..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 19 Januari 2025

SATRIA LONCENG DEWA EPISODE PERAWAN SUMUR API

Perawan Sumur Api

 

1. ANAK PERAWAN SOROGEDUG

AGAKNYA ini adalah malam paling indah di permulaan 

musim kemarau di Bhumi Mataram. Langit biru bersih 

sedikitpun tidak berawan, dihias tebaran bintang gumintang. 

Cahaya bulan purnama menyaput langit, turun ke bumi


membawa kesejukan. Bila angin bertiup, kesegaran terasa 

sampai di rongga dada. 

Di bawah semua keindahan malam yang mempesona dan 

udara sejuk penuh kesegaran, candi Siwa yang terletak di 

kawasan Prambanan dan lebih dikenal oleh penduduk 

setempat dengan sebutan candi Loro Jonggrang tegak 

menjulang megah dan anggun. Diapit oleh candi Brahma di 

sebelah selatan dan Candi Wisnu di sebelah utara. Sesekali 

serombongan burung malam melayang terbang melewati 

puncak ketiga candi.Tiga candi tidak beda laksana tiga 

raksasa penjaga negeri dikelilingi oleh beberapa candi lainnya. 

Menjelang tengah malam, ketika keheningan yang 

berselimut udara sejuk membuat terasa adanya kesakralan di 

kawasan Prambanan, dari balik Candi Nandi tampak 

seseorang berjalan ke arah Candi Loro Jonggrang. Orang ini 

ternyata adalah gadis berambut panjang hitam sepinggang, 

mengenakan kemben lurik kasar, tidak mengenakan alas kaki 

dan wajah cantik alami tanpa diberi pupur, tidak juga penerang 

alis apa lagi pewarna bibir.

Beberapa saat akan sampai di tangga utama candi, gadis 

berusia sekitar enam belas tahun ini hentikan langkah. 

Matanya yang bening bagus menatap ke depan, mulut 

berucap perlahan. 

"Aneh, tadi aku tidak melihat orang tua yang duduk di 

depan tangga candi. Sekarang mengapa tahu-tahu sudah ada 

di situ? Dari mana gerangan datangnya?" 

Seperti yang dilihat si gadis, saat itu di tanah di depan 

tangga candi memang tampak duduk seorang tua berambut, 

kumis dan janggut putih. Pakaian selempang kain putih 

sederhana. Di tanah di samping kiri terletak sebatang tongkat 

kayu. Si orang tua duduk sambil memegang sebuah kitab. 

Mulut bergumam membaca isi kitab yang ditulis dengan huruf 

Palawa dalam bahasa Sansekerta.

"Orang tua itu, dia membaca Kitab Weda pada bagian 

Yayur Weda, bacaan dan mantera untuk keselamatan..." Si


gadis berucap dalam hati. Agaknya gadis ini punya 

pengetahuan tentang kepercayaan Hindu yang menjadi 

agama di Bhumi Mataram pada masa itu.

Tak berani melewati, sungkan mengganggu, maka si gadis 

tegak berdiri menunggu sampai si orang tua menyelesaikan 

bacaannya. Cukup lama baru orang tua di depan tangga candi 

hentikan bacaan. Perlahan-lahan dengan sikap khidmat dia 

menutup kitab, letakkan di atas pangkuan lalu mengangkat 

kepala.

Begitu pandangannya membentur gadis yang berdiri 

beberapa langkah di hadapannya, sepasang alis mata si orang 

tua naik ke atas. Mulut lalu menyapa halus.

"Seorang perawan di malam hari. Mendatangi candi suci 

Candi Loro Jonggrang, ada apakah maksud di hati?"

Si gadis maju dua langkah, terlebih dulu membungkuk 

memberi hormat lalu berkata. "Orang tua, salam sejahtera 

bagimu. Apakah kau seorang Brahmana..." 

Orang yang duduk bersila di tanah letakan dua telapak 

tangan di atas dada lalu gelengkan kepala. 

"Aku bukan Brahmana. Aku hanya seorang tua yang di 

rumah tidak bisa memincingkan mata. Lalu memutuskan 

mencari ketenangan di tempat ini dengan membaca Kitab 

Weda..." 

"Orang tua, kau pandai merendah diri. Jangan-jangan kau 

Dewa Agung yang turun ke bumi menjelma diri." 

Kembali orang tua itu gelengkan kepala. Kali ini disertai 

dengan senyum di wajah. 

"Anak perawan, coba jelaskan siapa dirimu. Ada maksud 

apa malam-malam datang ke candi seorang diri." 

"Saya datang dari Sorogedug. Sebuah desa kecil di 

selatan Prambanan. Saya meninggalkan desa saat matahari 

terbenam. Saya sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada 

yang melihat."


"Sorogedug cukup jauh dari sini. Katanya kau sengaja 

berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat. Agaknya 

ada satu kerahasiaan dalam dirimu. Selain itu kau merasakan 

sepertinya ada sesuatu yang merisaukan dirimu kalau tidak 

mau dikatakan ada yang menakutkanmu. Anak perawan, siapa 

namamu? Ada maksud apa datang ke candi?" 

"Nama saya Ananthawuri. Saya datang untuk mengunjung 

Patung Batari Durga Mahisasura-mardani." 

Si orang tua menatap wajah gadis cantik di hadapannya 

sementara angin malam meniup rambutnya yang panjang 

hitam melambai-lambai di belakang punggung. 

"Ananthawuri.... Sungguh nama yang bagus.Tapi dibalik 

wajahmu yang cantik aku melihat bayangan kesedihan, juga 

ada rasa ketakutan. Sesuatu mengganjal di lubuk sanubarimu. 

Dan kalau kau malam-malam datang ke candi untuk menemui 

Patung Batari Durga yang lebih dikenal dengan nama Loro 

Jonggrang, aku yang telah hidup puluhan tahun ini rasanya 

sudah bisa menerka apa maksud kedatanganmu. Apakah kau 

punya masalah dengan pemuda tambatan hatimu atau kau di 

usia semuda ini hendak memohon mendapatkan jodoh?" 

"Terima kasih, kau memperhatikan diri saya, Kek. 

Bolehkah saya memanggilmu Kakek?" tanya si gadis. 

Orang tua berselempang kain putih tersenyum dan 

anggukan kepala. 

"Berarti saya bisa membagi rasa denganmu. Tentu saja 

kalau kau mau Kek.Tapi ketahuilah, saya belum mempunyai 

seorang pemuda yang jadi tambatan hati dan saya datang ke 

candi ini tidak untuk memohon jodoh." Begitu Ananthawuri 

menjelaskan. 

"Begitu?" Orang tua yang duduk bersila di tanah agak 

heran tapi mulutnya tersenyum. 

"Kau beruntung. Bangunan candi belum seluruhnya 

rampung. Tapi Patung Loro Jonggrang sudah lama selesai. 

Indah dan cantik. Hai, aku memperhatikan kau seorang gadis


bertubuh jangkung. Tingginya dirimu hampir menyerupai sang 

Batari. Dan wajahmu.... Dewa Maha Besar. Mengapa aku 

melihat banyak kesamaan antara wajahmu dengan wajah 

patung Loro Jonggrang?" (Jonggrang = jangkung) 

Perawan dari desa Sorogedug itu tertawa. 

"Kek, kau ini ada-ada saja. Masa mau menyamakan saya 

anak desa yang jelek ini dengan Dewi cantik jelita itu." 

"Ananthawuri, walau kita baru bertemu malam ini, kau mau 

memanggilku Kakek. Apakah aku yang tua ini berlaku lancang 

kalau aku menganggap dirimu sebagai cucu sendiri." 

"Tidak, tidak lancang Kek. Saya malah sangat berterima 

kasih. Saya gembira kini punya seorang Kakek karena 

sesungguhnya Ayahpun saya sudah tidak punya." Si orang tua 

mengangguk. 

"Aku bisa melihat kesedihan di raut wajah serta pancaran 

sinar matamu. Ketahuilah Kakekmu ini bernama Dhana 

Padmasutra."

"Kakek Dhana, saya senang bertemu dan mengenal 

dirimu. Saat ini apakah saya boleh minta jalan dan naik ke 

candi?" 

"Tentu saja cucuku. Namun sebelum naik dan masuk ke 

dalam candi dan menemui Patung Loro Jonggrang, aku ingin 

bertanya, apakah kau pernah mendengar riwayat kehidupan 

Patung yang kau hendak temui itu?" 

"Saya pernah mendengar. Dari Ibu. Riwayat 

didongengkan setiap kali saya mau tidur.Tapi kalau Kakek 

juga punya cerita yang mungkin lebih bagus dan lebih lengkap 

tentang sang Dewi, saya suka sekali mendengarnya." 

Si orang tua tersenyum dan anggukan kepala. Dalam hati 

dia berkata. 

"Anak perawan ini, dia sudah mengetahui sesuatu tapi 

tetap ingin mengetahui lebih banyak. Berarti dia mencintai ilmu 

pengetahuan. Caranya meminta dengan segala kerendahan


hati dan ketinggian jiwa. Dia membekal satu urusan penting, 

namun masih mau meluangkan waktu bercakap-cakap dan 

berbagi rasa. Dia tengah menghadapi kesulitan tapi masih 

menyempatkan bicara denganku. Ah....mengapa hatiku begitu 

suka padanya. Dewa Maha Besar, Dewa Maha Agung. Saya 

Dhana Padmasutra hambamu yang rendah menjatuhkan diri 

berlutut di hadapan Para Dewa, mengucap selangit terima 

kasih, menghatur sebumi rasa syukur dan menyampaikan 

selautan luas rasa gembira karena Para Dewa di Swargaloka 

telah mempertemukan saya dengan anak perawan ini.Wahai 

Para Dewa, apapun kesedihan serta ketakutan yang 

menyelinap dalam hatinya, berikan saya kemampuan untuk 

menolong." 

Tiba-tiba satu cahaya putih laksana turun dari langit 

berpijar menyelubungi tubuh Dhana Padmasutra. Saat itu juga 

Ananthawuri melihat bagaimana wajah si orang tua menjadi 

lebih segar dan lebih cerah. Sepasang mata yang sebelumnya 

sayu kini bersinar cerah. Tubuh yang tadi agak tertunduk 

merunduk kini duduk lurus dengan dada tegap ke depan. 

"Kakek Dhana, apa yang terjadi? Ada cahaya putih saya 

lihat masuk ke dalam tubuhmu. Kau tidak apa-apa?"Tanya 

Anathawuri sambil beringsut maju dan memegang lengan si 

orang tua. Ketika jari-jarinya menyentuh lengan itu, si gadis 

merasa ada hawa luar biasa sejuk masuk ke dalam tubuhnya. 

"Aku baru saja menerima berkah Para Dewa," ucap Dhana 

Padmasutra. Lalu membungkuk dalam-dalam sampai 

keningnya menyentuh tanah. Sambil bersujud orang tua ini 

berucap. "Wahai Batara Dewa di Khayangan. Saya tidak tahu 

pertanda apa yang Engkau berikan. Saya percaya Engkau 

melindungi saya dalam segala niat dan perbuatan saya. Jika 

saya harus melindungi dan menolong orang lain, maka berilah

kepada saya kekuatan untuk mampu melakukan hal itu." 

Setelah kembali duduk bersila si orang tua berkata. 

"Cucuku Ananthawuri, aku akan ceritakan padamu riwayat 

Loro Jonggrang. Singkat-singkat saja agar sesudah itu kau 

bisa segera mengunjungi patungnya."


Si gadis tersenyum. Merasa lega mengetahui orang tua di 

hadapannya tidak kurang suatu apa. Sementara Dhana 

Padmasutra sendiri dalam hati membatin. 

"Anak perawan ini agaknya bukan gadis sembarangan. 

Kalau bukan karena kehadirannya rahmat Para Dewa tidak 

akan turun atas diriku."

ooOOOoo


2.KISAH DHANA PADMASUTRA

SETELAH merapikan letak kitab Weda di atas 

pangkuannya kakek bernama Dhana Padmasutra menuturkan 

kisah Loro Jonggrang pada Ananthawuri. 

Konon beberapa puluh tahun lalu seorang Raja yang 

memiliki Keraton di Gunung Boko mempunyai seorang puteri 

cantik jelita tinggi semampai bernama Loro Jonggrang. Suatu 

ketika seorang Kesatria gagah perkasa dan juga sangat sakti 

bernama Bandung meminang Loro Jonggrang untuk dijadikan 

istri. 

Raja Boko menerima lamaran itu namun sang puteri 

menolak. Karena sangat menghormati Ayahnya dan tidak mau 

mempermalukan sang Kesatria maka Loro Jonggrang 

menerima pinangan tersebut dengan mengajukan syarat. 

Syarat itu sekaligus diajukan sebagai mahar atau mas kawin 

yakni sang Kesatria harus membuat 1000 candi dalam waktu 

satu malam. Jika Bandung mampu memenuhi syarat itu maka 

Loro Jonggrang menerima pinangan dan bersedia menjadi 

istrinya. 

Bandung sang Kesatria karena sangat mencintai Loro 

Jonggrang dengan kesaktiannya memanggil ribuan makhluk 

halus sebangsa jin untuk membantu membangun 1000 candi 

yang diminta. Maka mulai matahari terbenam sampai 

semalaman suntuk ribuan makhluk halus di bawah pimpinan 

Bandung bekerja keras. Menjelang matahari terbit ternyata 

tinggal satu candi yang belum rampung. 

Melihat kejadian itu Loro Jonggrang yang semalaman 

tidak tidur dan mengawasi pembuatan 1000 candi merasa 

sangat khawatir. Kalau sampai candi ke 1000 selesai berarti 

dia harus bersedia dikawini oleh Bandung. Padahal Loro 

Jonggrang sama sekali tidak menyukai apa lagi mencintai 

sang Kesatria. 

Dalam khawatirnya Loro Jonggrang terus memohon pada 

Yang Kuasa agar diberi petunjuk bagaimana caranya



menghindari perkawinan itu. Loro Jonggrang mendapat akal. 

Puteri Raja ini membangunkan dan mengumpulkan semua 

anak gadis yang ada di Kerajaan. Kepada mereka 

diperintahkan agar segera menumbuk padi di lesung. Dalam 

waktu singkat seluruh negeri ramai oleh hiruk pikuk suara 

tumbukan alu di lesung padi yang dilakukan oleh hampir 

ratusan anak gadis. Suara alu beradu dengan lesung 

membuat ayam-ayam terbangun dan suara kokoknya 

kemudian terdengar di mana-mana. 

Semua makhluk halus yang tengah melakukan pekerjaan 

membangun candi terakhir tersentak kaget. Mereka mengira 

hari telah siang dan takut celaka terkena sinar matahari. 

Semuanya serta merta meninggalkan tempat mereka bekerja 

membangun seribu candi. Melihat apa yang terjadi dan 

mengetahui tipu muslihat yang dilakukan Loro Jonggrang, 

Bandung marah bukan alang kepalang. Kesatria sejati ini 

menjatuhkan kutuk, menjadikan Loro Jonggrang sebagai 

patung. 

Sejak diciptakannya Patung Batari Durga di Candi Siwa 

timbul kepercayaan bahwa patung itu adalah penjelmaan Loro 

Jonggrang puteri Raja Boko. Patung banyak dikunjungi oleh 

muda mudi sambil memohon kepada Dewa agar mudah 

mendapatkan jodoh. 

Dhana Padmasutra menutup kisahnya dengan bertanya. 

"Cucuku Ananthawuri, setelah kau mendengar cerita Loro 

Jonggrang, aku ingin bertanya lagi. Apakah maksudmu 

mengunjungi Patung Loro Jonggrang karena kau juga ingin 

mendapat jodoh seperti yang dilakukan para gadis dan banyak 

pemuda?" 

"Tidak Kek, saya tidak bermaksud mencari jodoh. Saya 

ingin minta petunjuk dan perlindungan. Nasib diri saya hampir 

tiada beda dengan Loro Jonggrang..." 

Dhana Padmasutra pandangi anak perawan dari 

Sorogedug itu beberapa ketika. 

"Cucuku, ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu."


Maka berceritalah Ananthawuri. 

"Semasa Ayah masih hidup, beliau memiliki banyak sawah 

dan ladang. Suatu ketika untuk suatu keperluan Ayah 

membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Panen 

hasil sawah dan ladang ditunggu masih lama. Ayah meminjam 

uang pada seorang saudagar muda dengan cara mengijonkan 

hasil sawah ladang.Tidak diduga semacam penyakit tanaman 

merusak seluruh tanaman. Anehnya musibah itu hanya terjadi 

pada sawah dan ladang Ayah saja. Hasil panen yang 

diharapkan akan dipakai untuk pembayar hutang tidak menjadi 

kenyataan. Sementara hutang bunga berbunga hingga berlipat 

ganda. Sampai Ayah meninggal dunia hutangnya tidak 

terbayar..." 

"Cerita selanjutnya aku bisa menerka," kata Dhana 

Padmasutra pula. "Saudagar muda itu mendatangi

keluargamu, minta agar hutang mendiang Ayahmu 

diselesaikan." 

"Betul sekali Kek," kata Anathawuri. "Ibu memberitahu 

belum sanggup membayar hutang. Ibu menawarkan agar 

saudagar itu mengambil seluruh tanah sawah dan ladang 

sebagai pembayar hutang. Tapi dia menolak-Tanah sawah 

dan ladang kami tidak dihargai barang sekepeng batupun. 

Malah dia mengancam akan membawa perkara hutang 

piutang itu ke Pejabat Kerajaan. Ibu ketakutan dan jatuh sakit-

sakitan. Namun ancaman itu ternyata akal busuk sang 

saudagar saja. Karena satu kali dia pernah berkata pada Ibu. 

Jika saya mau dijadikan istrinya maka semua hutang Ayah 

akan dihapus." 

Dhana Padmasutra tercengang mendengar keterangan si 

gadis dan gelengkan kepala sampai beberapa kali. 

"Yang saya khawatirkan Kek, jika maksudnya mengawini 

saya tidak kesampaian, mungkin sekali saya akan diapa-

apakan. Bisa-bisa saya diculik dilarikan."


"Cucuku, aku tidak mengira di Bhumi Mataram ini ada 

seorang sejahat Saudagar muda itu. Kalau aku boleh tahu 

siapa gerangan orang itu." 

"Namanya Narotungga..." Memberitahu Ananthawuri.

"Narotungga? Kedengarannya bukan nama orang Bhumi 

Mataram. Sepertinya... Jangan-jangan orang ini pendatang 

berasal dari Selatan." 

"Betul Kek, Saudagar muda itu memang dari selatan. Tapi 

kabarnya dia juga bukan asli orang selatan." 

"Pantas...pantas. Orang Mataram asli tidak akan ada yang 

sejahat itu perilakunya. Tapi Yang Maha Kuasa berbuat 

sekehendakNya. Berdosa kita kalau menyalahkan seseorang 

bersifat dan berbuat jahat." 

"Selain saya tidak suka padanya, saya juga mendengar 

kabar kalau Saudagar Narotungga telah mempunyai beberapa 

orang istri. Bila dia tidak suka pada salah seorang atau dua 

orang istrinya dengan mudah dia menceraikan lalu mencari 

istri-istri baru..."

"Bukan main, seperti hewan saja," ucap Dhana 

Padmasutra."Cucuku Ananthawuri, sekarang sebaiknya kau 

segera naik ke candi. Saatnya kau menemui Loro Jonggrang. 

Ceritakan dengan hati dan ucapanmu semua apa yang kau 

hadapi dan mohon petunjuk. Walau dia Cuma patung batu, 

bisu dan dingin namun melalui Kuasa Dewa sesuatu akan kau 

dapatkan sebagai petunjuk. Aku akan menunggumu di sini 

sambil melanjutkan membaca Kitab Suci Weda." 

"Saya akan segera naik ke candi. Kakek Dhana, saya 

mohon restumu agar Para Dewa mau memperhatikan diri saya 

yang malang ini." 

Si orang tua anggukan kepala, tersenyum dan membelai 

rambut panjang si gadis. "Doa orang lain memang diperlukan, 

namun doa serta permohonan sendiri yang disampaikan 

langsung kepada Yang Maha Kuasa akan lebih mustajab. 

Pergilah cucuku


Seundak-demi seundak Ananthawuri menaiki tangga 

utama Candi Loro Jonggrang. Walau langit bersih tak berawan 

serta sinar rembulan ikut menerangi Bhumi Mataram termasuk

kawasan Prambanan, di dalam candi keadaan tidak begitu 

terang. Namun Ananthawuri melangkah cepat dan sigap. 

Semasa kecil, sewaktu candi dibangun dia sering datang dan 

bermain-main di sana dengan teman-teman. Karenanya dia 

hafal betul di mana letak ruangan tempat beradanya Patung 

Batari Durga atau yang lebih dikenal dengan nama Loro 

Jonggrang. 

Di dalam suatu ruangan batu yang menghadap ke utara 

disitulah beradanya Patung Loro Jonggrang. Patung berdiri di 

atas seekor banteng bernama Nandi yang tewas di tangan 

Batari Durga. Konon menurut cerita, suatu ketika ada seekor 

banteng hendak mencelakai Durga. Banteng ini ternyata 

bukan hewan biasa karena di dalam tubuhnya telah masuk 

satu roh jahat. Durga berhasil menumpas makhluk halus yang 

menguasai banteng hingga berteriak-teriak dan melarikan diri. 

Banteng Nandi sendiri akhirnya ikut tewas di tangan Durga. 

Patung Loro Jonggrang ini bagus dan halus sekali 

bentuknya hingga dipandang dari kejauhan laksana hidup dan 

tersenyum kepada siapa saja yang memperhatikannya. 

Setelah memandang patung beberapa lama, Ananthawuri 

lalu membungkuk tiga kali dan perlahan-lahan menjatuhkan 

diri berlutut. Lama perawan desa Sorogedug ini terdiam 

sebelum mampu membuka mulut mengeluarkan ucapan 

sambil tundukan kepala. 

"Wahai Batari Durga yang juga saya sebut dengan nama 

Loro Jonggrang. Pertama sekali saya mohon maaf kalau 

kedatangan saya mengganggu ketenteraman Batari. Wahai 

Nyi Loro kalau boleh saya panggil dengan sebutan Dewi. Saya 

gadis desa bernama Ananthawuri, datang menghadap Dewi 

karena saya tidak tahu lagi akan bertemu siapa, akan bicara 

dengan siapa dan akan minta tolong serta perlindungan 

kepada siapa."


Sesaat Ananthawuri angkat kepala. Setelah 

memperhatikan wajah patung dia kembali tundukan kepala 

dan lanjutkan ucapan. Namun belum sampai kata-kata 

meluncur keluar dari mulut perawan desa ini tiba-tiba dia 

mendengar suara halus seolah bergema datang dari kejauhan.

"Ananthawuri, aku sudah mendengar apa yang kau 

ceritakan pada orang tua di tangga candi. Kita hidup di alam 

yang berbeda namun ternyata nasib kita punya kesamaan." 

Dalam kejutnya Ananthawuri langsung angkat kepala, 

menatap kearah patung. Hyang Jagat Bathara Sakti! Dia 

melihat sepasang mata Patung Loro Jonggrang seolah hidup, 

menatap kearahnya dan mulut patung tampak bergerak-gerak. 

"Dewi Loro Jonggrang. Kau menatap ke arah saya, kau 

bersuara. Kau hidup. Oh Dewa! Besar nian berkah M u pada 

gadis malang ini..." 

"Ananthawuri, kau masih muda belia. Karena itu mungkin 

kau belum tahu bahwa hidup dan kehidupan di atas dunia ini 

adalah semacam panggung sandiwara penuh tantangan. 

Seseorang bisa melambung ke puncak kejayaan dan 

kebahagiaan. Tapi seseorang juga bisa terpuruk ke jurang 

hina penuh nista dan teraniaya. Pulanglah, jaga Ibumu baik-

baik. Bukankah dia sedang sakit-sakitan..." 

"Saya mendengar ucapanmu wahai Dewi Loro Jonggrang. 

Saya akan segera pulang..." 

"Tentang nasib dirimu Para Dewa tentu sudah mendengar 

dan mengetahui. Para Dewa tentu tidak akan membiarkan 

seorang gadis seperti mu teraniaya begitu saja."

"Terima kasih Dewi...terima kasih banyak." Kata 

Ananthawuri berulang kali sambil membungkuk menyentuh 

kening ke lantai candi yang dingin tiga kali berturut-turut. Lalu 

dia mencium ujung kaki Patung Loro Jonggrang. Saat itulah 

dia merasa ada dua tangan mengangkat bahunya hingga dia 

berdiri. Anehnya, kini tubuhnya jadi sama tinggi dengan 

patung Loro Jonggrang. Kepala saling berhadapan, mata 

saling berpandang.


"Dewi Loro Jonggrang..." Ucap Ananthawuri dengan suara 

bergetar. Dia memandang ke bawah. Dia melihat kakinya 

sejajar dengan kaki patung. Apa yang terjadi. Bagaimana 

mungkin tubuhnya bisa setinggi tubuh patung sang Dewi. 

Ananthawuri kembali menatap ke wajah patung. Seperti kata 

kakek Dhana Padmasutra, wajah patung memang menyerupai 

banyak kesamaan dengan wajahnya. "Dewa Maha Agung, 

bagaimana ini bisa terjadi. Wajahku menyerupai wajah Dewi 

Loro Jonggrang..." ucap Ananthawuri dalam hati.

Saat ini tangan kanan patung tiba-tiba bergerak ke depan, 

lima jari tangan menggenggam kencang membentuk tinju 

seolah hendak menjotos kepalanya. 

"Dewi...."Ananthawuri terkesiap.

ooOOOoo


BATU SAKTI KALADUNGGA

LIMA jari tangan patung yang menggenggam tiba-tiba 

bergerak membuka. Di atas telapak tangan Loro Jonggrang 

terletak sebuah benda merah sebesar ujung jari kelingking. 

Benda ini memancarkan kilauan aneh hingga jika diperhatikan 

ber-bentuk seperti seekor kalajengking yang menggerakan 

kepala, kaki dan ekor. 

"Ini Batu Kaladungga. Jika batu ini berada dalam tubuhmu 

maka siapa saja orang yang mempunyai niat jahat 

terhadapmu, sekalipun baru di dalam hati, maka orang itu 

tidak akan mampu melihat dirimu. Ananthawuri, ambil batu ini 

dan telanlah." 

Sepasang mata Ananthawuri memperhatikan tak berkedip 

batu di tangan Loro Jonggrang. Lalu gadis ini menatap wajah 

sang patung. Mulut patung bergerak. 

"Tidak usah ada keraguan. Ambil batu ini dan cepat telan. 

Dewa akan menolongmu." 

Ananthawuri segera mengambil batu lalu memasukan ke 

dalam mulut. Dia merasa ada hawa sejuk di dalam mulut dan 

menjalar keseluruh tubuh. Namun setelah mencoba beberapa 

kali gadis ini mengalami kesulitan menelan batu yang bernama 

Kaladungga itu. Loro Jonggrang usapkan tangan kanan ke 

leher si gadis. Saat itu juga batu Kaladungga meluncur masuk 

lewat tenggorokan Ananthawuri. Anak perawan berusia enam 

belas tahun ini merasa tubuhnya mendadak berubah ringan 

dan pemandangannya menjadi lebih terang. 

"Ananthawuri, lekas tinggalkan tempat ini. Cepat pergi..."

 "Dewi Loro Jonggrang..." Ananthawuri cium tangan kanan 

patung yang masih terulur. Dia seperti memegang dan 

mencium tiada beda tangan manusia biasa. Halus dan wangi. 

Sesaat kemudian tangan itu merapat kembali ke sisi kanan 

tubuh. Secara bersamaan tubuh Ananthawuri berubah ke 

bentukasal yaitu tidak lagi setinggi tadi.


"Dewi, saya Ananthawuri mengucapkan terima kasih. Puji

hormat saya untuk Dewi dan puji syukur saya untuk Para 

Dewa." 

Ananthawuri bungkukan tubuh, mencium kaki patung lalu 

bersurut mundur. Terakhir kafi sebelum keluar dari ruangan 

gadis ini menatap ke arah wajah patung, layangkan senyum 

sambil tangan kanan dilambaikan. Wajah patung Dewi Loro 

Jonggrang balas tersenyum dan mata kirinya tampak 

dikedipkan. 

Ketika menuruni tangga menuju pintu gerbang utama 

candi, Ananthawuri merasa dirinya seperti melayang. Cepat 

sekali dia berada di undakan tangga terakhir sebelah bawah. 

Namun begitu menginjakan kaki di tanah gadis ini terpekik. 

"Kakek Dhana!" 

Orang tua berselempang kain putih yang tadi ditemui 

Ananthawuri sebelum naik ke atas candi kini dalam keadaan 

tergeletak di tanah. Kepalanya hangus hitam mengerikan. 

Rambut gosong seperti habis terbakar.Tongkat kayu dan Kitab 

Weda tercampak di tanah dalam keadaan terkembang. 

"Kakek Dhana, apa yang terjadi?!" 

Ananthawuri menghambur jatuhkan diri di samping sosok 

si orang tua. Gadis ini hendak letakkan kepala orang tua itu di 

atas pangkuannya namun Dhana Padmasutra yang dalam 

keadaan sekarat masih mampu mengeluarkan ucapan.

"Cucuku, lekas tinggalkan tempat ini. Ambil Kitab Weda, 

bawa tongkat kayuku. Ikuti saja kemana tongkat itu akan 

menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah 

suara Roh Agung yang memberi etunjuk padamu. Pergilah. 

Jangan risaukan diriku. Aku telah menerima rahmat besar dari 

Para Dewa. Aku merasa berbahagia bisa meninggalkan dunia 

fana di malam yang begitu indah dan... sebelum pergi aku bisa 

bertemu dengan gadis sepertimu."


"Kakek, jangan bicara seperti itu. Saya akan menolongmu. 

Katakan apa yang terjadi? Siapa yang mencelakai dirimu 

sekejam ini?!" 

Wajah tua itu tersenyum. "Lekas pergi..." katanya. 

"Kek..." Ananthawuri merasa bimbang. 

"Cucuku, ikuti kata-kataku...Tempat ini sekarang sangat 

berbahaya bagimu." 

"Kalau begitu katamu Kek, baiklah.Tapi saya akan 

membawa tubuhmu dari sini. Saya tidak akan meninggalkan 

dirimu." 

"Tidak.-.Jangan. Cucuku, lupakan diriku. Pergilah..." 

"Baik, Kek. Saya akan segera pergi. Cepat-cepat pulang 

ke desa Sorogedug."

"Jangan, jangan pulang ke desa. Ikuti saja ke mana 

tongkat kayu milikku akan membawa menuntun dirimu..."

"Baik Kek. Saya akan menuruti kata-katamu..." 

"Dewa akan melindungi dirimu," ucap si orang tua. Lalu 

kepalanya terkulai. 

"Kek!" Ananthawuri memandang berkeliling. Dia tidak 

melihat siapa-siapa di sekitar situ. Sepi. Namun naluri 

perawan belia ini merasakan ada kehadiran orang lain di 

tempat itu. Pandangannya kemudian membentur Kitab Weda 

dan tongkat kayu yang tergeletak di tanah. Dia ingat pada 

pesan si kakek. Cepat-cepat gadis ini mengambil kitab dan 

tongkat. Ketika hendak mengambil tongkat, di tanah 

Ananthawuri melihat sebuah benda bulat berwarna 

kemerahan. Walau tidak pasti apa adanya benda itu namun 

diambilnya juga, diselipkan ke balik kemben. 

Meski hatinya sedih dan berat meninggalkan si orang tua 

dalam keadaan seperti itu namun Ananthawuri terpaksa pergi 

dari tempat itu. Tidak lama setelah si gadis tinggalkan 

halaman candi tiba-tiba dua orang berkelebat dari balik


bangunan candi Wisnu yang terletak di sebelah kiri candi Loro 

Jonggrang.

ooOOOoo

4. SETUNGGUL LANGIT DAN SETUNGGUL BUMI

DUA ORANG lelaki yang muncul di depan candi 

perhatikan mayat Dhana Padmasutra lalu saling pandang satu 

sama lain.

"Kau tadi terlalu keras menghajarnya. Kau tidak perlu 

mengeluarkan ilmu Serat Arang. Seharusnya dia tidak perlu 

dibunuh," kata lelaki di sebelah kanan. Namanya Setunggul 

Bumi. Orang ini bertubuh pendek katai, rambut panjang 

digulung dan dikonde di atas kepala. Dia memelihara janggut 

putih panjang menjulai menyentuh tanah. Pelipis kiri kanan 

dicantel gelang hitam terbuat dari akar bahar. Pakaian jubah 

kuning yang leher serta dua ujung lengan dan bagian bawah 

berumbai-umbai biru.

"Dia bukan orang sembarangan. Memang dia tidak akan 

membunuh kita tapi kalau dibiarkan hidup kita berdua bisa 

celaka," jawab lelaki satunya yang berbadan ramping dan 

tinggi sekali, mengenakan jubah hitam berkancing merah, 

celana juga hitam. Rambut hitam berkilat digulung di atas 

kepala. Dua tangan menjulai hampir menyentuh tanah seperti 

beruk. Di keningnya menempel sebuah batu pipih .hitam 

legam berkilat berbentuk segi tiga. Sesuai dengan keadaan 

tubuhnya yang tinggi jangkung dia dikenal dengan nama 

Setunggul Langit. Dialah yang telah membunuh Dhana 

Padmasutra. Orang ini lanjutkan ucapan. "Lagi pula apa kau 

lupa pesan Arwah Muka Hijau. Kita tidak boleh meninggalkan 

jejak. Tidak ada satu orang pun boleh tahu dan menjadi saksi 

semua rencana dan perbuatan kita..." Setunggul Langit 

berbicara sambil mengelus-elus dada.Tiba-tiba orang itu 

hentikan ucapan, tampang berubah. Kepala menunduk, mata 

memperhatikan dada pakaian. 

"Kancing bajuku!" katanya. "Salah satu kancing bajuku 

lenyap!" 

Setunggul Langit memandang ke tanah, memperhatikan 

berkeliling.


"Aku ingat," kata si katai Setunggul Bumi. “Waktu kau 

menyerang orang tua itu, dia pergunakan tongkat kayu untuk 

menangkis.Tongkat kayu menyambar ke dada, mungkin 

membuat tanggal salah satu kancing bajumu." 

"Kalau tidak ada yang mengambil kancing itu pasti jatuh 

sekitar sini!" Setunggul Langit mencari kian kemari. Lalu dia 

menggeledah mayat Dhana Padmasutra, memeriksa dua 

tangannya.Tapi dia tidak menemukan kancing baju yang 

dicari. 

"Celaka. Kancing bajuku. Kalau ada yang mengambil. 

Kalau sampai ada yang mengetahui...!" 

"Sudah lupakan saja kancing itu. Mungkin sudah hancur 

sewaktu disambar ujung tongkat." Kata Setunggul Bumi."Aku 

berpikir-pikir. Apakah tadi kita melihat gadis keluar dari candi?" 

Setunggul Langit gelengkan kepala. "Aku tidak melihat, 

kau juga tidak melihat. Aneh! Tadi aku jelas mendengar suara 

gadis itu. Suara teriaknya, lalu suara dia bicara.Tapi mengapa 

orangnya tak kelihatan. Aku melihat tongkat dan Kitab Weda 

melayang di udara ke arah timur." 

"Ini memang kejadian luar biasa. Sebelum mati orang tua 

itu bicara dengan seseorang yang tidak kelihatan ujudnya. 

Pasti gadis dari desa Sorogedug itu." Kata Setunggul Bumi 

sambil usap janggutnya dan memandang ke arah candi. 

"Setunggul Bumi, seharusnya tadi kita terus saja mengikuti 

gadis itu masuk ke dalam candi. Kita bisa membekuknya di 

sana." 

"Sobatku, enak saja kau bicara. Apa kau lupa peringatan 

Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau. Kita punya pantangan 

tidak boleh naik apa lagi sampai masuk ke dalam candi 

manapun di kawasan ini." 

Setunggul Langit terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. 

"Kita gagal mendapatkan gadis itu. Lalu apa yang akan 

kita katakan pada Arwah Muka Hijau!"


"Jelas dia pasti marah besar. Tapi kita punya alasan. Kita 

sudah mengikuti tapi tidak menduga kalau gadis itu masuk ke 

candi. Lalu ada orang tua bernama Dhana Padmasutra ini 

menghalangi. Kita berhasil menghabisinya. Arwah Muka Hijau 

pasti senang mendengar kematian seteru lamanya ini." Jawab 

Setunggul Bumi. 

"Lalu bagaimana kita mengatakan bahwa kita tidak melihat 

gadis itu keluar dari candi. Kita mendengar suara tapi tidak 

kelihatan orangnya. Apakah Arwah Muka Hijau akan 

mempercayai begitu saja cerita kita?" 

Setunggul Bumi kembali usap janggut putih yang menjulai 

tanah. 

"Sudah, kita terima nasib saja. Dia pasti akan memendam 

kita lagi di Kali Progo. Sekali ini mungkin sampai seratus kali 

kokok ayam pagi. Lebih lama dari yang sudah-sudah. Remuk 

tubuh kita berdua!"

"Terus terang, sebenarnya kita telah berlaku sembrono," 

kata Setunggul Langit pula. 

"Apa maksudmu?" tanya Setunggul Bumi. 

"Tadi sewaktu kita melihat tongkat dan Kitab Weda 

melayang, seharusnya kita cepat mengikuti. Aku yakin sesuatu 

telah terjadi dengan anak perawan itu hingga dia mampu 

melenyapkan diri.Tongkat dan kitab tidak mungkin bisa 

melayang sendiri kalau tidak ada yang memegangi. Jangan-

jangan di dalam candi anak perawan itu telah menemui 

seorang sakti mandraguna! Dengar sobatku, apapun yang 

terjadi kita harus mengejar. Harus menemukan perawan itu!" 

"Setunggul Langit, kalau itu maumu, rasanya kita masih 

bisa mengejar. Kita punya ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi. 

Digabungkan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus 

Raga. Meski kita tidak melihat ujud tapi kita mampu mencium 

baunya. Mengapa tidak dipergunakan? Lagi pula gadis itu 

masih belia, masih suci. Pasti enak dan harum baunya. 

Ha...ha...ha!"

Mendengar ucapan sobatnya si katai berjanggut panjang 

tanah itu, Setunggul Langit langsung baringkan tubuh, 

menelungkup ke tanah. Si katai Setunggul Bumi cepat 

melompat dan berdiri di atas punggung sobatnya. Dua tangan 

diangkat tinggi-tingg ke udara. Mulut merapal mantera. 

Setunggul Langit ikut komat kamit. Secara aneh hidung 

kedua orang ini menjadi panjang dan lobang hidung 

membesar. Mengendus tiada henti.Tiba-tiba Setunggul Bumi 

berteriak sambil menunjuk ke kanan. 

"Timur! Ke arah timur!" 

Saat itu juga tubuh Setunggul Langit naik ke udara, 

melayang berputar dua kali lalu wuttt! Melesat ke arah timur. 

Itulah ilmu kesaktian yang bernama Seribu Kaki Di Atas Bumi 

yang diterapkan bersamaan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi 

Mengendus Raga. Mereka mengejar dan menjajagi 

keberadaan Ananthawuri.

ooOOOoo


5. SUMUR API

KITAB Weda dikepit di tangan kanan, tongkat dipegang di 

tangan kiri. Ananthawuri berlari ke arah timur. Dia merasa 

berlari biasa-biasa saja.Tetapi mengapa pohon-pohon yang 

dilewatinya seolah melesat terbang ke arah berlawanan. 

Rambutnya yang panjang melambai-lambai ditiup angin 

kencang, terasa dingin sampai ke tengkuk. Kakinya seolah 

tidak menjejak tanah. Walau berlari sudah sangat jauh tapi 

kaki tidak terasa capai dan dada tidak sesak. 

"Apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa aku memiliki 

kemampuan seperti ini? Dewa Bathara Agung, apakah Kau 

menolong diriku? Kakek Dhana Padmasutra, apakah ini berkat 

semua doamu? Dewi Loro Jonggrang, engkau pasti 

melindungi diriku."

Sementara berlari ucapan-ucapan itu keluar dalam hati 

Ananthawuri. 

Anak perawan dari desa Sorogedug ini tidak tahu dia mau 

lari ke arah mana.Tapi dia sadar sekali kalau dia tidak tengah 

menuju desa kediamannya. Sorogedug di selatan dan dia 

terus-terusan lari bukan ke arah selatan. Setiap dia ingat akan 

ibunya yang sedang sakit serta muncul niat untuk pulang ke 

desa Sorogedug, tongkat kayu milik Dhana Padmasutra 

menarik dirinya, seolah menjadi kemudi ke arah mana dia 

harus menuju yaitu ke arah timur. 

"Dewa Agung," Ananthawuri mengucap ketika di 

depannya dia melihat langit mulai terang. "Fajar sudah 

menyingsing dan aku masih terus lari..." 

Tongkat kayu di tangan kiri tiba-tiba bergerak ke kanan. 

Ananthawuri ikut bergerak ke kanan. Beberapa belas tombak 

di kejauhan dia melihat satu nyala terang. Hingga akhirnya 

gadis itu sampai di depan satu tumpukan batu bersusun rapi 

membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang manusia. 

Dari dalam lingkaran batu itulah menyebar keluar nyala terang 

berwarna merah.


Ananthawuri memperhatikan dengan dada berdebar mata 

tak berkesip. Dia melangkah lebih dekat lalu dengan hati-hati 

ulurkan kepala, coba melihat ke dalam. Gadis ini melihat 

sebuah lobang panjang dan dalam. Di dasar lobang berkobar 

nyala api, mengeluarkan suara menderu angker, bergejolak 

merah dan panas. Sesekali lidah api melesat ke udara 

melewati bibir sumur. Luar biasa mengerikan. 

"Sumur Api..." ucap Ananthawuri. "Aneh, biasanya sumur 

berisi air. Yang ini mengapa berisi api?" Si gadis bersurut 

menjauh dua langkah. Mukanya pucat pertanda ada rasa 

takut. 

"Ananthawuri masuklah. Ceburkan dirimu ke dalam 

sumur!" 

Perawan desa Sorogedug ini terkesiap. Memandang 

berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. "Siapa yang barusan 

bicara?" Ananthawuri beranikan diri bertanya. 

"Ananthawuri! Lekas ceburkan dirimu ke dalam sumur! 

Cepat! Ada bahaya mengancam keselamatan dirimu!" 

"Suara itu...." Si gadis lantas ingat pada kata-kata orang 

tua bernama Dhana Padmasutra."Ikuti saja ke mana tongkat 

itu menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah 

suara Roh Agung yang memberi petunjuk padamu...." 

"Roh Agung..."desis Ananthawuri. 

Tiba-tiba dalam keadaan udara yang mulai terang gadis ini 

melihat pemandangan yang aneh. Dari arah barat melesat 

laksana terbang seorang berpakaian hitam. Di atas 

punggungnya berdiri seorang lelaki katai berjubah kuning, 

berjanggut putih yang panjangnya sampai ke kaki. Lelaki 

bertubuh pendek ini berdiri sambil dua tangan diangkat ke 

udara.Tiba-tiba dia menunjuk ke arah Ananthawuri berdiri. 

"Aku melihat tongkat dan Kitab Weda mengambang di 

udara! Dekat tumpukan batu yang ada cahaya terang. Gadis 

itu pasti ada di sana!" 

Setunggul Langit putar tangan kanannya.


"Wuuttt!", Tubuhnya membelok, melesat ke arah sumur 

api.

"Cekal tongkat dan kitab. Gadis itu pasti bisa kita ringkus 

walau ujudnya tidak kelihatan!" teriak Setunggul Langit. 

"Ananthawuri, jika kau ingin mencari selamat lekas masuk 

ke dalam sumur! Waktumu sudah habis!" 

Kembali terdengar suara dari makhluk yang tidak kelihatan 

yang menurut Dhana Padmasutra adalah suara Roh Agung. 

Ananthawuri pegang kitab dan tongkat erat-erat. Mulut 

berucap gemetar. "Yang Maha Kuasa. Saya serahkan diri 

saya padaMu." Dengan memincingkan mata sambil keluarkan 

teriakan keras perawan desa Sorogedug ini melompat,

menerjunkan diri masuk ke dalam sumur api. Suara gaung 

teriakannya bergema sepanjang kedalaman sumur, tembus ke 

udara terbuka lalu sirap lenyap! 

"Wuutt!" 

"Wuutt!" 

Setunggul Langit dan Setunggul Bumi sampai di tepi 

tumpukan batu yang membentuk dinding sumur setinggi 

pinggang. Mereka berusaha mencekal ke arah tongkat. 

Namun keduanya hanya menggapai angin. 

"Kita terlambat!" ucap lelaki yang bertubuh katai sambil 

pukul-pukul kening sendiri karena kesal. 

"Tempat celaka apa ini?" Setunggul Langit melangkah 

mendekat lalu ulurkan kepala memandang ke dalam sumur. 

"Wusss!" 

Satu gelombang lidah api menderu keras, melesat ke atas 

membuat Setunggul Langit tersentak kaget, cepat-cepat 

melompat mundur, mengusap mukanya yang kepanasan dan 

menyumpah panjang pendek. 

"Tidak pernah aku melihat yang seperti ini! Sumur Api! 

Mengapa ada kegilaan seperti ini di Bhumi Mataram


"Gadis tolol! Mengapa memilih bunuh diri!" Maki Setunggul 

Bumi. 

"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak 

mungkin mencebur masuk mengejar anak perawan itu. Kita 

tidak mempunyai kemampuan melawan api!" 

"Aku meragukan anak perawan itu benar-benar sudah 

mati!" Sahut Setunggul Langit. 

"Kita terpaksa menunggu di tempat ini. Masakan gadis itu 

tidak akan keluar-keluar dari dalam sumur." 

"Setunggul Langit, jangan bodoh! Anak perawan itu pasti 

sudah menemui ajal! Kecemplung ke dalam sumur biasa saja 

dia pasti sudah tewas. Apa lagi Sumur Api seperti ini! Kita 

hanya membuang-buang waktu menunggu di sini. Sebaiknya 

kita segera menemui Arwah Muka Hijau. Terus terang saja 

padanya. Katakan semua apa yang kita alami." 

Setunggul Langit menggeleng."Aku tetap punya keyakinan 

anak perawan itu tidak menemui ajal di dalam Sumur Api. 

Dengar, kalau kita berdua pergi, bagaimana jika anak perawan 

itu nanti menyelinap keluar. Kita bisa celaka lagi dihajar Arwah 

Muka Hijau." 

"Kau benar-benar tolol!" ucap Setunggul Bumi. 

"Menurutku dia sudah menemui ajal di dasar sumur celaka 

ini. Dia seorang anak perawan desa yang tidak punya ilmu 

kepandaian apa-apa. Apa lagi yang namanya kesaktian!" 

"Kau yang tolol sobatku!" kata Setunggul Langit setengah 

berteriak. 

"Kau bukan saja tolol tapi tidak melihat kenyataan! Anak 

perawan itu mampu melenyapkan ujud. Dia sanggup lari dari 

Prambanan sejauh sampai di sini. Kau masih mengatakan

bahwa dia tidak mempunyai ilmu kesaktian?"

"Aku tetap tidak bisa percaya. Kita sudah mengawasi dia 

sekian lama dan kita tahu dia tidak punya ilmu kepandaian


apa-apa. Bagaimana sekarang kau bisa mengatakan bahwa 

dia memiliki ilmu kesaktian?" 

"Sudah! Kita tidak perlu berdebat! Kau tunggu di sini. 

Awasi Sumur Api itu. Aku akan menemui Arwah Muka Hijau. 

Syukur-syukur dia mau kita bawa ke tempat Ini!" Kata 

Setunggul langit pula. 

Setunggul Bumi tidak menjawab. Dia mendudukan 

tubuhnya yang katai di bawah sebatang pohon jati yang kering 

dimakan umur. Memperhatikan sahabatnya Setunggul Langit 

berkelebat ke arah selatan lalu berpaling, memandang ke arah 

Sumur Api.

ooOOOoo


6. ROH AGUNG

ANANTHAWURI dapatkan dirinya terduduk didasar sumur 

memegang Kitab Weda dan tongkat Dhana Padmasutra.

Di tempat itu udara terasa sejuk padahal di sebelah atas 

sejarak satu penggalan dari kepalanya da kobaran api yang 

sekali-kali melesat keatas membentuk gelombang lidah api. 

Dia perhatikan seluruh tubuh, letakkan tongkat dan Kitab 

Weda di dasar sumur lalu mengusap wajahnya. Dia tak kurang 

suatu apapun, Tidak luka tidak ada cidera.

“Aneh, aku jatuh sedalam ini kedalam sumur. Ketika 

melewati kobaran api tubuh dan pakaianku tidak terbakar. 

Ketika jatuh ke dasar sumur ini tubuhku tidak cidera,” 

Ananthawuri menatap keatas.

“Api….Aku berada dalam Sumur Api. Wahai Dewi yang 

maha kuasa Saya mohon perlindunganMu...” berucap si gadis 

lalu ambil tongkat kayu dan Kitab Weda. Perlahan-lahan dia 

bangkit berdiri, bingung dan juga takut. 

"Apa yang akan terjadi dengan diriku selanjutnya? Apakah 

aku akan berada di tempat ini selama-lamanya? Aku tidak 

takut sekali pun menemui kematian di tempat ini.Tapi 

bagaimana dengan Ibu...?" Memikir ibunya yang tengah sakit, 

air mata Ananthawuri berlinangan. 

"Ananthawuri..." tiba-tiba ada suara bergema di dasar 

sumur."Jangan kau bersedih, jangan menangis. Saat ini kau 

berada di tempat yang aman." 

"Siapa yang bicara?" Ananthawuri bertanya. Dia seperti 

mengenal suara itu. Sama dengan suara yang tadi 

menyuruhnya masuk ke dalam Sumur Api. 

"Aku Roh Agung.Yang ditugaskan oleh Para Dewa di 

Swargaloka untuk melindungi dirimu dan keturunanmu 

kelak..


"Roh Agung?" ucap si gadis lalu terdiam sejenak. 

"Melindungi diriku dan keturunanku...?" Ananthawuri ingat 

kembali ucapan orang tua bernama Dhana Padmasutra. 

Dengan cepat gadis ini jatuhkan diri berlutut lalu berucap. 

"Roh Agung, siapapun engkau adanya, saya berterima 

kasih. Kau telah menyelamatkan diri saya. Yang saya ingin 

tahu, berapa lama saya akan berada di dasar sumur ini. Saya 

ingin segera pulang ke Sorogedug. Ibu saya sedang sakit.." 

"Ananthawuri, jangan kau terkejut Kau tidak akan pernah 

keluar dari Sumur Api ini seumur hidupmu kecuali dengan 

perkenan dan petunjuk Yang Maha Kuasa." 

Ananthawuri terpekik. "Apa?" 

"Dunia luar bagimu saat ini adalah malapetaka .yang bisa 

membawa dirimu pada kematian. Itu sebabnya Dewa 

membawa dirimu ke tempat ini..." 

"Tempat yang begini mengerikan?" 

"Tempat ini tidak seperti yang kau lihat. Dibalik hal yang 

kau katakan mengerikan ada keindahan. Sebentar lagi kau 

akan menyaksikan." 

"Roh Agung, bagaimanapun keindahan yang kau janjikan, 

saya tetap memilih pulang ke desa. Menemui dan merawat Ibu 

yang sedang sakit." 

"Ibumu tidak kurang suatu apa. Para Dewa akan 

melindungi dan menjaganya." 

"Juga dari Saudagar jahat bernama Narotungga itu?" 

tanya Ananthawuri. 

"Dari siapa saja. Dari setiap marabahaya..." 

"Tapi saya tetap ingin merawat dan menjaga Ibu sendiri. 

Saya mohon, keluarkan saya dari Sumur Api ini." 

"Harap maafkan diriku. Aku tidak berdaya menolongmu. 

Ketentuan yang Maha Kuasa telah berlaku atas dirimu. Inilah 

yang dinamakan takdir kehidupan."


Tongkat di tangan kiri Ananthawuri terlepas jatuh. Tangan 

kanannya cepat-cepat menekankan Kitab Weda ke dada agar 

tidak ikut jatuh. 

"Takdir kehidupan..."ucap Ananthawuri perlahan. "Apakah 

takdir kehidupan hanya menimpa diri seorang teraniaya 

seperti aku ini? Mengapa takdir buruk selalu jatuh pada 

manusia jelata, bukan pada mereka yang berlaku jahat? 

Wahai Para Dewa di Khayangan, maafkan diriku kalau aku 

telah berucap lancang..." 

"Ananthawuri, ketahuilah. Kau telah dipilih oleh Para Dewa 

sebagai seorang insan yang kelak akan menjadi seorang Ibu 

yang akan melahirkan keturunan gagah perkasa yang akan 

berbakti, menjaga dan mengawal Bhumi Mataram." 

"Roh Agung, saya mohon maaf padamu. Para Dewa, saya 

mohon ampunMu. Saya tidak akan menikah dengan 

siapapun...." 

"Ananthawuri, jaga bicara, perhatikan ucapanmu. Siapa 

yang akan menjadi jodohmu sudah tertulis di sebuah Aras di 

Swargaloka. Ketahuilah, Para Dewa akan memberi satu berkat 

yang sangat luar biasa padamu. Kelak kalau kau sudah kawin 

dan melahirkan, maka dirimu tetap perawan selama-lamanya." 

"Roh Agung, saya tidak inginkan itu. Saya mohon maaf. 

Saya minta ampun..." 

"Ananthawuri, ambil tongkat kayu yang tergeletak di dasar 

sumur. Tekankan ujung tongkat ke dinding sumur sebelah 

kirimu. Maka itulah permulaan dari kehidupan barumu...." 

"Saya tidak ingin kehidupan baru. Saya tidak mau 

berpisah dengan Ibu." Ucap Ananthawuri setengah berteriak 

setengah menangis.

Saat itu seperti ada yang memegang tangan kanannya, 

membimbing mengambil tongkat kayu lalu tongkat di arahkan 

ke dinding sumur sebelah kiri. Begitu tongkat ditekan, dinding 

sumur bergerak membentuk sebuah lobang berupa pintu 

empat persegi panjang. Di sebelah atas terdapat ukiran batu


berupa burung Rajawali membentangkan sayap. Di belakang 

pintu terlihat satu lorong batu dengan dinding penuh ukiran, 

diterangi cahaya kebiruan. Di ujung lorong Ananthawuri 

melihat berdiri seorang perempuan separuh baya, bermuka 

pucat berpakaian lusuh, tersenyum melambaikan tangan. 

Gadis ini terkejut. Dia mengenal sekali siapa adanya 

perempuan itu. 

Ananthawuri tidak percaya pada pandangannya. Dua mata 

diusap berulang kali.

"Apakah ini suatu sihir? Atau apakah aku tengah 

bermimpi?" Ananthawuri gigit bibirnya sendiri.Terasa sakit. 

"Aku tidak bermimpi." Lalu dia mengucap menyebut nama 

Dewa berulang kali. Perempuan di ujung lorong tidak sirna. "Ini 

bukan sihir..." 

"Ibu!" pekik Ananthawuri memanggil. 

Perempuan di ujung lorong membalas. 

"Ananthawuri anakku." 

Kedua perempuan itu saling mendatangi dan akhirnya 

bertemu lalu sama berpelukan. 

"Dewa Maha Besar.Terima kasih wahai Para Dewa. 

Terima kasih Roh Agung. Kau telah mempertemukan diriku 

dengan Ibundaku tercinta..." 

Air mata menitik jatuh ke pipi Ananthawuri. 

"Ibu, katakan, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?" 

"Semua karena perlindungan dan pertolongan Yang Maha 

Kuasa, anakku. Narotungga bersama dua pengawalnya 

mendatangi rumah kita hendak menculikmu. Ketika dia tidak 

menemukanmu, Narotungga menumpahkan amarah 

murkanya pada Ibu. Jahat dan keji sekali..." Perempuan 

berusia tiga puluh lima tahun ini bercerita sambil meneteskan 

air mata.

ooOOOoo


7. NAROTUNGGA

DESA -Sorogedug. Sebuah desa kecil di sebelah 

selatan Prambanan. Penduduk rata-rata hidup bertani. Setiap 

keluarga memiliki sawah dan ladang cukup luas dan subur 

untuk ditanami. Sampai tengah malam banyak penduduk desa 

masih berada di luar rumah menyaksikan keindahan malam 

dihias rembulan dan bintang gumintang. Namun ketenteraman 

orang desa terusik oleh kedatangan ketiga penunggang kuda 

berdestardan berpakaian serba hitam. 

Begitu melihat dan mengenali siapa adanya tiga 

penunggang kuda itu semua penduduk desa terutama yang 

memiliki anak gadis, cepat-cepat masuk ke dalam rumah, 

memalang pintu rapat-rapat lalu memadamkan pelita. 

Tiga penunggang kuda yang membekal golok di pinggang 

masing-masing berhenti di sebuah rumah tua beratap rumbia 

yang bagian depannya diterangi sebuah pelita minyak. 

Ketiganya melompat turun dari kuda lalu melangkah ke depan 

pintu. 

Salah seorang dari mereka, yaitu yang berkumis melintang 

bertampang garang dan rupanya bertindak sebagai pemimpin 

begitu berada di depan pintu langsung menendang. 

"Braakkk!" 

Pintu rumah jebol berantakan. Lelaki berkumis cepat 

menyelinap masuk kedalam rumah diikuti kedua temannya. Di 

dalam rumah hanya ada dua buah kamar. Kamar pertama 

ketika mereka dobrak dalam keadaan gelap dan kosong. 

"Aku tahu betul. Ini kamarnya. Kosong, anak perawan itu 

tidak ada di sini." Kata lelaki yang lebih dahulu masuk ke 

dalam kamar pada dua temannya. 

"Kita periksa kamar satunya. Dia pasti di sana menemani 

ibunya yang lagi sakit." Kata si kumis melintang mendahului 

melangkah ke bagian belakang rumah di mana terdapat


sebuah kamar yang pintunya hanya tutup dengan kain panjang 

lusuh. 

Si kumis melintang tarik kain penutup pintu hingga robek 

dan tanggal dari gantungannya. Di dalam kamar yang 

diterangi pelita kecil, di atas tempat tidur bambu beralas kasur 

tipis terbaring seorang perempuan separuh baya. Perempuan 

ini dalam keadaan sakit. Sudah dua hari menderita demam 

dan batuk. Wajahnya pucat. Dia tidak dalam keadaan tidur dan 

dua matanya nyalang memperhatikan tiga lelaki yang berdiri di 

sampingnya dengan penuh rasa takut. Sambil batuk-batuk 

perempuan ini mencoba bangun lalu duduk di atas tempat 

tidur, rapatkan dada pakaiannya. Dia menatap pada lelaki 

berkumis yang sudah dikenalnya sebagai anak buah saudagar 

Narotungga kepada siapa mendiang suaminya mempunyai 

hutang. 

"Raden Panangkaran, biasanya kau selalu datang siang 

hari. Ada apa datang malam-malam. Mengapa harus masuk 

dengan cara merusak pintu....?" 

"Rupanya kau lebih sayang pada pintu rumah bobrok ini 

dari pada nyawamu!"

Si kumis melintang bernama Panangkaran membentak. 

Perempuan di atas tempat tidur makin ketakutan. Batuk-batuk 

beberapa kali. Setelah menarik nafas tersengal dia bertanya. 

"Raden, apa maksudmu..." 

"Sukantili! Mana anak gadismu Ananthawuri?!" 

"Kau...kau pertanyakan perihal anakku Tentu saja dia ada 

di kamarnya..." jawab perempuan bernama Sukantili yang 

sedang sakit.Ternyata dia adalah ibu Ananthawuri, anak gadis 

yang malam itu datang ke candi Loro Jonggrang. 

"Tapi...Katakan, ada apa kau mencari anak gadisku. Malam 

buta begini rupa. Apakah..." 

"Diam! Tidak perlu banyak bertanya!" Hardik 

Panangkaran.


"Kami sudah memeriksa. Kamar anakmu kosong! Kau 

sembunyikan dimana anak itu?!" 

Sukantili yang duduk di atas ranjang bambu gelengkan 

kepala dan kembali batuk-batuk. Dadanya terasa sesak. "Saya 

tidak menyembunyikan. Sepanjang malam saya tidur di kamar 

ini dalam keadaan sakit..." 

"Anakmu tidak ada di kamar ini! Dan kau tidak tahu ke 

mana perginya! Orang tua macam apa kau?! Katakan dia pergi 

ke mana? Sembunyi di mana?!" 

"Raden, kalau benar kamarnya kosong, saya tidak tahu 

pergi kemana anak itu." 

Panangkaran jambak rambut Sukantili hingga perempuan 

ini menggigil gemetaran. 

"Kau berdusta! Kau berani berdusta padaku Sukantili?!" 

"Demi Yang Kuasa saya bersumpah. Saya tidak 

berdusta..." 

Panangkaran memperkencang jambakannya hingga 

Sukantili mengerang kesakitan. 

"Perempuan desa tolol! Diberi rahmat malah minta kualat! 

Lebih baik kau katakan di mana anakmu. Kalau sampai kami 

bawa ke hadapan Gusti Narotungga, celaka nasibmu!"

"Saya tidak tahu berada di mana Ananthawuri. Kalau dia 

memang pergi saya juga tidak tahu pergi ke mana anak itu." 

Kata Sukantili terbata-bata. 

"Perempuan, kau benar-benar memilih sengsara!" 

Panangkaran memberi isyarat pada dua anak buahnya. 

Kedua orang ini segera mencekal kedua kaki dan tangan 

Sukantili. Salah seorang dari mereka kemudian memanggul 

dan membawanya keluar rumah. 

Sukantili menjerit.


"Saya mau dibawa ke mana? Lepaskan! Saya sedang 

sakit. Mohon dikasihani! Saya mau dibawa ke mana? 

Ananthawuri anakku! Kau di mana Nak? Tolong....!" 

Sebelum meninggalkan tempat itu Panangkaran 

mengambil lampu minyak yang tergantung di depan rumah 

lalu dilempar ke atas atap. Sesaat kemudian gubuk itu telah 

tenggelam dalam kobaran api. 

Jeritan Sukantili terdengar keras di malam sunyi itu. 

Banyak tetangga yang mendengar. Namun mereka tidak 

berani keluar rumah, apa lagi memberikan pertolongan. 

Mengintip dari lobang dinding kajang rumah masing-masing 

hanya itu yang bisa mereka lakukan. Jangankan rakyat biasa, 

prajurit Kerajaanpun seandainya menyaksikan kejadian itu 

tidak akan berbuat apa-apa. Karena mereka tahu siapa 

adanya Panangkaran dan untuk siapa lelaki ini bekerja. 

ooOOOoo

GEDUNG kediaman Narotungga cukup jauh di wilayah 

barat laut desa Sorogedug. Gedung ini tidak beda seperti satu 

istana kecil. Terdiri dari satu bangunan besar dan lima 

bangunan kecil. Seluruh bangunan dikelilingi tembok tinggi. 

Rumah jaga pengawal tampak di empat sudut. Para pengawal 

meronda berkeliling sepanjang malam. 

Sukantili dibawa ke gedung besar, di masukan ke sebuah 

kamar kosong, dibaringkan di lantai. Kalau dipegang tubuhnya 

panas sekali tapi perempuan malang ini sendiri merasa sangat 

kedinginan, menggigil gemetaran. Selain itu rasa takut yang 

amat sangat menyelubungi dirinya. 

Tak lama setelah Panangkaran meninggalkan tempat itu, 

seorang pelayan perempuan datang memeriksa Sukantili dan 

memberi minuman secangkir teh hangat. Setelah itu pelayan 

keluar. Lalu masuklah seorang lelaki bertubuh gemuk pendek, 

mengenakan pakaian tidur bagus, berkumis kecil dan 

berjanggut tipis. Rambut hitam lurus ke atas, seperti lidi. 

Sepasang alis berbentuk setengah lingkaran, mata besar dan


hidung tinggi bengkok. Dua telinga dicantel anting-anting bulat 

terbuat dari emas.

Di tangan kanannya si gemuk pendek ini memegang 

sebuah kipas terbuat dari bambu halus menyerupai daun 

keladi lebar. Sambil melangkah masuk ke dalam kamar dia 

mengipasi wajahnya yang pucat. Tiga dari lima jari tangan 

kanannya dihiasi dengan cincin batu permata besar. Lelaki 

berusia kurang tiga puluh tahun dan berwajah nyaris 

menyerupai hantu inilah Narotungga. Saudagar muda yang 

tergila-gila pada Ananthawuri puteri Sukantili dari suaminya 

Panggali. 

Begitu melihat sosok Narotungga, Sukantili yang telah 

beberapa kali bertemu dengan saudagar ini segera jatuhkan 

diri. Setengah meratap dia memohon. 

"Gusti Narotungga, mohon ampunmu. Mohon saya 

dilepas..." 

Narotungga berpaling ke Panangkaran. Dengan nada dan 

sikap congkak dia berkata. "Aku muak mendengar ocehan 

perempuan ini. Suruh dia berbicara perihal anak 

perempuannya!"

Panangkaran cekal leher pakaian Sukantili. Perempuan ini 

disandarkan ke dinding lalu dibentak. 

"Katakan pada Gusti Narotungga dimana Ananthawuri 

berada. Cepat!" 

"Demi Yang Maha Kuasa, saya bersumpah. Saya tidak 

tahu dimana anak itu. Saya tidak tahu dia pergi kemana. Saya 

tidak menyembunyikannya. Mohon ampun. Saya dua hari dua 

malam terbaring sakit di dalam kamar..." 

"Sukantili, apa kau masih ingin bertemu dengan anak 

perempuanmu?" 

"Tentu saja.. ..Saya”.

"Kalau begitu beri tahu dimana dia berada."


"Saya sudah bersumpah. Saya tidak berdusta..." jawab 

Sukantili. 

"Cukup!" Hardik Narotungga. "Bawa masuk kemari lelaki 

penyakitan itu! Biar perempuan ini tahu rasa!" Habis berkata 

begitu sambil berkipas-kipas saudagar muda ini keluar dari 

dalam kamar. Panangkaran memberi isyarat pada salah 

seorang anak buahnya yang berdiri di pintu. Lelaki ini segera 

tinggalkan kamar. Tak lama kemudian dia kembali membawa 

seorang lelaki bersosok besar, yang hanya mengenakan 

cawat.Tubuhnya mulai dari kepala yang setengah gundul 

sampai ke kaki, selain kotor berdaki juga penuh dengan 

koreng dan kudis. Dua matanya merah, digenangi cairan 

nanah.Tubuh menebar bau busuk luar biasa.

"Kalian mau melakukan apa?!" Tiba-tiba Sukantili berteriak 

amat ketakutan. 

"Tungkaduara! Kau lihat perempuan ini?!" Tanya 

Panangkaran pada lelaki korengan yang cuma mengenakan 

cawat 

"Ha...hu...ha...hu!" Ternyata orang korengan ini gagu tak 

bisa bicara. 

"Menurutmu apakah dia cantik?" tanya Panangkaran lagi. 

"Ha...hu...ha...hu!" 

"Kau suka padanya?" Kembali manusia korengan 

menjawab ha-hu-ha-hu. Kali ini sambil anggukan kepala. 

"Kau boleh memperkosanya sepuas hatimu! Bahkan 

sampai mati sekali pun! Tidak ada yang perduli!" Lelaki 

korengan busuk bernama Tungkaduara menyeringai. Barisan 

giginya tampak besar-besar dan kuning. Dia melangkah 

mendekati Sukantili sambil tangan bergerak melepas tali 

cawat. Sukantili kembali menjerit. Kali ini tiada henti. 

"Perempuan dungu!" teriak Panangkaran. "Aku masih bisa 

menyelamatkanmu. Asal kau mau memberi tahu dimana 

keberadaan anak gadismu!"


"Demi Yang Maha Kuasa! Demi Para Dewa! Saya tidak 

tahu dimana anak itu. Raden, Para Dewa akan memberkahi 

merakhmati dirimu jika kau mau melepaskan diriku dari 

penganiayaan keji ini." 

Panangkaran hanya menyeringai. Dia berpaling pada 

Tungkaduara. 

"Perkosa perempuan ini!" 

"Ha...hu...ha...hu!" 

Sukantili jatuhkan diri ke lantai. Pegangi kaki Panangkaran 

dan meratap. 

"Demi Para Dewa, saya memohon. Kasihani diri saya. 

Keluarkan saya dari tempat ini.Tolong..." 

Seperti Narotungga mana ada rasa belas kasihan di hati 

Panangkaran. Dia malah tertawa bergolak mendengar ratapan 

perempuan itu. 

"Raden, kalau kau memang tidak ingin menolong saya, 

saya minta, saya mohon dengan bersujud di depan kakimu, 

cabut golokmu! Dari pada saya diperlakukan secara keji lebih 

baik bunuh saya saat ini juga! Segala dosa perbuatanmu aku 

mintakan pengampunan pada Para Dewa di Swargaloka!" 

Gelak tawa Panangkaran semakin keras. Bersama dua 

anak buahnya dia tinggalkan kamar itu. Pintu dipasak dari luar.

ooOOOoo


8. MISTERI KEMATIAN TUNGKADUARA

PANANGKARAN dan dua anak buahnya duduk setengah 

tertidur di pendopo gedung besar kediaman Narotungga ketika 

saudagar itu muncul dan menendang kakinya. 

Panangkaran terkejut. Begitu melihat siapa yang berdiri di 

hadapannya kepala pengawal ini serta meria melompat 

bangkit, membungkuk hormat lalu berteriak membangunkan 

dua anak buahnya. 

"Fajar sudah menyingsing! Kau dan dua anak buahmu 

enak-enakan tidur!" 

"Gusti Narotungga, mohon kami dimaafkan. Kami 

keletihan, semalam tidak tidur..." 

"Tutup mulutmu! Pandainya kau mencari alasan! Apa tidak 

sadar kalau kalian sedang menjalankan tugas?!" bentak sang 

saudagar. 

"Tungkaduara masih belum keluar dari kamar! Kalau 

memang sudah tewas, buang mayat mereka di jurang 

Kalimundu!" 

"Saya akan memeriksa Gusti. Saya akan membuang 

mayat mereka kalau memang sudah tewas." Jawab 

Panangkaran lalu bersama dua anak buahnya bergegas ke 

kamar di mana lelaki korengan disekap dan disuruh merusak 

kehormatan Sukantili. Pasak pintu dibuka. Daun pintu 

didorong. Begitu pintu kamar terpentang lebar Panangkaran 

bersama dua anak buahnya berseru kaget. 

"Gusti Narotungga!" Panangkaran berteriak. 

Sambil terus berkipas-kipas tapi kerenyitkan kening 

saudagar Narotungga melangkah cepat mendatangi. 

"Ada apa?!" tanyanya setengah membentak. 

"Mohon ampun Gusti. Saya tidak berani mengatakan. 

Harap Gusti menyaksikan sendiri."


Lalu pengawal ini menghindar dari ambang pintu kamar. 

Wajahnya yang garang tampak ketakutan. 

Narotungga mendengus kesal mendengar ucapan 

Panangkaran namun dia melangkah juga ke depan pintu. Dua 

kakinya laksana dipaku di lantai. Dua mata membeliak. 

Perutnya mendadak mual dan mulutnya seperti mau 

menyembur muntah! 

Di dalam kamar menggeletak sesosok lelaki korengan 

Tungkaduara dalam keadaan tanpa pakaian. Kepala pecah 

mulai dari kening sampai ubun-ubun! Darah menggenangi 

lantai kamar. Dan Sukantili tidak ada dalam ruangan itu! 

Yang membuat Narotungga merasa seolah jantungnya 

mau tanggal ialah ketika melihat pada dinding ruangan di 

hadapannya tertera serangkaian tulisan dalam huruf 

Palawa.Tulisan ini dibuat dengan darah dan bisa dipastikan itu 

adalah darah Tungkaduara yang kini sudah jadi mayat! 

Anak manusia bernama Narotungga 

Kekayaan adalah rakhmat Para Dewa 

Mengapa dipakai untuk berbuat nista 

Kekuasaan adalah untuk membela orang yang lemah 

Mengapa dipergunakan untuk berbuat angkara murka 

Atas semua perilaku kehidupanmu selama ini 

Yang hari ini kau tambah dengan perbuatan keji 

Tiadalah pantas bagimu untuk berada di Bhumi Mataram

 Hari ini sebelum sang surya tenggelam

Bertobatlah dan pergilah membawa diri 

Tinggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya 

Jangan berani kembali 

Maka Para Dewa masih akan memberi rakhmat padamu 

Bilamana kau tidak menyadari dan tetap bertahan diri


Maka azab Para Dewa sungguh sangat pedih 

Untuk beberapa lamanya Narotungga tegak terdiam 

Namun kemudian tawa bergolak menghambur dari mulutnya. 

Selagi tertawa kepala mendongak, mata melihat ke atas. Saat 

itu juga tawa lelaki ini berhenti. Di langit-langit kamar dia 

melihat satu lobang besar.

"Ada setan di gedung ini!" teriak Narotungga keras. 

"Bukan saja menculik perempuan celaka itu! Membunuh 

Tungkaduara! Tapi juga mengotori dinding dengan tulisan 

darah!" Rahang saudagar bertubuh gemuk pendek ini 

menggembung. Kipas di tangan kanan dibanting ke lantai. Dia

berpaling pada kepala pengawal. 

"Gusti Narotungga, saya punya dugaan bukan setan yang 

melakukan semua ini. Mungkin ada seorang pintar 

berkesaktian tinggi muncul di sini. Atau mungkin juga ini 

semua kehendak dan perbuatan Para Dewa." 

"Panangkaran! Kau banyak mulut sekarang! Kau tahu! 

Semua ini terjadi karena kelalaianmu dan dua anak buahmu! 

Kalian bertiga aku pecat! Aku tidak mau lagi melihat tampang 

kalian! Segera angkat kaki dari gedung kediamanku! Bawa 

mayat Tungkaduara. Buang di jurang Kalimundu!" 

Panangkaran jatuhkan diri. Dua anak buahnya melakukan 

hal yang sama. 

"Gusti Narotunga. Mohon ampunmu..." 

"Minta ampun pada setan yang membawa kabur 

perempuan itu, yang membunuh manusia korengan, yang 

menulis di tembok dengan darah!" 

Saudagar ini ludahi muka Panangkaran, balikkan tubuh 

lalu tinggalkan tempat itu. 

Perlahan-lahan Panangkaran bangkit berdiri. Sepasang 

matanya tampak menyala seperti dikobari api. Diikuti dua anak 

buahnya dia meninggalkan gedung kediaman Narotungga. 

Sebelum keluar dari pintu gerbang dia berkata.


"Aku bersumpah akan membunuh saudagar itu! Aku akan 

melakukannya malam nanti!" Panangkaran berpaling pada dua 

orang anak buahnya. "Kalian ikut?" 

"Kau pimpinan kami. Kemana kau pergi kami pergi. Apa 

yang kau lakukan akan kami lakukan." Jawab salah seorang 

anak buah Panangkaran sementara yang satunya 

mengangguk-angguk sambil keluarkan suara bergumam. 

Panangkaran menyeringai. "Kita bunuh saudagar itu. Kita 

kuras harta kekayaannya. Aku tahu di mana dia menyimpan 

uang emas dan berbagai macam perhiasan." 

ooOOOoo

 DI DALAM sumur api Ananthawuri dan ibunya sama-

sama mengusap wajah mengeringkan air mata.

"Ibu tidak menceritakan siapa yang menolong Ibu." 

Berkata Ananthawuri. 

"Ibu sendiri tidak tahu siapa yang menyelamatkan Ibu dari 

perbuatan keji yang dilakukan lelaki busuk korengan itu. Ibu 

hanya melihat satu cahaya putih menyambar ke arah kepala 

orang itu. Lalu dia roboh ke lantai dengan kepala terbelah, 

darah mengucur. Ibu menjerit. Antara sadar dan tidak Ibu 

merasa ada orang yang mendukung Ibu.Tapi Ibu tidak bisa 

melihat sosok ataupun wajahnya. Orang ini menjebol langit-

langit ruangan. Ibu melihat langit, rembulan dan bintang-

bintang. Ibu sadar kalau tengah dibawa terbang. Ibu tak kuasa 

mengeluarkan ucapan. Tapi tidak ada rasa takut dalam diri 

Ibu. Sewaktu melayang dari tubuh orang yang mendukung Ibu 

memancar hawa hangat. Ajaib sekali. Demam dan batuk Ibu 

serta merta lenyap. Ibu menjerit ketika orang itu menukik ke 

bumi dan membawa Ibu memasuki ke sebuah lorong api. Tapi 

anehnya Ibu tidak merasa panas. Tubuh tidak ada yang 

terbakar atau cidera.Tak selang berapa lama berada di tempat 

ini, Ibu melihatmu..." 

"Cahaya putih yang membunuh lelaki jahat itu..." kata 

Ananthawuri.


"Saya yakin itu adalah cahaya Dewa yang memberikan 

pertolongan..." 

"Ibu juga yakin memang begitu adanya." Kata Sukantili 

pula. "Ibu, apakah Ibu tidak merasa indahnya rakhmat yang 

diturunkan Dewa atas kita? Ketika manusia biasa tidak 

memandang sebelah mata pada kita, malah berbuat jahat dan 

keji, Para Dewa menolong kita sehingga selamat dari 

bencana." 

Ibu dan anak kembali saling berpelukan.

ooOOOoo


9. MURKA DEWA JADI KENYATAAN

KEMATIAN Tungkaduara, lenyapnya Sukantili serta 

adanya tulisan darah sama sekali tidak menjadi peringatan 

yang mendatangkan kesadaran bagi saudagar Narotungga. 

Malam harinya, setelah batas waktu peringatan dalam tulisan 

darah di dinding terlampaui, yaitu dia harus meninggalkan 

Bhumi Mataram untuk selama-lamanya sebelum matahari 

tenggelam, Narotungga malah mengadakan pesta. Kerabat 

dekat, para saudagar dan juga banyak pejabat dari Kerajaan 

Mataram diundang datang. Di ruang dalam gedung yang luas 

dimana terdapat sebuah taman selain makanan lezat serta 

minuman keras para tamu disuguhi hiburan gamelan dengan 

sinden muda belia berwajah cantik serta para penari bertubuh 

molek. Belasan pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis 

cantik berpakaian seronok melayani para tamu yang 

semuanya adalah lelaki. Sebelum pesta dimulai konon 

Narotungga membisikkan pada sahabat-sahabatnya terutama 

yang ada hubungan dagang dengan dia, jika ada yang 

berkenan dengan gadis-gadis pelayan itu maka dipersilakan 

membawanya ke bagian belakang gedung dimana tersedia 

delapan buah kamar. 

Rupanya bukan saja Para Dewa, alampun tidak dapat 

menerima pesta penuh kemesuman itu. Menjelang tengah 

malam yaitu pada puncak kemeriahan pesta udara mendadak 

berubah. Langit yang tadinya terang bertaburan bintang walau 

tak ada lagi rembulan berubah kelam diselimuti awan hitam. 

Angin yang sebelumnya bertiup semilir sejuk kini menjadi 

keras disertai deru menakutkan. Pohon-pohon besar berderak-

derak, cabang-cabang bergoyang, rerantingan berpatahan, 

dedaunan luruh ke tanah. Petir menyambar mendebar dada, 

guntur menggelegar menusuk pendengaran berulang kali. 

Anehnya hujan tidak turun-turun. 

Diantara para tamu yang menghadiri pesta di gedung 

kediaman Narotungga ada yang mulai gelisah dan berniat 

minta diri. Namun sebelum ada satupun yang meninggalkan


gedung itu tiba-tiba petir kembali menyambar. Sekejapan 

seluruh tempat terang benderang. Lalu terdengar letupan 

keras di wuwungan gedung yang terbuat dari kayu sirap dan 

wuuusss! 

Api besar berkobar di atap gedung. Suasana pesta jadi 

kacau. Belasan prajurit kerajaan yang membantu 

mengamankan jalannya pesta berusaha memadamkan api. 

Namun kebakaran malah semakin hebat.Tiupan angin yang 

luar biasa kencang membuat titik api menebar ke beberapa 

tempat di atas atap gedung. Sebentar saja seluruh atap 

gedung besar kediaman saudagar Narotungga telah 

tenggelam dalam kobaran api. Ketika beberapa bagian atap 

mulai berderak runtuh dan api merambat bagian bawah 

gedung Narotungga tidak perdulikan para tamu, serta merta 

dia meninggalkan halaman pesta, masuk ke dalam gedung 

besar, langsung menuju ke sebuah ruangan di mana terdapat 

sebuah lemari besi tempat dia menyimpan uang, batangan 

emas serta berbagai macam perhiasan yang dimasukan 

dalam dua buah peti masing-masing dibungkus kantong kain 

berwarna hitam. 

Selagi Narotungga mengeluarkan dua buah kantong hitam 

dari dalam lemari dan siap memanggulnya tiba-tiba ada suara 

menegur. 

"Saudagar, kami suka sekali membantumu mengangkat 

dua peti dalam bungkusan kain hitam itu."

Narotungga terdiam. Dia mengenali suara itu. Perlahan-

lahan dia berpaling. Dugaannya tidak salah. Di hadapannya 

berdiri Panangkaran menyeringai sambil memelintir kumis 

tebal. Di kiri kanan berdiri dua orang anak buahnya dengan 

sikap berkacak pinggang.

"Kalian bertiga sudah aku perintahkan untuk pergi! 

Mengapa berani muncul kembali?!" ucap Narotungga dengan 

suara keras membentak. 

"Kami memang sudah pergi, tapi datang kembali untuk 

membantu Gusti Narotungga," jawab Panangkaran.


Waktu mengucapkan Gusti Narotungga Panangkaran 

sengaja mengejek dengan memencongkan mulut, berpaling 

pada dua kawannya lalu ketiganya tertawa gelak-gelak. 

"Menyingkir! Jangan berani menghalangi jalanku!" 

Narotungga marah besar merasa dihina.Tapi diam-diam 

hatinya mulai kecut. 

Tiga orang di hadapan Narotungga semakin keras gelak 

tawanya. 

"Kalian rupanya minta aku hajar!" Narotungga 

mengancam. 

"Narotungga," kata Panangkaran. "Aku dan teman-teman 

sebenarnya ingin menolong dirimu. Menurut tulisan di dinding 

bukankah sore tadi seharusnya kau sudah meninggalkan 

gedung kediamanmu ini? Sekarang masih belum terlambat. 

Kami bertiga akan bantu membawakan dua peti itu kemana 

kau mau pergi. Bukan begitu teman-teman?" 

Dua orang anak buah Panangkaran mengangguk lalu 

tertawa gelak-gelak. 

Mendengar bekas pengawal menyebut namanya tanpa 

sopan santun lagi Narotungga letakan dua bungkusan peti di 

lantai. Dari balik punggung pakaiannya dia mengeluarkan 

sebilah keris berluk tujuh yang langsung dihunus.Tujuh warna 

membersit keluar dari tubuh keris. Senjata ini bukan senjata 

sembarangan karena merupakan keris bertuah dan 

mengandung racun mematikan. Namun Narotungga sebagai 

seorang saudagar sama sekali tidak memiliki ilmu silat 

sekalipun silat luar. Apa lagi yang namanya tenaga dalam dan 

kesaktian. Keselamatannya selama ini hanya mengandalkan 

para pegawai seperti Panangkaran. 

"Kalau kalian bertiga mau mati, mendekatlah!" Narotungga 

acungkan keris sakti ke arah tiga orang di hadapannya. 

Panangkaran keluarkan suara berdecak berulang kali lalu 

berkata.


"Keris Mustika Pelangi. Senjata sakti luar biasa hebat! 

Tapi aku tahu kau mencuri dari mana senjata itu!" kata 

Panangkaran pula.

"Saatnya kalian menerima kematian!" Teriak Narotungga 

dengan mata mendelik. 

"Kami bertiga memang ingin sekali mati di tanganmu. Tapi 

Narotungga, bagaimana kalau kau mati duluan hingga bisa 

jadi penunjuk jalan kami bertiga menuju pintu neraka! 

Ha...ha...ha!" 

Setelah keluarkan ucapan dan hambur tawa bergelak 

Panangkaran cabut golok besar di pinggang. Dua anak 

buahnya lakukan hai yang sama. Sebelum tiga orang itu 

bergerak, Narotungga lebih dulu menerjang. Serangannya 

berupa tusukan sekuat tenaga diarahkan ke dada 

Panangkaran. 

Bekas kepala pengawal itu dengan mudah mengelakkan 

serangan. Akibat tusukan sekuat tenaga yang hanya 

mengenai tempat kosong Narotungga terputar melintir. Saat 

itulah Panangkaran melompat ke hadapan Narotungga. Walau 

golok siap dibacokkan akan tetapi dia tidak melakukan. Dalam 

jarak sedekat itu dia tiba-tiba meludahi muka Narotungga! Ini 

merupakan pembalasan dari Panangkaran yang pagi 

sebelumnya telah diludahi mukanya oleh Narotungga. 

Penghinaan telah dibalas dengan penghinaan. Namun 

agaknya pembalasan Panangkaran dan dua anak buahnya 

tidak sampai sebatas meludah saja! 

"Jahanam kurang ajar! Kau berani meludahi mukaku!" 

teriak Narotungga. Saudagar bertubuh gemuk pendek ini 

dengan kalap menusuk dan membabatkan senjata di 

tangannya ke arah Panangkaran. Yang diserang menangkis 

dengan golok. 

"Traangg!" 

Begitu bentrokan senjata terjadi Panangkaran putar golok 

demikian rupa hingga keris di tangan Narotungga ikut berputar 

dan akhirnya terlepas mental. Saudagar ini melompat mundur


dengan muka pucat. Panangkaran mendatangi, dua anak 

buahnya bergerak dari samping.Tiga golok besar terpentang 

siap untuk dibacokkan. 

"Kalian bertiga! Dengar..." Ucap Narotungga dengan suara 

gemetar, wajah pucat tubuh menggigil. "Kalian boleh ambil 

salah satu peti itu. Biarkan aku pergi dari sini!" 

Panangkaran menyeringai. 

"Kau tiba-tiba berubah jadi dermawan. Padahal selama ini 

kau adalah tukang peras!" Tangan kanan Panangkaran yang 

memegang golok naik ke atas. Tampangnya yang sangar 

tampak sangat menyeramkan. 

"Kalau...kalau masih kurang kalian boleh ambil peti itu 

dua-duanya." Kata Narotungga yang kini ketakutan setengah 

mati. Tanpa sadar air kencing mengucur dibalik celananya.

Panangkaran tertawa bergelak. "Narotungga. Kau 

memang boleh pergi kemana kau suka. Hanya saja biar rohmu 

yang pergi lebih dulu." 

Tangan kanan Panangkaran bergerak. Dua anak buahnya 

melakukan hal yang sama. Tiga bilah golok besar menderu. 

Narotungga menjerit keras. Dalam keadaan bersimbah darah 

tubuh gemuknya rebah ke lantai ruangan. 

Panangkaran sarungkan senjata, ambil dua peti yang 

dibungkus kain hitam sementara salah seorang anak buahnya 

memungut sarung dan keris Mustika Pelangi yang 

tercampakdi lantai.

ooOOoo


10. ARWAH MUKA HIJAU

SOSOK berjubah hijau yang duduk di atas batu hitam, 

membelakangi dinding goa lumut memiliki wajah luar biasa 

angker. Mukanya yang berwarna hijau tidak seperti muka 

manusia karena rata licin. Di bagian yang seharusnya terletak 

sepasang mata, hidung dan mulut dan dua telinga hanya 

terdapat sayatan lurus dijahit melintang dengan benang kasar 

berwarna hitam. Rambut di atas kepala berdiri lurus seperti 

lidi, berwarna hijau. Demikian juga dua tangan dan sepasang 

kaki yang tersembul di bawah jubah juga berwarna hijau. 

Orang yang baru pertama kali melihat makhluk ini sulit 

menduga apakah dia manusia atau sebangsa makhluk halus 

jejadian. 

Di tangan kanan makhluk aneh ini memegang sebatang 

gading gajah berukuran besar. Pada seputar badan gading 

terdapat ukiran membetuk tulisan yang telah berulang kali 

dibaca dan saat itu kembali dibaca. Walau mulut hanya 

merupakan garis terjahit, namun suaranya jelas terdengar 

seperti orang biasa membaca. Hanya saja suara itu disertai 

getaran gema halus yang terdengar menggidikan. 

Di masa Sri Maharaja Bakai Kayu wangi Dyah Lokapala 

memegang tahta 

Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia 

Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan 

berusia tujuh belas tahun 

Perempuan yang telah dipilih Para Dewa Berasal dari 

sebuah desa kecil di selatan Prambanan 

Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa 

Kelak dua anak akan menjadi kesatria 

Mengabdi pada Kerajaan Mataram 

Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat


Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat 

Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat 

Melalui empat Gading Bersurat 

Untuk kemaslahatan seluruh ummat

Setelah membaca untuk kesekian kalinya tulisan di badan 

gading orang bermuka hijau angkat kepala, menatap keluar 

goa. Sambil mengusap gading dalam pangkuan dalam hati dia 

berkata. 

"Waktu yang aku berikan sudah cukup lama. Desa 

Sorogedug tidak jauh dari sini. Tapi mengapa dua orang itu 

masih belum juga kembali. Gerangan apa yang mereka temui? 

Mereka bukan pergi menangkap harimau, bukan pula 

menghadapi pendekar atau kesatria sakti mandraguna. Hanya 

menculik seorang anak gadis yang aku perkirakan sesuai 

dengan tulisan yang tertera di gading ini. Setunggul Bumi 

Setunggul Langit, jika kalian lalai menjalankan perintah aku 

akan membenamkan kalian di dasar Kali Progo! Bahkan 

mungkin lebih celaka dari itu." 

Baru saja suara hati diucapkan tiba-tiba ke dalam goa 

berkelebat masuk seorang berpakaian hitam yang langsung 

jatuhkan diri bersujud di hadapan makhluk bayangan di atas 

batu hijau. 

"Kanjeng bergelar Arwah Muka Hijau, yang bernama asli 

Gendadaluh, aku Setunggul Langit datang menghadap dan 

memohon ampun..." 

"Setunggul Langit, akhirnya kau muncul juga! Bukan saja 

kepergianmu bersama Setunggul Bumi terlalu lama! Tapi 

kedatanganmu agaknya membawa kabar tidak enak. Belum 

apa-apa kau sudah memohon minta ampun. Apa arti 

permohonan ampun yang barusan kau ucapkan? Mana 

Setunggul Bumi? Katakan apa yang terjadi!"


Makhluk berjubah hijau yang duduk di atas batu keluarkan 

suara yang membuat goa bergetar. Sayatan berjahit di seluruh 

permukaan wajahnya yang hijau tampak bergerak-gerak. 

"Kanjeng Arwah Muka Hijau, mohon ampunmu. Aku dan 

Setunggul Bumi tidak berhasil menangkap gadis dari 

Sorogedug itu. Aku siap dan pasrah menghadapi hukuman..."

Hening beberapa saat. 

Lalu makhluk di atas batu berucap. 

"Katakan apa yang terjadi sebelum aku menjatuhkan 

hukuman!" 

Setungul Langit bangkit berdiri. 

"Kanjeng, kami berhasil menemui rumah kediaman anak 

perawan yang ternyata bernama Ananthawuri. Ketika kami 

sampai di kediamannya di desa Sorogedug, gadis itu tidak ada 

di rumah. Ibunya dalam keadaan sakit. Kami tidak menanyai 

mengingat Kanjeng berpesan agar berhati-hati, jangan sampai 

ada orang lain yang mengetahui semua gerak-gerik kita. 

Menjelang tengah malam tadi aku dan Setunggul Bumi 

berhasil mengejar anak perawan itu namun sebelum dapat 

menangkapnya dia keburu masuk ke dalam candi Loro 

Jonggrang..." 

Wajah rata langsung berkerut, sosok makhluk berjubah 

hijau bergerak naik ke atas hampir menyentuh atap goa, 

pertanda ada kemarahan dalam dirinya mendengar apa yang 

barusan diucapkan Setunggul Langit. 

"Aku tahu aku dan juga kalian punya pantangan menginjak 

batu candi karena batu berasal dari Gunung Merapi tempat 

arwah para leluhur kita disemayamkan! Tapi sungguh tolol! 

Buat apa datang ke sini memberi tahu hal seperti itu. Kau dan 

Setunggul Bumi bisa menangkapnya begitu dia keluar dari 

candi!" Bentak makhluk berjuluk Arwah Muka Hijau. 

"Hal itu memang kami lakukan, Kanjeng Tapi anak 

perawan itu tidak kunjung keluar dari candi. Yang terjadi


kemudian kami mendengar suara jeritannya dan suara bicara 

dengan Dhana Padmasutra yang sedang sekarat..." 

Untuk kedua kalinya sosok berjubah hijau bergerak naik 

ke atas. 

"Kau menyebut Dhana Padmasutra, seteruku sejak lima 

puluh tahun silam itu? Apa aku tidak salah mendengar?" 

"Tidak Kanjeng, Kanjeng tidak salah mendengar." Jawab 

Setunggul Langit. "Ketika kami mengejar anak perawan itu ke 

arah candi, di depan candi kami melihat orang tua itu duduk 

membaca Kitab Weda. Kami menyerangnya. Aku berhasil 

membunuhnya dengan ilmu Serat Arang. Namun kami ketahui 

sebelum tewas Dhana Padmasutra bicara dengan anak 

perawan itu yang secara aneh setelah keluar dari dalam candi 

ujudnya tidak terlihat mata..."

"Hemmm..." Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh 

mengusap dagu. Sepasang mata yang hanya merupakan 

sayatan lurus dijahit benang hitam menatap ke luar goa. 

"Kalau anak perawan itu lenyap ujudnya setelah keluar dari 

dalam candi berarti ada seseorang atau makhluk yang 

membekalinya dengan ilmu kesaktian. Sulit kuduga siapa yang 

memberi dan ilmu kesaktian apa yang diterapkan. Paling tidak 

ada satu benda sakti disusupkan ke dalam tubuh anak 

perawan dari Sorogedug itu." 

Arwah Muka Hijau menatap wajah anak buahnya seketika 

lalu berkata. "Walau kau berhasil membunuh seteru lamaku, 

tapi itu tidak bakal mengurangkan hukuman yang akan aku 

jatuhkan padamu. Lanjutkan ceritamu, apa yang terjadi 

kemudian." 

"Aku dan Setunggul Bumi melihat kejadian aneh. Tongkat 

dan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra melayang di udara, 

bergerak cepat ke arah timur. Kami yakin dua benda itu 

berada dalam pegangan anak perawan yang tengah melarikan 

diri. Kami mengejar. Di satu tempat kami menemui sebuah 

sumur api..." 

"Sumur api?"


"Betul Kanjeng. Kami melihat sendiri ada api keluar dari 

dalam sumur," jawab Setungul Langit. 

"Di daerah mana tepat letaknya?" tanya Arwah Muka 

Hijau. Lalu dia mengangkat gading, memperhatikan bagian 

potongan yang bulat rata. Pada bagian ini terdapat gambar 

sebuah sumur yang dari dalamnya membersit keluar sesuatu 

yang berkobar. "Tepat seperti gambar yang digurat di gading 

ini..." ucap makhluk serba hijau dalam hati lalu memandang 

pada anak buah yang berdiri di depannya. 

Setunggul Langit memberi tahu. "Sumur api itu terletak di 

arah timur, antara Prambanan dan Kali Dengkeng." 

"Puluhan tahun malang melintang aku tahu betul, tak ada 

sumur seperti itu sebelumnya di kawasan itu. Tapi petunjuk 

yang aku miliki mengatakan sumur api itu memang ada. 

Setunggul Langit, apa yang terjadi kemudian?" 

"Aku dan Setunggul Bumi melihat tongkat dan Kitab Weda 

mengapung dekat sumur api. Berarti anak perawan dari 

Sorogedug itu ada di sana. Ketika kami mencoba mencekal, 

tongkat dan kitab melesat masuk ke dalam sumur api. Berarti 

anak perawan itu telah menceburkan diri ke dalam sumur api!" 

"Mati?!"Tanya Arwah Muka Hijau dengan wajah berkerut 

"Aku tidak yakin anak perawan itu menemui ajal. Itu 

sebabnya Setunggul Bumi aku perintah berjaga-jaga di dekat 

sumur api sementara aku datang menemui Kanjeng untuk 

memberi tahu."

Arwah Muka Hijau terdiam beberapa lamanya hingga 

akhirnya dia berkata "Setunggul Langit, tetap di tempatmu, 

jangan bergerak jangan bersuara. Aku akan mencari 

petunjuk..." Selesai keluarkan ucapan makhluk serba hijau itu 

letakkan dua tangan di atas dada Tubuhnya tidak bergerak 

dan suara nafasnyapun tidak terdengar. Selang beberapa 

lama tangan di atas dada diturunkan ke bawah."Anak perawan 

itu memang tidak menemui kematian. Dia ada di satu tempat 

aneh dan penuh rahasia di dasar sumur api."


"Bila Kanjeng berkenan datang melihat sendiri sumur api 

itu, aku akan mengantarkan ke sana." Kata Setunggul Langit 

pula. 

Arwah Muka Hijau mengangguk lalu dia memperhatikan 

dada pakaian Setunggul Langit. "Aku melihat satu hal lagi. 

Banyak kelalaian yang kau buat dalam urusan yang sangat 

rahasia ini. Kau kehilangan satu kancing bajumu!" 

Setunggul Langit mengusap dada pakaiannya.

"Aku tahu Kanjeng. Mungkin sekali tanggal terkena 

tangkisan tongkat Dhana Padmasutra ketika aku 

menyerangnya. Aku dan Setunggul Bumi berusaha mencari 

tapi tidak menemukan. Mohon maafmu Kanjeng. Mudah-

mudahan kancing itu sudah hancur tak berbentuk lagi." 

Arwah Muka Hijau menggeleng. "Aku punya dugaan 

seseorang telah menemukan kancing itu," katanya. Makhluk 

serba hijau itu lalu sambung ucapan. "Sebelum aku 

menjatuhkan hukuman berat atas dirimu dan Setunggul Bumi, 

aku merasa layak mengambil kembali ilmu Serat Arang yang 

aku berikan padamu!" 

Begitu selesai berucap tangan kanan Arwah Muka Hijau 

menyambar ke arah kening Setunggul Langit di mana 

menempel sebuah batu hitam berbentuk segi tiga, yakni pusat 

kekuatan ilmu kesaktian bernama Serat Arang. 

Pada saat batu hitam tanggal dari keningnya, Setunggul 

Langit merasa jantungnya ikut dibetot. Lelaki bertubuh tinggi 

kurus jatuh terduduk di lantai goa dengan wajah pucat pasi. 

Arwah Muka Hijau letakan ujung lancip gading di lantai 

batu. Sekali tangan kanannya menekan maka secara luar 

biasa gading yang panjangnya lima jengkal itu menyusup 

amblas masuk dan lenyap ke dalam lantai goa.

"Sekarang antarkan aku ke sumur api. Kau masih memiliki 

ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi."

 Mendengar ucapan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit 

segera berdiri lalu melangkah ke luar goa. Sampai di luar goa


dia jatuhkan diri menelungkup di tanah. Arwah Muka Hijau 

berdiri di punggung anak buahnya. Setunggul Langit ulurkan 

dua tangan ke depan lalu dikembangkan ke samping. Saat itu 

juga tubuhnya bergerak naik ke atas lalu melesat di udara.

ooOOOoo

11. RATU DHIKA GELANG GELANG

KETIKA Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit sampai 

di sumur api Setunggul Bumi yang seharusnya ada dan 

berjaga-jaga di tempat itu tidak kelihatan. Setelah lebih dahulu 

memeriksa dan mengelilingi sumur api Arwah Muka Hijau 

berpaling pada Setunggul Langit. 

"Kelakuanmu dan temanmu si pendek katai itu sama saja 

kurang ajarnya! Menurutmu dia kau suruh mengawasi sumur

api. Sekarang kau lihat sendiri dia tidak ada di sini!" 

Heran ada, jengkel juga ada Setunggul Langit 

memandang berkeliling lalu berteriak memanggil Setunggul 

Bumi. Sampai tenggorokannya kering berteriak-teriak berulang 

kali tidak ada jawaban. 

"Aku punya firasat tidak enak. Temanmu itu mungkin 

sudah menemui ajal! Kau sekarang tinggal sendirian!" 

Setunggul Langit terkejut dan merasa tidak enak 

mendengar ucapan Arwah Muka Hijau. 

"Bagaimana Kanjeng bisa berkata begitu?" tanya 

Setunggul Langit. 

"Aku mencium rohnya sudah gentayangan di sekitar 

tempat ini" jawab Arwah Muka Hijau lalu melangkah 

menghampiri sumur api. Sambil merapal satu bacaan dia 

kembangkan telapak tangan kanannya yang hijau di atas 

sumur. 

"Wusss!" 

Dari dalam sumur serta merta melesat lidah api 

menghantam tangan Arwah Muka Hijau. Makhluk ini tidak 

bergeming.Tangannya tidak bergerak sedikitpun. Telapak 

tangan itu tidak cidera.

"Wusss!"


Untuk kedua kalinya dari dalam sumur menggebubu lidah 

api. Arwah Muka Hijau tetap tidak bergeming dari tempatnya. 

Akan tetapi sewaktu lidah api melesat untuk ke tiga kalinya, 

makhluk ini berteriak kaget, melompat mundur sambil kibas-

kibaskan lengan jubah hijaunya yang terbakar, sementara 

telapak tangan yang hijau kelihatan mengepulkan asap! 

"Ada kekuatan luar biasa hebat melindungi tempat ini. Aku 

tak mungkin masuk ke dalam sumur," katanya pada Setunggul 

Langit. Dia diam sejenak lalu berkata lagi. "Ada dua cara untuk 

bisa tembus ke dasar sumur api. Pertama minta bantuan 

Jelanang Kameswhara alias Seribu Mata Air. Kedua 

menyelidik dari arah lain. Aku yakin ada jalan rahasia masuk 

ke dasar sumur api. Aku lebih suka melakukan hal yang 

kedua. Setunggul Langit, kau beruntung. Hukumanmu aku 

tunda beberapa hari. Malam ini kita menginap di tempat ini. 

Kau berjaga-jaga sementara aku akan menyelidik dimana 

beradanya jalan rahasia itu." 

"Terima kasih Kanjeng. Perintah Kanjeng akan saya ikuti. 

Tapi apakah kita tidak akan mencari Setunggul Bumi? Kalau 

memang dia sudah menemui ajal seperti kata Kanjeng paling 

tidak kita harus menemukan dan mengurus pembakaran 

jenazahnya." 

Baru saja Setunggul Langit berkata begitu tiba-tiba ada 

suara perempuan berseru. 

"Setunggul Langit! Kau lebih berperikemanusiaan dari 

majikanmu yang berjuluk Arwah Muka Hijau. Tapi aku pikir 

bangsa arwah memang mana punya rasa kemanusiaan?" 

Ucapan perempuan itu ditutup dengan suara tawa cekikikan. 

Arwah Muka Hijau dan Setunggul langit memandang 

berkeliling. Mereka sama merasakan tanah agak bergetar 

sewaktu perempuan yang tak kelihatan mengumbar suara 

tertawa Namun keduanya bukan saja tidak dapat melihat siapa 

perempuan yang barusan bicara dan tertawa, malah dari arah 

mana datangnya asal suara merekapun tidak dapat menjajagi.


Sayatan-sayatan lurus yang dijahit benang hitam kasar di 

wajah Arwah Muka Hijau berkedut-kedut beberapa kali. Lalu 

dia keluarkan suara menjawab ucapan perempuan tadi. 

"Aku yakin kau bukan bangsa demit atau makhluk halus 

jejadian.Tapi mengapa malu memperlihatkan diri. Bicara 

memakai ilmu membuka mulut memindah suara."

"Arwah Muka Hijau, kau tersinggung rupanya! Aneh juga. 

Pada maksud baik orang lain kau tidak menunjukan rasa 

pengertian. Tapi pada yang menyangkut buruk dirimu kau 

menumpahkan kejengkelan. Lagi pula aku bicara pada 

Setunggul Langit, bukan padamu. Mengapa harus merasa 

risih dihati?Hik...hik...hik." 

"Makhluk pengecut!" Memaki Arwah Muka Hijau. 

"Maaf, saat ini aku tidak punya niat bicara lagi dengan 

dirimu." Perempuan yang bicara tanpa kelihatan kemudian 

menyambung ucapannya.

"Setunggul Langit, kalau kau memang ingin berbakti pada 

sahabatmu Setunggul Bumi, ingin mengurus jenazahnya aku 

akan memberikan jenazahnya padamu. Cuma sayang 

jenazahnya tidak terlalu utuh dan mulai agak bau." 

Tiba-tiba dari arah kiri melayang tubuh manusia dan blukk! 

Tubuh ini jatuh tepat di hadapan Setunggul Langit. 

Wajah rata Arwah Muka Hijau berkerut. Setunggul Langit 

melompat mundur beberapa langkah. Mulut ternganga, mata 

membeliak. 

"Mana kepalanya!" Setunggul Langit berteriak. Tubuh 

pendek katai berjubah kuning yang tergeletak di tanah itu 

memang tubuh Setunggul Bumi. Tapi kepalanya tidak ada! 

Inilah yang tadi yang diteriakan oleh Setunggul Langit dalam 

keterkejutannya. 

"Setunggul Langit, harap maafkan. Jadi kau juga perlu 

kepalanya. Memang pantas dan seharusnya begitu. Kau 

seorang yang sangat memperhatikan keadaan teman 

walaupun sudah jadi mayat."


Lalu dari arah kanan menggelinding sebuah benda bulat 

yang bukan lain adalah kuntungan kepala Setunggul Bumi! 

Kepala itu agaknya sengaja diarahkan ke tempat berdirinya 

Arwah Muka Hijau. Makhluk bermuka rata ini cepat-cepat 

menghindar lalu tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak 

melakukan satu pukulan tangan kosong ke arah kiri, yaitu arah

datangnya kepala yang menggelinding. Selarik cahaya hijau 

disertai deru kerasi menyambar. 

"Braakkk... braaakk!" 

Dua pohon besar patah bertumbangan. Semak belukar 

terbongkar berhamburan. Namun siapapun orang yang jadi 

sasaran Arwah Muka Hijau tidak ada di tempat itu. Malah tiba-

tiba sekali sebuah benda panjang melesat di udara lalu 

menancap tepat di depan kaki Arwah Muka Hijau hingga 

makhluk ini menyumpah habis-habisan. Benda yang 

menancap di depan kaki Arwah Muka Hijau ternyata adalah 

sebilah golok besar berdarah milik Setunggul Bumi. Setunggul 

Langit tidak pedulikan kemarahan serta apa yang terjadi 

dengan Arwah Muka Hijau. Dia lebih memperhatikan jenazah 

sahabatnya Dengan cepat dia mendukung mayat Setunggul 

Bumi dan membaringkan di bawah sebatang pohon. Lalu dia 

mengambil kuntungan kepala sahabatnya itu. Karena bingung 

mau diletakan dimana akhirnya Setunggul Langit memasukan 

kuntungan kepala ke balik dada jubah kuning mayat Setunggul 

Bumi. Lalu lelaki ini balikan diri dan berteriak keras. 

"Makhluk biadab! Perempuan keji! Perlihatkan dirimu! Apa

salah sahabatku hingga kau mem Hening beberapa lamanya. 

Lalu terdengar suara tertawa perlahan disusul suara benda 

bergemerincing. Sesaat kemudian di bawah sebatang pohon 

Mahoni berdaun lebat berdiri seorang perempuan berkulit 

hitam gemuk mengenakan pakaian kemben hitam merah. 

Bagian tengah bawah kemben ini depan belakang terbelah

sampai ke lutut. Mukanya yang bundar gembrot dengan 

berhidung lebar pesek tertutup dandanan tebal mencolok. 

Wajahnya jauh dari cantik. Bedak tebal putih, pipi diberi 

merah-merah, alis hitam kereng dan bibir yang dower dilapis 

pemerah. Rambut diberi warna merah-merah, dikonde di atas


kepala, dihias sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah 

layu karena telah direndam dalam sejenis jelaga. Di belakang 

punggungnya menyembul sebuah benda putih kekuningan 

yang bukan merupakan sebilah pedang atau senjata. Pakaian 

merah dan tubuhnya menebar bau harum aneh menyengat, 

menusuk jalan pernafasan. 

Pada kedua pergelangan lengan dan kaki perempuan ini 

melingkar gelang kerincing terbuat dari emas. Setiap dia 

membuat gerakan, walau sedikit saja gelang-gelang itu akan 

keluarkan suara berkerincing. 

"Dhika Gelang Gelang!" ucap Arwah Muka Hijau yang 

mengenali perempuan itu dengan suara setengah tertahan 

sementara Setunggul Langit yang juga mengetahui siapa 

adanya perempuan itu tegak ternganga terkesiap. 

Perempuan gemuk sepertinya tidak acuhkan kedua orang 

yang ada di hadapannya. Dia memegang sebuah cermin kecil, 

asyik berkaca sambil mematik alis dan rambut. Lidah sesekali 

dijulurkan untuk membasahi bibir merah dower. Setelah 

menyimpan cermin kecil di balikdadanya, perempuan ini 

angkat kepala, memandang senyum-senyum ke arah Arwah 

Muka Hijau dan Setunggul Langit. Tangan kanan diangkat ke 

atas lalu tubuh diputar satu kali ke kanan, satu kali ke kiri. 

Empat gelang berkerincingan. Kemudian perempuan ini 

keluarkan ucapan bertanya. 

"Bagaimana menurut kalian, apakah wajahku sudah cantik 

dan tubuhku langsing gemulai?" Karena tak ada yang 

menjawab perempuan gemuk ini singsingkan ke atas bagian 

bawah kembennya yang terbelah sebelah depan. "Aku 

orangnya memang berkulit hitam. Tapi kalian saksikan sendiri, 

pahaku putih bersih dan mulus! Hik...hik...hik!" Padahal 

sebagaimana keadaan kulit tubuhnya yang lain, paha 

perempuan ini hitam dan gempal. 

Arwah Muka Hijau tidak bergerak. Rahang menggembung, 

sayatan pada bagian mata dan mulut bergerak-gerak. Ketika 

perempuan gemuk itu memutar tubuh ke kiri dan ke kanan 

Arwah Muka Hijau melihat benda yang menyembul di balik


punggung adalah sebuah gading besar yang terselip di 

kemben, sama seperti yang dimilikinya. Arwah Muka Hijau 

tersentak kaget 

"Jadi dia adalah orang kedua yang memiliki Gading 

Bersurat yang seluruhnya berjumlah empat itu. Berarti 

kehadirannya di sumur api ini tidak bisa tidak ada sangkut 

pautnya dengan Gading Bersurat itu." 

"Hai, aku bertanya. Mengapa tidak satupun dari kalian 

yang menjawab. Apa kalian terpesona melihat kecantikan dan 

keelokan tubuhku. Atau saat ini kalian jadi punya pikiran kotor 

setelah melihat pahaku yang putih mulus? Ah menyesal tadi 

aku memperlihatkan." 

"DhikaGelang Gelang..." 

"Ssshhhh!" Perempuan gemuk gelengkan kepala dan 

goyang-goyangkan tangan kanan. "Arwah Muka Hijau, sudah 

dua kali engkau menyebut namaku secara tidak sopan. Kau 

tahu siapa diriku. Ratu Bhumi Mataram yang tidak pernah 

menginginkan tahta Kerajaan. Sangat pantas jika kau 

memanggil diriku dengan sebutan Ratu Dhika Gelang Gelang. 

Ingat, jangan lupa hal itu. Kalau kau bersikap sopan dan tahu 

peradatan maka aku akan melakukan hal yang sama. Kalau 

kau menghormati diriku, maka aku akan balas menghormat. 

Bukankah hidup ini begitu mudah? Mengapa manusia sering 

mempersulit diri sendiri?" 

"Aku tidak perduli siapa pun kau adanya. Aku ingin tahu 

apakah kau yang membunuh Setunggul Bumi anak buahku 

yang barusan kau lemparkan tubuh dan kepalanya?!" 

"Arwah Muka Hijau, kau tidak menghormati Ratumu 

sendiri." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang. 

Muka rata Arwah Muka Hijau tampak menggembung. 

"Kau jawab saja pertanyaanku." 

"Ahhh. Jadi itu pertanyaanmu. Baik. Aku akan 

menjawab.Tapi aku sudah mencatat perilakumu yang tidak 

hormat." Kata si gemuk yang menyatakan diri sebagai Ratu


Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku 

tidak membunuh manusia bernama Setunggul Bumi itu. Dia 

sendiri yang menggorok lehernya sampai putus!"

"Kedustaan keji! Bagaimana hal itu mungkin terjadi?" 

Menyanggah Setunggul Langit. 

"Kau minta kami berlaku hormat. Tapi dengan berdusta 

kau telah dengan sengaja bersikap tidak hormat," 

Arwah Muka Hijau berkata. "Bisa saja kau berkata begitu 

karena tidak melihat Mari aku ceritakan apa yang terjadi." Kata 

Ratu Dhika Gelang Gelang."Ketika aku datang ke tempat ini 

anak buahmu langsung mengusir aku dan mengancam. Jika 

aku tidak mau pergi maka leherku akan digorok! Sungguh 

tidak sopan dan tidak pantas. Aku seorang ratu tidak minta 

dihormati, tapi kalau diperlakukan kurang ajar aku bisa marah. 

Kemana aku mau pergi, aku mau berada dimana adalah 

urusanku. Setunggul Bumi tidak punya hak mengusir diriku 

dari tempat ini. Ketika aku membalas supaya dia saja yang 

pergi dari sini, anak buahmu langsung menghunus golok lalu 

menyerangku. Aku berhasil mencekal tangannya yang 

memegang senjata. Aku sama sekali tidak menyentuh senjata 

itu. Gagang golok masih berada dalam genggamannya ketika 

senjata itu berbalikderas menebas lehernya sendiri hingga 

putus. Jelas dia yang menebas lehernya sendiri! Bukankah itu 

namanya bunuh diri?!" 

"Perempuan licik! Kurang ajar! Kau bermain kata-kata 

tidak mau mengakui kalau kau yang menggorok Setunggul 

Bumi. Sekalipun kau tidak memegang gagang golok tapi 

sebenarnya kaulah .yang membunuh Setunggul Bumi!" 

Setunggul Langit marah sekali. Ketika dia hendak menerjang 

Arwah Muka Hijau cepat menahan bahunya dan berbisik. "Kita 

berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Setahuku 

kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah yang 

lebih buas dari pemiliknya. Aku tidak melihat dia membawa 

binatang itu. Biar aku mencari tahu lebih dulu ada keperluan 

apa perempuan ini berada di sini. Setelah itu, jika aku 

memberi isyarat kau serang dia dengan Ilmu Bubu Ikan


Berbisa. Tubuhnya gemuk. Gerakannya pasti lamban. Sekali 

masuk dia akan celaka, tak bisa keluar lagi." 

ooOOOoo

SIAPAKAH Dhika Gelang Gelang yang menyebut dirinya 

sebagai Ratu? Konon ketika Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah 

Saladu mengakhiri masa pemerintahannya sebagai Raja 

Mataram anak tertuanya adalah seorang perempuan yaitu 

Dhika Gelang Gelang. Namun karena Dhika adalah anakyang 

dilahirkan dari seorang istri ketiga maka banyak pihak yang 

menolak Dhika Gelang Gelang sebagai pewaris tahta. Dhika 

Gelang Gelang sendiri sebenarnya tidak menginginkan 

menjadi Raja atau Ratu di Bhumi Mataram. Maka secara diam-

diam dia meninggalkan Istana menyepi diri di satu tempat 

yang tidak diketahui orang. 

Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, putera tertua dari istri 

kedua Rakai Pikatan Dyah Saladu kemudian dinobatkan 

sebagai Sri Maharaja Mataram yang baru.

Beberapa tahun kemudian Dhika Gelang Gelang muncul 

kembali. Walau dia menyebut diri sebagai Ratu dan 

penampilannya menjadi aneh namun dia tidak mengusik tahta 

dan malah menjaga ketenteraman Istana dan Kerajaan. Dia 

jarang berada di kalangan Istana, lebih banyak menyatu 

dengan rakyat jelata. Satu hal yang diketahui orang, setelah 

menghilang sekian lama perempuan yang kini bertubuh gemuk 

dan berwajah tidak cantik itu telah menjadi seorang sakti 

mandraguna. Kemana-mana dia selalu membawa seekor 

kucing merah. Ketika Kerajaan terlibat peperangan dengan 

orang-orang di wilayah selatan, Dhika Gelang Gelang sangat 

banyak memberikan bantuan sehingga pertumpahan darah 

yang lebih besar dapat dihindarkan dan antara utara dengan 

selatan dicapai perdamaian. Setelah peristiwa besar itu Dhika 

Gelang Gelang kembali melenyapkan diri. Hanya sesekali 

muncul di Kotaraja, itupun tidak mendatangi Istana. Pada 

setiap kali kemunculan pasti ada satu peristiwa besar yang 

ditanganinya. Mengetahui ketinggian ilmu kesaktian


perempuan inilah maka Arwah Muka Hijau tidak mau berlaku 

ceroboh. Dia cepat menghalangi Setunggul Langit yang 

hendak menyerang sambil mengatur siasat.



12"RATU Dhika Gelang Gelang, soal kematian anak buahku 

biar aku lupakan dulu," berkata Arwah Muka Hijau. "Aku ingin 

bertanya, maksud apa yang ada dalam dirimu hingga muncul 

di tempat ini. Adakah sumur api itu yang menarik 

perhatianmu?" 

"Kau sekarang memanggilku Ratu. Betapa hormatnya! 

Bicaramu kini sopan penuh peradatan. Betapa indahnya! Kau 

bicara berterus terang. Sungguh menyenangkan. Arwah Muka 

Hijau, mengapa kau mendadak berubah. Apa yang ada di 

benakmu? Apa yang tersembunyi di hatimu?" Balik bertanya 

perempuan gemuk berkemben merah sambil naikan sepasang 

alis mata, membuat Arwah Muka Hijau jadi jengkel penasaran. 

"Ratu Dhika, kau menjawab pertanyaan dengan balik 

bertanya. Itukah yang kau sebut sopan santun? Kalau kau tak 

mau menjawab, biar aku menduga. Kau membekal sebatang 

gading. Aku tahu riwayat yang tertulis di gading itu. Kau ke sini 

untuk menyelidik tentang seorang gadis yang kelak akan 

melahirkan dua anak lelaki. Kau tak perlu menjawab tapi juga 

tidak perlu berdusta." 

Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa panjang mendengar 

kata-kata Arwah Muka Hijau. 

"Betapa tololnya dirimu. Ketololan pertama! Sudah gaharu 

cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Ketololan kedua. 

Kalau memang ada seorang gadis akan melahirkan di dalam 

sumur api itu, berarti masih sembilan bulan lebih waktu 

penantian. Mengapa dari sekarang repot-repot mau berbuat 

keributan?" 

"Kami tidak merasa membuat kerepotan. Justru dari 

pihakmu yang memulai berbuat keributan. Kau membunuh 

anak buahku Setunggul Bumi!" 

"Arwah Muka Hijau, rasanya kurang sedap berbicara 

denganmu. Kau selalu mengulang-ulang soal kematian anak


buahmu itu. Pada hal aku sudah menceritakan apa yang 

terjadi. Bukankah lebih baik bagimu meninggalkan tempat ini. 

Mengurus pembakaran jenazah Setunggul Bumi?" 

"Kau tak layak mengatur diriku. Anak buahku datang lebih 

dulu ke tempat ini. Adalah dia pantas mengusir orang 

semacammu!" Menukas Arwah Muka Hijau lalu kedipkan mata 

sambil meraba dagu, memberi isyarat pada Setunggul Langit. 

Serangan Bubu Ikan Berbisa serta merta dilaksanakan! 

Begitu melihat isyarat, Setunggul Langit keluarkan 

bentakan keras. Dua tangan diluruskan ke depan. Dari 

sepuluh ujung jari tangan mencuat dua puluh empat sinar 

hitam. Ujung yang ada di arah tangan menyatu seperti diikat 

sementara ujung yang lain membuka lebar lalu menekuk 

runcing ke dalam. Secara luar biasa dua puluh empat larikan 

sinar yang menyerupai bubu atau perangkap ikan secepat kilat 

menelan tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang tanpa perempuan 

ini sempat berkelit selamatkan diri. Empat gelang di tangan 

dan kaki berkerincingan. 

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-

gelak. 

"Ratu jelek! Ternyata kau tidak punya ilmu kepandaian 

apa-apa!" teriak Arwah Muka Hijau mengejek. "Aku mau lihat! 

Kalau kau mampu keluar dari perangkap, kami berdua sampai 

anak cucu kami akan bersujud menghambakan diri padamu 

selama tujuh turunan Raja yang berkuasa di Mataram." 

Di dalam perangkap Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa 

kerahkan ilmu meringankan tubuh dan melayang seperti ikan 

besar yang masuk ke dalam bubu raksasa. Dia tahu tidak 

mungkin berbalik meloloskan diri melalui bagian depan bubu 

yang memiliki dua puluh empat ujung runcing menghadang. 

Melalui celah di kiri kanan atau sebelah atas dan sebelah 

bawah perangkap dia mungkin bisa menyelinap keluar namun 

kalau sampai tubuhnya tergores maka racun jahat akan masuk 

ke dalam aliran darah dan dia akan menemui ajal sebelum 

matahari tenggelam!



Koleksi ebook KANGZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/

"Kalau aku jebol dengan pukulan sakti, perangkap celaka 

ini mungkin bisa ambruk. Namun serpihan-serpihannya bisa 

berbahaya kalau sampai ada yang menancap di tubuhku. 

Berapa lama aku bisa bertahan mengambangkan diri seperti 

ini...?" 

Sadar dirinya dalam keadaan bahaya besar Ratu Dhika 

Gelang Gelang masih mampu berlaku tenang. Perlahan-lahan, 

dengan sangat hati-hati dia memutar tubuh yang 

mengambang hingga menghadap ke bagian depan bubu.

Dengan tangan kirinya perempuan gemuk ini mengusap-usap 

perut sementara mulut berkomat kamit dan sepasang mata 

menatap ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit 

yang tegak di bagian depan mulut bubu.

"Perutku...Mengapa perutku. Ada sesuatu bergerak di 

dalam perutku..." Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil 

terus usap-usap perutnya. 

Arwah Muka Hijau perhatikan gerak-gerik Ratu Dhika 

Gelang Gelang. Dalam hati bertanya-tanya apa yang 

dilakukan perempuan itu.Tiba-tiba kedua orang di luar bubu 

melihat keanehan terjadi dengan Ratu Dhika Gelang Gelang. 

Perutnya perlahan-lahan berubah membesar. 

"Arwah Muka Hijau, tidakkah kau melihat perubahan yang 

terjadi dengan diriku...?" Ratu Dhika Gelang Gelang bertanya. 

Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Arwah Muka Hijau 

menjawab. 

"Ilmu setan apa yang hendak kau keluarkan?! Jangan 

harap kau bisa lolos dari dalam Bubu Ikan Berbisa!" 

"Perutku membesar. Ada makhluk bergerak di dalamnya. 

Hyang Jagat Batara Dewa! Aku hamil! Bagaimana mungkin ini 

bisa terjadi?!" 

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelak-

gelak. 

"Akal busukmu tidak bakal menipu kami!" teriak Setunggul 

Langit. Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan


orang. Kepala didongakkan ke atas, menatap ke langit. Dua 

tangan disusun di atas kepala. 

"Sang Hyang Jagat Batara. Para Dewa di Swargaloka. 

Dalam keadaaan sengsara seperti ini apakah Kau 

melimpahkan rakhmat pada diriku? Apakah kau telah memilih 

diriku mewakili anak perawan dari desa kecil di selatan 

Prambanan? Aku hamil besar wahai Para Dewa. Apakah aku 

akan melahirkan dua bayi yang kelak akan menjadi dua 

kesatria seperti yang tertulis pada Gading Bersurat? Wahai 

Para Dewa, besar nian rakhmat-mu...."

Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit saling 

berpandangan. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkedut-kedut 

sementara tampang Setunggul Langit berubah, ada rasa tidak 

percaya dibayangi rasa takut. 

"Arwah Muka Hijau, aku tidak menipu. Perutku membesar. 

Aku benar-benar hamil. Lihatlah! Saksikan! Mendekatlah." 

"Breett!" 

Kemben merah yang dikenakan Ratu Dhika Gelang 

Gelang tidak sanggup lagi menahan perut yang membesar. 

Dalam keadaan robek ke dua orang di depan kubu melihat 

bagaimana perut perempuan gemuk yang kini tersingkap itu 

memang benar-benar membesar seperti perempuan hamil.

"Arwah Muka Hijau, mendekatlah. Biar kau bisa melihat 

jelas. Ini bukan sihir, bukan tipu daya. Semua adalah rakhmat 

Para Dewa atas diriku. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa 

kelak bayi yang akan aku lahirkan akan menjadi milikmu. 

Bukankah itu niat maksud dirimu datang ke SUMUR API ini? 

Ah, Gading Bersurat.Ternyata bukan cerita bohong ataupun 

tipu daya. Gading Bersurat, ternyata kau nyata. Terima kasih 

Para Dewa, aku telah dipilih menjadi wakil untuk kebaikan di 

Bhumi Mataram ini. Ah...sebentar lagi. Sebentar lagi bayi ini 

pasti akan lahir. Satu bayi...dua bayi, atau tiga bayi..." 

Arwah Muka Hijau menatap dengan muka sayatan berjahit 

benang kasar ke dalam kubu raksasa lalu berpaling pada 

Setunggul Langit.


"Apakah yang kau lihat tidak berbeda dengan yang aku 

saksikan? Apakah orang tidak tengah menipu kita?" 

"Kanjeng, kita melihat hal yang sama. Keajaiban telah 

terjadi.Tidak mungkin kalau ini bukan karena keajaibanNya 

Para Dewa. Kita harus melenyapkan Bubu Berbisa. Kalau bayi 

itu sampai lahir di dalam bubu bisa celaka. Kalau dari semula 

maksud kita memang untuk mendapatkan bayi itu, kita harus 

menyelamatkannya. Kanjeng...."

"Tunggu dulu. Jangan cepat percaya. Perempuan ini tinggi 

ilmunya. Dia punya seribu akal. Biar aku perhatikan dulu lebih 

jelas." 

Arwah Muka Hijau mendekat ke mulut bubu raksasa. Pada 

saat dia hanya berdiri satu langkah di depan mulut bubu, Ratu 

Dhika Gelang Gelang buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang 

besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang dan 

mengempis! Mulut yang terbuka menyedot. Satu gelombang 

angin besar dan dasyat menarik tubuh Arwah Muka Hijau. 

"Ilmu Selaksa Angin Menghisap Roh!" teriak Arwah Muka 

Hijau. Dia berusaha menggeliat, memutar tubuh untuk 

berbalik. Setunggul Langit berusaha untuk menolong. Namun 

terlambat. Tubuh Arwah Muka Hijau telah lebih dahulu 

terhisap masuk ke dalam bubu raksasa, dua kaki lebih dulu! 

Ratu Dhika Gelang Gelang membentak keras. Dua 

tangannya dengan cepat mencekal per-gelangan kaki Arwah 

Muka Hijau. Sekali dia mengerahkan tenaga dalam maka 

tubuh Arwah Muka Hijau yang barusan masuk ke dalam bubu 

raksasa ini melesat kembali keluar. Masih memegangi kaki 

orang, Ratu Dhika Gelang Gelang ikut menyelinap dari 

belakang tanpa tubuhnya menyentuh bubu berbisa.

Arwah Muka Hijau menjerit keras sewaktu kepalanya 

menghantam dua puluh empat ujung runcing berbisa di mulut 

bubu! Bubu raksasa hancur berantakan. 

Makhluk bermuka rata itu terhempas jatuh di tanah. Di 

kepala, muka dan sebagian tubuhnya terdapat dua puluh


empat luka mengerikan. Darah yang mengucur bukannya 

merah tapi hijau pekat. 

Melihat apa yang terjadi Setunggul Langit segera lepaskan 

satu pukulan sakti ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun 

perempuan ini sambil mengumbar tawa cekikikan telah 

berkelebat lenyap. Hanya gaung suara dan kerinclngan empat 

gelangnya yang terdengar. 

"Arwah Muka Hijau! Kalau nyawamu masih panjang kita 

pasti berjumpa lagi!" 

"Perempuan terkutuk! Aku pasti mencarimu!" teriak Arwah 

Muka Hijau. Setunggul Langit segera mengejar namun 

urungkan niat ketika dia mendengar Arwah Muka Hijau 

berteriak. 

"Jangan dikejar! Lekas bawa aku ke Candi Miring! Aku 

menyimpan obat penangkal luka berbisa di sana! Cepat! 

Sebelum malam datang aku harus sudah ada di sana. Kalau 

terlambat nyawaku tidak tertolong! Cepat! Kalau aku selamat 

semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan 

aku kembalikan padamu!" 

"Kanjeng! Aku mendengar semua ucapanmu. Apa yang 

kau perintahkan akan aku laksanakan!" Jawab Setunggul 

Langit. Lalu dengan cepat dia panggul tubuh Arwah Muka 

Hijau. Mayat Setunggul Bumi dilupakan begitu saja.

ooOOOoo


13. HAMIL GAIB ANANTHAWURI

PAGI hari di sebuah taman tak jauh dari dasar sumur api. 

Ananthawuri tengah mencium keharuman setangkai mawar 

kuning ketika Sukantili, ibunya muncul di undakan tangga batu 

merah paling atas. 

"Anakku, sudah lama kau menunggu di taman ini?" 

menyapa Sukantili. 

Ananthawuri segera menghampiri ibunya, mencium 

tangan perempuan itu penuh khidmat lalu mencium pipinya kiri 

dan kanan. 

"Saya belum lama berada di sini. Tapi kali ini entah 

mengapa saya merasa sangat tidak sabar menunggu 

kedatangan Ibu." Anak perawan dari desa Sorogedug yang 

bersama ibunya kini tinggal di satu tempat rahasia tak jauh 

dari dasar sumur api tatap wajah sang ibunda sejenak lalu 

bertanya. 

"Saya melihat wajah Ibu seperti tidak berseri. Apakah Ibu 

sakit atau ada sesuatu yang menjadi pikiran?" 

"Ibu baik-baik dan sehat. Namun terus terang memang 

ada sesuatu yang menjadi pikiran di benak Ibu, sesuatu yang 

menjadi ganjalan di hati Ibu." 

"Wahai Ibuku sayang, katakanlah. Gerangan apa yang jadi 

pikiran dan ganjalan itu?" 

"Anakku Ananthawuri, selama kita tinggal di tempat ini kita 

berada dalam kecukupan. Berkat kasih sayang dan kebesaran 

Para Dewa segala sesuatunya tersedia. Tempat kediaman, 

makanan dan lebih dari itu diberkahi kesehatan yang baik. 

Bahkan ada pula seorang pelayan. Namun setiap malam, 

sebelum Ibu pulas tertidur, selalu ada pikiran dan pertanyaan 

yang datang. Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Ibu 

orang ie a Betapa pun bagusnya tempat kediaman ini tetap 

saja bukan milik kita. Ibu merasa bagaimanapun buruknya 

gubuk kita namun hidup di desa Sorogedug ternyata jauh lebih


nyaman menyenangkan. Tetangga orang sedesa selalu 

bersikap baik dan ramah. Teman-teman mendiang ayahmu

kerap datang menyambangi."

"Ibu, menurut cerita Ibu bukankah rumah kita di

Sorogedug telah dibakar oleh kaki tangan saudagar 

Narotungga?" 

"Betul, tapi Ibu bisa bangun gubuk baru. Penduduk desa 

pasti mau membantu bergotong-royong. Kita tidak bisa 

meninggalkan begitu saja apa yang diwariskan oleh Ayahmu. 

Bagaimanapun .buruk dan tidak bernilainya warisan itu." 

Jawab Sukantili. 

"Ibu, saya pernah bercerita bahwa petunjuk Para Dewa 

telah memberitahu, saya tidak akan dapat keluar dari tempat 

ini untuk selama-lamanya kecuali atas perkenan Mereka. 

Selain itu saya juga menerima petunjuk bahwa kelak saya 

akan kawin dan memiliki anak yang akan menjadi seorang 

kesatria dan berbakti pada Kerajaan Mataram. Kalau Ibu 

berniat pergi, siapakah yang akan menjadi teman saya di 

tempat ini. Ibu, sebenarnya saya juga pernah berpikir seperti 

Ibu. Ingin pergi dari sini. Namun pada akhirnya saya merasa 

pasrah. Saya menyadari seperti apa yang dikatakan Roh 

Agung. Ini adalah takdir kehidupan diri saya. Apakah manusia 

seperti kita, seperti saya ini bisa berkehendak melawan takdir 

Yang Maha Kuasa? Saya percaya Yang Maha Kuasa dan 

Maha Mengetahui serta Maha Pengasih telah mengatur 

sesuatu yang terbaik untuk diri saya." Ananthawuri pegang 

lengan ibunya. "Ibu, percayalah Para Dewa selama ini telah 

melindungi kita berdua." 

Sukantili anggukan kepala, terdiam beberapa ketika lalu 

menarik nafas panjang. 

"Ananthawuri, tadi kau berkata merasa tidak sabar 

menunggu kedatangan Ibu..." 

"Betul Ibu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan pada 

Ibu."


"Hemmm....lbu akan senang sekali mendengarkan. Cerita 

tentang apa anakku?" 

"Tadi malam saya bermimpi." 

"Mimpi bunga hiasan tidur" Kata Sukantili pula sambil 

tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya. 

"Tapi mimpi saya ini aneh, Bu. Dalam mimpi saya tengah 

berbaring tidur. Lalu saya mencium bau busuk luar biasa. 

Membuat kepala pusing dan perut mual mau muntah.Tak lama 

kemudian bau busuk itu hilang. Berganti dengan bau wangi 

harum semerbak yang tidak pernah saya cium sebelumnya. 

Kemudian dari langit saya melihat cahaya putih.Turun ke 

tempat saya berbaring. Di balik cahaya putih itu saya melihat 

samar wajah dan sosok pemuda. Saya bertanya siapa 

gerangan dia adanya. Tak ada jawaban. Kemudian cahaya 

putih melayang mendekati diri saya, menutupi sekujur tubuh 

saya. Saat itu saya merasa ada orang memeluk saya. Ibu, 

saya merasa satu kehangatan dan kemesraan luar biasa yang 

tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada perasaan 

bergairah pada bagian-bagian tertentu tubuh saya. Saya 

tertidur lelap dalam pelukan orang itu. Ketika saya bangun 

dalam mimpi cahaya putih telah lenyap. Dekapan mesra 

hanya menyisakan kehangatan. Lalu saya terbangun dari 

tidur. Saya merenung. Sampai menjelang pagi saya tidak bisa 

menduga apa arti mimpi itu. Mungkin Ibu tahu kira-kira makna 

mimpi saya?" 

Setelah berdiam diri berpikir-pikir beberapa lamanya 

akhirnya Sukantili gelengkan kepala. 

"Sulit Ibu menduga. Sebaiknya kau berdoa memohon 

petunjuk serta tetap meminta perlindungan dari Yang Maha 

Kuasa." 

Keesokan malamnya, mimpi yang sama kembali dialami 

Ananthawuri. Hal itu terjadi sampai tujuh malam berturut-turut. 

Setiap kali bermimpi paginya gadis ini langsung menemui 

sang ibu dan menceritakan mimpinya.


"Ibu," kata Ananthawuri pada hari ke tujuh. "Berulang kali 

mimpi itu datang, berulang kali saya dipeluk mesra penuh 

kasih sayang, dan berulang kali saya melihat wajah pemuda 

walaupun tidak jelas, lama kelamaan ada rasa suka serta 

sayang saya terhadap pemuda itu. Ibu, apakah saya telah 

jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata?" 

Sukantili tertawa. 

"Anakku, kau masih muda belia. Belum tahu apa-apa 

tentang cinta. Biar Ibu beritahukan. Cinta itu adalah sesuatu 

yang nyata. Jika kita mencintai seseorang maka orang itu 

adalah juga sesuatu yang nyata." 

Ananthawuri terdiam sesaat. Lalu kembali bertanya. 

"Ibu, menurutmu apakah pemuda di dalam mimpi itu bisa 

menjadi kenyataan?" 

"Apa maksudmu anakku?" tanya Sukantili. 

"Maksud saya, apakah saya bisa bertemu dengan pemuda 

itu?" 

Sukantili memeluk anak gadisnya. 

"Ibu tidak tahu anakku. Kalau Yang Maha Kuasa 

berkehendak, kalau Para Dewa melimpahkan rakhmat segala 

sesuatunya bisa terjadi..." 

Hari ke delapan dan seterusnya mimpi itu tidak pernah 

datang lagi. Ananthawuri merasa sedih. Dia ingin pemuda 

dalam cahaya putih itu datang kembali mengunjungi dirinya 

walaupun dalam mimpi.

Memeluknya penuh mesra dan kasih sayang. Namun 

sampai hari ke dua puluh mimpi yang ditunggu tak kunjung 

datang.

Di atas pembaringan Ananthawuri berucap. 

"Pemuda dalam cahaya. Jika kau memang kekasih yang 

telah dipilihkan Para Dewa untukku, datanglah. Aku rindu 

pelukan hangatmu. Aku rindu belaian mesramu. Aku tahu kau



mengasihi diriku. Dan aku tahu betapa aku mencintaimu walau 

kau datang tidak berupa dan tidak pula bernama." 

Namun sampai pagi tiba kekasih sang mimpi tak kunjung 

datang. Kekasih gaib yang diharapkan tidak muncul. 

Hari ke dua puluh tujuh ketika anak perawan dari Desa 

Sorogedug ini menemui ibunya sang ibu berkata. 

"Ananthawuri, apakah hari ini kau sehat-sehat saja 

anakku?" .

"Saya sehat-sehat, Ibu." 

"Ibu melihat wajahmu agak pucat." 

"Mungkin saya kurang tidur.Tapi terus terang ada sesuatu 

yang hendak saya sampaikan, Ibu." 

"Kau bermimpi lagi anakku?" 

Ananthawuri menggeleng. 

"Ibu mohon maafmu. Saya ingin mengatakan sesuatu 

yang sangat pribadi. Saya merasa mual sejak beberapa hari 

ini dan sulit makan. Saya... saya terlambat haid. Seharusnya 

enam hari lalu..." 

"Anakku, hal itu bisa saja terjadi karena kau terlalu banyak 

pikiran." Kata Sukantili pula walau sang Ibu ada rasa gelisah 

membayangi perasaannya. 

"Saya berharap begitu Ibu.Tapi saya merasa ada kelainan 

pada tubuh saya." 

"Kelainan bagaimana anakku?" 

"Dada saya Bu.Tadi pagi saya memperhatikan lalu 

meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari 

biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu jangan-jangan 

saya..." 

Sukantili memeluk anaknya.


"Jangan ucapkan itu anakku. Kita belum tahu apa yang 

sebenarnya terjadi pad dirimu Tunggu dalam dua tiga hari 

ini..." 

Seminggu berlalu Ananthawuri belum juga mendapatkan 

haid. Beberapa minggu kemudian anak perawan ini melihat 

perutnya membesar. Ketika hal itu diceritakan pada Sukantili 

sang ibu tidak bisa menduga lain. Anak gadisnya benar-benar 

telah mengandung. 

"Anakku," kata sang ibu sambil memeluk Ananthawuri 

erat-erat. "Kalau ini bukan kehendak dan kuasa Yang Maha 

Kuasa, bagaimana mungkin bisa terjadi? Kau belum menikah. 

Kau belum punya suami..." 

"Ibu, pemuda dalam cahaya putih yang datang tujuh 

malam berturut-turut dalam mimpi saya itu. Apakah mungkin 

dia yang menebar benih kehidupan ke dalam diri saya. Ibu 

tahu, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun." 

Sukantili tidak menjawab melainkan kembali memeluk 

anak gadisnya sementara air mata perempuan ini tampak 

berlinang-linang. 

Pada saat itulah tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai 

desiran seolah ada seseorang berjubah panjang melewati 

Sukantili dan Ananthawuri. Lalu terdengar suara bergema. 

Dua insan yang tengah bersatu hati 

Di dunia ini tidak ada yang abadi 

Namun kehendakYang Maha Kuasa adalah pasti 

Ananthawuri, takdirYang Maha Kuasa telah terjadi 

Kau hamil tapi dirimu tetap suci 

Setelah sembilan bulan sepuluh hari 

Kau akan melahirkan 

Namun kau akan tetap sebagai seorang perawan 

Karena keturunanmu sudah ditetapkan


Menjadi Kesatria Bhumi Mataram 

Ananthawuri lepaskan pelukan dari tubuh ibunya. Dia 

memandang berkeliling. Dia mengenali suara itu. 

"Roh Agung? Kakek Dhana Padmasutra?" 

Angin kembali berhembus. Suara berdesir terdengar lagi


14. KUCING BETINA BERBULU MERAH

MALAM Jum'at Kliwon. Empat bulan setengah 

Ananthawuri kedatangan suara Roh Agung, memberi tahu 

tentang kehamilannya. Malam itu kegelapan pekat sekali. 

Langit hitam dan sesekali ada tiupan angin yang membawa 

percikan hujan rintik-rintik dari arah timur. Sumur api seperti 

tidur karena sejak sekian lama lidah api tidak menyembul 

keluar. 

Dalam kegelapan, dari arah barat sumur api berjalan 

seseorang lelaki kurus tinggi bermuka keriputan berkulit hitam 

legam. Di keningnya ada satu benjolan bulat berwarna merah. 

Di atas kepala dia menjunjung sebuah ketiding bambu tertutup 

rapat. 

Sampai di depan sumur ia tegak diam beberapa lama. 

"Mungkin bukan cerita dusta. Menempuh perjalanan tiga 

puluh hari akhirnya kutemui juga sumur api. Benar adanya 

seperti apa yang tertulis di Gading Bersurat. Tapi keadaan 

sekitar sini gelap sekali. Nafasku mencium ada bekas bangkai 

manusia di sekitar sini! Apakah sumur api ini sudah mencari 

korban sebelum kedatanganku?" 

Orang tinggi hitam ulurkan tangan menjangkau ranting 

besar sebuah pohon. Ranting dipatahkan lalu di ujungnya 

diletakan di atas sumur api. Sebentar saja ujung ranting telah 

terbakar. Dengan menggunakan ranting menyala sebagai 

obor, orang ini menyelidik berkeliling sampai akhirnya dia 

berhenti melangkah dan keluarkan saruan tertahan. 

Di bawah sebatang pohon dia menemukan sesosok tubuh 

penuh belatungan nyaris tinggal tulang belulang, tertutup 

jubah kuning yang sudah hancur. 

"Bangkai manusia tanpa kepala!" Orang tinggi hitam 

berucap sambil meludah berulang kali. Dia memperhatikan 

bagian dada jubah kuning. Ada sesuatu di balik pakaian yang 

membuat jubah menggembung menonjol. Orang ini


pergunakan ujung kaki untuk mengeluarkan benda itu dari 

balik jubah. Begitu benda keluar dan menggelinding ke tanah, 

dia menyumpah-nyumpah.Ternyata buntungan kepala 

manusia yang tinggal tengkorak. Dari bagian mata, telinga, 

mulut dan hidung bersembulan belatung. 

Setelah merasa agak tenang dari rasa kagetnya orang ini 

dekatkan ujung ranting di atas buntungan kepala. 

“Hah! Kepala tinggal tengkorak.Tak mungkin aku kenali! 

Yang jelas ada korban pembunuhan di tempat ini. Lehernya 

ditebas! Mungkin dengan golok atau pedang! Sudah ada 

korban yang berhubungan dengan rahasia dibalik sumur api!" 

Orang tinggi hitam bermuka keriput melangkah mundur. 

Ranting menyala diangkat tinggi-tinggi, diputar berkeliling. 

"Tidak ada mayat lain. Berarti yang tadi baru satu-satunya 

korban.Tapi mana aku tahu kalau sudah ada yang jadi korban 

sebelumnya. Dibuang masuk ke dalam sumur api..." 

Dari balik pakaian hitamnya orang yang keningnya ada 

benjolan merah keluarkan satu benda yang ternyata adalah 

sebuah gading besar. Salah satu bagian gading diterangi 

dengan nyala api di ujung ranting. Pada bagian yang terang itu 

terbaca tulisan berbunyi: Jika ingin tahu lama kehamilan dari 

perawan desa yang telah dipilih Para Dewa menjadi Ibu dari 

bayi yang kelak akan menjadi Kesatria Ma'aram, letakkan 

gading di atas sumur api. Ukur bagian gading yang menjadi 

hitam. Maka akan diketahui lama kehamilan. 

Dengan hati-hati orang berpakaian hitam yang sampai 

saat itu masih menjunjung ketiding bambu di atas kepala 

letakan gading bulat panjang di atas sumur api. Seperti yang 

tadi dibacanya segera saja gading itu menjadi hitam mulai dari 

ujung sampai ke bagian tengah. Gading diangkat dari atas 

sumur api. Orang ini lalu memperhatikan dan menjengkal-

jengkal dengan jari tangan. Setelah menghitung-hitung, 

mulutnya berucap.


"Kurang dari setengah. Berarti usia kehamilan perempuan 

itu baru sekitar empat bulan. Apakah aku harus menunggu di 

tempat ini selama lima bulan lebih?" 

Orang berpakaian hitam tepuk-tepuk ketiding di atas 

kepala. 

"Sahabat-sahabatku, apa kalian mau menunggu sampai 

sekian lama di tengah rimba belantara ini?" Dari dalam 

ketiding bambu terdengar suara mendesis riuh dan panjang. Si 

muka keriput dengan benjolan di kening menyeringai. Ranting 

menyala dicampakkan. Lalu dua tangan menurunkan ketiding

dari atas kepala, diletakan di atas tanah. Seperti tadi ketiding 

ditepuk-tepuk. 

"Sahabat-sahabat. Akupun tidak mau menunggu berlama-

lama sampai lu mutan di tempat ini. Apa yang bisa kita 

kerjakan malam ini harus kita laksanakan. Aku butuh 

pertolongan kalian. Cari perempuan itu di dasar sumur api. 

Paksa dia melarikan diri ke arah jalan rahasia. Aku akan 

menunggu di mulut jalan. Tapi awas, kalian jangan sekali-kali 

menyakiti dirinya. Jangan sampai tubuhnya tersentuh bisa di 

mulut kalian! Para sahabat, bersiaplah. Aku akan membuka 

penutup ketiding. Lalu aku akan memasukan kalian di dalam 

sumur api. Jangan takut. Api tidak akan menciderai apa lagi 

membunuh kalian. Mantera Selicin Lumut Sedingin Air yang 

sudah aku terapkan akan melindungi kalian." 

Begitu selesai bicara orang berpakaian hitam buka 

penutup ketiding. Saat itu juga dari dalam ketiding bambu ini 

menyembul puluhan ekor ular berbisa dari berbagai jenis dan 

warna, mengeluarkan suara mendesis riuh. Ketiding cepat-

cepat diangkat, diletakan di sumur api. Sewaktu puluhan ular 

dalam ketiding siap hendak dimasukan diceburkan ke dalam 

sumur api tiba-tiba dari arah kegelapan di kiri sumur api 

terdengar suara kucing mengeong.

Gerakan orang berpakaian hitam yang hendak 

membalikan ketiding bambu serta merta tertahan. Memandang 

ke arah kiri dia hanya melihat kegelapan.


"Kucing mengeong malam-malam. Di tempat seperti ini. 

Sungguh aneh..." ucap orang berpakaian hitam bermuka 

keriput. Lalu belum habis rasa herannya tiba-tiba terdengar 

suara benda berkerincingan, disusul suara perempuan 

menegur. 

"Giring Laweyan, manusia berjuluk Sang Raja Ulo, 

menyantap ular panggang malam-malam begini memang 

sedap sekali. Jangan lupa membagiku barang seekor." 

Orang berpakaian hitam di dekat sumur api jadi tercekat. 

Dia cepat berpikir. Dimulai dengan suara kucing mengeong. 

Lalu ada suara berkerincingan. Disusul suara perempuan 

menegur. Siapa lagi! Pasti dia! Jangan-jangan dia yang Jadi 

pembunuh mayat berjubah kuning. Belum nahis rasa 

terkejutnya karena si penegur mengenal siapa dirinya, orang

di tepi sumur api melihat diseberang sumur tepat

dihadapannya berdiri seorang perempuan gemuk 

mengenakan kemben merah berdandanan tebal seronok. Di

bahu kanan tengkurap seekor kucing besar berbulu merah. 

Binatang ini kelihatan tenang dan jinak. Di tangan kiri 

perempuan itu ada sebuah cermin kecil. Dia asyik

memandang ke dalam cermin sambil mematik-matik pinggiran 

rambut di samping telinga kanan sambil lidah dijulur 

membasahi bibir. Malam-malam masih mau berdandan, di 

tempat gelap begitu rupa, sungguh gila, pikir lelaki berpakaian 

hitam yang memegang ketiding berisi ular dan tadi dipanggil 

dengan nama Giring Laweyan alias Sang Raja Ulo.Tapi tidak 

gila kalau perempuan itu adalah yang dikenal dengan nama 

Ratu Dhika Gelang Gelang! 

Selesai merapikan dandanan perempuan gemuk masukan 

kaca kecil ke balik kemben lalu bertanya pada lelaki yang 

pegang ketiding berisi ular. 

"Menurutmu apakah dandananku sudah apik dan wajahku 

sudah cantik?" 

Giring Laweyan tidak menjawab. Dia bersikap waspada 

karena tahu betul perempuan di hadapannya setiap saat bisa


melakukan perbuatan yang tak terduga seperti menyerang 

dengan tiba-tiba. 

"Giring Laweyan! Malam buta kau datang ke tempat ini. 

Pasti bukan kemauan Para Dewa yang membimbing 

langkahmu! Kau datang membekal Gading Bersurat, 

membawa puluhan makhluk najis. Katakan apa keperluanmu!" 

Sehabis bertanya perempuan gemuk elus-elus kucing merah 

yang tengkurap di bahu kanannya. 

"Perempuan di tepi sumur, orang-orang menyebutmu dan 

kau selalu memperkenalkan diri sebagai Ratu Dhika Gelang 

Gelang.Tapi aku lebih suka menyebutmu Ratu Meong! Nama 

itu cukup pantas bagimu, bukan? Ha...ha...ha!" Lelaki bernama 

Giring Laweyan keluarkan ucapan mengejek lalu tertawa 

gelak-gelak. 

"Siapa saja yang mau memberi nama dan julukan padaku 

akan aku terima dengan senang hati. Aku berterima kasih 

padamu yang telah memberiku nama Ratu Meong. Hai, muka 

keriput! Kau belum menjawab apa keperluanmu datang ke 

tempat ini!" 

"Kita membekal benda yang sama yaitu Gading Bersurat. 

Berarti kita punya maksud yang sama. Mengapa kau masih 

bertanya?!" 

Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa. 

"Bekal boleh sama tapi isi perut bisa lain. Apa lagi pikiran 

di dalam otak dan perasaan di dalam hati. Mana bisa sama!" 

"Jika begitu ucapanmu maka kau tidak keberatan berterus 

terang. Aku bermaksud menculik anak perawan di dalam 

sumur api. Mengapa aku menculik aku rasa tidak perlu 

menerangkan karena kau pasti sudah tahu. Apakah kau 

merasa keberatan atau ada yang mengganjal dalam hatimu?"

"Ternyata kau orang jujur. Mau berterus terang meskipun 

melakukan pekerjaan salah. Semoga Para Dewa akan 

mengurangi sedikit dosa-dosamu. Hik...hik! Giring Laweyan, 

sebelumnya kau melihat ada mayat berjubah kuning yang


sudah jadi jerangkong di sekitar sini. Kau tahu siapa manusia 

malang itu?" 

"Silakan kau menerangkan!" jawab Giring Laweyan. 

"Namanya Setunggul Bumi. Sahabat dari Setunggul 

Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau!" . 

Meski terkejut namun Giring Laweyan berpura-pura tidak 

acuh. 

"Kau tahu kenapa dia menemui kematian dan siapa yang 

membunuhnya?" 

"Aku tidak perduli!" 

Ratu Dhika tersenyum. 

"Jangan begitu Giring Laweyan. Jangan berpura-pura 

tidak perduli. Aku mencium dari jalan nafasmu. Kau mulai 

merasa jerih. Bukankah begitu?" 

"Akan aku beri tahu. Akan aku beri tahu!" jawab Ratu 

Dhika Gelang Gelang pula. "Aku yang membunuh manusia 

malang itu. Kenapa? Karena dia membekal maksud sama 

denganmu. Hendak menculik anak perawan yang di dasar 

sumur api. Berarti...." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak 

meneruskan ucapan, dia menatap ke arah Giring Laweyan 

yang wajahnya diterangi cahaya api dari dasar sumur. 

"Berarti kau juga hendak membunuhku!" Justru Giring 

Laweyan yang meneruskan ucapan Ratu Dhika Gelang 

Gelang. 

"Aku tidak berkata begitu. Tetapi umur manusia siapa 

yang tahu," jawab Ratu Dhika. 

"Ratu Meong, apakah kau masih ingin makan ular 

panggang?" Tiba-tiba Giring Laweyan bertanya. 

"Jika kau memang mau memberi mengapa aku tidak mau 

menerima?" jawab Ratu Dhika yang dipanggil Ratu Meong 

oleh Giring Laweyan.


"Aku bukan manusia pelit. Kau boleh makan ular 

panggang sekenyang perutmu!"

Setelah berucap Giring Laweyan lemparkan ketiding berisi 

puluhan ular berbisa ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. 

Sang Ratu terpekik lalu meniup. Empat gelang 

berkerincingan. Enam ekor ular berbisa mental dengan tubuh 

hancur. Kucing merah menggerung keras dan melompat ke 

arah lelaki berkulit hitam. Tak lama kemudian terdengar dua 

jeritan keras. 

Jeritan pertama keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang 

Gelang yang bukan takut diserang ular tapi lebih merasa jijik. 

Patukan puluhan binatang itu memang melukainya berupa 

titik-titik kecil tapi bisa ular tidak dapat membunuhnya karena 

dia memiliki ilmu kebal terhadap segala macam racun 

termasuk racun ular. Ilmu kebal ini bernama Kebal Lemah 

Kebal Banyu. Selama ada bagian tubuhnya menyentuh tanah 

atau air maka tidak ada racun yang bisa mencekal dirinya 

termasuk racun ular berbisa. Satu persatu binatang yang 

melilit tubuhnya diremas hingga hancur. 

Jeritan kedua keluar dari mulut Giring Laweyan alias si 

Raja Ulo. Kucing merah peliharaan Ratu Dhika Gelang Gelang 

mengeong keras begitu ketiding berisi ular dilemparkan. 

Secepat kilat binatang ini melompat dari bahu kanan Ratu 

Dhika. Dua kaki belakang membenam di pangkal leher, dua 

kaki depan mencakar ganas ke wajah. Dalam waktu sekejapan 

saja sekujur muka Giring Laweyan tercabik-cabik. Darah 

mengucur membasahi muka dan pakaian. Sungguh 

mengerikan. Sambil berteriak kesakitan dan lari kian kemari si 

Raja Ulo ini coba menangkap dan melemparkan kucing merah 

yang masih mencakar dan kini malah menggigit lehernya. 

Dalam keadaan sakit yang amat sangat, ditambah kedua 

matanya telah tertutup darah, Giring Laweyan tidak melihat 

lagi kemana arah larinya. Tubuh yang tinggi kurus menabrak 

pinggiran batu sumur api lalu terjungkal dan tak ampun lagi 

tercebur masuk ke dalamnya! Dari dasar sumur, lidah api 

menderu ke atas seolah menyambut kejatuhan tubuh Giring


Laweyan. Sesaat terdengar suara jeritan lelaki itu menggema 

di dalam sumur lalu lenyap. 

Kucing merah melompat kembali ke atas bahu kanan Ratu 

Dhika Gelang Gelang. Lalu menjilati kuku kakinya yang 

bernoda darah. 

Di dalam kegelapan, di balik sebatang pohon Mahoni, 

seorang perempuan tua yang di atas kepalanya menangkring 

seekor bulus atau kura-kura besar hijau bermata merah 

menyaksikan semua kejadian di tempat itu dengan hati 

tercekat. Dalam hati dia membatin. 

"Dari pada celaka lebih baik aku menunda niat. Mungkin 

aku harus menunggu sampai anak perawan itu melahirkan 

lima bulan dimuka sambil mencari akal. Kalau aku bersikeras 

meneruskan rencana, sama saja dengan mengantar nyawa. 

Para Dewa jelas tidak akan berpihak padaku. Ratu Meong 

bukan tandinganku. Apa lagi saat ini dia membawa serta 

kucing betina merah itu. Mempergunakan kekerasan lebih 

banyak celakanya bagi diriku. Aku harus mencari akal. Selain 

itu aku harus tahu apa keperluan dan sebagai apa perempuan 

satu ini berada di tempat ini. Menjaga sumur api? Mungkin 

dengan cara memperdayai dan memperalat pemuda yang 

dicintainya itu aku bisa menyelinap ke dasar sumur api melalui 

jalan rahasia." 

Tidak menunggu lebih lama perempuan tua ini segera 

tinggalkan tempat itu. Langkahnya tampak lamban sekali 

seperti seekor kura-kura. Namun sebentar saja sosoknya 

sudah lenyap dari kawasan sumur api. 


                               TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar