah besar yang
menyangkut nyawa banyak orang, kenapa mesti dis-
embunyikan?" tukas anak muda acuh itu. "Kalian ten-
tunya butuh banyak tenaga untuk itu, bukan?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Tengik!" te-
rabas Moja lagi.
Bibir lelaki tua ini kemudian melintir-lintir. Andi-
ka sampai pegal sendiri menyaksikannya.
"Pertanyaan yang mana?" tanya Andika, berlagak
bodoh.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" sela Senta,
mengulang pertanyaan adik bungsu seperguruannya.
Bertolak belakang dengan sikap Moja, Senta jauh lebih
ramah.
"Aku suka kau, Orang Tua. Dengan tata krama
seperti itu, kau pantas dituakan...," puji Andika, nge-
lantur. Lain yang ditanya, lain yang dijawab.
"E.... Kau menghinaku, ya?!" ketus Moja berang.
"Cukup, Moja!" bentak Senta.
Biar pun sudah maklum dengan sifat adik seper-
guruannya, tetap saja orang tua berpakaian putih itu
kesal juga melihat sikap Moja yang dianggap kekanak-
kanakan.
"Terima kasih..., terima kasih!" hatur Andika, merasa telah dibela.
Pendekar Slebor menjura. Bukan untuk meng-
hormat. Namun, sekadar untuk mengolok-olok Moja.
"Sekarang, kuharap kau sudi menjelaskan siapa
dirimu sebenarnya...," lanjut Senta.
Andika masih mau mengulur-ulur persoalan. Ha-
tinya masih belum puas dalam menggoda Moja.
"Sebentar!" sela Seruni.
Setelah lebih banyak diam, perempuan itu men-
dadak berbaur dalam suasana kacau.
"Rasanya aku ingat sekarang!" sambungnya nyaris
berseru. Wajahnya menampakkan garis keterkejutan.
Terkejut karena apa? Masih belum jelas. Yang pasti,
dia telah ingat sesuatu. Maka dihampirinya Pendekar
Slebor. Mata jelinya terus mengawasi potongan wajah
dan tubuh Andika. Pakaiannya pun tak luput.
Andika jadi risih juga diteliti dalam jarak dekat
oleh seorang perempuan yang memiliki kematangan,
baik pada wajah atau tubuh. Terlebih, waktu hidung-
nya mengendus aroma tubuh Seruni. Hmmm... Andika
menarik napas panjang-panjang dan dalam-dalam....
"Nona.... Apa ada yang kurang padaku? Hidungku
kebanyakan lubang? Atau, daguku pindah ke jidat?"
oceh Andika.
"Ya, benar!" cetus Seruni tiba-tiba. Wajahnya ber-
binar gembira. Dia benar-benar yakin pada ingatannya
sekarang.
Tololnya, Andika malah salah tanggap. . "Astaga!
Jadi benar?! Benar lubang hidungku sudah bertam-
bah? Dan jidatku...."
Andika cepat meraba hidung dan dahinya. Kok
masih sama seperti kemarin?
"Aku tahu siapa dia, Eyang Guru!" lapor Seruni
bersemangat pada Senta. "Dia Pendekar Slebor!"
***
Satu pertarungan sedang berkecamuk sengit jauh
di sebelah tenggara Gunung Mayit. Dua orang yang se-
dang bertukar jurus sama-sama berilmu tinggi.
Salah seorang adalah lelaki berambut sepanjang
betis, yang terlihat di dataran kering beberapa waktu
lalu. Sedangkan lawannya, seorang lelaki tua berusia
sembilan puluhan. Usia yang terlalu tua untuk berta-
rung melawan musuh berusia tak lebih dari empat pu-
luh tahun.
Meski demikian, pertarungan tidak berarti dikua-
sai lelaki berambut panjang. Sebab, si tua bangka itu
tampaknya mempunyai ilmu olah kanuragan tak sem-
barangan. Ibarat tua-tua keladi, ketuaannya justru
menyempurnakan kematangan kesaktiannya.
Si orang tua mengenakan cawat dari akar tumbu-
han. Tubuhnya tidak ditutupi apa-apa lagi. Pun, untuk
penutup dada yang kurusnya kelewatan. Rambut keri-
tingnya memutih rata sampai batas. Jenggotnya yang
terlalu panjang, dililitkan ke leher.
Kakek Penjaga Makam, sebutan orang tua itu.
Dalam menghadapi lawan, Kakek Penjaga Makam
menggunakan sebilah batu nisan besar sebagai senja-
ta. Beratnya jangan dikira. Jauh lebih berat dari tubuh
si tua itu sendiri. Lebarnya saja sudah setengah meja.
Tebalnya, tak kurang dari setengah jengkal. Makam
orang edan mana yang mau memakai nisan sebongsor
itu? Kakek Penjaga Makam sendiri tak memusingkan
itu.
Hanya saja, siapa yang tak jadi berdecak heran?
Bagaimana seorang jompo seperti Kakek Penjaga Ma-
kam mau-maunya bersenjatakan benda menyusah-
kan? Tapi di tangannya batu nisan itu justru menjadi
senjata mematikan! Dengan amat mudah senjata itu
dikebutkan, diputar, dan dibabatkan sekehendak hati.
Yang jadi masalah sekarang, apakah senjata se-
rampangan itu bisa meruntuhkan kehebatan lelaki pu-
cat berambut panjang? Sementara sudah lewat seratus
jurus, Kakek Penjaga Makam menggenjot kesaktian
dalam usaha menjatuhkan lawan. Hasilnya? Tidak bisa
dibilang menggembirakan. Biar pun lawan cukup ke-
repotan, tapi tetap belum menjamin bisa melumpuh-
kannya.
Wukh, wukh, wukh!
Kakek Penjaga Makam memutar-mutar batu nisan
raksasa di tangannya, ketika keprukan terakhir luput
mendarat di kepala lawan. Putaran senjata anehnya
bukan cuma untuk menangkis sodokan jari yang me-
lebihi kecepatan patukan ular sekalipun. Selain itu,
Kakek Penjaga Makam memang sudah mulai bosan
dengan pertarungan yang dianggap tak ada juntrun-
gannya. Dia hendak membuat benteng yang memung-
kinkannya mengambil jarak.
"Tak ada angin tak ada hujan, kenapa kau tiba-
tiba menyerangku, Kutu Busuk?!" maki Kakek Penjaga
Makam, muak bukan main dengan perbuatan lawan-
nya, sesudah berhasil mundur beberapa depa.
"Aku hendak menggali makam itu!" sahut lelaki
pucat, langsung ditunjuknya makam tua tak jauh dari
tempat mereka bertarung.
Agak menyimpang dari kuburan biasa, makam itu
terletak di batang sebuah pohon beringin besar. Itu sa-
ja sudah cukup ganjil. Tapi yang lebih ganjil lagi, ma-
kam tua itu bukan terletak melebar, tapi tegak lurus
pada sisi batang pohon. Seolah-olah, menempel begitu
saja bagai cecak raksasa di badan pohon!
"Hmmm.. " gumam Kakek Penjaga Makam. "Pantas saja kau bernafsu sekali ingin membuatku mam-
pus. Rupanya kau ingin menggali makam ini. Kalau
kau tak membunuhku, maksudmu tentu akan ku ha-
langi.... Hm hm hm...." Kepala Kakek Penjaga Makam
terangguk-angguk.
"Kalau kau sudah tahu, kuperintahkan menying-
kir dari sini! Jika bersikeras menghalangiku, kau akan
cepat masuk lubang kuburmu!" ancam lelaki pucat tak
main-main.
"Aa hi hi hi!"
Kakek Penjaga Makam terkikik seperti nenek ke-
ropos. Tubuhnya terguncang-guncang menahan geli.
"Aku tanya kau sedikit, Kutu Busuk! Apa kau mau
kuperintahkan meninggalkan kepalamu?!"
Lelaki bertubuh kurus sepucat mayat mendengus.
Pertanyaan Kakek Penjaga Makam tak perlu dijawab.
"Nan, makam itu...."
Kakek Penjaga Makam menunjuk dengan jempol
ke arah makam. Sikapnya khidmat sekali.
"Makam itu ibarat kepalaku sendiri. Mana mau
aku meninggalkan kepalaku? Sableng sekali kau ini!"
lanjut Kakek Penjaga Makam, merutuk.
"Kalau menyayangkan makam yang kau ibaratkan
sebagai kepalamu, maka kau akan segera kehilangan
kepalamu yang sesungguhnya!" tandas lelaki pucat,
berkawal suara gemeletuk dari rahang.
Tangan Kakek Penjaga Makam menepis udara.
"Kau pikir aku ini tikus bengek yang bisa dibikin
mampus sekali kepruk?! Kau ngelindur, Kutu Busuk!
Sana, lebih baik cuci muka biar pikiran waras mu bi-
sa...."
Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, Kakek
Penjaga Makam Sudah dikejar serangan lawan!
Wrrr!
Untuk serangan baru, lelaki pucat pun mengelua-
rkan simpanan baru pula. Satu ajian pamungkas dike-
luarkannya. Dia tak ingin lebih banyak buang waktu.
Pertarungan mesti cepat dituntaskan. Dengan begitu,
makam di pohon beringin bisa secepatnya dibongkar.
Apa yang dicarinya? Masih belum jelas. Hanya dia
yang tahu.
Serangan sambungan lelaki pucat tak bisa diang-
gap remeh. Betapa pun Kakek Penjaga Makam sulit
untuk memperkirakan bahaya sebesar apa yang men-
gikuti sampokan rambut panjang lelaki pucat.
Maka ketika rambut panjang itu berseliwer deras
menuju dada kurusnya, kakek ini dengan gesit mema-
pak.
Trash!
Getar berdesir tajam terhentak ke udara, begitu
rambut panjang lelaki pucat tertahan nisan di tangan
Kakek Penjaga Makam. Hawa berbau sangit menyusul.
Sepersekian kejap kemudian, memporakkan udara di
sekitarnya.
Kenyataan itu mengejutkan Kakek Penjaga Ma-
kam. Pertama karena merasakan nyeri menjalar di ke-
dua tangannya. Kedua, karena mencium bau sangit
tadi.
Tahulah si tua bangka yang telah kenyang makan
asam garam dunia persilatan itu, kalau lawan ternyata
memiliki rambut beracun. Dari baunya saja sudah ter-
gambar seberapa ganas racun tersebut!
Wukh wukh wukh!
Wrrr!
Diawali putaran rambut liar bersama kayuhan
menggila kepala, lelaki pucat mengejar terus lawan
bangkotannya. Satu sabetan dilakukan.
Wusss...!
Rambut lelaki pucat mendesis di udara lurus-
lurus ke arah kening si tua bangka penjaga makam.
Luar biasa! Jika semula rambut itu terlihat gemulai,
saat itu juga mengejang amat tegang. Sepertinya, ram-
but itu telah berubah dalam sekedipan mata menjadi
bilah-bilah baja halus!
Siapa yang mau keningnya dilubangi? Maka se-
raya mengempos tenaga dalam lebih kuat, tangan ku-
rus Kakek Penjaga Makam menyorongkan nisan besar
di depan kepala. Dikiranya, rambut maut lawan bakal
terjegal lagi. Nyatanya, tidak sekali ini.
Traaakh!
Nisan raksasa di tangan Kakek Penjaga Makam
kontan terbelah. Wajah lelaki tua itu terlihat pucat se-
kilas di antara belahan batu nisan. Matanya membe-
liak, tak mempercayai apa yang terjadi!
***
4
"Kalau nyatanya batu itu sebagai kunci bencana,
kenapa tidak dimusnahkan saja? Kita ambil batu itu
dari dalam telaga, lalu hancurkan!" usul Andika pada
Tiga Penunggu Telaga Larang dan Seruni.
Pendekar muda kesohor itu baru saja mendengar-
kan kisah Tiga Penunggu Telaga Larang tentang Istana
Durjana. Termasuk, bahaya amat besar yang mengan-
cam dunia dengan ditemukannya kembali istana ter-
sebut.
Ketiga lelaki tua bangka di dekat Pendekar Slebor
tersentak. Mereka seperti baru siuman, setelah meng-
habiskan hampir seluruh hidup untuk menjaga Telaga
Larang. Kenapa tak terpikir sejak dulu? Bisik hati mas-
ing-masing.
"Bagaimana?" cetus Andika, ingin jawaban.
Pendekar Slebor tak mau lebih banyak menunggu.
Waktu terus menggilas, ditunggu atau tidak. Dalam
hal ini, kalah cepat menyiasati waktu, dengan orang
sesat yang menginginkan batu di dasar telaga, bisa be-
rarti kebodohan besar! Keangkaramurkaan punya ke-
sempatan untuk jadi raja dunia!
"Aku setuju," sambut Senta cepat. Dua adik se-
perguruannya mengangguki putusan Senta.
Andika mengedipi Seruni dengan sebelah mata.
"Aku setuju!" jawab perempuan itu cepat.
Wanita ini mengira Andika hendak meminta per-
timbangannya juga. Julukannya saja Pendekar Slebor.
Tak terlalu luar biasa kalau dia meminta persetujuan
dengan cara yang sedikit keblinger!
"Bagus! Kalau kau setuju, besok kita bisa meni-
kah!" ucap Andika ngawur, seraya melangkah ke luar
gubuk seenaknya pula.
Tinggal Seruni menjadi merah padam.
Tanpa memusingkan rupa Seruni yang tak karuan
lagi, pendekar muda pemilik nama besar di dunia! per-
silatan itu ngeloyor ke luar gubuk. Tiga orang tua satu
perguruan mengikuti di belakang. Sementara, Seruni
memilih berjalan paling akhir. Dia masih belum bisa
membenahi perasaan kacaunya.
Seperti telah disepakati, mereka akan menuju ke
Telaga Larang.
Karena tak begitu jauh, tak lama mereka sudah
sampai dan di tepi telaga, anak muda dari Lembah Ku-
tukan itu berjongkok. Dicelupkannya tangan ke per-
mukaan telaga.
"Hiiyyy...!"
Seketika pemuda itu berjingkat. Bahunya menyu-
sut cepat seperti kucing tertimpa hujan.
"Sial! Dingin sekali air telaga ini," rutuknya meng-
gumam.
Senta tak bisa menahan geli, hingga terpaksa
mengeluarkan kekehannya.
"Satu kelebihan telaga ini adalah airnya yang amat
dingin. Meski hari sedang membakar sekalipun, airnya
tetap bisa membuat beku!" jelasnya seperti membang-
gakan benda miliknya.
Andika melirik. "Kau tampaknya bangga sekali
dengan telaga sial ini...."
"Tentu saja! Berpuluh tahun kami menunggu tela-
ga ini sebagai satu kehormatan besar dari guru kami!"
sahut Moja, mewakili Senta.
Ringisan Andika terungkit.
"Kalau begitu, sebaiknya satu di antara kalian saja
yang menyelam, ya?" usul Pendekar Slebor, lebih mirip
mengejek.
Seruni mendeliki Andika. Tega-teganya pemuda ini
meminta orang setua mereka menyelam ke dasar da-
nau yang bukan hanya dalam, tapi juga dingin mem-
bekukan? Seruni mangkel dalam hati.
Danji yang lebih banyak diam malah menanggapi
sungguh-sungguh kalimat main-main Andika. Tanpa
banyak basa-basi, jubahnya dibuka.
"Hei, hei! Memang kau hendak berbuat apa, Pak
Tua?" tahan Andika.
"Aku hendak menyelam," jawab Danji, tak mau
banyak cincong. Dia tak suka ucapan mendesisnya le-
bih sering terdengar.
Andika mau tak mau terbahak.
"Kalian kira aku tak punya perasaan membiarkan
badan keropos kalian jadi tiang kaku di dasar telaga
sial ini?"
Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan kepala.
Dibukanya baju atas dengan sikap acuh saja.
Seruni terkesiap. Cepat-cepat wajahnya dibuang
ke arah lain. Siapa tahu pemuda brengsek itu lupa ka-
lau Seruni berdiri di sana. Lalu membuka semua pa-
kaiannya. Bisa berabe!
"Seruni!" panggil Andika.
"Apa?!" sahut Seruni ketus, tanpa mau menoleh.
"Hei?! Kalau ada seorang memanggilmu, kau mesti
menoleh. Jangan cuma menyahut. Itu baru namanya
tata krama!" omel Andika sok berkhotbah. Padahal, dia
sendiri lupa pada tata krama dengan membuka baju
sembarangan.
Tapi yang dibuka Pendekar Slebor cuma pakaian atas.
Jadi, apa salahnya?
"Seruni!" ulang Andika setengah jengkel karena
perempuan itu tetap tak ingin menoleh.
Sambil membuang napas, Andika melempar pa-
kaian atasnya ke bahu perempuan itu.
"Au!" pekik Seruni, kaget bukan main. Sedang te-
gang begitu, mana tidak kaget?
Byur!
Sebentar kemudian, tubuh tegap Andika sudah
tertelan ketenangan permukaan telaga.
"Phuah!"
Anak muda dari Lembah Kutukan itu membuang
sisa udara, lalu menghirup yang masih segar di atas
permukaan telaga. Rambut gondrongnya basah kuyup.
Sekuyup sekujur tubuhnya bersimbah air telaga. Se-
lama lebih dari sepenanakan pemuda ini berusaha
mencari batu yang dimaksud Tiga Penunggu Telaga
Larang. Hasilnya, nihil. Padahal hampir seluruh dasar
telaga yang cukup luas itu telah dijelajahi dengan dada
hampir meledak!
"Tidak ada!" kata Andika, ke arah Senta.
"Mungkin kau belum menyisir seluruh dasar tela-
ga!" sahut Senta ragu dari tepi Telaga Larang.
"Jangan menyiksaku, Orang Tua! Sudah lima kali
aku mondar-mandir di dasar telaga ini. Seluruh dasar-
nya tak luput kujelajahi. Bisa-bisanya kau tak percaya
pada kerja ku?" gerutu Andika mangkel.
"Barangkali kau kurang teliti?" sela Moja. Tak
puas dengan satu kalimat, tua bangka bermulut rewel
semerdu kaleng rombeng itu menambah ucapannya.
"Siapa tahu matamu tersamar. Banyak batu serupa di
dasarnya. Kau pasti kurang teliti. Apa kau benar-benar
yakin tak menemukan batu sebesar setengah badan
manusia berukir halilintar."
"Aku belum rabun. Tentu saja aku yakin!" jawab
Andika.
"Yakin benar?"
Andika mencibir.
"Kalau tak yakin, kenapa bukan kau saja yang
menyelam?!" sungut pendekar muda yang mulai bere-
nang ke tepian itu. Biar kulit kendor dan daging pahit
mu jadi beku sekalian! Begitu umpatan Andika dalam
hati.
"Tapi bagaimana mungkin?" ujar Senta begitu An-
dika beranjak dari permukaan, naik ke darat
"Kau yang mesti menjawabnya. Bukan aku. Ba-
gaimana mungkin batu itu tidak ada, sementara kalian
telah menjaga telaga ini selama puluhan tahun. Bhuh!"
Acuh saja, Andika menjentikkan jarinya pada Se-
runi.
Seruni datang membawakan pakaian atas pemuda
itu. Darah wanita empat puluhan itu berdesir deras,
menyaksikan bentuk dada berotot Andika yang meng
kilat di bawah siraman sinar matahari. Malah dia
sampai merasa harus membuang wajah.
Andika tak terlalu peduli. Diambilnya baju yang
disodorkan Seruni. Dengan baju itu, disapunya sisa air
di wajah.
"Aku jadi tak mengerti," gumam Senta.
Andika ngeloyor. Perutnya jadi lapar lagi, karena
serangan dingin air telaga. Seingatnya, dia gubuk ma-
sih banyak tersisa ikan bakar. Bakal disikat semuanya!
Tubuh Pendekar Slebor yang basah kuyup meng-
hilang di balik pintu gubuk. Tak lama, pemuda ini ber-
lari-lari keluar sambil membawa sepotong ikan bakar
besar. "Apa kalian tak merasa aneh dengan tidak dite-
mukannya batu itu?"
Tanpa peduli pada mulut yang masih sesak, pe-
muda urakan itu berusaha memancing tanggapan Tiga
Penunggu Telaga Larang.
Senta mengangguk lamat. Pikirannya diusik ke-
camuk pertanyaan. Bagaimana mungkin batu itu tak
ada? Sementara, guru mereka telah menugasi untuk
menjaga telaga agar batu tak diambil seorang pun.
Kerja puluhan tahun seperti itu bukan hal kecil.
Tangan lelaki tua berpakaian putih kusam itu
mengusap dagu tak sadar.
"Mhh, glek! Aku bertanya pada kalian, lho.. Bukan
pada dedemit...," cetus Andika, merasa pertanyaannya
diacuhkan.
"Kau benar, Anak Muda. Ada sesuatu yang ter-
sembunyi selama puluhan tahun. Dan itu luput dari
pengamatan kami," tutur Senta.
"Jangan salahkan aku!" tukas Andika, sambil
mencukil tulang ikan yang terselip di giginya. "Tapi
yang jelas, kalau mau tahu soal senjata, kita mesti da-
tangi seorang empu...."
Tiga Penunggu Telaga Larang mengernyitkan ken-
ing. Rasanya anak muda satu ini sudah mulai ngelan-
tur lagi. Mata mereka mengeroyok Andika.
"Aku tak sedang bergurau!" tandas Andika.
Mata melotot Andika menghujam pada tiga lelaki
tua itu bergantian.
"Maksudku, kita harus mencari tahu sesuatu dari
sumbernya. Jadi, sebaiknya kita berangkat ke Istana
Durjana. Bukankah dari sana batu itu berasal? Aku
yakin, di sana ada hal yang bisa memperjelas teka-teki
ini...," papar Andika, sok tahu.
Baru tiga prang tua di dekatnya manggut-
manggut.
***
5
Istana Durjana masih berdiri megah, kaku dan
bisu. Sebuah istana yang menyimpan keangkeran di
antara luncuran angin menggiring debu.
Andika, Senta, Danji, Moja, dan Seruni tiba dis-
ana. Dalam jarak sekitar dua puluh lima tombak dari
bangunan kuno itu mereka berdiri berjajar. Beku tan-
pa gerak. Sepertinya, mereka sedang dilingkupi te-
nung. Mata kelima orang itu pun tertancap lurus-lurus
ke arah Istana Durjana.
"Luar biasa.... Setelah empat puluh tahun lebih
aku hanya pernah mendengar cerita tentang istana ini,
baru kali ini bisa menyaksikannya dengan mata kepala
sendiri," cetus Moja dengan suara cemprengnya yang
menyakitkan telinga.
Senta hanya tampak mengangguk-anggukkan
kepala samar. Sedangkan Danji mendesis-desis tak ta-
hu juntrungan. Baik Senta, Danji, atau Moja, sama-
sama baru kali itu menyaksikan Istana Durjana yang
telah menjadi cerita dongeng di benak masing-masing.
Lebih dari empat puluh tahun lalu, guru besar mereka
menceritakan tentang hal itu.
"Aku tak mengira kalau aku masih sempat me-
nyaksikan istana ini..." sambung Moja, belum puas.
"Bukan begitu, Senta?!"
Senta berdehem saja.
Moja tak puas mendapat jawaban ala kadarnya.
"Bukan begitu, Danji?" tanya Moja, kali ini dialihkan
pada Danji.
Danji cuma mendesis.
Moja jengkel. Dia baru mau menggerutu, tapi....
"Mulutmu pasti kesemutan kalau tak diam se-
bentar saja...," celetuk Andika, mendahului.
Moja menggeram. Sehimpun sumpah serapah ra-
sanya mau dimuntahkan begitu saja di depan wajah
anak muda itu. Eit! Jangan berani-berani! Andika
mungkin punya dua himpun sumpah serapah untuk
membalasnya!
"Sebaiknya kita memeriksa istana itu, Orang
Tua," ajak Andika meminta persetujuan Senta.
"Ayo," ajak Senta.
Lelaki berbaju putih ini pun sebenarnya sudah
begitu ingin meneliti Istana Durjana. Setidak-tidaknya
bisa mencari tahu, kenapa istana itu begitu istimewa.
Bukan hanya dari cerita yang pernah didengarnya.
Kelima orang itu mulai melangkah lagi.
Pada langkah kesekian.... Srrraattt...!
Mereka semua disentak oleh sambaran lidah petir.
Kekuatan alam raksasa itu seperti membelah jalan di
depan Tiga Penunggu Telaga Larang dan Seruni sampai nyaris berseru berbarengan karena begitu terkejut.
Dengan sigap tangan mereka melindungi mata dari
terkaman sinar menyilaukan. Bahkan Andika yang bi-
asa dengan serbuan petir di Lembah Kutukan pun se-
perti hendak rontok jantungnya!
Untuk beberapa saat, kembali mereka semua se-
perti dikuasai tenung kuat. Mereka terpaku diam kem-
bali.
"Sebaiknya kita terus melangkah," ujar Senta, se-
perti menyadarkan.
Didahului saling pandang, hendak meyakinkan
satu dengan yang lain, mereka mulai melangkah lagi.
Anehnya, baru saja satu jejakan mencoba mene-
ruskan langkah....
Sraaat...!
Glarrr...!
Kilat kembali berkelebat, menyusul guntur di be-
lakangnya. Seperti sebelumnya, mereka merasa han-
taman petir melintas amat dekat di depan.
Dalam ketercengangan, hati mereka bertanya-
tanya, apa alam telah murka? Bukankah mereka se-
dang menuju tempat terkutuk yang diminta makhluk
terkutuk?
Dua kali mendapat kejadian tak terduga, mem-
buat telinga mereka seperti tuli sejenak. Dan untuk
kali yang kedua ini, Seruni tak bisa lagi menguasai di-
ri. Wanita tetaplah wanita. Kodratnya memang mem-
butuhkan perlindungan seorang pria. Manakala petir
menyalak, disergapnya dada bidang Andika. Dia ingin
bersembunyi sampai setenang mungkin dalam pelukan
pemuda perkasa itu.
Dalam keadaan begitu rupa, sempat-sempatnya
Andika cengengesan. Rezeki nomplok, kicau hatinya
mekar. Tahu kalau Seruni butuh ditenangkan, Andika
mendesis-desis seperti seorang bapak menenangkan
bayinya. Ditepuk-tepuknya bahu perempuan itu. Kalau
tidak dalam keadaan seperti itu, maunya sih menepuk-
nepuk pantat padat Seruni saja! Anak muda itu meng-
geleng-gelengkan kepala, heran pada pikiran dekilnya
sendiri yang masih bisa gentayangan ke mana-mana.
"Bagaimana, Anak Muda?" tanya Senta, membegal
keasyikan Andika.
Andika berdehem. Urusan tak akan beres ten-
tunya kalau Seruni masih melekat erat di dadanya.
Dengan wajah sematang-matangnya, wanita itu
buru-buru mengangkat wajah dari dada Andika.
"Kita tak punya pilihan, kecuali tetap menuju is-
tana itu. Tapi karena alam tampaknya tak begitu suka,
sebaiknya aku saja yang ke sana. Kalian tunggu di si-
ni...," tandas Andika, mencoba memutuskan. Menu-
rutnya, cukup bijaksana untuk tidak menyertakan tiga
orang tua dan perempuan ke Istana Durjana.
"Eit, kau pikir kami takut?" elak Moja, gusar. Bi-
birnya menari maju-mundur, kiri-kanan.
Senta berdehem.
"Beri kesempatan pada yang muda, Moja...," ujar-
nya mengingatkan adik seperguruannya.
Moja cemberut. Wajah keriputnya jadi mirip gom-
bal.
Andika tersenyum, merasa menang.
Lalu dengan nyali tetap kembang kempis, anak
muda itu menyiagakan diri sepenuhnya. Seluruh ke-
mampuan kecepatan warisan Pendekar Slebor dike-
rahkan pada satu kewaspadaan puncak.
Kaki Pendekar Slebor pun melangkah. Amat pelan,
amat hati-hati.
Satu langkah, dua, tiga, empat..., sampai Pende-
kar Slebor tiba di Istana Durjana, nyatanya sambaran
petir tak kunjung datang. Andika lega....
Mungkin itu tadi hanya gejala alam biasa, simpul
Andika akhirnya.
Mulailah anak muda itu meneliti. Pertama-tama
yang menarik perhatiannya adalah lubang besar di sisi
pintu. Otak encernya bisa cepat menduga, kalau batu
di bagian itulah yang menjadi pangkal perkara.
Selanjutnya, Pendekar Slebor meneliti lebih sek-
sama. Tak terlalu sulit. Sebentar saja ditemukannya
satu yang menarik perhatiannya lagi. Pada dinding se-
belah timur istana, ada semacam gambar timbul yang
menggambarkan tentang air, memenuhi satu bagian
batu dinding saja.
Andika mencari petunjuk lain ke sisi dinding ba-
rat. Di sana, ditemukan gambar timbul pula. Seperti
bagian timur, ada satu batu dinding yang dipenuhi
gambar akar yang menghujam bumi.
Sementara di dua sisi lain, selatan dan utara, Andika
menemukan hal yang sama. Bedanya satu batu besar
di dua bagian ini, menggambarkan semburan api besar
ke angkasa. Satunya lagi, menggambarkan semacam
liang dalam.
"Apa arti ini semua?" desis Andika terdiam di
tempat. Teka-teki ini masih terlalu samar buatnya. Itu
saja masih kabur. Belum lagi jika memeriksa bagian
dalamnya....
Pendekar Slebor masuk ke dalam istana yang
sebenarnya lebih tepat disebut puri dari bentuknya
yang tak terlalu besar. Di dalam dadanya, ketegangan
kian menjadi-jadi. Ketidaktahuan memang seringkali
menjadi biang keladi dari kecemasan berlebihan. Itu
dialami pendekar muda ini.
Andika tidak tahu, ada apa di dalam sana. Ti-
dak tahu pula, apa yang akan menimpanya di dalam
sana. Jika diperhatikan dari sebutan angker Istana
Durjana, sudah menggerayang di segenap bagian be-
naknya bahwa di dalam bangunan kuno itu bakal ber-
hadapan dengan bahaya maut. Setidak-tidaknya bisa
saja menghadapi sosok jadi-jadian. Siluman mengeri-
kan yang memiliki jasad kasar!
Membayangkan hal itu, Pendekar Slebor jadi ingat
bagaimana saat dulu menghadapi lawan-lawan yang
bersekutu dengan makhluk kegelapan. Seorang lawan
yang paling diingatnya adalah Manusia Dari Pusat
Bumi. Untuk menghadapi orang itu, Pendekar Slebor
mesti memasuki satu alam yang selama hidup baru
kali itu diinjaknya. (Untuk lebih jelas, bacalah tiga epi-
sode: 'Manusia Dari Pusat Bumi', 'Pengadilan Perut
Bumi', dan 'Cermin Alam Gaib'!).
Apakah sekarang ini dia pun akan terperosok da-
lam keadaan serupa?
Sementara itu, di luar istana empat orang lain ter-
seret ketegangan masing-masing. Mereka melihat tu-
buh pendekar muda dari Lembah Kutukan telah dite-
lan pintu masuk yang menguak lebar, seperti mulut
sosok dedemit raksasa.
Benarkah hanya Senta, Danji, Moja, dan Seruni
yang menyaksikan itu?
Tidak!
Di kejauhan sana sekitar lima puluh tombak dari
tempat mereka berdiri, seorang lelaki bermata satu
ikut juga mengawasi seluruh kejadian. Dia mengintai
di kungkungan kegelapan, di balik sebuah gundukan
tanah besar yang menyerupai bukit kecil....
Si pengintai berperawakan tinggi besar. Satu ma-
tanya telah cacat. Dari bekas lukanya, tampak ada
benda tajam telah mendongkel sebelah matanya bebe-
rapa tahun lalu.
Wajah lelaki mata satu ini terlalu bengis. Mulut-
nya lebar seperti ikan mujair. Hidungnya selalu kem-
bang-kempis layaknya kelinci. Rambutnya pendek dan
berdiri kaku. Pada seluruh dagu perseginya, tumbuh
brewok tipis kehijauan.
Pakaian si pengintai ini gelap, hingga tersamar
oleh malam yang meraja saat ini. Sebagian pakaian
atasnya tidak tertutup rapat, memperlihatkan otot-otot
keras di bagian dadanya yang selalu bersimbah kerin-
gat.
Meski bermata satu, lelaki ini ternyata memiliki
ketajaman pandangan luar biasa daripada orang lain.
Meski hari saat itu terbilang gelap, matanya masih bisa
meneropong di kejauhan. Bahkan dengan sedikit me-
najamkan pandangan, bisa disaksikannya secara jelas
seluruh gambar timbul di dinding Istana Durjana! Pa-
dahal jaraknya dengan bangunan sudah tidak me-
mungkinkan lagi bagi mata biasa untuk melihatnya.
"Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda membahaya-
kan, Senta," cetus Danji, melantakkan kebisuan den-
gan suara mendesis-desis. "Apa tak sebaiknya kita
menyusul anak muda itu?"
"Kau tak percaya pada pendekar muda itu?" tukas
Senta.
"Bukan! Aku cuma khawatir. Bukankah kita be-
lum sempat menceritakan padanya tentang keadaan di
dalam istana itu?" sergah Danji mendesis lagi.
Dengan tangan kanan yang selalu dililit ular po-
hon kecil, Danji menunjuk tegas-tegas ke Istana Dur-
jana.
Wajah Senta berubah. Benar, kata adik sepergu-
ruannya. Dia baru ingat, ada hal yang luput dicerita-
kan pada anak muda yang kini berada di dalam sana,
"Gusti...! Kenapa aku jadi begitu bodoh?" bisik
Senta. Kekhawatiran menyelinapi wajahnya cepat. "Se-
baiknya aku menyusul dia ke dalam sana. Sementara,
kalian tetap waspada di sini. Siapa tahu ada orang
yang tidak kita kehendaki."
Secepatnya, lelaki tua berpakaian putih kusam itu
berlari ke arah Istana Durjana.
***
Apa yang sesungguhnya dikhawatirkan Senta tua?
Menurut cerita guru besar Tiga Penunggu Telaga
Larang, dalam Istana Durjana terdapat ancaman maut.
Siapa pun, orang yang memasukinya, akan ditunggu
bahaya. Tak terkecuali, Pendekar Slebor. Di dalam sa-
na setidaknya ada empat penunggu untuk empat
ruang berbeda.
Ruang pertama yang terletak di bagian timur, kini
sedang dipandangi Pendekar Slebor. Ada pintu masuk
besar yang bergambar sama dengan dinding luar sebe-
lah timur Istana Durjana. Bedanya, gambar ini dibuat
dari cairan logam.
"Air bah...?" gumam Pendekar Slebor. Apa artinya?
Terbersit tanya di hati anak muda itu. Tanpa sadar,
kepalanya menggeleng. Gambar itu masih tetap samar
maknanya. Cuma satu yang mesti dilakukan untuk bi-
sa mengerti. Memasuki ruang itu!
Sebelum sempat Andika menjamah badan pintu....
"Anak Muda, tunggu!"
Senta sudah datang dan mencegahnya.
Niat Andika terjegal. Semula hatinya terkesiap
mendapati seruan lelaki tua yang tiba-tiba di bela-
kangnya. Keadaan dirinya saat itu sedang berada di
puncak ketegangan. Barangkali, sedikit jawilan kecil di
belakangnya bisa membuatnya meruntunkan serangan
seketika. Tapi karena telinganya sudah cukup terlatih
untuk mengenali suara apa pun, terlebih suara seseo-
rang, Andika hanya sempat sedikit terlonjak.
"Ada apa, Orang Tua? Kenapa menyusul ku? Apa
ada sesuatu terjadi di luar?!" tanya Andika beruntun.
Wajahnya yang sudah tegang, kian menegang.
Senta sampai di dekat Andika.
"Tenang.... Tak ada apa-apa di luar sana. Aku
hanya ingin memberitahukan kau tentang cerita yang
luput," jelas Senta satu-satu.
Dari wajahnya terlihat kalau orang tua itu pun te-
gang. Berkali-kali matanya melirik cepat ke ruang
utama serta empat ruang yang memagarinya.
Takut-takut ada sesuatu yang tiba-tiba menye-
rang.
"Sebaiknya kau cepat menceritakan kepadaku,"
pinta Pendekar Slebor bergegas.
"Kita tak cukup punya waktu untuk itu."
"Tapi setidaknya, kau memberitahukan aku satu
bagian yang paling penting!" tandas Andika bersikeras.
Senta mengangkat tangan.
"Sebentar," katanya. Lalu dia pun mengingat-
ingat. "Menurut guruku, kita tak perlu memasuki Ista-
na Durjana untuk mengetahui rahasia yang tersem-
bunyi. Kalau tak salah, dia memberi ungkapan, 'untuk
mengetahui isi manggis, cukup melihat kulitnya'."
Otak seencer bubur bayi pendekar muda dari
Lembah Kutukan itu berputar tangkas. Direka-rekanya
maksud ucapan mendiang guru besar Senta.
"Kau ingin mengatakan aku tak perlu memasuki
empat ruangan dalam istana itu?" tebak Andika kemu-
dian.
Senta mengangguk.
"Dan, maksud kulit manggis seperti kata guru besarmu, tentu semacam lambang untuk...." Andika ber-
pikir sejenak. "Dinding luar bangunan ini!" lanjutnya.
"Tepat, Anak Muda!" timpal Senta Tua.
"Sompret! Untung saja kau cepat datang mempe-
ringati. Kalau tidak, aku akan lebih lama berkutat da-
lam empat ruang yang sudah pasti siap merepotkan
ku. Sementara waktu terus berjalan, orang yang me-
nemukan Istana Durjana bisa-bisa lebih dahulu me-
nemukan batu yang hilang daripada kita!" cerocos An-
dika, seperti bergumam pada diri sendiri. Semuanya
telah jadi jelas kini.
Tanpa banyak tanya lagi, Pendekar Slebor lang-
sung menggerakkan kaki diikuti Senta. Mereka keluar
dari dalam Istana Durjana yang sesungguhnya tak le-
bih dari perangkap.
Di luar, mereka dikejutkan laporan Danji dan Mo-
ja.
"Seruni menghilang!" seru mereka berbarengan
pada Andika dan Senta.
Hilang? Bagaimana mungkin?
"Bagaimana kau ini, Orang Tua?! Katamu tadi, tak
ada apa-apa di luar!" sahut Andika pada Senta Tua.
Seruni? Perempuan molek itu hilang? Bagaimana
pemuda itu jadi tidak sewot? Kalau saja Moja atau
Danji yang hilang atau ditelan bumi sekalipun, Andika
tak begitu ambil pusing!
"Ah! Dasar brengsek!" maki Pendekar Slebor. Di-
maki Andika, Senta cuma bisa melotot.
***
Di tempat yang sudah cukup jauh dari Istana
Durjana, Seruni terlihat sedang menghadang seseo-
rang.
"Kau tak bisa menyingkir begitu saja tanpa mem-
beritahukan alasanmu padaku, kenapa kau mengintai
kami!"
Seruni berbicara lantang pada lelaki tinggi besar.
Ternyata, lelaki itulah yang mengawasi dari balik bukit
kecil di sekitar Istana Durjana.
Lelaki itu diam saja. Diawasinya Seruni seperti
seekor rubah jantan mengawasi seekor anak rusa. Bi-
nar matanya tergabung dari bersit kebengisan dan naf-
su.
"Hei?! Aku bertanya padamu! Apa kau tuli?!" ben-
tak Seruni kembali.
"Kenapa kau pikir aku akan mengatakan alasan
ku padamu?" tukas lelaki itu, baru buka suara.
Seruni jadi gusar mendapat jawaban demikian ru-
pa. Sudah tatapannya demikian kurang ajar mengge-
rayangi sekujur tubuhnya, berani-beraninya pula ber-
kata meremehkan seperti itu.
Seruni mendengus. Geram terikut hempasan na-
fasnya. "Kalau tak ingin mengatakan alasanmu, maka
kau perlu ku curigai."
Lelaki itu mengangkat kedua tangannya. Telapak
tangannya terbuka lebar.
"Silakan...," katanya. Tetap dengan raut wajah
mencemooh. "Aku malah lebih suka kau tidak hanya
mencurigaiku. Tapi, lebih dari itu. Kau tahu maksud-
ku?"
Bola mata lelaki ini bergulir genit, memuakkan Seruni.
"Kau memang lelaki kurang ajar yang perlu kuha-
jar!"
"Aku menunggumu, Nona Manis!" sambut lelaki
ini, kian mengarah pada kecabulan.
"Keparat! Hia!"
Kemarahan yang terus menjangkit ke ubun-ubun,
tak bisa lagi ditahan Seruni Perempuan berusia ma-
tang itu menerjang calon lawannya dengan wajah amat
murka.
Jep!
Satu tendangan terbang dilakukan Seruni. Kaki
kanannya mengarah ke kepala.
Namun tanpa kesulitan lelaki ini menepis ke sisi.
Meski punya kesempatan untuk melakukan serangan
balasan, tidak dilakukannya. Sepertinya, dia mencoba
mengejek Seruni.
Seruni membuat serangan susulan. Kakinya yang
lain berputar setengah lingkaran. Lagi-lagi, kepala la-
wan hendak dihantanmya. Namun lagi-lagi, lelaki itu
berhasil mementahkan tanpa kesulitan dengan me-
runduk sedikit. Maka sapuan tinggi Seruni pun luput.
"Jangan diam saja seperti itu! Lawan aku!" ledak
Seruni, merasa diremehkan.
Lelaki bermata satu menertawainya. Terdengar
meremehkan.
"Terlalu menyedihkan kalau tubuhmu yang meng-
giurkan terluka, Kalau kau terluka, nanti aku tak begi-
tu bisa menikmatinya, bukan?!"
"Busuk!"
Seruni makin murka.
"Heaaah!"
Tangan perempuan berusia empat puluhan itu
mencecar habis bagian dada. Tinjunya menderu bertu-
bi-tubi. Satu pukulan yang dikawal angin kencang me-
luncur dengan tenaga dalam ditingkatkan menuju
puncak.
Deb, deb, deb!
Seruni sudah terperangkap dalam nafsunya sendiri. Dia terlalu ingin melenyapkan lawan sesegera
mungkin. Padahal, itu sangat membahayakan diri sen-
diri. Lelaki ini bisa memanfaatkan kecerobohan yang
terlahir akibat nafsu tarungnya!
***
6
Seruni ternyata bukan tandingan lawannya. Me-
mang, perempuan itu telah dididik sekaligus oleh tiga
orang tua yang tergolong sakti. Memang, gurunya Sen-
ta telah menganggapnya sudah cukup sempurna. Tapi
bukan berarti cukup pantas memenangkan pertarun-
gan.
Lawan yang dihadapi di samping memiliki penga-
laman lebih kental dalam dunia persilatan, bahkan ju-
ga salah satu dari tokoh teras dunia hitam. Namanya
mulai santer selama tiga tahun belakangan. Dia ada-
lah, Kumbang Mata Tunggal!
Kumbang Mata Tunggal turun ke dunia persilatan
tiga tahun lalu. Tak seorang pun mengetahui secara je-
las asal-usulnya. Banyak yang berpendapat begini, dan
tak sedikit yang berpendapat begitu. Semuanya serba
simpang siur.
Jika asal-usulnya samar, maka tindak-tanduknya
sejak turun ke dunia persilatan begitu jelas. Dia seper-
ti mengumumkan kemunculannya sebagai salah satu
batu penguat dari benteng golongan hitam.
Baru menjejakkan kaki di dunia persilatan saja,
Kumbang Mata Tunggal telah menggagahi seorang
pendekar wanita yang cukup disegani di golongan pu-
tih. Setelah puas melampiaskan hawa nafsu binatang
nya, tanpa perasaan si pendekar wanita dihabisinya
secara telengas.
Sepekan kemudian, Kumbang Mata Tunggal
membuat kegemparan lagi dengan menculik anak pe-
rawan salah seorang tokoh sesepuh golongan putih!
Berhari-hari tokoh hitam ini dicari dan diburu.
Kesaktian membuatnya tak pernah bisa diringkus. Ba-
nyak orang bilang, dia memiliki ilmu menghilang. Ba-
nyak juga orang tak mempercayai. Bisa saja dia hanya
menggunakan akal licik. Begitu bantah mereka.
Sekian lama semenjak kejadian itu, Kumbang Ma-
ta Tunggal terus saja membangun kekacauan demi ke-
kacauan. Di mana pun ulahnya, seorang perempuan
akan menjadi korban birahi tak terkendalinya.
Ada satu kekhasan dari perilaku sesat Kumbang Mata
Tunggal. Perempuan-perempuan yang digagahinya ra-
ta-rata dari warga dunia persilatan. Orang sering ber-
tanya, kenapa hanya perempuan warga persilatan?
Mengapa tak pernah memilih korban perempuan bi-
asa? Bukankah mereka pun tak kalah cantik? Tak ka-
lah menggiurkan?
Sementara itu, anak sesepuh golongan putih yang
pernah diculiknya tak pernah lagi terdengar kabarnya.
Perawan itu seperti menghilang tanpa rimba. Hanya
kenihilan yang ditemui para pencari.
Sampai kini, sesepuh golongan putih yang kehi-
langan anak perawannya masih terus memburu Kum-
bang Mata Tunggal.
Dan, bukti keunggulan kesaktian tokoh bejat itu
dibuktikan kembali hari ini. Pada jurus-jurus ke dela-
pan puluh, dia berhasil mendongkel pertahanan Seru-
ni.
Wanita itu terdesak, terdesak, dan terdesak. Sam-
pai akhirnya.... Plak!
Satu tamparan keras menghantam rahang kanan
perempuan itu. Amat keras. Bukan sekadar perih yang
diderita, tapi juga rasa mual tak terhingga disertai
pandangan gelap.
Hanya dengan satu tamparan itu, Seruni dibuat
tersungkur ke belakang. Telentang. Tenaganya bagai
baru diisap bumi.
"Sudah kubilang, aku tak mau melukai tubuhmu.
Sayangnya, kau terus saja ngotot...," oceh Kumbang
Mata Tunggal.
Mata satu-satunya lelaki ini menjilati tubuh Seru-
ni yang telentang. liar sekali.
"Coba kalau kau mau berbaik-baik padaku. Kita
bisa membangun satu kemesraan yang melangit!" tam-
bahnya ceriwis.
"Cuih!"
Seruni membuang ludahnya sendiri ke tanah. Le-
laki di depannya dianggap tak lebih berharga daripada
ludah itu. Meski kesadarannya nyaris terlempar Seruni
tetap memelihara kegeraman. Kemuakan yang me-
muncak.
"Kau pikir aku akan sudi!" hardiknya melengking.
"Tentu saja kau akan sudi. Kalau pun tidak, aku
akan membuatmu terpaksa melakukannya. Ha, ha, ha,
haaa!"
Lalu meledaklah tawa Kumbang Mata Tunggal
terbahak. Bergejolak.
"Kau...," desisan Seruni terpancung.
Merasa sudah kepepet, Seruni mengambil jalan
nekat. Tangannya terangkat ke atas dengan telapak
terbuka. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan mata
terpejam. Lalu....
Crottt...!
"Aaa...!"
Didasari tak ingin kehormatannya terkoyak wanita
itu menghujamkan tangannya ke perutnya sendiri. Su-
atu tindakan yang tak diduga Kumbang Mata Tunggal.
Dikiranya, Seruni hendak mengerahkan ajian atau ju-
rus lain. Tak tahunya, bunuh diri!
"Sial!" dengus Kumbang Mata Tunggal, tepat keti-
ka Seruni melepas nyawanya.
Tanpa belas kasihan lagi, bagai serigala lapar
Kumbang Mata Tunggal mencabik-cabik mayat Seruni.
Dia benar-benar kesal, karena santapannya lebih me-
milih bunuh diri. Tak selera bagi Kumbang Mata Tung-
gal untuk mencumbui mayat. Padahal, birahinya su-
dah bergolak.
Kekesalan itu dilampiaskan dengan mencabik-
cabik mayat Seruni. Benar-benar biadab dia!
***
Sampai saat itu, Andika masih digayuti sekian
pertanyaan yang belum terjawab. Tentang bagaimana
mereka bisa melacak tempat tergoleknya batu terakhir
Istana Durjana. Tentunya saat ini, orang yang mene-
mukan bangunan tua terkutuk itu sedang menyusuri
petunjuk yang dapat mengantar ke batu tersebut.
Sementara itu, gambar timbul di empat penjuru
dinding luar Istana Durjana belum cukup dapat dis-
ingkap oleh keenceran otak si pemuda tampan itu.
Belum lagi teka-teki bisa tersingkap, sudah dige-
recoki perkara lain. Seruni menghilang!
Karena tak ingin nyawa Seruni terancam, Pendekar
Slebor dan Tiga Penunggu Telaga Larang memutuskan
untuk mencari terlebih dahulu.
Mereka semua, khususnya si pemuda 'mata
bongsang' Andika, tentu saja khawatir Seruni mengalami sesuatu yang membahayakan jiwanya. Bisa saja
tanpa diketahui, wanita itu telah berurusan dengan
orang yang menemukan kembali Istana Durjana. Itu
bahaya paling besar, mengingat Istana Durjana adalah
kunci rahasia untuk bisa menyerap kekuatan alam ke-
gelapan!
"Seruni! Oiii, Seruni!"
Andika berteriak-teriak di dataran kering sebelah
utara, berbatasan dengan kaki Gunung Mayit.
Mereka sebelumnya memutuskan untuk berpen-
car. Karena mereka berempat, maka masing-masing
bisa menuju empat penjuru angin. Pendekar Slebor ke
utara, Senta ke selatan. Sedangkan Danji dan Moja ke
barat dan timur.
"Seruniii! Di mana kauuu!"
Andika mengulang teriakannya. Rasanya sudah
nyaris terkoyak urat lehernya karena berteriak seperti
itu. Tapi, orang yang diteriaki tetap tak tampak batang
hidungnya. Yang terdengar di telinga anak muda itu
justru pantulan balik suaranya. Menjengkelkan! Me-
nyebalkan!
"Ke mana lagi aku harus mencari perempuan ba-
henol itu?!" rutuk hati Pendekar Slebor, mulai digelitik
kedongkolan.
Andika berhenti di tengah-tengah arus angin ken-
cang yang melarikan sehimpun debu. Menurutnya,
perlu dipikirkan kemungkinan ke mana Seruni pergi.
Ah! Bagaimana Pendekar Slebor bisa membuat
dugaan, sementara Seruni menghilang tanpa jejak, tak
beda air menguap di luasnya Sahara...? Artinya, cuma
keberuntungan saja yang bisa diandalkan untuk me-
nemukan Seruni. Dalam adukan rasa kebingungan,
Andika dipanggil seseorang dari jauh.
"Anak Muda! Seruni telah kami temukan!"
Andika mengenali suara tadi. Itu panggilan Senta.
Dari suaranya, telinga tajamnya menangkap kegetiran.
Ah! Ada apa dengan Seruni? Andika berbisik da-
lam hati. Lantas tubuhnya digenjot ke arah panggilan
Senta.
"Apa yang terjadi pada Seruni, Orang Tuaaa?" le-
mah Pendekar Slebor bertanya setibanya di tempat ke-
jadian.
Tiga Penunggu Telaga Larang sudah berdiri di sa-
na. Masing-masing menahan kekakuan, memerani ke-
bisuan. Mereka hening, menyaksikan bagaimana men-
genaskan keadaan perempuan yang pernah dianggap
anak mereka sendiri.
Ketiganya tidak menyahuti pertanyaan Andika ba-
rusan. Bukan tak mau menjawab, tapi memang tidak
bisa berkata apa-apa. Lidah mereka kelu oleh peman-
dangan menyakitkan yang disaksikan.
Hanya mata mereka yang menatap nanar ke arah
jasad Seruni, mewakili kata yang tak terucap.
Di atas tanah, Seruni sudah kehilangan nyawa.
Pada beberapa bagian tubuhnya terlihat koyakan se-
perti baru saja dicakari sekawanan serigala.
Mereka tahu, bukan serigala yang telah melaku-
kan itu. Serigala hanya akan membunuh jika lapar.
Kalau benar binatang itu, tentu sebagian tubuh Seruni
sudah dibawa lari.
"Biadab! Perbuatan siapa ini?!" geram Pendekar
Slebor.
Dalam dada si pemuda seperti diguncang gempa
saat itu. Terasa mau meledak. Nafasnya terombang-
ambing. Luapan kemurkaan itu membuatnya tanpa
sadar menggeleng-gelengkan kepala.
"Akan ku rencah siapa pun manusia busuk yang
telah melakukan ini!" jerit Pendekar Slebor mengoyak
langit malam. Wajahnya sulit tergambarkan. Seakan
ada yang tergarang di sana.
Anak muda dari Lembah Kutukan itu tak bisa lagi
menatap tubuh Seruni yang terkoyak. Dilemparnya
pandangan ke arah lain. Sementara, suasana dirinya
tetap seperti neraka.
"Pasti akan ku rencah kau...," desisnya seperti
bersumpah pada semesta.
***
7
Jasad perempuan malang Seruni, baru selesai di-
kuburkan di bumi yang sama tempat dia menjemput
ajal. Gundukan tanah kering dikelilingi empat orang
yang tertunduk dalam, sedalam kedukaan atas per-
ginya Seruni.
Andika meski belum cukup lama mengenal pe-
rempuan itu, dapat merasakan pula segala apa yang
dirasa Tiga Penunggu Telaga Larang.
Kematian memang terkadang terlalu menyakitkan.
Apalagi, jika si mayat adalah orang terdekat. Lebih
menyakitkan dari itu semua bagi Tiga Penunggu Telaga
Larang adalah, bagaimana Seruni menemui ajal. Si
pembunuh mencabik-cabik mayatnya. Bagaimana me-
reka tidak teramat sakit membayangkan hal itu?
Doa dipanjatkan dalam kebisuan, dengan patah
demi patah kata hati masing-masing. Angin malam te-
tap memburu ke segenap arah. Tak peduli pada kedu-
kaan, debu tetap beterbangan menerpa pakaian mere-
ka yang berkibaran.
Mereka semua yakin, Seruni telah dibunuh orang
yang kini dicari. Manusia yang juga telah menemukan
kembali Istana Durjana. Mereka menduga, tentu sang
musuh berusaha membunuh mereka satu persatu. Se-
tidaknya, membuat gentar tekad mereka untuk meng-
gagalkan dikembalikannya batu terakhir ke Istana
Durjana.
"Kita tak bisa lebih lama di sini," Senta membuka
kesunyian mereka.
Danji dan Moja menatap Senta. Wajah mereka se-
perti ingin meminta pada kakak seperguruannya un-
tuk tinggal lebih lama. Kalau mungkin, ingin mengha-
biskan malam menyakitkan itu dengan berdiri diam di
sisi makam Seruni.
"Aku tahu, aku pun ingin lebih lama berdiri di
tempat ini. Rasanya, aku masih tak percaya kalau mu-
ridku yang sudah seperti anakku, telentang kaku di
dalam gundukan ini...," desah Senta. Matanya nanar
menatap gundukan tanah kering berdebu. "Tapi kita
mesti sadar. Dunia sedang terancam satu malapetaka
besar, jika orang terkutuk itu menemukan kembali ba-
tu terakhir Istana Durjana...."
"Aku tak peduli!" sentak Moja tiba-tiba. Wajahnya
menegang seketika. "Aku tak bisa meninggalkan Seru-
ni di sini sendiri!"
Suara Moja dibayangi getaran mirip isak. Rupanya
lelaki tua bermulut cerewet itu tetap menganggap Se-
runi masih hidup.
Senta menggeleng-geleng. Sementara Andika me-
natap iba. Sudah sebegitu dekatnya mereka pada Se-
runi, hingga kematiannya pun sulit dipercaya.
"Seruni sudah mati, Moja!" tandas Danji dengan
kalimat mendesisnya.
Moja menggeleng-geleng kuat-kuat. Sepertinya ke-
palanya sendiri hendak dilepaskan dengan gelengan
nya.
"Aku tak percaya! Aku tak percaya!" pekik Moja
Senta dan Danji yang masih mampu bertahan dari
rasa kehilangan yang luar biasa, saling berpandangan.
Keduanya sadar, bahwa tak bisa lebih lama di tempat
itu. Yang mati akan tetap menjadi mayat, meski me-
nunggui makam sampai kiamat. Tapi entah di mana,
seseorang siap meletuskan petaka besar!
Danji yang berdiri di sisi Moja seperti mengerti
isyarat mata Senta. Hati-hati, didekatinya Moja yang
menutup wajah. Tiba di dekatnya....
Tuk!
Moja dilumpuhkan dengan satu totokan. "Bagai-
mana?" tanya Andika, ketika berhasil memapah tubuh
Moja agar tak tersungkur.
"Kita terpaksa membawanya...," keluh Senta. Wa-
jah Pendekar Slebor mulai berubah kecut.
Kalau begitu urusannya, sudah pasti si anak mu-
da yang bakal membopong tubuh Moja. Padahal biar
tua, lelaki itu lebih berat daripada anak kerbau. Malah
baunya tak karuan lagi!
"Dasar nasib apes!" gerutu Andika dalam hati.
Mereka pun meninggalkan makam Seruni.
"Ke mana harus mencari orang durjana itu, Anak
Muda?" tanya Senta. "Sementara harus segera mene-
mukannya, kita malah tidak tahu ke mana harus
memburu. Ini sama artinya mencari jarum dalam tum-
pukan jerami."
"Yaaa...," timpal Danji mendesis.
Andika meletakkan tubuh Moja ke tanah. Sebe-
narnya, lebih tepat dikatakan 'membanting'. Habis...,
badan Pendekar Slebor sudah pegal-pegal setelah se-
kian lama membopong orang tua berpakaian hitam-
hitam itu.
Pendekar muda itu melepas napas sarat-sarat.
Dihenyakkannya badan ke sebatang pohon besar yang
tumbang. Membopong Moja membuatnya nyaris modar
kecapek-an. Sompret sekali!
"Menurutku, kita harus lebih dahulu memecahkan
teka-teki yang ada di empat penjuru dinding luar Ista-
na Durjana," cetus Andika setelah napas senin-
kemisnya sudah tak terlalu merongrong.
Senta dan Danji menunggu ucapan si pendekar
muda kesohor Tanah Jawa lebih lanjut.
Dipandangi begitu, wajah simpang siur Pendekar
Slebor makin berantakan.
"Kenapa kalian menatap ku seperti itu? O, kalian
pikir aku juga yang harus memikirkan teka-teki yang
ada di dinding istana sial itu?" omelnya sewot. "Huh..
rumit! Rumit...!"
"Tapi, kami mengandalkan kau, Anak Muda. Kami
dengar, kecerdikan dan kepandaianmu seringkali
mampu memecahkan teka-teki yang orang persilatan
lain sulit menduganya," sanjung Senta.
Sebenarnya, lelaki tua itu bersungguh-sungguh.
Dia sudah kehabisan akal. Di samping sudah terlalu
tua untuk memecahkan teka-teki, pikirannya masih
tak bisa disatukan. Otak tuanya masih sering diusik
bayangan Seruni.
"Kalau soal itu, aku sudah tahu dari dulu," Andika
mencibir. Diam-diam, hidungnya jadi kembang kempis
juga mendapat sanjungan tadi.
"Kalau begitu, tolonglah kami...," pinta Senta. Ter-
selip getar memelas pada suaranya, meski lelaki tua
itu berusaha tegar.
Pendekar Slebor mengangkat bahu. Kalau ada
orang yang memelas seperti itu, Andika pasti tak ber-
kutik. Padahal, jengkelnya masih tersedak di tenggoro
kan.
Andika diam. Keningnya berkerut. Alisnya bertaut.
Dia berkutat, memikirkan teka-teki gambar timbul di
dinding Istana Durjana. Sekian lama berpikir, otaknya
jadi memanas. Tapi, tak berarti ada percikan jalan ke-
luar.
Apa maksudnya dengan gambar air yang tergurat
di dinding utara Istana Durjana? Apa pula maksud
gambar lain di dinding berbeda?
"Sompret! Buntu! Buntu!" maki si pemuda, sewot
sendiri. Sambil memaki dilepasnya tinju ke sebuah po-
hon cemara kering besar.
Dukh! Praaak! Bruk!
Dini hari menjelang pagi, dikotori suara riuh tum-
bangnya a pohon kering itu. Ujung pohon yang me-
runcing, jatuh ke arah semburat sinar merah tembaga
sinar matahari muda.
Menyaksikan hal itu, benak Andika terusik. Da-
han cemara kering memberinya ilham.
"Arah! Arah!" pekik Pendekar Slebor, seperti orang
gila.
"Arah?! Arah apa maksudnya?!" tanya Senta, ter-
belalak.
Pendekar Slebor menandak kian kemari.
"Setiap gambar di Istana Durjana diletakkan pada
sisi berbeda, bukan?" tukasnya kemudian, setelah ke-
sintingannya mendadak reda.
"Iya," Senta dan Danji membenarkan. "Lalu?!"
Jari telunjuk si pemuda berontak encer berputar-
putar di udara.
"Artinya, batu itu kemungkinan ada di empat pen-
juru berbeda!" jelas Andika menggebu-gebu. "Sekarang
aku ingin bertanya padamu, Orang Tua!"
"Tanyalah!," sambut kedua lelaki tua itu, berbarengan lagi. Sepertinya, mereka adalah dua orang bo-
cah yang baru belajar bicara.
"Telaga Larang terletak di sebelah mana dari Ista-
na Durjana?"
Senta dan adik seperguruannya saling berpandan-
gan.
"Timur," jawab mereka, lagi-lagi berbarengan.
"Nah!"
Kontan dua tua bangka yang sedang sungguh-
sungguh memperhatikan wajah Andika terlonjak men-
dengar gebahan begitu. Nyaris saja mereka melompat.
"Apa?!" desis Danji, tak sabar.
"Bukankah dinding sebelah timur menggambar-
kan air? Itu artinya, Telaga Larang adalah salah satu
tempat di mana batu itu kemungkinan berada," papar
Andika.
"Tapi, kenapa batu itu malah tidak ada sewaktu
dicari?" tukas Senta ingin tahu. Penasaran dia.
"Itu untuk sedikit mengelabui orang yang hendak
mencari batu. Setidak-tidaknya, pencariannya akan
terhambat. Atau malah, tidak mendapatkan sama se-
kali, kalau sampai terbunuh penjaga tempat."
"Jadi kami hanya menunggu telaga yang sesung-
guhnya hanya pancingan untuk mengalihkan perha-
tian?"
"Nah! Betul! Dan kalau di empat bagian dinding is-
tana sial itu ada empat gambar berbeda, artinya batu
itu mungkin berada di salah satu dari empat tempat
berbeda pula. Lalu kalau telaga ditunggu oleh kalian,
tentu tiga tempat lain pun dijaga pula."
"Kenapa begitu?" tanya Danji, tak jelas.
Andika menyumpahi dalam hati. Dasar tua bang-
ka. Otaknya pasti sudah setumpul pantat wajan!
"Tentu saja agar orang yang berusaha mendapatkan batu itu akan dihalangi mereka yang menjaga
keempat tempat yang dimaksud. Seperti kalian menja-
ga Telaga Larang. Sementara, meski sudah berhasil
mengalahkan para penjaga tempat, belum tentu pem-
buru batu akan mendapatkannya! Karena, batu itu
hanya ada di salah satu dari empat tempat!" papar
Pendekar Slebor, sambil menelan kejengkelannya.
Bibir Danji melekuk.
"Ah, aku belum paham juga!" cetusnya.
Andika makin kenyang menelan kejengkelan. Be-
nar-benar bebal!
"Kalau begitu, ke mana sekarang kita harus mem-
buru orang itu?" sela Senta.
"Karena telaga tak didatangi seorang pun sampai
saat kita berangkat, sebaiknya cari ke arah lain."
"Bagaimana cara menentukan tempat yang kita
tuju, sementara kita punya tiga pilihan?" tanya Danji.
"Kalau Telaga Larang di sebelah timur, berarti ada tiga
arah lagi. Utara, barat, dan selatan.... Lalu, apa artinya
gambar di tiga bagian itu?"
Andika menekan kening dengan telunjuk. Wajah-
nya berkerut. Jelek sekali.
"Wah iya, ya...," bisiknya samar.
Pendekar Slebor lantas menatap pada dua orang
tua di depannya. Sebuah tatapan penuh binar.
"Eh, tunggu!" cetus Andika setelah berpikir seje-
nak. "Sebelum sampai ke gubuk kalian, aku menemu-
kan mayat yang tergeletak di dekat sebuah sumur
aneh. Sumur itu dipagar besi berukir. Sementara, di
dasarnya tidak ada air sama sekali. Aku jadi ingat pa-
da gambar liang dalam yang tergurat di dinding sebe-
lah utara. Sumur itu pun berada di sebelah utara Ista-
na Durjana. Bukankah sumur bentuknya seperti hang
dalam?" gumam Andika sendirian. Seperti orang lin
glung.
Di depan Pendekar Slebor, dua lelaki jompo sibuk
mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti tidak men-
gerti, pokoknya mengangguk!
Andika berjalan hilir-mudik.
"Itu artinya, si pemburu batu telah mendatangi
tempat di sebelah utara. Mungkin, lelaki perlente ber-
pakaian ningrat itulah yang menjadi penunggu sumur.
Dia mati di tangan si pemburu batu, karena memper-
tahankan sumur aneh itu.... Ya..ya..ya.... Kalau si
pemburu batu sampai saat ini belum juga tiba, artinya
batu itu belum didapatkan.
"Hei, Anak Muda! Jangan terus mondar-mandir
saja! Ayo, katakan! Apa yang mesti kita lakukan?!"
Maksud Danji mau menghardik. Tapi karena sua-
ranya tak begitu jelas, malah terdengar seperti geru-
tuan.
"Kalau begitu, kita tinggal menentukan dua arah
lagi. Selatan, atau barat!"
"Tentukanlah" paksa Senta.
"Kalian orang tua, kenapa hanya bisa mengatur-
atur anak muda saja?!" kilah Pendekar Slebor. Hatinya
dongkol terus didikte seperti itu. "Mana mungkin aku
bisa memastikan ke mana orang hendak pergi!"
"Lalu, apa usulmu?" desak Senta.
"Mau tak mau kita harus membagi tugas!"
"Nah begitu...," desis Danji, ingin memuji.
Andika malah menyangka dia menggerutu lagi.
"Aku akan melacak ke sebelah barat. Sedangkan
kalian berangkat ke selatan!" putus Pendekar Slebor,
cepat.
"Tempat apa yang harus kami tuju?" tanya Senta.
Andika memikirkan kembali gambar timbul dind-
ing sisi-sisi selatan. Di sana, ada gambar semburan api
besar ke angkasa
"Semburan api besar ke angkasa?" gumam Andi-
ka.
Sulit juga Andika memecahkanhya. Karena sulit,
pandangannya diarahkan ke selatan. Gambar itu me-
mang berada di dinding selatan. Jadi arah itu yang di-
maksud.
Sinar mentari yang kian berani memancar, me-
nyapu puncak Gunung Mayit yang menjulang kokoh di
sebelah selatan. Dan puncak gunung kini jadi pusat
perhatiannya.
"Gunung itu!" ledak Andika pasti. "Gambar di
dinding selatan hendak menggambarkan gunung bera-
pi itu!"
Menyaksikan bagaimana cepat otak pemuda
brengsek itu berputar, Senta dan Danji nyengir berba-
rengan. Kepala mereka menggeleng-geleng.
"Kalian tunggu apa lagi?!" bentak Pendekar Slebor.
Dasar pemuda tak tahu adat!
"Tapi, bagaimana dengan Moja?" kilah Senta.
Wajah Andika kontan berantakan. Sudah pasti dia
juga yang mesti membopong orang tua bau itu! Ya...,
apes lagi.
***
8
"Hum!" Takdes!
Pagi damai dilantak hentakan-hentakan berirama
maut, tepat di ubun-ubun Gunung Mayit. Tepat di sisi
kawah besar berisi gejolak lahar panas, dua lelaki ter-
libat pertarungan ganas.
Seorang dari mereka adalah lelaki berambut pan-
jang. Sementara lawannya melihat ciri-cirinya yang
khas berupa matanya yang cuma satu, jelas dia adalah
si Kumbang Mata Tunggal. Setelah mencabik-cabik
mayat Seruni, Kumbang Mata Tunggal langsung menu-
ju ke puncak Gunung Mayit. Memang, selama ini dia
telah menguntit lelaki berambut panjang sejak Istana
Durjana ditemukan, hingga memergoki rombongan
Pendekar Slebor meneliti Istana Durjana.
Lelaki itu rupanya tahu hikayat purba tentang
berdirinya Istana Durjana. Dalam hatinya sudah terpe-
ram demikian lama keinginan untuk menemukan ban-
gunan itu, sekaligus mengembalikan batu terakhirnya.
Jiwa laknatnya pun mendambakan keabadian dan ke-
kuasaan tanpa batas. Seperti juga, setiap manusia di
muka bumi. Bedanya, setiap manusia punya tingkat
kekuatan batin berbeda untuk menghadapi godaan se-
perti itu.
Dengan akal liciknya, Kumbang Mata Tunggal mem-
biarkan si lelaki berambut panjang menyusuri tempat
batu terakhir berada. Bila tiba saatnya nanti, tinggal
direbutnya dari si lelaki gondrong tanpa harus meng-
hadapi seluruh penjaga empat tempat yang ditunjuki
di dinding Istana Durjana. Tanpa menanam, dia ingin
memetik buahnya.
Untuk beberapa lama, rencana licik Kumbang
Mata Tunggal berjalan mulus. Sampai akhirnya, lelaki
berambut panjang memergokinya sedang mengintai
dari kejauhan. Maka meledaklah kemarahan si lelaki
gondrong. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan
orang lain mendapatkan batu dari nasi perjuangan-
nya? Seperti tidak mungkinnya seekor anjing ingin
berbagi tulang dengan anjing lain.
Maka pertarungan pun tak bisa dihindari lagi.
Malah kini, baku hantam di antara mereka telah
memasuki jurus-jurus paling mematikan. Si lelaki be-
rambut panjang telah pula mengandalkan rambutnya
sebagai senjata. Jika rambut itu sudah berubah men-
jadi senjata maut, artinya tidak ingin mengulur waktu
lebih lama. Lawan akan dihabisi secepatnya.
Menjelang pendakian ke puncak pertarungan dua
orang lain sampai di tempat itu. Mereka tak lain dari
Senta dan adik seperguruannya, Danji. "Hentikan
pertarungan!" teriak Senta, sarat wibawa bercampur
kemurkaan.
Mata lelaki berbaju putih kusam itu berkilat-kilat
menerkam bergantian dua lelaki yang langsung meng-
hentikan pertarungan.
"Jawab pertanyaanku! Siapa di antara kalian yang
telah lancang mengusik Istana Durjana?" teriak Senta,
meledak-ledak. Ketuaan pada wajahnya tidak berarti
mengurangi keberingasan. Dia laksana seekor naga
tua yang siap memangsa.
Dua lelaki di sana tidak ada yang berniat menja-
wab.
"Ku ulangi! Siapa di antara kalian yang telah lan-
cang mengusik Istana Durjana?!" ulang Senta lebih
menggelegar.
"Aku...," sahut lelaki berambut panjang. Wajah
amat pucatnya tidak menampakkan perubahan sama
sekali. Teramat dingin, seperti tak pernah lagi memiliki
rasa.
"Bagus...!" geram Senta terseret. Mata lelaki ini
semakin menyorot tajam, menyiratkan kemurkaan.
"Kalau begitu, pasti kau pula yang telah memper-
lakukan muridku demikian biadab!" tandas Senta
kembali.
Mungkin tak salah bila Senta memusuhi si lelaki
berambut panjang. Sebab biar bagaimanapun, orang
itu berdiri di barisan tokoh sesat. Tapi untuk melem-
parkan tuduhkan kedua, Senta jelas keliru. Si lelaki
berambut panjang tak pernah melakukan apa pun ter-
hadap Seruni. Bertemu saja belum.
"Aku tak ada waktu untuk mendengar bualan mu,
Orang Jompo!" tepis lelaki berambut panjang amat ka-
sar.
"Heh?!" dengus Danji tak kentara.
"Enak sekali kau mau lari dari tanggung jawab,
setelah puas menghambur-hamburkan kelaknatan
mu!" hardik Senta.
"Kau harus membayar nyawa murid kami!" timpal
Danji mendesis-desis.
Lalu....
"Huaaa!"
Berbarengan, dua orang tua kalap itu meluruk ke
arah lelaki berambut panjang. Selaku orang yang su-
dah terlalu kenyang menelan garam dunia persilatan,
tidak sepantasnya mereka segelap mata itu. Karena
kemungkinan besar, justru akan rugi sendiri.
Cuma karena mereka benar-benar tidak bisa me-
nerima keadaan Seruni, perempuan yang telah diang-
gap seperti anak sendiri, membuat pikiran waras jadi
mengabur.
"Pergilah kau ke neraka!"
Wush!
Sambaran tangan kanan Danji datang hendak
mematuk wajah lawan. Tak hanya tangan itu. Ular po-
hon berbisa yang melilitnya pun siap mengirim bi-
sanya.
Lelaki berambut panjang hanya menggelengkan
kepala ringan ke samping.
Pada saat nyaris bersamaan, Senta melancarkan
sambaran cakar dari samping ke wajah lawan pula.
Dari serangan awal itu saja, tampak sekali bagai-
mana dua lelaki tua sudah terbiasa menyiapkan jurus
gabungan. Jika satu orang menyerang ke satu arah
maka yang lain akan menyerang dari arah lain. Den-
gan begitu, ruang gerak lawan bisa terkunci.
Namun meski usia lelaki berambut panjang ber-
taut jauh dengan kedua lawan, bukan berarti bakal
terkecoh. Tanpa terlihat kelimpungan, dipapakinya
sambaran cakar Senta dengan siku.
Debs!
Hebatnya lagi, ujung siku itu tepat menghantam
bagian tengah telapak tangan Senta. Padahal sikunya
meleset sedikit saja, maka jari tangan sekeras baja
Senta akan mengoyaknya. Kejelian mata lelaki beram-
but panjang rupanya bisa menangkap keampuhan jari
Senta. Itu sebabnya, sikunya ditempatkan tepat di ten-
gah telapak tangan lawan.
"Pintar juga kau, Bocah!"
Selesai menyanjung yang sesungguhnya tak lebih
dari cemoohan, cakar Senta merenggut cepat. Siku la-
wan masih menempel di telapaknya. Dan dia ingin me-
rontokkannya dalam sekali cengkeram!
Crep!
Cuma bunyi itu yang tercipta. Sementara, cengke-
raman jari Senta tak berhasil meremukkan tulang siku
lawan, karena maksudnya terlalu cepat terbaca.
Pecahnya pertarungan antara Senta dan Danji mela-
wan lelaki berambut panjang, membuka peluang amat
lebar bagi Kumbang Mata Tunggal untuk menggulirkan
rencana liciknya. Betapa mekar hati busuknya menge-
tahui dua lelaki tua telah menimpakan semua perbua-
tan yang dilakukannya pada lelaki berambut panjang!
Sungguh, ini di luar rencananya.
Meski begitu, tidak ada yang ingin disiakan Kum-
bang Mata Tunggal. Sementara tak ada seorang pun
mempedulikannya lagi, akan didahuluinya lelaki be-
rambut panjang untuk mengambil batu. Dia sendiri
kini tahu tempat batu itu, ketika menguntit.
Sebelumnya, lelaki berambut panjang bersemedi
cukup lama di tepian kawah Gunung Mayit. Usai me-
nyelesaikan tapa singkatnya, dia berjalan dengan mata
terpejam. Seolah, ada yang menuntunnya untuk me-
nuruni lereng kawah. Di depan salah satu bagian le-
reng yang mencekung ke dalam, barulah matanya di-
buka. Saat itu bibirnya melengkung. Entah menyerin-
gai, entah pula tersenyum. Sesudahnya, dia terbahak
tergelak-gelak.
Kumbang Mata Tunggal pun yakin, lelaki beram-
but panjang telah berhasil menemukan tempat terku-
burnya batu terakhir Istana Durjana, sebelum akhir-
nya tertangkap basah oleh lelaki berambut panjang.
"Bertarunglah kalian sampai mampus!" serapah-
nya mendesis. Bibirnya menyeringai memendam ke-
menangan.
Mengendap-endap, Kumbang Mata Tunggal menu-
runi lereng kawah. Di seberang sana, bagian mence-
kung terlihat. Kalau berjalan dari atas, maka orang
yang bertarung di sana akan melihatnya. Satu-satunya
jalan, harus beringsut menyusuri lereng kawah. Na-
mun kendalanya, sedikit saja salah pijak, tubuhnya
tak ayal lagi akan ditelan gelegak lahar di bawah sana!
"Ah, peduli setan!"
Kumbang Mata Tunggal tak lagi peduli. Yang me-
nari-nari dalam benaknya hanya janji sang Durjana
untuk memberinya keabadian dan kekuasaan tak ter-
hingga!
Perlahan dan hati-hati, kaki Kumbang Mata Tunggal menjejaki satu bagian demi bagian lereng yang me-
nonjol. Setiap bagian, teramat rapuh. Berat seekor
kucing saja sudah bisa menggugurkannya. Kalau saja
tingkat ilmu meringankan tubuhnya tang-gung-
tanggung, jangan harap bisa tiba di seberang lereng
dengan selamat!
Dengan menguras segenap kemampuan ilmu me-
ringankan tubuhnya, Kumbang Mata Tunggal terus
menyusuri lingkaran lereng. Jarak yang mesti ditem-
puh cukup jauh. Dengan jalan perlahan-lahan seperti
itu, akan memakan waktu cukup lama. Tapi, dia tetap
yakin kalau pertarungan di atas sana akan berlang-
sung alot. Dua lelaki tua bukan orang sembarangan.
Sementara, lawannya pun sudah membuktikan kedig-
dayaannya ketika bertarung dengan Kumbang Mata
Tunggal.
Jadi, tak ada yang perlu dirisaukan. Kumbang
Mata Tunggal tetap yakin bisa memetik keuntungan
tanpa harus banyak mengeluarkan keringat. Satu-
satunya yang mesti diusahakan kini adalah, bagaima-
na agar perhatiannya benar-benar terpusat pada le-
reng.
Tidak sulit kalau lereng itu memiliki pijakan cu-
kup luas. Kalau yang mesti dijadikan pijakan hanya
tonjolan sebesar telapak tangan, apa itu tidak jadi ma-
salah?
Di tengah jalan, mendadak tonjolan lereng yang
dipijak lelaki ini berguguran. Bagian itu rupanya terla-
lu rapuh, meski Kumbang Mata Tunggal telah mengu-
ras ilmu meringankan tubuhnya.
Gruuuk! Wrrr!
Pecahan rapuh bagian lereng berguliran cepat
menuju gelegak kawah. Kumbang Mata Tunggal terke-
siap. Keseimbangannya saat itu juga tak terkendali.
Tubuhnya limbung ke arah mulut kawah. Mata lelaki
itu mendelik. Uap panas di bawah sana menerpa wa-
jahnya. Keringat sebesar biji jagung yang telah berbaur
uap kawah, sepertinya terasa mengering tiba-tiba begi-
tu tubuhnya bergulingan di lereng menurun, menuju
mulut kawah yang meletup-letup!
***
9
Sepanjang perjalanan ke arah barat, benak Pen-
dekar Slebor terus berkutat. Semua gambar di empat
sisi dinding Istana Durjana diingatnya, terpatri jelas-
jelas dalam ingatannya, Termasuk, gambar di dinding
sebelah barat.
Persoalannya sekarang, Pendekar Slebor masih
belum bisa menemukan titik terang maksud gambar
timbul tersebut.
"Akar menghujam bumi?" gumamnya mengingat
gambar itu.
Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari seratus
kali menyebut-nyebut gambar itu. Dia bingung, tapi
merasa harus memecahkannya. Jadinya, malah mirip
orang linglung yang mengulang-ulang ucapan serupa,
selagi terus berlari. Apalagi, di punggungnya ada be-
ban berat menjengkelkan!
"Kutu Buduk! Tikus Borok!" maki Pendekar Slebor
keras-keras. "Kenapa aku selalu mendapat bagian pal-
ing menyusahkan?!"
Karena merasa tak berguna hanya memikirkan ar-
ti gambar timbul di benaknya, anak muda itu memu-
tuskan untuk tetap berlari ke arah timur. Berlari saja,"
pikirnya. Tak peduli pada Moja tua yang terguncang-
guncang tak karuan. Siapa tahu, secara kebetulan bisa
menemukan jawaban di jalan!
Setelah cukup lama berlari ke arah barat, anak
muda buyut Pendekar Lembah Kutukan ini tiba di se-
buah hutan yang membentang di ujung barat Gunung
Mayit.
"Hutan?" gumam Pendekar Slebor seperti baru
tersadar dari mimpi.
Andika mengedarkan pandangan ke seluruh pen-
juru kegelapan hutan. Sinar sengit siang tak berdaya
di dalam sana. Pohon-pohon tumbuh terlalu bongsor.
Daunnya memadati angkasa, seolah menjadi benteng
terhadap serbuan sinar matahari.
Sampai di situ, bibir Pendekar Slebor terungkit.
Ada yang membuatnya terasa tertimpa berkah melim-
pah ruah.
"Pohon!" pekiknya seperti perawan tua bertemu
perjaka tampan. Kakinya melonjak-lonjak kegirangan.
Merasa kegirangannya, tak akan sempurna kalau ma-
sih membopong tubuh Moja. Maka, anak muda itu me-
lempar tubuh tua bangka itu seenaknya.
Bruk!
Kalau saja si tua bangka itu sedang siuman, su-
dah pasti bakal dilabraknya Pendekar Slebor sampai
terkencing-kencing!
Dari lonjakan-lonjakannya, Pendekar Slebor men-
dadak pula berhenti. Dia terdiam lagi. Wajahnya terli-
pat rapat-rapat.
"Kalau gambar itu adalah perlambang pohon, ba-
gaimana aku bisa menemukan pohon yang dijadikan
tempat menyembunyikan batu dari istana sial itu, se-
mentara di tempat ini ada sekian ratus pohon besar!"
gerutu Andika, menyadari ketololannya sendiri.
Dan sumpah serapah paling meriah pun tersem-
prot dari mulutnya.
Tak lama berikutnya, sikap si anak muda urakan
ini berubah mendadak lagi. Seperti sebelumnya, tu-
buhnya terdiam. Bola matanya terangkat, memikirkan
sesuatu.
"Tapi, tentu pohon yang dijadikan tempat me-
nyembunyikan batu memiliki ciri tertentu," bisiknya.
"Pohon itu pasti berbeda dengan yang lain. Ah! Aku
harus mulai mencari satu pohon yang berbeda!"
Dari bersemangatnya, secepat itu pula wajah An-
dika terlipat kembali.
"Tapi..., sompret! Pohon sebanyak ini?!" maki Pen-
dekar Slebor dengan mata terbelalak. Dia hendak men-
gajukan ketidaksenangannya, tapi pada siapa? Andika
tak peduli. Pemuda itu hanya tahu kalau saat ini
dongkol besar! Besuaaar!
Sambil terus memaki-maki, Pendekar Slebor men-
gangkat kembali tubuh Moja. Lalu pencariannya dilan-
jutkan.
"Mudah-mudahan ada dedemit hutan yang sudi
memungut tua bangka ini menjadi menantunya!" geru-
tu si pemuda tak kentara saat mulai berlari.
Selang sepeminum teh, langkah lari Pendekar Sle-
bor mendadak dihadang satu terjangan.
Wusss...!
"Hah?!"
Si penyerang menyeruak ganas dari semak-semak
lebat. Andika tahu, kalau saat ini tidak sedang diter-
kam binatang buas. Ada seseorang yang tidak menyu-
kai bila pencariannya dilanjutkan. Yang tidak diketa-
huinya, siapa orang itu?
Pendekar Slebor cepat berjumpalitan. Gerakannya
lincah, biar pun ada beban seberat anak gajah di pun
daknya.
"Heaaa!"
Tep!
Anak muda sakti itu hinggap di sebatang ranting!
sebesar jari kelingking, di atas pohon randu besar.
"Siapa kau?!" bentak Andika bertanya.
Pendekar Slebor melihat seorang tua berdiri di
bawah sana. Dari cara berdirinya yang agak limbung,
bisa ditebak kalau orang itu sedang menderita luka da-
lam parah.
"Kau siapa?!" orang itu balik bertanya.
"Eee.... Belum menjawab sudah bertanya pula?!
Aku tanya, siapa kau?!"
"Hmm.... Kau yang mesti menjawab, siapa kau?!"
Andika menarik napas dalam-dalam. Kalau terus-
terusan berebut pertanyaan seperti itu, urusan bakal
tidak selesai sampai kiamat!
"Baik! Aku Pendekar Slebor! Kedatanganku ke sini
karena satu urusan yang teramat genting!" jelas Andi-
ka, mencoba mengalah.
Si penyerang yang ternyata Kakek Penjaga Makam
memaksakan diri untuk tertawa. Meskipun, yang
muncul malah ringisan menahan sakit.
"Kau pikir, kalau aku tahu kau pendekar muda
yang sedang melangit itu, lalu membiarkan mu kelaya-
pan seenaknya di dalam hutan ku?! Beh! Tak usah,
ya...!" cibir Kakek Penjaga Makam.
Andika geleng-geleng kepala. Sedang runyam uru-
san, ada lagi 'setan hutan' yang bikin kacau! Serapah-
nya dalam hati.
"Kalau begitu tolong katakan padaku, bagaimana
agar aku bisa mendapatkan izinmu, Orang Tua?!" bu-
juk Andika.
"Tidak!"
"Tidak apa?!"
"Tidak akan kuizinkan! Memang kau pikir apa?!"
"Sebaiknya kau mengizinkan," paksa Andika. Dia
jadi rada runyam juga.
"Kau mengancamku, heh?! Hua ha ha... ugh..
ugh!"
Lelaki ini cepat memberesi batuk yang mengelua-
rkan darah. Diusapnya sudut-sudut bibirnya yang ber-
lendir merah.
"Jangan mentang-mentang kau sudah punya na-
ma besar di dunia persilatan! Aku tak gemetar men-
dengar namamu! Pendekar Slebor.... Huh! Apa itu?!"
sambung Kakek Penjaga Makam.
"Sompret!" desis Andika.
Anak muda itu melayang turun dari atas pohon.
Keadaan sudah begitu mendesak. Dia tidak bisa mem-
buang-buang waktu lagi melayani kesintingan orang
tua satu ini.
"Jadi, apa maumu sebenarnya, Orang Tua?!" ben-
tak Pendekar Slebor, ngotot. Semena-mena dibanting-
nya tubuh Moja ke tanah.
Bruk!
Paling tidak, si anak muda urakan ini bisa sedikit
melampiaskan kedongkolan....
Moja telentang pasrah di tanah. Mulutnya men-
ganga, lupa dikunci ketika terkena totokan. Menyaksi-
kan wajah Moja, Kakek Penjaga Makam terpana. Mu-
lutnya ikut ternganga, seperti Moja.
"Moja?!" seru Kakek Penjaga Makam.
"Kau kenal dia, Orang Tua?!"
"Kau apakah dia, haaah?!" teriak Kakek Penjaga
Makam kalap.
Saking kerasnya lelaki ini berteriak, dedaunan
berguguran. Bumi bergetar. Yang paling kasihan, ya
Moja. Badan bongsornya tersentak mendadak. Ah! Sial
lagi dia...,
"Aku tak berbuat apa-apa padanya, Orang Tua!
Sumpah mampus dicium bidadari!" sangkal Andika
mendelik, ketika Kakek Penjaga Makam memelototi.
Tangan anak muda itu terangkat ke depan, men-
coba menyabarkan Kakek Penjaga Makam.
"Aku tak percaya!" sentak lelaki tua itu.
"Ah! Aku percaya!" balas Andika.
"Kalau begitu, katakan padaku! Kau apakan dia?!"
"Kalau kau bisa tenang sedikit, baru akan ku je-
laskan," ujar Andika, setengah mengancam.
Mestinya tidak pantas kalau orang setua Kakek
Penjaga Makam merajuk seperti bocah ingusan. Na-
mun, dia memang benar-benar merajuk saat itu.
"Baik," katanya.
Andika pun mulai menceritakan semuanya.
***
10
"Apa?!"
Moja yang baru siuman dari tidur panjangnya ber-
teriak kalap.
"Kau jangan main-main, Danggi!" semprotnya lagi
pada Kakek Penjaga Makam.
"Aku tak main-main, Tolol! Aku mengenal benar,
bagaimana jurus-jurusnya. Bagaimana keampuhan ra-
cun pada pukulannya...!"
Kakek Penjaga Makam yang rupanya bernama
Danggi balas menyemprot. Dia baru saja menceritakan
pada Moja kejadian yang belum lama dialaminya. Tentang seseorang yang datang hendak membongkar ma-
kam aneh di atas pohon yang selama ini dijaga oleh-
nya.
Sesungguhnya, siapakah Kakek Penunggu Ma-
kam? Bagaimana dia kenal Moja?
Seluruh penjaga tempat yang dilambangkan den-
gan gambar pada dinding Istana Durjana sebenarnya
berasal dari satu perguruan. Guru besar mereka telah
menugaskan untuk menjaga tempat masing-masing.
Satu dengan yang lain tidak pernah diberitahu, tempat
mana yang dijaga.
Terkadang mereka sering bertemu, tanpa pernah
tahu tugas apa yang diemban masing-masing.
Dari keempat tempat tersebut, hanya kawah Gu-
nung Mayit yang tidak dijaga. Itu memang mengun-
dang teka-teki. Bukankah jika batu benar-benar bera-
da di puncak gunung, pemburunya akan mudah sekali
mendapatkan kalau tak ada penjagaan? Dan itupun
tak pernah diketahui baik oleh Tiga Penunggu Telaga
Larang, Kakek Penjaga Makam, atau Penunggu Sumur
Kering yang berasal dari kalangan berada. Lelaki te-
rakhir jelas ditemukan Andika dalam keadaan tewas
secara mengerikan. Badan bagian depannya membu-
suk!
Maka, tak begitu aneh kalau Kakek Penjaga Ma-
kam mengenali Moja ketika masih tertidur pulas dari
menerima pelampiasan kejengkelan Pendekar Slebor
berkali-kali.
Setelah Andika berhasil menjelaskan duduk per-
karanya pada Danggi yang berjuluk Kakek Penjaga
Makam, barulah orang tua itu mulai jinak. Moja pun
dibebaskan.
Belum lagi Moja sempat menyadari apa yang ter-
jadi pada dirinya, Danggi sudah mengatakan sesuatu
yang sulit dipercaya.
"Aku tak mungkin bisa percaya kalau si Danji te-
lah berkhianat pada kita. Bahkan telah berkhianat pu-
la pada amanat Guru Besar!" tolak Moja mencak-
mencak di depan Kakek Penjaga Makam.
Andika duduk membiarkan kedua tua bangka itu
mengomel-ngomel. Bacot meski sudah kiwir-kiwir se-
perti popok bayi, masih tetap selincah mulut perawan.
Mereka membuat anak muda itu jadi pusing tujuh ke-
liling jagad! Andika akhirnya hanya bisa memperhati-
kan polah mereka sambil bertopang dagu..
Kakek Penjaga Makam tak mau kalah mencak.
Padahal, dia masih menderita luka dalam akibat puku-
lan lelaki berambut panjang beberapa waktu lalu, sete-
lah terjadi pertarungan.
"Lalu kau mau berkata apa pada luka yang ku de-
rita sekarang?! Luka ini akibat pukulan beracun
'Pembusuk Daging'! Kau tahu, siapa yang telah diwari-
si pukulan itu oleh Guru Besar? Danji!"
"Tapi selama beberapa hari belakangan, Danji se-
lalu bersama kami! Tak mungkin dia datang ke sini
tanpa sepengetahuan kami!" sanggah Moja.
"Kau memang berotak kerupuk! Aku tak mengata-
kan Danji yang telah melukai ku!" dengus Danggi.
"Tapi, tadi kau bilang itu pukulan Danji!"
Teriakan-teriakan kedua tua bangka itu makin
melengking-lengking, kian mendengking-dengking. Me-
reka sudah seperti dua ekor anjing memperebutkan tu-
lang yang tersimpan dalam tanah!
Pendekar Slebor tak tahan lagi. Bisa kena seran-
gan darah tinggi kalau telinganya terus dirasuki suara
cempreng mereka.
"Cukup, cukup, cukup!" hardik Andika seraya
bangkit.
Dua kakek yang sedang berbaku bacot langsung
berhenti. Andika dipelototi.
"Sekarang, jelaskan perlahan! Mulai dari kau,
Orang Tua!" ujar Andika, menengahi. Ditunjuknya Ka-
kek Penjaga Makam.
Kakek Penjaga Makam menghempas napas sesak-
nya. Dada kerempeng itu kembang-kempis. Di samping
pengaruh luka dalam, juga terlalu gusar dengan Moja.
"Dua hari lalu, aku didatangi seorang lelaki beru-
sia sekitar tiga puluhan. Dia berambut panjang...," tu-
tur Danggi setelah mengatur napas.
"Apa perlunya dia datang ke tempat ini?!" susul
Andika.
Kakek Penjaga Makam mendengus. Matanya ber-
kilat-kilat, gusar mengingat kejadian dua hari lalu.
"Dia mau membongkar makam itu!" jelasnya sam-
bil melirik makam ganjil yang menempel di batang po-
hon beringin besar. "Seenaknya saja dia mau mem-
bongkar. Padahal, aku sudah dipercaya Guru Besar
untuk menjaganya dengan nyawaku sendiri! Aku lan-
tas bertarung dengannya. Ketika aku berhasil dilukai
dan tak mampu melanjutkan pertarungan secara aneh
dia menatap makam Guru. Sekian lama menatap, tak
banyak yang dilakukan. Hanya mengangguk, lalu ber-
lalu begitu saja. Sepertinya dia sudah bisa menduga
tentang makam."
"Kuburan siapa yang seaneh itu?" Andika berbisik.
Kalau tak diberitahu Kakek Penjaga Makam, An-
dika tak pernah sadar di dekatnya ada makam.
"Tentu saja makam guruku!" bentak Kakek Penja-
ga Makam.
"Guru dimakamkan di sini?! Apa yang telah kau
lakukan?! Apa kau sudah sinting, Danggi?! Kau mau
menghina Guru?!" cerocos Moja bertubi-tubi.
Sungguh! Moja sendiri baru tahu kalau gurunya
telah dimakamkan seperti itu.
Andika tak cepat percaya. Bukan tidak percaya
pada Kakek Penjaga Makam. Dia hanya tidak yakin
apakah guru besar mereka benar-benar dimakamkan
di tempat itu. Sebab kalau teringat pada gambar tim-
bul di dinding barat Istana Durjana, mestinya makam
itu adalah salah satu kemungkinan tempat batu te-
rakhir. Bukan tempat peristirahatan terakhir seseo-
rang.
"Kau yakin?" tukas Andika, mencoba mengorek le-
bih jauh.
Mata Kakek Penjaga Makam melotot besar.
"Bheh! Pertanyaan macam apa itu?!" cibirnya.
"Jawab saja pertanyaanku, Orang Tua...."
"Tentu saja aku yakin!" tandas Kakek Penjaga Ma-
kam jengkel.
"Bagaimana kau bisa yakin?!" sela Moja. Mulutnya
mulai gatal lagi.
Kakek Penjaga Makam mau berbicara lagi. Tapi,
dia terjebak pertanyaan Moja. Dengan kepala bergerak
kian kemari, dia tergagap.
"Yaaa, aku yakin saja...," kilahnya, asal bisa men-
jawab.
"Jawab yang benar, Orang Tua. Kita sedang bera-
da dalam keadaan amat genting! Jangan main-main!"
omel Pendekar Slebor, tegas.
Danggi terbatuk-batuk.
"Baik, baik.... Aku tidak yakin makam itu adalah
tempat peristirahatan terakhir Guru Besar. Aku cuma
mendapat amanat dari beliau, untuk menjaga makan
aneh ini. Puas?!"
Pendekar Slebor mengangguk-angguk. Ada yang
mulai jelas sekarang. Kalau kuburan itu kini masih
utuh, tentu si pemburu batu telah mengetahui benda
yang dikehendakinya tidak ada di sana. Kini, yang ter-
sisa hanya satu tempat... puncak Gunung Mayit!
Andika menjentikkan jari.
"O, ya! Kau bilang tadi, terkena pukulan beracun?
Apakah pukulan itu mengakibatkan tubuh korbannya
menjadi membusuk?" tanya Pendekar Slebor pada Ka-
kek Penjaga Makam. Dia ingin menyakinkan dugaan
pada mayat yang ditemukan di dekat sumur.
"Dari mana kau tahu?" tanya Kakek Penjaga Ma-
kam, terperangah.
Andika tak peduli pada pertanyaan tadi.
"Lalu, kenapa kau tidak tewas?"
"Bangsaaat! Kau menyumpahiku, Anak Muda?!"
"Aku cuma ingin tahu!"
"Aku tidak mati, karena hanya aku yang diberikan
penangkal pukulan itu oleh Guru Besar!" Kakek Penja-
ga Makam mau juga menjawab.
"Kau bilang juga tadi, cuma Danji yang diwarisi
pukulan itu. Tapi tadi katamu, kau bukan dilukai
olehnya?"
Untuk bagian ini, Kakek Penjaga Makam menjadi
bersemangat. Dia merasa mendapat dukungan Andika,
setelah sebelumnya ditentang Moja.
"Ya..ya..betul!"
"Lalu kau berpendapat Danji telah mendidik se-
seorang. Dan, muridnya itulah yang telah melukaimu?"
"Ya..ya..ya, betul! Betuuul!" wajah Kakek Penjaga
Makam makin meriah. Diliriknya Moja dengan sinar
mata mengejek.
Sementara kedua orang tua itu bermain lirik-
lirikan, tubuh Andika malah mengejang. Dadanya ba-
gai disentak sesuatu. Dia ingat, Senta kini berada di
puncak Gunung Mayit bersama Danji. Sementara, si
pemburu batu pun tentu sudah pula ke sana. Kalau
benar Danji telah berkhianat dan si pemburu batu
adalah muridnya, maka Senta berada di ujung taring
maut!
"Astaga! Aku harus cepat-cepat ke sana!" desis
Pendekar Slebor.
Andika lantas menatap kedua orang tua di depan-
nya.
"Kita harus ke Gunung Mayit, Orang Tua!" se-
runya pada Moja dan Kakek Penjaga Makam.
"Aku tidak bisa.... Aku harus menunggu makam
ini!" semprot Kakek Penjaga Makam.
***
Gelegak lahar kawah Gunung Mayit nyatanya lu-
put memamah tubuh Kumbang Mata Tunggal. Lelaki
itu berhasil menguasai keseimbangan lagi. Sewaktu
tubuhnya berguliran menuruni lereng kawah, tangan-
nya membuat satu hentakan kuat. Dan hentakan itu
dimanfaatkan untuk membuat putaran tubuh, hingga
kakinya bisa menjejak pada tonjolan batu yang cukup
kuat.
"Fhuhhh....".
Kumbang Mata Tunggal membuang napas lega.
Bulir-bulir keringat sudah tercelup dalam gelegak la-
har di bawah sana. Untung cuma keringat. Coba kalau
tubuhnya yang masuk ke cairan merah bara itu? Sulit
dibayangkan!
Usai menenangkan diri, lelaki bermata satu itu
melanjutkan penyusuran mautnya. Kakinya menjejak
tonjolan demi tonjolan rapuh kembali. Satu demi satu.
Perjuangan lelaki ini tidak sia-sia. Akhirnya, dia
tiba juga di seberang lereng kawah. Bagian yang mencekung ke dalam ditengoknya. Rupanya, ada sebuah
gua kecil di dalam sana.
"Bagus! Tampaknya aku akan segera menda-
patkan batu itu!" pekiknya dalam hati.
Kumbang Mata Tunggal pun masuk.
Belum lama tubuh lelaki ini menghilang di mulut
gua yang setinggi setengah badan manusia, mendadak
saja....
Bekhr!
"Aaa!"
Dari mulut gua kecil, tubuh Kumbang Mata Tung-
gal termuntah deras. Ada satu tenaga amat kuat yang
telah menghempasnya demikian kuat.
Lelaki ini bukan orang sembarangan. Tingkat te-
naga dalamnya pun tidak diragukan. Maka kalau ada
tenaga yang berhasil melempar tubuhnya tak bedanya
kerikil, tentu tenaga itu berkekuatan luar biasa.
Kalau sebelumnya Kumbang Mata Tunggal masih
bisa menyelamatkan diri dari gelegak cairan merah ba-
ra di bawah sana, kali ini tidak! Tenaga dorongan itu
terlalu hebat dalam mengendalikan arah luncuran tu-
buhnya. Begitu melewati batas lereng, tidak ada lagi
kesempatan baginya untuk mempertahankan nyawa.
Dan....
Blep, blep, blep!
Tubuh lelaki berhati busuk itu ditelan perlahan
oleh lahar menyala. Dia menjerit-jerit, meraung-raung.
Tapi manusia mana yang bisa meluputkannya dari
jemputan tangan maut?
Tak terlalu lama, beriring gemeritik daging ma-
tang, Kumbang Mata Tunggal tertelan permukaan ka-
wah.
Di atas sana, pertarungan masih berlangsung
sengit. Kalau semula lelaki berambut panjang dikeroyok dua orang, kini justru Senta yang ditekan dua
lawan sekaligus!
Benar kecurigaan Kakek Penjaga Makam, Danji te-
lah berkhianat. Lelaki pewaris Ilmu Pukulan Pembu-
suk Daging itu rupanya tergiur selentingan kabar ten-
tang Istana Durjana.
Maka selama dua puluh tahun Danji merencana-
kan untuk mendapatkan batu terakhir! Langkah awal-
nya, diangkatnya seorang murid untuk membantu
menjalankan rencana.
Sang murid bernama Mutaka, anak seorang du-
kun ilmu hitam yang telah lama mati. Terpilihnya Mu-
taka menjadi murid, karena anak itu mewarisi seba-
gian kekuatan ayahnya. Sejak muda, dia sudah men-
guasai beberapa kekuatan. Terutama, kekuatan batin.
Dengan kekuatan itu, Danji berharap suatu hari Mu-
taka berhasil melacak letak Istana Durjana.
Mutaka memang tak lain lelaki berambut panjang
yang kini membantu Danji dalam melenyapkan Senta.
Mendapat tekanan yang semula tak pernah didu-
ga, Senta tua jadi cepat terdesak. Di samping harus
kerepotan menghadapi terjangan-terjangan dua la-
wannya, harus pula menghadapi terjangan ketidakper-
cayaan pada perbuatan Danji di hatinya. Perhatiannya
jadi tak terpusat. Dia terus terdesak, terus tertekan.
Sampai....
Desssh!
Satu tendangan lelaki berambut panjang telak
bersarang di ulu hati lelaki tua itu. Tubuhnya terje-
rembab, lalu terseret ke tepi kawah. Kalau saja tan-
gannya tak sempat meraih tepian tebing kawah, tentu
akan langsung meluncur ke dalam kubangan besar la-
har mendidih!
"Kenapa...? Kenapaaa kau lakukan ini, Danji?" keluh Senta pada Danji.
Tubuh lemah orang tua itu menggelantung di teb-
ing kawah. Cuma satu tangan yang diandalkan untuk
menahan tubuhnya.
Danji mendekati tebing. Ditatapnya kakak sepergu-
ruannya dengan sinar mata dingin. Mutaka di sisinya..
"Kekuasaan, Senta.... Kekuasaan.... Dan Satu
lagi, keabadian! Guru tak bisa memberikan itu pada-
ku. Tapi Sang Durjana bisa!" kata Danji, mendesis.
"Kau tertipu, Danji! Tak ada satu makhluk yang
bisa memberikan keabadian, kecuali janji kosong!" lirih
Senta. Nyawanya tak dipikirkan. Dia hanya tak sampai
hati menyaksikan saudara seperguruan yang sudah
seperti saudara kandung sendiri telah diperdaya tipu
manis iblis.
"Itu menurutmu, bukan? Aku tetap percaya
Sang Durjana sanggup membuatku menjadi abadi dan
memberikan kekuasaan tak terbatas padaku.... Hsss,
hsss, hsss...."
Danji tertawa. Namun lebih mirip desis ular.
"Jadi, aku tak perlu minta maaf padamu, jika
aku harus membunuhmu, Senta. Karena kau telah
menghalangi jalanku...," desis Danji lagi. "Temuilah
Guru di alam kubur!"
Danji segera menurunkan tangannya yang dili-
lit ular kecil paling berbisa ke tangan Senta. Jika bisa
ular teratuk ke tangan, lelaki itu akan mengalami sik-
saan paling menyakitkan sebelum menemui ajal di da-
lam lahar panas yang menanti.
Danji rupanya telah benar-benar menjadi seku-
tu sejati Sang Durjana!
Sebelum sempat ular kecil itu mematuk tangan
Senta yang meregang menahan berat tubuhnya, seke-
lebat bayangan mencelat dari gua di seberang lereng:Bayangan itu amat cepat bergerak ke arah dua
guru murid berhati busuk di atas Senta. Amat cepat,
seolah hantu pencuri hari....
Desh!
Desh!
"Wuaaa!"
Berbarengan, Danji dengan ular kecil di tangan
dan muridnya seketika terlempar deras ke tengah-
tengah kawah, Di udara mereka bergelinjang-gelinjang
liar, meronta dari panggilan mulut Gunung Mayit. Ta-
pi, lagi-lagi tak seorang pun bisa lari dari maut bila
waktunya tiba.
Dan....
Bup, blup!
Mereka tertelan lahar membara. Tubuh mereka
dimatangkan di sana, dengan gemeritik ramai men-
gawal lepasnya nyawa.
Senta menatap tertelannya dua wajah meregang
maut di bawah sana. Wajahnya pucat. Namun, hatinya
lebih pucat mengingat Danji telah mati sebagai manu-
sia durjana!
Lamat-lamat, mata Senta menyaksikan sesosok
tubuh berdiri di antara layangan uap kawah. Berdiri di
bagian yang mencekung lereng kawah. Sosok berpa-
kaian putih terang. Sosok yang dikenal sebagai, guru
besarnya....
Bagaimana dengan nasib Istana Durjana?
Tanpa sepengetahuan murid-muridnya, sang
Guru Besar dengan kesaktiannya telah menguruk
kembali kubangan amat besar, sehingga Istana Durja-
na terpendam kembali. Entah sampai kapan. Mungkin
bila ada sosok yang terhasut iblis durjana, istana itu
akan muncul kembali.
Tepat ketika Pendekar Slebor dan Moja tiba di puncak
Gunung Mayit, Senta telah berhasil naik ke bibir ka-
wah.
"Kau tak apa-apa, Pak Tua?" tanya Andika.
"Semuanya sudah berakhir, Anak Muda," sahut
Senta.
"Mana Danji keparat dan muridnya?" susul Moja.
"Mereka terkubur di kawah bersama nafsu iblis
mereka...."
"Lantas, bagaimana kau bisa mengalahkan mereka,
Pak Tua?" kali ini Andika agak heran, sekaligus me-
nyangsikan kemampuan Senta.
"Nanti sajalah kuceritakan di gubukku...."
Hanya itu yang terucap dari mulut Senta, lalu ber-
lalu dari tempat ini. Sementara Pendekar Slebor dan
Moja mengikuti, setelah saling berpandangan tak mengerti.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar