Melihat Sarwiyah sudah dapat ditawan oleh
Gajah Agni, maka semangat Mahisa Singkir pa-
dam. Bagi dirinya tidak ada gunanya melawan te-
rus, apabila Sarwiyah, kakak seperguruan tetapi
yang amat dicintai itu tertawan.
Kenyataannya lawan yang mereka hadapi
justru jauh di atas tingkat dirinya maupun ting-
kat Sarwiyah. Maka tidak mengherankan apabila
kakak seperguruannya tidak berkutik melawan
Gajah Agni, sedang dirinya sendiripun dalam
keadaan sama, tak sanggup melawan Hesti Pawa-
na.
- Aku menyerah! — serunya tiba-tiba sam-
bil membuang pedangnya.
— Adi! Apa yang kau lakukan? — Sarwiyah
kaget.
- Tidak ada gunanya aku bersikeras mela-
wan, setelah engkau ditawan, Mbakyu. Karena
kau dalam tawanan, maka biarlah aku juga men-
jadi tawanan.
Sarwiyah terbelalak. Dalam dada gadis ini
kemudian terdengar isak yang lirih, tetapi air ma-
ta tidak keluar. Sadarlah ia sekarang, adik seper-
guruannya ini mencintai dirinya.
Demikianlah akhirnya, dua orang muda ini
dibawa pulang sebagai tawanan. Dalam perjala-
nan menuju sarang mereka ini, menyebabkan
Mahisa Singkir heran berbareng kagum.
Ternyata dalam menuju sarang mereka ini
tidak menggunakan jalan biasa. Membuktikan ge-
rombolan sisa pemberontak Sadeng ini diatur
demikian rupa, guna melindungi keselamatan me-
reka. Dengan demikian orang yang berani masuk
ke dalam wilayah gerombolan ini sulit untuk da-
pat keluar lagi, di samping juga tak gampang da-
pat menuju ke sarang mereka.
Hanya beberapa puluh depa dari tempat
perkelahian tadi, terdapat jurang cukup dalam.
Hesti Pawana menggerakkan batu yang bentuk-
nya bundar di tepi jurang. Terdengar kemudian
suara gemerisik lalu terbukalah semacam lubang
yang bertangga batu. Dirinya dibawa masuk ke
dalam lubang ini, yang sempit dan gelap sekali se-
telah alat dari dalam menutup lubang itu kemba-
li.
Beberapa saat kemudian muncullah mere-
ka di dasar jurang. Dan jurang ini merupakan ja-
lan rahasia guna menuju ke sarang. Cukup lama
mereka menelusuri jurang yang kering ini, lalu ti-
balah pada sebuah batu yang menonjol. Ketika
batu ini digerakkan oleh alat rahasia yang terletak
di dekatnya, batu yang menonjol tadi bergeser.
Kemudian muncullah goa dan masuklah mereka.
Goa yang sesungguhnya merupakan jalan rahasia
di bawah tanah ini gelap pekat, dan bagi mereka
yang tidak biasa kalau tidak menggunakan pene-
rangan tentu harus meraba-raba khawatir teran-
tuk batu.
Hanya pada beberapa tempat saja terdapat
sinar matahari yang menerobos masuk dari lu-
bang yang sengaja dibuat, guna menjamin kebu-
tuhan hawa bersih dalam jalan rahasia ini.
Entah berapa lama Mahisa Singkir dan
Sarwiyah dibawa menelusuri jalan rahasia ini. Se-
telah tiba di ujung lorong, Hesti Pawana mengge-
rakkan alat rahasia lagi, lalu terbukalah pintu ba-
tu.
Mata Mahisa Singkir silau oleh sinar mata-
hari, setelah beberapa lama dalam jalan rahasia
yang gelap. Dan ketika mereka sudah tiba di luar,
Hesti Pawana menutup pintu batu itu lagi.
Mulut Mahisa Singkir ternganga saking ka-
gum di samping menjadi tambah khawatir. Ia sa-
dar tanpa seizin tuan rumah sulit dirinya dapat
melarikan diri dari tempat seperti ini. Karena dae-
rah ini merupakan daerah terasing yang hanya
dihubungkan jalan rahasia di bawah tanah.
Sarang gerombolan ini terletak di lembah
yang terkurung tebing terjal yang langka dapat
dipanjat orang. Sebab selain tebing itu licin, po-
hon yang tumbuh hanya sebangsa lumut dan tak
mungkin dapat dipergunakan orang berpegangan.
Dalam pada itu setiap orang yang berada di tebing
dengan mudah bisa tampak dari bawah. Hingga
orang yang sengaja datang mengacau, sebelum
maksudnya tercapai sudah mati terpanggang oleh
anak panah beracun.
Melihat sarang gerombolan ini diam-diam
pemuda ini menghela napas sedih. Sebab selama
hidup dirinya takkan dapat keluar dari lembah ini
kalau toh dirinya belum dibunuh. Lain halnya ka-
lau dirinya bersayap, dirinya akan dapat terbang.
Perumahan bagi para anggota gerombolan
ini berwujud rumah-rumah batu yang berderet
memanjang. Seakan merupakan benteng yang
memisahkan sarang itu dengan tebing. Ia tidak
tahu dari bahan apakah yang mereka pergunakan
sebagai atap, karena tampaknya seperti dari
rumbia, tetapi bukan.
Benar-benar cerdik pemimpin gerombolan
ini.
Kemudian Mahisa Singkir dan Sarwiyah
dibawa masuk lewat pintu gerbang yang dibangun
dari batu. Lalu tibalah mereka pada tempat la-
pang tidak begitu lebar tetapi panjang sekali,
membentuk segi empat panjang. Agaknya pemim-
pin gerombolan yang bernama Mpu Galuh ini,
tempat tinggalnya di tengah anak buah. terbukti
mereka harus lewat jalan berbatu diapit oleh ke-
bun yang penuh berbagai macam tanaman.
Kebun ini merupakan kebun bersama dan
untuk sumber hidup bagi para penghuni. Pada
kebun ini jarang terdapat rumah. Dan di samping
itu Mahisa Singkir juga heran mengapa selama
perjalanan ini tidak pernah mendengar suara
anak bermain atau bocah menangis.
Sarang ini tampak sepi saja dan jarang pu-
la bersua manusia. Dan kalau toh bersua, orang
itu akan segera menjatuhkan diri berlutut, mem-
berikan bukti bahwa dua kakek bernama Hesti
Pawana maupun Gajah Agni ini kedudukannya
memang tinggi.
Setelah menelusuri jalan yang bercabang-
cabang dan berkali-kali membelok, tibalah mere-
ka pada tanah lapang lagi. Di tengah tanah la-
pang yang luas ini terdapat bangunan yang besar,
kokoh dan kuat. Bentuk atapnya tidak banyak
beda-nya dengan rumah yang sudah mereka le-
wati. Akan tetapi rumah ini di samping dilindungi
oleh beberapa macam pohon tinggi, rindang dan
agak luas masih dipisahkan pula oleh semacam
selokan yang lebar dan dalam. Maka hanya ma-
nusia yang bisa terbang saja, bisa melompati se-
lokan ini, yang disebut dengan nama jagang.
Selokan ini mestinya berair dalam. Tetapi
karena musim kemarau, air pada jagang ini ham-
pir kering dan menebarkan bau yang kurang se-
dap.
Untuk dapat masuk ke dalam bangunan
yang terpisah di tengah lapang ini, dilengkapi
dengan semacam jembatan kayu. Jembatan ini
dikawal beberapa prajurit penjaga yang tugasnya
untuk memasang maupun mengangkat jembatan
ini, menggunakan tali kuat.
Lewat jembatan gantung inilah Mahisa
Singkir dan Sarwiyah dibawa masuk, lewat pintu
gerbang yang besar dan kuat, dijaga oleh bebera-
pa orang laki-laki bertubuh kekar bersenjata
tombak. Akan tetapi pakaian mereka ini tidak
berbeda dengan yang sudah mereka saksikan ta-
di. Hanya memakai cawat dan tanpa baju pula.
- Tentunya engkau heran anak muda,
mengapa anak buah kami hanya memakai cawat
dan tanpa baju? — kata Hesti Pawana lirih.
Semula ia memang tidak berani membuka
mulut. Namun karena kakek ini mengajak bicara,
hatinya yang merasa heran berkata, — Benar,
aku heran. Mengapa mereka berpakaian seragam
macam itu.
— Inilah hasil kecerdikan pemimpin kami,
— Hesti Pawana bangga dan pamer. — Telah ba-
nyak terjadi peristiwa penyelundupan di tempat
lain karena orang dengan cara melepaskan pa-
kaian. Hingga penyelundup itu dapat bergerak le-
luasa dan sulit dikenal.—
— Tetapi di tempat ini tidak mungkin bisa
terjadi! — Gajah Agni yang sejak tadi hanya ber-
diam diri sekarang ikut bicara. — Dengan pakaian
cawat melulu, tanpa baju dan tanpa ikat kepala,
penyelundup akan gampang diketahui —
Gajah Agni berhenti sejenak, memandang
Mahisa Singkir dan tampak sombong. Tak lama
kemudian kakek ini meneruskan, — memang
orang juga bisa menggunakan cawat, akan tetapi
kulit tubuhnya akan berlainan. Orang yang biasa
tidak berbaju akan menjadi hitam dan kasar. Se-
baliknya orang yang biasa berbaju, kulitnya tentu
bersih dan halus. Dan kecuali itu orang yang bi-
asa pakai baju akan kedinginan pada waktu ma-
lam. Itulah sebabnya kami memilih seragam
hanya Cawat melulu seperti ini. —
Mendengar ini diam-diam Mahisa Singkir
dan Sarwiyah menjadi kagum. Cerdik sekali pemimpin gerombolan yang namanya Mpu Galuh
ini. Karena yang sudah dibicarakan baru pakaian
laki-laki, maka Sarwiyah lalu bertanya tentang
pakaian perempuan.
- Kalau laki-laki berpakaian seperti itu, lalu
bagaimanakah dengan pakaian perempuan? —
Gajah Agni tertawa, sahutnya, — Pakaian
perempuan tidak jauh berbeda bagi semua anak
buah. Sebab para perempuan juga tidak boleh
pakai baju! —
— Ahhhh ..... — Sarwiyah berseru terta-
han.
Bulu kuduk Sarwiyah meremang menden-
gar penjelasan ini. Kalau perempuan hanya pakai
penutup dada melulu, betapa malu bagi dirinya,
yang sudah terbiasa memakai baju. Dengan cara
lepas baju dan hanya ditutup kain penutup dada,
rasanya tentu seperti telanjang dada.
Ketika itu terdengar suara nyaring dari
tempat agak jauh. — Hai Pawana dan Agni! Ba-
gus, engkau berhasil mengundang tamu-tamu
itu? Bawalah masuk, aku sudah menunggu. —
Dua orang kakek ini membungkukkan tu-
buh sambil menjawab dengan penuh rasa hormat.
Mereka melewati pelataran yang cukup
luas dengan dasar pasir campur kerikil. Hati mu-
da mudi ini berdebar, setelah mulai masuk ke
rumah depan yang luas dengan lantai batu hitam.
Dan di dalam rumah ini tampak seorang kakek
gagah, wajahnya keren, sinar matanya berkilat
berwibawa, jenggotnya panjang menjuntai dan
Kakek ini kemudian menjejak tanah. Lalu
tubuhnya yang gendut itu melesat ke atas. Ju-
bahnya berkibaran tertiup angin dan sesaat ke-
mudian ia telah berdiri pada batu gunung yang
terbesar dan tertinggi. Ia memandang sekeliling
seperti menyelidik, dan tiba-tiba sudah berteriak
nyaring.
— Hai Klinthung Waluh! Hayo, lekaslah ke-
luar!!. Aku, Mpu Anusa Dwipa ingin ketemu den-
gan kau!—
Teriakan kakek ini terdengar nyaring sekali
dan suara itu memantul dari tebing ke tebing dan
batu ke batu. Tak lama kemudian seperti iblis
dan setan. Klinthung Waluh bersama dua orang
muridnya sudah muncul.
Keanehan segera terjadi. Klinthung Waluh
yang tadi sikapnya garang ketika berhadapan
dengan Mpu Kepakisan, sekarang bersama dua
muridnya sudah berlutut di tanah. Sejenak ke-
mudian Klinthung Waluh berkata dengan na-
danya amat menghormat.
— Mpu, saya sudah datang. Adakah keper-
luan Mpu, hingga perlu memanggil saya? —
— Heh heh heh heh, bangkitlah!— perintah
Mpu Anusa Dwipa yang masih tetap berdiri di ba-
tu itu.
Klinthung Waluh dan muridnya segera pu-
la bangkit berdiri. Tetapi guru dan murid ini seka-
lipun berdiri, kepalanya menunduk, dan tidak
seorangpun berani mengangkat kepalanya me-
mandang kakek gendut itu. Jelas sekali sikap me
an menuju sarang mereka ini, menyebabkan
Mahisa Singkir heran berbareng kagum
Ternyata dalam menuju sarang mereka ini
tidak menggunakan jalan biasa. Membuktikan ge-
rombolan sisa pemberontak Sadeng ini diatur
demikian rupa, guna melindungi keselamatan me-
reka. Dengan demikian orang yang berani masuk
ke dalam wilayah gerombolan ini sulit untuk da-
pat keluar lagi, di samping juga tak gampang da-
pat menuju ke sarang mereka.
Hanya beberapa puluh depa dari tempat
perkelahian tadi, terdapat jurang cukup dalam.
Hesti Pawana menggerakkan batu yang bentuk-
nya bundar di tepi jurang. Terdengar kemudian
suara gemerisik lalu terbukalah semacam lubang
yang bertangga batu. Dirinya dibawa masuk ke
dalam lubang ini, yang sempit dan gelap sekali se-
telah alat dari dalam menutup lubang itu kemba-
li.
Beberapa saat kemudian muncullah mere-
ka di dasar jurang. Dan jurang ini merupakan ja-
lan rahasia guna menuju ke sarang. Cukup lama
mereka menelusuri jurang yang kering ini, lalu ti-
balah pada sebuah batu yang menonjol. Ketika
batu ini digerakkan oleh alat rahasia yang terletak
di dekatnya, batu yang menonjol tadi bergeser.
Kemudian muncullah goa dan masuklah mereka.
Goa yang sesungguhnya merupakan jalan rahasia
di bawah tanah ini gelap pekat, dan bagi mereka
yang tidak biasa kalau tidak menggunakan pene-
rangan tentu harus meraba-raba khawatir teran-
tuk batu.
Hanya pada beberapa tempat saja terdapat
sinar matahari yang menerobos masuk dari lu-
bang yang sengaja dibuat, guna menjamin kebu-
tuhan hawa bersih dalam jalan rahasia ini.
Entah berapa lama Mahisa Singkir dan
Sarwiyah dibawa menelusuri jalan rahasia ini. Se-
telah tiba di ujung lorong, Hesti Pawana mengge-
rakkan alat rahasia lagi, lalu terbukalah pintu ba-
tu.
Mata Mahisa Singkir silau oleh sinar mata-
hari, setelah beberapa lama dalam jalan rahasia
yang gelap. Dan ketika mereka sudah tiba di luar,
Hesti Pawana menutup pintu batu itu lagi.
Mulut Mahisa Singkir ternganga saking ka-
gum di samping menjadi tambah khawatir. Ia sa-
dar tanpa seizin tuan rumah sulit dirinya dapat
melarikan diri dari tempat seperti ini. Karena dae-
rah ini merupakan daerah terasing yang hanya
dihubungkan jalan rahasia di bawah tanah.
Sarang gerombolan ini terletak di lembah
yang terkurung tebing terjal yang langka dapat
dipanjat orang. Sebab selain tebing itu licin, po-
hon yang tumbuh hanya sebangsa lumut dan tak
mungkin dapat dipergunakan orang berpegangan.
Dalam pada itu setiap orang yang berada di tebing
dengan mudah bisa tampak dari bawah. Hingga
orang yang sengaja datang mengacau, sebelum
maksudnya tercapai sudah mati terpanggang oleh
anak panah beracun.
Melihat sarang gerombolan ini diam-diam
pemuda ini menghela napas sedih. Sebab selama
hidup dirinya takkan dapat keluar dari lembah ini
kalau toh dirinya belum dibunuh. Lain halnya ka-
lau dirinya bersayap, dirinya akan dapat terbang.
Perumahan bagi para anggota gerombolan
ini berwujud rumah-rumah batu yang berderet
memanjang. Seakan merupakan benteng yang
memisahkan sarang itu dengan tebing. Ia tidak
tahu dari bahan apakah yang mereka pergunakan
sebagai atap, karena tampaknya seperti dari
rumbia, tetapi bukan.
Benar-benar cerdik pemimpin gerombolan
ini.
Kemudian Mahisa Singkir dan Sarwiyah
dibawa masuk lewat pintu gerbang yang dibangun
dari batu. Lalu tibalah mereka pada tempat la-
pang tidak begitu lebar tetapi panjang sekali,
membentuk segi empat panjang. Agaknya pemim-
pin gerombolan yang bernama Mpu Galuh ini,
tempat tinggalnya di tengah anak buah. terbukti
mereka harus lewat jalan berbatu diapit oleh ke-
bun yang penuh berbagai macam tanaman.
Kebun ini merupakan kebun bersama dan
untuk sumber hidup bagi para penghuni. Pada
kebun ini jarang terdapat rumah. Dan di samping
itu Mahisa Singkir juga heran mengapa selama
perjalanan ini tidak pernah mendengar suara
anak bermain atau bocah menangis.
Sarang ini tampak sepi saja dan jarang pu-
la bersua manusia. Dan kalau toh bersua, orang
itu akan segera menjatuhkan diri berlutut, mem-
berikan bukti bahwa dua kakek bernama Hesti
Pawana maupun Gajah Agni ini kedudukannya
memang tinggi.
Setelah menelusuri jalan yang bercabang-
cabang dan berkali-kali membelok, tibalah mere-
ka pada tanah lapang lagi. Di tengah tanah la-
pang yang luas ini terdapat bangunan yang besar,
kokoh dan kuat. Bentuk atapnya tidak banyak
beda-nya dengan rumah yang sudah mereka le-
wati. Akan tetapi rumah ini di samping dilindungi
oleh beberapa macam pohon tinggi, rindang dan
agak luas masih dipisahkan pula oleh semacam
selokan yang lebar dan dalam. Maka hanya ma-
nusia yang bisa terbang saja, bisa melompati se-
lokan ini, yang disebut dengan nama jagang.
Selokan ini mestinya berair dalam. Tetapi
karena musim kemarau, air pada jagang ini ham-
pir kering dan menebarkan bau yang kurang se-
dap.
Untuk dapat masuk ke dalam bangunan
yang terpisah di tengah lapang ini, dilengkapi
dengan semacam jembatan kayu. Jembatan ini
dikawal beberapa prajurit penjaga yang tugasnya
untuk memasang maupun mengangkat jembatan
ini, menggunakan tali kuat.
Lewat jembatan gantung inilah Mahisa
Singkir dan Sarwiyah dibawa masuk, lewat pintu
gerbang yang besar dan kuat, dijaga oleh bebera-
pa orang laki-laki bertubuh kekar bersenjata
tombak. Akan tetapi pakaian mereka ini tidak
berbeda dengan yang sudah mereka saksikan ta-
di. Hanya memakai cawat dan tanpa baju pula.
- Tentunya engkau heran anak muda,
mengapa anak buah kami hanya memakai cawat
dan tanpa baju? — kata Hesti Pawana lirih.
Semula ia memang tidak berani membuka
mulut. Namun karena kakek ini mengajak bicara,
hatinya yang merasa heran berkata, — Benar,
aku heran. Mengapa mereka berpakaian seragam
macam itu.
— Inilah hasil kecerdikan pemimpin kami,
— Hesti Pawana bangga dan pamer. — Telah ba-
nyak terjadi peristiwa penyelundupan di tempat
lain karena orang dengan cara melepaskan pa-
kaian. Hingga penyelundup itu dapat bergerak le-
luasa dan sulit dikenal.—
— Tetapi di tempat ini tidak mungkin bisa
terjadi! — Gajah Agni yang sejak tadi hanya ber-
diam diri sekarang ikut bicara. — Dengan pakaian
cawat melulu, tanpa baju dan tanpa ikat kepala,
penyelundup akan gampang diketahui —
Gajah Agni berhenti sejenak, memandang
Mahisa Singkir dan tampak sombong. Tak lama
kemudian kakek ini meneruskan, — memang
orang juga bisa menggunakan cawat, akan tetapi
kulit tubuhnya akan berlainan. Orang yang biasa
tidak berbaju akan menjadi hitam dan kasar. Se-
baliknya orang yang biasa berbaju, kulitnya tentu
bersih dan halus. Dan kecuali itu orang yang bi-
asa pakai baju akan kedinginan pada waktu ma-
lam. Itulah sebabnya kami memilih seragam
hanya Cawat melulu seperti ini. —
Mendengar ini diam-diam Mahisa Singkir
dan Sarwiyah menjadi kagum. Cerdik sekali pemimpin gerombolan yang namanya Mpu Galuh
ini. Karena yang sudah dibicarakan baru pakaian
laki-laki, maka Sarwiyah lalu bertanya tentang
pakaian perempuan.
- Kalau laki-laki berpakaian seperti itu, lalu
bagaimanakah dengan pakaian perempuan? —
Gajah Agni tertawa, sahutnya, — Pakaian
perempuan tidak jauh berbeda bagi semua anak
buah. Sebab para perempuan juga tidak boleh
pakai baju! —
— Ahhhh ..... — Sarwiyah berseru terta-
han.
Bulu kuduk Sarwiyah meremang menden-
gar penjelasan ini. Kalau perempuan hanya pakai
penutup dada melulu, betapa malu bagi dirinya,
yang sudah terbiasa memakai baju. Dengan cara
lepas baju dan hanya ditutup kain penutup dada,
rasanya tentu seperti telanjang dada.
Ketika itu terdengar suara nyaring dari
tempat agak jauh. — Hai Pawana dan Agni! Ba-
gus, engkau berhasil mengundang tamu-tamu
itu? Bawalah masuk, aku sudah menunggu. —
Dua orang kakek ini membungkukkan tu-
buh sambil menjawab dengan penuh rasa hormat.
Mereka melewati pelataran yang cukup
luas dengan dasar pasir campur kerikil. Hati mu-
da mudi ini berdebar, setelah mulai masuk ke
rumah depan yang luas dengan lantai batu hitam.
Dan di dalam rumah ini tampak seorang kakek
gagah, wajahnya keren, sinar matanya berkilat
berwibawa, jenggotnya panjang menjuntai dan
kumisnya panjang serta tebal.
Kakek ini duduk pada kursi batu yang di-
hias indah sekali, beralas kulit harimau tutul. Di
sebelah kiri duduk perempuan muda, wajahnya
lumayan cantik. Perempuan ini duduk pada se-
buah kursi batu, dan beralas kulit harimau tutul
pula.
Rambut gadis itu disanggul tinggi, tetapi di
atas dahi dihias oleh sisir emas berbentuk bulan
separo. Namun pakaian perempuan muda ini ti-
dak seperti yang sudah diberitakan Gajah Agni.
Perempuan ini kecuali pakai baju warna hijau
dan dari kain sutera mahal, juga berkain panjang
dan memakai hiasan yang gemerlapan.
Memang dia inilah yang disebut puteri Mpu
Galuh, bernama Ika Dewi, seorang gadis berumur
20 tahun.
Yang duduk di sebelah kanan Mpu Galuh
seorang laki-laki muda. Ia memelihara kumis teb-
al, tetapi tidak berjenggot. Kumis ini, membuat
wajah pemuda ini tampak lebih keren dan gagah,
sekalipun tidak tergolong tampan. Sepasang mata
pemuda ini berkilat memandang mereka yang se-
dang datang penuh perhatian. Akan tetapi yang
jelas, perhatian pemuda ini lebih banyak tertuju
kepada Sarwiyah.
Karena terang-terangan diperhatikan oleh
seorang pemuda seperti itu, menyebabkan Sa-
wiyah kikuk berbareng malu. Namun diam-diam
dalam hatinya mencaci maki.
Pemuda inilah Rakit Cendana, putera Mpu
Galuh yang umurnya 22 tahun.
Mereka dipersilahkan duduk di lantai batu.
Sedang Hesti Pawana dan Gajah Agni lalu duduk
pada kursi batu yang masih kosong.
Diam-diam dua orang muda ini mencaci
maki. Beginikah pemimpin gerombolan ini dalam
menyambut tamunya? Namun demikian dua
orang muda ini tidak peduli akan sikap tuan ru-
mah yang tidak mau menghargai dirinya itu. Du-
duk di lantai justru malah dapat berdampingan
dan juga dapat sating sentuh.
Memang setelah terjadi perkelahian tadi,
hati dua orang muda ini menjadi semakin dekat.
Hingga menyebabkan Sarwiyah lupa dirinya su-
dah mempunyai calon suami, dan sebaliknya Ma-
hisa Singkir juga tidak ingat lagi bahwa gadis ini
sudah mempunyai Warigagung.
Justru hubungan batin mereka ini yang be-
lum terucapkan dengan kata-kata, malah mem-
buat mereka merasa amat bahagia.
Mpu Galuh mengamati sepasang orang
muda ini penuh perhatian. Dan ketika Mahisa
Singkir mengangkat kepala bertatap pandang,
pemuda ini menjadi kaget dan gentar. Pandang
mata Mpu Galuh ini demikian tajam seperti dapat
menjenguk isi dadanya. Mata itu bersinar-sinar,
seakan terdapat bola api di dalam mata orang tua
ini.
— Sudilah Paduka memberi ampun kepada
hamba. — Hesti Pawana berkata dengan sikap
amat menghormat. — Karena dua orang tamu ini
amat bandel, maka hamba terpaksa mengguna-
kan kekerasan. —
— Terima kasih Pawana! — sahut Mpu Ga-
luh dengan bibir tersenyum. — Kita selalu men-
gundang secara hormat kepada setiap tamu. Te-
tapi kalau memang membandel, menyesal sekali
harus kita gunakan kekerasan. Ha ha ha ha, biar
dunia ini terbuka matanya, bahwa wilayah kami
tidak dapat dilanggar semena-mena oleh orang la-
gi. —
Sesudah itu kakek ini berkata lagi, dituju-
kan kepada Mahisa Singkir. — Hai orang muda!
Terangkanlah sejujurnya, apa saja maksudmu
masuk ke wilayah kami tanpa pemberitahuan le-
bih dahulu dan juga tanpa minta izin? —
— Paman, bukanlah maksud kami untuk
berbuat tanpa aturan di daerah asing ini, — sahut
Mahisa Singkir halus. — Tetapi terus terang saya
katakan, saya tidak tahu sama sekali perkara pe-
langgaran ini. Yang jelas kami tersesat jalan. Ka-
mi sedang melakukan perjalanan jauh untuk ber-
temu dengan Paman Julung Pujud. —
Tiga orang kakek ini nampak kaget men-
dengar disebutnya nama Julung Pujud. Entah
mengapa sebabnya, tetapi yang jelas tiga orang
itu saling pandang.
Melihat ini diam-diam Mahisa Singkir
maupun Sarawiyah gembira. Mereka berharap
dengan berlindung kepada nama kakek sakti itu,
mereka akan bebas dari kesulitan.
— Untuk apakah kamu mencari Julung
Pujud? Hemm, apakah kamu memang sudah bo-
san hidup berani mencari orang sesat itu? — ejek
Mpu Galuh.
— Engkau berani mengejek Paman Julung
Pujud? — pancing Mahisa Singkir.
— Hai orang muda! — bentak Gajah Agni
tiba-tiba. — Beliau adalah Raja kami. Hati-hatilah
engkau bicara. Jika beliau masih menggunakan
kebijaksanaan semacam ini, adalah berarti eng-
kau untung besar. —
Empu Galuh terkekeh. — Heh heh heh
heh, biarkan orang muda ini mengumbar mulut,
karena belum tahu siapakah aku ini sebenarnya.
Heh heh heh heh, engkau bertanya aku berani
mengejek dia? Mengapa tidak? Siapakah yang ta-
kut kepada orang sesat seperti Julung Pujud itu?
Dan sesungguhnya kamu harus mengucapkan te-
rima kasih kepada kami, yang telah mencegah
pertemuanmu dengan dia. Hemm, kasihan kamu
orang muda, belum juga kamu berhasil ketemu
dengan dia, kamu tentu sudah mati. Tahu?
Tetapi Mahisa Singkir yang sudah tersing-
gung tidak takut. — Tidak mungkin hal itu bisa
terjadi. Huh, sebab Mbakyu Sarwiyah ini adalah
calon menantu Paman Julung Pujud! —
Sarwiyah menjadi malu dan cepat menyen-
tuh Mahisa Singkir. Maksudnya agar Mahisa
Singkir tidak membicarakan pertunangannya
dengan Warigagung.
Kalau saja gadis ini tidak merasa malu,
tentu ia akan berkata terus terang, bahwa sejak
sekarang ini dirinya lebih suka putus hubungan-
nya. Sejak dulu ia memang tidak mencintai Wari-
gagung. Dan yang telah terjadi adalah karena
paksaan dari kakeknya dan juga dalam usaha
kakeknya mendapat sekutu dalam usahanya un-
tuk membalas dendam kepada Gajah Mada.
Akan tetapi sekarang kakeknya telah tiada,
dan sekarang hatinya sudah terisi oleh laki-laki
lain, terisi oleh Mahisa Singkir, pemuda yang
amat menarik hatinya selama dalam perjalanan
ini.
Namun sebaliknya bagi tiga orang kakek
ini, ucapan Mahisa Singkir tadi diam-diam ber-
pengaruh. Dan tiga orang kakek ini nampak ka-
get. Sebab apabila benar gadis ini calon menantu
Julung Pujud, adalah amat berbahaya apabila ha-
rus menahan lebih lama. Sekalipun demikian su-
dah tentu mereka malu apabila menunjukkan ke-
lemahan di depan orang.
— Gajah Agni! — perintahnya kepada petu-
gas untuk mengantarkan dua orang tamu ini ke
kamar yang sudah tersedia. Hari sudah agak sore,
dan biarlah esok pagi saja kita lanjutkan pembi-
caraan ini. —
— Tetapi kami tidak mempunyai waktu! —
bantah Mahisa Singkir. — Sudilah paman mengi-
zinkan kami harus dapat bertemu dengan Paman
Julung Pujud. —
Mpu Galuh memaksa diri untuk terse-
nyum, - Sabarlah anak muda, kami takkan me-
nahan terlalu lama sebagai tamu terhormat kami.
Anggaplah engkau kini, dalam rangka istirahat
barang dua atau tiga hari. Dengan demikian agar
tenaga kalian menjadi segar kembali, setelah ka-
mu mengaso. - .
— Paman, saya tidak dapat menunda-
nunda waktu, — Sarwiyah berusaha pula ikut
membantah. — Kami mempunyai keperluan amat
penting dan secepatnya harus dapat bertemu
dengan beliau. —
— Aku tahu anak muda, dan itulah sebab-
nya aku takkan mempersulit kalian. Setelah ka-
lian menjadi tamu kami barang dua hari, kalian
akan kami antar. —
Ketika itu Gajah Agni sudah kembali den-
gan diiringi oleh empat orang lelaki muda bertu-
buh tegap kokoh, yang pakaian seragamnya
hanya cawat melulu. Mahisa Singkir dan Sar-
wiyah masih terus berusaha membantah dan
membela diri agar diizinkan meneruskan perjala-
nan.
Akan tetapi celakanya Hesti Pawana dan
Gajah Agni sudah turun tangan. Maka dua orang
muda ini lalu digelandang meninggalkan pendapa
ini, sambil diiringi oleh empat orang petugas me-
nuju kamar masing-masing yang telah mereka
sediakan.
Tanpa dapat melawan, baik Mahisa Singkir
maupun Sarwiyah terpaksa menurut perintah.
Dan kemudian betapa kaget dua orang muda ini,
setelah tiba dalam kamar yang dimaksud.
Sarwiyah yang biasanya tenang, halus dan
sabar ini menjerit dan berusaha memberontak,
setelah mengetahui keadaan kamar itu. Tetapi ce-
lakanya pintu sudah dikunci dari luar.
Sekalipun ia memberontak, menggedor pin-
tu, memekik-mekik dan mencaci maki, semuanya
tidak ada gunanya sama sekali. Penjaga di luar
pintu malah mengejek dan dengan mulutnya yang
menyeringai, mereka pamer gigi yang kuning ti-
dak kenal sikat gigi.
Mahisa Singkir juga kaget, setengah mati.
Namun demikian ia sadar, tiada gunanya men-
gumbar kemarahan dan penasaran. Pemuda ini
hanya dapat menghela napas sedih, harus berha-
dapan dengan keadaan yang tidak pernah ia ha-
rapkan itu.
Apakah yang terjadi? Kalau tadi mereka
oleh Mpu Galuh disebut sebagai "tamu terhor-
mat", ternyata hanyalah dalam ucapan melulu.
Karena kenyataannya mereka menjadi tawanan
dan sekarang mereka harus menempati kamar
yang hanya sempit, jorok dan pintu terkunci dari
luar di samping masih dijaga orang pula.
Mahisa Singkir mencoba menggunakan jari
tangannya mengetuk dinding kamar. Namun ter-
nyata kamar ini dibatasi oleh dinding batu gu-
nung yang keras. Sedang sebagai atap dan langit-
langit juga hanya terbuat dari batu hitam yang
keras. Maka bagi dirinya tak mungkin dapat lolos
dari kamar ini tanpa diketahui oleh penjaga,
Yang terdapat dalam kamar ini hanyalah
batu berbentuk segi empat dan di atasnya diberi
rumput kering. Melihat ini ia segera tahu pula,
itulah merupakan tempat tidurnya.
Ia justru sudah merasa payah, setelah ia
tadi berkelahi dengan Hesti Pawana. Maka setelah
mengamati sekitar kamar, ia menjatuhkan diri
duduk di atas batu tempat tidur ini sambil berto-
pang dagu dan sedih. Ia menyesal sekali tanpa
sengaja telah tersesat dalam wilayah gerombolan
liar ini dan kemudian menjadi tawanan. Sedang
apa yang harus ia deritapun, ia tak dapat mem-
bayangkan.
Diam-diam ia mengeluh dan merasa tersik-
sa walaupun baru saja masuk dalam kamar ta-
hanan ini. Yang menyiksa hatinya bukan lain
adalah memikirkan Sarwiyah. Selama ini dalam
perjalanan dirinya tak pernah berpisah sekejap
pun. Pagi, siang maupun malam selalu berdua,
dengan rukun senasib sepenanggungan. Tetapi
sekarang secara paksa mereka telah dipisahkan
orang.
Tiba-tiba saja hatinya bergetar, ketika ia
teringat ucapan Sarwiyah pada saat menghadapi
Hesti Pawana dan Gajah Agni. Ia masih ingat be-
nar ucapan gadis itu, yang menyatakan ingin mati
bersama dengan dirinya. Juga masih terasa sekali
getaran jari tangan gadis itu, ketika jari tangan-
nya mengusap-usap perlahan.
Benarkah gadis itu diam-diam mencintai
dirinya? Kalau benar, ah betapa bahagia hatinya
bisa mendapatkan isteri seperti Sarwiyah yang
penyabar itu.
Namun tiba-tiba ia memukul kepalanya
sendiri dan mencaci maki perlahan.
— Kurang ajar kau, Mahisa Singkir! Apa-
kah engkau sekarang sudah menjadi gila?
Mbakyu Sarwiyah adalah tunangan Warigagung.
Apakah sebabnya engkau mengharapkan yang ti-
dak-tidak? Daripada engkau melamun yang gila
ini, berusahalah engkau untuk bisa lolos dan me-
nolong Sarwiyah.—
Mahisa Singkir bangkit berdiri lalu meneliti
dinding kamar. Kemudian pintu kamar, yang ter-
dapat lubang-lubangnya sebagai jalan hawa. Na-
mun kemudian ia menggelengkan kepalanya dan
menghela napas. Sebab tidak mungkin dirinya
dapat menghancurkan pintu kayu yang tebal dan
dijaga orang pula di bagian luar.
Yang bisa dilakukan kemudian hanya men-
jatuhkan diri dan duduk di atas pembaringan ba-
tu, dan tiada lain sekarang kecuali menyerah dan
tinggal dapat mengharapkan pertolongan dari
Dewata yang Agung. Harapannya adalah peristiwa
ini dapat diketahui gurunya yang baru, Mpu Anu-
sa Dwipa. Sebab tanpa adanya pertolongan orang,
tidak mungkin dirinya dapat melarikan diri dari
kamar ini.
Pada pihak lain, Mpu Galuh, Hesti Pawana,
Gajah Agni, Rakit Cendana dan Ika Dewi masih
duduk di tempat semula.
— Hemm, — Mpu Galuh menghela napas
pendek. — Bagaimanakah menurut pendapatmu
dengan dua bocah tadi? Ternyata gadis tadi ada
lah calon menantu Julung Pujud, sedang pemuda
tadi adalah saudara seperguruannya yang bertin-
dak sebagai pengawalnya. Apabila diingat Julung
Pujud tak dapat kita anggap sepele, memang apa
yang kita lakukan sekarang ini adalah ibarat
bermain-main dengan ular berbisa.—
Mpu Galuh berhenti dan mencari angin.
Setelah mereka tidak ada yang membuka mulut,
ia meneruskan
— Akan tetapi hem ... anakku Rakit Cen-
dana demikian tergila-gila setelah melihat gadis
itu, Sedang Ika Dewi pun entah mengapa sebab-
nya sudah berterus terang tidak mau kawin apa-
bila tidak mempunyai suami seperti pemuda itu.
Hemm.... Pawana dan Agni, berilah aku pandan-
gan dan nasihat guna mengatasi persoalan ini. —
Gajah Agni yang memang berwatak kasar
sudah terkekeh, lalu jawabnya, — Heh he he heh,
apakah sebabnya Paduka gampang sekali terpe-
daya oleh mulut bocah itu? Dan apabila toh benar
bocah perempuan itu calon menantu Julung Pu-
jud, apakah yang perlu kita gelisahkan dan perlu
kita khawatirkan? Paduka, kita cukup kuat. Se-
dangkan wilayah Paduka dilengkapi oleh alat-alat
rahasia maupun jebakan. Maka apabila Julung
Pujud sampai marah, dia bakal mampus sebelum
berhasil masuk kemari. —
— Adi Agni benar! — sambut Hesti Pawana.
Paduka telah diperdayakan oleh bocah itu. Kare-
na memang sulit kita percaya, seorang gadis me-
lakukan perjalanan jauh dalam usaha mencari
calon mertuanya, hanya ditemani seorang pemu-
da. Adakah orang tua yang bersedia melepaskan
anak gadisnya melakukan perjalanan jauh den-
gan lelaki muda? Nah siapa tahu kalau dua orang
muda ini melarikan diri dari rumah, karena orang
tua mereka tidak setuju dengan hubungan bocah
itu?
— Ahhh .... Celaka apabila dugaan Paman
Pawana benar. — Rakit Cendana yang sejak tadi
berdiam diri membuka mulut.
Mpu Galuh memalingkan mukanya me-
mandang anaknya. — Ada apakah engkau, Rakit?
—
— Apabila mereka lari dari rumah, karena
diam-diam sudah saling jatuh cinta, apakah
mungkin gadis itu masih perawan suci? Ayah ....
ahhh, kalau gadis itu sudah bukan perawan suci
lagi, aku tidak sudi! Huh, wajahnya memang
amat menarik dan aku menjadi tergila-gila. Akan
tetapi kalau sudah demikian murah menyerahkan
kehormatannya kepada lelaki di luar nikah, berat
rasa hatiku dapat mempercayai perempuan seper-
ti itu.
— Heh heh heh heh, kenapa engkau men-
jadi bingung sendiri seperti kebakaran jenggot? —
Mpu Galuh terkekeh. — Kapan nanti terbukti ga-
dis itu sudah tidak suci lagi, bukanlah soal yang
sulit kita pecahkan, anakku. Engkau berhak
menghukum dengan talak, atau juga boleh pula
kau bunuh dia. Dan apabila engkau merasa pe-
nasaran kepada lelaki yang telah menyebabkan
gadis itu tidak suci lagi, ayah memberi pula izin
untuk membunuh lelaki itu. —
— Idih, kenapa Ayah berkata seperti itu? —
Ika Dewi berkata dengan wajahnya memerah. —
Akulah yang akan membela dan melindungi kese-
lamatan pemuda itu. —
Mendengar bantahan Ika Dewi ini, Mpu
Galuh terkekeh. Ia baru ingat, bahwa dirinya ha-
rus pula memperhatikan kepentingan anaknya
perempuan.
Apa yang terjadi sesungguhnya adalah,
akibat desakan dua orang anaknya ini, maka ke-
mudian Mpu Galuh memerintahkan penangkapan
kepada Sarwiyah maupun Mahisa Singkir. Sebab
sesudah melihat Sarwiyah, anak laki-laki berna-
ma Rakit Cendana ini jatuh cinta, sedangkan
anak perempuannya yang bernama Ika Dewi itu
pun tergila-gila kepada Mahisa Singkir.
— Sudahlah, kamu tidak perlu khawatir, —
hiburnya kemudian — Kamulah yang berhak pe-
nuh atas diri mereka. Dan akupun percaya bahwa
dua orang tawanan itu takkan dapat menentang
keputusan kita. Hemm, mereka harus memilih sa-
tu di antara dua. Menyerah dan aku angkat men-
jadi anak menantu, ataukah menentang dan aku
berikan hukuman yang setimpal.—
Mpu Galuh berhenti sejenak, kemudian ka-
tanya lagi, — Tetapi masih ada masalah yang per-
lu aku pikirkan masak-masak, ialah hubungan
bocah perempuan itu dengan Julung Pujud. —
— Apakah yang harus kita takutkan? —
sahut Gajah Agni. — Wilayah Paduka ini penuh
rahasia. Dan orang luar takkan mungkin dapat
masuk kemari dengan selamat. Maka sekalipun
Julung Pujud terkenal sakti mandraguna, tidak
mungkin dapat mengganggu Paduka.
Hesti Pawana juga cepat menghibur dan
memberi semangat kepada junjungannya, — Apa-
bila Paduka masih khawatir, izinkanlah hamba
berdua menambahkan kekuatan penjagaan. Dan
apabila Paduka setuju, kita gunakan kekerasan
saja-
— Apakah maksudmu? — tanya Mpu Ga-
luh.
— Karena jelas putra Paduka menghendaki
dua orang muda itu, maka apakah salahnya kita
kawinkan saja secepatnya? Apa yang akan dapat
dilakukan oleh mereka, apabila gadis dan pemuda
itu sudah menjadi menantu Paduka? Manakah
dua bocah itu dapat melawan lagi, apabila kita
beri minuman obat "rampas jiwa"? mereka akan
menjadi lupa diri dan asal-usulnya, hingga mere-
ka akan menurut saja. —
Tiba-tiba Rakit Cendana terkekeh, — Heh
heh heh heh, Paman Pawana benar. Mengguna-
kan obat tersebut, mereka tinggal seperti boneka
hidup. Mereka akan menurut apa saja yang kita
perintahkan. —
Sebenarnya Ika Dewi kurang setuju dengan
cara yang curang itu. Akan tetapi apabila dalam
keadaan sadar, mungkinkah dirinya dapat men-
guasai pemuda yang sudah mencuri hatinya itu?
Dan betapa kecewa hatinya apabila tidak berhasil
memiliki pemuda yang membuat dirinya gan-
drung wuyung (tergila-gila) itu, maka jalan mudah
dan tepat untuk mencapai maksud, memang ti-
dak ada jalan lain kecuali harus menggunakan
obat racun "rampas jiwa" itu saja.
Sesungguhnya memang tidak menyenang-
kan juga apabila dirinya mempunyai seorang su-
ami yang lupa diri dan lupa asal-usulnya itu. Ka-
rena lelaki itu hanya sebagai seorang lelaki tolol,
tidak bisa berpikir, sehingga tugasnya tidak lain
hanyalah sebagai pemuas nafsu melulu.
Akan tetapi daripada tidak memperoleh
sama sekali, maka sekalipun mempunyai seorang
laki-laki tolol dan dungu masih bisa disebut lu-
mayan juga.
2
Dewi Sritanjung yang malang, setelah
mendapat pertolongan dari Mpu Anusa Dwipa dan
kemudian bebas dari kekuasaan Rudra Sangkala,
meneruskan perjalanan dengan langkah cepat
agar secepatnya dapat menjauhi Ibukota Majapa-
hit.
Tetapi justru gadis ini dapat ditangkap oleh
Rudra Sangkala, malah menambah pengalaman-
nya hingga tidak gampang ditipu orang. Gadis ini
memang tidak menduga kalau akan berhadapan
dengan pemuda curang. Di saat menghadapi Rudra Sangkala ia menghirup bau wangi. Semula ia
menduga dari bunga, namun ternyata bau wangi
Itu adalah racun wangi yang disebarkan oleh Ru-
dra Sangkala.
Gadis ini bergerak cepat menerobos hutan
perawan. Timbullah keinginannya untuk segera
dapat pula ke padepokan gurunya Ki ageng Tun-
jung Biru. Kalau semula ia tidak ingin melapor-
kan tentang nasibnya ini, karena takut bertemu
dengan ayahnya maupun kakaknya, maka seka-
rang perasaan ini lenyap. Pengalamannya yang
roboh di tangan pemuda jahat Rudra Sangkala
menyadarkan gadis ini, kepandaiannya belum
dapat dibanggakan untuk berkelana seorang diri.
Karena itu ia ingin minta petunjuk sambil mengu-
ras ilmu kesaktian Kiageng Tunjung Biru.
Dewi, Sritanjung tidak menyadari sama se-
kali bahwa sekarang ini dirinya sudah termasuk
perempuan perkasa, dan sulit memperoleh tand-
ing. Adapun sebabnya ia sampai roboh oleh Ru-
dra Sangkala tidak lain karena pengaruh racun
wangi. Akan tetapi dalam hal ilmu kesaktian, De-
wi Sritanjung tidak di bawah Rudra Sangkala.
Tanpa kenal lelah dan takut gadis ini terus
menerobos hutan dan perbukitan. Tetapi karena
gadis ini masih asing dalam berkelana, tanpa se-
sadarnya ia tersesat. Ia bukan semakin dekat
dengan tujuan, sebaliknya malah menjauhi pade-
pokan gurunya.
Ia berlarilah ke arah selatan. Tiba-tiba ga-
dis ini berhenti ketika melihat jauh di depan tampak adanya sebuah gunung yang tinggi dan dari
puncak itu mengeluarkan asap. Gadis ini kehera-
nan. Gunung apakah itu? Di sekitar padepokan
Ki ageng Tunjung Biru tidak terdapat gunung
yang mengeluarkan asap seperti itu.
Dari heran kemudian hatinya menjadi ter-
tarik. Secara tidak sengaja datang di tempat ini,
mengapa tidak sekalian melihat gunung yang
aneh itu dari dekat?
Selama hidup ia belum pernah melihat gu-
nung yang mengeluarkan asap. Maka betapa rasa
inginnya ia dapat melihat gunung itu dari dekat.
Di samping ingin melihat, ia juga ingin tahu men-
gapa gunung itu bisa mengepulkan asap, dan
apakah ada api dalam gunung itu? Dan apabila
ada api, apa sajakah yang dipergunakan sebagai
bahan bakar?
Saking tidak tahu dan saking keheranan,
Dewi Sritanjung tidak menyadari bahwa gunung
itu namanya Gunung Kelud. Gunung berapi yang
amat berbahaya dan tidak seorangpun akan
sanggup mendekati kawah gunung yang selalu
mengeluarkan asap itu. Sedang orang yang secara
sembrono berani mendekati kawah gunung berapi
itu sama artinya dengan membunuh diri.
Gadis ini menjadi lupa kepada perut yang
lapar dan lupa pula ketika itu matahari sudah be-
rada di barat belahan bumi. Padahal sekalipun ia
dapat bergerak cepat, ia tidak mungkin dapat ber-
lomba dengan gerak matahari. Dalam pada itu
gunung yang tinggi seperti Kelud ini hawanya
amat dingin. Maka tanpa persiapan yang diperlu-
kan, mendaki gunung seperti ini akan sulit juga
karena harus melawan dingin.
Sekalipun lambat tetapi pasti, matahari
bergeser secara tetap ke arah barat. Makin lama
matahari semakin menjadi berkurang teriknya.
Akan tetapi Dewi Sritanjung yang amat in-
gin melihat gunung yang dapat mengeluarkan
asap itu, terus berlarian cepat lupa waktu dan ra-
sa lelah.
Gadis ini sama sekali tidak menyadari se-
dang diperhatikan oleh tiga orang laki-laki yang
berlindung di belakang rumpun pohon berduri.
Yang seorang adalah kakek kurus kering berjeng-
got kambing dan tanpa pakai baju. Adapun dua
orang lagi masih muda umur mereka masing-
masing baru 20 tahun.
Dua orang pemuda itu memandang Dewi
Sritanjung dengan mata melotot. Mereka menjadi
tertarik sekali oleh kejelitaan gadis ini, tetapi juga
merasa heran, mengapa ada seorang gadis berani
berkeliaran di hutan belantara ini hanya seorang
diri.
Siapakah tiga orang ini? Mereka adalah
guru dan murid. Kakek kurus kering berjenggot
kambing ini bernama Klinthung Waluh.
Akan tetapi jangan dikira kakek ini berpe-
nyakitan dan ringkih, sekalipun tampaknya akan
roboh apabila tertiup angin kencang. Sebab kakek
ini adalah seorang yang amat berbahaya. Sebab di
samping kakek ini sakti mandraguna, juga memiliki semacam aji kesaktian bernama Aji "Netra
Luyub",
Orang yang berani bertatap pandang, akan
segera terpengaruh oleh aji tersebut, hingga ke-
mudian akan tunduk terhadap kemauannya, ka-
rena aji tersebut mempunyai kekuatan seperti il-
mu sihir.
Dua orang muda yang berdiri di samping
kiri dan kanan itu adalah muridnya yang amat ia
sayanginya. Yang tinggi kurus dan matanya sipit,
bernama Guna Praya sebagai murid yang tua. Se-
dang yang tinggi besar berkulit hitam legam dan
berkumis tebal itu adalah Damar Seta.
Dua orang murid ini tampaknya memang
masih muda. Namun sesungguhnya mereka me-
rupakan pemuda gemblengan pula. Mereka ada-
lah ahli ilmu golok. Di samping ilmu golok mereka
yang hebat, masih ada pula senjata yang amat
berbahaya. Senjata itu berwujud sumpit dari bu-
lu. Dan sebagai peluru dari sumpit ini adalah ta-
nah liat. Tetapi sekalipun hanya tanah liat, peluru
ini sangat berbahaya, karena tanah liat tersebut
telah dicampur dengan racun jahat. Orang yang
sampai terkena oleh peluru sumpitan ini sekali-
pun tidak terluka, nyawa bisa melayang setelah,
lebih dahulu keracunan hebat.
Oleh sebab itu di daerah Gunung Kelud ini
adalah merupakan daerah angker. Orang takkan
berani sembarangan berkeliaran di tempat ini.
Lebih kurang pada tiga tahun lalu, Gajah
Mada pernah berusaha menumpas gerombolan
Klintung Waluh ini, setelah mendapat laporan
tentang sepak terjangnya yang sewenang-wenang.
Utusan tersebut terdiri dari empat puluh orang
prajurit, dipimpin oleh seorang Senapati bernama
Kebo Wulung. Tetapi ternyata pasukan itu tidak
pernah kembali ke Majapahit lagi. Karena semua
sudah tewas akibat pengaruh Aji "Netra Luyub'
Karena mereka terpengaruhi pandang mata
Klintung Waluh, sehingga mereka kemudian tun-
duk dan menurut yang diperintahkan Klintung
Waluh.
Karena kegagalan itu kemudian Gajah Ma-
da melupakan Klintung Waluh, karena tugas yang
lebih berat dan penting banyak yang harus dipi-
kirkan oleh Gajah Mada.
— Guru! — Guna Praya berkata. — Waduh,
jantung murid seperti mau copot melihat kejeli-
taan gadis itu. Murid telah lama sekali ingin ka-
win, tetapi sampai sekarang belum pernah berte-
mu dengan gadis yang cocok dengan hatiku. Te-
tapi sekarang ..... murid ingin kawin dengan gadis
itu.
— Huh, engkau mencari enak sendiri! —
Bentak Damar Seta tiba-tiba dengan nada tidak
senang. Apakah engkau sendiri saja yang ingin
kawin Kakang. Akupun sudah dewasa dan perlu
pula seorang isteri. Maka akupun menghendaki
gadis itu, Guru. -
— Damar! — bentak Guna Praya sambil
mendelik. Tetapi karena matanya sipit, sekalipun
mendelik namun mata itu tetap saja sipit. — Aku
lebih tua dibanding kau. Kalau aku yang tua saja
belum kawin karena belum mendapatkan gadis
yang cocok, mengapakah sebabnya engkau mau
mengacau? —
— Ha, ha, ha, ha, adakah aturan seperti
itu? Yang tua harus kawin lebih dahulu dan yang
muda belakangan? —
— Aturan itu memang tidak tertulis, tetapi
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kita
bukankah begitu? —
— Heh, heh, heh, heh, kalau bisa berlaku
maka engkau pun belum mempunyai hak. — .
— Hai! Engkau mengacau. Mengapa aku
tidak berhak?-
— Guru lebih tua dari umurmu, padahal
Guru belum kawin. —
— Ha ha ha ha, heh heh heh heh, - Klin-
thung Waluh yang sejak tadi berdiam diri dan
membiarkan dua orang muridnya berbantahan
sekarang tertawa geli. Perut yang buncit seperti
orang berpenyakit cacing itu bergerak-gerak, se-
dangkan dua murid itupun kemudian ketawa geli
pula.
— Guna Praya dan Damar Seta! Hemm,
aku ini sampai heran apabila memikirkan kalian.
Aku hanya mempunyai dua murid saja, akan te-
tapi kerjamu setiap hari hanya selalu cekcok mu-
lut seperti kucing dan anjing. Apakah kamu me-
mang tidak bisa rukun dan mencintai? —
Klintung Waluh berhenti dan mengambil
napas. Lalu, — Saudara seperguruan itu tidak
bedanya dengan saudara kandung, sedang guru
itu kasih sayang kepada murid tidak bedanya ke-
pada anak sendiri. Apakah kalian ini memang
sengaja merongrong hatiku? Huh, semestinya an-
tara kamu masing-masing harus pandai memba-
wa diri. Yang tua tidak boleh menurut kemauan
sendiri dan merasa lebih tua, selalu ingin me-
nang. Yang muda pun harus dapat menempatkan
diri sebagai orang muda, harus tunduk dan patuh
kepada kakak seperguruannya, karena seorang
kakak seperguruan merupakan pengganti ayah
atau guru di kemudian hari. Mengerti? —
Mendengar ucapan gurunya ini dua orang
murid itu wajahnya menjadi agak pucat dan ta-
kut. Hampir berbareng mereka menjatuhkan diri
berlutut. Lalu berturut-turut dua pemuda ini ber-
kata.
— Murid mengerti, Guru. —
— Nah, jika kamu mengerti, aku perintah-
kan padamu, harus rukun dan saling mencintai.
Yang tua harus pandai mengalah, momong dan
menempatkan diri sebagai orang tua. Sebaliknya
yang muda juga harus pandai menempatkan diri
sebagai orang muda, tunduk dan patuh kepada
kakak seperguruannya. Nah, masing-masing tak
boleh menuruti kemauan sendiri, tahu? —
Kakek itu berhenti dan menatap dua orang
muridnya yang masih berlutut. Dan beberapa
saat kemudian terusnya, — Hemm, kamu mem-
persoalkan perempuan yang menuju ke mari itu
dan saling berebut... Apakah jadinya apabila kamu saling berebut? Tak urung kamu bermusuhan
dan saling menderita rugi. Ya, ya, kamu memang
masih muda, maka pengertianmu juga masih pi-
cik —
Kakek itu berhenti lagi dan mengurut-urut
jenggot kambingnya. Sesaat kemudian ia berkata
lagi, — Anakku, tahukah kamu pengaruh perem-
puan cantik itu lebih berbahaya dibanding den-
gan golokmu dan tulupmu (sumpitmu) yang bera-
cun itu? Negara bisa hancur oleh pengaruh paras
cantik, karena pemimpin, negara itu menjadi lupa
daratan. Kerukunan sebagai saudara akan beran-
takan, karena saling kokoh dalam mempere-
butkan perempuan cantik itu; yang akibatnya pu-
la akan menimbulkan derita yang perih saja. –
Kakek ini berhenti kembali dan menghela
napas dalam. Karena bicara tentang perempuan,
ia teringat kepada pengalaman hidupnya. Ia terin-
gat pada jalan hidupnya ketika masih muda, aki-
bat ia memperebutkan perempuan kemudian di-
rinya harus bermusuhan dengan adik sepergu-
ruan dirinya sendiri, yang bernama Damar Talun.
Antara mereka pernah berkelahi sampai dua hari
dua malam.
Sebagai akibatnya mereka semua menderi-
ta luka berat. Dalam keadaan setengah mati, ke-
mudian mereka berdua mempertahankan hidup
masing-masing. Dan sampai sekarang peristiwa
itu telah berlalu 40 tahun lalu dan tidak pernah
lagi bertemu dengan Damar Talun. Ia tidak tahu,
Damar Tallin sekarang masih hidup ataukah sudah mati. Tetapi yang jelas peristiwa itu membuat
hatinya amat- berduka.
Mendengar gurunya menghela napas dalam
itu dua orang murid ini tidak berani bergerak dan
terus berlutut.
Mereka memang pernah mendengar cerita
guru mereka ketika masih muda, yang harus ber-
kelahi dengan adik seperguruannya sendiri.
— Anakku, berkali—kali aku menase-
hatkan kepada kamu berdua, sebaiknya tidak
usah kawin saja. Sebab, kawin itu berarti engkau
akan dijajah oleh perempuan. Engkau tidak
mempunyai kebebasan lagi, ibarat seekor burung
di dalam sangkar emas. Apakah gunanya menjadi
penghuni sangkar emas itu, kalau tidak bisa be-
bas terbang lagi ia berhenti sejenak mencari ke-
san, dan sejenak kemudian baru meneruskan, —
Anakku, apabila engkau kawin, engkau harus
memeras tenaga guna mencukupi kebutuhan is-
teri dan anak-anakmu! Engkau akan menjadi ku-
da beban oleh perempuan. Engkau akan menjadi
budak perempuan. Dan engkau salah sedikit saja,
isterimu akan marah-marah dan ngambek. Ke-
mudian akan mencaci-maki engkau sebagai lelaki
tidak bertanggung jawab. Huh, apakah enaknya
jika setelah engkau kawin akan dijajah perem-
puan? Lebih baik engkau, hidup seorang diri dan
bebas. Sebagai lelaki yang tidak kawin, tiada ha-
langan jika engkau mencari dua atau tiga orang
perempuan setiap malam berganti-ganti. Engkau
bisa menculik atau merampas gadis atau isteri
orang. Dan begitu selesai dengan kebutuhanmu,
mereka bisa engkau suruh pulang. Kemudian
ganti yang lain heh heh hen heh. –
Klintung Waluh berhenti lagi dan mengam-
bil napas. Lalu memandang kepada gadis yang
sedang dibicarakan oleh dua muridnya. Beberapa
jenak kemudian barulah ia meneruskan lagi.
— Humm, apakah gunanya menjadi laki-
laki yang begitu, lebih senang tidak kawin diband-
ing dengan kawin dan dijajah oleh perempuan? —
Nasihat Klintung Waluh ini tentu saja me-
rupakan nasihat yang sesat. Nasihat yang tidak
pantas dianut dan jelas sekali Klinthung Waluh
ini bukanlah guru yang baik, bukanlah guru yang
pantas digugu lan ditiru (dianut dan dicontoh)
Dia merupakan guru yang tidak bertang-
gungjawab, dan malah sengaja mencelakai mu-
ridnya sendiri, dengan cara mendidik muridnya
menjadi manusia tidak bermoral.
Kawin adalah merupakan kewajiban ma-
nusia yang kodrati. Lelaki membutuhkan perem-
puan dan perlu memberikan cinta dan kasih
sayangnya. Dan sebaliknya perempuan pun
membutuhkan seorang laki-laki dan memberikan
cinta maupun kasih sayangnya. Kemudian mere-
ka membentuk bebrayan (rumah tangga) bahagia
tidak ada istilah menjajah dan dijajah.
Mereka menempuh hidup bersama dan
bergotong-royong penuh pengertian dalam satu
keluarga, saling memberi dan menerima, saling
menggantungkan dan memperoleh untung.
Yang baik adalah sekali nikah untuk sela-
ma hidup, ini yang utama! Dan itu membuktikan
bahwa kasih sayang mereka adalah suci murni.
Membuktikan cinta yang setulus hati. Sebab yang
kawin dan kemudian cerai, kawin lagi dan cerai
lagi, ini membuktikan perkawinan tadi hanyalah
merupakan tempat mengumbar hawa nafsu birahi
melulu. Dan bukan menjadi contoh yang baik ba-
gi para anak dan keturunannya.
Cinta yang murni, tidak akan dikotori den-
gan nafsu. Cinta murni penuh pengertian. Bukan
hanya pada saat menguntungkan dan terpenuhi
kebutuhannya, terpenuhi nafsunya, kemudian
akan marah apabila tuntutan itu tidak terpenuhi.
Dan sesudah marah kemudian mencari yang lain.
Juga sudah merupakan kodrat pula, bah-
wa laki-laki harus mempertanggungjawabkan is-
teri maupun keluarganya. Memang lelaki yang ha-
rus memeras keringat dan tenaga guna mencu-
kupi kebutuhan keluarga. Perempuan berkewaji-
ban di rumah mengatur dan mendidik anak-anak.
Dan sesungguhnya saja, isteri itu adalah
pemberian Tuhan. Seorang sudah lebih dari cu-
kup untuk selama hidup, dan tidak mungkin ha-
bis! Akan tetapi apabila isterinya dua orang, ma-
lah akan menjadi kurang. Tiga, mungkin empat
dan seterusnya akan semakin menjadi kurang la-
gi. Karena lelaki yang terus-terusan kawin itu ti-
dak pernah merasakan puas seperti harapannya
semula.
Memang aneh! Seorang isteri lebih dari cu
kup untuk selama hidup. Akan tetapi apabila le-
bih malah akan selalu merasa kurang. Soalnya
nafsu dan keinginan manusia ini akan berkem-
bang terus, apabila manusia itu hanya menu-
rutkannya saja. Karena itu jalan terbaik bagi ma-
nusia, harus pandai mengendalikan nafsu dalam
bentuk apapun, Sebab napsu yang tidak terken-
dali akan menjadi binal dan kemudian bisa ber-
tindak di luar kesadaran hukum yang berlaku.
Akibatnya bisa beristeri lebih dari satu,
atau tampaknya isteri hanya satu, tetapi di luar
rumah tidak terkendali dan adakalanya tidak ma-
lu pula merebut isteri orang lain.
Demikianlah bagi lelaki yang ingin dapat
membina rumah tangga bahagia, mempunyai seo-
rang isteri dan anak yang selalu tenteram dan
damai
Kebahagiaan memang sulit dicari karena
kebahagiaan itu tidak berwujud, tetapi dapat di-
rasakan. Oleh sebab itu kebahagiaan tidak berda-
sarkan pada kekayaan maupun kedudukan se-
seorang yang tinggi. Gelandangan pun bisa mera-
sakan kebahagiaan dan tidak bedanya dengan
orang lain.
Akan tetapi bagi Guna Praya dan Damar
Seto ini, yang sudah lama mendapat didikan se-
cara salah oleh gurunya, beranggapan setiap yang
diucapkan oleh guru selalu benar. Maka mempu-
nyai anggapan pula lelaki yang kawin akan dija-
jah perempuan
— Bangkitlah anakku! — perintah Klin
thung Waluh kemudian. Dan dua orang murid itu
pun patuh, lalu bangkit berdiri.
— Perempuan itu sudah semakin menjadi
dekat!— katanya lagi. Dan dua orang muridnya
membalikkan tubuh, memandang ke arah Dewi
Sritanjung.
Jarak yang menjadi semakin dekat menye-
babkan kejelitaan gadis itu semakin nyata. Dan
yang membuat jantung dua pemuda ini seperti
meloncat-loncat tidak keruan dan mereka ingin
segera dapat menubruk, memeluk dan menci-
uminya.
— Anakku, gadis itu memang benar-benar
cantik! - ujarnya lagi sambil mengurut-urut jeng-
gotnya. — Tangkaplah dia! Tetapi kamu jangan
berebut dan rukunlah! Jadikan dia menjadi mi-
likmu bersama selama kamu suka. Akan tetapi
apabila baju itu sudah robek dan tidak dapat ka-
mu pergunakan lagi, buanglah. dan dengan begi-
tu barulah kamu menjadi lelaki berharga. Kamu
takkan pernah sampai dijajah perempuan yang
manapun.-
— Guru benar! — dukung Guna Praya. —
Perempuan itu harus kita miliki bersama, Adi.
Sebagai saudara tua, aku mengalah sesudah kau
tercukupi kebutuhanmu —
Betapa gembira Damar Seto sulit terlu-
kiskan lagi. Kemudian pemuda ini ketawa lepas,
— Ha ha ha ha, terima kasih Kakang. Engkau
baik sekali.—
Suara ketawa Damar Seto yang lepas ini
terdengar oleh Dewi Sritanjung dan gadis ini ka-
get. Ia menghentikan langkahnya, kemudian gadis
ini celingukan. Hati gadis ini berdebaran dan di-
am-diam tangan kanan sudah meraba hulu pe-
dang. Pengalamannya dengan Rudra Sangkala
menyebabkan gadis ini bersikap hati-hati dan
waspada. Tiba-tiba melesatlah sebuah benda bu-
lat, melenting ke atas tak jauh dari tempatnya
berdiri, menyebabkan gadis ini kaget sekali. Dan
pada saat belum hilang rasa kagetnya ini Dewi
Sritanjung mendengar suara halus.
— Anak, depanmu ada bahaya mengha-
dang dan berhati-hatilah.—
Dewi Sritanjung celingukan ke kiri dan ke
kanan. Siapakah yang bersuara tadi dan darima-
na pula? Karena itu ia segera memburu ke tempat
benda bulat tadi yang jatuh. Tetapi ia kembali ke-
heranan karena benda itu sudah lenyap tanpa
bekas.
- Setankah? - tanyanya dalam hati. Ia tidak
habis mengerti kepada hal-hal yang baru terjadi
di tempat ini. Apakah sebabnya ia berhadapan
dengan keanehan? Ia tadi mendengar secara jelas
suara orang ketawa lepas. Pada saat kaget itu dan
sedang mencari asal suara, ada benda bulat me-
lenting secara aneh dan menyusul terdengar sua-
ra halus yang memperingatkan adanya bahaya.
Dan yang aneh lagi, mengapa setelah di-
rinya memburu ke arah benda bulat itu jatuh,
benda itu sudah lenyap tanpa bekas. Ia tidak ta-
kut kepada setan maupun hantu. Tetapi diam
diam ia menjadi tegang juga menghadapi peristi-
wa seaneh ini.
Namun hanya beberapa saat saja Dewi Sri-
tanjung ini tegang dan ragu-ragu. Sesaat kemu-
dian dengan langkah yang tetap dan hati penuh
rasa percaya akan diri sendiri, ia melanjutkan
perjalanan.
Ia benar-benar tertarik kepada gunung
yang mengepulkan asap itu. Ia ingin meliat dari
dekat dan ia ingin juga mengerti apa sebabnya,
gunung itu mengepulkan asap yang tidak pernah
berhenti.. Timbul semacam gambaran dalam otak
gadis ini, penduduk di sekitar puncak gunung ini
tentu senang sekali. Sebab mereka takkan pernah
merasa kedinginan, karena gunung itu selalu me-
nyebarkan hawa hangat dari api yang tidak per-
nah padam guna memasak maupun. untuk ke-
perluan lain!
Memang tidak bisa disalahkan apabila De-
wi Sritanjung mempunyai gambaran seperti ini. Ia
belum tahu sama sekali bahwa gunung berapi itu
amat berbahaya. Apabila gunung ini meletus bak-
al menimbulkan malapetaka yang sulit digambar-
kan.
Akan tetapi belum lama Dewi Sritanjung
melangkah meneruskan perjalanannya, tiba-tiba
gadis ini berhenti dan hatinya tegang sekali. Ka-
rena secara tiba-tiba di depannya sudah mengha-
dang dua orang lelaki muda. Mulut mereka me-
nyeringai, mata mereka melotot tak berkedip. Dan
kemudian seperti mendapatkan aba-aba, dua
orang muda ini sudah ketawa bekakakan.
Dewi Sritanjung menatap mereka kehera-
nan. Gilakah dua lelaki muda ini? Kalau tidak gila
mengapa mereka tertawa seperti itu? Tetapi wa-
laupun ia belum berpengalaman, nalurinya mem-
beritahukan sedang berhadapan dengan bahaya
dan ia tidak boleh sembrono menghadapi mereka
ini.
— Hai! Apakah kamu sudah gila? Huh,
apakah yang kamu tertawakan seperti ini?—
Bentakan ini justru malah membuat mere-
ka ketawa lebih keras.
Guna Praya dan Damar Seto justru menja-
di keheranan, mengapa gadis ini tidak ketakutan?
Maka Damar Seto yang tubuhnya tinggi besar dan
berkumis tebal itu membuka mulut.
— Denok, kau jangan salah mengerti, Cah
ayu! Kami bukannya gila benar-benar. Akan teta-
pi kami menjadi gila akibat tergila-gila oleh kecan-
tikanmu. Heh heh heh heh, engkau terlalu berani
hanya sendirian berani berkeliaran di tempat ini
—
Dewi Sritanjung cepat tersinggung. Ben-
taknya, - Hati-hatilah membuka mulut! Sangka-
mu aku ini gadis apa? —
- Heh heh heh heh — Guna Praya terkekeh
mengejek. - Tentu saja kami sudah tahu, kau ga-
dis manusia dan bukan wewe gombel. Dan kami
sengaja menghadang kau, Anak manis. Sebab se-
telah melihat wajahmu yang cantik ini, jantung
kami menjadi seperti mau copot. Marilah kami
dua orang bersaudara ini, layanilah guna mem-
bahagiakan kau sendiri. —
— Benar! — sambut Damar Seto. —Apabila
engkau tidak membantah, engkau akan kami
buat bahagia dan senang. Kau akan kami ajak
pesiar ke alam aneh yang memabukkan tetapi in-
dah. Ha ha ha ha.—
Dada Dewi Sritanjung bergerak-gerak sak-
ing marah mendengar kata-kata mereka ini. Ia
dapat menduga dua orang laki-laki ini tentu
mempunyai maksud tidak baik.
— Aku tidak punya waktu! — bentaknya
nyaring. - Huh, kamu lekas menyingkir apakah
tidak? —
- Ha ha ha ha, ternyata engkau galak juga,
Cah ayu! — ejek Damar Seto sambil ketawa beka-
kakan. — Hemm, sangkamu engkau berhadapan
dengan siapa, berani berlagak seperti ini? Tempat
ini adalah wilayah kami dan tidak gampang orang
masuk tanpa seizin kami. Huh, kalau saja kau la-
ki-laki, tanpa banyak bicara sudah kami bunuh,
Tahu?-
Damar Seto berhenti sambil mendelik. Ke-
mudian, — Tetapi karena engkau perempuan dan
cantik pula, maka heh heh heh heh, tentu saja
sikap kami menjadi lain. Cah ayu, kami tidak in-
gin bermusuhan dengan kau. Malah sebaliknya
kami ingin mengikat persahabatan sekalipun jelas
kau berani lancang masuk dalam wilayah kami
tanpa izin. Maka sekarang, marilah kau ikut kami
singgah ke pondok.—
Dewi Sritanjung sudah tidak kuasa mena-
han sabarnya lagi, bentaknya nyaring, — Jaha-
nam keparat! Engkau jangan mengumbar mulut
tanpa aturan! Kamu mau menyingkir apakah ti-
dak? Huh, apabila kamu membandel, aku terpak-
sa mengusir kamu dengan pedangku ini!—
Sring . . . Dengan gerakan yang amat cepat,
sebatang pedang bersinar biru sudah tercabut da-
ri sarungnya. Inilah pedang pusaka "Tunggul Wu-
lung" pemberian gurunya. Pedang yang amat ta-
jam dan juga amat berbahaya.
Pedang pusaka yang menyinarkan warna
biru itu sekarang sudah melintang di depan dada.
Kalau dua orang pemuda ini berani nekad meng-
ganggu, dengan terpaksa akan ia usir dengan pe-
dangnya. Karena gadis ini tidak ingin membuang
waktu terlalu lama, mengingat hari sudah hampir
sore. Ia tidak ingin kemalaman di tengah belanta-
ra ini dan ia ingin secepatnya menemukan desa,
minta pertolongan penduduk guna dapat mengi-
nap barang semalam. Kemudian pada pagi hari, ia
akan meneruskan perjalanan menuju ke puncak,
untuk melihat gunung yang mengeluarkan asap
itu.
Damar Seto dan Guna Praya agak kaget ju-
ga melihat sebatang pedang yang menyinarkan
cahaya biru itu. Sebagai murid Klinthung Waluh
yang sakti, tentu saja mereka mengenal benda
pusaka. Karena itu dalam hati mereka sudah ber-
janji untuk berhati-hati.
Akan tetapi sekalipun demikian Guna
Praya masih berusaha mempengaruhi, katanya,
— Aihh... Adikku cantik, sabarlah! Orang yang
cepat marah akan cepat menjadi tua, Adik Manis.
Dan bermain-main dengan pedang adalah amat
berbahaya. Percayalah Adikku ayu, kami bermak-
sud baik. Karena kau masuk ke dalam wilayah
kami tanpa izin, maka kami mengundangmu gu-
na bicara. Tahukah engkau Adik molek, kami
mempunyai seorang Guru? Beliau tentu gembira
sekali menerima engkau sebagai tamu terhormat.
Dan ......
- Cukup!— lengking gadis ini yang sudah
tidak sabar lagi. — Siapakah yang mau percaya
kepada mulutmu yang busuk itu? Aku tidak ken-
al baik dengan kamu maupun gurumu. Persetan
dengan undangan itu. Pendeknya, aku bebas me-
nentukan langkah sendiri. Siapapun yang berani
mengganggu kebebasanku, akan berkenalan den-
gan pedangku ini. Huh!—
Ucapan gadis ini membakar kemarahan
dua orang muda ini karena pada dasarnya me-
mang mempunyai watak tidak baik. Selama ma-
sih dapat membujuk dengan ucapan manis, me-
mang mereka bersikap baik. Akan tetapi apabila
bujukan itu tidak mempan, mereka tidak segan
lagi menggunakan, kekerasan.
— Huh, kau jangan membuka mulut sem-
barangan! - bentak Guna Praya. Sikapnya yang
tadi manis sekarang lenyap. — Engkau bisa
menggertak orang lain, tetapi tidak kepada kami.
Hemm, jika engkau membandel dan mengandal
kan pedangmu itu, kami menyesal sekali harus
menghadapi dengan kekerasan.—
— Tidak peduli kamu akan berbaik atau
menggunakan kekerasan. Pendeknya orang yang
berani mengganggu aku, huh, jangan tanya do-
samu!—
— Ha ha ha ha, ternyata tidak melulu ga-
lak, tetapi juga sombong gadis ini!— ejek Damar
Seto. — Aku ingin menguji sampai di manakah
kemampuan Adik ayu ini. Tetapi heh heh heh
heh, awas! Apabila kau sampai tertangkap oleh
tanganku, engkau jangan berharap akan aku le-
paskan lagi. Wajahmu cantik, hem. Pipimu halus
kuning dan bibirmu merah menantang. Huh, ge-
mas aku! Engkau takkan kulepaskan lagi sebe-
lum aku menciumi pipimu yang halus itu dan
mengecup bibirmu yang merah menantang itu.—
— Mampuslah!- bentak Dewi Sritanjung
yang sudah tidak sabar lagi lalu menerjang ke de-
pan sambil menikamkan pedangnya.
Siut wutt....
- Aihh...!-
Damar Seto kaget dan wajahnya menjadi
pucat. Ia tidak pernah menduga sambaran pe-
dang gadis ini amat cepat. Hampir saja lambung-
nya tembus, kalau dia tidak cepat membanting
diri bergulingan.
Akan tetapi dapatnya menghindarkan diri
inipun berkat jasa Guna Praya. Ketika melihat
adik seperguruannya hampir celaka dalam sege-
brakan, ia menerjang maju melancarkan puku
lannya. Hingga Dewi Sritanjung terpaksa melom-
pat menghindarkan diri.
— Bagus, hem! Akan mengeroyok?— ejek
gadis ini.
— Gadis sombong. Siapakah yang mau
mengeroyok?— Damar Seto tersinggung dan
mendelik. — Akan aku coba sampai di mana ke-
tinggian ilmumu.—
Tidaklah mengherankan apabila pemuda
berkumis tebal ini berkata seperti itu! Apa yang
terjadi menurut perasaannya adalah karena ia ta-
di terlalu sembrono dan merendahkan kepan-
daian lawan. Tetapi sekarang ia telah bersiaga,
maka ia merasa pasti, akan mampu menghadapi
gadis berpedang ini, sekalipun dirinya hanya ber-
tangan kosong.
- Hemm — dengus Dewi Sritanjung. — Ca-
butlah senjatamu.-
— Huh, menghadapi engkau cukup dengan
dua tangan dan kakiku saja!— sahut Damar Seto
merendahkan.
- Hemm, kau keras kepala. Engkau jangan
menyalahkan aku jika engkau mampus oleh pe-
dangku Ini. Awas ... serangan datang!—
Tampaknya Dewi Sritanjung hanya meng-
gerakkan lengannya sembarangan ke depan. Pe-
dang itu hanya dilonjorkan ke depan saja dan ge-
rakannya lambat sekali. Damar Seto tersenyum,
apakah sulitnya menangkap pedang yang gera-
kannya lambat ini?
Akan tetapi belum juga senyum pada bi
birnya lenyap ia sudah memekik kaget.
— Aihhh! — teriaknya dan pemuda ini ce-
pat membuang diri ke belakang sambil bergulin-
gan. Dan sebagai akibatnya pakaiannya menjadi
kotor.
Tetapi celakanya pedang gadis ini terus
mengejar sehingga Damar Seto harus mengerah-
kan kepandaiannya guna menyelamatkan diri dari
tikaman pedang gadis ini.
Memang yang terjadi, ketika melihat gera-
kan pedang yang lambat, hanya dilonjorkan ke
depan, Damar Seto menjadi sembrono. Ia sudah
hampir menggerakkan tangan untuk menangkap
dan merebut pedang lawan.
Akan tetapi belum juga ia melakukannya,
mendadak pedang Dewi Sritanjung bergetar. Pe-
dang yang hanya sebatang itu mendadak seperti
berubah menjadi beberapa batang. Ujungnya
mengancam beberapa bagian tubuh yang berba-
haya. Dalam kagetnya tidak ada jalan lain lagi ke-
cuali harus membuang diri jauh ke belakang lalu
bergulingan.
Melihat ini Guna Praya menjadi amat kha-
watir. Secara cepat luar biasa pemuda ini sudah
mencabut golok. Kemudian ia melompat sambil
membacokan goloknya dari belakang. Bacokan
golok ini amat cepat dan angin yang dahsyat me-
nyambar mendahului datangnya senjata. Ini
membuktikan sekalipun tubuhnya tinggi kurus,
namun tenaganya kuat sekali.
Sayang sekali yang ia serang sekarang ini
Dewi Sritanjung. Ia gadis perkasa murid tunggal
Ki ageng Tunjung Biru, hingga pada punggungnya
seperti tumbuh mata.
- Aihhh . . . !-
Punggung goloknya yang mengkilap tajam
itu sudah disentil dengan jari tangan oleh Dewi
Sritanjung yang kecil dan halus itu. Namun seba-
gai akibatnya memang hebat. Golok ini menyele-
weng dan tidak tertahan lagi mulut Guna Praya
berteriak tertahan, sebab lengannya bergetar he-
bat.
Tetapi justru oleh gangguan serangan Gu-
na Praya ini, dia berhasil menolong Damar Seto
yang sembrono. Pemuda itu cepat bangkit ketika
serangan Dewi Sritanjung tertunda. Kemudian
dengan wajah yang pucat Damar Seto sudah
mencabut goloknya yang mengkilap tajam pula.
Ia memang tidak malu mencabut senjata
sekalipun tadi sikapnya amat merendahkan. Se-
karang pemuda berkumis tebal ini menjadi kha-
watir dan sadar bahwa gadis yang tampaknya le-
mah lembut ini tidak seperti yang mereka duga
semula. Ternyata bukanlah gadis sembarangan
dan justru malah amat berbahaya.
Dua pemuda ini justru sudah dididik seca-
ra sesat oleh gurunya. Mereka tidak kenal apa
yang disebut berwatak ksatrya dan kejujuran.
Bagi mereka yang penting adalah mendapat ke-
menangan, dan tidak peduli kemenangan itu me-
reka peroleh dengan tipu muslihat dan berbuat
curang. Jadi mereka sudah tidak kenal malu lagi.
Itulah sebabnya sekalipun tadi secara
sombong Damar Seto berkata sanggup mengha-
dapi seorang diri dan bertangan kosong, sekarang
ia mengajak kakak seperguruannya untuk menge-
royok.
— Kakang!- teriaknya. — Bantulah aku!
Hemm, ternyata dugaanku keliru Kakang. -
— Hi hi hik,— Dewi Sritanjung ketawa
mengejek. — Bukankah aku tadi sudah bilang se-
baiknya kamu mengeroyok aku dan mencabut
senjatamu pula? Aku ingin melihat apakah si-
kapmu memang sesuai dengan kesaktianmu.—
— Wah sombongnya!— Guna Praya menja-
di marah dan penasaran.
Namun karena wajah Dewi Sritanjung ini
amat menarik, maka menjadi sayang apabila ga-
dis ini sampai mati terbunuh. Justru mengingat
itu, maka Guna Praya memperingatkan adiknya.
— Tetapi Adi, sungguh sayang pula apabila
perawan ayu ini sampai terluka atau lecet kulit-
nya.—
— Benar Kakang. Akupun sayang juga.—
Damar Seto berterus terang.
Telinga Dewi Sritanjung menjadi merah
mendengar ucapan mereka ini. Mereka demikian
merendahkan dirinya. Maka bentaknya, — Jan-
gan banyak mulut. Bersiaplah kamu untuk mam-
pus.-
— Sombong! Jagalah seranganku!— bentak
Damar Seto sambil menerjang maju dan memba-
cokkan goloknya.
Sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar,
tenaganya demikian kuat di samping cepat juga.
Golok menyambar ke arah lambung. Tetapi sece-
pat kilat golok telah berbalik arah, membabat dari
bawah ke atas. Serangan ini cukup berbahaya.
Dan lawan yang kurang hati-hati lengannya bisa
tertebas kutung dari bawah.
Untung sekali Dewi Sritanjung perawan
perkasa dan murid tokoh sakti. Ia menghadapi
lawan dengan tenang. Kemudian ia menggeser
kaki ke samping sambil menangkis dengan pe-
dangnya.
Damar Seto tidak berani beradu senjata, ia
menarik goloknya dan berputar satu kali di atas
kepalanya, kemudian berteriak,
— Hiyaaaattttt!—
Golok yang tajam itu seperti kilat cepatnya
menyambar dari atas ke bawah. Apabila bacokan
ini sampai berhasil tubuh lawan akan terbelah
menjadi dua bagian. Sebaliknya apabila serangan
ini dihindari, golok ini segera berubah arah den-
gan menyerampang.
Serangan berbareng ini justru amat berba-
haya. Maka sambil membuang diri ke samping,
pedang gadis ini bergerak seperti kilat menangkis
senjata lawan.
Trang . . . trang . . . !
Benturan senjata itu hebat sekali. Dua
orang pemuda itu terhuyung mundur dan telapak
tangan mereka terasa panas. Mereka kemudian
terbelalak heran. Tadi mereka sudah memperhitungkan, apabila serangan mereka ditangkis la-
wan tentu pedang lawan aka lepas dari tangan.
Sebab gabungan tenaga seperti ini berkali-kali
berhasil dengan baik. Karena itu mereka hampir
tidak pernah gagal setiap menghadapi musuh
yang kuat sekalipun.
Akan tetapi yang terjadi sekarang ini be-
nar-benar menyebabkan mereka kaget setengah
mati. Pedang gadis itu tidak juga runtuh, malah
telapak tangan mereka panas. Dan sekalipun ga-
dis yang cantik ini terhuyung mundur juga, na-
mun tidak mengalami perubahan apa-apa.
Di luar tahu mereka, sebenarnya Dewi Sri-
tanjung juga kaget. Lengannya bergetar hebat dan
hampir saja tak kuasa mempertahankan pedang-
nya. Maka hal ini menyebabkan Dewi Sritanjung
agak keheranan pula, mengapa sebabnya golok
lawan tidak patah berbenturan dengan pedang
pusakanya? Apakah golok lawannya itu juga pu-
saka?
Dugaan Dewi Sritanjung ini keliru. Sebab-
nya golok lawan tidak patah oleh tangkisannya,
karena ia sendiri yang salah. Dalam menangkis
tadi ia kurang berhati-hati dan kurang tepat. Ma-
ka apabila tepat manakah mungkin golok lawan
sanggup menghadapi pedang pusaka Tunggul
Wulung?
Hari sudah sore dan menyebabkan gadis
ini tidak telaten lagi. Karena itu dirinya tidak bo-
leh main-main dan harus dapat mengalahkan la-
wan secepat mungkin.
— Hiyaaaatttt....! — Dewi Sritanjung telah
menerjang maju sebelum dua orang lawannya
sampai menyerang.
Sekarang gadis ini menggerakkan pedang-
nya, langsung menggunakan bagian terpilih dari
ilmu pedang Jala Nidhi. Gerak pedangnya seka-
rang berubah dan sesuai dengan nama ilmu pe-
dang ini sendiri, yang mempunyai arti samudera
atau lautan. Maka ilmu pedang ini disamping ce-
pat juga bergelombang tidak pernah putus. Makin
bergerak tenaga sakti yang menyalur dari tubuh
semakin menjadi bertambah kuat.
Hal itu tidak mengherankan, karena ilmu
pedang ini ciptaan khusus guru Ki ageng Tunjung
Biru, dan merupakan ilmu pedang tingkat tinggi
dan juga merupakan ilmu pedang yang diandal-
kan oleh guru Ki ageng Tunjung Biru semenjak
masih berumur lima puluhan tahun.
Ketika Dewi Sritanjung menggerakkan pe-
dangnya, maka angin yang halus segera menyam-
bar-nyambar ke arah lawan tidak pernah putus.
Makin lama menjadi semakin kuat dan angin
yang menyambar inipun mempunyai kekuatan
yang mukjijat. Lawan yang belum kuat tenaga
saktinya mudah terpengaruh oleh gelombang te-
naga sakti ini, sesuai dengan gerak dan irama pe-
dang. Dan anehnya pula, makin dilawan tenaga
yang menyambar malah semakin bertambah kuat
pula.
Dengan berbareng Damar Seto dan Guna
Praya telah menyerang maju. Mereka justru sudah terlatih dalam kerjasama menghadapi lawan.
Maka golok masing-masing dapat menyesuaikan
diri dan saling bantu, sedangkan tenaga gabun-
gan ini bukan main kuatnya.
Dalam waktu singkat mereka telah terlibat
dalam perkelahian yang amat sengit. Kalau pada
mulanya baik Damar Seto maupun Guna Praya
saling berjanji untuk mengalahkan gadis ini tanpa
luka, maka setelah terlibat dalam perkelahian ini
menjadi lupa. Mereka sekarang tidak tanggung-
tanggung lagi dalam serangannya dan arah sasa-
ran mereka pun pada bagian tubuh yang memati-
kan. Mereka memang amat bernafsu untuk segera
memperoleh kemenangan. Dan guna menambah
semangat kerjasama mereka, maka mereka saling
bergantian membentak.
Akan tetapi mereka menjadi kaget setelah
lama berkelahi. Pengaruh sambaran pedang gadis
ini yang banyak membentuk lingkaran besar
maupun kecil, membanjir kuat sekali dan berkali-
kali golok mereka seperti tersedot oleh kekuatan
yang tidak nampak.
Makin lama gerak pedang Dewi Sri Tanjung
memang menjadi semakin cepat. Pedang itu sen-
diri seperti lenyap, dan tinggal sinar biru yang
bergulung-gulung tidak pernah putus. Berkali-
kali Damar Seto maupun Guna Praya telah beru-
saha menembus gulungan sinar biru tersebut, te-
tapi ternyata selalu gagal.
Pada saat mereka sedang saling mengerah-
kan kepandaian dan tenaga untuk mematahkan
daya serang lawan ini, tiba-tiba terdengar benta-
kan nyaring.
— Lepas!—
Trang trang . . .!
Dua orang pemuda ini melompat mundur
dengan wajah pucat dan keringat dingin memban-
jiri tubuh. Apa yang terjadi memang diluar du-
gaan mereka sendiri. Golok itu mendadak menjadi
ringan dan ternyata yang masih terpegang oleh
tangan tinggal sepertiga saja, sebab yang dua per-
tiga bagian di ujung sudah menggeletak di tanah.
Masih untung Dewi Sri Tanjung sejak kecil
sudah terdidik secara baik oleh gurunya, Ki ageng
Tunjung Biru. Maka setelah melihat senjata lawan
terbabat putus oleh ketajaman pedang pusa-
kanya, ia menghentikan serangannya dan berdiri
sambil tersenyum. Kalau saja gadis ini mau
menggunakan kesempatan pada saat lawan kaget,
apakah mungkin dua pemuda ini masih hidup?
- Hemm, bagaimana?— tanya gadis ini. —
Jika kamu memang masih membandel dan tak
mau mengakui keunggulanku, ambillah senjata-
mu yang lain. Aku, Dewi Sritanjung tidak akan
gentar berhadapan dengan orang-orang macam
kamu!—
Dua orang pemuda ini wajahnya merah
padam saking merasa terhina oleh ucapan gadis
ini. Selama ini mereka malang melintang di wi-
layah sekitar Gunung Kelud, dan selalu keluar
sebagai pemenangnya apabila berhadapan dengan
lawan. Namun mengapa hari ini mereka harus sial dan menderita malu? Tidak sanggup hanya
berhadapan dengan seorang perempuan?
Tiba-tiba Guna Praya membentak lantang,
- Huh, jangan sombong dan jangan mengumbar
mulut besar di depan Guna Praya dan Damar Se-
to! Huh, kau takkan dapat keluar dari wilayah ini
masih dalam keadaan bernyawa, apabila kau te-
tap membandel dan tidak mau tunduk kepada
kami. Huh, kami bersikap mengalah, ternyata kau
malah menjadi sombong.—
- Hi hi hik, tidak tahu malu!- ejek Dewi Sri-
tanjung. — Bukti sudah ada, engkau masih juga
bermulut besar.—
Telinga Damar Seto merah mendengar
ucapan mengejek dan merendahkan itu. Menda-
dak ia telah mencabut sumpitan yang semula ter-
selip di pinggang. Lalu secepat kilat sumpitan itu
diisi dengan peluru tanah liat yang beracun.
Ujung sumpitan itu sudah menyentuh bibir dan
siap guna membidik gadis ini.
Sumpitan yang terbuat dari buluh ini ju-
stru lebih berbahaya daripada senjata golok me-
reka. Sebab di samping dengan sumpitan mereka
akan dapat menyerang lawan dari jarak jauh, pe-
luru itupun berbahaya sekali. Sekalipun peluru
tersebut tidak menimbulkan luka dan tidak begi-
tu sakit, namun akan dapat menyebabkan nyawa
melayang karena tanah liat itu beracun.
Dan racun inipun bekerja amat cepat, se-
hingga dalam waktu setengah hari saja akan te-
was apabila tidak mendapat obat pemunah racun
dari murid dan guru ini.
Tetapi karena Dewi Sritanjung belum luas
pengalaman, maka gadis ini tidak menyadari ba-
haya dari peluru sumpitan ini Ia malah tertawa
cekikikan dan mengejek.
- Hi hi hik, siapa yang takut kepada mai-
nan kanak-kanak itu? Huh, tidak lekas enyah da-
ri depanku, apakah kamu masih menunggu aku
turun tangan lebih keras?—
Hampir saja Damar Seto sudah membidik-
kan peluru itu. Tetapi untung tiba-tiba terdengar
bentakan halus, — Damar! Tunggu!—
Damar Seto urung membidik dan menu-
runkan senjatanya, lalu disusul oleh berkelebat-
nya bayangan orang yang cepat sekali, tahu-tahu
sudah berdiri di depan mereka.
Dewi Sritanjung membelalakkan mata keti-
ka melihat munculnya seorang kakek kurus ker-
ing dengan perut buncit, tanpa baju pula.
Mendadak saja gadis ini terkekeh saking
geli, karena bentuk tubuh kakek ini memang lucu
tetapi juga membuat orang merasa iba hati. Kare-
na orang akan segera menduga kakek ini seorang
penderita penyakit cacing. Tentu kakek ini tinggal
menunggu saat ajal datang.
— Hi hi hik, kakek cacingan datang kemari
mau apa? Yang gagah dan muda saja tak sanggup
melawan aku, apakah engkau datang untuk men-
cari mampus?—
Akan tetapi Klinthung Waluh tidak marah
mendengar ejekan ini dan malah tersenyum, kemudian bertanya, — Bocah, siapakah engkau ini
dan siapa pula gurumu, berani sembarangan
membuka mulut dan berkeliaran di tempat ini?—
— Hi hi hik, apakah maksudmu bertanya
nama dan Guruku? Sudahlah, engkau jangan
ikut campur, Kek. Aku tak sampai hati kepada
Kakek yang sudah sakit.—
— Heh heh heh heh.— Klinthung Waluh
terkekeh saking geli, mendengar kesombongan
bocah ini — Hemm, engkau bocah ingusan yang
tak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan.
Hemm, baru memiliki kepandaian sedangkal itu
engkau sudah menjadi congkak, sombong dan tak
pandai menghargai orang tua.—
Klinthung Waluh berhenti dan mengamati
gadis itu. Lanjutnya, — Bocah, apakah engkau
tahu bahwa aku ini yang terkenal dengan nama
Klinthung Waluh, penghuni Gunung Kelud
ini?—
Celakanya Dewi Sritanjung memang belum
pernah kenal dan juga belum pernah mendengar
nama tokoh ini, maka nama besar kakek sakti ini
tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Gadis ini
malah ketawa cekikikan dan mengejek lagi.
— Huh, tidak peduli dengan Klinthung Se-
mangka atau Klintung Timun. Pendeknya orang
yang berani mengganggu diriku, huh, rasakan ta-
jamnya pedangku ini.—
Klinthung Waluh mengurut-urut jenggot
kambingnya dalam usaha menekan amarah da-
lam dada, diejek demikian rupa oleh bocah ingusan ini. Ia masih mempunyai harga diri, malu
apabila harus melayani bocah ini dengan kekera-
san. Oleh sebab itu hatinya segera memutuskan,
untuk merobohkan gadis ini dengan pengaruh Aji
"Netra Luyub".
— Anak baik, sekarang sudah sore. Engkau
sudah mengantuk, kenapa engkau tidak lekas ti-
dur?-
Dan kemudian yang terjadi adalah aneh
sekali. Dewi Sritanjung yang semula penuh se-
mangat dan mengejek itu, tiba-tiba saja menguap
dan berkata lirih, — Benar, aku sudah mengan-
tuk. Sebaiknya aku lekas tidur saja —
Setelah berkata demikian Dewi Sritanjung
segera merebahkan diri untuk tidur di atas tanah
berdebu.
Melihat gadis ini sudah terpengaruh oleh
Aji "Netra Luyub" dari gurunya, Guna Praya dan
Damar Seto sudah melompat ke depan guna sal-
ing berebut untuk dapat menangkap gadis yang
tidur diluar sadarnya itu.
3
Akan tetapi sebelum dua pemuda itu ber-
hasil menyentuh tubuh Dewi Sritanjung, me-
nyambarlah angin yang halus namun kuat sekali.
Brukkk...! Tiba-tiba saja kakak-beradik se-
perguruan ini bertubrukan keras. Kepala mereka
saling beradu, dan akibatnya kepala mereka
mendadak pening, pandang mata gelap dan sa-
kitnya bukan main.
— Aduhhhh...!— mereka memekik hampir
berbareng, kemudian terhuyung sambil mende-
kap kepala masing-masing yang seperti pecah.
Klinthung Waluh terbelalak kaget berba-
reng keheranan. Tetapi belum juga hilang rasa
kaget dan herannya, tiba-tiba muncullah di samp-
ing Dewi Sritanjung yang sudah tertidur itu, seo-
rang kakek bertubuh tinggi besar.
Entah berumur berapakah kakek ini me-
mang sulit ditaksir. Kumis dan jenggotnya sudah
putih semua seperti perak, membuktikan me-
mang sudah, amat tua.
Mungkin umur kakek ini sudah lebih tujuh
puluh lima tahun. Tetapi sekalipun rambutnya
sudah putih, tubuh kakek ini masih gagah. Kulit
tubuhnya masih belum berkeriput, sinar matanya
menunjukkan wataknya yang sabar, agung dan
berwibawa. Akan tetapi mata kakek ini, siapapun
yang bertatap pandang akan cepat mengalihkan
pandang matanya. Sebab sepasang mata itu ber-
sinar tajam sekali dan mengandung pengaruh
yang mukjizat.
— Siapa kau!— bentak Klinthung Waluh.
Matanya mendelik, tetapi ketika bertatap pandang
dengan kakek itu, Klinthung Waluh menjadi ka-
get.
— Hemm, Klinthung Waluh. Tentu saja
engkau tidak kenal aku tapi sebaliknya aku tetap
masih mengenal kau. Hal ini tidak mengheran
kan, karena namamu memang amat termasyur
dan menggetarkan penjuru jagad!— sahut kakek
ini dengan nada memuji di samping merendahkan
diri.
— Heh heh heh heh, aku tidak membutuh-
kan pujianmu!- hardik Klinthung Waluh. — Lekas
katakanlah siapa kau dan apa pula maksudmu
mengganggu urusan kami?—
Pada saat itu muncullah kemudian dua
orang muda, seorang laki-laki dan perempuan.
Mereka ini kemudian berdiri di belakang kakek
itu, namun mereka seperti tidak peduli kepada
Klinthung Waluh dan muridnya. Perhatian mere-
ka malah tertuju kepada Dewi Sritanjung. Si gadis
tak kuasa menahan diri lalu menyentuh kakek itu
dan berkata.
— Kakek, bangunkanlah dahulu gadis itu.
Kasihan dia tidur di tanah dan pakaiannya ko-
tor.—
Kakek itu tersenyum, jawabnya, — Biarkan
dulu dia tidur dan mengaso. Hanya jaga sajalah
agar tidak seorangpun berani mengganggu.—
Kemudian kakek ini menatap kembali ke-
pada Klinthung Waluh. Jawabnya, — Hemm, ka-
rena kau mendesak, biarlah sekarang aku mem-
perkenalkan namaku dan juga dua bocah ini. Te-
tapi tentu saja namaku tidak mempunyai arti
apa-apa bagi dirimu, yang terkenal sakti mandra-
guna. Ya, aku ini hanya seorang petani dari Desa
Kepakisan, Kediri. Dan kemudian orang menjadi
terbiasa menyebut diriku ini dengan nama Mpu
Kepakisan, hingga kemudian nama ini lalu kupa-
kai sampai sekarang. Hemm, adapun dua bocah
ini yang laki-laki bernama Rangga Pramana. Bo-
cah ini juga tidak mempunyai arti apa-apa pula
bagi tiap orang. Namun ayahnya, adalah Mahapa-
tih Majapahit bernama Gajah Mada. Sedang bo-
cah perempuan ini tidak lain adalah cucuku sen-
diri bernama Ratih.—
Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu per-
lahan dan jelas. Agaknya mempunyai maksud
agar sekali menerangkan, sudah cukup.
Akan tetapi walaupun keterangan ini dibe-
rikan secara perlahan, sudah menyebabkan Klin-
thung Waluh kaget setengah mati seperti disam-
bar oleh petir. Karena nama Mpu Kepakisan amat
termasyur dan dihormati oleh setiap orang, seba-
gai tokoh sakti pada jaman kini. Dan sekalipun
rumahnya di Kepakisan Kediri, yang cukup jauh
dengan Ibukota Majapahit, namun telah dikenal
orang sebagai salah seorang pembantu Gajah Ma-
da yang setia, dan termasuk pula sebagai seorang
yang banyak jasanya bagi Majapahit.
Tetapi sekalipun Klinthung Waluh kaget, ia
berusaha menutupi perasaannya dengan keta-
wanya yang terkekeh.
— Heh heh heh heh, sungguh mujur hari
ini aku dapat berhadapan dengan Mpu Kepakisan
yang terkenal sakti mandraguna. Maka terimalah
hormat dari Klinthung Waluh.—
Dan benar juga. Klinthung Waluh sudah
ngapurancang (menempatkan dua telapak tangan
di depan perut) sambil membungkuk seperti la-
zimnya seorang memberi hormat.
Sekalipun tampaknya Klinthung Waluh
memberikan hormatnya, tetapi sebenarnya hor-
mat yang ia berikan ini adalah lain, dan hanya
Mpu Kepakisan sendiri yang tahu dan merasakan.
Sebab setelah Klinthung Waluh membungkuk,
segera menyambarlah tenaga yang tidak tampak
telah menyerang ke arah Mpu Kepakisan.
Mpu Kepakisan sadar sedang dicoba orang.
Karena itu iapun cepat berbuat sama, seperti
memberikan hormat kepada Klinthung Waluh.
Yang terjadi kemudian menyebabkan orang
heran berbareng kaget. Sebab tahu-tahu terden-
garlah keluhan Klinthung Waluh sambil ter-
huyung mundur tiga langkah ke belakang.
Klinthung Waluh sudah berusaha menekan
darah yang bergolak dalam tubuhnya, namun ti-
dak juga berhasil. Dan tahu-tahu, segumpal da-
rah sudah meloncat dari mulut. Dan dari kenya-
taan ini membuktikan, dalam segebrakan menga-
du tenaga sakti, Klinthung Waluh kalah. Ia sudah
menderita luka dalam, sekalipun tidak parah
Namun peristiwa ini tidak menyebabkan
Klinthung Waluh menjadi gentar maupun khawa-
tir, sebab ia mempunyai Aji "Netra Luyub" yang
akan dapat mengalahkan lawan dengan gampang.
Sekarang setelah sadar dirinya berhadapan
dengan kakek sakti, maka sepasang matanya me-
natap tajam kepada Mpu Kepakisan dan sejenak
kemudian terdengar suaranya yang halus.
— Hai Mpu Kepakisan! perjalanan dari Ke-
diri sampai kemari adalah cukup jauh. Hayo se-
karang mengasolah, dan tidur!—
Ketika itu Rangga Pramana dan Ratih ju-
stru, ikut memandang ke arah Klinthung Waluh.
Akibatnya dua orang muda ini menjadi terpenga-
ruh. Mendadak saja mereka merasakan kelelahan
dan menguap serta ingin tidur.
Namun tiba-tiba pengaruh aneh itu terusir
lagi ketika terdengar Mpu Kepakisan berkata ha-
lus, - Hemm, Klinthung Waluh! tipu muslihatmu
hanya permainan bocah ingusan saja. Anak, kau
bangunlah! Jangan tidur di sembarang tempat.-
Rangga Pramana dan Ratih hilang rasa
kantuknya, kembali seperti semula. Adapun Dewi
Sritanjung yang sejak tadi tidur sudah membuka
mata, mengucak mata itu dengan punggung tela-
pak tangannya. Kemudian gadis ini nampak kaget
ketika mendapatkan dirinya berbaring di atas ta-
nah berdebu. Ia cepat melompat bangkit, lalu ia
menebarkan matanya ke sekeliling. Gadis ini ke-
heranan melihat hadirnya seorang kakek dan dua
orang muda yang belum ia kenal.
— Kenapa aku...? — desis Dewi Sritanjung
seperti ditujukan kepada diri sendiri.
— Anak, kau telah ditipu orang,— sahut
Mpu Kepakisan sekalipun tidak ditanya.
Mendengar jawaban kakek yang belum ia
kenal itu, tetapi ia sadar sudah ditolong dan dis-
elamatkan jiwanya, sepasang mata gadis ini me-
nyala. Teringatlah kemudian apa yang tadi terjadi.
Dirinya dihadang dua orang muda dan kemudian
berkelahi. Ia berhasil mematahkan senjata la-
wan, tetapi segera muncul seorang kakek tanpa
baju dan menyusul menyuruh dirinya agar tidur
Teringat semua itu, mendadak saja gadis
ini marah. Ia memungut pedang pusakanya yang
menggeletak di tanah yang tadi lepas dari tangan
di luar kemauannya.
Setelah pedang di tangan Dewi Sritanjung
segera melompat dan menerjang ke arah Damar
Seto dan Guna Praya sambil membentak nyaring,
— Manusia busuk, mampuslah!—
— Ayaaa . . . ! — Klinthung Waluh mengge-
rakkan tangannya menampar dengan maksud
melindungi keselamatan muridnya.
Akan tetapi tiba-tiba Mpu Kepakisan men-
gangkat tangan pula mendorong ke arah Klin-
thung Waluh sambil berkata halus, — Biarkan
yang muda berhadapan dengan yang muda. Apa-
kah kau tidak malu mengganggu orang muda?—
Dorongan Mpu Kepakisan itu menerbitkan
angin yang halus tetapi kuat sekali. Klinthung
Waluh terpaksa harus mengurungkan maksudnya
melindungi muridnya. Sebab apabila tidak, di-
rinya sendiri dalam bahaya. Maka tamparannya
kemudian ia alihkan untuk menangkis dorongan
Mpu Kepakisan.
- Ahhhhh . . . ! - Klinthung Waluh berteriak
tertahan lalu mengeluh.
Disusul oleh tubuhnya yang terhuyung
mundur tiga langkah. Sedang Mpu Kepakisan
masih tetap berdiri di tempatnya. Dalam gebrakan
mengadu tenaga sakti ini jelas Klinthung Waluh
masih berada jauh di bawah Mpu Kepakisan.
Damar Seto dan Guna Praya yang teran-
cam keselamatannya akibat terjangan Dewi Sri-
tanjung telah berlompatan mundur. Kemudian
mereka menggunakan senjata sumpitan untuk
membidikkan peluru tanah liat yang beracun.
Akan tetapi Dewi Sritanjung waspada. Ia
sudah memutarkan pedangnya guna melindungi
diri dari serangan sumpitan itu. Dan akibatnya
peluru dari sumpitan berjatuhan terbentur ben-
teng pedang.
Malah kemudian kakak beradik sepergu-
ruan ini harus sibuk berlompatan ke sana dan ke
mari dalam usaha menghindari sambaran pedang
si gadis, yang makin lama tambah berbahaya.
Mereka kemudian menjadi kebingungan
sendiri karena mereka tidak mendapat kesempa-
tan untuk mengisi peluru sumpitan dan membi-
dik.
Ketika itu Ratih sudah akan maju dan
membantu Dewi Sritanjung. Gadis ini penasaran
dan merasa tidak tega, melihat Dewi Sritanjung
harus melayani dua orang lawan. Maka ia ber-
maksud untuk membantu menghajar dua pemu-
da itu. Akan tetapi maksudnya ini terhalang, ka-
rena dicegah oleh Mpu Kepakisan.
- Ratih, biarkan dia memuaskan penasa-
rannya. Percayalah, sekalipun dikeroyok dua, ga-
dis itu tidak bakal kalah.—
Tetapi tanganku terasa gatal, Kek,— ujar
Ratih
- Heh heh heh heh, bagian manakah yang
gatal? Garuklah! Rasa gatal itu pasti hilang.- Mpu
Kepakisan berkelakar.
Ratih cemberut oleh godaan Kakeknya ini.
Namun demikian ia seorang cucu (cucu bagi Mpu
Kepakisan, sebenarnya adalah murid) yang patuh
kepada kakeknya (gurunya), maka kemudian ga-
dis ini hanya berdiri. Tetapi sekalipun demikian
sepasang mata gadis ini tak pernah berkedip me-
mandang mereka yang berkelahi.
Tadi ketika Damar Seto maupun Guna
Praya bersenjata saja, mereka tak mampu me-
layani sambaran pedang gadis ini. Apa pula seka-
rang, mereka hanya tinggal mempunyai senjata
sumpitan. Maka mereka menjadi sibuk bukan
main. Mereka tidak sempat membidik lagi, pa-
dahal apabila sumpitan itu sampai terbentur oleh
pedang akan segera hancur. Karena itu dalam
usaha mereka menyelamatkan diri, tidak ada ja-
lan lagi kecuali menggunakan kecepatan mereka
bergerak.
Makin lama sinar biru dari pedang pusaka
Tunggul Wuhing bergulung-gulung menguasai
arena perkelahian. Dan sinar yang bergulung-
gulung itu, menerbitkan angin halus, tetapi kuat
sekali.
Sinar biru itu membungkus tubuh Dewi
Sritanjung di samping mengurung ruang gerak
lawan. Hal ini membuat kedudukan Guna Praya
dan Damar Seto semakin menjadi sulit. Dalam
menghadapi kesulitan dan dalam usaha memper-
tahankan nyawa ini, tiba-tiba saja mereka beru-
bah ganas.
Tring tring trang trang . . . terdengar suara
yang nyaring berturut-turut. Sebab Damar Seto
dan Guna Praya telah membela diri dengan me-
nyumbitkan senjata rahasia, berujud paku bera-
cun.
Namun sungguh sayang, serangan senjata
rahasia ini hanya sia-sia belaka. Tidak sebatang
paku pun yang berhasil menembus benteng pe-
dang, karena semua tertangkis dan runtuh di ta-
nah.
Bumm... mendadak terdengar suara yang
tidak demikian keras. Namun ledakan ini mener-
bitkan asap hitam yang amat tebal dan keadaan
di tempat itu menjadi gelap. Ledakan yang men-
gepulkan asap hitam dan tebal ini, berasal dari
sebuah benda yang telah dibanting oleh Klinthung
Waluh.
- Lindungi diri dan pejamkan mata!— suara
halus ini, diucapkan oleh Mpu Kepakisan, guna
memperingatkan kepada mereka yang muda.
Peringatan Mpu Kepakisan ini memang te-
pat sekali. Asap hitam tersebut mengandung ra-
cun yang dapat membuat mata orang seperti me-
nangis, karena mengucurkan air mata terus-
menerus.
Dan bukan hanya itu saja pengaruh asap
hitam dari ledakan ini, tetapi justru lebih jahat
lagi. Sebab mata yang sudah kemasukan asap hi-
tam ini, apabila tidak mendapatkan obat pemu-
nahnya, dalam waktu sehari saja akan menjadi
parah. Air mata yang keluar akan berubah men-
jadi darah, lalu berakibat terjadinya kebutaan dan
lumpuh. Jadi memang amat ganaslah akibat dari
racun ini. Orang akan menjadi cacat seumur hi-
dup.
Mpu Kepakisan tidak hanya tinggal diam
melihat asap hitam berbahaya itu. Dua tangannya
kemudian bergerak bergantian dan mendorong.
Angin yang habis segera menyambar dari telapak
tangan ke arah asap yang tebal dan hitam itu.
Akan tetapi setelah asap hitam dan tebal
itu tersingkir pergi, maka terbelalaklah mata Dewi
Sritanjung, Rangga Premana maupun Ratih. Se-
dang yang tidak tampak heran hanya Mpu Kepa-
kisan sendiri. Karena secara tiba-tiba Klinthung
Waluh dan dua orang muridnya itu sekarang te-
lah lenyap tanpa bekas.
- Itulah perwujudan bahaya yang telah aku
katakan tadi kepada kamu!- Mpu Kepakisan
berkata halus, ditujukan kepada Ratih dan Rang-
ga Pramana. - Dan itu pula sebabnya aku tak da-
pat membiarkan orang-orang muda yang belum
kenal bahaya datang ke tempat ini. Dalam hal il-
mu kesaktian, Klinthung Waluh tidak perlu dita-
kuti. Akan tetapi tipu muslihat dan ilmu sihirnya,
maupun segala macam racunnya, amat berba-
haya bagi setiap orang. Dan itu pula sebabnya,
Rangga Pramana, ketika ayahmu mengutus sepasukan prajurit terpilih kemari, menemui kegaga-
lan. Sebab mereka semua tidak kuasa melawan
pengaruh ilmu sihir Klinthung Waluh yang dis-
ebut Aji Netra Luyub itu.—
Dewi Sritanjung yang sudah menyimpan
kembali pedangnya, dan mendengar pula penjela-
san kakek itu, tanpa terasa sudah berseru terta-
han.
— Ohhh . . . kalau demikian aku tadi su-
dah terpengaruh oleh ilmu sihir itu, sehingga aku
tertidur di luar kehendakku?—
Mpu Kepakisan ketawa sejuk, jawabnya, -
Kau benar, Nak, hampir celaka oleh pengaruh il-
mu sihir Klinthung Waluh. Masih untung pada
saat yang tepat aku tiba di tempat ini sehingga
kau bisa terhindar dari bahaya.—
Merasa dirinya sudah diselamatkan orang,
tiba-tiba saja Dewi Sritanjung menjatuhkan diri
berlutut memberi hormat.
Akan tetapi Mpu Kepakisan segera mengge-
rakkan tangannya, menampar perlahan ke depan.
Angin yang halus menyambar ke arah Dewi Sri-
tanjung; Kemudian di luar kehendak gadis ini
sendiri, tubuhnya telah terangkat berdiri.
- Anak, engkau tidak perlu berlutut macam
itu di depanku.—
Dewi Sritanjung menundukkan muka. Ia
sadar, kakek sederhana ini seorang kakek sakti
mandraguna. Terbukti kakek ini dapat melawan
pengaruh ilmu sihir Klinthung Waluh dan dapat
menyelamatkan dirinya dari bahaya.
— Kakek, aku yang muda bernama Dewi
Sritanjung,— katanya dengan sikap menghormat.
— Atas pertolongan Kakek yang telah me-
nyelamatkan nyawaku, tiada lain aku hanya da-
pat mengucapkan terima kasih.—
- Heh heh heh heh,- kakek ini ketawa se-
juk.
— Hanya secara kebetulan saja aku datang
di tempat ini dan berhasil menyelamatkan engkau
dari bahaya. Tetapi sebenarnya semua itu adalah
cermin dari pertolongan Dewata Yang Agung, yang
melalui diriku.—
Ia berhenti sejenak, lalu, — Orang menye-
but aku dengan nama Mpu Kepakisan. Adapun
bocah laki-laki ini, namanya Rangga Pramana dan
bocah perempuan yang sebaya kau ini adalah cu-
cuku bernama Ratih.—
Tiga orang muda itu saling mengangguk
memberi hormat. Tetapi Ratih yang sejak tadi su-
dah ingin bertanya sudah mendahului bertanya
kepada kakeknya.
— Kek, aku heran sekali. Kenapa tiba-tiba
saja tiga orang tadi lenyap tanpa bekas?—
— Semua itu takkan menyebabkan orang
heran, apabila tahu rahasianya,— Mpu Kepakisan
menerangkan. — Mereka bukannya bisa menghi-
lang, tetapi yang jelas mereka sudah melarikan
diri lewat jalan rahasia dan dengan demikian pula
menjadi jelas, di sekitar tempat ini banyak terda-
pat jalan rahasia di bawah tanah. Hemm, justru
oleh kepandaian Klinthung Waluh seperti ini, sebabnya Gajah Mada sulit menghancurkannya. Ki-
ta tahu bahwa setiap pemberontakan yang terjadi,
selalu dapat dibasmi dalam waktu singkat. Tetapi
sebaliknya Klinthung Waluh mempunyai kekua-
tan luar biasa sekalipun dia tidak punya praju-
rit.—
— Tetapi kalau aku gampang. — Ratih ber-
pendapat.
— Gampang?— Rangga Pramana kaget. —
Apakah yang akan kau lakukan?—
— Bakar saja tempat ini! Dan sekalipun
mereka menyembunyikan diri di dalam tanah,
mereka tetap akan mampus juga.—
— Heh heh heh heh ... — Mpu Kepakisan
terkekeh. — Itu merupakan tindakan yang tidak
bijaksana, Ratih. Dan sudah tentu Nak mas Ga-
jah Mada takkan mau berbuat seperti itu. Sebab
dengan membakar pinggang Kelud ini, berarti
akan menimbulkan malapetaka yang hebat dan
akan merugikan negara maupun para kawula Ma-
japahit sendiri.—
— Apakah sebabnya?- Ratih tertarik
— Begini Ratih. Hutan yang rusak, lebih-
lebih terbakar atau dibakar, akan menyebabkan
tanah di sini menjadi gundul, yang akibatnya
akan menimbulkan malapetaka hebat. Sebab aki-
batnya pada saat datangnya musim kering akan
banyak sumber air yang kering dan tidak dapat
memberikan airnya lagi. Dan dengan begitu para
golongan petani takkan dapat mengerjakan sawah
maupun tanahnya yang lain. Dan kemudian akan
menimbulkan kekurangan hasil bumi dan kebu-
tuhan pokok hidup yang berujud beras maupun
bahan makanan yang lain. Akibatnya harga akan
melonjak tinggi. Padahal mahalnya harga kebutu-
han hidup, akan banyak menimbulkan gangguan
keamanan.—
Mpu Kepakisan berhenti dan mengambil
napas. Sejenak kemudian ia baru meneruskan, —
Cucuku, sebaliknya apabila pada musim penghu-
jan, malapetaka yang timbul tidak kurang ba-
hayanya pula. Sebab air hujan itu takkan dapat
meresap ke dalam tanah, oleh karena tidak ada
pohon besar yang dapat menahan air hujan itu.
Sebagai akibatnya pula, hujan itu akan menye-
babkan tanah longsor di sana sini dan menye-
babkan timbulnya banjir besar. Akibatnya air
akan melanda dan merusakkan sawah, desa
maupun ladang. Timbulnya banjir akan menye-
babkan para kawula semakin menderita pula.—
Kakek ini berhenti lagi dan mencari kesan.
Ketika melihat Rangga Pramana maupun Ratih ti-
dak membuka mulut, ia meneruskan, — Jadi,
baik pada musim kemarau maupun musim peng-
hujan akan sama akibatnya, kawula menderita.
Semua itu sebagai akibat rusaknya hutan, gun-
dulnya gunung maupun bukit, akan menimbul-
kan bahaya dan akibat yang merugikan kita se-
mua. Ratih, itulah sebabnya hutan dan pegunun-
gan itu harus dijaga kelestarian nya jangan sam-
pai menjadi rusak.—
Dua orang muda itu tidak membuka mu
lut. Dan kesempatan ini digunakan oleh Mpu Ke-
pakisan untuk meneruskan nasihatnya, — Men-
gingat itu semua, maka Anakmas Gajah Mada se-
lalu bertindak bijaksana. Ia banyak memberikan
contoh dan banyak pula memberi nasihat kepada
para kawula. Sedang tujuannya yang utama da-
lam usaha guna membangun Majapahit menjadi
kerajaan yang kuat dan sentosa.—
— Tetapi Kek, dengan lenyapnya mereka
lewat jalan rahasia, berarti tugas Kakek sekarang
ini gagal juga.— Ratih menjadi masygul. — Kakek
tidak bedanya yang lain, belum pula dapat men-
galahkan Klinthung Waluh yang jahat itu.—
Mpu Kepakisan menghela napas dalam. -
Ya! Tetapi apa harus dikata, kalau memang harus
terjadi seperti ini?—
Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak
ada yang membuka mulut. Sekarang perhatian
mereka semua tertuju kepada persoalan Klin-
thung Waluh.
Namun tiba-tiba Mpu Kepakisan segera te-
ringat kepada Dewi Sritanjung yang tadi hampir
celaka di tangan Klinthung Waluh.
Ia kemudian memandang gadis itu sambil
bertanya, — Anak, apakah sebabnya engkau da-
tang ke tempat ini? Apakah engkau memang be-
lum tahu gunung Kelud ini merupakan wilayah
berbahaya, oleh sepak terjang Klinthung Waluh
yang jahat itu? -
— Ya. Aku memang belum luas pengala-
man. Dan aku yang muda memang tidak tahu
tempat ini amat berbahaya. Saya ingin dan terta-
rik untuk melihat dari dekat, tentang gunung
yang mengeluarkan asap itu. Saya ingin tahu,
apakah sebabnya gunung itu bisa mengeluarkan
asap terus-menerus?—
— Ahhh . . . !— tiga orang ini berseru ter-
tahan hampir bersamaan.
Tak mengherankan apabila mereka menja-
di kaget, justru apa yang dilakukan gadis ini amat
berbahaya.
— Anak, apakah engkau tidak tahu gunung
yang mengeluarkan asap itu amat berbahaya? se-
bab orang takkan dapat mendekati.—
— Ahhh, apakah sebabnya?— Dewi Sritan-
jung kaget.
— Sebab gunung yang mengeluarkan asap
itu amat panas apabila lubang asapnya didekati.
Dan bukan hanya itu, mungkin siapapun malah
takkan tahan oleh bau belerang yang menyengat
hidung dan orang bisa direnggut maut.-
— Ihh ... apakah sebabnya? —
— Karena asap itu di samping panas, juga
bau belerang menyengat hidung, menyebabkan
sesak napas. —
— Tetapi apakah sebabnya asap itu berbau
belerang ? -
— Karena di dalam perut gunung berapi itu
terdapat banyak belerang, —
— Ahhh, terima kasih Kek atas petunjuk-
mu. Untung aku belum sampai ke puncak gu-
nung itu.—
— Apakah engkau hanya seorang diri? —
— Benar. —
— Hemm, Nak, engkau bocah perempuan.
Mengapa sebabnya kau terlalu berani berkelana
seorang diri? —
Pertanyaan ini mengingatkan keadaan di-
rinya dan menyebabkan ia mendadak sedih. Ke-
mudian ia teringat kepada nasibnya yang sudah
tidak mempunyai ibu lagi.
Namun perasaan ini cepat-cepat ia tekan.
Ia tidak menginginkan orang tahu akan asal usul
dan keadaannya. Untuk itu maka kemudian gadis
ini membohong.
— Ya, aku memang sengaja berkelana seo-
rang diri untuk, mencari pengalaman. Bahaya-
bahaya yang kuhadapi akan selalu aku hadapi
dengan senang hati, justru timbulnya bahaya itu
malah akan memperkaya pengalaman. —
— Ahh, Adik terlalu berani. — Ratih mem-
berikan pendapatnya. - Gadis muda lagi cantik
seperti kau ini, akan memancing dan merangsang
kepada orang lain untuk berbuat tidak baik. —
— Terima kasih atas peringatanmu. Akan
tetapi aku percaya, Dewata Yang Agung akan se-
lalu melindungi hamba-Nya yang tidak bersalah
dan tidak melakukan perbuatan jahat. Buktinya,
dalam perjalananku sekarang ini, sekalipun da-
lam keadaan bahaya selalu mendapatkan perto-
longan orang lain sebagai utusan Dewata. —
- Heh heh heh, — Mpu Kepakisan terkekeh.
Diam-diam kakek ini kagum akan kekerasan hati
dan keberaniannya.
— Aku kagum akan keberanianmu, Nak.
Mpu Kepakisan memuji. — Ya, manusia yang hi-
dup di dunia ini memang kesulitan yang dihadapi
akan menjadi guru dan pengalaman hidup seseo-
rang. Mudah-mudahan pula apa yang engkau ci-
takan ini dikabulkan Dewata Yang Agung. Tetapi
kalau boleh aku ingin bertanya, siapakah orang
tuamu, tempat tinggalmu dan juga gurumu? —
— Hemm, — Dewi Sritanjung menghela
napas.
Tidak urung terasa perih juga hatinya,
mendapat pertanyaan seperti ini. Namun ia sudah
memutuskan takkan membuka rahasia hidupnya
kepada sembarang orang.
— Kakek, — jawabnya. — Aku sudah seba-
tang-kara. Aku tidak berayah dan tidak beribu la-
gi. Sejak kecil kakekku yang memungut dan me-
rawat diriku. Karena itulah aku tidak mempunyai
Guru, karena sejak kecil Kakek sendirilah yang
mendidikku. —
— Apakah Kakekmu itu, si pemilik pedang
itu? -
— Benar! Mengapa ? —
— Ha ha ha ha, Kakek dan Gurumu adalah
Ki ageng Tunjung Biru, bukan ?—
Dewi Sritanjung melengak kaget menden-
gar dugaan Mpu Kepakisan yang tepat ini. Maka
tidak tercegah lagi Dewi Sritanjung mengangguk.
- Benar! Tetapi bagaimanakah sebabnya Kakek
dapat menduga setepat itu?—
— Heh heh heh heh, di dunia ini hanya
seorang saja pemilik pedang pusaka Tunggul Wu-
lung yang sekarang dalam tanganmu itu, Ki ageng
Tunjung Biru. Sungguh kebetulan sekali perte-
muan yang tidak terduga ini. Nak, karena kau
orang kita sendiri, maka tahukah engkau akan
hubungan antara Ki ageng Tunjung Biru dengan
Mahapatih Gajah Mada?-
- Saudara seperguruan. –
- Benar! Sekalipun usia Ki ageng Tunjung
Biru dengan Mahapatih Gajah Mada terpaut jauh.
Oleh karena itu antara engkau dan Rangga Pra-
mana ini, masih mempunyai pula hubungan per-
guruan, sebab dia ini adalah putera Mahapatih
Gajah Mada.—
— Ahhh,— Dewi Sritanjung berseru terta-
han. Ia kemudian memandang Rangga Pramana
sejenak, kemudian ia menundukkan kepala.
— Aku pernah datang ke rumah Paman
Gajah Mada,— ujarnya kemudian. — Tetapi ke-
napa ketika itu Adi Rangga Premana tidak tam-
pak?—
Panggilan "adi" kepada Rangga Pramana'
memang tepat, sekali pun umur Rangga Pramana
lebih tua dibanding dengan Dewi Sritanjung. Ka-
rena Rangga Pramana anak Gajah Mada, sebagai
adik seperguruan Ki ageng Tunjung Biru.
- Benar,— sahut Rangga Pramana — Sebab
sejak beberapa bulan ini aku tidak tinggal di Ma-
japahit, tetapi aku tinggal di Kepakisan.—
Pada saat Mpu Kepakisan sedang akan bi
cara, maka menyambarlah sebuah benda yang
bentuknya bulat, lalu menggelinding.
Mereka heran berbareng curiga, lebih-lebih
Dewi Sritanjung justru sebelum dirinya berhada-
pan dengan bahaya, benda bulat semacam ini
pernah menyambar dirinya, disusul terdengarnya
suara yang memberi peringatan.
Orang yang percaya kepada takhayul tentu
akan beranggapan benda bulat yang dapat berge-
rak itu merupakan suatu keanehan dan keajai-
ban.
Tetapi Mpu Kepakisan adalah orang tua
yang sudah kaya pengalaman. Maka kakek ini ti-
dak mungkin bisa tertipu.
Kakek ini sudah dapat menduga, tentu da-
lam benda bulat itu yang tampaknya seperti ka-
rung, terdapat manusia sakti mandraguna. Hing-
ga sekalipun di dalam karung dapat bergerak me-
nurut kemauannya.
Karena itu kakek ini menjadi curiga, apabi-
la dalam benda bulat itu berisi salah seorang
pembantu Klinthung Waluh. Maka ketika Rangga
Pramana sudah bergerak mau mengejar, ia men-
cegah.
— Jangan! Biarlah aku sendiri yang men-
gurus. —
Benda itu masih menggelinding cepat seka-
li dan tiba-tiba terdengar suara yang dalam bula-
tan tersebut, tetapi jelas.
- Hai Mpu Kepakisan. Kenapa engkau se-
karang menjadi tolol? Heh heh heh heh, apakah
engkau tidak sadar sudah terancam oleh bahaya?
Nah, tidak cepat pergi mengikuti aku, celakalah
kalian.—
Mpu Kepakisan terbelalak. Tetapi ia sadar
peringatan yang ia dengar dari dalam benda bulat
itu tidak boleh ia abaikan. Sebab memang tidak
mustahil apabila Klinthung Waluh bermain cu-
rang, menyembunyikan diri dalam jalan rahasia.
di bawah tanah. Sadar akan bahaya kakek ini
dengan gugup berkata,
— Anakku semua, lekas ikut aku!—
Rangga Pramana maupun Ratih segera me-
lompat dan mengikuti Mpu Kepakisan. Sedang
arah gerak mereka mengikuti gerakan benda bu-
lat yang aneh dan menggelinding itu.
Tetapi sebaliknya Dewi Sritanjung agak ra-
gu. Ia mempunyai pendapat lain dan kurang per-
caya peringatan itu. Oleh sebab itu sekalipun ber-
gerak gadis ini mengambil arah lain dan berten-
tangan dengan gerakan Mpu Kepakisan.
Bum ... !
Belum jauh orang-orang itu meninggalkan
tempat mereka tadi tahu-tahu tanah itu amblong
dan debu mengepul tinggi.
Mpu Kepakisan, Rangga Pramana dan Ra-
tih menghentikan langkah lalu membalikkan tu-
buh. Mereka terkejut dan terbelalak, melihat ter-
jadinya tanah longsor itu.
- Ahh, manakah bocah itu tadi?— seru ka-
kek ini kaget sekali dan wajahnya menjadi pucat.
- Ahhh, celaka! Dia tentu terjebak!—
Mari cepat kita tolong!— Ratih gugup dan
mengajak.
Dari wajahnya yang pucat tampak sekali
gadis ini mengkhawatirkan Dewi Sritanjung.
- Tidak! Jangan! — Mpu Kepakisan mence-
gah.
- Kenapa?- Rangga Pramana heran.
- Hemm,— kakek ini menghela napas da-
lam. - Kita sudah melihat sendiri, wilayah Klin-
thung Waluh ini penuh dengan jebakan berba-
haya. Ahhh, apakah yang akan terjadi apabila ti-
dak muncul tokoh aneh yang menyembunyikan
diri dalam karung tadi? Hemm, kita semua tentu
sudah masuk dalam perangkap Klinthung Waluh.
Maka jelaslah bagi kita, tokoh aneh itu sudah
menyelamatkan nyawa kita dari bahaya maut.—
Kakek ini berhenti. Setelah menghela na-
pas lagi, terusnya, — Hemm, terus terang aku
sendiri pun tidak mengenal tempat ini secara
baik. Padahal keberanian tanpa perhitungan akan
menimbulkan korban jiwa sia-sia. Sesungguhnya
akupun tidak tega kepada Dewi Sritanjung. Akan,
tetapi apakah daya kita? Apakah nyawa dia seo-
rang itu harus kita tambah dengan tiga nyawa la-
gi?—
Mendengar jawaban dan penjelasan Mpu
Kepakisan dua orang muda ini terbungkam. Me-
reka tidak dapat membantah kebenaran ucapan
kakek ini. Daerah yang penuh dengan jebakan
rahasia ini memang amat berbahaya bagi orang
luar.
Akibatnya dua orang muda ini hanya dapat
menghela napas dalam sambil memandang tem-
pat yang tadi mereka tempati untuk berdiri. Tem-
pat itu sekarang sudah amblong, maka mereka
kemudian menduga, Dewi Sritanjung sudah ter-
perosok masuk ke dalam lubang jebakan itu.
Untuk beberapa saat lamanya Mpu Kepaki-
san juga tidak membuka mulut. Ia mengamati ta-
nah yang amblong itu sambil mengurut-urut
jenggotnya yang putih, dalam usahanya mengu-
rangi rasa sedih yang memenuhi dalam dadanya.
Kakek ini menyesal sekali, mengapa Dewi Sritan-
jung tidak mau percaya peringatan benda aneh
yang dapat menggelinding dan berbicara itu.
Tiba-tiba suasana yang hening itu dipecah-
kan oleh pertanyaan Ratih, — Kek, dapatkah Ka-
kek menduga, siapakah kira-kira tokoh sakti yang
bersembunyi dalam karung dan telah menyela-
matkan kita tadi?-
— Entahlah, aku belum bisa menduga.
Namun jelas sekali tokoh itu membantu kita dan
akupun percaya, dia tokoh aneh tetapi berhati
emas. Ahhh . .. mungkinkah dia?—
— Siapakah dia, Kek?
— Orang yang dapat bersembunyi di dalam
karung, bentuknya menjadi bulat dan dapat ber-
gerak seperti itu, siapa lagi kalau bukan Mpu
Anusa Dwipa? Heh heh heh heh. —
Mendadak terdengar suara orang ketawa
terkekeh nyaring.
— Sobat, engkau memang tajam rasa di
samping cerdik. Sebenarnya aku tadi enggan ke-
luar dari kantung wasiatku ini. Tetapi karena
engkau telah menyebut namaku, maka tidak
enak rasanya apabila aku terus bersembunyi da-
lam kantungi wasiat. —
Mpu Anusa Dwipa dan Mpu Kepakisan
memang merupakan sahabat lama. Maka perte-
muan tidak terduga ini menyebabkan mereka
gembira sekali.
Namun ketika tidak melihat Dewi Sritan-
jung kakek gemuk ini membelalakkan mata dan
menggumam, — Aneh! Di manakah bocah perem-
puan tadi?-
Ratih yang tadi khawatir dan menganjur-
kan kakeknya (gurunya) supaya menolong gadis
itu sudah berteriak, — Dia terjebak. Tolonglah
dia!-
— Ya! Nampaknya dia memang sudah ter-
jebak, Saudara Dwipa,— ujar Mpu Kepakisan
dengan nada sedih. — Coba usahakanlah perto-
longan, dan aku percaya engkau telah mengenal
secara baik wilayah ini.—
— Hemm . . . anak nakal itu memang sela-
lu membuat orang repot saja!— desis Mpu Anusa
Dwipa. — Ahh, celaka! Gara-gara si nakal, aku
harus berurusan dengan Klinthung Waluh lagi.
Hemm baiklah! Aku akan berusaha menolong bo-
cah itu. Tetapi, Saudara Kepakisan, sebaiknya
engkau dengarkan permintaanku ini.... —
— Tentang apa? —
— Sekarang pergilah secepatnya kau ke
Kotaraja Majapahit. Menghadaplah kau kepada
Mahapatih Gajah Mada, dan beritahukanlah
pemberontak Sadeng yang sudah pernah dihan-
curkan itu, ternyata masih terdapat sisanya yang
berbahaya.—
— Ah, kau tahu? Lalu di manakah sisa-sisa
itu sekarang bertempat tinggal? - Mpu Kepakisan
kaget sekali.
— Di sana! Di sebelah selatan Gunung Ma-
lang. Mereka bersembunyi dalam suatu lembah
tidak jauh dari mata air Kali Sanen. Maka minta-
lah kau kepada Mpu Mada, agar segera menge-
rahkan pasukan terpilih, berani dan tangkas. Dan
sebaiknya, malah engkau pula yang memimpin
pasukan itu. Hemm, mungkin kau bertanya, apa-
kah sebabnya? Sebabnya adalah karena daerah
itu merupakan daerah terasing dan mereka
menggunakan jalan rahasia di bawah tanah.—
— Ahhh ... — tak urung Mpu Kepakisan
berseru tertahan. — Bagaimanakah mungkin
orang bisa masuk ke sana tanpa pengetahuan
lengkap jalan rahasia itu?—
Mpu Anusa Dwipa terkekeh. — Heh heh
heh heh heh, tentu saja aku dapat membantu
kau. —
Mpu Anusa Dwipa segera mengambil se-
lembar kain sutera dari dalam saku jubahnya.
Lembaran kain sutera putih ini, kemudian ia ben-
tangkan di tanah. Kemudian ternyata pada kain
sutera ini sudah terlukis semacam peta.
— Nah, dengan petunjuk ini engkau dapat
dengan mudah datang ke sana. Sekarang kita
berpisah dan membagi tugas. —
Tanpa menunggu jawaban, Mpu Anusa
Dwipa sudah melangkah pergi seenaknya. Namun
karena tubuhnya pendek gemuk seperti gentong
maka kakek sakti ini jalannya seperti menthog
dan migag-migug, hingga semua bagian tubuhnya
bergerak-gerak.
Mpu Kepakisan memandang ke arah Mpu
Anusa Dwipa pergi. Ia menghela napas pendek,
terharu dan amat berterima kasih kepada kakek
gemuk itu. Tetapi karena ia sudah mengenal wa-
tak dan tabiat Mpu Anusa Dwipa yang memang
aneh, maka kakek ini tidak berusaha mencegah
kepergiannya.
Kemudian ia melambaikan tangan kepada
Rangga Pramana dan Ratih. Ia lalu mengajak dua
orang muda ini secepatnya meninggalkan Gunung
Kelud. Mereka bergerak cepat tanpa bicara. Dan
benak Mpu Kepakisan agak tegang, setelah men-
dengar tentang masih terdapatnya sisa pemberon-
tak Sadeng itu.
Menurut pendapatnya, sisa pemberontak
itu apabila tidak selekasnya dibasmi, akan sema-
kin sulit dihancurkan apabila sisa pemberontak
Sadeng ini semakin kuat. Oleh karena itu terpikir
oleh kakek ini untuk segera memberikan laporan
kepada Mahapatih Gajah Mada.
Tidaklah mengherankan apabila kakek ini
menjadi tegang. Sebab ketika membasmi pembe-
rontak Sadeng itu, dirinya ikut terjun dan mem
bantu Adityawarman sebagai panglima. Ketika itu
dirinya melawan Mpu Sadeng. Sebab Mpu Sadeng
seorang sakti dan mempunyai ilmu sihir yang
berbahaya bagi lawan. Dan berkat perlawanannya
waktu itu, ia dapat mengalahkan Mpu Sadeng.
Hingga pemberontak Sadeng itu kemudian ter-
basmi.
4
Mpu Anusa Dwipa melangkah tanpa ragu
menuju ke arah daerah berbahaya yang penuh
oleh jebakan itu. Kemudian sepasang alis kakek
gendut ini berkerut, ketika melihat lubang jeba-
kan yang terbuka dan hampir mencelakakan Mpu
Kepakisan maupun yang lain. Kakek ini kemu-
dian agak membungkuk lalu mengadakan penye-
lidikan.
Tidak lama. Beberapa jenak kemudian ka-
kek ini dengan gerak ringan sekali, sudah berlon-
catan ke arah puncak gunung.
Gerakan kakek ini sungguh menakjubkan.
Sekalipun tubuhnya gendut seperti gentong, na-
mun gerakannya cepat sekali seperti dapat ter-
bang.
Tak lama kemudian Mpu Anusa Dwipa su-
dah tiba pada daerah yang penuh dengan batu-
batu besar. Batu tersebut ada pula yang sebesar
rumah dan ada pula yang lebih tinggi dan lebih
besar dibanding rumah.
Kakek ini kemudian menjejak tanah. Lalu
tubuhnya yang gendut itu melesat ke atas. Ju-
bahnya berkibaran tertiup angin dan sesaat ke-
mudian ia telah berdiri pada batu gunung yang
terbesar dan tertinggi. Ia memandang sekeliling
seperti menyelidik, dan tiba-tiba sudah berteriak
nyaring.
— Hai Klinthung Waluh! Hayo, lekaslah ke-
luar!!. Aku, Mpu Anusa Dwipa ingin ketemu den-
gan kau!—
Teriakan kakek ini terdengar nyaring sekali
dan suara itu memantul dari tebing ke tebing dan
batu ke batu. Tak lama kemudian seperti iblis
dan setan. Klinthung Waluh bersama dua orang
muridnya sudah muncul.
Keanehan segera terjadi. Klinthung Waluh
yang tadi sikapnya garang ketika berhadapan
dengan Mpu Kepakisan, sekarang bersama dua
muridnya sudah berlutut di tanah. Sejenak ke-
mudian Klinthung Waluh berkata dengan na-
danya amat menghormat.
— Mpu, saya sudah datang. Adakah keper-
luan Mpu, hingga perlu memanggil saya? —
— Heh heh heh heh, bangkitlah!— perintah
Mpu Anusa Dwipa yang masih tetap berdiri di ba-
tu itu.
Klinthung Waluh dan muridnya segera pu-
la bangkit berdiri. Tetapi guru dan murid ini seka-
lipun berdiri, kepalanya menunduk, dan tidak
seorangpun berani mengangkat kepalanya me-
mandang kakek gendut itu. Jelas sekali sikap mereka amat menghormat, seakan berhadapan den-
gan guru.
Memang sekalipun bukan guru langsung,
Klinthung Waluh termasuk pula orang yang be-
runtung, karena pernah memperoleh suatu ilmu
kesaktian dari Mpu Anusa Dwipa. Dan berkat il-
mu kesaktian pemberian dari kakek gendut ini,
maka kesaktian Klinthung Waluh menanjak ting-
gi.
Apakah sebabnya Mpu Anusa Dwipa yang
terkenal sebagai tokoh sakti yang -banyak meno-
long orang, sudi memberi ilmu kesaktian kepada
Klinthung Waluh, yang terkenal merupakan seo-
rang tokoh sesat dan jahat itu?
Inilah salah satu keanehan Mpu Anusa
Dwipa. Karena memang terkenal mempunyai wa-
tak aneh dan berhati emas, maka menjadi kege-
maran dari kakek ini, menyembunyikan diri da-
lam karung, menekuk tubuh dan berloncatan se-
perti bola, dan karung itu sendiri ia sebut sebagai
'kantung wasiat'.
Orang banyak memang menganggap Klin-
thung Waluh seorang sesat dan jahat. Tetapi Mpu
Anusa Dwipa tidak memandang demikian. Menu-
rut pendapat kakek gemuk ini, Klinthung Waluh
ini sama dengan orang yang lain. Sebagai manu-
sia biasa yang kedudukannya dan keadaannya
sama dengan manusia yang lain. Manusia yang
tidak serba sempurna, tetapi mempunyai kelema-
han dan kekurangan. Yang disebut sesat dan ja-
hat bukanlah si manusia itu sendiri, melainkan
adalah tindak dan perbuatannya.
Mpu Anusa Dwipa menatap ke arah Klin-
thung Wakih penuh perhatian. Sejenak kemudian
ia berkata, — Hai Klinthung Waluh! Engkau apa-
kan bocah perempuan yang masuk dalam jeba-
kanmu tadi?-
- Bocah yang mana?- Klinthung Waluh ma-
lah bertanya. Ia mengangkat kepala sebentar
memandang Mpu Anusa Dwipa. Namun cepat-
cepat ia menundukkan kepala lagi dengan sikap
yang tetap menghormat.
- Heh heh heh heh, siapa lagi kalau bukan
bocah perempuan yang tadi tertidur oleh ilmu su-
lapmu itu? —
- Mpu . . ehh . . .Guru ... ehh ... Mpu, tidak
ada . . . sungguh tidak ada... dan kami berani...
bersumpah.... –
Mpu Anusa Dwipa mengerutkan alis, ben-
taknya, - Klinthung Waluh! Kau berani menipu
aku?-
- Ohhh..... tidak ...! - tubuh Klinthung Wa-
luh mendadak gemetaran saking ketakutan. -
Guru . . . sungguh mati. . . tidak ada. Manakah
mungkin saya berani... menipu Bapa?
- Hayo angkatlah mukamu dan sekarang
semua memandang kepadaku!-
Guru dan murid itupun tanpa berani
membantah lagi sudah mengangkat muka mas-
ing-masing, lalu memandang ke arah Mpu Anusa
Dwipa.
Kakek aneh dan berhati emas ini dengan
memandang sinar mata orang, akan segera tahu
orang itu berdusta ataukah jujur. Maka setelah
mengamati sinar mata guru dan murid ini, Mpu
Anusa Dwipa menjadi percaya, mereka sudah
memberi keterangan sejujurnya.
— Heh heh heh heh, — ia terkekeh. – Aku
percaya kepada kamu. Sudahlah, sekarang aku
mau pergi.—
— Bapa . . . ! — tiba-tiba Klinthung Waluh
berseru.
— Engkau perlu apa lagi? —
— Bapa . . . besar harapan saya... agar Ba-
pa sudi membimbing diri saya ini, agar bisa men-
dapatkan ilmu kesaktian yang lebih hebat lagi.—
— Heh heh heh, ha ha ha ha,— Mpu Anusa
Dwipa bergelak-gelak mendengar permintaan
Klinthung Waluh ini, lalu bertanya, — Kemudian
setelah engkau bisa mendapatkan ilmu kesaktian
yang lebih tinggi lagi, apakah tujuanmu? —
— Bukan lain agar saya menjelma sebagai
manusia paling sakti di dunia ini. —
— Ha ha ha ha! — makin bergelak kakek
gendut ini mendengar maksud Klinthung Waluh.
— Hai Klinthung Waluh, dengarlah baik-baik apa
yang aku katakan ini. Ketahuilah bahwa Gunung
Kelud ini orang bilang sudah tinggi. Akan tetapi
tinggi manakah dengan awan yang bergerak, di
angkasa itu? Tetapi nyatanya awan yang tinggi itu
masih kalah tinggi lagi dengan langit. Hemm, bu-
lan di angkasa lebih tinggi lagi, tetapi masih kalah
tinggi dengan matahari. Sedang matahari masih
kalah tinggi lagi dengan bintang. Ha ha ha ha,
hanya lamunan kosong saja orang yang bercita-
cita ingin menjadi orang tersakti, orang terpandai
dan orang tertinggi? Yang sakti masih ada yang
lebih sakti. Yang pandai masih ada yang lebih
pandai lagi. Dan yang merasa berkedudukan ting-
gi masih ada yang lebih tinggi, dan yang merasa
kuasapun masih ada pula yang lebih kuasa la-
gi.— Mpu Anusa Dwipa berhenti dan mengambil
napas. Sejenak kemudian ia meneruskan, —
Orang bercita-cita memang baik. Akan tetapi
orang melamun akan menjadi sahabat setan dan
iblis. Lebih berabe lagi jika manusia sudah mela-
munkan agar dirinya bisa serba tahu, serba kua-
sa, serba menang dan ingin menyamai kekuasaan
Dewata Yang Agung. Orang yang demikian itu
akan tersesat jalan karena bersahabat dengan se-
tan dan iblis. Hai Klinthung Waluh. Tahukah
engkau tentang setan dan iblis itu?—
— Setan dan iblis adalah penggoda manu-
sia.—
— Heh heh heh heh, engkau seperti burung
beo yang menirukan orang bicara. Ketahuilah se-
tan dan iblis itu, menghuni dalam tiap-tiap ma-
nusia.—
— Ahhh ... kalau begitu . . . saya ... —
— Benar! Dalam tubuhmu pun setan mau-
pun iblis menghuninya, heh heh heh heh, engkau
kaget? Itulah tanda engkau selama ini tidak per-
nah mau mawas diri, sebagai akibat engkau
hanya selalu menurutkan nafsu dan pikiran jahatmu. Dengarlah hai Klinthung Waluh, para cer-
dik pandai sudah bilang, setan maupun iblis akan
menggoda setiap manusia, yang tidak mau me-
nyadari hidupnya sebagai makhluk Dewata
Agung. Tidak mau sadar sebagai makhluk yang
lemah. Manusia yang mau mawas diri dan sadar
diri, dalam hidupnya ini tanpa penilaian dan per-
bandingan. Dan apabila kau sudah bisa seperti
ini, niscaya dalam sanubarimu takkan ada lagi
yang disebut "aku" dan selalu minta tempat paling
depan. Sebab si aku itulah sesungguhnya nafsu
manusia yang selalu ingin memperoleh, dan bu-
kan yang lain. —
Kakek ini berhenti, mengambil napas, lalu
terusnya, - Nah, kegiatan dan keinginan si aku ini
yang kemudian menimbulkan nafsu yang tidak
pada tempatnya. Dan itulah sebenarnya setan
dan iblis. Itulah yang selalu mengganggu hidup-
mu menjadi tidak tenteram. Maka orang berkata,
si Anu sedang menurutkan nafsu yang merusak,
yang tidak baik, sedang menuruti godaan setan
dan si iblis. Heh heh heh heh, Klinthung Waluh,
godaan setan dan iblis akan selalu berlangsung
terus selama hidupmu, jika engkau tak mau ma-
was diri. Jika engkau selalu membandingkan dan
jika engkau selalu menilai. Karena dalam dadamu
akan selalu berkecamuk rasa iri hati dan selalu
mengumandang jeritan mengapa orang itu bisa
hidup kaya raya, tetapi aku melarat?-
Mpu Anusa Dwipa tidak peduli, Klinthung
Waluh mau mendengar nasihatnya ini atau tidak.
Maka ia terus nyerocos saja.
- Engkau jangan memandang apa yang kau
sebut melarat itu dari kacamata lahiriah. Sebab,
yang tidak pernah menipu itu hanyalah dari ka-
camata kejiwaan. Orang yang berkedudukan ting-
gi, kaya raya, akan tetapi dari sudut kejiwaan bi-
sa disebut melarat, apabila orang itu hanya selalu
memikirkan kepentingan diri pribadi sambil me-
rugikan orang lain. Dia seorang melarat dari ka-
sih, melarat dari kebijaksanaan, keadilan, kesa-
daran, kebaikan, keluhuran, aih .. . heh heh heh
heh .. .—
Mpu Anusa Dwipa tiba-tiba menghentikan
pidatonya, ketika melihat Klinthung Waluh dan
muridnya sudah tidak tampak lagi. Agaknya Klin-
thung Waluh dan muridnya sudah lenyap lewat
pintu rahasia, sehingga gerakan mereka tidak ter-
tangkap oleh telinga Mpu Anusa Dwipa.
Mpu Anusa Dwipa kemudian terkekeh-
kekeh sendiri, menertawakan diri sendiri, bicara
tanpa ada yang mendengarkan.
Tetapi sekalipun demikian ia tidak marah
maupun masygul, Klinthung Waluh maupun mu-
ridnya tidak mau mendengar nasihat baiknya.
Sebab semua orang akan memetik buah tana-
mannya sendiri. Kalau memang Klinthung Waluh
memilih menanam pohon yang beracun dan akan
teracuni diri sendiri, siapakah yang dapat mence-
gah? Biarlah Klinthung Waluh hidup dengan garis
dan takdir yang sudah ditentukan Dewata Yang
Agung.
Mpu Anusa Dwipa meniup turun dari batu
besar itu. Lalu kening kakek ini berkerut, ketika
teringat lagi kepada Dewi Sritanjung yang tiba-
tiba lenyap itu.
Sesungguhnya saja ia tadi sudah
mengkhawatirkan apabila gadis tersebut sudah
tertangkap oleh Klinthung Waluh lalu menjadi
tawanan. Akan tetapi karena Klinthung Waluh
mengatakan tidak tahu menahu, maka kakek ini
menduga, Dewi Sritanjung sudah pergi menggu-
nakan jalan lain.
Tak lama kemudian kakek ini sudah berla-
rian meninggalkan pinggang Kelud. Namun belum
jauh ia menuruni pinggang gunung ini, ia berhen-
ti. Ia menebarkan pandang matanya ke sekeliling,
seperti sedang mencari sesuatu. Tetapi di sekeli-
lingnya tidak terdapat seorangpun.
Mpu Anusa Dwipa menghela napas pan-
jang. Desisnya, - Hemm, apakah sebabnya aku
sampai, terlupa kepada bocah itu? Lebih tiga bu-
lan lamanya aku tidak ketemu . . . hemm, ke ma-
nakah dia sekarang? Jangan-jangan .... —
Ia berhenti dan berdiam diri. Ada firasat
dalam sanubarinya, sesuatu yang tidak beres
dengan bocah yang ia maksud.
Lalu siapakah bocah itu? Hemm, siapa lagi
kalau bukan Mahisa Singkir yang amat ia sayang
itu? Memang aneh sekali, kepada Mahisa Singkir
ia makin lama menjadi semakin terpikat, sayang
dan suka sekali. Sebab bukan saja Mahisa Sing-
kir seorang pemuda cerdik dan berbakat, tetapi
juga jujur, sederhana dan setia. Kesetiaan Mahisa
Singkir ini sudah pernah ia coba. Pada suatu ha-
ri, ia menguji kesetiaan Mahisa Singkir dengan
cara memerintahkan supaya memanjat pohon
yang tinggi kemudian ia memerintahkan agar me-
loncat turun.
Pada mulanya ia menduga tentu Mahisa
Singkir akan menolak perintah ini dan mengemu-
kakan alasan, apabila dirinya melaksanakan pe-
rintah dirinya akan mati terbanting di tanah dan
mati.
Namun ternyata dugaannya ini keliru.
Tanpa membantah sepatahpun, Mahisa Singkir
sudah memanjat pohon yang tinggi itu sampai
puncak.
Mpu Anusa Dwipa masih tidak percaya,
Mahisa Singkir akan benar-benar melompat turun
dari dahan itu. Sebab walaupun Mahisa Singkir
mempunyai kepandaian yang sepuluh kali lipat
dari keadaannya sekarang, tentu akan tewas se-
ketika jika terjun bebas dari tempat yang tinggi
itu. Namun ternyata dugaannya salah lagi, dan
tanpa ragu sedikitpun bocah itu sudah melompat
turun.
Melihat melompatnya Mahisa Singkir dari
tempat yang tinggi, Mpu Anusa Dwipa sendiri
yang kemudian menjadi kelabakan. Ia ingin men-
cegah akan tetapi sudah terlanjur. Kakek ini
menggeleng-gelengkan kepala, tetapi juga kagum
menemukan bocah yang setia seperti ini.
Guna menolong Mahisa Singkir, tiada jalan
lain kecuali ia melompat ke bawah Mahisa Singkir
yang sedang meluncur turun dengan cepat. Kakek
ini kemudian menggerakkan tangan mendorong
ke atas bergantian. Angin yang halus tetapi kuat
sekali menyambut ke arah Mahisa Singkir. Dan
oleh dorongan angin dari bawah itu, mendadak
membal kembali ke atas beberapa kali.
Justru oleh dorongan dari bawah ini, sete-
lah tubuh Mahisa Singkir kembali meluncur tu-
run kecepatannya menjadi berkurang. Dan sete-
lah kakek ini berkali-kali mendorong ke atas, ma-
ka kemudian tubuh Mahisa Singkir dapat diteri-
ma oleh Mpu Anusa Dwipa dengan selamat.
Tetapi mungkin saking merasa ngeri dan
juga oleh pengaruh dari luncuran yang cepat se-
kali, Mahisa Singkir menjadi pingsan. Sambil ter-
kekeh Mpu Anusa Dwipa memondong Mahisa
Singkir ke tempat rindang, lalu ia baringkan di
atas rumput. Setelah ia pijit dan urut beberapa
lamanya; Mahisa Singkir bergerak lalu sadar.
— Apakah aku sudah mati? — Mahisa
Singkir mengucapkan kata-katanya seperti itu,
ketika ia membuka mata pertama kali setelah
pingsan.
— Heh heh heh heh, siapakah yang mati?
Hemm, Anak, mengapakah sebabnya engkau mau
saja aku suruh terjun dari pohon yang tinggi
itu?—
— Bagi saya tiada alasan membantah pe-
rintah Kakek. –
— Sekalipun sadar perintah itu bisa me
nyebabkan kematianmu sendiri?—
-Ya.-
— Kenapa? —
— Karena Kakek demikian baik kepada
saya, dan karena saya sudah banyak berutang
budi yang tidak mungkin dapat aku balas dengan
nyawa sekalipun.—
Tiba-tiba Mpu Anusa Dwipa terkekeh. —
Heh heh heh heh, engkau seperti yang lain, ikut-
ikutan menganggap "budi" bisa diperutangkan.
Budi bukanlah uang dan barang. Kalau uang dan
barang orang bisa menjualbelikan maupun mem-
perutangkan. Tetapi budi tidak bisa.—
— Kenapa Kek? Bukankah semua orang
mengakui hutang budi itu memang ada? —
— Bukan semua orang! Tetapi masih ada
beberapa orang dan juga aku sendiri yang ber-
pendapat, budi itu tidak bisa diperutangkan. —
— Ahhh . . . Kakek aneh! Kakek menyendi-
ri. Apakah baik apabila orang menyendiri dan ti-
dak mau mengakui pendapat yang sudah umum
itu?—
— Terserah orang menganggap diriku aneh.
Tetapi aku tidak setuju kepada pendapat umum
itu, jika orang dapat mengadakan hutang-piutang
tentang budi. Anak, budi tidak dapat dihutang-
kan. Maka kalau ada orang yang merasa mengu-
tangkan budi kepada seseorang, itu jelas muna-
fik. Berarti apa yang ia berikan, apa yang ia se-
rahkan kepada orang lain itu tidak ikhlas. Karena
orang itu mengharapkan sesuatu di balik pemberian dan bantuannya." -
Ia berhenti dan mengambil napas. Sejenak
kemudian ia meneruskan, — Anak, kalau ada
orang bilang rela dan ikhlas memberikan sesuatu
tetapi masih ada harapan tersembunyi di balik
bantuan itu, apa lagi sebutannya kalau sesung-
guhnya orang itu hanya pura-pura saja? Jadi apa
yang ia lakukan hanya merupakan pura-pura saja
agar orang menyebut dirinya baik. Agar orang
menyebut dirinya seorang dermawan, budiman
dan sebutan, yang lain lagi. Tetapi pada kenya-
taannya, apa yang ia lakukan bukanlah dilandasi
oleh rasa kesadaran yang tulus. —
- Hemm, Anak, apa yang sudah aku beri-
kan kepadamu, tidak lain karena aku ingin mem-
beri. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari kau
maupun orang lain yang aku beri. Maka terserah
penilaianmu sendiri, tetapi aku tidak merasa
mengutangkan budi itu. Sebab apa yang aku la-
kukan adalah sudah wajar, sesuai dengan kea-
daanku. Kalau aku tidak punya, bagaimanakah
mungkin aku dapat memberi? Heh heh heh heh,
karena kau butuh dan sebaliknya aku punya,
maka terjadilah pemberian itu. Dan itu pula se-
babnya aku tidak pernah mempunyai murid dan
menolak pula ketika engkau menyatakan ingin
menjadi muridku. Hubungan guru dan murid
akan menimbulkan ikatan, hingga aku tidak bisa
bebas lagi dan sebaliknya engkau pun tidak be-
bas. —
Teringat kepada bocah bernama Mahisa
Singkir itu, dalam hatinya lalu timbul pertanyaan.
Ke manakah bocah itu? Dalam sanubarinya tera-
sa ada getaran yang memberi firasat adanya se-
suatu yang tidak beres. Tetapi apakah itu? Ia
sendiri tidak tahu. Maka kemudian kakek ini me-
ninggalkan Gunung Kelud, menuju ke timur.
Mpu Anusa Dwipa memang tidak tahu sa-
ma sekali, Mahisa Singkir sekarang ini menjadi
tawanan Mpu Galuh, bersama teman seperjala-
nannya bernama Sarwiyah.
Biarlah Mpu Anusa Dwipa sekarang ini
bingung memikirkan Mahisa Singkir yang amat ia
sayangi itu.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, ke
manakah Dewi Sritanjung yang tiba-tiba lenyap
itu? Apakah Dewi Sritanjung terjebak oleh pe-
rangkap Klinthung Waluh yang jahat itu? Dan
mengapa pula sebabnya sekalipun Mpu Anusa
Dwipa sudah berusaha dengan bertanya kepada
Klinthung Waluh, tetapi orang ini menyatakan ti-
dak tahu? Benarkah keterangan Klinthung Waluh
apabila ia tidak tahu ke mana Dewi Sritanjung
pergi?
Yang sudah terjadi memang di luar dugaan
semua orang. Sebagai seorang gadis yang masih
hijau dan picik pengalaman, sekali pun ia sudah
mendapat pemberitahuan, lereng Kelud ini ba-
nyak jebakan dan jalan rahasia, ia masih juga ku-
rang percaya. Ia tidak mau berkaca kepada pen-
galaman yang baru saja ia alami, menjadi roboh
pingsan oleh Klinthung Waluh. Sebagai akibat rasa kurang percaya akan petunjuk orang ini, maka
ia tidak mau mengikuti Mpu Kepakisan, dan ma-
lah mencari jalan yang lain.
Sebagai akibat kurang pengertian dan pen-
getahuannya, di samping juga kurang hati-hati,
maka belum sepuluh langkah ia meninggalkan
tempat, tiba-tiba saja kakinya merasa menginjak
tempat kosong.
Gadis ini kaget dan berusaha melawan
luncuran tubuhnya, sambil memukulkan kaki
dan tangannya ke tepi lubang. Namun sungguh
celaka! tubuhnya terus meluncur turun pada lu-
bang yang gelap bukan main. Akibatnya sekali-
pun ia tabah dan penuh rasa percaya kepada diri
sendiri, dari mulutnya meluncur jerit nyaring.
Tetapi sekalipun demikian, Dewi Sritanjung
masih berusaha mengurangi kecepatan luncuran
tubuhnya dengan jalan mengatur keseimbangan
tubuhnya. Hanya sayang sekali, lubang ini ter-
nyata dalam sekali, sehingga luncurannya bu-
kannya berkurang, malah semakin menjadi cepat.
Saking kaget, takut dan ngeri, akhirnya gadis ini
pening, namun masih tetap sadar.
Entah sudah berapa lama tubuhnya me-
luncur cepat sekali ke bawah. Tiba-tiba ia merasa
tubuhnya tertahan oleh angin yang kuat sekali
dari bawah, hingga tubuhnya membal ke atas
kembali. Tetapi keadaan itu tidak lama, tubuhnya
kembali meluncur turun. Lalu terasa lagi angin
kuat menyambar dari bawah, dan tubuhnya
membal kembali. Meluncur lalu membal kembali
sampai beberapa kali ini menyebabkan dirinya
seperti dikocok dan kepalanya tambah pening.
Dan pada, akhirnya gadis ini tidak dapat berta-
han lagi lalu pingsan!
Hembusan angin yang kuat dari bawah ini
ternyata dari dorongan tangan seorang nenek
yang tua renta, kurus kering dan rambutnya
awut-awutan tidak disanggul. Nenek ini hampir
telanjang karena pakaiannya sudah cabik tidak
keruan.
Nenek ini duduk ngelesot di tanah yang
lembab. Setelah berkali-kali memukulkan dua be-
lah tangannya ke atas bergantian, dan dari tela-
pak tangannya terbit angin yang kuat sekali, ma-
ka luncuran Dewi Sritanjung makin lama menjadi
semakin lambat. Lalu ketika tubuh gadis yang
pingsan ini meluncur turun, sudah diterima oleh
dua tangannya yang kurus kering.
Oleh pertolongan yang tidak terduga dari
makhluk yang berdiam di dalam lubang ini, sela-
matlah nyawa Dewi Sritanjung. Tetapi mungkin
sekali karena terlalu banyak mengeluarkan tena-
ga sekarang nenek ini dadanya menjadi tersengal-
sengal lalu terbatuk-batuk. Ia membiarkan gadis
ini yang terbaring di depannya dan dalam kea-
daan pingsan.
Sambil tersengal-sengal dan terbatuk-
batuk ini, nenek tersebut memandang penuh per-
hatian. Desisnya, — Hemm, seorang bocah pe-
rempuan yang masih muda. Mengapakah sebab-
nya bisa terperosok masuk dalam lubang ini? —
Setelah hilang rasa sesak dalam dadanya,
nenek ini mulai memijit dan mengurut Dewi Sri-
tanjung untuk menyadarkannya. Berkat pijitan
ini tiba-tiba gadis itu sadar lalu bangkit.
- Ahhhh ... ! — gadis ini kaget sekali ketika
melihat di dekatnya terdapat seorang nenek tua
renta, rambut awut-awutan, kotor dan menjijik-
kan dan setengah telanjang.
- Hi hi hik, engkau kaget? Jangan takut!
Anak, aku bukan setan dan bukan hantu. Tetapi
aku adalah manusia seperti engkau juga.—
Nah, Saudara Pembaca, hanya sampai di
sini cerita berakhir. Lho, kok berakhir, lalu ba-
gaimanakah nasib Dewi Sritanjung yang sekarang
terperosok dalam lubang jebakan dan terkurung
dalam perut Gunung? Pertanyaan ini akan terja-
wab dalam cerita berjudul "RAHASIA KIAGENG
TUNJUNG BIRU".
Memang ternyata Ki ageng Tunjung Biru,
yang menjadi kakek dan sekaligus gurunya itu
mempunyai rahasia yang belum pernah terung-
kap. Tampaknya Ki ageng Tunjung Biru demikian
rapat menyembunyikan rahasia itu, walaupun
kepada cucu dan sekaligus muridnya yang amat
terkasih. Lalu, rahasia tentang apa? Rahasia ma-
salah perempuan. Justru adanya masalah perem-
puan ini kemudian Ki ageng Tunjung Biru men-
gasingkan diri di dalam hutan hanya seorang diri.
Hingga hidupnya hanya seorang diri dan baru
mempunyai keluarga, setelah menemukan dan
merawat Dewi Sritanjung sampai dewasa.
Dan justru adanya rahasia ini pula, maka
Ki ageng Tunjung Biru menolak tawaran Gajah
Mada agar sedia membantu di Kotaraja Majapa-
hit. Dan ia lebih suka hidup bersunyi diri di da-
lam hutan yang jauh dari manusia lain
Kalau demikian halnya, apakah yang bakal
diceritakan dalam buku berjudul "RAHASIA
KIAGENG TUNJUNG BIRU", itu melulu masalah
yang menyangkut dia seorang?
O, jelas tidak! Cerita dalam buku tersebut
akan lebih memikat Anda, baik sebagai hiburan di
kala senggang maupun dalam usaha menguak se-
jarah Majapahit. Dalam buku tersebut kita juga
bakal bertemu kembali dengan Mahisa Singkir,
dan juga Sarwiyah.
... — Cinta kasih itu bagiku tidak ditentukan oleh
pangkat, kedudukan dan martabat. Kakang, aku
mencintaimu dengan sepenuh hati, sejak aku me-
lihatmu yang pertama kali. Apakah engkau tidak
merasakan .... ?
Setelah berkata Ika Dewi menundukkan
muka. Agaknya setelah mengucapkan kata-
katanya, gadis ini menjadi lega, namun juga me-
rasa malu.
Mahisa Singkir menghela napas lagi. Ujar-
nya, — Hemm...mmm... sudilah engkau memaaf-
kan aku. Karena . . . karena ......
Tiba-tiba Ika Dewi mengangkat kepalanya, mena-
tap Mahisa Singkir dengan tajam. Lalu terdengar
ucapannya yang bernada sengit, — Karena eng-
kau sudah mencintai gadis lain, bukan . . . ?—
Mahisa Singkir yang jujur itu mengangkat
kepala, memandang gadis ini sambil menghela
napas dan mengangguk.
— Gadis mana ?-
Mahisa Singkir berdiam diri...
...— Jika kau mengantuk, silakan tidur.
Aku akan menjagamu, agar tidak ada lalat mau-
pun nyamuk yang mengganggu.—
— Hemm, sekalipun tidak engkau jaga,
nyamuk dan lalat tidak dapat masuk ke dalam
kamar ini. Sudahlah, sekarang engkau harus per-
gi. Bagaimanakah kita akan menangkis kalau ada
tuduhan kita sudah berbuat tidak senonoh di
kamar ini? —
—Siapa yang berani berbuat seperti itu? –
Rakit Cendana membelalakkan matanya.
— Jika orang itu masih kepengin hidup, takkan
mungkin berani menuduh aku dan dirimu seperti
itu. Maka Adikku, engkau jangan khawatir.—
— Tidak!— Sarwiyah membentak. — Po-
koknya sekarang juga kau harus meninggalkan
kamar ini. —
Dengan perasaan kecewa sekali pemuda ini
pergi juga meninggalkan kamar. Namun diam-
diam pemuda ini sudah memutuskan, ia akan
menggunakan ramuan obat yang bisa menimbul-
kan rangsangan birahi.
— Huh huh . . . !— desisnya. — Aku ingin
melihat. Apakah kau masih sanggup bertahan la-
gi, apabila dalam nasi sudah aku campur dengan
obat? Huh, kau akan segera menyerah dalam pelukanku.. ... heh heh heh heh!—
= s e l e s a i =
Sala, Minggu kedua Mei 1987.
0 comments:
Posting Komentar