..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 30 Januari 2025

ULAR PUTIH EPISODE MALING TANPA BAYANGAN

matjenuh

 

Hak cipta dan copy right pada 
penerbit di bawah lindungan 
undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Malam ini Gunung Sindoro murka. Suara 
bergemuruh dengan letupan-letupan berwarna 
merah membuat penduduk yang tinggal di sekitar 
gunung mulai kalang kabut. Batu-batu gunung, 
pasir-pasir membara berhamburan tinggi ke uda-
ra. Lahar panas begitu cepat merambat, menerjang 
apa saja yang jadi penghalang.
Apakah saat ini Tuhan ingin menunjukkan 
kekuasaan-Nya?
Yang jelas, gejolak alam yang tiba-tiba ini 
membuat penduduk kampung berbondong-
bondong berlarian ke sana kemari untuk mencari 
selamat. Mereka berteriak-teriak memanggil sanak 
saudara sambil menyambar apa saja yang bisa 
diselamatkan.
Jerit tangis bocah kecil, suara-suara teria-
kan saling tumpang tindih dengan gemuruh Gu-
nung Sindoro. Sementara pasir dan awan panas 
berhamburan menyambar apa saja. Menyambar 
pohon-pohon, menyambar tubuh-tubuh tua yang 
tak kuasa berlari. Juga, menyambar penduduk 
kampung yang salah jalan.
Mengerikan!
Pohon-pohon hangus terbakar diterjang la-
har dan awan panas. Mayat-mayat mulai bercece-
ran terlibas aliran lahar merah. Semua menyi-
ratkan ketidakberdayaan manusia atas kuasa Tu-
han.
Tapi kenapa sebagian manusia tak mau

berpikir? Bahkan banyak manusia yang congkak, 
yang merasa dirinya paling sakti. Padahal, Tuhan 
hanya memberi mereka setitik ilmu.... 
Kalau sudah begini, baru mereka menyebut 
nama Tuhan.
Ini berlaku bagi semua orang. Termasuk, 
orang-orang dunia persilatan yang memiliki ke-
pandaian tinggi. Mereka juga diliput perasaan ce-
mas melihat Gunung Sindoro murka. Meski ke-
pandaian mereka tinggi, tetap saja tak mampu 
menghadapi gejolak alam yang menggila.
***
Jauh dari pusat kejadian tampak sebuah 
bayangan hitam tiba-tiba menghentikan langkah-
nya. Badannya berbalik memperhatikan puncak 
Gunung Sindoro yang tengah murka dengan sinar 
mata ngeri. Mulutnya menggumam tak jelas. Na-
mun, dari sinar matanya yang tegang bisa ditebak 
kalau sosok yang berpakaian serba hitam itu baru 
saja mengalami peristiwa luar biasa yang meng-
guncangkan hati.
Dari terangnya sinar bulan yang sesekali di-
tingkahi semburan cahaya merah dari puncak gu-
nung bisa terlihat kalau sosok itu adalah seorang 
kakek tua bertubuh amat kurus. Tubuhnya jang-
kung hampir mencapai dua tombak. Matanya ber-
kilat-kilat dengan raut wajah tirus.
Dari rambut sampai kaki mengenakan ju-
bah hitam yang disambung penutup kepala beru-
jung lancip. Sekilas pandang wajah kakek renta ini

memang amat mengerikan. Lebih lagi sepasang 
matanya yang hijau mencorong tajam, tak beralih 
dari puncak gunung yang tengah murka.
Siapakah sebenarnya kakek tua renta ini?
Dia tak lain dari Maling Tanpa Bayangan. 
Karena terdorong untuk melampiaskan dendam-
nya kepada Siluman Ular Putih, membuat Maling 
Tanpa Bayangan pergi ke puncak Gunung Sindoro. 
Untung sekali nasibnya masih mujur. Kalau tidak, 
jangan harap dapat selamat dari semburan kawah 
puncak Gunung Sindoro. Untuk apa lelaki tua ini 
ke puncak Gunung Sindoro?
Konon di puncak gunung itu tersimpan se-
buah kitab milik Pengasuh Setan. Kitab Paguyu-
ban Setan! Dengan mengambil dan mempelajari ki-
tab itu, Maling Tanpa Bayangan berharap bisa 
mengalahkan Siluman Ular Putih. 
Sebelum berhasil mengambil kitab itu, Mal-
ing Tanpa Bayangan bertarung habis-habisan me-
lawan Telapak Gajah yang dibantu burung hantu 
raksasa. Namun tiba-tiba kedua pengeroyoknya itu 
mengalami kejadian luar biasa. Tubuh Telapak Ga-
jah yang tak ubahnya seperti boneka hidup itu 
hangus terbakar. Demikian pula tubuh burung 
hantu raksasa. Selang beberapa saat, baru disusul 
gejolak alam yang datangnya juga tiba-tiba. Pun-
cak Gunung Sindoro bergetar. Kawah di tengah-
tengah puncak gunung menyemburat tinggi ke 
udara menebarkan apa saja yang ada di sekitar. 
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode: 
"Pasukan Kumbang Neraka").
Setelah berhasil mendapatkan kitab yang

diidam-idamkan, tanpa banyak membuang waktu 
Maling Tanpa Bayangan segera berkelebat cepat 
pergi dari puncak gunung dengan mengerahkan 
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai 
tingkat tinggi. Dan kini, lelaki tua itu telah berdiri 
di sebuah padang luas bererumputan sembari me-
nyaksikan kilatan-kilatan cahaya merah di puncak 
gunung yang ditingkahi jerit-jerit kematian pendu-
duk kampung! 
Meski kini telah selamat, namun dalam hati 
Maling Tanpa Bayangan terus bertanya-tanya. Ke-
jadian-kejadian hebat yang baru saja dialami be-
nar-benar membuat hatinya penasaran. Maling 
Tanpa Bayangan terus berpikir. Bagaimana mung-
kin tubuh burung hantu raksasa dan tubuh Tela-
pak Gajah mendadak terbakar? Sulit dimengerti! 
Sebenarnya ada apakah? Bahkan kemudian dis-
usul dengan meletusnya Gunung Sindoro?
"Hm...! Benar-benar satu kejadian langka. 
Tak mungkin terjadi begitu saja. Pasti ada apa-
apanya. Jangan-jangan berhubungan dengan Ki-
tab Paguyuban Setan yang ku sembunyikan diba-
lik jubahku? Hm...! Bisa jadi!" gumam Maling Tan-
pa Bayangan dalam hati.
Kalau saja Maling Tanpa Bayangan tahu 
kenapa tubuh burung hantu raksasa dan tubuh 
Telapak Gajah mendadak hangus terbakar, kemu-
dian disusul meletusnya Gunung Sindoro, tentu 
hatinya akan lebih terkesima. Betapa tidak? Ter-
nyata tubuh burung hantu raksasa dan tubuh Te-
lapak Gajah terbakar disebabkan oleh tewasnya
Pengasuh Setan! Penguasa puncak Gunung Sindo

ro! Sementara mengenai meletusnya Gunung Sin-
doro, bisa jadi hanya kejadian kebetulan belaka. 
Yang jelas, begitu Pengasuh Setan tewas, puncak 
Gunung Sindoro kontan bergemuruh. Bumi berge-
tar. Kawah di puncak gunung menyemburat tinggi 
ke udara.
Benarkah ini semua disebabkan tewasnya 
Pengasuh Setan? Atau karena jatuhnya Kitab Pa-
guyuban Setan ke tangan Maling Tanpa Bayan-
gan? Kalau sekiranya kedua-duanya benar, betapa 
hebatnya pengaruh Pengasuh Setan dan Kitab Pa-
guyuban Setan?
Berpikir sampai demikian, Maling Tanpa 
Bayangan jadi tak sabar lagi untuk segera mempe-
lajari Kitab Paguyuban Setan. Ia yakin sekali kitab 
yang disembunyikan di balik jubahnya mengan-
dung kekuatan hebat! Bahkan bila sudah mempe-
lajari Kitab Paguyuban Setan ia yakin akan dapat 
mengalahkan Siluman Ular Putih! Bukan saja 
hanya ingin mengalahkan, tapi juga ingin membu-
nuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu. Sekali-
gus, menguasai dunia persilatan!
"Kunyuk Gondrong! Tunggulah pembala-
sanku nanti! Tunggulah setelah aku mempelajari 
Kitab Paguyuban Setan ini," desis Maling Tanpa 
Bayangan, geram. Rahangnya mengeras. Dari kila-
tan-kilatan mata hijaunya yang mencorong, jelas 
ancamannya barusan bukan hanya sekadar gertak 
sambal saja. Tapi, niatnya pasti akan dilaksana-
kan.
Habis menggumam begitu, Maling Tanpa 
Bayangan segera menghentakkan kakinya ke ta

nah. Seketika tubuhnya berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. Namun sayang baru saja bebe-
rapa tombak....
"Bagus! Inilah yang mungkin dinamakan 
pucuk dicinta ulam tiba! Selamat bertemu kemba-
li, Kakang Maling Tanpa Bayangan!"
Terdengar bentakan, yang membuat lang-
kah Maling Tanpa Bayangan terhenti seketika den-
gan wajah kaget.

DUA


Sepasang mata hijau Maling Tanpa Bayan-
gan berkilat-kilat penuh kemarahan. Rahangnya 
menggembung. Jelas sekali kalau hatinya tak suka 
atas bentakan barusan, sehingga membuat niat-
nya tertunda. 
Di hadapan Maling Tanpa Bayangan kini te-
lah berdiri dua orang lelaki tua. Yang sebelah ka-
nan bertubuh jangkung. Tingginya tak kurang dari 
dua setengah tombak lebih. Jubahnya besar warna 
hijau. Raut wajahnya tirus. Sepasang matanya ju-
ga berwarna hijau mencorong, menandakan tenaga 
dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Yang seorang lagi, lelaki tua bertubuh jauh 
berlawanan dengan kakek jangkung di sebelahnya. 
Tubuhnya amat pendek, tak lebih dari setengah 
tombak. Perutnya buncit, pusarnya bodong mon-
cong ke depan. Kepalanya botak dengan mata juga 
berwarna hijau. Sedang tubuhnya yang tambun 
dibalut jubah besar, juga berwarna hijau.

"Bedebah! Rupanya Dewa Bogel dan Lam-
daur yang datang menghadang! Cih!" dengus Mal-
ing Tanpa Bayangan. Kedua bola matanya berkilat-
kilat, memperhatikan dua sosok kakek renta di 
hadapannya.
"Ya, aku! Kenapa? Kaget?" sambar kakek 
bertubuh pendek yang memang Dewa Bogel, seper-
ti bentuk tubuhnya. Sedang di sampingnya adalah
kakak seperguruannya yang bernama Lamdaur.
"Bedebah! Mau apa kalian menghadangku, 
he?!"
"Pakai tanya?! Sudah jelas kami mencari-
cari untuk menuntut tanggung jawabmu. Kau ma-
sih punya urusan dengan Guru!" sahut Lamdaur.
Menghadapi dua orang kakek yang sebe-
narnya dari Hutan Pring Apus ini, mau tak mau 
Maling Tanpa Bayangan jadi gusar. Ia tahu, betapa 
hebatnya dua kakek yang sebenarnya masih adik 
seperguruannya. Apalagi, kini mereka maju ber-
sama. Jelas tak mungkin Maling Tanpa Bayangan 
sanggup menghadapi Dewa Bogel dan Lamdaur. 
"Cih.,.! Bisanya kau membacot demikian! 
Dari dulu, kita bertiga selalu bersaing. Tapi untuk 
mengalahkan kami, kau malah mempelajari ilmu 
sesat! Kau malah jadi maling. Apa itu bukan men-
cemarkan nama baik Guru?" cibir Dewa Bogel.
"Ditambah lagi, sepak terjangmu dan mu-
ridmu yang bergelar Raja Maling tak dapat dimaaf-
kan lagi oleh Guru. Apalagi, Raja Maling pun baru 
saja membuat onar di Kadipaten Pleret. Tak 
mungkin kau tidak tahu, kalau muridmu telah 
mencuri Lukisan Darah. Ini saja sudah amat cukup untuk mewakili Guru untuk membunuh-mu!" 
sahut Lamdaur, menambahi.
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak. 
Baginya, ucapan bekas adik seperguruannya di-
anggap lucu. Meski tak ada yang pantas untuk di-
tertawakan sebenarnya.
"Kau ini masih polos seperti dulu, Adik-
adikku! Untuk menjadi pemenang, kita harus 
menggunakan ini!" Maling Tanpa Bayangan me-
nunjuk keningnya sendiri. "Bukannya mengguna-
kan dengkul. Pokoknya untuk mengalahkan ka-
lian, aku harus mempelajari ilmu apa saja. Tak 
peduli ilmu putih atau ilmu hitam. Seharusnya ka-
lian berdua mengakui keunggulanku. Apa di anta-
ra kalian berdua ada yang mampu jadi maling se-
pertiku?"
"Sundal! Otakmu rupanya sudah miring, 
Maling Tanpa Bayangan. Seharusnya kau malu 
dengan ucapanmu barusan. Sebagai kakak seper-
guruan yang tertua, seharusnya kau memberi con-
toh yang baik. Eh..., ini malah sebaliknya! Menga-
jak adik-adiknya untuk menjadi maling!" sambar 
Dewa Bogel, tak lagi menaruh hormat pa-da Mal-
ing Tanpa Bayangan.
"Siapa yang ingin mengajarkan kalian jadi 
maling? Aku kan hanya ingin mengalahkan kalian. 
Nah! Sekarang setelah tak dapat mengalahkanku, 
kalian malah menuduhku yang bukan-bukan," 
tangkis Maling Tanpa Bayangan.
"Menuduh apa? Kenyataannya kau memang 
maling. Muridmu pun maling. Ini sudah jelas 
membuktikan kalau kalian telah keblinger. Kami

sebagai adik seperguruanmu, wajib mengin-
gatkanmu. Juga, muridmu yang brengsek itu!" sa-
hut Lamdaur jengkel. Kedua bola matanya yang 
berwarna hijau berkilat-kilat penuh kemarahan. 
Maling Tanpa Bayangan malah makin men-
gumbar tawa. Dadanya bergerak-gerak saking ge-
linya mendengar ucapan adik seperguruannya.
"Rupanya, kalian memang sengaja mencari 
penyakit. Sudah jelas. Siapa berani berbuat, ia ha-
rus berani bertanggung jawab. Seperti katamu ta-
di, muridku telah mencuri Lukisan Darah di Kadi-
paten Pleret. Maka, ia pun berani pula bertang-
gung jawab. Dan Siluman Ular Putih-lah yang te-
lah menghukum muridku! Sebagai adik sepergu-
ruan, seharusnya kalian malu membiarkan aku 
menuntut balas seorang diri!" kata Maling Tanpa 
Bayangan, bermaksud melibatkan kedua orang 
adik seperguruannya untuk membantu membu-
nuh Siluman Ular Putih.
"Syukur! Senang sekali aku mendengarnya. 
Rupanya murid brengsek mu itu sudah modar. 
Kenapa kau tidak lekas menyusul?" sahut Dewa 
Bogel seenaknya.
"Bedebah! Adik seperguruan macam apa ka-
lian!" sentak Maling Tanpa Bayangan, terperangah.
"Tunggu! Pembicaraan kita makin melantur. 
Kita kemari bukan untuk membicarakan Siluman 
Ular Putih. Pokoknya sekarang, demi menjaga na-
ma baik Guru, terpaksa kami harus menghukum
mu, Maling Tanpa Bayangan!" sambar Lamdaur 
tak sabar.
"Ya ya ya...! Kau benar, Lamdaur! Rupanya

maling tengik satu ini sengaja akan melibatkan ki-
ta dengan Siluman Ular Putih! Tunggu dulu, ya! 
Sekarang, selesaikan urusan di antara kita lebih 
dulu. Baru selesaikan urusan lainnya!" sahut De-
wa Bogel.
"Jadi apa mau kalian?" tanyai Maling Tanpa 
Bayangan gusar. Kini hatinya mulai cemas melihat 
sikap Dewa Bogel dan Lamdaur. Apalagi, Kitab Pa-
guyuban Setan masih berada dibalik jubahnya. Ia 
khawatir kalau-kalau kedua orang bekas adik se-
perguruannya juga menginginkan kitab yang di-
idam-idamkannya.
"Pakai tanya?! Kami hanya minta kau ber-
tanggung jawab, tahu?!" dengus Dewa Bogel.
"Baiklah. Mengingat kita masih satu pergu-
ruan, sebaiknya kau menyerahkan diri untuk kami 
hukum, Kang. Buat apa bertarung kalau akhirnya 
kau akan tewas juga?" kata Lamdaur yang lebih 
sabaran.
"Keparat! Bacot kalian makin memerahkan 
telingaku! Apa kalian pikir aku takut menghadapi 
kalian, he?! Majulah kalau kalian bermaksud 
menghukumku!" tantang Maling Tanpa Bayangan, 
sengit.
"Ccck ck ck...! Berani benar kau, Kang! Baik 
kulayani tantanganmu!" sahut Dewa Bogel sambil 
menggeleng-geleng. 
"Jangan banyak bacot! Majulah kalian kalau 
ingin mampus!" teriak Maling Tanpa Bayangan, 
kalap.
Maling Tanpa Bayangan langsung saja me-
mentangkan kedua kakinya lebar-lebar membuat

kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya disilangkan di 
depan dada, siap menghadapi keroyokan kedua 
orang bekas adik seperguruannya dengan jurus-
jurus andalan.
"Lagakmu makin memuakkan, Kang! Kau 
memang patut mendapat hukuman. Bukan saja 
telah mencemarkan nama baik Guru, tapi juga-
telah membuat onar dunia persilatan! Maka seba-
gai adik seperguruan, sudah menjadi kewajiban 
kami untuk menghukum mu. Bahkan kalau perlu, 
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!" desis 
Lamdaur.
Maling Tanpa Bayangan menggeram murka. 
Kedua telapak tangannya yang telah berwarna hi-
jau segera dilontarkan ke depan. Seketika melesat 
dua larik sinar hijau disertai angin dingin berke-
siur siap melabrak tubuh Dewa Bogel dan Lam-
daur.
"Pukulan 'Kelabang Hijau'...!" desis Lamdaur 
dan Dewa Bogel hampir bersamaan, menyebut 
ajian yang dikeluarkan Maling Tanpa Bayangan.
Satu tombak serangan datang, Dewa Bogel 
dan Lamdaur cepat mendorong kedua telapak tan-
gan yang juga telah berwarna hijau sampai ke 
pangkal. Mereka langsung memapaki serangan 
Maling Tanpa Bayangan. 
Wesss! Wesss! 
Blaaammm...! 
Satu ledakan hebat langsung terjadi di uda-
ra saat pukulan masing-masing bertumbukan. 
Bumi kontan bergetar hebat. Ranting-ranting po-
hon berderak dengan daun-daun membeku!

Maling Tanpa Bayangan tetap berdiri kokoh. 
Sementara tubuh Dewa Bogel dan Lamdaur terja-
jar beberapa langkah. Namun kedua tokoh sakti 
dari Hutan Pring Apus ini cepat memasang kuda-
kuda kembali. Dari sini bisa dilihat kalau Maling 
Tanpa Bayangan mengalami kemajuan pesat.
Begitu melihat kenyataan itu, tanpa mem-
buang waktu lagi Dewa Bogel dan Lamdaur segera 
mencabut keluar senjata andalan berupa rantai 
baja yang melilit pinggang. Demikian pula Lam-
daur. Segera diloloskannya pedang tipis yang juga 
melilit di pinggang. 
Sret! Sret!
Maling Tanpa Bayangan tertawa sumbang. 
Tak mau kalah, segera dicabut senjata andalan-
nya. Maka kini di tangan kanannya telah tergeng-
gam cemeti berekor sembilan. Dari tiap ekor cemeti 
tampak pisau-pisau kecil yang berkilatan.
"Majulah! Aku tak takut menghadapi manu-
sia-manusia tolol macam kalian!" tantang Maling 
Tanpa Bayangan, lantang.
Dewa Bogel dan Lamdaur geram bukan 
main. Bukan saja geram mendengar hinaan dari 
Maling Tanpa Bayangan yang menyebut manusia 
tolol. Tapi juga geram melihat kenyataan bahwa 
kepandaian lawan telah mengalami kemajuan pe-
sat. Apalagi kakak seperguruan mereka itu telah 
mencampuradukkan ilmu perguruan dengan ilmu-
ilmu hitam yang dipelajari entah dari mana.
"Aku tak akan mengampuni nyawa busuk-
mu, Maling!" dengus Dewa Bogel, geram.
"Akan kukuliti tubuhmu sebelum ku ha

dapkan ke makam Guru, Manusia Bejat!" teriak 
Lamdaur kaku.
"Jangan banyak bacot! Buktikan saja kalau 
kalian mampu!" balas Maling Tanpa Bayangan.
Lelaki tua sesat itu memutar cemeti di tan-
gan. Dari putarannya langsung tercipta angin ken-
cang berkesiur menyambar-nyambar tubuh Dewa 
Bogel dan Lamdaur.
Geraham Dewa Bogel dan Lamdaur berge-
melutuk makin kuat. Mereka kini tahu, ternyata. 
tenaga dalam Maling Tanpa Bayangan makin ber-
tambah saja. Itu bisa dibuktikan ketika terjadi 
benturan tadi.
"Tahanlah jurus "Bambu Kuning Pencabut 
Sukma' yang baru kami ciptakan, Maling! 
Heaaa...!"
Dikawal bentakan nyaring, Dewa Bogel dan 
Lamdaur memilih bertindak terlebih dahulu. Meski 
tidak menggunakan bambu kuning sebagai senja-
ta, namun serangan-serangan pedang di tangan 
Lamdaur dan rantai baja di tangan Dewa Bogel tak 
kalah hebatnya bila menggunakan bambu kuning.
Srat! Srat!
Dewa Bogel menyerang ganas dari sebelah 
kanan. Rantai bajanya terus berputar-putar beru-
saha mendesak gulungan-gulungan cemeti berekor 
sembilan milik Maling Tanpa Bayangan. Sedang 
Lamdaur menyerang dari sebelah kiri. Pedang ti-
pisnya yang berkilatan tak henti-hentinya mence-
car tubuh Maling Tanpa Bayangan tanpa ampun.
"Modar kau, Maling!" seru Lamdaur berin-
gas.

Pedang tipis di tangan kanan Lamdaur 
mendadak diputar sedemikian rupa, membuat sa-
tu serangan tipuan. Maling Tanpa Bayangan yang 
saat itu tengah sibuk menghadapi sambaran rantai 
baja terperangah kaget. Sulit rasanya menghindari 
serangan Lamdaur kali ini. Kalau nekat menghin-
dar atau menangkis, rasanya akan sia-sia saja. 
Karena pasti rantai baja Dewa Bogel sudah me-
nunggu.
"Hup!"
Dengan satu perhitungan yang cukup ma-
tang, tiba-tiba Maling Tanpa Bayangan menggu-
lingkan tubuhnya ke bawah menghindari pedang 
tipis Lamdaur. Sementara, cemeti berekor sembi-
lan segera memapak rantai baja yang memang su-
dah menunggu. 
Trang! Trang! 
Berkali-kali cemeti Maling Tanpa Bayangan 
memapak sambaran rantai baja Dewa Bogel. Na-
mun saat itulah kelemahannya terbaca.
Selagi Maling Tanpa Bayangan baru saja 
bangkit berdiri, Dewa Bogel dan Lamdaur tak me-
nyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan satu seran-
gan tak terduga, Dewa Bogel dan Lamdaur kembali 
meluruk dengan sambaran rantai baja dan sabe-
tan pedang tipis.
Maling Tanpa Bayangan memekik lirih. 
Keadaannya kali ini benar-benar terjepit. Tanpa 
sadar keringat dingin di sekujur tubuhnya kian 
membanjir menyadari dua gulungan senjata di 
tangan lawan siap merajam tubuhnya. Dan....
Crak! Crak!

Prakkk!
"Aaakh...!"
Maling Tanpa Bayangan melolong setinggi 
langit. Tubuhnya seketika limbung ke samping 
terkena bacokan-bacokan pedang di tangan Lam-
daur dan hantaman rantai baja di tangan Dewa 
Bogel. Sekujur tubuhnya langsung bermandikan 
darah! Tulang-tulangnya seperti mau hancur. Un-
tung saja kedua lawannya tak meneruskan seran-
gan. Seolah memberi kesempatan pada Maling 
Tanpa Bayangan.
"Menyerahlah, Maling! Niscaya aku men-
gampunimu!" seru Lamdaur lantang.
"Atau kau memang belum puas mendapat 
hajaran rantai bajaku, he?!" teriak Dewa Bogel 
menambahi.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan 
gerahamnya penuh kemarahan. Dan sekali meng-
hentakkan kaki ke tanah, tubuhnya telah berdiri 
tegak di hadapan kedua adik seperguruannya. Ma-
tanya yang hijau tak henti-hentinya menghujam 
pada Dewa Bogel dan Lamdaur bergantian.
"Setan! Siapa pedulikan bacotmu, Tolol! Bi-
ar kau bunuh sekalipun, tak mungkin aku menye-
rah!" dengus Maling Tanpa Bayangan.
Dewa Bogel dan Lamdaur tertawa dingin. 
Dan ketika tawa kedua tokoh sakti dari Hutan 
Pring Apus itu terhenti, tiba-tiba sepasang mata 
mereka jadi berkilat-kilat penuh keheranan. Beta-
pa samar-samar dari luka di sekujur tubuh Maling 
Tanpa Bayangan kini telah dipenuhi uap hitam.
Mula-mula kening Maling Tanpa Bayangan

berkerut tak mengerti. Namun ketika melihat ke-
heranan Dewa Bogel dan Lamdaur makin kentara, 
lelaki ini jadi curiga. Dan ketika menyaksikan kea-
daan tubuhnya, seketika terperangahlah hatinya. 
Betapa luka di sekujur tubuhnya kini telah dipe-
nuhi uap hitam tipis. Bahkan perlahan-lahan lu-
ka-luka itu merapat dan sembuh seperti sediakala!
Maling Tanpa Bayangan melongo. Kening-
nya terus berkerut-kerut menyaksikan kejadian 
aneh yang tengah dialami. Ketika disadari, barulah 
lelaki ini tertawa bergelak. Kini hatinya yakin seka-
li kalau kejadian aneh itu tak lain karena Kitab 
Paguyuban Setan yang tersimpan di balik jubah 
hitamnya!
***
"Hugh...! Hugh,..!" 
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi 
dan celana bersisik putih keperakan menghentikan 
semadinya ketika mendengar suara batuk di sam-
pingnya. Pandangan matanya segera dialihkan ke 
arah datangnya suara.
Ternyata suara itu datangnya dari seorang 
lelaki berpakaian bayi. Wajahnya pun mirip bayi. 
Hanya rambut alis serta bulu mata saja yang 
membuktikan kalau lelaki itu sudah amat tua, di 
samping kulitnya yang keriput. Lelaki tua yang tak 
lain Bayi Kawak itu tengah terengah-engah. Lu-
kanya yang menganga pada bagian dadanya tam-
pak demikian mengerikan. Darah membanjir 
membasahi pakaian bayinya. Ia kini berada dalam


pelukan seorang gadis berpakaian warna-warni. 
Rambutnya hitam panjang dikepang dua. Juga, 
dihiasi pita beraneka warna. Tubuh rampingnya 
yang tampak dari samping tampak demikian 
mempesona, membentuk lekuk-lekuk indah men-
gundang. 
Tak jauh dari yang tak lain Putri Manja, 
tampak duduk bersila seorang kakek renta berpa-
kaian jubah kuning yang kedodoran. Kepalanya 
plontos, tanpa sehelai rambut pun. Dari bulu ma-
ta, alis mata, dan jenggotnya yang panjang semua 
berwarna putih, menandakan kalau kakek bertu-
buh tinggi kurus itu berusia amat lanjut.
Sekali lihat saja pemuda yang tak lain Silu-
man Ular Putih tahu kalau kakek berjubah kuning 
yang memang Pelukis Sinting Tanpa Tanding men-
derita luka dalam yang parah. Namun karena saat 
itu luka Bayi Kawak jauh lebih parah, maka ke sa-
nalah Soma mendekat.
"Guru...! Jangan tinggalkan aku, Guru! Aku 
tak mau kau mati!" isak Putri Manja tak henti.
Hati Siluman Ular Putih trenyuh. Ia mak-
lum akan cobaan berat yang mengguncang hati 
gadis manja yang kini di sampingnya. Putri Manja 
yang biasa bersikap berlebihan sekaligus juga 
amat menggemaskan, kini tampak demikian me-
melaskan. Wajahnya yang cantik bersimbah air 
mata. Sambil terus mengguncang-guncangkan tu-
buh Bayi Kawak, si gadis terus saja terisak-isak.
"Sudahlah, Putri! Percuma saja menangis. 
Tak mungkin gurumu sembuh kalau kau menan-
gis terus!" ujar Siluman Ular Putih.

"Cerewet! Lekas kau tolong guruku!" tukas 
Putri Manja.
"Baik. Tapi... Tapi..."
Mendadak Siluman Ular Putih menggaruk-
garuk kepala. Betapa tidak? Pemuda ini hanya se-
dikit mengerti ilmu pengobatan. Apalagi melihat 
luka Bayi Kawak yang mengerikan itu. Saking bin-
gungnya, Soma terus menggaruk-garuk kepala. 
Entah karena kepalanya jadi sarang kutu, atau 
memang kebingungan. Pokoknya Soma terus 
menggaruk tanpa peduli.
Melihat kelakuan Siluman Ular Putih, mau 
tak mau Putri Manja jadi kesal. Wajahnya yang 
cantik ditekuk demikian rupa. Mulutnya membe-
sengut.
"Kau.... Kau ini bagaimana, sih? Orang dis-
uruh menyembuhkan guruku, malah garuk-garuk 
kepala! Apa dikira dengan menggaruk-garuk kepa-
la guruku akan sembuh!" damprat Putri Manja.
"Iya iya...! Aku tahu. Justru aku sedang 
memikirkan, bagaimana caranya menyembuhkan 
luka dalam gurumu. Jadi jangan marah-marah 
dulu, dong...," tangkis Siluman Ular Putih.
"Habis kau menjengkelkan, sih! Selalu saja 
membuatku marah!" sungut Putri Manja mulai ke-
lihatan sikap aslinya.
"Ya, deh. Aku mengalah. Terus terang, aku
hanya sedikit mengerti ilmu pengobatan. Seka-
rang, baiknya kita cari saja Tabib Agung, karena 
luka dalam gurumu amat parah. Kujamin orang 
tua dari Gunung Perahu itu dapat menyembuhkan 
luka gurumu!"

"Baik. Kalau begitu, cepat angkat guruku! 
Jangan membuang-buang waktu!" perintah Putri 
Manja.
Lagi-lagi Soma hanya menggaruk-garuk ke-
pala. "Sial!" rutuk si pemuda dalam hati.
"Kenapa diam saja? Ayo, cepat angkat guru-
ku!" bentak Putri Manja.
"Iya iya...! Tapi, apa tidak baiknya orang lain 
saja."
"Bodoh! Mana mungkin di tempat sesunyi 
ini ada orang? Ayo, lekas angkat!" bentak Putri 
Manja lagi.
"Baik."
Entah kenapa Siluman Ular Putih tunduk 
juga oleh perintah gadis manja itu. Mungkin kare-
na rasa bersalahnya waktu itu dengan memper-
mainkan Putri Manja. Akibatnya, si gadis ngambek 
dan lari darinya. Karena tak ingin mengecewakan 
si gadis untuk yang kedua kali. Soma segera men-
gangkat kakek bau pesing guru dari Putri Manja 
itu.
"Percuma saja orang menjulukimu Siluman 
Ular Putih, kalau hatimu pilih-pilih kasih. Percu-
ma saja tua bangka macam kami meminta perto-
longan kalau hati pendekar kita sudah terpaut 
seorang gadis...." 
Mendadak Siluman Ular Putih dikejutkan 
suara orang yang disusul suara siulan. Buru-buru 
kepalanya berpaling ke arah datangnya suara. 
Ternyata orang yang bersuara tadi bukan lain ada-
lah Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Aneh sekali! 
Walau tengah menderita luka dalam cukup parah,

namun kakek sakti dari Gua Bedakah itu masih 
sempat-sempatnya menggoda.
Terpaksa Siluman Ular Putih menahan 
langkahnya. Jelas, pemuda ini merasa disindir 
oleh ucapan Pelukis Sinting Tanpa Tanding hingga 
hatinya mendadak jadi gelisah.
"Heran! Kenapa aku jadi gelisah seperti ini? 
Apakah benar ucapan tua bangka itu? Aku sudah 
terpaut kecantikan Putri Manja? Ah...! Mengapa 
aku harus memikirkan satu hal yang tak pasti. Pu-
tri Manja sendiri belum tentu sudi memikirkanku!" 
sungut Soma dalam hati.
"Baik-baik. Aku akan menyembuhkanmu, 
Orang Tua. Tapi sekali lagi, jangan bilang kalau 
aku pilih kasih. Karena pertimbanganku, Bayi Ka-
wak menderita luka paling parah. Hm.... Tapi ada 
baiknya aku memeriksa lukamu dulu," kata Soma, 
seraya meletakkan kembali tubuh Bayi Kawak.
"Duh...! Senangnya hatiku. Hati siapa yang 
tidak akan senang mendapatkan pertolongan pe-
muda tampan macam kau. Terima kasih, Bocah. 
Kau memang baik hati. Memang inilah yang kuin-
ginkan sebenarnya," celoteh Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding cerewet.
"Ompong! Diam kau! Tak ada gunanya kau 
menggoda. Aku tak yakin kalau kau benar-benar 
membutuhkan pertolongannya!" damprat Bayi Ka-
wak yang dari tadi hanya membisu.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terse-
nyum-senyum menggoda. Wajahnya yang tadi ke-
lihatan pucat, kini tampak kemerah-merahan. 
Agaknya luka dalam tokoh sakti dari Gua Bedakah

itu mulai berangsur sembuh. Dan Soma yang me-
meriksa tersenyum lega. Berarti ia tak perlu lagi 
memberi pertolongan pada Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding.
"Maaf, Anak Muda. Tadi aku hanya meng-
godamu. Aku sudah menyembuhkan luka dalam-
ku sendiri, kok," ucap Pelukis Sinting Tanpa Tend-
ing, seenaknya.
"Orang Tua! Kau memang terlalu banyak 
bercanda. Luka dalam yang diderita Bayi Kawak 
jauh lebih parah dibanding luka dalammu. Tapi 
kenapa kau cerewet amat?" kata Soma agak kesal 
juga.
"Ya, sudah. Kalau kau mau membawa Bayi 
Kawak ke Tabib Agung, ya... bawa saja. Kenapa 
marah-marah?" sungut Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding, seenak dengkul. Menyebalkan sekali si-
kapnya! 
Siluman Ular Putih hanya bisa geleng-
geleng kepala disertai dengusan kesal. Namun un-
tuk mendamprat Pelukis Sinting Tanpa Tanding, ia 
tak berani. Tak enak rasanya membentak-bentak 
orang tua. Yang dilakukannya kini adalah men-
gangkat kembali tubuh Bayi Kawak.
"Ayo, Soma! Lekas kita tinggalkan tempat 
ini! Kenapa kau malah melongo saja!" teriak Putri 
Manja mengagetkan.
"Ba..., baik."
Tanpa banyak cakap Putri Manja segera 
meraih lengan Siluman Ular Putih dan segera ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu. Meski 
sambil memondong tubuh Bayi Kawak, tampak

sekali kalau Siluman Ular Putih mampu mengim-
bangi ilmu meringankan tubuh Putri Manja. Malah 
kalau mau, bisa saja mendahului. Namun Soma 
hanya mengikuti langkah si gadis sesuai kemam-
puannya.
"Sekarang apa yang harus kulakukan? Ra-
sanya aku belum puas. Meski manusia jahanam 
Pengasuh Setan sudah modar, tetap saja belum 
puas. Karena aku tak dapat membunuhnya. Malah 
sekarang aku menderita luka bakar. Huh..,! Men-
jengkelkan. Enak benar jahanam itu modar sebe-
lum aku sempat membalaskan sakit hati. Seka-
rang apa yang harus kulakukan, huh?!" keluh Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding begitu sosok bayan-
gan Putri Manja dan Siluman Ular Putih menghi-
lang di balik kegelapan malam. Habis menggu-
mam, Pelukis Sinting Tanpa Tanding segera bang-
kit dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Tam-
pak langkahnya terhuyung-huyung sebelum ak-
hirnya menghilang di balik kegelapan malam.... 

TIGA


"Hahaha...! Rupanya percuma saja berta-
hun-tahun kalian belajar silat kalau menghadapi-
ku seorang diri saja tak becus!"
Maling Tanpa Bayangan itu tak henti-
hentinya terus mengumbar tawa serta ejekan. Ke-
jadian aneh yang baru saja dialami benar-benar 
membuat semangat bertarungnya meledak-ledak.

Luka akibat bacokan pedang tipis di tangan Lam-
daur, dan luka dalam akibat hantaman rantai baja 
Dewa Bogel, kini telah sembuh seperti semula. Le-
laki ini yakin kalau itu berkat Kitab Paguyuban Se-
tan yang disembunyikan di balik jubah.
Sementara di pihak Dewa Bogel dan Lam-
daur yang melihat kejadian itu, mereka menduga 
kalau ilmu bekas kakak seperguruannya benar-
benar telah mencapai tingkat yang tinggi sekali. 
Bahkan mungkin sulit ditandingi oleh kepandaian 
mereka berdua. Namun ini bukan berarti harus 
tunduk begitu saja, walau nyawa taruhannya. 
"Kuakui, kesaktianmu kini telah melampaui 
jauh kesaktian kami. Namun jangan dikira kami 
mengalah begitu saja. Bagaimanapun juga dan apa 
pun akibatnya, kami tetap meminta pertanggung-
jawabanmu. Kau harus kami hukum!" dengus De-
wa Bogel.
"Bagus-bagus! Kalau kalian ingin cepat 
modar, majulah! Jangan tanggung-tanggung! Le-
kas keluarkan aji 'Penuntun Dewa' kebanggaan ka-
lian, juga kebanggaan Guru!" ejek Maling Tanpa 
Bayangan.
Sembari mengejek demikian, diam-diam 
Maling Tanpa Bayangan sendiri pun telah menge-
rahkan pukulan 'Kelabang Hijau'. Seketika kedua 
telapak tangannya kembali dijalari warna hijau, 
hingga sampai ke siku. Ini saja sudah jelas mem-
buktikan kalau Maling Tanpa Bayangan tak segan-
segan lagi menghadapi bekas-bekas adik-
seperguruannya. Dan ia yakin, aji 'Penuntun De-
wa' tak akan sanggup menahan pukulan 'Kelabang


Hijau' yang telah dicampur aduk dengan aji 'Sirep 
Sukma'.
"Baik Manusia Maling! Hari ini aku akan 
mengadu nyawa! Meski nyawa melayang, aku ma-
lah bangga. Karena aku tewas demi membela ke-
benaran. Tidak seperti kau, yang selalu berkubang 
dalam lumpur dosa!" geram Lamdaur penuh kema-
rahan.
"Terserah kalian, mau bilang apa. Yang je-
las, hari inilah kematian kalian!" balas Maling 
Tanpa Bayangan.
Sementara Dewa Bogel menggeretakkan ge-
raham-nya penuh kemarahan. Ia yang berwatak 
berangasan tak sabar lagi mendengar ejekan Mal-
ing Tanpa Bayangan. Maka saat itu juga segera di-
labraknya Maling Tanpa Bayangan dengan aji 
'Penuntun Dewa'.
"Hea...! Mampus kau, Maling!"
Berbareng teriakan nyaringnya yang mem-
belah angkasa, Dewa Bogel telah menghantamkan 
kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi 
biru tua ke arah Maling Tanpa Bayangan. 
Wesss! Wesss!
Seketika melesat dua larik sinar biru yang 
disertai hawa panas luar biasa, dari kedua telapak 
tangan Dewa Bogel.
"Hiaaah...!"
Maling Tanpa Bayangan masih sempat 
mengumbar tawa, sebelum akhirnya segera meng-
hentakkan kedua tangannya disertai teriakan 
mengguntur.
Blaaammm!

"Aaakh...!" 
Hebat, bukan main bentrokan dua tenaga 
dalam barusan. Bumi laksana diguncang prahara. 
Berkesiurnya angin dingin dan panas akibat ben-
trokan barusan mengakibatkan ranting-ranting 
pohon hangus terbakar dan sebagian membeku! 
Sewaktu terjadi bentrokan, Dewa Bogel 
menjerit setinggi langit. Tanpa ampun tubuhnya 
kontan terbanting keras. Wajahnya kini pucat ba-
gai kapas. Bentrokan tadi seakan-akan mengaduk-
aduk isi dalam dadanya.
"Hoekh...!"
Dewa Bogel tak tahan. Dari mulutnya men-
dadak meluncur darah segar
Melihat adik seperguruannya dapat diro-
bohkan, Lamdaur geram bukan main. Tanpa 
menghiraukan keadaan Dewa Bogel, segera diter-
jangnya Maling Tanpa Bayangan. Tidak tanggung-
tanggung langsung dikerahkannya aji 'Penuntun 
Dewa' seperti yang dilakukan Dewa Bogel tadi.
Sementara Maling Tanpa Bayangan yang 
tubuhnya tengah limbung ke samping akibat ben-
trokan tadi, terperangah kaget. Rupanya, ia belum 
siap menerima serangan. Dan manakala melihat 
serangan datang, ia hanya bisa mengeluh. Kemu-
dian....
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali dua larik sinar biru tua dari 
kedua telapak tangan Lamdaur menghantam dada 
Maling Tanpa Bayangan. Maka tanpa ampun tu-
buhnya terlempar jauh ke belakang bak layangan 
putus. Sebentar tubuhnya berputar-putar sebelum

akhirnya menghantam batang pohon.
Brakkk! 
Perlahan-lahan tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan luruh ke tanah. Parasnya tampak pucat pasi. 
Dari lubang hidung dan mulut mengeluarkan da-
rah segar, pertanda guru mendiang Raja Maling ini 
menderita luka dalam.
Namun, lagi-lagi seperti yang dialami tadi. 
Uap hitam dari balik jubahnya kembali menyeli-
muti sekujur tubuh Maling Tanpa Bayangan. Se-
hingga dalam waktu yang tidak lama lelaki tua se-
sat itu pun meloncat bangun dengan tubuh segar 
bugar! Luar biasa!
"Kau tak mungkin dapat mengalahkanku, 
Lamdaur! Percuma saja! Lebih baik bunuh diri sa-
ja daripada tanganku kotor oleh darah busukmu!" 
ejek Maling Tanpa Bayangan.
Lamdaur menyeringai. Apa yang diucapkan 
Maling Tanpa Bayangan barusan memang sempat 
mempengaruhi nyalinya. Tapi disadari, dalam kea-
daan terjepit begitu bukan berarti harus melarikan 
diri dari pertarungan. Apalagi Dewa Bogel telah di-
robohkan dengan mudah. Maka justru inilah yang 
menyulut amarah Lamdaur.
Dan tanpa mengenal takut sedikit pun, 
mendadak Lamdaur menggembor penuh kemara-
han. Kedua telapak tangannya yang kian berubah 
jadi biru tua segera dihantamkan ke depan.
Wesss! Wesss!
Dua larik sinar biru tua meluruk dari kedua 
telapak tangan Lamdaur, menyambar-nyambar 
mengerikan. Dan sebelum serangan tokoh sakti

dari Hutan Pring Apus itu mengenai sasaran, hawa 
hangus telah mendahului! Ini jelas membuktikan 
kalau Lamdaur telah mengerahkan tenaga dalam 
sampai pada kekuatan penuh.
Maling Tanpa Bayangan kini telah siap 
waspada. Maka begitu melihat serangan, kedua 
tangannya juga menghentak. Langsung dile-
paskannya pukulan 'Kelabang Hijau' yang telah di-
campur baur dengan aji 'Sirep Sukma'! Selanjut-
nya..... 
Blaaarrr...!
"Aaakh...!"
Bersama pekik mengerikan, tanpa ampun 
tubuh jangkung Lamdaur kontan terlempar jauh 
ke belakang. Begitu terbanting di tanah, tubuhnya 
sempat mengejang-ngejang sebentar, sebelum ak-
hirnya tidak bergerak-gerak sama sekali! Entah 
pingsan, entah tewas!
"Hahaha...!"
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak. 
Kepalanya mendongak ke atas. Puas sekali ra-
sanya dapat mengalahkan kedua orang adik se-
perguruannya. Dalam benaknya pun membayang-
kan dengan cara itu pulalah tubuh Siluman Ular 
Putih maupun tubuh tokoh-tokoh sakti lain akan 
dilumatkan. Terutama bila menghalang-halangi 
niatnya menguasai dunia persilatan!
"Haha ha...! Siapa berani menentang Maling 
Tanpa Bayangan, berarti mati!"
Suara tawa Maling Tanpa Bayangan kian
membahana. Seolah dengan begitu, ia ingin men-
gabarkan ke segenap penjuru kalau dialah yang

paling sakti di kolong langit.
"Manusia maling tak berperasaan! Mampus-
lah kau! Hea...!"
Tiba-tiba Dewa Bogel yang telah dikira te-
was oleh Maling Tanpa Bayangan segera mener-
jang hebat. Kedua telapak tangannya yang ber-
warna biru tua segera dihantamkan ke arah Mal-
ing Tanpa Bayangan. Maka seketika meluruk dua 
larik sinar biru tua dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Merasakan ada hawa panas menyengat ku-
lit tubuh, tanpa pikir panjang Maling Tanpa 
Bayangan segera berbalik seraya menghentakkan 
kedua tangannya. Pukulan 'Kelabang Hijau' lang-
sung diarahkan pada sumber hawa panas baru-
san. Dan....,
Buuummm! 
"Aaa...!" 
Satu pekik menyayat hati terdengar mewar-
nai tempat pertarungan mengiringi bunyi mengge-
legar akibat bentrokan tadi. Tanpa ampun, tubuh 
Dewa Bogel melayang jauh ke belakang bak se-
buah bola yang melesat jauh, sebelum akhirnya 
menghantam batang pohon di belakangnya. 
Brakkk!
Seperti yang dialami Lamdaur, Dewa Bogel 
luruh ke tanah. Tubuhnya melejang-lejang seben-
tar, sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak sama 
sekali.
"Ha ha ha...! Kubilang apa?! Percuma saja 
kalian menentang Maling Tanpa Bayangan! Begini 
inilah nasib orang-orang yang akan menentangku!"

Tak henti-hentinya Maling Tanpa Bayangan 
mengumbar tawa. Hatinya puas bukan main. Ha-
tinya yakin sekali, dengan kemampuannya seka-
rang dapat mengalahkan Siluman Ular Putih. 
Meski demikian Kitab Paguyuban Setan tetap ha-
rus dipelajari. Bagaimanapun juga, ia tak ingin 
menelan kekalahan untuk yang kedua kali.
Berpikir sampai di sini, Maling Tanpa 
Bayangan segera berkelebat tanpa menghiraukan 
Dewa Bogel dan Lamdaur yang terkapar di tanah. 
Hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosoknya 
yang tinggi kurus telah menghilang di balik kege-
lapan malam.
***
Pagi menjelang.
Kabut tipis masih mewarnai puncak Gu-
nung Sindoro yang hampir semalaman menunjuk-
kan kekuasaannya. Suasana pagi ini benar-benar 
lengang. Kicauan burung yang biasanya ramai 
menyambut sinar matahari, kini seolah sepi. Larut 
dalam suasana duka mencekam.
Dalam kelengangan pagi itu, dua sosok 
bayangan tengah berjalan dari timur. Sosok yang 
di sebelah kanan tampak tengah menggendong se-
suatu. Sedang sosok di sebelahnya melenggang 
santai. Sosok yang menggendong sesuatu itu ter-
nyata seorang pemuda tampan. Tubuhnya tinggi 
kekar. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan angin. Di dada kirinya tampak raja-
han kecil bergambar seekor ular putih. Pakaiannya

rompi bersisik warna putih keperakan tanpa kanc-
ing. Celananya pun bersisik
Menilik ciri-cirinya, sudah jelas kalau pe-
muda tampan yang memiliki senjata anak panah 
terselip di pinggang itu adalah Siluman Ular Putih 
yang sedang memondong Bayi Kawak. Sedang ga-
dis di sampingnya yang mengenakan pakaian ber-
warna merah, kuning, dan hijau, seperti pita yang 
dikenakannya adalah murid Bayi Kawak. Siapa la-
gi kalau bukan Mawangi alias Putri Manja!
Rupanya, perjalanan mereka kali ini tidak 
ditingkahi suara canda tawa. Hal ini makin me-
nambah kelengangan suasana pagi di lereng Gu-
nung Sindoro.
Saking tidak tahannya mendapati suasana 
lengang pagi itu dan ditingkahi sikap cemberut Pu-
tri Manja, lama kelamaan Siluman Ular Putih jadi 
tidak tahan. Mulutnya gatal untuk bertegur sapa. 
Namun ia malas mengusik ketenangan Putri Man-
ja. Maka untuk melampiaskan rasa dongkol ha-
tinya Siluman Ular Putih terus menggerutu. Entah 
untuk siapa ditujukan.
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?! Apa kau tak 
bisa diam?!" bentak Putri Manja, galak. 
"Habis dari tadi kau diam saja, sih! Aku kan 
tidak betah. Masa' orang jalan berduaan terus
membisu. Memangnya aku patung?!" balas. Soma 
menggoda. Mulutnya ditarik ke samping. Makin je-
lek saja tampang murid Eyang Begawan Kama-
setyo kalau sedang begitu.
Putri Manja menggeretakkan gerahamnya 
kuat. Kesal sekali hatinya melihat tingkah pemuda

tampan yang diam-diam mulai mengusik hatinya. 
Namun karena terdorong kecemasannya akan ke-
selamatan gurunya, Putri Manja makin sengit.
"Tutup mulutmu. Soma! Aku tak senang ka-
lau kau terus bertingkah!" bentaknya.
"Baik-baik! Aku akan tutup mulut. Tapi, 
kau jangan marah, ya!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menghentikan 
langkah. Mulutnya dikunci rapat-rapat. Ia diam 
saja sembari berdiri tegak menghadap ke puncak 
Gunung Sindoro. Tentu saja hal ini makin mem-
buat hati Putri Manja jengkel.
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?! Aku menyu-
ruhmu diam, bukan diam seperti patung! Ayo, te-
rus jalan!" bentak si gadis.
"Egh...! Egh...!"
Soma menggeleng-gelengkan kepala, Kedua 
tangannya digerak-gerakkan demikian rupa, mirip 
orang gagu. 
Habis sudah kesabaran Putri Manja. Tan-
gannya yang sudah gatal rasanya ingin segera me-
nampar pipi Siluman Ular Putih. Namun baru saja 
mengangkat tangan, mendadak pendengarannya 
yang tajam mendengar erangan halus seseorang. 
"Eh...! Siapakah di situ?" 
Putri Manja celingukan ke sana kemari, tapi 
tak menemukan apa-apa. Kecuali, semak belukar 
yang meranggas. 
Namun Siluman Ular Putih yang memiliki 
pendengaran lebih tajam telah meloncat ke arah 
datangnya suara. Sesekali menjejakkan kakinya ke 
tanah, tubuhnya telah berdiri di samping semak

belukar yang dicurigai. Dan seketika keningnya ja-
di berkerut-kerut heran. 
"Dewa Bogel...?" desah Soma.
Memang, apa yang dilihat Soma adalah De-
wa Bogel yang pernah mengganggunya kemarin 
petang. Lelaki pendek tambun itu tengah tergele-
tak tak berdaya di atas semak belukar. Parasnya 
pias. Dari lubang mulut dan lubang hidung tam-
pak darah kering memenuhi parasnya. 
Kalau saja Soma teringat akan tingkah De-
wa Bogel kemarin siang, ingin rasanya membiar-
kan lelaki tua berpusar bodong itu begitu saja. 
Namun sebagai seorang pendekar yang memiliki 
rasa welas asih, hatinya tak tega melihat keadaan 
Dewa Bogel. Maka begitu meletakkan tubuh Bayi 
Kawak, Siluman Ular Putih segera memeriksa tu-
buh Dewa Bogel. 
"Soma! Apa yang kau lakukan di situ?" te-
riak Putri Manja yang rupanya masih belum me-
nyadari kalau Soma telah menemukan Dewa Bogel 
di tempat itu.
Namun... belum sempat si gadis mengung-
kapkan kekesalannya, mendadak sepasang ma-
tanya yang indah melihat sesosok tubuh lain ter-
kapar di atas tanah rerumputan.
"Soma! Cepat kemari!" pekik Putri Manja,
berteriak-teriak bingung.
Soma yang tengah mengobati luka dalam 
Dewa Bogel mana mau menuruti panggilan Putri 
Manja. Ia terus saja memeriksa sekaligus mengo-
bati luka dalam lelaki tua tambun itu sebisanya.
"Kau keterlaluan. Soma! Cepat ke sini!"

sungut Putri Manja saking kesalnya.
Tetap saja tak ada jawaban.
Habis sudah kesabaran Putri Manja dibuat-
nya. Sekali menghentakkan kakinya ke tanah, tu-
buh tinggi ramping Putri Manja melompat ke arah 
Siluman Ular Putih. Dan.... 
"Kau.... Kau! Ah...! Kenapa kau tak ngo-
mong kalau sedang mengobati seseorang?!" kata 
Putri Manja, begitu mendarat di samping Soma.
Putri Manja membantingkan kakinya kesal. 
Mulutnya membesengut. Kesal sekali diperlakukan 
seperti itu oleh Soma. Lebih kesalnya lagi manaka-
la tetap tidak mempedulikan pertanyaannya. Pe-
muda itu hanya menggerak-gerakkan tangannya, 
mirip orang gagu!
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?!" sentak si 
gadis.
"Lho? Kenapa kau marah? Tadi kau menyu-
ruhku diam. Dan kau berjanji tidak akan marah. 
Tapi, kenapa sekarang uring-uringan seperti ne-
nek-nenek kehilangan sirih?" akhirnya Siluman 
Ular Putih membuka suara untuk si gadis.
"Kau.... Kau...! Ah...!"
Sekali lagi Putri Manja membantingkan ka-
kinya kesal. Kalau menurutkan amarah, sudah 
pasti akan dikemplangnya kepala murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu. Namun ternyata toh gadis 
itu tak melakukannya.
"Di..., di sana juga ada orang tergeletak. 
Soma!" tunjuk Putri Manja mengarahkan telunjuk 
jarinya ke samping.
"Oh, ya? Sayang sekali aku belum selesai

memeriksa manusia bogel satu ini. Kau sendiri sa-
ja yang memeriksa di sana!" ujar Siluman Ular Pu-
tih.
Putri Manja menyumpah serapah dalam ha-
ti. Marah dan benci bercampur aduk jadi satu. In-
gin rasanya ia tak menggubris perintah Siluman 
Ular Putih. Namun entah kenapa tak sanggup. Ji-
wa kependekarannya melarang berbuat demikian. 
Apalagi saat itu seseorang tengah membutuhkan 
pertolongannya. Maka meski hatinya mengkelap, 
akhirnya Putri Manja mau juga menuruti perintah 
Siluman Ular Putih.
Sekali lihat saja Putri Manja tahu kalau ka-
kek jangkung yang tak lain Lamdaur itu tengah 
menderita luka dalam cukup parah. Tanpa me-
nunggu perintah sekali lagi, segera diperiksanya 
tubuh Lamdaur.
Lama juga Siluman Ular Putih dan Putri 
Manja memeriksa sekaligus mengobati luka dalam 
Dewa Bogel dan Lamdaur. Dan ini membuat hati 
kedua anak muda itu jadi heran bukan main. En-
tah kenapa, tubuh kedua kakek itu belum siuman 
juga. Padahal mereka sudah berulang kali menya-
lurkan tenaga dalam!
Malah, yang terjadi sebaliknya. Tubuh Lam-
daur dan Dewa Bogel tampak jadi makin kehi-
jauan. Dari paras sampai kuku-kuku jari berwarna 
hijau! Jelas sekali kalau kedua orang tokoh sakti 
dari Hutan Pring Apus itu telah terkena racun ga-
nas. Di samping itu, ada satu kekuatan gaib yang 
menguasai jalan pikiran mereka. Kelihatannya 
memang tak mungkin Siluman Ular Putih dan Pu

tri Manja mampu mengobati kedua kakek itu.
"Payah...! Kukira tua bangka brengsek ini 
pun harus dibawa menemui Tabib Agung. Kau 
sendiri bagaimana, Putri? Apa dapat menyembuh-
kan luka dalam orang itu?"
Soma memalingkan kepala ke arah Putri 
Manja. Dilihatnya gadis manja itu tengah sibuk 
menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Lamdaur. 
Padahal wajah cantiknya telah dipenuhi keringat.
Siluman Ular Putih tahu, Putri Manja pun 
tak mampu menyembuhkan luka dalam Lamdaur. 
Buktinya begitu mendengar pertanyaannya, Putri 
Manja segera mengangkat bahu. Ini jelas membuk-
tikan kalau si gadis benar-benar tak sanggup.
"Mungkin ucapanmu benar, Soma. Terpak-
sa kita harus membawa mereka menemui Tabib 
Agung di puncak Gunung Perahu. Aku telah beru-
saha menyembuhkan luka dalamnya, juga beru-
saha mengeluarkan racun hijau yang mengeram 
dalam tubuhnya. Namun ya..., tetap saja tak bisa. 
Ayo! Sebaiknya mereka segera kita bawa menemui 
Tabib Agung!" ujar Putri Manja, akhirnya menyetu-
jui usul Siluman Ular Putih
"Ayo, ya ayo! Tapi bagaimana mungkin aku 
harus membawa tubuh ketiga orang ini," sahut 
Soma, sedikit kesal.
"Sekarang biar aku yang membawa tubuh 
guruku. Kau yang menggendong tubuh kedua 
orang kakek itu. Mau, kan?" cetus si gadis. 
"Tentu. Kukira tadi kau akan menyuruhku 
kerja borongan. Maksudku menyuruhku memang-
gul ketiga orang tua itu. Tapi ternyata kau punya

sedikit perasaan juga."
"Cerewet! Sudah pasti aku punya perasaan. 
Kalau tidak, sudah pasti mulutmu kurobek-robek 
saking cerewetnya!"
"Apa?" Soma membeliakkan matanya se-
nang. "Kau ingin menciumku. Tentu. Tentu aku 
senang sekali!"
"Cih! Tak tahu malu! Pemuda macam apa 
kau ini Soma?! Belum apa-apa sudah minta cium!" 
bentak Putri Manja sengit.
"Lho? Siapa yang bilang belum apa-apa? 
Jangan begitu, ah. Aku sudah apa-apa dari tadi.
Kalau kau tak percaya, pegang dadaku?" canda 
Soma kelewatan.
Putri Manja membesengut berat. Kalau saja 
saat itu berdekatan, dijamin tangan mungilnya 
akan mendarat di pipi Siluman Ular Putih. Namun 
berhubung jarak mereka berjauhan terpaksa Putri 
Manja hanya memberengut.
"Sudah-sudah! Jangan memberengut saja! 
Nanti pipimu yang kemerah-merahan itu hangus 
terbakar!" ujar Soma.
Putri Manja tak menggubris godaan Silu-
man Ular Putih. Hatinya mengkelap sekali. Kemu-
dian saat Soma menyerahkan tubuh Bayi Kawak, 
Putri Manja segera menyodok perut Siluman Ular 
Putih kesal.
Siluman Ular Putih hanya tertawa. Bisa jadi 
hatinya senang diperlakukan begitu oleh Putri 
Manja.

EMPAT

Sosok hitam Maling Tanpa Bayangan terus 
berkelebat cepat menembus kegelapan malam. Tak 
dipedulikannya rasa lelah dan penat. Rasanya su-
dah tak sabar lagi hasratnya untuk mempelajari 
Kitab Paguyuban Setan. Untuk itu, sengaja ia 
kembali ke tempatnya bertapa. Yakni, di sebuah 
gua di tepian Sungai Serayu.
Tak kurang dari sehari semalam melakukan 
perjalanan, akhirnya sampailah Maling Tanpa 
Bayangan di sebuah lereng terjal, seolah memagari 
aliran Sungai Serayu yang deras. Keadaan di seki-
tar sungai tampak lengang saja, seperti tak ber-
penghuni. Mungkin dikarenakan banyak ditumbu-
hi semak-semak belukar, hingga orang akan segan 
datang ke tempat sunyi itu. Burung di ranting po-
hon seolah malas memperdengarkan kicauannya 
yang merdu. Padahal, di sekitar tempat itu cukup 
sepi.
Maling Tanpa Bayangan tak mempedulikan 
itu semua. Keinginannya untuk mempelajari Kitab 
Paguyuban Setan demikian menggebu. Rasanya 
tak sabar hatinya untuk segera kembali ke dalam 
tempat pertapaannya. Maka sekali menghentakkan 
kakinya pada batang pohon yang tumbang, tubuh 
jangkungnya pun segera melenting tinggi ke udara. 
Begitu kedua kakinya mendarat, tahu-tahu telah 
berada di sebuah tanah bererumputan. Tak begitu 
luas memang. Lebarnya tak kurang dari dua atau 
tiga tombak. Di sekitarnya pun banyak ditumbuhi


semak-semak belukar yang meranggas.
Maling Tanpa Bayangan lantas melangkah 
mendekati semak-semak belukar sebelah kiri. Se-
kali singkap, tampaklah sebuah lubang kecil mu-
lut gua. Tak begitu besar, paling pas untuk masuk 
satu orang. Tanpa membuang waktu kakinya sege-
ra melangkah. Mula-mula merunduk. Tapi makin 
masuk ke dalam perut gua, tempat itu makin lebar
dan membesar sehingga tak perlu lagi merunduk. 
Dengan, leluasa kakinya melangkah menuju batu 
putih besar, tempatnya biasa bertapa.
Begitu duduk di atas batu putih itu, Maling 
Tanpa Bayangan menghela napasnya lega. Kesaba-
rannya yang sudah mencapai ubun-ubun kepala 
membuatnya tak sabar. Segera dibukanya Kitab 
Paguyuban Setan. Berulang kali Maling Tanpa 
Bayangan membolak-balik lembar demi lembar ki-
tab itu. Dan ternyata yang ditemuinya hanya lem-
baran kosong!
Maling Tanpa Bayangan geram bukan main. 
Rahangnya mengeras. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak, pertanda merasa dipermainkan. Entah di-
permainkan siapa. Nasibnya barangkali!
"Keparat! Kenapa lembaran-lembaran ini 
kosong?!" desisnya, mengkelap.
Hampir saja Maling Tanpa Bayangan mem-
banting Kitab Paguyuban Setan yang sangat di-
idam-idamkan itu ke tanah. Untung saja sepasang 
matanya yang mencorong hijau menangkap huruf-
huruf samar di lembar berikutnya. Maka sepasang 
mata hijaunya kembali mendadak berbinar. Den-
gan penuh nafsu lembar-lembar terakhir Kitab Paguyuban Setan segera dibaca
Pelajaran terakhir.
Bagi siapa saja yang dapat mempelajari pe-
lajaran akhir ini akan mendapatkan kesaktian luar 
biasa. Sebuah kekuatan gaib yang datang dari de-
lapan penjuru mata angin. Di samping itu siapa sa-
ja yang dapat menguasai pelajaran ini tidak akan 
mati karena dibunuh!
"Ckckck...!"
Tanpa sadar Maling Tanpa Bayangan berde-
cak kagum. Rasa kecewanya yang semula menjalar 
ke dalam lubuk hati, mendadak sirna begitu mem-
baca bagian akhir. Sepasang matanya yang hijau 
semakin bersinar-sinar penuh kegembiraan. Di pe-
lupuk matanya terbayang jelas kalau dunia persi-
latan akan berada dalam genggaman tangannya. 
Jangankan untuk membunuh Siluman Ular Putih. 
Membunuh Eyang Bromo yang jadi tokoh nomor 
satu dunia persilatan pun ia merasa sanggup.
Mendapati kenyataan yang membuat ha-
tinya berbunga, Maling Tanpa Bayangan kembali 
menelusuri kata demi kata yang terkandung dalam 
pelajaran terakhir dalam Kitab Paguyuban Setan.
Syaratnya...
Bila ingin tidak mendapatkan akibat apa 
pun, lakukanlah semadi selama empat puluh hari 
Jum'at Kliwon di tempat tersembunyi
Bila ingin meringkas, lakukanlah semadi tiga 
hari tiga malam menjelang hari Jum'at Kliwon. Bila

gagal akibatnya mati!
Maling Tanpa Bayangan bergidik ngeri. Ha-
tinya kecut membaca tulisan-tulisan terakhir. Ra-
sa takut yang demikian luar biasa tiba-tiba me-
nyentak-nyentak nyalinya. Tanpa sadar tubuhnya 
mengeluarkan keringat dingin. Wajahnya pucat 
pasi. Sepasang matanya yang hijau membelalak 
liar!
"Setan Alas! Kenapa syaratnya demikian be-
rat?!" Maling Tanpa Bayangan menggeram. Batu 
putih pipih tempatnya bertapa dicengkeramnya 
kuat-kuat hingga kontan hancur. Dan kepingan-
kepingan batu putih di tangan kanan dilempar-
kannya begitu saja.
"Keparat! Apa pun akibatnya, demi membu-
nuh Siluman Ular Putih, juga demi menguasai du-
nia persilatan, tak ada pilihan lain! Aku harus 
mempelajari kitab ini!" lolong Maling Tanpa Bayan-
gan seperti kerasukan setan.
Wajah yang tadi pucat pasi kini kemerah-
merahan. Sepasang matanya yang hijau berkilat-
kilat mengerikan. Lalu sepasang mata hijau itu 
membaca huruf-huruf terakhir yang terkandung 
dalam Kitab Paguyuban Setan. Ternyata huruf-
huruf terakhir itu hanya berisi beberapa kelema-
han ilmu yang akan dipelajari. 
"Hm.... Biar lebih cepat, aku akan melaku-
kan cara yang kedua! Semadi tiga hari tiga ma-
lam!"
Maling Tanpa Bayangan mengangguk-
angguk mantap. Kini bulat sudah tekadnya untuk

mempelajari pelajaran terakhir yang terkandung 
dalam Kitab Paguyuban Setan. Apa pun akibatnya. 
***
Puncak Gunung Perahu masih berselimut 
kabut. Hawa dingin masih membungkus puncak-
nya. Dari ketinggian puncak gunung tampak ca-
haya merah tembaga berpendar-pendar di ufuk ti-
mur, membentuk bulatan samar-samar.
Meski matahari sudah mulai merayap ting-
gi, suasana pagi masih terasa benar. Kabut pagi 
masih merayap. Embun bergelayutan di ranting-
ranting pohon, di dahan-dahan, juga di rerumpu-
tan.
Dalam keadaan selimut dingin seperti ini, 
tampak sesosok bayangan berpakaian hijau tua te-
rus berkelebat cepat menuju puncak Gunung Pe-
rahu, melewati lereng sebelah timur.
Menilik gerakannya yang ringan laksana 
kapas tertiup angin, jelas sosok bayangan berpa-
kaian hijau tua itu memiliki ilmu meringankan tu-
buh sangat tinggi. Buktinya dalam waktu yang ti-
dak lama, sosok berpakaian hijau itu kini telah 
berdiri di puncak gunung.
Sambil bertolak pinggang, sosok berpakaian 
hijau tua itu sejenak memperhatikan puncak gu-
nung. Menilik perawakan tubuhnya yang tinggi 
ramping dan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat 
dengan kulit putih bersih, jelas kalau sosok berpa-
kaian hijau tua itu adalah seorang wanita. Usianya 
kira-kira tiga puluh tahun. Wajahnya yang cantik

berbentuk bulat telur. Rambutnya digelung ke 
atas. Dari tubuhnya yang sintal dibalut pakaian 
ketat warna hijau tua, membuat lekuk-lekuk 
payudaranya terlihat jelas.
Siapakah sebenarnya wanita cantik berpa-
kaian hijau tua itu? Mau apa ia menyambangi Ta-
bib Agung yang tinggal di puncak Gunung Perahu 
sepagi itu?
Agak aneh kedatangan wanita cantik satu 
ini memang. Kelihatannya sehat-sehat saja. Tak 
kurang satu apa pun. Lalu kenapa berada di sini? 
Akan berobatkah dia? 
Bisa jadi! 
Sosok wanita cantik berpakaian hijau tua 
itu kini mulai gelisah. Segenap mata memandang 
belum juga menemukan Tabib Agung. Satu-
satunya orang yang mungkin dapat menolong di-
rinya. 
"Tabib Agung! Keluarlah kau! Aku datang 
ingin menemuimu!"
Akhirnya, suara merdu namun cukup lan-
tang meluncur dari mulut wanita cantik itu, me-
manggil orang yang dicari. Sekali dua kali berte-
riak, tak ada jawaban. Sehingga, membuat wanita 
cantik itu jadi gusar sekali. Ia tidak tahu, di mana 
Tabib Agung bertapa. Yang diketahuinya Tabib 
Agung bertapa di puncak Gunung Perahu.
Untuk mengobati rasa penasarannya, tak 
ada pilihan lain. Terpaksa wanita cantik itu harus 
mengulang teriakannya berulang-ulang. Seperti te-
riakan sebelumnya, tetap saja orang yang dicari 
tak didapati.

"Tabib Agung! Keluar kau! Kalau sekali ini 
tak sudi menunjukkan batang hidungmu, jangan 
salahkan kalau aku mengobrak-abrik puncak Gu-
nung Perahu ini!" teriak wanita cantik itu sarat an-
caman.
"Hei he he...! Ada apa? Dari tadi aku di sini, 
kenapa kau berteriak-teriak mirip kerbau mau di-
jagal, he?"
Mendadak terdengar sahutan dari belakang, 
membuat si wanita cantik terkejut bukan main. 
Betapa tidak? Ia memiliki kepandaian cukup lu-
mayan, tapi kedatangan orang di belakangnya tak 
diketahuinya sama sekali. Hal ini saja sudah 
membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh 
orang di belakangnya jauh lebih tinggi.
Begitu si wanita berbalik, ternyata orang 
yang tengah dicarinya kini tengah asyik duduk 
ongkang-ongkang kaki di sebuah bongkahan batu. 
Usianya kira-kira enam puluh tahun. Wajahnya ti-
rus. Rambutnya digelung ke atas. Sedang tubuh-
nya yang tinggi kurus dibalut jubah warna kuning. 
Dialah Tabib Agung yang sedang dicari si wanita 
cantik.
"Keparat! Berani kau mempermainkan aku, 
he?! Kenapa tidak menyahut dari tadi?" maki si 
wanita
"Ah...! Siapa berani mempermainkanmu? 
Dari tadi aku duduk di sini. Kau saja yang tak me-
lihat. Apa barangkali matamu lamur, ya?"
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu 
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jelas tak 
mungkin matanya salah lihat. Tadi ia sudah memperhatikan sekitar tempat itu. Tak mungkin tua 
bangka itu datang begitu saja!
"Hm...! Rupanya kabar yang tersiar di dunia 
persilatan memang benar. Tua bangka ini memiliki 
kepandaian tinggi. Pantas saja ia dapat mengecoh-
ku," gumam wanita cantik itu dalam hati.
"Oooi...! Ditanya kok malah bengong! Tuli, 
ya?" ledek si kakek renta yang lak lain Tabib 
Agung
"Keparat! Jadi kaukah yang bergelar Tabib 
Agung?"
" Ya. Kau sendiri siapa? Apakah kau..., yang
bergelar Rondo Kasmaran?" tebak Tabib Agung ji-
tu.
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu ter-
sentak kaget. Sungguh tak disangka kalau Tabib 
Agung mengenali julukannya.
"Matamu sungguh tajam, Tabib Agung. Ku-
akui, aku memang Rondo Kasmaran. Tapi, dari 
mana kau bisa mengetahui gelarku?" tanya si wa-
nita yang ternyata Rondo Kasmaran, tak dapat 
menyembunyikan rasa penasaran.
Tabib Agung terkekeh senang. Kedua ka-
kinya yang saling bersilangan digoyangkan ke sana 
kemari.
"Jelas sekali aku mengenai julukanmu. Bu-
kankah kau orang yang sok jadi pahlawan sewaktu 
ada pertemuan para pendekar di puncak Gunung 
Kelud? Kau seolah-olah, orang yang paling disega-
ni di Kadipaten Pleret, sewaktu terjadi pemberon-
takan Pangeran Pemimpin. Buktinya saja, kau 
langsung marah-marah begitu digoda Raja Penyihir. Kemudian, kau lari tunggang langgang men-
dahului para pendekar untuk melapor ke kadipa-
ten," sindir Tabib Agung.
"Tua bangka jelek! Jaga mulutmu! Aku pergi 
ke Kadipaten Pleret dengan izin Ki Rombeng, ta-
hu?!" bentak Rondo Kasmaran.
"Huh...!" Tabib Agung menjebikkan bibir. 
"Enak saja ngomong! Kau bukannya minta izin, 
tapi karena ngadat. Lalu kau pergi begitu saja. 
Jangan mungkir, ah!"
Rondo Kasmaran kesal bukan main. Kare-
na, memang itulah kenyataannya. Waktu itu ha-
tinya kesal mendapat tanggapan sepele dari para 
pendekar. Maka ia pun memutuskan melapor ke 
Kadipaten Pleret seorang diri. (Untuk mengetahui 
kejadian ini, silakan baca dalam episode: "Pengua-
sa Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur")
"Kau.... Kau memang keparat, Tua Bangka 
Jelek! Beraninya mempermainkanku demikian ru-
pa, he?!" bentak Rondo Kasmaran saking kesalnya. 
Kedua telapak tangannya yang mendadak berubah 
hijau tua siap dilontarkan ke arah Tabib Agung. 
Tapi....
"Sabar! Sabar! Kuharap jangan lekas naik 
darah. Tak baik wanita secantikmu marah-marah? 
Ada apa sebenarnya kau datang kemari, he? Ten-
tunya tidak akan menantangku bertarung, kan?" 
ujar Tabib Agung menyabarkan hati Rondo Kas-
maran.
Mau tidak mau, kedua telapak tangan Ron-
do Kasmaran yang siap dihantamkan ke depan di-
turunkan kembali, begitu mendengar ucapan Tabib Agung yang tidak bermaksud memusuhi. 
Meski hatinya mengkelap, jelas tak mungkin nekat 
menyerang Tabib Agung. Karena, ia memang se-
dang membutuhkan pertolongannya!
"Benar, aku datang kemari memang bukan 
mengajakmu bertarung. Aku..., aku cuma.., ah!" 
ragu-ragu Rondo Kasmaran ingin mengucapkan 
maksudnya yang sebenarnya. Mendadak semburat 
warna merah meronai kedua pipinya
Tabib Agung makin terkekeh senang. Seba-
gai tabib, jelas lelaki ini sudah biasa menghadapi 
tamu-tamunya yang akan berobat. Kalau seorang 
wanita sampai malu-malu untuk mengutarakan 
penyakitnya, jelas itu pasti satu penyakit pribadi. 
Dan mungkin hanya orang tertentu yang boleh 
mengetahui.
"Apa penyakitmu Rondo Kasmaran? Kenapa 
kau malu-malu? Bukankah kau ingin berobat?" 
desak Tabib Agung, halus. 
"Iya. Tapi..., tapi penyakitku ini...."
"Sudahlah! Katakan saja kalau kau ingin 
sembuh dari penyakitmu," ujar Tabib Agung.
"Baik!" 
Rondo Kasmaran menggigit bibir bawahnya. 
Sikapnya saat itu benar-benar lucu. Mirip anak 
perawan di malam pertama. Malu-malu kucing!
"Lho? Kok, malah diam? Katanya mau bica-
ra?" desak Tabib Agung lagi.
"Aku..., aku sekarang tak ingat lagi dengan 
Kakang Sungkono," sahut Rondo Kasmaran buru-
buru.
Mau tak mau Tabib Agung wajib melongo

heran. "Aneh benar penyakit orang satu ini?"
"Bisakah kau menolongku, Tabib Agung?"
Belum tahu apa penyakit yang diderita 
Rondo Kasmaran, sekarang Tabib Agung sudah di-
todong pertanyaan berikutnya. Bagaimana tidak 
jadi heran? Tak henti-hentinya lelaki tua ini me-
longo.
"Ah...! Bagaimana aku dapat menolongmu 
kalau belum tahu penyakitmu," tukas Tabib 
Agung, sarat keheranan.
''Ya, ampun! Jadi kau ini tabib macam apa, 
he?!" bentak Rondo Kasmaran, menukas.
"Eh...!" Tabib Agung menarik mundur da-
danya ke belakang. "Jangan sembarangan kau 
menghina, Rondo Kasmaran! Namaku sudah ter-
kenal di delapan penjuru angin. Penyakit macam 
apa pun, pasti dapat kuobati."
"Jadi? Kau dapat menolongku?" 
"Ya, jelas. Tapi..., tapi apa penyakitmu?" bu-
ru-buru Tabib Agung meralat ucapannya.
"Sekarang aku..., aku sepertinya tak men-
cintai Kakang Sungkono lagi," jelas Rondo Kasma-
ran malu-malu sembari menyembunyikan wajah-
nya dalam-dalam. "Kuharap, kau jangan mengata-
kan aku mata keranjang, ya?"
"Ya sudah kalau kau tak mencintai keka-
sihmu itu. Lantas kenapa aku harus mengataimu 
mata keranjang?"
"Tapi.... Tapi sekarang aku justru mencintai 
orang lain!" jelas Rondo Kasmaran tanpa diminta.
"Itu kan wajar. Kau masih muda. Kau ber-
hak jatuh cinta lagi. Kenapa minta pertolongan

padaku?"
"Tapi aku harus meminta pertolonganmu, 
Bib. Karena, pemuda yang kucintai tampaknya tak 
membalas cintaku," ungkap Rondo Kasmaran. 
"Bodoh benar pemuda itu. Apa matanya la-
mur? Kau cantik. Tubuhmu pun amat menggiur-
kan. Kenapa pemuda itu tak membalas cinta mu? 
Siapa nama pemuda itu?" tanya Tabib Agung.
"Namanya aku tidak tahu, Bib. Tapi ia ter-
kenal sebagai Siluman Ular Putih," jawab Rondo 
Kasmaran malu-malu.
"Apa? Kau mencintai Siluman Ular Putih? 
Dasar tolol!" Sentak Tabib Agung.
"Siapa yang tolol. Bib?" Rondo Kasmaran 
mendongakkan kepalanya. Berani. Hatinya ter-
singgung sekali mendengar ucapan Tabib Agung,
"Kunyuk gondrong itu!"
"Ooo...!" 
Rondo Kasmaran lega sekali. Tadi disang-
kanya Tabib Agung mengatakan tolol untuknya. 
Untung saja hatinya masih berlaku sabar. Kalau 
tidak, bukan mustahil bogem mentah sudah men-
darat di wajah Tabib Agung.
"Sekarang aku harus menolong apa?" tanya 
Tabib Agung, masih belum mengerti.
Rondo Kasmaran menundukkan kepala da-
lam-dalam. Bibirnya berkemik-kemik. Sulit sekali 
rasanya mengutarakan maksud hatinya. Ia hanya 
mengeluh berulang-ulang, sebelum akhirnya 
membuka suara. Itu pun dengan tersendat-sendat.
"It..., itulah yang meresahkanku. Bib. Tapi 
aku yakin, kau pasti dapat menolongku," tuturnya.

Rondo Kasmaran makin dalam saja menun-
dukkan kepala. Keluhan-keluhan kecilnya sesekali 
masih terdengar. Kemudian tanpa diminta, ditu-
turkannya pertemuan dengan Siluman Ular Putih. 
Dari pertemuan pertama sampai pertemuan beri-
kut di Kadipaten Pleret. Semua diceritakan sejelas-
jelasnya. (Untuk mengetahui pertemuan Rondo 
Kasmaran dengan Siluman Ular Putih, silakan ba-
ca dalam episode: "Penguasa Alam" dan "Sengketa 
Takhta Leluhur").
Tabib Agung menelan ludah berulang kali. 
Lama mendengar cerita Rondo Kasmaran, maka 
makin rajin pulalah menelan ludah. Lalu kepa-
lanya menggeleng-geleng sambil terus memperha-
tikan Rondo Kasmaran dengan pandang mata tak 
mengerti.
"Bagaimana, Bib? Sekarang kau mau kan 
menolongku?" tutur Rondo Kasmaran memelas.
"Ya yaya...! Tentu aku mau menolongmu. 
Hanya aku belum tahu, aku mesti berbuat apa?"
"Tolonglah, Bib! Aku.... Aku sangat mencin-
tai Siluman Ular Putih. Usahakanlah agar aku da-
pat memilikinya!" desah Rondo Kasmaran meme-
las.
"Kau kan tahu, aku ini tabib. Jadi kalau 
kau meminta pertolongan ini, kukira aku tak 
sanggup," sergah Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib. Usahakanlah agar aku da-
pat memiliki Siluman Ular Putih! Tolong aku. Den-
gan cara apa pun, kau harus menolongku. Kau 
pasti bisa. Bib!"
"Maksudmu...?" Kening Tabib Agung makin

berkerut-kerut heran. Sama sekali belum tahu, 
apa yang diinginkan wanita cantik di hadapannya.
"Maksudnya...," Rondo Kasmaran menelan 
ludahnya sebentar. "Maksudku..., kalau perlu beri-
lah aku mantera guna-guna agar Siluman Ular Pu-
tih mencintaiku!"
"Apa?!"

LIMA


Sebelum melakukan semadi, Maling Tanpa 
Bayangan diwajibkan mandi jamas terlebih dulu 
dengan tubuh dililit kain kafan. Dan di dalam gua 
di tepi Sungai Serayu-lah Maling Tanpa Bayangan 
mulai bersemadi. Semula, hatinya diliputi keragu-
raguan. Tapi akhirnya tekadnya makin mantap 
untuk mempelajari ilmu yang terkandung dalam 
Kitab Paguyuban Setan dengan bersemadi tiga hari 
tiga malam. Bila gagal, ancamannya mati!
Malam pertama bersemadi, Maling Tanpa 
Bayangan merasakan sekujur tubuhnya panas se-
perti dikepung dalam kubangan bara api. Hal ini 
tentu saja membuat darah dalam tubuhnya meng-
gelegak bagai terbakar kekuatan gaib yang entah 
dari mana datangnya. Hingga tanpa disadari seku-
jur tubuhnya dipenuhi keringat sebesar biji-biji ja-
gung. Parasnya memerah, seolah melepuh oleh 
hawa panas dari dalam tubuh. Untung saja cobaan 
itu bisa diatasinya.
Pada malam kedua, pertahanan Maling 
Tanpa Bayangan mulai goyah. Sekujur tubuhnya

tetap seperti dibakar api. Sementara telinganya ju-
ga mendengar suara-suara gaib yang datang dari 
delapan penjuru angin. Lama kelamaan suara-
suara gaib itu terdengar makin aneh. Bahkan tera-
sa makin menghentak-hentak gendang telinga.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan 
gerahamnya kuat-kuat.
"Aku harus kuat menghadapi semua cobaan 
ini. Aku harus kuat! Kalau tidak, nyawakulah ta-
ruhannya!" tandas hatinya, tak henti.
Paras lelaki ini tampak makin memerah. 
Bahkan mendekati gosong saking tidak tahannya 
menerima rongrongan hawa panas luar biasa. Di 
hari pertama Maling Tanpa Bayangan masih sang-
gup menghadapi rongrongan hawa panas itu. Na-
mun di hari kedua, segenap ketabahannya harus 
dikerahkan. Apalagi kini ditambah suara-suara 
aneh dari delapan penjuru angin yang tak kalah 
hebatnya menyiksa.
Tidak ada kata menyerah dalam kamus hi-
dup Maling Tanpa Bayangan. Meski sekujur tu-
buhnya melepuh, lubang telinga, lubang hidung, 
dan dari mulutnya mengeluarkan darah merah 
kehitam-hitaman, pendiriannya tak berubah. Lela-
ki ini tidak ingin mati sebelum dapat mempelajari 
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan.
Entah mungkin karena nasib baik masih 
berpihak pada Maling Tanpa Bayangan, akhirnya 
semadi hari kedua dapat dilalui dengan baik. Dan 
ketika pagi menjelang tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan sudah terasa lemas tak bertenaga. Masih dalam sikap bersemadi, akhirnya tubuh lelaki itu 
terkapar di lantai. Sepasang matanya yang menco-
rong tampak demikian mengerikan. Melotot tak 
berkedip sedikit pun. Mungkin karena masih me-
rasakan siksaan selama bersemadi semalam.
Maling Tanpa Bayangan saat ini tak lagi 
menghiraukan sekujur tubuhnya yang melepuh. 
Demikian pula rasa sakit di gendang telinganya 
yang pecah akibat suara-suara gaib mengandung 
kekuatan luar biasa. Suara-suara gaib itu tak 
hanya menusuk-nusuk telinga, tapi juga menu-
suk-nusuk jiwanya. Seolah-olah kekuatan suara 
gaib itu ingin membetot keluar nyawanya!
Kini saat-saat tegang masih menunggu di 
depan mata. Menghadapi malam ketiga, bisa jadi 
nyawa Maling Tanpa Bayangan akan melayang. Di 
malam kedua saja, lelaki ini nyaris tidak tahan 
menghadapi cobaan. Membayangkan itu semua, 
diam-diam Maling Tanpa Bayangan jadi bergidik 
ngeri. Sudah jelas, bila tak sanggup, nyawanya 
akan melayang!
Inilah taruhannya!
Menghadapi saat-saat yang paling memba-
hayakan bagi keselamatannya, diam-diam hati 
Maling Tanpa Bayangan jadi tegang bukan main. 
Meski saat-saat tegang itu belum dilalui, namun 
sekujur tubuhnya telah dipenuhi keringat dingin. 
Parasnya yang kemerahan kini tampak kehijauan, 
saking ngerinya membayangkan kejadian nanti 
malam.
"Demi iblis! Kuatkanlah hatiku! Aku tak in-
gin mati merana seperti ini," tegasnya dalam hati.

Berulang-ulang Maling Tanpa Bayangan 
menguatkan hatinya. Keadaannya saat ini benar-
benar sangat memprihatinkan. Sebenarnya, ter-
bersit pula niat untuk urung mempelajari ilmu 
yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Setan. 
Namun berhubung sudah kepalang basah, terpak-
sa tekadnya tetap dibulatkan. Apalagi, ia juga me-
rasa akan mendapat laknat dari iblis-iblis di dela-
pan penjuru mata angin bila niatnya dibatalkan.
Mau tidak mau, akhirnya Maling Tanpa 
Bayangan harus menunggu sampai saat semadi 
berakhir, meski tidak tahu akan nasibnya. Entah 
mati merana, entah akan berhasil mendapatkan 
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan.
Sekarang hari mulai menjelang petang. Hati 
Maling Tanpa Bayangan makin dibaluri ketegan-
gan. Cobaan apa yang akan kuhadapi nanti?
Maling Tanpa Bayangan terus menduga. 
Hingga tak terasa malam makin merangkak. Se-
perti yang dialami di malam pertama dan kedua, 
begitu malam merangkak, sekujur tubuhnya pun 
mulai dibakar hawa panas dari dalam tubuh. Bah-
kan kini jauh lebih hebat dibanding malam-malam 
sebelumnya.
Maling Tanpa Bayangan melejang-lejang 
hebat. Tubuhnya bergulingan ke sana ke mari, 
Sementara gejolak hawa panas dalam tubuhnya 
kian membara. Bersamaan itu, suara-suara gaib 
yang semalam menghentak-hentak gendang telin-
ganya pun kembali terdengar.
Bukan main dahsyatnya siksaan yang di

alami Maling Tanpa Bayangan. Keadaan ini terus 
dialami sampai jauh malam. Nyaris Maling Tanpa 
Bayangan tidak tahan dibuatnya. Sekujur tubuh-
nya terasa perih dan nyeri bukan main.
Untung saja, Maling Tanpa Bayangan tetap 
bersikeras tak mau menyerah. Hingga pada tengah 
malam, mendadak ia dikejutkan oleh makhluk-
makhluk aneh berkulit hitam legam entah dari 
mana datangnya. Wujud makhluk-makhluk aneh 
itu beraneka ragam dan sangat mengerikan. Se-
muanya lengkap di situ. Seolah-olah mereka tum-
pah ruah, mengelilingi Maling Tanpa Bayangan 
yang terus bersemadi. 
"Keak! Keakkk!"
Suara-suara riuh rendah makhluk-makhluk 
halus itu terus mengusik ketabahan hati Maling 
Tanpa Bayangan. Makin lama terdengar aneh dan 
menggidikkan. Tanpa sadar, bulu kuduk Maling 
Tanpa Bayangan pun berdiri!
Seperti tidak mengenal belas kasihan sedikit 
pun, makhluk-makhluk halus itu terus menari-
nari memutari tubuh Maling Tanpa Bayangan 
sambil terus memperdengarkan suara-suara gaib-
nya. Pada saat mereka bergerak memutari tubuh-
nya, Maling Tanpa Bayangan merasakan ada satu 
kekuatan gaib yang luar biasa kuatnya. Seolah-
olah suara itu ingin membetot nyawanya! Bahkan 
makin lama tenaga betotan itu terasa makin kuat 
luar biasa. 
Maling Tanpa Bayangan menggerung se-
tinggi langit. Siksaan yang diterimanya kali ini be-
nar-benar hebat! Tubuhnya kembali bergulingan

ke sana kemari. Menghantam dinding gua yang sa-
tu, lalu menghantam dinding gua yang lainnya. 
Semua dilakukan karena saking tidak tahan men-
galami siksaan itu. Dari semakin pedih dan tidak 
tahan menerima siksaan, pandangan matanya jadi 
gelap dan gelap....
Entah antara sadar atau tidak, pada saat 
pandangan matanya gelap, mendadak Maling Tan-
pa Bayangan mendengar suara dinding-dinding 
gua menggemuruh melemparkan bebatuan yang 
ada di dalam! Bersamaan itu, terdengar kilat me-
nyambar-nyambar ganas di luar sana. 
Maling Tanpa Bayangan tak peduli apa yang 
tengah terjadi. Saat ini nyawanya benar-benar be-
rada di ujung tanduk. Namun pada saat yang pal-
ing genting bagi keselamatannya, mendadak terasa 
ada sesuatu menyentuh tubuhnya,
"Bangunlah, wahai anak manusia!" 
Entah mendapat kekuatan dari mana, tiba-
tiba Maling Tanpa Bayangan meloncat bangun. 
Begitu kedua bola matanya membuka seketika itu 
hatinya terkejut bukan kepalang. Di hadapannya 
saat ini telah berdiri sesosok makhluk halus ber-
wajah amat mengerikan. Wajahnya besar. Sepa-
sang matanya berkilat-kilat mengerikan sebesar 
mata kerbau. Namun anehnya, bentuk tubuhnya 
amat kecil. Bahkan tulang-tulangnya pun tampak 
bertonjolan di sana sini.
Maling Tanpa Bayangan yakin kalau mak-
hluk halus itulah yang tadi membangunkannya. 
Kini berhadapan dengan sesosok makhluk halus 
yang tampaknya sangat disegani di kalangan mak

hluk-makhluk halus lainnya, mau tak mau hati le-
laki ini jadi tegang juga dibuatnya. Dilihatnya pu-
luhan makhluk halus yang sedari tadi menggang-
gu semadinya kini diam terpaku di tempat masing-
masing. Mereka hanya memperhatikan sosok 
makhluk di hadapan Maling Tanpa Bayangan pe-
nuh hormat.
"Dengarlah, wahai anak manusia! Sesung-
guhnya mulai saat ini kau telah menjadi sekutuku. 
Kau tidak akan mati hanya karena dibunuh. Kau 
akan langgeng hidup di dunia. Karena, kau kini 
adalah biangnya dari segala biang iblis! Maka, kau 
wajib bersyukur menerima karunia kami. Terima-
lah karunia kami!"
Usai berkata begitu, mendadak kedua bola 
mata sosok makhluk halus itu mencorong aneh 
yang disusul keluarnya dua larik sinar hitam le-
gam, langsung bersemayam dalam tubuh Maling 
Tanpa Bayangan.
Seketika tubuh Maling Tanpa Bayangan ter-
getar hebat. Namun hanya sebentar. Setelah itu, 
sekujur tubuhnya terasa ringan sekali laksana ka-
pas. Di samping itu, luka melepuh di sekujur tu-
buhnya pun mendadak sirna. Kini tubuhnya segar 
bugar seperti sediakala. Hanya yang sedikit aneh, 
entah kenapa kain kafan yang membungkus tu-
buhnya kini menyatu dengan kulit tubuhnya! 
Maling Tanpa Bayangan memperhatikan 
keadaan dirinya dengan mata terbelalak. Seolah 
tak percaya menghadapi kejadian aneh saat ini.
"Sekarang kau bebas, wahai anak manusia. 
Dengan sendirinya dalam Kitab Paguyuban Setan

telah tergambar pukulan-pukulan ampuh. Pelajari-
lah. Dengan pukulan-pukulan itu, kau bebas 
mengumbar segala nafsu yang mengeram dalam 
tubuhmu. Karena kaulah nafsu itu. Laksanakan, 
wahai anak manusia! Laksanakan apa yang men-
jadi keinginanmu!"
Darrr!!
Begitu suara gaib sosok makhluk halus itu 
usai, mendadak di luar sana terdengar kilat me-
nyambar ganas. Dinding-dinding gua tempat ber-
semadi Maling Tanpa Bayangan pun bergetar he-
bat!
Maling Tanpa Bayangan tidak tahu, menga-
pa tiba-tiba saja sering terdengar bunyi kilat me-
nyambar. Bumi tempatnya berpijak pun seakan-
akan bergetar hebat!
Selang beberapa saat, baru Maling Tanpa 
Bayangan menyadari kalau kilat yang menyambar-
nyambar dan bumi yang bergetar itu adalah isya-
rat bahwa kawanan makhluk halus itu telah me-
ninggalkan tempatnya. Buktinya, begitu suara ki-
lat dan guncangan bumi yang bergetar itu terhenti, 
kawanan makhluk halus itu telah lenyap entah ke 
mana."
Maling Tanpa Bayangan segera mengambil 
Kitab Paguyuban Setan dari balik jubahnya. Kem-
bali dibukanya halaman terakhir kitab itu. Di situ 
tergambar jelas, bagaimana menciptakan pukulan-
pukulan dahsyat dalam waktu singkat.
Diam-diam Maling Tanpa Bayangan berso-
rak gembira. Kini ia tak perlu gentar lagi mengha-
dapi Siluman Ular Putih maupun tokoh-tokoh sakti dunia persilatan lainnya. Ia yakin dapat menga-
lahkan mereka semua. Bahkan bukan saja menga-
lahkan, tapi juga ingin membunuh siapa saja yang 
berani menentang dirinya. Di samping itu sebe-
narnya ilmu Maling Tanpa Bayangan telah mampu 
melebihi kepandaian Pengasuh Setan, karena Pen-
gasuh Setan sendiri belum sempat mempelajari il-
mu terakhir yang terkandung dalam Kitab Pa-
guyuban Setan. (Untuk lebih jelasnya mengenai 
hal ini, silakan baca dalam episode: "Pengasuh Se-
tan").
"Sekaranglah saatnya aku membalas den-
dam...!"
***
"Ah...! Kau ini! Aku ini tabib! Bukan du-
kun!" kata Tabib Agung, ketika Rondo Kasmaran 
terus mendesaknya
"Tapi...."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa menolongmu," 
sahut Tabib Agung. Sebentar-sebentar kepalanya 
berpaling ke samping. Entah ada apa. 
Rondo Kasmaran memberengut. Kesal seka-
li hatinya tak dapat membujuk Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib! Aku benar-benar membu-
tuhkan pertolonganmu!" bujuk Rondo Kasmaran.
Tabib Agung rupanya tak begitu mendengar 
ucapan Rondo Kasmaran. Saat itu, pendengaran-
nya asyik diarahkan ke samping. Lalu, keningnya 
berkerut-kerut.
Tentu saja hal ini membuat Rondo Kasma

ran curiga. Setelah menenteramkan hatinya, baru-
lah wanita cantik ini mendengar langkah-langkah 
halus mendekati tempat itu. 
Diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu se-
kali. Pipinya kontan memerah begitu teringat apa 
yang dibicarakan tadi dengan Tabib Agung. Dia 
berharap agar apa yang dibicarakan tadi tidak ter-
dengar orang lain. 
"Kalau mau datang berkunjung, kenapa 
mesti sembunyi? Cepat tunjukkan batang hidung 
kalian!" kata Tabib Agung tiba-tiba. Sepasang ma-
tanya yang tajam terus memperhatikan tempat 
yang dicurigainya.
Benar! Sejurus kemudian sepasang anak 
muda tengah keluar dari balik sebuah batu besar. 
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berpakaian rompi dan celana bersisik warna 
putih keperakan. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan angin. Pemuda itu tengah memanggul 
dua sosok tubuh yang terkulai lemas.
Sedang di sebelah si pemuda adalah seo-
rang gadis cantik. Namun berpenampilan amat 
mengundang perhatiannya. Pakaiannya beraneka 
warna, merah, kuning, dan hijau. Demikian juga 
pita yang melilit di rambutnya yang dikuncir dua 
ke belakang. Gadis itu juga tengah memondong sa-
tu sosok tubuh berpakaian bayi.
Bukan main terkejutnya hati Rondo Kasma-
ran melihat siapa yang datang. Seketika pipinya 
kian merona merah. Jangan tanya lagi. Berbagai 
macam perasaan bercampur aduk dalam hatinya. 
Siapakah sebenarnya sepasang anak muda yang

dapat membuat hati Rondo Kasmaran jadi jengah 
seperti itu? Mereka tak lain adalah Siluman Ular 
Putih dan Putri Manja!
Dan diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu 
hati, apalagi orang yang baru saja dibicarakan te-
lah berdiri di hadapannya. Bahkan ia curiga kalau 
Siluman Ular Putih mendengar apa yang tadi dibi-
carakan dengan Tabib Agung.
"Permisi, Bib! Biasa. Ada rezeki buatmu," 
sapa Siluman Ular Putih sumringah. Matanya 
sempat melirik Rondo Kasmaran sebentar. "Eh...! 
Rupanya lagi kedatangan tamu, ya?" 
Rondo Kasmaran kecewa berat. Entah ke-
napa ia jadi tak menyukai kedatangan Siluman 
Ular Putih. Terutama setelah melihat kenyataan 
kalau kedatangan si pemuda ditemani seorang ga-
dis cantik. Tentu saja hal ini membuat hatinya pa-
nas sekali. Seperti bisul mau pecah. Mau tidak 
mau Rondo Kasmaran jadi menatap penuh keben-
cian pada gadis cantik di samping Siluman Ular 
Putih.
Demikian juga Putri Manja sendiri. Apalagi, 
gadis ini tadi juga mendengar percakapan Rondo 
Kasmaran dengan Tabib Agung. Ia merasa wajib 
untuk memelototi wanita di hadapannya. Soal 
cemburu, jangan tanya lagi. Sudah pasti gadis 
manja itu cemburu berat.
Kini, tanpa dapat dicegah jadilah mereka se-
teru. Walaupun belum secara terang-terangan. 
Masalahnya ini menyangkut perasaan!
"Monyet Gondrong! Kalau mau datang ber-
kunjung, pakai permisi! Jangan nyelonong saja seperti maling!," tegur Tabib Agung yang sudah men-
genal cukup akrab dengan Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih menyeringai. Puas me-
nyeringai, lalu garuk-garuk kepala. Biasa, kumat! 
Dalam keadaan senang, susah, malu, atau pera-
saan lainnya, selalu garuk-garuk kepala. Seper-
tinya, bisanya hanya itu. 
Siluman Ular Putih tak menyahut teguran 
Tabib Agung, alias terima salah. Namun bukan be-
rarti harus berdiri terus di tempatnya. Tubuhnya 
terasa pegal-pegal karena memanggul tubuh Dewa 
Bogel dan Lamdaur. Maka sudah pasti hatinya me-
rasa kesal sekali. Apalagi orang yang sedang dito-
longnya adalah Dewa Bogel, Orang yang telah 
mengejek dan menamparnya beberapa waktu yang 
lalu. 
"Nih...! Ada oleh-oleh buatmu!" 
Siluman Ular Putih meletakkan tubuh Dewa 
Bogel dan Lamdaur ke hadapan Tabib Agung. Se-
pasang matanya yang tajam sempat melirik kesal 
ke arah dua tokoh dari Hutan Pring Apus itu.
"Untung benar manusia-manusia kampret 
ini. Sudah menghinaku habis-habisan, sekarang.... 
Ah, sudahlah!" gerutu Soma kesal, lalu ngeloyor 
seenaknya dan duduk di samping Rondo Kasma-
ran.
Tentu saja wajah Rondo Kasmaran yang di-
tekuk jadi berubah cerah. Senyumnya kontan ter-
kembang. Manis. Amat manis. Harus yang paling 
manis kalau tidak ingin Siluman Ular Putih kabur.
Melihat gelagat Siluman Ular Putih, ganti 
wajah. Putri Manja yang ditekuk berat. Matanya

sempat melirik Soma yang sedang bercakap-cakap 
dengan Rondo Kasmaran. Kelihatannya amat 
akrab, membuat si gadis makin rajin saja mene-
kuk wajahnya. Bibirnya dicibirkan sedemikian ru-
pa. Lalu dengan muka kecut segera diletakkannya 
tubuh gurunya yang terluka parah ke hadapan 
Tabib Agung. 
Sebenarnya, Tabib Agung ingin sekali 
menggoda Rondo Kasmaran dan Putri Manja. Na-
mun begitu pandangannya tertuju pada tiga tubuh 
di hadapannya, seketika sinar matanya jadi berbi-
nar. Ia seperti menemukan keasyikan lain daripa-
da sekadar menggoda orang. Apalagi dia tabib. Su-
dah pasti sebagai seorang tabib akan senang begi-
tu melihat penyakit-penyakit aneh terhidang di de-
pan mata. 
"Cukup aneh kelihatannya penyakit ketiga 
orang ini. Sekali lihat aku jadi tertarik sekali," gu-
mam Tabib Agung dalam hati. Tangannya yang 
sudah gatal-gatal tak memeriksa orang segera me-
raba-raba tubuh ketiga orang itu. Cukup seksama 
dan teliti, tanpa mempedulikan ‘perang urat saraf’ 
dua orang wanita cantik di samping.
Putri Manja terus memberengut habis-
habisan. Naluri kewanitaannya tidak rela melihat 
Soma berakrab-akrab dengan Rondo Kasmaran. 
Apa pun yang terjadi, ia merasa lebih berhak di-
banding wanita itu. Dia lebih muda. Lebih cantik. 
Lebih menggairahkan. Lebih segala-galanya! 
Untuk mewujudkan pikirannya, tak ada pi-
lihan lain. Terpaksa Putri Manja harus nimbrung. 
Meski tidak langsung membuka suara tapi dari

raut wajahnya yang masam jelas menyiratkan si-
kap perang terhadap Rondo Kasmaran. Maka ma-
kin parah saja kedua orang wanita itu saling meli-
rik benci.
"Sudah tua, tak tahu malu. Beraninya men-
gumbar cinta. Pada seorang pemuda lagi. Memalu-
kan!" sindir Putri Manja. 
Rondo Kasmaran kontan tersinggung berat. 
Ia yang tengah bercakap-cakap dengan Siluman 
Ular Putih jelas merasa terganggu! Maka ia pun 
berhak marah. Berhak membalas sindiran Putri 
Manja!
"Soma...! Ah...! Enak sekali namamu sebe-
narnya," desah Rondo Kasmaran. Suaranya dibuat 
semerdu mungkin. Tangannya pun lincah bermain 
di lengan Siluman Ular Putih. Kelihatan sekali ka-
lau sikapnya sangat dibuat-buat. Rondo Kasmaran 
tak peduli. Yang penting, dapat memanas-manasi 
gadis cantik saingannya. "Ah...! Enak ya, kalau 
seandainya obrolan kita ini terjadi di malam hari. 
Apalagi waktu terang bulan. Hm...! Tak dapat ku-
bayangkan betapa enaknya. Kita dapat mengobrol 
sesuka hati tanpa ada gangguan nyamuk!" 
Panas sudah hati Putri Manja mendengar 
sindiran Rondo Kasmaran yang jelas ditujukan ke-
padanya. Jelas harga dirinya tak sudi dikatakan 
'nyamuk malam' yang hanya mengganggu kese-
nangan orang. Sebagai seorang gadis yang bi-
asanya dimanja gurunya, Putri Manja tak dapat 
lagi menyembunyikan sikap aslinya.
"Eh.... Perempuan Sundal! Jaga mulutmu, 
ya! Hati-hati kalau ngomong! Sembarangan saja

mengataiku 'nyamuk malam'. Apa kau pikir kau 
sudah kecakepan, he?!" bentak Putri Manja, tanpa 
tedeng aling-aling.
"Eh.... Gadis Tengil! Tak ada hujan tak ada 
angin, kenapa marah-marah padaku, he?! Bilang 
saja cemburu. Begitu, kan?" balas Rondo Kasma-
ran tak kalah sengit.
"Perempuan keparat! Siapa yang cemburu?! 
Beraninya kau menuduhku cemburu! Apa kau kira 
aku tidak tahu apa yang kau bicarakan dengan 
Tabib Agung, he?! Enak saja menuduh! Justru 
kaulah yang tak tahu malu. Dasar Pengemis Cin-
ta!" sambung Putri Manja, galak
"Bacotmu sungguh lancang! Apa kau tak 
pernah dididik sopan santun oleh gurumu, he?!"
"Jangan membawa-bawa nama Guru! Pe-
rempuan tak tahu malu macam kau, mana pantas 
menyebut guruku?! Sekarang, enyahlah dari ha-
dapanku mumpung kesabaranku belum habis!"
"Jadi kau menantangku, Tengil?" desis 
Rondo Kasmaran, penuh kemarahan.
"Kalau kau menginginkan itu, siapa takut?!" 
sahut si gadis, tak kalah gertak. 
"Eh..., tunggu! Ada apa ini? Kenapa kalian 
jadi uring-uringan begini? Apa ada ayam kalian 
yang dicolong maling?" lerai Soma setelah sebe-
lumnya menatap penuh heran. Dan pemuda ini 
jadi kaget bukan main melihat gelagat kedua orang 
temannya. 
Tapi, mana sudi Putri Manja dan Rondo 
Kasmaran menggubris omongan Siluman Ular Pu-
tih. Tanpa diperintah, kedua orang wanita cantik

itu kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan 
mata saling menatap tajam. Kemudian entah siapa 
yang lebih dahulu memulai, kedua wanita itu telah 
bertarung sengit.
Tentu saja Soma yang jadi kewalahan sendi-
ri. Pemuda ini sibuk melerai dua sahabatnya yang 
tengah bertarung. Tapi, percuma saja. Rondo 
Kasmaran dan Putri Manja malah makin hebat sa-
ja bertarung.
"Eh eh eh...! Kenapa sih kalian jadi berteng-
kar begini? Seperti anak kecil saja. Ayo, hentikan!" 
bentak Soma, langsung berdiri di tengah-tengah 
kedua wanita yang bertarung itu.
Kedua tangan Siluman Ular Putih memben-
tang lebar-lebar. Seolah ingin menghalangi gerak 
dua orang wanita yang telah sama-sama menghen-
tikan pertarungan, walaupun masih saling tatap.
"Memalukan! Apa yang sebenarnya kalian
ributkan, he?!" bentak Siluman Ular Putih lagi, pe-
nuh wibawa. Putri Manja dan Rondo Kasmaran te-
tap berdiri di tempat masing-masing dengan napas 
memburu. Gigi-gigi geraham mereka saling berge-
meletakkan pertanda masih dikuasai hawa ama-
rah.
"Aku tidak meributkan sesuatu. Tapi, gadis 
tengil itulah yang terlebih dulu memulai!" tuding 
Rondo Kasmaran kesal. 
"Siapa yang memulai? Kaulah yang terlebih 
dulu menantangku bertarung!" sambar Putri Man-
ja sengit. Runyam sudah urusannya. Siluman Ular 
Putih tak tahu harus berbuat apa. Ia bingung, ha-
rus menyalahkan siapa. Apalagi untuk menentu

kan siapa yang salah dan siapa yang benar. 
"Sudah-sudah! Kalian tidak boleh berta-
rung! Memalukan! Lekas kembali ke tempat mas-
ing-masing! Duduk!" bentak Siluman Ular Putih 
saking kesalnya.
Putri Manja dan Rondo Kasmaran saling 
memberengut. Tak puas dengan keputusan Silu-
man Ular Putih.
Maka tak heran kalau kedua wanita itu ma-
sih tetap berdiri di tempat masing-masing.
"Tolol! Apa kalian tuli? Aku menyuruh ka-
lian duduk! Bukan saling pelotot begitu, he!"
Putri Manja dan Rondo Kasmaran tak ber-
geming dari tempatnya berdiri.
Soma jadi bingung bukan main. Kedua 
orang wanita itu sama-sama ngotot ingin melan-
jutkan pertarungan. Bagaimana mungkin dapat di-
lerai? Namun si pemuda juga tidak ingin mereka 
melanjutkan pertarungan.
Di saat Siluman Ular Putih tengah kebin-
gungan, tiba-tiba Tabib Agung yang merasa ter-
ganggu dengan percekcokan Rondo Kasmaran dan 
Putri Manja sudah berdiri tak jauh dari situ.
"Yang merasa tidak berkepentingan, baik-
nya tinggalkan saja tempat ini. Daripada membuat 
onar di tempatku!" 
Rupanya cukup manjur juga ucapan Tabib 
Agung ini. Buktinya, Rondo Kasmaran jadi gelisah 
sekali. Sebentar-sebentar matanya memandang ke 
arah Putri Manja, sebentar beralih pada Siluman 
Ular Putih. Dan terakhir ke arah Tabib Agung.
Seperti tak pernah menghiraukan kegelisa

han Rondo Kasmaran, kakek penghuni puncak 
Gunung Perahu itu kembali memeriksa tubuh ke-
tiga orang tamunya. Terkadang kening orang tua 
itu terlihat berkerut-kerut. Lalu kepalanya teran-
tuk-antuk seperti telah menemukan sesuatu. Dan 
kenyataannya memang demikian. Karena menda-
dak, Tabib Agung ke luar rumahnya, lalu berkele-
bat cepat ke barat. Entah mau apa. Mungkin hen-
dak mencari beberapa ramuan obat.
Rondo Kasmaran membantingkan kakinya 
kesal. Kilatan sepasang matanya yang indah sem-
pat menyambar ke arah Putri Manja dan Siluman 
Ular Putih, sebelum akhirnya berkelebat cepat 
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa 
kelebatan saja, sosoknya telah jauh dari tempat 
ini.
Siluman Ular Putih menggeleng-gelengkan 
kepala, lalu disusul dengan gerutuannya yang tak 
jelas.... 

ENAM


Rondo Kasmaran terus berkelebat cepat. 
Tanpa arah tujuan. Ke mana saja kakinya melang-
kah, ke sanalah yang dituju. Isak tangisnya sejak 
turun dari puncak Gunung Perahu terus menema-
ni perjalanan. Dalam hati tak henti-hentinya mu-
lutnya mencaci Siluman Ular Putih dan Putri Man-
ja. Ia merasa kalau Siluman Ular Putih pilih kasih. 
Buktinya pemuda itu tak mengejarnya sebagai 
tanda kalau benar-benar mencintai. Inilah yang

sebenarnya mengusik hati Rondo Kasmaran!
Dari pandang mata. Rondo Kasmaran tahu 
kalau Siluman Ular Putih memihak Putri Manja. 
Meski tidak ditunjukkan secara nyata, namun se-
bagai wanita sudah berpengalaman dalam cinta. 
Rondo Kasmaran jelas dapat merasakannya. 
"Oh...! Kenapa nasibku buruk amat...?"
Rondo Kasmaran menjatuhkan tubuhnya di 
tanah rerumputan. Sambil tengkurap isak tangis-
nya kembali diteruskan. Memelaskan sekali tam-
paknya. Bahunya bergerak-gerak. Isak tangisnya 
pun terdengar amat menyayat hati.
"Oh...! Apakah ini karena salahku? Karena 
aku tak mencintai Kakang Sungkono lagi...?"
Lagi-lagi Rondo Kasmaran menyebut men-
diang kekasihnya dulu. Teringat akan pendekar 
muda yang dulu amat dicintainya, tangis Rondo 
Kasmaran jadi makin memelaskan. Perasaannya 
kalut bukan main. Hatinya hancur, oleh derita 
yang haus akan kasih sayang.
"Maafkan aku, Kang! Kiranya cintaku pa-
damu sudah luntur. Karena kupikir, tak mungkin 
aku selalu mencintaimu. Kau sudah enak-enakan 
di alammu. Tinggal aku yang merana seperti ini. 
Huh huh huh...." 
Di tengah harunya Rondo Kasmaran, men-
dadak telinganya dikejutkan gerutuan seseorang 
yang entah dari mana datangnya. Buru-buru Ron-
do Kasmaran meloncat bangun. Disekanya air ma-
ta dengan ujung lengan bajunya seraya mengamati 
keadaan sekitarnya.
Dan tak jauh dari jalan setapak di hada

pannya, tampak seorang kakek renta tengah me-
lenggang santai menuju ke tempat Rondo Kasma-
ran. Usianya sudah amat lanjut. Mungkin sudah 
mencapai delapan puluh tahunan lebih. Tubuhnya 
tinggi kurus mirip orang cacingan. Pakaiannya 
tambal-tambalan, seperti pakaian pengemis. Wa-
jahnya tirus. Matanya sipit. Saking sipitnya, ma-
tanya harus mengerjap-ngerjap bila mengamati 
keadaan sekitar. Bibirnya yang hitam pun tak hen-
ti-hentinya berkemik. Entah bersenandung apa?
Melihat siapa yang datang, jelas Rondo 
Kasmaran kaget bukan main. Kakek tua yang 
tampak tersuruk-suruk dengan tongkat di tangan 
kanan tak lain adalah Raja Penyihir! Seorang to-
koh bangkotan dunia persilatan dari puncak Gu-
nung Tidar! (Mengenai Raja Penyihir, silakan baca 
dalam episode: "Manusia Rambut Merah" dan 
"Sengketa Takhta Leluhur").
Sesampainya di dekat Rondo Kasmaran, Ra-
ja Penyihir hanya memperhatikan wanita cantik 
itu seketika. Kedua bibirnya terus berkemik-
kemik.
Rondo Kasmaran mengira kalau Raja Penyi-
hir akan menyapa. Namun setelah ditunggu, ter-
nyata yang keluar bukanlah sapa ramah tua 
bangka itu, melainkan gerutuannya yang tak jelas.
"Huh...! Ke mana aku harus mencari bocah 
edan itu? Aku khawatir sekali. Dua hari lalu aku 
mimpi buruk. Jangan-jangan bocah edan itu su-
dah tak bernyawa. Hm...."
Rondo Kasmaran kecewa berat. Dilihatnya 
Raja Penyihir kembali melenggang santai. Tanpa

mempedulikannya sedikit pun.
"Maaf, Raja Penyihir! Kalau boleh tahu, se-
benarnya kau sedang mencari siapa?" sapa Rondo 
Kasmaran, akhirnya. Hatinya yang panas rupanya 
masih dapat dikalahkan oleh mulutnya yang gatal.
Mendengar kata-kata Rondo Kasmaran, ter-
paksa Raja Penyihir menghentikan langkahnya. 
Badannya berbalik sebentar. Diamatinya Rondo 
Kasmaran tanpa berkedip. Keningnya berkerut-
kerut. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik.
"Aku sedang mencari bocah edan itu. Aku 
khawatir, ia sedang dalam bahaya. Dua hari lalu, 
aku mimpi buruk! Bocah edan itu seperti hendak 
dilumat setan atau naga gondrong. Aku tak tahu. 
Tapi yang jelas, ia dalam bahaya. Aku harus cepat 
mencarinya. Apakah kau tahu, Cah Ayu?" papar 
Raja Penyihir panjang lebar.
"Maksudmu bocah edan siapa yang kau cari 
itu, Raja Penyihir?" balik Rondo Kasmaran. 
"Ya sudah pasti muridku! Pakai tanya lagi!" 
sungut Raja Penyihir.
Rondo Kasmaran menelan ludahnya seben-
tar. "Sabar-sabar," ucapnya dalam hati seraya 
mengelus dada.
"Iya, tapi siapa namanya?"
"Oh oh oh...!" Raja Penyihir tergagap. "Ya ya 
ya...! kau benar. Muridku memang punya nama. 
Tapi siapa, ya? Ah ah...! Namanya, Soma. Julu-
kannya Siluman Ular Putih. Apakah kau tahu di 
mana bocah edan itu berada?"
Mau tidak mau hati Rondo Kasmaran men-
celos juga mendengar nama orang yang sangat di

cintainya disebut. Bagaimana tidak? Dia baru saja 
mencaci maki sekaligus meratapinya. Kini, tahu-
tahu ada orang mencari Siluman Ular Putih. Su-
dah pasti Rondo Kasmaran tahu, di mana Siluman 
Ular Putih berada. Cuma untuk menjawabnya. 
Rondo Kasmaran agak keberatan.
"Aku tahu. Raja Penyihir. Tapi...," sengaja 
Rondo Kasmaran menggantung kalimatnya sampai 
di situ.
"Tapi apa? Cepat katakan!" sambar Raja Pe-
nyihir.
Rondo Kasmaran tersenyum-senyum. Sen-
gaja senyumnya diumbar untuk memancing kepe-
nasaran Raja Penyihir. 
"Jangan senyum-senyum! Kau pikir aku ter-
tarik dengan senyummu, he?!" bentak Raja Penyi-
hir galak.
"Yah...! Barangkali saja! Siapa tahu tua-tua 
keladi?" tukas Rondo Kasmaran seenaknya.
Raja Penyihir jadi gemas bukan main. Na-
pasnya tiba-tiba memburu. Tak henti-hentinya 
tongkat di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke 
tanah. Seketika, tanah di sekitarnya berlubang be-
sar terkena ketukan tongkatnya. 
Rondo Kasmaran tersenyum samar. Diam-
diam hatinya kagum sekali melihat kehebatan Raja 
Penyihir. Hanya menggerak-gerakkan tongkatnya 
begitu saja, mampu membuat lubang sebesar itu!
"Jawab pertanyaanku tadi, Cah Ayu! Di 
mana Siluman Ular Putih berada?!" bentak Raja 
Penyihir lagi, tak sabar. 
"Ya ya ya...! Aku akan memberitahukan pa

damu. Tapi, ada syaratnya!" sahut Rondo Kasma-
ran.
"Semprul! Pakai syarat segala macam!" maki 
Raja Penyihir.
"Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Su-
dah pasti aku menginginkan balasanmu. Raja Pe-
nyihir," jawab Rondo Kasmaran diiringi senyum 
kemenangan.
"Baik. Katakan, apa syaratmu, Cah Ayu?!" 
sahut Raja Penyihir akhirnya. Namun menilik kila-
tan matanya, patut dicurigai apakah Raja Penyihir 
akan memenuhi syarat itu atau tidak.
"Nah, begitu baru adil namanya. Tapi, kau 
tentu tidak akan mengecewakan aku, kan? Kau 
pasti mau memenuhi syaratku, kan?" berondong. 
Rondo Kasmaran khawatir juga kalau dikibuli. 
"Iya." 
"Benar?" 
"Benar!"
"Baik. Kalau begitu, akan kukatakan sya-
ratku."
"Katakan saja!"
"Baik," Rondo Kasmaran menelan ludahnya 
sebentar. "Terus terang, aku hanya punya satu 
syarat saja. Raja Penyihir. Kuharap, kau tidak 
akan mengecewakan aku. Kau harus membantu-
ku! Kau harus...."
"Iya, iya! Tapi, apa syaratnya? Cepat kata-
kan! Jangan plintat-plintut seperti pesinden ke-
siangan!" hardik Raja Penyihir.
"Ini aku mau bicara. Kau sendiri yang tidak 
sabaran."

"Mana aku bisa sabar melihat muridku da-
lam bahaya," gerutu Raja Penyihir.
"Mau tahu syaratnya tidak?" tukas Rondo 
Kasmaran. 
"Iya. Cerewet amat, sih!" sungut Raja Penyi-
hir.
"Dengar, Raja Penyihir! Aku ingin kau 
membantuku mendapatkan Siluman Ular Putih 
secepatnya. Aku sangat mencintainya. Kau sang-
gup, Raja Penyihir?"
Raja Penyihir kontan tersentak kaget. Tak 
disangka kalau syarat macam itu yang diajukan 
Rondo Kasmaran. Namun buru-buru Raja Penyihir 
menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hm...! Cuma segitu. Sudah pasti aku dapat 
memenuhi syaratmu. Sekarang katakan, di mana 
muridku berada!" 
"Dia..., dia sedang berada di puncak Gu-
nung Perahu. Sedang berdua-duaan dengan seo-
rang gadis cantik," jawab Rondo Kasmaran ketus. 
Manakala mengucapkan 'sedang berdua-duaan 
dengan seorang gadis cantik', mendadak hatinya 
nyeri sekali. Seperti ada sembilu yang menyayat 
hatinya. 
"Bagus. Kalau begitu, sekarang juga aku 
akan ke sana."
"Tunggu, Orang Tua!" teriak Rondo Kasma-
ran, menahan langkah Raja Penyihir.
"Ada apa lagi?" sahut Raja Penyihir seraya 
berbalik lagi.
"Ingat, Orang Tua! Kau harus dapat melu-
nakkan hati muridmu agar mau denganku!"


"Baik.., baik." 
"Awas kalau kau mungkir!" 
"Baik.... Tenang saja...." 
***
Soma senang sekali melihat hasil pengoba-
tan Tabib Agung. Tak disangka orang tua sakti da-
ri Gunung Perahu itu mampu mengobati luka da-
lam Bayi Kawak, Dewa Bogel, dan Lamdaur sece-
pat itu.
"Hebat! Kau memang hebat, Orang Tua! Tak 
sia-sia rupanya kau mendapat gelar Tabib Agung! 
Nanti kalau aku sakit, pasti aku akan kemari. Mu-
lai hari ini, kau jadi tabib langgananku. Asal ong-
kosnya jangan mahal-mahal, ya?" seloroh Siluman 
Ular Putih.
Putri Manja sendiri begitu melihat gurunya 
mulai duduk bersila dan bersemadi, tak luput dari 
rasa gembira. Namun bila teringat akan keakraban 
Rondo Kasmaran dengan Soma tadi, mendadak 
senyumnya hilang berganti wajah masam. 
"Eh...! Kenapa kau cemberut saja, Putri? 
Masa' gurumu sembuh malah sedih? Aku sendiri 
yang bukan murid kakek bau pesing itu senang. 
Kenapa kau tidak?" tanya Soma, heran melihat si-
kap Putri Manja.
Putri Manja tak menyahut. Hanya kilatan 
matanya saja sebagai jawaban.
"Lho, kok malah melotot? Senyum dong!" se-
loroh Soma.
"Bodo!" sungut Putri Manja, kesal.

"Lho? Kok, malah marah-marah? Ada apa?"
"Diam kau! Aku tak sudi lagi berteman den-
ganmu!"
"Itu lagi! Itu lagi! Apa tidak ada kata-kata 
lain yang lebih enak didengar telinga selain kata-
kata itu?"
"Aku benci padamu, Mata Keranjang!" sem-
bur Putri Manja kasar.
"Oh...! Jadi kau masih ingat kejadian tadi, 
ya? Kau merasa sakit hati, ya? Atau..., jangan-
jangan kau tersinggung dengan kekasaranku tadi, 
ya? Ah...! Jangan begitu, dong! Masa' begitu saja 
tersinggung. Memangnya tadi aku ngomong apa? 
Jangan begitu, ah! Kau sendiri juga salah, sih! Ke-
napa omonganku tadi dimasukkan ke hidung. Eh, 
salah! Dimasukkan ke hati? Jadi, ya.... Kau ma-
nyun terus! Ha ha ha...!" goda Siluman Ular Putih 
yang diakhiri tawa berderai.
"Diam kau, Bocah Edan! Lekas, duduk di 
sana!" bentak Tabib Agung tiba-tiba. "Kau pikir 
aku senang melihat tingkahmu apa?"
"Yah...! Kau sendiri malah ikut-ikutan ma-
nyun, Orang Tua! Harusnya kau senang dapat 
menyembuhkan ketiga orang itu," tunjuk Siluman 
Ular Putih ke arah Dewa Bogel, Bayi Kawak, dan 
Lamdaur.
"Harusnya! Harusnya...!" omel Tabib Agung. 
"Kau sendiri harusnya berterima kasih padaku, 
karena ketiga orang kawanmu itu telah kusem-
buhkan! Eh..., malah bertingkah!" 
"Lho lho lho...?! Mereka itu bukan kawanku. 
Bukan apa-apanya aku," kilah Soma.

"Tapi bukan berarti kau tidak harus mengu-
capkan terima kasih padaku!" tukas Tabib Agung.
"Ya...!" 
"Kau keberatan, Bocah?" Tabib Agung cepat 
meloncat bangun. Tangannya yang terkepal siap 
mengemplang jidat Siluman Ular Putih.
"Baik-baik!" sahut Soma. "Terima kasih, ya! 
Kau telah menyembuhkan luka dalam Bayi Kawak 
dan kedua kakek itu," 
"Nah, begitu...," kata Tabib Agung latah se-
raya menoleh pada Dewa Bogel dan Lamdaur. "Hai, 
Bogel! Dan kau, Lamdaur! Cepat kemari!"
"Ada apa kau memanggilku, Tabib Agung?" 
sahut Dewa Bogel dan Lamdaur hampir bersa-
maan.
"Kemari! Kalian pun harus mengucapkan 
terima kasih pada bocah edan ini! Karena, dialah 
yang membawa kalian kemari."
Dewa Bogel dan Lamdaur sejenak saling 
berpandangan. Tampak sekali kalau dua orang to-
koh sakti dari Hutan Pring Apus itu merasa heran 
sekali melihat Siluman Ular Putih yang telah diker-
jainya dua hari lalu telah berada di puncak Gu-
nung Perahu. Ditambah, pemuda itu pulalah yang 
telah membawa mereka menemui Tabib Agung.
"Ya ya ya...! Aku memang patut mengu-
capkan terima kasihku padamu, Pendekar Muda. 
Maaf, kalau dua hari lalu aku sempat mengerjai-
mu!" ucap Lamdaur kaku. Kurang enak didengar 
telinga, karena hatinya masih merasa sungkan.
"Iya, Pendekar Muda. Untung saja ada kau. 
Kalau tidak, tak tahulah apa jadinya nasib kami,"

timpal Dewa Bogel. 
"Eh...! Kau juga harus mengucapkan terima 
kasih padaku, Cah Edan!" sentak Tabib Agung ke-
lupaan.
"Yah...! Tadi aku kan sudah mengucapkan 
terima kasih," sungut Siluman Ular Putih tak se-
nang.
"Kapan?"
"Tadi" 
"Aku tidak dengar."
"Salahmu sendiri. Punya telinga tak pernah 
dibersihkan!" cemooh Soma.
"Eh...! Malah memaki! Ayo ulangi lagi!" 
"Aduuuh...! Tadi aku kan sudah ngomong."
"Bodo! Pokoknya kau harus mengulangi. 
Ayo, cepat!"
"Baik," sahut Soma malas-malasan. "Terima 
kasih ya. Kau telah menyelamatkan Kakek Bogel 
dan Kakek Jangkung itu."
"Nah...! Itu baru enak didengar," sahut Ta-
bib Agung seraya mengipas-ngipas dengan tangan.
"Maunya siih begitu!" cemooh Soma lagi se-
raya menjebikkan bibir.
"Apa kau bilang?"
"Eh..., tidak. Aku tidak ngomong apa-apa 
kok," sahut Siluman Ular Putih celingukan.
Tabib Agung menggerutu kesal. Dan men-
dadak matanya jadi liar.
"Eh...! Kalian semua dengar, ya! Buka telin-
ga lebar-lebar! Luka dalam kalian bertiga telah ku-
sembuhkan. Sekarang, sudah waktunya angkat 
kaki dari tempat kediamanku ini! Cepat!" usir Ta

bib Agung yang memiliki watak aneh.
Siluman Ular Putih, dan semua yang berada 
di puncak Gunung Perahu jadi saling berpandan-
gan. Tak mengerti dengan perubahan watak tuan 
rumah.
"Kenapa kalian malah bengong saja? Apa 
kalian semua tuli, he?! Cepat tinggalkan tempatku 
ini!"
"Apa termasuk aku juga, Orang Tua?" tanya 
Soma memberanikan diri.
"Ya. Kalian semua. Cepat tinggalkan tempat 
ini!" tegas Tabib Agung.
"Yah..., tega amat! Kenapa kau buru-buru 
mengusirku, Orang Tua?" 
"Bocah Edan! Lekas tinggalkan tempat ini!" 
hardik Tabib Agung, galak. 
"Baiklah...."
Soma garuk-garuk kepala. Mulutnya ma-
nyun berat. Selangkah demi selangkah Soma mu-
lai bergerak meninggalkan Tabib Agung. Namun 
kepalanya sesekali masih dipalingkan ke belakang. 
Ketika Tabib Agung tidak mempedulikannya, baru 
Soma mempercepat langkahnya meninggalkan 
tempat itu. 

TUJUH


Begitu Maling Tanpa Bayangan keluar dari 
gua tempatnya bertapa, entah dari mana selalu 
ada kekuatan gaib yang selalu menyertai. Ke mana 
kedua kakinya melangkah, seolah kekuatan gaib

itu pun menyertai. Dan Maling Tanpa Bayangan 
sendiri tak mau melawan kekuatan gaib itu. Diiku-
tinya saja kekuatan gaib itu.
Tanpa terasa, Maling Tanpa Bayangan terus 
dituntun menuju utara. Terus disusurinya hulu 
Sungai Serayu. Dan akhirnya, sampailah lelaki se-
sat ini di suatu tempat terpencil yang diapit oleh 
bukit-bukti terjal. Di sanalah langkahnya berhenti. 
Sejenak Maling Tanpa Bayangan memper-
hatikan keadaan sekitarnya. Keningnya berkerut, 
seolah tak mengerti kenapa dirinya 'dibawa' ke 
tempat itu. Sebuah lembah kecil di tepian telaga. 
Maling Tanpa Bayangan tahu, telaga di hadapan-
nya bernama Telaga Menjer. Sebuah telaga yang 
konon menyimpan banyak kekuatan gaib pula. 
"Heran? Kenapa aku sampai di sini? Kenapa 
aku tidak mencoba melawan kekuatan gaib yang 
menuntun langkahku? Bukankah aku mengingin-
kan nyawa Siluman Ular Putih, sekaligus juga in-
gin menguasai dunia persilatan. Tapi, kenapa aku 
malah kemari?" gumam Maling Tanpa Bayangan 
tak habis pikir. Makin dalam saja keningnya ber-
kerut-kerut. "Hm...! Sulit kumengerti. Kenapa ke-
kuatan gaib itu menuntunku kemari? Apa tidak 
sebaiknya mulai sekarang saja aku melawan ke-
kuatan gaib yang menuntun setiap langkahku dan 
segera mencari Siluman Ular Putih? Ah...! Kupikir, 
baiknya memang demikian!"
Maling Tanpa Bayangan siap menjejakkan 
kakinya untuk berkelebat, tapi mendadak telin-
ganya mendengar langkah-langkah halus mende-
kati tempat itu. Kemudian disusul berkelebatnya

beberapa sosok bayangan yang tahu-tahu telah 
mengepungnya.
"Ada larangan bagi siapa saja yang berani 
memasuki Lembah Duka ini. Siapa kau berani 
lancang kemari, he?!" bentak seorang pemuda 
yang mengepung Maling Tanpa Bayangan, garang.
Pemuda itu berperawakan tinggi kekar. Wa-
jahnya tidak terlalu tampan, namun menyiratkan 
kekerasan sikapnya. Rambutnya gondrong dikun-
cir ke belakang. Menilik otot-otot lengannya yang 
bertonjolan, jelas menandakan kalau pemuda ga-
gah berpakaian ringkas warna kuning ini gemar 
sekali berlatih ilmu olah kanuragan.
Sementara Maling Tanpa Bayangan hanya 
mendengus. Kilatan-kilatan matanya mendadak 
jadi mencorong beringas.
"Tikus-tikus comberan! Beraninya kau 
menghadang Maling Tanpa Bayangan!" bentaknya, 
tak kalah garang.
Pemuda gagah berpakaian kuning itu sem-
pat melengak kaget begitu mendengar bentakan 
orang tua di hadapannya. Demikian juga kesepu-
luh orang pemuda temannya yang turut menge-
pung. Karena, sudah pasti mereka mengenal gelar 
Maling Tanpa Bayangan yang menjadi salah satu 
momok dunia persilatan!
"Ditanya baik-baik malah berlagak! Orang 
Tua! Siapa takut dengan nama besarmu!" bentak 
yang lain, geram.
"Orang Tua! Di antara kita tidak pernah ada 
silang sengketa. Kenapa kau berani menginjakkan 
kaki ke Lembah Duka tanpa izin. Mengingat kau


seorang tokoh dunia persilatan yang sangat dis-
egani, kuharap sudilah meninggalkan tempat ini!" 
kata pemuda berbaju kuning cukup bersahabat.
"Bedebah! Beraninya kau main perintah 
terhadapku, Bocah bau kencur! Apa kau sudah 
bosan hidup?!"
Rupanya hanya bentakan garang saja seba-
gai jawaban atas keramah-tamahan pemuda ber-
baju kuning tadi. Hal ini tentu saja membuat ama-
rah kesebelas pemuda itu siap meledak. Mereka 
kini tak gentar lagi pada nama besar Maling Tanpa 
Bayangan.
"Kakang Juwono! Kiranya kita tak perlu lagi 
berbasa-basi. Manusia maling satu ini memang pa-
tut diusir dengan kekerasan!" teriak salah seorang 
pemuda berbaju merah pada pemuda berbaju kun-
ing yang dipanggil Juwono. 
"Benar, Kang. Buat apa kita buang-buang 
waktu meladeni maling satu ini?! Pasti ada niat ja-
hat yang tersembunyi di batok kepalanya!" sahut 
yang lain penuh kemarahan. 
"Hm...! Kau dengar apa yang diinginkan te-
man-temanku, Orang Tua? Jadi harap kau men-
gerti. Lekas tinggalkan tempat ini secepatnya!" 
gumam Juwono, wibawa.
"Hahaha...!"
Maling Tanpa Bayangan mendadak tertawa
bergelak padanya yang kerempeng bergerak turun 
naik saking gelinya. Dalam hatinya melecehkan. 
Bagaimana mungkin ia yang kini telah menguasai
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan bisa diremehkan demikian rupa. Apalagi,

hanya oleh segerombolan pemuda kemarin sore. 
Baginya mereka tak ubahnya gerombolan anjing 
yang minta digebuk.
"Bagus! Manusia-manusia pencari mati, 
majulah kalau ingin lekas menemui Raja Akhirat!" 
tantang Maling Tanpa Bayangan.
"Serang!"
Juwono mengibaskan tangannya ke depan. 
Maka tanpa banyak cakap, kesepuluh orang pe-
muda itu segera menerjang Maling Tanpa Bayan-
gan dengan pedang di tangan. Sekilas serangan-
serangan Juwono dan kesepuluh temannya cukup 
hebat. Namun bagi Maling Tanpa Bayangan, se-
rangan-serangan mereka tak ubahnya segerombo-
lan laron yang menyerang api.
Maka begitu datang serangan, Maling Tanpa 
Bayangan segera bertindak. Sekalian mencoba il-
mu yang baru didapat dari Kitab Paguyuban Se-
tan, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah berke-
lebat cepat luar biasa menerjang ke depan.
"Heh...?!"
Juwono dan kesepuluh temannya terkesiap 
bukan main. Mereka tak menyangka akan menda-
pat serangan balik demikian cepatnya. Belum 
sempat berpikir lebih jauh, tahu-tahu jari-jari tan-
gan Maling Tanpa Bayangan telah mengancam 
laksana tangan-tangan maut.
Dess! Dess! Dess! 
Bret! Bret! 
"Aaa...!"
Juwono dan lima temannya hanya sempat 
mengeluarkan keluhan, sebelum akhirnya ambruk

satu persatu dengan dada jebol dan perut sobek.
Belum puas dengan gebrakan pertama, Mal-
ing Tanpa Bayangan kembali berkelebat melancar-
kan serangan berikut,
"Hea...! Heaaa...!" 
Bukkk! Bukkk! 
Lima kali tangannya bergerak melayangkan 
bogem mentah, maka terdengar pekik menyayat 
dari lima orang pengeroyok. Mereka kontan ter-
jungkal ke tanah, tak mampu bangun lagi. Semu-
anya terkapar dengan luka amat mengenaskan. 
Kepala pecah mengeluarkan cairan kemerah-
merahan, sementara perut ambrol dengan usus 
terburai.
"Tikus-tikus comberan tak tahu diri! Mam-
puslah kalian semua! Ha ha ha...," tawa Maling 
Tanpa Bayangan bergelak. Suaranya menggema ke 
seantero penjuru. Seolah, ingin mengabarkan hari 
kemenangannya pada segenap alam dan isinya.
Maling Tanpa Bayangan puas menikmati 
kemenangannya. Tak henti-henti suara tawanya 
diumbar. Dan di saat demikian, tiba-tiba nalurinya 
merasakan angin dingin berkesiur menyerangnya 
dari belakang. 
"Bedebah! Siapa berani main gila dengan-
ku!"
Maling Tanpa Bayangan terperanjat. Buru-
buru tubuhnya dilemparkan ke samping. Namun 
sayang, gerakannya terlambat. Serangan itu da-
tang lebih cepat dibanding gerak tubuhnya. Aki-
batnya.... 
Bukkk! Bukkk!

"Aaakh...!"
Maling Tanpa Bayangan menggembor penuh 
kemarahan. Tanpa ampun tubuhnya kontan ter-
pental jauh ke belakang, langsung menghantam 
batang pohon di belakangnya.
Siapakah orang yang menyerang Maling 
Tanpa Bayangan?
***
Sementara itu di lereng Gunung Perahu, 
Sesosok bayangan tinggi kurus terus berkelebat 
cepat menuju puncak. Bak seekor capung raksasa, 
ringan sekali tubuhnya berlompat-lompatan dari 
tempat yang satu, ke tempat yang lain.
Begitu di puncak gunung, sosok tinggi ku-
rus ini menghentikan langkahnya. Ternyata, ia 
adalah seorang kakek berusia amat tua. Tak ku-
rang dari delapan puluh tahun. Tubuhnya yang 
tinggi kurus dibalut pakaian compang-camping 
mirip pakaian pengemis. Di tangan kanannya ter-
genggam tongkat butut berlekuk-lekuk. Dia tak 
lain dari Raja Penyihir yang sedang mencari Silu-
man Ular Putih! 
Sesuai keterangan yang didapat dari Rondo 
Kasmaran, tanpa membuang-buang waktu Raja 
Penyihir segera menuju tempat kediaman Tabib 
Agung. Namun ketika menemukan puncak Gu-
nung Perahu terasa lengang, mau tidak mau ha-
tinya jadi jengkel juga.
"Mana itu muridku Siluman Ular Putih? Ka-
tanya sedang berdua-duaan dengan seorang gadis

cantik? Mana pula tua bangka jelek itu?" gumam 
hati Raja Penyihir tak henti. Sepasang matanya 
yang tajam pun terus mengamati keadaan sekitar-
nya. Namun tak ada tanda-tanda kalau di tempat 
itu ada orang. Yang ditemukan hanya beberapa 
bekas telapak kaki. Ini jelas membuktikan kalau 
tak lama sebelum itu banyak orang yang berda-
tangan kemari. Begitu dugaannya.
Raja Penyihir tak puas hanya menemukan 
telapak-telapak kaki di puncak gunung. Saat ini 
keinginannya untuk bertemu Siluman Ular Putih
benar-benar menggebu-gebu. Tapi sekarang, tak 
seorang pun ada di sini. Apalagi, Tabib Agung juga 
tak ditemukan di tempat itu. Maka satu-satunya 
sasaran kemarahannya tidak lain adalah Tabib 
Agung sendiri!
"Tabib Agung...! Keluar kau! Di mana kau 
sembunyikan muridku, he?!" teriak Raja Penyihir 
lantang, Suaranya yang berat terdengar sampai di 
delapan penjuru mata angin.
Tak ada jawaban.
Raja Penyihir jadi geram bukan main. Di-
ulanginya lagi teriakannya berulang-ulang, sehing-
ga akhirnya....
"Kau...? Mau apa datang kemari?"
Mendadak terdengar bentakan galak seseo-
rang di belakang Raja Penyihir. Buru-buru lelaki 
tua ini berbalik. 
"Tabib Jelek! Kenapa kau tak muncul waktu 
kupanggil? Apa telingamu budek?" terabas Raja 
Penyihir, tak kalah galak.
"Aku yang tanya, mau apa datang kemari?

Bukan menyuruhmu membentak. Apa kau kemari 
juga mau berobat? Iya? Maaf, aku tak bisa mene-
rima," sahut Tabib Agung, galak.
"Slompret! Aku kemari bukannya untuk be-
robat, tahu?!"
"Lalu, mau apa kalau tidak berobat?"
"Aku mencari muridku!"
"Ya, cari saja! Kenapa marah-marah?" sahut 
Tabib Agung, seenaknya. Segera badannya berba-
lik bermaksud meninggalkan Raja Penyihir begitu 
saja.
"Hei...! Tabib Jelek! Di mana kau sembunyi-
kan muridku?" tanya Raja Penyihir tahu-tahu, 
menahan langkah Tabib Agung. Sepasang matanya 
yang mencorong terus memandangi Tabib Agung. 
Curiga.
"Ah...! Kau ini! Apa otakmu sedang kumat? 
Apa perlu kucuci dengan air garam? Seenaknya 
saja menuduh orang. Kapan kau punya murid?" 
tukas Tabib Agung kesal. "Lagi pula, siapa sudi ja-
di muridmu? Paling juga disuruh belajar main su-
lap!"
"Tabib Jelek! Jangan membuatku naik da-
rah, ya? Apa kau ingin kukemplang sampai modar, 
he?!"
"Siapa takut? Ayo kemplang kalau berani?" 
tantang Tabib Agung, seraya menyorongkan kepala 
ke depan.
Disuguhi kue apem begitu, Raja Penyihir 
malah jadi salah tingkah. Bagaimanapun juga tak 
mungkin kepala Tabib Agung dikemplang begitu 
saja. Apalagi, lelaki yang ahli dalam pengobatan itu

sahabat akrabnya.
"Kau... kau memang setan, Kerempeng! Se-
karang katakan, di mana Siluman Ular Putih be-
rada! Tadi, Rondo Kasmaran memberitahuku ka-
lau pemuda sialan itu bersembunyi di sini. Pasti 
kau yang menyuruhnya sembunyi!" tuding Raja 
Penyihir.
"Ooo...! Jadi kau mencari bocah edan itu?" 
Tabib Agung mengangguk-angguk
"Iya. Di mana dia sekarang?" 
"Sudah kuusir."
"Apa? Kau usir? Lancang benar kau mengu-
sir muridku. Apa kau sudah tak doyan nas..." 
"Sabar-sabar!"
Tabib Agung mengangkat tangannya. Seke-
tika tangan Raja Penyihir yang sudah terangkat 
tinggi siap mengemplang diturunkan kembali.
"Sekarang aku mau tanya. Sejak kapan kau 
punya murid, Tua Bangka Jelek?" sambung Tabib 
Agung.
"Kau tak perlu tahu. Punya murid, kek! Ti-
dak, kek. Itu bukan urusanmu. Sekarang katakan, 
di mana Siluman Ular Putih?" sahut Raja Penyihir 
kesal.
"Lho? Kau kan sudah tahu?" 
"Tahu-tahu! Aku belum tahu, tahu!"
"Lho? Marah lagi? Tadi kan sudah kubilang 
dia telah kuusir," sahut Tabib Agung dengan se-
nyum terkembang di bibir. Senang sekali dapat 
mempermainkan sahabatnya. 
"Slompret! Dasar sahabat tak berguna. Per-
cuma saja aku datang kemari," gerutu Raja Penyihir.
"Ya, memang percuma. Tapi, cobalah cari 
bocah edan itu ke selatan. Sepertinya dia ke sana!"
"Bodo!" sahut Raja Penyihir ketus.
Dan tanpa banyak cakap lagi. Raja Penyihir 
pun segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dan 
hanya sekali pijakan saja, tahu-tahu tubuhnya te-
lah melenting tinggi ke udara, dan terus berkelebat 
cepat ke selatan.
Sementara Tabib Agung menggeleng-geleng 
kepala melihat ilmu meringankan tubuh yang di-
keluarkan Raja Penyihir barusan. Makin hebat sa-
ja kehebatan tua bangka satu itu, pikirnya dalam 
hati.

DELAPAN


"Ha ha ha...! Percuma saja kau membo-
kongku. Kau tetap tidak akan mampu membu-
nuhku. Siapa pun juga tidak akan mampu mem-
bunuhku!"
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak. 
Punggungnya yang semula terasa remuk terkena 
pukulan si pembokong kini telah sembuh seperti 
semula. Itu tidak lain berkat ilmu yang dipelajari 
dari Kitab Paguyuban Setan. Tak sia-sia rupanya 
lelaki ini mendapatkan ilmu tangguh itu. Begitu 
bagian tubuhnya terluka, kontan saja uap hitam 
yang keluar dari balik jubah hitamnya menyelimuti
bagian luka, hingga akhirnya sembuh seperti se-
mula.

Sementara itu si pembokong yang kini be-
rada di hadapan Maling Tanpa Bayangan membe-
lalakkan matanya lebar. Sinar matanya menyi-
ratkan kalau ia tak mempercayai apa yang telah 
dialami Maling Tanpa Bayangan tadi. Jangankan 
punggung manusia. Tubuh gajah bengkak pun 
akan hancur lebur bila terkena pukulannya. Tapi 
ini? Melukainya pun tidak. Benar-benar aneh!
Si pembokong adalah seorang nenek bertu-
buh amat kerempeng dan bungkuk mirip udang. 
Pakaiannya serba merah. Sebenarnya kurang pas 
dengan kulit tubuhnya yang hitam. Namun entah 
kenapa, nenek bertongkat panjang ini sepertinya 
lebih menyukai warna merah. Wajahnya jelek pe-
nuh keriput, menyiratkan garis-garis kehidupan-
nya yang telah dimakan usia.
"Maling Tua! Dari dulu kita selalu beda 
pendapat. Berkali-kali aku mengingatkanmu un-
tuk kembali ke jalan kebenaran. Tapi, tidak digu-
bris. Kini saatnyalah aku mengirim nyawa busuk-
mu ke dasar neraka!" geram si nenek tetap dengan 
suara santun, walau dalam hatinya dipenuhi hawa 
amarah.
Makin meriah saja tawa Maling Tanpa 
Bayangan. Seolah, mendengar lelucon tidak lucu,
"Nenek peot Dewi Merah! Bagaimana mung-
kin kau mampu membunuhku? Pukulan 'Racun 
Darah Mayat'-mu tadi pun tak berasa apa-apa. 
Lantas dengan cara apa kau dapat membunuhku, 
he? Ha ha ha...!" ejek Maling Tanpa Bayangan, lalu 
disusul tawa bergelak.
Si nenek yang ternyata berjuluk Dewi Merah
menggeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. 
Sebenarnya, Dewi Merah adalah masih terhitung 
kakak seperguruan Iblis Mayat Merah dan Setan 
Mayat Merah dari Lembah Duka. Namun berhu-
bung sejak masih muda sudah terjadi silang seng-
keta, jadilah mereka menempuh jalan masing-
masing. Dewi Merah yang berhati welas asih memi-
lih jalan kebenaran. Sedang Setan Mayat Merah 
dan Iblis Mayat Merah memilih jalan sesat. (Untuk 
lebih jelasnya mengenai Setan Mayat Merah dan 
Iblis Mayat Merah, silakan ikuti episode: "Perseku-
tuan Maut" dan "Lukisan Darah"). Dan sebenarnya 
pula julukan Dewi Merah tak sesuai dengan kea-
daan si nenek.
Tapi memang, julukan itu diberikan ketika 
si nenek masih muda.
"Dengan tongkat bututku inilah aku akan 
memaksa nyawamu minggat Maling Tanpa Bayan-
gan!" bentak Dewi Merah.
Habis membentak, begitu Dewi Merah pun 
segera menjejakkan kakinya ke tanah. Maka seke-
tika tubuh kerempengnya telah meluruk cepat luar 
biasa. Tongkat di tangan kanannya dalam waktu 
singkat telah berubah jadi gulungan-gulungan hi-
tam, siap mengancam tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan dari delapan jurusan!
Melihat jurus yang dikeluarkan Dewi Merah, 
Maling Tanpa Bayangan hanya tersenyum dingin. 
Ia tahu persis, jurus apa yang tengah dikeluarkan 
nenek renta itu, yakni jurus 'Delapan Penjuru Ma-
ta Pedang' andalan Dewi Merah. Sementara Maling 
Tanpa Bayangan pun segera bertindak. Sengaja ju

rus andalannya selama malang melintang jadi mal-
ing tidak dikeluarkan. Dan ia ingin menjajal kehe-
batan ilmu yang dipelajarinya dari Kitab Paguyu-
ban Setan!
Srat! Srat!
Tak henti-hentinya tongkat hitam di tangan 
Dewi Merah terus mencecar tubuh Maling Tanpa 
Bayangan. Merasakan angin yang berkesiur cukup 
keras dari setiap gerakan tongkat itu, jelas kalau 
Dewi Merah telah mengerahkan kekuatan tenaga 
dalam dengan kekuatan penuh. Namun, Maling 
Tanpa Bayangan tetap saja dapat mengimban-
ginya. Bahkan ke mana saja setiap tongkat hitam 
itu bergerak, lelaki sesat itu seolah bisa memba-
canya dengan mudah. Tak heran bila serangan 
Dewi Merah selalu bisa dihindari dengan mudah.
"Sudah cukup kita main-main, Nenek Peot! 
Sekaranglah saatnya kau menemui ajal!" bentak 
Maling Tanpa Bayangan seraya melemparkan tu-
buh jauh ke belakang.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, 
mendadak kedua telapak tangan Maling Tanpa 
Bayangan telah berubah jadi hitam legam! Itulah 
pukulan 'Darah Para Durjana', salah satu pukulan 
maut yang dipelajarinya dari Kitab Paguyuban Se-
tan!
Melihat Maling Tanpa Bayangan hendak 
mengakhiri pertarungan dengan pukulan maut, 
Dewi Merah yang tadi hendak menyerang segera 
mengurungkan niatnya. Tongkat hitamnya segera 
ditancapkan ke tanah. Dipasangnya kuda-kuda, 
siap-siap mengeluarkan pukulan maut 'Racun Da


rah Mayat' yang membuatnya dijuluki Dewi Merah.
"Apa kau tak punya jenis pukulan maut lain 
selain pukulan 'Racun Darah Mayat, Nenek Peot?" 
ejek Maling Tanpa Bayangan.
"Jangan banyak bacot! Justru dengan pu-
kulan 'Racun Darah Mayat'-ku inilah nyawa bu-
sukmu akan minggat!" balas Dewi Merah. 
"Ha ha ha...! Boleh. Coba saja kalau bisa!"
"Bagus! Bersiap-siaplah menerima kema-
tianmu hari ini, Maling Tua!"
Dewi Merah menggeretakkan geraham pe-
nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya yang 
telah berubah jadi kuning berkilauan segera di-
hantamkan ke depan. Seketika meluruk deras dua 
larik sinar kuning berkilauan dari kedua telapak 
tangannya siap melabrak tubuh Maling Tanpa 
Bayangan. 
Wesss! Wesss!
Maling Tanpa Bayangan masih sempat juga 
mengumbar tawanya yang bergelak. Namun begitu 
merasakan hawa dingin yang bukan kepalang mu-
lai menyambar kulit, barulah kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan. Dan....
Blaaaammm...!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga 
dalam barusan. Bumi bergetar hebat. Angin sam-
baran bentrokan tadi mampu membuat ranting-
ranting pohon di sekitar tempat pertarungan ter-
bakar!
Sementara, sewaktu terjadinya bentrokan 
tadi, Dewi Merah kontan memekik menyayat. Tan-
pa ampun, tubuh kerempengnya terpental jauh ke

belakang. Sebentar tubuhnya berputar-putar sebe-
lum akhirnya terbanting keras!
Dewi Merah menggeram hebat dengan wa-
jah pucat pasi. Dari rahangnya yang menggem-
bung tampak cairan berwarna merah darah! Dan 
guncangan dalam dadanya tak mampu ditahan la-
gi. Akhirnya....
"Hoekh!"
Darah merah kental kontan berhamburan 
dari mulut Dewi Merah. Nenek ini merintih kesaki-
tan. Seisi bagian dalam tubuhnya seolah tergun-
cang hebat. Namun, Dewi Merah tetap bertekad 
untuk melanjutkan pertarungan. Dengan susah 
payah akhirnya tubuhnya dapat tegak kembali wa-
lau masih sempoyongan.
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak. 
Puas hatinya melihat hasil pukulannya tadi. Apa-
lagi melihat tubuh kerempeng Dewi Merah yang 
masih limbung. Jelas kalau nenek-nenek peot itu 
tengah menderita luka dalam hebat. Rasanya se-
perti membalikkan telapak tangan saja kalau ingin 
menghabisi nyawa Dewi Merah.
"Apa kubilang tadi? Kau tak mungkin dapat 
membunuhku. Malah nyawa busukmu sendirilah 
yah sebentar lagi akan kukirim ke neraka. Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini, Nenek 
Peot!" ancam Maling Tanpa Bayangan.
Lelaki sesat itu kembali mengerahkan pu-
kulan 'Darah Para Durjana'. Seketika kedua tela-
pak tangannya kembali berubah hitam legam 
sampai ke pangkal, pertanda telah mengerahkan 
tenaga dalam dengan kekuatan penuh!

Seolah melihat tangan-tangan malaikat 
maut, mau tak mau paras Dewi Merah pun jadi 
pias juga. Keringat dingin sempat membasahi tela-
pak tangannya. Namun wanita tua ini tetap men-
coba tabah.
"Mungkin memang sudah nasibku mampus 
di tangan Maling Tanpa Bayangan...," desis Dewi 
Merah nyaris tak kentara.
"Sekaranglah saatnya kau menemui ajal, 
Dewi Merah! Heaaa...!"
Berbareng teriakan menggetarkan, tiba-tiba 
kedua telapak tangan Maling Tanpa Bayangan te-
lah menghentak ke depan. Seketika meluruk dua 
larik sinar hitam legam dari kedua telapak tan-
gannya, siap meluluhlantakkan tubuh kerempeng 
lawan.
Dewi merah mengeluh dalam hati. "Rasanya 
tak mungkin saat ini lolos dari lubang kematian.. 
Jangankan untuk lolos, untuk menghindar saja 
rasanya tak kuasa."
Namun pada saat yang paling mence-
maskan bagi keselamatan tokoh sakti dari Lembah 
Duka ini, mendadak melesat dua larik sinar putih 
terang dari belakang si nenek, namun agak me-
nyamping. Kedua sinar itu menerabas cepat, me-
mapak pukulan Maling Tanpa Bayangan.
Blaaammm! 
"Aaakh...!"
Sebuah pekik kesakitan terdengar di sana.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan 
gerahamnya penuh kemarahan. Niatnya untuk 
menghabisi nyawa Dewi Merah tersunat sudah. Ia

heran sekali. Bagaimana mungkin kedua kakinya 
sempat surut beberapa langkah ke belakang akibat 
bentrokan barusan. Ini jelas membuktikan kalau 
sang penolong Dewi Merah juga memiliki kepan-
daian.
"Keparat! Siapa berani mencampuri uru-
sanku, he?!" bentaknya garang.
***
"Aku!"
Terdengar sahutan dari semak belukar tem-
pat pekikan tadi berasal. Begitu muncul ternyata 
si penolong Dewi Merah masih amat muda. Umur-
nya tak lebih dari sembilan belas tahun. Wajahnya 
tampan. Rambutnya gondrong tergerai di bahu. 
Sedang tubuhnya yang tinggi kekar terbungkus 
pakaian rompi dan celana bersisik warna putih 
keperakan. Siapa lagi pemuda ugal-ugalan yang 
memiliki ciri-ciri seperti itu kalau bukan Siluman 
Ular Putih.
Tentu saja Maling Tanpa Bayangan terpe-
rangah kaget. Sungguh tak disangka kalau bocah 
edan yang sedang dicari-carinyalah yang memapak 
pukulannya tadi.
Sebenarnya Siluman Ular Putih sampai 
nyasar ke tempat itu bukan tak kebetulan belaka. 
Pemuda ini semula merasa kesal melihat Putri 
Manja ngambek, sehingga jadi uring-uringan sen-
diri. Ternyata kesalahan yang baginya dianggap 
sepele itu berbuntut panjang. Putri Manja tak mau
berkawan lagi dengannya. Bahkan kini dipaksa

gurunya untuk kembali ke puncak Gunung Mera-
pi. Sedang Dewa Bogel dan Lamdaur langsung 
menuju Hutan Pring Apus, begitu turun dari pun-
cak Gunung Perahu. Sementara tanpa terasa. So-
ma terus melangkah hingga sampai ke tempat itu. 
Terutama, ketika mendengar suara pertarungan 
yang membawa langkahnya kemari. 
"Lagi-lagi kau, Manusia Maling! Di mana 
ada kau, di situ pasti ada keonaran!" 
"Kuakui, Bocah Edan! Aku bukan saja ingin 
membuat onar di tempat ini, tapi juga akan mem-
balaskan sakit hati muridku. Raja Maling. Maka, 
sekarang kau harus modar di tanganku!" dengus 
Maling Tanpa Bayangan.
"Wihhh...! Jangan galak-galak, ah! Kan ke-
marin dulu sudah kubilang, bukannya aku yang 
membunuh Raja Maling. Tapi, dia sendiri yang cari 
mati. Masa' bermain maut dengan malaikat maut. 
Ya, pasti koit!" cerocos Siluman Ular Putih asal 
bunyi.
Sementara di tempatnya, Dewi Merah heran 
sekali. Bagaimana mungkin bocah itu berani ber-
tindak ayal-ayalannya. Sedang dia sendiri tak 
mampu menghadapi Maling Tanpa Bayangan. Lalu 
bagaimana dengan bocah sinting itu? Barangkali 
otaknya sudah miring? Tapi menilik pukulannya 
tadi, sudah pasti kepandaiannya cukup lumayan. 
Kalau tidak, mustahil berani bermain maut. Begi-
tu, pikir Dewi Merah.
Habis berpikir begitu Dewi Merah tak dapat 
lagi memperhatikan murid Eyang Begawan Kama-
setyo. Karena luka dalamnya cukup parah, wanita

ini duduk bersila dan bersemadi untuk mengobati 
luka dalamnya.
"Jadi, ceritanya kau ini mau menuntut ba-
las, ya? Bilang saja dari tadi, kenapa sih? Pakai 
berbelit-belit segala!" oceh Siluman Ular Putih.
"Siapa yang berbelit-belit? Aku memang in-
gin membunuh, tahu?" bentak Maling Tanpa 
Bayangan.
"Aku sudah tahu. Tapi sayang, tampangmu 
tak seseram tampang malaikat maut. Bisa jadi 
tampangmu malah lebih mirip badut. Jadi, mana 
bisa kau menuntut balas. He he he...."
"Setan Alas! Jangan panggil aku Maling 
Tanpa Bayangan kalau aku tak dapat membu-
nuhmu, Bocah!"
"Jadi, aku harus memanggil apa? Badut 
tua, begitu?"
Bukan main mengkelapnya hati Maling 
Tanpa Bayangan setelah dua kali dikatakan badut 
tua. Penghinaan itu tak dapat diterima. Terdorong 
amarahnya yang menggelegak, tiba-tiba Maling 
Tanpa Bayangan menggembor keras. Sementara, 
tubuh tinggi kurusnya sudah menerjang hebat Si-
luman Ular Putih. Tangan kanannya bergerak ce-
pat dari atas ke bawah. Tangan kirinya bermaksud 
mencengkeram perut Siluman Ular Putih.
Srat! Srat!
"Uts!"
Tentu saja Siluman Ular Putih tak rela tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan Maling Tan-
pa Bayangan. Sekali menjejak tanah, tahu-tahu 
tubuhnya telah melenting ke samping sambil melepas tendangan putar
Desss! 
"Ughhh...'"
Telak sekali perut Maling Tanpa Bayangan 
terhantam tendangan Siluman Ular Putih. Seketi-
ka tubuhnya terjajar beberapa langkah ke bela-
kang. Memang tidak sakit. Namun, tendangan itu 
cukup membuat amarahnya seperti hendak mele-
dak di ubun-ubun kepala.
"He he he...! Cukup mujarabkan tendan-
ganku tadi? Itu belum seberapa, lho? Untung aku 
masih sedikit menaruh iba. Siapa tahu kau mau 
melawak di sini. Jadi, kubiarkan saja kau kena 
tendanganku," ejek Siluman Ular Putih membuat 
Maling Tanpa Bayangan sulit sekali mengendali-
kan amarah.
"Bocah Edan! Makanlah pukulan 'Darah Pa-
ra Durjana'-ku! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba kedua 
telapak tangan Maling Tanpa Bayangan yang su-
dah berubah jadi hitam legam segera menghantam 
ke depan. Seketika meluruk dua larik sinar hitam 
legam yang disertai berkesiurnya hawa panas bu-
kan kepalang mengancam tubuh Siluman Ular Pu-
tih!
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih terperangah kaget. 
Sungguh tak disangka akan mendapat serangan 
sedahsyat itu.
"Edan! Bagaimana mungkin tua bangka ini 
dapat memiliki ilmu pukulan sehebat ini? Bukan-
kah beberapa hari lalu kepandaiannya masih be
lum seberapa? Tapi kenapa kepandaiannya seka-
rang jadi berlipat ganda?" gumam Siluman Ular 
Putih tak habis berpikir.
Namun Soma tak sempat melanjutkan kata-
kata dalam hati kalau masih ingin melihat terang-
nya sinar matahari esok hari. Begitu merasakan 
hawa panas dari pukulan Maling Tanpa Bayangan 
mulai menyambar kulit, tubuhnya segera dibuang 
ke samping. Sehingga, serangan Maling Tanpa 
Bayangan terus menerabas ke belakang, langsung 
menghantam batang pohon.
Brakkk!
Batang pohon sebesar dua lingkaran tangan 
manusia dewasa itu kontan bergoyang-goyang he-
bat. Selang beberapa saat, disusul suaranya yang 
menggemuruh sebelum akhirnya tumbang. Dari 
akar sampai pucuk-pucuk daunnya hangus terba-
kar! 
Bukan main! 
Melihat kejadian itu, tanpa sadar Siluman 
Ular Putih berdecak-decak kagum. Kepalanya pun 
ikut menggeleng-geleng biar kelihatan yakin kalau 
sedang terheran-heran.
"Busyet! Hebat juga pukulanmu tadi, Mal-
ing. Belajar dari mana?" kata Siluman Ular Putih, 
polos.
Mana sudi Maling Tanpa Bayangan melade-
ni ocehan bocah sinting itu. Melihat serangannya 
gagal, segera disusunnya serangan berikut. Tanpa 
banyak cakap lagi, kedua telapak tangannya kem-
bali dihantamkan ke depan.
"Hea...!"

Wesss! Wesss!
Lagi-lagi melesat dua larik sinar hitam yang 
mengerikan mengancam tubuh Siluman Ular Pu-
tih. Soma yang sudah melihat kehebatan pukulan 
'Darah Para Durjana' milik Maling Tanpa Bayan-
gan tak segan-segan lagi segera memapaki dengan 
pukulan 'Inti Bumi'.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Siluman Ular 
Putih segera mendorongkan kedua telapak tan-
gannya yang telah berubah jadi putih terang hing-
ga ke pangkal lengan.
Wesss! Wesss! 
Blaaarrr!
Terdengar ledakan hebat di udara ditingkahi 
pekik kesakitan. Sementara mata Maling Tanpa 
Bayangan berbinar-binar. Tampak tubuh murid 
Eyang Begawan Kamasetyo itu melayang jauh ke 
belakang, lalu terbanting keras ke tanah!
"Mampuslah kau, Bocah Edan! Sekaranglah 
saatnya aku membalaskan dendam sakit hati mu-
ridku!"
Siluman Ular Putih yang memekik tadi me-
nyeringai hebat. Orang yang mau buang hajat pun 
masih kalah seru dibanding seringai Siluman Ular 
Putih saat itu. Parasnya pucat pasi. Dari telapak 
tangan hingga ke pangkal lengannya berwarna hi-
tam. Jelas, murid Eyang Begawan Kamasetyo ini 
menderita luka dalam cukup lumayan.
Bahkan ketika Siluman Ular Putih mencoba 
bangkit, dadanya terasa nyeri bukan main. Ribuan 
jarum seolah tengah asyik berpesta pora mengobrak-abrik isi dadanya. Bahkan....
"Hoeeekh...!" 
Akhirnya Siluman Ular Putih tak tahan ju-
ga. Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur keluar. Rasanya, jangan tanya lagi! Un-
tung saja nyawanya tidak melayang saat itu juga!
"Heran! Dari mana tua bangka ini mempero-
leh pukulan demikian hebat?" gumam Siluman 
Ular Putih tak puas karena belum menemukan ja-
wabannya tadi. 
Dewi Merah yang tadi mendengar jeritan Si-
luman Ular Putih jadi cemas sekali. Keadaan mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo saat itu benar-
benar mengenaskan. Pakaiannya robek di sana si-
ni. Ingin rasanya wanita ini menolong, namun 
sayang tak bisa. Akibat pukulan 'Darah Para Dur-
jana' milik Maling Tanpa Bayangan sekujur tu-
buhnya terasa lemas. Jangankan untuk menolong. 
Untuk menggerakkan tubuhnya saja, rasanya tak 
kuasa. Maka terpaksa matanya saja yang bisa 
memandangi Siluman Ular Putih dengan sinar ce-
mas.
"Anak muda! Baiknya, cepat tinggalkan 
tempat ini!" teriak Dewi Merah akhirnya.
Maling Tanpa Bayangan tersenyum berin-
gas. Kilatan-kilatan matanya yang berwarna hijau 
mencorong tajam. Mengerikan sekali. Sepasang 
matanya tak ubahnya orang yang telah kerasukan 
setan. Dan ia hanya akan puas kalau sudah mem-
bunuh lawannya. 
"Boleh saja kau tinggalkan tempat ini kalau 
memang bisa. Kenapa hanya diam saja!" ejek Maling Tanpa Bayangan.
Tak ada gunanya bagi Siluman Ular Putih 
menyahuti ucapan Maling Tanpa Bayangan. Kare-
na saat itu, diam-diam tengah dikerahkannya 
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'.
Melihat ulah Siluman Ular Putih, tahulah 
Maling Tanpa Bayangan. Ternyata bocah edan di 
hadapannya tengah mengerahkan aji 'Titisan Si-
luman Ular Putih'. Buktinya sekujur tubuh pemu-
da itu mulai dipenuhi uap putih tipis hingga so-
soknya tidak kelihatan sama sekali.
Sebenarnya, Maling Tanpa Bayangan ingin 
cepat bertindak. Namun baru saja niat itu terber-
sit, tiba-tiba saja.... 
"Ggggeeerrr...!" 

SEMBILAN


"Si... Siluman Ular Putih…!" desis Dewi Me-
rah penuh takjub.
Betapa di hadapan wanita itu kini terlihat 
jelas sesosok ular putih raksasa sebesar pohon ke-
lapa dengan taring-taring yang runcing mengeri-
kan. Belum lagi kilatan sepasang matanya yang 
mencorong tajam berwarna merah saga. Dan sepa-
sang mata merah itu terus menghujam ke bola 
mata Maling Tanpa Bayangan sambil mengibas-
ngibaskan ekornya ke sana kemari.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bo-
cah Sinting! Kau tetap tak akan mampu membu-
nuhku!" tantang Maling Tanpa Bayangan, pongah.

"Gggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggereng hebat seba-
gai jawaban. Suaranya mampu menggetar-
getarkan tempat di sekitarnya. Bahkan begitu ge-
rengannya habis, diterjangnya Maling Tanpa 
Bayangan ganas. Taring-taringnya yang runcing 
dan kibasan-kibasan ekornya yang keras laksana 
palu godam, siap merajam tubuh lawan.
Serrr!
Crok! Crokkk!
Belum sempat Maling Tanpa Bayangan 
menghindar, tahu-tahu tubuhnya telah tercengke-
ram taring-taring runcing Siluman Ular Putih. Le-
laki ini geram bukan main. Saat itu juga tangan-
nya menghantam kepala ular raksasa itu.
Desss!
Seketika lepaslah cengkeraman taring-
taring ular raksasa itu dari tubuh Maling Tanpa 
Bayangan. 
"Gggeeerrr!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Ke-
palanya oleng ke sana kemari sambil mengibas-
ngibaskan ekornya. Meski demikian, ular putih 
raksasa itu tidak cedera sedikit pun akibat hanta-
man Maling Tanpa Bayangan barusan. Dan me-
mang, ular raksasa itu kebal terhadap segala pu-
kulan maupun senjata tajam. 
"Ggggeeerrr! Gggeeerrr...!"
Ular putih raksasa itu tak henti-hentinya 
menggereng hebat. Namun anehnya belum juga 
melanjutkan serangan. Hanya sepasang matanya 
saja yang terus mengawasi Maling Tanpa Bayan
gan. Mungkin merasa heran dengan kejadian aneh 
yang tengah dialami musuhnya. Betapa tubuh 
Maling Tanpa Bayangan tadi pun tidak mengalami 
cedera. Ternyata, tubuh lelaki tua sesat itu pun 
kebal terhadap terkaman taring-taring tajamnya!
"Sudah kubilang kau tak dapat membu-
nuhku. Melukaiku pun, kau tak sanggup. Jadi, 
mana mungkin membunuhku?!" ejek Maling Tan-
pa Bayangan, penuh tawa kemenangan.
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan 
ekornya ke sana kemari. Kepalanya sedikit dirun-
dukkan, siap melancarkan serangan berikut.
Werrr!
Tiba-tiba sosok putih panjang ular raksasa 
itu telah menerjang Maling Tanpa Bayangan. He-
bat sekali terjangannya. Taring-taring yang runc-
ing dan kibasan-kibasan ekornya kembali siap 
mengancam tubuh Maling Tanpa Bayangan,
Maling Tanpa Bayangan tak berani meman-
dang ringan lagi, Dan pertarungan harus dapat 
diselesaikan secepatnya. Untuk itu, segera dike-
rahkannya pukulan 'Darah Para Durjana'.
"Mampuslah kau, Bocah Edan! Hea…!" 
Dikawal bentakan nyaring, Maling Tanpa 
Bayangan segera menghentakkan kedua tangan-
nya memapaki terjangan Siluman Ular Putih. Se-
ketika meluruk dua larik sinar hitam legam dari 
kedua telapak tangannya, langsung menghantam 
telak tubuh Siluman Ular Putih.
Bukkk! Bukkk! 
"Gggeeerrr...!" 
Ular raksasa itu menggereng hebat. Tubuh

nya kontan terpental ke samping. Menggeliat-geliat 
sebentar.
Dan.... 
Werrr!
Tahu-tahu ekor ular raksasa itu mengibas 
cepat dari samping. Sungguh, Maling Tanpa 
Bayangan yang mengira kalau ular raksasa itu 
akan cedera atau bahkan mati saat itu juga, tidak 
menyangka akan mendapat serangan hebat. Maka 
tanpa ampun.... 
Bukkk! Bukkk! 
"Aaakh...!"
Dua kali ekor Siluman Ular Putih mengha-
jar telak tubuh lelaki tua itu. Maling Tanpa Bayan-
gan hanya sempat memekik tertahan sebelum ak-
hirnya terlempar jauh ke belakang. Pada saat ter-
lempar inilah ular raksasa itu kembali menerjang 
hebat! Mulutnya menganga, mengarahkan taring-
taringnya yang tajam. Lalu....
Crok! Crokkk!
Tanpa dapat dicegah lagi tiba-tiba taring-
taring runcing ular raksasa itu mengganyang tu-
buh Maling Tanpa Bayangan. Seketika darah me-
rah berhamburan dari luka di tubuh lelaki tua ini. 
"Gggeeerrr!"
Siluman Ular Putih ternyata tak mau mele-
paskan mangsanya begitu saja. Terus saja tubuh 
Maling Tanpa Bayangan diganyang sambil mengge-
rak-gerakkan kepala ke sana kemari.
Mau tidak mau Maling Tanpa Bayangan jadi 
kalang kabut juga. Berkali-kali tangannya meng-
hantam tubuh ular raksasa itu. Namun, Siluman

Ular Putih tak mau melepaskan gigitannya. Malah 
semakin lama semakin kuat mengganyang tubuh-
nya!
"Gggeeerrr! Geeerrr...!"
Tiba-tiba ular raksasa itu meraung hebat 
ketika dari balik jubah Maling Tanpa Bayangan 
mengepul uap hitam menyerang Siluman Ular Pu-
tih. Bahkan segera menggulung kepala ular raksa-
sa itu penuh kekuatan gaib yang entah dari mana 
datangnya!
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih tak tahan menghadapi 
serangan gaib dari uap hitam dari jubah Maling 
Tanpa Bayangan. Maka tak ada pilihan lain, ter-
paksa mangsanya harus dilepaskan.
"Gggeeerrr! Gggeeerrr...!" 
Ular putih raksasa itu kalap bukan main. 
Tubuhnya oleng ke sana kemari. Sementara uap 
hitam tebal dari balik jubah Maling Tanpa Bayan-
gan terus menyerang tanpa ampun. Lambat laun, 
Siluman Ular Putih jadi lemas kehabisan tenaga!
Siluman Ular Putih tersadar. Meski masih 
menjelma menjadi ular putih, namun masih mam-
pu berpikir seperti manusia kebanyakan. Untuk 
sesaat ular raksasa itu tercenung di tempatnya. 
Nalurinya mengatakan, kalau Maling Tanpa 
Bayangan memiliki ilmu hitam yang amat dahsyat. 
Dan ia tahu bagaimana cara mengatasinya. Tak 
ada pilihan lain, wujudnya harus segera diubah 
menjadi manusia kembali. Namun baru saja hen-
dak melaksanakan niatnya, mendadak...
"Bocah Tolol! Kenapa tidak kau lawan den

gan kekuatan batinmu!"
Mendadak terdengar teriakan keras meng-
getarkan.
***
"Setan Alas! Beraninya kau menggangguku, 
he?!"
Maling Tanpa Bayangan geram bukan main 
ketika tahu-tahu telah berdiri seorang kakek renta 
berpakaian tambal-tambalan mirip pakaian pen-
gemis di depan Siluman Ular Putih. Siapa lagi to-
koh tua dunia persilatan yang mempunyai ciri-ciri 
demikian, kalau bukan Raja Penyihir?!
"Kenapa tidak berani, Maling? Dari dulu 
kau selalu membuat onar dunia persilatan. Kau 
memang layak mampus di tanganku!" hardik Raja 
Penyihir, membalas.
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak. 
Dulu, nyalinya boleh ciut menghadapi Raja Penyi-
hir. Tapi setelah menguasai ilmu yang terkandung 
dalam Kitab Paguyuban Setan, biar seribu orang 
macam Raja Penyihir ada di depannya, tetap saja 
tidak akan takut. Karena memang ia tidak bisa di-
bunuh!
"Tua bangka bau tanah! Lagakmu pongah 
sekali! Apa kau pikir aku takut menghadapimu, 
he?!" desis Maling Tanpa Bayangan.
"Aku tidak bicara takut atau tidak. Tapi aku 
ingin mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!" 
ancam Raja Penyihir.
"Boleh, boleh. Memang ucapan itu yang ku

tunggu. Tapi ingat! Jangan sampai malah nyawa-
mu yang melayang!"
"Bah! Maling tua macammu bisa apa, he?!" 
sembur Raja Penyihir saking kesalnya.
Maling Tanpa Bayangan tertawa. Senang 
sekali melihat Raja Penyihir jadi penasaran seperti 
itu.
"Hati-hati, Orang Tua! Maling tua itu mem-
punyai kekuatan gaib yang sulit dimengerti!" teriak 
Soma yang telah menjelma menjadi manusia biasa.
Raja Penyihir menoleh sekilas. 
"Aku tahu, Tolol! Tapi, kenapa kau tak me-
manggilku guru?" semprot Raja Penyihir dengan 
kening berkerut.
"Lho? Bukankah dalam perjanjian dulu kau 
cuma ingin menurunkan ilmu padaku, kan? Jadi 
kenapa harus memanggilmu guru? Toh, dulu kau 
juga menyetujuinya?" tukas Siluman Ular Putih 
tak mau kalah. (Mengenai perjanjian antara Silu-
man Ular Putih dan Raja Penyihir, harap baca da-
lam episode: "Manusia Rambut Merah").
"Setan! Dari dulu kau selalu saja pintar 
membantah! Awas kau nanti! Setelah selesai aku 
mengurung maling tua satu ini, giliranmu yang pa-
tut kuhajar, Bocah!"
"Yeahhh...! Ngambek! Kau sendiri yang janji. 
Tapi, mau mungkir," ejek Siluman Ular Putih se-
raya menjebikkan bibir.
Aneh sekali memang watak murid Eyang 
Begawan Kamasetyo satu ini. Padahal baru saja 
menghadapi bahaya maut. Tapi, bisa-bisanya ber-
sikap ayal-ayalan seperti itu.

"Diam! Aku belum ingin bicara denganmu, 
tahu?!" bentak Raja Penyihir.
"Tak ingin bicara denganku ya sudah. Asal, 
jangan kau suruh aku memanggilmu guru. Pamali 
namanya!" celoteh Siluman Ular Putih seenak pe-
rut. Tangan kanannya cepat meraih keluar senjata 
andalan dan siap membantu Raja Penyihir.
Raja Penyihir sengaja tak menyahuti uca-
pan Soma. Percuma saja menyahut. Pasti bocah 
sinting itu akan membantah. Ya, kalau cuma 
membantah. Tapi kalau balik memperolok. Nah...! 
Itu yang dikhawatirkan Raja Penyihir! Sebab ha-
tinya paling sebal kalau sudah digoda murid Eyang 
Begawan Kamasetyo itu.
"Maling Tua! Tadi kau sudah dengar tujua-
nku kemari, bukan? Nah...! Daripada tanganku 
kotor oleh darah busukmu, lebih baik bunuh diri 
saja!" hardik Raja Penyihir kasar. Mungkin sengaja 
melampiaskan kedongkolan hatinya pada Maling 
Tanpa Bayangan. Atau bisa jadi memang sudah 
dari dulu tak menyukai lelaki sesat itu.
"Jaga bacotmu, Tua bangka keparat! Justru 
kaulah yang patut modar di tanganku!" geram Mal-
ing Tanpa Bayangan penuh kemarahan. 
Sekilas mata Maling Tanpa Bayangan me-
mandang ke arah Siluman Ular Putih yang tengah 
meniup senjata andalannya. Keningnya berkerut. 
Tubuhnya terasa agak terusik oleh tiupan senjata 
andalan Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih heran bukan main. Ia 
tak percaya kalau tiupan senjata andalannya sama 
sekali tak berpengaruh bagi Maling Tanpa Bayan

gan. Dan pemuda ini jadi menggeleng-geleng tak 
mengerti.
Habis memperhatikan Siluman Ular Putih 
sekilas. Maling Tanpa Bayangan segera menerjang 
hebat Raja Penyihir. Tak tanggung-tanggung sege-
ra dikeluarkannya jurus andalan yang dipelajari 
dari Kitab Paguyuban Setan. Tangan kanannya 
menyerang dari atas ke bawah. Tangan kirinya 
siap merobek perut Raja Penyihir dari samping. 
Dengan jurus itu, ia berharap akan dapat mero-
bohkan Raja Penyihir dalam sekali gebrak. 
Sekali lihat saja. Raja Penyihir tahu maksud 
serangan yang sebenarnya. Justru serangan tan-
gan kiri, Maling Tanpa Bayangan yang tampaknya 
berbahaya, merupakan gerak tipu belaka. Sedang 
serangan tangan kanan yang mengarah ubun-
ubun kepala itulah serangan sebenarnya.
Raja Penyihir tak ingin terkecoh. Dibiarkan-
nya cengkeraman tangan kiri Maling Tanpa 
Bayangan. Pada saat cengkeraman itu hendak 
menyambar perutnya, mendadak tongkat hitam di 
tangan kanannya berkelebat mengancam ulu hati 
lawan. Begitu cepat sehingga....
Duk! Dukkk!
Dua kali Raja Penyihir menggerakkan tong-
katnya, dua kali pula ulu hati Maling Tanpa 
Bayangan terkena sodokan. Telak sekali. Akibat-
nya tubuh Maling Tanpa Bayangan terjajar bebe-
rapa langkah ke belakang.
Tentu saja Maling Tanpa Bayangan mengge-
ram penuh kemarahan. Ulu hatinya yang terkena 
sodokan tongkat terasa nyeri bukan main. Gerahamnya bergemeletuk penuh kemarahan. Cukup 
sudah bermain-main dengan Raja Penyihir. Ia tak 
ingin membuang-buang waktu lagi, dan harus da-
pat membunuh Raja Penyihir secepat mungkin. 
Baru kemudian, menghabisi Siluman Ular Putih.
"Hebat! Harus kuakui kau memang hebat, 
Pengemis. Tapi jangan bangga dulu. Sedikit pun 
aku belum merasa kalah. Sekarang, saatnyalah 
menerima kematian!" 
Maling Tanpa Bayangan menelungkupkan 
kedua telapak tangan ke depan dada. Dan ketika 
kedua telapak tangannya telah berubah jadi hitam 
legam, diputar-putarnya sebentar. Lalu diiringi te-
riakan keras, segera dihantamkannya ke depan.
Sret! Srettt!
Seketika meluruk dua larik sinar hitam le-
gam dari kedua telapak tangan Maling Tanpa 
Bayangan ke arah Raja Penyihir. Tentu saja Raja 
Penyihir tak ingin jadi sasaran empuk. Maka sege-
ra dikerahkannya pukulan 'Tangan Gaib Penindih 
Setan', dan saat itu pula kedua tangannya meng-
hentak. 
"Heaaa...!"
Blaaammm! 
Hebat bukan main dahsyatnya bentrokan 
dua tenaga dalam barusan. Tanah di sekitar tem-
pat pertarungan kontan bergetar hebat. Angin 
kencang berkesiuran memporak-porandakan apa 
saja yang ada di sekitarnya. Pohon-pohon tum-
bang! Sebagian lainnya hangus terbakar!
Maling Tanpa Bayangan tidak mengira ka-
lau Raja Penyihir mampu memapaki pukulan

'Darah Para Durjana' miliknya. Tampak tokoh sak-
ti dari Gunung Tidar itu hanya sempat terjajar be-
berapa langkah ke belakang. Itu jelas menandakan 
kalau tenaga dalam Raja Penyihir tak jauh berbeda 
dengannya.
Meski demikian, Maling Tanpa Bayangan 
masih sedikit lebih untung. Akibat bentrokan tadi, 
tubuhnya hanya sempat terguncang sebentar, dan 
sama sekali tidak membahayakan nyawanya. 
"Heaaat...!" 
Saat melihat tubuh Raja Penyihir terjajar ke 
belakang, Maling Tanpa Bayangan kembali melon-
tarkan pukulan 'Darah Para Durjana' miliknya.
Wesss...! Wesss!
Dua larik sinar hitam legam yang amat 
mengerikan kembali meluruk dari kedua telapak 
tangan Maling Tanpa Bayangan. 
Raja Penyihir rupanya tak ingin mengadu 
tenaga dalam lewat ajian. Menilik kekuatan gaib 
yang membantu Maling Tanpa Bayangan jauh di 
atas kemampuannya. Raja Penyihir tak ingin me-
rugi. Ia harus menggunakan akalnya yang cerdik.
"Rupanya benar juga ucapan bocah tolol itu 
tadi. Maling tua ini ternyata memiliki kekuatan 
gaib luar biasa. Hm...! Baiknya aku harus segera 
mengatasinya dengan Tali Gaib-ku...." gumam Raja 
Penyihir
Meski telah menemukan bagaimana cara 
mengatasi Maling Tanpa Bayangan, bukan berarti 
Raja Penyihir harus menerima serangan begitu sa-
ja. 
"Hup!"

Dan saat satu tombak lagi dua larik sinar 
hitam legam dari kedua telapak tangan Maling 
Tanpa Bayangan mengancam. Raja Penyihir segera 
membuang tubuhnya ke samping. Sehingga, se-
rangan lawan hanya mengenai angin kosong! Pada 
saat inilah tiba-tiba Raja Penyihir mengarahkan 
kedua telapak tangannya yang tahu-tahu telah ke-
luar sebuah tali hitam menyerang Maling Tanpa 
Bayangan.
Werrr! Weeerrr! 
"Heh...?!"
Maling Tanpa Bayangan terkesiap kaget. 
Dan belum sempat bertindak lebih jauh, tahu-tahu 
Tali Gaib milik Raja Penyihir telah melibat leher-
nya. Lelaki sesat ini gusar bukan main. Berkali-
kali dicobanya memutuskan tali hitam itu. Namun 
anehnya, setiap tangannya menebas selalu saja 
seperti menebas angin kosong. Malah libatan tali 
hitam itu makin erat menjerat lehernya.
Tak dapat dibayangkan betapa gusarnya 
Maling Tanpa Bayangan saat ini. Padahal uap hi-
tam dari balik jubahnya telah pula membantunya. 
Namun, tetap tak berhasil melepaskan Tali Gaib 
milik Raja Penyihir. Paling-paling hanya menghi-
langkan rasa sakit saja. Sedang untuk mele-
paskannya tidak dapat sama sekali.
"He he he...! Ayo, lekas keluarkan semua 
kekuatan gaibmu! Kau tadi selalu menggembar-
gemborkan tak dapat dibunuh. Sekarang, aku jadi 
ingin membuktikannya!" ejek Raja Penyihir.
Habis mengejek, Raja Penyihir segera me-
nyentakkan Tali Gaib-nya ke atas. Akibatnya tubuh Maling Tanpa Bayangan terbawa ke atas. Be-
gitu di atas, Raja Penyihir membantingnya keras-
keras ke batu cadas.
Prakkk! 
Keras sekali tubuh kurus Maling Tanpa 
Bayangan menghantam batu cadas. Namun aneh-
nya, tubuh itu tidak cedera sedikit pun! Malah ba-
tu cadas itu yang hancur berantakan. Mau tidak 
mau. Raja Penyihir jadi terperangah juga. Padahal 
tadi, tenaga dalamnya telah dikerahkan dengan 
kekuatan penuh!
Aneh memang. Namun, itulah kenyataan-
nya. Tubuh Maling Tanpa Bayangan tidak dapat 
mati walau telah disakiti berulang kali. Hal ini 
membuat Raja Penyihir penasaran sekali. Kendati 
begitu tubuh Maling Tanpa Bayangan terus di-
banting-bantingkan ke batu-batu cadas. Hasilnya 
tetap saja sama. Tubuh itu sedikit pun tidak cede-
ra! Malah batu-batu cadas itulah yang hancur be-
rantakan.
"Edan! Kenapa maling satu ini tak bisa ma-
ti!" dengus Raja Penyihir sarat keheranan.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau membunuh-
ku. Raja Penyihir! Aku tidak bisa dibunuh!" kata
Maling Tanpa Bayangan tertawa, bangga dan me-
nyakitkan hati Raja Penyihir.
"Diceburkan ke dalam telaga saja, Orang 
Tua!" teriak Siluman Ular Putih tiba-tiba. "Aku ta-
hu, dia tak bisa berenang. Kalau sudah dicebur-
kan, lepaskan saja. Dengan demikian kau tidak
membunuhnya. Biar saja ia mati dengan sendirinya!"

Kening Raja Penyihir berkerut sebentar. La-
lu kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju. 
Dalam hati lelaki tua jago sihir ini kagum juga 
dengan kecerdikan Siluman Ular Putih. Ya! Kenapa 
baru terpikir sekarang? Bila Maling Tanpa Bayan-
gan mengatakan tidak bisa mati dibunuh, tentu 
maksudnya dibunuh dengan pukulan atau senja-
ta. Dan bagaimana bila ditenggelamkan? 
Mendengar teriakan Siluman Ular Putih ta-
di, entah kenapa paras Maling Tanpa Bayangan 
jadi pucat pasi. Seolah bayangan maut bermain di 
pelupuk matanya. Dan di saat tengah kebingungan 
ini, tiba-tiba Raja Penyihir menyentakkan Tali Gaib 
yang menjerat leher Maling Tanpa Bayangan ke te-
laga. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Mal-
ing Tanpa Bayangan ke permukaan air Raja Penyi-
hir pun ikut menceburkan diri ke dalam telaga 
yang dikenal sangat dalam. 
Byurrr! Byurrr...!
Maling Tanpa Bayangan kini tak dapat 
mengendalikan diri lagi. Begitu tubuhnya tengge-
lam, kekuatan gaib yang selalu membantunya se-
perti tak berguna lagi. Begitu Tali Gaib dilepaskan, 
lelaki ini berusaha mencari-cari pegangan di dasar 
telaga. Namun tindakannya tak menghasilkan apa-
apa.
Sementara itu Raja Penyihir hanya menyak-
sikan tubuh Maling Tanpa Bayangan di dalam air 
yang terus megap-megap. Begitu banyak air yang 
tertelan! Menyebabkan tubuhnya kandas di dalam 
telaga. Tiba-tiba dari dalam tubuhnya bergolak. 
Dan....

Blarrr...!
Mendadak, perut Maling Tanpa Bayangan 
meledak! Isinya langsung tumpah ke dasar telaga 
disertai asap hitam pekat. Dari ledakan itu tercipta 
gejolak luar biasa hingga ke permukaan telaga.
"Hm... ilmu setan apa lagi yang akan dike-
luarkan dedengkot maling itu?" gerutu Siluman 
Ular Putih dari tepian telaga.
Setelah menunggu beberapa saat, gejolak 
air di permukaan telaga itu pun mereda. Samar-
samar Siluman Ular Putih melihat sosok tubuh 
Maling Tanpa Bayangan telah mengambang di 
permukaan air dengan perut pecah tanpa gerak 
sama sekali.
"Huahhh...! Mampus sudah bajingan tua 
satu itu! Sekarang kita tak perlu khawatir lagi," 
kata Raja Penyihir tahu-tahu telah nyembul di 
permukaan telaga,
"Eh...! Kau sudah nongol? Bagaimana saran
ku tadi, Orang Tua?" tanya Siluman Ular Putih be-
gitu melihat Raja Penyihir.
"Ya! Saranmu hebat juga. Rupanya kekua-
tan gaib yang selama ini membantunya punah be-
gitu tubuhnya tenggelam. Apalagi, dia tidak bisa 
berenang. Hm.... Ternyata dia termakan oleh uca-
pannya sendiri...."
Memang, kematian Maling Tanpa Bayangan 
bukan karena secara langsung dibunuh oleh Raja 
Penyihir. Kematiannya terjadi begitu saja saat tu-
buhnya tenggelam! Raja Penyihir hanya sebagai 
perantara saja.
"Tapi ngomong-ngomong, mengapa kau be

lum memanggilku guru juga? Apa kau minta diha-
jar, he?" lanjut Raja Penyihir, tiba-tiba.
Siluman Ular Putih tersenyum masygul.
"Perjanjian. Dalam perjanjian, kau telah 
mengatakan tak apa-apa. Jadi buat apa aku me-
manggilmu guru?" sahut Soma, kalem. 
"Kau.... Kau...," Raja Penyihir tak mene-
ruskan ucapannya saking jengkelnya. 
"Sudahlah! Masalah sepele seperti itu tak 
perlu diperpanjang."
"Eh...! Tidak bisa! Sebagai gantinya, kau ha-
rus ikut aku!" tukas Raja Penyihir
"Ke mana?" tanya Soma.
"Ke mana saja aku suka."
"Tapi..., nenek baju merah itu...?"
"Sudahlah.... Jangan mencemaskan nenek-
nenek peot itu! Tadi aku sudah memberinya obat 
pemunah racun."
"Ooo…!" 

                              SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar