..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 26 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE BADAI DI KERATON DEMAK

Badai Di Keraton Demak

 

Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

HUTAN Sawangan. Sebuah hutan yang ter-
diri dari pohon-pohon berbatang besar. Bak bari-
san iblis dari neraka, pohon-pohon besar itu 
mengepung sebuah bangunan mirip istana yang 
juga dikelilingi perkebunan madat.
Ada sebuah huru-hara meruyak di sana. 
Penyerbuan atas sebuah kemungkaran. Satria 
Gendeng dan Arya Wadam yang dibantu para 
penduduk Desa Sedayu berusaha membumihan-
guskan markas Setan Madat. Tak ada yang dapat 
mencegah lagi. Berlangsung makin panas dan 
dahsyat (Sebaiknya baca dulu episode: "Setan 
Madat").
Pertarungan hampir sampai pada puncak-
nya.
Satria Gendeng terlibat perseteruan mati-
matian. Bukan main! Tebasan dua puluh golok 
lawan berpakaian serba hitamnya dihindari den-
gan liukan-liukan indah bak gerakan pesut laut.
Hingga pada akhirnya....
"Hieee-heee...!"
Teriakan aneh nan cempreng yang lebih 
cempreng daripada burung camar laut terlontar 
dari mulut si pendekar muda. Saat itu Satria ten-
gah mengerahkan jurus yang dinilai aneh oleh ka-
langan persilatan. Jurus andalan warisan De-
dengkot Sinting Kepala Gundul.
Tak percuma ada tambahan nama Gendeng


di belakang nama aslinya. Satria berjumpalitan ke 
sana kemari. Gerak tubuhnya makin sulit diikuti 
mata. Terkadang kelebatan tubuhnya berhenti 
mendadak, sekaligus menyarangkan satu puku-
lan dahsyat ke tubuh salah seorang pengeroyok-
nya. 
Buk!
Salah seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam terlempar. Melayang, lalu menabrak tiang so-
ko guru istana Setan Madat.
Bruk!
Apes sekali nasibnya. Kepalanya yang ter-
lebih dahulu menghantam. Akibatnya, dia tak 
bangkit-bangkit lagi. Orang-orang berpakaian 
serba hitam lainnya terperangah. Sudah sekian 
jurus menyerang, tapi tak satu pun yang berhasil 
melumpuhkan pemuda itu.
Kelihatannya, Satria tengah bermain-main. 
Namun bagi tokoh persilatan berpandangan jeli, 
justru gerakannya mengandung suatu kekuatan 
tersendiri. Bisa jadi orang-orang berpakaian serba 
hitam yang mengeroyoknya akan menganggap le-
lucon tengik. Sehingga mereka jadi terperangah 
begitu. Tapi begitu melihat salah seorang kawan 
mereka dibuat tak berkutik, baru mereka sadar 
bahwa di balik setiap gerakan kacau si pemuda 
terdapat bahaya maut!
Satria sendiri telah kembali bergerak. Ma-
kin kacau! Ketika mendadak berhenti, tangannya 
mengambil korban lagi. Tiga orang sekaligus yang 
berdiri berdekatan.

Duk! Diegh! Desss!
Tiga kali mengalami nasib naas pula. Tu-
buh mereka berpentalan. Jotosan Satria yang 
mendarat di perut, rusuk, dan dada membuat 
mereka tak bangun-bangun lagi. Sisa lelaki ber-
pakaian hitam lainnya kembali melongo. Kecepa-
tan, ketepatan, dan kedahsyatan serangan lawan 
meruntuhkan nyali mereka.
Sayang rasanya kalau serangan berhenti 
sampai di situ. Begitu menurut perhitungan Sa-
tria. Maka selagi para lawan terpaku, dibuatnya 
satu hentakan keras-keras sambil menjatuhkan 
badan ke permukaan tanah. Begitu mendekati 
beberapa orang lawan, kedua kakinya bergerak 
cepat. Amat cepat, melepas jejakkan dahsyat.
Bukk! Begh!
Empat orang jatuh secara bersamaan. Dua 
orang terhantam bagian selangkangan, dua orang 
di bagian ulu hati. Sulit rasanya bagi mereka un-
tuk bangkit kembali. Dua orang yang mendapat 
jatah pada bagian selangkangan malah lebih 
menderita lagi. Benda kebanggaan mereka kontan 
pecah. Mereka berguling-guling, menikmati pen-
deritaan maha hebat.
Melihat delapan orang kawan mereka bisa 
dijatuhkan dengan mudah, sisa orang berpakaian 
hitam lainnya mulai sadar, siapa lawan yang di-
hadapi. Nyali mereka makin jatuh. Tak ada gairah 
lagi bagi mereka untuk melanjutkan pertarungan, 
kecuali gairah untuk cepat-cepat melarikan diri.
Satria sendiri mulai membaca keadaan. Dia

tahu, nyali para lawan makin rontok. Tapi bukan 
berarti serangannya berhenti. Begitu bangkit, tu-
buhnya tahu-tahu meletik ke atas. Di udara, ke-
dua kakinya menekuk. Begitu mendekati dua 
orang lawan, kedua kakinya menyentak.
Dess! Desss!
Dua orang lagi jatuh terhantam tendangan 
Satria. Malah dari mulut mereka langsung terlon-
tar percikan darah segar. Tendangan si pemuda 
itu tepat mendarat di dada, membuat kedua la-
wan tak bangun lagi.
Tak ada nyali lagi di hati sisa para anak 
buah Setan Madat lainnya. Begitu melihat dua 
orang teman mereka terkapar, kesepuluh orang 
itu segera membuat jurus baru. Jurus langkah 
seribu, alias kabur.
Satria Gendeng tak ingin mengejar. Pan-
dangannya kini melekat pada pertarungan antara 
Arya Wadam dengan Setan Madat. Makin seru 
dan mendebarkan. Masing-masing telah menge-
rahkan jurus-jurus andalan.
Deb! Deb!
Dua buah pukulan dibuat Arya Wadam. 
Keras dan bertenaga dalam tinggi. Satu mengarah 
ke dada, yang lain menyusul ke dagu.
Setan Madat menarik tubuhnya ke samp-
ing, tanpa menggeser kuda-kudanya. Dari situ, 
sikut kirinya melaju dalam kecepatan tinggi. Me-
nusuk langsung ke iga lawan.
Dashh!
"Setan!"

Merasa kecolongan, satu sumpah serapah 
terlontar dari bibir si gadis. Bagian iganya terasa 
nyeri bukan main. Sodokan sikut Setan Madat 
benar-benar membuat mulutnya meringis. Tu-
buhnya tiga tombak terjajar ke samping. 
Satu tatapan tajam menusuk menghujam 
ke bola mata Setan Madat. Asalnya, dari si gadis 
berjiwa sekeras baja. Alamlah yang menempanya 
demikian. Sejak bayi, dia tak mengenal kedua 
orangtuanya. Arya Wadam dulu ditemukan oleh 
seorang tokoh silat wanita di tengah sebuah hu-
tan. Dipelihara dalam tempaan keras di tengah 
kaum lelaki, membuat sifatnya bagai lelaki. Dia 
sama sekali tak sudi direndahkan oleh kaum lela-
ki. Maka mendapat sodokan keras seperti itu.
"Hiaa...!"
Dikawal bentakan keras, sebuah terjangan 
dibuat Arya Wadam. Kaki kirinya lurus ke bawah, 
sedang kaki kanan menekuk hampir menyentuh 
tonjolan di dadanya. Tangan kanan rata di depan 
dada, sedang tangan kiri terangkat ke atas. Se-
buah serbuan yang tak kepalang tanggung, kare-
na membawa sebentuk kemarahan yang siap di-
lampiaskan.
Di tempatnya, Setan Madat menarik kaki 
kirinya ke belakang. Tangan kirinya mengepal di 
sisi pinggang. Sedang tangan kanannya yang 
memegang cangklong panjang berada di atas ke-
pala. Menurutnya, cangklongnya akan digunakan 
untuk menahan terjangan kaki kiri lawan, se-
dangkan tangan kirinya siap menyampok dari

bawah.
Tapi apa yang sudah terencana di benak-
nya tak selalu menjadi kenyataan. Cerdik, Arya 
Wadam sengaja mengumpankan kaki kirinya yang 
tiba-tiba menjulur ke depan.
Wutt...!
Lima jari sebelum cangklong Setan Madat 
menghantam, Arya Wadam cepat menarik kaki ki-
rinya kembali. Dan sebelum sampokan tangan ki-
ri lawan datang, tubuhnya telah dienyahkan ke 
kiri. Lalu kaki kanannya menyambar deras ke wa-
jah.
Diegh!
Sekali saja ujung telapak kaki kanan Arya 
Wadam mampir di rahang tirus lawan tuanya. 
Tapi itu cukup beralasan untuk menciptakan sa-
tu pekik kesakitan yang terlontar dari kerongkon-
gan kurus Setan Madat. Tubuh kurusnya sendiri 
terjengkang ke belakang, lalu mencium tanah.
"Chuah! Jahanam! Ku cabik-cabik tubuh-
mu, Perempuan Sundal!" Sebentuk kemarahan 
terlontar bersama cairan ludah bercampur darah 
dari bibir kendor hitam Setan Madat.
Kemurkaan menggelegakkan darahnya. 
Urat-urat merah bola matanya makin jelas. Lewat 
satu sentakan urat perut, Setan Madat bangkit. 
Sejenak matanya menyapu ke sekeliling.
Sial! Rupanya aku tinggal sendirian! Ke 
mana anak buahku? Rutuk Setan Madat. Dan ke-
geramannya makin memuncak ketika perkebunan 
madatnya sudah terkepung api, nyaris tak terse

lamatkan lagi.
"Chiaa...!"
Sarat kegeraman, Setan Madat menerjang. 
Rasa nyeri di bagian pipi tak dirasakannya lagi. 
Tubuhnya sudah terbang lurus seperti tombak. 
Tangan kanan telah memutar-mutar cangklong.
Wukh! Wukh!
Dua buah tebasan dibuat Setan Madat. 
Liar dan ganas. Sayang, calon korbannya telah 
memperhitungkan gerakannya. Dijatuhkannya 
tubuh ke belakang. Dan dengan bertumpu pada 
kedua tangan, kedua kaki Arya Wadam menyen-
tak ke atas, ketika tubuh Setan Madat lewat di 
atasnya.
Lalu....
Beghh!
Apes.
Itu yang dialami Setan Madat. Ulu hati dan 
dadanya menjadi sasaran kedua kaki lawan. Aki-
batnya, tubuh kurusnya terlempar ke atas. Peki-
kan menyayat terlempar dari mulutnya.
Sementara Arya Wadam telah berdiri di ta-
nah kembali. "Ini saatnya," desisnya.
Selagi tubuh Setan Madat meluncur turun 
tak terkendali, si gadis telah melesat bak anak 
panah. Kaki kanannya terjulur dan kaki kiri me-
nekuk ke dalam. Arahnya, sudah pasti tubuh Se-
tan Madat.
"Hiaah!"
Dashh!
Prakk!

Satu sabetan kaki kanan telah menghan-
tam kepala Setan Madat. Lelaki tua bangka itu 
terpental kembali sebelum tubuhnya menyentuh 
tanah. Kepalanya retak mengucurkan darah se-
gar. Dan ketika jatuh mencium tanah, dia sudah 
melejang-lejang meregang nyawa.
Arya Wadam sendiri telah menjejakkan ka-
kinya di tanah. Tajam diperhatikannya jasad Se-
tan Madat yang tak berkutik lagi, mati. Dan dia 
baru menoleh ketika di belakangnya terdengar 
suara langkah kaki halus.
* * *
"Sudah kuduga! Sudah kuduga! Kau pasti 
akan mampu mengalahkannya!" kata Satria me-
ledak-ledak. Lagaknya seperti seorang guru besar 
terhadap muridnya.
Arya Wadam tersenyum. Manis sekali. "Te-
rima kasih, Satria," ucap Arya Wadam, risih se-
raya bergegas menyapu peluh di wajahnya. Desa-
han napasnya terdengar.
"Sejak tadi aku hanya menonton saja. Ha-
bis aku yakin dalam dua gebrakan lagi kau pasti 
bisa mengalahkan Setan Madat," lanjut Satria 
tanpa diminta.
"Kepandaian Setan Madat setaraf dengan-
ku, Satria. Kurasa kau mampu menjatuhkannya 
dalam segebrakan saja," Arya Wadam balik me-
muji Satria.
Sejujurnya, benar apa kata Arya Wadam.

Satria tahu itu. Cuma karena ingin membesarkan 
hati si gadis, kata-kata itu meluncur begitu saja 
dari mulut Satria. Dan kini si pemuda hanya cen-
gar-cengir saja.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam.
"Kau memang hebat," jawab Satria.
"Bukan. Maksudku, apa yang harus kita 
lakukan lagi?"
"Oh, itu," Satria memandang berkeliling. 
Tampaknya, para penduduk Desa Sedayu yang 
membantunya menyerang tempat ini telah men-
guasai istana milik Setan Madat.
"Nah, itu Ki Rengges dan Ki Rembang!" tun-
juk Satria ketika dua lelaki tua muncul di pintu 
istana.
Kedua lelaki tua yang ditunjuk Satria 
menghampiri. Wajah suka cita diperlihatkan me-
reka.
"Bagaimana, Pak Tua? Apa langkah kita se-
lanjutnya?" aju Satria langsung saja.
Satu tombak di hadapan si pendekar muda 
dan Arya Wadam, kedua lelaki tua itu berhenti.
"Semua sudah kami bereskan, Satria. Selu-
ruh perkebunan madat milik Setan Madat telah 
kami bakar. Para pekerja paksa yang berasal dari 
desa kami telah kami suruh pulang. Sedangkan 
gadis-gadis yang disekap Setan Madat telah kami 
temukan. Dan mereka juga sudah kami suruh 
pulang," lapor Ki Rengges langsung.
"Kami mengucapkan banyak terima kasih 
atas bantuan kau, Satria. Juga, padamu, Cah

Ayu," timpal Ki Rembang.
"Jangan berterima kasih pada kami, Pak 
Tua. Berterima kasihlah pada Tuhan," ujar Satria.
"Kalau begitu, marilah kita rayakan keme-
nangan ini di desa, Satria," ajak Ki Rengges.
"Kemenangan ini tak perlu dirayakan, tapi 
disyukuri. Ungkapan rasa syukur itu sebaiknya 
kau wujudkan dalam bentuk kepemimpinan yang 
arif dan bijaksana. Ciptakanlah kedamaian dan 
ketenteraman desa seperti dulu, sebelum Setan 
Madat menguasai desamu, seperti yang pernah 
diceritakan Ki Rembang padaku." Entah malaikat 
mana yang menyusupi tubuh Satria. Kata-
katanya bak seorang resi dengan wejangan-
wejangan halusnya.
Ki Rengges melirik Ki Rembang. Malu ha-
tinya bila mengingat masa dia menjadi anak buah 
Setan Madat. Dan ternyata sebuah pengalaman 
tak mengenakan menjadi anak buah tokoh sesat 
telah membuka matanya. Sekaligus, membuka 
hatinya yang selama ini tertutup kegelapan.

DUA

BULAN sepotong menggantung di angkasa. 
Malam pekat. Bukit Menjangan terkepung rapat 
oleh kabut. Dengusan angin tak mampu mengu-
sir. Hawa dingin menggigit kulit, membuat bina-
tang-binatang malam tak ingin keluar dari sa-
rangnya.

Tidak dengan dua orang manusia yang ten-
gah duduk berhadapan di pelataran sebuah re-
runtuhan sebuah bangunan mirip candi. Mereka 
seperti tak peduli oleh gelapnya malam. Juga tak 
peduli oleh dinginnya hembusan angin bukit yang 
begitu menusuk. Siapakah mereka?
Yang duduk di atas sebuah batu besar be-
kas reruntuhan candi itu adalah seorang lelaki 
tua. Rambutnya panjang tak terurus. Hidungnya 
bengkok seperti paruh burung betet. Matanya ta-
jam mencorong berwarna hijau. Bajunya panjang 
mirip jubah berwarna kelabu. Tangan kirinya dile-
takkan di atas dengkul keroposnya. Sedang tan-
gan kanan memegang tongkat butut dari kayu 
hutan.
Di depan si lelaki tua adalah seorang lelaki 
bertubuh tinggi besar. Wajahnya dihiasi kumis 
dan brewok. Pakaiannya tak menggambarkan ka-
lau dia tokoh persilatan, tapi sebagai tokoh kera-
jaan. Sebuah pakaian yang hanya dikenakan oleh 
seorang panglima.
"Apa kau sudah yakin dengan keputusan-
mu, Ganang?" buka si lelaki tua, memecah kehe-
ningan yang baru saja berlangsung.
"Sudah, Guru. Takhta kerajaan harus ku-
rebut. Aku sudah terlalu sakit hati dengan Kan-
jeng Gusti. Pihak kerajaan malah kini mengucil-
kan ku. Yang paling menyakitkan, adikku dihu-
kum gantung oleh Kanjeng Gusti," sahut lelaki 
tinggi besar. Dialah Panglima Ganang Laksono.
Setelah bertemu Setan Madat untuk men

gambil tiga peti uang kepeng guna membiayai 
pemberontakannya, Panglima Ganang Laksono 
langsung menuju Bukit Menjangan tempat gu-
runya bermukim. Sang Guru dikenal sebagai Ki 
Ageng Wirakrama. Dalam dunia persilatan, dia 
dikenal sebagai tokoh setengah siluman. Karena 
konon, istrinya pun siluman asli.
Sewaktu markas Setan Madat di Hutan 
Sawangan diserang Satria Gendeng, Arya Wadam, 
dan para penduduk Desa Sedayu, Ganang Lakso-
no telah lama meninggalkan tempat itu.
"He he he.... Bagus, bagus. Aku mendu-
kung rencanamu. Kapan akan kau laksanakan?" 
kekeh Ki Ageng Wirakrama.
"Dalam waktu dekat ini, Guru. Dan kuha-
rap Guru sudi membantu memperlancar jalannya 
rencanaku," pinta Panglima Ganang Laksono, 
tanpa sungkan-sungkan.
"O, tentu. Tentu aku akan membantumu. 
Walau baru beberapa tahun kau jadi muridku, 
aku tak segan-segan untuk membantumu. Tapi, 
kau harus ingat. Aku tak mau tenagaku sia-sia. 
He he he...," kata si tua jelek itu mengingatkan.
"Aku mengerti kebutuhan Guru. Temanku 
Setan Madat banyak menyimpan gadis-gadis de-
sa. Nanti bisa kusuruh dia untuk menyediakan-
nya," kata Ganang Laksono, penuh semangat.
"Slompret! Dua tahun terakhir ini, aku se-
lalu diawasi istriku, Kampret! Sejak aku kepergok 
Nini Berek tengah menggarap seorang gadis, dia 
memberi hukuman padaku. Aku tidak boleh tidur

lagi dengannya!" semprot Ki Ageng Wirakrama.
Tercekat Danang Laksono mendengarnya. 
Gila! Nafsu nenek tua bangka istri guruku ini ma-
sih besar saja! Begitu kata hati lelaki tinggi besar 
ini. Lelaki ini juga pernah bertemu dengan istri Ki 
Ageng Wirakrama yang dipanggil Nini Berek. Bu-
kan saja perempuan itu sudah keropos dengan 
tubuh melengkung, tapi juga berwajah mengeri-
kan.
Wajahnya saja penuh borok berlendir ber-
bau busuk. Rambutnya tipis berwarna putih, nya-
ris tak pernah dicuci. Bisa jadi malah sengaja un-
tuk perternakan kutu. Matanya celong ke dalam, 
namun memancarkan sinar kemerahan. Mulut-
nya bergigi hitam, tak pernah membuang temba-
kau sirihnya.
Dan Ki Ageng Wirakrama masih mau ber-
main cinta dengannya?
Orang paling bodoh pun rasanya akan lari 
terbirit-birit bila harus bercinta dengan Nini Be-
rek.
"Kau tentu mau bilang aku gila mau ber-
cinta dengan Istriku, bukan?" sergap Ki Ageng Wi-
rakrama.
Ganang Laksono tercekat. Serba salah. 
Mau bilang iya, takut sang Guru marah. Mau bi-
lang tidak, memang begitu kenyataannya.
"Mmm, maksudku bukan begitu, Guru," 
gagap Danang Laksono.
"Alaahh...! Aku sudah tahu apa yang kau 
pikirkan!" tepis lelaki tua bangka itu. "Asal kau

tahu saja, Ganang. Istriku bisa merubah wujud-
nya menjadi seorang gadis cantik untuk menam-
bah gairahku. He he he...."
Kini Ganang Laksono baru mengerti. Dan 
dia makin merasa bodoh ketika menyadari bahwa 
istri gurunya adalah sebangsa siluman. Bukan-
kah bangsa siluman bisa merubah wujudnya 
menjadi apa saja? Bahkan mungkin bisa merubah 
wujud menjadi sejumput upil sekalipun.
"Sekarang, imbalan apa yang harus kube-
rikan kepada Guru?" aju Ganang Laksono lebih 
lanjut.
"Gampang.... Di dunia ini ada sebuah sen-
jata pusaka. Namanya, Kail Naga Samudera. Cari, 
dan rebut senjata itu," sabda Ki Ageng Wirakra-
ma.
"Kail Naga Samudera? Siapa pemiliknya? 
Dan bagaimana bentuknya?" sebut Ganang Lak-
sono, bertanya-tanya.
"Aku juga belum pernah melihat bentuk-
nya. Tapi kabarnya, senjata pusaka itu seperti se-
batang tongkat kecil. Pangkalnya dari logam den-
gan ujung berbentuk kepala naga. Sedang ujung-
nya berbentuk ekor naga. Soal pemiliknya, kalau 
tak salah bernama Ki Kusumo. Tapi menurut ka-
bar pula senjata itu telah diwariskan kepada mu-
ridnya." 
"Siapa?"
"Satria Gendeng."
* * *

"Kau tak mengenakan tudungmu lagi, 
Arya?" tanya Satria, iseng-iseng sewaktu mereka 
singgah di sebuah kedai untuk menuju Kerajaan 
Demak.
Saat ini, siang terik memanggang. Sejak 
tadi pagi, Satria Gendeng dan Arya Wadam telah 
meninggalkan Desa Sedayu. Mereka harus segera 
menuju Kerajaan Demak untuk melaporkan ten-
tang pemberontakan yang akan dilakukan seo-
rang panglima.
"Tudungku kutinggal di sebuah pengina-
pan di Desa Karangkemboja. Dan lagi, rasanya 
tak perlu aku menggunakannya lagi, agar kau 
puas memandang wajahku. Tidak ngintip-ngintip 
lagi," goda Arya Wadam, mulai berani kepada si 
pemuda.
Agar aku puas katanya? Lonjak si pemuda 
tengil ini. Mana pernah aku merasa puas? Malah 
kalau boleh, pipinya sekalian kuci..., ah! Kenapa 
pikiranku jadi ngaco begini. Nanti kalau Tresna-
wati tahu, bagaimana? Tidak! Aku tidak boleh 
mengkhianatinya! Satria terus bermain dengan 
kata-kata hatinya sendiri.
"Apa yang kau lamunkan, Satria? Gadis-
mu, ya?" terjang Arya Wadam menyudutkan si 
pemuda.
Lamunan pemuda bertabiat sinting ini te-
rampas oleh kata-kata Arya Wadam. Wajahnya 
mendadak sontak memerah. Lalu berubah hijau. 
Lalu kelabu. Tak menentu. Sikapnya jadi serba 
salah.

"Ah, tidak," sanggahnya. Padahal kalau 
Arya Wadam tahu bahwa dalam benaknya tengah 
tergambar wajah Tresnawati, bisa jadi wanita ini 
kontan meninggalkannya. (Untuk mengetahui 
tentang Tresnawati yang menjadi kekasih Satria 
Gendeng baca episode perdana sampai Kiamat Di 
Goa Sewu). "Justru aku sedang menikmati can-
tiknya wajahmu," Satria berdusta.
Wajah Arya Wadam makin tersipu. Kata-
kata si pemuda justru makin mengobarkan api 
asmara dalam dadanya. Benarkah pemuda ini? 
Jujurkah kata-katanya? Pertanyaan dalam dada 
Arya Wadam menyeretnya ke dalam sebuah kera-
gu-raguan. Untuk menyebut perasaannya itu se-
bagai benih cinta, apakah terlalu tergesa-gesa? 
Arya Wadam sendiri belum cukup yakin. Namun 
begitu, sulit dipungkiri kalau dalam hatinya ada 
perasaan yang sulit diceritakan.
Si gadis berusaha menghalau perasaannya 
itu, tapi tetap saja tak mampu. Malah tanpa sa-
dar, matanya menghujam lurus pada bola mata 
pemuda perkasa di depannya.
Untungnya, Arya Wadam cepat menyadari 
ketika pelayan kedai datang membawa pesanan 
makanan mereka.
"Pesanannya, Den," kata si pelayan lelaki. 
Usianya paling setengah baya.
"Terima kasih," ucap Satria, ikut memban-
tu meletakkan hidangan yang dipesan.
Si pelayan pergi, setelah tugasnya selesai.
Mata Satria masih terpaku di wajah Arya

Wadam.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Sa-
tria?" tegur Arya Wadam, jengah juga dipandangi 
seperti itu. Dan memang, sejak bertemu pemuda 
tengik ini sifat si gadis yang semula kelaki-lakian 
mulai berubah sedikit demi sedikit. Apakah kare-
na dia mencintai Satria? Bukankah terlalu pagi 
kalau menyebut bahwa yang ada di dalam hatinya 
adalah cinta?
"Aku sendiri heran, kenapa aku terus me-
mandangimu, ya? Tapi rasanya mubazir kalau 
wajahmu dilewatkan begitu saja," sahut Satria, 
terus terang.
"Sudahlah, makan dulu hidangan kita. 
Nanti keburu dingin."
Arya Wadam tak peduli lagi seandainya Sa-
tria mau melahap wajahnya sekalipun. Segera di-
lahapnya nasi campur arak pesanannya. Dan ke-
tika matanya melirik, Satria telah asyik dengan 
santapannya. Ikan mujair bakar dengan lalap pe-
tai.
"Kau sudah punya kekasih, Satria?" panc-
ing Arya Wadam. Sikapnya pura-pura tak peduli. 
Terus dilahapnya santapannya.
"Sudah," jawab Satria, pendek.
Arya Wadam nyaris tersedak. Pemuda ini 
sudah punya kekasih? Sentaknya dalam hati. 
Lantas, apa maksudnya dia mencari-cariku sam-
pai ke Desa Sedayu segala? Seketika Arya Wadam 
menghentikan suapannya.
"Ja..., jadi kau...," gagap Arya Wadam tan

pa berkelanjutan.
Satria masih tetap tak peduli. Asyik sekali 
dia dengan santapannya. Kadang jarinya sibuk 
menarik duri mujair dari mulutnya. Sedangkan 
bibirnya monyong-monyong, terasa pedas ketika 
melahap lalap petai.
Tiba-tiba Arya Wadam berdiri. Telunjuk 
lentiknya menuding ke wajah si pemuda. "Ternya-
ta aku sedang berhadapan dengan pemuda tengik 
hidung belang yang pintar memasang jerat!" de-
sisnya. Matanya mendelik, nyaris melompat dari 
rongganya. Terarah ke manik-manik mata Satria.
Tudingan Arya Wadam membuat si anak 
muda tersentak. Dan ini makin membuat makan-
nya jadi kalap. Suapannya makin seru, menjejali 
nasi ke dalam mulut. Sementara, matanya mena-
tap lekat tak mengerti ke bola-bola mata indah 
Arya Wadam.
Arya Wadam tak kuat lagi mengendalikan 
perasaannya. Sekali menyentak kakinya, tubuh-
nya sudah menghambur keluar kedai. Tinggal Sa-
tria yang terbengong-bengong.
"Apa yang salah dengan jawabanku?" ta-
nyanya seraya menaruh beberapa kepeng ke atas 
meja untuk membayar makanan.
Cepat, Satria Gendeng menyusul keluar. 
Tapi Arya Wadam sudah tak terlihat lagi. Tinggal 
tangan si pemuda menggaruk-garuk kepala yang 
tak gatal. 
* * *

"Satria Gendeng? Rasanya aku pernah 
mendengar nama itu?" tanya Ganang Laksono un-
tuk dirinya sendiri. "Tapi di mana aku pernah 
mengenalnya?"
Di atas kudanya, Panglima Ganang Lakso-
no tercenung. Dia berusaha mengingat-ingat 
orang yang bernama Satria Gendeng. Dan ketika 
ingatannya tertuju pada Bagaspati, barulah kepa-
lanya mengangguk-angguk.
"Ya, aku baru ingat. Beberapa tahun lalu 
sebelum Bagaspati diangkat menjadi Patih seka-
rang ini, orang yang bernama Satria Gendeng 
pernah mendapat penghargaan dari Kanjeng Su-
suhan, karena telah berjasa menumpas gerombo-
lan Laskar Lawa Merah pimpinan Dirgasura. 
Hmm.... Pantas, guruku berminat sekali pada Kail 
Naga Samudera...." (Untuk mengetahui tentang 
Bagaspati dan Dirgasura, baca episode: "Tabib 
Sakti Pulau Dedemit", "Geger Pesisir Tanah Jawa", 
dan "Kail Naga Samudera").
Perlahan namun pasti, Panglima Ganang 
Laksono mengarahkan lari kudanya menuju Ka-
dipaten Kutowinangun. Dia akan menemui kakak 
iparnya yang menjadi adipati di sana. Pembica-
raan mengenai pemberontakan untuk sementara 
ini harus secara rahasia. Untuk itu, dia merasa 
belum perlu membawa orang-orang; terdekatnya.
Setelah berpamitan pada gurunya tadi pa-
gi, Panglima Ganang Laksono tak ingin berlama-
lama lagi. Yang jelas, dia merasa sudah mendapat 
kepastian kalau gurunya akan bersedia membantunya. Hanya saja, setelah takhta Kerajaan De-
mak nanti bisa direbutnya, dia harus bersusah 
payah mencari pemuda bernama Satria Gendeng 
untuk merebut Kail Naga Samudera.
Siang terik memanggang bumi.
Keringat di tubuh lelaki tinggi besar ini te-
lah membasahi tubuh. Diperkirakan, sore nanti 
dia baru tiba di Kadipaten Kutowinangun. Sung-
guh suatu perjalanan yang amat melelahkan.
Memasuki sebuah mulut hutan, mendadak 
Panglima Ganang Laksono menghentikan lari ku-
danya. Mata tajamnya menyapu ke sekeliling. Se-
kelebatan tadi, matanya menangkap sebuah 
bayangan melesat, dan menghilang di balik se-
buah pohon besar tepat di mulut hutan.
Dan sebelum dia menarik gagang pedang-
nya....
Wusss...!
Tak percuma Panglima Ganang Laksono 
berguru pada Ki Ageng Wirakrama. Sebuah angin 
halus didengarnya. Lewat satu hentakan kaki le-
laki tinggi besar itu melempar tubuhnya ke atas.
Tak!
"Hieeekhh...!"
Kuda tunggangan Panglima Ganang Lakso-
no kontan tersungkur. Angin halus yang berupa 
totokan jarak jauh menghantam lehernya. Pe-
nunggangnya sendiri telah sampai di bumi den-
gan mata nyalang. 
"Jangan cari perkara denganku! Keluar!"
Keadaan sunyi. Hanya belaian angin siang

yang mendesah resah menerpa sang Panglima. 
Dan kegeraman pun memuncak, hendak mele-
dakkan dada lelaki tinggi besar ini. Karena orang 
yang barusan melepaskan serangan gelap tetap 
tak mau menunjukkan batang hidungnya.
Sejenak Panglima Ganang Laksono mena-
tap kuda tunggangannya yang juga mengangkut 
tiga peti uang kepeng. Melihat kudanya yang ter-
puruk kaku akibat tertotok, bisa dipastikan kalau 
orang yang menotok tadi memiliki kepandaian 
tinggi. Selain bisa menotok dari jarak jauh, desir 
angin totokannya pun nyaris tak terdengar.
"Jahanam! Tunjukkan muka jelekmu! Jan-
gan jadi orang pengecut!" 
Bergema. Suara teriakan Panglima Ganang 
Laksono barusan juga disertai tenaga dalam lu-
mayan. Bisa jadi bila tokoh rendahan akan lang-
sung berteriak kesakitan. Tapi rupanya yang dite-
riaki bukan tokoh kemarin sore. Karena....
"Hiaha ha ha...!"
Sebuah tawa dahsyat bertenaga dalam le-
bih tinggi justru membuat Panglima Ganang Lak-
sono jatuh duduk. Dadanya langsung berguncang 
keras. Biji matanya mendelik tak percaya.
Salah besar kalau Panglima Ganang Lak-
sono menduga bahwa si pemilik tawa tadi adalah 
seorang yang bertubuh besar. Dan salah besar la-
gi kalau asal suara tawa tadi dari balik sebuah 
pohon besar yang semula diduganya. 
"Jangan banyak bertingkah kalau cuma 
punya kepandaian seujung kuku...," sebuah sua

ra dari belakang Panglima Ganang Laksono ter-
dengar.
Sang Panglima tercekat. Sungguh tak di-
duga kalau suara itu berasal dari belakangnya. 
Sebab dia merasa pasti kalau suara itu tadi be-
rasal dari arah depan. Perlahan, kepalanya meno-
leh ke belakang
Terhenyak kembali sang Panglima. Ternya-
ta orang yang ada di belakangnya tingginya tak 
lebih dari pahanya. Seorang lelaki yang usianya 
sulit diukur. Wajahnya penuh keriput dengan 
kumis dan jenggot berwarna putih menjuntai ke 
bawah. Matanya sipit segaris. Kalau tertawa, nya-
ris tak melihat. Rambutnya putih digelung ke 
atas. Pakaiannya panjang mirip jubah berwarna 
abu-abu. 
"Si..., siapa kau, Orang Tua?!" tanya Pan-
glima Ganang Laksono, tergagap. Keberaniannya 
terdepak entah ke mana. Dia cepat bangkit dan 
berbalik.
"Aku? Kau tanya siapa aku? Pantas..., pan-
tas. Ternyata orang di hadapanku ini terlalu ba-
nyak meringkuk di ketiak istrinya. Tak pernah 
terjun dalam kancah persilatan. Pantas kalau dia 
tak mengenaliku," oceh si tua kecil ini.
Merah wajah Panglima Ganang Laksono 
Dadanya bergemuruh. Kalau tak ingat bahwa di-
rinya barusan dijatuhkan, sudah diterjangnya si 
tua sialan ini.
"Mestinya kau harus tahu, siapa yang kau 
hadapi sekarang ini, Orang Tua?" desis Panglima

Ganang Laksono. Maksudnya mau menggertak.
Tapi suaranya malah bergetar, menggam-
barkan ketakutannya. 
"Mau Setan Belang, kek. Aku tak peduli, 
siapa dirimu. Yang penting aku mau meminta tiga 
peti uang kepeng di atas kudamu!" sembur si ka-
kek kecil.
"Berarti kau berurusan dengan Panglima 
Ganang Laksono dari Kerajaan Demak!"
"Sudah kubilang, aku tak peduli! Mau be-
rurusan dengan Kerajaan Setan pun, tiga peti ke-
pengan itu harus jadi milikku!"
Panglima Ganang Laksono berusaha men-
gumpulkan keberaniannya yang tercecer. Di-
enyahkannya dugaan kalau lelaki tua sialan ini 
memiliki kepandaian tinggi. Boleh jadi si tua 
bangka itu hanya pandai dalam ilmu totok. Jadi, 
belum tentu pandai dalam olah kanuragan.
Di sisi lain, Panglima Ganang Laksono juga 
tak ingin tiga peti uang kepengnya lenyap begitu 
saja. Bila itu sampai terjadi, bagaimana dia mem-
biayai pemberontakan? 
Tapi tenaga dalam lelaki tua ini amat ting-
gi! Begitu teriak hati Panglima Ganang Laksono. 
Ah, itu mungkin karena aku terlalu kaget saja, 
tukasnya sendiri.
"Kalau begitu, langkahi mayatku dulu!" ge-
ram Panglima Ganang Laksono, mendelik.
"He he he.,.. Nyalimu mulai tumbuh lagi, 
ya? Kau mau bertingkah di hadapan Bocah Tua 
Sakti? Boleh..., boleh. Sini! Kau kujadikan mayat

dulu, biar bisa kulangkahi!"
"Keparat! Chiaaa...!" 
Satu terjangan dahsyat dibuat Panglima 
Ganang Laksono. Menyadari calon lawan di hada-
pannya tidak bisa dianggap main-main, pedang-
nya segera dicabut.
Wutt!
Sambil menerjang, Panglima Ganang Lak-
sono mengebutkan pedangnya. Ganas dan mema-
tikan. Deru anginnya mengisyaratkan kematian. 
Sementara calon korbannya tak bergemik sedikit 
pun. Sikapnya tetap tenang, seolah suka rela me-
nyediakan tubuh kecilnya dirancah pedang berki-
latan.
Tapi lima jari lagi pedang itu menebas dari 
samping....
"Weee, tidak kena!" ejek si kakek bernama 
Bocah Tua Sakti.
Dengan kecepatannya, Bocah Tua Sakti 
melenting tinggi ke atas. Di udara, kedua kakinya 
mampir di kepala Panglima Ganang Laksono.
Duk! Duk!
Pelan saja kaki Bocah Tua Sakti hinggap 
kurang ajar di kepala, tapi sungguh membuat 
Panglima Ganang Laksono merasa amat terhina. 
Begitu berbalik, segera dipersiapkannya jurus-
jurus pemberian Ki Ageng Wirakrama.
Tepat ketika Panglima Ganang Laksono 
memasukkan pedangnya, kuda-kuda kokohnya 
telah terpasang. Kini kedua tangannya bersilang 
di atas kepala. Sementara, lawan malah meman

dang dengan kening berkerut. Seolah ada sesuatu 
yang membekas dalam ingatannya.
Dan sebelum Panglima Ganang Laksono 
menerjang....
"Tunggu..., tunggu...," kata si kakek kecil 
se-enaknya. "Kau hendak membuka Jurus 
'Menangkap Setan Gila' ya? Ayo, ngaku.... 
Hmm.... Apa hubunganmu dengan Ki Ageng Wi-
rakrama?"
"Dia guruku."
"Edan! Kenapa tidak bilang dari tadi?!"

TIGA

KE MANAKAH Arya Wadam? Jangan tanya, 
bagaimana terpukulnya gadis itu. Setelah menya-
dari kalau cintanya hanya bertepuk sebelah tan-
gan, Arya Wadam berlari tak jelas arah. Apa yang 
selama ini diimpi-impikan kan-das sudah. Saat 
itu juga dia ingin mendepak bayangan Satria dari 
ingatannya. Tapi semakin dia berusaha, bayangan 
bocah tengik itu tetap saja sulit dihapus
Setegar-tegarnya Arya Wadam, ternyata di-
hadapkan urusan cinta tak mampu juga si gadis 
membendung perasaannya. Tak urung air ma-
tanya bobol juga ketika tiba di pinggiran Sungai 
Bogowonto.
Oh, Gusti Agung.... Kenapa dunia terlalu 
kejam buatku? Jeritnya, merana. Arya Wadam 
sebenarnya memang tergolong gadis tegar. Sejak

bayi dia sudah kehilangan kasih sayang kedua 
orangtuanya. Sejak ditemukan di tengah sebuah 
hutan, dia dididik oleh seorang tokoh silat wanita 
yang awet muda. Selama dididik, yang didapat 
hanyalah gemblengan yang begitu keras di tengah 
kaum lelaki. Tak heran kalau kemudian penampi-
lannya mirip lelaki, sebelum bertemu Satria Gen-
deng.
Memang, gurunya cukup sayang padanya. 
Tapi apakah itu cukup? Dan selagi ada pemuda 
tampan yang menaruh perhatian padanya, selagi 
ada pemuda sakti yang telah mencuri sekeping 
hatinya, haruskah dia mengingkari perasaannya? 
Wajarkah kalau dia mengharap kasih sayang dari 
si pemuda?
Harapan tinggal harapan. Yang ada kini 
kenyataan, bahwa cintanya bertepuk sebelah tan-
gan. Apakah Arya Wadam terlalu besar perasaan? 
Haruskah dia menyalahkan Satria yang telah 
mengoyak perasaannya?
"Tak seharusnya kau hanyut dalam angan 
kosong, Arya!"
Dalam duduknya yang bersandar di bawah 
pohon, Arya Wadam tersentak. Sebuah suara 
yang amat dikenalnya telah memberangus lamu-
nannya. Cepat, kepalanya menoleh ke kiri.
"Guru...!" sebutnya, lirih.
Arya Wadam beringsut. Ditubruknya kaki 
seorang wanita cantik berpakaian putih yang ta-
hu-tahu telah berdiri di samping kiri sejauh satu 
tombak. Kapan wanita cantik itu datang, Arya

Wadam tak tahu. Atau karena perasaannya se-
dang terkepung oleh kegalauan sehingga panca 
indranya tertutup?
Di ujung kaki wanita yang dipanggil guru, 
Arya Wadam menumpahkan segala perasaannya. 
Tangisnya pun meledak.
"Tak pantas seorang pendekar menangis 
meraung-raung begitu! Bangun!" bentak si wanita 
cantik.
"Ampun, Guru.... Tapi salahkah aku kalau 
mengikuti kodratku? Tapi, ah! Percuma. Guru tak 
tahu persoalannya!" 
"Persoalanmu hanya persoalan cinta. Dan 
cintamu bertepuk sebelah tangan pada seorang 
pemuda bertabiat sinting bernama Satria Gen-
deng!"
Arya Wadam melengak. Tangisnya kontan 
berhenti. Guru tahu persoalanku? Katanya, ber-
tanya sendiri dalam hati. Tak percaya, Arya Wa-
dam mendongak. Kedua matanya menghujam ke 
arah manik-manik mata bersinar lembut milik 
gurunya. Sinar mata si gadis menyiratkan keti-
dakpercayaan.
"Aku mengikutimu sejak kau berada di ke-
dai bersama pemuda tengik itu, Arya. Aku tahu, 
apa yang kalian bicarakan di kedai!" jelas sang 
Guru, menjawab keheranan muridnya. "Ja..., ja-
di...."
"Ya! Aku tahu semuanya! Dan kau tak per-
lu jadi cengeng seperti itu. Bukankah pemuda itu 
telah berkata jujur? Kau harus hargai kejujuran

nya!" sambar sang Guru.
"Guru membela Satria Gendeng?" tukas 
Arya Wadam, kecewa.
"Masalahnya bukan aku membela atau ti-
dak. Yang jadi persoalan adalah, kau belum bisa 
mengendalikan perasaanmu sendiri. Dengarlah!" 
Wanita cantik itu meraih bahu Arya Wadam un-
tuk berdiri. "Sekarang aku mau tanya. Apakah 
pemuda itu telah menyatakan cintanya padamu?"
Arya Wadam menggeleng. Lemah sekali.
"Nah, kenapa kau merasa begitu terpukul? 
Aku mengerti, kau adalah seorang gadis yang 
haus kasih sayang. Kedua orangtuamu telah 
membuangmu tanpa kasih sayang. Wajar kalau 
kau saat ini membutuhkan kasih sayang, selain 
dariku. Tapi tidak seharusnya kau menjadi cen-
geng begitu. Ada hal lain yang lebih penting dari 
sekadar menangisi impian kosong. Jelas, pemuda 
itu tidak mencintaimu. Maka, lupakanlah dia. 
Buktikan bahwa kau adalah seorang pendekar 
berkepribadian tegar tanpa harus cengeng dengan 
persoalan cinta," papar wanita cantik itu.
Diam-diam Arya Wadam menelaah setiap 
kata yang diucapkan gurunya. Si gadis tahu, be-
tapa tegarnya kepribadian wanita yang awet muda 
itu. Dulu, gurunya pun mempunyai suami yang 
mati terbunuh di sebuah tempat yang bernama 
Kuil Neraka, sebelum ditempati Tujuh Dewa Ke-
matian. Sejak saat itu, sang Guru telah kehilan-
gan kasih sayang. Dia tetap menyendiri tanpa pe-
duli pada urusan cinta (Baca episode : "Tumbal

Tujuh Dewa Kematian").
Nini Prameswari namanya. Begitu si wanita 
cantik guru Arya Wadam biasa dipanggil. Berkat 
kesaktiannya, dia masih tetap awet muda. Malah 
bagi orang yang tak tahu, antara Nini Prameswari 
dengan Arya Wadam bagaikan adik kakak saja. 
Paling tidak umur mereka selisih satu dua tahun. 
Tapi sebenarnya, usia Nini Prameswari sudah 
hampir mencapai seratus tahun.
"Tapi kalau Satria Gendeng tak mencintai-
ku, kenapa dia mencari-cari aku? Bahkan memin-
ta bantuan gurunya yang bernama Dongdongka 
untuk mencariku?" tuntut Arya Wadam. Sekadar 
untuk memuaskan hatinya.
"Ini! Ini yang namanya besar perasaan. Ka-
lau orang lain mencari dirimu, apalagi yang men-
cari adalah seorang pemuda, belum tentu karena 
dilandasi cinta. Bisa jadi hanya karena suka saja. 
Dan antara cinta dan suka hanya dibatasi benang 
yang amat tipis. Jadi, kau harus hati-hati men-
gendalikan perasaanmu," urai Nini Prameswara, 
panjang lebar.
Terbukalah kini kesuraman di hati Arya 
Wadam. Tak ada lagi air mata di pipi. Sejak tadi 
dia memang telah berusaha menghapusnya. Se-
bening pualam, kini pikirannya terasa bersih. Bi-
birnya mulai menampakkan senyum. Manis seka-
li.
"Tataplah hari depan yang lebih cerah, Mu-
ridku," lanjut Nini Prameswari. "Sekarang, ada 
suatu hal yang mesti kubicarakan padamu."

"Apa itu, Guru?"
"Aku telah tahu, siapa kedua orangtuamu 
yang telah tega membuang dirimu ke hutan."
"Apa?"
* * *
"Waahhh, urusannya kenapa jadi begini?" 
keluh Satria, ketika tiba di ujung jalan sebuah 
pinggiran desa. Di depannya, menghadang sawah 
ladang menghampar. "Rasanya tak mungkin Arya 
Wadam bersembunyi di sawah atau ladang itu. 
Dia bukan sejenis tikus sawah."
Kepala si anak muda celingukan, mirip 
maling jemuran. Berusaha dicarinya gadis itu 
dengan mata tajamnya. Tetap tak ada hasil.
"Ke mana tujuanku sekarang? Ke Kerajaan 
Demak atau terus mencari Arya Wadam? Kalau 
aku terus mencari Arya Wadam, bisa memakan 
waktu lama. Sementara, keadaan Kerajaan De-
mak bakal terancam. Ah, perempuan.... perem-
puan. Rupanya perhatianku selama ini disalah 
artikan oleh Arya Wadam. Kan aku cuma ingin 
ketemu dia. Kan aku cuma penasaran kenapa 
waktu itu dia meninggalkan aku begitu saja sete-
lah menyelesaikan urusan di Kuil Neraka? Kan 
aku cuma ingin jadi sahabatnya? Kan aku cuma 
mengagumi kecantikannya? Kan aku..., slompret! 
Kenapa aku juga begitu mengkhawatirkan kese-
lamatannya?"
Satria terbelenggu keragu-raguan. Kekha

watiran memang menimbulkan keragu-raguan. 
Dan keragu-raguan adalah cikal bakal kekalahan. 
Tiba-tiba saja, kata-kata bijak menyentil kesada-
ran Si pemuda. Entah, malaikat mana yang mem-
bisiki kupingnya.
"Ah, kupikir Arya Wadam bisa mengerti 
aku. Dia telah cukup dewasa untuk mengerti arti 
sebuah kejujuran. Bukankah aku sudah berkata 
jujur? Jadi, aku tak perlu mengkhawatirkannya 
lagi. Dan sebaiknya, aku segera menuju Kerajaan 
Demak!" tegas si anak muda.
Di ujung kalimatnya, Satria menghentak-
kan kakinya, Kini tubuhnya melesat bagaikan di-
kejar setan, karena mengerahkan ilmu lari cepat-
nya. Yang hanya bayangan putih saja saat tu-
buhnya meluncur bak anak panah lepas dari bu-
sur.
Tiba di jalan yang membelah dua buah bu-
kit, lesatan si pemuda perkasa terhenti. Ada se-
suatu yang mengganggu pendengarannya. Kejap 
kemudian....
"Heaaa...!"
Trangg...!
Satria tercekat. Sebuah suara pertarungan 
rupanya yang tadi mengusik kupingnya, sehingga 
langkahnya terhenti. Kini celingukannya makin 
seru saja.
* * *
Sebuah pertarungan seru tergelar di balik

Bukit Srondol. Sepasukan orang berpakaian pra-
jurit bertarung habis-habisan menghadapi seo-
rang lelaki tua kurus berjubah panjang warna ke-
labu. Hanya seorang lelaki tua, tapi telah mampu 
merobohkan beberapa prajurit dengan dada bo-
long seperti bekas tusukan benda tumpul.
Wukh! Wukh!
Si kakek berambut tak terurus itu memu-
tar-mutar tongkat bututnya. Perlahan saja keliha-
tannya. Tapi angin sambarannya mampu meng-
goyahkan kuda-kuda para prajurit yang menge-
pungnya. Mata mencorongnya yang berwarna hi-
jau menatap satu persatu para pengepungnya. 
Dari sikapnya jelas, kalau dia tak puas dengan 
hanya memakan beberapa korban saja.
Tak jauh dari tempat pertarungan, berdiri 
seorang lelaki gagah. Wajahnya bersih. Tak begitu 
tampan, tapi memancarkan ketegasan dan wiba-
wa. Sinar matanya tajam, seolah tak ada satu hal 
kecil pun yang luput dari perhatiannya. Dari pa-
kaiannya bisa ditebak kalau lelaki setengah baya 
itu berpangkat Mahapatih. Pendeknya, atasannya 
para patih.
Siapakah lelaki itu?
Dari umbul-umbul lambang kerajaan yang 
dibawa beberapa prajurit yang tak ikut bertarung, 
bisa dipastikan kalau lelaki gagah itu berasal dari 
Kerajaan Demak. Dan kalau melihat raut wajah-
nya, jelas kalau dia adalah Bagaspati yang kini te-
lah berpangkat Mahapatih.
Tak jauh dari Bagaspati, lima orang praju

rit berjaga-jaga mengelilingi sebuah kereta kenca-
na indah. Di dalamnya, menunggu waswas tiga 
manusia yang harus benar-benar dilindungi. Me-
reka adalah Gusti Prabu Sutawijaya, Permaisuri 
Prabaningrat, dan anak gadis mereka yang ber-
nama Dewi Sekardadu.
Cras! Cras!
Dua prajurit Demak tersungkur. Sambaran 
tongkat lelaki tua tadi menelan korban kembali. 
Perut dua prajurit itu terkoyak, membuat isinya 
terburai. Darah pun kembali membasahi bumi.
"Hmm, sepertinya Panglima Darmakusuma 
dan anak buahnya tak mampu menanggulangi 
keganasan si tua itu. Kalau begitu, aku harus tu-
run tangan," gumam Mahapatih Bagaspati.
Mahapatih Bagaspati menghela napas se-
sak.
Dalam.
Sarat kemarahan.
"Mundur!" teriaknya, lantang.
Para prajurit Demak yang hendak membu-
ka pertarungan lagi cepat bergerak mundur. Pe-
rintah adalah perintah. Walaupun mereka masih 
bernafsu menyerang. Bernafsu melihat teman-
teman mereka telah terbujur kaku bersimbah da-
rah. Tapi perintah atasan harus dijunjungi tinggi. 
Apalagi terhadap seorang yang patut dihormati 
sekaligus dijunjung seperti Mahapatih Bagaspati.
Demikian pula Panglima Darmakusuma. 
Sebenarnya, dia malu untuk mundur dari arena 
pertarungan. Sekian jurus menggebrak, tapi tak

satu pun yang bisa membuat lawan tuanya jera. 
Bahkan tadi, nyaris kepalanya kena gebuk tong-
kat butut lelaki tua yang tak lain Ki Ageng Wira-
krama.
Langkah mantap Bagaspati merampas ke-
heningan yang tercipta sejenak. Tegar dan penuh 
percaya diri, didekatinya Ki Ageng Wirakrama. Ti-
ga tombak di depan si tua bangka itu, mahapatih
perkasa ini berhenti.
"Kau muncul langsung menyerang kami. 
Sebenarnya, apa maumu, Pak Tua," tegur Maha-
patih Bagaspati. Tegas penuh wibawa.
"Mauku? Kau bilang mauku? Banyak! Ke-
mauanku banyak. Termasuk melenyapkanmu da-
ri muka jagat ini!" jawab Ki Ageng Wirakrama.
Dingin dan datar.
"Rasanya, pihak Kerajaan Demak tak 
mempunyai persoalan denganmu. Kenapa kau 
begitu bernafsu untuk melampiaskan kemaua-
nmu?"
"Itu urusanku! Dan aku tak perlu men-
gungkapkannya padamu. Tapi yang pasti aku 
menginginkan Putri Dewi Sekardadu," jawab Ki 
Ageng Wirakrama, lantang.
Alis tebal Mahapatih Bagaspati bertaut. 
Apa-apa ini? Tanyanya, makin bingung. Makhluk 
tua ini benar-benar tak jelas, apa maunya. Da-
tang langsung menyerang, kini yang dimauinya 
malah Putri Dewi Sekardadu. Semula, dikira lela-
ki tua itu hanyalah seorang perampok yang sen-
gaja membegal orang-orang kerajaan ataupun

saudagar. Tak tahunya, malah Dewi Sekardadu 
yang jadi incaran.
"Terlalu sulit permintaanmu untuk dilu-
luskan. Putri Dewi Sekardadu adalah junjungan 
kami. Dan aku wajib melindunginya!" terabas 
Mahapatih Bagaspati, tegas dan tandas.
"Boleh..., boleh. Tak ada yang melarang ka-
lau kau merasa wajib melindungi junjunganmu. 
Tapi sayang, keputusanku tak bisa diubah barang 
seujung upil sekalipun. Jadi bersiap-siaplah un-
tuk mampus bila kau berniat menghalang-
halangi!"
"Hatimu telah berkarat, Pak Tua. Jiwamu 
terlalu kusam. Tidakkah kau menyadari bahwa 
umurmu tinggal sisa-sisa belaka?"
"Bedebah! Kau belum kenal aku rupanya! 
Ageng Wirakrama alias Iblis Samber Nyawa tak 
bakalan mundur berhadapan denganmu!"
Mengelam wajah Ki Ageng Wirakrama. Ke-
marahannya siap membuncah. Mata hijaunya 
mendelik. Dada keroposnya turun naik. Amat ce-
pat.
Wukh! Wukh!
Ki Ageng Wirakrama memutar tongkatnya 
di depan dada. Jangan ditanya, bagaimana suara 
angin yang ditimbulkan. Seolah, dia ingin meron-
tokkan nyali calon lawannya.
Mahapatih Bagaspati sendiri telah menca-
but keluar kerisnya. Dibuatnya kuda-kuda sete-
lah menarik kaki kiri ke belakang. Tatapannya lu-
rus, hendak menembus manik-manik mata Ki

Ageng Wirakrama. Kerisnya sendiri kini telah ter-
silang di depan mata.
"Majulah, Kakek Busuk! Rasanya dunia 
pun teramat jijik membiarkanmu berkeliaran me-
nebar petaka!"
"Jahanam! Kuremukkan kepalamu! 
Hiaaa...!" 
Wukh!
Sarat tenaga dalam tinggi, tongkat butut Ki 
Ageng Wirakrama mengebut dari samping kepala. 
Hendak dihancurkannya kepala sang patih itu. 
Suara menderu terdengar, udara terbelah oleh ke-
rasnya sambaran.
Lincah, Mahapatih Bagaspati menarik tu-
buhnya ke belakang. Begitu sambaran tongkat 
butut lewat, dibabatkannya ujung keris langsung 
ke leher lawan.
Udara tergores tajam. 
Leher Ki Ageng Wirakrama terancam.
Tapi si tua bangka ini terlalu cerdik untuk 
ditebas keris begitu saja. Entah bagaimana ca-
ranya, tubuhnya tahu-tahu telah merunduk se-
raya menyodokkan tongkatnya.
Duk!
"Hekh!"
Untung saja Mahapatih Bagaspati telah 
melapisi perutnya dengan tenaga dalam tinggi. 
Sehingga, bagian yang tersodok tongkat butut ba-
rusan tidak tertembus. Tapi tak urung, perutnya 
terasa mulas bukan main. Dua tindak dia terjajar 
ke belakang.

"Sekarang rasakan tongkat bututku! 
Hiaaa...."
Selagi lawan belum tuntas meringis mena-
han sakit, Ki Ageng Wirakrama telah kembali me-
lompat membuat serangan berbahaya. Dengkul 
kropos kanannya terangkat hampir menyentuh 
dada. Tongkatnya berputaran di atas kepala.
Udara robek terbabat tongkat.
Mahapatih Bagaspati tercekat.
Akankah dia melawat ke akhirat?
"Hih!"
Dengan keberanian luar biasa, Mahapatih 
Bagaspati justru menyongsong lompatan lawan. 
Kerisnya diangkat ke atas hendak memapak sam-
baran tongkat. Sedangkan kaki kiri dan tangan 
kiri berjaga-jaga bila lawan melepaskan serangan 
dengan kaki. 
Di udara, keris Mahapatih Bagaspati mem-
bentur tongkat butut Ki Ageng Wirakrama. Seperti 
dugaannya, dengkul monyong tua bangka itu me-
nyentak hendak menanduk perutnya kembali. Se-
cepatnya, melindunginya dengan menekuk kaki 
kiri.
Tapi siapa nyana kalau tiba-tiba tangan ki-
ri kurus milik Ki Ageng Wirakrama tiba-tiba ber-
gerak dari bawah ke atas. Ini yang luput dari per-
hatian Mahapatih Bagaspati.
Lalu....
Diegh!
Tubuh lelaki gagah andalan Kerajaan De-
mak itu terdongkel di udara. Keras hingga terlem

par tiga tombak jauhnya. Pekik kesakitan terlem-
par dari mulut Mahapatih Bagaspati.
Mahapatih Bagaspati membesut darah di 
bibirnya yang terhantam jotosan lawan. Sebagian 
darahnya yang tersisa diluncurkan lewat mulut 
bersama ludah. Lewat satu sentakan, lelaki ini 
berusaha bangkit. Ditatapnya lawan yang telah 
siap mengirim serangan susulan.
"Sekarang saatnya kau mampus di tangan-
ku, Keparat Busuk!" sembur Ki Ageng Wirakrama, 
begitu membuat kuda-kuda rendah.
Bed! Bed!
Di depan dada, tangan kiri kurus kering Ki 
Ageng Wirakrama membuat beberapa gerakan. 
Cepat, berisi tenaga dalam tinggi. Gerakannya ba-
ru berhenti ketika telapak tangan kirinya mem-
buka di atas pinggang, dengan jari-jari mengarah 
ke bawah.
Semua yang ada di tempat ini jadi tegang. 
Menanti, serangan keji apa yang akan dilepaskan 
tua bangka itu. Padahal, para prajurit serta Pan-
glima Darmakusuma bisa saja ikut membantu 
menyerang tadi. Cuma mereka telah tunduk pada 
perintah Mahapatih Bagaspati.
Mahapatih Bagaspati sendiri telah berusa-
ha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dan me-
lihat lawan sepertinya bersiap melepas pukulan 
jarak jauh, segera disiapkannya pula pukulan an-
dalannya.
"Hiaaahhh...!"
Dengan kawalan teriakan panjang Ki Ageng

Wirakrama membuka serangan. Sebentuk angin 
tajam memangkas udara begitu tangan kirinya 
menghentak. 
Wusss...!
Dahsyat.
Semua tercekat.
Di tempatnya, Mahapatih Bagaspati ber-
siap. Keris di tangan kanan telah berpindah ke 
tangan kiri. Sedang telapak tangan kanan itu
sendiri telah membuka di depan dada.
Satu tombak lagi angin serangan lawan da-
tang, telapak tangan kanan Mahapatih Bagaspati 
telah menghentak. Sebentuk angin yang menderu 
tajam pun bergerak memapak.
Lalu....
Blanggg...!
Apes. Kali ini Mahapatih Bagaspati kembali 
apes. Tubuhnya tergempur sejauh sepuluh tom-
bak. Pekik menyayat terlontar dari tenggorokan-
nya. Susah payah, lelaki gagah ini berusaha 
bangkit. Dadanya turun naik amat cepat. Adu te-
naga dalam barusan cukup mengguncangkan isi 
dadanya. Sejenak Mahapatih Bagaspati menoleh 
ke arah Panglima Darmakusuma dan para praju-
ritnya yang siap membantu bila ada perintah. Ta-
pi sedikit pun sang Patih tak memberi isyarat 
apa-apa.
Tatapan Mahapatih Bagaspati kini meng-
hujam tajam ke arah Ki Ageng Wirakrama. Lelaki 
tua kurus ini tadi hanya tergetar mundur bebera-
pa langkah saja. Dan kini, dia telah siap menun

taskan pertarungan.
"Hia ha ha…! Pukulan 'Angin Setan'-ku tadi 
belum seberapa, Lelaki Busuk! Kini kau rasakan 
yang lebih dahsyat lagi!" ancamnya, ganas.
Tapi....
"Hia ha ha.... Pukulan yang hanya pantas 
untuk memecahkan krupuk dipamerkan di sini! 
Hia ha ha...! Ada orang tua cacingan berkeliaran 
di jalan...."
Sebuah suara lain dengan tawa menyebal-
kan menimpali kata-kata penuh ancaman Ki 
Ageng Wirakrama. Suara siapakah itu?

EMPAT

PANGLIMA Ganang Laksono bisa bernapas 
lega. Ternyata begitu dia menjelaskan kalau di-
rinya adalah murid Ki Ageng Wirakrama, Bocah 
Tua Sakti yang semula hendak membunuhnya 
malah kini memeluknya. Kontan saja napas le-
ganya jadi terberangus oleh bau prengus tua 
bangka itu.
Gila! Makinya dalam hati. Bau tubuhnya 
mirip kambing buduk! Sudah berapa bulan tua 
bangka ini tak mandi? Tanyanya pada diri sendiri.
"Aku adik kandung gurumu, Cah. Jadi, 
kau boleh memanggilku Paman Guru. Wah, un-
tung kita tak jadi bertarung, ya?" cerocos Bocah 
Tua Sakti, tak juga melepaskan pelukannya. Gila-
gilaan dia. Malah sesekali kepalanya yang jarang

keramas digusel-guselkan ke bagian selangkan-
gan sang Panglima.
Tinggal Panglima Ganang Laksono yang 
cengar-cengir. Entah merasa malu, atau malah 
ke-enakan? Maklum, sudah beberapa bulan ini 
dia tak kumpul bersama istrinya.
Panglima Ganang Laksono punya kesempa-
tan untuk melepaskan diri dari bekapan lelaki tua 
yang tingginya hanya sepahanya itu. Disentak-
kannya tangan tua bangka itu, lalu cepat bersu-
jud di ujung kaki Bocah Tua Sakti. Bukan. Bukan 
untuk menyatakan hormat secara ikhlas, tapi se-
kalian mencari hawa segar setelah hidungnya ter-
kepung bau kambing buduk di tubuh Bocah Tua 
Sakti. Tapi yang didapat....
Bah! Ujung kakinya malah habis menginjak 
kotoran kerbau! Maki hati Panglima Ganang Lak-
sono. Apes juga nasibnya kali ini. Jangan ditanya 
bagaimana kecewanya.
"Makanya, kalau dipeluk diam saja. Tak 
usah berontak. Bau tubuhku kan lebih sedap di-
banding bau kotoran kerbau?" ledek Bocah Tua 
Sakti, seperti mengerti tingkah Panglima Ganang 
Laksono.
Malu rasanya lelaki gagah itu mengangkat 
tubuhnya. Wajahnya merah. Jantungnya berde-
gup kencang. Jangan-jangan, paman guruku ini 
akan tersinggung. Begitu keluhnya.
"Ah, sudahlah. Ayo berdiri. Hei, siapa na-
mamu?" Bocah Tua Sakti meraih bahu Panglima 
Ganang Laksono.

"Ganang Laksono, Paman Guru," sahut le-
laki gagah itu, tanpa berani menatap wajah lelaki 
tua di hadapannya. Wajahnya ditundukkan amat 
dalam.
"Hm..., Ganang Laksono. Melihat pakaian-
mu, sepertinya kau pembesar kerajaan, ya? Dari 
mana kau berasal?"
"Dari Kerajaan Demak, Paman Guru."
"Weh, weh, weh.... Orang kerajaan berguru 
pada seorang tokoh sesat macam kakakku. Pasti 
ada apa-apanya. Iya, kan?" tebak si tua pendek 
ini sok tahu.
"Begitulah, Paman Guru. Malah jika Paman 
Guru sudi, aku mau jadi murid Paman sekalian."
"O, jangan..., jangan.... Ilmuku bertolak be-
lakang dengan Kakang Ageng Wirakrama. Jika 
kau menuntut ilmu dariku, sama saja kau bunuh 
diri. Sifat ilmuku dengan ilmu kakangku saling 
menyerang. Dan bila kau tak kuat, kalau hanya 
menderita kelumpuhan saja masih lumayan. Tapi 
kalau kau mampus, bagaimana? Bisa-bisa aku 
yang kena semprot kakangku," urai Bocah Tua 
Sakti, gamblang.
Bergidik Panglima Ganang Laksono men-
dengarnya. Untung tadi dia cuma basa-basi, un-
tuk sekadar menghargai kepandaian paman gu-
runya.
"Hei, kau belum cerita. Ke mana tujuan-
mu? Dan kenapa kau membawa uang kepeng se-
banyak itu," dengan ekor matanya, Bocah Tua 
Sakti melirik tiga peti uang kepeng yang masih te

rikat di atas kuda milik Panglima Ganang Lakso-
no yang masih terbaring.
"Aku sebenarnya baru saja menemui Guru. 
Aku bermaksud meminta bantuannya untuk me-
nyokong pemberontakan yang akan kulaksana-
kan pekan depan. Tujuanku sekarang adalah 
menghubungi kakak iparku yang menjadi Adipati 
di Kutowinangun. Dia pun akan ikut bergabung 
denganku untuk menumbangkan takhta Kerajaan 
Demak. Sedangkan tiga peti uang kepeng itu ku-
gunakan untuk membiayai pemberontakan," pa-
par Panglima Ganang Laksono. Dia merasa tak 
perlu menyembunyikan rencananya lagi di hada-
pan lelaki tua pendek di hadapannya ini. Karena 
dianggap, Bocah Tua Sakti pasti akan mendu-
kung rencananya. Mengingat, dia adalah adik 
kandung gurunya, Ki Ageng Wirakrama.
"Pemberontakan? Pemberontakan terhadap 
siapa?" tanya Bocah Tua Sakti, penuh ketidak-
mengertian.
"Terhadap takhta Kerajaan Demak."
"Bodoh! Aku tidak tuli! Kau tadi telah me-
nyebutkannya. Maksudku, siapa pemegang takh-
ta sekarang ini?!"
"Gusti Prabu Sutawijaya."
"O, jadi yang memegang tampuk kekua-
saan si Sutawijaya. Maklum, sudah tujuh tahun 
aku merantau ke Swarnadwipa. Dan baru kema-
rin aku menginjakkan kaki lagi ke tanah Jawad-
wipa. Kupikir yang menjadi raja masih Raden Pa-
tah," kepala Bocah Tua Sakti manggut-manggut.

"Paman bersedia membantu rencanaku? 
Kalau rencana ini berhasil, jangankan tiga peti 
uang kepeng yang hendak Paman rebut tadi. Dua 
puluh peti emas berlian akan kuberikan," tembak 
Panglima Ganang Laksono, langsung. Bibirnya 
tersenyum cerah, membayangkan rencananya 
akan berhasil bila didukung tokoh sakti macam 
lelaki tua pendek di hadapannya.
"O, gampang..., gampang. Tapi aku harus 
bertemu dulu pada Kakangku. Oh, ya. Di mana 
dia tinggal sekarang?" sahut Bocah Tua Sakti, 
tersenyum lebar.
"Di Bukit Menjangan, Paman," jawab pan-
glima Ganang Laksono, semangat. 
"Nah, sekarang teruskanlah perjalananmu 
ke Kutowinangun," ujar Bocah Tua Sakti seraya 
berbalik.
"Tunggu, Paman!"
Langkah lelaki tua pendek itu tertahan di 
udara. Tanpa menurunkan kaki kanannya, kepa-
lanya menoleh.
"Ada apa lagi?" tanyanya datar.
"Kudaku masih tertotok, Paman."
"Siapa bilang? Lihat saja kalau kau tak 
percaya!"
Panglima Ganang Laksono menoleh ke 
arah kudanya. Terhenyak dia melihat kudanya te-
lah bangkit berdiri dalam keadaan segar bugar. 
Kapan tua bangka ini membebaskan totokan pada 
kudaku? Tanyanya, sulit mengerti. Sebab, dia tadi 
tak melihat gerakan apa-apa yang dibuat Bocah

Tua Sakti.
"Kalau begitu, te...?"
Kembali Panglima Ganang Laksono terce-
kat. Sebab begitu kepalanya menoleh kembali ke 
depan, Bocah tua Sakti telah lenyap entah ke 
mana. Kata-katanya pun terbungkam saat itu ju-
ga. Matanya mendelik dengan mulut terbuka le-
bar. Kalau ada lalat mabuk, mungkin mulut lelaki 
tinggi besar ini dikira sebuah goa mengerikan 
yang dipenuhi hawa busuk tak karuan. 
Panglima Ganang Laksono menggeleng-
geleng tak percaya. Sungguh dia kagum terhadap 
kepandaian adik kandung gurunya itu.
* * *
Jangan ditanya, bagaimana terperanjatnya 
Arya Wadam mendengar penuturan gurunya. Ke-
dua orangtuanya masih hidup? Di mana mereka 
sekarang? Kenapa mereka begitu tega membuang 
ku? Sehimpun pertanyaan siap diberondongkan 
ke arah gurunya.
"Guru.... Benarkah apa yang Guru kata-
kan?" tuntut Arya Wadam. Dadanya berdebar ke-
ras menunggu jawaban Nini Prameswari.
Si wanita awet muda membuang pandan-
gannya ke permukaan Sungai Bogowonto yang 
mengalir tenang. Riak-riak kecil tercipta saat 
permukaan sungai membentur tepian.
"Kau lihat batu di seberang sana, Arya?" 
tunjuk Nini Prameswari ke arah seberang.

Arya menatap ke arah yang ditunjuk gu-
runya. Tanpa menoleh, kepalanya mengangguk. 
Ada apa lagi dengan batu itu? Tanya hatinya.
"Batu itu juga punya sejarah, Arya. Tak 
mungkin dia berada begitu saja di tempat itu. 
Pasti ada asal-usulnya. Batu tercipta dari kumpu-
lan tanah di dasar bumi yang mengeras. Perjala-
nan sejarahnya membuat batu itu terlontar dari 
dalam perut bumi oleh letusan gunung berapi. 
Terseret arus sungai, membuat batu itu kini be-
rada di seberang sana. Begitu pula manusia. Tak 
mungkin ada begitu saja, tanpa adanya kedua 
orangtua. Kau adalah manusia, Arya. Tentu saja 
kau punya asal-usul. Dan kau patut menelusu-
rinya," sahut Nini Prameswari, malah makin 
membuat Arya bingung dan pusing tujuh keliling.
"Iya, tapi siapa kedua orangtua ku, Guru?" 
terabas gadis cantik ini. Tak sadar dia menuntut 
jawaban gamblang gurunya.
"Dari salah seorang tokoh persilatan, aku 
mendengar kabar bahwa dia beberapa purnama 
yang lalu telah mengalahkan seorang tokoh sesat 
berkepandaian tinggi. Kalau tak salah namanya 
Setan Penyair. Saat sekarat, Setan Penyair me-
nyatakan tobatnya. Dan dia juga bercerita telah 
menculik seorang bayi dari Kadipaten Kutowinan-
gun. Karena si jabang bayi terus menerus menan-
gis, Setan Penyair yang semula menginginkan te-
busan dari Adipati Kutowinangun, akhirnya 
membuang si jabang bayi ke tengah hutan. Hing-
ga akhirnya, bayi itu ditemukan Remeng dan Poleng," tutur Nini Prameswari.
"Jadi, bayi itu aku, Guru?" eekat Arya Wa-
dam.
"Ya," desah Nini Prameswari. Tatapannya 
dihujamkan ke biji mata indah Arya Wadam.
"Yang menculikku Setan Penyair?" susul si 
gadis. Ingatannya langsung tertuju pada wajah 
tua Setan Penyair.
Dulu, Arya Wadam juga pernah bertemu 
Setan Penyair. Tepatnya ketika bersama Satria 
Gendeng waktu hendak menuju Kadipaten Luma-
jang. Saat itu Setan Penyair tengah bertarung me-
lawan Raja Pencuri Dari Selatan untuk mempere-
butkan Kail Naga Samudera. Sedangkan Arya 
Wadam sendiri tengah mencari Raja Pencuri Dari 
Selatan yang telah mencuri pedang pendek milik 
Paman Remeng dan Poleng. Seperti diketahui, 
Remeng dan Poleng adalah orang yang juga me-
nemukan Arya Wadam, sekaligus merawatnya (Si-
lakan baca episode : "Penghuni Kuil Neraka" dan 
"Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
Mengingat semua itu, Arya Wadam jadi 
menyesal, kenapa waktu itu membiarkan Setan 
Penyair pergi begitu saja. Kendati dirinya terluka 
dalam, tapi paling tidak bisa melampiaskan ke-
marahannya. Sayangnya, waktu itu dia tak tahu 
bahwa Setan Penyair-lah yang membuangnya ke 
tengah hutan.
"Kau mengenalnya, Arya?"
Pertanyaan Nini Prameswari membuyarkan 
lamunan Arya Wadam. Kepala si gadis mengge

leng perlahan. "Tidak, Guru. Aku tidak mengenal 
Setan Penyair secara langsung. Aku hanya pernah 
melihat orangnya saja," Jelasnya, terus terang.
"Sayang, keterangan ini baru kudapat se-
minggu yang lalu. Untuk itu aku segera mencari-
carimu. Dan ketika kulihat kau bersama Satria 
Gendeng di kedai, aku tak ingin mengusikmu. Ka-
rena kulihat kau begitu marah pada pemuda itu," 
Jelas si wanita awet muda.
"Oh, terima kasih, Guru. Kau telah bersu-
sah payah mencari-cariku. Balasan apa yang 
mesti kuberikan untuk membayar budi-budi 
Guru selama ini?"
"Tidak, Muridku. Asal kau bisa berkumpul 
lagi dengan kedua orangtuamu setelah belasan 
tahun berpisah, aku sudah cukup bahagia. Nah, 
pergilah kau sekarang ke Kadipaten Kutowinan-
gun. Mudah-mudahan kedua orangtuamu masih 
menjadi adipati di sana. Kalaupun sudah tidak 
menjadi adipati di sana, kau bisa minta keteran-
gan tentang kedua orangtuamu"
Mata sembab Arya Wadam menatap lurus 
pada manik-manik mata gurunya. Seketika, dipe-
luknya Nini Prameswari penuh perasaan. Seolah-
olah dia ingin melampiaskan kerinduan terhadap 
kedua orangtuanya pada gurunya.
* * *
"Siapa kau, Bocah Buduk?!" bentak Ki 
Ageng Wirakrama begitu melihat seorang pemuda

tampan berpakaian rompi warna putih dari kulit 
binatang tahu-tahu telah berdiri dua tombak di 
samping kanan. Garis rahangnya kokoh melam-
bangkan kejantanan. Rambutnya panjang hampir
melewati bahu berwarna kemerahan. Celananya 
pangsi sebatas bawah lutut.
Dialah Satria.
Bocah tengik bertabiat nyaris sinting yang 
selalu membuat ciut nyali calon lawannya hanya 
dengan pancaran matanya. Bocah tengik yang se-
lalu membuat lawan gusar, hingga tak mampu 
berkata-kata.
"Wah, ada ramai-ramai begini? Ada haja-
tan, ya?" cerocosnya, kalem.
"Bangsat! Kau belum menjawab perta-
nyaanku, Bocah!" maki Ki Ageng Wirakrama me-
rasa tak dihargai oleh bocah kemarin sore. Sebe-
narnya kalau tak sedang dirasuki hawa amarah, 
gampang saja tua bangka ini mengenali pemuda 
di depannya. Tinggal lihat saja sebatang tongkat 
kecil yang terselip di kain pengikat pinggang si 
pemuda. Sebuah tongkat di ujungnya terdapat 
hiasan kepala naga berwarna emas. Di ujung lain 
berbentuk ekor naga berwarna sama.
"Aku Satria," sahut bocah tengik itu. Begitu 
mendapat jawaban, mata Ki Ageng Wirakrama 
langsung melompat. Arahnya, ke pinggang si pe-
muda.
"Jadi kau yang bernama Satria Gendeng 
yang selama ini membuat dunia persilatan gon-
cang oleh nama bau busuk seperti itu? Hua ha ha.... Kukira orang yang bernama Satria Gendeng 
sudah banyak makan asam garam dunia persila-
tan. Tak tahunya, hanya bocah bau kencur yang 
masih doyan makan bubur di pinggir sumur...," 
ejek lelaki tua bangka ini setelah merasa yakin 
kalau di pinggang si pemuda terselip senjata Kail 
Naga Samudera.
"Hua ha ha.... Kukira yang ada di depanku 
manusia. Tak tahunya hanya orang-orangan sa-
wah yang sudah bau tanah tapi banyak berting-
kah!" balas Satria, lantang. 
Tawa Ki Ageng Wirakrama kontan terbe-
rangus. Mata bersinar hijaunya mendelik, meng-
hujam ke arah bola mata si pemuda. Dengan ta-
tapan matanya, seolah dia ingin menjatuhkan 
nyali Satria Gendeng.
Bukan Satria namanya kalau dipelototi be-
gitu saja sudah kendor semangatnya. Ditentang-
nya mata Ki Ageng Wirakrama dengan pancaran 
sinar matanya yang mengandung perbawa amat 
kuat.
Edan! Edan! Cekat Ki Ageng Wirakrama da-
lam hati. Tatapan pemuda ini justru membuatku 
bergetar. Bocah sialan ini ternyata tak bisa diang-
gap main-main.
"Cepat serahkan Kail Naga Samudera yang 
kau bawa itu, Bocah. Dan kau serta orang-orang 
kerajaan itu akan kuampuni!" sentak Ki Ageng 
Wirakrama, sekalian mendepak rasa bergetar da-
lam dadanya.
Slompret! Kenapa senjata sialan ini selalu

jadi incaran tokoh-tokoh persilatan golongan 
bengkok? Seru Satria dalam hati. Juga kenapa 
mereka selalu menginginkan benda yang bukan 
haknya? Gampang sekali mereka bilang begitu?
"Kau mau ini?" Satria melirik ke pinggang-
nya. Sebaris senyum tercipta di bibirnya.
"Tak usah banyak tanya, Bocah! Apa kau 
ingin mampus sekarang juga seperti prajurit-
prajurit sialan itu?!" seru Ki Ageng Wirakrama, 
menunjuk mayat-mayat prajurit Demak yang ber-
gelimpangan bersimbah darah.
"Gampang sekali kau memaksa meminta 
barang yang bukan hakmu?" tukas Satria enteng.
"Keparat busuk! Kalau begitu kau harus 
mampus sekarang juga! Heaa…!"
Di ujung kalimatnya, si tua bangka mener-
jang. Tongkat bututnya bergerak dari samping 
kepala. Hendak diremukkannya kepala lawan 
dengan sekali kepruk. 
Wukh! 
Cepat.
Bahkan teramat cepat sambaran tongkat 
butut si tua bangka. Sebentuk angin pun mero-
bek udara. Sementara, calon korbannya masih 
tenang-tenang saja.
"Hih!"
Sejengkal lagi tongkat butut menghajar, si 
pemuda merendahkan tubuhnya, lalu bergerak ke 
samping berlawanan dengan arah sambaran 
tongkat. Tapi ternyata lawan tuanya telah mem-
perhitungkan. Begitu serangan luput, tubuhnya

berputar amat cepat. Kaki kanannya langsung 
membuat tendangan berputar setengah lingkaran. 
Duk!
Perut Satria telak sekali terhajar. Tubuh-
nya terpental deras ke belakang sejauh dua tom-
bak dan jatuh nyusruk di tanah. Satria Gendeng 
mengeluh. Melenguh. Betapa pun sakit yang dide-
rita, betapa pun sesak mendera, yang jelas dia te-
lah bangkit kini. 
Dari tertunduk, kepalanya terangkat naik. 
Perlahan. Amat perlahan.
Urat-urat di bola mata si pemuda meme-
rah. Darah mudanya pun mendidih. Darah segar 
mengalir di sudut-sudut bibirnya. Tendangan Ki 
Ageng Wirakrama tadi memang teramat kuat. 
Bahkan sangat dahsyat. Tak heran kalau wajah 
Satria kini mematang, terbakar gelegak kemur-
kaannya.
"Khuaaa...!!!"
Sebentuk kemarahan lewat teriakan mero-
bek angkasa terdengar. Urat di leher Satria telah 
mengembung. Kegarangannya bagaikan naga 
muda yang siap melampiaskan segenap kemara-
hannya melalui teriakan tinggi hendak menohok 
langit.
Getaran suara Satria membahana.
Bergema.
Daun-daun berguguran tak mampu mena-
hannya.
Semua orang yang ada di tempat ini harus 
menekan daun telinga kuat-kuat.

Tak urung pula Mahapati Bagaspati. Na-
mun di sisi lain dia jadi amat mengagumi pada 
pemuda hijau yang sangat dikenalnya. Tadi pun 
dia ingin langsung menyapa. Tapi karena Satria 
telah terlibat pembicaraan seru dengan Ki Ageng 
Wirakrama, dia berusaha menahan diri. Apalagi 
dalam hatinya timbul keyakinan kalau Satria 
Gendeng pasti bisa mengatasi lawan. Itu yang 
membuatnya tak ragu-ragu untuk membiarkan 
Satria dalam menghadapi lawan.
"Bocah sialan! Bagaimana mungkin dia 
memiliki tenaga dalam sehebat itu sementara 
usianya belum seberapa?!" desis batinnya, mulai 
dirasuki kegentaran.
Sesaat suasana jadi bungkam. Kebisuan 
telah memagut. Napas seakan tertunda untuk 
melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Mata tua Ki Ageng Wirakrama mulai terbu-
ka, siapa lawan yang dihadapinya. Kabar santer 
yang selama ini tertangkap telinganya menjadi 
nyata. Ketidakpercayaan pada kabar itu kini ter-
berangus sudah. Dan tanpa sadar, dia jadi ikut 
terbawa pesona yang terpancar gencar dari dalam 
diri pemuda perkasa yang telah menjadi buah bi-
bir dunia persilatan.
"Jangan memaksaku untuk menjadi malai-
kat maut buatmu, Orang Tua! Aku masih membe-
rimu kesempatan bertobat, walau kau telah 
membunuhi prajurit-prajurit itu!"
Ada yang terasa bergetar dalam dada Ki 
Ageng Wirakrama mendengar ucapan si pemuda.

Kegentaran mulai meruyak dalam dirinya. Apa 
yang hendak diperbuat anak muda ini?

LIMA

"HAI-AI-AIIII!!!"
Berkawal teriakan menggila, tubuh Satria 
Gendeng berjumpalitan ke sana kemari. Lalu ge-
rakannya seperti orang menari-nari seperti orang 
suku pedalaman. Benar-benar mirip orang gila 
gerakannya. Kegilaan itu tak cukup sampai di si-
tu. Kadang tubuhnya malah melonjak-lonjak den-
gan mulut meringis-ringis.
Kegilaan apa yang tengah diperagakan si 
pemuda?
Tak ada yang tahu. Di balik gerakan-
gerakan tak beraturannya, justru terkandung se-
buah kekuatan dahsyat. Inilah jurus aneh yang 
diwariskan Dongdongka alias Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul yang diberi nama 'Dedengkot 
Gendeng Kegirangan'. Satria sendiri merasa be-
lum pernah menggabungkannya dengan Jurus 
'Mencuri Bunga Karang'. Kalau itu sudah dilaku-
kannya, bukan tak mungkin Ki Ageng Wirakrama 
makin tercekat lagi.
Menghadapi jurus lawan mudanya saat ini 
saja, lelaki tua itu sudah demikian terpukau. 
Seabrek-abrek bergelimang dalam dunia persila-
tan, baru kali ini dia melihat jurus aneh yang tak 
ada pakemnya dalam aturan jurus-jurus silat. 
Semuanya serba ngawur dan acak.

Tapi, siapa sangka justru jurus itu yang 
membuat Ki Ageng Wirakrama harus menambah 
kewaspadaannya. Bahkan kalau saja lelaki tua 
bangka itu menyadari, sebenarnya dalam tubuh 
si pemuda tengah bergolak suatu kekuatan sakti 
yang mengendap dalam tubuhnya. Hal ini terdo-
rong oleh naluri kependekarannya yang terbakar 
oleh pembantaian demi pembantaian yang dila-
kukan si tua bangka itu.
"Sinting! Benar-benar sinting! Jurus apa 
yang diperlihatkannya?!" desis Ki Ageng Wirakra-
ma, bergidik.
Kejap selanjutnya, Satria telah merangsak 
seperti banteng muda terluka. "Huiii-aiiii...."
Teriakan Satria Gendeng yang menyentak, 
membuat Ki Ageng Wirakrama bertindak. Dalam 
kuda-kuda kokohnya, dia berniat memamerkan 
tingkat tenaga dalamnya. Bagi tokoh persilatan 
yang patut diperhitungkan macam dia, adalah 
suatu kepuasan tersendiri untuk memamerkan 
tenaga dalam setinggi-tingginya. Apalagi, konon 
kabarnya Ki Ageng Wirakrama berwujud setengah 
manusia dan setengah siluman. Itu terjadi akibat 
perkawinannya dengan putri siluman.
Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Ki 
Ageng Wirakrama mengibas kedua tangannya ke 
depan.
"Heaaa...!"
Berrrr...!
Luar biasa. Sebentuk angin putting beliung 
tercipta dari kedua tangan si tua bangka itu. Menerjang, melibas apa saja yang ada di depan. 
Termasuk, terjangan lawan mudanya yang meng-
gila.
Sekejapan, terjangan Satria Gendeng terta-
han. Tapi di luar dugaan, bentrokan barusan tak 
sanggup memenggal gerakan si pemuda. Saat ini, 
kekuatan-kekuatan sakti yang telah mengendap 
dalam tubuh Satria tengah bekerja. Maka kejap 
berikutnya, Satria telah berhasil menelusup di 
pusat putaran angin.
Tak ada waktu lagi untuk menghindar bagi 
Ki Ageng Wirakrama. Jarak dengan lawan mu-
danya telah demikian cepat. Dan....
Dash! 
Seketika itu juga tubuh Ki Ageng Wirakra-
ma melayang deras ke belakang, setelah tinju ge-
ledek lawan mudanya bersarang di dadanya. Tak 
tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sampai 
lima belas tombak lebih.
"Bajingan!" rutuk Ki Ageng Wirakrama, be-
gitu jatuh di tanah. Kedua tangannya memegangi 
dada. Dia berusaha bangkit walau dengan ringi-
san jeleknya. Napasnya terasa sesak. Bahkan te-
rasa panas pada bagian dalam dadanya.
Di tengah kegeraman memuncak, pancaran 
mata hijau Ki Ageng Wirakrama makin berkilatan. 
Kini dia merasa harus mengerahkan aji pamung-
kasnya. Cepat dibuatnya beberapa gerakan untuk 
menghilangkan sesak napas dalam dadanya. Kini 
kakinya telah memancang bumi. Tatapannya nya-
lang ke arah Satria Gendeng yang telah berdiri

kokoh di tanah.
Menggeram.
Kemurkaan Ki Ageng Wirakrama makin 
berkobar. Sebagai tokoh tua, tak sudi dia diper-
mainkan bocah bau kencur macam Satria Gen-
deng. Maka saat itu pula tenaga dalamnya men-
galir deras ke matanya yang makin mencorong ta-
jam. Kejap berikutnya....
Slaps! Slapss!
Dua buah sinar hijau menerabas udara. 
Suara gesekannya terdengar melengking, menu-
suk telinga. Dari kedua mata yang mencorong itu-
lah kedua sinar hijau itu muncul. Menggila. Men-
ciptakan asap hitam saat bergesekan dengan uda-
ra.
Lebih gila lagi, kedua sinar hijau itu lantas 
meliuk-liuk bagaikan ular yang hendak membelit.
Di tempatnya, Satria tercekat. Masih men-
gandalkan jurus 'Dedengkot Sinting Kegirangan' 
dicobanya untuk bertahan. Si pemuda melompat 
ke sana kemari sambil berjingkrakan. Memang ju-
rus ini juga menekankan pada segi pertahanan 
dengan gerakan tak beraturan. Tapi sesungguh-
nya pula, dalam pertahanan itu sendiri tersimpan 
sebuah serangan mendadak dengan gerakan-
gerakan tak terduga.
Seperti memiliki mata, liukan kedua sinar 
hijau lawan terus memburu Satria Gendeng. Ma-
kin cepat dan ganas. Hingga akhirnya.....
Wert!
"Kehh...!"

Kedua biji mata Satria mendelik. Salah sa-
tu sinar hijau berhasil membelit lehernya. Semen-
tara sinar yang satu lagi menyusul membelit da-
danya. Bak tangan-tangan gaib, sinar-sinar itu 
makin kuat mencengkeram. Dan napasnya pun 
makin sesak saja. Kini tubuh kekar pemuda itu 
menggeliat-geliat.
Akankah sampai di sini saja riwayat si pe-
muda perkasa?
* * *
Malam kembali meraja.
Kebisuan mencekam terusik oleh suara 
langkah kaki menuju Bukit Menjangan. Tiba di 
sebuah pelataran bangunan mirip reruntuhan 
candi, si pemilik langkah berhenti. Dalam sira-
man sinar bulan sabit, kepala sosok yang ting-
ginya hanya setengah tombak itu celingukan.
"Setan! Ke mana Kakang Ageng Wirakra-
ma? Katanya sekarang tinggal di tempat ini? Tapi 
kenapa sepi-sepi saja. Kok tidak ada sambutan 
untukku?" rutuk lelaki tua pendek yang tak lain 
Bocah Tua Sakti.
Si lelaki tua pendek kembali celingukan.
Sepi.
Terpaan angin membelai kulitnya. Lembut. 
Mempermainkan kumis dan jenggotnya yang 
menjuntai ke bawah. Juga jubah abu-abunya 
yang menggeletar berkibar-kibar.
Baru saja Bocah Tua Sakti hendak melan

jutkan langkahnya.... 
Wesss....
Desir angin halus menerabas udara. Mem-
bawa sebentuk hawa kematian mengerikan. Ce-
pat, lelaki tua bangka ini menoleh ke belakang, 
asal desir angin halus tadi.
"Setan belang!" rutuknya, lalu cepat men-
genyahkan tubuhnya ke samping kiri. Sambaran 
si penyerang gelap lewat begitu saja.
Lima tombak di depan Bocah Tua Sakti, 
seekor ular putih sepanjang satu tombak lebih 
yang menjadi penyerang gelap berbalik. Mendesis-
desis, siap melancarkan serangan selanjutnya.
Di tempatnya, Bocah Tua Sakti memasang 
kewaspadaan. Kedua tangannya bersilang di de-
pan dada. Matanya tajam, mengikuti gerakan me-
liuk si ular putih.
Kejap berikutnya, si ular putih mencelat. 
Melesat ganas, membelah udara. Desisannya ma-
kin keras, menggelitik lubang telinga.
"Ssss...!" 
"Hih!"
Dua jengkal lagi si ular putih memagut, tu-
buh Bocah Tua Sakti membuat salto rendah. Di 
udara, kedua tangannya bergerak cepat seperti 
menepuk. Arahnya, kepala si ular putih.
Tep!
Kepala ular putih berhasil dijepit kedua te-
lapak tangan Bocah Tua Sakti. Tepat ketika lelaki 
tua pendek itu sampai di bumi, sebuah kenyataan 
lain menyentaknya.

"Setan kudis! Ular putih ini ternyata hanya 
sebuah tongkat putih! Ini jelas sihir.... Sihir ini je-
las.... Jelas ini sihir.... Jelas sihir ini..., ah! Aku 
mau ngomong apa sih?! Oh, ya. Pasti ini perbua-
tan kakangku. Tapi, bukankah tongkatnya ber-
warna hitam kusam? Apakah..., Nini Berek! Ke-
luar kau?! Aku muak dengan sihir murahan yang 
kau buat! Ayo, cepat!" tiba-tiba Bocah Tua Sakti 
berteriak. Tak tanggung-tanggung, tenaga dalam 
tinggi langsung tersalur dalam suaranya.
"Hi hi hi.... Aku belum tuli, Bocah Tua Sak-
ti. Dan lagi, kenapa mesti harus berteriak-teriak 
kalau aku ada di atas kepalamu?"
Bocah Tua Sakti terjingkat. Kepalanya kon-
tan mendongak. Terlihat satu sosok tubuh tengah 
menggantung di sebuah ranting kecil pohon be-
limbing. Bak kelelawar, kakinya berada di atas, 
sementara kepalanya hanya beberapa jengkal di 
atas kepala Bocah Tua Sakti.
"Bah! Lagakmu seperti codot saja, Nini Be-
rek! Ayo turun. Lihat! Dua bola di dadamu nyaris 
jatuh. Apa kau tidak malu?" seru Bocah Tua Sak-
ti.
Sejenak sosok perempuan yang menggan-
tung di ranting kecil itu melirik ke arah tonjolan 
besar di dadanya. Lalu bibirnya tersenyum nakal.
"Ah, dasar pikiranmu saja yang kotor, Bo-
cah Tua Sakti. Tapi kalau kau mau, bolehlah 
mencicipi," ledeknya, makin nakal.
"Dasar perempuan siluman! Tak boleh me-
lihat lelaki nganggur sedikit. Bisa-bisa aku perang

tanding dengan Kakang Ageng Wirakrama. Masa' 
istri kakak sendiri dimakan juga. Ayo, cepat tu-
run!"
Perempuan yang menggelantung itu mem-
berengut. Rayuannya tak mempan membang-
kitkan kelaki-lakian adik iparnya. Dari mengge-
lantungnya, dia melompat dengan satu putaran 
indah. Manis sekali gerakannya, bertanda kepan-
daiannya tak bisa diragukan lagi.
Tentu saja. Wong perempuan ini keturunan 
siluman. Waktu menggantung tubuhnya tadi, 
ranting kecil sebesar lidi itu sama sekali tak me-
lengkung. Apalagi berayun-ayun. Seolah yang 
menggandul adalah sebentuk asap berwujud ma-
nusia saja.
Menginjak tanah, perempuan bernama Nini 
Berek tersenyum. Wajahnya terlihat cantik. Pa-
dahal, usianya nyaris tak terhitung. Rambutnya 
hitam digelung. Tubuhnya padat. Pakaiannya ke-
tat berwarna kuning, sama dengan kulitnya.
"Kembalikan tongkatku!" ujarnya, tegas.
Bocah Tua Sakti melempar tongkat putih di 
tangannya yang tadi berwujud ular putih. Wajah-
nya menyiratkan ketidaksenangannya terhadap 
istri kakaknya ini.
"Mana Kakang Ageng Wirakrama?" ta-
nyanya langsung. 
"Mana kutahu? Aku saja baru kembali dari 
Laut Selatan untuk bertemu Nyai Roro Kidul," sa-
hut Nini Berek.
"Lantas kenapa kau harus merubah wujud

mu jadi perempuan cantik seperti ini kalau hanya 
untuk bertemu sesama siluman?"
"Biasa.... Aku perlu sari pati pemuda-
pemuda bodoh untuk menambah gairahku pada 
Kakang Ageng Wirakrama. Tapi, baiklah. Aku 
akan merubah wujudku dulu."
Di ujung kalimatnya, Nini Berek melipat 
tangannya di depan dada. Matanya terpejam den-
gan mulut komat-kamit. Lalu....
Besss....
Perlahan namun pasti, sekujur tubuh pe-
rempuan ini telah terkepung asap putih. Berawal 
tipis, lalu menebal. Kejap kemudian, asap mulai 
terusir oleh angin malam. Bocah Tua Sakti ter-
paksa menutup hidungnya, karena bau asap begi-
tu busuk, menyodok-nyodok pernapasannya.
Asap menghilang.
Pemandangan mengerikan terpampang.
Wujud Nini Berek tak lagi seorang perem-
puan cantik. Yang ada di hadapan Bocah Tua 
Sakti sekarang adalah perempuan tua bertubuh 
melengkung berpakaian jubah warna kelabu. 
Tongkat putih menjadi penyangga tubuhnya yang 
keropos. Wajahnya mengerikan. Penuh borok ber-
lendir berbau busuk. Rambutnya tak lagi hitam 
tergelung, tapi tipis berwarna putih. Matanya ce-
long ke dalam, memancarkan sinar kemerahan. 
Bahkan entah dari mana, tahu-tahu mulutnya te-
lah mengunyah sirih. 
Prot!
Seenaknya, nenek jelek ini menyemburkan

ludah sirihnya yang berwarna darah. Cairan me-
rah meluncur, memangkas udara. Gesekannya 
dengan udara menimbulkan deru angin tajam.
Crashhh!
Dahsyat! Sebongkah batu reruntuhan can-
di yang tertembus cairan merah itu kontan berlu-
bang amat dalam. Bagaimana dengan tubuh ma-
nusia? Bocah Tua Sakti tak ingin menjawabnya, 
karena tak begitu peduli dengan tingkah konyol si 
nenek jelek.
"Kudengar suamimu telah mempunyai mu-
rid, Nini?" tanya lelaki tua pendek itu.
"Ya. Dia orang kerajaan. Tapi persetan den-
gan orang kerajaan. Maunya dihormati, tapi kalau 
ada kesusahan datang ke sini," cibir si nenek je-
lek.
"Tapikan justru dia hendak memberontak?" 
tukas Bocah Tua Sakti.
"Mana kutahu? Sejak dia berguru dengan 
suamiku tak pernah kudengar rencana itu. Kau 
sendiri tahu dari mana?" balik Nini Berek.
"Siang tadi aku bertemu dengan murid su-
amimu. Dia bercerita banyak tentang rencananya. 
Bahkan aku tahu tempat tinggal kakangku justru 
dari dia. Sejak kapan kalian pindah ke sini?"
"Sejak aku memergoki kakangmu bermain 
serong dengan wanita lain. Enam tahun yang lalu. 
Untuk menghindari agar dia tidak main serong la-
gi, dia kuajak pindah ke Bukit Menjangan ini. Ta-
pi sialnya, ketika aku berkunjung ke Laut Sela-
tan, tetap saja kesempatan itu digunakan suami

ku untuk bermain cinta dengan gadis-gadis desa. 
Muridnya yang orang kerajaan itulah yang selalu 
mencarikannya. Dia menculiknya dari desa-desa. 
Dan ketika ku pergoki lagi, barulah aku membe-
rikan ancaman dengan tidak akan memberikan 
kekuatan lagi padanya. Bahkan kalau aku mau, 
ilmunya bisa kucabut sekarang juga," papar Nini 
Berek, semangat.
Bocah Tua Sakti jadi cengar-cengir sendiri. 
Kepalanya menggeleng-geleng. Dia maklum, sejak 
muda kakangnya memang selalu doyan gadis-
gadis desa. Itu sebabnya begitu mendengar penu-
turan kakak iparnya, dia tak terkejut lagi.
"Bilang pada suamimu, Nini. Jangan ikut 
campur urusan kerajaan. Bisa gawat jadinya. Dan 
lagi, kenapa suamimu begitu percaya dengan mu-
ridnya yang hanya beberapa tahun berguru?" in-
gat Bocah Tua Sakti.
Kendati lelaki tua pendek ini sebenarnya 
adalah tokoh silat golongan putih, tapi amat men-
cintai kakangnya yang justru dari golongan hi-
tam. Bocah Tua Sakti sejak dulu dikenal sebagai 
tokoh yang selalu memerangi keangkaramurkaan. 
Hanya karena ulah kakangnya sajalah yang 
membuatnya harus menyingkir ke tanah Swar-
nadwipa.
Tanpa diketahui Bocah Tua Sakti, Ki Ageng 
Wirakrama yang semula dikenalnya sebagai pen-
dekar yang berada di jalan lurus, tahu-tahu terli-
bat persekongkolan dengan beberapa datuk sesat. 
Memang, Bocah Tua Sakti yang sebenarnya ber

nama Ageng Wiradharma tahu kalau kakaknya 
doyan perempuan. Tapi itu bukan berarti harus 
terjun ke dunia hitam. Ini yang amat disesalinya.
Bahkan setelah kawin dengan Nini Berek, 
Ki Ageng Wirakrama dan beberapa datuk sesat 
lain, terlibat dalam pembunuhan beberapa tokoh
putih. Bocah Tua Sakti makin serba salah. Bila 
ikut memerangi, berarti harus berhadapan den-
gan kakaknya. Bila tidak, berarti harus ingkar da-
ri sumpahnya sebagai pendekar pembela keadilan 
dan penumpas keangkaramurkaan.
Pikir punya pikir, akhirnya Ki Ageng Wira-
krama menyingkir ke seberang. Tepatnya, ke ta-
nah Swarnadwipa. Di sana dia mengabdi di Kera-
jaan Tulang Bawang.
Sebenarnya, apa yang membuat Ki Ageng 
Wirakrama terjerumus dalam dunia hitam? Harta 
dan wanita.
Nafsu macam itu yang sampai saat ini tak 
pupus dari hati Ki Ageng Wirakrama. Kalau seka-
rang lelaki tua suami Nini Berek itu terlihat seper-
ti orang papa, itu tidak lain hartanya telah kan-
das di meja judi. Lalu sejak kawin dengan Nini 
Berek, nafsunya terhadap harta lenyap begitu sa-
ja. Tinggal nafsunya terhadap wanita saja yang 
masih menggelora dalam dada.
Merasa rindu pada kakangnya, membuat 
Bocah Tua Sakti kembali ke tanah Jawadwipa. 
Tujuh tahun baginya cukup sudah untuk melu-
pakan peristiwa memalukan yang dibuat Ki Ageng 
Wirakrama.

ENAM

HIDUP atau mati. 
Itu pilihan yang harus dibuat Satria Gen-
deng. Napasnya kian sesak. Matanya mendelik 
liar. Cekikan sinar hijau pada leher dan dadanya 
makin ketat. Nasib Satria Gendeng benar-benar 
bagai telur di ujung tanduk.
"Hia ha ha.... Tamat riwayatmu, Bocah 
Sinting! Sebentar lagi Kail Naga Samudera akan 
berpindah ke tanganku!" seru Ki Ageng Wirakra-
ma, pongah.
Di saat yang begini, si anak muda jadi te-
ringat waktu bertarung dengan Nini Jonggrang. 
Dengan ilmu gaibnya, wanita itu berhasil mence-
kiknya hingga nyaris mau mampus. Untungnya, 
ada bisikan halus di telinga Satria untuk mening-
katkan semadinya. Dan akhirnya, Satria bisa 
memenangkan pertarungan. (Baca serial Satria 
Gendeng dalam episode : "Kiamat di Goa Sewu").
Tapi jenis serangan yang membelit leher 
Satria berlainan dengan yang dilakukan Nini 
Jonggrang. Bila Nini Jonggrang berupa ilmu sihir, 
maka apa yang dilakukan Ki Ageng Wirakrama 
hanya sejenis ajian. Bila ilmu sihir harus dilawan 
dengan kekuatan batin lewat semadi, maka ajian 
harus dilawan dengan kekuatan tenaga dalam.
"Lihat, Orang-orang Demak! Nyawa pemu-
da ini sebentar lagi akan terdepak dari raganya

oleh ajian 'Jerat Setan'-ku. Kukira sekarang aku-
lah yang akan menguasai dunia persilatan! Hua 
ha ha...."
Tawa pongah Ki Ageng Wirakrama membe-
lah udara. Menggetarkan semua orang yang me-
nyaksikan si pemuda perkasa bergelut dengan 
maut. Menggeliat-geliat dengan mata melotot. Apa 
yang akan dilakukan Satria? Menyerah? Pasrah?
Tidak! Itu tak ada dalam kamus hidup si 
pendekar muda. Justru dalam keadaan begini, 
kemarahannya makin memuncak. Menggelegak, 
hampir membuncah. Hal inilah yang membuat ge-
jolak tenaga sakti dalam tubuhnya makin luar bi-
asa.
Di dorong kemarahan luar biasa, tenaga 
sakti Satria makin berlipat ganda entah berapa 
kali. Dan hal inilah yang tak disadari Ki Ageng 
Wirakrama. Kesombongan telah menutup akal-
nya. Kepongahan membuatnya ingin cepat-cepat 
menghabisi lawan mudanya. Akan digempurnya 
dada si pemuda dengan pukulan maut terakhir-
nya.
Merasa yakin dengan keputusannya, lelaki 
tua bangka ini meluruk menerjang. Tangan kanan 
yang masih mengendalikan sinar hijau telah ter-
kepal.
"Kheaaa...!"
Dikawal teriakan menggila, tangan terkepal 
Ki Ageng Wirakrama menderu ke arah dada Sa-
tria. Saat itu juga.... 
"Khuaaa...!"

Teriakan tak kalah menggila terlontar dari 
kerongkongan si anak muda. Sentakan tenaga 
sakti berlipat ganda yang mendekam dalam tu-
buhnya membuatnya mampu melepaskan diri da-
ri cengkeraman sinar-sinar hijau yang membelit-
nya.
Sinar-sinar hijau lenyap entah ke mana. 
Sementara Ki Ageng Wirakrama telah telanjur me-
lepaskan pukulan mautnya.
Sejari lagi pukulan datang, Satria Gendeng 
mengangkat tangan kirinya untuk memapak pu-
kulan. Sedang tangan kanannya bergerak meng-
hantam dada keropos si tua bangka yang tak me-
nyangka kalau lawan mudanya dapat membe-
baskan diri dari belitan sinar-sinar hijaunya.
Dash!
Tubuh keropos Ki Ageng Wirakrama seketi-
ka melayang deras ke belakang. Hantaman lawan 
mudanya yang saat itu tengah dialiri tenaga sak-
tinya membuat dadanya jebol seketika. Darah hi-
tam pun berceceran sepanjang luncuran tubuh-
nya.
Dua puluh tombak dari tempat semula, tu-
buh Ki Ageng Wirakrama jatuh mencium tanah. 
Menggeliat-geliat sebentar, lalu diam sama sekali. 
Mati dengan dada ambrol.
Perlahan namun pasti rahang kaku Satria 
mengendur. Sorot matanya tak segarang tadi. De-
sah napas lega tersembur dari mulut dan hidung-
nya. Desah napas lain pun ikut terhembus dari 
mulut dan hidung orang-orang yang ada di tem

pat ini.
"Adi Satria...." Sebuah suara panggilan me-
nyentak keterpanaan Satria Gendeng pada hasil 
serangannya.
Si pemuda menoleh. Bibirnya segera mem-
buat senyum yang ditujukan pada orang yang 
memanggilnya. Mahapatih Bagaspati.
"Kang Bagaspati.... Wah, sudah naik pang-
kat rupanya. Kulihat pakaian yang kau kenakan 
beda dengan beberapa waktu yang lalu," celoteh si 
pemuda, seolah telah melupakan pertarungannya 
yang mendebarkan barusan. Malah masih sem-
pat-sempatnya meledek.
"Kembali..., kembali kau berjasa pada Ke-
rajaan Demak. Kau patut mendapat penghargaan 
lagi, Adi. Aku sungguh kagum padamu.... Apa ka-
barmu, Adi. Mari-mari, kuajak kau bertemu den-
gan Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya," cerocos 
Mahapatih Bagaspati, tak dapat lagi menahan ke-
gembiraannya mendapat pertolongan si anak mu-
da yang sudah dianggap sebagai adik kandung-
nya.
"Sabar..., sabar, Kang. Aku punya berita 
buruk buatmu," ujar Satria, tak ingin terburu-
buru.
"Kabar buruk apa?" cekat Mahapatih Ba-
gaspati.
"Pemberontakan."
"Pemberontakan apa?! Ah, kau jangan ber-
canda, Adi Satria. Siapa yang hendak memberon-
tak?"

"Di Kerajaan Demak ada yang bernama 
Ganang Laksono?"
"Ada. Memang kenapa?"
"Dialah orang yang hendak memberontak."
"Apa?!"
* * *
Kadipaten Kutowinangun di pagi hari.
Roda kehidupan mulai berputar.
Matahari bersinar menepis awan samar.
Arya Wadam tiba di gerbang kadipaten. Si-
kapnya yang ragu-ragu justru mengundang kecu-
rigaan dua prajurit yang berdiri menjaga gerbang. 
Prajurit yang berkumis lebat maju beberapa tin-
dak. Tampangnya dibuat segalak mungkin. Biji 
matanya dilebarkan.
"Apa yang hendak kau perbuat di sini, Cah 
Ayu?" tegur si penjaga berkumis, sok galak.
"Aku hendak bertemu Adipati Kutowinan-
gun," sahut Arya Wadam pendek.
"Wah, tidak sembarang orang bisa bertemu 
Kanjeng Adipati. Ada keperluan apa kau ingin 
bertemu dengannya?" cecar si prajurit. Sikapnya 
dibuat sewibawa mungkin.
"Urusan penting."
"Bah! Orang macam kau punya urusan 
penting dengan Kanjeng Adipati? Sayang, beliau 
tak punya waktu untuk mengurusi orang macam 
kau. Kalau orang macam kau paling hanya uru-
san perut. Sudah sana pergi. Untung kau perempuan. Kalau lelaki sudah kudepak dari tadi!" usir 
si prajurit makin keterlaluan.
Gigi-gigi Arya Wadam bergemelutuk. Cu-
kup sudah penghinaan ini. Prajurit satu ini tam-
paknya hanya mau menunjukkan kalau dirinya 
perlu ditakuti. Perlu dihormati sebagai tameng 
kadipaten. Terutama perlu dihormati oleh wong 
cilik macam Arya Wadam. Cuma saja caranya sa-
lah. Ini yang harus dibenahi.
"Kuharap kau bisa menjaga mulut kotor-
mu, Prajurit. Kadipaten tak butuh manusia galak, 
tapi butuh manusia digdaya dan berwibawa demi 
menjaga keharuman kadipaten," jawab Arya Wa-
dam lugas. Sekaligus menohok perasaan si praju-
rit.
Membeliaklah mata prajurit berkumis lebat 
ini. Setan! Begitu makinya. Bocah perempuan ini 
telah menghinaku! Kemarahan si prajurit pun 
membludak.
"Laknat! Kau berhadapan dengan prajurit 
Kadipaten Kutowinangun, tahu," teriak si prajurit 
berkumis, kalap. Saking keras kata-katanya, per-
cikan ludahnya pun ikut meluncur dari mulut.
"Aku memang bukan berhadapan dengan 
anjing buduk. Tapi berhadapan dengan anjing 
kadipaten yang cuma mengandalkan kegalakan 
untuk menakut-nakuti wong cilik. Bukan begitu, 
Prajurit?" gumam Arya Wadam, enteng.
Makin murka saja si prajurit.
"Sarpan! Bantu aku meringkus perempuan 
tengik ini!" teriaknya, pada prajurit lain yang ma

sih berdiri memperhatikan dekat pintu gerbang.
Jelas sudah kalau nyali si prajurit berku-
mis ternyata hanya seujung kuku. Buktinya, un-
tuk meringkus seorang wanita saja masih butuh 
bantuan temannya. Bukankah itu pengecut na-
manya? Hanya karena si prajurit terlalu bernafsu, 
sehingga kata-kata itu meluncur begitu saja dari 
mulutnya.
"Masa' meringkus seorang perempuan saja 
kau butuh teman, Rungkut? Kau bilang, kau per-
nah mengalahkan gembong perampok Hutan Ke-
manjen?" ledek si prajurit yang dipanggil Sarpan.
Baru prajurit bernama Rungkut menyadari 
kebodohannya. Artinya, secara tak langsung dia 
buka rahasia kalau ceritanya pada Sarpan hanya 
isapan jempol belaka. Dan itu sekaligus menun-
jukkan kepengecutannya terhadap Arya Wadam. 
Bukankah mustahil kalau meringkus gembong 
perampok berani, tapi menghadapi wanita muda 
seperti Arya Wadam gentar? 
Sepertinya, hal itu wajar saja. Sebab, diam-
diam waktu bicara tadi Arya Wadam mengerah-
kan tenaga dalam pada kedua matanya. Sehingga 
waktu prajurit Rungkut memandangnya, nyalinya 
sedikit terdepak. Bahkan dalam tubuhnya seperti 
ada getaran-getaran aneh yang membuatnya ber-
gidik.
"Setan kau, Sarpan! Baik! Akan kubukti-
kan kalau aku mampu meringkus kucing betina 
ini!" maki prajurit Rungkut.
Di ujung kalimatnya, prajurit Rungkut me

nyodokkan tombaknya ke perut Arya Wadam. 
Menurut perhitungannya, mata tombaknya jelas 
akan menembus sasaran. Keyakinannya timbul, 
karena calon korbannya seperti tak bergemik se-
dikit pun dari tempatnya.
Wutt!
"Hiih!"
Sejari lagi tombak menghujam, perut si ga-
dis surut ke belakang. Mata tombak memang 
menghujam ke perut, tapi tertahan dilipatan pe-
rut. Seolah, mata tombak terjepit di antara dua 
buah batu yang amat keras. Pengerahan tenaga 
dalam Arya Wadam-lah yang membuat mata tom-
bak seperti terjepit tak dapat tercabut lagi.
Mata si prajurit berkumis mendelik. Tak 
percaya melihat tombaknya seperti tak berpenga-
ruh apa-apa bagi lawan. Dan sebelum si prajurit 
menuntaskan keheranannya, tangan Arya Wadam 
telah bergerak menghantam batang tombak.
Tak!
Tombak patah jadi dua bagian. Bagian 
yang terjepit di perut Arya Wadam mendadak ter-
sentak. Meluncur ganas setelah Arya Wadam me-
negangkan otot-otot perutnya. Sungguh suatu 
permainan tenaga dalam yang sangat luar biasa 
di mata si prajurit.
Sebisanya, prajurit Rungkut membuang 
tubuh kalau tak mau terhajar luncuran potongan 
tombak yang disentakkan lewat perut lawan. Dan 
selagi tubuhnya bergulingan, lawan telah menge-
jar. Tepat ketika berdiri, sodokan dengkul Arya

Wadam telah mendahului.
Beghk!
Mantap, dengkul Arya Wadam mendarat di 
perut si prajurit pongah. Mata si prajurit kembali 
mendelik. Mulutnya meringis serba salah. Rasa 
mual luar biasa mengaduk-aduk perutnya. Apes 
nasibnya kali ini. Lebih apes lagi, jatuh terdu-
duknya tepat di atas batu agak runcing. Akibat-
nya, makin melotot saja matanya. Batu runcing 
itu kurang ajar sekali menelusup ke..., ah, makin 
seru saja ringisannya.
"Hei, kau apakan temanku!" teriak prajurit 
Sarpan, terbengong-bengong.
"Dia terlalu pongah untuk dijadikan praju-
rit. Dan aku hanya sedikit memberi pelajaran 
agar sedikit bisa menghargai wong cilik," sahut 
Arya Wadam, tenang.
Si prajurit Sarpan kembali menoleh ke arah 
temannya. Antara rasa iba dengan rasa senang 
bercampur jadi satu. Iba karena hal itu terjadi 
pada temannya. Senang, karena dengan begitu 
prajurit Rungkut tak lagi omong besar. Sebab se-
lama ini, prajurit Rungkut memang dikenal seba-
gai prajurit yang cuma pintar ngomong, galak, se-
kaligus pongah.
Di dada prajurit Sarpan sendiri sebenarnya 
telah timbul kegentaran yang amat sangat melihat 
kedigdayaan wanita yang ternyata tak bisa diang-
gap remeh ini. Namun dia berusaha menenang-
kan perasaannya.
"Sebenarnya, Nona mau ketemu siapa?"

tanya prajurit Sarpan, berusaha ramah.
"Aku ingin bertemu Adipati Kutowinangun," 
sahut Arya Wadam, tegas.
"Beliau ada. Tapi...."
"Biarkan dia masuk, Prajurit!" 
Sebuah suara tegas memenggal kata-kata 
prajurit Sarpan, Saat itu juga si prajurit menoleh, 
lalu langsung menjura.
Inikah Adipati Kutowinangun? Seketika 
timbul pertanyaan di hati Arya Wadam. Dan jan-
tungnya pun berdebar-debar....
* * *
"Kenapa kakangku belum pulang juga? Ke 
mana dia sebenarnya?" tanya Bocah Tua Sakti 
berkata-kata sendiri.
Semalaman lelaki tua pendek ini menung-
gu Ki Ageng Wirakrama. Sambil menunggu, dia 
berbincang-bincang dengan kakak iparnya, Nini 
Berek. Tapi yang ditunggu-tunggu ternyata tak 
muncul juga. Bahkan sampai Nini Berek tertidur, 
Bocah Tua Sakti masih setia menunggu. 
Kerinduan selama tujuh tahun dipendam 
membuat Ki Ageng Wiradharma begitu ingin ber-
temu kakaknya. Dan dia rela tak memejamkan 
mata hanya untuk menanti sang kakak.
Semalam, Bocah Tua Sakti pun memohon 
pada Nini Berek agar menasihati suaminya untuk 
tidak terlibat dengan urusan kerajaan. Tapi pe-
rempuan tua jelek itu seperti tak peduli. Bahkan

dia bertekad untuk ikut membantu suaminya ka-
lau memang dianggap perlu. Karena selama ini 
perempuan itu percaya kalau hanya untuk meng-
hadapi orang-orang kerajaan, Ki Ageng Wirakra-
ma bisa mengatasinya.
Mendapat jawaban tak peduli dari mulut 
Nini Berek, Bocah Tua Sakti kecewa berat. Pa-
dahal, dia ingin kakangnya bisa berubah untuk 
meninggalkan dunia sesat. Tapi justru jawaban 
Istri kakaknya ini seolah malah kian menjerat Ki 
Ageng Wirakrama terjerat dalam kegelapan.
Sampai pada akhirnya lamunan Ki Ageng 
Wiradharma terpenggal oleh....
"Gawat! Gawat...! Bocah Tua Sakti! Kemari 
cepat!"
Teriakan meledak-ledak terdengar dari mu-
lut Nini Berek. Dari nada suaranya Bocah Tua 
Sakti bisa menafsir kalau perempuan tua jelek itu 
tengah kalap bukan main. Maka cepat tubuhnya 
beringsut bangkit. Mantap, kakinya melangkah 
menghampiri Nini Berek yang tidur di sebuah ba-
tu bekas reruntuhan candi.
"Ada apa, Nini? Kenapa kau tampak kalap 
begitu?" tanya Bocah Tua Sakti, heran. 
Prot!
Bukannya menjawab, Nini Berek malah 
menyemprotkan ludah sirihnya yang tak pernah 
lepas dari mulut kendornya. Dari duduknya di 
atas batu, dia melompat turun.
"Aku mendapat firasat tak enak, Wirad-
harma! Aku melihat Kakang Ageng Wirakrama di

bawa seekor naga raksasa," lapornya meledak-
ledak.
"Hah?! Jadi Kakang Ageng Wirakrama telah 
datang, Nini? Kapan datangnya? Kok aku tak me-
lihat. Dan kenapa kau biarkan naga itu memba-
wanya pergi?!" ledak Bocah Tua Sakti, bertubi-
tubi. Nyaris tak memberi kesempatan Nini Berek 
menarik napas.
"Dalam mimpi, Goblok!"
Tak tahan lagi, tongkat di tangan Nini Be-
rek bergerak ke kepala Bocah Tua Sakti. 
Tak!
"Adaaaooo! Kenapa kau pukul aku, Nini? 
Kau sendiri yang bilang kalau Kakang Ageng Wi-
rakrama dibawa seekor naga raksasa!" sergah Bo-
cah Tua Sakti. Mulutnya meringis-ringis, merasa-
kan sakit berdenyut-denyut di kepalanya.
"Iya, tapi ini hanya dalam mimpi!"
"Lho? Memang bangsa siluman bisa ber-
mimpi?"
"Memang hanya manusia saja yang boleh 
bermimpi?! Hanya bedanya, bangsa siluman bisa 
memilih mimpi. Sedangkan bangsa manusia ti-
dak. Bila aku bisa memilih mimpi enak-enak, kau 
tak bisa mengelak dari mimpi buruk!" jelas Nini 
Berek.
"Lha, buktinya kau mimpi buruk?" tukas 
Bocah Tua Sakti tak mau kalah.
"Yang ini lain. Mimpiku sekarang ini beru-
pa firasat. Bukan mimpi biasa. Ketika aku minta 
mimpi bertemu Kakang Ageng Wirakrama, justru

yang muncul sangat mengerikan. Kakang Ageng 
Wirakrama telah dibawa seekor naga amat besar. 
Jelas, ini pertanda buruk!"
Bocah Tua Sakti tercekat. Pertanda apa 
ini? Tanyanya dalam hati. Seolah ingin menda-
patkan penjelasan dari perempuan tua jelek itu, 
matanya terus menghujam ke biji mata celong Ni-
ni Berek.
"Mau apa kau lihat-lihat?! Naksir, ya?!" 
bentak Nini Berek.
Naksir katanya? Ya, ampun! Orang gila sa-
ja mungkin akan berpikir dua kali untuk melihat 
wajah Nini Berek. Dan lagi, bisa-bisanya dia ber-
kata begitu sementara katanya tadi mendapat fi-
rasat jelek. Ah, dasar perempuan siluman! Seru 
Bocah Tua Sakti, tatap dalam hati.
"Iya, tapi pertanda buruk apa? Tolong je-
laskan, Nini!" desak Bocah Tua Sakti, tak sabar. 
Tatapannya penuh tuntutan.
"Itu berarti umur suamiku tak panjang. Bi-
sa jadi malah sudah tewas," sahut perempuan je-
lek itu, terus terang.
"Kau jangan bercanda, Nini!"
"Apa kau lihat aku sedang bercanda?" cibir 
si nenek jelek.
"Kira-kira, di mana suamimu tewas?!" kejar 
Bocah Tua Sakti.
"Hm..., ya. Tunggu..., tunggu. Kuingat-
ingat dulu tempat yang tergambar dalam mimpiku 
itu...."
Si nenek jelek memejamkan matanya. Ke

palanya mengangguk-angguk. Bukan. Maksudnya 
bukan setuju kalau suaminya tewas. Dia men-
gangguk karena memang mau mengangguk. Se-
kaligus, mengingat-ingat di mana tempat yang 
tergambar di mimpinya.
"Di mana, Nini?" usik Bocah Tua Sakti.
"Apanya?" Si perempuan jelek malah balik 
bertanya.
"Lho? Bukannya kau sedang mengingat-
ingat tempat suamimu dibawa oleh seekor naga 
raksasa? Di mana tempatnya?!" semprot Bocah 
Tua Sakti, sewot.
"Wah, aku salah mengingat-ingat. Yang 
timbul dalam pikiranku malah tempat di mana 
aku pertama kali merasakan nikmatnya malam 
pertama. Tunggu..., tunggu...."
Jawaban Nini Berek makin membuat dong-
kol Bocah Tua Sakti. Kepalan tangan centeng pun 
kalah besar dengan rasa dongkol di lehernya.
"Hm, ya! Aku ingat. Di Bukit Srondol. Te-
patnya, di kaki bukit itu!" sentak Nini Berek.
"Kalau begitu, aku sekarang juga mohon 
pamit. Aku harus cepat ke Bukit Srondol. Siapa 
tahu Kakang Ageng Wirakrama masih sehat 
wal’afiat!"
Di ujung kalimatnya, Bocah Tua Sakti itu 
menyentak kakinya. Seketika tubuhnya telah me-
luncur cepat. Arahnya, Bukit Srondol.
"Taruhan, aku bakal sampai lebih dahulu, 
Wiradharma!" teriak Nini Berek bertabiat aneh 
itu.

TUJUH

SETELAH diterima oleh Kanjeng Gusti Pra-
bu Sutawijaya di pendopo Keraton Demak, Satria 
dipersilakan untuk berbincang-bincang dengan 
Mahapatih Bagaspati di Taman Sari. Sekalian, 
melepas rindu pada orang penting di kerajaan ini 
yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya 
sendiri. 
"O, jadi Kanjeng Susuhan telah wafat bebe-
rapa waktu yang lalu, ya Kang?" buka Satria. 
"Ya, begitulah. Namanya juga umur. Dan 
lagi, Kanjeng Susuhan memang sudah sangat 
tua," desah Mahapatih Bagaspati.
"Maaf, Kang, Aku sungguh baru mendengar 
kabar itu dari mulut Gusti Prabu tadi," ucap Sa-
tria, polos. 
"Sudahlah. Aku dan Kanjeng Gusti Prabu 
memaklumi kalau kau senang berpetualang. Dan 
yang penting sekarang, memikirkan siasat yang 
akan kita jalankan untuk menghadapi Ganang 
Laksono.... Hmm, tak kusangka. Di balik diamnya 
manusia itu tersimpan maksud-maksud busuk," 
gumam Mahapatih Bagaspati.
Tadi, di pendopo Satria Gendeng sudah di-
beri penjelasan siapa itu Ganang Laksono. Menu-
rut penjelasan Mahapatih Bagaspati, Panglima 
Ganang Laksono sudah lama mengundurkan diri 
dari jabatan panglima. Tepatnya, dua bulan setelah adik kandungnya dihukum mati oleh pihak 
kerajaan karena tertangkap basah berzina dengan 
istri orang.
Semula pihak kerajaan tak berprasangka 
buruk atas pengunduran diri Panglima Ganang 
Laksono. Namun kecurigaan sedikit demi sedikit 
mulai muncul setelah sekian tahun Panglima Ga-
nang Laksono lenyap seperti ditelan bumi.
Dan begitu Satria menceritakan tentang 
apa yang diceritakan Arya Wadam mengenai akan 
adanya pemberontakan, kecurigaan pihak Kera-
jaan Demak makin beralasan. Dan itu artinya, ke-
rajaan dalam keadaan genting.
"Tapi, Kang. Aku belum jelas benar menge-
nai kunjungan Gusti Prabu Sutawijaya ke Kadipa-
ten Kutowinangun," Satria mengalihkan pembica-
raan.
Sikap Mahapatih Bagaspati benar-benar 
seperti seorang kakak pada adik kandungnya. Di-
rengkuhnya bahu kekar si anak muda perkasa 
yang duduk di sampingnya.
"Memangnya tadi kau tak memperhatikan 
penjelasan Gusti Prabu?" tanyanya.
Satria menggeleng perlahan. "Perhatianku 
saat itu justru pada wajah Dewi Sekardadu, putri 
Kanjeng Gusti Prabu. Kalau kuperhatikan, wa-
jahnya mirip..., mirip..., Arya Wadam. Ya! Aku kok 
ingat sekarang?! Betul! Wajahnya mirip Arya Wa-
dam temanku!" cerocosnya, meledak-ledak.
Mahapatih Bagaspati jadi heran. Kenapa 
anak muda di sampingnya ini mendadak jadi sa

wan begitu? Setan apa yang merasukinya? Lebih 
sinting lagi, dicengkeramnya bahu Mahapatih Ba-
gaspati dan diguncang-guncangkan dengan keras.
"Hei, hei! Apa-apaan kau ini, Adi Satria! Li-
hat! Kau jadi pusat perhatian para prajurit di se-
kitar Taman Sari ini! Apa kau tak malu berting-
kah begitu?" tegur Mahapatih Bagaspati antara 
kesal campur geli. Malah kalau bisa campur ra-
cun.
"Maaf, Kang. Aku terlalu gembira. Tapi, apa 
bergembira di sini dilarang?" Satria melepaskan 
cengkeramannya di bahu Mahapatih Bagaspati.
"Ya, boleh saja. Tapi jangan sampai kalap 
begitu," Mahapatih Bagaspati menggeleng-geleng. 
"Lantas, apa yang membuatmu gembira?" susul-
nya.
"Anu, Kang. Anu...," Satria malah tersengal. 
"Tadi aku sudah cerita tentang temanku yang 
bernama Arya Wadam, kan?"
Satria menepuk jidatnya sendiri. "Maaf, 
aku lupa. Maksudku, aku tadi menyinggung sedi-
kit tentang temanku yang bernama Arya Wadam. 
Nah, temanku itu mengaku telah dibuang oleh 
kedua orangtuanya di sebuah hutan. Dia lalu di-
ketemukan oleh seorang tokoh silat wanita yang 
konon kabarnya awet muda. Singkat cerita, begitu 
telah besar dan muncul di dunia persilatan, Arya 
Wadam bertemu denganku. Tapi karena suatu 
persoalan, dia meninggalkan ku. Lantas sekarang, 
ketika tadi aku melihat wajah Dewi Sekardadu, 
ternyata wajahnya mirip sekali dengan Arya Wadam. Jangan-jangan!"
"Bisa jadi, Adi Satria!" potong Mahapatih 
Bagaspati langsung menangkap jalan pikiran Sa-
tria Gendeng. "Nah, sebaiknya kembali ku je-
laskan dulu cerita Kanjeng Gusti Prabu tadi."
* * *
Sewaktu masih menjadi Putra Mahkota, 
Sutawijaya telah mempunyai dua orang anak 
kembar. Anak yang lahir pertama diberi nama 
Dewi Sekarputri. Sedangkan adik kembarnya ber-
nama Dewi Sekardadu. Menurut adat tanah Ja-
wa, jika salah satu bayi ingin selamat, maka ha-
rus dipisahkan hingga menjelang dewasa.
Maka diputuskanlah Dewi Sekarputri si 
anak pertama untuk dititipkan pada Adipati Ku-
towinangun. Setiap setahun sekali, utusan kera-
jaan datang untuk menanyakan perkembangan 
Dewi Sekarputri. Dan dari pihak kadipaten selalu 
menjawab bahwa keselamatan Dewi Sekarputri 
selalu terjaga. Dan menurut penjelasan pihak ka-
dipaten Dewi Sekarputri tengah dititipkan pada 
seorang resi untuk dididik budi pekertinya, serta 
ilmu olah kanuragan.
Selama delapan belas tahun Sutawijaya 
percaya dengan penjelasan pihak kadipaten. Ka-
rena selama itu Sutawijaya tak boleh menengok-
nya kecuali usia Dewi Sekarputri telah genap de-
lapan belas tahun, maka baru beberapa hari yang 
lalu Sutawijaya bisa menengok putri sulungnya.

Tapi apa yang didapat?
Nihil.
Ketika Sutawijaya yang kini telah meme-
gang tampuk kekuasaan di Kerajaan Demak ber-
kunjung ke Kadipaten Kutowinangun yang saat 
itu sudah dijabat putranya, sang adipati baru 
menjelaskan keadaan sebenarnya. Bahwa, sejak 
masih bayi Dewi Sekarputri telah diculik oleh seo-
rang tokoh sesat bernama Setan Penyair.
Dengan tersedu-sedu, Adipati Kutowinan-
gun lama memohon ampun. Dia berusaha menje-
laskan kalau pihak kadipaten telah menyediakan 
uang tebusan untuk si penculik. Tapi entah ke-
napa, tokoh berjuluk Setan Penyair itu justru tak 
kembali-kembali lagi. Kiprahnya seolah lenyap 
bersama sang jabang bayi.
Untuk melegakan hati Sutawijaya, Adipati 
Kutowinangun terpaksa berdusta dengan menga-
takan bahwa Dewi Sekarputri tengah dititipkan 
pada seorang resi. Sampai jabatannya diserahkan 
pada anaknya, Adipati Kutowinangun lama berpe-
san kepada Adipati Kutowinangun yang baru agar 
merahasiakan hal tentang Dewi Sekarputri sam-
pai Gusti Prabu Sutawijaya datang.
Untung saja, Gusti Prabu Sutawijaya berji-
wa besar. Dia menganggap, Adipati Kutowinangun 
lama tidak bersalah. Karena kejadian penculikan 
itu toh di luar perkiraannya. Dan lagi, Adipati Ku-
towinangun waktu itu telah berusaha menyedia-
kan uang tebusan, sekaligus mencari tokoh ber-
nama Subali alias Setan Penyair.

Sepulang dari Kadipaten Kutowinangun, 
rombongan Gusti Prabu Sutawijaya yang didam-
pingi Mahapatih Bagaspati serta Panglima Darma 
Kusuma dicegat tokoh sesat yang mengaku ber-
nama Ki Ageng Wirakrama.
* * *
"Dan manusia sesat itu akhirnya dapat kau 
kalahkan, Adi Satria," Mahapatih Bagaspati me-
natap kagum pada anak muda di sampingnya.
Yang ditatap malah seperti tak peduli. Ma-
tanya menerawang pada bayang semu. Bayang-
bayang yang menggelitiknya ke arah kisah perte-
muannya dengan Arya Wadam yang semula dis-
angka seorang lelaki. Dan begitu tudung Arya 
Wadam dibuka, terperanjatlah si anak muda.
Satria Gendeng tersenyum-senyum sendiri 
membayangkan betapa cantiknya Arya Wadam. 
Sayang si pemuda saat ini telah mempunyai ke-
kasih yang juga tengah berpetualang dalam dunia 
persilatan. Tresnawati namanya. Dan mereka te-
lah berjanji bulan purnama nanti akan bertemu 
di Tanjung Karangbolong.
"Hei, kau melamun, Adi Satria?" Mahapatih 
Bagaspati mengibas-ngibas telapak tangannya di 
depan wajah Satria. 
Tebakan lelaki ini memang tepat. Tapi aki-
batnya bayangan wajah Tresnawati malah terusir 
seketika itu juga.
"Sekarang aku yakin, Arya Wadam jelas

kembarannya Dewi Sekardadu," kata Satria, se-
perti berkata untuk dirinya sendiri. 
"Aku pun juga berpikiran demikian, Adi. 
Tapi di mana sekarang Arya Wadam?"
"Iya, ya. Di mana dia sekarang, ya? Waktu 
meninggalkan ku di kedai dekat Desa Sedayu, dia 
dalam keadaan marah. Aku berusaha menca-
rinya, tapi hasilnya nihil," desah Satria.
Sejenak suasana terkepung keheningan. 
Bungkam. Tak ada yang bersuara.
Mendadak. 
"Chi-huiii...!" lonjak Satria tiba-tiba.
"Ada apa, Adi?" Malah Mahapatih Bagaspa-
ti yang terheran-heran.
Tingkah bocah bertabiat sinting itu me-
mang kebangetan....
* * *
Di pendopo kadipaten, Arya Wadam duduk 
berhadapan dengan seorang lelaki berusia sekitar 
empat puluh delapan tahun. Gagah, menampak-
kan kewibawaan. Wajahnya cukup tampan den-
gan kumis tipis menghias di bawah hidungnya. 
Pakaiannya indah, sebagaimana layaknya adipati.
"Apa maksudmu mencariku, Arya?!" tanya 
lelaki tampan yang memang Adipati Kutowinan-
gun, setelah sebelumnya menanyakan nama si 
gadis.
"Aku hendak mencari keterangan tentang 
kedua orangtua ku. Menurut guruku, kedua

orangtua ku berasal dari kadipaten ini. Atau ma-
lah bisa jadi adipati di kadipaten ini," jelas Arya 
Wadam, terus terang.
"Aku adipati di sini. Tapi semua anakku la-
ki-laki. Jadi bagaimana maksudmu?"
"Menurut guruku, waktu aku masih bayi, 
aku diculik oleh tokoh sesat berjuluk Setan Pe-
nyair. Lalu oleh Setan Penyair, aku dibuang di se-
buah hutan, hingga kemudian ditemukan oleh 
guruku," Jelas Arya Wadam.
Adipati Kutowinangun tersentak. Ingatan-
nya langsung tertuju pada peristiwa sekitar dela-
pan belas tahun yang lalu. Saat itu, kedua orang-
tuanya dititipi seorang bayi perempuan oleh Gusti 
Prabu Sutawijaya. Baru beberapa hari, si jabang 
bayi telah diculik oleh Setan Penyair.
Kejap berikutnya, tatapan Adipati Kutowi-
nangun yang bernama Brata Wisnu ini menatap 
Arya Wadam. Pandangannya seolah menyelidik. 
Tapi sejurus kemudian senyumnya terkembang. 
Sulit mengartikan senyum lelaki itu.
"Aku tidak bermaksud membenarkan, tapi 
juga tidak bermaksud menyalahkan. Memang ku-
akui, kedua orangtua ku memang pernah dititipi 
bayi perempuan yang kemudian diculik oleh Se-
tan Penyair. Bayi itu adalah anak dari Gusti Pra-
bu Sutawijaya. Tapi mohon kau mengerti. Dunia 
ini penuh tipu muslihat. Bisa saja ada seseorang 
yang mengaku-aku sebagai anak raja, yang pada 
akhirnya ternyata bukan. Sedihnya lagi, orang itu 
menyimpan maksud-maksud tertentu, mengeruk

keuntungan dari peristiwa yang terjadi. Misalnya 
peristiwa yang dialami...."
"Cukup!" potong Arya Wadam. "Kedatan-
ganku ke sini bukan bermaksud mengemis-
ngemis agar diakui anak! Aku sudah cukup baha-
gia hidup menyatu dengan alam. Kedatanganku 
ke sini hanya sekadar membuktikan, apakah ke-
dua orangtua ku masih ada atau tidak. Kanjeng 
Adipati jangan menuduh yang bukan-bukan!" 
sentaknya, geram bukan main.
"O, o, o.... Jangan salah paham, Arya. Aku 
tidak bermaksud menuduhmu begitu," Adipati 
Brata Wisnu menggerak-gerakkan telunjuknya di 
depan wajah. "Justru aku merasa berterima kasih 
kau mau datang ke tempat ini. Melihat kepan-
daianmu tadi dalam menjatuhkan prajuritku den-
gan mudah, aku yakin kalau kau adalah seorang 
tokoh persilatan. Maka aku benar-benar menda-
pat penghargaan didatangi pendekar macam kau. 
Dan soal kedua orangtuamu, jangan khawatir. 
Nanti bisa kita buktikan setelah kau kupertemu-
kan dengan kedua orangtua ku. Karena, beliaulah 
yang waktu itu dititipi oleh Gusti Prabu. Kau se-
tuju?"
Senyum ramah Adipati Kutowinagun ter-
kembang. Tak ada yang tahu kalau dalam se-
nyumnya tersimpan jerat-jerat berbisa.
Dengan pasti Arya Wadam mengangguk. 
Dia merasa tertantang untuk membuktikan kebe-
naran ucapannya. Siapa tahu, kedua orang Adi-
pati Kutowinangun ini bisa mengenali dengan

tanda-tanda khusus yang ada di tubuhnya.
"Nah, untuk sementara, kau beristirahat-
lah. Sambil menunggu kedua orangtua ku yang 
sedang berkunjung ke rumah seorang kerabat, 
kau bisa beristirahat di kamar. Biar nanti seorang 
emban yang akan mengantarmu," kata Adipati 
Brata Wisnu, ramah sekali.
* * *
Di sebuah ruangan khusus, Adipati Kuto-
winangun duduk berhadapan dengan seorang le-
laki gagah berpakaian panglima. Siapa lagi kalau 
bukan Panglima Ganang Laksono?
"He he he.... Umpan telah masuk perang-
kap, Adi Ganang!" kekeh Adipati Brata Wisnu.
"Maksudmu, gadis yang datang ke tempat 
ini tadi?" tanya Panglima Ganang Laksono. 
"Ya! Ketika aku melihat wajahnya, ternyata 
mirip sekali dengan Dewi Sekardadu. Dan men-
dengar ceritanya, aku semakin yakin kalau gadis 
itu kakak dari Dewi Sekardadu. Untung aku tadi 
menyuruhmu menyingkir, Adi Ganang. Aku takut, 
kau mengenalinya. Atau sebaliknya, dia mengena-
limu," kata Adipati Kutowinangun ini.
"Benar, Kakang Brata. Biar bagaimanapun 
kedatanganku ke sini harus dirahasiakan. Cita-
cita belum tercapai. Dan kita butuh kewaspadaan 
tinggi!" tegas Panglima Ganang Laksono.
"Bila gadis itu sudah menjadi tawanan kita, 
maka tinggal menggertak Gusti Prabu saja. Kita

bunuh gadis itu, atau dia harus menyerahkan 
takhta kepadamu. He he he...!"
"Sungguh pucuk dicinta ulam tiba. Kau 
memang cerdik Kakang Brata. Tak percuma kau 
menjadi kakak iparku."
"Ya, tapi jangan lupa janjimu. Bila kau jadi 
Raja Demak, wilayah kadipaten ini harus lepas 
dari Kerajaan Demak. Karena, aku ingin mendiri-
kan kerajaan sendiri."
"O, jangan khawatir, Kakang. Ludah yang 
telah kukeluarkan tak mungkin kujilat lagi. 
Hmmm, kira-kira gadis itu sudah semaput be-
lum?"
"Menurut waktunya, gadis itu harus sudah 
pingsan. Tapi apa salahnya kalau aku memerik-
sanya."
Di akhir kalimatnya, Adipati Brata Wisnu 
bangkit dari duduknya. Dengan langkah mantap, 
kakinya bergerak keluar ruangan khusus ini. Se-
gera ditelusurinya lorong keraton.
Tadi, Adipati Brata Wisnu memerintahkan 
pelayan untuk membubuhi racun di dalam ma-
kanan dan minuman yang disediakan untuk Arya 
Wadam. Sejenis racun ganas yang bekerja lambat. 
Diperkirakan bila gadis itu menelannya, bisa 
langsung pingsan. Layaknya tertidur, dalam bebe-
rapa hari nyawanya tak tertolong lagi. 
Di depan pintu kamar yang disediakan 
Arya Wadam, Adipati Brata Wisnu menghentikan 
langkahnya. Sejenak telinganya dipasang tajam-
tajam. Tak ada suara sedikit pun yang terdengar.

Tok! Tok!
Lelaki setengah baya ini mengetuk pintu. 
Tak ada sahutan. Kembali diulangi ketukannya. 
Tetap sama. Dan ini membuat bibirnya terse-
nyum. Segera dibukanya pintu kamar.
"He he he.... Tidurlah untuk selamanya, 
Gadis Bodoh!" kekehnya, memuakkan.
* * *
"Aku jadi penasaran, rencana apa yang 
akan kau buat, Adi Satria?" tanya Mahapatih Ba-
gaspati. Dia yakin pemuda ini pasti berotak encer 
macam bubur.
"Siapa bilang aku punya rencana?" balik 
Satria, menjengkelkan.
"Lantas, kenapa kau melonjak kegirangan 
begitu?"
"Apa di sini ada larangan melonjak kegi-
rangan? Wah, ada ya? Kalau begitu maafkan si-
kapku, Kang. Aku tak tahu kalau di sini ada la-
rangan melonjak kegirangan," ucap Satria, polos. 
Amat polos.
Malah kini Mahapatih Bagaspati yang 
bungkam. Bocah bertabiat sinting macam Satria 
kadang memang menjengkelkan. Tapi di lain saat 
bisa seperti malaikat penyelamat. Untuk saat ini, 
Mahapatih Bagaspati tak tahu harus memilih 
yang mana.
"Kang, kalau boleh tahu, Panglima Ganang 
Laksono punya kerabat yang jadi pembesar di wilayah Kerajaan Demak ini atau tidak?!" tanya Sa-
tria tiba-tiba.
Sejenak Mahapatih Bagaspati berpikir ke-
ras. Lalu tiba-tiba secercah senyum tergambar di 
wajahnya.
"Aku tahu jalan pikiranmu, Adi!" tebaknya 
langsung. "Kau pasti mencurigai kerabat Pangli-
ma Ganang Laksono itu, bukan? Boleh, boleh. 
Walau aku belum percaya penuh, tapi setidaknya 
bisa dibuktikan dulu. Ya, Panglima Ganang Lak-
sono memang mempunyai kerabat yang jadi pem-
besar. Dan bodohnya, aku baru berpikir sekarang 
kalau Adipati Kutowinangun adalah kakak ipar 
Panglima Ganang Laksono. Sedangkan Adipati 
Purworejo adalah sepupu panglima pengkhianat 
itu. Tapi apa mungkin mereka berkhianat pula 
dengan mengadakan persekongkolan?"
"Bukankah kau bilang perlu dibuktikan 
dulu. Lantas, apa salahnya?" tukas Satria, mele-
tus begitu saja. 
"Caranya?"
Satria mendekatkan mulutnya ke telinga
Mahapatih Bagaspati. Lalu yang terdengar hanya 
suara mirip mendesis. Kejap kemudian, kepala 
patih itu mengangguk-angguk. 
"Boleh..., boleh. Begitu juga boleh. Aku se-
tujui rencanamu. Kapan akan dilaksanakan?" 
tanya Mahapatih Bagaspati.
"'Kalau bisa secepatnya. Lebih cepat lebih 
baik. Tapi Kakang mau tidak bersusah payah?" 
sahut Satria.

"O, tentu. Tentu. Demi kejayaan Kerajaan 
Demak, aku rela berkorban jiwa dan raga!" tandas 
lelaki gagah ini.
"Nah, kalau begitu pikiranku jadi tenang," 
desah Satria, sok tua.
"Sungguh aku kagum dengan otak cerdas-
mu, Adi Satria. Entah, bagaimana nasib Kerajaan 
Demak bila tidak ada dirimu, Adi," puji sang Ma-
hapatih, tulus.
Tapi yang dipuji seenaknya ngeloyor pergi 
begitu saja. Terutama ketika Satria melihat Dewi 
Sekardadu muncul di Taman Sari ini. Tinggal 
Mahapatih Bagaspati yang terbengong-bengong. 
Lantas kepalanya menggeleng pelan.

DELAPAN

JAHANAMMMM! Siapa yang membunuh 
Suamikuuuu?!! Hu hu hu... aku harus menuntut 
balasss.... Hu hu hu...."
Keheningan Bukit Srondol terbelah oleh te-
riakan yang disusul tangis meledak-ledak dari 
mulut Nini Berek. Di depannya terdapat sebuah 
makam bertanah merah dengan nisan dari tong-
kat butut berwarna hitam. Tongkat yang dikena-
linya sebagai milik Ki Ageng Wirakrama. Makam 
itulah yang ditangisinya.
Memang, sebelum meninggalkan tempat 
ini, prajurit-prajurit Demak menguburkan mayat 
Ki Ageng Wirakrama di kaki Bukit Srondol ini. Lelaki tua sesat itu tewas setelah bertarung habis-
habisan dengan pendekar perkasa yang saat ini 
menggoncangkan dunia persilatan. Satria Gen-
deng.
Di sebelah Nini Berek yang berjongkok di 
depan makam, berdiri terpekur Bocah Tua Sakti. 
Sungguh hati lelaki tua ini menyesal tak dapat 
bertemu dengan kakaknya. Menyesal, kenapa se-
jak dulu tidak menasihati kakangnya. Menyesal 
kenapa baru sekarang ini pulang ke tanah Jawa.
"Firasatku terbukti, Wiradharma! Lihat! 
Suamiku telah menyatu dengan tanah! Sekarang, 
apa kau masih tak percaya dengan mimpiku. Hu 
hu hu.... Oh, Kakang Ageng Wirakrama.... Kini 
aku sebatang kara. Kenapa begitu cepat kau me-
ninggalkan aku. Siapa yang membunuhmu, Ka-
kang? Siapa? Ayo jawab, Kakang!" oceh Nini Be-
rek tak karuan. Tangisnya makin menjadi-jadi.
Sinting juga wanita ini. Suaminya sudah 
mati, tapi masih juga diajak omong. Tapi memang 
bisa dimaklumi. Pikirannya saat ini sedang kalap. 
Bukankah orang kalap suka bicara seenaknya?
"Sudahlah, Nini. Mungkin memang sudah 
takdir umur kakangku hanya sampai di sini. Bi-
arkan dia beristirahat dengan tenang," ujar Bocah 
Tua Sakti, lembut.
"Tidak! Arwah suamiku tak bakalan tenang 
sebelum aku menemukan pembunuhnya!" sentak 
Nini Berek, keras kepala.
Bocah Tua Sakti hanya mampu mengge-
leng-geleng kepala. Sebagai tokoh putih, dia cu

kup menyadari kematian kakangnya. Memang 
ada rasa menyesal pada dirinya, karena belum 
sempat bertemu setelah sekian lama mengembara 
ke Swarnadwipa. Tapi penyesalan memang tak 
harus dipendam dalam hati. Dia percaya, segala 
sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Kalau begitu, aku harus kembali ke Swar-
nadwipa, Nini. Aku harus menghilangkan keke-
cewaan ini dengan pergi merantau," kata Bocah 
Tua Sakti.
"Kau terlalu, Wiradharma. Kakangmu di-
bunuh orang, kau malah pergi. Mestinya kau ha-
rus membalaskan dendam kakangmu!" sentak 
Nini Berek.
"Tidak, Nini. Apalah artinya dendam. Kalau 
dituruti, dendam tak pernah akan habis. Mungkin 
saja Yang Maha Kuasa telah menentukan bahwa 
kematiannya memang harus di tangan orang. Dan 
dengan demikian, dia sekaligus membayar dosa-
dosa yang telah diperbuatnya dahulu," tegas lela-
ki tua pendek itu bijak.
"Baik! Kalau kau mau pergi, pergi sekarang 
juga! Ingat jangan pernah lagi menganggap kalau 
aku ini kakak iparmu!" usir Nini Berek makin ka-
lap.
"Maaf, Nini. Biar bagaimana, kau tetap ka-
kak iparku. Tapi tolong jangan paksa aku untuk 
mengikuti hawa nafsumu" 
"Cepat pergi kataku! Pergiiii!!!"
Tanpa kata, Bocah Tua Sakti melangkah 
perlahan. Sejenak kepalanya masih menoleh ke

arah makam kakangnya. Lalu mantap sekali ka-
kinya menjejak tanah dan berkelebat cepat.
Nini Berek tak peduli lagi. Sejenak dipan-
danginya kuburan Ki Ageng Wirakrama. Tepat ke-
tika Bocah Tua Sakti tak terlihat lagi, perempuan 
tua jelek ini bangkit, bertumpu dengan tongkat 
putihnya. Dan tiba-tiba, tongkat putihnya berge-
rak, mendongkel setiap bongkahan tanah merah 
makam suaminya.
Makin lama makin banyak tanah terkum-
pul di pinggir makam. Sedang makam itu sendiri 
makin berlubang dalam. Tak sabar, Nini Berek 
mengerahkan tenaga dalamnya. Maka dalam se-
kejapan, makam telah terbongkar seluruhnya.
Begitu mendapati jasad suaminya. Nini Be-
rek cepat meraih dengan tangan kiri. Lalu dile-
takkannya jasad kaku itu di pundak. Sekali me-
nyentakkan kaki, tubuh Nini Berek telah berada 
di atas
Setelah meraih tongkat butut Ki Ageng Wi-
rakrama, si nenek jelek berkelebat meninggalkan 
kesunyian kaki Bukit Srondol.
* * *
Rencana Adipati Kutowinangun berjalan 
mulus, semulus kulit bayi. Di kamar yang dis-
ediakan, Arya Wadam tergolek pingsan. Itu sete-
lah si gadis tanpa banyak curiga menyantap hi-
dangan yang disediakan. Perutnya mulas saat itu 
juga, Kepalanya pening berdenyut-denyut. Pan

dangannya makin mengabur. Bahkan tenggoro-
kannya terasa panas seperti baru saja menelan 
bara. 
Si gadis mau berteriak. Tapi sedikit pun 
tak ada suara yang berhasil terlontar dari mulut-
nya. Jangankan berteriak, untuk menelan ludah 
saja tak mampu. Sementara, keringat dingin me-
nyeruak dari setiap lubang pori-porinya. Wajah-
nya pun kian pucat saja. Itu pertanda, racun ga-
nas yang dibubuhi dalam makanan telah bekerja. 
Artinya, perlahan-lahan racun akan menjalar da-
lam setiap jaringan saraf-saraf. 
Jika hal itu didiamkan dalam jangka dua 
minggu, jangan harap nyawa Arya Wadam akan 
selamat. Dalam keadaan begini. Adipati Kutowi-
nangun dan Panglima Ganang Laksono akan me-
manfaatkannya sebagai alat untuk menekan Gus-
ti Prabu Sutawijaya agar menyerahkan takhta ke-
rajaan kepada Panglima Ganang Laksono.
Bukankah dengan demikian Panglima Ga-
nang Laksono tak perlu susah payah membujuk 
beberapa pembesar kerajaan untuk menyokong 
rencananya? Bukankah dengan demikian dia tak 
perlu mengutak-atik tiga peti uang kepeng yang 
didapat dari Setan Madat?
"Bagaimana jalannya perundingan dengan 
Gusti Prabu Sutawijaya nanti, Kakang Brata?" 
tanya Panglima Ganang Laksono, semangat.
Di ruangan pendopo, lelaki tinggi besar itu 
duduk berhadapan dengan Adipati Kutowinan-
gun. Sebuah meja bulat menjadi pembatas. Di

atasnya, terhidang buah-buahan ranum kemera-
han mengundang selera. Sebuah guci tuak dan 
dua buah cangkir bambu juga ada di sana.
"Gampang. Aku akan mengutus beberapa 
prajurit untuk menyerahkan surat ancaman. Kita 
jelaskan kalau Dewi Sekarputri ternyata masih 
hidup, dan kini berada di tangan kira. Tentu saja 
untuk mengambilnya tak semudah itu. Terlebih 
dahulu, Gusti Prabu harus membuat surat per-
nyataan yang isinya, segera menyerahkan takhta 
Kerajaan Demak tanpa syarat, dan tanpa paksaan 
dari pihak mana pun kepadamu. Surat harus dis-
erahkan Gusti Prabu sendiri. Bila surat sudah di 
tangan kita, langsung ringkus saja dia. Lalu, kau 
cepat pergi ke kerajaan. Umumkan bahwa kau te-
lah ditunjuk Gusti Prabu untuk memerintah Ke-
rajaan Demak. Kau jelas?" papar Adipati Brata 
Wisnu.
"Sangat jelas. Sangat jelas. Lantas, kalau 
pembesar kerajaan banyak yang tak percaya?"
"Tunjukkan surat pernyataan itu."
"Kalau mereka tetap tak percaya?"
"Nyawa Dewi Sekarputri dan nyawa Gusti 
Prabu ada di tangan kita!"
Secercah senyum langsung tergambar di 
wajah Panglima Ganang Laksono. Dalam hati, dia 
benar-benar mengagumi kecerdikan kakak ipar-
nya. Tak percuma dia mengajak kakak iparnya 
untuk bergabung menumbangkan takhta Kera-
jaan Demak.
"Nah, sekarang bagaimana rencanamu se

lanjutnya, Adi Ganang?" tanya Adipati Brata Wis-
nu lebih lanjut.
"Rasanya aku sudah tak sabar lagi untuk 
mengajak bergabung saudara sepupuku di Kadi-
paten Purworejo," sahut Panglima Ganang Lakso-
no.
"Maksudmu, Adipati Lirboyo?"
"Benar. Tapi sebelum itu aku harus mene-
mui guruku lebih dulu di Bukit Menjangan. Mu-
dah-mudahan guruku sudah menghubungi te-
man-temannya untuk membantuku dalam men-
gadakan pemberontakan nanti."
"Dan aku akan segera mengirimkan- utu-
san ke Kerajaan Demak besok pagi. Aku yakin, 
Gusti Prabu akan terkejut membaca surat kita. 
Ha ha ha...."
Suara tawa Adipati Kutowinangun bergema 
di sekitar ruangan pendopo. Juga tawa keras 
Panglima Ganang Laksono. Dalam benaknya pun 
telah terbayang kalau dirinya tengah duduk di 
singgasana Kerajaan Demak.
* * *
Tanpa diketahui, sebuah bayangan kasat 
mata tengah mendengarkan pembicaraan antara 
Adipati Kutowinangun dengan Panglima Ganang 
Laksono. Sebuah bayangan yang kalau diperhati-
kan berbentuk seorang anak muda tampan. Ba-
junya rompi putih dari kulit binatang. Bergaris 
rahang jantan. Bermata sembilu. Celananya

pangsi sebatas lutut.
Dialah Satria.
Apa yang dilakukan pemuda bertabiat sint-
ing tapi berotak cerdas itu?
Inilah bagian dari rencana si anak muda 
perkasa. Akal cerdiknya menyuruhnya untuk se-
gera menggunakan ajian 'Melepas Sukma' yang 
diwariskan guru gendengnya, Dongdongka.
Waktu masih berada di Kerajaan Demak, 
Satria Gendeng menjelaskan rencananya setelah 
tahu bahwa ada dua adipati yang dicurigai men-
jadi pengkhianat dengan mendukung rencana 
Panglima Ganang Laksono. Kecurigaan itu cukup 
beralasan, karena sudah sekian lama Panglima 
Ganang Laksono tak terlihat di sekitar keraton 
kerajaan. Bahkan ada beberapa telik sandi yang 
pernah melihat kalau panglima pengkhianat itu 
sering berkunjung ke Kadipaten Kutowinangun 
dan Purworejo.
Semula pihak kerajaan tak begitu menang-
gapi. Tapi ketika mendengar kalau, Panglima Ga-
nang Laksono akan mengadakan pemberontakan, 
mau tak mau kecurigaan pun dilimpahkan pada 
kedua kadipaten tadi.
Berangkat dari alasan itu, Satria lantas 
memutuskan untuk mencari tahu ke Kadipaten 
Kutowinangun. Sedangkan Mahapatih Bagaspati 
berwarna beberapa telik sandi mencari tahu ke 
Kadipaten Purworejo. Tentu saja, Satria tak mau 
menjelaskan bagaimana caranya nanti menyusup 
ke Kadipaten Kutowinangun.

Senja telah terpuruk ketika Satria tiba di 
bagian belakang keraton kerajaan. Mata tajamnya 
yang telah terbiasa melihat dalam gelap sewaktu 
berada di goa tempat kediaman Ki Kusumo beru-
saha menelusuri tiap-tiap celah yang mungkin bi-
sa ditembusnya
Di tembok keraton sebelah utara, si pemu-
da perkasa melihat kalau di situ terdapat titik ce-
lah yang bisa ditembusnya. Di dekat tembok dia 
melihat ada beberapa pohon pinang setinggi atap 
keraton.
Dari tempatnya berdiri, Satria langsung 
mencelat. Mula-mula ke arah pohon pinang yang 
tak jauh darinya. Kakinya langsung menghentak 
sekali ke batang pinang. Lalu mencelat lagi ke 
arah tembok. Sekali menghentak lagi, tubuhnya 
mendekati pohon pinang dekat tembok sebelah 
utara. Sekali lagi menghentak, tubuhnya mence-
lat ke arah atap ketaton. Satu rangkaian gerak 
yang sering dilatihnya di Tanjung Karangbolong.
Dengan ilmu peringan tubuh yang selalu 
dilatihnya, Satria mengendap-endap di atas atap 
keraton. Nyatanya, hasil godokan Dongdongka 
dan Ki Kusumo terhadap kemampuan peringan 
tubuhnya selama ini telah membuahkan hasil 
sangat sempurna. Keberadaannya sama sekali tak 
diketahui oleh prajurit-prajurit kadipaten yang 
berjaga-jaga di tembok bagian utara.
Sasaran yang dituju Satria adalah pendo-
po. Biasanya, sebagaimana adat orang-orang ke-
raton, sehabis makan malam mereka berbincang

bincang di ruang utama pendopo. Itulah yang di-
pelajari si anak muda berotak cerdas selama be-
rada di keraton Kerajaan Demak.
Tiba di atas pendopo, Satria langsung me-
nelusup dengan membuka beberapa atap genting. 
Di situ dia mencuri dengar pembicaraan beberapa 
orang tentang Dewi Sekarputri yang diketahuinya 
adalah nama asli Arya Wadam. Saat itu juga, si 
pemuda perkasa mencari-cari letak kamar penye-
kapan.
Susan payah mencari, akhirnya Satria da-
pat menemukan kamar tempat Arya Wadam dis-
ekap. Maka di atas langit-langit itu pula si bocah 
bertabiat sinting ini bersemadi. Langsung dike-
rahkannya aji 'Melepas Sukma' warisan guru gen-
deng yang amat dihormatinya. Dongdongka. Itu-
lah, kenapa Satria kini enak-enak mencuri dengar 
pembicaraan antara Adipati Kutowinangun den-
gan Panglima Ganang Laksono dalam wujud ka-
sat mata.
* * *
Malam makin tertatih-tatih menuju dini 
hari.
Keraton Kadipaten makin terkepung kesu-
nyian. Semua penghuninya telah terseret ke da-
lam arus mimpi melenakan. Kecuali para prajurit 
penjaga, dan Satria Gendeng yang tengah menja-
lankan rencananya.
Dari atas langit-langit kamar tempat Arya

Wadam disekap, si bocah bertabiat sinting yang 
telah bersatu lagi dengan jasadnya itu segera me-
lompat ringan. Langsung diperiksanya keadaan si 
gadis.
"He he he.... Tak kusangka kalau kau be-
rada di sini, Arya. Akhirnya kau kutemukan juga. 
Tapi, kenapa wajahmu pucat begini? Dan.... Ya, 
ampun.... Detak jantungmu lemah sekali? Naga-
naganya kau.... Slompret! Kau pingsan, Arya Wa-
dam! Kukira kau enak-enakan tidur di sini," cero-
cos si pemuda dalam desahan nyaris tak terden-
gar.
Si pemuda berusaha mencari tahu, kenapa 
Arya Wadam sampai pingsan begitu. Segera wa-
jahnya didekatkan ke mulut Arya Wadam yang 
berbibir indah tapi berwarna kebiruan itu. Hidung 
si pemuda mengendus-endus.
"Slompret lagi! Kau keracunan, Arya! Wah, 
dia harus cepat-cepat disembuhkan. Dari baunya 
aku tahu, racun yang bersarang di tubuhnya ter-
golong ganas dan bergerak lambat. Hmmm.... aku 
harus menotoknya untuk menghambat menjalar-
nya racun ke seluruh jaringan sarafnya. Tapi aku 
tak mungkin menyembuhkannya di sini. Karena 
akan memakan waktu. Kalau gadis ini sampai si-
uman di tempat ini, bisa gagal rencanaku. Jadi, 
aku harus membawanya pergi sekarang juga," Sa-
tria segera meraih tubuh Arya Wadam yang ter-
baring di pembaringan.
Sekali menghentak lantai, tubuhnya telah 
mencelat ke atas langit-langit lewat lubang yang

dibuatnya. Sambil memondong Arya Wadam, Sa-
tria keluar menuju atap lewat genting-genting. La-
lu tubuhnya mencelat kembali keluar keraton le-
wat jalan yang tadi ditempuhnya saat menuju ke 
sini. Sekejapan, dia telah menghilang dalam kege-
lapan. Meninggalkan para prajurit yang terkan-
tuk-kantuk, dan siap dimaki-maki Adipati Kuto-
winangun akibat kelalaian mereka.

SEMBILAN

PAGI beranjak 
Sudah sejak tadi Panglima Ganang Lakso-
no meninggalkan Kadipaten Kutowinangun. Ha-
tinya sudah tak sabar lagi untuk menemui gu-
runya di Bukit Menjangan. Setidaknya, dia bisa 
minta bantuan gurunya nanti untuk mendampin-
ginya saat membacakan surat pernyataan Gusti 
Prabu Sutawijaya. Makin nyata saja bayangan da-
lam benaknya kalau dirinya nanti bakal duduk di 
singgasana Kerajaan Demak. 
Tak lama setelah keberangkatan Panglima 
Ganang Laksono, orang-orang yang diutus Adipati 
Kutowinangun untuk membawa surat ancaman 
pun berangkat. Dengan kuda-kuda pilihan, mere-
ka segera berpacu meninggalkan kadipaten.
Baru saja Adipati Kutowinangun hendak 
menikmati sarapannya…
"Kanjeng Gusti Adipati! Gadis yang disekap 
di kamarnya telah menghilang!" Seorang prajurit

tergopoh-gopoh datang melapor.
"Apa??!!" lonjak sang Adipati, menghenti-
kan suapannya di depan mulut. "Tidak mungkin! 
Sekarang panggilkan emban yang tiap pagi mem-
bersihkan kamarnya!"
"Baik, Kanjeng," sahut si prajurit, langsung 
menjura. Lalu dia berlalu dari hadapan Adipati 
Brata Wisnu.
Berdebar, Adipati Brata Wisnu menunggu 
kedatangan emban yang biasa membersihkan 
kamar yang ditempati Dewi Sekarputri. Dia jadi 
tak bernafsu lagi. Sejak istrinya meninggal dunia 
dia selalu sarapan sendiri saja. Sementara sepagi 
ini, kedua anak laki-lakinya masih terlelap dalam 
mimpi. Sedangkan kedua orangtuanya yang su-
dah cukup sepuh tinggal di rumah lain, tapi ma-
sih di lingkungan keraton.
Sang emban, seorang perempuan setengah 
baya bertubuh gempal muncul terbungkuk-
bungkuk.
"Kanjeng Gusti memanggil hamba?" ta-
nyanya, sangat sopan.
"Benar gadis yang ada di kamar itu telah 
hilang?!" tembak Adipati Brata Wisnu, langsung.
"Benar, Kanjeng Gusti. Tadi waktu hamba 
hendak membersihkan kamarnya, gadis itu sudah 
tidak ada."
"Mana mungkin?!" terabas lelaki ini, keras. 
Matanya mendelik. "Gadis itu dalam keadaan 
pingsan. Jadi tak mungkin dia pergi begitu saja, 
kalau tidak ada yang membawanya!"

"Bisa jadi begitu, Kanjeng Gusti. Karena, 
langit-langit kamar gadis itu kini berlubang cu-
kup besar," tambah sang emban.
"Apa?! Celaka! Kalau bukan karena ada se-
seorang yang menelusup ke keraton ini, pasti ada 
pengkhianat di kadipaten! Emban! Suruh salah 
seorang prajurit untuk mengumpulkan para pem-
besar kadipaten. Bilang, aku akan mengadakan 
rapat mendadak sekarang juga!" sabdanya, penuh 
ketegasan.
"Baik, Kanjeng Gusti," sahut sang emban, 
lalu berlalu dari tempat ini.
* * *
"Apa?! Guru telah tewas?!" sentak Panglima 
Ganang Laksono ketika siang ini tiba di Bukit 
Menjangan, tempat tinggal Ki Ageng Wirakrama 
almarhum. 
"Ya! Dan kau sebagai muridnya harus bisa 
membalaskan sakit hatinya!" desis perempuan 
tua bungkuk. Wajahnya dipenuhi borok berlendir 
yang menyebarkan bau busuk menyengat. Ram-
butnya tipis. Mulutnya tak lepas dengan sirihnya.
Prot!
Lendir merah meluncur dari bibir kendor si 
nenek jelek yang tak lain Nini Berek. Begitu 
menghujam ke sebuah batu reruntuhan candi, 
langsung tercipta lobang cukup dalam.
Panglima Ganang Laksono memandang 
takjub. Padahal, dia sudah sering melihat si ne

nek jelek bertingkah demikian. Namun kekagu-
mannya segera terpangkas oleh keingintahuannya 
tentang siapa yang membunuh Ki Ageng Wira-
krama. 
"Siapa yang membunuhnya, Nini Guru?" 
tanyanya.
"Aku belum tahu pasti. Tapi kalau melihat 
bekas pukulan di tubuhnya, ada dugaan di be-
nakku kalau itu hasil pukulan Dongdongka alias 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul," sahut si ne-
nek jelek. 
"Siapa dia, Nini Guru?"
"Seorang sesepuhnya para sesepuh dunia 
persilatan golongan putih. Kau bisa menyelidi-
kinya nanti."
"Baik, Nini Guru. Tapi bolehkah aku meli-
hat mayat Guru untuk yang terakhir kali?" pinta 
Panglima Ganang Laksono, hati-hati.
"Tidak! Peti tempat bersemayamnya suami-
ku kini tak boleh dibuka-buka. Dia telah kubal-
sem. Suatu saat nanti, suamiku akan bangkit un-
tuk menuntut balas!" sahut Nini Berek, tegas.
"Maksud Nini Guru...."
"Ya! Suamiku akan hidup lagi, tapi dengan 
jiwa yang lain. Kau tak bakal dikenalinya lagi. 
Dan tugasmu sekarang, cari keterangan tentang 
Dongdongka sialan itu. Mengerti?!"
"Mengerti, Guru," sahut Panglima Ganang 
Laksono, agak tercekat. "Dan kalau begitu, aku 
mohon pamit."
"Ya, pergilah...."

Panglima Ganang Laksono menjura, lalu 
berbalik. Dihampirinya kuda tunggangannya. Se-
kali menyentak kaki, tubuhnya telah melayang, 
lalu hinggap di punggung kuda.
"Heaaa...!"
Sekali menyentak tali kekang kuda, Pan-
glima Ganang Laksono pergi meninggalkan Bukit 
Menjangan.
Ada rasa kecewa di hati lelaki tinggi besar 
ini menyadari gurunya telah tewas. Setidaknya, 
rencananya sedikit melenceng. Tapi dia yakin 
akan bisa mengatasinya. Kalau hanya untuk 
mendampingi dirinya saat membacakan surat 
pernyataan Gusti Prabu nanti, dia bisa minta per-
tolongan tokoh sesat lainnya. Di sisi lain, Pangli-
ma Ganang Laksono juga gembira atas kematian 
gurunya. Sebab dengan demikian dia terbebas da-
ri tugas mencari senjata pusaka Kail Naga Samu-
dera milik Satria Gendeng.
* * *
Rapat mendadak yang diadakan Adipati 
Kutowinangun berlangsung mendebarkan. Para 
pejabat saling curiga satu sama lain tentang siapa 
yang menjadi pengkhianat. Dari punggawa hingga 
patih melirik, mencari siapa di antara mereka 
yang telah berkhianat.
Sebelumnya, Adipati Kutowinangun telah 
habis-habisan memaki para prajuritnya yang 
mendapat tugas jaga semalam. Bahkan mereka

langsung mendapat hukuman penjara bawah ta-
nah, dan nantinya akan dihukum gantung.
"Kalau kalian tak ada yang mau mengaku, 
baiklah! Untuk saat ini aku masih percaya den-
gan kesetiaan kalian. Tapi yang jelas, kadipaten, 
telah kecolongan oleh seorang penyusup. Maka 
untuk sementara, aku beranggapan si penyusup 
adalah orang luar. Tapi bila nanti di antara kalian 
terbukti sebagai pengkhianat, hukuman pancung 
imbalannya!" tegas Adipati Brata Wisnu.
Bergidik semua pejabat kadipaten yang ada 
di tempat ini. Kembali mereka saling berpandan-
gan dengan sinar mata curiga. Suasana sejenak 
dikepung keheningan.
"Untuk membuktikan kesetiaan kalian," 
sambung sang Adipati. "Aku memerintahkan ka-
lian untuk bersiap-siap angkat senjata. Kita akan 
menggempur Kerajaan Demak!"
Suara bergumam bak sekawanan lebah 
mendengung terdengar. Para pejabat kadipaten 
benar-benar terkejut dengan keputusan Adipati 
Kutowinangun. Sungguh hal itu di luar akal. Se-
bab menggempur kerajaan sama saja seperti se-
kawanan laron menghampiri api. Bukan saja pa-
sukan Kerajaan Demak sangat besar, tapi juga 
dipimpin oleh panglima-panglima perang berke-
pandaian tinggi.
Selagi mereka berada di ambang kera-
guan....
"Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba menggang-
gu sebentar," tiba-tiba seorang prajurit masuk ke

ruangan ini dan langsung melapor. "Di luar sana, 
pasukan Kerajaan Demak telah mengepung kera-
ton. Dan oleh Panglima Darma Kusuma dari Kera-
jaan Demak, Kanjeng Gusti dimohon keluar."
"Setan! Kita kalah cepat! Nah, para pem-
bantuku yang setia. Ini saatnya untuk membukti-
kan kesetiaan Kalian. Cepat cabut senjata! Kita 
songsong pasukan Kerajaan Demak!" ujar sang 
Adipati, lantang.
Para pejabat kadipaten terlihat ragu-ragu. 
Sebagian sudah ada yang memegang gagang ke-
ris, tapi sebagian lagi masih ada yang tetap diam 
di tempatnya.
"Hei, kenapa kalian ragu-ragu?!" bertanya 
Adipati Kutowinangun.
Seorang patih kadipaten yang berusia cu-
kup tua berdiri dari. duduknya. Wajahnya penuh 
kewibawaan. Namanya, Patih Rumeksa. Tindak-
tanduknya amat mengagumkan, sehingga amat 
dihormati di kadipaten ini. 
"Tidak, Kanjeng Adipati. Kami bukan ber-
maksud menolak perintah. Tapi, menyerang Kera-
jaan Demak sama saja melanggar sumpah ayah 
Kanjeng Adipati sendiri. Bukankah beliau telah 
bersumpah di hadapan Raden Patah untuk selalu 
setia terhadap Kerajaan Demak? Sebaiknya, akhi-
ri saja sandiwara ini. Sejak semula, aku sudah 
tak setuju terhadap rencana Kanjeng yang ingin 
menekan Gusti Prabu Sutawijaya dengan menye-
kap Dewi Sekarputri yang baru saja ditemukan. 
Bukankah orangtua Kanjeng dulu pernah dititipi

Dewi Sekarputri yang kemudian hilang lantaran 
diculik? Perbuatan Kanjeng sama saja menyakiti 
orang tua Kanjeng Sendiri," buka Patih Rumeksa.
"Setan kau, Patih! Aku yakin, kaulah 
pengkhianat itu. Kau telah menolak perintah. Be-
rat hukumannya Patih!" ledak sang Adipati sam-
pai mendengus-dengus.
"Aku tak keberatan dihukum berat sekali-
pun. Tapi aku yakin berada di pihak yang benar. 
Dan kupikir-pikir, justru Kanjeng sendiri yang ja-
di pengkhianat. Menyerang Kerajaan Demak sama 
saja pengkhianat. Mengingkari sumpah, juga 
pengkhianat. Bertindak tanduk tercela, juga 
pengkhianat. Maka semestinya, Kanjeng sendiri 
yang harus ditangkap.
"Benar!" timpal seorang lelaki berpangkat 
panglima. "Aku tidak sudi berkhianat terhadap 
Kerajaan Demak. Justru kerajaan itu sudah san-
gat berjasa dalam menumpas musuh-musuh kita. 
Lantas kenapa kita memusuhinya?"
"Ya, benar!" tambah panglima yang lain. 
"Aku tidak sudi berkhianat!"
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Adipati Kutowinangun makin blingsatan 
sendiri. Ternyata hampir seluruh pejabat kadipa-
ten menentang rencananya. Dan kegeramannya 
pun memuncak. Dia sungguh tak menyangka ka-
lau akibatnya akan seperti ini
"Bangsat! Kalian adalah bawahanku, ta-
hu?!" bentaknya, lantang.

"Mereka benar, Anakku...."
Sebuah suara penuh wibawa mendadak 
menyeruak di sekitar ruangan ini. Tak lama, seo-
rang lelaki tua berpakaian seperti jubah putih 
memasuki ruangan. 
"Ayahanda...?" sebut Adipati Kutowinan-
gun.
Semua yang hadir di ruangan ini memberi 
hormat dengan menakupkan telapak tangan di 
depan dada. Tubuh mereka membungkuk sedikit.
Hening. Belum ada yang bersuara.
"Mereka benar, kau adalah pengkhianat," 
buka si orang tua, penuh perbawa dalam sua-
ranya. "Untuk itu, kau harus mendapat hukuman
dari Kerajaan Demak! Sungguh, aku menyesali 
sikapmu selama ini. Kenapa kau terlalu silau 
dengan kekuasaan? Nah, sebagai anak seorang 
ksatria sejati, kau pun juga harus bersikap ksa-
tria. Temuilah Panglima Derma Kusuma. Serah-
kan dirimu untuk dibawa ke Kerajaan Demak." 
"Tapi, Ayahanda...." 
"Jangan membantah! Aku sudah tahu se-
mua rencana busukmu. Kau terlalu terbuai oleh 
janji-janji manis adik iparmu!" potong si tua yang 
tak lain Ayahanda Adipati Kutowinangun itu sen-
diri. Dia dikenal Sukma Dewa Brata. Setelah me-
letakkan jabatan Adipati Kutowinangun, dia lebih 
banyak mendekatkan diri pada Yang Maha Tung-
gal.
"Tidak, Ayah! Aku tak sudi dihukum!" tolak 
Adipati Brata Wisnu.

"Hmmm, kau keras kepala," gumam Ki
Sukma Dewa Barata. Lalu kepalanya menoleh pa-
da Patih Rumeksa. "Rumeksa! Sebagai orang yang 
ku tugasi mengawasi tabiat anakku, maka seka-
rang kau ku tugasi menangkapnya!"
"Baik, Kanjeng Sepuh," sahut Patih Ru-
meksa, mantap.
"Tidak! Tidak ada yang bisa menangkapku!" 
tiba-tiba Adipati Kutowinangun mencabut keris-
nya. Lalu....
Crep!
"Akhh!!"
Tanpa ada yang dapat mencegah, Adipati 
Kutowinangun menghujamkan kerisnya ke perut-
nya sendiri. Saat itu juga lelaki setengah baya ini 
ambruk dengan tubuh bersimbah darah.
Semua yang ada di tempat ini hanya me-
longo. Mata mereka mendelik dengan mulut tern-
ganga-nganga. Sungguh mereka tak percaya den-
gan tindakan nekat sang Adipati....

SEPULUH

BEGITU tiba di halaman keraton Kadipaten 
Purworejo, betapa terperanjatnya Panglima Ga-
nang Laksono. Yang menyambutnya kali ini bu-
kan lagi saudara sepupunya yang menjadi adipati 
di sini, tapi Mahapatih Bagaspati.
"Cukup sudah permainanmu, Ganang Lak-
sono," sambut Mahapatih Bagaspati. Tenang dan

datar suaranya.
"Apa-apaan ini, Mahapatih Bagaspati?! Aku 
ke sini untuk menengok adik sepupuku. Dan 
permainan apa yang kau maksudkan?" kilah Pan-
glima Ganang Laksono.
"Adik sepupumu telah kami amankan di 
kerajaan. Dan dia telah mengakui bahwa kau 
mengajaknya untuk mendukung pemberontakan 
yang akan kau lakukan!" tegas Mahapatih Bagas-
pati.
Berubah wajah Panglima Ganang Laksono. 
Dari merah, kelabu, hijau, lalu kembali ke merah. 
Tapi dia masih berusaha mengendalikan pera-
saannya dengan bersikap wajar.
"Kusarankan baik-baik, menyerahlah. Para 
prajurit di sini telah siap meringkusmu," lanjut 
Mahapatih Bagaspati.
"Mustahil! Bisa saja adik sepupuku men-
gada-ada. Kau belum cukup bukti, Mahapatih!" 
elak Panglima Ganang Laksono.
"Jadi, kau ingin bukti lagi? Baik."
Mahapatih Bagaspati lantas bertepuk bebe-
rapa kali.
Plok! Plok! Plok!
Di kejap kemudian, dari pintu keraton 
muncul seorang pemuda tampan. Pakaiannya 
rompi putih dari kulit binatang. Siapa lagi kalau 
bukan Satria.
Tapi bukan itu yang membuat Panglima 
Ganang Laksono tercekat, nyaris tak percaya. Ju-
stru mata melototnya melekat kuat pada seorang

lelaki tua pendek yang terhalang langkah si pe-
muda.
"Bocah Tua Sakti...?" cekatnya.
Satria Gendeng dan Bocah Tua Sakti ber-
henti di samping Mahapatih Bagaspati. Tanpa ka-
ta, mereka menatap Panglima Ganang Laksono 
yang jadi salah tingkah.
Bagaimana Bocah Tua Sakti sampai ada di 
sini?
Ketika Mahapatih Bagaspati hendak be-
rangkat menuju Kadipaten Purworejo sebagaima-
na Satria, Bocah Tua Sakti datang ke Kerajaan 
Demak. Setelah kematian kakangnya, lelaki tua 
pendek itu merasa bersalah jika tak melaporkan 
pemberontakan yang hendak dilakukan murid 
kakangnya. Artinya, justru dia malah akan me-
nambah dosa kakangnya. Dan lagi sebagai pen-
dekar, dia juga tak sudi keangkaramurkaan me-
nebar di mana-mana. Untuk itu, diputuskannya 
untuk pergi ke Kerajaan Demak setelah diusir 
oleh Nini Berek. 
Di Kerajaan Demak, Bocah Tua Sakti dis-
ambut baik oleh Mahapatih Bagaspati. Lalu di-
ajaklah orang tua pendek itu ke Kadipaten Purwo-
rejo, sekaligus untuk membuat mati kutu Pangli-
ma Ganang Laksono.
Sedangkan Satria Gendeng juga segera 
menuju Kadipaten Purworejo, setelah mengobati 
Arya Wadam alias Dewi Sekarputri dengan ra-
muan obat-obatan penawar racun. Tak percuma 
si pemuda perkasa menjadi murid Tabib Sakti Pulau Dedemit. Begitu Satria pergi menuju Kadipa-
ten Purworejo, si gadis berangsur-angsur sembuh.
Lewat penjelasan Satria, Mahapatih Bagas-
pati yakin kalau Panglima Ganang Laksono akan 
menuju Kadipaten Purworejo.
Panglima Ganang Laksono makin mati ku-
tu. Sungguh dia menyesal menceritakan renca-
nanya pada lelaki tua pendek berjuluk Bocah Tua 
Sakti. Dikiranya, Bocah Tua Sakti segolongan 
dengan gurunya, Ki Ageng Wirakrama. Tak ta-
hunya?
Tapi kenapa waktu bertemu denganku Bo-
cah Tua Sakti seolah-olah ingin merampok? Begi-
tu pertanyaan yang timbul di benak Panglima 
Ganang Laksono.
* * *
"Maaf, Ganang Laksono. Aku tidak sego-
longan dengan kakangku. Kalaupun waktu itu 
aku hendak merampokmu, sebenarnya yang ku-
butuhkan hanya beberapa kepeng saja. Untuk 
ongkos pulang ke Swarnadwipa. Maklum, aku ke-
habisan ongkos. He he he.... Tapi, kan aku tak ja-
di merampok? Aku minta maaf lagi, terpaksa aku 
harus melaporkan rencanamu pada pihak Kera-
jaan Demak. Aku ingin menebus dosa-dosa ka-
kangku dengan perbuatan baik. Yah, mudah-
mudahan saja kakangku akan berterima kasih 
padaku di akhirat sana," kata Bocah Tua Sakti, 
seperti mengerti jalan pikiran Panglima Ganang

Laksono.
Panglima Ganang Laksono tak menyahut. 
Hanya matanya kian menyorot tajam pada si tua 
pendek. Giginya bergemelutuk. Dadanya berde-
gup keras. Kemarahan benar-benar mengaduk-
aduk dadanya.
Tapi yang dihadapinya adalah Mahapatih 
Bagaspati. Panglima Ganang Laksono tahu, ke-
digdayaan Mahapatih Bagaspati nyaris tak ada 
tandingannya di Kerajaan Demak. Di sebelah Ma-
hapatih Bagaspati ada Bocah Tua Sakti, tokoh tua 
yang pernah menjatuhkannya waktu pertama kali 
bertemu di mulut sebuah hutan.
Perhatian Panglima Ganang Laksono lantas 
beralih pada Satria Gendeng. Ya, aku ingat! Pe-
muda ini yang bernama Satria Gendeng, yang 
pernah dibawa ke keraton oleh si keparat Bagas-
pati. Bodoh! Kenapa aku baru ingat sekarang?! 
Rutuknya, dalam hati. Keyakinan lelaki ini makin 
kuat setelah matanya tertumbuk pada sebatang 
tongkat kecil berujung kepala ular naga berwarna 
emas dan ujung satunya lagi berwarna sama di 
pinggang si pemuda.
Menurut Guru, itulah senjata Kail Naga 
Samudera. Bisik hati Panglima Ganang Laksono 
lagi. Edan! Kalau waktu itu saja dia bisa menga-
lahkan Dirgasura dan pasukannya, bagaimana 
dengan aku? Rutuknya lagi, terbalut kegentaran 
amat dalam. (Tentang Dirgasura, baca episode: 
"Tabib Sakti Pulau Dedemit" sampai "Kail Naga 
Samudera").

Maka makin lengkaplah kegentaran di hati 
panglima pengkhianat ini. Semangatnya yang 
berkobar pupus sudah. Melawan tak berani, me-
nyerah gengsi. Lantas apa yang akan diperbuat-
nya?
"Kalian tak akan bisa menangkapku! 
Heaaah...!"
Dikawal bentakan memangkas udara, Pan-
glima Ganang Laksono mencabut pedangnya. Tiga 
orang di depannya cepat melompat mundur, 
membuat jarak. Langsung bersiaga, menjaga se-
gala kemungkinan.
Tidak. Tidak ada serangan yang dibuat 
Panglima Ganang Laksono. Karena begitu senjata 
pedangnya dicabut, langsung diarahkan ke pe-
rutnya sendiri. Cepat. Teramat cepat untuk dice-
gah.
Dan....
Crep!
"Aaaahhhh...!"
Kembali. Perbuatan pengecut kembali di-
perlihatkan manusia tengik macam Panglima Ga-
nang Laksono. Jadi sangat beralasan kalau pihak 
Kerajaan Demak tak begitu memperhatikan ki-
prahnya. Tak mempedulikan kenaikan pangkat-
nya.
Kerajaan Demak sebenarnya tak butuh 
manusia gampang putus asa macam Panglima 
Ganang Laksono. Kalaupun pangkatnya sampai 
jenjang panglima, itu tak lain karena mendiang 
ayahnya pernah berjasa pada Kerajaan Demak.

Itu saja. 
Tubuh bersimbah darah Panglima Ganang 
Laksono luruh ke tanah. Erangan kesakitan me-
nyertai keberangkatannya ke alam baka. Memba-
wa cita-citanya yang tak sampai. Membawa ke-
dengkian berujung dendam. Membawa kepenge-
cutannya....
* * *
Haru dan bahagia.
Kedua perasaan itu yang mengaduk-aduk 
hati Gusti Prabu Sutawijaya, Permaisuri Praba-
ningrat, Dewi Sekardadu, dan Arya Wadam alias 
Dewi Sekarputri. Melihat ketiga wanita di hada-
pannya saling berangkulan disertai ledakan tan-
gis, Gusti Prabu Sutawijaya tak mampu lagi 
membendung luncuran air matanya. Setegar-
tegarnya lelaki ini, sehebat-hebatnya cobaan yang 
menimpa kerajaannya, ternyata Gusti Prabu Su-
tawijaya tak mampu menahan keharuannya sete-
lah bertemu putri sulungnya yang hilang selama 
belasan tahun.
Meski belum sembuh benar setelah racun 
dalam tubuhnya telah dipunahkan Satria Gen-
deng, tapi Arya Wadam sudah mampu duduk di 
pembaringan. Semula dia merasa heran, karena 
orang-orang di sekelilingnya terasa asing. Bahkan 
ketika matanya merayapi sekeliling ruangan, dia 
merasa kalau sebelumnya bukan berada di ruan-
gan ini. Tentu saja, karena gadis ini sekarang telah berada di Kerajaan Demak.
Begitu mata si gadis bertumbukan dengan 
wajah Dewi Sekardadu, keheranannya makin 
menjadi-jadi. Betapa tidak? Arya Wadam bagai-
kan bercermin saja saat menatap wajah Dewi Se-
kardadu. Begitu mirip.
Perlahan namun jelas, akhirnya Gusti Pra-
bu Sutawijaya menjelaskan apa yang terjadi. 
Sampai akhirnya, di ruangan kamar bertata apik 
ini hanya dipenuhi suara tangis penuh keharuan.
"Akhirnya kita berkumpul lagi, Anakku...," 
desah Permaisuri Prabaningrat, terus saja menci-
umi Arya Wadam.
"Sejak dulu aku yakin, kalau kau masih 
hidup, Kak.... Sebab kalau kau mati, pasti hatiku 
akan hampa. Kau adalah kakak kembarku, Kak. 
Jasad kita dua, tapi jiwa kita satu. Sakitmu ada-
lah sakitku. Dukamu adalah dukaku. Selama kau 
hilang, ada-ada saja rasa sakit yang kuderita. 
Dan bila kau merasa senang, hatiku pun ikut se-
nang," tutur Dewi Sekardadu, sambil merangkul 
kakak kembarnya.
"Yang Maha Kuasa telah menunjukkan ke-
kuasaannya. Dia telah menyatukan kita. Semoga 
tak ada lagi yang dapat memisahkan kita, kecuali 
kematian...," kata Gusti Prabu Sutawijaya, mena-
tapi putri sulungnya penuh keharuan.
Arya Wadam tak sanggup berkata-kata. 
Dan perasaannya memang sulit untuk dilukiskan 
dengan kata-kata. Hanya bibir ranumnya saja 
yang bergetar. Hilang sudah sifat kelaki-lakiannya

selama ini. Yang ada kini hanya keinginan untuk 
mereguk kasih sayang dari kedua orangtuanya. 
Seperti yang didambakan selama ini.
* * *
Tapi, bagaimana dengan Nini Berek? Bisa-
kah perempuan tua itu mewujudkan dendamnya? 
Bagaimana jadinya bila Dongdongka dituduh se-
bagai pembunuh Ki Ageng Wirakrama?

                          SELESAI

Segera menyusul:

SILUMAN BUKIT MENJANGAN

Share:

0 comments:

Posting Komentar