..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 20 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE TERKURUNG DI PERUT BUMI

TERKURUNG DI PERUT BUMI


1

Melihat Sarwiyah sudah dapat ditawan oleh 

Gajah Agni, maka semangat Mahisa Singkir pa-

dam. Bagi dirinya tidak ada gunanya melawan te-

rus, apabila Sarwiyah, kakak seperguruan tetapi 

yang amat dicintai itu tertawan.

Kenyataannya lawan yang mereka hadapi 

justru jauh di atas tingkat dirinya maupun ting-

kat Sarwiyah. Maka tidak mengherankan apabila 

kakak seperguruannya tidak berkutik melawan 

Gajah Agni, sedang dirinya sendiripun dalam 

keadaan sama, tak sanggup melawan Hesti Pawa-

na.

- Aku menyerah! — serunya tiba-tiba sam-

bil membuang pedangnya.

— Adi! Apa yang kau lakukan? — Sarwiyah 

kaget.

- Tidak ada gunanya aku bersikeras mela-

wan, setelah engkau ditawan, Mbakyu. Karena 

kau dalam tawanan, maka biarlah aku juga men-

jadi tawanan.

Sarwiyah terbelalak. Dalam dada gadis ini 

kemudian terdengar isak yang lirih, tetapi air ma-

ta tidak keluar. Sadarlah ia sekarang, adik seper-

guruannya ini mencintai dirinya.

Demikianlah akhirnya, dua orang muda ini 

dibawa pulang sebagai tawanan. Dalam perjala-

nan menuju sarang mereka ini, menyebabkan 

Mahisa Singkir heran berbareng kagum.


Ternyata dalam menuju sarang mereka ini 

tidak menggunakan jalan biasa. Membuktikan ge-

rombolan sisa pemberontak Sadeng ini diatur 

demikian rupa, guna melindungi keselamatan me-

reka. Dengan demikian orang yang berani masuk 

ke dalam wilayah gerombolan ini sulit untuk da-

pat keluar lagi, di samping juga tak gampang da-

pat menuju ke sarang mereka.

Hanya beberapa puluh depa dari tempat 

perkelahian tadi, terdapat jurang cukup dalam. 

Hesti Pawana menggerakkan batu yang bentuk-

nya bundar di tepi jurang. Terdengar kemudian 

suara gemerisik lalu terbukalah semacam lubang 

yang bertangga batu. Dirinya dibawa masuk ke 

dalam lubang ini, yang sempit dan gelap sekali se-

telah alat dari dalam menutup lubang itu kemba-

li.

Beberapa saat kemudian muncullah mere-

ka di dasar jurang. Dan jurang ini merupakan ja-

lan rahasia guna menuju ke sarang. Cukup lama 

mereka menelusuri jurang yang kering ini, lalu ti-

balah pada sebuah batu yang menonjol. Ketika 

batu ini digerakkan oleh alat rahasia yang terletak 

di dekatnya, batu yang menonjol tadi bergeser. 

Kemudian muncullah goa dan masuklah mereka. 

Goa yang sesungguhnya merupakan jalan rahasia 

di bawah tanah ini gelap pekat, dan bagi mereka 

yang tidak biasa kalau tidak menggunakan pene-

rangan tentu harus meraba-raba khawatir teran-

tuk batu.

Hanya pada beberapa tempat saja terdapat


sinar matahari yang menerobos masuk dari lu-

bang yang sengaja dibuat, guna menjamin kebu-

tuhan hawa bersih dalam jalan rahasia ini.

Entah berapa lama Mahisa Singkir dan 

Sarwiyah dibawa menelusuri jalan rahasia ini. Se-

telah tiba di ujung lorong, Hesti Pawana mengge-

rakkan alat rahasia lagi, lalu terbukalah pintu ba-

tu.

Mata Mahisa Singkir silau oleh sinar mata-

hari, setelah beberapa lama dalam jalan rahasia 

yang gelap. Dan ketika mereka sudah tiba di luar, 

Hesti Pawana menutup pintu batu itu lagi.

Mulut Mahisa Singkir ternganga saking ka-

gum di samping menjadi tambah khawatir. Ia sa-

dar tanpa seizin tuan rumah sulit dirinya dapat 

melarikan diri dari tempat seperti ini. Karena dae-

rah ini merupakan daerah terasing yang hanya 

dihubungkan jalan rahasia di bawah tanah.

Sarang gerombolan ini terletak di lembah 

yang terkurung tebing terjal yang langka dapat 

dipanjat orang. Sebab selain tebing itu licin, po-

hon yang tumbuh hanya sebangsa lumut dan tak 

mungkin dapat dipergunakan orang berpegangan. 

Dalam pada itu setiap orang yang berada di tebing 

dengan mudah bisa tampak dari bawah. Hingga 

orang yang sengaja datang mengacau, sebelum 

maksudnya tercapai sudah mati terpanggang oleh 

anak panah beracun.

Melihat sarang gerombolan ini diam-diam 

pemuda ini menghela napas sedih. Sebab selama 

hidup dirinya takkan dapat keluar dari lembah ini


kalau toh dirinya belum dibunuh. Lain halnya ka-

lau dirinya bersayap, dirinya akan dapat terbang.

Perumahan bagi para anggota gerombolan 

ini berwujud rumah-rumah batu yang berderet 

memanjang. Seakan merupakan benteng yang 

memisahkan sarang itu dengan tebing. Ia tidak 

tahu dari bahan apakah yang mereka pergunakan 

sebagai atap, karena tampaknya seperti dari 

rumbia, tetapi bukan.

Benar-benar cerdik pemimpin gerombolan 

ini.

Kemudian Mahisa Singkir dan Sarwiyah 

dibawa masuk lewat pintu gerbang yang dibangun 

dari batu. Lalu tibalah mereka pada tempat la-

pang tidak begitu lebar tetapi panjang sekali, 

membentuk segi empat panjang. Agaknya pemim-

pin gerombolan yang bernama Mpu Galuh ini, 

tempat tinggalnya di tengah anak buah. terbukti 

mereka harus lewat jalan berbatu diapit oleh ke-

bun yang penuh berbagai macam tanaman.

Kebun ini merupakan kebun bersama dan 

untuk sumber hidup bagi para penghuni. Pada 

kebun ini jarang terdapat rumah. Dan di samping 

itu Mahisa Singkir juga heran mengapa selama 

perjalanan ini tidak pernah mendengar suara 

anak bermain atau bocah menangis.

Sarang ini tampak sepi saja dan jarang pu-

la bersua manusia. Dan kalau toh bersua, orang 

itu akan segera menjatuhkan diri berlutut, mem-

berikan bukti bahwa dua kakek bernama Hesti 

Pawana maupun Gajah Agni ini kedudukannya


memang tinggi.

Setelah menelusuri jalan yang bercabang-

cabang dan berkali-kali membelok, tibalah mere-

ka pada tanah lapang lagi. Di tengah tanah la-

pang yang luas ini terdapat bangunan yang besar, 

kokoh dan kuat. Bentuk atapnya tidak banyak 

beda-nya dengan rumah yang sudah mereka le-

wati. Akan tetapi rumah ini di samping dilindungi 

oleh beberapa macam pohon tinggi, rindang dan 

agak luas masih dipisahkan pula oleh semacam 

selokan yang lebar dan dalam. Maka hanya ma-

nusia yang bisa terbang saja, bisa melompati se-

lokan ini, yang disebut dengan nama jagang.

Selokan ini mestinya berair dalam. Tetapi 

karena musim kemarau, air pada jagang ini ham-

pir kering dan menebarkan bau yang kurang se-

dap.

Untuk dapat masuk ke dalam bangunan 

yang terpisah di tengah lapang ini, dilengkapi 

dengan semacam jembatan kayu. Jembatan ini 

dikawal beberapa prajurit penjaga yang tugasnya 

untuk memasang maupun mengangkat jembatan 

ini, menggunakan tali kuat.

Lewat jembatan gantung inilah Mahisa 

Singkir dan Sarwiyah dibawa masuk, lewat pintu 

gerbang yang besar dan kuat, dijaga oleh bebera-

pa orang laki-laki bertubuh kekar bersenjata 

tombak. Akan tetapi pakaian mereka ini tidak 

berbeda dengan yang sudah mereka saksikan ta-

di. Hanya memakai cawat dan tanpa baju pula.

- Tentunya engkau heran anak muda,


mengapa anak buah kami hanya memakai cawat 

dan tanpa baju? — kata Hesti Pawana lirih.

Semula ia memang tidak berani membuka 

mulut. Namun karena kakek ini mengajak bicara, 

hatinya yang merasa heran berkata, — Benar, 

aku heran. Mengapa mereka berpakaian seragam 

macam itu.

— Inilah hasil kecerdikan pemimpin kami, 

— Hesti Pawana bangga dan pamer. — Telah ba-

nyak terjadi peristiwa penyelundupan di tempat 

lain karena orang dengan cara melepaskan pa-

kaian. Hingga penyelundup itu dapat bergerak le-

luasa dan sulit dikenal.—

— Tetapi di tempat ini tidak mungkin bisa 

terjadi! — Gajah Agni yang sejak tadi hanya ber-

diam diri sekarang ikut bicara. — Dengan pakaian 

cawat melulu, tanpa baju dan tanpa ikat kepala, 

penyelundup akan gampang diketahui —

Gajah Agni berhenti sejenak, memandang 

Mahisa Singkir dan tampak sombong. Tak lama 

kemudian kakek ini meneruskan, — memang 

orang juga bisa menggunakan cawat, akan tetapi 

kulit tubuhnya akan berlainan. Orang yang biasa 

tidak berbaju akan menjadi hitam dan kasar. Se-

baliknya orang yang biasa berbaju, kulitnya tentu 

bersih dan halus. Dan kecuali itu orang yang bi-

asa pakai baju akan kedinginan pada waktu ma-

lam. Itulah sebabnya kami memilih seragam 

hanya Cawat melulu seperti ini. —

Mendengar ini diam-diam Mahisa Singkir 

dan Sarwiyah menjadi kagum. Cerdik sekali pemimpin gerombolan yang namanya Mpu Galuh 

ini. Karena yang sudah dibicarakan baru pakaian 

laki-laki, maka Sarwiyah lalu bertanya tentang 

pakaian perempuan.

- Kalau laki-laki berpakaian seperti itu, lalu 

bagaimanakah dengan pakaian perempuan? —

Gajah Agni tertawa, sahutnya, — Pakaian 

perempuan tidak jauh berbeda bagi semua anak 

buah. Sebab para perempuan juga tidak boleh 

pakai baju! —

— Ahhhh ..... — Sarwiyah berseru terta-

han.

Bulu kuduk Sarwiyah meremang menden-

gar penjelasan ini. Kalau perempuan hanya pakai 

penutup dada melulu, betapa malu bagi dirinya, 

yang sudah terbiasa memakai baju. Dengan cara 

lepas baju dan hanya ditutup kain penutup dada, 

rasanya tentu seperti telanjang dada.

Ketika itu terdengar suara nyaring dari 

tempat agak jauh. — Hai Pawana dan Agni! Ba-

gus, engkau berhasil mengundang tamu-tamu 

itu? Bawalah masuk, aku sudah menunggu. —

Dua orang kakek ini membungkukkan tu-

buh sambil menjawab dengan penuh rasa hormat.

Mereka melewati pelataran yang cukup 

luas dengan dasar pasir campur kerikil. Hati mu-

da mudi ini berdebar, setelah mulai masuk ke 

rumah depan yang luas dengan lantai batu hitam. 

Dan di dalam rumah ini tampak seorang kakek 

gagah, wajahnya keren, sinar matanya berkilat 

berwibawa, jenggotnya panjang menjuntai dan


Kakek ini kemudian menjejak tanah. Lalu 

tubuhnya yang gendut itu melesat ke atas. Ju-

bahnya berkibaran tertiup angin dan sesaat ke-

mudian ia telah berdiri pada batu gunung yang 

terbesar dan tertinggi. Ia memandang sekeliling 

seperti menyelidik, dan tiba-tiba sudah berteriak 

nyaring.

— Hai Klinthung Waluh! Hayo, lekaslah ke-

luar!!. Aku, Mpu Anusa Dwipa ingin ketemu den-

gan kau!—

Teriakan kakek ini terdengar nyaring sekali 

dan suara itu memantul dari tebing ke tebing dan 

batu ke batu. Tak lama kemudian seperti iblis 

dan setan. Klinthung Waluh bersama dua orang 

muridnya sudah muncul.

Keanehan segera terjadi. Klinthung Waluh 

yang tadi sikapnya garang ketika berhadapan 

dengan Mpu Kepakisan, sekarang bersama dua 

muridnya sudah berlutut di tanah. Sejenak ke-

mudian Klinthung Waluh berkata dengan na-

danya amat menghormat.

— Mpu, saya sudah datang. Adakah keper-

luan Mpu, hingga perlu memanggil saya? —

— Heh heh heh heh, bangkitlah!— perintah 

Mpu Anusa Dwipa yang masih tetap berdiri di ba-

tu itu.

Klinthung Waluh dan muridnya segera pu-

la bangkit berdiri. Tetapi guru dan murid ini seka-

lipun berdiri, kepalanya menunduk, dan tidak 

seorangpun berani mengangkat kepalanya me-

mandang kakek gendut itu. Jelas sekali sikap me


an menuju sarang mereka ini, menyebabkan 

Mahisa Singkir heran berbareng kagum


Ternyata dalam menuju sarang mereka ini 

tidak menggunakan jalan biasa. Membuktikan ge-

rombolan sisa pemberontak Sadeng ini diatur 

demikian rupa, guna melindungi keselamatan me-

reka. Dengan demikian orang yang berani masuk 

ke dalam wilayah gerombolan ini sulit untuk da-

pat keluar lagi, di samping juga tak gampang da-

pat menuju ke sarang mereka.

Hanya beberapa puluh depa dari tempat 

perkelahian tadi, terdapat jurang cukup dalam. 

Hesti Pawana menggerakkan batu yang bentuk-

nya bundar di tepi jurang. Terdengar kemudian 

suara gemerisik lalu terbukalah semacam lubang 

yang bertangga batu. Dirinya dibawa masuk ke 

dalam lubang ini, yang sempit dan gelap sekali se-

telah alat dari dalam menutup lubang itu kemba-

li.

Beberapa saat kemudian muncullah mere-

ka di dasar jurang. Dan jurang ini merupakan ja-

lan rahasia guna menuju ke sarang. Cukup lama 

mereka menelusuri jurang yang kering ini, lalu ti-

balah pada sebuah batu yang menonjol. Ketika 

batu ini digerakkan oleh alat rahasia yang terletak 

di dekatnya, batu yang menonjol tadi bergeser. 

Kemudian muncullah goa dan masuklah mereka. 

Goa yang sesungguhnya merupakan jalan rahasia 

di bawah tanah ini gelap pekat, dan bagi mereka 

yang tidak biasa kalau tidak menggunakan pene-

rangan tentu harus meraba-raba khawatir teran-

tuk batu.

Hanya pada beberapa tempat saja terdapat


sinar matahari yang menerobos masuk dari lu-

bang yang sengaja dibuat, guna menjamin kebu-

tuhan hawa bersih dalam jalan rahasia ini.

Entah berapa lama Mahisa Singkir dan 

Sarwiyah dibawa menelusuri jalan rahasia ini. Se-

telah tiba di ujung lorong, Hesti Pawana mengge-

rakkan alat rahasia lagi, lalu terbukalah pintu ba-

tu.

Mata Mahisa Singkir silau oleh sinar mata-

hari, setelah beberapa lama dalam jalan rahasia 

yang gelap. Dan ketika mereka sudah tiba di luar, 

Hesti Pawana menutup pintu batu itu lagi.

Mulut Mahisa Singkir ternganga saking ka-

gum di samping menjadi tambah khawatir. Ia sa-

dar tanpa seizin tuan rumah sulit dirinya dapat 

melarikan diri dari tempat seperti ini. Karena dae-

rah ini merupakan daerah terasing yang hanya 

dihubungkan jalan rahasia di bawah tanah.

Sarang gerombolan ini terletak di lembah 

yang terkurung tebing terjal yang langka dapat 

dipanjat orang. Sebab selain tebing itu licin, po-

hon yang tumbuh hanya sebangsa lumut dan tak 

mungkin dapat dipergunakan orang berpegangan. 

Dalam pada itu setiap orang yang berada di tebing 

dengan mudah bisa tampak dari bawah. Hingga 

orang yang sengaja datang mengacau, sebelum 

maksudnya tercapai sudah mati terpanggang oleh 

anak panah beracun.

Melihat sarang gerombolan ini diam-diam 

pemuda ini menghela napas sedih. Sebab selama 

hidup dirinya takkan dapat keluar dari lembah ini


kalau toh dirinya belum dibunuh. Lain halnya ka-

lau dirinya bersayap, dirinya akan dapat terbang.

Perumahan bagi para anggota gerombolan 

ini berwujud rumah-rumah batu yang berderet 

memanjang. Seakan merupakan benteng yang 

memisahkan sarang itu dengan tebing. Ia tidak 

tahu dari bahan apakah yang mereka pergunakan 

sebagai atap, karena tampaknya seperti dari 

rumbia, tetapi bukan.

Benar-benar cerdik pemimpin gerombolan 

ini.

Kemudian Mahisa Singkir dan Sarwiyah 

dibawa masuk lewat pintu gerbang yang dibangun 

dari batu. Lalu tibalah mereka pada tempat la-

pang tidak begitu lebar tetapi panjang sekali, 

membentuk segi empat panjang. Agaknya pemim-

pin gerombolan yang bernama Mpu Galuh ini, 

tempat tinggalnya di tengah anak buah. terbukti 

mereka harus lewat jalan berbatu diapit oleh ke-

bun yang penuh berbagai macam tanaman.

Kebun ini merupakan kebun bersama dan 

untuk sumber hidup bagi para penghuni. Pada 

kebun ini jarang terdapat rumah. Dan di samping 

itu Mahisa Singkir juga heran mengapa selama 

perjalanan ini tidak pernah mendengar suara 

anak bermain atau bocah menangis.

Sarang ini tampak sepi saja dan jarang pu-

la bersua manusia. Dan kalau toh bersua, orang 

itu akan segera menjatuhkan diri berlutut, mem-

berikan bukti bahwa dua kakek bernama Hesti 

Pawana maupun Gajah Agni ini kedudukannya


memang tinggi.

Setelah menelusuri jalan yang bercabang-

cabang dan berkali-kali membelok, tibalah mere-

ka pada tanah lapang lagi. Di tengah tanah la-

pang yang luas ini terdapat bangunan yang besar, 

kokoh dan kuat. Bentuk atapnya tidak banyak 

beda-nya dengan rumah yang sudah mereka le-

wati. Akan tetapi rumah ini di samping dilindungi 

oleh beberapa macam pohon tinggi, rindang dan 

agak luas masih dipisahkan pula oleh semacam 

selokan yang lebar dan dalam. Maka hanya ma-

nusia yang bisa terbang saja, bisa melompati se-

lokan ini, yang disebut dengan nama jagang.

Selokan ini mestinya berair dalam. Tetapi 

karena musim kemarau, air pada jagang ini ham-

pir kering dan menebarkan bau yang kurang se-

dap.

Untuk dapat masuk ke dalam bangunan 

yang terpisah di tengah lapang ini, dilengkapi 

dengan semacam jembatan kayu. Jembatan ini 

dikawal beberapa prajurit penjaga yang tugasnya 

untuk memasang maupun mengangkat jembatan 

ini, menggunakan tali kuat.

Lewat jembatan gantung inilah Mahisa 

Singkir dan Sarwiyah dibawa masuk, lewat pintu 

gerbang yang besar dan kuat, dijaga oleh bebera-

pa orang laki-laki bertubuh kekar bersenjata 

tombak. Akan tetapi pakaian mereka ini tidak 

berbeda dengan yang sudah mereka saksikan ta-

di. Hanya memakai cawat dan tanpa baju pula.

- Tentunya engkau heran anak muda,


mengapa anak buah kami hanya memakai cawat 

dan tanpa baju? — kata Hesti Pawana lirih.

Semula ia memang tidak berani membuka 

mulut. Namun karena kakek ini mengajak bicara, 

hatinya yang merasa heran berkata, — Benar, 

aku heran. Mengapa mereka berpakaian seragam 

macam itu.

— Inilah hasil kecerdikan pemimpin kami, 

— Hesti Pawana bangga dan pamer. — Telah ba-

nyak terjadi peristiwa penyelundupan di tempat 

lain karena orang dengan cara melepaskan pa-

kaian. Hingga penyelundup itu dapat bergerak le-

luasa dan sulit dikenal.—

— Tetapi di tempat ini tidak mungkin bisa 

terjadi! — Gajah Agni yang sejak tadi hanya ber-

diam diri sekarang ikut bicara. — Dengan pakaian 

cawat melulu, tanpa baju dan tanpa ikat kepala, 

penyelundup akan gampang diketahui —

Gajah Agni berhenti sejenak, memandang 

Mahisa Singkir dan tampak sombong. Tak lama 

kemudian kakek ini meneruskan, — memang 

orang juga bisa menggunakan cawat, akan tetapi 

kulit tubuhnya akan berlainan. Orang yang biasa 

tidak berbaju akan menjadi hitam dan kasar. Se-

baliknya orang yang biasa berbaju, kulitnya tentu 

bersih dan halus. Dan kecuali itu orang yang bi-

asa pakai baju akan kedinginan pada waktu ma-

lam. Itulah sebabnya kami memilih seragam 

hanya Cawat melulu seperti ini. —

Mendengar ini diam-diam Mahisa Singkir 

dan Sarwiyah menjadi kagum. Cerdik sekali pemimpin gerombolan yang namanya Mpu Galuh 

ini. Karena yang sudah dibicarakan baru pakaian 

laki-laki, maka Sarwiyah lalu bertanya tentang 

pakaian perempuan.

- Kalau laki-laki berpakaian seperti itu, lalu 

bagaimanakah dengan pakaian perempuan? —

Gajah Agni tertawa, sahutnya, — Pakaian 

perempuan tidak jauh berbeda bagi semua anak 

buah. Sebab para perempuan juga tidak boleh 

pakai baju! —

— Ahhhh ..... — Sarwiyah berseru terta-

han.

Bulu kuduk Sarwiyah meremang menden-

gar penjelasan ini. Kalau perempuan hanya pakai 

penutup dada melulu, betapa malu bagi dirinya, 

yang sudah terbiasa memakai baju. Dengan cara 

lepas baju dan hanya ditutup kain penutup dada, 

rasanya tentu seperti telanjang dada.

Ketika itu terdengar suara nyaring dari 

tempat agak jauh. — Hai Pawana dan Agni! Ba-

gus, engkau berhasil mengundang tamu-tamu 

itu? Bawalah masuk, aku sudah menunggu. —

Dua orang kakek ini membungkukkan tu-

buh sambil menjawab dengan penuh rasa hormat.

Mereka melewati pelataran yang cukup 

luas dengan dasar pasir campur kerikil. Hati mu-

da mudi ini berdebar, setelah mulai masuk ke 

rumah depan yang luas dengan lantai batu hitam. 

Dan di dalam rumah ini tampak seorang kakek 

gagah, wajahnya keren, sinar matanya berkilat 

berwibawa, jenggotnya panjang menjuntai dan


kumisnya panjang serta tebal.

Kakek ini duduk pada kursi batu yang di-

hias indah sekali, beralas kulit harimau tutul. Di 

sebelah kiri duduk perempuan muda, wajahnya 

lumayan cantik. Perempuan ini duduk pada se-

buah kursi batu, dan beralas kulit harimau tutul 

pula.

Rambut gadis itu disanggul tinggi, tetapi di 

atas dahi dihias oleh sisir emas berbentuk bulan 

separo. Namun pakaian perempuan muda ini ti-

dak seperti yang sudah diberitakan Gajah Agni. 

Perempuan ini kecuali pakai baju warna hijau 

dan dari kain sutera mahal, juga berkain panjang 

dan memakai hiasan yang gemerlapan.

Memang dia inilah yang disebut puteri Mpu 

Galuh, bernama Ika Dewi, seorang gadis berumur 

20 tahun.

Yang duduk di sebelah kanan Mpu Galuh 

seorang laki-laki muda. Ia memelihara kumis teb-

al, tetapi tidak berjenggot. Kumis ini, membuat 

wajah pemuda ini tampak lebih keren dan gagah, 

sekalipun tidak tergolong tampan. Sepasang mata 

pemuda ini berkilat memandang mereka yang se-

dang datang penuh perhatian. Akan tetapi yang 

jelas, perhatian pemuda ini lebih banyak tertuju 

kepada Sarwiyah.

Karena terang-terangan diperhatikan oleh 

seorang pemuda seperti itu, menyebabkan Sa-

wiyah kikuk berbareng malu. Namun diam-diam 

dalam hatinya mencaci maki.

Pemuda inilah Rakit Cendana, putera Mpu


Galuh yang umurnya 22 tahun.

Mereka dipersilahkan duduk di lantai batu. 

Sedang Hesti Pawana dan Gajah Agni lalu duduk 

pada kursi batu yang masih kosong.

Diam-diam dua orang muda ini mencaci 

maki. Beginikah pemimpin gerombolan ini dalam 

menyambut tamunya? Namun demikian dua 

orang muda ini tidak peduli akan sikap tuan ru-

mah yang tidak mau menghargai dirinya itu. Du-

duk di lantai justru malah dapat berdampingan 

dan juga dapat sating sentuh.

Memang setelah terjadi perkelahian tadi, 

hati dua orang muda ini menjadi semakin dekat. 

Hingga menyebabkan Sarwiyah lupa dirinya su-

dah mempunyai calon suami, dan sebaliknya Ma-

hisa Singkir juga tidak ingat lagi bahwa gadis ini 

sudah mempunyai Warigagung.

Justru hubungan batin mereka ini yang be-

lum terucapkan dengan kata-kata, malah mem-

buat mereka merasa amat bahagia.

Mpu Galuh mengamati sepasang orang 

muda ini penuh perhatian. Dan ketika Mahisa 

Singkir mengangkat kepala bertatap pandang, 

pemuda ini menjadi kaget dan gentar. Pandang 

mata Mpu Galuh ini demikian tajam seperti dapat 

menjenguk isi dadanya. Mata itu bersinar-sinar, 

seakan terdapat bola api di dalam mata orang tua 

ini.

— Sudilah Paduka memberi ampun kepada 

hamba. — Hesti Pawana berkata dengan sikap 

amat menghormat. — Karena dua orang tamu ini


amat bandel, maka hamba terpaksa mengguna-

kan kekerasan. —

— Terima kasih Pawana! — sahut Mpu Ga-

luh dengan bibir tersenyum. — Kita selalu men-

gundang secara hormat kepada setiap tamu. Te-

tapi kalau memang membandel, menyesal sekali 

harus kita gunakan kekerasan. Ha ha ha ha, biar 

dunia ini terbuka matanya, bahwa wilayah kami 

tidak dapat dilanggar semena-mena oleh orang la-

gi. —

Sesudah itu kakek ini berkata lagi, dituju-

kan kepada Mahisa Singkir. — Hai orang muda! 

Terangkanlah sejujurnya, apa saja maksudmu 

masuk ke wilayah kami tanpa pemberitahuan le-

bih dahulu dan juga tanpa minta izin? —

— Paman, bukanlah maksud kami untuk 

berbuat tanpa aturan di daerah asing ini, — sahut 

Mahisa Singkir halus. — Tetapi terus terang saya 

katakan, saya tidak tahu sama sekali perkara pe-

langgaran ini. Yang jelas kami tersesat jalan. Ka-

mi sedang melakukan perjalanan jauh untuk ber-

temu dengan Paman Julung Pujud. —

Tiga orang kakek ini nampak kaget men-

dengar disebutnya nama Julung Pujud. Entah 

mengapa sebabnya, tetapi yang jelas tiga orang 

itu saling pandang.

Melihat ini diam-diam Mahisa Singkir 

maupun Sarawiyah gembira. Mereka berharap 

dengan berlindung kepada nama kakek sakti itu, 

mereka akan bebas dari kesulitan.

— Untuk apakah kamu mencari Julung


Pujud? Hemm, apakah kamu memang sudah bo-

san hidup berani mencari orang sesat itu? — ejek 

Mpu Galuh.

— Engkau berani mengejek Paman Julung 

Pujud? — pancing Mahisa Singkir.

— Hai orang muda! — bentak Gajah Agni 

tiba-tiba. — Beliau adalah Raja kami. Hati-hatilah 

engkau bicara. Jika beliau masih menggunakan 

kebijaksanaan semacam ini, adalah berarti eng-

kau untung besar. —

Empu Galuh terkekeh. — Heh heh heh 

heh, biarkan orang muda ini mengumbar mulut, 

karena belum tahu siapakah aku ini sebenarnya. 

Heh heh heh heh, engkau bertanya aku berani 

mengejek dia? Mengapa tidak? Siapakah yang ta-

kut kepada orang sesat seperti Julung Pujud itu? 

Dan sesungguhnya kamu harus mengucapkan te-

rima kasih kepada kami, yang telah mencegah 

pertemuanmu dengan dia. Hemm, kasihan kamu 

orang muda, belum juga kamu berhasil ketemu 

dengan dia, kamu tentu sudah mati. Tahu?

Tetapi Mahisa Singkir yang sudah tersing-

gung tidak takut. — Tidak mungkin hal itu bisa 

terjadi. Huh, sebab Mbakyu Sarwiyah ini adalah 

calon menantu Paman Julung Pujud! —

Sarwiyah menjadi malu dan cepat menyen-

tuh Mahisa Singkir. Maksudnya agar Mahisa 

Singkir tidak membicarakan pertunangannya 

dengan Warigagung.

Kalau saja gadis ini tidak merasa malu, 

tentu ia akan berkata terus terang, bahwa sejak



sekarang ini dirinya lebih suka putus hubungan-

nya. Sejak dulu ia memang tidak mencintai Wari-

gagung. Dan yang telah terjadi adalah karena 

paksaan dari kakeknya dan juga dalam usaha 

kakeknya mendapat sekutu dalam usahanya un-

tuk membalas dendam kepada Gajah Mada.

Akan tetapi sekarang kakeknya telah tiada, 

dan sekarang hatinya sudah terisi oleh laki-laki 

lain, terisi oleh Mahisa Singkir, pemuda yang 

amat menarik hatinya selama dalam perjalanan 

ini.

Namun sebaliknya bagi tiga orang kakek 

ini, ucapan Mahisa Singkir tadi diam-diam ber-

pengaruh. Dan tiga orang kakek ini nampak ka-

get. Sebab apabila benar gadis ini calon menantu 

Julung Pujud, adalah amat berbahaya apabila ha-

rus menahan lebih lama. Sekalipun demikian su-

dah tentu mereka malu apabila menunjukkan ke-

lemahan di depan orang.

— Gajah Agni! — perintahnya kepada petu-

gas untuk mengantarkan dua orang tamu ini ke 

kamar yang sudah tersedia. Hari sudah agak sore, 

dan biarlah esok pagi saja kita lanjutkan pembi-

caraan ini. —

— Tetapi kami tidak mempunyai waktu! —

bantah Mahisa Singkir. — Sudilah paman mengi-

zinkan kami harus dapat bertemu dengan Paman 

Julung Pujud. —

Mpu Galuh memaksa diri untuk terse-

nyum, - Sabarlah anak muda, kami takkan me-

nahan terlalu lama sebagai tamu terhormat kami.


Anggaplah engkau kini, dalam rangka istirahat 

barang dua atau tiga hari. Dengan demikian agar 

tenaga kalian menjadi segar kembali, setelah ka-

mu mengaso. - .

— Paman, saya tidak dapat menunda-

nunda waktu, — Sarwiyah berusaha pula ikut 

membantah. — Kami mempunyai keperluan amat 

penting dan secepatnya harus dapat bertemu 

dengan beliau. —

— Aku tahu anak muda, dan itulah sebab-

nya aku takkan mempersulit kalian. Setelah ka-

lian menjadi tamu kami barang dua hari, kalian 

akan kami antar. —

Ketika itu Gajah Agni sudah kembali den-

gan diiringi oleh empat orang lelaki muda bertu-

buh tegap kokoh, yang pakaian seragamnya 

hanya cawat melulu. Mahisa Singkir dan Sar-

wiyah masih terus berusaha membantah dan 

membela diri agar diizinkan meneruskan perjala-

nan.

Akan tetapi celakanya Hesti Pawana dan 

Gajah Agni sudah turun tangan. Maka dua orang 

muda ini lalu digelandang meninggalkan pendapa 

ini, sambil diiringi oleh empat orang petugas me-

nuju kamar masing-masing yang telah mereka 

sediakan.

Tanpa dapat melawan, baik Mahisa Singkir 

maupun Sarwiyah terpaksa menurut perintah. 

Dan kemudian betapa kaget dua orang muda ini, 

setelah tiba dalam kamar yang dimaksud. 

Sarwiyah yang biasanya tenang, halus dan



sabar ini menjerit dan berusaha memberontak, 

setelah mengetahui keadaan kamar itu. Tetapi ce-

lakanya pintu sudah dikunci dari luar.

Sekalipun ia memberontak, menggedor pin-

tu, memekik-mekik dan mencaci maki, semuanya 

tidak ada gunanya sama sekali. Penjaga di luar 

pintu malah mengejek dan dengan mulutnya yang 

menyeringai, mereka pamer gigi yang kuning ti-

dak kenal sikat gigi.

Mahisa Singkir juga kaget, setengah mati. 

Namun demikian ia sadar, tiada gunanya men-

gumbar kemarahan dan penasaran. Pemuda ini 

hanya dapat menghela napas sedih, harus berha-

dapan dengan keadaan yang tidak pernah ia ha-

rapkan itu.

Apakah yang terjadi? Kalau tadi mereka 

oleh Mpu Galuh disebut sebagai "tamu terhor-

mat", ternyata hanyalah dalam ucapan melulu. 

Karena kenyataannya mereka menjadi tawanan 

dan sekarang mereka harus menempati kamar 

yang hanya sempit, jorok dan pintu terkunci dari 

luar di samping masih dijaga orang pula.

Mahisa Singkir mencoba menggunakan jari 

tangannya mengetuk dinding kamar. Namun ter-

nyata kamar ini dibatasi oleh dinding batu gu-

nung yang keras. Sedang sebagai atap dan langit-

langit juga hanya terbuat dari batu hitam yang 

keras. Maka bagi dirinya tak mungkin dapat lolos 

dari kamar ini tanpa diketahui oleh penjaga,

Yang terdapat dalam kamar ini hanyalah 

batu berbentuk segi empat dan di atasnya diberi


rumput kering. Melihat ini ia segera tahu pula, 

itulah merupakan tempat tidurnya.

Ia justru sudah merasa payah, setelah ia 

tadi berkelahi dengan Hesti Pawana. Maka setelah 

mengamati sekitar kamar, ia menjatuhkan diri 

duduk di atas batu tempat tidur ini sambil berto-

pang dagu dan sedih. Ia menyesal sekali tanpa 

sengaja telah tersesat dalam wilayah gerombolan 

liar ini dan kemudian menjadi tawanan. Sedang 

apa yang harus ia deritapun, ia tak dapat mem-

bayangkan. 

Diam-diam ia mengeluh dan merasa tersik-

sa walaupun baru saja masuk dalam kamar ta-

hanan ini. Yang menyiksa hatinya bukan lain 

adalah memikirkan Sarwiyah. Selama ini dalam 

perjalanan dirinya tak pernah berpisah sekejap 

pun. Pagi, siang maupun malam selalu berdua, 

dengan rukun senasib sepenanggungan. Tetapi 

sekarang secara paksa mereka telah dipisahkan 

orang.

Tiba-tiba saja hatinya bergetar, ketika ia 

teringat ucapan Sarwiyah pada saat menghadapi 

Hesti Pawana dan Gajah Agni. Ia masih ingat be-

nar ucapan gadis itu, yang menyatakan ingin mati 

bersama dengan dirinya. Juga masih terasa sekali 

getaran jari tangan gadis itu, ketika jari tangan-

nya mengusap-usap perlahan.

Benarkah gadis itu diam-diam mencintai 

dirinya? Kalau benar, ah betapa bahagia hatinya 

bisa mendapatkan isteri seperti Sarwiyah yang 

penyabar itu.


Namun tiba-tiba ia memukul kepalanya 

sendiri dan mencaci maki perlahan.

— Kurang ajar kau, Mahisa Singkir! Apa-

kah engkau sekarang sudah menjadi gila? 

Mbakyu Sarwiyah adalah tunangan Warigagung. 

Apakah sebabnya engkau mengharapkan yang ti-

dak-tidak? Daripada engkau melamun yang gila 

ini, berusahalah engkau untuk bisa lolos dan me-

nolong Sarwiyah.—

Mahisa Singkir bangkit berdiri lalu meneliti 

dinding kamar. Kemudian pintu kamar, yang ter-

dapat lubang-lubangnya sebagai jalan hawa. Na-

mun kemudian ia menggelengkan kepalanya dan 

menghela napas. Sebab tidak mungkin dirinya 

dapat menghancurkan pintu kayu yang tebal dan 

dijaga orang pula di bagian luar.

Yang bisa dilakukan kemudian hanya men-

jatuhkan diri dan duduk di atas pembaringan ba-

tu, dan tiada lain sekarang kecuali menyerah dan 

tinggal dapat mengharapkan pertolongan dari 

Dewata yang Agung. Harapannya adalah peristiwa 

ini dapat diketahui gurunya yang baru, Mpu Anu-

sa Dwipa. Sebab tanpa adanya pertolongan orang, 

tidak mungkin dirinya dapat melarikan diri dari 

kamar ini.

Pada pihak lain, Mpu Galuh, Hesti Pawana, 

Gajah Agni, Rakit Cendana dan Ika Dewi masih 

duduk di tempat semula.

— Hemm, — Mpu Galuh menghela napas 

pendek. — Bagaimanakah menurut pendapatmu 

dengan dua bocah tadi? Ternyata gadis tadi ada


lah calon menantu Julung Pujud, sedang pemuda 

tadi adalah saudara seperguruannya yang bertin-

dak sebagai pengawalnya. Apabila diingat Julung 

Pujud tak dapat kita anggap sepele, memang apa 

yang kita lakukan sekarang ini adalah ibarat 

bermain-main dengan ular berbisa.—

Mpu Galuh berhenti dan mencari angin. 

Setelah mereka tidak ada yang membuka mulut, 

ia meneruskan

— Akan tetapi hem ... anakku Rakit Cen-

dana demikian tergila-gila setelah melihat gadis 

itu, Sedang Ika Dewi pun entah mengapa sebab-

nya sudah berterus terang tidak mau kawin apa-

bila tidak mempunyai suami seperti pemuda itu. 

Hemm.... Pawana dan Agni, berilah aku pandan-

gan dan nasihat guna mengatasi persoalan ini. —

Gajah Agni yang memang berwatak kasar 

sudah terkekeh, lalu jawabnya, — Heh he he heh, 

apakah sebabnya Paduka gampang sekali terpe-

daya oleh mulut bocah itu? Dan apabila toh benar 

bocah perempuan itu calon menantu Julung Pu-

jud, apakah yang perlu kita gelisahkan dan perlu 

kita khawatirkan? Paduka, kita cukup kuat. Se-

dangkan wilayah Paduka dilengkapi oleh alat-alat 

rahasia maupun jebakan. Maka apabila Julung 

Pujud sampai marah, dia bakal mampus sebelum 

berhasil masuk kemari. —

— Adi Agni benar! — sambut Hesti Pawana. 

Paduka telah diperdayakan oleh bocah itu. Kare-

na memang sulit kita percaya, seorang gadis me-

lakukan perjalanan jauh dalam usaha mencari


calon mertuanya, hanya ditemani seorang pemu-

da. Adakah orang tua yang bersedia melepaskan 

anak gadisnya melakukan perjalanan jauh den-

gan lelaki muda? Nah siapa tahu kalau dua orang 

muda ini melarikan diri dari rumah, karena orang 

tua mereka tidak setuju dengan hubungan bocah 

itu? 

— Ahhh .... Celaka apabila dugaan Paman 

Pawana benar. — Rakit Cendana yang sejak tadi 

berdiam diri membuka mulut.

Mpu Galuh memalingkan mukanya me-

mandang anaknya. — Ada apakah engkau, Rakit? 

— Apabila mereka lari dari rumah, karena 

diam-diam sudah saling jatuh cinta, apakah 

mungkin gadis itu masih perawan suci? Ayah .... 

ahhh, kalau gadis itu sudah bukan perawan suci 

lagi, aku tidak sudi! Huh, wajahnya memang 

amat menarik dan aku menjadi tergila-gila. Akan 

tetapi kalau sudah demikian murah menyerahkan 

kehormatannya kepada lelaki di luar nikah, berat 

rasa hatiku dapat mempercayai perempuan seper-

ti itu.

— Heh heh heh heh, kenapa engkau men-

jadi bingung sendiri seperti kebakaran jenggot? —

Mpu Galuh terkekeh. — Kapan nanti terbukti ga-

dis itu sudah tidak suci lagi, bukanlah soal yang 

sulit kita pecahkan, anakku. Engkau berhak 

menghukum dengan talak, atau juga boleh pula 

kau bunuh dia. Dan apabila engkau merasa pe-

nasaran kepada lelaki yang telah menyebabkan


gadis itu tidak suci lagi, ayah memberi pula izin 

untuk membunuh lelaki itu. —

— Idih, kenapa Ayah berkata seperti itu? —

Ika Dewi berkata dengan wajahnya memerah. —

Akulah yang akan membela dan melindungi kese-

lamatan pemuda itu. —

Mendengar bantahan Ika Dewi ini, Mpu 

Galuh terkekeh. Ia baru ingat, bahwa dirinya ha-

rus pula memperhatikan kepentingan anaknya 

perempuan.

Apa yang terjadi sesungguhnya adalah, 

akibat desakan dua orang anaknya ini, maka ke-

mudian Mpu Galuh memerintahkan penangkapan 

kepada Sarwiyah maupun Mahisa Singkir. Sebab 

sesudah melihat Sarwiyah, anak laki-laki berna-

ma Rakit Cendana ini jatuh cinta, sedangkan 

anak perempuannya yang bernama Ika Dewi itu 

pun tergila-gila kepada Mahisa Singkir. 

— Sudahlah, kamu tidak perlu khawatir, —

hiburnya kemudian — Kamulah yang berhak pe-

nuh atas diri mereka. Dan akupun percaya bahwa 

dua orang tawanan itu takkan dapat menentang 

keputusan kita. Hemm, mereka harus memilih sa-

tu di antara dua. Menyerah dan aku angkat men-

jadi anak menantu, ataukah menentang dan aku 

berikan hukuman yang setimpal.—

Mpu Galuh berhenti sejenak, kemudian ka-

tanya lagi, — Tetapi masih ada masalah yang per-

lu aku pikirkan masak-masak, ialah hubungan 

bocah perempuan itu dengan Julung Pujud. —

— Apakah yang harus kita takutkan? —



sahut Gajah Agni. — Wilayah Paduka ini penuh 

rahasia. Dan orang luar takkan mungkin dapat 

masuk kemari dengan selamat. Maka sekalipun 

Julung Pujud terkenal sakti mandraguna, tidak 

mungkin dapat mengganggu Paduka. 

Hesti Pawana juga cepat menghibur dan 

memberi semangat kepada junjungannya, — Apa-

bila Paduka masih khawatir, izinkanlah hamba 

berdua menambahkan kekuatan penjagaan. Dan 

apabila Paduka setuju, kita gunakan kekerasan 

saja-

— Apakah maksudmu? — tanya Mpu Ga-

luh.

— Karena jelas putra Paduka menghendaki 

dua orang muda itu, maka apakah salahnya kita 

kawinkan saja secepatnya? Apa yang akan dapat 

dilakukan oleh mereka, apabila gadis dan pemuda 

itu sudah menjadi menantu Paduka? Manakah 

dua bocah itu dapat melawan lagi, apabila kita 

beri minuman obat "rampas jiwa"? mereka akan 

menjadi lupa diri dan asal-usulnya, hingga mere-

ka akan menurut saja. —

Tiba-tiba Rakit Cendana terkekeh, — Heh 

heh heh heh, Paman Pawana benar. Mengguna-

kan obat tersebut, mereka tinggal seperti boneka 

hidup. Mereka akan menurut apa saja yang kita 

perintahkan. —

Sebenarnya Ika Dewi kurang setuju dengan 

cara yang curang itu. Akan tetapi apabila dalam 

keadaan sadar, mungkinkah dirinya dapat men-

guasai pemuda yang sudah mencuri hatinya itu?


Dan betapa kecewa hatinya apabila tidak berhasil 

memiliki pemuda yang membuat dirinya gan-

drung wuyung (tergila-gila) itu, maka jalan mudah 

dan tepat untuk mencapai maksud, memang ti-

dak ada jalan lain kecuali harus menggunakan 

obat racun "rampas jiwa" itu saja.

Sesungguhnya memang tidak menyenang-

kan juga apabila dirinya mempunyai seorang su-

ami yang lupa diri dan lupa asal-usulnya itu. Ka-

rena lelaki itu hanya sebagai seorang lelaki tolol, 

tidak bisa berpikir, sehingga tugasnya tidak lain 

hanyalah sebagai pemuas nafsu melulu.

Akan tetapi daripada tidak memperoleh 

sama sekali, maka sekalipun mempunyai seorang 

laki-laki tolol dan dungu masih bisa disebut lu-

mayan juga. 

2

Dewi Sritanjung yang malang, setelah 

mendapat pertolongan dari Mpu Anusa Dwipa dan 

kemudian bebas dari kekuasaan Rudra Sangkala, 

meneruskan perjalanan dengan langkah cepat 

agar secepatnya dapat menjauhi Ibukota Majapa-

hit.

Tetapi justru gadis ini dapat ditangkap oleh 

Rudra Sangkala, malah menambah pengalaman-

nya hingga tidak gampang ditipu orang. Gadis ini 

memang tidak menduga kalau akan berhadapan 

dengan pemuda curang. Di saat menghadapi Rudra Sangkala ia menghirup bau wangi. Semula ia 

menduga dari bunga, namun ternyata bau wangi 

Itu adalah racun wangi yang disebarkan oleh Ru-

dra Sangkala.

Gadis ini bergerak cepat menerobos hutan 

perawan. Timbullah keinginannya untuk segera 

dapat pula ke padepokan gurunya Ki ageng Tun-

jung Biru. Kalau semula ia tidak ingin melapor-

kan tentang nasibnya ini, karena takut bertemu 

dengan ayahnya maupun kakaknya, maka seka-

rang perasaan ini lenyap. Pengalamannya yang 

roboh di tangan pemuda jahat Rudra Sangkala 

menyadarkan gadis ini, kepandaiannya belum 

dapat dibanggakan untuk berkelana seorang diri. 

Karena itu ia ingin minta petunjuk sambil mengu-

ras ilmu kesaktian Kiageng Tunjung Biru.

Dewi, Sritanjung tidak menyadari sama se-

kali bahwa sekarang ini dirinya sudah termasuk 

perempuan perkasa, dan sulit memperoleh tand-

ing. Adapun sebabnya ia sampai roboh oleh Ru-

dra Sangkala tidak lain karena pengaruh racun

wangi. Akan tetapi dalam hal ilmu kesaktian, De-

wi Sritanjung tidak di bawah Rudra Sangkala.

Tanpa kenal lelah dan takut gadis ini terus 

menerobos hutan dan perbukitan. Tetapi karena 

gadis ini masih asing dalam berkelana, tanpa se-

sadarnya ia tersesat. Ia bukan semakin dekat

dengan tujuan, sebaliknya malah menjauhi pade-

pokan gurunya.

Ia berlarilah ke arah selatan. Tiba-tiba ga-

dis ini berhenti ketika melihat jauh di depan tampak adanya sebuah gunung yang tinggi dan dari 

puncak itu mengeluarkan asap. Gadis ini kehera-

nan. Gunung apakah itu? Di sekitar padepokan 

Ki ageng Tunjung Biru tidak terdapat gunung 

yang mengeluarkan asap seperti itu.

Dari heran kemudian hatinya menjadi ter-

tarik. Secara tidak sengaja datang di tempat ini, 

mengapa tidak sekalian melihat gunung yang 

aneh itu dari dekat?

Selama hidup ia belum pernah melihat gu-

nung yang mengeluarkan asap. Maka betapa rasa 

inginnya ia dapat melihat gunung itu dari dekat. 

Di samping ingin melihat, ia juga ingin tahu men-

gapa gunung itu bisa mengepulkan asap, dan 

apakah ada api dalam gunung itu? Dan apabila 

ada api, apa sajakah yang dipergunakan sebagai 

bahan bakar? 

Saking tidak tahu dan saking keheranan, 

Dewi Sritanjung tidak menyadari bahwa gunung 

itu namanya Gunung Kelud. Gunung berapi yang 

amat berbahaya dan tidak seorangpun akan 

sanggup mendekati kawah gunung yang selalu 

mengeluarkan asap itu. Sedang orang yang secara 

sembrono berani mendekati kawah gunung berapi 

itu sama artinya dengan membunuh diri.

Gadis ini menjadi lupa kepada perut yang 

lapar dan lupa pula ketika itu matahari sudah be-

rada di barat belahan bumi. Padahal sekalipun ia 

dapat bergerak cepat, ia tidak mungkin dapat ber-

lomba dengan gerak matahari. Dalam pada itu 

gunung yang tinggi seperti Kelud ini hawanya


amat dingin. Maka tanpa persiapan yang diperlu-

kan, mendaki gunung seperti ini akan sulit juga 

karena harus melawan dingin.

Sekalipun lambat tetapi pasti, matahari 

bergeser secara tetap ke arah barat. Makin lama 

matahari semakin menjadi berkurang teriknya.

Akan tetapi Dewi Sritanjung yang amat in-

gin melihat gunung yang dapat mengeluarkan 

asap itu, terus berlarian cepat lupa waktu dan ra-

sa lelah.

Gadis ini sama sekali tidak menyadari se-

dang diperhatikan oleh tiga orang laki-laki yang 

berlindung di belakang rumpun pohon berduri. 

Yang seorang adalah kakek kurus kering berjeng-

got kambing dan tanpa pakai baju. Adapun dua 

orang lagi masih muda umur mereka masing-

masing baru 20 tahun. 

Dua orang pemuda itu memandang Dewi 

Sritanjung dengan mata melotot. Mereka menjadi 

tertarik sekali oleh kejelitaan gadis ini, tetapi juga 

merasa heran, mengapa ada seorang gadis berani 

berkeliaran di hutan belantara ini hanya seorang 

diri.

Siapakah tiga orang ini? Mereka adalah 

guru dan murid. Kakek kurus kering berjenggot 

kambing ini bernama Klinthung Waluh.

Akan tetapi jangan dikira kakek ini berpe-

nyakitan dan ringkih, sekalipun tampaknya akan 

roboh apabila tertiup angin kencang. Sebab kakek 

ini adalah seorang yang amat berbahaya. Sebab di 

samping kakek ini sakti mandraguna, juga memiliki semacam aji kesaktian bernama Aji "Netra 

Luyub",

Orang yang berani bertatap pandang, akan 

segera terpengaruh oleh aji tersebut, hingga ke-

mudian akan tunduk terhadap kemauannya, ka-

rena aji tersebut mempunyai kekuatan seperti il-

mu sihir.

Dua orang muda yang berdiri di samping 

kiri dan kanan itu adalah muridnya yang amat ia 

sayanginya. Yang tinggi kurus dan matanya sipit, 

bernama Guna Praya sebagai murid yang tua. Se-

dang yang tinggi besar berkulit hitam legam dan 

berkumis tebal itu adalah Damar Seta.

Dua orang murid ini tampaknya memang 

masih muda. Namun sesungguhnya mereka me-

rupakan pemuda gemblengan pula. Mereka ada-

lah ahli ilmu golok. Di samping ilmu golok mereka 

yang hebat, masih ada pula senjata yang amat 

berbahaya. Senjata itu berwujud sumpit dari bu-

lu. Dan sebagai peluru dari sumpit ini adalah ta-

nah liat. Tetapi sekalipun hanya tanah liat, peluru 

ini sangat berbahaya, karena tanah liat tersebut 

telah dicampur dengan racun jahat. Orang yang 

sampai terkena oleh peluru sumpitan ini sekali-

pun tidak terluka, nyawa bisa melayang setelah, 

lebih dahulu keracunan hebat. 

Oleh sebab itu di daerah Gunung Kelud ini 

adalah merupakan daerah angker. Orang takkan 

berani sembarangan berkeliaran di tempat ini.

Lebih kurang pada tiga tahun lalu, Gajah 

Mada pernah berusaha menumpas gerombolan


Klintung Waluh ini, setelah mendapat laporan 

tentang sepak terjangnya yang sewenang-wenang. 

Utusan tersebut terdiri dari empat puluh orang 

prajurit, dipimpin oleh seorang Senapati bernama 

Kebo Wulung. Tetapi ternyata pasukan itu tidak 

pernah kembali ke Majapahit lagi. Karena semua 

sudah tewas akibat pengaruh Aji "Netra Luyub'

Karena mereka terpengaruhi pandang mata 

Klintung Waluh, sehingga mereka kemudian tun-

duk dan menurut yang diperintahkan Klintung 

Waluh.

Karena kegagalan itu kemudian Gajah Ma-

da melupakan Klintung Waluh, karena tugas yang 

lebih berat dan penting banyak yang harus dipi-

kirkan oleh Gajah Mada.

— Guru! — Guna Praya berkata. — Waduh, 

jantung murid seperti mau copot melihat kejeli-

taan gadis itu. Murid telah lama sekali ingin ka-

win, tetapi sampai sekarang belum pernah berte-

mu dengan gadis yang cocok dengan hatiku. Te-

tapi sekarang ..... murid ingin kawin dengan gadis 

itu.

— Huh, engkau mencari enak sendiri! —

Bentak Damar Seta tiba-tiba dengan nada tidak 

senang. Apakah engkau sendiri saja yang ingin 

kawin Kakang. Akupun sudah dewasa dan perlu 

pula seorang isteri. Maka akupun menghendaki 

gadis itu, Guru. -

— Damar! — bentak Guna Praya sambil 

mendelik. Tetapi karena matanya sipit, sekalipun 

mendelik namun mata itu tetap saja sipit. — Aku


lebih tua dibanding kau. Kalau aku yang tua saja 

belum kawin karena belum mendapatkan gadis 

yang cocok, mengapakah sebabnya engkau mau 

mengacau? — 

— Ha, ha, ha, ha, adakah aturan seperti 

itu? Yang tua harus kawin lebih dahulu dan yang 

muda belakangan? —

— Aturan itu memang tidak tertulis, tetapi 

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kita 

bukankah begitu? —

— Heh, heh, heh, heh, kalau bisa berlaku 

maka engkau pun belum mempunyai hak. — .

— Hai! Engkau mengacau. Mengapa aku 

tidak berhak?-

— Guru lebih tua dari umurmu, padahal 

Guru belum kawin. —

— Ha ha ha ha, heh heh heh heh, - Klin-

thung Waluh yang sejak tadi berdiam diri dan 

membiarkan dua orang muridnya berbantahan 

sekarang tertawa geli. Perut yang buncit seperti 

orang berpenyakit cacing itu bergerak-gerak, se-

dangkan dua murid itupun kemudian ketawa geli 

pula.

— Guna Praya dan Damar Seta! Hemm, 

aku ini sampai heran apabila memikirkan kalian. 

Aku hanya mempunyai dua murid saja, akan te-

tapi kerjamu setiap hari hanya selalu cekcok mu-

lut seperti kucing dan anjing. Apakah kamu me-

mang tidak bisa rukun dan mencintai? —

Klintung Waluh berhenti dan mengambil 

napas. Lalu, — Saudara seperguruan itu tidak


bedanya dengan saudara kandung, sedang guru 

itu kasih sayang kepada murid tidak bedanya ke-

pada anak sendiri. Apakah kalian ini memang 

sengaja merongrong hatiku? Huh, semestinya an-

tara kamu masing-masing harus pandai memba-

wa diri. Yang tua tidak boleh menurut kemauan 

sendiri dan merasa lebih tua, selalu ingin me-

nang. Yang muda pun harus dapat menempatkan 

diri sebagai orang muda, harus tunduk dan patuh 

kepada kakak seperguruannya, karena seorang 

kakak seperguruan merupakan pengganti ayah 

atau guru di kemudian hari. Mengerti? —

Mendengar ucapan gurunya ini dua orang 

murid itu wajahnya menjadi agak pucat dan ta-

kut. Hampir berbareng mereka menjatuhkan diri 

berlutut. Lalu berturut-turut dua pemuda ini ber-

kata. 

— Murid mengerti, Guru. —

— Nah, jika kamu mengerti, aku perintah-

kan padamu, harus rukun dan saling mencintai. 

Yang tua harus pandai mengalah, momong dan 

menempatkan diri sebagai orang tua. Sebaliknya 

yang muda juga harus pandai menempatkan diri 

sebagai orang muda, tunduk dan patuh kepada 

kakak seperguruannya. Nah, masing-masing tak 

boleh menuruti kemauan sendiri, tahu? —

Kakek itu berhenti dan menatap dua orang 

muridnya yang masih berlutut. Dan beberapa 

saat kemudian terusnya, — Hemm, kamu mem-

persoalkan perempuan yang menuju ke mari itu 

dan saling berebut... Apakah jadinya apabila kamu saling berebut? Tak urung kamu bermusuhan 

dan saling menderita rugi. Ya, ya, kamu memang 

masih muda, maka pengertianmu juga masih pi-

cik —

Kakek itu berhenti lagi dan mengurut-urut 

jenggot kambingnya. Sesaat kemudian ia berkata 

lagi, — Anakku, tahukah kamu pengaruh perem-

puan cantik itu lebih berbahaya dibanding den-

gan golokmu dan tulupmu (sumpitmu) yang bera-

cun itu? Negara bisa hancur oleh pengaruh paras 

cantik, karena pemimpin, negara itu menjadi lupa 

daratan. Kerukunan sebagai saudara akan beran-

takan, karena saling kokoh dalam mempere-

butkan perempuan cantik itu; yang akibatnya pu-

la akan menimbulkan derita yang perih saja. –

Kakek ini berhenti kembali dan menghela 

napas dalam. Karena bicara tentang perempuan, 

ia teringat kepada pengalaman hidupnya. Ia terin-

gat pada jalan hidupnya ketika masih muda, aki-

bat ia memperebutkan perempuan kemudian di-

rinya harus bermusuhan dengan adik sepergu-

ruan dirinya sendiri, yang bernama Damar Talun. 

Antara mereka pernah berkelahi sampai dua hari 

dua malam.

Sebagai akibatnya mereka semua menderi-

ta luka berat. Dalam keadaan setengah mati, ke-

mudian mereka berdua mempertahankan hidup 

masing-masing. Dan sampai sekarang peristiwa 

itu telah berlalu 40 tahun lalu dan tidak pernah 

lagi bertemu dengan Damar Talun. Ia tidak tahu, 

Damar Tallin sekarang masih hidup ataukah sudah mati. Tetapi yang jelas peristiwa itu membuat 

hatinya amat- berduka.

Mendengar gurunya menghela napas dalam 

itu dua orang murid ini tidak berani bergerak dan 

terus berlutut.

Mereka memang pernah mendengar cerita

guru mereka ketika masih muda, yang harus ber-

kelahi dengan adik seperguruannya sendiri.

— Anakku, berkali—kali aku menase-

hatkan kepada kamu berdua, sebaiknya tidak 

usah kawin saja. Sebab, kawin itu berarti engkau 

akan dijajah oleh perempuan. Engkau tidak 

mempunyai kebebasan lagi, ibarat seekor burung 

di dalam sangkar emas. Apakah gunanya menjadi 

penghuni sangkar emas itu, kalau tidak bisa be-

bas terbang lagi ia berhenti sejenak mencari ke-

san, dan sejenak kemudian baru meneruskan, —

Anakku, apabila engkau kawin, engkau harus 

memeras tenaga guna mencukupi kebutuhan is-

teri dan anak-anakmu! Engkau akan menjadi ku-

da beban oleh perempuan. Engkau akan menjadi 

budak perempuan. Dan engkau salah sedikit saja, 

isterimu akan marah-marah dan ngambek. Ke-

mudian akan mencaci-maki engkau sebagai lelaki 

tidak bertanggung jawab. Huh, apakah enaknya 

jika setelah engkau kawin akan dijajah perem-

puan? Lebih baik engkau, hidup seorang diri dan 

bebas. Sebagai lelaki yang tidak kawin, tiada ha-

langan jika engkau mencari dua atau tiga orang 

perempuan setiap malam berganti-ganti. Engkau 

bisa menculik atau merampas gadis atau isteri


orang. Dan begitu selesai dengan kebutuhanmu, 

mereka bisa engkau suruh pulang. Kemudian 

ganti yang lain heh heh hen heh. –

Klintung Waluh berhenti lagi dan mengam-

bil napas. Lalu memandang kepada gadis yang 

sedang dibicarakan oleh dua muridnya. Beberapa 

jenak kemudian barulah ia meneruskan lagi.

— Humm, apakah gunanya menjadi laki-

laki yang begitu, lebih senang tidak kawin diband-

ing dengan kawin dan dijajah oleh perempuan? —

Nasihat Klintung Waluh ini tentu saja me-

rupakan nasihat yang sesat. Nasihat yang tidak 

pantas dianut dan jelas sekali Klinthung Waluh 

ini bukanlah guru yang baik, bukanlah guru yang 

pantas digugu lan ditiru (dianut dan dicontoh)

Dia merupakan guru yang tidak bertang-

gungjawab, dan malah sengaja mencelakai mu-

ridnya sendiri, dengan cara mendidik muridnya 

menjadi manusia tidak bermoral.

Kawin adalah merupakan kewajiban ma-

nusia yang kodrati. Lelaki membutuhkan perem-

puan dan perlu memberikan cinta dan kasih 

sayangnya. Dan sebaliknya perempuan pun 

membutuhkan seorang laki-laki dan memberikan 

cinta maupun kasih sayangnya. Kemudian mere-

ka membentuk bebrayan (rumah tangga) bahagia 

tidak ada istilah menjajah dan dijajah.

Mereka menempuh hidup bersama dan 

bergotong-royong penuh pengertian dalam satu 

keluarga, saling memberi dan menerima, saling 

menggantungkan dan memperoleh untung.


Yang baik adalah sekali nikah untuk sela-

ma hidup, ini yang utama! Dan itu membuktikan 

bahwa kasih sayang mereka adalah suci murni. 

Membuktikan cinta yang setulus hati. Sebab yang 

kawin dan kemudian cerai, kawin lagi dan cerai 

lagi, ini membuktikan perkawinan tadi hanyalah 

merupakan tempat mengumbar hawa nafsu birahi 

melulu. Dan bukan menjadi contoh yang baik ba-

gi para anak dan keturunannya.

Cinta yang murni, tidak akan dikotori den-

gan nafsu. Cinta murni penuh pengertian. Bukan 

hanya pada saat menguntungkan dan terpenuhi 

kebutuhannya, terpenuhi nafsunya, kemudian 

akan marah apabila tuntutan itu tidak terpenuhi. 

Dan sesudah marah kemudian mencari yang lain.

Juga sudah merupakan kodrat pula, bah-

wa laki-laki harus mempertanggungjawabkan is-

teri maupun keluarganya. Memang lelaki yang ha-

rus memeras keringat dan tenaga guna mencu-

kupi kebutuhan keluarga. Perempuan berkewaji-

ban di rumah mengatur dan mendidik anak-anak.

Dan sesungguhnya saja, isteri itu adalah 

pemberian Tuhan. Seorang sudah lebih dari cu-

kup untuk selama hidup, dan tidak mungkin ha-

bis! Akan tetapi apabila isterinya dua orang, ma-

lah akan menjadi kurang. Tiga, mungkin empat 

dan seterusnya akan semakin menjadi kurang la-

gi. Karena lelaki yang terus-terusan kawin itu ti-

dak pernah merasakan puas seperti harapannya 

semula.

Memang aneh! Seorang isteri lebih dari cu


kup untuk selama hidup. Akan tetapi apabila le-

bih malah akan selalu merasa kurang. Soalnya 

nafsu dan keinginan manusia ini akan berkem-

bang terus, apabila manusia itu hanya menu-

rutkannya saja. Karena itu jalan terbaik bagi ma-

nusia, harus pandai mengendalikan nafsu dalam 

bentuk apapun, Sebab napsu yang tidak terken-

dali akan menjadi binal dan kemudian bisa ber-

tindak di luar kesadaran hukum yang berlaku.

Akibatnya bisa beristeri lebih dari satu, 

atau tampaknya isteri hanya satu, tetapi di luar 

rumah tidak terkendali dan adakalanya tidak ma-

lu pula merebut isteri orang lain.

Demikianlah bagi lelaki yang ingin dapat 

membina rumah tangga bahagia, mempunyai seo-

rang isteri dan anak yang selalu tenteram dan 

damai

Kebahagiaan memang sulit dicari karena 

kebahagiaan itu tidak berwujud, tetapi dapat di-

rasakan. Oleh sebab itu kebahagiaan tidak berda-

sarkan pada kekayaan maupun kedudukan se-

seorang yang tinggi. Gelandangan pun bisa mera-

sakan kebahagiaan dan tidak bedanya dengan 

orang lain.

Akan tetapi bagi Guna Praya dan Damar 

Seto ini, yang sudah lama mendapat didikan se-

cara salah oleh gurunya, beranggapan setiap yang 

diucapkan oleh guru selalu benar. Maka mempu-

nyai anggapan pula lelaki yang kawin akan dija-

jah perempuan

— Bangkitlah anakku! — perintah Klin


thung Waluh kemudian. Dan dua orang murid itu 

pun patuh, lalu bangkit berdiri.

— Perempuan itu sudah semakin menjadi 

dekat!— katanya lagi. Dan dua orang muridnya 

membalikkan tubuh, memandang ke arah Dewi 

Sritanjung.

Jarak yang menjadi semakin dekat menye-

babkan kejelitaan gadis itu semakin nyata. Dan 

yang membuat jantung dua pemuda ini seperti 

meloncat-loncat tidak keruan dan mereka ingin 

segera dapat menubruk, memeluk dan menci-

uminya.

— Anakku, gadis itu memang benar-benar 

cantik! - ujarnya lagi sambil mengurut-urut jeng-

gotnya. — Tangkaplah dia! Tetapi kamu jangan 

berebut dan rukunlah! Jadikan dia menjadi mi-

likmu bersama selama kamu suka. Akan tetapi 

apabila baju itu sudah robek dan tidak dapat ka-

mu pergunakan lagi, buanglah. dan dengan begi-

tu barulah kamu menjadi lelaki berharga. Kamu 

takkan pernah sampai dijajah perempuan yang 

manapun.-

— Guru benar! — dukung Guna Praya. —

Perempuan itu harus kita miliki bersama, Adi. 

Sebagai saudara tua, aku mengalah sesudah kau 

tercukupi kebutuhanmu —

Betapa gembira Damar Seto sulit terlu-

kiskan lagi. Kemudian pemuda ini ketawa lepas, 

— Ha ha ha ha, terima kasih Kakang. Engkau 

baik sekali.—

Suara ketawa Damar Seto yang lepas ini


terdengar oleh Dewi Sritanjung dan gadis ini ka-

get. Ia menghentikan langkahnya, kemudian gadis 

ini celingukan. Hati gadis ini berdebaran dan di-

am-diam tangan kanan sudah meraba hulu pe-

dang. Pengalamannya dengan Rudra Sangkala 

menyebabkan gadis ini bersikap hati-hati dan 

waspada. Tiba-tiba melesatlah sebuah benda bu-

lat, melenting ke atas tak jauh dari tempatnya 

berdiri, menyebabkan gadis ini kaget sekali. Dan 

pada saat belum hilang rasa kagetnya ini Dewi 

Sritanjung mendengar suara halus.

— Anak, depanmu ada bahaya mengha-

dang dan berhati-hatilah.—

Dewi Sritanjung celingukan ke kiri dan ke 

kanan. Siapakah yang bersuara tadi dan darima-

na pula? Karena itu ia segera memburu ke tempat 

benda bulat tadi yang jatuh. Tetapi ia kembali ke-

heranan karena benda itu sudah lenyap tanpa 

bekas.

- Setankah? - tanyanya dalam hati. Ia tidak 

habis mengerti kepada hal-hal yang baru terjadi 

di tempat ini. Apakah sebabnya ia berhadapan 

dengan keanehan? Ia tadi mendengar secara jelas 

suara orang ketawa lepas. Pada saat kaget itu dan 

sedang mencari asal suara, ada benda bulat me-

lenting secara aneh dan menyusul terdengar sua-

ra halus yang memperingatkan adanya bahaya. 

Dan yang aneh lagi, mengapa setelah di-

rinya memburu ke arah benda bulat itu jatuh, 

benda itu sudah lenyap tanpa bekas. Ia tidak ta-

kut kepada setan maupun hantu. Tetapi diam


diam ia menjadi tegang juga menghadapi peristi-

wa seaneh ini.

Namun hanya beberapa saat saja Dewi Sri-

tanjung ini tegang dan ragu-ragu. Sesaat kemu-

dian dengan langkah yang tetap dan hati penuh 

rasa percaya akan diri sendiri, ia melanjutkan 

perjalanan. 

Ia benar-benar tertarik kepada gunung 

yang mengepulkan asap itu. Ia ingin meliat dari 

dekat dan ia ingin juga mengerti apa sebabnya, 

gunung itu mengepulkan asap yang tidak pernah 

berhenti.. Timbul semacam gambaran dalam otak 

gadis ini, penduduk di sekitar puncak gunung ini 

tentu senang sekali. Sebab mereka takkan pernah 

merasa kedinginan, karena gunung itu selalu me-

nyebarkan hawa hangat dari api yang tidak per-

nah padam guna memasak maupun. untuk ke-

perluan lain!

Memang tidak bisa disalahkan apabila De-

wi Sritanjung mempunyai gambaran seperti ini. Ia 

belum tahu sama sekali bahwa gunung berapi itu 

amat berbahaya. Apabila gunung ini meletus bak-

al menimbulkan malapetaka yang sulit digambar-

kan.

Akan tetapi belum lama Dewi Sritanjung 

melangkah meneruskan perjalanannya, tiba-tiba 

gadis ini berhenti dan hatinya tegang sekali. Ka-

rena secara tiba-tiba di depannya sudah mengha-

dang dua orang lelaki muda. Mulut mereka me-

nyeringai, mata mereka melotot tak berkedip. Dan 

kemudian seperti mendapatkan aba-aba, dua


orang muda ini sudah ketawa bekakakan.

Dewi Sritanjung menatap mereka kehera-

nan. Gilakah dua lelaki muda ini? Kalau tidak gila 

mengapa mereka tertawa seperti itu? Tetapi wa-

laupun ia belum berpengalaman, nalurinya mem-

beritahukan sedang berhadapan dengan bahaya 

dan ia tidak boleh sembrono menghadapi mereka 

ini.

— Hai! Apakah kamu sudah gila? Huh, 

apakah yang kamu tertawakan seperti ini?—

Bentakan ini justru malah membuat mere-

ka ketawa lebih keras.

Guna Praya dan Damar Seto justru menja-

di keheranan, mengapa gadis ini tidak ketakutan? 

Maka Damar Seto yang tubuhnya tinggi besar dan 

berkumis tebal itu membuka mulut.

— Denok, kau jangan salah mengerti, Cah 

ayu! Kami bukannya gila benar-benar. Akan teta-

pi kami menjadi gila akibat tergila-gila oleh kecan-

tikanmu. Heh heh heh heh, engkau terlalu berani 

hanya sendirian berani berkeliaran di tempat ini 

Dewi Sritanjung cepat tersinggung. Ben-

taknya, - Hati-hatilah membuka mulut! Sangka-

mu aku ini gadis apa? —

- Heh heh heh heh — Guna Praya terkekeh 

mengejek. - Tentu saja kami sudah tahu, kau ga-

dis manusia dan bukan wewe gombel. Dan kami 

sengaja menghadang kau, Anak manis. Sebab se-

telah melihat wajahmu yang cantik ini, jantung 

kami menjadi seperti mau copot. Marilah kami


dua orang bersaudara ini, layanilah guna mem-

bahagiakan kau sendiri. —

— Benar! — sambut Damar Seto. —Apabila 

engkau tidak membantah, engkau akan kami 

buat bahagia dan senang. Kau akan kami ajak 

pesiar ke alam aneh yang memabukkan tetapi in-

dah. Ha ha ha ha.—

Dada Dewi Sritanjung bergerak-gerak sak-

ing marah mendengar kata-kata mereka ini. Ia 

dapat menduga dua orang laki-laki ini tentu 

mempunyai maksud tidak baik.

— Aku tidak punya waktu! — bentaknya 

nyaring. - Huh, kamu lekas menyingkir apakah 

tidak? —

- Ha ha ha ha, ternyata engkau galak juga, 

Cah ayu! — ejek Damar Seto sambil ketawa beka-

kakan. — Hemm, sangkamu engkau berhadapan 

dengan siapa, berani berlagak seperti ini? Tempat 

ini adalah wilayah kami dan tidak gampang orang 

masuk tanpa seizin kami. Huh, kalau saja kau la-

ki-laki, tanpa banyak bicara sudah kami bunuh, 

Tahu?-

Damar Seto berhenti sambil mendelik. Ke-

mudian, — Tetapi karena engkau perempuan dan 

cantik pula, maka heh heh heh heh, tentu saja 

sikap kami menjadi lain. Cah ayu, kami tidak in-

gin bermusuhan dengan kau. Malah sebaliknya 

kami ingin mengikat persahabatan sekalipun jelas 

kau berani lancang masuk dalam wilayah kami 

tanpa izin. Maka sekarang, marilah kau ikut kami 

singgah ke pondok.—


Dewi Sritanjung sudah tidak kuasa mena-

han sabarnya lagi, bentaknya nyaring, — Jaha-

nam keparat! Engkau jangan mengumbar mulut 

tanpa aturan! Kamu mau menyingkir apakah ti-

dak? Huh, apabila kamu membandel, aku terpak-

sa mengusir kamu dengan pedangku ini!—

Sring . . . Dengan gerakan yang amat cepat, 

sebatang pedang bersinar biru sudah tercabut da-

ri sarungnya. Inilah pedang pusaka "Tunggul Wu-

lung" pemberian gurunya. Pedang yang amat ta-

jam dan juga amat berbahaya.

Pedang pusaka yang menyinarkan warna 

biru itu sekarang sudah melintang di depan dada. 

Kalau dua orang pemuda ini berani nekad meng-

ganggu, dengan terpaksa akan ia usir dengan pe-

dangnya. Karena gadis ini tidak ingin membuang 

waktu terlalu lama, mengingat hari sudah hampir 

sore. Ia tidak ingin kemalaman di tengah belanta-

ra ini dan ia ingin secepatnya menemukan desa, 

minta pertolongan penduduk guna dapat mengi-

nap barang semalam. Kemudian pada pagi hari, ia 

akan meneruskan perjalanan menuju ke puncak, 

untuk melihat gunung yang mengeluarkan asap 

itu.

Damar Seto dan Guna Praya agak kaget ju-

ga melihat sebatang pedang yang menyinarkan 

cahaya biru itu. Sebagai murid Klinthung Waluh 

yang sakti, tentu saja mereka mengenal benda 

pusaka. Karena itu dalam hati mereka sudah ber-

janji untuk berhati-hati. 

Akan tetapi sekalipun demikian Guna


Praya masih berusaha mempengaruhi, katanya, 

— Aihh... Adikku cantik, sabarlah! Orang yang 

cepat marah akan cepat menjadi tua, Adik Manis. 

Dan bermain-main dengan pedang adalah amat 

berbahaya. Percayalah Adikku ayu, kami bermak-

sud baik. Karena kau masuk ke dalam wilayah 

kami tanpa izin, maka kami mengundangmu gu-

na bicara. Tahukah engkau Adik molek, kami 

mempunyai seorang Guru? Beliau tentu gembira 

sekali menerima engkau sebagai tamu terhormat. 

Dan ......

- Cukup!— lengking gadis ini yang sudah 

tidak sabar lagi. — Siapakah yang mau percaya 

kepada mulutmu yang busuk itu? Aku tidak ken-

al baik dengan kamu maupun gurumu. Persetan 

dengan undangan itu. Pendeknya, aku bebas me-

nentukan langkah sendiri. Siapapun yang berani 

mengganggu kebebasanku, akan berkenalan den-

gan pedangku ini. Huh!—

Ucapan gadis ini membakar kemarahan 

dua orang muda ini karena pada dasarnya me-

mang mempunyai watak tidak baik. Selama ma-

sih dapat membujuk dengan ucapan manis, me-

mang mereka bersikap baik. Akan tetapi apabila 

bujukan itu tidak mempan, mereka tidak segan 

lagi menggunakan, kekerasan.

— Huh, kau jangan membuka mulut sem-

barangan! - bentak Guna Praya. Sikapnya yang 

tadi manis sekarang lenyap. — Engkau bisa 

menggertak orang lain, tetapi tidak kepada kami. 

Hemm, jika engkau membandel dan mengandal


kan pedangmu itu, kami menyesal sekali harus 

menghadapi dengan kekerasan.—

— Tidak peduli kamu akan berbaik atau 

menggunakan kekerasan. Pendeknya orang yang 

berani mengganggu aku, huh, jangan tanya do-

samu!—

— Ha ha ha ha, ternyata tidak melulu ga-

lak, tetapi juga sombong gadis ini!— ejek Damar 

Seto. — Aku ingin menguji sampai di manakah 

kemampuan Adik ayu ini. Tetapi heh heh heh 

heh, awas! Apabila kau sampai tertangkap oleh 

tanganku, engkau jangan berharap akan aku le-

paskan lagi. Wajahmu cantik, hem. Pipimu halus 

kuning dan bibirmu merah menantang. Huh, ge-

mas aku! Engkau takkan kulepaskan lagi sebe-

lum aku menciumi pipimu yang halus itu dan 

mengecup bibirmu yang merah menantang itu.—

— Mampuslah!- bentak Dewi Sritanjung 

yang sudah tidak sabar lagi lalu menerjang ke de-

pan sambil menikamkan pedangnya.

Siut wutt.... 

- Aihh...!-

Damar Seto kaget dan wajahnya menjadi 

pucat. Ia tidak pernah menduga sambaran pe-

dang gadis ini amat cepat. Hampir saja lambung-

nya tembus, kalau dia tidak cepat membanting 

diri bergulingan.

Akan tetapi dapatnya menghindarkan diri 

inipun berkat jasa Guna Praya. Ketika melihat 

adik seperguruannya hampir celaka dalam sege-

brakan, ia menerjang maju melancarkan puku


lannya. Hingga Dewi Sritanjung terpaksa melom-

pat menghindarkan diri. 

— Bagus, hem! Akan mengeroyok?— ejek 

gadis ini. 

— Gadis sombong. Siapakah yang mau 

mengeroyok?— Damar Seto tersinggung dan 

mendelik. — Akan aku coba sampai di mana ke-

tinggian ilmumu.—

Tidaklah mengherankan apabila pemuda 

berkumis tebal ini berkata seperti itu! Apa yang 

terjadi menurut perasaannya adalah karena ia ta-

di terlalu sembrono dan merendahkan kepan-

daian lawan. Tetapi sekarang ia telah bersiaga, 

maka ia merasa pasti, akan mampu menghadapi 

gadis berpedang ini, sekalipun dirinya hanya ber-

tangan kosong.

- Hemm — dengus Dewi Sritanjung. — Ca-

butlah senjatamu.-

— Huh, menghadapi engkau cukup dengan 

dua tangan dan kakiku saja!— sahut Damar Seto 

merendahkan. 

- Hemm, kau keras kepala. Engkau jangan 

menyalahkan aku jika engkau mampus oleh pe-

dangku Ini. Awas ... serangan datang!—

Tampaknya Dewi Sritanjung hanya meng-

gerakkan lengannya sembarangan ke depan. Pe-

dang itu hanya dilonjorkan ke depan saja dan ge-

rakannya lambat sekali. Damar Seto tersenyum, 

apakah sulitnya menangkap pedang yang gera-

kannya lambat ini? 

Akan tetapi belum juga senyum pada bi


birnya lenyap ia sudah memekik kaget.

— Aihhh! — teriaknya dan pemuda ini ce-

pat membuang diri ke belakang sambil bergulin-

gan. Dan sebagai akibatnya pakaiannya menjadi 

kotor.

Tetapi celakanya pedang gadis ini terus 

mengejar sehingga Damar Seto harus mengerah-

kan kepandaiannya guna menyelamatkan diri dari 

tikaman pedang gadis ini. 

Memang yang terjadi, ketika melihat gera-

kan pedang yang lambat, hanya dilonjorkan ke 

depan, Damar Seto menjadi sembrono. Ia sudah 

hampir menggerakkan tangan untuk menangkap 

dan merebut pedang lawan.

Akan tetapi belum juga ia melakukannya, 

mendadak pedang Dewi Sritanjung bergetar. Pe-

dang yang hanya sebatang itu mendadak seperti 

berubah menjadi beberapa batang. Ujungnya 

mengancam beberapa bagian tubuh yang berba-

haya. Dalam kagetnya tidak ada jalan lain lagi ke-

cuali harus membuang diri jauh ke belakang lalu 

bergulingan.

Melihat ini Guna Praya menjadi amat kha-

watir. Secara cepat luar biasa pemuda ini sudah 

mencabut golok. Kemudian ia melompat sambil 

membacokan goloknya dari belakang. Bacokan 

golok ini amat cepat dan angin yang dahsyat me-

nyambar mendahului datangnya senjata. Ini 

membuktikan sekalipun tubuhnya tinggi kurus, 

namun tenaganya kuat sekali.

Sayang sekali yang ia serang sekarang ini


Dewi Sritanjung. Ia gadis perkasa murid tunggal 

Ki ageng Tunjung Biru, hingga pada punggungnya 

seperti tumbuh mata. 

- Aihhh . . . !-

Punggung goloknya yang mengkilap tajam 

itu sudah disentil dengan jari tangan oleh Dewi 

Sritanjung yang kecil dan halus itu. Namun seba-

gai akibatnya memang hebat. Golok ini menyele-

weng dan tidak tertahan lagi mulut Guna Praya 

berteriak tertahan, sebab lengannya bergetar he-

bat.

Tetapi justru oleh gangguan serangan Gu-

na Praya ini, dia berhasil menolong Damar Seto 

yang sembrono. Pemuda itu cepat bangkit ketika 

serangan Dewi Sritanjung tertunda. Kemudian 

dengan wajah yang pucat Damar Seto sudah 

mencabut goloknya yang mengkilap tajam pula.

Ia memang tidak malu mencabut senjata 

sekalipun tadi sikapnya amat merendahkan. Se-

karang pemuda berkumis tebal ini menjadi kha-

watir dan sadar bahwa gadis yang tampaknya le-

mah lembut ini tidak seperti yang mereka duga 

semula. Ternyata bukanlah gadis sembarangan 

dan justru malah amat berbahaya.

Dua pemuda ini justru sudah dididik seca-

ra sesat oleh gurunya. Mereka tidak kenal apa 

yang disebut berwatak ksatrya dan kejujuran. 

Bagi mereka yang penting adalah mendapat ke-

menangan, dan tidak peduli kemenangan itu me-

reka peroleh dengan tipu muslihat dan berbuat 

curang. Jadi mereka sudah tidak kenal malu lagi.


Itulah sebabnya sekalipun tadi secara 

sombong Damar Seto berkata sanggup mengha-

dapi seorang diri dan bertangan kosong, sekarang 

ia mengajak kakak seperguruannya untuk menge-

royok.

— Kakang!- teriaknya. — Bantulah aku! 

Hemm, ternyata dugaanku keliru Kakang. -

— Hi hi hik,— Dewi Sritanjung ketawa 

mengejek. — Bukankah aku tadi sudah bilang se-

baiknya kamu mengeroyok aku dan mencabut 

senjatamu pula? Aku ingin melihat apakah si-

kapmu memang sesuai dengan kesaktianmu.—

— Wah sombongnya!— Guna Praya menja-

di marah dan penasaran.

Namun karena wajah Dewi Sritanjung ini 

amat menarik, maka menjadi sayang apabila ga-

dis ini sampai mati terbunuh. Justru mengingat 

itu, maka Guna Praya memperingatkan adiknya.

— Tetapi Adi, sungguh sayang pula apabila 

perawan ayu ini sampai terluka atau lecet kulit-

nya.—

— Benar Kakang. Akupun sayang juga.—

Damar Seto berterus terang.

Telinga Dewi Sritanjung menjadi merah 

mendengar ucapan mereka ini. Mereka demikian 

merendahkan dirinya. Maka bentaknya, — Jan-

gan banyak mulut. Bersiaplah kamu untuk mam-

pus.-

— Sombong! Jagalah seranganku!— bentak 

Damar Seto sambil menerjang maju dan memba-

cokkan goloknya.


Sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, 

tenaganya demikian kuat di samping cepat juga. 

Golok menyambar ke arah lambung. Tetapi sece-

pat kilat golok telah berbalik arah, membabat dari 

bawah ke atas. Serangan ini cukup berbahaya. 

Dan lawan yang kurang hati-hati lengannya bisa 

tertebas kutung dari bawah.

Untung sekali Dewi Sritanjung perawan 

perkasa dan murid tokoh sakti. Ia menghadapi 

lawan dengan tenang. Kemudian ia menggeser 

kaki ke samping sambil menangkis dengan pe-

dangnya.

Damar Seto tidak berani beradu senjata, ia 

menarik goloknya dan berputar satu kali di atas 

kepalanya, kemudian berteriak, 

— Hiyaaaattttt!—

Golok yang tajam itu seperti kilat cepatnya 

menyambar dari atas ke bawah. Apabila bacokan 

ini sampai berhasil tubuh lawan akan terbelah 

menjadi dua bagian. Sebaliknya apabila serangan 

ini dihindari, golok ini segera berubah arah den-

gan menyerampang.

Serangan berbareng ini justru amat berba-

haya. Maka sambil membuang diri ke samping, 

pedang gadis ini bergerak seperti kilat menangkis 

senjata lawan. 

Trang . . . trang . . . ! 

Benturan senjata itu hebat sekali. Dua 

orang pemuda itu terhuyung mundur dan telapak 

tangan mereka terasa panas. Mereka kemudian 

terbelalak heran. Tadi mereka sudah memperhitungkan, apabila serangan mereka ditangkis la-

wan tentu pedang lawan aka lepas dari tangan. 

Sebab gabungan tenaga seperti ini berkali-kali 

berhasil dengan baik. Karena itu mereka hampir 

tidak pernah gagal setiap menghadapi musuh 

yang kuat sekalipun.

Akan tetapi yang terjadi sekarang ini be-

nar-benar menyebabkan mereka kaget setengah 

mati. Pedang gadis itu tidak juga runtuh, malah 

telapak tangan mereka panas. Dan sekalipun ga-

dis yang cantik ini terhuyung mundur juga, na-

mun tidak mengalami perubahan apa-apa.

Di luar tahu mereka, sebenarnya Dewi Sri-

tanjung juga kaget. Lengannya bergetar hebat dan 

hampir saja tak kuasa mempertahankan pedang-

nya. Maka hal ini menyebabkan Dewi Sritanjung 

agak keheranan pula, mengapa sebabnya golok 

lawan tidak patah berbenturan dengan pedang 

pusakanya? Apakah golok lawannya itu juga pu-

saka?

Dugaan Dewi Sritanjung ini keliru. Sebab-

nya golok lawan tidak patah oleh tangkisannya, 

karena ia sendiri yang salah. Dalam menangkis 

tadi ia kurang berhati-hati dan kurang tepat. Ma-

ka apabila tepat manakah mungkin golok lawan 

sanggup menghadapi pedang pusaka Tunggul 

Wulung?

Hari sudah sore dan menyebabkan gadis 

ini tidak telaten lagi. Karena itu dirinya tidak bo-

leh main-main dan harus dapat mengalahkan la-

wan secepat mungkin.



— Hiyaaaatttt....! — Dewi Sritanjung telah 

menerjang maju sebelum dua orang lawannya 

sampai menyerang.

Sekarang gadis ini menggerakkan pedang-

nya, langsung menggunakan bagian terpilih dari 

ilmu pedang Jala Nidhi. Gerak pedangnya seka-

rang berubah dan sesuai dengan nama ilmu pe-

dang ini sendiri, yang mempunyai arti samudera 

atau lautan. Maka ilmu pedang ini disamping ce-

pat juga bergelombang tidak pernah putus. Makin 

bergerak tenaga sakti yang menyalur dari tubuh 

semakin menjadi bertambah kuat.

Hal itu tidak mengherankan, karena ilmu 

pedang ini ciptaan khusus guru Ki ageng Tunjung 

Biru, dan merupakan ilmu pedang tingkat tinggi 

dan juga merupakan ilmu pedang yang diandal-

kan oleh guru Ki ageng Tunjung Biru semenjak 

masih berumur lima puluhan tahun.

Ketika Dewi Sritanjung menggerakkan pe-

dangnya, maka angin yang halus segera menyam-

bar-nyambar ke arah lawan tidak pernah putus. 

Makin lama menjadi semakin kuat dan angin 

yang menyambar inipun mempunyai kekuatan 

yang mukjijat. Lawan yang belum kuat tenaga 

saktinya mudah terpengaruh oleh gelombang te-

naga sakti ini, sesuai dengan gerak dan irama pe-

dang. Dan anehnya pula, makin dilawan tenaga 

yang menyambar malah semakin bertambah kuat 

pula.

Dengan berbareng Damar Seto dan Guna 

Praya telah menyerang maju. Mereka justru sudah terlatih dalam kerjasama menghadapi lawan. 

Maka golok masing-masing dapat menyesuaikan 

diri dan saling bantu, sedangkan tenaga gabun-

gan ini bukan main kuatnya.

Dalam waktu singkat mereka telah terlibat 

dalam perkelahian yang amat sengit. Kalau pada 

mulanya baik Damar Seto maupun Guna Praya 

saling berjanji untuk mengalahkan gadis ini tanpa 

luka, maka setelah terlibat dalam perkelahian ini 

menjadi lupa. Mereka sekarang tidak tanggung-

tanggung lagi dalam serangannya dan arah sasa-

ran mereka pun pada bagian tubuh yang memati-

kan. Mereka memang amat bernafsu untuk segera 

memperoleh kemenangan. Dan guna menambah 

semangat kerjasama mereka, maka mereka saling 

bergantian membentak.

Akan tetapi mereka menjadi kaget setelah 

lama berkelahi. Pengaruh sambaran pedang gadis 

ini yang banyak membentuk lingkaran besar 

maupun kecil, membanjir kuat sekali dan berkali-

kali golok mereka seperti tersedot oleh kekuatan 

yang tidak nampak.

Makin lama gerak pedang Dewi Sri Tanjung 

memang menjadi semakin cepat. Pedang itu sen-

diri seperti lenyap, dan tinggal sinar biru yang 

bergulung-gulung tidak pernah putus. Berkali-

kali Damar Seto maupun Guna Praya telah beru-

saha menembus gulungan sinar biru tersebut, te-

tapi ternyata selalu gagal.

Pada saat mereka sedang saling mengerah-

kan kepandaian dan tenaga untuk mematahkan


daya serang lawan ini, tiba-tiba terdengar benta-

kan nyaring.

— Lepas!—

Trang trang . . .!

Dua orang pemuda ini melompat mundur 

dengan wajah pucat dan keringat dingin memban-

jiri tubuh. Apa yang terjadi memang diluar du-

gaan mereka sendiri. Golok itu mendadak menjadi 

ringan dan ternyata yang masih terpegang oleh 

tangan tinggal sepertiga saja, sebab yang dua per-

tiga bagian di ujung sudah menggeletak di tanah.

Masih untung Dewi Sri Tanjung sejak kecil 

sudah terdidik secara baik oleh gurunya, Ki ageng

Tunjung Biru. Maka setelah melihat senjata lawan 

terbabat putus oleh ketajaman pedang pusa-

kanya, ia menghentikan serangannya dan berdiri 

sambil tersenyum. Kalau saja gadis ini mau 

menggunakan kesempatan pada saat lawan kaget, 

apakah mungkin dua pemuda ini masih hidup? 

- Hemm, bagaimana?— tanya gadis ini. —

Jika kamu memang masih membandel dan tak 

mau mengakui keunggulanku, ambillah senjata-

mu yang lain. Aku, Dewi Sritanjung tidak akan 

gentar berhadapan dengan orang-orang macam 

kamu!—

Dua orang pemuda ini wajahnya merah 

padam saking merasa terhina oleh ucapan gadis 

ini. Selama ini mereka malang melintang di wi-

layah sekitar Gunung Kelud, dan selalu keluar 

sebagai pemenangnya apabila berhadapan dengan 

lawan. Namun mengapa hari ini mereka harus sial dan menderita malu? Tidak sanggup hanya 

berhadapan dengan seorang perempuan?

Tiba-tiba Guna Praya membentak lantang, 

- Huh, jangan sombong dan jangan mengumbar 

mulut besar di depan Guna Praya dan Damar Se-

to! Huh, kau takkan dapat keluar dari wilayah ini 

masih dalam keadaan bernyawa, apabila kau te-

tap membandel dan tidak mau tunduk kepada 

kami. Huh, kami bersikap mengalah, ternyata kau 

malah menjadi sombong.—

- Hi hi hik, tidak tahu malu!- ejek Dewi Sri-

tanjung. — Bukti sudah ada, engkau masih juga 

bermulut besar.—

Telinga Damar Seto merah mendengar 

ucapan mengejek dan merendahkan itu. Menda-

dak ia telah mencabut sumpitan yang semula ter-

selip di pinggang. Lalu secepat kilat sumpitan itu 

diisi dengan peluru tanah liat yang beracun. 

Ujung sumpitan itu sudah menyentuh bibir dan 

siap guna membidik gadis ini.

Sumpitan yang terbuat dari buluh ini ju-

stru lebih berbahaya daripada senjata golok me-

reka. Sebab di samping dengan sumpitan mereka 

akan dapat menyerang lawan dari jarak jauh, pe-

luru itupun berbahaya sekali. Sekalipun peluru 

tersebut tidak menimbulkan luka dan tidak begi-

tu sakit, namun akan dapat menyebabkan nyawa 

melayang karena tanah liat itu beracun.

Dan racun inipun bekerja amat cepat, se-

hingga dalam waktu setengah hari saja akan te-

was apabila tidak mendapat obat pemunah racun


dari murid dan guru ini.

Tetapi karena Dewi Sritanjung belum luas 

pengalaman, maka gadis ini tidak menyadari ba-

haya dari peluru sumpitan ini Ia malah tertawa 

cekikikan dan mengejek.

- Hi hi hik, siapa yang takut kepada mai-

nan kanak-kanak itu? Huh, tidak lekas enyah da-

ri depanku, apakah kamu masih menunggu aku 

turun tangan lebih keras?—

Hampir saja Damar Seto sudah membidik-

kan peluru itu. Tetapi untung tiba-tiba terdengar 

bentakan halus, — Damar! Tunggu!—

Damar Seto urung membidik dan menu-

runkan senjatanya, lalu disusul oleh berkelebat-

nya bayangan orang yang cepat sekali, tahu-tahu 

sudah berdiri di depan mereka.

Dewi Sritanjung membelalakkan mata keti-

ka melihat munculnya seorang kakek kurus ker-

ing dengan perut buncit, tanpa baju pula. 

Mendadak saja gadis ini terkekeh saking 

geli, karena bentuk tubuh kakek ini memang lucu 

tetapi juga membuat orang merasa iba hati. Kare-

na orang akan segera menduga kakek ini seorang 

penderita penyakit cacing. Tentu kakek ini tinggal 

menunggu saat ajal datang.

— Hi hi hik, kakek cacingan datang kemari 

mau apa? Yang gagah dan muda saja tak sanggup 

melawan aku, apakah engkau datang untuk men-

cari mampus?—

Akan tetapi Klinthung Waluh tidak marah 

mendengar ejekan ini dan malah tersenyum, kemudian bertanya, — Bocah, siapakah engkau ini 

dan siapa pula gurumu, berani sembarangan 

membuka mulut dan berkeliaran di tempat ini?—

— Hi hi hik, apakah maksudmu bertanya 

nama dan Guruku? Sudahlah, engkau jangan 

ikut campur, Kek. Aku tak sampai hati kepada 

Kakek yang sudah sakit.—

— Heh heh heh heh.— Klinthung Waluh 

terkekeh saking geli, mendengar kesombongan 

bocah ini — Hemm, engkau bocah ingusan yang 

tak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan. 

Hemm, baru memiliki kepandaian sedangkal itu 

engkau sudah menjadi congkak, sombong dan tak 

pandai menghargai orang tua.—

Klinthung Waluh berhenti dan mengamati 

gadis itu. Lanjutnya, — Bocah, apakah engkau 

tahu bahwa aku ini yang terkenal dengan nama 

Klinthung Waluh, penghuni Gunung Kelud 

ini?—

Celakanya Dewi Sritanjung memang belum 

pernah kenal dan juga belum pernah mendengar 

nama tokoh ini, maka nama besar kakek sakti ini 

tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Gadis ini 

malah ketawa cekikikan dan mengejek lagi.

— Huh, tidak peduli dengan Klinthung Se-

mangka atau Klintung Timun. Pendeknya orang 

yang berani mengganggu diriku, huh, rasakan ta-

jamnya pedangku ini.—

Klinthung Waluh mengurut-urut jenggot 

kambingnya dalam usaha menekan amarah da-

lam dada, diejek demikian rupa oleh bocah ingusan ini. Ia masih mempunyai harga diri, malu 

apabila harus melayani bocah ini dengan kekera-

san. Oleh sebab itu hatinya segera memutuskan, 

untuk merobohkan gadis ini dengan pengaruh Aji

"Netra Luyub".

— Anak baik, sekarang sudah sore. Engkau 

sudah mengantuk, kenapa engkau tidak lekas ti-

dur?-

Dan kemudian yang terjadi adalah aneh 

sekali. Dewi Sritanjung yang semula penuh se-

mangat dan mengejek itu, tiba-tiba saja menguap 

dan berkata lirih, — Benar, aku sudah mengan-

tuk. Sebaiknya aku lekas tidur saja —

Setelah berkata demikian Dewi Sritanjung 

segera merebahkan diri untuk tidur di atas tanah 

berdebu.

Melihat gadis ini sudah terpengaruh oleh 

Aji "Netra Luyub" dari gurunya, Guna Praya dan 

Damar Seto sudah melompat ke depan guna sal-

ing berebut untuk dapat menangkap gadis yang 

tidur diluar sadarnya itu. 

3

Akan tetapi sebelum dua pemuda itu ber-

hasil menyentuh tubuh Dewi Sritanjung, me-

nyambarlah angin yang halus namun kuat sekali.

Brukkk...! Tiba-tiba saja kakak-beradik se-

perguruan ini bertubrukan keras. Kepala mereka 

saling beradu, dan akibatnya kepala mereka


mendadak pening, pandang mata gelap dan sa-

kitnya bukan main.

— Aduhhhh...!— mereka memekik hampir 

berbareng, kemudian terhuyung sambil mende-

kap kepala masing-masing yang seperti pecah.

Klinthung Waluh terbelalak kaget berba-

reng keheranan. Tetapi belum juga hilang rasa 

kaget dan herannya, tiba-tiba muncullah di samp-

ing Dewi Sritanjung yang sudah tertidur itu, seo-

rang kakek bertubuh tinggi besar. 

Entah berumur berapakah kakek ini me-

mang sulit ditaksir. Kumis dan jenggotnya sudah 

putih semua seperti perak, membuktikan me-

mang sudah, amat tua.

Mungkin umur kakek ini sudah lebih tujuh 

puluh lima tahun. Tetapi sekalipun rambutnya 

sudah putih, tubuh kakek ini masih gagah. Kulit 

tubuhnya masih belum berkeriput, sinar matanya 

menunjukkan wataknya yang sabar, agung dan 

berwibawa. Akan tetapi mata kakek ini, siapapun 

yang bertatap pandang akan cepat mengalihkan 

pandang matanya. Sebab sepasang mata itu ber-

sinar tajam sekali dan mengandung pengaruh 

yang mukjizat.

— Siapa kau!— bentak Klinthung Waluh. 

Matanya mendelik, tetapi ketika bertatap pandang 

dengan kakek itu, Klinthung Waluh menjadi ka-

get.

— Hemm, Klinthung Waluh. Tentu saja 

engkau tidak kenal aku tapi sebaliknya aku tetap 

masih mengenal kau. Hal ini tidak mengheran


kan, karena namamu memang amat termasyur 

dan menggetarkan penjuru jagad!— sahut kakek 

ini dengan nada memuji di samping merendahkan 

diri.

— Heh heh heh heh, aku tidak membutuh-

kan pujianmu!- hardik Klinthung Waluh. — Lekas 

katakanlah siapa kau dan apa pula maksudmu 

mengganggu urusan kami?—

Pada saat itu muncullah kemudian dua 

orang muda, seorang laki-laki dan perempuan. 

Mereka ini kemudian berdiri di belakang kakek 

itu, namun mereka seperti tidak peduli kepada 

Klinthung Waluh dan muridnya. Perhatian mere-

ka malah tertuju kepada Dewi Sritanjung. Si gadis 

tak kuasa menahan diri lalu menyentuh kakek itu 

dan berkata.

— Kakek, bangunkanlah dahulu gadis itu. 

Kasihan dia tidur di tanah dan pakaiannya ko-

tor.—

Kakek itu tersenyum, jawabnya, — Biarkan 

dulu dia tidur dan mengaso. Hanya jaga sajalah 

agar tidak seorangpun berani mengganggu.—

Kemudian kakek ini menatap kembali ke-

pada Klinthung Waluh. Jawabnya, — Hemm, ka-

rena kau mendesak, biarlah sekarang aku mem-

perkenalkan namaku dan juga dua bocah ini. Te-

tapi tentu saja namaku tidak mempunyai arti 

apa-apa bagi dirimu, yang terkenal sakti mandra-

guna. Ya, aku ini hanya seorang petani dari Desa 

Kepakisan, Kediri. Dan kemudian orang menjadi 

terbiasa menyebut diriku ini dengan nama Mpu


Kepakisan, hingga kemudian nama ini lalu kupa-

kai sampai sekarang. Hemm, adapun dua bocah 

ini yang laki-laki bernama Rangga Pramana. Bo-

cah ini juga tidak mempunyai arti apa-apa pula 

bagi tiap orang. Namun ayahnya, adalah Mahapa-

tih Majapahit bernama Gajah Mada. Sedang bo-

cah perempuan ini tidak lain adalah cucuku sen-

diri bernama Ratih.—

Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu per-

lahan dan jelas. Agaknya mempunyai maksud 

agar sekali menerangkan, sudah cukup.

Akan tetapi walaupun keterangan ini dibe-

rikan secara perlahan, sudah menyebabkan Klin-

thung Waluh kaget setengah mati seperti disam-

bar oleh petir. Karena nama Mpu Kepakisan amat 

termasyur dan dihormati oleh setiap orang, seba-

gai tokoh sakti pada jaman kini. Dan sekalipun 

rumahnya di Kepakisan Kediri, yang cukup jauh 

dengan Ibukota Majapahit, namun telah dikenal 

orang sebagai salah seorang pembantu Gajah Ma-

da yang setia, dan termasuk pula sebagai seorang 

yang banyak jasanya bagi Majapahit.

Tetapi sekalipun Klinthung Waluh kaget, ia 

berusaha menutupi perasaannya dengan keta-

wanya yang terkekeh.

— Heh heh heh heh, sungguh mujur hari 

ini aku dapat berhadapan dengan Mpu Kepakisan 

yang terkenal sakti mandraguna. Maka terimalah 

hormat dari Klinthung Waluh.—

Dan benar juga. Klinthung Waluh sudah 

ngapurancang (menempatkan dua telapak tangan


di depan perut) sambil membungkuk seperti la-

zimnya seorang memberi hormat.

Sekalipun tampaknya Klinthung Waluh 

memberikan hormatnya, tetapi sebenarnya hor-

mat yang ia berikan ini adalah lain, dan hanya 

Mpu Kepakisan sendiri yang tahu dan merasakan. 

Sebab setelah Klinthung Waluh membungkuk, 

segera menyambarlah tenaga yang tidak tampak 

telah menyerang ke arah Mpu Kepakisan.

Mpu Kepakisan sadar sedang dicoba orang. 

Karena itu iapun cepat berbuat sama, seperti 

memberikan hormat kepada Klinthung Waluh. 

Yang terjadi kemudian menyebabkan orang 

heran berbareng kaget. Sebab tahu-tahu terden-

garlah keluhan Klinthung Waluh sambil ter-

huyung mundur tiga langkah ke belakang.

Klinthung Waluh sudah berusaha menekan 

darah yang bergolak dalam tubuhnya, namun ti-

dak juga berhasil. Dan tahu-tahu, segumpal da-

rah sudah meloncat dari mulut. Dan dari kenya-

taan ini membuktikan, dalam segebrakan menga-

du tenaga sakti, Klinthung Waluh kalah. Ia sudah 

menderita luka dalam, sekalipun tidak parah

Namun peristiwa ini tidak menyebabkan 

Klinthung Waluh menjadi gentar maupun khawa-

tir, sebab ia mempunyai Aji "Netra Luyub" yang 

akan dapat mengalahkan lawan dengan gampang.

Sekarang setelah sadar dirinya berhadapan 

dengan kakek sakti, maka sepasang matanya me-

natap tajam kepada Mpu Kepakisan dan sejenak 

kemudian terdengar suaranya yang halus.



— Hai Mpu Kepakisan! perjalanan dari Ke-

diri sampai kemari adalah cukup jauh. Hayo se-

karang mengasolah, dan tidur!—

Ketika itu Rangga Pramana dan Ratih ju-

stru, ikut memandang ke arah Klinthung Waluh. 

Akibatnya dua orang muda ini menjadi terpenga-

ruh. Mendadak saja mereka merasakan kelelahan 

dan menguap serta ingin tidur.

Namun tiba-tiba pengaruh aneh itu terusir 

lagi ketika terdengar Mpu Kepakisan berkata ha-

lus, - Hemm, Klinthung Waluh! tipu muslihatmu 

hanya permainan bocah ingusan saja. Anak, kau 

bangunlah! Jangan tidur di sembarang tempat.-

Rangga Pramana dan Ratih hilang rasa 

kantuknya, kembali seperti semula. Adapun Dewi 

Sritanjung yang sejak tadi tidur sudah membuka 

mata, mengucak mata itu dengan punggung tela-

pak tangannya. Kemudian gadis ini nampak kaget 

ketika mendapatkan dirinya berbaring di atas ta-

nah berdebu. Ia cepat melompat bangkit, lalu ia 

menebarkan matanya ke sekeliling. Gadis ini ke-

heranan melihat hadirnya seorang kakek dan dua 

orang muda yang belum ia kenal.

— Kenapa aku...? — desis Dewi Sritanjung 

seperti ditujukan kepada diri sendiri.

— Anak, kau telah ditipu orang,— sahut 

Mpu Kepakisan sekalipun tidak ditanya.

Mendengar jawaban kakek yang belum ia 

kenal itu, tetapi ia sadar sudah ditolong dan dis-

elamatkan jiwanya, sepasang mata gadis ini me-

nyala. Teringatlah kemudian apa yang tadi terjadi.


Dirinya dihadang dua orang muda dan kemudian 

berkelahi. Ia berhasil mematahkan senjata la-

wan, tetapi segera muncul seorang kakek tanpa 

baju dan menyusul menyuruh dirinya agar tidur 

Teringat semua itu, mendadak saja gadis 

ini marah. Ia memungut pedang pusakanya yang 

menggeletak di tanah yang tadi lepas dari tangan 

di luar kemauannya.

Setelah pedang di tangan Dewi Sritanjung 

segera melompat dan menerjang ke arah Damar 

Seto dan Guna Praya sambil membentak nyaring, 

— Manusia busuk, mampuslah!—

— Ayaaa . . . ! — Klinthung Waluh mengge-

rakkan tangannya menampar dengan maksud 

melindungi keselamatan muridnya.

Akan tetapi tiba-tiba Mpu Kepakisan men-

gangkat tangan pula mendorong ke arah Klin-

thung Waluh sambil berkata halus, — Biarkan 

yang muda berhadapan dengan yang muda. Apa-

kah kau tidak malu mengganggu orang muda?—

Dorongan Mpu Kepakisan itu menerbitkan 

angin yang halus tetapi kuat sekali. Klinthung 

Waluh terpaksa harus mengurungkan maksudnya 

melindungi muridnya. Sebab apabila tidak, di-

rinya sendiri dalam bahaya. Maka tamparannya 

kemudian ia alihkan untuk menangkis dorongan 

Mpu Kepakisan. 

- Ahhhhh . . . ! - Klinthung Waluh berteriak 

tertahan lalu mengeluh.

Disusul oleh tubuhnya yang terhuyung 

mundur tiga langkah. Sedang Mpu Kepakisan


masih tetap berdiri di tempatnya. Dalam gebrakan 

mengadu tenaga sakti ini jelas Klinthung Waluh 

masih berada jauh di bawah Mpu Kepakisan.

Damar Seto dan Guna Praya yang teran-

cam keselamatannya akibat terjangan Dewi Sri-

tanjung telah berlompatan mundur. Kemudian 

mereka menggunakan senjata sumpitan untuk 

membidikkan peluru tanah liat yang beracun.

Akan tetapi Dewi Sritanjung waspada. Ia 

sudah memutarkan pedangnya guna melindungi 

diri dari serangan sumpitan itu. Dan akibatnya 

peluru dari sumpitan berjatuhan terbentur ben-

teng pedang.

Malah kemudian kakak beradik sepergu-

ruan ini harus sibuk berlompatan ke sana dan ke 

mari dalam usaha menghindari sambaran pedang 

si gadis, yang makin lama tambah berbahaya.

Mereka kemudian menjadi kebingungan 

sendiri karena mereka tidak mendapat kesempa-

tan untuk mengisi peluru sumpitan dan membi-

dik.

Ketika itu Ratih sudah akan maju dan 

membantu Dewi Sritanjung. Gadis ini penasaran 

dan merasa tidak tega, melihat Dewi Sritanjung 

harus melayani dua orang lawan. Maka ia ber-

maksud untuk membantu menghajar dua pemu-

da itu. Akan tetapi maksudnya ini terhalang, ka-

rena dicegah oleh Mpu Kepakisan.

- Ratih, biarkan dia memuaskan penasa-

rannya. Percayalah, sekalipun dikeroyok dua, ga-

dis itu tidak bakal kalah.—


Tetapi tanganku terasa gatal, Kek,— ujar 

Ratih

- Heh heh heh heh, bagian manakah yang 

gatal? Garuklah! Rasa gatal itu pasti hilang.- Mpu 

Kepakisan berkelakar.

Ratih cemberut oleh godaan Kakeknya ini. 

Namun demikian ia seorang cucu (cucu bagi Mpu 

Kepakisan, sebenarnya adalah murid) yang patuh 

kepada kakeknya (gurunya), maka kemudian ga-

dis ini hanya berdiri. Tetapi sekalipun demikian 

sepasang mata gadis ini tak pernah berkedip me-

mandang mereka yang berkelahi.

Tadi ketika Damar Seto maupun Guna 

Praya bersenjata saja, mereka tak mampu me-

layani sambaran pedang gadis ini. Apa pula seka-

rang, mereka hanya tinggal mempunyai senjata 

sumpitan. Maka mereka menjadi sibuk bukan 

main. Mereka tidak sempat membidik lagi, pa-

dahal apabila sumpitan itu sampai terbentur oleh 

pedang akan segera hancur. Karena itu dalam 

usaha mereka menyelamatkan diri, tidak ada ja-

lan lagi kecuali menggunakan kecepatan mereka 

bergerak.

Makin lama sinar biru dari pedang pusaka 

Tunggul Wuhing bergulung-gulung menguasai 

arena perkelahian. Dan sinar yang bergulung-

gulung itu, menerbitkan angin halus, tetapi kuat 

sekali.

Sinar biru itu membungkus tubuh Dewi 

Sritanjung di samping mengurung ruang gerak 

lawan. Hal ini membuat kedudukan Guna Praya


dan Damar Seto semakin menjadi sulit. Dalam 

menghadapi kesulitan dan dalam usaha memper-

tahankan nyawa ini, tiba-tiba saja mereka beru-

bah ganas.

Tring tring trang trang . . . terdengar suara 

yang nyaring berturut-turut. Sebab Damar Seto 

dan Guna Praya telah membela diri dengan me-

nyumbitkan senjata rahasia, berujud paku bera-

cun.

Namun sungguh sayang, serangan senjata 

rahasia ini hanya sia-sia belaka. Tidak sebatang 

paku pun yang berhasil menembus benteng pe-

dang, karena semua tertangkis dan runtuh di ta-

nah. 

Bumm... mendadak terdengar suara yang 

tidak demikian keras. Namun ledakan ini mener-

bitkan asap hitam yang amat tebal dan keadaan 

di tempat itu menjadi gelap. Ledakan yang men-

gepulkan asap hitam dan tebal ini, berasal dari 

sebuah benda yang telah dibanting oleh Klinthung 

Waluh.

- Lindungi diri dan pejamkan mata!— suara 

halus ini, diucapkan oleh Mpu Kepakisan, guna 

memperingatkan kepada mereka yang muda.

Peringatan Mpu Kepakisan ini memang te-

pat sekali. Asap hitam tersebut mengandung ra-

cun yang dapat membuat mata orang seperti me-

nangis, karena mengucurkan air mata terus-

menerus. 

Dan bukan hanya itu saja pengaruh asap 

hitam dari ledakan ini, tetapi justru lebih jahat


lagi. Sebab mata yang sudah kemasukan asap hi-

tam ini, apabila tidak mendapatkan obat pemu-

nahnya, dalam waktu sehari saja akan menjadi 

parah. Air mata yang keluar akan berubah men-

jadi darah, lalu berakibat terjadinya kebutaan dan 

lumpuh. Jadi memang amat ganaslah akibat dari 

racun ini. Orang akan menjadi cacat seumur hi-

dup.

Mpu Kepakisan tidak hanya tinggal diam 

melihat asap hitam berbahaya itu. Dua tangannya 

kemudian bergerak bergantian dan mendorong. 

Angin yang habis segera menyambar dari telapak 

tangan ke arah asap yang tebal dan hitam itu. 

Akan tetapi setelah asap hitam dan tebal 

itu tersingkir pergi, maka terbelalaklah mata Dewi 

Sritanjung, Rangga Premana maupun Ratih. Se-

dang yang tidak tampak heran hanya Mpu Kepa-

kisan sendiri. Karena secara tiba-tiba Klinthung 

Waluh dan dua orang muridnya itu sekarang te-

lah lenyap tanpa bekas.

- Itulah perwujudan bahaya yang telah aku 

katakan tadi kepada kamu!- Mpu Kepakisan 

berkata halus, ditujukan kepada Ratih dan Rang-

ga Pramana. - Dan itu pula sebabnya aku tak da-

pat membiarkan orang-orang muda yang belum 

kenal bahaya datang ke tempat ini. Dalam hal il-

mu kesaktian, Klinthung Waluh tidak perlu dita-

kuti. Akan tetapi tipu muslihat dan ilmu sihirnya, 

maupun segala macam racunnya, amat berba-

haya bagi setiap orang. Dan itu pula sebabnya, 

Rangga Pramana, ketika ayahmu mengutus sepasukan prajurit terpilih kemari, menemui kegaga-

lan. Sebab mereka semua tidak kuasa melawan 

pengaruh ilmu sihir Klinthung Waluh yang dis-

ebut Aji Netra Luyub itu.—

Dewi Sritanjung yang sudah menyimpan 

kembali pedangnya, dan mendengar pula penjela-

san kakek itu, tanpa terasa sudah berseru terta-

han.

— Ohhh . . . kalau demikian aku tadi su-

dah terpengaruh oleh ilmu sihir itu, sehingga aku 

tertidur di luar kehendakku?—

Mpu Kepakisan ketawa sejuk, jawabnya, -

Kau benar, Nak, hampir celaka oleh pengaruh il-

mu sihir Klinthung Waluh. Masih untung pada 

saat yang tepat aku tiba di tempat ini sehingga 

kau bisa terhindar dari bahaya.—

Merasa dirinya sudah diselamatkan orang, 

tiba-tiba saja Dewi Sritanjung menjatuhkan diri 

berlutut memberi hormat.

Akan tetapi Mpu Kepakisan segera mengge-

rakkan tangannya, menampar perlahan ke depan. 

Angin yang halus menyambar ke arah Dewi Sri-

tanjung; Kemudian di luar kehendak gadis ini 

sendiri, tubuhnya telah terangkat berdiri.

- Anak, engkau tidak perlu berlutut macam 

itu di depanku.—

Dewi Sritanjung menundukkan muka. Ia 

sadar, kakek sederhana ini seorang kakek sakti 

mandraguna. Terbukti kakek ini dapat melawan 

pengaruh ilmu sihir Klinthung Waluh dan dapat 

menyelamatkan dirinya dari bahaya.


— Kakek, aku yang muda bernama Dewi 

Sritanjung,— katanya dengan sikap menghormat.

— Atas pertolongan Kakek yang telah me-

nyelamatkan nyawaku, tiada lain aku hanya da-

pat mengucapkan terima kasih.—

- Heh heh heh heh,- kakek ini ketawa se-

juk.

— Hanya secara kebetulan saja aku datang 

di tempat ini dan berhasil menyelamatkan engkau 

dari bahaya. Tetapi sebenarnya semua itu adalah 

cermin dari pertolongan Dewata Yang Agung, yang 

melalui diriku.—

Ia berhenti sejenak, lalu, — Orang menye-

but aku dengan nama Mpu Kepakisan. Adapun 

bocah laki-laki ini, namanya Rangga Pramana dan 

bocah perempuan yang sebaya kau ini adalah cu-

cuku bernama Ratih.—

Tiga orang muda itu saling mengangguk 

memberi hormat. Tetapi Ratih yang sejak tadi su-

dah ingin bertanya sudah mendahului bertanya 

kepada kakeknya.

— Kek, aku heran sekali. Kenapa tiba-tiba 

saja tiga orang tadi lenyap tanpa bekas?—

— Semua itu takkan menyebabkan orang 

heran, apabila tahu rahasianya,— Mpu Kepakisan 

menerangkan. — Mereka bukannya bisa menghi-

lang, tetapi yang jelas mereka sudah melarikan 

diri lewat jalan rahasia dan dengan demikian pula 

menjadi jelas, di sekitar tempat ini banyak terda-

pat jalan rahasia di bawah tanah. Hemm, justru 

oleh kepandaian Klinthung Waluh seperti ini, sebabnya Gajah Mada sulit menghancurkannya. Ki-

ta tahu bahwa setiap pemberontakan yang terjadi, 

selalu dapat dibasmi dalam waktu singkat. Tetapi 

sebaliknya Klinthung Waluh mempunyai kekua-

tan luar biasa sekalipun dia tidak punya praju-

rit.—

— Tetapi kalau aku gampang. — Ratih ber-

pendapat.

— Gampang?— Rangga Pramana kaget. —

Apakah yang akan kau lakukan?—

— Bakar saja tempat ini! Dan sekalipun 

mereka menyembunyikan diri di dalam tanah, 

mereka tetap akan mampus juga.—

— Heh heh heh heh ... — Mpu Kepakisan 

terkekeh. — Itu merupakan tindakan yang tidak 

bijaksana, Ratih. Dan sudah tentu Nak mas Ga-

jah Mada takkan mau berbuat seperti itu. Sebab 

dengan membakar pinggang Kelud ini, berarti 

akan menimbulkan malapetaka yang hebat dan 

akan merugikan negara maupun para kawula Ma-

japahit sendiri.—

— Apakah sebabnya?- Ratih tertarik

— Begini Ratih. Hutan yang rusak, lebih-

lebih terbakar atau dibakar, akan menyebabkan 

tanah di sini menjadi gundul, yang akibatnya 

akan menimbulkan malapetaka hebat. Sebab aki-

batnya pada saat datangnya musim kering akan 

banyak sumber air yang kering dan tidak dapat 

memberikan airnya lagi. Dan dengan begitu para 

golongan petani takkan dapat mengerjakan sawah 

maupun tanahnya yang lain. Dan kemudian akan


menimbulkan kekurangan hasil bumi dan kebu-

tuhan pokok hidup yang berujud beras maupun 

bahan makanan yang lain. Akibatnya harga akan 

melonjak tinggi. Padahal mahalnya harga kebutu-

han hidup, akan banyak menimbulkan gangguan 

keamanan.—

Mpu Kepakisan berhenti dan mengambil 

napas. Sejenak kemudian ia baru meneruskan, —

Cucuku, sebaliknya apabila pada musim penghu-

jan, malapetaka yang timbul tidak kurang ba-

hayanya pula. Sebab air hujan itu takkan dapat 

meresap ke dalam tanah, oleh karena tidak ada 

pohon besar yang dapat menahan air hujan itu. 

Sebagai akibatnya pula, hujan itu akan menye-

babkan tanah longsor di sana sini dan menye-

babkan timbulnya banjir besar. Akibatnya air 

akan melanda dan merusakkan sawah, desa 

maupun ladang. Timbulnya banjir akan menye-

babkan para kawula semakin menderita pula.—

Kakek ini berhenti lagi dan mencari kesan. 

Ketika melihat Rangga Pramana maupun Ratih ti-

dak membuka mulut, ia meneruskan, — Jadi, 

baik pada musim kemarau maupun musim peng-

hujan akan sama akibatnya, kawula menderita. 

Semua itu sebagai akibat rusaknya hutan, gun-

dulnya gunung maupun bukit, akan menimbul-

kan bahaya dan akibat yang merugikan kita se-

mua. Ratih, itulah sebabnya hutan dan pegunun-

gan itu harus dijaga kelestarian nya jangan sam-

pai menjadi rusak.—

Dua orang muda itu tidak membuka mu


lut. Dan kesempatan ini digunakan oleh Mpu Ke-

pakisan untuk meneruskan nasihatnya, — Men-

gingat itu semua, maka Anakmas Gajah Mada se-

lalu bertindak bijaksana. Ia banyak memberikan 

contoh dan banyak pula memberi nasihat kepada 

para kawula. Sedang tujuannya yang utama da-

lam usaha guna membangun Majapahit menjadi 

kerajaan yang kuat dan sentosa.—

— Tetapi Kek, dengan lenyapnya mereka 

lewat jalan rahasia, berarti tugas Kakek sekarang 

ini gagal juga.— Ratih menjadi masygul. — Kakek 

tidak bedanya yang lain, belum pula dapat men-

galahkan Klinthung Waluh yang jahat itu.—

Mpu Kepakisan menghela napas dalam. -

Ya! Tetapi apa harus dikata, kalau memang harus 

terjadi seperti ini?— 

Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak 

ada yang membuka mulut. Sekarang perhatian 

mereka semua tertuju kepada persoalan Klin-

thung Waluh.

Namun tiba-tiba Mpu Kepakisan segera te-

ringat kepada Dewi Sritanjung yang tadi hampir 

celaka di tangan Klinthung Waluh.

Ia kemudian memandang gadis itu sambil 

bertanya, — Anak, apakah sebabnya engkau da-

tang ke tempat ini? Apakah engkau memang be-

lum tahu gunung Kelud ini merupakan wilayah 

berbahaya, oleh sepak terjang Klinthung Waluh 

yang jahat itu? -

— Ya. Aku memang belum luas pengala-

man. Dan aku yang muda memang tidak tahu


tempat ini amat berbahaya. Saya ingin dan terta-

rik untuk melihat dari dekat, tentang gunung 

yang mengeluarkan asap itu. Saya ingin tahu, 

apakah sebabnya gunung itu bisa mengeluarkan 

asap terus-menerus?—

— Ahhh . . . !— tiga orang ini berseru ter-

tahan hampir bersamaan.

Tak mengherankan apabila mereka menja-

di kaget, justru apa yang dilakukan gadis ini amat 

berbahaya. 

— Anak, apakah engkau tidak tahu gunung 

yang mengeluarkan asap itu amat berbahaya? se-

bab orang takkan dapat mendekati.—

— Ahhh, apakah sebabnya?— Dewi Sritan-

jung kaget.

— Sebab gunung yang mengeluarkan asap 

itu amat panas apabila lubang asapnya didekati. 

Dan bukan hanya itu, mungkin siapapun malah 

takkan tahan oleh bau belerang yang menyengat 

hidung dan orang bisa direnggut maut.-

— Ihh ... apakah sebabnya? —

— Karena asap itu di samping panas, juga 

bau belerang menyengat hidung, menyebabkan 

sesak napas. —

— Tetapi apakah sebabnya asap itu berbau 

belerang ? -

— Karena di dalam perut gunung berapi itu 

terdapat banyak belerang, —

— Ahhh, terima kasih Kek atas petunjuk-

mu. Untung aku belum sampai ke puncak gu-

nung itu.—


— Apakah engkau hanya seorang diri? —

— Benar. —

— Hemm, Nak, engkau bocah perempuan. 

Mengapa sebabnya kau terlalu berani berkelana 

seorang diri? — 

Pertanyaan ini mengingatkan keadaan di-

rinya dan menyebabkan ia mendadak sedih. Ke-

mudian ia teringat kepada nasibnya yang sudah 

tidak mempunyai ibu lagi.

Namun perasaan ini cepat-cepat ia tekan. 

Ia tidak menginginkan orang tahu akan asal usul 

dan keadaannya. Untuk itu maka kemudian gadis 

ini membohong.

— Ya, aku memang sengaja berkelana seo-

rang diri untuk, mencari pengalaman. Bahaya-

bahaya yang kuhadapi akan selalu aku hadapi 

dengan senang hati, justru timbulnya bahaya itu 

malah akan memperkaya pengalaman. —

— Ahh, Adik terlalu berani. — Ratih mem-

berikan pendapatnya. - Gadis muda lagi cantik 

seperti kau ini, akan memancing dan merangsang 

kepada orang lain untuk berbuat tidak baik. —

— Terima kasih atas peringatanmu. Akan 

tetapi aku percaya, Dewata Yang Agung akan se-

lalu melindungi hamba-Nya yang tidak bersalah 

dan tidak melakukan perbuatan jahat. Buktinya, 

dalam perjalananku sekarang ini, sekalipun da-

lam keadaan bahaya selalu mendapatkan perto-

longan orang lain sebagai utusan Dewata. —

- Heh heh heh, — Mpu Kepakisan terkekeh. 

Diam-diam kakek ini kagum akan kekerasan hati


dan keberaniannya.

— Aku kagum akan keberanianmu, Nak. 

Mpu Kepakisan memuji. — Ya, manusia yang hi-

dup di dunia ini memang kesulitan yang dihadapi 

akan menjadi guru dan pengalaman hidup seseo-

rang. Mudah-mudahan pula apa yang engkau ci-

takan ini dikabulkan Dewata Yang Agung. Tetapi 

kalau boleh aku ingin bertanya, siapakah orang 

tuamu, tempat tinggalmu dan juga gurumu? —

— Hemm, — Dewi Sritanjung menghela 

napas.

Tidak urung terasa perih juga hatinya, 

mendapat pertanyaan seperti ini. Namun ia sudah 

memutuskan takkan membuka rahasia hidupnya 

kepada sembarang orang.

— Kakek, — jawabnya. — Aku sudah seba-

tang-kara. Aku tidak berayah dan tidak beribu la-

gi. Sejak kecil kakekku yang memungut dan me-

rawat diriku. Karena itulah aku tidak mempunyai 

Guru, karena sejak kecil Kakek sendirilah yang 

mendidikku. —

— Apakah Kakekmu itu, si pemilik pedang 

itu? -

— Benar! Mengapa ? —

— Ha ha ha ha, Kakek dan Gurumu adalah 

Ki ageng Tunjung Biru, bukan ?—

Dewi Sritanjung melengak kaget menden-

gar dugaan Mpu Kepakisan yang tepat ini. Maka 

tidak tercegah lagi Dewi Sritanjung mengangguk. 

- Benar! Tetapi bagaimanakah sebabnya Kakek 

dapat menduga setepat itu?—


— Heh heh heh heh, di dunia ini hanya 

seorang saja pemilik pedang pusaka Tunggul Wu-

lung yang sekarang dalam tanganmu itu, Ki ageng

Tunjung Biru. Sungguh kebetulan sekali perte-

muan yang tidak terduga ini. Nak, karena kau 

orang kita sendiri, maka tahukah engkau akan 

hubungan antara Ki ageng Tunjung Biru dengan 

Mahapatih Gajah Mada?-

- Saudara seperguruan. –

- Benar! Sekalipun usia Ki ageng Tunjung 

Biru dengan Mahapatih Gajah Mada terpaut jauh. 

Oleh karena itu antara engkau dan Rangga Pra-

mana ini, masih mempunyai pula hubungan per-

guruan, sebab dia ini adalah putera Mahapatih 

Gajah Mada.—

— Ahhh,— Dewi Sritanjung berseru terta-

han. Ia kemudian memandang Rangga Pramana 

sejenak, kemudian ia menundukkan kepala.

— Aku pernah datang ke rumah Paman 

Gajah Mada,— ujarnya kemudian. — Tetapi ke-

napa ketika itu Adi Rangga Premana tidak tam-

pak?—

Panggilan "adi" kepada Rangga Pramana' 

memang tepat, sekali pun umur Rangga Pramana 

lebih tua dibanding dengan Dewi Sritanjung. Ka-

rena Rangga Pramana anak Gajah Mada, sebagai 

adik seperguruan Ki ageng Tunjung Biru.

- Benar,— sahut Rangga Pramana — Sebab 

sejak beberapa bulan ini aku tidak tinggal di Ma-

japahit, tetapi aku tinggal di Kepakisan.—

Pada saat Mpu Kepakisan sedang akan bi


cara, maka menyambarlah sebuah benda yang 

bentuknya bulat, lalu menggelinding.

Mereka heran berbareng curiga, lebih-lebih 

Dewi Sritanjung justru sebelum dirinya berhada-

pan dengan bahaya, benda bulat semacam ini 

pernah menyambar dirinya, disusul terdengarnya 

suara yang memberi peringatan.

Orang yang percaya kepada takhayul tentu 

akan beranggapan benda bulat yang dapat berge-

rak itu merupakan suatu keanehan dan keajai-

ban.

Tetapi Mpu Kepakisan adalah orang tua 

yang sudah kaya pengalaman. Maka kakek ini ti-

dak mungkin bisa tertipu.

Kakek ini sudah dapat menduga, tentu da-

lam benda bulat itu yang tampaknya seperti ka-

rung, terdapat manusia sakti mandraguna. Hing-

ga sekalipun di dalam karung dapat bergerak me-

nurut kemauannya. 

Karena itu kakek ini menjadi curiga, apabi-

la dalam benda bulat itu berisi salah seorang 

pembantu Klinthung Waluh. Maka ketika Rangga 

Pramana sudah bergerak mau mengejar, ia men-

cegah.

— Jangan! Biarlah aku sendiri yang men-

gurus. —

Benda itu masih menggelinding cepat seka-

li dan tiba-tiba terdengar suara yang dalam bula-

tan tersebut, tetapi jelas.

- Hai Mpu Kepakisan. Kenapa engkau se-

karang menjadi tolol? Heh heh heh heh, apakah


engkau tidak sadar sudah terancam oleh bahaya? 

Nah, tidak cepat pergi mengikuti aku, celakalah 

kalian.—

Mpu Kepakisan terbelalak. Tetapi ia sadar 

peringatan yang ia dengar dari dalam benda bulat 

itu tidak boleh ia abaikan. Sebab memang tidak 

mustahil apabila Klinthung Waluh bermain cu-

rang, menyembunyikan diri dalam jalan rahasia. 

di bawah tanah. Sadar akan bahaya kakek ini 

dengan gugup berkata, 

— Anakku semua, lekas ikut aku!—

Rangga Pramana maupun Ratih segera me-

lompat dan mengikuti Mpu Kepakisan. Sedang 

arah gerak mereka mengikuti gerakan benda bu-

lat yang aneh dan menggelinding itu.

Tetapi sebaliknya Dewi Sritanjung agak ra-

gu. Ia mempunyai pendapat lain dan kurang per-

caya peringatan itu. Oleh sebab itu sekalipun ber-

gerak gadis ini mengambil arah lain dan berten-

tangan dengan gerakan Mpu Kepakisan.

Bum ... !

Belum jauh orang-orang itu meninggalkan 

tempat mereka tadi tahu-tahu tanah itu amblong 

dan debu mengepul tinggi.

Mpu Kepakisan, Rangga Pramana dan Ra-

tih menghentikan langkah lalu membalikkan tu-

buh. Mereka terkejut dan terbelalak, melihat ter-

jadinya tanah longsor itu.

- Ahh, manakah bocah itu tadi?— seru ka-

kek ini kaget sekali dan wajahnya menjadi pucat. 

- Ahhh, celaka! Dia tentu terjebak!—


Mari cepat kita tolong!— Ratih gugup dan 

mengajak.

Dari wajahnya yang pucat tampak sekali 

gadis ini mengkhawatirkan Dewi Sritanjung.

- Tidak! Jangan! — Mpu Kepakisan mence-

gah.

- Kenapa?- Rangga Pramana heran.

- Hemm,— kakek ini menghela napas da-

lam. - Kita sudah melihat sendiri, wilayah Klin-

thung Waluh ini penuh dengan jebakan berba-

haya. Ahhh, apakah yang akan terjadi apabila ti-

dak muncul tokoh aneh yang menyembunyikan 

diri dalam karung tadi? Hemm, kita semua tentu 

sudah masuk dalam perangkap Klinthung Waluh. 

Maka jelaslah bagi kita, tokoh aneh itu sudah 

menyelamatkan nyawa kita dari bahaya maut.—

Kakek ini berhenti. Setelah menghela na-

pas lagi, terusnya, — Hemm, terus terang aku 

sendiri pun tidak mengenal tempat ini secara 

baik. Padahal keberanian tanpa perhitungan akan 

menimbulkan korban jiwa sia-sia. Sesungguhnya 

akupun tidak tega kepada Dewi Sritanjung. Akan, 

tetapi apakah daya kita? Apakah nyawa dia seo-

rang itu harus kita tambah dengan tiga nyawa la-

gi?—

Mendengar jawaban dan penjelasan Mpu 

Kepakisan dua orang muda ini terbungkam. Me-

reka tidak dapat membantah kebenaran ucapan 

kakek ini. Daerah yang penuh dengan jebakan 

rahasia ini memang amat berbahaya bagi orang 

luar.


Akibatnya dua orang muda ini hanya dapat 

menghela napas dalam sambil memandang tem-

pat yang tadi mereka tempati untuk berdiri. Tem-

pat itu sekarang sudah amblong, maka mereka 

kemudian menduga, Dewi Sritanjung sudah ter-

perosok masuk ke dalam lubang jebakan itu. 

Untuk beberapa saat lamanya Mpu Kepaki-

san juga tidak membuka mulut. Ia mengamati ta-

nah yang amblong itu sambil mengurut-urut 

jenggotnya yang putih, dalam usahanya mengu-

rangi rasa sedih yang memenuhi dalam dadanya. 

Kakek ini menyesal sekali, mengapa Dewi Sritan-

jung tidak mau percaya peringatan benda aneh 

yang dapat menggelinding dan berbicara itu.

Tiba-tiba suasana yang hening itu dipecah-

kan oleh pertanyaan Ratih, — Kek, dapatkah Ka-

kek menduga, siapakah kira-kira tokoh sakti yang 

bersembunyi dalam karung dan telah menyela-

matkan kita tadi?-

— Entahlah, aku belum bisa menduga. 

Namun jelas sekali tokoh itu membantu kita dan 

akupun percaya, dia tokoh aneh tetapi berhati 

emas. Ahhh . .. mungkinkah dia?—

— Siapakah dia, Kek?

— Orang yang dapat bersembunyi di dalam 

karung, bentuknya menjadi bulat dan dapat ber-

gerak seperti itu, siapa lagi kalau bukan Mpu 

Anusa Dwipa? Heh heh heh heh. —

Mendadak terdengar suara orang ketawa 

terkekeh nyaring.

— Sobat, engkau memang tajam rasa di


samping cerdik. Sebenarnya aku tadi enggan ke-

luar dari kantung wasiatku ini. Tetapi karena 

engkau telah menyebut namaku, maka tidak 

enak rasanya apabila aku terus bersembunyi da-

lam kantungi wasiat. —

Mpu Anusa Dwipa dan Mpu Kepakisan 

memang merupakan sahabat lama. Maka perte-

muan tidak terduga ini menyebabkan mereka 

gembira sekali.

Namun ketika tidak melihat Dewi Sritan-

jung kakek gemuk ini membelalakkan mata dan 

menggumam, — Aneh! Di manakah bocah perem-

puan tadi?-

Ratih yang tadi khawatir dan menganjur-

kan kakeknya (gurunya) supaya menolong gadis 

itu sudah berteriak, — Dia terjebak. Tolonglah 

dia!-

— Ya! Nampaknya dia memang sudah ter-

jebak, Saudara Dwipa,— ujar Mpu Kepakisan 

dengan nada sedih. — Coba usahakanlah perto-

longan, dan aku percaya engkau telah mengenal 

secara baik wilayah ini.—

— Hemm . . . anak nakal itu memang sela-

lu membuat orang repot saja!— desis Mpu Anusa 

Dwipa. — Ahh, celaka! Gara-gara si nakal, aku 

harus berurusan dengan Klinthung Waluh lagi. 

Hemm baiklah! Aku akan berusaha menolong bo-

cah itu. Tetapi, Saudara Kepakisan, sebaiknya 

engkau dengarkan permintaanku ini.... —

— Tentang apa? —

— Sekarang pergilah secepatnya kau ke


Kotaraja Majapahit. Menghadaplah kau kepada 

Mahapatih Gajah Mada, dan beritahukanlah 

pemberontak Sadeng yang sudah pernah dihan-

curkan itu, ternyata masih terdapat sisanya yang 

berbahaya.—

— Ah, kau tahu? Lalu di manakah sisa-sisa 

itu sekarang bertempat tinggal? - Mpu Kepakisan 

kaget sekali.

— Di sana! Di sebelah selatan Gunung Ma-

lang. Mereka bersembunyi dalam suatu lembah 

tidak jauh dari mata air Kali Sanen. Maka minta-

lah kau kepada Mpu Mada, agar segera menge-

rahkan pasukan terpilih, berani dan tangkas. Dan 

sebaiknya, malah engkau pula yang memimpin 

pasukan itu. Hemm, mungkin kau bertanya, apa-

kah sebabnya? Sebabnya adalah karena daerah

itu merupakan daerah terasing dan mereka 

menggunakan jalan rahasia di bawah tanah.—

— Ahhh ... — tak urung Mpu Kepakisan 

berseru tertahan. — Bagaimanakah mungkin 

orang bisa masuk ke sana tanpa pengetahuan 

lengkap jalan rahasia itu?—

Mpu Anusa Dwipa terkekeh. — Heh heh 

heh heh heh, tentu saja aku dapat membantu 

kau. —

Mpu Anusa Dwipa segera mengambil se-

lembar kain sutera dari dalam saku jubahnya. 

Lembaran kain sutera putih ini, kemudian ia ben-

tangkan di tanah. Kemudian ternyata pada kain 

sutera ini sudah terlukis semacam peta. 

— Nah, dengan petunjuk ini engkau dapat


dengan mudah datang ke sana. Sekarang kita 

berpisah dan membagi tugas. —

Tanpa menunggu jawaban, Mpu Anusa 

Dwipa sudah melangkah pergi seenaknya. Namun 

karena tubuhnya pendek gemuk seperti gentong 

maka kakek sakti ini jalannya seperti menthog 

dan migag-migug, hingga semua bagian tubuhnya 

bergerak-gerak.

Mpu Kepakisan memandang ke arah Mpu 

Anusa Dwipa pergi. Ia menghela napas pendek, 

terharu dan amat berterima kasih kepada kakek 

gemuk itu. Tetapi karena ia sudah mengenal wa-

tak dan tabiat Mpu Anusa Dwipa yang memang 

aneh, maka kakek ini tidak berusaha mencegah 

kepergiannya.

Kemudian ia melambaikan tangan kepada 

Rangga Pramana dan Ratih. Ia lalu mengajak dua 

orang muda ini secepatnya meninggalkan Gunung 

Kelud. Mereka bergerak cepat tanpa bicara. Dan 

benak Mpu Kepakisan agak tegang, setelah men-

dengar tentang masih terdapatnya sisa pemberon-

tak Sadeng itu.

Menurut pendapatnya, sisa pemberontak 

itu apabila tidak selekasnya dibasmi, akan sema-

kin sulit dihancurkan apabila sisa pemberontak 

Sadeng ini semakin kuat. Oleh karena itu terpikir 

oleh kakek ini untuk segera memberikan laporan 

kepada Mahapatih Gajah Mada.

Tidaklah mengherankan apabila kakek ini 

menjadi tegang. Sebab ketika membasmi pembe-

rontak Sadeng itu, dirinya ikut terjun dan mem


bantu Adityawarman sebagai panglima. Ketika itu 

dirinya melawan Mpu Sadeng. Sebab Mpu Sadeng 

seorang sakti dan mempunyai ilmu sihir yang 

berbahaya bagi lawan. Dan berkat perlawanannya 

waktu itu, ia dapat mengalahkan Mpu Sadeng. 

Hingga pemberontak Sadeng itu kemudian ter-

basmi. 

4

Mpu Anusa Dwipa melangkah tanpa ragu 

menuju ke arah daerah berbahaya yang penuh 

oleh jebakan itu. Kemudian sepasang alis kakek 

gendut ini berkerut, ketika melihat lubang jeba-

kan yang terbuka dan hampir mencelakakan Mpu 

Kepakisan maupun yang lain. Kakek ini kemu-

dian agak membungkuk lalu mengadakan penye-

lidikan.

Tidak lama. Beberapa jenak kemudian ka-

kek ini dengan gerak ringan sekali, sudah berlon-

catan ke arah puncak gunung.

Gerakan kakek ini sungguh menakjubkan. 

Sekalipun tubuhnya gendut seperti gentong, na-

mun gerakannya cepat sekali seperti dapat ter-

bang.

Tak lama kemudian Mpu Anusa Dwipa su-

dah tiba pada daerah yang penuh dengan batu-

batu besar. Batu tersebut ada pula yang sebesar 

rumah dan ada pula yang lebih tinggi dan lebih 

besar dibanding rumah.



Kakek ini kemudian menjejak tanah. Lalu 

tubuhnya yang gendut itu melesat ke atas. Ju-

bahnya berkibaran tertiup angin dan sesaat ke-

mudian ia telah berdiri pada batu gunung yang 

terbesar dan tertinggi. Ia memandang sekeliling 

seperti menyelidik, dan tiba-tiba sudah berteriak 

nyaring.

— Hai Klinthung Waluh! Hayo, lekaslah ke-

luar!!. Aku, Mpu Anusa Dwipa ingin ketemu den-

gan kau!—

Teriakan kakek ini terdengar nyaring sekali 

dan suara itu memantul dari tebing ke tebing dan 

batu ke batu. Tak lama kemudian seperti iblis 

dan setan. Klinthung Waluh bersama dua orang 

muridnya sudah muncul.

Keanehan segera terjadi. Klinthung Waluh 

yang tadi sikapnya garang ketika berhadapan 

dengan Mpu Kepakisan, sekarang bersama dua 

muridnya sudah berlutut di tanah. Sejenak ke-

mudian Klinthung Waluh berkata dengan na-

danya amat menghormat.

— Mpu, saya sudah datang. Adakah keper-

luan Mpu, hingga perlu memanggil saya? —

— Heh heh heh heh, bangkitlah!— perintah 

Mpu Anusa Dwipa yang masih tetap berdiri di ba-

tu itu.

Klinthung Waluh dan muridnya segera pu-

la bangkit berdiri. Tetapi guru dan murid ini seka-

lipun berdiri, kepalanya menunduk, dan tidak 

seorangpun berani mengangkat kepalanya me-

mandang kakek gendut itu. Jelas sekali sikap mereka amat menghormat, seakan berhadapan den-

gan guru. 

Memang sekalipun bukan guru langsung, 

Klinthung Waluh termasuk pula orang yang be-

runtung, karena pernah memperoleh suatu ilmu 

kesaktian dari Mpu Anusa Dwipa. Dan berkat il-

mu kesaktian pemberian dari kakek gendut ini, 

maka kesaktian Klinthung Waluh menanjak ting-

gi.

Apakah sebabnya Mpu Anusa Dwipa yang 

terkenal sebagai tokoh sakti yang -banyak meno-

long orang, sudi memberi ilmu kesaktian kepada 

Klinthung Waluh, yang terkenal merupakan seo-

rang tokoh sesat dan jahat itu?

Inilah salah satu keanehan Mpu Anusa 

Dwipa. Karena memang terkenal mempunyai wa-

tak aneh dan berhati emas, maka menjadi kege-

maran dari kakek ini, menyembunyikan diri da-

lam karung, menekuk tubuh dan berloncatan se-

perti bola, dan karung itu sendiri ia sebut sebagai 

'kantung wasiat'.

Orang banyak memang menganggap Klin-

thung Waluh seorang sesat dan jahat. Tetapi Mpu 

Anusa Dwipa tidak memandang demikian. Menu-

rut pendapat kakek gemuk ini, Klinthung Waluh 

ini sama dengan orang yang lain. Sebagai manu-

sia biasa yang kedudukannya dan keadaannya 

sama dengan manusia yang lain. Manusia yang 

tidak serba sempurna, tetapi mempunyai kelema-

han dan kekurangan. Yang disebut sesat dan ja-

hat bukanlah si manusia itu sendiri, melainkan

adalah tindak dan perbuatannya.

Mpu Anusa Dwipa menatap ke arah Klin-

thung Wakih penuh perhatian. Sejenak kemudian 

ia berkata, — Hai Klinthung Waluh! Engkau apa-

kan bocah perempuan yang masuk dalam jeba-

kanmu tadi?-

- Bocah yang mana?- Klinthung Waluh ma-

lah bertanya. Ia mengangkat kepala sebentar 

memandang Mpu Anusa Dwipa. Namun cepat-

cepat ia menundukkan kepala lagi dengan sikap 

yang tetap menghormat.

- Heh heh heh heh, siapa lagi kalau bukan 

bocah perempuan yang tadi tertidur oleh ilmu su-

lapmu itu? —

- Mpu . . ehh . . .Guru ... ehh ... Mpu, tidak 

ada . . . sungguh tidak ada... dan kami berani... 

bersumpah.... –

Mpu Anusa Dwipa mengerutkan alis, ben-

taknya, - Klinthung Waluh! Kau berani menipu 

aku?- 

- Ohhh..... tidak ...! - tubuh Klinthung Wa-

luh mendadak gemetaran saking ketakutan. -

Guru . . . sungguh mati. . . tidak ada. Manakah 

mungkin saya berani... menipu Bapa?

- Hayo angkatlah mukamu dan sekarang 

semua memandang kepadaku!-

Guru dan murid itupun tanpa berani 

membantah lagi sudah mengangkat muka mas-

ing-masing, lalu memandang ke arah Mpu Anusa 

Dwipa.

Kakek aneh dan berhati emas ini dengan


memandang sinar mata orang, akan segera tahu 

orang itu berdusta ataukah jujur. Maka setelah 

mengamati sinar mata guru dan murid ini, Mpu 

Anusa Dwipa menjadi percaya, mereka sudah 

memberi keterangan sejujurnya.

— Heh heh heh heh, — ia terkekeh. – Aku 

percaya kepada kamu. Sudahlah, sekarang aku 

mau pergi.—

— Bapa . . . ! — tiba-tiba Klinthung Waluh 

berseru.

— Engkau perlu apa lagi? —

— Bapa . . . besar harapan saya... agar Ba-

pa sudi membimbing diri saya ini, agar bisa men-

dapatkan ilmu kesaktian yang lebih hebat lagi.—

— Heh heh heh, ha ha ha ha,— Mpu Anusa 

Dwipa bergelak-gelak mendengar permintaan 

Klinthung Waluh ini, lalu bertanya, — Kemudian 

setelah engkau bisa mendapatkan ilmu kesaktian 

yang lebih tinggi lagi, apakah tujuanmu? —

— Bukan lain agar saya menjelma sebagai 

manusia paling sakti di dunia ini. —

— Ha ha ha ha! — makin bergelak kakek 

gendut ini mendengar maksud Klinthung Waluh. 

— Hai Klinthung Waluh, dengarlah baik-baik apa 

yang aku katakan ini. Ketahuilah bahwa Gunung 

Kelud ini orang bilang sudah tinggi. Akan tetapi 

tinggi manakah dengan awan yang bergerak, di 

angkasa itu? Tetapi nyatanya awan yang tinggi itu 

masih kalah tinggi lagi dengan langit. Hemm, bu-

lan di angkasa lebih tinggi lagi, tetapi masih kalah 

tinggi dengan matahari. Sedang matahari masih


kalah tinggi lagi dengan bintang. Ha ha ha ha, 

hanya lamunan kosong saja orang yang bercita-

cita ingin menjadi orang tersakti, orang terpandai 

dan orang tertinggi? Yang sakti masih ada yang 

lebih sakti. Yang pandai masih ada yang lebih 

pandai lagi. Dan yang merasa berkedudukan ting-

gi masih ada yang lebih tinggi, dan yang merasa 

kuasapun masih ada pula yang lebih kuasa la-

gi.— Mpu Anusa Dwipa berhenti dan mengambil 

napas. Sejenak kemudian ia meneruskan, —

Orang bercita-cita memang baik. Akan tetapi 

orang melamun akan menjadi sahabat setan dan 

iblis. Lebih berabe lagi jika manusia sudah mela-

munkan agar dirinya bisa serba tahu, serba kua-

sa, serba menang dan ingin menyamai kekuasaan 

Dewata Yang Agung. Orang yang demikian itu 

akan tersesat jalan karena bersahabat dengan se-

tan dan iblis. Hai Klinthung Waluh. Tahukah 

engkau tentang setan dan iblis itu?—

— Setan dan iblis adalah penggoda manu-

sia.—

— Heh heh heh heh, engkau seperti burung 

beo yang menirukan orang bicara. Ketahuilah se-

tan dan iblis itu, menghuni dalam tiap-tiap ma-

nusia.—

— Ahhh ... kalau begitu . . . saya ... —

— Benar! Dalam tubuhmu pun setan mau-

pun iblis menghuninya, heh heh heh heh, engkau 

kaget? Itulah tanda engkau selama ini tidak per-

nah mau mawas diri, sebagai akibat engkau 

hanya selalu menurutkan nafsu dan pikiran jahatmu. Dengarlah hai Klinthung Waluh, para cer-

dik pandai sudah bilang, setan maupun iblis akan 

menggoda setiap manusia, yang tidak mau me-

nyadari hidupnya sebagai makhluk Dewata 

Agung. Tidak mau sadar sebagai makhluk yang 

lemah. Manusia yang mau mawas diri dan sadar 

diri, dalam hidupnya ini tanpa penilaian dan per-

bandingan. Dan apabila kau sudah bisa seperti 

ini, niscaya dalam sanubarimu takkan ada lagi 

yang disebut "aku" dan selalu minta tempat paling 

depan. Sebab si aku itulah sesungguhnya nafsu 

manusia yang selalu ingin memperoleh, dan bu-

kan yang lain. —

Kakek ini berhenti, mengambil napas, lalu 

terusnya, - Nah, kegiatan dan keinginan si aku ini 

yang kemudian menimbulkan nafsu yang tidak 

pada tempatnya. Dan itulah sebenarnya setan 

dan iblis. Itulah yang selalu mengganggu hidup-

mu menjadi tidak tenteram. Maka orang berkata, 

si Anu sedang menurutkan nafsu yang merusak, 

yang tidak baik, sedang menuruti godaan setan 

dan si iblis. Heh heh heh heh, Klinthung Waluh, 

godaan setan dan iblis akan selalu berlangsung 

terus selama hidupmu, jika engkau tak mau ma-

was diri. Jika engkau selalu membandingkan dan 

jika engkau selalu menilai. Karena dalam dadamu 

akan selalu berkecamuk rasa iri hati dan selalu 

mengumandang jeritan mengapa orang itu bisa 

hidup kaya raya, tetapi aku melarat?-

Mpu Anusa Dwipa tidak peduli, Klinthung 

Waluh mau mendengar nasihatnya ini atau tidak.


Maka ia terus nyerocos saja.

- Engkau jangan memandang apa yang kau 

sebut melarat itu dari kacamata lahiriah. Sebab, 

yang tidak pernah menipu itu hanyalah dari ka-

camata kejiwaan. Orang yang berkedudukan ting-

gi, kaya raya, akan tetapi dari sudut kejiwaan bi-

sa disebut melarat, apabila orang itu hanya selalu 

memikirkan kepentingan diri pribadi sambil me-

rugikan orang lain. Dia seorang melarat dari ka-

sih, melarat dari kebijaksanaan, keadilan, kesa-

daran, kebaikan, keluhuran, aih .. . heh heh heh 

heh .. .—

Mpu Anusa Dwipa tiba-tiba menghentikan 

pidatonya, ketika melihat Klinthung Waluh dan 

muridnya sudah tidak tampak lagi. Agaknya Klin-

thung Waluh dan muridnya sudah lenyap lewat 

pintu rahasia, sehingga gerakan mereka tidak ter-

tangkap oleh telinga Mpu Anusa Dwipa.

Mpu Anusa Dwipa kemudian terkekeh-

kekeh sendiri, menertawakan diri sendiri, bicara 

tanpa ada yang mendengarkan.

Tetapi sekalipun demikian ia tidak marah 

maupun masygul, Klinthung Waluh maupun mu-

ridnya tidak mau mendengar nasihat baiknya. 

Sebab semua orang akan memetik buah tana-

mannya sendiri. Kalau memang Klinthung Waluh 

memilih menanam pohon yang beracun dan akan 

teracuni diri sendiri, siapakah yang dapat mence-

gah? Biarlah Klinthung Waluh hidup dengan garis 

dan takdir yang sudah ditentukan Dewata Yang 

Agung.


Mpu Anusa Dwipa meniup turun dari batu 

besar itu. Lalu kening kakek ini berkerut, ketika 

teringat lagi kepada Dewi Sritanjung yang tiba-

tiba lenyap itu.

Sesungguhnya saja ia tadi sudah 

mengkhawatirkan apabila gadis tersebut sudah 

tertangkap oleh Klinthung Waluh lalu menjadi 

tawanan. Akan tetapi karena Klinthung Waluh 

mengatakan tidak tahu menahu, maka kakek ini 

menduga, Dewi Sritanjung sudah pergi menggu-

nakan jalan lain.

Tak lama kemudian kakek ini sudah berla-

rian meninggalkan pinggang Kelud. Namun belum 

jauh ia menuruni pinggang gunung ini, ia berhen-

ti. Ia menebarkan pandang matanya ke sekeliling, 

seperti sedang mencari sesuatu. Tetapi di sekeli-

lingnya tidak terdapat seorangpun.

Mpu Anusa Dwipa menghela napas pan-

jang. Desisnya, - Hemm, apakah sebabnya aku 

sampai, terlupa kepada bocah itu? Lebih tiga bu-

lan lamanya aku tidak ketemu . . . hemm, ke ma-

nakah dia sekarang? Jangan-jangan .... —

Ia berhenti dan berdiam diri. Ada firasat 

dalam sanubarinya, sesuatu yang tidak beres 

dengan bocah yang ia maksud.

Lalu siapakah bocah itu? Hemm, siapa lagi 

kalau bukan Mahisa Singkir yang amat ia sayang 

itu? Memang aneh sekali, kepada Mahisa Singkir 

ia makin lama menjadi semakin terpikat, sayang 

dan suka sekali. Sebab bukan saja Mahisa Sing-

kir seorang pemuda cerdik dan berbakat, tetapi


juga jujur, sederhana dan setia. Kesetiaan Mahisa 

Singkir ini sudah pernah ia coba. Pada suatu ha-

ri, ia menguji kesetiaan Mahisa Singkir dengan 

cara memerintahkan supaya memanjat pohon 

yang tinggi kemudian ia memerintahkan agar me-

loncat turun.

Pada mulanya ia menduga tentu Mahisa 

Singkir akan menolak perintah ini dan mengemu-

kakan alasan, apabila dirinya melaksanakan pe-

rintah dirinya akan mati terbanting di tanah dan 

mati.

Namun ternyata dugaannya ini keliru. 

Tanpa membantah sepatahpun, Mahisa Singkir 

sudah memanjat pohon yang tinggi itu sampai 

puncak.

Mpu Anusa Dwipa masih tidak percaya, 

Mahisa Singkir akan benar-benar melompat turun 

dari dahan itu. Sebab walaupun Mahisa Singkir 

mempunyai kepandaian yang sepuluh kali lipat 

dari keadaannya sekarang, tentu akan tewas se-

ketika jika terjun bebas dari tempat yang tinggi 

itu. Namun ternyata dugaannya salah lagi, dan 

tanpa ragu sedikitpun bocah itu sudah melompat 

turun.

Melihat melompatnya Mahisa Singkir dari 

tempat yang tinggi, Mpu Anusa Dwipa sendiri 

yang kemudian menjadi kelabakan. Ia ingin men-

cegah akan tetapi sudah terlanjur. Kakek ini 

menggeleng-gelengkan kepala, tetapi juga kagum 

menemukan bocah yang setia seperti ini.

Guna menolong Mahisa Singkir, tiada jalan


lain kecuali ia melompat ke bawah Mahisa Singkir 

yang sedang meluncur turun dengan cepat. Kakek 

ini kemudian menggerakkan tangan mendorong 

ke atas bergantian. Angin yang halus tetapi kuat 

sekali menyambut ke arah Mahisa Singkir. Dan 

oleh dorongan angin dari bawah itu, mendadak 

membal kembali ke atas beberapa kali.

Justru oleh dorongan dari bawah ini, sete-

lah tubuh Mahisa Singkir kembali meluncur tu-

run kecepatannya menjadi berkurang. Dan sete-

lah kakek ini berkali-kali mendorong ke atas, ma-

ka kemudian tubuh Mahisa Singkir dapat diteri-

ma oleh Mpu Anusa Dwipa dengan selamat. 

Tetapi mungkin saking merasa ngeri dan 

juga oleh pengaruh dari luncuran yang cepat se-

kali, Mahisa Singkir menjadi pingsan. Sambil ter-

kekeh Mpu Anusa Dwipa memondong Mahisa 

Singkir ke tempat rindang, lalu ia baringkan di 

atas rumput. Setelah ia pijit dan urut beberapa 

lamanya; Mahisa Singkir bergerak lalu sadar.

— Apakah aku sudah mati? — Mahisa 

Singkir mengucapkan kata-katanya seperti itu, 

ketika ia membuka mata pertama kali setelah 

pingsan.

— Heh heh heh heh, siapakah yang mati? 

Hemm, Anak, mengapakah sebabnya engkau mau 

saja aku suruh terjun dari pohon yang tinggi 

itu?—

— Bagi saya tiada alasan membantah pe-

rintah Kakek. –

— Sekalipun sadar perintah itu bisa me

nyebabkan kematianmu sendiri?—

-Ya.-

— Kenapa? —

— Karena Kakek demikian baik kepada 

saya, dan karena saya sudah banyak berutang 

budi yang tidak mungkin dapat aku balas dengan 

nyawa sekalipun.—

Tiba-tiba Mpu Anusa Dwipa terkekeh. —

Heh heh heh heh, engkau seperti yang lain, ikut-

ikutan menganggap "budi" bisa diperutangkan. 

Budi bukanlah uang dan barang. Kalau uang dan 

barang orang bisa menjualbelikan maupun mem-

perutangkan. Tetapi budi tidak bisa.—

— Kenapa Kek? Bukankah semua orang 

mengakui hutang budi itu memang ada? —

— Bukan semua orang! Tetapi masih ada 

beberapa orang dan juga aku sendiri yang ber-

pendapat, budi itu tidak bisa diperutangkan. —

— Ahhh . . . Kakek aneh! Kakek menyendi-

ri. Apakah baik apabila orang menyendiri dan ti-

dak mau mengakui pendapat yang sudah umum 

itu?—

— Terserah orang menganggap diriku aneh. 

Tetapi aku tidak setuju kepada pendapat umum 

itu, jika orang dapat mengadakan hutang-piutang 

tentang budi. Anak, budi tidak dapat dihutang-

kan. Maka kalau ada orang yang merasa mengu-

tangkan budi kepada seseorang, itu jelas muna-

fik. Berarti apa yang ia berikan, apa yang ia se-

rahkan kepada orang lain itu tidak ikhlas. Karena 

orang itu mengharapkan sesuatu di balik pemberian dan bantuannya." -

Ia berhenti dan mengambil napas. Sejenak 

kemudian ia meneruskan, — Anak, kalau ada 

orang bilang rela dan ikhlas memberikan sesuatu 

tetapi masih ada harapan tersembunyi di balik 

bantuan itu, apa lagi sebutannya kalau sesung-

guhnya orang itu hanya pura-pura saja? Jadi apa 

yang ia lakukan hanya merupakan pura-pura saja 

agar orang menyebut dirinya baik. Agar orang 

menyebut dirinya seorang dermawan, budiman 

dan sebutan, yang lain lagi. Tetapi pada kenya-

taannya, apa yang ia lakukan bukanlah dilandasi 

oleh rasa kesadaran yang tulus. —

- Hemm, Anak, apa yang sudah aku beri-

kan kepadamu, tidak lain karena aku ingin mem-

beri. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari kau 

maupun orang lain yang aku beri. Maka terserah 

penilaianmu sendiri, tetapi aku tidak merasa 

mengutangkan budi itu. Sebab apa yang aku la-

kukan adalah sudah wajar, sesuai dengan kea-

daanku. Kalau aku tidak punya, bagaimanakah 

mungkin aku dapat memberi? Heh heh heh heh, 

karena kau butuh dan sebaliknya aku punya,

maka terjadilah pemberian itu. Dan itu pula se-

babnya aku tidak pernah mempunyai murid dan 

menolak pula ketika engkau menyatakan ingin 

menjadi muridku. Hubungan guru dan murid 

akan menimbulkan ikatan, hingga aku tidak bisa 

bebas lagi dan sebaliknya engkau pun tidak be-

bas. —

Teringat kepada bocah bernama Mahisa

Singkir itu, dalam hatinya lalu timbul pertanyaan. 

Ke manakah bocah itu? Dalam sanubarinya tera-

sa ada getaran yang memberi firasat adanya se-

suatu yang tidak beres. Tetapi apakah itu? Ia 

sendiri tidak tahu. Maka kemudian kakek ini me-

ninggalkan Gunung Kelud, menuju ke timur.

Mpu Anusa Dwipa memang tidak tahu sa-

ma sekali, Mahisa Singkir sekarang ini menjadi 

tawanan Mpu Galuh, bersama teman seperjala-

nannya bernama Sarwiyah.

Biarlah Mpu Anusa Dwipa sekarang ini 

bingung memikirkan Mahisa Singkir yang amat ia 

sayangi itu.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, ke 

manakah Dewi Sritanjung yang tiba-tiba lenyap 

itu? Apakah Dewi Sritanjung terjebak oleh pe-

rangkap Klinthung Waluh yang jahat itu? Dan 

mengapa pula sebabnya sekalipun Mpu Anusa 

Dwipa sudah berusaha dengan bertanya kepada 

Klinthung Waluh, tetapi orang ini menyatakan ti-

dak tahu? Benarkah keterangan Klinthung Waluh 

apabila ia tidak tahu ke mana Dewi Sritanjung 

pergi?

Yang sudah terjadi memang di luar dugaan 

semua orang. Sebagai seorang gadis yang masih 

hijau dan picik pengalaman, sekali pun ia sudah 

mendapat pemberitahuan, lereng Kelud ini ba-

nyak jebakan dan jalan rahasia, ia masih juga ku-

rang percaya. Ia tidak mau berkaca kepada pen-

galaman yang baru saja ia alami, menjadi roboh 

pingsan oleh Klinthung Waluh. Sebagai akibat rasa kurang percaya akan petunjuk orang ini, maka 

ia tidak mau mengikuti Mpu Kepakisan, dan ma-

lah mencari jalan yang lain.

Sebagai akibat kurang pengertian dan pen-

getahuannya, di samping juga kurang hati-hati, 

maka belum sepuluh langkah ia meninggalkan 

tempat, tiba-tiba saja kakinya merasa menginjak 

tempat kosong.

Gadis ini kaget dan berusaha melawan 

luncuran tubuhnya, sambil memukulkan kaki 

dan tangannya ke tepi lubang. Namun sungguh 

celaka! tubuhnya terus meluncur turun pada lu-

bang yang gelap bukan main. Akibatnya sekali-

pun ia tabah dan penuh rasa percaya kepada diri 

sendiri, dari mulutnya meluncur jerit nyaring.

Tetapi sekalipun demikian, Dewi Sritanjung 

masih berusaha mengurangi kecepatan luncuran 

tubuhnya dengan jalan mengatur keseimbangan 

tubuhnya. Hanya sayang sekali, lubang ini ter-

nyata dalam sekali, sehingga luncurannya bu-

kannya berkurang, malah semakin menjadi cepat. 

Saking kaget, takut dan ngeri, akhirnya gadis ini 

pening, namun masih tetap sadar.

Entah sudah berapa lama tubuhnya me-

luncur cepat sekali ke bawah. Tiba-tiba ia merasa 

tubuhnya tertahan oleh angin yang kuat sekali 

dari bawah, hingga tubuhnya membal ke atas 

kembali. Tetapi keadaan itu tidak lama, tubuhnya 

kembali meluncur turun. Lalu terasa lagi angin 

kuat menyambar dari bawah, dan tubuhnya 

membal kembali. Meluncur lalu membal kembali


sampai beberapa kali ini menyebabkan dirinya 

seperti dikocok dan kepalanya tambah pening. 

Dan pada, akhirnya gadis ini tidak dapat berta-

han lagi lalu pingsan!

Hembusan angin yang kuat dari bawah ini 

ternyata dari dorongan tangan seorang nenek 

yang tua renta, kurus kering dan rambutnya 

awut-awutan tidak disanggul. Nenek ini hampir 

telanjang karena pakaiannya sudah cabik tidak 

keruan.

Nenek ini duduk ngelesot di tanah yang 

lembab. Setelah berkali-kali memukulkan dua be-

lah tangannya ke atas bergantian, dan dari tela-

pak tangannya terbit angin yang kuat sekali, ma-

ka luncuran Dewi Sritanjung makin lama menjadi 

semakin lambat. Lalu ketika tubuh gadis yang 

pingsan ini meluncur turun, sudah diterima oleh 

dua tangannya yang kurus kering.

Oleh pertolongan yang tidak terduga dari 

makhluk yang berdiam di dalam lubang ini, sela-

matlah nyawa Dewi Sritanjung. Tetapi mungkin 

sekali karena terlalu banyak mengeluarkan tena-

ga sekarang nenek ini dadanya menjadi tersengal-

sengal lalu terbatuk-batuk. Ia membiarkan gadis 

ini yang terbaring di depannya dan dalam kea-

daan pingsan.

Sambil tersengal-sengal dan terbatuk-

batuk ini, nenek tersebut memandang penuh per-

hatian. Desisnya, — Hemm, seorang bocah pe-

rempuan yang masih muda. Mengapakah sebab-

nya bisa terperosok masuk dalam lubang ini? —


Setelah hilang rasa sesak dalam dadanya, 

nenek ini mulai memijit dan mengurut Dewi Sri-

tanjung untuk menyadarkannya. Berkat pijitan 

ini tiba-tiba gadis itu sadar lalu bangkit. 

- Ahhhh ... ! — gadis ini kaget sekali ketika 

melihat di dekatnya terdapat seorang nenek tua 

renta, rambut awut-awutan, kotor dan menjijik-

kan dan setengah telanjang.

- Hi hi hik, engkau kaget? Jangan takut! 

Anak, aku bukan setan dan bukan hantu. Tetapi 

aku adalah manusia seperti engkau juga.—

Nah, Saudara Pembaca, hanya sampai di 

sini cerita berakhir. Lho, kok berakhir, lalu ba-

gaimanakah nasib Dewi Sritanjung yang sekarang 

terperosok dalam lubang jebakan dan terkurung 

dalam perut Gunung? Pertanyaan ini akan terja-

wab dalam cerita berjudul "RAHASIA KIAGENG 

TUNJUNG BIRU".

Memang ternyata Ki ageng Tunjung Biru, 

yang menjadi kakek dan sekaligus gurunya itu 

mempunyai rahasia yang belum pernah terung-

kap. Tampaknya Ki ageng Tunjung Biru demikian 

rapat menyembunyikan rahasia itu, walaupun 

kepada cucu dan sekaligus muridnya yang amat 

terkasih. Lalu, rahasia tentang apa? Rahasia ma-

salah perempuan. Justru adanya masalah perem-

puan ini kemudian Ki ageng Tunjung Biru men-

gasingkan diri di dalam hutan hanya seorang diri. 

Hingga hidupnya hanya seorang diri dan baru 

mempunyai keluarga, setelah menemukan dan 

merawat Dewi Sritanjung sampai dewasa.


Dan justru adanya rahasia ini pula, maka 

Ki ageng Tunjung Biru menolak tawaran Gajah 

Mada agar sedia membantu di Kotaraja Majapa-

hit. Dan ia lebih suka hidup bersunyi diri di da-

lam hutan yang jauh dari manusia lain

Kalau demikian halnya, apakah yang bakal 

diceritakan dalam buku berjudul "RAHASIA 

KIAGENG TUNJUNG BIRU", itu melulu masalah 

yang menyangkut dia seorang?

O, jelas tidak! Cerita dalam buku tersebut 

akan lebih memikat Anda, baik sebagai hiburan di 

kala senggang maupun dalam usaha menguak se-

jarah Majapahit. Dalam buku tersebut kita juga 

bakal bertemu kembali dengan Mahisa Singkir, 

dan juga Sarwiyah.

... — Cinta kasih itu bagiku tidak ditentukan oleh 

pangkat, kedudukan dan martabat. Kakang, aku 

mencintaimu dengan sepenuh hati, sejak aku me-

lihatmu yang pertama kali. Apakah engkau tidak 

merasakan .... ?

Setelah berkata Ika Dewi menundukkan 

muka. Agaknya setelah mengucapkan kata-

katanya, gadis ini menjadi lega, namun juga me-

rasa malu.

Mahisa Singkir menghela napas lagi. Ujar-

nya, — Hemm...mmm... sudilah engkau memaaf-

kan aku. Karena . . . karena ......

Tiba-tiba Ika Dewi mengangkat kepalanya, mena-

tap Mahisa Singkir dengan tajam. Lalu terdengar 

ucapannya yang bernada sengit, — Karena eng-

kau sudah mencintai gadis lain, bukan . . . ?—


Mahisa Singkir yang jujur itu mengangkat 

kepala, memandang gadis ini sambil menghela 

napas dan mengangguk.

— Gadis mana ?-

Mahisa Singkir berdiam diri...

...— Jika kau mengantuk, silakan tidur. 

Aku akan menjagamu, agar tidak ada lalat mau-

pun nyamuk yang mengganggu.—

— Hemm, sekalipun tidak engkau jaga, 

nyamuk dan lalat tidak dapat masuk ke dalam 

kamar ini. Sudahlah, sekarang engkau harus per-

gi. Bagaimanakah kita akan menangkis kalau ada 

tuduhan kita sudah berbuat tidak senonoh di 

kamar ini? —

—Siapa yang berani berbuat seperti itu? –

Rakit Cendana membelalakkan matanya. 

— Jika orang itu masih kepengin hidup, takkan 

mungkin berani menuduh aku dan dirimu seperti 

itu. Maka Adikku, engkau jangan khawatir.—

— Tidak!— Sarwiyah membentak. — Po-

koknya sekarang juga kau harus meninggalkan 

kamar ini. —

Dengan perasaan kecewa sekali pemuda ini 

pergi juga meninggalkan kamar. Namun diam-

diam pemuda ini sudah memutuskan, ia akan 

menggunakan ramuan obat yang bisa menimbul-

kan rangsangan birahi.

— Huh huh . . . !— desisnya. — Aku ingin 

melihat. Apakah kau masih sanggup bertahan la-

gi, apabila dalam nasi sudah aku campur dengan 

obat? Huh, kau akan segera menyerah dalam pelukanku.. ... heh heh heh heh!—


                       = s e l e s a i =


Sala, Minggu kedua Mei 1987.

 


Share:

0 comments:

Posting Komentar