..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 31 Januari 2025

NAGA GENI EPISODE MUNCULNYA PENDEKAR BAYANGAN

Munculnya Pendekar Bayangan

 

SATU

BERBARENG munculnya warna semburat merah 
pada langit di ambang timur, sang purnama di ufuk 
barat telah separo tenggelam ke cakrawala. Kunang-
kunang pada berterbangan pulang ke sarangnya 
setelah semalaman menyuluhi tempat-tempat gelap 
dengan lentera-lentera pada perutnya.
Gunung Muria yang tegak perkasa itu menyaksikan 
betapa sisa-sisa sinar purnama malam makin surut 
dan tenggelam di kaki langit barat. Tetapi seandainya 
ia bisa berkata-kata, pastilah ia akan menggertak 
terhadap tiga bayangan manusia yang saling berkeja-
ran di kaki bukitnya sebelah selatan. Namun ternyata 
ia tetap membiarkan ketiga manusia yang saling berke-
jaran tadi. Mungkin iapun menaruh kagum dan heran, 
mengapa di saat-saat pagi buta ini, mereka saling 
berkejaran. Memang saat begini adalah enak-enaknya 
orang menikmati sisa-sisa tidurnya, berselimut rapat-
rapat menahan kedinginan yang merasuk ke tulang 
sumsum.
Ketiga manusia yang berkejaran itu mempunyai 
gerak yang lincah, tak ubahnya tiga ekor burung 
sikatan menerobos kerimbunan semak dan kelebatan 
hutan serta berloncatan dari batu ke batu. Bila mereka 
melewati semak-belukar yang tidak begitu tinggi, 
ketiganya cukup dengan melompat dan melewati 
semak-semak tadi. Dengan begitu ketiganya seolah-
olah terbang di udara untuk beberapa saat.
Yang berlari paling belakang, mengenakan sebuah 
topeng berwajah hantu. Ia tidak lain adalah Ki Topeng 
Reges! Sambil berlari mengejar kedua orang yang 
berada di depannya, Ki Topeng Reges berkali-kali

mengutuk dan bergerundalan.
“Setan mana yang telah mengajari mereka berlari 
secepat itu?! Tetapi biarpun mereka seandainya berlari 
dengan aji Sapi Angin, jangan harap dapat lolos dari 
tangan Ki Topeng Reges!”
Mahesa Wulung serta Ki Camar Seta yang dikejar 
oleh Ki Topeng Reges, berlari dengan cepat. Mereka 
berpikir, bahwa semakin menjauh dari rumah yang 
mereka tinggalkan dan berisi prajurit-prajurit yang 
terluka parah, hati mereka menjadi ayem seketika. 
Keduanya kini merasa tenteram, sebab dengan 
menjauhi rumah itu, mereka akan menjadi lebih 
leluasa untuk bertempur melawan Ki Topeng Reges, 
serta tidak akan membuat panik prajurit-prajurit yang 
tengah terbaring dengan luka-luka.
Begitulah, ketiganya saling berkejaran dan kadang-
kadang mereka berhenti sejenak untuk bertempur. Ke-
mudian merekapun berkejaran kembali seperti semula.
Namun, setiap kali mereka bertempur, Ki Camar 
Seta dan Mahesa Wulung menjadi tergetar hatinya. 
Keduanya merasakan, senjata Ki Topeng Reges yang 
bernama Kiai Brahmasakti dengan nyala membara 
membentur pedang-pedang mereka. Begitu memben-
tur, terasalah bahwa tangan-tangan mereka menjadi 
nyeri dirayapi oleh bara api.
Dasar ketiganya adalah pendekar jagoan yang 
berilmu tinggi, sambil berkejaran itu Ki Topeng Reges 
sekali-sekali berhenti, bila dilihatnya Mahesa Wulung 
dan Ki Camar Seta berhenti sejenak untuk mengatur 
nafas.
Ia berpendapat untuk tidak lekas-lekas membunuh 
mereka. Biarlah keduanya menderita kelelahan lebih 
dahulu serta tersiksa. Toh akhirnya kedua musuh itu 
akan dapat ditangkapnya.

Dada Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta sedikit 
demi sedikit terasa panas, sebab jarak yang mereka 
tempuh dalam berkejaran dengan Ki Topeng Reges 
telah kelewat jauh. Betapapun kedua orang ini ter-
bilang jagoan, akhirnya segi jasmaniah terpengaruhi 
pula. Itulah sebabnya bila mereka berhenti, keduanya 
segera mengatur nafas serta menghirup udara pagi 
yang sejuk sebanyak-banyaknya agar mengalir dan 
membersihkan ke dalam rongga dadanya. Dengan 
begitu paru-paru mereka selalu dapat dialiri udara 
segar dan ini cukup baik untuk mengatasi rasa perasa-
an sesak yang timbul.
Arah mereka menjadi berubah, karena kalau terus 
berlarian ke arah utara, berarti mereka akan mende-
kati kaki Gunung Muria, yang tentunya kurang 
menguntungkan dipakai sebagai medan berlari dan 
kejar-mengejar. Oleh sebab itu mereka membelok ke 
arah barat. Dengan begitu ketiganya tetap menempuh 
daerah perbukitan yang tidak terlalu terjal dan ber-
jurang-jurang kelewat banyak.
Tetapi ketika mereka menginjak perbukitan di sebe-
lah barat daya, sepasang mata yang setajam pedang 
mengawasi mereka dari balik dedaunan semak belu-
kar. Mata yang sedemikian tajam tadi menatap mereka 
terus-menerus tanpa berkedip, dan menjadi lebih 
tajam lagi bila ketiga manusia yang berkejaran tadi 
berlari ke arahnya.
Tiba-tiba semak belukar tadi terkuak dan dua 
tangan yang berjari-jari kekar menyibakkan daun-
daun serta muncullah kemudian seorang yang bertu-
buh kekar agak kekurusan mengenakan pakaian serba 
putih. Kain latar putih, celana dan baju berwarna abu-
abu dan yang aneh, ia mengenakan kain ikat kepala 
yang menyelubungi seluruh kepala dengan warna yang

abu-abu pula.
Kain ikat kepala tadi sekaligus merupakan kedok 
dengan dua lobang bulatan untuk mata, sedang bagian 
muka lainnya tidak tampak sama sekali.
Munculnya orang yang berpakaian serba putih di 
tempat yang sesepi itu memang sangat mengherankan, 
dan orang yang menjumpai pastilah akan mengiranya 
seorang jin atau hantu. Di tangannya tergenggam 
sebuah tongkat kayu.
Orang berpakaian putih itu, dengan tenangnya 
mengawasi ketiga orang yang tengah berkejaran, 
seakan-akan ia tengah menonton pertandingan olah 
raga. Satu perlombaan lari cepat yang benar-benar 
mengagumkan. Dan ia sesaat diam membisu. Tetapi 
begitu ketiga orang itu dilihatnya telah berada di 
sebelah barat, iapun secepat kilat melesat menguntit 
mereka agak jauh di belakang. Begitulah, orang 
berpakaian putih tadi seakan-akan ikut berlomba lari 
dan ia di garis paling belakang. Larinya pun tidak 
kalah hebatnya sampai-sampai daun ilalang yang dile-
watinya seperti tidak bergoyang. Satu pertanda bahwa 
ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat!
“Hmm, telah lama aku mencari cari Mahesa Wu-
lung, dan begitu ketemu sekarang ia tengah bermain 
kejar-kejaran dengan si Topeng Reges!” terdengar 
orang itu berguman sendiri. “Biarlah aku akan 
menguntit mereka di sebelah belakang. Aku ingin 
mengetahui, bagaimanakah akhirnya dengan mereka.”
Kejar-mengejar terus berlangsung dengan serunya. 
Sampai sebegitu jauh, Ki Topeng Reges masih belum 
berusaha untuk membinasakan lawannya. Rupanya ia 
masih membiarkan lawannya untuk lebih banyak 
menghirup udara pagi yang segar. Namun suatu saat 
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta berbalik dan

berhenti dengan tiba-tiba, lalu menyerang dirinya. 
Karuan saja Ki Topeng Reges terperanjat sesaat dan 
kemudian ia cepat-cepat menyongsong serangan lawan 
dengan sabetan-sabetan belati pusakanya yang ber-
nama Kiai Brahmasakti.
Kembali terjadi lingkaran pertempuran yang sengit. 
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta yang dapat me-
mainkan pedangnya dalam jurus-jurus Sigar Maruta 
yang kembar itu dapatlah bergerak berpasangan 
sangat hebat.
Kedua pedang tersebut seolah-olah seperti kitiran 
berpusing dengan mendesau-desau membuat Ki To-
peng Reges kerepotan juga. Untunglah ia menggeng-
gam Kiai Brahmasakti di kedua tangannya. Ditambah 
dengan ilmu Netra Dahananya yang mampu membakar 
lawannya dengan jilatan lidah-lidah api.
Ki Topeng Reges masih tetap tangguh, bahkan 
sedikit demi sedikit ia mendesak kedua lawannya. 
Ketawanya yang bernada seram terdengar bila Mahesa 
Wulung dan Ki Camar Seta terpaksa peringisan akibat 
benturan dengan Kiai Brahmasakti yang dapat menim-
bulkan rasa nyeri serta percikan-percikan bunga api.
Suatu saat Mahesa Wulung berhasil menyapu kaki 
Ki Topeng Reges dengan sabetan pedangnya, sementa-
ra Ki Camar Seta meloncat tinggi sambil mengirimkan 
satu tebasan pedangnya mendatar ke arah kepala si 
wajah hantu.
Serangan beruntun dari kedua pendekar pilihan ini 
tidak boleh disepelekan begitu saja, karena tebasan 
pedang-pedang mereka dilambari tenaga dalam yang 
telah disalurkan lewat pedang-pedang mereka. Maka 
tak heran bila sambaran pedang mereka mendesau 
dengan nyaring menuju ke arah sasarannya.
Jika lawan mereka bukan Ki Topeng Reges, pastilah

akan segera rontok ke tanah tak bernyawa lagi. 
Dengan serangan begitu jangan diharap bisa lolos dari 
kedua mata pedang itu. Namun Ki Topeng Reges 
bukan orang yang mudah gugup atau putus asa dalam 
menghadapi setiap peristiwa. Namanya yang telah 
menghantui Laut Kidul serta daerah lereng timur 
Gunung Muria itu sepadan dengan kedahsyatan ilmu-
nya. Maka begitu ia memperoleh serangan berbareng, 
secepat itu pula ia menjejak tanah serta mental ke 
udara dengan tubuh mendatar sejajar tanah, sehingga 
kedua serangan beruntun tadi hanya sempat menebas 
udara kosong. Untuk ini Mahesa Wulung serta Ki 
Camar Seta terpaksa bergerundalan sendiri, sebab si 
wajah hantu berhasil lolos dari serangan pedang-
pedang mereka.
Kemudian tubuh Ki Topeng Reges meluncur ke 
depan serta jungkir balik dengan manisnya, lalu men-
darat di atas tanah. Dari balik topengnya terdengar 
suara ketawanya yang sember bernada mengejek 
kedua lawannya.
Tiba-tiba satu teriakan nyaring terdengar dan 
jilatan lidah api menyambar ke arah Mahesa Wulung 
dan Ki Camar Seta, membuat kedua pendekar ini ter-
paksa berpikir dua kali. Mereka harus cepat-cepat 
menghindar jikalau tidak ingin terbakar hangus oleh 
ilmu Netra Dahana si wajah hantu.
Maka dengan cepat Mahesa Wulung menjentik 
kepada Ki Camar Seta dan sejurus kemudian kedua-
nya berloncatan meninggalkan Ki Topeng Reges menu-
ju ke arah barat laut. Melihat ini, si wajah bertopeng 
hantu menggeram.
“Keparat! Mereka lari lagi! Hah, biarpun mereka 
akan minggat atau sembunyi di pojok jagat, tangan Ki 
Topeng Reges akan tetap menjangkaunya! Hua, ha, ha,

ha, ha!” Ki Topeng Reges mengakhiri kata-katanya 
kemudian melesat pula ke arah barat laut mencegat 
kedua lawannya, dan kembalilah terjadi kejar-menge-
jar di kaki bukit Gunung Muria.
Tetapi Ki Topeng Reges kali ini sudah mendapat 
suatu ketetapan, bahwa ia akan menyudahi kejar-
mengejar yang telah sekian kali berlangsung tanpa 
berkesudahan.
Begitulah, pendekar berwajah hantu memusatkan 
segala kekuatannya dan sambil berlari itu, ia menggen-
jotkan kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melenting 
ke depan sangat cepat, melebihi cepatnya kedua mu-
suh yang tengah dikejarnya itu.
Seketika Ki Topeng Reges melesat mendahului 
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta, menyebabkan 
kedua pendekar ini terkejut bukan main. Mereka tak 
sadar apa yang terjadi, sebab mereka yakin bahwa Ki 
Topeng Reges masih jauh tertinggal di belakang. Yang 
tampak oleh mereka adalah sebuah bayangan yang 
melesat mencegat arah lari kedua pendekar itu.
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta terkejut bukan 
main ketika bayangan yang mencegat tadi tidak lain 
adalah Ki Topeng Reges. Sepintas lalu mereka merasa 
mati kutu menyaksikan kehebatan si wajah hantu, 
lebih-lebih bila Ki Topeng Reges langsung mengirimkan 
tikaman belati panjangnya ke arah Ki Camar Seta.
Serangan yang tiba-tiba muncul di depannya itu 
membuat pendekar tua ini geragapan seketika. Cepat 
ia menyambut tikaman belati Ki Topeng Reges yang 
sebelah kiri. Namun bersamaan itu pula pendekar 
berwajah hantu ini secepat kilat menyabetkan belati 
kanannya ke arah Ki Camar Seta.
“Aduh!” satu jeritan kecil meloncat dari bibir Ki 
Camar Seta ketika ia merasakan sebuah benda se

panas bara menyayat lengannya.
Pendekar tua ini tak ampun lagi jatuh terpelanting 
diikuti oleh derai ketawa Ki Topeng Reges yang mengu-
mandang di udara sekeliling. “Hua, ha, ha, ha, mam-
pus kowe si caping bejad!”
Melihat Ki Camar Seta terjatuh itu, Mahesa Wulung 
bermaksud menyerang si pendekar hantu, namun ia 
tiba-tiba mendengar seruan Ki Camar Seta, “Cepat, 
Angger! Lari dari sini! Biar aku sendiri yang mengha-
dapi Topeng Reges! Larilah selagi ada kesempatan!”
Ki Camar Seta bangkit serta menyerang kembali 
dengan sabetan pedangnya, hingga Ki Topeng Reges 
terpaksa menunda serangannya, ke arah Mahesa Wu-
lung. Sesaat keduanya telah terlibat dalam pertempu-
ran. Sementara itu Mahesa Wulung dengan hati yang 
berat terpaksa memenuhi permintaan Ki Camar Seta. 
Cepat ia berlari meninggalkan mereka.
Mahesa Wulung merasa bingung hatinya. Ke mana-
kah arah yang harus dituju. Maka ia terus berlari ke 
arah barat laut menurut langkah kakinya, melewati 
jalan-jalan rintisan di sela-sela semak-belukar. 
“Hemm, mungkin kalau arahku tetap, bisa juga tiba di 
Jepara atau Pecangakan.”
Di saat itu pula Ki Topeng Reges menyerang dengan 
ganasnya terhadap Ki Camar Seta yang telah terluka. 
Dalam hati ia merasa jengkel menghadapi pendekar 
tua ini, sebab dendam utamanya tertuju kepada 
Mahesa Wulung, sehingga tidak sepenuhnya pendekar 
tua itu harus dihadapi dengan segenap tenaganya.
Demikianlah dasar Ki Camar Seta sendiri telah 
merasakan luka yang ditimbulkan oleh belati pusaka 
Kiai Brahmasakti di tangan Ki Topeng Reges, maka 
sedikit demi sedikit tubuhnya merasa panas seperti 
disentuh oleh ribuan bara api. Ia yakin kalau dirinya

telah terkena racun jahat dari senjata itu. Akibatnya 
geraknya pun menjadi terpengaruh dan lamban, ke-
sempatan ini digunakan oleh Ki Topeng Reges dengan 
sebaik-baiknya. Dengan sebuah tendangan melayang 
di udara, kaki si pendekar berwajah hantu berhasil 
menggempur pundak Ki Camar Seta. Seketika pende-
kar tua ini kembali jatuh terhempas ke tanah bergu-
lingan sambil merintih.
“Nah, matilah kamu dimakan semut dan binatang 
buas lainnya. Sahabatmu si Mahesa pengecut itu akan 
segera kumampuskan juga!” Ki Topeng Reges berseru 
serta melesat ke arah barat laut mengejar Mahesa 
Wulung. Pendengarannya yang tajam dan mampu 
menangkap segala getaran itu, dengan cepat dapat 
mengetahui arah lari Mahesa Wulung.
Meskipun lawannya telah berlari cukup jauh, Ki 
Topeng Reges tidak kehilangan semangatnya. Perasaan 
dendam yang telah bersarang di dalam relung-relung 
hatinya memaksa dirinya untuk berlari lebih cepat dan 
segera membinasakan Mahesa Wulung. Dalam waktu 
yang pendek, akhirnya terkejar juga Mahesa Wulung 
olehnya dan untuk kedua kalinya ia kembali melenting 
ke depan siap menerkam lawannya.
Tetapi Mahesa Wulung tidak ingin mati secara 
konyol oleh tangan pendekar hantu. Cepat ia memba-
likkan diri begitu didengarnya suara mendesau dari 
arah belakang. Pedang di tangan Mahesa Wulung 
berputaran menyambut terkaman Ki Topeng Reges 
yang meluncur deras seperti rajawali. Kedua tangan-
nya yang menggenggam pusaka Brahmasakti itu 
benar-benar mirip cakar-cakar yang ganas.
Ki Topeng Reges yang tidak mengira akan peruba-
han sikap Mahesa Wulung, ia agak gugup juga. Maka 
ia cepat-cepat menyilangkan kedua belati panjangnya

memapaki sambaran pedang Mahesa Wulung.
Traaang!
Percikan-percikan bunga api berloncatan ketika 
senjata itu beradu dengan serunya, dan untuk ke 
sekian kalinya, Mahesa Wulung merasakan tangannya 
tergetar hebat dan nyeri! Mahesa Wulung cepat-cepat 
menarik pedangnya ke belakang dan selanjutnya 
ditebaskannya mendatar ke arah lawannya. Semua itu 
berjalan dengan cepat secepat orang meremas tomat 
dan tahu-tahu terdengar sebuah sobekan.
Weeek! Baju Ki Topang Reges tersobek dan ujung 
pedang Mahesa Wulung sempat pula menyentuh kulit 
dada Ki Topeng Reges.
Si pendekar berwajah hantu itu menggerung marah 
demi dadanya kena tersentuh pedang Mahesa Wulung. 
Sambil menjerit hebat penuh kemarahan Ki Topeng 
Reges menerjang lawannya dengan gerakan yang tiba-
tiba serta cepat.
Mahesa Wulung cepat menangkis belati kanan pen-
dekar hantu. Dengan begitu sepintas lalu pertahanan 
kanan Mahesa Wulung terluang dan Ki Topeng Reges 
berhasil menerobosnya.
Dess! Belati kiri Ki Topeng Reges berhasil menyayat 
pundak kanannya dan saking terkejutnya, padang di 
tangan Mahesa Wulung tergetar lepas begitu pundak-
nya terasa panas dan sakit. Untunglah ia memakai 
cincin Galuh Punar yang mampu menolak bisa racun 
yang jahat, sehingga luka yang ditimbulkan oleh Kiai 
Brahmasakti tidak akan cepat-cepat menimbulkan 
kematiannya. Namun sekali lagi Mahesa Wulung 
terpekik kecil bila belati kanan Ki Topeng Reges juga 
berhasil menyambar pundak kirinya.
Sengatan pusaka Brahmasakti itu cukup hebat 
pengaruhnya terhadap Mahesa Wulung. Tubuhnya

terjengkang ke tanah dengan rasa yang panas dan 
kesakitan.
Melihat lawannya telah berhasil dirobohkan, Ki 
Topeng Reges tertawa cekakakan saking panas hati-
nya.
“Hua, ha, ha, ha, mampus kowe, Mahesa konyol! 
Dan sekarang setelah kau mencicipi keampuhan Kiai 
Brahmasakti, engkau pun patut pula merasakan 
kehebatan ilmu Netra Dahanaku!” ujar Ki Topeng 
Reges sambil menyelipkan kembali kedua belati pan-
jangnya ke balik baju.
“Hyaaat! Jadi sate, kowe, Mahesa konyol!” teriak Ki 
Topeng Reges sambil merentangkan kedua tangannya 
ke depan dan lidah-lidah api memancar dari bola 
matanya serta menyambar ke arah Mahesa Wulung 
dengan ganas.
Untuk menghindari jilatan lidah-lidah api tadi, 
Mahesa Wulung terpaksa bergulingan di atas tanah 
yang penuh rerumputan dan duri semak. Meskipun 
setiap kali lidah api tadi berhasil dihindari, namun 
diam-diam dalam hati ia merasa kagum tapi juga ngeri. 
Betapa tidak? Segala rerumputan dan semak yang 
kena terjilat oleh lidah-lidah api tadi seketika menjadi 
kuning layu dan kemudian hangus!
Begitulah, memang Ki Topeng Reges tidak ingin 
cepat-cepat membunuh Mahesa Wulung. Ia ingin lebih 
dahulu menyiksa lawannya agar mati dengan cara 
yang perlahan-lahan dan kesakitan. Kalau saja ia ingin 
memusnahkan lawannya, hal itu mudah sekali. Apa-
lagi Mahesa Wulung telah terluka oleh senjatanya, Kiai 
Brahmasakti. Hingga seandainya ia mau membunuh 
Mahesa Wulung, itu semudah jika ia membalik telapak 
tangan.
Pengaruh racun dari luka-luka senjata lawan

berhasil tertahan oleh kekuatan cincin Galuh Punar, 
dan kini Mahesa Wulung hanya merasakan rasa nyeri 
dari luka-luka itu saja. Maka segera dengan sigap 
Mahesa Wulung berdiri kembali dan mengambil sikap. 
Ia mengarahkan segenap kekuatan lahir batinnya dan 
matanya setengah meredup. Tangan kirinya ditekuk ke 
depan dengan sisi telapak tangan lurus ke depan, 
sedang tangan kanannya dilipat ke samping belakang 
dengan teguhnya. Biarpun begitu luka-luka kedua 
lengannya mengganggu pula terhadap semua pengera-
han tenaganya.
Melihat perubahan sikap Mahesa Wulung itu, Ki 
Topeng Reges surut ke belakang dan bersikap pula. 
“Ha, ha, ha, ha. Kau akan melancarkan ilmu pamung-
kasmu? Baik, baik! Aku pun tidak gentar untuk 
menghadapinya. Aku juga punya ilmu pukulan maut 
dari Perguruan Watu Semplok. Nah, Mahesa konyol, 
matilah sekarang kamu!”
Ki Topeng Reges menekuk kedua tangannya di 
depan dada dengan mengepal dan dengan sebatnya 
pula ia menerjang ke depan ke arah Mahesa Wulung 
yang telah bersiaga pula.
Glaaar! Satu letupan dahsyat mengumandang di 
udara pagi, disusul oleh terpentalnya kedua pendekar 
itu ke belakang. Dua pukulan maut yang sama 
hebatnya telah beradu.
Kalau Ki Topeng Reges pada saat itu masih segar 
dan berkekuatan penuh, sebaliknya Mahesa Wulung 
sebelumnya telah terluka oleh senjata Ki Topeng Reges. 
Maka pemusatan ilmunya, Lebur Waja, tersebut tidak-
lah seperti yang diharapkan. Paling-paling ia hanya 
mampu mengerahkan tenaganya separo kurang dan 
akibatnya malah merugikan dirinya sendiri. Begitu ia 
membentur kepalan tangan Ki Topeng Reges, terasalah

bahwa tangannya seperti membentur sebuah tembok 
dinding karang yang tebal. Tubuhnya seketika terpen-
tal ke belakang beberapa langkah untuk kemudian 
jatuh bergulingan di tanah. Tidak hanya itu saja aki-
batnya, malahan tubuhnya terasa lumpuh seperti 
tersedot segala tenaganya oleh pukulan maut Ki 
Topeng Reges.
Setelah melihat lawannya tak berdaya sama sekali, 
Ki Topeng Reges meringis sambil mengelus-elus 
topengnya. “Hmmm, kau lumpuh sekarang! Dan kini 
terimalah kematianmu!”
Ki Topeng Reges segera menerkam ke arah Mahesa 
Wulung yang telah tergeletak lumpuh. Kedua tangan-
nya dibentangkan dan jari-jemarinya siap merobek 
tubuh lawannya.
Mahesa Wulung yang sadar akan bahaya di 
hadapan hidungnya, segera berusaha menghindar. Ia 
yakin bahwa apabila serangan Ki Topeng Reges ini 
berhasil mengenai tubuhnya, pastilah bahwa tubuh 
atau kepalanya akan tembus dan berlubang sedalam 
jari. Tetapi alangkah kagetnya Mahesa Wulung bila 
tubuhnya terasa lemas dan sedikitpun ia tak mampu 
menggeserkan tubuhnya. Satu-satunya jalan ialah 
menghadapi kematiannya yang bakal tiba itu dengan 
hati yang tabah. Ia pasrah kepada Tuhan Yang Maha 
Esa akan segala nasibnya yang akan terjadi.
Pandangan mata Mahesa Wulung sesaat berku-
nang-kunang. Sekilas terbayang wajah Pandan Arum 
yang dicintainya, juga wajah-wajah para sahabatnya 
dan yang terakhir adalah wajah gurunya sendiri, 
Panembahan Tanah Putih dari Asemarang yang 
tersenyum dengan manisnya.
Bertepatan dengan itu, tiba-tiba sebuah bayangan 
putih meluncur dari arah tenggara dengan derasnya

menghadang terkaman Ki Topeng Reges.
Kejadian ini berjalan dengan cepat dan begitu tiba-
tiba. Apa yang dilihat oleh pendekar berwajah hantu 
adalah sesosok tubuh yang memapaki terkamannya 
dengan tendangan dua buah kaki yang mengenakan 
terompah kulit. Ki Topeng Reges merasa mengkal 
dengan sesosok bayangan yang telah begitu lancang 
mengganggu pertempurannya melawan Mahesa 
Wulung. Maka Ki Topeng Regespun tak berusaha 
menarik serangannya agar tendangan itu benar-benar 
menimpa dirinya. Ia cukup mengepalkan jari-jarinya 
yang tadi masih mengembang.
Bruuuk! Dua tenaga yang hebat beradu dan tubuh 
Ki Topeng Reges terpental, mencelat ke belakang 
beberapa tombak jauhnya dengan jungkir balik di 
tengah. Sedang bayangan itu sendiri hanya terdorong 
surut tidak lebih dari lima langkah kaki. Karuan saja 
Ki Topeng Reges buru-buru mengetrapkan ilmu meng-
entengkan tubuh, hingga tubuhnya tidak terlalu keras 
membentur tanah.
Dari balik topengnya terdengar gerundelan Ki 
Topeng Reges, saking kagum terhadap serangan orang 
yang baru muncul ini. Segera ia dapat mengukur sam-
pai di mana tingkat kedahsyatan ilmu orang ini. Kalau 
tendangan kakinya saja telah mampu menggoncang-
kan isi dadanya, betapa lagi kekuatan tangannya 
nanti.
Belum lagi ia selesai mengagumi tenaga lawannya, 
tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh bentuk 
tubuh orang yang berani memapaki serangannya tadi.
Kini berdirilah di hadapan Ki Topeng Reges, seorang 
yang mengenakan pakaian berwarna serba putih. Ke-
pala orang ini seluruhnya berselubung kain ikat kepala
abu-abu dengan dua lobang bulatan untuk mata.

Dengan begitu berhadapanlah di tempat itu dua 
orang pendekar yang masing-masing mengenakan 
kedok. Kalau yang satu berkedok seperti hantu, yang 
seorang lagi hanya berkedok kain belaka.
Mahesa Wulung yang pada saat itu masih meng-
geletak di rumput terpaksa terlongoh-longoh melihat 
adegan yang menarik itu. Pendekar yang baru muncul 
itu, secara tiba-tiba telah menggagalkan serangan 
maut yang dilakukan oleh Ki Topeng Reges guna men-
cabut jiwanya. Dengan demikian terang kalau ia telah 
berhutang budi kepada pendekar yang muncul seperti 
bayangan.
“Keparat! Siapa kamu, ha?!” teriak Ki Topeng Reges 
tajam. “Apa maksudmu turut campur dengan urusan-
ku sendiri?!”
“Heh, heh, he,” orang berkedok abu-abu itu tertawa 
dalam. “Perkenalkan, sobat. Aku adalah Pendekar 
Bayangan. Maaf, kalau aku terpaksa mencampuri 
urusanmu. Aku melihat kau benar-benar berminat 
membunuh pemuda yang tidak berdaya itu.”
“Betul ujarmu itu!” sahut Ki Topeng Reges. “Tapi 
apa salahnya? Bukankah aku telah menang dalam per-
tempuranku? Dan orang yang menang berwewenang 
untuk berbuat apa saja yang disukainya.”
“Termasuk membunuh orang yang sudah tak 
berdaya dan lumpuh misalnya?” tukas Pendekar Baya-
ngan menyindir. “Apakah itu perbuatan yang berjiwa 
ksatria dan jantan?”
“Persetan! Ki Topeng Reges tidak mengenal basa-
basi demikian itu. Apa yang aku anggap baik untuk 
kulakukan, aku kerjakan, dan tak seorang pun yang 
boleh menghalanginya!” ujar Ki Topeng Reges dengan 
seram.
“Dan seandainya aku yang akan mencegah perbu

atanmu yang jahat itu, apakah sobat bersedia meme-
nuhinya?” berkata pula Pendekar Bayangan, hingga 
membuat Ki Topeng Reges benar-benar marah. Dari 
balik topengnya terdengar giginya gemeretak menahan 
kejengkelan hatinya.
“Setan!” teriak Ki Topeng Reges. “Bicaramu mirip 
seorang pendeta. Aku tak butuh ocehanmu di tempat 
ini. Simpanlah untuk dirimu sendiri!” Ki Topeng Reges 
bersiaga, sedang kedua bola matanya menjadi merah. 
“Selagi belum kasep, lekaslah menyingkir dari tempat 
ini. Jangan tunggu sampai aku benar-benar marah!”
“Bagus! Boleh kau tunjukkan kemarahanmu di 
hadapanku ini? Heh, he, heh. Kalau kau marah, 
pastilah wajahmu akan bertambah semakin buruk,” 
ujar si Pendekar Bayangan seraya memperdengarkan 
ketawanya.
“Hehhh, kau boleh ketawa. Tapi aku yakin bahwa 
wajahmu di balik topeng yang putih kumal itu pasti 
menjadi pucat,” terdengar Ki Topeng Reges menyahut.
“Heh, heh, heh, sayang kita sama-sama memakai 
topeng, hingga tak tahu mana yang sebenarnya lebih 
pucat di antara kita!” ujar Pendekar Bayangan. “Nah,
kau akan tunggu apalagi? Kalau boleh kunasehatkan, 
tinggalkan pemuda itu di tempat ini. Dengan begitu tak 
perlu ada permusuhan di antara kita!”
Ki Topeng Reges kedengaran mengkereotkan 
giginya. “Hmm, Topeng Reges tidak kenal arti tawar-
menawar. Kalau pemuda itu telah berhasil aku roboh-
kan, apa lagi dengan kamu?! Paling-paling kau hanya 
setingkat lebih tinggi daripadanya. Kalau ternyata kau 
memiliki ilmu yang dua puluh tingkat di atas pemuda 
itu, apa boleh buat. Mungkin aku terpaksa mengalah!”
“Heh, heh, heh, kalau seandainya aku ternyata 
memiliki dua puluh lima tingkat lebih tinggi dari ilmu

pemuda itu, kau mampu berbuat apa terhadapku, 
Topeng Reges?”
“Dua puluh lima tingkat katamu?!” seru Ki Topeng 
Reges terhenyak mundur. Sebenarnya ia tadi hanya 
beromong kosong saja dengan maksud mempertakuti 
lawannya, sedang dalam hati ia telah mengetahui 
bahwa Mahesa Wulung yang telah berhasil dilumpuh-
kannya itu, ilmunya cukup baik meskipun masih 
berada lima tingkat di bawah ilmunya. Dengan begitu, 
jika Pendekar Bayangan mengatakan ilmunya dua 
puluh lima tingkat di atas Mahesa Wulung dan itu 
benar-benar sesungguhnya, maka berarti si Pendekar 
Bayangan berada dua puluh tingkat di atas ilmunya.
“Sungguh gila!” gumam Ki Topeng Reges lirih. “Dua 
puluh tingkat di atas diriku? Tak percaya, mustahil! 
Tapi biarpun begitu, ia tak akan mampu menandingi 
ilmu Netra Dahanaku!”
Ki Topeng Reges merentang kedua belah tangannya 
ke depan, demikian pula kakinya yang kiri setengah 
melangkah ke depan dengan sikap siaga. “Hai, Pende-
kar Bayangan! Sebelum terlanjur mengadu tenaga me-
lawan Topeng Reges ini, lihatlah ilmu Netra Dahanaku 
yang tak tertandingi.”
Ki Topeng Reges berpaling ke samping sambil 
mengerahkan segenap ilmunya dan sejurus kemudian 
dari bola matanya memancar jilatan lidah api ke arah 
sebuah pohon sukun yang subur buahnya dan ber-
daun lebat.
Pendekar Bayangan terperanjat melihat hal ini. 
Demikian pula Mahesa Wulung yang terbaring di atas 
rumput. Meskipun ia telah berkali-kali menghadapi Ki 
Topeng Reges, namun sekali ini ia betul-betul kaget 
dan ngeri. Agaknya si pendekar hantu itu mengerah-
kan puncak dari ilmu Netra Dahananya. Apa yang

terjadi kemudian sangat hebat. Pohon sukun ini, 
begitu kena jilatan lidah api tersebut, seketika daun-
daunnya menjadi kuning layu, sejurus kemudian me-
ngering. Begitu pula buah-buahnya, seketika beron-
tokan jatuh ke tanah. Mujurlah kalau buahnya ada 
yang cukup tua, mungkin enak juga dimakan, karena 
telah terpanggang oleh hawa panas yang luar biasa. 
Sesudah mengering, daun-daun tadi lalu menjadi 
hangus. Demikian pula batangnya. Semuanya hangus 
dengan mengepulkan asap panas ke atas udara. Satu 
pemandangan yang membikin ngeri hati siapa saja.
Melihat itu semua, Pendekar Bayangan melangkah 
surut dan bersiaga. Ia sadar bahwa Ki Topang Reges 
yang dihadapi ini bukanlah pendekar murahan yang 
boleh dipandang enteng saja.
“Hua, ha, ha, lihatlah akibat ilmu Netra Dahanaku 
tadi. Apakah kamu punya kelebihan ilmu, berani coba-
coba menghalangi sepak terjangku?” seru Ki Topeng 
Reges sambil bertolak pinggang.
“Yah, memang hebat ilmu Netra Dahanamu tadi. Itu 
aku akui. Tapi sayang ilmu itu sering kau gunakan 
untuk melaksanakan pekerjaan jahatmu!” ujar Pende-
kar Bayangan sebagai jawaban yang betul-betul me-
nyentuh bilik-bilik hati Ki Topeng Reges. Namun bilik-
bilik hatinya telah disarangi oleh setan-setan yang 
selalu membisikkan maksud jahatnya. Dan memang-
lah hati Ki Topeng Reges sudah terlalu buntu dan sulit 
untuk menerima dan merasakan sesuatu yang bersifat 
baik dan luhur.
“Kurang ajar! Rupanya kau hanya pandai bicara 
saja. Lekas tunjukkan ilmu simpananmu, kalau tidak 
ingin tubuhmu menjadi dendeng panggang!” Ki Topeng 
Reges berseru sambil mengangkat dagunya sombong. 
Sedang lawannya tampak menggosok-gosokkan ta

ngannya.
“Baiklah, kalau kau ingin melihat ilmuku. Tapi 
harap dimaafkan kalau terlalu buruk dan sederhana!” 
Pendekar Bayangan berkata seraya bersiaga. Satu 
tangan ditekuk di depan dada sedang tangan yang 
kanan ditekuk ke belakang sejajar telinga, dengan jari-
jari mengepal erat.
“Hyaat!” Pendekar Bayangan berseru hebat serta 
menggenjotkan pukulan tangannya ke depan dan 
akibatnya sungguh menggoncangkan dada. Pukulan 
tadi menimbulkan hempasan tenaga dan angin yang 
berdesau ke arah depan dan sebuah gundukan batu 
hitam sebesar anak gajah seketika retak dan ambrol 
dengan mengepulkan asap serta letupan kecil. Tidak 
hanya itu saja, selain batu hitam yang jaraknya tiga 
tombak dari Pendekar Bayangan tadi ambrol, juga 
beberapa semak-belukar terbetot lepas ke akar-
akarnya dari permukaan tanah.
“Hah, Bayu Bajra?!” desis Ki Topeng Reges dengan 
membelalak mundur beberapa langkah saking kaget-
nya. Apa yang baru saja dilihatnya tadi sungguh di 
luar dugaan. Maka ia segera mengambil keputusan 
untuk lebih dulu menyerang. Ki Topeng Reges segera 
bersiaga penuh.
Dengan satu terkaman hebat ia melesat ke arah 
Pendekar Bayangan. Namun begitu kedua tangannya 
hampir serasa menjangkau kepada Pendekar Baya-
ngan, tahu-tahu kepala lawannya berkelit ke samping 
sekaligus mengirimkan satu tendangan sisi telapak 
kaki ke arah punggung Ki Topeng Reges. Dengan jerit 
tertahan si pendekar berwajah hantu ini terhuyung ke 
samping berputaran seperti gasing untuk selanjutnya 
rebah ke tanah. Tetapi Ki Topeng Reges adalah pende-
kar gemblengan yang pilih tanding, begitu ia rebah ke

tanah, begitu pula ia cepat berdiri serta menerkam 
kembali dengan dahsyatnya.
Kedua belah tangan Ki Topeng Reges yang berkuku 
cukup tajam siap merobek tubuh lawannya. Tapi sekali 
lagi ia terperanjat hebat bila tiba-tiba saja kedua belah 
tangannya kena ditangkap oleh Pendekar Bayangan. Ia 
hampir-hampir tak percaya. Mendadak si Pendekar 
Bayangan terasa melambungkan tubuh Ki Topeng 
Reges ke udara sambil diiringi oleh tertawanya yang 
terkekeh-kekeh.
“Heh, heh, heh, heh. Ketanggor kau sekarang, 
topeng burik! Rasakanlah enaknya bertamasya di 
udara!”
Tubuh Ki Topeng Reges yang terhempas ke udara 
itu seketika berjungkir balik dan kemudian menghun-
jam ke tanah. Untunglah bahwa ia cukup cekatan. 
Maka begitu mendekati tanah ia segera menjatuhkan 
kakinya lebih dulu.
Bluk! Ki Topeng Reges mendarat kembali dengan 
manisnya, tapi tak urung iapun terhenyak bila melihat 
kedua kakinya agak melesak ke dalam tanah dengan 
membuat lubang cukup dalam. Padahal ia telah me-
ngerahkan ilmunya mengentengkan tubuh. Maka sa-
darlah dirinya bahwa tenaga penghempasan lawannya 
sangat hebat, dan sejurus kemudian matanya terasa 
berbinar-binar seperti melihat percikan-percikan bin-
tang. Untuk ini, ia cepat-cepat bersemedi mengatur 
nafas dan jalan darahnya.
“Hayo, topeng burik! Lanjutkan permainan kita. Aku 
masih banyak tenaga untuk melayanimu!” terdengar 
Pendekar Bayangan menantang.
“Keparat! Aku terima kalah sekarang. Awas lain 
kali! Aku akan kembali untuk menghajarmu!” teriak Ki 
Topeng Reges sambil sekaligus melancarkan serangan

ilmu Netra Dahananya ke arah Pendekar Bayangan.
Tetapi Pendekar Bayangan ini hanya cukup 
melenting-lenting kesana-kemari menghindari dan 
menelusup di antara celah jilatan-jilatan lidah api, tak 
ubahnya gerak Sang Hanoman dalam cerita Hanoman 
Obong.
Rupanya serangan tadi memang hanya sekadar 
untuk tabir dan maksud Ki Topeng Reges yang sejurus 
kemudian secepat kilat ia telah melesat ke samping 
dan tubuhnya telah lenyap di balik rerimbunan semak 
ilalang. Ki Topeng Reges telah lari dari tempat itu.
“Hmm, si topeng buruk telah lari! Biarlah, yang 
penting aku harus cepat-cepat menolong pemuda ini!” 
gumam Pendekar Bayangan seraya melangkah pelan-
pelan ke arah Mahesa Wulung yang terbaring lumpuh 
di atas rumput.
Mahesa Wulung yang sejak tadi mengawasi tingkah 
dan gerak pendekar berkedok itu, dalam hati ia merasa 
kagum dan penuh tanda tanya. Semua jurus silat yang 
dipergunakan oleh Pendekar Bayangan tadi adalah 
jurus-jurus dari Perguruan Tanah Putih di Asemarang. 
Ah, siapakah dia? Mahesa Wulung bertanya-tanya 
dalam hati.
Sementara itu Pendekar Bayangan yang kini telah 
berdiri di samping tubuh Mahesa Wulung segera ber-
jongkok dengan pelannya. Kemudian ia mengulurkan 
tangannya ke arah lengan Mahesa Wulung.
“Hmm, kau menderita luka beracun, anak muda,” 
ujar pendekar yang berkedok abu-abu itu kepada 
Mahesa Wulung. “Tetapi untung engkau mempunyai 
daya tahan yang luar biasa, Nak. Tubuhmu kebal juga 
terhadap bisa kalajengking biru!”
“Kalajengking biru?!” desis Mahesa Wulung dengan 
kaget, sebab nama kalajengking biru sering ditakuti

orang sebagai binatang kecil yang sanggup membunuh
lawannya dalam waktu yang singkat.
“Tapi kau tak usah takut ataupun cemas, Anak 
Muda,” sahut Pendekar Bayangan. “Aku akan meno-
longmu!”
“Terima kasih sebelumnya, Tuan,” ujar Mahesa Wu-
lung. “Tetapi bolehkah aku bertanya sesuatu, Tuan?”
“Hmm, silakan bertanya,” jawab Pendekar Bayangan 
dengan ramah. “Jika aku bisa menjawabnya, pasti aku 
akan memberikan jawabannya.”
“Siapakah Tuan dan mengapa Tuan telah bersusah 
payah menolongku?” tanya Mahesa Wulung.
“Seperti yang kau ketahui, Anak Muda. Akulah yang 
bernama Pendekar Bayangan. Kalau aku menolongmu 
itu semata-mata memenuhi darma ksatria, yaitu 
menolong setiap makhluk, terutama manusia yang 
sedang ditimpa bahaya,” kata Pendekar Bayangan 
seraya menarik nafas dalam-dalam. “Sebenarnya tidak 
perlu disebutkan dengan darma seorang ksatria, sebab 
manusia umumnya seharusnya mengenal hal itu. 
Menolong orang lain yang kemalangan adalah kewa-
jiban setiap manusia yang berbudi dan berakal. Kita 
hidup di dunia ini tidak hanya sendirian, tapi ber-
sama-sama dengan manusia-manusia dan makhluk 
lainnya. Jadi kita memerlukan tatapergaulan yang baik 
dan luhur.”
Pendekar Bayangan berhenti sejenak dengan kata-
katanya sambil menatap Mahesa Wulung dengan pan-
dangan mata yang bening dan agung, seolah-olah ia 
tengah memeriksa, apakah kata-katanya yang meng-
alir tadi bisa diterima oleh Mahesa Wulung.
“Aku mengerti, Tuan,” ujar Mahesa Wulung seraya 
mengangguk hormat.
“Dan selanjutnya,” ujar Pendekar Bayangan melan

jutkan bicaranya, “tata pergaulan yang baik membu-
tuhkan satu kerja sama antara manusia yang satu 
dengan yang lain. Satu kegotong-royongan yang telah 
dirintis oleh nenek moyang kita.”
Mahesa Wulung masih menunduk tekun mende-
ngarkan kata-kata Pendekar Bayangan yang meresap 
ke dalam sanubarinya. Merasakan kata-kata itu, tiba-
tiba membersit dalam kepala Mahesa Wulung bahwa 
Pendekar Bayangan termasuk berilmu tinggi. Segala 
kata-kata dan silatnya ketika melawan Ki Topeng 
Reges lebih meyakinkan Mahesa Wulung bahwa kini ia 
tengah berhadapan dengan seorang tokoh sakti. Ia me-
lihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Ki Topeng 
Reges yang ganas itu kena terhajar dan terusir oleh 
Pendekar Bayangan.
“Anak muda, aku tadi mendengar bahwa Ki Topeng 
Reges menyebutkan namamu dengan Mahesa Wulung. 
Betulkah engkau yang bergelar pula dengan nama Ba-
rong Makara?” ujar Pendekar Bayangan. “Oh, rupanya 
masih ada yang engkau renungkan, Anak Muda!”
“Maaf, Tuan,” berkata Mahesa Wulung setengah 
geragapan. “Memang sayalah yang bernama Mahesa 
Wulung. Saya masih mengagumi dan heran dengan 
jurus-jurus silat dan tempur yang Tuan pakai tadi.”
“Mengapa dengan jurus-jurus silatku, Mahesa Wu-
lung?” tanya Pendekar Bayangan. “Apakah ada yang 
aneh?”
“Yah, memang aneh, Tuan. Jurus-jurus demikian 
tadi aku kenal sebagai ciri dari Padepokan Tanah Putih 
di Asemarang. Jurus-jurus Tuan tadi banyak menggu-
nakan unsur angin dan tenaga pukulan dalam yang 
terpusat, dan bapak guru pernah mempertunjukkan-
nya kepadaku!” ujar Mahesa Wulung.
“Heh, heh, heh, rupa-rupanya anak muda adalah

murid Panembahan Tanah Putih pula,” sambung Pen-
dekar Bayangan sambil tertawa lirih. “Daya pikirmu 
sungguh tajam, Mahesa Wulung. Tahukah kamu jurus 
pukulan dengan menggunakan tenaga dalam tadi?”
“Tahu, Tuan,” jawab Mahesa Wulung. “Panembahan 
Tanah Putih menyebutnya dengan pukulan Angin Bisu 
dan itu merupakan bagian dari keseluruhan ilmu dah-
syat Bayu Bajra yang pada waktu itu masih diper-
dalam oleh Panembahan Tanah Putih.”
“Nah, itu kau sudah tahu semuanya. Sekarang apa 
yang masih kau herankan lagi, Mahesa Wulung?”
“Persamaan gerak silat yang Tuan pakai itulah yang 
masih aku kurang mengerti. Hal itu setidak-tidaknya 
menunjukkan adanya hubunganmu antara Padepokan 
Tanah Putih dengan diri Tuan.”
“Ah, kau selalu menghubung-hubungkan segala 
sesuatu, Mahesa Wulung. Tapi tak apalah. Aku senang 
dengan sifat-sifatmu itu. Kalau toh ada persamaan 
antara gurumu dengan aku, itu tak menjadi soal 
bagimu dan tentang asal-usulku pun kau tak perlu 
mengetahuinya pula. Itulah sifat-sifat Pendekar Baya-
ngan muncul disana-sini dalam saat-saat kejahatan 
sedang merajalela.” Pendekar Bayangan berhenti seje-
nak. “Dan mulai sekarang, kau tak perlu lagi memu-
singkan tentang diriku, Mahesa Wulung. Mungkin 
suatu ketika kau akan dapat mengenalku lebih dekat 
lagi.”
“Terima kasih, Tuan,” kata Mahesa Wulung.
“Nah, tenanglah. Aku akan mengobati segala luka-
lukamu.” Pendekar Bayangan berkata seraya menarik 
sebuah kantong kecil dari kain putih, dikeluarkan dari 
balik bajunya. “Minumlah obat ini agar rasa sakitmu 
hilang.”
Pendekar Bayangan itu lalu mengulurkan sebuah

butiran berwarna hijau ke mulut Mahesa Wulung yang 
diterima oleh pendekar muda itu dengan senyuman. 
Butiran obat tadi ditelannya sekaligus. Setelah itu ia 
melepaskan baju Mahesa Wulung.
“Kita tunggu sesaat!” ujar Pendekar Bayangan. “Se-
telah badanmu panas, barulah mengeluarkan racun 
dari dalam lukamu.”
Memang benarlah kata Pendekar Bayangan. Tubuh 
Mahesa Wulung dalam waktu sebentar telah berang-
sur-angsur panas serta butiran-butiran peluh menetes 
dari lubang kulit.
Pendekar Bayangan lalu mendudukkan Mahesa 
Wulung dengan hati-hati, setelah itu kedua tangannya 
segera mengurut lengan kanan Mahesa Wulung yang 
terluka oleh belati Kiai Brahmasakti milik Ki Topeng 
Reges.
“Akhhhh!” Mahesa Wulung menjerit kecil bila 
lengannya terasa dijepit dan diurut oleh Pendekar 
Bayangan.
“Maaf, Mahesa Wulung. Tahanlah rasa sakitmu itu,” 
sela Pendekar Bayangan.
“Baik, Tuan,” ujar Mahesa Wulung setengah me-
ringis menahan rasa sakit yang menyengat-nyengat 
seperti sengatan berpuluh-puluh kalajengking.
Sementara itu Pendekar Bayangan mengurut-urut 
lengan Mahesa Wulung ke arah bawah. Dari pangkal 
lengan sampai ke siku.
“Nah, lihatlah lukamu itu, Mahesa Wulung,” ujar 
Pendekar Bayangan. “Racun itu akan segera keluar.”
Mata Mahesa Wulung terbelalak membenarkan per-
kataan Pendekar Bayangan. Dari lukanya itu sejurus 
kemudian menetes darah hitam kental ke atas rumput, 
yang merupakan campuran antara darah dengan 
racun.

Setelah itu, sekali lagi Pendekar Bayangan 
mengurut lengan kiri Mahesa Wulung dan keluarlah 
pula racun dari luka yang kedua. Dengan demikian 
terbebaslah sudah Mahesa Wulung dari racun jahat 
milik Ki Topeng Reges.
“Hmmm, lawanmu tadi memang pendekar gem-
blengan. Untunglah kau cukup memiliki daya tahan 
yang baik, meskipun belum seluruhnya sempurna. 
Itulah sebabnya kau hanya lumpuh saja. Kalau orang 
biasa, pastilah akan remuk tubuhnya dibentur oleh 
tenaga pukulan Perguruan Watu Semplok.”
“Benar, Tuan,” ujar Mahesa Wulung. “Tenagaku 
seolah-olah punah, tak bertulang lagi. Demikian pula 
ilmu silatku serasa lenyap tak berbekas. Untunglah 
Tuan datang menolongku.” Mahesa Wulung berkata 
sambil memandangi tubuh penolongnya, si Pendekar 
Bayangan. Dan ketika Mahesa Wulung memandangi 
mata pendekar itu, hatinya berdesir dengan cepat. 
Mata itu begitu bening, sebening air sumur yang dalam 
serta berputar-putar dasarnya.
Mahesa Wulung menjadi semakin sadar bahwa ia 
berhadapan dengan orang yang berkekuatan batin sa-
ngat tinggi, sebab begitu ia memandang mata Pendekar 
Bayangan itu, ia menjadi seakan-akan ikut berputar 
dan terhisap ke dasarnya serta tenggelam.
“Hmmm, kalau begitu, untuk memulihkan tenaga-
mu yang telah punah tadi kau harus tekun berlatih 
untuk waktu yang cukup lama,” ujar Pendekar 
Bayangan.
“Oooh,” desis Mahesa Wulung dengan perasaan 
hatinya yang pedih. Ia tidak menyangka bahwa 
ilmunya telah larut, akibat benturan melawan tenaga 
Ki Topeng Reges yang berlipat-lipat dahsyatnya. “Tak 
apalah, Tuan. Biarpun aku harus belajar lebih lama

lagi, sampai beruban sekalipun, aku tetap berusaha 
dan aku telah berjanji untuk menghajar Ki Topeng 
Reges. Demikian pula catatan rahasia panah sakti 
Braja Kencar harus aku rebut kembali dari tangan 
Rikma Rembyak.”
“Bagus. Aku menghargai tekadmu yang sekeras gu-
nung karang itu, Mahesa Wulung,” sambut Pendekar 
Bayangan setengah mengangguk-angguk. “Tetapi kau 
harus beristirahat lebih dulu. Marilah kita cari tempat 
yang cukup baik untuk itu. Aku tahu di sekitar ini 
banyak terdapat lobang-lobang dinding batu yang bisa 
kita pakai.”
“Baik, Tuan,” ujar Mahesa Wulung menyetujui. 
“Tapi aku tak dapat....”
“Jangan kuatir, aku akan menolongmu, Nak,” tukas 
Pendekar Bayangan seraya mengulurkan kedua 
tangannya ke arah punggung dan paha Mahesa 
Wulung. “Aku akan memondongmu!”
Dengan enaknya Pendekar Bayangan mengangkat 
serta memondong tubuh Mahesa Wulung di dadanya. 
Untuk kedua kalinya Mahesa Wulung terpaksa me-
narik napas dalam-dalam. Ia menjadi semakin yakin 
bahwa Pendekar Bayangan bukanlah orang yang sem-
barangan. Setidak-tidaknya ia berilmu lebih tinggi 
daripada gurunya, Panembahan Tanah Putih dari 
Asemarang.
Tubuh Mahesa Wulung yang kelewat berat itu 
dengan enak dibawa berlari serta berlompatan dari 
batu ke batu, dan menerobos semak-semak oleh Pen-
dekar Bayangan. Setelah mereka melewati gerumbul-
gerumbul kecil dan rumpun pohon pisang yang banyak 
berserakan di kaki bukit sebelah barat, sampailah 
keduanya pada tebing-tebing batu yang menjulang 
tinggi dan benarlah apa yang dikatakan oleh Pendekar

Bayangan tadi.
Pada permulaan tebing batu terlihat ceruk-ceruk 
akan lobang yang tidak begitu dalam dan buntu, 
cukup baik untuk dipakai tempat bermalam serta 
beristirahat. Malahan pertapa-pertapa, kadangkala 
menggunakan tempat-tempat tadi untuk bersemadi 
dan menyepi.
Setelah tiba di tempat itu, Pendekar Bayangan 
menurunkan tubuh Mahesa Wulung dan meletakkan-
nya di tanah, di dekat lobang dinding batu. Dipilihnya 
salah satu lobang yang terbesar dan dibersihkannya 
sekali. Sambil berbaring Mahesa Wulung tak henti-
hentinya melihat kerja Pendekar Bayangan yang ceka-
tan dan cepat dalam membersihkan tempat itu. Kece-
patan geraknya benar-benar mirip sebuah bayangan.
Sejurus kemudian, tampaklah Pendekar Bayangan 
telah selesai dan mengibas-kibaskan tangannya yang 
penuh oleh debu dan tanah, serta membersihkannya 
pada mata air yang tidak jauh letaknya.
Baju Mahesa Wulung selanjutnya dibentangkan 
olehnya ke atas lantai goa buntu tadi, sebagai alas bagi 
tubuh Mahesa Wulung yang akan dibaringkan. Dengan 
langkah perlahan ia menghampiri Mahesa Wulung.
Mula-mula Mahesa Wulung merasa kurang menger-
ti dengan hal itu, tetapi Pendekar Bayangan yang 
bijaksana ini segera berkata, “Mahesa Wulung, berba-
ringlah dengan baik dan tenang. Aku akan mencoba 
mengurut badanmu. Semoga kelumpuhan tubuhmu 
tidak terlalu berat.”
“Terima kasih, Tuan,” ujar Mahesa Wulung 
menurutinya. Tubuh dan pikiran ditenangkannya 
seperti sikap orang yang mengheningkan cipta. Namun 
bila jari-jemari tangan Pendekar Bayangan telah mulai 
mengurut tubuhnya, tak tahan juga Mahesa Wulung

terpaksa meringis, sebab setiap kali jari-jari Pendekar 
Bayangan menyentuh kulit serta memijit simpul-sim-
pul sarafnya, terasalah kalau tubuhnya seperti dialiri 
oleh rasa nyeri, pedih bercampur aduk tak ubahnya 
sengatan dari ratusan kalajengking berbisa.
Mahesa Wulung sambil meringis menahan rasa 
nyeri, pikirannya yang tajam itupun bekerja pula. Ia 
memang pernah mendengar semacam ilmu yang 
dipergunakan untuk menyembuhkan simpul-simpul 
saraf yang rusak, yang dapat menyembuhkan kelum-
puhan tubuh. Ia pernah membacanya dari sebuah 
catatan lontar kuno yang terbawa bersama penyerbuan 
tentara Kaisar Kubilai Khan ke Singasari puluhan 
tahun yang telah silam.
Ilmu itu telah terkenal puluhan tahun di tanah 
seberang sana. Mereka menyebutnya dengan ilmu 
tusuk jarum, karena mereka mempergunakan jarum 
dalam menyembuhkan serta mengobati saraf-saraf 
yang rusak. Sedang Pendekar Bayangan yang kini 
tengah mengobati kelumpuhannya itu, sama sekali 
tanpa mempergunakan sebatang jarum pun.
Begitulah Mahesa Wulung merasakan pijitan-pijitan 
yang nyeri mulai dari kepala, dada, sampai ke leher. Ia 
tak kuasa berteriak kecuali berdesis menahan sakit-
nya, bahkan ia merasa seolah-olah seperti anak kecil 
yang dipijit oleh ayahnya sehabis kelelahan bermain-
main sehari penuh.
Kemudian sedikit demi sedikit rasa sakit tadi berku-
rang dan lenyap, untuk selanjutnya terasa bahwa 
pijitan tadi menimbulkan rasa segar dan nyaman.
“Bagaimana Mahesa Wulung, apakah kau masih 
merasakan pijitan yang sakit?” tanya Pendekar Baya-
ngan.
“Tidak lagi, Tuan,” jawab Mahesa Wulung menggeleng.
“Jangan panggil aku tuan. Panggillah bapak.”
“Baik, Bapak. Terima kasih.”
Pendekar Bayangan mengangguk. “Nah, Angger. 
Segera akan terbuka segenap urat-uratmu menjadi 
lebih hidup. Letak otot dan susunan sarafmu telah aku 
perbaiki. Dengan begitu darahmu akan mengalir kem-
bali dengan lancar. Dengan sedikit latihan nantinya, 
tubuhmu akan berkekuatan berlipat-lipat. Tetapi apa-
kah dengan sembuhnya kelumpuhan tubuhmu itu 
ilmu yang telah punah akan bisa pulih kembali? Aku 
tak tahu, Angger. Hal itu tak perlu kau risaukan amat. 
Aku nantilah yang akan menolong.”
Pendekar Bayangan meneruskan pijitannya kem-
bali. Mahesa Wulung, lama-kelamaan merasa bahwa
tubuhnya segar kembali dengan darah yang mengalir 
di segenap urat tubuhnya, merambat sampai ke ujung 
rambut dan ujung jari kaki, sementara jantungnya ber-
detak dengan teratur. Demikian pula matanya serasa 
menjadi berat seperti digantungi oleh satu kekuatan 
aneh dan sedikit demi sedikit Mahesa Wulung tertidur 
dengan pulasnya. Melihat itu Pendekar Bayangan 
mengangguk puas dengan sebuah senyuman manis di 
balik topengnya.
***

DUA

ANEH! MAHESA WULUNG merasa tengah berjalan 
bergandengan dengan Pandan Arum. Tiba-tiba mun-
cullah sebuah kepala yang besar dan berwajah menge-
rikan siap mencaploknya. Wajah itu adalah wajah Ki 
Topeng Reges yang tertawa dengan terkekeh-kekeh 
mengumandang di segenap penjuru.
Namun dalam saat-saat yang menegangkan, sebuah 
bayangan putih melesat dan memukul hancur kepala 
itu. Mahesa Wulung tersentak kaget karenanya. Dili-
hatnya bayangan putih itu tersenyum kepadanya. Itu-
lah wajah Pendekar Bayangan yang telah menolong-
nya!
Dalam pada itu telinganya yang tajam telah mende-
ngar satu bisikan halus, “Bangunlah. Kau telah cukup 
lama tidur. Tugasmu masih banyak.”
Mahesa Wulung tersentak lebih hebat dan segera 
meloncat berdiri. “Akh, aku telah bermimpi tadi!” 
desisnya sambil memandang sekeliling. Tampaklah 
matahari telah silam di sebelah barat. Di dekatnya 
terpasang sebuah api unggun kecil yang cukup 
menghangatkan tubuh. “Heei, aku tidak lumpuh lagi.”
Digerayanginya tangan dan kakinya sendiri, sebab 
ia hampir tak percaya akan kesembuhan tubuhnya 
dari kelumpuhan. Tapi ia hanya berdiri dan berada di 
tempat itu seorang diri.
“Hmm, di manakah Pendekar Bayangan yang telah 
menolongku tadi?” gumam Mahesa Wulung sambil 
memeriksa tempat itu. Suasana sepi di sekeliling tem-
pat itu, kecuali bunyi jengkerik serta ledakan-ledakan 
kecil dari ranting dan dahan kayu dimakan deh api 
bergemeretakan.

Mahesa Wulung terus menyelusuri. Dari api unggun 
terus berpindah ke lobang dinding batu tempat ia 
berbaring. Di situ, dilihatnya bajunya terhampar di 
lantai dan di sampingnya tergeletak pula pedang serta 
kitab hijau Landean Tunggal miliknya.
Angin senja pegunungan yang bertiup dingin terasa 
sekali oleh tubuh Mahesa Wulung, maka cepat-cepat ia 
meraih bajunya serta dipakainya pula. Tetapi di saat 
itu juga telinganya yang tajam mendengar bunyi geme-
risik di sebelah selatan.
Dengan mengendap ia cepat menjangkau pedang-
nya. Ia merasa bahwa dirinya tengah diawasi oleh 
sepasang mata yang tajam. Oleh sebab itu Mahesa 
Wulungpun mencoba melayangkan pandangan mata-
nya ke arah sekeliling, ke semak-semak yang rimbun 
ataupun ke balik batu-batu yang berserakan tersembul 
dari dalam tanah. Matanya yang tajam itu seakan-
akan ingin menembus kegelapan yang menghitam 
pekat, untuk mengetahui ada dan tidaknya suatu 
bahaya.
Mendadak saja Mahesa Wulung melihat satu 
bayangan yang menyambar ke arahnya dari semak-
belukar di sebelah selatan. Gerak naluriahnya menja-
lar cepat dan Mahesa Wulung berkelit ke samping 
serta melolos pedangnya secepat mungkin.
Taak! Sebuah batu hitam sebesar telur ayam 
menabrak dinding batu dan menghunjam ke 
dalamnya!
“Seseorang telah melemparku dari semak-semak 
itu!” desis Mahesa Wulung. “Hmm, tenaganya sungguh 
hebat. Batu hitam itu telah melesak ke dinding batu.”
Mahesa Wulung semakin berhati-hati. Ia yakin 
bahwa si pelempar ini mempunyai ilmu yang tinggi. 
Kalau tidak, masa’kan batu hitam itu bisa melesak ke

dalam dinding batu, oleh sebuah lemparan saja.
Sebelum ia selesai merenungi hal itu, dua buah 
sinar kembali menyambar ke arah tubuhnya dengan 
kecepatan yang luar biasa. Namun Mahesa Wulung 
sekali ini tidak menunggu sampai tubuhnya terhajar 
oleh lemparan-lemparan batu gelap. Pedang di tangan-
nya segera diputarnya rapat-rapat melindungi tubuh-
nya.
Das! Praak! Dua benturan beruntun terdengar 
ketika Mahesa Wulung berhasil mencegat kedua sinar 
tadi. Dua buah batu hitam tersebut remuk dan ter-
campak ke atas tanah. Mahesa Wulung menarik nafas 
dalam-dalam, sementara tangannya merasa pedih, 
akibat benturan pedangnya dengan kedua batu tadi.
Tiba-tiba, sekali lagi terlihat empat sinar menyam-
bar berbareng ke arahnya. Meskipun begitu untuk 
yang ketiga kalinya, Mahesa Wulung kembali memutar 
pedangnya memapaki sinar-sinar yang menyambar itu. 
Mata pedangnya berhasil memukul hancur tiga buah 
batu yang pertama. Tetapi pada batu yang keempat, 
pedangnya tergetar dan lepas dari genggaman jarinya 
yang sejak tadi telah ditahankan dari rasa pedih.
“Luar biasa!” desis Mahesa Wulung, ketika ia meli-
hat pedangnya terpental dan menghunjam ke atas 
rumput.
“Heh, heh, heh, heh.” Suara tertawa yang lunak 
terdengar ke telinganya sampai ia terhenyak kaget. 
Suara itu seolah-olah bernada mengejek, menertawa-
kan dirinya yang bisa terkalahkan oleh sebuah batu 
biasa.
Dengan agak jengkel ia mencabut cambuknya Kiai 
Naga Geni yang melilit pada ikat pinggangnya. Bersa-
maan ia selesai mengurai cambuk itu, kembali panda-
ngan matanya menangkap enam sinar yang menyam

bar lagi ke arah badannya.
“Gila!” seru Mahesa Wulung. “Enam berbareng!” Ke-
enam sinar tadi menyambar dengan cepatnya, seakan-
akan dilemparkan oleh kekuatan raksasa.
Dalam keadaan yang sangat genting ini, Mahesa 
Wulung lebih cepat lagi memutar cambuk Naga Geni-
nya yang telah terkenal ampuhnya. Suara putarannya 
mendesau nyaring dengan mengeluarkan sinar kebiru-
an. Sejurus kemudian, bagai kelincahan seekor naga, 
cambuk itu mematuk hancur keenam batu yang 
menyambar ke arahnya.
Tetapi akibat dari gerakannya tadi Mahesa Wulung 
telah mengucurkan keringat dinginnya. Nafasnya ter-
sendat-sendat pula. Ketika itu terdengar pula suara 
tertawa yang lunak disusul oleh melesatnya bayangan 
yang berkedok mukanya dari arah semak-semak yang 
sama.
“Pendekar Bayangan?!” seru Mahesa Wulung terpe-
ranjat.
“Heh, heh, heh, maafkan aku, Angger,” ujar Pende-
kar Bayangan sesaat setelah mendarat di muka Mahe-
sa Wulung tanpa menimbulkan suara. “Akulah tadi 
orangnya yang telah melemparmu. Tetapi harap Angger 
tidak mempunyai rasa marah ataupun kurang percaya. 
Aku hanya sekedar main-main, sekedar menguji sam-
pai di manakah kesembuhan tubuhmu serta pengaruh 
pijitanku.”
“Tak apalah, Bapak,” ujar Mahesa Wulung meyakin-
kan. “Justru aku merasa berhutang budi kepada 
Bapak. Dengan begitu aku telah mengetahui sampai di 
mana kekuatanku sebenarnya.”
“Yah, sampai di mana kekuatan tubuhmu yang 
baru saja sembuh tadi, aku mengetahui semua. Te-
rangnya kau masih harus berlatih kembali lebih giat,”

ujar Pendekar Bayangan.
“Terima kasih, Bapak,” sahut Mahesa Wulung.
Sekonyong-konyong saja terdengar suara berdesing 
sangat keras mengiringi sebuah sinar. Dalam saat-saat 
yang begitu, Pendekar Bayangan meleset ke depan 
dengan pesatnya menyongsong sinar tadi.
Tap! Jari-jari Pendekar Bayangan tahu-tahu telah 
menjepit sebatang anak panah yang bergerigi.
“Penyerangan gelap!” bisik Mahesa Wulung. “Mereka 
telah mengincar kita, Bapak!”
“Tenang saja, Angger!” ujar Pendekar Bayangan 
lirih. “Bersiaplah engkau! Aku yakin musuh kita lebih 
dari satu orang. Baiknya aku membawa tongkat 
kayuku!”
“Aku siap bertempur, Bapak!” bisik Mahesa Wulung.
“Baik! Nah, sekarang kita akan bertindak. Aku akan 
merayap ke arah selatan untuk menyerang mereka 
secara tiba-tiba, sedang Angger Mahesa Wulung tetap 
bersiaga disini.”
“Baik, Bapak,” sekali lagi Mahesa Wulung berbisik.
Pendekar Bayangan kemudian merayap ke sebelah 
selatan dengan tangkas dan cepat. Tubuhnya bergerak 
persis bayangan mengendap-endap, menyelusup dari 
semak yang satu ke belukar yang lain. Ia makin men-
jauh, menjauh dan akhirnya tubuh Pendekar Baya-
ngan seolah-olah lenyap ditelan kegelapan malam.
Hati Mahesa Wulung semakin berdebar-debar ke-
ras, menanti apa yang bakal terjadi selanjutnya. Seke-
jap demi sekejap Mahesa Wulung terus menunggu, dan 
sesaat kemudian benarlah apa yang dinantikannya. 
Dari arah selatan terdengarlah bunyi senjata beradu 
diseling oleh teriakan-teriakan berlaga.
Mahesa Wulung cepat bertindak. Ia meloncat segera 
ke arah selatan untuk membantu Pendekar Bayangan

yang pasti telah terlibat dalam sebuah pertempuran.
Namun belum lagi jauh ia beranjak, sesosok tubuh 
tahu-tahu menerkam ke arahnya dari sebuah rumpun 
ilalang. Ia tak sempat meneliti lawannya yang secara 
tiba-tiba telah menyerang itu. Mahesa Wulung merasa-
kan sambaran-sambaran senjata lawan yang berben-
tuk pedang lebar dengan ujungnya yang papak mirip 
ujung sebuah parang.
Pedang lebar tadi mendesau dengan dahsyat seperti 
topan siap melanda tubuh Mahesa Wulung dari sege-
nap arah. Untuk ini Mahesa Wulung terpaksa meme-
ras tenaganya untuk menghadapi serangan-serangan 
lawannya. Tubuhnya berjumpalitan di udara persis 
gerak-gerak burung layang-layang yang menyambar 
kupu-kupu.
Dengan begitu ia lolos dari tebasan-tebasan pedang 
lawannya yang datangnya bertubi-tubi laksana ombak 
Laut Kidul yang ganas dan dahsyat.
Sementara itu Pendekar Bayangan mengendap-
endap dengan lambat menyelundup di antara sela-sela 
kerimbunan pohon pakis. Sebentar-sebentar ia ber-
henti sambil mempertajam pendengarannya dengan 
teliti, sebab ia merasa bahwa di sekitar tempat itu 
pasti bersembunyi penyerang-penyerang gelap.
Inilah yang betul-betul berbahaya baginya. Para 
penyerang tadi setidak-tidaknya telah siap dan hafal 
dengan tempat itu. Sedang ia sendiri belum pernah 
datang kemari, dengan begitu tempat itu menjadi 
sangat asing baginya.
Tiba-tiba di balik sebuah semak ilalang didengarnya 
suara nafas yang mengalir dengan perlahan dan halus. 
Namun telinganya yang tajam itu dapat menangkapnya 
dengan jelas.
Maka si Pendekar Bayangan kemudian mendekati

semak ilalang itu dari arah samping dan betullah apa 
yang didengarnya. Begitu ia menguakkan daun-daun 
ilalang, terlihatlah dua orang bersenjata panah siap 
dengan tembakannya.
Pendekar Bayangan setengah menggeram melihat 
kedua orang penyerang gelap ini. Dengan satu lon-
catan yang panjang tak bersuara, ia menyerang kedua-
nya. Tongkat kayunya berputar seperti baling-baling 
menyambar ke arah lawan-lawannya.
“Heei, apa kerja kalian disini cecunguk-cecunguk?” 
seru Pendekar Bayangan keras-keras. Karuan saja 
kedua orang itu terkejut bukan main digertak begitu 
macam, sampai keduanya berjingkrakan hampir jatuh. 
Cepat mereka berpaling mengarahkan senjata panah-
nya ke arah Pendekar Bayangan. Dalam saat yang 
sama Pendekar Bayangan lebih cepat bertindak. Senja-
ta tongkat kayunya telah menghantam senjata-senjata 
mereka berbareng dengan satu kecepatan yang menga-
gumkan.
Bet! Kraak! Kedua busur yang ada di tangan mereka 
tahu-tahu patah menjadi dua, bagaikan dipotong oleh 
sebuah pisau tajam.
“Hantui?!” desis mereka berbareng, demi dilihatnya
sesosok tubuh yang berdiri tegap di depan mereka. 
Pakaiannya yang serba berwarna putih berkedok pula. 
Orang itu menggenggam sebuah tongkat kayu.
Yang seorang secepat kilat mencabut sebuah rantai 
dari ikat pinggangnya yang berujung besi runcing. Se-
mentara yang seorang lagi menghunus goloknya sam-
bil menggeram. Dan selanjutnya mereka tanpa berpikir 
panjang telah menyerang Pendekar Bayangan yang 
nampaknya seperti belum siap sedia.
Agaknya mereka yakin bahwa serangan mereka ber-
bareng itu, dapat merobohkan lawannya dalam waktu

satu gebrakan. Tetapi alangkah kagetnya bila putaran 
senjata mereka tahu-tahu beradu dengan tongkat Pen-
dekar Bayangan yang diputar setengah lingkaran.
Kedua senjata mereka tergetar hebat ketika beradu 
dengan sambaran tongkat kayu lawannya.
“Keparat!” desis yang bersenjata rantai. “Kau ter-
nyata berilmu pula. Tapi menghadapi Dadungrante, 
jangan lekas merasa bangga, kalau hanya mampu 
membentur rantai baja ini. Ayo Adi Saron, kita cincang 
saja orang ini cepat-cepat. Setelah itu kita baru me-
nangkap si Mahesa Wulung.”
“Baik!” gumam yang bersenjata golok serta meri-
ngiskan bibirnya yang tebal. Setelah itu ia meloncat 
dibarengi oleh kawannya menyerang Pendekar Baya-
ngan.
Maka terjadilah pertempuran yang cukup hebat. 
Pendekar Bayangan yang mampu bergerak seperti 
bayangan itu sungguh-sungguh membikin kedua 
lawannya kerepotan. Kalau saja kedua orang itu telah 
menghantamkan senjatanya dan tampaknya si 
Pendekar Bayangan pasti terhajar hancur, tahu-tahu 
lawannya ini telah melesat menghindar dan tiba-tiba 
telah ada di belakang mereka.
“Heh, heh, heh, lebih baik kalian menyerah sebelum 
aku menunjukkan permainan tongkatku ini!” seru 
Pendekar Bayangan sambil tertawa dalam.
“Kelewat sombong kau setan!” seru Dadungrante 
beringas sekaligus memutar senjata rantainya seperti 
pusaran angin yang berdesau hebat.
Juga kawannya yang menggenggam golok itupun 
tak mau kalah rupanya. Senjatanya itu ditebaskan ke 
beberapa arah dengan sabetan-sabetan yang penuh 
berhawa maut.
“Hyaat!” Kedua orang itu menyerbu berbareng ke

arah Pendekar Bayangan yang tampaknya belum siap 
sama sekali. Namun berbareng kedua lawannya me-
nyerbu, iapun memutar tongkat kayunya dengan cepat 
merupakan pagar yang kokoh melindungi dirinya dari 
ujung senjata-senjata lawan yang menyambar-nyam-
bar amat sengitnya.
Ketiganya bertempur dengan dahsyat, tak ubahnya 
tiga ekor harimau yang bertempur berebut mangsa. 
Saling berloncatan kesana-kemari dengan putaran dan 
tebasan senjatanya masing-masing.
Tetapi setelah berjalan beberapa jurus, tampaklah 
bahwa Pendekar Bayangan sedikit demi sedikit berha-
sil mendesak kedua lawannya. Tongkat kayunya mem-
berikan tekanan-tekanan terhadap Dadungrante dan 
Saron sangat hebat, menyebabkan mereka bermandi 
keringat dingin dan tersengal-sengal.
Mereka melihat tongkat kayu itu seperti berubah 
menjadi ratusan jumlahnya menyambar dan mematuk-
matuk ke arah mereka. Dadungrante merasa penasa-
ran melihat Pendekar Bayangan yang memberikan 
tekanan-tekanan hebat. Maka sambil mengerahkan 
segenap kekuatannya, ia menyabetkan senjata rantai-
nya ke arah kepala Pendekar Bayangan.
Traak! Senjata rantai Dadungrante tanpa diduga 
telah melibat tongkat kayu Pendekar Bayangan yang 
telah dilintangkan di depan kepalanya. Sebelum ia 
sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba saja Pendekar Baya-
ngan telah menghentakkan tongkat kayunya dan tanpa 
ampun lagi Dadungrante terseret tubuhnya untuk 
kemudian terlambung ke udara sambil menjerit. Da-
dungrante jatuh terpental di tanah dengan mengaduh.
Melihat kawannya telah roboh, Saron cepat-cepat 
menyabetkan pedangnya, namun Pendekar Bayangan 
melenting ke udara hingga tebasan pedang Saron tidak

mengenai sasarannya, kecuali angin kosong belaka. 
Oleh sebab itu Saron memaki-maki saking jengkelnya.
Sambil bertempur tadi Pendekar Bayangan sempat 
pula melirik ke arah Mahesa Wulung yang bertempur 
di sebelah timur melawan seorang yang bersenjata 
parang.
Rupanya lawan Mahesa Wulungpun berilmu tinggi 
pula. Gerakannya saja cukup hebat. Parangnya ber-
kali-kali membacok dengan garangnya, disertai oleh 
desingan nyaring yang berhawa maut.
“Mahesa Wulung, tunggu apa lagi kau hah?! Lekas 
menyerah, agar kami dapat mengampunimu!” teriak 
lawan Mahesa Wulung yang berambut pendek tanpa 
ikat kepala.
“Hmmm, jangan terlalu menyombong sobat,” sahut 
Mahesa Wulung sambil memutar cambuknya. “Kalau 
kau berminat menangkapku, cobalah sendiri dengan 
kesaktianmu!”
“Keparat! Kau terlalu menghina Pelang Telu, murid 
kinasih Ki Topeng Reges dari Watu Semplok!” seru 
lawan Mahesa Wulung keras-keras sambil mengayun-
ayunkan senjata.
“Ooo, jadi terangnya kamu adalah para cecunguk 
dari Topeng Reges! Kalau begitu kebetulan sekali ini 
adalah satu hal yang telah aku tunggu-tunggu.”
“Apa yang kau tunggu-tunggu, keparat?!” seru 
Pelang Telu dengan beringas serta membelalakkan 
mata. “Apa kau menunggu ini!” Pelang Telu segera 
membacokkan parangnya ke arah lambung lawannya. 
Dan berbareng itu pula Mahesa Wulung telah memutar 
cambuknya untuk menyambut serangan Pelang Telu.
Weesss! Taar! Kedua ujung senjata beradu, tapi 
dengan cekatan Pelang Telu mengegoskan tubuhnya ke 
kiri untuk menghindari serangan berikutnya dari cam

buk Mahesa Wulung. Ternyata Mahesa Wulung tak 
kalah lincahnya. Begitu Pelang Telu berkelit ke kiri, 
iapun melayangkan pukulan sisi telapak tangan kiri-
nya ke arah punggung Pelang Telu yang seketika ter-
jungkal dengan meringis megap-megap, sedang dari 
mulutnya meleleh darah merah di sudut bibir.
Ternyata ia telah menderita luka dalam akibat gem-
puran tangan Mahesa Wulung yang sekeras gumpalan 
baja. Dengan terhuyung-huyung dan terbatuk-batuk, 
Pelang Telu menjauhi Mahesa Wulung yang masih 
tegak bersiaga menunggu serangan berikutnya.
Di lain pihak, Saron telah melihat kedua orang 
temannya cedera, maka sambil menggeram hebat ia 
mengayunkan goloknya dengan melesatkan tubuhnya 
ke arah Pendekar Bayangan. Di samping itu kaki ka-
nannya siap melancarkan tendangan maut.
Sekali ini Pendekar Bayangan betul-betul bermak-
sud menyudahi pertempurannya, maka di saat Saron 
melanjutkan serangannya, Pendekar Bayangan me-
nyongsongnya dengan satu pukulan Angin Bisu yang 
terkenal hebat. Akibatnya sangat hebat. Tubuh Saron 
yang melesat ke arah Pendekar Bayangan seolah-olah 
menabrak satu hempasan tenaga hebat yang selan-
jutnya mementalkan tubuhnya ke belakang dengan 
derasnya.
“Eaaah!” Saron menjerit hebat berbareng tubuhnya 
terhempas ke dinding batu terjal, kemudian jatuh 
menggeliat-geliat lalu tak berkutik lagi. Wajahnya 
menyeringai mengerikan dengan sebuah luka me-
nganga di kepalanya.
Mahesa Wulungpun ikut terkejut dengan kejadian 
itu. Dalam hati ia sangat mengagumi ilmu pukulan 
Angin Bisu milik Pendekar Bayangan.
Kalau kejadian ini sudah mengagetkan dan mencekam suara, tiba-tiba satu suitan nyaring menguman-
dang di udara lalu disusul oleh melesatnya Pelang Telu 
ke dalam gerumbul. Demikian pula dengan Dadung-
rante. Meskipun tubuhnya telah babak belur ia masih 
cukup kuat untuk meloncat meninggalkan tempat itu.
“Biarkan mereka lari, Angger!” ujar Pendekar Baya-
ngan ketika dilihatnya Mahesa Wulung bersiap me-
ngejar mereka.
“Mereka sepatutnya tidak diberi ampun, Bapak,” 
desis Mahesa Wulung menahan hati.
“Kalau kita ingin menangkap pemimpinnya, ada ba-
iknya kita sementara membiarkan begundal-begundal 
rendahan itu masih hidup. Mungkin kita akan men-
dapat petunjuk-petunjuk secara tidak langsung dari 
mereka, tentang kedudukan Ki Topeng Reges yang 
sesungguhnya.”
“Baik, Bapak,” ujar Mahesa Wulung membenarkan.
“Nah, Angger Mahesa Wulung, ayolah kita kembali 
ke tempat itu untuk beristirahat!” Pendekar Bayangan 
berkata seraya menunjuk ke lobang dinding baru yang 
diterangi oleh cahaya api unggun. Keduanya berjalan 
beriring menuju ke ‘pondok’ mereka dan sejurus ke-
mudian keduanya telah duduk bersama.
“Angger, aku telah menyaksikan ketangkasanmu 
tadi dengan puas. Namun aku masih belum bisa meng-
andalkan kemampuan ilmumu yang telah punah itu!”
“Yah, aku pun masih sangsi, Bapak,” gumam Ma-
hesa Wulung pelan. “Mudah-mudahan tidak selama-
nya begitu.”
“Ada baiknya kau coba saja di atas batu hitam ini,” 
berkata Pendekar Bayangan seraya mengelus-elus batu 
di sampingnya. “Percayalah terhadap kekuatanmu sen-
diri, Angger.”
“Terima kasih, Bapak. Aku akan mencobanya,”

berkata Mahesa Wulung sekaligus memasang sikapnya 
dalam jurus pukulan maut Lebur Waja. Tangan yang 
kanan dilipatnya ke belakang sejajar telinga dan sesaat 
lagi Mahesa Wulung melesat menghantam batu hitam.
Kraak! Batu tersebut telah retak sampai ke dasar-
nya, merekah mengerikan. Mahesa Wulung melihat 
hasil pukulannya ternganga keheranan. Ternyata lebih 
buruk! Kalau dahulu ia bisa memukul hancur sebuah 
batu hitam sebesar anak gajah, tetapi sekarang ini ia 
hanya mampu meretakkan saja, maka tak heranlah 
bila wajahnya tampak menjadi murung seketika.
Pendekar Bayangan yang cukup bijaksana itu rupa-
nya dapat menangkap akan perasaan Mahesa Wulung. 
Oleh sebab itu ia cepat-cepat mempersilakan Mahesa 
Wulung duduk di sampingnya.
“Jangan berputus asa, Angger!” kata Pendekar Ba-
yangan. “Biarpun pukulan Lebur Wajamu telah susut, 
namun aku akan mencoba menolongmu. Mungkin 
pukulan itu dapat diperbaiki kembali.”
Mereka duduk kembali di relung dinding batu itu. 
Beberapa petunjuk diberikan oleh Pendekar Bayangan 
dengan seksama kepada Mahesa Wulung. Di samping 
itu pula, Mahesa Wulung pun sekali lagi menekuni 
kitab hijau Landean Tunggal. Hawa Panas dari api 
unggun yang menyala terang itu membuat tubuh 
mereka hangat, hingga udara yang sesungguhnya 
dingin menusuk tulang tak terasa sama sekali. Malam 
semakin larut dan keheningan malam merajai tempat 
itu.
***
TIGA

MAHESA WULUNG terbangun ketika angin subuh 
terasa mengusap wajahnya. Di sekeliling masih cukup 
gelap, sedang api unggun sudah tidak lagi besar
nyalanya, meskipun masih cukup membuat hangat di 
badan.
Semula Mahesa Wulung melihat sekelilingnya.
“Hmmm, Bapak Pendekar Bayangan tidak nampak. 
Ke mana dia pergi? Mungkin ia berjalan-jalan menghi-
rup udara segar,” Mahesa Wulung berkata-kata sendiri 
di dalam hati. “Ah, memang orang yang sangat sakti, 
kadang-kadang berkelakuan sangat aneh.”
Tetapi bila ia selesai memeriksa tempat sekeliling-
nya, Mahesa Wulung tiba-tiba terhenyak kaget. Tempat 
itu! Ya, tempat itu bukan tempat yang semula. Ternya-
ta Mahesa Wulung kini berada di tepi sebuah jalan 
besar.
“Hah, ini jalan yang menuju ke Demak!” desis 
Mahesa Wulung. “Di sekitar inilah kira-kira anak buah 
Topeng Reges telah menyerang pengiriman emas bebe-
rapa waktu yang lalu. Jadi Bapak Pendekar Bayangan 
telah memindahkan kemari ketika aku tertidur. Oh, 
apa pula maksudnya?!”
Ia menjadi bingung dengan hal itu. Namun ketika ia 
menatap ke api unggun yang masih menyala itu, tam-
paklah kitab hijau Landean Tunggal tergeletak di atas 
rumput bersama secarik kain yang berisi tulisan, me-
rupakan sebuah surat. Perhatian Mahesa Wulung 
tertarik oleh surat itu. Segera diambilnya kain tersebut 
serta diamat-amatinya dengan penerangan api unggun. 
Tampaklah tulisan yang dibuat dengan getah pohon 
yang berwarna coklat kehijauan dengan garis-garis

tegas dan mantap. “Tulisan ini memang coretan tangan 
dari seorang yang berjiwa ksatria dan gagah berani. 
Hmm, apa ini isinya?”
Mahesa Wulung mulai membaca surat itu.
“Angger Mahesa Wulung, aku terpaksa meninggal-
kanmu di tempat ini, sebab aku masih mempunyai 
tugas lain. Percayalah Angger, aku akan tetap men-
jagamu. Dan lain kali kita akan bertemu lagi untuk 
menambah ilmu.”
Selesai membaca surat itu Mahesa Wulung mere-
nung sejenak. Pikirannya melayang kepada saat perte-
muan dengan Pendekar Bayangan yang muncul secara 
tiba-tiba dan kini meninggalkannya secara tiba-tiba 
pula. Betul-betul mirip sebuah bayangan!
Tapi ia tak merasa berkecil hati sekarang. Tubuh-
nya yang semula lumpuh kini telah sembuh berkat 
pertolongan Pendekar Bayangan, hingga ia dapat pergi 
ke manapun juga. Dan ia telah bertekad untuk mene-
ruskan tugasnya, yaitu mencari Ki Topeng Reges dan 
Rikma Rembyak serta merebut kembali catatan raha-
sia panah Braja Kencar.
Berpikir demikian, Mahesa Wulung cepat berkemas-
kemas. Setelah kitab Landean Tunggal disimpan serta 
pedangnya diselipkan ke ikat pinggang, api unggun 
segera dipadamkannya pula. Namun tiba-tiba member-
sitlah satu pikiran ke dalam benaknya. Mengapakah ia 
tidak mencari lebih dulu Pandan Arum dan kawan-
kawannya, si Gajah Sela dan Aldaka? Apakah yang 
terjadi pada mereka setelah ia meninggalkan rumah itu 
bersama Ki Camar Seta?
Akhirnya Mahesa Wulung mengambil keputusan 
untuk mencari mereka. Pikirannya yang tajam masih

dapat mengenal letak rumah yang mereka tempati 
dahulu. Bukankah dengan begitu ia dapat memastikan 
apakah anak buah Topeng Reges tidak mengganggu 
mereka lagi?
Demikianlah Mahesa Wulung segera melangkahkan 
kakinya ke arah barat untuk mencari rumah itu. Ia 
berjalan dengan enaknya, namun telinganya yang 
tajam dipasangnya baik-baik untuk menjaga kewaspa-
daan dirinya.
Beberapa bulak tanah telah dilewati. Warna-warna 
semburat merah yang dipancarkan oleh sinar fajar, 
jatuh di atas daun-daun pohon yang tumbuh di sepan-
jang jalan, membuat segarnya suasana pagi mulai 
menjelang.
Tak lama kemudian, iapun tiba di rumah itu yang 
letaknya tidak jauh dari tepi jalan. Dengan agak hati-
hati Mahesa Wulung mengetuk pintu itu.
Sesaat kemudian, sesudah ia mengetuk beberapa 
kali, terbukalah pintu kayu yang cukup tebal, kemudi-
an melongok keluar sebuah kepala dengan wajah 
ketakutan.
“Pak Suta, agaknya Bapak mendapat kesulitan?” 
ujar Mahesa Wulung setengah heran. Sementara orang 
tua itu membuka pintu lebar-lebar serta mempersila-
kan tamunya masuk.
“Oh, Tuan Mahesa Wulung. Masuklah cepat ke 
dalam. Maaf, memang bapak tadi menjadi ketakutan 
ketika pintu ini diketuk!”
“Mengapa, Bapak?” bertanya Mahesa Wulung.
“Heh, itu. Anak buah Ki Topeng Reges sedang meng-
ganas. Lebih-lebih setelah mereka gagal merampas 
emas yang dikirim ke Demak beberapa waktu yang 
lalu. Mereka menumpahkan kemarahan hatinya kepa-
da penduduk yang tidak berdosa, dengan membakar

rumah dan menghancurkan isinya. Mereka keranji-
ngan membunuh orang-orang itu dan kadang-kadang 
menculik gadis untuk dipaksanya menjadi isteri-isteri 
mereka.”
“Hmm, sungguh kejam mereka,” desis Mahesa Wu-
lung dengan geram. “Tapi Bapak, di manakah kawan-
kawanku yang dulu singgah beristirahat disini?”
“Oh, ya, ya. Prajurit-prajurit yang terluka itu, 
bukan? Mereka telah kembali ke Demak bersama-sama 
Pandan Arum. Pastilah sekarang mereka telah tiba di 
Demak dan aku ikut merasa bangga, karena mereka 
telah berhasil menyelamatkan emas itu. Sebagai bekas 
prajurit, aku ikut gembira dengan keberanian mereka 
menghadapi anak buah Ki Topeng Reges.”
“Apakah mereka mengganggu kawan-kawanku?”
“Pasti tidak, Tuan. Mereka hanya terutama meng-
ganggu orang-orang desa saja. Terhadap prajurit-pra-
jurit Demak mereka selalu menghindarinya. Hal ini 
membuat orang-orang desa menjadi ketakutan sete-
ngah mati. Tidak jarang mereka bersedia menyerahkan 
uang dan perhiasannya asal orang-orang Ki Topeng 
Reges itu tidak mengganggu desanya. Dan kemarin 
seorang penduduk Desa Mijen memberitahuku keada-
an desanya yang genting.”
“Desa Mijen yang terletak di tepi Kali Serang itu?” 
potong Mahesa Wulung.
“Benar, Tuan. Mereka telah menculik puteri lurah 
Desa Mijen dan bersedia melepaskannya asal orang-
orang Desa Mijen bersedia menebusnya dengan uang 
dan emas perhiasan!”
“Terlalu!” desis Mahesa Wulung sekali lagi. “Bapak, 
kalau demikian biarlah aku pergi ke desa itu. Memang 
aku tengah mencari si Topeng Reges. Mungkin ia ber-
sama-sama anak buahnya.”

“Hari masih terlalu pagi, Tuan. Apakah Tuan tidak 
beristirahat sejenak disini?”
“Tidak, Bapak. Terima kasih.”
“Nah, jika Tuan amat tergesa-gesa, bawalah kudaku 
yang di belakang, agar Tuan tidak terlalu lelah. Tung-
gulah sebentar, aku ambilkan ke kandang!” Pak Suta 
cepat bergegas ke belakang dan membawa kudanya ke 
halaman muka.
“Bawalah dia, Tuan, mudah-mudahan tidak 
mengecewakan,” ujar Pak Suta menyerahkan kudanya 
kepada Mahesa Wulung.
“Terima kasih, Bapak,” kata Mahesa Wulung mene-
rima kuda itu, sekaligus melompat ke punggungnya.
“Permisi, Bapak, aku berangkat sekarang!”
“Selamat jalan, Tuan!”
Kuda itu menderapkan kakinya dan sebentar saja ia 
telah berpacu ke arah utara menerobos kelebatan 
hutan. Mahesa Wulung tak mengira kalau kudanya itu 
sangat lincah dan boleh dikatakan ganas, sebab kalau 
ada sungai-sungai kecil ataupun lobang-lobang yang 
cukup lebar, ia terus saja melompatinya. Untunglah 
Mahesa Wulung telah biasa melayani kuda-kuda yang 
liar. Kalau tidak, jangan harap masih tahan melekat di 
punggungnya, dalam sekali lompatan saja pasti ia 
akan terbanting dari pelana kudanya.
Dalam berpacu itu Mahesa Wulung tiba-tiba meng-
angkat keningnya, bila angin yang bertiup singgah di 
telinganya membawa suara orang yang bercakap-cakap 
diseling oleh ketawa yang tergelak-gelak. Agaknya lebih 
dari dua orang. Mahesa Wulung cepat-cepat memper-
lambat kudanya, kemudian ia meloncat turun.
Sesudah mengikatkan kudanya di batang pohon, ia 
mengendap-endap mendekati arah sumber suara tadi. 
Ketika Mahesa Wulung berhasil mendekati tempat itu,

ia segera mengintip dari jarak yang agak jauh. Dilihat-
nya Jaramala dan tiga orang tengah duduk-duduk 
minum tuak.
Mahesa Wulung ingin mendekati mereka agar me-
ngetahuinya lebih jelas, maka iapun merangkak-
rangkak menerobos semak-semak liar serta sulur-
suluran yang merambat di sana-sini. Perhatian 
Mahesa Wulung tiba-tiba tertumbuk pada sebuah 
gubuk ilalang tak berdinding. Di dalamnya terlihat 
seseorang yang terikat tangannya. Wajahnya kurang 
jelas karena tertutup oleh bayangan atap ilalang.
Mahesa Wulung menjadi berdesir melihat orang 
yang terikat di dalam ilalang itu. Siapakah gerangan 
dia? Maka iapun merangkak lebih dekat lagi, tetapi 
tiba-tiba sebuah dahan kering terinjak oleh lututnya 
hingga patah dengan suara berderak.
Keempat orang itu serentak kaget mendengar suara 
tadi.
“Hai, Bedama! Kau dengar suara itu?!” seru Jara-
mala kepada seorang yang bertubuh jangkung, ber-
kumis lebat.
“Dengar, Kakang!” jawab Bedama sambil matanya 
nyalang menatap semak-semak sekeliling. “Boleh aku 
periksa, Kakang?”
“Ya, periksalah dengan teliti! Jangan-jangan ada 
yang menguping percakapan kita,” ujar Jaramala.
Bedama segera berdiri dan melangkah ke arah 
semak-semak di mana Mahesa Wulung tengah bersem-
bunyi, sambil melolos pedangnya. Dengan berjingkatan 
ia melangkah pelan-pelan serta menguakkan semak-
semak itu sedang ketiga orang lainnya mengawasinya 
dengan hati yang berdebar-debar.
Mendadak mereka melihat sebuah tangan yang 
muncul dari balik dedaunan langsung memukul dada

Bedama hingga orang ini menjerit hebat serta terpental 
ke belakang dengan memuntahkan darah segar. Seje-
nak ia menggeliat-geliat kemudian diam tak berkutik 
lagi!
Serentak ketiga orang itu berloncatan berdiri seraya 
mencabut senjatanya masing-masing. Mereka menge-
pung semak-semak itu.
“Hayo, lekas keluar kau, setan! Jangan mendekam 
di dalam saja!” seru Jaramala garang.
Kemudian dedaunan semak itu terkuak dan 
muncullah Mahesa Wulung dengan wajah yang tenang.
“Hee, kau, setan!” desis Jaramala.
“Ya, kita bertemu lagi sobat!” kata Mahesa Wulung. 
“Siapa yang kau simpan di pondok itu?!”
“Apa perlunya kau tanyakan?” seru Jaramala, 
sementara itu kedua orang temannya bersiaga dengan 
pedang terhunus mengawasi Mahesa Wulung.
“Karena aku akan membebaskannya!” jawab Mahe-
sa Wulung dengan tenangnya.
“Haaaa?! Kau ingin mengambilnya dari tanganku? 
Itu tidak semudah katamu, setan! Sebelum kau me-
nyentuh tubuhnya, terlebih dulu senjata-senjata kami 
akan mencacah tubuhmu! Nah, lekaslah minggat dari 
tempat ini, sebelum kesabaran kami hilang!”
“Kalian tak perlu menakut-nakuti Mahesa Wulung, 
sobat!” berkata pula Mahesa Wulung dengan lantang. 
“Kau lihat nasib temanmu itu?”
Ketiga pasang mata yang menatap tubuh Bedama 
tergeletak mati di tanah, berdesir pula hatinya ngeri. 
Sekali pukul saja ia telah roboh. Kalau seandainya 
mereka hanya seorang diri berhadapan dengan Mahesa 
Wulung, boleh dipastikan mereka akan lari ketakutan. 
Namun, kini masih bertiga mereka. Sehingga ketiganya 
tetap berdiri teguh di tempatnya. Tambahan pula me

reka telah mendengar dari mulut Ki Topeng Reges 
sendiri, bahwa Mahesa Wulung telah berhasil dihajar-
nya setengah mati.
“Jangan kau keburu membusungkan dada dulu, 
setan!” teriak Jaramala garang. “Justru atas kematian 
Bedama inilah, kami bertiga akan merencakmu lumat-
lumat!”
“Aku peringatkan sekali lagi, sobat! Aku akan lebih 
senang bila darah tidak akan tertumpah lagi,” ujar 
Mahesa Wulung. “Aku minta kau bebaskan orang itu 
segera.”
“Keparat! Kau terlalu bertingkah di hadapan 
mataku. Ayo, lekas cabut pedangmu! Hei pengecut!”
Syraat! Mahesa Wulung melolos pedangnya dengan 
kecepatan luar biasa. “Kalian terlalu mendesakku, 
sobat! Baiklah, aku telah siap meladenimu sekarang!”
“Hayaaaa!” Jaramala berteriak nyaring serta me-
nyerbu ke arah Mahesa Wulung diikuti oleh kedua 
orang temannya.
Sinar kemilau dari ketiga pedang mereka berkereda-
pan menyambar ke arah Mahesa Wulung dengan 
hebatnya.
Mahesa Wulung tidak kalah waspada. Sebelum u-
jung ketiga pedang itu merobek dagingnya, ia merun-
dukkan tubuhnya ke bawah, sambil menyapukan 
pedangnya mendatar ke bawah, membuat ketiga la-
wannya cekakaran kaget. Namun merekapun cukup 
cekatan. Apalagi mereka tidak ingin kehilangan kaki-
kaki mereka terbabat oleh pedang Mahesa Wulung, 
maka ketiganya serentak berloncatan ke udara.
Setengah tombak mereka mengambang di udara 
untuk kemudian melayang ke bawah menerkam Mahe-
sa Wulung. Namun Mahesa Wulung dengan tiba-tiba 
tanpa diduga oleh ketiga orang itu, meloncat ke

samping dengan cepatnya!
Pedangnya terjulur lurus ke arah lambung Jara-
mala yang berada di sebelah pinggir. Ternyata disini, 
Jaramala bukanlah lawan yang bisa disepelekan. 
Dengan sebuah putaran pedangnya ia menangkis se-
rangan Mahesa Wulung, hingga terjadilah dua bentu-
ran senjata yang nyaring. Dalam waktu yang bersama-
an itu pula, kaki kiri Mahesa Wulung mengait kaki 
Jaramala yang seketika jatuh terjerembab di atas 
tanah.
Tahu kalau pemimpinnya terjatuh, kedua orang 
anak buah Jaramala itu menerjang Mahesa Wulung. 
Pedang-pedang mereka berputar ganas mengurung 
tubuh lawannya, sementara Jaramala berdiri kembali 
dengan peringisan menahan sakit.
Tiba-tiba di saat kedua ujung pedang lawannya 
terjulur, Mahesa Wulung cuma mengegoskan badan-
nya sedikit ke samping, sedang pedangnya berkelebat 
secepat bayangan bergerak.
Croos! Terdengar satu benturan tajam dan kedua 
lawan Mahesa Wulung berloncatan ke samping. Tetapi 
mendadak seorang di antaranya terhuyung ke depan 
dengan menempelkan tangan kirinya ke dada yang 
ditandai oleh sebuah goresan panjang berlumur darah. 
Sejurus kemudian ia rebah ke tanah tak bernyawa lagi.
Lawannya yang seorang lagi masih berdiri terma-
ngu-mangu menyaksikan temannya yang seorang 
roboh. Kemudian dengan gerakan yang tanpa terduga 
ia meraup tanah dengan tangan kirinya serta diham-
burkannya ke depan ke arah mata Mahesa Wulung.
Sungguh kaget Mahesa Wulung akan hal ini. Cepat 
ia memejamkan matanya untuk menghindari butiran-
butiran pasir yang bertaburan itu. Namun beberapa 
butiran pasir tak urung sempat menyasar ke matanya

menimbulkan rasa pedih dan nyeri.
Kesempatan ini dipergunakan oleh lawannya de-
ngan baik. Demikian pula Jaramala tak tinggal diam. 
Berdua mereka menerjang ke depan disertai putaran 
pedangnya secepat baling-baling bergerak.
Dalam keadaan yang demikian itu, Mahesa Wulung 
masih sempat menangkis kedua pedang lawan, selan-
jutnya ia menjatuhkan dirinya ke belakang beberapa 
langkah. Keadaan itu sungguh menguntungkan bagi 
kedua lawan Mahesa Wulung. Orang yang berhasil 
melempar pasir ke mata Mahesa Wulung segera pula 
memburu ke arah tubuh Mahesa Wulung yang tengah 
tertelentang di tanah.
Pedang di tangan orang itu segera dihunjamkan ke 
arah perut Mahesa Wulung, namun mulut orang tadi 
menjadi melompong bila tubuh Mahesa Wulung bergu-
ling cepat ke samping sehingga ujung pedang anak 
buah Jaramala tersebut menghunjam ke tanah.
Dengan demikian orang ini seakan-akan terpancang 
di tanah, dan sebelum ia sempat mencabut pedangnya 
kembali, dilihatnya pedang di tangan Mahesa Wulung 
bergerak cepat! Apa yang dirasanya kemudian sebuah 
tebasan merobek pinggangnya, dan seketika ia men-
jerit hebat untuk kemudian terguling ke samping, ke 
atas rumput dengan darah berhamburan dari ping-
gangnya.
Jaramala sungguh kaget melihat kawannya yang 
ketika itu roboh pula. Sejurus kemudian orang itupun 
tak berkutik lagi. Dengan menggeram hebat Jaramala 
menerjang ke arah Mahesa Wulung dengan perasaan 
dendam yang membara.
Keduanya sebentar saja telah terlibat dalam satu 
lingkaran pertempuran yang hebat, tak ubahnya dua 
ekor naga yang tengah mengadu tenaga. Saling mem

belit, melibat lawan ataupun menerkamnya.
Dalam beberapa jurus, Jaramala masih cukup 
hebat menyerang Mahesa Wulung yang tangguh itu. 
Pedangnya berkelebatan mengurung tubuh lawannya, 
tepat seperti taring seekor naga. Tetapi setelah meng-
injak jurus-jurus berikutnya, Jaramalapun benar-
benar merasa betapa serangan-serangan Mahesa Wu-
lung semakin gencar melanda dirinya. Pedang di 
tangannya setiap kali tergetar oleh benturan pedang 
Mahesa Wulung yang datangnya seperti ombak ber-
gulung-gulung. Betapapun Jaramala menguras tenaga-
nya untuk mempertahankan dirinya, namun Mahesa 
Wulung makin mendesaknya.
Akhirnya Jaramalapun menganggap untuk tidak 
meneruskan pertempuran itu, apalagi nafasnya sudah 
tidak teratur seperti semula. Maka iapun mengerahkan 
tenaganya untuk membuat satu loncatan ke samping, 
melarikan diri. Dengan sebat ia menjejak tanah, se-
mentara itupun Mahesa Wulung lebih cepat mene-
baskan pedangnya ke arah Jaramala, tetapi sayang ia 
terlambat. Tubuh Jaramala kelewat cepat sehingga 
pedang Mahesa Wulung hanya sempat membuat go-
resan kecil pada lengannya. Biarpun begitu, luka kecil 
tadi cukup membuat rasa pedih di kulitnya. Lompa-
tannya tidak berubah karenanya. Tubuh Jaramala 
sekejap saja telah lenyap di sela-sela semak belukar 
yang rimbun.
Tempat itu kembali menjadi sepi, seolah-olah tidak 
pernah terjadi sesuatu yang penting, kecuali tiga tu-
buh tak bernyawa terhampar di rerumputan berlepo-
tan darah.
Sesudah ia menyarungkan pedangnya kembali, 
Mahesa Wulung melangkah ke arah gubuk ilalang di 
sebelah kanannya. Makin dekat ke gubuk tak ber

dinding itu, makin jelaslah apa yang terikat di dalam-
nya. Sesosok tubuh ramping bermuka bulat telur ter-
baring tak berdaya oleh ikatan tali-tali yang melilit tu-
buhnya. Begitu pula mulutnya diikat dengan selembar 
kain ikat kepala.
“Seorang gadis!” desis Mahesa Wulung terperanjat. 
Maka iapun cepat-cepat mendekatinya serta membuka 
tali-temali yang mengikat tubuhnya. Setelah itu baru-
lah ia membuka kain pengikat mulutnya.
Gadis tadi begitu merasa tertolong nyawanya seren-
tak meledak tangis pilunya yang menyayat hati, mem-
bikin Mahesa Wulung kebingungan setengah mati.
“Tenanglah, Nona, tenanglah. Kau telah terlepas 
dari tangan orang-orang jahat itu,” kata Mahesa Wu-
lung membujuk gadis itu.
“Orang-orang itu telah menculikku dari Desa Mijen, 
Tuan. Mereka bersedia membebaskan asal orang-orang 
desa menebusnya dengan uang dan emas!”
“Kau berasal dari Desa Mijen?” tanya Mahesa Wu-
lung.
“Benar, Tuan. Dan bila orang-orang desa tidak mau 
menebusku, si Jaramala akan memaksaku menjadi 
isterinya!” ujar gadis itu disertai isakan-isakan tangis. 
“Perkenankan aku mengucapkan terima kasih yang tak 
terhingga, Tuan. Kalau Tuan tidak datang menolongku, 
entah apa jadinya dengan diriku.”
“Di mana Jaramala menculik Nona?” tanya Mahesa 
Wulung.
“Di mata air di sebelah selatan desa, Tuan. Mereka 
melarikan diriku selagi aku tengah mengambil air mi-
num. Kemudian aku lihat Jaramala menyuruh seorang 
anak buahnya untuk mengirim surat ke desa kami, 
agar mereka menebusku dengan uang dan emas. Kami 
orang-orang tani kecil, Tuan, hingga mustahil kiranya

menyediakan syarat-syarat itu.”
“Hmmm,” gumam Mahesa Wulung sangat geram-
nya. “Tapi Nona tak perlu kuatir lagi. Aku akan meng-
antarmu pulang ke Desa Mijen.”
“Terima kasih, Tuan,” gadis itu berkata lembut. 
“Maaf, sedari tadi aku belum menyebutkan namaku. 
Perkenalkanlah aku bernama Endang Seruni... dan 
siapakah nama Tuan?”
“Eh, panggil saja aku Mahesa Wulung dari Demak,” 
kata Mahesa Wulung sambil menganggukkan kepala, 
sebagai tanda perkenalan. Demikian pula gadis itu.
“Nah, bersiaplah Nona, sebentar lagi kita berang-
kat.”
“Baik, Tuan,” berkata gadis itu dengan senyum yang 
manis.
Demikianlah, setelah keduanya berkemas-kemas, 
merobohkan gubuk ilalang serta membersihkan tempat 
itu, segera Endang Seruni didudukkan Mahesa Wu-
lung ke atas punggung kudanya, sedang ia sendiri 
duduk di belakangnya. Dengan sedikit sentakan tali 
kekangnya, kuda itu menderap ke depan serta berpacu 
kecil-kecil.
Mereka berpacu ke utara menuruti lembah sungai 
yang penuh ditumbuhi oleh semak pohon gelagah 
berseling-seling pohon tebu. Endang Seruni yang 
duduk di depan itu berdiam diri. Pikirannya disibuki 
oleh pertanyaan-pertanyaan tentang si penolongnya 
yang berwajah tampan itu. Rupanya Mahesa Wulung 
pun begitu pula. Dalam hati iapun bertanya-tanya, 
mungkinkah gadis ini putri dari Ki Lurah Mijen seperti 
yang pernah didengarnya?
Memang gadis yang duduk di depannya ini, berkulit 
sawo matang, sangat manis. Alisnya yang lengkung 
dengan bulu matanya yang hitam berkilat ditambah

dengan bola matanya yang bulat bersinar, benar-benar 
membuat wajah Endang Seruni semakin manis.
Sekali-kali Endang Seruni sambil melihat peman-
dangan di kiri-kanan, sempat pula mencuri pandang 
ke wajah Mahesa Wulung. Dan bila begitu, tentu saja 
hatinya berdetak keras, seakan-akan darahnya men-
jadi penasaran mengalir cepat.
Mahesa Wulung yang duduk di belakangnya dapat 
merasakan pula kehangatan tubuh Endang Seruni. 
Namun bila mereka menatap barisan petak-petak sa-
wah jauh di utara, Mahesa Wulung menambah kecepa-
tan lari kudanya. Mereka seolah-olah dibawa terbang 
oleh kuda Mahesa Wulung yang berlari kencang me-
nempuh angin. Itulah daerah persawahan Desa Mijen.
“Adi Endang Seruni, eh, maaf, Nona. Bolehkah aku 
memanggilmu dengan tadi?” kata Mahesa Wulung 
memecahkan kebisuan antara mereka.
“Oh, begitulah aku lebih senang, Tuan. Tentunya 
aku akan memanggilmu dengan Kakang Mahesa Wu-
lung. Begitu, bukan?” ujar Endang Seruni sambil 
melirik dan Mahesa Wulung tersenyum karenanya.
“Adik Endang Seruni, apakah orang di desamu 
tidak seorang pun berani menghadapi Jaramala dan 
anak buahnya?”
“Cuma beberapa orang saja yang berani, tetapi 
lainnya tak mampu berbuat apa-apa. Mereka orang-
orang tani, hingga mereka lebih cekatan memainkan 
pacul, garu dan alat pertanian lainnya daripada meme-
gang senjata. Tambahan lagi Jaramala dan anak buah-
nya jauh lebih kuat daripada mereka. Pernah pula 
seorang dari desa kami menyerang orang-orang jahat 
itu. Tetapi akibatnya mengerikan! Orang tadi dengan 
mudah dikalahkan oleh mereka dan kemudian mereka 
menggantungnya di pohon durian di pintu gerbang

desa! Dan sejak itu orang-orang desa kami menjadi 
jera menghadapi mereka.”
“Yah, memang mereka bukan tandingan orang-
orang Ki Topeng Reges, Adik! Tak bisa disalahkan, 
kalau mereka menjadi takut menghadapinya.”
“Nah, Kakang Mahesa Wulung, engkau lihat petak-
petak sawah di depan sana itu? Dan gerumbul pepoho-
nan di dekat kelokan sungai? Itulah Desa Mijen, tem-
pat aku tinggal bersama ayah, ibu dan para sanak 
desa lainnya,” ujar Endang Seruni dengan mata berka-
ca-kaca saking girangnya. Ia dapat membayangkan 
betapa ayah ibunya akan gembira menerima kedata-
ngannya.
Desa itu makin lama makin bertambah dekat. 
Mereka berdua mulai mencapai daerah persawahan 
yang luas. Bunga-bunga padi tengah berkembang me-
nyebarkan bau sedap ke udara, membayangkan hasil 
jerih payah serta keringat para petani yang telah 
menanamnya dengan hati-hati. Setelah melewati tanah 
persawahan, keduanya telah tiba di sebuah jalan yang 
membelok ke sebuah gerombolan pohon-pohonan rak-
sasa. Di pintu gerbang masuk, mereka melihat seba-
tang pohon durian yang tumbuh dengan megahnya.
Ketika tiba di desa itu, Mahesa Wulung segera me-
narik-narik tali kekang kudanya agar ia memperlambat 
derap kakinya. Begitulah maka keduanya melewati 
jalan desa itu, yang di kiri kanannya dipagari oleh 
rumah-rumah. Beberapa orang melihat kedatangan 
mereka, segera memanggil teman-teman lainnya dan 
sebentar saja tampaklah beberapa gerombol penduduk 
desa berdiri di sepanjang tepi jalan itu sambil terse-
nyum-senyum ramah. Laki-laki, wanita, anak-anak, 
tua dan muda pada berjajar di tepi jalan desa. Satu 
dua orang kelihatan berbisik-bisik kepada teman di

sebelahnya dan sejurus kemudian mereka tersenyum 
atau mengangguk-anggukkan kepala. Hal ini membuat 
Mahesa Wulung bertanya-tanya di dalam hati. “Hmm, 
apakah yang mereka bisikkan tadi? Agaknya ada sesu-
atu yang menarik perhatian mereka.”
Wajah-wajah penduduk desa yang menyambut 
kedatangan mereka, tampaklah memancarkan kerama-
han serta kegembiraan. Beberapa dari mereka bergu-
mam. “Oh, itu Endang Seruni telah kembali.”
“Siapakah pemuda yang mengantarnya ini?”
“Cakap dan tampan bukan?” gumam yang lain.
“Ah, sungguh beruntung pemuda itu, dan keduanya 
memang amat serasi.”
“Pasti dia seorang pendekar gemblengan.”
“Mengapa kau berkata begitu?”
“Nah, lihatlah tubuhnya yang perkasa itu dan juga 
pedangnya yang tergantung di pinggang. Agaknya ia 
seorang ahli bermain pedang.”
Demikianlah, telinga Mahesa Wulung yang setajam 
pisau dapat menangkap gumam serta bisikan dari mu-
lut orang-orang yang berdiri di tepi jalan. Beberapa 
anak kecil segera mengikuti mereka di belakang kuda 
sambil berjingkrakan. Kemudian beberapa orang ikut 
pula mengiringkan mereka hingga sebentar saja telah 
merupakan rombongan kecil, bahkan mirip sebuah 
arak-arakan, apabila satu dua orang bergabung pada 
rombongan itu. Di antara mereka tampak pula orang-
orang wanita.
“Kakang Mahesa Wulung, teruslah kita menuju ke 
rumah itu,” ujar Endang Seruni sambil menunjuk ke 
sebuah rumah yang agak lebih besar daripada rumah-
rumah lainnya, berpagar anyaman bambu cukup ting-
gi. Rumah ini menghadap ke arah selatan, berhalaman 
luas dan berhiaskan tanaman bunga-bunga. Di kiri

kanan rumah terpancanglah dua tonggak bambu yang 
digantungi oleh sangkar-sangkar burung perkutut 
yang sekali-sekali bersuara dengan merdunya.
“Adi Endang Seruni, mengapakah orang-orang itu 
mengikuti kita?” bertanya Mahesa Wulung.
“Entah, Kakang. Aku pun tak mengerti. Bisa juga 
mereka ingin mendengar kisahku dan juga tentang si 
Jaramala dengan anak buahnya.”
Mahesa Wulung lalu menghentikan kudanya tepat 
di depan gerbang masuk halaman itu, yang dijaga oleh 
dua orang bersenjata tombak.
Dengan sigap Mahesa Wulung meloncat turun dari 
punggung kudanya dan kemudian ia menurunkan 
Endang Seruni ke tanah. Mereka memasuki gerbang 
itu dan tibalah di halaman luas tadi.
Di situ telah pula menanti beberapa orang. Di an-
tara mereka berdirilah seorang laki-laki yang setengah 
tua dengan garis-garis wajah yang segar dan kuat. Di 
sampingnya, berdiri seorang wanita yang agak lebih 
muda dari laki-laki tadi.
Begitu Endang Seruni yang berdiri di halaman meli-
hat wanita tadi, segera ia menghambur lari ke arahnya. 
Demikianlah pula dengan wanita itu. Ia menyambut 
Endang Seruni dengan pelukan mesra serta jerit 
tertahan. “Ooh anakku Ngger, Endang Seruni.”
Wanita itu mengelus-elus rambut Endang Seruni 
sambil bercucuran air matanya. “Kau selamat Ngger, 
kau telah kembali kepada kami. Oh Tuhan Yang Maha 
Pengasih telah mempertemukan kita kembali Ngger.”
Laki-laki tua di samping mereka yang tidak lain 
adalah Ki Lurah Mijen itupun ikut pula mencucurkan 
air mata girang bercampur keharuan. Betapa rasanya, 
kalau ia sudah tak mempunyai harapan serta berputus 
asa mendapatkan putrinya kembali, kini tiba-tiba telah

bertemu kembali dengan gadisnya itu.
Setelah sejenak mereka saling melepaskan serta 
mencurahkan kerinduan dan keharuannya, Endang 
Seruni secara singkat telah menceriterakan lelakon-
nya. Maka sesaat kemudian Ki Lurah Mijen mendekati 
Mahesa Wulung dengan tersenyum ramah.
“Marilah, Kisanak, kita duduk-duduk di dalam pen-
dapa agar kami dapat lebih puas mendengar kisah ten-
tang perjuangan Kisanak dalam membebaskan Endang 
Seruni dari penjahat-penjahat itu.”
“Terima kasih, Bapak,” kata Mahesa Wulung dengan 
mengangguk hormat. Dalam hati sebetulnya ia merasa 
segan untuk menceriterakan pertempurannya melawan 
Jaramala dengan anak buahnya. Dasar ia memang 
bukan orang yang suka menonjol-nonjolkan diri atau 
pun menceriterakan kelebihan serta kedudukannya.
Namun sebuah suara yang bernada angker telah 
memecah suasana.
“Nanti dulu, Ki Lurah! Apakah Ki Lurah tidak 
memeriksa lebih dulu orang ini!”
Tampaklah seorang yang sedari tadi berdiri di 
belakang Ki Lurah Mijen telah melangkah ke depan 
dan berdiri di samping Mahesa Wulung. Kata-kata itu 
sungguh berpengaruh sekali sehingga membuat Ki 
Lurah Mijen tampak mengerutkan keningnya dengan 
menatap orang itu.
“Apakah maksudmu, Sela Ganden?” tanya Ki Lurah 
Mijen sambil mengawasi orang yang dipanggil Sela 
Ganden, berperawakan kekar dengan otot-otot yang 
bertonjolan pada lengan, dada dan kakinya. Ia menge-
nakan baju biru tua berlengan pendek di atas siku, 
sedang celananya dari kain lurik lengkap dengan kain 
batiknya. Dari ikat kepalanya yang berwarna merah 
saga dan ikat pinggangnya yang lebar, Mahesa Wulung

sibuk menduga-duga kedudukan si Sela Ganden. 
Agaknya ia adalah seorang pejabat keamanan desa ini, 
sebagai seorang jagabaya yang bertanggung jawab 
terhadap segi keamanan desanya.
“Aku kurang pasti terhadap orang ini, Ki Lurah,” 
Sela Ganden berkata sambil melirik ke arah Mahesa 
Wulung dengan tajam. “Apakah dia betul-betul orang 
yang menolong putri Ki Lurah dari gerombolan Jara-
mala itu?”
“Sudah aku katakan,” sela Endang Seruni. “Apakah 
Kakang Sela Ganden masih kurang percaya dengan 
omonganku?”
“Beribu maaf, Nona!,” jawab Sela Ganden. “Bukan-
nya aku tak percaya ceriteramu itu. Tetapi orang itulah 
yang kurang aku percaya. Maksudku apakah ia orang 
yang baik-baik?”
Kata-kata Sela Ganden itu terasa bagai sambaran 
geledek di siang bolong oleh telinga Mahesa Wulung, 
menyebabkan pendekar muda ini darahnya bergejolak.
“Mengapa Kakang Sela Ganden berkata demikian?!”
sekali lagi Endang Seruni bertanya. “Bukankah dia 
telah menolongku dari penjahat-penjahat itu?”
“Nah, itulah yang aku ragukan tentang dirinya. 
Apakah tidak mungkin dia sendiri adalah kaki tangan 
dari Ki Topeng Reges?” ujar Sela Ganden.
Mahesa Wulung makin mendidih darahnya. Un-
tunglah ia seorang perwira yang cukup terlatih, sehing-
ga meskipun darahnya seolah-olah telah merunyam-
kan kepala, ia tetap menunjukkan sikap yang biasa 
saja. Wajahnya tetap cerah. Tak ubahnya sebuah 
sungai yang dalam, meskipun permukaannya tenang 
tapi dasarnya penuh pergolakan dan aliran-aliran yang 
siap menenggelamkan apa saja.
“Kaki tangan Topeng Reges?” sela Ki Lurah Mijen

keheranan. “Kan tadi Endang Seruni telah berceritera 
bahwa Kisanak Mahesa Wulung ini telah menewaskan 
tiga orang anak buah Jaramala. Dan kalian tahu, Jara-
mala adalah murid Ki Topeng Reges sendiri. Kalau kau 
berkata Kisanak ini juga anak buah Ki Topeng Reges, 
mana mungkin? Apakah sesama gerombolan mereka 
telah saling membunuh?”
Sela Ganden tak dapat berkata-kata setelah mende-
ngar tutur Ki Lurahnya. Namun agaknya ia kurang 
puas juga dan mulutnya yang dihiasi kumis meleng-
kung ke atas serta lebat itu berkata kembali, “Mungkin 
juga, Ki Lurah. Sebab dengan mengorbankan beberapa 
orang anak buahnya yang tak berarti, ia telah berpura-
pura membebaskan Endang Seruni agar dia dapat 
menyelundup ke tengah-tengah kita!”
“Terlalu berprasangka kau, Sela Ganden! Apa yang 
telah kau katakan tadi, semua serba mungkin, tanpa 
bukti kenyataan. Biar begitu, aku tetap menghargai-
mu. Semua itu menunjukkan ketelitian serta hati-
hatimu. Namun aku pun berharap, agar sekali ini kau 
biarkan Kisanak ini sebagai tamuku. Aku yang akan 
bertanggung jawab kepadamu, kepada segenap pen-
duduk desa ini. Kalau nantinya ternyata Kisanak ini 
anak buah Topeng Reges, akulah yang akan pertama-
tama menusuk dadanya dengan kerisku ini.”
Sela Ganden terkejut pula melihat Ki Lurah melolos-
kan kerisnya, lalu diacungkan ke atas udara. Bagai-
manapun juga ia merasakan pula kewibawaan orang 
tua ini, hingga kepalanya tertunduk ke tanah tak 
berani membantahnya lagi.
“Terserah atas kehendak Ki Lurah,” ujar Sela Gan-
den pendek. “Kalau itu sudah menjadi keyakinan Ki 
Lurah, aku tak akan menyangkalnya.”
“Nah, itulah harapanku, Sela Ganden,” berkata Ki

Lurah Mijen sambil menarik nafas dalam-dalam. 
Kemudian ia sekali lagi mempersilakan naik ke dalam 
pendapa kepada tamunya, Mahesa Wulung.
Sebetulnya dalam hati Ki Lurah Mijen merasa 
kecewa dengan sikap Sela Ganden yang sok main 
menangan dan keras kepala. Sikapnya sebagai seorang 
Jagabaya, penjaga keamanan desa, kadang-kadang 
sering berlebih-lebihan dari yang semestinya.
Tak lama kemudian duduklah mereka di atas balai-
balai besar di tengah pendapa kelurahan Desa Mijen. 
Tampak Ki Lurah Mijen dengan isterinya, Endang 
Seruni, Mahesa Wulung, Sela Ganden serta dua orang 
pembantunya.
Dan kemudian mereka mulai berbicara tentang diri-
nya masing-masing dengan ramahnya. Sedikit kesalah-
pahaman yang tadi timbul, kini hilang larut bersama 
mengalirnya hidangan-hidangan serta minuman yang 
membasahi kerongkongan mereka.
Demikian pula Mahesa Wulung berusaha menekan 
perasaannya yang tadi telah tergores oleh kata-kata 
serta sikap Sela Ganden yang kelewat batas, sehingga 
bila pandangan mata mereka bertemu, tergoncanglah 
dada-dada mereka kembali, seperti tergetar oleh dua 
benturan dahsyat.
Di lain pihak, Endang Seruni berkali-kali mencuri 
pandangan ke arah wajah Mahesa Wulung. Kalau tadi 
waktu berkuda ia tak sempat menatap wajah yang 
tampan itu, kini terbuka luaslah kesempatan ini.
Sampai sejauh itu, Mahesa Wulung belum menceri-
terakan siapakah dia sebenarnya. Mereka hanya 
mengenalnya dengan nama Mahesa Wulung dari 
Demak.
“Bapak Ki Lurah Mijen, apakah gerombolan Jara-
mala itu sering mengacau desa ini?” tanya Mahesa

Wulung.
“Yah, begitulah, Kisanak,” jawab Ki Lurah kepada 
Mahesa Wulung. “Mereka sering muncul serta menga-
cau desa ini. Untunglah sedikit-sedikit kami mempu-
nyai orang-orang pemberani yang sanggup mencegah 
pengacauan mereka. Di antaranya adalah Jagabaya 
Sela Ganden ini.”
Mendengar namanya disebut, Sela Ganden merasa 
berbangga diri. Maka diangkatlah wajahnya sambil 
mengelus-elus kumisnya.
Mahesa Wulung yang melihat tingkah Sela Ganden 
merasa kurang senang jadinya. Tetapi agaknya orang 
ini sangat berpengaruh karena jabatannya sebagai 
jagabaya, sehingga ia menganggap dirinya paling tahu 
dan berkepentingan terhadap keamanan desanya. Apa-
lagi setelah Endang Seruni terculik oleh orang-orang 
Jaramala dan ia tanpa dapat berbuat apa-apa, ia men-
jadi seakan-akan kurang bertanggung jawab dan 
pengecut. Kalau sebenarnya ia ingin pula membebas-
kan Endang Seruni dari tangan-tangan gerombolan 
Jaramala, ternyata hal ini tidak disetujui oleh Ki 
Lurah, sebab orang tua ini kuatir kalau-kalau Sela 
Ganden dan teman-temannya akan menjadi korban 
pula dari keganasan gerombolan Jaramala. Dengan be-
gitu maka desa ini akan kehilangan orang-orang berani 
dan akibatnya akan jauh lebih parah dan berbahaya 
bagi segi keamanan. Maka setelah Endang Seruni 
terculik, namanya seakan-akan jatuh karenanya. Na-
manya yang semula sangat angker dan selalu disegani 
oleh segenap sanak pedesaan, menjadi seakan-akan 
tercoreng oleh arang hitam. Dan karenanya, bila ia 
telah melihat bahwa seseorang telah berhasil membe-
baskan Endang Seruni, maka hatinya menjadi sete-
ngah iri hati, terhina, atau pun dirinya merasa diren

dahkan oleh si Mahesa Wulung, seorang asing yang 
kini duduk di pendapa kelurahan. Perasaan tadi ber-
campur aduk di dalam otaknya membuat pening di 
kepala. Sebagai seorang jagabaya yang bertanggung 
jawab dalam bidang keamanan yang seharusnya mem-
bebaskan Endang Seruni, kini melihat bahwa orang 
lainlah yang telah berhasil membebaskannya dari 
cengkeraman penjahat-penjahat itu, tanpa menebus-
nya dengan emas ataupun uang.
Apalagi Sela Ganden masih mengingat dengan baik 
akan kata-kata sayembara Ki Lurahnya, bahwa siapa 
saja yang berhasil membebaskan Endang Seruni dari 
tangan gerombolan orang-orang Jaramala, maka ia 
akan mendapat hadiah yang tak ternilai harganya. 
Orang itu kalau seorang laki-laki akan dikawinkan 
dengan Endang Seruni, dan bila ia seorang wanita, 
akan diangkatnya sebagai saudara kandungnya.
Oleh sebab itulah maka berkali-kali Sela Ganden 
melirik ke arah Mahesa Wulung dengan tajam. Ia dapat 
membayangkan betapa bahagianya pemuda itu nanti 
akan dapat mempersunting bunga tercantik dari desa-
nya ini. Pemuda itu akan duduk bersanding dengan 
Endang Seruni sebagai pengantin laki-laki dan akan 
disahkan sebagai suaminya.
Sebaliknya dengan diri Mahesa Wulung. Ia tak 
habis herannya melihat sikap kurang senang dan 
kecurigaan Sela Ganden terhadap dirinya. Apakah 
gerangan yang menyebabkannya? Mahesa Wulung tak 
mengetahui, bahwa dengan membebaskan Endang 
Seruni dari tangan penjahat-penjahat itu, ia secara 
langsung telah menjadi calon suami Endang Seruni. 
Justru hal inilah yang telah diimpi-impikan oleh Sela 
Ganden.
Sementara itu Ki Lurah Mijen sendiri tak puas

puasnya menatap wajah pemuda penolong anaknya.
Memang keduanya sangat serasi untuk pasangan 
mempelai, sebagai suami istri. Kedua wajah mereka 
tampak kemiripannya dan orang tua ini lalu jadi ter-
ingat akan tutur kata nenek moyangnya, bahwa sese-
orang akan menjadi jodohnya sebagai suami isteri bila 
keduanya mempunyai wajah yang mirip. Ia sudah 
dapat membayangkan bahwa pemuda inilah kelak 
yang bakal mengganti kedudukannya sebagai Lurah 
Desa Mijen, serta membimbing segenap sanak desanya 
menuju kepada kemakmuran dan kesejahteraan.
Maka sejurus kemudian, setelah suasana agak 
hening, berkatalah Ki Lurah itu dengan terbatuk-batuk 
kecil sebelumnya. Ia tengah memilih kata-kata yang 
bakal diutarakan di hadapan Mahesa Wulung, calon 
menantunya.
“Eh, Kisanak Mahesa Wulung, disamping bapak 
mengucapkan terima kasih yang segunung anakan 
besarnya, ada pula sesuatu hal yang akan kuutarakan 
kepada Kisanak.”
“Silakan, Bapak. Silakan Bapak mengutarakan apa 
yang Bapak maksudkan. Jika masih ada kesulitan, 
saya akan dengan senang hati membantu menyelesai-
kannya,” berkata Mahesa Wulung.
Mendengar perkataan itu, Sela Ganden bertambah 
panas hatinya. Perkataan tadi dirasanya bagai senga-
tan kala berbisa, bahkan dianggapnya sebagai satu 
sindiran pedas bagi dirinya yang tak mampu berbuat 
apa-apa terhadap gerombolan Jaramala.
“Beginilah Kisanak Mahesa Wulung. Sejak diculik-
nya anakku Endang Seruni ini, aku telah mengadakan 
satu sayembara.”
“Sayembara?” Mahesa Wulung bergumam kaget.
“Benar, Kisanak. Aku telah bersayembara, bahwa

barang siapa dapat membebaskan Endang Seruni dari 
tangan-tangan jahat gerombolan Jaramala, maka ia 
akan kutetapkan sebagai calon suami anakku dan 
kemudian akan kukawinkan dengan dia.”
“Oooh, jadi... jadi Bapak telah....” Mahesa Wulung 
tak kuasa meneruskan kata-katanya. Rasa bahagia 
dan juga rasa kebingungan bercampur-baur dalam 
benaknya. Betapa tidak bahagia, kalau tiba-tiba saja ia 
harus menyunting gadis yang begitu manis dengan 
wajah keibuan yang lembut dan sejuk serta berambut 
panjang beralun sampai ke pinggangnya. Tetapi di saat 
itu pula ia teringat kepada Pandan Arum yang telah 
mencintainya.
“Yah, bapak telah menetapkan satu perkawinan 
Angger Mahesa Wulung dengan anakku Endang 
Seruni,” sambung Ki Lurah Mijen melanjutkan kata-
kata Mahesa Wulung yang putus tak terselesaikan.
“Maaf Bapak, beribu-ribu maaf bila aku pun akan 
mengutarakan sesuatu ke hadapan Bapak,” ujar 
Mahesa Wulung dengan bernada gemetar parau.
“Oh, tak apalah, Angger. Katakanlah! Sebagai calon 
mertua, bapak akan bersedia membantu,” sahut Ki 
Lurah dengan ramahnya.
“Tetapi aku mengharap agar hal ini tidak membuat 
kesalah-pahaman terhadap Ki Lurah dan para sanak 
kadang di sini,” kata Mahesa Wulung pula.
“Ya, ya, katakanlah, Angger. Katakanlah, agar kami 
dapat memecahkan sesuatu yang mungkin menggang-
gumu!”
“Begini Bapak, anugerah itu sangat tak terduga dan 
teramat besar bagi diriku ini. Aku belum dapat meneri-
manya sekarang.”
Ki Lurah Mijen berkerut keningnya mendengar per-
kataan Mahesa Wulung dan demikian pula dengan Nyi

Lurah dan Endang Seruni sendiri. Sedang Sela Ganden 
lain sekali, ia menyeringaikan mulutnya atas kata-kata 
itu. Hal itu menimbulkan satu pikiran yang licik dan 
akan dipergunakannya sebagai balasan sakit hatinya 
terhadap kedatangan Mahesa Wulung di tengah-tengah 
kehidupannya.
“Apakah itu berarti Angger Mahesa Wulung menolak 
untuk kukawinkan dengan anakku, Endang Seruni?” 
kata Ki Lurah Mijen kemudian. “Agaknya anakku 
kurang memadai untuk menjadi isteri Angger?”
“Bukan begitu, Bapak.”
“Atau mungkin Angger Mahesa Wulung telah ber-
isteri pula?” ujar Ki Lurah mendesak.
“Belum, Bapak,” jawab Mahesa Wulung.
“Nah, kalau begitu apakah ada hal-hal lain yang 
menyebabkan Angger belum bersedia menerima 
Endang Seruni sekarang ini?”
“Begitulah sebenarnya, Ki Lurah. Memang aku 
masih mempunyai tugas yang berat, yaitu menangkap 
Ki Topeng Reges dan muridnya si Rikma Rembyak!”
Serentak mereka menjadi terperanjat mendengar 
ujar Mahesa Wulung itu. Nama-nama Topeng Reges 
dan Rikma Rembyak adalah nama-nama yang mena-
kutkan bagi mereka. Dan bila sekarang ini tamunya 
berkata akan menangkap kedua ‘hantu’ itu, mereka 
jadi sibuk menduga-duga, siapakah sebenarnya pemu-
da ini?
“Di samping itu pula,” sambung Mahesa Wulung, 
“ada pula seorang gadis yang telah mencintaiku. Inilah 
yang membingungkanku, Ki Lurah, sehingga aku 
belum dapat menyatakan pendapatku.”
“Jadi Angger Mahesa Wulung tidak menolak anakku 
Endang Seruni, tetapi menerimanya pun belum berse-
dia pula?” kata Ki Lurah menegaskan.

Mahesa Wulung cuma mengangguk membenarkan. 
Ia pun sadar bahwa menolak maksud Ki Lurah Mijen 
itu sama dengan menghinanya terang-terangan, dan 
ini bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan 
bagi dirinya.
Tapi di saat itu pula, agaknya Sela Ganden telah 
menemukan jalan bagi maksudnya membalaskan sakit 
dan iri hatinya terhadap Mahesa Wulung. Dan kemu-
dian ia menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. 
Maka dengan tiba-tiba Sela Ganden menunjuk ke arah 
muka Mahesa Wulung sambil membentak keras me-
ngejutkan siapa saja, lebih-lebih bagi Mahesa Wulung 
sendiri.
“Bohong! Sungguh kurang ajar kowe! Kau berani 
menghina derajat Ki Lurah desa ini. Semua tutur kata-
mu tadi hanya alasan melompong belaka. Kau bermak-
sud merendahkan kewibawaan Bapak Lurah! Dengan 
begitu secara langsung kau telah menantangku! Seba-
gai seorang jagabaya, aku bertanggung jawab terhadap 
ketenteraman dan keamanan desa ini, dan hal ini telah 
kau rusak sama sekali!”
“Nanti dulu, Sela Ganden. Aku tak menghendaki 
keributan di desa ini. Bersabarlah terhadap Angger 
Mahesa Wulung ini. Dia adalah tamuku,” sela Ki Lurah 
Mijen.
Sesaat Mahesa Wulung kebingungan mendengar 
kata-kata itu. Ia sadar bahwa hal ini bisa menimbul-
kan satu keributan. Satu kekalutan yang telah dipan-
cing oleh Sela Ganden dengan sengaja.
“Tamumu ini telah mempertolol kita. Betapa ia tidak 
merusak ketenteraman kita. Coba Ki Lurah bayang-
kan, kalau betul-betul ia telah bersusah payah ber-
tempur melawan orang-orang gerombolan Jaramala 
untuk membebaskan Endang Seruni, dan kini setelah

ia berhasil ia telah menolak kemenangannya, menolak 
hadiah sayembara dari Ki Lurah!”
“Maaf, Kisanak Sela Ganden. Aku tak menginginkan 
keributan di sini. Toh Bapak Lurah Mijen telah dapat 
memahami penuturanku tadi,” berkata Mahesa 
Wulung dengan sabarnya.
“Benar, Sela Ganden. Aku telah memahami alasan 
Angger Mahesa Wulung, sebab ia masih mempunyai 
tugas yang cukup berat,” sambung Ki Lurah tua itu.
“Apa faedahnya Ki Lurah meladeni alasan dan oce-
han-ocehan si Mahesa Wulung ini. Kalau dia ternyata 
seorang laki-laki sejati, ia harus berani mengambil
satu keputusan di saat ini juga,” Sela Ganden berkata 
lantang sambil melototkan mata. “Kau telah berani 
secara lancang mengganggu ketenteraman kami dan 
untuk itu, kau harus mendapat hajaran yang setimpal 
dari tangan Sela Ganden ini dan para jagabaya lain-
nya. Bukankah begitu, Adi Sorogenen dan Pakisan?!”
Sela Ganden menoleh kepada kedua orang pemban-
tunya yang duduk di belakang. Kedua orang ini pun 
mengangguk kaku membenarkan. “Benar, Kakang Sela 
Ganden. Itu sudah patut bagi seorang asing yang telah 
berani mengganggu ketenteraman serta mencampuri 
urusan kita. Biarlah ia mendapat pelajaran sekedar-
nya!”
Sebenarnya Mahesa Wulung merasa tidak senang 
diperlakukan seperti itu. Sebagai seorang pendekar, 
kata-kata itu seperti sebuah tamparan di mukanya. 
Maka betapapun ia berusaha membendung perasaan-
nya, toh akhirnya sedikit demi sedikit tak tertahankan 
lagi. Dan ibarat sebuah bendungan air, jika ada satu 
lubang kecil saja, maka ia sudah cukup buat jalan 
keluar dan besar kemungkinan lubang kecil tadi akan 
sanggup menjebolkan seluruh bendungan.

Begitulah ibaratnya, maka tak heranlah bila wajah 
Mahesa Wulung lama-kelamaan merah membara. Sua-
tu tanda bahwa hatinya mulai terbakar. Lebih-lebih 
setelah ia mendengar kata-kata Sela Ganden berikut-
nya.
“Ayo Mahesa Wulung, lekas keluar ke halaman! Kau 
harus menerima pelajaran dari kami!”
Akan tetapi Mahesa Wulung masih terdiam diri, 
sebab ia benar-benar tidak ingin membuat keributan di 
tempat ini. Dan jika seandainya keributan terpaksa 
terjadi, maka hal itu janganlah dirinya yang memulai, 
tetapi harus dari pihak Sela Gandenlah asalnya!
Sementara itu, Ki Lurah Mijen tak mampu berbuat 
apa-apa terhadap ketiga orang jagabayanya. Ia sudah 
cukup hafal dengan tingkah laku Sela Ganden yang 
sok main menangnya sendiri. Semula ia bermaksud 
mencegah Sela Ganden, tetapi ketika ia menatap 
tubuh, gerak-gerak serta sikap Mahesa Wulung, Ki 
Lurah tua yang sudah cukup banyak makan asam 
garam kehidupan menjadi yakin bahwa Mahesa 
Wulung bukan orang yang sembarangan.
Ketika ternyata Mahesa Wulung masih belum 
beranjak dari tempat duduknya, Sela Ganden segera 
mengerdipkan matanya kepada kedua orang pemban-
tunya yang kontan tersenyum lebar menyeringai. Oleh 
karenanya Pakisan tampak bangkit berdiri dan me-
langkah ke arah Mahesa Wulung. Tangannya meng-
goncang pundak Mahesa Wulung.
“Ayo, Kisanak, keluarlah! Mari kita sekadar ber-
main-main di halaman.”
Mahesa Wulung merasa betapa pundaknya digon-
cang oleh Pakisan, namun sekali lagi ia masih men-
coba bersabar diri, dan berkata dengan tenangnya, 
“Jangan coba memaksaku untuk berbuat keributan,

Kisanak!”
“Heh, kau mau membandel, ya?!” bentak Pakisan 
seraya mencengkeram pundak Mahesa Wulung lebih 
keras, sekeras cengkeraman cakar-cakar burung elang 
yang tengah menggenggam mangsanya! Oleh hal ini, 
Mahesa Wulung terperanjat dan sekarang ia sudah tak 
mau lebih bersabar, sebab kesabaran toh akhirnya ada 
batasnya pula. Kesabaran yang kelewat batas bisa 
menyebabkan seseorang diinjak-injak harga dirinya.
“Keluar! Kita sama laki-lakinya. Tunjukkan kejanta-
nanmu!” terdengar Sela Ganden ikut membentak sam-
bil mencibirkan bibirnya yang bernada merendahkan 
terhadap Mahesa Wulung.
“Kakang Mahesa Wulung, jangan kau turuti 
kehendaknya!” Endang Seruni ikut menyela dengan 
rasa cemas.
“Maaf Endang Seruni, ini adalah urusan laki-laki, 
dan Nona tidak perlu mencampurinya! Agaknya tamu 
kita ini seorang pengecut dan....”
Pakisan tak dapat meneruskan kata-katanya apa-
bila sebuah tangan yang kokoh laksana terbuat dari 
baja, tahu-tahu menangkap tangannya dan menghen-
takkannya dengan kekuatan yang luar biasa hebatnya. 
Maka akibatnya hebat sekali. Tubuh Pakisan terpelan-
ting jungkir balik ke arah halaman dengan mengaduh.
Hampir semua mulut ternganga melihat gerakan 
Mahesa Wulung yang tiba-tiba dan menyebabkan Paki-
san terpelanting seperti sebuah sabut tanpa daya. 
Mendadak mereka lebih dikejutkan lagi dengan mele-
satnya tubuh Mahesa Wulung keluar pendapa, ke arah 
halaman di mana Pakisan jatuh terjerembab di hala-
man kelurahan.
Sela Ganden dan Sorogenen sadar akan bahaya 
yang mengancam jiwa Pakisan, maka keduanya segera

bangkit serta meloncat keluar menuju ke halaman. Me-
reka melihat betapa dengan tenangnya Mahesa Wu-
lung berdiri menghadap Pakisan yang tengah berusaha 
bangkit dari jatuhnya.
Dengan sigapnya Pakisan tadi meloncat berdiri dan 
kakinya bekerja dengan cepat menyambar ke arah 
lambung Mahesa Wulung. Tetapi dengan secepat angin 
Mahesa Wulung menggeser kaki kirinya ke belakang 
setengah lingkaran hingga serangan Pakisan ini gagal. 
Berbareng itu pula Mahesa Wulung mengirim sebuah 
pukulan sisi telapak tangan kanannya ke dada Paki-
san. Lawan Mahesa Wulung inipun agaknya cukup 
waspada. Sebelum pukulan itu bersarang ke dadanya, 
Pakisan telah melompat ke samping dengan cepat. Na-
mun bersamaan itu pula Mahesa Wulung telah mengi-
rimkan tendangannya dan tepat mengenai paha Paki-
san yang membuat orang ini kehilangan keseimbangan 
untuk kemudian jatuh terjengkang ke tanah. Panda-
ngan matanya menjadi berputaran berkunang-kunang.
Ternyata Pakisan tergolong orang yang berjasmani 
kuat, maka iapun cepat-cepat berdiri tegak kembali. 
Giginya gemertakan menahan marah. Ia merasa ka-
gum sebenarnya bahwa lawannya ini mempunyai 
gerakan yang cepat dan lincah. Mata Pakisan melirik 
ke arah Sela Ganden dan Sorogenen yang telah berdiri 
di halaman pendapa, tidak jauh dari Ki Lurah Mijen, 
Nyi Lurah dan Endang Seruni yang telah pula berdiri 
di situ.
“Adi Pakisan, ini pakailah pedangku!” terdengar 
Sorogenen berseru sambil melemparkan sebilah pe-
dang ke arah Pakisan.
Sekejap saja dengan tangkas si Pakisan menggerak-
kan tangannya menyambar pangkal pedang itu. Kini 
tergenggamlah di tangannya sebilah senjata yang

cukup berbahaya bagi Mahesa Wulung. Karenanya 
Endang Seruni terpekik kecil kecemasan dan men-
dekap ibunya.
Pakisan tertawa terkekeh-kekeh setelah menggeng-
gam pedang itu. Sebagai jago pedang kedua disamping 
Sorogenen, ia merasa berbangga hati mendapat kesem-
patan memperlihatkan ilmu pedangnya di hadapan Ki 
Lurah desanya. Maka diputarlah pedang itu. Semen-
tara beberapa orang yang kebetulan lewat di depan 
rumah Ki Lurah Mijen menjadi tertarik perhatiannya. 
Mereka terpaksa berhenti melihat Jagabaya Pakisan 
memutar-mutar pedangnya di depan seorang asing di 
halaman pendapa kelurahan. Sepintas lalu mereka 
mengira bahwa para jagabaya tengah mengadakan 
latihan ketangkasan olah senjata.
“Ayo, cabutlah pedangmu, setan!” teriak Pakisan 
kepada Mahesa Wulung. Oleh sebab itu para penonton 
tadi menjadi terperanjat. Barulah sadar mereka, bahwa 
di halaman kelurahan itu tengah terjadi pertarungan 
yang sungguh-sungguh, bukan sekadar latihan olah 
senjata saja.
“Tak perlu aku mencabut pedangku, Kisanak,” ujar 
Mahesa Wulung tenang-tenang. “Aku kuatir ia akan 
kotor oleh darahmu!”
Pakisan menggeram marah mendengar kata-kata 
tajam dari mulut lawannya. Maka tanpa berkata-kata 
lagi ia membabatkan pedangnya ke dada Mahesa Wu-
lung dengan kecepatan yang mengagumkan!
Wess! Pedang Pakisan ternyata hanya menebas 
udara kosong sedang lawannya tahu-tahu telah berke-
lebat cepat dan berdiri di belakangnya. Orang-orang 
yang menyaksikan terpaksa ternganga-nganga kehera-
nan melihat gerakan yang persis sebuah bayangan.
“Aku di sini, Pakisan!” ujar Mahesa Wulung seraya

menepuk pundak Pakisan dari belakang, hingga 
membuat lawannya ini terkejut setengah mati. Ia sadar 
bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Mahesa Wu-
lung. Sebab bila sungguh-sungguh lawannya mau ber-
tindak, pastilah ia telah dipukul roboh dari belakang!
“Keparat!” teriak Pakisan sambil berputar ke bela-
kang secepat kilat sekaligus membacokkan pedangnya 
ke arah Mahesa Wulung. “Hyaaat! Wah, edan!” terde-
ngar Pakisan mengutuk lagi demi bacokan pedangnya 
meleset sebab lawannya telah melesat ke udara lak-
sana seekor belalang mencutat.
Jagabaya Pakisan menjadi lebih penasaran setelah 
kedua bacokan pedangnya dengan mudah dihindari 
oleh Mahesa Wulung. Sebagai jago pedang, ia menjadi 
malu karenanya, maka sebelum Mahesa Wulung sem-
pat menginjakkan kakinya ke tanah, ia cepat-cepat 
menyerangnya kembali. Pedangnya menyambar hebat 
ke arah kaki Mahesa Wulung.
Untuk serangan ini pun pendekar muda yang telah 
kenyang akan pengalaman itu tak kurang waspadanya. 
Kakinya diangkatnya sampai tertarik dan tubuhnya 
sejajar di tanah mengambang di udara, sehingga 
pedang Pakisan lewat sejengkal di bawah tubuhnya. 
Sungguh-sungguh mendebarkan hati yang 
menyaksikannya.
Kini Mahesa Wulung sudah cukup lama membiar-
kan lawannya memperlihatkan permainan pedangnya. 
Maka iapun cepat-cepat melayang ke bawah berbareng 
kakinya menjejak tangan Pakisan yang menggenggam 
pedang.
“Accckh!” Pakisan berteriak ngeri dan pedangnya 
terlepas dari genggamannya.
Dalam waktu yang singkat dan berbareng, tangan 
kiri Pakisan menggempur dada Mahesa Wulung, hing

ga pendekar ini tergetar karenanya. Namun tiba-tiba 
pula Mahesa Wulung melayangkan pukulan sisi tela-
pak tangannya ke dada Pakisan. Akibatnya cukup 
hebat. Biarpun ia tidak mempergunakan unsur puku-
lan mautnya Lebur Waja, tapi sudah cukup terasa 
hebat bagi Pakisan. Tubuhnya seketika terguncang 
hebat, begitu dadanya terpukul oleh tangan Mahesa 
Wulung. Pandangannya jadi semrawut dan berkunang-
kunang, kemudian ia jatuh terhenyak ke tanah dengan 
tak berdaya.
“Heeeit!” sebuah teriakan hebat terdengar dan 
Mahesa Wulung mengendap, sebab sebuah bayangan 
manusia telah menyerang dengan tusukan padang ke 
arah dirinya.
Orang ini adalah Sorogenen yang telah menye-
rangnya dengan sebilah padang.
Sorogenen segera memutar-mutar pedangnya dan 
sebentar saja senjatanya ini telah merupakan gum-
palan sinar putih yang berputar amat cepat.
“Heei, Mahesa Wulung! Lihat pedangku ini!” seru 
Sorogenen sambil memutar pedangnya ke atas separo 
lingkaran dan tahu-tahu sebuah daun kering yang 
kebetulan jatuh dari atas pohon telah terbelah dua 
tepat di tengahnya.
Mahesa Wulung menjadi terbuka kesadarannya 
bahwa Sorogenen adalah jago pedang yang cukup he-
bat. Itulah sebabnya ia secepat kilat melolos pedang-
nya pula.
“Nah itu bagus namanya, sobat!” seru Sorogenen 
kesenangan melihat lawannya telah pula melolos 
pedang. “Sekarang, aku ingin tahu sampai di mana 
kemahiranmu bermain pedang!”
Mahesa Wulung tanpa melihat lawannya segera 
membabatkan pedangnya ke udara dari kiri bawah  ke

kanan atas, dan kemudian dari atas jurus ke bawah. 
Semua mata hampir terbeliak kaget, sebuah daun 
kering pula yang melayang dari atas terpotong kecil 
menjadi empat buah!
“Kurang ajar, kau manusia sombong harus mera-
sakan pedangku ini!” Sorogenen membacok ke arah 
Mahesa Wulung yang disambut oleh lawannya dengan 
tangkisan pedangnya.
Trang!! Bunga api terloncat ke udara dan tangan 
Sorogenen tergetar nyeri. Cepat-cepat mengerahkan 
tenaganya dan menyerang kembali ke arah Mahesa 
Wulung.
Sebentar saja terjadilah lingkaran pertempuran 
yang seru. Masing-masing mengerahkan ilmu pedang-
nya. Setelah keduanya bertempur lebih dari lima belas 
jurus, terlihatlah bahwa ilmu padang Mahesa Wulung 
sedikit lebih unggul daripada lawannya. Dan tiba-tiba 
saja pedang Mahesa Wulung bergerak lebih ganas ke 
arah tubuh Sorogenen dan mengurungnya laksana 
kilatan halilintar.
Syrat! Bet! Bet!
“Oookh!” Sorogenen berteriak melongo ketika seko-
nyong-konyong ikat kepala, ikat pinggang serta kain 
batik dan juga pedangnya terbabat lepas dari tubuh-
nya. Sorogenen terpaksa mundur-mundur ke bela-
kang, sebab ia sudah tak berdaya lagi terhadap 
lawannya. Kecepatan gerakan pedang Mahesa Wulung 
betul-betul membuatnya ketakutan setengah mati. 
Hati serta keberaniannya seakan-akan menjadi meng-
kerat sekecil biji kacang karenanya.
“Hyaat! Jebol dadamu kelakon!” teriakan yang 
mengguntur terlontar ke udara bersamaan Sela Gan-
den menerjang Mahesa Wulung dengan sebuah tombak 
cagak, semacam tombak yang berujung atau bermata

dua, mirip sebuah capit dari kalajengking yang ber-
bisa.
“Kurang tepat, Kisanak!” ujar Mahesa Wulung 
sambil berkelit ke samping, hingga Sela Ganden terdo-
rong ke depan oleh tenaganya sendiri. Maka Mahesa 
Wulung menggerakkan kakinya, menendang ke lam-
bung Sela Ganden.
Namun Sela Ganden lebih waspada. Sebelum kaki 
Mahesa Wulung menerjang tubuhnya, ia berputar ke 
kanan seraya menebaskan tombak cagaknya ke arah 
kaki Mahesa Wulung! Serangan itu sangat tiba-tiba 
terjadi dan hati para penonton berdesir karenanya, 
hingga mereka sesaat menahan nafas.
Endang Seruni yang juga menyaksikan gerakan 
tombak Sela Ganden itu hampir-hampir menjerit kare-
nanya, sebab ia sadar bahwa Sela Ganden mempunyai 
ilmu permainan tombak yang terkenal dahsyat
Sebaliknya, Mahesa Wulung dengan tenang melen-
tingkan dirinya ke udara dan loloslah ia dari sambaran 
tombak cagak lawannya! Selanjutnya, sambil mendarat 
ke tanah Mahesa Wulung tak tinggal diam. Diputarnya 
pedang di tangan dan dengan gerakan secepat angin 
ditebaskannya ke kepala lawannya.
Namun Sela Ganden benar-benar seorang tangguh. 
Sebelum pedang lawannya membelah kepalanya yang 
hanya satu itu, ia cepat-cepat merunduk setengah 
berjongkok sedang tombaknya ditusukkannya me-
nyambut tebasan pedang Mahesa Wulung yang melun-
cur deras.
Traaang! Kedua senjata di tangan dua pendekar itu 
beradu nyaring sampai memercikkan bunga-bunga api 
ke udara. Keduanya semakin bertempur dengan hebat.
Dalam hati, Sela Ganden mengakui bahwa ia belum 
pernah melihat permainan pedang yang sedemikian

dahsyatnya. Pedang di tangan Mahesa Wulung itu 
menyambar-nyambar laksana burung garuda menyam-
bar mangsanya. Ganas dan lincah. Tetapi kadang-ka-
dang juga mematuk seperti ular, sampai menimbulkan 
angin yang berdesis-desis mengerikan pendengaran.
Sela Ganden terpaksa mengerahkan segenap kekua-
tan jasmani serta ilmu tombaknya dengan seksama, 
karena ia makin merasakan serangan pedang Mahesa 
Wulung yang bergulung-gulung laksana ombak Laut 
Kidul yang siap menghempas dirinya.
Demikianlah keduanya bertempur dengan dahsyat. 
Masing-masing memiliki keahlian dalam menguasai 
senjatanya. Ditambah dengan ketangkasan serta ke-
uletan semangatnya, mereka menjadi semakin sengit 
bertempur!
Mereka pun tak kalah kagumnya menyaksikan per-
mainan tombak cagak Sela Ganden yang menyambar 
dan menyerang ke segenap tubuh Mahesa Wulung dari 
semua arah. Cahaya berkilatan dari pantulan sinar 
matahari siang pada mata tombak itu, kelihatan 
melingkar-lingkar membingungkan pandangan.
Mata tombak cagak Sela Ganden yang berujung dua 
itu sungguh berbahaya bagi Mahesa Wulung. Ia harus 
berhati-hati menjaga pedangnya, apa lagi sampai kena 
tercepit di antara kedua ujung mata tombak cagak itu, 
pastilah pedangnya bisa terbetot lepas.
Sementara itu beberapa potong awan mendung 
yang kelabu kehitaman mengalir ke arah selatan, 
melewati sinar matahari siang, sehingga sinar mata-
hari itu terhalang sekali-sekali. Bayangan awan terse-
but bergerak di permukaan tanah, menyebabkan sua-
sana Desa Mijen ini sekali gelap dan sekali terang ben-
derang, silih berganti. Maka pertempuran di halaman 
kelurahan itupun menjadi semakin seram.

Mereka masing-masing telah mencoba untuk meng-
uasai keadaan. Malahan masing-masing telah mencoba 
mengerahkan segenap kekuatan dan ilmu mereka, 
maka tak heranlah bila darah mereka menjadi seperti 
mendidih menambah semangat bertempurnya berlipat-
lipat.
Pada suatu saat, Sela Ganden menyongsong teba-
san pedang Mahesa Wulung dengan ujung tombaknya 
dan apa yang selama ini diharap-harapkan, terjadilah 
sudah! Pedang Mahesa Wulung kena terjepit di sela-
sela antara kedua ujung mata tombak Sela Ganden. 
Untuk ini, Mahesa Wulung berusaha menarik pedang-
nya, namun Sela Ganden bergerak lebih cepat lagi. 
Sebelum pedang lawan itu berhasil lolos, ia telah lebih 
dahulu memilin tangkai tombak cagaknya ke kanan 
dan sekuat tenaga. Dengan begitu ia berharap agar 
Mahesa Wulung melepaskan pedangnya.
Tetapi ternyata harapannya meleset sama sekali, 
sebab Mahesa Wulung yang telah kaya akan penga-
laman olah keprajuritan itu segera pula mempererat 
genggaman pedangnya. Seketika terjadilah putar-
memutar senjata antara Mahesa Wulung dengan Sela 
Ganden. Tampaklah masing-masing mengerahkan 
segenap tenaga hingga wajah-wajah mereka menjadi 
tegang dan berkeringat. Ternyata sedikit demi sedikit 
Sela Ganden berhasil mengungkit pedang lawannya 
sehingga ia menjadi lebih berkeyakinan untuk bisa 
menjatuhkan Mahesa Wulung.
Putaran tangkai tombak Sela Ganden memang 
hebat, dan ini terasa sekali oleh Mahesa Wulung. 
Kalau ia masih bersikap begitu, pastilah akan tercabut 
lepas pedang di tangannya, maka terpaksalah ia ber-
buat lain. Ia meloncat kecil selangkah ke kiri dan seka-
ligus menebaskan pukulan sisi telapak tangan kirinya

ke arah tombak Sela Ganden.
Kraak! Tangkai tombak Sela Ganden, tepat pada 
lehernya, telah gemertak patah dan terpelanting lepas 
bersama pula dengan pedang Mahesa Wulung ke atas 
tanah. Dan kemudian disusul oleh tendangan kaki kiri 
Mahesa Wulung ke pinggang Sela Ganden, sehingga 
jagabaya bertubuh kekar ini terjungkir ke depan, 
mencium debu tanah di halaman kelurahan.
Meski dengan muka berpupur debu dan sambil 
memaki-maki, Sela Ganden cepat-cepat berdiri. “Setan 
alas! Kowe memang pendekar gemblengan! Namun 
jangan harap mampu menghadapi ilmu remasan 
tangan wesi milikku ini! Haaakh!”
Sela Ganden tiba-tiba mengangkangkan kedua 
kakinya ke samping dan tubuhnya setengah condong 
ke depan. Kemudian menyusul ia memukulkan kedua 
telapak tangannya ke atas kedua pahanya, sebelah 
kanan dan kiri berbareng.
Semua orang di halaman kelurahan itu terperanjat 
keheranan, termasuk Mahesa Wulung. Apakah yang 
akan diperbuat oleh Sela Ganden ini? Pukulan sisi 
telapak tangan Sela Ganden tadi, mula-mula perlahan 
saja dan menimbulkan suara ceplok-ceplok berbareng. 
Tetapi lama-kelamaan pukulan tadi keras dan semakin 
keras dan berakibat luar biasa. Setiap benturan 
pukulan telapak tangan Sela Ganden ke atas pahanya, 
menimbulkan getaran di tanah, seolah-olah halaman 
kelurahan ikut bergoyang karenanya.
Endang Seruni menjadi kecemasan. Demikian pula 
dengan Nyi Lurah Mijen, dan bahkan semua orang di 
situ pada berdegupan jantungnya. Mahesa Wulung 
mengeluh dalam hati bahwa keadaan berlarut-larut ke 
arah puncak ketegangan. Ia merasa heran dan kagum 
bahwa di tempat yang asing ini ia menjumpai ilmu

yang hebat, yang disebut oleh Sela Ganden sebagai 
ilmu remasan tangan wesi.
Setelah genap tiga belas kali, Sela Ganden tiba-tiba 
menghentikan pukulan anehnya tadi sambil berteriak 
ke arah Mahesa Wulung.
“Hee, keparat! Lihatlah ampuhnya remasan tangan 
wesiku ini! Kau akan terlumat olehnya. Lihat!”
Segera Sela Ganden memungut sebuah batu hitam 
dari tanah yang besarnya sebesar buah kelapa. Batu 
hitam tadi dijepitnya di antara kedua telapak tangan-
nya dan kemudian diremasnya semudah orang mere-
mas buah tomat. Pletak! Batu sebesar buah kelapa tadi 
ambyar dengan berderak keras, diiringi oleh derai 
ketawa Sela Ganden kepuasan. “Hua, ha, ha, lihat 
cecunguk! Kepalamu akan demikian pula jadinya!”
Karuan saja Mahesa Wulung tak mau bertangan 
kosong menghadapi Sela Ganden yang telah memasang 
ilmunya. Maka cepat-cepat ia pun memasang pemusa-
tan ilmunya, pukulan maut Lebur Waja. Biarpun tidak 
sehebat semula dan belum pulih akibat benturan Ki 
Topeng Reges dahulu, namun masih lumayan pula 
daripada bertangan hampa.
Sela Ganden segera bersiaga. Kedua jari-jari tangan-
nya berkembang laksana kuku-kuku cakar garuda dan 
siap meremas kepala lawannya. Keduanya segera 
sama-sama melompat menyerbu.
Mendadak sebuah bayangan putih melesat dari 
pepohonan di luar pagar halaman kelurahan, bersama 
sebuah teriakan menggeledek.
“Tahan!” Bayangan putih tadi tahu-tahu telah 
berdiri di tengah, di antara ke dua pendekar yang telah 
saling menerjang.
Dengan mementang kedua belah tangannya 
masing-masing ke samping, bayangan putih yang tidak

lain adalah Pendekar Bayangan telah mencegah dua 
benturan ilmu mereka yang cukup hebat. Maka 
sejurus kemudian terjadilah dua letupan berbareng.
Mahesa Wulung terbentur oleh kibasan telapak 
tangan Pendekar Bayangan hingga dirinya terpental ke 
belakang beberapa langkah. Tapi ia cukup cekatan 
sehingga ia jatuh ke tanah dengan mendaratkan 
kakinya lebih dulu! Sedang Sela Ganden yang telah 
menerjangkan kedua cakaran telapak tangannya ke 
depan, terbentur pula oleh kibasan tangan Pendekar 
Bayangan, dan seketika pandangan matanya gelap 
serta terpental ke belakang. Tubuh Sela Ganden 
tersebut mencelat menabrak pagar bambu hingga 
tumbang bersama-sama tubuhnya ke tanah.
Para penonton pada berteriak kagum dengan peris-
tiwa ini. Pendekar Bayangan lalu mengangguk hormat 
kepada Ki Lurah Mijen.
“Maaf, Ki Lurah. Aku terpaksa berbuat demikian, 
sebab aku tak ingin mereka celaka oleh benturan 
kedua ilmunya yang dahsyat itu. Dan perkenalkanlah, 
aku adalah Pendekar Bayangan, guru Mahesa Wu-
lung.”
“Oh, tak apa Kisanak. Sebenarnya aku pun tak 
ingin mereka saling baku hantam dengan ilmunya. 
Namun aku yang tua bangka ini tak mampu mencegah 
mereka, sebaik yang telah Kisanak lakukan baru saja 
ini.” ujar Ki Lurah Mijen. “Tapi kulihat mereka terban-
ting jatuh.”
“Itu tak apa, Ki Lurah. Biarlah aku nanti yang 
merawatnya.”
Ki Lurah Mijen segera menyuruh beberapa orang 
untuk menggotong tubuh Sela Ganden dan Pakisan ke 
dalam pendapa kelurahan.
Sementara itu, Mahesa Wulung mendekati Pendekar

Bayangan serta membungkuk hormat. “Selamat da-
tang, Bapak. Mujurlah Bapak keburu datang. Kalau 
tidak, entahlah apa jadinya dengan kami.”
“Yah, sebenarnya aku selalu membayangimu, Ang-
ger. Nah, sekarang marilah kita beristirahat. Kau 
terlalu keras memeras tenagamu dan Angger harus 
memulihkannya kembali,” ujar Pendekar Bayangan 
lirih.
Tak lama kemudian Pendekar Bayangan sibuk 
mengobati Sela Ganden dan pembantunya itu. Dan 
malam itu serta hari-hari berikutnya, Pendekar Baya-
ngan dan Mahesa Wulung tinggal di sebuah rumah di 
ujung desa, untuk menjaga kalau-kalau gerombolan 
Jaramala dan anak buah Ki Topeng Reges lainnya 
mengganggu desa ini.
Untunglah luka-luka dan keadaan tubuh Sela 
Ganden dengan seorang jagabaya lainnya tidaklah be-
gitu mengkuatirkan. Keduanya berangsur-angsur sem-
buh dan siap untuk mengemban tugasnya kembali.
***
EMPAT


DI KAKI BUKIT sebelah barat dari Gunung Muria, 
tergeletaklah sesosok tubuh di atas rerumputan yang 
tebal tanpa daya. Di dekat kepalanya tergeletak sebuah 
caping lusuh dan juga sebilah padang tertancap di atas 
tanah tidak jauh dari tubuh itu.
Angin sore yang bertiup segar telah membelai tubuh 
itu dan bila luka di lengannya terusap oleh angin, 
maka terasalah rasa perih dan kaku-kaku menjalar ke

ubun-ubun.
Orang itu yang tidak lain adalah Ki Camar Seta, 
pelan-pelan membuka matanya yang masih terasa 
berat. Ia telah sadar dari pingsannya. Teringat kembali 
olehnya akan pertempuran melawan Ki Topeng Reges, 
seorang pendekar hitam bertopeng hantu.
Untunglah, sesudah ia terluka oleh senjata lawan-
nya yang bernama Kiai Brahmasakti, cepat-cepat ia 
meminum sebuah butiran obat yang disimpan dalam 
kantong kecil pada ikat pinggangnya. Dengan memi-
num obat itu, maka racun jahat yang merasuk ke 
dalam tubuhnya dapat dicegah agar tidak ikut meng-
alir mengikuti peredaran darahnya.
“Hari telah sore,” desis Ki Camar Seta setengah me-
rintih, sebab rasa pedih kembali menghentak-hentak 
pundak dan lengannya yang terluka. “Entah berapa 
hari aku tergeletak disini. Tapi agaknya aku belum 
akan mati sekarang.”
Ki Camar Seta merasa bahwa kepalanya menjadi 
pening berkepyur-kepyur. Dalam saat yang begitu, tiba-
tiba dilihatnya sesosok bayangan telah berkelebat dari 
arah utara menuju ke arahnya. Sesaat dilihatnya 
bayangan itu bertubuh ramping dan termangu-mangu 
memandangnya. Namun kemudian bayangan itu sege-
ra berjongkok di dekat tubuhnya.
“Kakang Camar Seta! Kakang Camar Seta, oh, kau 
terluka Kakang?” terdengar kata-kata yang lembut ke 
telinganya, membuat Ki Camar Seta terperanjat. Rasa-
rasanya ia pernah mengenal suara itu dan hal ini 
membuat Ki Camar Seta seperti bermimpi, sebab sete-
lah ia mengenal kembali suara itu, teringatlah sejenak 
pada masa remajanya.
Ya, suara itu adalah suara gadis yang pernah dicin-
tainya, bernama Rara Sumekar. Oleh karenanya, Ki


Camar Seta segera mencoba mengerahkan segenap 
kekuatan tubuhnya dan berhasillah akhirnya. Panda-
ngan matanya berangsur-angsur menjadi terang kem-
bali dan betullah apa yang diduganya, wanita yang 
telah berusia dan berjongkok di dekatnya itu, sesung-
guhnya adalah Nyi Sumekar, bibi dari Pandan Arum 
dan isteri seorang pertapa yang bernama Ki Wiratapa.
Meskipun garis-garis ketuaan telah tergores pada 
lekuk hidung dan sudut bibirnya, namun masih 
tampak bekas-bekas kecantikan di masa mudanya. 
Dan sesungguhnya Nyi Sumekar memang cantik di 
waktu remajanya dahulu.
“Akh, benar Nyi Wiratapa. Aku telah terluka oleh 
senjata Ki Topeng Reges sewaktu bertempur melawan-
nya,” ujar Ki Camar Seta lirih. “Aku tak tahu lagi apa-
kah yang terjadi selanjutnya dengan Angger Mahesa 
Wulung. Sebab setelah aku terjatuh ke tanah, Ki 
Topeng Reges kemudian memburu Angger Mahesa 
Wulung.”
“Mudah-mudahan ia selamat, Kakang,” sambut Nyi 
Sumekar pula. “Bagaimanakah kabarnya Angger Pan-
dan Arum?”
“Baik-baik saja, Nyi. Ia tinggal bersama prajurit-
prajurit Demak yang tengah dalam perjalanannya 
menuju Demak.”
“Kakang, kebetulan aku habis memetik kelapa ijo 
untuk kubuat obat. Nah, minumlah ini, Kakang. Ia 
akan dapat menawarkan racun yang terdapat di dalam 
tubuhmu.” Nyi Sumekar mengambil kelapa muda tadi 
dari sebuah kantong kain putih yang digendongnya di 
punggung. Kelapa muda itu telah dikupas sabutnya, 
sehingga dengan mudah Nyi Sumekar membuat lobang 
pada ujung tempurungnya dengan sebilah pisau kecil.
Ki Camar Seta menerima buah kelapa muda itu dan

selanjutnya direguknya dengan lahap. Dasar memang 
ia telah merasa haus pula. “Terima kasih, Nyi Wira-
tapa. Aku lebih baik sekarang.”
Nyi Sumekar lalu memeriksa lengan Ki Camar Seta 
yang terluka dan kemudian lengan baju pendekar tua 
sahabatnya itu disobeknya pula. Dengan cekatan ia 
menaruh bubukan obat pada luka Ki Camar Seta serta 
dibalutnya sekali.
“Nah, Kakang. Ini cukup baik untuk mencegah 
lukamu menjadi bengkak. Di pondokku nanti lukamu 
akan kurawat lebih lanjut,” ujar Nyi Sumekar sambil 
memberes-bereskan kembali kantong kain yang berisi 
dedaunan untuk peramu obat.
“Nyai, bagaimanakah dengan Adi Wiratapa? Apakah 
ia sehat-sehat saja?” tanya Ki Camar Seta menanyakan 
keselamatan Ki Wiratapa sahabatnya, juga sebagai 
suami Nyi Sumekar sampai kini.
“Yah, ia lagi sibuk mengunduh ketela pohon hari 
ini. Pasti ia akan bergembira bertemu dengan Kakang 
Camar Seta nanti.”
“Masih jauhkah pondokmu itu, Nyi?”
“Oh tidak, Kakang. Itu di balik gerumbul pohon-
pohon di sana itu, terletak pondokku.”
Kedua orang itu kemudian berjalan ke arah utara. 
Ki Camar Seta menggunakan tongkat pedangnya seba-
gai penumpu tangannya yang luka, sedang Nyi Su-
mekar berjalan di belakangnya, sambil sekali-sekali 
mengawasi langkah Ki Camar Seta yang setengah 
terseok-seok menempuh jalan perbukitan kaki Gunung 
Muria sebelah barat.
Senja makin tenggelam dan malam pun menjelang.
***

Malam itu bulan bertengger di langit biru dengan 
megahnya. Sepotong awan bagai gumpalan kapas, me-
rayap malas ke arah utara. Suasana tampak tenang 
dan syahdu. Tetapi di balik gerumbul pepohonan di 
halaman sebuah rumah pada ujung Desa Mijen, 
tampaklah dua bayangan manusia bergerak-gerak 
saling serang-menyerang dengan sangat lincahnya. 
Mereka terlibat dalam pusaran gerak yang cepat, 
bagaikan bayangan yang belit-membelit dan terjang-
menerjang.
Mereka bertarung tanpa menggunakan senjata, 
kecuali dengan pukulan-pukulan tangan dan sedikit 
tendang-tendangan kaki.
“Nah, kau lebih baik sekarang, Angger. Kau ada 
kemajuan hari ini. Tekunkanlah gerak-gerak tadi, 
Angger,” ujar seorang yang mengenakan kedok putih di 
kepalanya.
“Terima kasih, Bapak Pendekar Bayangan. Segala 
petunjukmu akan kuindahkan baik-baik,” berkata 
pendekar muda yang tidak lain Mahesa Wulung 
sendiri.
“Bagus Angger, bapak merasa senang dengan ke-
tangguhanmu. Saya kira ada baiknya kita beristirahat 
sebentar. Ada sesuatu yang akan kubicarakan pada 
Angger Mahesa Wulung.” Pendekar Bayangan berkata 
dan mempersilakan muridnya ini duduk. “Marilah 
duduk disini, Angger!”
Keduanya kemudian duduk di atas sebatang pohon 
tua yang telah ditebang dan tergeletak di sudut 
halaman rumah. Dengan mendehem kecil Pendekar 
Bayangan memulai kata-katanya yang tampaknya 
sangat penting.
“Angger Mahesa Wulung, telah beberapa kali kau 
kulatih memahami dasar-dasar ilmu pukulan Angin

Bisu yang sebetulnya lebih dahsyat daripada pukulan 
Lebur Waja. Pukulan Angin Bisu tadi merupakan 
bagian dari ilmu pamungkas Bayu Bajra. Kalau semula 
Angger merasakan adanya persamaan atau saling 
mempengaruhi antara ilmu Bayu Bajra dengan Bayu 
Rasa dan juga antara pukulan Lebur Waja dengan 
Angin Bisu itu, Angger Mahesa Wulung tidak perlu 
heran. Sebab memang kedua ilmu tadi dari sumber 
yang sama, yakni dari Ki Buyut Ungaran.”
“Oh jadi Bapak adalah murid Ki Buyut Ungaran dari
daerah selatan Asemarang?” gumam Mahesa Wulung 
setelah terlonjak kaget. “Jadi kalau demikian, Bapak 
ada hubungannya dengan guruku, Panembahan Tanah 
Putih.”
“Tepat dugaanmu, Mahesa Wulung. Kau memang 
berpikir kelewat tajam, heh, heh, he. Aku tak heran, 
dan memang pantas kau adalah murid kinasih panem-
bahan berjenggot itu.”
“Bolehkah aku mengenal Bapak sekarang?” tanya 
Mahesa Wulung disertai perasaan ingin tahunya yang 
semakin keras.
“Baiklah, Angger. Sekarang kau boleh mengenalku 
lebih dekat, seperti yang telah aku katakan dahulu.” 
Pendekar Bayangan berkata sambil mencopot kedok 
yang menutup sebagian besar kepalanya. “Nah, Angger 
Mahesa Wulung, namaku yang sebenarnya adalah Ja-
tilawang, saudara seperguruan dari Ki Bayu Sakti atau 
yang bergelar Panembahan Tanah Putih.”
Mahesa Wulung segera menatap wajah Jatilawang 
yang sedikit lebih tua daripada gurunya sendiri. Wajah 
orang ini sangat cerah meskipun garis-garis ketuaan 
menghias dahi dan matanya. Kumisnya yang meleng-
kung putih dilengkapi oleh jenggot yang pendek, tebal 
dan keputihan pula.

“Panembahan Tanah Putih saya anggap seperti 
saudara kandungku sendiri, sehingga apa yang dirasa-
kan aku pun ikut merasakannya pula. Sayang, waktu 
Angger Mahesa Wulung berlibur di Asemarang bebera-
pa waktu yang telah lewat, bapak tak sempat menjum-
paimu, sebab bapak tengah berkelana di daerah Jawa 
Timur. Dan atas persetujuan Panembahan Tanah 
Putih pula, aku telah mencari-carimu kemana-mana. 
Kalau si jenggot tua itu telah melatihmu dengan ilmu 
Lebur Waja dan Bayu Rasanya, maka aku telah 
bertekad pula menurunkan ilmuku kepada Angger 
Mahesa Wulung.”
“Terimakasih, Bapak Jatilawang,” kata Mahesa 
Wulung.
“Ketahuilah, bahwa pukulan Lebur Waja lebih ba-
nyak memusatkan kekuatan jasmaniah,” sambung 
orang tua itu, “sehingga untuk memukul hancur 
sebuah sasaran, pukulan sisi telapak tanganmu harus 
benar-benar menempel atau membentur benda terse-
but. Sedang pukulan Angin Bisu lebih memusatkan 
unsur kekuatan batin serta tenaga dalam. Dengan 
demikian maka sasaran yang akan Angger pukul tidak 
harus dalam jarak yang dekat, tetapi dalam jarak jauh 
pun Angger akan dapat mengenainya.”
“Wah, hebat, Bapak! Jadi dengan angin pukulannya 
saja sudah cukup untuk menghancurkan sebuah sasa-
ran?” sela Mahesa Wulung saking kagumnya. “Benar-
benar seperti dalam ceritera wayang saja.”
“Heh, heh, heh, rupa-rupanya Angger Mahesa Wu-
lung adalah penggemar tokoh-tokoh dalam ceritera,” 
sambung Jatilawang kemudian. “Kalau begitu tentu-
nya Angger mengenal tokoh-tokoh wayang yang mem-
punyai darah bayu. Sebutkanlah beberapa di anta-
ranya.”

“Mereka adalah Batara Bayu, Anoman, Werkudara, 
Liman Situbanda dan lainnya maaf, saya agak lupa, 
Bapak,” kata Mahesa Wulung setengah malu.
“Heh, heh, heh, itu sudah cukup, Angger. Dan 
ketahuilah, bahwa para darah bayu tadi dapat me-
makai dan mengendalikan jalannya angin dalam setiap 
gerak dan keperluannya. Begitu pulalah dengan Ki 
Buyut Ungaran. Beliau menggunakan unsur-unsur 
angin dalam ilmunya yang dahsyat, seperti yang 
Angger kenal dalam Bayu Rasa dan Bayu Bajra.”
Mahesa Wulung mengangguk-angguk penuh penge-
rtian akan segala tutur kata Ki Jatilawang atau yang 
lebih dikenal sebagai Pendekar Bayangan. Juga 
tentang pelajaran-pelajaran dasar yang diberikan oleh 
Jatilawang dalam aji pukulan Angin Bisu telah benar-
benar dipahaminya.
“Nah, Angger Mahesa Wulung,” ujar Ki Jatilawang 
kemudian setelah keduanya berdiam diri sesaat, 
“marilah kita lanjutkan kembali latihan kita tadi.”
“Baik, Bapak,” Mahesa Wulung berkata sambil 
bangkit dari duduknya. Demikian pula Jatilawang ber-
diri serta memakai kembali kedok kainnya yang ber-
warna putih kelabu itu.
Maka sesaat kemudian halaman rumah di ujung 
desa itu pun digetarkan kembali oleh pertarungan seru 
antara Mahesa Wulung dengan Pendekar Bayangan. 
Meskipun keduanya tidak bertarung sebagai musuh, 
namun mereka sangat sungguh-sungguh melatih ilmu-
nya, sehingga tampaknya di halaman rumah itu 
tengah berlangsung pertempuran yang sesungguhnya.
Mahesa Wulung terkejut bila suatu ketika ia men-
dapat serangan pukulan tangan dari Pendekar Baya-
ngan yang sangat cepat datangnya. Tapi dengan 
tangkasnya Mahesa Wulung mengelak ke kiri, berbareng itu pula ia menyabetkan pukulan sisi telapak 
tangan kirinya ke arah tangan Pendekar Bayangan 
yang belum sempat ditarik kembali.
Plaak! Kedua tangan itu saling membentur dan 
keduanya tergetar olehnya.
Pendekar Bayangan tersenyum di balik topengnya. 
“Heh, heh, heh, bagus, Angger. Kau mulai menguasai 
Bayu Bajra dengan baik. Nah, hati-hatilah aku akan 
menggunakan pukulan Angin Bisu. Perhatikanlah 
baik-baik agar engkau pun bisa mengetrapkannya
secara sempurna.”
Habis berkata Pendekar Bayangan melancarkan 
pukulan Angin Bisunya secara cepat ke arah Mahesa 
Wulung. Untuk serangan inipun Mahesa Wulung ter-
nyata telah bersiaga pula. Begitu pukulan Angin Bisu 
hampir menghempas dirinya, Mahesa Wulung secepat 
kilat melentingkan tubuhnya ke udara, dan akibatnya 
pepohonan di belakang tubuh Mahesa Wulung terom-
bang-ambing meliuk kesana kemari serta berontokan 
daunnya. Itulah akibat pukulan Angin Bisu dari Pen-
dekar Bayangan. Memang sesungguhnya dalam latihan 
ini Pendekar Bayangan hanya separo tenaga dalam 
melatih dan melancarkan pukulan-pukulan Angin Bisu 
kepada Mahesa Wulung, sebab ia kuatir kalau-kalau 
muridnya ini akan cedera karenanya.
Dalam pada itu sambil melayang turun ke bawah, 
Mahesa Wulungpun melancarkan pukulan Angin Bisu 
yang telah dipelajari, ke arah Pendekar Bayangan. 
Tetapi dengan gerak yang lincah pula guru Mahesa 
Wulung ini berjumpalitan ke belakang mengelakkan 
pukulan muridnya dan akibatnya, rumput batu-batu 
kerikil serta debu berhamburan ke udara seperti 
terhempas oleh putaran angin lesus.
Melihat ini, dada Pendekar Bayangan bergelora

penuh rasa bangga. Ia sama sekali tidak mengira kalau 
muridnya ini dapat menguasai dasar-dasar pukulan 
Angin Bisu serta ilmu Bayu Bajra dalam waktu yang 
sedemikian singkatnya. Maka ia diam-diam mengucap 
syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar bahwa ia 
sempat menyelamatkan pemuda itu dari cengkeraman 
Ki Topeng Reges.
Muridnya itu kini betul-betul merupakan banteng 
muda yang perkasa dan tangkas. Sepasang tangannya 
yang dihiasi oleh otot-otot dan urat-urat darah dengan 
lincahnya melancarkan pukulan-pukulan hebat yang 
menimbulkan hempasan-hempasan angin yang men-
desau, sedang kakinya sanggup tegak di atas tanah 
laksana tonggak-tonggak baja yang jauh menghunjam 
di dalam tanah, tak tergoyangkan oleh getaran-getaran 
serangan gurunya.
Tetapi Pendekar Bayangan justru merasa senang 
dengan serangan-serangan muridnya, sebab secara 
tidak langsung iapun dapat berlatih serta menyempur-
nakan bagian-bagian yang lemah dari ilmunya itu. Ka-
rena itu, latihan tersebut berlangsung dengan serunya. 
Keduanya masing-masing mempunyai kekuatan-keku-
atan yang cukup seimbang.
Gerakan Pendekar Bayangan makin lama semakin 
bertambah cepat dan lincah melingkar-lingkar sambil 
sekali-sekali menyerang muridnya. Sungguh membi-
ngungkan pandangan gerak-gerak itu, tak ubahnya 
gerakan sebuah bayangan. Tetapi Mahesa Wulung pun 
dapat menanggapinya dengan baik. Ia pun lebih was-
pada dengan matanya, sehingga ke mana pun Pende-
kar Bayangan itu melontar dan menyerang, ia senan-
tiasa siap menghadapinya.
Dalam pada itu, di antara deru angin pertarungan 
antara guru dan murid, tiba-tiba menyeliplah sebuah

alunan lagu dandanggula yang dibawakan oleh ge-
sekan senar-senar rebab dengan merdunya. Lagu tadi 
seolah-olah merupakan curahan isi hati yang me-
nyayat-nyayat terbawa oleh angin dan kemudian ikut 
melingkar bersama-sama gerakan kedua orang yang 
tengah berlatih itu. Karuan saja Pendekar Bayangan 
dan Mahesa Wulung menjadi terpengaruh oleh alunan 
nada rebab itu, sehingga gerak-gerak mereka seperti 
menjadi lamban. Mereka sibuk bertanya-tanya dalam 
hati, siapakah gerangan orang yang menggesek rebab 
di malam begini sepi ini. Dan anehnya, suara rebab 
tadi terasa sangat dekat.
“Berhenti dulu, Angger!” ujar Pendekar Bayangan 
kepada Mahesa Wulung dan keduanyapun menghenti-
kan latihannya.
Mereka kemudian mengawasi segenap sudut hala-
man dan ke pepohonan untuk mencari sumber suara 
dari gesekan rebab tadi.
“Hmm, waspadalah Angger, ini pasti perbuatan 
orang yang sakti! Agaknya dia menginginkan latihan 
kita terhenti. Hah, apakah maksud dia yang sesung-
guhnya?” gumam Pendekar Bayangan sambil mema-
sang telinganya tajam-tajam.
“Tetapi rupanya ia tidak bermaksud jahat, Bapak. 
Kalau ia mau menyerang kita pasti sudah dilakukan-
nya semenjak tadi,” sela Mahesa Wulung pula.
“Betapapun begitu, aku masih kurang senang, 
Angger. Sebab secara tidak langsung ia telah meng-
ganggu latihan kita,” ujar Pendekar Bayangan kemu-
dian, dan sesaat kemudian setelah ia mendapat kepas-
tian, tiba-tiba ia menunjuk ke atas, ke arah dahan 
pohon beringin yang tumbuh menaungi sebagian dari 
halaman rumah itu.
“Hee, Kisanak! Hentikan gesekan rebabmu itu! Dan

lekas turun kemari! Apa maksudmu mengganggu lati-
han kami?”
Mahesa Wulung tak tinggal diam. Ia pun melihat ke 
atas dahan beringin itu, dan terlihatlah olehnya 
seorang yang berperawakan sedang agak kurus, 
dengan asyiknya menggesek rebab di tangan. Begitu 
asyiknya sehingga ia seolah-olah tidak memperdulikan 
seruan Pendekar Bayangan.
Melihat hal ini, Pendekar Bayangan merasa jengkel, 
maka tiba-tiba ia melancarkan serangan pukulan ke 
atas ke arah dahan yang diduduki oleh si penggesek 
rebab itu!
Krak! Dahan beringin itu patah dan dengan lincah 
orang itu bertengger kembali ke dahan yang lain. 
Mahesa Wulung sangat terkejut dengan gerakan si 
penggesek rebab yang amat lincah.
Dan lebih mengejutkan lagi, Pendekar Bayangan 
sekali lagi melancarkan pukulan Angin Bisunya ke 
atas. Kembali dahan tersebut berderak patah. Tetapi 
kembali si penggesek rebab melontarkan diri ke dahan 
yang lain, seolah-olah ia tak ambil pusing dengan 
kedua orang yang berada di bawah itu. Ia kembali 
menggesek rebabnya.
Begitulah, setelah beberapa kali Pendekar Bayangan 
menyerang dan sudah lima dahan beringin yang 
dipatahkan, si penggesek rebab tiba-tiba bergerak 
turun. Tapi anehnya ia bukan meloncat melainkan ia 
berjalan pada batang pohon beringin itu. Kakinya 
seakan-akan melekat pada kulit pohon, seperti mem-
punyai perekat, sehingga ia berjalan dengan seenak-
nya. Dan lebih aneh lagi, ia dapat berjalan dengan 
tetap tegak meskipun ia berjalan pada batang yang 
tumbuh lurus, tegak ke atas langit. Dengan demikian 
ia seolah berjalan miring!

“Aji Ciret Gombel!” desis Pendekar Bayangan.
Begitu tiba di tanah, orang ini langsung menyerang 
Pendekar Bayangan dengan pukulan rebab dan alat 
penggeseknya yang masing-masing terpegang erat di 
kedua tangannya.
Berbareng itu pula Pendekar Bayangan telah bersi-
aga. Ia menyambar tongkat kayunya yang tersandar di 
pagar bambu. Maka sebentar saja mereka telah terlihat 
dalam pertempuran dahsyat. Mereka sama-sama tang-
guhnya.
“Tenaga Anda sungguh hebat, Kisanak! Sebab tak 
pernah ada orang yang sanggup menahan benturan 
tongkat kayuku ini lebih dari lima kali!” ujar Pendekar 
Bayangan sambil terus bergerak lincah. “Kecuali Anda 
seorang!”
“Kalau begitu akulah yang beruntung, sebab aku 
dapat pelajaran yang lebih berharga dari Pendekar 
Bayangan, ha, ha, ha,” si penggesek rebab tertawa 
nyaring.
Mereka bertempur kembali dengan seru. Terjang 
menerjang, tangkis-menangkis dengan senjatanya. Alat 
musik rebab dan penggeseknya yang tergenggam erat 
di tangan orang itu merupakan dua penggada yang 
ampuh, bergerak susul-menyusul menyerang ganas ke 
arah Pendekar Bayangan. Namun pendekar berkedok 
ini pun tak kalah hebatnya. Tongkat kayunya berputar 
laksana kitiran memapaki setiap serangan lawan, 
sehingga sedikit demi sedikit si penggesek rebab tadi 
terdesak surut oleh Pendekar Bayangan.
Merasa terdesak, si penggesek rebab mempergencar 
serangan serta gerakannya sampai akhirnya mereka 
mencapai kedudukan yang cukup seimbang. Meskipun 
begitu, ia mengagumi gerak Pendekar Bayangan yang 
mampu bergerak secepat bayangan berkelebat.

Ketika menginjak jurus yang keempat puluh lima, 
tiba-tiba si penggesek rebab melontarkan diri ke bela-
kang disertai nafasnya yang terlonjak-lonjak.
“Tahan!” seru si penggesek rebab kepada Pendekar 
Bayangan dan pendekar inipun menghentikan sera-
ngannya.
Kini kedua orang itu berdiri berhadapan dengan 
gagahnya, saling memandangi tubuh lawannya 
masing-masing.
“Heei, kita cukup seimbang, bukan? Tapi mengapa 
Kisanak ingin menyudahi permainan kita ini?” seru 
Pendekar Bayangan bernada keheranan.
“Maaf, sebenarnya aku ingin melanjutkannya. Aku 
bangga karena Kisanak telah menambah pengalaman 
si penggesek rebab yang berotak tumpul ini. Ha, ha, 
ha,” ujar si penggesek rebab itu. “Namun sesungguh-
nya aku tidak ingin bertempur lebih lanjut melawan 
Anda, sebab memang semula aku tak bermaksud 
demikian itu.”
“Apa maksud Kisanak?” tanya Pendekar Bayangan. 
“Dan siapa pula nama Andika ini?!”
“Kisanak berdua boleh menyebutku Ki Rebab 
Pandan. Aku datang dari Padepokan Gunung Merapi,” 
ujar orang itu disertai senyuman ramah. “Memang ada 
sesuatu yang ingin aku tanyakan kepada kisanak 
berdua.”
Mendengar Ki Rebab Pandan menyebut nama Pade-
pokan Gunung Merapi, Mahesa Wulung menjadi ter-
ingat akan lelakon Landean Tunggal yang penuh 
penderitaan akibat keganasan dan balas dendam Ki 
Topeng Reges yang terkenal ganas itu.
“Apakah Kisanak murid dari Panembahan Jati-
wana?” satu pertanyaan meluncur dari bibir Mahesa 
Wulung, membuat Ki Rebab Pandan terlonjak kaget

setengah mati, sebab ada orang asing yang telah 
menyebut nama gurunya.
“Hah, Andika telah menyebutnya? Agaknya Andika 
pernah mendengar dari mulut orang-orang tua.”
“Benar. Bahkan aku mengenal baik akan pendekar 
Landean Tunggal, seorang murid Panembahan Jatiwa-
na yang berbudi baik dan seorang muridnya lagi yang 
berkelakuan buruk, yakni Umpakan atau yang ber-
gelar Ki Topeng Reges.”
“Hebat! Andika telah berceritera dengan tepat!” seru 
Ki Rebab pandan lebih kagum lagi.
“Dan sekarang, Ki Topeng Reges sering mengganas 
di daerah Demak,” sambung Mahesa Wulung pula.
“Heh, heh, heh. Rupa-rupanya kita ini pasangan 
yang cocok sekali. Masing-masing punya simpanan 
ceritera-ceritera yang hebat,” sela Pendekar Bayangan. 
“Jika demikian, marilah kita masuk ke dalam rumah, 
agar ceritera-ceritera kita lebih nikmat didengar. Dan 
lagi kami masih ada ubi rebus serta wedang jahe. 
Lumayan buat mencegah kantuk.”
“Terima kasih, Kisanak,” ujar Rebab Pandan sambil 
melangkah menuruti Pendekar Bayangan yang telah 
melangkah ke arah pintu masuk rumah berdinding 
anyaman bambu. Di belakangnya menyusul pula Ma-
hesa Wulung.
Maka sepilah kembali halaman rumah. Tampak 
Pendekar Bayangan, Ki Rebab Pandan dan Mahesa 
Wulung duduk di balai-balai serta beramah tamah. 
Ketiganya saling memperkenalkan diri.
Namun Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung 
menjadi sangat tertarik, bila Ki Rebab Pandan akan 
mulai menceriterakan segala lelakonnya, terutama 
kisah tentang Panembahan Jatiwana dengan kedua 
muridnya yang berbeda watak itu.

Hingga di sinilah berakhir cerita “Munculnya 
Pendekar Bayangan” dan selanjutnya akan datang 
mengunjungi Anda ceritera dari Seri Naga Geni yang 
ketujuh dengan judul: “Bara Api Di Laut Kidul”.

                           TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar