..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 25 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE KIAMAT DI GOA SEWU

Kiamat Di Goa Sewu

 

Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU
KADIPATEN Wadaslintang. 
Sebentang lembah berbukit. Tempat di mana 
rerumputan liar tumbuh menghampar. Tempat di ma-
na seseorang bisa melihat cakrawala dengan lapang. 
Juga tempat bagi empat orang yang sedang terlibat sa-
tu urusan.
Sementara keempatnya seperti tak pernah cu-
kup peduli pada rona langit di atas sana yang berubah 
murung. Bukan karena mendung meraja. Melainkan 
kehadiran perlahan sang senja. Bahkan, mereka seper-
ti tak ambil pusing pada gelimpangan dua bangkai ku-
da dan satu bangkai manusia yang nyaris membusuk 
di dekat mereka.
Segerumunan lalat justru telah membangun 
pesta-pora di atas ketiga bangkai. Bersama dengung-
nya yang mendompleng tiupan angin.
Keempat orang itu berdiri di dekat sebatang 
pohon kamboja besar. Seorang nenek tua bersisian 
dengan seorang gadis muda. Berseberangan dengan 
mereka, ada sepasang muda-mudi berusia sebaya.
Si nenek berusia sangat tua. Jelas sekali dari 
perawakan atau wajahnya. Dia mengenakan pakaian 
putih yang tidak cuma dekil namun juga berkesan mu-
ram sekaligus seram. Tercabik-cabik di sana-sini. Se-
lain itu, menebarkan bau bangkai busuk menusuk. 
Dua bola matanya besar. Biji matanya berurat keme-
rahan. Sekeliling matanya berwarna biru kehitaman. 
Wajah perempuan tua bangka itu dipenuhi keriput 
bercampur kudis berlendir. Bibirnya pucat berkerut. 
Tak terlihat tanda-tanda kalau wajah nenek itu dialiri 
darah.

Dua gadis yang berdiri berseberangan berwajah 
sulit dibedakan. ibarat pinang dibelah dua. Sama-
sama berambut panjang hitam. Sama-sama cantik. Itu 
berarti pula, sama-sama memiliki pesona yang sang-
gup menabuh deras-deras detak jantung kaum lelaki. 
Bedanya, perempuan muda di sebelah nenek 
tua berwajah agak pucat, dingin dan beku. Seolah pa-
rasnya tak memiliki secercah pun api kehidupan. Pun 
pada sepasang bola mata bulatnya yang sesungguhnya 
demikian indah. Dia mengenakan pakaian berwarna 
merah hati. 
Sedangkan paras muka perempuan muda yang 
lain justru bertolak belakang. Dia memiliki sinar mata 
yang demikian lembut. Selembut cahaya senja merah 
jingga di ufuk barat. Ada garis-garis kekhawatiran 
mendalam tergurat di wajah ayunya manakala mene-
mukan keadaan gadis yang mirip dengannya. Kekha-
watiran terdalam yang belum tentu bisa dirasakan 
orang lain. Perempuan muda itu mengenakan pakaian 
adat tanah Jawa berwarna coklat.
Dari pakaian yang dikenakan, orang lain akan 
cepat menduga bahwa tiga orang di antara mereka 
adalah warga persilatan. Sementara gadis berpakaian 
adat tanah Jawa?
Orang terakhir adalah pemuda belia tampan 
berperawakan kekar. Mengenakan rompi tebal dari bu-
lu hewan berwarna putih keabu-abuan. Bercelana hi-
tam sebatas lutut. Rambutnya lurus panjang kemera-
han hingga melewati bahu.
Mereka tentu saja Nini Jonggrang, Tresnasari, 
Mayangseruni, dan pendekar muda yang belum lama 
hadir dalam gonjang-ganjing persilatan tanah Jawa. 
Siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng? Murid dua to-
koh tua kesohor; Dedengkot Sinting Kepala Gundul

dan Tabib Sakti Pulau Dedemit?
Nenek sejelek kuntilanak lama terjemur tentu 
saja Nini Jonggrang. Tua bangka golongan sesat yang 
lebih menggetarkan rimba persilatan dengan julukan 
sangar; Perempuan Pengumpul Bangkai!
Dua gadis berwajah dan perawakan begitu mi-
rip tak lain tak bukan Tresnasari dan Mayangseruni. 
Seperti diketahui, Tresnasari saat itu sedang dalam 
pengaruh tenung jahat Nini Jonggrang. Perempuan 
Pengumpul Bangkai hanya akan melepaskan Tresna-
sari dari pengaruh tenungnya jika Satria bersedia me-
nyerahkan diri untuk menggantikan Tresnasari. (Baca-
lah episode sebelumnya : "Perempuan Pengumpul 
Bangkai"!).
"Bagaimana aku yakin padamu bahwa kau 
akan melepaskan gadis itu dari pengaruh tenungmu 
jika aku bersedia menggantikan tempatnya?" aju Sa-
tria, jumawa. Tak tampak sama sekali kegetaran di wa-
jahnya.
"Satria!" sergah Mayangseruni. Ditatapnya pe-
muda perkasa di sebelahnya dengan sinar mata tak 
menerima. Kendati perkenalannya dengan pendekar 
muda itu belum terbilang berusia cukup lama, entah 
kenapa Mayangseruni sudah merasa begitu dekat den-
gan pribadi Satria.
Untuk menyebut perasaannya itu sebagai benih 
cinta, mungkin terlalu tergesa-gesa. Mayangseruni be-
lum cukup yakin. Namun begitu, sulit dipungkiri ada 
perasaan yang sulit diceritakan. Lebih kuat dari seka-
dar rasa suka terhadap diri si perjaka. Lebih jauh dari 
sekadar simpati. Atau mungkin tanpa disadari telah 
tumbuh benih cinta di hatinya?
Dihalau oleh perasaan khawatir terhadap kese-
lamatan Satria, tanpa sadar tangan Mayangseruni sudah merenggut erat pangkal lengan pemuda di sam-
pingnya. Sikapnya seolah seorang yang tak sudi mem-
biarkan sesuatu yang begitu disayanginya terlepas dari 
genggaman. 
Satria melirik sebentar kepada Mayangseruni. 
Bersit ketegaran di sepasang bola matanya tak bergem-
ing. Lalu pandangannya beralih kepada renggutan tan-
gan Mayangseruni yang makin menguat di pangkal
lengannya.
Mayangseruni sadar akan perbuatan tak dis-
adarinya. Dia jadi jengah sendiri. Tertunduk, dibua-
ngnya pandangan ke bawah.
"Kau tak bisa menuruti begitu saja kemauan 
nenek busuk itu, Satria," kata Mayangseruni. Hampir-
hampir tak terdengar. Lirih.
"Jika aku tak melakukannya, bagaimana den-
gan saudara kembar mu, Tresnasari?"
Pertanyaan Satria tak dijawab Mayangseruni. 
Gadis muda ayu itu sama sekali tak bisa menjawab-
nya. Mau menjawab apa? Toh, kenyataannya dia pun 
begitu menyayangi Tresnasari, meski saudara kembar-
nya baru saja dijumpai. Posisinya memang sulit untuk 
menjawab pertanyaan Satria barusan. Dia seperti 
mendapat buah Simalakama. Tak mungkin dia sudi 
membiarkan Tresnasari terus dalam pengaruh tenung 
Nini Jonggrang. Di lain sisi, Mayangseruni pun sama 
tak sudi melepaskan Satria untuk menggantikan tem-
pat Tresnasari.
"Apakah tak ada cara lain, Satria?" bisik 
Mayangseruni, lemah. Masih pula terdengar lirih.
Nini Jonggrang menertawai ucapannya. Kikik 
mendirikan bulu romanya merebak ke angkasa, me-
langlanginya beberapa saat, lalu pupus dilarikan an-
gin.

"Jangan bodoh, Anak Perempuan! Tak ada pili-
han lain bagi bocah ganteng ini selain menerima per-
syaratan ku. Kau tahu sebabnya? Karena aku tahu dia 
tak bisa membohongi hatinya sendiri. Dia mencintai 
gadis yang ku tenung ini. Dia lebih mengkhawatirkan 
keselamatan nyawa gadis pujaannya ketimbang nyawa 
sendiri!" cerocos Nini Jonggrang.
Bulat mata Mayangseruni menerobos manik 
mata Satria. Ingin ditemukannya jawaban pada mata 
bergaris tegas pemuda itu. 
"Benarkah Satria?" tanyanya.
"Benar apa?" Satria belum sempat menanggapi 
maksud pertanyaan Mayangseruni. Perhatiannya ma-
sih terhunus lurus pada Nini Jonggrang. Bersama se-
genap kemarahan yang coba dikuasainya.
"Benar kau ber...," tiba-tiba Mayangseruni ragu 
untuk menuntaskan pertanyaan. Apa haknya mena-
nyakan itu pada Satria? Apa haknya? Umpat hatinya.
"Ya," jawab Satria, sesaat setelah mengerti arah 
pertanyaan Mayangseruni. "Aku memang mencintai 
saudara kembar mu, Mayang. Sangat mencintainya. 
Karenanya, aku lebih rela mengorbankan diriku dari-
pada Tresna," tuntasnya, menandaskan.
"Sekarang kau menjadi mengerti alasan meng-
gantikan tempat Tresna, bukan? Tapi, kau tak perlu 
khawatir padaku. Cobalah percaya padaku."
Mendengarnya, entah kenapa Mayangseruni 
merasakan kekecewaan merayap lamat-lamat. Men-
dengarnya, entah kenapa rasa iri itu datang lagi. Satu 
hal lain yang menyelinap di relung terdalam hatinya 
adalah keterpaksaan membiarkan Satria menerima 
persyaratan Nini Jonggrang. Biar bagaimanapun, Sa-
tria sendiri yang telah menjatuhkan pilihan. Dia tak 
bisa melarang.

"Sekarang, aku ingin dengar darimu, Nenek. 
Apakah kau bisa menjamin dengan mempertaruhkan 
nama besarmu untuk melepaskan gadis yang kucintai 
itu apabila aku menggantikan tempatnya?" Satria me-
minta ketegasan untuk kedua kalinya. 
"Hi hi hi! Untuk seorang bodoh bau kencur 
yang baru saja mencium anyirnya rimba persilatan, 
kau termasuk bocah bernyali besar. Patut dikagumi. 
Perkataan mu seakan menantang langsung nama be-
sar Perempuan Pengumpul Bangkai! Hi hi hi, bedebah 
sekali kau, Bocah!" 
"Aku tak membutuhkan basa-basimu itu, Nek. 
Katakan padaku, apakah kau sanggup bersumpah 
dengan nama besarmu untuk melepaskan gadis itu?!" 
tebas Satria, tak ingin bertele-tele.
"Baik baik! Hi hi hi, memang benar-benar bede-
bah kau! Sekarang, kau boleh melempar lebih dahulu 
Kail Naga Samudera di tanganmu itu!"
Tak banyak ucap, Satria melemparkan benda 
pusaka di tangannya.
Nini Jonggrang menyambut dengan sikap pe-
nuh kemenangan.
"Dan kau bocah perawan, silakan pergi dari si-
ni! Kembalilah ke tempatmu. Nanti, saudara kembar
mu yang akan datang menemuimu. Asal jangan kau 
harapkan perjaka ini. Dia akan menjadi milikku. Jadi 
milikku!"
Mayangseruni tak bergeming dari tempatnya. 
Hatinya masih terlalu berat membiarkan Satria menja-
di tumbal. Bahkan dia merasa tak sanggup mengge-
rakkan kakinya. Tangan kekar Satria singgah diba-
hunya, menyadarkan gadis ayu berhati lembut itu.
"Kembalilah ke Tanjung Karangbolong," bisik 
Satria.


Mayangseruni menatap Satria. Di mata pemuda 
tampan itu, terlihat isyarat kecil. Mayangseruni men-
gerti. Satria memintanya untuk menemui Ki Kusumo 
dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dengan cerdik, 
Satria hanya menyebutkan nama tempat tinggal dua 
tokoh rimba persilatan itu. Satria tampaknya tahu be-
nar, meski dia berbisik sepelan apa pun, telinga Nini 
Jonggrang tetap akan mendengarnya. Karenanya, dia 
mengatakan maksudnya. dengan kalimat yang lain.
Mayangseruni masih tetap menatap Satria le-
kat-lekat. Garis bening di kedua bola matanya makin 
menggenang. 
"Kau harus percaya padaku, Mayang. Aku akan 
baik-baik saja. Aku berjanji padamu," Satria meyakin-
kan diri gadis itu. 
Bulir bening menggelinding.
Di satu pipi Mayangseruni. 
Berat hati, gadis itu berbalik pergi.
Langkahnya gamang.
Di kejauhan, isaknya terdengar tertahan.
DUA
MUNGKINKAH Satria Gendeng membiarkan di-
rinya dikuasai oleh tenung Nini Jonggrang untuk 
menggantikan tempat orang yang dicintainya? Atau 
ada hal lain yang sebenarnya telah dipikirkan dengan 
matang oleh si pendekar muda?
Lepas dari seluruh pertanyaan yang begitu 
mengusik benak Mayangseruni, di Tanjung Karangbo-
long, Dedengkot Sinting Kepala Gundul tampak sendiri 
di dalam gubuknya. Orang tua bertabiat sinting

sintingan itu duduk bersila di balai bambu. Matanya 
terpejam rapat. Berbeda dengan bibirnya yang sedikit 
membuka memperlihatkan sisa gigi berwarna kehita-
man. Tangannya bersedekap di dada. Naga-naganya, 
dia sedang melakukan semadi.
Ki Kusumo tak terlihat bersamanya. Tidak di 
dalam gubuk. Tak juga di luar.
Sejak kepergian Satria dan Mayangseruni me-
nuju Gunung Sumbing, Ki Kusumo pun meninggalkan 
gubuk. Dia khawatir akan keselamatan sepasang mu-
da-mudi itu. Terutama karena nantinya mereka akan 
menghadapi seorang tokoh perempuan jahat sakti, Nini 
Jonggrang.
Sebenarnya, Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau 
Dedemit yang terhitung tokoh kelas atas persilatan ta-
nah Jawa bukanlah tandingan sepadan Nini Jonggrang 
alias si Perempuan Pengumpul Bangkai. Dulu saja, Ki 
Kusumo telah gagal menghadapi kesaktian Ki Ageng 
Sulut. Kegagalan yang menuntut tumbal sepasang ka-
kinya. (Baca kisahnya pada episode: "Iblis Dari Nera-
ka"!). Sementara untuk tingkat kesaktian. Si Perem-
puan Pengumpul Bangkai berada beberapa tingkat di 
atas Ki Ageng Sulut sendiri. Diakui atau tidak oleh 
pendeta tua laknat berjuluk Iblis Dari Neraka itu.
Kalaupun Ki Kusumo tetap juga memutuskan 
untuk menguntit Satria dan Mayangseruni dalam per-
jalanan ke Gunung Sumbing, semata karena dia tak 
bisa membiarkan muridnya seorang diri menghadapi 
tokoh tak terkalahkan sejenis Nini Jonggrang. Belum 
lagi beban yang harus dipikul Satria dengan turut ser-
tanya Mayangseruni. Nyawa gadis itu tentu saja akan 
menjadi tanggung jawabnya. Bukannya Ki Kusumo 
merendahkan kemampuan ilmu bela diri gadis itu. 
Hanya saja, dia sudah cukup lama mengenal manusia


macam apa Perempuan Pengumpul Bangkai sesung-
guhnya.
"Hendak ke mana kau, Kusumo?" tanya Dong-
dongka waktu itu, ketika Ki Kusumo baru saja hendak 
beranjak meninggalkan gubuk.
"Aku khawatir pada keselamatan murid kita, 
Panembahan," jawab Ki Kusumo, seadanya.
"Kau khawatir, lalu hendak menjaganya, begi-
tu?" Ki Kusumo mengiyakan.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mencibir, je-
lek.
"Kapan Bocah Gendeng itu akan belajar kalau 
kau terus saja menyuapinya? Kau tahu maksudku?" 
khotbah Dongdongka. Lantas lanjutnya. "Biarkan dia 
belajar menyelesaikan masalahnya sendiri, tahu! Kare-
na hanya pengalaman semata yang bisa menjadi guru 
terbaiknya. Kita sebagai gurunya hanya membantunya 
memberi sesuatu yang belum dimiliki, tahu?!" 
Tumben sekali manusia bertabiat sinting itu 
berbicara agak waras. Biasanya perkataannya bisa le-
bih ngaco dari ocehan Beo pusing.
Dalam hati, Ki Kusumo tak menyalahkan pen-
dapat Dedengkot Sinting Kepala Gundul tadi.
"Kupikir, kau hanya terlalu sayang pada Bocah 
Gendeng kita itu. Iya, kan? Apa kau pernah berpikir, 
rasa sayang yang berlebihan terkadang malah mem-
buat seseorang menjadi manja. Pribadinya tak cukup 
ditempa karena hidup keenakan. Mengerti maksudku, 
Kusumo?"
Ki Kusumo mengangguk.
"Aku memang sayang pada bocah itu, Panem-
bahan. Seperti sayangnya aku pada cucu sendiri. Tapi, 
bukan karena itu aku berniat menguntitnya menuju 
Gunung Sumbing?" sangkal Ki Kusumo halus dan ber

tatakrama selaku orang yang sedang berbicara pada 
sesepuh persilatan tanah Jawa.
"Jadi?" Wajah Dongdongka mendongak, pena-
saran dengan alasan Ki Kusumo. 
"Justru aku sadar, bocah itu masih belum ba-
nyak belajar tentang seluk-beluk rimba persilatan. Dia 
belum cukup mengenal bagaimana tabiat rimba persi-
latan. Dia masih terlalu hijau. Bekal oleh kanuragan 
dan kesaktian dari kita, tampaknya belum cukup ba-
ginya. Sementara orang yang akan dihadapi adalah 
orang yang sudah berkubang demikian lama di rimba 
persilatan. Bahkan jauh lebih banyak menelan asam 
garam ketimbang diriku. Sebagai gurunya, tentu saja 
aku menginginkan dia belajar banyak dari hidup. Na-
mun, sebagai gurunya pula, aku merasa bertanggung 
jawab untuk mengawasi dia agar tak salah langkah. 
Tut Wuri Handayani, maksudku, Panembahan...," tu-
tur sang tabib kenamaan tanah Jawa, santun. 
Dongdongka mengangguk-angguk perlahan. 
Tak jelas apakah dia mengangguk paham atau justru 
mengangguk karena mengantuk. Karena saat itu, ke-
lopak matanya terkatup.
Karena Dedengkot Sinting kepala Gundul tak 
menanggapi lebih lanjut alasannya, Ki Kusumo segera 
saja pamit. Dia yakin pada alasannya. Seperti dia ya-
kin Dongdongka telah mengerti pula pada alasan itu! 
Sepeninggalan Ki Kusumo, sebelah mata Dong-
dongka memicing hati-hati. Sebelah bola matanya itu 
melirik ke kanan dan kiri, memeriksa apakah Ki Ku-
sumo benar-benar telah keluar dari gubuk.
Sebentar kemudian, dia bergumam sendiri.
"Slompret, benar juga apa kata Kusumo tadi, 
ya...." 
Rupanya tadi itu dia cuma berpura-pura men

gantuk. Sebab, dia tahu kalau alasan yang dikemuka-
kan Ki Kusumo ada benarnya. Maklum, dia rada malu 
mengakuinya. Gengsi begitu!
Nah, jika sekarang dia terlihat bersemadi, apa-
lagi yang dilakukannya kalau bukan hendak 
'mengawasi' murid gendengnya dari jauh? Tentunya 
dengan mempergunakan ajian 'Melepas Sukma' yang 
dimilikinya. Ajian yang hanya diturunkan oleh Pertapa 
Sakti Gunung Sewu pada dirinya. Nini Jonggrang ken-
dati sebagai kakak perguruannya saja tak pernah me-
nerima ajian tersebut.
'Melepas Sukma' sendiri adalah satu ajian 
langka yang jarang dimiliki oleh orang-orang persila-
tan. Orang yang memiliki atau mampu mempelajarinya 
dapat dihitung dengan jari. Salah seorang di antaranya 
adalah Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dan satu 
orang yang dengan luar biasa dapat menerima ajian 
tersebut kendati usianya masih terlalu muda dan di-
anggap banyak kalangan tidak mungkin adalah Satri 
Gendeng. 
Ketika terakhir kali menerima ajian 'Melepas 
Sukma', Satria menerima beberapa wejangan-wejangan 
yang berkaitan dengan hal itu.
"Badan manusia itu terbagi dua, tahu," mulai 
Dongdongka waktu itu. "Kita memiliki badan besar 
yang kita sebut wadag atau jasad dan memiliki badan 
halus yang kita sebut sukma atau roh. Sejak kita lahir, 
sukma terpatri di dalam wadag. Namun, ada saatnya, 
sukma kita tercerabut...." 
"Saat kita mati, Kakek?" sela Satria.
"Kau memang cerdas!"
"Lalu, di bagian dalam diri kita yang mana 
sukma itu berada?" 
"Pertanyaanmu juga cerdas, Cah Gendeng!

Sukma bersemayam di dalam kalbu! Di sanalah tempat 
sukma hidup dan diberi makan...." 
"Makan? Apakah sukma kita butuh makan?"
"Seperti wadag yang membutuhkan makanan, 
sukma pun butuh pula 'makanan'. Kalau wadag harus 
menerima makanan bersifat zahir, maka Tuhan Se-
mesta Alam menempatkan sukma atau roh itu dalam 
keadaan amat bersih, amat suci. Kehidupan di dunia 
inilah yang menjadi perjuangan bagi manusia untuk 
menjaga agar sukmanya tetap bersih, atau mengoto-
rinya sekotor-kotornya hingga menjadi sakit dan mati." 
Dongdongka berhenti sebentar.
"Segala tingkah-lakumu, perbuatanmu, sikap-
mu, sepak terjang mu akan menjadi 'makanan' sukma. 
Setiap kali kau berbuat kebaikan, maka sukma mu
menjadi bertambah hidup. Sebaliknya, setiap kali kau 
berbuat kebatilan, maka sukma mu menjadi kian mati. 
Kalau sukma mu telah mati di dalam kalbu, sementara 
umurmu masih panjang, maka kau tak lagi menjadi 
manusia."
"Kalau tidak lagi menjadi manusia, menjadi 
apa, Kek?"
"Menjadi 'bangkai hidup'. Maksudnya, karena 
sukma telah mati, maka kalbu mu menjadi membatu. 
Kau tak lagi memiliki sifat-sifat kemanusiaan, kecuali 
sifat-sifat yang lebih tercela dari binatang. Tak bisa lagi 
kau membedakan mana yang baik dan buruk, mana 
yang benar dan salah. Padahal baik tidaknya seseo-
rang tergantung dari kalbunya!"
Satria tercenung sejenak.
"Lalu apa hubungannya dengan ajian 'Melepas 
Sukma' yang kau berikan padaku, Kek?" susulnya ke-
mudian. 
"Pertanyaan cerdas lagi! Kau memang patut di

banggakan!" 
"Apa, Kek?!"
"Sabar, Kunyuk!"
Satria garuk-garuk kepala.
Dongdongka terdiam dengan kerutan dalam di 
kening.
"Begini," mulai Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul lagi. "Seperti telah kubilang tadi, bahwa ada saat-
nya sukma tercerabut dari wadag. Yaitu saat kita mati. 
Ajian 'Melepas Sukma' sebenarnya adalah sebentuk 
kehendak suci dari kalbu yang sanggup mengatur 
sukma. Dengan dorongan kehendak kalbu yang suci, 
kita dapat menghelanya keluar dari wadag."
"Artinya, pada saat sukma kita itu keluar dari 
wadag, maka wadag kita tak bisa berbuat apa pun?"
"Benar! Kendati begitu, jasad kita tetap hidup. 
Hanya dia telah kehilangan tenaga penggeraknya, 
hingga tak bisa melakukan apa-apa!"
"Jadi kunci untuk mendapatkan ajian 'Melepas 
Sukma' adalah kehendak suci kalbu? Kalbu kita harus 
benar-benar bersih? Begitu kau pernah bilang sebe-
lumnya, bukan?" simpul Satria Gendeng.
"Hue he he! Kau memang murid cerdas! Sial se-
kali kau!" 
Lalu.... 
Plak!
Jitakan sengit Dongdongka mampir di jidat Sa-
tria Gendeng! Apes.... 
***
Kembali ke Wadaslintang. 
Sepeninggalan Mayangseruni, Nini Jonggrang 
terkikik, melimpahi angkasa dengan nada kemenan

gan.
"Tiba waktunya bagimu untuk menerima te-
nung ku, Pemuda Keparat!" sentak si nenek ahli te-
nung hitam itu di ujung tawa membuncahnya.
Satria mendengus. 
"Tak bisa, Nenek Busuk. Aku telah meluluskan 
permintaanmu yang pertama. Aku telah menyerahkan 
Kail Naga Samudera padamu. Sekarang, giliranmu me-
lepaskan gadis itu dari pengaruh tenung jahatmu!" 
tandasnya tegas seraya menunjuk ke arah Tresnasari. 
Tresnasari saat itu masih mematung seolah bangkai 
hidup bernyawa. Kasihan sekali menyaksikan betapa 
pucat wajahnya. Betapa tak ada sinar kehidupan di 
wajah cantik itu. 
"Hi hi hi, kau pikir kau punya pilihan?"
"Aku punya pilihan. Pertama, aku bersedia 
memenuhi seluruh syaratmu, selama aku yakin kau 
tak menipuku. Kedua, aku tak akan menuruti mu jika 
aku yakin kau hendak berbuat licik. Jika yang kedua 
yang kau inginkan, aku lebih suka mati bersama den-
gan gadis itu setelah kau kubunuh terlebih dahulu," 
ancam Satria.
"Baik baik. Kau mendapatkan apa yang kau 
mau, Pemuda Keparat!" desis Nini Jonggrang. Ketika 
itu, tanpa disadari justru dialah yang tak punya pili-
han. Ucapan penuh kemantapan Satria telah men-
jungkirbalikkan keadaan untuk sementara.
"Sekarang kau menyingkir agak jauh!" perintah 
Nini Jonggrang pada Satria. "Aku akan mulai membe-
baskan gadis kesayangan mu ini!"
Sejenak dua bola mata berurat kemerahannya 
mendeliki Satria.
"Jangan pernah berpikir untuk menyerangku 
saat aku membebaskan bocah perawan ini!" ancamnya

mengerikan.
Satria beringsut mundur perlahan sesuai perin-
tah Nini Jonggrang. Dia sadar, ancaman terakhir si 
nenek ahli tenung tak bisa dibuat main-main. Tentu 
Nini Jonggrang akan menyiapkan sebentuk benteng 
pertahanan yang tak disadari Satria untuk berjaga-
jaga agar Satria tak menyerangnya saat membebaskan 
tenung dari diri Tresnasari.
***
Malam beringsut turun, berkawal kabut yang 
merayap lamat-lamat. Sisa merah jingga sekarat di ba-
tas ufuk barat. Sebentar lagi, sinar mentari binasa.
Nini Jonggrang memulai upacara gaibnya un-
tuk melepaskan pengaruh tenung pada diri Tresnasari. 
Mula-mula perempuan tua aliran sesat itu duduk ber-
sila sekitar tiga tombak di depan Tresnasari.
Beberapa lama, terdengar geram terseret dalam 
diamnya. Matanya tajam menghunus, tepat ke manik 
mata muridnya yang dianggap murtad.
Detik berjingkat. 
Geramnya melamat.
Mendadak sontak, Nini Jonggrang berteriak. 
Serak namun juga melantak.
Dalam, sekaligus berdebam.
Tak sadar, si perjaka sakti teringsut mundur. 
Kendati keberaniannya mungkin bisa diandalkan un-
tuk menghadapi moncong kematian, tak urung hatinya 
menjadi tergetar. Gentar. Jeritan iblis besar neraka 
mana yang telah merasuki suaranya? bisik Satria 
Gendeng membatin 
Berikutnya, tangan Perempuan Pengumpul
Bangkai terangkat naik. Tinggi-tinggi. Seakan hendak

melepaskannya langsung ke langit yang mulai dicekam 
kegelapan. Telapak tangannya terbuka menghadap 
Tresnasari. Jari-jemari kurus berbalut kulit keriput 
berlendirnya mengejang, menegakkan kuku-kuku hi-
tam runcing.
Si tua terkutuk itu bergetar.
Dalam irama kasar.
Pertunjukan menggidikkan tak selesai sampai 
di situ. Bahkan, sesungguhnya baru saja dimulai.
Tresnasari yang semula berdiri diam tanpa se-
dikit pun geming, mendadak terangkat naik satu-dua 
jengkal dari permukaan bumi. Naik, tetap dalam kea-
daan tegak. Mengapung sekian lama, tanpa terusik 
apa-apa. 
Jeritan Nini Jonggrang melandai turun. 
Bersamaan dengan itu, Tresnasari bergerak la-
gi. Masih dalam posisi tegak, tubuhnya yang menga-
pung di udara berputar perlahan begitu rupa sampai 
posisinya telentang lurus. Kini, yang terlihat seolah-
olah gadis itu sedang tertidur di atas angin. Menga-
pung diam.
"Ghrrr...." 
Nini Jonggrang mulai menggeram lagi.
Jari-jari tangannya bergetar makin hebat. Na-
pasnya menanduk-nanduk udara. Dadanya tersentak-
sentak seperti diserang sengal hebat. Dari mulutnya, 
melantunlah mantera-mantera gaib yang mendirikan 
sekujur bulu halus di tubuh Satria. Ada dorongan te-
naga magis terasa di sana. Kekuasaan angkara yang 
menggelegar-gelegar keluar dari alam kegelapan. Nini 
Jonggrang telah mengundangnya.
Satria dipaksa beringsut mundur setengah tin-
dak ke belakang. Sepanjang hayat, belum pernah di-
alaminya peristiwa semenggidikan itu. Seperti pernah

dikatakan Ki Kusumo pada Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul waktu lalu. Satria memang terlalu hijau. Men-
tahnya pengalaman akan menjadi satu kelemahan
Beruntung, dia tergolong pemuda berhati ko-
koh, bernyali tak rapuh. 
Upacara gaib berlanjut terus.
Sementara Satria terpana-pana menyaksikan 
seluruh kejadian yang berlangsung di depan mata....
"Ssst!"
Terdengar bisikan seseorang di belakangnya.
Satria menoleh. Dia terperanjat berbaur senang 
menemukan orang tadi. Mulutnya menganga, hendak 
mengucapkan sesuatu. Orang yang datang diam-diam 
cepat menempatkan jari telunjuknya di depan bibir.
Orang itu ternyata Dongdongka, Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul! 
"Aku cuma menampakkan sukmaku padamu 
saja. Jadi, si nenek peot bau itu tak akan melihatku 
atau mendengarku. Kalau kau ingin berbicara, pergu-
nakan bahasa batin!"
Dalam hati, Satria mendumal kesal: Kalau me-
mang cuma dia yang bisa melihat dan mendengar ke-
hadiran sukma gurunya, kenapa tua bangka itu pakai 
berbisik segala? Apa karena kurang kerjaan atau itu 
bagian dari kesintingannya?
"Bersemadilah dalam posisi mu sekarang. Jan-
gan memancing kecurigaan si Jonggrang. Setelah kau 
mencapai tahap semadi mu, barulah kau bisa me-
nyampaikan ucapan batin kepadaku. Ngerti tidak 
kau?!" lanjut Dedengkot Sinting Kepala Gundul, menje-
laskan. 
Satria mengangguk sambil melirik hati-hati Nini 
Jonggrang. Segera perintah guru sintingnya dijalan-
kan. Tetap berdiri seolah-olah sedang asyik menyaksi

kan upacara gaib Perempuan Pengumpul Bangkai, 
Satria memasuki tahap semadinya.
"Aku tak tahu kau sudah sinting atau tidak!" 
sembur Sukma Dongdongka setelah Satria siap.
"Apa maksudmu, Kakek?"
"Apa maksudku?!" Sukma Dongdongka mende-
lik. "Kau akan membiarkan dirimu menjadi pengganti 
Bocah Perawan Jelita itu menjadi tawanan tenung si 
Jonggrang! Apa itu bukan sinting? Terus terang saja, 
aku mengajarkan kau supaya berpura-pura sinting da-
lam tingkah. Bukan sinting benaran, tahu?!" sembur-
nya habis-habisan.
"Dari mana Kakek tahu?" 
"Dari sawah turun ke kali! Ya, aku tahu karena 
selama ini Sukmaku terus menguntit mu, Cah Tolol!"
"Jadi Kakek mau tahu kenapa aku bersedia me-
lakukannya?"
"Betul!"
"Aduh, Kakek ini bagaimana? Coba saja Kakek 
pikirkan sebentar..." 
"Kurang ajar semata kau! Aku gurumu, bukan 
jongosmu. Masa' aku kau suruh-suruh begitu!"
"Maksudku tentang ajian 'Melepas Sukma'!"
"Alah-alah, sudah jelaskan saja, Gendeng! Jan-
gan ngalor-ngidul tak karuan. Kau cuma bikin pegal 
perasaanku saja, tahu!" 
Sementara Nini Jonggrang tak pernah menya-
dari kehadiran gaib bekas saudara seperguruannya. 
Satria pun menjelaskan alasannya pada tua bangka 
bertingkah sinting-sintingan itu.
Ketika Nini Jonggrang mengajukan syarat un-
tuk membebaskan Tresnasari dari pengaruh tenung-
nya, Satria teringat pada seluruh wejangan-wejangan 
gurunya Dedengkot Sinting Kepala Gundul beberapa

waktu lalu tentang ajian 'Melepas Sukma'. Dari wejan-
gan itu, Satria yakin bahwa dia dapat memanfaatkan 
ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh pengaruh ten-
tang Nini Jonggrang.
Menurut penilaiannya, pengaruh tenung itu 
hanya akan mengkerangkeng sukma seseorang se-
hingga tak berdaya dan menuruti seluruh perintah si 
Perempuan Pengumpul Bangkai. Satria yakin, jika 
sukmanya keluar dari wadag, maka tak ada kesempa-
tan lagi bagi pengaruh tenung itu untuk menguasai di-
rinya.
Rencananya, jika nanti Tresnasari telah dibe-
baskan, maka Satria akan membiarkan dirinya dite-
nung Nini Jonggrang. Pada saat yang sama, dia akan 
mengerahkan ajian 'Melepas Sukma'. Tepat saat pen-
garuh tenung menerobos masuk dalam kalbunya dan 
hendak mengkerangkeng sukmanya, maka sukmanya 
akan lebih dahulu keluar!
Sebuah rencana cerdik yang berisiko tinggi. Ba-
gaimana tidak? Selama menerima ajian 'Melepas Suk-
ma' dari gurunya, baru sekali ini Satria mencoba me-
manfaatkannya. Selain itu, dia belum lagi bisa memas-
tikan apakah seluruh perkiraannya itu benar-benar 
akan berjalan mulus. 
Sepertinya, si pendekar muda sedang berjudi 
dengan nyawa sendiri! 
"Buagus, buaaaagus!" Sukma Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul memuji-muji, usai mendengar pe-
nuturan muridnya. "Kalau begitu alasanmu, aku juga 
setuju. Kau memang cerdas, Cah Gendeng Slompret! 
Kau tak perlu ragu-ragu melaksanakan rencanamu! 
Aku mendukungnya! Biar he he he... biar he he he...."
"Biar apa, Kek?" 
"Biar si Jonggrang itu uring-uringan sampai

terkencing-kencing begitu tahu akan bau kencur ma-
cam kau telah mengecohkannya mentah-mentah. Bu-
kankah itu menyenangkan?! Hue he he!!!"
"Tapi aku bukan anak bau kencur lagi, Kek," 
bantah Satria.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mana peduli. 
Dia masih sibuk terkekeh-kekeh geli.
"Kalau begitu, sebenarnya kau tak perlu bantu-
anku lagi, bukan?" tanyanya kemudian, masih di sela-
sela kekehnya.
"Terima kasih, Kek. Aku sudah yakin seka-
rang!" tegas dan mantap, Satria menjawab.
"Memang benar apa kataku. Kau sebenarnya 
memang bisa diandalkan. Si Kusumo saja yang ma-
cam-macam. Pakai mengkhawatirkan kau segala ma-
cam. Huh, memangnya kau masih bau kencur, ya? Ka-
lau bau popok memang benar!"
Setelah puas mengejek muridnya sendiri, Suk-
ma Dongdongka memupus perlahan, kembali ke gu-
buknya. 
Di gubuknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
terjaga dari sila diamnya. Mulutnya langsung men-
gumpat-umpat berkepanjangan begitu merasakan ce-
lananya basah kuyup. Rupanya, bukannya Nini 
Jonggrang yang terkencing-kencing di celana seperti 
dikatakan sebelumnya. Justru dia yang terkena musi-
bah itu. Pasalnya, sukmanya terlalu kelewatan terke-
keh....
Biar rasa!

TIGA
DENGAN berjalan kaki menempuh jarak tera-
mat jauh, Mayangseruni terus berjalan. Gontai. Beru-
lang-ulang terlihat kesan keraguan dalam langkahnya. 
Dia masih ragu pada keselamatan saudara kembarnya. 
Seragu akan keselamatan Satria. 
Manakala teringat permintaan Satria untuk se-
gera ke Tanjung Karangbolong, Mayangseruni menjadi 
bersemangat. Langkahnya dipercepat. Tak bisa dia te-
rus ragu untuk melanjutkan perjalanan atau kembali 
ke Wadaslintang. Keraguan seperti itu, toh tak akan 
menyelesaikan masalah.
Satria benar, pikirnya dalam hati. Yang terbaik 
dilakukan saat itu adalah segera menemui Ki Kusumo 
dan Dongdongka segera. Dengan begitu, dia bisa me-
minta bantuan untuk Satria dan Tresnasari yang ter-
jebak dalam permainan busuk Nini Jonggrang. 
Sadar akan hal itu, langkah si gadis ayu makin 
cepat, cepat dan kian cepat. Kemudian tampak dia ber-
lari kecil. Sampai akhirnya dia mencoba mengandalkan 
ilmu lari cepatnya yang tak seberapa. Sepanjang berla-
ri, wajahnya tak lekang dari garis-garis kecemasan. 
Sedangkan hatinya terbakar oleh api semangat untuk 
segera tiba di Tanjung Karangbolong. Untuk tiba di sa-
na, gadis ayu itu tak bisa hanya mengandalkan kedua 
kakinya. Dia harus cepat mendapatkan kuda di desa 
terdekat.
Untuk itu, Mayangseruni belum tahu arah ma-
na yang akan dituju. Sebelum tiba di Wadaslintang 
bersama Satria, mereka memang tak sempat mencari 
kuda pengganti. Kuda tunggangan mereka malah men-
galami nasib naas setibanya di Wadaslintang.

Karena kebingungan, Mayangseruni menghen-
tikan larinya. Ditebarnya pandangan ke segenap pen-
juru. Siapa tahu ada orang yang bisa ditanya tentang 
arah desa terdekat. Lebih bagus lagi kalau dia melihat 
tanda-tanda sebuah desa.
Namun sejauh pandangannya mampu men-
jangkau, tak ada sesuatu seperti harapannya. Tak seo-
rang pun terlihat. Juga tak ada tanda-tanda sebuah 
desa. Yang ditemukannya adalah bentangan hutan ke-
cil dipenuhi sesemakan dan pohon randu kurus.
Sementara itu, tanpa disadari malam telah 
menjelang. Matahari telah terbenam sama sekali. Tak 
bisa lagi dia menentukan arah yang jelas. Mayangse-
runi merutuk.
"Aku tersesat," gerutunya. 
Sekarang apa yang bisa dilakukan? Tanya ha-
tinya. Gusar, jengkel, khawatir, takut teraduk menjadi 
satu dalam benaknya. Perasaannya makin tak menen-
tu saja.
Dia mencoba meneruskan langkah dengan cara 
menduga-duga. Ketika sudah melangkah cukup lama, 
tahu-tahu dia kembali ke tempat semula. Tanpa ber-
niat menyerah, Mayangseruni mencoba lagi. Mencoba 
dan mencoba. Hasilnya, berulang-ulang kali dia kem-
bali lagi ke tempat yang itu-itu juga.
Lelembut mana yang telah menggiringku kem-
bali dan kembali lagi ke tempat ini? rutuk gadis ayu 
yang mulai digelayuti rasa lelah itu. Wajahnya sudah 
terbasuh basah oleh keringat sendiri. Begitupun pa-
kaiannya. Bahkan kain wiron yang sebelumnya telah 
dirobek di pekarangan rumah ayah angkatnya kian tak 
karuan bentuknya. Koyak-koyak di sana-sini tercabik 
belukar berduri yang tumbuh di tempat tersebut.
Kelelahan yang nyaris sampai puncaknya tak

membuat Mayangseruni memutuskan untuk istirahat. 
Baginya, istirahat berarti menyerah. Berarti pula, dia 
membiarkan Satria dan Tresnasari tak mendapatkan 
bantuan apa-apa. Itu terlalu bodoh!
Namun, kenyataannya dia tak bisa memungkiri 
bahwa tubuhnya memang sudah terlalu letih. Akhirnya 
dia terjatuh. Untung saja, ada sebatang pohon randu 
yang menyanggah tubuh. Tersengal-sengal dada 
Mayangseruni. 
Pada saat itulah, sesosok bayangan menerabas 
kepekatan malam, di antara pucuk-pucuk semak be-
lukar. Geraknya bagai kelebatan hantu. Demikian ce-
pat. Bahkan, hampir saja tak terkejar oleh pandangan 
mata.
Dan secara kebetulan, mata lelah Mayangseru-
ni sempat menangkap kelebatan bayangan tadi. Dari 
bersandar pada batang pohon randu, gadis itu me-
maksa tubuhnya untuk tegak kembali. Degup jantung 
yang sebelumnya memang sudah berdentam-dentam, 
makin memburu saja. Sepasang bola mata bulat ber-
bulu lentik miliknya mencari-cari nyalang.
"Siapa di sana?!" serunya.
Tak ada sahutan.
Senyap. Hanya menyelinap suara derik jangkrik 
di antara hembusan angin malam.
"Siapa di sana?!" ulang Mayangseruni. Kian de-
ras saja detak jantungnya. Menegang tubuhnya. Kele-
lahan seakan menguap begitu saja.
Tak kunjung ada sahutan. 
Sampai kelebatan bayangan itu melintas kem-
bali. Tak jauh di sisi Mayangseruni. Gadis itu tak tahu 
apa yang akan terjadi setelah itu. Hanya, nalurinya 
mengingatkan akan datangnya bahaya.
Dengan tubuh yang sudah banyak kehilangan

banyak tenaga, tentunya akan sangat sulit bagi 
Mayangseruni untuk menghindar. Menyambutnya ju-
stru akan membahayakan diri sendiri. Tak melaksana-
kan apa-apa tentu saja lebih bodoh.
Secepat mungkin dengan tenaga tersisa, 
Mayangseruni mencoba melompat ke samping. Sayang, 
gerak kelebatan tadi lebih cepat tiba.
Tep!
Ada tangan mencekal pergelangan tangannya. 
Keras. Sekeras kuncian cakar-cakar rajawali. Disusul 
oleh teguran yang sama sekali tak ramah.
"Hendak ke mana kau, Anak Perawan?"
Di sisinya, telah berdiri seorang. Dalam kegela-
pan malam seperti itu, sulit bagi Mayangseruni ini un-
tuk mengenali wajah penyergapnya. Sinar benda-
benda langit pun tak banyak berguna karena dia berdi-
ri di bawah satu pohon randu berdaun cukup lebat. 
Yang dilihatnya hanya bayangan orang itu. Seorang 
yang agak bungkuk dan kurus. Mengenakan jubah. 
Selebihnya terlalu samar. 
Mayangseruni demikian terkesiap. Dia bukan-
lah gadis lemah. Untuk keberanian, bahkan dia memi-
likinya lebih dari kebanyakan wanita sebayanya. Tapi, 
kehadiran tiba-tiba si penyergap tak dikenal itu mem-
buat ketakutan Mayangseruni meruyak tak terhindari.
"Hiaaa!"
Dengan memompa sisa tenaga kembali, 
Mayangseruni berusaha melepaskan cekalan tangan si 
penyergap. Sebelah tangannya berusaha memapas ce-
kalan. Tangan yang lain berkutat untuk melonggarkan 
cengkeraman lawan. 
Tanpa melepaskan tangan si gadis ayu, sang 
penyergap dengan amat mudah menangkap tangan 
Mayangseruni yang lain.

Tep!
Mayangseruni tak menyerah sampai di sana. 
Kakinya bergerak naik, hendak menanduk perut sang 
penyergap yang kini berhadapan dengannya. 
Masih dengan mudah, sang penyergap bergeser 
sedikit. Tendangan Mayangseruni memakan angin. Sa-
tu totokan cepat menyusul kemudian.
Kejap berikutnya, tubuh Mayangseruni menjadi 
lunglai.
"Kau akan menerima ganjaran atas kelancan-
ganmu padaku tempo hari!" dengus sang penyergap 
seraya membopong tubuh Mayangseruni ke atas bahu
***
Ki Kusumo terus mengawasi kejadian di bawah 
pohon kamboja di lembah berbukit wilayah Wadaslin-
tang. Sejak Nini Jonggrang muncul, Ki Kusumo tiba di 
tempat tersebut. Dari satu bukit, dia mengawasi. Te-
patnya, dari balik batu bukit yang menjorok keluar. 
Jarak tempatnya cukup jauh dengan tempat kejadian. 
Dengan jarak itu, masih cukup jelas baginya untuk 
mengawasi seluruh sepak terjang Perempuan Pengum-
pul Bangkai. Lembah terbuka dan cahaya bulan mem-
bantunya. Sayang, sama sekali tak dapat didengarnya 
seluruh perdebatan yang terjadi di sana. Terlalu jauh 
untuk itu.
Sampai saat itu, belum ada tindakan yang ingin 
dilakukan orang tua ahli pengobatan tersohor tanah 
Jawa itu. Tak, ada. Dia masih merasa keadaan murid-
nya, Satria cukup aman. Dan kepergian Mayangseruni 
membuatnya lebih yakin pada keselamatan Satria. Se-
tidaknya, beban bagi Satria sedikit berkurang jika nan-
tinya terpaksa harus menghadapi Nini Jonggrang. Sa

tu-satunya yang mungkin akan menjadi beban Satria 
kini tinggal Tresnasari.
Menyaksikan kembali gadis itu, Ki Kusumo jadi 
teringat pada seorang perempuan yang mati karena 
penyakit tak tersembuhkan. Wanita ibu kandung 
Tresnasari. Tentunya wanita yang dimaksud adalah 
Nyai Cemarawangi. Terngiang kembali dalam benak 
orang tua itu hari-hari terakhir bersama Nyai Cemara-
wangi yang sudah dianggap sebagai anak sendiri, ber-
sama Tresnasari dan juga Satria
Tersembul senyum samarnya, begitu dia mera-
sakan kembali betapa mereka sudah seperti keluarga 
besar di Tanjung Karangbolong.
"Apa yang hendak dilakukan nenek busuk itu 
pada Tresna?" desis Ki Kusumo."Kalau sampai terjadi 
apa-apa pada dirinya, aku bersumpah akan menya-
bung nyawa denganmu, Tua Bangka Terkutuk!" sum-
pah Ki Kusumo. 
Sedang tegang-tegangnya mengawasi, menda-
dak Ki Kusumo merasakan kehadiran seseorang dari 
arah selatan. Matanya cepat mencari-cari.
"Apa yang sedang kau lakukan sebenarnya, Ku-
sumo?" usik orang yang telah berdiri di bukit sebelah 
selatan, di tempat yang lebih tinggi. Berjarak sekitar 
dua puluh tombak. 
Ki Kusumo terkesiap. Orang yang disaksikan-
nya ternyata Ki Ageng Sulut. Di bahu pendeta tua mur-
tad itu ada seorang perempuan tertelungkup lunglai. 
Rambut hitam panjangnya terjuntai-juntai, menutupi 
wajahnya. Dari pakaiannya, Ki Kusumo seperti pernah 
melihat perempuan itu.
"Kenapa, Kusumo Keparat?!" susul Ki Ageng 
Sulut. Disaksikannya mata kelabu Ki Kusumo sedang 
berusaha mengenali orang yang dibopong.

"O, kau ingin tahu siapa perempuan yang ku-
bawa ini?! Apa kau merasa pernah melihat? Atau 
mungkin saja kau memang mengenali?" sambungnya. 
"Nah, lihatlah!"
Lalu dengan kasar, tangan Ki Ageng Sulut men-
jambak rambut perempuan di bahunya. Kepala perem-
puan itu menengadah.
Bukan main terperanjatnya Ki Kusumo. Kini 
dia tak perlu mengingat pakaian wanita itu. Wajah 
yang dilihatnya sudah cukup jelas untuk menyimpul-
kan siapa perempuan malang itu. 
"Mayangseruni?"
"O, rupanya tak keliru dugaanku. Kau mengen-
al perempuan ini. Kebetulan sekali kalau begitu," ce-
mooh si Iblis Dari Neraka. "Dengan begitu, aku punya 
satu 'pegangan', ya siapa tahu dapat kumanfaatkan 
untuk memaksamu membantu menyembuhkan pe-
nyakitku. Bukan begitu, Tabib Keparat?!"
"Bedebah kau, Ki Sulut!"
Ki Ageng Sulut tertawa janggal. Bibirnya hanya 
menyudut kecil seperti menyeringai. Sementara alunan 
tawanya begitu datar. Adalah satu hal langka jika tua 
bangka itu tertawa. Sebagai manusia, boleh dibilang 
dia termasuk jenis orang bermuka batu. Bahkan ham-
pir-hampir tak ada satu warga persilatan pun pernah 
melihatnya tertawa. Kalau sekali ini dia melakukan-
nya, Ki Kusumo yakin ada sesuatu yang disembunyi-
kan Ki Ageng Sulut. Ada sesuatu yang tak beres! 
Apa yang ada dalam benak orang terkutuk ini? 
Bisik Ki Kusumo. Perasaannya mulai waswas. Dia tak 
bisa mengabaikan kehadiran Ki Ageng Sulut di tempat 
yang sama dengan Nini Jonggrang. Dulu, dua manusia 
bejat itu pernah bersekutu dalam kebatilan. Bukan 
mustahil kalau mereka kini memiliki rencana bersama

untuk menjalani satu siasat licik. 
Tiba-tiba terlintas dalam ingatan Ki Kusumo 
tentang mimpi yang pernah diceritakan Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul padanya beberapa waktu lalu. 
Dalam mimpinya, Dongdongka melihat Satria dike-
royok habis-habisan dua ekor ular besar. Ular besar 
jantan dan betina. (Bacalah episode sebelumnya : "Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai"!).
Kalau mimpi itu berhubungan dengan peristiwa 
kali ini, tentu sepasang ular dalam mimpi Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul adalah simbol dari Iblis Dari 
Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai! 
Ki Kusumo menjadi bergidik.
EMPAT
"SATRIA!" 
Tresnasari tersadar dari pengaruh tenung hi-
tam. Upacara gaib yang dilaksanakan Nini Jonggrang 
telah usai. Begitu menyaksikan pemuda pujaan ha-
tinya, gadis itu langsung menghambur. Di peluknya 
Satria Gendeng kuat-kuat. 
"Aku takut, Satria.... Aku takut...," keluhnya di 
dada bidang Satria Gendeng. 
Satria Gendeng berusaha menenangkan Tres-
nasari dengan mengelus-elus rambutnya. Dibalasnya 
pelukan gadis itu, membenamkan wajah ketakutan 
Tresnasari ke dada bidangnya. 
"Tenang, Tresna. Tenanglah. Tak akan terjadi 
apa-apa pada dirimu," ucap Satria Gendeng, mencoba 
menenangkan kekasihnya
"Cukup segala kecengengan kalian! Sekarang,

kau harus bersiap menjadi budakku, Cah Tampan!" 
sentak Nini Jonggrang. Dia sudah bangkit dari silanya. 
Tangannya menunjuk Satria Gendeng dengan mimik 
wajah tak sabar.
Mendengar bentakan Nini Jonggrang, Tresnasa-
ri mengangkat kepala dari dada Satria Gendeng. Ma-
tanya agak membelalak, menatap Satria Gendeng.
"Apa maksud perkataannya, Satria? Aku tak 
mengerti? Apakah kau...." 
Pertanyaan beruntun si gadis terpancung. Sa-
tria Gendeng menghentikannya dengan menempatkan 
jari telunjuk ke bibir mungil memucat Tresnasari.
"Kuminta kau jangan banyak bertanya, Tresna. 
Sekarang, kau harus kembali ke Tanjung Karangbo-
long. Mayang - saudara kembar mu menunggu di sana. 
Sudah lama dia ingin bertemu denganmu," kata Satria 
Gendeng. 
"Gadis yang mirip denganku itu? Yang dulu 
bertemu di tempat Saudagar Kudus itu?"
Untuk dua pertanyaan, Satria Gendeng men-
gangguk sekali.
"Jadi benar dia saudara kembar ku?"
"Ya, Tresna. Kau bisa menanyakan langsung 
padanya nanti. Sekarang, kuharap kau secepatnya 
pergi dari tempat ini." 
"Bagaimana dengan kau sendiri, Satria? Dan 
apa pula maksud Nenek Guru dengan mengatakan 
bahwa kau akan menjadi budaknya?!"
"Aku akan baik-baik saja...." 
Tresnasari tak bisa percaya begitu saja ucapan 
Satria Gendeng, kendati pemuda itu mengucapkannya 
dengan nada yang sedemikian tenang dan mantap. Se-
ketika, ditolehnya Perempuan Pengumpul Bangkai 
dengan tatapan nyalang.

"Tidak, aku tak akan pergi kecuali denganmu!" 
tandasnya kemudian. "Aku tak akan membiarkan kau 
bersama Nenek Guru, Satria. Apakah kau tak tahu, dia 
punya niatan keji terhadap dirimu!" serbunya. 
Satria Gendeng menggeleng. 
"Tresna!" 
Bentakan Nini Jonggrang melantak. 
"Kau terlalu rewel, Murid Murtad! Cepat pergi 
dari sini sebelum aku berubah pikiran!" 
"Tapi Nenek Guru...." Tresnasari masih berusa-
ha membantah. Namun hardikan Nini Jonggrang men-
dahuluinya. 
"Jangan panggil aku Nenek Guru lagi! Kau mu-
rid murtad. Kau bukan muridku lagi!!! Dari aku pun 
tak membutuhkan mu lagi. Bersyukurlah aku tak 
menghukum mu. Kau tahu sebabnya? Karena pemuda 
itu telah bersedia menjadi pengganti mu?"
Paras jelita Tresnasari makin tak karuan men-
dengar perkataan Nini Jonggrang. Dia merasa sesuatu 
yang mengerikan akan menimpa pemuda pujaannya. 
Apalagi dia tahu benar tabiat durjana Perempuan Pen-
gumpul Bangkai yang pernah menjadi gurunya sekian 
lama.
Perlahan tapi pasti, rasa penasarannya men-
jelma menjadi ketakutan dan kepanikan. Dia takut dan 
panik karena merasa akan kehilangan Satria Gendeng. 
Merasa bahwa gurunya yang berilmu siluman sanggup 
berbuat apa saja pada kekasihnya, termasuk perbua-
tan paling biadab yang tak pernah dilakukan manusia 
sekalipun. Tresnasari tak mau itu terjadi.
"Apa maksudnya?!" pekik Tresnasari dengan 
wajah kacau. Bergantian, dipandanginya Nini 
Jonggrang dan Satria Gendeng, seakan mengharapkan 
jawaban dari mereka.

Nini Jonggrang malah terkikik.
Satria Gendeng diam.
Dingin. 
Tanpa perubahan apa-apa di wajahnya. Apa 
yang bisa dikatakannya pada Tresnasari? Mengatakan 
padanya apa adanya cuma akan membuat rencananya 
jadi berantakan. Bisa saja Tresnasari tak akan pergi 
dan berkeras untuk tetap bersama Satria Gendeng. Di 
lain sisi, tujuan Satria Gendeng sebenarnya adalah un-
tuk menyingkirkan jauh-jauh gadis itu dari jangkauan 
Nini Jonggrang terlebih dahulu.
Hal itu makin memompa kepanikan Tresnasari. 
Diserbunya Satria Gendeng. Lalu dengan liar dicengke-
ramnya kerah baju pemuda itu. Tampaknya, si gadis 
jelita sudah kehilangan kendali.
"Katakan padaku Satria, apa yang hendak di-
perbuat nenek itu padamu?! Katakan! Kenapa kau 
hanya diam saja, Satria?! Kenapa?!" jerit Tresnasari 
makin kalap. Dipukulinya dada Satria Gendeng den-
gan sisi kepalan tangan. Berkali-kali, bertubi.
Satria Gendeng tetap mematung bagai karang.
Tegak.
Tanpa kata.
Tubuhnya hanya bergetar sedikit akibat puku-
lan-pukulan Tresnasari yang mulai terisak-isak. Sam-
pai akhirnya pukulan Tresnasari melemah dan mele-
mah ketika Satria Gendeng merangkulnya kuat-kuat.
Di dada pemuda. itu, Tresnasari menangis se-
segukan.
"Aku sayang padamu, Satria. Aku telah kehi-
langan ibuku. Aku tak mau kehilangan orang yang ku-
cintai lagi," ucapnya tersamar isak.
"Aku tahu, Tresna. Aku pun menyayangi mu. 
Karena itu, aku tak mau kau tetap di dekat nenek tua

terkutuk itu. Pergilah. Aku akan menemui kembali. 
Jangan pernah takut kehilangan aku. Aku berjanji...."
"Hey, keparat kalian! Kalian pikir, aku senang 
menyaksikan adegan sialan itu!!!" umpat Nini 
Jonggrang, sewot sendiri. Kesewotannya naik ke teng-
gorokan. Lendir kental menggumpal.
"Khoek cuh!"
Wusss!
Lendir berbau busuk dari tenggorokan Perem-
puan Pengumpul Bangkai melesat lebih cepat, lebih 
ganas dan lebih tajam dari anak panah. Tujuannya 
punggung Tresnasari yang membelakangi Nini 
Jonggrang! 
Satria Gendeng menyadari datangnya ancaman 
berhawa maut.
"Heaaa!"
Masih dengan memeluk tubuh Tresnasari, tu-
buhnya melenting cepat ke udara. Dalam keadaan de-
mikian sulit karena harus memeluk tubuh kekasihnya, 
Satria Gendeng berjumpalitan ke arah belakang di 
udara. 
Lima tombak dari tempat semula, kedua muda-
mudi itu tiba kembali di bumi. 
"Kau telah bersumpah dengan nama besarmu 
untuk tidak mencelakakan gadis ini, Nenek Terkutuk!" 
umpat Satria Gendeng tajam. 
"Aku muak dengan tingkah kalian! Cepat kau 
suruh pergi perawan sial itu. Atau aku akan melanggar 
sumpahku. Peduli setan dengan segala nama besar!" 
Wajah Satria Gendeng beralih pada Tresnasari.
"Ku mohon, Tresna. Pergilah...." 
"Tidak!" pekik Tresnasari. Dia berontak dari pe-
lukan perjaka pujaannya.
Satria Gendeng sungguh tak pernah menduga

hal itu. Juga tak pernah menyangka kalau Tresnasari 
akan bertindak nekat menghambur ke arah Perem-
puan Pengumpul Bangkai! 
"Tresnasari, jangan!" seru Satria Gendeng, 
mencegah. Dia khawatir setengah mati Tresnasari 
akan menyerang nenek sakti aliran sesat itu. Padahal 
tingkat kesaktian Nini Jonggrang tak akan bisa ditan-
dingi oleh Tresnasari. Itu artinya, Tresnasari hanya 
mencari celaka. Yang lebih parah, dia hanya mencari 
mati!
Terlambat.
Tresnasari telah lebih dahulu tiba di dekat Nini 
Jonggrang. Dugaan Satria Gendeng meleset. Tresnasari 
rupanya tak berniat menyerang guru sesatnya. Dan ge-
lagatnya, Nini Jonggrang pun tahu akan hal itu.
Yang dilakukan Tresnasari sungguh di luar
perkiraan. Gadis yang pernah dikenal Satria Gendeng 
begitu judes, galak, dan berani itu justru menubruk 
kaki Nini Jonggrang. Dia bersimpuh. Dia menangis ter-
sedak-sedak.
"Nenek Guru, jangan kau bunuh dia! Jangan 
Nenek Guru. Ku mohon sekali padamu. Dia satu-
satunya orang yang ku sayangi di dunia ini...," pinta 
Tresnasari, giris. 
Giris dan pilu pula hati Satria Gendeng me-
nyaksikan adegan tersebut. Bagaimana kau demikian 
banyak berubah Tresna? tanya Satria Gendeng, pedih 
di batin. Mungkinkah karena tergoncang setelah ke-
pergian ibunya? Atau karena selama ini Nini Jonggrang 
telah begitu banyak mempengaruhinya?
Lepas dari semua itu, betapa dia menyadari ki-
ni, cinta Tresnasari padanya demikian besar. Cinta 
yang menyebabkan dia tak ragu untuk bersimpuh di 
kaki guru sesatnya sendiri. Rasa cinta itu pun yang te

lah melumpuhkan akal sehatnya. Padahal, tak sepan-
tasnya dia melakukan itu pada orang durjana macam 
Nini Jonggrang. 
"Menyingkir, Murid Murtad!" hardik Nini 
Jonggrang. 
Tresnasari terus sesegukan memohon.
Satria Gendeng muak dengan sikap angkuh pe-
rempuan tua itu. Membiarkan Tresnasari terus mengi-
ba seperti itu akan makin menyuburkan keangkuhan 
Nini Jonggrang. Karenanya, Satria Gendeng segera 
menghampiri Tresnasari.
Belum dua tindak, Satria Gendeng sudah dike-
jutkan oleh erangan pendek Tresnasari.
"Akh!" 
Disaksikannya, tubuh sang kekasih terpental 
deras ke arah belakang. Tak jelas di mata Satria Gen-
deng, apa yang telah dilakukan Nini Jonggrang. Satu-
satunya dugaan, nenek tua berhati iblis itu telah me-
lancarkan serangan hebat dari jarak dekat! 
Tindakan keji!
Seketika hati Satria Gendeng terbakar. 
Garang. 
Rahangnya mengeras. Giginya bergemelutuk. 
"Perempuan tua laknat, kubunuh kau!!!" pekik-
nya meninggi dan menggetarkan. Sepersekian kejap 
berikutnya, tubuhnya sudah memburu cepat ke arah 
Perempuan Pengumpul Bangkai. Rencananya untuk 
mengecoh Nini Jonggrang hancur sudah tanpa diduga. 
Terjangan Satria Gendeng memburu ganas ke 
arah Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak ada yang le-
bih membuatnya demikian kalap kecuali tindakan keji 
Nini Jonggrang terhadap Tresnasari. Kekejian yang ha-
rus dibayar tuntas! 
Tak ada lagi rencana mengecoh Nini Jonggrang.

Semuanya langsung diberangus kemarahan menggele-
gak yang tak terkuasai lagi. Setelah sebelumnya Tres-
nasari kehilangan akal sehat. Kali ini giliran Satria 
Gendeng.
Dunia persilatan mengenal keadaan itu sebagai 
musuh tak terlihat dan juga paling berbahaya. Kema-
rahan yang tak terkendali hanya akan menyebabkan 
kerugian. Terutama dalam pertempuran. Seseorang 
akan menjadi demikian mudah dipermainkan lawan. 
Benteng pertahanannya menjadi sangat rapuh. Dan ju-
rus-jurusnya jadi demikian tak terkendali lagi.
Sekali lagi, ucapan Ki Kusumo pada Dongdong-
ka sepatutnya diperhitungkan oleh Dongdongka sendi-
ri. Satria Gendeng memang tak bisa hanya mengan-
dalkan kesaktian yang diturunkan dua guru besarnya. 
Selaku seorang pendekar, dia masih butuh hal lain 
agar benar-benar siap menghadapi keganasan rimba 
persilatan. Semuanya itu tidak akan didapatnya mela-
lui didikan seorang guru sesakti apa pun, namun ha-
rus didapat melalui tempaan pengalaman. Menelan 
asam-garam persilatan sebanyak-banyaknya. Dan ju-
stru hal terakhir tersebut yang belum dimilikinya.
Dia tak lebih dari seorang pendekar berbekal 
kesaktian tinggi, namun hijau dalam pengalaman. Dia 
tetap saja bisa disebut bau kencur. Sampai-sampai tak 
disadarinya kesalahan besar sudah dilakukan dengan 
mengumbar kemarahan. 
"Heaaa!"
Nini Jonggrang menyeringai menanti serangan 
brutal Satria Gendeng. Betapapun tahu serangan la-
wan amat berbahaya, perempuan tua laknat itu pun 
tahu kalau lawannya telah melakukan kesalahan be-
sar. 
Yang tak disadari sama sekali!

Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai menda-
dak terangkat seperti terbang, mementahkan terjangan 
menggila Satria Gendeng. 
Bagi banyak kalangan yang mendalami ilmu 
'Peringan Tubuh', sulit untuk mempercayai kejadian 
itu. Bagaimana caranya Nini Jonggrang membuat tu-
buhnya melesat cukup tinggi ke atas sementara tak 
terlihat satu bagian tubuhnya pun melakukan henta-
kan? Tidak di bagian otot pinggang. Tak pula di bagian 
kaki. Mungkinkah itu karena kekuatan tenungnya? 
Atau kesempurnaan peringan tubuhnya sudah melam-
paui batas-batas kesempurnaan? 
Dear! 
Pukulan menyamping bertenaga dalam dahsyat 
milik Satria Gendeng seketika melabrak pohon kambo-
ja di dekat tempat berdiri Nini Jonggrang. Padahal ja-
rak antara Satria Gendeng dengan pohon naas itu ma-
sih sekitar tiga tombak. Itu pertanda, angin pukulan si 
pemuda saja sudah demikian dahsyat. Bayangkan jika 
tangannya langsung mendarati tubuh keropos si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai?
"Hi hi hi. Jangan kau tumpahkan kemarahan 
pada pohon itu, Cah!" ejek Perempuan Pengumpul 
Bangkai. Di ujung salah satu daun tetumbangan po-
hon kamboja, nenek sakti itu sudah bersila. Lagi-lagi 
pamer kehebatan ilmu peringan tubuh!
Satria Gendeng tak banyak melonggarkan wak-
tu untuk serangan berikutnya. Dia siap menerjang 
kembali dengan keganasan sepuluh ekor banteng keta-
ton! Sebelum itu, tangannya membentuk bentangan 
seperti sayap seekor burung raksasa perkasa. Berse-
lang dengan gerakan itu, tangannya diturunkan cepat 
bertenaga ke satu titik di depan perutnya, seperti gera-
kan cakar rajawali menyambar mangsa. Terdengar gemeretak tulang-tulangnya, beriring menggelembung 
otot-otot di sekitar lengan dan dada.
Deb!
Dengan satu sentakan, tangannya ditarik kem-
bali ke atas. Jari kedua tangannya menghadap ke de-
pan seperti bentuk kepala ular yang siap melakukan 
patukan.
Selanjutnya....
"Heaaaaa!"
Satria Gendeng menerkam udara. Tubuhnya 
lurus dan garang menerjang Nini Jonggrang. Saat me-
luncur di udara, tangannya bertubi-tubi membuat pa-
tukan-patukan sengit. Beruntun, cepat, dan memban-
gun deru santer. 
Deb deb deb!
Itulah satu jurus yang diturunkan oleh Ki Ku-
sumo. Jurus yang memiliki nama sangar, 'Mencuri 
Bunga Karang'. Seruntun serangan yang amat men-
gandalkan kecepatan gerak tangan. Diciptakan Ki Ku-
sumo ketika dia berada di Pulau Dedemit.
Sesungguhnya, patut dipuji keputusan Satria 
Gendeng untuk mempergunakan jurus itu. Kendati 
kemarahannya mungkin sudah hendak menjebol 
ubun-ubun sendiri, namun Satria Gendeng masih bisa 
menyaksikan bagaimana kecepatan Nini Jonggrang 
menghindari terjangan pertamanya. Nalurinya sebagai 
seorang bocah yang hidup dalam gemblengan keras 
alam, membuatnya mengambil kesimpulan dengan ce-
pat. Gerakan cepat lawan, hanya mungkin dilakoni 
dengan jurus jenis menyerang yang mengandalkan ke-
cepatan seperti 'Mencuri Bunga Karang'!
Begitu tiba di hadapan Nini Jonggrang, patukan 
sengit Satria Gendeng tak disambut layaknya orang 
bertarung oleh Nini Jonggrang. Dia tak bergerak dari

posisi silanya untuk menghindar. Bahkan, tak meng-
gerakkan tangan untuk menangkis serangan.
Yang dilakukan Nini Jonggrang sungguh di luar 
kelaziman. Dia malah berteriak kuat-kuat. Tak mung-
kin teriakan itu lahir karena ketakutan pada serangan 
lawan, menilai bahwa Nini Jonggrang adalah salah sa-
tu tokoh tak tertandingi di rimba persilatan tanah Ja-
wa.
"Aaaaaaiiiiikh!"
Beriring terlepasnya teriakan menghentak sua-
sana, terkaman tubuh Satria Gendeng terhenti seketi-
ka, seakan ada tembok kasatmata yang tebal memben-
tengi sekitar satu tombak di hadapan Nini Jonggrang!
Lebih dari itu, Satria Gendeng pun mencelat 
kembali ke belakang. Ada semacam pantulan amat 
kuat dirasakan oleh pemuda sakti itu. 
Dengan berjungkir balik di udara, Satria Gen-
deng berhasil menguasai keseimbangannya. Dia men-
jejak kembali ke bumi. Patukan-patukan ganasnya ba-
rusan bahkan tak sempat menyentuh kulit si Perem-
puan Pengumpul Bangkai. Padahal, jurus 'Mencuri 
Bunga Karang' hanya akan berbahaya jika berhasil 
mematuk, menjepit lalu mencerabut kulit lawan. Jari 
tangan yang sudah digodok dengan campuran serbuk 
racun tak terlihat tentu akan sangat mematikan, meski 
luka yang dibuat kecil saja di kulit.
Dalam kegusaran memuncak, masih sempat 
Satria Gendeng menyadari bahwa tenaga dalam la-
wannya demikian sempurna. Dengan cara menyalur-
kan tenaga dalam melalui teriakan saja; Nini 
Jonggrang telah berhasil melumpuhkan terkaman ber-
bahayanya. Bagaimana pula jika dia telah mempergu-
nakan kedua tangannya?
Kendati begitu, kemarahan tetaplah kemara

han. Terlalu sulit bagi akal sehat Satria Gendeng un-
tuk memberi pertimbangan. Tak berselang tiga tarik 
napas kemudian, Satria Gendeng sudah melabrak si 
Perempuan Pengumpul Bangkai kembali.
LIMA
KI Kusumo tersentak mendengar keributan 
jauh di bawah tempatnya. Segera ditolehkannya kepa-
la. Di bawah sinar lamat rembulan, disaksikan murid-
nya sedang menggempur Nini Jonggrang. 
"Satria," bisiknya cemas. "Kenapa Kusumo? 
Kau takut muridmu mampus di tangan Jonggrang?" 
ledek Ki Ageng Sulut. Ki Kusumo mendengus sarat. 
Berat. 
Pekat. 
"Jika terjadi apa-apa pada muridku, aku ber-
sumpah akan mengadu jiwa dengan kalian!" 
Mendengar ancaman Ki Kusumo, Ki Ageng Su-
lut malah menanggapi dengan seringai mengejek.
"Kau ini tolol, Kusumo. Bagaimana bisa men-
gancam kami sementara kakimu saja sudah tak leng-
kap seperti itu? Kupikir, tahu diri sedikitlah kau. Apa 
kau lupa, hanya menghadapiku saja kau sudah kehi-
langan sepasang kaki? Bagaimana lagi kau akan 
menghadapi kami berdua dengan keadaan seperti itu?" 
Meski Ki Kusumo sudah kenyang makan asam-
garam, tak urung wajahnya menjadi merah dicemooh 
oleh Ki Ageng Sulut demikian rupa. Kata-katanya terla-
lu menginjak-injak semena-mena harga dirinya. Men-
ginjak-injak kepalanya. Nama besar mungkin tak terla-
lu dipersoalkan. Namun, sebagai orang yang merasa


memiliki kehormatan, dia merasa tak sepatutnya di-
perlakukan seperti itu.
"Kau mau kita bermain-main seperti waktu itu 
lagi?" cemooh Ki Ageng Sulut, kian memanas-manasi. 
"Ayolah kalau begitu! Kenapa kau masih menunggu le-
bih lama? Kalau kemarin kau kehilangan sepasang ka-
ki, kalau beruntung, siapa tahu kau akan kehilangan 
sepasang tangan!" 
Ki Kusumo tak mau cepat terpancing. Betapa-
pun, orang tua ahli pengobatan kenamaan tanah Jawa 
itu harus sadar posisinya sama sekali tak mengun-
tungkan. Terutama karena Ki Ageng Sulut sedang 
membopong Mayangseruni. Tak perlu waktu lama Ki 
Kusumo meyakinkan kalau gadis itu memang Mayang-
seruni setelah melihat wajahnya. Wajahnya yang de-
mikian mirip dengan Tresnasari tak menyebabkan Ki 
Kusumo menjadi salah sangka. Sebab, yang diketa-
huinya, Tresnasari sendiri sedang berada di lembah 
bawah bukit bersama Satria Gendeng dan Nini 
Jonggrang. 
Di lain sisi, Ki Kusumo tahu dia harus mem-
bantu Satria Gendeng secepatnya. Paling tidak, dia bi-
sa mengarahkan pertarungan muridnya agar tidak 
membabi-buta, membahayakan diri sendiri.
Jika dia memutuskan untuk segera turun, tak 
pelak lagi Ki Ageng Sulut akan menghalanginya. Den-
gan begitu, pertarungan tak akan bisa dielakkan.
Keadaan Ki Kusumo terjepit.
Serba salah.
Dalam keadaan kebingungan untuk membuat 
keputusan, seseorang tak diundang tahu-tahu sudah 
nadir di antara mereka.
"Apa aku bisa numpang lewat?!" terdengar sua-
ra yang agak sengau seperti sedang terserang pilek.

Ki Kusumo menoleh.
Ki Ageng Sulut pun begitu.
Ada seorang berdiri hanya empat tombak di be-
lakang Ki Ageng Sulut
Seorang lelaki berusia cukup muda. Sekitar tiga 
puluhan, jika ditilik dari parasnya. Biarpun tampan 
dan bersih. Wajahnya juga lucu. Ada kesan kebodoh-
bodohan. Biar matanya seperti milik seorang bocah 
yang tak mengenal masalah. Hidungnya mancung dan 
bangir. Namun, beberapa kali terlihat mengembang 
kempis seperti kelinci. Rambutnya panjang. Hitam, te-
rawat, dan tergerai apik seperti rambut perawan genit. 
Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, menutupi 
separo kepala bagian atasnya. Pemuda kebodoh-
bodohan itu mengenakan pakaian sederhana berwarna 
serupa dengan kain pengikat kepalanya. Kendati se-
derhana, namun licin sekaligus bersih. Sepertinya, de-
bu pun sulit untuk singgah. Pada kain ikat pinggang 
berwarna merah, terselip sehelai bulu rajawali sepan-
jang dua jengkal.
Kening Ki Kusumo mengernyit. Siapa pemuda 
ini, tanyanya membatin.
Ki Ageng Sulut sebenarnya harus merasa he-
ran. Pemuda itu telah berdiri di belakangnya tanpa di-
ketahui sedikit pun. 
Kehadirannya seperti hantu. Untuk seorang se-
perti Ki Ageng Sulut, seekor laba-laba kecil merayap 
beberapa tombak di belakangnya pun dapat dengan 
cepat disadari.
Hanya karena pikirannya sedang disibuki oleh 
urusan dengan Ki Kusumo, Ki Ageng Sulut jadi tak be-
gitu peduli.
"Cepatlah kau menyingkir dari tempat itu, Pe-
muda! Kau tak berharap akan berurusan denganku.

Sebab, kau akan menyesal nantinya!" hardik Ki Ageng 
Sulut. 
Si pemuda meringis tanpa beranjak dari tem-
patnya. Garuk-garuk dengkul sebentar, lalu meringis 
sekali lagi. Lebih sumringah dari sebelumnya.
"Keparat," rutuk Ki Ageng Sulut berdesis.
"Hei, apa telingamu sudah tuli?! Kubilang, ce-
patlah kau menyingkir!" terjangnya, mulai gusar.
Minta ampun. Lagi-lagi si pemuda meringis. 
Cuping hidungnya kembang-kempis. Tak lama kemu-
dian, dia bersin kuat-kuat di tempat dengan suara se-
perti dengking keledai.
"Haaaaa chuinggggg!"
Sambil mengusap-usap hidungnya dengan 
punggung tangan, pemuda kebodohan tadi berujar, 
"Maaf. Aku tak bisa mendengar orang berbicara keras-
keras. Setiap kali ada orang membentak, aku jadi ingin 
bersin." 
Dia meringis lagi.
"Kau sengaja mengejek ku. Rupanya kau me-
mang ingin cari mampus!" ancam Ki Ageng Sulut.
Seperti tak peduli geraman gusar Iblis Dari Ne-
raka yang ditakuti warga rimba persilatan tanah Jawa, 
Pemuda kebodohan malah membungkukkan badan. 
Satu tangannya terjulur ke bawah.
"Permisi, permisi. Aku numpang lewat...."
Tanpa merasa pernah berbuat kekeliruan, pe-
muda itu melintas di depan Ki Ageng Sulut.
Kontan tua bangka aliran sesat itu jadi meng-
kelap. 
"Kunyuk! Hih!"
Tangan Ki Ageng Sulut bergerak, membuat 
tamparan telengas ke punggung pemuda yang seten-
gah membungkuk. Ki Kusumo terkesiap. Dia hendak

mencegah. Tapi kalah cepat. 
Dugh!
Pemuda Kebodohan tersungkur. Wajahnya 
mencium batu sebesar kepala kerbau. Meski kelihatan 
remeh, pukulan Ki Ageng Sulut tadi sebenarnya bisa 
membuat tulang seseorang menjadi terpatah lima ba-
gian di dalam. Akibat itu, tentunya akan menimpa Pe-
muda Kebodohan. Dia bisa mati mendadak. Setidak-
nya sekarat. Apa lagi kalau mengingat wajahnya mem-
bentur batu bukit
Tak mungkin Ki Kusumo berdiam diri saja me-
nyaksikan kezaliman terjadi di depan hidungnya. Per-
lakuan Ki Ageng Sulut harus mendapat ganjaran se-
timpal. Tak peduli apakah kesaktian orang tua sesat 
itu berada di atas Ki Kusumo!
Baru saja Ki Kusumo hendak bertindak, Pemu-
da Kebodohan sudah bangkit. Caranya bangkit terlihat 
santai. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia mengala-
mi luka. Bahkan sekadar luka kecil yang membuat dia 
mengeluh.
"Permisi...," katanya lagi pada Ki Ageng Sulut, 
seraya meneruskan sikap setengah membungkuk. Dia 
melintasi Ki Ageng Sulut begitu saja.
Ki Ageng Sulut melongo. Sebentar dia menjadi 
seperti orang linglung sambil mengikuti gerakan Pe-
muda Kebodohan dengan pandangannya. Setelah, Pe-
muda Kebodohan sudah lewat dari depan hidungnya, 
barulah dia tersadar. 
"Keparat! Kau kira dapat dengan mudah mem-
permainkan ku!!!" amuknya kalap. Terbakar wajahnya 
seperti terbakar kemarahannya. 
"Berhenti kau!"
Seraya berseru, Ki Ageng Sulut melompat seka-
li. Di depan Pemuda Kebodohan, orang tua sesat itu

menghadang
"Kau pikir, sedang berhadapan dengan siapa 
sampai kau berani pamer kehebatan, Pemuda Bo-
doh!!!" maki Ki Ageng Sulut.
Menanggapi omelan Iblis Dari Neraka yang ser-
ing membuat nyali banyak kalangan persilatan berge-
tar, Pemuda Kebodohan malah meringis.
Jelek.
Cuping hidungnya kembang-kempis.
"Huaa... huaaa... chuingg!"
Di depan hidung Ki Ageng Sulut, pemuda itu 
bersih! Bukan salahnya. Bukankah sebelumnya dia 
sudah bilang bahwa dia tak bisa mendengar suara ke-
ras-keras, seperti makian Ki Ageng Sulut? Yang jadi 
masalah, apakah tua bangka Iblis Dari Neraka sudi
menerima? 
Ki Ageng Sulut mendelik sejadi-jadinya. Cuping 
hidungnya jadi ikut kembang-kempis saking murka. 
Jarang ada orang berani menghinanya. Siapa tak kenal 
keangkeran julukan Iblis Dari Neraka? Bersin di depan 
hidungnya bahkan lebih dari sekadar penghinaan. 
Penghinaan di atas penghinaan!
"Permisi lagi...," kata Pemuda Kebodohan polos, 
menanggapi perubahan mimik wajah Ki Ageng Sulut. 
Seraya membungkukkan badan untuk kesekian kali, 
dia hendak melintas lagi di depan Ki Ageng Sulut. 
Ki Ageng Sulut merasa menjadi kambing con-
gek kalau dibiarkan saja pemuda itu melintas. Tan-
gannya segera bergerak. Gelegak darah yang menan-
duk hingga ke ubun-ubun, membuatnya tak segan lagi 
melancarkan hantaman paling berbahaya.
Dash! 
Keras!
Menerpa bagian mematikan yang terletak di belakang kepala Pemuda Kebodohan. Seketika tubuhnya 
ambruk seolah buah nangka besar yang menukik ke 
bumi. Menurut perkiraan Ki Kusumo, tentu tulang leh-
er pemuda itu akan lebur seketika seperti sekam. 
"Mampuslah kau keparat!" umpat Ki Ageng Su-
lut, puas menyaksikan Pemuda Kebodohan jatuh terte-
lungkup. Sebentar kemudian, alisnya berkernyit rapat-
rapat. Memang pemuda itu tersungkur. Tak bisa dibi-
lang tertelungkup. Posisinya malah lebih bisa disebut 
'nungging'. Apa mungkin seseorang yang terkena han-
taman maut akan terjatuh dalam posisi menyebalkan 
seperti itu? 
Tapi, kalau melihat tak ada gerakan sama seka-
li, Ki Ageng Sulut tak yakin Pemuda Kebodohan masih 
bernyawa. Barangkali saja memang kebetulan jatuh-
nya seperti itu.
Setelah cukup lama tubuh Pemuda Kebodohan 
tak bergerak, Ki Ageng Sulut baru menyeringai puas:
"Betapa tolol kau, Pemuda Sial! Tak ada yang 
bisa kau pamerkan pada iblis Dari Neraka!!!" sesumbar 
Ki Ageng Sulut, pongah.
Baru selesai mulut tua bangka itu bungkam....
"Haa haaa haaaa chuuingngngng!"
Sepanjang umur dunia yang renta, tak pernah 
ada bangkai bisa bersin. Tak peduli bangkai apa pun. 
Kambing, kerbau, kelinci, ayam, atau manusia. Kalau 
terdengar Lelaki Kebodohan bersin, kesimpulannya 
mudah saja, dia belum mampus sama sekali. Jangan-
kan mampus, terluka saja mungkin tidak. Kalau dia 
terluka dan sadar, tentunya yang terdengar adalah ke-
luhan. Bukannya bersin!
Sekarang, Ki Ageng Sulut dipaksa menyadari 
siapa sesungguhnya orang bertampang tolol ini. Men-
genai siapa dia, sampai saat ini, Ki Ageng Sulut tak

pernah mengenalnya. Bahkan selama malang-
melintang si persilatan tanah Jawa, tak pernah sekali 
pun dilihatnya orang itu. Hanya satu hal yang menjadi 
benar-benar jelas, bahwa si lelaki bertampang tolol 
bukanlah orang sembarangan. Iblis Dari Neraka bukan 
julukan kosong di persilatan tanah Jawa. Kesaktian-
nya, kendati masih terus dirongrong penyakit, tetap 
menjadi momok menakutinya. Jika sebagian kesak-
tiannya saja tak bisa sedikit pun melukai orang ber-
tampang tolol itu, bagaimana mungkin Ki Ageng Sulut 
tetap menganggapnya remeh?
Seperti Ki Ageng Sulut, Ki Kusumo pun menga-
lami keterkejutan serupa. Dia pun dipaksa menyadari 
betapa lelaki bertampang tolol itu bukanlah sembarang 
orang. Yang jadi pertanyaan, siapa dia sebenarnya? 
Kalau dia salah seorang tokoh sakti tanah Jawa ini, 
kenapa Ki Kusumo tak pernah menyaksikannya? Se-
mentara, kehadirannya ke tempat ini tampaknya 
punya tujuan sendiri. Tujuan apa, Ki Kusumo belum 
jelas benar. Cuma, tabib kenamaan berkaki logam itu 
berharap, si lelaki bertampang tolol tidak memihak go-
longan sesat....
"Permisi...," ulang lelaki bertampang tolol, se-
saat setelah dia bangkit sambil menepuk-nepuk debu 
di baju bagian depannya.
Selanjutnya dia ngeloyor seperti tak pernah ter-
jadi apa-apa. 
Seperti terkena pengaruh tenung, Ki Ageng Su-
lut mendiamkan orang itu. Ki Kusumo pun hanya ter-
paku menatap lelaki bertampang tolol melangkah san-
tai.

ENAM
SEMENTARA itu, di Tanjung Karangbolong pa-
da waktu yang sama.
Tuhanku,
betapa tak pantas kuhirup hawa Swarga
Namun Tuhanku, 
betapa aku tak mampu terkapar dalam gelegak 
Neraka. 
Jadi Tuhanku,
Hanya kuharap kucuran ampunan-Mu.
Dalam kerap napas nistaku.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari 
tidur lelapnya oleh kidung sendu berlirik penuh makna 
hidup itu. Belakangan ini, sejak usahanya untuk mati 
gagal total (Baca episode sebelumnya : "Iblis Dari Nera-
ka"!), dia jadi lebih banyak tidur. Dengan tidur, dia 
berharap masalahnya untuk sementara bisa disingkir-
kan. Ketimbang harus melarikan masalah kepada hal 
yang bukan-bukan, pikirnya. Ya seperti minum arak 
sampai mabuk, ya main perempuan nakal sampai te-
ler, ya main judi sampai keblinger, ya membenturkan 
kepala ke pintu!
Di balai bambu di dalam gubuknya, dia duduk 
mencekung. Sebentar dia menggaruk kepala. Kulit ker-
ing dari kepala 'plontos'nya beterbangan sesuka hati. 
Matanya masih mengerjap-erjap, masih cukup berat. 
Kantuknya belum minggat benar. Anehnya, dia tak 
berniat melanjutkan tidur. Entah bagaimana, kidung 
tadi seolah mempunyai kekuatan yang mengusik sam-
pai ke relung batin si tua bangka bertabiat sinting.

Hingga mampu menyingkirkan kantuknya. Padahal 
kawanan nyamuk sebesar kecoa saja belum tentu bisa 
mengusik tidurnya. Itu pun kalau benar-benar ada 
nyamuk sebongsor kecoa!
"Kidung siapa yang begitu merdu? Sialnya, ke-
napa aku malah jadi terjaga dan tak bisa tidur lagi. 
Kan, semestinya aku jadi tambah pulas. Aneh juga, 
ya...? Slompret sekali!"
Diawali gerutuan, Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul meninggalkan balai. Di luar gubuk dilihatnya 
seorang bercaping duduk menundukkan kepala di atas 
tumbangan pohon kelapa yang biasa diduduki Dong-
dongka dan Satria dulu. Dari pakaiannya, Dongdongka 
tahu kalau orang itu lelaki. Mengenakan baju dan ce-
lana berwarna ungu. Ikat pinggangnya berwarna me-
rah.
Tangan kiri lelaki itu asyik mengilik-ngilik lo-
bang telinga dengan sehelai bulu rajawali.
Jauh melatar belakangnya, sinar rembulan me-
rayapi permukaan laut yang agak tenang. Ombak ma-
sih tetap cukup besar menampar-nampar pantai. 
"Selamat malam," sapa tamu tak diundang, 
tanpa menoleh. Suaranya agak sengau.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul cemberut.
"Aku tahu ini malam," gerutunya. "Masalahnya, 
apa kau tahu malam itu waktunya orang tidur?!" ujar-
nya, mulai sok galak. Mau 'unjuk gigi' dia, kendati gi-
ginya sudah tinggal sisa.
"Kalau kau ingin mencapai tingkat kesempur-
naan hidup, tentunya kau tak akan menghabiskan se-
luruh malam untuk tidur saja."
"Ah, sok tahu kau! Eh, lagi pula siapa kau ini 
sebenarnya? Kenapa lancang-lancangnya kau menga-
jari aku? Kau tahu, aku ini sudah terlalu tua untuk

kau ceramahi macam itu. Tahu?!"
Tetap masyuk mengilik-ngilik telinga, orang 
bercaping berkata lagi, "Aku bukan mengajari. Cuma 
mengingatkan...."
"Ah, apa bedanya! Itu kan cuma silat lidahmu 
saja. Sebenarnya kau memang bermaksud menggurui
ku. Biar terdengar agak sopan, kau bilang saja 
'mengingatkan'! Wuhh!!!" Sambil berkata, bibir Dong-
dongka mencibir. Tangannya menepis udara.
'Selonong' sana-sini, Dongdongka melangkah 
keluar dari gubuknya. Pintu gubuk dibanting begitu 
saja. Sepertinya gubuk itu hampir saja roboh.
"Sekarang, langsung saja bilang padaku, apa 
maksud kedatanganmu ke tempat ini?!" todong De-
dengkot Sinting Kepala Gundul, tak mau bertele-tele.
"Tak ada. Cuma, aku ingin menengokimu!"
"Weh, memangnya aku perlu kau tengoki? Ken-
al pun tidak padamu!"
"Kenal atau tidak, bukankah tak ada larangan 
seseorang menengoki orang lain?"
"Aku melarang!" 
Orang bercaping tertawa ringan. Suara tawa 
sengaunya terdengar lucu menggelitik.
"Malah ketawa!" bentak Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, seperti menggonggong. 
"Sejak kapan kau berubah menjadi pendagel 
seperti ini?"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul melotot besar 
sekali, sampai-sampai lupa kalau tahi matanya belum 
dibersihkan.
"Slompret! Kau sengaja cari perkara, ya?"
"Aku menilaimu dengan jujur. Tak ada maksud 
mengejek. Mungkin hanya karena kau sadar kau me-
miliki sifat yang semestinya kau buang, jadi kau mera

sa dihina." 
"Sok tahu lagi! Memangnya kau pikir kau ini 
siapa? Mbah buyut ku? Bapak moyang ku? Mbokku? 
Begitu?" semprot Dongdongka, sewotnya bukan alang 
kepalang. 
"Begini saja," potong orang bercaping.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka pula, 
tak mau kalah.
"Aku ke sini sebenarnya hendak mengingatkan 
kau tentang satu hal!" 
"Mengingatkan mengingatkan! Lagi-lagi kau 
berdalih!"
"Dengarkan dulu aku." 
"Tidak, kau yang dengarkan aku, tahu!" sambar 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul sambil menjitak-
jitaki kepala sendiri, pertanda dia mulai gusar. "Seka-
rang, sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini! Aku 
mau meneruskan tidurku. Jangan coba-coba juga kau 
bersenandung lagi. Aku tahu suaramu merdu dan ki-
dungmu bagus. Dengan suara semerdu itu, kupikir 
kau pantas jadi dukun. Maksudku, pergi sajalah kau!" 
omel Dedengkot Sinting Kepala Gundul ngalor-ngidul
tak karuan. 
Orang bercaping tertawa lagi. Sekali ini terke-
keh geli seperti suara bocah kecil kegirangan. Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul tentu saja makin 'keki' di-
begitukan. 
"Aku tetap akan pergi. Tapi, apa kau yakin tak 
mau mendengarkan aku dulu? Sebentar saja?" tawar-
nya lagi.
"Tak ada tawar menawar! Kau boleh ambil den-
gan harga sepuluh kepeng, itu harga dari pengijonnya. 
Eh maksudku, pergi sajalah kau! Jangan banyak cin-
cong begitu. Tahu?!"

Kepala di balik caping orang itu menggeleng-
geleng. 
"Masih saja sempat-sempatnya menggeleng! 
Apa aku harus menendang pantatmu dulu supaya kau 
segera pergi dari tempat ini! E, slompreeeeet sekali 
kau!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mulai men-
cak-mencak. Pasir di dekat kakinya bertebaran ke ma-
na-mana. Sepak terjangnya sudah seperti keledai nge-
bet kawin.
Karena kelewatan mangkel, tanpa disadari tua 
bangka bertabiat sinting-sintingan itu, tenaga dalam 
tingkat tinggi tersalur dalam setiap gerakannya. Sese-
puh persilatan tanah Jawa macam dia, tentu saja me-
miliki tenaga dalam sulit dicari tandingan.
Pasir pantai yang bertaburan terdepak kakinya 
seketika menjelma menjadi benda-benda kecil maut.
Zes zes zes zes!
Ke segenap penjuru, pasir berhamburan bagai 
sehimpun senjata rahasia. Sebagian menembus batang 
pohon kelapa di sekitar. Setelah menembus batang 
pertama, pasir tadi melesat ke pohon kelapa berikut-
nya, menembusnya kembali. Dan baru mendekam di 
dalam batang pohon keempat! Seluruh pepohonan ke-
lapa naas tadi sudah seperti digerogoti oleh kutu-kutu 
kecil.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul kaget sendiri 
setelah mengetahui akibat kemangkelannya.
"Uph, slompret asli! Kenapa aku jadi sinting se-
perti ini!" Lalu matanya beralih ke arah orang bercap-
ing.
"Itu semua gara-gara kau! Coba kalau tadi ada 
binatang tak berdosa atau orang yang kebetulan lewat? 
Aku, kan bisa berdosa, tahu?! Dosa, apa kau belum

pernah lihat?!," seperti pernah lihat dosa saja, Dong-
dongka menyambung omelannya kembali.
Sesaat kemudian baru dia sadar sesuatu. 
"E-eh," sentaknya.
Sejak tadi orang bercaping tak kunjung beran-
jak dari tempatnya. Sejak tadi. Bahkan sampai De-
dengkot Sinting Kepala Gundul mencak-mencak dan 
menerbangkan pasir. Sementara pasir mengandung 
tenaga dalam tinggi berhamburan ke segenap arah. 
Tak ada tersisa ruang kosong sampai sejauh satu 
jengkal sekalipun. Kalau begitu, mestinya orang itu 
sudah terkena pasir.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul waswas juga. 
Sampai saat ini, dia belum tahu jelas apakah orang itu 
dari golongan sesat atau bukan. Sejengkel apa pun dia 
terhadap orang bercaping, tak ada alasan bagi De-
dengkot Sinting Kepala Gundul untuk membunuhnya. 
Bagaimana kalau pasir maut tadi telah menembus ba-
dannya pula? Biar tak sengaja melakukan, tapi tetap 
pembunuhan, pikir Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Hey, kau tak apa-apa?" tegur Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul, tak yakin. Menurut perkiraannya, 
tentu orang itu telah mampus. Dia merasa berdosa se-
kali kalau sampai terjadi.
"Ya."
Mendapat sahutan dari orang bercaping, Dong-
dongka malah jadi terperanjat. 
"Bagaimana bisa kau belum mampus?" ta-
nyanya, serba salah. Belum lama dia mengkhawatir-
kan orang itu. Sekarang malah bertanya sebaliknya. 
Bagaimana tua bangka satu ini?
Buat Dongdongka, pertanyaan itu sudah pan-
tas diajukannya. Sebab dia menyaksikan beberapa ba-
tang pohon kelapa di belakang orang bercaping sudah

berlobang-lobang kecil tertembus pasir. Kalau selama 
itu orang bercaping tak beranjak dari tempatnya, su-
dah tentu pasir-pasir itu akan menembus tubuhnya 
terlebih dahulu. Dan mestinya, dia sudah mampus se-
karang; 
Mana mungkin dia masih bisa bicara? Atau se-
perti pertanyaan Dongdongka Bagaimana bisa dia be-
lum mampus?
"Kalau masih bisa bicara, tentu saja artinya 
aku masih hidup! Kalau masih hidup, tentu saja aku 
masih bisa bicara."
Usai menjawab, orang bercaping terkekeh den-
gan suara tawa seperti bocah kembali.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garuk-garuk 
kepala klimisnya kuat-kuat. Sampai kulit keringnya 
bertambah banyak bertebaran. Sepertinya dia tak 
khawatir kalau kulit kepalanya menjadi setipis kulit 
bawang.
"Mestinya kau sudah mampus, tahu?!" Dong-
dongka ngotot. 
"Ah, sudahlah. Kau hanya memperpanjang per-
soalan kecil saja!" 
Persoalan kecil? Persoalan kecil yang bagaima-
na? Apa nyawa pernah dianggap persoalan kecil? Apa 
berhasil lolos dari pasir maut dengan cara yang begitu 
sulit dipercaya persoalan kecil? Bibir Dongdongka 
menjadi anjlok ke bawah. Melongo tidak, terperangah 
tidak. Tampangnya tolol sekali.
Siapa dia? Jangan-jangan, dia salah seorang 
patih Kerajaan Laut Selatan bawahan Nyai Roro Kidul? 
Bukankah daerah ini termasuk wilayahnya? bisik hati 
Dongdongka. 
Dari duduknya, orang bercaping bangkit. Dis-
elipkan bulu rajawali di ikat pinggangnya.

"Karena kau tak ingin mendengarkan peringa-
tanku, sebaiknya aku pergi," pamitnya. Dia mulai me-
langkah. Arahnya menuju laut. Makin membuat curiga 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Dongdongka masih terdiam. 
Jeleknya tak tertolong.
"Jangan terus diam seperti itu, Truna! Hidup 
itu tak sepantasnya kau siakan dengan cara berdiam 
diri. Seperti kau habiskan malam hanya untuk tidur!"
Hanya sempat melangkah dua tindak, wujud 
orang bercaping hilang di ujung ombak yang mendaki 
ke permukaan pantai.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tersentak. 
Dia baru menyadari satu hal lagi. Orang bercaping pe-
nuh teka-teki itu menyebut Truna, nama semasa mu-
danya.... 
"Ampuuun...," rengeknya setelah dia mulai me-
nyadari siapa orang tadi. Dia pun berguling-gulingan di 
atas pasir seperti bocah 'ngambek' besar.
Kenapa, ya? Sudah telanjur sinting asli dia?
TUJUH
"HAI-AI-AIIIII" 
Amukan Satria Gendeng sudah tiba di puncak-
nya. Pada saat seperti itu, terjadilah sesuatu dalam di-
rinya. Menyebabkan segenap saraf, aliran darah, dan 
otot-ototnya dialiri tenaga sakti yang pada keadaan-
keadaan tertentu sulit terukur kedahsyatannya. Tena-
ga dalam tingkat tinggi yang dihasilkan oleh perbauran 
ramuan Pulau Dedemit dengan zat langka dari dasar 
Laut Selatan!

Puncak kemarahannya yang kini terjadi, adalah 
kemarahan terbesar yang pernah dialaminya. Asalnya, 
tentu saja dari perasaan cinta yang demikian menda-
lam terhadap Tresnasari. Dengan disakitinya Tresnasa-
ri, berarti telah sengaja menyulut sebentuk ledakan 
kemarahan amat dahsyat dalam diri Satria Gendeng. 
Jika kemarahan si pendekar muda kali ini ada-
lah kemarahan paling memuncak yang pernah dialami, 
maka tak pelak lagi tingkat tenaga sakti yang meledak 
dalam dirinya pun melebihi kekuatan waktu-waktu se-
belumnya! 
Akibatnya sungguh memukau perempuan tua 
bangka yang memiliki pamor besar di dunia persilatan. 
Nini Jonggrang menyaksikan dengan mata kepala sen-
diri sekujur otot di tubuh lawan yang dianggapnya ter-
lalu bau kencur menjadi membengkak. Terlihat senta-
kan-sentakan seperti dialiri listrik.
Berdenyut-denyut kacau.
Membentuk semacam pipa hidup.
Saling menyilang di balik kulit. 
Keringat membanjir cepat dari setiap lobang po-
ri-porinya.
Wajah pemuda itu seperti mengalami peruba-
han.
Warnanya sebentar merah matang. Sebentar 
kemudian membiru kehijauan. Rahangnya terkunci. 
Otot wajahnya kenyal. Parasnya merangas!
Detik-detik berikutnya, Satria Gendeng mulai 
pula mengerahkan jurus-jurus ampuh dari Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul. Jurus yang terlihat demikian 
tak karuan, membabi-buta, ganjil, dan terkadang lucu. 
Di balik semua itu, terkandung bahaya maut. Jurus 
'Mencuri Bunga Karang' yang tak berhasil melabrak 
pertahanan Nini Jonggrang dalam gebrakan pertama,


segera digabungkannya dengan jurus 'Dedengkot Gen-
deng Kegirangan'.
Setiap jurus pada dasarnya memiliki sifat dan 
gaya tersendiri. Seperti 'Mencuri Bunga Karang', me-
nekankan pada kecepatan tangan dan capitan jari. 
Gayanya adalah menyerang. Sementara, jurus 
'Dedengkot Gendeng Kegirangan' menekankan pada 
serangan mendadak, gerakan-gerakan tak terduga, 
dan pertahanan yang tak teratur. 
Dengan begitu, amat sulit menggabungkan dua 
jurus yang berbeda sifat dan gaya. Bahkan hal itu tak 
jadi soal yang mudah bagi tokoh kelas atas sekalipun. 
Untuk membuat gabungan jurus itu menjadi sempur-
na dan sanggup menjadi senjata berbahaya, dibutuh-
kan waktu cukup lama.
Bagi si pendekar muda sendiri, hal itu seperti 
tak sempat terpikirkan olehnya. Yang berkecamuk ba-
gai topan dalam benaknya saat itu cuma keinginan un-
tuk melenyapkan Nini Jonggrang dari muka bumi.
Kenyataan kalau kini dia sanggup mengga-
bungkan jurus-jurus sulit dalam waktu demikian sing-
kat, disebabkan karena dorongan naluri kependeka-
rannya yang demikian kuat. Seperti pernah dinilai oleh 
Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, Satria Gendeng memiliki bakat alami un-
tuk menjadi pendekar besar.
Ketajaman nalurinya, dan pengaruh gejolak te-
naga sakti yang menyentak saraf-saraf kecerdasan di 
otaknya menyebabkan seluruh jurus-jurus yang per-
nah dipelajarinya teraduk menjadi satu seketika itu ju-
ga!
Nini Jonggrang sebagai tokoh kawakan yang 
sudah kenal lama dengan Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul, tentu saja amat hafal gaya jurus-jurus tua

bangka itu. Namun ketika Satria Gendeng memperli-
hatkan kali ini, Nini Jonggrang sempat terkecoh. Da-
lam beberapa gerakan lawan, bisa dikenalinya gaya ta-
rung Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Keraguan mendatangi perempuan tua sesat itu 
begitu jurus si pemuda berubah gaya kembali. Nini 
Jonggrang jadi kurang yakin apakah lawan bau ken-
curnya mempergunakan jurus-jurus milik Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul atau bukan.
"Bangsat, aku tahu dia murid si Truna. Tapi, 
kenapa gaya jurusnya jauh begitu asing buatku? Sia-
lan!" gumam si Perempuan Pengumpul Bangkai, meru-
tuk.
(Seperti diketahui, Nini Jonggrang memang me-
nyebut Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan Tru-
na - nama mudanya. Lihat kembali episode sebelum-
nya : "Iblis Dari Neraka'!).
Selagi si Perempuan Pengumpul Bangkai berce-
loteh sendiri, lawan mudanya merangsak seperti singa 
jantan luka.
"Huiiii-aiiiiiiii!" 
Masih tetap duduk bersila di atas pucuk sehelai 
daun tetumbangan pohon, Nini Jonggrang berniat 
memamerkan kembali tingkat tenaga dalamnya. Bagi 
orang yang memiliki nama besar seperti dia, pamer ke-
saktian memberikan kepuasan tersendiri. Seakan dia 
sanggup membuktikan pada dunia dari seisinya bahwa 
dirinya adalah tokoh nomor satu di atas jagat! 
Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Nini 
Jonggrang melepas teriakan seperti sebelumnya.
"Heaaaaa!" 
Glar! 
Tercipta ledakan keras di udara. Tenaga dalam 
yang dilepas oleh Nini Jonggrang melalui suara ber

tumbukan hebat dengan tenaga sakti Satria Gendeng. 
Sekejapan gerak terjangan pemuda itu seperti tersen-
tak. 
Di luar dugaan si Perempuan Pengumpul 
Bangkai, bentrokan tenaga dalam tingkat amat tinggi 
tadi tak sanggup memenggal gerak terjangan lawan-
nya. Sementara untuk menghindar, tak ada kesempa-
tan lagi. Jarak antara keduanya sudah terlampau de-
kat.
Dash!
Seketika itu juga, tubuh Nini Jonggrang me-
layang deras ke belakang. Setelah sebelumnya satu 
tinju geledek Satria Gendeng bersarang di dadanya. 
Tak tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sejauh 
dua puluh tombak!
Di hamparan rumput, Nini Jonggrang jatuh te-
lentang. 
"Bangsat," keluhnya sambil memegangi dada. 
Dia berusaha bangkit meski teramat sulit. Bagian da-
lam dadanya seperti digumpali bara. Panas. Menyen-
gat-nyengat. Sesaknya pun seperti hendak memutus 
aliran napas.
Selagi berusaha bangkit, nenek tua aliran sesat 
itu memuntahkan darah kehitaman.
"Tak mungkin," desisnya gontai. Sama sekali 
tak dipercayai kejadian yang dialaminya. Sekali lagi, 
dia kenal betul dengan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul. Kedigdayaan tua bangka bertabiat sinting-
sintingan itu pun masih bisa diukurnya. Jika gurunya 
saja sanggup diukur, tentu muridnya akan lebih mu-
dah lagi.
Namun yang dialami Nini Jonggrang sungguh 
di luar perkiraan. Tenaga dalam lawan yang bau ken-
curnya mendadak berlipat entah berapa kali. Perem

puan tua itu dapat menilainya beberapa saat terjadi 
bentrokan tenaga dalam di udara. Kalau sekarang Nini 
Jonggrang dipecundangi, bagaimana mungkin dia ma-
sih bisa percaya Satria Gendeng adalah murid De-
dengkot Sinting Kepala Gundul? 
Tak menanti sampai Perempuan Pengumpul 
Bangkai tegak berdiri, Satria Gendeng menggempur 
lawannya untuk ke sekian kali. Nini Jonggrang harus 
pontang-panting menghadapi gerak cepat dan tak tera-
tur. Serangan Satria Gendeng terkadang melambat se-
perti seorang kakek tua kekurangan makan. Terka-
dang segemulai seperti penari wanita.
Sesekali dia melompat-lompat, berjingkat-
jingkat mencoba membingungkan lawan. Atau berubah 
menggebu. Pukulan dan tendangannya membabi-buta.
Saat serangannya cenderung bertumpu pada 
jurus-jurus milik Dedengkot Sinting Kepala Gundul, 
Nini Jonggrang sanggup meladeni dengan kedig-
dayaannya selaku tokoh kenamaan rimba persilatan 
tanah Jawa. Begitupun saat serangan Satria Gendeng 
bertumpu hanya pada jurus-jurus milik Tabib Sakti 
Pulau Dedemit.
Sewaktu Satria Gendeng membaurkan kedua-
nya, pertahanan Perempuan Pengumpul Bangkai mulai 
kedodoran. Beberapa kali nenek tua sakti itu hampir 
kecolongan. Lebih jauh lagi, posisinya bahkan didesak 
habis-habisan oleh si pendekar muda. Satria Gendeng 
memaksa perempuan tua yang punya pamor mena-
kutkan itu pontang-panting berkali-kali.
Jika saat itu ada beberapa orang persilatan, 
tentu mata mereka akan terpentang lebar menyaksi-
kan kedahsyatan dan kehebatan tarung dua manusia 
beda usia itu. Tidak disangsikan lagi, mereka akan ter-
perangah takjub mengetahui seorang pemuda kemarin

sore sanggup mendesak Perempuan Pengumpul Bang-
kai. Mungkin, sebagian di antara mereka tidak akan 
mempercayainya.
Sayang, tak ada cukup saksi bagi dunia persila-
tan untuk kejadian yang menjadi salah satu langkah 
awal kelahiran seorang pendekar muda kenamaan ta-
nah Jawa. Pendekar yang akan membuat kegoncangan 
besar. Musuh yang paling ditakuti oleh kalangan sesat, 
Satria Gendeng!
Pada satu kesempatan, Satria Gendeng berhasil 
meloloskan satu tamparan keras ke pipi lawannya. Ni-
ni Jonggrang terjajar beberapa tombak ke samping. 
Badannya hampir saja terpeluntir, jika tidak segera 
bertumpu dengan satu kaki.
Bagian wajah biasanya adalah satu sasaran 
yang paling dilindungi oleh setiap warga persilatan. 
Karena bagian itu dianggap sebagai bagian tubuh yang 
dimuliakan. Menampar pipi bisa berarti menampar ke-
hormatan dan harga diri.
Bagi Nini Jonggrang, tak ada seorang pun per-
nah menempatkan tamparan ke pipinya selama pulu-
han tahun terakhir. Seperti belum ada seorang pun 
yang berani menghinanya. Hari ini, matanya dipaksa 
terbuka lebar-lebar. Seorang bocah kemarin sore telah 
menampar pipinya dengan telak! Seorang bocah bau 
kencur telah melabrak kehormatan dan harga dirinya! 
Setelah berjumpalitan gesit beberapa kali 
menghindari kucuran serangan Satria Gendeng yang 
tak terputus. Perempuan Pengumpul Bangkai menca-
pai jarak aman. Dia berdiri terbungkuk.
Mengeram.
Matanya menghujam tajam. Kemurkaannya 
mulai tersulut. Bisa jadi, bagi beberapa kalangan akan 
sulit untuk memancing kekalapan tokoh yang banyak

makan asam-garam seperti Nini Jonggrang. Dia bukan 
tokoh yang gampang dipermainkan.
Setelah hampir tak pernah ada seorang pun 
yang berhasil membuatnya kalap, kini tanpa disadari 
dia siap menjadi gelap mata. Itu bisa berarti kerugian 
besar dalam satu pertarungan. Apalagi pertarungan 
maut.
"Hmrrrhh!" 
Menggeram lagi.
Sudut bibir yang terboreh darah terungkit, per-
tanda kebengisan yang buta siap termuntahkan. "Kau 
akan mampus hari ini juga di tanganku, Bocah Kepa-
rat!!!"
Seperti Satria Gendeng, Nini Jonggrang pun ke-
tika itu juga melupakan rencananya yang sudah demi-
kian matang disusun selama beberapa waktu sebe-
lumnya. Rencana yang dibuatnya bersama sekutunya, 
Iblis Dari Neraka. 
Semuanya jadi telanjur hancur karena kekala-
pan tolol. Tolol atau tidak, tampaknya Perempuan Pen-
gumpul Bangkai tak peduli lagi.
Jari tangannya bergetar di depan. Kuku tajam 
kehitaman diperlihatkan. Perlahan, tangan keriput pe-
rempuan tua terkutuk itu mendekati bagian pinggang-
nya. Sebelum pertarungan meletus, Nini Jonggrang te-
lah mengikat Kail Naga Samudera di pinggangnya. 
Senjata pusaka ampuh itu akan dipergunakannya un-
tuk menyingkirkan Satria Gendeng! 
Tiba-tiba, wajah Nini Jonggrang berubah. Den-
gan mata mendelik, dia melihat pinggangnya. Kail Naga 
Samudera sudah tak ada lagi!
Keparat busuk! Kutuknya dalam hati. Mungkin 
ketika tubuhnya terlempar jauh akibat hantaman kuat 
tenaga dalam Satria Gendeng, Kail Naga Samudera ter

lepas! Nini Jonggrang menerka-nerka. Tahu kemung-
kinan tersebut yang paling mendekati, mata Nini 
Jonggrang segera menerjang tempatnya terjatuh, men-
cari-cari.
Menyaksikan gelagat lawannya. Satria Gendeng 
pun turut mengikuti arah pandangan Nini Jonggrang.
Kail Naga Samudera ditemukan. Tergeletak te-
pat di tempat Nini Jonggrang terjatuh sebelumnya. Ja-
rak antara Kail Naga Samudera dengan Nini Jonggrang 
ternyata tak berbeda jauh dengan jarak Satria Gen-
deng dengan senjata pusaka itu.
Mata keduanya berbentrokan. 
Nyalang. 
Sama-sama bersiaga pada gerakan lawan seke-
cil apa pun. 
Keduanya harus menentukan, siapa yang lebih 
cepat merebut Kail Naga Samudera. Siapa yang memi-
liki kecepatan lebih tinggi, akan mendapatkan senjata 
pusaka itu. Samalah artinya bagi mereka untuk men-
gadu tingkat kemampuan peringan tubuh!
"Kau tak akan sanggup mengungguli tingkat 
ilmu peringan tubuhku, Bocah Busuk," cemooh Nini 
Jonggrang. Bibirnya menyeringai. Dia merasa Kail Na-
ga Samudera sudah berada dalam genggamannya. Dia 
bahkan tak pernah percaya kalau si bocah kemarin 
sore dapat mengungguli kecepatannya. Boleh saja dia 
memiliki keistimewaan dengan menguasai tenaga da-
lam tingkat tinggi. Namun dengan usia seperti dia, tak 
mungkin untuk menguasai banyak kesaktian sekali-
gus, nilai Nini Jonggrang.
Namun, penilaian Nini Jonggrang tetap harus 
diuji. 
"Heaaa!" 
"Haaaiiiii!!"

Sekedipan mata berbarengan keduanya meng-
genjot tubuh. Ilmu peringan tubuh dikerahkan tanpa 
batas yang pasti, sejauh mereka bisa mengerahkan. 
Tubuh keduanya berubah menjadi kelebatan bayan-
gan. 
Jarak terpangkas.
Dari dua arah berbeda. 
Menuju satu titik pasti.
Tep! 
Dash!
Nini Jonggrang membuktikan keunggulannya 
dalam ilmu peringan tubuh. Tangannya berhasil lebih 
cepat menjemput Kail Naga Samudera di tanah. Tapi, 
dia melupakan satu hal. Satria Gendeng tidak pernah 
terpikir untuk merebut Kail Naga Samudera. Kecamuk 
kekalapannya hanya mengobarkan satu keinginan, 
menumpas Nini Jonggrang, orang terkutuk yang telah 
melukai kekasih tercintanya!
Kendati telah cepat bergerak, Satria Gendeng 
berhasil memanfaatkan perhatian Nini Jonggrang yang 
terpusat pada Kail Naga Samudera semata. Begitu tiba 
di titik pertemuan, kakinya justru melepas tendangan 
mendongkel yang menghantam telak-telak ulu hati la-
wan! 
Licikkah? Tidak. Karena semua itu tak pernah 
terpikirkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Bertepatan dengan tersambarnya Kail Naga 
Samudera, tubuh Nini Jonggrang pun melayang deras 
jauh ke belakang. Dia jatuh lebih jauh dari akibat han-
taman lawan sebelumnya. Menderita luka jauh lebih 
parah pula, menyebabkan perempuan tua sesat itu 
hampir kehilangan kesadaran!


DELAPAN
"JANGAN coba berpikir macam-macam, Bocah 
Keparat!"
Sebelum Satria Gendeng bertindak lebih jauh 
terhadap Nini Jonggrang, satu bentakan keras menjeg-
al. Mata si pendekar muda perkasa beralih. Disaksi-
kannya seorang yang tak asing lagi, Ki Ageng Sulut. 
Dengan kedatangan orang tua sesat itu saja, Satria 
Gendeng sudah cukup terkejut. Apalagi manakala dis-
aksikan Mayangseruni berada di bawah ancamannya.
Ki Ageng Sulut berdiri cukup jauh. Jaraknya 
dengan Satria Gendeng sekitar dua puluh lima tom-
bak. Mayangseruni berdiri lunglai di depannya. Dari 
cara berdiri dan paras wajahnya yang tak berdaya, Sa-
tria Gendeng menduga Mayangseruni dalam pengaruh 
totokan Ki Ageng Sulut. Tangan Ki Ageng Sulut terlihat 
menggapit geram leher gadis itu. Jari-jari tangan yang 
lain menjapit tenggorokan Mayangseruni. Gelagatnya, 
Ki Ageng Sulut tak akan segan-segan memutuskan 
tenggorokan sanderanya dengan japitan jari jika Satria 
Gendeng masih menggempur Nini Jonggrang.
"Jika aku jadi kau, aku tak akan melanjutkan 
serangan terhadap lawanmu itu!" sambung Ki Ageng 
Sulut dengan pandangan dan paras mengancam.
"Karena aku dapat menjamin, kalau kau mene-
ruskan, tenggorokan gadis ini akan segera terkoyak 
oleh jariku!"
Kendati kemarahan sudah demikian meluap-
luap hampir kehilangan kendali sama sekali, Satria 
Gendeng cepat tersadar akan keselamatan nyawa 
Mayangseruni. Sekuat-kuatnya ditekan kembali kema-
rahan itu sehingga kerongkongannya terasa demikian

sakit.
"Kakek terkutuk...," sumpahnya mendesis.
Sesosok bayangan kemudian berkelebat sekitar 
sepuluh tombak dari tempat Ki Ageng Sulut, berkawal 
teriakan yang sudah cukup lama dikenal Satria Gen-
deng.
"Jangan gegabah, Satria!" 
Sekali lagi mata Satria Gendeng beralih. Dite-
mukannya Ki Kusumo sudah hadir pula di sana.
"Kakek Kusumo," sambut Satria Gendeng, tak 
jelas 
Satria Gendeng tak tahu, apakah dia harus me-
rasa gembira dengan kedatangan salah seorang gu-
runya itu. Dia bahkan tak begitu yakin Ki Kusumo bisa 
membantunya kalau mengingat keadaan Mayangseru-
ni kini. Satu hal yang pasti, keberadaan Ki Kusumo - si 
Tabib Sakti Pulau Dedemit - membuat ketegangan 
pendekar muda itu sedikit mengendor. Kemarahannya 
susut perlahan. Meski tak punah sama sekali. 
Nini Jonggrang yang bangkit terseok kontan 
memperlihatkan wajah senang. Sudut bibirnya yang 
masih dilelehi darah kehitaman segera mengembang-
kan seringai. Sambil memegangi bagian ulu hatinya 
yang mungkin mengalami luka dalam, perempuan tua 
sesat itu berujar.
"Bagus, Sulut. Bagus! Otakmu rupanya masih 
cukup encer untuk dipergunakan. Sialnya, kenapa ti-
dak sejak tadi kau datang, Kunyuk!"
"Aku hanya ingin mengetahui, apakah kekala-
han ku oleh bocah jahanam itu tempo hari dapat kau 
cicipi juga. Nyatanya kau memang harus men...."
"Diam kau, Sulut! Aku tak meminta pendapat 
memuakkan mu!" hardik Nini Jonggrang, terbatuk-
batuk. Akibat memaksakan diri untuk membentak, da

rah kehitaman keluar kembali dari mulutnya.
"Sekarang kau yakin bahwa murid Truna me-
mang tidak bisa dibuat main-main, bukan? Atau kau 
belum yakin sampai tendangannya menjebol dada ku-
rus mu?!" susul Ki Ageng Sulut tak puas.
"Kubilang diam kau!" Nini Jonggrang gusar. Ta-
pi, dia tak sanggup berbuat apa-apa kecuali mengum-
pat dari menghardik. Melakukan hal itu saja sudah 
membuat dia terbatuk-batuk darah.
"Lepaskan dia, Ki Ageng Sulut!" seru Satria 
Gendeng, memutuskan perang mulut tua bangka sesat 
itu;
"Lepaskan?" Ki Ageng Sulut menyeringai. Dili-
riknya Nini Jonggrang. "Bagaimana Jonggrang? Anak 
bau kencur ini meminta ku melepaskan sandera? Me-
nurutmu bagaimana?"
"Kau jangan banyak mulut, Sulut! Kau tahu 
jawabannya!" 
Ki Ageng Sulut menatap Satria Gendeng. Lalu 
beralih kepada Ki Kusumo yang berusaha untuk men-
curi-curi kesempatan merebut Mayangseruni dari tan-
gan Ki Ageng Sulut. Sampai saat itu, Ki Ageng Sulut 
tampaknya tak pernah lengah.
"Kau jangan coba-coba berpikir untuk berbuat 
macam-macam, Kusumo!" ancam Ki Ageng Sulut. "Kau 
dan muridmu itu harus mendengar apa kataku dan 
menurut. Jika tidak, kau tentu akan menyaksikan ba-
gaimana darah mengucur deras dari leher mulus gadis 
ayu ini. Kau tentu tak sudi menyaksikan itu, bukan?" 
Ki Kusumo cuma bisa menghela napas, mengi-
kat kegusarannya. Sama dengan Satria Gendeng, posi-
sinya pun sedang terjepit dengan disanderanya 
Mayangseruni. 
Untuk memancing kelengahan, Ki Kusumo

mencoba membuat Ki Ageng Sulut gusar.
"Aku tak bisa percaya. Dua tokoh besar kena-
maan seperti kalian hari ini harus menghadapi kenya-
taan bahwa kalian hanya memiliki nyali seekor kodok 
buduk! Kendati julukan kalian besar, kalian tak memi-
liki harga diri!"
"Kau pun diam, Kusumo! Aku tak punya waktu 
untuk mendengarkan khotbahmu!" sergah Nini 
Jonggrang. 
Ki Kusumo cuma bisa mengangkat bahu perla-
han. Tampaknya dia tadi tak menyadari kalau nama 
besar tak menjamin bisa merubah sifat seseorang. Jika 
dasarnya memang sudah busuk, tetap akan busuk. 
Seekor monyet tak akan bisa berubah menjadi peri 
hanya karena mendapat mahkota! Apalagi nama besar 
Iblis Dari Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai 
dibangun dengan cara-cara iblis. Kelicikan adalah sa-
lah satunya. Dan kapankah kelicikan memandang si-
kap tak satria atau harga diri? 
"Sekarang, dengarkan aku!" mulai Nini 
Jonggrang kembali "Pergilah kau dari tempat ini, Ku-
sumo! Jangan coba-coba memunculkan batang hidung 
sedikit pun pada kami. Karena jika kau melakukan-
nya, Sulut tak akan segan-segan membunuh perawan 
di tangannya. Katakan pada si Truna, bahwa murid 
kesayangannya akan merasakan siksaan yang kuteri-
ma di Goa Sewu!"
(Pada episode "Iblis Dan Neraka", dijelaskan 
bahwa Nini Jonggrang menerima hukuman dari Perta-
pa Sakti Gunung Sewu, gurunya, karena perbuatan 
sesat yang telah dilakukan. Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul (Truna) sebagai saudara kembarnya waktu itu, 
telah menggiringnya untuk menerima hukuman terse-
but. Sampai kini, Nini Jonggrang menyimpan dendam

pada Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Untuk mem-
balas secara langsung, Nini Jonggrang tak cukup 
mampu, karena masih tetap memendam rasa cinta pa-
da bekas saudara seperguruannya itu). 
***
Hari menjelang pagi.
Matahari bertamu kembali di angkasa daerah 
Tanjung Karangbolong. Sentuhan sinarnya sampai di 
batas-batas ombak. Segerombolan burung camar me-
mekik-mekik menyambut kedatangan hari baru.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak bisa me-
lanjutkan tidurnya yang terpotong semalam, sejak ke-
datangan seseorang bercaping tak dikenal. Yang dila-
kukannya kini malah duduk terbengong-bengong. 
Tangannya bertopang dagu. Wajahnya kusut, sekusut 
kerutan keningnya.
"Aduh, Eyang Guru. Ampuni aku. Mataku be-
nar-benar buta semalam. Eyang Guru...."
Seperti orang mengigau, sesepuh persilatan ta-
nah Jawa itu bergumam sendiri. Mata kelabunya terle-
pas kosong ke satu arah. Hampir-hampir tak pernah 
berkedip.
"Kenapa aku jadi begitu tolol? Kenapa aku jadi 
begitu tolol, Eyang Guru?"
Berkali-kali sudah keluar ucapan 'Eyang Guru' 
dari mulutnya. Seluruh gumamannya jelas berkaitan 
erat dengan peristiwa semalam. Kalau sekarang dia le-
bih banyak mengucapkan kata itu, tentu pula ada se-
babnya. 
Bagi Dongdongka alias Truna alias Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul, penyebabnya sudah jelas. Kuat 
keyakinan Dongdongka, bahwa lelaki semalam adalah

Pertapa Sakti Gunung Sewu, eyang gurunya sendiri. 
Terbayang-bayang kembali dalam otak tua yang 
nyaris tumpul milik Dongdongka, wajah Pertapa Sakti 
Gunung Sewu yang telah berpuluh tahun tak dijum-
painya. Seorang yang dari waktu ke waktu tak pernah 
mengalami ketuaan pada wajahnya. Tampan dan ber-
sih, dengan binar mata jenaka seorang bocah polos. 
Ada juga kesan kebodoh-bodohan pada garis-garis wa-
jahnya. Rambutnya panjang. Hitam, terawat, dan ter-
gerai. Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, me-
nutupi separuh kepala bagian atasnya. Mengenakan 
pakaian sederhana berwarna serupa dengan pengikat 
kepala. Kendati sederhana, namun licin sekaligus ber-
sih. Pada kain ikat pinggang berwarna merah, terselip 
satu helai bulu rajawali sepanjang dua jengkal.
Dan di luar pengetahuan Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul sendiri, Pertapa Sakti Gunung Sewu 
seperti yang terngiang-ngiang di kepalanya telah ber-
temu pula dengan Ki Ageng Sulut dan Ki Kusumo di 
Wadaslintang. Padahal, ketika Pertapa Sakti Gunung 
Sewu mengunjungi Dongdongka, bertepatan waktunya 
dengan kehadirannya di Wadaslintang. Tentu saja hal 
itu karena satu ajian yang telah diwariskan kepada 
Dongdongka, ajian 'Melepas Sukma'!
"Eyang Guru!!"
Dongdongka berteriak. Dia sedang sebal seten-
gah modar pada dirinya. Sebal karena tak sempat me-
nyadari kunjungan gurunya. Pada usia setua dia, mes-
tinya dia memiliki penilaian yang lebih cermat. Tidak 
main bentak sana bentak sini pada orang yang telah 
mengganggu tidur malamnya. Sekarang, kalau orang 
yang dibentak-betak semalam adalah eyang gurunya 
sendiri, baru dia tahu rasa!
Dongdongka bangkit. Dia mondar-mandir di

atas pasir. Kedua tangannya tak pernah berhenti ber-
gerak, mengiringi sumpah serapah tak putus-putus, 
mengutuki diri sendiri.
Tak puas sampai di situ, Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul pun membentur-benturkan kepalanya 
dengan dahan pohon kelapa. Maksudnya mau meng-
hukum diri. Sayangnya, batok kepala manusia karatan 
itu ternyata jauh lebih keras dari dahan kelapa. Wal-
hasil, justru batang kelapa jadi mencekung dalam. Be-
berapa butir kelapa sempat jatuh karena getaran he-
bat. Salah satunya menimpa kepala klimis Dongdong-
ka. Orang tua bertabiat sinting-sintingan itu berharap 
kepalanya akan pecah terbelah dua. Sayangnya lagi, 
buah kelapa itu yang malah hancur berantakan. 
Tak terasa, sudah dua puluh lima batang po-
hon kelapa menjadi korban!
Sampai uring-uringan Dongdongka terhenti 
mendadak ketika matanya menyaksikan seseorang te-
lah duduk membelakangi di bawah pohon terakhir 
yang sedang ditandukinya. Seorang yang semalam 
mengunjunginya, sekaligus menggangu tidurnya.
Mata si tua sinting itu mendadak berbinar-
binar. Cerah bak mentari pagi yang terus menanjak. 
"Eyang. Guru!" 
Cepat-cepat Dongdongka berlari ke hadapan 
orang yang ternyata Pertapa Sakti Gunung Sewu. 
Orang tua sakti yang usianya amat jauh di atas Dong-
dongka namun tetap awet muda itu sedang santai ber-
kipas-kipas dengan capingnya.
Di depan Pertapa Sakti Gunung Sewu, Dong-
dongka bersujud sambil menangis meraung-raung. Se-
perti gadis kembang desa yang hendak dijodohkan 
dengan buto ijo! Sedikit pun dia tak berani mengang-
kat wajah. Tak peduli pasir pantai tertelan ke dalam

mulut.
"Whuaaa whuaa ihik, ampun Eyang Guru! Se-
malam aku benar-benar tak tahu diri. Betapa keterla-
luannya aku, ya? Masa Guru sendiri sampai tak dike-
nali. Huaaa hik hik!"
"Jangan seperti anak kecil Truna." Suara eyang 
gurunya sudah berpindah di belakang Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul segera mendongakkan kepala. Guru 
besarnya memang sudah tak ada lagi di depannya.
Ketika Dongdongka menoleh, disaksikan Perta-
pa Sakti Gunung Sewu sudah duduk. Persis di depan 
pantatnya! Kontan mata Dongdongka mendelik nyaris 
melompat keluar. Wajah orang tua yang sudah diang-
gap sesepuh di antara sesepuh persilatan tanah Jawa 
itu jadi sepucat bangkai. Kualat benar dia! Masa' guru 
dipantati?
Buru-buru dia membalikkan posisi sujudnya. 
Raungnya tambah menjadi-jadi, merasa dosanya su-
dah bertambah lagi
"Ampooooon, benar-benar ampooooon, Eyang 
Guru. Huaa whuaa aung aung!" 
 "Sudan kukatakan, jangan bersikap seperti 
anak kecil seperti itu, Truna!" 
Terdengar lagi suara jernih seperti milik bocah. 
Dan suara Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah pindah 
kembali ke belakang Dongdongka.
Astaga! Dongdongka terkesiap untuk yang ke-
sekian kalinya. Pasti dia sudah memantati kembali 
eyang gurunya. Tanpa banyak pikir ini itu langsung
saja si orang tua sinting membalikkan posisi sujudnya. 
Ada yang tersentuh hidung Dongdongka. Sepasang ka-
ki orang berdiri.
Pasti kaki Eyang Guru, pikir Dongdongka. Tak 
ayal lagi, Dongdongka segera menciumi kaki itu bertu

bi-tubi. Raungnya tak pernah mau dihentikan! Pan-
tang! Sampai raungan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul harus direm mendadak ketika mendengar suara 
orang yang diciumi kakinya berbeda dengan suara Per-
tama Sakti Gunung Sewu.
"Orang tua, orang tua! Apa yang terjadi pada di-
rimu?"
Dongdongka mendongak dengan wajah melom-
pong. Kaki yang diciuminya dengan kelewat khidmat 
ternyata milik seorang penduduk desa yang kebetulan 
melewati tempat itu! Seorang lelaki dekil yang biasa 
memetik buah kelapa untuk dijual ke kotapraja! 
Minta ampun! Pantas kakinya bau kotoran ker-
bau! rutuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul geram. 
Rasanya dia ingin menghajar congor lelaki desa yang 
maju karena terheran-heran itu!
Tanpa mempedulikan lelaki desa yang masih 
saja 'pelanga-pelongo', Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul mencari-cari ke mana eyang gurunya pergi. Nah itu 
dia, sedang berjalan santai menuju selatan!
Buru-buru Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
mengejar. 
"Tak perlu kau bersujud lagi padaku, Truna!" 
cegah Pertapa Sakti Gunung Sewu, menahan Dong-
dongka yang hendak memulai sembah sujud 'setengah 
miring'nya.
"Kenapa, Eyang Guru? Kenapa? Aku memang 
bersalah semalam dan hari ini. Tapi, janganlah kau 
menghukum aku dengan tidak menganggap aku mu-
ridmu lagi. Jangan, ya Eyang Guru?" tanya Dongdong-
ka, mendayu-dayu sambil berjalan membungkuk-
bungkuk di belakang Pertapa Sakti Gunung Sewu.
"Bukan begitu. Sejak aku memutuskan untuk 
turun gunung, aku telah menyadari sesuatu. Manusia

tak bisa menyembah manusia lain. Kendati gurumu, 
jangan jadikan aku seperti Dewa. Aku tetap manusia 
biasa...."
Dongdongka manggut-manggut. Raungannya 
sudah aman. Matanya bahkan sudah kering. Atau, 
memang begitu caranya menangis? Tak pernah keluar 
airmata?
"Syukurlah kalau ternyata Eyang Guru tak 
menghukum aku. Syukur... syukur. Lalu, kenapa 
Eyang Guru memutuskan untuk turun gunung seka-
rang ini?"
Pertapa Sakti Gunung Sewu terus melangkah.
"Ada beberapa hal yang harus segera kubenahi 
sebelum aku mati."
"Aaa, Eyang Guru jangan mati dulu! Aku saja 
muridmu tak pernah-pernah kesampaian...."
"Dengarkan aku dulu, Truna." 
"Oh, iya iya."
"Aku turun gunung karena dua hal penting," 
mulai Pertapa Sakti Gunung Sewu kembali. "Pertama, 
karena aku ingin berguru dengan seseorang...."
Dongdongka melongo. Eyang gurunya hendak 
berguru lagi? Apa-apaan ini? Manusia sesakti dia mes-
tinya tak perlu banyak berguru lagi! Dongdongka sen-
diri sudah bosan menambah kesaktian! Ini jadi terden-
gar aneh bin ganjil bin ajaib bin Saimin!
"Berguru, Eyang?"
"Ya. Kudengar, ada seseorang yang begitu mulia 
di Bintoro Demak."
"Siapa orang itu, Eyang. Dan apa yang ingin 
Eyang pelajari dari orang itu?"
"Aku tak begitu jelas dengan namanya. Menu-
rut wangsit yang kuterima, orang itu adalah salah seo-
rang yang amat dekat dengan Sultan Demak. Pada be

liau, aku ingin berguru ilmu 'Makrifat'."
"Ilmu 'Makrifat', Eyang?"
"Ilmu yang tak akan didapat kecuali dengan 
mencapai pengenalan diri secara menyeluruh dan 
mengenal Tuhan...."
Dongdongka menggeleng-geleng. Kepalanya 
pusing tujuh keliling. Dia tak mengerti.
"Lalu bagaimana dengan tujuan kedua Eyang 
turun gunung?" tanyanya. 
"Tentang Jonggrang."
Jonggrang lagi, rutuk Dongdongka. Selalu saja 
perempuan jelek itu bikin perkara.
"Jonggrang telah menganut ilmu sesat. Ilmu se-
sat itu didapatnya dari salah seorang perempuan mu-
suh lamaku yang telah mati. Kematiannya, tidak me-
nyertakan kematian ilmunya. Sebagian ilmu sesatnya 
telah diturunkan kepada Jonggrang. Namun ada inti-
inti ilmu iblisnya yang akan dititiskan langsung pada 
Jonggrang. Untuk itu, dia harus menanti agar 
Jonggrang berusia lebih dari seratus lima puluh ta-
hun...."
"Aku tak tahu berapa usia Jonggrang, Eyang.. 
Usiaku saja aku tak tahu jelas."
"Besok malam, menurut penglihatan mata ba-
tinku, Jonggrang akan dititisi inti ilmu sesat gurunya. 
Aku berpesan padamu, cegahlah dia. Jangan sampai 
dia menerima inti ilmu sesat itu."
"Caranya, Eyang?"
"Temukan dalam diri muridmu!"
Dongdongka garuk-garuk kepala. Apa hubun-
gannya Satria Gendeng dengan semua ini? Apa mak-
sud perkataan terakhir Eyang Guru. Dongdongka baru 
hendak membuka mulut menanyakan hal itu. Tapi, 
Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah tak tampak lagi.

Semenjak kepergian gurunya, Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul terus terombang-ambing kebingun-
gan memikirkan pesan terakhir Pertapa Sakti Gunung 
Sewu. Otaknya memang agak telat mikir selama dia 
begitu merindukan kematian. Barangkali juga memang 
sudah dari sananya
"Kenapa Eyang Guru jadi menghubung-
hubungkan penitisan ilmu sesat si Jonggrang dengan 
Satria. Apa urusannya dengan murid gendengku itu? 
Apa jangan-jangan aku salah dengar atau bagaimana? 
Ah, perasaan kupingku masih waras-waras saja sam-
pai sekarang...."
Sudah berkali-kali Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul menggaruk-garuk kepala. Berkali-kali. Bosan 
menggaruk-garuk kepala, dia meneruskan dengan 
menggaruk-garuk dengkul, lalu perut, lalu pantat. Tak 
sekalian saja.... Sepanjang siang itu, terus saja dia 
ngalor-ngidul di pantai. Ke sini salah. Ke sana salah. 
Tak ke mana-mana, juga salah. Gubuk sebagai tempat 
yang begitu nyaman bagi orang bosan hidup macam 
dia, jadi terasa membuat gerah dirinya saja.
Sementara terus kebingungan, waktu mengen-
dap-endap tak tertahan. Bodoh benar Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul kalau dia terus saja kebingungan. 
Jika malam menjelang dan dia masih tetap begitu, pe-
san gurunya untuk mencegah Nini Jonggrang meneri-
ma penitisan inti ilmu hitam, bakalan tak terlaksana.
Pikir punya pikir, akhirnya Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul memutuskan untuk segera menyusul 
Satria Gendeng ke Gunung Sumbing.
Gunung Sumbing? Tepatkah tempat yang hen-
dak dituju sang sesepuh persilatan tanah Jawa satu 
ini?

SEMBILAN
GUNUNG Sewu. Di sebelah tenggara gunung itu 
terdapat goa besar tempat dahulu Nini Jonggrang men-
jalani hukuman dari gurunya, Pertapa Sakti Gunung 
Sewu.
Malam telah bertandang kembali, entah untuk 
yang keberapa kali selama usia bumi. Bulan sabit me-
nyipit di antara kepungan awan kelabu. Seperti pesan 
Pertapa Sakti Gunung Sewu, malam itulah Nini 
Jonggrang akan menerima penitisan inti ilmu sesat da-
ri mendiang gurunya!
Satria Gendeng digiring ke sana oleh Ki Ageng 
Sulut dan Nini Jonggrang. Sesuai dengan keinginan si 
perempuan tua sesat, Satria Gendeng akan menjadi 
pelampiasan dendam buta yang sejak lama dipendam-
nya. Goa Gunung Sewu sengaja dipilih karena Nini 
Jonggrang menginginkan penderitaan yang tahu nanti 
akan diterima murid Dongdongka itu seperti penderi-
taan yang dulu diterimanya dalam Goa Sewu.
Dan tampaknya, Nini Jonggrang telah lebih da-
hulu mengetahui daripada Dongdongka bahwa Pertapa 
Sakti Gunung Sewu telah meninggalkan tempat. perta-
panya itu. Karenanya, tua bangka ahli tenung itu be-
rani mendatangi Goa Sewu.
Mayangseruni masih dalam genggaman Ki 
Ageng Sulut. Dia masih dalam pengaruh totokan. Tu-
buhnya yang lemah lunglai dibopong oleh Ki Ageng Su-
lut hingga ke Goa Sewu. Sementara Tresnasari dibo-
pong oleh Nini Jonggrang. Gadis yang mengalami luka 
dalam cukup parah akibat hantaman Nini Jonggrang 
masih tak sadarkan diri.
Sebelum berangkat ke Goa Sewu, Nini

Jonggrang sempat mengobati luka dalamnya. Satria 
Gendeng tidak dapat berbuat banyak, kecuali menyak-
sikan saja Nini Jonggrang bersemadi mengatur pereda-
ran hawa murni dalam tubuhnya. Jika macam-macam, 
tangan kejam Ki Ageng Sulut akan memagut lepas 
nyawa Mayangseruni. 
Sementara itu, Ki Kusumo pun tak punya pili-
han lain kecuali menuruti perintah si Perempuan Pen-
gumpul Bangkai untuk segera meninggalkan Wadaslin-
tang. Namun, dia tak begitu bodoh untuk benar-benar 
menyingkir. Dari jarak yang dianggap cukup aman, Ki 
Kusumo bersembunyi dan menguntit hati-hati perjala-
nan mereka ke Goa Sewu.
"Sekarang, aku tidak peduli lagi pada sumpah-
ku padamu, Bocah Busuk. Kau yang telah membuat 
aku menjadi marah besar! Sekarang, kau harus mene-
rima pengaruh tenung ku tanpa bisa membebaskan 
kekasihmu dari tanganku! Biar kau tahu rasa! Biar 
kau tahu, Perempuan Pengumpul Bangkai tak bisa 
kau buat main-main!" mulai Nini Jonggrang seraya 
menurunkan tubuh Tresnasari kasar ke tanah. Ketika 
itu, mereka sudah tiba di mulut Goa Sewu, Nini 
Jonggrang berdiri persis di depan goa. Satria Gendeng 
berdiri berhadapan dengannya dalam jarak lima tom-
bak. Sementara Ki Ageng Sulut di belakang Satria 
Gendeng, setiap saat siap untuk membunuh sande-
ranya. 
"Sulut! Hancurkan leher gadis itu sehancur-
hancurnya kalau Bocah Jahanam ini hendak macam-
macam!" lanjutnya seraya melepas pandangan kepada 
Ki Ageng Sulut. 
Ki Ageng Sulut hanya mengangguk sekali. Tak 
perlu diperintah pun, dia sudah sangat paham apa 
yang mesti dilakukannya.

"Nah, Bocah Jahanam. Bersiaplah!" tukas Nini 
Jonggrang disusul tawa terkikiknya yang mencelat ma-
suk ke dalam goa, melahirkan gema yang bersahutan 
dan kian menjauh. 
Satria Gendeng tegang.
Sekujur dirinya seperti direjang dari dalam. Tak 
mungkin lagi baginya menjalankan siasat yang sebe-
lumnya terpikirkan. Tak mungkin lagi baginya menge-
rahkan ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh tenung 
si Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak mungkin.
Tegang menanjak. 
Nini Jonggrang memekik. Mengangkat tangan-
nya tinggi-tinggi ke angkasa. Siap membangun kembali 
upacara penuh hawa magis dari dasar alam kegelapan. 
Menggidikkan. 
Mencabik nyali.
Ki Kusumo yang menanti di balik satu pohon 
besar di kejauhan pun tak urung terbawa suasana 
yang terus mencekam keras-keras. Harus ada yang di-
perbuatnya, jika tidak muridnya akan menjadi mangsa 
tenung Nini Jonggrang.
Tapi, apa yang bisa dilakukan? Sementara Ki 
Ageng Sulut seperti menggenggam nyawa Mayangseru-
ni dalam telapak tangannya. Mungkinkah dia terpaksa 
harus membokong? Apakah nanti tindakan itu tak 
membahayakan nyawa Mayangseruni! Bedebah!
Ki Kusumo meremas geram telapak tangan. Be-
tapa bencinya dia dalam keadaan tak berdaya seperti 
itu. Seperti tak berdayanya Satria Gendeng.
Dalam keadaan genting layaknya telur di ujung 
tanduk, mendadak saja....
"Heaaa!!!" 
Clep!
"Aaaa!"

Satria Gendeng terkejut. Ki Ageng Sulut terke-
jut. Juga Ki Kusumo di kejauhan sana. Hanya Nini 
Jonggrang yang tidak. Lebih dari itu, si Perempuan 
Pengumpul Bangkai justru disengat rasa sakit teramat 
sangat di bagian pahanya. Karenanya dia melengking-
kan teriakan di luar mantera-manteranya yang seketi-
ka terpancung.
Tresnasari, gadis yang sejak lama seperti tak 
sadarkan diri itu mendadak menghujamkan sepasang 
belati kecil dari balik bajunya ke paha kiri dan kanan 
Perempuan Pengumpul Bangkai. Belati yang telah la-
ma tak digunakan. Senjata kecil yang sering dipergu-
nakannya ketika masih bersama Nyai Cemarawangi! 
Senjata yang begitu dikenali Satria Gendeng sejak da-
hulu.
Tak disadari seorang pun, rupanya gadis itu te-
lah siuman sejak lama di Wadaslintang. Ketika itu, la-
mat dia mendengar kedatangan Ki Ageng Sulut dan Ki 
Kusumo. Mendengar Mayangseruni disandera oleh Ki 
Ageng Sulut, Tresnasari memutuskan untuk tetap ber-
pura-pura pingsan. Jika ada kesempatan, dia akan 
bertindak tanpa diduga-duga. Hanya itu yang dapat 
membebaskan Mayangseruni. Hanya tindakan cepat 
yang tak terduga!
Tanpa memberi kesempatan bagi Nini 
Jonggrang untuk menyadari apa yang terjadi, Tresna-
sari mencabut belati dari paha mangsanya
Bres!
Dengan lincah bagai seekor anak kera, tubuh-
nya berguling beberapa tombak, lantas mencelat ke 
atas. Di udara, tangannya berkelebat lagi, melempar-
kan sepasang belati bermandi darah ke arah Ki Ageng 
Sulut.
Sejak lama, Satria mengenal Tresnasari sebagai

ahli pelempar belati. Sasarannya jarang sekali luput. 
Bahkan dia sanggup membelah dua batang bambu se-
besar kelingking dengan lemparan belatinya. Jika bela-
tinya kali ini mengarah ke sepasang mata Ki Ageng Su-
lut, tak diragukan lagi benda tajam itu akan mengarah
tepat menuju sasaran, kendati begitu, adalah tindakan 
berani dilakukan Tresnasari. Sebab jika keliru mem-
buat perhitungan, justru Mayangseruni yang menjadi 
korban!
Tindakan tak terduga-duga Tresnasari mem-
buat Ki Ageng Sulut sempat tercengang. Untuk seper-
sekian kejap mata, dia jadi melupakan sanderanya 
sendiri. Begitu menyadari ada sepasang benda tajam 
melesat menuju kepalanya, Ki Ageng Sulut menjadi 
terkesiap. Secara tak sengaja, dia melepaskan Mayang-
seruni untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari ter-
kaman sepasang belati Tresnasari. 
Mayangseruni terlempar.
Tubuhnya berguling di tanah menurun.
Saatnya bagi Satria Gendeng untuk bertindak!
Wrrr! 
Sekali sentak, tubuh Satria Gendeng melayang 
cepat menyusul Mayangseruni.
Nini Jonggrang tak bisa membiarkan begitu sa-
ja. Rasa sakit di pahanya telah sanggup dikuasai. Per-
hatiannya kini bisa dipusatkan kembali ke arah kan-
cah kekacauan. Kekacauan memang telah berlangsung 
demikian cepat. Tak meleset perhitungan Tresnasari. 
Tindakan cepat tak terduga seperti rencananya, telah 
memporak-porandakan kemenangan sementara si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai dan Iblis Dari Neraka! 
Nini Jonggrang berteriak bagai auman singa be-
tina tua. 
"Khuuaaaa!"

Wikh wiikh wikh wiikh! 
Dengan nekat dan amat menggidikkan bagi sia-
pa pun yang menyaksikannya, Nini Jonggrang melepas 
lima kuku jari tangan kanannya dengan sengaja. Sen-
takan tenaga dalam yang disalurkan kelewat batas 
menyebabkan kelima jari hitam itu meluncur bagai tar-
ing-taring setan terbang!
Lompatan Satria Gendeng dikejarnya.
Bengis!
Sepanjang lintasan kelima kuku hitam itu, uda-
ra menjadi terbakar. Asap tipis membentang panjang. 
Deras.
"Satria awas!!!" 
Sekelebatan bayangan meluruk tak kalah cepat 
dengan lesatan lima kuku jari maut milik Perempuan 
Pengumpul Bangkai. Kelebatan yang memapas lang-
sung lintasan kuku-kuku itu. Bagai halilintar me-
mangkas angin ribut!
Hanya tinggal berjarak satu jari dari bokong Sa-
tria Gendeng yang tak menyadari datangnya bahaya 
maut, kelima kuku itu berpentalan ke segala arah, di-
papas oleh dua batang logam.
Tring tring!
Lalu, kelebatan bayangan itu menukik turun.
Berdiri di tengah-tengah kekacauan tepat di be-
lakang Tresnasari. Orang itu tentu saja Ki Kusumo, 
Tabib Sakti Pulau Dedemit!
Tampaknya kekacauan akan segera berubah 
menjadi adu kedigdayaan maut antara dua aliran ber-
seteru.
***
Dengan mengandalkan pengerahan segenap il

mu meringankan tubuhnya, Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul memang tiba sebelum malam di tempat tu-
juan. Namun di sana, dia cuma bisa meneruskan kerja 
menggaruk-garuk. Tak ditemukan siapa-siapa di sana. 
Masalahnya memang bukan karena 'tak bisa' mene-
mukan, melainkan 'tak mungkin' menemukan. Mana 
mungkin dia menemukan muridnya atau Nini 
Jonggrang di sana, sementara mereka sedang berada 
di Gunung Sewu?
Seluruh bagian gunung sudah dicarinya.
Puncak sudah.
Lereng juga.
Kaki gunung pun tak lupa.
Kalau gunung punya ketiak dan selangkangan, 
pasti disatroni sekalian. Namun sampai Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul mengobrak-abrik 'sarang' Nini 
Jonggrang di jurang Gunung Sumbing, tetap tak dite-
mukan orang-orang yang dicarinya.
Waktu tak pernah istirahat. Gerbang malam 
makin dekat untuk terlewat. Senja sudah memiliki 
warna jingganya. Makin dekat saja saat di mana Nini 
Jonggrang menjelma menjadi iblis perempuan. Jika 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terlambat, bisa saja 
malam nanti menjadi malam petaka!
Setelah agak senewen mencari, barulah tua 
bangka itu mulai menyadari sesuatu.
"Eh, slompret! Aku ingat sekarang. Dulu, si 
Jonggrang mengancam muridku. Dia ingin melam-
piaskan dendam ku melalui diri Cah Gendeng itu. 
Jonggrang Jelek dendam padaku karena aku yang 
memaksanya pulang ke Gunung Sewu. Di sana dia 
mendapat hukuman. Kalau begitu, bukan tak mungkin 
Jonggrang Jelek ingin melampiaskan dendamnya di 
tempat yang sama sewaktu dia mendapat hukuman!"

gumam Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Iya ya!" tukasnya seraya meninju jidat sendiri.
"Kenapa aku jadi begitu tolol. Pasti Jonggrang 
Jelek telah membawa muridku ke sana! Pasti, tahu!"
Karena waktu sudah sangat mendesak. De-
dengkot Sinting Kepala Gundul langsung menggenjot 
kembali ilmu meringankan tubuhnya menuju Gunung 
Sewu. 
SEPULUH
PERTARUNGAN di depan mulut Goa Sewu tak 
dapat terelakkan lagi. Keadaan telah berubah sama 
sekali dari sebelumnya. Satria Gendeng, Ki Kusumo 
dan dua gadis bersaudara kembar yang bersama me-
reka tak lagi dalam keadaan terjepit. Mayangseruni te-
lah bebas dari sandera Ki Ageng Sulut. Gadis itu kini 
telah dibebaskan dari pengaruh totokan oleh Satria 
Gendeng. Di bawah satu batang pohon besar yang cu-
kup jauh dari mulut goa, dia hanya menjadi penonton 
tunggal dua kancah pertarungan sengit.
Satu kancah, Satria Gendeng bertukar jurus-
jurus maut dengan si Perempuan Pengumpul Bangkai. 
Lain kancah, Ki Ageng Sulut menghadapi Ki Kusumo. 
Biarpun pada pertarungan terakhir dengan lawannya 
tabib kenamaan tanah Jawa itu kehilangan sepasang 
kaki, tak tampak kegentaran pada dirinya. Ki Kusumo 
sadar, kemungkinan menelan kekalahan yang lebih 
parah bisa saja menimpanya kembali mengingat Iblis 
Dari Neraka tetap berada beberapa tingkat di atasnya. 
Namun, ada sedikit keyakinan dalam diri Ki Kusumo, 
bahwa penyakit yang diderita Ki Agung Sulut kemung

kinan besar pun menjadi kunci kemenangannya.
"Jika kudapatkan, kau tak akan kuampuni, 
Murid Murtad!" seru Nini Jonggrang yang kini dalam 
gempuran habis-habisan si pendekar muda. Benar-
benar Perempuan Pengumpul Bangkai dibuat kalap 
oleh muridnya. Karena ulah muridnya itu, niat untuk 
menguasai Satria Gendeng di bawah tenung sesatnya 
menjadi hancur berantakan.
Semua itu terjadi karena Nini Jonggrang telah 
keliru menilai kemampuan murid perempuannya. Se-
lama menjadi murid Perempuan Pengumpul Bangkai, 
Tresnasari diam-diam mencuri-curi beberapa ilmu ke-
saktian yang tak diturunkan. Nini Jonggrang biasa me-
letakkan beberapa kitab ilmu olah kanuragannya di 
tempat rahasia dalam Goa Jurang Gunung Sumbing. 
Suatu hari Tresnasari sempat memergoki Perempuan 
Pengumpul Bangkai mengambil satu kitab tenung dari 
tempat rahasia tersebut. Lalu tanpa sepengetahuan 
guru sesatnya, Tresnasari mencuri isi beberapa kitab 
dan dipelajarinya sendiri. 
Itu sebabnya, pukulan Perempuan Pengumpul 
Bangkai di Wadaslintang tak berakibat parah terhadap 
diri Tresnasari. Kebetulan, pukulan itu adalah salah 
satu ilmu tenaga dalam yang dicurinya.
"Tresna, bawalah Mayangseruni menyingkir da-
ri tempat ini!" seru Satria Gendeng, mengimbangi an-
caman sengit Nini Jonggrang.
Tak perlu dua kali diperingati, Tresnasari sege-
ra memapah saudara kembarnya meninggalkan tempat 
tersebut.
"Tak semudah itu kau menyingkir, Murid Ja-
hanam!" teriak Nini Jonggrang kalap bukan main, Nini 
Jonggrang berjuang untuk melepaskan diri dari huja-
nan serangan Satria Gendeng. Tubuhnya digenjot hendak menghadang Tresnasari dan Mayangseruni.
Dengan ketat, Satria Gendeng merapatkan se-
rangan, mencoba membendung usaha lawan.
Nini Jonggrang makin dibuat kalap.
Sementara, malam kian terlelap.
Hal yang paling ditakuti Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul malam itu akhirnya terjadi juga. Apa la-
cur, orang tua sakti yang harus tiba sebelum tengah 
malam, tak kunjung-kunjung tiba
Tepat tengah malam menjejak pada detiknya, 
sekelebat cahaya merah menyilaukan membelah langit 
kelam. Bagai bintang jatuh berekor panjang, cahaya 
itu menukik amat deras dan tajam menuju Nini 
Jonggrang. Nini Jonggrang sendiri luput menyadari 
kedatangannya.
Hingga....
Ssss! 
"Ngiiii!"
Tubuh Satria Gendeng terpental amat jauh. Me-
lintas di atas kancah pertarungan Ki Kusumo dan Ki 
Ageng Sulut!
Menyusul desisan amat kuat seperti berasal da-
ri moncong seribu naga, si Perempuan Pengumpul 
Bangkai menjerit sejadi-jadinya. Tubuhnya tersengat 
kaku. Beberapa saat berselang, di sekujur tubuhnya 
muncul semacam pendaran cahaya halus semerah da-
rah namun menusuk mata. Cahaya halus itu meram-
bat dan mengembang keluar dari tubuh Nini 
Jonggrang. Sedangkan tubuh si perempuan tua sesat 
bergetar. Kian lama getaran tubuhnya kian kentara. 
Sampai akhirnya...
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba 
bertiup amat kencang. Anehnya, hanya di daerah seki-
tar Goa Sewu. Seketika, angin itu membentuk pusaran

yang menyerupai angin puting beliung. Menerbangkan 
daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan, dan 
apa-apa yang bisa disapunya. Bahkan pepohonan be-
sar yang tidak bisa tertahan dengan akarnya lagi! Se-
muanya diterbangkan ke pusat pusaran tepat di ten-
gah-tengah batang besar pohon tua.
Kendati dalam pertarungan sengit, Ki Ageng 
Sulut dan Ki Kusumo langsung melompat menjaga ja-
rak. Keduanya sama-sama dikejutkan. Apa yang se-
dang berlangsung? tanya hati masing-masing.
Tresnasari dan Mayangseruni berhenti. Meno-
leh dengan wajah tercengang. 
Satria Gendeng bangkit mengeluh. Matanya tak 
berkedip begitu menyaksikan lawannya. Iblis dari lan-
git mana yang telah merasuki dirinya? Perangah si 
pendekar muda.
Begitu angin reda, terlihatlah wujud menye-
ramkan Nini Jonggrang yang baru. Seorang nenek 
yang sekujur kulitnya dipenuhi sisik! Lidahnya me-
manjang dua jengkal seperti lidah seekor ular....
"Hi hiii hi hiiii!"
Pekat. Tawa Perempuan Pengumpul Bangkai 
berjingkat di antara lorong pegunungan. 
Menjangkiti malam.
Satria Gendeng menarik napas padat-padat. 
Kini bagaimana dia bisa tetap yakin kalau yang diha-
dapinya adalah manusia, bukan siluman jejadian? Hati 
nuraninya mengingatkan untuk meminta kekuatan da-
ri Sang Khalik. 
Belum lagi tuntas Satria Gendeng memasrah-
kan dirinya pada Tuhan, di kejauhan terdengar gera-
man berlapis terpelanting dari kerongkongan Perem-
puan Pengumpul Bangkai. Lidah bercabangnya menju-
lur-julur. Tangannya menuding lurus ke arah Satria

Gendeng
Kejapan mata berikutnya, dari bawah kaki Sa-
tria Gendeng muncul perlahan akar-akar berwarna se-
gelap lumpur. Geraknya seperti mengendap. Tanpa di-
ketahui Satria Gendeng, akar-akar menjijikkan itu 
mencengkeram pergelangan kaki keduanya.
Srap! Srap!
Selaku pendekar yang sudah begitu terlatih ke-
sigapannya, Satria Gendeng cepat membuat gerakan 
menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan 
tenaga dalam penuh.
"Khiaaa!" 
Dua cabang akar sebesar lengan manusia yang 
sempat menjapit pergelangan kakinya tak ayal lagi ter-
cabut putus. Dengan salto, Satria Gendeng memang-
kas udara. Hingga empat tombak didepan Nini 
Jonggrang. Di pergelangan kakinya, masih tersisa po-
tongan akar. Cairan berwarna hijau kehitaman kental 
menjijikkan bercucuran dari setiap potongan akar ter-
sebut. 
Bibir Satria Gendeng meringis jijik. Kalau saja 
dia tak bisa menguasai diri, saat itu juga dia akan 
muntah.
"Sihir," desis Ki Kusumo. Orang tua itu pernah 
mendengar Perempuan Pengumpul Bangkai memiliki 
tenung. Namun, selama hidup tak pernah diketa-
huinya kalau tenung si perempuan tua laknat sanggup 
menciptakan serupa itu.
Dongdongka baru tiba setelah semuanya terja-
di.
Dia melongo-longo menyaksikan Nini 
Jonggrang. 
"Astaga, kupikir dia akan berubah menjadi mu-
da kembali dan mendapatkan kecantikannya ketika

menerima penitisan inti ilmu sesat gurunya. Tak ta-
hunya, dia jadi manusia kadal! Ihhhh jijik, tahu!" ko-
mentarnya, antara gumaman dan rutukan.
Menyaksikan kedatangan Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul, musuh besar yang paling dihindari, Ki 
Ageng Sulut tak bisa membiarkan dirinya tetap di sa-
na. Tanpa diketahui Ki Kusumo yang masih memaku-
kan pandangan ke arah Nini Jonggrang, tokoh golon-
gan sesat itu meninggalkan Goa Sewu.
"Panembahan, apa yang sesungguhnya terjadi 
pada Nini Jonggrang?" tanya Ki Kusumo, sesaat sete-
lah disadari lawannya telah menghilang.
"Aku terlambat, Kusumo. Sial benar," sahut 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sama sekali tak 
menyumpal derasnya rasa penasaran Ki Kusumo.
"Oh, kau tadi tanya apa?" Barulah Dongdongka 
tersadar pada pertanyaan tadi.
"Apa yang sedang terjadi? Aku tak mengerti...." 
"Perempuan jelek yang tambah jelek itu dititisi 
inti ilmu sesat gurunya!"
"Kalau begitu, murid kita dalam keadaan ba-
haya!" 
Ki Kusumo baru hendak menggenjot tubuh. 
Dongdongka menahannya. 
"Menurut Eyang Guru, hanya murid kita yang 
bisa menghadapinya. Biarkan dia sendiri. Aku percaya 
pada kesanggupan Cah Gendeng kita itu! He he he!"
Sementara Dongdongka tertawa, Ki Kusumo 
cuma bisa mengernyitkan kening. Bagaimana orang 
tua ini masih sempat tertawa pada saat-saat demikian 
genting? 
Di kancah pertarungan tunggal, Satria Gendeng 
telah bersiap mati dalam menghadapi lawan.
Nini Jonggrang menggeram-geram tiada terputus. Tangannya mendadak terayun cepat. Dari kedua 
telapak tangannya mendadak keluar bola-bola api se-
besar kepala bayi!
Wuk wuk wuk! 
Deru santer bagai kepakan sayap rajawali rak-
sasa terdengar. Disusul dengan membesarnya api di 
seputar bola-bola api tadi. Melayang-layang liar menu-
ju sasaran. Lidah apinya siap menerkam.
Tak pernah mengalami kejadian serupa dalam 
hidupnya yang tergolong hijau, Satria Gendeng terce-
kam. Dia tercengang tanpa bisa melakukan apa-apa.
Saat itulah, terdengar bisikan gaib menyelusup 
langsung ke telinganya.
"Jangan pernah gentar. Pergunakan kekuatan 
hatimu untuk melawan semua itu. Sihir hanyalah tipu 
daya. Jika kekuatan hatimu sanggup menentangnya, 
maka dia akan punah...."
Kendati tak mengerti siapa yang telah membisi-
kinya, anehnya Satria Gendeng merasa sangat percaya 
dengan bisikan gaib itu. Kekuatan hati? tanyanya 
membatin. Hanya ada satu-satunya cara yang dia tahu 
untuk mencapai hal itu.
Semadi!
Namun, bagaimana mungkin dalam waktu yang 
demikian mendesak? Bagaimana dengan bola-bola api 
yang meluncur demikian sengit ke arahnya?
"Cepat!" 
Kembali terlintas bisikan di telinga Satria Gen-
deng. Sekali ini bernada mendesak. Tak dapat ditolak. 
Tanpa terpikir-pikir lagi, Satria Gendeng lang-
sung memejamkan mata. Memusatkan segala rasa dan 
karsa serta kekuatan dirinya ke satu titik terang dalam 
batin. Entah bagaimana, dalam situasi yang tak me-
mungkinkan untuk melakukan semadi, Satria Gendeng ternyata berhasil mencapai puncak semadinya 
dalam hitungan waktu kedipan mata!
Sekejap setelah matanya terpejam....
Blar Blar blar!!! 
Leburlah semua bola api.
Satria Gendeng membuka mata. Takjub menda-
tanginya.
"Hi hi hi hiiii!" Melompat tawa menyeramkan 
dari tenggorokan Nini Jonggrang. "Tak kusangka kau 
sanggup menghancurkan permainan ku, Bocah Jaha-
nam!" Seperti mencemooh, Nini Jonggrang berujar, 
"Namun, jangan harap kau akan unggul menghadapi 
kekuatan tenung ku kini...," ancamnya berat, seakan 
hendak menggoyahkan kemantapan hati si satria mu-
da.
"Perempuan siluman busuk!" balas Satria Gen-
deng. "Kujamin kau yang akan menemui iblis-iblis se-
kutu mu di neraka sana!!!!" terjang Satria Gendeng ga-
rang. 
"Haa, bagus itu! Bagus itu! Itu baru muridku!" 
koar Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Perempuan Pengumpul Bangkai terkikik lagi. 
Kali ini lebih nyaring melengking. "Buktikanlah, Satria 
Gendeng! Buktikan...," tantangnya, memancing kema-
rahan lawan.
"Kalau itu yang kau inginkan, akan kulayani," 
tegas Satria Gendeng seraya memasang jurus-jurus te-
rampuhnya.
Bibir Nini Jonggrang menyeringai mengejek. 
"Kau masih saja mempergunakan jurus jelek mu itu, 
Cah Bau Kencur? Hi hi hiiii!"
"Banyak mulut!" Satria Gendeng yang sudah 
sepenuhnya siap menghadapi lawan segera menerjang 
ke depan. Serangkai langkah-langkah teramat cepat


dibuat. Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan, 
namun amat bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas 
jurus-jurus yang diciptakannya diturunkan Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul.
"Hiaaa!"
Deb! Wes!
Sampokan tangan kanan Satria Gendeng mem-
babat lurus ke bagian leher lawan. Ketika nyaris tiba di 
sasaran, gerakan tangannya tiba-tiba menyempong ke 
sasaran lain. Dari gerak menyampok, tangannya beru-
bah mengacungkan jari untuk menotok jalan darah di 
bagian dada lawan.
Lawan tampaknya tak mudah dikelabui dengan 
perubahan gerak tiba-tiba yang bisa mengecohkan to-
koh persilatan berilmu tinggi sekalipun. Dengan amat 
lincah, Nini Jonggrang menjepit jari-jemari Satria Gen-
deng dengan sepasang telapak tangannya.
Tep!
Pada waktu yang nyaris tak berseling, mata 
bengis Perempuan Pengumpul Bangkai menerkam ta-
jam ke manik mata Satria Gendeng.
"Jangan tatap matanya!" bisikan gaib mempe-
ringatkan kembali. 
Sayang....
"Aaaah!"
Satria Gendeng terjajar mundur. Matanya de-
mikian pedih. Seperti ada racun membakar yang ter-
sembur ke biji matanya. 
Nini Jonggrang mempergunakan kesempatan 
itu untuk memasukkan tiga tusukan jari dengan tan-
gan yang bebas ke kening lawan mudanya. Tusukan 
yang dapat melobangi baja setebal setengah jengkal!
"Satria Gendeng di depanmu!" seru Ki Kusumo.
"Biar biar biar saja!" timpal Dedengkot Sinting

Kepala Gundul, seru.
Tanpa harus diperingatkan pun, Satria Gen-
deng sebenarnya sudah menyadari bahaya itu. Sigap, 
disentaknya kaki ke atas. Masih dengan tangan terjepit 
telapak tangan lawan, dengan cerdik Satria Gendeng 
melenting ke atas tubuh lawan. Melewati kepala, dan 
setibanya di belakang, langsung mendaratkan satu 
tendangan keras ke bokong Nini Jonggrang. Semuanya 
dilakukan tanpa melihat! 
Dakh!
Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai ter-
hempas ke depan amat deras.
Nini Jonggrang bangkit seperti tak pernah ter-
kena hantaman. Padahal sebongkah karang sebesar 
kerbau mungkin akan berantakan terkena tendangan 
Satria Gendeng tadi. Terkaman dibuatnya. Ganas dan 
berkekuatan penuh. Kesepuluh jari tangannya menge-
jang kaku seolah-olah siap mencabik baja terkeras se-
kalipun. 
Ki Kusumo tercekam. Muridnya masih sibuk 
mengusap-usap mata. Sementara serangan lebih ce-
pat, lebih gawat, dan sengit mulai dilancarkan lawan-
nya kembali.
"Jangan pedulikan rasa pedih itu. Itu hanya ti-
pu daya sihir belaka. Hanya mengecoh perasaanmu. 
Mantapkan kembali hatimu!" bisikan gaib itu menolong 
si pendekar muda pemberani untuk kesekian kali. 
Satria Gendeng mengulang semadi singkatnya.
Sewaktu dua cakar Perempuan Pengumpul 
Bangkai hendak merobek tenggorokannya, Satria Gen-
deng telah siap kembali. Bahkan pandangannya dapat 
lebih jernih dan tajam dari sebelum terkena pengaruh 
tenung lawan. Dia bergerak sigap satu tindak ke samp-
ing.

Wuk! 
Sambaran lawan pun lewat begitu saja. Hanya 
setengah jengkal dari tenggorokannya. Sebuah cara 
menghindar yang terlalu berisiko besar. Seakan-akan 
pendekar muda itu hendak mengejek lawan.
"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Perem-
puan Siluman!" 
"Khaaah! Jebol igamu!"
Dalam segebrakan, Nini Jonggrang sudah 
membuat serangan susulan dengan siku kirinya. Dada 
bidang lawan hendak dijadikan sasaran.
Satria Gendeng tak mau terus menghindar. Ka-
lau terus seperti itu dia sadar lama kelamaan akan 
terhantam juga salah satu serangan gencar lawan. 
Maka dengan satu gerak yang terlihat pontang-
panting, tapi secepat kedipan mata, tangannya mene-
kuk di depan dada. 
Dakh!
Siku lawan berhasil ditahannya. Kejap berikut-
nya, tangan yang lain meruntuhkan serangkai totokan 
yang bisa menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan 
sekaligus.
Gencar bagai siraman hujan dari langit rang-
kaian totokan Satria Gendeng. Tapi, tak satu pun bisa 
melumpuhkan lawan. Karena setiap kali mengenai sa-
saran, tubuh lawan berubah menjadi selembut asap. 
Meski setiap totokannya tepat mengenai sasaran, Sa-
tria Gendeng tak merasakan apa pun menyentuh 
ujung jarinya.
Menyadari hal itu, Satria Gendeng melenting 
ringan untuk menjauhi lawan. Untuk menghadapi ke-
kuatan sihir lawan, jalan satu-satunya bagi Satria 
Gendeng adalah menuruti sepenuhnya peringatan bi-
sikan gaib. Memusatkan segenap jiwanya pada satu ti

tik terdalam di dasar dirinya.
Begitu dia memasuki taraf pengosongan diri, 
sebuah semburan sinar seperti hujanan paku memba-
ra tercipta dari sepasang telapak tangan lawan. Men-
deru menuju diri Satria Gendeng.
Satria Gendeng diterjang sekejap kemudian. Se-
luruh tubuhnya menghilang di antara kepungan ca-
haya berbentuk paku membara. Namun beberapa saat 
berikutnya, hujanan cahaya aneh mendadak tersurut 
mundur. Karena dari seluruh pori-pori di tubuh Satria 
Gendeng membersit cahaya kuning. Amat bening se-
perti air tanpa wujud. Cahaya bening itu mendesak 
dan mendesak sihir ciptaan Nini Jonggrang.
Menyadari usahanya tak berhasil, Perempuan 
Pengumpul Bangkai menambah pengerahan kekuatan 
sihirnya. Kini bukan cuma bilah-bilah cahaya merah 
yang muncul dari telapak tangan manusia jahanam si-
luman itu. Sesosok makhluk yang berubah-ubah ben-
tuk melayang deras meluruk ke arah Satria Gendeng.
Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternya-
ta sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya 
bening dari tubuh Satria Gendeng. Sejengkal dan se-
jengkal... Pada akhirnya, sebentuk tangan mencuat da-
ri perut makhluk itu. Leher Satria Gendeng pun lang-
sung dicengkeramnya.
Krep!
Saat itu Satria Gendeng merasa dirinya seperti 
dipaksa tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap. 
Napasnya sesak, jangankan menarik napas, mengem-
bangkan dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar 
pemuda itu bergeliat-geliat.
Apakah dia akan terus bergeliat hingga mere-
gang nyawa?
Satria Gendeng masih tetap bertahan dalam

semadinya.
Napasnya nyaris terhenti. Lehernya seperti di-
patah-patahkan.
Saat dia tak kuat lagi menahan gempuran sik-
saan itu.
"Bertahan pada semadi mu. Lalu, tentanglah 
matanya dengan segenap kekuatan hatimu!" terngiang 
kembali bisikan gaib.
Satria Gendeng menurutinya. Pada saatnya, 
matanya terpentang lebar-lebar, menerkam langsung 
mata Nini Jonggrang. Menuju manik-maniknya.
Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkera-
man tangan ganjil di lehernya sirna. Satria Gendeng 
heran. Namun dia tak boleh menghentikan hujaman 
tatapan matanya yang pernah membuat hati Ki Ageng 
Sulut serasa terjepit ketika bertarung dengan pendekar 
muda itu beberapa waktu lalu.
Di lain pihak, Nini Jonggrang mulai menggeliat-
geliat. Seperti ada sodokan lempeng bara panas di se-
kujur tubuhnya.
Mata Perempuan Pengumpul Bangkai mendelik 
sejadi-jadinya. Mendelik dan makin mendelik. Tersiksa 
tatapan amat kuat si pemuda bau kencur. Sebaliknya 
akhirnya kekuatan sihirnya tiba-tiba pupus. 
Di ujung kekalapan pengaruh sihirnya terden-
gar desisan seperti awal dia dititisi inti ilmu sesat gu-
runya. Bagai bara masuk ke dalam air, begitu bunyi 
desisan terdengar. Bersamaan dengan itu, mulut Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai melepas lengkingan 
tinggi. 
Lalu perlahan-lahan tubuh Nini Jonggrang 
memupus. 
Hilang.
Selang sekian tarikan napas setelah menghi

langnya tubuh Nini Jonggrang, terdengar kikik tawa di 
kejauhan. Seperti berasal dari balik Gunung Sewu....
SELESAI
Segera hadir!!
Serial
Satria Gendeng dalam episode:
PASUKAN KELELAWAR


https://matjenuhkhairil.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar