Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
Malam ini Gunung Sindoro murka. Suara
bergemuruh dengan letupan-letupan berwarna
merah membuat penduduk yang tinggal di sekitar
gunung mulai kalang kabut. Batu-batu gunung,
pasir-pasir membara berhamburan tinggi ke uda-
ra. Lahar panas begitu cepat merambat, menerjang
apa saja yang jadi penghalang.
Apakah saat ini Tuhan ingin menunjukkan
kekuasaan-Nya?
Yang jelas, gejolak alam yang tiba-tiba ini
membuat penduduk kampung berbondong-
bondong berlarian ke sana kemari untuk mencari
selamat. Mereka berteriak-teriak memanggil sanak
saudara sambil menyambar apa saja yang bisa
diselamatkan.
Jerit tangis bocah kecil, suara-suara teria-
kan saling tumpang tindih dengan gemuruh Gu-
nung Sindoro. Sementara pasir dan awan panas
berhamburan menyambar apa saja. Menyambar
pohon-pohon, menyambar tubuh-tubuh tua yang
tak kuasa berlari. Juga, menyambar penduduk
kampung yang salah jalan.
Mengerikan!
Pohon-pohon hangus terbakar diterjang la-
har dan awan panas. Mayat-mayat mulai bercece-
ran terlibas aliran lahar merah. Semua menyi-
ratkan ketidakberdayaan manusia atas kuasa Tu-
han.
Tapi kenapa sebagian manusia tak mau
berpikir? Bahkan banyak manusia yang congkak,
yang merasa dirinya paling sakti. Padahal, Tuhan
hanya memberi mereka setitik ilmu....
Kalau sudah begini, baru mereka menyebut
nama Tuhan.
Ini berlaku bagi semua orang. Termasuk,
orang-orang dunia persilatan yang memiliki ke-
pandaian tinggi. Mereka juga diliput perasaan ce-
mas melihat Gunung Sindoro murka. Meski ke-
pandaian mereka tinggi, tetap saja tak mampu
menghadapi gejolak alam yang menggila.
***
Jauh dari pusat kejadian tampak sebuah
bayangan hitam tiba-tiba menghentikan langkah-
nya. Badannya berbalik memperhatikan puncak
Gunung Sindoro yang tengah murka dengan sinar
mata ngeri. Mulutnya menggumam tak jelas. Na-
mun, dari sinar matanya yang tegang bisa ditebak
kalau sosok yang berpakaian serba hitam itu baru
saja mengalami peristiwa luar biasa yang meng-
guncangkan hati.
Dari terangnya sinar bulan yang sesekali di-
tingkahi semburan cahaya merah dari puncak gu-
nung bisa terlihat kalau sosok itu adalah seorang
kakek tua bertubuh amat kurus. Tubuhnya jang-
kung hampir mencapai dua tombak. Matanya ber-
kilat-kilat dengan raut wajah tirus.
Dari rambut sampai kaki mengenakan ju-
bah hitam yang disambung penutup kepala beru-
jung lancip. Sekilas pandang wajah kakek renta ini
memang amat mengerikan. Lebih lagi sepasang
matanya yang hijau mencorong tajam, tak beralih
dari puncak gunung yang tengah murka.
Siapakah sebenarnya kakek tua renta ini?
Dia tak lain dari Maling Tanpa Bayangan.
Karena terdorong untuk melampiaskan dendam-
nya kepada Siluman Ular Putih, membuat Maling
Tanpa Bayangan pergi ke puncak Gunung Sindoro.
Untung sekali nasibnya masih mujur. Kalau tidak,
jangan harap dapat selamat dari semburan kawah
puncak Gunung Sindoro. Untuk apa lelaki tua ini
ke puncak Gunung Sindoro?
Konon di puncak gunung itu tersimpan se-
buah kitab milik Pengasuh Setan. Kitab Paguyu-
ban Setan! Dengan mengambil dan mempelajari ki-
tab itu, Maling Tanpa Bayangan berharap bisa
mengalahkan Siluman Ular Putih.
Sebelum berhasil mengambil kitab itu, Mal-
ing Tanpa Bayangan bertarung habis-habisan me-
lawan Telapak Gajah yang dibantu burung hantu
raksasa. Namun tiba-tiba kedua pengeroyoknya itu
mengalami kejadian luar biasa. Tubuh Telapak Ga-
jah yang tak ubahnya seperti boneka hidup itu
hangus terbakar. Demikian pula tubuh burung
hantu raksasa. Selang beberapa saat, baru disusul
gejolak alam yang datangnya juga tiba-tiba. Pun-
cak Gunung Sindoro bergetar. Kawah di tengah-
tengah puncak gunung menyemburat tinggi ke
udara menebarkan apa saja yang ada di sekitar.
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode:
"Pasukan Kumbang Neraka").
Setelah berhasil mendapatkan kitab yang
diidam-idamkan, tanpa banyak membuang waktu
Maling Tanpa Bayangan segera berkelebat cepat
pergi dari puncak gunung dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Dan kini, lelaki tua itu telah berdiri
di sebuah padang luas bererumputan sembari me-
nyaksikan kilatan-kilatan cahaya merah di puncak
gunung yang ditingkahi jerit-jerit kematian pendu-
duk kampung!
Meski kini telah selamat, namun dalam hati
Maling Tanpa Bayangan terus bertanya-tanya. Ke-
jadian-kejadian hebat yang baru saja dialami be-
nar-benar membuat hatinya penasaran. Maling
Tanpa Bayangan terus berpikir. Bagaimana mung-
kin tubuh burung hantu raksasa dan tubuh Tela-
pak Gajah mendadak terbakar? Sulit dimengerti!
Sebenarnya ada apakah? Bahkan kemudian dis-
usul dengan meletusnya Gunung Sindoro?
"Hm...! Benar-benar satu kejadian langka.
Tak mungkin terjadi begitu saja. Pasti ada apa-
apanya. Jangan-jangan berhubungan dengan Ki-
tab Paguyuban Setan yang ku sembunyikan diba-
lik jubahku? Hm...! Bisa jadi!" gumam Maling Tan-
pa Bayangan dalam hati.
Kalau saja Maling Tanpa Bayangan tahu
kenapa tubuh burung hantu raksasa dan tubuh
Telapak Gajah mendadak hangus terbakar, kemu-
dian disusul meletusnya Gunung Sindoro, tentu
hatinya akan lebih terkesima. Betapa tidak? Ter-
nyata tubuh burung hantu raksasa dan tubuh Te-
lapak Gajah terbakar disebabkan oleh tewasnya
Pengasuh Setan! Penguasa puncak Gunung Sindo
ro! Sementara mengenai meletusnya Gunung Sin-
doro, bisa jadi hanya kejadian kebetulan belaka.
Yang jelas, begitu Pengasuh Setan tewas, puncak
Gunung Sindoro kontan bergemuruh. Bumi berge-
tar. Kawah di puncak gunung menyemburat tinggi
ke udara.
Benarkah ini semua disebabkan tewasnya
Pengasuh Setan? Atau karena jatuhnya Kitab Pa-
guyuban Setan ke tangan Maling Tanpa Bayan-
gan? Kalau sekiranya kedua-duanya benar, betapa
hebatnya pengaruh Pengasuh Setan dan Kitab Pa-
guyuban Setan?
Berpikir sampai demikian, Maling Tanpa
Bayangan jadi tak sabar lagi untuk segera mempe-
lajari Kitab Paguyuban Setan. Ia yakin sekali kitab
yang disembunyikan di balik jubahnya mengan-
dung kekuatan hebat! Bahkan bila sudah mempe-
lajari Kitab Paguyuban Setan ia yakin akan dapat
mengalahkan Siluman Ular Putih! Bukan saja
hanya ingin mengalahkan, tapi juga ingin membu-
nuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu. Sekali-
gus, menguasai dunia persilatan!
"Kunyuk Gondrong! Tunggulah pembala-
sanku nanti! Tunggulah setelah aku mempelajari
Kitab Paguyuban Setan ini," desis Maling Tanpa
Bayangan, geram. Rahangnya mengeras. Dari kila-
tan-kilatan mata hijaunya yang mencorong, jelas
ancamannya barusan bukan hanya sekadar gertak
sambal saja. Tapi, niatnya pasti akan dilaksana-
kan.
Habis menggumam begitu, Maling Tanpa
Bayangan segera menghentakkan kakinya ke ta
nah. Seketika tubuhnya berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. Namun sayang baru saja bebe-
rapa tombak....
"Bagus! Inilah yang mungkin dinamakan
pucuk dicinta ulam tiba! Selamat bertemu kemba-
li, Kakang Maling Tanpa Bayangan!"
Terdengar bentakan, yang membuat lang-
kah Maling Tanpa Bayangan terhenti seketika den-
gan wajah kaget.
DUA
Sepasang mata hijau Maling Tanpa Bayan-
gan berkilat-kilat penuh kemarahan. Rahangnya
menggembung. Jelas sekali kalau hatinya tak suka
atas bentakan barusan, sehingga membuat niat-
nya tertunda.
Di hadapan Maling Tanpa Bayangan kini te-
lah berdiri dua orang lelaki tua. Yang sebelah ka-
nan bertubuh jangkung. Tingginya tak kurang dari
dua setengah tombak lebih. Jubahnya besar warna
hijau. Raut wajahnya tirus. Sepasang matanya ju-
ga berwarna hijau mencorong, menandakan tenaga
dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Yang seorang lagi, lelaki tua bertubuh jauh
berlawanan dengan kakek jangkung di sebelahnya.
Tubuhnya amat pendek, tak lebih dari setengah
tombak. Perutnya buncit, pusarnya bodong mon-
cong ke depan. Kepalanya botak dengan mata juga
berwarna hijau. Sedang tubuhnya yang tambun
dibalut jubah besar, juga berwarna hijau.
"Bedebah! Rupanya Dewa Bogel dan Lam-
daur yang datang menghadang! Cih!" dengus Mal-
ing Tanpa Bayangan. Kedua bola matanya berkilat-
kilat, memperhatikan dua sosok kakek renta di
hadapannya.
"Ya, aku! Kenapa? Kaget?" sambar kakek
bertubuh pendek yang memang Dewa Bogel, seper-
ti bentuk tubuhnya. Sedang di sampingnya adalah
kakak seperguruannya yang bernama Lamdaur.
"Bedebah! Mau apa kalian menghadangku,
he?!"
"Pakai tanya?! Sudah jelas kami mencari-
cari untuk menuntut tanggung jawabmu. Kau ma-
sih punya urusan dengan Guru!" sahut Lamdaur.
Menghadapi dua orang kakek yang sebe-
narnya dari Hutan Pring Apus ini, mau tak mau
Maling Tanpa Bayangan jadi gusar. Ia tahu, betapa
hebatnya dua kakek yang sebenarnya masih adik
seperguruannya. Apalagi, kini mereka maju ber-
sama. Jelas tak mungkin Maling Tanpa Bayangan
sanggup menghadapi Dewa Bogel dan Lamdaur.
"Cih.,.! Bisanya kau membacot demikian!
Dari dulu, kita bertiga selalu bersaing. Tapi untuk
mengalahkan kami, kau malah mempelajari ilmu
sesat! Kau malah jadi maling. Apa itu bukan men-
cemarkan nama baik Guru?" cibir Dewa Bogel.
"Ditambah lagi, sepak terjangmu dan mu-
ridmu yang bergelar Raja Maling tak dapat dimaaf-
kan lagi oleh Guru. Apalagi, Raja Maling pun baru
saja membuat onar di Kadipaten Pleret. Tak
mungkin kau tidak tahu, kalau muridmu telah
mencuri Lukisan Darah. Ini saja sudah amat cukup untuk mewakili Guru untuk membunuh-mu!"
sahut Lamdaur, menambahi.
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Baginya, ucapan bekas adik seperguruannya di-
anggap lucu. Meski tak ada yang pantas untuk di-
tertawakan sebenarnya.
"Kau ini masih polos seperti dulu, Adik-
adikku! Untuk menjadi pemenang, kita harus
menggunakan ini!" Maling Tanpa Bayangan me-
nunjuk keningnya sendiri. "Bukannya mengguna-
kan dengkul. Pokoknya untuk mengalahkan ka-
lian, aku harus mempelajari ilmu apa saja. Tak
peduli ilmu putih atau ilmu hitam. Seharusnya ka-
lian berdua mengakui keunggulanku. Apa di anta-
ra kalian berdua ada yang mampu jadi maling se-
pertiku?"
"Sundal! Otakmu rupanya sudah miring,
Maling Tanpa Bayangan. Seharusnya kau malu
dengan ucapanmu barusan. Sebagai kakak seper-
guruan yang tertua, seharusnya kau memberi con-
toh yang baik. Eh..., ini malah sebaliknya! Menga-
jak adik-adiknya untuk menjadi maling!" sambar
Dewa Bogel, tak lagi menaruh hormat pa-da Mal-
ing Tanpa Bayangan.
"Siapa yang ingin mengajarkan kalian jadi
maling? Aku kan hanya ingin mengalahkan kalian.
Nah! Sekarang setelah tak dapat mengalahkanku,
kalian malah menuduhku yang bukan-bukan,"
tangkis Maling Tanpa Bayangan.
"Menuduh apa? Kenyataannya kau memang
maling. Muridmu pun maling. Ini sudah jelas
membuktikan kalau kalian telah keblinger. Kami
sebagai adik seperguruanmu, wajib mengin-
gatkanmu. Juga, muridmu yang brengsek itu!" sa-
hut Lamdaur jengkel. Kedua bola matanya yang
berwarna hijau berkilat-kilat penuh kemarahan.
Maling Tanpa Bayangan malah makin men-
gumbar tawa. Dadanya bergerak-gerak saking ge-
linya mendengar ucapan adik seperguruannya.
"Rupanya, kalian memang sengaja mencari
penyakit. Sudah jelas. Siapa berani berbuat, ia ha-
rus berani bertanggung jawab. Seperti katamu ta-
di, muridku telah mencuri Lukisan Darah di Kadi-
paten Pleret. Maka, ia pun berani pula bertang-
gung jawab. Dan Siluman Ular Putih-lah yang te-
lah menghukum muridku! Sebagai adik sepergu-
ruan, seharusnya kalian malu membiarkan aku
menuntut balas seorang diri!" kata Maling Tanpa
Bayangan, bermaksud melibatkan kedua orang
adik seperguruannya untuk membantu membu-
nuh Siluman Ular Putih.
"Syukur! Senang sekali aku mendengarnya.
Rupanya murid brengsek mu itu sudah modar.
Kenapa kau tidak lekas menyusul?" sahut Dewa
Bogel seenaknya.
"Bedebah! Adik seperguruan macam apa ka-
lian!" sentak Maling Tanpa Bayangan, terperangah.
"Tunggu! Pembicaraan kita makin melantur.
Kita kemari bukan untuk membicarakan Siluman
Ular Putih. Pokoknya sekarang, demi menjaga na-
ma baik Guru, terpaksa kami harus menghukum
mu, Maling Tanpa Bayangan!" sambar Lamdaur
tak sabar.
"Ya ya ya...! Kau benar, Lamdaur! Rupanya
maling tengik satu ini sengaja akan melibatkan ki-
ta dengan Siluman Ular Putih! Tunggu dulu, ya!
Sekarang, selesaikan urusan di antara kita lebih
dulu. Baru selesaikan urusan lainnya!" sahut De-
wa Bogel.
"Jadi apa mau kalian?" tanyai Maling Tanpa
Bayangan gusar. Kini hatinya mulai cemas melihat
sikap Dewa Bogel dan Lamdaur. Apalagi, Kitab Pa-
guyuban Setan masih berada dibalik jubahnya. Ia
khawatir kalau-kalau kedua orang bekas adik se-
perguruannya juga menginginkan kitab yang di-
idam-idamkannya.
"Pakai tanya?! Kami hanya minta kau ber-
tanggung jawab, tahu?!" dengus Dewa Bogel.
"Baiklah. Mengingat kita masih satu pergu-
ruan, sebaiknya kau menyerahkan diri untuk kami
hukum, Kang. Buat apa bertarung kalau akhirnya
kau akan tewas juga?" kata Lamdaur yang lebih
sabaran.
"Keparat! Bacot kalian makin memerahkan
telingaku! Apa kalian pikir aku takut menghadapi
kalian, he?! Majulah kalau kalian bermaksud
menghukumku!" tantang Maling Tanpa Bayangan,
sengit.
"Ccck ck ck...! Berani benar kau, Kang! Baik
kulayani tantanganmu!" sahut Dewa Bogel sambil
menggeleng-geleng.
"Jangan banyak bacot! Majulah kalian kalau
ingin mampus!" teriak Maling Tanpa Bayangan,
kalap.
Maling Tanpa Bayangan langsung saja me-
mentangkan kedua kakinya lebar-lebar membuat
kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya disilangkan di
depan dada, siap menghadapi keroyokan kedua
orang bekas adik seperguruannya dengan jurus-
jurus andalan.
"Lagakmu makin memuakkan, Kang! Kau
memang patut mendapat hukuman. Bukan saja
telah mencemarkan nama baik Guru, tapi juga-
telah membuat onar dunia persilatan! Maka seba-
gai adik seperguruan, sudah menjadi kewajiban
kami untuk menghukum mu. Bahkan kalau perlu,
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!" desis
Lamdaur.
Maling Tanpa Bayangan menggeram murka.
Kedua telapak tangannya yang telah berwarna hi-
jau segera dilontarkan ke depan. Seketika melesat
dua larik sinar hijau disertai angin dingin berke-
siur siap melabrak tubuh Dewa Bogel dan Lam-
daur.
"Pukulan 'Kelabang Hijau'...!" desis Lamdaur
dan Dewa Bogel hampir bersamaan, menyebut
ajian yang dikeluarkan Maling Tanpa Bayangan.
Satu tombak serangan datang, Dewa Bogel
dan Lamdaur cepat mendorong kedua telapak tan-
gan yang juga telah berwarna hijau sampai ke
pangkal. Mereka langsung memapaki serangan
Maling Tanpa Bayangan.
Wesss! Wesss!
Blaaammm...!
Satu ledakan hebat langsung terjadi di uda-
ra saat pukulan masing-masing bertumbukan.
Bumi kontan bergetar hebat. Ranting-ranting po-
hon berderak dengan daun-daun membeku!
Maling Tanpa Bayangan tetap berdiri kokoh.
Sementara tubuh Dewa Bogel dan Lamdaur terja-
jar beberapa langkah. Namun kedua tokoh sakti
dari Hutan Pring Apus ini cepat memasang kuda-
kuda kembali. Dari sini bisa dilihat kalau Maling
Tanpa Bayangan mengalami kemajuan pesat.
Begitu melihat kenyataan itu, tanpa mem-
buang waktu lagi Dewa Bogel dan Lamdaur segera
mencabut keluar senjata andalan berupa rantai
baja yang melilit pinggang. Demikian pula Lam-
daur. Segera diloloskannya pedang tipis yang juga
melilit di pinggang.
Sret! Sret!
Maling Tanpa Bayangan tertawa sumbang.
Tak mau kalah, segera dicabut senjata andalan-
nya. Maka kini di tangan kanannya telah tergeng-
gam cemeti berekor sembilan. Dari tiap ekor cemeti
tampak pisau-pisau kecil yang berkilatan.
"Majulah! Aku tak takut menghadapi manu-
sia-manusia tolol macam kalian!" tantang Maling
Tanpa Bayangan, lantang.
Dewa Bogel dan Lamdaur geram bukan
main. Bukan saja geram mendengar hinaan dari
Maling Tanpa Bayangan yang menyebut manusia
tolol. Tapi juga geram melihat kenyataan bahwa
kepandaian lawan telah mengalami kemajuan pe-
sat. Apalagi kakak seperguruan mereka itu telah
mencampuradukkan ilmu perguruan dengan ilmu-
ilmu hitam yang dipelajari entah dari mana.
"Aku tak akan mengampuni nyawa busuk-
mu, Maling!" dengus Dewa Bogel, geram.
"Akan kukuliti tubuhmu sebelum ku ha
dapkan ke makam Guru, Manusia Bejat!" teriak
Lamdaur kaku.
"Jangan banyak bacot! Buktikan saja kalau
kalian mampu!" balas Maling Tanpa Bayangan.
Lelaki tua sesat itu memutar cemeti di tan-
gan. Dari putarannya langsung tercipta angin ken-
cang berkesiur menyambar-nyambar tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur.
Geraham Dewa Bogel dan Lamdaur berge-
melutuk makin kuat. Mereka kini tahu, ternyata.
tenaga dalam Maling Tanpa Bayangan makin ber-
tambah saja. Itu bisa dibuktikan ketika terjadi
benturan tadi.
"Tahanlah jurus "Bambu Kuning Pencabut
Sukma' yang baru kami ciptakan, Maling!
Heaaa...!"
Dikawal bentakan nyaring, Dewa Bogel dan
Lamdaur memilih bertindak terlebih dahulu. Meski
tidak menggunakan bambu kuning sebagai senja-
ta, namun serangan-serangan pedang di tangan
Lamdaur dan rantai baja di tangan Dewa Bogel tak
kalah hebatnya bila menggunakan bambu kuning.
Srat! Srat!
Dewa Bogel menyerang ganas dari sebelah
kanan. Rantai bajanya terus berputar-putar beru-
saha mendesak gulungan-gulungan cemeti berekor
sembilan milik Maling Tanpa Bayangan. Sedang
Lamdaur menyerang dari sebelah kiri. Pedang ti-
pisnya yang berkilatan tak henti-hentinya mence-
car tubuh Maling Tanpa Bayangan tanpa ampun.
"Modar kau, Maling!" seru Lamdaur berin-
gas.
Pedang tipis di tangan kanan Lamdaur
mendadak diputar sedemikian rupa, membuat sa-
tu serangan tipuan. Maling Tanpa Bayangan yang
saat itu tengah sibuk menghadapi sambaran rantai
baja terperangah kaget. Sulit rasanya menghindari
serangan Lamdaur kali ini. Kalau nekat menghin-
dar atau menangkis, rasanya akan sia-sia saja.
Karena pasti rantai baja Dewa Bogel sudah me-
nunggu.
"Hup!"
Dengan satu perhitungan yang cukup ma-
tang, tiba-tiba Maling Tanpa Bayangan menggu-
lingkan tubuhnya ke bawah menghindari pedang
tipis Lamdaur. Sementara, cemeti berekor sembi-
lan segera memapak rantai baja yang memang su-
dah menunggu.
Trang! Trang!
Berkali-kali cemeti Maling Tanpa Bayangan
memapak sambaran rantai baja Dewa Bogel. Na-
mun saat itulah kelemahannya terbaca.
Selagi Maling Tanpa Bayangan baru saja
bangkit berdiri, Dewa Bogel dan Lamdaur tak me-
nyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan satu seran-
gan tak terduga, Dewa Bogel dan Lamdaur kembali
meluruk dengan sambaran rantai baja dan sabe-
tan pedang tipis.
Maling Tanpa Bayangan memekik lirih.
Keadaannya kali ini benar-benar terjepit. Tanpa
sadar keringat dingin di sekujur tubuhnya kian
membanjir menyadari dua gulungan senjata di
tangan lawan siap merajam tubuhnya. Dan....
Crak! Crak!
Prakkk!
"Aaakh...!"
Maling Tanpa Bayangan melolong setinggi
langit. Tubuhnya seketika limbung ke samping
terkena bacokan-bacokan pedang di tangan Lam-
daur dan hantaman rantai baja di tangan Dewa
Bogel. Sekujur tubuhnya langsung bermandikan
darah! Tulang-tulangnya seperti mau hancur. Un-
tung saja kedua lawannya tak meneruskan seran-
gan. Seolah memberi kesempatan pada Maling
Tanpa Bayangan.
"Menyerahlah, Maling! Niscaya aku men-
gampunimu!" seru Lamdaur lantang.
"Atau kau memang belum puas mendapat
hajaran rantai bajaku, he?!" teriak Dewa Bogel
menambahi.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. Dan sekali meng-
hentakkan kaki ke tanah, tubuhnya telah berdiri
tegak di hadapan kedua adik seperguruannya. Ma-
tanya yang hijau tak henti-hentinya menghujam
pada Dewa Bogel dan Lamdaur bergantian.
"Setan! Siapa pedulikan bacotmu, Tolol! Bi-
ar kau bunuh sekalipun, tak mungkin aku menye-
rah!" dengus Maling Tanpa Bayangan.
Dewa Bogel dan Lamdaur tertawa dingin.
Dan ketika tawa kedua tokoh sakti dari Hutan
Pring Apus itu terhenti, tiba-tiba sepasang mata
mereka jadi berkilat-kilat penuh keheranan. Beta-
pa samar-samar dari luka di sekujur tubuh Maling
Tanpa Bayangan kini telah dipenuhi uap hitam.
Mula-mula kening Maling Tanpa Bayangan
berkerut tak mengerti. Namun ketika melihat ke-
heranan Dewa Bogel dan Lamdaur makin kentara,
lelaki ini jadi curiga. Dan ketika menyaksikan kea-
daan tubuhnya, seketika terperangahlah hatinya.
Betapa luka di sekujur tubuhnya kini telah dipe-
nuhi uap hitam tipis. Bahkan perlahan-lahan lu-
ka-luka itu merapat dan sembuh seperti sediakala!
Maling Tanpa Bayangan melongo. Kening-
nya terus berkerut-kerut menyaksikan kejadian
aneh yang tengah dialami. Ketika disadari, barulah
lelaki ini tertawa bergelak. Kini hatinya yakin seka-
li kalau kejadian aneh itu tak lain karena Kitab
Paguyuban Setan yang tersimpan di balik jubah
hitamnya!
***
"Hugh...! Hugh,..!"
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi
dan celana bersisik putih keperakan menghentikan
semadinya ketika mendengar suara batuk di sam-
pingnya. Pandangan matanya segera dialihkan ke
arah datangnya suara.
Ternyata suara itu datangnya dari seorang
lelaki berpakaian bayi. Wajahnya pun mirip bayi.
Hanya rambut alis serta bulu mata saja yang
membuktikan kalau lelaki itu sudah amat tua, di
samping kulitnya yang keriput. Lelaki tua yang tak
lain Bayi Kawak itu tengah terengah-engah. Lu-
kanya yang menganga pada bagian dadanya tam-
pak demikian mengerikan. Darah membanjir
membasahi pakaian bayinya. Ia kini berada dalam
pelukan seorang gadis berpakaian warna-warni.
Rambutnya hitam panjang dikepang dua. Juga,
dihiasi pita beraneka warna. Tubuh rampingnya
yang tampak dari samping tampak demikian
mempesona, membentuk lekuk-lekuk indah men-
gundang.
Tak jauh dari yang tak lain Putri Manja,
tampak duduk bersila seorang kakek renta berpa-
kaian jubah kuning yang kedodoran. Kepalanya
plontos, tanpa sehelai rambut pun. Dari bulu ma-
ta, alis mata, dan jenggotnya yang panjang semua
berwarna putih, menandakan kalau kakek bertu-
buh tinggi kurus itu berusia amat lanjut.
Sekali lihat saja pemuda yang tak lain Silu-
man Ular Putih tahu kalau kakek berjubah kuning
yang memang Pelukis Sinting Tanpa Tanding men-
derita luka dalam yang parah. Namun karena saat
itu luka Bayi Kawak jauh lebih parah, maka ke sa-
nalah Soma mendekat.
"Guru...! Jangan tinggalkan aku, Guru! Aku
tak mau kau mati!" isak Putri Manja tak henti.
Hati Siluman Ular Putih trenyuh. Ia mak-
lum akan cobaan berat yang mengguncang hati
gadis manja yang kini di sampingnya. Putri Manja
yang biasa bersikap berlebihan sekaligus juga
amat menggemaskan, kini tampak demikian me-
melaskan. Wajahnya yang cantik bersimbah air
mata. Sambil terus mengguncang-guncangkan tu-
buh Bayi Kawak, si gadis terus saja terisak-isak.
"Sudahlah, Putri! Percuma saja menangis.
Tak mungkin gurumu sembuh kalau kau menan-
gis terus!" ujar Siluman Ular Putih.
"Cerewet! Lekas kau tolong guruku!" tukas
Putri Manja.
"Baik. Tapi... Tapi..."
Mendadak Siluman Ular Putih menggaruk-
garuk kepala. Betapa tidak? Pemuda ini hanya se-
dikit mengerti ilmu pengobatan. Apalagi melihat
luka Bayi Kawak yang mengerikan itu. Saking bin-
gungnya, Soma terus menggaruk-garuk kepala.
Entah karena kepalanya jadi sarang kutu, atau
memang kebingungan. Pokoknya Soma terus
menggaruk tanpa peduli.
Melihat kelakuan Siluman Ular Putih, mau
tak mau Putri Manja jadi kesal. Wajahnya yang
cantik ditekuk demikian rupa. Mulutnya membe-
sengut.
"Kau.... Kau ini bagaimana, sih? Orang dis-
uruh menyembuhkan guruku, malah garuk-garuk
kepala! Apa dikira dengan menggaruk-garuk kepa-
la guruku akan sembuh!" damprat Putri Manja.
"Iya iya...! Aku tahu. Justru aku sedang
memikirkan, bagaimana caranya menyembuhkan
luka dalam gurumu. Jadi jangan marah-marah
dulu, dong...," tangkis Siluman Ular Putih.
"Habis kau menjengkelkan, sih! Selalu saja
membuatku marah!" sungut Putri Manja mulai ke-
lihatan sikap aslinya.
"Ya, deh. Aku mengalah. Terus terang, aku
hanya sedikit mengerti ilmu pengobatan. Seka-
rang, baiknya kita cari saja Tabib Agung, karena
luka dalam gurumu amat parah. Kujamin orang
tua dari Gunung Perahu itu dapat menyembuhkan
luka gurumu!"
"Baik. Kalau begitu, cepat angkat guruku!
Jangan membuang-buang waktu!" perintah Putri
Manja.
Lagi-lagi Soma hanya menggaruk-garuk ke-
pala. "Sial!" rutuk si pemuda dalam hati.
"Kenapa diam saja? Ayo, cepat angkat guru-
ku!" bentak Putri Manja.
"Iya iya...! Tapi, apa tidak baiknya orang lain
saja."
"Bodoh! Mana mungkin di tempat sesunyi
ini ada orang? Ayo, lekas angkat!" bentak Putri
Manja lagi.
"Baik."
Entah kenapa Siluman Ular Putih tunduk
juga oleh perintah gadis manja itu. Mungkin kare-
na rasa bersalahnya waktu itu dengan memper-
mainkan Putri Manja. Akibatnya, si gadis ngambek
dan lari darinya. Karena tak ingin mengecewakan
si gadis untuk yang kedua kali. Soma segera men-
gangkat kakek bau pesing guru dari Putri Manja
itu.
"Percuma saja orang menjulukimu Siluman
Ular Putih, kalau hatimu pilih-pilih kasih. Percu-
ma saja tua bangka macam kami meminta perto-
longan kalau hati pendekar kita sudah terpaut
seorang gadis...."
Mendadak Siluman Ular Putih dikejutkan
suara orang yang disusul suara siulan. Buru-buru
kepalanya berpaling ke arah datangnya suara.
Ternyata orang yang bersuara tadi bukan lain ada-
lah Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Aneh sekali!
Walau tengah menderita luka dalam cukup parah,
namun kakek sakti dari Gua Bedakah itu masih
sempat-sempatnya menggoda.
Terpaksa Siluman Ular Putih menahan
langkahnya. Jelas, pemuda ini merasa disindir
oleh ucapan Pelukis Sinting Tanpa Tanding hingga
hatinya mendadak jadi gelisah.
"Heran! Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Apakah benar ucapan tua bangka itu? Aku sudah
terpaut kecantikan Putri Manja? Ah...! Mengapa
aku harus memikirkan satu hal yang tak pasti. Pu-
tri Manja sendiri belum tentu sudi memikirkanku!"
sungut Soma dalam hati.
"Baik-baik. Aku akan menyembuhkanmu,
Orang Tua. Tapi sekali lagi, jangan bilang kalau
aku pilih kasih. Karena pertimbanganku, Bayi Ka-
wak menderita luka paling parah. Hm.... Tapi ada
baiknya aku memeriksa lukamu dulu," kata Soma,
seraya meletakkan kembali tubuh Bayi Kawak.
"Duh...! Senangnya hatiku. Hati siapa yang
tidak akan senang mendapatkan pertolongan pe-
muda tampan macam kau. Terima kasih, Bocah.
Kau memang baik hati. Memang inilah yang kuin-
ginkan sebenarnya," celoteh Pelukis Sinting Tanpa
Tanding cerewet.
"Ompong! Diam kau! Tak ada gunanya kau
menggoda. Aku tak yakin kalau kau benar-benar
membutuhkan pertolongannya!" damprat Bayi Ka-
wak yang dari tadi hanya membisu.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terse-
nyum-senyum menggoda. Wajahnya yang tadi ke-
lihatan pucat, kini tampak kemerah-merahan.
Agaknya luka dalam tokoh sakti dari Gua Bedakah
itu mulai berangsur sembuh. Dan Soma yang me-
meriksa tersenyum lega. Berarti ia tak perlu lagi
memberi pertolongan pada Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
"Maaf, Anak Muda. Tadi aku hanya meng-
godamu. Aku sudah menyembuhkan luka dalam-
ku sendiri, kok," ucap Pelukis Sinting Tanpa Tend-
ing, seenaknya.
"Orang Tua! Kau memang terlalu banyak
bercanda. Luka dalam yang diderita Bayi Kawak
jauh lebih parah dibanding luka dalammu. Tapi
kenapa kau cerewet amat?" kata Soma agak kesal
juga.
"Ya, sudah. Kalau kau mau membawa Bayi
Kawak ke Tabib Agung, ya... bawa saja. Kenapa
marah-marah?" sungut Pelukis Sinting Tanpa
Tanding, seenak dengkul. Menyebalkan sekali si-
kapnya!
Siluman Ular Putih hanya bisa geleng-
geleng kepala disertai dengusan kesal. Namun un-
tuk mendamprat Pelukis Sinting Tanpa Tanding, ia
tak berani. Tak enak rasanya membentak-bentak
orang tua. Yang dilakukannya kini adalah men-
gangkat kembali tubuh Bayi Kawak.
"Ayo, Soma! Lekas kita tinggalkan tempat
ini! Kenapa kau malah melongo saja!" teriak Putri
Manja mengagetkan.
"Ba..., baik."
Tanpa banyak cakap Putri Manja segera
meraih lengan Siluman Ular Putih dan segera ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu. Meski
sambil memondong tubuh Bayi Kawak, tampak
sekali kalau Siluman Ular Putih mampu mengim-
bangi ilmu meringankan tubuh Putri Manja. Malah
kalau mau, bisa saja mendahului. Namun Soma
hanya mengikuti langkah si gadis sesuai kemam-
puannya.
"Sekarang apa yang harus kulakukan? Ra-
sanya aku belum puas. Meski manusia jahanam
Pengasuh Setan sudah modar, tetap saja belum
puas. Karena aku tak dapat membunuhnya. Malah
sekarang aku menderita luka bakar. Huh..,! Men-
jengkelkan. Enak benar jahanam itu modar sebe-
lum aku sempat membalaskan sakit hati. Seka-
rang apa yang harus kulakukan, huh?!" keluh Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding begitu sosok bayan-
gan Putri Manja dan Siluman Ular Putih menghi-
lang di balik kegelapan malam. Habis menggu-
mam, Pelukis Sinting Tanpa Tanding segera bang-
kit dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Tam-
pak langkahnya terhuyung-huyung sebelum ak-
hirnya menghilang di balik kegelapan malam....
TIGA
"Hahaha...! Rupanya percuma saja berta-
hun-tahun kalian belajar silat kalau menghadapi-
ku seorang diri saja tak becus!"
Maling Tanpa Bayangan itu tak henti-
hentinya terus mengumbar tawa serta ejekan. Ke-
jadian aneh yang baru saja dialami benar-benar
membuat semangat bertarungnya meledak-ledak.
Luka akibat bacokan pedang tipis di tangan Lam-
daur, dan luka dalam akibat hantaman rantai baja
Dewa Bogel, kini telah sembuh seperti semula. Le-
laki ini yakin kalau itu berkat Kitab Paguyuban Se-
tan yang disembunyikan di balik jubah.
Sementara di pihak Dewa Bogel dan Lam-
daur yang melihat kejadian itu, mereka menduga
kalau ilmu bekas kakak seperguruannya benar-
benar telah mencapai tingkat yang tinggi sekali.
Bahkan mungkin sulit ditandingi oleh kepandaian
mereka berdua. Namun ini bukan berarti harus
tunduk begitu saja, walau nyawa taruhannya.
"Kuakui, kesaktianmu kini telah melampaui
jauh kesaktian kami. Namun jangan dikira kami
mengalah begitu saja. Bagaimanapun juga dan apa
pun akibatnya, kami tetap meminta pertanggung-
jawabanmu. Kau harus kami hukum!" dengus De-
wa Bogel.
"Bagus-bagus! Kalau kalian ingin cepat
modar, majulah! Jangan tanggung-tanggung! Le-
kas keluarkan aji 'Penuntun Dewa' kebanggaan ka-
lian, juga kebanggaan Guru!" ejek Maling Tanpa
Bayangan.
Sembari mengejek demikian, diam-diam
Maling Tanpa Bayangan sendiri pun telah menge-
rahkan pukulan 'Kelabang Hijau'. Seketika kedua
telapak tangannya kembali dijalari warna hijau,
hingga sampai ke siku. Ini saja sudah jelas mem-
buktikan kalau Maling Tanpa Bayangan tak segan-
segan lagi menghadapi bekas-bekas adik-
seperguruannya. Dan ia yakin, aji 'Penuntun De-
wa' tak akan sanggup menahan pukulan 'Kelabang
Hijau' yang telah dicampur aduk dengan aji 'Sirep
Sukma'.
"Baik Manusia Maling! Hari ini aku akan
mengadu nyawa! Meski nyawa melayang, aku ma-
lah bangga. Karena aku tewas demi membela ke-
benaran. Tidak seperti kau, yang selalu berkubang
dalam lumpur dosa!" geram Lamdaur penuh kema-
rahan.
"Terserah kalian, mau bilang apa. Yang je-
las, hari inilah kematian kalian!" balas Maling
Tanpa Bayangan.
Sementara Dewa Bogel menggeretakkan ge-
raham-nya penuh kemarahan. Ia yang berwatak
berangasan tak sabar lagi mendengar ejekan Mal-
ing Tanpa Bayangan. Maka saat itu juga segera di-
labraknya Maling Tanpa Bayangan dengan aji
'Penuntun Dewa'.
"Hea...! Mampus kau, Maling!"
Berbareng teriakan nyaringnya yang mem-
belah angkasa, Dewa Bogel telah menghantamkan
kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi
biru tua ke arah Maling Tanpa Bayangan.
Wesss! Wesss!
Seketika melesat dua larik sinar biru yang
disertai hawa panas luar biasa, dari kedua telapak
tangan Dewa Bogel.
"Hiaaah...!"
Maling Tanpa Bayangan masih sempat
mengumbar tawa, sebelum akhirnya segera meng-
hentakkan kedua tangannya disertai teriakan
mengguntur.
Blaaammm!
"Aaakh...!"
Hebat, bukan main bentrokan dua tenaga
dalam barusan. Bumi laksana diguncang prahara.
Berkesiurnya angin dingin dan panas akibat ben-
trokan barusan mengakibatkan ranting-ranting
pohon hangus terbakar dan sebagian membeku!
Sewaktu terjadi bentrokan, Dewa Bogel
menjerit setinggi langit. Tanpa ampun tubuhnya
kontan terbanting keras. Wajahnya kini pucat ba-
gai kapas. Bentrokan tadi seakan-akan mengaduk-
aduk isi dalam dadanya.
"Hoekh...!"
Dewa Bogel tak tahan. Dari mulutnya men-
dadak meluncur darah segar
Melihat adik seperguruannya dapat diro-
bohkan, Lamdaur geram bukan main. Tanpa
menghiraukan keadaan Dewa Bogel, segera diter-
jangnya Maling Tanpa Bayangan. Tidak tanggung-
tanggung langsung dikerahkannya aji 'Penuntun
Dewa' seperti yang dilakukan Dewa Bogel tadi.
Sementara Maling Tanpa Bayangan yang
tubuhnya tengah limbung ke samping akibat ben-
trokan tadi, terperangah kaget. Rupanya, ia belum
siap menerima serangan. Dan manakala melihat
serangan datang, ia hanya bisa mengeluh. Kemu-
dian....
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali dua larik sinar biru tua dari
kedua telapak tangan Lamdaur menghantam dada
Maling Tanpa Bayangan. Maka tanpa ampun tu-
buhnya terlempar jauh ke belakang bak layangan
putus. Sebentar tubuhnya berputar-putar sebelum
akhirnya menghantam batang pohon.
Brakkk!
Perlahan-lahan tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan luruh ke tanah. Parasnya tampak pucat pasi.
Dari lubang hidung dan mulut mengeluarkan da-
rah segar, pertanda guru mendiang Raja Maling ini
menderita luka dalam.
Namun, lagi-lagi seperti yang dialami tadi.
Uap hitam dari balik jubahnya kembali menyeli-
muti sekujur tubuh Maling Tanpa Bayangan. Se-
hingga dalam waktu yang tidak lama lelaki tua se-
sat itu pun meloncat bangun dengan tubuh segar
bugar! Luar biasa!
"Kau tak mungkin dapat mengalahkanku,
Lamdaur! Percuma saja! Lebih baik bunuh diri sa-
ja daripada tanganku kotor oleh darah busukmu!"
ejek Maling Tanpa Bayangan.
Lamdaur menyeringai. Apa yang diucapkan
Maling Tanpa Bayangan barusan memang sempat
mempengaruhi nyalinya. Tapi disadari, dalam kea-
daan terjepit begitu bukan berarti harus melarikan
diri dari pertarungan. Apalagi Dewa Bogel telah di-
robohkan dengan mudah. Maka justru inilah yang
menyulut amarah Lamdaur.
Dan tanpa mengenal takut sedikit pun,
mendadak Lamdaur menggembor penuh kemara-
han. Kedua telapak tangannya yang kian berubah
jadi biru tua segera dihantamkan ke depan.
Wesss! Wesss!
Dua larik sinar biru tua meluruk dari kedua
telapak tangan Lamdaur, menyambar-nyambar
mengerikan. Dan sebelum serangan tokoh sakti
dari Hutan Pring Apus itu mengenai sasaran, hawa
hangus telah mendahului! Ini jelas membuktikan
kalau Lamdaur telah mengerahkan tenaga dalam
sampai pada kekuatan penuh.
Maling Tanpa Bayangan kini telah siap
waspada. Maka begitu melihat serangan, kedua
tangannya juga menghentak. Langsung dile-
paskannya pukulan 'Kelabang Hijau' yang telah di-
campur baur dengan aji 'Sirep Sukma'! Selanjut-
nya.....
Blaaarrr...!
"Aaakh...!"
Bersama pekik mengerikan, tanpa ampun
tubuh jangkung Lamdaur kontan terlempar jauh
ke belakang. Begitu terbanting di tanah, tubuhnya
sempat mengejang-ngejang sebentar, sebelum ak-
hirnya tidak bergerak-gerak sama sekali! Entah
pingsan, entah tewas!
"Hahaha...!"
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Kepalanya mendongak ke atas. Puas sekali ra-
sanya dapat mengalahkan kedua orang adik se-
perguruannya. Dalam benaknya pun membayang-
kan dengan cara itu pulalah tubuh Siluman Ular
Putih maupun tubuh tokoh-tokoh sakti lain akan
dilumatkan. Terutama bila menghalang-halangi
niatnya menguasai dunia persilatan!
"Haha ha...! Siapa berani menentang Maling
Tanpa Bayangan, berarti mati!"
Suara tawa Maling Tanpa Bayangan kian
membahana. Seolah dengan begitu, ia ingin men-
gabarkan ke segenap penjuru kalau dialah yang
paling sakti di kolong langit.
"Manusia maling tak berperasaan! Mampus-
lah kau! Hea...!"
Tiba-tiba Dewa Bogel yang telah dikira te-
was oleh Maling Tanpa Bayangan segera mener-
jang hebat. Kedua telapak tangannya yang ber-
warna biru tua segera dihantamkan ke arah Mal-
ing Tanpa Bayangan. Maka seketika meluruk dua
larik sinar biru tua dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Merasakan ada hawa panas menyengat ku-
lit tubuh, tanpa pikir panjang Maling Tanpa
Bayangan segera berbalik seraya menghentakkan
kedua tangannya. Pukulan 'Kelabang Hijau' lang-
sung diarahkan pada sumber hawa panas baru-
san. Dan....,
Buuummm!
"Aaa...!"
Satu pekik menyayat hati terdengar mewar-
nai tempat pertarungan mengiringi bunyi mengge-
legar akibat bentrokan tadi. Tanpa ampun, tubuh
Dewa Bogel melayang jauh ke belakang bak se-
buah bola yang melesat jauh, sebelum akhirnya
menghantam batang pohon di belakangnya.
Brakkk!
Seperti yang dialami Lamdaur, Dewa Bogel
luruh ke tanah. Tubuhnya melejang-lejang seben-
tar, sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak sama
sekali.
"Ha ha ha...! Kubilang apa?! Percuma saja
kalian menentang Maling Tanpa Bayangan! Begini
inilah nasib orang-orang yang akan menentangku!"
Tak henti-hentinya Maling Tanpa Bayangan
mengumbar tawa. Hatinya puas bukan main. Ha-
tinya yakin sekali, dengan kemampuannya seka-
rang dapat mengalahkan Siluman Ular Putih.
Meski demikian Kitab Paguyuban Setan tetap ha-
rus dipelajari. Bagaimanapun juga, ia tak ingin
menelan kekalahan untuk yang kedua kali.
Berpikir sampai di sini, Maling Tanpa
Bayangan segera berkelebat tanpa menghiraukan
Dewa Bogel dan Lamdaur yang terkapar di tanah.
Hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosoknya
yang tinggi kurus telah menghilang di balik kege-
lapan malam.
***
Pagi menjelang.
Kabut tipis masih mewarnai puncak Gu-
nung Sindoro yang hampir semalaman menunjuk-
kan kekuasaannya. Suasana pagi ini benar-benar
lengang. Kicauan burung yang biasanya ramai
menyambut sinar matahari, kini seolah sepi. Larut
dalam suasana duka mencekam.
Dalam kelengangan pagi itu, dua sosok
bayangan tengah berjalan dari timur. Sosok yang
di sebelah kanan tampak tengah menggendong se-
suatu. Sedang sosok di sebelahnya melenggang
santai. Sosok yang menggendong sesuatu itu ter-
nyata seorang pemuda tampan. Tubuhnya tinggi
kekar. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan angin. Di dada kirinya tampak raja-
han kecil bergambar seekor ular putih. Pakaiannya
rompi bersisik warna putih keperakan tanpa kanc-
ing. Celananya pun bersisik
Menilik ciri-cirinya, sudah jelas kalau pe-
muda tampan yang memiliki senjata anak panah
terselip di pinggang itu adalah Siluman Ular Putih
yang sedang memondong Bayi Kawak. Sedang ga-
dis di sampingnya yang mengenakan pakaian ber-
warna merah, kuning, dan hijau, seperti pita yang
dikenakannya adalah murid Bayi Kawak. Siapa la-
gi kalau bukan Mawangi alias Putri Manja!
Rupanya, perjalanan mereka kali ini tidak
ditingkahi suara canda tawa. Hal ini makin me-
nambah kelengangan suasana pagi di lereng Gu-
nung Sindoro.
Saking tidak tahannya mendapati suasana
lengang pagi itu dan ditingkahi sikap cemberut Pu-
tri Manja, lama kelamaan Siluman Ular Putih jadi
tidak tahan. Mulutnya gatal untuk bertegur sapa.
Namun ia malas mengusik ketenangan Putri Man-
ja. Maka untuk melampiaskan rasa dongkol ha-
tinya Siluman Ular Putih terus menggerutu. Entah
untuk siapa ditujukan.
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?! Apa kau tak
bisa diam?!" bentak Putri Manja, galak.
"Habis dari tadi kau diam saja, sih! Aku kan
tidak betah. Masa' orang jalan berduaan terus
membisu. Memangnya aku patung?!" balas. Soma
menggoda. Mulutnya ditarik ke samping. Makin je-
lek saja tampang murid Eyang Begawan Kama-
setyo kalau sedang begitu.
Putri Manja menggeretakkan gerahamnya
kuat. Kesal sekali hatinya melihat tingkah pemuda
tampan yang diam-diam mulai mengusik hatinya.
Namun karena terdorong kecemasannya akan ke-
selamatan gurunya, Putri Manja makin sengit.
"Tutup mulutmu. Soma! Aku tak senang ka-
lau kau terus bertingkah!" bentaknya.
"Baik-baik! Aku akan tutup mulut. Tapi,
kau jangan marah, ya!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menghentikan
langkah. Mulutnya dikunci rapat-rapat. Ia diam
saja sembari berdiri tegak menghadap ke puncak
Gunung Sindoro. Tentu saja hal ini makin mem-
buat hati Putri Manja jengkel.
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?! Aku menyu-
ruhmu diam, bukan diam seperti patung! Ayo, te-
rus jalan!" bentak si gadis.
"Egh...! Egh...!"
Soma menggeleng-gelengkan kepala, Kedua
tangannya digerak-gerakkan demikian rupa, mirip
orang gagu.
Habis sudah kesabaran Putri Manja. Tan-
gannya yang sudah gatal rasanya ingin segera me-
nampar pipi Siluman Ular Putih. Namun baru saja
mengangkat tangan, mendadak pendengarannya
yang tajam mendengar erangan halus seseorang.
"Eh...! Siapakah di situ?"
Putri Manja celingukan ke sana kemari, tapi
tak menemukan apa-apa. Kecuali, semak belukar
yang meranggas.
Namun Siluman Ular Putih yang memiliki
pendengaran lebih tajam telah meloncat ke arah
datangnya suara. Sesekali menjejakkan kakinya ke
tanah, tubuhnya telah berdiri di samping semak
belukar yang dicurigai. Dan seketika keningnya ja-
di berkerut-kerut heran.
"Dewa Bogel...?" desah Soma.
Memang, apa yang dilihat Soma adalah De-
wa Bogel yang pernah mengganggunya kemarin
petang. Lelaki pendek tambun itu tengah tergele-
tak tak berdaya di atas semak belukar. Parasnya
pias. Dari lubang mulut dan lubang hidung tam-
pak darah kering memenuhi parasnya.
Kalau saja Soma teringat akan tingkah De-
wa Bogel kemarin siang, ingin rasanya membiar-
kan lelaki tua berpusar bodong itu begitu saja.
Namun sebagai seorang pendekar yang memiliki
rasa welas asih, hatinya tak tega melihat keadaan
Dewa Bogel. Maka begitu meletakkan tubuh Bayi
Kawak, Siluman Ular Putih segera memeriksa tu-
buh Dewa Bogel.
"Soma! Apa yang kau lakukan di situ?" te-
riak Putri Manja yang rupanya masih belum me-
nyadari kalau Soma telah menemukan Dewa Bogel
di tempat itu.
Namun... belum sempat si gadis mengung-
kapkan kekesalannya, mendadak sepasang ma-
tanya yang indah melihat sesosok tubuh lain ter-
kapar di atas tanah rerumputan.
"Soma! Cepat kemari!" pekik Putri Manja,
berteriak-teriak bingung.
Soma yang tengah mengobati luka dalam
Dewa Bogel mana mau menuruti panggilan Putri
Manja. Ia terus saja memeriksa sekaligus mengo-
bati luka dalam lelaki tua tambun itu sebisanya.
"Kau keterlaluan. Soma! Cepat ke sini!"
sungut Putri Manja saking kesalnya.
Tetap saja tak ada jawaban.
Habis sudah kesabaran Putri Manja dibuat-
nya. Sekali menghentakkan kakinya ke tanah, tu-
buh tinggi ramping Putri Manja melompat ke arah
Siluman Ular Putih. Dan....
"Kau.... Kau! Ah...! Kenapa kau tak ngo-
mong kalau sedang mengobati seseorang?!" kata
Putri Manja, begitu mendarat di samping Soma.
Putri Manja membantingkan kakinya kesal.
Mulutnya membesengut. Kesal sekali diperlakukan
seperti itu oleh Soma. Lebih kesalnya lagi manaka-
la tetap tidak mempedulikan pertanyaannya. Pe-
muda itu hanya menggerak-gerakkan tangannya,
mirip orang gagu!
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?!" sentak si
gadis.
"Lho? Kenapa kau marah? Tadi kau menyu-
ruhku diam. Dan kau berjanji tidak akan marah.
Tapi, kenapa sekarang uring-uringan seperti ne-
nek-nenek kehilangan sirih?" akhirnya Siluman
Ular Putih membuka suara untuk si gadis.
"Kau.... Kau...! Ah...!"
Sekali lagi Putri Manja membantingkan ka-
kinya kesal. Kalau menurutkan amarah, sudah
pasti akan dikemplangnya kepala murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu. Namun ternyata toh gadis
itu tak melakukannya.
"Di..., di sana juga ada orang tergeletak.
Soma!" tunjuk Putri Manja mengarahkan telunjuk
jarinya ke samping.
"Oh, ya? Sayang sekali aku belum selesai
memeriksa manusia bogel satu ini. Kau sendiri sa-
ja yang memeriksa di sana!" ujar Siluman Ular Pu-
tih.
Putri Manja menyumpah serapah dalam ha-
ti. Marah dan benci bercampur aduk jadi satu. In-
gin rasanya ia tak menggubris perintah Siluman
Ular Putih. Namun entah kenapa tak sanggup. Ji-
wa kependekarannya melarang berbuat demikian.
Apalagi saat itu seseorang tengah membutuhkan
pertolongannya. Maka meski hatinya mengkelap,
akhirnya Putri Manja mau juga menuruti perintah
Siluman Ular Putih.
Sekali lihat saja Putri Manja tahu kalau ka-
kek jangkung yang tak lain Lamdaur itu tengah
menderita luka dalam cukup parah. Tanpa me-
nunggu perintah sekali lagi, segera diperiksanya
tubuh Lamdaur.
Lama juga Siluman Ular Putih dan Putri
Manja memeriksa sekaligus mengobati luka dalam
Dewa Bogel dan Lamdaur. Dan ini membuat hati
kedua anak muda itu jadi heran bukan main. En-
tah kenapa, tubuh kedua kakek itu belum siuman
juga. Padahal mereka sudah berulang kali menya-
lurkan tenaga dalam!
Malah, yang terjadi sebaliknya. Tubuh Lam-
daur dan Dewa Bogel tampak jadi makin kehi-
jauan. Dari paras sampai kuku-kuku jari berwarna
hijau! Jelas sekali kalau kedua orang tokoh sakti
dari Hutan Pring Apus itu telah terkena racun ga-
nas. Di samping itu, ada satu kekuatan gaib yang
menguasai jalan pikiran mereka. Kelihatannya
memang tak mungkin Siluman Ular Putih dan Pu
tri Manja mampu mengobati kedua kakek itu.
"Payah...! Kukira tua bangka brengsek ini
pun harus dibawa menemui Tabib Agung. Kau
sendiri bagaimana, Putri? Apa dapat menyembuh-
kan luka dalam orang itu?"
Soma memalingkan kepala ke arah Putri
Manja. Dilihatnya gadis manja itu tengah sibuk
menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Lamdaur.
Padahal wajah cantiknya telah dipenuhi keringat.
Siluman Ular Putih tahu, Putri Manja pun
tak mampu menyembuhkan luka dalam Lamdaur.
Buktinya begitu mendengar pertanyaannya, Putri
Manja segera mengangkat bahu. Ini jelas membuk-
tikan kalau si gadis benar-benar tak sanggup.
"Mungkin ucapanmu benar, Soma. Terpak-
sa kita harus membawa mereka menemui Tabib
Agung di puncak Gunung Perahu. Aku telah beru-
saha menyembuhkan luka dalamnya, juga beru-
saha mengeluarkan racun hijau yang mengeram
dalam tubuhnya. Namun ya..., tetap saja tak bisa.
Ayo! Sebaiknya mereka segera kita bawa menemui
Tabib Agung!" ujar Putri Manja, akhirnya menyetu-
jui usul Siluman Ular Putih
"Ayo, ya ayo! Tapi bagaimana mungkin aku
harus membawa tubuh ketiga orang ini," sahut
Soma, sedikit kesal.
"Sekarang biar aku yang membawa tubuh
guruku. Kau yang menggendong tubuh kedua
orang kakek itu. Mau, kan?" cetus si gadis.
"Tentu. Kukira tadi kau akan menyuruhku
kerja borongan. Maksudku menyuruhku memang-
gul ketiga orang tua itu. Tapi ternyata kau punya
sedikit perasaan juga."
"Cerewet! Sudah pasti aku punya perasaan.
Kalau tidak, sudah pasti mulutmu kurobek-robek
saking cerewetnya!"
"Apa?" Soma membeliakkan matanya se-
nang. "Kau ingin menciumku. Tentu. Tentu aku
senang sekali!"
"Cih! Tak tahu malu! Pemuda macam apa
kau ini Soma?! Belum apa-apa sudah minta cium!"
bentak Putri Manja sengit.
"Lho? Siapa yang bilang belum apa-apa?
Jangan begitu, ah. Aku sudah apa-apa dari tadi.
Kalau kau tak percaya, pegang dadaku?" canda
Soma kelewatan.
Putri Manja membesengut berat. Kalau saja
saat itu berdekatan, dijamin tangan mungilnya
akan mendarat di pipi Siluman Ular Putih. Namun
berhubung jarak mereka berjauhan terpaksa Putri
Manja hanya memberengut.
"Sudah-sudah! Jangan memberengut saja!
Nanti pipimu yang kemerah-merahan itu hangus
terbakar!" ujar Soma.
Putri Manja tak menggubris godaan Silu-
man Ular Putih. Hatinya mengkelap sekali. Kemu-
dian saat Soma menyerahkan tubuh Bayi Kawak,
Putri Manja segera menyodok perut Siluman Ular
Putih kesal.
Siluman Ular Putih hanya tertawa. Bisa jadi
hatinya senang diperlakukan begitu oleh Putri
Manja.
EMPAT
Sosok hitam Maling Tanpa Bayangan terus
berkelebat cepat menembus kegelapan malam. Tak
dipedulikannya rasa lelah dan penat. Rasanya su-
dah tak sabar lagi hasratnya untuk mempelajari
Kitab Paguyuban Setan. Untuk itu, sengaja ia
kembali ke tempatnya bertapa. Yakni, di sebuah
gua di tepian Sungai Serayu.
Tak kurang dari sehari semalam melakukan
perjalanan, akhirnya sampailah Maling Tanpa
Bayangan di sebuah lereng terjal, seolah memagari
aliran Sungai Serayu yang deras. Keadaan di seki-
tar sungai tampak lengang saja, seperti tak ber-
penghuni. Mungkin dikarenakan banyak ditumbu-
hi semak-semak belukar, hingga orang akan segan
datang ke tempat sunyi itu. Burung di ranting po-
hon seolah malas memperdengarkan kicauannya
yang merdu. Padahal, di sekitar tempat itu cukup
sepi.
Maling Tanpa Bayangan tak mempedulikan
itu semua. Keinginannya untuk mempelajari Kitab
Paguyuban Setan demikian menggebu. Rasanya
tak sabar hatinya untuk segera kembali ke dalam
tempat pertapaannya. Maka sekali menghentakkan
kakinya pada batang pohon yang tumbang, tubuh
jangkungnya pun segera melenting tinggi ke udara.
Begitu kedua kakinya mendarat, tahu-tahu telah
berada di sebuah tanah bererumputan. Tak begitu
luas memang. Lebarnya tak kurang dari dua atau
tiga tombak. Di sekitarnya pun banyak ditumbuhi
semak-semak belukar yang meranggas.
Maling Tanpa Bayangan lantas melangkah
mendekati semak-semak belukar sebelah kiri. Se-
kali singkap, tampaklah sebuah lubang kecil mu-
lut gua. Tak begitu besar, paling pas untuk masuk
satu orang. Tanpa membuang waktu kakinya sege-
ra melangkah. Mula-mula merunduk. Tapi makin
masuk ke dalam perut gua, tempat itu makin lebar
dan membesar sehingga tak perlu lagi merunduk.
Dengan, leluasa kakinya melangkah menuju batu
putih besar, tempatnya biasa bertapa.
Begitu duduk di atas batu putih itu, Maling
Tanpa Bayangan menghela napasnya lega. Kesaba-
rannya yang sudah mencapai ubun-ubun kepala
membuatnya tak sabar. Segera dibukanya Kitab
Paguyuban Setan. Berulang kali Maling Tanpa
Bayangan membolak-balik lembar demi lembar ki-
tab itu. Dan ternyata yang ditemuinya hanya lem-
baran kosong!
Maling Tanpa Bayangan geram bukan main.
Rahangnya mengeras. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak, pertanda merasa dipermainkan. Entah di-
permainkan siapa. Nasibnya barangkali!
"Keparat! Kenapa lembaran-lembaran ini
kosong?!" desisnya, mengkelap.
Hampir saja Maling Tanpa Bayangan mem-
banting Kitab Paguyuban Setan yang sangat di-
idam-idamkan itu ke tanah. Untung saja sepasang
matanya yang mencorong hijau menangkap huruf-
huruf samar di lembar berikutnya. Maka sepasang
mata hijaunya kembali mendadak berbinar. Den-
gan penuh nafsu lembar-lembar terakhir Kitab Paguyuban Setan segera dibaca
Pelajaran terakhir.
Bagi siapa saja yang dapat mempelajari pe-
lajaran akhir ini akan mendapatkan kesaktian luar
biasa. Sebuah kekuatan gaib yang datang dari de-
lapan penjuru mata angin. Di samping itu siapa sa-
ja yang dapat menguasai pelajaran ini tidak akan
mati karena dibunuh!
"Ckckck...!"
Tanpa sadar Maling Tanpa Bayangan berde-
cak kagum. Rasa kecewanya yang semula menjalar
ke dalam lubuk hati, mendadak sirna begitu mem-
baca bagian akhir. Sepasang matanya yang hijau
semakin bersinar-sinar penuh kegembiraan. Di pe-
lupuk matanya terbayang jelas kalau dunia persi-
latan akan berada dalam genggaman tangannya.
Jangankan untuk membunuh Siluman Ular Putih.
Membunuh Eyang Bromo yang jadi tokoh nomor
satu dunia persilatan pun ia merasa sanggup.
Mendapati kenyataan yang membuat ha-
tinya berbunga, Maling Tanpa Bayangan kembali
menelusuri kata demi kata yang terkandung dalam
pelajaran terakhir dalam Kitab Paguyuban Setan.
Syaratnya...
Bila ingin tidak mendapatkan akibat apa
pun, lakukanlah semadi selama empat puluh hari
Jum'at Kliwon di tempat tersembunyi
Bila ingin meringkas, lakukanlah semadi tiga
hari tiga malam menjelang hari Jum'at Kliwon. Bila
gagal akibatnya mati!
Maling Tanpa Bayangan bergidik ngeri. Ha-
tinya kecut membaca tulisan-tulisan terakhir. Ra-
sa takut yang demikian luar biasa tiba-tiba me-
nyentak-nyentak nyalinya. Tanpa sadar tubuhnya
mengeluarkan keringat dingin. Wajahnya pucat
pasi. Sepasang matanya yang hijau membelalak
liar!
"Setan Alas! Kenapa syaratnya demikian be-
rat?!" Maling Tanpa Bayangan menggeram. Batu
putih pipih tempatnya bertapa dicengkeramnya
kuat-kuat hingga kontan hancur. Dan kepingan-
kepingan batu putih di tangan kanan dilempar-
kannya begitu saja.
"Keparat! Apa pun akibatnya, demi membu-
nuh Siluman Ular Putih, juga demi menguasai du-
nia persilatan, tak ada pilihan lain! Aku harus
mempelajari kitab ini!" lolong Maling Tanpa Bayan-
gan seperti kerasukan setan.
Wajah yang tadi pucat pasi kini kemerah-
merahan. Sepasang matanya yang hijau berkilat-
kilat mengerikan. Lalu sepasang mata hijau itu
membaca huruf-huruf terakhir yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan. Ternyata huruf-
huruf terakhir itu hanya berisi beberapa kelema-
han ilmu yang akan dipelajari.
"Hm.... Biar lebih cepat, aku akan melaku-
kan cara yang kedua! Semadi tiga hari tiga ma-
lam!"
Maling Tanpa Bayangan mengangguk-
angguk mantap. Kini bulat sudah tekadnya untuk
mempelajari pelajaran terakhir yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan. Apa pun akibatnya.
***
Puncak Gunung Perahu masih berselimut
kabut. Hawa dingin masih membungkus puncak-
nya. Dari ketinggian puncak gunung tampak ca-
haya merah tembaga berpendar-pendar di ufuk ti-
mur, membentuk bulatan samar-samar.
Meski matahari sudah mulai merayap ting-
gi, suasana pagi masih terasa benar. Kabut pagi
masih merayap. Embun bergelayutan di ranting-
ranting pohon, di dahan-dahan, juga di rerumpu-
tan.
Dalam keadaan selimut dingin seperti ini,
tampak sesosok bayangan berpakaian hijau tua te-
rus berkelebat cepat menuju puncak Gunung Pe-
rahu, melewati lereng sebelah timur.
Menilik gerakannya yang ringan laksana
kapas tertiup angin, jelas sosok bayangan berpa-
kaian hijau tua itu memiliki ilmu meringankan tu-
buh sangat tinggi. Buktinya dalam waktu yang ti-
dak lama, sosok berpakaian hijau itu kini telah
berdiri di puncak gunung.
Sambil bertolak pinggang, sosok berpakaian
hijau tua itu sejenak memperhatikan puncak gu-
nung. Menilik perawakan tubuhnya yang tinggi
ramping dan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat
dengan kulit putih bersih, jelas kalau sosok berpa-
kaian hijau tua itu adalah seorang wanita. Usianya
kira-kira tiga puluh tahun. Wajahnya yang cantik
berbentuk bulat telur. Rambutnya digelung ke
atas. Dari tubuhnya yang sintal dibalut pakaian
ketat warna hijau tua, membuat lekuk-lekuk
payudaranya terlihat jelas.
Siapakah sebenarnya wanita cantik berpa-
kaian hijau tua itu? Mau apa ia menyambangi Ta-
bib Agung yang tinggal di puncak Gunung Perahu
sepagi itu?
Agak aneh kedatangan wanita cantik satu
ini memang. Kelihatannya sehat-sehat saja. Tak
kurang satu apa pun. Lalu kenapa berada di sini?
Akan berobatkah dia?
Bisa jadi!
Sosok wanita cantik berpakaian hijau tua
itu kini mulai gelisah. Segenap mata memandang
belum juga menemukan Tabib Agung. Satu-
satunya orang yang mungkin dapat menolong di-
rinya.
"Tabib Agung! Keluarlah kau! Aku datang
ingin menemuimu!"
Akhirnya, suara merdu namun cukup lan-
tang meluncur dari mulut wanita cantik itu, me-
manggil orang yang dicari. Sekali dua kali berte-
riak, tak ada jawaban. Sehingga, membuat wanita
cantik itu jadi gusar sekali. Ia tidak tahu, di mana
Tabib Agung bertapa. Yang diketahuinya Tabib
Agung bertapa di puncak Gunung Perahu.
Untuk mengobati rasa penasarannya, tak
ada pilihan lain. Terpaksa wanita cantik itu harus
mengulang teriakannya berulang-ulang. Seperti te-
riakan sebelumnya, tetap saja orang yang dicari
tak didapati.
"Tabib Agung! Keluar kau! Kalau sekali ini
tak sudi menunjukkan batang hidungmu, jangan
salahkan kalau aku mengobrak-abrik puncak Gu-
nung Perahu ini!" teriak wanita cantik itu sarat an-
caman.
"Hei he he...! Ada apa? Dari tadi aku di sini,
kenapa kau berteriak-teriak mirip kerbau mau di-
jagal, he?"
Mendadak terdengar sahutan dari belakang,
membuat si wanita cantik terkejut bukan main.
Betapa tidak? Ia memiliki kepandaian cukup lu-
mayan, tapi kedatangan orang di belakangnya tak
diketahuinya sama sekali. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh
orang di belakangnya jauh lebih tinggi.
Begitu si wanita berbalik, ternyata orang
yang tengah dicarinya kini tengah asyik duduk
ongkang-ongkang kaki di sebuah bongkahan batu.
Usianya kira-kira enam puluh tahun. Wajahnya ti-
rus. Rambutnya digelung ke atas. Sedang tubuh-
nya yang tinggi kurus dibalut jubah warna kuning.
Dialah Tabib Agung yang sedang dicari si wanita
cantik.
"Keparat! Berani kau mempermainkan aku,
he?! Kenapa tidak menyahut dari tadi?" maki si
wanita
"Ah...! Siapa berani mempermainkanmu?
Dari tadi aku duduk di sini. Kau saja yang tak me-
lihat. Apa barangkali matamu lamur, ya?"
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jelas tak
mungkin matanya salah lihat. Tadi ia sudah memperhatikan sekitar tempat itu. Tak mungkin tua
bangka itu datang begitu saja!
"Hm...! Rupanya kabar yang tersiar di dunia
persilatan memang benar. Tua bangka ini memiliki
kepandaian tinggi. Pantas saja ia dapat mengecoh-
ku," gumam wanita cantik itu dalam hati.
"Oooi...! Ditanya kok malah bengong! Tuli,
ya?" ledek si kakek renta yang lak lain Tabib
Agung
"Keparat! Jadi kaukah yang bergelar Tabib
Agung?"
" Ya. Kau sendiri siapa? Apakah kau..., yang
bergelar Rondo Kasmaran?" tebak Tabib Agung ji-
tu.
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu ter-
sentak kaget. Sungguh tak disangka kalau Tabib
Agung mengenali julukannya.
"Matamu sungguh tajam, Tabib Agung. Ku-
akui, aku memang Rondo Kasmaran. Tapi, dari
mana kau bisa mengetahui gelarku?" tanya si wa-
nita yang ternyata Rondo Kasmaran, tak dapat
menyembunyikan rasa penasaran.
Tabib Agung terkekeh senang. Kedua ka-
kinya yang saling bersilangan digoyangkan ke sana
kemari.
"Jelas sekali aku mengenai julukanmu. Bu-
kankah kau orang yang sok jadi pahlawan sewaktu
ada pertemuan para pendekar di puncak Gunung
Kelud? Kau seolah-olah, orang yang paling disega-
ni di Kadipaten Pleret, sewaktu terjadi pemberon-
takan Pangeran Pemimpin. Buktinya saja, kau
langsung marah-marah begitu digoda Raja Penyihir. Kemudian, kau lari tunggang langgang men-
dahului para pendekar untuk melapor ke kadipa-
ten," sindir Tabib Agung.
"Tua bangka jelek! Jaga mulutmu! Aku pergi
ke Kadipaten Pleret dengan izin Ki Rombeng, ta-
hu?!" bentak Rondo Kasmaran.
"Huh...!" Tabib Agung menjebikkan bibir.
"Enak saja ngomong! Kau bukannya minta izin,
tapi karena ngadat. Lalu kau pergi begitu saja.
Jangan mungkir, ah!"
Rondo Kasmaran kesal bukan main. Kare-
na, memang itulah kenyataannya. Waktu itu ha-
tinya kesal mendapat tanggapan sepele dari para
pendekar. Maka ia pun memutuskan melapor ke
Kadipaten Pleret seorang diri. (Untuk mengetahui
kejadian ini, silakan baca dalam episode: "Pengua-
sa Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur")
"Kau.... Kau memang keparat, Tua Bangka
Jelek! Beraninya mempermainkanku demikian ru-
pa, he?!" bentak Rondo Kasmaran saking kesalnya.
Kedua telapak tangannya yang mendadak berubah
hijau tua siap dilontarkan ke arah Tabib Agung.
Tapi....
"Sabar! Sabar! Kuharap jangan lekas naik
darah. Tak baik wanita secantikmu marah-marah?
Ada apa sebenarnya kau datang kemari, he? Ten-
tunya tidak akan menantangku bertarung, kan?"
ujar Tabib Agung menyabarkan hati Rondo Kas-
maran.
Mau tidak mau, kedua telapak tangan Ron-
do Kasmaran yang siap dihantamkan ke depan di-
turunkan kembali, begitu mendengar ucapan Tabib Agung yang tidak bermaksud memusuhi.
Meski hatinya mengkelap, jelas tak mungkin nekat
menyerang Tabib Agung. Karena, ia memang se-
dang membutuhkan pertolongannya!
"Benar, aku datang kemari memang bukan
mengajakmu bertarung. Aku..., aku cuma.., ah!"
ragu-ragu Rondo Kasmaran ingin mengucapkan
maksudnya yang sebenarnya. Mendadak semburat
warna merah meronai kedua pipinya
Tabib Agung makin terkekeh senang. Seba-
gai tabib, jelas lelaki ini sudah biasa menghadapi
tamu-tamunya yang akan berobat. Kalau seorang
wanita sampai malu-malu untuk mengutarakan
penyakitnya, jelas itu pasti satu penyakit pribadi.
Dan mungkin hanya orang tertentu yang boleh
mengetahui.
"Apa penyakitmu Rondo Kasmaran? Kenapa
kau malu-malu? Bukankah kau ingin berobat?"
desak Tabib Agung, halus.
"Iya. Tapi..., tapi penyakitku ini...."
"Sudahlah! Katakan saja kalau kau ingin
sembuh dari penyakitmu," ujar Tabib Agung.
"Baik!"
Rondo Kasmaran menggigit bibir bawahnya.
Sikapnya saat itu benar-benar lucu. Mirip anak
perawan di malam pertama. Malu-malu kucing!
"Lho? Kok, malah diam? Katanya mau bica-
ra?" desak Tabib Agung lagi.
"Aku..., aku sekarang tak ingat lagi dengan
Kakang Sungkono," sahut Rondo Kasmaran buru-
buru.
Mau tak mau Tabib Agung wajib melongo
heran. "Aneh benar penyakit orang satu ini?"
"Bisakah kau menolongku, Tabib Agung?"
Belum tahu apa penyakit yang diderita
Rondo Kasmaran, sekarang Tabib Agung sudah di-
todong pertanyaan berikutnya. Bagaimana tidak
jadi heran? Tak henti-hentinya lelaki tua ini me-
longo.
"Ah...! Bagaimana aku dapat menolongmu
kalau belum tahu penyakitmu," tukas Tabib
Agung, sarat keheranan.
''Ya, ampun! Jadi kau ini tabib macam apa,
he?!" bentak Rondo Kasmaran, menukas.
"Eh...!" Tabib Agung menarik mundur da-
danya ke belakang. "Jangan sembarangan kau
menghina, Rondo Kasmaran! Namaku sudah ter-
kenal di delapan penjuru angin. Penyakit macam
apa pun, pasti dapat kuobati."
"Jadi? Kau dapat menolongku?"
"Ya, jelas. Tapi..., tapi apa penyakitmu?" bu-
ru-buru Tabib Agung meralat ucapannya.
"Sekarang aku..., aku sepertinya tak men-
cintai Kakang Sungkono lagi," jelas Rondo Kasma-
ran malu-malu sembari menyembunyikan wajah-
nya dalam-dalam. "Kuharap, kau jangan mengata-
kan aku mata keranjang, ya?"
"Ya sudah kalau kau tak mencintai keka-
sihmu itu. Lantas kenapa aku harus mengataimu
mata keranjang?"
"Tapi.... Tapi sekarang aku justru mencintai
orang lain!" jelas Rondo Kasmaran tanpa diminta.
"Itu kan wajar. Kau masih muda. Kau ber-
hak jatuh cinta lagi. Kenapa minta pertolongan
padaku?"
"Tapi aku harus meminta pertolonganmu,
Bib. Karena, pemuda yang kucintai tampaknya tak
membalas cintaku," ungkap Rondo Kasmaran.
"Bodoh benar pemuda itu. Apa matanya la-
mur? Kau cantik. Tubuhmu pun amat menggiur-
kan. Kenapa pemuda itu tak membalas cinta mu?
Siapa nama pemuda itu?" tanya Tabib Agung.
"Namanya aku tidak tahu, Bib. Tapi ia ter-
kenal sebagai Siluman Ular Putih," jawab Rondo
Kasmaran malu-malu.
"Apa? Kau mencintai Siluman Ular Putih?
Dasar tolol!" Sentak Tabib Agung.
"Siapa yang tolol. Bib?" Rondo Kasmaran
mendongakkan kepalanya. Berani. Hatinya ter-
singgung sekali mendengar ucapan Tabib Agung,
"Kunyuk gondrong itu!"
"Ooo...!"
Rondo Kasmaran lega sekali. Tadi disang-
kanya Tabib Agung mengatakan tolol untuknya.
Untung saja hatinya masih berlaku sabar. Kalau
tidak, bukan mustahil bogem mentah sudah men-
darat di wajah Tabib Agung.
"Sekarang aku harus menolong apa?" tanya
Tabib Agung, masih belum mengerti.
Rondo Kasmaran menundukkan kepala da-
lam-dalam. Bibirnya berkemik-kemik. Sulit sekali
rasanya mengutarakan maksud hatinya. Ia hanya
mengeluh berulang-ulang, sebelum akhirnya
membuka suara. Itu pun dengan tersendat-sendat.
"It..., itulah yang meresahkanku. Bib. Tapi
aku yakin, kau pasti dapat menolongku," tuturnya.
Rondo Kasmaran makin dalam saja menun-
dukkan kepala. Keluhan-keluhan kecilnya sesekali
masih terdengar. Kemudian tanpa diminta, ditu-
turkannya pertemuan dengan Siluman Ular Putih.
Dari pertemuan pertama sampai pertemuan beri-
kut di Kadipaten Pleret. Semua diceritakan sejelas-
jelasnya. (Untuk mengetahui pertemuan Rondo
Kasmaran dengan Siluman Ular Putih, silakan ba-
ca dalam episode: "Penguasa Alam" dan "Sengketa
Takhta Leluhur").
Tabib Agung menelan ludah berulang kali.
Lama mendengar cerita Rondo Kasmaran, maka
makin rajin pulalah menelan ludah. Lalu kepa-
lanya menggeleng-geleng sambil terus memperha-
tikan Rondo Kasmaran dengan pandang mata tak
mengerti.
"Bagaimana, Bib? Sekarang kau mau kan
menolongku?" tutur Rondo Kasmaran memelas.
"Ya yaya...! Tentu aku mau menolongmu.
Hanya aku belum tahu, aku mesti berbuat apa?"
"Tolonglah, Bib! Aku.... Aku sangat mencin-
tai Siluman Ular Putih. Usahakanlah agar aku da-
pat memilikinya!" desah Rondo Kasmaran meme-
las.
"Kau kan tahu, aku ini tabib. Jadi kalau
kau meminta pertolongan ini, kukira aku tak
sanggup," sergah Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib. Usahakanlah agar aku da-
pat memiliki Siluman Ular Putih! Tolong aku. Den-
gan cara apa pun, kau harus menolongku. Kau
pasti bisa. Bib!"
"Maksudmu...?" Kening Tabib Agung makin
berkerut-kerut heran. Sama sekali belum tahu,
apa yang diinginkan wanita cantik di hadapannya.
"Maksudnya...," Rondo Kasmaran menelan
ludahnya sebentar. "Maksudku..., kalau perlu beri-
lah aku mantera guna-guna agar Siluman Ular Pu-
tih mencintaiku!"
"Apa?!"
LIMA
Sebelum melakukan semadi, Maling Tanpa
Bayangan diwajibkan mandi jamas terlebih dulu
dengan tubuh dililit kain kafan. Dan di dalam gua
di tepi Sungai Serayu-lah Maling Tanpa Bayangan
mulai bersemadi. Semula, hatinya diliputi keragu-
raguan. Tapi akhirnya tekadnya makin mantap
untuk mempelajari ilmu yang terkandung dalam
Kitab Paguyuban Setan dengan bersemadi tiga hari
tiga malam. Bila gagal, ancamannya mati!
Malam pertama bersemadi, Maling Tanpa
Bayangan merasakan sekujur tubuhnya panas se-
perti dikepung dalam kubangan bara api. Hal ini
tentu saja membuat darah dalam tubuhnya meng-
gelegak bagai terbakar kekuatan gaib yang entah
dari mana datangnya. Hingga tanpa disadari seku-
jur tubuhnya dipenuhi keringat sebesar biji-biji ja-
gung. Parasnya memerah, seolah melepuh oleh
hawa panas dari dalam tubuh. Untung saja cobaan
itu bisa diatasinya.
Pada malam kedua, pertahanan Maling
Tanpa Bayangan mulai goyah. Sekujur tubuhnya
tetap seperti dibakar api. Sementara telinganya ju-
ga mendengar suara-suara gaib yang datang dari
delapan penjuru angin. Lama kelamaan suara-
suara gaib itu terdengar makin aneh. Bahkan tera-
sa makin menghentak-hentak gendang telinga.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya kuat-kuat.
"Aku harus kuat menghadapi semua cobaan
ini. Aku harus kuat! Kalau tidak, nyawakulah ta-
ruhannya!" tandas hatinya, tak henti.
Paras lelaki ini tampak makin memerah.
Bahkan mendekati gosong saking tidak tahannya
menerima rongrongan hawa panas luar biasa. Di
hari pertama Maling Tanpa Bayangan masih sang-
gup menghadapi rongrongan hawa panas itu. Na-
mun di hari kedua, segenap ketabahannya harus
dikerahkan. Apalagi kini ditambah suara-suara
aneh dari delapan penjuru angin yang tak kalah
hebatnya menyiksa.
Tidak ada kata menyerah dalam kamus hi-
dup Maling Tanpa Bayangan. Meski sekujur tu-
buhnya melepuh, lubang telinga, lubang hidung,
dan dari mulutnya mengeluarkan darah merah
kehitam-hitaman, pendiriannya tak berubah. Lela-
ki ini tidak ingin mati sebelum dapat mempelajari
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan.
Entah mungkin karena nasib baik masih
berpihak pada Maling Tanpa Bayangan, akhirnya
semadi hari kedua dapat dilalui dengan baik. Dan
ketika pagi menjelang tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan sudah terasa lemas tak bertenaga. Masih dalam sikap bersemadi, akhirnya tubuh lelaki itu
terkapar di lantai. Sepasang matanya yang menco-
rong tampak demikian mengerikan. Melotot tak
berkedip sedikit pun. Mungkin karena masih me-
rasakan siksaan selama bersemadi semalam.
Maling Tanpa Bayangan saat ini tak lagi
menghiraukan sekujur tubuhnya yang melepuh.
Demikian pula rasa sakit di gendang telinganya
yang pecah akibat suara-suara gaib mengandung
kekuatan luar biasa. Suara-suara gaib itu tak
hanya menusuk-nusuk telinga, tapi juga menu-
suk-nusuk jiwanya. Seolah-olah kekuatan suara
gaib itu ingin membetot keluar nyawanya!
Kini saat-saat tegang masih menunggu di
depan mata. Menghadapi malam ketiga, bisa jadi
nyawa Maling Tanpa Bayangan akan melayang. Di
malam kedua saja, lelaki ini nyaris tidak tahan
menghadapi cobaan. Membayangkan itu semua,
diam-diam Maling Tanpa Bayangan jadi bergidik
ngeri. Sudah jelas, bila tak sanggup, nyawanya
akan melayang!
Inilah taruhannya!
Menghadapi saat-saat yang paling memba-
hayakan bagi keselamatannya, diam-diam hati
Maling Tanpa Bayangan jadi tegang bukan main.
Meski saat-saat tegang itu belum dilalui, namun
sekujur tubuhnya telah dipenuhi keringat dingin.
Parasnya yang kemerahan kini tampak kehijauan,
saking ngerinya membayangkan kejadian nanti
malam.
"Demi iblis! Kuatkanlah hatiku! Aku tak in-
gin mati merana seperti ini," tegasnya dalam hati.
Berulang-ulang Maling Tanpa Bayangan
menguatkan hatinya. Keadaannya saat ini benar-
benar sangat memprihatinkan. Sebenarnya, ter-
bersit pula niat untuk urung mempelajari ilmu
yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Setan.
Namun berhubung sudah kepalang basah, terpak-
sa tekadnya tetap dibulatkan. Apalagi, ia juga me-
rasa akan mendapat laknat dari iblis-iblis di dela-
pan penjuru mata angin bila niatnya dibatalkan.
Mau tidak mau, akhirnya Maling Tanpa
Bayangan harus menunggu sampai saat semadi
berakhir, meski tidak tahu akan nasibnya. Entah
mati merana, entah akan berhasil mendapatkan
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan.
Sekarang hari mulai menjelang petang. Hati
Maling Tanpa Bayangan makin dibaluri ketegan-
gan. Cobaan apa yang akan kuhadapi nanti?
Maling Tanpa Bayangan terus menduga.
Hingga tak terasa malam makin merangkak. Se-
perti yang dialami di malam pertama dan kedua,
begitu malam merangkak, sekujur tubuhnya pun
mulai dibakar hawa panas dari dalam tubuh. Bah-
kan kini jauh lebih hebat dibanding malam-malam
sebelumnya.
Maling Tanpa Bayangan melejang-lejang
hebat. Tubuhnya bergulingan ke sana ke mari,
Sementara gejolak hawa panas dalam tubuhnya
kian membara. Bersamaan itu, suara-suara gaib
yang semalam menghentak-hentak gendang telin-
ganya pun kembali terdengar.
Bukan main dahsyatnya siksaan yang di
alami Maling Tanpa Bayangan. Keadaan ini terus
dialami sampai jauh malam. Nyaris Maling Tanpa
Bayangan tidak tahan dibuatnya. Sekujur tubuh-
nya terasa perih dan nyeri bukan main.
Untung saja, Maling Tanpa Bayangan tetap
bersikeras tak mau menyerah. Hingga pada tengah
malam, mendadak ia dikejutkan oleh makhluk-
makhluk aneh berkulit hitam legam entah dari
mana datangnya. Wujud makhluk-makhluk aneh
itu beraneka ragam dan sangat mengerikan. Se-
muanya lengkap di situ. Seolah-olah mereka tum-
pah ruah, mengelilingi Maling Tanpa Bayangan
yang terus bersemadi.
"Keak! Keakkk!"
Suara-suara riuh rendah makhluk-makhluk
halus itu terus mengusik ketabahan hati Maling
Tanpa Bayangan. Makin lama terdengar aneh dan
menggidikkan. Tanpa sadar, bulu kuduk Maling
Tanpa Bayangan pun berdiri!
Seperti tidak mengenal belas kasihan sedikit
pun, makhluk-makhluk halus itu terus menari-
nari memutari tubuh Maling Tanpa Bayangan
sambil terus memperdengarkan suara-suara gaib-
nya. Pada saat mereka bergerak memutari tubuh-
nya, Maling Tanpa Bayangan merasakan ada satu
kekuatan gaib yang luar biasa kuatnya. Seolah-
olah suara itu ingin membetot nyawanya! Bahkan
makin lama tenaga betotan itu terasa makin kuat
luar biasa.
Maling Tanpa Bayangan menggerung se-
tinggi langit. Siksaan yang diterimanya kali ini be-
nar-benar hebat! Tubuhnya kembali bergulingan
ke sana kemari. Menghantam dinding gua yang sa-
tu, lalu menghantam dinding gua yang lainnya.
Semua dilakukan karena saking tidak tahan men-
galami siksaan itu. Dari semakin pedih dan tidak
tahan menerima siksaan, pandangan matanya jadi
gelap dan gelap....
Entah antara sadar atau tidak, pada saat
pandangan matanya gelap, mendadak Maling Tan-
pa Bayangan mendengar suara dinding-dinding
gua menggemuruh melemparkan bebatuan yang
ada di dalam! Bersamaan itu, terdengar kilat me-
nyambar-nyambar ganas di luar sana.
Maling Tanpa Bayangan tak peduli apa yang
tengah terjadi. Saat ini nyawanya benar-benar be-
rada di ujung tanduk. Namun pada saat yang pal-
ing genting bagi keselamatannya, mendadak terasa
ada sesuatu menyentuh tubuhnya,
"Bangunlah, wahai anak manusia!"
Entah mendapat kekuatan dari mana, tiba-
tiba Maling Tanpa Bayangan meloncat bangun.
Begitu kedua bola matanya membuka seketika itu
hatinya terkejut bukan kepalang. Di hadapannya
saat ini telah berdiri sesosok makhluk halus ber-
wajah amat mengerikan. Wajahnya besar. Sepa-
sang matanya berkilat-kilat mengerikan sebesar
mata kerbau. Namun anehnya, bentuk tubuhnya
amat kecil. Bahkan tulang-tulangnya pun tampak
bertonjolan di sana sini.
Maling Tanpa Bayangan yakin kalau mak-
hluk halus itulah yang tadi membangunkannya.
Kini berhadapan dengan sesosok makhluk halus
yang tampaknya sangat disegani di kalangan mak
hluk-makhluk halus lainnya, mau tak mau hati le-
laki ini jadi tegang juga dibuatnya. Dilihatnya pu-
luhan makhluk halus yang sedari tadi menggang-
gu semadinya kini diam terpaku di tempat masing-
masing. Mereka hanya memperhatikan sosok
makhluk di hadapan Maling Tanpa Bayangan pe-
nuh hormat.
"Dengarlah, wahai anak manusia! Sesung-
guhnya mulai saat ini kau telah menjadi sekutuku.
Kau tidak akan mati hanya karena dibunuh. Kau
akan langgeng hidup di dunia. Karena, kau kini
adalah biangnya dari segala biang iblis! Maka, kau
wajib bersyukur menerima karunia kami. Terima-
lah karunia kami!"
Usai berkata begitu, mendadak kedua bola
mata sosok makhluk halus itu mencorong aneh
yang disusul keluarnya dua larik sinar hitam le-
gam, langsung bersemayam dalam tubuh Maling
Tanpa Bayangan.
Seketika tubuh Maling Tanpa Bayangan ter-
getar hebat. Namun hanya sebentar. Setelah itu,
sekujur tubuhnya terasa ringan sekali laksana ka-
pas. Di samping itu, luka melepuh di sekujur tu-
buhnya pun mendadak sirna. Kini tubuhnya segar
bugar seperti sediakala. Hanya yang sedikit aneh,
entah kenapa kain kafan yang membungkus tu-
buhnya kini menyatu dengan kulit tubuhnya!
Maling Tanpa Bayangan memperhatikan
keadaan dirinya dengan mata terbelalak. Seolah
tak percaya menghadapi kejadian aneh saat ini.
"Sekarang kau bebas, wahai anak manusia.
Dengan sendirinya dalam Kitab Paguyuban Setan
telah tergambar pukulan-pukulan ampuh. Pelajari-
lah. Dengan pukulan-pukulan itu, kau bebas
mengumbar segala nafsu yang mengeram dalam
tubuhmu. Karena kaulah nafsu itu. Laksanakan,
wahai anak manusia! Laksanakan apa yang men-
jadi keinginanmu!"
Darrr!!
Begitu suara gaib sosok makhluk halus itu
usai, mendadak di luar sana terdengar kilat me-
nyambar ganas. Dinding-dinding gua tempat ber-
semadi Maling Tanpa Bayangan pun bergetar he-
bat!
Maling Tanpa Bayangan tidak tahu, menga-
pa tiba-tiba saja sering terdengar bunyi kilat me-
nyambar. Bumi tempatnya berpijak pun seakan-
akan bergetar hebat!
Selang beberapa saat, baru Maling Tanpa
Bayangan menyadari kalau kilat yang menyambar-
nyambar dan bumi yang bergetar itu adalah isya-
rat bahwa kawanan makhluk halus itu telah me-
ninggalkan tempatnya. Buktinya, begitu suara ki-
lat dan guncangan bumi yang bergetar itu terhenti,
kawanan makhluk halus itu telah lenyap entah ke
mana."
Maling Tanpa Bayangan segera mengambil
Kitab Paguyuban Setan dari balik jubahnya. Kem-
bali dibukanya halaman terakhir kitab itu. Di situ
tergambar jelas, bagaimana menciptakan pukulan-
pukulan dahsyat dalam waktu singkat.
Diam-diam Maling Tanpa Bayangan berso-
rak gembira. Kini ia tak perlu gentar lagi mengha-
dapi Siluman Ular Putih maupun tokoh-tokoh sakti dunia persilatan lainnya. Ia yakin dapat menga-
lahkan mereka semua. Bahkan bukan saja menga-
lahkan, tapi juga ingin membunuh siapa saja yang
berani menentang dirinya. Di samping itu sebe-
narnya ilmu Maling Tanpa Bayangan telah mampu
melebihi kepandaian Pengasuh Setan, karena Pen-
gasuh Setan sendiri belum sempat mempelajari il-
mu terakhir yang terkandung dalam Kitab Pa-
guyuban Setan. (Untuk lebih jelasnya mengenai
hal ini, silakan baca dalam episode: "Pengasuh Se-
tan").
"Sekaranglah saatnya aku membalas den-
dam...!"
***
"Ah...! Kau ini! Aku ini tabib! Bukan du-
kun!" kata Tabib Agung, ketika Rondo Kasmaran
terus mendesaknya
"Tapi...."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa menolongmu,"
sahut Tabib Agung. Sebentar-sebentar kepalanya
berpaling ke samping. Entah ada apa.
Rondo Kasmaran memberengut. Kesal seka-
li hatinya tak dapat membujuk Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib! Aku benar-benar membu-
tuhkan pertolonganmu!" bujuk Rondo Kasmaran.
Tabib Agung rupanya tak begitu mendengar
ucapan Rondo Kasmaran. Saat itu, pendengaran-
nya asyik diarahkan ke samping. Lalu, keningnya
berkerut-kerut.
Tentu saja hal ini membuat Rondo Kasma
ran curiga. Setelah menenteramkan hatinya, baru-
lah wanita cantik ini mendengar langkah-langkah
halus mendekati tempat itu.
Diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu se-
kali. Pipinya kontan memerah begitu teringat apa
yang dibicarakan tadi dengan Tabib Agung. Dia
berharap agar apa yang dibicarakan tadi tidak ter-
dengar orang lain.
"Kalau mau datang berkunjung, kenapa
mesti sembunyi? Cepat tunjukkan batang hidung
kalian!" kata Tabib Agung tiba-tiba. Sepasang ma-
tanya yang tajam terus memperhatikan tempat
yang dicurigainya.
Benar! Sejurus kemudian sepasang anak
muda tengah keluar dari balik sebuah batu besar.
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan angin. Pemuda itu tengah memanggul
dua sosok tubuh yang terkulai lemas.
Sedang di sebelah si pemuda adalah seo-
rang gadis cantik. Namun berpenampilan amat
mengundang perhatiannya. Pakaiannya beraneka
warna, merah, kuning, dan hijau. Demikian juga
pita yang melilit di rambutnya yang dikuncir dua
ke belakang. Gadis itu juga tengah memondong sa-
tu sosok tubuh berpakaian bayi.
Bukan main terkejutnya hati Rondo Kasma-
ran melihat siapa yang datang. Seketika pipinya
kian merona merah. Jangan tanya lagi. Berbagai
macam perasaan bercampur aduk dalam hatinya.
Siapakah sebenarnya sepasang anak muda yang
dapat membuat hati Rondo Kasmaran jadi jengah
seperti itu? Mereka tak lain adalah Siluman Ular
Putih dan Putri Manja!
Dan diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu
hati, apalagi orang yang baru saja dibicarakan te-
lah berdiri di hadapannya. Bahkan ia curiga kalau
Siluman Ular Putih mendengar apa yang tadi dibi-
carakan dengan Tabib Agung.
"Permisi, Bib! Biasa. Ada rezeki buatmu,"
sapa Siluman Ular Putih sumringah. Matanya
sempat melirik Rondo Kasmaran sebentar. "Eh...!
Rupanya lagi kedatangan tamu, ya?"
Rondo Kasmaran kecewa berat. Entah ke-
napa ia jadi tak menyukai kedatangan Siluman
Ular Putih. Terutama setelah melihat kenyataan
kalau kedatangan si pemuda ditemani seorang ga-
dis cantik. Tentu saja hal ini membuat hatinya pa-
nas sekali. Seperti bisul mau pecah. Mau tidak
mau Rondo Kasmaran jadi menatap penuh keben-
cian pada gadis cantik di samping Siluman Ular
Putih.
Demikian juga Putri Manja sendiri. Apalagi,
gadis ini tadi juga mendengar percakapan Rondo
Kasmaran dengan Tabib Agung. Ia merasa wajib
untuk memelototi wanita di hadapannya. Soal
cemburu, jangan tanya lagi. Sudah pasti gadis
manja itu cemburu berat.
Kini, tanpa dapat dicegah jadilah mereka se-
teru. Walaupun belum secara terang-terangan.
Masalahnya ini menyangkut perasaan!
"Monyet Gondrong! Kalau mau datang ber-
kunjung, pakai permisi! Jangan nyelonong saja seperti maling!," tegur Tabib Agung yang sudah men-
genal cukup akrab dengan Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih menyeringai. Puas me-
nyeringai, lalu garuk-garuk kepala. Biasa, kumat!
Dalam keadaan senang, susah, malu, atau pera-
saan lainnya, selalu garuk-garuk kepala. Seper-
tinya, bisanya hanya itu.
Siluman Ular Putih tak menyahut teguran
Tabib Agung, alias terima salah. Namun bukan be-
rarti harus berdiri terus di tempatnya. Tubuhnya
terasa pegal-pegal karena memanggul tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur. Maka sudah pasti hatinya me-
rasa kesal sekali. Apalagi orang yang sedang dito-
longnya adalah Dewa Bogel, Orang yang telah
mengejek dan menamparnya beberapa waktu yang
lalu.
"Nih...! Ada oleh-oleh buatmu!"
Siluman Ular Putih meletakkan tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur ke hadapan Tabib Agung. Se-
pasang matanya yang tajam sempat melirik kesal
ke arah dua tokoh dari Hutan Pring Apus itu.
"Untung benar manusia-manusia kampret
ini. Sudah menghinaku habis-habisan, sekarang....
Ah, sudahlah!" gerutu Soma kesal, lalu ngeloyor
seenaknya dan duduk di samping Rondo Kasma-
ran.
Tentu saja wajah Rondo Kasmaran yang di-
tekuk jadi berubah cerah. Senyumnya kontan ter-
kembang. Manis. Amat manis. Harus yang paling
manis kalau tidak ingin Siluman Ular Putih kabur.
Melihat gelagat Siluman Ular Putih, ganti
wajah. Putri Manja yang ditekuk berat. Matanya
sempat melirik Soma yang sedang bercakap-cakap
dengan Rondo Kasmaran. Kelihatannya amat
akrab, membuat si gadis makin rajin saja mene-
kuk wajahnya. Bibirnya dicibirkan sedemikian ru-
pa. Lalu dengan muka kecut segera diletakkannya
tubuh gurunya yang terluka parah ke hadapan
Tabib Agung.
Sebenarnya, Tabib Agung ingin sekali
menggoda Rondo Kasmaran dan Putri Manja. Na-
mun begitu pandangannya tertuju pada tiga tubuh
di hadapannya, seketika sinar matanya jadi berbi-
nar. Ia seperti menemukan keasyikan lain daripa-
da sekadar menggoda orang. Apalagi dia tabib. Su-
dah pasti sebagai seorang tabib akan senang begi-
tu melihat penyakit-penyakit aneh terhidang di de-
pan mata.
"Cukup aneh kelihatannya penyakit ketiga
orang ini. Sekali lihat aku jadi tertarik sekali," gu-
mam Tabib Agung dalam hati. Tangannya yang
sudah gatal-gatal tak memeriksa orang segera me-
raba-raba tubuh ketiga orang itu. Cukup seksama
dan teliti, tanpa mempedulikan ‘perang urat saraf’
dua orang wanita cantik di samping.
Putri Manja terus memberengut habis-
habisan. Naluri kewanitaannya tidak rela melihat
Soma berakrab-akrab dengan Rondo Kasmaran.
Apa pun yang terjadi, ia merasa lebih berhak di-
banding wanita itu. Dia lebih muda. Lebih cantik.
Lebih menggairahkan. Lebih segala-galanya!
Untuk mewujudkan pikirannya, tak ada pi-
lihan lain. Terpaksa Putri Manja harus nimbrung.
Meski tidak langsung membuka suara tapi dari
raut wajahnya yang masam jelas menyiratkan si-
kap perang terhadap Rondo Kasmaran. Maka ma-
kin parah saja kedua orang wanita itu saling meli-
rik benci.
"Sudah tua, tak tahu malu. Beraninya men-
gumbar cinta. Pada seorang pemuda lagi. Memalu-
kan!" sindir Putri Manja.
Rondo Kasmaran kontan tersinggung berat.
Ia yang tengah bercakap-cakap dengan Siluman
Ular Putih jelas merasa terganggu! Maka ia pun
berhak marah. Berhak membalas sindiran Putri
Manja!
"Soma...! Ah...! Enak sekali namamu sebe-
narnya," desah Rondo Kasmaran. Suaranya dibuat
semerdu mungkin. Tangannya pun lincah bermain
di lengan Siluman Ular Putih. Kelihatan sekali ka-
lau sikapnya sangat dibuat-buat. Rondo Kasmaran
tak peduli. Yang penting, dapat memanas-manasi
gadis cantik saingannya. "Ah...! Enak ya, kalau
seandainya obrolan kita ini terjadi di malam hari.
Apalagi waktu terang bulan. Hm...! Tak dapat ku-
bayangkan betapa enaknya. Kita dapat mengobrol
sesuka hati tanpa ada gangguan nyamuk!"
Panas sudah hati Putri Manja mendengar
sindiran Rondo Kasmaran yang jelas ditujukan ke-
padanya. Jelas harga dirinya tak sudi dikatakan
'nyamuk malam' yang hanya mengganggu kese-
nangan orang. Sebagai seorang gadis yang bi-
asanya dimanja gurunya, Putri Manja tak dapat
lagi menyembunyikan sikap aslinya.
"Eh.... Perempuan Sundal! Jaga mulutmu,
ya! Hati-hati kalau ngomong! Sembarangan saja
mengataiku 'nyamuk malam'. Apa kau pikir kau
sudah kecakepan, he?!" bentak Putri Manja, tanpa
tedeng aling-aling.
"Eh.... Gadis Tengil! Tak ada hujan tak ada
angin, kenapa marah-marah padaku, he?! Bilang
saja cemburu. Begitu, kan?" balas Rondo Kasma-
ran tak kalah sengit.
"Perempuan keparat! Siapa yang cemburu?!
Beraninya kau menuduhku cemburu! Apa kau kira
aku tidak tahu apa yang kau bicarakan dengan
Tabib Agung, he?! Enak saja menuduh! Justru
kaulah yang tak tahu malu. Dasar Pengemis Cin-
ta!" sambung Putri Manja, galak
"Bacotmu sungguh lancang! Apa kau tak
pernah dididik sopan santun oleh gurumu, he?!"
"Jangan membawa-bawa nama Guru! Pe-
rempuan tak tahu malu macam kau, mana pantas
menyebut guruku?! Sekarang, enyahlah dari ha-
dapanku mumpung kesabaranku belum habis!"
"Jadi kau menantangku, Tengil?" desis
Rondo Kasmaran, penuh kemarahan.
"Kalau kau menginginkan itu, siapa takut?!"
sahut si gadis, tak kalah gertak.
"Eh..., tunggu! Ada apa ini? Kenapa kalian
jadi uring-uringan begini? Apa ada ayam kalian
yang dicolong maling?" lerai Soma setelah sebe-
lumnya menatap penuh heran. Dan pemuda ini
jadi kaget bukan main melihat gelagat kedua orang
temannya.
Tapi, mana sudi Putri Manja dan Rondo
Kasmaran menggubris omongan Siluman Ular Pu-
tih. Tanpa diperintah, kedua orang wanita cantik
itu kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan
mata saling menatap tajam. Kemudian entah siapa
yang lebih dahulu memulai, kedua wanita itu telah
bertarung sengit.
Tentu saja Soma yang jadi kewalahan sendi-
ri. Pemuda ini sibuk melerai dua sahabatnya yang
tengah bertarung. Tapi, percuma saja. Rondo
Kasmaran dan Putri Manja malah makin hebat sa-
ja bertarung.
"Eh eh eh...! Kenapa sih kalian jadi berteng-
kar begini? Seperti anak kecil saja. Ayo, hentikan!"
bentak Soma, langsung berdiri di tengah-tengah
kedua wanita yang bertarung itu.
Kedua tangan Siluman Ular Putih memben-
tang lebar-lebar. Seolah ingin menghalangi gerak
dua orang wanita yang telah sama-sama menghen-
tikan pertarungan, walaupun masih saling tatap.
"Memalukan! Apa yang sebenarnya kalian
ributkan, he?!" bentak Siluman Ular Putih lagi, pe-
nuh wibawa. Putri Manja dan Rondo Kasmaran te-
tap berdiri di tempat masing-masing dengan napas
memburu. Gigi-gigi geraham mereka saling berge-
meletakkan pertanda masih dikuasai hawa ama-
rah.
"Aku tidak meributkan sesuatu. Tapi, gadis
tengil itulah yang terlebih dulu memulai!" tuding
Rondo Kasmaran kesal.
"Siapa yang memulai? Kaulah yang terlebih
dulu menantangku bertarung!" sambar Putri Man-
ja sengit. Runyam sudah urusannya. Siluman Ular
Putih tak tahu harus berbuat apa. Ia bingung, ha-
rus menyalahkan siapa. Apalagi untuk menentu
kan siapa yang salah dan siapa yang benar.
"Sudah-sudah! Kalian tidak boleh berta-
rung! Memalukan! Lekas kembali ke tempat mas-
ing-masing! Duduk!" bentak Siluman Ular Putih
saking kesalnya.
Putri Manja dan Rondo Kasmaran saling
memberengut. Tak puas dengan keputusan Silu-
man Ular Putih.
Maka tak heran kalau kedua wanita itu ma-
sih tetap berdiri di tempat masing-masing.
"Tolol! Apa kalian tuli? Aku menyuruh ka-
lian duduk! Bukan saling pelotot begitu, he!"
Putri Manja dan Rondo Kasmaran tak ber-
geming dari tempatnya berdiri.
Soma jadi bingung bukan main. Kedua
orang wanita itu sama-sama ngotot ingin melan-
jutkan pertarungan. Bagaimana mungkin dapat di-
lerai? Namun si pemuda juga tidak ingin mereka
melanjutkan pertarungan.
Di saat Siluman Ular Putih tengah kebin-
gungan, tiba-tiba Tabib Agung yang merasa ter-
ganggu dengan percekcokan Rondo Kasmaran dan
Putri Manja sudah berdiri tak jauh dari situ.
"Yang merasa tidak berkepentingan, baik-
nya tinggalkan saja tempat ini. Daripada membuat
onar di tempatku!"
Rupanya cukup manjur juga ucapan Tabib
Agung ini. Buktinya, Rondo Kasmaran jadi gelisah
sekali. Sebentar-sebentar matanya memandang ke
arah Putri Manja, sebentar beralih pada Siluman
Ular Putih. Dan terakhir ke arah Tabib Agung.
Seperti tak pernah menghiraukan kegelisa
han Rondo Kasmaran, kakek penghuni puncak
Gunung Perahu itu kembali memeriksa tubuh ke-
tiga orang tamunya. Terkadang kening orang tua
itu terlihat berkerut-kerut. Lalu kepalanya teran-
tuk-antuk seperti telah menemukan sesuatu. Dan
kenyataannya memang demikian. Karena menda-
dak, Tabib Agung ke luar rumahnya, lalu berkele-
bat cepat ke barat. Entah mau apa. Mungkin hen-
dak mencari beberapa ramuan obat.
Rondo Kasmaran membantingkan kakinya
kesal. Kilatan sepasang matanya yang indah sem-
pat menyambar ke arah Putri Manja dan Siluman
Ular Putih, sebelum akhirnya berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa
kelebatan saja, sosoknya telah jauh dari tempat
ini.
Siluman Ular Putih menggeleng-gelengkan
kepala, lalu disusul dengan gerutuannya yang tak
jelas....
ENAM
Rondo Kasmaran terus berkelebat cepat.
Tanpa arah tujuan. Ke mana saja kakinya melang-
kah, ke sanalah yang dituju. Isak tangisnya sejak
turun dari puncak Gunung Perahu terus menema-
ni perjalanan. Dalam hati tak henti-hentinya mu-
lutnya mencaci Siluman Ular Putih dan Putri Man-
ja. Ia merasa kalau Siluman Ular Putih pilih kasih.
Buktinya pemuda itu tak mengejarnya sebagai
tanda kalau benar-benar mencintai. Inilah yang
sebenarnya mengusik hati Rondo Kasmaran!
Dari pandang mata. Rondo Kasmaran tahu
kalau Siluman Ular Putih memihak Putri Manja.
Meski tidak ditunjukkan secara nyata, namun se-
bagai wanita sudah berpengalaman dalam cinta.
Rondo Kasmaran jelas dapat merasakannya.
"Oh...! Kenapa nasibku buruk amat...?"
Rondo Kasmaran menjatuhkan tubuhnya di
tanah rerumputan. Sambil tengkurap isak tangis-
nya kembali diteruskan. Memelaskan sekali tam-
paknya. Bahunya bergerak-gerak. Isak tangisnya
pun terdengar amat menyayat hati.
"Oh...! Apakah ini karena salahku? Karena
aku tak mencintai Kakang Sungkono lagi...?"
Lagi-lagi Rondo Kasmaran menyebut men-
diang kekasihnya dulu. Teringat akan pendekar
muda yang dulu amat dicintainya, tangis Rondo
Kasmaran jadi makin memelaskan. Perasaannya
kalut bukan main. Hatinya hancur, oleh derita
yang haus akan kasih sayang.
"Maafkan aku, Kang! Kiranya cintaku pa-
damu sudah luntur. Karena kupikir, tak mungkin
aku selalu mencintaimu. Kau sudah enak-enakan
di alammu. Tinggal aku yang merana seperti ini.
Huh huh huh...."
Di tengah harunya Rondo Kasmaran, men-
dadak telinganya dikejutkan gerutuan seseorang
yang entah dari mana datangnya. Buru-buru Ron-
do Kasmaran meloncat bangun. Disekanya air ma-
ta dengan ujung lengan bajunya seraya mengamati
keadaan sekitarnya.
Dan tak jauh dari jalan setapak di hada
pannya, tampak seorang kakek renta tengah me-
lenggang santai menuju ke tempat Rondo Kasma-
ran. Usianya sudah amat lanjut. Mungkin sudah
mencapai delapan puluh tahunan lebih. Tubuhnya
tinggi kurus mirip orang cacingan. Pakaiannya
tambal-tambalan, seperti pakaian pengemis. Wa-
jahnya tirus. Matanya sipit. Saking sipitnya, ma-
tanya harus mengerjap-ngerjap bila mengamati
keadaan sekitar. Bibirnya yang hitam pun tak hen-
ti-hentinya berkemik. Entah bersenandung apa?
Melihat siapa yang datang, jelas Rondo
Kasmaran kaget bukan main. Kakek tua yang
tampak tersuruk-suruk dengan tongkat di tangan
kanan tak lain adalah Raja Penyihir! Seorang to-
koh bangkotan dunia persilatan dari puncak Gu-
nung Tidar! (Mengenai Raja Penyihir, silakan baca
dalam episode: "Manusia Rambut Merah" dan
"Sengketa Takhta Leluhur").
Sesampainya di dekat Rondo Kasmaran, Ra-
ja Penyihir hanya memperhatikan wanita cantik
itu seketika. Kedua bibirnya terus berkemik-
kemik.
Rondo Kasmaran mengira kalau Raja Penyi-
hir akan menyapa. Namun setelah ditunggu, ter-
nyata yang keluar bukanlah sapa ramah tua
bangka itu, melainkan gerutuannya yang tak jelas.
"Huh...! Ke mana aku harus mencari bocah
edan itu? Aku khawatir sekali. Dua hari lalu aku
mimpi buruk. Jangan-jangan bocah edan itu su-
dah tak bernyawa. Hm...."
Rondo Kasmaran kecewa berat. Dilihatnya
Raja Penyihir kembali melenggang santai. Tanpa
mempedulikannya sedikit pun.
"Maaf, Raja Penyihir! Kalau boleh tahu, se-
benarnya kau sedang mencari siapa?" sapa Rondo
Kasmaran, akhirnya. Hatinya yang panas rupanya
masih dapat dikalahkan oleh mulutnya yang gatal.
Mendengar kata-kata Rondo Kasmaran, ter-
paksa Raja Penyihir menghentikan langkahnya.
Badannya berbalik sebentar. Diamatinya Rondo
Kasmaran tanpa berkedip. Keningnya berkerut-
kerut. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik.
"Aku sedang mencari bocah edan itu. Aku
khawatir, ia sedang dalam bahaya. Dua hari lalu,
aku mimpi buruk! Bocah edan itu seperti hendak
dilumat setan atau naga gondrong. Aku tak tahu.
Tapi yang jelas, ia dalam bahaya. Aku harus cepat
mencarinya. Apakah kau tahu, Cah Ayu?" papar
Raja Penyihir panjang lebar.
"Maksudmu bocah edan siapa yang kau cari
itu, Raja Penyihir?" balik Rondo Kasmaran.
"Ya sudah pasti muridku! Pakai tanya lagi!"
sungut Raja Penyihir.
Rondo Kasmaran menelan ludahnya seben-
tar. "Sabar-sabar," ucapnya dalam hati seraya
mengelus dada.
"Iya, tapi siapa namanya?"
"Oh oh oh...!" Raja Penyihir tergagap. "Ya ya
ya...! kau benar. Muridku memang punya nama.
Tapi siapa, ya? Ah ah...! Namanya, Soma. Julu-
kannya Siluman Ular Putih. Apakah kau tahu di
mana bocah edan itu berada?"
Mau tidak mau hati Rondo Kasmaran men-
celos juga mendengar nama orang yang sangat di
cintainya disebut. Bagaimana tidak? Dia baru saja
mencaci maki sekaligus meratapinya. Kini, tahu-
tahu ada orang mencari Siluman Ular Putih. Su-
dah pasti Rondo Kasmaran tahu, di mana Siluman
Ular Putih berada. Cuma untuk menjawabnya.
Rondo Kasmaran agak keberatan.
"Aku tahu. Raja Penyihir. Tapi...," sengaja
Rondo Kasmaran menggantung kalimatnya sampai
di situ.
"Tapi apa? Cepat katakan!" sambar Raja Pe-
nyihir.
Rondo Kasmaran tersenyum-senyum. Sen-
gaja senyumnya diumbar untuk memancing kepe-
nasaran Raja Penyihir.
"Jangan senyum-senyum! Kau pikir aku ter-
tarik dengan senyummu, he?!" bentak Raja Penyi-
hir galak.
"Yah...! Barangkali saja! Siapa tahu tua-tua
keladi?" tukas Rondo Kasmaran seenaknya.
Raja Penyihir jadi gemas bukan main. Na-
pasnya tiba-tiba memburu. Tak henti-hentinya
tongkat di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke
tanah. Seketika, tanah di sekitarnya berlubang be-
sar terkena ketukan tongkatnya.
Rondo Kasmaran tersenyum samar. Diam-
diam hatinya kagum sekali melihat kehebatan Raja
Penyihir. Hanya menggerak-gerakkan tongkatnya
begitu saja, mampu membuat lubang sebesar itu!
"Jawab pertanyaanku tadi, Cah Ayu! Di
mana Siluman Ular Putih berada?!" bentak Raja
Penyihir lagi, tak sabar.
"Ya ya ya...! Aku akan memberitahukan pa
damu. Tapi, ada syaratnya!" sahut Rondo Kasma-
ran.
"Semprul! Pakai syarat segala macam!" maki
Raja Penyihir.
"Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Su-
dah pasti aku menginginkan balasanmu. Raja Pe-
nyihir," jawab Rondo Kasmaran diiringi senyum
kemenangan.
"Baik. Katakan, apa syaratmu, Cah Ayu?!"
sahut Raja Penyihir akhirnya. Namun menilik kila-
tan matanya, patut dicurigai apakah Raja Penyihir
akan memenuhi syarat itu atau tidak.
"Nah, begitu baru adil namanya. Tapi, kau
tentu tidak akan mengecewakan aku, kan? Kau
pasti mau memenuhi syaratku, kan?" berondong.
Rondo Kasmaran khawatir juga kalau dikibuli.
"Iya."
"Benar?"
"Benar!"
"Baik. Kalau begitu, akan kukatakan sya-
ratku."
"Katakan saja!"
"Baik," Rondo Kasmaran menelan ludahnya
sebentar. "Terus terang, aku hanya punya satu
syarat saja. Raja Penyihir. Kuharap, kau tidak
akan mengecewakan aku. Kau harus membantu-
ku! Kau harus...."
"Iya, iya! Tapi, apa syaratnya? Cepat kata-
kan! Jangan plintat-plintut seperti pesinden ke-
siangan!" hardik Raja Penyihir.
"Ini aku mau bicara. Kau sendiri yang tidak
sabaran."
"Mana aku bisa sabar melihat muridku da-
lam bahaya," gerutu Raja Penyihir.
"Mau tahu syaratnya tidak?" tukas Rondo
Kasmaran.
"Iya. Cerewet amat, sih!" sungut Raja Penyi-
hir.
"Dengar, Raja Penyihir! Aku ingin kau
membantuku mendapatkan Siluman Ular Putih
secepatnya. Aku sangat mencintainya. Kau sang-
gup, Raja Penyihir?"
Raja Penyihir kontan tersentak kaget. Tak
disangka kalau syarat macam itu yang diajukan
Rondo Kasmaran. Namun buru-buru Raja Penyihir
menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hm...! Cuma segitu. Sudah pasti aku dapat
memenuhi syaratmu. Sekarang katakan, di mana
muridku berada!"
"Dia..., dia sedang berada di puncak Gu-
nung Perahu. Sedang berdua-duaan dengan seo-
rang gadis cantik," jawab Rondo Kasmaran ketus.
Manakala mengucapkan 'sedang berdua-duaan
dengan seorang gadis cantik', mendadak hatinya
nyeri sekali. Seperti ada sembilu yang menyayat
hatinya.
"Bagus. Kalau begitu, sekarang juga aku
akan ke sana."
"Tunggu, Orang Tua!" teriak Rondo Kasma-
ran, menahan langkah Raja Penyihir.
"Ada apa lagi?" sahut Raja Penyihir seraya
berbalik lagi.
"Ingat, Orang Tua! Kau harus dapat melu-
nakkan hati muridmu agar mau denganku!"
"Baik.., baik."
"Awas kalau kau mungkir!"
"Baik.... Tenang saja...."
***
Soma senang sekali melihat hasil pengoba-
tan Tabib Agung. Tak disangka orang tua sakti da-
ri Gunung Perahu itu mampu mengobati luka da-
lam Bayi Kawak, Dewa Bogel, dan Lamdaur sece-
pat itu.
"Hebat! Kau memang hebat, Orang Tua! Tak
sia-sia rupanya kau mendapat gelar Tabib Agung!
Nanti kalau aku sakit, pasti aku akan kemari. Mu-
lai hari ini, kau jadi tabib langgananku. Asal ong-
kosnya jangan mahal-mahal, ya?" seloroh Siluman
Ular Putih.
Putri Manja sendiri begitu melihat gurunya
mulai duduk bersila dan bersemadi, tak luput dari
rasa gembira. Namun bila teringat akan keakraban
Rondo Kasmaran dengan Soma tadi, mendadak
senyumnya hilang berganti wajah masam.
"Eh...! Kenapa kau cemberut saja, Putri?
Masa' gurumu sembuh malah sedih? Aku sendiri
yang bukan murid kakek bau pesing itu senang.
Kenapa kau tidak?" tanya Soma, heran melihat si-
kap Putri Manja.
Putri Manja tak menyahut. Hanya kilatan
matanya saja sebagai jawaban.
"Lho, kok malah melotot? Senyum dong!" se-
loroh Soma.
"Bodo!" sungut Putri Manja, kesal.
"Lho? Kok, malah marah-marah? Ada apa?"
"Diam kau! Aku tak sudi lagi berteman den-
ganmu!"
"Itu lagi! Itu lagi! Apa tidak ada kata-kata
lain yang lebih enak didengar telinga selain kata-
kata itu?"
"Aku benci padamu, Mata Keranjang!" sem-
bur Putri Manja kasar.
"Oh...! Jadi kau masih ingat kejadian tadi,
ya? Kau merasa sakit hati, ya? Atau..., jangan-
jangan kau tersinggung dengan kekasaranku tadi,
ya? Ah...! Jangan begitu, dong! Masa' begitu saja
tersinggung. Memangnya tadi aku ngomong apa?
Jangan begitu, ah! Kau sendiri juga salah, sih! Ke-
napa omonganku tadi dimasukkan ke hidung. Eh,
salah! Dimasukkan ke hati? Jadi, ya.... Kau ma-
nyun terus! Ha ha ha...!" goda Siluman Ular Putih
yang diakhiri tawa berderai.
"Diam kau, Bocah Edan! Lekas, duduk di
sana!" bentak Tabib Agung tiba-tiba. "Kau pikir
aku senang melihat tingkahmu apa?"
"Yah...! Kau sendiri malah ikut-ikutan ma-
nyun, Orang Tua! Harusnya kau senang dapat
menyembuhkan ketiga orang itu," tunjuk Siluman
Ular Putih ke arah Dewa Bogel, Bayi Kawak, dan
Lamdaur.
"Harusnya! Harusnya...!" omel Tabib Agung.
"Kau sendiri harusnya berterima kasih padaku,
karena ketiga orang kawanmu itu telah kusem-
buhkan! Eh..., malah bertingkah!"
"Lho lho lho...?! Mereka itu bukan kawanku.
Bukan apa-apanya aku," kilah Soma.
"Tapi bukan berarti kau tidak harus mengu-
capkan terima kasih padaku!" tukas Tabib Agung.
"Ya...!"
"Kau keberatan, Bocah?" Tabib Agung cepat
meloncat bangun. Tangannya yang terkepal siap
mengemplang jidat Siluman Ular Putih.
"Baik-baik!" sahut Soma. "Terima kasih, ya!
Kau telah menyembuhkan luka dalam Bayi Kawak
dan kedua kakek itu,"
"Nah, begitu...," kata Tabib Agung latah se-
raya menoleh pada Dewa Bogel dan Lamdaur. "Hai,
Bogel! Dan kau, Lamdaur! Cepat kemari!"
"Ada apa kau memanggilku, Tabib Agung?"
sahut Dewa Bogel dan Lamdaur hampir bersa-
maan.
"Kemari! Kalian pun harus mengucapkan
terima kasih pada bocah edan ini! Karena, dialah
yang membawa kalian kemari."
Dewa Bogel dan Lamdaur sejenak saling
berpandangan. Tampak sekali kalau dua orang to-
koh sakti dari Hutan Pring Apus itu merasa heran
sekali melihat Siluman Ular Putih yang telah diker-
jainya dua hari lalu telah berada di puncak Gu-
nung Perahu. Ditambah, pemuda itu pulalah yang
telah membawa mereka menemui Tabib Agung.
"Ya ya ya...! Aku memang patut mengu-
capkan terima kasihku padamu, Pendekar Muda.
Maaf, kalau dua hari lalu aku sempat mengerjai-
mu!" ucap Lamdaur kaku. Kurang enak didengar
telinga, karena hatinya masih merasa sungkan.
"Iya, Pendekar Muda. Untung saja ada kau.
Kalau tidak, tak tahulah apa jadinya nasib kami,"
timpal Dewa Bogel.
"Eh...! Kau juga harus mengucapkan terima
kasih padaku, Cah Edan!" sentak Tabib Agung ke-
lupaan.
"Yah...! Tadi aku kan sudah mengucapkan
terima kasih," sungut Siluman Ular Putih tak se-
nang.
"Kapan?"
"Tadi"
"Aku tidak dengar."
"Salahmu sendiri. Punya telinga tak pernah
dibersihkan!" cemooh Soma.
"Eh...! Malah memaki! Ayo ulangi lagi!"
"Aduuuh...! Tadi aku kan sudah ngomong."
"Bodo! Pokoknya kau harus mengulangi.
Ayo, cepat!"
"Baik," sahut Soma malas-malasan. "Terima
kasih ya. Kau telah menyelamatkan Kakek Bogel
dan Kakek Jangkung itu."
"Nah...! Itu baru enak didengar," sahut Ta-
bib Agung seraya mengipas-ngipas dengan tangan.
"Maunya siih begitu!" cemooh Soma lagi se-
raya menjebikkan bibir.
"Apa kau bilang?"
"Eh..., tidak. Aku tidak ngomong apa-apa
kok," sahut Siluman Ular Putih celingukan.
Tabib Agung menggerutu kesal. Dan men-
dadak matanya jadi liar.
"Eh...! Kalian semua dengar, ya! Buka telin-
ga lebar-lebar! Luka dalam kalian bertiga telah ku-
sembuhkan. Sekarang, sudah waktunya angkat
kaki dari tempat kediamanku ini! Cepat!" usir Ta
bib Agung yang memiliki watak aneh.
Siluman Ular Putih, dan semua yang berada
di puncak Gunung Perahu jadi saling berpandan-
gan. Tak mengerti dengan perubahan watak tuan
rumah.
"Kenapa kalian malah bengong saja? Apa
kalian semua tuli, he?! Cepat tinggalkan tempatku
ini!"
"Apa termasuk aku juga, Orang Tua?" tanya
Soma memberanikan diri.
"Ya. Kalian semua. Cepat tinggalkan tempat
ini!" tegas Tabib Agung.
"Yah..., tega amat! Kenapa kau buru-buru
mengusirku, Orang Tua?"
"Bocah Edan! Lekas tinggalkan tempat ini!"
hardik Tabib Agung, galak.
"Baiklah...."
Soma garuk-garuk kepala. Mulutnya ma-
nyun berat. Selangkah demi selangkah Soma mu-
lai bergerak meninggalkan Tabib Agung. Namun
kepalanya sesekali masih dipalingkan ke belakang.
Ketika Tabib Agung tidak mempedulikannya, baru
Soma mempercepat langkahnya meninggalkan
tempat itu.
TUJUH
Begitu Maling Tanpa Bayangan keluar dari
gua tempatnya bertapa, entah dari mana selalu
ada kekuatan gaib yang selalu menyertai. Ke mana
kedua kakinya melangkah, seolah kekuatan gaib
itu pun menyertai. Dan Maling Tanpa Bayangan
sendiri tak mau melawan kekuatan gaib itu. Diiku-
tinya saja kekuatan gaib itu.
Tanpa terasa, Maling Tanpa Bayangan terus
dituntun menuju utara. Terus disusurinya hulu
Sungai Serayu. Dan akhirnya, sampailah lelaki se-
sat ini di suatu tempat terpencil yang diapit oleh
bukit-bukti terjal. Di sanalah langkahnya berhenti.
Sejenak Maling Tanpa Bayangan memper-
hatikan keadaan sekitarnya. Keningnya berkerut,
seolah tak mengerti kenapa dirinya 'dibawa' ke
tempat itu. Sebuah lembah kecil di tepian telaga.
Maling Tanpa Bayangan tahu, telaga di hadapan-
nya bernama Telaga Menjer. Sebuah telaga yang
konon menyimpan banyak kekuatan gaib pula.
"Heran? Kenapa aku sampai di sini? Kenapa
aku tidak mencoba melawan kekuatan gaib yang
menuntun langkahku? Bukankah aku mengingin-
kan nyawa Siluman Ular Putih, sekaligus juga in-
gin menguasai dunia persilatan. Tapi, kenapa aku
malah kemari?" gumam Maling Tanpa Bayangan
tak habis pikir. Makin dalam saja keningnya ber-
kerut-kerut. "Hm...! Sulit kumengerti. Kenapa ke-
kuatan gaib itu menuntunku kemari? Apa tidak
sebaiknya mulai sekarang saja aku melawan ke-
kuatan gaib yang menuntun setiap langkahku dan
segera mencari Siluman Ular Putih? Ah...! Kupikir,
baiknya memang demikian!"
Maling Tanpa Bayangan siap menjejakkan
kakinya untuk berkelebat, tapi mendadak telin-
ganya mendengar langkah-langkah halus mende-
kati tempat itu. Kemudian disusul berkelebatnya
beberapa sosok bayangan yang tahu-tahu telah
mengepungnya.
"Ada larangan bagi siapa saja yang berani
memasuki Lembah Duka ini. Siapa kau berani
lancang kemari, he?!" bentak seorang pemuda
yang mengepung Maling Tanpa Bayangan, garang.
Pemuda itu berperawakan tinggi kekar. Wa-
jahnya tidak terlalu tampan, namun menyiratkan
kekerasan sikapnya. Rambutnya gondrong dikun-
cir ke belakang. Menilik otot-otot lengannya yang
bertonjolan, jelas menandakan kalau pemuda ga-
gah berpakaian ringkas warna kuning ini gemar
sekali berlatih ilmu olah kanuragan.
Sementara Maling Tanpa Bayangan hanya
mendengus. Kilatan-kilatan matanya mendadak
jadi mencorong beringas.
"Tikus-tikus comberan! Beraninya kau
menghadang Maling Tanpa Bayangan!" bentaknya,
tak kalah garang.
Pemuda gagah berpakaian kuning itu sem-
pat melengak kaget begitu mendengar bentakan
orang tua di hadapannya. Demikian juga kesepu-
luh orang pemuda temannya yang turut menge-
pung. Karena, sudah pasti mereka mengenal gelar
Maling Tanpa Bayangan yang menjadi salah satu
momok dunia persilatan!
"Ditanya baik-baik malah berlagak! Orang
Tua! Siapa takut dengan nama besarmu!" bentak
yang lain, geram.
"Orang Tua! Di antara kita tidak pernah ada
silang sengketa. Kenapa kau berani menginjakkan
kaki ke Lembah Duka tanpa izin. Mengingat kau
seorang tokoh dunia persilatan yang sangat dis-
egani, kuharap sudilah meninggalkan tempat ini!"
kata pemuda berbaju kuning cukup bersahabat.
"Bedebah! Beraninya kau main perintah
terhadapku, Bocah bau kencur! Apa kau sudah
bosan hidup?!"
Rupanya hanya bentakan garang saja seba-
gai jawaban atas keramah-tamahan pemuda ber-
baju kuning tadi. Hal ini tentu saja membuat ama-
rah kesebelas pemuda itu siap meledak. Mereka
kini tak gentar lagi pada nama besar Maling Tanpa
Bayangan.
"Kakang Juwono! Kiranya kita tak perlu lagi
berbasa-basi. Manusia maling satu ini memang pa-
tut diusir dengan kekerasan!" teriak salah seorang
pemuda berbaju merah pada pemuda berbaju kun-
ing yang dipanggil Juwono.
"Benar, Kang. Buat apa kita buang-buang
waktu meladeni maling satu ini?! Pasti ada niat ja-
hat yang tersembunyi di batok kepalanya!" sahut
yang lain penuh kemarahan.
"Hm...! Kau dengar apa yang diinginkan te-
man-temanku, Orang Tua? Jadi harap kau men-
gerti. Lekas tinggalkan tempat ini secepatnya!"
gumam Juwono, wibawa.
"Hahaha...!"
Maling Tanpa Bayangan mendadak tertawa
bergelak padanya yang kerempeng bergerak turun
naik saking gelinya. Dalam hatinya melecehkan.
Bagaimana mungkin ia yang kini telah menguasai
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan bisa diremehkan demikian rupa. Apalagi,
hanya oleh segerombolan pemuda kemarin sore.
Baginya mereka tak ubahnya gerombolan anjing
yang minta digebuk.
"Bagus! Manusia-manusia pencari mati,
majulah kalau ingin lekas menemui Raja Akhirat!"
tantang Maling Tanpa Bayangan.
"Serang!"
Juwono mengibaskan tangannya ke depan.
Maka tanpa banyak cakap, kesepuluh orang pe-
muda itu segera menerjang Maling Tanpa Bayan-
gan dengan pedang di tangan. Sekilas serangan-
serangan Juwono dan kesepuluh temannya cukup
hebat. Namun bagi Maling Tanpa Bayangan, se-
rangan-serangan mereka tak ubahnya segerombo-
lan laron yang menyerang api.
Maka begitu datang serangan, Maling Tanpa
Bayangan segera bertindak. Sekalian mencoba il-
mu yang baru didapat dari Kitab Paguyuban Se-
tan, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah berke-
lebat cepat luar biasa menerjang ke depan.
"Heh...?!"
Juwono dan kesepuluh temannya terkesiap
bukan main. Mereka tak menyangka akan menda-
pat serangan balik demikian cepatnya. Belum
sempat berpikir lebih jauh, tahu-tahu jari-jari tan-
gan Maling Tanpa Bayangan telah mengancam
laksana tangan-tangan maut.
Dess! Dess! Dess!
Bret! Bret!
"Aaa...!"
Juwono dan lima temannya hanya sempat
mengeluarkan keluhan, sebelum akhirnya ambruk
satu persatu dengan dada jebol dan perut sobek.
Belum puas dengan gebrakan pertama, Mal-
ing Tanpa Bayangan kembali berkelebat melancar-
kan serangan berikut,
"Hea...! Heaaa...!"
Bukkk! Bukkk!
Lima kali tangannya bergerak melayangkan
bogem mentah, maka terdengar pekik menyayat
dari lima orang pengeroyok. Mereka kontan ter-
jungkal ke tanah, tak mampu bangun lagi. Semu-
anya terkapar dengan luka amat mengenaskan.
Kepala pecah mengeluarkan cairan kemerah-
merahan, sementara perut ambrol dengan usus
terburai.
"Tikus-tikus comberan tak tahu diri! Mam-
puslah kalian semua! Ha ha ha...," tawa Maling
Tanpa Bayangan bergelak. Suaranya menggema ke
seantero penjuru. Seolah, ingin mengabarkan hari
kemenangannya pada segenap alam dan isinya.
Maling Tanpa Bayangan puas menikmati
kemenangannya. Tak henti-henti suara tawanya
diumbar. Dan di saat demikian, tiba-tiba nalurinya
merasakan angin dingin berkesiur menyerangnya
dari belakang.
"Bedebah! Siapa berani main gila dengan-
ku!"
Maling Tanpa Bayangan terperanjat. Buru-
buru tubuhnya dilemparkan ke samping. Namun
sayang, gerakannya terlambat. Serangan itu da-
tang lebih cepat dibanding gerak tubuhnya. Aki-
batnya....
Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Maling Tanpa Bayangan menggembor penuh
kemarahan. Tanpa ampun tubuhnya kontan ter-
pental jauh ke belakang, langsung menghantam
batang pohon di belakangnya.
Siapakah orang yang menyerang Maling
Tanpa Bayangan?
***
Sementara itu di lereng Gunung Perahu,
Sesosok bayangan tinggi kurus terus berkelebat
cepat menuju puncak. Bak seekor capung raksasa,
ringan sekali tubuhnya berlompat-lompatan dari
tempat yang satu, ke tempat yang lain.
Begitu di puncak gunung, sosok tinggi ku-
rus ini menghentikan langkahnya. Ternyata, ia
adalah seorang kakek berusia amat tua. Tak ku-
rang dari delapan puluh tahun. Tubuhnya yang
tinggi kurus dibalut pakaian compang-camping
mirip pakaian pengemis. Di tangan kanannya ter-
genggam tongkat butut berlekuk-lekuk. Dia tak
lain dari Raja Penyihir yang sedang mencari Silu-
man Ular Putih!
Sesuai keterangan yang didapat dari Rondo
Kasmaran, tanpa membuang-buang waktu Raja
Penyihir segera menuju tempat kediaman Tabib
Agung. Namun ketika menemukan puncak Gu-
nung Perahu terasa lengang, mau tidak mau ha-
tinya jadi jengkel juga.
"Mana itu muridku Siluman Ular Putih? Ka-
tanya sedang berdua-duaan dengan seorang gadis
cantik? Mana pula tua bangka jelek itu?" gumam
hati Raja Penyihir tak henti. Sepasang matanya
yang tajam pun terus mengamati keadaan sekitar-
nya. Namun tak ada tanda-tanda kalau di tempat
itu ada orang. Yang ditemukan hanya beberapa
bekas telapak kaki. Ini jelas membuktikan kalau
tak lama sebelum itu banyak orang yang berda-
tangan kemari. Begitu dugaannya.
Raja Penyihir tak puas hanya menemukan
telapak-telapak kaki di puncak gunung. Saat ini
keinginannya untuk bertemu Siluman Ular Putih
benar-benar menggebu-gebu. Tapi sekarang, tak
seorang pun ada di sini. Apalagi, Tabib Agung juga
tak ditemukan di tempat itu. Maka satu-satunya
sasaran kemarahannya tidak lain adalah Tabib
Agung sendiri!
"Tabib Agung...! Keluar kau! Di mana kau
sembunyikan muridku, he?!" teriak Raja Penyihir
lantang, Suaranya yang berat terdengar sampai di
delapan penjuru mata angin.
Tak ada jawaban.
Raja Penyihir jadi geram bukan main. Di-
ulanginya lagi teriakannya berulang-ulang, sehing-
ga akhirnya....
"Kau...? Mau apa datang kemari?"
Mendadak terdengar bentakan galak seseo-
rang di belakang Raja Penyihir. Buru-buru lelaki
tua ini berbalik.
"Tabib Jelek! Kenapa kau tak muncul waktu
kupanggil? Apa telingamu budek?" terabas Raja
Penyihir, tak kalah galak.
"Aku yang tanya, mau apa datang kemari?
Bukan menyuruhmu membentak. Apa kau kemari
juga mau berobat? Iya? Maaf, aku tak bisa mene-
rima," sahut Tabib Agung, galak.
"Slompret! Aku kemari bukannya untuk be-
robat, tahu?!"
"Lalu, mau apa kalau tidak berobat?"
"Aku mencari muridku!"
"Ya, cari saja! Kenapa marah-marah?" sahut
Tabib Agung, seenaknya. Segera badannya berba-
lik bermaksud meninggalkan Raja Penyihir begitu
saja.
"Hei...! Tabib Jelek! Di mana kau sembunyi-
kan muridku?" tanya Raja Penyihir tahu-tahu,
menahan langkah Tabib Agung. Sepasang matanya
yang mencorong terus memandangi Tabib Agung.
Curiga.
"Ah...! Kau ini! Apa otakmu sedang kumat?
Apa perlu kucuci dengan air garam? Seenaknya
saja menuduh orang. Kapan kau punya murid?"
tukas Tabib Agung kesal. "Lagi pula, siapa sudi ja-
di muridmu? Paling juga disuruh belajar main su-
lap!"
"Tabib Jelek! Jangan membuatku naik da-
rah, ya? Apa kau ingin kukemplang sampai modar,
he?!"
"Siapa takut? Ayo kemplang kalau berani?"
tantang Tabib Agung, seraya menyorongkan kepala
ke depan.
Disuguhi kue apem begitu, Raja Penyihir
malah jadi salah tingkah. Bagaimanapun juga tak
mungkin kepala Tabib Agung dikemplang begitu
saja. Apalagi, lelaki yang ahli dalam pengobatan itu
sahabat akrabnya.
"Kau... kau memang setan, Kerempeng! Se-
karang katakan, di mana Siluman Ular Putih be-
rada! Tadi, Rondo Kasmaran memberitahuku ka-
lau pemuda sialan itu bersembunyi di sini. Pasti
kau yang menyuruhnya sembunyi!" tuding Raja
Penyihir.
"Ooo...! Jadi kau mencari bocah edan itu?"
Tabib Agung mengangguk-angguk
"Iya. Di mana dia sekarang?"
"Sudah kuusir."
"Apa? Kau usir? Lancang benar kau mengu-
sir muridku. Apa kau sudah tak doyan nas..."
"Sabar-sabar!"
Tabib Agung mengangkat tangannya. Seke-
tika tangan Raja Penyihir yang sudah terangkat
tinggi siap mengemplang diturunkan kembali.
"Sekarang aku mau tanya. Sejak kapan kau
punya murid, Tua Bangka Jelek?" sambung Tabib
Agung.
"Kau tak perlu tahu. Punya murid, kek! Ti-
dak, kek. Itu bukan urusanmu. Sekarang katakan,
di mana Siluman Ular Putih?" sahut Raja Penyihir
kesal.
"Lho? Kau kan sudah tahu?"
"Tahu-tahu! Aku belum tahu, tahu!"
"Lho? Marah lagi? Tadi kan sudah kubilang
dia telah kuusir," sahut Tabib Agung dengan se-
nyum terkembang di bibir. Senang sekali dapat
mempermainkan sahabatnya.
"Slompret! Dasar sahabat tak berguna. Per-
cuma saja aku datang kemari," gerutu Raja Penyihir.
"Ya, memang percuma. Tapi, cobalah cari
bocah edan itu ke selatan. Sepertinya dia ke sana!"
"Bodo!" sahut Raja Penyihir ketus.
Dan tanpa banyak cakap lagi. Raja Penyihir
pun segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dan
hanya sekali pijakan saja, tahu-tahu tubuhnya te-
lah melenting tinggi ke udara, dan terus berkelebat
cepat ke selatan.
Sementara Tabib Agung menggeleng-geleng
kepala melihat ilmu meringankan tubuh yang di-
keluarkan Raja Penyihir barusan. Makin hebat sa-
ja kehebatan tua bangka satu itu, pikirnya dalam
hati.
DELAPAN
"Ha ha ha...! Percuma saja kau membo-
kongku. Kau tetap tidak akan mampu membu-
nuhku. Siapa pun juga tidak akan mampu mem-
bunuhku!"
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Punggungnya yang semula terasa remuk terkena
pukulan si pembokong kini telah sembuh seperti
semula. Itu tidak lain berkat ilmu yang dipelajari
dari Kitab Paguyuban Setan. Tak sia-sia rupanya
lelaki ini mendapatkan ilmu tangguh itu. Begitu
bagian tubuhnya terluka, kontan saja uap hitam
yang keluar dari balik jubah hitamnya menyelimuti
bagian luka, hingga akhirnya sembuh seperti se-
mula.
Sementara itu si pembokong yang kini be-
rada di hadapan Maling Tanpa Bayangan membe-
lalakkan matanya lebar. Sinar matanya menyi-
ratkan kalau ia tak mempercayai apa yang telah
dialami Maling Tanpa Bayangan tadi. Jangankan
punggung manusia. Tubuh gajah bengkak pun
akan hancur lebur bila terkena pukulannya. Tapi
ini? Melukainya pun tidak. Benar-benar aneh!
Si pembokong adalah seorang nenek bertu-
buh amat kerempeng dan bungkuk mirip udang.
Pakaiannya serba merah. Sebenarnya kurang pas
dengan kulit tubuhnya yang hitam. Namun entah
kenapa, nenek bertongkat panjang ini sepertinya
lebih menyukai warna merah. Wajahnya jelek pe-
nuh keriput, menyiratkan garis-garis kehidupan-
nya yang telah dimakan usia.
"Maling Tua! Dari dulu kita selalu beda
pendapat. Berkali-kali aku mengingatkanmu un-
tuk kembali ke jalan kebenaran. Tapi, tidak digu-
bris. Kini saatnyalah aku mengirim nyawa busuk-
mu ke dasar neraka!" geram si nenek tetap dengan
suara santun, walau dalam hatinya dipenuhi hawa
amarah.
Makin meriah saja tawa Maling Tanpa
Bayangan. Seolah, mendengar lelucon tidak lucu,
"Nenek peot Dewi Merah! Bagaimana mung-
kin kau mampu membunuhku? Pukulan 'Racun
Darah Mayat'-mu tadi pun tak berasa apa-apa.
Lantas dengan cara apa kau dapat membunuhku,
he? Ha ha ha...!" ejek Maling Tanpa Bayangan, lalu
disusul tawa bergelak.
Si nenek yang ternyata berjuluk Dewi Merah
menggeretakkan gerahamnya penuh kemarahan.
Sebenarnya, Dewi Merah adalah masih terhitung
kakak seperguruan Iblis Mayat Merah dan Setan
Mayat Merah dari Lembah Duka. Namun berhu-
bung sejak masih muda sudah terjadi silang seng-
keta, jadilah mereka menempuh jalan masing-
masing. Dewi Merah yang berhati welas asih memi-
lih jalan kebenaran. Sedang Setan Mayat Merah
dan Iblis Mayat Merah memilih jalan sesat. (Untuk
lebih jelasnya mengenai Setan Mayat Merah dan
Iblis Mayat Merah, silakan ikuti episode: "Perseku-
tuan Maut" dan "Lukisan Darah"). Dan sebenarnya
pula julukan Dewi Merah tak sesuai dengan kea-
daan si nenek.
Tapi memang, julukan itu diberikan ketika
si nenek masih muda.
"Dengan tongkat bututku inilah aku akan
memaksa nyawamu minggat Maling Tanpa Bayan-
gan!" bentak Dewi Merah.
Habis membentak, begitu Dewi Merah pun
segera menjejakkan kakinya ke tanah. Maka seke-
tika tubuh kerempengnya telah meluruk cepat luar
biasa. Tongkat di tangan kanannya dalam waktu
singkat telah berubah jadi gulungan-gulungan hi-
tam, siap mengancam tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan dari delapan jurusan!
Melihat jurus yang dikeluarkan Dewi Merah,
Maling Tanpa Bayangan hanya tersenyum dingin.
Ia tahu persis, jurus apa yang tengah dikeluarkan
nenek renta itu, yakni jurus 'Delapan Penjuru Ma-
ta Pedang' andalan Dewi Merah. Sementara Maling
Tanpa Bayangan pun segera bertindak. Sengaja ju
rus andalannya selama malang melintang jadi mal-
ing tidak dikeluarkan. Dan ia ingin menjajal kehe-
batan ilmu yang dipelajarinya dari Kitab Paguyu-
ban Setan!
Srat! Srat!
Tak henti-hentinya tongkat hitam di tangan
Dewi Merah terus mencecar tubuh Maling Tanpa
Bayangan. Merasakan angin yang berkesiur cukup
keras dari setiap gerakan tongkat itu, jelas kalau
Dewi Merah telah mengerahkan kekuatan tenaga
dalam dengan kekuatan penuh. Namun, Maling
Tanpa Bayangan tetap saja dapat mengimban-
ginya. Bahkan ke mana saja setiap tongkat hitam
itu bergerak, lelaki sesat itu seolah bisa memba-
canya dengan mudah. Tak heran bila serangan
Dewi Merah selalu bisa dihindari dengan mudah.
"Sudah cukup kita main-main, Nenek Peot!
Sekaranglah saatnya kau menemui ajal!" bentak
Maling Tanpa Bayangan seraya melemparkan tu-
buh jauh ke belakang.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah,
mendadak kedua telapak tangan Maling Tanpa
Bayangan telah berubah jadi hitam legam! Itulah
pukulan 'Darah Para Durjana', salah satu pukulan
maut yang dipelajarinya dari Kitab Paguyuban Se-
tan!
Melihat Maling Tanpa Bayangan hendak
mengakhiri pertarungan dengan pukulan maut,
Dewi Merah yang tadi hendak menyerang segera
mengurungkan niatnya. Tongkat hitamnya segera
ditancapkan ke tanah. Dipasangnya kuda-kuda,
siap-siap mengeluarkan pukulan maut 'Racun Da
rah Mayat' yang membuatnya dijuluki Dewi Merah.
"Apa kau tak punya jenis pukulan maut lain
selain pukulan 'Racun Darah Mayat, Nenek Peot?"
ejek Maling Tanpa Bayangan.
"Jangan banyak bacot! Justru dengan pu-
kulan 'Racun Darah Mayat'-ku inilah nyawa bu-
sukmu akan minggat!" balas Dewi Merah.
"Ha ha ha...! Boleh. Coba saja kalau bisa!"
"Bagus! Bersiap-siaplah menerima kema-
tianmu hari ini, Maling Tua!"
Dewi Merah menggeretakkan geraham pe-
nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya yang
telah berubah jadi kuning berkilauan segera di-
hantamkan ke depan. Seketika meluruk deras dua
larik sinar kuning berkilauan dari kedua telapak
tangannya siap melabrak tubuh Maling Tanpa
Bayangan.
Wesss! Wesss!
Maling Tanpa Bayangan masih sempat juga
mengumbar tawanya yang bergelak. Namun begitu
merasakan hawa dingin yang bukan kepalang mu-
lai menyambar kulit, barulah kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan. Dan....
Blaaaammm...!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga
dalam barusan. Bumi bergetar hebat. Angin sam-
baran bentrokan tadi mampu membuat ranting-
ranting pohon di sekitar tempat pertarungan ter-
bakar!
Sementara, sewaktu terjadinya bentrokan
tadi, Dewi Merah kontan memekik menyayat. Tan-
pa ampun, tubuh kerempengnya terpental jauh ke
belakang. Sebentar tubuhnya berputar-putar sebe-
lum akhirnya terbanting keras!
Dewi Merah menggeram hebat dengan wa-
jah pucat pasi. Dari rahangnya yang menggem-
bung tampak cairan berwarna merah darah! Dan
guncangan dalam dadanya tak mampu ditahan la-
gi. Akhirnya....
"Hoekh!"
Darah merah kental kontan berhamburan
dari mulut Dewi Merah. Nenek ini merintih kesaki-
tan. Seisi bagian dalam tubuhnya seolah tergun-
cang hebat. Namun, Dewi Merah tetap bertekad
untuk melanjutkan pertarungan. Dengan susah
payah akhirnya tubuhnya dapat tegak kembali wa-
lau masih sempoyongan.
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Puas hatinya melihat hasil pukulannya tadi. Apa-
lagi melihat tubuh kerempeng Dewi Merah yang
masih limbung. Jelas kalau nenek-nenek peot itu
tengah menderita luka dalam hebat. Rasanya se-
perti membalikkan telapak tangan saja kalau ingin
menghabisi nyawa Dewi Merah.
"Apa kubilang tadi? Kau tak mungkin dapat
membunuhku. Malah nyawa busukmu sendirilah
yah sebentar lagi akan kukirim ke neraka. Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini, Nenek
Peot!" ancam Maling Tanpa Bayangan.
Lelaki sesat itu kembali mengerahkan pu-
kulan 'Darah Para Durjana'. Seketika kedua tela-
pak tangannya kembali berubah hitam legam
sampai ke pangkal, pertanda telah mengerahkan
tenaga dalam dengan kekuatan penuh!
Seolah melihat tangan-tangan malaikat
maut, mau tak mau paras Dewi Merah pun jadi
pias juga. Keringat dingin sempat membasahi tela-
pak tangannya. Namun wanita tua ini tetap men-
coba tabah.
"Mungkin memang sudah nasibku mampus
di tangan Maling Tanpa Bayangan...," desis Dewi
Merah nyaris tak kentara.
"Sekaranglah saatnya kau menemui ajal,
Dewi Merah! Heaaa...!"
Berbareng teriakan menggetarkan, tiba-tiba
kedua telapak tangan Maling Tanpa Bayangan te-
lah menghentak ke depan. Seketika meluruk dua
larik sinar hitam legam dari kedua telapak tan-
gannya, siap meluluhlantakkan tubuh kerempeng
lawan.
Dewi merah mengeluh dalam hati. "Rasanya
tak mungkin saat ini lolos dari lubang kematian..
Jangankan untuk lolos, untuk menghindar saja
rasanya tak kuasa."
Namun pada saat yang paling mence-
maskan bagi keselamatan tokoh sakti dari Lembah
Duka ini, mendadak melesat dua larik sinar putih
terang dari belakang si nenek, namun agak me-
nyamping. Kedua sinar itu menerabas cepat, me-
mapak pukulan Maling Tanpa Bayangan.
Blaaammm!
"Aaakh...!"
Sebuah pekik kesakitan terdengar di sana.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. Niatnya untuk
menghabisi nyawa Dewi Merah tersunat sudah. Ia
heran sekali. Bagaimana mungkin kedua kakinya
sempat surut beberapa langkah ke belakang akibat
bentrokan barusan. Ini jelas membuktikan kalau
sang penolong Dewi Merah juga memiliki kepan-
daian.
"Keparat! Siapa berani mencampuri uru-
sanku, he?!" bentaknya garang.
***
"Aku!"
Terdengar sahutan dari semak belukar tem-
pat pekikan tadi berasal. Begitu muncul ternyata
si penolong Dewi Merah masih amat muda. Umur-
nya tak lebih dari sembilan belas tahun. Wajahnya
tampan. Rambutnya gondrong tergerai di bahu.
Sedang tubuhnya yang tinggi kekar terbungkus
pakaian rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan. Siapa lagi pemuda ugal-ugalan yang
memiliki ciri-ciri seperti itu kalau bukan Siluman
Ular Putih.
Tentu saja Maling Tanpa Bayangan terpe-
rangah kaget. Sungguh tak disangka kalau bocah
edan yang sedang dicari-carinyalah yang memapak
pukulannya tadi.
Sebenarnya Siluman Ular Putih sampai
nyasar ke tempat itu bukan tak kebetulan belaka.
Pemuda ini semula merasa kesal melihat Putri
Manja ngambek, sehingga jadi uring-uringan sen-
diri. Ternyata kesalahan yang baginya dianggap
sepele itu berbuntut panjang. Putri Manja tak mau
berkawan lagi dengannya. Bahkan kini dipaksa
gurunya untuk kembali ke puncak Gunung Mera-
pi. Sedang Dewa Bogel dan Lamdaur langsung
menuju Hutan Pring Apus, begitu turun dari pun-
cak Gunung Perahu. Sementara tanpa terasa. So-
ma terus melangkah hingga sampai ke tempat itu.
Terutama, ketika mendengar suara pertarungan
yang membawa langkahnya kemari.
"Lagi-lagi kau, Manusia Maling! Di mana
ada kau, di situ pasti ada keonaran!"
"Kuakui, Bocah Edan! Aku bukan saja ingin
membuat onar di tempat ini, tapi juga akan mem-
balaskan sakit hati muridku. Raja Maling. Maka,
sekarang kau harus modar di tanganku!" dengus
Maling Tanpa Bayangan.
"Wihhh...! Jangan galak-galak, ah! Kan ke-
marin dulu sudah kubilang, bukannya aku yang
membunuh Raja Maling. Tapi, dia sendiri yang cari
mati. Masa' bermain maut dengan malaikat maut.
Ya, pasti koit!" cerocos Siluman Ular Putih asal
bunyi.
Sementara di tempatnya, Dewi Merah heran
sekali. Bagaimana mungkin bocah itu berani ber-
tindak ayal-ayalannya. Sedang dia sendiri tak
mampu menghadapi Maling Tanpa Bayangan. Lalu
bagaimana dengan bocah sinting itu? Barangkali
otaknya sudah miring? Tapi menilik pukulannya
tadi, sudah pasti kepandaiannya cukup lumayan.
Kalau tidak, mustahil berani bermain maut. Begi-
tu, pikir Dewi Merah.
Habis berpikir begitu Dewi Merah tak dapat
lagi memperhatikan murid Eyang Begawan Kama-
setyo. Karena luka dalamnya cukup parah, wanita
ini duduk bersila dan bersemadi untuk mengobati
luka dalamnya.
"Jadi, ceritanya kau ini mau menuntut ba-
las, ya? Bilang saja dari tadi, kenapa sih? Pakai
berbelit-belit segala!" oceh Siluman Ular Putih.
"Siapa yang berbelit-belit? Aku memang in-
gin membunuh, tahu?" bentak Maling Tanpa
Bayangan.
"Aku sudah tahu. Tapi sayang, tampangmu
tak seseram tampang malaikat maut. Bisa jadi
tampangmu malah lebih mirip badut. Jadi, mana
bisa kau menuntut balas. He he he...."
"Setan Alas! Jangan panggil aku Maling
Tanpa Bayangan kalau aku tak dapat membu-
nuhmu, Bocah!"
"Jadi, aku harus memanggil apa? Badut
tua, begitu?"
Bukan main mengkelapnya hati Maling
Tanpa Bayangan setelah dua kali dikatakan badut
tua. Penghinaan itu tak dapat diterima. Terdorong
amarahnya yang menggelegak, tiba-tiba Maling
Tanpa Bayangan menggembor keras. Sementara,
tubuh tinggi kurusnya sudah menerjang hebat Si-
luman Ular Putih. Tangan kanannya bergerak ce-
pat dari atas ke bawah. Tangan kirinya bermaksud
mencengkeram perut Siluman Ular Putih.
Srat! Srat!
"Uts!"
Tentu saja Siluman Ular Putih tak rela tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan Maling Tan-
pa Bayangan. Sekali menjejak tanah, tahu-tahu
tubuhnya telah melenting ke samping sambil melepas tendangan putar
Desss!
"Ughhh...'"
Telak sekali perut Maling Tanpa Bayangan
terhantam tendangan Siluman Ular Putih. Seketi-
ka tubuhnya terjajar beberapa langkah ke bela-
kang. Memang tidak sakit. Namun, tendangan itu
cukup membuat amarahnya seperti hendak mele-
dak di ubun-ubun kepala.
"He he he...! Cukup mujarabkan tendan-
ganku tadi? Itu belum seberapa, lho? Untung aku
masih sedikit menaruh iba. Siapa tahu kau mau
melawak di sini. Jadi, kubiarkan saja kau kena
tendanganku," ejek Siluman Ular Putih membuat
Maling Tanpa Bayangan sulit sekali mengendali-
kan amarah.
"Bocah Edan! Makanlah pukulan 'Darah Pa-
ra Durjana'-ku! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba kedua
telapak tangan Maling Tanpa Bayangan yang su-
dah berubah jadi hitam legam segera menghantam
ke depan. Seketika meluruk dua larik sinar hitam
legam yang disertai berkesiurnya hawa panas bu-
kan kepalang mengancam tubuh Siluman Ular Pu-
tih!
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih terperangah kaget.
Sungguh tak disangka akan mendapat serangan
sedahsyat itu.
"Edan! Bagaimana mungkin tua bangka ini
dapat memiliki ilmu pukulan sehebat ini? Bukan-
kah beberapa hari lalu kepandaiannya masih be
lum seberapa? Tapi kenapa kepandaiannya seka-
rang jadi berlipat ganda?" gumam Siluman Ular
Putih tak habis berpikir.
Namun Soma tak sempat melanjutkan kata-
kata dalam hati kalau masih ingin melihat terang-
nya sinar matahari esok hari. Begitu merasakan
hawa panas dari pukulan Maling Tanpa Bayangan
mulai menyambar kulit, tubuhnya segera dibuang
ke samping. Sehingga, serangan Maling Tanpa
Bayangan terus menerabas ke belakang, langsung
menghantam batang pohon.
Brakkk!
Batang pohon sebesar dua lingkaran tangan
manusia dewasa itu kontan bergoyang-goyang he-
bat. Selang beberapa saat, disusul suaranya yang
menggemuruh sebelum akhirnya tumbang. Dari
akar sampai pucuk-pucuk daunnya hangus terba-
kar!
Bukan main!
Melihat kejadian itu, tanpa sadar Siluman
Ular Putih berdecak-decak kagum. Kepalanya pun
ikut menggeleng-geleng biar kelihatan yakin kalau
sedang terheran-heran.
"Busyet! Hebat juga pukulanmu tadi, Mal-
ing. Belajar dari mana?" kata Siluman Ular Putih,
polos.
Mana sudi Maling Tanpa Bayangan melade-
ni ocehan bocah sinting itu. Melihat serangannya
gagal, segera disusunnya serangan berikut. Tanpa
banyak cakap lagi, kedua telapak tangannya kem-
bali dihantamkan ke depan.
"Hea...!"
Wesss! Wesss!
Lagi-lagi melesat dua larik sinar hitam yang
mengerikan mengancam tubuh Siluman Ular Pu-
tih. Soma yang sudah melihat kehebatan pukulan
'Darah Para Durjana' milik Maling Tanpa Bayan-
gan tak segan-segan lagi segera memapaki dengan
pukulan 'Inti Bumi'.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Siluman Ular
Putih segera mendorongkan kedua telapak tan-
gannya yang telah berubah jadi putih terang hing-
ga ke pangkal lengan.
Wesss! Wesss!
Blaaarrr!
Terdengar ledakan hebat di udara ditingkahi
pekik kesakitan. Sementara mata Maling Tanpa
Bayangan berbinar-binar. Tampak tubuh murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu melayang jauh ke
belakang, lalu terbanting keras ke tanah!
"Mampuslah kau, Bocah Edan! Sekaranglah
saatnya aku membalaskan dendam sakit hati mu-
ridku!"
Siluman Ular Putih yang memekik tadi me-
nyeringai hebat. Orang yang mau buang hajat pun
masih kalah seru dibanding seringai Siluman Ular
Putih saat itu. Parasnya pucat pasi. Dari telapak
tangan hingga ke pangkal lengannya berwarna hi-
tam. Jelas, murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
menderita luka dalam cukup lumayan.
Bahkan ketika Siluman Ular Putih mencoba
bangkit, dadanya terasa nyeri bukan main. Ribuan
jarum seolah tengah asyik berpesta pora mengobrak-abrik isi dadanya. Bahkan....
"Hoeeekh...!"
Akhirnya Siluman Ular Putih tak tahan ju-
ga. Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur keluar. Rasanya, jangan tanya lagi! Un-
tung saja nyawanya tidak melayang saat itu juga!
"Heran! Dari mana tua bangka ini mempero-
leh pukulan demikian hebat?" gumam Siluman
Ular Putih tak puas karena belum menemukan ja-
wabannya tadi.
Dewi Merah yang tadi mendengar jeritan Si-
luman Ular Putih jadi cemas sekali. Keadaan mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo saat itu benar-
benar mengenaskan. Pakaiannya robek di sana si-
ni. Ingin rasanya wanita ini menolong, namun
sayang tak bisa. Akibat pukulan 'Darah Para Dur-
jana' milik Maling Tanpa Bayangan sekujur tu-
buhnya terasa lemas. Jangankan untuk menolong.
Untuk menggerakkan tubuhnya saja, rasanya tak
kuasa. Maka terpaksa matanya saja yang bisa
memandangi Siluman Ular Putih dengan sinar ce-
mas.
"Anak muda! Baiknya, cepat tinggalkan
tempat ini!" teriak Dewi Merah akhirnya.
Maling Tanpa Bayangan tersenyum berin-
gas. Kilatan-kilatan matanya yang berwarna hijau
mencorong tajam. Mengerikan sekali. Sepasang
matanya tak ubahnya orang yang telah kerasukan
setan. Dan ia hanya akan puas kalau sudah mem-
bunuh lawannya.
"Boleh saja kau tinggalkan tempat ini kalau
memang bisa. Kenapa hanya diam saja!" ejek Maling Tanpa Bayangan.
Tak ada gunanya bagi Siluman Ular Putih
menyahuti ucapan Maling Tanpa Bayangan. Kare-
na saat itu, diam-diam tengah dikerahkannya
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'.
Melihat ulah Siluman Ular Putih, tahulah
Maling Tanpa Bayangan. Ternyata bocah edan di
hadapannya tengah mengerahkan aji 'Titisan Si-
luman Ular Putih'. Buktinya sekujur tubuh pemu-
da itu mulai dipenuhi uap putih tipis hingga so-
soknya tidak kelihatan sama sekali.
Sebenarnya, Maling Tanpa Bayangan ingin
cepat bertindak. Namun baru saja niat itu terber-
sit, tiba-tiba saja....
"Ggggeeerrr...!"
SEMBILAN
"Si... Siluman Ular Putih…!" desis Dewi Me-
rah penuh takjub.
Betapa di hadapan wanita itu kini terlihat
jelas sesosok ular putih raksasa sebesar pohon ke-
lapa dengan taring-taring yang runcing mengeri-
kan. Belum lagi kilatan sepasang matanya yang
mencorong tajam berwarna merah saga. Dan sepa-
sang mata merah itu terus menghujam ke bola
mata Maling Tanpa Bayangan sambil mengibas-
ngibaskan ekornya ke sana kemari.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bo-
cah Sinting! Kau tetap tak akan mampu membu-
nuhku!" tantang Maling Tanpa Bayangan, pongah.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat seba-
gai jawaban. Suaranya mampu menggetar-
getarkan tempat di sekitarnya. Bahkan begitu ge-
rengannya habis, diterjangnya Maling Tanpa
Bayangan ganas. Taring-taringnya yang runcing
dan kibasan-kibasan ekornya yang keras laksana
palu godam, siap merajam tubuh lawan.
Serrr!
Crok! Crokkk!
Belum sempat Maling Tanpa Bayangan
menghindar, tahu-tahu tubuhnya telah tercengke-
ram taring-taring runcing Siluman Ular Putih. Le-
laki ini geram bukan main. Saat itu juga tangan-
nya menghantam kepala ular raksasa itu.
Desss!
Seketika lepaslah cengkeraman taring-
taring ular raksasa itu dari tubuh Maling Tanpa
Bayangan.
"Gggeeerrr!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Ke-
palanya oleng ke sana kemari sambil mengibas-
ngibaskan ekornya. Meski demikian, ular putih
raksasa itu tidak cedera sedikit pun akibat hanta-
man Maling Tanpa Bayangan barusan. Dan me-
mang, ular raksasa itu kebal terhadap segala pu-
kulan maupun senjata tajam.
"Ggggeeerrr! Gggeeerrr...!"
Ular putih raksasa itu tak henti-hentinya
menggereng hebat. Namun anehnya belum juga
melanjutkan serangan. Hanya sepasang matanya
saja yang terus mengawasi Maling Tanpa Bayan
gan. Mungkin merasa heran dengan kejadian aneh
yang tengah dialami musuhnya. Betapa tubuh
Maling Tanpa Bayangan tadi pun tidak mengalami
cedera. Ternyata, tubuh lelaki tua sesat itu pun
kebal terhadap terkaman taring-taring tajamnya!
"Sudah kubilang kau tak dapat membu-
nuhku. Melukaiku pun, kau tak sanggup. Jadi,
mana mungkin membunuhku?!" ejek Maling Tan-
pa Bayangan, penuh tawa kemenangan.
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan
ekornya ke sana kemari. Kepalanya sedikit dirun-
dukkan, siap melancarkan serangan berikut.
Werrr!
Tiba-tiba sosok putih panjang ular raksasa
itu telah menerjang Maling Tanpa Bayangan. He-
bat sekali terjangannya. Taring-taring yang runc-
ing dan kibasan-kibasan ekornya kembali siap
mengancam tubuh Maling Tanpa Bayangan,
Maling Tanpa Bayangan tak berani meman-
dang ringan lagi, Dan pertarungan harus dapat
diselesaikan secepatnya. Untuk itu, segera dike-
rahkannya pukulan 'Darah Para Durjana'.
"Mampuslah kau, Bocah Edan! Hea…!"
Dikawal bentakan nyaring, Maling Tanpa
Bayangan segera menghentakkan kedua tangan-
nya memapaki terjangan Siluman Ular Putih. Se-
ketika meluruk dua larik sinar hitam legam dari
kedua telapak tangannya, langsung menghantam
telak tubuh Siluman Ular Putih.
Bukkk! Bukkk!
"Gggeeerrr...!"
Ular raksasa itu menggereng hebat. Tubuh
nya kontan terpental ke samping. Menggeliat-geliat
sebentar.
Dan....
Werrr!
Tahu-tahu ekor ular raksasa itu mengibas
cepat dari samping. Sungguh, Maling Tanpa
Bayangan yang mengira kalau ular raksasa itu
akan cedera atau bahkan mati saat itu juga, tidak
menyangka akan mendapat serangan hebat. Maka
tanpa ampun....
Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua kali ekor Siluman Ular Putih mengha-
jar telak tubuh lelaki tua itu. Maling Tanpa Bayan-
gan hanya sempat memekik tertahan sebelum ak-
hirnya terlempar jauh ke belakang. Pada saat ter-
lempar inilah ular raksasa itu kembali menerjang
hebat! Mulutnya menganga, mengarahkan taring-
taringnya yang tajam. Lalu....
Crok! Crokkk!
Tanpa dapat dicegah lagi tiba-tiba taring-
taring runcing ular raksasa itu mengganyang tu-
buh Maling Tanpa Bayangan. Seketika darah me-
rah berhamburan dari luka di tubuh lelaki tua ini.
"Gggeeerrr!"
Siluman Ular Putih ternyata tak mau mele-
paskan mangsanya begitu saja. Terus saja tubuh
Maling Tanpa Bayangan diganyang sambil mengge-
rak-gerakkan kepala ke sana kemari.
Mau tidak mau Maling Tanpa Bayangan jadi
kalang kabut juga. Berkali-kali tangannya meng-
hantam tubuh ular raksasa itu. Namun, Siluman
Ular Putih tak mau melepaskan gigitannya. Malah
semakin lama semakin kuat mengganyang tubuh-
nya!
"Gggeeerrr! Geeerrr...!"
Tiba-tiba ular raksasa itu meraung hebat
ketika dari balik jubah Maling Tanpa Bayangan
mengepul uap hitam menyerang Siluman Ular Pu-
tih. Bahkan segera menggulung kepala ular raksa-
sa itu penuh kekuatan gaib yang entah dari mana
datangnya!
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih tak tahan menghadapi
serangan gaib dari uap hitam dari jubah Maling
Tanpa Bayangan. Maka tak ada pilihan lain, ter-
paksa mangsanya harus dilepaskan.
"Gggeeerrr! Gggeeerrr...!"
Ular putih raksasa itu kalap bukan main.
Tubuhnya oleng ke sana kemari. Sementara uap
hitam tebal dari balik jubah Maling Tanpa Bayan-
gan terus menyerang tanpa ampun. Lambat laun,
Siluman Ular Putih jadi lemas kehabisan tenaga!
Siluman Ular Putih tersadar. Meski masih
menjelma menjadi ular putih, namun masih mam-
pu berpikir seperti manusia kebanyakan. Untuk
sesaat ular raksasa itu tercenung di tempatnya.
Nalurinya mengatakan, kalau Maling Tanpa
Bayangan memiliki ilmu hitam yang amat dahsyat.
Dan ia tahu bagaimana cara mengatasinya. Tak
ada pilihan lain, wujudnya harus segera diubah
menjadi manusia kembali. Namun baru saja hen-
dak melaksanakan niatnya, mendadak...
"Bocah Tolol! Kenapa tidak kau lawan den
gan kekuatan batinmu!"
Mendadak terdengar teriakan keras meng-
getarkan.
***
"Setan Alas! Beraninya kau menggangguku,
he?!"
Maling Tanpa Bayangan geram bukan main
ketika tahu-tahu telah berdiri seorang kakek renta
berpakaian tambal-tambalan mirip pakaian pen-
gemis di depan Siluman Ular Putih. Siapa lagi to-
koh tua dunia persilatan yang mempunyai ciri-ciri
demikian, kalau bukan Raja Penyihir?!
"Kenapa tidak berani, Maling? Dari dulu
kau selalu membuat onar dunia persilatan. Kau
memang layak mampus di tanganku!" hardik Raja
Penyihir, membalas.
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Dulu, nyalinya boleh ciut menghadapi Raja Penyi-
hir. Tapi setelah menguasai ilmu yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan, biar seribu orang
macam Raja Penyihir ada di depannya, tetap saja
tidak akan takut. Karena memang ia tidak bisa di-
bunuh!
"Tua bangka bau tanah! Lagakmu pongah
sekali! Apa kau pikir aku takut menghadapimu,
he?!" desis Maling Tanpa Bayangan.
"Aku tidak bicara takut atau tidak. Tapi aku
ingin mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!"
ancam Raja Penyihir.
"Boleh, boleh. Memang ucapan itu yang ku
tunggu. Tapi ingat! Jangan sampai malah nyawa-
mu yang melayang!"
"Bah! Maling tua macammu bisa apa, he?!"
sembur Raja Penyihir saking kesalnya.
Maling Tanpa Bayangan tertawa. Senang
sekali melihat Raja Penyihir jadi penasaran seperti
itu.
"Hati-hati, Orang Tua! Maling tua itu mem-
punyai kekuatan gaib yang sulit dimengerti!" teriak
Soma yang telah menjelma menjadi manusia biasa.
Raja Penyihir menoleh sekilas.
"Aku tahu, Tolol! Tapi, kenapa kau tak me-
manggilku guru?" semprot Raja Penyihir dengan
kening berkerut.
"Lho? Bukankah dalam perjanjian dulu kau
cuma ingin menurunkan ilmu padaku, kan? Jadi
kenapa harus memanggilmu guru? Toh, dulu kau
juga menyetujuinya?" tukas Siluman Ular Putih
tak mau kalah. (Mengenai perjanjian antara Silu-
man Ular Putih dan Raja Penyihir, harap baca da-
lam episode: "Manusia Rambut Merah").
"Setan! Dari dulu kau selalu saja pintar
membantah! Awas kau nanti! Setelah selesai aku
mengurung maling tua satu ini, giliranmu yang pa-
tut kuhajar, Bocah!"
"Yeahhh...! Ngambek! Kau sendiri yang janji.
Tapi, mau mungkir," ejek Siluman Ular Putih se-
raya menjebikkan bibir.
Aneh sekali memang watak murid Eyang
Begawan Kamasetyo satu ini. Padahal baru saja
menghadapi bahaya maut. Tapi, bisa-bisanya ber-
sikap ayal-ayalan seperti itu.
"Diam! Aku belum ingin bicara denganmu,
tahu?!" bentak Raja Penyihir.
"Tak ingin bicara denganku ya sudah. Asal,
jangan kau suruh aku memanggilmu guru. Pamali
namanya!" celoteh Siluman Ular Putih seenak pe-
rut. Tangan kanannya cepat meraih keluar senjata
andalan dan siap membantu Raja Penyihir.
Raja Penyihir sengaja tak menyahuti uca-
pan Soma. Percuma saja menyahut. Pasti bocah
sinting itu akan membantah. Ya, kalau cuma
membantah. Tapi kalau balik memperolok. Nah...!
Itu yang dikhawatirkan Raja Penyihir! Sebab ha-
tinya paling sebal kalau sudah digoda murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu.
"Maling Tua! Tadi kau sudah dengar tujua-
nku kemari, bukan? Nah...! Daripada tanganku
kotor oleh darah busukmu, lebih baik bunuh diri
saja!" hardik Raja Penyihir kasar. Mungkin sengaja
melampiaskan kedongkolan hatinya pada Maling
Tanpa Bayangan. Atau bisa jadi memang sudah
dari dulu tak menyukai lelaki sesat itu.
"Jaga bacotmu, Tua bangka keparat! Justru
kaulah yang patut modar di tanganku!" geram Mal-
ing Tanpa Bayangan penuh kemarahan.
Sekilas mata Maling Tanpa Bayangan me-
mandang ke arah Siluman Ular Putih yang tengah
meniup senjata andalannya. Keningnya berkerut.
Tubuhnya terasa agak terusik oleh tiupan senjata
andalan Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih heran bukan main. Ia
tak percaya kalau tiupan senjata andalannya sama
sekali tak berpengaruh bagi Maling Tanpa Bayan
gan. Dan pemuda ini jadi menggeleng-geleng tak
mengerti.
Habis memperhatikan Siluman Ular Putih
sekilas. Maling Tanpa Bayangan segera menerjang
hebat Raja Penyihir. Tak tanggung-tanggung sege-
ra dikeluarkannya jurus andalan yang dipelajari
dari Kitab Paguyuban Setan. Tangan kanannya
menyerang dari atas ke bawah. Tangan kirinya
siap merobek perut Raja Penyihir dari samping.
Dengan jurus itu, ia berharap akan dapat mero-
bohkan Raja Penyihir dalam sekali gebrak.
Sekali lihat saja. Raja Penyihir tahu maksud
serangan yang sebenarnya. Justru serangan tan-
gan kiri, Maling Tanpa Bayangan yang tampaknya
berbahaya, merupakan gerak tipu belaka. Sedang
serangan tangan kanan yang mengarah ubun-
ubun kepala itulah serangan sebenarnya.
Raja Penyihir tak ingin terkecoh. Dibiarkan-
nya cengkeraman tangan kiri Maling Tanpa
Bayangan. Pada saat cengkeraman itu hendak
menyambar perutnya, mendadak tongkat hitam di
tangan kanannya berkelebat mengancam ulu hati
lawan. Begitu cepat sehingga....
Duk! Dukkk!
Dua kali Raja Penyihir menggerakkan tong-
katnya, dua kali pula ulu hati Maling Tanpa
Bayangan terkena sodokan. Telak sekali. Akibat-
nya tubuh Maling Tanpa Bayangan terjajar bebe-
rapa langkah ke belakang.
Tentu saja Maling Tanpa Bayangan mengge-
ram penuh kemarahan. Ulu hatinya yang terkena
sodokan tongkat terasa nyeri bukan main. Gerahamnya bergemeletuk penuh kemarahan. Cukup
sudah bermain-main dengan Raja Penyihir. Ia tak
ingin membuang-buang waktu lagi, dan harus da-
pat membunuh Raja Penyihir secepat mungkin.
Baru kemudian, menghabisi Siluman Ular Putih.
"Hebat! Harus kuakui kau memang hebat,
Pengemis. Tapi jangan bangga dulu. Sedikit pun
aku belum merasa kalah. Sekarang, saatnyalah
menerima kematian!"
Maling Tanpa Bayangan menelungkupkan
kedua telapak tangan ke depan dada. Dan ketika
kedua telapak tangannya telah berubah jadi hitam
legam, diputar-putarnya sebentar. Lalu diiringi te-
riakan keras, segera dihantamkannya ke depan.
Sret! Srettt!
Seketika meluruk dua larik sinar hitam le-
gam dari kedua telapak tangan Maling Tanpa
Bayangan ke arah Raja Penyihir. Tentu saja Raja
Penyihir tak ingin jadi sasaran empuk. Maka sege-
ra dikerahkannya pukulan 'Tangan Gaib Penindih
Setan', dan saat itu pula kedua tangannya meng-
hentak.
"Heaaa...!"
Blaaammm!
Hebat bukan main dahsyatnya bentrokan
dua tenaga dalam barusan. Tanah di sekitar tem-
pat pertarungan kontan bergetar hebat. Angin
kencang berkesiuran memporak-porandakan apa
saja yang ada di sekitarnya. Pohon-pohon tum-
bang! Sebagian lainnya hangus terbakar!
Maling Tanpa Bayangan tidak mengira ka-
lau Raja Penyihir mampu memapaki pukulan
'Darah Para Durjana' miliknya. Tampak tokoh sak-
ti dari Gunung Tidar itu hanya sempat terjajar be-
berapa langkah ke belakang. Itu jelas menandakan
kalau tenaga dalam Raja Penyihir tak jauh berbeda
dengannya.
Meski demikian, Maling Tanpa Bayangan
masih sedikit lebih untung. Akibat bentrokan tadi,
tubuhnya hanya sempat terguncang sebentar, dan
sama sekali tidak membahayakan nyawanya.
"Heaaat...!"
Saat melihat tubuh Raja Penyihir terjajar ke
belakang, Maling Tanpa Bayangan kembali melon-
tarkan pukulan 'Darah Para Durjana' miliknya.
Wesss...! Wesss!
Dua larik sinar hitam legam yang amat
mengerikan kembali meluruk dari kedua telapak
tangan Maling Tanpa Bayangan.
Raja Penyihir rupanya tak ingin mengadu
tenaga dalam lewat ajian. Menilik kekuatan gaib
yang membantu Maling Tanpa Bayangan jauh di
atas kemampuannya. Raja Penyihir tak ingin me-
rugi. Ia harus menggunakan akalnya yang cerdik.
"Rupanya benar juga ucapan bocah tolol itu
tadi. Maling tua ini ternyata memiliki kekuatan
gaib luar biasa. Hm...! Baiknya aku harus segera
mengatasinya dengan Tali Gaib-ku...." gumam Raja
Penyihir
Meski telah menemukan bagaimana cara
mengatasi Maling Tanpa Bayangan, bukan berarti
Raja Penyihir harus menerima serangan begitu sa-
ja.
"Hup!"
Dan saat satu tombak lagi dua larik sinar
hitam legam dari kedua telapak tangan Maling
Tanpa Bayangan mengancam. Raja Penyihir segera
membuang tubuhnya ke samping. Sehingga, se-
rangan lawan hanya mengenai angin kosong! Pada
saat inilah tiba-tiba Raja Penyihir mengarahkan
kedua telapak tangannya yang tahu-tahu telah ke-
luar sebuah tali hitam menyerang Maling Tanpa
Bayangan.
Werrr! Weeerrr!
"Heh...?!"
Maling Tanpa Bayangan terkesiap kaget.
Dan belum sempat bertindak lebih jauh, tahu-tahu
Tali Gaib milik Raja Penyihir telah melibat leher-
nya. Lelaki sesat ini gusar bukan main. Berkali-
kali dicobanya memutuskan tali hitam itu. Namun
anehnya, setiap tangannya menebas selalu saja
seperti menebas angin kosong. Malah libatan tali
hitam itu makin erat menjerat lehernya.
Tak dapat dibayangkan betapa gusarnya
Maling Tanpa Bayangan saat ini. Padahal uap hi-
tam dari balik jubahnya telah pula membantunya.
Namun, tetap tak berhasil melepaskan Tali Gaib
milik Raja Penyihir. Paling-paling hanya menghi-
langkan rasa sakit saja. Sedang untuk mele-
paskannya tidak dapat sama sekali.
"He he he...! Ayo, lekas keluarkan semua
kekuatan gaibmu! Kau tadi selalu menggembar-
gemborkan tak dapat dibunuh. Sekarang, aku jadi
ingin membuktikannya!" ejek Raja Penyihir.
Habis mengejek, Raja Penyihir segera me-
nyentakkan Tali Gaib-nya ke atas. Akibatnya tubuh Maling Tanpa Bayangan terbawa ke atas. Be-
gitu di atas, Raja Penyihir membantingnya keras-
keras ke batu cadas.
Prakkk!
Keras sekali tubuh kurus Maling Tanpa
Bayangan menghantam batu cadas. Namun aneh-
nya, tubuh itu tidak cedera sedikit pun! Malah ba-
tu cadas itu yang hancur berantakan. Mau tidak
mau. Raja Penyihir jadi terperangah juga. Padahal
tadi, tenaga dalamnya telah dikerahkan dengan
kekuatan penuh!
Aneh memang. Namun, itulah kenyataan-
nya. Tubuh Maling Tanpa Bayangan tidak dapat
mati walau telah disakiti berulang kali. Hal ini
membuat Raja Penyihir penasaran sekali. Kendati
begitu tubuh Maling Tanpa Bayangan terus di-
banting-bantingkan ke batu-batu cadas. Hasilnya
tetap saja sama. Tubuh itu sedikit pun tidak cede-
ra! Malah batu-batu cadas itulah yang hancur be-
rantakan.
"Edan! Kenapa maling satu ini tak bisa ma-
ti!" dengus Raja Penyihir sarat keheranan.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau membunuh-
ku. Raja Penyihir! Aku tidak bisa dibunuh!" kata
Maling Tanpa Bayangan tertawa, bangga dan me-
nyakitkan hati Raja Penyihir.
"Diceburkan ke dalam telaga saja, Orang
Tua!" teriak Siluman Ular Putih tiba-tiba. "Aku ta-
hu, dia tak bisa berenang. Kalau sudah dicebur-
kan, lepaskan saja. Dengan demikian kau tidak
membunuhnya. Biar saja ia mati dengan sendirinya!"
Kening Raja Penyihir berkerut sebentar. La-
lu kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju.
Dalam hati lelaki tua jago sihir ini kagum juga
dengan kecerdikan Siluman Ular Putih. Ya! Kenapa
baru terpikir sekarang? Bila Maling Tanpa Bayan-
gan mengatakan tidak bisa mati dibunuh, tentu
maksudnya dibunuh dengan pukulan atau senja-
ta. Dan bagaimana bila ditenggelamkan?
Mendengar teriakan Siluman Ular Putih ta-
di, entah kenapa paras Maling Tanpa Bayangan
jadi pucat pasi. Seolah bayangan maut bermain di
pelupuk matanya. Dan di saat tengah kebingungan
ini, tiba-tiba Raja Penyihir menyentakkan Tali Gaib
yang menjerat leher Maling Tanpa Bayangan ke te-
laga. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Mal-
ing Tanpa Bayangan ke permukaan air Raja Penyi-
hir pun ikut menceburkan diri ke dalam telaga
yang dikenal sangat dalam.
Byurrr! Byurrr...!
Maling Tanpa Bayangan kini tak dapat
mengendalikan diri lagi. Begitu tubuhnya tengge-
lam, kekuatan gaib yang selalu membantunya se-
perti tak berguna lagi. Begitu Tali Gaib dilepaskan,
lelaki ini berusaha mencari-cari pegangan di dasar
telaga. Namun tindakannya tak menghasilkan apa-
apa.
Sementara itu Raja Penyihir hanya menyak-
sikan tubuh Maling Tanpa Bayangan di dalam air
yang terus megap-megap. Begitu banyak air yang
tertelan! Menyebabkan tubuhnya kandas di dalam
telaga. Tiba-tiba dari dalam tubuhnya bergolak.
Dan....
Blarrr...!
Mendadak, perut Maling Tanpa Bayangan
meledak! Isinya langsung tumpah ke dasar telaga
disertai asap hitam pekat. Dari ledakan itu tercipta
gejolak luar biasa hingga ke permukaan telaga.
"Hm... ilmu setan apa lagi yang akan dike-
luarkan dedengkot maling itu?" gerutu Siluman
Ular Putih dari tepian telaga.
Setelah menunggu beberapa saat, gejolak
air di permukaan telaga itu pun mereda. Samar-
samar Siluman Ular Putih melihat sosok tubuh
Maling Tanpa Bayangan telah mengambang di
permukaan air dengan perut pecah tanpa gerak
sama sekali.
"Huahhh...! Mampus sudah bajingan tua
satu itu! Sekarang kita tak perlu khawatir lagi,"
kata Raja Penyihir tahu-tahu telah nyembul di
permukaan telaga,
"Eh...! Kau sudah nongol? Bagaimana saran
ku tadi, Orang Tua?" tanya Siluman Ular Putih be-
gitu melihat Raja Penyihir.
"Ya! Saranmu hebat juga. Rupanya kekua-
tan gaib yang selama ini membantunya punah be-
gitu tubuhnya tenggelam. Apalagi, dia tidak bisa
berenang. Hm.... Ternyata dia termakan oleh uca-
pannya sendiri...."
Memang, kematian Maling Tanpa Bayangan
bukan karena secara langsung dibunuh oleh Raja
Penyihir. Kematiannya terjadi begitu saja saat tu-
buhnya tenggelam! Raja Penyihir hanya sebagai
perantara saja.
"Tapi ngomong-ngomong, mengapa kau be
lum memanggilku guru juga? Apa kau minta diha-
jar, he?" lanjut Raja Penyihir, tiba-tiba.
Siluman Ular Putih tersenyum masygul.
"Perjanjian. Dalam perjanjian, kau telah
mengatakan tak apa-apa. Jadi buat apa aku me-
manggilmu guru?" sahut Soma, kalem.
"Kau.... Kau...," Raja Penyihir tak mene-
ruskan ucapannya saking jengkelnya.
"Sudahlah! Masalah sepele seperti itu tak
perlu diperpanjang."
"Eh...! Tidak bisa! Sebagai gantinya, kau ha-
rus ikut aku!" tukas Raja Penyihir
"Ke mana?" tanya Soma.
"Ke mana saja aku suka."
"Tapi..., nenek baju merah itu...?"
"Sudahlah.... Jangan mencemaskan nenek-
nenek peot itu! Tadi aku sudah memberinya obat
pemunah racun."
"Ooo…!"
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar