PUTERI SAMUDERA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode:Putri Samudera
128 hal.
1
Laut Pantai Selatan bergemuruh. Ombak ber-
gulung-gulung bagaikan pasukan menyerbu pantai.
Menerjang keperkasaan batu karang yang berdiri ko-
koh menyambut serangan. Tak pernah lelah dan berhenti.
Matahari sudah sepenggalah. Sinar keemasan-
nya memancarkan damai, memantul di antara gelom-
bang laut yang besar. Burung-burung camar beterbangan kian kemari meneriakkan kebebasan mereka.
Sebuah perahu pukat berlayar warna hitam
yang cukup tinggi merapat di Pantai Selatan tanah Jawa. Sementara beberapa orang tampak menunggu se-
jak subuh tadi. Mereka bersorak begitu perahu pukat
itu ditambatkan, di tengah dua perahu kecil lainnya
yang memang sejak tadi berada di tepi pantai. Bagai-
kan menyambut pahlawan yang baru pulang dari me-
dan perang, mereka mengelu-elukan lima orang laki-
laki bertelanjang dada yang sedang melompat dari pe-
rahu.
Angin memang sudah menjadi sahabat kelima
pemuda itu. Sudah genap seminggu mereka menga-
rungi lautan lepas untuk mencari ikan.
Dalam tiga bulan terakhir ini, sudah dua kali
angin badai melanda perkampungan nelayan, Desa
Banyuasin. Memang tak terlalu banyak menimbulkan
kerugian, namun yang pasti perahu-perahu pukat
yang ditambatkan banyak yang tergulung dan terseret
ombak. Hingga dipermainkan sampai ke laut lepas. Ke-
tika dikirim beberapa orang untuk menyelamatkan pe-
rahu-perahu itu, yang ditemukan hanya puing-puing
saja.
Padahal, tak ada penghasilan lain bagi para ne-
layan di sana selain mencari ikan. Maka dalam meng-
hadapi keadaan seperti itu, akhirnya disepakati untuk
mengirim lima orang pemuda yang bersedia me-
ngarungi laut lepas untuk mencari ikan. Sehingga tak
heran para penduduk gembira begitu melihat kelima
pemuda itu yang ternyata segar bugar.
"Banyakkah ikan yang bisa didapatkan, Sal-
man?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar enam pu-
luh delapan tahun. Wajahnya menyiratkan kearifan
budi pekertinya. Janggutnya sudah berwarna putih. Ia
tersenyum cerah begitu melihat kelima pemuda tadi.
"Alhamdulillah, Ki Surya Agung...," sahut pe-
muda yang dipanggil Salman, langsung mencium tan-
gan lelaki berpakaian putih dengan destar batik itu
penuh hormat.
"Bagus. Berarti, Penguasa Samudera sudah
berbaik hati lagi kepada kita. Seperti kita ketahui, su-
dah berminggu-minggu ini hasil tangkapan para ne-
layan selalu sedikit, karena dikhawatirkan badai besar
akan melanda kembali," kata lelaki tua bernama Ki
Surya Agung.
Salman mengangguk. Selama lima belas tahun
mengarungi samudera lepas untuk mencari ikan, me-
mang baru dalam bulan terakhir ini mendapatkan ikan
hanya sedikit. Itu mungkin disebabkan karena peru-
bahan gerak air laut yang akhirnya menggiring ikan-
ikan ke kejauhan.
"Adakah rintangan yang kalian alami di laut le-
pas, Salman?" tanya lelaki bijaksana itu lagi. Wajahnya
mencerminkan kegembiraan.
"Kalaupun ada, kami masih bisa mengatasinya,
Ki," sahut Salman sopan.
Ki Surya Agung menepuk-nepuk bahu pemuda
berkulit hitam akibat sering tersengat sinar matahari.
Lalu ia menyuruh para penduduk untuk menurunkan
hasil tangkapan. Empat lelaki yang bersama Salman
tadi pun membantu. Para penduduk bersorak gembira
begitu melihat hasil tangkapan kelima pemuda itu
yang kali ini melimpah ruah.
"Salman! Ada batu karang menempel di buritan
perahumu!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras dari bu-
ritan perahu. Salman langsung berlari, meninggalkan
ikan-ikan yang dibawanya ke pantai tadi. Sebagian ce-
lananya basah oleh air laut. Pijakan kakinya menim-
bulkan bekas. Keningnya pun berkerut.
"Batu karang katamu, Badur?" tanya Salman,
pada lelaki yang tadi berteriak. Badur, namanya.
"Kau lihat sendiri. Tapi anehnya, mengapa batu
karang itu berwarna keemasan? Apakah secara tidak
sengaja kau mendapatkan emas, Salman?" jelas Badur
sambil menunjuk ke arah buritan.
Salman yang telah melihat apa yang dikatakan
Badur kembali mengerutkan keningnya.
Teriakan Badur memancing keingintahuan
yang lain. Namun, Ki Surya Agung segera merentang-
kan kedua tangannya, mencegah.
"Biar Salman membawanya kemari." Sementa-
ra. kini Salman sedang berusaha menarik batu karang
berwarna emas yang berkilat-kilat indah diterpa mata-
hari pagi. Namun bagaikan terpatri, batu karang itu
menempel kuat di buritan perahunya. Pemuda berusia
dua puluh delapan tahun itu menjadi kesal. Seluruh
tenaganya dikerahkan untuk mencabut. Giginya bera-
du dengan mata menyipit saat mencoba melepaskan
batu karang keemasan itu.
"Gila! Mengapa susah sekali untuk mele
paskannya?" desisnya. "Badur! Sabar! Bantu aku men-
cabutnya!"
Setelah memakan waktu sepeminum teh, ak-
hirnya batu karang keemasan itu berhasil dilepas.
Salman menatap tak percaya begitu melihat batu ka-
rang itu semakin memancarkan sinar keemasannya.
Besarnya seperti buah kelapa.
Si pemuda berbadan kokoh ini mengerutkan
keningnya dengan mata tak lepas dari batu karang.
"Badur! Jangan-jangan yang kau katakan ini
benar. Secara tidak sengaja, aku telah mendapatkan
sebongkah emas," desis Salman.
Ki Surya Agung mengangkat tangannya, mengi-
syaratkan pada Salman untuk membawa batu karang
keemasan itu. Segera terbentuk lingkaran manusia,
ketika Salman membawa batu itu ke hadapan Ki Surya
Agung. Si lelaki tua dan si pemuda tak ubahnya tu-
kang obat yang mempertontonkan benda aneh. Semen-
tara para penonton memandang kagum sekaligus tak
percaya.
"Aku tak yakin ini bongkahan emas. Tetapi un-
tuk membuktikannya, batu karang ini harus dipecah
sedikit," kata Ki Surya Agung yang sebenarnya adalah
Kepala Desa Banyuasin. Maka tak heran kalau kata-
katanya selalu dituruti para penduduk.
Salman mencabut golok yang selalu terselip di
pinggangnya. Diletakkannya batu karang keemasan itu
di pasir pantai. Sedangkan orang-orang semakin tak
sabar untuk melihat apa yang terjadi.
Si pemuda bertubuh kokoh ini mengangkat
tangannya setelah melihat Ki Surya Agung mengang-
gukkan kepalanya. Lalu....
Crok!
Pinggiran batu karang keemasan yang ditebas
"Pergi kalian dari sini! Tinggalkan tempat itu!
Aku pernah mendengar cerita tentang batu karang
emas milik Eyang Dewi Samudera beserta kutukannya.
Bila ada yang melihatnya, semua akan mati! Maka, ce-
pat kalian.... Aaakh...!"
Lelaki perkasa itu menjerit keras ketika sepa-
sang matanya tersambar sinar yang sangat terang. Je-
ritannya terdengar setinggi langit. Sepasang matanya
bagaikan pecah dan langsung mengeluarkan darah.
Tubuhnya terpelanting, bergulingan menahan rasa sa-
kit luar biasa. Sementara Batu karang keemasan itu
terus melekat di tangannya.
Orang-orang yang masih terbebas dari sinar
keemasan batu karang berlarian tunggang-langgang
disertai teriakan-teriakan keras. Namun tiba-tiba saja
bagai dihantam tenaga gaib, mereka semua tersuruk
ke depan dengan jeritan menyayat. Nyawa mereka me-
layang saat itu juga.
Salman sendiri berusaha melepaskan batu ka-
rang itu dari tangan Ki Surya Agung. Namun akhirnya
tangannya sendiri tak bisa dilepaskan. Kedua bola ma-
tanya sudah mencelat keluar dari rongganya, dan
mengalirkan darah.
Suasana kalang kabut terus berlangsung.
Orang-orang semakin serabutan dan semakin terden-
gar teriakan keras, disusul tubuh-tubuh yang jatuh
tersungkur. Ketika sinar keemasan dari batu karang
itu menghantam, punggung mereka kontan bolong
mengepulkan asap.
Sementara itu, orang-orang yang matanya men-
celat keluar pun perlahan-lahan mulai tak bergerak la-
gi setelah tadi melayang-layang. Dari seluruh pori-pori
tampak darah merembes. Dan bagai ada kata sepakat,
mereka mati bersama. Hal yang sama pun dialami Ki
Surya Agung dan Salman.
Sebentar saja, tak seorang pun yang hidup. Ke-
gembiraan mereka punah ditelan kengerian menggi-
riskan.
Batu karang keemasan yang tadi sukar dile-
paskan Ki Surya Agung dan Salman, tiba-tiba saja ber-
gulir. Sinar yang dipancarkannya semakin menerangi
sekitar pantai itu. Lalu....
Blamm...!
Tiba-tiba terdengar dentuman yang berasal dari
laut yang berjarak lima puluh tombak dari pantai.
Byurrr!
Air membuyar membentuk kelompok dan me-
nyebar ke segala arah. Saat itu juga ombak bergulung
semakin membesar. Begitu air berjatuhan, di atas om-
bak telah berdiri seorang gadis cantik bukan main. Be-
gitu cantiknya, sehingga hanya bisa dikalahkan oleh
para bidadari. Si gadis berpakaian jingga, terbelah
hingga ke pangkal paha. Kedua bahunya yang mulus
terbuka. Rambutnya panjang hingga ke ping-gang.
Ombak tempat gadis itu berdiri, terus memburu
ke pantai. Dan bagaikan terbang, si gadis melayang
dari ombak ke pasir pantai.
Wajah gadis ini yang jelita menyeringai. Sepa-
sang matanya begitu tajam bak sembilu bermata dua.
Di kepalanya bertengger sebuah mahkota bersusun ti-
ga, dihiasi butiran permata indah yang berkilat-kilat
diterpa matahari pagi.
"Secara tak sengaja, kalian telah membangun-
kan aku dari alam gelap di dasar samudera. Dari hawa
murni kalian yang tersedot Mustika Karang Emas, te-
lah menambah kekuatanku untuk hidup lagi di dunia
nyata!" seru si gadis dingin.
Dan mendadak si gadis terbahak-bahak seting
gi langit, membahana ke seantero pantai. Deretan po-
hon nyiur yang ada di sana kontan tumbang pada ba-
gian tengah. Pasir pantai beterbangan terbawa ta-
wanya.
"Eyang Dewi..., aku telah sampai di alam nyata
ini!"
Lalu si gadis berbaju jingga itu memungut batu
karang keemasan yang telah membunuh puluhan
orang di pantai. Bibirnya tersenyum dengan kedua ma-
ta tajam bersinar menggiriskan.
"Mustika Karang Emas yang dikendalikan tena-
ga dalamku ini membuktikan betapa hebatnya tenaga
dalam yang kumiliki!" suaranya keras menggelegar.
"Akulah Putri Samudera yang akan menguasai dunia
ini!"
Plas!
Setelah berkata begitu, bagai ditelan bumi dan
dihembus angin prahara, gadis jelita yang menyebut
dirinya Putri Samudera lenyap dari pandangan.
***
2
Waktu terus bergulir. Dan senja pun datang.
Matahari membiaskan garis-garis merahnya di perma-
dani langit, menyisakan kelembutan di persada.
Seorang pemuda yang baru tiba di pantai Desa
Banyuasin mengerutkan kening melihat mayat-mayat
bergeletakan. Rambutnya yang gondrong menjadi tidak
teratur dipermainkan angin nakal yang ber-hembus
dingin. Pakaiannya yang berwarna hijau pupus dengan
kain bercorak caturnya di bahu pun tak luput dari angin nakal itu.
"Astaga! Kompak sekali mereka? Mati kok ba-
reng-bareng?" desisnya tanpa maksud bercanda. Ken-
ing masih berkerut saat memperhatikan mayat-mayat
itu satu persatu. "Gila, dada mereka bolong dengan
jantung hangus. Dan yang ini.... Oh, Gusti! Mata me-
reka bagaikan pecah tanpa bola mata! Monyet pitak!
Apa yang telah terjadi?"
Si pemuda yang memiliki pancaran mata dan
alis bagai kepakan elang menggeleng-geleng kepala
dengan mulut berdecak penuh penyesalan. Dia masih
berlutut memeriksa mayat-mayat itu.
"Apakah ada seseorang atau puluhan orang
yang telah mengamuk dan membunuhi mereka? Hm....
Bila melihat isi perahu pukat itu, sepertinya ada di an-
tara mereka yang baru saja mencari ikan. Dan bila me-
lihat tubuh-tubuh yang sudah dingin ini, aku yakin...,
paling tidak peristiwa pembunuhan ini terjadi pagi ta-
di...."
"Hhh! Di senja yang indah ini, rupanya ada
manusia berhati iblis!"
Gumaman si pemuda terpenggal oleh sebuah
bentakan di belakangnya. Cepat kepalanya menoleh
seraya berdiri. Tampak kini seorang gadis kira-kira be-
rusia delapan belas tahun sedang menatap tajam ke-
padanya. Begitu dingin sekali.
Si pemuda tampan ini bergerak menghampiri
dengan langkah satu-satu. Dan dia berhenti setelah
berjarak tiga tombak di depan gadis itu. Bukannya
hendak marah lantaran bentakan itu. Bukan. Si pe-
muda cuma ingin menikmati wajah cantik di depan-
nya.
"Kau bicara padaku, Neng? Kalau iya, sumpah
mampus biar disambar capung aku bukan pelakunya...," sahut pemuda itu, enteng.
"Mana ada maling mengaku maling! Mana ada
pembunuh yang mengakui perbuatannya! Pemuda ke-
parat! Tangan celaka mu telah menimbulkan dosa
yang tak bisa diampuni!" bentak gadis berpakaian pu-
tih dengan sulaman benang perak di sisi kanan dan ki-
ri pakaiannya. Kedua tangan gadis itu siap mencabut
sepasang pedang yang bersilang di punggungnya
"Sabar..., sabar..., orang tak sabar temannya
setan. Makanannya ketan. Rumahnya di wetan. Pacar-
nya orang utan, ha ha ha.... Eh, maaf. Terus terang,
aku baru saja tiba di tempat ini. Begitu tiba, semua
pemandangan mengerikan ini sudah terjadi," kilah si
pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor,
setelah ngoceh tak karuan.
"Pandai bicara! Biasanya hanya orang licik yang
pandai bicara! Mampuslah kau!"
Gadis berkucir ekor kuda itu segera bergerak
cepat. Sepasang pedangnya di tangan kanan dan kiri
mengibas ke arah Andika. Namun dengan enak dan
entengnya, Pendekar Slebor berlompatan ke sana ke-
mari menghindari sambaran sepasang pedang itu.
"Wah..., ini sih salah paham. Kalau tak cepat
dihentikan, bisa-bisa aku yang repot sendiri...," gu-
mam si pemuda sambil menghindar dengan kecepatan
melebihi gerakan pedang gadis berbaju putih itu.
Gadis yang menyangka kalau pemuda itulah
pelaku pembunuhan itu semakin mempergencar se-
rangannya. Kali ini sepasang pedangnya berkelebat le-
bih dahsyat dari semula. Angin keras menderu-deru
terdengar, seolah mampu membuat jantung putus.
Namun dengan kelincahannya yang begitu dah-
syat, si pemuda mampu menghindarinya. Dan menda-
dak, Pendekar Slebor melompat ke belakang, mengambil jarak. Wajah yang semula cerah berubah geram bu-
kan main.
"Nona! Aku bisa saja membuatmu tak berkutik.
Tapi sekali lagi, ini hanya salah paham," tegas si pe-
muda yang lama-kelamaan menjadi jengkel.
"Justru aku ingin melihat kehebatan manusia
picik dan pengecut sepertimu!" geram si gadis, kembali
melancarkan serangan.
"Astaga! Benar-benar kepala batu! Kalau begini
terus menerus, waktuku bakalan habis. Dalam kea-
daan seperti ini, sudah tentu dia tak akan mau men-
dengarkan kata-kataku."
Sehabis berpikir begitu, si pemuda mendadak
saja membuat gerakan cepat laksana kilat. Pada saat
yang sama, sepasang pedang di gadis meluruk ke
arahnya dengan sentakan kuat.
Mendadak saja kedua tangan Pendekar Slebor
yang bersilang di dada tadi bergerak menyilang. Jari
telunjuk yang dijadikan satu dengan jari tengah, me-
notok kedua pergelangan tangan si gadis.
Tuk! Tuk!
Secepat itu pula Andika menyambar kedua pe-
dang gadis itu.
Tap! Tap!
Si gadis melompat mundur dengan wajah ge-
ram.
"Keparat! Kembalikan pedang-pedangku! Kau
harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan-
mu!" dengus si gadis muda marah bukan main
Andika tersenyum.
"Dengar, Nona. Mau percaya syukur, tak per-
caya yang sudah. Sekali lagi kukatakan, aku tak tahu-
menahu soal kematian orang-orang ini. Aku baru saja
datang, ketika kau datang. Atau..., sebelumnya kau salah makan obat?"
"Sialan! Kalau memang bukan kau yang mela-
kukannya, apa yang bisa kau jelaskan tentang semua
ini, Pemuda Keparat?!"
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Dalam hati dia memuji kecantikan gadis ini. Te-
tapi sikapnya membuat si pemuda menjadi jengkel.
"Kau mungkin perlu selembar bulu ayam untuk
mengorek kuping mu, Neng. Aku harus bilang berapa
kali, sih?" tukas Andika, enteng.
Si gadis mendengus.
"Kalau kau berdusta, sampai kapan pun aku
akan mencarimu! Kembalikan kedua pedangku!"
Pendekar Slebor melemparkan kedua pedang
yang tadi dirampasnya. Cepat gadis itu menangkap
dan memasukannya kembali ke warangka yang berjun-
tai benang perak di punggung.
Lalu si gadis bergerak ke sana kemari men-
gumpulkan mayat-mayat yang berserakan. Sementara
Andika hanya memperhatikannya saja.
"Jangan bengong saja! Bantu aku mengubur-
kan mayat-mayat ini!"
Andika tersentak ketika mendengar bentakan si
gadis. Seperti baru sadar, kedua alisnya diangkat.
"Kutu monyet! Galak benar sih, gadis ini!" gu-
mam Pendekar Slebor, mangkel.
***
Malam makin larut. Angin pantai semakin ber-
hembus dingin. Pohon nyiur melambai-lambai bagai
tarian gadis-gadis cantik. Pekerjaan menguburkan
mayat-mayat itu akhirnya selesai. Kini Andika dan ga-
dis galak itu terduduk di pasir pantai dengan kedua
kaki ditekuk. Tak ada yang berbicara, kecuali angin
pantai yang mempermainkan seluruh tubuh mereka.
"Aku ingin tahu siapa yang melakukan tinda-
kan keji ini," cetus si gadis memecah kesunyian tanpa
menoleh.
"Aku akan menyeretnya untuk mempertang-
gungjawabkan segala tindakan busuknya ini," sahut
Andika dengan sikap sama.
"Siapa namamu?" tanya gadis itu.
Pendekar Slebor menoleh pada si gadis yang
sedang menatap gundukan tanah besar yang berisi
mayat-mayat tadi. Keningnya berkerut.
"Untuk apa kau tahu namaku? Bukankah kau
masih menyangka aku yang melakukan tindakan ini?"
tukas Andika.
"Bodoh! Kalau aku tetap pada dugaan seperti
itu, kau sudah menjadi mayat tahu!"
Si pemuda tersenyum mendengar kata-kata
melecehkan dari gadis itu.
"Namaku Andika. Kau sendiri?"
"Namaku Raras."
Andika mengangkat kedua alisnya tak menger-
ti. Heran juga melihat sikap gadis yang bernama Raras
yang cukup membingungkannya. Dan ia semakin bin-
gung melihat Raras menghela napas panjang, bagai
merisaukan satu hal.
"Kenapa denganmu, Raras?" tanya Andika hati-
hati. "Ada masalah yang merisaukan mu?"
Raras menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh aku tahu, aku bersedia menden-
garkannya."
Raras mendesah panjang.
"Andika.... Aku baru saja turun gunung. Guru-
ku berjuluk Dewa Pedang yang mendiami Bukit Pedang. Aku sendiri tidak tahu, siapa nama Guru sebe-
narnya. Hampir tujuh tahun aku hidup bersamanya.
Aku diajarkan bermacam ilmu olah kanuragan yang
sangat hebat. Dua minggu yang lalu, Guru memanggil-
ku. Aku diperintah untuk datang ke Kesultanan Laut
Selatan yang dikuasai Sultan Mangkunegoro. Menurut
guruku, saat ini Kesultanan Laut Selatan sedang diin-
tai bahaya. Tetapi, guruku sendiri tidak tahu bahaya
apa. Maka aku diharuskan untuk memberitahukan
semua itu pada Sultan Mangkunegoro. Sekaligus, un-
tuk membantunya."
"Lalu, apa yang merisaukan mu? Bukankah ja-
rak Kesultanan Laut Selatan dari tempat ini hanya
membutuhkan waktu dua hari?" tanya Andika.
"Benar. Tetapi yang merisaukan ku, bagaimana
caranya aku bisa membantu Kesultanan Laut Selatan
dari intaian maut, sementara menghadapimu saja aku
tidak mampu?"
Andika mendesah pendek. Rupanya itu masa-
lah yang merisaukan Raras.
"Hei, kau tak perlu risau. Jujur saja, aku tahu
kau belum mengeluarkan segenap ilmu yang kau mili-
ki. Dalam dua gebrak selanjutnya, bisa dipastikan ke-
pala ku akan berpisah selama-lamanya dari tubuhku,"
hibur Pendekar Slebor.
Raras tersenyum sedih.
"Aku tahu kau cuma menghibur. Justru aku
sudah mengeluarkan segenap kemampuanku," desah
si gadis.
Selain bingung dengan sifat gadis ini, Andika
tahu kalau Raras sangat perasa. Tanpa sadar tangan-
nya merangkul bahu Raras. Dan gadis itu diam saja.
"Bila kau rajin berlatih, dalam waktu satu ta-
hun, pasti akan mampu mengalahkan aku, Raras."
Raras terdiam. Diamnya Raras justru membuat
Andika semakin tak enak
"Aku suka padamu, Andika," kata Raras tiba-
tiba. "Sifatmu yang kelihatan urakan, ternyata masih
memiliki hati bersih. Sudahlah.... Aku harus segera ke
Kesultanan Laut Selatan sebelum terlambat. Andika...
Maukah kau ikut bersamaku untuk membantu Kesul-
tanan Laut Selatan dari bahaya?"
Andika tak mengangguk, tak pula menggeleng.
"Aku masih ingin menghabiskan malam di sini," kata
Andika.
Raras hanya mengangguk saja. Lalu si gadis
bangkit. Dan tanpa berkata apa-apa, tubuhnya sudah
berkelebat cepat.
Sepeninggal Raras, Andika mendesah pendek.
Apa yang sebenarnya akan menimpa Kesultanan Laut
Selatan? Kematian mayat-mayat itu saja masih mem-
bingungkannya.
Andika bermaksud untuk mengetahui apa yang
telah menimpa para penduduk di sini. Juga, bermak-
sud untuk membantu Raras menyelamatkan Kesulta-
nan Laut Selatan dari bahaya yang belum diketa-
huinya. Tetapi, Pendekar Slebor harus menunggu saat
yang tepat.
***
3
Kesultanan Laut Selatan pada masa ini cukup
dikenal namanya. Berkumandang di seluruh pulau
Jawa dan Sumatra berkat pimpinan Sultan Mangku-
negoro yang merupakan keturunan ketiga dari Sultan
Laut Selatan. Sikapnya yang arif dan penuh kebijaksa-
naan dalam membangun wilayah Kesultanan Laut Se-
latan, membuat rakyat sangat menghormati sekaligus
mengagungkannya.
Pagi sudah cukup tua. Namun suasana tam-
paknya cerah. Cocok sekali untuk istirahat di taman
keputren. Dan itu yang dilakukan Sultan Mangkunego-
ro. Bibirnya tersenyum-senyum melihat beberapa selir
sedang berenang-renang di kolam berbentuk persegi
panjang sambil tertawa bersenda gurau. Di sudut ko-
lam ada dua patung kecil yang menggambarkan sepa-
sang kekasih sedang memadu asmara.
Di kursi yang mirip singgasana Sultan Mang-
kunegoro duduk. Di hadapannya terdapat meja kecil
berlapiskan kain beludru berwarna keemasan. Di
atasnya terdapat minuman segar dan buah-buahan.
Dan senyum Sultan Mangkunegoro mendadak
lenyap, ketika ada sesuatu yang menyentak perasaan-
nya. Dia mencoba menyingkirkan ganjalan di benak-
nya dengan memandangi selir-selirnya yang ber-
cengkerama di kolam, tapi tetap saja tak mampu. Ber-
kali-kali terdengar desahannya yang pelan. Dua orang
selir yang menemaninya tak berani berkata apa-apa.
Mereka terus memijiti tangan dan kaki Sultan Mang-
kunegoro.
"Ah! Aku harus membicarakan semua ini pada
para patih dan sesepuh Kesultanan Laut Selatan," de-
sahnya perlahan, hampir tanpa suara. "Barangkali me-
reka bisa menemukan apa arti mimpi ku semalam."
Lalu perlahan-lahan lelaki gagah berusia enam
puluh delapan tahun itu bangkit. Bibirnya tersenyum
pada kedua selirnya yang segera menyisih.
"Kalian bersenang-senanglah dulu," ujar Sultan
Mangkunegoro dengan senyum penuh kearifan.
Dengan langkah mengesankan kegagahannya,
Sultan Mangkunegoro melangkah meninggalkan kepu-
tren. Pakaian panjangnya yang terbuat dari sutera
mahal dengan tarikan benang emas di seluruh bagian-
nya, menjuntai hingga ke lantai.
***
Sultan Mangkunegoro telah mengumpulkan pa-
ra pejabat Kesultanan Laut Selatan di balairung istana.
Dengan matanya, dia menyapu para bawahannya yang
duduk bersimpuh di hadapannya. Paling dekat den-
gannya adalah seorang lelaki berusia enam puluh ta-
hun. Sikapnya gagah penuh wibawa. Sebilah pedang
bersarung dan berhulu emas tersampir di pinggang-
nya. Namanya, Ki Patih Darmomulyo.
Di sebelah Ki Patih Darmomulyo, duduk seo-
rang lelaki yang berusia empat puluh tahun yang men-
jabat Panglima Tinggi Kesultanan Laut Selatan. Pa-
kaiannya panjang berwarna hitam dengan ikat ping-
gang warna keemasan. Sehingga menambah keperka-
saannya. Namanya Mahesa Dewa. Di balik pinggang-
nya, terselip sepasang trisula berhulu kayu cendana.
Di sebelah Panglima Tinggi Mahesa Dewa du-
duk seorang lelaki tua yang usianya melebihi Sultan
Mangkunegoro. Pakaiannya panjang berwarna putih.
Di dadanya terdapat sulaman warna biru bergambar
tasbih. Kumis dan jenggot yang lebat telah memutih.
Kepalanya terbungkus sorban yang rapi sekali. Di tan-
gannya terdapat tasbih warna putih pula yang lebih
besar ukurannya dari tasbih biasa. Namanya, Empu
Kamiaga. Dia dikenal sebagai penasihat Sultan Mang-
kunegoro.
Kehadiran tiga orang bawahannya yang sangat
dipercayai, membuat Sultan Mangkunegoro semakin
mantap untuk membicarakan mimpinya semalam.
"Tak biasanya aku memanggil kalian pagi ini,
bukan?" kata Sultan Mangkunegoro memulai kata-
katanya. "Semua ini dikarenakan, ada masalah yang
menggangguku."
Tak ada yang bersuara. Semuanya mendengar-
kan penuh seksama.
"Mimpi yang ku alami sangat mengerikan. Tiba-
tiba saja matahari bagai lenyap dari peredarannya, pa-
dahal saat itu siang hari. Seluruh alam gelap gulita,
termasuk Kesultanan Laut Selatan. Tak ada alat pe-
nerangan yang bisa bekerja. Kekalutan menggema di
sana-sini. Lalu sayup-sayup terdengar teriakan burung
prenyak yang ramai. Ketika ku kuakkan jendela, sa-
mar kulihat burung prenyak berbondong-bondong
mengitari Kesultanan Laut Selatan. Bahkan...." Sultan
Mangkunegoro menggantung kata-katanya. Sepertinya
ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Sementara
yang lain menanti kelanjutannya dengan penuh pena-
saran.
"Dinding-dinding Kesultanan Laut Selatan
mendadak saja roboh perlahan, menimbulkan suara
mengerikan. Aku melihat para selir sudah menjadi
mayat dengan luka mengerikan di dada. Dalam kegela-
pan itulah, mendadak saja aku melihat sebuah cahaya
bagai sinar emas. Dari cahaya itu, mendadak saja ke-
luar satu sosok tubuh yang begitu cantik sekali. Di ke-
palanya ada mahkota bersusun tiga. Aku tak sempat
bertanya, karena wanita berparas rupawan itu sudah
mencekik leherku. Aku berteriak sekuat tenaga, na-
mun tak ada yang mampu menolongku. Sebelum aku
menemui ajal, tiba-tiba saja aku terbangun. Mimpi itu
pun lenyap. Nah! Karena mimpi yang mengerikan itu
lah aku memanggil kalian untuk menafsirkannya," pa-
par Sultan Mangkunegoro.
Tak ada yang segera menyahut. Terus terang, di
hati masing-masing sudah tersirat kalau bahaya akan
datang menimpa Kesultanan Laut Selatan. Namun, tak
ada yang ingin mengungkapkannya.
"Yang Agung, tak ada tersirat apa pun dalam
mimpi Sultan. Itu hanya bunga tidur saja," kata Empu
Karniaga, setelah dicekam suasana sunyi.
"Tetapi, aku begitu merasakannya," tegas Sul-
tan Mangkunegoro.
"Maafkan hamba, Yang Agung. Itu dikarenakan
Yang Agung memikirkan semuanya. Menurut hamba,
itu hanyalah bunga tidur saja."
"Bagaimana dengan kau, Ki Patih?" tanya Sul-
tan Mangkunegoro. Wajahnya masih memperlihatkan
ketidakpuasannya atas jawaban Empu Karniaga.
Ki Patih Darmomulyo mengatupkan kedua tan-
gannya di dada.
"Sesungguhnya, Sultan lebih penuh pengertian
daripada hamba. Empu Karniaga, memiliki pengala-
man lebih dari hamba. Dan hamba pun sependapat
dengannya, Yang Agung. Kalau mimpi yang telah
mengganggu tidur Yang Agung, hanyalah bunga tidur
saja," jawab lelaki tua ini.
Perhatian Sultan Mangkunegoro beralih pada
Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Apakah kau hendak mengatakan hal yang sa-
ma, Panglima?"
Panglima Tinggi Mahesa Dewa mengerti kalau
kedua kawannya seakan menutupi kejadian yang se-
benarnya. Makanya dia sedikit tercekat ketika di tanya.
Tetapi, kepalanya pun mengangguk
"Begitu pula pendapat hamba, Yang Agung."
Sultan Mangkunegoro bersandar. Tangannya
mengusap-usap dagunya. Jelas sekali pendapat ketiga
bawahannya yang setia ini masih diragukan.
"Bila kalian sepakat seperti itu, aku tak akan
memikirkannya lagi. Aku tidak tahu, apakah kalian
berkata sungguh-sungguh atau hanya menghibur ku
saja. Sekarang, kembalilah ke tempat masing-masing,"
ujar Sultan Mangkunegoro, akhirnya.
Penguasa Kesultanan Laut Selatan ini pun
bangkit dari duduknya. Seketika ketiga bawahannya
yang setia berdiri dan mengiringinya di belakang.
Setelah Sultan Mangkunegoro masuk ke pera-
duannya, Empu Karniaga meminta kepada Ki Patih
Darmomulyo dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa untuk
berkumpul di kediamannya, di belakang Istana Kesul-
tanan Laut Selatan.
"Aku berterima kasih kepada kalian, karena se-
cara tidak langsung kalian mendukung pendapatku.
Aku yakin, sebenarnya kalian juga memikirkan hal
yang sama denganku. Hmm..., Kesultanan Laut Sela-
tan dalam bahaya," kata Empu Karniaga, ketika mere-
ka telah berkumpul di ruang tamu.
"Kau betul, Empu," sahut Ki Patih Darmo-
mulyo. "Pendapat yang kau kemukakan itu memang
betul. Kebohongan kita justru untuk kepentingan Yang
Agung sendiri."
"Maafkan aku, Empu," ucap Panglima Tinggi
Mahesa Dewa. "Nampaknya kabut memang akan me-
nutup Kesultanan Laut Selatan. Mungkin darah akan
bersimbah, meskipun aku tidak tahu apa yang akan
terjadi, dan siapa yang melakukannya. Namun, aku
akan lebih memperketat penjagaan di Kesultanan Laut
Selatan. Terutama, kesiagaan untuk menyelamatkan
Yang Agung Sultan Mangkunegoro dan Yang Mulia Sri
Dewi Rajasi."
"Kalau soal ilmu perang, mungkin ilmuku tak
sebanding denganmu, Panglima," kata Empu Karniaga
merendah. "Namun kuminta, kirimkan beberapa per-
wira dan prajurit untuk menyelidiki sekitar Kesultanan
Laut Selatan. Bahkan melangkah sampai ke empat
penjuru. Dan kau, Ki Patih. Bukannya mengenyam-
pingkan kehebatanmu. Namun kuminta mulai seka-
rang, di mana pun Sultan Mangkunegoro berada, kau
harus selalu mendampinginya."
"Baik, Empu."
"Satu hal yang penting, sebagai tonggak dari
Kesultanan Laut Selatan ini, kita bertiga harus beru-
paya sekuat tenaga untuk menyelamatkannya. Teru-
tama, keselamatan Sultan Mangkunegoro dan Sri Ra-
tu."
Semuanya terdiam. Hati mereka bertanya-tanya
tak enak. Benarkah apa yang mereka duga ini? Atau-
kah, mimpi yang dialami Sultan Mangkunegoro hanya-
lah bunga tidur belaka?
Dan sebelum ada yang berkata lagi....
"Aku datang untuk melaporkan sesuatu pada
Sultan Mangkunegoro!"
Terdengar teriakan dan suara ribut-ribut dari
halaman Kesultanan Laut Selatan.
***
Empu Karniaga mendesah pendek ketika ber-
sama dua kawannya tiba di halaman depan istana.
"Panglima, kau tengok siapa yang datang. Ki
Patih, kau jaga Sultan Mangkunegoro. Katakan, segala
sesuatunya aman. Tinggalkan aku di sini. Karena...,
ada sesuatu yang samar di otakku. Dan aku ingin
mendapatkan kejelasannya," ujarnya.
Kedua orang yang mempunyai kedudukan ting-
gi di Kesultanan Laut Selatan itu mengangguk. Tak
ada yang membantah. Mereka saling menghormati sa-
tu sama lain.
Panglima Tinggi Mahesa Dewa melihat seorang
gadis sedang melancarkan serangan pada lima orang
prajurit bertombak yang mengurungnya. Dalam sekali
lihat saja, bisa diketahui kalau gadis itu memiliki ilmu
cukup lumayan. Karena dalam gebrakan berikutnya,
kelima prajurit itu berpentalan.
Ketika gadis itu hinggap di tanah dengan rin-
gan, Panglima Tinggi mencelat ke depan. Beberapa
orang prajurit yang tadi siap menyerang langsung
mundur lima tindak.
"Hup!"
Kini lelaki ini berada dalam jarak dua tombak
dengan gadis berbaju putih yang sedang mengatur na-
fasnya.
"Nona..., tak ada angin tak ada hujan, kau telah
menurunkan tangan di halaman Kesultanan Laut Sela-
tan," desis Panglima Tinggi Mahesa Dewa
"Siapa yang berani bilang begitu, hah?! Apakah
salah, seorang gadis sepertiku ini datang untuk meng-
hadap Yang Agung Sultan Mangkunegoro. Para prajurit
brengsek ini saja yang main tangkap saja! Atau, kalian
sebenarnya memang terdiri dari orang-orang kejam?!"
bentak si gadis yang tak lain Raras, dengan nada se-
wot.
Panglima Tinggi Mahesa Dewa tersenyum. Dia
tahu, gadis ini tidak sabar. Dan itu dapat dimaklu-
minya.
"Nona.... Namaku Mahesa Dewa. Aku adalah
Panglima Tinggi di Kesultanan Laut Selatan."
"Hhh? Percuma mempunyai jabatan seperti itu,
kalau tak becus mengurus. anak buahmu yang breng-
sek ini!"
Wajah Panglima Tinggi Mahesa Dewa memerah
mendengarnya. Hatinya sudah panas sekali. Tetapi,
bibirnya tetap tersenyum.
"Maafkan mereka, Nona. Sekarang, katakan
apa yang hendak kau sampaikan kepada Sultan
Mangkunegoro."
Sambil berkata begitu, dalam hati Panglima
Tinggi Mahesa Dewa berpikir kalau melihat cara ber-
pakaiannya, jelas gadis ini dari kalangan persilatan.
Hmm... Apakah yang hendak disampaikannya ini ada
hubungannya dengan apa yang dibicarakan tadi?
"Aku tak akan mengatakannya bila tidak ber-
hadapan dengan Yang Agung sendiri," tandas Raras.
"Soal itu mudah kita bicarakan, Nona...."
"Raras."
"Begini, Raras.... Segala sesuatunya ada tata
krama yang harus dijalani. Bukan main tabrak saja..,"
jelas Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Siapa suruh mereka menghadangku?" potong
Raras sewot
"Bisakah kita membicarakannya berdua lebih
dulu, apa yang hendak Nona sampaikan kepada Yang
Agung Sultan Mangkunegoro?"
"Dan kau bermaksud untuk menjebakku, bu-
kan?"
Kembali wajah Panglima Tinggi Mahesa Dewa
memerah. Ini benar-benar keterlaluan. Tetapi, hatinya
tetap bersabar.
"Nona. Harga diriku lebih tinggi untuk melaku-
kan hal-hal yang pengecut. Nona bisa mempercayai
ku.... Silakan...."
Raras memperhatikan dengan mata menyelidik.
Para prajurit yang sudah siap mengurungnya tadi me-
nurunkan senjata yang dipegang. Setelah menimbang
beberapa saat, Raras pun mengangguk.
Gadis ini lantas diajak ke sebuah ruangan yang
terdapat di sisi barat Kesultanan. Ruangan itu cukup
besar. Beralaskan permadani merah.
"Katakan, Nona.... Apa yang hendak disampai-
kan...," ujar Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Sudah kukatakan, aku hendak mengatakan-
nya pada Sultan Mangkunegoro. Begitu guruku meme-
rintahku."
Kali ini kening Panglima Tinggi Mahesa Dewa
berkerut.
"Gurumu? Siapakah beliau?"
Melihat kesabaran dan kesopanan yang diperli-
hatkan Panglima Tinggi Mahesa Dewa, kelakuan Raras
mulai mencair.
"Guruku berjuluk Dewa Pedang," sahut gadis
itu.
Raras terkejut ketika melihat Panglima Tinggi
Mahesa Dewa terbahak-bahak.
"Aha. Apa kabar beliau, Raras? Apakah dia se-
hat-sehat saja? Tak pernah kusangka kalau Dewa Pe-
dang mempunyai murid. Cantik Ayu. Gesit. Dan he-
bat."
Raras mendesah pendek. Secara tidak langsung
dia tahu kalau Panglima Tinggi Mahesa Dewa mengen-
al gurunya.
"Raras.... Sekarang, ceritakan apa yang hendak
kau sampaikan. Beliau menitip apa kepadamu?"
Kali ini sikap Raras benar-benar tenang. Lalu
diceritakannya apa yang hendak disampaikannya. Se-
jak pertama kali Raras bercerita, kening Panglima
Tinggi Mahesa Dewa selalu berkerut. Setelah akhir dari
cerita Raras, terdengar helaan nafasnya.
"Rupanya apa yang tengah kami bicarakan
memang akan terjadi," katanya pelan.
Lalu karena Raras orang sendiri, apalagi men-
getahui gadis itu murid dari sahabatnya, Panglima
Tinggi Mahesa Dewa pun menceritakan apa yang baru
saja dibicarakan.
"Raras.... Dengan kehadiranmu ini..., jelas su-
dah kalau Kesultanan tengah diintai awan gelap.
Hm.... Sebaiknya kau menetaplah di sini. Bukankah
tadi kau mengatakan kalau hendak membantu?" kata
Panglima Tinggi Mahesa Dewa. Raras mengangguk
"Sebaiknya kau beristirahat dulu," ujar Pangli-
ma Tinggi Mahesa Dewa. Lalu lelaki ini menyuruh dua
orang emban untuk menyiapkan kamar.
***
4
Angin laut menderu-deru membawa ombak
bergulung-gulung. Andika alias Pendekar Slebor
menghela napas panjang. Telah seharian mayat-mayat
yang bergeletakan dikuburkannya. Dia masih terus
menguak tabir apa yang terjadi, sehingga banyak ma-
nusia yang menjadi mayat
Andika duduk menekuk kedua lutut di atas pa-
sir, agak jauh dari pantai. Di sebelah timur tak jauh
darinya terlihat beberapa buah gundukan tanah. Ma-
tahari masih sepenggalah. Sinarnya yang masih lem-
but menerangi seluruh alam.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Andika
sambil sesekali melempar batu ke laut. Lemparannya
luar biasa. Sekali tolak saja, batu itu meluncur bagai
anak panah lepas dari busurnya. "Hmm.... Aku jadi
penasaran. Namun tak seorang pun yang bisa kuta-
nyai tentang kejadian ini. Begitu pula Raras. Ah, ada
apa ini? Mengapa dia begitu tergesa untuk datang ke
Kesultanan Laut Selatan? Apakah kedatangannya ada
kaitannya dengan peristiwa berdarah itu?"
Andika terus merenungi apa yang terjadi. Na-
mun, sejauh itu belum didapatkannya kesimpulan pe-
nyebab dari semua ini.
"Sial! Lama juga aku menunggu Raras di sini.
Apa dikira aku pelayannya?! Ah, lebih baik aku me-
nyusul Raras! Memang lebih baik menyusul. Masalah-
nya penasaran sih! Apa sih yang terjadi di Kesultanan
Laut Selatan? Ya, sebaiknya kususul dia kesana!"
Lalu mendadak saja pemuda tampan pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu berkelebat. Yang
nampak hanya bayangan hijau belaka.
***
Malam menyelimuti alam dengan kegelapannya.
Di langit, sinar rembulan tak mampu menembus tim-
bunan awan hitam yang enggan bergerak dari tempat-
nya. Kesultanan Laut Selatan nampak bagaikan raksa-
sa tertidur. Beberapa orang perwira dan prajurit hilir
mudik berjaga. Di kejauhan, terdengar ombak berde-
bur keras.
Dan tiba-tiba....
Plasss!
Sebuah benda yang memancarkan sinar kee-
masan melayang-layang dari kejauhan, berputar di
atas halaman Kesultanan Laut Selatan. Beberapa
orang perwira dan prajurit terkejut. Serentak mereka
bersiaga dengan pandangan tak lepas dari benda yang
memancarkan sinar itu.
"Laporkan semua ini pada Panglima Tinggi Ma-
hesa Dewa! Aku menangkap isyarat tidak enak!" teriak
orang perwira Kesultanan Laut Selatan, memerintah.
Dua orang prajurit segera menjalankan perin-
tah. Namun mendadak saja dua buah sinar keemasan
mendesing ke arah mereka dengan kecepatan dahsyat.
Cras! Cras!
"Aaa...!"
Kepala kedua prajurit itu putus bergulingan.
Tubuh yang sudah tanpa kepala itu ambruk bersim-
bah darah.
Suasana menjadi kacau sekarang. Apalagi si-
nar-sinar keemasan itu berderu-deru mencari sasaran.
Sebentar kemudian, lima orang prajurit pun terkapar
dengan dada bolong.
Keadaan kacau semakin menjadi-jadi. Beberapa
orang yang bersenjata panah segera melepaskan anak
panah dari busurnya secara serempak
Tras! Tras!
Namun sinar keemasan dari benda yang masih
mengapung di udara itu mematahkan serangan anak-
anak panah. Bahkan patahan dari mata anak panah
itu melesat ke pemiliknya sendiri.
Crap! Crap!
"Aaa...!"
Lima orang prajurit ambruk
"Semua bersiaga! Benda itu benar-benar me-
mancarkan maut!" teriak perwira lain.
Keributan itu memancing Panglima Tinggi Ma-
hesa Dewa yang berada di tempatnya keluar. Matanya
bagaikan hendak mencelat keluar melihat beberapa
orang prajuritnya terkapar. Pandangannya dingin dan
tajam melihat benda keemasan yang memancarkan si-
nar. Sulit ditebak, benda apa itu. Karena, sinar yang
memancar sangat menyilaukan mata.
Raras sendiri yang belum tidur pun segera
mencelat keluar dan melihat apa yang terjadi.
"Panglima! Bahaya telah datang!" desis Raras
sambil meloloskan kedua pedangnya.
"Kau benar, Raras. Tetapi..., awaaasss...!"
Panglima Tinggi Mahesa Dewa mencelat ke
samping begitu sinar keemasan menderu ke arahnya
disertai angin dahsyat.
Bummm!
Dentuman terdengar. Dan tanah yang dipijak
Panglima Tinggi Mahesa Dewa membentuk sebuah lu-
bang.
"Iblis! Benda iblis!" maki Raras.
Gadis ini cepat menghempos tubuhnya ke atas.
Namun dia harus segera berjumpalitan kembali, kare-
na tiga buah sinar itu menghalanginya.
"Setan! Bagaimana caranya untuk menda-
patkan sekaligus melumpuhkan benda laknat itu!"
maki Raras.
Dan sebelum ada yang menjawab, sinar-sinar
keemasan yang dipancarkan benda itu kembali berde-
singan dahsyat. Begitu mengerikan. Bahkan disusul
kembali oleh jeritan menyayat dari beberapa orang pra-
jurit yang tewas dengan dada berlubang mengeluarkan
asap.
Raras berusaha melompat ke sana kemari
menghindari setiap desingan benda keemasan itu. Se-
mentara Panglima Tinggi Mahesa Dewa yang memiliki
ilmu cukup hebat pun kelihatan pias. Dia seakan tak
mampu mempergunakan ilmunya.
Kesempatan semakin melanda ketika benda
keemasan itu mulai menghantam dinding-dinding Ke-
sultanan Laut Selatan. Suara bagai dentuman terden-
gar berkali-kali. Dinding kokoh itu roboh. Batu-batu
kontan berpentalan. Lima belas prajurit yang baru
muncul dari dalam Kesultanan Laut Selatan terpelant-
ing dengan kepala pecah dan dada bolong ketika sinar-
sinar keemasan itu menghantam.
"Selamatkan Sultan Mangkunegoro!" seru Pan-
glima Tinggi Mahesa Dewa melesat ke dalam, namun...
Duarrr!
Panglima Tinggi Mahesa Dewa harus berjumpa-
litan menghindari desingan sinar keemasan yang san-
gat dahsyat. Wajahnya seakan menjadi pias. Ketika si-
nar keemasan itu menderu lagi, mendadak kedua tan-
gannya dikatupkan di dada menjadi satu. Dan tiba-
tiba kedua tangannya dimajukan ke depan dengan ge-
rakan menyentak
Plas!
Selarik sinar warna biru mencelat dari tangan
Panglima Tinggi Mahesa Dewa, langsung menghantam
sinar keemasan.
Blam!
Dentuman terdengar kembali. Namun akibat-
nya, tubuh Panglima Tinggi Mahesa Dewa terpental ke
belakang disertai muntahan darah. Rupanya tenaga
pukulannya kalah jauh dibanding tenaga yang melesat
dari sinar keemasan itu.
Dan kekalutan semakin bertambah ketika ben-
da keemasan itu kembali melayang-layang. Bahkan
mendadak saja menderu ke arah pintu Kesultanan
Laut Selatan yang sudah ditutup.
Blarrr!
Pintu yang terbuat dari kayu jati kuat dan be
sar itu kontan pecah berkeping terhantam benda kee-
masan yang langsung menerobos masuk
Raras segera meluncur untuk menghalangi.
Namun sinar keemasan kembali menghalau gerakan-
nya, hingga gadis itu pun mengurungkan niatnya. Ce-
pat tubuhnya berjumpalitan menghindari sambaran
sinar yang mematikan sekaligus menyilaukan.
"Rupanya bahaya itu sudah datang, inilah arti
mimpi dari Sultan Mangkunegoro," desah Empu Kar-
niaga.
Lalu dengan cepatnya, lelaki ini meluruk ke
arah benda keemasan itu. Tongkat di tangannya ber-
putar dua kali. Seketika sebuah sinar warna merah
ber-gulung-gulung mengarah pada benda keemasan
itu.
Wrrr! Wrrr!
Benda keemasan itu bagai terperangkap di da-
lamnya. Bergerak-gerak liar namun sulit keluar.
"Selamatkan Sultan Mangkunegoro!" seru Em-
pu Karniaga.
Panglima Tinggi Mahesa Dewa segera meluruk
masuk ke dalam Kesultanan Laut Selatan.
Sementara benda yang bagaikan berada dalam
perangkap pusaran sinar merah yang dilepaskan Em-
pu Karniaga semakin liar bergerak. Hanya sesaat hal
itu terjadi. Karena di kejap lain, benda itu tiba-tiba sa-
ja lolos dan meluruk ke arah Empu Karniaga.
"Hiaaah...!"
Di kawal satu teriakan keras, lelaki itu mengge-
rakkan tongkatnya.
Trak!
Benda itu terpental ke belakang sejenak. Se-
mentara, tongkat Empu Karniaga patah pada ujungnya.
"Astaga! Siapa yang memiliki benda keparat
itu?" desis Empu Karniaga. Tubuhnya bergetar terkena
hantaman tadi. "Aku yakin, ada orang yang mengen-
dalikannya. Berarti tenaga dalam orang itu sangat
tinggi."
Dan anehnya, benda keemasan itu yang hen-
dak melayang masuk ke dalam Kesultanan Laut Sela-
tan tiba-tiba melayang ke arah timur. Semua mata ter-
tuju ke arah benda itu. Dan mata mereka pun terbela-
lak lebar ketika melihat benda itu telah berada di tan-
gan seorang dara jelita berpakaian jingga yang terbelah
hingga ke pangkal paha, dan terbuka pada bahunya.
Di kepalanya yang berambut panjang, terdapat mahko-
ta bersusun tiga. Wanita itu menyeringai menampak-
kan wajah yang sangat mengerikan dan dingin sekali.
***
Sepasang mata Empu Karniaga menyipit, mem-
perhatikan sosok gadis jelita yang memandang tajam.
Melihat benda itu berada di tangan si gadis yang tak
lain Putri Samudera, sadarlah Empu Karniaga kalau
dialah si pemilik batu keemasan yang memancarkan
sinar maut menggidikkan.
"Gadis laknat! Manusia bodoh boleh berbuat.
Tapi Yang Kuasa menentukan. Perbuatanmu yang te-
lah menurunkan keangkaramurkaan, tak akan pernah
diampuni!"
Putri Samudera terkikik keras disertai tenaga
dalam tinggi sekali. Dedaunan dari tiga buah pohon
yang tumbuh di halaman Kesultanan Laut Selatan se-
ketika rontok. Beberapa prajurit langsung terkapar,
menjerit sambil menekap kedua telinga yang mengalir-
kan darah segar. Sedang Empu Karniaga bergetar tubuhnya.
"Luar biasa! Tenaga dalamnya sangat tinggi!
Siapa dia sebenarnya?" desisnya dalam hati.
"Kalian hanyalah mencari mampus! Aku masih
mengasihani kalian. Karena yang kubutuhkan adalah
nyawa Mangkunegoro!" bentak Putri Samudera.
"Siapa kau?!" bentak Empu Karniaga sambil
mengalirkan tenaga dalam ke indera pendengarannya.
"Begitu lancang kau menyebut Sultan seperti itu!"
"Namaku Putri Samudera! Penguasa Samudera!
Yang menginginkan nyawa Mangkunegoro!"
"Gila! Eyang Dewi Samudera yang mengua-
sainya!" desis Empu Karniaga dalam hati. "Tetapi, apa-
kah benar semua ini?"
"Aku adalah murid Eyang Dewi Samudera!
Orang tua keparat! Suruh keluar Mangkunegoro! Ma-
ka, nyawamu akan kuampuni!"
"Perempuan laknat! Justru kau yang akan
mampus!" sentak Empu Karniaga.
Tubuh lelaki itu langsung melesat menimbul-
kan suara bergemuruh. Sementara Putri Samudera
masih terkikik-kikik keras. Sebelum serangan Empu
Karniaga mengenai sasaran, wanita itu tiba-tiba me-
niup.
Wrrr!
Sepertinya hanya hembusan napas belaka saat
Putri Samudera meniup. Namun, hasilnya sangat di
luar dugaan. Tubuh lelaki perkasa yang gagah itu ter-
guling ke belakang ketika merasakan angin raksasa
menghantam tubuhnya. Tulang iganya terasa patah.
Tetapi dia segera berdiri tegak dengan kedua mata nya-
lang penuh amarah.
"Laknat!" maki Empu Karniaga.
"Menyingkir dari sini bila masih ingin hidup!"
ujar Putri Samudera tandas.
"Mati ditentukan Yang Kuasa. Bila aku mati se-
karang pun tergantung pada-Nya!" seru Empu Karnia-
ga gagah.
"Hhh! Mau mampus!"
Tangan yang halus dengan jari jemari yang len-
tik milik si wanita mengibas kembali. Kali ini Empu
Karniaga nampak sudah bersiap menyambut serangan.
Segera dia bergerak ke kanan dan ke kiri menghindari
sambaran angin bak topan prahara.
Akibat dari semua itu, lima orang prajurit ter-
pental ke belakang. Mereka mati seketika terkena
sambaran angin dahsyat mematikan.
Sedangkan Empu Karniaga menjadi murka bu-
kan alang kepalang.
Sementara Ki Patih Darmomulyo pun sudah
hadir di sana. Pedang berhulu emasnya sudah dilo-
loskan. Begitu pula Raras yang sudah berdiri di si-
sinya.
Melihat hal itu, Putri Samudera hanya terba-
hak-bahak saja. Tiba-tiba tangannya menepuk seba-
nyak tiga kali. Seketika terdengar suara gemuruh yang
sangat memekakkan telinga. Begitu keras hingga
membuat orang yang mendengar harus menutup telin-
ga dan mengerahkan seluruh tenaga dalam kalau tak
ingin gendang telinga pecah.
Sedangkan puluhan prajurit yang memiliki te-
naga dalam lemah mendadak saja jatuh tumpang tin-
dih dengan jeritan bak lolongan serigala. Dan darah
pun mengalir deras dari telinga. Bukan hanya itu saja
yang terjadi. Dari seluruh pori-pori mereka pun men-
galirkan darah. Lalu sesaat kemudian tubuh mereka
meledak!
"Ini tak bisa dibiarkan!" sentak Ki Patih Dar
momulyo.
Lelaki ini segera melenting sambil mengibaskan
pedangnya. Terdengar suara begitu dahsyat bak ribuan
tawon berdengung. Dia berusaha menghalau suara ta-
wa Putri Samudera. Namun akibatnya....
Desss...!
"Aaakh...!"
Justru tubuh Ki Patih Darmomulyo yang harus
terjungkir balik ke belakang.
Melihat hal itu, Raras segera berkelebat untuk
menyelamatkan Ki Patih Darmomulyo bila tak ingin
tubuhnya yang melayang deras menghantam dinding
Kesultanan Laut Selatan. Namun gadis itu sendiri ha-
rus terpelanting ke belakang ketika tangan Putri Sa-
mudera mengibas dan membuatnya merasa bagai se-
butir kelereng yang dilontarkan.
Brak!
Tubuh Raras yang sedang membopong tubuh
Ki Patih Darmomulyo menabrak dinding hingga han-
cur. Raras merasa tubuhnya bagai patah-patah.
"Raras.... Lebih baik kau menyingkir dari sini,"
ujar Ki Patih Darmomulyo. "Keadaan sangat berba-
haya! Rasanya kita akan mendapatkan kesulitan."
Raras menggeleng mantap.
"Tidak! Aku harus menjalankan amanat Guru,"
tegas gadis ini.
"Apakah kau hendak bunuh diri?"
Belum lagi Raras menyahut, serangkum angin
menderu-deru kembali meluruk dahsyat. Dengan su-
sah payah mereka melompat menghindar, lalu bergu-
lingan dengan wajah pias.
"Sejak tadi kuperingatkan! Kalian lebih baik
menyerahkan Mangkunegoro untuk kubunuh!" desis
Putri Samudera
Mendadak tubuh si wanita penghuni Laut Sela-
tan melayang bagai terbang. Tatapannya semakin din-
gin, seolah menebarkan hawa kematian yang mengeri-
kan menuju ke Kesultanan Laut Selatan.
"Kau harus mampus, Mangkunegoro!" teriak
Putri Samudera
"Rupanya, peristiwa lama ingin menuntut ba-
las. Aku yakin sekali akan hal ini," desis Empu Karnia-
ga.
Gerakan yang dilakukan Putri Samudera mem-
buat Ki Patih Darmomulyo dan Raras tersentak. Mere-
ka mencoba memotong gerakan laksana kilat itu.
Namun tiba-tiba saja...
Des! Des!
Tubuh keduanya tahu-tahu terjengkang ke be-
lakang, langsung muntah darah. Angin deras yang di-
kibaskan Putri Samudera tanpa menoleh, menghantam
telak tubuh mereka.
Tubuh Putri Samudera terus melesat masuk ke
dalam tanpa menghiraukan keduanya lagi. Namun be-
lum lagi tiba di ambang pintu Kesultanan Laut Sela-
tan, mendadak saja satu bayangan hijau berkelebat,
memotong gerakannya.
Wuuttt...!
Deb! Debb...!
"Manusia hina! Lancang bertingkah di depan
Putri Samudera!" maki Putri Samudera, seraya melent-
ing ke belakang.
***
5
Bayangan hijau yang ternyata seorang pemuda
berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur di
bahu cengar-cengir di hadapan Putri Samudera. Pa-
dahal amarah wanita ini sudah begitu membludak,
siap meledak
"Kang Andika!" seru Raras dengan wajah sedikit
gembira.
"Manusia busuk! Lancang sekali tindakanmu?!"
Dikawal kemarahan membludak, Putri Samu-
dera meniup perlahan. Dari mulutnya keluar angin
lembut, namun semakin lama semakin bergemuruh
bagai gelombang lautan menerjang pada sosok berbaju
hijau pupus yang tak lain Pendekar Slebor.
Bagai digebah kekuatan dahsyat si pemuda se-
gera berjumpalitan menghindari angin keras bertenaga
luar biasa.
"Heit! Sabar dong!"
Putri Samudera yang tengah geram semakin
gencar menyerang.
"Monyet cacingan! Tenaga dalamnya hebat ju-
ga!" rutuk Andika kalang kabut sambil terus bergulin-
gan. Karena sambaran angin yang dahsyat itu datang
secara beruntun. "Monyet pitak! Lama kelamaan aku
bisa mampus juga! Hhh! Aku harus memotong seran-
gan itu!"
Setelah berpikir demikian, Pendekar Slebor ber-
gerak setengah lingkaran. Tubuhnya lantas bergulin-
gan, lalu melompat ke depan! Gerakannya merupakan
paduan gerak menghindar dan menyerang sangat ce-
pat. Namun, masih kalah cepat dengan serangan angin
dahsyat itu. Hingga....
Dess...!
"Aaakh...!"
Pendekar Slebor kontan tersungkur ke bela-
kang begitu angin dahsyat menghantam dadanya. Tu-
buhnya terbanting keras di halaman Kesultanan Laut
Selatan. Saat itu juga bagai ada sebongkah batu besar
merasuki dada Pendekar Slebor. Rasa sakitnya luar bi-
asa, cepat Pendekar Slebor mengerahkan hawa mur-
ninya.
"Madirodok! Kalau dadaku sampai jebol,
awash...!" desis Andika seraya bangkit dengan mulut
meringis.
Sementara itu, Putri Samudera sudah berkele-
bat cepat ke arah Andika. Gerakan tubuhnya yang ter-
lihat hanyalah bayangan jingga saja, Andika tentu saja
tak mau mati cepat-cepat. Dia ingin menikmati masa
mudanya lebih lama lagi. Tenaga dalamnya cepat di-
alirkan pada tubuhnya.
"Gila! Siapakah sebenarnya gadis kejam yang
sakti ini?" desisnya dalam hati. "Bagaimana caranya
untuk menghentikan sepak terangnya?"
Dalam keadaan yang gawat itu, Andika terpak-
sa mempergunakan kain bercorak catur warisan Ki
Saptacakra. Begitu tubuh Putri Samudera satu tombak
lagi ke arahnya, dengan cepat tangannya yang meng-
genggam kain bercorak catur mengibas.
Wuutt!
Angin keras bertenaga raksasa menderu pula,
melabrak serangan Putri Samudera. Benturan pun ter-
jadi
Bumm!
Suara bagai ledakan terdengar hebat. Dan ma-
lang bagi si pemuda dari Lembah Kutukan ini. Justru
dia merasakan satu kekuatan lebih hebat menghantam
dadanya. Tubuhnya pun tersuruk ke belakang.
"Kau hanya mengganggu niatku untuk mem-
bunuh Mangkunegoro! Hhh! Bersiaplah untuk mene-
rima ajalmu!" desis Putri Samudera.
Tiba-tiba Putri Samudera melepaskan batu ka-
rang emas di tangannya yang bergerak liar ke arah An-
dika dengan kecepatan dahsyat.
Andika mengeluh dalam hati. Terlebih, saat ini
keadaannya cukup sulit, karena seluruh tubuhnya te-
rasa kaku. Namun pada saat hawa panas yang sangat
tinggi meluruk hebat ke arahnya, semangatnya segera
dikempos. Pendekar Slebor cepat berdiri dengan tata-
pan waspada.
"Kang Andika! Hati-hati! Batu karang yang me-
mancarkan sinar emas itu sangat berbahaya!" seru Ra-
ras, memberi tahu.
"Sompret! Tak usah bicara, aku juga sudah ta-
hu...!" desah Andika perlahan dengan dada dag-dig-
dug.
Sementara itu Putri Samudera sendiri sudah
melesat masuk ke Istana Kesultanan Laut Selatan.
Dan dengan susah payah Ki Patih Damomulyo dan
Empu Karniaga mengejar.
Pendekar Slebor cepat berkelebat dengan men-
gerahkan ilmu meringankan tubuh, menghindari ter-
jangan batu karang bersinar keemasan itu. Bahkan
sambil menghindar, dilepaskannya satu hantaman
bertenaga dalam dahsyat.
Wusss!
Bagai memiliki mata, batu karang keemasan itu
tiba-tiba meliuk lincah, membuat pukulan Andika
mengenai tempat kosong.
"Monyet botak! Aku yakin, gadis itulah yang
mengendalikannya. Luar biasa! Dalam keadaan menyerang yang lain, dia bisa membagi tenaga dalamnya
untuk mengendalikan batu karang keemasan itu! Ja-
lan satu-satunya, aku harus menghadapi Putri Samu-
dera! Sekarang aku yakin, dialah yang menurunkan
tangan maut pada penduduk di pesisir! Hhh! Biarpun
aku tidak tahu mengapa Putri Samudera mengingin-
kan nyawa Sultan Mangkunegoro, tetapi yang jelas, dia
sudah membawa kesengsaraan bagi orang banyak!"
Belum sempat Andika menjejak tanah kembali,
batu karang keemasan itu sudah melayang lagi ke
arahnya. Si pemuda perkasa tanah Jawa ini mencelat
ke samping. Namun gerakannya kurang cepat, se-
hingga tak urung bahu kirinya terhantam batu karang
keemasan itu.
Crasss!
"Aaa...!"
Andika memekik tertahan. Sakit luar biasa me-
nyerang tangannya. Bahunya terasa remuk.
***
Sementara itu Panglima Tinggi- Mahesa Dewa
berhasil membujuk Sultan Mangkunegoro. Penguasa
Kesultanan Laut Selatan tetap berwajah bijaksana. Tak
terlihat sedikit pun kekalutan di wajahnya.
"Aku sudah mendengarnya, Panglima. Hmm....
Tak kusangka kalau seorang yang menjuluki dirinya
Putri Samudera akan muncul. Siapakah dia sebenar-
nya?" kata Sultan Mangkunegoro. Dia tadi sempat me-
lihat wajah Putri Samudera yang begitu cantik. Dan
entah mengapa, Sultan Mangkunegoro seolah merasa
begitu akrab dengan wajah itu.
"Yang Agung, saat ini kita tak perlu bercakap
lebih panjang. Sebaiknya, Yang Agung menyingkir dari
sini bersama Permaisuri," usul Panglima Tinggi
Mahesa Dewa agak mendesak namun tak me-
ninggalkan kesopanannya.
Sultan Mangkunegoro tersenyum dan men-
gangguk
"Baiklah. Sebentar lagi, istriku akan muncul...."
Benar saja, tak lama dari dalam kamar muncul
seorang wanita setengah baya berwajah cantik jelita.
Dialah sang Permaisuri, Ratu Sri Dewi Rajasi. Ke-
munculan itu membuat kegelisahan Panglima Tinggi
Mahesa Dewa menjadi mereda. Segera diajaknya kedua
orang yang dihormatinya itu ke belakang istana.
Selang beberapa saat, Putri Samudera muncul
di ruangan ini dengan wajah beringas. Para prajurit
gagah berani yang mencoba menghalangi harus me-
nemui ajal secara mengenaskan.
Bukan main marahnya Putri Samudera ketika
tak menemukan Sultan Mangkunegoro. Dia masih
mencoba mencari, namun justru Ki Patih Darmomulyo
dan Empu Karniaga yang muncul. Dan ini membuat
kemarahannya dialihkan kepada kedua pejabat istana
itu. Tubuhnya seketika berkelebat, melepas serangan
dahsyat.
Dess! Desss...!
"Aaakh...!"
Sekali berkelebat saja, wanita ini sudah mem-
buat kedua tokoh Kesultanan Laut Selatan terkapar
pingsan dengan seluruh tulang patah. Ketika dia akan
menghabisi nyawa keduanya, mendadak saja...
Wusss...!
Saat itu juga meluruk segulung angin dahsyat
ke arah Putri Samudera.
"Gadis keparat! Kau hendak mencari mampus!"
geram Putri Samudera sambil melompat ke kiri cepat
bagai kilat.
Melihat serangannya gagal, sosok yang ternyata
Raras berkelebat cepat. Kedua pedangnya diputar-
putar menimbulkan desingan dan hawa panas.
Namun hanya dua kali saja gadis itu bisa mela-
kukannya, karena tiba-tiba saja Putri Samudera men-
gibaskan tangannya.
Wuuttt!
Desss!
Raras kontan tersuruk ke belakang dengan de-
ras ketika dadanya terhantam angin serangan Putri
Samudera. Gadis itu merasa dadanya bagai dihantam
godam yang berat sekali. Pandangannya mengabur, la-
lu jatuh pingsan.
"Huh! Cari mampus saja!" geram Putri Samude-
ra. Dengan langkah ringan, dia mendekati Raras. Ke-
pala gadis itu siap diinjaknya. Namun
"Putri Samudera.... Biar hari ini kau gagal
membunuh Mangkunegoro, bukanlah suatu masalah.
Yang aku inginkan sekarang, bawa gadis itu dan pe-
muda berbaju hijau pupus ke Kerajaan Laut Selatan.
Tak perlu kau hiraukan kedua manusia yang telah
pingsan itu."
Sebuah suara keras kontan membuat Putri
Samudera menghentikan tindakannya. Dia tersentak,
seraya menengadah.
"Eyang Dewi...," desah Putri Samudera menja-
tuhkan tubuhnya, berlutut. Suaranya serak dan begitu
ketakutan. Kekejamannya bagai menghilang. "Maafkan
saya."
"Bawalah Pendekar Slebor bersamamu. Aku
hendak mengawinkan kau dengannya," lanjut suara
itu.
"Eyang Dewi!"
"Tak usah membantah! Kau bawa gadis berna-
ma Raras itu! Dari kesuciannya sebagai gadis, maka
meskipun usiamu semakin menua, namun akan me-
miliki wajah dan tubuh seperti sedia kala."
"Tetapi, Eyang Dewi... Mengapa aku harus me-
nikah dengan...."
Kata-kata itu terputus. Karena saat itu pula
terdengar suara bagai desis angin yang akhirnya mele-
nyap. Suara dingin mencekam itu tak terdengar lagi.
Putri Samudera menghela napas panjang. Men-
gapa Eyang Dewi Samudera menghendaki seperti itu?
Padahal, gara-gara pemuda itulah seluruh keinginan-
nya gagal. Paling tidak keinginan untuk membunuh
pemuda sialan itu. Kalau membawa Raras karena da-
rah sucinya bisa dipergunakan untuk memperdalam
ilmu awet mudanya, dia jelas setuju. Namun pemuda
itu?
Dengan menahan geramnya, Putri Samudera
mengangkat tubuh Raras yang pingsan dan melesat
kembali keluar.
"Hm.... Itu pasti pemuda yang berjuluk Pende-
kar Slebor," gumam Putri Samudera begitu tiba di luar.
Tampak pemuda tampan itu sedang kalang kabut me-
nerima serangan dari batu karang emasnya yang telah
memancarkan sinar bertubi-tubi dan menimbulkan
suara ledakan berkali-kali.
Dan wanita ini sangat terkejut. Karena meski-
pun nampak kewalahan, Pendekar Slebor mampu
menghalangi setiap serangan sinar merah yang dah-
syat dengan mengibaskan kain bercorak catur yang
mengeluarkan suara gemuruh.
"Gila! Batu karang keemasan ku bisa-bisa tak
berarti menghadapi kain bercorak catur itu! Hhh! Aku
harus memberi pelajaran padanya!" desis Putri Samudera.
Selagi Pendekar Slebor masih berusaha meng-
halangi setiap desingan sinar yang datang ke arahnya,
tubuh Putri Samudera pun melesat dahsyat
"Eit..! Apa ini...?!" sentak Pendekar Slebor begi-
tu merasakan sambaran angin dahsyat.
Andika masih sempat menghindar. Namun tu-
buhnya terasa bagai diterabas angin sangat keras,
hingga membuat tubuhnya terpental dan terguling-
guling.
"Keparat!" maki Andika, seraya bangkit. Dan
matanya terbelalak begitu melihat Raras berada dalam
gendongan Putri Samudera.
"Lepaskan gadis itu!" teriak Andika.
Putri Samudera menyeringai.
"Bila kau menginginkannya, mengapa tidak se-
gera diambil?" tukas wanita itu, enteng.
"Monyet pitak!"
Andika menggeram marah, karena serbuan si-
nar keemasan kembali melesat dari batu karang kee-
masan. Cepat tubuhnya melenting di udara. Di udara,
Pendekar Slebor melesat ke arah wanita itu.
Apa yang dilakukan Putri Samudera justru
amat mengejutkan. Wanita ini sama sekali tidak
menghindar. Namun begitu serangan Andika sudah
mendekat, tiba-tiba saja bahunya digerakkan.
Andika terperanjat. Tubuhnya segera dibuang
ke kanan. Karena kalau tidak, justru tubuh Raras
yang terkena pukulannya.
Kesempatan itulah yang dipergunakan Putri
Samudera untuk menghantam Pendekar Slebor.
"Hiih...!"
Desss...!
"Aaakh...!"
Pukulan keras bukan main membuat tulang
kepala Pendekar Slebor terasa remuk. Pandangannya
mengabur, lalu ambruk pingsan.
"Hhh! Bila bukan karena keinginan Eyang Dewi
untuk membawamu, sudah kubunuh kau, Keparat!"
geram wanita ini muak, sambil memanggul tubuh Pen-
dekar Slebor di bahu kiri.
Membawa dua beban, tak sedikit pun Putri
Samudera kelihatan kewalahan. Bahkan seolah hanya
memanggul seonggok kapas belaka.
Putri Samudera lantas menatap Kesultanan
yang porak poranda.
"Mangkunegoro! Urusan ini belum selesai! Kau
harus membayar perbuatanmu terhadap ibuku dulu!"
teriak wanita itu.
Setelah berteriak keras, tubuh Putri Samudera
berkelebat cepat meninggalkan tempat ini. Sementara
batu karang keemasan itu melayang-layang dibe-
lakangnya.
***
6
Dalam keadaan pingsan, sulit bagi Andika un-
tuk mengetahui bagaimana dirinya dibawa masuk ke
dalam Laut Selatan yang memiliki ombak sangat ga-
nas. Begitu pula halnya Raras yang masih dalam kea-
daan pingsan.
Putri Samudera membopong Andika dan Raras
yang telah dalam keadaan tertotok baik urat kesada-
rannya, maupun jalan nafasnya. Bila saja Andika saat
ini dalam keadaan sadar, tak mustahil akan menjadi
memaki-maki kalang kabut karena dibawa masuk ke
dalam air. Sedangkan Raras sudah tentu akan ping-
san, tanpa harus ditotok segala.
Dengan gerakan luar biasa anehnya, Putri Sa-
mudera terus bagai melayang membawa kedua anak
muda itu masuk ke dasar laut. Dan kini, dia tiba di
sebuah istana yang sangat megah. Dari kejauhan su-
dah nampak kilatan emas berkilau. Karena memang,
ternyata seluruh bangunan itu terbuat dari emas mur-
ni.
Aneh! Tak ada air yang masuk ke dalamnya! In-
ilah salah satu kesaktian dari Eyang Dewi Samudera,
Penguasa Samudera Luas.
Beberapa orang penjaga yang memiliki bentuk
manusia namun berkepala ikan membungkuk begitu
melihat Putri Samudera muncul. Tanpa peduli, wanita
itu melangkah membawa tubuh Pendekar Slebor dan
Raras yang masih pingsan. Para penjaga di istana da-
sar laut ini memang memiliki sisik pada tubuh mereka.
Wajah mereka bulat. Di tangan mereka terdapat tom-
bak yang sangat tajam.
Putri Samudera melangkah memasuki ruangan
indah yang dindingnya semua bersinar kemilau. Ruan-
gan itu pun terbuat dari emas murni. Kursi dan meja
yang ada di sana pun terbuat dari bahan yang sama.
"Eyang Dewi..., aku telah datang," kata Putri
Samudera pelan sambil membungkukkan tubuhnya.
Tiba-tiba saja tanpa diketahui dari mana da-
tangnya, di hadapan wanita ini telah duduk seorang
wanita cantik luar biasa di singgasana dari emas. Bah-
kan kecantikan Putri Samudera tak bisa dibandingkan
dengan kecantikannya. Wajah yang jelita itu bagai
memancarkan cahaya pesona yang sukar ditepiskan!
Sementara pakaiannya terbuat dari emas dengan
mahkota bersusun tiga dipenuhi butiran mutiara. Di-
alah yang dipanggil Eyang Dewi Samudera.
"Maafkan atas kelalaian ku, Eyang Dewi...," Pu-
tri Samudera membungkuk kembali. "Dan ini Karang
Emas yang Eyang Dewi pinjamkan padaku...."
Eyang Dewi Samudera tersenyum. Segera dite-
rimanya benda batu karang berwarna keemasan ber-
nama Karang Emas yang diangsurkan Putri Samudera.
"Dengan membawa Pendekar Slebor seluruh
kesalahanmu bisa diampuni, Putri Samudera. Dan
dengan membawa Raras, kau akan menjadi semakin
cantik," kata perempuan cantik bernama Eyang Dewi
Samudera, setelah meletakkan Karang Emas di sisi-
nya.
"Terima kasih atas kemurahan Eyang Dewi. Te-
tapi, mengapa Eyang Dewi menginginkan agar aku
menikah dengan pemuda ini? Padahal, aku berkeingi-
nan untuk membunuhnya. Hhh.... Kalau tidak karena
ulahnya, Mangkunegoro sudah mampus di tangan ku!
Karena, dialah yang tertangguh dari orang-orang yang
mencoba menghalangi perbuatanku. Kalau soal Raras,
aku masih bisa menerimanya Eyang Dewi."
"Putri Samudera.... Pendekar Slebor adalah
pemuda dari Lembah Kutukan. Dia telah memakan
buah 'inti petir'. Bila menikah dengannya, maka kau
akan mampu menyerap tenaga 'inti petir' dari dalam
tubuhnya," jelas Eyang Dewi Samudera.
"Tapi dia telah menghalangi niatku, Eyang De-
wi..."
"Putri Samudera.... Ketika masih bayi kau di-
buang ibumu di tepi pantai. Aku menemukan, dan
membawamu ke istanaku ini. Dan aku telah memberi-
kan ilmu yang tinggi untukmu justru untuk mele-
nyapkan Mangkunegoro. Namun, kekuatanmu belum
cukup, karena dia akan meminta bantuan Dewa Pe-
dang..."
Putri Samudera menundukkan kepalanya.
"Kau benar, Eyang Dewi."
"Itulah sebabnya, mengapa kau tak ku marahi,
karena belum dapat membunuh Mangkunegoro. Putri
Samudera.... Seperti yang telah ku jelaskan kepadamu
aku tak berpihak pada siapa pun. Kalau kau men-
ganggap Mangkunegoro salah, karena menyia-nyiakan
mu dan ibumu, aku tak melarangmu untuk membu-
nuhnya. Itu hakmu. Walaupun sebenarnya dia adalah
ayah kandungmu."
"Tetapi dia telah menyia-nyiakan ku, Eyang
Dewi!" sentak Putri Samudera dengan mata meman-
carkan sinar amarah namun tersaput air mata terge-
nang. "Dia telah menelantarkan ibuku, Eyang Dewi!
Akibatnya, ibuku sakit hati berkepanjangan. Lalu mati
setelah melahirkan aku. Sementara, aku ditinggalkan-
nya di tepi pantai. Biar bagaimanapun juga, ini karena
Mangkunegoro!"
"Kau benar, Putri Samudera. Dan seperti yang
kau ketahui, di dalam tubuhmu mengalir ilmu-ilmu
yang kuberikan. Dan bila kau menikah dengan pemu-
da yang telah memakan buah 'inti petir', maka kekua-
tanmu akan bertambah...."
"Eyang Dewi! Tapi pemuda itu...."
"Aku hanya menyarankan!" potong Eyang Dewi.
"Dan bila menolak, kau bisa membawanya
kembali ke daratan. Tetapi, ketahuilah. Dialah orang
yang paling berbahaya. Apalagi dengan kain bercorak
catur yang tersampir di bahunya. Ketahuilah, kau
akan berhadapan dengan Dewa Pedang. Tanpa kekua-
tan dari Pendekar Slebor, usahamu akan sia-sia bela-
ka."
Putri Samudera melirik Pendekar Slebor yang
masih pingsan dan sekarang terbujur di lantai. Pera-
saan sebal dan marahnya masih ada di hatinya.
Putri Samudera terdiam beberapa saat. Piki-
rannya yang masih dibaluri kemarahan karena Pende-
kar Slebor menghalangi niatnya, masih berpendar-
pendar. Namun dia yakin, Eyang Dewi Samudera
memberikan yang terbaik untuknya
"Baiklah, Eyang Dewi... Aku akan melakukan
yang kau sarankan itu."
"Ingat, Putri Samudera. Ini hanya sekadar sa-
ran. Seperti biasanya, aku tak pernah berpihak pada
siapa pun juga. Kalau begitu, bawa dia ke kamarmu,
Putri. Sadarkan dia dari pingsannya. Juga, bawa gadis
yang bernama Raras itu ke kamar di sebelah kamar-
mu. Bila saatnya tiba, kau bisa mempergunakan darah
suci gadis itu untuk obat awet muda."
Putri Samudera hanya mengangguk saja. Dan
seketika menatap lagi ke depan, sosok Eyang Dewi su-
dah tak ada di singgasana emasnya. Wanita ini meng-
hela napas panjang. Lalu dibawanya Pendekar Slebor
yang masih pingsan ke kamarnya.
"Pemuda ini telah bertindak lancang," desisnya
sambil meraih tubuh Pendekar Slebor dan Raras, ba-
gaikan meraih gumpalan kapas saja. "Seharusnya aku
membunuhnya! Tetapi aku yakin, saran yang diberi-
kan Eyang Dewi bukan saran sembarangan! Meskipun
ingin membunuhnya, tetapi aku akan melaksanakan
saran Eyang Dewi. Setelah kubunuh Mangkunegoro,
pemuda sialan ini akan segera mendapatkan giliran-
nya!"
***
Pendekar Slebor perlahan-lahan mulai siuman.
Matanya berat sekali untuk dibuka. Dan sejenak ma-
tanya memejam lagi ketika ada sinar menerobos bola
matanya Kepalanya terasa pening dengan tubuh le-
mas.
Mendadak saja Andika teringat tentang keja-
dian sebelumnya. Dengan cepat dia bangkit dari berba-
ringnya. Namun berdirinya masih sempoyongan. Kepa-
lanya masih pusing. Dan bertambah pusing ketika
mendapati dirinya berada di sebuah ruangan sangat
indah.
"Gila! Dinding itu terbuat dari emas! Ha ha ha...
Aku kaya mendadak! Bukan main... Ini sebuah kejutan
yang luar biasa! Akan kubawa emas ini, dan ku bagi-
kan pada gelandangan-gelandangan kotaraja...!" so-
raknya. Namun,
"Eh?! Aku sekarang berada di mana, ya?"
"Kau berada di kamarku!"
Terdengar seruan dingin di belakang Andika.
Pendekar Slebor tercekat. Segera tubuhnya
berbalik. Tampak Putri Samudera berdiri di belakang-
nya dengan tatapan dingin memancarkan sinar ama-
rah.
Sejenak Pendekar Slebor jadi malu sendiri, ka-
rena sesumbarnya yang ingin membawa emas yang
melapisi dinding-dinding ruangan ini. Namun sebentar
kemudian dia sudah kembali pada sikap urakannya.
"He he he.... Aku cuma bohong-bohongan kok.
Orangtua ku juga kaya. Emas-emas di sini sih belum
ada apa-apanya dibanding yang ada di rumahku. Ada
E, Mas Semprul. E, Mas Kubil. E, Mas Bodong. Tapi
mereka semua pelayan-pelayanku, ha ha ha...!" oceh-
nya tak karuan.
Wajah Putri Samudera memerah. "Jangan banyak omong, Pendekar Slebor! Bila tidak karena perin-
tah Eyang Dewi, kau sudah mampus, Pendekar Sle-
bor!"
Andika terjingkat. Tawanya langsung tertekan
kembali ke perut.
"Eyang Dewi? Siapa dia?"
"Jangan menyebutnya dengan nada meleceh-
kan seperti itu!"
Tangan Putri Samudera langsung mengibas.
Seketika angin dahsyat meluruk ke arah Andika. Na-
mun Pendekar Slebor tidak kalah sigap. Dia langsung
menghindar dengan melompat ke kanan sejauh dua
tombak sebab tak ingin tubuh remuk
"Ya..., begitu saja kok, marah?" kata Andika,
tenang saja.
Tatapan Putri Samudera sangat nyalang, me-
mancarkan sinar warna merah. Dia benar-benar
menggeram murka. Bila saja tak teringat akan pesan
dari Eyang Dewi Samudera, sudah dibunuhnya pemu-
da yang bersikap seenaknya sendiri.
"Jangan banyak omong di sini! Kau tak akan
bisa melarikan diri!"
"Kalau ditemani gadis cantik sepertimu, ra-
sanya aku malah ingin berlama-lama..."
Kata-kata Pendekar Slebor terpenggal ketika
Putri Samudera mengangkat tangannya, siap melan-
carkan serangan.
"Eit, kalau kau menyerangku lagi, bisa-bisa kita
terkubur hidup-hidup di sini," cegah Andika, langsung
siap untuk menghindar.
Perlahan-lahan, Putri Samudera menurunkan
tangannya.
"Lagi pula, aku akan membawamu jalan-jalan
ke keraton Kesultanan Laut Selatan. Kau tahu Sultan
Mangkunegoro, mengharapkan kedatanganmu. Dia in-
gin agar kau dipenjara...."
"Bangsat! Manusia keji yang berkedok dewa itu
akan mampus, Pendekar Slebor!"
"Wih! Kejam amat! Apa salahnya?"
"Manusia itulah yang membuang ku dulu sebe-
lum menjadi Sultan! Dia juga yang menghancurkan
hidup ibuku! Aku harus menuntut balas padanya!"
"Gila! Nona, sadarlah. Dendammu sangat ber-
bahaya.... Kau justru akan menambah malapetaka
yang sudah banyak terjadi di dunia ini! Apakah kau ti-
dak bisa memaafkannya?"
"Persetan dengan ucapanmu! Manusia itu ha-
rus mampus!"
"Mati ada yang ngatur. Kalau tak percaya, mati
saja...."
"Keparat!"
Putri Samudera menepuk tangannya tiga kali.
Tiba-tiba saja selarik sinar hitam keluar meliuk-liuk ke
arah Andika.
Pendekar Slebor terperangah. Dia berusaha
menghindarkan diri, namun tiba-tiba saja tak mampu
lagi bergerak. Bahkan sinar itu melilit tubuhnya. Begi-
tu ketat, membuatnya mengerang.
"Lepaskan aku! Kalau berani, jangan dengan
cara ini!" teriak Andika.
Putri Samudera tersenyum dingin.
"Kau akan menjadi penghuni kedalaman Laut
Selatan ini!"
Kening Andika berkerut. Kedalaman Laut Sela-
tan? Apa maksudnya?
"Kau lihat sekelilingmu...!"
Seperti mengetahui apa yang dipikirkan Andika.
Putri Samudera membentak sambil mengerah-
kan salah satu ajiannya.
Tiba-tiba saja sepasang mata Andika yang seta-
jam mata elang membelalak, ketika dinding-dinding
emas itu bagai tembus pandang. Dari ruangan ini si
pemuda bisa melihat ke luar. Tampak air laut bergerak
lembut, didiami makhluk-makhluk laut.
"Aku tidak percaya! Aku pasti bermimpi!"sentak
Andika sambil mengerahkan hawa murni untuk men-
gusir semua pandangan yang menurutnya hanya semu
belaka. Tetapi, pandangan matanya tetap saja tak be-
rubah. "Gila! Di mana aku sebenarnya?"
"Kau berada di Kerajaan Laut Selatan, Pende-
kar Slebor! Karena kelancanganmu lah aku gagal
membunuh Mangkunegoro! Dan sekarang, kau yang
banyak mulut akan terkubur dalam Kerajaan Laut Se-
latan!"
Andika tercekat. Bergumpal-gumpal pertanyaan
menyambar urat-urat berpikirnya. Butek!
"Satu hal yang perlu kau ketahui, Pendekar
Slebor," sambung Putri Samudera dengan tatapan ber-
tambah dingin. "Menurut Eyang Dewi Samudera, kau
harus menikah denganku."
Kali ini kepala Andika puyeng. Menikah? Gila!
Apa-apaan ini? Pendekar Slebor bertekad sebisa-
bisanya harus melepaskan diri dari kungkungan Putri
Samudera. Masalahnya Sultan Mangkunegoro harus
diselamatkan.
"Hm.... Mungkin inilah yang dikatakan Raras
waktu itu."
Teringat akan Raras, Andika jadi ingat kalau
gadis itu berada dalam gendongan Putri Samudera.
"Hei! Di mana Raras?"
Putri Samudera mendengus. "Untuk apa kau
bertanya, hah?!"
"Dia istriku! Makanya, enak saja kau main pak-
sa agar aku menikah denganmu! Biar kau paksa, aku
tak akan pernah membiarkan diriku menikah den-
ganmu!" tegas Pendekar Slebor, berdusta. Putri Samu-
dera tersenyum dingin. "Kau akan melakukannya,
Pendekar Slebor."
"Katakan, di mana Raras?!"
"Dia berada di tempat yang aman."
"Monyet pitak! Lepaskan ikatan ini! Akan ku-
hancurkan istana busukmu ini!"
"Kita lihat bagaimana hasilnya nanti. Kau pasti
akan menikah denganku. Kalau tidak, gadismu yang
bernama Raras akan mati di hadapanmu."
Lalu wanita itu melangkah meninggalkan ka-
mar tempat Andika masih terkungkung akibat penga-
ruh ikatan sinar hitam tadi.
"Monyet busuk! Putri edan! Lepaskan aku! Aku
tak sudi untuk menikah denganmu! Hei, lepaskan! Le-
paskan! Dasar buduk!" makinya, panjang pendek
***
7
Bagaimana keadaan Kesultanan Laut Selatan
selanjutnya?
Di tempatnya, Empu Karniaga lebih dulu si-
uman. Mata tuanya memperhatikan sekeliling, tampak
Ki Patih Darmomulyo baru saja siuman. Lelaki ini me-
rasa seluruh tubuhnya sakit luar biasa.
"Empu...," panggil Ki Patih Darmomulyo men-
desah, setelah memperhatikan keadaan di sekeliling
nya yang porak poranda. Ingatan pertama yang mun-
cul di benaknya adalah tentang Sultan Mangkunegoro.
"Bagaimana keadaan Sultan?"
Empu Karniaga menatap sayu. Dia pun sebe-
narnya tak tahu apa yang harus diucapkan. Hanya ada
dugaan dalam benaknya.
"Kupikir, Panglima Tinggi Mahesa Dewa sudah
berhasil menyelamatkannya."
"Kalau begitu, kita harus segera mencarinya.
Aku khawatir Putri Samudera akan mengejarnya," kata
Ki Patih Darmomulyo sambil berdiri. Direntangkannya
otot-otot di seluruh tubuhnya untuk menghilangkan
rasa sakit.
"Tunggu," ujar Empu Karniaga "Apakah kau ti-
dak melihat sosok berpakaian hijau pupus yang mem-
bantu kita?"
Ki Patih Darmomulyo segera celingukan. Dia
pun teringat pemuda berbaju hijau pupus tadi. Seketi-
ka tubuhnya berkelebat mencari sosok berbaju hijau
pupus di antara berserakannya mayat. Begitu pula
Empu Karniaga.
Setelah beberapa saat mencari, keduanya ber-
temu lagi dan saling pandang.
"Hanya ada dugaan. Dia ditawan Putri Samude-
ra, atau sudah mati. Dan mayatnya dibuang di satu
tempat," duga lelaki tua itu mendesah pelan.
"Kalau begitu, lebih baik kita menyusul Sultan
Mangkunegoro saja," usul Ki Patih Darmomulyo.
"Ya, kau benar. Tetapi, hei?! Di mana Raras?"
Kembali mereka berkelebat mencari Raras. Se-
bentar saja mereka telah mengelilingi Istana Kesulta-
nan. Tapi Raras tetap tak ditemukan.
Empu Karniaga kini terdiam dengan kening
berkerut. Semuanya begitu tiba-tiba dan mengerikan.
"Keadaan semakin kacau! Bisa jadi pula Raras
ditawan Putri Samudera!" geram lelaki ini.
Ki Patih Darmomulyo pun berpikiran sama.
"Empu, siapakah sesungguhnya Putri Samudera itu?
Apakah kau mengenalnya?" tanya patih ini
Empu Karniaga terdiam sesaat. Lalu kepalanya
terlihat menggeleng perlahan.
"Aku tidak tahu. Tetapi, ah...! Aku punya du-
gaan yang sangat mengejutkan, sekaligus mengerikan."
"Tentang apa, Empu?" tanya Ki Patih Darmo-
mulyo, semakin tertarik untuk mengetahui.
Empu Karniaga menghela napas panjang sebe-
lum bercerita. Sepanjang Empu Karniaga bercerita, Ki
Patih Darmomulyo mendengarkan penuh perhatian.
"Jadi sebelum Yang Agung Sultan Mangkunego-
ro diangkat menjadi Sultan, dia telah menghamili seo-
rang gadis?" tanya Ki Patih Darmomulyo, setelah Empu
Karniaga selesai bercerita.
"Tepatnya tidak demikian. Yang jelas, waktu itu
Sultan dalam keadaan mabuk. Sementara perempuan
yang memang sangat mencintainya, mempergunakan
kesempatan untuk menjebaknya. Hingga, Sultan tidak
tahu apa yang diperbuatnya kemudian. Tahu-tahu, pe-
rempuan itu mengaku sudah hamil. Dan di saat pem-
berontakan terjadi di Kesultanan Laut Selatan, Sultan
Mangkunegoro diangkat menjadi panglima tinggi. Den-
gan bantuannya, pemberontak berhasil dihalau. Na-
mun malang bagi Sultan sebelumnya dan permaisuri.
Mereka mati di tangan pemberontak. Lalu atas usulku,
Panglima Tinggi Mangkunegoro pun diangkat menjadi
Sultan. Hal itu ku lakukan, karena Sultan sebelumnya
tak memiliki keturunan seorang pun. Ini hanya ke-
mungkinanku saja, Ki Patih. Aku belum tahu yang se-
benarnya."
"Jadi dengan kata lain, Empu hendak mengata-
kan kalau Putri Samudera adalah putri kandung Sul-
tan Mangkunegoro sendiri?" tebak Ki Patih Darmo-
mulyo.
"Yah, karena Sultan tidak percaya kalau hamil-
nya perempuan itu akibat perbuatannya. Di samping
perempuan itu dikenal sebagai perempuan nakal, juga
Sultan dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku tak bisa
menyalahkan Sultan, yang waktu itu masih menjadi
seorang prajurit. Yah, inilah kenyataan yang masih ha-
rus diselidiki lagi kebenarannya. Apalagi kejadiannya
berlangsung tiga puluh lima tahun yang lalu."
"Tetapi kalau memang Putri Samudera adalah
putri kandung Sultan Mangkunegoro, mengapa wajah-
nya seperti baru berusia delapan belas tahun, Empu?"
Empu Karniaga terdiam dulu sebelum menja-
wab.
"Mungkin, karena memiliki ajian awet muda."
Tak ada yang bersuara. Angin dingin berhem-
bus.
"Sudahlah. Benar atau tidaknya dugaanmu itu,
lebih baik kita segera mencari Sultan Mangkunegoro
dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa," kata Ki Patih
Darmomulyo.
***
Di tempat yang cukup jauh dari Kesultanan
Laut Selatan, di Hutan Wonocolo yang lebat. Sultan
Mangkunegoro duduk sambil termenung. Sesekali ter-
dengar desahan nafasnya.
"Aneh... Mengapa batin ku seolah bergetar bila
mengingat nama Putri Samudera?" desisnya dalam hati
Lelaki ini lantas melirik Sang Ratu Sri Dewi Rajasi yang sedang tertidur di balai-balai kayu kusam
yang ditemukan Panglima Tinggi Mahesa Dewa. Malam
semakin larut. Hewan malam yang berkeliaran menya-
nyikan tembang malam saling bersahut-sahutan.
"Mengapa begini? Padahal, Putri Samudera in-
gin membunuhku. Tetapi, dengan alasan apa?" tanya
Sultan Mangkunegoro dalam hati.
Sultan Mangkunegoro jadi pusing sendiri me-
mikirkan apa yang berkecamuk di benaknya. Namun,
semakin mencoba memikirkan tentang Putri Samude-
ra, dia merasakan ada sebuah jarak yang teramat de-
kat.
"Aneh...? Mengapa jadi begini? Siapa sebenar-
nya Putri Samudera? Mengapa pula menyerang Kesul-
tanan dan berkeinginan untuk membunuhku?"
Sultan Mangkunegoro masih tak bisa meme-
jamkan matanya. Pikirannya semakin galau dengan
hati tak menentu.
"Kanda..., mengapa kau belum tidur?"
Sultan Mangkunegoro tersentak, ketika terden-
gar suara dari sampingnya.
"Oh, Dinda... Tidak apa-apa," sahut Sultan
Mangkunegoro.
"Sudahlah, Kanda. Terimalah keadaan ini den-
gan lapang dada. Mungkin Gusti Allah tengah menguji
kita...," hibur wanita cantik itu.
"Kau benar, Dinda. Tidurlah lagi."
"Mana bisa aku tidur, sementara kau masih ter-
jaga begitu?" tukas Sang Ratu Sri Dewi Rajasi dengan
suara lembut
"Sebentar lagi aku pasti akan tidur. Dan Mahe-
sa Dewa akan menjaga kita dari segala kesulitan. Se-
karang Dinda tidurlah. Aku tahu, dia akan rela men-
gor-bankan seluruh jiwa dan raganya. Ah! Entah, bagaimana nasib yang lainnya?"
Tak ada yang bersuara.
Sang Permaisuri segera memejamkan matanya.
Namun kali ini tak bisa segera tertidur. Pikirannya pun
larut dalam kedukaan yang menimpa.
Sementara itu, di luar gubuk yang ditemukan
Panglima Tinggi Mahesa Dewa, panglima perkasa itu
masih terjaga dengan kedua mata terbuka lebar. Dia
memang sangat terlatih dalam hal menahan kantuk.
Bahkan dia mampu tak tidur selama tujuh hari tujuh
malam.
Angin berhembus dingin. Namun tak mempen-
garuhi lelaki itu, karena telah mengerahkan tenaga da-
lamnya untuk mengusir hawa dingin. Di saat genting
seperti ini, Sang Panglima tidak berniat untuk mem-
buat kayu bakar sebagai penambah kehangatan. Kare-
na, bisa-bisa akan memancing perhatian Putri Samu-
dera.
"Hm.... Siapa sebenarnya Putri Samudera itu?"
desisnya mengungkapkan apa yang sejak tadi dipikir-
kannya. "Kekejaman dan kesaktiannya sangat tinggi.
Mengapa dia hendak membunuh Sultan Mangkunego-
ro? Apakah wanita itu sisa-sisa dari pemberontak da-
hulu? Tidak mungkin! Semuanya sudah disapu bersih
sampai ke akar-akarnya. Tetapi, siapa dia?"
Panglima Tinggi Mahesa Dewa merenung kem-
bali.
"Hm.... Tabir mimpi Sultan Mangkunegoro ru-
panya memang mengerikan. Kedatangan Raras sema-
kin menambah keyakinanku. Dan bahaya sudah da-
tang mengancam bertubi-tubi. Tetapi kalau tidak sa-
lah, aku melihat seorang pemuda tampan berbaju hi-
jau pupus. Hmm.... Kalau tak salah, Raras menyebut-
nya Pendekar Slebor. Ah! Rupanya orang yang berjuluk
Pendekar Slebor masih sangat muda. Telah lama aku
mendengar julukannya yang santer. Kelihatannya dia
pun membantu. Mudah-mudahan dengan bantuannya,
keadaan bisa mereda. Tetapi bagaimana bila berhasil
dikalahkan Putri Samudera?"
Kembali Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam
dengan pikiran berkecamuk dan semakin membuatnya
galau.
"Keselamatan Sultan Mangkunegoro dan Yang
Mulia Sri Dewi Rajasi berada di tanganku sekarang.
Bagaimana nasib Empu Karniaga dan Ki Patih? Apa-
kah mereka tewas dalam pertarungan mengerikan itu?
Oh! Tidak seharusnya aku melarikan diri seperti ini.
Tetapi, ini bukan melarikan diri. Aku berusaha menye-
lamatkan Yang Agung dan istrinya. Bila aku sudah
mendapat tempat aman, aku akan kembali ke Kesulta-
nan. Tetapi sekarang ini, aku memang harus berdiam
di Hutan Wonocolo ini. Dan selanjutnya, akan mene-
ruskan perjalanan menuju Bukit Pedang. Yah.... Satu-
satunya bantuan yang bisa diharapkan sekarang ada-
lah menerima bantuan Dewa Pedang. Konon ilmu pe-
dangnya sangat tinggi dan sukar ditandingi. Kudengar
pula dia memiliki ajian bangsa siluman. Mudah-
mudahan saja, dia mau membantu."
Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam. Berjuta
harapan ada di dadanya berbaur kecemasan hatinya.
Malam semakin larut. Dan udara semakin ber-
hembus dingin.
***
5
"Hm... Sekarang aku harus melepaskan diri."
Pendekar Slebor segera mengerahkan tenaga
'inti petir' dan getaran ajian 'Guntur Selaksa'. Namun
ikatan sinar itu tak putus juga. Bahkan sinar-sinar itu
mulai menembus kulitnya, hingga berdarah. Akhirnya,
Andika memutuskan untuk mempergunakan ajian
bangsa siluman yang pernah diajarkan Eyang Sasong-
ko Murti (silakan baca: "Siluman Hutan Waringin").
Pendekar Slebor lantas duduk terdiam dengan
kedua mata tertutup. Perlahan-lahan dia menarik na-
pas, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Dan men-
dadak saja tubuhnya bagai mengeluarkan hawa yang
sangat panas luar biasa. Bahkan terlihat kobaran api
di sekujur tubuhnya. Itulah ajian 'Tapa Geni' yang
sangat dahsyat. Dan tubuhnya bergetar hebat. Kerin-
gat pun mengalir keluar dari seluruh pori-porinya.
Tiba-tiba Andika merasakan kalau lilitan sinar
itu perlahan-lahan mulai mengendor. Menyadari kalau
ajian 'Tapa Geni' yang sedang dikerahkan mulai me-
nampakkan hasil, dia pun semakin kuat meng-
alirkannya.
Namun yang terjadi kemudian justru menge-
jutkannya. Karena, tiba-tiba saja sinar itu melilit kem-
bali tubuhnya. Bahkan kali ini lebih keras dari yang
semula. Semakin Andika mengerahkan ajian 'Tapa Ge-
ni'....
"Aaa...!" Andika berteriak kesakitan. Tubuhnya
kali ini kelojotan dengan teriakan bagai lolongan seri-
gala.
***
Pada saat yang sama di satu tempat yang dike-
lilingi bunga-bunga emas, Putri Samudera tersenyum
penuh kemenangan.
"Hm.... Ajian bangsa siluman yang kau miliki
tak ada gunanya, Pendekar Slebor! Masih lebih dah-
syat lagi ajian bangsa siluman dari Laut Selatan."
Kedua tangan wanita itu yang menyatu di dada,
bergetar hebat. Dan terlihat sinar kemerahan di seku-
jur tubuhnya yang sedikit bergetar mempertahankan
sikap tubuhnya.
Rupanya saat ini Putri Samudera tengah beru-
saha menggagalkan keinginan Andika untuk mele-
paskan diri dari sinar hitam itu. Tadi, di saat dia hen-
dak melanjutkan semadinya, tiba-tiba terasa sesuatu
yang sangat keras bagai menimpanya. Seluruh mata
batinnya segera dikerahkannya. Dan dilihatnya Andika
sedang berusaha melepaskan diri dari lilitan sinar hi-
tamnya.
"Apa yang dikatakan Eyang Dewi tentang pe-
muda ini memang benar. Dia sangat tangguh dan bisa
menjadi lawan berbahaya. Beruntung sekali bila dia
menjadi suamiku, meskipun saat ini adalah yang pal-
ing tepat untuk membunuhnya. Tak akan ada lagi
penghalang yang paling tangguh untuk melaksanakan
niatku membunuh Sultan Mangkunegoro. Hhh! Aku
ingin tahu, siapa yang berjuluk Dewa Pedang itu," gu-
mam Putri Samudera. Segera ilmunya dikerahkan
kembali untuk menangkal ajian 'Tapa Geni' yang dike-
rahkan Andika. "Kau akan mengalami hal yang parah
bila tidak segera melepaskan ajian 'Tapa Geni' itu. Se-
luruh tenaga dalammu akan hilang. Namun, tak
menghilangkan kejantanan mu yang kubutuhkan."
***
Andika yang tengah berteriak setinggi langit
menahan rasa sakit, segera sadar kalau harus mele-
paskan ajian 'Tapa Geni' bila tidak ingin menderita se-
suatu yang tak diinginkannya.
Begitu melepaskan ajian 'Tapa Geni', Pendekar
Slebor tak lagi merasakan hujaman ikatan sinar hitam
yang mulai menembus dagingnya. Ditariknya napas
panjang dengan tubuh berkeringat.
"Kambing congek! Mengapa jadi berbalik seperti
ini?" gerutu Andika, terengah-engah. Otak encernya
segera mendapat jawabannya. "Hmm... Aku yakin, Pu-
tri Samudera mengetahui perbuatanku. Bisa berba-
haya sekarang. Apa dayaku untuk melepaskan diri da-
ri semua ini? Keadaan akan menjadi kacau bila Putri
Samudera sudah bergerak lagi dan muncul ke daratan,
untuk meneruskan keinginannya membunuh Sultan
Mangkunegoro."
Andika pun terdiam dengan pikiran galau.
Pada saat Pendekar Slebor menghentikan ajian
'Tapa Geni'nya, Putri Samudera pun menghentikan se-
luruh ajian penangkalnya. Bibirnya tersenyum sen-
dirian.
"Kau benar, Eyang Dewi.... Memiliki seorang
suami seperti Pendekar Slebor, akan membuatku se-
makin hebat saja. Dan kemungkinan, aku bisa men-
guasai dirinya untuk memperlancar niatku membunuh
Sultan Mangkunegoro."
Putri Samudera terbahak-bahak keras.
"Hm.... Sebaiknya aku menemui Raras seka-
rang. Aku yakin, dia sudah siuman."
***
Saat ini Raras sudah siuman. Matanya me-
mandang penuh keheranan ke sekelilingnya. Kening-
nya berkerut berkali-kali tak mengerti.
"Apakah aku berada di surga?" desisnya. "Tem-
pat ini seluruhnya terbuat dari emas."
Gadis ini masih tak bisa mempercayai indera
perabanya tentang dinding-dinding yang berkilauan
itu. Berkali-kali pula tangannya meraba.
"Emas! Ini memang emas! Oh?! Apakah surga
dipenuhi emas? Seingatku, aku berada di Kesultanan
Laut Selatan yang sedang diserang Putri Samudera?
Dan ketika aku menyerangnya, dia memukulku ping-
san. Apakah ini bukan tempat tinggal Putri Samude-
ra?" oceh gadis ini sendirian.
"Kau benar, Raras."
Terdengar suara, bersamaan dengan pintu yang
terbuka. Putri Samudera telah berdiri di ambang pintu
penuh seringai.
"Ini memang tempatku. Dan sekarang kau men-
jadi tawananku. Jadi..., bersikaplah yang sopan," lan-
jut Putri Samudra.
Raras langsung siaga. Kedua pedangnya dilo-
loskan dengan tatapan geram.
"Gadis keparat! Kau pikir aku tak berani me-
nantangmu, hah?!" bentak Raras.
"Siapa bilang begitu?! Dan..., apa yang ingin
kau lakukan dengan kedua pedangmu itu, Raras?"
"Aku ingin membunuhmu!"
Sehabis berkata begitu, Raras langsung berge-
rak dengan kecepatan penuh. Jurus 'Dua Pedang
Membelah Langit' langsung dikerahkannya.
Namun Putri Samudera cukup mengangkat se-
belah tangannya saja ke arah Raras.
"Eh..?!"
Dan tiba-tiba Raras merasa gerakannya me-
lambat. Lalu tubuhnya sulit digerakkan. Rupanya Pu-
tri Samudera telah menotok Raras dengan ilmu toto-
kan sangat dahsyat dan aneh, karena dilepaskan dari
jarak jauh.
"Setan! Lepaskan aku! Lepaskan! Kau harus
mampus, Keparat!" maki Raras.
Putri Samudera tertawa keras.
"Itu adalah upah dari kelancanganmu yang
hendak mencampuri urusanku!" desis wanita ini.
Raras masih berteriak-teriak keras. Sementara
Putri Samudera hanya berdiri di hadapannya sambil
tersenyum sinis.
"Kau hanya membuang-buang tenagamu saja!
Simpanlah tenagamu. Karena, kau akan mengalami
sesuatu yang sangat mengerikan!" katanya dingin, pe-
nuh ancaman.
"Peduli setan dengan ancamanmu! Lepaskan!
Kita bertarung sampai mampus!"
"Dibantu teman-temanmu saja, kau tak mampu
mengalahkan aku, Raras. Apalagi seorang diri dan be-
rada di kediamanku ini?"
"Peduli setan!"
"Oh, ya. Aku salah bila mengatakan kau seo-
rang diri di sini," ralat Putri Samudera kemudian den-
gan senyum semakin dingin. "Nah! Lihatlah ke kirimu!"
Raras sebenarnya enggan untuk melakukan-
nya. Namun dia merasa ada sebuah tenaga kuat yang
memaksanya untuk menatap ke kiri.
Dan gadis ini terkejut bukan main, karena
dinding yang terbuat dari emas tadi mendadak bagai-
kan tembus pandang. Dan keterkejutan akan peruba-
han dinding itu beralih ke hal yang lebih mengagetkannya. Tampak Pendekar Slebor dalam keadaan
tak berdaya dengan kedua kaki tertekuk dan tubuh di-
lilit sinar hitam sangat ketat. Kelihatan sekali bagai-
mana Pendekar Slebor tak mampu bergerak.
"Keparat!" bentak Raras keras. "Aku akan men-
gadu jiwa denganmu, Putri Samudera!"
Putri Samudera terbahak-bahak saja. "Kau tak
perlu mencemaskan suamimu. Dia akan aman saja.
Dan aku tak akan membunuhnya. Hanya sayangnya,
suamimu itu sebentar lagi akan menikah denganku,"
kata Putri Samudera.
Meskipun kening Raras berkerut mendengar
Putri Samudera menyebut suami buat Pendekar Sle-
bor, namun untuk saat ini dia tak ingin menanyakan-
nya.
"Peduli setan apakah dia hendak menikah den-
ganmu atau tidak! Tetapi, lepaskan dia! Atau, lepaskan
aku. Dan, kita bertarung sampai mati!" dengus Raras.
Putri Samudera yang percaya akan kata-kata
Pendekar Slebor kalau Raras adalah istrinya, sangat
menikmati permainan yang diciptakannya. Karena,
akan membuat gadis itu muak dan cemburu padanya.
"Maafkan aku yang telah membuatmu cembu-
ru. Kekasihmu itu memang tampan sekali. Dan aku bi-
sa mengerti kekecewaanmu bila menyaksikan bagai-
mana suamimu akan menikah denganku!"
Justru Raras yang semakin tak mengerti. Na-
mun hatinya yang geram karena melihat bagaimana
Pendekar Slebor dalam keadaan tak berdaya, mem-
buatnya berteriak-teriak keras dengan amarah meng-
gele-gak
"Manusia hina! Lepaskan dia! Lepaskan!"
"Sayang sekali, aku membutuhkannya. Maaf-
kan aku yang telah membuatmu gusar," kata Putri
Samudera, di sela-sela teriakan Raras.
"Setan!" geram Raras.
Gadis ini semakin tak mengerti mengapa Putri
Samudera mengatakan Pendekar Slebor adalah sua-
minya. Bahkan telah berhasil membuatnya cemburu.
Namun, hatinya dibalur kemarahan menggelegar, me-
nyadari kalau dirinya dan Pendekar Slebor menjadi ta-
wanan Putri Samudera.
"Dan kau sendiri, akan mendapatkan sebuah
anugerah yang sangat besar. Karena, aku membutuh-
kan darah sucimu untuk menjaga agar aku tetap awet
muda..."
"Iblis! Ayo, lepaskan aku! Lebih baik aku mati
daripada melakukan keinginanmu!"
"Hal yang sama pun dikatakan suamimu!
Sayangnya, kalian berdua tak akan mampu berbuat
apa-apa. Takdir sudah menulis, kalau kalian akan
menghuni tempat ini untuk sementara. Karena, setelah
berhasil kuambil darah sucimu dan kuambil kejanta-
nan Pendekar Slebor, maka kalian harus mampus.
Dan aku akan membunuh Sultan Mangkunegoro, un-
tuk selanjutnya menguasai rimba persilatan di dara-
tan! Ha ha ha...!"
Masih terbahak-bahak Putri Samudera mening-
galkan tempat itu. Meninggalkan Raras yang tengah
geram meskipun tak mengerti apa maksud Putri Sa-
mudera mengatakan Pendekar Slebor adalah sua-
minya.
Yang disadari gadis ini sekarang, bukan hanya
nyawa Sultan Mangkunegoro saja yang terancam. Tapi
juga nyawanya sendiri, bahkan..., nyawa Pendekar
Slebor!
***
9
Bukit Pedang siang hari.
Matahari panas menyengat. Siang meranggas,
menebarkan debu-debu menyakitkan. Binatang yang
biasanya banyak hidup di sana, tak ada yang berkelia-
ran. Tak kecuali burung-burung.
Bentuk bukit yang terjal itu memang aneh. Dari
kejauhan, terlihat seperti sebilah pedang. Gagangnya
di bawah, ujungnya yang tajam menjulang ke atas. Di
sanalah Dewa Pedang hidup selama lima puluh tahun.
Dan selama lima belas tahun pula, Dewa Pe-
dang menggembleng Raras yang merupakan murid sa-
tu-satunya.
Saat ini, laki-laki bertubuh gagah berpakaian
serba putih itu tengah bersemadi, menyatukan diri
dengan Yang Maha Pencipta. Warna rambutnya yang
memutih dan wajahnya terlihat kokoh meskipun su-
dah mulai ditumbuhi keriput. Di wajahnya tampak gu-
ratan-guratan dari selaksa peristiwa yang pernah di-
arunginya. Di sisi laki-laki berusia sekitar delapan pu-
luh tahun itu terdapat sebilah pedang berwarangka
keemasan, dengan butir-butir mutiara di sepanjang
warangkanya.
Melalui mata batinnya Dewa Pedang berusaha
menerobos alam gaib untuk melihat keberadaan mu-
ridnya. Dan melalui batinnya pula dia mampu melihat
keberadaan seorang pemuda berbaju hijau pupus.
"Raras dalam bahaya," desahnya. "Begitu pula
pemuda yang aku yakini adalah Pendekar Slebor.
Nampaknya pemuda itu akan mampu menguasai kea-
daan. Akan tetapi untuk saat ini, dia tak lebih dari
seorang pesakitan belaka."
Dewa Pedang perlahan-lahan membuka ma-
tanya. Kepalanya mengangguk-angguk dengan wajah
sedikit cerah.
"Hmm... Pemuda berjuluk Pendekar Slebor. Ka-
lau tak salah aku memang pernah mendengarnya. Di-
alah pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Namun
menghadapi ajian bangsa siluman, pemuda itu me-
mang bisa dikatakan tak berdaya, meskipun juga me-
miliki ajian bangsa siluman. Yaahh..., mudah-
mudahan dia akan menemukan akal...," gumam Dewa
Pedang.
Dewa Pedang terdiam kembali. Dan sebelum
melanjutkan gumamannya, tiba-tiba saja pendenga-
rannya yang terlatih dan sangat tajam, menangkap su-
ara di lereng Bukit Pedang. Dengan mempergunakan
mata batinnya, lelaki tua ini bisa melihat kalau yang
datang adalah Sultan Mangkunegoro, Permaisuri Sri
Dewi Rajasi, dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
"Hmm.... Rupanya Panglima Tinggi Mahesa De-
wa membawa Yang Agung dan permaisuri ke sini. Aku
harus segera menyambutnya."
Dewa Pedang bangkit, lalu melangkah ke pintu
pondoknya. Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat. Den-
gan sekali berkelebat saja, dia sudah menghilang dari
pandangan. Dan tahu-tahu dia sudah berhenti, lang-
sung berlutut di hadapan Sultan Mangkunegoro.
"Salam hormat untuk Yang Agung Sultan
Mangkunegoro dan Yang Mulia Permaisuri Sri Dewi
Rajasi."
Sejenak rombongan sultan itu jadi terkejut. Te-
tapi mereka segera tenang kembali begitu mengenali
Dewa Pedang.
"Oh, Dewa Pedang.... Tak kusangka kau menge-
tahui kedatangan kami," sahut Sultan Mangkunegoro
dengan suara hangat.
"Daulat, Yang Agung. Terima kasih Yang Agung
sudi singgah di tempatku yang kotor dan jelek ini."
Sultan Mangkunegoro tersenyum.
"Berdirilah. Aku terpaksa mengganggumu," ujar
Penguasa Kesultanan Laut Selatan.
"Seluruh jiwa dan ragaku, milik Yang Agung,"
sahut Dewa Pedang seraya bangkit.
Sultan Mangkunegoro jadi terharu mendengar-
nya. Lalu kakinya melangkah bersama Permaisuri Sri
Dewi Rajasi. Begitu keduanya melangkah, Panglima
Tinggi Mahesa Dewa mengatupkan kedua telapak tan-
gan di dada pada Dewa Pedang.
"Mungkin kedatangan kami menganggu, Dewa
Pedang," kata panglima itu.
Dewa Pedang tersenyum. "Silakan, Mahesa. Da-
lam keadaan seperti ini, kita memang harus saling
membantu. Putri Samudera memang tokoh yang baru
muncul. Tetapi sepak terjang dan kesaktiannya sangat
tinggi sekali."
Panglima Tinggi Mahesa Dewa hanya mengang-
guk-anggukkan kepala.
"Meskipun demikian, aku masih penasaran.
Dan lebih rela bertarung mati-matian daripada mena-
han sakit hati yang semakin dalam."
Dewa Pedang tersenyum. Dapat dimaklumi ke-
gusaran hati Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
Lalu mereka pun perlahan-lahan menaiki Bukit
Pedang.
***
Dengan kedatangan Sultan Mangkunegoro dan
permaisuri, Dewa Pedang menjadi sedikit sibuk. Gubuknya dirapikan dengan gerakan sangat luar biasa
cepatnya. Namun semuanya itu dilakukan penuh rasa
hormat. Bahkan dia telah menyediakan buah-buahan
yang bisa dipetik di sana.
Karena lelah, Sultan Mangkunegoro dan per-
maisuri tertidur. Sementara Dewa Pedang dan Pangli-
ma Tinggi Mahesa Dewa berada di luar.
Udara dingin mulai menggigit. Senja temaram
sebentar lagi akan tiba. Burung-burung pun mulai pu-
lang ke sarangnya.
"Dewa Pedang.... Adakah yang kau ketahui ten-
tang Putri Samudera?" tanya Panglima Tinggi Mahesa
Dewa memecah kesunyian.
Dewa Pedang mengangguk-angguk.
"Mungkin, Empu Karniaga pun menduga akan
hal itu. Dugaannya sama dengan dugaanku," sahut
Dewa Pedang.
"Oh?! Soal apa itu?"
Dewa Pedang mengatakan dugaannya. Pangli-
ma Tinggi Mahesa Dewa sampai terjingkat karena ter-
kejutnya.
"Jadi, Putri Samudera kemungkinan besar ada-
lah putri Sultan sendiri?" tanya Panglima Tinggi Mahe-
sa Dewa, seakan ingin lebih yakin lagi.
"Ini hanya kemungkinan. Kebenarannya bisa
diketahui dari mulut Putri Samudera sendiri. Akan te-
tapi, sangat sulit bagi kita untuk mengorek keterangan
itu," jelas Dewa Pedang.
Panglima Tinggi Mahesa Dewa terdiam. Du-
gaan-dugaan yang membuatnya tak mengerti mulai
bermunculan.
"Dendam karena merasa perlakuan Sultan-lah
yang membuatnya melakukan seperti itu. Lagi pula,
kau jangan lupa, Mahesa. Dia adalah murid Eyang
Dewi Samudera yang sampai sekarang kita tak pernah
mengerti bagaimana pribadi sesungguhnya...."
"Tahukah kau, di mana dia berada sekarang?"
"Di kerajaan dasar Laut Selatan. Kerajaan milik
Eyang Dewi Samudera. Di sana pula muridku seka-
rang menjadi tawanannya. Juga seorang pemuda sakti
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan yang ber-
juluk Pendekar Slebor."
"Ya.... Aku pun melihat kehadiran Pendekar
Slebor, saat Putri Samudera menyerang Kesultanan
dan ingin membunuh Sultan. Kalau begitu, aku akan
ke sana segera."
Dewa Pedang tersenyum. "Bukan kusangsikan
kepandaianmu, Mahesa. Akan tetapi yang perlu kau
ketahui, Putri Samudera adalah murid Eyang Dewi
Samudera. Sudah tentu kesaktian Eyang Dewi Samu-
dera diturunkan padanya. Lagi pula, kau akan menga-
lami kesulitan sangat luar biasa untuk masuk ke Kera-
jaan Laut Selatan. Jangankan untuk masuk, untuk
menemukannya saja sangat sulit."
"Gusti! Bagaimana cara mengalahkannya? De-
wa Pedang! Bukankah kau memiliki ajian bangsa silu-
man pula? Apakah kau tak bisa menembus dan men-
cari tahu, di mana Kerajaan Laut Selatan itu?"
"Kemungkinan itu memang ada. Akan tetapi,
aku tak akan kuasa untuk melakukannya. Harapan ki-
ta satu-satunya, Pendekar Slebor-lah yang mampu me-
lakukannya. Meskipun, saat ini masih ku sangsikan."
"Mengapa kau yakin, tetapi menyangsikan ke-
mampuan Pendekar Slebor?" tanya Panglima Tinggi
Mahesa Dewa heran.
"Sekarang ini dia ditawan Putri Samudera. Bila
saja sampai menikah dengannya, tak mustahil Pende-
kar Slebor akan mati," jelas Dewa Pedang.
"Kalau begitu, hanya akulah yang bisa menga-
tasi semua ini...."
Mendadak terdengar suara di belakang mereka.
Serentak keduanya bangkit dan segera berlutut di ha-
dapan sosok yang ternyata Sultan Mangkunegoro.
"Bangunlah.... Aku sudah mendengar semua
itu," ujar Sultan Mangkunegoro sambil tersenyum bi-
jaksana. "Aku pun sudah menduga ke arah itu sebe-
narnya. Karena, aku merasa begitu dekat sekali, saat
pertama kali melihat wajah Putri Samudera. Mungkin
ini dulu kesalahanku. Dan tak pernah kusangka akan
terjadi seperti ini. Mungkin, kelalaiankulah yang mem-
buatnya terjadi. Padahal sekali pun aku tak pernah
mengusir Murti Ningsih yang saat itu sedang hamil.
Gadis itu saja yang meninggalkan ku. Dan aku tak
sempat memikirkannya lagi, karena Kesultanan sedang
menghadapi pemberontakan. Setelah semua-nya ber-
hasil diatasi, aku mencari Murti Ningsih. Namun dia
tak pernah bisa kutemukan sampai aku diangkat men-
jadi Sultan."
"Maafkan kami, Yang Agung," ucap Dewa Pe-
dang.
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Ini mungkin
ganjaran yang nyata akibat kelalaian ku dulu. Dewa
Pedang.... Dapatkah kau mengantarku ke Kerajaan
Laut Selatan?"
Dewa Pedang mengangguk.
"Antarkan aku ke sana."
"Maafkan hamba, Yang Agung. Bukan hamba
menolak titah Yang Agung. Akan tetapi, sebaiknya
Yang Agung jangan meninggalkan Bukit Pedang untuk
sekarang ini. Karena, Putri Samudera masih akan
mencari Yang Agung untuk menuntaskan seluruh sa-
kit hatinya."
"Aku akan menerima keadilan itu."
"Maafkan hamba, Yang Agung. Mungkin semu-
anya masih bisa ditenangkan. Karena hamba yakin,
Pendekar Slebor akan mampu mengatasi semua itu."
"Menurutmu, Pendekar Slebor berada dalam
cengkeraman Putri Samudera?"
"Betul."
"Bagaimana bisa kau katakan kalau dia akan
mampu mengatasi semua ini?"
"Karena, dia adalah seorang pemuda cerdik. Di
samping itu, kemampuannya tak perlu disangsikan la-
gi."
Sultan Mangkunegoro mendesah pendek. "Ini
kesalahanku. Kalian semua jadi terlibat."
"Tidak, Yang Agung. Ini hanyalah salah paham
yang melebar. Salah pengertian yang dialami Putri Sa-
mudera. Bila saja dia mau bersabar dan bertanya lebih
dulu duduk perkara masalah ini, bisa jadi akan men-
gerti."
"Kau benar, Dewa Pedang. Tetapi, perasaan
berdosa telah merambat hatiku. Kau tahu, betapa ba-
nyak para prajuritku yang setia harus menjadi korban?
Berapa banyak kerugian yang diderita Kesultanan?
Rasanya, memang adil bila aku menerima hukuman
yang akan dijatuhkan Putri Samudera."
Tak ada yang bersuara. Dewa Pedang dan Pan-
glima Tinggi Mahesa Dewa sama-sama menyesali,
mengapa Sultan Mangkunegoro sampai mengetahui
semua ini.
"Kesalahan ini memang harus ku tebus," desah
Sultan Mangkunegoro sambil melangkah masuk kem-
bali ke gubuknya. Inilah jawaban yang membuatnya
berhari-hari memikirkan tentang Putri Samudera.
Tak ada yang bersuara beberapa saat. Sampai
kemudian, Dewa Pedang memecah kesunyian.
"Sekarang..., mau tak mau aku harus masuk ke
Kerajaan Laut Selatan, Mahesa."
***
10
Benarkah yang dikatakan Dewa Pedang kalau
Pendekar Slebor memiliki kecerdikan untuk mengatasi
keadaannya yang berada di bawah cengkeraman Putri
Samudera.
Yang jelas, Putri Samudera saat ini telah mun-
cul di kamar Pendekar Slebor. Si pemuda saat ini men-
jadi sangat letih, karena sudah dua hari dua malam ti-
dak makan. Bahkan dalam keadaan terikat oleh sinar
hitam yang sangat kuat sekaligus aneh itu.
Tetapi, bukan Andika kalau tak bisa bertingkah
walau dalam keadaan terjepit sekalipun.
Begitu Putri Samudera muncul, Andika mema-
sang wajah cengar-cengir.
"Apa kubilang! Kau pasti muncul karena kan-
gen sama aku, 'kan? Memang susah cari orang seper-
tiku. Maklum, sudah tak keluar lagi di pasaran. Oh,
ya. Maaf, ya. Aku tak mau menikah denganmu. Habis
di duniaku masih banyak gadis yang lebih cantik dan
bahenol, sih....," oceh Andika.
Wajah Putri Samudera memerah. Sesungguh-
nya, bila tak ingat akan pesan Eyang Dewi Samudera
sudah dibunuhnya pemuda sialan ini.
"Jangan banyak bacot! Kau tak akan bisa mela-
rikan diri dari kenyataan itu!" desis wanita itu seraya
melangkah mendekati Pendekar Slebor.
Tangan halus Putri Samudera bergerak bagai
menepuk nyamuk.
Pak!
Tiba-tiba saja tubuh Andika terjatuh di lantai,
setelah sinar hitam yang melilitnya terlepas.
Meskipun Andika sudah terlepas dari belenggu
yang menyiksanya, akan tetapi sebenarnya merasa pe-
nat bukan main. Dalam keadaan kaki tertekuk dan
tangan menjadi satu, seolah darahnya sulit mengalir.
Dan kini perlahan-lahan tenaga dalamnya dialirkan.
"Pendekar Slebor! Bila kau mencoba menolak
keinginanku, maka kau akan mati," desis Putri Samu-
dera dengan sinar mata dingin.
"Sayang aku masih doyan nasi uduk dengan la-
lap jengkol. Dimakan pagi hari pakai sambal, wuih,
enak sekali!" sahut Pendekar Slebor, ngawur.
"Keparat!" bentak Putri Samudera dengan wa-
jah memerah kelam mendengar seloroh Andika yang
membuatnya benar-benar muak. Tiba-tiba tangannya
mengibas.
Wuutt!
Andika yang masih belum pulih benar tena-
ganya hanya bisa sedikit melompat menghindar. Tapi
tak urung tangan kirinya terhantam pukulan yang ke-
ras itu.
Andika terpelanting ke belakang, namun tetap
hanya cengar-cengir saja. Padahal dia ingin berteriak
kuat-kuat karena rasa sakit luar biasa diderita.
"Ayo lagi! Lagi! Sekalian saja. Daripada aku
menikah denganmu?!" serunya sambil menjulur-
julurkan lidahnya.
Tangan Putri Samudera mengibas kembali.
Wuutt...!
Kali ini Andika yang sudah memperhitungkan-
nya berhasil meloloskan diri dengan jalan bergulingan.
Melihat hal itu, Putri Samudera semakin ber-
tambah geram dan menyerang bertubi-tubi.
Jder! Jder!
Pukulan keras itu menghantam dinding yang
terbuat dari emas hingga jebol dengan suara keras.
Bersamaan dengan jebolnya dinding itu, Raras yang
berada di kamar sebelah terpelanting deras ke bela-
kang.
"Raras!" seru Andika begitu melihat dan segera
bergulingan mendekat
"Aduh...," desis Raras tak mampu.
Dadanya terasa sangat sakit sekali. Tulang-
tulang belulangnya bagaikan remuk, namun hatinya
lebih tenang karena ada Andika di sisinya.
"Tahan! Bila kita tenang dan sabar, aku yakin
bisa menghancurkan Putri Samudera."
Lalu Andika segera berusaha untuk membe-
baskan gadis yang wajahnya memucat itu. Rupanya,
selama dua hari dua malam tidak makan, keadaan Ra-
ras lebih memprihatinkan dibanding Andika.
Putri Samudera melesat ke kamar sebelah. Be-
tapa geram hatinya melihat bagaimana Andika sedang
berusaha membebaskan Raras dari totokan. Sementa-
ra dalam pandangannya sikap Raras begitu manja se-
kali pada Andika.
"Keparat! Kalian membuatku muak!" desis wa-
nita itu.
Kedua tangan Putri Samudera bertepuk dua
kali. Mendadak saja terlihat sinar merah yang sangat
menyilaukan menerangi kedua tangannya.
Andika yang masih berusaha menemukan toto-
kan Putri Samudera di tubuh Raras, terperanjat sebelum berhasil menemukannya.
Diam-diam si pemuda yakin kalau ajian yang
akan dilepaskan Putri Samudera itu sangat dahsyat.
Dalam keadaan seperti ini, memang sangat sulit untuk
menghindar. Terutama, untuk menyelamatkan Raras.
Andika masih memperhitungkan, kalau tidak
ingin melihat Raras celaka. Tiba-tiba saja tangannya
diangkat.
"Tahan!" seru Andika.
"Pemuda keparat! Apa lagi yang hendak kau
mainkan, hah?!" geram Putri Samudera.
Kali ini Putri Samudera tak peduli lagi dengan
pesan Eyang Dewi Samudera yang menyuruhnya un-
tuk menikahi Pendekar Slebor. Baginya, biarlah pemu-
da sialan yang selalu membuat telinganya memerah itu
mampus!
Perlahan-lahan Andika berdiri dengan otak
berpikir keras.
"Kulihat, kau memang ingin membunuh kami,
ya?" usik Andika.
"Tanpa bertanya, kau sudah tahu jawabannya!"
sahut Putri Samudera mantap.
"Lho? Katanya mau kawin? Atau..., jangan-
jangan kau cemburu, ya?"
Bukan hanya wajah Putri Samudera yang me-
merah. Telinganya pun demikian. Dan hatinya sema-
kin geram.
"Keparat! Kau mampuslah!"
"Hei! Kau 'kan hendak menjadi istriku? Masa'
tega membunuhku?" seru Andika.
Pendekar Slebor terus memikirkan nasib Raras.
Tidak mustahil gadis ini akan sulit diselamatkan, ka-
rena cahaya panas berpendar-pendar itu sangat me-
nyilaukannya. Bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya
bila pukulan itu dilepaskan Putri Samudera. Jalan sa-
tu-satunya, Putri Samudera harus dibujuk sampai
berhasil menemukan totokan pada tubuh Raras yang
tak berdaya.
Kata-kata Andika yang penuh bujukan itu ak-
hirnya termakan juga oleh Putri Samudera. Perlahan-
lahan kedua tangannya diturunkan. Maka sinar merah
yang menyilaukan itu pun perlahan-lahan pula meng-
hilang.
Diam-diam Andika menghela napas.
"Baik! Kau harus secepatnya menikah dengan-
ku!"
"Itu bisa diatur! Tetapi, kau harus membe-
baskan dulu Raras dari totokanmu!" cetus Andika,
memberikan syarat.
"Justru dia akan kubawa sekarang!"
Kali ini Andika terlengak mendengar kata-kata
Putri Samudera. Dia memaki dirinya sesaat, yang tak
memikirkan kemungkinan itu. Tetapi bukan Andika
kalau tak bisa membalasnya dengan cerdik.
"Kalau begitu, aku tidak mau menikah den-
ganmu," kata Andika, kalem.
"Persetan dengan pernikahan itu! Toh, aku bisa
memaksamu untuk melakukannya!"
"Wah, kawin terpaksa itu tidak baik! Kalau be-
gitu aku memilih mati saja!" kata Andika semakin
ngawur. Sementara dia terus berpikir untuk mele-
paskan diri dari semua ini.
"Kalau begitu, matilah kau!"
"Dengan kematianku, kau tidak mengindahkan
pesan Eyang Dewi Samudera! Berarti kau mengkhiana-
tinya! Dan kau bisa mati, Putri Samudera!"
Putri Samudera terdiam kali ini. Kegeramannya
kelihatan ditahan setengah mati. Namun dibenarkan
pula kata-kata Andika barusan. Dengan kata lain, bila
Andika dibiarkan mati maka dia gagal menikahi Andi-
ka. Dan berarti, dia telah melanggar pesan Eyang Dewi
Samudera. Ini tak boleh terjadi!
"Baik! Kita menikah lebih dulu! Setelah meni-
kah, kau harus menyerahkan gadis itu kepadaku!" ka-
ta Putri Samudera, akhirnya.
"Kalau soal itu sih beres," kata Andika sambil
tersenyum.
Pendekar Slebor merasa telah terbebas dari be-
lenggu pertama yang membingungkannya. Dan dia te-
lah mendapatkan jalan keluar yang terbaik
Sementara itu Putri Samudera pun melangkah
meninggalkan tempat itu dengan hati kesal.
"Jangan main-main, ya! Aku sudah tak sabar
nih!"
Putri Samudera tak menghiraukan kata-kata
Pendekar Slebor yang membuatnya semakin kesal. Te-
tapi, pesan Eyang Dewi tak boleh dilanggar. Putri Sa-
mudera bersumpah, bila berhasil menikah dan me-
miliki tenaga 'inti petir' yang dimiliki Andika, dia akan
segera membunuh Pendekar Slebor.
"Kang Andika..., mengapa kau membuat perjan-
jian seperti itu? Kau tak harus melakukannya, hanya
untuk menyelamatkan aku," kata Raras, setelah Putri
Samudera tak terlihat lagi.
Andika tertawa.
"Siapa yang membuat perjanjian? Aku tidak
merasa berjanji?" sahut Pendekar Slebor santai.
Kembali Andika berusaha mencari letak totokan
yang dilakukan Putri Samudera. Dan tak lama kemu-
dian dia pun menemukannya.
Sebenarnya totokan itu berada di pangkal len-
gan dan mata kaki Raras. Namun totokan yang dilakuhan-lahan terasa segar kembali.
Andika tersenyum.
"Aku juga mengucapkan terima kasih," kata
Andika.
"Dalam hal apa?"
"Merangkulmu itu suatu pengalaman yang san-
gat luar biasa," sahut Andika nyengir.
Raras tertawa pula. Diam-diam mulai dis-
ukainya sikap Andika yang menurutnya agak urakan,
namun menyenangkan. Tiba-tiba ingatannya kembali
pada kata-kata Putri Samudera yang mengatakan ka-
lau Pendekar Slebor adalah suaminya.
"Kau tidak usah heran," kata Andika setelah
Raras mengatakan akan hal itu. "Karena, memang aku
yang mengatakannya. Eh! Kalau kau tidak suka, kau
boleh marah. Lagi pula, aku cuma membohongi Putri
Samudera saja, 'kan?"
Mendengar kata-kata Andika, justru Raras jadi
tertunduk. Entah mengapa, hatinya menjadi teraduk-
aduk tak karuan. Kalau sebelumnya merasa aneh den-
gan ucapan Putri Samudera, justru sekarang ma-lah
tidak enak mendengar kata-kata Andika.
Sementara kini Andika kembali berpikir untuk
meloloskan diri dari Kerajaan Laut Selatan. Makanya
dia tak menghiraukan Raras. Karena pikirnya, Raras
mungkin sedang berpikir apakah harus marah atau ti-
dak.
***
Dan sebelum Pendekar Slebor merangkai jalan
keluar yang sudah didapat dalam pikirannya, tiba-tiba
saja
Busss...!
Segumpal asap tebal menebarkan bau sangat
wangi tercium oleh hidung mereka. Andika terkejut,
cepat dibawanya tubuh Raras melesat keluar.
"Asap pembius!" serunya.
Akan tetapi, belum lagi melewati ambang pintu,
tiba-tiba Pendekar Slebor merasakan sebuah hanta-
man sangat kuat menerpa tubuhnya, hingga terpental
ke belakang. Tubuh Raras yang dipegangnya tadi bagai
ada yang menarik, terlepas dari pegangannya.
"Raras!" seru Pendekar Slebor keras, bersa-
maan lenyapnya tubuh Raras dari pandangan.
Sejenak Andika berusaha mengejar, akan tetapi
asap pembius yang menebarkan bau wangi telah ter-
cium dan terhirup hidungnya. Dia gelagapan beberapa
saat, lalu pingsan.
***
11
Putri Samudera membawa tubuh Raras yang
pingsan ke sebuah ruangan indah dan megah. Letak-
nya kira-kira sepuluh tombak dari tempat Andika
pingsan.
Wanita ini terbahak-bahak ketika membaring-
kan tubuh Raras yang pingsan ke sebuah batu dari
emas.
"Rupanya Pendekar Slebor mengira lebih cerdik
dariku! Tidak akan pernah kubiarkan dia menghalangi
seluruh keinginanku! Hhh! Kini tiba saatnya kuambil
darah suci gadis ini untuk menambah ilmu awet muda
yang kumiliki."
Setelah meletakkan tubuh Raras di atas batu
emas, Putri Samudera mengambil sikap bersemadi. Dia
terdiam beberapa saat. Seluruh inderanya ditutup.
Dan pusat sukmanya ditujukan pada satu titik. Hanya
sesaat.
Tiba-tiba wanita itu membuka matanya. Sorot-
nya sangat tajam, bak mata seekor serigala lapar. Bi-
birnya menyeringai mengerikan. Dia mendesis bagai
ular.
"Eyang Dewi.... Pesanmu yang pertama akan
kulaksanakan sekarang!"
Mendadak saja Putri Samudera mengulapkan
kedua tangannya ke atas. Seketika, muncul asap hi-
tam yang menyelingkupi tubuhnya. Dan perlahan-
lahan, asap itu seperti membentuk dua buah tangan.
Bagai digerakkan tenaga gaib, asap yang men-
jelma menjadi tangan itu bergerak ke arah tubuh Ra-
ras. Mengitarinya berkali-kali, lalu berhenti tepat di
atas anggota tubuh Raras yang paling rahasia.
Perlahan-lahan asap itu menurun, mulai mera-
ba.
Namun mendadak saja....
Wusss...!
Blap!
Asap hitam berbentuk tangan itu sirna, ketika
serangkum angin dahsyat menghantam dengan suara
mengerikan.
"Keparat! Mau cari mampus rupanya!" bentak
Putri Samudera. Suaranya mampu merontokkan jan-
tung.
Wanita ini telah berdiri tegak. Matanya terbela-
lak, melihat sosok Pendekar Slebor dan sosok seorang
laki-laki yang memegang pedang berwarangka penuh
mutiara!
***
"Maaf.... tak kuizinkan kau melakukan hal se-
perti itu...," kata Pendekar Slebor sambil nyengir.
"Pemuda tak tahu diuntung! Mau cari mam-
pus!"
Saat itu, Putri Samudera melesat ke arah Andi-
ka dengan gerakan cepat luar biasa. Gerakannya me-
nimbulkan deru angin menyakitkan.
Dengan serentak Pendekar Slebor mencelat ke
samping. Begitu pula sosok yang memegang pedang
berwarangka mutiara yang tak lain Dewa Pedang.
Bagaimana mungkin Andika yang sedang ping-
san itu tahu-tahu sudah muncul di hadapan Putri Sa-
mudera bersama Dewa Pedang?
Ketika menyatakan keinginannya pada Pangli-
ma Tinggi Mahesa Dewa untuk segera menyusup ma-
suk ke Kerajaan Laut Selatan, Dewa Pedang pun sege-
ra melakukannya.
Dengan ajian bangsa siluman yang pernah di-
pelajarinya, tiba-tiba saja tubuh Dewa Pedang lenyap
dari pandangan Panglima Tinggi Mahesa Dewa.
Dengan keahliannya, guru dari Raras itu perla-
han-lahan masuk ke Kerajaan Laut Selatan. Ajian
'Pandangan Menembus Sukma' yang telah dipancar-
kannya, membuatnya tak banyak menemui kesulitan
untuk menemukan kerajaan itu.
Dewa Pedang pun bisa melihat sosok Pendekar
Slebor yang pingsan. Hatinya pun tercekat saat melihat
Raras tengah dibawa Putri Samudera ke sebuah ka-
mar.
Namun tidak mudah bagi Dewa Pedang untuk
menyelamatkan mereka. Karena saat itu juga bermun-
culan belasan manusia bersisik dengan kepala berbentuk ikan.
Melihat keadaan mereka, Dewa Pedang terbela-
lak. Namun dia tidak bisa terus menerus terbelenggu
oleh keterkejutannya. Karena belasan manusia ikan itu
telah menyerangnya.
Lewat pertarungan sengit belasan makhluk
aneh itu satu persatu berhasil dilumpuhkan. Apalagi
setelah Dewa Pedang mencabut pedangnya yang me-
mancarkan sinar warna putih. Saat itu juga para ma-
nusia ikan yang merupakan para prajurit Kerajaan
Laut Selatan berjatuhan.
Tak ada darah yang keluar. Tak ada mayat
yang mengapung. Karena begitu terkena sabetan pe-
dang Dewa Pedang, tubuh mereka lenyap begitu saja.
Sebentar kemudian Dewa Pedang berusaha
menyelamatkan diri dari pengaruh asap beracun den-
gan hawa murni yang dimilikinya. Dan dengan gerakan
sangat cepat, Dewa Pedang menotok lutut, paha, dan
bahu Andika. Lalu menghentakkan kedua tangan si
pemuda ke atas.
Perlahan-lahan terlihat asap keluar dari mulut
dan hidung Andika. Dewa Pedang mendesah panjang,
dan membuatnya semakin bersemangat setelah tahu
asap pembius itu sudah menghilang.
Sekarang tinggal menyadarkan Andika. Dengan
dua kali totokan di urat leher, Andika perlahan-lahan
siuman dan mengeluarkan keluhan pendek
Pendekar Slebor terperanjat begitu melihat so-
sok asing di hadapannya. Namun setelah Dewa Pedang
menjelaskannya, Andika cepat mengerti.
Mereka lantas berkelebat ke kamar yang dilihat
Dewa Pedang dengan batinnya. Begitu tiba, dengan ha-
ti geram Andika segera menerjang sambil mengebutkan
kain pusaka warisan Ki Saptacakra, ke asap hitam
yang menjelma menjadi tangan yang sedang meraba
bagian terlarang Raras.
***
"Kalian tak akan pernah bisa keluar dari sini!"
desis Putri Samudera.
Wanita ini terus menyerang dengan gempuran-
gempuran berbahaya. Suara ledakan terdengar begitu
serangannya dilepaskan.
Bukan hanya Andika yang kewalahan mengha-
dapi gempuran maut itu. Dewa Pedang pun mengalami
kesulitan luar biasa. Keduanya mengerahkan segenap
kemampuan, namun tetap saja Putri Samudera terus
menggebrak.
Dalam keadaan yang sangat gawat, tiba-tiba sa-
ja.
"Putri Samudera! Tahan seranganmu itu! Ada
yang perlu kita bicarakan!" teriak Dewa Pedang.
"Kakek tua renta! Tak ada waktu untuk berbi-
cara! Sekarang saatnya bagimu untuk mampus?"
Tanpa peduli lagi, Putri Samudera menerjang
Dewa Pedang. Maka sebisanya lelaki ini bertahan den-
gan jurus-jurus pedangnya. Namun itu semua tak
membawa arti. Karena tiba-tiba saja dengan gerakan
sangat sulit diikuti mata, kaki Putri Samudera sudah
menerobos ke perutnya.
Diegkh!
"Aakh...!"
Dewa Pedang memekik dengan tubuh terjajar.
Tanpa memberi kesempatan, Putri Samudera kembali
melepas tendangan. Untungnya, Dewa Pedang cepat
mengibaskan senjatanya.
Trang!
Satu keanehan terjadi. Karena suara keras
yang ditimbulkan bagai hantaman dua bilah pedang.
Seolah, kaki Putri Samudera terbuat dari logam saja.
Bahkan memiliki tenaga lebih kuat.
Tangan Dewa Pedang sampai bergetar. Tubuh-
nya terhuyung ke belakang. Bersamaan dengan itu,
kaki Putri Samudera melayang kembali, siap mengha-
bisi. Sementara Dewa Pedang sepertinya tak mampu
lagi bertahan.
Di saat yang gawat, Andika melesat cepat. Diki-
rimkannya jotosan tangan yang telah dialiri ajian
'Guntur Selaksa'.
Duaarrr...!
Hantaman itu tepat mengenai kaki Putri Samu-
dera. Namun di luar dugaan, justru tubuh Andika yang
terjajar ke belakang. Sementara bagai tak merasakan
sakit, Putri Samudera terus menerjang ke arah Dewa
Pedang.
Memang, karena jotosan Andika barusan, tena-
ga kaki Putri Samudera yang siap menghantam Dewa
Pedang tak lagi terlalu kuat. Akan tetapi bila Dewa Pe-
dang terhantam, jelas akan merasakan sakit luar bi-
asa.
Andika yang terjajar ke belakang menyadari ka-
lau Dewa Pedang tetap tak akan mampu menghindar.
Maka dengan gerakan sangat cepat kembali diterjang-
nya Putri Samudera.
Tangan Pendekar Slebor sudah mengebutkan
kain bercorak caturnya. Suara dengungan bagai ri-
buan tawon mengudara di ruangan itu.
Sret...!
Kain bercorak catur itu melilit kaki Putri Sa-
mudera. Dan Pendekar Slebor segera mencoba menariknya.
Betapa geramnya Putri Samudera menyadari
hal itu. Segera tenaganya dikerahkan untuk menying-
kirkan kain bercorak catur yang melilit kakinya. Teta-
pi, sangat sulit dilakukannya. Apalagi saat itu, Andika
sudah memadukan tenaga 'inti petir', ajian 'Guntur Se-
laksa' dan ajian 'Tapa Geni', sebuah ajian bangsa silu-
man yang dimilikinya. Secepat kilat si pemuda menarik
kaki Putri Samudera hingga bagai tersentak.
***
12
Tepat ketika tubuh Putri Samudera tersentak
ke arahnya, Andika menggerakkan kakinya.
Wuutt!
Dalam keadaan seperti itu, Putri Samudera ma-
sih menunjukkan kehebatannya. Laksana kilat tan-
gannya mengibas ke arah kaki Andika.
Dess!
Benturan tangan dan kaki itu terjadi. Akibat-
nya, justru Andika yang terpelanting ke belakang. Pe-
gangannya pada kain bercorak caturnya pun terlepas.
Putri Samudera melihat kesempatan untuk
membebaskan diri. Segera dia berusaha melepaskan
kain pusaka milik Pendekar Slebor yang melilit ka-
kinya. Tetapi Dewa Pedang yang melihat kesempatan
yang sangat sukar dicari segera melesat. Disambarnya
kain bercorak catur.
Dalam keadaan hendak melepaskan kain berco-
rak catur dari kakinya, mau tak mau tenaga Putri Sa-
mudera, tak terpusat lagi. Makanya ketika Dewa Pedang menyentakkan kain bercorak catur itu, tubuhnya
pun terbawa.
Bersamaan dengan itu tangan kiri lelaki ini
mengibaskan pedangnya yang memancarkan sinar pu-
tih.
***
Wuutt!
Putri Samudera segera membuang tubuhnya
rata dengan lantai. Kibasan pedang itu memang lolos
dari sasarannya. Namun tendangan yang dilancarkan
Dewa Pedang telak mengenai dadanya.
Dess...!
"Augkh...!" keluh Putri Samudera.
Sementara Andika meskipun merasakan selu-
ruh tulang-belulangnya seperti patah, sudah masuk
kembali dalam pertarungan. Karena dia yakin, seben-
tar lagi Dewa Pedang tak akan mampu mengendalikan
kain bercorak catur yang dimilikinya.
"Lepaskan kain pusaka itu, Dewa Pedang! Kau
hajar terus dengan pedangmu!" seru Pendekar Slebor.
Dewa Pedang pun cepat melakukannya, Andika
segera menyambar kain bercorak catur, lalu bergerak
setengah lingkaran hingga tubuh Putri Samudera ter-
pelanting mengikuti arah gerakannya. Bersamaan den-
gan itu, Dewa Pedang berkelebat dengan jurus-jurus
pedangnya yang dahsyat
Putri Samudera seakan tak mampu lagi meng-
halangi setiap serangan.
"Bunuh aku! Bunuh!" teriak Putri Samudera.
Sementara itu Andika telah berhasil melilit se-
belah kaki Putri Samudera yang satu lagi, dan menja-
dikan satu. Seluruh tenaga 'inti petir' yang masih di
padu ajian 'Guntur Selaksa' dan ajian bangsa siluman
'Tapa Geni' segera dikerahkan. Kini dengan mudahnya,
ujung pedang tajam Dewa Pedang telah menempel di
leher Putri Samudera.
"Dengar penjelasanku sekarang, Putri Samude-
ra," desis Dewa Pedang sambil menghapus keringat.
"Kalian akan menyesal bila tak segera membu-
nuhku!" bentak Putri Samudera.
"Dengar ucapanku!" balas Dewa Pedang dah-
syat.
Putri Samudera tercekat. Dan dengan wajah di-
tekuk yang memancarkan kegeramannya, wanita ini
terdiam.
"Putri Samudera! Keinginanmu untuk membu-
nuh Sultan Mangkunegoro telah menimbulkan petaka
yang tak terkirakan! Sebaiknya kau urungkan niatmu
itu!" lanjut Dewa Pedang.
"Tidak! Manusia keparat itu harus kubunuh!
Dia telah menyia-nyiakan ibu dan diriku! Apakah aku
harus membiarkan dia hidup senang selama-
lamanya?" tolak Putri Samudera dengan mata melotot.
"Tidak tahukah kau kalau Sultan Mangkunego-
ro setelah berhasil menumpas gerombolan pemberon-
tak bermaksud mencari ibumu yang sedang mengan-
dung mu? Dia adalah orang yang bertanggung jawab!
Meskipun nampaknya masa lalunya digores kenangan
buruk! Akan tetapi, dia bukanlah orang yang tidak ber-
tanggung jawab! Sepanjang hidupnya, dia selalu me-
mikirkan ibumu yang sedang mengandung dirimu, Pu-
tri Samudera!" jelas Dewa Pedang.
"Persetan dengan bualan mu itu, Orang Tua!
Bunuh aku sekarang. Kalau tidak, kau akan menyes-
al!"
Dengan keenceran otaknya, Andika jadi men
gerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Putri Samudera! Tak pernah kujumpai seorang
tokoh sepertimu! Kau hendak membunuh ayah kan-
dungmu sendiri, yang tanpa kau ketahui begitu bersu-
sah payah mencarimu. Bahkan begitu penuh kasih
sayang ingin melihatmu dan ibumu! Apakah kau ma-
sih akan melakukan tindakan bodoh seperti itu?" tim-
pal Andika.
"Ini semua gara-gara tindakan lancang mu,
Pendekar Slebor! Kau tak akan pernah kuampuni!"
maki Putri Samudera.
"Seorang anak yang tak mengakui orang tua-
nya, terlebih-lebih lagi hendak membunuhnya, tak
akan pernah tenang selama hidupnya!" kata Andika la-
gi.
"Justru aku akan merasa senang bila melihat
dia mampus! Juga kau, Pemuda Keparat!"
"Monyet pitak! Rupanya otakmu mesti dikuras
dulu...,"
Sebelum ada yang bersuara lagi.
"Apa yang dikatakan Pendekar Slebor dan Dewa
Pedang memang benar, Putri Samudera."
Mendadak terdengar sebuah suara lembut,
membuat Putri Samudera tercekat.
"Eyang Dewi!" seru Putri Samudera. "Tetapi aku
berkeinginan untuk tetap membunuh manusia keparat
yang bernama Mangkunegoro!"
"Seperti yang kau ketahui, aku tak pernah ber-
pihak pada siapa pun. Juga kau, Putri Samudera. Se-
lama ini, aku tak pernah memberimu perintah. Aku
hanya memberi saran. Dan saat ini aku sarankan tu-
rutilah kata-kata Pendekar Slebor."
"Tidak, Eyang Dewi! Aku akan membunuh ma-
nusia keparat itu! Bantulah aku, Eyang Dewi! Bunuh
lah kedua manusia ini!"
"Untuk membunuh keduanya, semudah mem-
balikkan telapak tangan! Tetapi sekali lagi, aku tak
pernah berpihak pada siapa pun. Itulah sebabnya, ku
larang seluruh anak buahku untuk campur tangan da-
lam urusan ini! Dan tiga belas anak buahku yang di-
hancurkan Dewa Pedang, kini sudah kuhidupkan
kembali. Kini, semua menjadi urusanmu, Putri Samu-
dera! Kau sudah cukup dewasa untuk menimbang,
mana yang baik dan mana yang buruk...!"
Tiba-tiba saja tempat itu menjadi gelap gulita.
Dewa Pedang yang sudah mengerahkan ajian
'Pandangan Menembus Sukma'nya pun tak mampu
menembus kegelapan itu. Perasaannya menjadi kalut
ketika teringat Raras yang terbujur tak berdaya. Dia
bermaksud menemukannya, namun seluruh anggota
tubuhnya tak mampu lagi digerakkan.
Andika pun merasa tangannya tiba-tiba mele-
mah. Meskipun dia yakin kalau lilitan kain pusaka wa-
risan Ki Saptacakra pada kedua kaki Putri Samudera
terlepas, namun tak mampu untuk melilitkannya
kembali.
Sedangkan Putri Samudera sendiri bagai mera-
sa terbebas dari ikatan kain bercorak catur itu. Akan
tetapi, ketika hendak mengirimkan serangan pada ke-
dua lawan yang telah mengaduk-aduk perasaan-nya,
tangannya terasa lemah sekali. Bahkan tak mampu
berbuat apa-apa!
Selagi ketiganya berada dalam kebingungan
yang luar biasa, mendadak saja tempat di sekitar me-
reka menjadi terang kembali
***
Namun rasa terkejut ketiganya semakin menja-
di-jadi, karena kini mereka tak lagi melihat dinding-
dinding emas dan tempat yang sudah porak-poranda.
Melainkan, pepohonan hijau, angin semilir, sinar ma-
tahari dan bukit.
"Astaga! Bukankah ini kediamanku sendiri?
Bukit Pedang! Luar biasa! Sangat luar biasa sekali!
Rupanya Eyang Dewi Samudera mengirim kita ke sini!"
desah Dewa Pedang, memecah kesunyian bernada ke-
kaguman.
"Edan! Ilmunya sangat tinggi!" puji Pendekar
Slebor sambil menghirup udara senja yang segar. Dan
Dewa Pedang langsung memeriksa keadaan
Raras yang tahu-tahu ada di sebelahnya masih
dalam keadaan pingsan.
Dan mendadak keduanya mendengar isakan
dari sebelah. Tampak Putri Samudera sedang menan-
gis sambil menundukkan kepalanya.
Pendekar Slebor dan Dewa Pedang saling ber-
pandangan dan sama-sama mengangkat bahu. Mereka
membiarkan Putri Samudera menangis. Baru setelah
beberapa saat, Pendekar Slebor mendekat
"Rupanya, Eyang Dewi Samudera mengizinkan
kau untuk meneruskan dendammu pada Sultan
Mangkunegoro, Putri," kata Pendekar Slebor.
Putri Samudera tak menghiraukan kata-kata
Andika. Dia masih sesenggukan dengan hati pilu. Di
lubuk sanubarinya yang paling dalam, dia sangat me-
rindukan belaian kasih sayang orang tuanya. Kendati
tak mungkin lagi mendapatkan belai kasih sayang seo-
rang ibu, tetapi dari seorang ayah pun masih mungkin
didapatkannya.
Kesempatan itu dipergunakan Andika sebaik-
baiknya.
"Putri Samudera.... Bila kau memang ingin
membalas sakit hatimu pada Sultan Mangkunegoro,
maka kau akan berhadapan denganku lagi..."
Putri Samudera tak berkata apa-apa. Dia masih
terisak. Namun tiba-tiba....
Wuusss...!
Saat itu meluruk sebuah angin dahsyat ke arah
Putri Samudera. Andika yang berdiri tak jauh darinya
segera melesat. Disambarnya tubuh Putri Samudera
yang bagaikan kehilangan seluruh semangatnya. Bah-
kan tak berkeinginan untuk mengelak.
Wanita ini teramat sedih ketika menyadari
Eyang Dewi Samudera tak berpihak padanya. Dan
lambat laun kesadarannya muncul bersamaan rasa
rindu akan belaian seorang ayah yang kerap kali
membayangi setiap tidurnya. Namun, semua itu harus
ditepis karena sejuta dendam masih menggayut ha-
tinya.
Blarrr...!
Angin dahsyat yang meluruk tadi menghantam
tanah tempat Putri Samudera tadi berdiri, hingga
membentuk lubang cukup besar. Sementara Andika
sudah hinggap kembali di tanah dengan ringan. Se-
mentara Putri Samudera yang berada dalam rang-
kulannya menatap ke satu tempat. Kosong.
"Hhh! Lepaskan gadis keparat itu! Dia harus
membayar seluruh nyawa yang telah dirampasnya!"
Terdengar bentakan bersamaan munculnya Ki
Patih Darmomulyo dan Empu Karniaga. Ki Patih Dar-
momulyolah yang membentak tadi.
"Tahan!" desis Andika. "Semuanya sudah sele-
sai. Putri Samudera sudah menyadari kesalahannya."
"Kau betul, Anak Muda!" kata Empu Karniaga
tetap dengan sikap bijaksana.
Lelaki tua ini lantas mendatangi Putri Samude-
ra,
"Putri Samudera..., ah! Julukanmu itu sangat
mengerikan. Tetapi aku tidak tahu, siapa namamu
yang asli. Perlu kau ketahui, semuanya ini hanyalah
salah paham yang berbalur dendam terpendam yang
dibiarkan membesar. Pada dasarnya, di dalam kehidu-
pan ini selalu saja ada dendam. Akan tetapi, bila
mempergunakan otak dingin, dendam itu akan lenyap
dengan sendirinya."
"Kau benar, Empu!"
***
Semua berbalik ke arah datangnya suara tadi
Tampak Sultan Mangkunegoro, Permaisuri Sri Dewi
Rajasi dan Panglima Tinggi Mahesa Dewa tergopoh-
gopoh menghampiri.
Dengan penuh kasih Sultan Mangkunegoro
mendekati Putri Samudera. Wanita ini terbelalak, ma-
sih memancarkan dendam. Akan tetapi hanya sesaat
itu terjadi, karena selebihnya kepalanya menunduk.
"Putri Samudera...," sebut Sultan Mangkunego-
ro mendesah. "Kau cantik sekali. Seperti ibumu. Maaf-
kan ayahmu yang telah menyia-nyiakan dirimu, Nak.
Tetapi perlu kau ketahui, selama puluhan tahun ini
aku selalu mencarimu. Selalu berusaha menemukan-
mu. Namun, pertemuan kita tak pernah terjadi. Dan
ketika bertemu, dalam keadaan yang kurang menye-
nangkan. Maafkan aku..."
Perlahan-lahan Putri Samudera mengangkat
kepalanya. Sinar dendam kini mulai menghilang. Di
dasar hatinya yang terdalam, ingin sekali dirangkulnya
Sultan Mangkunegoro. Namun, hatinya masih ragu.
Sulit dibayangkan, bagaimana penderitaan ibu-nya du-
lu.
"Anakku," kata Sultan Mangkunegoro lagi. Se-
mentara itu Ratu Sri Dewi Rajasi hanya menahan na-
pas saja. Biar bagaimanapun juga, dia mulai bisa me-
nerima kehadiran Putri Samudera yang ternyata anak
suaminya sendiri.
"Bila kau memang ingin membalas dendam atas
sakit hatimu dan membalas sakit hati ibumu, lakukan-
lah. Aku rela menerimanya. Karena memang kuakui,
itu semua kesalahanku."
Putri Samudera tak melakukan gerakan apa-
apa, kecuali nafasnya yang bagai tertahan.
"Berkatalah, Anakku.... Jangan siksa aku den-
gan kediamanmu seperti itu."
"Ayah...," desah Putri Samudera, bergetar.
Wajah Sultan Mangkunegoro cerah.
"Oh, Gusti Yang Maha Kuasa! Ternyata Kau ka-
bulkan juga permohonan ku...."
Perlahan-lahan Sultan Mangkunegoro melang-
kah mendekati Putri Samudera. Dipegangnya kedua
tangan gadis itu.
"Kau mau memaafkan segala perbuatanku ini,
Anakku?"
Kepala Putri Samudera mengangguk perlahan.
Dan tiba-tiba saja tubuhnya dijatuhkan di pelukan
Sultan Mangkunegoro, lelaki cukup tua itu meneri-
manya dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan segala tindakanku yang keji, Ayah.
Aku telah banyak membunuh manusia yang tak ber-
dosa."
"Lupakanlah semuanya, Anakku"
Yang hadir di sana berusaha menahan haru.
Tak terkecuali, Pendekar Slebor yang paling tidak suka
melihat keadaan seperti ini. Untuk menutupi rasa ha-
runya pula dia berpaling.
"Kayak lakon ketoprak saja!"
Dewa Pedang langsung menjitak kepalanya.
Tak!
"Jangan sembarangan omong."
"Busyet! Usil amat sih kau ini?" dengus Andika
sambil mengusap-usap kepalanya. Dewa Pedang melo-
tot,
"Marilah kita pulang. Kita bangun kembali Ke-
sultanan Laut Selatan, Anakku."
Terdengar lagi suara Sultan Mangkunegoro.
Dan Putri Samudera hanya mengangguk.
"Sekarang, jabatlah tangan ibumu ini...," kata
Sri Dewi Rajasi tersenyum dan mengulurkan tangan-
nya.
Rasa haru yang dialami oleh Putri Samudera
semakin membesar. Bagaimana tidak? Dia yang sela-
ma ini merindukan belaian kasih sayang kedua orang-
tuanya, tahu-tahu mendengar kata-kata tulus dari
Permaisuri Sri Dewi Rajasi
Putri Samudera segera melepaskan rangkulan-
nya pada Sultan Mangkunegoro. Dia bukan hanya
mencium tangan Permaisuri Sri Dewi Rajasi, melain-
kan juga menyembah dan merangkulnya sambil teri-
sak.
"Ibu...," desahnya.
Permaisuri Sri Dewi Rajasi dengan penuh ke-
ibuan merangkul Putri Samudera.
"Tak usah menangis. Semuanya sudah berak-
hir," ujar Permaisuri Sri Dewi Rajasi.
"Maafkan aku, Ibu….."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Yang terjadi,
biarlah terjadi dan berlalu. Dengar kata-kata ayahmu
tadi, Anakku. Kita kembali ke Kesultanan Laut Sela-
tan. Dan kau hidup bersama kami sampai akhir
hayat."
Semuanya memang sudah berakhir. Sultan
Mangkunegoro segera berpaling pada yang lainnya.
Namun dia sudah tak melihat Pendekar Slebor lagi.
"Ke mana Pendekar Slebor?" tanyanya.
"Dia sudah pergi, Yang Agung. Tapi, dia sempat
menitip pesan"
Dewa Pedang yang menyahut
"Apa pesannya?" tanya Sultan Mangkunegoro.
"Katanya, Yang Agung dimohon siap-siap untuk
menjadi mertuanya...," jelas Dewa Pedang.
"Dia berkata begitu?" kejar Sultan Mangkune-
goro, gembira karena akan bermantukan seorang pen-
dekar besar.
"Jangan berpegang dengan kata-katanya, Yang
Agung! Julukannya saja Pendekar Slebor. Bisa-bisa
kata-kata hanya bagian dari kesleborannya!" kata De-
wa Pedang.
Dan Sultan Mangkunegoro hanya tersenyum
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Entah, apa arti
senyumannya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar