Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
HUTAN Sawangan. Sebuah hutan yang ter-
diri dari pohon-pohon berbatang besar. Bak bari-
san iblis dari neraka, pohon-pohon besar itu
mengepung sebuah bangunan mirip istana yang
juga dikelilingi perkebunan madat.
Ada sebuah huru-hara meruyak di sana.
Penyerbuan atas sebuah kemungkaran. Satria
Gendeng dan Arya Wadam yang dibantu para
penduduk Desa Sedayu berusaha membumihan-
guskan markas Setan Madat. Tak ada yang dapat
mencegah lagi. Berlangsung makin panas dan
dahsyat (Sebaiknya baca dulu episode: "Setan
Madat").
Pertarungan hampir sampai pada puncak-
nya.
Satria Gendeng terlibat perseteruan mati-
matian. Bukan main! Tebasan dua puluh golok
lawan berpakaian serba hitamnya dihindari den-
gan liukan-liukan indah bak gerakan pesut laut.
Hingga pada akhirnya....
"Hieee-heee...!"
Teriakan aneh nan cempreng yang lebih
cempreng daripada burung camar laut terlontar
dari mulut si pendekar muda. Saat itu Satria ten-
gah mengerahkan jurus yang dinilai aneh oleh ka-
langan persilatan. Jurus andalan warisan De-
dengkot Sinting Kepala Gundul.
Tak percuma ada tambahan nama Gendeng
di belakang nama aslinya. Satria berjumpalitan ke
sana kemari. Gerak tubuhnya makin sulit diikuti
mata. Terkadang kelebatan tubuhnya berhenti
mendadak, sekaligus menyarangkan satu puku-
lan dahsyat ke tubuh salah seorang pengeroyok-
nya.
Buk!
Salah seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam terlempar. Melayang, lalu menabrak tiang so-
ko guru istana Setan Madat.
Bruk!
Apes sekali nasibnya. Kepalanya yang ter-
lebih dahulu menghantam. Akibatnya, dia tak
bangkit-bangkit lagi. Orang-orang berpakaian
serba hitam lainnya terperangah. Sudah sekian
jurus menyerang, tapi tak satu pun yang berhasil
melumpuhkan pemuda itu.
Kelihatannya, Satria tengah bermain-main.
Namun bagi tokoh persilatan berpandangan jeli,
justru gerakannya mengandung suatu kekuatan
tersendiri. Bisa jadi orang-orang berpakaian serba
hitam yang mengeroyoknya akan menganggap le-
lucon tengik. Sehingga mereka jadi terperangah
begitu. Tapi begitu melihat salah seorang kawan
mereka dibuat tak berkutik, baru mereka sadar
bahwa di balik setiap gerakan kacau si pemuda
terdapat bahaya maut!
Satria sendiri telah kembali bergerak. Ma-
kin kacau! Ketika mendadak berhenti, tangannya
mengambil korban lagi. Tiga orang sekaligus yang
berdiri berdekatan.
Duk! Diegh! Desss!
Tiga kali mengalami nasib naas pula. Tu-
buh mereka berpentalan. Jotosan Satria yang
mendarat di perut, rusuk, dan dada membuat
mereka tak bangun-bangun lagi. Sisa lelaki ber-
pakaian hitam lainnya kembali melongo. Kecepa-
tan, ketepatan, dan kedahsyatan serangan lawan
meruntuhkan nyali mereka.
Sayang rasanya kalau serangan berhenti
sampai di situ. Begitu menurut perhitungan Sa-
tria. Maka selagi para lawan terpaku, dibuatnya
satu hentakan keras-keras sambil menjatuhkan
badan ke permukaan tanah. Begitu mendekati
beberapa orang lawan, kedua kakinya bergerak
cepat. Amat cepat, melepas jejakkan dahsyat.
Bukk! Begh!
Empat orang jatuh secara bersamaan. Dua
orang terhantam bagian selangkangan, dua orang
di bagian ulu hati. Sulit rasanya bagi mereka un-
tuk bangkit kembali. Dua orang yang mendapat
jatah pada bagian selangkangan malah lebih
menderita lagi. Benda kebanggaan mereka kontan
pecah. Mereka berguling-guling, menikmati pen-
deritaan maha hebat.
Melihat delapan orang kawan mereka bisa
dijatuhkan dengan mudah, sisa orang berpakaian
hitam lainnya mulai sadar, siapa lawan yang di-
hadapi. Nyali mereka makin jatuh. Tak ada gairah
lagi bagi mereka untuk melanjutkan pertarungan,
kecuali gairah untuk cepat-cepat melarikan diri.
Satria sendiri mulai membaca keadaan. Dia
tahu, nyali para lawan makin rontok. Tapi bukan
berarti serangannya berhenti. Begitu bangkit, tu-
buhnya tahu-tahu meletik ke atas. Di udara, ke-
dua kakinya menekuk. Begitu mendekati dua
orang lawan, kedua kakinya menyentak.
Dess! Desss!
Dua orang lagi jatuh terhantam tendangan
Satria. Malah dari mulut mereka langsung terlon-
tar percikan darah segar. Tendangan si pemuda
itu tepat mendarat di dada, membuat kedua la-
wan tak bangun lagi.
Tak ada nyali lagi di hati sisa para anak
buah Setan Madat lainnya. Begitu melihat dua
orang teman mereka terkapar, kesepuluh orang
itu segera membuat jurus baru. Jurus langkah
seribu, alias kabur.
Satria Gendeng tak ingin mengejar. Pan-
dangannya kini melekat pada pertarungan antara
Arya Wadam dengan Setan Madat. Makin seru
dan mendebarkan. Masing-masing telah menge-
rahkan jurus-jurus andalan.
Deb! Deb!
Dua buah pukulan dibuat Arya Wadam.
Keras dan bertenaga dalam tinggi. Satu mengarah
ke dada, yang lain menyusul ke dagu.
Setan Madat menarik tubuhnya ke samp-
ing, tanpa menggeser kuda-kudanya. Dari situ,
sikut kirinya melaju dalam kecepatan tinggi. Me-
nusuk langsung ke iga lawan.
Dashh!
"Setan!"
Merasa kecolongan, satu sumpah serapah
terlontar dari bibir si gadis. Bagian iganya terasa
nyeri bukan main. Sodokan sikut Setan Madat
benar-benar membuat mulutnya meringis. Tu-
buhnya tiga tombak terjajar ke samping.
Satu tatapan tajam menusuk menghujam
ke bola mata Setan Madat. Asalnya, dari si gadis
berjiwa sekeras baja. Alamlah yang menempanya
demikian. Sejak bayi, dia tak mengenal kedua
orangtuanya. Arya Wadam dulu ditemukan oleh
seorang tokoh silat wanita di tengah sebuah hu-
tan. Dipelihara dalam tempaan keras di tengah
kaum lelaki, membuat sifatnya bagai lelaki. Dia
sama sekali tak sudi direndahkan oleh kaum lela-
ki. Maka mendapat sodokan keras seperti itu.
"Hiaa...!"
Dikawal bentakan keras, sebuah terjangan
dibuat Arya Wadam. Kaki kirinya lurus ke bawah,
sedang kaki kanan menekuk hampir menyentuh
tonjolan di dadanya. Tangan kanan rata di depan
dada, sedang tangan kiri terangkat ke atas. Se-
buah serbuan yang tak kepalang tanggung, kare-
na membawa sebentuk kemarahan yang siap di-
lampiaskan.
Di tempatnya, Setan Madat menarik kaki
kirinya ke belakang. Tangan kirinya mengepal di
sisi pinggang. Sedang tangan kanannya yang
memegang cangklong panjang berada di atas ke-
pala. Menurutnya, cangklongnya akan digunakan
untuk menahan terjangan kaki kiri lawan, se-
dangkan tangan kirinya siap menyampok dari
bawah.
Tapi apa yang sudah terencana di benak-
nya tak selalu menjadi kenyataan. Cerdik, Arya
Wadam sengaja mengumpankan kaki kirinya yang
tiba-tiba menjulur ke depan.
Wutt...!
Lima jari sebelum cangklong Setan Madat
menghantam, Arya Wadam cepat menarik kaki ki-
rinya kembali. Dan sebelum sampokan tangan ki-
ri lawan datang, tubuhnya telah dienyahkan ke
kiri. Lalu kaki kanannya menyambar deras ke wa-
jah.
Diegh!
Sekali saja ujung telapak kaki kanan Arya
Wadam mampir di rahang tirus lawan tuanya.
Tapi itu cukup beralasan untuk menciptakan sa-
tu pekik kesakitan yang terlontar dari kerongkon-
gan kurus Setan Madat. Tubuh kurusnya sendiri
terjengkang ke belakang, lalu mencium tanah.
"Chuah! Jahanam! Ku cabik-cabik tubuh-
mu, Perempuan Sundal!" Sebentuk kemarahan
terlontar bersama cairan ludah bercampur darah
dari bibir kendor hitam Setan Madat.
Kemurkaan menggelegakkan darahnya.
Urat-urat merah bola matanya makin jelas. Lewat
satu sentakan urat perut, Setan Madat bangkit.
Sejenak matanya menyapu ke sekeliling.
Sial! Rupanya aku tinggal sendirian! Ke
mana anak buahku? Rutuk Setan Madat. Dan ke-
geramannya makin memuncak ketika perkebunan
madatnya sudah terkepung api, nyaris tak terse
lamatkan lagi.
"Chiaa...!"
Sarat kegeraman, Setan Madat menerjang.
Rasa nyeri di bagian pipi tak dirasakannya lagi.
Tubuhnya sudah terbang lurus seperti tombak.
Tangan kanan telah memutar-mutar cangklong.
Wukh! Wukh!
Dua buah tebasan dibuat Setan Madat.
Liar dan ganas. Sayang, calon korbannya telah
memperhitungkan gerakannya. Dijatuhkannya
tubuh ke belakang. Dan dengan bertumpu pada
kedua tangan, kedua kaki Arya Wadam menyen-
tak ke atas, ketika tubuh Setan Madat lewat di
atasnya.
Lalu....
Beghh!
Apes.
Itu yang dialami Setan Madat. Ulu hati dan
dadanya menjadi sasaran kedua kaki lawan. Aki-
batnya, tubuh kurusnya terlempar ke atas. Peki-
kan menyayat terlempar dari mulutnya.
Sementara Arya Wadam telah berdiri di ta-
nah kembali. "Ini saatnya," desisnya.
Selagi tubuh Setan Madat meluncur turun
tak terkendali, si gadis telah melesat bak anak
panah. Kaki kanannya terjulur dan kaki kiri me-
nekuk ke dalam. Arahnya, sudah pasti tubuh Se-
tan Madat.
"Hiaah!"
Dashh!
Prakk!
Satu sabetan kaki kanan telah menghan-
tam kepala Setan Madat. Lelaki tua bangka itu
terpental kembali sebelum tubuhnya menyentuh
tanah. Kepalanya retak mengucurkan darah se-
gar. Dan ketika jatuh mencium tanah, dia sudah
melejang-lejang meregang nyawa.
Arya Wadam sendiri telah menjejakkan ka-
kinya di tanah. Tajam diperhatikannya jasad Se-
tan Madat yang tak berkutik lagi, mati. Dan dia
baru menoleh ketika di belakangnya terdengar
suara langkah kaki halus.
* * *
"Sudah kuduga! Sudah kuduga! Kau pasti
akan mampu mengalahkannya!" kata Satria me-
ledak-ledak. Lagaknya seperti seorang guru besar
terhadap muridnya.
Arya Wadam tersenyum. Manis sekali. "Te-
rima kasih, Satria," ucap Arya Wadam, risih se-
raya bergegas menyapu peluh di wajahnya. Desa-
han napasnya terdengar.
"Sejak tadi aku hanya menonton saja. Ha-
bis aku yakin dalam dua gebrakan lagi kau pasti
bisa mengalahkan Setan Madat," lanjut Satria
tanpa diminta.
"Kepandaian Setan Madat setaraf dengan-
ku, Satria. Kurasa kau mampu menjatuhkannya
dalam segebrakan saja," Arya Wadam balik me-
muji Satria.
Sejujurnya, benar apa kata Arya Wadam.
Satria tahu itu. Cuma karena ingin membesarkan
hati si gadis, kata-kata itu meluncur begitu saja
dari mulut Satria. Dan kini si pemuda hanya cen-
gar-cengir saja.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam.
"Kau memang hebat," jawab Satria.
"Bukan. Maksudku, apa yang harus kita
lakukan lagi?"
"Oh, itu," Satria memandang berkeliling.
Tampaknya, para penduduk Desa Sedayu yang
membantunya menyerang tempat ini telah men-
guasai istana milik Setan Madat.
"Nah, itu Ki Rengges dan Ki Rembang!" tun-
juk Satria ketika dua lelaki tua muncul di pintu
istana.
Kedua lelaki tua yang ditunjuk Satria
menghampiri. Wajah suka cita diperlihatkan me-
reka.
"Bagaimana, Pak Tua? Apa langkah kita se-
lanjutnya?" aju Satria langsung saja.
Satu tombak di hadapan si pendekar muda
dan Arya Wadam, kedua lelaki tua itu berhenti.
"Semua sudah kami bereskan, Satria. Selu-
ruh perkebunan madat milik Setan Madat telah
kami bakar. Para pekerja paksa yang berasal dari
desa kami telah kami suruh pulang. Sedangkan
gadis-gadis yang disekap Setan Madat telah kami
temukan. Dan mereka juga sudah kami suruh
pulang," lapor Ki Rengges langsung.
"Kami mengucapkan banyak terima kasih
atas bantuan kau, Satria. Juga, padamu, Cah
Ayu," timpal Ki Rembang.
"Jangan berterima kasih pada kami, Pak
Tua. Berterima kasihlah pada Tuhan," ujar Satria.
"Kalau begitu, marilah kita rayakan keme-
nangan ini di desa, Satria," ajak Ki Rengges.
"Kemenangan ini tak perlu dirayakan, tapi
disyukuri. Ungkapan rasa syukur itu sebaiknya
kau wujudkan dalam bentuk kepemimpinan yang
arif dan bijaksana. Ciptakanlah kedamaian dan
ketenteraman desa seperti dulu, sebelum Setan
Madat menguasai desamu, seperti yang pernah
diceritakan Ki Rembang padaku." Entah malaikat
mana yang menyusupi tubuh Satria. Kata-
katanya bak seorang resi dengan wejangan-
wejangan halusnya.
Ki Rengges melirik Ki Rembang. Malu ha-
tinya bila mengingat masa dia menjadi anak buah
Setan Madat. Dan ternyata sebuah pengalaman
tak mengenakan menjadi anak buah tokoh sesat
telah membuka matanya. Sekaligus, membuka
hatinya yang selama ini tertutup kegelapan.
DUA
BULAN sepotong menggantung di angkasa.
Malam pekat. Bukit Menjangan terkepung rapat
oleh kabut. Dengusan angin tak mampu mengu-
sir. Hawa dingin menggigit kulit, membuat bina-
tang-binatang malam tak ingin keluar dari sa-
rangnya.
Tidak dengan dua orang manusia yang ten-
gah duduk berhadapan di pelataran sebuah re-
runtuhan sebuah bangunan mirip candi. Mereka
seperti tak peduli oleh gelapnya malam. Juga tak
peduli oleh dinginnya hembusan angin bukit yang
begitu menusuk. Siapakah mereka?
Yang duduk di atas sebuah batu besar be-
kas reruntuhan candi itu adalah seorang lelaki
tua. Rambutnya panjang tak terurus. Hidungnya
bengkok seperti paruh burung betet. Matanya ta-
jam mencorong berwarna hijau. Bajunya panjang
mirip jubah berwarna kelabu. Tangan kirinya dile-
takkan di atas dengkul keroposnya. Sedang tan-
gan kanan memegang tongkat butut dari kayu
hutan.
Di depan si lelaki tua adalah seorang lelaki
bertubuh tinggi besar. Wajahnya dihiasi kumis
dan brewok. Pakaiannya tak menggambarkan ka-
lau dia tokoh persilatan, tapi sebagai tokoh kera-
jaan. Sebuah pakaian yang hanya dikenakan oleh
seorang panglima.
"Apa kau sudah yakin dengan keputusan-
mu, Ganang?" buka si lelaki tua, memecah kehe-
ningan yang baru saja berlangsung.
"Sudah, Guru. Takhta kerajaan harus ku-
rebut. Aku sudah terlalu sakit hati dengan Kan-
jeng Gusti. Pihak kerajaan malah kini mengucil-
kan ku. Yang paling menyakitkan, adikku dihu-
kum gantung oleh Kanjeng Gusti," sahut lelaki
tinggi besar. Dialah Panglima Ganang Laksono.
Setelah bertemu Setan Madat untuk men
gambil tiga peti uang kepeng guna membiayai
pemberontakannya, Panglima Ganang Laksono
langsung menuju Bukit Menjangan tempat gu-
runya bermukim. Sang Guru dikenal sebagai Ki
Ageng Wirakrama. Dalam dunia persilatan, dia
dikenal sebagai tokoh setengah siluman. Karena
konon, istrinya pun siluman asli.
Sewaktu markas Setan Madat di Hutan
Sawangan diserang Satria Gendeng, Arya Wadam,
dan para penduduk Desa Sedayu, Ganang Lakso-
no telah lama meninggalkan tempat itu.
"He he he.... Bagus, bagus. Aku mendu-
kung rencanamu. Kapan akan kau laksanakan?"
kekeh Ki Ageng Wirakrama.
"Dalam waktu dekat ini, Guru. Dan kuha-
rap Guru sudi membantu memperlancar jalannya
rencanaku," pinta Panglima Ganang Laksono,
tanpa sungkan-sungkan.
"O, tentu. Tentu aku akan membantumu.
Walau baru beberapa tahun kau jadi muridku,
aku tak segan-segan untuk membantumu. Tapi,
kau harus ingat. Aku tak mau tenagaku sia-sia.
He he he...," kata si tua jelek itu mengingatkan.
"Aku mengerti kebutuhan Guru. Temanku
Setan Madat banyak menyimpan gadis-gadis de-
sa. Nanti bisa kusuruh dia untuk menyediakan-
nya," kata Ganang Laksono, penuh semangat.
"Slompret! Dua tahun terakhir ini, aku se-
lalu diawasi istriku, Kampret! Sejak aku kepergok
Nini Berek tengah menggarap seorang gadis, dia
memberi hukuman padaku. Aku tidak boleh tidur
lagi dengannya!" semprot Ki Ageng Wirakrama.
Tercekat Danang Laksono mendengarnya.
Gila! Nafsu nenek tua bangka istri guruku ini ma-
sih besar saja! Begitu kata hati lelaki tinggi besar
ini. Lelaki ini juga pernah bertemu dengan istri Ki
Ageng Wirakrama yang dipanggil Nini Berek. Bu-
kan saja perempuan itu sudah keropos dengan
tubuh melengkung, tapi juga berwajah mengeri-
kan.
Wajahnya saja penuh borok berlendir ber-
bau busuk. Rambutnya tipis berwarna putih, nya-
ris tak pernah dicuci. Bisa jadi malah sengaja un-
tuk perternakan kutu. Matanya celong ke dalam,
namun memancarkan sinar kemerahan. Mulut-
nya bergigi hitam, tak pernah membuang temba-
kau sirihnya.
Dan Ki Ageng Wirakrama masih mau ber-
main cinta dengannya?
Orang paling bodoh pun rasanya akan lari
terbirit-birit bila harus bercinta dengan Nini Be-
rek.
"Kau tentu mau bilang aku gila mau ber-
cinta dengan Istriku, bukan?" sergap Ki Ageng Wi-
rakrama.
Ganang Laksono tercekat. Serba salah.
Mau bilang iya, takut sang Guru marah. Mau bi-
lang tidak, memang begitu kenyataannya.
"Mmm, maksudku bukan begitu, Guru,"
gagap Danang Laksono.
"Alaahh...! Aku sudah tahu apa yang kau
pikirkan!" tepis lelaki tua bangka itu. "Asal kau
tahu saja, Ganang. Istriku bisa merubah wujud-
nya menjadi seorang gadis cantik untuk menam-
bah gairahku. He he he...."
Kini Ganang Laksono baru mengerti. Dan
dia makin merasa bodoh ketika menyadari bahwa
istri gurunya adalah sebangsa siluman. Bukan-
kah bangsa siluman bisa merubah wujudnya
menjadi apa saja? Bahkan mungkin bisa merubah
wujud menjadi sejumput upil sekalipun.
"Sekarang, imbalan apa yang harus kube-
rikan kepada Guru?" aju Ganang Laksono lebih
lanjut.
"Gampang.... Di dunia ini ada sebuah sen-
jata pusaka. Namanya, Kail Naga Samudera. Cari,
dan rebut senjata itu," sabda Ki Ageng Wirakra-
ma.
"Kail Naga Samudera? Siapa pemiliknya?
Dan bagaimana bentuknya?" sebut Ganang Lak-
sono, bertanya-tanya.
"Aku juga belum pernah melihat bentuk-
nya. Tapi kabarnya, senjata pusaka itu seperti se-
batang tongkat kecil. Pangkalnya dari logam den-
gan ujung berbentuk kepala naga. Sedang ujung-
nya berbentuk ekor naga. Soal pemiliknya, kalau
tak salah bernama Ki Kusumo. Tapi menurut ka-
bar pula senjata itu telah diwariskan kepada mu-
ridnya."
"Siapa?"
"Satria Gendeng."
* * *
"Kau tak mengenakan tudungmu lagi,
Arya?" tanya Satria, iseng-iseng sewaktu mereka
singgah di sebuah kedai untuk menuju Kerajaan
Demak.
Saat ini, siang terik memanggang. Sejak
tadi pagi, Satria Gendeng dan Arya Wadam telah
meninggalkan Desa Sedayu. Mereka harus segera
menuju Kerajaan Demak untuk melaporkan ten-
tang pemberontakan yang akan dilakukan seo-
rang panglima.
"Tudungku kutinggal di sebuah pengina-
pan di Desa Karangkemboja. Dan lagi, rasanya
tak perlu aku menggunakannya lagi, agar kau
puas memandang wajahku. Tidak ngintip-ngintip
lagi," goda Arya Wadam, mulai berani kepada si
pemuda.
Agar aku puas katanya? Lonjak si pemuda
tengil ini. Mana pernah aku merasa puas? Malah
kalau boleh, pipinya sekalian kuci..., ah! Kenapa
pikiranku jadi ngaco begini. Nanti kalau Tresna-
wati tahu, bagaimana? Tidak! Aku tidak boleh
mengkhianatinya! Satria terus bermain dengan
kata-kata hatinya sendiri.
"Apa yang kau lamunkan, Satria? Gadis-
mu, ya?" terjang Arya Wadam menyudutkan si
pemuda.
Lamunan pemuda bertabiat sinting ini te-
rampas oleh kata-kata Arya Wadam. Wajahnya
mendadak sontak memerah. Lalu berubah hijau.
Lalu kelabu. Tak menentu. Sikapnya jadi serba
salah.
"Ah, tidak," sanggahnya. Padahal kalau
Arya Wadam tahu bahwa dalam benaknya tengah
tergambar wajah Tresnawati, bisa jadi wanita ini
kontan meninggalkannya. (Untuk mengetahui
tentang Tresnawati yang menjadi kekasih Satria
Gendeng baca episode perdana sampai Kiamat Di
Goa Sewu). "Justru aku sedang menikmati can-
tiknya wajahmu," Satria berdusta.
Wajah Arya Wadam makin tersipu. Kata-
kata si pemuda justru makin mengobarkan api
asmara dalam dadanya. Benarkah pemuda ini?
Jujurkah kata-katanya? Pertanyaan dalam dada
Arya Wadam menyeretnya ke dalam sebuah kera-
gu-raguan. Untuk menyebut perasaannya itu se-
bagai benih cinta, apakah terlalu tergesa-gesa?
Arya Wadam sendiri belum cukup yakin. Namun
begitu, sulit dipungkiri kalau dalam hatinya ada
perasaan yang sulit diceritakan.
Si gadis berusaha menghalau perasaannya
itu, tapi tetap saja tak mampu. Malah tanpa sa-
dar, matanya menghujam lurus pada bola mata
pemuda perkasa di depannya.
Untungnya, Arya Wadam cepat menyadari
ketika pelayan kedai datang membawa pesanan
makanan mereka.
"Pesanannya, Den," kata si pelayan lelaki.
Usianya paling setengah baya.
"Terima kasih," ucap Satria, ikut memban-
tu meletakkan hidangan yang dipesan.
Si pelayan pergi, setelah tugasnya selesai.
Mata Satria masih terpaku di wajah Arya
Wadam.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Sa-
tria?" tegur Arya Wadam, jengah juga dipandangi
seperti itu. Dan memang, sejak bertemu pemuda
tengik ini sifat si gadis yang semula kelaki-lakian
mulai berubah sedikit demi sedikit. Apakah kare-
na dia mencintai Satria? Bukankah terlalu pagi
kalau menyebut bahwa yang ada di dalam hatinya
adalah cinta?
"Aku sendiri heran, kenapa aku terus me-
mandangimu, ya? Tapi rasanya mubazir kalau
wajahmu dilewatkan begitu saja," sahut Satria,
terus terang.
"Sudahlah, makan dulu hidangan kita.
Nanti keburu dingin."
Arya Wadam tak peduli lagi seandainya Sa-
tria mau melahap wajahnya sekalipun. Segera di-
lahapnya nasi campur arak pesanannya. Dan ke-
tika matanya melirik, Satria telah asyik dengan
santapannya. Ikan mujair bakar dengan lalap pe-
tai.
"Kau sudah punya kekasih, Satria?" panc-
ing Arya Wadam. Sikapnya pura-pura tak peduli.
Terus dilahapnya santapannya.
"Sudah," jawab Satria, pendek.
Arya Wadam nyaris tersedak. Pemuda ini
sudah punya kekasih? Sentaknya dalam hati.
Lantas, apa maksudnya dia mencari-cariku sam-
pai ke Desa Sedayu segala? Seketika Arya Wadam
menghentikan suapannya.
"Ja..., jadi kau...," gagap Arya Wadam tan
pa berkelanjutan.
Satria masih tetap tak peduli. Asyik sekali
dia dengan santapannya. Kadang jarinya sibuk
menarik duri mujair dari mulutnya. Sedangkan
bibirnya monyong-monyong, terasa pedas ketika
melahap lalap petai.
Tiba-tiba Arya Wadam berdiri. Telunjuk
lentiknya menuding ke wajah si pemuda. "Ternya-
ta aku sedang berhadapan dengan pemuda tengik
hidung belang yang pintar memasang jerat!" de-
sisnya. Matanya mendelik, nyaris melompat dari
rongganya. Terarah ke manik-manik mata Satria.
Tudingan Arya Wadam membuat si anak
muda tersentak. Dan ini makin membuat makan-
nya jadi kalap. Suapannya makin seru, menjejali
nasi ke dalam mulut. Sementara, matanya mena-
tap lekat tak mengerti ke bola-bola mata indah
Arya Wadam.
Arya Wadam tak kuat lagi mengendalikan
perasaannya. Sekali menyentak kakinya, tubuh-
nya sudah menghambur keluar kedai. Tinggal Sa-
tria yang terbengong-bengong.
"Apa yang salah dengan jawabanku?" ta-
nyanya seraya menaruh beberapa kepeng ke atas
meja untuk membayar makanan.
Cepat, Satria Gendeng menyusul keluar.
Tapi Arya Wadam sudah tak terlihat lagi. Tinggal
tangan si pemuda menggaruk-garuk kepala yang
tak gatal.
* * *
"Satria Gendeng? Rasanya aku pernah
mendengar nama itu?" tanya Ganang Laksono un-
tuk dirinya sendiri. "Tapi di mana aku pernah
mengenalnya?"
Di atas kudanya, Panglima Ganang Lakso-
no tercenung. Dia berusaha mengingat-ingat
orang yang bernama Satria Gendeng. Dan ketika
ingatannya tertuju pada Bagaspati, barulah kepa-
lanya mengangguk-angguk.
"Ya, aku baru ingat. Beberapa tahun lalu
sebelum Bagaspati diangkat menjadi Patih seka-
rang ini, orang yang bernama Satria Gendeng
pernah mendapat penghargaan dari Kanjeng Su-
suhan, karena telah berjasa menumpas gerombo-
lan Laskar Lawa Merah pimpinan Dirgasura.
Hmm.... Pantas, guruku berminat sekali pada Kail
Naga Samudera...." (Untuk mengetahui tentang
Bagaspati dan Dirgasura, baca episode: "Tabib
Sakti Pulau Dedemit", "Geger Pesisir Tanah Jawa",
dan "Kail Naga Samudera").
Perlahan namun pasti, Panglima Ganang
Laksono mengarahkan lari kudanya menuju Ka-
dipaten Kutowinangun. Dia akan menemui kakak
iparnya yang menjadi adipati di sana. Pembica-
raan mengenai pemberontakan untuk sementara
ini harus secara rahasia. Untuk itu, dia merasa
belum perlu membawa orang-orang; terdekatnya.
Setelah berpamitan pada gurunya tadi pa-
gi, Panglima Ganang Laksono tak ingin berlama-
lama lagi. Yang jelas, dia merasa sudah mendapat
kepastian kalau gurunya akan bersedia membantunya. Hanya saja, setelah takhta Kerajaan De-
mak nanti bisa direbutnya, dia harus bersusah
payah mencari pemuda bernama Satria Gendeng
untuk merebut Kail Naga Samudera.
Siang terik memanggang bumi.
Keringat di tubuh lelaki tinggi besar ini te-
lah membasahi tubuh. Diperkirakan, sore nanti
dia baru tiba di Kadipaten Kutowinangun. Sung-
guh suatu perjalanan yang amat melelahkan.
Memasuki sebuah mulut hutan, mendadak
Panglima Ganang Laksono menghentikan lari ku-
danya. Mata tajamnya menyapu ke sekeliling. Se-
kelebatan tadi, matanya menangkap sebuah
bayangan melesat, dan menghilang di balik se-
buah pohon besar tepat di mulut hutan.
Dan sebelum dia menarik gagang pedang-
nya....
Wusss...!
Tak percuma Panglima Ganang Laksono
berguru pada Ki Ageng Wirakrama. Sebuah angin
halus didengarnya. Lewat satu hentakan kaki le-
laki tinggi besar itu melempar tubuhnya ke atas.
Tak!
"Hieeekhh...!"
Kuda tunggangan Panglima Ganang Lakso-
no kontan tersungkur. Angin halus yang berupa
totokan jarak jauh menghantam lehernya. Pe-
nunggangnya sendiri telah sampai di bumi den-
gan mata nyalang.
"Jangan cari perkara denganku! Keluar!"
Keadaan sunyi. Hanya belaian angin siang
yang mendesah resah menerpa sang Panglima.
Dan kegeraman pun memuncak, hendak mele-
dakkan dada lelaki tinggi besar ini. Karena orang
yang barusan melepaskan serangan gelap tetap
tak mau menunjukkan batang hidungnya.
Sejenak Panglima Ganang Laksono mena-
tap kuda tunggangannya yang juga mengangkut
tiga peti uang kepeng. Melihat kudanya yang ter-
puruk kaku akibat tertotok, bisa dipastikan kalau
orang yang menotok tadi memiliki kepandaian
tinggi. Selain bisa menotok dari jarak jauh, desir
angin totokannya pun nyaris tak terdengar.
"Jahanam! Tunjukkan muka jelekmu! Jan-
gan jadi orang pengecut!"
Bergema. Suara teriakan Panglima Ganang
Laksono barusan juga disertai tenaga dalam lu-
mayan. Bisa jadi bila tokoh rendahan akan lang-
sung berteriak kesakitan. Tapi rupanya yang dite-
riaki bukan tokoh kemarin sore. Karena....
"Hiaha ha ha...!"
Sebuah tawa dahsyat bertenaga dalam le-
bih tinggi justru membuat Panglima Ganang Lak-
sono jatuh duduk. Dadanya langsung berguncang
keras. Biji matanya mendelik tak percaya.
Salah besar kalau Panglima Ganang Lak-
sono menduga bahwa si pemilik tawa tadi adalah
seorang yang bertubuh besar. Dan salah besar la-
gi kalau asal suara tawa tadi dari balik sebuah
pohon besar yang semula diduganya.
"Jangan banyak bertingkah kalau cuma
punya kepandaian seujung kuku...," sebuah sua
ra dari belakang Panglima Ganang Laksono ter-
dengar.
Sang Panglima tercekat. Sungguh tak di-
duga kalau suara itu berasal dari belakangnya.
Sebab dia merasa pasti kalau suara itu tadi be-
rasal dari arah depan. Perlahan, kepalanya meno-
leh ke belakang
Terhenyak kembali sang Panglima. Ternya-
ta orang yang ada di belakangnya tingginya tak
lebih dari pahanya. Seorang lelaki yang usianya
sulit diukur. Wajahnya penuh keriput dengan
kumis dan jenggot berwarna putih menjuntai ke
bawah. Matanya sipit segaris. Kalau tertawa, nya-
ris tak melihat. Rambutnya putih digelung ke
atas. Pakaiannya panjang mirip jubah berwarna
abu-abu.
"Si..., siapa kau, Orang Tua?!" tanya Pan-
glima Ganang Laksono, tergagap. Keberaniannya
terdepak entah ke mana. Dia cepat bangkit dan
berbalik.
"Aku? Kau tanya siapa aku? Pantas..., pan-
tas. Ternyata orang di hadapanku ini terlalu ba-
nyak meringkuk di ketiak istrinya. Tak pernah
terjun dalam kancah persilatan. Pantas kalau dia
tak mengenaliku," oceh si tua kecil ini.
Merah wajah Panglima Ganang Laksono
Dadanya bergemuruh. Kalau tak ingat bahwa di-
rinya barusan dijatuhkan, sudah diterjangnya si
tua sialan ini.
"Mestinya kau harus tahu, siapa yang kau
hadapi sekarang ini, Orang Tua?" desis Panglima
Ganang Laksono. Maksudnya mau menggertak.
Tapi suaranya malah bergetar, menggam-
barkan ketakutannya.
"Mau Setan Belang, kek. Aku tak peduli,
siapa dirimu. Yang penting aku mau meminta tiga
peti uang kepeng di atas kudamu!" sembur si ka-
kek kecil.
"Berarti kau berurusan dengan Panglima
Ganang Laksono dari Kerajaan Demak!"
"Sudah kubilang, aku tak peduli! Mau be-
rurusan dengan Kerajaan Setan pun, tiga peti ke-
pengan itu harus jadi milikku!"
Panglima Ganang Laksono berusaha men-
gumpulkan keberaniannya yang tercecer. Di-
enyahkannya dugaan kalau lelaki tua sialan ini
memiliki kepandaian tinggi. Boleh jadi si tua
bangka itu hanya pandai dalam ilmu totok. Jadi,
belum tentu pandai dalam olah kanuragan.
Di sisi lain, Panglima Ganang Laksono juga
tak ingin tiga peti uang kepengnya lenyap begitu
saja. Bila itu sampai terjadi, bagaimana dia mem-
biayai pemberontakan?
Tapi tenaga dalam lelaki tua ini amat ting-
gi! Begitu teriak hati Panglima Ganang Laksono.
Ah, itu mungkin karena aku terlalu kaget saja,
tukasnya sendiri.
"Kalau begitu, langkahi mayatku dulu!" ge-
ram Panglima Ganang Laksono, mendelik.
"He he he.,.. Nyalimu mulai tumbuh lagi,
ya? Kau mau bertingkah di hadapan Bocah Tua
Sakti? Boleh..., boleh. Sini! Kau kujadikan mayat
dulu, biar bisa kulangkahi!"
"Keparat! Chiaaa...!"
Satu terjangan dahsyat dibuat Panglima
Ganang Laksono. Menyadari calon lawan di hada-
pannya tidak bisa dianggap main-main, pedang-
nya segera dicabut.
Wutt!
Sambil menerjang, Panglima Ganang Lak-
sono mengebutkan pedangnya. Ganas dan mema-
tikan. Deru anginnya mengisyaratkan kematian.
Sementara calon korbannya tak bergemik sedikit
pun. Sikapnya tetap tenang, seolah suka rela me-
nyediakan tubuh kecilnya dirancah pedang berki-
latan.
Tapi lima jari lagi pedang itu menebas dari
samping....
"Weee, tidak kena!" ejek si kakek bernama
Bocah Tua Sakti.
Dengan kecepatannya, Bocah Tua Sakti
melenting tinggi ke atas. Di udara, kedua kakinya
mampir di kepala Panglima Ganang Laksono.
Duk! Duk!
Pelan saja kaki Bocah Tua Sakti hinggap
kurang ajar di kepala, tapi sungguh membuat
Panglima Ganang Laksono merasa amat terhina.
Begitu berbalik, segera dipersiapkannya jurus-
jurus pemberian Ki Ageng Wirakrama.
Tepat ketika Panglima Ganang Laksono
memasukkan pedangnya, kuda-kuda kokohnya
telah terpasang. Kini kedua tangannya bersilang
di atas kepala. Sementara, lawan malah meman
dang dengan kening berkerut. Seolah ada sesuatu
yang membekas dalam ingatannya.
Dan sebelum Panglima Ganang Laksono
menerjang....
"Tunggu..., tunggu...," kata si kakek kecil
se-enaknya. "Kau hendak membuka Jurus
'Menangkap Setan Gila' ya? Ayo, ngaku....
Hmm.... Apa hubunganmu dengan Ki Ageng Wi-
rakrama?"
"Dia guruku."
"Edan! Kenapa tidak bilang dari tadi?!"
TIGA
KE MANAKAH Arya Wadam? Jangan tanya,
bagaimana terpukulnya gadis itu. Setelah menya-
dari kalau cintanya hanya bertepuk sebelah tan-
gan, Arya Wadam berlari tak jelas arah. Apa yang
selama ini diimpi-impikan kan-das sudah. Saat
itu juga dia ingin mendepak bayangan Satria dari
ingatannya. Tapi semakin dia berusaha, bayangan
bocah tengik itu tetap saja sulit dihapus
Setegar-tegarnya Arya Wadam, ternyata di-
hadapkan urusan cinta tak mampu juga si gadis
membendung perasaannya. Tak urung air ma-
tanya bobol juga ketika tiba di pinggiran Sungai
Bogowonto.
Oh, Gusti Agung.... Kenapa dunia terlalu
kejam buatku? Jeritnya, merana. Arya Wadam
sebenarnya memang tergolong gadis tegar. Sejak
bayi dia sudah kehilangan kasih sayang kedua
orangtuanya. Sejak ditemukan di tengah sebuah
hutan, dia dididik oleh seorang tokoh silat wanita
yang awet muda. Selama dididik, yang didapat
hanyalah gemblengan yang begitu keras di tengah
kaum lelaki. Tak heran kalau kemudian penampi-
lannya mirip lelaki, sebelum bertemu Satria Gen-
deng.
Memang, gurunya cukup sayang padanya.
Tapi apakah itu cukup? Dan selagi ada pemuda
tampan yang menaruh perhatian padanya, selagi
ada pemuda sakti yang telah mencuri sekeping
hatinya, haruskah dia mengingkari perasaannya?
Wajarkah kalau dia mengharap kasih sayang dari
si pemuda?
Harapan tinggal harapan. Yang ada kini
kenyataan, bahwa cintanya bertepuk sebelah tan-
gan. Apakah Arya Wadam terlalu besar perasaan?
Haruskah dia menyalahkan Satria yang telah
mengoyak perasaannya?
"Tak seharusnya kau hanyut dalam angan
kosong, Arya!"
Dalam duduknya yang bersandar di bawah
pohon, Arya Wadam tersentak. Sebuah suara
yang amat dikenalnya telah memberangus lamu-
nannya. Cepat, kepalanya menoleh ke kiri.
"Guru...!" sebutnya, lirih.
Arya Wadam beringsut. Ditubruknya kaki
seorang wanita cantik berpakaian putih yang ta-
hu-tahu telah berdiri di samping kiri sejauh satu
tombak. Kapan wanita cantik itu datang, Arya
Wadam tak tahu. Atau karena perasaannya se-
dang terkepung oleh kegalauan sehingga panca
indranya tertutup?
Di ujung kaki wanita yang dipanggil guru,
Arya Wadam menumpahkan segala perasaannya.
Tangisnya pun meledak.
"Tak pantas seorang pendekar menangis
meraung-raung begitu! Bangun!" bentak si wanita
cantik.
"Ampun, Guru.... Tapi salahkah aku kalau
mengikuti kodratku? Tapi, ah! Percuma. Guru tak
tahu persoalannya!"
"Persoalanmu hanya persoalan cinta. Dan
cintamu bertepuk sebelah tangan pada seorang
pemuda bertabiat sinting bernama Satria Gen-
deng!"
Arya Wadam melengak. Tangisnya kontan
berhenti. Guru tahu persoalanku? Katanya, ber-
tanya sendiri dalam hati. Tak percaya, Arya Wa-
dam mendongak. Kedua matanya menghujam ke
arah manik-manik mata bersinar lembut milik
gurunya. Sinar mata si gadis menyiratkan keti-
dakpercayaan.
"Aku mengikutimu sejak kau berada di ke-
dai bersama pemuda tengik itu, Arya. Aku tahu,
apa yang kalian bicarakan di kedai!" jelas sang
Guru, menjawab keheranan muridnya. "Ja..., ja-
di...."
"Ya! Aku tahu semuanya! Dan kau tak per-
lu jadi cengeng seperti itu. Bukankah pemuda itu
telah berkata jujur? Kau harus hargai kejujuran
nya!" sambar sang Guru.
"Guru membela Satria Gendeng?" tukas
Arya Wadam, kecewa.
"Masalahnya bukan aku membela atau ti-
dak. Yang jadi persoalan adalah, kau belum bisa
mengendalikan perasaanmu sendiri. Dengarlah!"
Wanita cantik itu meraih bahu Arya Wadam un-
tuk berdiri. "Sekarang aku mau tanya. Apakah
pemuda itu telah menyatakan cintanya padamu?"
Arya Wadam menggeleng. Lemah sekali.
"Nah, kenapa kau merasa begitu terpukul?
Aku mengerti, kau adalah seorang gadis yang
haus kasih sayang. Kedua orangtuamu telah
membuangmu tanpa kasih sayang. Wajar kalau
kau saat ini membutuhkan kasih sayang, selain
dariku. Tapi tidak seharusnya kau menjadi cen-
geng begitu. Ada hal lain yang lebih penting dari
sekadar menangisi impian kosong. Jelas, pemuda
itu tidak mencintaimu. Maka, lupakanlah dia.
Buktikan bahwa kau adalah seorang pendekar
berkepribadian tegar tanpa harus cengeng dengan
persoalan cinta," papar wanita cantik itu.
Diam-diam Arya Wadam menelaah setiap
kata yang diucapkan gurunya. Si gadis tahu, be-
tapa tegarnya kepribadian wanita yang awet muda
itu. Dulu, gurunya pun mempunyai suami yang
mati terbunuh di sebuah tempat yang bernama
Kuil Neraka, sebelum ditempati Tujuh Dewa Ke-
matian. Sejak saat itu, sang Guru telah kehilan-
gan kasih sayang. Dia tetap menyendiri tanpa pe-
duli pada urusan cinta (Baca episode : "Tumbal
Tujuh Dewa Kematian").
Nini Prameswari namanya. Begitu si wanita
cantik guru Arya Wadam biasa dipanggil. Berkat
kesaktiannya, dia masih tetap awet muda. Malah
bagi orang yang tak tahu, antara Nini Prameswari
dengan Arya Wadam bagaikan adik kakak saja.
Paling tidak umur mereka selisih satu dua tahun.
Tapi sebenarnya, usia Nini Prameswari sudah
hampir mencapai seratus tahun.
"Tapi kalau Satria Gendeng tak mencintai-
ku, kenapa dia mencari-cari aku? Bahkan memin-
ta bantuan gurunya yang bernama Dongdongka
untuk mencariku?" tuntut Arya Wadam. Sekadar
untuk memuaskan hatinya.
"Ini! Ini yang namanya besar perasaan. Ka-
lau orang lain mencari dirimu, apalagi yang men-
cari adalah seorang pemuda, belum tentu karena
dilandasi cinta. Bisa jadi hanya karena suka saja.
Dan antara cinta dan suka hanya dibatasi benang
yang amat tipis. Jadi, kau harus hati-hati men-
gendalikan perasaanmu," urai Nini Prameswara,
panjang lebar.
Terbukalah kini kesuraman di hati Arya
Wadam. Tak ada lagi air mata di pipi. Sejak tadi
dia memang telah berusaha menghapusnya. Se-
bening pualam, kini pikirannya terasa bersih. Bi-
birnya mulai menampakkan senyum. Manis seka-
li.
"Tataplah hari depan yang lebih cerah, Mu-
ridku," lanjut Nini Prameswari. "Sekarang, ada
suatu hal yang mesti kubicarakan padamu."
"Apa itu, Guru?"
"Aku telah tahu, siapa kedua orangtuamu
yang telah tega membuang dirimu ke hutan."
"Apa?"
* * *
"Waahhh, urusannya kenapa jadi begini?"
keluh Satria, ketika tiba di ujung jalan sebuah
pinggiran desa. Di depannya, menghadang sawah
ladang menghampar. "Rasanya tak mungkin Arya
Wadam bersembunyi di sawah atau ladang itu.
Dia bukan sejenis tikus sawah."
Kepala si anak muda celingukan, mirip
maling jemuran. Berusaha dicarinya gadis itu
dengan mata tajamnya. Tetap tak ada hasil.
"Ke mana tujuanku sekarang? Ke Kerajaan
Demak atau terus mencari Arya Wadam? Kalau
aku terus mencari Arya Wadam, bisa memakan
waktu lama. Sementara, keadaan Kerajaan De-
mak bakal terancam. Ah, perempuan.... perem-
puan. Rupanya perhatianku selama ini disalah
artikan oleh Arya Wadam. Kan aku cuma ingin
ketemu dia. Kan aku cuma penasaran kenapa
waktu itu dia meninggalkan aku begitu saja sete-
lah menyelesaikan urusan di Kuil Neraka? Kan
aku cuma ingin jadi sahabatnya? Kan aku cuma
mengagumi kecantikannya? Kan aku..., slompret!
Kenapa aku juga begitu mengkhawatirkan kese-
lamatannya?"
Satria terbelenggu keragu-raguan. Kekha
watiran memang menimbulkan keragu-raguan.
Dan keragu-raguan adalah cikal bakal kekalahan.
Tiba-tiba saja, kata-kata bijak menyentil kesada-
ran Si pemuda. Entah, malaikat mana yang mem-
bisiki kupingnya.
"Ah, kupikir Arya Wadam bisa mengerti
aku. Dia telah cukup dewasa untuk mengerti arti
sebuah kejujuran. Bukankah aku sudah berkata
jujur? Jadi, aku tak perlu mengkhawatirkannya
lagi. Dan sebaiknya, aku segera menuju Kerajaan
Demak!" tegas si anak muda.
Di ujung kalimatnya, Satria menghentak-
kan kakinya, Kini tubuhnya melesat bagaikan di-
kejar setan, karena mengerahkan ilmu lari cepat-
nya. Yang hanya bayangan putih saja saat tu-
buhnya meluncur bak anak panah lepas dari bu-
sur.
Tiba di jalan yang membelah dua buah bu-
kit, lesatan si pemuda perkasa terhenti. Ada se-
suatu yang mengganggu pendengarannya. Kejap
kemudian....
"Heaaa...!"
Trangg...!
Satria tercekat. Sebuah suara pertarungan
rupanya yang tadi mengusik kupingnya, sehingga
langkahnya terhenti. Kini celingukannya makin
seru saja.
* * *
Sebuah pertarungan seru tergelar di balik
Bukit Srondol. Sepasukan orang berpakaian pra-
jurit bertarung habis-habisan menghadapi seo-
rang lelaki tua kurus berjubah panjang warna ke-
labu. Hanya seorang lelaki tua, tapi telah mampu
merobohkan beberapa prajurit dengan dada bo-
long seperti bekas tusukan benda tumpul.
Wukh! Wukh!
Si kakek berambut tak terurus itu memu-
tar-mutar tongkat bututnya. Perlahan saja keliha-
tannya. Tapi angin sambarannya mampu meng-
goyahkan kuda-kuda para prajurit yang menge-
pungnya. Mata mencorongnya yang berwarna hi-
jau menatap satu persatu para pengepungnya.
Dari sikapnya jelas, kalau dia tak puas dengan
hanya memakan beberapa korban saja.
Tak jauh dari tempat pertarungan, berdiri
seorang lelaki gagah. Wajahnya bersih. Tak begitu
tampan, tapi memancarkan ketegasan dan wiba-
wa. Sinar matanya tajam, seolah tak ada satu hal
kecil pun yang luput dari perhatiannya. Dari pa-
kaiannya bisa ditebak kalau lelaki setengah baya
itu berpangkat Mahapatih. Pendeknya, atasannya
para patih.
Siapakah lelaki itu?
Dari umbul-umbul lambang kerajaan yang
dibawa beberapa prajurit yang tak ikut bertarung,
bisa dipastikan kalau lelaki gagah itu berasal dari
Kerajaan Demak. Dan kalau melihat raut wajah-
nya, jelas kalau dia adalah Bagaspati yang kini te-
lah berpangkat Mahapatih.
Tak jauh dari Bagaspati, lima orang praju
rit berjaga-jaga mengelilingi sebuah kereta kenca-
na indah. Di dalamnya, menunggu waswas tiga
manusia yang harus benar-benar dilindungi. Me-
reka adalah Gusti Prabu Sutawijaya, Permaisuri
Prabaningrat, dan anak gadis mereka yang ber-
nama Dewi Sekardadu.
Cras! Cras!
Dua prajurit Demak tersungkur. Sambaran
tongkat lelaki tua tadi menelan korban kembali.
Perut dua prajurit itu terkoyak, membuat isinya
terburai. Darah pun kembali membasahi bumi.
"Hmm, sepertinya Panglima Darmakusuma
dan anak buahnya tak mampu menanggulangi
keganasan si tua itu. Kalau begitu, aku harus tu-
run tangan," gumam Mahapatih Bagaspati.
Mahapatih Bagaspati menghela napas se-
sak.
Dalam.
Sarat kemarahan.
"Mundur!" teriaknya, lantang.
Para prajurit Demak yang hendak membu-
ka pertarungan lagi cepat bergerak mundur. Pe-
rintah adalah perintah. Walaupun mereka masih
bernafsu menyerang. Bernafsu melihat teman-
teman mereka telah terbujur kaku bersimbah da-
rah. Tapi perintah atasan harus dijunjungi tinggi.
Apalagi terhadap seorang yang patut dihormati
sekaligus dijunjung seperti Mahapatih Bagaspati.
Demikian pula Panglima Darmakusuma.
Sebenarnya, dia malu untuk mundur dari arena
pertarungan. Sekian jurus menggebrak, tapi tak
satu pun yang bisa membuat lawan tuanya jera.
Bahkan tadi, nyaris kepalanya kena gebuk tong-
kat butut lelaki tua yang tak lain Ki Ageng Wira-
krama.
Langkah mantap Bagaspati merampas ke-
heningan yang tercipta sejenak. Tegar dan penuh
percaya diri, didekatinya Ki Ageng Wirakrama. Ti-
ga tombak di depan si tua bangka itu, mahapatih
perkasa ini berhenti.
"Kau muncul langsung menyerang kami.
Sebenarnya, apa maumu, Pak Tua," tegur Maha-
patih Bagaspati. Tegas penuh wibawa.
"Mauku? Kau bilang mauku? Banyak! Ke-
mauanku banyak. Termasuk melenyapkanmu da-
ri muka jagat ini!" jawab Ki Ageng Wirakrama.
Dingin dan datar.
"Rasanya, pihak Kerajaan Demak tak
mempunyai persoalan denganmu. Kenapa kau
begitu bernafsu untuk melampiaskan kemaua-
nmu?"
"Itu urusanku! Dan aku tak perlu men-
gungkapkannya padamu. Tapi yang pasti aku
menginginkan Putri Dewi Sekardadu," jawab Ki
Ageng Wirakrama, lantang.
Alis tebal Mahapatih Bagaspati bertaut.
Apa-apa ini? Tanyanya, makin bingung. Makhluk
tua ini benar-benar tak jelas, apa maunya. Da-
tang langsung menyerang, kini yang dimauinya
malah Putri Dewi Sekardadu. Semula, dikira lela-
ki tua itu hanyalah seorang perampok yang sen-
gaja membegal orang-orang kerajaan ataupun
saudagar. Tak tahunya, malah Dewi Sekardadu
yang jadi incaran.
"Terlalu sulit permintaanmu untuk dilu-
luskan. Putri Dewi Sekardadu adalah junjungan
kami. Dan aku wajib melindunginya!" terabas
Mahapatih Bagaspati, tegas dan tandas.
"Boleh..., boleh. Tak ada yang melarang ka-
lau kau merasa wajib melindungi junjunganmu.
Tapi sayang, keputusanku tak bisa diubah barang
seujung upil sekalipun. Jadi bersiap-siaplah un-
tuk mampus bila kau berniat menghalang-
halangi!"
"Hatimu telah berkarat, Pak Tua. Jiwamu
terlalu kusam. Tidakkah kau menyadari bahwa
umurmu tinggal sisa-sisa belaka?"
"Bedebah! Kau belum kenal aku rupanya!
Ageng Wirakrama alias Iblis Samber Nyawa tak
bakalan mundur berhadapan denganmu!"
Mengelam wajah Ki Ageng Wirakrama. Ke-
marahannya siap membuncah. Mata hijaunya
mendelik. Dada keroposnya turun naik. Amat ce-
pat.
Wukh! Wukh!
Ki Ageng Wirakrama memutar tongkatnya
di depan dada. Jangan ditanya, bagaimana suara
angin yang ditimbulkan. Seolah, dia ingin meron-
tokkan nyali calon lawannya.
Mahapatih Bagaspati sendiri telah menca-
but keluar kerisnya. Dibuatnya kuda-kuda sete-
lah menarik kaki kiri ke belakang. Tatapannya lu-
rus, hendak menembus manik-manik mata Ki
Ageng Wirakrama. Kerisnya sendiri kini telah ter-
silang di depan mata.
"Majulah, Kakek Busuk! Rasanya dunia
pun teramat jijik membiarkanmu berkeliaran me-
nebar petaka!"
"Jahanam! Kuremukkan kepalamu!
Hiaaa...!"
Wukh!
Sarat tenaga dalam tinggi, tongkat butut Ki
Ageng Wirakrama mengebut dari samping kepala.
Hendak dihancurkannya kepala sang patih itu.
Suara menderu terdengar, udara terbelah oleh ke-
rasnya sambaran.
Lincah, Mahapatih Bagaspati menarik tu-
buhnya ke belakang. Begitu sambaran tongkat
butut lewat, dibabatkannya ujung keris langsung
ke leher lawan.
Udara tergores tajam.
Leher Ki Ageng Wirakrama terancam.
Tapi si tua bangka ini terlalu cerdik untuk
ditebas keris begitu saja. Entah bagaimana ca-
ranya, tubuhnya tahu-tahu telah merunduk se-
raya menyodokkan tongkatnya.
Duk!
"Hekh!"
Untung saja Mahapatih Bagaspati telah
melapisi perutnya dengan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, bagian yang tersodok tongkat butut ba-
rusan tidak tertembus. Tapi tak urung, perutnya
terasa mulas bukan main. Dua tindak dia terjajar
ke belakang.
"Sekarang rasakan tongkat bututku!
Hiaaa...."
Selagi lawan belum tuntas meringis mena-
han sakit, Ki Ageng Wirakrama telah kembali me-
lompat membuat serangan berbahaya. Dengkul
kropos kanannya terangkat hampir menyentuh
dada. Tongkatnya berputaran di atas kepala.
Udara robek terbabat tongkat.
Mahapatih Bagaspati tercekat.
Akankah dia melawat ke akhirat?
"Hih!"
Dengan keberanian luar biasa, Mahapatih
Bagaspati justru menyongsong lompatan lawan.
Kerisnya diangkat ke atas hendak memapak sam-
baran tongkat. Sedangkan kaki kiri dan tangan
kiri berjaga-jaga bila lawan melepaskan serangan
dengan kaki.
Di udara, keris Mahapatih Bagaspati mem-
bentur tongkat butut Ki Ageng Wirakrama. Seperti
dugaannya, dengkul monyong tua bangka itu me-
nyentak hendak menanduk perutnya kembali. Se-
cepatnya, melindunginya dengan menekuk kaki
kiri.
Tapi siapa nyana kalau tiba-tiba tangan ki-
ri kurus milik Ki Ageng Wirakrama tiba-tiba ber-
gerak dari bawah ke atas. Ini yang luput dari per-
hatian Mahapatih Bagaspati.
Lalu....
Diegh!
Tubuh lelaki gagah andalan Kerajaan De-
mak itu terdongkel di udara. Keras hingga terlem
par tiga tombak jauhnya. Pekik kesakitan terlem-
par dari mulut Mahapatih Bagaspati.
Mahapatih Bagaspati membesut darah di
bibirnya yang terhantam jotosan lawan. Sebagian
darahnya yang tersisa diluncurkan lewat mulut
bersama ludah. Lewat satu sentakan, lelaki ini
berusaha bangkit. Ditatapnya lawan yang telah
siap mengirim serangan susulan.
"Sekarang saatnya kau mampus di tangan-
ku, Keparat Busuk!" sembur Ki Ageng Wirakrama,
begitu membuat kuda-kuda rendah.
Bed! Bed!
Di depan dada, tangan kiri kurus kering Ki
Ageng Wirakrama membuat beberapa gerakan.
Cepat, berisi tenaga dalam tinggi. Gerakannya ba-
ru berhenti ketika telapak tangan kirinya mem-
buka di atas pinggang, dengan jari-jari mengarah
ke bawah.
Semua yang ada di tempat ini jadi tegang.
Menanti, serangan keji apa yang akan dilepaskan
tua bangka itu. Padahal, para prajurit serta Pan-
glima Darmakusuma bisa saja ikut membantu
menyerang tadi. Cuma mereka telah tunduk pada
perintah Mahapatih Bagaspati.
Mahapatih Bagaspati sendiri telah berusa-
ha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dan me-
lihat lawan sepertinya bersiap melepas pukulan
jarak jauh, segera disiapkannya pula pukulan an-
dalannya.
"Hiaaahhh...!"
Dengan kawalan teriakan panjang Ki Ageng
Wirakrama membuka serangan. Sebentuk angin
tajam memangkas udara begitu tangan kirinya
menghentak.
Wusss...!
Dahsyat.
Semua tercekat.
Di tempatnya, Mahapatih Bagaspati ber-
siap. Keris di tangan kanan telah berpindah ke
tangan kiri. Sedang telapak tangan kanan itu
sendiri telah membuka di depan dada.
Satu tombak lagi angin serangan lawan da-
tang, telapak tangan kanan Mahapatih Bagaspati
telah menghentak. Sebentuk angin yang menderu
tajam pun bergerak memapak.
Lalu....
Blanggg...!
Apes. Kali ini Mahapatih Bagaspati kembali
apes. Tubuhnya tergempur sejauh sepuluh tom-
bak. Pekik menyayat terlontar dari tenggorokan-
nya. Susah payah, lelaki gagah ini berusaha
bangkit. Dadanya turun naik amat cepat. Adu te-
naga dalam barusan cukup mengguncangkan isi
dadanya. Sejenak Mahapatih Bagaspati menoleh
ke arah Panglima Darmakusuma dan para praju-
ritnya yang siap membantu bila ada perintah. Ta-
pi sedikit pun sang Patih tak memberi isyarat
apa-apa.
Tatapan Mahapatih Bagaspati kini meng-
hujam tajam ke arah Ki Ageng Wirakrama. Lelaki
tua kurus ini tadi hanya tergetar mundur bebera-
pa langkah saja. Dan kini, dia telah siap menun
taskan pertarungan.
"Hia ha ha…! Pukulan 'Angin Setan'-ku tadi
belum seberapa, Lelaki Busuk! Kini kau rasakan
yang lebih dahsyat lagi!" ancamnya, ganas.
Tapi....
"Hia ha ha.... Pukulan yang hanya pantas
untuk memecahkan krupuk dipamerkan di sini!
Hia ha ha...! Ada orang tua cacingan berkeliaran
di jalan...."
Sebuah suara lain dengan tawa menyebal-
kan menimpali kata-kata penuh ancaman Ki
Ageng Wirakrama. Suara siapakah itu?
EMPAT
PANGLIMA Ganang Laksono bisa bernapas
lega. Ternyata begitu dia menjelaskan kalau di-
rinya adalah murid Ki Ageng Wirakrama, Bocah
Tua Sakti yang semula hendak membunuhnya
malah kini memeluknya. Kontan saja napas le-
ganya jadi terberangus oleh bau prengus tua
bangka itu.
Gila! Makinya dalam hati. Bau tubuhnya
mirip kambing buduk! Sudah berapa bulan tua
bangka ini tak mandi? Tanyanya pada diri sendiri.
"Aku adik kandung gurumu, Cah. Jadi,
kau boleh memanggilku Paman Guru. Wah, un-
tung kita tak jadi bertarung, ya?" cerocos Bocah
Tua Sakti, tak juga melepaskan pelukannya. Gila-
gilaan dia. Malah sesekali kepalanya yang jarang
keramas digusel-guselkan ke bagian selangkan-
gan sang Panglima.
Tinggal Panglima Ganang Laksono yang
cengar-cengir. Entah merasa malu, atau malah
ke-enakan? Maklum, sudah beberapa bulan ini
dia tak kumpul bersama istrinya.
Panglima Ganang Laksono punya kesempa-
tan untuk melepaskan diri dari bekapan lelaki tua
yang tingginya hanya sepahanya itu. Disentak-
kannya tangan tua bangka itu, lalu cepat bersu-
jud di ujung kaki Bocah Tua Sakti. Bukan. Bukan
untuk menyatakan hormat secara ikhlas, tapi se-
kalian mencari hawa segar setelah hidungnya ter-
kepung bau kambing buduk di tubuh Bocah Tua
Sakti. Tapi yang didapat....
Bah! Ujung kakinya malah habis menginjak
kotoran kerbau! Maki hati Panglima Ganang Lak-
sono. Apes juga nasibnya kali ini. Jangan ditanya
bagaimana kecewanya.
"Makanya, kalau dipeluk diam saja. Tak
usah berontak. Bau tubuhku kan lebih sedap di-
banding bau kotoran kerbau?" ledek Bocah Tua
Sakti, seperti mengerti tingkah Panglima Ganang
Laksono.
Malu rasanya lelaki gagah itu mengangkat
tubuhnya. Wajahnya merah. Jantungnya berde-
gup kencang. Jangan-jangan, paman guruku ini
akan tersinggung. Begitu keluhnya.
"Ah, sudahlah. Ayo berdiri. Hei, siapa na-
mamu?" Bocah Tua Sakti meraih bahu Panglima
Ganang Laksono.
"Ganang Laksono, Paman Guru," sahut le-
laki gagah itu, tanpa berani menatap wajah lelaki
tua di hadapannya. Wajahnya ditundukkan amat
dalam.
"Hm..., Ganang Laksono. Melihat pakaian-
mu, sepertinya kau pembesar kerajaan, ya? Dari
mana kau berasal?"
"Dari Kerajaan Demak, Paman Guru."
"Weh, weh, weh.... Orang kerajaan berguru
pada seorang tokoh sesat macam kakakku. Pasti
ada apa-apanya. Iya, kan?" tebak si tua pendek
ini sok tahu.
"Begitulah, Paman Guru. Malah jika Paman
Guru sudi, aku mau jadi murid Paman sekalian."
"O, jangan..., jangan.... Ilmuku bertolak be-
lakang dengan Kakang Ageng Wirakrama. Jika
kau menuntut ilmu dariku, sama saja kau bunuh
diri. Sifat ilmuku dengan ilmu kakangku saling
menyerang. Dan bila kau tak kuat, kalau hanya
menderita kelumpuhan saja masih lumayan. Tapi
kalau kau mampus, bagaimana? Bisa-bisa aku
yang kena semprot kakangku," urai Bocah Tua
Sakti, gamblang.
Bergidik Panglima Ganang Laksono men-
dengarnya. Untung tadi dia cuma basa-basi, un-
tuk sekadar menghargai kepandaian paman gu-
runya.
"Hei, kau belum cerita. Ke mana tujuan-
mu? Dan kenapa kau membawa uang kepeng se-
banyak itu," dengan ekor matanya, Bocah Tua
Sakti melirik tiga peti uang kepeng yang masih te
rikat di atas kuda milik Panglima Ganang Lakso-
no yang masih terbaring.
"Aku sebenarnya baru saja menemui Guru.
Aku bermaksud meminta bantuannya untuk me-
nyokong pemberontakan yang akan kulaksana-
kan pekan depan. Tujuanku sekarang adalah
menghubungi kakak iparku yang menjadi Adipati
di Kutowinangun. Dia pun akan ikut bergabung
denganku untuk menumbangkan takhta Kerajaan
Demak. Sedangkan tiga peti uang kepeng itu ku-
gunakan untuk membiayai pemberontakan," pa-
par Panglima Ganang Laksono. Dia merasa tak
perlu menyembunyikan rencananya lagi di hada-
pan lelaki tua pendek di hadapannya ini. Karena
dianggap, Bocah Tua Sakti pasti akan mendu-
kung rencananya. Mengingat, dia adalah adik
kandung gurunya, Ki Ageng Wirakrama.
"Pemberontakan? Pemberontakan terhadap
siapa?" tanya Bocah Tua Sakti, penuh ketidak-
mengertian.
"Terhadap takhta Kerajaan Demak."
"Bodoh! Aku tidak tuli! Kau tadi telah me-
nyebutkannya. Maksudku, siapa pemegang takh-
ta sekarang ini?!"
"Gusti Prabu Sutawijaya."
"O, jadi yang memegang tampuk kekua-
saan si Sutawijaya. Maklum, sudah tujuh tahun
aku merantau ke Swarnadwipa. Dan baru kema-
rin aku menginjakkan kaki lagi ke tanah Jawad-
wipa. Kupikir yang menjadi raja masih Raden Pa-
tah," kepala Bocah Tua Sakti manggut-manggut.
"Paman bersedia membantu rencanaku?
Kalau rencana ini berhasil, jangankan tiga peti
uang kepeng yang hendak Paman rebut tadi. Dua
puluh peti emas berlian akan kuberikan," tembak
Panglima Ganang Laksono, langsung. Bibirnya
tersenyum cerah, membayangkan rencananya
akan berhasil bila didukung tokoh sakti macam
lelaki tua pendek di hadapannya.
"O, gampang..., gampang. Tapi aku harus
bertemu dulu pada Kakangku. Oh, ya. Di mana
dia tinggal sekarang?" sahut Bocah Tua Sakti,
tersenyum lebar.
"Di Bukit Menjangan, Paman," jawab pan-
glima Ganang Laksono, semangat.
"Nah, sekarang teruskanlah perjalananmu
ke Kutowinangun," ujar Bocah Tua Sakti seraya
berbalik.
"Tunggu, Paman!"
Langkah lelaki tua pendek itu tertahan di
udara. Tanpa menurunkan kaki kanannya, kepa-
lanya menoleh.
"Ada apa lagi?" tanyanya datar.
"Kudaku masih tertotok, Paman."
"Siapa bilang? Lihat saja kalau kau tak
percaya!"
Panglima Ganang Laksono menoleh ke
arah kudanya. Terhenyak dia melihat kudanya te-
lah bangkit berdiri dalam keadaan segar bugar.
Kapan tua bangka ini membebaskan totokan pada
kudaku? Tanyanya, sulit mengerti. Sebab, dia tadi
tak melihat gerakan apa-apa yang dibuat Bocah
Tua Sakti.
"Kalau begitu, te...?"
Kembali Panglima Ganang Laksono terce-
kat. Sebab begitu kepalanya menoleh kembali ke
depan, Bocah tua Sakti telah lenyap entah ke
mana. Kata-katanya pun terbungkam saat itu ju-
ga. Matanya mendelik dengan mulut terbuka le-
bar. Kalau ada lalat mabuk, mungkin mulut lelaki
tinggi besar ini dikira sebuah goa mengerikan
yang dipenuhi hawa busuk tak karuan.
Panglima Ganang Laksono menggeleng-
geleng tak percaya. Sungguh dia kagum terhadap
kepandaian adik kandung gurunya itu.
* * *
Jangan ditanya, bagaimana terperanjatnya
Arya Wadam mendengar penuturan gurunya. Ke-
dua orangtuanya masih hidup? Di mana mereka
sekarang? Kenapa mereka begitu tega membuang
ku? Sehimpun pertanyaan siap diberondongkan
ke arah gurunya.
"Guru.... Benarkah apa yang Guru kata-
kan?" tuntut Arya Wadam. Dadanya berdebar ke-
ras menunggu jawaban Nini Prameswari.
Si wanita awet muda membuang pandan-
gannya ke permukaan Sungai Bogowonto yang
mengalir tenang. Riak-riak kecil tercipta saat
permukaan sungai membentur tepian.
"Kau lihat batu di seberang sana, Arya?"
tunjuk Nini Prameswari ke arah seberang.
Arya menatap ke arah yang ditunjuk gu-
runya. Tanpa menoleh, kepalanya mengangguk.
Ada apa lagi dengan batu itu? Tanya hatinya.
"Batu itu juga punya sejarah, Arya. Tak
mungkin dia berada begitu saja di tempat itu.
Pasti ada asal-usulnya. Batu tercipta dari kumpu-
lan tanah di dasar bumi yang mengeras. Perjala-
nan sejarahnya membuat batu itu terlontar dari
dalam perut bumi oleh letusan gunung berapi.
Terseret arus sungai, membuat batu itu kini be-
rada di seberang sana. Begitu pula manusia. Tak
mungkin ada begitu saja, tanpa adanya kedua
orangtua. Kau adalah manusia, Arya. Tentu saja
kau punya asal-usul. Dan kau patut menelusu-
rinya," sahut Nini Prameswari, malah makin
membuat Arya bingung dan pusing tujuh keliling.
"Iya, tapi siapa kedua orangtua ku, Guru?"
terabas gadis cantik ini. Tak sadar dia menuntut
jawaban gamblang gurunya.
"Dari salah seorang tokoh persilatan, aku
mendengar kabar bahwa dia beberapa purnama
yang lalu telah mengalahkan seorang tokoh sesat
berkepandaian tinggi. Kalau tak salah namanya
Setan Penyair. Saat sekarat, Setan Penyair me-
nyatakan tobatnya. Dan dia juga bercerita telah
menculik seorang bayi dari Kadipaten Kutowinan-
gun. Karena si jabang bayi terus menerus menan-
gis, Setan Penyair yang semula menginginkan te-
busan dari Adipati Kutowinangun, akhirnya
membuang si jabang bayi ke tengah hutan. Hing-
ga akhirnya, bayi itu ditemukan Remeng dan Poleng," tutur Nini Prameswari.
"Jadi, bayi itu aku, Guru?" eekat Arya Wa-
dam.
"Ya," desah Nini Prameswari. Tatapannya
dihujamkan ke biji mata indah Arya Wadam.
"Yang menculikku Setan Penyair?" susul si
gadis. Ingatannya langsung tertuju pada wajah
tua Setan Penyair.
Dulu, Arya Wadam juga pernah bertemu
Setan Penyair. Tepatnya ketika bersama Satria
Gendeng waktu hendak menuju Kadipaten Luma-
jang. Saat itu Setan Penyair tengah bertarung me-
lawan Raja Pencuri Dari Selatan untuk mempere-
butkan Kail Naga Samudera. Sedangkan Arya
Wadam sendiri tengah mencari Raja Pencuri Dari
Selatan yang telah mencuri pedang pendek milik
Paman Remeng dan Poleng. Seperti diketahui,
Remeng dan Poleng adalah orang yang juga me-
nemukan Arya Wadam, sekaligus merawatnya (Si-
lakan baca episode : "Penghuni Kuil Neraka" dan
"Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
Mengingat semua itu, Arya Wadam jadi
menyesal, kenapa waktu itu membiarkan Setan
Penyair pergi begitu saja. Kendati dirinya terluka
dalam, tapi paling tidak bisa melampiaskan ke-
marahannya. Sayangnya, waktu itu dia tak tahu
bahwa Setan Penyair-lah yang membuangnya ke
tengah hutan.
"Kau mengenalnya, Arya?"
Pertanyaan Nini Prameswari membuyarkan
lamunan Arya Wadam. Kepala si gadis mengge
leng perlahan. "Tidak, Guru. Aku tidak mengenal
Setan Penyair secara langsung. Aku hanya pernah
melihat orangnya saja," Jelasnya, terus terang.
"Sayang, keterangan ini baru kudapat se-
minggu yang lalu. Untuk itu aku segera mencari-
carimu. Dan ketika kulihat kau bersama Satria
Gendeng di kedai, aku tak ingin mengusikmu. Ka-
rena kulihat kau begitu marah pada pemuda itu,"
Jelas si wanita awet muda.
"Oh, terima kasih, Guru. Kau telah bersu-
sah payah mencari-cariku. Balasan apa yang
mesti kuberikan untuk membayar budi-budi
Guru selama ini?"
"Tidak, Muridku. Asal kau bisa berkumpul
lagi dengan kedua orangtuamu setelah belasan
tahun berpisah, aku sudah cukup bahagia. Nah,
pergilah kau sekarang ke Kadipaten Kutowinan-
gun. Mudah-mudahan kedua orangtuamu masih
menjadi adipati di sana. Kalaupun sudah tidak
menjadi adipati di sana, kau bisa minta keteran-
gan tentang kedua orangtuamu"
Mata sembab Arya Wadam menatap lurus
pada manik-manik mata gurunya. Seketika, dipe-
luknya Nini Prameswari penuh perasaan. Seolah-
olah dia ingin melampiaskan kerinduan terhadap
kedua orangtuanya pada gurunya.
* * *
"Siapa kau, Bocah Buduk?!" bentak Ki
Ageng Wirakrama begitu melihat seorang pemuda
tampan berpakaian rompi warna putih dari kulit
binatang tahu-tahu telah berdiri dua tombak di
samping kanan. Garis rahangnya kokoh melam-
bangkan kejantanan. Rambutnya panjang hampir
melewati bahu berwarna kemerahan. Celananya
pangsi sebatas bawah lutut.
Dialah Satria.
Bocah tengik bertabiat nyaris sinting yang
selalu membuat ciut nyali calon lawannya hanya
dengan pancaran matanya. Bocah tengik yang se-
lalu membuat lawan gusar, hingga tak mampu
berkata-kata.
"Wah, ada ramai-ramai begini? Ada haja-
tan, ya?" cerocosnya, kalem.
"Bangsat! Kau belum menjawab perta-
nyaanku, Bocah!" maki Ki Ageng Wirakrama me-
rasa tak dihargai oleh bocah kemarin sore. Sebe-
narnya kalau tak sedang dirasuki hawa amarah,
gampang saja tua bangka ini mengenali pemuda
di depannya. Tinggal lihat saja sebatang tongkat
kecil yang terselip di kain pengikat pinggang si
pemuda. Sebuah tongkat di ujungnya terdapat
hiasan kepala naga berwarna emas. Di ujung lain
berbentuk ekor naga berwarna sama.
"Aku Satria," sahut bocah tengik itu. Begitu
mendapat jawaban, mata Ki Ageng Wirakrama
langsung melompat. Arahnya, ke pinggang si pe-
muda.
"Jadi kau yang bernama Satria Gendeng
yang selama ini membuat dunia persilatan gon-
cang oleh nama bau busuk seperti itu? Hua ha ha.... Kukira orang yang bernama Satria Gendeng
sudah banyak makan asam garam dunia persila-
tan. Tak tahunya, hanya bocah bau kencur yang
masih doyan makan bubur di pinggir sumur...,"
ejek lelaki tua bangka ini setelah merasa yakin
kalau di pinggang si pemuda terselip senjata Kail
Naga Samudera.
"Hua ha ha.... Kukira yang ada di depanku
manusia. Tak tahunya hanya orang-orangan sa-
wah yang sudah bau tanah tapi banyak berting-
kah!" balas Satria, lantang.
Tawa Ki Ageng Wirakrama kontan terbe-
rangus. Mata bersinar hijaunya mendelik, meng-
hujam ke arah bola mata si pemuda. Dengan ta-
tapan matanya, seolah dia ingin menjatuhkan
nyali Satria Gendeng.
Bukan Satria namanya kalau dipelototi be-
gitu saja sudah kendor semangatnya. Ditentang-
nya mata Ki Ageng Wirakrama dengan pancaran
sinar matanya yang mengandung perbawa amat
kuat.
Edan! Edan! Cekat Ki Ageng Wirakrama da-
lam hati. Tatapan pemuda ini justru membuatku
bergetar. Bocah sialan ini ternyata tak bisa diang-
gap main-main.
"Cepat serahkan Kail Naga Samudera yang
kau bawa itu, Bocah. Dan kau serta orang-orang
kerajaan itu akan kuampuni!" sentak Ki Ageng
Wirakrama, sekalian mendepak rasa bergetar da-
lam dadanya.
Slompret! Kenapa senjata sialan ini selalu
jadi incaran tokoh-tokoh persilatan golongan
bengkok? Seru Satria dalam hati. Juga kenapa
mereka selalu menginginkan benda yang bukan
haknya? Gampang sekali mereka bilang begitu?
"Kau mau ini?" Satria melirik ke pinggang-
nya. Sebaris senyum tercipta di bibirnya.
"Tak usah banyak tanya, Bocah! Apa kau
ingin mampus sekarang juga seperti prajurit-
prajurit sialan itu?!" seru Ki Ageng Wirakrama,
menunjuk mayat-mayat prajurit Demak yang ber-
gelimpangan bersimbah darah.
"Gampang sekali kau memaksa meminta
barang yang bukan hakmu?" tukas Satria enteng.
"Keparat busuk! Kalau begitu kau harus
mampus sekarang juga! Heaa…!"
Di ujung kalimatnya, si tua bangka mener-
jang. Tongkat bututnya bergerak dari samping
kepala. Hendak diremukkannya kepala lawan
dengan sekali kepruk.
Wukh!
Cepat.
Bahkan teramat cepat sambaran tongkat
butut si tua bangka. Sebentuk angin pun mero-
bek udara. Sementara, calon korbannya masih
tenang-tenang saja.
"Hih!"
Sejengkal lagi tongkat butut menghajar, si
pemuda merendahkan tubuhnya, lalu bergerak ke
samping berlawanan dengan arah sambaran
tongkat. Tapi ternyata lawan tuanya telah mem-
perhitungkan. Begitu serangan luput, tubuhnya
berputar amat cepat. Kaki kanannya langsung
membuat tendangan berputar setengah lingkaran.
Duk!
Perut Satria telak sekali terhajar. Tubuh-
nya terpental deras ke belakang sejauh dua tom-
bak dan jatuh nyusruk di tanah. Satria Gendeng
mengeluh. Melenguh. Betapa pun sakit yang dide-
rita, betapa pun sesak mendera, yang jelas dia te-
lah bangkit kini.
Dari tertunduk, kepalanya terangkat naik.
Perlahan. Amat perlahan.
Urat-urat di bola mata si pemuda meme-
rah. Darah mudanya pun mendidih. Darah segar
mengalir di sudut-sudut bibirnya. Tendangan Ki
Ageng Wirakrama tadi memang teramat kuat.
Bahkan sangat dahsyat. Tak heran kalau wajah
Satria kini mematang, terbakar gelegak kemur-
kaannya.
"Khuaaa...!!!"
Sebentuk kemarahan lewat teriakan mero-
bek angkasa terdengar. Urat di leher Satria telah
mengembung. Kegarangannya bagaikan naga
muda yang siap melampiaskan segenap kemara-
hannya melalui teriakan tinggi hendak menohok
langit.
Getaran suara Satria membahana.
Bergema.
Daun-daun berguguran tak mampu mena-
hannya.
Semua orang yang ada di tempat ini harus
menekan daun telinga kuat-kuat.
Tak urung pula Mahapati Bagaspati. Na-
mun di sisi lain dia jadi amat mengagumi pada
pemuda hijau yang sangat dikenalnya. Tadi pun
dia ingin langsung menyapa. Tapi karena Satria
telah terlibat pembicaraan seru dengan Ki Ageng
Wirakrama, dia berusaha menahan diri. Apalagi
dalam hatinya timbul keyakinan kalau Satria
Gendeng pasti bisa mengatasi lawan. Itu yang
membuatnya tak ragu-ragu untuk membiarkan
Satria dalam menghadapi lawan.
"Bocah sialan! Bagaimana mungkin dia
memiliki tenaga dalam sehebat itu sementara
usianya belum seberapa?!" desis batinnya, mulai
dirasuki kegentaran.
Sesaat suasana jadi bungkam. Kebisuan
telah memagut. Napas seakan tertunda untuk
melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Mata tua Ki Ageng Wirakrama mulai terbu-
ka, siapa lawan yang dihadapinya. Kabar santer
yang selama ini tertangkap telinganya menjadi
nyata. Ketidakpercayaan pada kabar itu kini ter-
berangus sudah. Dan tanpa sadar, dia jadi ikut
terbawa pesona yang terpancar gencar dari dalam
diri pemuda perkasa yang telah menjadi buah bi-
bir dunia persilatan.
"Jangan memaksaku untuk menjadi malai-
kat maut buatmu, Orang Tua! Aku masih membe-
rimu kesempatan bertobat, walau kau telah
membunuhi prajurit-prajurit itu!"
Ada yang terasa bergetar dalam dada Ki
Ageng Wirakrama mendengar ucapan si pemuda.
Kegentaran mulai meruyak dalam dirinya. Apa
yang hendak diperbuat anak muda ini?
LIMA
"HAI-AI-AIIII!!!"
Berkawal teriakan menggila, tubuh Satria
Gendeng berjumpalitan ke sana kemari. Lalu ge-
rakannya seperti orang menari-nari seperti orang
suku pedalaman. Benar-benar mirip orang gila
gerakannya. Kegilaan itu tak cukup sampai di si-
tu. Kadang tubuhnya malah melonjak-lonjak den-
gan mulut meringis-ringis.
Kegilaan apa yang tengah diperagakan si
pemuda?
Tak ada yang tahu. Di balik gerakan-
gerakan tak beraturannya, justru terkandung se-
buah kekuatan dahsyat. Inilah jurus aneh yang
diwariskan Dongdongka alias Dedengkot Sinting
Kepala Gundul yang diberi nama 'Dedengkot
Gendeng Kegirangan'. Satria sendiri merasa be-
lum pernah menggabungkannya dengan Jurus
'Mencuri Bunga Karang'. Kalau itu sudah dilaku-
kannya, bukan tak mungkin Ki Ageng Wirakrama
makin tercekat lagi.
Menghadapi jurus lawan mudanya saat ini
saja, lelaki tua itu sudah demikian terpukau.
Seabrek-abrek bergelimang dalam dunia persila-
tan, baru kali ini dia melihat jurus aneh yang tak
ada pakemnya dalam aturan jurus-jurus silat.
Semuanya serba ngawur dan acak.
Tapi, siapa sangka justru jurus itu yang
membuat Ki Ageng Wirakrama harus menambah
kewaspadaannya. Bahkan kalau saja lelaki tua
bangka itu menyadari, sebenarnya dalam tubuh
si pemuda tengah bergolak suatu kekuatan sakti
yang mengendap dalam tubuhnya. Hal ini terdo-
rong oleh naluri kependekarannya yang terbakar
oleh pembantaian demi pembantaian yang dila-
kukan si tua bangka itu.
"Sinting! Benar-benar sinting! Jurus apa
yang diperlihatkannya?!" desis Ki Ageng Wirakra-
ma, bergidik.
Kejap selanjutnya, Satria telah merangsak
seperti banteng muda terluka. "Huiii-aiiii...."
Teriakan Satria Gendeng yang menyentak,
membuat Ki Ageng Wirakrama bertindak. Dalam
kuda-kuda kokohnya, dia berniat memamerkan
tingkat tenaga dalamnya. Bagi tokoh persilatan
yang patut diperhitungkan macam dia, adalah
suatu kepuasan tersendiri untuk memamerkan
tenaga dalam setinggi-tingginya. Apalagi, konon
kabarnya Ki Ageng Wirakrama berwujud setengah
manusia dan setengah siluman. Itu terjadi akibat
perkawinannya dengan putri siluman.
Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Ki
Ageng Wirakrama mengibas kedua tangannya ke
depan.
"Heaaa...!"
Berrrr...!
Luar biasa. Sebentuk angin putting beliung
tercipta dari kedua tangan si tua bangka itu. Menerjang, melibas apa saja yang ada di depan.
Termasuk, terjangan lawan mudanya yang meng-
gila.
Sekejapan, terjangan Satria Gendeng terta-
han. Tapi di luar dugaan, bentrokan barusan tak
sanggup memenggal gerakan si pemuda. Saat ini,
kekuatan-kekuatan sakti yang telah mengendap
dalam tubuh Satria tengah bekerja. Maka kejap
berikutnya, Satria telah berhasil menelusup di
pusat putaran angin.
Tak ada waktu lagi untuk menghindar bagi
Ki Ageng Wirakrama. Jarak dengan lawan mu-
danya telah demikian cepat. Dan....
Dash!
Seketika itu juga tubuh Ki Ageng Wirakra-
ma melayang deras ke belakang, setelah tinju ge-
ledek lawan mudanya bersarang di dadanya. Tak
tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sampai
lima belas tombak lebih.
"Bajingan!" rutuk Ki Ageng Wirakrama, be-
gitu jatuh di tanah. Kedua tangannya memegangi
dada. Dia berusaha bangkit walau dengan ringi-
san jeleknya. Napasnya terasa sesak. Bahkan te-
rasa panas pada bagian dalam dadanya.
Di tengah kegeraman memuncak, pancaran
mata hijau Ki Ageng Wirakrama makin berkilatan.
Kini dia merasa harus mengerahkan aji pamung-
kasnya. Cepat dibuatnya beberapa gerakan untuk
menghilangkan sesak napas dalam dadanya. Kini
kakinya telah memancang bumi. Tatapannya nya-
lang ke arah Satria Gendeng yang telah berdiri
kokoh di tanah.
Menggeram.
Kemurkaan Ki Ageng Wirakrama makin
berkobar. Sebagai tokoh tua, tak sudi dia diper-
mainkan bocah bau kencur macam Satria Gen-
deng. Maka saat itu pula tenaga dalamnya men-
galir deras ke matanya yang makin mencorong ta-
jam. Kejap berikutnya....
Slaps! Slapss!
Dua buah sinar hijau menerabas udara.
Suara gesekannya terdengar melengking, menu-
suk telinga. Dari kedua mata yang mencorong itu-
lah kedua sinar hijau itu muncul. Menggila. Men-
ciptakan asap hitam saat bergesekan dengan uda-
ra.
Lebih gila lagi, kedua sinar hijau itu lantas
meliuk-liuk bagaikan ular yang hendak membelit.
Di tempatnya, Satria tercekat. Masih men-
gandalkan jurus 'Dedengkot Sinting Kegirangan'
dicobanya untuk bertahan. Si pemuda melompat
ke sana kemari sambil berjingkrakan. Memang ju-
rus ini juga menekankan pada segi pertahanan
dengan gerakan tak beraturan. Tapi sesungguh-
nya pula, dalam pertahanan itu sendiri tersimpan
sebuah serangan mendadak dengan gerakan-
gerakan tak terduga.
Seperti memiliki mata, liukan kedua sinar
hijau lawan terus memburu Satria Gendeng. Ma-
kin cepat dan ganas. Hingga akhirnya.....
Wert!
"Kehh...!"
Kedua biji mata Satria mendelik. Salah sa-
tu sinar hijau berhasil membelit lehernya. Semen-
tara sinar yang satu lagi menyusul membelit da-
danya. Bak tangan-tangan gaib, sinar-sinar itu
makin kuat mencengkeram. Dan napasnya pun
makin sesak saja. Kini tubuh kekar pemuda itu
menggeliat-geliat.
Akankah sampai di sini saja riwayat si pe-
muda perkasa?
* * *
Malam kembali meraja.
Kebisuan mencekam terusik oleh suara
langkah kaki menuju Bukit Menjangan. Tiba di
sebuah pelataran bangunan mirip reruntuhan
candi, si pemilik langkah berhenti. Dalam sira-
man sinar bulan sabit, kepala sosok yang ting-
ginya hanya setengah tombak itu celingukan.
"Setan! Ke mana Kakang Ageng Wirakra-
ma? Katanya sekarang tinggal di tempat ini? Tapi
kenapa sepi-sepi saja. Kok tidak ada sambutan
untukku?" rutuk lelaki tua pendek yang tak lain
Bocah Tua Sakti.
Si lelaki tua pendek kembali celingukan.
Sepi.
Terpaan angin membelai kulitnya. Lembut.
Mempermainkan kumis dan jenggotnya yang
menjuntai ke bawah. Juga jubah abu-abunya
yang menggeletar berkibar-kibar.
Baru saja Bocah Tua Sakti hendak melan
jutkan langkahnya....
Wesss....
Desir angin halus menerabas udara. Mem-
bawa sebentuk hawa kematian mengerikan. Ce-
pat, lelaki tua bangka ini menoleh ke belakang,
asal desir angin halus tadi.
"Setan belang!" rutuknya, lalu cepat men-
genyahkan tubuhnya ke samping kiri. Sambaran
si penyerang gelap lewat begitu saja.
Lima tombak di depan Bocah Tua Sakti,
seekor ular putih sepanjang satu tombak lebih
yang menjadi penyerang gelap berbalik. Mendesis-
desis, siap melancarkan serangan selanjutnya.
Di tempatnya, Bocah Tua Sakti memasang
kewaspadaan. Kedua tangannya bersilang di de-
pan dada. Matanya tajam, mengikuti gerakan me-
liuk si ular putih.
Kejap berikutnya, si ular putih mencelat.
Melesat ganas, membelah udara. Desisannya ma-
kin keras, menggelitik lubang telinga.
"Ssss...!"
"Hih!"
Dua jengkal lagi si ular putih memagut, tu-
buh Bocah Tua Sakti membuat salto rendah. Di
udara, kedua tangannya bergerak cepat seperti
menepuk. Arahnya, kepala si ular putih.
Tep!
Kepala ular putih berhasil dijepit kedua te-
lapak tangan Bocah Tua Sakti. Tepat ketika lelaki
tua pendek itu sampai di bumi, sebuah kenyataan
lain menyentaknya.
"Setan kudis! Ular putih ini ternyata hanya
sebuah tongkat putih! Ini jelas sihir.... Sihir ini je-
las.... Jelas ini sihir.... Jelas sihir ini..., ah! Aku
mau ngomong apa sih?! Oh, ya. Pasti ini perbua-
tan kakangku. Tapi, bukankah tongkatnya ber-
warna hitam kusam? Apakah..., Nini Berek! Ke-
luar kau?! Aku muak dengan sihir murahan yang
kau buat! Ayo, cepat!" tiba-tiba Bocah Tua Sakti
berteriak. Tak tanggung-tanggung, tenaga dalam
tinggi langsung tersalur dalam suaranya.
"Hi hi hi.... Aku belum tuli, Bocah Tua Sak-
ti. Dan lagi, kenapa mesti harus berteriak-teriak
kalau aku ada di atas kepalamu?"
Bocah Tua Sakti terjingkat. Kepalanya kon-
tan mendongak. Terlihat satu sosok tubuh tengah
menggantung di sebuah ranting kecil pohon be-
limbing. Bak kelelawar, kakinya berada di atas,
sementara kepalanya hanya beberapa jengkal di
atas kepala Bocah Tua Sakti.
"Bah! Lagakmu seperti codot saja, Nini Be-
rek! Ayo turun. Lihat! Dua bola di dadamu nyaris
jatuh. Apa kau tidak malu?" seru Bocah Tua Sak-
ti.
Sejenak sosok perempuan yang menggan-
tung di ranting kecil itu melirik ke arah tonjolan
besar di dadanya. Lalu bibirnya tersenyum nakal.
"Ah, dasar pikiranmu saja yang kotor, Bo-
cah Tua Sakti. Tapi kalau kau mau, bolehlah
mencicipi," ledeknya, makin nakal.
"Dasar perempuan siluman! Tak boleh me-
lihat lelaki nganggur sedikit. Bisa-bisa aku perang
tanding dengan Kakang Ageng Wirakrama. Masa'
istri kakak sendiri dimakan juga. Ayo, cepat tu-
run!"
Perempuan yang menggelantung itu mem-
berengut. Rayuannya tak mempan membang-
kitkan kelaki-lakian adik iparnya. Dari mengge-
lantungnya, dia melompat dengan satu putaran
indah. Manis sekali gerakannya, bertanda kepan-
daiannya tak bisa diragukan lagi.
Tentu saja. Wong perempuan ini keturunan
siluman. Waktu menggantung tubuhnya tadi,
ranting kecil sebesar lidi itu sama sekali tak me-
lengkung. Apalagi berayun-ayun. Seolah yang
menggandul adalah sebentuk asap berwujud ma-
nusia saja.
Menginjak tanah, perempuan bernama Nini
Berek tersenyum. Wajahnya terlihat cantik. Pa-
dahal, usianya nyaris tak terhitung. Rambutnya
hitam digelung. Tubuhnya padat. Pakaiannya ke-
tat berwarna kuning, sama dengan kulitnya.
"Kembalikan tongkatku!" ujarnya, tegas.
Bocah Tua Sakti melempar tongkat putih di
tangannya yang tadi berwujud ular putih. Wajah-
nya menyiratkan ketidaksenangannya terhadap
istri kakaknya ini.
"Mana Kakang Ageng Wirakrama?" ta-
nyanya langsung.
"Mana kutahu? Aku saja baru kembali dari
Laut Selatan untuk bertemu Nyai Roro Kidul," sa-
hut Nini Berek.
"Lantas kenapa kau harus merubah wujud
mu jadi perempuan cantik seperti ini kalau hanya
untuk bertemu sesama siluman?"
"Biasa.... Aku perlu sari pati pemuda-
pemuda bodoh untuk menambah gairahku pada
Kakang Ageng Wirakrama. Tapi, baiklah. Aku
akan merubah wujudku dulu."
Di ujung kalimatnya, Nini Berek melipat
tangannya di depan dada. Matanya terpejam den-
gan mulut komat-kamit. Lalu....
Besss....
Perlahan namun pasti, sekujur tubuh pe-
rempuan ini telah terkepung asap putih. Berawal
tipis, lalu menebal. Kejap kemudian, asap mulai
terusir oleh angin malam. Bocah Tua Sakti ter-
paksa menutup hidungnya, karena bau asap begi-
tu busuk, menyodok-nyodok pernapasannya.
Asap menghilang.
Pemandangan mengerikan terpampang.
Wujud Nini Berek tak lagi seorang perem-
puan cantik. Yang ada di hadapan Bocah Tua
Sakti sekarang adalah perempuan tua bertubuh
melengkung berpakaian jubah warna kelabu.
Tongkat putih menjadi penyangga tubuhnya yang
keropos. Wajahnya mengerikan. Penuh borok ber-
lendir berbau busuk. Rambutnya tak lagi hitam
tergelung, tapi tipis berwarna putih. Matanya ce-
long ke dalam, memancarkan sinar kemerahan.
Bahkan entah dari mana, tahu-tahu mulutnya te-
lah mengunyah sirih.
Prot!
Seenaknya, nenek jelek ini menyemburkan
ludah sirihnya yang berwarna darah. Cairan me-
rah meluncur, memangkas udara. Gesekannya
dengan udara menimbulkan deru angin tajam.
Crashhh!
Dahsyat! Sebongkah batu reruntuhan can-
di yang tertembus cairan merah itu kontan berlu-
bang amat dalam. Bagaimana dengan tubuh ma-
nusia? Bocah Tua Sakti tak ingin menjawabnya,
karena tak begitu peduli dengan tingkah konyol si
nenek jelek.
"Kudengar suamimu telah mempunyai mu-
rid, Nini?" tanya lelaki tua pendek itu.
"Ya. Dia orang kerajaan. Tapi persetan den-
gan orang kerajaan. Maunya dihormati, tapi kalau
ada kesusahan datang ke sini," cibir si nenek je-
lek.
"Tapikan justru dia hendak memberontak?"
tukas Bocah Tua Sakti.
"Mana kutahu? Sejak dia berguru dengan
suamiku tak pernah kudengar rencana itu. Kau
sendiri tahu dari mana?" balik Nini Berek.
"Siang tadi aku bertemu dengan murid su-
amimu. Dia bercerita banyak tentang rencananya.
Bahkan aku tahu tempat tinggal kakangku justru
dari dia. Sejak kapan kalian pindah ke sini?"
"Sejak aku memergoki kakangmu bermain
serong dengan wanita lain. Enam tahun yang lalu.
Untuk menghindari agar dia tidak main serong la-
gi, dia kuajak pindah ke Bukit Menjangan ini. Ta-
pi sialnya, ketika aku berkunjung ke Laut Sela-
tan, tetap saja kesempatan itu digunakan suami
ku untuk bermain cinta dengan gadis-gadis desa.
Muridnya yang orang kerajaan itulah yang selalu
mencarikannya. Dia menculiknya dari desa-desa.
Dan ketika ku pergoki lagi, barulah aku membe-
rikan ancaman dengan tidak akan memberikan
kekuatan lagi padanya. Bahkan kalau aku mau,
ilmunya bisa kucabut sekarang juga," papar Nini
Berek, semangat.
Bocah Tua Sakti jadi cengar-cengir sendiri.
Kepalanya menggeleng-geleng. Dia maklum, sejak
muda kakangnya memang selalu doyan gadis-
gadis desa. Itu sebabnya begitu mendengar penu-
turan kakak iparnya, dia tak terkejut lagi.
"Bilang pada suamimu, Nini. Jangan ikut
campur urusan kerajaan. Bisa gawat jadinya. Dan
lagi, kenapa suamimu begitu percaya dengan mu-
ridnya yang hanya beberapa tahun berguru?" in-
gat Bocah Tua Sakti.
Kendati lelaki tua pendek ini sebenarnya
adalah tokoh silat golongan putih, tapi amat men-
cintai kakangnya yang justru dari golongan hi-
tam. Bocah Tua Sakti sejak dulu dikenal sebagai
tokoh yang selalu memerangi keangkaramurkaan.
Hanya karena ulah kakangnya sajalah yang
membuatnya harus menyingkir ke tanah Swar-
nadwipa.
Tanpa diketahui Bocah Tua Sakti, Ki Ageng
Wirakrama yang semula dikenalnya sebagai pen-
dekar yang berada di jalan lurus, tahu-tahu terli-
bat persekongkolan dengan beberapa datuk sesat.
Memang, Bocah Tua Sakti yang sebenarnya ber
nama Ageng Wiradharma tahu kalau kakaknya
doyan perempuan. Tapi itu bukan berarti harus
terjun ke dunia hitam. Ini yang amat disesalinya.
Bahkan setelah kawin dengan Nini Berek,
Ki Ageng Wirakrama dan beberapa datuk sesat
lain, terlibat dalam pembunuhan beberapa tokoh
putih. Bocah Tua Sakti makin serba salah. Bila
ikut memerangi, berarti harus berhadapan den-
gan kakaknya. Bila tidak, berarti harus ingkar da-
ri sumpahnya sebagai pendekar pembela keadilan
dan penumpas keangkaramurkaan.
Pikir punya pikir, akhirnya Ki Ageng Wira-
krama menyingkir ke seberang. Tepatnya, ke ta-
nah Swarnadwipa. Di sana dia mengabdi di Kera-
jaan Tulang Bawang.
Sebenarnya, apa yang membuat Ki Ageng
Wirakrama terjerumus dalam dunia hitam? Harta
dan wanita.
Nafsu macam itu yang sampai saat ini tak
pupus dari hati Ki Ageng Wirakrama. Kalau seka-
rang lelaki tua suami Nini Berek itu terlihat seper-
ti orang papa, itu tidak lain hartanya telah kan-
das di meja judi. Lalu sejak kawin dengan Nini
Berek, nafsunya terhadap harta lenyap begitu sa-
ja. Tinggal nafsunya terhadap wanita saja yang
masih menggelora dalam dada.
Merasa rindu pada kakangnya, membuat
Bocah Tua Sakti kembali ke tanah Jawadwipa.
Tujuh tahun baginya cukup sudah untuk melu-
pakan peristiwa memalukan yang dibuat Ki Ageng
Wirakrama.
ENAM
HIDUP atau mati.
Itu pilihan yang harus dibuat Satria Gen-
deng. Napasnya kian sesak. Matanya mendelik
liar. Cekikan sinar hijau pada leher dan dadanya
makin ketat. Nasib Satria Gendeng benar-benar
bagai telur di ujung tanduk.
"Hia ha ha.... Tamat riwayatmu, Bocah
Sinting! Sebentar lagi Kail Naga Samudera akan
berpindah ke tanganku!" seru Ki Ageng Wirakra-
ma, pongah.
Di saat yang begini, si anak muda jadi te-
ringat waktu bertarung dengan Nini Jonggrang.
Dengan ilmu gaibnya, wanita itu berhasil mence-
kiknya hingga nyaris mau mampus. Untungnya,
ada bisikan halus di telinga Satria untuk mening-
katkan semadinya. Dan akhirnya, Satria bisa
memenangkan pertarungan. (Baca serial Satria
Gendeng dalam episode : "Kiamat di Goa Sewu").
Tapi jenis serangan yang membelit leher
Satria berlainan dengan yang dilakukan Nini
Jonggrang. Bila Nini Jonggrang berupa ilmu sihir,
maka apa yang dilakukan Ki Ageng Wirakrama
hanya sejenis ajian. Bila ilmu sihir harus dilawan
dengan kekuatan batin lewat semadi, maka ajian
harus dilawan dengan kekuatan tenaga dalam.
"Lihat, Orang-orang Demak! Nyawa pemu-
da ini sebentar lagi akan terdepak dari raganya
oleh ajian 'Jerat Setan'-ku. Kukira sekarang aku-
lah yang akan menguasai dunia persilatan! Hua
ha ha...."
Tawa pongah Ki Ageng Wirakrama membe-
lah udara. Menggetarkan semua orang yang me-
nyaksikan si pemuda perkasa bergelut dengan
maut. Menggeliat-geliat dengan mata melotot. Apa
yang akan dilakukan Satria? Menyerah? Pasrah?
Tidak! Itu tak ada dalam kamus hidup si
pendekar muda. Justru dalam keadaan begini,
kemarahannya makin memuncak. Menggelegak,
hampir membuncah. Hal inilah yang membuat ge-
jolak tenaga sakti dalam tubuhnya makin luar bi-
asa.
Di dorong kemarahan luar biasa, tenaga
sakti Satria makin berlipat ganda entah berapa
kali. Dan hal inilah yang tak disadari Ki Ageng
Wirakrama. Kesombongan telah menutup akal-
nya. Kepongahan membuatnya ingin cepat-cepat
menghabisi lawan mudanya. Akan digempurnya
dada si pemuda dengan pukulan maut terakhir-
nya.
Merasa yakin dengan keputusannya, lelaki
tua bangka ini meluruk menerjang. Tangan kanan
yang masih mengendalikan sinar hijau telah ter-
kepal.
"Kheaaa...!"
Dikawal teriakan menggila, tangan terkepal
Ki Ageng Wirakrama menderu ke arah dada Sa-
tria. Saat itu juga....
"Khuaaa...!"
Teriakan tak kalah menggila terlontar dari
kerongkongan si anak muda. Sentakan tenaga
sakti berlipat ganda yang mendekam dalam tu-
buhnya membuatnya mampu melepaskan diri da-
ri cengkeraman sinar-sinar hijau yang membelit-
nya.
Sinar-sinar hijau lenyap entah ke mana.
Sementara Ki Ageng Wirakrama telah telanjur me-
lepaskan pukulan mautnya.
Sejari lagi pukulan datang, Satria Gendeng
mengangkat tangan kirinya untuk memapak pu-
kulan. Sedang tangan kanannya bergerak meng-
hantam dada keropos si tua bangka yang tak me-
nyangka kalau lawan mudanya dapat membe-
baskan diri dari belitan sinar-sinar hijaunya.
Dash!
Tubuh keropos Ki Ageng Wirakrama seketi-
ka melayang deras ke belakang. Hantaman lawan
mudanya yang saat itu tengah dialiri tenaga sak-
tinya membuat dadanya jebol seketika. Darah hi-
tam pun berceceran sepanjang luncuran tubuh-
nya.
Dua puluh tombak dari tempat semula, tu-
buh Ki Ageng Wirakrama jatuh mencium tanah.
Menggeliat-geliat sebentar, lalu diam sama sekali.
Mati dengan dada ambrol.
Perlahan namun pasti rahang kaku Satria
mengendur. Sorot matanya tak segarang tadi. De-
sah napas lega tersembur dari mulut dan hidung-
nya. Desah napas lain pun ikut terhembus dari
mulut dan hidung orang-orang yang ada di tem
pat ini.
"Adi Satria...." Sebuah suara panggilan me-
nyentak keterpanaan Satria Gendeng pada hasil
serangannya.
Si pemuda menoleh. Bibirnya segera mem-
buat senyum yang ditujukan pada orang yang
memanggilnya. Mahapatih Bagaspati.
"Kang Bagaspati.... Wah, sudah naik pang-
kat rupanya. Kulihat pakaian yang kau kenakan
beda dengan beberapa waktu yang lalu," celoteh si
pemuda, seolah telah melupakan pertarungannya
yang mendebarkan barusan. Malah masih sem-
pat-sempatnya meledek.
"Kembali..., kembali kau berjasa pada Ke-
rajaan Demak. Kau patut mendapat penghargaan
lagi, Adi. Aku sungguh kagum padamu.... Apa ka-
barmu, Adi. Mari-mari, kuajak kau bertemu den-
gan Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya," cerocos
Mahapatih Bagaspati, tak dapat lagi menahan ke-
gembiraannya mendapat pertolongan si anak mu-
da yang sudah dianggap sebagai adik kandung-
nya.
"Sabar..., sabar, Kang. Aku punya berita
buruk buatmu," ujar Satria, tak ingin terburu-
buru.
"Kabar buruk apa?" cekat Mahapatih Ba-
gaspati.
"Pemberontakan."
"Pemberontakan apa?! Ah, kau jangan ber-
canda, Adi Satria. Siapa yang hendak memberon-
tak?"
"Di Kerajaan Demak ada yang bernama
Ganang Laksono?"
"Ada. Memang kenapa?"
"Dialah orang yang hendak memberontak."
"Apa?!"
* * *
Kadipaten Kutowinangun di pagi hari.
Roda kehidupan mulai berputar.
Matahari bersinar menepis awan samar.
Arya Wadam tiba di gerbang kadipaten. Si-
kapnya yang ragu-ragu justru mengundang kecu-
rigaan dua prajurit yang berdiri menjaga gerbang.
Prajurit yang berkumis lebat maju beberapa tin-
dak. Tampangnya dibuat segalak mungkin. Biji
matanya dilebarkan.
"Apa yang hendak kau perbuat di sini, Cah
Ayu?" tegur si penjaga berkumis, sok galak.
"Aku hendak bertemu Adipati Kutowinan-
gun," sahut Arya Wadam pendek.
"Wah, tidak sembarang orang bisa bertemu
Kanjeng Adipati. Ada keperluan apa kau ingin
bertemu dengannya?" cecar si prajurit. Sikapnya
dibuat sewibawa mungkin.
"Urusan penting."
"Bah! Orang macam kau punya urusan
penting dengan Kanjeng Adipati? Sayang, beliau
tak punya waktu untuk mengurusi orang macam
kau. Kalau orang macam kau paling hanya uru-
san perut. Sudah sana pergi. Untung kau perempuan. Kalau lelaki sudah kudepak dari tadi!" usir
si prajurit makin keterlaluan.
Gigi-gigi Arya Wadam bergemelutuk. Cu-
kup sudah penghinaan ini. Prajurit satu ini tam-
paknya hanya mau menunjukkan kalau dirinya
perlu ditakuti. Perlu dihormati sebagai tameng
kadipaten. Terutama perlu dihormati oleh wong
cilik macam Arya Wadam. Cuma saja caranya sa-
lah. Ini yang harus dibenahi.
"Kuharap kau bisa menjaga mulut kotor-
mu, Prajurit. Kadipaten tak butuh manusia galak,
tapi butuh manusia digdaya dan berwibawa demi
menjaga keharuman kadipaten," jawab Arya Wa-
dam lugas. Sekaligus menohok perasaan si praju-
rit.
Membeliaklah mata prajurit berkumis lebat
ini. Setan! Begitu makinya. Bocah perempuan ini
telah menghinaku! Kemarahan si prajurit pun
membludak.
"Laknat! Kau berhadapan dengan prajurit
Kadipaten Kutowinangun, tahu," teriak si prajurit
berkumis, kalap. Saking keras kata-katanya, per-
cikan ludahnya pun ikut meluncur dari mulut.
"Aku memang bukan berhadapan dengan
anjing buduk. Tapi berhadapan dengan anjing
kadipaten yang cuma mengandalkan kegalakan
untuk menakut-nakuti wong cilik. Bukan begitu,
Prajurit?" gumam Arya Wadam, enteng.
Makin murka saja si prajurit.
"Sarpan! Bantu aku meringkus perempuan
tengik ini!" teriaknya, pada prajurit lain yang ma
sih berdiri memperhatikan dekat pintu gerbang.
Jelas sudah kalau nyali si prajurit berku-
mis ternyata hanya seujung kuku. Buktinya, un-
tuk meringkus seorang wanita saja masih butuh
bantuan temannya. Bukankah itu pengecut na-
manya? Hanya karena si prajurit terlalu bernafsu,
sehingga kata-kata itu meluncur begitu saja dari
mulutnya.
"Masa' meringkus seorang perempuan saja
kau butuh teman, Rungkut? Kau bilang, kau per-
nah mengalahkan gembong perampok Hutan Ke-
manjen?" ledek si prajurit yang dipanggil Sarpan.
Baru prajurit bernama Rungkut menyadari
kebodohannya. Artinya, secara tak langsung dia
buka rahasia kalau ceritanya pada Sarpan hanya
isapan jempol belaka. Dan itu sekaligus menun-
jukkan kepengecutannya terhadap Arya Wadam.
Bukankah mustahil kalau meringkus gembong
perampok berani, tapi menghadapi wanita muda
seperti Arya Wadam gentar?
Sepertinya, hal itu wajar saja. Sebab, diam-
diam waktu bicara tadi Arya Wadam mengerah-
kan tenaga dalam pada kedua matanya. Sehingga
waktu prajurit Rungkut memandangnya, nyalinya
sedikit terdepak. Bahkan dalam tubuhnya seperti
ada getaran-getaran aneh yang membuatnya ber-
gidik.
"Setan kau, Sarpan! Baik! Akan kubukti-
kan kalau aku mampu meringkus kucing betina
ini!" maki prajurit Rungkut.
Di ujung kalimatnya, prajurit Rungkut me
nyodokkan tombaknya ke perut Arya Wadam.
Menurut perhitungannya, mata tombaknya jelas
akan menembus sasaran. Keyakinannya timbul,
karena calon korbannya seperti tak bergemik se-
dikit pun dari tempatnya.
Wutt!
"Hiih!"
Sejari lagi tombak menghujam, perut si ga-
dis surut ke belakang. Mata tombak memang
menghujam ke perut, tapi tertahan dilipatan pe-
rut. Seolah, mata tombak terjepit di antara dua
buah batu yang amat keras. Pengerahan tenaga
dalam Arya Wadam-lah yang membuat mata tom-
bak seperti terjepit tak dapat tercabut lagi.
Mata si prajurit berkumis mendelik. Tak
percaya melihat tombaknya seperti tak berpenga-
ruh apa-apa bagi lawan. Dan sebelum si prajurit
menuntaskan keheranannya, tangan Arya Wadam
telah bergerak menghantam batang tombak.
Tak!
Tombak patah jadi dua bagian. Bagian
yang terjepit di perut Arya Wadam mendadak ter-
sentak. Meluncur ganas setelah Arya Wadam me-
negangkan otot-otot perutnya. Sungguh suatu
permainan tenaga dalam yang sangat luar biasa
di mata si prajurit.
Sebisanya, prajurit Rungkut membuang
tubuh kalau tak mau terhajar luncuran potongan
tombak yang disentakkan lewat perut lawan. Dan
selagi tubuhnya bergulingan, lawan telah menge-
jar. Tepat ketika berdiri, sodokan dengkul Arya
Wadam telah mendahului.
Beghk!
Mantap, dengkul Arya Wadam mendarat di
perut si prajurit pongah. Mata si prajurit kembali
mendelik. Mulutnya meringis serba salah. Rasa
mual luar biasa mengaduk-aduk perutnya. Apes
nasibnya kali ini. Lebih apes lagi, jatuh terdu-
duknya tepat di atas batu agak runcing. Akibat-
nya, makin melotot saja matanya. Batu runcing
itu kurang ajar sekali menelusup ke..., ah, makin
seru saja ringisannya.
"Hei, kau apakan temanku!" teriak prajurit
Sarpan, terbengong-bengong.
"Dia terlalu pongah untuk dijadikan praju-
rit. Dan aku hanya sedikit memberi pelajaran
agar sedikit bisa menghargai wong cilik," sahut
Arya Wadam, tenang.
Si prajurit Sarpan kembali menoleh ke arah
temannya. Antara rasa iba dengan rasa senang
bercampur jadi satu. Iba karena hal itu terjadi
pada temannya. Senang, karena dengan begitu
prajurit Rungkut tak lagi omong besar. Sebab se-
lama ini, prajurit Rungkut memang dikenal seba-
gai prajurit yang cuma pintar ngomong, galak, se-
kaligus pongah.
Di dada prajurit Sarpan sendiri sebenarnya
telah timbul kegentaran yang amat sangat melihat
kedigdayaan wanita yang ternyata tak bisa diang-
gap remeh ini. Namun dia berusaha menenang-
kan perasaannya.
"Sebenarnya, Nona mau ketemu siapa?"
tanya prajurit Sarpan, berusaha ramah.
"Aku ingin bertemu Adipati Kutowinangun,"
sahut Arya Wadam, tegas.
"Beliau ada. Tapi...."
"Biarkan dia masuk, Prajurit!"
Sebuah suara tegas memenggal kata-kata
prajurit Sarpan, Saat itu juga si prajurit menoleh,
lalu langsung menjura.
Inikah Adipati Kutowinangun? Seketika
timbul pertanyaan di hati Arya Wadam. Dan jan-
tungnya pun berdebar-debar....
* * *
"Kenapa kakangku belum pulang juga? Ke
mana dia sebenarnya?" tanya Bocah Tua Sakti
berkata-kata sendiri.
Semalaman lelaki tua pendek ini menung-
gu Ki Ageng Wirakrama. Sambil menunggu, dia
berbincang-bincang dengan kakak iparnya, Nini
Berek. Tapi yang ditunggu-tunggu ternyata tak
muncul juga. Bahkan sampai Nini Berek tertidur,
Bocah Tua Sakti masih setia menunggu.
Kerinduan selama tujuh tahun dipendam
membuat Ki Ageng Wiradharma begitu ingin ber-
temu kakaknya. Dan dia rela tak memejamkan
mata hanya untuk menanti sang kakak.
Semalam, Bocah Tua Sakti pun memohon
pada Nini Berek agar menasihati suaminya untuk
tidak terlibat dengan urusan kerajaan. Tapi pe-
rempuan tua jelek itu seperti tak peduli. Bahkan
dia bertekad untuk ikut membantu suaminya ka-
lau memang dianggap perlu. Karena selama ini
perempuan itu percaya kalau hanya untuk meng-
hadapi orang-orang kerajaan, Ki Ageng Wirakra-
ma bisa mengatasinya.
Mendapat jawaban tak peduli dari mulut
Nini Berek, Bocah Tua Sakti kecewa berat. Pa-
dahal, dia ingin kakangnya bisa berubah untuk
meninggalkan dunia sesat. Tapi justru jawaban
Istri kakaknya ini seolah malah kian menjerat Ki
Ageng Wirakrama terjerat dalam kegelapan.
Sampai pada akhirnya lamunan Ki Ageng
Wiradharma terpenggal oleh....
"Gawat! Gawat...! Bocah Tua Sakti! Kemari
cepat!"
Teriakan meledak-ledak terdengar dari mu-
lut Nini Berek. Dari nada suaranya Bocah Tua
Sakti bisa menafsir kalau perempuan tua jelek itu
tengah kalap bukan main. Maka cepat tubuhnya
beringsut bangkit. Mantap, kakinya melangkah
menghampiri Nini Berek yang tidur di sebuah ba-
tu bekas reruntuhan candi.
"Ada apa, Nini? Kenapa kau tampak kalap
begitu?" tanya Bocah Tua Sakti, heran.
Prot!
Bukannya menjawab, Nini Berek malah
menyemprotkan ludah sirihnya yang tak pernah
lepas dari mulut kendornya. Dari duduknya di
atas batu, dia melompat turun.
"Aku mendapat firasat tak enak, Wirad-
harma! Aku melihat Kakang Ageng Wirakrama di
bawa seekor naga raksasa," lapornya meledak-
ledak.
"Hah?! Jadi Kakang Ageng Wirakrama telah
datang, Nini? Kapan datangnya? Kok aku tak me-
lihat. Dan kenapa kau biarkan naga itu memba-
wanya pergi?!" ledak Bocah Tua Sakti, bertubi-
tubi. Nyaris tak memberi kesempatan Nini Berek
menarik napas.
"Dalam mimpi, Goblok!"
Tak tahan lagi, tongkat di tangan Nini Be-
rek bergerak ke kepala Bocah Tua Sakti.
Tak!
"Adaaaooo! Kenapa kau pukul aku, Nini?
Kau sendiri yang bilang kalau Kakang Ageng Wi-
rakrama dibawa seekor naga raksasa!" sergah Bo-
cah Tua Sakti. Mulutnya meringis-ringis, merasa-
kan sakit berdenyut-denyut di kepalanya.
"Iya, tapi ini hanya dalam mimpi!"
"Lho? Memang bangsa siluman bisa ber-
mimpi?"
"Memang hanya manusia saja yang boleh
bermimpi?! Hanya bedanya, bangsa siluman bisa
memilih mimpi. Sedangkan bangsa manusia ti-
dak. Bila aku bisa memilih mimpi enak-enak, kau
tak bisa mengelak dari mimpi buruk!" jelas Nini
Berek.
"Lha, buktinya kau mimpi buruk?" tukas
Bocah Tua Sakti tak mau kalah.
"Yang ini lain. Mimpiku sekarang ini beru-
pa firasat. Bukan mimpi biasa. Ketika aku minta
mimpi bertemu Kakang Ageng Wirakrama, justru
yang muncul sangat mengerikan. Kakang Ageng
Wirakrama telah dibawa seekor naga amat besar.
Jelas, ini pertanda buruk!"
Bocah Tua Sakti tercekat. Pertanda apa
ini? Tanyanya dalam hati. Seolah ingin menda-
patkan penjelasan dari perempuan tua jelek itu,
matanya terus menghujam ke biji mata celong Ni-
ni Berek.
"Mau apa kau lihat-lihat?! Naksir, ya?!"
bentak Nini Berek.
Naksir katanya? Ya, ampun! Orang gila sa-
ja mungkin akan berpikir dua kali untuk melihat
wajah Nini Berek. Dan lagi, bisa-bisanya dia ber-
kata begitu sementara katanya tadi mendapat fi-
rasat jelek. Ah, dasar perempuan siluman! Seru
Bocah Tua Sakti, tatap dalam hati.
"Iya, tapi pertanda buruk apa? Tolong je-
laskan, Nini!" desak Bocah Tua Sakti, tak sabar.
Tatapannya penuh tuntutan.
"Itu berarti umur suamiku tak panjang. Bi-
sa jadi malah sudah tewas," sahut perempuan je-
lek itu, terus terang.
"Kau jangan bercanda, Nini!"
"Apa kau lihat aku sedang bercanda?" cibir
si nenek jelek.
"Kira-kira, di mana suamimu tewas?!" kejar
Bocah Tua Sakti.
"Hm..., ya. Tunggu..., tunggu. Kuingat-
ingat dulu tempat yang tergambar dalam mimpiku
itu...."
Si nenek jelek memejamkan matanya. Ke
palanya mengangguk-angguk. Bukan. Maksudnya
bukan setuju kalau suaminya tewas. Dia men-
gangguk karena memang mau mengangguk. Se-
kaligus, mengingat-ingat di mana tempat yang
tergambar di mimpinya.
"Di mana, Nini?" usik Bocah Tua Sakti.
"Apanya?" Si perempuan jelek malah balik
bertanya.
"Lho? Bukannya kau sedang mengingat-
ingat tempat suamimu dibawa oleh seekor naga
raksasa? Di mana tempatnya?!" semprot Bocah
Tua Sakti, sewot.
"Wah, aku salah mengingat-ingat. Yang
timbul dalam pikiranku malah tempat di mana
aku pertama kali merasakan nikmatnya malam
pertama. Tunggu..., tunggu...."
Jawaban Nini Berek makin membuat dong-
kol Bocah Tua Sakti. Kepalan tangan centeng pun
kalah besar dengan rasa dongkol di lehernya.
"Hm, ya! Aku ingat. Di Bukit Srondol. Te-
patnya, di kaki bukit itu!" sentak Nini Berek.
"Kalau begitu, aku sekarang juga mohon
pamit. Aku harus cepat ke Bukit Srondol. Siapa
tahu Kakang Ageng Wirakrama masih sehat
wal’afiat!"
Di ujung kalimatnya, Bocah Tua Sakti itu
menyentak kakinya. Seketika tubuhnya telah me-
luncur cepat. Arahnya, Bukit Srondol.
"Taruhan, aku bakal sampai lebih dahulu,
Wiradharma!" teriak Nini Berek bertabiat aneh
itu.
TUJUH
SETELAH diterima oleh Kanjeng Gusti Pra-
bu Sutawijaya di pendopo Keraton Demak, Satria
dipersilakan untuk berbincang-bincang dengan
Mahapatih Bagaspati di Taman Sari. Sekalian,
melepas rindu pada orang penting di kerajaan ini
yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya
sendiri.
"O, jadi Kanjeng Susuhan telah wafat bebe-
rapa waktu yang lalu, ya Kang?" buka Satria.
"Ya, begitulah. Namanya juga umur. Dan
lagi, Kanjeng Susuhan memang sudah sangat
tua," desah Mahapatih Bagaspati.
"Maaf, Kang, Aku sungguh baru mendengar
kabar itu dari mulut Gusti Prabu tadi," ucap Sa-
tria, polos.
"Sudahlah. Aku dan Kanjeng Gusti Prabu
memaklumi kalau kau senang berpetualang. Dan
yang penting sekarang, memikirkan siasat yang
akan kita jalankan untuk menghadapi Ganang
Laksono.... Hmm, tak kusangka. Di balik diamnya
manusia itu tersimpan maksud-maksud busuk,"
gumam Mahapatih Bagaspati.
Tadi, di pendopo Satria Gendeng sudah di-
beri penjelasan siapa itu Ganang Laksono. Menu-
rut penjelasan Mahapatih Bagaspati, Panglima
Ganang Laksono sudah lama mengundurkan diri
dari jabatan panglima. Tepatnya, dua bulan setelah adik kandungnya dihukum mati oleh pihak
kerajaan karena tertangkap basah berzina dengan
istri orang.
Semula pihak kerajaan tak berprasangka
buruk atas pengunduran diri Panglima Ganang
Laksono. Namun kecurigaan sedikit demi sedikit
mulai muncul setelah sekian tahun Panglima Ga-
nang Laksono lenyap seperti ditelan bumi.
Dan begitu Satria menceritakan tentang
apa yang diceritakan Arya Wadam mengenai akan
adanya pemberontakan, kecurigaan pihak Kera-
jaan Demak makin beralasan. Dan itu artinya, ke-
rajaan dalam keadaan genting.
"Tapi, Kang. Aku belum jelas benar menge-
nai kunjungan Gusti Prabu Sutawijaya ke Kadipa-
ten Kutowinangun," Satria mengalihkan pembica-
raan.
Sikap Mahapatih Bagaspati benar-benar
seperti seorang kakak pada adik kandungnya. Di-
rengkuhnya bahu kekar si anak muda perkasa
yang duduk di sampingnya.
"Memangnya tadi kau tak memperhatikan
penjelasan Gusti Prabu?" tanyanya.
Satria menggeleng perlahan. "Perhatianku
saat itu justru pada wajah Dewi Sekardadu, putri
Kanjeng Gusti Prabu. Kalau kuperhatikan, wa-
jahnya mirip..., mirip..., Arya Wadam. Ya! Aku kok
ingat sekarang?! Betul! Wajahnya mirip Arya Wa-
dam temanku!" cerocosnya, meledak-ledak.
Mahapatih Bagaspati jadi heran. Kenapa
anak muda di sampingnya ini mendadak jadi sa
wan begitu? Setan apa yang merasukinya? Lebih
sinting lagi, dicengkeramnya bahu Mahapatih Ba-
gaspati dan diguncang-guncangkan dengan keras.
"Hei, hei! Apa-apaan kau ini, Adi Satria! Li-
hat! Kau jadi pusat perhatian para prajurit di se-
kitar Taman Sari ini! Apa kau tak malu berting-
kah begitu?" tegur Mahapatih Bagaspati antara
kesal campur geli. Malah kalau bisa campur ra-
cun.
"Maaf, Kang. Aku terlalu gembira. Tapi, apa
bergembira di sini dilarang?" Satria melepaskan
cengkeramannya di bahu Mahapatih Bagaspati.
"Ya, boleh saja. Tapi jangan sampai kalap
begitu," Mahapatih Bagaspati menggeleng-geleng.
"Lantas, apa yang membuatmu gembira?" susul-
nya.
"Anu, Kang. Anu...," Satria malah tersengal.
"Tadi aku sudah cerita tentang temanku yang
bernama Arya Wadam, kan?"
Satria menepuk jidatnya sendiri. "Maaf,
aku lupa. Maksudku, aku tadi menyinggung sedi-
kit tentang temanku yang bernama Arya Wadam.
Nah, temanku itu mengaku telah dibuang oleh
kedua orangtuanya di sebuah hutan. Dia lalu di-
ketemukan oleh seorang tokoh silat wanita yang
konon kabarnya awet muda. Singkat cerita, begitu
telah besar dan muncul di dunia persilatan, Arya
Wadam bertemu denganku. Tapi karena suatu
persoalan, dia meninggalkan ku. Lantas sekarang,
ketika tadi aku melihat wajah Dewi Sekardadu,
ternyata wajahnya mirip sekali dengan Arya Wadam. Jangan-jangan!"
"Bisa jadi, Adi Satria!" potong Mahapatih
Bagaspati langsung menangkap jalan pikiran Sa-
tria Gendeng. "Nah, sebaiknya kembali ku je-
laskan dulu cerita Kanjeng Gusti Prabu tadi."
* * *
Sewaktu masih menjadi Putra Mahkota,
Sutawijaya telah mempunyai dua orang anak
kembar. Anak yang lahir pertama diberi nama
Dewi Sekarputri. Sedangkan adik kembarnya ber-
nama Dewi Sekardadu. Menurut adat tanah Ja-
wa, jika salah satu bayi ingin selamat, maka ha-
rus dipisahkan hingga menjelang dewasa.
Maka diputuskanlah Dewi Sekarputri si
anak pertama untuk dititipkan pada Adipati Ku-
towinangun. Setiap setahun sekali, utusan kera-
jaan datang untuk menanyakan perkembangan
Dewi Sekarputri. Dan dari pihak kadipaten selalu
menjawab bahwa keselamatan Dewi Sekarputri
selalu terjaga. Dan menurut penjelasan pihak ka-
dipaten Dewi Sekarputri tengah dititipkan pada
seorang resi untuk dididik budi pekertinya, serta
ilmu olah kanuragan.
Selama delapan belas tahun Sutawijaya
percaya dengan penjelasan pihak kadipaten. Ka-
rena selama itu Sutawijaya tak boleh menengok-
nya kecuali usia Dewi Sekarputri telah genap de-
lapan belas tahun, maka baru beberapa hari yang
lalu Sutawijaya bisa menengok putri sulungnya.
Tapi apa yang didapat?
Nihil.
Ketika Sutawijaya yang kini telah meme-
gang tampuk kekuasaan di Kerajaan Demak ber-
kunjung ke Kadipaten Kutowinangun yang saat
itu sudah dijabat putranya, sang adipati baru
menjelaskan keadaan sebenarnya. Bahwa, sejak
masih bayi Dewi Sekarputri telah diculik oleh seo-
rang tokoh sesat bernama Setan Penyair.
Dengan tersedu-sedu, Adipati Kutowinan-
gun lama memohon ampun. Dia berusaha menje-
laskan kalau pihak kadipaten telah menyediakan
uang tebusan untuk si penculik. Tapi entah ke-
napa, tokoh berjuluk Setan Penyair itu justru tak
kembali-kembali lagi. Kiprahnya seolah lenyap
bersama sang jabang bayi.
Untuk melegakan hati Sutawijaya, Adipati
Kutowinangun terpaksa berdusta dengan menga-
takan bahwa Dewi Sekarputri tengah dititipkan
pada seorang resi. Sampai jabatannya diserahkan
pada anaknya, Adipati Kutowinangun lama berpe-
san kepada Adipati Kutowinangun yang baru agar
merahasiakan hal tentang Dewi Sekarputri sam-
pai Gusti Prabu Sutawijaya datang.
Untung saja, Gusti Prabu Sutawijaya berji-
wa besar. Dia menganggap, Adipati Kutowinangun
lama tidak bersalah. Karena kejadian penculikan
itu toh di luar perkiraannya. Dan lagi, Adipati Ku-
towinangun waktu itu telah berusaha menyedia-
kan uang tebusan, sekaligus mencari tokoh ber-
nama Subali alias Setan Penyair.
Sepulang dari Kadipaten Kutowinangun,
rombongan Gusti Prabu Sutawijaya yang didam-
pingi Mahapatih Bagaspati serta Panglima Darma
Kusuma dicegat tokoh sesat yang mengaku ber-
nama Ki Ageng Wirakrama.
* * *
"Dan manusia sesat itu akhirnya dapat kau
kalahkan, Adi Satria," Mahapatih Bagaspati me-
natap kagum pada anak muda di sampingnya.
Yang ditatap malah seperti tak peduli. Ma-
tanya menerawang pada bayang semu. Bayang-
bayang yang menggelitiknya ke arah kisah perte-
muannya dengan Arya Wadam yang semula dis-
angka seorang lelaki. Dan begitu tudung Arya
Wadam dibuka, terperanjatlah si anak muda.
Satria Gendeng tersenyum-senyum sendiri
membayangkan betapa cantiknya Arya Wadam.
Sayang si pemuda saat ini telah mempunyai ke-
kasih yang juga tengah berpetualang dalam dunia
persilatan. Tresnawati namanya. Dan mereka te-
lah berjanji bulan purnama nanti akan bertemu
di Tanjung Karangbolong.
"Hei, kau melamun, Adi Satria?" Mahapatih
Bagaspati mengibas-ngibas telapak tangannya di
depan wajah Satria.
Tebakan lelaki ini memang tepat. Tapi aki-
batnya bayangan wajah Tresnawati malah terusir
seketika itu juga.
"Sekarang aku yakin, Arya Wadam jelas
kembarannya Dewi Sekardadu," kata Satria, se-
perti berkata untuk dirinya sendiri.
"Aku pun juga berpikiran demikian, Adi.
Tapi di mana sekarang Arya Wadam?"
"Iya, ya. Di mana dia sekarang, ya? Waktu
meninggalkan ku di kedai dekat Desa Sedayu, dia
dalam keadaan marah. Aku berusaha menca-
rinya, tapi hasilnya nihil," desah Satria.
Sejenak suasana terkepung keheningan.
Bungkam. Tak ada yang bersuara.
Mendadak.
"Chi-huiii...!" lonjak Satria tiba-tiba.
"Ada apa, Adi?" Malah Mahapatih Bagaspa-
ti yang terheran-heran.
Tingkah bocah bertabiat sinting itu me-
mang kebangetan....
* * *
Di pendopo kadipaten, Arya Wadam duduk
berhadapan dengan seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh delapan tahun. Gagah, menampak-
kan kewibawaan. Wajahnya cukup tampan den-
gan kumis tipis menghias di bawah hidungnya.
Pakaiannya indah, sebagaimana layaknya adipati.
"Apa maksudmu mencariku, Arya?!" tanya
lelaki tampan yang memang Adipati Kutowinan-
gun, setelah sebelumnya menanyakan nama si
gadis.
"Aku hendak mencari keterangan tentang
kedua orangtua ku. Menurut guruku, kedua
orangtua ku berasal dari kadipaten ini. Atau ma-
lah bisa jadi adipati di kadipaten ini," jelas Arya
Wadam, terus terang.
"Aku adipati di sini. Tapi semua anakku la-
ki-laki. Jadi bagaimana maksudmu?"
"Menurut guruku, waktu aku masih bayi,
aku diculik oleh tokoh sesat berjuluk Setan Pe-
nyair. Lalu oleh Setan Penyair, aku dibuang di se-
buah hutan, hingga kemudian ditemukan oleh
guruku," Jelas Arya Wadam.
Adipati Kutowinangun tersentak. Ingatan-
nya langsung tertuju pada peristiwa sekitar dela-
pan belas tahun yang lalu. Saat itu, kedua orang-
tuanya dititipi seorang bayi perempuan oleh Gusti
Prabu Sutawijaya. Baru beberapa hari, si jabang
bayi telah diculik oleh Setan Penyair.
Kejap berikutnya, tatapan Adipati Kutowi-
nangun yang bernama Brata Wisnu ini menatap
Arya Wadam. Pandangannya seolah menyelidik.
Tapi sejurus kemudian senyumnya terkembang.
Sulit mengartikan senyum lelaki itu.
"Aku tidak bermaksud membenarkan, tapi
juga tidak bermaksud menyalahkan. Memang ku-
akui, kedua orangtua ku memang pernah dititipi
bayi perempuan yang kemudian diculik oleh Se-
tan Penyair. Bayi itu adalah anak dari Gusti Pra-
bu Sutawijaya. Tapi mohon kau mengerti. Dunia
ini penuh tipu muslihat. Bisa saja ada seseorang
yang mengaku-aku sebagai anak raja, yang pada
akhirnya ternyata bukan. Sedihnya lagi, orang itu
menyimpan maksud-maksud tertentu, mengeruk
keuntungan dari peristiwa yang terjadi. Misalnya
peristiwa yang dialami...."
"Cukup!" potong Arya Wadam. "Kedatan-
ganku ke sini bukan bermaksud mengemis-
ngemis agar diakui anak! Aku sudah cukup baha-
gia hidup menyatu dengan alam. Kedatanganku
ke sini hanya sekadar membuktikan, apakah ke-
dua orangtua ku masih ada atau tidak. Kanjeng
Adipati jangan menuduh yang bukan-bukan!"
sentaknya, geram bukan main.
"O, o, o.... Jangan salah paham, Arya. Aku
tidak bermaksud menuduhmu begitu," Adipati
Brata Wisnu menggerak-gerakkan telunjuknya di
depan wajah. "Justru aku merasa berterima kasih
kau mau datang ke tempat ini. Melihat kepan-
daianmu tadi dalam menjatuhkan prajuritku den-
gan mudah, aku yakin kalau kau adalah seorang
tokoh persilatan. Maka aku benar-benar menda-
pat penghargaan didatangi pendekar macam kau.
Dan soal kedua orangtuamu, jangan khawatir.
Nanti bisa kita buktikan setelah kau kupertemu-
kan dengan kedua orangtua ku. Karena, beliaulah
yang waktu itu dititipi oleh Gusti Prabu. Kau se-
tuju?"
Senyum ramah Adipati Kutowinagun ter-
kembang. Tak ada yang tahu kalau dalam se-
nyumnya tersimpan jerat-jerat berbisa.
Dengan pasti Arya Wadam mengangguk.
Dia merasa tertantang untuk membuktikan kebe-
naran ucapannya. Siapa tahu, kedua orang Adi-
pati Kutowinangun ini bisa mengenali dengan
tanda-tanda khusus yang ada di tubuhnya.
"Nah, untuk sementara, kau beristirahat-
lah. Sambil menunggu kedua orangtua ku yang
sedang berkunjung ke rumah seorang kerabat,
kau bisa beristirahat di kamar. Biar nanti seorang
emban yang akan mengantarmu," kata Adipati
Brata Wisnu, ramah sekali.
* * *
Di sebuah ruangan khusus, Adipati Kuto-
winangun duduk berhadapan dengan seorang le-
laki gagah berpakaian panglima. Siapa lagi kalau
bukan Panglima Ganang Laksono?
"He he he.... Umpan telah masuk perang-
kap, Adi Ganang!" kekeh Adipati Brata Wisnu.
"Maksudmu, gadis yang datang ke tempat
ini tadi?" tanya Panglima Ganang Laksono.
"Ya! Ketika aku melihat wajahnya, ternyata
mirip sekali dengan Dewi Sekardadu. Dan men-
dengar ceritanya, aku semakin yakin kalau gadis
itu kakak dari Dewi Sekardadu. Untung aku tadi
menyuruhmu menyingkir, Adi Ganang. Aku takut,
kau mengenalinya. Atau sebaliknya, dia mengena-
limu," kata Adipati Kutowinangun ini.
"Benar, Kakang Brata. Biar bagaimanapun
kedatanganku ke sini harus dirahasiakan. Cita-
cita belum tercapai. Dan kita butuh kewaspadaan
tinggi!" tegas Panglima Ganang Laksono.
"Bila gadis itu sudah menjadi tawanan kita,
maka tinggal menggertak Gusti Prabu saja. Kita
bunuh gadis itu, atau dia harus menyerahkan
takhta kepadamu. He he he...!"
"Sungguh pucuk dicinta ulam tiba. Kau
memang cerdik Kakang Brata. Tak percuma kau
menjadi kakak iparku."
"Ya, tapi jangan lupa janjimu. Bila kau jadi
Raja Demak, wilayah kadipaten ini harus lepas
dari Kerajaan Demak. Karena, aku ingin mendiri-
kan kerajaan sendiri."
"O, jangan khawatir, Kakang. Ludah yang
telah kukeluarkan tak mungkin kujilat lagi.
Hmmm, kira-kira gadis itu sudah semaput be-
lum?"
"Menurut waktunya, gadis itu harus sudah
pingsan. Tapi apa salahnya kalau aku memerik-
sanya."
Di akhir kalimatnya, Adipati Brata Wisnu
bangkit dari duduknya. Dengan langkah mantap,
kakinya bergerak keluar ruangan khusus ini. Se-
gera ditelusurinya lorong keraton.
Tadi, Adipati Brata Wisnu memerintahkan
pelayan untuk membubuhi racun di dalam ma-
kanan dan minuman yang disediakan untuk Arya
Wadam. Sejenis racun ganas yang bekerja lambat.
Diperkirakan bila gadis itu menelannya, bisa
langsung pingsan. Layaknya tertidur, dalam bebe-
rapa hari nyawanya tak tertolong lagi.
Di depan pintu kamar yang disediakan
Arya Wadam, Adipati Brata Wisnu menghentikan
langkahnya. Sejenak telinganya dipasang tajam-
tajam. Tak ada suara sedikit pun yang terdengar.
Tok! Tok!
Lelaki setengah baya ini mengetuk pintu.
Tak ada sahutan. Kembali diulangi ketukannya.
Tetap sama. Dan ini membuat bibirnya terse-
nyum. Segera dibukanya pintu kamar.
"He he he.... Tidurlah untuk selamanya,
Gadis Bodoh!" kekehnya, memuakkan.
* * *
"Aku jadi penasaran, rencana apa yang
akan kau buat, Adi Satria?" tanya Mahapatih Ba-
gaspati. Dia yakin pemuda ini pasti berotak encer
macam bubur.
"Siapa bilang aku punya rencana?" balik
Satria, menjengkelkan.
"Lantas, kenapa kau melonjak kegirangan
begitu?"
"Apa di sini ada larangan melonjak kegi-
rangan? Wah, ada ya? Kalau begitu maafkan si-
kapku, Kang. Aku tak tahu kalau di sini ada la-
rangan melonjak kegirangan," ucap Satria, polos.
Amat polos.
Malah kini Mahapatih Bagaspati yang
bungkam. Bocah bertabiat sinting macam Satria
kadang memang menjengkelkan. Tapi di lain saat
bisa seperti malaikat penyelamat. Untuk saat ini,
Mahapatih Bagaspati tak tahu harus memilih
yang mana.
"Kang, kalau boleh tahu, Panglima Ganang
Laksono punya kerabat yang jadi pembesar di wilayah Kerajaan Demak ini atau tidak?!" tanya Sa-
tria tiba-tiba.
Sejenak Mahapatih Bagaspati berpikir ke-
ras. Lalu tiba-tiba secercah senyum tergambar di
wajahnya.
"Aku tahu jalan pikiranmu, Adi!" tebaknya
langsung. "Kau pasti mencurigai kerabat Pangli-
ma Ganang Laksono itu, bukan? Boleh, boleh.
Walau aku belum percaya penuh, tapi setidaknya
bisa dibuktikan dulu. Ya, Panglima Ganang Lak-
sono memang mempunyai kerabat yang jadi pem-
besar. Dan bodohnya, aku baru berpikir sekarang
kalau Adipati Kutowinangun adalah kakak ipar
Panglima Ganang Laksono. Sedangkan Adipati
Purworejo adalah sepupu panglima pengkhianat
itu. Tapi apa mungkin mereka berkhianat pula
dengan mengadakan persekongkolan?"
"Bukankah kau bilang perlu dibuktikan
dulu. Lantas, apa salahnya?" tukas Satria, mele-
tus begitu saja.
"Caranya?"
Satria mendekatkan mulutnya ke telinga
Mahapatih Bagaspati. Lalu yang terdengar hanya
suara mirip mendesis. Kejap kemudian, kepala
patih itu mengangguk-angguk.
"Boleh..., boleh. Begitu juga boleh. Aku se-
tujui rencanamu. Kapan akan dilaksanakan?"
tanya Mahapatih Bagaspati.
"'Kalau bisa secepatnya. Lebih cepat lebih
baik. Tapi Kakang mau tidak bersusah payah?"
sahut Satria.
"O, tentu. Tentu. Demi kejayaan Kerajaan
Demak, aku rela berkorban jiwa dan raga!" tandas
lelaki gagah ini.
"Nah, kalau begitu pikiranku jadi tenang,"
desah Satria, sok tua.
"Sungguh aku kagum dengan otak cerdas-
mu, Adi Satria. Entah, bagaimana nasib Kerajaan
Demak bila tidak ada dirimu, Adi," puji sang Ma-
hapatih, tulus.
Tapi yang dipuji seenaknya ngeloyor pergi
begitu saja. Terutama ketika Satria melihat Dewi
Sekardadu muncul di Taman Sari ini. Tinggal
Mahapatih Bagaspati yang terbengong-bengong.
Lantas kepalanya menggeleng pelan.
DELAPAN
JAHANAMMMM! Siapa yang membunuh
Suamikuuuu?!! Hu hu hu... aku harus menuntut
balasss.... Hu hu hu...."
Keheningan Bukit Srondol terbelah oleh te-
riakan yang disusul tangis meledak-ledak dari
mulut Nini Berek. Di depannya terdapat sebuah
makam bertanah merah dengan nisan dari tong-
kat butut berwarna hitam. Tongkat yang dikena-
linya sebagai milik Ki Ageng Wirakrama. Makam
itulah yang ditangisinya.
Memang, sebelum meninggalkan tempat
ini, prajurit-prajurit Demak menguburkan mayat
Ki Ageng Wirakrama di kaki Bukit Srondol ini. Lelaki tua sesat itu tewas setelah bertarung habis-
habisan dengan pendekar perkasa yang saat ini
menggoncangkan dunia persilatan. Satria Gen-
deng.
Di sebelah Nini Berek yang berjongkok di
depan makam, berdiri terpekur Bocah Tua Sakti.
Sungguh hati lelaki tua ini menyesal tak dapat
bertemu dengan kakaknya. Menyesal, kenapa se-
jak dulu tidak menasihati kakangnya. Menyesal
kenapa baru sekarang ini pulang ke tanah Jawa.
"Firasatku terbukti, Wiradharma! Lihat!
Suamiku telah menyatu dengan tanah! Sekarang,
apa kau masih tak percaya dengan mimpiku. Hu
hu hu.... Oh, Kakang Ageng Wirakrama.... Kini
aku sebatang kara. Kenapa begitu cepat kau me-
ninggalkan aku. Siapa yang membunuhmu, Ka-
kang? Siapa? Ayo jawab, Kakang!" oceh Nini Be-
rek tak karuan. Tangisnya makin menjadi-jadi.
Sinting juga wanita ini. Suaminya sudah
mati, tapi masih juga diajak omong. Tapi memang
bisa dimaklumi. Pikirannya saat ini sedang kalap.
Bukankah orang kalap suka bicara seenaknya?
"Sudahlah, Nini. Mungkin memang sudah
takdir umur kakangku hanya sampai di sini. Bi-
arkan dia beristirahat dengan tenang," ujar Bocah
Tua Sakti, lembut.
"Tidak! Arwah suamiku tak bakalan tenang
sebelum aku menemukan pembunuhnya!" sentak
Nini Berek, keras kepala.
Bocah Tua Sakti hanya mampu mengge-
leng-geleng kepala. Sebagai tokoh putih, dia cu
kup menyadari kematian kakangnya. Memang
ada rasa menyesal pada dirinya, karena belum
sempat bertemu setelah sekian lama mengembara
ke Swarnadwipa. Tapi penyesalan memang tak
harus dipendam dalam hati. Dia percaya, segala
sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Kalau begitu, aku harus kembali ke Swar-
nadwipa, Nini. Aku harus menghilangkan keke-
cewaan ini dengan pergi merantau," kata Bocah
Tua Sakti.
"Kau terlalu, Wiradharma. Kakangmu di-
bunuh orang, kau malah pergi. Mestinya kau ha-
rus membalaskan dendam kakangmu!" sentak
Nini Berek.
"Tidak, Nini. Apalah artinya dendam. Kalau
dituruti, dendam tak pernah akan habis. Mungkin
saja Yang Maha Kuasa telah menentukan bahwa
kematiannya memang harus di tangan orang. Dan
dengan demikian, dia sekaligus membayar dosa-
dosa yang telah diperbuatnya dahulu," tegas lela-
ki tua pendek itu bijak.
"Baik! Kalau kau mau pergi, pergi sekarang
juga! Ingat jangan pernah lagi menganggap kalau
aku ini kakak iparmu!" usir Nini Berek makin ka-
lap.
"Maaf, Nini. Biar bagaimana, kau tetap ka-
kak iparku. Tapi tolong jangan paksa aku untuk
mengikuti hawa nafsumu"
"Cepat pergi kataku! Pergiiii!!!"
Tanpa kata, Bocah Tua Sakti melangkah
perlahan. Sejenak kepalanya masih menoleh ke
arah makam kakangnya. Lalu mantap sekali ka-
kinya menjejak tanah dan berkelebat cepat.
Nini Berek tak peduli lagi. Sejenak dipan-
danginya kuburan Ki Ageng Wirakrama. Tepat ke-
tika Bocah Tua Sakti tak terlihat lagi, perempuan
tua jelek ini bangkit, bertumpu dengan tongkat
putihnya. Dan tiba-tiba, tongkat putihnya berge-
rak, mendongkel setiap bongkahan tanah merah
makam suaminya.
Makin lama makin banyak tanah terkum-
pul di pinggir makam. Sedang makam itu sendiri
makin berlubang dalam. Tak sabar, Nini Berek
mengerahkan tenaga dalamnya. Maka dalam se-
kejapan, makam telah terbongkar seluruhnya.
Begitu mendapati jasad suaminya. Nini Be-
rek cepat meraih dengan tangan kiri. Lalu dile-
takkannya jasad kaku itu di pundak. Sekali me-
nyentakkan kaki, tubuh Nini Berek telah berada
di atas
Setelah meraih tongkat butut Ki Ageng Wi-
rakrama, si nenek jelek berkelebat meninggalkan
kesunyian kaki Bukit Srondol.
* * *
Rencana Adipati Kutowinangun berjalan
mulus, semulus kulit bayi. Di kamar yang dis-
ediakan, Arya Wadam tergolek pingsan. Itu sete-
lah si gadis tanpa banyak curiga menyantap hi-
dangan yang disediakan. Perutnya mulas saat itu
juga, Kepalanya pening berdenyut-denyut. Pan
dangannya makin mengabur. Bahkan tenggoro-
kannya terasa panas seperti baru saja menelan
bara.
Si gadis mau berteriak. Tapi sedikit pun
tak ada suara yang berhasil terlontar dari mulut-
nya. Jangankan berteriak, untuk menelan ludah
saja tak mampu. Sementara, keringat dingin me-
nyeruak dari setiap lubang pori-porinya. Wajah-
nya pun kian pucat saja. Itu pertanda, racun ga-
nas yang dibubuhi dalam makanan telah bekerja.
Artinya, perlahan-lahan racun akan menjalar da-
lam setiap jaringan saraf-saraf.
Jika hal itu didiamkan dalam jangka dua
minggu, jangan harap nyawa Arya Wadam akan
selamat. Dalam keadaan begini. Adipati Kutowi-
nangun dan Panglima Ganang Laksono akan me-
manfaatkannya sebagai alat untuk menekan Gus-
ti Prabu Sutawijaya agar menyerahkan takhta ke-
rajaan kepada Panglima Ganang Laksono.
Bukankah dengan demikian Panglima Ga-
nang Laksono tak perlu susah payah membujuk
beberapa pembesar kerajaan untuk menyokong
rencananya? Bukankah dengan demikian dia tak
perlu mengutak-atik tiga peti uang kepeng yang
didapat dari Setan Madat?
"Bagaimana jalannya perundingan dengan
Gusti Prabu Sutawijaya nanti, Kakang Brata?"
tanya Panglima Ganang Laksono, semangat.
Di ruangan pendopo, lelaki tinggi besar itu
duduk berhadapan dengan Adipati Kutowinan-
gun. Sebuah meja bulat menjadi pembatas. Di
atasnya, terhidang buah-buahan ranum kemera-
han mengundang selera. Sebuah guci tuak dan
dua buah cangkir bambu juga ada di sana.
"Gampang. Aku akan mengutus beberapa
prajurit untuk menyerahkan surat ancaman. Kita
jelaskan kalau Dewi Sekarputri ternyata masih
hidup, dan kini berada di tangan kira. Tentu saja
untuk mengambilnya tak semudah itu. Terlebih
dahulu, Gusti Prabu harus membuat surat per-
nyataan yang isinya, segera menyerahkan takhta
Kerajaan Demak tanpa syarat, dan tanpa paksaan
dari pihak mana pun kepadamu. Surat harus dis-
erahkan Gusti Prabu sendiri. Bila surat sudah di
tangan kita, langsung ringkus saja dia. Lalu, kau
cepat pergi ke kerajaan. Umumkan bahwa kau te-
lah ditunjuk Gusti Prabu untuk memerintah Ke-
rajaan Demak. Kau jelas?" papar Adipati Brata
Wisnu.
"Sangat jelas. Sangat jelas. Lantas, kalau
pembesar kerajaan banyak yang tak percaya?"
"Tunjukkan surat pernyataan itu."
"Kalau mereka tetap tak percaya?"
"Nyawa Dewi Sekarputri dan nyawa Gusti
Prabu ada di tangan kita!"
Secercah senyum langsung tergambar di
wajah Panglima Ganang Laksono. Dalam hati, dia
benar-benar mengagumi kecerdikan kakak ipar-
nya. Tak percuma dia mengajak kakak iparnya
untuk bergabung menumbangkan takhta Kera-
jaan Demak.
"Nah, sekarang bagaimana rencanamu se
lanjutnya, Adi Ganang?" tanya Adipati Brata Wis-
nu lebih lanjut.
"Rasanya aku sudah tak sabar lagi untuk
mengajak bergabung saudara sepupuku di Kadi-
paten Purworejo," sahut Panglima Ganang Lakso-
no.
"Maksudmu, Adipati Lirboyo?"
"Benar. Tapi sebelum itu aku harus mene-
mui guruku lebih dulu di Bukit Menjangan. Mu-
dah-mudahan guruku sudah menghubungi te-
man-temannya untuk membantuku dalam men-
gadakan pemberontakan nanti."
"Dan aku akan segera mengirimkan- utu-
san ke Kerajaan Demak besok pagi. Aku yakin,
Gusti Prabu akan terkejut membaca surat kita.
Ha ha ha...."
Suara tawa Adipati Kutowinangun bergema
di sekitar ruangan pendopo. Juga tawa keras
Panglima Ganang Laksono. Dalam benaknya pun
telah terbayang kalau dirinya tengah duduk di
singgasana Kerajaan Demak.
* * *
Tanpa diketahui, sebuah bayangan kasat
mata tengah mendengarkan pembicaraan antara
Adipati Kutowinangun dengan Panglima Ganang
Laksono. Sebuah bayangan yang kalau diperhati-
kan berbentuk seorang anak muda tampan. Ba-
junya rompi putih dari kulit binatang. Bergaris
rahang jantan. Bermata sembilu. Celananya
pangsi sebatas lutut.
Dialah Satria.
Apa yang dilakukan pemuda bertabiat sint-
ing tapi berotak cerdas itu?
Inilah bagian dari rencana si anak muda
perkasa. Akal cerdiknya menyuruhnya untuk se-
gera menggunakan ajian 'Melepas Sukma' yang
diwariskan guru gendengnya, Dongdongka.
Waktu masih berada di Kerajaan Demak,
Satria Gendeng menjelaskan rencananya setelah
tahu bahwa ada dua adipati yang dicurigai men-
jadi pengkhianat dengan mendukung rencana
Panglima Ganang Laksono. Kecurigaan itu cukup
beralasan, karena sudah sekian lama Panglima
Ganang Laksono tak terlihat di sekitar keraton
kerajaan. Bahkan ada beberapa telik sandi yang
pernah melihat kalau panglima pengkhianat itu
sering berkunjung ke Kadipaten Kutowinangun
dan Purworejo.
Semula pihak kerajaan tak begitu menang-
gapi. Tapi ketika mendengar kalau, Panglima Ga-
nang Laksono akan mengadakan pemberontakan,
mau tak mau kecurigaan pun dilimpahkan pada
kedua kadipaten tadi.
Berangkat dari alasan itu, Satria lantas
memutuskan untuk mencari tahu ke Kadipaten
Kutowinangun. Sedangkan Mahapatih Bagaspati
berwarna beberapa telik sandi mencari tahu ke
Kadipaten Purworejo. Tentu saja, Satria tak mau
menjelaskan bagaimana caranya nanti menyusup
ke Kadipaten Kutowinangun.
Senja telah terpuruk ketika Satria tiba di
bagian belakang keraton kerajaan. Mata tajamnya
yang telah terbiasa melihat dalam gelap sewaktu
berada di goa tempat kediaman Ki Kusumo beru-
saha menelusuri tiap-tiap celah yang mungkin bi-
sa ditembusnya
Di tembok keraton sebelah utara, si pemu-
da perkasa melihat kalau di situ terdapat titik ce-
lah yang bisa ditembusnya. Di dekat tembok dia
melihat ada beberapa pohon pinang setinggi atap
keraton.
Dari tempatnya berdiri, Satria langsung
mencelat. Mula-mula ke arah pohon pinang yang
tak jauh darinya. Kakinya langsung menghentak
sekali ke batang pinang. Lalu mencelat lagi ke
arah tembok. Sekali menghentak lagi, tubuhnya
mendekati pohon pinang dekat tembok sebelah
utara. Sekali lagi menghentak, tubuhnya mence-
lat ke arah atap ketaton. Satu rangkaian gerak
yang sering dilatihnya di Tanjung Karangbolong.
Dengan ilmu peringan tubuh yang selalu
dilatihnya, Satria mengendap-endap di atas atap
keraton. Nyatanya, hasil godokan Dongdongka
dan Ki Kusumo terhadap kemampuan peringan
tubuhnya selama ini telah membuahkan hasil
sangat sempurna. Keberadaannya sama sekali tak
diketahui oleh prajurit-prajurit kadipaten yang
berjaga-jaga di tembok bagian utara.
Sasaran yang dituju Satria adalah pendo-
po. Biasanya, sebagaimana adat orang-orang ke-
raton, sehabis makan malam mereka berbincang
bincang di ruang utama pendopo. Itulah yang di-
pelajari si anak muda berotak cerdas selama be-
rada di keraton Kerajaan Demak.
Tiba di atas pendopo, Satria langsung me-
nelusup dengan membuka beberapa atap genting.
Di situ dia mencuri dengar pembicaraan beberapa
orang tentang Dewi Sekarputri yang diketahuinya
adalah nama asli Arya Wadam. Saat itu juga, si
pemuda perkasa mencari-cari letak kamar penye-
kapan.
Susan payah mencari, akhirnya Satria da-
pat menemukan kamar tempat Arya Wadam dis-
ekap. Maka di atas langit-langit itu pula si bocah
bertabiat sinting ini bersemadi. Langsung dike-
rahkannya aji 'Melepas Sukma' warisan guru gen-
deng yang amat dihormatinya. Dongdongka. Itu-
lah, kenapa Satria kini enak-enak mencuri dengar
pembicaraan antara Adipati Kutowinangun den-
gan Panglima Ganang Laksono dalam wujud ka-
sat mata.
* * *
Malam makin tertatih-tatih menuju dini
hari.
Keraton Kadipaten makin terkepung kesu-
nyian. Semua penghuninya telah terseret ke da-
lam arus mimpi melenakan. Kecuali para prajurit
penjaga, dan Satria Gendeng yang tengah menja-
lankan rencananya.
Dari atas langit-langit kamar tempat Arya
Wadam disekap, si bocah bertabiat sinting yang
telah bersatu lagi dengan jasadnya itu segera me-
lompat ringan. Langsung diperiksanya keadaan si
gadis.
"He he he.... Tak kusangka kalau kau be-
rada di sini, Arya. Akhirnya kau kutemukan juga.
Tapi, kenapa wajahmu pucat begini? Dan.... Ya,
ampun.... Detak jantungmu lemah sekali? Naga-
naganya kau.... Slompret! Kau pingsan, Arya Wa-
dam! Kukira kau enak-enakan tidur di sini," cero-
cos si pemuda dalam desahan nyaris tak terden-
gar.
Si pemuda berusaha mencari tahu, kenapa
Arya Wadam sampai pingsan begitu. Segera wa-
jahnya didekatkan ke mulut Arya Wadam yang
berbibir indah tapi berwarna kebiruan itu. Hidung
si pemuda mengendus-endus.
"Slompret lagi! Kau keracunan, Arya! Wah,
dia harus cepat-cepat disembuhkan. Dari baunya
aku tahu, racun yang bersarang di tubuhnya ter-
golong ganas dan bergerak lambat. Hmmm.... aku
harus menotoknya untuk menghambat menjalar-
nya racun ke seluruh jaringan sarafnya. Tapi aku
tak mungkin menyembuhkannya di sini. Karena
akan memakan waktu. Kalau gadis ini sampai si-
uman di tempat ini, bisa gagal rencanaku. Jadi,
aku harus membawanya pergi sekarang juga," Sa-
tria segera meraih tubuh Arya Wadam yang ter-
baring di pembaringan.
Sekali menghentak lantai, tubuhnya telah
mencelat ke atas langit-langit lewat lubang yang
dibuatnya. Sambil memondong Arya Wadam, Sa-
tria keluar menuju atap lewat genting-genting. La-
lu tubuhnya mencelat kembali keluar keraton le-
wat jalan yang tadi ditempuhnya saat menuju ke
sini. Sekejapan, dia telah menghilang dalam kege-
lapan. Meninggalkan para prajurit yang terkan-
tuk-kantuk, dan siap dimaki-maki Adipati Kuto-
winangun akibat kelalaian mereka.
SEMBILAN
PAGI beranjak
Sudah sejak tadi Panglima Ganang Lakso-
no meninggalkan Kadipaten Kutowinangun. Ha-
tinya sudah tak sabar lagi untuk menemui gu-
runya di Bukit Menjangan. Setidaknya, dia bisa
minta bantuan gurunya nanti untuk mendampin-
ginya saat membacakan surat pernyataan Gusti
Prabu Sutawijaya. Makin nyata saja bayangan da-
lam benaknya kalau dirinya nanti bakal duduk di
singgasana Kerajaan Demak.
Tak lama setelah keberangkatan Panglima
Ganang Laksono, orang-orang yang diutus Adipati
Kutowinangun untuk membawa surat ancaman
pun berangkat. Dengan kuda-kuda pilihan, mere-
ka segera berpacu meninggalkan kadipaten.
Baru saja Adipati Kutowinangun hendak
menikmati sarapannya…
"Kanjeng Gusti Adipati! Gadis yang disekap
di kamarnya telah menghilang!" Seorang prajurit
tergopoh-gopoh datang melapor.
"Apa??!!" lonjak sang Adipati, menghenti-
kan suapannya di depan mulut. "Tidak mungkin!
Sekarang panggilkan emban yang tiap pagi mem-
bersihkan kamarnya!"
"Baik, Kanjeng," sahut si prajurit, langsung
menjura. Lalu dia berlalu dari hadapan Adipati
Brata Wisnu.
Berdebar, Adipati Brata Wisnu menunggu
kedatangan emban yang biasa membersihkan
kamar yang ditempati Dewi Sekarputri. Dia jadi
tak bernafsu lagi. Sejak istrinya meninggal dunia
dia selalu sarapan sendiri saja. Sementara sepagi
ini, kedua anak laki-lakinya masih terlelap dalam
mimpi. Sedangkan kedua orangtuanya yang su-
dah cukup sepuh tinggal di rumah lain, tapi ma-
sih di lingkungan keraton.
Sang emban, seorang perempuan setengah
baya bertubuh gempal muncul terbungkuk-
bungkuk.
"Kanjeng Gusti memanggil hamba?" ta-
nyanya, sangat sopan.
"Benar gadis yang ada di kamar itu telah
hilang?!" tembak Adipati Brata Wisnu, langsung.
"Benar, Kanjeng Gusti. Tadi waktu hamba
hendak membersihkan kamarnya, gadis itu sudah
tidak ada."
"Mana mungkin?!" terabas lelaki ini, keras.
Matanya mendelik. "Gadis itu dalam keadaan
pingsan. Jadi tak mungkin dia pergi begitu saja,
kalau tidak ada yang membawanya!"
"Bisa jadi begitu, Kanjeng Gusti. Karena,
langit-langit kamar gadis itu kini berlubang cu-
kup besar," tambah sang emban.
"Apa?! Celaka! Kalau bukan karena ada se-
seorang yang menelusup ke keraton ini, pasti ada
pengkhianat di kadipaten! Emban! Suruh salah
seorang prajurit untuk mengumpulkan para pem-
besar kadipaten. Bilang, aku akan mengadakan
rapat mendadak sekarang juga!" sabdanya, penuh
ketegasan.
"Baik, Kanjeng Gusti," sahut sang emban,
lalu berlalu dari tempat ini.
* * *
"Apa?! Guru telah tewas?!" sentak Panglima
Ganang Laksono ketika siang ini tiba di Bukit
Menjangan, tempat tinggal Ki Ageng Wirakrama
almarhum.
"Ya! Dan kau sebagai muridnya harus bisa
membalaskan sakit hatinya!" desis perempuan
tua bungkuk. Wajahnya dipenuhi borok berlendir
yang menyebarkan bau busuk menyengat. Ram-
butnya tipis. Mulutnya tak lepas dengan sirihnya.
Prot!
Lendir merah meluncur dari bibir kendor si
nenek jelek yang tak lain Nini Berek. Begitu
menghujam ke sebuah batu reruntuhan candi,
langsung tercipta lobang cukup dalam.
Panglima Ganang Laksono memandang
takjub. Padahal, dia sudah sering melihat si ne
nek jelek bertingkah demikian. Namun kekagu-
mannya segera terpangkas oleh keingintahuannya
tentang siapa yang membunuh Ki Ageng Wira-
krama.
"Siapa yang membunuhnya, Nini Guru?"
tanyanya.
"Aku belum tahu pasti. Tapi kalau melihat
bekas pukulan di tubuhnya, ada dugaan di be-
nakku kalau itu hasil pukulan Dongdongka alias
Dedengkot Sinting Kepala Gundul," sahut si ne-
nek jelek.
"Siapa dia, Nini Guru?"
"Seorang sesepuhnya para sesepuh dunia
persilatan golongan putih. Kau bisa menyelidi-
kinya nanti."
"Baik, Nini Guru. Tapi bolehkah aku meli-
hat mayat Guru untuk yang terakhir kali?" pinta
Panglima Ganang Laksono, hati-hati.
"Tidak! Peti tempat bersemayamnya suami-
ku kini tak boleh dibuka-buka. Dia telah kubal-
sem. Suatu saat nanti, suamiku akan bangkit un-
tuk menuntut balas!" sahut Nini Berek, tegas.
"Maksud Nini Guru...."
"Ya! Suamiku akan hidup lagi, tapi dengan
jiwa yang lain. Kau tak bakal dikenalinya lagi.
Dan tugasmu sekarang, cari keterangan tentang
Dongdongka sialan itu. Mengerti?!"
"Mengerti, Guru," sahut Panglima Ganang
Laksono, agak tercekat. "Dan kalau begitu, aku
mohon pamit."
"Ya, pergilah...."
Panglima Ganang Laksono menjura, lalu
berbalik. Dihampirinya kuda tunggangannya. Se-
kali menyentak kaki, tubuhnya telah melayang,
lalu hinggap di punggung kuda.
"Heaaa...!"
Sekali menyentak tali kekang kuda, Pan-
glima Ganang Laksono pergi meninggalkan Bukit
Menjangan.
Ada rasa kecewa di hati lelaki tinggi besar
ini menyadari gurunya telah tewas. Setidaknya,
rencananya sedikit melenceng. Tapi dia yakin
akan bisa mengatasinya. Kalau hanya untuk
mendampingi dirinya saat membacakan surat
pernyataan Gusti Prabu nanti, dia bisa minta per-
tolongan tokoh sesat lainnya. Di sisi lain, Pangli-
ma Ganang Laksono juga gembira atas kematian
gurunya. Sebab dengan demikian dia terbebas da-
ri tugas mencari senjata pusaka Kail Naga Samu-
dera milik Satria Gendeng.
* * *
Rapat mendadak yang diadakan Adipati
Kutowinangun berlangsung mendebarkan. Para
pejabat saling curiga satu sama lain tentang siapa
yang menjadi pengkhianat. Dari punggawa hingga
patih melirik, mencari siapa di antara mereka
yang telah berkhianat.
Sebelumnya, Adipati Kutowinangun telah
habis-habisan memaki para prajuritnya yang
mendapat tugas jaga semalam. Bahkan mereka
langsung mendapat hukuman penjara bawah ta-
nah, dan nantinya akan dihukum gantung.
"Kalau kalian tak ada yang mau mengaku,
baiklah! Untuk saat ini aku masih percaya den-
gan kesetiaan kalian. Tapi yang jelas, kadipaten,
telah kecolongan oleh seorang penyusup. Maka
untuk sementara, aku beranggapan si penyusup
adalah orang luar. Tapi bila nanti di antara kalian
terbukti sebagai pengkhianat, hukuman pancung
imbalannya!" tegas Adipati Brata Wisnu.
Bergidik semua pejabat kadipaten yang ada
di tempat ini. Kembali mereka saling berpandan-
gan dengan sinar mata curiga. Suasana sejenak
dikepung keheningan.
"Untuk membuktikan kesetiaan kalian,"
sambung sang Adipati. "Aku memerintahkan ka-
lian untuk bersiap-siap angkat senjata. Kita akan
menggempur Kerajaan Demak!"
Suara bergumam bak sekawanan lebah
mendengung terdengar. Para pejabat kadipaten
benar-benar terkejut dengan keputusan Adipati
Kutowinangun. Sungguh hal itu di luar akal. Se-
bab menggempur kerajaan sama saja seperti se-
kawanan laron menghampiri api. Bukan saja pa-
sukan Kerajaan Demak sangat besar, tapi juga
dipimpin oleh panglima-panglima perang berke-
pandaian tinggi.
Selagi mereka berada di ambang kera-
guan....
"Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba menggang-
gu sebentar," tiba-tiba seorang prajurit masuk ke
ruangan ini dan langsung melapor. "Di luar sana,
pasukan Kerajaan Demak telah mengepung kera-
ton. Dan oleh Panglima Darma Kusuma dari Kera-
jaan Demak, Kanjeng Gusti dimohon keluar."
"Setan! Kita kalah cepat! Nah, para pem-
bantuku yang setia. Ini saatnya untuk membukti-
kan kesetiaan Kalian. Cepat cabut senjata! Kita
songsong pasukan Kerajaan Demak!" ujar sang
Adipati, lantang.
Para pejabat kadipaten terlihat ragu-ragu.
Sebagian sudah ada yang memegang gagang ke-
ris, tapi sebagian lagi masih ada yang tetap diam
di tempatnya.
"Hei, kenapa kalian ragu-ragu?!" bertanya
Adipati Kutowinangun.
Seorang patih kadipaten yang berusia cu-
kup tua berdiri dari. duduknya. Wajahnya penuh
kewibawaan. Namanya, Patih Rumeksa. Tindak-
tanduknya amat mengagumkan, sehingga amat
dihormati di kadipaten ini.
"Tidak, Kanjeng Adipati. Kami bukan ber-
maksud menolak perintah. Tapi, menyerang Kera-
jaan Demak sama saja melanggar sumpah ayah
Kanjeng Adipati sendiri. Bukankah beliau telah
bersumpah di hadapan Raden Patah untuk selalu
setia terhadap Kerajaan Demak? Sebaiknya, akhi-
ri saja sandiwara ini. Sejak semula, aku sudah
tak setuju terhadap rencana Kanjeng yang ingin
menekan Gusti Prabu Sutawijaya dengan menye-
kap Dewi Sekarputri yang baru saja ditemukan.
Bukankah orangtua Kanjeng dulu pernah dititipi
Dewi Sekarputri yang kemudian hilang lantaran
diculik? Perbuatan Kanjeng sama saja menyakiti
orang tua Kanjeng Sendiri," buka Patih Rumeksa.
"Setan kau, Patih! Aku yakin, kaulah
pengkhianat itu. Kau telah menolak perintah. Be-
rat hukumannya Patih!" ledak sang Adipati sam-
pai mendengus-dengus.
"Aku tak keberatan dihukum berat sekali-
pun. Tapi aku yakin berada di pihak yang benar.
Dan kupikir-pikir, justru Kanjeng sendiri yang ja-
di pengkhianat. Menyerang Kerajaan Demak sama
saja pengkhianat. Mengingkari sumpah, juga
pengkhianat. Bertindak tanduk tercela, juga
pengkhianat. Maka semestinya, Kanjeng sendiri
yang harus ditangkap.
"Benar!" timpal seorang lelaki berpangkat
panglima. "Aku tidak sudi berkhianat terhadap
Kerajaan Demak. Justru kerajaan itu sudah san-
gat berjasa dalam menumpas musuh-musuh kita.
Lantas kenapa kita memusuhinya?"
"Ya, benar!" tambah panglima yang lain.
"Aku tidak sudi berkhianat!"
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Adipati Kutowinangun makin blingsatan
sendiri. Ternyata hampir seluruh pejabat kadipa-
ten menentang rencananya. Dan kegeramannya
pun memuncak. Dia sungguh tak menyangka ka-
lau akibatnya akan seperti ini
"Bangsat! Kalian adalah bawahanku, ta-
hu?!" bentaknya, lantang.
"Mereka benar, Anakku...."
Sebuah suara penuh wibawa mendadak
menyeruak di sekitar ruangan ini. Tak lama, seo-
rang lelaki tua berpakaian seperti jubah putih
memasuki ruangan.
"Ayahanda...?" sebut Adipati Kutowinan-
gun.
Semua yang hadir di ruangan ini memberi
hormat dengan menakupkan telapak tangan di
depan dada. Tubuh mereka membungkuk sedikit.
Hening. Belum ada yang bersuara.
"Mereka benar, kau adalah pengkhianat,"
buka si orang tua, penuh perbawa dalam sua-
ranya. "Untuk itu, kau harus mendapat hukuman
dari Kerajaan Demak! Sungguh, aku menyesali
sikapmu selama ini. Kenapa kau terlalu silau
dengan kekuasaan? Nah, sebagai anak seorang
ksatria sejati, kau pun juga harus bersikap ksa-
tria. Temuilah Panglima Derma Kusuma. Serah-
kan dirimu untuk dibawa ke Kerajaan Demak."
"Tapi, Ayahanda...."
"Jangan membantah! Aku sudah tahu se-
mua rencana busukmu. Kau terlalu terbuai oleh
janji-janji manis adik iparmu!" potong si tua yang
tak lain Ayahanda Adipati Kutowinangun itu sen-
diri. Dia dikenal Sukma Dewa Brata. Setelah me-
letakkan jabatan Adipati Kutowinangun, dia lebih
banyak mendekatkan diri pada Yang Maha Tung-
gal.
"Tidak, Ayah! Aku tak sudi dihukum!" tolak
Adipati Brata Wisnu.
"Hmmm, kau keras kepala," gumam Ki
Sukma Dewa Barata. Lalu kepalanya menoleh pa-
da Patih Rumeksa. "Rumeksa! Sebagai orang yang
ku tugasi mengawasi tabiat anakku, maka seka-
rang kau ku tugasi menangkapnya!"
"Baik, Kanjeng Sepuh," sahut Patih Ru-
meksa, mantap.
"Tidak! Tidak ada yang bisa menangkapku!"
tiba-tiba Adipati Kutowinangun mencabut keris-
nya. Lalu....
Crep!
"Akhh!!"
Tanpa ada yang dapat mencegah, Adipati
Kutowinangun menghujamkan kerisnya ke perut-
nya sendiri. Saat itu juga lelaki setengah baya ini
ambruk dengan tubuh bersimbah darah.
Semua yang ada di tempat ini hanya me-
longo. Mata mereka mendelik dengan mulut tern-
ganga-nganga. Sungguh mereka tak percaya den-
gan tindakan nekat sang Adipati....
SEPULUH
BEGITU tiba di halaman keraton Kadipaten
Purworejo, betapa terperanjatnya Panglima Ga-
nang Laksono. Yang menyambutnya kali ini bu-
kan lagi saudara sepupunya yang menjadi adipati
di sini, tapi Mahapatih Bagaspati.
"Cukup sudah permainanmu, Ganang Lak-
sono," sambut Mahapatih Bagaspati. Tenang dan
datar suaranya.
"Apa-apaan ini, Mahapatih Bagaspati?! Aku
ke sini untuk menengok adik sepupuku. Dan
permainan apa yang kau maksudkan?" kilah Pan-
glima Ganang Laksono.
"Adik sepupumu telah kami amankan di
kerajaan. Dan dia telah mengakui bahwa kau
mengajaknya untuk mendukung pemberontakan
yang akan kau lakukan!" tegas Mahapatih Bagas-
pati.
Berubah wajah Panglima Ganang Laksono.
Dari merah, kelabu, hijau, lalu kembali ke merah.
Tapi dia masih berusaha mengendalikan pera-
saannya dengan bersikap wajar.
"Kusarankan baik-baik, menyerahlah. Para
prajurit di sini telah siap meringkusmu," lanjut
Mahapatih Bagaspati.
"Mustahil! Bisa saja adik sepupuku men-
gada-ada. Kau belum cukup bukti, Mahapatih!"
elak Panglima Ganang Laksono.
"Jadi, kau ingin bukti lagi? Baik."
Mahapatih Bagaspati lantas bertepuk bebe-
rapa kali.
Plok! Plok! Plok!
Di kejap kemudian, dari pintu keraton
muncul seorang pemuda tampan. Pakaiannya
rompi putih dari kulit binatang. Siapa lagi kalau
bukan Satria.
Tapi bukan itu yang membuat Panglima
Ganang Laksono tercekat, nyaris tak percaya. Ju-
stru mata melototnya melekat kuat pada seorang
lelaki tua pendek yang terhalang langkah si pe-
muda.
"Bocah Tua Sakti...?" cekatnya.
Satria Gendeng dan Bocah Tua Sakti ber-
henti di samping Mahapatih Bagaspati. Tanpa ka-
ta, mereka menatap Panglima Ganang Laksono
yang jadi salah tingkah.
Bagaimana Bocah Tua Sakti sampai ada di
sini?
Ketika Mahapatih Bagaspati hendak be-
rangkat menuju Kadipaten Purworejo sebagaima-
na Satria, Bocah Tua Sakti datang ke Kerajaan
Demak. Setelah kematian kakangnya, lelaki tua
pendek itu merasa bersalah jika tak melaporkan
pemberontakan yang hendak dilakukan murid
kakangnya. Artinya, justru dia malah akan me-
nambah dosa kakangnya. Dan lagi sebagai pen-
dekar, dia juga tak sudi keangkaramurkaan me-
nebar di mana-mana. Untuk itu, diputuskannya
untuk pergi ke Kerajaan Demak setelah diusir
oleh Nini Berek.
Di Kerajaan Demak, Bocah Tua Sakti dis-
ambut baik oleh Mahapatih Bagaspati. Lalu di-
ajaklah orang tua pendek itu ke Kadipaten Purwo-
rejo, sekaligus untuk membuat mati kutu Pangli-
ma Ganang Laksono.
Sedangkan Satria Gendeng juga segera
menuju Kadipaten Purworejo, setelah mengobati
Arya Wadam alias Dewi Sekarputri dengan ra-
muan obat-obatan penawar racun. Tak percuma
si pemuda perkasa menjadi murid Tabib Sakti Pulau Dedemit. Begitu Satria pergi menuju Kadipa-
ten Purworejo, si gadis berangsur-angsur sembuh.
Lewat penjelasan Satria, Mahapatih Bagas-
pati yakin kalau Panglima Ganang Laksono akan
menuju Kadipaten Purworejo.
Panglima Ganang Laksono makin mati ku-
tu. Sungguh dia menyesal menceritakan renca-
nanya pada lelaki tua pendek berjuluk Bocah Tua
Sakti. Dikiranya, Bocah Tua Sakti segolongan
dengan gurunya, Ki Ageng Wirakrama. Tak ta-
hunya?
Tapi kenapa waktu bertemu denganku Bo-
cah Tua Sakti seolah-olah ingin merampok? Begi-
tu pertanyaan yang timbul di benak Panglima
Ganang Laksono.
* * *
"Maaf, Ganang Laksono. Aku tidak sego-
longan dengan kakangku. Kalaupun waktu itu
aku hendak merampokmu, sebenarnya yang ku-
butuhkan hanya beberapa kepeng saja. Untuk
ongkos pulang ke Swarnadwipa. Maklum, aku ke-
habisan ongkos. He he he.... Tapi, kan aku tak ja-
di merampok? Aku minta maaf lagi, terpaksa aku
harus melaporkan rencanamu pada pihak Kera-
jaan Demak. Aku ingin menebus dosa-dosa ka-
kangku dengan perbuatan baik. Yah, mudah-
mudahan saja kakangku akan berterima kasih
padaku di akhirat sana," kata Bocah Tua Sakti,
seperti mengerti jalan pikiran Panglima Ganang
Laksono.
Panglima Ganang Laksono tak menyahut.
Hanya matanya kian menyorot tajam pada si tua
pendek. Giginya bergemelutuk. Dadanya berde-
gup keras. Kemarahan benar-benar mengaduk-
aduk dadanya.
Tapi yang dihadapinya adalah Mahapatih
Bagaspati. Panglima Ganang Laksono tahu, ke-
digdayaan Mahapatih Bagaspati nyaris tak ada
tandingannya di Kerajaan Demak. Di sebelah Ma-
hapatih Bagaspati ada Bocah Tua Sakti, tokoh tua
yang pernah menjatuhkannya waktu pertama kali
bertemu di mulut sebuah hutan.
Perhatian Panglima Ganang Laksono lantas
beralih pada Satria Gendeng. Ya, aku ingat! Pe-
muda ini yang bernama Satria Gendeng, yang
pernah dibawa ke keraton oleh si keparat Bagas-
pati. Bodoh! Kenapa aku baru ingat sekarang?!
Rutuknya, dalam hati. Keyakinan lelaki ini makin
kuat setelah matanya tertumbuk pada sebatang
tongkat kecil berujung kepala ular naga berwarna
emas dan ujung satunya lagi berwarna sama di
pinggang si pemuda.
Menurut Guru, itulah senjata Kail Naga
Samudera. Bisik hati Panglima Ganang Laksono
lagi. Edan! Kalau waktu itu saja dia bisa menga-
lahkan Dirgasura dan pasukannya, bagaimana
dengan aku? Rutuknya lagi, terbalut kegentaran
amat dalam. (Tentang Dirgasura, baca episode:
"Tabib Sakti Pulau Dedemit" sampai "Kail Naga
Samudera").
Maka makin lengkaplah kegentaran di hati
panglima pengkhianat ini. Semangatnya yang
berkobar pupus sudah. Melawan tak berani, me-
nyerah gengsi. Lantas apa yang akan diperbuat-
nya?
"Kalian tak akan bisa menangkapku!
Heaaah...!"
Dikawal bentakan memangkas udara, Pan-
glima Ganang Laksono mencabut pedangnya. Tiga
orang di depannya cepat melompat mundur,
membuat jarak. Langsung bersiaga, menjaga se-
gala kemungkinan.
Tidak. Tidak ada serangan yang dibuat
Panglima Ganang Laksono. Karena begitu senjata
pedangnya dicabut, langsung diarahkan ke pe-
rutnya sendiri. Cepat. Teramat cepat untuk dice-
gah.
Dan....
Crep!
"Aaaahhhh...!"
Kembali. Perbuatan pengecut kembali di-
perlihatkan manusia tengik macam Panglima Ga-
nang Laksono. Jadi sangat beralasan kalau pihak
Kerajaan Demak tak begitu memperhatikan ki-
prahnya. Tak mempedulikan kenaikan pangkat-
nya.
Kerajaan Demak sebenarnya tak butuh
manusia gampang putus asa macam Panglima
Ganang Laksono. Kalaupun pangkatnya sampai
jenjang panglima, itu tak lain karena mendiang
ayahnya pernah berjasa pada Kerajaan Demak.
Itu saja.
Tubuh bersimbah darah Panglima Ganang
Laksono luruh ke tanah. Erangan kesakitan me-
nyertai keberangkatannya ke alam baka. Memba-
wa cita-citanya yang tak sampai. Membawa ke-
dengkian berujung dendam. Membawa kepenge-
cutannya....
* * *
Haru dan bahagia.
Kedua perasaan itu yang mengaduk-aduk
hati Gusti Prabu Sutawijaya, Permaisuri Praba-
ningrat, Dewi Sekardadu, dan Arya Wadam alias
Dewi Sekarputri. Melihat ketiga wanita di hada-
pannya saling berangkulan disertai ledakan tan-
gis, Gusti Prabu Sutawijaya tak mampu lagi
membendung luncuran air matanya. Setegar-
tegarnya lelaki ini, sehebat-hebatnya cobaan yang
menimpa kerajaannya, ternyata Gusti Prabu Su-
tawijaya tak mampu menahan keharuannya sete-
lah bertemu putri sulungnya yang hilang selama
belasan tahun.
Meski belum sembuh benar setelah racun
dalam tubuhnya telah dipunahkan Satria Gen-
deng, tapi Arya Wadam sudah mampu duduk di
pembaringan. Semula dia merasa heran, karena
orang-orang di sekelilingnya terasa asing. Bahkan
ketika matanya merayapi sekeliling ruangan, dia
merasa kalau sebelumnya bukan berada di ruan-
gan ini. Tentu saja, karena gadis ini sekarang telah berada di Kerajaan Demak.
Begitu mata si gadis bertumbukan dengan
wajah Dewi Sekardadu, keheranannya makin
menjadi-jadi. Betapa tidak? Arya Wadam bagai-
kan bercermin saja saat menatap wajah Dewi Se-
kardadu. Begitu mirip.
Perlahan namun jelas, akhirnya Gusti Pra-
bu Sutawijaya menjelaskan apa yang terjadi.
Sampai akhirnya, di ruangan kamar bertata apik
ini hanya dipenuhi suara tangis penuh keharuan.
"Akhirnya kita berkumpul lagi, Anakku...,"
desah Permaisuri Prabaningrat, terus saja menci-
umi Arya Wadam.
"Sejak dulu aku yakin, kalau kau masih
hidup, Kak.... Sebab kalau kau mati, pasti hatiku
akan hampa. Kau adalah kakak kembarku, Kak.
Jasad kita dua, tapi jiwa kita satu. Sakitmu ada-
lah sakitku. Dukamu adalah dukaku. Selama kau
hilang, ada-ada saja rasa sakit yang kuderita.
Dan bila kau merasa senang, hatiku pun ikut se-
nang," tutur Dewi Sekardadu, sambil merangkul
kakak kembarnya.
"Yang Maha Kuasa telah menunjukkan ke-
kuasaannya. Dia telah menyatukan kita. Semoga
tak ada lagi yang dapat memisahkan kita, kecuali
kematian...," kata Gusti Prabu Sutawijaya, mena-
tapi putri sulungnya penuh keharuan.
Arya Wadam tak sanggup berkata-kata.
Dan perasaannya memang sulit untuk dilukiskan
dengan kata-kata. Hanya bibir ranumnya saja
yang bergetar. Hilang sudah sifat kelaki-lakiannya
selama ini. Yang ada kini hanya keinginan untuk
mereguk kasih sayang dari kedua orangtuanya.
Seperti yang didambakan selama ini.
* * *
Tapi, bagaimana dengan Nini Berek? Bisa-
kah perempuan tua itu mewujudkan dendamnya?
Bagaimana jadinya bila Dongdongka dituduh se-
bagai pembunuh Ki Ageng Wirakrama?
SELESAI
Segera menyusul:
SILUMAN BUKIT MENJANGAN
0 comments:
Posting Komentar