..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 23 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE RAHASIA ISTANA KUNO

Rahasia Istana Kuno

 Dia datang

Sebagai seorang pendekar.

Dia aneh & bertindak seperti 

orang linglung

Para ksatria menyebut dia

Si DEWA LINGLUNG

Pendekar sakti yang 

Digembleng ‘lima’ tokoh aneh


S A T U

SESOSOK TUBUH berlari dengan cepat me-

nembus hutan belukar di siang hari yang redup itu. 

Cuaca memang agak buruk. Langit gelap! Gumpalan-

gumpalan awan hitam tampak menebar di angkasa. 

Sementara angin keras membersit bersiutan mener-

bangkan dedaunan. Sosok tubuh itu ternyata seorang 

gadis yang masih muda. Rambutnya tergerai ditiup an-

gin. Dari pakaian dan gerakan larinya yang gesit ba-

gaikan lari seekor kijang, menandakan dia bukan gadis 

biasa.

Tampaknya gadis ini tahu gelagat buruk. Dia 

tak mau tubuhnya tersiram air hujan. Agaknya me-

mang bakal turun hujan lebat, karena hawa dingin su-

dah terasa. Gadis ini yakin benar bahwa setelah dia 

menembus hutan itu akan menjumpai sebuah desa. 

Atau setidak-tidaknya sebuah pondok yang bisa digu-

nakan untuk berteduh.

Larinya pun dipercepat! Suara guruh yang 

menggelegar di angkasa mulai terdengar yang didahu-

lui dengan kilatan-kilatan petir menembus kepekatan.

"Gila! apakah hutan ini tak ada ujungnya?" 

mendesis gadis ini. Dia mulai kesal karena setelah se-

kian lama berlari-lari tetap saja masih berada di ten-

gah hutan. Sesaat dia berhenti. Tatapan matanya men-

jalari sekitar hutan. Agaknya dia tengah menentukan 

arah yang akan ditujunya.

"Apakah aku salah arah?" pikir si gadis.

"Hm, akan ku coba ke arah sini!" gumamnya 

seraya berkelebat menyeruak semak belukar. Dan se-

gera berlari cepat menuju arah timur. Benar saja! Tak 

berapa lama berlari, dia telah tiba di tempat terbuka.


Wajah gadis ini berseri.

"Bagus! untung aku mengambil arah ini!" de-

sisnya girang. Tak berayal lagi segera dia berkelebat 

cepat melintasi tempat terbuka itu.

Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat mengha-

dang. Cepat sekali gerakannya hingga tak diketahui 

dari mana arah datangnya.

"Berhenti!" teriak orang itu.

Tentu saja si gadis harus menahan lari kalau 

tak mau bertubrukan dengan orang itu. Dengan gera-

kan reflek gadis ini bersalto melompat ke belakang.

"Hei? Siapa kau?" bentaknya terkejut. Sepasang 

mata dara muda ini menatap tak berkesiap pada orang 

yang berdiri di hadapannya. Tampak jelas seorang laki-

laki berbaju putih dari kain kasar menyandang bunta-

lan di punggung berdiri menghadang. Orang ini ber-

tampang ketolol-tololan walaupun dapat diakui dia 

seorang pemuda yang tampan. Siapa adanya pemuda 

ini tak lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.

"Hei! ditanya malah bengong! cengar-cengir lagi! 

Apa maksudmu menghadangku? Dan siapa kau ini se-

benarnya?" teriak si gadis dengan mata melotot. Diam-

diam hatinya mendongkol karena ada saja yang meng-

halangi perjalanannya.

"Aku... eh, ya aku...." Nanjar agak segan me-

nyebutkan namanya. "Aku.. mengira kau wanita yang 

telah merampok rumah hartawan tua itu! Maafkan, 

nona! Hehe.. aku keliru melihat orang!" sahut Nanjar 

tergagap. Lengannya menggaruk-garuk tengkuknya 

yang tidak gatal, lalu naikkan celananya yang gom-

brong karena kedodoran.

Walaupun hatinya masih mendongkol mau tak 

mau bibir gadis ini sunggingkan senyuman. Diam-

diam gadis ini berkata dalam hati. "Pemuda ini tam


pangnya boleh juga. Tapi penampilannya seperti orang 

dungu dan menggelikan!"

Nanjar menampakkan sikap serba salah, seben-

tar menatap si gadis sebentar menatap ibu jari ka-

kinya. Tapi segera dia balikkan tubuh untuk melang-

kah pergi.

"Eh, tunggu dulu!" teriak si gadis. Sekali berke-

lebat dia telah melompat menghadang. "Kau katakan 

tadi seorang wanita yang telah merampok? Siapakah 

yang kau maksud?" tanya si gadis.

"Ah, sudahlah! Diberitahukan pun tak ada gu-

nanya!" sahut Nanjar. Nanjar cepat putar tubuh berja-

lan cepat meninggalkan gadis itu.

Gadis ini jadi berdiri terpaku dengan sikap 

Nanjar. Tadinya dia tak mau memperdulikan dan me-

neruskan perjalanannya. Akan tetapi rasa penasaran 

di hatinya membuat dia telah berkelebat lagi mengha-

dang.

"Kau tak bisa pergi begitu saja dari hadapanku 

sebelum kau katakan siapa perampok wanita itu!" ben-

tak si gadis.

"Lho? mengapa kini nona yang berbalik meng-

hadang ku?" Nanjar kerutkan keningnya menatap si 

gadis.

"Kau tadi secara tiba-tiba telah menghadangku 

hingga mengganggu langkahku. Kini terpaksa aku 

yang menghadangmu karena aku perlu penjelasan 

mu!" sahut sang dara ini dengan suara ketus.

"Sudah kukatakan percuma saja walaupun aku 

mengatakannya! Lagi pula apa hubungannya si pe-

rampok wanita itu denganmu?" 

Gadis ini naikkan alisnya mendengar kata-kata 

Nanjar.

"Hm, apakah kau meremehkan diriku?" berkata


si gadis dengan suara sinis.

"Sudahlah! aku mau pergi..." Nanjar kembali 

balikkan tubuh. Kali ini dia sengaja gunakan ilmu lari 

cepat. Melototkan mata gadis ini.

"Kurang ajar! agaknya kau perlu diberi pelaja-

ran bocah dungu!" membentak si gadis. Detik itu juga 

dia telah berkelebat melompat untuk mengejar. Da-

danya serasa mau meledak saking mendongkolnya ka-

rena pemuda dungu itu tak memandang sebelah 

mata terhadapnya.

"Rasakan ini!" bentak si gadis, seraya layang-

kan kepalanya menghantam tengkuk Nanjar. Merasa 

ada sambaran angin di belakangnya Nanjar melompat 

ke sisi menghindar. Pukulan itu meleset. Akan tetapi 

dengan gerakan cepat gadis itu telah kembali mener-

jang dengan hantaman-hantaman berikutnya.

"Eit! Eit! apa-apaan, nih?" teriak Nanjar. Den-

gan terhuyung-huyung dia menghindari serangan si 

gadis. Akan tetapi dengan gerakan terhuyung itu ju-

stru dia telah menghindarkan diri dari serangan-

serangan gadis itu.

"Kurang ajar! Lihat serangan!" bentak dara ini. 

Disamping terkejut dara ini juga terheran karena tam-

pak dengan mudah saja pemuda dungu itu menghin-

dari serangan-serangannya. Padahal dia telah mem-

pergunakan jurus-jurus serangan yang amat berba-

haya. Sekali ujung lengannya menyentuh tubuh lawan 

akan berakibat fatal.

Kembali dia menerjang dengan gencar. Kali ini 

si gadis tak sungkan-sungkan lagi untuk mengelua-

rkan jurus-jurus ampuhnya. Akan tetapi setelah se-

kian lama menguras tenaga, tetap saja dia tak dapat 

menyentuh sedikitpun ujung baju pemuda itu. Tiba-

tiba dara ini melompat ke belakang dua tombak.


"Bagus! agaknya kau mempunyai kepandaian, 

bocah dungu! Tapi coba kau hadapi senjataku!" bentak 

si gadis. Gadis ini keluarkan sesuatu dari balik ba-

junya. Ternyata sehelai selendang sutera hitam. Men-

dadak mata Nanjar jadi membeliak.

"Hei! jadi kau..." teriakan kagetnya tertahan ka-

rena gadis itu telah menyerangnya. Whuuut! Benda itu 

telah menyambar ke lehernya.

"Hei! tahan dulu!" teriak Nanjar seraya melom-

pat menghindar. Akan tetapi jawabannya adalah sam-

baran-sambaran berikutnya. Selendang sutera hitam 

itu bagaikan seekor ular yang meliuk-liuk ganas me-

nyambar ke arah Nanjar. Terkadang benda itu berubah 

menjadi kaku bagaikan sebuah tombak. Tentu saja 

Nanjar terkesiap melihat serangan-serangan yang ber-

bahaya itu. Terpaksa dia tak main-main lagi mengha-

dapinya. Segera dia pergunakan jurus-jurus lompatan 

kera dan bangau untuk menghadapi serangan si gadis.

Di jurus keenam belas tiba-tiba dara itu mero-

bah serangan. Kali ini lebih ganas lagi. Setiap serangan 

dibarengi dengan hantaman telapak tangannya. Gera-

kan selendang sutera hitam itupun kian cepat. Gulun-

gan bayangan hitam segera mengurung Nanjar dari se-

genap penjuru. 

"Senjata hebat!" puji Nanjar dalam hati. Melihat 

serangan gadis itu kian berbahaya terpaksa Nanjar 

mencabut keluar pedang pusakanya. Sinar merah se-

gera memancar dari badan pedang. Dan detik itu pula 

mendadak Nanjar perdengarkan bentakan keras. 

Dan... segera tampak gulungan cahaya merah mende-

sak gulungan bayangan hitam itu. Si gadis tersentak 

kaget, karena serangannya dapat dipatahkan pemuda 

lawannya. Dia memang belum mengetahui asal cahaya 

merah itu. Namun dengan menggertak gigi dia mero


bah lagi serangannya. Kali ini dia gunakan serangan-

serangan tajam.

Mendadak gadis ini berteriak. "Kena!" Samba-

ran selendang sutera gadis itu berhasil membelit pe-

dang Naga Merah Nanjar. Nanjar sendiri cukup kagum 

karena setiap kali pedangnya menebas, selendang su-

tera itu tak dapat diputuskan. Karena itulah dia senga-

ja membiarkan pedangnya tergubat selendang sutera 

lawan. Tampak sepasang mata dara itu membeliak ke-

tika mengetahui benda yang tergubat senjatanya. Akan 

tetapi dengan segera dia perdengarkan bentakan. "Le-

pas!"

Dengan kerahkan tenaga dalam penuh dia sen-

takkan selendangnya untuk membuat terlepas pedang 

Naga Merah di tangan Nanjar. Akan tetapi sedikitpun 

pedang lawan tak bergeming. Bahkan tampak lawan-

nya seperti tenang-tenang saja seperti tak mengelua-

rkan tenaga untuk menahan tubuhnya dari betotan si 

gadis. Yang membuat mata gadis itu semakin membe-

liak adalah pemuda lawannya yang bertampang dungu 

itu berdiri dengan satu kaki!

"Ayo, gunakan kekuatanmu, gadis cantik!" ber-

kata Nanjar dengan tertawa.

"Keparat!" membentak si gadis. Wajahnya ber-

semu merah. Dengan menggertak gigi kembali dia 

membetot. Akan tetapi sia-sia.

"Haha... kalau kau tak sanggup, lepaskan saja 

selendangmu!" berkata Nanjar lagi. Gadis itu rasakan 

wajahnya panas, begitu pula hatinya. Akan tetapi ma-

na dia mau melepaskan senjatanya begitu saja! Benar-

benar memalukan! Sungguh dia tak menyangka kalau 

pemuda bertampang dungu itu ternyata berilmu tinggi. 

Tampak ada rasa menyesal di wajah dara ini yang me-

merah pucat.


Di saat dia serba salah itu, tiba-tiba.... . "Cela-

ka! Celana ku kedodoran!" Teriakan pemuda itu mem-

buat si gadis terkejut. Tanpa sadar dia melepaskan ce-

kalan pada selendangnya. Sepasang mata dara ini 

membeliak melihat ke arah Nanjar. Akan tetapi detik 

itu juga dia tersadar akan apa yang telah diperbuat-

nya. Tak ayal lagi dia telah berkelebat melompat sambil 

menutupi wajahnya....

"Hei! nona! tunggu...!" teriak Nanjar. Tapi teria-

kan itu justru membuat sang gadis mempercepat la-

rinya. Berapa kejap saja tubuh gadis itu telah tak 

nampak lagi bayangannya.

DUA

Gadis ini berlari dengan terisak-isak... Dia terus 

berlari dan berlari tanpa tahu kemana arah tujuannya. 

Kekalahan yang dialaminya telah membuat dia malu. 

Malu pada dirinya sendiri! Akan ditaruh dimana kini 

mukanya? Lima tahun berguru di puncak gunung Be-

tiri ternyata tiada artinya. Baru beberapa hari turun 

gunung saja dia telah dapat dipecundangi orang. Apa-

lagi harus menebar kebajikan menolong yang lemah 

dan menindas yang jahat? pikir gadis ini dengan kepa-

la berdenyut-denyut.

"Oh, maafkan aku, guru...! Aku tak dapat 

mengharumkan nama perguruan Melati Putih! aku... 

aku..." Gadis ini tak dapat meneruskan gumamnya, 

karena saat itu juga dia telah menangis terisak-isak. 

Ketika suara gemuruh petir terdengar di angkasa baru-

lah dia tersadar. Dilihatnya langit telah kembali terang. 

Agaknya hujan tak jadi turun!

"Ah, di manakah aku kini?" desisnya terkejut.


Sepasang matanya yang masih basah menatap keseki-

tarnya. Ternyata dia berada di sebuah tempat yang in-

dah. Yaitu di sebuah lereng pegunungan. Hawa sejuk 

terasa menelusuri kulit tubuhnya. Lapat-lapat telin-

ganya menangkap suara gemuruh air terjun. Lama dia 

terpaku di tempat itu dengan hati dan pandangan ko-

song.

Siapakah gadis ini sebenarnya? Dia bernama 

Srimala murid perguruan Melati Putih yang berdiam di 

puncak gunung Betiri. Gurunya seorang wanita tua 

yang masih berparas cantik, tapi kedua kakinya kun-

tung. Dia bernama Ratna Dumala. Di samping memili-

ki ilmu kedigjayaan yang tinggi Ratna Dumala juga 

seorang yang ahli obat-obatan. Namanya cukup harum 

di dunia persilatan. Dan gelar Dewi Melati Putih yang 

disandang cukup di kenal, baik golongan hitam mau-

pun golongan putih.

Ratna Dumala mengundurkan diri, dari dunia 

persilatan setelah kedua kakinya cacat. Dia mengalami 

kelumpuhan akibat serangan suatu racun ganas yang 

sukar diobati. Jalan satu-satunya agar tetap hidup 

adalah dengan membuntungi kedua kakinya untuk 

mencegah menjalarnya racun.

"Srimala murid ku!" demikian pada suatu hari 

Ratna Dumala berkata pada muridnya. "Kukira sudah 

cukup waktunya kau turun gunung, karena kau sudah 

menamatkan pelajaran mu! Pergunakanlah ilmu yang 

kau miliki di jalan kebenaran. Junjunglah nama per-

guruan Melati Putih! Semoga Tuhan selalu melindungi 

langkah-langkahmu...."

Terkejut gadis ini mendengar kata-kata gu-

runya. Serta merta dia bersujud di hadapan wanita itu. 

"Guru...!? mengapa... mengapa... aku harus turun gu-

nung? Lalu... siapa yang akan merawatmu? Tidak,


guru! biarlah aku disini selamanya. Aku tak dapat ber-

pisah denganmu, guru!" berkata Srimala.

"Bocah bodoh! buat apa aku mendidikmu den-

gan ilmu-ilmu kedigjayaan dan lain-lainnya kalau tak 

kau pergunakan untuk mengabdi pada masyarakat?" 

membentak Pendekar Melati Putih.

"Tapi, guru..." Sepasang mata gadis ini tampak 

berkaca-kaca.

"Berangkatlah! jangan pikirkan diriku! aku da-

pat menjaga diriku sendiri!" bentakan menggeledek itu 

membuat Srimala terperangah.

"Se.. sekarang guru?"

"Ya! hari ini juga! Ingat! jangan sekali-kali kau 

berniat kembali lagi kemari! Dan camkan baik-baik we-

jangan ku....!" sahut wanita tua ini.

"Baik! baiklah guru!" Srimala mengangguk le-

mah. Sebisa-bisa dia menahan air matanya agar jan-

gan tumpah. Selama lima tahun berguru bersama wa-

nita tua itu Srimala sudah merasa seperti bersama 

ibunya sendiri. Tentu saja perpisahan itu amat menye-

dihkan sekali dan terasa berat kakinya untuk melang-

kah. Akan tetapi dia telah mengenal watak gurunya 

yang keras. Dan perintah itu tak boleh dibantah.

Setelah mengemasi barang yang perlu di ba-

wah, dia segera mohon diri. 

Berangkatlah Srimala meninggalkan puncak 

gunung Betiri dengan setetes air mata bergulir ke pi-

pinya. Kemanakah dia harus pergi membawa kedua 

kakinya? Dunia begitu luas. Namun tak tahu kemana 

dia harus melangkah. Tiba-tiba Srimala teringat pada 

keluarganya. Tapi dia tak tahu dimana kampung ha-

laman itu berada. Namun seingatnya dia mempunyai 

seorang saudara tua yaitu seorang kakak perempuan. 

Dia bernama Palasari. Akan tetapi kakaknya telah per


gi dari kampung halamannya. Minggat dari rumah ka-

rena dimarahi ayahnya...

Palasari memang seorang anak bandel! Sejak 

berusia dua belas tahun dia gemar berkelahi. Sikapnya 

seperti anak laki-laki. Suatu ketika dia bertengkar 

dengan seorang anak laki-laki dari desa lain. Dalam 

perkelahian anak laki-laki itu telah berhasil dilukai. 

Kawan-kawannya yang kebanyakan laki-laki mengelu-

elukan kemenangannya. Akan tetapi kejadian itu ter-

nyata berbuntut panjang! Anak laki-laki itu mengadu 

pada orang tuanya. Celakanya bocah laki-laki itu anak 

seorang berpangkat di Kota Raja. Akibatnya keluarga 

mereka harus berurusan dengan Tumenggung itu.

Tumenggung itu menyatroni tempat tinggal me-

reka. Dan habislah ayahnya dimaki-maki dan dihajar 

sang Tumenggung. Sejak kejadian itu Palasari disekap 

di rumah. Dia tak boleh keluar.

Dasar bocah bandel! Di luar setahu, Palasari 

melarikan diri. Sejak itu sang kakak perempuan tak 

pernah kembali ke rumah orang tuanya.

Beberapa bulan kemudian terjadilah kekacauan 

di desanya. Dia tak tahu persis kejadian itu. Yang dike-

tahuinya adalah penduduk desa berlarian ketakutan. 

Dan bermunculan orang-orang bertampang jahat. Me-

reka menunggang kuda membakari desa. Masih terin-

gat Srimala teriakan-teriakan penduduk dan ayahnya. 

"Perampok! perampok! Celaka! perampok Sapu Jagat!" 

Selanjutnya dia tak tahu apa-apa lagi! karena telah di-

bawa lari oleh ibunya untuk disembunyikan. Dalam 

pelukan ibunya dia mendengar bentakan-bentakan

dan suara perkelahian! Dilihatnya ibunya pingsan! Da-

lam ketakutan dia menangis. Tahu-tahu pandangan 

matanya gelap. Dan dia tak ingat apa-apa lagi. Ketika 

dia tersadar di hadapannya ada seorang wanita tua.


Itulah si Pendekar Melati Putih, yang kemudian men-

jadi gurunya.

Srimala tak pernah tahu lagi nasib ayah 

ibunya, karena setiap dia menanyakan, selalu sang 

guru berkata. "Akulah pengganti ibumu!" Sejak itu dan 

sampai saat ini dia tak pernah bertanya lagi. Demi-

kianlah asal-usul gadis bernama Srimala itu. Ketika 

dalam perjalanan melewati hutan mencari sebuah desa 

dia telah berjumpa dengan Nanjar yang berhasil mem-

pecundanginya....

Ketika Srimala tengah termangu-mangu tanpa 

disadari sepasang mata tengah mengamatinya dari 

tempat persembunyian dibalik semak. Sepasang mata 

yang menatap dengan pandangan berbinar-binar kare-

na rangsangan hawa nafsu birahi. Itulah sepasang ma-

ta dari seorang laki-laki bermuka lonjong dengan sepa-

sang kumis kecil di atas bibir. Dengan bibir menyerin-

gai basah seperti seorang gadis yang tengah mengidam 

melihat mangga muda, dia pelahan-lahan menguakkan 

semak belukar yang menjadi tempat persembunyian-

nya.

Suara berderaknya ranting kayu membuat 

Srimala menoleh.

"Siapa kau!" bentak gadis ini dengan terkejut 

seraya melangkah ke belakang. "Ah, maaf, nona...! aku 

telah membuat kau terkejut! Sejak tadi aku sudah be-

rada disini! Namaku Pati Lanang!" berkata orang ini.

"Apa yang kau lakukan di tempat itu?"

"Yang kulakukan? Haha.... aku memang tengah 

beristirahat di tempat ini sambil melihat pemandan-

gan. Tiba-tiba kau muncul dan berdiri terpaku setelah 

menangis sesenggukan. Tentu saja aku memperhati-

kan mu..." 

Tersentak Srimala. "Ah, aku terlalu terbawa


dengan perasaanku hingga sampai-sampai aku tak 

mengetahui kalau ada orang dibalik semak! Kalau dia 

mau berbuat jahat tentu sejak tadi aku telah..." berka-

ta Srimala dalam hati.

"Apakah yang telah membuatmu bersedih hati, 

nona? Kalau ada kesulitan aku bersedia menolong!" 

Laki-laki bernama Pati Lanang ini menyapa ramah.

"Ah, terima kasih! aku tidak apa-apa...! tidak 

apa-apa!" sahut Srimala dengan cepat. Diam-diam dia 

memperhatikan laki-laki dihadapannya.

"Jangan berdusta! Katakanlah! tentu ada sesu-

atu yang telah terjadi denganmu! Apakah kau meragu-

kan diriku! Hm. Pati Lanang si Kelana Seruling Dewa 

tak akan membuat kau kecewa!" berkata Pati Lanang.

"Kelana Seruling Dewa? Hm, baru aku menden-

garnya!" berkata lirih Srimala.

"Haha... tentu kau baru saja turun gunung. Ge-

lar Kelana Seruling Dewa telah lama terdengar di dunia 

persilatan! Di wilayah tenggara ini boleh dibilang na-

maku sudah melangit!" sumbar Pati Lanang dengan 

tertawa. Sebenarnya dia telah melihat Srimala dari ke-

jauhan. Dari gerakan larinya dia segera mengetahui 

gadis itu bukan gadis biasa. Dia memang baru saja be-

ranjak naik dari sungai. Begitu gadis itu hampir men-

dekati, cepat-cepat dia bersembunyi dibalik semak.

"Bukankah kau murid si Pendekar Melati Pu-

tih?"

"He? dari mana kau mengetahui?" sentak Sri-

mala terkejut. Tentu saja dia tak mengetahui kalau Pa-

ti Lanang telah mendengar gumamnya tadi ketika dia 

terhanyut dalam perasaannya. Ternyata Pati Lanang 

pun berterus terang.

"Aku mendengar kau bicara sendiri...!" sahut 

Pati Lanang.


Sikap Pati Lanang yang sopan itu membuat 

Srimala tak berprasangka buruk terhadap pemuda itu. 

Hatinya yang bersedih campur mendongkol agak terhi-

bur.

"Keharuman nama Pendekar Merpati Putih te-

lah kudengar sejak belasan tahun yang lalu dari guru-

ku. Senang sekali aku berjumpa dengan murid seorang 

pendekar wanita ternama yang kesohor dengan ilmu 

ketabibannya juga berilmu tinggi!" berkata Pati La-

nang. "Kalau aku membiarkan kau dihina orang aku 

akan merasa menyesal sekali..."

Srimala tertegun sejenak. Ditatapnya wajah 

pemuda itu tajam-tajam. Tak ada tanda-tanda dia 

orang jahat. Dalam keadaan perasaan tertekan seperti 

itu kemunculan Pati Lanang membuat dia agak terhi-

bur. Hatinya berkata. "Ah, gurunya kenal baik dengan 

guruku. Dan dia tampak begitu amat memperhatikan 

ku..! Mengapa tak ku jalin persahabatan dengannya? 

Bukankah aku tak mempunyai seorangpun teman di

dunia ini? Siapa tahu dia dapat membantu aku mem-

beri petunjuk dimana adanya kakak Palasari!"

"Benarkah kau mau menolongku?" tiba-tiba 

Srimala ajukan pertanyaan.

"Siapa yang cuma pura-pura? Katakanlah siapa 

yang telah menghinamu! Segera akan kubuat isi pe-

rutnya cerai berai!" sahut Pati Lanang. Kali ini bibir 

Srimala unjukkan senyuman.

"Namaku Srimala!" berkata gadis ini perkenal-

kan diri tanpa diminta.

"Nama yang bagus!" sela Pati Lanang dengan 

tersenyum.

"Aku memang baru saja turun gunung! Tujua-

nku adalah mencari kakak perempuanku. Dia berna-

ma Palasari".


Selanjutnya Srimala ceritakan mengenai tu-

juannya yang hendak mencari orang tuanya. Juga di-

paparkan tentang kejadian di tengah perjalanan men-

genai perjumpaannya dengan seorang pemuda ber-

tampang dungu yang berhasil merebut selendang sute-

ranya.

"Sayang sekali kau tak mengerti nama orang 

itu!" berkata Pati Lanang dengan masygul. "Tapi tak 

usah khawatir!" sambungnya.

"Aku akan membantumu mencari saudaramu 

itu. Dan mengenai laki-laki yang telah merebut selen-

dangmu, hm! suatu saat bila aku menjumpainya akan 

kurampas lagi selendangmu dan kuberi pelajaran dia!" 

"Dia seorang pemuda yang berilmu tinggi!"

"Hm, tak peduli ilmunya setinggi langit sekali-

pun, aku Pati Lanang si Kelana Seruling Dewa pasti 

akan mencabut nyawanya!" sahut Pati Lanang dengan 

membusungkan dada.

"Tapi bukan itu yang ku ingin kau menolong-

ku!" sambar Srimala. "Mengenai senjataku biarlah aku 

sendiri yang akan merebutnya lagi, aku memang masih 

penasaran karena dia telah berlaku curang dalam per-

tarungan itu!"

"Ha? jadi a... apa yang harus kulakukan?" ter-

gagap Pati Lanang.

"Aku hanya perlu bantuan mu untuk mencari 

kakak perempuan ku!"

"Hoho.. jangan khawatir! Pati Lanang kalau 

mau berniat menolong orang tak kepalang tanggung! 

Aku pasti akan berusaha mencari kakakmu itu!"

"Terima kasih, Pati Lanang!" Srimala terse-

nyum. Gadis ini melihat wajah pemuda itu agak beru-

bah ketika dia mengatakan tak memerlukan bantuan 

untuk merampas selendangnya pada pemuda itu. Me


mang Pati Lanang agak kecewa karena dengan kata-

kata itu seolah-olah Srimala telah menganggap remeh 

padanya. Akan tetapi Pati Lanang memang seorang 

pemuda yang pandai menyembunyikan isi hatinya. 

Dengan tersenyum dia berkata.

"Adik Srimala! kita telah menjalin persahaba-

tan. Ingin sekali aku memperkenalkan kau pada guru-

ku! Beliau sangat mengagumi gurumu...!"

Srimala sejenak tercenung tak menjawab. Sete-

lah beberapa saat berpikir barulah dia mengangguk. 

Dia memang memerlukan bantuan pemuda itu, juga 

perlu menambah pergaulan. Siapa tahu guru pemuda 

itu mengetahui tentang kakak perempuannya. Di

samping itu pemuda itu dapat pula dijadikan teman 

dalam pencarian kedua orang tuanya.

Matahari mulai menggelincir ke arah barat, ke-

tika keduanya berlari cepat meninggalkan tempat itu...

TIGA

Kita beralih pada sebuah bukit di sebelah barat 

di lereng pegunungan yang memanjang ke arah barat 

laut. Bukit ini telah sejak lama bernama bukit Gajah. 

Entah mengapa bernama demikian, karena bentuk 

bukit itu tidaklah seperti gajah. Yang jelas di atas bu-

kit itu berdiri sebuah perguruan yang bernama pergu-

ruan Gajah Sakti!

Pagi itu dua orang penjaga pintu gerbang per-

guruan tampak terkejut melihat seseorang telah mun-

cul di hadapan mereka. Kedatangannya tak diketahui 

dari mana munculnya. Akan tetapi segera mereka 

mengenali siapa yang datang.


"Oh, selamat pagi, den ayu Walet Wungu...! 

hamba kira siapa..." sapa salah seorang penjaga den-

gan membungkuk hormat.

Yang dipanggil Walet Wungu ini ternyata seo-

rang wanita bertopeng ungu. Wajahnya tak nampak 

keseluruhannya, karena tertutup topeng. Yang terlihat 

cuma sebatas hidung sampai ke dagu. Serta sepasang 

mata bersinar tajam yang tersembul dari dua buah lu-

bang pada topengnya. Rambutnya terurai tersembul di 

bagian tengkuk, sedangkan selebihnya tertutup den-

gan topeng ungu itu. Akan tetapi dari separuh wajah 

dan potongan tubuh serta sepasang matanya yang bu-

lat dengan bulu mata lentik itu, dapat diketahui seti-

dak-tidaknya wanita ini berwajah cantik dan usianya 

di bawah dua puluh tahun.

Dara aneh berbaju kembang-kembang berwar-

na merah itu hanya anggukkan kepala. Lalu melang-

kah lebar memasuki pintu gerbang.

Sikap yang gagah dan agak angkuh itu memang 

telah dikenal baik oleh kedua penjaga itu. Puteri maji-

kan mereka yang satu ini memang berbeda dengan 

yang lain. Masih untung mereka diberi anggukan kepa-

la. Biasanya tak jarang belum sempat disapa, sudah 

langsung menerobos masuk. Untung saja mereka 

mengenali, kalau tidak, bisa-bisa anak majikannya itu 

dibentak!

Ternyata kedatangannya telah ditunggu sejak 

tadi. Yang menunggu adalah si ketua perguruan Gajah 

Sakti itu sendiri. Dialah GAJAH SORA yang dikenal 

dengan nama julukan Pendekar Gajah Lengan Tung-

gal!

"Bagus! kedatanganmu memang sedang ku 

nantikan, anakku! Bagaimana mengenai upeti yang 

bakal dikirim ke Blambangan itu? Apakah kau telah


mendengar kabar kapan dikirimkannya?" berkata Ga-

jah Sora.

Walet Wungu membanting tubuhnya ke kursi. 

Lalu membuka topeng penutup wajahnya. "Kabar bu-

ruk, ayah! Telah terjadi suatu kejadian yang tak kita 

inginkan. Barang upeti itu telah lenyap, dan pak Gen-

don Kertosono sendiri kudapatkan telah tewas!"

"Hah!?" tersentak kaget Gajah Sora. Hampir tak 

percaya dia mendengar penuturan anak gadisnya. "Ba-

gaimana sampai terjadi demikian?"

Walet Wungu segera menceritakan apa yang di-

ketahuinya dari mulai dia tiba di tempat kediaman be-

kas Panglima tua itu, hingga sampai dia mengejar si 

perampok dan pembunuh keji itu.

"Keparat! apakah kau tak mengetahui siapa pe-

rampok jahanam itu?" bertanya Gajah Sora dengan 

wajah berubah merah padam.

"Dari seorang pengawal gedung yang melihat 

kejadian itu dan berhasil menyelamatkan jiwanya, pe-

rampok itu seorang perempuan yang menutup mu-

kanya dengan cadar hitam! Aku terlambat beberapa 

saat sebelum terjadi perampokan itu. Sayang aku tak 

dapat menemuinya dan aku tak tahu kemana larinya 

manusia itu!" sahut Walet Wungu dengan wajah kece-

wa.

Sejurus lamanya Gajah Sora terpaku berdiri 

dengan pandangan mata menatap keluar. "Setan! sia-

pakah perempuan itu?” desis Gajah Sora geram.

"Apakah tak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang 

kalian dapatkan?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar 

ini.

"Aku menemukan ini, ayah!" sahut Walet Wun-

gu tiba-tiba seraya keluarkan sebuah benda dari balik 

pakaiannya. Walet Wungu berikan benda itu pada


ayahnya. "Benda ini menancap di leher mayat bekas 

Panglima tua itu!"

Sepasang mata Gajah Sora tiba-tiba membela-

lak melihat benda kecil berbentuk anak panah, terbuat 

dari tulang. Pada bagian belakang benda itu dihiasi 

dengan bulu burung.

"Ini senjata rahasia si Cecak Terbang LAWE 

WERENG! Heh! Apa maksud manusia itu dengan per-

buatan kejinya? Perempuan itu kalau bukan muridnya 

habis siapa lagi?" berkata Gajah Sora.

"Hal ini tak bisa dibiarkan! Aku akan mene-

muinya untuk mendapatkan keterangan! Senjata raha-

sia ini merupakan bukti kuat dan pihaknya bertang-

gung jawab atas kejadian ini!" berkata lagi Gajah Sora. 

Air mukanya tampak semakin memerah padam.

Nama perguruan Gajah Sakti memang sudah 

tak asing lagi di wilayah itu. Bukan saja kejujurannya 

dalam mengawal barang. Akan tetapi juga kewibawaan 

serta tanggung jawab si Pendekar Gajah Lengan Tung-

gal dalam memimpin anak-anak buahnya dapat dian-

dalkan. Hingga tenaganya banyak terpakai oleh orang-

orang yang memerlukannya. Bahkan perguruan ini di-

percayakan untuk mengawal barang upeti setiap tahun 

yang di bawa ke Blambangan.

Walet Wungu tahu jelas sifat ayahnya. Pertum-

pahan darah akan terjadi! Karena dengan adanya ke-

jadian ini, nama baik perguruan Gajah Sakti akan 

hancur! Walaupun barang upeti itu belum berada di 

tangannya, akan tetapi dengan peristiwa itu sebagian 

mata pencaharian perguruan Gajah Sakti telah lenyap!

"Bagaimana kalau bukan si Cecak Terbang

yang melakukan?" cetus Walet Wungu. Sejurus Gajah 

Sora terdiam. Bisa saja hal itu dilakukan orang lain 

yang sengaja memfitnah si Cecak Terbang Lawe We


reng, tokoh persilatan yang juga cukup berpengaruh di 

wilayah itu. 

"Apakah ada orang yang sengaja mengadu-

domba?" pikir Gajah Sora. "Kalau si Cecak Terbang 

yang melakukan rasanya tak mungkin karena yang 

melakukannya adalah seorang perempuan. Bagaimana 

kalau ternyata si Cecak Terbang tak mempunyai seo-

rang murid perempuan? Seandainya dia memang 

mempunyai, toh muridnya tak sebodoh itu untuk me-

lakukan perbuatan tolol meninggalkan sengaja rahasia 

di leher korbannya!"

"Aku akan bicara baik-baik padanya!" akhirnya 

Gajah Sora menyahuti dengan suara lemah. Walet 

Wungu menarik napas lepas.

"Ya, hal itu memang harus dibicarakan baik-

baik! Siapa tahu ada orang yang sengaja mengadu-

domba!" selesai berkat Walet Wungu segera minta diri 

pada sang ayah. Gajah Sora mengangguk. "Ah, dalam 

usia semuda itu Walet Wungu ternyata punya pandan-

gan juga! Aku selalu memperturutkan hawa nafsuku 

saja hingga tak terpikir oleh ku akan akibatnya..." gu-

mam Gajah Sora. Bibir laki-laki ini tersenyum. Tampak 

dia amat bangga dengan anak gadisnya yang satu ini.

Mengingat Walet Wungu dia jadi teringat pula 

pada anak laki-lakinya. "Sayang, tampaknya Walet 

Wungu kurang akrab dengan Pati Lanang. Tampaknya 

dia tak berjodoh untuk menjadi suami istri. Aku tak 

dapat memaksakan kehendak mereka. Biarlah mereka 

memilih pasangan sendiri-sendiri...!" berkata hati Ga-

jah Sora. Sekilas terbayang di mata laki-laki tua ini 

pada masa lima tahun yang silam, dimana dia mene-

mukan gadis itu.

Gadis cilik itu ditemukan dalam keadaan berta-

rung dengan tiga orang anak laki-laki. Dia terkesan


pada gadis kecil itu yang dengan keberanian luar biasa 

menghadapi ketiga anak laki-laki bengal yang mau 

mengganggunya. Walaupun dia tak memiliki ilmu silat, 

tapi keberaniannya luar biasa. Dua orang lawannya te-

lah dibuat merintih kesakitan. Yang seorang tulang ke-

ringnya dihantam dengan sepotong kayu, sedang yang 

seorang lagi matanya ditaburi tanah. Akan tetapi 

menghadapi yang satu ini tampaknya si gadis kecil 

agak kewalahan. Selain tubuhnya lebih besar, juga la-

wannya ini memiliki ilmu kepandaian silat. Hingga tak 

heran kalau akhirnya gadis kecil itu roboh terjungkal. 

Sebelum kejadian selanjutnya berlanjut, Gajah Sora te-

lah menolongnya.

Sejak itu si gadis kecil tinggal bersamanya 

hingga sampai saat ini. Dan dia telah mengakuinya se-

bagai anaknya sendiri. Berbeda dengan anak laki-

lakinya. Pati Lanang adalah anak saudara misannya 

yang dititipkan padanya. Akan halnya saudara misan-

nya itu Gajah Sora tak mengetahui kemana perginya 

karena sampai Pati Lanang dewasa tak pernah mun-

cul. Tak diketahui lagi apakah masih hidup atau su-

dah mati. Pati Lanang dititipkan sejak berusia sepuluh 

tahun. Dun dia telah menganggapnya sebagai anaknya 

sendiri.

EMPAT

Kemunculan Pendekar Gajah Lengan Tunggal 

di rumah perguruan si Cecak Terbang Lawe Wereng 

bersama Walet Wungu yang menemaninya membuat 

terkejutnya ketua perguruan ini.

"Ada apakah gerangan maksud kedatanganmu, 

sobat Gajah! Ah, tentunya ada hal yang sangat pent


ing, karena kau telah sudi melangkahkan kakimu ke 

tempat ku yang buruk ini!" berkata Lawe Wereng den-

gan sikap terkejut.

"Kalau tidak penting, buat apa aku datang ke-

mari?" sahut Gajah Sora dengan suara agak sedikit ke-

tus. Pendekar tua ini masih saja tak dapat menahan 

perasaannya. Itulah sebabnya Walet Wungu ikut me-

nemani ayahnya karena khawatir akan terjadi hal yang 

tak diinginkan, walaupun Gajah Sora melarangnya 

ikut.

"Silahkan berbicara di dalam, sobat Gajah. 

Maafkan penyambutan yang kurang sopan karena kau 

tak memberitahukannya terlebih dulu....!"

"Cukuplah disini saja, Cecak Terbang!" sambar 

Gajah Sora yang hanya menyebut nama Lawe Wereng 

dengan gelarnya. Walet Wungu kedipkan mata pada 

Gajah Sora, mengingatkan agar pembicaraan tidak 

menyinggung perasaan Lawe Wereng.

"Kedatanganku adalah dengan maksud..." Sege-

ra Gajah Sora tuturkan maksud kedatangannya. Den-

gan seksama Lawe Wereng dengarkan penuturan Ga-

jah Sora. Tersentak laki-laki bertubuh kurus ini meli-

hat Gajah Sora mengeluarkan sebuah benda dihada-

pannya.

"Anakku Walet Wungu telah menemukan benda 

ini yang menancap di leher bekas Panglima Kerajaan 

itu! bukankah ini senjata rahasia milikmu?" 

Sejenak Lawe Wereng tak mengeluarkan kata-

kata. Setelah menelan ludah karena tiba-tiba tenggo-

rokannya terasa kering, dia berkata.

"Tidak salah! benda ini memang senjata raha-

siaku!"

"Bagus kalau kau mengaku!" Gajah Sora akan 

melanjutkan kata-katanya, akan tetapi buru-buru


Lawe Wereng memotong.

"Sabar dulu sobat Gajah! Benda ini memang 

milikku akan tetapi sangat heran mengapa bisa me-

nancap di leher mayat bangsawan tua itu? Aku tak 

merasa telah memberikannya pada seorangpun murid-

muridku. Dan bahkan aku tak mempunyai seorang 

murid atau anak perempuan!" tandas Lawe Wereng.

"Aku sudah menduga kau akan memberikan 

alasan. Dan aku tahu apa akibat kejadian itu?" dengus 

Gajah Sora.

Merahlah wajah Lawe Wereng. "Aku cukup 

maklum dengan sebab kejadian ini. Namun harap kau 

mengerti, walaupun nama perguruanku tak sebesar 

pengaruh perguruan Gajah Sakti akan tetapi pantang 

bagiku menepuk dulang memercikkan air ke muka 

sendiri! Sebagai seorang pendekar yang banyak makan 

asam-garam kukira kau lebih berpandangan sempur-

na, sobat Gajah!" 

Sejurus lamanya Gajah Sora terdiam. Saat itu 

dipergunakan Walet Wungu untuk tampil bicara.

"Maafkan kami, paman Lawe Wereng. Bukan 

maksud kami menuduh pihak perguruan melakukan 

kecurangan. Setidak-tidaknya hal ini adalah wajar. Ka-

rena dengan bukti adanya benda itu kukira pamanpun 

akan bersikap seperti kami bila kejadian ini menimpa 

diri paman sendiri..." Kata-kata Walet Wungu menghi-

langkan rona merah di wajah laki-laki tua itu. Tampak 

dia menghela napas, manggut-manggut.

"Benar katamu itu, akan tetapi berilah kami 

waktu untuk memikirkan hal ini. Aku akan memeriksa 

keadaan di rumah perguruanku. Aku merasa ada hal 

yang tidak beres!" kata Lawe Wereng dengan wajah 

muram. Lalu berpaling pada Gajah Sora. "Sobat Gajah! 

kita telah lama menjalin persahabatan. Kukira kaupun


harus maklum dengan keadaanku. Sejak aku menetap 

di wilayah ini, aku tak pernah menghubungi kawan-

kawanku seperti ketika aku masih gentayangan di 

Rimba Hijau. Bahkan aku telah lupa siapa musuh-

musuhku!" ujarnya. Kemudian melanjutkan.

"Tentu saja dengan adanya kejadian yang me-

rusak nama baikku ini tak dapat kubiarkan begitu sa-

ja! Aku turut bertanggung jawab atas kejadian ini. Aku 

akan kerahkan orang-orangku untuk melacak jejak si 

perampok perempuan itu. Kalau memang ada diantara 

orang-orangku yang terlibat kejadian ini, tak segan-

segan aku memberi hukuman berat!"

Akhirnya kemarahan Gajah Sora pun lenyap. 

Sikap si Cecak Terbang Lawe Wereng menandakan dia 

seorang yang jujur dan tegas. Air mukanya tak menun-

jukkan bahwa laki-laki tua itu berdusta. Ketegasan itu 

dapat terlihat dari pancaran matanya yang berapi-api. 

Jelas! siapa yang tak marah kalau dirinya telah difit-

nah orang?

Gajah Sora yang telah kembali tenang dan le-

nyap kemarahannya, menghampiri jago tua yang per-

nah menggemparkan dunia persilatan dengan sepak 

terjangnya itu. Ujarnya dengan menepuk pundak laki-

laki kurus ini

"Maafkan kekasaran ku padamu, sahabatku...! 

Sungguh aku malu pada anakku sendiri! Hampir saja 

terjadi hal yang tak kita inginkan. Kini hatiku bersih, 

sobat Lawe. Tanggung jawabmu adalah tanggung ja-

wab kita semua kaum pendekar penegak kebenaran!

Akupun sudah lama tak gentayangan di dunia persila-

tan! Agaknya tulang-tulangku yang hampir rapuh ini 

masih bisa dipergunakan lagi untuk membekuk si 

pengadu domba itu!"

"Kau masih mengakui aku sahabatmu?" tanya


Lawe Wereng membelalak.

"Mengapa tidak?" sambar Gajah Sora dengan 

tertawa.

Apa yang terjadi kemudian? Kedua jago tua itu 

sama-sama tertawa gelak-gelak. Kedua lengan mereka 

sama terkepal menyatu.

"Kita akan tetap menjadi sahabat sampai mati!" 

berkata Gajah Sora diantara derai tawanya. Tiba-tiba 

Gajah Sora melepaskan genggamannya.

Sret!

Gerakan Gajah Sora begitu cepat. Tahu-tahu 

lengan Lawe Wereng mengeluarkan darah tergores ku-

ku Gajah Sora.

"Hei! apa artinya ini?" sentak Lawe Wereng ter-

kesiap.

Walet Wungu dan belasan murid Cecak Ter-

bang pun sama-sama terkejut. Wajah kegembiraan 

mereka sekonyong-konyong lenyap. Akan tetapi mere-

ka jadi membelalakkan mata karena tiba-tiba laki-laki 

ketua perguruan Gajah Sakti itu melukai lengannya 

sendiri.

"Untuk mengekalnya persahabatan kita bagai-

mana kalau kita mengangkat saudara?"

Kata-kata Gajah Sora bagaikan air yang tiba-

tiba menyiram bara panas. Seketika wajah Lawe We-

reng menampilkan keterkejutan yang membuat ma-

tanya melotot karena tak percaya pada pendengaran-

nya.

“Kau bersungguh-sungguh, sobat Gajah Sora?" 

tanyanya dengan suara parau terkesima. Hampir-

hampir dia menyangka buruk pada Gajah Sora.

"Ya! apakah kau tak bersedia?" Bibir laki-laki 

ini unjukkan senyuman dengan sepasang mata mena-

tap tak berkesiap pada laki-laki kurus itu. Sebagai ja


waban, kaki Lawe Wereng maju selangkah dan... len-

gannya meluncur menghantam dada Gajah Sora. Se-

mua orang menahan napas. Apa yang terjadi? Dengan 

gerakan kilat Gajah Sora telah menangkis hantaman 

itu. Dua buah lengan saling bentur dan menempel 

dengan erat. Dua jenis darah yang mengalir di masing-

masing lengan segera menyatu. Tampak kedua tubuh 

jago tua itu bergetar. Mendadak Gajah Sora terhuyung 

ke belakang dua langkah. Sedangkan si Cecak Terbang 

terhuyung satu langkah.

Ternyata benturan itu bukan main-main, kare-

na masing-masing jago tua itu telah mempergunakan 

kekuatan tenaga dalamnya untuk saling gempur. Walet 

Wungu terkesiap. Nyaris dia melompat dari tempat 

berdirinya. Bahkan dari pihak anak-anak buah si Ce-

cak Terbang sudah melangkah maju empat orang pe-

muda. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Gajah So-

ra membelah ketegangan. "Bagus! tenaga dalammu se-

tingkat di atasku, rayi Lawe...!"

"Ah, kakang Gajah! kau sengaja mengalah! ka-

lau kau sungguh-sungguh mana mungkin aku menan-

dingi kehebatanmu?" berkata Lawe Wereng. Dengan 

kejadian segebrakan itu resmilah pengangkatan sau-

dara kedua jago tua itu. Selanjutnya yang terdengar 

adalah derai tawa membahana di halaman perguruan 

itu. Kedua jago tua itu sama-sama berpelukan. Keja-

dian yang mendebarkan hati itu diakhiri dengan sorak-

sorai murid-murid si Cecak Terbang. Hampir saja me-

reka menyangka akan terjadi pertarungan. Walet Wun-

gu menarik napas lega. Walau sebenarnya dia kurang 

sepenuju dengan sikap Gajah Sora sang ayah angkat-

nya yang telah bertindak terlalu jauh.



LIMA

Kegembiraan itu mendadak lenyap ketika dua 

orang murid perguruan Gajah Sakti berlari-lari meng-

hadap Gajah Sora dan Walet Wungu dengan diantar 

oleh seorang penjaga pintu gerbang. Walet Wungu te-

lah melompat memburu.

"Ada apa yang terjadi, Sarpan? Komal? cepat 

katakan!" bentak dara ini dengan paras berubah te-

gang.

"Ce.. celaka, den ayu! anu... seorang perem-

puan bertopeng te... telah memasuki pesanggrahan 

Gajah Sakti! Dia mengamuk membantai kawan-kawan 

kami! Ilmunya sangat tinggi! Kami... kami kewala-

han...!" berkata Sarpan dengan napas memburu terasa 

hampir putus.

"HAH!?" Hampir berbareng ketiga orang dari 

dua perguruan ini terkejut. 

"Keparat! Pasti si perampok perempuan bede-

bah itu!" sentak Gajah Sora dengan wajah pucat. Detik 

itu juga Gajah Sora telah berkelebat melompat yang di-

ikuti oleh Walet Wungu dan si Cecak Terbang Lawe 

Wereng. Sebelum menyusul mereka masih sempat laki-

laki ini berkata.

"Tutup pintu gapura! Dan berjaga-jaga, siapa 

tahu sepergian ku iblis perempuan itu datang kemari!" 

Selesai memberi perintah, jago tua dari pulau Nusa 

Barung ini berkelebat menyusul Gajah

Sora dan anak gadisnya. Dalam beberapa kejap 

saja bayangan ketiga orang itu telah lenyap dibalik bu-

kit....

Alangkah terkejutnya Gajah Sora yang telah ti-

ba lebih dulu, melihat keadaan di halaman pesanggra


han telah bergeletakan murid-muridnya. Dua orang 

penjaga pintu gerbang pesanggrahan terkapar tak ber-

nyawa dengan leher terkoyak hampir putus! Belasan 

orang murid lainnya bergeletakan di sekitar halaman 

gedung. Pucat pias bagai tak berdarah air muka Gajah 

Sora. Detik itu juga dia telah berkelebat memasuki pin-

tu gedung yang tampak hancur berantakan. Walet 

Wungu dan Lawe Wereng yang telah menyusul tiba, 

tertegun di pintu pesanggrahan. Tapi segera memburu 

untuk memeriksa mayat-mayat yang berserakan. Se-

dangkan Lawe Wereng melompat ke sekitar pesanggra-

han untuk mencari jejak iblis perempuan itu. 

"Keparat! dia telah angkat kaki dari sini!" desis 

Gajah Sora. Bersama Walet Wungu mereka memeriksa 

setiap ruangan di dalam pesanggrahan. Sementara 

Lawe Wereng berjaga-jaga di luar. Akan tetapi manusia 

iblis itu tak tampak batang hidungnya. Bukan kepa-

lang terkejutnya Gajah Sora ketika melihat kamarnya 

porak poranda. Dan mendapatkan sebuah senjata ra-

hasia berbentuk anak panah menancap pada sehelai 

kertas di atas meja.

Dijumputnya kertas itu dengan lengan bergetar. 

Tampak sepotong kalimat tertulis di atas kertas itu.

"Gajah Sora! kalau kau mau mengetahui siapa 

diriku, silahkan datang ke ISTANA KUNO! Sekalian kau 

melihat anakmu si Pati Lanang yang kujadikan tawa-

nanku!"

Bagai disambar petir Gajah Sora tersentak ka-

get. Walet Wungu muncul di pintu kamar. "Apa yang 

kau dapatkan, ayah?" gadis ini memburu ke arah ayah 

angkatnya dengan perasaan khawatir. Dilihatnya Ga-

jah Sora berdiri menjublak bagai patung. "Ini! baca


lah!" katanya seraya berikan kertas itu pada Walet 

Wungu. Dia sendiri segera melompat untuk memeriksa 

lemarinya. Kemarahan membakar dada laki-laki tua ini 

karena diketahuinya peti tempat penyimpanan barang-

barang berharganya telah lenyap. Dan sebuah kitab 

yang disembunyikan di rak paling bawah turut lenyap.

"Kurang ajar! dia telah membawa pula kitab 

pusaka Mega Mendung!"

BRRAKK!

Sekali lengannya mengayun hancurlah lemari 

kayu jati itu! Gajah Sora telah menyalurkan kemara-

hannya. Walet Wungu sampai melompat karena terke-

jutnya. Sementara Walet Wungu masih termangu-

mangu dengan mata membelalak setelah membaca tu-

lisan di kertas itu, Gajah Sora sudah melompat keluar.

"Keparat! Iblis perempuan itu telah merat!" ber-

kata Gajah Sora dengan langkah lesu menghampiri si 

Cecak Terbang Lawe Wereng.

"Apa yang harus kita lakukan? Aku bersedia 

membantumu, kakang Gajah!" kata Lawe Wereng den-

gan sepasang lengan terkepal. 

"Perempuan iblis itu sungguh pengecut!" ma-

kinya dengan geram. Dia dapat merasakan kegusaran 

hati Gajah Sora. 

"Aku telah mengitari sekitar pesanggrahan. Tak 

ada tanda-tanda manusia iblis itu masih berada di se-

kitar tempat ini...!" ujarnya pula.

"Apakah kau mengetahui letak ISTANA KUNO? 

Kita harus mengejarnya kesana!" Tiba-tiba Gajah Sora 

berkata dengan menatap tajam Lawe Wereng.

"Bagaimana kau bisa mengetahui iblis itu ada 

disana?" tanya Lawe Wereng. 

"Aku menemukan secarik kertas yang ditulis ib-

lis perempuan itu!" Lalu Gajah Sora segera ceritakan


mengenai isi surat itu dan mengatakan pula tentang 

hilangnya barang-barang pusakanya.

"Jadi anakmu berada disana?" sentak Lawe We-

reng terkejut.

"Ya! Iblis itu telah menawannya!" sahut Gajah 

Sora dengan geram. Tampak sorot mata laki-laki tua 

ini menyorotkan dendam. Setelah agak lama terce-

nung, Lawe Wereng berkata. "Ketika aku masih senang 

mengembara, aku memang pernah melihat adanya se-

buah reruntuhan sebuah istana. Ya, sebuah istana tua 

yang cuma tinggal reruntuhannya saja. Apakah tempat 

itu yang dimaksudkan?"

"Kalau memang cuma satu-satunya istana tua 

itu kukira benarlah dugaanmu! Apakah kau masih in-

gat di wilayah mana?" berkata Gajah Sora dengan wa-

jah bersemangat.

"Dimana ya...? tunggu dulu! aku akan mengin-

gat-ingatnya!" Selang beberapa saat. "Ya! aku ingat se-

karang! akan tetapi kita harus mencari jalan masuk ke 

tempat reruntuhan Istana Kuno itu yang aku agak lu-

pa lagi. Namun kau tak perlu khawatir. Aku akan be-

rusaha untuk menemukannya!" ujar Lawe Wereng.

"Bagus! terima kasih atas bantuanmu, rayi 

Lawe!" kata Gajah Sora seraya menepuk bahu saudara 

angkatnya.

"Kini bukan saatnya berbasa-basi, kakang Ga-

jah! Sudah menjadi tugas dan kewajiban setiap kaum 

putih untuk menumpas kebatilan yang tegak di bumi 

ini! Aku akan mempertahankan selembar nyawaku ini 

Untuk kepentingan umat manusia!"

Gajah Sora menatap si Cecak Terbang dengan 

terharu. Dan kedua lengan mereka kembali terkenal 

menyatu. Kedua jago tua ini sama-sama tersenyum. 

Saat itu Walet Wungu datang lambat-lambat meng


hampiri.

"Kau akan ikut serta, anakku?" tanya Gajah 

Sora tatkala dia menoleh ke arah gadis itu. Walet 

Wungu tak buru-buru menjawab. Setelah tercenung 

sejenak dia berkata. 

"Apakah ini bukan suatu jebakan, ayah?"

"He, jebakan atau bukan, bukan masalah." 

"Hm, jebakan atau bukan, tidak masalah! Apa-

kah aku harus berpeluk tangan dengan kejadian ini? 

Dan aku harus membebaskan kakakmu Pati Lanang 

dari cengkeramannya!" sahut Gajah Sora dengan suara 

tegas!

"Sebaiknya Wulung Sari tak usah ikut. Dengan 

tenaga kita berdua mustahil kalau kita tak dapat men-

galahkannya!" Lawe Wereng turut buka suara.

"Ya! ya! kukira demikian!" tukas Gajah Sora. 

Dia memang berpendapat anaknya tak perlu ikut. Ka-

lau terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan, siapa yang 

harus membalas dendam kelak? Sedangkan mati hi-

dup Pati Lanang belum lagi diketahui. "Haih! mengapa 

ulah bocah itu bisa tertawan si perempuan iblis?" ber-

kata dia dalam hati.

"Baiklah, anakku! saran paman Lawe kukira 

baik sekali! Kalau dalam tiga hari kami tak kembali, 

pergilah kau ke Blambangan! Ceritakan hal ini pada 

Raden WIRAKRAMA!" Selesai berpesan Gajah Sora 

berkelebat pergi yang disusul oleh si Cecak Terbang 

Lawe Wereng. Sebentar saja kedua jago tua itu telah 

lenyap dari pandangan mata Walet Wungu...

Gadis ini terpaku lama di tempat berdirinya. 

Hatinya kalut! Sekejap mata keadaan telah menjadi be-

rubah semrawut. Ditatapnya mayat-mayat orang-orang 

perguruannya yang bergelimpangan di sekitar halaman 

pesanggrahan. Pada saat itulah ketika Walet Wungu



baru saja mau beranjak masuk ke dalam gedung, te-

linganya menangkap gerakan lari dari seseorang yang 

mendekati tempat itu. Selang sesaat sesosok tubuh 

muncul di pintu pesanggrahan.

Dia seorang pemuda berusia antara dua puluh 

tahun. Berpakaian warna kuning dengan ikat kepala 

dari kulit biawak. Wajah pemuda ini seperti menampil-

kan keterkejutan melihat keadaan di halaman pe-

sanggrahan Gajah Sakti. Sebentar saja Walet Wungu 

telah mengetahui siapa adanya pemuda itu. "Hm, Ja-

lapaksi...! mau apa dia kemari?" berkata dalam hati 

Walet Wungu.

Pemuda ini telah memburu ke arah gadis itu. 

"Ah, apakah iblis perempuan itu tak keburu dipergoki? 

kemanakah guru-guru kita?" tanya Jalapaksi dengan 

wajah tampak prihatin.

"Beliau mengejar iblis itu! Kami terlambat....! 

Dia telah melarikan diri!" sahut Walet Wungu pendek. 

Tampaknya Walet Wungu agak risih dengan kemuncu-

lan pemuda si Cecak Terbang ini.

"Perempuan iblis itu sungguh kejam! Kalau ter-

jadi apa-apa dengan guru kita, hidupku tak akan ten-

teram sebelum melumatkan tubuhnya!" berkata Jala-

paksi dengan wajah menampakkan kemarahan. Sepa-

sang matanya berkilat-kilat menjalari sosok-sosok 

mayat murid-murid Gajah Sora yang bergelimpangan. 

Walet Wungu seperti tak mendengar kata-kata pemuda 

itu. Dia duduk menjublak di tangga undakan dengan 

mata menatap kosong ke pintu gapura.

Lambat-lambat Jalapaksi menghampiri.

"Sudahlah, Walet Wungu...! Mari kita kebumi-

kan jenazah saudara-saudara kita ini. Aku akan mem-

bantu mu!" Tanpa menunggu jawaban gadis itu, Jala-

paksi segera bekerja cepat membersihkan halaman pesanggrahan dari mayat-mayat. Di bagian belakang ge-

dung pesanggrahan Jalapaksi menggali lubang yang 

cukup besar. 

Walau hatinya kurang senang dengan kemun-

culan Jalapaksi namun kedatangan pemuda itu telah 

membuat Walet Wungu menarik napas lega. Karena 

meringankan pekerjaannya mengebumikan para jena-

zah itu.

ENAM

Siapakah Jalapaksi ini? Apakah gerangan yang 

tersembunyi dibalik dada pemuda ini? Dia adalah mu-

rid utama si Cecak Terbang. Murid yang diandalkan 

untuk kelak menjadi penerus cita-cita sang guru. Su-

dah sejak lama Jalapaksi jatuh hati pada Walet Wungu 

anak angkat ketua perguruan Gajah Sakti itu. Sikap-

nya yang agak kurang ajar pernah membuat marah 

gadis cantik yang agak angkuh dan pendiam ini. Itulah 

sebabnya Walet Wungu tak senang dengan kemuncu-

lannya.

Malam itu Walet Wungu tak dapat memicing-

kan matanya. Disamping khawatir dengan kejadian 

yang tak diinginkan dengan adanya Jalapaksi yang 

menginap di pesanggrahan itu, pikirannya juga tak te-

nang memikirkan gurunya yang pergi menyatroni si ib-

lis perempuan di Istana Kuno. Ternyata sampai pagi 

hari tak ada kejadian apa-apa. Jalapaksi tertidur di 

luar gedung. Pemuda itu agaknya kelelahan setelah 

siang harinya menguras tenaga....

Baru saja Walet Wungu menguakkan pintu ge-

dung, pemuda itu telah melompat bangun. "Ah, sudah 

siang agaknya...!" katanya dengan mengucak-ucak matanya. Lalu menoleh pada Walet Wungu. "Kau baru sa-

ja bangun, Walet Wungu? Tentu tidurmu nyenyak se-

kali!" Walet Wungu tak menyahut. Seraya melangkah 

keluar dia berkata.

"Kalau kau mau menunggu gedung pesanggra-

han ini kuucapkan terima kasih! Akan tetapi aku tak 

dapat berlama-lama disini, karena aku ada urusan 

yang harus kuselesaikan!"

"Ha? kau mau kemana Walet Wungu?" sentak 

Jalapaksi

"Kukira kau tak perlu mengetahuinya...!" sahut 

si gadis dengan sikap acuh. Jalapaksi jadi garuk-garuk 

kepala yang tidak gatal. 

"Hm, kau masih marah padaku, Walet Wungu?" 

berkata pemuda itu seraya melangkah menghampiri. 

Tapi Walet Wungu telah melompat menjauh dan berke-

lebat meninggalkan pesanggrahan Gajah Sakti. Tentu 

saja membuat Jalapaksi terperangah. Tak berayal lagi 

dia segera melompat mengejarnya.

"Tunggu, Walet Wungu!" teriak pemuda ini. 

Akan tetapi Walet Wungu tak menghiraukan teriakan 

itu. Bahkan mempercepat gerakan larinya dengan 

menggunakan ilmu kepandaian berlari cepat yang di-

milikinya. 

"Hm, agaknya dia mengajakku mengadu ke-

pandaian! bagus! akan kutunjukkan kemampuannya!" 

berkata Jalapaksi dalam hati. Detik itu juga dia telah 

melesat mengejar si gadis puteri Gajah Sora. Gerakan 

lari Walet Wungu memang sesuai dengan nama julu-

kannya, tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor Wa-

let yang lincah. Akan tetapi pemuda itu tak kalah lin-

cahnya mengejar sang Walet! Bahkan selang beberapa 

saat...

"Tunggu! tahan dulu larimu, Walet Wungu!"


Hebat sekali gerakan si pemuda murid si Cecak Ter-

bang ini, membuat gadis itu tersentak kaget karena 

dalam beberapa saat saja sudah tersusul. Dan menda-

hului menghadang di hadapannya. 

"Apakah yang kau inginkan?" berkata Walet 

Wungu dengan ketus.

"Aku perlu menanyakan padamu kemana tu-

juanmu?" berkata Jalapaksi. "Guru kita telah mengikat 

tali persaudaraan, mengapakah kau tetap bersikap 

demikian terhadapku?" Walet Wungu tak menyambut. 

Dia pelengoskan wajahnya.

"Kalau memang masih ada ganjalan di hatimu 

terhadap sikapku yang membuat kau tersinggung, ha-

rap kau sudilah untuk memaafkan...." sambung Jala-

paksi dengan suara sungguh-sungguh. Lalu lanjutkan 

lagi kata-katanya karena gadis itu masih tetap saja 

membisu.

"Aku cukup prihatin dengan kejadian yang te-

lah menimpa perguruanmu, juga mengenai kepergian 

guruku. Seandainya kau adalah aku tentu dapat kau 

bayangan perasaanku!"

"Aku akan menyusul guru ke Istana Kuno!" ak-

hirnya Walet Wungu membuka suara. 

"Istana Kuno?" sentak Jalapaksi terkejut. "Apa-

kah kau mengetahui dimana letaknya?" Walet Wungu 

sejenak tercenung, lalu menggeleng. Meledaklah terta-

wa Jalapaksi. 

"Haha... kau mau menyusul gurumu tapi tak 

mengetahui tempatnya...? Suatu pekerjaan yang sia-

sia!"

"Mengapa sia-sia? aku dapat menanyakan pada 

orang yang mengetahui tempat itu!" sambar Walet 

Wungu tegas.

"Pendapatmu benar! akan tetapi... ada baiknya



kita mencarinya bersama-sama! Akupun perlu menge-

tahui keadaan guruku!" tukas Jalapaksi.

"Sebenarnya..." Akhirnya Walet Wungu cerita-

kan juga kejadian di pesanggrahan Gajah Sakti sejak 

mereka tiba, hingga akhirnya kedua guru mereka pergi 

menyusul si iblis perempuan itu.

"Ah, kalau begitu mengapa sebaiknya kau turu-

ti perintah ayahmu, pergi ke Blambangan memberita-

hukan hal ini pada Raden Wirakrama...!" ujar Jalapak-

si setelah mendengar penuturan Walet Wungu.

"Sebaiknya memang demikian, akan tetapi aku 

amat mengkhawatirkan keadaan guru! Iblis perem-

puan itu sedemikian mudahnya membunuhi orang-

orang pesanggrahan Gajah Sakti, bahkan telah mena-

wan pula kakak seperguruanku, tentu ilmunya luar 

biasa tingginya...!" sahut Walet Wungu dengan suara 

datar. Sejurus Jalapaksi terdiam. 

"Lalu bagaimana keputusanmu?" tanyanya ke-

mudian.

"Aku akan tetap pergi menyusul ke Istana Ku-

no!" sahut Walet Wungu tegas. Tampaknya niat gadis 

itu tak dapat dirubah. Jalapaksi yang mengetahui wa-

tak dara itu tak dapat berkata apa-apa lagi.

"Kalau demikian, marilah kita berangkat me-

nyusul beliau!" berkata pemuda itu. Walet Wungu kali 

ini tak dapat menolak lagi. Dia mengangguk pelahan, 

seraya balikkan tubuh dan berkelebat dari situ. Jala-

paksi segera menyusul dengan merendengi dara itu di 

sebelahnya.

"Bagaimana kalau kita ke arah selatan saja?" 

kata Jalapaksi. "Di wilayah itu berdiam sahabat baik 

guruku. Kita dapat menanyakan padanya mengenai le-

tak Istana Kuno itu!"

"Baiklah...!" sahut Walet Wungu. Berkelebatan


lah dua sosok tubuh kedua muda-mudi itu menuju 

arah selatan. Dalam beberapa saat saja keduanya telah 

tak kelihatan lagi. Lenyap di balik perbukitan....

Sesosok bayangan tubuh manusia tampak 

membututi kedua remaja itu.....

Siapa adanya orang ini belum bisa diketahui. 

Akan tetapi yang jelas dia telah mendengar semua per-

cakapan kedua pemuda dan pemudi itu!!

TUJUH

Kita beralih ke lain tempat.... Sesosok tubuh 

dengan gerakan cepat tampak berlari-lari menuruni le-

reng perbukitan. Gerakan larinya secepat terbang se-

hingga yang terlihat cuma bayangan tubuhnya saja.

Ternyata sosok tubuh itu memondong seseo-

rang yang dipanggul di atas pundaknya. Siapa adanya 

dia? Ketika melewati sisi hutan tiba-tiba bermunculan 

sosok-sosok tubuh berpakaian hitam yang mencegat-

nya.

"Berhenti!" Dari puncak yang tinggi meluncur 

turun sebuah bayangan kuning. Gerakannya ringan 

saja tanpa menimbulkan suara ketika sepasang kaki 

orang itu menjejak di tanah. Tampak seorang laki-laki 

tinggi kurus mengenakan pakaian warna kuning ber-

lengan lebar telah berdiri menghadang di tengah jalan 

yang bakal dilalui orang itu.

Orang yang memondong sosok tubuh di pun-

daknya itu kiranya seorang pemuda bertampang tolol 

yang tiada lain adalah Nanjar alias si Dewa Linglung. 

"Heh! apa yang kalian inginkan, begal-begal tengik?" 

berkata Nanjar dengan hidung mendengus. Nanjar


mengawasi para penghadang itu yang jumlahnya tak 

kurang dari lima belas orang. Kesemuanya memakai 

pakaian hitam-hitam dengan pinggang menyoren sen-

jata. Kecuali si laki-laki baju kuning itu yang tampak-

nya bertangan kosong.

"Hehehe... kami memang para begal yang ditu-

gaskan membegal setiap orang yang lewat di tempat 

ini. Akan tetapi kami tak akan membegal harta benda, 

melainkan nyawa yang akan kami begal. Kecuali... 

hehe.... kecuali gadis yang berada di pundakmu itu. 

Mungkin umurnya masih bisa diperpanjang beberapa 

hari!" berkata laki-laki baju kuning bermata nyalang 

itu dengan tertawa menyeringai.

"Kurang ajar! siapa yang telah perintahkan ka-

lian dengan tugas gila itu? Aku toh cuma lewat saja 

tanpa mengganggu atau berbuat apa-apa! mengapa se-

tiap orang yang lewat harus dibunuh?" bentak Nanjar 

dengan mata mendelik gusar.

Akan tetapi si baju kuning ini telah memberi 

tanda pada anak buahnya untuk segera turun tangan. 

Belasan orang berpakaian serba hitam itu serentak 

berlompatan mengurung si Dewa Linglung dengan 

masing-masing telah mencabut senjatanya.

"Bagus! Haha... kuperingatkan pada kalian, 

menyingkirlah kalau masih mau selamat. Kalau kalian 

membandel tahu sendiri akibatnya!" berkata Nanjar 

dengan jumawa. Seperti tiada menghiraukan adanya 

bahaya, seenaknya saja pemuda ini melangkah terus.

"Bocah sombong!" membentak salah satu dari 

pengurungnya. Orang ini bersenjatakan sebuah golok 

besar yang punggungnya bergerigi. Dengan kecepatan 

tak terduga dia telah ayunkan goloknya ke arah dada 

diiringi bentakan. "Lepas nyawamu!" Akan tetapi sebe-

lum senjatanya mengenai sasaran tahu-tahu orang ini


menjerit ngeri. Goloknya terpental, sedangkan orang-

nya roboh terjungkal dengan tubuh kaku. Terkejut pa-

ra pengepung lainnya. Sedangkan si baju kuning ke-

rutkan keningnya dengan tersentak kaget. Sepasang 

matanya yang tajam dapat melihat sekilat gerakan len-

gan pemuda itu ketika menyelinap ke balik baju. Dan 

sebuah benda kecil sebesar kacang atau memang se-

butir kacang, telah meluncur menghantam pergelan-

gan tangan si brewok. Gerakan selanjutnya sedemikian 

cepatnya. Tahu-tahu lengan pemuda itu telah terjulur 

menotok tengkuk laki-laki brewok itu. Dan terjadilah 

seperti apa yang telah dilihatnya.

Melihat kawannya roboh, yang lainnya segera 

menerjang dengan senjata-senjatanya. "Kalian mencari 

penyakit!" bentak Nanjar. Lengannya menghantam ke 

depan. Tiga orang menjerit ngeri. Tubuh mereka ter-

lempar tak bangkit lagi. Karena ketiga orang itu mera-

sa urat-urat tubuhnya menjadi kaku. Beberapa batang 

golok yang menyambar dari arah kiri dan kanan cuma 

mengenai tempat kosong. Akan tetapi akibatnya harus 

mereka tanggung, karena diiringi satu bentakan keras, 

empat tubuh penyerang ini terlempar dengan perden-

garkan jeritan parau.

Sisanya delapan orang penyerang ini terkejut 

karena tahu-tahu lawannya telah berada di hadapan 

mereka. Empat orang menyurut mundur. Akan tetapi 

empat orang lagi menerjang dengan beringas. Nanjar 

menggerutu dalam hati. "Penyakit di depan mata ma-

sih tak mau menyingkir? rasakan ini!" Dewa Linglung 

angkat sebelah lengannya. Cahaya putih menebar... 

Dan empat orang ini bagaikan diterjang angin seloka 

terlempar dengan jeritan setinggi langit!

Mendelik sepasang mata si baju kuning melihat 

dalam waktu sebentar saja belasan anak buahnya te



lah berkaparan di tanah. Yang lainnya masih untung, 

karena cuma tertotok saja. Akan tetapi yang empat 

orang telah tewas, dengan tulang dada remuk! Karena 

geramnya Nanjar telah terlepas tangan dan menya-

rangkan pukulan Naga Saktinya. Itupun cuma dengan 

tenaga dalam seperempat bagian. Tapi akibatnya 

keempat penyerang itu tewas dengan keadaan menge-

rikan!

"Keparat! jaga pukulanku!" membentak si laki-

laki baju kuning.

Uap hitam menyambar ke arah Nanjar ketika 

laki-laki itu hantamkan telapak tangannya. Whuuk! 

Serangan mendadak itu cepat dihindarkan Nanjar 

dengan melompat bersalto. Diam-diam dia terkejut me-

lihat serangan lawan. Itulah pukulan yang mengan-

dung uap racun. Baru saja dia jejakkan kakinya di ta-

nah kembali uap-uap hitam menerjangnya dengan 

gencar. Terpaksa gunakan ilmu lompatan kera untuk 

menjauhi lawan. Akan tetapi mau tak mau dia harus 

menutup jalan pernafasannya karena bila uap terhen-

dus hidung akan berakibat berbahaya.

"Bagus! ternyata tidak percuma kail bermulut 

besar, bocah! Namun jangan harap kau bisa lolos den-

gan keadaan masih bernyawa itu." Kembali dia mener-

jang! Kali ini lebih dahsyat lagi. Bahkan si laki-laki ma-

lah keluarkan senjatanya yang di sembunyikan di balik 

jubah.

Whuk! whukk! Sriing!

"Ahh!?" tersentak Nanjar karena lengannya ter-

gores. Benda yang berkilauan warna kuning emas itu 

amat menyilaukan mata. Hingga sukar untuk melihat 

serangan lawan, di samping dia membawa beban yang 

juga harus diselamatkan jiwanya dari gempuran-

gempuran dahsyat itu.


Nanjar melompat mundur. Tampak bahu ki-

rinya mengeluarkan darah, mengoyak bajunya.

Tahulah Nanjar senjata apa yang telah melu-

kainya itu. Ternyata senjata si baju kuning tak lain 

adalah sebuah kipas berwarna kuning emas terbuat 

dari baja yang amat tipis yang disepuh dengan warna 

emas.

"Hehehe... lebih baik kau serahkan saja jiwa-

mu! kau tak akan mampu menghadapi senjataku!" ter-

kekeh si laki-laki baju kuning.

"Iblis Kipas Emas!" sentak Nanjar terkejut. Sa-

darlah Nanjar kalau dia berhadapan dengan seorang 

kosen yang pernah didengar namanya.

Mengetahui keadaan yang tidak menguntung-

kan, terpaksa Nanjar gunakan ilmu terbangnya untuk 

segera menjauh lawan. "Gadis ini dalam keadaan kera-

cunan, akupun telah terluka. Sebaiknya aku sela-

matkan dulu gadis ini..." berkata Nanjar dalam hati.

Melihat lawannya kabur melarikan diri dengan 

ilmu aneh, laki-laki bergelar Iblis Kipas Emas ini terte-

gun sesaat. Akan tetapi segera dia berteriak.

"Kau tak akan luput dari kematian, bocah! wa-

lau ilmumu setinggi langit! Racun kipas maut ku akan 

merenggut jiwamu dalam waktu cuma setengah hari...! 

hahaha..." Ternyata Iblis Kipas Emas tak mengejar. Dia 

balikkan tubuh dan berkelebat lenyap masuk ke dalam 

hutan...

Sementara itu Nanjar terus melayang di atas 

pepohonan. Sesekali tubuhnya meluncur turun untuk 

jejakkan kaki ke puncak pohon. Lalu melayang lagi ba-

gaikan seekor elang. Itulah ilmu terbang Raja Siluman 

Bangau yang telah dipergunakan. Dalam waktu tak be-

rapa lama Nanjar telah melintasi dua buah bukit. Dari 

udara dia melihat di bawah tebing sebuah pondok ter


pencil. Segera dia meluncur ke sana...!

Begitu kakinya menyentuh tanah, segera dia 

turunkan gadis di atas pundaknya. Tampak peluh me-

rembes di sekujur tubuh pemuda ini. Nanjar mulai me-

rasakan pundaknya kesemutan. Cepat-cepat dia meno-

tok di beberapa bagian tubuh di sekitar pundak untuk 

mencegah menjalarnya racun. Akan tetapi sedikitnya 

racun telah menjalar ke dalam tubuhnya. Tampak dia 

beberapa kali terhuyung.

"Celaka! dadaku sesak!" sentak Nanjar terkejut. 

Sebenarnya dia tadi dapat melakukan totokan untuk 

menutup aliran darah di tubuhnya. Akan tetapi karena 

dia dalam keadaan menyelamatkan diri dengan meng-

gunakan ilmu terbangnya, hal itu tak dapat dilakukan.

Nanjar telah duduk bersila dan pejamkan ma-

tanya. Sementara dia segera menghimpun hawa murni 

untuk menolak racun. Butiran-butiran keringat men-

galir di dahi pemuda ini. Saat itu si gadis yang tadi di-

baringkan ditanah telah siuman dari pingsannya. 

Tampaknya dia amat terkejut melihat seorang laki-laki 

duduk bersila tak jauh dari tempat dia menggeletak.

"Dia..dia.... ah, mimpikah aku?" sentak hati da-

ra ini dengan mata membelalak. Siapakah sebenarnya 

gadis ini? Dia tak lain dari SRIMALA, murid si Pende-

kar Melati Putih. Bagaimana dia bisa berada di tangan 

Nanjar? Marilah kita dengar sejenak kisah yang telah 

dialaminya...

Seperti telah diceritakan Srimala diajak oleh Pa-

ti Lanang untuk diperkenalkan pada gurunya. Akan te-

tapi pemuda itu sekali-kali tak terbersit di hatinya un-

tuk membawanya kesana. Bahkan dibenak si pemuda 

berkecamuk seribu satu cara untuk melaksanakan 

maksudnya. Pati Lanang adalah seorang pemuda yang 

pandai berpura-pura. Sikapnya di hadapan Gajah Sora


yang menjadi ayah angkat sekaligus gurunya, baik tu-

tur kata dan perangainya. Setiap perintah tak pernah 

dibantah dan dia selalu menjalankan tugas dengan 

baik. Akan tetapi segera ketahuanlah belangnya sete-

lah dia keluar dari pesanggrahan Gajah Sakti.

Pati Lanang memang telah di ijinkan oleh Gajah 

Sora untuk meninggalkan rumah perguruan, karena 

pemuda itu mengatakan maksudnya untuk mencari je-

jak ayah kandungnya, Purbasangka. Sekalian untuk 

menambah pengalaman pemuda itu di luar pesanggra-

han. Sebelum berangkat, Gajah Sora memberinya we-

jangan-wejangan yang dapat dijadikan bekal bagi pe-

muda yang masih keponakannya itu. Sebenarnya Ga-

jah Sora agak berat melepaskan Pati Lanang, karena 

dia berharap pemuda itu bisa menggantikan dirinya 

memimpin perguruan Gajah Sakti.

Meneruskan usahanya yang cukup berpenga-

ruh di wilayah itu. Sedangkan Gajah Sora berniat 

mengasingkan diri menghabiskan sisa usianya.

Akan tetapi diapun tak dapat menolak keingi-

nan Pati Lanang yang ingin mencari orang tuanya. 

Hingga terpaksa dengan hati berat dia mengabulkan-

nya. Sedikitpun Gajah Sora tak menyangka kalau di 

dalam dada pemuda itu tersembunyi keinginan yang 

telah dipendam lama. Entah dari mana beritanya, Pati 

Lanang telah mengetahui kalau gurunya menyimpan 

sebuah kitab ilmu silat bernama "Mega Mendung" yang 

disembunyikan orang tua itu. Bahkan sedikitpun dia 

tak pernah mempelajari.

Hal itulah yang membuat dia kurang suka ber-

gaul dengan Walet Wungu, karena dia beranggapan 

Gajah Sora akan mewariskan kitab pusaka itu pada 

Walet Wungu.

Hasrat yang terpendam itulah yang melahirkan


keinginan pemuda itu untuk keluar dari pesanggrahan 

Gajah Sakti, walaupun sebenarnya dia tak berhasrat 

untuk mencari ayahnya. Ternyata diam-diam Pati La-

nang telah berhubungan dengan seseorang, ketika pe-

muda itu mendapat kesempatan menjalankan tugas 

gurunya beberapa bulan yang lalu. Seseorang itulah 

yang telah memberitahukan tentang kitab pusaka 

Mega Mendung yang berada di tangan Gajah Sora.

Sukar untuk dibayangkan kalau sebenarnya 

Pati Lanang telah bergabung dengan si perampok pe-

rempuan penghuni Istana Kuno. Bahkan dengan kepu-

ra-puraannya dia telah menjebak Srimala untuk diba-

wa ke Istana Kuno itu....

"Inikah tempat tinggal gurumu?" tanya Srimala 

dengan tertegun. "Benar!" sahut Pati Lanang dengan 

tersenyum setelah mereka tiba di satu ruangan.

"Tempat yang aneh, mirip sebuah istana...!" de-

sis Srimala.

"Ya, inilah Istana Kuno!" sahut Pati Lanang 

dengan tertawa.

Seorang nenek tua berjubah hitam muncul dari 

ruangan dalam. Perempuan tua ini berambut jarang 

berwarna putih, panjangnya cuma sebatas pangkal 

leher dengan sejumput gelung kecil di atas kepala.

"Guru...! Inilah kawanku....! Dia bernama Sri-

mala! Murid si Pendekar Melati Putih!" berkata Pati 

Lanang. Perempuan tua itu hanya menatap sekilas pa-

da gadis itu yang segera menjura. Tapi perempuan itu 

seperti tak menggubrisnya. Bahkan dia berkata dengan 

nada suaranya yang parau pada. Pati Lanang. "Pati 

Lanang! dalam beberapa hari ini kau jangan keluar. 

Sewaktu-waktu aku memerlukan tenagamu!"

"Baik, guru..!" sahut Pati Lanang cepat-cepat. 

Selesai berkata, nenek tua itu berkelebat keluar ruan



gan. Akan tetapi tanpa setahu Srimala, di telinga pe-

muda telah menyelinap suara si nenek yang membi-

sikkan suara dari jarak jauh.

"Pati Lanang! setelah selesai urusanmu, segera 

kau habisi dia. Aku tak ingin ada orang ketiga di Ista-

na Kuno ini. Siapa tahu kedatangannya akan mengun-

dang bencana!" Cara mengirim suara seperti ini kalau 

bukan dilakukan oleh orang yang telah mencapai ke-

sempurnaan tenaga dalam tingkat tinggi, amat sukar 

dilakukan. Nyatalah kalau perempuan tua renta itu 

seorang yang berilmu tinggi yang sukar diukur keting-

gian ilmunya.

"Gurumukah itu?" bisik Srimala, dengan kening 

berkerut.

"Ha ha...ya! jangan heran Srimala. Walau demi-

kian dia amat baik!" sahut Pati Lanang. Mendadak, ya! 

mendadak sekali tiba-tiba lengan pemuda itu telah 

bergerak menotok tubuh Srimala. Tentu saja hal itu di

luar dugaan gadis itu. Dengan perdengarkan keluhan 

dia roboh terkulai.

Akan tetapi dengan cepat Pati Lanang telah 

menangkap dan memondongnya. Kemudian dibawanya 

masuk ke dalam sebuah kamar.

Dibaringkannya tubuh sang dara di atas pem-

baringan. "Haha... Srimala. Sayang sekali aku tak da-

pat mengulur waktu. Selesai aku melampiaskan hajat 

ku terpaksa aku harus membunuhmu." berkata Pati 

Lanang dalam hati.

Sementara sepasang mata berbinar-binar me-

mandang keelokan paras dan tubuh Srimala. Sepasang 

lengan pemuda itu segera meluncur untuk membuka 

pakaian gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dara itu mem-

buka matanya. "Jahanam keparat.'" bentakan itu dis-

usul dengan menghantamnya lengan si gadis ke arah


dada Pati Lanang. Tentu saja membuat dia terkejut 

dan tak menyangka sama sekali. Akan tetapi masih 

sempat dia menghindar menangkis dengan kedua len-

gannya. Tapi tak urung sambaran pukulan itu sempat 

juga menghantam dadanya. 

Plak!

Pati Lanang terlempar bergulingan. Namun 

dengan cepat dia bangkit lagi. Pemuda ini menyeringai 

kesakitan. Terasa olehnya pergelangan tangannya ter-

lepas sambungan tulangnya dan dadanya terasa nyeri. 

Dan setetes darah segar mengalir dari bibirnya. Bagai 

disengat kala dia telah melompat berdiri. Serasa tak 

percaya dia pada penglihatannya. Bukankah gadis itu 

telah di totoknya? Apakah dalam beberapa kejap saja 

Srimala telah berhasil membuka kembali totokan pada 

tubuhnya? pikir Pati Lanang.

Namun dia tak dapat berpikir lebih jauh, kare-

na gadis itu telah melompat dari pembaringan seraya 

membentak.

"Manusia terkutuk! sudah kuduga kau bukan 

manusia baik-baik! Kau kira semudah itu kau mempe-

cundangi ku?" Srimala bertindak cepat. Lengannya 

menghantam jendela yang segera menjeblak terbuka. 

Akan tetapi baru saja dia mau melompat keluar gadis 

ini merasa ada sambaran angin dibelakangnya diiringi 

bentakan Pati Lanang.

"Kau tak dapat pergi dari tempat ini, gadis can-

tik!"

Dengan sigap Srimala gerakkan lengannya 

menghantam benda yang meluncur itu. Akan tetapi ti-

ba-tiba..... Bhuss! Benda itu justru meledak mengelua-

rkan asap berwarna kuning. "Celaka...! asap beracun!" 

sentak Srimala. Namun terlambat. Hidungnya telah 

mengendus bau asap itu. Sebisa-bisa dia menutup jalan pernafasannya, akan tetapi mendadak kepalanya 

dirasakan menjadi berat, dan matanya berkunang-

kunang. Robohlah dara ini dan selanjutnya dia sudah 

tak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi sebelum Pati La-

nang menyangganya sesosok bayangan telah berkele-

bat cepat sekali menyambar tubuh dara itu dan mela-

rikannya.

"Setan! siapa kau?" bentak Pati Lanang seraya 

melompat mengejar. Akan tetapi jawabannya adalah 

sambaran angin keras yang membuat dia terpaksa ha-

rus menyingkir menyelamatkan diri. Brak! pukulan te-

naga dalam orang itu menghantam tempat kosong. 

Terkejut Pati Lanang karena melihat tanah bekas han-

taman pukulan itu telah berlubang. Terpaksa dia ta-

han langkahnya karena berpikir lawan bukanlah orang 

yang dianggap enteng. Apa lagi dia dalam keadaan ter-

luka. "Heh! benar kata guru! perempuan itu bisa mem-

bawa bencana...!" berkata Pati Lanang dalam hati. Pe-

muda ini segera kembali masuk ke dalam Istana Kuno 

untuk mengobati lukanya.

Siapa adanya orang yang telah menyelamatkan 

Srimala? Ternyata tiada lain dari Nanjar! Pemuda itu 

memang telah menguntit ketika Srimala dan Pati La-

nang pergi ke tempat itu. Bahkan dengan diam-diam 

dia telah mendengar pembicaraan keduanya. Nanjar 

telah mengetahui siapa adanya pemuda bernama Pati 

Lanang itu, yang dijumpainya beberapa bulan yang la-

lu baru saja habis memperkosa seorang gadis. Diam-

diam dia menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu. 

Dari seorang perempuan nakal yang menjadi langga-

nannya, dia mengetahui kalau pemuda itu bernama 

Pati Lanang, murid Gajah Sora si Pendekar Gajah Len-

gan Tunggal, ketua perguruan Gajah Sakti.

Tadinya Nanjar cuma berniat mengembalikan


lan pernafasannya, akan tetapi mendadak kepalanya 

dirasakan menjadi berat, dan matanya berkunang-

kunang. Robohlah dara ini dan selanjutnya dia sudah 

tak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi sebelum Pati La-

nang menyangganya sesosok bayangan telah berkele-

bat cepat sekali menyambar tubuh dara itu dan mela-

rikannya.

"Setan! siapa kau?" bentak Pati Lanang seraya 

melompat mengejar. Akan tetapi jawabannya adalah 

sambaran angin keras yang membuat dia terpaksa ha-

rus menyingkir menyelamatkan diri. Brak! pukulan te-

naga dalam orang itu menghantam tempat kosong. 

Terkejut Pati Lanang karena melihat tanah bekas han-

taman pukulan itu telah berlubang. Terpaksa dia ta-

han langkahnya karena berpikir lawan bukanlah orang 

yang dianggap enteng. Apa lagi dia dalam keadaan ter-

luka. "Heh! benar kata guru! perempuan itu bisa mem-

bawa bencana...!" berkata Pati Lanang dalam hati. Pe-

muda ini segera kembali masuk ke dalam Istana Kuno 

untuk mengobati lukanya.

Siapa adanya orang yang telah menyelamatkan 

Srimala? Ternyata tiada lain dari Nanjar! Pemuda itu 

memang telah menguntit ketika Srimala dan Pati La-

nang pergi ke tempat itu. Bahkan dengan diam-diam 

dia telah mendengar pembicaraan keduanya. Nanjar 

telah mengetahui siapa adanya pemuda bernama Pati 

Lanang itu, yang dijumpainya beberapa bulan yang la-

lu baru saja habis memperkosa seorang gadis. Diam-

diam dia menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu. 

Dari seorang perempuan nakal yang menjadi langga-

nannya, dia mengetahui kalau pemuda itu bernama 

Pati Lanang, murid Gajah Sora si Pendekar Gajah Len-

gan Tunggal, ketua perguruan Gajah Sakti.

Tadinya Nanjar cuma berniat mengembalikan


selendang sutera Srimala. Bagi Nanjar memang tak ter-

lalu sulit untuk mengetahui jejak si gadis yang melari-

kan diri setelah dia melepaskan senjata selendang su-

teranya. Terkejut Nanjar melihat kemunculan Pati La-

nang dari balik gerombolan semak belukar. Diam-diam 

dia mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. 

Rasa ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu 

membuat Nanjar terus menguntit, ketika keduanya 

meninggalkan tempat itu....

Benar saja! Pati Lanang tidak membawa Srima-

la ke pesanggrahan Gajah Sakti. Melainkan ke suatu 

tempat di dalam hutan. Semakin tercekat hati Nanjar, 

ketika dia melihat di tengah hutan itu terdapat sebuah 

reruntuhan istana tua. Untunglah dia berlaku hati-hati 

dan bergerak tanpa menimbulkan suara, hingga ketika 

dia tengah mencari akal untuk memasuki istana tua 

itu tak kepergok dengan si nenek penghuni Istana Ku-

no yang baru saja keluar dari dalam ruang pendopo. 

Perempuan tua itu tampaknya kurang waspada den-

gan keadaan sekitarnya. Setelah mengirim suara jarak 

jauh pada Pati Lanang, dia segera berkelebat lenyap 

keluar dari hutan itu...

Nanjar hembuskan nafasnya setelah sejak tadi 

dia menahan napas ketika nenek tua itu muncul. 

"Heh! untung dia tak melihatku! Bagus! Aku dapat 

memeriksa isi Istana tua ini sekalian melihat apa yang 

akan dilakukan pemuda hidung belang itu terhadap 

Srimala..." kata Nanjar dalam hati.

Demikianlah, hingga ketika Srimala nyaris ter-

jatuh lagi dalam cengkeraman Pati Lanang, si Dewa 

Linglung telah bertindak cepat menyelamatkannya. 

Nanjar tadinya berniat memeriksa Istana Kuno itu jadi 

urungkan niatnya, karena dia harus menyelamatkan si 

gadis. Di tengah perjalanan dia telah menjejalkan sebutir pel penolak racun di mulut si gadis. Untunglah 

dia masih bisa menyelamatkan diri dari kepungan 

pembegal-pembegal nyawa dan si Iblis Kipas Emas.

DELAPAN

Srimala merasa mulutnya terkancing melihat 

kenyataan yang terpampang dihadapannya. Pemuda 

yang telah merebut selendang sutera itu dalam kea-

daan terluka di bagian pundak, yang tampak menga-

lirkan darah berwarna kehitaman. Tahulah dia kalau si 

pemuda bertampang dungu itu terkena racun! Akan 

tetapi bukankah dirinya sendiri telah terkena asap 

mengandung racun yang terendus hidung akibat di-

perdayai Pati Lanang? Tampaknya pengaruh racun itu 

telah lenyap. Buktinya dia tak merasakan apa-apa lagi.

Jelaslah kalau pemuda itu yang telah menolong 

dirinya.

Tak selang berapa lama Nanjar telah berhasil 

pulih dari pengaruh racun di tubuhnya. Pelahan-lahan 

dia membuka matanya. Yang tampak adalah sosok tu-

buh Srimala yang juga tengah menatapnya.

"Ah, kau sudah sadar, nona Srimala?" berkata 

Nanjar, dengan tersenyum. Lalu melompat berdiri. 

"Kaukah yang telah menolong diriku?" tanya gadis itu.

"Benar! bagaimana keadaanmu?" tanya Nanjar 

seraya menghampiri.

"Sudah baikan..." menyahut dia. "Apakah kau 

terluka oleh si Pati Lanang Pemuda keparat itu?" Nan-

jar menggeleng. "Orang lain yang telah mencelakakan 

ku!" sahut si Dewa Linglung, seraya ceritakan secara 

singkat pertarungan dengan si Iblis Kipas Emas dan


orang-orangnya.

"Ah, sungguh aku malu hati pada diri sendiri, 

karena kebodohan ku nyaris saja aku jadi korban pe-

muda celaka itu! Entah cara bagaimana aku bisa 

membalas budimu..." berkata Srimala dengan menun-

duk.

"Hahaha... jangan kau berkata begitu, nona! 

Sebenarnya aku secara tak sengaja telah berhasil me-

nyelamatkan dirimu. Tujuanku adalah mau mengem-

balikan benda milikmu ini!" Nanjar masukkan lengan-

nya ke balik baju. Lalu keluarkan selendang sutera hi-

tam dalam kepala tangannya.

"Ini... terimalah! Dan maafkan kalau sikapku 

membuat kau marah!"

Srimala menerima selendang suteranya dengan 

tersipu. Entah bagaimana perasaan gadis itu setelah 

mendapatkan kembali senjata itu sukar dilukiskan. 

Gembira bercampur malu serta rasa menyesal 

bercampur aduk menjadi satu.

"Ini pondok siapakah?" tanyanya tiba-tiba. Se-

jak tadi dia terheran karena di tempat itu ada sebuah 

pondok.

"Entahlah! aku sendiri belum memasukinya 

dan baru beberapa lama tiba disini!" sahut si Dewa 

Linglung. "Baik akan kuperiksa!" Sekali melompat Nan-

jar telah tiba di depan pintu pondok. Telinganya dipa-

sang kalau-kalau dia dapat mendengar ada suara dari 

dalam. Akan tetapi tak ada apa-apa. Melihat sarang la-

ba-laba yang banyak melekat disudut pintu tahulah 

Nanjar kalau pondok itu kosong. Nanjar mendorong 

daun pintu yang mengeluarkan bunyi berderit. Lalu 

melangkah ke dalam, Ternyata rumah itu benar-benar 

tak berpenghuni. Srimala menyusul masuk ke dalam 

rumah itu.


"Tak ada penghuninya?" tanya si gadis. 

"Ya! sebuah rumah kosong!" sahut Nanjar. "Ku-

lihat hari hampir gelap. Tempat ini bisa dipergunakan 

untuk bermalam...! Oh, ya kemanakah tujuanmu, no-

na...?" Srimala yang sering mendengar pemuda itu 

menyebutnya nona menjadi kurang enak hati. "Nama-

ku Srimala! sebut saja namaku...!" katanya.

"Oh, ya! ng... Srimala! apakah kau punya tu-

juan untuk bermalam di tempat ini?"

"Aku akan menginap malam ini disini!" menya-

hut si gadis.

"Hehe... kau tak takut atau curiga terhadapku?" 

tanya Nanjar dengan tersenyum. "Aku percaya kau bu-

kan manusia macam si Pati Lanang!" menyahut Srima-

la. Nanjar cuma tersenyum seraya melangkah meng-

hampiri jendela. Dan membukanya lebar-lebar. Semilir 

angin meniup masuk menyegarkan udara yang agak 

berbau pengap. "Sukurlah kalau kau tak mencurigai-

ku!" kata Nanjar.

"Tahukah kau siapa si Pati Lanang itu?" ta-

nyanya. Srimala menggeleng.

"Aku baru beberapa saat mengenalnya. Sikap-

nya yang ramah itu membuat aku mempercayai kata-

katanya. Tak tahunya dia manusia berakhlak bejat!"

"Hm, dialah murid si Pendekar Gajah Lengan 

Tunggal, Gajah Seta! Manusia itu memang seorang 

pemuda hidung belang yang baru ketahuan belangnya! 

Sungguh tak kusangka murid seorang pendekar yang 

cukup punya wibawa mempunyai akhlak sedemikian 

buruk!" berkata Nanjar.

Srimala tercekat hatinya karena pemuda itu 

mengetahui perihal Pati Lanang.

"Apakah perempuan tua di istana kuno itu bu-

kan gurunya?" tanyanya dengan terheran. "Hm, itulah



yang aku tak habis pikir! Menurut keterangan yang 

kudengar dia murid Gajah Sora si ketua perguruan 

Gajah Sakti, akan tetapi dia mengakui nenek penghuni 

Istana Kuno itulah gurunya! Aku memang tengah me-

nyelidiki siapa adanya perampok perempuan yang te-

lah membunuh hartawan tua itu. Dugaanku si nenek 

itulah orangnya!"

"Ah, ya! kukira dialah orangnya!" tukas Srima-

la. "Bagaimana rencanamu selanjutnya?" tiba-tiba 

Srimala ajukan pertanyaan.

"Aku akan kembali ke Istana tua itu besok! Aku 

harus mengetahui siapa sebenarnya nenek penghuni 

istana kuno itu. Dan ada rahasia apa di dalam istana 

kuno itu!" Srimala mengangguk-angguk. "Aku akan 

menemanimu ke Istana Kuno itu!" Nanjar tersenyum 

memandang si gadis.

"Kau tidak khawatir tertawan si Pati Lanang?"

"Hm, justru aku akan menghajarnya karena dia 

telah berani berbuat kurang ajar terhadapku!" sahut 

Srimala dengan mata membinar-binar. Nanjar tertawa 

lalu berkata. "Perutku mendadak lapar. Kau buatlah 

api unggun di halaman rumah ini, aku akan mencari 

makanan! Kau juga tentunya lapar. Nah, aku berang-

kat!" Selesai berkata Nanjar berkelebat melompat ke-

luar dari jendela, dan lenyap dibalik rumah.

Ketika malam menjelang tiba kedua pemuda 

dan pemudi ini tampak telah duduk bercakap-cakap 

menghadap api unggun. Sebentar-sebentar lengan 

Nanjar bergerak membalik-balik daging kelinci yang di-

tangkapnya. Dalam percakapan itu Srimala mencerita-

kan riwayat hidupnya. Demikian juga Nanjar yang se-

gera tuturkan pengalamannya.

Terkejutlah Srimala mengetahui pemuda ini 

adalah si Pendekar Naga Merah yang lebih dikenal


dengan julukan si Dewa Linglung.

Sampai lama dia terpukau karena tak me-

nyangka sama sekali. Srimala telah mendengar dari 

gurunya mengenai pendekar aneh yang namanya telah 

muncul menggegerkan Rimba Hijau sejak sang guru si 

Pendekar Melati Putih mengundurkan diri dan mengu-

cilkan dirinya di puncak gunung Betiri. Tentu saja hal 

itu membuat Srimala bergirang hati. Karena dengan 

berjumpanya dia dengan pendekar muda, gagah dan 

bertampang tolol namun berilmu tinggi itu, dia tak per-

lu merasa khawatir...

SEMBILAN

GAJAH SORA menerjang beringas dengan kiba-

san ujung lengah jubahnya. Sambaran ini membuat 

tubuh si nenek penghuni Istana Kuno tergontai-gontai. 

Tapi hal itu tak membuat perempuan tua berjubah hi-

tam itu berhenti terkekeh. "Hihik...hik... ternyata ilmu 

Menggempur Jagat mu masih baik, Gajah Sora! Akan 

tetapi permainan kuno itu sudah lapuk untuk diper-

tunjukkan di depan mataku!" berkata si nenek dianta-

ra suara tertawanya.

"Iblis perempuan! Suaramu seperti kukenal! 

bukalah cadar penutup mukamu!" bentak Gajah Sora. 

Dia terkejut karena perempuan bertopeng itu menge-

nali jurus yang dipergunakan, juga suaranya yang se-

perti dikenali.

"Hik...hik...hik... baiklah! Buka matamu lebar-

lebar agar kau dapat melihat jelas siapa aku!" berkata 

si perempuan bertopeng ini. Lengannya segera meraba 

topeng hitam di wajahnya. Ketika topeng penutup mu


ka itu disentakkan, Gajah Sora terperangah kaget.

"Hak!? Kau... kau RUMPINI?" teriak Gajah Sora 

dengan mata membeliak.

"Bagus! mata tuamu masih awas! Kalau kau in-

gin tahu lagi, akulah yang bergelar si Hantu Pencabut 

Nyawa! Nah! bersiaplah kau untuk menerima kema-

tian!"

"Tunggu!" teriak Gajah Sora dengan napas te-

rengah.

"Heh! apa lagi? diantara kita sudah tak ada hu-

bungan apa-apa! Masih ingatkah kau ketika kau men-

gusirku seperti seekor anjing pada delapan belas tahun 

yang silam? Sejak itu sebutan suami istri diantara kita 

sudah putus. Dan aku berhak untuk berbuat apa yang 

kuinginkan!" berkata perempuan tua bergelar hantu 

Pencabut Nyawa ini.

"Tapi itu karena kesalahanmu sendiri, Rumpi-

ni...! Siapa yang tak sakit hati kalau istrinya main se-

rong dengan laki-laki lain?" bentak Gajah Sora dengan 

napas memburu. Dia sungguh tak menyangka; kalau 

perempuan perampok itu adalah bekas isterinya sendi-

ri yang tak ada beritanya selama delapan belas tahun 

ini. "Lagi ada satu hal yang akan aku tanyakan pada-

mu!" sambung laki-laki tua ini.

"Bertanyalah, selagi kau masih bisa bernapas!" 

sahut Rumpini. Sesaat Gajah Sora menelan ludah se-

belum bicara.

"Apa maksud tujuanmu dengan semua ini? 

Mengapa kau mengadu domba kami, orang-orang per-

guruan Gajah Sakti dengan pihak Cecak Terbang?"

"Hihik...hik... hal itu memang sudah kami ren-

canakan! si Cecak Terbang Lawe Wereng telah berga-

bung denganku. Tujuan kami tentu saja mendirikan 

sebuah partai besar yang menguasai wilayah utara ini!


Dengan adanya perguruan Gajah Sakti yang cukup 

punya nama baik di wilayah ini, jelas telah mendesak 

perguruan Cecak Terbang untuk gulung tikar! Aku 

memang punya andil dalam urusan ini, karena... si 

Cecak Terbang Lawe Wereng adalah suamiku!"

Kalau ada geledek menyambar saat itu tidaklah 

membuat Gajah Sora seterkejut ini. Membelalak mata 

Gajah Sora mendengar kata-kata perempuan tua diha-

dapannya itu. Seketika dia berpaling pada Lawe We-

reng yang sejak tadi cuma berdiri saja. "Ja-

di...jadi...kau...???" bentak Gajah Sora dengan suara 

parau.

"Hehehe... apa yang dikatakannya tidak salah, 

sobat Gajah!" berkata Lawe Wereng dengan tersenyum 

dan sikap tenang.

"Keparat! Apa artinya pengangkatan saudara ki-

ta?" teriak Gajah Sora menggembor marah. "Sudah 

kuduga sejak semula, kau memang berniat busuk! 

Ternyata dugaanku benar!" Seraya melompat ke hada-

pan laki-laki kurus itu Gajah Sora berteriak keras. 

"Kubunuh kau binatang!!" Akan tetapi pada detik itu 

serangkum angin dahsyat telah mendahului menghan-

tam ke arah punggung laki-laki tua ini. Dalam keadaan 

murka kewaspadaan Gajah Sora lenyap. Terdengarlah 

suara jeritan parau si Pendekar Gajah Lengan Tunggal.

Tubuhnya terlempar bergulingan. Bajunya di 

bagian punggung tampak hangus.

Namun Gajah Sora cepat bangkit lagi. Tampak 

wajahnya menyeringai menahan sakit. "Bedebah! ka-

lian manusia-manusia iblis yang tidak tahu aturan!" 

membentak Gajah Sora. Kedua pipi laki-laki tua ini 

menggembung. Sebelah lengannya menyilang di dada 

dengan telapak tangan tegak lurus. Gajah Sora segera 

menghimpun hawa murni untuk menahan rasa sakit



akibat gempuran itu. Dan siap mengeluarkan jurus-

jurus simpanannya untuk menghadapi lawan.

"Hihik.hik... masih adakah yang akan kau ta-

nyakan, pendekar Gajah?"

"Perempuan laknat! Iblis apakah yang telah me-

rubah dirimu sebusuk itu? Aku memang masih ada 

pertanyaan satu lagi!" berkata Gajah Sora yang masih 

bisa menahan diri.

"Hihik... katakanlah!" terkekeh Rumpini si Han-

tu Pencabut Nyawa. Gajah Sora menatap geram. Ingin 

rasanya saat itu juga dia merobek-robek tubuh bekas 

isterinya itu. "Kau telah menawan muridku Pati La-

nang dan mencuri kitab pusaka Mega Mendung dari 

kamarku, apakah maksudmu?"

"Hm, kau dapat menanyakan sendiri pada bo-

cah itu!" sahut si nenek seraya bertepuk tangan dua 

kali. Detik itu juga dari dalam bangunan kuno melom-

pat keluar sosok tubuh. Mendelik mata Gajah Sora me-

lihat pemuda itu dalam keadaan tenang-tenang saja. 

Bahkan di tawanpun tidak. Hampir-hampir saja Gajah 

Sora tak mempercayai penglihatannya.

"Pati Lanang! apa artinya semua ini?" teriak Ga-

jah Sora menggembor. Sebelum menjawab pertanyaan 

itu Pati Lanang menatap pada si Hantu Pencabut Nya-

wa. "Guru! bolehkah aku mengatakannya?"

"Ya! katakanlah!" sahut iblis perempuan ini. 

Semakin lebar mata Gajah Sora mendelik mendengar 

murid juga keponakannya itu menyebut guru pada si 

perempuan tua itu. Akan tetapi Pati lanang sudah ber-

kata.

"Gajah Sora! setelah aku menjadi muridnya, 

tentu kau dapat menerka apa maksud dicurinya kitab 

pusaka Mega Mendung itu? Haha... baiklah aku akan 

menjawab agar lebih jelas bagimu! Akulah calon pewa


ris kitab pusaka itu!" Bagai dihantam palu godam tera-

sa hampir meledak dada Gajah Sora mendengar kata-

kata muridnya. "Keparat! jadi kau telah lupakan jasa-

ku merawat dan mendidikmu selama ini? Kau berse-

kongkol dengan perempuan tak tahu adat yang justru 

patut menjadi musuhmu?" bentak Gajah Sora. Darah-

nya seketika mendidih karena gusarnya.

"Heh! siapapun akan iri hati kalau dirinya dibe-

dakan!" berkata Pati Lanang. "Dibedakan? Aku tak 

pernah membedakan kau dengan Walet Wungu!

"Dari mana kau bisa mengetahui aku membe-

dakan kau?" berkata Gajah Sora dengan suara terte-

kan.

"Hm, kelihatannya memang begitu. Tapi dengan 

kau tak memberikan aku kesempatan mempelajari ki-

tab pusaka Mega Mendung itu adalah suatu bukti 

bahwa aku dianak tirikan! Kau pasti hanya akan me-

wariskannya pada Walet Wungu!" sahut Pati Lanang.

Gajah Sora menghela napas, lalu katanya den-

gan suara berubah datar.

"Kau telah salah menduga, Pati Lanang! Sekali-

kali aku tak berniat demikian! Kitab pusaka Mega 

Mendung itu, berisi ilmu yang menjurus ke arah ilmu 

sesat! Tadinya aku berniat memusnahkan..."

"Akan tetapi kau masih berniat untuk mempe-

lajari, hingga kau tetap menyimpannya! Hihik... aku 

memang telah sejak lama mencari-cari kitab pusaka 

itu. Tak tahunya berada di tanganmu!" menimpa si 

Hantu Pencabut Nyawa.

"Dari mana kau mengetahui aku memiliki buku 

pusaka itu?" Gajah Sora kerutkan keningnya menatap 

perempuan tua berjubah hitam itu.

"Hihik...hik.. kau kenal baik dengan Bahugoro 

si Dedemit Segara Kidul? Manusia yang telah bersusah


payah mendapatkan kitab itu dan kau buat dia cacad 

seumur hidup itulah yang memberitahukannya!" ber-

kata Rumpini.

"Hah!? dimanakah iblis telengas itu?" sentak 

Gajah Sora terkejut.

"Dia kini berada di Blambangan. Menetap di 

rumah kediaman Raden WIRAKRAMA!" sahut si Hantu 

Pencabut Nyawa. Kata-kata ini diputus oleh suara ter-

tawa terkekeh perempuan tua ini yang merasa sudah 

cukup lama mengulur waktu. "Hihik...hik.. cukuplah, 

Gajah Sora! Saat kematianmu telah tiba!" Begitu habis 

suara kata-katanya, tubuh perempuan tua ini berkele-

bat. Sepasang lengannya menghantam dengan puku-

lan ganas. Akan tetapi Gajah Sora telah memper-

siapkan diri untuk menghadapi wanita tua itu. Hanta-

man yang bisa membobolkan bukit itu berhasil dielak-

kan.

"Perempuan durjana! sungguh menyesal aku 

tak membunuhmu!" memaki Gajah Sora. 

"Tutup mulutmu yang tak ada gunanya itu!" 

bentak Rumpini.

Kembali dia menerjang ganas. Sepuluh jari-

jarinya terkembang mengarah ke batok kepala dan da-

da lawannya. Gerakan ini luar biasa cepatnya. Itulah 

jurus "Cakar Hantu". Sekali terkena sasaran, batok 

kepala korban akan hancur kena cengkeraman dan tu-

lang dada ambrol. Jangankan mengenai sasaran, ter-

kena goresan kuku tangannya yang mengandung ra-

cun itu saja sudah dapat merenggut jiwa sang korban. 

Akan tetapi Gajah Sora bukanlah seorang yang begitu 

mudah untuk dirobohkan. Selain sudah cukup makan 

asam garam persilatan, dia juga memiliki ilmu yang 

tak dapat dipandang enteng.

Dengan membentak keras dia kibaskan jubah



nya diiringi tendangan kilat ke arah lambung.

Terpaksa Hantu Pencabut Nyawa tarik kembali 

serangannya untuk segera menghindari terjangan la-

wan. Agaknya Rumpini tak mau berlama-lama untuk 

menghabisi lawannya. Segera dia melompat agak men-

jauh. Tampak bibir perempuan tua ini komat-kamit 

seperti membaca mantera. Mendadak sebelah lengan-

nya terangkat ke arah Gajah Sora diiringi bentakan ke-

ras.

Segumpal uap biru meluncur ke arah Gajah So-

ra. Whuut! Laki-laki tua ini kebutkan lengan jubahnya 

yang dibarengi tenaga dalam dahsyat. Uap biru itu 

buyar. Hal itulah yang diinginkan si hantu Pencabut 

Nyawa. Detik itu tubuhnya melambung ke atas mele-

wati kepala Gajah Sora.

"Hihik... hik.. lihatlah sekelilingmu, Gajah Sora! 

Hantu-hantu pencabut nyawa siap merenggut jiwamu!"

Apa yang terjadi kemudian? Tebaran uap biru 

itu mendadak berubah menjadi makhluk-makhluk 

menyeramkan yang banyaknya berpuluh-puluh.

"Ilmu sihir!?" desis Gajah Sora terkejut. Dengan 

membentak keras laki-laki ini hantamkan pukulan-

pukulan ke sekelilingnya. Akan tetapi hantu-hantu itu 

bergemingpun tidak. Bahkan mereka telah meluruk 

maju untuk mencengkeramkan lengan-lengannya ke 

arah Gajah Sora. Sret! Pendekar tua ini cabut keluar 

senjata keris Wesi Kuning dari balik bajunya. Benda 

ini agaknya punya pengaruh luar biasa. Buktinya 

makhluk-makhluk itu buyar ketika dia kibaskan ke 

arah mereka. Kali ini Gajah Sora tak membuang waktu 

untuk segera menerjangkan senjata pusaka ditangan-

nya. Makhluk-makhluk itu lenyap!

Menggeram gusar Rumpini. Tiba-tiba dia lem-

parkan sesuatu ke arah Gajah Sora. "Terimalah ini!"


bentaknya. Benda hitam itu dihantam dengan gempu-

ran telapak tangannya. Akan tetapi detik itu terjadilah 

ledakan keras. Asap hijau menyembur keluar. Gajah 

Sora terpekik kaget. Asap itu telah membuat matanya 

menjadi pedih. Dengan terhuyung-huyung dia menu-

tupi mukanya.

"Hihik...hik... rasakan Gajah Sora! Itulah asap 

pembuta mata! Kau telah terkena asap itu. Matamu 

akan menjadi buta seumur hidup!" mengekeh tertawa 

si Hantu Pencabut Nyawa.

"Isteriku! biarlah aku yang menghabiskannya!" 

berkata Lawe Wereng. Dia sudah mau melompat untuk 

menerjang. Akan tetapi Rumpini mengangkat tangan-

nya. "Biarkan dia menderita seperti itu, suamiku! Me-

nyingkirlah kau!"

Lawe Wereng segera mengetahui bahayanya 

asap pembuta mata itu. Segera dia menyingkir pergi. 

Keadaan Gajah Sora tampak mengenaskan. Dia benar-

benar tak dapat melihat apa-apa lagi. Pandangan ma-

tanya menjadi gelap pekat. "Kurang ajar! kau.. kau be-

nar-benar manusia terkutuk, Rumpini!" teriak laki-laki 

ini. Diiringi gemboran keras yang mengguntur pende-

kar berlengan tunggal ini menerjang sejadi-jadinya. 

Tak peduli lagi dia ke arah mana serangannya. Pepo-

honan dan semak belukar serta batu-batu berhambu-

ran di sekitarnya akibat terjangan itu.

Pada saat itulah terdengar teriakan nyaring his-

teris dari arah belakang. "Ayaah...!" Sesosok tubuh te-

lah berkelebat muncul diiringi sosok tubuh lain dibela-

kangnya.

"Walet Wungu...? kau..." sentak Gajah Sora ter-

kejut girang.

"Ayah! apa yang terjadi?" membelalak mata ga-

dis ini melihat keadaan ayah angkatnya. Dara ini memang tak lain dari Walet Wungu dan Jalapaksi yang 

telah menyusul dan tiba di istana kuno.

"Iblis perempuan itu telah membutakan mata-

ku! Mereka... mereka semua adalah manusia-manusia 

terkutuk! termasuk Pati Lanang dan Lawe Wereng si 

Cecak Terbang!" desis Gajah Sora.

"Pati Lanang dan Lawe Wereng?" sentak Walet 

Wungu terkejut.

"Benar! mereka telah bergabung dengan iblis 

perempuan itu!" sahut Gajah Sora. Laki-laki tua ini 

mengusap matanya yang berair. Menggebulah kemara-

han di dada gadis ini. Akan tetapi Gajah Sora kembali 

berkata.

"Hati-hati dengan benda-benda yang dilempar-

kan iblis perempuan itu. Dia memiliki ilmu sihir. Kau 

gunakanlah keris Wesi Kuning ini untuk menghadapi 

ilmu sihirnya!"

"Baik, ayah!" sahut Walet Wungu seraya mene-

rima keris pusaka itu dari tangan gurunya. "Eh, den-

gan siapa kau datang?" tiba-tiba Gajah Sora miringkan 

kepalanya. "Dia Jalapaksi, murid si Cecak Terbang!" 

sahut Walet Wungu.

"Ahh...!?" terkejut si Pendekar Gajah. Sebelum 

Gajah Sora berkata lagi Jalapaksi yang telah menden-

gar semua percakapan itu cepat-cepat buka suara. 

"Demi kebenaran, aku Jalapaksi tak akan berpihak 

pada mereka! Tenangkanlah hatimu, paman Gajah!"

SEPULUH

"Akupun berada di pihakmu, sobat Gajah Sora!" 

sebuah suara terdengar di belakang mereka. Serentak


mereka menoleh ke belakang.

"Siapa kau?" tanya pendekar tua ini dengan mi-

ringkan kepalanya.

"Raden WIRAKRAMA...!" Walet Wungu menda-

hului berkata. Gadis ini berseru girang melihat siapa 

yang telah berada diantara mereka.

"Benar! aku telah mengetahui semua ini! Keda-

tanganku adalah untuk mengambil kembali kitab pu-

saka Mega Mendung dari tangan iblis perempuan itu!" 

berkata laki-laki panglima Kerajaan ini. "Benda itu ha-

rus dimusnahkan!"

"Ahh... sukurlah! kedatanganmu amat kuha-

rapkan sekali, Raden!" kata Gajah Sora dengan wajah 

girang.

"Bahugora si Dedemit Segara Kidul memang be-

rada di tempat kediamanku. Akan tetapi dia telah sa-

dar dari kesesatannya. Dialah yang telah memberita-

hukan kitab pusaka Mega Mendung itu berada di tan-

ganmu! Kitab itu tak boleh jatuh ke tangan siapapun, 

dan harus segera dimusnahkan. Bahugora yang telah 

menjadi guruku yakin kalau kau tak akan mempelajari 

isi kitab itu. Sayang kedatanganku terlambat! Kitab 

Sesat itu telah jatuh ke tangan manusia iblis itu..." 

ujar Raden Wirakrama. Ternyata orang yang diam-

diam membuntuti Walet Wungu dan Jalapaksi itu ada-

lah Raden Wirakrama. Kemunculannya di pesanggra-

han Gajah Sakti telah keduluan oleh si Hantu penca-

but Nyawa yang membawa lari kitab Pusaka Mega 

Mendung.

Pada saat itu si Hantu Pencabut Nyawa telah 

perdengarkan suara tertawa mengekeh. Walau diam-

diam hatinya terkejut melihat kemunculan Raden Wi-

rakrama. Tentu saja sebagai seorang tokoh berilmu 

tinggi dia dapat menangkap pembicaraan mereka. Ta


hulah Rumpini kalau panglima Kerajaan itu berpihak 

pada si Pendekar Gajah dan kedatangannya untuk me-

rebut kembali kitab pusaka Mega Mendung dari tan-

gannya.

"Hi hik...hik... bagus! kalian telah datang untuk 

mengantarkan nyawa! Jangan mimpi di siang hari un-

tuk merampas kitab pusaka itu dari tanganku!" berka-

ta si Hantu Pencabut Nyawa.

"Perempuan iblis! rencana busukmu telah ter-

cium! Cita-cita mu tak akan menjadi kenyataan!" 

membentak Wirakrama. Diiringi Walet Wungu dan Ja-

lapaksi Panglima Kerajaan ini melompat ke arah Rum-

pini. Melihat demikian si Cecak Terbang Lawe Wereng 

dan Pati Lanang segera maju menyongsong.

"Jalapaksi! apakah kau mau menentang guru-

mu?" bentak Lawe Wereng menatap pada Jalapaksi. 

Pemuda ini perlihatkan senyum sinis, dan cabut ke-

luar senjatanya. "Hei?! terpaksa! Saat ini aku tak men-

ganggapmu sebagai guruku lagi! Demi kebenaran ter-

paksa aku harus menumpas mu!" berkata Jalapaksi 

dengan tegas. Berubahlah air muka Lawe Wereng.

"Bagus! Jangan menyesal kalau terpaksa aku 

harus melenyapkan kau!" bentaknya. Tanpa menunggu 

lebih lama laki-laki kurus ini langsung menerjang ke 

arah pemuda itu. Dengan pedangnya Jalapaksi siap 

menghadapi gurunya.

Terjadilah pertarungan seru antara guru mela-

wan murid. Sementara, itu Walet Wungu dengan ke-

marahan tak terbendung segera menerjang Pati La-

nang yang telah mencabut sepasang pedang pendek 

senjatanya.

"Iblis perempuan! Akulah lawanmu!" bentak 

Raden Wirakrama.

"Bagus! hihik...hik.. silahkan maju panglima


muda!"

Tanpa ayal lagi Raden Wirakrama segera men-

cabut keluar dua buah senjata. Sebuah tombak ber-

mata tiga dan sebuah kelewang yang membersitkan si-

nar putih.

"Heh! pedang Mutiara Putih!" mendesis perem-

puan tua ini. "Bagus! ingin ku menjajal kehebatan pe-

dang pusaka mu itu!" Dan dengan diiringi bentakan 

keras si Hantu Pencabut Nyawa mendahului mener-

jang. Segera saja terjadilah pertarungan hebat. Samba-

ran-sambaran pedang dan tombak mata tiga panglima 

muda itu menderu-deru mematahkan serangan lawan.

Sementara itu dengan hantamkan telapak tan-

gannya si Cecak Terbang Lawe Wereng siap menghabisi 

nyawa muridnya. Akan tetapi dengan pedangnya Jala-

paksi memapaki serangan itu. Akibatnya pemuda itu 

menjerit kaget. Detik itu juga pedangnya terlepas. Ja-

lapaksi rasakan telapak tangannya membeku. Detik 

itulah Lawe Wereng membentak keras.

"Terimalah kematianmu!"

Hantaman dahsyat yang dilontarkan Lawe We-

reng tak dapat dielakkan lagi! Menjeritlah Jalapaksi 

dengan tubuh terlempar beberapa tombak. Pemuda itu 

mencoba bangkit lagi. Akan tetapi kepalanya menda-

dak terkulai dan jatuh tersungkur. Walet Wungu ter-

pekik kaget. "Ah, Jalapaksi...!?" Sekali bergerak dia te-

lah melompat menghampiri pemuda itu. "Jalapaksi! 

kau kena...?" Akan tetapi pemuda itu sudah tak berge-

rak lagi. Tulang dadanya remuk dan jiwanya telah me-

layang. Setitik air bening membersit dicelah kelompak 

mata dara ini. Seketika mendidihlah darah Walet Wun-

gu. Kematian pemuda itu adalah demi cintanya terha-

dap dirinya. Juga demi kebenaran! Dia telah korban-

kan jiwanya sebagai seorang pendekar!


"Manusia-manusia kotor! kalian tak patut hi-

dup dimuka bumi ini!" Membentak dara ini. Dan detik 

itu juga dia telah melompat menerjang si Cecak Ter-

bang Lawe Wereng. Keris Wesi Kuning di tangannya 

menderu membelah udara. Dengan kemarahan meluap 

dia mengamuk bagai kesetanan. Lawe Wereng terke-

siap kaget. Nyaris lehernya terkoyak senjata pusaka 

Gajah Sora itu. Dengan sebatan dia segera gunakan 

kosentrasinya. Serangan-serangan Walet Wungu me-

mang tak boleh dianggap remeh. Di samping pukulan-

pukulannya yang mengarah ke tempat-tempat berba-

haya, senjata keris Wesi Kuning itu tak kalah jauh 

berbahayanya.

Dengan membentak keras segera dia merobah 

gerakan. Terkejutlah Walet Wungu melihat dengan se-

ketika serangan-serangannya dapat diatasi. Dan bah-

kan kini berbalik dia yang terdesak. Terpaksa Walet 

Wungu gunakan kelincahannya untuk menghindari se-

rangan-serangan lawan. Beruntung gadis ini mempu-

nyai kelebihan dalam hal kegesitan, hingga pertarun-

gan boleh dikatakan cukup seimbang. Di pihak lain 

Raden Wirakrama masih terus menggempur si Hantu 

Pencabut Nyawa dengan gencar. Ternyata panglima 

muda ini telah mewarisi ilmu-ilmu Bahugora si Dede-

mit Segera Kidul. Serangan-serangannya tak memberi 

kesempatan sedikitpun pada perempuan tua itu untuk 

mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan ilmu sihir-

nya.

Sementara itu Pati Lanang yang merasa kea-

daan tidak menguntungkan telah berkelebat masuk ke 

dalam Istana Kuno...

"Haha.,.. biarlah mereka bertempur. Aku tak 

boleh menyia-nyiakan kesempatan baik ini!" mendesis 

Pati Lanang dengan wajah menyeringai.



Sementara itu di lain tempat dua sosok tubuh 

berlari cepat melintasi hutan lebat. Dari gerakan lari 

mereka nyatalah kalau mereka bukan orang-orang bi-

asa. Ternyata mereka memang bukan lain dari si Dewa 

Linglung dan Srimala yang bertujuan menyatroni Ista-

na Kuno.

"Agak pelahan, Srimala! Hati-hati! Di tempat ini 

banyak bahaya...!" desis Nanjar berbisik. Benar saja. 

Baru selesai Nanjar bicara telah berkelebatan sosok 

tubuh menghadang dari balik semak belukar.

Sebentar saja enam orang laki-laki bertampang 

seram telah mengurung mereka dari segenap penjuru. 

Nanjar yang mengawasi penghadang-penghadang ini 

segera melihat si laki-laki berbaju kuning Iblis Kipas 

Emas berada diantara mereka.

"Hehe... ternyata kau masih hidup, bocah! Dan 

membawa "Santapan" yang masih segar bugar! Hehe... 

kali ini kau tak mungkin lolos!" berkata Iblis Kipas 

Emas seraya melompat mendekat.

"Habisi nyawanya! biar nona manis ini bagian-

ku!" teriak si Iblis Kipas Emas memberi tanda pada 

kawan-kawannya. Nanjar segera mengetahui bahwa 

kali ini lawan-lawannya bukanlah sebangsa keroco bi-

asa, melainkan tokoh-tokoh Rimba Hijau kaum golon-

gan hitam yang berilmu tinggi.

"Tahan!" teriak Nanjar. "Kalian menginginkan 

nyawaku tanpa sebab. Siapakah yang telah memberi 

perintah edan macam ini?"

"Hoho... kami diberi tugas oleh ketua kami. Di-

alah bergelar si Hantu Pencabut Nyawa!" menyahut la-

ki-laki bertelanjang dada yang berkepala botak dengan 

muka penuh berewok. Di lengannya tercekal sebuah 

kapak bermata lebar. Melengak Nanjar. "Siapakah si 

Hantu Pencabut Nyawa itu dan punya kedudukan


apakah dia hingga membuat kalian tunduk pada perin-

tahnya?"

"Hoho... pertanyaanmu banyak sekali? Tapi 

baiklah! Karena nyawamu pun tak akan tertolong lagi 

aku akan mengatakannya!" berkata si botak berewok 

ini.

"Dialah si penghuni Istana Kuno! Yang telah 

mempersatukan kami untuk mendirikan sebuah partai 

besar di wilayah ini! Bahkan dalam waktu dekat akan 

merebut kekuasaan Kerajaan! Hoho... kukira cukup je-

las, bukan? Nah! segera bersiaplah untuk kau meng-

hadapi ajal!"

"Bagus! tak percuma kedatanganku kemari! 

Sebelum ajal berpantang mati! Aku akan memperta-

hankan selembar nyawaku!" Sret! Sekali menggerak-

kan tangan Nanjar telah mencabut keluar senjata pu-

sakanya.

Sementara Srimala pun telah mengeluarkan se-

lendang suteranya untuk menghadapi pembegal-

pembegal nyawa ini.

Si botak berewok berkapak lebar ini tersurut 

mundur melihat sinar merah yang terpancar dari ba-

dan pedang di tangan pemuda itu.

"Pedang Mustika Naga Merah!" sentak mereka 

hampir berbareng. Tentu saja mereka mengenal pada 

senjata itu karena pada beberapa tahun yang lalu sen-

jata pusaka itu pernah menghebohkan Rimba Hijau.

"Heh! kiranya kau si Dewa Linglung!? Bagus! 

tak percuma kami membunuhmu, karena kau bakal 

menjadi duri penghalang cita-cita kami!" bentak Buto 

Cakil alias si Kapak Malaikat. Laki-laki berkepala bo-

tak ini berikan tanda pada kawan-kawannya untuk se-

gera maju menerjang.

Serentak saja terdengarlah bentakan-bentakan


keras merobek udara. Kilatan-kilatan senjata tajam 

meluruk bagai hujan ke arah si Dewa Linglung.

"Menjauhlah!" berkata Nanjar seraya mendo-

rong tubuh Srimala.

Dara ini melompat dua tombak. Tapi segera te-

lah dihadang oleh si Iblis Kipas Emas. "Hehe... senja-

tamu sebuah selendang sutera. Apakah kau mau 

mempertunjukkan tarian di hadapanku?" berkata laki-

laki ini dengan mata membinar dan muka menyeringai. 

Sebagai jawabannya adalah...

Whuuuk! Ztarr!

Selendang itu benar-benar telah mempertun-

jukkan tarian maut meluncur bagaikan seekor ular 

mematuk ganas! Tahu-tahu telah merobek jubah si Ib-

lis Kipas Emas. Nyaris saja lehernya terkena serangan 

mendadak itu kalau dia tak cepat melompat menghin-

dari. Merahlah muka laki-laki ini. Seraya membentak 

dia segera menerjang dara itu. "Kurang ajar! ternyata 

kau murid si Pendekar Melati Putih!" kibasan lengan 

manusia menimbulkan uap hitam yang berbau amis. 

Sadarlah Srimala kalau itulah uap beracun. Seperti 

yang telah dikatakan Nanjar, manusia inilah yang te-

lah melukainya. Srimala tutup jalan pernafasannya. 

Seraya berkelebat melompat ke sisi, selendangnya 

kembali menghantam.

Ternyata gadis murid si Pendekar Melati Putih 

dari puncak gunung Betiri ini bukan lawan yang en-

teng bagi si Iblis Kipas Emas. Karena dengan senjata 

selendang suteranya Srimala dapat menerobos kepun-

gan dari serangan-serangan yang dilancarkan lawan-

nya.

Sementara itu di pihak lain tampaklah perta-

rungan yang tak seimbang. Lima orang mengeroyok sa-

tu orang. Akan tetapi hal itu tak membuat si Dewa


Linglung menjadi gentar. Kesempatan ini bahkan di-

pergunakan Nanjar untuk mengeluarkan jurus-jurus 

simpanannya. Suara membersit bagaikan suara desis 

seekor Naga yang ditimbulkan dari kibasan pedang 

Naga Merah membuat lawan-lawannya sedikit terpu-

kau. Nanjar memang belum mempergunakan senja-

tanya untuk menyerang. Selama itu dia hanya men-

gandalkan kegesitan tubuhnya dengan lompatan-

lompatan kera dan liukan ular untuk menghindari se-

rangan. Kibasan pedangnya hanya dipergunakan un-

tuk mengacaukan mereka.

Laki-laki jubah merah yang bersenjata bandu-

lan berduri adalah tokoh hitam dari pesisir utara. Sen-

jata bandulannya telah banyak merengut nyawa. Di-

alah yang berjulukan si Setan Utara. Sifatnya yang 

sombong dan takabur membuat dia membentak keras.

"Tahan! semua mundur!" teriak orang ini. Tentu 

saja bentakan itu membuat keempat penyerang segera 

melompat ke belakang.

"Heh! menghadapi bocah ingusan macam begini 

mengapa harus main kerubutan? Biarlah aku yang 

menghadapinya! Senjataku sudah lama tak menghirup 

darah!" berkata si Setan Utara dengan sikap angkuh.

"Haha... ilmu macam apakah yang akan kau 

gunakan untuk merenggut nyawa ku, setan muka 

bengap?" berkata Nanjar dengan berdiri satu kaki. Si-

kap ini terlihat sekilas seperti orang yang memandang 

enteng terhadap lawan. Akan tetapi itulah jurus Silu-

man Bangau yang sudah dipersiapkan untuk mengha-

dapi sang lawan. 

"Kurang ajar! inilah ilmu pencabut nyawa yang 

akan kupergunakan!" bentak si Setan Utara. Laki-laki 

jubah merah yang kedua pipinya menggembung mirip 

orang bengap itu gusar sekali. Sikap Nanjar seperti


menganggap rendah dirinya. Seraya membentak keras 

dia menerjang...! Senjata bandulan berdurinya mende-

ru ke arah kepala si Dewa Linglung.

Serangan itu dibarengi pula dengan hantaman 

lengannya ke arah dada pendekar konyol itu. Belum 

lagi serangan itu datang, tiba-tiba Nanjar sudah roboh 

terjengkang terlebih dulu. Tentu saja si Setan Utara 

tak menyangka sama sekali. Setan Utara melompat 

kaget. Gerakkannya bagus sekali. Begitu serangan lo-

los, dia lakukan salto di udara dan jejakkan kaki dua 

tombak di belakang lawannya.

Akan tetapi tersentak kaget laki-laki ini karena 

merasa tubuhnya bagian bawah ada yang tidak beres. 

Tahu-tahu terdengar suara tertawa tertahan dua orang 

kawannya. Yang tertawa adalah Lowo Ireng si Golok 

Samper Nyawa dan Jalu Wesi kepala perampok gu-

nung Burangrang.

"Mengapa kau tertawa?" bentak marah. Akan 

tetapi ketika dia memandang kebagian bawah tubuh-

nya, merahlah seketika muka si Setan Utara. Ternyata 

celana pangsinya telah terbelah menjadi dua bagian 

dan merosot ke bawah.

"Haha...haha... ganti dulu celana mu dengan 

yang baru, setan bengap! barulah kau maju mengha-

dapiku!" Nanjar tak dapat menahan rasa gelinya hing-

ga dia tertawa terpingkal-pingkal. Ternyata dengan ge-

rakkan cepat sekali Nanjar telah gerakkan pedangnya 

menabas kebagian bawah tubuh si Setan Utara.

Mendadak si Setan Utara membeliak kaget. Wa-

jahnya sekonyong-konyong berubah pucat pias. Len-

gan yang digunakan menutupi auratnya telah dibanjiri 

darah yang mengucur deras.

"Darah!" sentak Lowo Ireng dan Jalu Wesi den-

gan terperangah terkejut. Belum lagi hilang terkejut


nya, Si Setan Utara telah roboh terjungkal. Ketika ke-

duanya memeriksa ternyata nyawa si Setan Utara telah 

putus! Berubahlah seketika air muka pentolan-

pentolan golongan hitam ini.

Serentak mereka membentak keras dan mener-

jang si Dewa Linglung.

Pertarungan dahsyatpun kembali terjadi... Ben-

takan-bentakan dan suara beradunya senjata tajam 

merobek udara. Nanjar tak dapat main-main lagi 

menghadapi serangan-serangan lawan. Jurus demi ju-

rus terus berlanjut.

Sementara itu si Iblis Kipas Emas telah kelua-

rkan senjatanya. Dengan senjata ini di tangannya tam-

pak kini Srimala terdesak hebat. Beberapa kali nyaris 

senjata itu menggores kulit tubuh dan lehernya. Kalau 

tadinya si Iblis Kipas Emas cuma mau merobohkan 

tanpa melukainya, kali ini dia benar-benar dia mau 

menghabisi nyawa sang gadis.

Detik itulah tiba-tiba berkelebat sebuah bayan-

gan putih. Tahu-tahu tubuh si Iblis Kipas Emas ter-

lempar bergulingan. Kipas mautnya hancur berteba-

ran. "Hah!? kau...kau..." membeliak mata laki-laki ju-

bah kuning ini. Melihat siapa yang telah berdiri di ha-

dapannya.

"Manusia telengas! masih juga kau mengumbar 

kejahatan?" terdengar bentakan halus. Sinar putih me-

luncur ke arah dada laki-laki ini. Terdengarlah jeritan 

parau si Iblis Kipas Emas. Tubuhnya berkelojotan ba-

gai ayam di kuliti!

Akan tetapi cuma beberapa saat. Detik selan-

jutnya tubuh itu sudah terkapar tak bergerak. Nya-

wanya telah melayang ke Akhirat! sosok tubuh berbaju 

serba putih itu telah membunuhnya dengan menghun-

jamkan ujung tongkat yang digunakan sebagai pe


nyangga tubuhnya.

Terpekik girang Srimala melihat siapa adanya 

orang yang telah menolongnya itu. "Guru...!" sekali me-

lompat dia sudah tiba di hadapan wanita tua yang ma-

sih tampak bekas-bekas kecantikan parasnya. Dialah 

si Pendekar Melati Putih! Sementara itu Nanjar telah 

berhasil merobohkan dua orang lawannya. Yaitu si Ka-

pak Malaikat dan si Golok Samber Nyawa. Kini cuma 

tinggal dua orang lagi yang masih mati-matian mener-

jang si Dewa Linglung.

Kembali sinar merah membilas udara. Terden-

gar jerit kematian salah seorang dari dua pengeroyok 

itu. Ternyata Jalu Wesi si kepala perampok dari gu-

nung Burangrang menemui ajalnya. Tinggallah yang 

seorang ini. Dia bernama Wikalpa yang bergelar si Se-

tan Tongkat Darah. Akan tetapi tampaknya orang ini 

telah kehilangan semangat untuk bertarung. Di ke-

sempatan yang baik dia tak menyia-nyiakan untuk se-

gera melompat kabur melarikan diri.

"Kau tak dapat melarikan diri, setan tengik!" 

bentak Nanjar. Nanjar gerakkan lengannya menghan-

tam dengan pukulan Inti Es. Hawa dingin menebar. 

Tubuh si Setan Tongkat Darah terjungkal roboh den-

gan tubuh kejang terbalut lapisan es. Tampak si Dewa 

Linglung perlihatkan senyum puas. Segera dia sarung-

kan pedang Naga Merahnya ke balik punggung. Lalu 

balikkan tubuhnya... Tiba-tiba wajah Nanjar menam-

pakkan keterkejutan. "Wah, celaka...!?" sentaknya. Bu-

ru-buru dia balikkan tubuhnya lagi. Ternyata cuma 

mau membenarkan celananya yang kedodoran.

Pendekar Melati Putih yang berdiri tak jauh di 

hadapan pemuda itu tersenyum. "Pemuda lucu, gagah 

dan berilmu tinggi, tapi macam orang tolol..." berkata 

wanita tua ini dalam hati.


"Kak Nanjar...! inilah guruku dari puncak gu-

nung Betiri!" teriak Srimala. Gadis ini telah melompat 

menghampiri.

"Ah, selamat datang Pendekar Melati Putih...!" 

berkata Nanjar seraya menjura. Dia memang telah 

mendengar tentang guru Srimala ini. Tentu saja Nanjar 

disamping terkejut juga kagum. Ternyata walaupun te-

lah berusia cukup lanjut, namun bekas-bekas kecanti-

kan wanita tua ini masih tampak jelas membayang.

Di saat Nanjar bertempur tadi dia memang 

mendengar suara jeritan si Iblis Kipas Emas dan seki-

las melihat kemunculan sesosok tubuh berpakaian 

serba putih. Walaupun dia belum tahu jelas siapa yang 

datang, tapi hatinya girang karena telah datang ban-

tuan yang tak terduga. Hingga dia tak mengkhawatir-

kan nasib Srimala lagi.

"Senang sekali bertemu denganmu, anak muda! 

Gelar lucu mu si Dewa Linglung telah kudengar sebe-

lum aku mengundurkan diri dari dunia Rimba Hijau. 

Ternyata kau telah menyandang pula gelar si pendekar 

Naga Merah dengan berhasilnya kau miliki pedang 

mustika itu...!" berkata si Pendekar Melati Putih.

"Ah, anda terlalu memujiku, bibi..." menyahut 

Nanjar. "Gelar-gelar itu tak sesuai dengan kebodohan 

yang kumiliki!"

"Kebodohan seseorang tak dapat dinilai dari 

luar. Dengan kau berhasil menumpas kelima penjahat 

besar itu serta ku melihat sendiri kehebatan mu mem-

buat mata tuaku jadi terbuka, bahwa telah muncul 

seorang pendekar muda yang gagah perkasa pada za-

man ini...!" Pujian itu membuat Nanjar tersipu.

"Kurasa aku sendiripun tak akan mampu 

menghadapi ilmu pedangmu dalam sepuluh jurus!" 

lanjut si Pendekar Melati Putih.



"Ah, aku yang rendah mana berani jual lagak di 

hadapanmu, bibi...?"

"Hm, menurut yang kudengar pedang mustika 

Naga Merah itu nama aslinya adalah bernama Kiam 

Hoat Ang Liong, milik seorang kaisar di negeri Tibet! 

Dalam gagang pedang itu telah disembunyikan segu-

lung kertas kulit yang berisi sembilan jurus ilmu pe-

dang yang luar biasa hebatnya. Kalau kau telah memi-

liki kesembilan jurus itu mana aku mampu bertahan 

dalam sepuluh jurus?" berkata si Pendekar Melati Pu-

tih dengan tersenyum.

"Aih, bibi...! aku belum sempat mempelajari ke-

semuanya. Mana mungkin aku dapat mengalahkan-

mu?" tukas Nanjar dengan wajah memerah.

Srimala yang mendengarkan percakapan itu en-

tah mengapa hatinya berdebar tak keruan. Wajahnya 

sebentar-sebentar berubah. Hati wanita memang sukar 

di terka. Siapa sangka kalau diam-diam di hati dara ini 

telah bersemi bibit-bibit cinta...! Rasa simpati pada diri 

Nanjar yang telah menyelamatkan dirinya dari cengke-

raman Pati Lanang serta kejujuran dan kerendahan 

hati pemuda itu membuat dia semakin menaruh sim-

pati terhadap pemuda itu.

Khayalan indah di mata dara ini terputus keti-

ka mendengar Nanjar berkata.

"Bibi...! kami sebenarnya sedang dalam perjala-

nan ke Istana Kuno! Tempat itu tak jauh lagi dari si-

ni..." Segera Nanjar ceritakan secara singkat mengenai 

apa yang telah dilihat dan didengarnya. Ternyata si 

pendekar Melati Putih telah dapat menerka siapa si 

penghuni istana Kuno itu.

"Hm, kalau memang benar perampok perem-

puan itu adalah si Hantu Pencabut Nyawa berhati-

hatilah terhadap dia. Setan perempuan itu memiliki


ilmu sihir dan senjata-senjata rahasia mengandung ra-

cun yang berbahaya. Kelumpuhan kakiku pun akibat 

perbuatan kejinya. Terpaksa aku memotong kedua ka-

kiku ini demi keselamatan jiwaku!" berkata pendekar 

wanita ini dengan air muka berubah

"Ah...!" sentak Nanjar dengan mulut ternganga. 

"Hm, marilah kita kesana!" berkata Pendekar Melati 

Putih. Lalu menoleh pada Srimala. "Berangkatlah 

lebih dulu, muridku..." Srimala mengangguk. Gadis ini 

menatap sejenak pada si Dewa Linglung. Justru Nanjar 

tengah menatap ke arah gadis itu. Dua pasang mata 

saling bentur. Kalau Nanjar tak merasakan apa-apa, 

tapi hati gadis ini. Telah bergetar. Perubahan air muka 

Srimala nampak sekilas oleh si Pendekar Melati Putih 

gurunya.

"Pergilah kalian lebih dulu!" katanya dengan 

tersenyum.

"Bibi, bibi...!" sahut Nanjar dengan cepat seraya 

menggamit lengan Srimala, Nanjar segera menariknya 

untuk segera tinggalkan tempat itu. Nyessss! hati dara 

ini bagaikan disiram air sejuk. "Oh, Nanjar..! apakah 

kau mengetahui isi hatiku?" teriak hatinya yang dilipu-

ti kegembiraan.

Pendekar Wanita dari gunung Betiri ini mena-

tap kepergian kedua muda-mudi itu dengan tersenyum 

dan menggeleng-gelengkan kepala. 

"Haiih! bocah gagah berilmu tinggi itu pasti ba-

nyak digandrungi perempuan. Srimala masih terlalu 

hijau. Cintanya cuma cinta monyet! Dia belum men-

genal apa yang namanya patah hati! Kelak bila urusan 

sudah selesai aku perlu menggemblengnya lagi..." ber-

kata dalam hati pendekar wanita ini. Tak lama tubuh-

nya segera berkelebat meninggalkan hutan itu. Gera-

kan wanita tua berkaki buntung ini ternyata luar biasa


cepatnya. Dalam sekejapan mata saja tubuhnya sudah 

lenyap tak kelihatan lagi...

Teriakan Walet Wungu membelah udara. Keris 

Wesi Kuning yang dipergunakannya terlempar ke uda-

ra. Sedangkan tubuh dara ini terlempar beberapa tom-

bak bergulingan. Teriakan gadis itu membuat terkejut 

Gajah Sora yang telah buta. Dia melompat memburu 

ke arah suara orang terjatuh yang didengarnya.

Kilatan cahaya kuning yang melayang di udara 

yang dibarengi jeritan Walet Wungu membuat terkejut 

Raden Wirakrama. Kerajaan ini telah kehilangan se-

buah senjatanya, yaitu pedang Mutiara Putih yang 

menancap di batang pohon akibat benturan dengan 

lengan si Hantu Pencabut Nyawa yang berisi tenaga 

dalam dahsyat. Saat itu si Hantu Pencabut Nyawa ten-

gah tertawa terkekeh. Dengan terlepasnya pedang 

mustika itu dari tangan lawan berarti kekuatan lawan 

jauh berkurang. Di saat itulah kilatan sinar kuning 

yang melayang di udara telah terlihat, bukan saja oleh 

Raden Wirakrama akan tetapi juga terlihat oleh perem-

puan iblis ini.

Mengetahui senjata yang melayang itu adalah 

keris Wesi Kuning, panglima muda itu tak berayal lagi 

untuk melompat menangkapnya. Justru saat itu si 

Hantu Pencabut Nyawa juga telah julurkan lengannya 

seraya melompat untuk menangkap benda pusaka si 

pendekar Gajah itu. Kesempatan baik itu tak disia-

siakan perempuan iblis itu untuk menyarangkan pu-

kulan dengan lengan kirinya.

"Terimalah kematianmu, panglima muda!" Detik 

itulah selarik sinar merah membelah udara. Trang! 

Buk! Percikan lelatu api merambah udara diiringi te-

riakan parau si Hantu Pencabut Nyawa. Tubuh perem-

puan tua itu terlempar ke bumi. Selamatlah Panglima


Kerajaan itu dari kematian. Keris Pusaka Wesi Kuning 

meluncur deras dan menancap di dahan pohon sampai 

ke gagangnya.

Terhuyung-huyung Rumpini mengangkat tu-

buhnya untuk bangkit berdiri.

Tampak darah mengalir dari kelima buah jari-

jari tangannya yang terpapas putus. Dari mulutnya 

menyembur darah segar. Perempuan iblis ini rasakan 

dadanya sesak dan terasa nyeri untuk bernafas. Tiga 

tulang rusuknya telah patah. Akibat tendangan kilat 

yang dilakukan si penyerang itu.

Tampaklah di hadapan si Hantu Pencabut 

Nyawa berdiam sosok tubuh. Siapa orang yang telah 

menggagalkan serangan maut iblis perempuan itu tia-

da lain dari si Dewa Linglung.

Ternyata Nanjar dan Srimala telah tiba di Ista-

na Kuno. Kemunculan mereka tepat pada waktunya. 

Saat itu Srimala terkejut melihat di depannya seorang 

laki-laki bermata buta dengan keadaan mengenaskan 

tengah meraba-raba mencari letak sesosok tubuh yang 

terkapar di rerumputan. Tubuh seorang yang dalam 

keadaan terluka parah. Sesosok tubuh laki-laki berpa-

kaian abu-abu baru saja berkelebat memasuki istana 

kuno. Tadinya Srimala mau mengejar. Akan tetapi se-

gera diurungkan, karena mendengar laki-laki buta itu 

berteriak-teriak dengan melangkah terhuyung kesana-

kemari dengan keadaan yang mengibakan hati.

"Anakku, Walet Wungu...! ah, dimana kau? kau 

terlukakah?" Gadis ini tak sampai hati untuk men-

diamkan hal itu. Segera dihampiri laki-laki buta itu. 

"Bapak...! dia ada di sebelah kirimu...!" berkata Srima-

la.

"Oh, siapakah kau?" sentak Gajah Sora terke-

jut. "Tenanglah, pak tua! aku bukan musuh...!" Srima


la menggamit lengan Gajah Sora, lalu dituntunnya 

mendekati sosok tubuh si gadis yang terkapar pingsan 

itu. 

"Ah, terima kasih...!" ujar Gajah Sora. "Walet...! 

Walet Wungu...! kau...?" tampak wajah laki-laki buta 

ini berubah pucat. Dia miringkan kepala dan menem-

pelkan telinganya ke perut gadis itu. "Haih! sukurlah! 

kau cuma pingsan. Tapi kau telah terluka dalam! Sia-

pa yang telah mencelakaimu, anakku?" menggumam 

Gajah Sora dengan air mata meleleh membasahi pipi 

tuanya.

"Oh, nona... siapakah kau? Apakah yang telah 

kau ketahui? siapa yang telah mencelakai muridku 

ini?" Tiba-tiba Gajah Sora palingkan kepala ke arah 

Srimala. Akan tetapi yang ditanya justru tengah mem-

perhatikan raut muka dara yang pingsan itu.

"Dia... benarkah dia ini muridmu?" tanya Sri-

mala.

"Benar! tapi aku telah menganggapnya sebagai

anakku sendiri..." sahut Gajah Sora. "Siapakah kau, 

nona?" balik bertanya Gajah Sora.

"Aku Srimala, murid si pendekar Melati Pu-

tih...!" sahut Srimala.

"Srimala?... Hm, seperti aku pernah mendengar 

nama itu...?" sentak Gajah Sora dalam hati "Ya, ya...! 

aku ingat! Walet Wungu pernah menyebut-nyebut na-

ma itu!" gumam si Pendekar Gajah.

"Hah!?" sentak Srimala terkejut. "Katakanlah, 

bapak! siapakah nama gadis ini? apakah nama Walet 

Wungu itu pemberianmu apakah dia mempunyai nama 

lain?" tanya Srimala.

"Benar! nama ini aku yang telah memberikan-

nya. Nama sebenarnya adalah PALASARI...!" sahut Ga-

jah Sora dengan kerutkan kening. Kalau saja matanya


tidak buta tentulah dia dapat melihat perubahan wa-

jah Srimala.

Seketika itu juga gadis ini telah memekik histe-

ris seraya memeluk tubuh Walet Wungu. "Kakaaak! 

kakak Palasari...! Oh, inilah aku adikmu Srimala..." 

Menangislah dara ini sejadi-jadiriya seraya memeluk 

dan mengguncang-guncangkan tubuh gadis yang tak 

sadarkan diri itu. Gajah Sora terpaku tak beranjak dari 

duduknya. Laki-laki tua itu uraikan air mata. "Haih! 

tak disangka...! pertemuan dua orang saudara kan-

dung bisa terjadi pada saat begini..." Gajah Sora ge-

leng-gelengkan kepala dengan terharu. Walau dia tak 

dapat melihat, dia dapat membayangkan betapa per-

temuan itu begitu menyayat hati.

Sebuah suara halus tiba-tiba terdengar menyi-

bak udara diantara isak tangis Srimala. "Muridku. 

bangunlah! biar kuperiksa lukanya...! Srimala men-

gangkat wajahnya. Tampak gurunya telah berdiri di 

hadapan mereka.

"Sobat Pendekar Melati Putih! betulkah anda 

yang datang?" sentak Gajah Sora dengan wajah girang.

"Tidak salah, sobat Pendekar Gajah! Haih! men-

gapa kau bisa begini?" menyahut pendekar wanita itu.

"Iblis perempuan si Hantu Pencabut Nyawa be-

kas isteriku itulah yang membuat mataku buta!" me-

nyahut si Pendekar Gajah.

"Ah, sungguh terlalu manusia itu. Setelah 

membuat kakiku cacad, ternyata membutakan pula 

matamu...! Sukurlah, iblis perempuan itu telah mam-

pus!" berkata pendekar wanita ini dengan geram.

"Si... siapa yang telah membunuhnya?" sentak 

Gajah Sora dengan girang.

"Dia telah tewas dengan membunuh dirinya 

sendiri...!" sahut wanita ini dengan suara agak kecewa.


Dalam berkata-kata itu lengan pendekar gunung Betiri 

ini bekerja cepat menotok di beberapa bagian tubuh 

Walet Wungu. Lalu keluarkan sebutir pel yang segera 

dijejalkan ke mulut gadis itu. Dengan bantuan air lu-

dah dia mendorong pel itu agar masuk ke dalam perut 

si gadis.

Lalu gunakan tenaga dalamnya untuk memu-

lihkan kekuatan Walet Wungu. Selang tak lama Walet 

Wungu tampak gerakkan tubuhnya. Lalu membuka 

mata lebar-lebar. "Kakak...! kakak Palasari! aku adik-

mu....! Masih kenalkah kau padaku?"

"Srimala!..??" bagai bermimpi Walet Wungu 

menatap gadis di depannya. Saat itu juga kedua kakak 

beradik itu telah berpelukan dengan hujan air mata. 

"Sobat Pendekar Gajah! kau masih punya harapan un-

tuk dapat melihat lagi. Mudah-mudahan belum ter-

lambat!" berkata Pendekar wanita ini seraya memerik-

sa mata Gajah Sora. Wanita ini keluarkan bungkusan 

obat dari dalam sebuah kantung dari balik pakaian-

nya. Dengan cepat si Pendekar Melati Putih bekerja 

mencampur beberapa ramuan yang dibasahi air ludah. 

Lalu diperas dan diteteskan pada kedua mata Gajah 

Sora. Sisanya di balurkan ke sekitar mata. Kemudian 

dengan cekatan dia mengambil segumpal kapas yang 

digunakan untuk membungkus mata Gajah Sora.

Dengan menyobek ujung jubahnya ia membalut 

mata pendekar tua itu.

"Jangan kau buka balutan ini selama tiga hari. 

Mudah-mudahan kau dapat melihat lagi!" berkata si 

Pendekar Melati Putih.

"Haih! entah bagaimana aku dapat membalas 

budimu, sobat Pendekar Melati Putih...!" berkata Gajah 

Sora dengan wajah penuh kegembiraan tak terlukiskan.


Pada saat itu Nanjar muncul dengan menyeret 

dua sosok tubuh yang telah tewas dengan tubuh 

membeku. Itulah mayat si Cecak Terbang Lawe Wereng 

dan pemuda murid Gajah Sora bernama Pati Lanang. 

Dibelakangnya mengikuti si panglima Muda Raden Wi-

rakrama. Ketika kedua tubuh itu dilemparkan ke ta-

nah, bergemirincinglah uang emas dan perhiasan dari 

dalam baju pemuda yang telah menjadi mayat ini.

Bagaimana kejadian sebenarnya hingga tewas-

nya si Hantu Pencabut Nyawa dan kedua orang ini? 

Ternyata ketika perempuan iblis bekas isteri Gajah So-

ra itu melihat keadaan tidak menguntungkan, telah 

berbuat nekat! Apalagi di saat itu keadaan dirinya su-

dah tak berdaya. Juga melihat kemunculan si Pende-

kar Melati Putih yang siap merenggut nyawanya. Sekali 

gerakkan tangan perempuan itu menghantam batok 

kepalanya sendiri! Dan tewas dengan seketika...! Ter-

kejut Pendekar Melati Putih, karena tak menduga sa-

ma sekali. Pada detik itu tiba-tiba Nanjar membentak 

keras, seraya melompat ke arah Istana Kuno. Berkele-

batnya sosok tubuh Lawe Wereng tak luput dari pen-

glihatannya. Nanjar mengajar manusia itu. Dalam 

waktu singkat Nanjar berhasil membinasakan manusia 

licik penuh tipu daya itu. Ketika Nanjar memeriksa ke 

dalam Istana tua itu telah menjumpai Pati Lanang 

yang baru saja mengeruk barang-barang berharga 

yang disembunyikan si Hantu Pencabut Nyawa. Di da-

lam kamar rahasia. Bahkan di tangan pemuda itu ter-

genggam kitab pusaka Mega Mendung.

Melihat kemunculan Nanjar di dalam ruangan 

itu, Pati Lanang terkejut. Dengan gerakkan cepat dia 

menyelinap dan melompat kabur melarikan diri. 

Bayangan sekilas itu telah terlihat oleh Nanjar. Dengan 

membentak keras Nanjar menghantam ke arah bergeraknya bayangan itu. Tak tanggung-tanggung, yang 

dipergunakan adalah jurus pukulan Inti Es. Jurus ini 

tak lagi digunakan dengan cara jungkir balik. Karena 

dengan ketekunannya berlatih, Nanjar telah berhasil 

menggunakannya dengan cara wajar. Tadinya bernama 

jurus tenaga dalam sungsang

Tak ampun lagi Pati Lanang menjerit parau. 

Tubuhnya terjengkang kaku. Nyawanya telah lepas 

meninggalkan raganya!

Saat itulah Raden Wirakrama menyusul masuk 

ke dalam Istana Kuno.

Betapa gembira dan suka citanya panglima 

muda ini dengan kemenangan yang berada di pihak 

mereka. Demikianlah. Ketika Nanjar keluar dari ban-

gunan tua bekas istana kerajaan itu dengan menyeret 

dua sosok mayat, Raden Wirakrama mengikuti langkah 

si Dewa Linglung. Tampak di tangan Panglima Kera-

jaan ini sebuah kitab yang tengah dibalik-balik lemba-

rannya. Pendekar Melati Putih melompat menghampiri.

"Kitab apakah itu, Raden Wirakrama?" bertanya 

pendekar wanita ini. Wanita tua ini mengetahui kalau 

laki-laki itu seorang abdi Kerajaan dari keterangan Wa-

let Wungu.

"Hm, inilah kitab pusaka Mega Mendung! kitab 

sesat yang harus dimusnahkan!" menyahut panglima 

Kerajaan ini.

Sekali kedua lengan abdi Kerajaan itu mere-

mas. Hancurlah benda pusaka itu menjadi serpihan 

kertas kecil-kecil.

"Sobat pendekar gagah.... ah, kemana dia?" 

sentak Wirakrama terkejut. Baru saja dia mau mengu-

capkan terima kasih, tahu-tahu orangnya sudah le-

nyap. Srimala baru tersadar akan kepergian Nanjar. 

Dia melompat berdiri dengan wajah berubah kaget.



"Dewa Linglung...." desisnya tersendat.

"Sudahlah muridku! dia sudah pergi..! Jangan-

lah kau melibatkan diri dengan api yang bisa memba-

kar dirimu sendiri. Kau masih terlalu muda untuk 

urusan orang-orang dewasa! Agaknya kau masih me-

merlukan tambahan pelajaran lagi!" berkata si Pende-

kar Melati Putih.

"Aku masih dibolehkan tinggal di puncak gu-

nung Betiri, guru?" bertanya Srimala diantara kesedi-

han yang membaur dengan kegembiraan.

"Ya, sampai kau benar-benar menjadi dewasa!" 

sahut sang pendekar wanita ini dengan tersenyum. 

"Tidak cuma tersendiri, Srimala. Tapi juga bersama 

kakakmu dan paman Pendekar Gajah!"

Matahari semakin menggelincir ke arah barat 

ketika kelima sosok tubuh itu meninggalkan Istana 

Kuno...

Di persimpangan jalan Raden Wirakrama minta 

diri untuk berpisah. Dia akan meneruskan langkah-

nya, kembali ke Blambangan. Tentu saja Panglima Ke-

rajaan itu telah menceritakan panjang lebar mengenai 

tugasnya. Juga tugas dari gurunya untuk memusnah-

kan kitab sesat itu.

Pendekar Melati Putih mengangguk-angguk 

dengan tersenyum.

"Selamat jalan, Raden...! Semoga Tuhan selalu 

membersihkan hatimu!" berkata pendekar wanita ini.

"Terima kasih, bibi pendekar!" sahut Raden Wi-

rakrama.

Setelah sekali lagi minta diri, Raden Wirakrama 

segera melangkah pergi dan berkelebat cepat untuk 

kembali ke Kota Raja.

Nun jauh di arah tenggara, tampak si Dewa 

Linglung melangkah lebar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Sekali dia menendang batu yang menggeletak di 

tanah.


                              TAMAT


https://matjenuhkhairil.blogspot.com



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive