Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
LAYAKNYA permainan catur, mestinya Tujuh De-
wa Kematian telah menang satu langkah. Sebab di luar
dugaan, mendadak mereka menyatroni Kadipaten Lu-
majang lima hari menjelang purnama. Padahal mereka
telah bilang akan merampas Pitaloka yang akan dijadi-
kan tumbal demi ilmu sesat keparat yang mereka tun-
tut pada saat purnama nanti.
Sementara itu Satria Gendeng yang ditugasi men-
gundang tiga pendekar kawakan berwatak aneh baru
berhasil mendatangkan dua orang. Mereka adalah Ki
Dagul yang dikenal sebagai Pengemis Tuak dan Joyole-
lono yang mewakili gurunya, Dewa Gila. Sedangkan
Arya Wadam yang juga diundang, masih belum jelas
juntrungannya.
Rencana adipati yang hendak menjerat Tujuh De-
wa Kematian dengan mengundang ketiga pendekar
aneh ditambah seorang pendekar muda yang bergelar
Satria Gendeng jadi berantakan lantaran serangan
mendadak Tujuh Dewa Kematian. Untung saja, Ki Da-
gul dan Joyolelono cukup sigap. Mereka langsung
memberi perlawanan sengit, sehingga membuat dua
dari Tujuh Dewa Kematian kewalahan. (Baca episode
sebelumnya: "Tiga Pendekar Aneh").
"Slompret! Bocah gila ini pasti ada hubungannya
dengan Dewa Gila! Paling tidak, dia pasti muridnya,"
desis si botak satu dari Tujuh Dewa Kematian.
Kurang puas, lelaki berkepala plontos itu menjela-
jahi seluruh tubuh si bocah berkumis dengan sinar
matanya. Tak ada yang istimewa dari bocah itu selain
kebodohannya. Tapi jawilannya barusan membuat da-
danya sedikit terguncang
Sial benar siasat Tujuh Dewa Kematian ini. Pa-
dahal rencana sudah disusun matang-matang, tapi te-
tap tak berjalan mulus, semulus kulit bayi. Ada yang
salah pada mereka? Rasanya tidak. Untuk itu, tekad
mereka terbangun lagi.
"Hiaah...!"
Kali ini Lelaki plontos lainnya menggebrak. Tak
tanggung-tanggung, serangannya dilambari tenaga da-
lam penuh. Pukulan jarak jauh terlontar sudah. Arah-
nya sudah jelas, si bocah berkumis yang menyebalkan.
Joyolelono merasakan deru angin keras Bukan
kepalang. Kali ini tubuhnya menggelinding bak bunte-
lan kentut. Selain menghindar, sesekali boleh dong
menyerang. Kelihatannya tak ada gerakan berarti yang
dibuat Joyolelono. Tapi begitu jarinya menjentik benda
keramat milik lelaki plontos itu....
Tak!
"Adaauuu...!"
Si lelaki plontos langsung terpental. Kedua tan-
gannya sibuk mengelus-elus benda kesayangannya.
Mulutnya nyengir, sehingga membuat wajahnya yang
jelek makin tak karuan saja. Kambing telat buang ha-
jat mungkin masih kalah jelek.
Justru Joyolelono yang nandak kegirangan, seolah
baru saja mendapat mainan lagi.
"Rasain, wee.... Makanya, jangan suka jahil meru-
sak mainan orang!" omel si bocah berkumis.
"Keparat buduk! Apa karena tidak terlalu ngotot
sehingga bisa dikerjai anak ingusan itu?!" rutuk lelaki
plontos yang dikerjai Joyolelono ketika telah berdiri di
samping lelaki kembarannya. Kegeraman dalam ha-
tinya terasa sangat mengaduk-aduk dadanya. Betapa
tidak. Hanya beberapa jurus dia dibuat bak mainan
saja.
"Mestinya kita langsung bertujuh saja. Buat apa
lima saudara kita menunggu di perbatasan?" sahut le-
laki plontos satunya.
"Jadi, bagaimana kita sekarang?"
"Bisa berabe kalau dilayani terus. Sebaiknya kita
menyingkir dulu. Kita masih punya waktu lima hari
untuk merebut perawan itu."
Kata sepakat terputus sudah. Tanpa merasa malu
telah dikerjai, mereka segera berbalik dan berlari cepat
menuju perbatasan. Tak tanggung-tanggung mereka
berlari secepat mungkin bagai dikejar anjing gila.
"Hei..., hei! Ganti dulu mainanku baru kalian bo-
leh pergi!" teriak Joyolelono, lebih mementingkan ke-
senangannya daripada membantu sang Adipati dalam
menumpas Tujuh Dewa Kematian.
Menduga kedua lawannya tak bakal kembali lagi,
bibir bawah si bocah berkumis maju beberapa jari. Hi-
dungnya kembang kempis siap meledakkan tangis.
Pengemis Tuak yang melihat Joyolelono menjebik
begitu jadi gemas. Begitu melompat, langsung dibe-
kapnya mulut si bocah berkumis.
"Cengeng!" sentaknya.
"Bepppp...." Susah payah Joyolelono mengucap
dengan mulut ditutup begitu. Tapi kejap itu juga terlin-
tas akal nakalnya. Digigitnya tangan Ki Dagul.
"Waddauuu...! Kunyuk sialan! Kalau lapar minta
makan pada adipati. Jangan tanganku kau gigit!" maki
Pengemis Tuak uring-uringan begitu bisa mencabut
tangannya dari gigitan Joyolelono.
"Ada apa sahabatku, Pengemis Tuak?"
Kemarahan Ki Dagul terpenggal oleh sebuah sua-
ra.
"Ada-ada saja," sahut Ki Dagul sambil melirik ke
arah Joyolelono.
"Habis, mau nangis tidak boleh. Ayahku saja tak
melarang," rungut si bocah berkumis sambil memain-
kan bagian depan baju monyetnya.
Orang yang baru datang tak lain dari Adipati Wis-
nu Bernawa. Bibirnya mau tak mau harus mengem-
bangkan senyum melihat raut wajah Joyolelono. Habis
kalau lagi memberengut begitu, wajah itu tak lebih dari
wajah orang sakit mencret.
Lelaki itu kemudian mengajak masuk dua undan-
gannya. Dia ingin mengutarakan langkah selanjutnya
untuk menghadapi Tujuh Dewa Kematian yang diang-
gapnya sudah kebangetan. Tapi langkah mereka men-
dadak sontak terjegal oleh seorang prajurit yang berlari
tergopoh-gopoh.
"Am..., ampun, Gusti Adipati. Pu..., Putri Pitaloka
menghilang dari kamarnya...," lapor si prajurit.
"Apa...?! Bicara yang betul, Prajurit!" sentak sang
Adipati.
Si prajurit dibentak begitu langsung terlonjak.
Masih untung jantungnya menempel kuat dalam rong-
ganya. Kalau tidak bisa jadi langsung mati berdiri.
"Be... betul, Gusti Adipati. Tadi waktu Emban Su-
lastri hendak menemui di kamarnya, Putri Pitaloka te-
lah lenyap...."
"Kita kecolongan, Wisnu Bernawa. Rupanya saat
aku dan Joyolelono menghadapi...."
Kata-kata Pengemis Tuak tak ditanggapi sang Adi-
pati. Lelaki itu lebih suka membuktikan kata-kata si
prajurit ketimbang kata-kata sahabatnya. Tinggal Ki
Dagul yang garuk-garuk kepala dengan bibir memble.
Dan untuk membasahi bibirnya yang memble diteguk-
nya tuak dari guci besarnya.
"Hei, Bocah Tolol! Ayo kita lihat ke kamar Putri Pi-
taloka!" ajak Ki Dagul. Rasa kesalnya tadi kepada
Joyolelono yang mengganggu pertarungannya dengan
dua dari Tujuh Dewa Kematian telah lenyap. (Untuk
mengetahui pertarungan Pengemis Tuak dengan dua
dari Tujuh Dewa Kematian, baca episode sebelumnya,
"Tiga Pendekar Aneh").
"Pergi saja sendiri. Aku mau bikin mainan lagi!"
usir Joyolelono, masih kesal.
Ki Dagul kalau tak ingat bocah itu murid Dewa Gi-
la, sudah dijewernya telinga Joyolelono. Baru kali ini
rasanya dia menemukan bocah yang mampu membuat
hatinya meletup-letup. Tapi ibarat kentut yang tak jadi
meletus, Ki Dagul cepat memendam kembali kemara-
hannya. Bukan, bukan karena kemarahannya telah hi-
lang, tapi karena Joyolelono dengan seenaknya ngacir
dari tempat itu.
* * *
Di kamar Pitaloka, Adipati Wisnu Bernawa hanya
menemukan istrinya yang tengah menangis mengge-
rung-gerung sambil dihibur oleh beberapa emban. Dari
samping, seorang prajurit menyodorkan secarik kertas
bertuliskan huruf Jawa Kuno dengan tinta darah.
Sang Adipati komat-kamit, membaca.
Wisnu Bernawa.
Putrimu di tangan kami.
Tumbal perawan harus segera kami dapatkan.
Semua ciri-ciri ada pada anakmu.
Anggap saja tindakan kami sebagai bayaran atas
kelancanganmu yang berani-beraninya mengusik kami.
Tertanda,
Tujuh Dewa Kematian
"Keparat!" desis Adipati Wisnu Bernawa dengan
gigi bergemelutuk.
Jitu juga memang siasat lima dari Tujuh Dewa
Kematian. Dengan menyuruh dua saudara mereka
menyatroni kadipaten dari depan, mereka berlima ju-
stru menyusup dari belakang. Dan rencana itu sengaja
tak diutarakan pada kedua adik kembar mereka agar
berjalan mulus, semulus kulit Putri Pitaloka.
"Bagaimana menurutmu, Pengemis Tuak?" tanya
Adipati Wisnu Bernawa, pada lelaki berpakaian dekil di
sampingnya.
"Berapa hari lagi purnama kali ini?" Ki Dagul ma-
lah balik bertanya.
"Kalau menurut perhitungan, lima hari lagi."
"Kau yakin kalau Pitaloka dibawa mereka?"
Sebetulnya bagi sang Adipati itu pertanyaan bo-
doh. Ya, sudah jelas lelaki tukang minum tuak ini di-
undang ke tempat ini lantaran sang Adipati merasa te-
rancam, karena anaknya hendak dijadikan tumbal. Eh,
dia pakai bertanya begitu.
Buat Ki Dagul sendiri, dia bertanya begitu me-
mang lantaran tak tahu berbuat apa. Otaknya benar-
benar kusut, sekusut wajahnya yang jarang tersiram
air, kecuali tuak. Dan saking kusut pikirannya lagi-lagi
ditenggaknya tuak dari guci besarnya. Seperti bi-
asanya, cara minumnya seperti onta gurun.
"Apa tidak sebaiknya kita menyatroni mereka,
Pengemis Tuak?" susul sang Adipati.
"Boleh, boleh. Aku juga ingin mencoba ilmu baru-
ku pada kadal-kadal botak itu. Hik!" sahut Ki Dagul.
Bergegas, sang Adipati menyuruh prajuritnya un-
tuk menyiapkan pasukan.
"Kenapa mesti bawa-bawa prajurit, Wisnu Berna-
wa? Buang-buang nyawa percuma saja," cetus Ki Dagul. Matanya kian sayu. Agaknya dia tengah menikma-
ti mabuknya.
"Mereka prajurit-prajurit terlatih, Sahabatku,"
tandas Adipati Wisnu Bernawa.
"Bukankah kau pernah bilang kalau pernah men-
girimkan Prajurit Kembar yang dikenal paling tangguh
di kadipaten ini? Tapi mana hasilnya?" tukas Pengemis
Tuak.
"Prajurit Kembar memang mengakui keunggulan
Tujuh Dewa Kematian, Ki Dagul," sebuah suara dari
belakang Ki Dagul nyeletuk. Nadanya datar.
Ki Dagul menoleh. Sukma Sukanta, orang terakhir
Prajurit Kembar yang masih hidup telah berdiri di situ.
"Tapi bukan berarti Prajurit Kembar mati sia-sia,"
susulnya, tenang. Wajar saja kalau lelaki berusia seki-
tar empat puluh tahun itu tersinggung. Karena, Sukma
Sukanta merasa terlibat di dalamnya.
"He he he.... Tak perlu tersinggung begitu, Kawan.
Pengorbanan kalian memang tidak sia-sia. Hanya yang
kupikirkan adalah, agar tidak banyak korban yang ja-
tuh bila kita menyerang ke sana. Sebab, Wisnu Berna-
wa ini bersikeras hendak membawa para prajuritnya,"
jelas Pengemis Tuak, melunakkan hati Sukma Sukan-
ta.
"Sudahlah, Sahabatku. Baik. Saranmu kuterima.
Tapi yang kupikirkan saat ini, Satria Gendeng dan
Arya Wadam belum muncul juga. Ada apa dengan me-
reka?" keluh sang Adipati.
"Biasa, kucing kalau dekat ikan memang begitu,"
celetuk Ki Dagul.
"Apa maksudmu, Sahabat?" tanya sang Adipati.
"Lho..., Arya Wadam itu kan perempuan. Cantik
lagi wajahnya. Bisa jadi mereka berasyik-asyikan dulu
sebelum ke tempat ini," duga Pengemis Tuak.
"Tidak! Aku tak percaya kalau Satria Gendeng
punya sifat begitu. Aku pernah berjalan dengannya.
Dia paling takut dengan wanita," sergah Sukma Su-
kanta.
"Berapa kali kau bersama Satria Gendeng mela-
kukan perjalanan?" tukas Ki Dagul.
"Sekali."
"Itu belum cukup untuk menyimpulkan sifat se-
seorang."
"Ah, sudahlah. Cepat kita bersiap-siap melakukan
perjalanan. Eh, mana si Joyolelono," penggal sang Adi-
pati.
"Tadi kulihat dekat pintu gerbang kadipaten," sa-
hut Sukma Sukanta.
"Ya, sudah. Mari kita berangkat."
***
DUA
WAKTU mengendap. Matahari di atas sana terke-
pung gumpalan awan hitam pekat. Dengusan angin
kencang mengisi setiap sela mayapada. Menerpa dua
sosok manusia yang berjalan di tengah jalan desa.
Keduanya segera memasuki sebuah kedai. Yang
seorang pemuda bertubuh kekar. Rompi berbulu putih
dari kulit hewannya diikat dengan kain pada ping-
gangnya.
Di sisi si pemuda berwajah tampan itu adalah se-
seorang yang tak jelas. Wajahnya tertutup tudung se-
perti bakul nasi.
"Kita duduk di sana, Satria," tunjuk orang bertu-
dung itu ke sudut ruangan kedai.
Si pemuda yang tak lain pendekar muda berjuluk
Satria Gendeng tersenyum. Tarikan bibirnya menyi-
ratkan kesanggupannya dengan ajakan itu.
"Dari situ kita memandang leluasa ke sekitarnya,"
susul orang bertudung.
Mereka segera bergerak ke sudut kedai yang tak
terlalu ramai ini.
"Pesan apa, Tuan-tuan?" tanya pelayan kedai ra-
mai, tanpa dibuat-buat.
"Aku nasi sayur asem dengan lauk ikan bakar.
Kasih lalap petai, ya?" sahut Satria.
"Aku nasi campur arak," sebut orang bertudung.
Si pelayan berusia setengah baya terbengong.
Seumur-umur dia jadi pelayan baru kali ini ada yang
memesan nasi campur arak. Apa dia tak salah dengar?
"Mencampur nasi dengan arak, Tuan?" ulang si
pelayan tak yakin.
Orang bertudung dengan pakaian cukup perlente
itu mengangguk. Lemah saja, tapi sudah cukup mem-
buat si pelayan yakin walaupun masih saja kepalanya
menggeleng-geleng.
Satria melirik orang di sebelahnya yang tak lain
Arya Wadam.
"Sudah berapa lama kebiasaanmu makan nasi
campur arak, Arya Wadam?" usik Satria.
Dari balik tudungnya Arya Wadam menghujamkan
matanya ke arah dua bola mata si pemuda. "Kalau aku
mencampuri nasi dengan racun sekalipun, apa uru-
sanmu?"
Wah, dia tersinggung. Desah Satria dalam hati.
Rasanya aku hanya bertanya wajar.
"Oh, ya. Kapan jatuhnya purnama, ya?" Satria
mengalihkan pembicaraan. Tak enak rasanya suasana
jadi kaku seperti ini.
"Dua hari lagi. Kenapa?"
"Gawat! Bagaimana ini? Kita harus segera mene-
mui Adipati Wisnu Bernawa, tapi pencarian kita terha-
dap Raja Pencuri Dari Selatan belum menemukan titik
terang. Sedangkan kau bersedia ke Lumajang setelah
aku bersedia membantumu," desah Satria Gendeng.
Arya bangkit.
"Kau mengeluh lagi?" sindirnya. Hal itu pernah di-
lakukannya dua hari yang lalu, ketika Satria Gendeng
mengeluh demikian.
Satria memang pernah disindir bahwa Arya paling
benci dengan orang yang gampang mengeluh. Apalagi,
Satria Gendeng boleh dibilang adalah pendekar besar
yang saat ini menggegerkan dunia persilatan.
"Tapi apa orang tak boleh mengeluh? Dan aku wa-
jar dong mengeluh karena aku punya kewajiban terha-
dap Adipati Lumajang?" tukas Satria, kali ini tak mau
disindir begitu saja.
"Ya, tapi kau sudah berjanji padaku. Apa seorang
pendekar besar bisa mudah begitu saja melupakan
janji?"
Kali ini Arya terdiam.
Kalau bukan gadis cantik, sudah kutinggalkan
manusia cerewet ini, gerutu Satria. Dan kalau bukan
karena janji...
"Kalau kau mau pergi, pergilah. Biar aku mencari
Raja Pencuri Dari Selatan sendirian," celetuk Arya.
Satria masih terdiam. Tapi samber geledek dia jadi
terkejut, karena Arya seperti tahu jalan pikirannya.
Sementara itu pelayan yang membawa pesanan
mereka telah datang. Dihidangkannya semua makanan
di atas meja, lalu cepat beranjak dari situ.
"Repotnya, kita tak tahu ke mana harus mencari
Raja Pencuri Dari Selatan. Manusia tengik itu hilang
begitu saja seperti kentut," kata Satria lagi.
Arya yang sudah duduk kembali tak mempeduli-
kan. Kini dia malah asyik menyantap makanannya.
Sementara Satria terus memandangi Arya seolah minta
tanggapan. Sedikit pun dia belum berminat menyentuh
makanannya.
"Makanlah dulu. Nanti masuk angin," ujar Arya,
kalem saja.
"Kalau masuk angin tinggal buang saja, apa su-
sahnya?"
"Iya, buangnya jangan dekat aku. Bau!"
"Lho? Kentut itu angin. Kalau tidak dikeluarkan
masuk angin. Kalau kau tak suka, pulangin," sahut
Satria, dongkol.
Saking dongkolnya, dilahapnya makanan yang
tersedia di atas meja.
Tengah mereka menyantap, suasana jadi hening.
Sehening kuburan. Tapi mendadak....
"Ada dua orang sakti bertarung...!"
Tengah desa ini jadi geger begitu terdengar suara
orang berteriak-teriak ngalur ngidul. Maka bagai men-
dapat tontonan gratis, mereka berduyun-duyun berlari
ke arah yang ditunjuk orang tadi.
Satria dan Arya Wadam berpandangan sejenak.
Setelah saling mengangguk, mereka beranjak keluar
kedai.
"Tuan, makanannya belum bayar...!" teriak si pe-
layan kedai.
"Nanti aku balik lagi!" teriak Satria.
"Kalau kalian tidak balik?"
"Anggap saja apes...!"
"Yah..., apes lagi," desah si pelayan kembali men-
gurusi piring-piring kotor.
Tak jauh dari tengah desa, dua orang lelaki tua
tengah bertarung sengit. Yang seorang adalah seorang
lelaki berpakaian coklat dekil. Rambutnya putih, kaku
seperti tak pernah keramas. Di atas kepalanya ber-
tengger topi dari kulit berbentuk bulat. Matanya di-
tumbuhi alls yang juga telah berwarna putih.
Yang seorang lagi adalah lelaki tua bermuka tirus
penuh rajah dengan kaki kutung sebatas dengkul, dis-
ambung oleh tulang rusuk harimau Jawa. Pakaiannya
mirip jubah berwarna ungu. Punggungnya agak bung-
kuk.
"Pucuk dicinta ulam tiba, Satria. Lihat salah satu
orang yang bertarung itu. Dialah pencuri tengik itu,"
tunjuk Arya Wadam begitu tiba sepuluh tombak di de-
kat pertarungan.
Satria diam tak menanggapi. Tanpa diberi tahu
pun dia sudah tahu. Hanya masalahnya, bagaimana
dia harus merebut pusaka Kail Naga Samudera di tan-
gan salah satu orang bertarung yang memang Raja
Pencuri Dari Selatan itu? Karena untuk terlibat dalam
pertarungan rasanya kok sungkan.
"Hei, Satria! Kenapa kau diam saja? Katanya mau
membantuku?" usik Arya Wadam.
"Kita tunggu saja dulu, siapa yang kalah atau me-
nang. Tak baik rasanya ikut-ikutan dalam persoalan
mereka," sergah Satria Gendeng. "Bukan Satria na-
manya kalau belum tahu persoalannya ikut campur
urusan orang!"
Sejenak Arya Wadam menujukan pandangannya
ke arah dua orang yang kini sudah berdiri berhadapan,
setelah sama-sama terjajar dua langkah sehabis ber-
benturan.
"Serahkan Kail Naga Samudera, Raja Pencuri!"
dengus lelaki berpakaian coklat dekil. Dia tak lain dari
Setan Penyair.
Satria tersentak. Rupanya yang diperebutkan me-
reka adalah pusakanya sendiri.
"Wah, kalau begitu kita harus segera turun tan-
gan, Arya!" kata Satria Gendeng tiba-tiba. Langsung
tubuhnya mencelat.
"Aneh juga itu manusia. Tadi disuruh menunggu
siapa yang menang atau kalah. Sekarang dia sendiri
yang malah ngotot melabrak ke sana," kata Arya Wa-
dam berkata-kata sendiri. Lalu tubuhnya ikut-ikutan
mencelat ke arah ajang pertarungan.
* * *
Sebelum Setan Penyair dan Raja Pencuri Dari Se-
latan saling gebrak, Satria telah mendarat di antara
mereka. Kedua tangannya dipentangkan mirip orang
mau nangkap ayam. Wajahnya tak lagi dipasang ra-
mah ke arah Raja Pencuri Dari Selatan, seperti sewak-
tu pertama kali bertemu.
"Mau lari ke mana lagi kau, Pak Tua Tengik?! Ce-
pat kembalikan pusakaku yang kau curi!" dengus Sa-
tria sarat kemarahan.
"Bicara jangan sembarangan, Anak Muda! Kau tak
punya bukti dengan menuduhku demikian!" sentak
Raja Pencuri Dari Selatan.
Sebelum Satria berkata lagi, Arya Wadam yang ba-
ru saja mendarat langsung menyemprot. "Jangan ba-
nyak berkelit, Pencuri Kesiangan! Kau pun punya uru-
san denganku!"
"Rupanya kau, Arya?!" sambut si tua jago mencuri
itu.
"Ya, aku. Sekarang, cepat serahkan pedang yang
kau curi dari Paman Remeng dan Paman Poleng!"
"Pedang itu tak ada padaku!"
"Jangan berlagak pilon! Aku tahu, pedang itu ada
padamu! Jadi jangan membuatku naik pitam, Orang
Tua! Serahkan pedang itu baik-baik, lalu pergi dari
hadapanku!"
Mana ada pencuri yang mengaku....
Bisa jadi karena malu
Padahal aku lihat sendiri di balik baju
Ada dua benda yang dituju
Seperti biasa, Setan Penyair mulai dengan syair-
syairnya. Mulutnya memang terasa gatal kalau tidak
melontarkan syair-syair. Di mana pun, di tiap kesem-
patan lelaki tua dekil itu selalu ingin menunjukkan
keahliannya dalam bersyair.
"Hentikan syair gombalmu itu, Setan Penyair!"
bentak Satria, merasa geli bila mendengar syair Setan
Penyair.
"Mulutku sendiri, siapa yang berhak melarang?"
tukas Setan Penyair. "Kalau tak suka menyingkir saja
dari sini!"
"Ya, itu memang mulut baumu sendiri. Tapi syair
murahanmu itu pantasnya diucapkan di kuburan.
Buat nakut-nakuti dedemit!"
Merahlah wajah Setan Penyair. Kalau tak ingat
bahwa pemuda itu telah mengalahkannya tempo hari,
akan dicabik-cabiknya wajah Satria Gendeng. Sayang
nyalinya hanya secuil. Jadi lebih baik dia undur diri.
"Ingat, Satria! Aku belum kalah darimu! Suatu
saat nanti, kau harus bertekuk lutut di hadapanku!"
ancam Setan Penyair.
"Ya, lebih baik kau bergumul dengan syair-
syairmu. Nanti kalau ada yang bagus, baru kau boleh
bacakan di depan pantatku. He he he...," ledek Satria,
tak tanggung-tanggung.
Setan Penyair tak sudi lagi mendengar ocehan Satria, ketimbang darah tingginya kumat. Cepat dia ber-
balik dan berkelebat dari tempat ini. Di dekat peda-
tinya langkahnya terhenti, lalu melompat naik. Seben-
tar saja kuda kurusnya telah membawa lelaki itu me-
ninggalkan desa ini.
Sementara itu, Arya Wadam masih terus mende-
sak Raja Pencuri Dari Selatan agar menyerahkan pe-
dang yang dicurinya. Tapi dasar keras kepala, tetap sa-
ja si tua itu pada pendiriannya.
"Dasar keras kepala! Hiaaahh!"
Tak sabar lagi Arya Wadam menghadapi si tua itu.
Orang yang dicarinya setengah mampus sudah di de-
pan mata. Tapi begitu ditegur baik-baik, malah mem-
buatnya naik darah. Tak ada kata lain, segera diter-
jangnya Raja Pencuri Dari Selatan.
Kebutan tangan Arya Wadam diladeni tangan pula
oleh Raja Penyair Dari Selatan.
Plak!
Keduanya sama-sama alot. Tubuh mereka terjajar
satu tombak ke belakang. Tapi Arya Wadam cepat me-
nyusuli dengan tendangan berputar yang keras bukan
kepalang. Sampai-sampai deru angin memapas udara
terdengar.
Tak mau dadanya jadi sasaran, lelaki tua yang tak
suka mencuri ketimun melainkan mencuri benda-
benda pusaka itu menarik kaki kirinya ke belakang
dengan tangan bersilang di atas dada.
"Hiaah! Mampus kau, Tikus Busuk!"
Sambil menyentak kaki lawan yang terjepit di ke-
dua tangannya, Raja Pencuri Dari Selatan menyentak
kakinya. Tubuhnya langsung melambung dan meluruk
ke arah Arya Wadam yang masih berputaran di udara.
Dieagh!
Luncuran tubuh Arya Wadam kian bertambah
tanpa penghalang. Telak sekali tadi ceker si tua itu
mendarat di punggungnya saat melayang di udara. Un-
tung saja Arya Wadam yang sesungguhnya seorang
wanita itu cepat bangkit berdiri, walaupun dengan da-
da terasa diaduk-aduk.
"Slompret! Dia buat si Arya nyusruk di tanah!" Sa-
tria yang sejak tadi berbaur dengan orang-orang lain
yang menontoni kalang kabut sendiri. Mana tega ha-
tinya melihat Arya yang berwajah cantik itu dibuat se-
perti bola mainan anak-anak. Darah mudanya pun
bergolak.
Baru saja pemuda itu melompat kembali untuk
menghadang Raja Pencuri Dari Selatan, Arya Wadam
telah mencegah.
"Tahan, Satria. Dia masih jadi bagianku! Tunggu
saja si tua ini menjerit-jerit minta ampun padaku!" te-
riak Arya Wadam setelah membesut darah yang terbit
di sudut bibir.
Satria mengalah. Dibiarkannya Arya Wadam me-
nuntaskan urusannya. Pemuda itu tahu, kepala Arya
Wadam dipenati janjinya terhadap kedua pamannya.
Jadi, mana sudi Arya Wadam mundur begitu saja. Su-
dah capek-capek dia dan Satria mencari-cari tikus
pencuri itu. Kini setelah di depan mata dibiarkan begi-
tu saja? Tak usah, ya!
Serangan Arya Wadam berikutnya makin gencar.
Tubuhnya meluncur dengan sabetan ganas menderu.
Di tempatnya, Raja Pencuri Dari Selatan makin berang.
Kemarahannya makin membakar. Maka tanpa ragu-
ragu lagi dipapaknya serangan ganas lawan.
Pak! Pak!
Cerdik sekali Arya Wadam. Begitu terpapak tu-
buhnya dienyahkan ke belakang. Sementara kedua
kaki terangkat ke depan menghantam dada.
Desss!
Raja Pencuri Dari Selatan tersurut mundur den-
gan tubuh terhuyung-huyung. Wajahnya yang meme-
rah meringis. Jelek sekali.
"Kucincang kau, Bocah!"
Kalap bukan main Raja Pencuri Dari Selatan bisa
kecolongan oleh lawan mudanya. Penuh nafsu, kali ini
ganti dia yang meluruk menerjang Arya Wadam.
***
TIGA
HOI...! Ayo kejar aku...!" teriak Joyolelono. Si bo-
cah ajaib itu benar-benar gila. Lari kuda milik Adipati
Wisnu Bernawa, Pengemis Tuak, dan Sukma Sukanta
dibabatnya. Padahal, dia hanya berlari saja.
Ki Dagul merasa tertantang. Gusar juga hatinya
diremehkan oleh bocah berkumis itu. Semangat tua-
nya pun dikumpulkan sampai ke ujung ubun-ubun.
Mulutnya yang berbibir mirip buntalan gombal pun
mengembung.
"Slompret! Akan kukejar dan kujitak kalau kena.
Hiaa...!"
Di ujung kalimatnya, si tua bangka itu menggebah
kudanya. Lesatannya kali ini luar biasa, karena Pen-
gemis Tuak mengendarai kuda sambil mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya.
"Ayo, Kakek Jelek. Kejar aku...!" seru si bocah
ajaib kegirangan, karena merasa tertantang.
"Akan kuremas kepalamu, Bocah Edan!" desis si
tua bangka.
Kejar-kejaran aneh pun terjadi. Paling depan ada
lah Joyolelono yang hanya berlari biasa. Di belakang
mati-matian Pengemis Tuak mengejar dengan ku-
danya. Tak ada yang mau mengalah.
Paling belakang, Adipati Wisnu Bernawa dan
Sukma Sukanta hanya menggeleng-geleng saja. Lelaki
ini memang tak bisa berbuat banyak mencegah mereka
bermain-main, sementara hatinya diselimuti kecema-
san akan putrinya yang diculik Tujuh Dewa Kematian.
Maklum, tanpa bantuan kedua makhluk aneh itu, ra-
sanya mustahil dia dapat membebaskan putrinya.
Buktinya saja, Pendekar Kembar yang jadi andalan
Kadipaten Lumajang tak mampu berbuat banyak
menghadapi Tujuh Dewa Kematian.
"Aku khawatir mereka tersesat di jalan, Kanjeng,"
cetus Sukma Sukanta memecah kebisuan di atas kuda
yang berjalan sedang-sedang saja.
"Mereka tokoh-tokoh sakti, Sukma," ingat sang
Adipati.
"Tapi belum tentu mereka tahu jalan menuju Gu-
nung Arjuna."
"Tak perlu cemas berlebihan begitu, Sukma. Se-
rahkan semua pada Hyang Widhi."
Kali ini Sukma Sukanta diam tak menyahut. Tapi
tetap saja ada rasa kekhawatiran dalam dirinya. Bu-
kan, bukan kekhawatiran terhadap Ki Dagul dan Joyo-
lelono. Tapi, kekhawatiran terhadap dirinya dan kese-
lamatan Adipati Wisnu Bernawa. Karena biar bagai-
manapun, menjaga keselamatan sang Adipati harus
memiliki tanggung jawab besar. Sebagai salah satu da-
ri Lima Pendekar Kembar, Sukma Sukanta memang
memiliki kepandaian tinggi pula. Tapi apa artinya ke-
pandaian miliknya, tanpa ditunjang kepandaian milik
saudara-saudaranya yang telah tewas di tangan Tujuh
Dewa Kematian? Sebab selama ini, mereka bertarung
selalu bersama-sama. Artinya, kepandaian yang satu
selalu ditunjang oleh kepandaian yang lain. Nah, kalau
kini dia tinggal sendiri, itu sama saja artinya lelaki tua
jompo bergigi satu menggigit daging alot.
Kebisuan mencekam.
Di depan sana, Hutan Kaliabang menghadang.
Sukma Sukanta tahu, daerah itu cukup rawan.
Kewaspadaannya pun ditingkatkan. Makin dekat, jan-
tungnya makin berdegup kencang. Sementara Adipati
Wisnu Bernawa masih terlihat tenang-tenang. Padahal,
perampok-perampok garang bisa saja menghadang.
"Berhenti...!"
Suara bentakan menggelegar terdengar memecah
keheningan. Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Su-
kanta langsung menarik tali kekang kudanya. Belum
jauh mereka memasuki Hutan Kaliabang, menyusuli
bentakan tadi, berlompatan empat orang bertampang
garang menghadang.
"Ada apa Kisanak semua? Mengapa kalian meng-
hadang kami?" tanya sang Adipati. Mestinya dia tak
perlu tanya begitu, karena hutan ini memang dikenal
rawan perampok. Tapi entah kenapa pertanyaan itu
meluncur saja dari mulutnya.
"Kami perampok, Guoblok!" bentak salah seorang
penghadang, lelaki bertubuh tinggi besar.
"Hei, kalau bicara yang sopan! Yang kalian hadapi
Adipati Wisnu Bernawa, tahu?!" semprot Sukma Su-
kanta, hendak menjatuhkan nyali keempat lelaki yang
semuanya bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka
melingkar sabuk mengkilat berukuran sejengkalan
orang dewasa. Sebuah trisula terselip di ikat pinggang
mereka masing-masing.
"Kebetulan! Jelas, yang kita hadang orang kaya,
Kawan-kawan. Pasti mereka membawa banyak mem
bawa kepingan emas!" sentak lelaki tinggi besar yang
berperut paling buncit. Mungkin isinya makanan ha-
ram melulu.
"Nah, serahkan harta benda kalian kalau tak mau
mampus di tangan murid-murid Raja Pencuri Dari Se-
latan!" susul yang lain. Nadanya sarat ancaman. Ben-
takannya begitu semangat, sampai-sampai ludahnya
menyembur tak karuan.
"O, jadi kalian murid-murid Raja Pencuri Dari Se-
latan. Guru dan murid setali tiga uang. Ingat! Kalian
berhadapan dengan sang Adipati. Tak akan kubiarkan
kalian menjarah junjunganku!" gertak Sukma Sukan-
ta.
"Mau adipati, kek. Mau setan belang, kek. Kami
tak peduli! Cepat lemparkan kantung uang kalian ka-
lau tak mau mati sia-sia, heh!" bentak si perut buncit.
"Kalau kami tak mau?"
"Nyawa taruhannya!"
"Kalau ka...."
"Jangan bertele-tele!" potong si perut buncit. Ge-
rahamnya bergemelutukkan. Urat-urat lehernya mene-
gang. "Cepat serahkan atau kalian mampus!" sambar-
nya lagi. Saking marahnya, dadanya seperti mau
membuncah.
Keterlaluan memang.
Orang-orang yang mereka hadang adalah orang
penting di kadipaten. Tapi demi tuntutan nafsu, mata
mereka buta. Padahal, mereka masih rakyat Kadipaten
Lumajang sendiri.
"Kawan-kawan! Serang mereka!" teriak si perut
buncit.
"Heaa...!"
Dikawal teriakan menggesek udara, ketiga orang
kawan si perut buncit menerjang garang. Tak tang
gung-tanggung, trisula telah terhunus di tangan siap
dihujamkan. Demikian pula halnya dengan si perut
buncit.
"Hup!"
Sang Adipati dan Sukma Sukanta cepat melompat
turun, menghadang serangan. Mereka tak mau berba-
sa-basi lagi. Waktu kian mendesak untuk menyela-
matkan Pitaloka. Sementara halangan kecil mengha-
dang.
Empat trisula datang bersamaan mengurung sang
Adipati dan Sukma Sukanta. Ganas sekali. Angin sam-
barannya menerpa wajah lawan.
Wush!
Trak! Trak!
Empat trisula tadi terpapak oleh kebutan senjata
pedang Sukma Sukanta dengan jurus 'Pedang Kembar
Menyapu Awan'. Sementara keris sang Adipati hanya
menyambar angin karena tindakannya telah didahului
prajurit setianya.
Keempat perampok yang ternyata murid Raja Pen-
curi Dari Selatan terjajar mundur. Wajah mereka kian
beringas. Kegagalan mereka menyerang menjadi pemi-
cu serangan berikut. Kali ini lebih ganas dan memati-
kan.
"Akan kurencah tubuh kalian, Keparat!" geram le-
laki gendut.
"Kalau kalian mampu, kenapa tidak cepat dilaku-
kan?" tukas Sukma Sukanta, enteng.
Sewajarnya mereka sadar, siapa lawan yang diha-
dapi. Sekali papak, serangan mereka tersentak mun-
dur. Tapi tidak buat empat lelaki brangasan ini.
"Hiaah!"
Empat trisula kembali berputaran deras menuju
lawan. Gerakannya tak kepalang tanggung, disertai te
naga dalam tinggi. Memang tak percuma mereka men-
jadi murid Raja Pencuri Dari Selatan kalau tak bisa
unjuk gigi.
Dua ujung trisula mengancam leher dan perut
Sukma Sukanta. Dua lagi mengintip malu-malu pada
pertahanan Adipati Wisnu Bernawa. Bila mereka orang
biasa, rasanya sulit untuk menentukan trisula mana
yang harus dipapak lebih dulu.
Wush!
Angin menderu. Empat melesat.
Apa yang dilakukan Adipati Wisnu Bernawa dan
Sukma Sukanta kalau sudah begitu?
Tak ada jalan lain. Mereka harus melenting ke
udara bersamaan.
"Hup!"
Di udara, tubuh mereka berputaran, lalu menda-
rat ringan dua tombak dari tempat semula. Sementara
keempat lelaki itu hanya menebas angin. Tapi mereka
cepat berbalik dengan wajah liar.
"Bangsat! Licin seperti belut juga kalian!" dengus
si gendut. "Tapi kali ini jangan harap bisa lolos!"
Keempat lelaki brangasan siap menggebrak kem-
bali. Tak ada kata menyerah dalam kamus hidup me-
reka, kecuali kepepet. Tapi sebelum serangan dibu-
ka....
"Empat tikus busuk memang paling menyebal-
kan!"
Keempat lelaki itu terlonjak. Bentakan yang diser-
tai tenaga dalam membuat telinga mereka pengang
dengan dada terguncang. Mereka langsung berbalik.
"Siapa kau, Tua Bangka Busuk! Jangan campuri
urusan kami!" bentak si gendut, menatap jalang pada
seorang lelaki tua berpakaian kumal.
Hebat sekali si tua bangka ini. Sambil tiduran di
atas sebuah ranting pohon sebesar kelingking, dengan
gaya santainya dia menenggak tuak dari guci yang se-
besar pelukan tangan orang dewasa. Kecuali burung,
makhluk apa lagi yang bisa tidur-tiduran di atas rant-
ing sekecil itu? Kalau lalat atau lebah, karuan karena
memang bertubuh seupil. Tapi ini manusia sebesar
itu?
"He he he.... Hei, Tikus-tikus Buduk! Apa kalian
tak punya pekerjaan lain selain mengganggu orang.
Cepat enyah dari sini sebelum kusunat dua kali!" an-
cam si tua bangka yang tak lain Pengemis Tuak.
"Bangsat!"
Mengkelaplah keempat lelaki brangasan ini. Ama-
rah pun membuncah, siap meledakkan dada. Ter-
bayang dalam benak mereka, kalau lelaki tua itu bakal
minta ampun di ujung jempol bau mereka. Untuk itu,
rasanya mereka perlu menggertak lebih dulu. Siapa
tahu nyali si tua itu hanya seujung upil.
Si gendut memulai. Diraihnya beberapa daun ker-
ing yang banyak berserakan di tanah. Secepat itu pula,
dilemparkannya daun-daun kering itu.
Mestinya, lemparan yang disertai tenaga dalam itu
mampu menggetarkan lawan. Tapi, tentu saja tidak
bagi Ki Dagul. Dua jari lagi daun-daun yang berubah
bagai lempengan baja itu menghujam, enak sekali tan-
gannya yang bebas mengibas.
Wukk!
Wuss...!
Dibarengi sumpah serapah, keempat lelaki bran-
gasan itu berhamburan dari tempatnya. Mereka harus
menyelamatkan diri kalau tak mau terhujam daun-
daun kering yang berbalik mengancam.
Cep! Cep! Cep!
Daun-daun tadi langsung meluncur, menghujam
di batang-batang pohon. Jika keempat orang itu kalah
cepat, dipastikan nasib mereka sama seperti batang-
batang pohon itu. Dan mestinya mereka bersyukur ka-
rena telah terbebas dari bahaya. Tapi dasar keras ke-
pala, kejadian barusan tak dianggap sebagai peringa-
tan. Justru dengan mata gelap mereka meluruk den-
gan trisula terhunus.
"Heaaa...!"
Satu tombak di dekat Pengemis Tuak, mereka
mencelat sambil menghujamkan trisula dari empat ju-
rusan.
Tapi, benar-benar edan. Enak-enakan Ki Dagul
menenggak tuaknya. Dan....
"Fruuhhh...!"
Masih sambil tiduran di atas ranting, Pengemis
Tuak menyemburkan tuaknya ke segala arah, mirip
dukun mengusir setan. Bukan main! Setiap percikan
tuaknya mengandung bara api yang mengepulkan
asap.
Tak! Tak! Tak!
"Adaauuu...!"
Keempat lelaki brangasan itu kontan menjerit
sambil menutup wajah. Butir-butir percikan tuak lang-
sung membuat wajah mereka melepuh. Untung saja si
tua itu masih berbaik hati dengan tidak mengerahkan
tenaga dalam penuh. Kalau itu sampai terjadi, bisa di-
pastikan keempat lelaki brangasan itu mati berdiri.
Sambil tetap menutup wajah yang terasa perih
bukan main, keempat lelaki brangasan itu lari serabu-
tan tak tentu arah. Malah si gendut yang berlari lebih
dulu harus rela dengan kolornya yang putus, terkait
ranting pohon yang mencuat keluar. Tubuhnya yang
lebih mirip buntalan kentut itu terguling-guling, lalu
bangkit lagi sambil memegangi kolor.
"Ha ha ha.... Empat tikus buduk main di dapur
tersembur api. Lari pontang-panting karena takut ma-
ti. Husyah Husyah!" ledek Ki Dagul setelah turun dari
ranting pohon. Kedua tangannya mengibas-ngibas ke
depan mirip orang mengusir ayam.
Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Sukanta tak
urung jadi tertawa. Manusia tengil macam mereka
memang sekali-kali perlu diberi pelajaran, begitu kata
hati kedua orang ini.
Santai, Ki Dagul menghampiri sang Adipati.
"Sialan si Joyolelono!" makinya, tahu-tahu.
"Bagaimana? Kau menang lawan Joyolelono tadi?"
tanya sang Adipati.
"Kalau bukan bocah kemarin sore, sudah kupe-
cahkan kepalanya!" rutuk Pengemis Tuak, tak menja-
wab pertanyaan Adipati Wisnu Bernawa.
"Iya, kau menang apa kalah?" kali ini Sukma Su-
kanta yang mendesak.
"Sialan benar bocah itu," Ki Dagul malah mengge-
leng-geleng.
"Bagaimana Danusenta? Kau pasti menang kan?"
"Kalah...," desah Ki Dagul, masygul.
"Wah, hebat sekali kalau begitu si Joyolelono! Ma-
na sekarang bocah itu?" tanya Sukma Sukanta.
"Itulah.... Saking cepatnya dia berlari, aku sampai
tertinggal amat jauh. Aku putus asa, kutinggalkan saja
bocah itu dan berbalik ke sini," jelas Ki Dagul yang
bernama asli Danusentana.
"Jadi, bocah itu sekarang tak jelas ada di mana?"
sentak Sukma Sukanta.
"Kau ini bagaimana, Danusentana?! Bocah itu kan
belum tahu letak Gunung Arjuna. Kalau dia tersesat
bagaimana?" tuntut sang Adipati, khawatir. Sebab, bi-
ar bagaimanapun, dia harus ikut bertanggung jawab
atas keselamatan putra Dewa Gila itu.
"Ah, kalau dia tersesat pasti akan balik ke tempat
semula," tukas Ki Dagul seenaknya.
"Kembali bagaimana? Dia itu kan pemuda yang
berotak kebocah-bocahan. Jalan pikirannya pendek.
Dan lagi, arah yang ditujunya belum tentu ke arah
Gunung Arjuna," tukas sang Adipati.
"Wah, jadi berabe begini?" sambung Sukma Su-
kanta.
"Tak perlu khawatir. Biar otaknya kebocah-
bocahan, tapi kepandaiannya bisa diandalkan. Tak
akan terjadi apa-apa pada dirinya," tegas Ki Dagul ya-
kin.
"Bukan begitu, Ki. Tanpa bocah itu, kekuatan kita
berkurang," tukas Sukma Sukanta.
"O, iya, ya. Kenapa bodoh sekali aku, ya? Baik!
Kalau begitu aku segera menyusulnya!" cetus Penge-
mis Tuak.
"Tak perlu, Sahabatku. Kita harus cepat menuju
Gunung Arjuna. Kalau bocah itu cukup punya kepan-
daian, aku tak lagi khawatir. Hanya yang kukhawatir-
kan, waktu kita akan habis untuk menyelamatkan Pi-
taloka. Sedangkan menunggu Satria Gendeng dan Arya
Wadam juga jelas tidak mungkin. Jadi, kita harus be-
rangkat dengan kekuatan apa adanya," tandas sang
Adipati.
"Baiklah kalau memang begitu."
***
EMPAT
KALAP bukan main Raja Pencuri Dari Selatan.
Ganas, dia menerjang Arya Wadam. Kaki kutungnya
yang disambung tulang rusuk harimau Jawa berputa-
ran mengincar dada.
Pertarungan telah digelar. Tak ada lagi yang
mampu menghentikan. Semua terpana. Semua yakin,
Arya Wadam akan roboh tak berdaya dicabik tulang
harimau Jawa di kaki Raja Pencuri Dari Selatan.
"Hiaahh...!"
Gemulai sekali Arya Wadam meliuk-liukkan tu-
buhnya. Tak ada satu serangan pun yang bisa membe-
set tubuhnya. Di tempatnya, Satria Gendeng dibuat
terkagum-kagum melihat kepiawaian temannya dalam
berkelit. Sedikit saja salah bergerak, bukan mustahil
tubuhnya tersayat tulang rusuk harimau Jawa lawan.
Mungkin bila orang awam menilai, tubuh Arya
Wadam telah berlumuran darah. Tapi Satria tidak. Ma-
tanya cukup jeli mengawasi jalannya pertarungan.
Bahkan tarikan senyum di bibir Satria makin kentara
saat melihat kecerdikan Arya Wadam.
Wanita yang berpenampilan seperti lelaki itu per-
lahan tapi pasti mulai bisa menguasai keadaan. Sambil
meliuk-liuk indah, Arya Wadam mulai mengincar titik
lemah di tubuh lawan.
Bed!
Tepat ketika Raja Pencuri Dari Selatan menghu-
jamkan tulang rusuk harimaunya, Arya Wadam men-
genyahkan tubuhnya sedikit ke kanan. Dan secepat itu
pula dikirimkannya satu sapuan maut ke kaki lawan
setelah memutar tubuhnya.
Pak!
Bruk!
Raja Pencuri Dari Selatan jatuh terduduk. Ma-
tanya melotot tak percaya. Kecolongan dua kali, mem-
buat darah tingginya kumat lagi. Dengan gerakan ber-
gemelutukkan dia mencoba bangkit. Tapi, satu ten-
dangan Arya Wadam membuat tubuhnya terguling-
guling.
"Terkutuk kau, Bocah! Aku tak segan-segan lagi
untuk membunuhmu!"
Di akhir kalimatnya, Raja Pencuri Dari Selatan
bangkit, langsung memasang kuda-kuda. Tangan ka-
nan terjulur ke depan dengan telapak terbuka. Semen-
tara tangan kiri di sisi pinggang, juga dengan telapak
terbuka.
"Hiaah...!"
Dikawal teriakan yang dibarengi kentut, telapak
kiri si tua telengas itu menghentak. Pukulan jarak jauh
terlontar sudah. Keji sekali si tua ini. Demi hasratnya
untuk memiliki benda-benda pusaka, dia tak malu-
malu menebar petaka di tengah desa.
Wussh!
Angin menderu. Gesekan pukulan jarak jauh den-
gan udara begitu menggiriskan. Bila Arya Wadam tak
memapak, berarti tega membiarkan nyawa para penon-
ton berkeliaran menuju akhirat. Dan itu tak boleh ter-
jadi.
"Shaa...!"
Tak kalah lantang, Arya Wadam berteriak keras.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya menghentak
dengan telapak terbuka. Disongsongnya pukulan jarak
jauh lawan dengan pukulan jarak jauh pula.
Blakk!
Seketika, badan ramping Arya Wadam terpental
deras ke belakang. Tak akan berhenti luncuran tu
buhnya kalau tidak menabrak dua orang penonton di
belakangnya.
Brukk!
Tiga orang jatuh bertumpukan. Satu orang lang-
sung pingsan, satu lagi masih megap megap. Sedang-
kan Arya Wadam langsung bangkit dengan napas
ngos-ngosan. Dadanya terguncang hebat. Lalu...
"Hoeekhh...!"
Dari bibirnya yang merekah di balik tudungnya,
Arya Wadam membiarkan darah kental merah ber-
hamburan di depannya. Mulutnya meringis menahan
sakit.
Sementara ditempatnya, Raja Pencuri Dari Selatan
tertawa tergelak, merayakan kemenangannya. Dia tadi
sempat terjajar, tapi tak sampai jatuh. Tenaga dalam
lelaki tua ini rupanya boleh juga. Paling tidak, selisih
satu tingkat di atas Arya Wadam.
"Jangan tertawa lebar-lebar! Mulutmu bau, ta-
hu?!"
Satria yang tak sudi sahabat barunya dibegitukan
oleh pencuri tengik itu langsung melompat dan mem-
bentak. Rahang kekarnya mengembung. Tarikan wa-
jahnya menyiratkan kemarahan.
"Ha ha ha.... Kau lagi, Bocah. Mau merebut pusa-
kamu juga, ya!" leceh Raja Pencuri Dari Selatan. Ten-
gik sekali lagaknya. Padahal, Satria tadi sudah mengu-
tarakan maksudnya.
"Tak hanya merebut pusakaku, tapi juga memba-
las perlakuanmu terhadap kawanku!" sentak si pemu-
da garang.
Kata-kata si pemuda disambut serangan Raja
Pencuri Dari Selatan. Tubuhnya meluruk dengan sabe-
tan tangan yang siap memangsa lawan.
"Heaaa...!"
Ketika matanya menangkap kelebatan tangan la-
wan, Satria mengenyahkan tubuhnya ke samping.
Serangan si tua bangka licik itu luput.
Serangan berikutnya mengejar. Sabetan kaki ku-
tung yang disambung tulang rusuk harimau Jawa
menderu dan memburu. Berkali-kali mata tulang ru-
suk runcing itu hanya memangsa angin saja, karena
dengan lincahnya Satria cepat mundur sambil meliuk-
liukkan tubuhnya.
Si tua bangka makin berang. Sungguh tak disang-
ka pemuda yang dianggapnya masih hijau mampu
menghindari serangannya. Nafsu membunuhnya pun
makin membakar. Kekalapan memuncak. Serangannya
makin gencar, laksana badai.
Sampai akhirnya....
Bukk!
"Hekh...!"
Serangan penuh nafsu Raja Pencuri Dari Selatan
membawa hasil. Ketika serangan kaki kutungnya yang
disambung tulang rusuk harimau Jawanya berhasil
dihindari lawan, si tua bangka membuat gerakan tak
terduga. Sambil membuang tubuh ke kiri, kakinya
yang utuh menyapu perut lawan.
Satria terhuyung-huyung. Tendangan tadi sebe-
narnya disertai tenaga dalam, dilepas dengan kaki be-
rotot pula. Kalau pemuda lain, tentu sudah terjeng-
kang ambruk tak bangun-bangun lagi. Tapi tidak un-
tuk Satria. Kaki si pemuda tetap memacak bumi wa-
laupun ngak goyah.
Rasa mual di perut si pemuda langsung mem-
bangkitkan kemarahannya. Matanya mendadak meme-
rah. Satu tangannya masih memegangi perut. Namun,
pandangannya menghujam dalam. Sementara tangan
satunya terkepal, memperlihatkan otot-ototnya yang
kekar.
Begitu Raja Pencuri Dari Selatan melabrak kemba-
li seperti tak ingin memberi kesempatan, Satria me-
raung. Sebentuk kemarahan terlampiaskan. Sekilas
tadi matanya sempat melirik keadaan Arya Wadam.
Dan nyatanya, wanita itu masih megap-megap akibat
adu tenaga dalam tadi.
Melihat keadaan kawannya, wajah Satria merah
terbakar amarah. Di keningnya terlihat gelembung
urat-urat kemarahan. Disongsongnya gebrakan lawan
dengan terjangan pula. Tubuhnya meluncur lurus ba-
gaikan hiu menyergap mangsa. Kedua tangannya men-
gibas ke sana kemari, seolah bagai sirip kekar meng-
hantam karang.
Plak!
Sambaran tangan Raja Pencuri Dari Selatan di-
hantam Satria dengan tangan kiri. Pagutan tangan sa-
tu lagi milik si tua bangka itu ditahan dengan tangan
kanan.
Bagaikan seekor ikan hiu berbalik arah, Satria ce-
pat membuang tubuhnya ke belakang. Dan mendadak
kedua kakinya yang merapat bagai ekor hiu, langsung
menghajar rahang tua bangka licik itu.
Dieeghh!
"Aaakhh...."
Raungan kesakitan terlempar sudah dari mulut
bau Raja Pencuri Dari Selatan. Tubuhnya terlempar
deras bukan main. Kalau saja bukan dia, sabetan kaki
si pemuda tadi pasti telah membuat wajah tak berben-
tuk lagi. Mulut bisa pindah ke jidat, hidung ke telinga,
dan telinga ke mulut. Tapi ini yang mengalami tokoh
yang tergolong patut diperhitungkan dalam dunia per-
silatan.
Geram, Raja Pencuri Dari Selatan bangkit. Matanya nyalang liar. Mulutnya mengembung, dengan
kemarahan membakar ubun-ubun. Tak ada kata yang
pantas bagi pemuda itu selain mati. Begitu tekadnya.
Seperti waktu menjatuhkan Arya Wadam, si tua
maling tengik ini menarik kaki kirinya ke belakang.
Kuda-kuda kokoh telah dibentuknya. Tangan kanan
menjulur dengan telapak terbuka. Tangan kiri di sisi
pinggang dengan telapak terbuka pula.
"Hiaah...!"
Pukulan jarak jauh terlontar sudah. Angin mende-
ru. Seolah, semua pelampiasan kemarahan lelaki tua
itu terkandung dalam lesatan pukulannya.
Bahaya kembali mengancam. Bila pukulan jarak
jauh itu sampai nyasar bisa jadi akan menghantam
apa saja. Memang orang-orang yang menonton perta-
rungan merasa lebih baik menyingkir sejak Raja Pen-
curi Dari Selatan melepas pukulan jarak jauh kepada
Arya Wadam tadi. Tapi kalau pukulan itu sampai me-
nerjang rumah penduduk?
"Hiaaah!"
Teriakan merobek angkasa mencelat dari kerong-
kongan si pemuda. Tangannya bergerak sekedipan. Ke-
jap berikutnya, terdengar angin keras menderu mengi-
ringi pukulan jarak jauhnya, memapak serangan Raja
Pencuri Dari Selatan.
Blakkk!
Bukan main. Tubuh keduanya sama-sama terlem-
par deras. Bedanya, Satria langsung membuat putaran
di udara. Sedangkan lawannya terpuruk di tanah.
Terhuyung-huyung Satria mendarat. Matanya
nyalang memperhatikan sang lawan yang berusaha
bangkit.
"Bangsat! Kau harus mampus, Bocah!" geram si
tua bangka. Tertatih-tatih dia berusaha bangkit. Rasa
penasarannya pada si pemuda makin menggila dalam
dada. Tak sudi dia dikalahkan oleh pemuda kemarin
sore macam Satria Gendeng.
Satria tak mudah digertak begitu rupa. Tegar, si
pemuda berdiri menanti. Dan ketika lawan kembali
menerjang, dengan keberanian seekor naga muda dia
malah menyambut terjangan lawan.
Agaknya, Raja Pencuri Dari Selatan telah salah
duga. Meski Satria tergolong bocah bau kencur, tapi
keberaniannya boleh diacungi jempol. Lewat jurus
'Mematuk Bunga Karang' yang diturunkan Ki Kusumo,
kedua tangan si pemuda mengibas-ngibas bagai elang.
Wuuk! Wukk!
Raja Pencuri Dari Selatan tak mau kalah. Jurus
'Jari Maut Merogoh Kantong' pun dikerahkan. Kedua
tangannya dengan jari telunjuk dan tengah lurus men-
jadi satu mengincar setiap celah di pertahanan lawan.
Pertarungan maut kembali tergelar. Belum ada
yang kalah dan menang.
* * *
"Hu hu hu.... Ke mana kalian? Kenapa aku diting-
galkan sendirian? Tak berperasaan!"
Si bocah berkumis bernama Joyolelono menangis
meraung-raung lantaran tersesat di sebuah hutan ke-
cil. Waktu berlomba dengan Pengemis Tuak tadi, dia
terus berlari menuju ke selatan. Padahal, arah menuju
Gunung Arjuna berbelok ke kiri. Artinya, seharusnya
dia menuju timur.
Si bocah berkumis anak Dewa Gila ini membant-
ing-banting kakinya.
"Hu.... Kalau tak mau jalan denganku bilang! Jan-
gan tahu-tahu aku ditinggal begini. Hu hu hu.... Kalian
nakal!" ratap Joyolelono.
Dahsyat sekali bantingan kaki si bocah berkumis.
Bumi bergetar. Pohon-pohon tak urung ikut ber-
goyang-goyang. Selanjutnya....
Bruuk!!
"Monyet buntung! Anjing kurap! Siapa cecunguk
busuk yang berani mengganggu tidurku?!"
Suara meledak-ledak terdengar menyusuli suara
benda jatuh dari atas pohon. Joyolelono menghentikan
tangisnya. Dipandanginya satu sosok tubuh bulat yang
barusan terbanting di tanah. Mata sosok tubuh bulat
itu memerah nyalang. Dadanya yang tak tertutup pa-
kaian turun naik menyiratkan kekesalannya. Kepa-
lanya gundul. Bagian terlarangnya hanya ditutupi ca-
wat dari kain berwarna hijau.
"Paman gendut, kenapa tidur di tanah?" tanya
Joyolelono, polos.
"Kepalamu bau apek! Kau telah mengganggu ti-
durku, tahu?! Aku terjatuh dari pohon!" semprot lelaki
bertubuh bulat mirip tempayan itu, seraya bangkit
berdiri.
"Salah sendiri, kenapa tidur di atas pohon?" tukas
si bocah berkumis, kalem.
"Kodok buduk! Siapa namamu, Bocah?! Berani
benar kau bertingkah di hadapan Bergola Ijo?!" dengus
lelaki bulat yang mengaku bernama Bergola Ijo.
"Siapa? Kodok Ijo? Ha ha ha.... Kau memang mirip
kodok, Paman."
"Kurang ajar!"
Cukup sudah kesabaran Bergola Ijo. Kata-kata lu-
gu bocah berkumis itu masuk ditelinganya sebagai
penghinaan habis-habisan. Wajahnya bukan lagi me-
nampakkan kemerahan, tapi kehijauan untuk menyi-
ratkan kemarahannya. Kedua pipinya mengembung.
Urat-urat di pelipisnya menegang.
"Sebutkan namamu sebelum kau kuhabisi, Bocah
Keparat!" desisnya murka.
"Aku Dewa Gila," sebut Joyolelono, kalem. Sama
sekali dia tak menganggap kalau Bergola Ijo tengah
bersiap-siap melampiaskan amarahnya.
"Dewa Gila? Jangan berdusta, Bocah? Aku tahu,
siapa Dewa Gila! Katakan yang benar, siapa nama-
mu?!"
"Dewa Gila."
"Siapa?!"
"Dewa Gila."
"Siapa?!" bentak Bergola Ijo lebih keras lagi.
"Aku anaknya Dewa Gila," sebut Joyolelono, tetap
dengan nada kalem.
"Bocah gemblung! Katakan dari tadi kalau kau
anaknya Dewa Gila!" semprot Bergola Ijo. "Cepat kata-
kan, apa maksudmu datang ke tempat ini?!"
Suara Bergola Ijo kali ini melemah walaupun ma-
sih dengan nada membentak. Sejak dia mendengar
nama Dewa Gila disebutkan, nyalinya kontan ciut jadi
sebesar upil. Lelaki bulat ini lima tahun lalu sebenar-
nya pernah berurusan dengan Dewa Gila dari Lembah
Pangrango. Ketika mereka bertarung, Bergola Ijo dapat
dikalahkan. Lantas, Bergola Ijo berjanji tak akan men-
gusik kehidupan Dewa Gila dan keluarganya.
"Siapa yang sudi ke tempat ini? Orang aku terse-
sat," tukas Joyolelono.
"Ke mana tujuanmu sebenarnya?"
"Gunung Arjuna."
"Ada apa di sana?"
"Apa-apa ada. Ada pohon, binatang, sungai, batu,
dan...."
"Diam!" bentak Bergola Ijo, dongkol.
"Lho, kok marah?" tanya Joyolelono, lugu.
"Gimana aku tidak marah?! Aku tanya begini, kau
jawab begitu. Aku tanya, di sana ada apa, ah! Setan!
Malah aku yang salah. Aku tanya kenapa kau pergi ke
sana?"
"Mana aku tahu? Aku hanya disuruh ayahku un-
tuk pergi ke kadipaten. Katanya, di sana aku harus
menjaga keselamatan adipati dan menuruti perintah-
nya. Itu saja," sahut si bocah berkumis, polos. "Nah,
waktu adipati mengajakku ke Gunung Arjuna, aku ma-
lah ditinggal. Aku tersesat. Hu hu hu...!"
Joyolelono meraung-raung lagi. Lebih gila lagi, dia
langsung menjatuhkan diri ke tanah dan berguling-
guling.
Bergola Ijo tak habis pikir, ngidam apa istri Dewa
Gila dulu sehingga anaknya sampai bertingkah aneh
ini. Hi, amit-amit.... Jangan sampai anaknya aneh se-
perti itu, gidik Bergola Ijo. Masa' bocah sudah bangko-
tan seperti itu, berkumis lagi, tingkah lakunya seperti
baru berusia lima sampai tujuh tahun?
"Huh! Kalau tak ingat dia anaknya Dewa Gila, su-
dah kucincang dia!" sungut Bergola Ijo.
Joyolelono seperti tak puas dengan tangisnya. Se-
lesai bergulingan. dia bangkit. Ditendanginya pohon-
pohon di sekitarnya. Sarat kekuatan dahsyat.
Suara bergemuruh terdengar, disusul ambruknya
beberapa pohon. Sementara Bergola Ijo jadi uring-
uringan sendiri. Sebab biar bagaimana, hutan kecil ini
adalah wilayah kekuasaannya.
"Hei, berhenti! Berhenti! Jangan ngamuk di tem-
patku!" teriak Bergola Ijo.
Joyolelono masih dengan amukannya yang meng-
gila. Bahkan kali ini dia telah bersiap dengan pukulan
mautnya. Mata tajam Bergola Ijo menangkap maksud
itu. Cepat dia melompat, langsung menangkap tangan.
"Bocah gemblung! Jangan kau acak-acak tempat
tinggalku. Kau tak perlu berlaku demikian kalau
hanya tersesat saja. Ayo, kau kuantar ke sana!" ujar
Bergola Ijo.
"Paman tahu letak Gunung Arjuna?" mata Joyole-
lono berbinar-binar.
Bergola Ijo mengangguk.
Joyolelono nandak.
Blang ting tung ting tang ting tung....
***
LIMA
KEMBALI pada pertarungan Satria melawan Raja
Pencuri Dari Selatan.
Matahari merangkak menuju barat. Pertarungan
terus digelar. Semakin liar. Mata merah pemuda ber-
nama Satria makin nyalang. Terjangan Raja Pencuri
Dari Selatan kali ini tak bisa dianggap main-main. Se-
karang tinggal tergantung Satria. Kalau dia mau me-
nyudahi pertarungan, saat inilah waktunya. Sebab,
waktu yang diberikan Adipati Wisnu Bernawa hampir
habis. Saat ini, si pemuda benar-benar dikejar waktu.
"Khaaa!"
Satria bukannya mundur atau mengelak, justru
melakukan terjangan ke depan. Gila betul perbuatan-
nya. Menjelang terjadi bentrokan, tiba-tiba tubuhnya
dienyahkan ke bawah. Pemuda itu berguling sekali, la-
lu kakinya terangkat tinggi. Sebuah gerakan mirip
lumba-lumba yang hendak menampar udara dengan
ekornya.
Dess....
Dari bawah, terjangan kedua kaki Satria meng-
hantam dada lawan. Raja Pencuri Dari Selatan kontan
terpental balik ke belakang. Deras sekali. Sepuluh
tombak dari tempat semula, tubuhnya mencium ta-
nah.
Arya Wadam yang masih terluka dalam sempat
menyaksikan kejadian tadi. Wanita yang berpenampi-
lan seperti lelaki ini dibuat kagum oleh gerakan dah-
syat Satria. Matanya sampai melotot, tak percaya pada
pandangannya sendiri bagai ditenung.
Hebat! Baru aku percaya dengan kehebatannya
yang sampai menggegerkan dunia persilatan. Puji Arya
Wadam, lebih jauh. Diam-diam, hatinya mulai terusik
oleh ketampanan dan kejantanan Satria. Itu sisi lain
hatinya. Di sisi lain lagi, hatinya seolah beku terhadap
lelaki. Tapi apakah dia harus mengingkari kodratnya?
Hanya Arya Wadam yang bisa menjawabnya.
Satria melangkah menuju tubuh Raja Pencuri Dari
Selatan yang tak bergerak dengan tarikan napas satu-
dua. Dari mulut dan hidungnya menganak sungai da-
rah merah. Wajahnya yang penuh rajahan dikotori de-
bu jalanan.
Si pemuda merogoh jubah Raja Pencuri Dari Sela-
tan. Ketemu! Ya, senjata pusakanya ternyata terselip di
ikat pinggang lelaki tua yang belum sadarkan diri ini.
Dicabutnya senjata Kail Naga Samudera. Diperhati-
kannya sejenak, lalu diselipkan di ikat pinggangnya
sendiri.
Kembali Satria merogoh. Ditemukannya sebuah
pedang pendek di balik jubah Raja Pencuri Dari Sela-
tan. Seulas senyum tercipta di bibirnya. Dia tahu, itu-
lah pedang yang dicari-cari Arya Wadam. Karena wak-
tu jalan bersama tempo hari, wanita itu pernah berce
rita tentang pedang pusaka milik pamannya telah di-
curi lelaki tua maling tengik itu.
Tak mau waktu terbuang sia-sia, Satria segera
menghampiri Arya Wadam. Si wanita telah bangkit
berdiri walaupun masih merasakan sesak pada da-
danya.
"Bagaimana, Arya? Kau sanggup melakukan perja-
lanan ke Kadipaten Lumajang? Lihat, senjata pusaka
yang kau ceritakan telah kembali. Betul kan, senjata
ini yang kau cari?" tanya si pemuda.
Arya Wadam mengangguk. Segaris senyum men-
gembang di bibirnya. Diambilnya senjata pedang yang
disodorkan Satria Gendeng.
"Bagaimana kalau kita mencari Paman Poleng dan
Paman Remeng?" Kali ini ganti Arya Wadam yang ber-
tanya.
"Kau gila, Arya?! Waktu kita sudah habis, tahu?!
Dua hari lagi, Tujuh Dewa Kematian akan menyatroni
Kadipaten Lumajang. Dan kau mengajakku mencari
kedua pamanmu yang tak jelas juntrungannya?" sen-
tak Satria, gusar. Matanya sampai mendelik.
Wajar kalau Satria sampai kalap begitu. Dia su-
dah sanggup untuk memanggil tiga tokoh persilatan
berwatak aneh yang dikenai Adipati Wisnu Bernawa.
Dua sudah didapatnya, walaupun kehadiran Ki Je-
rangkong alias Dewa Gila diwakili anaknya. Sisanya,
kini ada di depan hidungnya. Dan kini orang yang di-
maksud malah mengajak mencari kedua pamannya.
Padahal, waktu yang diberikan tinggal dua hari lagi.
"Tapi kau sudah berjanji untuk membantuku. bu-
kan?" tukas Arya Wadam, menyudutkan.
"Janji tinggal janji. Aku juga sudah berjanji pada
Adipati Wisnu Bernawa untuk membawamu ke kadipa-
ten. Dan urusanmu cuma hanya untuk senjata sialan
itu?! Keterlaluan kau, Arya!" semprot Satria.
"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku harus
mencari kedua pamanku itu!" tegas Arya Wadam.
Dasar perempuan! Maki Satria. Bodohnya, Satria
juga sudah telanjur sayang, eh. Telanjur janji pada
Arya Wadam. Mungkin kalau bukan wanita cantik
yang dihadapi, sudah dikures-kures wajah Arya Wa-
dam. Dan Satria tak mungkin melakukannya.
"Begini saja. Kita masih punya waktu satu malam
untuk mencari kedua pamanmu. Tapi bila sampai nan-
ti malam tidak juga ketemu, terpaksa kita harus me-
nuju Kadipaten Lumajang. Bagaimana?" cetus Satria.
"Begitu juga bagus," sahut Arya Wadam, enteng.
"Dari tadi, kek!"
* * *
Besok malam, purnama menjelang. Itulah saat
yang dinanti Tujuh Dewa Kematian untuk menyem-
purnakan ilmu hitam keparat mereka. Dan senja saat
ini mulai dikurung kegelapan. Angin malas berhem-
bus. Kabut leluasa mengepung puncak Gunung Arju-
na,
Di tengah hutan tak jauh dari puncak Gunung Ar-
juna, terdapat sebongkah batu sebesar gajah. Di atas-
nya, tersusun tujuh tengkorak manusia. Di tengah ba-
tu tergurat tulisan berhuruf Jawa Kuno: Tujuh Dewa
Kematian.
Sekitar tiga tombak dari tempat itu berdiri sebuah
bangunan mirip candi. Di muka candi sebuah gapura
menghadang. Mengerikan. Karena masing-masing sisi
gapura terpancang pula tengkorak kepala manusia.
Lebih mengerikan lagi, apa yang terlihat di halaman
depan candi. Di situ bertebaran berpuluh-puluh teng
korak manusia.
Di pintu gerbang candi terdapat guratan tulisan
yang juga berhuruf Jawa Kuno. Bunyinya: Kuil Neraka.
Lumrah saja tempat ini bila dinamai Kuil Neraka.
Apa yang terlihat di halaman depan candi memang
menggambarkan kalau tempat itu adalah ajang pem-
bantaian.
Memasuki halaman pelataran di tengah candi, se-
buah peti mati terbujur di atas batu besar berbentuk
pipih. Tak jauh dari batu, berdiri sebuah tonggak ber-
bentuk salib. Di situ, terikat satu sosok ramping yang
terkulai pingsan. Sosok Pitaloka, anak gadis Adipati
Wisnu Bernawa yang diculik Tujuh Dewa Kematian.
Beberapa obor terpancang di tiap-tiap sudut can-
di. Cahayanya menjilati tujuh sosok berpakaian hitam
seperti paderi yang tengah bersila membentuk lingka-
ran. Tujuh orang berpakaian serupa dengan kepala
gundul masih membisu. Seolah mereka terbawa alun
pikiran masing-masing.
Hening.
Angin tetap malas berhembus. Api pada obor me-
liuk-liuk perlahan mengikuti irama angin kecil.
"Sebentar lagi cita-cita kita tercapai," sosok gun-
dul yang duduk bersila membelakangi peti mati mem-
buka suara. Nadanya menyiratkan kebanggaan.
"Sebentar lagi dunia persilatan di tangan kita,"
sambung yang lain.
"Sebentar lagi kita paling ditakuti di jagat ini," su-
sul lelaki yang menghadap peti mati.
"Sebentar lagi kita...."
"Sudah!" potong yang lain. "Sebentar lagi..., seben-
tar lagi! Sebaiknya kita harus waspada. Karena bukan
tidak mungkin si keparat Wisnu Bernawa akan mem-
bebaskan putrinya! Bukankah di kadipaten telah hadir
dua tokoh persilatan? Ini yang harus dipikirkan. Bu-
kannya malah menghayal!"
"Betul! Dua adik kita buktinya tak berdaya di tan-
gan Pengemis Tuak dan pemuda yang kita duga adalah
murid dari Dewa Gila. Dan bukan mustahil si keparat
Wisnu Bernawa mengajak tokoh-tokoh persilatan yang
lain," sambung yang lain lagi.
Kali ini tak ada yang bersuara lagi. Mereka kemba-
li terjebak dalam alun pikiran masing-masing.
"Bagaimana kalau upacara dipercepat?" usul yang
menghadap peti mati.
"Bodoh! Itu sama saja kita bunuh diri. Upacara
harus dimulai tepat ketika bulan purnama di atas ke-
pala. Kalau itu sampai dilanggar ilmu hitam yang kita
anut akan memakan diri kita sendiri. Kalian paham?!"
kata lelaki botak yang tadi memotong pembicaraan.
"Benar! Tujuh Dewa Kematian harus menda-
patkan ilmu itu!"
Ketujuh lelaki botak yang memang Tujuh Dewa
Kematian sama-sama mengangguk. Agaknya mereka
percaya dengan apa yang telah diguratkan dalam atu-
ran menuntut ilmu hitam yang mereka pelajari.
Waktu kian merangkak.
Sepi.
Sunyi
Mencekam.
"Sebetulnya sayang, gadis secantik dia kalau tidak
digarap dulu," cetus salah seorang dari Tujuh Dewa
Kematian.
"Kau jangan gila, Karpa! Justru darah perawan
gadis itu yang kita butuhkan!" sentak lelaki botak di
sebelah kiri Karpa.
Bila disebut secara berurutan, di sebelah Karpa
adalah, Karta, Karsa, Karma, Karba, Karka, dan Karja.
Lelaki botak yang bernama Karpa paling bungsu. Se-
dangkan yang bernama Karja paling sulung. Wajah
mereka memang mirip, sehingga sulit untuk menebak
mana yang paling bungsu atau paling sulung.
"Sulit mencari gadis yang sesuai dengan syarat
yang harus kita penuhi. Jadi kita harus hati-hati men-
jaganya," sambung Karta.
"Rasanya aku sudah tak sabar lagi menunggu
esok malam," timpal Karsa.
"Sebaiknya, kita mengatur siasat. Siapa tahu Adi-
pati Wisnu Bernawa akan menyerang tempat ini. Jadi
kita sudah punya persiapan," cetus Karba.
"Kau betul, Karba. Mari sekarang kita berembuk,"
sambut Karja.
* * *
"Dadaku masih nyeri saja, Satria," kata Arya Wa-
dam di tengah perjalanan mencari kedua pamannya.
Sebenarnya, Satria ingin menawarkan jasa untuk
mengobati Arya Wadam. Hanya saja, hatinya sungkan.
Pemuda ini takut dianggap memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan. Karena paling tidak, Arya Wadam
harus membuka bajunya. Dan itu sama saja....
"Lantas?" tanya Satria pura-pura bodoh.
"Aku yakin, pasti kau bisa mengobati."
"Lantas?"
"Lantas kukemplang kepalamu. Ya, tolong obati
aku dong!"
"Aku?" Satria makin bodoh saja.
"Di tengah hutan begini, pada siapa lagi aku minta
tolong? Pada monyet?" tukas Arya Wadam.
"Bukan begitu maksudku. Aku sebenarnya juga
mau menawarkan diri, tapi takut kau tersinggung.
Nanti dikira aku ada maunya?" sergah Satria
"Kau ada maunya atau tidak?" balik Arya Wadam.
"Ada. Sedikit," sahut Satria seenaknya.
"O, banyak juga boleh. Asal, kepalamu kukem-
plang dulu."
"He he he... Ya terserah kaulah. Tapi bagaimana
caranya? Karena bajumu harus dibuka dulu," tanya si
pemuda. Di otaknya langsung saja terbayang pung-
gung mulus Arya Wadam.
Arya Wadam tercenung sejenak.
"Begini saja. Tambahkan lagi obat pulung milikmu
dulu, agar aku bisa bertahan sampai bertemu kedua
pamanku. Kurasa setelah aku menelan lagi obat dari-
mu, lalu mendapat hawa murni dari kedua pamanku,
luka dalamku bisa pulih kembali," cetus Arya Wadam
akhirnya.
Ya, tidak jadi. Satria menggerutu dalam hati. Pa-
dahal jantungnya sudah dad-dig-dug bakalan melihat
punggung mulus Arya Wadam. Sayang harapannya
pupus. Lesu, Satria memberikan obat pulung untuk
menahan luka dalam Arya yang diderita akibat bentro-
kan tenaga dalam saat bertarung melawan Raja Pencu-
ri Dari Selatan.
Tak percuma Satria menjadi murid Ki Kusumo
yang berjuluk Tabib Sakti Pulau Dedemit. Begitu Arya
menelan obat yang diberikan si pemuda, dadanya tera-
sa enteng lagi. Bahkan sebenarnya perlahan-lahan
menuju kesembuhan, tanpa penyaluran hawa murni
lagi.
"Kau menyesal ya, tidak jadi mengobati luka da-
lamku?" celetuk Arya Wadam. Matanya melirik sedikit.
Bibirnya sedikit ditarik.
"Siapa bilang?" tukas Satria.
"Kok diam saja?" sindir Arya Wadam.
"Lho? Apa kalau aku diam tidak boleh?"
"Siapa bilang tidak boleh? Hanya saja tampangmu
tampak asem."
"Mau asem, kek. Mau manis, kek. Mau pahit, kek.
Tampangku sendiri," sahut Satria.
"Lho? Kok makin sewot sendiri?"
"Siapa yang tidak sewot kalau sampai menjelang
dini hari ini, kedua paman sialanmu itu belum juga ke-
temu? Lihat! Di depan sana ada sebuah desa, setelah
kita keluar dari hutan tadi. Bila kedua pamanmu tak
ada di sana, terpaksa kita harus langsung menuju Ka-
dipaten Lumajang!" semprot Satria.
Memang, sejak tadi sore, Satria dan Arya Wadam
sudah masuk desa keluar desa. Tapi yang dicari tak
ketahuan juntrungannya. Menjelang tengah malam,
mereka memasuki sebuah hutan. Dan kini, agak jauh
di depan mereka terlihat kelap-kelip lampu yang me-
nandakan ada sebuah desa.
Rupanya, itu pula yang membuat uring-uringan
Satria. Sejak tadi perasaan itu ditahannya. Dan kega-
galannya melihat punggung mulus Arya Wadam men-
jadi pemicu ledakan amarahnya. Aneh juga pemuda
satu ini.
"Bagaimana kalau kita adu cepat menuju desa
itu?" tantang Arya Wadam untuk mencairkan kemara-
han Satria.
"Duluanlah kau sana," sahut Satria.
Lesu.
"Kau marah padaku?"
"Tidak."
"Kok jawabanmu begitu?"
"Habis aku mau jawab apa?"
"Katanya kau mau cepat-cepat menuju Kadipaten
Lumajang?" pancing Arya Wadam.
"Lho? Apa kalau aku diam tidak boleh?"
"Siapa bilang tidak boleh? Hanya saja tampangmu
tampak asem."
"Mau asem, kek. Mau manis, kek. Mau pahit, kek.
Tampangku sendiri," sahut Satria.
"Lho? Kok makin sewot sendiri?"
"Siapa yang tidak sewot kalau sampai menjelang
dini hari ini, kedua paman sialanmu itu belum juga ke-
temu? Lihat! Di depan sana ada sebuah desa, setelah
kita keluar dari hutan tadi. Bila kedua pamanmu tak
ada di sana, terpaksa kita harus langsung menuju Ka-
dipaten Lumajang!" semprot Satria.
Memang, sejak tadi sore, Satria dan Arya Wadam
sudah masuk desa keluar desa. Tapi yang dicari tak
ketahuan juntrungannya. Menjelang tengah malam,
mereka memasuki sebuah hutan. Dan kini, agak jauh
di depan mereka terlihat kelap-kelip lampu yang me-
nandakan ada sebuah desa.
Rupanya, itu pula yang membuat uring-uringan
Satria. Sejak tadi perasaan itu ditahannya. Dan kega-
galannya melihat punggung mulus Arya Wadam men-
jadi pemicu ledakan amarahnya. Aneh juga pemuda
satu ini.
"Bagaimana kalau kita adu cepat menuju desa
itu?" tantang Arya Wadam untuk mencairkan kemara-
han Satria.
"Duluanlah kau sana," sahut Satria.
Lesu.
"Kau marah padaku?"
"Tidak."
"Kok jawabanmu begitu?"
"Habis aku mau jawab apa?"
"Katanya kau mau cepat-cepat menuju Kadipaten
Lumajang?" pancing Arya Wadam.
"Aku memang mau cepat-cepat menuju Kadipaten
Lumajang, tidak ke desa itu," sahut Satria, ketus.
"Tapi kan kita akan melewati desa di depan sana?"
tukas si wanita.
"Siapa tahu aku berbelok kiri," sahut Satria tetap
berjalan kalem.
"Belok kiri ada sungai lebar."
"Aku belok kanan."
"Belok kanan ada jurang lebar."
Satria terdiam. Keras juga hati wanita ini, pikir-
nya.
"Ayo, mau ngomong apa lagi?" ledek Arya Wadam,
makin berani menggoda si pemuda.
Entah sejak berjalan bersama pemuda ini, Arya
Wadam merasa makin dekat dengan Satria Gendeng.
Semuanya terjadi begitu saja. Bukankah itu sesu-
atu yang wajar? Yang tidak wajar adalah, penampilan
wanita itu sendiri yang mirip lelaki. Padahal kalau tu-
dungnya dibuka, lelaki mana yang tidak kepincut?
Hati Arya Wadam makin tertarik setelah melihat
kemampuan Satria dalam menaklukkan Raja Pencuri
Dari Selatan. Berwajah tampan, punya kesaktian. Itu
memang cita-cita Arya Wadam dalam memilih lelaki.
Dalam hal ini, dia menemukannya pada diri Satria
Gendeng.
Akankah Satria Gendeng menerima cintanya? Itu
memang sulit terjawab. Apalagi, Arya merasa minder
karena penampilannya selama ini. Bisa jadi pemuda
itu jengah melihatnya sebagai lelaki.
Tanpa terasa, Satria Gendeng dan Arya Wadam te-
lah mendekati desa di depan sana. Dari sini keadaan
desa terlihat ramai. Lampu terang benderang terpa-
sang di mana-mana. Ada apa di desa itu.
"Kok menjelang dini hari desa itu masih terlihat
ramai?" tanya Arya Wadam, memecahkan kebisuan
yang terjadi.
"Sepertinya memang ada keramaian. Paling ada
wayang kulit atau ronggeng," sahut Satria. Nadanya
mulai bersahabat lagi. Pemuda ini memang gampang
melupakan kemarahannya. Seolah apa yang terjadi di
antara mereka telah lenyap entah ke mana.
"Siapa yang punya hajatan, ya?" sambung Arya
Wadam.
"Tanya saja pada dedemit yang lewat," sahut Sa-
tria seenak dengkul.
"Kok tanya sama dedemit?"
"Ya, habis mana aku tahu? Ketahuan sejak kema-
rinan aku berjalan bersamamu. Sekarang kau malah
tanya aku. Lagian aku juga bukan penduduk desa itu."
Arya Wadam terdiam.
Kini mereka telah memasuki desa. Suara gamelan
mulai mengusik mereka untuk memanggut-
manggutkan kepala. Ada sebaris senyum di bibir Sa-
tria. Dia paling suka kalau disuruh nonton wayang ku-
lit.
Lengkingan merdu sinden makin membuat lang-
kah Satria melebar. Telinganya makin dipertajam,
mencari arah suara gamelan yang ditingkahi tetem-
bangan sinden.
Ketika suara sang dalang terdengar, Satria makin
yakin kalau itu adalah suara sebuah pertunjukan
wayang kulit. Dan arahnya, ke timur desa ini.
Benar saja. Ketika mereka berbelok ke kanan, ke-
rumunan orang menghebat. Kaki Satria makin mantap
melangkah. Tapi belum sepuluh tombak Satria dan
Arya Wadam sampai di dekat kerumunan....
"Berhenti! Orang bertudung, kau masih punya
utang padaku!"
Ngung..., werrr!
Sebuah suara bentakan disusul luncuran sebuah
bandul baja berduri menjegal langkah mereka. Satria
tersentak kaget. Tapi Arya Wadam tidak. Bila Satria
langsung memiringkan tubuhnya, maka Arya Wadam
tetap tenang. Seolah dia tak pernah menyadari adanya
bahaya besar mengancam.
Begitu bandul berduri yang terkait rantai panjang
itu tinggal sejengkal lagi meremukkan batok kepa-
lanya, Arya Wadam menggeser tubuhnya. Dan tangan-
nya bergerak cepat seolah hendak menangkap nya-
muk.
Tap!
Hebat. Bandul berduri terhenti seketika di depan
wajahnya.
"Kuno! Gerakanmu itu-itu saja, Arya Wadam! Ma-
las aku menyerangmu seperti itu lagi!" omel seseorang
seraya mendekati Arya Wadam. "Mana janjimu?"
Orang itu langsung merengkuh bahu Arya. Penuh
persahabatan. Tinggal Satria yang melongo tak men-
gerti.
"Apa kabar, Raman Remeng? Mana Paman Po-
leng?" sambut Arya Wadam.
"Kau beri dua kepeng uang perak pun dia tak ba-
kalan sudi meninggalkan pertunjukan itu," sahut lelaki
bercambang lebat yang dipanggil Paman Remeng oleh
Arya Wadam.
"Oh, ya." Arya Wadam lantas menoleh pada Satria
yang masih terbengong-bengong, walaupun mulai tahu
siapa lelaki ini. "Kenalkan, ini Paman Remeng yang
kuceritakan itu."
Satria menyodorkan tangannya mengajak berjaba-
tan tangan,
"Tak perlu berbasa-basi denganku, Satria Gendeng. Justru aku yang harus memberi salam peng-
hormatan padamu," tolak Remeng. Namun kaki segera
ditekuk dengan lutut kanan menyentuh tanah.
"Eh, eh, apa-apaan ini, Paman Remeng? Jangan
terlalu berlebihan. Biasa-biasa saja," ujar Satria, tak
menyangka kalau jati dirinya telah diketahui Paman
Remeng. Segera diraihnya bahu Remeng.
Mereka kini sama-sama berdiri.
"Begini, Paman. Berhubung aku sudah bertemu
denganmu, maka kuserahkan pedang ini padamu,"
buka Arya Wadam. Dicabutnya sebuah pedang pendek
dari ikat pinggangnya.
"Jadi kau telah berhasil mendapatkan pedang ini?!
Kau apakan Raja Pencuri Dari Selatan? Pasti telah kau
remas-remas, bukan?!" sontak Remeng. Diambilnya
pedang dari tangan Arya Wadam. Kasar. Bukan karena
kesal, tapi saking gembiranya.
"Bukan, bukan aku yang mendapatkannya. Tapi,
Satria. Dia pula yang mengalahkan Raja Pencuri Dari
Selatan," tunjuk Arya Wadam, terus terang.
"Ah, sungguh Kuhormati pengorbananmu, Satria
Gendeng. Bagaimana aku dapat membalasmu?"
"Gampang," sahut Satria.
"Apa?"
"Jangan terlalu berbasa-basi dan banyak peristia-
datan padaku."
Paman Remeng terpana. Sungguh dia amat men-
gagumi kepribadian luar biasa Satria. Semuda itu su-
dah memiliki hati yang luhur.
"Nah, Arya," sambung Satria. "Sekarang aku me-
nagih janjimu."
Arya Wadam tersenyum di balik tudungnya.
"Kita pergi sekarang?" tanyanya.
"Jangan, tahun depan saja. Ya, sekarang!" sentak
Satria gemas.
"Paman Remeng, aku dan Satria permisi dulu
hendak melanjutkan perjalanan. Ada tugas penting da-
ri Adipati Wisnu Bernawa yang harus kuemban." kata
Arya Wadam.
"Ya, mestinya aku memang tak boleh menahanmu
berlama-lama, sekadar melepas rindu. Aku mengerti,
tugasmu amat berat pergilah. Jalankan tugas dari adi-
pati dengan sebaik-baiknya."
"Baik. Kami pergi, Paman Remeng," sambar Satria
Gendeng seraya meraih lengan Arya Wadam. Dia me-
mang tak ingin berlama-lama lagi. Sebab waktu telah
mengejar. Sementara, Arya Wadam masih saja suka
berbasa-basi.
***
ENAM
WAKTU kian merambat. Matahari mengintip malu-
malu di sebelah timur. Sinarnya menerobos dedaunan,
membentuk bias-bias kemilau. Sebagian sinarnya ma-
lah jatuh tepat di alas wajah Bergola Ijo yang tidur di
atas sebuah dahan pohon. Di atasnya lagi, Joyolelono
tidur tengkurap mengeloni dahan pohon.
Bukan main bocah berkumis ini. Di setiap tidur-
nya selalu mengumbar cairan bau dari mulutnya. Sial-
nya lagi sebagian cairan itu jatuh tepat di pipi Bergola
Ijo.
Merasakan dingin-dingin di pipinya, Bergola Ijo
terbangun. Tangannya langsung meraba pipi, lalu ber-
gerak ke hidung.
"Bah! Sialan! Bocah tengik ini mengirimi ku cairan
bau!" rutuk Bergola Ijo begitu tahu kalau cairan baru-
san berasal dari mulut Joyolelono.
Seperti tanpa dosa, terus saja si bocah berkumis
tenggelam dalam mimpinya. Malah desiran kasar ter-
sembur dari mulutnya yang maju beberapa jari.
"Kebluk! Hei. Bocah! Bangun! Sialan kau! Kau beri
aku setetes embun pagi dari mulutmu!" maki Bergola
Ijo lagi.
Joyolelono tetap asyik dengan mimpinya.
Bukan main kesalnya Bergola Ijo. Dihantamnya
dahan tempat tidur bocah berkumis itu.
Prak!
Sungguh suatu perbuatan bodoh. Dahan itu me-
mang hancur. Tapi....
Brukkk! Gusrakkk!
Tentu saja dahan itu langsung patah, sehingga
tubuh Joyolelono langsung meniban tubuh Bergola Ijo.
Tak mampu menahan beban, keduanya langsung jatuh
di atas tanah. Keras sekali.
Bergola Ijo langsung mengomel-omel. Tidak den-
gan Joyolelono. Bocah ini tak puas kalau tidak menan-
gis.
"Hu hu hu.... Kau sengaja ingin membunuhku,
ya...? Ayo, bilang terus terang.... Hu hu hu...!" isak si
bocah berkumis.
"Wah..., urusan lagi. Mimpi apa aku semalam?
Kenapa jadi bertemu bocah aneh seperti ini?" gumam
Bergola Ijo begitu bangkit berdiri.
"Hu hu hu...!" tangis Joyolelono makin gila-gilaan.
Bahkan tubuhnya berguling-guling. "Kulaporkan per-
buatanmu pada ayahku, baru tahu rasa!"
"Eh, jangan! Aku dan ayahmu bersahabat baik.
Nanti hanya gara-gara masalah sepele, hubungan
ayahmu denganku akan pecah," sergah Bergola Ijo.
"Kau bilang masalah sepele?!" sentak si bocah
berkumis. "Kau hendak membunuhku kau bilang se-
pele?!"
"Siapa yang hendak membunuhmu? Aku hanya
kesal, lalu memukul dahan yang kau tiduri," kilah le-
laki bercawat hijau itu.
"Dahan itu ambruk, berikut tubuhku. Hu hu
hu...!" sambar si bocah berkumis, merutuk.
"Ya, sudah.... Aku minta maaf," Bergola Ijo menga-
lah.
"Maaf? Tidak! Kau tidak kumaafkan, kecuali
menggendongku sampai Gunung Arjuna!"
"Apa?! Kau gila, Bocah!" cekat lelaki bulat ini.
"Tidak! Aku tidak gila! Hu hu hu...."
Bergola Ijo mengurut dadanya sendiri. Baru kali
ini dia menghadapi makhluk aneh seperti itu. Apa yang
mesti diperbuatnya?
Tidak! Harga diriku tak serendah itu dengan
menggendong bocah ini! Teriak hati Bergola Ijo. Wa-
laupun dia takut terhadap Dewa Gila, tapi kalau dis-
uruh menjual harga diri, nanti dulu. Bertarung boleh
kalah tapi harga diri terinjak-injak, lebih baik mati.
Begitu sikap tegas Bergola Ijo.
"Lebih baik laporkan saja pada orangtua mu dari-
pada aku disuruh menggendongmu sampai Gunung
Arjuna!" tegas Bergola Ijo.
"Benar kau ingin dilaporkan?" tangis Joyolelono
mendadak berhenti.
"Ya, laporkan saja!"
"Ayah...! Orang ini menantangmu....!" teriak Joyo-
lelono.
Bergola Ijo malah terpingkal-pingkal. Bodoh seka-
li, bocah ini. Dari jarak yang sangat jauh, bahkan ter-
lalu jauh dari tempat ini, mana mungkin Dewa Gila
mendengar? Bukankah lelaki bernama asli Ki Jerang-
kong itu tinggal di Lembah Pangrango? Begitu kata ha-
ti Bergola Ijo.
Tapi dasar dia sedang apes....
"Manusia dekil itu yang mengganggumu, Anak-
ku?"
Sebuah suara sarat kemarahan terdengar. Kepala
Bergola Ijo yang tadi mendongak karena tertawa ter-
pingkal-pingkal langsung diturunkan. Matanya kontan
mendelik, hampir copot dari rongganya.
"Dewa Gila? Tidak mungkin!" sentaknya.
Di sebelah Joyolelono tahu-tahu telah berdiri seo-
rang kakek bungkuk. Hidungnya berwarna ungu kehi-
jauan. Matanya besar sebelah. Rambutnya kasar awut-
awutan berwarna kelabu. Pakaiannya berwarna biru
tua. Siapa lagi orang tua itu kalau bukan Ki Jerang-
kong alias Dewa Gila?
"Katanya kau mau menantangku, Bergola? Kau
belum kapok, ya?" sindir Dewa Gila. Kalem saja sua-
ranya.
"Siapa yang bilang? Aku tidak bilang begitu?
Anakmu saja yang mengada-ada!" kilah Bergola Ijo.
"Alaaahh.... Ngaku saja, Bergola!"
Seperti ingin meledek Bergola Ijo habis-habisan,
Joyolelono memelet-meletkan lidahnya. Tengik sekali
lagaknya. Ingin rasanya Bergola Ijo menampar wajah
menyebalkan itu.
"Begini, Dewa Gila. Terus terang, aku tadi kesal
terhadap anakmu. Sudah wajahku ditetesi iler, kusu-
ruh bangun dia tidak mau. Saking kesalnya, aku me-
mukul dahan pohon yang ditidurinya. Dan kami jatuh
bersama-sama dari pohon itu," jelas Bergola Ijo.
"Bohong, Ayah! Dia ingin membunuhku!" serobot
si bocah berkumis.
"Bukankah kau telah berjanji tak akan menggang-
gu keluargaku, Bergola?"
"Sumpah mampus kalau aku sampai mengganggu
keluargamu. Justru saat ini aku sedang mengantar
anakmu menuju Gunung Arjuna. Dia tersesat kemarin.
Lalu kuantar dia, dan bermalam di sini," jelas Bergola
Ijo lagi. Agaknya, dia memang tidak ingin memperpan-
jang urusan dengan Dewa Gila. Selagi masih bisa dije-
laskan, kenapa tidak?
"Benar apa yang dikatakan Bergola Ijo, Anakku!
Kau tersesat, lalu diantar olehnya?" tanya Ki Jerang-
kong pada anaknya.
"Benar, Ayah. Untung ada Bergola Ijo. Kalau tidak,
aku bisa jadi orang hutan," sahut si bocah berkumis
lugu,
Bergola Ijo siap-siap meledakkan amarahnya bila
Joyolelono berdusta. Tapi ternyata dengan keluguan-
nya, si bocah berkata jujur. Bergola Ijo jadi tak habis
pikir, setan apa yang bisa merubah bocah berkumis itu
dengan begitu cepat. Orang mencret mungkin bisa ka-
lah cepat dengan perubahan itu.
"Nah, ternyata anakku sudah berkata jujur. Aku
percaya padamu, Bergola," kata si tua bangka bung-
kuk itu.
Sial! Orang aku yang berkata jujur, malah anak-
nya yang dibilang berkata jujur. Bergola merutuk da-
lam hati. Walau hatinya merutuk, lelaki bulat ini boleh
merasa lega. Sepertinya, Dewa Gila sudah melupakan
kemarahannya.
"Nah, sekarang kau boleh pergi, Bergola. Biar aku
yang mengantar anakku ke Gunung Arjuna," ujar De-
wa Gila.
"Baiklah kalau begitu. Aku permisi, Dewa Gila,"
ucap Bergola Ijo, lalu meninggalkan tempat ini. Lega
sekali rasanya hari ini. Seolah dia baru saja mengalami
mimpi buruk.
* * *
"Apa?! Mereka menculik Pitaloka?!" sentak Satria
Gendeng begitu tiba di depan pintu gerbang Kadipaten
Lumajang bersama Arya Wadam pada pagi ini. Tak
puas dengan kagetnya, dicengkeramnya kerah pakaian
prajurit yang melapor padanya barusan.
Baru ketika si prajurit mengerjap-ngerjap berusa-
ha mencari napas, Satria tersadar dengan kekeliruan-
nya. Matanya yang mendelik pun redup kembali. Dile-
pasnya cengkeraman pada baju si prajurit.
"Kejadiannya empat hari yang lalu," lanjut si pra-
jurit. "Kanjeng adipati terlalu pagi ke Gunung Arjuna
bersama Pengemis Tuak dan Joyolelono."
Satria menatap Arya Wadam di sebelahnya. "Ka-
pan purnama muncul, Arya?"
"Nanti malam," sahut Arya Wadam.
"Slompret! Kita harus secepatnya menyusul mere-
ka di Gunung Arjuna. Kasihan Adipati Wisnu Bernawa.
Ayo, Arya!" ajak Satria langsung saja.
"Sabar, Satria. Kita bisa sampai sana sore nanti
jika menunggang kuda disertai ilmu meringankan tu-
buh. Kita masih punya waktu sedikit," ujar Arya Wa-
dam, tenang.
Satria mendelik.
"Punya waktu katamu?" tukasnya. "Nyawa Pitalo-
ka terancam. Dia bakal dijadikan tumbal untuk ilmu
sesat keparat yang dianut Tujuh Dewa Kematian. Dan
kau malah tenang-tenang saja!" semburnya, lebih
mendelik lagi.
Dari nada suara Satria, Arya Wadam menangkap
seolah pemuda itu benar-benar mengkhawatirkan pu-
tri sang adipati. Artinya, bisa jadi Satria tengah mabuk
asmara terhadap gadis itu. Kalau itu benar...?
Gombal! Kenapa aku jadi gede rasa? Rutuk Arya
Wadam. Kenapa tiba-tiba hatiku tersaput rasa cembu-
ru? Cepat, Arya Wadam mengusir rasa tak enak dalam
hatinya. Wanita berpenampilan seperti lelaki ini jadi
minder sendiri bila menyadari keadaannya.
"Kenapa kau diam, Arya! Waktu kita sudah habis,"
usik Satria.
"Bukan begitu, Satria. Aku yakin, Tujuh Dewa
Kematian tak akan membiarkan begitu saja diserang
oleh Adipati Wisnu Bernawa dan yang lainnya. Mereka
pasti punya persiapan. Nah, itu yang mesti dipikirkan.
Kita perlu siasat pula untuk menghadapinya," papar
Arya, setelah bisa menguasai perasaannya.
Ganti Satria yang terdiam.
"Kau punya rencana?" susulnya.
"Kau?" balik Arya Wadam.
Satria menggeleng.
"Aku ada. Tapi sebaiknya nanti saja kujelaskan.
Sekarang sebaiknya kita meminjam kuda kadipaten
dulu," kata Arya Wadam.
Segaris senyum tercipta di bibir Satria. Kepalanya
langsung berpaling pada prajurit yang memberi lapo-
ran tadi. Tangannya cepat memberi isyarat.
Memanggil.
"Tolong pinjami kami kuda. Cepat!" ujar Satria.
"Baik," sahut si prajurit, lalu cepat berbalik dan
berlari menuju halaman kadipaten.
Satria kembali menatap Arya Wadam. Yang dita-
tap malah menghadap ke arah lain. Entah, apa yang
ada di balik wanita berpenampilan lelaki itu.
"Ada apa, Arya. Kau sudah menemukan siasat
yang bakal kita jalankan?" usik Satria.
"Kau suka gadis itu, Satria?" Tak menjawab, Arya
malah bertanya.
"Suka," sahut Satria pendek.
"Cantik, ya?"
"Cantik."
"Sudah berapa lama berkenalan?"
"Baru beberapa hari ini," Satria terus terang. Te-
tap tanpa menoleh, Arya Wadam mendesah. Lirih seka-
li.
Sungguh. Keluguan Satria terhadap soal perem-
puan menyebabkannya tak mengerti maksud arah
pembicaraan Arya Wadam. Pemuda itu menganggap
pertanyaan yang diajukan wajar-wajar saja.
Justru jawaban-jawaban yang diberikan Satria
malah makin membuat Arya Wadam tersudut dalam
kekecewaan. Makin meringis dan menjerit dalam ke-
hampaan.
"Bagaimana dengan siasatmu, Arya?" Satria malah
mengalihkan pembicaraan. Kuper sekali bocah itu. In-
gin rasanya Arya Wadam meninju wajah pemuda itu.
Sebelum Arya Wadam menjawab, si prajurit yang
disuruh mengambil kuda telah datang. Di kanan-
kirinya mengikuti dua ekor kuda yang cukup gagah.
"Ini kudanya, Anak Muda," kata si prajurit.
"Terima kasih." Satria mengambil dua tali kekang
kuda. Diseretnya kedua kuda itu. Satu tali kekang lan-
tas diberikan Arya Wadam.
Tanpa kata, Arya Wadam menerima tali kekang
kuda. Segera dinaikinya kuda berwarna coklat itu.
"Ayo kita berangkat," katanya, bergegas.
Satria juga menaiki kudanya. Tapi, tak segera di-
gebah.
"Ada apa, Satria?" tanya Arya Wadam, heran melihat Satria tak segera menggebah kuda.
"Kau belum menjelaskan siasatmu," sahut Satria.
"Gampang, nanti di perjalanan."
"Betul?"
Tak menyahut, Arya Wadam segera menggebah
kudanya. Juga Satria.
***
TUJUH
MATAHARI terpuruk di batas kaki langit. Bulan
bulat penuh di langit timur sana mulai menampakkan
sinar keperakannya. Inilah purnama yang ditunggu-
tunggu Tujuh Dewa Kematian.
Di sekitar Kuil Neraka keadaan mencekam. Angin
semilir berhembus, berusaha menyibak kabut yang
mengepung sekitar bangunan mirip candi.
Hening.
Tak terdengar suara apa-apa. Binatang malam
pun seolah malas menembangkan suara-suara mer-
dunya.
Belum ada kegiatan apa-apa di sekitar bangunan
candi. Mestinya, malam ini Tujuh Dewa Kematian akan
melangsungkan suatu upacara tumbal demi ilmu sesat
yang mereka anut. Tapi persiapan-persiapan untuk itu
belum terlihat. Siasat apa lagi yang akan digelar Tujuh
Dewa Kematian?
Sepuluh tombak di luar wilayah Kuil Neraka, Adi-
pati Wisnu Bernawa, Sukma Sukanta, dan Pengemis
Tuak telah berdiri mematung. Mata tak berkedip mere-
ka menghujam langsung ke arah pintu gerbang candi.
Hati waswas mereka menduga-duga, apa yang tengah
dikerjakan Tujuh Dewa Kematian. Mereka khawatir,
jangan-jangan Pitaloka telah dijadikan tumbal demi il-
mu sesat keparat.
"Bagaimana, Kanjeng? Apakah kita menyerbu se-
karang?" tanya Sukma Sukanta, memecah kebisuan.
"Kau tidak merasakan keanehan di Kuil Neraka
itu?" balik sang Adipati.
"Ya, kelihatannya sepi-sepi saja. Seperti tak ada
kegiatan yang berlangsung. Aku jadi curiga," sela Ki
Dagul alias Pengemis Tuak.
"Kita harus berhati-hati. Sebab, tak mungkin Tu-
juh Dewa Kematian membiarkan kita memasuki Kuil
Neraka," ingat Adipati Wisnu Bernawa.
Ketiga orang ini terdiam. Benak masing-masing
menduga, siasat apa yang akan dibuat Tujuh Dewa
Kematian.
"Kalau begitu, biar aku yang memasuki kuil itu.
Kanjeng Adipati dan Pengemis Tuak bisa melindungiku
dari belakang," cetus Sukma Sukanta. Merasa pernah
memasuki kuil itu, lelaki ini paling tidak sudah punya
gambaran tentang keadaan sekitarnya.
Selangkah demi selangkah. Perlahan tapi pasti.
Sukma Sukanta mendekati halaman bangunan ber-
bentuk candi itu. Dadanya dipenuhi detak jantungnya.
Ketika matanya tertuju ke arah halaman yang dipenu-
hi puluhan tengkorak kepala manusia, hatinya terce-
kat. Dia tahu, di antara tengkorak-tengkorak kepala
itu terdapat tengkorak kepala kakak-kakak kembaran-
nya. Entah, di mana jasad mereka.
Miris hati Sukma Sukanta bila melihat tengkorak-
tengkorak kepala itu. Hatinya terpukul. Setangguh-
tangguhnya dia sebagai pendekar, trenyuh hatinya bila
mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana
saat itu kakak-kakak kembarannya menyuruhnya me
nyelamatkan diri di saat para Pendekar Kembar ter-
bantai satu demi satu di tangan Tujuh Dewa Kematian.
Kegeraman membuncah dadanya. Perasaan lelaki
ini larut dalam keharuan bercampur dendam. Dan
tanpa terasa, pedangnya yang terselip di pinggang di-
cabutnya.
Sratt...!
Kewaspadaan penuh ditingkatkan. Mata nyalang
beredar ke sekeliling. Adipati Wisnu Bernawa dan Pen-
gemis Tuak mengikuti dari belakang, siap melindungi
Sukma Sukanta.
Kini, mereka telah menginjak halaman depan can-
di. Keadaan tetap sepi. Mencekam. Sekitar lima tom-
bak mereka berdiri di depan pintu gerbang yang mirip
gapura. Ketajaman mata mereka berusaha menghujam
kepekatan kabut yang mengepung sekitar Kuil Neraka.
"Aku jadi curiga. Jangan-jangan...."
"Awass...!"
Wuosss...!
Kata-kata Ki Dagul terjegal oleh suara peringatan
Adipati Wisnu Bernawa. Juga oleh lesatan beberapa
bola api yang meluncur, langsung mengurung mereka.
Dahsyat bukan main. Ketiga orang itu langsung
melempar diri masing-masing, menghindari terjangan
lima buah bola api berhawa panas.
Wusss!
Baru saja bangkit, ketiga orang itu harus pontang-
panting lagi. Lima bola api panas seperti memiliki ma-
ta.
Berputar-putar, lalu menyambar lagi. Lebih ganas,
lebih berbahaya.
"Setan buduk! Wisnu! Tinggalkan tempat ini. Biar
aku yang menghadapi bola-bola api itu!" teriak Ki Da-
gul, sambil berlompatan menghindar.
Sia-sia Pengemis Tuak berteriak begitu. Tetap saja
Adipati Wisnu Bernawa tak mampu keluar dari seran-
gan bola api. Jangankan untuk keluar. Untuk meng-
hindar saja harus berjuang mati-matian.
Di tempatnya, Sukma Sukanta pun harus pon-
tang-panting menyelamatkan diri. Dua bola api yang
menyerangnya seperti tak memberi ampun padanya.
Baru saja bangkit, satu bola api yang lainnya telah me-
rangseknya.
"Ha ha ha...! Selamat datang di Kuil Neraka, Para
Pecundang! Sebentar lagi nasib kalian sama dengan
tumpukan tengkorak-tengkorak itu!"
Suara tanpa wujud terdengar memenuhi sekitar
tempat ini. Kendati dalam keadaan kewalahan begitu,
ketiga orang yang diserang lima bola api masih bisa
mendengarnya. Bisa jadi, suara itu berasal dari mulut
satu dari Tujuh Dewa Kematian.
"Tampakkan diri kalian, Pengecut!" teriak Ki Da-
gul. Lelaki tua bangka ini terus berkelit menghindar.
"Nanti, kalau kami selesai melangsungkan upaca-
ra. Sebentar lagi, upacara akan digelar. Tepatnya, pada
tengah malam nanti. Bersenang-senanglah kalian dulu
dengan bola-bola kematian kami! Toh, walaupun ka-
lian terbebas dari bola-bola api itu, tak bakalan bisa
memasuki candi tempat upacara, karena telah kami
pagari dengan setan-setan dari neraka! Ha ha ha...!"
Ki Dagul, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Su-
kanta tercekat. Diserang bola-bola api saja mereka be-
lum berhasil melepaskan diri. Sekarang, mereka telah
dihadapi kenyataan tak bakalan bisa masuk candi.
Kalau sudah begini, apa yang harus diperbuat?
Buntu!
Buntu pikiran Ki Dagul menghadapi serangan tak
terduga bola-bola api itu. Sebab, jelas kalau bola-bola
api itu dikendalikan dari jarak jauh. Yang perlu dima-
tikan adalah si pengendali. Nah, kalau si pengendali
tak jelas ada di mana, bagaimana bisa menghada-
pinya? Bahkan untuk keluar dari terjangan-terjangan
bola-bola api itu saja, Pengemis Tuak merasa kewala-
han.
Bagi Ki Dagul, lebih baik berhadapan dengan la-
wan. Kalau sudah berhadapan, tinggal adu kesaktian
dan ilmu olah kanuragan. Tapi menghadapi lawan gaib
seperti itu, apa yang harus diperbuatnya?
Sama seperti Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma
Sukanta. Mereka merasa lebih baik menghadapi lawan
nyata ketimbang seperti ini. Lawan yang menggunakan
tenaga batin, harus dilawan dengan batin pula. Inilah
yang tak disangka-sangka mereka. Artinya, ilmu keba-
tinan Tujuh Dewa Kematian bisa jadi memang telah
sangat tinggi.
Satu-satunya tokoh yang bisa melawan dengan
ilmu kebatinan adalah Dewa Gila. Tapi, tokoh itu di-
wakili oleh anaknya yang bernama Joyolelono. Begitu
yang terlintas di benak sang Adipati.
Memang bisa saja Pengemis Tuak melawan den-
gan pukulan jarak jauh yang dilambari tenaga dalam.
Tapi menurutnya, hal itu akan sia-sia saja. Toh bola-
bola api itu bisa bergerak sendiri, seperti memiliki ma-
ta. Kalau nanti diserang dengan pukulan jarak jauh,
bisa saja bola-bola api itu menghindar. Bahkan bisa
jadi, pukulan jarak jauhnya akan nyasar, mengenai
Adipati Wisnu Bernawa atau Sukma Sukanta.
Di dalam candi sendiri, sebuah kegiatan aneh ten-
gah berlangsung. Tiga dari Tujuh Dewa Kematian ten-
gah bersiap-siap melakukan upacara tumbal. Di ujung
peti di atas batu pipih, pedupaan telah dinyalakan.
Asap kemenyan berlenggak-lenggok tertiup angin semilir. Tak jauh dari peti mati, gadis bernama Pitaloka
masih dalam keadaan pingsan di tiang salib.
Dua Dewa Kematian lainnya tengah duduk berse-
madi. Khusuk sekali, Mereka duduk menghadap pintu
gerbang candi, tak jauh dari tiang salib. Sementara
dua orang lainnya menembangkan mantera-mantera
yang tak jelas artinya.
Sebuah upacara gila segera dimulai. Apa yang ter-
jadi selanjutnya?
* * *
"Ayah, lihat! Lima kembang api bagus sekali, ber-
lenggak-lenggok di udara!" tunjuk Joyolelono begitu ti-
ba tak jauh dari Kuil Neraka.
Yang diajak bicara malah asyik dengan sema-
dinya. Dialah Dewa Gila. Begitu melihat keadaan Pen-
gemis Tuak, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Su-
kanta terancam bahaya, lelaki bungkuk ini langsung
duduk bersila. Segala kekuatan batinnya dikerahkan.
Hasilnya....
"Heh? Bola-bola api itu berhenti menyerang!" te-
riak Ki Dagul, tak percaya. Matanya kontan mendelik,
ingin memastikan. Pada kenyataannya, bola-bola api
sebesar kelapa itu malah berkumpul menjadi satu,
membentuk bola api sebesar kambing bunting.
Dan....
Wusss...!
Blaarr...!
Bola api sebesar kambing bunting itu melesat ke
arah bagian dalam Kuil Neraka, lalu meledak dahsyat.
Dari balik tembok kuil terlihat bunga-bunga api ber-
pentalan ke segala arah di udara. Selanjutnya....
"Aaaakh...! Aaaa...!"
Dua teriakan merobek angkasa terdengar me-
nyayat, menyentak Pengemis Tuak, Adipati Wisnu Ber-
nawa, dan Sukma Sukanta. Mereka saling pandang tak
mengerti. Yang bisa dilakukan hanya menduga-duga,
apa yang terjadi di dalam halaman candi.
Dan keheranan mereka pun terbegal oleh sebuah
suara menyebalkan dari belakang.
"Horeee.... Bagus, ya kembang apinya!" sorak
Joyolelono seraya menghampiri ketiga orang itu.
"Joyolelono!" sambut Ki Dagul, Adipati Wisnu Ber-
nawa, dan Sukma Sukanta dengan wajah kagum.
"Kau hebat, Joyolelono. Tak kusangka kau memi-
liki ilmu kebatinan yang begitu tinggi," puji sang Adi-
pati.
Joyolelono malah cengengesan salah tingkah. Ke-
dua tangannya malah digoyang-goyangkan manja. Ke-
palanya miring ke kiri dan ke kanan.
"Hei, Bocah Kampret! Barusan kau yang mengusir
bola-bola api itu?" tanya Ki Dagul, seolah kurang per-
caya.
"Kalau dia bocah kampret, bapaknya apa, Dagul!"
Terjawab sudah pertanyaan dalam hati Pengemis
Tuak. Kini dia yakin, yang mengusir bola-bola api itu
adalah orang yang barusan bertanya dengan nada
nyindir.
"Ki Jerangkong...! Tak kusangka kau sudi meme-
nuhi undanganku," sambut Adipati Wisnu Bernawa.
"Siapa yang sudi?" tukas lelaki tua bungkuk yang
memang Ki Jerangkong alias Dewa Gila. Seperti biasa,
sikapnya selalu seenak udel. Padahal yang dihadapi
seorang adipati. "Aku ke sini bukan memenuhi undan-
ganmu. Aku mengantar anakku, tahu?"
Kalau telinga orang lain mungkin akan panas
mendengar semprotan Dewa Gila yang semaunya. Tapi
tidak sang Adipati. Tarikan senyumnya justru meman-
carkan kematangannya dalam bersikap. Wajahnya te-
tap memancarkan perbawa mengagumkan.
"Bukankah kau mengundangku ke Kadipaten Lu-
majang, bukan ke tempat sialan ini?" sambungnya, en-
teng.
"Akhirnya kau keluar dari sarang juga, Jerang-
kong!" sela Ki Dagul.
"Kau kira aku anjing kurap dibilang keluar sa-
rang!" sembur Ki Jerangkong. Lalu tatapannya beralih
ke sang Adipati.
"Wisnu! Mana Tujuh Dewa Kematian yang kau ce-
ritakan dalam surat itu?"
"Mereka ada di dalam kuil itu, Ki!" tunjuk sang
Adipati.
"O, jadi yang di dalam itu mereka? Bagus! Berarti
dua dari mereka telah terkapar tak berdaya. Mungkin
telah mampus. Tenaga batin mereka belum ada apa-
apanya. Kalau begitu, mari kita serang kuil itu!"
"Tunggu!"
Gerakan Ki Jerangkong yang hendak berkelebat
menuju dalam kuil terjegal oleh cegahan sang Adipati.
"Mereka telah memagari kuil ini dengan tenaga
gaib pula. Menurut Tujuh Dewa Kematian, iblis-iblis
dari neraka yang menjaga kuil itu," sambungnya.
"Wisnu, Wisnu. Setua ini kau masih saja bisa di-
kadali orang-orang sialan itu. Buktinya tenaga gaibku
bisa menembus kuil itu. Mereka hanya menggertak
sambal saja. Ayo, maju!"
Merah padamlah wajah Adipati Wisnu Bernawa.
Kenapa dia bisa begitu percaya dengan pepesan ko-
song Tujuh Dewa Kematian?! Saat itu juga langkah le-
barnya bergerak. Pedangnya pun telah tak sabar lagi
untuk keluar dari sarungnya.
"Ayah, aku takut...," kata Joyolelono tiba-tiba.
"Apa yang kau takutkan, Anakku?" tanya Dewa
Gila, kalem.
"Itu...," tunjuk Joyolelono pada tumpukan tengko-
rak kepala manusia yang berserakan di halaman can-
di.
"Kepalamu pun bisa seperti itu kalau kau tak hati-
hati di dalam kuil itu," kata Dewa Gila, enteng.
Takut-takut, si bocah berkumis mengikuti lang-
kah ayahnya menuju Kuil Neraka bersama yang lain-
nya.
Baru saja mereka tiba di depan pintu gerbang mi-
rip gapura di kuil itu, sebuah suara tanda dimulainya
pertarungan terdengar. Bukan, suara itu bukan suara
serangan yang ditujukan kepada mereka. Tapi, kepada
Tujuh Dewa Kematian. Dan lagi, bukan pula mereka
yang menyerang. Lantas siapa?
"Kenapa Satria dan Arya Wadam sudah ada di
tempat ini? Dari mana mereka muncul? Kapan da-
tangnya"
Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan sang
Adipati. Semuanya terpatri dalam keheranan. Setan
apa yang memasuki bocah tengik itu hingga berani
menyatroni tempat ini bersama Arya Wadam?
Sebetulnya, itu adalah bagian dari siasat Arya
Wadam.
Di perjalanan menuju Kuil Neraka, Arya Wadam
bercerita kalau sebelum kuil itu ditempati Tujuh Dewa
Kematian, dulunya adalah tempat peribadatan guru
Arya Wadam sendiri. Sang Guru pernah bercerita, se-
belum menemukan Arya Wadam di tengah hutan, dia
masih bertempat tinggal di sekitar kuil, sampai sua-
minya meninggal. Abu sang suami lantas disimpannya
di sebuah ruang bawah tanah di dalam kuil, yang ber
hubungan dengan lorong bawah tanah menuju puncak
bagian selatan Gunung Arjuna.
Karena tak ingin terus menerus teringat suaminya
di dalam kuil, akhirnya dia pergi, sampai kemudian
menemukan bayi perempuan di tengah hutan. Bayi itu
tak lain dari Arya Wadam.
Arya Wadam sengaja membawa Satria Gendeng
menuju puncak bagian selatan Gunung Arjuna. Ingat
cerita gurunya tentang letak lorong yang berhubungan
dengan ruang bawah tanah di Kuil Neraka, mereka
lantas mencari sebuah batu berbentuk kepala manusia
di sekitar puncak bagian selatan. Karena, di situlah
pintu masuk menuju lorong.
Sebentar saja, Arya Wadam dan Satria Gendeng
telah menemukan batu yang dimaksud, yang ternyata
terletak tak jauh dari bibir kawah. Begitu batu digeser,
terlihat sebuah goa nan pekat. Tanpa ragu, mereka
langsung memasuki lorong.
Benar. Ternyata di ujung lorong terdapat sebuah
ruangan gelap tempat menyimpan abu jenazah. Di atas
ruangan, terlihat sebuah lubang yang tertutup papan,
tertimbun semak-semak belukar. Begitu mereka mem-
buka papan dan melesat masuk dari lubang itu, ter-
nyata mereka telah berada di dalam kuil.
Satria Gendeng dan Arya Wadam sempat melihat,
bagaimana dua dari Tujuh Dewa Kematian yang ten-
gah khusuk dengan ilmu kebatinannya tiba-tiba ter-
pental disertai teriakan menyayat, tak lama kemudian
setelah terjadi ledakan bola api di dalam kuil.
Sejenak perhatian lama dari Tujuh Dewa Kema-
tian terusik. Namun seperti tak peduli, mereka segera
melanjutkan upacara yang akan mengorbankan Pitalo-
ka.
Tepat ketika Pitaloka diturunkan dari tiang salib
dan direbahkan di samping peti mati, Satria Gendeng
dan Arya Wadam bergerak menyerang. Pertarungan
pun tergelar sudah.
* * *
"Hei, Bocah Tengik! Setan mana yang membawa-
mu kemari?!" teriak Ki Jerangkong seraya memilih la-
wan. Langsung dirangseknya satu dari Tujuh Dewa
Kematian yang kini tinggal lima orang itu.
"Bau tubuhmu yang membuatku kemari, Pak
Tua? Kau tak keberatan, bukan?" sahut Satria, lang-
sung berkelebat menuju tempat Pitaloka berbaring.
Sial betul nasib Tujuh Dewa Kematian. Mereka tak
bisa lagi menggunakan senjata peti mati, karena tak
lengkap tujuh orang. Bisa saja mereka menggunakan-
nya, tapi keampuhannya tak seberapa.
Lima dari Tujuh Dewa Kematian telah menemu-
kan lawan masing-masing tanpa bisa menggabungkan
kekuatan, ini kelemahan mereka. Sebab, perhatian
mereka selalu terpecah oleh lawan-lawan yang dihada-
pi.
Sukma Sukanta tampak menghadapi Karpa. Ki
Jerangkong menghadapi Karta. Ki Dagul menghadapi
Karsa. Arya Wadam menghadapi Karba. Sang Adipati
menghadapi Karma. Sedangkan Joyolelono malah
asyik-asyikan bermain dengan sebuah tengkorak kepa-
la manusia. Semula bocah berkumis ini amat takut.
Tapi lama kelamaan terbiasa juga, dan bahkan dibuat
main-mainan.
Satria Gendeng sendiri sudah cepat berkelebat ke-
luar kuil untuk membawa Pitaloka ke tempat yang
aman. Dan secepat itu pula tubuhnya melesat, menuju
ke dalam kuil lagi.
Begitu tiba, matanya kontan mendelik.
Dess....
Sukma Sukanta terpental. Satu pukulan dari Kar-
pa mendarat mulus di dadanya. Dan sebelum lawan
menyerang kembali, Satria telah berdiri menghadang.
"Aku lawanmu, Gundul!" sembur Satria.
Si calon lawan menatap tajam. Sinar matanya
membersitkan nafsu membunuh. "Kau yang mengga-
galkan upacara tumbal kami, Bocah Keparat! Kau ha-
rus menerima akibatnya!" ancamnya, mengerikan.
Tak gentar dengan ancaman tadi, si pemuda ten-
gik ini malah ganti menatap. Menerkam, tak kalah ta-
jam dari tatapan rajawali yang tengah mengincar
mangsa. Mengancam, perkasa, dan berpancar sekuat
karang.
Sesaat lelaki gundul bernama Karpa yang memiliki
nafsu membunuh paling besar dibuat terhenyak oleh
tatapan Satria. Sungguh. Tak pernah ditemukannya
tatapan seorang pemuda tanggung yang menggidikkan
seperti itu. Bahkan tatapan itu seperti menikam lang-
sung ke ulu hatinya.
"Kau ingin menghukumku karena nafsu keparat
kalian kugagalkan? Silakan. Lakukanlah hukuman itu,
Gundul!"
Karpa menyadari ada satu kekuatan dalam suara
dan tatapan pemuda tanggung ini. Biasanya, suara
dan tatapan seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh tua
yang batinnya bersih. Entah bagaimana pemuda satu
ini bisa memilikinya.
Tak ingin terperangkap dalam kekuatan pancaran
mata si pemuda, dia langsung menggebrak. Sebagai
tokoh tua, Karpa tak sudi terpengaruh oleh kekuatan
tatapan calon lawan bau kencurnya. Maka sebelum
tersurut mundur, dia harus mendahului.
"Mampus kau, Bocah!"
***
DELAPAN
SISA Tujuh Dewa Kematian benar-benar dibuat
mati kutu kali ini. Sungguh mereka tak menduga se-
banyak ini lawan-lawan yang dihadapi. Dan semuanya
mempunyai kepandaian tinggi. Malah dua dari mereka
telah terkapar tak berdaya, setelah adu kekuatan batin
dengan Dewa Gila, salah satu dedengkotnya dunia per-
silatan.
Dewa Gila sendiri sepertinya berada di atas angin
dalam menghadapi Karta. Setiap serangan lawan selalu
dihindarinya dengan gerakan-gerakan tubuhnya yang
bungkuk.
Bed! Bed! Bed!
Tiga hantaman telapak tangan Karta yang meng-
gunakan jurus pukulan 'Selaksa Racun' dihindari Ki
Jerangkong dengan meliuk-liukkan tubuhnya yang
tampak ringkih. Sulit dipercaya. Tubuh yang kelihatan
lemah itu begitu gemulai melenggak-lenggok. Akibat-
nya hantaman telapak tangan itu hanya menyambar
angin saja.
"He he he.... Gerakanmu masih terlalu lemah, Bo-
tak. Baru punya ilmu seujung kuku saja sudah petan-
tang-petenteng," ledek Ki Jerangkong.
Makin murka saja Karta. Mata memerahnya kian
nyalang. Dadanya yang bergemuruh diledek sedemi-
kian rupa.
"Kau harus mampus, Dewa Gila! Kau telah men-
campuri urusan kami, maka hanya kematian yang kau
cari!" desis Karta.
"O, silakan. Silakan kalau kau mau membunuh-
ku. Dikira kau saja yang bisa membunuh? Asal kau
tahu, sejak lama aku kesal dengan kalian yang selalu
membuat onar. Semula aku sengaja mengutus anakku
dalam membantu adipati untuk mencincang kalian.
Tapi lama-lama aku tak tega pada anakku. Maka ku-
putuskan untuk menyusul anakku," kata Dewa Gila,
tenang.
"Setan! Aku tak peduli dengan ceritamu. Seka-
rang, makanlah yang satu ini. Heaah...!"
Dibarengi teriakannya, pada jarak tiga tombak
Karta melepaskan pukulan jarak jauh. Penuh kekua-
tan, membuat angin menderu tajam. Dewa Gila men-
ganggapnya tidak main-main lagi.
"Shaaa...!"
Kuat sekali Dewa Gila menghentakkan tangan ka-
nannya. Deru angin keras pun terdengar. Arahnya,
luncuran angin yang dilepaskan Karta. Selanjutnya....
Blap!
Tak ada suara. Yang ada, tubuh Karta yang ter-
pental dengan dada seperti mau ambrol. Dua tombak
lelaki botak itu jatuh di tanah. Bahkan dari mulutnya
tersembur darah segar.
"Mau lagi, hah?! Ayo, katanya mau membunuh-
ku?!" bentak Dewa Gila, galak.
Si botak Karta tak menyahut. Dadanya turun
naik. Selain menahan kemarahan yang membuncah,
juga merasakan nyeri yang mengaduk-aduk dadanya.
Kalau sudah begini, rasanya tak ada jalan lain kecuali
adu nyawa. Begitu tekadnya.
Dengan semangat banteng terluka, Karta bangkit
berdiri. Kedua cuping hidungnya kembang kempis. Ke-
dua tangannya segera membuat gerakan di depan dada
dengan kuda-kuda kokoh.
"Hiaaahhh...!"
Teriakan orang kejepit pintu masih kalah keras
dengan teriakan Karta yang dilambari semangat ban-
teng terlukanya. Seketika, tubuhnya melesat ke arah
Ki Jerangkong.
Di tempatnya, Ki Jerangkong malah tengah mem-
perhatikan anaknya yang sedang bermain-main den-
gan tengkorak kepala manusia. Secuil perhatian seper-
tinya tak ditujukan pada datangnya bahaya.
Setengah tombak langit serangan datang, Dewa
Gila melenting ke atas. Tepat ketika Karta berada di
bawahnya, tubuhnya meluncur turun. Kedua kakinya
yang merenggang langsung menghantam ke sisi dalam.
Praakk!
Kepala Karta yang dihantam kaki dan kiri dan ka-
nan langsung pecah. Tubuhnya ambruk, tergenang da-
rahnya sendiri yang mengucur deras dari kepala.
Di ajang pertarungan lain, Arya Wadam terus me-
nekan lawan botaknya. Luka dalamnya akibat pukulan
Raja Pencuri Dari Selatan telah sembuh seluruhnya.
Kini dia tak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan tenaga
dalam untuk menjatuhkan lawan.
Plak!
Bentrokan tangan terjadi. Arya Wadam terjajar
mundur dua langkah. Sedangkan lawannya empat
langkah. Dan sebelum sang lawan bersiap, wanita ber-
penampilan lelaki itu telah menerjang dengan tendan-
gan terbangnya,
"Hiaaat...!"
Lelaki botak bernama Karba yang menjadi lawan
Arya Wadam cepat membuat pertahanan dengan ke-
dua tangan menyilang di atas kepala. Kedua kakinya
dipantek di atas tanah membentuk kuda-kuda kokoh.
Tunggu punya tunggu, tendangan tak jadi datang.
Tepat ketika Karba membuat pertahanan tadi, Arya
Wadam dengan kecepatannya telah memutar tubuh-
nya di udara. Dilewatinya kepala lawan, lalu mendarat
di belakangnya.
Dicoleknya bahu Karba, lalu....
Dess...!
Tepat ketika Karba menoleh, jotosan tangan Arya
Wadam telah bersarang di wajahnya. Lelaki botak itu
kontan tersuruk jatuh ke belakang. Keras sekali pan-
tatnya mencium tanah.
Sebelum Karba sempat berbuat sesuatu, satu ten-
dangan Arya Wadam kembali menghajar dadanya.
Bukk!
"Ngek!"
Mungkin itu suara nyawa yang dicabut tiba-tiba.
Tendangan Arya Wadam yang disertai tenaga dalam
penuh itu telah mengakhiri riwayat lawan. Dadanya
tampak melesak. Jelas, tulang dadanya hancur dan
langsung menusuk jantung. Dari mulutnya mengalir
darah segar.
* * *
Pertarungan Pengemis Tuak dengan lawannya
makin gila-gilaan. Keduanya telah mengerahkan ke-
pandaian pada tingkat yang cukup tinggi. Seperti kata
Ki Dagul, kali ini dia sudah mengerahkan jurus dan
ilmu barunya.
"Fruhh...!"
Semburan tuak Ki Dagul meluncur, menerabas
udara. Arahnya, wajah Karsa, sang calon korban. Itu-
lah ilmu barunya, ‘Pengemis Meludah’. Setiap luncu-
rannya selalu diiringi asap yang mengepul.
Jungkir balik lelaki botak itu menyelamatkan diri.
Kena sedikit saja, bukan mustahil daging tubuh-
nya akan terbakar. Kalau hanya melepuh saja masih
ringan. Tapi kalau sampai menembus tulang?
Begitu mendapat kesempatan, lelaki botak itu me-
lepaskan pukulan jarak jauh. Kali ini ganti Ki Dagul
yang pontang-panting. Dan begitu mendapat kesempa-
tan, dipapaknya pukulan jarak jauh lawan.
Blashhh!
Keduanya sama-sama tergempur mundur. Kaki-
kaki mereka tergeser beberapa tombak dari tempat
semula. Kini mereka sama-sama saling menatap, siap
berbentrokan lagi.
"Sekarang saatnya kita mengadu nyawa!" desis
Karsa.
"Sejak tadi pun kita sudah mengadu nyawa, Setan
Buduk! Kita bertarung ini apa namanya kalau bukan
mengadu nyawa? Apa kau lebih suka lari terbirit-birit
dari hadapanku. Ayo, lakukan saja!" maki Ki Dagul ge-
ram bukan main. Masalahnya, dulu dia tak pernah
menang melawan Tujuh Dewa Kematian. Maklum saja,
dulu dia dikeroyok bertujuh. Dan sekarang, satu lawan
satu. Maka inilah saatnya untuk melampiaskan keke-
salannya.
"Heaa..!"
"Hiaaah..!"
Keduanya telah sama-sama bergerak menerjang.
Ganas dan liar.
Di tempat lain, Joyolelono telah bosan dengan
mainannya. Dengan tenaga dalam, dilemparkannya
tengkorak kepala manusia di tangannya. Sekuat tena-
ga. Arahnya, tepat menuju kepala Karsa yang tengah
meluncur. Dan....
Bletakk! Brukk!
Karsa kontan ambruk.
Sambil memejamkan mata, Ki Dagul terus melun-
cur. Tak sadar dia kalau sang lawan telah ambruk di
tanah. Ketika merasa sudah mencapai sasaran, Ki Da-
gul membuka matanya.
"Hah?!"
Kaget bukan main tua bangka ini ketika menyada-
ri lawannya sudah tidak ada lagi. Sementara tubuhnya
yang meluncur begitu cepat tak tertahankan lagi. Pa-
dahal di depannya pada jarak satu tombak telah
menghadang tiang salib. Hingga....
Gubraakk!
Tubuh Pengemis Tuak menabrak tiang salib hing-
ga patah. Bahkan langsung menghantam peti mati di
atas batu hingga hancur berantakan.
"Setan belang! Siapa yang merobohkan calon kor-
banku, heh?!" bentak Ki Dagul sambil meringis kesaki-
tan. Perlahan-lahan dia bangkit sambil mengedarkan
pandangan.
"Hebat...! Lemparanku kena! Lemparanku kena....
Pak Tua! Lihat. Lawanmu roboh oleh lemparanku!" te-
riak Joyolelono, tanpa dosa.
"Keparat buntung kau, Bocah! Kuremas-remas ba-
ru tahu rasa kau!" maki Pengemis Tuak, kalap.
Betapa tidak kalap? Ki Dagul yang sudah lama in-
gin mengalahkan Tujuh Dewa Kematian, walau hanya
seorang yang dihadapi, terpaksa kembali gagal. Lawan
telah keburu roboh oleh orang lain. Dan si orang lain
itu adalah pemuda berotak kebocahan yang amat me-
nyebalkannya.
Baru saja Ki Dagul hendak melabrak, Ki Jerang-
kong telah berdiri menghadang.
"Kalau berani jangan sama anak kecil! Aku lawan
seimbang!" bentaknya. Dewa Gila memang paling pan
tang bila anaknya disakiti orang lain.
Pengemis Tuak tersurut mundur. Cepat dipen-
damnya kemarahan hingga sampai ke ujung pantat.
Tak puas dengan itu, ditenggaknya tuak dari guci be-
sarnya.
"Anakmu selalu menyebalkan, Jerangkong! Selalu
ikut campur urusan orang," Ki Dagul berkilah.
"Bukannya terima kasih dibantu, malah maki-
maki anakku!"
"Masalahnya bukan di situ, Jerangkong! Sejak du-
lu aku selalu dikalahkan Tujuh Dewa Kematian. Seka-
rang begitu mendapat kesempatan satu lawan satu,
anakmu malah ikut campur. Siapa yang tidak kesal?"
"Pelampiasan kekesalanmu jangan pada anakku,
tapi pada aku. Sebab aku yang mencetaknya!" bentak
Ki Jerangkong.
"Baik, baik. Aku minta maaf. Aku terlalu dibawa
arus dendam. Sebaiknya, kita tak perlu bersitegang.
Kasihan Adipati Wisnu Bernawa," akhir Ki Dagul men-
galah.
Masih dengan wajah cemberut, Ki Jerangkong
menghampiri anaknya. Sementara perhatian Ki Dagul
telah beralih pada pertarungan Adipati Wisnu Bernawa
melawan sisa Tujuh Dewa Kematian.
Sepertinya pertarungan sudah tak menarik lagi.
Karena begitu menyadari saudara-saudaranya berja-
tuhan, Karma yang menjadi lawan sang Adipati mulai
cemas. Sebentar-sebentar kepalanya melihat ke kiri
dan kanan seperti mencari peluang. Masalahnya, dia
kini sudah mendalami jurus baru, yakni jurus
'Langkah Seribu'. Artinya, bila ada kesempatan, lari
secepatnya.
Begitu kesempatan itu ada, tanpa buang-buang
waktu lagi Karma membuang tubuh ke belakang. Dan
saat menjejak tanah, tubuhnya telah berkelebat lagi,
meninggalkan tempat ini.
Kabur.
Tak terasa, pertarungan antara Satria dengan la-
wannya telah bergeser ke luar Kuil Neraka. Makin seru
dan ganas. Sebagian pepohonan telah tumbang terma-
kan pukulan nyasar. Tanah membuncah dan bergetar.
"Heaaa...!"
Lelaki berkepala plontos lawan Satria menerjang.
Dia berlari beringas. Kedua kakinya berdebam berat di
atas tanah. Hal itu sengaja dilakukan dengan menya-
lurkan tenaga dalam pada setiap jejakan kakinya. Tu-
juannya jelas. Untuk menggedor nyali lawan bau ken-
curnya.
Tapi bukan Satria namanya kalau begitu saja su-
dah melorot nyalinya.
"Hiaaaahhh...!"
Dikawal oleh teriakan bak naga terluka, Satria
malah menyambut serangan dengan maju ke depan
pula. Pada saat itulah tenaga sakti dalam dirinya men-
galir deras ke kedua lengannya.
Sebelum terjadi bentrokan, lelaki plontos bernama
Karsa menghantamkan tangan kanannya. Cepat seka-
li. Arahnya dada Satria.
Bed!
Mata tajam Satria patut dipuji. Nalurinya menga-
takan kalau dia harus mengenyahkan tubuhnya ke
samping. Kerja sama antara mata dengan naluri,
membuat serangan lewat di depan dada. Begitu seran-
gan lewat, patukan Satria telah menerjang punggung
lawan.
Dighh!
Karsa tersuruk maju. Lenguh tertahan meluncur
dari mulutnya. Untung dia cepat mencari keseimban
gan. Kalau tidak, bisa dipastikan tubuhnya mencium
tanah. Tapi tanpa begitu pun, dia sudah merasakan
punggungnya berdenyar-denyar. Kuat sekali tanda
hantaman lawan. Untungnya, dia sudah melapisinya
dengan tenaga dalam.
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya, Bocah?!" dengus
si tua bangka satu dari Tujuh Dewa Kematian ini.
"Aku Satria," sahut Satria enteng.
"Kulihat kau menggunakan jurus 'Patukan Bunga
Karang'. Apa hubunganmu dengan Ki Kusumo, heh?!"
"Yang jelas bukan hubungan suami-istri," sahut
Satria, kambuh penyakitnya.
"Setan! Aku yakin, kau murid tua bangka dari Pu-
lau Dedemit itu."
"Kenapa memangnya? Kau mulai takut padaku?!"
Sebenarnya Satria paling tak suka jika jati dirinya
diutak-atik orang. Apalagi sampai membawa-bawa
nama gurunya. Itu sebabnya suaranya makin meninggi
dengan mata melotot.
"Bangsat! Kau benar-benar tak menganggap siapa
aku, Bocah! Terima kematianmu! Heaaah!"
Dihina demikian rupa, makin membuncah saja
kemarahan lelaki tua bangka itu. Kembali diterjangnya
Satria. Ganas penuh kekuatan. Kali ini dia tidak lagi
melangkah berdebam, tapi meluncur dengan ilmu me-
ringankan tubuhnya. Kedua kepalanya mengibas-
ngibaskan. Amat cepat.
"Hup! Heaaa...!"
Satria melakukan hal yang sama. Lalu....
Plak! Plak!
Benturan tangan terjadi. Si lelaki plontos terpental
mundur. Sementara Satria mendarat di tanah. Dan se-
belum lawan mampu menyeimbangkan tubuhnya, si
pemuda telah meluncur kembali bak ikan hiu menyambar mangsa.
Diegh! Desss!
Berturut-turut dua jotosan tangan Satria berisi
tenaga sakti bersarang di rahang dan dada lawan.
Si lelaki plontos terjungkal ke tanah. Wajahnya
makin kelam. Matanya kian beringas. Saking geramnya
dipecundangi begitu, kedua tangannya menegang den-
gan jari-jari mencengkeram tanah.
"Whuaahh!"
Seiring bentakannya, lelaki tua bangka ini bangkit
berdiri. Masih sempoyongan, diterjangnya Satria den-
gan membabi-buta. Kenekatan telah mengisi dadanya.
Tak ada kata menyerah dalam hidupnya. Benar-benar
keras kepala dia!
Selang beberapa kedipan, kedua tangan lelaki
plontos ini menyusul cengkeraman bengis ke wajah
dan dada lawan. Tubuh si pemuda hendak dirancah-
nya.
Terlalu mudah bagi Satria untuk mengelak. Apa-
lagi si lawan hanya mengandalkan sisa-sisa tenaganya.
Nalurinya yang terlatih cepat menyuruhnya untuk
membuang tubuh ke belakang dengan kaki menjejak
ke depan. Lagi-lagi...
Desss...!
Kembali tubuh si tua bangka itu terpental mun-
dur. Perutnya yang lowong jadi sasaran kedua kaki Sa-
tria. Mulut jeleknya langsung meringis menahan mual.
Tak kepalang tanggung, langsung saja terlontar darah
segar dari mulutnya yang berbibir keriput mirip gom-
bal lecek.
Sungguh! Daya tahan lelaki tua ini patut diacungi
jempol. Walau dengan mata berkunang-kunang, dia
masih berusaha berdiri. Matanya kian memerah. Ke-
nekatannya benar-benar membuat dirinya jadi mata
gelap. Yang ada di benaknya hanyalah membunuh bo-
cah lawannya.
"Bangsattt...! Kucincang kau, Bocah!" desis si tua
bangka. Saat mendesis begitu dari mulutnya tersem-
bur percikan darah merah.
Sebenarnya tawa Satria mau meledak. Bagaimana
tidak? Disenggol dengan jarinya saja, lelaki tua plontos
itu pasti akan roboh. Eh, dia pakai mau mencincang
tubuh Satria.
"Sudahlah, Pak Tua Plontos! Sudahi saja perta-
rungan ini. Kembalilah ke ja...."
Kata-kata si pemuda terpenggal oleh terjangan la-
wan, Satria hanya menggeleng-gelengkan kepala. Si-
kapnya tetap tenang.
"Kau terlalu memaksa, Pak Tua...! Heaaah...!"
Setengah tombak lagi serangan tiba, Satria memu-
tar tubuhnya. Dilepaskannya tendangan berputar, sa-
lah satu jurus dasar olah kanuragan yang dipelaja-
rinya di Kerajaan Demak.
Desss...!
"Aaa...!"
Teriakan kematian terdengar. Tendangan Satria
tepat mendarat di dada kiri lawan. Tulang dada si tua
bangka langsung berpatahan. Sebagian patahannya
menjotos jantung. Tendangan tadi sekaligus mengakhi-
ri riwayat manusia tua keras kepala itu.
Tujuh tombak si tua itu terpental dari tempatnya
itu. Dalam luncurannya, tetesan darah merah berjatu-
han, mengotori bumi. Sampai di tanah, tubuhnya su-
dah melejang-lejang dan diam seketika.
Satria berbalik ketika mendengar suara-suara
langkah kaki di belakangnya.
"Hei, Bocah Tengik! Di mana Pitaloka kau sembu-
nyikan?!" sambar Pengemis Tuak, langsung saja.
Tak langsung menjawab, Satria malah mencari-
cari. "Ke mana Arya Wadam?" tanyanya dalam hati.
"Hei, Bocah Budek! Sejak kapan telingamu tuli?!"
sambung Dewa Gila.
Di tempat itu memang telah berdiri Adipati Wisnu
Bernawa, Sukma Sukanta, Joyolelono. Pengemis Tuak,
dan Dewa Gila. Tapi di mana Arya Wadam?
"Kalian lihat Arya Wadam?" Satria malah balik
bertanya.
"Busyeett..., ini bocah! Ditanya malah balik ber-
tanya. Di mana kau sembunyikan Pitaloka. Ayo, ja-
wab!" maki Ki Dagul, naik pitam.
"Tenang. Dia aman-aman saja. Yang panting, di
mana Arya Wadam. Apa kalian melihatnya?" sahut Sa-
tria kalem.
"Dia telah pergi, Satria. Tadi waktu kau berta-
rung," Sang Adipati yang menjawab.
"Ke mana?"
"Entah, dia tidak bilang."
Satria Gendeng tercenung sejenak. Tapi tak lama
bibirnya tersenyum.
"Ayo, kita jemput Pitaloka." susulnya, mengajak.
Bisa jadi Satria tersenyum. Bukankah kalau ingin
bertemu Arya Wadam mudah saja. Datangi tiap-tiap
kedai makan. Kalau beruntung dia pasti ada di salah
satu sudut ruangan kedai. Biasa, makan nasi dicam-
pur arak!
***
SEMBILAN
SATRIA Gendeng menghentikan langkahnya sepu-
luh tombak di dekat pintu gerbang Kadipaten Luma
jang. Di tempat yang sama, di bawah pohon beringin,
Pitaloka berdiri, ini yang membuat langkah si pemuda
terhenti.
"Sedang apa Putri di sini?"
Pertanyaan ini pernah diajukan si pemuda sewak-
tu pertama kali menginjakkan kakinya di wilayah ka-
dipaten.
"Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu,
Tuan Pendekar," ucap Pita halus.
"Lho? Kok pakai Tuan segala? Namaku Satria. Itu
saja," kata si pemuda ini.
"Terima kasih kuucapkan padamu, Satria. Kau te-
lah membebaskan aku dari Tujuh Dewa Kematian,"
ulang sang Putri.
"Jangan pada hamba, Putri. Berterimakasihlah
pada Ki Dagul, Ki Jerangkong, Joyolelono, Arya Wa-
dam, Paman Sukma Sukanta, dan Kanjeng Adipati
sendiri," tukas Satria.
"Tapi tanpa kau, mana mungkin mereka datang
membantu?" balik Pitaloka.
"Ya, itu hanya kebetulan saja. Nah, sekarang
hamba permisi untuk pergi dari sini," elak Satria. Te-
rus terang, Satria pun ingin berlama-lama dengan Pita-
loka. Kecantikan si gadis yang membuatnya betah. Ta-
pi keadaanlah yang memaksanya untuk pergi.
"Tidakkah kau bersedia menginap barang sehari
dua hari?" aju Pitaloka.
"Aku? Menginap di sini?" si pemuda malah terce-
kat.
"Ya, kenapa? Kau tak sudi? Apa pelayanan di sini
kurang memuaskanmu?"
"Bu..., bukan begitu, Putri. Justru hamba malah
merasa mendapat kehormatan yang begitu berlebihan.
Hanya saja...."
"Ada gadis yang menantimu?" potong Pitaloka.
"Ada," sahut Satria pendek.
"Siapa?"
"Putri sendiri."
"Kapan aku menantimu?"
"Wah, masih muda sudah pelupa. Lantas Putri
berdiri di sini menanti siapa?" Satria menyudutkan.
Wajah Pitaloka memerah. Kepalanya langsung di-
tundukkan.
"Maksudku, apa ada gadis lain yang menantimu,"
rapat Pitaloka.
"Kalau itu tidak ada. Hanya saja aku harus me-
nemui seseorang," jelas Satria.
"Seorang gadis?" tuntut Pitaloka.
"Bisa iya, bisa tidak," Satria berteka-teki.
"Aku tak mengerti maksudmu?"
"Yang akan kutemui memang seorang gadis, tapi
berpenampilan seperti lelaki. Dia tak lain adalah Arya
Wadam, yang ikut membebaskanmu, Putri," Jelas Sa-
tria lagi.
"Tapi, tetap saja seorang gadis, kan?" tukas Pita-
loka.
Kalau Satria pandai soal perempuan, dia sudah
bisa menangkap suara Pitaloka. Jelas gadis itu cembu-
ru. Tapi dasar si pemuda berotak awam terhadap pe-
rempuan, tetap saja hanya cengar-cengir yang diperli-
hatkan.
"Ya, dia tetap seorang gadis. Aku suka padanya,"
aku si pemuda, polos.
"Kau suka padanya!" sentak Pitaloka.
"Habis dia...."
Kata kata Satria terpenggal. Pitaloka sudah kebu-
ru berlalu menuju bangunan kadipaten.
"Lho? Kenapa dia, ya?" tanya si pemuda, lugu.
Sangat lugu.
Saking lugunya lagi, bukannya menyusul Pitaloka
malah melanjutkan langkahnya menuju luar kadipa-
ten.
* * *
Satria memasuki kedai, tempat dia bertemu Arya
Wadam secara tak sengaja, sewaktu ditugasi Adipati
Wisnu Bernawa mencari Tiga Pendekar Aneh. Dan ba-
ru saja pantatnya dihenyakkan di bangku kedai, bocah
pelayan datang menghampiri.
"Bukankah Aden teman dari orang bertudung
yang waktu itu ribut dengan empat lelaki kasar di
tempat ini?" tanya si bocah pelayan, langsung.
"Benar. Ada apa?" sahut si pemuda.
"Aden bernama Satria Gendeng?" sambung si bo-
cah.
"Sudahlah, ada apa?" kejar Satria Gendeng, jen-
gah julukan lengkapnya disebut-sebut.
"Ini ada surat untuk Aden," si bocah pelayan sege-
ra menyerahkan sepucuk surat dari balik sabuknya.
Satria membuka surat. Langsung dibacanya.
"Dari Arya Wadam," desah si pemuda.
"Dari siapa, Den?" tanya si bocah, ingin tahu. Ma-
tanya melirik ke arah surat di tangan Satria.
"Hushh! Kau anak kecil mau tahu saja. Sudah sa-
na sediakan aku teh panas dan kue-kue," usir Satria,
lalu segera melanjutkan membacanya.
Satria Gendeng,
Sejak bertemu dan berjalan denganmu, ada sesua-
tu yang hilang dari diriku. Aku tak tahu, apa itu. Yang
jelas, aku seperti menemukan jati diriku lagi sebagai
seorang wanita.
Kau adalah orang yang mampu membuat aku ber-
pikir kembali, siapa aku sebenarnya. Ternyata, aku
memang tak bisa memungkiri kodratku sebagai wanita.
Tapi sayang, apa yang kuharapkan jauh dari ke-
nyataan. Aku menyadari penampilanku. Tapi di sisi ha-
tiku yang paling dalam, aku adalah orang yang tak bisa
memungkiri keadaan.
Nah, Satria Gendeng. Mulai sekarang, Arya Wadam
tidak ada lagi di muka bumi ini. Dia telah terkubur ber-
sama cintanya pada seorang pemuda yang sama sekali
tak mencintainya. Sekian.
Salam, Arya Wadam
"O, jadi selama ini Arya Wadam sedang jatuh cinta
pada seorang pemuda.... Siapa pemuda itu, ya? Kena-
pa bodoh betul bila tak mencintai wanita secantik Arya
Wadam?"
Saking lugunya, justru ucapan menyebalkan yang
keluar dari mulut Satria. Mungkin kalau Arya Wadam
ada di depannya, pasti mulut comel Satria sudah di
gamparnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar