1. ANAK PERAWAN SOROGEDUG
AGAKNYA ini adalah malam paling indah di permulaan
musim kemarau di Bhumi Mataram. Langit biru bersih
sedikitpun tidak berawan, dihias tebaran bintang gumintang.
Cahaya bulan purnama menyaput langit, turun ke bumi
membawa kesejukan. Bila angin bertiup, kesegaran terasa
sampai di rongga dada.
Di bawah semua keindahan malam yang mempesona dan
udara sejuk penuh kesegaran, candi Siwa yang terletak di
kawasan Prambanan dan lebih dikenal oleh penduduk
setempat dengan sebutan candi Loro Jonggrang tegak
menjulang megah dan anggun. Diapit oleh candi Brahma di
sebelah selatan dan Candi Wisnu di sebelah utara. Sesekali
serombongan burung malam melayang terbang melewati
puncak ketiga candi.Tiga candi tidak beda laksana tiga
raksasa penjaga negeri dikelilingi oleh beberapa candi lainnya.
Menjelang tengah malam, ketika keheningan yang
berselimut udara sejuk membuat terasa adanya kesakralan di
kawasan Prambanan, dari balik Candi Nandi tampak
seseorang berjalan ke arah Candi Loro Jonggrang. Orang ini
ternyata adalah gadis berambut panjang hitam sepinggang,
mengenakan kemben lurik kasar, tidak mengenakan alas kaki
dan wajah cantik alami tanpa diberi pupur, tidak juga penerang
alis apa lagi pewarna bibir.
Beberapa saat akan sampai di tangga utama candi, gadis
berusia sekitar enam belas tahun ini hentikan langkah.
Matanya yang bening bagus menatap ke depan, mulut
berucap perlahan.
"Aneh, tadi aku tidak melihat orang tua yang duduk di
depan tangga candi. Sekarang mengapa tahu-tahu sudah ada
di situ? Dari mana gerangan datangnya?"
Seperti yang dilihat si gadis, saat itu di tanah di depan
tangga candi memang tampak duduk seorang tua berambut,
kumis dan janggut putih. Pakaian selempang kain putih
sederhana. Di tanah di samping kiri terletak sebatang tongkat
kayu. Si orang tua duduk sambil memegang sebuah kitab.
Mulut bergumam membaca isi kitab yang ditulis dengan huruf
Palawa dalam bahasa Sansekerta.
"Orang tua itu, dia membaca Kitab Weda pada bagian
Yayur Weda, bacaan dan mantera untuk keselamatan..." Si
gadis berucap dalam hati. Agaknya gadis ini punya
pengetahuan tentang kepercayaan Hindu yang menjadi
agama di Bhumi Mataram pada masa itu.
Tak berani melewati, sungkan mengganggu, maka si gadis
tegak berdiri menunggu sampai si orang tua menyelesaikan
bacaannya. Cukup lama baru orang tua di depan tangga candi
hentikan bacaan. Perlahan-lahan dengan sikap khidmat dia
menutup kitab, letakkan di atas pangkuan lalu mengangkat
kepala.
Begitu pandangannya membentur gadis yang berdiri
beberapa langkah di hadapannya, sepasang alis mata si orang
tua naik ke atas. Mulut lalu menyapa halus.
"Seorang perawan di malam hari. Mendatangi candi suci
Candi Loro Jonggrang, ada apakah maksud di hati?"
Si gadis maju dua langkah, terlebih dulu membungkuk
memberi hormat lalu berkata. "Orang tua, salam sejahtera
bagimu. Apakah kau seorang Brahmana..."
Orang yang duduk bersila di tanah letakan dua telapak
tangan di atas dada lalu gelengkan kepala.
"Aku bukan Brahmana. Aku hanya seorang tua yang di
rumah tidak bisa memincingkan mata. Lalu memutuskan
mencari ketenangan di tempat ini dengan membaca Kitab
Weda..."
"Orang tua, kau pandai merendah diri. Jangan-jangan kau
Dewa Agung yang turun ke bumi menjelma diri."
Kembali orang tua itu gelengkan kepala. Kali ini disertai
dengan senyum di wajah.
"Anak perawan, coba jelaskan siapa dirimu. Ada maksud
apa malam-malam datang ke candi seorang diri."
"Saya datang dari Sorogedug. Sebuah desa kecil di
selatan Prambanan. Saya meninggalkan desa saat matahari
terbenam. Saya sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada
yang melihat."
"Sorogedug cukup jauh dari sini. Katanya kau sengaja
berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat. Agaknya
ada satu kerahasiaan dalam dirimu. Selain itu kau merasakan
sepertinya ada sesuatu yang merisaukan dirimu kalau tidak
mau dikatakan ada yang menakutkanmu. Anak perawan, siapa
namamu? Ada maksud apa datang ke candi?"
"Nama saya Ananthawuri. Saya datang untuk mengunjung
Patung Batari Durga Mahisasura-mardani."
Si orang tua menatap wajah gadis cantik di hadapannya
sementara angin malam meniup rambutnya yang panjang
hitam melambai-lambai di belakang punggung.
"Ananthawuri.... Sungguh nama yang bagus.Tapi dibalik
wajahmu yang cantik aku melihat bayangan kesedihan, juga
ada rasa ketakutan. Sesuatu mengganjal di lubuk sanubarimu.
Dan kalau kau malam-malam datang ke candi untuk menemui
Patung Batari Durga yang lebih dikenal dengan nama Loro
Jonggrang, aku yang telah hidup puluhan tahun ini rasanya
sudah bisa menerka apa maksud kedatanganmu. Apakah kau
punya masalah dengan pemuda tambatan hatimu atau kau di
usia semuda ini hendak memohon mendapatkan jodoh?"
"Terima kasih, kau memperhatikan diri saya, Kek.
Bolehkah saya memanggilmu Kakek?" tanya si gadis.
Orang tua berselempang kain putih tersenyum dan
anggukan kepala.
"Berarti saya bisa membagi rasa denganmu. Tentu saja
kalau kau mau Kek.Tapi ketahuilah, saya belum mempunyai
seorang pemuda yang jadi tambatan hati dan saya datang ke
candi ini tidak untuk memohon jodoh." Begitu Ananthawuri
menjelaskan.
"Begitu?" Orang tua yang duduk bersila di tanah agak
heran tapi mulutnya tersenyum.
"Kau beruntung. Bangunan candi belum seluruhnya
rampung. Tapi Patung Loro Jonggrang sudah lama selesai.
Indah dan cantik. Hai, aku memperhatikan kau seorang gadis
bertubuh jangkung. Tingginya dirimu hampir menyerupai sang
Batari. Dan wajahmu.... Dewa Maha Besar. Mengapa aku
melihat banyak kesamaan antara wajahmu dengan wajah
patung Loro Jonggrang?" (Jonggrang = jangkung)
Perawan dari desa Sorogedug itu tertawa.
"Kek, kau ini ada-ada saja. Masa mau menyamakan saya
anak desa yang jelek ini dengan Dewi cantik jelita itu."
"Ananthawuri, walau kita baru bertemu malam ini, kau mau
memanggilku Kakek. Apakah aku yang tua ini berlaku lancang
kalau aku menganggap dirimu sebagai cucu sendiri."
"Tidak, tidak lancang Kek. Saya malah sangat berterima
kasih. Saya gembira kini punya seorang Kakek karena
sesungguhnya Ayahpun saya sudah tidak punya." Si orang tua
mengangguk.
"Aku bisa melihat kesedihan di raut wajah serta pancaran
sinar matamu. Ketahuilah Kakekmu ini bernama Dhana
Padmasutra."
"Kakek Dhana, saya senang bertemu dan mengenal
dirimu. Saat ini apakah saya boleh minta jalan dan naik ke
candi?"
"Tentu saja cucuku. Namun sebelum naik dan masuk ke
dalam candi dan menemui Patung Loro Jonggrang, aku ingin
bertanya, apakah kau pernah mendengar riwayat kehidupan
Patung yang kau hendak temui itu?"
"Saya pernah mendengar. Dari Ibu. Riwayat
didongengkan setiap kali saya mau tidur.Tapi kalau Kakek
juga punya cerita yang mungkin lebih bagus dan lebih lengkap
tentang sang Dewi, saya suka sekali mendengarnya."
Si orang tua tersenyum dan anggukan kepala. Dalam hati
dia berkata.
"Anak perawan ini, dia sudah mengetahui sesuatu tapi
tetap ingin mengetahui lebih banyak. Berarti dia mencintai ilmu
pengetahuan. Caranya meminta dengan segala kerendahan
hati dan ketinggian jiwa. Dia membekal satu urusan penting,
namun masih mau meluangkan waktu bercakap-cakap dan
berbagi rasa. Dia tengah menghadapi kesulitan tapi masih
menyempatkan bicara denganku. Ah....mengapa hatiku begitu
suka padanya. Dewa Maha Besar, Dewa Maha Agung. Saya
Dhana Padmasutra hambamu yang rendah menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Para Dewa, mengucap selangit terima
kasih, menghatur sebumi rasa syukur dan menyampaikan
selautan luas rasa gembira karena Para Dewa di Swargaloka
telah mempertemukan saya dengan anak perawan ini.Wahai
Para Dewa, apapun kesedihan serta ketakutan yang
menyelinap dalam hatinya, berikan saya kemampuan untuk
menolong."
Tiba-tiba satu cahaya putih laksana turun dari langit
berpijar menyelubungi tubuh Dhana Padmasutra. Saat itu juga
Ananthawuri melihat bagaimana wajah si orang tua menjadi
lebih segar dan lebih cerah. Sepasang mata yang sebelumnya
sayu kini bersinar cerah. Tubuh yang tadi agak tertunduk
merunduk kini duduk lurus dengan dada tegap ke depan.
"Kakek Dhana, apa yang terjadi? Ada cahaya putih saya
lihat masuk ke dalam tubuhmu. Kau tidak apa-apa?"Tanya
Anathawuri sambil beringsut maju dan memegang lengan si
orang tua. Ketika jari-jarinya menyentuh lengan itu, si gadis
merasa ada hawa luar biasa sejuk masuk ke dalam tubuhnya.
"Aku baru saja menerima berkah Para Dewa," ucap Dhana
Padmasutra. Lalu membungkuk dalam-dalam sampai
keningnya menyentuh tanah. Sambil bersujud orang tua ini
berucap. "Wahai Batara Dewa di Khayangan. Saya tidak tahu
pertanda apa yang Engkau berikan. Saya percaya Engkau
melindungi saya dalam segala niat dan perbuatan saya. Jika
saya harus melindungi dan menolong orang lain, maka berilah
kepada saya kekuatan untuk mampu melakukan hal itu."
Setelah kembali duduk bersila si orang tua berkata.
"Cucuku Ananthawuri, aku akan ceritakan padamu riwayat
Loro Jonggrang. Singkat-singkat saja agar sesudah itu kau
bisa segera mengunjungi patungnya."
Si gadis tersenyum. Merasa lega mengetahui orang tua di
hadapannya tidak kurang suatu apa. Sementara Dhana
Padmasutra sendiri dalam hati membatin.
"Anak perawan ini agaknya bukan gadis sembarangan.
Kalau bukan karena kehadirannya rahmat Para Dewa tidak
akan turun atas diriku."
ooOOOoo
2.KISAH DHANA PADMASUTRA
SETELAH merapikan letak kitab Weda di atas
pangkuannya kakek bernama Dhana Padmasutra menuturkan
kisah Loro Jonggrang pada Ananthawuri.
Konon beberapa puluh tahun lalu seorang Raja yang
memiliki Keraton di Gunung Boko mempunyai seorang puteri
cantik jelita tinggi semampai bernama Loro Jonggrang. Suatu
ketika seorang Kesatria gagah perkasa dan juga sangat sakti
bernama Bandung meminang Loro Jonggrang untuk dijadikan
istri.
Raja Boko menerima lamaran itu namun sang puteri
menolak. Karena sangat menghormati Ayahnya dan tidak mau
mempermalukan sang Kesatria maka Loro Jonggrang
menerima pinangan tersebut dengan mengajukan syarat.
Syarat itu sekaligus diajukan sebagai mahar atau mas kawin
yakni sang Kesatria harus membuat 1000 candi dalam waktu
satu malam. Jika Bandung mampu memenuhi syarat itu maka
Loro Jonggrang menerima pinangan dan bersedia menjadi
istrinya.
Bandung sang Kesatria karena sangat mencintai Loro
Jonggrang dengan kesaktiannya memanggil ribuan makhluk
halus sebangsa jin untuk membantu membangun 1000 candi
yang diminta. Maka mulai matahari terbenam sampai
semalaman suntuk ribuan makhluk halus di bawah pimpinan
Bandung bekerja keras. Menjelang matahari terbit ternyata
tinggal satu candi yang belum rampung.
Melihat kejadian itu Loro Jonggrang yang semalaman
tidak tidur dan mengawasi pembuatan 1000 candi merasa
sangat khawatir. Kalau sampai candi ke 1000 selesai berarti
dia harus bersedia dikawini oleh Bandung. Padahal Loro
Jonggrang sama sekali tidak menyukai apa lagi mencintai
sang Kesatria.
Dalam khawatirnya Loro Jonggrang terus memohon pada
Yang Kuasa agar diberi petunjuk bagaimana caranya
menghindari perkawinan itu. Loro Jonggrang mendapat akal.
Puteri Raja ini membangunkan dan mengumpulkan semua
anak gadis yang ada di Kerajaan. Kepada mereka
diperintahkan agar segera menumbuk padi di lesung. Dalam
waktu singkat seluruh negeri ramai oleh hiruk pikuk suara
tumbukan alu di lesung padi yang dilakukan oleh hampir
ratusan anak gadis. Suara alu beradu dengan lesung
membuat ayam-ayam terbangun dan suara kokoknya
kemudian terdengar di mana-mana.
Semua makhluk halus yang tengah melakukan pekerjaan
membangun candi terakhir tersentak kaget. Mereka mengira
hari telah siang dan takut celaka terkena sinar matahari.
Semuanya serta merta meninggalkan tempat mereka bekerja
membangun seribu candi. Melihat apa yang terjadi dan
mengetahui tipu muslihat yang dilakukan Loro Jonggrang,
Bandung marah bukan alang kepalang. Kesatria sejati ini
menjatuhkan kutuk, menjadikan Loro Jonggrang sebagai
patung.
Sejak diciptakannya Patung Batari Durga di Candi Siwa
timbul kepercayaan bahwa patung itu adalah penjelmaan Loro
Jonggrang puteri Raja Boko. Patung banyak dikunjungi oleh
muda mudi sambil memohon kepada Dewa agar mudah
mendapatkan jodoh.
Dhana Padmasutra menutup kisahnya dengan bertanya.
"Cucuku Ananthawuri, setelah kau mendengar cerita Loro
Jonggrang, aku ingin bertanya lagi. Apakah maksudmu
mengunjungi Patung Loro Jonggrang karena kau juga ingin
mendapat jodoh seperti yang dilakukan para gadis dan banyak
pemuda?"
"Tidak Kek, saya tidak bermaksud mencari jodoh. Saya
ingin minta petunjuk dan perlindungan. Nasib diri saya hampir
tiada beda dengan Loro Jonggrang..."
Dhana Padmasutra pandangi anak perawan dari
Sorogedug itu beberapa ketika.
"Cucuku, ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu."
Maka berceritalah Ananthawuri.
"Semasa Ayah masih hidup, beliau memiliki banyak sawah
dan ladang. Suatu ketika untuk suatu keperluan Ayah
membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Panen
hasil sawah dan ladang ditunggu masih lama. Ayah meminjam
uang pada seorang saudagar muda dengan cara mengijonkan
hasil sawah ladang.Tidak diduga semacam penyakit tanaman
merusak seluruh tanaman. Anehnya musibah itu hanya terjadi
pada sawah dan ladang Ayah saja. Hasil panen yang
diharapkan akan dipakai untuk pembayar hutang tidak menjadi
kenyataan. Sementara hutang bunga berbunga hingga berlipat
ganda. Sampai Ayah meninggal dunia hutangnya tidak
terbayar..."
"Cerita selanjutnya aku bisa menerka," kata Dhana
Padmasutra pula. "Saudagar muda itu mendatangi
keluargamu, minta agar hutang mendiang Ayahmu
diselesaikan."
"Betul sekali Kek," kata Anathawuri. "Ibu memberitahu
belum sanggup membayar hutang. Ibu menawarkan agar
saudagar itu mengambil seluruh tanah sawah dan ladang
sebagai pembayar hutang. Tapi dia menolak-Tanah sawah
dan ladang kami tidak dihargai barang sekepeng batupun.
Malah dia mengancam akan membawa perkara hutang
piutang itu ke Pejabat Kerajaan. Ibu ketakutan dan jatuh sakit-
sakitan. Namun ancaman itu ternyata akal busuk sang
saudagar saja. Karena satu kali dia pernah berkata pada Ibu.
Jika saya mau dijadikan istrinya maka semua hutang Ayah
akan dihapus."
Dhana Padmasutra tercengang mendengar keterangan si
gadis dan gelengkan kepala sampai beberapa kali.
"Yang saya khawatirkan Kek, jika maksudnya mengawini
saya tidak kesampaian, mungkin sekali saya akan diapa-
apakan. Bisa-bisa saya diculik dilarikan."
"Cucuku, aku tidak mengira di Bhumi Mataram ini ada
seorang sejahat Saudagar muda itu. Kalau aku boleh tahu
siapa gerangan orang itu."
"Namanya Narotungga..." Memberitahu Ananthawuri.
"Narotungga? Kedengarannya bukan nama orang Bhumi
Mataram. Sepertinya... Jangan-jangan orang ini pendatang
berasal dari Selatan."
"Betul Kek, Saudagar muda itu memang dari selatan. Tapi
kabarnya dia juga bukan asli orang selatan."
"Pantas...pantas. Orang Mataram asli tidak akan ada yang
sejahat itu perilakunya. Tapi Yang Maha Kuasa berbuat
sekehendakNya. Berdosa kita kalau menyalahkan seseorang
bersifat dan berbuat jahat."
"Selain saya tidak suka padanya, saya juga mendengar
kabar kalau Saudagar Narotungga telah mempunyai beberapa
orang istri. Bila dia tidak suka pada salah seorang atau dua
orang istrinya dengan mudah dia menceraikan lalu mencari
istri-istri baru..."
"Bukan main, seperti hewan saja," ucap Dhana
Padmasutra."Cucuku Ananthawuri, sekarang sebaiknya kau
segera naik ke candi. Saatnya kau menemui Loro Jonggrang.
Ceritakan dengan hati dan ucapanmu semua apa yang kau
hadapi dan mohon petunjuk. Walau dia Cuma patung batu,
bisu dan dingin namun melalui Kuasa Dewa sesuatu akan kau
dapatkan sebagai petunjuk. Aku akan menunggumu di sini
sambil melanjutkan membaca Kitab Suci Weda."
"Saya akan segera naik ke candi. Kakek Dhana, saya
mohon restumu agar Para Dewa mau memperhatikan diri saya
yang malang ini."
Si orang tua anggukan kepala, tersenyum dan membelai
rambut panjang si gadis. "Doa orang lain memang diperlukan,
namun doa serta permohonan sendiri yang disampaikan
langsung kepada Yang Maha Kuasa akan lebih mustajab.
Pergilah cucuku
Seundak-demi seundak Ananthawuri menaiki tangga
utama Candi Loro Jonggrang. Walau langit bersih tak berawan
serta sinar rembulan ikut menerangi Bhumi Mataram termasuk
kawasan Prambanan, di dalam candi keadaan tidak begitu
terang. Namun Ananthawuri melangkah cepat dan sigap.
Semasa kecil, sewaktu candi dibangun dia sering datang dan
bermain-main di sana dengan teman-teman. Karenanya dia
hafal betul di mana letak ruangan tempat beradanya Patung
Batari Durga atau yang lebih dikenal dengan nama Loro
Jonggrang.
Di dalam suatu ruangan batu yang menghadap ke utara
disitulah beradanya Patung Loro Jonggrang. Patung berdiri di
atas seekor banteng bernama Nandi yang tewas di tangan
Batari Durga. Konon menurut cerita, suatu ketika ada seekor
banteng hendak mencelakai Durga. Banteng ini ternyata
bukan hewan biasa karena di dalam tubuhnya telah masuk
satu roh jahat. Durga berhasil menumpas makhluk halus yang
menguasai banteng hingga berteriak-teriak dan melarikan diri.
Banteng Nandi sendiri akhirnya ikut tewas di tangan Durga.
Patung Loro Jonggrang ini bagus dan halus sekali
bentuknya hingga dipandang dari kejauhan laksana hidup dan
tersenyum kepada siapa saja yang memperhatikannya.
Setelah memandang patung beberapa lama, Ananthawuri
lalu membungkuk tiga kali dan perlahan-lahan menjatuhkan
diri berlutut. Lama perawan desa Sorogedug ini terdiam
sebelum mampu membuka mulut mengeluarkan ucapan
sambil tundukan kepala.
"Wahai Batari Durga yang juga saya sebut dengan nama
Loro Jonggrang. Pertama sekali saya mohon maaf kalau
kedatangan saya mengganggu ketenteraman Batari. Wahai
Nyi Loro kalau boleh saya panggil dengan sebutan Dewi. Saya
gadis desa bernama Ananthawuri, datang menghadap Dewi
karena saya tidak tahu lagi akan bertemu siapa, akan bicara
dengan siapa dan akan minta tolong serta perlindungan
kepada siapa."
Sesaat Ananthawuri angkat kepala. Setelah
memperhatikan wajah patung dia kembali tundukan kepala
dan lanjutkan ucapan. Namun belum sampai kata-kata
meluncur keluar dari mulut perawan desa ini tiba-tiba dia
mendengar suara halus seolah bergema datang dari kejauhan.
"Ananthawuri, aku sudah mendengar apa yang kau
ceritakan pada orang tua di tangga candi. Kita hidup di alam
yang berbeda namun ternyata nasib kita punya kesamaan."
Dalam kejutnya Ananthawuri langsung angkat kepala,
menatap kearah patung. Hyang Jagat Bathara Sakti! Dia
melihat sepasang mata Patung Loro Jonggrang seolah hidup,
menatap kearahnya dan mulut patung tampak bergerak-gerak.
"Dewi Loro Jonggrang. Kau menatap ke arah saya, kau
bersuara. Kau hidup. Oh Dewa! Besar nian berkah M u pada
gadis malang ini..."
"Ananthawuri, kau masih muda belia. Karena itu mungkin
kau belum tahu bahwa hidup dan kehidupan di atas dunia ini
adalah semacam panggung sandiwara penuh tantangan.
Seseorang bisa melambung ke puncak kejayaan dan
kebahagiaan. Tapi seseorang juga bisa terpuruk ke jurang
hina penuh nista dan teraniaya. Pulanglah, jaga Ibumu baik-
baik. Bukankah dia sedang sakit-sakitan..."
"Saya mendengar ucapanmu wahai Dewi Loro Jonggrang.
Saya akan segera pulang..."
"Tentang nasib dirimu Para Dewa tentu sudah mendengar
dan mengetahui. Para Dewa tentu tidak akan membiarkan
seorang gadis seperti mu teraniaya begitu saja."
"Terima kasih Dewi...terima kasih banyak." Kata
Ananthawuri berulang kali sambil membungkuk menyentuh
kening ke lantai candi yang dingin tiga kali berturut-turut. Lalu
dia mencium ujung kaki Patung Loro Jonggrang. Saat itulah
dia merasa ada dua tangan mengangkat bahunya hingga dia
berdiri. Anehnya, kini tubuhnya jadi sama tinggi dengan
patung Loro Jonggrang. Kepala saling berhadapan, mata
saling berpandang.
"Dewi Loro Jonggrang..." Ucap Ananthawuri dengan suara
bergetar. Dia memandang ke bawah. Dia melihat kakinya
sejajar dengan kaki patung. Apa yang terjadi. Bagaimana
mungkin tubuhnya bisa setinggi tubuh patung sang Dewi.
Ananthawuri kembali menatap ke wajah patung. Seperti kata
kakek Dhana Padmasutra, wajah patung memang menyerupai
banyak kesamaan dengan wajahnya. "Dewa Maha Agung,
bagaimana ini bisa terjadi. Wajahku menyerupai wajah Dewi
Loro Jonggrang..." ucap Ananthawuri dalam hati.
Saat ini tangan kanan patung tiba-tiba bergerak ke depan,
lima jari tangan menggenggam kencang membentuk tinju
seolah hendak menjotos kepalanya.
"Dewi...."Ananthawuri terkesiap.
ooOOOoo
BATU SAKTI KALADUNGGA
LIMA jari tangan patung yang menggenggam tiba-tiba
bergerak membuka. Di atas telapak tangan Loro Jonggrang
terletak sebuah benda merah sebesar ujung jari kelingking.
Benda ini memancarkan kilauan aneh hingga jika diperhatikan
ber-bentuk seperti seekor kalajengking yang menggerakan
kepala, kaki dan ekor.
"Ini Batu Kaladungga. Jika batu ini berada dalam tubuhmu
maka siapa saja orang yang mempunyai niat jahat
terhadapmu, sekalipun baru di dalam hati, maka orang itu
tidak akan mampu melihat dirimu. Ananthawuri, ambil batu ini
dan telanlah."
Sepasang mata Ananthawuri memperhatikan tak berkedip
batu di tangan Loro Jonggrang. Lalu gadis ini menatap wajah
sang patung. Mulut patung bergerak.
"Tidak usah ada keraguan. Ambil batu ini dan cepat telan.
Dewa akan menolongmu."
Ananthawuri segera mengambil batu lalu memasukan ke
dalam mulut. Dia merasa ada hawa sejuk di dalam mulut dan
menjalar keseluruh tubuh. Namun setelah mencoba beberapa
kali gadis ini mengalami kesulitan menelan batu yang bernama
Kaladungga itu. Loro Jonggrang usapkan tangan kanan ke
leher si gadis. Saat itu juga batu Kaladungga meluncur masuk
lewat tenggorokan Ananthawuri. Anak perawan berusia enam
belas tahun ini merasa tubuhnya mendadak berubah ringan
dan pemandangannya menjadi lebih terang.
"Ananthawuri, lekas tinggalkan tempat ini. Cepat pergi..."
"Dewi Loro Jonggrang..." Ananthawuri cium tangan kanan
patung yang masih terulur. Dia seperti memegang dan
mencium tiada beda tangan manusia biasa. Halus dan wangi.
Sesaat kemudian tangan itu merapat kembali ke sisi kanan
tubuh. Secara bersamaan tubuh Ananthawuri berubah ke
bentukasal yaitu tidak lagi setinggi tadi.
"Dewi, saya Ananthawuri mengucapkan terima kasih. Puji
hormat saya untuk Dewi dan puji syukur saya untuk Para
Dewa."
Ananthawuri bungkukan tubuh, mencium kaki patung lalu
bersurut mundur. Terakhir kafi sebelum keluar dari ruangan
gadis ini menatap ke arah wajah patung, layangkan senyum
sambil tangan kanan dilambaikan. Wajah patung Dewi Loro
Jonggrang balas tersenyum dan mata kirinya tampak
dikedipkan.
Ketika menuruni tangga menuju pintu gerbang utama
candi, Ananthawuri merasa dirinya seperti melayang. Cepat
sekali dia berada di undakan tangga terakhir sebelah bawah.
Namun begitu menginjakan kaki di tanah gadis ini terpekik.
"Kakek Dhana!"
Orang tua berselempang kain putih yang tadi ditemui
Ananthawuri sebelum naik ke atas candi kini dalam keadaan
tergeletak di tanah. Kepalanya hangus hitam mengerikan.
Rambut gosong seperti habis terbakar.Tongkat kayu dan Kitab
Weda tercampak di tanah dalam keadaan terkembang.
"Kakek Dhana, apa yang terjadi?!"
Ananthawuri menghambur jatuhkan diri di samping sosok
si orang tua. Gadis ini hendak letakkan kepala orang tua itu di
atas pangkuannya namun Dhana Padmasutra yang dalam
keadaan sekarat masih mampu mengeluarkan ucapan.
"Cucuku, lekas tinggalkan tempat ini. Ambil Kitab Weda,
bawa tongkat kayuku. Ikuti saja kemana tongkat itu akan
menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah
suara Roh Agung yang memberi etunjuk padamu. Pergilah.
Jangan risaukan diriku. Aku telah menerima rahmat besar dari
Para Dewa. Aku merasa berbahagia bisa meninggalkan dunia
fana di malam yang begitu indah dan... sebelum pergi aku bisa
bertemu dengan gadis sepertimu."
"Kakek, jangan bicara seperti itu. Saya akan menolongmu.
Katakan apa yang terjadi? Siapa yang mencelakai dirimu
sekejam ini?!"
Wajah tua itu tersenyum. "Lekas pergi..." katanya.
"Kek..." Ananthawuri merasa bimbang.
"Cucuku, ikuti kata-kataku...Tempat ini sekarang sangat
berbahaya bagimu."
"Kalau begitu katamu Kek, baiklah.Tapi saya akan
membawa tubuhmu dari sini. Saya tidak akan meninggalkan
dirimu."
"Tidak.-.Jangan. Cucuku, lupakan diriku. Pergilah..."
"Baik, Kek. Saya akan segera pergi. Cepat-cepat pulang
ke desa Sorogedug."
"Jangan, jangan pulang ke desa. Ikuti saja ke mana
tongkat kayu milikku akan membawa menuntun dirimu..."
"Baik Kek. Saya akan menuruti kata-katamu..."
"Dewa akan melindungi dirimu," ucap si orang tua. Lalu
kepalanya terkulai.
"Kek!" Ananthawuri memandang berkeliling. Dia tidak
melihat siapa-siapa di sekitar situ. Sepi. Namun naluri
perawan belia ini merasakan ada kehadiran orang lain di
tempat itu. Pandangannya kemudian membentur Kitab Weda
dan tongkat kayu yang tergeletak di tanah. Dia ingat pada
pesan si kakek. Cepat-cepat gadis ini mengambil kitab dan
tongkat. Ketika hendak mengambil tongkat, di tanah
Ananthawuri melihat sebuah benda bulat berwarna
kemerahan. Walau tidak pasti apa adanya benda itu namun
diambilnya juga, diselipkan ke balik kemben.
Meski hatinya sedih dan berat meninggalkan si orang tua
dalam keadaan seperti itu namun Ananthawuri terpaksa pergi
dari tempat itu. Tidak lama setelah si gadis tinggalkan
halaman candi tiba-tiba dua orang berkelebat dari balik
bangunan candi Wisnu yang terletak di sebelah kiri candi Loro
Jonggrang.
ooOOOoo
4. SETUNGGUL LANGIT DAN SETUNGGUL BUMI
DUA ORANG lelaki yang muncul di depan candi
perhatikan mayat Dhana Padmasutra lalu saling pandang satu
sama lain.
"Kau tadi terlalu keras menghajarnya. Kau tidak perlu
mengeluarkan ilmu Serat Arang. Seharusnya dia tidak perlu
dibunuh," kata lelaki di sebelah kanan. Namanya Setunggul
Bumi. Orang ini bertubuh pendek katai, rambut panjang
digulung dan dikonde di atas kepala. Dia memelihara janggut
putih panjang menjulai menyentuh tanah. Pelipis kiri kanan
dicantel gelang hitam terbuat dari akar bahar. Pakaian jubah
kuning yang leher serta dua ujung lengan dan bagian bawah
berumbai-umbai biru.
"Dia bukan orang sembarangan. Memang dia tidak akan
membunuh kita tapi kalau dibiarkan hidup kita berdua bisa
celaka," jawab lelaki satunya yang berbadan ramping dan
tinggi sekali, mengenakan jubah hitam berkancing merah,
celana juga hitam. Rambut hitam berkilat digulung di atas
kepala. Dua tangan menjulai hampir menyentuh tanah seperti
beruk. Di keningnya menempel sebuah batu pipih .hitam
legam berkilat berbentuk segi tiga. Sesuai dengan keadaan
tubuhnya yang tinggi jangkung dia dikenal dengan nama
Setunggul Langit. Dialah yang telah membunuh Dhana
Padmasutra. Orang ini lanjutkan ucapan. "Lagi pula apa kau
lupa pesan Arwah Muka Hijau. Kita tidak boleh meninggalkan
jejak. Tidak ada satu orang pun boleh tahu dan menjadi saksi
semua rencana dan perbuatan kita..." Setunggul Langit
berbicara sambil mengelus-elus dada.Tiba-tiba orang itu
hentikan ucapan, tampang berubah. Kepala menunduk, mata
memperhatikan dada pakaian.
"Kancing bajuku!" katanya. "Salah satu kancing bajuku
lenyap!"
Setunggul Langit memandang ke tanah, memperhatikan
berkeliling.
"Aku ingat," kata si katai Setunggul Bumi. “Waktu kau
menyerang orang tua itu, dia pergunakan tongkat kayu untuk
menangkis.Tongkat kayu menyambar ke dada, mungkin
membuat tanggal salah satu kancing bajumu."
"Kalau tidak ada yang mengambil kancing itu pasti jatuh
sekitar sini!" Setunggul Langit mencari kian kemari. Lalu dia
menggeledah mayat Dhana Padmasutra, memeriksa dua
tangannya.Tapi dia tidak menemukan kancing baju yang
dicari.
"Celaka. Kancing bajuku. Kalau ada yang mengambil.
Kalau sampai ada yang mengetahui...!"
"Sudah lupakan saja kancing itu. Mungkin sudah hancur
sewaktu disambar ujung tongkat." Kata Setunggul Bumi."Aku
berpikir-pikir. Apakah tadi kita melihat gadis keluar dari candi?"
Setunggul Langit gelengkan kepala. "Aku tidak melihat,
kau juga tidak melihat. Aneh! Tadi aku jelas mendengar suara
gadis itu. Suara teriaknya, lalu suara dia bicara.Tapi mengapa
orangnya tak kelihatan. Aku melihat tongkat dan Kitab Weda
melayang di udara ke arah timur."
"Ini memang kejadian luar biasa. Sebelum mati orang tua
itu bicara dengan seseorang yang tidak kelihatan ujudnya.
Pasti gadis dari desa Sorogedug itu." Kata Setunggul Bumi
sambil usap janggutnya dan memandang ke arah candi.
"Setunggul Bumi, seharusnya tadi kita terus saja mengikuti
gadis itu masuk ke dalam candi. Kita bisa membekuknya di
sana."
"Sobatku, enak saja kau bicara. Apa kau lupa peringatan
Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau. Kita punya pantangan
tidak boleh naik apa lagi sampai masuk ke dalam candi
manapun di kawasan ini."
Setunggul Langit terdiam. Sesaat kemudian dia berkata.
"Kita gagal mendapatkan gadis itu. Lalu apa yang akan
kita katakan pada Arwah Muka Hijau!"
"Jelas dia pasti marah besar. Tapi kita punya alasan. Kita
sudah mengikuti tapi tidak menduga kalau gadis itu masuk ke
candi. Lalu ada orang tua bernama Dhana Padmasutra ini
menghalangi. Kita berhasil menghabisinya. Arwah Muka Hijau
pasti senang mendengar kematian seteru lamanya ini." Jawab
Setunggul Bumi.
"Lalu bagaimana kita mengatakan bahwa kita tidak melihat
gadis itu keluar dari candi. Kita mendengar suara tapi tidak
kelihatan orangnya. Apakah Arwah Muka Hijau akan
mempercayai begitu saja cerita kita?"
Setunggul Bumi kembali usap janggut putih yang menjulai
tanah.
"Sudah, kita terima nasib saja. Dia pasti akan memendam
kita lagi di Kali Progo. Sekali ini mungkin sampai seratus kali
kokok ayam pagi. Lebih lama dari yang sudah-sudah. Remuk
tubuh kita berdua!"
"Terus terang, sebenarnya kita telah berlaku sembrono,"
kata Setunggul Langit pula.
"Apa maksudmu?" tanya Setunggul Bumi.
"Tadi sewaktu kita melihat tongkat dan Kitab Weda
melayang, seharusnya kita cepat mengikuti. Aku yakin sesuatu
telah terjadi dengan anak perawan itu hingga dia mampu
melenyapkan diri.Tongkat dan kitab tidak mungkin bisa
melayang sendiri kalau tidak ada yang memegangi. Jangan-
jangan di dalam candi anak perawan itu telah menemui
seorang sakti mandraguna! Dengar sobatku, apapun yang
terjadi kita harus mengejar. Harus menemukan perawan itu!"
"Setunggul Langit, kalau itu maumu, rasanya kita masih
bisa mengejar. Kita punya ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi.
Digabungkan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus
Raga. Meski kita tidak melihat ujud tapi kita mampu mencium
baunya. Mengapa tidak dipergunakan? Lagi pula gadis itu
masih belia, masih suci. Pasti enak dan harum baunya.
Ha...ha...ha!"
Mendengar ucapan sobatnya si katai berjanggut panjang
tanah itu, Setunggul Langit langsung baringkan tubuh,
menelungkup ke tanah. Si katai Setunggul Bumi cepat
melompat dan berdiri di atas punggung sobatnya. Dua tangan
diangkat tinggi-tingg ke udara. Mulut merapal mantera.
Setunggul Langit ikut komat kamit. Secara aneh hidung
kedua orang ini menjadi panjang dan lobang hidung
membesar. Mengendus tiada henti.Tiba-tiba Setunggul Bumi
berteriak sambil menunjuk ke kanan.
"Timur! Ke arah timur!"
Saat itu juga tubuh Setunggul Langit naik ke udara,
melayang berputar dua kali lalu wuttt! Melesat ke arah timur.
Itulah ilmu kesaktian yang bernama Seribu Kaki Di Atas Bumi
yang diterapkan bersamaan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi
Mengendus Raga. Mereka mengejar dan menjajagi
keberadaan Ananthawuri.
ooOOOoo
5. SUMUR API
KITAB Weda dikepit di tangan kanan, tongkat dipegang di
tangan kiri. Ananthawuri berlari ke arah timur. Dia merasa
berlari biasa-biasa saja.Tetapi mengapa pohon-pohon yang
dilewatinya seolah melesat terbang ke arah berlawanan.
Rambutnya yang panjang melambai-lambai ditiup angin
kencang, terasa dingin sampai ke tengkuk. Kakinya seolah
tidak menjejak tanah. Walau berlari sudah sangat jauh tapi
kaki tidak terasa capai dan dada tidak sesak.
"Apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa aku memiliki
kemampuan seperti ini? Dewa Bathara Agung, apakah Kau
menolong diriku? Kakek Dhana Padmasutra, apakah ini berkat
semua doamu? Dewi Loro Jonggrang, engkau pasti
melindungi diriku."
Sementara berlari ucapan-ucapan itu keluar dalam hati
Ananthawuri.
Anak perawan dari desa Sorogedug ini tidak tahu dia mau
lari ke arah mana.Tapi dia sadar sekali kalau dia tidak tengah
menuju desa kediamannya. Sorogedug di selatan dan dia
terus-terusan lari bukan ke arah selatan. Setiap dia ingat akan
ibunya yang sedang sakit serta muncul niat untuk pulang ke
desa Sorogedug, tongkat kayu milik Dhana Padmasutra
menarik dirinya, seolah menjadi kemudi ke arah mana dia
harus menuju yaitu ke arah timur.
"Dewa Agung," Ananthawuri mengucap ketika di
depannya dia melihat langit mulai terang. "Fajar sudah
menyingsing dan aku masih terus lari..."
Tongkat kayu di tangan kiri tiba-tiba bergerak ke kanan.
Ananthawuri ikut bergerak ke kanan. Beberapa belas tombak
di kejauhan dia melihat satu nyala terang. Hingga akhirnya
gadis itu sampai di depan satu tumpukan batu bersusun rapi
membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang manusia.
Dari dalam lingkaran batu itulah menyebar keluar nyala terang
berwarna merah.
Ananthawuri memperhatikan dengan dada berdebar mata
tak berkesip. Dia melangkah lebih dekat lalu dengan hati-hati
ulurkan kepala, coba melihat ke dalam. Gadis ini melihat
sebuah lobang panjang dan dalam. Di dasar lobang berkobar
nyala api, mengeluarkan suara menderu angker, bergejolak
merah dan panas. Sesekali lidah api melesat ke udara
melewati bibir sumur. Luar biasa mengerikan.
"Sumur Api..." ucap Ananthawuri. "Aneh, biasanya sumur
berisi air. Yang ini mengapa berisi api?" Si gadis bersurut
menjauh dua langkah. Mukanya pucat pertanda ada rasa
takut.
"Ananthawuri masuklah. Ceburkan dirimu ke dalam
sumur!"
Perawan desa Sorogedug ini terkesiap. Memandang
berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. "Siapa yang barusan
bicara?" Ananthawuri beranikan diri bertanya.
"Ananthawuri! Lekas ceburkan dirimu ke dalam sumur!
Cepat! Ada bahaya mengancam keselamatan dirimu!"
"Suara itu...." Si gadis lantas ingat pada kata-kata orang
tua bernama Dhana Padmasutra."Ikuti saja ke mana tongkat
itu menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah
suara Roh Agung yang memberi petunjuk padamu...."
"Roh Agung..."desis Ananthawuri.
Tiba-tiba dalam keadaan udara yang mulai terang gadis ini
melihat pemandangan yang aneh. Dari arah barat melesat
laksana terbang seorang berpakaian hitam. Di atas
punggungnya berdiri seorang lelaki katai berjubah kuning,
berjanggut putih yang panjangnya sampai ke kaki. Lelaki
bertubuh pendek ini berdiri sambil dua tangan diangkat ke
udara.Tiba-tiba dia menunjuk ke arah Ananthawuri berdiri.
"Aku melihat tongkat dan Kitab Weda mengambang di
udara! Dekat tumpukan batu yang ada cahaya terang. Gadis
itu pasti ada di sana!"
Setunggul Langit putar tangan kanannya.
"Wuuttt!", Tubuhnya membelok, melesat ke arah sumur
api.
"Cekal tongkat dan kitab. Gadis itu pasti bisa kita ringkus
walau ujudnya tidak kelihatan!" teriak Setunggul Langit.
"Ananthawuri, jika kau ingin mencari selamat lekas masuk
ke dalam sumur! Waktumu sudah habis!"
Kembali terdengar suara dari makhluk yang tidak kelihatan
yang menurut Dhana Padmasutra adalah suara Roh Agung.
Ananthawuri pegang kitab dan tongkat erat-erat. Mulut
berucap gemetar. "Yang Maha Kuasa. Saya serahkan diri
saya padaMu." Dengan memincingkan mata sambil keluarkan
teriakan keras perawan desa Sorogedug ini melompat,
menerjunkan diri masuk ke dalam sumur api. Suara gaung
teriakannya bergema sepanjang kedalaman sumur, tembus ke
udara terbuka lalu sirap lenyap!
"Wuutt!"
"Wuutt!"
Setunggul Langit dan Setunggul Bumi sampai di tepi
tumpukan batu yang membentuk dinding sumur setinggi
pinggang. Mereka berusaha mencekal ke arah tongkat.
Namun keduanya hanya menggapai angin.
"Kita terlambat!" ucap lelaki yang bertubuh katai sambil
pukul-pukul kening sendiri karena kesal.
"Tempat celaka apa ini?" Setunggul Langit melangkah
mendekat lalu ulurkan kepala memandang ke dalam sumur.
"Wusss!"
Satu gelombang lidah api menderu keras, melesat ke atas
membuat Setunggul Langit tersentak kaget, cepat-cepat
melompat mundur, mengusap mukanya yang kepanasan dan
menyumpah panjang pendek.
"Tidak pernah aku melihat yang seperti ini! Sumur Api!
Mengapa ada kegilaan seperti ini di Bhumi Mataram
"Gadis tolol! Mengapa memilih bunuh diri!" Maki Setunggul
Bumi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak
mungkin mencebur masuk mengejar anak perawan itu. Kita
tidak mempunyai kemampuan melawan api!"
"Aku meragukan anak perawan itu benar-benar sudah
mati!" Sahut Setunggul Langit.
"Kita terpaksa menunggu di tempat ini. Masakan gadis itu
tidak akan keluar-keluar dari dalam sumur."
"Setunggul Langit, jangan bodoh! Anak perawan itu pasti
sudah menemui ajal! Kecemplung ke dalam sumur biasa saja
dia pasti sudah tewas. Apa lagi Sumur Api seperti ini! Kita
hanya membuang-buang waktu menunggu di sini. Sebaiknya
kita segera menemui Arwah Muka Hijau. Terus terang saja
padanya. Katakan semua apa yang kita alami."
Setunggul Langit menggeleng."Aku tetap punya keyakinan
anak perawan itu tidak menemui ajal di dalam Sumur Api.
Dengar, kalau kita berdua pergi, bagaimana jika anak perawan
itu nanti menyelinap keluar. Kita bisa celaka lagi dihajar Arwah
Muka Hijau."
"Kau benar-benar tolol!" ucap Setunggul Bumi.
"Menurutku dia sudah menemui ajal di dasar sumur celaka
ini. Dia seorang anak perawan desa yang tidak punya ilmu
kepandaian apa-apa. Apa lagi yang namanya kesaktian!"
"Kau yang tolol sobatku!" kata Setunggul Langit setengah
berteriak.
"Kau bukan saja tolol tapi tidak melihat kenyataan! Anak
perawan itu mampu melenyapkan ujud. Dia sanggup lari dari
Prambanan sejauh sampai di sini. Kau masih mengatakan
bahwa dia tidak mempunyai ilmu kesaktian?"
"Aku tetap tidak bisa percaya. Kita sudah mengawasi dia
sekian lama dan kita tahu dia tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa. Bagaimana sekarang kau bisa mengatakan bahwa
dia memiliki ilmu kesaktian?"
"Sudah! Kita tidak perlu berdebat! Kau tunggu di sini.
Awasi Sumur Api itu. Aku akan menemui Arwah Muka Hijau.
Syukur-syukur dia mau kita bawa ke tempat Ini!" Kata
Setunggul langit pula.
Setunggul Bumi tidak menjawab. Dia mendudukan
tubuhnya yang katai di bawah sebatang pohon jati yang kering
dimakan umur. Memperhatikan sahabatnya Setunggul Langit
berkelebat ke arah selatan lalu berpaling, memandang ke arah
Sumur Api.
ooOOOoo
6. ROH AGUNG
ANANTHAWURI dapatkan dirinya terduduk didasar sumur
memegang Kitab Weda dan tongkat Dhana Padmasutra.
Di tempat itu udara terasa sejuk padahal di sebelah atas
sejarak satu penggalan dari kepalanya da kobaran api yang
sekali-kali melesat keatas membentuk gelombang lidah api.
Dia perhatikan seluruh tubuh, letakkan tongkat dan Kitab
Weda di dasar sumur lalu mengusap wajahnya. Dia tak kurang
suatu apapun, Tidak luka tidak ada cidera.
“Aneh, aku jatuh sedalam ini kedalam sumur. Ketika
melewati kobaran api tubuh dan pakaianku tidak terbakar.
Ketika jatuh ke dasar sumur ini tubuhku tidak cidera,”
Ananthawuri menatap keatas.
“Api….Aku berada dalam Sumur Api. Wahai Dewi yang
maha kuasa Saya mohon perlindunganMu...” berucap si gadis
lalu ambil tongkat kayu dan Kitab Weda. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri, bingung dan juga takut.
"Apa yang akan terjadi dengan diriku selanjutnya? Apakah
aku akan berada di tempat ini selama-lamanya? Aku tidak
takut sekali pun menemui kematian di tempat ini.Tapi
bagaimana dengan Ibu...?" Memikir ibunya yang tengah sakit,
air mata Ananthawuri berlinangan.
"Ananthawuri..." tiba-tiba ada suara bergema di dasar
sumur."Jangan kau bersedih, jangan menangis. Saat ini kau
berada di tempat yang aman."
"Siapa yang bicara?" Ananthawuri bertanya. Dia seperti
mengenal suara itu. Sama dengan suara yang tadi
menyuruhnya masuk ke dalam Sumur Api.
"Aku Roh Agung.Yang ditugaskan oleh Para Dewa di
Swargaloka untuk melindungi dirimu dan keturunanmu
kelak..
"Roh Agung?" ucap si gadis lalu terdiam sejenak.
"Melindungi diriku dan keturunanku...?" Ananthawuri ingat
kembali ucapan orang tua bernama Dhana Padmasutra.
Dengan cepat gadis ini jatuhkan diri berlutut lalu berucap.
"Roh Agung, siapapun engkau adanya, saya berterima
kasih. Kau telah menyelamatkan diri saya. Yang saya ingin
tahu, berapa lama saya akan berada di dasar sumur ini. Saya
ingin segera pulang ke Sorogedug. Ibu saya sedang sakit.."
"Ananthawuri, jangan kau terkejut Kau tidak akan pernah
keluar dari Sumur Api ini seumur hidupmu kecuali dengan
perkenan dan petunjuk Yang Maha Kuasa."
Ananthawuri terpekik. "Apa?"
"Dunia luar bagimu saat ini adalah malapetaka .yang bisa
membawa dirimu pada kematian. Itu sebabnya Dewa
membawa dirimu ke tempat ini..."
"Tempat yang begini mengerikan?"
"Tempat ini tidak seperti yang kau lihat. Dibalik hal yang
kau katakan mengerikan ada keindahan. Sebentar lagi kau
akan menyaksikan."
"Roh Agung, bagaimanapun keindahan yang kau janjikan,
saya tetap memilih pulang ke desa. Menemui dan merawat Ibu
yang sedang sakit."
"Ibumu tidak kurang suatu apa. Para Dewa akan
melindungi dan menjaganya."
"Juga dari Saudagar jahat bernama Narotungga itu?"
tanya Ananthawuri.
"Dari siapa saja. Dari setiap marabahaya..."
"Tapi saya tetap ingin merawat dan menjaga Ibu sendiri.
Saya mohon, keluarkan saya dari Sumur Api ini."
"Harap maafkan diriku. Aku tidak berdaya menolongmu.
Ketentuan yang Maha Kuasa telah berlaku atas dirimu. Inilah
yang dinamakan takdir kehidupan."
Tongkat di tangan kiri Ananthawuri terlepas jatuh. Tangan
kanannya cepat-cepat menekankan Kitab Weda ke dada agar
tidak ikut jatuh.
"Takdir kehidupan..."ucap Ananthawuri perlahan. "Apakah
takdir kehidupan hanya menimpa diri seorang teraniaya
seperti aku ini? Mengapa takdir buruk selalu jatuh pada
manusia jelata, bukan pada mereka yang berlaku jahat?
Wahai Para Dewa di Khayangan, maafkan diriku kalau aku
telah berucap lancang..."
"Ananthawuri, ketahuilah. Kau telah dipilih oleh Para Dewa
sebagai seorang insan yang kelak akan menjadi seorang Ibu
yang akan melahirkan keturunan gagah perkasa yang akan
berbakti, menjaga dan mengawal Bhumi Mataram."
"Roh Agung, saya mohon maaf padamu. Para Dewa, saya
mohon ampunMu. Saya tidak akan menikah dengan
siapapun...."
"Ananthawuri, jaga bicara, perhatikan ucapanmu. Siapa
yang akan menjadi jodohmu sudah tertulis di sebuah Aras di
Swargaloka. Ketahuilah, Para Dewa akan memberi satu berkat
yang sangat luar biasa padamu. Kelak kalau kau sudah kawin
dan melahirkan, maka dirimu tetap perawan selama-lamanya."
"Roh Agung, saya tidak inginkan itu. Saya mohon maaf.
Saya minta ampun..."
"Ananthawuri, ambil tongkat kayu yang tergeletak di dasar
sumur. Tekankan ujung tongkat ke dinding sumur sebelah
kirimu. Maka itulah permulaan dari kehidupan barumu...."
"Saya tidak ingin kehidupan baru. Saya tidak mau
berpisah dengan Ibu." Ucap Ananthawuri setengah berteriak
setengah menangis.
Saat itu seperti ada yang memegang tangan kanannya,
membimbing mengambil tongkat kayu lalu tongkat di arahkan
ke dinding sumur sebelah kiri. Begitu tongkat ditekan, dinding
sumur bergerak membentuk sebuah lobang berupa pintu
empat persegi panjang. Di sebelah atas terdapat ukiran batu
berupa burung Rajawali membentangkan sayap. Di belakang
pintu terlihat satu lorong batu dengan dinding penuh ukiran,
diterangi cahaya kebiruan. Di ujung lorong Ananthawuri
melihat berdiri seorang perempuan separuh baya, bermuka
pucat berpakaian lusuh, tersenyum melambaikan tangan.
Gadis ini terkejut. Dia mengenal sekali siapa adanya
perempuan itu.
Ananthawuri tidak percaya pada pandangannya. Dua mata
diusap berulang kali.
"Apakah ini suatu sihir? Atau apakah aku tengah
bermimpi?" Ananthawuri gigit bibirnya sendiri.Terasa sakit.
"Aku tidak bermimpi." Lalu dia mengucap menyebut nama
Dewa berulang kali. Perempuan di ujung lorong tidak sirna. "Ini
bukan sihir..."
"Ibu!" pekik Ananthawuri memanggil.
Perempuan di ujung lorong membalas.
"Ananthawuri anakku."
Kedua perempuan itu saling mendatangi dan akhirnya
bertemu lalu sama berpelukan.
"Dewa Maha Besar.Terima kasih wahai Para Dewa.
Terima kasih Roh Agung. Kau telah mempertemukan diriku
dengan Ibundaku tercinta..."
Air mata menitik jatuh ke pipi Ananthawuri.
"Ibu, katakan, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"
"Semua karena perlindungan dan pertolongan Yang Maha
Kuasa, anakku. Narotungga bersama dua pengawalnya
mendatangi rumah kita hendak menculikmu. Ketika dia tidak
menemukanmu, Narotungga menumpahkan amarah
murkanya pada Ibu. Jahat dan keji sekali..." Perempuan
berusia tiga puluh lima tahun ini bercerita sambil meneteskan
air mata.
ooOOOoo
7. NAROTUNGGA
DESA -Sorogedug. Sebuah desa kecil di sebelah
selatan Prambanan. Penduduk rata-rata hidup bertani. Setiap
keluarga memiliki sawah dan ladang cukup luas dan subur
untuk ditanami. Sampai tengah malam banyak penduduk desa
masih berada di luar rumah menyaksikan keindahan malam
dihias rembulan dan bintang gumintang. Namun ketenteraman
orang desa terusik oleh kedatangan ketiga penunggang kuda
berdestardan berpakaian serba hitam.
Begitu melihat dan mengenali siapa adanya tiga
penunggang kuda itu semua penduduk desa terutama yang
memiliki anak gadis, cepat-cepat masuk ke dalam rumah,
memalang pintu rapat-rapat lalu memadamkan pelita.
Tiga penunggang kuda yang membekal golok di pinggang
masing-masing berhenti di sebuah rumah tua beratap rumbia
yang bagian depannya diterangi sebuah pelita minyak.
Ketiganya melompat turun dari kuda lalu melangkah ke depan
pintu.
Salah seorang dari mereka, yaitu yang berkumis melintang
bertampang garang dan rupanya bertindak sebagai pemimpin
begitu berada di depan pintu langsung menendang.
"Braakkk!"
Pintu rumah jebol berantakan. Lelaki berkumis cepat
menyelinap masuk kedalam rumah diikuti kedua temannya. Di
dalam rumah hanya ada dua buah kamar. Kamar pertama
ketika mereka dobrak dalam keadaan gelap dan kosong.
"Aku tahu betul. Ini kamarnya. Kosong, anak perawan itu
tidak ada di sini." Kata lelaki yang lebih dahulu masuk ke
dalam kamar pada dua temannya.
"Kita periksa kamar satunya. Dia pasti di sana menemani
ibunya yang lagi sakit." Kata si kumis melintang mendahului
melangkah ke bagian belakang rumah di mana terdapat
sebuah kamar yang pintunya hanya tutup dengan kain panjang
lusuh.
Si kumis melintang tarik kain penutup pintu hingga robek
dan tanggal dari gantungannya. Di dalam kamar yang
diterangi pelita kecil, di atas tempat tidur bambu beralas kasur
tipis terbaring seorang perempuan separuh baya. Perempuan
ini dalam keadaan sakit. Sudah dua hari menderita demam
dan batuk. Wajahnya pucat. Dia tidak dalam keadaan tidur dan
dua matanya nyalang memperhatikan tiga lelaki yang berdiri di
sampingnya dengan penuh rasa takut. Sambil batuk-batuk
perempuan ini mencoba bangun lalu duduk di atas tempat
tidur, rapatkan dada pakaiannya. Dia menatap pada lelaki
berkumis yang sudah dikenalnya sebagai anak buah saudagar
Narotungga kepada siapa mendiang suaminya mempunyai
hutang.
"Raden Panangkaran, biasanya kau selalu datang siang
hari. Ada apa datang malam-malam. Mengapa harus masuk
dengan cara merusak pintu....?"
"Rupanya kau lebih sayang pada pintu rumah bobrok ini
dari pada nyawamu!"
Si kumis melintang bernama Panangkaran membentak.
Perempuan di atas tempat tidur makin ketakutan. Batuk-batuk
beberapa kali. Setelah menarik nafas tersengal dia bertanya.
"Raden, apa maksudmu..."
"Sukantili! Mana anak gadismu Ananthawuri?!"
"Kau...kau pertanyakan perihal anakku Tentu saja dia ada
di kamarnya..." jawab perempuan bernama Sukantili yang
sedang sakit.Ternyata dia adalah ibu Ananthawuri, anak gadis
yang malam itu datang ke candi Loro Jonggrang.
"Tapi...Katakan, ada apa kau mencari anak gadisku. Malam
buta begini rupa. Apakah..."
"Diam! Tidak perlu banyak bertanya!" Hardik
Panangkaran.
"Kami sudah memeriksa. Kamar anakmu kosong! Kau
sembunyikan dimana anak itu?!"
Sukantili yang duduk di atas ranjang bambu gelengkan
kepala dan kembali batuk-batuk. Dadanya terasa sesak. "Saya
tidak menyembunyikan. Sepanjang malam saya tidur di kamar
ini dalam keadaan sakit..."
"Anakmu tidak ada di kamar ini! Dan kau tidak tahu ke
mana perginya! Orang tua macam apa kau?! Katakan dia pergi
ke mana? Sembunyi di mana?!"
"Raden, kalau benar kamarnya kosong, saya tidak tahu
pergi kemana anak itu."
Panangkaran jambak rambut Sukantili hingga perempuan
ini menggigil gemetaran.
"Kau berdusta! Kau berani berdusta padaku Sukantili?!"
"Demi Yang Kuasa saya bersumpah. Saya tidak
berdusta..."
Panangkaran memperkencang jambakannya hingga
Sukantili mengerang kesakitan.
"Perempuan desa tolol! Diberi rahmat malah minta kualat!
Lebih baik kau katakan di mana anakmu. Kalau sampai kami
bawa ke hadapan Gusti Narotungga, celaka nasibmu!"
"Saya tidak tahu berada di mana Ananthawuri. Kalau dia
memang pergi saya juga tidak tahu pergi ke mana anak itu."
Kata Sukantili terbata-bata.
"Perempuan, kau benar-benar memilih sengsara!"
Panangkaran memberi isyarat pada dua anak buahnya.
Kedua orang ini segera mencekal kedua kaki dan tangan
Sukantili. Salah seorang dari mereka kemudian memanggul
dan membawanya keluar rumah.
Sukantili menjerit.
"Saya mau dibawa ke mana? Lepaskan! Saya sedang
sakit. Mohon dikasihani! Saya mau dibawa ke mana?
Ananthawuri anakku! Kau di mana Nak? Tolong....!"
Sebelum meninggalkan tempat itu Panangkaran
mengambil lampu minyak yang tergantung di depan rumah
lalu dilempar ke atas atap. Sesaat kemudian gubuk itu telah
tenggelam dalam kobaran api.
Jeritan Sukantili terdengar keras di malam sunyi itu.
Banyak tetangga yang mendengar. Namun mereka tidak
berani keluar rumah, apa lagi memberikan pertolongan.
Mengintip dari lobang dinding kajang rumah masing-masing
hanya itu yang bisa mereka lakukan. Jangankan rakyat biasa,
prajurit Kerajaanpun seandainya menyaksikan kejadian itu
tidak akan berbuat apa-apa. Karena mereka tahu siapa
adanya Panangkaran dan untuk siapa lelaki ini bekerja.
ooOOOoo
GEDUNG kediaman Narotungga cukup jauh di wilayah
barat laut desa Sorogedug. Gedung ini tidak beda seperti satu
istana kecil. Terdiri dari satu bangunan besar dan lima
bangunan kecil. Seluruh bangunan dikelilingi tembok tinggi.
Rumah jaga pengawal tampak di empat sudut. Para pengawal
meronda berkeliling sepanjang malam.
Sukantili dibawa ke gedung besar, di masukan ke sebuah
kamar kosong, dibaringkan di lantai. Kalau dipegang tubuhnya
panas sekali tapi perempuan malang ini sendiri merasa sangat
kedinginan, menggigil gemetaran. Selain itu rasa takut yang
amat sangat menyelubungi dirinya.
Tak lama setelah Panangkaran meninggalkan tempat itu,
seorang pelayan perempuan datang memeriksa Sukantili dan
memberi minuman secangkir teh hangat. Setelah itu pelayan
keluar. Lalu masuklah seorang lelaki bertubuh gemuk pendek,
mengenakan pakaian tidur bagus, berkumis kecil dan
berjanggut tipis. Rambut hitam lurus ke atas, seperti lidi.
Sepasang alis berbentuk setengah lingkaran, mata besar dan
hidung tinggi bengkok. Dua telinga dicantel anting-anting bulat
terbuat dari emas.
Di tangan kanannya si gemuk pendek ini memegang
sebuah kipas terbuat dari bambu halus menyerupai daun
keladi lebar. Sambil melangkah masuk ke dalam kamar dia
mengipasi wajahnya yang pucat. Tiga dari lima jari tangan
kanannya dihiasi dengan cincin batu permata besar. Lelaki
berusia kurang tiga puluh tahun dan berwajah nyaris
menyerupai hantu inilah Narotungga. Saudagar muda yang
tergila-gila pada Ananthawuri puteri Sukantili dari suaminya
Panggali.
Begitu melihat sosok Narotungga, Sukantili yang telah
beberapa kali bertemu dengan saudagar ini segera jatuhkan
diri. Setengah meratap dia memohon.
"Gusti Narotungga, mohon ampunmu. Mohon saya
dilepas..."
Narotungga berpaling ke Panangkaran. Dengan nada dan
sikap congkak dia berkata. "Aku muak mendengar ocehan
perempuan ini. Suruh dia berbicara perihal anak
perempuannya!"
Panangkaran cekal leher pakaian Sukantili. Perempuan ini
disandarkan ke dinding lalu dibentak.
"Katakan pada Gusti Narotungga dimana Ananthawuri
berada. Cepat!"
"Demi Yang Maha Kuasa, saya bersumpah. Saya tidak
tahu dimana anak itu. Saya tidak tahu dia pergi kemana. Saya
tidak menyembunyikannya. Mohon ampun. Saya dua hari dua
malam terbaring sakit di dalam kamar..."
"Sukantili, apa kau masih ingin bertemu dengan anak
perempuanmu?"
"Tentu saja.. ..Saya”.
"Kalau begitu beri tahu dimana dia berada."
"Saya sudah bersumpah. Saya tidak berdusta..." jawab
Sukantili.
"Cukup!" Hardik Narotungga. "Bawa masuk kemari lelaki
penyakitan itu! Biar perempuan ini tahu rasa!" Habis berkata
begitu sambil berkipas-kipas saudagar muda ini keluar dari
dalam kamar. Panangkaran memberi isyarat pada salah
seorang anak buahnya yang berdiri di pintu. Lelaki ini segera
tinggalkan kamar. Tak lama kemudian dia kembali membawa
seorang lelaki bersosok besar, yang hanya mengenakan
cawat.Tubuhnya mulai dari kepala yang setengah gundul
sampai ke kaki, selain kotor berdaki juga penuh dengan
koreng dan kudis. Dua matanya merah, digenangi cairan
nanah.Tubuh menebar bau busuk luar biasa.
"Kalian mau melakukan apa?!" Tiba-tiba Sukantili berteriak
amat ketakutan.
"Tungkaduara! Kau lihat perempuan ini?!" Tanya
Panangkaran pada lelaki korengan yang cuma mengenakan
cawat
"Ha...hu...ha...hu!" Ternyata orang korengan ini gagu tak
bisa bicara.
"Menurutmu apakah dia cantik?" tanya Panangkaran lagi.
"Ha...hu...ha...hu!"
"Kau suka padanya?" Kembali manusia korengan
menjawab ha-hu-ha-hu. Kali ini sambil anggukan kepala.
"Kau boleh memperkosanya sepuas hatimu! Bahkan
sampai mati sekali pun! Tidak ada yang perduli!" Lelaki
korengan busuk bernama Tungkaduara menyeringai. Barisan
giginya tampak besar-besar dan kuning. Dia melangkah
mendekati Sukantili sambil tangan bergerak melepas tali
cawat. Sukantili kembali menjerit. Kali ini tiada henti.
"Perempuan dungu!" teriak Panangkaran. "Aku masih bisa
menyelamatkanmu. Asal kau mau memberi tahu dimana
keberadaan anak gadismu!"
"Demi Yang Maha Kuasa! Demi Para Dewa! Saya tidak
tahu dimana anak itu. Raden, Para Dewa akan memberkahi
merakhmati dirimu jika kau mau melepaskan diriku dari
penganiayaan keji ini."
Panangkaran hanya menyeringai. Dia berpaling pada
Tungkaduara.
"Perkosa perempuan ini!"
"Ha...hu...ha...hu!"
Sukantili jatuhkan diri ke lantai. Pegangi kaki Panangkaran
dan meratap.
"Demi Para Dewa, saya memohon. Kasihani diri saya.
Keluarkan saya dari tempat ini.Tolong..."
Seperti Narotungga mana ada rasa belas kasihan di hati
Panangkaran. Dia malah tertawa bergolak mendengar ratapan
perempuan itu.
"Raden, kalau kau memang tidak ingin menolong saya,
saya minta, saya mohon dengan bersujud di depan kakimu,
cabut golokmu! Dari pada saya diperlakukan secara keji lebih
baik bunuh saya saat ini juga! Segala dosa perbuatanmu aku
mintakan pengampunan pada Para Dewa di Swargaloka!"
Gelak tawa Panangkaran semakin keras. Bersama dua
anak buahnya dia tinggalkan kamar itu. Pintu dipasak dari luar.
ooOOOoo
8. MISTERI KEMATIAN TUNGKADUARA
PANANGKARAN dan dua anak buahnya duduk setengah
tertidur di pendopo gedung besar kediaman Narotungga ketika
saudagar itu muncul dan menendang kakinya.
Panangkaran terkejut. Begitu melihat siapa yang berdiri di
hadapannya kepala pengawal ini serta meria melompat
bangkit, membungkuk hormat lalu berteriak membangunkan
dua anak buahnya.
"Fajar sudah menyingsing! Kau dan dua anak buahmu
enak-enakan tidur!"
"Gusti Narotungga, mohon kami dimaafkan. Kami
keletihan, semalam tidak tidur..."
"Tutup mulutmu! Pandainya kau mencari alasan! Apa tidak
sadar kalau kalian sedang menjalankan tugas?!" bentak sang
saudagar.
"Tungkaduara masih belum keluar dari kamar! Kalau
memang sudah tewas, buang mayat mereka di jurang
Kalimundu!"
"Saya akan memeriksa Gusti. Saya akan membuang
mayat mereka kalau memang sudah tewas." Jawab
Panangkaran lalu bersama dua anak buahnya bergegas ke
kamar di mana lelaki korengan disekap dan disuruh merusak
kehormatan Sukantili. Pasak pintu dibuka. Daun pintu
didorong. Begitu pintu kamar terpentang lebar Panangkaran
bersama dua anak buahnya berseru kaget.
"Gusti Narotungga!" Panangkaran berteriak.
Sambil terus berkipas-kipas tapi kerenyitkan kening
saudagar Narotungga melangkah cepat mendatangi.
"Ada apa?!" tanyanya setengah membentak.
"Mohon ampun Gusti. Saya tidak berani mengatakan.
Harap Gusti menyaksikan sendiri."
Lalu pengawal ini menghindar dari ambang pintu kamar.
Wajahnya yang garang tampak ketakutan.
Narotungga mendengus kesal mendengar ucapan
Panangkaran namun dia melangkah juga ke depan pintu. Dua
kakinya laksana dipaku di lantai. Dua mata membeliak.
Perutnya mendadak mual dan mulutnya seperti mau
menyembur muntah!
Di dalam kamar menggeletak sesosok lelaki korengan
Tungkaduara dalam keadaan tanpa pakaian. Kepala pecah
mulai dari kening sampai ubun-ubun! Darah menggenangi
lantai kamar. Dan Sukantili tidak ada dalam ruangan itu!
Yang membuat Narotungga merasa seolah jantungnya
mau tanggal ialah ketika melihat pada dinding ruangan di
hadapannya tertera serangkaian tulisan dalam huruf
Palawa.Tulisan ini dibuat dengan darah dan bisa dipastikan itu
adalah darah Tungkaduara yang kini sudah jadi mayat!
Anak manusia bernama Narotungga
Kekayaan adalah rakhmat Para Dewa
Mengapa dipakai untuk berbuat nista
Kekuasaan adalah untuk membela orang yang lemah
Mengapa dipergunakan untuk berbuat angkara murka
Atas semua perilaku kehidupanmu selama ini
Yang hari ini kau tambah dengan perbuatan keji
Tiadalah pantas bagimu untuk berada di Bhumi Mataram
Hari ini sebelum sang surya tenggelam
Bertobatlah dan pergilah membawa diri
Tinggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya
Jangan berani kembali
Maka Para Dewa masih akan memberi rakhmat padamu
Bilamana kau tidak menyadari dan tetap bertahan diri
Maka azab Para Dewa sungguh sangat pedih
Untuk beberapa lamanya Narotungga tegak terdiam
Namun kemudian tawa bergolak menghambur dari mulutnya.
Selagi tertawa kepala mendongak, mata melihat ke atas. Saat
itu juga tawa lelaki ini berhenti. Di langit-langit kamar dia
melihat satu lobang besar.
"Ada setan di gedung ini!" teriak Narotungga keras.
"Bukan saja menculik perempuan celaka itu! Membunuh
Tungkaduara! Tapi juga mengotori dinding dengan tulisan
darah!" Rahang saudagar bertubuh gemuk pendek ini
menggembung. Kipas di tangan kanan dibanting ke lantai. Dia
berpaling pada kepala pengawal.
"Gusti Narotungga, saya punya dugaan bukan setan yang
melakukan semua ini. Mungkin ada seorang pintar
berkesaktian tinggi muncul di sini. Atau mungkin juga ini
semua kehendak dan perbuatan Para Dewa."
"Panangkaran! Kau banyak mulut sekarang! Kau tahu!
Semua ini terjadi karena kelalaianmu dan dua anak buahmu!
Kalian bertiga aku pecat! Aku tidak mau lagi melihat tampang
kalian! Segera angkat kaki dari gedung kediamanku! Bawa
mayat Tungkaduara. Buang di jurang Kalimundu!"
Panangkaran jatuhkan diri. Dua anak buahnya melakukan
hal yang sama.
"Gusti Narotunga. Mohon ampunmu..."
"Minta ampun pada setan yang membawa kabur
perempuan itu, yang membunuh manusia korengan, yang
menulis di tembok dengan darah!"
Saudagar ini ludahi muka Panangkaran, balikkan tubuh
lalu tinggalkan tempat itu.
Perlahan-lahan Panangkaran bangkit berdiri. Sepasang
matanya tampak menyala seperti dikobari api. Diikuti dua anak
buahnya dia meninggalkan gedung kediaman Narotungga.
Sebelum keluar dari pintu gerbang dia berkata.
"Aku bersumpah akan membunuh saudagar itu! Aku akan
melakukannya malam nanti!" Panangkaran berpaling pada dua
orang anak buahnya. "Kalian ikut?"
"Kau pimpinan kami. Kemana kau pergi kami pergi. Apa
yang kau lakukan akan kami lakukan." Jawab salah seorang
anak buah Panangkaran sementara yang satunya
mengangguk-angguk sambil keluarkan suara bergumam.
Panangkaran menyeringai. "Kita bunuh saudagar itu. Kita
kuras harta kekayaannya. Aku tahu di mana dia menyimpan
uang emas dan berbagai macam perhiasan."
ooOOOoo
DI DALAM sumur api Ananthawuri dan ibunya sama-
sama mengusap wajah mengeringkan air mata.
"Ibu tidak menceritakan siapa yang menolong Ibu."
Berkata Ananthawuri.
"Ibu sendiri tidak tahu siapa yang menyelamatkan Ibu dari
perbuatan keji yang dilakukan lelaki busuk korengan itu. Ibu
hanya melihat satu cahaya putih menyambar ke arah kepala
orang itu. Lalu dia roboh ke lantai dengan kepala terbelah,
darah mengucur. Ibu menjerit. Antara sadar dan tidak Ibu
merasa ada orang yang mendukung Ibu.Tapi Ibu tidak bisa
melihat sosok ataupun wajahnya. Orang ini menjebol langit-
langit ruangan. Ibu melihat langit, rembulan dan bintang-
bintang. Ibu sadar kalau tengah dibawa terbang. Ibu tak kuasa
mengeluarkan ucapan. Tapi tidak ada rasa takut dalam diri
Ibu. Sewaktu melayang dari tubuh orang yang mendukung Ibu
memancar hawa hangat. Ajaib sekali. Demam dan batuk Ibu
serta merta lenyap. Ibu menjerit ketika orang itu menukik ke
bumi dan membawa Ibu memasuki ke sebuah lorong api. Tapi
anehnya Ibu tidak merasa panas. Tubuh tidak ada yang
terbakar atau cidera.Tak selang berapa lama berada di tempat
ini, Ibu melihatmu..."
"Cahaya putih yang membunuh lelaki jahat itu..." kata
Ananthawuri.
"Saya yakin itu adalah cahaya Dewa yang memberikan
pertolongan..."
"Ibu juga yakin memang begitu adanya." Kata Sukantili
pula. "Ibu, apakah Ibu tidak merasa indahnya rakhmat yang
diturunkan Dewa atas kita? Ketika manusia biasa tidak
memandang sebelah mata pada kita, malah berbuat jahat dan
keji, Para Dewa menolong kita sehingga selamat dari
bencana."
Ibu dan anak kembali saling berpelukan.
ooOOOoo
9. MURKA DEWA JADI KENYATAAN
KEMATIAN Tungkaduara, lenyapnya Sukantili serta
adanya tulisan darah sama sekali tidak menjadi peringatan
yang mendatangkan kesadaran bagi saudagar Narotungga.
Malam harinya, setelah batas waktu peringatan dalam tulisan
darah di dinding terlampaui, yaitu dia harus meninggalkan
Bhumi Mataram untuk selama-lamanya sebelum matahari
tenggelam, Narotungga malah mengadakan pesta. Kerabat
dekat, para saudagar dan juga banyak pejabat dari Kerajaan
Mataram diundang datang. Di ruang dalam gedung yang luas
dimana terdapat sebuah taman selain makanan lezat serta
minuman keras para tamu disuguhi hiburan gamelan dengan
sinden muda belia berwajah cantik serta para penari bertubuh
molek. Belasan pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis
cantik berpakaian seronok melayani para tamu yang
semuanya adalah lelaki. Sebelum pesta dimulai konon
Narotungga membisikkan pada sahabat-sahabatnya terutama
yang ada hubungan dagang dengan dia, jika ada yang
berkenan dengan gadis-gadis pelayan itu maka dipersilakan
membawanya ke bagian belakang gedung dimana tersedia
delapan buah kamar.
Rupanya bukan saja Para Dewa, alampun tidak dapat
menerima pesta penuh kemesuman itu. Menjelang tengah
malam yaitu pada puncak kemeriahan pesta udara mendadak
berubah. Langit yang tadinya terang bertaburan bintang walau
tak ada lagi rembulan berubah kelam diselimuti awan hitam.
Angin yang sebelumnya bertiup semilir sejuk kini menjadi
keras disertai deru menakutkan. Pohon-pohon besar berderak-
derak, cabang-cabang bergoyang, rerantingan berpatahan,
dedaunan luruh ke tanah. Petir menyambar mendebar dada,
guntur menggelegar menusuk pendengaran berulang kali.
Anehnya hujan tidak turun-turun.
Diantara para tamu yang menghadiri pesta di gedung
kediaman Narotungga ada yang mulai gelisah dan berniat
minta diri. Namun sebelum ada satupun yang meninggalkan
gedung itu tiba-tiba petir kembali menyambar. Sekejapan
seluruh tempat terang benderang. Lalu terdengar letupan
keras di wuwungan gedung yang terbuat dari kayu sirap dan
wuuusss!
Api besar berkobar di atap gedung. Suasana pesta jadi
kacau. Belasan prajurit kerajaan yang membantu
mengamankan jalannya pesta berusaha memadamkan api.
Namun kebakaran malah semakin hebat.Tiupan angin yang
luar biasa kencang membuat titik api menebar ke beberapa
tempat di atas atap gedung. Sebentar saja seluruh atap
gedung besar kediaman saudagar Narotungga telah
tenggelam dalam kobaran api. Ketika beberapa bagian atap
mulai berderak runtuh dan api merambat bagian bawah
gedung Narotungga tidak perdulikan para tamu, serta merta
dia meninggalkan halaman pesta, masuk ke dalam gedung
besar, langsung menuju ke sebuah ruangan di mana terdapat
sebuah lemari besi tempat dia menyimpan uang, batangan
emas serta berbagai macam perhiasan yang dimasukan
dalam dua buah peti masing-masing dibungkus kantong kain
berwarna hitam.
Selagi Narotungga mengeluarkan dua buah kantong hitam
dari dalam lemari dan siap memanggulnya tiba-tiba ada suara
menegur.
"Saudagar, kami suka sekali membantumu mengangkat
dua peti dalam bungkusan kain hitam itu."
Narotungga terdiam. Dia mengenali suara itu. Perlahan-
lahan dia berpaling. Dugaannya tidak salah. Di hadapannya
berdiri Panangkaran menyeringai sambil memelintir kumis
tebal. Di kiri kanan berdiri dua orang anak buahnya dengan
sikap berkacak pinggang.
"Kalian bertiga sudah aku perintahkan untuk pergi!
Mengapa berani muncul kembali?!" ucap Narotungga dengan
suara keras membentak.
"Kami memang sudah pergi, tapi datang kembali untuk
membantu Gusti Narotungga," jawab Panangkaran.
Waktu mengucapkan Gusti Narotungga Panangkaran
sengaja mengejek dengan memencongkan mulut, berpaling
pada dua kawannya lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.
"Menyingkir! Jangan berani menghalangi jalanku!"
Narotungga marah besar merasa dihina.Tapi diam-diam
hatinya mulai kecut.
Tiga orang di hadapan Narotungga semakin keras gelak
tawanya.
"Kalian rupanya minta aku hajar!" Narotungga
mengancam.
"Narotungga," kata Panangkaran. "Aku dan teman-teman
sebenarnya ingin menolong dirimu. Menurut tulisan di dinding
bukankah sore tadi seharusnya kau sudah meninggalkan
gedung kediamanmu ini? Sekarang masih belum terlambat.
Kami bertiga akan bantu membawakan dua peti itu kemana
kau mau pergi. Bukan begitu teman-teman?"
Dua orang anak buah Panangkaran mengangguk lalu
tertawa gelak-gelak.
Mendengar bekas pengawal menyebut namanya tanpa
sopan santun lagi Narotungga letakan dua bungkusan peti di
lantai. Dari balik punggung pakaiannya dia mengeluarkan
sebilah keris berluk tujuh yang langsung dihunus.Tujuh warna
membersit keluar dari tubuh keris. Senjata ini bukan senjata
sembarangan karena merupakan keris bertuah dan
mengandung racun mematikan. Namun Narotungga sebagai
seorang saudagar sama sekali tidak memiliki ilmu silat
sekalipun silat luar. Apa lagi yang namanya tenaga dalam dan
kesaktian. Keselamatannya selama ini hanya mengandalkan
para pegawai seperti Panangkaran.
"Kalau kalian bertiga mau mati, mendekatlah!" Narotungga
acungkan keris sakti ke arah tiga orang di hadapannya.
Panangkaran keluarkan suara berdecak berulang kali lalu
berkata.
"Keris Mustika Pelangi. Senjata sakti luar biasa hebat!
Tapi aku tahu kau mencuri dari mana senjata itu!" kata
Panangkaran pula.
"Saatnya kalian menerima kematian!" Teriak Narotungga
dengan mata mendelik.
"Kami bertiga memang ingin sekali mati di tanganmu. Tapi
Narotungga, bagaimana kalau kau mati duluan hingga bisa
jadi penunjuk jalan kami bertiga menuju pintu neraka!
Ha...ha...ha!"
Setelah keluarkan ucapan dan hambur tawa bergelak
Panangkaran cabut golok besar di pinggang. Dua anak
buahnya lakukan hai yang sama. Sebelum tiga orang itu
bergerak, Narotungga lebih dulu menerjang. Serangannya
berupa tusukan sekuat tenaga diarahkan ke dada
Panangkaran.
Bekas kepala pengawal itu dengan mudah mengelakkan
serangan. Akibat tusukan sekuat tenaga yang hanya
mengenai tempat kosong Narotungga terputar melintir. Saat
itulah Panangkaran melompat ke hadapan Narotungga. Walau
golok siap dibacokkan akan tetapi dia tidak melakukan. Dalam
jarak sedekat itu dia tiba-tiba meludahi muka Narotungga! Ini
merupakan pembalasan dari Panangkaran yang pagi
sebelumnya telah diludahi mukanya oleh Narotungga.
Penghinaan telah dibalas dengan penghinaan. Namun
agaknya pembalasan Panangkaran dan dua anak buahnya
tidak sampai sebatas meludah saja!
"Jahanam kurang ajar! Kau berani meludahi mukaku!"
teriak Narotungga. Saudagar bertubuh gemuk pendek ini
dengan kalap menusuk dan membabatkan senjata di
tangannya ke arah Panangkaran. Yang diserang menangkis
dengan golok.
"Traangg!"
Begitu bentrokan senjata terjadi Panangkaran putar golok
demikian rupa hingga keris di tangan Narotungga ikut berputar
dan akhirnya terlepas mental. Saudagar ini melompat mundur
dengan muka pucat. Panangkaran mendatangi, dua anak
buahnya bergerak dari samping.Tiga golok besar terpentang
siap untuk dibacokkan.
"Kalian bertiga! Dengar..." Ucap Narotungga dengan suara
gemetar, wajah pucat tubuh menggigil. "Kalian boleh ambil
salah satu peti itu. Biarkan aku pergi dari sini!"
Panangkaran menyeringai.
"Kau tiba-tiba berubah jadi dermawan. Padahal selama ini
kau adalah tukang peras!" Tangan kanan Panangkaran yang
memegang golok naik ke atas. Tampangnya yang sangar
tampak sangat menyeramkan.
"Kalau...kalau masih kurang kalian boleh ambil peti itu
dua-duanya." Kata Narotungga yang kini ketakutan setengah
mati. Tanpa sadar air kencing mengucur dibalik celananya.
Panangkaran tertawa bergelak. "Narotungga. Kau
memang boleh pergi kemana kau suka. Hanya saja biar rohmu
yang pergi lebih dulu."
Tangan kanan Panangkaran bergerak. Dua anak buahnya
melakukan hal yang sama. Tiga bilah golok besar menderu.
Narotungga menjerit keras. Dalam keadaan bersimbah darah
tubuh gemuknya rebah ke lantai ruangan.
Panangkaran sarungkan senjata, ambil dua peti yang
dibungkus kain hitam sementara salah seorang anak buahnya
memungut sarung dan keris Mustika Pelangi yang
tercampakdi lantai.
ooOOoo
10. ARWAH MUKA HIJAU
SOSOK berjubah hijau yang duduk di atas batu hitam,
membelakangi dinding goa lumut memiliki wajah luar biasa
angker. Mukanya yang berwarna hijau tidak seperti muka
manusia karena rata licin. Di bagian yang seharusnya terletak
sepasang mata, hidung dan mulut dan dua telinga hanya
terdapat sayatan lurus dijahit melintang dengan benang kasar
berwarna hitam. Rambut di atas kepala berdiri lurus seperti
lidi, berwarna hijau. Demikian juga dua tangan dan sepasang
kaki yang tersembul di bawah jubah juga berwarna hijau.
Orang yang baru pertama kali melihat makhluk ini sulit
menduga apakah dia manusia atau sebangsa makhluk halus
jejadian.
Di tangan kanan makhluk aneh ini memegang sebatang
gading gajah berukuran besar. Pada seputar badan gading
terdapat ukiran membetuk tulisan yang telah berulang kali
dibaca dan saat itu kembali dibaca. Walau mulut hanya
merupakan garis terjahit, namun suaranya jelas terdengar
seperti orang biasa membaca. Hanya saja suara itu disertai
getaran gema halus yang terdengar menggidikan.
Di masa Sri Maharaja Bakai Kayu wangi Dyah Lokapala
memegang tahta
Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia
Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan
berusia tujuh belas tahun
Perempuan yang telah dipilih Para Dewa Berasal dari
sebuah desa kecil di selatan Prambanan
Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa
Kelak dua anak akan menjadi kesatria
Mengabdi pada Kerajaan Mataram
Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat
Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat
Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat
Melalui empat Gading Bersurat
Untuk kemaslahatan seluruh ummat
Setelah membaca untuk kesekian kalinya tulisan di badan
gading orang bermuka hijau angkat kepala, menatap keluar
goa. Sambil mengusap gading dalam pangkuan dalam hati dia
berkata.
"Waktu yang aku berikan sudah cukup lama. Desa
Sorogedug tidak jauh dari sini. Tapi mengapa dua orang itu
masih belum juga kembali. Gerangan apa yang mereka temui?
Mereka bukan pergi menangkap harimau, bukan pula
menghadapi pendekar atau kesatria sakti mandraguna. Hanya
menculik seorang anak gadis yang aku perkirakan sesuai
dengan tulisan yang tertera di gading ini. Setunggul Bumi
Setunggul Langit, jika kalian lalai menjalankan perintah aku
akan membenamkan kalian di dasar Kali Progo! Bahkan
mungkin lebih celaka dari itu."
Baru saja suara hati diucapkan tiba-tiba ke dalam goa
berkelebat masuk seorang berpakaian hitam yang langsung
jatuhkan diri bersujud di hadapan makhluk bayangan di atas
batu hijau.
"Kanjeng bergelar Arwah Muka Hijau, yang bernama asli
Gendadaluh, aku Setunggul Langit datang menghadap dan
memohon ampun..."
"Setunggul Langit, akhirnya kau muncul juga! Bukan saja
kepergianmu bersama Setunggul Bumi terlalu lama! Tapi
kedatanganmu agaknya membawa kabar tidak enak. Belum
apa-apa kau sudah memohon minta ampun. Apa arti
permohonan ampun yang barusan kau ucapkan? Mana
Setunggul Bumi? Katakan apa yang terjadi!"
Makhluk berjubah hijau yang duduk di atas batu keluarkan
suara yang membuat goa bergetar. Sayatan berjahit di seluruh
permukaan wajahnya yang hijau tampak bergerak-gerak.
"Kanjeng Arwah Muka Hijau, mohon ampunmu. Aku dan
Setunggul Bumi tidak berhasil menangkap gadis dari
Sorogedug itu. Aku siap dan pasrah menghadapi hukuman..."
Hening beberapa saat.
Lalu makhluk di atas batu berucap.
"Katakan apa yang terjadi sebelum aku menjatuhkan
hukuman!"
Setungul Langit bangkit berdiri.
"Kanjeng, kami berhasil menemui rumah kediaman anak
perawan yang ternyata bernama Ananthawuri. Ketika kami
sampai di kediamannya di desa Sorogedug, gadis itu tidak ada
di rumah. Ibunya dalam keadaan sakit. Kami tidak menanyai
mengingat Kanjeng berpesan agar berhati-hati, jangan sampai
ada orang lain yang mengetahui semua gerak-gerik kita.
Menjelang tengah malam tadi aku dan Setunggul Bumi
berhasil mengejar anak perawan itu namun sebelum dapat
menangkapnya dia keburu masuk ke dalam candi Loro
Jonggrang..."
Wajah rata langsung berkerut, sosok makhluk berjubah
hijau bergerak naik ke atas hampir menyentuh atap goa,
pertanda ada kemarahan dalam dirinya mendengar apa yang
barusan diucapkan Setunggul Langit.
"Aku tahu aku dan juga kalian punya pantangan menginjak
batu candi karena batu berasal dari Gunung Merapi tempat
arwah para leluhur kita disemayamkan! Tapi sungguh tolol!
Buat apa datang ke sini memberi tahu hal seperti itu. Kau dan
Setunggul Bumi bisa menangkapnya begitu dia keluar dari
candi!" Bentak makhluk berjuluk Arwah Muka Hijau.
"Hal itu memang kami lakukan, Kanjeng Tapi anak
perawan itu tidak kunjung keluar dari candi. Yang terjadi
kemudian kami mendengar suara jeritannya dan suara bicara
dengan Dhana Padmasutra yang sedang sekarat..."
Untuk kedua kalinya sosok berjubah hijau bergerak naik
ke atas.
"Kau menyebut Dhana Padmasutra, seteruku sejak lima
puluh tahun silam itu? Apa aku tidak salah mendengar?"
"Tidak Kanjeng, Kanjeng tidak salah mendengar." Jawab
Setunggul Langit. "Ketika kami mengejar anak perawan itu ke
arah candi, di depan candi kami melihat orang tua itu duduk
membaca Kitab Weda. Kami menyerangnya. Aku berhasil
membunuhnya dengan ilmu Serat Arang. Namun kami ketahui
sebelum tewas Dhana Padmasutra bicara dengan anak
perawan itu yang secara aneh setelah keluar dari dalam candi
ujudnya tidak terlihat mata..."
"Hemmm..." Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh
mengusap dagu. Sepasang mata yang hanya merupakan
sayatan lurus dijahit benang hitam menatap ke luar goa.
"Kalau anak perawan itu lenyap ujudnya setelah keluar dari
dalam candi berarti ada seseorang atau makhluk yang
membekalinya dengan ilmu kesaktian. Sulit kuduga siapa yang
memberi dan ilmu kesaktian apa yang diterapkan. Paling tidak
ada satu benda sakti disusupkan ke dalam tubuh anak
perawan dari Sorogedug itu."
Arwah Muka Hijau menatap wajah anak buahnya seketika
lalu berkata. "Walau kau berhasil membunuh seteru lamaku,
tapi itu tidak bakal mengurangkan hukuman yang akan aku
jatuhkan padamu. Lanjutkan ceritamu, apa yang terjadi
kemudian."
"Aku dan Setunggul Bumi melihat kejadian aneh. Tongkat
dan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra melayang di udara,
bergerak cepat ke arah timur. Kami yakin dua benda itu
berada dalam pegangan anak perawan yang tengah melarikan
diri. Kami mengejar. Di satu tempat kami menemui sebuah
sumur api..."
"Sumur api?"
"Betul Kanjeng. Kami melihat sendiri ada api keluar dari
dalam sumur," jawab Setungul Langit.
"Di daerah mana tepat letaknya?" tanya Arwah Muka
Hijau. Lalu dia mengangkat gading, memperhatikan bagian
potongan yang bulat rata. Pada bagian ini terdapat gambar
sebuah sumur yang dari dalamnya membersit keluar sesuatu
yang berkobar. "Tepat seperti gambar yang digurat di gading
ini..." ucap makhluk serba hijau dalam hati lalu memandang
pada anak buah yang berdiri di depannya.
Setunggul Langit memberi tahu. "Sumur api itu terletak di
arah timur, antara Prambanan dan Kali Dengkeng."
"Puluhan tahun malang melintang aku tahu betul, tak ada
sumur seperti itu sebelumnya di kawasan itu. Tapi petunjuk
yang aku miliki mengatakan sumur api itu memang ada.
Setunggul Langit, apa yang terjadi kemudian?"
"Aku dan Setunggul Bumi melihat tongkat dan Kitab Weda
mengapung dekat sumur api. Berarti anak perawan dari
Sorogedug itu ada di sana. Ketika kami mencoba mencekal,
tongkat dan kitab melesat masuk ke dalam sumur api. Berarti
anak perawan itu telah menceburkan diri ke dalam sumur api!"
"Mati?!"Tanya Arwah Muka Hijau dengan wajah berkerut
"Aku tidak yakin anak perawan itu menemui ajal. Itu
sebabnya Setunggul Bumi aku perintah berjaga-jaga di dekat
sumur api sementara aku datang menemui Kanjeng untuk
memberi tahu."
Arwah Muka Hijau terdiam beberapa lamanya hingga
akhirnya dia berkata "Setunggul Langit, tetap di tempatmu,
jangan bergerak jangan bersuara. Aku akan mencari
petunjuk..." Selesai keluarkan ucapan makhluk serba hijau itu
letakkan dua tangan di atas dada Tubuhnya tidak bergerak
dan suara nafasnyapun tidak terdengar. Selang beberapa
lama tangan di atas dada diturunkan ke bawah."Anak perawan
itu memang tidak menemui kematian. Dia ada di satu tempat
aneh dan penuh rahasia di dasar sumur api."
"Bila Kanjeng berkenan datang melihat sendiri sumur api
itu, aku akan mengantarkan ke sana." Kata Setunggul Langit
pula.
Arwah Muka Hijau mengangguk lalu dia memperhatikan
dada pakaian Setunggul Langit. "Aku melihat satu hal lagi.
Banyak kelalaian yang kau buat dalam urusan yang sangat
rahasia ini. Kau kehilangan satu kancing bajumu!"
Setunggul Langit mengusap dada pakaiannya.
"Aku tahu Kanjeng. Mungkin sekali tanggal terkena
tangkisan tongkat Dhana Padmasutra ketika aku
menyerangnya. Aku dan Setunggul Bumi berusaha mencari
tapi tidak menemukan. Mohon maafmu Kanjeng. Mudah-
mudahan kancing itu sudah hancur tak berbentuk lagi."
Arwah Muka Hijau menggeleng. "Aku punya dugaan
seseorang telah menemukan kancing itu," katanya. Makhluk
serba hijau itu lalu sambung ucapan. "Sebelum aku
menjatuhkan hukuman berat atas dirimu dan Setunggul Bumi,
aku merasa layak mengambil kembali ilmu Serat Arang yang
aku berikan padamu!"
Begitu selesai berucap tangan kanan Arwah Muka Hijau
menyambar ke arah kening Setunggul Langit di mana
menempel sebuah batu hitam berbentuk segi tiga, yakni pusat
kekuatan ilmu kesaktian bernama Serat Arang.
Pada saat batu hitam tanggal dari keningnya, Setunggul
Langit merasa jantungnya ikut dibetot. Lelaki bertubuh tinggi
kurus jatuh terduduk di lantai goa dengan wajah pucat pasi.
Arwah Muka Hijau letakan ujung lancip gading di lantai
batu. Sekali tangan kanannya menekan maka secara luar
biasa gading yang panjangnya lima jengkal itu menyusup
amblas masuk dan lenyap ke dalam lantai goa.
"Sekarang antarkan aku ke sumur api. Kau masih memiliki
ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi."
Mendengar ucapan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit
segera berdiri lalu melangkah ke luar goa. Sampai di luar goa
dia jatuhkan diri menelungkup di tanah. Arwah Muka Hijau
berdiri di punggung anak buahnya. Setunggul Langit ulurkan
dua tangan ke depan lalu dikembangkan ke samping. Saat itu
juga tubuhnya bergerak naik ke atas lalu melesat di udara.
ooOOOoo
11. RATU DHIKA GELANG GELANG
KETIKA Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit sampai
di sumur api Setunggul Bumi yang seharusnya ada dan
berjaga-jaga di tempat itu tidak kelihatan. Setelah lebih dahulu
memeriksa dan mengelilingi sumur api Arwah Muka Hijau
berpaling pada Setunggul Langit.
"Kelakuanmu dan temanmu si pendek katai itu sama saja
kurang ajarnya! Menurutmu dia kau suruh mengawasi sumur
api. Sekarang kau lihat sendiri dia tidak ada di sini!"
Heran ada, jengkel juga ada Setunggul Langit
memandang berkeliling lalu berteriak memanggil Setunggul
Bumi. Sampai tenggorokannya kering berteriak-teriak berulang
kali tidak ada jawaban.
"Aku punya firasat tidak enak. Temanmu itu mungkin
sudah menemui ajal! Kau sekarang tinggal sendirian!"
Setunggul Langit terkejut dan merasa tidak enak
mendengar ucapan Arwah Muka Hijau.
"Bagaimana Kanjeng bisa berkata begitu?" tanya
Setunggul Langit.
"Aku mencium rohnya sudah gentayangan di sekitar
tempat ini" jawab Arwah Muka Hijau lalu melangkah
menghampiri sumur api. Sambil merapal satu bacaan dia
kembangkan telapak tangan kanannya yang hijau di atas
sumur.
"Wusss!"
Dari dalam sumur serta merta melesat lidah api
menghantam tangan Arwah Muka Hijau. Makhluk ini tidak
bergeming.Tangannya tidak bergerak sedikitpun. Telapak
tangan itu tidak cidera.
"Wusss!"
Untuk kedua kalinya dari dalam sumur menggebubu lidah
api. Arwah Muka Hijau tetap tidak bergeming dari tempatnya.
Akan tetapi sewaktu lidah api melesat untuk ke tiga kalinya,
makhluk ini berteriak kaget, melompat mundur sambil kibas-
kibaskan lengan jubah hijaunya yang terbakar, sementara
telapak tangan yang hijau kelihatan mengepulkan asap!
"Ada kekuatan luar biasa hebat melindungi tempat ini. Aku
tak mungkin masuk ke dalam sumur," katanya pada Setunggul
Langit. Dia diam sejenak lalu berkata lagi. "Ada dua cara untuk
bisa tembus ke dasar sumur api. Pertama minta bantuan
Jelanang Kameswhara alias Seribu Mata Air. Kedua
menyelidik dari arah lain. Aku yakin ada jalan rahasia masuk
ke dasar sumur api. Aku lebih suka melakukan hal yang
kedua. Setunggul Langit, kau beruntung. Hukumanmu aku
tunda beberapa hari. Malam ini kita menginap di tempat ini.
Kau berjaga-jaga sementara aku akan menyelidik dimana
beradanya jalan rahasia itu."
"Terima kasih Kanjeng. Perintah Kanjeng akan saya ikuti.
Tapi apakah kita tidak akan mencari Setunggul Bumi? Kalau
memang dia sudah menemui ajal seperti kata Kanjeng paling
tidak kita harus menemukan dan mengurus pembakaran
jenazahnya."
Baru saja Setunggul Langit berkata begitu tiba-tiba ada
suara perempuan berseru.
"Setunggul Langit! Kau lebih berperikemanusiaan dari
majikanmu yang berjuluk Arwah Muka Hijau. Tapi aku pikir
bangsa arwah memang mana punya rasa kemanusiaan?"
Ucapan perempuan itu ditutup dengan suara tawa cekikikan.
Arwah Muka Hijau dan Setunggul langit memandang
berkeliling. Mereka sama merasakan tanah agak bergetar
sewaktu perempuan yang tak kelihatan mengumbar suara
tertawa Namun keduanya bukan saja tidak dapat melihat siapa
perempuan yang barusan bicara dan tertawa, malah dari arah
mana datangnya asal suara merekapun tidak dapat menjajagi.
Sayatan-sayatan lurus yang dijahit benang hitam kasar di
wajah Arwah Muka Hijau berkedut-kedut beberapa kali. Lalu
dia keluarkan suara menjawab ucapan perempuan tadi.
"Aku yakin kau bukan bangsa demit atau makhluk halus
jejadian.Tapi mengapa malu memperlihatkan diri. Bicara
memakai ilmu membuka mulut memindah suara."
"Arwah Muka Hijau, kau tersinggung rupanya! Aneh juga.
Pada maksud baik orang lain kau tidak menunjukan rasa
pengertian. Tapi pada yang menyangkut buruk dirimu kau
menumpahkan kejengkelan. Lagi pula aku bicara pada
Setunggul Langit, bukan padamu. Mengapa harus merasa
risih dihati?Hik...hik...hik."
"Makhluk pengecut!" Memaki Arwah Muka Hijau.
"Maaf, saat ini aku tidak punya niat bicara lagi dengan
dirimu." Perempuan yang bicara tanpa kelihatan kemudian
menyambung ucapannya.
"Setunggul Langit, kalau kau memang ingin berbakti pada
sahabatmu Setunggul Bumi, ingin mengurus jenazahnya aku
akan memberikan jenazahnya padamu. Cuma sayang
jenazahnya tidak terlalu utuh dan mulai agak bau."
Tiba-tiba dari arah kiri melayang tubuh manusia dan blukk!
Tubuh ini jatuh tepat di hadapan Setunggul Langit.
Wajah rata Arwah Muka Hijau berkerut. Setunggul Langit
melompat mundur beberapa langkah. Mulut ternganga, mata
membeliak.
"Mana kepalanya!" Setunggul Langit berteriak. Tubuh
pendek katai berjubah kuning yang tergeletak di tanah itu
memang tubuh Setunggul Bumi. Tapi kepalanya tidak ada!
Inilah yang tadi yang diteriakan oleh Setunggul Langit dalam
keterkejutannya.
"Setunggul Langit, harap maafkan. Jadi kau juga perlu
kepalanya. Memang pantas dan seharusnya begitu. Kau
seorang yang sangat memperhatikan keadaan teman
walaupun sudah jadi mayat."
Lalu dari arah kanan menggelinding sebuah benda bulat
yang bukan lain adalah kuntungan kepala Setunggul Bumi!
Kepala itu agaknya sengaja diarahkan ke tempat berdirinya
Arwah Muka Hijau. Makhluk bermuka rata ini cepat-cepat
menghindar lalu tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak
melakukan satu pukulan tangan kosong ke arah kiri, yaitu arah
datangnya kepala yang menggelinding. Selarik cahaya hijau
disertai deru kerasi menyambar.
"Braakkk... braaakk!"
Dua pohon besar patah bertumbangan. Semak belukar
terbongkar berhamburan. Namun siapapun orang yang jadi
sasaran Arwah Muka Hijau tidak ada di tempat itu. Malah tiba-
tiba sekali sebuah benda panjang melesat di udara lalu
menancap tepat di depan kaki Arwah Muka Hijau hingga
makhluk ini menyumpah habis-habisan. Benda yang
menancap di depan kaki Arwah Muka Hijau ternyata adalah
sebilah golok besar berdarah milik Setunggul Bumi. Setunggul
Langit tidak pedulikan kemarahan serta apa yang terjadi
dengan Arwah Muka Hijau. Dia lebih memperhatikan jenazah
sahabatnya Dengan cepat dia mendukung mayat Setunggul
Bumi dan membaringkan di bawah sebatang pohon. Lalu dia
mengambil kuntungan kepala sahabatnya itu. Karena bingung
mau diletakan dimana akhirnya Setunggul Langit memasukan
kuntungan kepala ke balik dada jubah kuning mayat Setunggul
Bumi. Lalu lelaki ini balikan diri dan berteriak keras.
"Makhluk biadab! Perempuan keji! Perlihatkan dirimu! Apa
salah sahabatku hingga kau mem Hening beberapa lamanya.
Lalu terdengar suara tertawa perlahan disusul suara benda
bergemerincing. Sesaat kemudian di bawah sebatang pohon
Mahoni berdaun lebat berdiri seorang perempuan berkulit
hitam gemuk mengenakan pakaian kemben hitam merah.
Bagian tengah bawah kemben ini depan belakang terbelah
sampai ke lutut. Mukanya yang bundar gembrot dengan
berhidung lebar pesek tertutup dandanan tebal mencolok.
Wajahnya jauh dari cantik. Bedak tebal putih, pipi diberi
merah-merah, alis hitam kereng dan bibir yang dower dilapis
pemerah. Rambut diberi warna merah-merah, dikonde di atas
kepala, dihias sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah
layu karena telah direndam dalam sejenis jelaga. Di belakang
punggungnya menyembul sebuah benda putih kekuningan
yang bukan merupakan sebilah pedang atau senjata. Pakaian
merah dan tubuhnya menebar bau harum aneh menyengat,
menusuk jalan pernafasan.
Pada kedua pergelangan lengan dan kaki perempuan ini
melingkar gelang kerincing terbuat dari emas. Setiap dia
membuat gerakan, walau sedikit saja gelang-gelang itu akan
keluarkan suara berkerincing.
"Dhika Gelang Gelang!" ucap Arwah Muka Hijau yang
mengenali perempuan itu dengan suara setengah tertahan
sementara Setunggul Langit yang juga mengetahui siapa
adanya perempuan itu tegak ternganga terkesiap.
Perempuan gemuk sepertinya tidak acuhkan kedua orang
yang ada di hadapannya. Dia memegang sebuah cermin kecil,
asyik berkaca sambil mematik alis dan rambut. Lidah sesekali
dijulurkan untuk membasahi bibir merah dower. Setelah
menyimpan cermin kecil di balikdadanya, perempuan ini
angkat kepala, memandang senyum-senyum ke arah Arwah
Muka Hijau dan Setunggul Langit. Tangan kanan diangkat ke
atas lalu tubuh diputar satu kali ke kanan, satu kali ke kiri.
Empat gelang berkerincingan. Kemudian perempuan ini
keluarkan ucapan bertanya.
"Bagaimana menurut kalian, apakah wajahku sudah cantik
dan tubuhku langsing gemulai?" Karena tak ada yang
menjawab perempuan gemuk ini singsingkan ke atas bagian
bawah kembennya yang terbelah sebelah depan. "Aku
orangnya memang berkulit hitam. Tapi kalian saksikan sendiri,
pahaku putih bersih dan mulus! Hik...hik...hik!" Padahal
sebagaimana keadaan kulit tubuhnya yang lain, paha
perempuan ini hitam dan gempal.
Arwah Muka Hijau tidak bergerak. Rahang menggembung,
sayatan pada bagian mata dan mulut bergerak-gerak. Ketika
perempuan gemuk itu memutar tubuh ke kiri dan ke kanan
Arwah Muka Hijau melihat benda yang menyembul di balik
punggung adalah sebuah gading besar yang terselip di
kemben, sama seperti yang dimilikinya. Arwah Muka Hijau
tersentak kaget
"Jadi dia adalah orang kedua yang memiliki Gading
Bersurat yang seluruhnya berjumlah empat itu. Berarti
kehadirannya di sumur api ini tidak bisa tidak ada sangkut
pautnya dengan Gading Bersurat itu."
"Hai, aku bertanya. Mengapa tidak satupun dari kalian
yang menjawab. Apa kalian terpesona melihat kecantikan dan
keelokan tubuhku. Atau saat ini kalian jadi punya pikiran kotor
setelah melihat pahaku yang putih mulus? Ah menyesal tadi
aku memperlihatkan."
"DhikaGelang Gelang..."
"Ssshhhh!" Perempuan gemuk gelengkan kepala dan
goyang-goyangkan tangan kanan. "Arwah Muka Hijau, sudah
dua kali engkau menyebut namaku secara tidak sopan. Kau
tahu siapa diriku. Ratu Bhumi Mataram yang tidak pernah
menginginkan tahta Kerajaan. Sangat pantas jika kau
memanggil diriku dengan sebutan Ratu Dhika Gelang Gelang.
Ingat, jangan lupa hal itu. Kalau kau bersikap sopan dan tahu
peradatan maka aku akan melakukan hal yang sama. Kalau
kau menghormati diriku, maka aku akan balas menghormat.
Bukankah hidup ini begitu mudah? Mengapa manusia sering
mempersulit diri sendiri?"
"Aku tidak perduli siapa pun kau adanya. Aku ingin tahu
apakah kau yang membunuh Setunggul Bumi anak buahku
yang barusan kau lemparkan tubuh dan kepalanya?!"
"Arwah Muka Hijau, kau tidak menghormati Ratumu
sendiri." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang.
Muka rata Arwah Muka Hijau tampak menggembung.
"Kau jawab saja pertanyaanku."
"Ahhh. Jadi itu pertanyaanmu. Baik. Aku akan
menjawab.Tapi aku sudah mencatat perilakumu yang tidak
hormat." Kata si gemuk yang menyatakan diri sebagai Ratu
Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku
tidak membunuh manusia bernama Setunggul Bumi itu. Dia
sendiri yang menggorok lehernya sampai putus!"
"Kedustaan keji! Bagaimana hal itu mungkin terjadi?"
Menyanggah Setunggul Langit.
"Kau minta kami berlaku hormat. Tapi dengan berdusta
kau telah dengan sengaja bersikap tidak hormat,"
Arwah Muka Hijau berkata. "Bisa saja kau berkata begitu
karena tidak melihat Mari aku ceritakan apa yang terjadi." Kata
Ratu Dhika Gelang Gelang."Ketika aku datang ke tempat ini
anak buahmu langsung mengusir aku dan mengancam. Jika
aku tidak mau pergi maka leherku akan digorok! Sungguh
tidak sopan dan tidak pantas. Aku seorang ratu tidak minta
dihormati, tapi kalau diperlakukan kurang ajar aku bisa marah.
Kemana aku mau pergi, aku mau berada dimana adalah
urusanku. Setunggul Bumi tidak punya hak mengusir diriku
dari tempat ini. Ketika aku membalas supaya dia saja yang
pergi dari sini, anak buahmu langsung menghunus golok lalu
menyerangku. Aku berhasil mencekal tangannya yang
memegang senjata. Aku sama sekali tidak menyentuh senjata
itu. Gagang golok masih berada dalam genggamannya ketika
senjata itu berbalikderas menebas lehernya sendiri hingga
putus. Jelas dia yang menebas lehernya sendiri! Bukankah itu
namanya bunuh diri?!"
"Perempuan licik! Kurang ajar! Kau bermain kata-kata
tidak mau mengakui kalau kau yang menggorok Setunggul
Bumi. Sekalipun kau tidak memegang gagang golok tapi
sebenarnya kaulah .yang membunuh Setunggul Bumi!"
Setunggul Langit marah sekali. Ketika dia hendak menerjang
Arwah Muka Hijau cepat menahan bahunya dan berbisik. "Kita
berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Setahuku
kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah yang
lebih buas dari pemiliknya. Aku tidak melihat dia membawa
binatang itu. Biar aku mencari tahu lebih dulu ada keperluan
apa perempuan ini berada di sini. Setelah itu, jika aku
memberi isyarat kau serang dia dengan Ilmu Bubu Ikan
Berbisa. Tubuhnya gemuk. Gerakannya pasti lamban. Sekali
masuk dia akan celaka, tak bisa keluar lagi."
ooOOOoo
SIAPAKAH Dhika Gelang Gelang yang menyebut dirinya
sebagai Ratu? Konon ketika Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah
Saladu mengakhiri masa pemerintahannya sebagai Raja
Mataram anak tertuanya adalah seorang perempuan yaitu
Dhika Gelang Gelang. Namun karena Dhika adalah anakyang
dilahirkan dari seorang istri ketiga maka banyak pihak yang
menolak Dhika Gelang Gelang sebagai pewaris tahta. Dhika
Gelang Gelang sendiri sebenarnya tidak menginginkan
menjadi Raja atau Ratu di Bhumi Mataram. Maka secara diam-
diam dia meninggalkan Istana menyepi diri di satu tempat
yang tidak diketahui orang.
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, putera tertua dari istri
kedua Rakai Pikatan Dyah Saladu kemudian dinobatkan
sebagai Sri Maharaja Mataram yang baru.
Beberapa tahun kemudian Dhika Gelang Gelang muncul
kembali. Walau dia menyebut diri sebagai Ratu dan
penampilannya menjadi aneh namun dia tidak mengusik tahta
dan malah menjaga ketenteraman Istana dan Kerajaan. Dia
jarang berada di kalangan Istana, lebih banyak menyatu
dengan rakyat jelata. Satu hal yang diketahui orang, setelah
menghilang sekian lama perempuan yang kini bertubuh gemuk
dan berwajah tidak cantik itu telah menjadi seorang sakti
mandraguna. Kemana-mana dia selalu membawa seekor
kucing merah. Ketika Kerajaan terlibat peperangan dengan
orang-orang di wilayah selatan, Dhika Gelang Gelang sangat
banyak memberikan bantuan sehingga pertumpahan darah
yang lebih besar dapat dihindarkan dan antara utara dengan
selatan dicapai perdamaian. Setelah peristiwa besar itu Dhika
Gelang Gelang kembali melenyapkan diri. Hanya sesekali
muncul di Kotaraja, itupun tidak mendatangi Istana. Pada
setiap kali kemunculan pasti ada satu peristiwa besar yang
ditanganinya. Mengetahui ketinggian ilmu kesaktian
perempuan inilah maka Arwah Muka Hijau tidak mau berlaku
ceroboh. Dia cepat menghalangi Setunggul Langit yang
hendak menyerang sambil mengatur siasat.
12"RATU Dhika Gelang Gelang, soal kematian anak buahku
biar aku lupakan dulu," berkata Arwah Muka Hijau. "Aku ingin
bertanya, maksud apa yang ada dalam dirimu hingga muncul
di tempat ini. Adakah sumur api itu yang menarik
perhatianmu?"
"Kau sekarang memanggilku Ratu. Betapa hormatnya!
Bicaramu kini sopan penuh peradatan. Betapa indahnya! Kau
bicara berterus terang. Sungguh menyenangkan. Arwah Muka
Hijau, mengapa kau mendadak berubah. Apa yang ada di
benakmu? Apa yang tersembunyi di hatimu?" Balik bertanya
perempuan gemuk berkemben merah sambil naikan sepasang
alis mata, membuat Arwah Muka Hijau jadi jengkel penasaran.
"Ratu Dhika, kau menjawab pertanyaan dengan balik
bertanya. Itukah yang kau sebut sopan santun? Kalau kau tak
mau menjawab, biar aku menduga. Kau membekal sebatang
gading. Aku tahu riwayat yang tertulis di gading itu. Kau ke sini
untuk menyelidik tentang seorang gadis yang kelak akan
melahirkan dua anak lelaki. Kau tak perlu menjawab tapi juga
tidak perlu berdusta."
Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa panjang mendengar
kata-kata Arwah Muka Hijau.
"Betapa tololnya dirimu. Ketololan pertama! Sudah gaharu
cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Ketololan kedua.
Kalau memang ada seorang gadis akan melahirkan di dalam
sumur api itu, berarti masih sembilan bulan lebih waktu
penantian. Mengapa dari sekarang repot-repot mau berbuat
keributan?"
"Kami tidak merasa membuat kerepotan. Justru dari
pihakmu yang memulai berbuat keributan. Kau membunuh
anak buahku Setunggul Bumi!"
"Arwah Muka Hijau, rasanya kurang sedap berbicara
denganmu. Kau selalu mengulang-ulang soal kematian anak
buahmu itu. Pada hal aku sudah menceritakan apa yang
terjadi. Bukankah lebih baik bagimu meninggalkan tempat ini.
Mengurus pembakaran jenazah Setunggul Bumi?"
"Kau tak layak mengatur diriku. Anak buahku datang lebih
dulu ke tempat ini. Adalah dia pantas mengusir orang
semacammu!" Menukas Arwah Muka Hijau lalu kedipkan mata
sambil meraba dagu, memberi isyarat pada Setunggul Langit.
Serangan Bubu Ikan Berbisa serta merta dilaksanakan!
Begitu melihat isyarat, Setunggul Langit keluarkan
bentakan keras. Dua tangan diluruskan ke depan. Dari
sepuluh ujung jari tangan mencuat dua puluh empat sinar
hitam. Ujung yang ada di arah tangan menyatu seperti diikat
sementara ujung yang lain membuka lebar lalu menekuk
runcing ke dalam. Secara luar biasa dua puluh empat larikan
sinar yang menyerupai bubu atau perangkap ikan secepat kilat
menelan tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang tanpa perempuan
ini sempat berkelit selamatkan diri. Empat gelang di tangan
dan kaki berkerincingan.
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-
gelak.
"Ratu jelek! Ternyata kau tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa!" teriak Arwah Muka Hijau mengejek. "Aku mau lihat!
Kalau kau mampu keluar dari perangkap, kami berdua sampai
anak cucu kami akan bersujud menghambakan diri padamu
selama tujuh turunan Raja yang berkuasa di Mataram."
Di dalam perangkap Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa
kerahkan ilmu meringankan tubuh dan melayang seperti ikan
besar yang masuk ke dalam bubu raksasa. Dia tahu tidak
mungkin berbalik meloloskan diri melalui bagian depan bubu
yang memiliki dua puluh empat ujung runcing menghadang.
Melalui celah di kiri kanan atau sebelah atas dan sebelah
bawah perangkap dia mungkin bisa menyelinap keluar namun
kalau sampai tubuhnya tergores maka racun jahat akan masuk
ke dalam aliran darah dan dia akan menemui ajal sebelum
matahari tenggelam!
Koleksi ebook KANGZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau aku jebol dengan pukulan sakti, perangkap celaka
ini mungkin bisa ambruk. Namun serpihan-serpihannya bisa
berbahaya kalau sampai ada yang menancap di tubuhku.
Berapa lama aku bisa bertahan mengambangkan diri seperti
ini...?"
Sadar dirinya dalam keadaan bahaya besar Ratu Dhika
Gelang Gelang masih mampu berlaku tenang. Perlahan-lahan,
dengan sangat hati-hati dia memutar tubuh yang
mengambang hingga menghadap ke bagian depan bubu.
Dengan tangan kirinya perempuan gemuk ini mengusap-usap
perut sementara mulut berkomat kamit dan sepasang mata
menatap ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit
yang tegak di bagian depan mulut bubu.
"Perutku...Mengapa perutku. Ada sesuatu bergerak di
dalam perutku..." Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil
terus usap-usap perutnya.
Arwah Muka Hijau perhatikan gerak-gerik Ratu Dhika
Gelang Gelang. Dalam hati bertanya-tanya apa yang
dilakukan perempuan itu.Tiba-tiba kedua orang di luar bubu
melihat keanehan terjadi dengan Ratu Dhika Gelang Gelang.
Perutnya perlahan-lahan berubah membesar.
"Arwah Muka Hijau, tidakkah kau melihat perubahan yang
terjadi dengan diriku...?" Ratu Dhika Gelang Gelang bertanya.
Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Arwah Muka Hijau
menjawab.
"Ilmu setan apa yang hendak kau keluarkan?! Jangan
harap kau bisa lolos dari dalam Bubu Ikan Berbisa!"
"Perutku membesar. Ada makhluk bergerak di dalamnya.
Hyang Jagat Batara Dewa! Aku hamil! Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi?!"
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-
gelak.
"Akal busukmu tidak bakal menipu kami!" teriak Setunggul
Langit. Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan
orang. Kepala didongakkan ke atas, menatap ke langit. Dua
tangan disusun di atas kepala.
"Sang Hyang Jagat Batara. Para Dewa di Swargaloka.
Dalam keadaaan sengsara seperti ini apakah Kau
melimpahkan rakhmat pada diriku? Apakah kau telah memilih
diriku mewakili anak perawan dari desa kecil di selatan
Prambanan? Aku hamil besar wahai Para Dewa. Apakah aku
akan melahirkan dua bayi yang kelak akan menjadi dua
kesatria seperti yang tertulis pada Gading Bersurat? Wahai
Para Dewa, besar nian rakhmat-mu...."
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit saling
berpandangan. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkedut-kedut
sementara tampang Setunggul Langit berubah, ada rasa tidak
percaya dibayangi rasa takut.
"Arwah Muka Hijau, aku tidak menipu. Perutku membesar.
Aku benar-benar hamil. Lihatlah! Saksikan! Mendekatlah."
"Breett!"
Kemben merah yang dikenakan Ratu Dhika Gelang
Gelang tidak sanggup lagi menahan perut yang membesar.
Dalam keadaan robek ke dua orang di depan kubu melihat
bagaimana perut perempuan gemuk yang kini tersingkap itu
memang benar-benar membesar seperti perempuan hamil.
"Arwah Muka Hijau, mendekatlah. Biar kau bisa melihat
jelas. Ini bukan sihir, bukan tipu daya. Semua adalah rakhmat
Para Dewa atas diriku. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa
kelak bayi yang akan aku lahirkan akan menjadi milikmu.
Bukankah itu niat maksud dirimu datang ke SUMUR API ini?
Ah, Gading Bersurat.Ternyata bukan cerita bohong ataupun
tipu daya. Gading Bersurat, ternyata kau nyata. Terima kasih
Para Dewa, aku telah dipilih menjadi wakil untuk kebaikan di
Bhumi Mataram ini. Ah...sebentar lagi. Sebentar lagi bayi ini
pasti akan lahir. Satu bayi...dua bayi, atau tiga bayi..."
Arwah Muka Hijau menatap dengan muka sayatan berjahit
benang kasar ke dalam kubu raksasa lalu berpaling pada
Setunggul Langit.
"Apakah yang kau lihat tidak berbeda dengan yang aku
saksikan? Apakah orang tidak tengah menipu kita?"
"Kanjeng, kita melihat hal yang sama. Keajaiban telah
terjadi.Tidak mungkin kalau ini bukan karena keajaibanNya
Para Dewa. Kita harus melenyapkan Bubu Berbisa. Kalau bayi
itu sampai lahir di dalam bubu bisa celaka. Kalau dari semula
maksud kita memang untuk mendapatkan bayi itu, kita harus
menyelamatkannya. Kanjeng...."
"Tunggu dulu. Jangan cepat percaya. Perempuan ini tinggi
ilmunya. Dia punya seribu akal. Biar aku perhatikan dulu lebih
jelas."
Arwah Muka Hijau mendekat ke mulut bubu raksasa. Pada
saat dia hanya berdiri satu langkah di depan mulut bubu, Ratu
Dhika Gelang Gelang buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang
besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang dan
mengempis! Mulut yang terbuka menyedot. Satu gelombang
angin besar dan dasyat menarik tubuh Arwah Muka Hijau.
"Ilmu Selaksa Angin Menghisap Roh!" teriak Arwah Muka
Hijau. Dia berusaha menggeliat, memutar tubuh untuk
berbalik. Setunggul Langit berusaha untuk menolong. Namun
terlambat. Tubuh Arwah Muka Hijau telah lebih dahulu
terhisap masuk ke dalam bubu raksasa, dua kaki lebih dulu!
Ratu Dhika Gelang Gelang membentak keras. Dua
tangannya dengan cepat mencekal per-gelangan kaki Arwah
Muka Hijau. Sekali dia mengerahkan tenaga dalam maka
tubuh Arwah Muka Hijau yang barusan masuk ke dalam bubu
raksasa ini melesat kembali keluar. Masih memegangi kaki
orang, Ratu Dhika Gelang Gelang ikut menyelinap dari
belakang tanpa tubuhnya menyentuh bubu berbisa.
Arwah Muka Hijau menjerit keras sewaktu kepalanya
menghantam dua puluh empat ujung runcing berbisa di mulut
bubu! Bubu raksasa hancur berantakan.
Makhluk bermuka rata itu terhempas jatuh di tanah. Di
kepala, muka dan sebagian tubuhnya terdapat dua puluh
empat luka mengerikan. Darah yang mengucur bukannya
merah tapi hijau pekat.
Melihat apa yang terjadi Setunggul Langit segera lepaskan
satu pukulan sakti ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun
perempuan ini sambil mengumbar tawa cekikikan telah
berkelebat lenyap. Hanya gaung suara dan kerinclngan empat
gelangnya yang terdengar.
"Arwah Muka Hijau! Kalau nyawamu masih panjang kita
pasti berjumpa lagi!"
"Perempuan terkutuk! Aku pasti mencarimu!" teriak Arwah
Muka Hijau. Setunggul Langit segera mengejar namun
urungkan niat ketika dia mendengar Arwah Muka Hijau
berteriak.
"Jangan dikejar! Lekas bawa aku ke Candi Miring! Aku
menyimpan obat penangkal luka berbisa di sana! Cepat!
Sebelum malam datang aku harus sudah ada di sana. Kalau
terlambat nyawaku tidak tertolong! Cepat! Kalau aku selamat
semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan
aku kembalikan padamu!"
"Kanjeng! Aku mendengar semua ucapanmu. Apa yang
kau perintahkan akan aku laksanakan!" Jawab Setunggul
Langit. Lalu dengan cepat dia panggul tubuh Arwah Muka
Hijau. Mayat Setunggul Bumi dilupakan begitu saja.
ooOOOoo
13. HAMIL GAIB ANANTHAWURI
PAGI hari di sebuah taman tak jauh dari dasar sumur api.
Ananthawuri tengah mencium keharuman setangkai mawar
kuning ketika Sukantili, ibunya muncul di undakan tangga batu
merah paling atas.
"Anakku, sudah lama kau menunggu di taman ini?"
menyapa Sukantili.
Ananthawuri segera menghampiri ibunya, mencium
tangan perempuan itu penuh khidmat lalu mencium pipinya kiri
dan kanan.
"Saya belum lama berada di sini. Tapi kali ini entah
mengapa saya merasa sangat tidak sabar menunggu
kedatangan Ibu." Anak perawan dari desa Sorogedug yang
bersama ibunya kini tinggal di satu tempat rahasia tak jauh
dari dasar sumur api tatap wajah sang ibunda sejenak lalu
bertanya.
"Saya melihat wajah Ibu seperti tidak berseri. Apakah Ibu
sakit atau ada sesuatu yang menjadi pikiran?"
"Ibu baik-baik dan sehat. Namun terus terang memang
ada sesuatu yang menjadi pikiran di benak Ibu, sesuatu yang
menjadi ganjalan di hati Ibu."
"Wahai Ibuku sayang, katakanlah. Gerangan apa yang jadi
pikiran dan ganjalan itu?"
"Anakku Ananthawuri, selama kita tinggal di tempat ini kita
berada dalam kecukupan. Berkat kasih sayang dan kebesaran
Para Dewa segala sesuatunya tersedia. Tempat kediaman,
makanan dan lebih dari itu diberkahi kesehatan yang baik.
Bahkan ada pula seorang pelayan. Namun setiap malam,
sebelum Ibu pulas tertidur, selalu ada pikiran dan pertanyaan
yang datang. Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Ibu
orang ie a Betapa pun bagusnya tempat kediaman ini tetap
saja bukan milik kita. Ibu merasa bagaimanapun buruknya
gubuk kita namun hidup di desa Sorogedug ternyata jauh lebih
nyaman menyenangkan. Tetangga orang sedesa selalu
bersikap baik dan ramah. Teman-teman mendiang ayahmu
kerap datang menyambangi."
"Ibu, menurut cerita Ibu bukankah rumah kita di
Sorogedug telah dibakar oleh kaki tangan saudagar
Narotungga?"
"Betul, tapi Ibu bisa bangun gubuk baru. Penduduk desa
pasti mau membantu bergotong-royong. Kita tidak bisa
meninggalkan begitu saja apa yang diwariskan oleh Ayahmu.
Bagaimanapun .buruk dan tidak bernilainya warisan itu."
Jawab Sukantili.
"Ibu, saya pernah bercerita bahwa petunjuk Para Dewa
telah memberitahu, saya tidak akan dapat keluar dari tempat
ini untuk selama-lamanya kecuali atas perkenan Mereka.
Selain itu saya juga menerima petunjuk bahwa kelak saya
akan kawin dan memiliki anak yang akan menjadi seorang
kesatria dan berbakti pada Kerajaan Mataram. Kalau Ibu
berniat pergi, siapakah yang akan menjadi teman saya di
tempat ini. Ibu, sebenarnya saya juga pernah berpikir seperti
Ibu. Ingin pergi dari sini. Namun pada akhirnya saya merasa
pasrah. Saya menyadari seperti apa yang dikatakan Roh
Agung. Ini adalah takdir kehidupan diri saya. Apakah manusia
seperti kita, seperti saya ini bisa berkehendak melawan takdir
Yang Maha Kuasa? Saya percaya Yang Maha Kuasa dan
Maha Mengetahui serta Maha Pengasih telah mengatur
sesuatu yang terbaik untuk diri saya." Ananthawuri pegang
lengan ibunya. "Ibu, percayalah Para Dewa selama ini telah
melindungi kita berdua."
Sukantili anggukan kepala, terdiam beberapa ketika lalu
menarik nafas panjang.
"Ananthawuri, tadi kau berkata merasa tidak sabar
menunggu kedatangan Ibu..."
"Betul Ibu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan pada
Ibu."
"Hemmm....lbu akan senang sekali mendengarkan. Cerita
tentang apa anakku?"
"Tadi malam saya bermimpi."
"Mimpi bunga hiasan tidur" Kata Sukantili pula sambil
tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya.
"Tapi mimpi saya ini aneh, Bu. Dalam mimpi saya tengah
berbaring tidur. Lalu saya mencium bau busuk luar biasa.
Membuat kepala pusing dan perut mual mau muntah.Tak lama
kemudian bau busuk itu hilang. Berganti dengan bau wangi
harum semerbak yang tidak pernah saya cium sebelumnya.
Kemudian dari langit saya melihat cahaya putih.Turun ke
tempat saya berbaring. Di balik cahaya putih itu saya melihat
samar wajah dan sosok pemuda. Saya bertanya siapa
gerangan dia adanya. Tak ada jawaban. Kemudian cahaya
putih melayang mendekati diri saya, menutupi sekujur tubuh
saya. Saat itu saya merasa ada orang memeluk saya. Ibu,
saya merasa satu kehangatan dan kemesraan luar biasa yang
tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada perasaan
bergairah pada bagian-bagian tertentu tubuh saya. Saya
tertidur lelap dalam pelukan orang itu. Ketika saya bangun
dalam mimpi cahaya putih telah lenyap. Dekapan mesra
hanya menyisakan kehangatan. Lalu saya terbangun dari
tidur. Saya merenung. Sampai menjelang pagi saya tidak bisa
menduga apa arti mimpi itu. Mungkin Ibu tahu kira-kira makna
mimpi saya?"
Setelah berdiam diri berpikir-pikir beberapa lamanya
akhirnya Sukantili gelengkan kepala.
"Sulit Ibu menduga. Sebaiknya kau berdoa memohon
petunjuk serta tetap meminta perlindungan dari Yang Maha
Kuasa."
Keesokan malamnya, mimpi yang sama kembali dialami
Ananthawuri. Hal itu terjadi sampai tujuh malam berturut-turut.
Setiap kali bermimpi paginya gadis ini langsung menemui
sang ibu dan menceritakan mimpinya.
"Ibu," kata Ananthawuri pada hari ke tujuh. "Berulang kali
mimpi itu datang, berulang kali saya dipeluk mesra penuh
kasih sayang, dan berulang kali saya melihat wajah pemuda
walaupun tidak jelas, lama kelamaan ada rasa suka serta
sayang saya terhadap pemuda itu. Ibu, apakah saya telah
jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata?"
Sukantili tertawa.
"Anakku, kau masih muda belia. Belum tahu apa-apa
tentang cinta. Biar Ibu beritahukan. Cinta itu adalah sesuatu
yang nyata. Jika kita mencintai seseorang maka orang itu
adalah juga sesuatu yang nyata."
Ananthawuri terdiam sesaat. Lalu kembali bertanya.
"Ibu, menurutmu apakah pemuda di dalam mimpi itu bisa
menjadi kenyataan?"
"Apa maksudmu anakku?" tanya Sukantili.
"Maksud saya, apakah saya bisa bertemu dengan pemuda
itu?"
Sukantili memeluk anak gadisnya.
"Ibu tidak tahu anakku. Kalau Yang Maha Kuasa
berkehendak, kalau Para Dewa melimpahkan rakhmat segala
sesuatunya bisa terjadi..."
Hari ke delapan dan seterusnya mimpi itu tidak pernah
datang lagi. Ananthawuri merasa sedih. Dia ingin pemuda
dalam cahaya putih itu datang kembali mengunjungi dirinya
walaupun dalam mimpi.
Memeluknya penuh mesra dan kasih sayang. Namun
sampai hari ke dua puluh mimpi yang ditunggu tak kunjung
datang.
Di atas pembaringan Ananthawuri berucap.
"Pemuda dalam cahaya. Jika kau memang kekasih yang
telah dipilihkan Para Dewa untukku, datanglah. Aku rindu
pelukan hangatmu. Aku rindu belaian mesramu. Aku tahu kau
mengasihi diriku. Dan aku tahu betapa aku mencintaimu walau
kau datang tidak berupa dan tidak pula bernama."
Namun sampai pagi tiba kekasih sang mimpi tak kunjung
datang. Kekasih gaib yang diharapkan tidak muncul.
Hari ke dua puluh tujuh ketika anak perawan dari Desa
Sorogedug ini menemui ibunya sang ibu berkata.
"Ananthawuri, apakah hari ini kau sehat-sehat saja
anakku?" .
"Saya sehat-sehat, Ibu."
"Ibu melihat wajahmu agak pucat."
"Mungkin saya kurang tidur.Tapi terus terang ada sesuatu
yang hendak saya sampaikan, Ibu."
"Kau bermimpi lagi anakku?"
Ananthawuri menggeleng.
"Ibu mohon maafmu. Saya ingin mengatakan sesuatu
yang sangat pribadi. Saya merasa mual sejak beberapa hari
ini dan sulit makan. Saya... saya terlambat haid. Seharusnya
enam hari lalu..."
"Anakku, hal itu bisa saja terjadi karena kau terlalu banyak
pikiran." Kata Sukantili pula walau sang Ibu ada rasa gelisah
membayangi perasaannya.
"Saya berharap begitu Ibu.Tapi saya merasa ada kelainan
pada tubuh saya."
"Kelainan bagaimana anakku?"
"Dada saya Bu.Tadi pagi saya memperhatikan lalu
meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari
biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu jangan-jangan
saya..."
Sukantili memeluk anaknya.
"Jangan ucapkan itu anakku. Kita belum tahu apa yang
sebenarnya terjadi pad dirimu Tunggu dalam dua tiga hari
ini..."
Seminggu berlalu Ananthawuri belum juga mendapatkan
haid. Beberapa minggu kemudian anak perawan ini melihat
perutnya membesar. Ketika hal itu diceritakan pada Sukantili
sang ibu tidak bisa menduga lain. Anak gadisnya benar-benar
telah mengandung.
"Anakku," kata sang ibu sambil memeluk Ananthawuri
erat-erat. "Kalau ini bukan kehendak dan kuasa Yang Maha
Kuasa, bagaimana mungkin bisa terjadi? Kau belum menikah.
Kau belum punya suami..."
"Ibu, pemuda dalam cahaya putih yang datang tujuh
malam berturut-turut dalam mimpi saya itu. Apakah mungkin
dia yang menebar benih kehidupan ke dalam diri saya. Ibu
tahu, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun."
Sukantili tidak menjawab melainkan kembali memeluk
anak gadisnya sementara air mata perempuan ini tampak
berlinang-linang.
Pada saat itulah tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai
desiran seolah ada seseorang berjubah panjang melewati
Sukantili dan Ananthawuri. Lalu terdengar suara bergema.
Dua insan yang tengah bersatu hati
Di dunia ini tidak ada yang abadi
Namun kehendakYang Maha Kuasa adalah pasti
Ananthawuri, takdirYang Maha Kuasa telah terjadi
Kau hamil tapi dirimu tetap suci
Setelah sembilan bulan sepuluh hari
Kau akan melahirkan
Namun kau akan tetap sebagai seorang perawan
Karena keturunanmu sudah ditetapkan
Menjadi Kesatria Bhumi Mataram
Ananthawuri lepaskan pelukan dari tubuh ibunya. Dia
memandang berkeliling. Dia mengenali suara itu.
"Roh Agung? Kakek Dhana Padmasutra?"
Angin kembali berhembus. Suara berdesir terdengar lagi
14. KUCING BETINA BERBULU MERAH
MALAM Jum'at Kliwon. Empat bulan setengah
Ananthawuri kedatangan suara Roh Agung, memberi tahu
tentang kehamilannya. Malam itu kegelapan pekat sekali.
Langit hitam dan sesekali ada tiupan angin yang membawa
percikan hujan rintik-rintik dari arah timur. Sumur api seperti
tidur karena sejak sekian lama lidah api tidak menyembul
keluar.
Dalam kegelapan, dari arah barat sumur api berjalan
seseorang lelaki kurus tinggi bermuka keriputan berkulit hitam
legam. Di keningnya ada satu benjolan bulat berwarna merah.
Di atas kepala dia menjunjung sebuah ketiding bambu tertutup
rapat.
Sampai di depan sumur ia tegak diam beberapa lama.
"Mungkin bukan cerita dusta. Menempuh perjalanan tiga
puluh hari akhirnya kutemui juga sumur api. Benar adanya
seperti apa yang tertulis di Gading Bersurat. Tapi keadaan
sekitar sini gelap sekali. Nafasku mencium ada bekas bangkai
manusia di sekitar sini! Apakah sumur api ini sudah mencari
korban sebelum kedatanganku?"
Orang tinggi hitam ulurkan tangan menjangkau ranting
besar sebuah pohon. Ranting dipatahkan lalu di ujungnya
diletakan di atas sumur api. Sebentar saja ujung ranting telah
terbakar. Dengan menggunakan ranting menyala sebagai
obor, orang ini menyelidik berkeliling sampai akhirnya dia
berhenti melangkah dan keluarkan saruan tertahan.
Di bawah sebatang pohon dia menemukan sesosok tubuh
penuh belatungan nyaris tinggal tulang belulang, tertutup
jubah kuning yang sudah hancur.
"Bangkai manusia tanpa kepala!" Orang tinggi hitam
berucap sambil meludah berulang kali. Dia memperhatikan
bagian dada jubah kuning. Ada sesuatu di balik pakaian yang
membuat jubah menggembung menonjol. Orang ini
pergunakan ujung kaki untuk mengeluarkan benda itu dari
balik jubah. Begitu benda keluar dan menggelinding ke tanah,
dia menyumpah-nyumpah.Ternyata buntungan kepala
manusia yang tinggal tengkorak. Dari bagian mata, telinga,
mulut dan hidung bersembulan belatung.
Setelah merasa agak tenang dari rasa kagetnya orang ini
dekatkan ujung ranting di atas buntungan kepala.
“Hah! Kepala tinggal tengkorak.Tak mungkin aku kenali!
Yang jelas ada korban pembunuhan di tempat ini. Lehernya
ditebas! Mungkin dengan golok atau pedang! Sudah ada
korban yang berhubungan dengan rahasia dibalik sumur api!"
Orang tinggi hitam bermuka keriput melangkah mundur.
Ranting menyala diangkat tinggi-tinggi, diputar berkeliling.
"Tidak ada mayat lain. Berarti yang tadi baru satu-satunya
korban.Tapi mana aku tahu kalau sudah ada yang jadi korban
sebelumnya. Dibuang masuk ke dalam sumur api..."
Dari balik pakaian hitamnya orang yang keningnya ada
benjolan merah keluarkan satu benda yang ternyata adalah
sebuah gading besar. Salah satu bagian gading diterangi
dengan nyala api di ujung ranting. Pada bagian yang terang itu
terbaca tulisan berbunyi: Jika ingin tahu lama kehamilan dari
perawan desa yang telah dipilih Para Dewa menjadi Ibu dari
bayi yang kelak akan menjadi Kesatria Ma'aram, letakkan
gading di atas sumur api. Ukur bagian gading yang menjadi
hitam. Maka akan diketahui lama kehamilan.
Dengan hati-hati orang berpakaian hitam yang sampai
saat itu masih menjunjung ketiding bambu di atas kepala
letakan gading bulat panjang di atas sumur api. Seperti yang
tadi dibacanya segera saja gading itu menjadi hitam mulai dari
ujung sampai ke bagian tengah. Gading diangkat dari atas
sumur api. Orang ini lalu memperhatikan dan menjengkal-
jengkal dengan jari tangan. Setelah menghitung-hitung,
mulutnya berucap.
"Kurang dari setengah. Berarti usia kehamilan perempuan
itu baru sekitar empat bulan. Apakah aku harus menunggu di
tempat ini selama lima bulan lebih?"
Orang berpakaian hitam tepuk-tepuk ketiding di atas
kepala.
"Sahabat-sahabatku, apa kalian mau menunggu sampai
sekian lama di tengah rimba belantara ini?" Dari dalam
ketiding bambu terdengar suara mendesis riuh dan panjang. Si
muka keriput dengan benjolan di kening menyeringai. Ranting
menyala dicampakkan. Lalu dua tangan menurunkan ketiding
dari atas kepala, diletakan di atas tanah. Seperti tadi ketiding
ditepuk-tepuk.
"Sahabat-sahabat. Akupun tidak mau menunggu berlama-
lama sampai lu mutan di tempat ini. Apa yang bisa kita
kerjakan malam ini harus kita laksanakan. Aku butuh
pertolongan kalian. Cari perempuan itu di dasar sumur api.
Paksa dia melarikan diri ke arah jalan rahasia. Aku akan
menunggu di mulut jalan. Tapi awas, kalian jangan sekali-kali
menyakiti dirinya. Jangan sampai tubuhnya tersentuh bisa di
mulut kalian! Para sahabat, bersiaplah. Aku akan membuka
penutup ketiding. Lalu aku akan memasukan kalian di dalam
sumur api. Jangan takut. Api tidak akan menciderai apa lagi
membunuh kalian. Mantera Selicin Lumut Sedingin Air yang
sudah aku terapkan akan melindungi kalian."
Begitu selesai bicara orang berpakaian hitam buka
penutup ketiding. Saat itu juga dari dalam ketiding bambu ini
menyembul puluhan ekor ular berbisa dari berbagai jenis dan
warna, mengeluarkan suara mendesis riuh. Ketiding cepat-
cepat diangkat, diletakan di sumur api. Sewaktu puluhan ular
dalam ketiding siap hendak dimasukan diceburkan ke dalam
sumur api tiba-tiba dari arah kegelapan di kiri sumur api
terdengar suara kucing mengeong.
Gerakan orang berpakaian hitam yang hendak
membalikan ketiding bambu serta merta tertahan. Memandang
ke arah kiri dia hanya melihat kegelapan.
"Kucing mengeong malam-malam. Di tempat seperti ini.
Sungguh aneh..." ucap orang berpakaian hitam bermuka
keriput. Lalu belum habis rasa herannya tiba-tiba terdengar
suara benda berkerincingan, disusul suara perempuan
menegur.
"Giring Laweyan, manusia berjuluk Sang Raja Ulo,
menyantap ular panggang malam-malam begini memang
sedap sekali. Jangan lupa membagiku barang seekor."
Orang berpakaian hitam di dekat sumur api jadi tercekat.
Dia cepat berpikir. Dimulai dengan suara kucing mengeong.
Lalu ada suara berkerincingan. Disusul suara perempuan
menegur. Siapa lagi! Pasti dia! Jangan-jangan dia yang Jadi
pembunuh mayat berjubah kuning. Belum nahis rasa
terkejutnya karena si penegur mengenal siapa dirinya, orang
di tepi sumur api melihat diseberang sumur tepat
dihadapannya berdiri seorang perempuan gemuk
mengenakan kemben merah berdandanan tebal seronok. Di
bahu kanan tengkurap seekor kucing besar berbulu merah.
Binatang ini kelihatan tenang dan jinak. Di tangan kiri
perempuan itu ada sebuah cermin kecil. Dia asyik
memandang ke dalam cermin sambil mematik-matik pinggiran
rambut di samping telinga kanan sambil lidah dijulur
membasahi bibir. Malam-malam masih mau berdandan, di
tempat gelap begitu rupa, sungguh gila, pikir lelaki berpakaian
hitam yang memegang ketiding berisi ular dan tadi dipanggil
dengan nama Giring Laweyan alias Sang Raja Ulo.Tapi tidak
gila kalau perempuan itu adalah yang dikenal dengan nama
Ratu Dhika Gelang Gelang!
Selesai merapikan dandanan perempuan gemuk masukan
kaca kecil ke balik kemben lalu bertanya pada lelaki yang
pegang ketiding berisi ular.
"Menurutmu apakah dandananku sudah apik dan wajahku
sudah cantik?"
Giring Laweyan tidak menjawab. Dia bersikap waspada
karena tahu betul perempuan di hadapannya setiap saat bisa
melakukan perbuatan yang tak terduga seperti menyerang
dengan tiba-tiba.
"Giring Laweyan! Malam buta kau datang ke tempat ini.
Pasti bukan kemauan Para Dewa yang membimbing
langkahmu! Kau datang membekal Gading Bersurat,
membawa puluhan makhluk najis. Katakan apa keperluanmu!"
Sehabis bertanya perempuan gemuk elus-elus kucing merah
yang tengkurap di bahu kanannya.
"Perempuan di tepi sumur, orang-orang menyebutmu dan
kau selalu memperkenalkan diri sebagai Ratu Dhika Gelang
Gelang.Tapi aku lebih suka menyebutmu Ratu Meong! Nama
itu cukup pantas bagimu, bukan? Ha...ha...ha!" Lelaki bernama
Giring Laweyan keluarkan ucapan mengejek lalu tertawa
gelak-gelak.
"Siapa saja yang mau memberi nama dan julukan padaku
akan aku terima dengan senang hati. Aku berterima kasih
padamu yang telah memberiku nama Ratu Meong. Hai, muka
keriput! Kau belum menjawab apa keperluanmu datang ke
tempat ini!"
"Kita membekal benda yang sama yaitu Gading Bersurat.
Berarti kita punya maksud yang sama. Mengapa kau masih
bertanya?!"
Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa.
"Bekal boleh sama tapi isi perut bisa lain. Apa lagi pikiran
di dalam otak dan perasaan di dalam hati. Mana bisa sama!"
"Jika begitu ucapanmu maka kau tidak keberatan berterus
terang. Aku bermaksud menculik anak perawan di dalam
sumur api. Mengapa aku menculik aku rasa tidak perlu
menerangkan karena kau pasti sudah tahu. Apakah kau
merasa keberatan atau ada yang mengganjal dalam hatimu?"
"Ternyata kau orang jujur. Mau berterus terang meskipun
melakukan pekerjaan salah. Semoga Para Dewa akan
mengurangi sedikit dosa-dosamu. Hik...hik! Giring Laweyan,
sebelumnya kau melihat ada mayat berjubah kuning yang
sudah jadi jerangkong di sekitar sini. Kau tahu siapa manusia
malang itu?"
"Silakan kau menerangkan!" jawab Giring Laweyan.
"Namanya Setunggul Bumi. Sahabat dari Setunggul
Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau!" .
Meski terkejut namun Giring Laweyan berpura-pura tidak
acuh.
"Kau tahu kenapa dia menemui kematian dan siapa yang
membunuhnya?"
"Aku tidak perduli!"
Ratu Dhika tersenyum.
"Jangan begitu Giring Laweyan. Jangan berpura-pura
tidak perduli. Aku mencium dari jalan nafasmu. Kau mulai
merasa jerih. Bukankah begitu?"
"Akan aku beri tahu. Akan aku beri tahu!" jawab Ratu
Dhika Gelang Gelang pula. "Aku yang membunuh manusia
malang itu. Kenapa? Karena dia membekal maksud sama
denganmu. Hendak menculik anak perawan yang di dasar
sumur api. Berarti...." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak
meneruskan ucapan, dia menatap ke arah Giring Laweyan
yang wajahnya diterangi cahaya api dari dasar sumur.
"Berarti kau juga hendak membunuhku!" Justru Giring
Laweyan yang meneruskan ucapan Ratu Dhika Gelang
Gelang.
"Aku tidak berkata begitu. Tetapi umur manusia siapa
yang tahu," jawab Ratu Dhika.
"Ratu Meong, apakah kau masih ingin makan ular
panggang?" Tiba-tiba Giring Laweyan bertanya.
"Jika kau memang mau memberi mengapa aku tidak mau
menerima?" jawab Ratu Dhika yang dipanggil Ratu Meong
oleh Giring Laweyan.
"Aku bukan manusia pelit. Kau boleh makan ular
panggang sekenyang perutmu!"
Setelah berucap Giring Laweyan lemparkan ketiding berisi
puluhan ular berbisa ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.
Sang Ratu terpekik lalu meniup. Empat gelang
berkerincingan. Enam ekor ular berbisa mental dengan tubuh
hancur. Kucing merah menggerung keras dan melompat ke
arah lelaki berkulit hitam. Tak lama kemudian terdengar dua
jeritan keras.
Jeritan pertama keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang
Gelang yang bukan takut diserang ular tapi lebih merasa jijik.
Patukan puluhan binatang itu memang melukainya berupa
titik-titik kecil tapi bisa ular tidak dapat membunuhnya karena
dia memiliki ilmu kebal terhadap segala macam racun
termasuk racun ular. Ilmu kebal ini bernama Kebal Lemah
Kebal Banyu. Selama ada bagian tubuhnya menyentuh tanah
atau air maka tidak ada racun yang bisa mencekal dirinya
termasuk racun ular berbisa. Satu persatu binatang yang
melilit tubuhnya diremas hingga hancur.
Jeritan kedua keluar dari mulut Giring Laweyan alias si
Raja Ulo. Kucing merah peliharaan Ratu Dhika Gelang Gelang
mengeong keras begitu ketiding berisi ular dilemparkan.
Secepat kilat binatang ini melompat dari bahu kanan Ratu
Dhika. Dua kaki belakang membenam di pangkal leher, dua
kaki depan mencakar ganas ke wajah. Dalam waktu sekejapan
saja sekujur muka Giring Laweyan tercabik-cabik. Darah
mengucur membasahi muka dan pakaian. Sungguh
mengerikan. Sambil berteriak kesakitan dan lari kian kemari si
Raja Ulo ini coba menangkap dan melemparkan kucing merah
yang masih mencakar dan kini malah menggigit lehernya.
Dalam keadaan sakit yang amat sangat, ditambah kedua
matanya telah tertutup darah, Giring Laweyan tidak melihat
lagi kemana arah larinya. Tubuh yang tinggi kurus menabrak
pinggiran batu sumur api lalu terjungkal dan tak ampun lagi
tercebur masuk ke dalamnya! Dari dasar sumur, lidah api
menderu ke atas seolah menyambut kejatuhan tubuh Giring
Laweyan. Sesaat terdengar suara jeritan lelaki itu menggema
di dalam sumur lalu lenyap.
Kucing merah melompat kembali ke atas bahu kanan Ratu
Dhika Gelang Gelang. Lalu menjilati kuku kakinya yang
bernoda darah.
Di dalam kegelapan, di balik sebatang pohon Mahoni,
seorang perempuan tua yang di atas kepalanya menangkring
seekor bulus atau kura-kura besar hijau bermata merah
menyaksikan semua kejadian di tempat itu dengan hati
tercekat. Dalam hati dia membatin.
"Dari pada celaka lebih baik aku menunda niat. Mungkin
aku harus menunggu sampai anak perawan itu melahirkan
lima bulan dimuka sambil mencari akal. Kalau aku bersikeras
meneruskan rencana, sama saja dengan mengantar nyawa.
Para Dewa jelas tidak akan berpihak padaku. Ratu Meong
bukan tandinganku. Apa lagi saat ini dia membawa serta
kucing betina merah itu. Mempergunakan kekerasan lebih
banyak celakanya bagi diriku. Aku harus mencari akal. Selain
itu aku harus tahu apa keperluan dan sebagai apa perempuan
satu ini berada di tempat ini. Menjaga sumur api? Mungkin
dengan cara memperdayai dan memperalat pemuda yang
dicintainya itu aku bisa menyelinap ke dasar sumur api melalui
jalan rahasia."
Tidak menunggu lebih lama perempuan tua ini segera
tinggalkan tempat itu. Langkahnya tampak lamban sekali
seperti seekor kura-kura. Namun sebentar saja sosoknya
sudah lenyap dari kawasan sumur api.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar