Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
KADIPATEN Wadaslintang.
Sebentang lembah berbukit. Tempat di mana
rerumputan liar tumbuh menghampar. Tempat di ma-
na seseorang bisa melihat cakrawala dengan lapang.
Juga tempat bagi empat orang yang sedang terlibat sa-
tu urusan.
Sementara keempatnya seperti tak pernah cu-
kup peduli pada rona langit di atas sana yang berubah
murung. Bukan karena mendung meraja. Melainkan
kehadiran perlahan sang senja. Bahkan, mereka seper-
ti tak ambil pusing pada gelimpangan dua bangkai ku-
da dan satu bangkai manusia yang nyaris membusuk
di dekat mereka.
Segerumunan lalat justru telah membangun
pesta-pora di atas ketiga bangkai. Bersama dengung-
nya yang mendompleng tiupan angin.
Keempat orang itu berdiri di dekat sebatang
pohon kamboja besar. Seorang nenek tua bersisian
dengan seorang gadis muda. Berseberangan dengan
mereka, ada sepasang muda-mudi berusia sebaya.
Si nenek berusia sangat tua. Jelas sekali dari
perawakan atau wajahnya. Dia mengenakan pakaian
putih yang tidak cuma dekil namun juga berkesan mu-
ram sekaligus seram. Tercabik-cabik di sana-sini. Se-
lain itu, menebarkan bau bangkai busuk menusuk.
Dua bola matanya besar. Biji matanya berurat keme-
rahan. Sekeliling matanya berwarna biru kehitaman.
Wajah perempuan tua bangka itu dipenuhi keriput
bercampur kudis berlendir. Bibirnya pucat berkerut.
Tak terlihat tanda-tanda kalau wajah nenek itu dialiri
darah.
Dua gadis yang berdiri berseberangan berwajah
sulit dibedakan. ibarat pinang dibelah dua. Sama-
sama berambut panjang hitam. Sama-sama cantik. Itu
berarti pula, sama-sama memiliki pesona yang sang-
gup menabuh deras-deras detak jantung kaum lelaki.
Bedanya, perempuan muda di sebelah nenek
tua berwajah agak pucat, dingin dan beku. Seolah pa-
rasnya tak memiliki secercah pun api kehidupan. Pun
pada sepasang bola mata bulatnya yang sesungguhnya
demikian indah. Dia mengenakan pakaian berwarna
merah hati.
Sedangkan paras muka perempuan muda yang
lain justru bertolak belakang. Dia memiliki sinar mata
yang demikian lembut. Selembut cahaya senja merah
jingga di ufuk barat. Ada garis-garis kekhawatiran
mendalam tergurat di wajah ayunya manakala mene-
mukan keadaan gadis yang mirip dengannya. Kekha-
watiran terdalam yang belum tentu bisa dirasakan
orang lain. Perempuan muda itu mengenakan pakaian
adat tanah Jawa berwarna coklat.
Dari pakaian yang dikenakan, orang lain akan
cepat menduga bahwa tiga orang di antara mereka
adalah warga persilatan. Sementara gadis berpakaian
adat tanah Jawa?
Orang terakhir adalah pemuda belia tampan
berperawakan kekar. Mengenakan rompi tebal dari bu-
lu hewan berwarna putih keabu-abuan. Bercelana hi-
tam sebatas lutut. Rambutnya lurus panjang kemera-
han hingga melewati bahu.
Mereka tentu saja Nini Jonggrang, Tresnasari,
Mayangseruni, dan pendekar muda yang belum lama
hadir dalam gonjang-ganjing persilatan tanah Jawa.
Siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng? Murid dua to-
koh tua kesohor; Dedengkot Sinting Kepala Gundul
dan Tabib Sakti Pulau Dedemit?
Nenek sejelek kuntilanak lama terjemur tentu
saja Nini Jonggrang. Tua bangka golongan sesat yang
lebih menggetarkan rimba persilatan dengan julukan
sangar; Perempuan Pengumpul Bangkai!
Dua gadis berwajah dan perawakan begitu mi-
rip tak lain tak bukan Tresnasari dan Mayangseruni.
Seperti diketahui, Tresnasari saat itu sedang dalam
pengaruh tenung jahat Nini Jonggrang. Perempuan
Pengumpul Bangkai hanya akan melepaskan Tresna-
sari dari pengaruh tenungnya jika Satria bersedia me-
nyerahkan diri untuk menggantikan Tresnasari. (Baca-
lah episode sebelumnya : "Perempuan Pengumpul
Bangkai"!).
"Bagaimana aku yakin padamu bahwa kau
akan melepaskan gadis itu dari pengaruh tenungmu
jika aku bersedia menggantikan tempatnya?" aju Sa-
tria, jumawa. Tak tampak sama sekali kegetaran di wa-
jahnya.
"Satria!" sergah Mayangseruni. Ditatapnya pe-
muda perkasa di sebelahnya dengan sinar mata tak
menerima. Kendati perkenalannya dengan pendekar
muda itu belum terbilang berusia cukup lama, entah
kenapa Mayangseruni sudah merasa begitu dekat den-
gan pribadi Satria.
Untuk menyebut perasaannya itu sebagai benih
cinta, mungkin terlalu tergesa-gesa. Mayangseruni be-
lum cukup yakin. Namun begitu, sulit dipungkiri ada
perasaan yang sulit diceritakan. Lebih kuat dari seka-
dar rasa suka terhadap diri si perjaka. Lebih jauh dari
sekadar simpati. Atau mungkin tanpa disadari telah
tumbuh benih cinta di hatinya?
Dihalau oleh perasaan khawatir terhadap kese-
lamatan Satria, tanpa sadar tangan Mayangseruni sudah merenggut erat pangkal lengan pemuda di sam-
pingnya. Sikapnya seolah seorang yang tak sudi mem-
biarkan sesuatu yang begitu disayanginya terlepas dari
genggaman.
Satria melirik sebentar kepada Mayangseruni.
Bersit ketegaran di sepasang bola matanya tak bergem-
ing. Lalu pandangannya beralih kepada renggutan tan-
gan Mayangseruni yang makin menguat di pangkal
lengannya.
Mayangseruni sadar akan perbuatan tak dis-
adarinya. Dia jadi jengah sendiri. Tertunduk, dibua-
ngnya pandangan ke bawah.
"Kau tak bisa menuruti begitu saja kemauan
nenek busuk itu, Satria," kata Mayangseruni. Hampir-
hampir tak terdengar. Lirih.
"Jika aku tak melakukannya, bagaimana den-
gan saudara kembar mu, Tresnasari?"
Pertanyaan Satria tak dijawab Mayangseruni.
Gadis muda ayu itu sama sekali tak bisa menjawab-
nya. Mau menjawab apa? Toh, kenyataannya dia pun
begitu menyayangi Tresnasari, meski saudara kembar-
nya baru saja dijumpai. Posisinya memang sulit untuk
menjawab pertanyaan Satria barusan. Dia seperti
mendapat buah Simalakama. Tak mungkin dia sudi
membiarkan Tresnasari terus dalam pengaruh tenung
Nini Jonggrang. Di lain sisi, Mayangseruni pun sama
tak sudi melepaskan Satria untuk menggantikan tem-
pat Tresnasari.
"Apakah tak ada cara lain, Satria?" bisik
Mayangseruni, lemah. Masih pula terdengar lirih.
Nini Jonggrang menertawai ucapannya. Kikik
mendirikan bulu romanya merebak ke angkasa, me-
langlanginya beberapa saat, lalu pupus dilarikan an-
gin.
"Jangan bodoh, Anak Perempuan! Tak ada pili-
han lain bagi bocah ganteng ini selain menerima per-
syaratan ku. Kau tahu sebabnya? Karena aku tahu dia
tak bisa membohongi hatinya sendiri. Dia mencintai
gadis yang ku tenung ini. Dia lebih mengkhawatirkan
keselamatan nyawa gadis pujaannya ketimbang nyawa
sendiri!" cerocos Nini Jonggrang.
Bulat mata Mayangseruni menerobos manik
mata Satria. Ingin ditemukannya jawaban pada mata
bergaris tegas pemuda itu.
"Benarkah Satria?" tanyanya.
"Benar apa?" Satria belum sempat menanggapi
maksud pertanyaan Mayangseruni. Perhatiannya ma-
sih terhunus lurus pada Nini Jonggrang. Bersama se-
genap kemarahan yang coba dikuasainya.
"Benar kau ber...," tiba-tiba Mayangseruni ragu
untuk menuntaskan pertanyaan. Apa haknya mena-
nyakan itu pada Satria? Apa haknya? Umpat hatinya.
"Ya," jawab Satria, sesaat setelah mengerti arah
pertanyaan Mayangseruni. "Aku memang mencintai
saudara kembar mu, Mayang. Sangat mencintainya.
Karenanya, aku lebih rela mengorbankan diriku dari-
pada Tresna," tuntasnya, menandaskan.
"Sekarang kau menjadi mengerti alasan meng-
gantikan tempat Tresna, bukan? Tapi, kau tak perlu
khawatir padaku. Cobalah percaya padaku."
Mendengarnya, entah kenapa Mayangseruni
merasakan kekecewaan merayap lamat-lamat. Men-
dengarnya, entah kenapa rasa iri itu datang lagi. Satu
hal lain yang menyelinap di relung terdalam hatinya
adalah keterpaksaan membiarkan Satria menerima
persyaratan Nini Jonggrang. Biar bagaimanapun, Sa-
tria sendiri yang telah menjatuhkan pilihan. Dia tak
bisa melarang.
"Sekarang, aku ingin dengar darimu, Nenek.
Apakah kau bisa menjamin dengan mempertaruhkan
nama besarmu untuk melepaskan gadis yang kucintai
itu apabila aku menggantikan tempatnya?" Satria me-
minta ketegasan untuk kedua kalinya.
"Hi hi hi! Untuk seorang bodoh bau kencur
yang baru saja mencium anyirnya rimba persilatan,
kau termasuk bocah bernyali besar. Patut dikagumi.
Perkataan mu seakan menantang langsung nama be-
sar Perempuan Pengumpul Bangkai! Hi hi hi, bedebah
sekali kau, Bocah!"
"Aku tak membutuhkan basa-basimu itu, Nek.
Katakan padaku, apakah kau sanggup bersumpah
dengan nama besarmu untuk melepaskan gadis itu?!"
tebas Satria, tak ingin bertele-tele.
"Baik baik! Hi hi hi, memang benar-benar bede-
bah kau! Sekarang, kau boleh melempar lebih dahulu
Kail Naga Samudera di tanganmu itu!"
Tak banyak ucap, Satria melemparkan benda
pusaka di tangannya.
Nini Jonggrang menyambut dengan sikap pe-
nuh kemenangan.
"Dan kau bocah perawan, silakan pergi dari si-
ni! Kembalilah ke tempatmu. Nanti, saudara kembar
mu yang akan datang menemuimu. Asal jangan kau
harapkan perjaka ini. Dia akan menjadi milikku. Jadi
milikku!"
Mayangseruni tak bergeming dari tempatnya.
Hatinya masih terlalu berat membiarkan Satria menja-
di tumbal. Bahkan dia merasa tak sanggup mengge-
rakkan kakinya. Tangan kekar Satria singgah diba-
hunya, menyadarkan gadis ayu berhati lembut itu.
"Kembalilah ke Tanjung Karangbolong," bisik
Satria.
Mayangseruni menatap Satria. Di mata pemuda
tampan itu, terlihat isyarat kecil. Mayangseruni men-
gerti. Satria memintanya untuk menemui Ki Kusumo
dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dengan cerdik,
Satria hanya menyebutkan nama tempat tinggal dua
tokoh rimba persilatan itu. Satria tampaknya tahu be-
nar, meski dia berbisik sepelan apa pun, telinga Nini
Jonggrang tetap akan mendengarnya. Karenanya, dia
mengatakan maksudnya. dengan kalimat yang lain.
Mayangseruni masih tetap menatap Satria le-
kat-lekat. Garis bening di kedua bola matanya makin
menggenang.
"Kau harus percaya padaku, Mayang. Aku akan
baik-baik saja. Aku berjanji padamu," Satria meyakin-
kan diri gadis itu.
Bulir bening menggelinding.
Di satu pipi Mayangseruni.
Berat hati, gadis itu berbalik pergi.
Langkahnya gamang.
Di kejauhan, isaknya terdengar tertahan.
DUA
MUNGKINKAH Satria Gendeng membiarkan di-
rinya dikuasai oleh tenung Nini Jonggrang untuk
menggantikan tempat orang yang dicintainya? Atau
ada hal lain yang sebenarnya telah dipikirkan dengan
matang oleh si pendekar muda?
Lepas dari seluruh pertanyaan yang begitu
mengusik benak Mayangseruni, di Tanjung Karangbo-
long, Dedengkot Sinting Kepala Gundul tampak sendiri
di dalam gubuknya. Orang tua bertabiat sinting
sintingan itu duduk bersila di balai bambu. Matanya
terpejam rapat. Berbeda dengan bibirnya yang sedikit
membuka memperlihatkan sisa gigi berwarna kehita-
man. Tangannya bersedekap di dada. Naga-naganya,
dia sedang melakukan semadi.
Ki Kusumo tak terlihat bersamanya. Tidak di
dalam gubuk. Tak juga di luar.
Sejak kepergian Satria dan Mayangseruni me-
nuju Gunung Sumbing, Ki Kusumo pun meninggalkan
gubuk. Dia khawatir akan keselamatan sepasang mu-
da-mudi itu. Terutama karena nantinya mereka akan
menghadapi seorang tokoh perempuan jahat sakti, Nini
Jonggrang.
Sebenarnya, Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau
Dedemit yang terhitung tokoh kelas atas persilatan ta-
nah Jawa bukanlah tandingan sepadan Nini Jonggrang
alias si Perempuan Pengumpul Bangkai. Dulu saja, Ki
Kusumo telah gagal menghadapi kesaktian Ki Ageng
Sulut. Kegagalan yang menuntut tumbal sepasang ka-
kinya. (Baca kisahnya pada episode: "Iblis Dari Nera-
ka"!). Sementara untuk tingkat kesaktian. Si Perem-
puan Pengumpul Bangkai berada beberapa tingkat di
atas Ki Ageng Sulut sendiri. Diakui atau tidak oleh
pendeta tua laknat berjuluk Iblis Dari Neraka itu.
Kalaupun Ki Kusumo tetap juga memutuskan
untuk menguntit Satria dan Mayangseruni dalam per-
jalanan ke Gunung Sumbing, semata karena dia tak
bisa membiarkan muridnya seorang diri menghadapi
tokoh tak terkalahkan sejenis Nini Jonggrang. Belum
lagi beban yang harus dipikul Satria dengan turut ser-
tanya Mayangseruni. Nyawa gadis itu tentu saja akan
menjadi tanggung jawabnya. Bukannya Ki Kusumo
merendahkan kemampuan ilmu bela diri gadis itu.
Hanya saja, dia sudah cukup lama mengenal manusia
macam apa Perempuan Pengumpul Bangkai sesung-
guhnya.
"Hendak ke mana kau, Kusumo?" tanya Dong-
dongka waktu itu, ketika Ki Kusumo baru saja hendak
beranjak meninggalkan gubuk.
"Aku khawatir pada keselamatan murid kita,
Panembahan," jawab Ki Kusumo, seadanya.
"Kau khawatir, lalu hendak menjaganya, begi-
tu?" Ki Kusumo mengiyakan.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mencibir, je-
lek.
"Kapan Bocah Gendeng itu akan belajar kalau
kau terus saja menyuapinya? Kau tahu maksudku?"
khotbah Dongdongka. Lantas lanjutnya. "Biarkan dia
belajar menyelesaikan masalahnya sendiri, tahu! Kare-
na hanya pengalaman semata yang bisa menjadi guru
terbaiknya. Kita sebagai gurunya hanya membantunya
memberi sesuatu yang belum dimiliki, tahu?!"
Tumben sekali manusia bertabiat sinting itu
berbicara agak waras. Biasanya perkataannya bisa le-
bih ngaco dari ocehan Beo pusing.
Dalam hati, Ki Kusumo tak menyalahkan pen-
dapat Dedengkot Sinting Kepala Gundul tadi.
"Kupikir, kau hanya terlalu sayang pada Bocah
Gendeng kita itu. Iya, kan? Apa kau pernah berpikir,
rasa sayang yang berlebihan terkadang malah mem-
buat seseorang menjadi manja. Pribadinya tak cukup
ditempa karena hidup keenakan. Mengerti maksudku,
Kusumo?"
Ki Kusumo mengangguk.
"Aku memang sayang pada bocah itu, Panem-
bahan. Seperti sayangnya aku pada cucu sendiri. Tapi,
bukan karena itu aku berniat menguntitnya menuju
Gunung Sumbing?" sangkal Ki Kusumo halus dan ber
tatakrama selaku orang yang sedang berbicara pada
sesepuh persilatan tanah Jawa.
"Jadi?" Wajah Dongdongka mendongak, pena-
saran dengan alasan Ki Kusumo.
"Justru aku sadar, bocah itu masih belum ba-
nyak belajar tentang seluk-beluk rimba persilatan. Dia
belum cukup mengenal bagaimana tabiat rimba persi-
latan. Dia masih terlalu hijau. Bekal oleh kanuragan
dan kesaktian dari kita, tampaknya belum cukup ba-
ginya. Sementara orang yang akan dihadapi adalah
orang yang sudah berkubang demikian lama di rimba
persilatan. Bahkan jauh lebih banyak menelan asam
garam ketimbang diriku. Sebagai gurunya, tentu saja
aku menginginkan dia belajar banyak dari hidup. Na-
mun, sebagai gurunya pula, aku merasa bertanggung
jawab untuk mengawasi dia agar tak salah langkah.
Tut Wuri Handayani, maksudku, Panembahan...," tu-
tur sang tabib kenamaan tanah Jawa, santun.
Dongdongka mengangguk-angguk perlahan.
Tak jelas apakah dia mengangguk paham atau justru
mengangguk karena mengantuk. Karena saat itu, ke-
lopak matanya terkatup.
Karena Dedengkot Sinting kepala Gundul tak
menanggapi lebih lanjut alasannya, Ki Kusumo segera
saja pamit. Dia yakin pada alasannya. Seperti dia ya-
kin Dongdongka telah mengerti pula pada alasan itu!
Sepeninggalan Ki Kusumo, sebelah mata Dong-
dongka memicing hati-hati. Sebelah bola matanya itu
melirik ke kanan dan kiri, memeriksa apakah Ki Ku-
sumo benar-benar telah keluar dari gubuk.
Sebentar kemudian, dia bergumam sendiri.
"Slompret, benar juga apa kata Kusumo tadi,
ya...."
Rupanya tadi itu dia cuma berpura-pura men
gantuk. Sebab, dia tahu kalau alasan yang dikemuka-
kan Ki Kusumo ada benarnya. Maklum, dia rada malu
mengakuinya. Gengsi begitu!
Nah, jika sekarang dia terlihat bersemadi, apa-
lagi yang dilakukannya kalau bukan hendak
'mengawasi' murid gendengnya dari jauh? Tentunya
dengan mempergunakan ajian 'Melepas Sukma' yang
dimilikinya. Ajian yang hanya diturunkan oleh Pertapa
Sakti Gunung Sewu pada dirinya. Nini Jonggrang ken-
dati sebagai kakak perguruannya saja tak pernah me-
nerima ajian tersebut.
'Melepas Sukma' sendiri adalah satu ajian
langka yang jarang dimiliki oleh orang-orang persila-
tan. Orang yang memiliki atau mampu mempelajarinya
dapat dihitung dengan jari. Salah seorang di antaranya
adalah Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dan satu
orang yang dengan luar biasa dapat menerima ajian
tersebut kendati usianya masih terlalu muda dan di-
anggap banyak kalangan tidak mungkin adalah Satri
Gendeng.
Ketika terakhir kali menerima ajian 'Melepas
Sukma', Satria menerima beberapa wejangan-wejangan
yang berkaitan dengan hal itu.
"Badan manusia itu terbagi dua, tahu," mulai
Dongdongka waktu itu. "Kita memiliki badan besar
yang kita sebut wadag atau jasad dan memiliki badan
halus yang kita sebut sukma atau roh. Sejak kita lahir,
sukma terpatri di dalam wadag. Namun, ada saatnya,
sukma kita tercerabut...."
"Saat kita mati, Kakek?" sela Satria.
"Kau memang cerdas!"
"Lalu, di bagian dalam diri kita yang mana
sukma itu berada?"
"Pertanyaanmu juga cerdas, Cah Gendeng!
Sukma bersemayam di dalam kalbu! Di sanalah tempat
sukma hidup dan diberi makan...."
"Makan? Apakah sukma kita butuh makan?"
"Seperti wadag yang membutuhkan makanan,
sukma pun butuh pula 'makanan'. Kalau wadag harus
menerima makanan bersifat zahir, maka Tuhan Se-
mesta Alam menempatkan sukma atau roh itu dalam
keadaan amat bersih, amat suci. Kehidupan di dunia
inilah yang menjadi perjuangan bagi manusia untuk
menjaga agar sukmanya tetap bersih, atau mengoto-
rinya sekotor-kotornya hingga menjadi sakit dan mati."
Dongdongka berhenti sebentar.
"Segala tingkah-lakumu, perbuatanmu, sikap-
mu, sepak terjang mu akan menjadi 'makanan' sukma.
Setiap kali kau berbuat kebaikan, maka sukma mu
menjadi bertambah hidup. Sebaliknya, setiap kali kau
berbuat kebatilan, maka sukma mu menjadi kian mati.
Kalau sukma mu telah mati di dalam kalbu, sementara
umurmu masih panjang, maka kau tak lagi menjadi
manusia."
"Kalau tidak lagi menjadi manusia, menjadi
apa, Kek?"
"Menjadi 'bangkai hidup'. Maksudnya, karena
sukma telah mati, maka kalbu mu menjadi membatu.
Kau tak lagi memiliki sifat-sifat kemanusiaan, kecuali
sifat-sifat yang lebih tercela dari binatang. Tak bisa lagi
kau membedakan mana yang baik dan buruk, mana
yang benar dan salah. Padahal baik tidaknya seseo-
rang tergantung dari kalbunya!"
Satria tercenung sejenak.
"Lalu apa hubungannya dengan ajian 'Melepas
Sukma' yang kau berikan padaku, Kek?" susulnya ke-
mudian.
"Pertanyaan cerdas lagi! Kau memang patut di
banggakan!"
"Apa, Kek?!"
"Sabar, Kunyuk!"
Satria garuk-garuk kepala.
Dongdongka terdiam dengan kerutan dalam di
kening.
"Begini," mulai Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul lagi. "Seperti telah kubilang tadi, bahwa ada saat-
nya sukma tercerabut dari wadag. Yaitu saat kita mati.
Ajian 'Melepas Sukma' sebenarnya adalah sebentuk
kehendak suci dari kalbu yang sanggup mengatur
sukma. Dengan dorongan kehendak kalbu yang suci,
kita dapat menghelanya keluar dari wadag."
"Artinya, pada saat sukma kita itu keluar dari
wadag, maka wadag kita tak bisa berbuat apa pun?"
"Benar! Kendati begitu, jasad kita tetap hidup.
Hanya dia telah kehilangan tenaga penggeraknya,
hingga tak bisa melakukan apa-apa!"
"Jadi kunci untuk mendapatkan ajian 'Melepas
Sukma' adalah kehendak suci kalbu? Kalbu kita harus
benar-benar bersih? Begitu kau pernah bilang sebe-
lumnya, bukan?" simpul Satria Gendeng.
"Hue he he! Kau memang murid cerdas! Sial se-
kali kau!"
Lalu....
Plak!
Jitakan sengit Dongdongka mampir di jidat Sa-
tria Gendeng! Apes....
***
Kembali ke Wadaslintang.
Sepeninggalan Mayangseruni, Nini Jonggrang
terkikik, melimpahi angkasa dengan nada kemenan
gan.
"Tiba waktunya bagimu untuk menerima te-
nung ku, Pemuda Keparat!" sentak si nenek ahli te-
nung hitam itu di ujung tawa membuncahnya.
Satria mendengus.
"Tak bisa, Nenek Busuk. Aku telah meluluskan
permintaanmu yang pertama. Aku telah menyerahkan
Kail Naga Samudera padamu. Sekarang, giliranmu me-
lepaskan gadis itu dari pengaruh tenung jahatmu!"
tandasnya tegas seraya menunjuk ke arah Tresnasari.
Tresnasari saat itu masih mematung seolah bangkai
hidup bernyawa. Kasihan sekali menyaksikan betapa
pucat wajahnya. Betapa tak ada sinar kehidupan di
wajah cantik itu.
"Hi hi hi, kau pikir kau punya pilihan?"
"Aku punya pilihan. Pertama, aku bersedia
memenuhi seluruh syaratmu, selama aku yakin kau
tak menipuku. Kedua, aku tak akan menuruti mu jika
aku yakin kau hendak berbuat licik. Jika yang kedua
yang kau inginkan, aku lebih suka mati bersama den-
gan gadis itu setelah kau kubunuh terlebih dahulu,"
ancam Satria.
"Baik baik. Kau mendapatkan apa yang kau
mau, Pemuda Keparat!" desis Nini Jonggrang. Ketika
itu, tanpa disadari justru dialah yang tak punya pili-
han. Ucapan penuh kemantapan Satria telah men-
jungkirbalikkan keadaan untuk sementara.
"Sekarang kau menyingkir agak jauh!" perintah
Nini Jonggrang pada Satria. "Aku akan mulai membe-
baskan gadis kesayangan mu ini!"
Sejenak dua bola mata berurat kemerahannya
mendeliki Satria.
"Jangan pernah berpikir untuk menyerangku
saat aku membebaskan bocah perawan ini!" ancamnya
mengerikan.
Satria beringsut mundur perlahan sesuai perin-
tah Nini Jonggrang. Dia sadar, ancaman terakhir si
nenek ahli tenung tak bisa dibuat main-main. Tentu
Nini Jonggrang akan menyiapkan sebentuk benteng
pertahanan yang tak disadari Satria untuk berjaga-
jaga agar Satria tak menyerangnya saat membebaskan
tenung dari diri Tresnasari.
***
Malam beringsut turun, berkawal kabut yang
merayap lamat-lamat. Sisa merah jingga sekarat di ba-
tas ufuk barat. Sebentar lagi, sinar mentari binasa.
Nini Jonggrang memulai upacara gaibnya un-
tuk melepaskan pengaruh tenung pada diri Tresnasari.
Mula-mula perempuan tua aliran sesat itu duduk ber-
sila sekitar tiga tombak di depan Tresnasari.
Beberapa lama, terdengar geram terseret dalam
diamnya. Matanya tajam menghunus, tepat ke manik
mata muridnya yang dianggap murtad.
Detik berjingkat.
Geramnya melamat.
Mendadak sontak, Nini Jonggrang berteriak.
Serak namun juga melantak.
Dalam, sekaligus berdebam.
Tak sadar, si perjaka sakti teringsut mundur.
Kendati keberaniannya mungkin bisa diandalkan un-
tuk menghadapi moncong kematian, tak urung hatinya
menjadi tergetar. Gentar. Jeritan iblis besar neraka
mana yang telah merasuki suaranya? bisik Satria
Gendeng membatin
Berikutnya, tangan Perempuan Pengumpul
Bangkai terangkat naik. Tinggi-tinggi. Seakan hendak
melepaskannya langsung ke langit yang mulai dicekam
kegelapan. Telapak tangannya terbuka menghadap
Tresnasari. Jari-jemari kurus berbalut kulit keriput
berlendirnya mengejang, menegakkan kuku-kuku hi-
tam runcing.
Si tua terkutuk itu bergetar.
Dalam irama kasar.
Pertunjukan menggidikkan tak selesai sampai
di situ. Bahkan, sesungguhnya baru saja dimulai.
Tresnasari yang semula berdiri diam tanpa se-
dikit pun geming, mendadak terangkat naik satu-dua
jengkal dari permukaan bumi. Naik, tetap dalam kea-
daan tegak. Mengapung sekian lama, tanpa terusik
apa-apa.
Jeritan Nini Jonggrang melandai turun.
Bersamaan dengan itu, Tresnasari bergerak la-
gi. Masih dalam posisi tegak, tubuhnya yang menga-
pung di udara berputar perlahan begitu rupa sampai
posisinya telentang lurus. Kini, yang terlihat seolah-
olah gadis itu sedang tertidur di atas angin. Menga-
pung diam.
"Ghrrr...."
Nini Jonggrang mulai menggeram lagi.
Jari-jari tangannya bergetar makin hebat. Na-
pasnya menanduk-nanduk udara. Dadanya tersentak-
sentak seperti diserang sengal hebat. Dari mulutnya,
melantunlah mantera-mantera gaib yang mendirikan
sekujur bulu halus di tubuh Satria. Ada dorongan te-
naga magis terasa di sana. Kekuasaan angkara yang
menggelegar-gelegar keluar dari alam kegelapan. Nini
Jonggrang telah mengundangnya.
Satria dipaksa beringsut mundur setengah tin-
dak ke belakang. Sepanjang hayat, belum pernah di-
alaminya peristiwa semenggidikan itu. Seperti pernah
dikatakan Ki Kusumo pada Dedengkot Sinting Kepala
Gundul waktu lalu. Satria memang terlalu hijau. Men-
tahnya pengalaman akan menjadi satu kelemahan
Beruntung, dia tergolong pemuda berhati ko-
koh, bernyali tak rapuh.
Upacara gaib berlanjut terus.
Sementara Satria terpana-pana menyaksikan
seluruh kejadian yang berlangsung di depan mata....
"Ssst!"
Terdengar bisikan seseorang di belakangnya.
Satria menoleh. Dia terperanjat berbaur senang
menemukan orang tadi. Mulutnya menganga, hendak
mengucapkan sesuatu. Orang yang datang diam-diam
cepat menempatkan jari telunjuknya di depan bibir.
Orang itu ternyata Dongdongka, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul!
"Aku cuma menampakkan sukmaku padamu
saja. Jadi, si nenek peot bau itu tak akan melihatku
atau mendengarku. Kalau kau ingin berbicara, pergu-
nakan bahasa batin!"
Dalam hati, Satria mendumal kesal: Kalau me-
mang cuma dia yang bisa melihat dan mendengar ke-
hadiran sukma gurunya, kenapa tua bangka itu pakai
berbisik segala? Apa karena kurang kerjaan atau itu
bagian dari kesintingannya?
"Bersemadilah dalam posisi mu sekarang. Jan-
gan memancing kecurigaan si Jonggrang. Setelah kau
mencapai tahap semadi mu, barulah kau bisa me-
nyampaikan ucapan batin kepadaku. Ngerti tidak
kau?!" lanjut Dedengkot Sinting Kepala Gundul, menje-
laskan.
Satria mengangguk sambil melirik hati-hati Nini
Jonggrang. Segera perintah guru sintingnya dijalan-
kan. Tetap berdiri seolah-olah sedang asyik menyaksi
kan upacara gaib Perempuan Pengumpul Bangkai,
Satria memasuki tahap semadinya.
"Aku tak tahu kau sudah sinting atau tidak!"
sembur Sukma Dongdongka setelah Satria siap.
"Apa maksudmu, Kakek?"
"Apa maksudku?!" Sukma Dongdongka mende-
lik. "Kau akan membiarkan dirimu menjadi pengganti
Bocah Perawan Jelita itu menjadi tawanan tenung si
Jonggrang! Apa itu bukan sinting? Terus terang saja,
aku mengajarkan kau supaya berpura-pura sinting da-
lam tingkah. Bukan sinting benaran, tahu?!" sembur-
nya habis-habisan.
"Dari mana Kakek tahu?"
"Dari sawah turun ke kali! Ya, aku tahu karena
selama ini Sukmaku terus menguntit mu, Cah Tolol!"
"Jadi Kakek mau tahu kenapa aku bersedia me-
lakukannya?"
"Betul!"
"Aduh, Kakek ini bagaimana? Coba saja Kakek
pikirkan sebentar..."
"Kurang ajar semata kau! Aku gurumu, bukan
jongosmu. Masa' aku kau suruh-suruh begitu!"
"Maksudku tentang ajian 'Melepas Sukma'!"
"Alah-alah, sudah jelaskan saja, Gendeng! Jan-
gan ngalor-ngidul tak karuan. Kau cuma bikin pegal
perasaanku saja, tahu!"
Sementara Nini Jonggrang tak pernah menya-
dari kehadiran gaib bekas saudara seperguruannya.
Satria pun menjelaskan alasannya pada tua bangka
bertingkah sinting-sintingan itu.
Ketika Nini Jonggrang mengajukan syarat un-
tuk membebaskan Tresnasari dari pengaruh tenung-
nya, Satria teringat pada seluruh wejangan-wejangan
gurunya Dedengkot Sinting Kepala Gundul beberapa
waktu lalu tentang ajian 'Melepas Sukma'. Dari wejan-
gan itu, Satria yakin bahwa dia dapat memanfaatkan
ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh pengaruh ten-
tang Nini Jonggrang.
Menurut penilaiannya, pengaruh tenung itu
hanya akan mengkerangkeng sukma seseorang se-
hingga tak berdaya dan menuruti seluruh perintah si
Perempuan Pengumpul Bangkai. Satria yakin, jika
sukmanya keluar dari wadag, maka tak ada kesempa-
tan lagi bagi pengaruh tenung itu untuk menguasai di-
rinya.
Rencananya, jika nanti Tresnasari telah dibe-
baskan, maka Satria akan membiarkan dirinya dite-
nung Nini Jonggrang. Pada saat yang sama, dia akan
mengerahkan ajian 'Melepas Sukma'. Tepat saat pen-
garuh tenung menerobos masuk dalam kalbunya dan
hendak mengkerangkeng sukmanya, maka sukmanya
akan lebih dahulu keluar!
Sebuah rencana cerdik yang berisiko tinggi. Ba-
gaimana tidak? Selama menerima ajian 'Melepas Suk-
ma' dari gurunya, baru sekali ini Satria mencoba me-
manfaatkannya. Selain itu, dia belum lagi bisa memas-
tikan apakah seluruh perkiraannya itu benar-benar
akan berjalan mulus.
Sepertinya, si pendekar muda sedang berjudi
dengan nyawa sendiri!
"Buagus, buaaaagus!" Sukma Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul memuji-muji, usai mendengar pe-
nuturan muridnya. "Kalau begitu alasanmu, aku juga
setuju. Kau memang cerdas, Cah Gendeng Slompret!
Kau tak perlu ragu-ragu melaksanakan rencanamu!
Aku mendukungnya! Biar he he he... biar he he he...."
"Biar apa, Kek?"
"Biar si Jonggrang itu uring-uringan sampai
terkencing-kencing begitu tahu akan bau kencur ma-
cam kau telah mengecohkannya mentah-mentah. Bu-
kankah itu menyenangkan?! Hue he he!!!"
"Tapi aku bukan anak bau kencur lagi, Kek,"
bantah Satria.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mana peduli.
Dia masih sibuk terkekeh-kekeh geli.
"Kalau begitu, sebenarnya kau tak perlu bantu-
anku lagi, bukan?" tanyanya kemudian, masih di sela-
sela kekehnya.
"Terima kasih, Kek. Aku sudah yakin seka-
rang!" tegas dan mantap, Satria menjawab.
"Memang benar apa kataku. Kau sebenarnya
memang bisa diandalkan. Si Kusumo saja yang ma-
cam-macam. Pakai mengkhawatirkan kau segala ma-
cam. Huh, memangnya kau masih bau kencur, ya? Ka-
lau bau popok memang benar!"
Setelah puas mengejek muridnya sendiri, Suk-
ma Dongdongka memupus perlahan, kembali ke gu-
buknya.
Di gubuknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
terjaga dari sila diamnya. Mulutnya langsung men-
gumpat-umpat berkepanjangan begitu merasakan ce-
lananya basah kuyup. Rupanya, bukannya Nini
Jonggrang yang terkencing-kencing di celana seperti
dikatakan sebelumnya. Justru dia yang terkena musi-
bah itu. Pasalnya, sukmanya terlalu kelewatan terke-
keh....
Biar rasa!
TIGA
DENGAN berjalan kaki menempuh jarak tera-
mat jauh, Mayangseruni terus berjalan. Gontai. Beru-
lang-ulang terlihat kesan keraguan dalam langkahnya.
Dia masih ragu pada keselamatan saudara kembarnya.
Seragu akan keselamatan Satria.
Manakala teringat permintaan Satria untuk se-
gera ke Tanjung Karangbolong, Mayangseruni menjadi
bersemangat. Langkahnya dipercepat. Tak bisa dia te-
rus ragu untuk melanjutkan perjalanan atau kembali
ke Wadaslintang. Keraguan seperti itu, toh tak akan
menyelesaikan masalah.
Satria benar, pikirnya dalam hati. Yang terbaik
dilakukan saat itu adalah segera menemui Ki Kusumo
dan Dongdongka segera. Dengan begitu, dia bisa me-
minta bantuan untuk Satria dan Tresnasari yang ter-
jebak dalam permainan busuk Nini Jonggrang.
Sadar akan hal itu, langkah si gadis ayu makin
cepat, cepat dan kian cepat. Kemudian tampak dia ber-
lari kecil. Sampai akhirnya dia mencoba mengandalkan
ilmu lari cepatnya yang tak seberapa. Sepanjang berla-
ri, wajahnya tak lekang dari garis-garis kecemasan.
Sedangkan hatinya terbakar oleh api semangat untuk
segera tiba di Tanjung Karangbolong. Untuk tiba di sa-
na, gadis ayu itu tak bisa hanya mengandalkan kedua
kakinya. Dia harus cepat mendapatkan kuda di desa
terdekat.
Untuk itu, Mayangseruni belum tahu arah ma-
na yang akan dituju. Sebelum tiba di Wadaslintang
bersama Satria, mereka memang tak sempat mencari
kuda pengganti. Kuda tunggangan mereka malah men-
galami nasib naas setibanya di Wadaslintang.
Karena kebingungan, Mayangseruni menghen-
tikan larinya. Ditebarnya pandangan ke segenap pen-
juru. Siapa tahu ada orang yang bisa ditanya tentang
arah desa terdekat. Lebih bagus lagi kalau dia melihat
tanda-tanda sebuah desa.
Namun sejauh pandangannya mampu men-
jangkau, tak ada sesuatu seperti harapannya. Tak seo-
rang pun terlihat. Juga tak ada tanda-tanda sebuah
desa. Yang ditemukannya adalah bentangan hutan ke-
cil dipenuhi sesemakan dan pohon randu kurus.
Sementara itu, tanpa disadari malam telah
menjelang. Matahari telah terbenam sama sekali. Tak
bisa lagi dia menentukan arah yang jelas. Mayangse-
runi merutuk.
"Aku tersesat," gerutunya.
Sekarang apa yang bisa dilakukan? Tanya ha-
tinya. Gusar, jengkel, khawatir, takut teraduk menjadi
satu dalam benaknya. Perasaannya makin tak menen-
tu saja.
Dia mencoba meneruskan langkah dengan cara
menduga-duga. Ketika sudah melangkah cukup lama,
tahu-tahu dia kembali ke tempat semula. Tanpa ber-
niat menyerah, Mayangseruni mencoba lagi. Mencoba
dan mencoba. Hasilnya, berulang-ulang kali dia kem-
bali lagi ke tempat yang itu-itu juga.
Lelembut mana yang telah menggiringku kem-
bali dan kembali lagi ke tempat ini? rutuk gadis ayu
yang mulai digelayuti rasa lelah itu. Wajahnya sudah
terbasuh basah oleh keringat sendiri. Begitupun pa-
kaiannya. Bahkan kain wiron yang sebelumnya telah
dirobek di pekarangan rumah ayah angkatnya kian tak
karuan bentuknya. Koyak-koyak di sana-sini tercabik
belukar berduri yang tumbuh di tempat tersebut.
Kelelahan yang nyaris sampai puncaknya tak
membuat Mayangseruni memutuskan untuk istirahat.
Baginya, istirahat berarti menyerah. Berarti pula, dia
membiarkan Satria dan Tresnasari tak mendapatkan
bantuan apa-apa. Itu terlalu bodoh!
Namun, kenyataannya dia tak bisa memungkiri
bahwa tubuhnya memang sudah terlalu letih. Akhirnya
dia terjatuh. Untung saja, ada sebatang pohon randu
yang menyanggah tubuh. Tersengal-sengal dada
Mayangseruni.
Pada saat itulah, sesosok bayangan menerabas
kepekatan malam, di antara pucuk-pucuk semak be-
lukar. Geraknya bagai kelebatan hantu. Demikian ce-
pat. Bahkan, hampir saja tak terkejar oleh pandangan
mata.
Dan secara kebetulan, mata lelah Mayangseru-
ni sempat menangkap kelebatan bayangan tadi. Dari
bersandar pada batang pohon randu, gadis itu me-
maksa tubuhnya untuk tegak kembali. Degup jantung
yang sebelumnya memang sudah berdentam-dentam,
makin memburu saja. Sepasang bola mata bulat ber-
bulu lentik miliknya mencari-cari nyalang.
"Siapa di sana?!" serunya.
Tak ada sahutan.
Senyap. Hanya menyelinap suara derik jangkrik
di antara hembusan angin malam.
"Siapa di sana?!" ulang Mayangseruni. Kian de-
ras saja detak jantungnya. Menegang tubuhnya. Kele-
lahan seakan menguap begitu saja.
Tak kunjung ada sahutan.
Sampai kelebatan bayangan itu melintas kem-
bali. Tak jauh di sisi Mayangseruni. Gadis itu tak tahu
apa yang akan terjadi setelah itu. Hanya, nalurinya
mengingatkan akan datangnya bahaya.
Dengan tubuh yang sudah banyak kehilangan
banyak tenaga, tentunya akan sangat sulit bagi
Mayangseruni untuk menghindar. Menyambutnya ju-
stru akan membahayakan diri sendiri. Tak melaksana-
kan apa-apa tentu saja lebih bodoh.
Secepat mungkin dengan tenaga tersisa,
Mayangseruni mencoba melompat ke samping. Sayang,
gerak kelebatan tadi lebih cepat tiba.
Tep!
Ada tangan mencekal pergelangan tangannya.
Keras. Sekeras kuncian cakar-cakar rajawali. Disusul
oleh teguran yang sama sekali tak ramah.
"Hendak ke mana kau, Anak Perawan?"
Di sisinya, telah berdiri seorang. Dalam kegela-
pan malam seperti itu, sulit bagi Mayangseruni ini un-
tuk mengenali wajah penyergapnya. Sinar benda-
benda langit pun tak banyak berguna karena dia berdi-
ri di bawah satu pohon randu berdaun cukup lebat.
Yang dilihatnya hanya bayangan orang itu. Seorang
yang agak bungkuk dan kurus. Mengenakan jubah.
Selebihnya terlalu samar.
Mayangseruni demikian terkesiap. Dia bukan-
lah gadis lemah. Untuk keberanian, bahkan dia memi-
likinya lebih dari kebanyakan wanita sebayanya. Tapi,
kehadiran tiba-tiba si penyergap tak dikenal itu mem-
buat ketakutan Mayangseruni meruyak tak terhindari.
"Hiaaa!"
Dengan memompa sisa tenaga kembali,
Mayangseruni berusaha melepaskan cekalan tangan si
penyergap. Sebelah tangannya berusaha memapas ce-
kalan. Tangan yang lain berkutat untuk melonggarkan
cengkeraman lawan.
Tanpa melepaskan tangan si gadis ayu, sang
penyergap dengan amat mudah menangkap tangan
Mayangseruni yang lain.
Tep!
Mayangseruni tak menyerah sampai di sana.
Kakinya bergerak naik, hendak menanduk perut sang
penyergap yang kini berhadapan dengannya.
Masih dengan mudah, sang penyergap bergeser
sedikit. Tendangan Mayangseruni memakan angin. Sa-
tu totokan cepat menyusul kemudian.
Kejap berikutnya, tubuh Mayangseruni menjadi
lunglai.
"Kau akan menerima ganjaran atas kelancan-
ganmu padaku tempo hari!" dengus sang penyergap
seraya membopong tubuh Mayangseruni ke atas bahu
***
Ki Kusumo terus mengawasi kejadian di bawah
pohon kamboja di lembah berbukit wilayah Wadaslin-
tang. Sejak Nini Jonggrang muncul, Ki Kusumo tiba di
tempat tersebut. Dari satu bukit, dia mengawasi. Te-
patnya, dari balik batu bukit yang menjorok keluar.
Jarak tempatnya cukup jauh dengan tempat kejadian.
Dengan jarak itu, masih cukup jelas baginya untuk
mengawasi seluruh sepak terjang Perempuan Pengum-
pul Bangkai. Lembah terbuka dan cahaya bulan mem-
bantunya. Sayang, sama sekali tak dapat didengarnya
seluruh perdebatan yang terjadi di sana. Terlalu jauh
untuk itu.
Sampai saat itu, belum ada tindakan yang ingin
dilakukan orang tua ahli pengobatan tersohor tanah
Jawa itu. Tak, ada. Dia masih merasa keadaan murid-
nya, Satria cukup aman. Dan kepergian Mayangseruni
membuatnya lebih yakin pada keselamatan Satria. Se-
tidaknya, beban bagi Satria sedikit berkurang jika nan-
tinya terpaksa harus menghadapi Nini Jonggrang. Sa
tu-satunya yang mungkin akan menjadi beban Satria
kini tinggal Tresnasari.
Menyaksikan kembali gadis itu, Ki Kusumo jadi
teringat pada seorang perempuan yang mati karena
penyakit tak tersembuhkan. Wanita ibu kandung
Tresnasari. Tentunya wanita yang dimaksud adalah
Nyai Cemarawangi. Terngiang kembali dalam benak
orang tua itu hari-hari terakhir bersama Nyai Cemara-
wangi yang sudah dianggap sebagai anak sendiri, ber-
sama Tresnasari dan juga Satria
Tersembul senyum samarnya, begitu dia mera-
sakan kembali betapa mereka sudah seperti keluarga
besar di Tanjung Karangbolong.
"Apa yang hendak dilakukan nenek busuk itu
pada Tresna?" desis Ki Kusumo."Kalau sampai terjadi
apa-apa pada dirinya, aku bersumpah akan menya-
bung nyawa denganmu, Tua Bangka Terkutuk!" sum-
pah Ki Kusumo.
Sedang tegang-tegangnya mengawasi, menda-
dak Ki Kusumo merasakan kehadiran seseorang dari
arah selatan. Matanya cepat mencari-cari.
"Apa yang sedang kau lakukan sebenarnya, Ku-
sumo?" usik orang yang telah berdiri di bukit sebelah
selatan, di tempat yang lebih tinggi. Berjarak sekitar
dua puluh tombak.
Ki Kusumo terkesiap. Orang yang disaksikan-
nya ternyata Ki Ageng Sulut. Di bahu pendeta tua mur-
tad itu ada seorang perempuan tertelungkup lunglai.
Rambut hitam panjangnya terjuntai-juntai, menutupi
wajahnya. Dari pakaiannya, Ki Kusumo seperti pernah
melihat perempuan itu.
"Kenapa, Kusumo Keparat?!" susul Ki Ageng
Sulut. Disaksikannya mata kelabu Ki Kusumo sedang
berusaha mengenali orang yang dibopong.
"O, kau ingin tahu siapa perempuan yang ku-
bawa ini?! Apa kau merasa pernah melihat? Atau
mungkin saja kau memang mengenali?" sambungnya.
"Nah, lihatlah!"
Lalu dengan kasar, tangan Ki Ageng Sulut men-
jambak rambut perempuan di bahunya. Kepala perem-
puan itu menengadah.
Bukan main terperanjatnya Ki Kusumo. Kini
dia tak perlu mengingat pakaian wanita itu. Wajah
yang dilihatnya sudah cukup jelas untuk menyimpul-
kan siapa perempuan malang itu.
"Mayangseruni?"
"O, rupanya tak keliru dugaanku. Kau mengen-
al perempuan ini. Kebetulan sekali kalau begitu," ce-
mooh si Iblis Dari Neraka. "Dengan begitu, aku punya
satu 'pegangan', ya siapa tahu dapat kumanfaatkan
untuk memaksamu membantu menyembuhkan pe-
nyakitku. Bukan begitu, Tabib Keparat?!"
"Bedebah kau, Ki Sulut!"
Ki Ageng Sulut tertawa janggal. Bibirnya hanya
menyudut kecil seperti menyeringai. Sementara alunan
tawanya begitu datar. Adalah satu hal langka jika tua
bangka itu tertawa. Sebagai manusia, boleh dibilang
dia termasuk jenis orang bermuka batu. Bahkan ham-
pir-hampir tak ada satu warga persilatan pun pernah
melihatnya tertawa. Kalau sekali ini dia melakukan-
nya, Ki Kusumo yakin ada sesuatu yang disembunyi-
kan Ki Ageng Sulut. Ada sesuatu yang tak beres!
Apa yang ada dalam benak orang terkutuk ini?
Bisik Ki Kusumo. Perasaannya mulai waswas. Dia tak
bisa mengabaikan kehadiran Ki Ageng Sulut di tempat
yang sama dengan Nini Jonggrang. Dulu, dua manusia
bejat itu pernah bersekutu dalam kebatilan. Bukan
mustahil kalau mereka kini memiliki rencana bersama
untuk menjalani satu siasat licik.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatan Ki Kusumo
tentang mimpi yang pernah diceritakan Dedengkot
Sinting Kepala Gundul padanya beberapa waktu lalu.
Dalam mimpinya, Dongdongka melihat Satria dike-
royok habis-habisan dua ekor ular besar. Ular besar
jantan dan betina. (Bacalah episode sebelumnya : "Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai"!).
Kalau mimpi itu berhubungan dengan peristiwa
kali ini, tentu sepasang ular dalam mimpi Dedengkot
Sinting Kepala Gundul adalah simbol dari Iblis Dari
Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai!
Ki Kusumo menjadi bergidik.
EMPAT
"SATRIA!"
Tresnasari tersadar dari pengaruh tenung hi-
tam. Upacara gaib yang dilaksanakan Nini Jonggrang
telah usai. Begitu menyaksikan pemuda pujaan ha-
tinya, gadis itu langsung menghambur. Di peluknya
Satria Gendeng kuat-kuat.
"Aku takut, Satria.... Aku takut...," keluhnya di
dada bidang Satria Gendeng.
Satria Gendeng berusaha menenangkan Tres-
nasari dengan mengelus-elus rambutnya. Dibalasnya
pelukan gadis itu, membenamkan wajah ketakutan
Tresnasari ke dada bidangnya.
"Tenang, Tresna. Tenanglah. Tak akan terjadi
apa-apa pada dirimu," ucap Satria Gendeng, mencoba
menenangkan kekasihnya
"Cukup segala kecengengan kalian! Sekarang,
kau harus bersiap menjadi budakku, Cah Tampan!"
sentak Nini Jonggrang. Dia sudah bangkit dari silanya.
Tangannya menunjuk Satria Gendeng dengan mimik
wajah tak sabar.
Mendengar bentakan Nini Jonggrang, Tresnasa-
ri mengangkat kepala dari dada Satria Gendeng. Ma-
tanya agak membelalak, menatap Satria Gendeng.
"Apa maksud perkataannya, Satria? Aku tak
mengerti? Apakah kau...."
Pertanyaan beruntun si gadis terpancung. Sa-
tria Gendeng menghentikannya dengan menempatkan
jari telunjuk ke bibir mungil memucat Tresnasari.
"Kuminta kau jangan banyak bertanya, Tresna.
Sekarang, kau harus kembali ke Tanjung Karangbo-
long. Mayang - saudara kembar mu menunggu di sana.
Sudah lama dia ingin bertemu denganmu," kata Satria
Gendeng.
"Gadis yang mirip denganku itu? Yang dulu
bertemu di tempat Saudagar Kudus itu?"
Untuk dua pertanyaan, Satria Gendeng men-
gangguk sekali.
"Jadi benar dia saudara kembar ku?"
"Ya, Tresna. Kau bisa menanyakan langsung
padanya nanti. Sekarang, kuharap kau secepatnya
pergi dari tempat ini."
"Bagaimana dengan kau sendiri, Satria? Dan
apa pula maksud Nenek Guru dengan mengatakan
bahwa kau akan menjadi budaknya?!"
"Aku akan baik-baik saja...."
Tresnasari tak bisa percaya begitu saja ucapan
Satria Gendeng, kendati pemuda itu mengucapkannya
dengan nada yang sedemikian tenang dan mantap. Se-
ketika, ditolehnya Perempuan Pengumpul Bangkai
dengan tatapan nyalang.
"Tidak, aku tak akan pergi kecuali denganmu!"
tandasnya kemudian. "Aku tak akan membiarkan kau
bersama Nenek Guru, Satria. Apakah kau tak tahu, dia
punya niatan keji terhadap dirimu!" serbunya.
Satria Gendeng menggeleng.
"Tresna!"
Bentakan Nini Jonggrang melantak.
"Kau terlalu rewel, Murid Murtad! Cepat pergi
dari sini sebelum aku berubah pikiran!"
"Tapi Nenek Guru...." Tresnasari masih berusa-
ha membantah. Namun hardikan Nini Jonggrang men-
dahuluinya.
"Jangan panggil aku Nenek Guru lagi! Kau mu-
rid murtad. Kau bukan muridku lagi!!! Dari aku pun
tak membutuhkan mu lagi. Bersyukurlah aku tak
menghukum mu. Kau tahu sebabnya? Karena pemuda
itu telah bersedia menjadi pengganti mu?"
Paras jelita Tresnasari makin tak karuan men-
dengar perkataan Nini Jonggrang. Dia merasa sesuatu
yang mengerikan akan menimpa pemuda pujaannya.
Apalagi dia tahu benar tabiat durjana Perempuan Pen-
gumpul Bangkai yang pernah menjadi gurunya sekian
lama.
Perlahan tapi pasti, rasa penasarannya men-
jelma menjadi ketakutan dan kepanikan. Dia takut dan
panik karena merasa akan kehilangan Satria Gendeng.
Merasa bahwa gurunya yang berilmu siluman sanggup
berbuat apa saja pada kekasihnya, termasuk perbua-
tan paling biadab yang tak pernah dilakukan manusia
sekalipun. Tresnasari tak mau itu terjadi.
"Apa maksudnya?!" pekik Tresnasari dengan
wajah kacau. Bergantian, dipandanginya Nini
Jonggrang dan Satria Gendeng, seakan mengharapkan
jawaban dari mereka.
Nini Jonggrang malah terkikik.
Satria Gendeng diam.
Dingin.
Tanpa perubahan apa-apa di wajahnya. Apa
yang bisa dikatakannya pada Tresnasari? Mengatakan
padanya apa adanya cuma akan membuat rencananya
jadi berantakan. Bisa saja Tresnasari tak akan pergi
dan berkeras untuk tetap bersama Satria Gendeng. Di
lain sisi, tujuan Satria Gendeng sebenarnya adalah un-
tuk menyingkirkan jauh-jauh gadis itu dari jangkauan
Nini Jonggrang terlebih dahulu.
Hal itu makin memompa kepanikan Tresnasari.
Diserbunya Satria Gendeng. Lalu dengan liar dicengke-
ramnya kerah baju pemuda itu. Tampaknya, si gadis
jelita sudah kehilangan kendali.
"Katakan padaku Satria, apa yang hendak di-
perbuat nenek itu padamu?! Katakan! Kenapa kau
hanya diam saja, Satria?! Kenapa?!" jerit Tresnasari
makin kalap. Dipukulinya dada Satria Gendeng den-
gan sisi kepalan tangan. Berkali-kali, bertubi.
Satria Gendeng tetap mematung bagai karang.
Tegak.
Tanpa kata.
Tubuhnya hanya bergetar sedikit akibat puku-
lan-pukulan Tresnasari yang mulai terisak-isak. Sam-
pai akhirnya pukulan Tresnasari melemah dan mele-
mah ketika Satria Gendeng merangkulnya kuat-kuat.
Di dada pemuda. itu, Tresnasari menangis se-
segukan.
"Aku sayang padamu, Satria. Aku telah kehi-
langan ibuku. Aku tak mau kehilangan orang yang ku-
cintai lagi," ucapnya tersamar isak.
"Aku tahu, Tresna. Aku pun menyayangi mu.
Karena itu, aku tak mau kau tetap di dekat nenek tua
terkutuk itu. Pergilah. Aku akan menemui kembali.
Jangan pernah takut kehilangan aku. Aku berjanji...."
"Hey, keparat kalian! Kalian pikir, aku senang
menyaksikan adegan sialan itu!!!" umpat Nini
Jonggrang, sewot sendiri. Kesewotannya naik ke teng-
gorokan. Lendir kental menggumpal.
"Khoek cuh!"
Wusss!
Lendir berbau busuk dari tenggorokan Perem-
puan Pengumpul Bangkai melesat lebih cepat, lebih
ganas dan lebih tajam dari anak panah. Tujuannya
punggung Tresnasari yang membelakangi Nini
Jonggrang!
Satria Gendeng menyadari datangnya ancaman
berhawa maut.
"Heaaa!"
Masih dengan memeluk tubuh Tresnasari, tu-
buhnya melenting cepat ke udara. Dalam keadaan de-
mikian sulit karena harus memeluk tubuh kekasihnya,
Satria Gendeng berjumpalitan ke arah belakang di
udara.
Lima tombak dari tempat semula, kedua muda-
mudi itu tiba kembali di bumi.
"Kau telah bersumpah dengan nama besarmu
untuk tidak mencelakakan gadis ini, Nenek Terkutuk!"
umpat Satria Gendeng tajam.
"Aku muak dengan tingkah kalian! Cepat kau
suruh pergi perawan sial itu. Atau aku akan melanggar
sumpahku. Peduli setan dengan segala nama besar!"
Wajah Satria Gendeng beralih pada Tresnasari.
"Ku mohon, Tresna. Pergilah...."
"Tidak!" pekik Tresnasari. Dia berontak dari pe-
lukan perjaka pujaannya.
Satria Gendeng sungguh tak pernah menduga
hal itu. Juga tak pernah menyangka kalau Tresnasari
akan bertindak nekat menghambur ke arah Perem-
puan Pengumpul Bangkai!
"Tresnasari, jangan!" seru Satria Gendeng,
mencegah. Dia khawatir setengah mati Tresnasari
akan menyerang nenek sakti aliran sesat itu. Padahal
tingkat kesaktian Nini Jonggrang tak akan bisa ditan-
dingi oleh Tresnasari. Itu artinya, Tresnasari hanya
mencari celaka. Yang lebih parah, dia hanya mencari
mati!
Terlambat.
Tresnasari telah lebih dahulu tiba di dekat Nini
Jonggrang. Dugaan Satria Gendeng meleset. Tresnasari
rupanya tak berniat menyerang guru sesatnya. Dan ge-
lagatnya, Nini Jonggrang pun tahu akan hal itu.
Yang dilakukan Tresnasari sungguh di luar
perkiraan. Gadis yang pernah dikenal Satria Gendeng
begitu judes, galak, dan berani itu justru menubruk
kaki Nini Jonggrang. Dia bersimpuh. Dia menangis ter-
sedak-sedak.
"Nenek Guru, jangan kau bunuh dia! Jangan
Nenek Guru. Ku mohon sekali padamu. Dia satu-
satunya orang yang ku sayangi di dunia ini...," pinta
Tresnasari, giris.
Giris dan pilu pula hati Satria Gendeng me-
nyaksikan adegan tersebut. Bagaimana kau demikian
banyak berubah Tresna? tanya Satria Gendeng, pedih
di batin. Mungkinkah karena tergoncang setelah ke-
pergian ibunya? Atau karena selama ini Nini Jonggrang
telah begitu banyak mempengaruhinya?
Lepas dari semua itu, betapa dia menyadari ki-
ni, cinta Tresnasari padanya demikian besar. Cinta
yang menyebabkan dia tak ragu untuk bersimpuh di
kaki guru sesatnya sendiri. Rasa cinta itu pun yang te
lah melumpuhkan akal sehatnya. Padahal, tak sepan-
tasnya dia melakukan itu pada orang durjana macam
Nini Jonggrang.
"Menyingkir, Murid Murtad!" hardik Nini
Jonggrang.
Tresnasari terus sesegukan memohon.
Satria Gendeng muak dengan sikap angkuh pe-
rempuan tua itu. Membiarkan Tresnasari terus mengi-
ba seperti itu akan makin menyuburkan keangkuhan
Nini Jonggrang. Karenanya, Satria Gendeng segera
menghampiri Tresnasari.
Belum dua tindak, Satria Gendeng sudah dike-
jutkan oleh erangan pendek Tresnasari.
"Akh!"
Disaksikannya, tubuh sang kekasih terpental
deras ke arah belakang. Tak jelas di mata Satria Gen-
deng, apa yang telah dilakukan Nini Jonggrang. Satu-
satunya dugaan, nenek tua berhati iblis itu telah me-
lancarkan serangan hebat dari jarak dekat!
Tindakan keji!
Seketika hati Satria Gendeng terbakar.
Garang.
Rahangnya mengeras. Giginya bergemelutuk.
"Perempuan tua laknat, kubunuh kau!!!" pekik-
nya meninggi dan menggetarkan. Sepersekian kejap
berikutnya, tubuhnya sudah memburu cepat ke arah
Perempuan Pengumpul Bangkai. Rencananya untuk
mengecoh Nini Jonggrang hancur sudah tanpa diduga.
Terjangan Satria Gendeng memburu ganas ke
arah Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak ada yang le-
bih membuatnya demikian kalap kecuali tindakan keji
Nini Jonggrang terhadap Tresnasari. Kekejian yang ha-
rus dibayar tuntas!
Tak ada lagi rencana mengecoh Nini Jonggrang.
Semuanya langsung diberangus kemarahan menggele-
gak yang tak terkuasai lagi. Setelah sebelumnya Tres-
nasari kehilangan akal sehat. Kali ini giliran Satria
Gendeng.
Dunia persilatan mengenal keadaan itu sebagai
musuh tak terlihat dan juga paling berbahaya. Kema-
rahan yang tak terkendali hanya akan menyebabkan
kerugian. Terutama dalam pertempuran. Seseorang
akan menjadi demikian mudah dipermainkan lawan.
Benteng pertahanannya menjadi sangat rapuh. Dan ju-
rus-jurusnya jadi demikian tak terkendali lagi.
Sekali lagi, ucapan Ki Kusumo pada Dongdong-
ka sepatutnya diperhitungkan oleh Dongdongka sendi-
ri. Satria Gendeng memang tak bisa hanya mengan-
dalkan kesaktian yang diturunkan dua guru besarnya.
Selaku seorang pendekar, dia masih butuh hal lain
agar benar-benar siap menghadapi keganasan rimba
persilatan. Semuanya itu tidak akan didapatnya mela-
lui didikan seorang guru sesakti apa pun, namun ha-
rus didapat melalui tempaan pengalaman. Menelan
asam-garam persilatan sebanyak-banyaknya. Dan ju-
stru hal terakhir tersebut yang belum dimilikinya.
Dia tak lebih dari seorang pendekar berbekal
kesaktian tinggi, namun hijau dalam pengalaman. Dia
tetap saja bisa disebut bau kencur. Sampai-sampai tak
disadarinya kesalahan besar sudah dilakukan dengan
mengumbar kemarahan.
"Heaaa!"
Nini Jonggrang menyeringai menanti serangan
brutal Satria Gendeng. Betapapun tahu serangan la-
wan amat berbahaya, perempuan tua laknat itu pun
tahu kalau lawannya telah melakukan kesalahan be-
sar.
Yang tak disadari sama sekali!
Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai menda-
dak terangkat seperti terbang, mementahkan terjangan
menggila Satria Gendeng.
Bagi banyak kalangan yang mendalami ilmu
'Peringan Tubuh', sulit untuk mempercayai kejadian
itu. Bagaimana caranya Nini Jonggrang membuat tu-
buhnya melesat cukup tinggi ke atas sementara tak
terlihat satu bagian tubuhnya pun melakukan henta-
kan? Tidak di bagian otot pinggang. Tak pula di bagian
kaki. Mungkinkah itu karena kekuatan tenungnya?
Atau kesempurnaan peringan tubuhnya sudah melam-
paui batas-batas kesempurnaan?
Dear!
Pukulan menyamping bertenaga dalam dahsyat
milik Satria Gendeng seketika melabrak pohon kambo-
ja di dekat tempat berdiri Nini Jonggrang. Padahal ja-
rak antara Satria Gendeng dengan pohon naas itu ma-
sih sekitar tiga tombak. Itu pertanda, angin pukulan si
pemuda saja sudah demikian dahsyat. Bayangkan jika
tangannya langsung mendarati tubuh keropos si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai?
"Hi hi hi. Jangan kau tumpahkan kemarahan
pada pohon itu, Cah!" ejek Perempuan Pengumpul
Bangkai. Di ujung salah satu daun tetumbangan po-
hon kamboja, nenek sakti itu sudah bersila. Lagi-lagi
pamer kehebatan ilmu peringan tubuh!
Satria Gendeng tak banyak melonggarkan wak-
tu untuk serangan berikutnya. Dia siap menerjang
kembali dengan keganasan sepuluh ekor banteng keta-
ton! Sebelum itu, tangannya membentuk bentangan
seperti sayap seekor burung raksasa perkasa. Berse-
lang dengan gerakan itu, tangannya diturunkan cepat
bertenaga ke satu titik di depan perutnya, seperti gera-
kan cakar rajawali menyambar mangsa. Terdengar gemeretak tulang-tulangnya, beriring menggelembung
otot-otot di sekitar lengan dan dada.
Deb!
Dengan satu sentakan, tangannya ditarik kem-
bali ke atas. Jari kedua tangannya menghadap ke de-
pan seperti bentuk kepala ular yang siap melakukan
patukan.
Selanjutnya....
"Heaaaaa!"
Satria Gendeng menerkam udara. Tubuhnya
lurus dan garang menerjang Nini Jonggrang. Saat me-
luncur di udara, tangannya bertubi-tubi membuat pa-
tukan-patukan sengit. Beruntun, cepat, dan memban-
gun deru santer.
Deb deb deb!
Itulah satu jurus yang diturunkan oleh Ki Ku-
sumo. Jurus yang memiliki nama sangar, 'Mencuri
Bunga Karang'. Seruntun serangan yang amat men-
gandalkan kecepatan gerak tangan. Diciptakan Ki Ku-
sumo ketika dia berada di Pulau Dedemit.
Sesungguhnya, patut dipuji keputusan Satria
Gendeng untuk mempergunakan jurus itu. Kendati
kemarahannya mungkin sudah hendak menjebol
ubun-ubun sendiri, namun Satria Gendeng masih bisa
menyaksikan bagaimana kecepatan Nini Jonggrang
menghindari terjangan pertamanya. Nalurinya sebagai
seorang bocah yang hidup dalam gemblengan keras
alam, membuatnya mengambil kesimpulan dengan ce-
pat. Gerakan cepat lawan, hanya mungkin dilakoni
dengan jurus jenis menyerang yang mengandalkan ke-
cepatan seperti 'Mencuri Bunga Karang'!
Begitu tiba di hadapan Nini Jonggrang, patukan
sengit Satria Gendeng tak disambut layaknya orang
bertarung oleh Nini Jonggrang. Dia tak bergerak dari
posisi silanya untuk menghindar. Bahkan, tak meng-
gerakkan tangan untuk menangkis serangan.
Yang dilakukan Nini Jonggrang sungguh di luar
kelaziman. Dia malah berteriak kuat-kuat. Tak mung-
kin teriakan itu lahir karena ketakutan pada serangan
lawan, menilai bahwa Nini Jonggrang adalah salah sa-
tu tokoh tak tertandingi di rimba persilatan tanah Ja-
wa.
"Aaaaaaiiiiikh!"
Beriring terlepasnya teriakan menghentak sua-
sana, terkaman tubuh Satria Gendeng terhenti seketi-
ka, seakan ada tembok kasatmata yang tebal memben-
tengi sekitar satu tombak di hadapan Nini Jonggrang!
Lebih dari itu, Satria Gendeng pun mencelat
kembali ke belakang. Ada semacam pantulan amat
kuat dirasakan oleh pemuda sakti itu.
Dengan berjungkir balik di udara, Satria Gen-
deng berhasil menguasai keseimbangannya. Dia men-
jejak kembali ke bumi. Patukan-patukan ganasnya ba-
rusan bahkan tak sempat menyentuh kulit si Perem-
puan Pengumpul Bangkai. Padahal, jurus 'Mencuri
Bunga Karang' hanya akan berbahaya jika berhasil
mematuk, menjepit lalu mencerabut kulit lawan. Jari
tangan yang sudah digodok dengan campuran serbuk
racun tak terlihat tentu akan sangat mematikan, meski
luka yang dibuat kecil saja di kulit.
Dalam kegusaran memuncak, masih sempat
Satria Gendeng menyadari bahwa tenaga dalam la-
wannya demikian sempurna. Dengan cara menyalur-
kan tenaga dalam melalui teriakan saja; Nini
Jonggrang telah berhasil melumpuhkan terkaman ber-
bahayanya. Bagaimana pula jika dia telah mempergu-
nakan kedua tangannya?
Kendati begitu, kemarahan tetaplah kemara
han. Terlalu sulit bagi akal sehat Satria Gendeng un-
tuk memberi pertimbangan. Tak berselang tiga tarik
napas kemudian, Satria Gendeng sudah melabrak si
Perempuan Pengumpul Bangkai kembali.
LIMA
KI Kusumo tersentak mendengar keributan
jauh di bawah tempatnya. Segera ditolehkannya kepa-
la. Di bawah sinar lamat rembulan, disaksikan murid-
nya sedang menggempur Nini Jonggrang.
"Satria," bisiknya cemas. "Kenapa Kusumo?
Kau takut muridmu mampus di tangan Jonggrang?"
ledek Ki Ageng Sulut. Ki Kusumo mendengus sarat.
Berat.
Pekat.
"Jika terjadi apa-apa pada muridku, aku ber-
sumpah akan mengadu jiwa dengan kalian!"
Mendengar ancaman Ki Kusumo, Ki Ageng Su-
lut malah menanggapi dengan seringai mengejek.
"Kau ini tolol, Kusumo. Bagaimana bisa men-
gancam kami sementara kakimu saja sudah tak leng-
kap seperti itu? Kupikir, tahu diri sedikitlah kau. Apa
kau lupa, hanya menghadapiku saja kau sudah kehi-
langan sepasang kaki? Bagaimana lagi kau akan
menghadapi kami berdua dengan keadaan seperti itu?"
Meski Ki Kusumo sudah kenyang makan asam-
garam, tak urung wajahnya menjadi merah dicemooh
oleh Ki Ageng Sulut demikian rupa. Kata-katanya terla-
lu menginjak-injak semena-mena harga dirinya. Men-
ginjak-injak kepalanya. Nama besar mungkin tak terla-
lu dipersoalkan. Namun, sebagai orang yang merasa
memiliki kehormatan, dia merasa tak sepatutnya di-
perlakukan seperti itu.
"Kau mau kita bermain-main seperti waktu itu
lagi?" cemooh Ki Ageng Sulut, kian memanas-manasi.
"Ayolah kalau begitu! Kenapa kau masih menunggu le-
bih lama? Kalau kemarin kau kehilangan sepasang ka-
ki, kalau beruntung, siapa tahu kau akan kehilangan
sepasang tangan!"
Ki Kusumo tak mau cepat terpancing. Betapa-
pun, orang tua ahli pengobatan kenamaan tanah Jawa
itu harus sadar posisinya sama sekali tak mengun-
tungkan. Terutama karena Ki Ageng Sulut sedang
membopong Mayangseruni. Tak perlu waktu lama Ki
Kusumo meyakinkan kalau gadis itu memang Mayang-
seruni setelah melihat wajahnya. Wajahnya yang de-
mikian mirip dengan Tresnasari tak menyebabkan Ki
Kusumo menjadi salah sangka. Sebab, yang diketa-
huinya, Tresnasari sendiri sedang berada di lembah
bawah bukit bersama Satria Gendeng dan Nini
Jonggrang.
Di lain sisi, Ki Kusumo tahu dia harus mem-
bantu Satria Gendeng secepatnya. Paling tidak, dia bi-
sa mengarahkan pertarungan muridnya agar tidak
membabi-buta, membahayakan diri sendiri.
Jika dia memutuskan untuk segera turun, tak
pelak lagi Ki Ageng Sulut akan menghalanginya. Den-
gan begitu, pertarungan tak akan bisa dielakkan.
Keadaan Ki Kusumo terjepit.
Serba salah.
Dalam keadaan kebingungan untuk membuat
keputusan, seseorang tak diundang tahu-tahu sudah
nadir di antara mereka.
"Apa aku bisa numpang lewat?!" terdengar sua-
ra yang agak sengau seperti sedang terserang pilek.
Ki Kusumo menoleh.
Ki Ageng Sulut pun begitu.
Ada seorang berdiri hanya empat tombak di be-
lakang Ki Ageng Sulut
Seorang lelaki berusia cukup muda. Sekitar tiga
puluhan, jika ditilik dari parasnya. Biarpun tampan
dan bersih. Wajahnya juga lucu. Ada kesan kebodoh-
bodohan. Biar matanya seperti milik seorang bocah
yang tak mengenal masalah. Hidungnya mancung dan
bangir. Namun, beberapa kali terlihat mengembang
kempis seperti kelinci. Rambutnya panjang. Hitam, te-
rawat, dan tergerai apik seperti rambut perawan genit.
Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, menutupi
separo kepala bagian atasnya. Pemuda kebodoh-
bodohan itu mengenakan pakaian sederhana berwarna
serupa dengan kain pengikat kepalanya. Kendati se-
derhana, namun licin sekaligus bersih. Sepertinya, de-
bu pun sulit untuk singgah. Pada kain ikat pinggang
berwarna merah, terselip sehelai bulu rajawali sepan-
jang dua jengkal.
Kening Ki Kusumo mengernyit. Siapa pemuda
ini, tanyanya membatin.
Ki Ageng Sulut sebenarnya harus merasa he-
ran. Pemuda itu telah berdiri di belakangnya tanpa di-
ketahui sedikit pun.
Kehadirannya seperti hantu. Untuk seorang se-
perti Ki Ageng Sulut, seekor laba-laba kecil merayap
beberapa tombak di belakangnya pun dapat dengan
cepat disadari.
Hanya karena pikirannya sedang disibuki oleh
urusan dengan Ki Kusumo, Ki Ageng Sulut jadi tak be-
gitu peduli.
"Cepatlah kau menyingkir dari tempat itu, Pe-
muda! Kau tak berharap akan berurusan denganku.
Sebab, kau akan menyesal nantinya!" hardik Ki Ageng
Sulut.
Si pemuda meringis tanpa beranjak dari tem-
patnya. Garuk-garuk dengkul sebentar, lalu meringis
sekali lagi. Lebih sumringah dari sebelumnya.
"Keparat," rutuk Ki Ageng Sulut berdesis.
"Hei, apa telingamu sudah tuli?! Kubilang, ce-
patlah kau menyingkir!" terjangnya, mulai gusar.
Minta ampun. Lagi-lagi si pemuda meringis.
Cuping hidungnya kembang-kempis. Tak lama kemu-
dian, dia bersin kuat-kuat di tempat dengan suara se-
perti dengking keledai.
"Haaaaa chuinggggg!"
Sambil mengusap-usap hidungnya dengan
punggung tangan, pemuda kebodohan tadi berujar,
"Maaf. Aku tak bisa mendengar orang berbicara keras-
keras. Setiap kali ada orang membentak, aku jadi ingin
bersin."
Dia meringis lagi.
"Kau sengaja mengejek ku. Rupanya kau me-
mang ingin cari mampus!" ancam Ki Ageng Sulut.
Seperti tak peduli geraman gusar Iblis Dari Ne-
raka yang ditakuti warga rimba persilatan tanah Jawa,
Pemuda kebodohan malah membungkukkan badan.
Satu tangannya terjulur ke bawah.
"Permisi, permisi. Aku numpang lewat...."
Tanpa merasa pernah berbuat kekeliruan, pe-
muda itu melintas di depan Ki Ageng Sulut.
Kontan tua bangka aliran sesat itu jadi meng-
kelap.
"Kunyuk! Hih!"
Tangan Ki Ageng Sulut bergerak, membuat
tamparan telengas ke punggung pemuda yang seten-
gah membungkuk. Ki Kusumo terkesiap. Dia hendak
mencegah. Tapi kalah cepat.
Dugh!
Pemuda Kebodohan tersungkur. Wajahnya
mencium batu sebesar kepala kerbau. Meski kelihatan
remeh, pukulan Ki Ageng Sulut tadi sebenarnya bisa
membuat tulang seseorang menjadi terpatah lima ba-
gian di dalam. Akibat itu, tentunya akan menimpa Pe-
muda Kebodohan. Dia bisa mati mendadak. Setidak-
nya sekarat. Apa lagi kalau mengingat wajahnya mem-
bentur batu bukit
Tak mungkin Ki Kusumo berdiam diri saja me-
nyaksikan kezaliman terjadi di depan hidungnya. Per-
lakuan Ki Ageng Sulut harus mendapat ganjaran se-
timpal. Tak peduli apakah kesaktian orang tua sesat
itu berada di atas Ki Kusumo!
Baru saja Ki Kusumo hendak bertindak, Pemu-
da Kebodohan sudah bangkit. Caranya bangkit terlihat
santai. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia mengala-
mi luka. Bahkan sekadar luka kecil yang membuat dia
mengeluh.
"Permisi...," katanya lagi pada Ki Ageng Sulut,
seraya meneruskan sikap setengah membungkuk. Dia
melintasi Ki Ageng Sulut begitu saja.
Ki Ageng Sulut melongo. Sebentar dia menjadi
seperti orang linglung sambil mengikuti gerakan Pe-
muda Kebodohan dengan pandangannya. Setelah, Pe-
muda Kebodohan sudah lewat dari depan hidungnya,
barulah dia tersadar.
"Keparat! Kau kira dapat dengan mudah mem-
permainkan ku!!!" amuknya kalap. Terbakar wajahnya
seperti terbakar kemarahannya.
"Berhenti kau!"
Seraya berseru, Ki Ageng Sulut melompat seka-
li. Di depan Pemuda Kebodohan, orang tua sesat itu
menghadang
"Kau pikir, sedang berhadapan dengan siapa
sampai kau berani pamer kehebatan, Pemuda Bo-
doh!!!" maki Ki Ageng Sulut.
Menanggapi omelan Iblis Dari Neraka yang ser-
ing membuat nyali banyak kalangan persilatan berge-
tar, Pemuda Kebodohan malah meringis.
Jelek.
Cuping hidungnya kembang-kempis.
"Huaa... huaaa... chuingg!"
Di depan hidung Ki Ageng Sulut, pemuda itu
bersih! Bukan salahnya. Bukankah sebelumnya dia
sudah bilang bahwa dia tak bisa mendengar suara ke-
ras-keras, seperti makian Ki Ageng Sulut? Yang jadi
masalah, apakah tua bangka Iblis Dari Neraka sudi
menerima?
Ki Ageng Sulut mendelik sejadi-jadinya. Cuping
hidungnya jadi ikut kembang-kempis saking murka.
Jarang ada orang berani menghinanya. Siapa tak kenal
keangkeran julukan Iblis Dari Neraka? Bersin di depan
hidungnya bahkan lebih dari sekadar penghinaan.
Penghinaan di atas penghinaan!
"Permisi lagi...," kata Pemuda Kebodohan polos,
menanggapi perubahan mimik wajah Ki Ageng Sulut.
Seraya membungkukkan badan untuk kesekian kali,
dia hendak melintas lagi di depan Ki Ageng Sulut.
Ki Ageng Sulut merasa menjadi kambing con-
gek kalau dibiarkan saja pemuda itu melintas. Tan-
gannya segera bergerak. Gelegak darah yang menan-
duk hingga ke ubun-ubun, membuatnya tak segan lagi
melancarkan hantaman paling berbahaya.
Dash!
Keras!
Menerpa bagian mematikan yang terletak di belakang kepala Pemuda Kebodohan. Seketika tubuhnya
ambruk seolah buah nangka besar yang menukik ke
bumi. Menurut perkiraan Ki Kusumo, tentu tulang leh-
er pemuda itu akan lebur seketika seperti sekam.
"Mampuslah kau keparat!" umpat Ki Ageng Su-
lut, puas menyaksikan Pemuda Kebodohan jatuh terte-
lungkup. Sebentar kemudian, alisnya berkernyit rapat-
rapat. Memang pemuda itu tersungkur. Tak bisa dibi-
lang tertelungkup. Posisinya malah lebih bisa disebut
'nungging'. Apa mungkin seseorang yang terkena han-
taman maut akan terjatuh dalam posisi menyebalkan
seperti itu?
Tapi, kalau melihat tak ada gerakan sama seka-
li, Ki Ageng Sulut tak yakin Pemuda Kebodohan masih
bernyawa. Barangkali saja memang kebetulan jatuh-
nya seperti itu.
Setelah cukup lama tubuh Pemuda Kebodohan
tak bergerak, Ki Ageng Sulut baru menyeringai puas:
"Betapa tolol kau, Pemuda Sial! Tak ada yang
bisa kau pamerkan pada iblis Dari Neraka!!!" sesumbar
Ki Ageng Sulut, pongah.
Baru selesai mulut tua bangka itu bungkam....
"Haa haaa haaaa chuuingngngng!"
Sepanjang umur dunia yang renta, tak pernah
ada bangkai bisa bersin. Tak peduli bangkai apa pun.
Kambing, kerbau, kelinci, ayam, atau manusia. Kalau
terdengar Lelaki Kebodohan bersin, kesimpulannya
mudah saja, dia belum mampus sama sekali. Jangan-
kan mampus, terluka saja mungkin tidak. Kalau dia
terluka dan sadar, tentunya yang terdengar adalah ke-
luhan. Bukannya bersin!
Sekarang, Ki Ageng Sulut dipaksa menyadari
siapa sesungguhnya orang bertampang tolol ini. Men-
genai siapa dia, sampai saat ini, Ki Ageng Sulut tak
pernah mengenalnya. Bahkan selama malang-
melintang si persilatan tanah Jawa, tak pernah sekali
pun dilihatnya orang itu. Hanya satu hal yang menjadi
benar-benar jelas, bahwa si lelaki bertampang tolol
bukanlah orang sembarangan. Iblis Dari Neraka bukan
julukan kosong di persilatan tanah Jawa. Kesaktian-
nya, kendati masih terus dirongrong penyakit, tetap
menjadi momok menakutinya. Jika sebagian kesak-
tiannya saja tak bisa sedikit pun melukai orang ber-
tampang tolol itu, bagaimana mungkin Ki Ageng Sulut
tetap menganggapnya remeh?
Seperti Ki Ageng Sulut, Ki Kusumo pun menga-
lami keterkejutan serupa. Dia pun dipaksa menyadari
betapa lelaki bertampang tolol itu bukanlah sembarang
orang. Yang jadi pertanyaan, siapa dia sebenarnya?
Kalau dia salah seorang tokoh sakti tanah Jawa ini,
kenapa Ki Kusumo tak pernah menyaksikannya? Se-
mentara, kehadirannya ke tempat ini tampaknya
punya tujuan sendiri. Tujuan apa, Ki Kusumo belum
jelas benar. Cuma, tabib kenamaan berkaki logam itu
berharap, si lelaki bertampang tolol tidak memihak go-
longan sesat....
"Permisi...," ulang lelaki bertampang tolol, se-
saat setelah dia bangkit sambil menepuk-nepuk debu
di baju bagian depannya.
Selanjutnya dia ngeloyor seperti tak pernah ter-
jadi apa-apa.
Seperti terkena pengaruh tenung, Ki Ageng Su-
lut mendiamkan orang itu. Ki Kusumo pun hanya ter-
paku menatap lelaki bertampang tolol melangkah san-
tai.
ENAM
SEMENTARA itu, di Tanjung Karangbolong pa-
da waktu yang sama.
Tuhanku,
betapa tak pantas kuhirup hawa Swarga
Namun Tuhanku,
betapa aku tak mampu terkapar dalam gelegak
Neraka.
Jadi Tuhanku,
Hanya kuharap kucuran ampunan-Mu.
Dalam kerap napas nistaku.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari
tidur lelapnya oleh kidung sendu berlirik penuh makna
hidup itu. Belakangan ini, sejak usahanya untuk mati
gagal total (Baca episode sebelumnya : "Iblis Dari Nera-
ka"!), dia jadi lebih banyak tidur. Dengan tidur, dia
berharap masalahnya untuk sementara bisa disingkir-
kan. Ketimbang harus melarikan masalah kepada hal
yang bukan-bukan, pikirnya. Ya seperti minum arak
sampai mabuk, ya main perempuan nakal sampai te-
ler, ya main judi sampai keblinger, ya membenturkan
kepala ke pintu!
Di balai bambu di dalam gubuknya, dia duduk
mencekung. Sebentar dia menggaruk kepala. Kulit ker-
ing dari kepala 'plontos'nya beterbangan sesuka hati.
Matanya masih mengerjap-erjap, masih cukup berat.
Kantuknya belum minggat benar. Anehnya, dia tak
berniat melanjutkan tidur. Entah bagaimana, kidung
tadi seolah mempunyai kekuatan yang mengusik sam-
pai ke relung batin si tua bangka bertabiat sinting.
Hingga mampu menyingkirkan kantuknya. Padahal
kawanan nyamuk sebesar kecoa saja belum tentu bisa
mengusik tidurnya. Itu pun kalau benar-benar ada
nyamuk sebongsor kecoa!
"Kidung siapa yang begitu merdu? Sialnya, ke-
napa aku malah jadi terjaga dan tak bisa tidur lagi.
Kan, semestinya aku jadi tambah pulas. Aneh juga,
ya...? Slompret sekali!"
Diawali gerutuan, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul meninggalkan balai. Di luar gubuk dilihatnya
seorang bercaping duduk menundukkan kepala di atas
tumbangan pohon kelapa yang biasa diduduki Dong-
dongka dan Satria dulu. Dari pakaiannya, Dongdongka
tahu kalau orang itu lelaki. Mengenakan baju dan ce-
lana berwarna ungu. Ikat pinggangnya berwarna me-
rah.
Tangan kiri lelaki itu asyik mengilik-ngilik lo-
bang telinga dengan sehelai bulu rajawali.
Jauh melatar belakangnya, sinar rembulan me-
rayapi permukaan laut yang agak tenang. Ombak ma-
sih tetap cukup besar menampar-nampar pantai.
"Selamat malam," sapa tamu tak diundang,
tanpa menoleh. Suaranya agak sengau.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul cemberut.
"Aku tahu ini malam," gerutunya. "Masalahnya,
apa kau tahu malam itu waktunya orang tidur?!" ujar-
nya, mulai sok galak. Mau 'unjuk gigi' dia, kendati gi-
ginya sudah tinggal sisa.
"Kalau kau ingin mencapai tingkat kesempur-
naan hidup, tentunya kau tak akan menghabiskan se-
luruh malam untuk tidur saja."
"Ah, sok tahu kau! Eh, lagi pula siapa kau ini
sebenarnya? Kenapa lancang-lancangnya kau menga-
jari aku? Kau tahu, aku ini sudah terlalu tua untuk
kau ceramahi macam itu. Tahu?!"
Tetap masyuk mengilik-ngilik telinga, orang
bercaping berkata lagi, "Aku bukan mengajari. Cuma
mengingatkan...."
"Ah, apa bedanya! Itu kan cuma silat lidahmu
saja. Sebenarnya kau memang bermaksud menggurui
ku. Biar terdengar agak sopan, kau bilang saja
'mengingatkan'! Wuhh!!!" Sambil berkata, bibir Dong-
dongka mencibir. Tangannya menepis udara.
'Selonong' sana-sini, Dongdongka melangkah
keluar dari gubuknya. Pintu gubuk dibanting begitu
saja. Sepertinya gubuk itu hampir saja roboh.
"Sekarang, langsung saja bilang padaku, apa
maksud kedatanganmu ke tempat ini?!" todong De-
dengkot Sinting Kepala Gundul, tak mau bertele-tele.
"Tak ada. Cuma, aku ingin menengokimu!"
"Weh, memangnya aku perlu kau tengoki? Ken-
al pun tidak padamu!"
"Kenal atau tidak, bukankah tak ada larangan
seseorang menengoki orang lain?"
"Aku melarang!"
Orang bercaping tertawa ringan. Suara tawa
sengaunya terdengar lucu menggelitik.
"Malah ketawa!" bentak Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, seperti menggonggong.
"Sejak kapan kau berubah menjadi pendagel
seperti ini?"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul melotot besar
sekali, sampai-sampai lupa kalau tahi matanya belum
dibersihkan.
"Slompret! Kau sengaja cari perkara, ya?"
"Aku menilaimu dengan jujur. Tak ada maksud
mengejek. Mungkin hanya karena kau sadar kau me-
miliki sifat yang semestinya kau buang, jadi kau mera
sa dihina."
"Sok tahu lagi! Memangnya kau pikir kau ini
siapa? Mbah buyut ku? Bapak moyang ku? Mbokku?
Begitu?" semprot Dongdongka, sewotnya bukan alang
kepalang.
"Begini saja," potong orang bercaping.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka pula,
tak mau kalah.
"Aku ke sini sebenarnya hendak mengingatkan
kau tentang satu hal!"
"Mengingatkan mengingatkan! Lagi-lagi kau
berdalih!"
"Dengarkan dulu aku."
"Tidak, kau yang dengarkan aku, tahu!" sambar
Dedengkot Sinting Kepala Gundul sambil menjitak-
jitaki kepala sendiri, pertanda dia mulai gusar. "Seka-
rang, sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini! Aku
mau meneruskan tidurku. Jangan coba-coba juga kau
bersenandung lagi. Aku tahu suaramu merdu dan ki-
dungmu bagus. Dengan suara semerdu itu, kupikir
kau pantas jadi dukun. Maksudku, pergi sajalah kau!"
omel Dedengkot Sinting Kepala Gundul ngalor-ngidul
tak karuan.
Orang bercaping tertawa lagi. Sekali ini terke-
keh geli seperti suara bocah kecil kegirangan. Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul tentu saja makin 'keki' di-
begitukan.
"Aku tetap akan pergi. Tapi, apa kau yakin tak
mau mendengarkan aku dulu? Sebentar saja?" tawar-
nya lagi.
"Tak ada tawar menawar! Kau boleh ambil den-
gan harga sepuluh kepeng, itu harga dari pengijonnya.
Eh maksudku, pergi sajalah kau! Jangan banyak cin-
cong begitu. Tahu?!"
Kepala di balik caping orang itu menggeleng-
geleng.
"Masih saja sempat-sempatnya menggeleng!
Apa aku harus menendang pantatmu dulu supaya kau
segera pergi dari tempat ini! E, slompreeeeet sekali
kau!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mulai men-
cak-mencak. Pasir di dekat kakinya bertebaran ke ma-
na-mana. Sepak terjangnya sudah seperti keledai nge-
bet kawin.
Karena kelewatan mangkel, tanpa disadari tua
bangka bertabiat sinting-sintingan itu, tenaga dalam
tingkat tinggi tersalur dalam setiap gerakannya. Sese-
puh persilatan tanah Jawa macam dia, tentu saja me-
miliki tenaga dalam sulit dicari tandingan.
Pasir pantai yang bertaburan terdepak kakinya
seketika menjelma menjadi benda-benda kecil maut.
Zes zes zes zes!
Ke segenap penjuru, pasir berhamburan bagai
sehimpun senjata rahasia. Sebagian menembus batang
pohon kelapa di sekitar. Setelah menembus batang
pertama, pasir tadi melesat ke pohon kelapa berikut-
nya, menembusnya kembali. Dan baru mendekam di
dalam batang pohon keempat! Seluruh pepohonan ke-
lapa naas tadi sudah seperti digerogoti oleh kutu-kutu
kecil.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul kaget sendiri
setelah mengetahui akibat kemangkelannya.
"Uph, slompret asli! Kenapa aku jadi sinting se-
perti ini!" Lalu matanya beralih ke arah orang bercap-
ing.
"Itu semua gara-gara kau! Coba kalau tadi ada
binatang tak berdosa atau orang yang kebetulan lewat?
Aku, kan bisa berdosa, tahu?! Dosa, apa kau belum
pernah lihat?!," seperti pernah lihat dosa saja, Dong-
dongka menyambung omelannya kembali.
Sesaat kemudian baru dia sadar sesuatu.
"E-eh," sentaknya.
Sejak tadi orang bercaping tak kunjung beran-
jak dari tempatnya. Sejak tadi. Bahkan sampai De-
dengkot Sinting Kepala Gundul mencak-mencak dan
menerbangkan pasir. Sementara pasir mengandung
tenaga dalam tinggi berhamburan ke segenap arah.
Tak ada tersisa ruang kosong sampai sejauh satu
jengkal sekalipun. Kalau begitu, mestinya orang itu
sudah terkena pasir.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul waswas juga.
Sampai saat ini, dia belum tahu jelas apakah orang itu
dari golongan sesat atau bukan. Sejengkel apa pun dia
terhadap orang bercaping, tak ada alasan bagi De-
dengkot Sinting Kepala Gundul untuk membunuhnya.
Bagaimana kalau pasir maut tadi telah menembus ba-
dannya pula? Biar tak sengaja melakukan, tapi tetap
pembunuhan, pikir Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Hey, kau tak apa-apa?" tegur Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul, tak yakin. Menurut perkiraannya,
tentu orang itu telah mampus. Dia merasa berdosa se-
kali kalau sampai terjadi.
"Ya."
Mendapat sahutan dari orang bercaping, Dong-
dongka malah jadi terperanjat.
"Bagaimana bisa kau belum mampus?" ta-
nyanya, serba salah. Belum lama dia mengkhawatir-
kan orang itu. Sekarang malah bertanya sebaliknya.
Bagaimana tua bangka satu ini?
Buat Dongdongka, pertanyaan itu sudah pan-
tas diajukannya. Sebab dia menyaksikan beberapa ba-
tang pohon kelapa di belakang orang bercaping sudah
berlobang-lobang kecil tertembus pasir. Kalau selama
itu orang bercaping tak beranjak dari tempatnya, su-
dah tentu pasir-pasir itu akan menembus tubuhnya
terlebih dahulu. Dan mestinya, dia sudah mampus se-
karang;
Mana mungkin dia masih bisa bicara? Atau se-
perti pertanyaan Dongdongka Bagaimana bisa dia be-
lum mampus?
"Kalau masih bisa bicara, tentu saja artinya
aku masih hidup! Kalau masih hidup, tentu saja aku
masih bisa bicara."
Usai menjawab, orang bercaping terkekeh den-
gan suara tawa seperti bocah kembali.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garuk-garuk
kepala klimisnya kuat-kuat. Sampai kulit keringnya
bertambah banyak bertebaran. Sepertinya dia tak
khawatir kalau kulit kepalanya menjadi setipis kulit
bawang.
"Mestinya kau sudah mampus, tahu?!" Dong-
dongka ngotot.
"Ah, sudahlah. Kau hanya memperpanjang per-
soalan kecil saja!"
Persoalan kecil? Persoalan kecil yang bagaima-
na? Apa nyawa pernah dianggap persoalan kecil? Apa
berhasil lolos dari pasir maut dengan cara yang begitu
sulit dipercaya persoalan kecil? Bibir Dongdongka
menjadi anjlok ke bawah. Melongo tidak, terperangah
tidak. Tampangnya tolol sekali.
Siapa dia? Jangan-jangan, dia salah seorang
patih Kerajaan Laut Selatan bawahan Nyai Roro Kidul?
Bukankah daerah ini termasuk wilayahnya? bisik hati
Dongdongka.
Dari duduknya, orang bercaping bangkit. Dis-
elipkan bulu rajawali di ikat pinggangnya.
"Karena kau tak ingin mendengarkan peringa-
tanku, sebaiknya aku pergi," pamitnya. Dia mulai me-
langkah. Arahnya menuju laut. Makin membuat curiga
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Dongdongka masih terdiam.
Jeleknya tak tertolong.
"Jangan terus diam seperti itu, Truna! Hidup
itu tak sepantasnya kau siakan dengan cara berdiam
diri. Seperti kau habiskan malam hanya untuk tidur!"
Hanya sempat melangkah dua tindak, wujud
orang bercaping hilang di ujung ombak yang mendaki
ke permukaan pantai.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tersentak.
Dia baru menyadari satu hal lagi. Orang bercaping pe-
nuh teka-teki itu menyebut Truna, nama semasa mu-
danya....
"Ampuuun...," rengeknya setelah dia mulai me-
nyadari siapa orang tadi. Dia pun berguling-gulingan di
atas pasir seperti bocah 'ngambek' besar.
Kenapa, ya? Sudah telanjur sinting asli dia?
TUJUH
"HAI-AI-AIIIII"
Amukan Satria Gendeng sudah tiba di puncak-
nya. Pada saat seperti itu, terjadilah sesuatu dalam di-
rinya. Menyebabkan segenap saraf, aliran darah, dan
otot-ototnya dialiri tenaga sakti yang pada keadaan-
keadaan tertentu sulit terukur kedahsyatannya. Tena-
ga dalam tingkat tinggi yang dihasilkan oleh perbauran
ramuan Pulau Dedemit dengan zat langka dari dasar
Laut Selatan!
Puncak kemarahannya yang kini terjadi, adalah
kemarahan terbesar yang pernah dialaminya. Asalnya,
tentu saja dari perasaan cinta yang demikian menda-
lam terhadap Tresnasari. Dengan disakitinya Tresnasa-
ri, berarti telah sengaja menyulut sebentuk ledakan
kemarahan amat dahsyat dalam diri Satria Gendeng.
Jika kemarahan si pendekar muda kali ini ada-
lah kemarahan paling memuncak yang pernah dialami,
maka tak pelak lagi tingkat tenaga sakti yang meledak
dalam dirinya pun melebihi kekuatan waktu-waktu se-
belumnya!
Akibatnya sungguh memukau perempuan tua
bangka yang memiliki pamor besar di dunia persilatan.
Nini Jonggrang menyaksikan dengan mata kepala sen-
diri sekujur otot di tubuh lawan yang dianggapnya ter-
lalu bau kencur menjadi membengkak. Terlihat senta-
kan-sentakan seperti dialiri listrik.
Berdenyut-denyut kacau.
Membentuk semacam pipa hidup.
Saling menyilang di balik kulit.
Keringat membanjir cepat dari setiap lobang po-
ri-porinya.
Wajah pemuda itu seperti mengalami peruba-
han.
Warnanya sebentar merah matang. Sebentar
kemudian membiru kehijauan. Rahangnya terkunci.
Otot wajahnya kenyal. Parasnya merangas!
Detik-detik berikutnya, Satria Gendeng mulai
pula mengerahkan jurus-jurus ampuh dari Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Jurus yang terlihat demikian
tak karuan, membabi-buta, ganjil, dan terkadang lucu.
Di balik semua itu, terkandung bahaya maut. Jurus
'Mencuri Bunga Karang' yang tak berhasil melabrak
pertahanan Nini Jonggrang dalam gebrakan pertama,
segera digabungkannya dengan jurus 'Dedengkot Gen-
deng Kegirangan'.
Setiap jurus pada dasarnya memiliki sifat dan
gaya tersendiri. Seperti 'Mencuri Bunga Karang', me-
nekankan pada kecepatan tangan dan capitan jari.
Gayanya adalah menyerang. Sementara, jurus
'Dedengkot Gendeng Kegirangan' menekankan pada
serangan mendadak, gerakan-gerakan tak terduga,
dan pertahanan yang tak teratur.
Dengan begitu, amat sulit menggabungkan dua
jurus yang berbeda sifat dan gaya. Bahkan hal itu tak
jadi soal yang mudah bagi tokoh kelas atas sekalipun.
Untuk membuat gabungan jurus itu menjadi sempur-
na dan sanggup menjadi senjata berbahaya, dibutuh-
kan waktu cukup lama.
Bagi si pendekar muda sendiri, hal itu seperti
tak sempat terpikirkan olehnya. Yang berkecamuk ba-
gai topan dalam benaknya saat itu cuma keinginan un-
tuk melenyapkan Nini Jonggrang dari muka bumi.
Kenyataan kalau kini dia sanggup mengga-
bungkan jurus-jurus sulit dalam waktu demikian sing-
kat, disebabkan karena dorongan naluri kependeka-
rannya yang demikian kuat. Seperti pernah dinilai oleh
Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, Satria Gendeng memiliki bakat alami un-
tuk menjadi pendekar besar.
Ketajaman nalurinya, dan pengaruh gejolak te-
naga sakti yang menyentak saraf-saraf kecerdasan di
otaknya menyebabkan seluruh jurus-jurus yang per-
nah dipelajarinya teraduk menjadi satu seketika itu ju-
ga!
Nini Jonggrang sebagai tokoh kawakan yang
sudah kenal lama dengan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul, tentu saja amat hafal gaya jurus-jurus tua
bangka itu. Namun ketika Satria Gendeng memperli-
hatkan kali ini, Nini Jonggrang sempat terkecoh. Da-
lam beberapa gerakan lawan, bisa dikenalinya gaya ta-
rung Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Keraguan mendatangi perempuan tua sesat itu
begitu jurus si pemuda berubah gaya kembali. Nini
Jonggrang jadi kurang yakin apakah lawan bau ken-
curnya mempergunakan jurus-jurus milik Dedengkot
Sinting Kepala Gundul atau bukan.
"Bangsat, aku tahu dia murid si Truna. Tapi,
kenapa gaya jurusnya jauh begitu asing buatku? Sia-
lan!" gumam si Perempuan Pengumpul Bangkai, meru-
tuk.
(Seperti diketahui, Nini Jonggrang memang me-
nyebut Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan Tru-
na - nama mudanya. Lihat kembali episode sebelum-
nya : "Iblis Dari Neraka'!).
Selagi si Perempuan Pengumpul Bangkai berce-
loteh sendiri, lawan mudanya merangsak seperti singa
jantan luka.
"Huiiii-aiiiiiiii!"
Masih tetap duduk bersila di atas pucuk sehelai
daun tetumbangan pohon, Nini Jonggrang berniat
memamerkan kembali tingkat tenaga dalamnya. Bagi
orang yang memiliki nama besar seperti dia, pamer ke-
saktian memberikan kepuasan tersendiri. Seakan dia
sanggup membuktikan pada dunia dari seisinya bahwa
dirinya adalah tokoh nomor satu di atas jagat!
Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Nini
Jonggrang melepas teriakan seperti sebelumnya.
"Heaaaaa!"
Glar!
Tercipta ledakan keras di udara. Tenaga dalam
yang dilepas oleh Nini Jonggrang melalui suara ber
tumbukan hebat dengan tenaga sakti Satria Gendeng.
Sekejapan gerak terjangan pemuda itu seperti tersen-
tak.
Di luar dugaan si Perempuan Pengumpul
Bangkai, bentrokan tenaga dalam tingkat amat tinggi
tadi tak sanggup memenggal gerak terjangan lawan-
nya. Sementara untuk menghindar, tak ada kesempa-
tan lagi. Jarak antara keduanya sudah terlampau de-
kat.
Dash!
Seketika itu juga, tubuh Nini Jonggrang me-
layang deras ke belakang. Setelah sebelumnya satu
tinju geledek Satria Gendeng bersarang di dadanya.
Tak tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sejauh
dua puluh tombak!
Di hamparan rumput, Nini Jonggrang jatuh te-
lentang.
"Bangsat," keluhnya sambil memegangi dada.
Dia berusaha bangkit meski teramat sulit. Bagian da-
lam dadanya seperti digumpali bara. Panas. Menyen-
gat-nyengat. Sesaknya pun seperti hendak memutus
aliran napas.
Selagi berusaha bangkit, nenek tua aliran sesat
itu memuntahkan darah kehitaman.
"Tak mungkin," desisnya gontai. Sama sekali
tak dipercayai kejadian yang dialaminya. Sekali lagi,
dia kenal betul dengan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul. Kedigdayaan tua bangka bertabiat sinting-
sintingan itu pun masih bisa diukurnya. Jika gurunya
saja sanggup diukur, tentu muridnya akan lebih mu-
dah lagi.
Namun yang dialami Nini Jonggrang sungguh
di luar perkiraan. Tenaga dalam lawan yang bau ken-
curnya mendadak berlipat entah berapa kali. Perem
puan tua itu dapat menilainya beberapa saat terjadi
bentrokan tenaga dalam di udara. Kalau sekarang Nini
Jonggrang dipecundangi, bagaimana mungkin dia ma-
sih bisa percaya Satria Gendeng adalah murid De-
dengkot Sinting Kepala Gundul?
Tak menanti sampai Perempuan Pengumpul
Bangkai tegak berdiri, Satria Gendeng menggempur
lawannya untuk ke sekian kali. Nini Jonggrang harus
pontang-panting menghadapi gerak cepat dan tak tera-
tur. Serangan Satria Gendeng terkadang melambat se-
perti seorang kakek tua kekurangan makan. Terka-
dang segemulai seperti penari wanita.
Sesekali dia melompat-lompat, berjingkat-
jingkat mencoba membingungkan lawan. Atau berubah
menggebu. Pukulan dan tendangannya membabi-buta.
Saat serangannya cenderung bertumpu pada
jurus-jurus milik Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
Nini Jonggrang sanggup meladeni dengan kedig-
dayaannya selaku tokoh kenamaan rimba persilatan
tanah Jawa. Begitupun saat serangan Satria Gendeng
bertumpu hanya pada jurus-jurus milik Tabib Sakti
Pulau Dedemit.
Sewaktu Satria Gendeng membaurkan kedua-
nya, pertahanan Perempuan Pengumpul Bangkai mulai
kedodoran. Beberapa kali nenek tua sakti itu hampir
kecolongan. Lebih jauh lagi, posisinya bahkan didesak
habis-habisan oleh si pendekar muda. Satria Gendeng
memaksa perempuan tua yang punya pamor mena-
kutkan itu pontang-panting berkali-kali.
Jika saat itu ada beberapa orang persilatan,
tentu mata mereka akan terpentang lebar menyaksi-
kan kedahsyatan dan kehebatan tarung dua manusia
beda usia itu. Tidak disangsikan lagi, mereka akan ter-
perangah takjub mengetahui seorang pemuda kemarin
sore sanggup mendesak Perempuan Pengumpul Bang-
kai. Mungkin, sebagian di antara mereka tidak akan
mempercayainya.
Sayang, tak ada cukup saksi bagi dunia persila-
tan untuk kejadian yang menjadi salah satu langkah
awal kelahiran seorang pendekar muda kenamaan ta-
nah Jawa. Pendekar yang akan membuat kegoncangan
besar. Musuh yang paling ditakuti oleh kalangan sesat,
Satria Gendeng!
Pada satu kesempatan, Satria Gendeng berhasil
meloloskan satu tamparan keras ke pipi lawannya. Ni-
ni Jonggrang terjajar beberapa tombak ke samping.
Badannya hampir saja terpeluntir, jika tidak segera
bertumpu dengan satu kaki.
Bagian wajah biasanya adalah satu sasaran
yang paling dilindungi oleh setiap warga persilatan.
Karena bagian itu dianggap sebagai bagian tubuh yang
dimuliakan. Menampar pipi bisa berarti menampar ke-
hormatan dan harga diri.
Bagi Nini Jonggrang, tak ada seorang pun per-
nah menempatkan tamparan ke pipinya selama pulu-
han tahun terakhir. Seperti belum ada seorang pun
yang berani menghinanya. Hari ini, matanya dipaksa
terbuka lebar-lebar. Seorang bocah kemarin sore telah
menampar pipinya dengan telak! Seorang bocah bau
kencur telah melabrak kehormatan dan harga dirinya!
Setelah berjumpalitan gesit beberapa kali
menghindari kucuran serangan Satria Gendeng yang
tak terputus. Perempuan Pengumpul Bangkai menca-
pai jarak aman. Dia berdiri terbungkuk.
Mengeram.
Matanya menghujam tajam. Kemurkaannya
mulai tersulut. Bisa jadi, bagi beberapa kalangan akan
sulit untuk memancing kekalapan tokoh yang banyak
makan asam-garam seperti Nini Jonggrang. Dia bukan
tokoh yang gampang dipermainkan.
Setelah hampir tak pernah ada seorang pun
yang berhasil membuatnya kalap, kini tanpa disadari
dia siap menjadi gelap mata. Itu bisa berarti kerugian
besar dalam satu pertarungan. Apalagi pertarungan
maut.
"Hmrrrhh!"
Menggeram lagi.
Sudut bibir yang terboreh darah terungkit, per-
tanda kebengisan yang buta siap termuntahkan. "Kau
akan mampus hari ini juga di tanganku, Bocah Kepa-
rat!!!"
Seperti Satria Gendeng, Nini Jonggrang pun ke-
tika itu juga melupakan rencananya yang sudah demi-
kian matang disusun selama beberapa waktu sebe-
lumnya. Rencana yang dibuatnya bersama sekutunya,
Iblis Dari Neraka.
Semuanya jadi telanjur hancur karena kekala-
pan tolol. Tolol atau tidak, tampaknya Perempuan Pen-
gumpul Bangkai tak peduli lagi.
Jari tangannya bergetar di depan. Kuku tajam
kehitaman diperlihatkan. Perlahan, tangan keriput pe-
rempuan tua terkutuk itu mendekati bagian pinggang-
nya. Sebelum pertarungan meletus, Nini Jonggrang te-
lah mengikat Kail Naga Samudera di pinggangnya.
Senjata pusaka ampuh itu akan dipergunakannya un-
tuk menyingkirkan Satria Gendeng!
Tiba-tiba, wajah Nini Jonggrang berubah. Den-
gan mata mendelik, dia melihat pinggangnya. Kail Naga
Samudera sudah tak ada lagi!
Keparat busuk! Kutuknya dalam hati. Mungkin
ketika tubuhnya terlempar jauh akibat hantaman kuat
tenaga dalam Satria Gendeng, Kail Naga Samudera ter
lepas! Nini Jonggrang menerka-nerka. Tahu kemung-
kinan tersebut yang paling mendekati, mata Nini
Jonggrang segera menerjang tempatnya terjatuh, men-
cari-cari.
Menyaksikan gelagat lawannya. Satria Gendeng
pun turut mengikuti arah pandangan Nini Jonggrang.
Kail Naga Samudera ditemukan. Tergeletak te-
pat di tempat Nini Jonggrang terjatuh sebelumnya. Ja-
rak antara Kail Naga Samudera dengan Nini Jonggrang
ternyata tak berbeda jauh dengan jarak Satria Gen-
deng dengan senjata pusaka itu.
Mata keduanya berbentrokan.
Nyalang.
Sama-sama bersiaga pada gerakan lawan seke-
cil apa pun.
Keduanya harus menentukan, siapa yang lebih
cepat merebut Kail Naga Samudera. Siapa yang memi-
liki kecepatan lebih tinggi, akan mendapatkan senjata
pusaka itu. Samalah artinya bagi mereka untuk men-
gadu tingkat kemampuan peringan tubuh!
"Kau tak akan sanggup mengungguli tingkat
ilmu peringan tubuhku, Bocah Busuk," cemooh Nini
Jonggrang. Bibirnya menyeringai. Dia merasa Kail Na-
ga Samudera sudah berada dalam genggamannya. Dia
bahkan tak pernah percaya kalau si bocah kemarin
sore dapat mengungguli kecepatannya. Boleh saja dia
memiliki keistimewaan dengan menguasai tenaga da-
lam tingkat tinggi. Namun dengan usia seperti dia, tak
mungkin untuk menguasai banyak kesaktian sekali-
gus, nilai Nini Jonggrang.
Namun, penilaian Nini Jonggrang tetap harus
diuji.
"Heaaa!"
"Haaaiiiii!!"
Sekedipan mata berbarengan keduanya meng-
genjot tubuh. Ilmu peringan tubuh dikerahkan tanpa
batas yang pasti, sejauh mereka bisa mengerahkan.
Tubuh keduanya berubah menjadi kelebatan bayan-
gan.
Jarak terpangkas.
Dari dua arah berbeda.
Menuju satu titik pasti.
Tep!
Dash!
Nini Jonggrang membuktikan keunggulannya
dalam ilmu peringan tubuh. Tangannya berhasil lebih
cepat menjemput Kail Naga Samudera di tanah. Tapi,
dia melupakan satu hal. Satria Gendeng tidak pernah
terpikir untuk merebut Kail Naga Samudera. Kecamuk
kekalapannya hanya mengobarkan satu keinginan,
menumpas Nini Jonggrang, orang terkutuk yang telah
melukai kekasih tercintanya!
Kendati telah cepat bergerak, Satria Gendeng
berhasil memanfaatkan perhatian Nini Jonggrang yang
terpusat pada Kail Naga Samudera semata. Begitu tiba
di titik pertemuan, kakinya justru melepas tendangan
mendongkel yang menghantam telak-telak ulu hati la-
wan!
Licikkah? Tidak. Karena semua itu tak pernah
terpikirkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Bertepatan dengan tersambarnya Kail Naga
Samudera, tubuh Nini Jonggrang pun melayang deras
jauh ke belakang. Dia jatuh lebih jauh dari akibat han-
taman lawan sebelumnya. Menderita luka jauh lebih
parah pula, menyebabkan perempuan tua sesat itu
hampir kehilangan kesadaran!
DELAPAN
"JANGAN coba berpikir macam-macam, Bocah
Keparat!"
Sebelum Satria Gendeng bertindak lebih jauh
terhadap Nini Jonggrang, satu bentakan keras menjeg-
al. Mata si pendekar muda perkasa beralih. Disaksi-
kannya seorang yang tak asing lagi, Ki Ageng Sulut.
Dengan kedatangan orang tua sesat itu saja, Satria
Gendeng sudah cukup terkejut. Apalagi manakala dis-
aksikan Mayangseruni berada di bawah ancamannya.
Ki Ageng Sulut berdiri cukup jauh. Jaraknya
dengan Satria Gendeng sekitar dua puluh lima tom-
bak. Mayangseruni berdiri lunglai di depannya. Dari
cara berdiri dan paras wajahnya yang tak berdaya, Sa-
tria Gendeng menduga Mayangseruni dalam pengaruh
totokan Ki Ageng Sulut. Tangan Ki Ageng Sulut terlihat
menggapit geram leher gadis itu. Jari-jari tangan yang
lain menjapit tenggorokan Mayangseruni. Gelagatnya,
Ki Ageng Sulut tak akan segan-segan memutuskan
tenggorokan sanderanya dengan japitan jari jika Satria
Gendeng masih menggempur Nini Jonggrang.
"Jika aku jadi kau, aku tak akan melanjutkan
serangan terhadap lawanmu itu!" sambung Ki Ageng
Sulut dengan pandangan dan paras mengancam.
"Karena aku dapat menjamin, kalau kau mene-
ruskan, tenggorokan gadis ini akan segera terkoyak
oleh jariku!"
Kendati kemarahan sudah demikian meluap-
luap hampir kehilangan kendali sama sekali, Satria
Gendeng cepat tersadar akan keselamatan nyawa
Mayangseruni. Sekuat-kuatnya ditekan kembali kema-
rahan itu sehingga kerongkongannya terasa demikian
sakit.
"Kakek terkutuk...," sumpahnya mendesis.
Sesosok bayangan kemudian berkelebat sekitar
sepuluh tombak dari tempat Ki Ageng Sulut, berkawal
teriakan yang sudah cukup lama dikenal Satria Gen-
deng.
"Jangan gegabah, Satria!"
Sekali lagi mata Satria Gendeng beralih. Dite-
mukannya Ki Kusumo sudah hadir pula di sana.
"Kakek Kusumo," sambut Satria Gendeng, tak
jelas
Satria Gendeng tak tahu, apakah dia harus me-
rasa gembira dengan kedatangan salah seorang gu-
runya itu. Dia bahkan tak begitu yakin Ki Kusumo bisa
membantunya kalau mengingat keadaan Mayangseru-
ni kini. Satu hal yang pasti, keberadaan Ki Kusumo - si
Tabib Sakti Pulau Dedemit - membuat ketegangan
pendekar muda itu sedikit mengendor. Kemarahannya
susut perlahan. Meski tak punah sama sekali.
Nini Jonggrang yang bangkit terseok kontan
memperlihatkan wajah senang. Sudut bibirnya yang
masih dilelehi darah kehitaman segera mengembang-
kan seringai. Sambil memegangi bagian ulu hatinya
yang mungkin mengalami luka dalam, perempuan tua
sesat itu berujar.
"Bagus, Sulut. Bagus! Otakmu rupanya masih
cukup encer untuk dipergunakan. Sialnya, kenapa ti-
dak sejak tadi kau datang, Kunyuk!"
"Aku hanya ingin mengetahui, apakah kekala-
han ku oleh bocah jahanam itu tempo hari dapat kau
cicipi juga. Nyatanya kau memang harus men...."
"Diam kau, Sulut! Aku tak meminta pendapat
memuakkan mu!" hardik Nini Jonggrang, terbatuk-
batuk. Akibat memaksakan diri untuk membentak, da
rah kehitaman keluar kembali dari mulutnya.
"Sekarang kau yakin bahwa murid Truna me-
mang tidak bisa dibuat main-main, bukan? Atau kau
belum yakin sampai tendangannya menjebol dada ku-
rus mu?!" susul Ki Ageng Sulut tak puas.
"Kubilang diam kau!" Nini Jonggrang gusar. Ta-
pi, dia tak sanggup berbuat apa-apa kecuali mengum-
pat dari menghardik. Melakukan hal itu saja sudah
membuat dia terbatuk-batuk darah.
"Lepaskan dia, Ki Ageng Sulut!" seru Satria
Gendeng, memutuskan perang mulut tua bangka sesat
itu;
"Lepaskan?" Ki Ageng Sulut menyeringai. Dili-
riknya Nini Jonggrang. "Bagaimana Jonggrang? Anak
bau kencur ini meminta ku melepaskan sandera? Me-
nurutmu bagaimana?"
"Kau jangan banyak mulut, Sulut! Kau tahu
jawabannya!"
Ki Ageng Sulut menatap Satria Gendeng. Lalu
beralih kepada Ki Kusumo yang berusaha untuk men-
curi-curi kesempatan merebut Mayangseruni dari tan-
gan Ki Ageng Sulut. Sampai saat itu, Ki Ageng Sulut
tampaknya tak pernah lengah.
"Kau jangan coba-coba berpikir untuk berbuat
macam-macam, Kusumo!" ancam Ki Ageng Sulut. "Kau
dan muridmu itu harus mendengar apa kataku dan
menurut. Jika tidak, kau tentu akan menyaksikan ba-
gaimana darah mengucur deras dari leher mulus gadis
ayu ini. Kau tentu tak sudi menyaksikan itu, bukan?"
Ki Kusumo cuma bisa menghela napas, mengi-
kat kegusarannya. Sama dengan Satria Gendeng, posi-
sinya pun sedang terjepit dengan disanderanya
Mayangseruni.
Untuk memancing kelengahan, Ki Kusumo
mencoba membuat Ki Ageng Sulut gusar.
"Aku tak bisa percaya. Dua tokoh besar kena-
maan seperti kalian hari ini harus menghadapi kenya-
taan bahwa kalian hanya memiliki nyali seekor kodok
buduk! Kendati julukan kalian besar, kalian tak memi-
liki harga diri!"
"Kau pun diam, Kusumo! Aku tak punya waktu
untuk mendengarkan khotbahmu!" sergah Nini
Jonggrang.
Ki Kusumo cuma bisa mengangkat bahu perla-
han. Tampaknya dia tadi tak menyadari kalau nama
besar tak menjamin bisa merubah sifat seseorang. Jika
dasarnya memang sudah busuk, tetap akan busuk.
Seekor monyet tak akan bisa berubah menjadi peri
hanya karena mendapat mahkota! Apalagi nama besar
Iblis Dari Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai
dibangun dengan cara-cara iblis. Kelicikan adalah sa-
lah satunya. Dan kapankah kelicikan memandang si-
kap tak satria atau harga diri?
"Sekarang, dengarkan aku!" mulai Nini
Jonggrang kembali "Pergilah kau dari tempat ini, Ku-
sumo! Jangan coba-coba memunculkan batang hidung
sedikit pun pada kami. Karena jika kau melakukan-
nya, Sulut tak akan segan-segan membunuh perawan
di tangannya. Katakan pada si Truna, bahwa murid
kesayangannya akan merasakan siksaan yang kuteri-
ma di Goa Sewu!"
(Pada episode "Iblis Dan Neraka", dijelaskan
bahwa Nini Jonggrang menerima hukuman dari Perta-
pa Sakti Gunung Sewu, gurunya, karena perbuatan
sesat yang telah dilakukan. Dedengkot Sinting Kepala
Gundul (Truna) sebagai saudara kembarnya waktu itu,
telah menggiringnya untuk menerima hukuman terse-
but. Sampai kini, Nini Jonggrang menyimpan dendam
pada Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Untuk mem-
balas secara langsung, Nini Jonggrang tak cukup
mampu, karena masih tetap memendam rasa cinta pa-
da bekas saudara seperguruannya itu).
***
Hari menjelang pagi.
Matahari bertamu kembali di angkasa daerah
Tanjung Karangbolong. Sentuhan sinarnya sampai di
batas-batas ombak. Segerombolan burung camar me-
mekik-mekik menyambut kedatangan hari baru.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak bisa me-
lanjutkan tidurnya yang terpotong semalam, sejak ke-
datangan seseorang bercaping tak dikenal. Yang dila-
kukannya kini malah duduk terbengong-bengong.
Tangannya bertopang dagu. Wajahnya kusut, sekusut
kerutan keningnya.
"Aduh, Eyang Guru. Ampuni aku. Mataku be-
nar-benar buta semalam. Eyang Guru...."
Seperti orang mengigau, sesepuh persilatan ta-
nah Jawa itu bergumam sendiri. Mata kelabunya terle-
pas kosong ke satu arah. Hampir-hampir tak pernah
berkedip.
"Kenapa aku jadi begitu tolol? Kenapa aku jadi
begitu tolol, Eyang Guru?"
Berkali-kali sudah keluar ucapan 'Eyang Guru'
dari mulutnya. Seluruh gumamannya jelas berkaitan
erat dengan peristiwa semalam. Kalau sekarang dia le-
bih banyak mengucapkan kata itu, tentu pula ada se-
babnya.
Bagi Dongdongka alias Truna alias Dedengkot
Sinting Kepala Gundul, penyebabnya sudah jelas. Kuat
keyakinan Dongdongka, bahwa lelaki semalam adalah
Pertapa Sakti Gunung Sewu, eyang gurunya sendiri.
Terbayang-bayang kembali dalam otak tua yang
nyaris tumpul milik Dongdongka, wajah Pertapa Sakti
Gunung Sewu yang telah berpuluh tahun tak dijum-
painya. Seorang yang dari waktu ke waktu tak pernah
mengalami ketuaan pada wajahnya. Tampan dan ber-
sih, dengan binar mata jenaka seorang bocah polos.
Ada juga kesan kebodoh-bodohan pada garis-garis wa-
jahnya. Rambutnya panjang. Hitam, terawat, dan ter-
gerai. Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, me-
nutupi separuh kepala bagian atasnya. Mengenakan
pakaian sederhana berwarna serupa dengan pengikat
kepala. Kendati sederhana, namun licin sekaligus ber-
sih. Pada kain ikat pinggang berwarna merah, terselip
satu helai bulu rajawali sepanjang dua jengkal.
Dan di luar pengetahuan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul sendiri, Pertapa Sakti Gunung Sewu
seperti yang terngiang-ngiang di kepalanya telah ber-
temu pula dengan Ki Ageng Sulut dan Ki Kusumo di
Wadaslintang. Padahal, ketika Pertapa Sakti Gunung
Sewu mengunjungi Dongdongka, bertepatan waktunya
dengan kehadirannya di Wadaslintang. Tentu saja hal
itu karena satu ajian yang telah diwariskan kepada
Dongdongka, ajian 'Melepas Sukma'!
"Eyang Guru!!"
Dongdongka berteriak. Dia sedang sebal seten-
gah modar pada dirinya. Sebal karena tak sempat me-
nyadari kunjungan gurunya. Pada usia setua dia, mes-
tinya dia memiliki penilaian yang lebih cermat. Tidak
main bentak sana bentak sini pada orang yang telah
mengganggu tidur malamnya. Sekarang, kalau orang
yang dibentak-betak semalam adalah eyang gurunya
sendiri, baru dia tahu rasa!
Dongdongka bangkit. Dia mondar-mandir di
atas pasir. Kedua tangannya tak pernah berhenti ber-
gerak, mengiringi sumpah serapah tak putus-putus,
mengutuki diri sendiri.
Tak puas sampai di situ, Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul pun membentur-benturkan kepalanya
dengan dahan pohon kelapa. Maksudnya mau meng-
hukum diri. Sayangnya, batok kepala manusia karatan
itu ternyata jauh lebih keras dari dahan kelapa. Wal-
hasil, justru batang kelapa jadi mencekung dalam. Be-
berapa butir kelapa sempat jatuh karena getaran he-
bat. Salah satunya menimpa kepala klimis Dongdong-
ka. Orang tua bertabiat sinting-sintingan itu berharap
kepalanya akan pecah terbelah dua. Sayangnya lagi,
buah kelapa itu yang malah hancur berantakan.
Tak terasa, sudah dua puluh lima batang po-
hon kelapa menjadi korban!
Sampai uring-uringan Dongdongka terhenti
mendadak ketika matanya menyaksikan seseorang te-
lah duduk membelakangi di bawah pohon terakhir
yang sedang ditandukinya. Seorang yang semalam
mengunjunginya, sekaligus menggangu tidurnya.
Mata si tua sinting itu mendadak berbinar-
binar. Cerah bak mentari pagi yang terus menanjak.
"Eyang. Guru!"
Cepat-cepat Dongdongka berlari ke hadapan
orang yang ternyata Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Orang tua sakti yang usianya amat jauh di atas Dong-
dongka namun tetap awet muda itu sedang santai ber-
kipas-kipas dengan capingnya.
Di depan Pertapa Sakti Gunung Sewu, Dong-
dongka bersujud sambil menangis meraung-raung. Se-
perti gadis kembang desa yang hendak dijodohkan
dengan buto ijo! Sedikit pun dia tak berani mengang-
kat wajah. Tak peduli pasir pantai tertelan ke dalam
mulut.
"Whuaaa whuaa ihik, ampun Eyang Guru! Se-
malam aku benar-benar tak tahu diri. Betapa keterla-
luannya aku, ya? Masa Guru sendiri sampai tak dike-
nali. Huaaa hik hik!"
"Jangan seperti anak kecil Truna." Suara eyang
gurunya sudah berpindah di belakang Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul segera mendongakkan kepala. Guru
besarnya memang sudah tak ada lagi di depannya.
Ketika Dongdongka menoleh, disaksikan Perta-
pa Sakti Gunung Sewu sudah duduk. Persis di depan
pantatnya! Kontan mata Dongdongka mendelik nyaris
melompat keluar. Wajah orang tua yang sudah diang-
gap sesepuh di antara sesepuh persilatan tanah Jawa
itu jadi sepucat bangkai. Kualat benar dia! Masa' guru
dipantati?
Buru-buru dia membalikkan posisi sujudnya.
Raungnya tambah menjadi-jadi, merasa dosanya su-
dah bertambah lagi
"Ampooooon, benar-benar ampooooon, Eyang
Guru. Huaa whuaa aung aung!"
"Sudan kukatakan, jangan bersikap seperti
anak kecil seperti itu, Truna!"
Terdengar lagi suara jernih seperti milik bocah.
Dan suara Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah pindah
kembali ke belakang Dongdongka.
Astaga! Dongdongka terkesiap untuk yang ke-
sekian kalinya. Pasti dia sudah memantati kembali
eyang gurunya. Tanpa banyak pikir ini itu langsung
saja si orang tua sinting membalikkan posisi sujudnya.
Ada yang tersentuh hidung Dongdongka. Sepasang ka-
ki orang berdiri.
Pasti kaki Eyang Guru, pikir Dongdongka. Tak
ayal lagi, Dongdongka segera menciumi kaki itu bertu
bi-tubi. Raungnya tak pernah mau dihentikan! Pan-
tang! Sampai raungan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul harus direm mendadak ketika mendengar suara
orang yang diciumi kakinya berbeda dengan suara Per-
tama Sakti Gunung Sewu.
"Orang tua, orang tua! Apa yang terjadi pada di-
rimu?"
Dongdongka mendongak dengan wajah melom-
pong. Kaki yang diciuminya dengan kelewat khidmat
ternyata milik seorang penduduk desa yang kebetulan
melewati tempat itu! Seorang lelaki dekil yang biasa
memetik buah kelapa untuk dijual ke kotapraja!
Minta ampun! Pantas kakinya bau kotoran ker-
bau! rutuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul geram.
Rasanya dia ingin menghajar congor lelaki desa yang
maju karena terheran-heran itu!
Tanpa mempedulikan lelaki desa yang masih
saja 'pelanga-pelongo', Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul mencari-cari ke mana eyang gurunya pergi. Nah itu
dia, sedang berjalan santai menuju selatan!
Buru-buru Dedengkot Sinting Kepala Gundul
mengejar.
"Tak perlu kau bersujud lagi padaku, Truna!"
cegah Pertapa Sakti Gunung Sewu, menahan Dong-
dongka yang hendak memulai sembah sujud 'setengah
miring'nya.
"Kenapa, Eyang Guru? Kenapa? Aku memang
bersalah semalam dan hari ini. Tapi, janganlah kau
menghukum aku dengan tidak menganggap aku mu-
ridmu lagi. Jangan, ya Eyang Guru?" tanya Dongdong-
ka, mendayu-dayu sambil berjalan membungkuk-
bungkuk di belakang Pertapa Sakti Gunung Sewu.
"Bukan begitu. Sejak aku memutuskan untuk
turun gunung, aku telah menyadari sesuatu. Manusia
tak bisa menyembah manusia lain. Kendati gurumu,
jangan jadikan aku seperti Dewa. Aku tetap manusia
biasa...."
Dongdongka manggut-manggut. Raungannya
sudah aman. Matanya bahkan sudah kering. Atau,
memang begitu caranya menangis? Tak pernah keluar
airmata?
"Syukurlah kalau ternyata Eyang Guru tak
menghukum aku. Syukur... syukur. Lalu, kenapa
Eyang Guru memutuskan untuk turun gunung seka-
rang ini?"
Pertapa Sakti Gunung Sewu terus melangkah.
"Ada beberapa hal yang harus segera kubenahi
sebelum aku mati."
"Aaa, Eyang Guru jangan mati dulu! Aku saja
muridmu tak pernah-pernah kesampaian...."
"Dengarkan aku dulu, Truna."
"Oh, iya iya."
"Aku turun gunung karena dua hal penting,"
mulai Pertapa Sakti Gunung Sewu kembali. "Pertama,
karena aku ingin berguru dengan seseorang...."
Dongdongka melongo. Eyang gurunya hendak
berguru lagi? Apa-apaan ini? Manusia sesakti dia mes-
tinya tak perlu banyak berguru lagi! Dongdongka sen-
diri sudah bosan menambah kesaktian! Ini jadi terden-
gar aneh bin ganjil bin ajaib bin Saimin!
"Berguru, Eyang?"
"Ya. Kudengar, ada seseorang yang begitu mulia
di Bintoro Demak."
"Siapa orang itu, Eyang. Dan apa yang ingin
Eyang pelajari dari orang itu?"
"Aku tak begitu jelas dengan namanya. Menu-
rut wangsit yang kuterima, orang itu adalah salah seo-
rang yang amat dekat dengan Sultan Demak. Pada be
liau, aku ingin berguru ilmu 'Makrifat'."
"Ilmu 'Makrifat', Eyang?"
"Ilmu yang tak akan didapat kecuali dengan
mencapai pengenalan diri secara menyeluruh dan
mengenal Tuhan...."
Dongdongka menggeleng-geleng. Kepalanya
pusing tujuh keliling. Dia tak mengerti.
"Lalu bagaimana dengan tujuan kedua Eyang
turun gunung?" tanyanya.
"Tentang Jonggrang."
Jonggrang lagi, rutuk Dongdongka. Selalu saja
perempuan jelek itu bikin perkara.
"Jonggrang telah menganut ilmu sesat. Ilmu se-
sat itu didapatnya dari salah seorang perempuan mu-
suh lamaku yang telah mati. Kematiannya, tidak me-
nyertakan kematian ilmunya. Sebagian ilmu sesatnya
telah diturunkan kepada Jonggrang. Namun ada inti-
inti ilmu iblisnya yang akan dititiskan langsung pada
Jonggrang. Untuk itu, dia harus menanti agar
Jonggrang berusia lebih dari seratus lima puluh ta-
hun...."
"Aku tak tahu berapa usia Jonggrang, Eyang..
Usiaku saja aku tak tahu jelas."
"Besok malam, menurut penglihatan mata ba-
tinku, Jonggrang akan dititisi inti ilmu sesat gurunya.
Aku berpesan padamu, cegahlah dia. Jangan sampai
dia menerima inti ilmu sesat itu."
"Caranya, Eyang?"
"Temukan dalam diri muridmu!"
Dongdongka garuk-garuk kepala. Apa hubun-
gannya Satria Gendeng dengan semua ini? Apa mak-
sud perkataan terakhir Eyang Guru. Dongdongka baru
hendak membuka mulut menanyakan hal itu. Tapi,
Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah tak tampak lagi.
Semenjak kepergian gurunya, Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul terus terombang-ambing kebingun-
gan memikirkan pesan terakhir Pertapa Sakti Gunung
Sewu. Otaknya memang agak telat mikir selama dia
begitu merindukan kematian. Barangkali juga memang
sudah dari sananya
"Kenapa Eyang Guru jadi menghubung-
hubungkan penitisan ilmu sesat si Jonggrang dengan
Satria. Apa urusannya dengan murid gendengku itu?
Apa jangan-jangan aku salah dengar atau bagaimana?
Ah, perasaan kupingku masih waras-waras saja sam-
pai sekarang...."
Sudah berkali-kali Dedengkot Sinting Kepala
Gundul menggaruk-garuk kepala. Berkali-kali. Bosan
menggaruk-garuk kepala, dia meneruskan dengan
menggaruk-garuk dengkul, lalu perut, lalu pantat. Tak
sekalian saja.... Sepanjang siang itu, terus saja dia
ngalor-ngidul di pantai. Ke sini salah. Ke sana salah.
Tak ke mana-mana, juga salah. Gubuk sebagai tempat
yang begitu nyaman bagi orang bosan hidup macam
dia, jadi terasa membuat gerah dirinya saja.
Sementara terus kebingungan, waktu mengen-
dap-endap tak tertahan. Bodoh benar Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul kalau dia terus saja kebingungan.
Jika malam menjelang dan dia masih tetap begitu, pe-
san gurunya untuk mencegah Nini Jonggrang meneri-
ma penitisan inti ilmu hitam, bakalan tak terlaksana.
Pikir punya pikir, akhirnya Dedengkot Sinting
Kepala Gundul memutuskan untuk segera menyusul
Satria Gendeng ke Gunung Sumbing.
Gunung Sumbing? Tepatkah tempat yang hen-
dak dituju sang sesepuh persilatan tanah Jawa satu
ini?
SEMBILAN
GUNUNG Sewu. Di sebelah tenggara gunung itu
terdapat goa besar tempat dahulu Nini Jonggrang men-
jalani hukuman dari gurunya, Pertapa Sakti Gunung
Sewu.
Malam telah bertandang kembali, entah untuk
yang keberapa kali selama usia bumi. Bulan sabit me-
nyipit di antara kepungan awan kelabu. Seperti pesan
Pertapa Sakti Gunung Sewu, malam itulah Nini
Jonggrang akan menerima penitisan inti ilmu sesat da-
ri mendiang gurunya!
Satria Gendeng digiring ke sana oleh Ki Ageng
Sulut dan Nini Jonggrang. Sesuai dengan keinginan si
perempuan tua sesat, Satria Gendeng akan menjadi
pelampiasan dendam buta yang sejak lama dipendam-
nya. Goa Gunung Sewu sengaja dipilih karena Nini
Jonggrang menginginkan penderitaan yang tahu nanti
akan diterima murid Dongdongka itu seperti penderi-
taan yang dulu diterimanya dalam Goa Sewu.
Dan tampaknya, Nini Jonggrang telah lebih da-
hulu mengetahui daripada Dongdongka bahwa Pertapa
Sakti Gunung Sewu telah meninggalkan tempat. perta-
panya itu. Karenanya, tua bangka ahli tenung itu be-
rani mendatangi Goa Sewu.
Mayangseruni masih dalam genggaman Ki
Ageng Sulut. Dia masih dalam pengaruh totokan. Tu-
buhnya yang lemah lunglai dibopong oleh Ki Ageng Su-
lut hingga ke Goa Sewu. Sementara Tresnasari dibo-
pong oleh Nini Jonggrang. Gadis yang mengalami luka
dalam cukup parah akibat hantaman Nini Jonggrang
masih tak sadarkan diri.
Sebelum berangkat ke Goa Sewu, Nini
Jonggrang sempat mengobati luka dalamnya. Satria
Gendeng tidak dapat berbuat banyak, kecuali menyak-
sikan saja Nini Jonggrang bersemadi mengatur pereda-
ran hawa murni dalam tubuhnya. Jika macam-macam,
tangan kejam Ki Ageng Sulut akan memagut lepas
nyawa Mayangseruni.
Sementara itu, Ki Kusumo pun tak punya pili-
han lain kecuali menuruti perintah si Perempuan Pen-
gumpul Bangkai untuk segera meninggalkan Wadaslin-
tang. Namun, dia tak begitu bodoh untuk benar-benar
menyingkir. Dari jarak yang dianggap cukup aman, Ki
Kusumo bersembunyi dan menguntit hati-hati perjala-
nan mereka ke Goa Sewu.
"Sekarang, aku tidak peduli lagi pada sumpah-
ku padamu, Bocah Busuk. Kau yang telah membuat
aku menjadi marah besar! Sekarang, kau harus mene-
rima pengaruh tenung ku tanpa bisa membebaskan
kekasihmu dari tanganku! Biar kau tahu rasa! Biar
kau tahu, Perempuan Pengumpul Bangkai tak bisa
kau buat main-main!" mulai Nini Jonggrang seraya
menurunkan tubuh Tresnasari kasar ke tanah. Ketika
itu, mereka sudah tiba di mulut Goa Sewu, Nini
Jonggrang berdiri persis di depan goa. Satria Gendeng
berdiri berhadapan dengannya dalam jarak lima tom-
bak. Sementara Ki Ageng Sulut di belakang Satria
Gendeng, setiap saat siap untuk membunuh sande-
ranya.
"Sulut! Hancurkan leher gadis itu sehancur-
hancurnya kalau Bocah Jahanam ini hendak macam-
macam!" lanjutnya seraya melepas pandangan kepada
Ki Ageng Sulut.
Ki Ageng Sulut hanya mengangguk sekali. Tak
perlu diperintah pun, dia sudah sangat paham apa
yang mesti dilakukannya.
"Nah, Bocah Jahanam. Bersiaplah!" tukas Nini
Jonggrang disusul tawa terkikiknya yang mencelat ma-
suk ke dalam goa, melahirkan gema yang bersahutan
dan kian menjauh.
Satria Gendeng tegang.
Sekujur dirinya seperti direjang dari dalam. Tak
mungkin lagi baginya menjalankan siasat yang sebe-
lumnya terpikirkan. Tak mungkin lagi baginya menge-
rahkan ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh tenung
si Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak mungkin.
Tegang menanjak.
Nini Jonggrang memekik. Mengangkat tangan-
nya tinggi-tinggi ke angkasa. Siap membangun kembali
upacara penuh hawa magis dari dasar alam kegelapan.
Menggidikkan.
Mencabik nyali.
Ki Kusumo yang menanti di balik satu pohon
besar di kejauhan pun tak urung terbawa suasana
yang terus mencekam keras-keras. Harus ada yang di-
perbuatnya, jika tidak muridnya akan menjadi mangsa
tenung Nini Jonggrang.
Tapi, apa yang bisa dilakukan? Sementara Ki
Ageng Sulut seperti menggenggam nyawa Mayangseru-
ni dalam telapak tangannya. Mungkinkah dia terpaksa
harus membokong? Apakah nanti tindakan itu tak
membahayakan nyawa Mayangseruni! Bedebah!
Ki Kusumo meremas geram telapak tangan. Be-
tapa bencinya dia dalam keadaan tak berdaya seperti
itu. Seperti tak berdayanya Satria Gendeng.
Dalam keadaan genting layaknya telur di ujung
tanduk, mendadak saja....
"Heaaa!!!"
Clep!
"Aaaa!"
Satria Gendeng terkejut. Ki Ageng Sulut terke-
jut. Juga Ki Kusumo di kejauhan sana. Hanya Nini
Jonggrang yang tidak. Lebih dari itu, si Perempuan
Pengumpul Bangkai justru disengat rasa sakit teramat
sangat di bagian pahanya. Karenanya dia melengking-
kan teriakan di luar mantera-manteranya yang seketi-
ka terpancung.
Tresnasari, gadis yang sejak lama seperti tak
sadarkan diri itu mendadak menghujamkan sepasang
belati kecil dari balik bajunya ke paha kiri dan kanan
Perempuan Pengumpul Bangkai. Belati yang telah la-
ma tak digunakan. Senjata kecil yang sering dipergu-
nakannya ketika masih bersama Nyai Cemarawangi!
Senjata yang begitu dikenali Satria Gendeng sejak da-
hulu.
Tak disadari seorang pun, rupanya gadis itu te-
lah siuman sejak lama di Wadaslintang. Ketika itu, la-
mat dia mendengar kedatangan Ki Ageng Sulut dan Ki
Kusumo. Mendengar Mayangseruni disandera oleh Ki
Ageng Sulut, Tresnasari memutuskan untuk tetap ber-
pura-pura pingsan. Jika ada kesempatan, dia akan
bertindak tanpa diduga-duga. Hanya itu yang dapat
membebaskan Mayangseruni. Hanya tindakan cepat
yang tak terduga!
Tanpa memberi kesempatan bagi Nini
Jonggrang untuk menyadari apa yang terjadi, Tresna-
sari mencabut belati dari paha mangsanya
Bres!
Dengan lincah bagai seekor anak kera, tubuh-
nya berguling beberapa tombak, lantas mencelat ke
atas. Di udara, tangannya berkelebat lagi, melempar-
kan sepasang belati bermandi darah ke arah Ki Ageng
Sulut.
Sejak lama, Satria mengenal Tresnasari sebagai
ahli pelempar belati. Sasarannya jarang sekali luput.
Bahkan dia sanggup membelah dua batang bambu se-
besar kelingking dengan lemparan belatinya. Jika bela-
tinya kali ini mengarah ke sepasang mata Ki Ageng Su-
lut, tak diragukan lagi benda tajam itu akan mengarah
tepat menuju sasaran, kendati begitu, adalah tindakan
berani dilakukan Tresnasari. Sebab jika keliru mem-
buat perhitungan, justru Mayangseruni yang menjadi
korban!
Tindakan tak terduga-duga Tresnasari mem-
buat Ki Ageng Sulut sempat tercengang. Untuk seper-
sekian kejap mata, dia jadi melupakan sanderanya
sendiri. Begitu menyadari ada sepasang benda tajam
melesat menuju kepalanya, Ki Ageng Sulut menjadi
terkesiap. Secara tak sengaja, dia melepaskan Mayang-
seruni untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari ter-
kaman sepasang belati Tresnasari.
Mayangseruni terlempar.
Tubuhnya berguling di tanah menurun.
Saatnya bagi Satria Gendeng untuk bertindak!
Wrrr!
Sekali sentak, tubuh Satria Gendeng melayang
cepat menyusul Mayangseruni.
Nini Jonggrang tak bisa membiarkan begitu sa-
ja. Rasa sakit di pahanya telah sanggup dikuasai. Per-
hatiannya kini bisa dipusatkan kembali ke arah kan-
cah kekacauan. Kekacauan memang telah berlangsung
demikian cepat. Tak meleset perhitungan Tresnasari.
Tindakan cepat tak terduga seperti rencananya, telah
memporak-porandakan kemenangan sementara si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai dan Iblis Dari Neraka!
Nini Jonggrang berteriak bagai auman singa be-
tina tua.
"Khuuaaaa!"
Wikh wiikh wikh wiikh!
Dengan nekat dan amat menggidikkan bagi sia-
pa pun yang menyaksikannya, Nini Jonggrang melepas
lima kuku jari tangan kanannya dengan sengaja. Sen-
takan tenaga dalam yang disalurkan kelewat batas
menyebabkan kelima jari hitam itu meluncur bagai tar-
ing-taring setan terbang!
Lompatan Satria Gendeng dikejarnya.
Bengis!
Sepanjang lintasan kelima kuku hitam itu, uda-
ra menjadi terbakar. Asap tipis membentang panjang.
Deras.
"Satria awas!!!"
Sekelebatan bayangan meluruk tak kalah cepat
dengan lesatan lima kuku jari maut milik Perempuan
Pengumpul Bangkai. Kelebatan yang memapas lang-
sung lintasan kuku-kuku itu. Bagai halilintar me-
mangkas angin ribut!
Hanya tinggal berjarak satu jari dari bokong Sa-
tria Gendeng yang tak menyadari datangnya bahaya
maut, kelima kuku itu berpentalan ke segala arah, di-
papas oleh dua batang logam.
Tring tring!
Lalu, kelebatan bayangan itu menukik turun.
Berdiri di tengah-tengah kekacauan tepat di be-
lakang Tresnasari. Orang itu tentu saja Ki Kusumo,
Tabib Sakti Pulau Dedemit!
Tampaknya kekacauan akan segera berubah
menjadi adu kedigdayaan maut antara dua aliran ber-
seteru.
***
Dengan mengandalkan pengerahan segenap il
mu meringankan tubuhnya, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul memang tiba sebelum malam di tempat tu-
juan. Namun di sana, dia cuma bisa meneruskan kerja
menggaruk-garuk. Tak ditemukan siapa-siapa di sana.
Masalahnya memang bukan karena 'tak bisa' mene-
mukan, melainkan 'tak mungkin' menemukan. Mana
mungkin dia menemukan muridnya atau Nini
Jonggrang di sana, sementara mereka sedang berada
di Gunung Sewu?
Seluruh bagian gunung sudah dicarinya.
Puncak sudah.
Lereng juga.
Kaki gunung pun tak lupa.
Kalau gunung punya ketiak dan selangkangan,
pasti disatroni sekalian. Namun sampai Dedengkot
Sinting Kepala Gundul mengobrak-abrik 'sarang' Nini
Jonggrang di jurang Gunung Sumbing, tetap tak dite-
mukan orang-orang yang dicarinya.
Waktu tak pernah istirahat. Gerbang malam
makin dekat untuk terlewat. Senja sudah memiliki
warna jingganya. Makin dekat saja saat di mana Nini
Jonggrang menjelma menjadi iblis perempuan. Jika
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terlambat, bisa saja
malam nanti menjadi malam petaka!
Setelah agak senewen mencari, barulah tua
bangka itu mulai menyadari sesuatu.
"Eh, slompret! Aku ingat sekarang. Dulu, si
Jonggrang mengancam muridku. Dia ingin melam-
piaskan dendam ku melalui diri Cah Gendeng itu.
Jonggrang Jelek dendam padaku karena aku yang
memaksanya pulang ke Gunung Sewu. Di sana dia
mendapat hukuman. Kalau begitu, bukan tak mungkin
Jonggrang Jelek ingin melampiaskan dendamnya di
tempat yang sama sewaktu dia mendapat hukuman!"
gumam Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Iya ya!" tukasnya seraya meninju jidat sendiri.
"Kenapa aku jadi begitu tolol. Pasti Jonggrang
Jelek telah membawa muridku ke sana! Pasti, tahu!"
Karena waktu sudah sangat mendesak. De-
dengkot Sinting Kepala Gundul langsung menggenjot
kembali ilmu meringankan tubuhnya menuju Gunung
Sewu.
SEPULUH
PERTARUNGAN di depan mulut Goa Sewu tak
dapat terelakkan lagi. Keadaan telah berubah sama
sekali dari sebelumnya. Satria Gendeng, Ki Kusumo
dan dua gadis bersaudara kembar yang bersama me-
reka tak lagi dalam keadaan terjepit. Mayangseruni te-
lah bebas dari sandera Ki Ageng Sulut. Gadis itu kini
telah dibebaskan dari pengaruh totokan oleh Satria
Gendeng. Di bawah satu batang pohon besar yang cu-
kup jauh dari mulut goa, dia hanya menjadi penonton
tunggal dua kancah pertarungan sengit.
Satu kancah, Satria Gendeng bertukar jurus-
jurus maut dengan si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Lain kancah, Ki Ageng Sulut menghadapi Ki Kusumo.
Biarpun pada pertarungan terakhir dengan lawannya
tabib kenamaan tanah Jawa itu kehilangan sepasang
kaki, tak tampak kegentaran pada dirinya. Ki Kusumo
sadar, kemungkinan menelan kekalahan yang lebih
parah bisa saja menimpanya kembali mengingat Iblis
Dari Neraka tetap berada beberapa tingkat di atasnya.
Namun, ada sedikit keyakinan dalam diri Ki Kusumo,
bahwa penyakit yang diderita Ki Agung Sulut kemung
kinan besar pun menjadi kunci kemenangannya.
"Jika kudapatkan, kau tak akan kuampuni,
Murid Murtad!" seru Nini Jonggrang yang kini dalam
gempuran habis-habisan si pendekar muda. Benar-
benar Perempuan Pengumpul Bangkai dibuat kalap
oleh muridnya. Karena ulah muridnya itu, niat untuk
menguasai Satria Gendeng di bawah tenung sesatnya
menjadi hancur berantakan.
Semua itu terjadi karena Nini Jonggrang telah
keliru menilai kemampuan murid perempuannya. Se-
lama menjadi murid Perempuan Pengumpul Bangkai,
Tresnasari diam-diam mencuri-curi beberapa ilmu ke-
saktian yang tak diturunkan. Nini Jonggrang biasa me-
letakkan beberapa kitab ilmu olah kanuragannya di
tempat rahasia dalam Goa Jurang Gunung Sumbing.
Suatu hari Tresnasari sempat memergoki Perempuan
Pengumpul Bangkai mengambil satu kitab tenung dari
tempat rahasia tersebut. Lalu tanpa sepengetahuan
guru sesatnya, Tresnasari mencuri isi beberapa kitab
dan dipelajarinya sendiri.
Itu sebabnya, pukulan Perempuan Pengumpul
Bangkai di Wadaslintang tak berakibat parah terhadap
diri Tresnasari. Kebetulan, pukulan itu adalah salah
satu ilmu tenaga dalam yang dicurinya.
"Tresna, bawalah Mayangseruni menyingkir da-
ri tempat ini!" seru Satria Gendeng, mengimbangi an-
caman sengit Nini Jonggrang.
Tak perlu dua kali diperingati, Tresnasari sege-
ra memapah saudara kembarnya meninggalkan tempat
tersebut.
"Tak semudah itu kau menyingkir, Murid Ja-
hanam!" teriak Nini Jonggrang kalap bukan main, Nini
Jonggrang berjuang untuk melepaskan diri dari huja-
nan serangan Satria Gendeng. Tubuhnya digenjot hendak menghadang Tresnasari dan Mayangseruni.
Dengan ketat, Satria Gendeng merapatkan se-
rangan, mencoba membendung usaha lawan.
Nini Jonggrang makin dibuat kalap.
Sementara, malam kian terlelap.
Hal yang paling ditakuti Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul malam itu akhirnya terjadi juga. Apa la-
cur, orang tua sakti yang harus tiba sebelum tengah
malam, tak kunjung-kunjung tiba
Tepat tengah malam menjejak pada detiknya,
sekelebat cahaya merah menyilaukan membelah langit
kelam. Bagai bintang jatuh berekor panjang, cahaya
itu menukik amat deras dan tajam menuju Nini
Jonggrang. Nini Jonggrang sendiri luput menyadari
kedatangannya.
Hingga....
Ssss!
"Ngiiii!"
Tubuh Satria Gendeng terpental amat jauh. Me-
lintas di atas kancah pertarungan Ki Kusumo dan Ki
Ageng Sulut!
Menyusul desisan amat kuat seperti berasal da-
ri moncong seribu naga, si Perempuan Pengumpul
Bangkai menjerit sejadi-jadinya. Tubuhnya tersengat
kaku. Beberapa saat berselang, di sekujur tubuhnya
muncul semacam pendaran cahaya halus semerah da-
rah namun menusuk mata. Cahaya halus itu meram-
bat dan mengembang keluar dari tubuh Nini
Jonggrang. Sedangkan tubuh si perempuan tua sesat
bergetar. Kian lama getaran tubuhnya kian kentara.
Sampai akhirnya...
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba
bertiup amat kencang. Anehnya, hanya di daerah seki-
tar Goa Sewu. Seketika, angin itu membentuk pusaran
yang menyerupai angin puting beliung. Menerbangkan
daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan, dan
apa-apa yang bisa disapunya. Bahkan pepohonan be-
sar yang tidak bisa tertahan dengan akarnya lagi! Se-
muanya diterbangkan ke pusat pusaran tepat di ten-
gah-tengah batang besar pohon tua.
Kendati dalam pertarungan sengit, Ki Ageng
Sulut dan Ki Kusumo langsung melompat menjaga ja-
rak. Keduanya sama-sama dikejutkan. Apa yang se-
dang berlangsung? tanya hati masing-masing.
Tresnasari dan Mayangseruni berhenti. Meno-
leh dengan wajah tercengang.
Satria Gendeng bangkit mengeluh. Matanya tak
berkedip begitu menyaksikan lawannya. Iblis dari lan-
git mana yang telah merasuki dirinya? Perangah si
pendekar muda.
Begitu angin reda, terlihatlah wujud menye-
ramkan Nini Jonggrang yang baru. Seorang nenek
yang sekujur kulitnya dipenuhi sisik! Lidahnya me-
manjang dua jengkal seperti lidah seekor ular....
"Hi hiii hi hiiii!"
Pekat. Tawa Perempuan Pengumpul Bangkai
berjingkat di antara lorong pegunungan.
Menjangkiti malam.
Satria Gendeng menarik napas padat-padat.
Kini bagaimana dia bisa tetap yakin kalau yang diha-
dapinya adalah manusia, bukan siluman jejadian? Hati
nuraninya mengingatkan untuk meminta kekuatan da-
ri Sang Khalik.
Belum lagi tuntas Satria Gendeng memasrah-
kan dirinya pada Tuhan, di kejauhan terdengar gera-
man berlapis terpelanting dari kerongkongan Perem-
puan Pengumpul Bangkai. Lidah bercabangnya menju-
lur-julur. Tangannya menuding lurus ke arah Satria
Gendeng
Kejapan mata berikutnya, dari bawah kaki Sa-
tria Gendeng muncul perlahan akar-akar berwarna se-
gelap lumpur. Geraknya seperti mengendap. Tanpa di-
ketahui Satria Gendeng, akar-akar menjijikkan itu
mencengkeram pergelangan kaki keduanya.
Srap! Srap!
Selaku pendekar yang sudah begitu terlatih ke-
sigapannya, Satria Gendeng cepat membuat gerakan
menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam penuh.
"Khiaaa!"
Dua cabang akar sebesar lengan manusia yang
sempat menjapit pergelangan kakinya tak ayal lagi ter-
cabut putus. Dengan salto, Satria Gendeng memang-
kas udara. Hingga empat tombak didepan Nini
Jonggrang. Di pergelangan kakinya, masih tersisa po-
tongan akar. Cairan berwarna hijau kehitaman kental
menjijikkan bercucuran dari setiap potongan akar ter-
sebut.
Bibir Satria Gendeng meringis jijik. Kalau saja
dia tak bisa menguasai diri, saat itu juga dia akan
muntah.
"Sihir," desis Ki Kusumo. Orang tua itu pernah
mendengar Perempuan Pengumpul Bangkai memiliki
tenung. Namun, selama hidup tak pernah diketa-
huinya kalau tenung si perempuan tua laknat sanggup
menciptakan serupa itu.
Dongdongka baru tiba setelah semuanya terja-
di.
Dia melongo-longo menyaksikan Nini
Jonggrang.
"Astaga, kupikir dia akan berubah menjadi mu-
da kembali dan mendapatkan kecantikannya ketika
menerima penitisan inti ilmu sesat gurunya. Tak ta-
hunya, dia jadi manusia kadal! Ihhhh jijik, tahu!" ko-
mentarnya, antara gumaman dan rutukan.
Menyaksikan kedatangan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, musuh besar yang paling dihindari, Ki
Ageng Sulut tak bisa membiarkan dirinya tetap di sa-
na. Tanpa diketahui Ki Kusumo yang masih memaku-
kan pandangan ke arah Nini Jonggrang, tokoh golon-
gan sesat itu meninggalkan Goa Sewu.
"Panembahan, apa yang sesungguhnya terjadi
pada Nini Jonggrang?" tanya Ki Kusumo, sesaat sete-
lah disadari lawannya telah menghilang.
"Aku terlambat, Kusumo. Sial benar," sahut
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sama sekali tak
menyumpal derasnya rasa penasaran Ki Kusumo.
"Oh, kau tadi tanya apa?" Barulah Dongdongka
tersadar pada pertanyaan tadi.
"Apa yang sedang terjadi? Aku tak mengerti...."
"Perempuan jelek yang tambah jelek itu dititisi
inti ilmu sesat gurunya!"
"Kalau begitu, murid kita dalam keadaan ba-
haya!"
Ki Kusumo baru hendak menggenjot tubuh.
Dongdongka menahannya.
"Menurut Eyang Guru, hanya murid kita yang
bisa menghadapinya. Biarkan dia sendiri. Aku percaya
pada kesanggupan Cah Gendeng kita itu! He he he!"
Sementara Dongdongka tertawa, Ki Kusumo
cuma bisa mengernyitkan kening. Bagaimana orang
tua ini masih sempat tertawa pada saat-saat demikian
genting?
Di kancah pertarungan tunggal, Satria Gendeng
telah bersiap mati dalam menghadapi lawan.
Nini Jonggrang menggeram-geram tiada terputus. Tangannya mendadak terayun cepat. Dari kedua
telapak tangannya mendadak keluar bola-bola api se-
besar kepala bayi!
Wuk wuk wuk!
Deru santer bagai kepakan sayap rajawali rak-
sasa terdengar. Disusul dengan membesarnya api di
seputar bola-bola api tadi. Melayang-layang liar menu-
ju sasaran. Lidah apinya siap menerkam.
Tak pernah mengalami kejadian serupa dalam
hidupnya yang tergolong hijau, Satria Gendeng terce-
kam. Dia tercengang tanpa bisa melakukan apa-apa.
Saat itulah, terdengar bisikan gaib menyelusup
langsung ke telinganya.
"Jangan pernah gentar. Pergunakan kekuatan
hatimu untuk melawan semua itu. Sihir hanyalah tipu
daya. Jika kekuatan hatimu sanggup menentangnya,
maka dia akan punah...."
Kendati tak mengerti siapa yang telah membisi-
kinya, anehnya Satria Gendeng merasa sangat percaya
dengan bisikan gaib itu. Kekuatan hati? tanyanya
membatin. Hanya ada satu-satunya cara yang dia tahu
untuk mencapai hal itu.
Semadi!
Namun, bagaimana mungkin dalam waktu yang
demikian mendesak? Bagaimana dengan bola-bola api
yang meluncur demikian sengit ke arahnya?
"Cepat!"
Kembali terlintas bisikan di telinga Satria Gen-
deng. Sekali ini bernada mendesak. Tak dapat ditolak.
Tanpa terpikir-pikir lagi, Satria Gendeng lang-
sung memejamkan mata. Memusatkan segala rasa dan
karsa serta kekuatan dirinya ke satu titik terang dalam
batin. Entah bagaimana, dalam situasi yang tak me-
mungkinkan untuk melakukan semadi, Satria Gendeng ternyata berhasil mencapai puncak semadinya
dalam hitungan waktu kedipan mata!
Sekejap setelah matanya terpejam....
Blar Blar blar!!!
Leburlah semua bola api.
Satria Gendeng membuka mata. Takjub menda-
tanginya.
"Hi hi hi hiiii!" Melompat tawa menyeramkan
dari tenggorokan Nini Jonggrang. "Tak kusangka kau
sanggup menghancurkan permainan ku, Bocah Jaha-
nam!" Seperti mencemooh, Nini Jonggrang berujar,
"Namun, jangan harap kau akan unggul menghadapi
kekuatan tenung ku kini...," ancamnya berat, seakan
hendak menggoyahkan kemantapan hati si satria mu-
da.
"Perempuan siluman busuk!" balas Satria Gen-
deng. "Kujamin kau yang akan menemui iblis-iblis se-
kutu mu di neraka sana!!!!" terjang Satria Gendeng ga-
rang.
"Haa, bagus itu! Bagus itu! Itu baru muridku!"
koar Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Perempuan Pengumpul Bangkai terkikik lagi.
Kali ini lebih nyaring melengking. "Buktikanlah, Satria
Gendeng! Buktikan...," tantangnya, memancing kema-
rahan lawan.
"Kalau itu yang kau inginkan, akan kulayani,"
tegas Satria Gendeng seraya memasang jurus-jurus te-
rampuhnya.
Bibir Nini Jonggrang menyeringai mengejek.
"Kau masih saja mempergunakan jurus jelek mu itu,
Cah Bau Kencur? Hi hi hiiii!"
"Banyak mulut!" Satria Gendeng yang sudah
sepenuhnya siap menghadapi lawan segera menerjang
ke depan. Serangkai langkah-langkah teramat cepat
dibuat. Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan,
namun amat bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas
jurus-jurus yang diciptakannya diturunkan Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul.
"Hiaaa!"
Deb! Wes!
Sampokan tangan kanan Satria Gendeng mem-
babat lurus ke bagian leher lawan. Ketika nyaris tiba di
sasaran, gerakan tangannya tiba-tiba menyempong ke
sasaran lain. Dari gerak menyampok, tangannya beru-
bah mengacungkan jari untuk menotok jalan darah di
bagian dada lawan.
Lawan tampaknya tak mudah dikelabui dengan
perubahan gerak tiba-tiba yang bisa mengecohkan to-
koh persilatan berilmu tinggi sekalipun. Dengan amat
lincah, Nini Jonggrang menjepit jari-jemari Satria Gen-
deng dengan sepasang telapak tangannya.
Tep!
Pada waktu yang nyaris tak berseling, mata
bengis Perempuan Pengumpul Bangkai menerkam ta-
jam ke manik mata Satria Gendeng.
"Jangan tatap matanya!" bisikan gaib mempe-
ringatkan kembali.
Sayang....
"Aaaah!"
Satria Gendeng terjajar mundur. Matanya de-
mikian pedih. Seperti ada racun membakar yang ter-
sembur ke biji matanya.
Nini Jonggrang mempergunakan kesempatan
itu untuk memasukkan tiga tusukan jari dengan tan-
gan yang bebas ke kening lawan mudanya. Tusukan
yang dapat melobangi baja setebal setengah jengkal!
"Satria Gendeng di depanmu!" seru Ki Kusumo.
"Biar biar biar saja!" timpal Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, seru.
Tanpa harus diperingatkan pun, Satria Gen-
deng sebenarnya sudah menyadari bahaya itu. Sigap,
disentaknya kaki ke atas. Masih dengan tangan terjepit
telapak tangan lawan, dengan cerdik Satria Gendeng
melenting ke atas tubuh lawan. Melewati kepala, dan
setibanya di belakang, langsung mendaratkan satu
tendangan keras ke bokong Nini Jonggrang. Semuanya
dilakukan tanpa melihat!
Dakh!
Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai ter-
hempas ke depan amat deras.
Nini Jonggrang bangkit seperti tak pernah ter-
kena hantaman. Padahal sebongkah karang sebesar
kerbau mungkin akan berantakan terkena tendangan
Satria Gendeng tadi. Terkaman dibuatnya. Ganas dan
berkekuatan penuh. Kesepuluh jari tangannya menge-
jang kaku seolah-olah siap mencabik baja terkeras se-
kalipun.
Ki Kusumo tercekam. Muridnya masih sibuk
mengusap-usap mata. Sementara serangan lebih ce-
pat, lebih gawat, dan sengit mulai dilancarkan lawan-
nya kembali.
"Jangan pedulikan rasa pedih itu. Itu hanya ti-
pu daya sihir belaka. Hanya mengecoh perasaanmu.
Mantapkan kembali hatimu!" bisikan gaib itu menolong
si pendekar muda pemberani untuk kesekian kali.
Satria Gendeng mengulang semadi singkatnya.
Sewaktu dua cakar Perempuan Pengumpul
Bangkai hendak merobek tenggorokannya, Satria Gen-
deng telah siap kembali. Bahkan pandangannya dapat
lebih jernih dan tajam dari sebelum terkena pengaruh
tenung lawan. Dia bergerak sigap satu tindak ke samp-
ing.
Wuk!
Sambaran lawan pun lewat begitu saja. Hanya
setengah jengkal dari tenggorokannya. Sebuah cara
menghindar yang terlalu berisiko besar. Seakan-akan
pendekar muda itu hendak mengejek lawan.
"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Perem-
puan Siluman!"
"Khaaah! Jebol igamu!"
Dalam segebrakan, Nini Jonggrang sudah
membuat serangan susulan dengan siku kirinya. Dada
bidang lawan hendak dijadikan sasaran.
Satria Gendeng tak mau terus menghindar. Ka-
lau terus seperti itu dia sadar lama kelamaan akan
terhantam juga salah satu serangan gencar lawan.
Maka dengan satu gerak yang terlihat pontang-
panting, tapi secepat kedipan mata, tangannya mene-
kuk di depan dada.
Dakh!
Siku lawan berhasil ditahannya. Kejap berikut-
nya, tangan yang lain meruntuhkan serangkai totokan
yang bisa menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan
sekaligus.
Gencar bagai siraman hujan dari langit rang-
kaian totokan Satria Gendeng. Tapi, tak satu pun bisa
melumpuhkan lawan. Karena setiap kali mengenai sa-
saran, tubuh lawan berubah menjadi selembut asap.
Meski setiap totokannya tepat mengenai sasaran, Sa-
tria Gendeng tak merasakan apa pun menyentuh
ujung jarinya.
Menyadari hal itu, Satria Gendeng melenting
ringan untuk menjauhi lawan. Untuk menghadapi ke-
kuatan sihir lawan, jalan satu-satunya bagi Satria
Gendeng adalah menuruti sepenuhnya peringatan bi-
sikan gaib. Memusatkan segenap jiwanya pada satu ti
tik terdalam di dasar dirinya.
Begitu dia memasuki taraf pengosongan diri,
sebuah semburan sinar seperti hujanan paku memba-
ra tercipta dari sepasang telapak tangan lawan. Men-
deru menuju diri Satria Gendeng.
Satria Gendeng diterjang sekejap kemudian. Se-
luruh tubuhnya menghilang di antara kepungan ca-
haya berbentuk paku membara. Namun beberapa saat
berikutnya, hujanan cahaya aneh mendadak tersurut
mundur. Karena dari seluruh pori-pori di tubuh Satria
Gendeng membersit cahaya kuning. Amat bening se-
perti air tanpa wujud. Cahaya bening itu mendesak
dan mendesak sihir ciptaan Nini Jonggrang.
Menyadari usahanya tak berhasil, Perempuan
Pengumpul Bangkai menambah pengerahan kekuatan
sihirnya. Kini bukan cuma bilah-bilah cahaya merah
yang muncul dari telapak tangan manusia jahanam si-
luman itu. Sesosok makhluk yang berubah-ubah ben-
tuk melayang deras meluruk ke arah Satria Gendeng.
Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternya-
ta sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya
bening dari tubuh Satria Gendeng. Sejengkal dan se-
jengkal... Pada akhirnya, sebentuk tangan mencuat da-
ri perut makhluk itu. Leher Satria Gendeng pun lang-
sung dicengkeramnya.
Krep!
Saat itu Satria Gendeng merasa dirinya seperti
dipaksa tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap.
Napasnya sesak, jangankan menarik napas, mengem-
bangkan dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar
pemuda itu bergeliat-geliat.
Apakah dia akan terus bergeliat hingga mere-
gang nyawa?
Satria Gendeng masih tetap bertahan dalam
semadinya.
Napasnya nyaris terhenti. Lehernya seperti di-
patah-patahkan.
Saat dia tak kuat lagi menahan gempuran sik-
saan itu.
"Bertahan pada semadi mu. Lalu, tentanglah
matanya dengan segenap kekuatan hatimu!" terngiang
kembali bisikan gaib.
Satria Gendeng menurutinya. Pada saatnya,
matanya terpentang lebar-lebar, menerkam langsung
mata Nini Jonggrang. Menuju manik-maniknya.
Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkera-
man tangan ganjil di lehernya sirna. Satria Gendeng
heran. Namun dia tak boleh menghentikan hujaman
tatapan matanya yang pernah membuat hati Ki Ageng
Sulut serasa terjepit ketika bertarung dengan pendekar
muda itu beberapa waktu lalu.
Di lain pihak, Nini Jonggrang mulai menggeliat-
geliat. Seperti ada sodokan lempeng bara panas di se-
kujur tubuhnya.
Mata Perempuan Pengumpul Bangkai mendelik
sejadi-jadinya. Mendelik dan makin mendelik. Tersiksa
tatapan amat kuat si pemuda bau kencur. Sebaliknya
akhirnya kekuatan sihirnya tiba-tiba pupus.
Di ujung kekalapan pengaruh sihirnya terden-
gar desisan seperti awal dia dititisi inti ilmu sesat gu-
runya. Bagai bara masuk ke dalam air, begitu bunyi
desisan terdengar. Bersamaan dengan itu, mulut Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai melepas lengkingan
tinggi.
Lalu perlahan-lahan tubuh Nini Jonggrang
memupus.
Hilang.
Selang sekian tarikan napas setelah menghi
langnya tubuh Nini Jonggrang, terdengar kikik tawa di
kejauhan. Seperti berasal dari balik Gunung Sewu....
SELESAI
Segera hadir!!
Serial
Satria Gendeng dalam episode:
PASUKAN KELELAWAR
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar