..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 27 Januari 2025

PENDEKAR PERISAI NAGA EPISODE HANTU LERENG LAWU

Hantu Lereng Lawu


HANTU LERENG LAWU

Oleh Werda Kosasih

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Gambar sampul oleh Tony G. 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit

Werda Kosasih

Serial Pendekar Perisai Naga

dalam episode:

Hantu Lereng Lawu 


1

Bulan purnama mengintip di balik mendung. 

Tak seperti biasanya jika bulan purnama tiba, kali ini 

Desa Sanareja tak ubahnya sebuah kuburan tua. 

Sunyi dan senyap. Sejak matahari tenggelam, pendu-

duk desa itu pantang keluar dari rumah mereka. Me-

reka berusaha sebisa mungkin agar cepat tertidur. 

Akan tetapi, bagaimana mungkin bisa tidur jika hati 

dan pikiran mereka dicekam ketakutan?

Ki Linggar, demang di desa itu, melangkah 

mondar-mandir di pendopo rumahnya. Sesekali saja le-

laki berusia enam puluh tahun itu mengintip ke hala-

man sambil menajamkan pendengarannya.

’’Kenapa tak kau biarkan saja Perdopo dan Sa-

radan berjaga-jaga di sini, Ki?” kata Nyai Demang me-

mecah keheningan. Sudah beberapa lama perempuan 

itu duduk meringkuk di sudut pendopo sambil me-

mandangi gerak-gerik suaminya.

’’Untuk apa? Mengantarkan nyawa?” jawab Ki 

Linggar tanpa mengalihkan pandang matanya yang 

menghunjam ke lantai.

’’Lalu, apa kau bisa menghadapi orang-orang 

itu seorang diri?”

”Aku tidak akan menghadapi mereka dengan 

kekerasan! Kekerasan hanya akan mengundang cela-

ka!”

”Apa yang akan kau perbuat?”

"Ya, apa yang harus aku perbuat? Ki Linggar 

alias Ki Demang Sanareja menanyai dirinya sendiri 

Mungkinkah aku mampu menghadapi kemarahan 

Hantu Lereng Lawu hanya dengan permintaan maaf 

ku? Tetapi, untuk melawannya seorang diri, apa mod


alku? Jangan lagi aku melawannya seorang diri, se-

dangkan seandainya seisi desa ini aku kerahkan untuk 

mengeroyoknya pun belum tentu bisa menang. Dan, 

sudah pasti Hantu Lereng Lawu datang bersama anak 

buahnya!

Ki Demang Sanareja menghela napas berat 

sambil menengadahkan wajahnya ke langit langit pen-

dopo. Namun, bukan lagi anyaman bambu yang terli-

hat di sana, melainkan gambaran yang mengerikan. 

Tergambar di langit-langit pendopo itu sejumlah pen-

duduk desa yang terkapar bermandikan darah!

Ya, itulah yang akan terjadi jika mereka ku ke-

rahkan untuk melawan Hantu Lereng Lawu beserta 

anak buahnya, pikir lelaki tua itu seraya kembali me-

langkahkan kakinya.

’’Tidak seharusnya kau menanggung perkara ini 

seorang diri,” kata Nyai Demang meneruskan.

’’Sebaiknya Nyai tidur saja. Biarlah aku sendiri 

yang menghadapi mereka.”

”Aku tidak akan tidur jika aku belum melihat 

kau selamat!” sahut Nyai Demang.

’’Nyai, aku memang mungkin tidak akan sela-

mat. Tetapi, Nyai harus tetap selamat demi anak kita.”

”Apa kau pikir mereka akan puas dengan mem-

bunuh kau seorang?”

Ki Demang Sanareja menarik napas. Serta-

merta terngiang kembali di telinganya ancaman Hantu 

Lereng Lawu tujuh hari yang lalu, ’’Kalau memang da-

lam tujuh hari ini kau belum menyerahkan orang yang 

membunuh anak buahku, kau sekeluarga yang akan 

ku basmi, Demang Goblok!”

”Para peronda itu seharusnya ikut bertanggung 

jawab. Siapa tahu sebenarnya mereka yang membu-

nuh...!”


’’Mereka tidak mungkin bisa mengalahkan anak 

buah Hantu Lereng Lawu! Apalagi sampai membunuh!” 

tukas Ki Demang Sanareja.

’Tapi, apa mungkin ada orang dari desa lain 

yang membuang mayat itu ke desa kita?”

’’Mungkin saja! Karena orang itu ketakutan jika 

harus berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu?”

’’Pengecut!”

Ki Demang Sanareja tak lagi menyahuti ucapan 

istrinya. Dan, seperti yang dipikirkan pada malam-

malam sebelumnya, ia kembali memeras otak, menca-

ri-cari siapa kira-kira orang yang telah melancarkan 

fitnah itu? Siapa pengecut itu? Bagaimana mungkin ia 

berani mencurigai seseorang jika nyatanya ia merasa 

tidak pernah menyakiti hati seseorang, apalagi memu-

suhi.

Suara burung emprit gantil semayup terbawa 

angin. Bulu kuduk suami istri itu merinding. Sudah 

menjadi kepercayaan penduduk di desa itu bahwa jika 

terdengar kicau burung emprit gantil maka kematian 

akan mewarnai malam! Dan, jantung Ki Demang Sana-

reja hampir copot ketika tiba tiba terdengar suara ke-

tukan di pintu.

’’Siapa?” sapa Ki Demang Sanareja.

’’Saya, Ki. Saradan!” jawab Saradan agak berbi-

sik.

Cepat-cepat Ki Demang Sanareja membuka pin-

tu.

’’Bukankah sudah kubilang agar kau tidak ke-

luar rumah?” bentak Ki Demang Sanareja begitu ber-

hadapan dengan Saradan.

’’Saya dipaksa Perdopo, Ki. Saya disuruh me-

nemaninya mencegat mereka di mulut desa....”

’’Cari penyakit!” tukas Ki Demang Sanareja.


’’Sekarang juga suruh Perdopo pulang!”

’’Sekarang Perdopo sedang berkelahi melawan 

mereka, Ki.”

”Apa?” Mata Ki Demang Sanareja membelalak. 

Sungguh, ia tidak mengira Perdopo akan senekat itu. 

Memang Perdopo memiliki ilmu silat yang cukup lu-

mayan. Tetapi, apalah artinya jika harus berhadapan 

dengan Hantu Lereng Lawu dan anak buahnya?

’’Perdopo....”

’’Pasti mati!” sergah Ki Demang Sanareja.

’’Sekarang, pulanglah jika kau ingin selamat. 

Mudah-mudahan saja mereka cukup puas telah mem-

bunuh Perdopo.”

’’Tapi, bagaimana mungkin kami tega melihat Ki 

Demang menjadi tumbal desa ini?”

’’Kalau aku lari dari desa ini, seisi kampung ini 

akan dihabisi! Mengerti? Kalau memang kalian tidak 

tega melihat aku dan keluargaku mati, seharusnya ka-

lian tidak bawa kemari mayat itu! Kenapa baru seka-

rang kau pikirkan tentang keselamatanku sekeluarga?”

Saradan menundukkan kepala sambil mere-

mas-remas sarung yang dikalungkan di lehernya.

’’Kalau memang kau ingin membantuku, pergi-

lah ke dalam. Bantu Nyai Demang membawa Joko lari 

dari desa ini. Tak usahlah kau pikirkan keselamatan-

ku. Ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai de-

mang di desa ini.”

”Tak akan ada yang bisa lari dari desa ini, Ki 

Demang!” Tiba-tiba saja salah seorang anak buah Han-

tu Lereng Lawu telah berdiri di reg kademangan itu.

’’Kebo Dungkul!” seru Ki Demang Sanareja da-

lam hati. la paham betul siapa yang sedang dihada-

pinya. Inilah orang kedua dalam kelompok orang-orang 

sesat yang dipimpin Hantu Lereng Lawu! Dan, sebelum


Ki Demang Sanareja mengucapkan sepatah kata pun 

untuk menyambut kedatangan Kebo Dungkul, dua 

orang anak buah Hantu Lereng Lawu yang lain muncul 

di belakang Kebo Dungkul. Salah seorang dari mereka 

menyeret mayat Perdopo seperti halnya menyeret gede-

bok pisang.

Kebo Dungkul tertawa. Lalu katanya, ’’Sebe-

narnya kami datang bukan untuk membunuh orang-

orangmu, Ki Demang. Tetapi, agaknya kau telah per-

siapkan cecurut ini untuk menyambut kami di mulut 

desa. Untuk itu, sebagai imbalan atas keberanian ka-

lian melawan kami, terpaksa kami harus membasmi 

seisi desa ini!” Berkata begini Kebo Dungkul lantas me-

raba senjata yang melingkar di lehernya, seuntai rantai 

yang pada salah satu ujungnya terkait sebuah mata 

kapak selebar telapak kaki orang dewasa.

Kedua sisi mata kapak berkilat tertimpa cahaya 

obor yang baru saja diselipkan Saradan di tiang regol. 

Karena cahaya obor ini pula maka Ki Demang Sanareja 

mengenali wajah Kebo Dungkul dan kedua kaki-

tangannya. Wajah wajah yang tidak bersahabat. 

Meskipun sudah sering mendengar cerita tentang se-

pak terjang Kebo Dungkul, baru kali ini Ki Demang 

Sanareja melihat dengan mata kepala sendiri wajah 

itu. Mata yang merem sebelah itu dinaungi alis yang 

tebal. Hidung yang menjulur di sela-sela alis mata itu 

lebih mirip gagang golok. Bibirnya yang tebal tak bisa 

terkatup jika tidak dipaksakan, sebab terganjal dua 

buah gigi yang menjorok keluar.

’’Tunggu apa lagi kalian?” bentak Kebo Dungkul 

kepada dua lelaki yang berdiri di kanan-kirinya. "Bu-

nuh seisi rumah ini sebelum mereka coba-coba melari-

kan diri!”

’’Sabar, Kisanak,” kata Ki Demang Sanareja


sembari menghadang langkah kedua anak buah Hantu 

Lereng Lawu itu.

”Ada apa lagi, Ki Demang?” tanya Kebo Dung-

kul seraya melangkah maju.

’’Kalau memang kalian belum puas membunuh 

Perdopo, bunuhlah aku. Tetapi, jangan ganggu anak 

dan istriku.’’

’’Terlalu enak buatmu, Ki Demang! Ayo, tunggu 

apa lagi?” Kebo Dungkul melotot ke arah dua kaki-

tangannya. Dan, karena Ki Demang Sanareja tetap ti-

dak mau minggir, seperti dikomando kedua lelaki itu 

bersamaan mengirimkan tendangan ke arah dada lela-

ki tua itu.

”Augh!” Ki Demang Sanareja terlempar dan ja-

tuh terjerembab.

”Ki Demang!” Saradan berlari hendak meno-

long, tetapi secepat kilat Kebo Dungkul mengayunkan 

rantai berkapak ke arah lehernya.

’’Laknat!” kutuk Ki Demang Sanareja setelah 

melihat Saradan berkelojotan dengan leher hampir pu-

tus. Darah menyembur dari leher lelaki itu.

”Kau pun akan bernasib sama dengannya sete-

lah nanti kau dengarkan jerit kematian anak dan is-

trimu, Ki Demang,” ujar Kebo Dungkul sambil menga-

lungkan kembali rantai berkapaknya ke leher.

Sementara itu, Nyai Demang menjerit-jerit 

sambil mengejar lelaki yang membopong Joko Sung-

sang ke halaman. Kebo Dungkul tertawa-tawa me-

nyaksikan pemandangan yang menurutnya menggeli-

kan itu.

’’Binatang!” Dengan sisa tenaga yang dimili-

kinya, Ki Demang menerjang Kebo Dungkul. Akan te-

tapi, apalah arti serangan lelaki setengah tua yang ti-

dak mengenal ilmu silat itu bagi Kebo Dungkul! Hanya


dengan menggerakkan leher sedikit, terbanglah mata 

kapak yang menggantung di leher Kebo Dungkul.

”Crak!”

Mata kapak itu melabrak pelipis Ki Demang 

Sanareja. Melihat suaminya tersungkur dengan pelipis 

terbelah, Nyai Demang menjerit dan jatuh pingsan.

’’Bunuh mereka!” perintah Kebo Dungkul kepa-

da kedua kaki-tangannya sebelum kemudian menghi-

lang di kegelapan malam.

Joko Sungsang meronta-ronta dalam dekapan 

lelaki berbibir sumbing itu sambil memanggil-manggil 

ayah-ibunya. Kedua tangannya memukuli wajah lelaki 

itu.

”Anak setan!” bentak lelaki itu seraya men-

gangkat tinggi-tinggi bocah berumur sepuluh tahun 

itu. Ketika tubuh bocah itu hendak dihempaskan ke 

tanah, tiba-tiba terdengar ledakan cambuk, dan lelaki 

berbibir sumbing itu terpelanting.

Untuk sejenak teman si Sumbing terpana me-

mandangi seorang kakek-kakek berpakaian serba pu-

tih yang telah berdiri di samping tubuh Nyai Demang 

sambil membopong Joko Sungsang.

”Wiku Jaladri...?” desis lelaki itu sambil me-

langkah mundur.

Namun, sewaktu ia hendak membalik langkah 

dan kabur, sekali lagi cambuk di tangan Wiku Jaladri 

meledak. Pedang yang tadi siap ditebaskan ke leher 

Nyai Demang itu, kini menembus leher tuannya.

*

* *

”Joko.... Ke mana, anakku? Ke mana Joko?” 

rintih Nyai Demang begitu siuman.


Dari sekian banyak orang yang mengerumu-

ninya, tak seorang pun bisa memberikan jawaban. 

Dan, mereka memang tidak tahu di mana Joko Sung-

sang. Masih hidupkah atau sudah matikah? Sewaktu 

mereka beramai-ramai keluar dari rumah masing-

masing, karena mendengar suara kentongan, mereka 

tak melihat seorang pun berkelebat di halaman kade-

mangan. Bahkan semula mereka mengira Nyai De-

mang pun sudah tak bernapas lagi.

’’Kenapa kalian semua diam saja?” bentak Nyai 

Demang marah.

’’Kami... kami tidak tahu di mana Den Joko, 

Nyai,” jawab salah seorang penduduk.

’’Kalian memang hanya tahu enaknya saja! Ka-

lian tidak mau tahu bagaimana harus menghadapi 

orang-orang jahat itu! Kalian biarkan suamiku yang 

sudah tua bangka itu menghadapi mereka seorang di-

ri!” Dengan langkah terhuyung, Nyai Demang mende-

kati tubuh suaminya yang terbujur kaku. Nyai Demang 

menekap mulutnya begitu melihat pelipis Ki Demang 

yang menganga. Kemudian ia ingat bagaimana kapak 

Kebo Dungkul terayun dan melabrak pelipis itu.

”Nyai..„”

”Diam kau! Tak sudi aku mendengarkan oce-

hanmu!” sergah Nyai Demang sebelum lelaki yang ber-

diri di belakangnya menyelesaikan ucapannya.

”Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Nyai 

Demang. ”

’’Siapa? Pembunuh itu? Masih kurang puas su-

dah membunuh suamiku dan menculik anakku?”

”Dia bukan pembunuh itu. Nyai. Dia seorang 

kakek-kakek. Kami semua memang belum pernah me-

lihatnya. ”

Kerumunan penduduk desa itu tersibak. Seper


ti ada tenaga gaib yang mendorong mereka untuk me-

nyingkir. Kemudian seorang kakek-kakek berusia tidak 

kurang dari delapan puluh tahun berjalan mendekati 

Nyai Demang.

Seperti terkena sihir, tak seorang pun mampu 

membuka mulut. Bahkan Nyai Demang sendiri pun 

merasa tenggorokannya tersumbat sesuatu. Mata pe-

rempuan itu terbelalak memandangi orang asing yang 

lebih mirip mayat hidup itu. Betapa tidak! Lelaki tua 

itu berpakaian serba putih. Sekujur rambut yang 

nampak pun seputih kapas. Dari alis, kumis, jenggot, 

dan rambut di kepalanya putih mengkilap. Rambut 

gondrong itu dibiarkan tergerai digerak-gerakkan an-

gin.

’’Kakek ini siapa?” tanya Nyai Demang yang 

hanya berhenti di tenggorokan. Akan tetapi, lelaki tua 

serba putih itu seperti mendengar apa yang terungkap 

di hati Nyai Demang.

’’Nyai Demang tidak perlu tahu siapa saya. Te-

tapi, sayalah yang membawa anak Nyai Demang. Ini 

saya lakukan demi kebaikan, demi keselamatan anak 

itu. Percayalah, anak Nyai akan aman berada di pade-

pokan saya. Suatu ketika nanti, Nyai akan bisa berte-

mu dengannya. Hanya saja, untuk sementara waktu 

ini sebaiknya Nyai jangan menemuinya. Malahan saya 

anjurkan agar Nyai mengungsi dari desa ini.” 

Tanpa memberikan kesempatan bagi penden-

garnya untuk bertanya, lelaki tua yang berpakaian 

serba putih itu melesat. Jubah putih yang dikenakan-

nya berkepak bagaikan sayap bangau raksasa.

”Dia bisa terbang!” bisik Nyai Demang kepada 

dirinya sendiri. Dewakah dia? Atau jin? Tetapi, tidak 

mungkin dia itu setan maupun iblis. Dia tidak jahat.

Sepeninggal tamu aneh itu, mereka ramai


membicarakan lelaki tua yang bisa terbang itu. Mulut 

mereka yang tadi terkunci oleh wibawa lelaki serba pu-

tih itu baru bisa terbuka setelah mata mereka tak me-

lihat lagi sosok berwarna putih itu.

*

* *

2

Siapa mengira bahwa di kedalaman jurang yang 

semestinya hanya menghidupi binatang berbisa Itu 

tinggal dua sosok manusia! Satu orang berusia tak ku-

rang dari delapan puluh tahun, dan satu lagi seorang 

bocah yang paling banyak berusia sepuluh tahun. Me-

reka berdua tak lain dan tak bukan adalah Wiku Jala-

dri dan Joko Sungsang. 

Udara gunung yang begitu dingin, binatang 

berbisa yang melata-lata setiap saat, atau kepekatan 

malam tak mereka hiraukan. Belum lagi mengingat 

bahwa di jurang itu tak akan mereka jumpai makanan 

yang semestinya dimakan manusia. Mereka berdua 

hanya mengandalkan kebiasaan. Kalau memang sudah 

terbiasa dengan sesuatu, maka sesuatu itulah yang 

bakal menghidupi makhluk tersebut. Begitulah nasihat 

yang ditanamkan oleh Wiku Jaladri kepada Joko 

Sungsang.

”Buah-buahan, dedaunan, dan daging ular 

yang ada di sekitar kita inilah yang akan menghidupi 

kita,” kata Wiku Jaladri menambahkan.

Sehari-dua hari Joko Sungsang memang tidak 

mau menyentuh santapan yang terhidang di depannya. 

Sebagai anak demang, ia sudah terbiasa makan enak.


Tetapi, di jurang ini, ia diharuskan makan buah yang 

tidak manis dan tidak pernah dikenalnya. Ada juga 

daging, tetapi bukan daging kambing atau sapi.

”Di sini tidak mungkin kita bertemu dengan 

kambing atau sapi. Di sini hanya ada ular,” kata Wiku 

Jaladri sebab tahu apa yang sedang dipikirkan Joko 

Sungsang.

Udara dingin membuat perut bocah berusia se-

puluh tahun itu semakin melilit-lilit. Sementara itu, 

tenaganya sudah jauh menurun. Ia hanya bisa duduk 

bersandar di dinding gua.

”Aku membawamu ke sini agar kamu tetap hi-

dup, Joko. Tetapi, kalau kamu tidak mau mengisi pe-

rutmu, bagaimana bisa hidup?”

’’Saya mau pulang ke kademangan!” sahut Joko 

Sungsang.

Di sana tidak ada siapa-siapa Kamu melihat 

sendiri bagaimana orang-orang jahat itu membunuh 

ayah dan ibumu. Kamu mau hidup sendirian di desa 

itu? Orang-orang di desa itu sudah mengungsi semua-

nya ke desa-desa lain. Dan lagi, apa kamu bisa naik ke 

atas sana? Jurang ini jauh lebih dalam dari sumur di 

kademangan. Bagaimana kamu bisa pulang?”

’’Tapi, kenapa Kiai bisa naik-turun?”

Wiku Jaladri tertawa terkekeh-kekeh menden-

gar kepolosan bocah itu.

’’Nanti aku tunjukkan bagaimana dan kenapa 

aku bisa naik-turun jurang ini. Makanlah dulu biar 

kamu bisa melihat aku terbang!”

’’Terbang? Kiai bisa terbang? Terbang seperti 

burung?”

”Ya. Terbang seperti burung. Kamu juga bisa 

kalau kamu mau aku ajari. Mau?”

Joko Sungsang mengangguk. Tiba-tiba saja


muncul kegembiraan di hatinya. Enak sekali kalau bi-

sa terbang seperti burung, pikir bocah polos itu.

’’Kalau begitu, kamu harus makan biar bisa 

berlatih terbang. Kalau kamu tidak punya tenaga se-

perti sekarang ini, tidak mungkin kamu bisa berlatih 

terbang. Ayo, makanlah. Memang tidak enak. Tapi, la-

ma-lama nanti kamu bisa merasakan enaknya daging 

ular dan buah-buahan itu.”

Ragu-ragu Joko Sungsang meraih sepotong 

daging ular panggang. Tapi, setelah lidahnya menyen-

tuh daging itu, ia pun dengan lahap menyantapnya.

”Nah, enak bukan?” Wiku Jaladri terkekeh-

kekeh. Kemudian, sambil menatap Joko Sungsang 

yang sedang menikmati daging ular, Wiku Jaladri ber-

cerita panjang-lebar tentang kejahatan orang-orang 

yang membunuh Ki Demang Sanareja dan istrinya. 

Sengaja lelaki tua itu membenarkan anggapan bocah 

itu bahwa ibunya pun terbunuh. Joko Sungsang me-

mang tidak mengira bahwa ibunya malam itu hanya 

pingsan karena ngeri menyaksikan kening Ki Demang 

Sanareja yang terbelah kapak. Jika bocah itu tahu 

bahwa ibunya masih hidup, sudah barang pasti tak 

mau ia tinggal di gua bersama kakek-kakek yang be-

lum pernah dikenalnya itu.

’’Kiai sudah membunuh mereka, kenapa saya 

harus takut? Kenapa orang-orang harus mengungsi?” 

Wiku Jaladri manggut-manggut sambil tertawa terke-

keh-kekeh. Malam itu Joko Sungsang memang tidak 

melihat bahwa Kebo Dungkul melesat pergi. Dan, tentu 

saja bocah yang masih polos itu tidak mengira bahwa 

Kebo Dungkul hanyalah salah satu dari orang-orang 

jahat yang berilmu tinggi.

’’Mereka jumlahnya banyak, Joko. Aku hanya 

membunuh dua orang saja malam itu. Dua orang yang


tidak memiliki ilmu silat yang sempurna ”

’Tapi Kiai juga tidak punya ilmu silat. Kiai 

membunuh mereka hanya dengan ular ”

Lagi-lagi Wiku Jaladri terkekeh mendengarkan 

kepolosan ucapan bocah itu. Ya, sudah barang tentu 

bocah itu mengira Wiku Jaladri malam itu memegang 

seekor ular. Sebab cambuk yang dipegang Wiku Jala-

dri memang terbuat dari kulit ular Dan, itulah yang 

oleh kalangan persilatan dikenal dengan nama ’Perisai 

Naga’.

Tentu pula Joko Sungsang belum bisa berpikir 

bahwa tanpa disentuh ilmu silat yang tinggi maka Pe-

risai Naga tidak akan berguna, apalagi bisa untuk

membunuh.

”Ya, aku membunuh mereka dengan ular. Teta-

pi, ular mati,” kata Wiku Jaladri.

’Ular mati?” Secara refleks mata Joko Sungsang 

menatap cambuk yang melilit di pinggang Wiku Jaladri

’’Cambuk ini aku bikin dari kulit ular, Joko Te-

tapi, kalau tidak dengan jurus-jurus silat, cambuk ini 

tidak akan bisa membunuh.” Berkata begini Wiku Ja-

ladri mengurai Perisai Naga dari pinggangnya dan 

mengulurkan kepada Joko Sungsang.

’Panjang sekali Pasti ularnya besar sekali. Kiai 

bisa membunuh ular besar? Tidak takut dimakan?” 

Joko Sungsang bertanya sambil meneliti cambuk di 

tangan Wiku Jaladri.

’’Cambuk ini kubuat dari kulit ular, Joko. Teta-

pi kalau tidak dengan jurus-jurus silat, cambuk ini ti-

dak akan bisa membunuh!” Wiku Jaladri menunjuk-

kan PERISAI NAGA-nya pada Joko Sungsang.

’’Kiai bisa membunuh ular besar?” Joko Sung-

sang bertanya sambil memperhatikan cambuk itu tan-

gannya.


”Ya, ularnya besar sekali. Lebih besar dari po-

hon itu,” kata Wiku Jaladri seraya menunjuk sebatang 

pohon yang nampak dari dalam gua.

”Ular naga?”

”Ya, ular naga kalau dalam dongeng. Oleh ka-

rena itu, cambuk ini aku namakan PERISAI NAGA.”

’’Saya ingin melihat lagi Kiai memainkan Perisai 

Naga ini. Juga ingin melihat Kiai terbang,” kata Joko 

Sungsang. Seperti halnya bocah-bocah kecil seusianya, 

tentulah senang melihat sesuatu yang menakjubkan, 

yang tidak mungkin bisa mereka lakukan.

Wiku Jaladri menggandengnya keluar dari gua. 

Dibawanya Joko Sungsang ke tanah yang sedikit la-

pang yang dipagari pohon-pohon besar dan menjulang 

tinggi.

”Di sini aku berlatih terbang, ” kata Wiku Jala-

dri.

’’Tapi, tempatnya becek sekali, Kiai. Seperti 

tempat mandi kerbau,” kata Joko Sungsang sambil 

mencari-cari tanah yang agak kering dan kuat untuk 

berpijak.

Untuk merangsang minat bocah itu berlatih si-

lat, Wiku Jaladri sengaja memamerkan ilmu silat yang 

dimilikinya. Dengan sekali lecutan, Perisai Naga berha-

sil menumbangkan sebatang pohon gundul sebesar 

tubuh Joko Sungsang.

”Nah, kamu bisa duduk di pohon itu,” kata Wi-

ku Jaladri sambil menuding pohon yang baru saja 

tumbang.

Joko Sungsang terbelalak melihat keajaiban 

yang terjadi di depan matanya. Maka masih dengan 

mulut ternganga dan mata terbelalak, bocah itu meng-

hampiri pohon tumbang yang melintang tak jauh dari 

tempatnya berdiri.


’’Masih ingin melihat permainan Perisai Naga?” 

tanya Wiku Jaladri sambil menahan tawa.

Joko Sungsang menggeleng. Tiba-tiba saja ada 

rasa takut menjalari rongga dadanya. Takut jika semua 

pohon di sekitarnya tumbang dan menimpanya.

”Mau melihat bagaimana aku terbang?”

Cepat-cepat Joko Sungsang mengangguk.

’’Brebet!” Hanya terdengar suara jubah yang di-

kenakan Wiku Jaladri yang bertabrakan dengan angin 

gunung. Tiba-tiba saja lelaki tua berjubah putih itu te-

lah berada di dahan salah satu pohon yang tingginya 

tak kurang dari lima tombak.

Makin lebar mulut Joko Sungsang ternganga.

’’Tapi, bagaimana Kiai nanti turun?” katanya 

cemas.

Seperti burung bangau turun ke punggung ker-

bau, seperti itulah Wiku Jaladri turun dari dahan po-

hon dan hinggap di pohon tumbang yang diduduki Jo-

ko Sungsang.

’’Kiai tidak punya sayap, tetapi bisa terbang,” 

desah Joko Sungsang sambil memandang kagum ke 

arah Wiku Jaladri.

’’Kalau kamu senang, kamu juga bisa, Joko. ”

’’Senang sekali kalau bisa terbang. Saya mau 

belajar. Tapi, bagaimana caranya, Kiai?”

’’Sebelum berlatih terbang, kamu harus lebih 

dulu berlatih silat ”

’’Berlatih silat? Apa burung-burung itu juga 

berlatih silat?”

Wiku Jaladri menepuk-nepuk bahu bocah itu.

"Burung, capung, dan sebangsanya bisa ter-

bang karena kodrat. Tetapi, manusia kalau ingin bisa 

terbang harus berlatih. Nah, sekarang kita istirahat 

dulu. Besok baru kita mulai berlatih.”


’’Saya mau sekarang, Kiai,” bantah Joko Sung-

sang.

’’Tubuhmu belum kuat untuk berlatih. Kamu 

harus lebih banyak lagi makan daging ular dan buah-

buahan. Sekarang ini tubuhmu masih lemah karena 

dua hari kamu tidak mau makan. Selain itu, kamu ju-

ga harus makan sebanyak banyaknya supaya tubuh-

mu jadi kuat. ”

*

* *

Sebelum siang hari, matahari tak pernah bisa 

nampak dari kedalaman jurang itu. Kalaupun nampak 

pada siang hari, hanyalah samar-samar karena kabut 

tebal menghalangi pandangan. Udara pagi begitu din-

gin menggigit. Namun begitu, Joko Sungsang nekat 

mengajak Wiku Jaladri berlatih silat. Semangat yang 

meluap-luap dalam dada bocah itu mampu mengalah-

kan dinginnya udara pagi di gunung itu.

’’Berani kamu masuk ke lumpur itu?” Wiku Ja-

ladri menunjuk kubangan berlumpur yang mirip ku-

bangan kerbau.

”Kata Kiai, kita mau latihan silat?” Joko Sung-

sang bertanya tidak mengerti.

’’Sebelum berlatih silat, kamu harus berlatih 

melawan udara dingin di gunung ini. Ayo, mencebur ke 

lumpur itu.”

Berjingkat Joko Sungsang melangkah mende-

kati kubangan berlumpur.

’’Lompat!” teriak Wiku Jaladri.

Joko Sungsang melompat, dan tertancaplah tu-

buhnya di dalam lumpur pekat itu hingga leher.

’’Kiai, saya tidak bisa bergerak!”


’’Kamu harus mencoba bergerak. Nah, terus! 

Terus! Meloncat-loncat ke atas!”

’’Tidak bisa, Kiai!”

’’Dicoba! Jangan bilang ’tidak bisa’! Dulu aku 

juga tidak bisa terbang!” kata Wiku Jaladri memberi-

kan semangat.

Joko Sungsang dengan sekuat tenaga mencoba 

meloncat-loncat Akan tetapi, sekujur tubuhnya seperti 

terhimpit. Jangan lagi untuk meloncat ke atas, se-

dangkan untuk bergerak ke samping saja berat sekali.

’’Tidak bisa, Kiai!” keluh Joko Sungsang. Na-

mun, kepada siapa dia harus mengeluh? Wiku Jaladri 

tidak nampak lagi. Entah menghilang ke mana.

Joko Sungsang melihat-lihat ke atas. Barangka-

li saja orang tua itu ada di pohon. Tak ada. Ke mana 

dia? Bagaimana aku keluar dari lumpur ini kalau tidak 

ditolong Kiai?

’’Kiai! Kiai! Jangan tinggalkan saya!” teriak Joko 

Sungsang. Namun, ia tidak mendengar jawaban dari 

Wiku Jaladri. la hanya mendengar gema suaranya 

sendiri.

Joko Sungsang mencoba melangkah. Tidak bi-

sa. Lumpur itu menggigitnya. Ia terengah-engah keha-

bisan tenaga. la marah kepada orang tua yang tega 

menyiksanya itu. Dalam marahnya, ia mencoba meng-

gerakkan kaki dan tangannya. Bisa!

”Nah, sudah mulai bisa bergerak kamu, Joko!”

Joko Sungsang terkejut. Ia menoleh ke arah da-

tangnya suara. la melihat Wiku Jaladri menimang-

nimang Perisai Naga di tangannya. Ia bangga menda-

patkan pujian dari gurunya itu. Guru? Ya, dia memang 

guruku, pikir Joko Sungsang.

’’Sekarang, cobalah meloncat-loncat!” teriak Wi-

ku Jaladri.


Joko Sungsang mencoba meloncat. Sedikit saja 

tubuhnya bergerak ke atas. Tak sampai sejengkal. Pa-

dahal, di luar lumpur, ia bisa meloncat setinggi ping-

gang.

’’Cukup! Besok bisa dicoba lagi!” Berkata begini 

Wiku Jaladri lantas melayang sambil menggerakkan 

Perisai Naga. Seperti seekor ular, cambuk itu membelit 

tubuh Joko Sungsang. Dan, sekali hentak tubuh bocah 

itu terlontar ke dalam pelukan gurunya.

Setelah diturunkan dari gendongan Wiku Jala-

dri, Joko Sungsang langsung berlutut sambil berucap, 

’’Sudilah Kiai mulai hari ini menyebut saya sebagai 

murid. Dan, bolehkah kiranya saya menyebut Kiai 

dengan sebutan guru’?”

Wiku Jaladri tertawa terkekeh-kekeh. Anehnya, 

tawa orang tua itu kali ini menimbulkan getaran se-

hingga tubuh Joko Sungsang terjengkang.

"Bangunlah, Joko. Tak usah kamu berlutut se-

perti menghadap Kanjeng Ratu. Aku memang gurumu. 

Tetapi, aku lebih senang jika kamu menyebutku ’Kiai” 

saja. Sekarang, pergilah ke sungai dan bersihkan ba-

danmu.”

’’Terima kasih, Guru... eh, Kiai!” Joko Sungsang 

bangkit dan berlari-lari menuju sungai.

Berendam di kedalaman sungai, Joko Sungsang 

masih penasaran untuk berlatih. Ia mencoba melon-

cat-loncat. Lebih ringan dibandingkan dengan melon-

cat-loncat di lumpur. Lebih ringan dan lebih tinggi lon-

catannya. Jika ia berdiri biasa, permukaan air sungai 

menggapai dagunya. Akan tetapi, sewaktu dia melon-

cat, permukaan air sungai turun hingga pusarnya. 

Maka semakin bersemangat Joko Sungsang berlatih 

meloncat-loncat di air.

Tiba kembali di dalam gua, ia melihat Wiku Ja



ladri sedang menumpuk ranting-ranting kering. Baru 

kali ini ia menyadari bahwa di dasar jurang ini tak 

mungkin bisa mendapatkan api Lalu dari mana Kiai 

bisa memperoleh api?

’’Kamu bisa menyalakan kayu bakar ini, Joko?” 

tanya Wiku Jaladri seakan tahu apa yang tengah dipi-

kirkan bocah itu.

”Di mana kita bisa mendapatkan api, Kiai?” ba-

lik Joko Sungsang bertanya. Kini tubuhnya menggigil. 

Setelah tidak bergerak-gerak, dan dirasakannya udara 

gunung yang dingin. Terlebih ia dalam keadaan basah 

kuyup.

Wiku Jaladri mengurai Perisai Naga dari ping-

gangnya. Matanya yang hanya berupa garis itu mena-

tap batu hitam di samping tumpukan ranting kering. 

Ketika ujung Perisai Naga menyentuh batu hitam itu, 

keluarlah pijaran api.

Baru kali ini Joko Sungsang mengamati benda 

yang menghiasi ujung Perisai Naga. Seperti batu, tetapi 

bukan batu. Benda yang berbentuk bulat dan berduri 

mirip buah kecubung itu berwarna hijau-kebiru-

biruan.

”Itu namanya batu cincin,” kata Wiku Jaladri.

”Batu cincin?”

”Ya, seperti yang menghiasi cincin ayahmu.”

Joko Sungsang mengangguk kecil-kecil. Kem-

bali tangannya meraba-raba bulatan berduri itu. Meski 

terbuat dari batu cincin, duri-duri itu setajam ujung 

jarum. Bagaimana membuatnya? Dan, bagaimana ka-

lau mengenai kepala orang?

Maka Joko Sungsang ingat dua orang jahat 

yang mati di ujung Perisai Naga itu. Pasti karena leher 

mereka tergores duri-duri ini, pikir bocah itu menyim-

pulkan.


’’Cepat keringkan pakaianmu, Joko. Mumpung 

api masih besar,” anjuran Wiku Jaladri memenggal 

lamunan Joko Sungsang.

Joko Sungsang membentang baju satu-satunya 

yang dimiliki itu di dekat api. Pikirannya kembali me-

layang-layang. Semakin banyak hal-hal yang tidak di-

ketahuinya, yang harus ditanyakan kepada orang tua 

sakti ini.

*

* *

3

Tiga puluh tahun sudah orang-orang dari dunia 

persilatan melupakan Wiku Jaladri. Khususnya dari 

golongan hitam, mereka menganggap bahwa pendekar 

yang bersenjatakan cambuk kulit ular sanca itu sudah 

tewas di dasar jurang. Tiga puluh tahun yang lalu, 

Empu Wadas Gempal bersama anak buahnya berhasil 

mengurung Wiku Jaladri dan menggiring ke bibir ju-

rang. Lalu, dengan serangan serentak mereka mende-

sak Wiku Jaladri. Tak ada jalan lain bagi Wiku Jaladri 

kecuali menceburkan diri ke jurang.

’’Mereka tidak menyangka bahwa dengan cam-

buk ini aku bisa menyelamatkan diri,” kata Wiku Jala-

dri lebih lanjut.

’’Bagaimana cara Kiai menyelamatkan diri?” 

tanya Joko Sungsang.

’’Seperti inilah caraku menyelamatkan diri.” 

Berkata begini Wiku Jaladri menjejakkan kedua ka-

kinya ke tanah dan tubuhnya melenting hingga pucuk 

sebuah pohon. Sewaktu tubuhnya melayang turun la


gi, secepat kilat ia melecutkan Perisai Naga ke sebuah 

dahan. Cambuk itu melilit ketat dahan pohon sehingga 

Wiku Jaladri bisa bergelayutan.

Joko Sungsang pun mengerti kenapa gurunya 

waktu itu tidak remuk terhempas batu cadas di dasar 

jurang.

’’Sejak itulah aku kemudian memutuskan un-

tuk tinggal di dasar jurang ini,” kata Wiku Jaladri sete-

lah duduk kembali di depan Joko Sungsang ’’Berarti 

waktu itu Kiai belum bisa...?”

”Ya! Waktu itu ilmu meringankan tubuh belum 

aku perdalam. Keadaan yang memaksaku harus mem-

perdalam ilmu meringankan tubuh seperti yang kau 

pelajari sekarang ini. Tanpa bisa meringankan tubuh 

sesempurna mungkin, tak akan dapat kita keluar dari 

dasar jurang ini, Joko,” tukas Wiku Jaladri.

’’Apakah kemunculan Kiai di dunia ramai ma-

lam itu akan menyadarkan para pendekar bahwa Kiai 

ternyata masih hidup? Maksud saya, apa mungkin ada 

yang mengenali Kiai malam itu di kademangan?” 

’’Sudah pasti, Joko. Luka yang diakibatkan lili-

tan Perisai Naga mudah dikenali orang-orang dari ka-

langan persilatan. Jangan lagi Empu Wadas Gempal 

sendiri, sedangkan muridnya pun akan tahu bahwa 

kaki-tangannya mati karena Perisai Naga. Hantu Le-

reng Lawu akan terbeliak melihat leher kedua anak 

buahnya yang tersayat bola berduri ini,” jelas Wiku Ja-

ladri seraya menimang-nimang bola berduri yang 

menghiasi ujung Perisai Naga.

’’Apakah Kiai yakin Kebo Dungkul akan mene-

mukan mayat kedua orang kaki-tangannya itu?”

’’Kenapa tidak? Kau pikir orang-orang desa 

sempat mengubur kedua mayat itu? Setelah mengubur 

jenazah ayahmu, mereka semua bergegas pergi me


ninggalkan Desa Sanareja. Mereka tahu apa yang bak-

al menimpa desa itu jika Hantu Lereng Lawu tahu ke-

dua orang anak buahnya tidak kembali.”

"Bagaimana dengan jenazah ibu saya, Kiai?”

’’Ibumu masih hidup, Joko,” kata Wiku Jaladri 

setelah tertawa terkekeh-kekeh.

’’Masih hidup?” Mata Joko Sungsang terbelalak. 

’’Sebenarnya, malam itu ibumu hanya pingsan. 

Kau masih terlalu kecil untuk membedakan orang 

pingsan dan orang mati....”

’’Lalu, di mana ibu saya sekarang, Kiai?” tukas 

Joko Sungsang tak sabar.

’’Saatnya belum tiba untuk memberitahu di 

mana ibumu sekarang, Joko. Kau tentu akan nekat 

mencarinya jika aku menunjukkan di mana ibumu 

mengungsi. Bekalmu belum cukup untuk pergi me-

ninggalkan jurang ini, Joko. Bersabarlah. Kepergianmu 

hanya akan mengantarkan nyawa.”

’’Saya sudah mewarisi seluruh ilmu yang Kiai 

miliki. Kenapa Kiai mengkhawatirkan saya?”

’’Belum semuanya kau miliki. Kalau hanya un-

tuk menghadapi Kebo Dungkul, aku tidak lagi 

mengkhawatirkanmu. Tetapi, menghadapi Hantu Le-

reng Lawu dan gurunya, kau masih akan menemui ke-

sulitan. Selama tiga puluh tahun aku memperdalam 

ilmu silatku di dasar jurang ini, selama itu pula aku 

yakin bahwa Empu Wadas Gempal pun gigih melaku-

kan latihan-latihan.”

’’Maksud Kiai, Empu Wadas Gempal selalu 

membantu muridnya jika muridnya menemui lawan 

yang tangguh?”

’’Itulah ciri khas orang-orang dari golongan hi-

tam. Mereka bukan saja membela, malahan tidak malu 

mengeroyok beramai-ramai.”


’’Saya paham, Kiai. Tetapi, izinkan saya secepat 

mungkin mendapatkan ilmu pamungkas dari Kiai. 

Saya belum lega kalau belum melihat keadaan ibu 

saya, Kiai.”

’’Ibumu sehat-sehat saja. Dia dalam perlindun-

gan sahabat baikku. Tak perlu kau terburu nafsu un-

tuk menyelesaikan pelajaran silatmu. Tak akan sem-

purna segala sesuatu yang dipelajari secara terburu-

buru. Apalagi umurmu masih terlalu muda untuk me-

nerima gemblengan yang bertubi-tubi. Baru lima tahun 

kau belajar ilmu silat di dasar jurang ini. Dibanding-

kan dengan waktu yang aku perlukan untuk memper-

dalam jurus-jurus Perisai Naga, apalah artinya? Ber-

sabarlah. Dan, sekali lagi kau camkan, bahwa di dunia 

ini tidak ada manusia yang paling sakti. Di atas yang 

sakti masih ada yang lebih sakti. Hanya Tuhan yang 

paling sakti, yang tak akan tertandingi oleh siapa pun. 

Camkan itu. Agar kau tidak gegabah menganggap ilmu 

silat yang kau miliki sekarang ini tak ada yang bisa 

menandingi. ”

’’Maafkan saya, Kiai. Saya bukannya tidak 

mengingat-ingat nasihat Kiai. Saya tadi hanya terdo-

rong oleh rasa kangen saya bertemu dengan ibu saya, 

satu-satunya orang tua saya yang masih hidup,” kata 

Joko Sungsang penuh sesal.

’’Tidak berarti aku akan menegaskan keper-

gianmu, Joko. Tetapi, bukan watak ku melindungi mu-

rid dari ancaman musuh. Lagi pula, aku ingin menu-

runkan semua ilmu yang kumiliki kepadamu agar kau 

tidak lagi mengharapkan bantuan dariku.”

’’Apakah berarti nantinya Kiai tidak mau lagi

bertemu dengan saya?”

’’Setelah kau pergi nanti, aku tidak ingin lagi 

berhubungan dengan manusia mana pun dan siapa


pun. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di dasar 

jurang ini. Aku akan menikmati kemerdekaan ku. Aku 

merdeka karena aku tak lagi harus memikirkan nasib 

orang-orang kecil yang terjajah angkara murka. Aku 

sudah mempunyai kau sebagai wakil ku untuk melin-

dungi mereka dari kekejaman orang-orang sesat. 

Amalkan ilmu yang kau dapat dariku agar aku nanti 

mati dengan membawa pahala. Kau paham, Joko?”

’’Paham, Kiai, dan saya tidak akan melupakan 

semua nasihat yang Kiai berikan kepada saya.” Joko 

Sungsang mengangguk dalam-dalam.

*

* *

Selama puluhan tahun malang-melintang di 

dunia persilatan, baru kali ini Hantu Lereng Lawu me-

rasa cemas. Betapa tidak cemas! Bermimpi pun ia tak 

pernah bahwa ia bakal berurusan dengan Wiku Jala-

dri. Ia tahu persis kemampuan Wiku Jaladri dalam 

memerangi kejahatan. Tiga puluh tahun yang lalu, ia 

tak yakin masih bisa hidup jika tidak ditolong Empu 

Wadas Gempal, gurunya. Hampir saja bola berduri di 

ujung Perisai Naga membuat otaknya berceceran jika 

tidak ada serangan lain yang membuat Wiku Jaladri 

menarik kembali Perisai Naganya.

Dan, Hantu Lereng Lawu merasa pasti bahwa 

gurunya pun tidak akan mampu menghadapi Wiku Ja-

ladri seorang diri. Karena itulah Empu Wadas Gempal 

meminta muridnya untuk membantu menggiring Wiku 

Jaladri ke bibir jurang.

Maka dalam kegelisahannya memikirkan ke-

munculan kembali Wiku Jaladri, Hantu Lereng Lawu 

merasa perlu menghadap gurunya di Hutan Ketapang.


’’Sudah lama kau tidak datang, Pragosa, ” sam-

but Empu Wadas Gempal melihat kemunculan Hantu 

Lereng Lawu alias Pragosa.

’’Maafkan saya, Guru. Saya menemui Guru ka-

rena saya menemui kesulitan.”

”Ha-ha-ha! Dasar anak setan, baru mau datang 

jika menemui kesulitan! Tapi, coba kalau sedang me-

nemui kenikmatan, mana mau kau menengok ku, 

Hantu Ingusan?” Bahu Empu Wadas Gempal naik-

turun diguncang tawanya.

’’Maafkan saya, Guru. Bukan saya tidak mau 

membagi-bagi kenikmatan kepada Guru. Hanya saja, 

saya selalu ingat bahwa guru sudah tak mau lagi men-

gecap kenikmatan duniawi....”

’’Bagus! Otakmu ternyata tidak setumpul otak 

kerbau!” sahut Empu Wadas Gempal menukas. ’’Lalu, 

kesulitan apa yang membuatmu terbirit-birit kemari? 

Ha-ha-ha, baru kali ini aku melihat hantu ketakutan! 

Bukannya menakutkan, tetapi ketakutan! Lucu, bu-

kan?”

’’Mungkin Guru tidak percaya bahwa kali ini 

saya harus berurusan dengan Wiku Jaladri.”

”Apa?” Tiba-tiba paras muka Empu Wadas 

Gempal berubah menjadi tegang. ”Apa aku tidak salah 

dengar?”

’’Tidak, Guru. Wiku Jaladri muncul kembali. 

Ternyata dia masih segar-bugar, Guru.” 

”Dia sudah modar di dasar jurang itu, Pragosa. 

Ah, kau pasti mimpi!”

’’Sungguh, Guru! Dua orang anak buah saya 

mati tersayat Perisai Naga.”

’’Bagaimana kau bisa menyimpulkan bahwa ti-

kus-tikus itu mati di tangan penggembala kambing 

itu?”


’’Dari luka-luka di leher mereka, saya bisa 

mengenali jenis senjata yang melukai leher mereka. 

Garis-garis biru di antara sayatan yang memutuskan 

urai leher!”

”Kau lihat sendiri luka-luka itu? Atau hanya 

dari cerita Kebo Dungu anak buahmu itu?”

’’Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, 

Guru.” 

’’Jangan-jangan matamu yang tidak beres? 

Atau kepalamu yang lagi puyeng karena kebanyakan 

arak?” Secara refleks Hantu Lereng Lawu mengucek-

ngucek matanya.

’’Bukannya saya takut menghadapi tua bangka 

itu, Guru. Hanya saja, saya merasa perlu menda-

patkan restu dari Guru,” kata Hantu Lereng Lawu yang 

merasa diejek gurunya.

”Ha ha-ha, dasar otak udang! Julukanmu me-

mang membuatmu jadi pongah, Pragosa. Kalau benar 

kau harus menghadapi Pendekar Perisai Naga, kau ha-

rus cari nyawa serep! Jangan lagi kau, aku sendiri saja 

belum tentu bisa menandinginya.”

’’Sebenarnya, bukan Wiku Jaladri yang harus 

saya hadapi....”

’’Lalu, siapa? Arwahnya?” tukas Empu Wadas 

Gempal.

’’Muridnya. ”

’’Muridnya? Pendekar Perisai Naga punya mu-

rid? Ha-ha-ha! Sejak kapan manusia sombong itu mau 

menurunkan ilmunya?”

”Dia membawa kabur anak Demang Sanareja, 

Guru.”

’’Tapi, tidak akan dijadikan murid!”

’’Kenapa tidak, Guru?”

’’Kecuali Pendekar Perisai Naga sudah bosan


hidup!”

’’Saya tidak mengerti maksud Guru.”

”Dia bersumpah tidak akan mengangkat siapa 

pun menjadi muridnya sebelum dia tahu ajalnya bakal 

datang!”

’’Mungkin sekaranglah saatnya dia harus me-

nurunkan ilmu yang dimilikinya kepada muridnya, 

Guru. ”

”Ah, ternyata penggembala kambing itu tidak 

mampus,” keluh Empu Wadas Gempal sambil menge-

lus-elus perutnya yang buncit. ’’Padahal, orang yang 

paling goblok pun tahu, tak ada manusia maupun bi-

natang yang bisa keluar dari jurang itu kecuali bisa 

terbang. Kalau begitu, tentu selama tiga puluh tahun 

ini dia berlatih keras agar bisa naik. Ah, tapi mana 

mampu dia menandingi jurus-jurus baru ciptaanku? 

Ha-ha-ha! Dia pikir, cambuk kambing itu masih bisa 

menjerat leherku?”

’’Jadi, Guru sudah menciptakan jurus penang-

kal Perisai Naga?” Mata Hantu Lereng Lawu serta-

merta berbinar-binar.

’’Sekarang tak perlu aku turun tangan. Cukup 

kau sendiri turun menghadapi jurus-jurus cambuk 

kambing itu.”

’’Kalau saja guru tidak datang waktu itu, saya 

pasti sudah dikirim ke neraka....”

’’Goblok!” sergah Empu Wadas Gempal. ’’Tentu 

saja kau harus pelajari dulu jurus penangkal cambuk 

kambing itu, Hantu Dungu!”

’’Terima kasih jika Guru mau menurunkannya 

kepada saya. ” Hantu Lereng Lawu menunduk dalam-

dalam hingga jidatnya menyentuh tikar pandan yang 

mengalasi pantatnya.

”Kali ini latihan yang harus kau jalani tidak en


teng, Pragosa. Kau harus berpuasa sehari-semalam 

sebelum kau berlatih jurus-jurus yang aku maksud-

kan tadi. Aku namakan jurus itu Jurus Bidadari Men-

gurai Benang Kusut. Bagus, bukan, namanya? Ha ha-

ha!”

’’Mulai kapan saya bisa berlatih, Guru?” tanya 

Hantu Lereng Lawu tak sabar.

’’Mulai kapan kau mau berpuasa?”

"Tapi, kalau saya boleh tahu, kenapa malahan 

harus mengosongkan perut, Guru? Bukankah kita 

memerlukan tenaga besar untuk berlatih keras?”

’’Sejak kapan kau berani mengusut gurumu, 

Pragosa?”

”Oh, maafkan saya, Guru. ” Berkali-kali Hantu 

Lereng Lawu merundukkan kepalanya.

*

* *

4

Nama jurusnya memang enak didengar. Akan 

tetapi, latihan-latihan yang harus dijalani Hantu Le-

reng Lawu sungguh tidak mengenakkan. Orang sesat 

yang sudah terbiasa makan enak ini bukan saja mera-

sa tersiksa karena harus berpuasa sehari-semalam se-

belum berlatih, melainkan juga harus jungkir-balik se-

bab kehilangan keseimbangan badan.

’’Begitulah kenapa kau harus berpuasa, Prago-

sa. Kalau saja perutmu penuh makanan, kau akan le-

bih tersiksa lagi. Kau akan muntah-muntah dan lemas 

sebab tiba-tiba kehilangan tenaga. Nah, mulailah ber-

putar lagi,” ujar Empu Wadas Gempal sebelum mena


rik tambang yang melilit sekujur tubuh muridnya.

Begitu tambang ditarik, berputarlah tubuh 

Hantu Lereng Lawu. Semakin lama putaran itu sema-

kin lamban, dan kemudian Hantu Lereng Lawu ter-

jengkang.

”Ha-ha-ha! Ada juga setan yang bisa terjeng-

kang!” ejek Empu Wadas Gempal dengan perut ber-

guncang-guncang.

’’Bagaimana bisa membalas serangan kalau ak-

hirnya terjengkang begini, Guru?” tanya Hantu Lereng 

Lawu betul-betul tidak memahami maksud gurunya 

membuatnya seperti gangsingan.

’’Goblok! Dungu!” sergah Empu Wadas Gempal 

gusar, "Tentu saja kau harus berlatih terus hingga kau 

tidak terjengkang, Hantu Dungu Lereng Lawu!*’

Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, kemba-

li Hantu Lereng Lawu melilitkan tambang ke sekujur 

badannya. Lalu, kembali Empu Wadas Gempal mena-

rik tambang itu kuat-kuat. Kembali tubuh Hantu Le-

reng Lawu seperti diputar angin puyuh.

”Nah, setelah kau nanti tidak merasa puyeng, 

barulah kau melatih memutar badanmu tanpa harus 

ditarik tambang,” kata Empu Wadas Gempal setelah 

Hantu Lereng Lawu berdiri sempoyongan.

Meski belum mengerti makna dari gerakan 

memutar itu, Hantu Lereng Lawu tetap dengan rajin-

nya berlatih, la tahu, gurunya tidak akan memberikan 

penjelasan sebelum ia menguasai jurus yang harus di-

pelajarinya.

Seperti halnya yang dialami Hantu Lereng La-

wu, gerakan meloncat-loncat di lumpur lima tahun 

yang lalu pun tidak dipahami maknanya oleh Joko 

Sungsang. Setelah ia berhasil keluar dari lumpur 

hanya dengan satu loncatan, barulah Wiku Jaladri



memberikan penjelasan. Karena itulah Joko Sungsang 

semakin gigih berlatih ilmu meringankan tubuh itu. 

Ternyata, tanpa tubuhnya terhimpit lumpur, ia begitu 

ringan menerbangkan tubuhnya dan hinggap di se-

buah dahan yang berketinggian tak kurang dari lima 

tombak.

Berbekal kemampuan meringankan tubuh in-

ilah Joko Sungsang mulai melatih diri menghadapi se-

rangan. Hampir segala jenis senjata dipergunakan oleh 

Wiku Jaladri untuk menyerang Joko Sungsang. 

Kelincahan menghindari serangan saja tak cu-

kup sebab kelincahan akan dibatasi oleh kekuatan fi-

sik. Oleh sebab itu, Wiku Jaladri pun mengajarkan ba-

gaimana Joko Sungsang harus melatih pernapasan. 

Latihan pernapasan yang teratur dan benar akan me-

lahirkan tenaga dalam. Dan, tenaga dalam inilah yang 

harus dipergunakan untuk membentur serangan la-

wan sekaligus mengirim serangan balasan.

Lima tahun sudah Joko Sungsang menggem-

bleng diri di bawah bimbingan Wiku Jaladri. Kegigi-

hannya berlatih membuat Joko Sungsang begitu cepat 

menguasai setiap jurus baru yang diajarkan oleh gu-

runya.

’’Jurus-jurus tangan kosongmu memang sudah 

bisa diandaikan, Joko. Akan tetapi, untuk Jurus Peri-

sai Naga masih harus tetap kau latih. Belum semua 

Jurus Perisai Naga kuajarkan. Karena itu maka aku 

masih menahan kepergianmu dari dasar jurang ini”

"Saya paham, Kiai Dan, kalau Kiai tidak kebe-

ratan, sudilah kiranya Kiai mengajarkan sisa-sisa Ju-

rus Perisai Naga yang belum saya pelajari.

’’Jurus Mematuk Elang dalam Mega ini sesung-

guhnya tidak berat melatihnya. Hanya saja sangat 

memerlukan ketekunan. Ketekunan inilah yang akan


menentukan cepat atau lambatnya keberhasilanmu 

berlatih. Nah, kau lihat ikan di dasar sungai itu!” Wiku 

Jaladri menunjuk seekor ikan di dasar air sungai yang 

bening.

”Saya sudah melihatnya, Kiai,” kata Joko Sung-

sang.

’’Mungkin tidak kau mengambil ikan itu tanpa 

memberinya kesempatan untuk bergerak?”

"Itu ikan hidup, Kiai. Mana mungkin?”

’’Mungkin! Lihatlah,” kata Wiku Jaladri seraya 

melecutkan Perisai Naga. Bola berduri di ujung cam-

buk itu membelah air sungai dengan kecepatan yang 

sulit diikuti mata. Kepala ikan hancur diterjang batu 

cincin berduri itu. Ikan mengambang tanpa kepala.

Joko Sungsang manggut-manggut kagum. Jan-

gan lagi ikan di kedalaman sungai, sedangkan misal-

nya ikan itu menggeletak di tanah pun belum tentu 

kena aku bidik dengan ujung Perisai Naga, pikirnya.

”Nah, mulailah berlatih!” Wiku Jaladri men-

gangsurkan Perisai Naga kepada Joko Sungsang.

Mulailah Joko Sungsang membidik ikan-ikan 

yang berseliweran di kedalaman sungai dengan ujung 

Perisai Naga. Namun, berkali-kali dicobanya, berkali-

kali ia hanya bisa membuat air beriak dan ikan-ikan 

itu berlari menyelamatkan diri. Baru pada hari ketu-

juh, Joko Sungsang berhasil melecut seekor ikan.

”Ah, tapi ikan ini tadi hanya sejengkal di bawah 

permukaan air,” keluhnya dalam hati ”Guru bisa 

menghancurkan kepala ikan yang berada satu tombak 

di bawah permukaan air. Aku pun harus bisa!”

Tak kurang dari tiga bulan Joko Sungsang baru 

berhasil menghancurkan kepala ikan di dasar sungai 

dengan ujung Perisai Naga. Rasa lega menyejukkan 

dada anak muda ini.



’’Tetapi, itu belum cukup,” kata Wiku Jaladri. 

”Kau baru bisa membunuh ikan yang tidak bergerak. 

Tak beda dengan menyerang benda mati. Kau tahu, 

bukan, maksudku?”

’’Saya mengerti, Kiai. Musuh yang saya hadapi 

tentu saja tidak akan diam seperti ikan itu. Artinya, 

saya harus berlatih membidik ikan yang sedang berla-

ri-larian.”

*

* *

Hampir enam tahun Hantu Lereng Lawu me-

nunggu kemunculan Joko Sungsang. Dan, selama itu 

pula Kebo Dungkul menjelajahi desa-desa untuk me-

nemukan anak ingusan yang bakal menjadi duri di 

mata itu. Bahkan sepulang Hantu Lereng Lawu dari 

Hutan Ketapang setelah mempelajari jurus baru dari 

gurunya, Kebo Dungkul sengaja membuat keonaran di 

sana-sini untuk memancing kemunculan Wiku Jaladri.

Desa Sanareja yang dibakar enam tahun yang 

lalu, kini telah menjadi tempat iseng bagi lelaki ber-

duit. Tempat pelacuran merangkap sebagai tempat per-

judian ini sengaja dibuka di Desa Sanareja oleh Kebo 

Dungkul sebab ia merasa sakit hati gagal membunuh 

Joko Sungsang dan Nyai Demang. Bahkan bekas ka-

demangan itu sekarang menjadi tempat tinggal salah 

seorang gundik Kebo Dungkul.

Tanpa kekerasan, sulit bagi Kebo Dungkul dan 

kawan-kawannya untuk mendapatkan perempuan de-

sa yang mau dilacurkan. Untuk itu, beberapa hari se-

kali mereka menyerbu desa-desa untuk menculik ga-

dis-gadis desa yang berparas cantik. Tak seorang pun 

penduduk desa yang berani mencegah perbuatan Kebo


Dungkul dan kawan-kawannya ini. Mencegah berarti 

menyerahkan nyawa. Mereka lebih memilih menyerah-

kan anak gadis atau saudara mereka daripada menye-

rahkan nyawa.

Akan tetapi, suatu hari terjadi sesuatu yang 

membuat alis Kebo Dungkul turun naik. Matanya yang 

melek sebelah itu mengerjap-ngerjap seolah tidak per-

caya pada apa yang dilihatnya. Betapa tidak! Salah 

seorang kaki tangannya berkelojotan di tanah hanya 

karena tertendang tumit mungil seorang gadis yang 

hendak ditangkapnya.

Gadis itu berusia tak lebih dari lima belas ta-

hun. Parasnya cantik, kulit kuning langsat, rambut 

tersanggul di atas kepala dengan tusuk konde bambu 

melintang. la mengenakan pakaian serba putih dengan 

kain parang rusak melilit pinggulnya. Menilik dari pa-

kaian yang dikenakannya, jelas gadis itu bukan gadis 

desa pada umumnya. Setidaknya, pastilah ia pernah 

hidup di sebuah padepokan.

Kebo Dungkul mengamati gadis itu dari ujung 

rambut hingga ujung kaki. Sewaktu tadi kaki tangan-

nya mencegat gadis itu, Kebo Dungkul memang tidak 

menaruh perhatian, la sedang menikmati sebotol arak 

di kedai itu. Kalau saja sejak tadi ia memperhatikan 

gadis itu, sudah pasti ia tidak akan membiarkan kaki-

tangannya menghadapi gadis itu seorang diri.

”Hei, Anak Bidadari! Katakan siapa namamu 

sebelum aku berlaku kasar terhadapmu. Dan, kalau 

memang kau datang dari kahyangan, katakan kau 

anak betari siapa,” ujar Kebo Dungkul sambil mengu-

sap sisa arak di kumisnya yang mirip buntut bajing 

itu.

Gadis itu mencibirkan bibirnya yang mungil. 

Matanya yang bulat berputar putar menghitung sejum


lah lelaki yang telah mengurungnya Merasa dilirik oleh 

gadis itu, secara tidak sadar mereka mundur selang-

kah.

”Hei, kenapa kalian seperti anak ayam melihat 

elang betina?” bentak Kebo Dungkul kepada anak 

buahnya.

’’Jangan kau salahkan mereka, Kebo Dungkul! 

Mereka memang bukan tandinganku!” kata gadis itu 

seraya mengulum senyum.

"Anak Setan!” Kebo Dungkul meloncat dari 

tempat duduknya dan langsung berhadapan dengan 

gadis itu. ”Kau sudah mengenal namaku. Seharusnya 

kau hati-hati berucap di depanku, Monyet Betina!”

”Hi-hi-hik, kenapa aku harus takut berkoar di 

depan Kebo Dungu?”

”Ular Betina, katakan namamu dan siapa gu-

rumu sebelum mata kapakku ini menoreh noreh tu-

buhmu yang mulus!" Kebo Dungkul mengurai rantai 

yang digelayuti kapak yang melingkari lehernya. Ter-

dengar suara gemerincing.

”Tak perlu nama. Tak perlu kau tahu siapa gu-

ruku! Aku tidak ingin namaku nanti akan membuat 

gurumu lari terbirit-birit ke hutan untuk bersem-

bunyi...!”

’’Haram jadah!” sergah Kebo Dungkul seraya 

memutar rantai berkapaknya ke arah leher gadis itu.

Akan tetapi, dengan sikap tenang gadis itu me-

rundukkan kepala sambil berkelit ke samping kanan 

Kebo Dungkul. Lalu, secepat kilat kakinya yang mungil 

menerjang pinggang lelaki bermata satu itu.

”Ngekkk!” Kebo Dungkul terhuyung ke kiri Sete-

lah kembali memasang kuda-kuda, kembali ia ber-

sumpah-serapah sambil mengirimkan serangan bertu-

bi-tubi.



’’Trang! Trang! Trang!” Bunga api berpercikan

akibat dua senjata yang sama-sama terbuat dari logam 

itu beradu. Seperti tangan tukang sulap, tiba-tiba saja 

tangan gadis itu sudah memegang tombak pendek 

bermata dua.

Kebo Dungkul mundur beberapa langkah. Ia 

merasakan telapak tangannya pedih, seolah-olah ran-

tai yang digenggamnya menggigit telapak tangan itu. 

Maka ia semakin sadar bahwa gadis yang dihadapinya 

ini bukan sembarang pesilat. Sama halnya yang dira-

sakan gadis itu. Barulah ia mengakui bahwa lawannya 

kali ini bukan sembarang penjahat. Kalau saja ia tadi 

tidak mengerahkan tenaga dalam, sudah barang pasti 

tombak pendek di tangannya itu akan terpental.

Gadis itu lebih waspada menunggu serangan 

lawan berikutnya. Apalagi lima orang anak buah Kebo 

Dungkul mulai bergerak menyerang. Sewaktu ia me-

nangkis dua bilah golok yang mengarah ke perutnya, 

tiba-tiba kapak berantai itu mengarah ke pelipisnya. 

Terpaksalah gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke bela-

kang sambil memutar tombak pendeknya untuk me-

lindungi kepalanya. Tak sia-sia ia memutar senjatanya 

sebab secepat kilat kapak berantai milik Kebo Dungkul 

berbalik dan menghujam ke muka gadis itu. Untuk ke-

dua kalinya dua senjata itu beradu.

Setelah gadis itu kembali berdiri di atas kuda-

kudanya, dua bilah golok membabat lehernya dari 

arah belakang. Gadis itu merunduk sembari memutar 

kuda-kudanya, dan seperti baling-baling tombak pen-

dek bermata dua di tangannya merobek pinggang dua 

orang pembokongnya sekaligus.

Melihat dua orang anak buahnya tersungkur 

bermandikan darah, Kebo Dungkul berteriak parau, 

’’Mundur! Terlalu sombong dia untuk dikeroyok!” Tiga


lelaki bergolok itu berloncatan mundur. Mereka paham 

bahwa Kebo Dungkul ingin mencincang gadis itu seo-

rang diri.

’’Sundel Bolong! Kau telah membunuh dua 

orang-ku! Tetapi, jangan dulu pongah! Mereka memang 

hanya penebang kayu yang tak pernah berhadapan 

dengan setan betina macam kau! Dan....”

”Dan, kau memang hanya pantas mengepalai 

pencuri kayu di hutan, Kebo Dungkul!” tukas gadis itu 

seraya tertawa mengikik.

’’Kuberi kau kesempatan untuk menyebutkan 

namamu sebelum kucincang tubuhmu yang montok 

itu, Anak Setan Belang!” Kini Kebo Dungkul lebih ber-

hati-hati mengendalikan kemarahannya, la tahu, gadis 

itu sengaja memancing kemarahan agar serangannya 

jadi asal-asalan.

’’Bukannya sebaliknya, Kebo Dungu? Kau yang 

akan mampus dengan membawa namaku? Sibakkan 

rambut gembelmu itu agar kupingmu bisa mendengar! 

Katakan kepada malaikat penjaga kuburmu bahwa 

aku, Sekar Arum, yang mengirimmu ke kubur!”

”Ha-ha-ha! Namamu memang enak untuk di-

cium! Tetapi, sebentar lagi hanya cacing tanah yang 

mau mencium bangkaimu, Sundel Bolong!”

’’Kerahkan seluruh ilmu dedemitmu, aku siap 

menangkalnya, Kebo Picak!”

Mendengar cacat sebelah matanya disebut-

sebut, Kebo Dungkul tak mampu lagi menahan kema-

rahannya. Picak yang berarti mata rusak memang le-

bih menyakitkan dibandingkan dengan istilah buta,

’’Takkan kubiarkan darahmu tumpah di tanah, 

Iblis Betina!” seru Kebo Dungkul sambil mengayunkan 

kapak berantainya.

’’Memang darahku tak akan pernah tumpah!”


jawab Sekar Arum sambil berjumpalitan di udara.

’’Akan ku hisap pula sumsum tulangmu!” Ka-

pak berantai Kebo Dungkul menyusul gerak Sekar 

Arum di udara, tetapi untuk kesekian kalinya hanya 

menimbulkan suara berdesing.

Selama menjadi murid Ki Sempani, baru kali ini 

Sekar Arum menemukan lawan yang tangguh. Ia baru 

percaya bahwa orang sesat dari Lereng Lawu ini me-

mang bukan hanya mengandalkan keseraman wajah-

nya, melainkan juga memiliki ilmu silat yang cukup 

tinggi. Tanpa memiliki tenaga dalam yang sempurna, 

mustahil! ia bisa memutar rantai berkapak sebesar itu.

Maka Sekar Arum mulai mempergencar seran-

gan balasan. Tombak pendek bermata dua di tangan-

nya berkali kali mengancam dada dan leher lawan. 

Akan tetapi, Kebo Dungkul selalu berhasil melindungi 

sekujur tubuhnya dengan putaran rantainya. Sesekali 

saja mata kapak itu balas menyerang.

Melihat pertahanan lawan yang begitu ketat, 

Sekar Arum merasa perlu mengeluarkan jurus pa-

mungkasnya. Inilah Jurus Mengail Mangsa Keluar Sa-

rang!

Sekar Arum mundur beberapa langkah, kemu-

dian merendahkan kedua lututnya dan menunggu se-

rangan lawan. Ketika Kebo Dungkul terpancing untuk 

menyerang, ketika itulah Sekar Arum melenting ke

udara dan turun dengan tikaman tombak ke arah leher 

belakang lawan.

’Trang!”

Sekar Arum terkejut bukan kepalang sebab ada 

senjata lain yang membentur mata tombak pendeknya. 

Sewaktu ia sudah kembali berdiri di atas kuda-

kudanya, ia melihat seseorang telah berdiri di depan 

Kebo Dungkul.



”Ha-ha-ha! Gadis kecil bernyali besar Bagus!” 

kata Hantu Lereng Lawu seraya menyarungkan pedang 

ke sarungnya.

Untuk sejenak Sekar Arum memeras otak. Ia 

memang pernah mendengar cerita tentang lelaki yang 

berpakaian serba hitam, berdahi lebar, dan berambut 

kemerah merahan ini.

’Tentu kau yang bernama Hantu Lereng Lawu!” 

ujar gadis itu setelah ingat siapa lelaki yang tengah di-

hadapinya ini.

”Ha-ha-ha, benar dugaanmu, Anak Manis. Aku-

lah Hantu Lereng Lawu yang tentunya pernah disebut-

sebut oleh gurumu!”

’’Jangan pongah! Guruku takkan sudi mengin-

gat-ingat namamu yang hanya bisa menakut-nakuti 

orang yang tidak ber-Tuhan itu!” sahut Sekar Arum se-

raya mencibir.

”Waii, tambah cantik kalau kau mencibir begi-

tu, Anak Betari. Ha-ha ha!”

’’Sepuasmulah kau tertawa sebelum kau kuki-

rim ke liang kubur dan kau tidak akan bisa lagi mem-

buka mulut!”

”Ya, ya, ya, aku memang paling suka menda-

patkan gadis cantik yang galak dan sombong seperti-

mu. Eh, siapa namamu?”

”Tak perlu aku menyebutkan namaku! Kalau

memang kalian hendak mengeroyokku, keroyoklah! 

Dan, aku yakin kalian memang hanya berani main ke-

royok!”

Hantu Lereng Lawu memandang Kebo Dungkul, 

kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak. Bahkan 

tiga anak buahnya yang tadi terlongong-longong meli-

hat kehebatan Sekar Arum, kini ikut tertawa.

’’Sebelum kami mengeroyokmu, aku lebih dulu


ingin mengujimu, pantas tidak kami ini mengeroyok-

mu. Majulah, Gadis Bengal!” tantang Hantu Lereng 

Lawu seraya mencabut kembali pedang di pinggang-

nya,

’’Pantang bagiku untuk menyerang lebih dulu! 

Majulah kalau memang kau ingin mati mendahului 

anak buahmu!”

’’Mulutmu memang lebih cocok dicium pedang!” 

ujar Hantu Lereng Lawu sambil mengayunkan pe-

dangnya.

Sekar Arum tidak gegabah membenturkan 

tombak pendeknya untuk menangkis serangan lawan. 

la yakin, ilmu silat Hantu Lereng Lawu berada seting-

kat di atas Kebo Dungkul. Sudah barang tentu tenaga 

yang dialirkan ke pedang itu lebih dahsyat dibanding-

kan tenaga Kebo Dungkul.

Maka gadis itu menarik kaki kanannya ke bela-

kang sambil merundukkan kepalanya. Pedang lebar 

bermata dua itu berdesing sejengkal di atas kepala ga-

dis itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh gadis itu 

untuk membalas serangan. Namun, di luar dugaan ge-

rak pedang itu berbalik dan kini mengancam lutut ga-

dis itu.

Terpaksa Sekar Arum membatalkan serangan 

balasannya. Ia harus melenting ke udara agar lututnya 

tidak terbabat.

”Ilmu silatmu memang lumayan bagus, Anak 

Manis. Tetapi, aku ingin tahu apakah nafasmu sebaik 

ilmu silatmu!” Berkata begini Hantu Lereng Lawu me-

mutar pedangnya hingga tak terlihat lagi bentuk pe-

dang itu. Sekar Arum hanya melihat sinar kebiru-

biruan yang membentuk payung di atas kepala lawan.

Inilah Jurus Pedang Penangkal Hujan, pikir ga-

dis itu selintas. Untuk selanjutnya, ia harus secepat


nya berloncatan ke kanan-kiri lawan agar tubuhnya ti-

dak terpotong-potong.

Melihat gadis itu tak punya peluang untuk 

mengirimkan balasan, Hantu Lereng Lawu semakin 

bersemangat memburunya, ia memang belum ingin 

melukai gadis itu. Ia hanya ingin menguji sejauh mana 

murid Ki Sempani itu menguasai jurus-jurus pernapa-

san. Dari penjelasan gurunya, Hantu Lereng Lawu ta-

hu persis kelemahan ilmu silat dari Bukit Karang Bo-

long ini. Mereka hanya mengandalkan kecepatan me-

nyerang dan kelincahan menghindari tanpa memperhi-

tungkan kesempurnaan pernapasan. Apalagi gadis ini 

masih begitu belia, dan pasti belum berpengalaman 

bertempur sampai puluhan jurus. Terbukti, sewaktu 

melawan Kebo Dungkul tadi, gadis itu buru-buru men-

geluarkan jurus pamungkasnya.

”Akh!” jerit Sekar Arum sambat memegangi ce-

lana pangsinya yang robek di bagian paha. Kulit pa-

hanya yang putih mengintip membuat Hantu Lereng 

Lawu dan anak buahnya bersamaan menelan ludah.

”Itu peringatan kecil buatmu, Gadis Bengal! ’ 

ujar Hantu Lereng Lawu seraya tertawa terbahak-

bahak.

’’Iblis Mata Bakul! Kalau memang kau mengaku 

lelaki, bertempurlah secara jantan!” pekik Sekar Arum.

’’Nafasmu tinggal satu-satu, bagaimana mung-

kin aku tega melawanmu, Manis? Tanganmu pun ha-

rus memegangi sebelah pahamu. Apa tidak sebaiknya 

kau lepaskan saja celanamu?”

’’Iblis cabul!” sergah Sekar Arum sambil menje-

jak tanah lalu tubuhnya terbang ke atas kepala lawan. 

Namun, sewaktu tombak pendek di tangannya hendak 

menghujam ubun-ubun lawan, kembali pedang di tan-

gan Hantu Lereng Lawu memayungi kepala itu.



"Tring!”

Sedikit sekali ujung tombak pendek itu beradu 

dengan pedang Hantu Lereng Lawu, tetapi getaran 

yang menjalari tangan gadis itu mampu membuat ba-

hu gadis itu seakan somplak.

Sekar Arum berdiri di atas kuda-kudanya sam-

bil menahan rasa nyeri hebat di bahunya. Kalau saja ia 

tidak harus memegangi celana pangsinya yang robek, 

pastilah tangannya secara refleks akan memijat-mijat 

bahu itu.

’’Sekarang, bisa kau teruskan pekerjaanmu, 

Kebo Dungkul!” kata Hantu Lereng Lawu sebelum me-

ninggalkan tempat itu sambil tertawa puas.

Kebo Dungkul mengusap kumisnya dengan 

punggung tangannya. Ia tahu, gadis itu sekarang tak 

akan segarang tadi. Bahu kanannya tidak akan bisa 

lagi mendukung permainan tombak pendek di telapak 

tangan gadis itu. Kalau saja gadis itu tidak memiliki 

tenaga dalam yang lumayan, tentu sudah copot engsel 

tulang bahunya. Kebo Dungkul sendiri pernah mera-

sakan hebatnya Jurus Pedang Penangkal Hujan. Kare-

na jurus itu pula maka ia terpaksa bertekuk lutut di 

depan Hantu Lereng Lawu. Hampir sebulan lebih Kebo 

Dungkul harus menggendong tangannya akibat rantai 

berkapak yang dipegangnya membentur pedang yang 

diputar Hantu Lereng Lawu.

Sekar Arum mundur beberapa tindak. Ia men-

coba memainkan tombak pendeknya dengan tangan 

kiri sementara tangan kanannya yang nyeri dipergu-

nakan untuk memegangi celana pangsinya yang robek. 

Diam-diam ia mengutuk Hantu Lereng Lawu yang tadi 

telah menyelamatkan Kebo Dungkul dari tikaman 

tombak di leher belakangnya.

”Hei, kenapa kalian diam saja? Ringkus gadis


bengal ini!” perintah Kebo Dungkul kepada tiga orang 

anak buahnya.

Mereka bertiga bergerak mengurung Sekar 

Arum. Meski hanya dengan tangan kiri, gadis itu ter-

nyata masih mampu membuat mereka bertiga kucar-

kacir. Ketiganya terlempar begitu golok di tangan me-

reka membentur tombak pendek di tangan gadis itu.

”Huh! Kalian memang hanya pantas mencuri 

kayu di hutan!” dengus Kebo Dungkul. Lalu katanya 

kepada Sekar Arum, ”Sekali lagi aku beri kau waktu 

untuk berpikir, Cah Ayu. Kau pilih mati terbelah ka-

pakku, atau kau pilih menuruti kemauanku....”

’’Jangan berangan-angan, Kebo Dungu!” sergah 

gadis itu. ’’Selama napas ku masih ada, tak akan aku 

mengaku kalah! Majulah, biar kurobek perutmu yang 

buncit itu!”

”Wah, betul-betul bosan hidup rupanya! Tapi, 

terlalu enak buatmu jika kau mati tanpa memberi ku 

kenikmatan lebih dulu. Nah, bersiaplah! Keluarkan il-

mu yang kau warisi dari gurumu!” Kebo Dungkul men-

gembangkan tangannya dan menubruk gadis itu.

Sekar Arum memagari dirinya dengan putaran 

tombak pendeknya. Akan tetapi, di luar dugaannya ji-

ka ternyata Kebo Dungkul menarik kembali dua tan-

gannya dan sebagai gantinya kaki kanannya mener-

jang betis indah gadis itu. Gerakan itu begitu cepat 

dan di luar dugaan Sekar Arum. Tak pelak lagi betis 

gadis itu terdorong dan gadis itu bergulingan di tanah. 

Sewaktu ia hendak melenting bangun, tiba-tiba mata 

kapak yang tadi menggantung di leher lawan sekarang 

telah menempel di lehernya.

”Ha-ha-ha! Pengalamanmu baru secuil, tetapi 

kesombonganmu segerobak, Gadis Bengal!”

Sekar Arum hendak menikamkan tombak pendeknya ke leher Kebo Dungkul yang hanya beberapa 

jengkal jaraknya dari wajahnya, tetapi secepat kilat ti-

ga buah golok menahan tangan kiri gadis itu.

’’Sekali lagi kau mencoba melawan, kapak ini 

akan memenggal lehermu, Cah Manis,” kata Kebo 

Dungkul seraya menekankan mata kapaknya lebih 

kuat lagi.

”Lebih baik leherku terpenggal daripada terja-

mah tanganmu yang menjijikkan!” sahut Sekar Arum 

sebelum menggerakkan tumitnya ke lutut Kebo Dung-

kul.

”Ha-ha-ha! Sudah kubilang, terlalu enak buat-

mu mati sebelum kami berempat bisa menikmati tu-

buhmu yang mulus ini!” Dengan mudah Kebo Dungkul 

menguasai kaki kanan gadis itu. Kini tangan kirinya 

bersiap-siap merobek krah baju gadis itu.

’’Bunuhlah aku jika kau merasa....”

”Ha-ha-ha! Hi-hi-hik! Ho-ho-hok!” Mereka be-

rempat tertawa bersamaan.

”Nah, mari kita lihat apakah dada gadis ini se-

keras hatinya!” Kebo Dungkul mencengkeram krah ba-

ju gadis itu. Akan tetapi, sebelum tangan itu menarik 

robek krah baju itu, tiba-tiba ada benda cair melabrak 

matanya yang melek. Bau amis menyelinap ke lubang 

hidung, pandangan Kebo Dungkul gelap gulita. Satu-

satunya mata yang berfungsi telah tertutup kuning te-

lur yang lengket.

Ketiga anak buah Kebo Dungkul menoleh ke 

arah datangnya telur ayam itu. Sementara itu Kebo 

Dungkul menyumpah-nyumpah sambil membersihkan 

lumuran kuning telur di matanya.

Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Sekar 

Arum. Dengan sisa tenaga yang ada, ia menjejakkan 

kakinya dan berjumpalitan ke belakang.



’’Bangsat tengik! Kalau memang pendekar seja-

ti, hadapi Kebo Dungkul! Jangan hanya main lempar 

dari persembunyian!” tantang Kebo Dungkul meski 

matanya belum jelas memandang sekeliling.

Tiga orang anak buah Kebo Dungkul yang tadi 

menyerbu ke dalam kedai, satu per satu terlempar ke-

luar sambil memegangi leher. Tak lama kemudian me-

reka berkelojotan dan terkulai lemas.

’'Tunggu, Kisanak!” desis Sekar Arum seraya 

memburu bayangan putih yang melesat ke arah bela-

kang kedai.

*

* *

5

Kebo Dungkul tak bisa menebak siapa manusia 

yang telah membunuh ketiga anak buahnya itu. Se-

waktu ia berhasil menjernihkan pandang matanya, di 

tempat itu tak ada lagi seorang pun yang bisa ditanyai. 

Ia hanya bisa menatap ketiga mayat yang lehernya 

hampir putus.

Akan tetapi, ia bisa memastikan bahwa pembu-

nuh ketiga anak buahnya itu orang yang berilmu ting-

gi. Dalam sekejap pembunuh itu bisa menguasai golok-

golok lawan dan menggorokkan ke leher-leher lawan-

nya. Dan, dengan ilmu setannya pembunuh itu mam-

pu melemparkan kuning telur mentah tanpa menyer-

takan putih telurnya. Tentulah bukan dengan tangan, 

melainkan dengan mulut!

Sementara Kebo Dungkul memutar otaknya 

mencari-cari jawaban, Sekar Arum pun belum berhasil


menemukan orang yang telah menolongnya. Selain ia 

ingin mengucapkan terima kasih, ia juga ingin berke-

nalan dengan pendekar berilmu tinggi itu. Meskipun 

ketiga anak buah Kebo Dungkul bukan lawan yang be-

rarti, tak akan dalam sekejap terbunuh jika tidak oleh 

seseorang yang berilmu tinggi. Lagi pula, baru kali ini 

Sekar Arum gagal mengejar bayangan yang sempat 

nampak di mata. Di Pantai Selatan, ia sudah terbiasa 

berkejaran dengan burung walet. Dan, tadi pun ia 

mengerahkan Jurus Walet Menyambar Mangsa sewak-

tu mengejar bayangan serba putih itu. Toh dia tidak 

berhasil menyusul!

’’Dalam dunia persilatan, hanya ada satu orang 

yang ilmu meringankan tubuhnya tak tertandingi!” 

Mengiang kembali kata-kata Ki Sempani di telinga ga-

dis itu.

’’Pendekar Perisai Naga! Ya, tak salah lagi!” de-

sis Sekar Arum menyimpulkan.

Tetapi, bukankah dia sudah terbunuh oleh 

Empu Wadas Gempal dan Hantu Lereng Lawu tiga pu-

luh tahun yang lalu? Gadis itu kembali diliputi kera-

guan. Atau, mungkinkah dia tadi murid pendekar sakti 

itu? Ah, menurut cerita Guru, Pendekar Perisai Naga 

tak pernah mau mengangkat siapa pun menjadi mu-

ridnya. Sampai kemudian ia tewas oleh kelicikan Em-

pu Wadas Gempal. Lalu, siapa pendekar budiman yang 

telah menolongku tadi?

Dan, gadis itu semakin sangsi sebab ia tadi tak 

mendengar suara lecutan cambuk seperti yang pernah

diceritakan Ki Sempani.

Gadis itu melangkah sambil terus memikirkan 

pendekar berpakaian serba putih yang hanya selinta-

san dilihatnya tadi. Bukan hanya pakaiannya yang 

berwarna putih, melainkan rambutnya pun berwarna


putih. Artinya, pendekar tadi memang sudah lanjut 

usia. Setidaknya seusia dengan Ki Sempani.

Sekar Arum memang bocah kemarin sore yang 

belum berpengalaman di dunia persilatan. Lima belas 

tahun yang lalu, ia bahkan belum ada di bumi ini. Ia 

masih dalam kandungan ibunya. Umur sebelas tahun, 

mulailah ia mengenal jurus-jurus silat sebab kedua 

orang tuanya menyerahkannya kepada Ki Sempani. 

Karena kecerdikannya, dalam waktu empat tahun ga-

dis kecil itu telah menguasai sebagian besar ilmu silat 

yang diturunkan oleh Ki Sempani. Namun demikian, Ki 

Sempani tetap menyadari bahwa muridnya ini belum 

layak bertanding dengan orang-orang sesat macam Ke-

bo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu.

Sebelum Sekar Arum nekat meninggalkan Pa-

depokan Karang Bolong, sekali lagi Ki Sempani mence-

ritakan jahatnya dunia persilatan agar gadis itu mawas 

diri. Akan tetapi, darah muda yang mengalir di tubuh 

gadis itu membuat gadis itu ingin secepatnya mencoba 

ilmu silat yang didapatkannya dari gurunya. Itulah ke-

napa Sekar Arum sengaja melintasi kedai yang menjadi 

tempat mabuk-mabukan Kebo Dungkul dan anak 

buahnya.

Beruntung sewaktu gadis itu tak lagi berdaya 

menghadapi Kebo Dungkul, tiba-tiba muncul Wiku Ja-

ladri menyelamatkannya!

*

* *

”Ki Sempani memang bukan orang lain bagiku. 

Akan tetapi, aku sengaja menghilang dari pandang ma-

ta muridnya agar Ki Sempani tidak kaget mendengar 

cerita tentang kemunculanku kembali, ” kata Wiku Ja


ladri setelah menceritakan perihal Sekar Arum, murid 

Ki Sempani.

’’Berarti, Ki Sempani percaya bahwa Kiai sudah 

tewas tiga puluh tahun yang lalu?” tanya Joko Sung-

sang.

’’Begitulah menurut apa yang aku dengar.”

’’Karena tidak ingin dikenali murid Ki Sempani 

maka Kiai tidak juga membawa-bawa Perisai Naga?” 

’’Perisai Naga sudah menjadi milikmu, Joko 

Dan, sejak kau mewarisi ilmu Perisai Naga, maka kau-

lah yang harus bergelar Pendekar Perisai Naga. ”

Joko Sungsang mencium lutut Wiku Jaladri se-

bagai Ungkapan rasa harunya. Saking terharunya, 

sampai-sampai lidahnya tak mampu berucap sepatah 

kata pun.

’’Kebo Dungkul sendiri tidak akan mengenali 

aku sore tadi. Sengaja matanya yang tinggal sebelah 

itu aku tutup dengan kuning telur ayam yang aku am-

bil dari kedai itu. Hantu Lereng Lawu, bahkan Empu 

Wadas Gempal akan bingung mendengarkan laporan 

dari Kebo Dungkul.”

’’Bagaimana jika mereka menganggap Ki Sem-

pani yang mempecundangi Kebo Dungkul, Kiai?”

”Itu sudah ada dalam perhitunganku, Joko. 

Aku tidak ingin mereka menaruh dendam kepada Ki 

Sempani. Karena itu aku sengaja meminjam golok me-

reka untuk membungkam mulut mereka, anak buah 

Kebo Dungkul itu. Empu Wadas Gempal maupun Han-

tu Lereng Lawu tahu persis bagaimana tabiat aneh Ki 

Sempani. ”

’’Tabiat aneh?” Dahi Joko Sungsang berkerut-

kerut.

’’Bukankah aneh jika ada orang yang tidak mau 

melihat musuh bersimbah darah?”


’’Lalu, bagaimana cara dia melumpuhkan mu-

suh-musuhnya, Kiai?”

’’Dengan pukulan yang merontokkan isi dada 

lawan. Itulah yang dikenal dengan Pukulan Ombak 

Laut Selatan!”

Joko Sungsang manggut-manggut paham. Lalu, 

katanya, ’’Terima kasih, untuk kedua kalinya Kiai sudi 

membiarkan Kebo Dungkul tetap hidup.”

’’Pendekar-pendekar dari golongan putih tidak 

akan membunuh lawan yang menjadi musuh bebuyu-

tan pendekar segolongannya. Apalagi Kebo Dungkul 

musuh bebuyutan muridku sendiri,” sahut Wiku Jala-

dri memberikan penjelasan.

’’Maafkan saya, Kiai,” sahut Joko Sungsang 

dengan perasaan bersalah.

’’Sekali lagi aku katakan kepadamu, Joko, bah-

wa setelah kau pergi dari dasar jurang ini, berarti tu-

gas-tugasku sudah aku limpahkan kepadamu. Dan, 

camkan sekali lagi bahwa di dunia ini tidak ada manu-

sia yang paling sakti. Kau harus tetap yakin bahwa 

masih banyak pendekar yang ilmunya jauh lebih tinggi 

darimu. Selama kau ingat pesanku ini, kau tidak akan 

pongah dalam menghadapi segala macam rintangan.” 

’’Saya akan laksanakan tugas tugas yang telah 

Kiai bebankan ke pundak saya. Saya tidak akan seke-

lumit pun melupakan nasihat dan pesan-pesan Kiai.”

”Kau bisa menemui ibumu di Desa Dadapsari, 

Joko. Di desa itu juga kau akan bertemu dengan Sekar 

Arum, murid Ki Sempani itu. Cobalah kau bujuk dia 

agar kembali ke Padepokan Karang Bolong. Sifat pon-

gah dan kekerasan hatinya membuatnya hampir saja 

celaka.”

’’Apakah Kiai mengizinkan saya bertemu den-

gan Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong?” tanya


Joko Sungsang ragu-ragu.

’’Kunjung-mengunjungi sesama pendekar me-

mang baik sekali. Aku senang sekali jika kau bisa 

membawa kabar tentang aku kepada Ki Sempani.”

’’Saya akan merasa bangga bisa mewakili Kiai 

menemui pendekar semacam Ki Sempani. Tetapi, apa 

kiranya Ki Sempani masih mau percaya jika saya men-

gaku sebagai murid Kiai? Sebab, seperti yang Kiai ka-

takan bahwa Ki Sempani sendiri percaya bahwa Kiai 

telah tewas.”

’’Perisai Naga di pinggangmu akan bercerita 

tentang siapa kamu meskipun kamu datang ke Karang 

Bolong dengan mulut membisu.”

”Ah, saya hampir lupa, Kiai,” sahut Joko Sung-

sang sambil meraba Perisai Naga yang melingkari 

pinggangnya.

’’Pergilah, Joko. Tetapi, sebelum kau benar-

benar meninggalkan dasar jurang ini, tutuplah pintu 

gua biar aku tenang menghabiskan sisa waktuku di 

sini.”

’’Maksud, Kiai?” Mata Joko Sungsang membela-

lak.

’’Jangan seperti anak kemarin sore. Takdir Tu-

han telah menuliskan segalanya tentang kita. Pergilah, 

dan jangan lagi kau tambahi beban pikiranmu dengan 

memikirkan tentang nasibku di gua ini.”

’’Kiai....” Joko Sungsang menubruk kedua tela-

pak kaki Wiku Jaladri dan menciumi telapak kaki itu.

*

* *

Desa Cemara Pitu adalah desa pertama yang 

disinggahi Joko Sungsang dalam perjalanannya menu


ju Desa Dadapsari. Dinamakan Desa Cemara Pitu ka-

rena di ujung jalan yang membelah desa itu tertanam 

tujuh batang pohon cemara. Menurut kabar burung, 

tujuh pohon cemara itu sudah berumur ratusan tahun 

dan tak seorang pun berani mengganggu kelestarian 

pohon-pohon itu. Konon, ketujuh pohon itu tak bisa 

ditumbangkan oleh tenaga apa pun.

Fajar baru saja merekah ketika Joko Sungsang 

memasuki mulut desa itu. Udara pegunungan masih 

terasakan oleh Joko Sungsang. Namun, di pagi yang 

masih dingin itu, suasana di desa itu tak ubahnya su-

asana siang hari. Penghuni desa sudah bertebaran di 

sawah-sawah. Seolah-olah mereka telah bekerja bebe-

rapa jam sehingga keringat membuat tubuh mereka 

berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.

Joko Sungsang menikmati pemandangan pagi 

hari di mulut desa yang sudah hampir tujuh tahun tak 

dinikmatinya. Selama berada di dasar jurang bersama 

Wiku Jaladri, ia hanya bisa menikmati pepohonan 

yang menjulang dan dihiasi suara binatang liar dan 

buas. Maka Joko Sungsang menghirup napas sepenuh 

dada. Ingin ia menghirup udara pagi di desa sepuas-

puasnya.

Akan tetapi, keindahan pagi itu rusak oleh da-

tang-nya serombongan orang berkuda. Debu jalanan 

mengepul menghalau kabut tipis yang menyelimuti ja-

lanan.

Joko Sungsang menyelinap ke balik pohon ce-

mara yang terbesar. Ia tidak ingin kehadirannya di de-

sa itu tercium oleh orang-orang dari kalangan persila-

tan. Dan, tentunya orang-orang berkuda itu bukan 

penduduk Desa Cemara Pitu yang tak mengenal seluk-

beluk dunia persilatan. Mereka pastilah datang dari 

suatu tempat dan membawa-bawa nama perguruan


mereka

’’Berhenti!” teriak lelaki yang berkuda paling 

depan memberikan aba-aba kepada lima orang yang 

berkuda di belakangnya.

Lelaki tinggi besar yang mengenakan baju tan-

pa lengan ini agaknya pimpinan rombongan. Sebilah 

pedang menyilang di punggungnya. Mata lelaki itu me-

rah seperti mata orang yang tak pernah tidur. Kumis-

nya yang tebal dan panjang dipelintir sehingga mem-

bentuk sumping wayang. Celana pangsi hitam yang di-

kenakannya dihiasi kain berwarna kuning emas. Ada 

kesan bahwa dia datang sebagai punggawa kerajaan,

’’Kenapa berhenti di sini, Kakang?” tanya lelaki 

kedua yang agaknya orang kepercayaan lelaki pertama. 

Dua bilah pedang pendek menggelantung di pinggang 

kanan-kiri lelaki Ini.

’’Kita lihat apakah mereka bekerja bersungguh-

sungguh,” jawab lelaki pertama

’’Mereka memang bekerja bersungguh-sungguh. 

Hanya saja, mereka memang keberatan menyerahkan 

hasil sawah mereka kepada kita,” kata lelaki kedua.

’’Kalau begitu, kita laksanakan saja perintah 

Kakang Adipati, Ambil semua kekayaan desa ini! Bu-

nuh dan bakar rumah mereka yang coba-coba mela-

wan!” 

”Apa tidak sebaiknya sekali lagi kita perin-

gatkan, Kakang?”

Pimpinan rombongan itu tidak lagi mendengar-

kan ucapan orang kedua. Ia langsung berteriak, men-

gerahkan anak buahnya agar menggiring orang-orang 

yang sedang bekerja di sawah itu berkumpul di bawah 

tujuh pohon cemara itu.

ingin sebenarnya Joko Sungsang tetap men-

dengarkan pembicaraan mereka. Akan tetapi, jika nan


ti orang-orang itu sudah berkumpul, tentulah salah 

seorang dari mereka akan melihatnya bersembunyi di 

balik pohon terbesar itu.

Maka dengan Ilmu Harimau Mengincar Kijang, 

Joko Sungsang bergeser menjauh tanpa menimbulkan 

suara sama sekali. Kemudian ia melenting dan hinggap 

di dahan yang paling rimbun daunnya.

Orang-orang yang tadi bekerja di sawah mulai 

berkumpul dan duduk bersila di depan kuda yang di-

tunggangi pemimpin rombongan berkuda itu.

’’Siapa yang dituakan di desa ini?” tanya pimpi-

nan rombongan itu dari punggung kudanya.

Orang-orang yang kini berwajah pucat karena 

takut itu saling memandang satu sama lain.

"Kalian ini bisu apa tuli?” bentak lelaki yang 

berpedang dua.

’’Saya yang paling tua....”'

’’Goblok!” sergah pimpinan rombongan sambil 

memajukan kudanya sehingga kaki depan kuda itu 

hampir menyentuh hidung lelaki tua yang tadi menja-

wab.

”Yang dituakan! Bukan yang paling tua!” kata 

lelaki berpedang dua memberikan penjelasan.

”Hei, sekarang kamu saja aku tunjuk sebagai 

pimpinan kalian semua. Nah, sekarang dengarkan pe-

rintahku. Sebelum tengah hari nanti, kalian sudah ha-

rus mengumpulkan seluruh padi yang ada di lumbung 

desa ini. Mengerti?”

"Kami tidak pernah menyimpan persediaan pa-

di.”

”Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau siang 

nanti kalian tidak menyiapkan apa yang aku minta, 

aku rata-kan desa ini dengan tanah!” sergah pimpinan 

rombongan itu seraya menyepak perut kudanya. Maka


lima kuda yang lainnya memburu derap kuda pimpi-

nan rombongan itu meninggalkan mulut Desa Cemara 

Pitu.

’’Kenapa tidak kita lawan saja mereka?” Berkata 

seorang pemuda yang duduk menyandar pada salah 

satu pohon cemara.

’’Kenapa kau tadi diam saja? Bicara jangan asal 

buka mulut!” bentak kakek-kakek yang tadi berbicara 

dengan orang-orang berkuda itu.

’’Sama-sama mati, memang lebih baik kita me-

lawan,” sahut lelaki yang tadi duduk di samping ka-

kek-kakek itu.

”Kau tidak memikirkan bagaimana nasib anak 

dan istrimu di rumah?” sahut yang lainnya lagi.

’’Lalu, dari mana kita bisa dapatkan padi se-

lumbung seperti yang mereka inginkan?”

Hening. Mereka semua menekuri tanah. Daun 

cemara berdesau-desau. Dan, di antara desau daun 

cemara inilah terdengar siulan mirip siulan burung 

emprit gantil. Seperti dikomando, mereka semua me-

nengadahkan kepala mencari-cari arah datangnya si-

ulan. Mereka sadar bahwa yang mereka dengar siulan 

manusia, bukan siulan burung.

’’Gusti Allah!” desis mereka berbarengan sambil 

melebarkan mata memandang Joko Sungsang yang ti-

duran di dahan cemara. Besar dahan yang ditiduri 

anak muda itu tak lebih besar dari gagang cangkul!

*

* *

6

Dari penjelasan penduduk desa, akhirnya Joko 

Sungsang tahu siapa mereka yang datang berkuda dan 

hendak merampas kekayaan Desa Cemara pitu tadi. 

Mereka adalah orang-orang kepercayaan Adipati So-

rengdriyo. Pimpinan rombongan itu bernama Mahesa 

Lawung. Di sekitar Kadipaten Banyu Asin, nama Ma-

hesa Lawung memang sangat ditakuti, ilmu silatnya 

setingkat di bawah ilmu silat Adipati Sorengdriyo. Na-

mun, kekejamannya dua tingkat di atas kekejaman 

sang adipati.

Mengingat kekejaman Mahesa Lawung ini maka 

para penduduk Desa Cemara Pitu terpaksa harus me-

nyerahkan sebagian besar hasil panen mereka kepada 

Adipati Sorengdriyo. Kalaupun sekarang mereka mem-

bangkang, tidak berarti bahwa mereka siap melawan 

Mahesa Lawung dan anak buahnya. Mereka kali ini 

memang tidak memetik hasil sawah mereka akibat 

serbuan hama tikus.

’’Akan tetapi, mana mereka mau tahu alasan 

kami, Anakmas?” kata lelaki tertua di antara pendu-

duk yang berkerumun di bawah tujuh pohon cemara 

itu.

’’Kalau begitu, sebaiknya siang nanti tak seo-

rang pun keluar dari rumah. Biar saya yang mengha-

dapi Mahesa Lawung dan kawan-kawannya,” kata Jo-

ko Sungsang.

’’Mereka orang-orang kejam, Anakmas,” kata 

seorang lelaki yang berdiri di samping lelaki tua itu.

’’Karena mereka kejam maka saya ingin mewa-

kili penduduk desa ini menemui mereka.”

’’Biar saya membantu Kisanak!” kata seorang


pemuda. Joko Sungsang tahu, inilah pemuda yang tadi 

memiliki gagasan untuk melawan para penjarah itu.

’’Terima kasih. Tetapi, saya akan mencoba 

menghadapi mereka seorang diri. Saya tidak mau me-

libatkan seorang pun penduduk desa ini. Kalaupun 

mereka menaruh dendam, biarlah mereka mendendam 

kepada saya. Tetapi, saya akan mengusahakan agar 

mereka tidak menaruh dendam.”

’’Berarti, Kisanak harus membunuh mereka 

semua!”

’’Tidak. Bahkan saya tidak akan melukai mere-

ka jika tidak terpaksa. ”

’’Mereka tidak akan takut kepada orang asing 

seperti Kisanak!”

’’Betul, Anakmas. Mereka hanya takut kepada 

Hantu Lereng Lawu.”

Dahi Joko Sungsang berkerut-kerut. Lalu ka-

tanya, ’’Apakah ada hubungannya antara Adipati So-

rengdriyo dengan Hantu Lereng Lawu?”

’’Betul, Anakmas. Semenjak Adipati Sorengdriyo 

dikalahkan Hantu Lereng Lawu, semenjak itulah hasil 

panen kami harus kami serahkan sebagian besar ke 

kadipaten. ”

’’Padahal dulu kabarnya Adipati Sorengdriyo 

orang baik-baik dan dicintai rakyat, ” sahut pemuda 

yang lain lagi.

’’Artinya, Adipati Sorengdriyo diperalat oleh 

Hantu Lereng Lawu,” sahut Joko Sungsang.

’’Tepatnya memang begitu!” Hampir bersamaan 

mereka menjawab.

’’Saya akan bicara dengan Hantu Lereng Lawu!”

’’Apa?” Mata mereka membelalak.

’’Tidak berarti saya ini teman Hantu Lereng La-

wu. Tetapi, kebetulan saja saya memang ingin mene


muinya. Saya ada urusan tersendiri dengan orang se-

sat dari Lereng Lawu itu.”

’’Barangkali Kisanak mau membalas dendam?” 

tanya pemuda yang punya semangat melawan kejaha-

tan itu.

’’Ayah saya tewas di tangan anak buah Hantu 

Lereng Lawu!” jawab Joko Sungsang dengan geraham 

mengeras.

”Oooh,” desah mereka bersamaan.

Kemudian mereka bubar dan pulang ke rumah 

masing-masing atas saran dari Joko Sungsang. Sebe-

lum mereka bubaran, sekali lagi Joko Sungsang berpe-

san agar tidak seorang pun penduduk keluar dari ru-

mah mereka sewaktu rombongan dari Kadipaten 

Banyu Asin itu datang.

Joko Sungsang terpaksa menunda perjalanan-

nya hingga siang hari. Ia merasa terpanggil untuk 

membantu mengamankan desa itu. Ia tidak ingin desa 

itu bernasib sama dengan Desa Sanareja, desa kelahi-

rannya. Kalau benar bahwa Hantu Lereng Lawu dan 

anak buahnya mencari-cari Pendekar Perisai Naga se-

perti yang diceritakan Wiku Jaladri, maka urusan den-

gan Desa Cemara Pitu akan dilupakannya!

Lagi pula, Joko Sungsang merasa pasti bahwa 

Adipati Sorengdriyo berbuat demikian karena terpaksa. 

Mungkin ia merasa putus asa sebab merasa tidak ada 

orang yang berpihak kepadanya.

Matahari persis berada di atas pohon cemara 

sewaktu rombongan yang dipimpin Mahesa Lawung 

kembali memasuki mulut Desa Cemara Pitu. Mereka 

datang dengan kereta kuda yang bakal dipakai untuk 

mengangkut hasil jarahan. Rupanya mereka begitu ya-

kin bahwa penduduk Desa Cemara Pitu pasti menye-

diakan hasil bumi yang mereka inginkan.



Tiba-tiba saja derap kaki kuda mereka terhenti. 

Mata mereka menengadah ke atas, mengikuti gerak 

tubuh Mahesa Lawung yang tiba tiba saja melayang ke 

atas dan bertengger di sebuah dahan cemara. Kuda 

yang tadi ditungganginya kini melesat tanpa terkenda-

likan.

Mahesa Lawung tidak gegabah melayang turun 

dari dahan pohon itu. Bukan berarti ia takut turun, la 

pun memiliki ilmu meringankan tubuh seperti layak-

nya orang orang dari dunia persilatan. Tak akan ia me-

rasa ngeri kalau hanya turun dari ketinggian sepuluh 

tombak. Namun, ia sadar bahwa kini ia sedang berha-

dapan dengan lawan yang berilmu tinggi. Entah den-

gan ilmu setan mana, anak muda itu membawanya 

terbang dengan lilitan cambuk di leher. Dan, cambuk 

itu kini masih melilit lehernya. Dengan sekali hentak, 

Mahesa Lawung bisa membayangkan apa yang bakal 

menimpa dirinya.

Cambuk milik Joko Sungsang melilit di leher 

Mahesa Lawung! Dia tidak berani gegabah terhadap 

pemuda itu. Karena dengan sekali hentak, Mahesa La-

wung bisa membayangkan apa yang bakal menimpa 

dirinya!

’’Anak muda, aku merasa tidak punya urusan 

denganmu. Kenapa kau membuat persoalan dengan-

ku?” kata Mahesa Lawung hati-hati.

’’Mulai detik ini, kau dan anak buahmu harus 

berurusan denganku!” jawab Joko Sungsang. Lalu, 

dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata, tiba-

tiba saja cambuk yang tadi melilit leher Mahesa La-

wung telah melingkar di telapak tangan anak muda 

itu.

’’Apakah tidak lebih baik kita bicara di bawah 

agar anak buahku bisa ikut mendengarkan apa yang


kau. bicarakan?”

’’Memang sebaiknya begitu,” sahut Joko Sung-

sang lalu mendahului melayang turun.

Semua anak buah Mahesa Lawung memundur-

kan kuda mereka ketika anak muda yang berpakaian 

serba putih itu mendarat di tanah. Mereka sadar bah-

wa anak muda ini bukan sembarang anak ingusan 

seusianya. Apalagi tadi mereka melihat pimpinan me-

reka pun tidak berani gegabah menghadapi anak ingu-

san ini.

’’Kisanak, katakan apa maumu dan apa uru-

sanmu sehingga berani menghentikan perjalanan ka-

mi!” kata Mahesa Lawung begitu berhadapan dengan 

Joko Sungsang di tanah.

’’Bukankah kalian mau mengambil hasil panen 

penduduk desa ini?”

"Kalaupun iya, aku kira tidak ada urusan den-

ganmu, Kisanak”

’’Justru harus berurusan denganku!” sahut Jo-

ko Sungsang. ’’Lihatlah, betapa sepi desa ini. Kalian 

tak akan menemukan seorang pun penduduk desa ini. 

Mereka semua sudah aku usir dari desa ini Nah, su-

dah jelas, bukan? Desa ini sekarang ada dalam kekua-

saanku'”

Meski memiliki rasa cemas berhadapan dengan 

Joko Sungsang, di depan anak buahnya yang begitu 

memujanya Mahesa Lawung tetap harus menunjuk 

kan keberaniannya. Toh kalau memang terjadi perke-

lahian, ia tidak seorang diri menghadapi pendekar in-

gusan ini..

’’Kau pikir aku mempercayai bualan mu? Jan-

gan coba-coba kau menakut-nakuti kami dengan bua-

lan mu itu!” kata Mahesa Lawung seraya meraba ga-

gang pedangnya.


’’Kau bilang aku membual?” Berkata begini Jo-

ko Sungsang lalu melecutkan Perisai Naga ke arah tali 

pedang yang melintang di dada Mahesa Lawung. Tak 

pelak lagi, sarung pedang Mahesa Lawung terjatuh se-

bab tali yang menahannya terputus Kalau saja gagang 

pedang itu tidak tergenggam tangan Mahesa Lawung, 

tentulah nasib pedang itu akan sama dengan nasib sa-

rungnya

’’Bedebah! Berani kau menghinaku!’ Mata Ma-

hesa Lawung mendelik Akan tetapi, untuk langsung 

menyerang lawannya, ia masih harus berpikir dua kali.

’’Serahkan anak tikus ini kepadaku, Kakang” 

kata lelaki yang menyandang dua bilah pedang di 

pinggulnya. Dengan gesit lelaki itu meloncat dari 

punggung kuda dan berdiri gagah di depan Joko Sung-

sang ’’Lompati dulu mayatku sebelum kau hinakan

Kakang Mahesa Lawung, Anak Tikus!”

’’Kita lihat saja siapa yang pantas jadi anak ti-

kus!” sahut Joko Sungsang setelah melingkarkan Peri-

sai Naga di pinggangnya.

’’Bosan hidup!” seru lelaki itu sambil men-

gayunkan dua bilah pedangnya dengan gerakan meng-

gunting.

Joko Sungsang melipat lutut kanannya dan 

membuang kaki kirinya lurus ke belakang sehingga 

dua bilah pedang itu berdesing di atas kepalanya. Se-

belum lawan menarik kembali pedang-pedangnya, se-

cepat kilat Joko Sungsang menggebrak kedua siku la-

wan.

”Augh!” Lelaki itu melompat ke belakang dan 

kedua pedangnya tergeletak di tanah. Tak kuasa lagi 

kedua tangan itu menggenggam pedang.

Melihat orang andalannya patah siku dalam se-

kali gebrak, Mahesa Lawung semakin berhati-hati


menghadapi Joko Sungsang. Namun begitu, tetap saja 

ia merasa malu untuk merendahkan diri di depan 

anak buah-nya. Maka katanya sambil menimang-

nimang pedang, ’’Sebelum aku mencincang tubuhmu, 

ada baiknya aku mengetahui siapa namamu, Kisanak”

”Tak perlu kau mencincangku, Mahesa Lawung. 

Hantu Lereng Lawu akan marah kepadamu jika kau 

lancang membunuh musuh besarnya!”

’’Dasar mulut besar!” seru salah seorang anak 

buah Mahesa Lawung seraya menusukkan tombak ke 

arah dada Joko Sungsang.

Hanya dengan mengegoskan sedikit. badannya, 

Joko Sungsang berhasil meloloskan diri dari tusukan 

tombak itu. Kemudian, punggung telapak kaki kirinya 

bergerak cepat ke arah perut si penyerang.

’’Hukkk!” Lelaki bertombak itu tersungkur.

”Kau tetap ingin tahu namaku, Mahesa La-

wung?” tanya Joko Sungsang tanpa mempedulikan la-

wan yang tengkurap di samping kaki kirinya, ’’Atau, 

kau sendiri juga ingin menyerangku seperti kedua 

anak buahmu yang bodoh itu?”

”Kau sudah tahu namaku, sudah selayaknya 

jika aku pun tahu namamu!”

”Aku akan berterima kasih sekali jika kau mau 

menyampaikan pesanku kepada Hantu Lereng Lawu. 

Katakan kepadanya bahwa Pendekar Perisai Naga me-

nunggunya di sini pada malam purnama bulan ini!” 

’’Pendekar Perisai Naga?” desis salah seorang 

anak buah Mahesa Lawung.

’’Tunggu!” katanya seraya maju beberapa lang-

kah. ’’Senjata yang kau miliki memang mengingatkan-

ku pada cerita tentang Pendekar Perisai Naga. Tetapi, 

jangan kau pikir kami akan begitu saja mempercayai 

ucapanmu!”


”Aku tidak akan memaksa kalian untuk per-

caya. Hanya saja, jika kalian tetap ingin membunuhku, 

sama halnya kalian menghina Hantu Lereng Lawu. 

Sudah kukatakan bahwa Hantu Lereng Lawu meng-

hendaki nyawaku, bukan?”

’’Pendekar Perisai Naga sudah mampus di Ju-

rang Jero puluhan tahun yang lalu! Bagaimana mung-

kin kau mengaku ngaku sebagai Pendekar Perisai Na-

ga?” kata Mahesa Lawung. Serta-merta ia ingat penje-

lasan dari Adipati Sorengdriyo tentang Pendekar Peri-

sai Naga.

”Apa kalian dan orang orang yang menyebar ce-

rita itu menemukan mayatnya?” balik Joko Sungsang.

"Ya. Tetapi, pendekar itu umurnya sudah lebih 

dari empat puluh tahun sewaktu menghilang dari du-

nia persilatan! Kau? Aku kira tak lebih dari usia anak-

ku!”

"Apa salahnya jika aku mewarisi namanya? Toh 

aku mewarisi ilmu silatnya. Juga mewarisi Perisai Na-

ga! Menurutku, hanya orang yang memegang Perisai 

Naga yang berhak mengaku sebagai Pendekar Perisai 

Naga!»

Hening sejenak. Mahesa Lawung dan anak 

buah-nya mulai dilanda keraguan. Kalau benar yang 

mereka hadapi ini Pendekar Perisai Naga, memang me-

reka harus menyampaikan berita ini kepada Hantu Le-

reng Lawu. Tetapi, kalau anak muda ini hanya mem-

bual?

"Nah, aku tidak punya banyak waktu untuk 

berbicara dengan kalian. Kalau memang kalian hendak 

nekat mengeroyokku keroyoklah! Tetapi, jangan me-

nyesal jika kalian dicincang Hantu Lereng Lawu. Itu 

pun kalau kalian selamat dari cambukku!” gertak Joko 

Sungsang.


"Bukan aku takut menghadapimu, Kisanak. 

Aku akan tetap mencarimu jika ternyata kau hanya 

membual! Aku anggap bahwa sebenarnya kau tidak 

berani menghadapiku maka lalu kau karang cerita ten-

tang Pendekar Perisai Naga tadi!” kata Mahesa Lawung 

seraya memberikan isyarat kepada anak buahnya agar 

bergerak pergi.

*

* *

Joko Sungsang tersenyum-senyum memandan-

gi kepergian mereka. Kemudian ia meledakkan Perisai 

Naga tiga kali sebagai isyarat agar para penduduk desa 

keluar dari persembunyian masing-masing Setelah me-

reka berkumpul dengan wajah terkagum kagum, Joko 

Sungsang berkata, 

’’Sekarang desa ini tidak akan mereka ganggu 

lagi. Hanya saja, saya mohon izin menemui mereka lagi 

di sini pada malam purnama bulan ini. Maaf, saya ha-

rus secepatnya melanjutkan perjalanan.

"Anakmas, apakah tidak sebaiknya Anakmas 

istirahat dulu barang semalam di desa ini agar kami 

bisa menjamu Anakmas?” kata lelaki tertua itu mewa-

kili penduduk desa,

’’Terima kasih, Ki Mungkin lain waktu saya bisa 

mampir lagi untuk menikmati keindahan pemandan-

gan di sini ”

’’Kami sungguh berhutang budi kepada Anak-

mas”

’’Saya pun sangat senang menerima keper-

cayaan dari penduduk desa ini, Ki. Maaf jika saya ter-

paksa mengecewakan penduduk desa ini dengan me


nolak jamuan makan". Joko Sungsang tak lagi me-

nunggu reaksi mereka. Sekali berkelebat, ia telah 

menghilang dari pandang mata penduduk desa itu

’’Sejak Pendekar Perisai Naga menghilang, baru 

kali ini muncul pendekar budiman lagi,” kata lelaki ter-

tua itu seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

’’Atau, siapa tahu dia tadi murid Pendekar Peri-

sai Naga?” sahut yang lain.

"Kalau memang benar dia murid Pendekar Peri-

sai Naga, artinya tidak benar berita yang aku terima ti-

ga puluh tahun yang lalu "

’’Berita apa yang kau dengar, Ki?” tanya pemu-

da yang memiliki semangat juang itu.

’’Menurut kabar, Pendekar Perisai Naga tewas 

di tangan Hantu Lereng Lawu....”

’’Gusti Allah! Lagi-lagi Hantu Lereng Lawu!” de-

sah pemuda itu sambil mengepalkan tinjunya.

’’Mudah-mudahan saja anak muda tadi bisa 

membuktikan bahwa Pendekar Perisai Naga masih hi-

dup sampai detik ini. Dan, kalau saja Adipati So-

rengdriyo tahu, ia akan memiliki keberanian untuk 

melawan orang sesat dari Lereng Lawu itu.”

*

* *

7

Adipati Sorengdriyo memicingkan mata men-

dengarkan penjelasan dari Mahesa Lawung tentang 

munculnya Pendekar Perisai Naga. Ia tidak begitu saja 

mempercayai laporan itu. Namun, untuk membantah, 

ia pun tidak berani. Dalam hatinya timbul harapan, ji



ka benar Pendekar Perisai Naga masih hidup, artinya 

ia akan terlepas dari cengkeraman Hantu Lereng Lawu. 

Sudah bisa dipastikan bahwa kemunculan Pendekar 

Perisai Naga berarti kematian bagi Hantu Lereng Lawu.

"Sekarang, coba kau ceritakan bagaimana ciri-

ciri anak muda itu,” kata Adipati Sorengdriyo penasa-

ran.

”ia berpakaian serba putih, rambut digelung 

kecil di atas kepala, memakai ikat kepala kulit ular, 

dan bercambuk kulit ular juga, Kakang Adipati,’ jawab 

Mahesa Lawung.

’’Ciri-cirinya memang mirip dengan ciri-ciri Wi-

ku Jaladri” Adipati Sorengdriyo manggut-manggut ”Te-

tapi, bisa saja setiap orang meniru pakaian orang lain. 

Tetapi, tunggu! Kau perhatikan bagaimana ujud cam-

buk kulit ular yang dibawanya?”

"Bagaimana tidak aku perhatikan, Kakang Adi-

pati? Cambuk itu sempat melilit leherku dan bola ber-

duri di ujungnya seperti menggigit-gigit urat leher-

ku....”

’’Bola berduri itu berwarna hijau-kebiru-

biruan?”tukas Adipati Sorengdriyo

’’Benar, Kakang Adipati. Dan, bola itu juga yang 

memutuskan tali pengikat pedangku. Anehnya, bola 

berduri Itu seperti tidak menyentuh dadaku.”

’’Kalau begitu, sudah pasti dia murid Wiku Ja-

ladri! Ya, tidak akan ada lagi manusia yang bersenja-

takan Perisai Naga kalau bukan orang yang berhubun-

gan erat dengan Wiku Jaladri alias Pendekar Perisai 

Naga!” Akhirnya Adipati Sorengdriyo berani mengambil 

kesimpulan.

”Lalu, menurut Kakang Adipati, langkah apa 

yang harus kita ambil? Maksudku, apa kita harus me-

nyampaikan pesan itu kepada Hantu Lereng Lawu,


atau...?” 

’’Atau kau pilih dicekik Hantu Lereng Lawu!” 

tukas Adipati Sorengdriyo kesal ’’Tentu saja harus se-

cepatnya kita sampaikan berita ini kepada orang sesat 

itu! Dengan begitu, secepatnya pula kita akan terbebas 

dari cengkeramannya Lawung.

’’Kakang Adipati yakin anak muda itu akan 

mampu menghadapi Hantu Lereng Lawu?”

’’Akan kita atur siasat agar dia menang dalam 

pertarungan mereka di Desa Cemara Pitu nanti1”

’’Siasat?” Mahesa Lawung melongo. Benar be-

nar ia tidak mengerti jalan pikiran Adipati Sorengdriyo 

ini.

”Aku percaya, Kebo Dungkul tidak akan ber-

diam diri melihat Hantu Lereng Lawu bertarung mela-

wan anak muda itu. Untuk itu, kita harus membuat 

siasat agar Kebo Dungkul tidak bisa membantu Hantu

Lereng Lawu.”

’Bagaimana jika Empu Wadas Gempal ikut tu-

run tangan, Kakang Adipati?”

Adipati Sorengdriyo seperti tersadar dari mimpi. 

Ia menghela napas berat. Angan-angannya untuk bisa 

lepas dari cengkeraman orang-orang sesat dari Lereng 

Lawu itu pun buyarlah. Bagaimanapun tingginya ilmu 

anak muda yang mengaku sebagai murid Wiku Jaladri 

itu, tak akan mampu ia menghadapi ilmu iblis Empu 

Wadas Gempal.

’’Kalaupun kita kerahkan seluruh orang di Ka-

dipaten Banyu Asin, belum tentu bisa membantu mu-

rid Wiku Jaladri itu,” jawab Adipati Sorengdriyo lesu.

’’Jadi, lebih baik tidak kita sampaikan pesan 

murid Pendekar Perisai Naga itu, Kang Adipati?”

’’Kalau kau bisa menyediakan padi selumbung, 

tak perlu kau sampaikan pesan anak muda itu!” ’’Ta


pi...?”

’’Setidaknya, kita bebas upeti bulan ini jika kita 

laporkan kejadian di Desa Cemara Pitu tadi kepada 

Hantu Lereng Lawu!” sahut Adipati Sorengdriyo menu-

kas.

’’Baiklah. Sekarang juga, aku akan pergi ke Le-

reng Lawu, Kakang Adipati,” ujar Mahesa Lawung se-

belum mundur dari hadapan penguasa Kadipaten 

Banyu Asin itu.

*

* *

Menjelang matahari tenggelam, Joko Sungsang 

tiba di Desa Sanareja, desa kelahirannya. Ia tidak ka-

get melihat perubahan suasana desa itu. Wiku Jaladri 

telah menceritakan apa saja yang terjadi di desa itu se-

lama Joko Sungsang berada di Jurang Jero. Dan, un-

tuk terakhir kalinya ia mendengar cerita tentang desa 

itu, yakni sewaktu Sekar Arum hampir saja terbunuh 

oleh Kebo Dungkul.

Langkah Joko Sungsang terhenti, la melihat so-

sok seorang lelaki berjalan menuju luar desa. Bergegas 

Joko Sungsang menyelinap ke balik semak-semak. la 

ingin tahu lebih dulu siapa lelaki itu. Kalau memang 

lelaki itu anak buah Kebo Dungkul, ia merasa perlu 

untuk menghindar, la tidak ingin kehadirannya di desa 

itu tercium oleh orang-orang dari Lereng Lawu.

Dalam jarak lima tombak, Joko Sungsang bisa 

mengenali wajah lelaki itu. la heran, kenapa Kebo 

Dungkul membiarkan lelaki ini tetap hidup? Padahal, 

menurut kabar yang diterimanya, semua lelaki pendu-

duk asli Desa Sanareja harus mati sebagai tebusan 

atas kematian orang orang dari Lereng Lawu yang te


was di desa itu. Rasa heran ini membuat Joko Sung-

sang muncul dari persembunyiannya dan menghadang 

lelaki itu.

Lelaki itu ketakutan begitu melihat seseorang 

yang tidak dikenalnya menghalang halangi langkah-

nya. Secepatnya ia membalik langkah dan berlari. 

Akan tetapi, dengan mudah Joko Sungsang membuat 

lelaki itu menghentikan langkah seribunya. Dengan sa-

tu loncatan, Joko Sungsang menotok jalan darah di 

punggung lelaki itu sehingga tubuh lelaki itu kejang.

Joko Sungsang memanggul tubuh lelaki itu dan 

dibawanya ke tempat sepi, di pinggiran sebuah kubu-

ran tua. Di tempat ini pula Joko Sungsang sering ber-

main dengan anak-anak seusianya tujuh tahun yang 

lalu. Ia masih ingat, di tempat ini ada rumah kosong 

yang bisa dipergunakan untuk berbicara rahasia den-

gan lelaki yang dipanggulnya itu.

Joko Sungsang mengumpulkan ranting kering 

dan membuat perapian sebelum membebaskan toto-

kan di punggung lelaki itu. Begitu merasakan tubuh-

nya kembali normal, lelaki itu hendak berlari lagi. Na-

mun, dengan Perisai Naganya, Joko Sungsang mena-

han tubuh lelaki itu.

”Kang Dipo tak usah takut. Aku Joko Sungsang 

yang hilang dari desa ini tujuh tahun yang lalu,” kata 

Joko Sungsang sambil membebaskan lilitan cambuk di 

pinggang lelaki itu.

”Joko Sungsang? Eh, Den Joko?” Mulut Dipo 

menganga. Matanya melebar seolah ia melihat hantu 

kuburan tua itu.

”Ya, aku Joko, anak Ki Linggar. Tidak takut kan 

sekarang?”

”Oh, syukurlah Den Joko selamat!” Dipo mene-

puk-nepuk dadanya sendiri.


’’Bagaimana kabar Kang Dipo? Maksudku, ke-

napa Kang Dipo bebas keluar-masuk desa ini?”

’’Ceritanya memalukan sekali, Den. Tetapi, le-

bih baik saya dipermalukan daripada saya mati dan ti-

dak bisa membesarkan anak saya ”

’’Jadi, Kang Dipo sudah punya anak7”

’’Begitulah, Den. Tetapi, istri saya sekarang ja-

di...” Dipo tidak meneruskan kalimatnya. la menunduk 

menekuri ranting-ranting kering yang mulai membara

’’Jadi apa, Kang?” desak Joko Sungsang.

”Jadi orangnya Kebo Dungkul, Den.”

’’Maksud Kang Dipo, ia jadi anak buah Kebo 

Dungkul?”

’’Bukan, Den. Maksud saya, jadi... jadi perem-

puan nakal yang bekerja untuk Kebo Dungkul.”

”Oh, aku mengerti,” sahut Joko Sungsang.

”Desa ini sekarang sudah jadi desa maksiat, 

Den. ” ”Aku juga sudah mendengar, Kang. Semua yang 

terjadi di desa ini, aku sudah tahu.”

’Tetapi, mungkin ada yang belum Den Joko ke-

tahui. Soal Kerpa.”

’’Kenapa Kang Kerpa?”

’’Saya benar-benar tidak mengira dia tega 

membuat bencana di desanya sendiri, Den.”

”Apa yang diperbuatnya, Kang?”

”Lho, Ki Demang, ayah Den Joko terbunuh tu-

juh tahun yang lalu, itu karena ulah Kerpa. ”

’’Ayahku dibunuh Kebo Dungkul, Kang. Dan, 

malam itu Kang Kerpa tidak ada di kademangan,” ban-

tah Joko Sungsang.

’’Memang, Den. Mungkin semua orang di desa 

ini menganggap bahwa Kerpa sudah mati. Paling tidak, 

dia pasti juga sudah minggat dari desa ini. Mungkin 

hanya saya dan istri saya yang tahu bahwa Kerpa yang


menyebabkan bencana di desa ini. Karena ulah Kerpa 

maka Hantu Lereng Lawu menyuruh Kebo Dungkul 

membunuh Ki Demang....”

’’Maksud Kang Dipo, Kang Kerpa yang menaruh 

mayat anak buah Hantu Lereng Lawu malam itu?” tu-

kas Joko Sungsang menebak.

’’Betul sekali, Den. Sebenarnya anak buah Han-

tu Lereng Lawu itu terbunuh di luar desa. Tetap, Kerpa 

membawa mayat itu ke mulut desa agar desa ini di-

timpa bencana kemarahan Hantu Lereng Lawu.” 

’’Sekarang, di mana Kang Kerpa tinggal, Kang?” 

’’Dialah sekarang yang dipercaya Kebo Dungkul 

untuk menjaga perempuan perempuan nakal di kade-

mangan, bekas rumah Den Joko.”

’’Jangan kau bilang rumah kotor itu kademan-

gan lagi, Kang,” sahut Joko Sungsang. la tidak rela 

nama kademangan dihubung-hubungkan dengan per-

buatan maksiat.

”Oh, maafkan saya, Den. Maksud saya hanya 

ingin menjelaskan bahwa rumah Den Joko sekarang...”

”Aku mengerti.” Joko Sungsang menepuk bahu 

Dipo.

’’Saya senang jika Den Joko bisa membalaskan 

sakit hati orang-orang sedesa ini kepada Kerpa.”

’’Maksud Kang Dipo, aku harus membunuh 

Kang Kerpa?”

’’Begitulah, Den. Saya kira semua penduduk 

desa ini mengharapkan kematian Kerpa.”

”Dia berbuat seperti itu karena dia ingin hidup, 

Kang. Aku tahu, dulu dia sakit hati kepada ayahku se-

bab ayahku lebih mempercayai Paman Perdopo. Pa-

dahal Paman Perdopo ilmu silatnya masih kalah se-

tingkat dengan Kang Kerpa.”

’’Tetapi, menurut pendapat saya, Ki Demang


sudah berbuat adil, Den. Ki Demang memilih Perdopo 

sebab Perdopo memang orangnya jujur dan setia.”

’’Jadi, sekarang dia sudah hidup enak, bu-

kan?” 

"Hidup enak, tapi di atas kesengsaraan orang 

sedesa!” kata Dipo dengan perasaan penuh amarah 

dan dendam.

’’Sekarang yang penting aku harus menolong is-

tri Kang Dipo keluar dari rumah laknat itu. Siapa na-

ma istri Kang Dipo?”

”Oh, terima kasih, Den. Maaf, saya tadi mau la-

ri. Soalnya saya tidak mengenali Den Joko lagi. Untung 

Den Joko....”

”Aku tanya, siapa nama istri Kang Dipo?” tukas 

Joko Sungsang.

”Oh, anu, Den... Trinil! Dia dari Desa Cemara 

Pitu, Den.”

’’Kang Dipo tunggu saja di sini. Nanti aku bawa 

Yu Trinil ke sini.”

’’Hati-hati ya, Den?”

Akan tetapi, bayangan Joko Sungsang telah hi-

lang dari pandang mata lelaki itu. Terkagum kagum 

Dipo memikirkan ilmu silat Joko Sungsang. Maka dia 

merasa pasti, Joko Sungsang akan dengan mudah 

membawa Trinil kepadanya.

*

* *

Tak sulit bagi Joko Sungsang memasuki hala-

man rumah bekas kademangan itu tanpa diketahui 

seorang pun. Ia hafal betul keadaan di sekeliling ru-

mahnya itu.

Di regol, tampak orang-orang dari Lereng Lawu


berjaga-jaga. Dua buah obor besar menerangi tempat 

itu. Joko Sungsang menyelinap masuk pekarangan le-

wat tembok pagar samping rumah. Kemudian ia me-

layang dan hinggap di bubungan atap rumah. Untuk 

sejenak ia menajamkan telinga. Ia mendengarkan sua-

ra-suara yang datang dari pendopo. Memang ada suara 

Kerpa di situ. Tetapi, bagaimana ia bisa mengenali su-

ara Trinil?

Joko Sungsang membuka genting tanpa me-

nimbulkan suara. Lalu tampak di matanya pemandan-

gan yang menjijikkan di pendopo itu. Beberapa lelaki 

minum arak sambil meraba-raba dada perempuan 

yang berada di pangkuan mereka masing-masing.

’Terkutuklah mereka!” rutuk Joko Sungsang 

dalam hati. Kemudian ia bergeser, mencari-cari genting 

yang berada tepat di atas kamar belakang rumah itu. 

Tentulah pemandangan di dalam kamar ini lebih men-

jijikkan lagi, pikirnya sebelum membuka sebuah gent-

ing.

Di bawah sana, di tempat tidur yang dulu diti-

duri Joko Sungsang dan Nyai Demang, seorang lelaki 

sedang menggumuli seorang perempuan nakal. Tak in-

gin lama-lama Joko Sungsang memandang dua manu-

sia penuh dosa itu. Maka ia melayang turun dan lang-

sung menotok jalan darah di leher lelaki itu.

Lelaki itu menghentikan gumulannya. Ia mera-

sa lehernya kaku sekali dan suara di tenggorokannya 

hilang entah ke mana. Perempuan yang tadi meme-

jamkan mata, langsung terbelalak ketika melihat Joko 

Sungsang berdiri di samping pembaringan.

’’Kenakan pakaianmu dan jangan coba-coba te-

riak!” ancam Joko Sungsang seraya memalingkan wa-

jahnya.

Setelah perempuan itu berpakaian, Joko Sung


sang meraih golok yang tergeletak di meja kecil di su-

dut kamar itu dan menempelkannya ke leher perem-

puan itu.

’’Siapa namamu?” tanyanya.

”Min... Min... Minten....” Tergagap-gagap pe-

rempuan itu menjawab.

”Aku penggal lehermu dan leher kerbau ini jika 

kau mencoba melawan perintahku!” kata Joko Sung-

sang sambil menuding lelaki yang terduduk di pojok 

kamar dengan leher dan mulut kejang itu.

Perempuan itu mengangguk berulang-ulang 

sambil menggigit bibirnya.

’’Panggil ke sini temanmu yang bernama Trinil, 

dan jangan coba-coba memberitahu seorang pun ten-

tang kedatanganku di kamar ini. Mengerti?”

Mengangguk lagi perempuan itu. Setelah Joko 

Sungsang menunjuk pintu kamar dengan golok di tan-

gannya, perempuan itu setengah berlari keluar menuju 

pendopo rumah. Tak lama kemudian ia kembali masuk 

kamar dengan menggandeng perempuan yang dimak-

sudkan Joko Sungsang. Dengan sigap Joko Sungsang 

menekap mulut Trinil yang hampir saja berteriak ka-

rena ketakutan.

Dengan gerakan yang sulit diikuti mata, Joko 

Sungsang membuat ketiganya pingsan, dan kemudian 

melayang kembali ke atas genting sambil memanggul 

tubuh Trinil.

Berseri-seri wajah Dipo memandang kedatan-

gan Joko Sungsang yang memanggul tubuh Trinil. Tak 

bisa dibayangkannya bagaimana cara anak muda itu 

masuk rumah maksiat itu dan kembali dengan tanpa 

menimbulkan keributan.

’’Setelah Yu Trinil siuman, bawa secepatnya 

pergi dari desa ini, Kang. Dan, untuk beberapa hari ini,


sebaiknya kalian jangan dulu kembali ke rumah ka-

lian. Percayalah bahwa suatu hari nanti desa ini akan 

terbebas dari bencana,” kata Joko Sungsang.

”Den Joko mau ke mana?”

”Aku harus menemui Nyai Demang, Kang.”

”Di mana sekarang Nyai Demang, Den?”

”Tak usah Kang Dipo tahu. Yang pasti, Nyai 

Demang dalam keadaan sehat. Nah, cepat tinggalkan 

tempat ini sebelum mereka tahu apa yang terjadi di 

kamar belakang itu.”

”Baik, Den. Terima kasih, Den. Semoga Gusti 

Allah selalu melindungi Den Joko.”

*

* *

8

Mahesa Lawung memutar otaknya setelah 

mendengar pernyataan Adipati Sorengdriyo. Ia tidak 

setuju jika kemunculan Pendekar Perisai Naga diper-

gunakan sebagai alasan untuk mengkhianati Hantu 

Lereng Lawu. Bagaimanapun tingginya ilmu silat Pen-

dekar Perisai Naga, tetap saja ia bocah ingusan. Tidak 

akan ia mampu mengalahkan Hantu Lereng Lawu yang 

telah malang-melintang di dunia persilatan selama pu-

luhan tahun. 

Kalaupun Wiku Jaladri turun tangan membela 

muridnya, belumlah jaminan bahwa Hantu Lereng La-

wu bisa mereka robohkan. Lagi pula, Empu Wadas 

Gempal tidak mungkin akan berpangku tangan meli-

hat murid tunggalnya terancam bahaya!

Lebih dari itu, Mahesa Lawung pun sudah te


lanjur merasakan kenikmatan yang didapatkannya da-

ri hasil kerja sama antara punggawa Kadipaten Banyu 

Asin dengan orang-orang Lereng Lawu. Dan, kenikma-

tan itu tak boleh berakhir begitu saja hanya karena 

munculnya Pendekar Perisai Naga!

Maka setiba di hadapan Hantu Lereng Lawu, 

tangan kanan Adipati Sorengdriyo ini sudah membu-

latkan tekad untuk tetap bekerja sama dengan orang-

orang sesat itu. Apalagi kedatangannya kali ini bersa-

maan dengan kedatangan Empu Wadas Gempal.

Semakin ia menemukan alasan untuk 

mengkhianati Adipati Sorengdriyo.

’’Kedatanganmu di Lereng Lawu tidak disertai 

kereta pengangkut barang, Mahesa Lawung? Apakah 

ini berarti Adipati Sorengdriyo sudah berani menen-

tangku?” tanya Hantu Lereng Lawu sebelum Mahesa 

Lawung selesai mengatur napas.

’’Begini, Ki Lurah. ” Mahesa Lawung berusaha 

meredakan nafasnya yang memburu.

’’Bukan kami berniat menentang Ki Lurah. Kali 

ini kami memang gagal memungut hasil bumi di Desa 

Cemara Pitu, Ki Lurah.” 

’’Kalau memang kau menemukan kesulitan, 

kenapa kau tidak minta bantuan ke sini? Ingat, jangan 

coba-coba membodohiku, Sapi Tolol!” sergah Hantu Le-

reng Lawu.

’’Harap Ki Lurah bersabar. Saya belum menje-

laskan kenapa kali ini kami gagal mengeruk hasil bumi 

Desa Cemara Pitu, Ki Lurah....”

’’Katakan cepat! Kau tahu aku sedang ada tamu 

agung? Jangan buang-buang waktuku hanya karena 

aku harus mengubur mayatmu!” tukas Hantu Lereng 

Lawu semakin gusar.

”Ki Lurah, sebenarnya kami hendak membunuh


manusia yang menjadi penghalang di Desa Cemara Pi-

tu itu. Tetapi, kami juga takut berbuat lancang. Karena 

itulah kami memutuskan untuk melapor lebih dulu 

kepada Ki Lurah.”

”Kau memang bosan hidup!” bentak Hantu Le-

reng Lawu seraya mengangkat tangannya hendak 

menghancurkan kepala Mahesa Lawung. Namun, den-

gan sigap tangan Empu Wadas Gempal mencekal tan-

gan muridnya ini.

’’Sabar, Pragosa! Sabar. Beri dia kesempatan 

untuk bicara lebih panjang lagi,” kata Empu Wadas 

Gempal menengahi.

”Ki Lurah, manusia yang menjadi penghalang 

kami kali ini tidak lain adalah Pendekar Perisai Naga,” 

lanjut Mahesa Lawung dengan badan gemetaran.

’’Pendekar Perisai Naga?” Hantu Lereng Lawu 

menoleh ke arah gurunya.

’’Lalu, kenapa tidak kau coba menghadapinya? 

Kau takut mendengar nama besarnya? Ha-ha-ha, da-

sar sapi!” ujar Empu Wadas Gempal sambil memegangi 

perutnya yang diguncang tawa.

’’Bukan begitu, Ki Lurah Sepuh. Kami sengaja 

tidak meladeninya sebab ada pesan dari Pendekar Pe-

risai Naga yang harus kami sampaikan kepada Ki Lu-

rah.”

’’Pesan? Pesan apa?” sahut Hantu Lereng Lawu.

’’Pendekar Perisai Naga menantang Ki Lurah 

pada malam purnama bulan ini di mulut Desa Cemara 

Pitu!”

”Ha-ha-ha, ho-ho ho, he-he-he, dasar tolol!” La-

gi-lagi Empu Wadas Gempal memegangi perutnya yang 

turun-naik.

’’Gembala kambing itu mengira kita takut 

menghadapi Perisai Naganya yang kesohor itu, Guru. ”


Hantu Lereng Lawu pun tertawa tergelak-gelak

’’Kesohor bagi anak-anak kemarin sore macam 

orang dari Kadipaten Banyu Asin ini, bukan? Ha-ha-

ha!”

Mahesa Lawung mengumpat-umpat dalam hati 

dianggap sebagai anak kemarin sore. Namun, ia hanya 

berani menggerakkan bola matanya, melirik Empu 

Wadas Gempal yang masih saja tertawa. Baru kali ini 

ia bertemu muka dengan orang sakti dari Hutan Keta-

pang itu. Selama ini ia hanya mendengar cerita dari 

Adipati Sorengdriyo. 

Memang, selama Hantu Lereng Lawu merajale-

la, belum pernah gurunya ini turun tangan memban-

tunya. Karena memang Hantu Lereng Lawu belum 

pernah menjumpai kesulitan. Pendekar-pendekar dari 

golongan putih merasa jerih berhadapan dengan 

orang-orang sesat dari Lereng Lawu ini, yang menye-

barkan maut dari desa ke desa. Baru sekarang ini 

muncul Pendekar Cambuk Naga di dunia ramai.

*

* *

Sosok Empu Wadas Gempal tak jauh berbeda 

dengan sosok muridnya. Mereka sama-sama berperut 

buncit, berkepala botak, dan berambut merah serta ja-

rang. Bahkan keduanya sama-sama suka bicara kasar 

sambil tertawa. Yang membedakan mereka berdua, se-

lain usia juga pakaian yang mereka kenakan. Empu 

Wadas Gempal memakai jubah merah dan celana 

pangsi merah pula, sedangkan Hantu Lereng Lawu 

berpakaian serba hitam dan serba kedodoran.

Hantu Lereng Lawu menghentakkan kakinya ke 

lantai. Hampir saja Mahesa Lawung terjengkang sebab


ia merasakan lantai itu bergetar hebat.

”Ada lagi pesan dari gembala kambing itu?” 

tanya Hantu Lereng Lawu.

”Ya, ya, ya, Ki Lurah!” Mahesa Lawung men-

gangguk dalam-dalam. ’’Katanya, Ki Lurah jangan 

sampai datang seorang diri!” Sengaja Mahesa Lawung 

memancing agar Hantu Lereng Lawu melibatkan gu-

runya dalam pertempuran antara hidup dan mati me-

lawan Pendekar Perisai Naga nanti.

’’Maksudmu, dia ingin aku dan Guru menge-

royoknya?”

’’Begitulah pesannya, Ki Lurah. Dia memang ke-

lihatan pongah sekali. Padahal, kalau saja saya tidak 

harus menyampaikan pesan ini kepada Ki Lurah, pasti 

sudah saya kirim ke neraka dia!”

”Apa kau pikir kau lebih hebat dari aku? Apa 

perlu kubelah tubuhmu agar bacotmu tidak bisa see-

naknya bicara?” Mata Hantu Lereng Lawu semakin 

memerah. 

’’Bukan, bukan begitu, Ki Lurah. Maksud 

saya....”

”Ha-ha-ha, he-he-he, ho-ho-ho!” Tawa Empu 

Wadas Gempal menghapus ketegangan yang terjadi. 

’’Cacing tanah berangan-angan bisa menelan ular be-

ludak! Kau pikir Pendekar Perisai Naga bisa kau usir

dengan pedang curian milikmu itu? Kau lebih pantas 

menyandang golok pemotong daging, Balung Sapi!”

" Setan alas! Mahesa Lawung kembali men-

gumpat dalam hati. Dianggapnya dia tak pantas me-

nyandang pedang yang kebetulan memang mirip den-

gan pedang milik Hantu Lereng Lawu.

’’Mahesa Lawung!”

”Ya, Ki Lurah?”

’’Suruh Adipati Sorengdriyo mengajak orang


orang Banyu Asin melihat bagaimana aku mencincang 

Pendekar Perisai Naga!”

”Baik, Ki Lurah.”

*

* *

Kedatangan Kebo Dungkul sehari setelah keda-

tangan Mahesa Lawung di Lereng Lawu membuat ke-

marahan Hantu Lereng Lawu semakin menjadi-jadi. 

Kebo Dungkul pun melapor bahwa Pendekar Perisai 

Naga telah datang ke Desa Sanareja dan menculik Tri-

nil.

’’Jadi, kenapa kau biarkan saja dia pergi, Kebo 

Dungu?” sergah Hantu Lereng Lawu menyahut

”Aku sendiri kebetulan tidak di sana, Kakang. 

Kalaupun aku di sana, belum tentu juga aku melihat-

nya. ” 

’’Matamu yang sebelah masih bisa melihat atau 

tidak, Kebo Dungkul!”

’’Maksudku, dia datang langsung ke kamar dan 

membawa pergi Trinil....”

’’Bedebah! Bosan hidup! Apa dia pikir aku takut 

menghadapi Perisai Naga? Tiga puluh tahun yang lalu 

memang Perisai Naga membuatku hampir mampus. 

Sekarang? Ah, kenapa bulan purnama tak kunjung da-

tang!” omel Hantu Lereng Lawu berkepanjangan.

”Tak perlu Kakang Pragosa maju. Serahkan ke-

padaku jika memang dia berani muncul lagi ke Desa 

Sanareja.”

’’Otak kerbau! Enak saja kau bicara! Jangan la-

gi menghadapi Pendekar Perisai Naga, sedangkan 

menghadapi murid Ki Sempani saja kau hampir mod-

ar!” sergah Hantu Lereng Lawu.


’’Yang datang bukan si Tua Bangka itu, Kakang. 

Hanya muridnya, anak ingusan yang bernama Joko 

Sungsang itu.”

”Apa? Jadi, bukan Wiku Jaladri?”

’’Menurut cerita yang aku dengar, dia memang 

bersenjatakan cambuk, tetapi usianya tidak lebih dari 

dua puluh tahun.”

’Ya, tetapi sama saja! Wiku Jaladri akan menu-

runkan semua ilmu yang dimilikinya kepada murid 

tunggalnya. Kalau tidak, tidak akan dia berani menan-

tangku bertarung hidup dan mati malam purnama 

nanti!”

’’Jadi, Kakang Pragosa sudah bertemu dengan 

anak ingusan itu?”

’’Sekarang dia yang menguasai Desa Cemara Pi-

tu. Baru kemarin Mahesa Lawung datang ke sini mem-

berikan laporan. Sekaligus ia menyampaikan pesan 

bahwa Pendekar Perisai Naga yang ingin bertarung 

denganku di Desa Cemara Pitu purnama nanti.”

Kebo Dungkul mengusap-usap mata kapaknya. 

Lalu katanya, ’’Kalau saja Kakang Pragosa mengizin-

kan, biarlah aku yang menghadapi anak demang itu. 

Dan, seharusnya akulah yang ditantang sebab aku 

yang menghabisi nyawa Ki Demang Sanareja.”

’’Sudah kubilang, dia bukan lawanmu. Kalau 

saja aku tidak memperdalam Jurus Bidadari Mengurai 

Benang Kusut, belum tentu aku bisa mengalahkannya. 

Tetapi, lihat saja nanti. Kalau memang kau lebih pan-

tas bertanding dengannya, biarlah aku jadi penonton. 

Sekarang, lebih baik kau pergi ke Banyu Asin. Pasti-

kan bahwa Adipati Sorengdriyo tidak akan mengkhia-

nati kita.”

’’Mengkhianati kita? Kenapa Kakang Pragosa ti-

ba-tiba berpikiran begitu?”


’Tak perlu banyak pertanyaan! Berangkatlah ke 

Banyu Asin, dan katakan kepada Adipati Sorengdriyo 

bahwa aku menghendaki kehadirannya purnama nanti 

di Desa Cemara Pitu!”

*

* *

Dalam pada itu, perjalanan Joko Sungsang me-

nuju Desa Dadapsari kembali terhalang. Kali ini ia ha-

rus turun tangan memberantas ketidakadilan. Bukan-

kah tidak adil jika ada seorang gadis belia dikeroyok 

puluhan lelaki? Dan, Joko Sungsang semakin ingin se-

cepatnya turun tangan begitu mengenali siapa sesung-

guhnya gadis berpakaian serba putih dan bersenjata-

kan tombak pendek bermata dua itu!

Akan tetapi, serta-merta ia menjadi bimbang. Ia 

khawatir, jangan-jangan gadis itu justru tersinggung 

menanggapi pertolongannya. Toh dia masih kelihatan 

perkasa menghadapi lawan lawannya. Sepintas kilas 

tadi, Joko Sungsang mendengar teriakan lelaki yang 

memakai ikat kepala berwarna merah itu. Lelaki ber-

senjatakan trisula itu menyebut-nyebut nama Adipati 

Sorengdriyo. Berarti, mereka jelas ada hubungannya 

dengan Mahesa Lawung. Mereka termasuk punggawa 

Kadipaten Banyu Asin yang bertugas memungut upeti 

dari desa ke desa. Tetapi, bagaimana bisa bentrok den-

gan murid Ki Sempani?

Joko Sungsang memang tidak tahu apa yang 

terjadi sebelum Sekar Arum bertarung melawan anak 

buah Mahesa Lawung ini. Sewaktu ia tiba, pertarun-

gan sudah lewat beberapa jurus. Bahkan Sekar Arum 

telah mengeluarkan tombak pendeknya. Ini berarti il-

mu silat tangan kosong gadis itu tak mungkin diperta


hankan lagi.

Siapa sebenarnya orang-orang yang menge-

royok Sekar Arum ini? Mereka tak lain adalah anak 

buah Kebo Dungkul yang telah bergabung dengan 

anak buah Mahesa Lawung. Mereka memang ditu-

gaskan merampas hasil bumi Desa Pilangsari. Akan te-

tapi, kali ini mereka tidak hanya ingin mengambil upe-

ti, melainkan juga ingin menodai anak gadis Ki Wase-

so, demang desa itu. Sewaktu mereka menyeret gadis 

malang itulah Sekar Arum lewat dan menghadang me-

reka,

’’Anjing anjing keparat! Mau kalian apakan ga-

dis itu?” tegur Sekar Arum mengejutkan mereka.

Untuk sejenak mereka membeliakkan mata. 

Mereka seolah tidak percaya pada pandang mata me-

reka sendiri. Seorang gadis cantik, berpakaian celana 

pangsi putih, baju putih, dan pinggulnya terbungkus 

kain parang rusak begitu tenang menghadang puluhan 

lelaki seorang diri. Tanpa senjata pula.

”Ha-ha ha, ada yang lebih cantik dan menggi-

urkan datang tanpa kita undang!” kata lelaki berikat 

kepala merah, pimpinan rombongan itu.

”Ya, aku datang memang untuk menggantikan 

gadis itu,” kata Sekar Arum. ’’Lepaskan gadis itu, dan 

keroyoklah aku!”

”Oh, bidadariku yang cantik, tak perlu kami 

mengeroyokmu. Aku akan memiliki mu untuk kujadi-

kan istri. Mereka tidak akan mungkin berani meng-

ganggumu, Cah Ayu,” sahut lelaki berikat kepala me-

rah itu.

’’Sebelum kau memperistri aku, sebutkan na-

mamu supaya aku bisa mempertimbangkan lamaran-

mu,” kata Sekar Arum sembari maju mendekati lelaki 

itu.


’’Namaku? Oh, seluruh desa di tlatah Banyu 

Asin ini tahu siapa Carang Gupita, Cah Manis. Dan, 

namamu?”

”Aku akan menyebutkan namaku jika kau bisa 

menyentuh tubuhku!”

”Apa? Ha-ha-ha! Gampang sekali persyaratan-

nya, Cah Denok? Nah, diamlah biar aku gendong kau 

pulang ke Banyu Asin!” Carang Gupita maju selangkah

dan merentangkan kedua belah lengannya. Akan teta-

pi, sebelum tangan itu menyentuh tubuh Sekar Arum, 

sebuah tendangan membuat lelaki itu terpelanting.

”Peri busuk! Rasakan trisulaku!” Carang Gupita 

bangkit dan langsung menyerang dengan senjatanya 

yang tadi diselipkan di pinggang. Namun, untuk kedua 

kalinya lelaki itu merasakan derasnya tendangan tumit 

mungil gadis itu. Kalau saja ia tidak memiliki sedikit 

ilmu kekebalan, sudah pasti tubuhnya luluh-lantak 

dibuatnya.

Melihat Carang Gupita kewalahan menghadapi 

lawan, mereka yang tadinya menjadi penonton seren-

tak mengurung Sekar Arum. Lebih dari dua puluh le-

laki bersenjatakan golok dan tombak mengeroyok gadis 

keluaran Padepokan Karang Bolong itu.

*

* *

9

Sekar Arum tak mungkin terus-menerus meng-

hindari serangan. Untuk itu, ia meloloskan tombak 

pendeknya yang tersembunyi di balik kain parang ru-

sak yang membalut pinggulnya. Beberapa golok ter


pental begitu beradu dengan tombak pendek bermata 

dua yang berputar mirip baling baling itu. Dan, para 

pengeroyok yang kehilangan golok itu semuanya mera-

sakan nyeri yang menyerang bahu kanan mereka. 

Meskipun lebih dari lima orang telah meloncat mundur 

menjauhi arena pertarungan, tetap saja Sekar Arum 

kerepotan menghadapi para pengeroyoknya. Apalagi 

mereka yang masih tinggal kini mulai menggunakan 

jurus-jurus andalan mereka.

Dua orang pengeroyoknya roboh bermandikan 

darah sewaktu gadis itu mengeluarkan Jurus Mengail 

Mangsa Keluar Sarang. Tengkuk mereka terhujam 

tombak pendek gadis itu.

Inilah jurus yang hampir saja menamatkan ri-

wayat Kebo Dungkul, kalau saja waktu itu tidak da-

tang Hantu Lereng Lawu menolongnya, pikir Joko 

Sungsang dari tempat persembunyiannya.

Matahari tinggal separuh bulatan. Sebentar lagi 

gelap akan menyelimuti arena pertarungan itu. Maka 

gadis itu akan merugi sebab para pengeroyoknya rata-

rata berpakaian hitam. Sementara itu, para penge-

royoknya akan merasa beruntung sebab gadis itu ber-

pakaian serba putih. Kalau saja mereka bertarung di 

bawah panas terik, gadis itulah yang beruntung. War-

na putih pakaiannya akan menyilaukan mata lawan-

lawannya. Tetapi, sekarang yang terjadi sebaliknya. 

Warna putih itu akan memudahkan lawan-lawannya 

untuk mengirimkan serangan menuju sasaran!

Joko Sungsang melihat gadis itu mulai terde-

sak. Putaran tombak pendek gadis itu tak lagi secepat 

tadi. Patukan-patukan tombak bermata ganda itu pun 

tak lagi mematikan. Napas gadis itu mulai memburu. 

Sementara itu, lawan-lawannya punya kesempatan un-

tuk mengatur napas sebab sekarang mereka menye


rang bergantian.

Joko Sungsang tak lagi mempertimbangkan ke-

tersinggungan gadis murid Ki Sempani itu Maka, se-

waktu mata trisula Carang Gupita hampir menyeruduk 

pinggang Sekar Arum secepat kilat ia melayang turun 

dari pohon tempat persembunyiannya dan mengirim-

kan tendangan ke bahu kanan Carang Gupita. Tak 

mengira bakal menerima serangan dari arah lain, Ca-

rang Gupita tak sempat lagi menghindari. Tak pelak 

lagi, tendangan Joko Sungsang membuat tubuh lelaki 

itu terpelanting beberapa tombak di sebelah kanan Se-

kar Arum.

Melihat Carang Gupita terbanting dan tak ban-

gun lagi, para pengeroyok yang lain berlompatan mun-

dur, Mereka menyadari kehadiran lawan baru yang il-

munya lebih tinggi dibandingkan ilmu silat gadis itu.

Akan halnya Sekar Arum? Hampir saja ia me-

nyerang lelaki lancang yang kini berdiri di sampingnya 

itu kalau saja ia tidak mengenali Perisai Naga yang me-

lingkar di pinggang lelaki muda itu.

”Maaf, saya terpaksa lancang membantumu. 

Sebentar lagi hari gelap. Warna pakaianmu akan men-

guntungkan mereka,” kata Joko Sungsang sebelum 

Sekar Arum membuka mulut.

’’Terima kasih. Kalau tidak salah, saya sedang 

berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga.”

’’Panggil saja aku Joko Sungsang. Terlalu berat 

bagiku menyandang gelar itu,” sahut Joko Sungsang 

merendah.

’’Mari kita bereskan dulu tikus-tikus bau ini, 

baru kita teruskan obrolan kita!” kata Sekar Arum se-

raya kembali memasang kuda-kuda.

Tanpa dikomando, lawan mereka terbagi men-

jadi dua kelompok. Sekelompok mengurung Joko


Sungsang, dan sekelompok lagi tetap mengurung Se-

kar Arum. Kali ini pertarungan tidak lagi seimbang. Se-

lain mereka telah kehilangan Carang Gupita, tentu sa-

ja kehadiran Joko Sungsang membuat mereka sema-

kin sia-sia memeras tenaga. Apalagi mereka menyadari 

bahwa anak muda yang telah menjatuhkan Carang 

Gupita ini tak mau melukai lawan. Anak muda yang 

juga berpakaian serba putih ini hanya berjumpalitan 

ke udara untuk menghindari serangan. Kalaupun 

membalas menyerang, hanyalah dengan totokan-

totokan yang membuat lengan-lengan mereka kejang 

dan tak mampu lagi menggenggam senjata.

’’Katakan kepada Mahesa Lawung bahwa kalian 

bertemu dengan Pendekar Perisai Naga! Maka kalian 

akan mendapatkan ampunan jika kalian kembali ke 

Banyu Asin tanpa membawa hasil rampasan!” seru Jo-

ko Sungsang seraya meledakkan Perisai Naga tiga kali.

Sinar hijau-kebiru-biruan menyilaukan mata. 

Tak perlu lagi mereka menyangsikan ucapan anak 

muda itu. Ya, inilah Pendekar Perisai Naga yang di-

jumpai Mahesa Lawung di Desa Cemara Pitu, pikir me-

reka seraya berlompatan mundur. Dalam sekejap ma-

ta, mereka telah menghilang dari pandang mata Joko 

Sungsang dan Sekar Arum.

’’Sebaiknya segera kita tinggalkan desa ini sebe-

lum penduduk desa kebingungan menjamu kita,” kata 

Sekar Arum.

”Aku pun berpikiran begitu,” sahut Joko Sung-

sang.

Dua bayangan putih berloncatan meninggalkan 

Desa Pilangsari. Di pinggiran hutan jati yang memben-

tang tak jauh dari Desa Pilangsari, barulah Joko Sung-

sang dan Sekar Arum menghentikan langkah mereka. 

Sekar Arum duduk menyandar pohon seraya memijit


mijit bahu kanannya yang terasa nyeri lagi. Baru dis-

adarinya bahwa bahu itu sesungguhnya belum sem-

buh benar. Tenaga Hantu Lereng Lawu memang luar 

biasa. Hanya berbenturan senjata saja cukup mem-

buat bahu kanan gadis itu seperti terlepas dari badan.

”Kau sempat terkena pukulan mereka?” tanya 

Joko Sungsang.

”Ah, tidak. Dan, aku yakin kau pun tahu pe-

nyebab bahu ku sakit hingga sekarang ini,” kata gadis 

itu mengira bahwa Pendekar Perisai Naga ini sedang 

berpura-pura tidak tahu.

’’Bagaimana mungkin? Kita baru bertemu seka-

rang....”

”Dan, baru sekarang aku bisa mengucapkan te-

rima kasihku atas pertolonganmu tempo hari,” tukas 

Sekar Arum.

”Oh, ingat aku sekarang! Kau salah mengerti. 

Waktu itu bukan aku yang menolongmu....”

’Tak ada duanya Pendekar Perisai Naga di du-

nia ini, bukan?”

’Ya. Memang hanya guruku yang pantas me-

nyandang gelar itu.”

”Oh, maaf! Bukan itu maksudku. Maksudku, 

siapa lagi kalau bukan kau?” Gadis itu tersipu-sipu, 

merasa telah menyinggung perasaan lelaki muda yang 

baru saja dikenalnya itu.

”Aku baru saja hendak menjelaskan bahwa Kiai 

Wiku Jaladri yang telah menolongmu waktu itu.” Sekar 

Arum semakin malu dibuatnya. Karena itulah ia hanya 

bisa menekap mukanya untuk menutupi wajahnya 

yang kian memerah lantaran malu.

”Aku pun membawa salam dari guruku terun-

tuk Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong,” lanjut 

Joko Sungsang.



Kini wajah gadis itu berseri-seri, la merasa 

bangga nama gurunya dikenang oleh Pendekar besar 

macam Pendekar Perisai Naga dari Jurang Jero.

’’Dengan senang hati aku akan menyampaikan-

nya kepada guru jika aku kembali ke Karang Bolong 

nanti,” kata Sekar Arum.

’’Apakah ini berarti aku tidak kau izinkan ikut 

ke Karang Bolong?” sindir Joko Sungsang.

’’Maksudmu, kau juga ingin bertemu dengan Ki 

Sempani?” Semakin berseri wajah gadis itu. Oh, betapa 

bahagianya berjalan berdua dengan lelaki ini menuju 

Pantai Laut Selatan, pikir gadis itu.

’’Kalau memang kau tidak keberatan berjalan 

berdua denganku,” kata Joko Sungsang.

’’Guruku akan senang sekali mendengar kabar 

tentang Kiai Wiku Jaladri. Apalagi jika kabar itu diden-

garnya langsung dari mulut murid Pendekar Perisai 

Naga sendiri,” kata gadis itu sebelum berdiri dan me-

langkah.

’’Kalau begitu, kita bisa bertemu lagi purnama 

nanti di Desa Cemara Pitu. Atau, mungkin aku boleh 

menemuimu? Di mana?”

Gadis itu berhenti melangkah dan membalik-

kan badannya.

’’Kenapa mesti bertemu di Desa Cemara Pitu?” 

tanya gadis itu sembari mengerutkan dahi.

’’Karena aku ada urusan dengan Hantu Lereng 

Lawu di desa itu pada malam purnama nanti. Setidak-

nya, setelah malam itulah aku baru bisa pergi meng-

hadap Ki Sempani.”

”Ada urusan apa dengan orang sesat dari Le-

reng Lawu itu?” Semakin dalam kerutan di dahi gadis 

itu.

”Atas perintahnya, Kebo Dungkul telah mem


bunuh ayahku.”

Sekar Arum manggut-manggut paham. Ia me-

mang tidak meragukan kehebatan ilmu silat anak mu-

da ini. Tetapi, bagaimana seandainya Empu Wadas 

Gempal ikut campur dalam pertempuran di Desa Ce-

mara Pitu nanti?

"Baiklah. Kita bisa bertemu di mana saja sete-

lah malam purnama nanti. Tetapi, tentu saja kau yang 

harus menentukan tempat pertemuan kita,” kata Joko 

Sungsang. Betapa pun ia ingin sekali untuk dapat ber-

duaan bersama gadis itu lebih lama lagi, namun kerin-

duannya untuk bertemu dengan ibu yang melahirkan-

nya tak bisa dibendungnya lagi.

”Aku akan menemuimu di Desa Cemara Pitu. 

Aku kira, aku harus melihat pertarungan pendekar 

sakti macam kau dan Hantu Lereng Lawu.”

’’Jangan terlalu merendahkan diri. Aku sudah 

tahu kehebatan ilmu silat Padepokan Karang Bolong,” 

sahut Joko Sungsang merasa risih menerima pujian 

yang berlebihan.

Kemudian mereka berpisah meski dengan hati 

yang berat. Joko Sungsang sendiri mengakui bahwa 

hatinya berdesir-desir begitu melihat gadis dari Pade-

pokan Karang Bolong ini. Namun, ia berusaha men-

campakkan perasaannya terhadap gadis itu. Ia ingat, 

masih banyak tugas yang dipikulnya. Seperti yang di-

pesankan Wiku Jaladri kepadanya, ’’Kalau memang 

kau harus membunuh Hantu Lereng Lawu dan Kebo

Dungkul, jangan karena didasari oleh dendam. Sebab, 

tanpa ayahmu terbunuh pun orang-orang macam Han-

tu Lereng Lawu dan Kebo Dungkul memang harus dis-

ingkirkan dari muka bumi. Tunjukkan bahwa kau 

membasmi kejahatan bukan karena tuntutan kepen-

tingan pribadimu, melainkan karena memang sudah


menjadi kewajibanmu ”

Joko Sungsang mempercepat langkahnya. Kini 

tubuhnya seperti bangau yang terbang rendah. Hanya 

sesekali saja kedua telapak kakinya menyentuh tanah. 

Inilah ilmu meringankan tubuh yang dilatihnya selama 

hampir lima tahun dalam kubangan di dasar jurang 

itu.

Hampir tengah malam sewaktu Joko Sungsang 

memasuki Desa Dadapsari. la melihat beberapa orang 

peronda malam berjaga-jaga di mulut desa. Tak sulit 

baginya untuk menghindarkan diri dari pandang mata 

para peronda itu. la toh bisa melintas lewat dahan 

yang satu ke dahan yang lain. Setelah melewati gardu 

peronda itu, barulah ia melayang turun dan berjalan 

sambil merapatkan tubuh ke pagar.

Rumah tempat Nyai Demang mengungsi selama 

tujuh tahun itu telah ditemukannya. Inilah tempat ke-

diaman Wasi Ekacakra, teman sejati Wiku Jaladri. Se-

perti halnya yang dilakukan Wiku Jaladri, yang dila-

kukan Wasi Ekacakra juga mengasingkan diri dari du-

nia persilatan, la menyamar menjadi petani di Desa 

Dadapsari sebab ia tak ingin lagi terlibat urusan saling 

bunuh dan saling mendendam.

Sebagai pendekar yang ilmunya setingkat den-

gan Wiku Jaladri maupun Ki Sempani, Wasi Ekacakra 

tentu saja mendengar langkah seseorang memasuki 

halaman rumahnya. Sekalipun Joko Sungsang telah 

memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, te-

tap saja getar telapak kakinya dirasakan oleh Wasi 

Ekacakra.

Namun, mata tajam bekas pertapa itu segera 

mengenali Perisai Naga yang melilit di pinggang anak 

muda yang berpakaian serba putih ini. Maka Wasi 

Ekacakra menarik napas lega sebelum membuka pintu


dan menyapa, ’’Selamat datang di pondok saya, Anak-

mas. ”

Joko Sungsang membatalkan niatnya menyeli-

nap ke balik pohon. Rasa malu karena tertangkap ba-

sah secepatnya ia campakkan. Ia sadar bahwa yang di 

hadapinya kali ini bukan sembarang orang yang se-

nang menertawakan orang lain.

’’Selamat malam, Kiai. Maafkan saya, Kiai. Te-

tapi, bukan maksud saya....” „

’’Saya mengerti, Anakmas. Kakang Wiku Jaladri 

sudah berpesan kepada saya tentang kedatangan 

Anakmas. Hanya saja saya tidak mengira akan secepat 

ini,” tukas Wasi Ekacakra. ’’Silakan masuk, Anakmas.”

’Terima kasih, Kiai. Tetapi, malam sudah mulai 

larut. Sebenarnya, kedatangan saya malam ini hanya 

ingin memastikan bahwa keadaan Nyai Demang baik-

baik saja.”

’’Berkat lindungan-Nya, Nyai Demang sehat-

sehat saja, Anakmas. Nyai Demang tentu kaget jika 

melihat Anakmas datang menengoknya.”

’’Tentunya juga atas kemurahan hati Kiai maka 

Nyai Demang sehat hingga sekarang ini. Untuk itu, 

saya hanya bisa berdoa semoga Gusti Yang Maha 

Agung yang akan membalas kemurahan hati Kiai.” 

’’Sudah menjadi kewajiban saya, Anakmas. Apa 

pun yang bisa saya lakukan untuk menolong, pasti 

akan saya lakukan. Tetapi, kenapa Anakmas seper-

tinya tidak ada waktu untuk bertemu dengan Nyai 

Demang walau hanya sebentar?”

’’Kiai, maafkan saya. Saya kira, akan lebih ba-

hagia hati Nyai Demang jika saya menemuinya setelah 

saya selesai menunaikan tugas-tugas saya. Dan, saya 

pun akan merasa lebih lega menemui Nyai Demang se-

telah tidak ada lagi sesuatu yang mengganggu pikiran


saya. ”

”Saya bisa memakluminya, Anakmas. Kalau 

begitu, dalam beberapa hari ini saya akan menunggu 

kedatangan Anakmas kembali. Tetapi, percayalah 

bahwa kedatangan Anakmas malam ini tetap akan 

saya rahasiakan di depan Nyai Demang. ”

’’Terima kasih, Kiai. Sekaligus saya minta doa 

restu Kiai agar saya tetap bisa kembali menemui Kiai.” 

Joko Sungsang membungkuk hormat sebelum me-

ninggalkan halaman rumah itu.

*

* *

Rasa rindu terhadap perempuan yang telah me-

lahirkannya ke dunia ini terpaksa ditahan tahannya. 

Entah kenapa, begitu berhadapan dengan Wasi Ekaca-

kra, pikiran Joko Sungsang serta-merta berubah. Tiba-

tiba ia sadar bahwa tugas utamanya bukan menemui 

Nyai Demang, melainkan memberantas kejahatan. Lagi 

pula, betapa hati perempuan tua itu akan lebih tente-

ram setelah ia mendengar bahwa Kebo Dungkul dan 

Hantu Lereng Lawu tak mungkin lagi mengganggu ke-

tenangannya.

Malam purnama yang dijanjikannya kepada 

Hantu Lereng Lawu masih beberapa malam lagi baru 

tiba. Joko Sungsang masih memiliki hari-hari untuk 

lebih memperdalam ilmu silatnya. Untuk itu ia mencari 

tempat yang tak mungkin terjamah kaki manusia. 

Sengaja ia memasuki hutan dan mencari tempat ter-

lindung untuk bersemedi. Selain itu ia juga sengaja 

melatih kembali jurus-jurus silat maupun jurus jurus 

Perisai Naga hingga tak selangkah pun gerak yang ter-

lupakannya.


Pemusatan pikiran, latihan pernapasan, serta 

pengendalian perasaan membuat Joko Sungsang terle-

na pada urusan duniawinya. la tak lagi merasa harus 

menunggu-nunggu hingga purnama tiba. Sewaktu 

tanpa sengaja pandangan matanya menangkap warna 

merah bulan penuh di ufuk Timur, seketika itulah ia 

ingat janjinya kepada Hantu Lereng Lawu.

Desa Cemara Pitu seperti desa mati yang tak 

berpenghuni Penduduk desa itu telah menutup pintu 

rumah masing-masing semenjak matahari tenggelam 

sore tadi Seperti yang dipesankan oleh Joko Sungsang 

kepada mereka, tak seorang pun diperbolehkan keluar 

dari pintu rumah sebelum terdengar ledakan Perisai 

Naga sebanyak tujuh kali berturut-turut

Keadaan di bawah tujuh pohon cemara di mu-

lut desa itu seolah-olah mengisyaratkan bahwa tempat 

itu hanya boleh didatangi oleh orang-orang yang beril-

mu silat tinggi. Barang siapa gegabah melintasi tempat 

itu maka tak sampai tujuh langkah nyawa mereka 

akan melayang.

Hanya mereka yang berilmu silat tinggi yang bi-

sa merasakan bahwa tempat itu menyembunyikan le-

bih dari sepuluh sosok tubuh manusia. Kebo Dungkul

menempati semak semak di bagian pojok Barat semen-

tara Mahesa Lawung menempati semak-semak yang 

berseberangan jalan. Beberapa langkah dari mulut de-

sa itu telah berjejer anak buah Mahesa Lawung mau-

pun anak buah Kebo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu 

Mereka semuanya siap dengan senjata tergenggam erat 

di telapak tangan. Joko Sungsang sendiri tidak mengi-

ra bahwa kedatangannya bakal disambut oleh baris 

pendem ini.

Namun, bukan Pendekar Perisai Naga jika me-

rasa was-was menyadari jumlah orang yang bersembunyi di kanan-kiri jalan di bawah tujuh pohon cemara 

itu. Dari dengus napas yang tertangkap oleh telin-

ganya, Joko Sungsang bisa memastikan jumlah mere-

ka yang sedang melakukan baris pendem ini.

Bulan purnama berada dua tombak di atas ca-

krawala. Warna pakaian yang dikenakan Joko Sung-

sang seakan bercahaya tertimpa sinar bulan. Maka 

amat mudah bagi Kebo Dungkul dan orang-orangnya 

untuk mengawasi bayangan putih di bawah pohon ce-

mara itu Dan, sesungguhnyalah sejak Joko Sungsang 

memasuki mulut desa itu mereka sudah tak sabar un-

tuk menyergapnya. Akan tetapi, mereka tetap ingat pe-

san Hantu Lereng Lawu sebelum mereka berangkat.

"Tak kuizinkan siapa pun menampakkan diri di 

hadapan Pendekar Perisai Naga sebelum aku tiba di 

tempat itu!” pesan wanti-wanti Hantu Lereng Lawu 

kembali mengiang di telinga mereka.

Kebo Dungkul yang sejak tadi sudah meni-

mang-nimang rantai berkapaknya terpaksa harus me-

nahan diri agar tidak melanggar pesan orang pertama 

dari Lereng Lawu itu.

Suasana tetap senyap meski Joko Sungsang 

sudah berusaha memancing mereka keluar dari per-

sembunyian. Pendekar Perisai Naga ini sengaja me-

langkah mondar-mandir di dekat semak-semak agar 

mereka terpancing untuk membokong. Akan tetapi, 

hanya desah angin di rerimbunan daun cemara yang 

terdengar mengisi kesenyapan malam di tempat itu.

Kesabaran Joko Sungsang lambat-laun terkikis 

habis. Untuk apa ia datang ke tempat itu jika hanya 

untuk menjadi tontonan mereka yang berada di tempat 

persembunyian? Maka, bersamaan dengan hilangnya 

kesabaran di dalam dada, tubuh Joko Sungsang mele-

sat ke udara dan kemudian hinggap di salah sebuah


dahan cemara yang berdaun paling rimbun.

’’Sekarang kalian tidak bisa lagi menontonku! 

Sebaliknya, akulah yang sekarang jadi penonton!” te-

riaknya dari rimbun daun cemara.

’’Bocah sombong! Turunlah sebelum kau jatuh 

terhempas pohon cemara ini!” sambut Kebo Dungkul 

seraya siap menerbangkan kapaknya ke pohon yang 

menyangga tubuh Joko Sungsang

’’Begitulah seharusnya kau menyambut tamu 

agung, Kebo Dungkul! Kenapa mesti sembunyi-

sembunyi?” Joko Sungsang melayang turun dan men-

darat persis di depan Kebo Dungkul.

”Kau jangan lancang, Kebo Dungu!” Tiba-tiba 

terdengar bentakan dari arah lain. Dan, dalam sekejap 

Hantu Lereng Lawu telah berdiri di belakang Kebo 

Dungkul.

*

* *

10

”Oh, inikah Hantu Lereng Lawu yang kesohor 

itu?” sapa Joko Sungsang sambil meneliti sosok Hantu 

Lereng Lawu dari ujung rambut hingga jari-jari kaki.

”Ha-ha-ha, dasar bocah ingusan! Nah, amatilah 

supaya kau tidak menyesal di alam kuburmu nanti, 

Bocah Gembala Kambing!” Hantu Lereng Lawu sengaja 

menghindari bayangan daun cemara agar terlihat jelas 

oleh mata Pendekar Perisai Naga.

’’Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang 

lebih pantas mendahului masuk liang kubur atau ke-

layapan menjadi hantu sepertimu, Hantu Lereng La


wu.” 

’’Gembel busuk! Langkahi dulu mayatku, baru

kau pantas berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu!” 

sahut Kebo Dungkul sambil maju selangkah. Akan te-

tapi, tubuhnya terdorong mundur lagi sebab tangan 

Hantu Lereng Lawu sigap menarik bahunya.

’’Maafkan kelancangan anak buahku yang be-

lum pernah mendengar kebesaran nama Pendekar Pe-

risai Naga,” ujar Hantu Lereng Lawu. ’’Namun begitu, 

terlalu pongah jika kau hanya datang kemari seorang 

diri, Anak Demang!”

’’Sejak lima puluh tahun yang lalu, Pendekar 

Perisai Naga memang tak pernah berkomplot dengan 

siapa pun. Apalagi hanya untuk menghadapi orang se-

sat macam kau, Hantu Lereng Lawu.”

’’Bersiaplah, Bocah Pongah. Tetapi, ingatlah 

bahwa aku bukan cecurut macam Mahesa Lawung 

yang kau jumpai di sini beberapa hari yang lalu!” Ber-

kata begini Hantu Lereng Lawu sambil membuka sepu-

luh jari tangannya dan menerjang dada Joko Sung-

sang.

Joko Sungsang merasakan sambaran angin 

yang begitu kuat lewat di samping telinga kanannya 

sewaktu ia merunduk ke kiri menghindari jari-jari 

maut Hantu Lereng Lawu itu. Dan, sebelum ia mengi-

rimkan serangan balasan, dengan cepat jari-jari tangan 

itu berputar setengah lingkaran ke arah bawah dan 

hampir saja menerjang mukanya.

Murid Wiku Jaladri memang belum berpenga-

laman dalam dunia persilatan. Akan tetapi, setidaknya 

ia pernah mendengar dari cerita gurunya bahwa jari-

jari tangan Hantu Lereng Lawu ini bukan sembarang 

jari. Selain jari-jari itu memang besar dan kuat, masih 

juga dialiri tenaga dalam yang sempurna. Dalam arena


pertarungan, jari-jari itu seakan berubah menjadi gar-

pu baja yang dilumuri racun. Jangan lagi sampai jari-

jari itu tertanam dalam daging, sedangkan sedikit 

goresan pada kulit pun sudah cukup membahayakan.

Oleh sebab itu, Joko Sungsang menjatuhkan 

tubuhnya sambil menerjang kaki kanan Hantu Lereng 

Lawu. Merasa kaki kanannya terancam, orang sesat 

dari Lereng Lawu itu menarik kaki kanannya ke bela-

kang sehingga terpaksa ia menggagalkan serangan be-

rikutnya.

’’Lumayan juga ilmu silatmu, Bocah Sanareja!” 

ujar Hantu Lereng Lawu.

’’Sayang, aku tak banyak waktu untuk mela-

deni bocah ingusan! Nah, bersiaplah menghadapi pe-

dangku!”

Melihat lawan sudah menghunus senjata, Joko 

Sungsang pun mengurai Perisai Naga dari pinggang-

nya.

Tiga puluh tahun yang lalu, Hantu Lereng Lawu 

memang merasa cemas menghadapi kehebatan Perisai 

Naga. Akan tetapi, sekarang ia malah tertawa-tawa se-

raya berkata, ”Ayo, seranglah aku dengan cambuk 

kambingmu itu, Pendekar Perisai Naga!”

Sungguh, baru kali ini Joko Sungsang men-

jumpai lawan yang berani menertawakan Perisai Na-

ganya. Malahan mengejek sebagai cambuk kambing! 

Menggelegak darah muda Joko Sungsang. Maka tanpa 

menunggu lawan menyerang, ia mendahului mengi-

rimkan serangan. Dan, inilah Jurus Naga Melilit Gu-

nung. Dengan sekali lecut, Perisai Naga berhasil melilit 

pinggang Hantu Lereng Lawu. Sekejap saja cambuk itu 

melingkar di pinggang Hantu Lereng Lawu. Sebab, se-

belum Joko Sungsang sempat menghentakkan Perisai 

Naganya, tubuh Hantu Lereng Lawu mendahului berputar dan pudarlah lilitan cambuk itu.

Joko Sungsang terpana. Tak disangkanya la-

wan bisa menangkal Jurus Naga Melilit Gunung. Tentu 

saja ia tidak mengira bahwa Hantu Lereng Lawu telah 

mempelajari Jurus Bidadari Mengurai Benang Kusut 

Tak pernah sekelumit pun Wiku Jaladri mengin-

gatkannya bahwa orang sesat dari Lereng Lawu itu 

memiliki jurus penangkal Perisai Naga.

”Ha-ha-ha! Jangan besar kepala karena kau 

memiliki Perisai Naga, Bocah Goblok! Nah, sekarang gi-

liranku memamerkan kehebatan pedangku!” Hantu Le-

reng Lawu memutar pedangnya di atas kepala. Pedang 

yang berwarna keemasan itu kini berubah bentuk 

menjadi payung berwarna kuning menyilaukan. Dan, 

putaran pedang itu tiba tiba menerjang leher Joko 

Sungsang.

’Tring!”

Bunga api berpijaran akibat benturan dua sen-

jata. Sewaktu Joko Sungsang berjumpalitan ke udara 

dan mengirimkan balasan ke arah kepala lawan, ketika 

itulah pedang Hantu Lereng Lawu memayungi kepa-

lanya. Maka bola berduri Perisai Naga yang hampir 

mematuk kepala Hantu Lereng Lawu pun terpental.

’’Kau pikir aku begitu bodoh membiarkan batu 

akikmu itu menyentuh kepalaku? Ha-ha-ha! Dasar Bo-

cah Tolol!” ujar Hantu Lereng Lawu.

Dalam pada itu, Kebo Dungkul, Mahesa La-

wung, dan para anak buah mereka begitu terpaku me-

nyaksikan pertarungan yang sedang berlangsung. Se-

makin lama mereka memperhatikan, semakin mereka 

terkagum-kagum. Mereka tidak lagi melihat sosok 

Hantu Lereng Lawu maupun Joko Sungsang. Mereka 

hanya melihat bayangan putih dan bayangan hitam 

saling menyerang dengan senjata-senjata yang berwar


na kuning dan hijau-kebiru-biruan.

Puluhan jurus telah terlewati. Namun, belum 

seorang pun di antara mereka berdua kelihatan terde-

sak Joko Sungsang sendiri baru sekarang mengakui 

nama besar Hantu Lereng Lawu. Bukan mustahil jika 

banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban ke-

ganasan orang sesat dari Lereng Lawu ini. Berkali-kali 

Joko Sungsang berhasil melilitkan Perisai Naga ke tu-

buh lawan, tetapi berkali-kali pula lilitan itu pudar se-

belum ia sempat menghentakkan Perisai Naganya.

’Tong!"

Untuk kedua kalinya bola berduri di ujung Pe-

risai Naga membentur payung pedang yang memben-

tengi tubuh Hantu Lereng Lawu. Namun, kali ini tubuh 

mereka sama-sama surut beberapa langkah ke bela-

kang. Dua tenaga dalam yang teralirkan lewat senjata-

senjata mereka beradu. Kalau saja Joko Sungsang ti-

dak tekun melatih pernapasan, sudah barang pasti ia 

akan terjengkang dan tidak bangun lagi.

Akan halnya Hantu Lereng lawu? Orang sesat 

yang telah puluhan tahun malang-melintang di dunia 

persilatan ini diam-diam memuji kehebatan ilmu silat 

anak muda dari Sanareja ini. Diam-diam ia bersyukur 

tidak membiarkan Kebo Dungkul coba-coba mengha-

dapi anak muda ini. Maka ia pun mengakui bahwa 

anak muda dari Padepokan Jurang Jero ini memang 

pantas bergelar Pendekar Perisai Naga!

Setelah berhasil mengatasi rasa nyeri yang me-

nyerang pangkal lengannya, kembali Hantu Lereng La-

wu menerjang dengan pedangnya. Kali ini pedang itu 

tidak lagi berputar. Pedang itu bergerak separuh ling-

karan ke kanan-kiri dengan gerakan menyilang.

Tak ada jalan lain bagi Joko Sungsang kecuali 

melenting ke udara sambil melindungi tubuhnya den


gan putaran cambuknya. Ia yakin, pedang itu bakal 

memburunya ke udara. Namun, tanpa diduga-duga, 

tangan kiri Hantu Lereng Lawu mengirimkan pukulan 

sewaktu Joko Sungsang hampir menjejakkan kakinya 

ke tanah.

’’Desss!”

Tumit Joko Sungsang beradu dengan kepalan 

tinju orang sesat dari Lereng Lawu itu. Tubuh Joko 

Sungsang berguncangan sementara tubuh Hantu Le-

reng Lawu terlempar beberapa tombak ke belakang.

’’Cincang anak ingusan itu!” Perintah Hantu Le-

reng Lawu kepada anak buahnya setelah ia berhasil 

berdiri lagi di atas kuda-kudanya.

Kebo Dungkul, Mahesa Lawung, dan sepuluh 

orang anak buah mereka langsung mengurung tubuh 

Joko Sungsang. Bahkan sebelum Joko Sungsang 

bangkit, mereka telah menyerang bersamaan Terpaksa 

murid Wiku Jaladri ini bergulingan kembali untuk 

menghindari pedang Mahesa Lawung dan rantai ber-

kapaknya Kebo Dungkul yang mengancam tubuhnya.

Keadaan seperti ini memang sudah diramalkan 

oleh Joko Sungsang. Tidak akan Hantu Lereng Lawu 

berani bertarung satu lawan satu sampai titik darah 

penghabisan. Masih untung Empu Wadas Gempal ti-

dak ikut mengeroyoknya.

”Tar! Tar! Tar!”

Perisai Naga meledak tiga kali, dan tiga orang 

anak buah Hantu Lereng Lawu terpental dengan ken-

ing menyemburkan darah. Dalam sekejap saja bola 

berduri di ujung cambuk itu melibas tiga kening lelaki 

malang itu.

Melihat tiga anak buahnya tewas, Hantu Lereng 

Lawu mulai menerjang Joko Sungsang lagi. Kini Joko 

Sungsang merasa kewalahan menghadapi keroyokan


mereka. Untuk menghadapi Hantu Lereng Lawu seo-

rang diri pun ia merasa harus berjuang mati-matian, 

apalagi sekarang ditambahi dengan serangan Mahesa 

Lawung dan kebo Dungkul. Bolehlah ujung-ujung 

tombak anak buah mereka itu diabaikan. Tetapi, ha-

ruskah Joko Sungsang mengabaikan tiga orang yang 

kini telah bergabung itu?

Perisai Naga menyambar-nyambar, tetapi pe-

dang Hantu Lereng Lawu selalu berhasil memagari me-

reka bertiga. Rupa-rupanya Hantu Lereng Lawu hanya 

bertugas menangkis serangan, sementara ia menu-

gaskan Mahesa Lawung dan Kebo Dungkul untuk 

membalas serangan.

Empat orang anak buah Hantu Lereng Lawu ja-

tuh lagi. Tetapi, hanya itulah yang bisa diperbuat Joko 

Sungsang. la menyingkirkan orang-orang bertombak 

ini supaya ia lebih bisa konsentrasi menghadapi tiga 

orang tangguh yang mengurungnya. Namun, meskipun 

akhirnya anak buah Hantu Lereng Lawu maupun anak 

buah Mahesa Lawung terkapar semuanya, tetap saja 

Joko Sungsang terdesak. Hampir-hampir tiga orang 

lawannya ini tak memberinya kesempatan untuk 

membalas. Mereka terus menerjang dengan jurus-

jurus yang mematikan.

Joko Sungsang merasakan tenaganya mulai 

terkuras. Ke mana pun ia menghindar, salah satu sen-

jata lawan selalu membuatnya. Mereka bertiga seakan 

sudah terlatih untuk bersatu mengeroyok. Satu-

satunya kemungkinan adalah menjatuhkan salah satu 

dari mereka bertiga terlebih dulu. Dan, tentu saja Ma-

hesa Lawung yang paling mungkin untuk segera dija-

tuhkan.

Mulailah Joko Sungsang mengarahkan seran-

gan cambuknya ke tubuh Mahesa Lawung. Namun, di


luar dugaannya, Hantu Lereng Lawu selalu melindungi 

orang kepercayaan Adipati Sorengdriyo itu. Setiap Peri-

sai Naga bergerak melilit, setiap itu pula tubuh Hantu 

Lereng Lawu yang terlilit. Sudah pasti tubuh orang se-

sat dari Lereng Lawu ini maju dengan Jurus Bidadari 

Mengurai Benang Kusut.

Joko Sungsang benar-benar merasakan tena-

ganya terkuras habis. Kalaupun ia masih lincah 

menghindari serangan mereka, gerakan menghindar 

ini pun semakin menguras tenaganya. Dan, selama 

Hantu Lereng Lawu masih ada di antara mereka, maka 

Joko Sungsang merasa percuma menyerang.

Dalam keputusasaannya, Joko Sungsang tiba-

tiba melihat bayangan putih menyerang Kebo Dungkul. 

Sebelum ia bisa menebak siapa yang muncul memban-

tunya ini, bayangan putih itu berteriak, 

’’Biarkan aku membalas rasa sakit hatiku, Jo-

ko!”

”Arum? Sekar Arum!” desah Joko Sungsang 

merasa lega. Bagaimanapun juga kehadiran gadis itu 

akan memisahkan Kebo Dungkul dari Hantu Lereng 

Lawu dan Mahesa Lawung.

’’Rupanya kau melepaskan gadis itu, Kebo 

Dungu?” ujar Hantu Lereng Lawu. Ia masih ingat se-

waktu ia berhasil membuat gadis itu tak berdaya bebe-

rapa hari yang lalu di depan kedai itu.

”Kau menyesal melepaskan aku waktu itu, 

Hantu Keparat?” sahut Sekar Arum.

Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tak 

disia-siakan oleh Joko Sungsang. Begitu Kebo Dungkul 

mulai sibuk menghadapi serangan tombak pendek di 

tangan Sekar Arum, dan perhatian Hantu Lereng Lawu 

terpecah, saat itulah Perisai Naga melecut dan melilit 

leher Mahesa Lawung. Dan, dengan sekali hentak, Ma


hesa Lawung tersungkur dengan leher menyemburkan 

darah. Bola berduri ujung Perisai Naga membabat 

urat-urat leher orang dari Kadipaten Banyu Asin ini.

”Dia memang pantas mati, Bocah Tolol! Tetapi, 

ingatlah kau masih harus menghadapiku! Dan, jangan 

berangan-angan kau bisa melilitkan cambuk kam-

bingmu ke tubuhku!” teriak Hantu Lereng Lawu seraya 

memutar tubuhnya seperti gasing.

Kembali menghadapi Hantu Lereng Lawu seo-

rang diri, kekacauan pikiran Joko Sungsang mulai bisa 

teratasi. Dan, melihat lawannya hanya berbentuk gu-

lungan sinar kuning, ia serta-merta ingat latihan-

latihannya di pusaran air kali. Maka ia pun ingat Ju-

rus Mematuk Elang dalam Mega yang bisa menerobos 

pusaran air kali sederas apa pun.

"Berputarlah sepuasmu, Hantu Gasing!” kata 

Joko Sungsang sebelum melenting ke udara dan me-

matukkan bola berduri di ujung cambuknya dengan 

Jurus Mematuk Elang dalam Mega.

Hampir saja bola berduri itu berhasil menem-

bus putaran tubuh Hantu Lereng Lawu ketika tiba-tiba 

ada angin kuat melabrak tubuh Joko Sungsang. Tu-

buh murid Wiku Jaladri ini terpental dan bola berduri 

itu tertarik menjauh dari kepala Hantu Lereng Lawu.

”Ho-ho-ho, he-he-he, hi-hi-hi! Rupanya tua 

bangka penggembala kambing itu masih punya jurus 

simpanan!” Empu Wadas Gempal memegangi perutnya 

sambil menarik-narik kumisnya.

’’Selamat datang, Guru,” sambut Hantu Lereng 

Lawu sambil membungkuk hormat ke arah gurunya.

’’Kalau saja aku tidak kebetulan lewat di sini, 

kau sudah dikirim ke neraka oleh penggembala muda 

itu, Pragosa!” sahut Empu Wadas Gempal.

’’Kebetulan lewat? Bilang saja kalian memang


sudah berjanji main keroyokan di sini! Tua bangka ti-

dak tahu diri!” sembur Sekar Arum setelah berhasil 

mengirimkan tumitnya yang mungil ke perut Kebo 

Dungkul.

Terhuyung-huyung Kebo Dungkul sambil me-

megangi perutnya yang melilit-lilit. Tadi ia memang 

lengah sehingga tumit gadis itu berhasil menerjang pe-

rutnya. Kehadiran Empu Wadas Gempal membuyar-

kan konsentrasi Kebo Dungkul.

”Ha-ha-ha! Sesukamulah kau menuduh, Cah 

Ayu! Yang pasti, aku datang memang untuk membu-

nuh kalian berdua! Nah, tinggalkan Kebo Dungkul, 

dan bantulah Pendekar Perisai Naga menghadapiku!” 

Empu Wadas Gempal mendorongkan kedua telapak 

tangannya, dan angin yang keluar dari telapak tangan 

itu menjauhkan tubuh Kebo Dungkul dari hadapan 

Sekar Arum.

’’Kalaupun kami harus mati, kami memilih mati 

secara ksatria! Pantang bagi kami main keroyokan se-

perti orang-orangmu!” sergah Sekar Arum.

’’Kalau begitu, hadapilah aku, Gadis Bengal!” 

Berkata begini, Hantu Lereng Lawu langsung mengha-

dang di depan murid Ki Sempani.

”Kau merasa pernah mengalahkanku, Hantu 

Keparat? Tetapi, kali ini, jangan harap pedangmu itu 

bisa menyentuh pakaianku! Bersiaplah sebelum tom-

bakku memburaikan ususmu!” Sekar Arum memutar 

tombak pendeknya. Dua mata tombak itu berkilauan 

tertimpa sinar bulan.

’’Tunggu apa lagi, Bocah Bagus? Kawanmu su-

dah mulai menyerang, kenapa kau masih juga beku?” 

ujar Empu Wadas Gempal sambil mengirimkan angin 

telapak tangannya ke arah Joko Sungsang.

Meski sudah berusaha berkelit, tetap saja Joko


Sungsang merasakan sambaran angin dari telapak 

tangan tokoh hitam dari Hutan Ketapang ini. Bahkan 

hembusan angin itu sempat membuat ikat kepalanya 

terbang.

”Nah, kalau saja aku mengeluarkan seluruh te-

nagaku, kepalamulah yang terbang, Anak Demang!”

Joko Sungsang merasa tidak mungkin meng-

hadapi kakek sakti ini hanya dengan tangan kosong. 

Maka ia bersiap-siap dengan Perisai Naga tergenggam 

erat di tangannya.

’’Cobalah kau serang aku dengan jurus baru 

ciptaan gurumu itu! Aku memang belum tahu nama 

jurus itu, tetapi aku bukan Hantu Dungu yang tak 

kenal semedi itu, Bocah Ingusan!”

”Ya! Dan, tidak seharusnya kau mencampuri 

urusan bocah-bocah ingusan, Wadas Gempal!” Tiba-

tiba terdengar jawaban seseorang dari kerimbunan 

daun cemara.

Empu Wadas Gempal membatalkan serangan-

nya, ia menoleh ke arah datangnya suara seraya men-

girimkan serangan jarak jauh. Terdengar suara dahan 

berderak patah, dan nampaklah sesosok tubuh me-

layang turun dan mendarat di depan Joko Sungsang.

”Maaf, Anakmas. Orang tua dari Hutan Keta-

pang ini memang bukan lawan kalian berdua,” kata 

Wasi Ekacakra sambil menoleh ke belakang.

”Ho-ho-ho! Kau rupanya! Aku memang sudah 

lama menunggumu, Ekacakra! Hanya sayangnya, di 

sini ada anak-anak ingusan yang tidak tahu urusan ki-

ta berdua! Baik, ini memang bukan urusan tua bangka 

seperti kita! Urusan kita bisa kita selesaikan lain wak-

tu!” Empu Wadas Gempal berjumpalitan ke belakang 

dan menghilang di kerimbunan semak-semak.

”Nah, Anakmas Joko Sungsang, saya harus tetap mengawasi kepergian kakek dari Hutan Ketapang 

itu. Selesaikanlah urusan kalian berdua!”

"Terima kasih, Kiai,” ucap Joko Sungsang sam-

bil membungkuk hormat. Dan, sewaktu ia menenga-

dahkan mukanya, petani tua dari Desa Dadapsari itu 

telah menghilang dari pandang matanya.

Melihat gurunya kabur, Hantu Lereng Lawu 

memberikan isyarat kepada Kebo Dungkul agar cepat-

cepat meninggalkan gadis murid Ki Sempani itu. akan 

tetapi, Joko Sungsang telah menghadang dengan puta-

ran Perisai Naganya.

’’Urusan kita belum selesai, Hantu Lereng La-

wu!” kata Joko Sungsang kembali bersiap-siap dengan 

Jurus Mematuk Elang dalam Mega yang tadi digagal-

kan oleh Empu Wadas Gempal.

’’Jangan besar kepala, Anak Demang! Kau kira

cambukmu masih bisa melecutku tanpa kehadiran gu-

ruku?”

’’Cobalah kau berputar lagi, dan aku memang 

tidak akan melilitkan cambukku ke tubuhmu! Tetapi, 

bola di ujung cambuk inilah yang pasti memecahkan 

tengkorak kepalamu!”

’’Pergilah ke neraka menyusul kedua orang tua-

mu!” Hantu Lereng Lawu memutar tubuhnya dengan 

pedang menyilang di dada.

Karena tak mau lagi menguras tenaga, Joko 

Sungsang pun langsung menerapkan Jurus Mematuk 

Elang dalam Mega. Bersamaan dengan itu, Sekar Arum 

melenting ke atas kepala Kebo Dungkul dan ketika tu-

run... crasss! Tombak pendek bermata dua itu menan-

cap di tengkuk Kebo Dungkul.

Kebo Dungkul tersungkur dengan leher bolong 

tertusuk tombak pendek murid Ki Sempani. Dan, di 

hadapan Joko Sungsang pun, Hantu Lereng Lawu ter


jerembab setelah tubuhnya limbung dan kepalanya pe-

cah terpatuk batu cincin berduri di ujung Perisai Naga.

Sekar Arum dan Joko Sungsang tersenyum le-

ga. Serentak mereka menyimpan senjata masing-

masing ke pinggang. Lalu, Joko Sungsang mendahului 

membuka suara,

’’Sekarang kita ke Padepokan Karang Bolong?”

’’Nanti, setelah kau berhasil mengalahkanku!” 

jawab Sekar Arum seraya mendahului melompat me-

ninggalkan tempat berbau amis darah itu.

Bukan Pendekar Perisai Naga jika dalam seke-

jap mata tidak bisa menyusul langkah gadis itu! Itu 

pun dilakukannya setelah terlebih dulu ia memungut 

ikat kepalanya yang tadi tercampakkan oleh sambaran 

angin telapak tangan Empu Wadas Gempal.

”Kau belum cerita kenapa kau pergi dari Ka-

rang Bolong, Arum,” kata Joko sungsang sambil berlari 

di samping gadis murid Ki Sempani itu.

Gadis itu melirik, dan kemudian jawabnya, ’’Ka-

lau saja aku tidak bertemu dengan Pendekar Perisai 

Naga, mungkin aku tetap tidak menyadari bahwa ilmu 

silatku masih memalukan di dunia persilatan!”

”Ah, aku tidak melihat kelemahan ilmu silatmu. 

Jangan terlalu merendahkan diri, Arum. Aku yakin, Ki 

Sempani tidak mungkin mau membawa seluruh il-

munya ke liang kubur.”

’’Akulah yang keras kepala. Guru belum menu-

runkan semua ilmunya kepadaku, tetapi aku berkeras 

pergi dari padepokan. ” Wajah gadis itu kini tertunduk. 

Pandang matanya yang semula galak menjadi sayu.

Joko Sungsang menghela napas lega. Ia merasa 

tega sebab gadis ini menyadari kekeliruannya. Lalu dia 

pun melihat penduduk Desa Cemara Pitu mulai berke-

luaran dari rumah mereka masing-masing. Sebelum


para penduduk desa tersebut sempat mengucapkan te-

rima kasih, Joko Sungsang dan Sekar Arum telah ber-

kelebat meninggalkan mereka.

’’Kalian kubur mayat-mayat itu dengan baik! 

Dan sekarang kalian bisa menikmati hasil panen sen-

diri tanpa diganggu lagi!” Joko Sungsang mengirimkan 

suaranya dari jarak jauh pada penduduk desa yang 

sedang bergembira itu.



                           SELESAI


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar