Dia datang
Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti
orang linglung
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG
Pendekar sakti yang
Digembleng ‘lima’ tokoh aneh
S A T U
SESOSOK TUBUH berlari dengan cepat me-
nembus hutan belukar di siang hari yang redup itu.
Cuaca memang agak buruk. Langit gelap! Gumpalan-
gumpalan awan hitam tampak menebar di angkasa.
Sementara angin keras membersit bersiutan mener-
bangkan dedaunan. Sosok tubuh itu ternyata seorang
gadis yang masih muda. Rambutnya tergerai ditiup an-
gin. Dari pakaian dan gerakan larinya yang gesit ba-
gaikan lari seekor kijang, menandakan dia bukan gadis
biasa.
Tampaknya gadis ini tahu gelagat buruk. Dia
tak mau tubuhnya tersiram air hujan. Agaknya me-
mang bakal turun hujan lebat, karena hawa dingin su-
dah terasa. Gadis ini yakin benar bahwa setelah dia
menembus hutan itu akan menjumpai sebuah desa.
Atau setidak-tidaknya sebuah pondok yang bisa digu-
nakan untuk berteduh.
Larinya pun dipercepat! Suara guruh yang
menggelegar di angkasa mulai terdengar yang didahu-
lui dengan kilatan-kilatan petir menembus kepekatan.
"Gila! apakah hutan ini tak ada ujungnya?"
mendesis gadis ini. Dia mulai kesal karena setelah se-
kian lama berlari-lari tetap saja masih berada di ten-
gah hutan. Sesaat dia berhenti. Tatapan matanya men-
jalari sekitar hutan. Agaknya dia tengah menentukan
arah yang akan ditujunya.
"Apakah aku salah arah?" pikir si gadis.
"Hm, akan ku coba ke arah sini!" gumamnya
seraya berkelebat menyeruak semak belukar. Dan se-
gera berlari cepat menuju arah timur. Benar saja! Tak
berapa lama berlari, dia telah tiba di tempat terbuka.
Wajah gadis ini berseri.
"Bagus! untung aku mengambil arah ini!" de-
sisnya girang. Tak berayal lagi segera dia berkelebat
cepat melintasi tempat terbuka itu.
Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat mengha-
dang. Cepat sekali gerakannya hingga tak diketahui
dari mana arah datangnya.
"Berhenti!" teriak orang itu.
Tentu saja si gadis harus menahan lari kalau
tak mau bertubrukan dengan orang itu. Dengan gera-
kan reflek gadis ini bersalto melompat ke belakang.
"Hei? Siapa kau?" bentaknya terkejut. Sepasang
mata dara muda ini menatap tak berkesiap pada orang
yang berdiri di hadapannya. Tampak jelas seorang laki-
laki berbaju putih dari kain kasar menyandang bunta-
lan di punggung berdiri menghadang. Orang ini ber-
tampang ketolol-tololan walaupun dapat diakui dia
seorang pemuda yang tampan. Siapa adanya pemuda
ini tak lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.
"Hei! ditanya malah bengong! cengar-cengir lagi!
Apa maksudmu menghadangku? Dan siapa kau ini se-
benarnya?" teriak si gadis dengan mata melotot. Diam-
diam hatinya mendongkol karena ada saja yang meng-
halangi perjalanannya.
"Aku... eh, ya aku...." Nanjar agak segan me-
nyebutkan namanya. "Aku.. mengira kau wanita yang
telah merampok rumah hartawan tua itu! Maafkan,
nona! Hehe.. aku keliru melihat orang!" sahut Nanjar
tergagap. Lengannya menggaruk-garuk tengkuknya
yang tidak gatal, lalu naikkan celananya yang gom-
brong karena kedodoran.
Walaupun hatinya masih mendongkol mau tak
mau bibir gadis ini sunggingkan senyuman. Diam-
diam gadis ini berkata dalam hati. "Pemuda ini tam
pangnya boleh juga. Tapi penampilannya seperti orang
dungu dan menggelikan!"
Nanjar menampakkan sikap serba salah, seben-
tar menatap si gadis sebentar menatap ibu jari ka-
kinya. Tapi segera dia balikkan tubuh untuk melang-
kah pergi.
"Eh, tunggu dulu!" teriak si gadis. Sekali berke-
lebat dia telah melompat menghadang. "Kau katakan
tadi seorang wanita yang telah merampok? Siapakah
yang kau maksud?" tanya si gadis.
"Ah, sudahlah! Diberitahukan pun tak ada gu-
nanya!" sahut Nanjar. Nanjar cepat putar tubuh berja-
lan cepat meninggalkan gadis itu.
Gadis ini jadi berdiri terpaku dengan sikap
Nanjar. Tadinya dia tak mau memperdulikan dan me-
neruskan perjalanannya. Akan tetapi rasa penasaran
di hatinya membuat dia telah berkelebat lagi mengha-
dang.
"Kau tak bisa pergi begitu saja dari hadapanku
sebelum kau katakan siapa perampok wanita itu!" ben-
tak si gadis.
"Lho? mengapa kini nona yang berbalik meng-
hadang ku?" Nanjar kerutkan keningnya menatap si
gadis.
"Kau tadi secara tiba-tiba telah menghadangku
hingga mengganggu langkahku. Kini terpaksa aku
yang menghadangmu karena aku perlu penjelasan
mu!" sahut sang dara ini dengan suara ketus.
"Sudah kukatakan percuma saja walaupun aku
mengatakannya! Lagi pula apa hubungannya si pe-
rampok wanita itu denganmu?"
Gadis ini naikkan alisnya mendengar kata-kata
Nanjar.
"Hm, apakah kau meremehkan diriku?" berkata
si gadis dengan suara sinis.
"Sudahlah! aku mau pergi..." Nanjar kembali
balikkan tubuh. Kali ini dia sengaja gunakan ilmu lari
cepat. Melototkan mata gadis ini.
"Kurang ajar! agaknya kau perlu diberi pelaja-
ran bocah dungu!" membentak si gadis. Detik itu juga
dia telah berkelebat melompat untuk mengejar. Da-
danya serasa mau meledak saking mendongkolnya ka-
rena pemuda dungu itu tak memandang sebelah
mata terhadapnya.
"Rasakan ini!" bentak si gadis, seraya layang-
kan kepalanya menghantam tengkuk Nanjar. Merasa
ada sambaran angin di belakangnya Nanjar melompat
ke sisi menghindar. Pukulan itu meleset. Akan tetapi
dengan gerakan cepat gadis itu telah kembali mener-
jang dengan hantaman-hantaman berikutnya.
"Eit! Eit! apa-apaan, nih?" teriak Nanjar. Den-
gan terhuyung-huyung dia menghindari serangan si
gadis. Akan tetapi dengan gerakan terhuyung itu ju-
stru dia telah menghindarkan diri dari serangan-
serangan gadis itu.
"Kurang ajar! Lihat serangan!" bentak dara ini.
Disamping terkejut dara ini juga terheran karena tam-
pak dengan mudah saja pemuda dungu itu menghin-
dari serangan-serangannya. Padahal dia telah mem-
pergunakan jurus-jurus serangan yang amat berba-
haya. Sekali ujung lengannya menyentuh tubuh lawan
akan berakibat fatal.
Kembali dia menerjang dengan gencar. Kali ini
si gadis tak sungkan-sungkan lagi untuk mengelua-
rkan jurus-jurus ampuhnya. Akan tetapi setelah se-
kian lama menguras tenaga, tetap saja dia tak dapat
menyentuh sedikitpun ujung baju pemuda itu. Tiba-
tiba dara ini melompat ke belakang dua tombak.
"Bagus! agaknya kau mempunyai kepandaian,
bocah dungu! Tapi coba kau hadapi senjataku!" bentak
si gadis. Gadis ini keluarkan sesuatu dari balik ba-
junya. Ternyata sehelai selendang sutera hitam. Men-
dadak mata Nanjar jadi membeliak.
"Hei! jadi kau..." teriakan kagetnya tertahan ka-
rena gadis itu telah menyerangnya. Whuuut! Benda itu
telah menyambar ke lehernya.
"Hei! tahan dulu!" teriak Nanjar seraya melom-
pat menghindar. Akan tetapi jawabannya adalah sam-
baran-sambaran berikutnya. Selendang sutera hitam
itu bagaikan seekor ular yang meliuk-liuk ganas me-
nyambar ke arah Nanjar. Terkadang benda itu berubah
menjadi kaku bagaikan sebuah tombak. Tentu saja
Nanjar terkesiap melihat serangan-serangan yang ber-
bahaya itu. Terpaksa dia tak main-main lagi mengha-
dapinya. Segera dia pergunakan jurus-jurus lompatan
kera dan bangau untuk menghadapi serangan si gadis.
Di jurus keenam belas tiba-tiba dara itu mero-
bah serangan. Kali ini lebih ganas lagi. Setiap serangan
dibarengi dengan hantaman telapak tangannya. Gera-
kan selendang sutera hitam itupun kian cepat. Gulun-
gan bayangan hitam segera mengurung Nanjar dari se-
genap penjuru.
"Senjata hebat!" puji Nanjar dalam hati. Melihat
serangan gadis itu kian berbahaya terpaksa Nanjar
mencabut keluar pedang pusakanya. Sinar merah se-
gera memancar dari badan pedang. Dan detik itu pula
mendadak Nanjar perdengarkan bentakan keras.
Dan... segera tampak gulungan cahaya merah mende-
sak gulungan bayangan hitam itu. Si gadis tersentak
kaget, karena serangannya dapat dipatahkan pemuda
lawannya. Dia memang belum mengetahui asal cahaya
merah itu. Namun dengan menggertak gigi dia mero
bah lagi serangannya. Kali ini dia gunakan serangan-
serangan tajam.
Mendadak gadis ini berteriak. "Kena!" Samba-
ran selendang sutera gadis itu berhasil membelit pe-
dang Naga Merah Nanjar. Nanjar sendiri cukup kagum
karena setiap kali pedangnya menebas, selendang su-
tera itu tak dapat diputuskan. Karena itulah dia senga-
ja membiarkan pedangnya tergubat selendang sutera
lawan. Tampak sepasang mata dara itu membeliak ke-
tika mengetahui benda yang tergubat senjatanya. Akan
tetapi dengan segera dia perdengarkan bentakan. "Le-
pas!"
Dengan kerahkan tenaga dalam penuh dia sen-
takkan selendangnya untuk membuat terlepas pedang
Naga Merah di tangan Nanjar. Akan tetapi sedikitpun
pedang lawan tak bergeming. Bahkan tampak lawan-
nya seperti tenang-tenang saja seperti tak mengelua-
rkan tenaga untuk menahan tubuhnya dari betotan si
gadis. Yang membuat mata gadis itu semakin membe-
liak adalah pemuda lawannya yang bertampang dungu
itu berdiri dengan satu kaki!
"Ayo, gunakan kekuatanmu, gadis cantik!" ber-
kata Nanjar dengan tertawa.
"Keparat!" membentak si gadis. Wajahnya ber-
semu merah. Dengan menggertak gigi kembali dia
membetot. Akan tetapi sia-sia.
"Haha... kalau kau tak sanggup, lepaskan saja
selendangmu!" berkata Nanjar lagi. Gadis itu rasakan
wajahnya panas, begitu pula hatinya. Akan tetapi ma-
na dia mau melepaskan senjatanya begitu saja! Benar-
benar memalukan! Sungguh dia tak menyangka kalau
pemuda bertampang dungu itu ternyata berilmu tinggi.
Tampak ada rasa menyesal di wajah dara ini yang me-
merah pucat.
Di saat dia serba salah itu, tiba-tiba.... . "Cela-
ka! Celana ku kedodoran!" Teriakan pemuda itu mem-
buat si gadis terkejut. Tanpa sadar dia melepaskan ce-
kalan pada selendangnya. Sepasang mata dara ini
membeliak melihat ke arah Nanjar. Akan tetapi detik
itu juga dia tersadar akan apa yang telah diperbuat-
nya. Tak ayal lagi dia telah berkelebat melompat sambil
menutupi wajahnya....
"Hei! nona! tunggu...!" teriak Nanjar. Tapi teria-
kan itu justru membuat sang gadis mempercepat la-
rinya. Berapa kejap saja tubuh gadis itu telah tak
nampak lagi bayangannya.
DUA
Gadis ini berlari dengan terisak-isak... Dia terus
berlari dan berlari tanpa tahu kemana arah tujuannya.
Kekalahan yang dialaminya telah membuat dia malu.
Malu pada dirinya sendiri! Akan ditaruh dimana kini
mukanya? Lima tahun berguru di puncak gunung Be-
tiri ternyata tiada artinya. Baru beberapa hari turun
gunung saja dia telah dapat dipecundangi orang. Apa-
lagi harus menebar kebajikan menolong yang lemah
dan menindas yang jahat? pikir gadis ini dengan kepa-
la berdenyut-denyut.
"Oh, maafkan aku, guru...! Aku tak dapat
mengharumkan nama perguruan Melati Putih! aku...
aku..." Gadis ini tak dapat meneruskan gumamnya,
karena saat itu juga dia telah menangis terisak-isak.
Ketika suara gemuruh petir terdengar di angkasa baru-
lah dia tersadar. Dilihatnya langit telah kembali terang.
Agaknya hujan tak jadi turun!
"Ah, di manakah aku kini?" desisnya terkejut.
Sepasang matanya yang masih basah menatap keseki-
tarnya. Ternyata dia berada di sebuah tempat yang in-
dah. Yaitu di sebuah lereng pegunungan. Hawa sejuk
terasa menelusuri kulit tubuhnya. Lapat-lapat telin-
ganya menangkap suara gemuruh air terjun. Lama dia
terpaku di tempat itu dengan hati dan pandangan ko-
song.
Siapakah gadis ini sebenarnya? Dia bernama
Srimala murid perguruan Melati Putih yang berdiam di
puncak gunung Betiri. Gurunya seorang wanita tua
yang masih berparas cantik, tapi kedua kakinya kun-
tung. Dia bernama Ratna Dumala. Di samping memili-
ki ilmu kedigjayaan yang tinggi Ratna Dumala juga
seorang yang ahli obat-obatan. Namanya cukup harum
di dunia persilatan. Dan gelar Dewi Melati Putih yang
disandang cukup di kenal, baik golongan hitam mau-
pun golongan putih.
Ratna Dumala mengundurkan diri, dari dunia
persilatan setelah kedua kakinya cacat. Dia mengalami
kelumpuhan akibat serangan suatu racun ganas yang
sukar diobati. Jalan satu-satunya agar tetap hidup
adalah dengan membuntungi kedua kakinya untuk
mencegah menjalarnya racun.
"Srimala murid ku!" demikian pada suatu hari
Ratna Dumala berkata pada muridnya. "Kukira sudah
cukup waktunya kau turun gunung, karena kau sudah
menamatkan pelajaran mu! Pergunakanlah ilmu yang
kau miliki di jalan kebenaran. Junjunglah nama per-
guruan Melati Putih! Semoga Tuhan selalu melindungi
langkah-langkahmu...."
Terkejut gadis ini mendengar kata-kata gu-
runya. Serta merta dia bersujud di hadapan wanita itu.
"Guru...!? mengapa... mengapa... aku harus turun gu-
nung? Lalu... siapa yang akan merawatmu? Tidak,
guru! biarlah aku disini selamanya. Aku tak dapat ber-
pisah denganmu, guru!" berkata Srimala.
"Bocah bodoh! buat apa aku mendidikmu den-
gan ilmu-ilmu kedigjayaan dan lain-lainnya kalau tak
kau pergunakan untuk mengabdi pada masyarakat?"
membentak Pendekar Melati Putih.
"Tapi, guru..." Sepasang mata gadis ini tampak
berkaca-kaca.
"Berangkatlah! jangan pikirkan diriku! aku da-
pat menjaga diriku sendiri!" bentakan menggeledek itu
membuat Srimala terperangah.
"Se.. sekarang guru?"
"Ya! hari ini juga! Ingat! jangan sekali-kali kau
berniat kembali lagi kemari! Dan camkan baik-baik we-
jangan ku....!" sahut wanita tua ini.
"Baik! baiklah guru!" Srimala mengangguk le-
mah. Sebisa-bisa dia menahan air matanya agar jan-
gan tumpah. Selama lima tahun berguru bersama wa-
nita tua itu Srimala sudah merasa seperti bersama
ibunya sendiri. Tentu saja perpisahan itu amat menye-
dihkan sekali dan terasa berat kakinya untuk melang-
kah. Akan tetapi dia telah mengenal watak gurunya
yang keras. Dan perintah itu tak boleh dibantah.
Setelah mengemasi barang yang perlu di ba-
wah, dia segera mohon diri.
Berangkatlah Srimala meninggalkan puncak
gunung Betiri dengan setetes air mata bergulir ke pi-
pinya. Kemanakah dia harus pergi membawa kedua
kakinya? Dunia begitu luas. Namun tak tahu kemana
dia harus melangkah. Tiba-tiba Srimala teringat pada
keluarganya. Tapi dia tak tahu dimana kampung ha-
laman itu berada. Namun seingatnya dia mempunyai
seorang saudara tua yaitu seorang kakak perempuan.
Dia bernama Palasari. Akan tetapi kakaknya telah per
gi dari kampung halamannya. Minggat dari rumah ka-
rena dimarahi ayahnya...
Palasari memang seorang anak bandel! Sejak
berusia dua belas tahun dia gemar berkelahi. Sikapnya
seperti anak laki-laki. Suatu ketika dia bertengkar
dengan seorang anak laki-laki dari desa lain. Dalam
perkelahian anak laki-laki itu telah berhasil dilukai.
Kawan-kawannya yang kebanyakan laki-laki mengelu-
elukan kemenangannya. Akan tetapi kejadian itu ter-
nyata berbuntut panjang! Anak laki-laki itu mengadu
pada orang tuanya. Celakanya bocah laki-laki itu anak
seorang berpangkat di Kota Raja. Akibatnya keluarga
mereka harus berurusan dengan Tumenggung itu.
Tumenggung itu menyatroni tempat tinggal me-
reka. Dan habislah ayahnya dimaki-maki dan dihajar
sang Tumenggung. Sejak kejadian itu Palasari disekap
di rumah. Dia tak boleh keluar.
Dasar bocah bandel! Di luar setahu, Palasari
melarikan diri. Sejak itu sang kakak perempuan tak
pernah kembali ke rumah orang tuanya.
Beberapa bulan kemudian terjadilah kekacauan
di desanya. Dia tak tahu persis kejadian itu. Yang dike-
tahuinya adalah penduduk desa berlarian ketakutan.
Dan bermunculan orang-orang bertampang jahat. Me-
reka menunggang kuda membakari desa. Masih terin-
gat Srimala teriakan-teriakan penduduk dan ayahnya.
"Perampok! perampok! Celaka! perampok Sapu Jagat!"
Selanjutnya dia tak tahu apa-apa lagi! karena telah di-
bawa lari oleh ibunya untuk disembunyikan. Dalam
pelukan ibunya dia mendengar bentakan-bentakan
dan suara perkelahian! Dilihatnya ibunya pingsan! Da-
lam ketakutan dia menangis. Tahu-tahu pandangan
matanya gelap. Dan dia tak ingat apa-apa lagi. Ketika
dia tersadar di hadapannya ada seorang wanita tua.
Itulah si Pendekar Melati Putih, yang kemudian men-
jadi gurunya.
Srimala tak pernah tahu lagi nasib ayah
ibunya, karena setiap dia menanyakan, selalu sang
guru berkata. "Akulah pengganti ibumu!" Sejak itu dan
sampai saat ini dia tak pernah bertanya lagi. Demi-
kianlah asal-usul gadis bernama Srimala itu. Ketika
dalam perjalanan melewati hutan mencari sebuah desa
dia telah berjumpa dengan Nanjar yang berhasil mem-
pecundanginya....
Ketika Srimala tengah termangu-mangu tanpa
disadari sepasang mata tengah mengamatinya dari
tempat persembunyian dibalik semak. Sepasang mata
yang menatap dengan pandangan berbinar-binar kare-
na rangsangan hawa nafsu birahi. Itulah sepasang ma-
ta dari seorang laki-laki bermuka lonjong dengan sepa-
sang kumis kecil di atas bibir. Dengan bibir menyerin-
gai basah seperti seorang gadis yang tengah mengidam
melihat mangga muda, dia pelahan-lahan menguakkan
semak belukar yang menjadi tempat persembunyian-
nya.
Suara berderaknya ranting kayu membuat
Srimala menoleh.
"Siapa kau!" bentak gadis ini dengan terkejut
seraya melangkah ke belakang. "Ah, maaf, nona...! aku
telah membuat kau terkejut! Sejak tadi aku sudah be-
rada disini! Namaku Pati Lanang!" berkata orang ini.
"Apa yang kau lakukan di tempat itu?"
"Yang kulakukan? Haha.... aku memang tengah
beristirahat di tempat ini sambil melihat pemandan-
gan. Tiba-tiba kau muncul dan berdiri terpaku setelah
menangis sesenggukan. Tentu saja aku memperhati-
kan mu..."
Tersentak Srimala. "Ah, aku terlalu terbawa
dengan perasaanku hingga sampai-sampai aku tak
mengetahui kalau ada orang dibalik semak! Kalau dia
mau berbuat jahat tentu sejak tadi aku telah..." berka-
ta Srimala dalam hati.
"Apakah yang telah membuatmu bersedih hati,
nona? Kalau ada kesulitan aku bersedia menolong!"
Laki-laki bernama Pati Lanang ini menyapa ramah.
"Ah, terima kasih! aku tidak apa-apa...! tidak
apa-apa!" sahut Srimala dengan cepat. Diam-diam dia
memperhatikan laki-laki dihadapannya.
"Jangan berdusta! Katakanlah! tentu ada sesu-
atu yang telah terjadi denganmu! Apakah kau meragu-
kan diriku! Hm. Pati Lanang si Kelana Seruling Dewa
tak akan membuat kau kecewa!" berkata Pati Lanang.
"Kelana Seruling Dewa? Hm, baru aku menden-
garnya!" berkata lirih Srimala.
"Haha... tentu kau baru saja turun gunung. Ge-
lar Kelana Seruling Dewa telah lama terdengar di dunia
persilatan! Di wilayah tenggara ini boleh dibilang na-
maku sudah melangit!" sumbar Pati Lanang dengan
tertawa. Sebenarnya dia telah melihat Srimala dari ke-
jauhan. Dari gerakan larinya dia segera mengetahui
gadis itu bukan gadis biasa. Dia memang baru saja be-
ranjak naik dari sungai. Begitu gadis itu hampir men-
dekati, cepat-cepat dia bersembunyi dibalik semak.
"Bukankah kau murid si Pendekar Melati Pu-
tih?"
"He? dari mana kau mengetahui?" sentak Sri-
mala terkejut. Tentu saja dia tak mengetahui kalau Pa-
ti Lanang telah mendengar gumamnya tadi ketika dia
terhanyut dalam perasaannya. Ternyata Pati Lanang
pun berterus terang.
"Aku mendengar kau bicara sendiri...!" sahut
Pati Lanang.
Sikap Pati Lanang yang sopan itu membuat
Srimala tak berprasangka buruk terhadap pemuda itu.
Hatinya yang bersedih campur mendongkol agak terhi-
bur.
"Keharuman nama Pendekar Merpati Putih te-
lah kudengar sejak belasan tahun yang lalu dari guru-
ku. Senang sekali aku berjumpa dengan murid seorang
pendekar wanita ternama yang kesohor dengan ilmu
ketabibannya juga berilmu tinggi!" berkata Pati La-
nang. "Kalau aku membiarkan kau dihina orang aku
akan merasa menyesal sekali..."
Srimala tertegun sejenak. Ditatapnya wajah
pemuda itu tajam-tajam. Tak ada tanda-tanda dia
orang jahat. Dalam keadaan perasaan tertekan seperti
itu kemunculan Pati Lanang membuat dia agak terhi-
bur. Hatinya berkata. "Ah, gurunya kenal baik dengan
guruku. Dan dia tampak begitu amat memperhatikan
ku..! Mengapa tak ku jalin persahabatan dengannya?
Bukankah aku tak mempunyai seorangpun teman di
dunia ini? Siapa tahu dia dapat membantu aku mem-
beri petunjuk dimana adanya kakak Palasari!"
"Benarkah kau mau menolongku?" tiba-tiba
Srimala ajukan pertanyaan.
"Siapa yang cuma pura-pura? Katakanlah siapa
yang telah menghinamu! Segera akan kubuat isi pe-
rutnya cerai berai!" sahut Pati Lanang. Kali ini bibir
Srimala unjukkan senyuman.
"Namaku Srimala!" berkata gadis ini perkenal-
kan diri tanpa diminta.
"Nama yang bagus!" sela Pati Lanang dengan
tersenyum.
"Aku memang baru saja turun gunung! Tujua-
nku adalah mencari kakak perempuanku. Dia berna-
ma Palasari".
Selanjutnya Srimala ceritakan mengenai tu-
juannya yang hendak mencari orang tuanya. Juga di-
paparkan tentang kejadian di tengah perjalanan men-
genai perjumpaannya dengan seorang pemuda ber-
tampang dungu yang berhasil merebut selendang sute-
ranya.
"Sayang sekali kau tak mengerti nama orang
itu!" berkata Pati Lanang dengan masygul. "Tapi tak
usah khawatir!" sambungnya.
"Aku akan membantumu mencari saudaramu
itu. Dan mengenai laki-laki yang telah merebut selen-
dangmu, hm! suatu saat bila aku menjumpainya akan
kurampas lagi selendangmu dan kuberi pelajaran dia!"
"Dia seorang pemuda yang berilmu tinggi!"
"Hm, tak peduli ilmunya setinggi langit sekali-
pun, aku Pati Lanang si Kelana Seruling Dewa pasti
akan mencabut nyawanya!" sahut Pati Lanang dengan
membusungkan dada.
"Tapi bukan itu yang ku ingin kau menolong-
ku!" sambar Srimala. "Mengenai senjataku biarlah aku
sendiri yang akan merebutnya lagi, aku memang masih
penasaran karena dia telah berlaku curang dalam per-
tarungan itu!"
"Ha? jadi a... apa yang harus kulakukan?" ter-
gagap Pati Lanang.
"Aku hanya perlu bantuan mu untuk mencari
kakak perempuan ku!"
"Hoho.. jangan khawatir! Pati Lanang kalau
mau berniat menolong orang tak kepalang tanggung!
Aku pasti akan berusaha mencari kakakmu itu!"
"Terima kasih, Pati Lanang!" Srimala terse-
nyum. Gadis ini melihat wajah pemuda itu agak beru-
bah ketika dia mengatakan tak memerlukan bantuan
untuk merampas selendangnya pada pemuda itu. Me
mang Pati Lanang agak kecewa karena dengan kata-
kata itu seolah-olah Srimala telah menganggap remeh
padanya. Akan tetapi Pati Lanang memang seorang
pemuda yang pandai menyembunyikan isi hatinya.
Dengan tersenyum dia berkata.
"Adik Srimala! kita telah menjalin persahaba-
tan. Ingin sekali aku memperkenalkan kau pada guru-
ku! Beliau sangat mengagumi gurumu...!"
Srimala sejenak tercenung tak menjawab. Sete-
lah beberapa saat berpikir barulah dia mengangguk.
Dia memang memerlukan bantuan pemuda itu, juga
perlu menambah pergaulan. Siapa tahu guru pemuda
itu mengetahui tentang kakak perempuannya. Di
samping itu pemuda itu dapat pula dijadikan teman
dalam pencarian kedua orang tuanya.
Matahari mulai menggelincir ke arah barat, ke-
tika keduanya berlari cepat meninggalkan tempat itu...
TIGA
Kita beralih pada sebuah bukit di sebelah barat
di lereng pegunungan yang memanjang ke arah barat
laut. Bukit ini telah sejak lama bernama bukit Gajah.
Entah mengapa bernama demikian, karena bentuk
bukit itu tidaklah seperti gajah. Yang jelas di atas bu-
kit itu berdiri sebuah perguruan yang bernama pergu-
ruan Gajah Sakti!
Pagi itu dua orang penjaga pintu gerbang per-
guruan tampak terkejut melihat seseorang telah mun-
cul di hadapan mereka. Kedatangannya tak diketahui
dari mana munculnya. Akan tetapi segera mereka
mengenali siapa yang datang.
"Oh, selamat pagi, den ayu Walet Wungu...!
hamba kira siapa..." sapa salah seorang penjaga den-
gan membungkuk hormat.
Yang dipanggil Walet Wungu ini ternyata seo-
rang wanita bertopeng ungu. Wajahnya tak nampak
keseluruhannya, karena tertutup topeng. Yang terlihat
cuma sebatas hidung sampai ke dagu. Serta sepasang
mata bersinar tajam yang tersembul dari dua buah lu-
bang pada topengnya. Rambutnya terurai tersembul di
bagian tengkuk, sedangkan selebihnya tertutup den-
gan topeng ungu itu. Akan tetapi dari separuh wajah
dan potongan tubuh serta sepasang matanya yang bu-
lat dengan bulu mata lentik itu, dapat diketahui seti-
dak-tidaknya wanita ini berwajah cantik dan usianya
di bawah dua puluh tahun.
Dara aneh berbaju kembang-kembang berwar-
na merah itu hanya anggukkan kepala. Lalu melang-
kah lebar memasuki pintu gerbang.
Sikap yang gagah dan agak angkuh itu memang
telah dikenal baik oleh kedua penjaga itu. Puteri maji-
kan mereka yang satu ini memang berbeda dengan
yang lain. Masih untung mereka diberi anggukan kepa-
la. Biasanya tak jarang belum sempat disapa, sudah
langsung menerobos masuk. Untung saja mereka
mengenali, kalau tidak, bisa-bisa anak majikannya itu
dibentak!
Ternyata kedatangannya telah ditunggu sejak
tadi. Yang menunggu adalah si ketua perguruan Gajah
Sakti itu sendiri. Dialah GAJAH SORA yang dikenal
dengan nama julukan Pendekar Gajah Lengan Tung-
gal!
"Bagus! kedatanganmu memang sedang ku
nantikan, anakku! Bagaimana mengenai upeti yang
bakal dikirim ke Blambangan itu? Apakah kau telah
mendengar kabar kapan dikirimkannya?" berkata Ga-
jah Sora.
Walet Wungu membanting tubuhnya ke kursi.
Lalu membuka topeng penutup wajahnya. "Kabar bu-
ruk, ayah! Telah terjadi suatu kejadian yang tak kita
inginkan. Barang upeti itu telah lenyap, dan pak Gen-
don Kertosono sendiri kudapatkan telah tewas!"
"Hah!?" tersentak kaget Gajah Sora. Hampir tak
percaya dia mendengar penuturan anak gadisnya. "Ba-
gaimana sampai terjadi demikian?"
Walet Wungu segera menceritakan apa yang di-
ketahuinya dari mulai dia tiba di tempat kediaman be-
kas Panglima tua itu, hingga sampai dia mengejar si
perampok dan pembunuh keji itu.
"Keparat! apakah kau tak mengetahui siapa pe-
rampok jahanam itu?" bertanya Gajah Sora dengan
wajah berubah merah padam.
"Dari seorang pengawal gedung yang melihat
kejadian itu dan berhasil menyelamatkan jiwanya, pe-
rampok itu seorang perempuan yang menutup mu-
kanya dengan cadar hitam! Aku terlambat beberapa
saat sebelum terjadi perampokan itu. Sayang aku tak
dapat menemuinya dan aku tak tahu kemana larinya
manusia itu!" sahut Walet Wungu dengan wajah kece-
wa.
Sejurus lamanya Gajah Sora terpaku berdiri
dengan pandangan mata menatap keluar. "Setan! sia-
pakah perempuan itu?” desis Gajah Sora geram.
"Apakah tak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang
kalian dapatkan?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar
ini.
"Aku menemukan ini, ayah!" sahut Walet Wun-
gu tiba-tiba seraya keluarkan sebuah benda dari balik
pakaiannya. Walet Wungu berikan benda itu pada
ayahnya. "Benda ini menancap di leher mayat bekas
Panglima tua itu!"
Sepasang mata Gajah Sora tiba-tiba membela-
lak melihat benda kecil berbentuk anak panah, terbuat
dari tulang. Pada bagian belakang benda itu dihiasi
dengan bulu burung.
"Ini senjata rahasia si Cecak Terbang LAWE
WERENG! Heh! Apa maksud manusia itu dengan per-
buatan kejinya? Perempuan itu kalau bukan muridnya
habis siapa lagi?" berkata Gajah Sora.
"Hal ini tak bisa dibiarkan! Aku akan mene-
muinya untuk mendapatkan keterangan! Senjata raha-
sia ini merupakan bukti kuat dan pihaknya bertang-
gung jawab atas kejadian ini!" berkata lagi Gajah Sora.
Air mukanya tampak semakin memerah padam.
Nama perguruan Gajah Sakti memang sudah
tak asing lagi di wilayah itu. Bukan saja kejujurannya
dalam mengawal barang. Akan tetapi juga kewibawaan
serta tanggung jawab si Pendekar Gajah Lengan Tung-
gal dalam memimpin anak-anak buahnya dapat dian-
dalkan. Hingga tenaganya banyak terpakai oleh orang-
orang yang memerlukannya. Bahkan perguruan ini di-
percayakan untuk mengawal barang upeti setiap tahun
yang di bawa ke Blambangan.
Walet Wungu tahu jelas sifat ayahnya. Pertum-
pahan darah akan terjadi! Karena dengan adanya ke-
jadian ini, nama baik perguruan Gajah Sakti akan
hancur! Walaupun barang upeti itu belum berada di
tangannya, akan tetapi dengan peristiwa itu sebagian
mata pencaharian perguruan Gajah Sakti telah lenyap!
"Bagaimana kalau bukan si Cecak Terbang
yang melakukan?" cetus Walet Wungu. Sejurus Gajah
Sora terdiam. Bisa saja hal itu dilakukan orang lain
yang sengaja memfitnah si Cecak Terbang Lawe We
reng, tokoh persilatan yang juga cukup berpengaruh di
wilayah itu.
"Apakah ada orang yang sengaja mengadu-
domba?" pikir Gajah Sora. "Kalau si Cecak Terbang
yang melakukan rasanya tak mungkin karena yang
melakukannya adalah seorang perempuan. Bagaimana
kalau ternyata si Cecak Terbang tak mempunyai seo-
rang murid perempuan? Seandainya dia memang
mempunyai, toh muridnya tak sebodoh itu untuk me-
lakukan perbuatan tolol meninggalkan sengaja rahasia
di leher korbannya!"
"Aku akan bicara baik-baik padanya!" akhirnya
Gajah Sora menyahuti dengan suara lemah. Walet
Wungu menarik napas lepas.
"Ya, hal itu memang harus dibicarakan baik-
baik! Siapa tahu ada orang yang sengaja mengadu-
domba!" selesai berkat Walet Wungu segera minta diri
pada sang ayah. Gajah Sora mengangguk. "Ah, dalam
usia semuda itu Walet Wungu ternyata punya pandan-
gan juga! Aku selalu memperturutkan hawa nafsuku
saja hingga tak terpikir oleh ku akan akibatnya..." gu-
mam Gajah Sora. Bibir laki-laki ini tersenyum. Tampak
dia amat bangga dengan anak gadisnya yang satu ini.
Mengingat Walet Wungu dia jadi teringat pula
pada anak laki-lakinya. "Sayang, tampaknya Walet
Wungu kurang akrab dengan Pati Lanang. Tampaknya
dia tak berjodoh untuk menjadi suami istri. Aku tak
dapat memaksakan kehendak mereka. Biarlah mereka
memilih pasangan sendiri-sendiri...!" berkata hati Ga-
jah Sora. Sekilas terbayang di mata laki-laki tua ini
pada masa lima tahun yang silam, dimana dia mene-
mukan gadis itu.
Gadis cilik itu ditemukan dalam keadaan berta-
rung dengan tiga orang anak laki-laki. Dia terkesan
pada gadis kecil itu yang dengan keberanian luar biasa
menghadapi ketiga anak laki-laki bengal yang mau
mengganggunya. Walaupun dia tak memiliki ilmu silat,
tapi keberaniannya luar biasa. Dua orang lawannya te-
lah dibuat merintih kesakitan. Yang seorang tulang ke-
ringnya dihantam dengan sepotong kayu, sedang yang
seorang lagi matanya ditaburi tanah. Akan tetapi
menghadapi yang satu ini tampaknya si gadis kecil
agak kewalahan. Selain tubuhnya lebih besar, juga la-
wannya ini memiliki ilmu kepandaian silat. Hingga tak
heran kalau akhirnya gadis kecil itu roboh terjungkal.
Sebelum kejadian selanjutnya berlanjut, Gajah Sora te-
lah menolongnya.
Sejak itu si gadis kecil tinggal bersamanya
hingga sampai saat ini. Dan dia telah mengakuinya se-
bagai anaknya sendiri. Berbeda dengan anak laki-
lakinya. Pati Lanang adalah anak saudara misannya
yang dititipkan padanya. Akan halnya saudara misan-
nya itu Gajah Sora tak mengetahui kemana perginya
karena sampai Pati Lanang dewasa tak pernah mun-
cul. Tak diketahui lagi apakah masih hidup atau su-
dah mati. Pati Lanang dititipkan sejak berusia sepuluh
tahun. Dun dia telah menganggapnya sebagai anaknya
sendiri.
EMPAT
Kemunculan Pendekar Gajah Lengan Tunggal
di rumah perguruan si Cecak Terbang Lawe Wereng
bersama Walet Wungu yang menemaninya membuat
terkejutnya ketua perguruan ini.
"Ada apakah gerangan maksud kedatanganmu,
sobat Gajah! Ah, tentunya ada hal yang sangat pent
ing, karena kau telah sudi melangkahkan kakimu ke
tempat ku yang buruk ini!" berkata Lawe Wereng den-
gan sikap terkejut.
"Kalau tidak penting, buat apa aku datang ke-
mari?" sahut Gajah Sora dengan suara agak sedikit ke-
tus. Pendekar tua ini masih saja tak dapat menahan
perasaannya. Itulah sebabnya Walet Wungu ikut me-
nemani ayahnya karena khawatir akan terjadi hal yang
tak diinginkan, walaupun Gajah Sora melarangnya
ikut.
"Silahkan berbicara di dalam, sobat Gajah.
Maafkan penyambutan yang kurang sopan karena kau
tak memberitahukannya terlebih dulu....!"
"Cukuplah disini saja, Cecak Terbang!" sambar
Gajah Sora yang hanya menyebut nama Lawe Wereng
dengan gelarnya. Walet Wungu kedipkan mata pada
Gajah Sora, mengingatkan agar pembicaraan tidak
menyinggung perasaan Lawe Wereng.
"Kedatanganku adalah dengan maksud..." Sege-
ra Gajah Sora tuturkan maksud kedatangannya. Den-
gan seksama Lawe Wereng dengarkan penuturan Ga-
jah Sora. Tersentak laki-laki bertubuh kurus ini meli-
hat Gajah Sora mengeluarkan sebuah benda dihada-
pannya.
"Anakku Walet Wungu telah menemukan benda
ini yang menancap di leher bekas Panglima Kerajaan
itu! bukankah ini senjata rahasia milikmu?"
Sejenak Lawe Wereng tak mengeluarkan kata-
kata. Setelah menelan ludah karena tiba-tiba tenggo-
rokannya terasa kering, dia berkata.
"Tidak salah! benda ini memang senjata raha-
siaku!"
"Bagus kalau kau mengaku!" Gajah Sora akan
melanjutkan kata-katanya, akan tetapi buru-buru
Lawe Wereng memotong.
"Sabar dulu sobat Gajah! Benda ini memang
milikku akan tetapi sangat heran mengapa bisa me-
nancap di leher mayat bangsawan tua itu? Aku tak
merasa telah memberikannya pada seorangpun murid-
muridku. Dan bahkan aku tak mempunyai seorang
murid atau anak perempuan!" tandas Lawe Wereng.
"Aku sudah menduga kau akan memberikan
alasan. Dan aku tahu apa akibat kejadian itu?" dengus
Gajah Sora.
Merahlah wajah Lawe Wereng. "Aku cukup
maklum dengan sebab kejadian ini. Namun harap kau
mengerti, walaupun nama perguruanku tak sebesar
pengaruh perguruan Gajah Sakti akan tetapi pantang
bagiku menepuk dulang memercikkan air ke muka
sendiri! Sebagai seorang pendekar yang banyak makan
asam-garam kukira kau lebih berpandangan sempur-
na, sobat Gajah!"
Sejurus lamanya Gajah Sora terdiam. Saat itu
dipergunakan Walet Wungu untuk tampil bicara.
"Maafkan kami, paman Lawe Wereng. Bukan
maksud kami menuduh pihak perguruan melakukan
kecurangan. Setidak-tidaknya hal ini adalah wajar. Ka-
rena dengan bukti adanya benda itu kukira pamanpun
akan bersikap seperti kami bila kejadian ini menimpa
diri paman sendiri..." Kata-kata Walet Wungu menghi-
langkan rona merah di wajah laki-laki tua itu. Tampak
dia menghela napas, manggut-manggut.
"Benar katamu itu, akan tetapi berilah kami
waktu untuk memikirkan hal ini. Aku akan memeriksa
keadaan di rumah perguruanku. Aku merasa ada hal
yang tidak beres!" kata Lawe Wereng dengan wajah
muram. Lalu berpaling pada Gajah Sora. "Sobat Gajah!
kita telah lama menjalin persahabatan. Kukira kaupun
harus maklum dengan keadaanku. Sejak aku menetap
di wilayah ini, aku tak pernah menghubungi kawan-
kawanku seperti ketika aku masih gentayangan di
Rimba Hijau. Bahkan aku telah lupa siapa musuh-
musuhku!" ujarnya. Kemudian melanjutkan.
"Tentu saja dengan adanya kejadian yang me-
rusak nama baikku ini tak dapat kubiarkan begitu sa-
ja! Aku turut bertanggung jawab atas kejadian ini. Aku
akan kerahkan orang-orangku untuk melacak jejak si
perampok perempuan itu. Kalau memang ada diantara
orang-orangku yang terlibat kejadian ini, tak segan-
segan aku memberi hukuman berat!"
Akhirnya kemarahan Gajah Sora pun lenyap.
Sikap si Cecak Terbang Lawe Wereng menandakan dia
seorang yang jujur dan tegas. Air mukanya tak menun-
jukkan bahwa laki-laki tua itu berdusta. Ketegasan itu
dapat terlihat dari pancaran matanya yang berapi-api.
Jelas! siapa yang tak marah kalau dirinya telah difit-
nah orang?
Gajah Sora yang telah kembali tenang dan le-
nyap kemarahannya, menghampiri jago tua yang per-
nah menggemparkan dunia persilatan dengan sepak
terjangnya itu. Ujarnya dengan menepuk pundak laki-
laki kurus ini
"Maafkan kekasaran ku padamu, sahabatku...!
Sungguh aku malu pada anakku sendiri! Hampir saja
terjadi hal yang tak kita inginkan. Kini hatiku bersih,
sobat Lawe. Tanggung jawabmu adalah tanggung ja-
wab kita semua kaum pendekar penegak kebenaran!
Akupun sudah lama tak gentayangan di dunia persila-
tan! Agaknya tulang-tulangku yang hampir rapuh ini
masih bisa dipergunakan lagi untuk membekuk si
pengadu domba itu!"
"Kau masih mengakui aku sahabatmu?" tanya
Lawe Wereng membelalak.
"Mengapa tidak?" sambar Gajah Sora dengan
tertawa.
Apa yang terjadi kemudian? Kedua jago tua itu
sama-sama tertawa gelak-gelak. Kedua lengan mereka
sama terkepal menyatu.
"Kita akan tetap menjadi sahabat sampai mati!"
berkata Gajah Sora diantara derai tawanya. Tiba-tiba
Gajah Sora melepaskan genggamannya.
Sret!
Gerakan Gajah Sora begitu cepat. Tahu-tahu
lengan Lawe Wereng mengeluarkan darah tergores ku-
ku Gajah Sora.
"Hei! apa artinya ini?" sentak Lawe Wereng ter-
kesiap.
Walet Wungu dan belasan murid Cecak Ter-
bang pun sama-sama terkejut. Wajah kegembiraan
mereka sekonyong-konyong lenyap. Akan tetapi mere-
ka jadi membelalakkan mata karena tiba-tiba laki-laki
ketua perguruan Gajah Sakti itu melukai lengannya
sendiri.
"Untuk mengekalnya persahabatan kita bagai-
mana kalau kita mengangkat saudara?"
Kata-kata Gajah Sora bagaikan air yang tiba-
tiba menyiram bara panas. Seketika wajah Lawe We-
reng menampilkan keterkejutan yang membuat ma-
tanya melotot karena tak percaya pada pendengaran-
nya.
“Kau bersungguh-sungguh, sobat Gajah Sora?"
tanyanya dengan suara parau terkesima. Hampir-
hampir dia menyangka buruk pada Gajah Sora.
"Ya! apakah kau tak bersedia?" Bibir laki-laki
ini unjukkan senyuman dengan sepasang mata mena-
tap tak berkesiap pada laki-laki kurus itu. Sebagai ja
waban, kaki Lawe Wereng maju selangkah dan... len-
gannya meluncur menghantam dada Gajah Sora. Se-
mua orang menahan napas. Apa yang terjadi? Dengan
gerakan kilat Gajah Sora telah menangkis hantaman
itu. Dua buah lengan saling bentur dan menempel
dengan erat. Dua jenis darah yang mengalir di masing-
masing lengan segera menyatu. Tampak kedua tubuh
jago tua itu bergetar. Mendadak Gajah Sora terhuyung
ke belakang dua langkah. Sedangkan si Cecak Terbang
terhuyung satu langkah.
Ternyata benturan itu bukan main-main, kare-
na masing-masing jago tua itu telah mempergunakan
kekuatan tenaga dalamnya untuk saling gempur. Walet
Wungu terkesiap. Nyaris dia melompat dari tempat
berdirinya. Bahkan dari pihak anak-anak buah si Ce-
cak Terbang sudah melangkah maju empat orang pe-
muda. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Gajah So-
ra membelah ketegangan. "Bagus! tenaga dalammu se-
tingkat di atasku, rayi Lawe...!"
"Ah, kakang Gajah! kau sengaja mengalah! ka-
lau kau sungguh-sungguh mana mungkin aku menan-
dingi kehebatanmu?" berkata Lawe Wereng. Dengan
kejadian segebrakan itu resmilah pengangkatan sau-
dara kedua jago tua itu. Selanjutnya yang terdengar
adalah derai tawa membahana di halaman perguruan
itu. Kedua jago tua itu sama-sama berpelukan. Keja-
dian yang mendebarkan hati itu diakhiri dengan sorak-
sorai murid-murid si Cecak Terbang. Hampir saja me-
reka menyangka akan terjadi pertarungan. Walet Wun-
gu menarik napas lega. Walau sebenarnya dia kurang
sepenuju dengan sikap Gajah Sora sang ayah angkat-
nya yang telah bertindak terlalu jauh.
LIMA
Kegembiraan itu mendadak lenyap ketika dua
orang murid perguruan Gajah Sakti berlari-lari meng-
hadap Gajah Sora dan Walet Wungu dengan diantar
oleh seorang penjaga pintu gerbang. Walet Wungu te-
lah melompat memburu.
"Ada apa yang terjadi, Sarpan? Komal? cepat
katakan!" bentak dara ini dengan paras berubah te-
gang.
"Ce.. celaka, den ayu! anu... seorang perem-
puan bertopeng te... telah memasuki pesanggrahan
Gajah Sakti! Dia mengamuk membantai kawan-kawan
kami! Ilmunya sangat tinggi! Kami... kami kewala-
han...!" berkata Sarpan dengan napas memburu terasa
hampir putus.
"HAH!?" Hampir berbareng ketiga orang dari
dua perguruan ini terkejut.
"Keparat! Pasti si perampok perempuan bede-
bah itu!" sentak Gajah Sora dengan wajah pucat. Detik
itu juga Gajah Sora telah berkelebat melompat yang di-
ikuti oleh Walet Wungu dan si Cecak Terbang Lawe
Wereng. Sebelum menyusul mereka masih sempat laki-
laki ini berkata.
"Tutup pintu gapura! Dan berjaga-jaga, siapa
tahu sepergian ku iblis perempuan itu datang kemari!"
Selesai memberi perintah, jago tua dari pulau Nusa
Barung ini berkelebat menyusul Gajah
Sora dan anak gadisnya. Dalam beberapa kejap
saja bayangan ketiga orang itu telah lenyap dibalik bu-
kit....
Alangkah terkejutnya Gajah Sora yang telah ti-
ba lebih dulu, melihat keadaan di halaman pesanggra
han telah bergeletakan murid-muridnya. Dua orang
penjaga pintu gerbang pesanggrahan terkapar tak ber-
nyawa dengan leher terkoyak hampir putus! Belasan
orang murid lainnya bergeletakan di sekitar halaman
gedung. Pucat pias bagai tak berdarah air muka Gajah
Sora. Detik itu juga dia telah berkelebat memasuki pin-
tu gedung yang tampak hancur berantakan. Walet
Wungu dan Lawe Wereng yang telah menyusul tiba,
tertegun di pintu pesanggrahan. Tapi segera memburu
untuk memeriksa mayat-mayat yang berserakan. Se-
dangkan Lawe Wereng melompat ke sekitar pesanggra-
han untuk mencari jejak iblis perempuan itu.
"Keparat! dia telah angkat kaki dari sini!" desis
Gajah Sora. Bersama Walet Wungu mereka memeriksa
setiap ruangan di dalam pesanggrahan. Sementara
Lawe Wereng berjaga-jaga di luar. Akan tetapi manusia
iblis itu tak tampak batang hidungnya. Bukan kepa-
lang terkejutnya Gajah Sora ketika melihat kamarnya
porak poranda. Dan mendapatkan sebuah senjata ra-
hasia berbentuk anak panah menancap pada sehelai
kertas di atas meja.
Dijumputnya kertas itu dengan lengan bergetar.
Tampak sepotong kalimat tertulis di atas kertas itu.
"Gajah Sora! kalau kau mau mengetahui siapa
diriku, silahkan datang ke ISTANA KUNO! Sekalian kau
melihat anakmu si Pati Lanang yang kujadikan tawa-
nanku!"
Bagai disambar petir Gajah Sora tersentak ka-
get. Walet Wungu muncul di pintu kamar. "Apa yang
kau dapatkan, ayah?" gadis ini memburu ke arah ayah
angkatnya dengan perasaan khawatir. Dilihatnya Ga-
jah Sora berdiri menjublak bagai patung. "Ini! baca
lah!" katanya seraya berikan kertas itu pada Walet
Wungu. Dia sendiri segera melompat untuk memeriksa
lemarinya. Kemarahan membakar dada laki-laki tua ini
karena diketahuinya peti tempat penyimpanan barang-
barang berharganya telah lenyap. Dan sebuah kitab
yang disembunyikan di rak paling bawah turut lenyap.
"Kurang ajar! dia telah membawa pula kitab
pusaka Mega Mendung!"
BRRAKK!
Sekali lengannya mengayun hancurlah lemari
kayu jati itu! Gajah Sora telah menyalurkan kemara-
hannya. Walet Wungu sampai melompat karena terke-
jutnya. Sementara Walet Wungu masih termangu-
mangu dengan mata membelalak setelah membaca tu-
lisan di kertas itu, Gajah Sora sudah melompat keluar.
"Keparat! Iblis perempuan itu telah merat!" ber-
kata Gajah Sora dengan langkah lesu menghampiri si
Cecak Terbang Lawe Wereng.
"Apa yang harus kita lakukan? Aku bersedia
membantumu, kakang Gajah!" kata Lawe Wereng den-
gan sepasang lengan terkepal.
"Perempuan iblis itu sungguh pengecut!" ma-
kinya dengan geram. Dia dapat merasakan kegusaran
hati Gajah Sora.
"Aku telah mengitari sekitar pesanggrahan. Tak
ada tanda-tanda manusia iblis itu masih berada di se-
kitar tempat ini...!" ujarnya pula.
"Apakah kau mengetahui letak ISTANA KUNO?
Kita harus mengejarnya kesana!" Tiba-tiba Gajah Sora
berkata dengan menatap tajam Lawe Wereng.
"Bagaimana kau bisa mengetahui iblis itu ada
disana?" tanya Lawe Wereng.
"Aku menemukan secarik kertas yang ditulis ib-
lis perempuan itu!" Lalu Gajah Sora segera ceritakan
mengenai isi surat itu dan mengatakan pula tentang
hilangnya barang-barang pusakanya.
"Jadi anakmu berada disana?" sentak Lawe We-
reng terkejut.
"Ya! Iblis itu telah menawannya!" sahut Gajah
Sora dengan geram. Tampak sorot mata laki-laki tua
ini menyorotkan dendam. Setelah agak lama terce-
nung, Lawe Wereng berkata. "Ketika aku masih senang
mengembara, aku memang pernah melihat adanya se-
buah reruntuhan sebuah istana. Ya, sebuah istana tua
yang cuma tinggal reruntuhannya saja. Apakah tempat
itu yang dimaksudkan?"
"Kalau memang cuma satu-satunya istana tua
itu kukira benarlah dugaanmu! Apakah kau masih in-
gat di wilayah mana?" berkata Gajah Sora dengan wa-
jah bersemangat.
"Dimana ya...? tunggu dulu! aku akan mengin-
gat-ingatnya!" Selang beberapa saat. "Ya! aku ingat se-
karang! akan tetapi kita harus mencari jalan masuk ke
tempat reruntuhan Istana Kuno itu yang aku agak lu-
pa lagi. Namun kau tak perlu khawatir. Aku akan be-
rusaha untuk menemukannya!" ujar Lawe Wereng.
"Bagus! terima kasih atas bantuanmu, rayi
Lawe!" kata Gajah Sora seraya menepuk bahu saudara
angkatnya.
"Kini bukan saatnya berbasa-basi, kakang Ga-
jah! Sudah menjadi tugas dan kewajiban setiap kaum
putih untuk menumpas kebatilan yang tegak di bumi
ini! Aku akan mempertahankan selembar nyawaku ini
Untuk kepentingan umat manusia!"
Gajah Sora menatap si Cecak Terbang dengan
terharu. Dan kedua lengan mereka kembali terkenal
menyatu. Kedua jago tua ini sama-sama tersenyum.
Saat itu Walet Wungu datang lambat-lambat meng
hampiri.
"Kau akan ikut serta, anakku?" tanya Gajah
Sora tatkala dia menoleh ke arah gadis itu. Walet
Wungu tak buru-buru menjawab. Setelah tercenung
sejenak dia berkata.
"Apakah ini bukan suatu jebakan, ayah?"
"He, jebakan atau bukan, bukan masalah."
"Hm, jebakan atau bukan, tidak masalah! Apa-
kah aku harus berpeluk tangan dengan kejadian ini?
Dan aku harus membebaskan kakakmu Pati Lanang
dari cengkeramannya!" sahut Gajah Sora dengan suara
tegas!
"Sebaiknya Wulung Sari tak usah ikut. Dengan
tenaga kita berdua mustahil kalau kita tak dapat men-
galahkannya!" Lawe Wereng turut buka suara.
"Ya! ya! kukira demikian!" tukas Gajah Sora.
Dia memang berpendapat anaknya tak perlu ikut. Ka-
lau terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan, siapa yang
harus membalas dendam kelak? Sedangkan mati hi-
dup Pati Lanang belum lagi diketahui. "Haih! mengapa
ulah bocah itu bisa tertawan si perempuan iblis?" ber-
kata dia dalam hati.
"Baiklah, anakku! saran paman Lawe kukira
baik sekali! Kalau dalam tiga hari kami tak kembali,
pergilah kau ke Blambangan! Ceritakan hal ini pada
Raden WIRAKRAMA!" Selesai berpesan Gajah Sora
berkelebat pergi yang disusul oleh si Cecak Terbang
Lawe Wereng. Sebentar saja kedua jago tua itu telah
lenyap dari pandangan mata Walet Wungu...
Gadis ini terpaku lama di tempat berdirinya.
Hatinya kalut! Sekejap mata keadaan telah menjadi be-
rubah semrawut. Ditatapnya mayat-mayat orang-orang
perguruannya yang bergelimpangan di sekitar halaman
pesanggrahan. Pada saat itulah ketika Walet Wungu
baru saja mau beranjak masuk ke dalam gedung, te-
linganya menangkap gerakan lari dari seseorang yang
mendekati tempat itu. Selang sesaat sesosok tubuh
muncul di pintu pesanggrahan.
Dia seorang pemuda berusia antara dua puluh
tahun. Berpakaian warna kuning dengan ikat kepala
dari kulit biawak. Wajah pemuda ini seperti menampil-
kan keterkejutan melihat keadaan di halaman pe-
sanggrahan Gajah Sakti. Sebentar saja Walet Wungu
telah mengetahui siapa adanya pemuda itu. "Hm, Ja-
lapaksi...! mau apa dia kemari?" berkata dalam hati
Walet Wungu.
Pemuda ini telah memburu ke arah gadis itu.
"Ah, apakah iblis perempuan itu tak keburu dipergoki?
kemanakah guru-guru kita?" tanya Jalapaksi dengan
wajah tampak prihatin.
"Beliau mengejar iblis itu! Kami terlambat....!
Dia telah melarikan diri!" sahut Walet Wungu pendek.
Tampaknya Walet Wungu agak risih dengan kemuncu-
lan pemuda si Cecak Terbang ini.
"Perempuan iblis itu sungguh kejam! Kalau ter-
jadi apa-apa dengan guru kita, hidupku tak akan ten-
teram sebelum melumatkan tubuhnya!" berkata Jala-
paksi dengan wajah menampakkan kemarahan. Sepa-
sang matanya berkilat-kilat menjalari sosok-sosok
mayat murid-murid Gajah Sora yang bergelimpangan.
Walet Wungu seperti tak mendengar kata-kata pemuda
itu. Dia duduk menjublak di tangga undakan dengan
mata menatap kosong ke pintu gapura.
Lambat-lambat Jalapaksi menghampiri.
"Sudahlah, Walet Wungu...! Mari kita kebumi-
kan jenazah saudara-saudara kita ini. Aku akan mem-
bantu mu!" Tanpa menunggu jawaban gadis itu, Jala-
paksi segera bekerja cepat membersihkan halaman pesanggrahan dari mayat-mayat. Di bagian belakang ge-
dung pesanggrahan Jalapaksi menggali lubang yang
cukup besar.
Walau hatinya kurang senang dengan kemun-
culan Jalapaksi namun kedatangan pemuda itu telah
membuat Walet Wungu menarik napas lega. Karena
meringankan pekerjaannya mengebumikan para jena-
zah itu.
ENAM
Siapakah Jalapaksi ini? Apakah gerangan yang
tersembunyi dibalik dada pemuda ini? Dia adalah mu-
rid utama si Cecak Terbang. Murid yang diandalkan
untuk kelak menjadi penerus cita-cita sang guru. Su-
dah sejak lama Jalapaksi jatuh hati pada Walet Wungu
anak angkat ketua perguruan Gajah Sakti itu. Sikap-
nya yang agak kurang ajar pernah membuat marah
gadis cantik yang agak angkuh dan pendiam ini. Itulah
sebabnya Walet Wungu tak senang dengan kemuncu-
lannya.
Malam itu Walet Wungu tak dapat memicing-
kan matanya. Disamping khawatir dengan kejadian
yang tak diinginkan dengan adanya Jalapaksi yang
menginap di pesanggrahan itu, pikirannya juga tak te-
nang memikirkan gurunya yang pergi menyatroni si ib-
lis perempuan di Istana Kuno. Ternyata sampai pagi
hari tak ada kejadian apa-apa. Jalapaksi tertidur di
luar gedung. Pemuda itu agaknya kelelahan setelah
siang harinya menguras tenaga....
Baru saja Walet Wungu menguakkan pintu ge-
dung, pemuda itu telah melompat bangun. "Ah, sudah
siang agaknya...!" katanya dengan mengucak-ucak matanya. Lalu menoleh pada Walet Wungu. "Kau baru sa-
ja bangun, Walet Wungu? Tentu tidurmu nyenyak se-
kali!" Walet Wungu tak menyahut. Seraya melangkah
keluar dia berkata.
"Kalau kau mau menunggu gedung pesanggra-
han ini kuucapkan terima kasih! Akan tetapi aku tak
dapat berlama-lama disini, karena aku ada urusan
yang harus kuselesaikan!"
"Ha? kau mau kemana Walet Wungu?" sentak
Jalapaksi
"Kukira kau tak perlu mengetahuinya...!" sahut
si gadis dengan sikap acuh. Jalapaksi jadi garuk-garuk
kepala yang tidak gatal.
"Hm, kau masih marah padaku, Walet Wungu?"
berkata pemuda itu seraya melangkah menghampiri.
Tapi Walet Wungu telah melompat menjauh dan berke-
lebat meninggalkan pesanggrahan Gajah Sakti. Tentu
saja membuat Jalapaksi terperangah. Tak berayal lagi
dia segera melompat mengejarnya.
"Tunggu, Walet Wungu!" teriak pemuda ini.
Akan tetapi Walet Wungu tak menghiraukan teriakan
itu. Bahkan mempercepat gerakan larinya dengan
menggunakan ilmu kepandaian berlari cepat yang di-
milikinya.
"Hm, agaknya dia mengajakku mengadu ke-
pandaian! bagus! akan kutunjukkan kemampuannya!"
berkata Jalapaksi dalam hati. Detik itu juga dia telah
melesat mengejar si gadis puteri Gajah Sora. Gerakan
lari Walet Wungu memang sesuai dengan nama julu-
kannya, tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor Wa-
let yang lincah. Akan tetapi pemuda itu tak kalah lin-
cahnya mengejar sang Walet! Bahkan selang beberapa
saat...
"Tunggu! tahan dulu larimu, Walet Wungu!"
Hebat sekali gerakan si pemuda murid si Cecak Ter-
bang ini, membuat gadis itu tersentak kaget karena
dalam beberapa saat saja sudah tersusul. Dan menda-
hului menghadang di hadapannya.
"Apakah yang kau inginkan?" berkata Walet
Wungu dengan ketus.
"Aku perlu menanyakan padamu kemana tu-
juanmu?" berkata Jalapaksi. "Guru kita telah mengikat
tali persaudaraan, mengapakah kau tetap bersikap
demikian terhadapku?" Walet Wungu tak menyambut.
Dia pelengoskan wajahnya.
"Kalau memang masih ada ganjalan di hatimu
terhadap sikapku yang membuat kau tersinggung, ha-
rap kau sudilah untuk memaafkan...." sambung Jala-
paksi dengan suara sungguh-sungguh. Lalu lanjutkan
lagi kata-katanya karena gadis itu masih tetap saja
membisu.
"Aku cukup prihatin dengan kejadian yang te-
lah menimpa perguruanmu, juga mengenai kepergian
guruku. Seandainya kau adalah aku tentu dapat kau
bayangan perasaanku!"
"Aku akan menyusul guru ke Istana Kuno!" ak-
hirnya Walet Wungu membuka suara.
"Istana Kuno?" sentak Jalapaksi terkejut. "Apa-
kah kau mengetahui dimana letaknya?" Walet Wungu
sejenak tercenung, lalu menggeleng. Meledaklah terta-
wa Jalapaksi.
"Haha... kau mau menyusul gurumu tapi tak
mengetahui tempatnya...? Suatu pekerjaan yang sia-
sia!"
"Mengapa sia-sia? aku dapat menanyakan pada
orang yang mengetahui tempat itu!" sambar Walet
Wungu tegas.
"Pendapatmu benar! akan tetapi... ada baiknya
kita mencarinya bersama-sama! Akupun perlu menge-
tahui keadaan guruku!" tukas Jalapaksi.
"Sebenarnya..." Akhirnya Walet Wungu cerita-
kan juga kejadian di pesanggrahan Gajah Sakti sejak
mereka tiba, hingga akhirnya kedua guru mereka pergi
menyusul si iblis perempuan itu.
"Ah, kalau begitu mengapa sebaiknya kau turu-
ti perintah ayahmu, pergi ke Blambangan memberita-
hukan hal ini pada Raden Wirakrama...!" ujar Jalapak-
si setelah mendengar penuturan Walet Wungu.
"Sebaiknya memang demikian, akan tetapi aku
amat mengkhawatirkan keadaan guru! Iblis perem-
puan itu sedemikian mudahnya membunuhi orang-
orang pesanggrahan Gajah Sakti, bahkan telah mena-
wan pula kakak seperguruanku, tentu ilmunya luar
biasa tingginya...!" sahut Walet Wungu dengan suara
datar. Sejurus Jalapaksi terdiam.
"Lalu bagaimana keputusanmu?" tanyanya ke-
mudian.
"Aku akan tetap pergi menyusul ke Istana Ku-
no!" sahut Walet Wungu tegas. Tampaknya niat gadis
itu tak dapat dirubah. Jalapaksi yang mengetahui wa-
tak dara itu tak dapat berkata apa-apa lagi.
"Kalau demikian, marilah kita berangkat me-
nyusul beliau!" berkata pemuda itu. Walet Wungu kali
ini tak dapat menolak lagi. Dia mengangguk pelahan,
seraya balikkan tubuh dan berkelebat dari situ. Jala-
paksi segera menyusul dengan merendengi dara itu di
sebelahnya.
"Bagaimana kalau kita ke arah selatan saja?"
kata Jalapaksi. "Di wilayah itu berdiam sahabat baik
guruku. Kita dapat menanyakan padanya mengenai le-
tak Istana Kuno itu!"
"Baiklah...!" sahut Walet Wungu. Berkelebatan
lah dua sosok tubuh kedua muda-mudi itu menuju
arah selatan. Dalam beberapa saat saja keduanya telah
tak kelihatan lagi. Lenyap di balik perbukitan....
Sesosok bayangan tubuh manusia tampak
membututi kedua remaja itu.....
Siapa adanya orang ini belum bisa diketahui.
Akan tetapi yang jelas dia telah mendengar semua per-
cakapan kedua pemuda dan pemudi itu!!
TUJUH
Kita beralih ke lain tempat.... Sesosok tubuh
dengan gerakan cepat tampak berlari-lari menuruni le-
reng perbukitan. Gerakan larinya secepat terbang se-
hingga yang terlihat cuma bayangan tubuhnya saja.
Ternyata sosok tubuh itu memondong seseo-
rang yang dipanggul di atas pundaknya. Siapa adanya
dia? Ketika melewati sisi hutan tiba-tiba bermunculan
sosok-sosok tubuh berpakaian hitam yang mencegat-
nya.
"Berhenti!" Dari puncak yang tinggi meluncur
turun sebuah bayangan kuning. Gerakannya ringan
saja tanpa menimbulkan suara ketika sepasang kaki
orang itu menjejak di tanah. Tampak seorang laki-laki
tinggi kurus mengenakan pakaian warna kuning ber-
lengan lebar telah berdiri menghadang di tengah jalan
yang bakal dilalui orang itu.
Orang yang memondong sosok tubuh di pun-
daknya itu kiranya seorang pemuda bertampang tolol
yang tiada lain adalah Nanjar alias si Dewa Linglung.
"Heh! apa yang kalian inginkan, begal-begal tengik?"
berkata Nanjar dengan hidung mendengus. Nanjar
mengawasi para penghadang itu yang jumlahnya tak
kurang dari lima belas orang. Kesemuanya memakai
pakaian hitam-hitam dengan pinggang menyoren sen-
jata. Kecuali si laki-laki baju kuning itu yang tampak-
nya bertangan kosong.
"Hehehe... kami memang para begal yang ditu-
gaskan membegal setiap orang yang lewat di tempat
ini. Akan tetapi kami tak akan membegal harta benda,
melainkan nyawa yang akan kami begal. Kecuali...
hehe.... kecuali gadis yang berada di pundakmu itu.
Mungkin umurnya masih bisa diperpanjang beberapa
hari!" berkata laki-laki baju kuning bermata nyalang
itu dengan tertawa menyeringai.
"Kurang ajar! siapa yang telah perintahkan ka-
lian dengan tugas gila itu? Aku toh cuma lewat saja
tanpa mengganggu atau berbuat apa-apa! mengapa se-
tiap orang yang lewat harus dibunuh?" bentak Nanjar
dengan mata mendelik gusar.
Akan tetapi si baju kuning ini telah memberi
tanda pada anak buahnya untuk segera turun tangan.
Belasan orang berpakaian serba hitam itu serentak
berlompatan mengurung si Dewa Linglung dengan
masing-masing telah mencabut senjatanya.
"Bagus! Haha... kuperingatkan pada kalian,
menyingkirlah kalau masih mau selamat. Kalau kalian
membandel tahu sendiri akibatnya!" berkata Nanjar
dengan jumawa. Seperti tiada menghiraukan adanya
bahaya, seenaknya saja pemuda ini melangkah terus.
"Bocah sombong!" membentak salah satu dari
pengurungnya. Orang ini bersenjatakan sebuah golok
besar yang punggungnya bergerigi. Dengan kecepatan
tak terduga dia telah ayunkan goloknya ke arah dada
diiringi bentakan. "Lepas nyawamu!" Akan tetapi sebe-
lum senjatanya mengenai sasaran tahu-tahu orang ini
menjerit ngeri. Goloknya terpental, sedangkan orang-
nya roboh terjungkal dengan tubuh kaku. Terkejut pa-
ra pengepung lainnya. Sedangkan si baju kuning ke-
rutkan keningnya dengan tersentak kaget. Sepasang
matanya yang tajam dapat melihat sekilat gerakan len-
gan pemuda itu ketika menyelinap ke balik baju. Dan
sebuah benda kecil sebesar kacang atau memang se-
butir kacang, telah meluncur menghantam pergelan-
gan tangan si brewok. Gerakan selanjutnya sedemikian
cepatnya. Tahu-tahu lengan pemuda itu telah terjulur
menotok tengkuk laki-laki brewok itu. Dan terjadilah
seperti apa yang telah dilihatnya.
Melihat kawannya roboh, yang lainnya segera
menerjang dengan senjata-senjatanya. "Kalian mencari
penyakit!" bentak Nanjar. Lengannya menghantam ke
depan. Tiga orang menjerit ngeri. Tubuh mereka ter-
lempar tak bangkit lagi. Karena ketiga orang itu mera-
sa urat-urat tubuhnya menjadi kaku. Beberapa batang
golok yang menyambar dari arah kiri dan kanan cuma
mengenai tempat kosong. Akan tetapi akibatnya harus
mereka tanggung, karena diiringi satu bentakan keras,
empat tubuh penyerang ini terlempar dengan perden-
garkan jeritan parau.
Sisanya delapan orang penyerang ini terkejut
karena tahu-tahu lawannya telah berada di hadapan
mereka. Empat orang menyurut mundur. Akan tetapi
empat orang lagi menerjang dengan beringas. Nanjar
menggerutu dalam hati. "Penyakit di depan mata ma-
sih tak mau menyingkir? rasakan ini!" Dewa Linglung
angkat sebelah lengannya. Cahaya putih menebar...
Dan empat orang ini bagaikan diterjang angin seloka
terlempar dengan jeritan setinggi langit!
Mendelik sepasang mata si baju kuning melihat
dalam waktu sebentar saja belasan anak buahnya te
lah berkaparan di tanah. Yang lainnya masih untung,
karena cuma tertotok saja. Akan tetapi yang empat
orang telah tewas, dengan tulang dada remuk! Karena
geramnya Nanjar telah terlepas tangan dan menya-
rangkan pukulan Naga Saktinya. Itupun cuma dengan
tenaga dalam seperempat bagian. Tapi akibatnya
keempat penyerang itu tewas dengan keadaan menge-
rikan!
"Keparat! jaga pukulanku!" membentak si laki-
laki baju kuning.
Uap hitam menyambar ke arah Nanjar ketika
laki-laki itu hantamkan telapak tangannya. Whuuk!
Serangan mendadak itu cepat dihindarkan Nanjar
dengan melompat bersalto. Diam-diam dia terkejut me-
lihat serangan lawan. Itulah pukulan yang mengan-
dung uap racun. Baru saja dia jejakkan kakinya di ta-
nah kembali uap-uap hitam menerjangnya dengan
gencar. Terpaksa gunakan ilmu lompatan kera untuk
menjauhi lawan. Akan tetapi mau tak mau dia harus
menutup jalan pernafasannya karena bila uap terhen-
dus hidung akan berakibat berbahaya.
"Bagus! ternyata tidak percuma kail bermulut
besar, bocah! Namun jangan harap kau bisa lolos den-
gan keadaan masih bernyawa itu." Kembali dia mener-
jang! Kali ini lebih dahsyat lagi. Bahkan si laki-laki ma-
lah keluarkan senjatanya yang di sembunyikan di balik
jubah.
Whuk! whukk! Sriing!
"Ahh!?" tersentak Nanjar karena lengannya ter-
gores. Benda yang berkilauan warna kuning emas itu
amat menyilaukan mata. Hingga sukar untuk melihat
serangan lawan, di samping dia membawa beban yang
juga harus diselamatkan jiwanya dari gempuran-
gempuran dahsyat itu.
Nanjar melompat mundur. Tampak bahu ki-
rinya mengeluarkan darah, mengoyak bajunya.
Tahulah Nanjar senjata apa yang telah melu-
kainya itu. Ternyata senjata si baju kuning tak lain
adalah sebuah kipas berwarna kuning emas terbuat
dari baja yang amat tipis yang disepuh dengan warna
emas.
"Hehehe... lebih baik kau serahkan saja jiwa-
mu! kau tak akan mampu menghadapi senjataku!" ter-
kekeh si laki-laki baju kuning.
"Iblis Kipas Emas!" sentak Nanjar terkejut. Sa-
darlah Nanjar kalau dia berhadapan dengan seorang
kosen yang pernah didengar namanya.
Mengetahui keadaan yang tidak menguntung-
kan, terpaksa Nanjar gunakan ilmu terbangnya untuk
segera menjauh lawan. "Gadis ini dalam keadaan kera-
cunan, akupun telah terluka. Sebaiknya aku sela-
matkan dulu gadis ini..." berkata Nanjar dalam hati.
Melihat lawannya kabur melarikan diri dengan
ilmu aneh, laki-laki bergelar Iblis Kipas Emas ini terte-
gun sesaat. Akan tetapi segera dia berteriak.
"Kau tak akan luput dari kematian, bocah! wa-
lau ilmumu setinggi langit! Racun kipas maut ku akan
merenggut jiwamu dalam waktu cuma setengah hari...!
hahaha..." Ternyata Iblis Kipas Emas tak mengejar. Dia
balikkan tubuh dan berkelebat lenyap masuk ke dalam
hutan...
Sementara itu Nanjar terus melayang di atas
pepohonan. Sesekali tubuhnya meluncur turun untuk
jejakkan kaki ke puncak pohon. Lalu melayang lagi ba-
gaikan seekor elang. Itulah ilmu terbang Raja Siluman
Bangau yang telah dipergunakan. Dalam waktu tak be-
rapa lama Nanjar telah melintasi dua buah bukit. Dari
udara dia melihat di bawah tebing sebuah pondok ter
pencil. Segera dia meluncur ke sana...!
Begitu kakinya menyentuh tanah, segera dia
turunkan gadis di atas pundaknya. Tampak peluh me-
rembes di sekujur tubuh pemuda ini. Nanjar mulai me-
rasakan pundaknya kesemutan. Cepat-cepat dia meno-
tok di beberapa bagian tubuh di sekitar pundak untuk
mencegah menjalarnya racun. Akan tetapi sedikitnya
racun telah menjalar ke dalam tubuhnya. Tampak dia
beberapa kali terhuyung.
"Celaka! dadaku sesak!" sentak Nanjar terkejut.
Sebenarnya dia tadi dapat melakukan totokan untuk
menutup aliran darah di tubuhnya. Akan tetapi karena
dia dalam keadaan menyelamatkan diri dengan meng-
gunakan ilmu terbangnya, hal itu tak dapat dilakukan.
Nanjar telah duduk bersila dan pejamkan ma-
tanya. Sementara dia segera menghimpun hawa murni
untuk menolak racun. Butiran-butiran keringat men-
galir di dahi pemuda ini. Saat itu si gadis yang tadi di-
baringkan ditanah telah siuman dari pingsannya.
Tampaknya dia amat terkejut melihat seorang laki-laki
duduk bersila tak jauh dari tempat dia menggeletak.
"Dia..dia.... ah, mimpikah aku?" sentak hati da-
ra ini dengan mata membelalak. Siapakah sebenarnya
gadis ini? Dia tak lain dari SRIMALA, murid si Pende-
kar Melati Putih. Bagaimana dia bisa berada di tangan
Nanjar? Marilah kita dengar sejenak kisah yang telah
dialaminya...
Seperti telah diceritakan Srimala diajak oleh Pa-
ti Lanang untuk diperkenalkan pada gurunya. Akan te-
tapi pemuda itu sekali-kali tak terbersit di hatinya un-
tuk membawanya kesana. Bahkan dibenak si pemuda
berkecamuk seribu satu cara untuk melaksanakan
maksudnya. Pati Lanang adalah seorang pemuda yang
pandai berpura-pura. Sikapnya di hadapan Gajah Sora
yang menjadi ayah angkat sekaligus gurunya, baik tu-
tur kata dan perangainya. Setiap perintah tak pernah
dibantah dan dia selalu menjalankan tugas dengan
baik. Akan tetapi segera ketahuanlah belangnya sete-
lah dia keluar dari pesanggrahan Gajah Sakti.
Pati Lanang memang telah di ijinkan oleh Gajah
Sora untuk meninggalkan rumah perguruan, karena
pemuda itu mengatakan maksudnya untuk mencari je-
jak ayah kandungnya, Purbasangka. Sekalian untuk
menambah pengalaman pemuda itu di luar pesanggra-
han. Sebelum berangkat, Gajah Sora memberinya we-
jangan-wejangan yang dapat dijadikan bekal bagi pe-
muda yang masih keponakannya itu. Sebenarnya Ga-
jah Sora agak berat melepaskan Pati Lanang, karena
dia berharap pemuda itu bisa menggantikan dirinya
memimpin perguruan Gajah Sakti.
Meneruskan usahanya yang cukup berpenga-
ruh di wilayah itu. Sedangkan Gajah Sora berniat
mengasingkan diri menghabiskan sisa usianya.
Akan tetapi diapun tak dapat menolak keingi-
nan Pati Lanang yang ingin mencari orang tuanya.
Hingga terpaksa dengan hati berat dia mengabulkan-
nya. Sedikitpun Gajah Sora tak menyangka kalau di
dalam dada pemuda itu tersembunyi keinginan yang
telah dipendam lama. Entah dari mana beritanya, Pati
Lanang telah mengetahui kalau gurunya menyimpan
sebuah kitab ilmu silat bernama "Mega Mendung" yang
disembunyikan orang tua itu. Bahkan sedikitpun dia
tak pernah mempelajari.
Hal itulah yang membuat dia kurang suka ber-
gaul dengan Walet Wungu, karena dia beranggapan
Gajah Sora akan mewariskan kitab pusaka itu pada
Walet Wungu.
Hasrat yang terpendam itulah yang melahirkan
keinginan pemuda itu untuk keluar dari pesanggrahan
Gajah Sakti, walaupun sebenarnya dia tak berhasrat
untuk mencari ayahnya. Ternyata diam-diam Pati La-
nang telah berhubungan dengan seseorang, ketika pe-
muda itu mendapat kesempatan menjalankan tugas
gurunya beberapa bulan yang lalu. Seseorang itulah
yang telah memberitahukan tentang kitab pusaka
Mega Mendung yang berada di tangan Gajah Sora.
Sukar untuk dibayangkan kalau sebenarnya
Pati Lanang telah bergabung dengan si perampok pe-
rempuan penghuni Istana Kuno. Bahkan dengan kepu-
ra-puraannya dia telah menjebak Srimala untuk diba-
wa ke Istana Kuno itu....
"Inikah tempat tinggal gurumu?" tanya Srimala
dengan tertegun. "Benar!" sahut Pati Lanang dengan
tersenyum setelah mereka tiba di satu ruangan.
"Tempat yang aneh, mirip sebuah istana...!" de-
sis Srimala.
"Ya, inilah Istana Kuno!" sahut Pati Lanang
dengan tertawa.
Seorang nenek tua berjubah hitam muncul dari
ruangan dalam. Perempuan tua ini berambut jarang
berwarna putih, panjangnya cuma sebatas pangkal
leher dengan sejumput gelung kecil di atas kepala.
"Guru...! Inilah kawanku....! Dia bernama Sri-
mala! Murid si Pendekar Melati Putih!" berkata Pati
Lanang. Perempuan tua itu hanya menatap sekilas pa-
da gadis itu yang segera menjura. Tapi perempuan itu
seperti tak menggubrisnya. Bahkan dia berkata dengan
nada suaranya yang parau pada. Pati Lanang. "Pati
Lanang! dalam beberapa hari ini kau jangan keluar.
Sewaktu-waktu aku memerlukan tenagamu!"
"Baik, guru..!" sahut Pati Lanang cepat-cepat.
Selesai berkata, nenek tua itu berkelebat keluar ruan
gan. Akan tetapi tanpa setahu Srimala, di telinga pe-
muda telah menyelinap suara si nenek yang membi-
sikkan suara dari jarak jauh.
"Pati Lanang! setelah selesai urusanmu, segera
kau habisi dia. Aku tak ingin ada orang ketiga di Ista-
na Kuno ini. Siapa tahu kedatangannya akan mengun-
dang bencana!" Cara mengirim suara seperti ini kalau
bukan dilakukan oleh orang yang telah mencapai ke-
sempurnaan tenaga dalam tingkat tinggi, amat sukar
dilakukan. Nyatalah kalau perempuan tua renta itu
seorang yang berilmu tinggi yang sukar diukur keting-
gian ilmunya.
"Gurumukah itu?" bisik Srimala, dengan kening
berkerut.
"Ha ha...ya! jangan heran Srimala. Walau demi-
kian dia amat baik!" sahut Pati Lanang. Mendadak, ya!
mendadak sekali tiba-tiba lengan pemuda itu telah
bergerak menotok tubuh Srimala. Tentu saja hal itu di
luar dugaan gadis itu. Dengan perdengarkan keluhan
dia roboh terkulai.
Akan tetapi dengan cepat Pati Lanang telah
menangkap dan memondongnya. Kemudian dibawanya
masuk ke dalam sebuah kamar.
Dibaringkannya tubuh sang dara di atas pem-
baringan. "Haha... Srimala. Sayang sekali aku tak da-
pat mengulur waktu. Selesai aku melampiaskan hajat
ku terpaksa aku harus membunuhmu." berkata Pati
Lanang dalam hati.
Sementara sepasang mata berbinar-binar me-
mandang keelokan paras dan tubuh Srimala. Sepasang
lengan pemuda itu segera meluncur untuk membuka
pakaian gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dara itu mem-
buka matanya. "Jahanam keparat.'" bentakan itu dis-
usul dengan menghantamnya lengan si gadis ke arah
dada Pati Lanang. Tentu saja membuat dia terkejut
dan tak menyangka sama sekali. Akan tetapi masih
sempat dia menghindar menangkis dengan kedua len-
gannya. Tapi tak urung sambaran pukulan itu sempat
juga menghantam dadanya.
Plak!
Pati Lanang terlempar bergulingan. Namun
dengan cepat dia bangkit lagi. Pemuda ini menyeringai
kesakitan. Terasa olehnya pergelangan tangannya ter-
lepas sambungan tulangnya dan dadanya terasa nyeri.
Dan setetes darah segar mengalir dari bibirnya. Bagai
disengat kala dia telah melompat berdiri. Serasa tak
percaya dia pada penglihatannya. Bukankah gadis itu
telah di totoknya? Apakah dalam beberapa kejap saja
Srimala telah berhasil membuka kembali totokan pada
tubuhnya? pikir Pati Lanang.
Namun dia tak dapat berpikir lebih jauh, kare-
na gadis itu telah melompat dari pembaringan seraya
membentak.
"Manusia terkutuk! sudah kuduga kau bukan
manusia baik-baik! Kau kira semudah itu kau mempe-
cundangi ku?" Srimala bertindak cepat. Lengannya
menghantam jendela yang segera menjeblak terbuka.
Akan tetapi baru saja dia mau melompat keluar gadis
ini merasa ada sambaran angin dibelakangnya diiringi
bentakan Pati Lanang.
"Kau tak dapat pergi dari tempat ini, gadis can-
tik!"
Dengan sigap Srimala gerakkan lengannya
menghantam benda yang meluncur itu. Akan tetapi ti-
ba-tiba..... Bhuss! Benda itu justru meledak mengelua-
rkan asap berwarna kuning. "Celaka...! asap beracun!"
sentak Srimala. Namun terlambat. Hidungnya telah
mengendus bau asap itu. Sebisa-bisa dia menutup jalan pernafasannya, akan tetapi mendadak kepalanya
dirasakan menjadi berat, dan matanya berkunang-
kunang. Robohlah dara ini dan selanjutnya dia sudah
tak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi sebelum Pati La-
nang menyangganya sesosok bayangan telah berkele-
bat cepat sekali menyambar tubuh dara itu dan mela-
rikannya.
"Setan! siapa kau?" bentak Pati Lanang seraya
melompat mengejar. Akan tetapi jawabannya adalah
sambaran angin keras yang membuat dia terpaksa ha-
rus menyingkir menyelamatkan diri. Brak! pukulan te-
naga dalam orang itu menghantam tempat kosong.
Terkejut Pati Lanang karena melihat tanah bekas han-
taman pukulan itu telah berlubang. Terpaksa dia ta-
han langkahnya karena berpikir lawan bukanlah orang
yang dianggap enteng. Apa lagi dia dalam keadaan ter-
luka. "Heh! benar kata guru! perempuan itu bisa mem-
bawa bencana...!" berkata Pati Lanang dalam hati. Pe-
muda ini segera kembali masuk ke dalam Istana Kuno
untuk mengobati lukanya.
Siapa adanya orang yang telah menyelamatkan
Srimala? Ternyata tiada lain dari Nanjar! Pemuda itu
memang telah menguntit ketika Srimala dan Pati La-
nang pergi ke tempat itu. Bahkan dengan diam-diam
dia telah mendengar pembicaraan keduanya. Nanjar
telah mengetahui siapa adanya pemuda bernama Pati
Lanang itu, yang dijumpainya beberapa bulan yang la-
lu baru saja habis memperkosa seorang gadis. Diam-
diam dia menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu.
Dari seorang perempuan nakal yang menjadi langga-
nannya, dia mengetahui kalau pemuda itu bernama
Pati Lanang, murid Gajah Sora si Pendekar Gajah Len-
gan Tunggal, ketua perguruan Gajah Sakti.
Tadinya Nanjar cuma berniat mengembalikan
lan pernafasannya, akan tetapi mendadak kepalanya
dirasakan menjadi berat, dan matanya berkunang-
kunang. Robohlah dara ini dan selanjutnya dia sudah
tak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi sebelum Pati La-
nang menyangganya sesosok bayangan telah berkele-
bat cepat sekali menyambar tubuh dara itu dan mela-
rikannya.
"Setan! siapa kau?" bentak Pati Lanang seraya
melompat mengejar. Akan tetapi jawabannya adalah
sambaran angin keras yang membuat dia terpaksa ha-
rus menyingkir menyelamatkan diri. Brak! pukulan te-
naga dalam orang itu menghantam tempat kosong.
Terkejut Pati Lanang karena melihat tanah bekas han-
taman pukulan itu telah berlubang. Terpaksa dia ta-
han langkahnya karena berpikir lawan bukanlah orang
yang dianggap enteng. Apa lagi dia dalam keadaan ter-
luka. "Heh! benar kata guru! perempuan itu bisa mem-
bawa bencana...!" berkata Pati Lanang dalam hati. Pe-
muda ini segera kembali masuk ke dalam Istana Kuno
untuk mengobati lukanya.
Siapa adanya orang yang telah menyelamatkan
Srimala? Ternyata tiada lain dari Nanjar! Pemuda itu
memang telah menguntit ketika Srimala dan Pati La-
nang pergi ke tempat itu. Bahkan dengan diam-diam
dia telah mendengar pembicaraan keduanya. Nanjar
telah mengetahui siapa adanya pemuda bernama Pati
Lanang itu, yang dijumpainya beberapa bulan yang la-
lu baru saja habis memperkosa seorang gadis. Diam-
diam dia menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu.
Dari seorang perempuan nakal yang menjadi langga-
nannya, dia mengetahui kalau pemuda itu bernama
Pati Lanang, murid Gajah Sora si Pendekar Gajah Len-
gan Tunggal, ketua perguruan Gajah Sakti.
Tadinya Nanjar cuma berniat mengembalikan
selendang sutera Srimala. Bagi Nanjar memang tak ter-
lalu sulit untuk mengetahui jejak si gadis yang melari-
kan diri setelah dia melepaskan senjata selendang su-
teranya. Terkejut Nanjar melihat kemunculan Pati La-
nang dari balik gerombolan semak belukar. Diam-diam
dia mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.
Rasa ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu
membuat Nanjar terus menguntit, ketika keduanya
meninggalkan tempat itu....
Benar saja! Pati Lanang tidak membawa Srima-
la ke pesanggrahan Gajah Sakti. Melainkan ke suatu
tempat di dalam hutan. Semakin tercekat hati Nanjar,
ketika dia melihat di tengah hutan itu terdapat sebuah
reruntuhan istana tua. Untunglah dia berlaku hati-hati
dan bergerak tanpa menimbulkan suara, hingga ketika
dia tengah mencari akal untuk memasuki istana tua
itu tak kepergok dengan si nenek penghuni Istana Ku-
no yang baru saja keluar dari dalam ruang pendopo.
Perempuan tua itu tampaknya kurang waspada den-
gan keadaan sekitarnya. Setelah mengirim suara jarak
jauh pada Pati Lanang, dia segera berkelebat lenyap
keluar dari hutan itu...
Nanjar hembuskan nafasnya setelah sejak tadi
dia menahan napas ketika nenek tua itu muncul.
"Heh! untung dia tak melihatku! Bagus! Aku dapat
memeriksa isi Istana tua ini sekalian melihat apa yang
akan dilakukan pemuda hidung belang itu terhadap
Srimala..." kata Nanjar dalam hati.
Demikianlah, hingga ketika Srimala nyaris ter-
jatuh lagi dalam cengkeraman Pati Lanang, si Dewa
Linglung telah bertindak cepat menyelamatkannya.
Nanjar tadinya berniat memeriksa Istana Kuno itu jadi
urungkan niatnya, karena dia harus menyelamatkan si
gadis. Di tengah perjalanan dia telah menjejalkan sebutir pel penolak racun di mulut si gadis. Untunglah
dia masih bisa menyelamatkan diri dari kepungan
pembegal-pembegal nyawa dan si Iblis Kipas Emas.
DELAPAN
Srimala merasa mulutnya terkancing melihat
kenyataan yang terpampang dihadapannya. Pemuda
yang telah merebut selendang sutera itu dalam kea-
daan terluka di bagian pundak, yang tampak menga-
lirkan darah berwarna kehitaman. Tahulah dia kalau si
pemuda bertampang dungu itu terkena racun! Akan
tetapi bukankah dirinya sendiri telah terkena asap
mengandung racun yang terendus hidung akibat di-
perdayai Pati Lanang? Tampaknya pengaruh racun itu
telah lenyap. Buktinya dia tak merasakan apa-apa lagi.
Jelaslah kalau pemuda itu yang telah menolong
dirinya.
Tak selang berapa lama Nanjar telah berhasil
pulih dari pengaruh racun di tubuhnya. Pelahan-lahan
dia membuka matanya. Yang tampak adalah sosok tu-
buh Srimala yang juga tengah menatapnya.
"Ah, kau sudah sadar, nona Srimala?" berkata
Nanjar, dengan tersenyum. Lalu melompat berdiri.
"Kaukah yang telah menolong diriku?" tanya gadis itu.
"Benar! bagaimana keadaanmu?" tanya Nanjar
seraya menghampiri.
"Sudah baikan..." menyahut dia. "Apakah kau
terluka oleh si Pati Lanang Pemuda keparat itu?" Nan-
jar menggeleng. "Orang lain yang telah mencelakakan
ku!" sahut si Dewa Linglung, seraya ceritakan secara
singkat pertarungan dengan si Iblis Kipas Emas dan
orang-orangnya.
"Ah, sungguh aku malu hati pada diri sendiri,
karena kebodohan ku nyaris saja aku jadi korban pe-
muda celaka itu! Entah cara bagaimana aku bisa
membalas budimu..." berkata Srimala dengan menun-
duk.
"Hahaha... jangan kau berkata begitu, nona!
Sebenarnya aku secara tak sengaja telah berhasil me-
nyelamatkan dirimu. Tujuanku adalah mau mengem-
balikan benda milikmu ini!" Nanjar masukkan lengan-
nya ke balik baju. Lalu keluarkan selendang sutera hi-
tam dalam kepala tangannya.
"Ini... terimalah! Dan maafkan kalau sikapku
membuat kau marah!"
Srimala menerima selendang suteranya dengan
tersipu. Entah bagaimana perasaan gadis itu setelah
mendapatkan kembali senjata itu sukar dilukiskan.
Gembira bercampur malu serta rasa menyesal
bercampur aduk menjadi satu.
"Ini pondok siapakah?" tanyanya tiba-tiba. Se-
jak tadi dia terheran karena di tempat itu ada sebuah
pondok.
"Entahlah! aku sendiri belum memasukinya
dan baru beberapa lama tiba disini!" sahut si Dewa
Linglung. "Baik akan kuperiksa!" Sekali melompat Nan-
jar telah tiba di depan pintu pondok. Telinganya dipa-
sang kalau-kalau dia dapat mendengar ada suara dari
dalam. Akan tetapi tak ada apa-apa. Melihat sarang la-
ba-laba yang banyak melekat disudut pintu tahulah
Nanjar kalau pondok itu kosong. Nanjar mendorong
daun pintu yang mengeluarkan bunyi berderit. Lalu
melangkah ke dalam, Ternyata rumah itu benar-benar
tak berpenghuni. Srimala menyusul masuk ke dalam
rumah itu.
"Tak ada penghuninya?" tanya si gadis.
"Ya! sebuah rumah kosong!" sahut Nanjar. "Ku-
lihat hari hampir gelap. Tempat ini bisa dipergunakan
untuk bermalam...! Oh, ya kemanakah tujuanmu, no-
na...?" Srimala yang sering mendengar pemuda itu
menyebutnya nona menjadi kurang enak hati. "Nama-
ku Srimala! sebut saja namaku...!" katanya.
"Oh, ya! ng... Srimala! apakah kau punya tu-
juan untuk bermalam di tempat ini?"
"Aku akan menginap malam ini disini!" menya-
hut si gadis.
"Hehe... kau tak takut atau curiga terhadapku?"
tanya Nanjar dengan tersenyum. "Aku percaya kau bu-
kan manusia macam si Pati Lanang!" menyahut Srima-
la. Nanjar cuma tersenyum seraya melangkah meng-
hampiri jendela. Dan membukanya lebar-lebar. Semilir
angin meniup masuk menyegarkan udara yang agak
berbau pengap. "Sukurlah kalau kau tak mencurigai-
ku!" kata Nanjar.
"Tahukah kau siapa si Pati Lanang itu?" ta-
nyanya. Srimala menggeleng.
"Aku baru beberapa saat mengenalnya. Sikap-
nya yang ramah itu membuat aku mempercayai kata-
katanya. Tak tahunya dia manusia berakhlak bejat!"
"Hm, dialah murid si Pendekar Gajah Lengan
Tunggal, Gajah Seta! Manusia itu memang seorang
pemuda hidung belang yang baru ketahuan belangnya!
Sungguh tak kusangka murid seorang pendekar yang
cukup punya wibawa mempunyai akhlak sedemikian
buruk!" berkata Nanjar.
Srimala tercekat hatinya karena pemuda itu
mengetahui perihal Pati Lanang.
"Apakah perempuan tua di istana kuno itu bu-
kan gurunya?" tanyanya dengan terheran. "Hm, itulah
yang aku tak habis pikir! Menurut keterangan yang
kudengar dia murid Gajah Sora si ketua perguruan
Gajah Sakti, akan tetapi dia mengakui nenek penghuni
Istana Kuno itulah gurunya! Aku memang tengah me-
nyelidiki siapa adanya perampok perempuan yang te-
lah membunuh hartawan tua itu. Dugaanku si nenek
itulah orangnya!"
"Ah, ya! kukira dialah orangnya!" tukas Srima-
la. "Bagaimana rencanamu selanjutnya?" tiba-tiba
Srimala ajukan pertanyaan.
"Aku akan kembali ke Istana tua itu besok! Aku
harus mengetahui siapa sebenarnya nenek penghuni
istana kuno itu. Dan ada rahasia apa di dalam istana
kuno itu!" Srimala mengangguk-angguk. "Aku akan
menemanimu ke Istana Kuno itu!" Nanjar tersenyum
memandang si gadis.
"Kau tidak khawatir tertawan si Pati Lanang?"
"Hm, justru aku akan menghajarnya karena dia
telah berani berbuat kurang ajar terhadapku!" sahut
Srimala dengan mata membinar-binar. Nanjar tertawa
lalu berkata. "Perutku mendadak lapar. Kau buatlah
api unggun di halaman rumah ini, aku akan mencari
makanan! Kau juga tentunya lapar. Nah, aku berang-
kat!" Selesai berkata Nanjar berkelebat melompat ke-
luar dari jendela, dan lenyap dibalik rumah.
Ketika malam menjelang tiba kedua pemuda
dan pemudi ini tampak telah duduk bercakap-cakap
menghadap api unggun. Sebentar-sebentar lengan
Nanjar bergerak membalik-balik daging kelinci yang di-
tangkapnya. Dalam percakapan itu Srimala mencerita-
kan riwayat hidupnya. Demikian juga Nanjar yang se-
gera tuturkan pengalamannya.
Terkejutlah Srimala mengetahui pemuda ini
adalah si Pendekar Naga Merah yang lebih dikenal
dengan julukan si Dewa Linglung.
Sampai lama dia terpukau karena tak me-
nyangka sama sekali. Srimala telah mendengar dari
gurunya mengenai pendekar aneh yang namanya telah
muncul menggegerkan Rimba Hijau sejak sang guru si
Pendekar Melati Putih mengundurkan diri dan mengu-
cilkan dirinya di puncak gunung Betiri. Tentu saja hal
itu membuat Srimala bergirang hati. Karena dengan
berjumpanya dia dengan pendekar muda, gagah dan
bertampang tolol namun berilmu tinggi itu, dia tak per-
lu merasa khawatir...
SEMBILAN
GAJAH SORA menerjang beringas dengan kiba-
san ujung lengah jubahnya. Sambaran ini membuat
tubuh si nenek penghuni Istana Kuno tergontai-gontai.
Tapi hal itu tak membuat perempuan tua berjubah hi-
tam itu berhenti terkekeh. "Hihik...hik... ternyata ilmu
Menggempur Jagat mu masih baik, Gajah Sora! Akan
tetapi permainan kuno itu sudah lapuk untuk diper-
tunjukkan di depan mataku!" berkata si nenek dianta-
ra suara tertawanya.
"Iblis perempuan! Suaramu seperti kukenal!
bukalah cadar penutup mukamu!" bentak Gajah Sora.
Dia terkejut karena perempuan bertopeng itu menge-
nali jurus yang dipergunakan, juga suaranya yang se-
perti dikenali.
"Hik...hik...hik... baiklah! Buka matamu lebar-
lebar agar kau dapat melihat jelas siapa aku!" berkata
si perempuan bertopeng ini. Lengannya segera meraba
topeng hitam di wajahnya. Ketika topeng penutup mu
ka itu disentakkan, Gajah Sora terperangah kaget.
"Hak!? Kau... kau RUMPINI?" teriak Gajah Sora
dengan mata membeliak.
"Bagus! mata tuamu masih awas! Kalau kau in-
gin tahu lagi, akulah yang bergelar si Hantu Pencabut
Nyawa! Nah! bersiaplah kau untuk menerima kema-
tian!"
"Tunggu!" teriak Gajah Sora dengan napas te-
rengah.
"Heh! apa lagi? diantara kita sudah tak ada hu-
bungan apa-apa! Masih ingatkah kau ketika kau men-
gusirku seperti seekor anjing pada delapan belas tahun
yang silam? Sejak itu sebutan suami istri diantara kita
sudah putus. Dan aku berhak untuk berbuat apa yang
kuinginkan!" berkata perempuan tua bergelar hantu
Pencabut Nyawa ini.
"Tapi itu karena kesalahanmu sendiri, Rumpi-
ni...! Siapa yang tak sakit hati kalau istrinya main se-
rong dengan laki-laki lain?" bentak Gajah Sora dengan
napas memburu. Dia sungguh tak menyangka; kalau
perempuan perampok itu adalah bekas isterinya sendi-
ri yang tak ada beritanya selama delapan belas tahun
ini. "Lagi ada satu hal yang akan aku tanyakan pada-
mu!" sambung laki-laki tua ini.
"Bertanyalah, selagi kau masih bisa bernapas!"
sahut Rumpini. Sesaat Gajah Sora menelan ludah se-
belum bicara.
"Apa maksud tujuanmu dengan semua ini?
Mengapa kau mengadu domba kami, orang-orang per-
guruan Gajah Sakti dengan pihak Cecak Terbang?"
"Hihik...hik... hal itu memang sudah kami ren-
canakan! si Cecak Terbang Lawe Wereng telah berga-
bung denganku. Tujuan kami tentu saja mendirikan
sebuah partai besar yang menguasai wilayah utara ini!
Dengan adanya perguruan Gajah Sakti yang cukup
punya nama baik di wilayah ini, jelas telah mendesak
perguruan Cecak Terbang untuk gulung tikar! Aku
memang punya andil dalam urusan ini, karena... si
Cecak Terbang Lawe Wereng adalah suamiku!"
Kalau ada geledek menyambar saat itu tidaklah
membuat Gajah Sora seterkejut ini. Membelalak mata
Gajah Sora mendengar kata-kata perempuan tua diha-
dapannya itu. Seketika dia berpaling pada Lawe We-
reng yang sejak tadi cuma berdiri saja. "Ja-
di...jadi...kau...???" bentak Gajah Sora dengan suara
parau.
"Hehehe... apa yang dikatakannya tidak salah,
sobat Gajah!" berkata Lawe Wereng dengan tersenyum
dan sikap tenang.
"Keparat! Apa artinya pengangkatan saudara ki-
ta?" teriak Gajah Sora menggembor marah. "Sudah
kuduga sejak semula, kau memang berniat busuk!
Ternyata dugaanku benar!" Seraya melompat ke hada-
pan laki-laki kurus itu Gajah Sora berteriak keras.
"Kubunuh kau binatang!!" Akan tetapi pada detik itu
serangkum angin dahsyat telah mendahului menghan-
tam ke arah punggung laki-laki tua ini. Dalam keadaan
murka kewaspadaan Gajah Sora lenyap. Terdengarlah
suara jeritan parau si Pendekar Gajah Lengan Tunggal.
Tubuhnya terlempar bergulingan. Bajunya di
bagian punggung tampak hangus.
Namun Gajah Sora cepat bangkit lagi. Tampak
wajahnya menyeringai menahan sakit. "Bedebah! ka-
lian manusia-manusia iblis yang tidak tahu aturan!"
membentak Gajah Sora. Kedua pipi laki-laki tua ini
menggembung. Sebelah lengannya menyilang di dada
dengan telapak tangan tegak lurus. Gajah Sora segera
menghimpun hawa murni untuk menahan rasa sakit
akibat gempuran itu. Dan siap mengeluarkan jurus-
jurus simpanannya untuk menghadapi lawan.
"Hihik.hik... masih adakah yang akan kau ta-
nyakan, pendekar Gajah?"
"Perempuan laknat! Iblis apakah yang telah me-
rubah dirimu sebusuk itu? Aku memang masih ada
pertanyaan satu lagi!" berkata Gajah Sora yang masih
bisa menahan diri.
"Hihik... katakanlah!" terkekeh Rumpini si Han-
tu Pencabut Nyawa. Gajah Sora menatap geram. Ingin
rasanya saat itu juga dia merobek-robek tubuh bekas
isterinya itu. "Kau telah menawan muridku Pati La-
nang dan mencuri kitab pusaka Mega Mendung dari
kamarku, apakah maksudmu?"
"Hm, kau dapat menanyakan sendiri pada bo-
cah itu!" sahut si nenek seraya bertepuk tangan dua
kali. Detik itu juga dari dalam bangunan kuno melom-
pat keluar sosok tubuh. Mendelik mata Gajah Sora me-
lihat pemuda itu dalam keadaan tenang-tenang saja.
Bahkan di tawanpun tidak. Hampir-hampir saja Gajah
Sora tak mempercayai penglihatannya.
"Pati Lanang! apa artinya semua ini?" teriak Ga-
jah Sora menggembor. Sebelum menjawab pertanyaan
itu Pati Lanang menatap pada si Hantu Pencabut Nya-
wa. "Guru! bolehkah aku mengatakannya?"
"Ya! katakanlah!" sahut iblis perempuan ini.
Semakin lebar mata Gajah Sora mendelik mendengar
murid juga keponakannya itu menyebut guru pada si
perempuan tua itu. Akan tetapi Pati lanang sudah ber-
kata.
"Gajah Sora! setelah aku menjadi muridnya,
tentu kau dapat menerka apa maksud dicurinya kitab
pusaka Mega Mendung itu? Haha... baiklah aku akan
menjawab agar lebih jelas bagimu! Akulah calon pewa
ris kitab pusaka itu!" Bagai dihantam palu godam tera-
sa hampir meledak dada Gajah Sora mendengar kata-
kata muridnya. "Keparat! jadi kau telah lupakan jasa-
ku merawat dan mendidikmu selama ini? Kau berse-
kongkol dengan perempuan tak tahu adat yang justru
patut menjadi musuhmu?" bentak Gajah Sora. Darah-
nya seketika mendidih karena gusarnya.
"Heh! siapapun akan iri hati kalau dirinya dibe-
dakan!" berkata Pati Lanang. "Dibedakan? Aku tak
pernah membedakan kau dengan Walet Wungu!
"Dari mana kau bisa mengetahui aku membe-
dakan kau?" berkata Gajah Sora dengan suara terte-
kan.
"Hm, kelihatannya memang begitu. Tapi dengan
kau tak memberikan aku kesempatan mempelajari ki-
tab pusaka Mega Mendung itu adalah suatu bukti
bahwa aku dianak tirikan! Kau pasti hanya akan me-
wariskannya pada Walet Wungu!" sahut Pati Lanang.
Gajah Sora menghela napas, lalu katanya den-
gan suara berubah datar.
"Kau telah salah menduga, Pati Lanang! Sekali-
kali aku tak berniat demikian! Kitab pusaka Mega
Mendung itu, berisi ilmu yang menjurus ke arah ilmu
sesat! Tadinya aku berniat memusnahkan..."
"Akan tetapi kau masih berniat untuk mempe-
lajari, hingga kau tetap menyimpannya! Hihik... aku
memang telah sejak lama mencari-cari kitab pusaka
itu. Tak tahunya berada di tanganmu!" menimpa si
Hantu Pencabut Nyawa.
"Dari mana kau mengetahui aku memiliki buku
pusaka itu?" Gajah Sora kerutkan keningnya menatap
perempuan tua berjubah hitam itu.
"Hihik...hik.. kau kenal baik dengan Bahugoro
si Dedemit Segara Kidul? Manusia yang telah bersusah
payah mendapatkan kitab itu dan kau buat dia cacad
seumur hidup itulah yang memberitahukannya!" ber-
kata Rumpini.
"Hah!? dimanakah iblis telengas itu?" sentak
Gajah Sora terkejut.
"Dia kini berada di Blambangan. Menetap di
rumah kediaman Raden WIRAKRAMA!" sahut si Hantu
Pencabut Nyawa. Kata-kata ini diputus oleh suara ter-
tawa terkekeh perempuan tua ini yang merasa sudah
cukup lama mengulur waktu. "Hihik...hik.. cukuplah,
Gajah Sora! Saat kematianmu telah tiba!" Begitu habis
suara kata-katanya, tubuh perempuan tua ini berkele-
bat. Sepasang lengannya menghantam dengan puku-
lan ganas. Akan tetapi Gajah Sora telah memper-
siapkan diri untuk menghadapi wanita tua itu. Hanta-
man yang bisa membobolkan bukit itu berhasil dielak-
kan.
"Perempuan durjana! sungguh menyesal aku
tak membunuhmu!" memaki Gajah Sora.
"Tutup mulutmu yang tak ada gunanya itu!"
bentak Rumpini.
Kembali dia menerjang ganas. Sepuluh jari-
jarinya terkembang mengarah ke batok kepala dan da-
da lawannya. Gerakan ini luar biasa cepatnya. Itulah
jurus "Cakar Hantu". Sekali terkena sasaran, batok
kepala korban akan hancur kena cengkeraman dan tu-
lang dada ambrol. Jangankan mengenai sasaran, ter-
kena goresan kuku tangannya yang mengandung ra-
cun itu saja sudah dapat merenggut jiwa sang korban.
Akan tetapi Gajah Sora bukanlah seorang yang begitu
mudah untuk dirobohkan. Selain sudah cukup makan
asam garam persilatan, dia juga memiliki ilmu yang
tak dapat dipandang enteng.
Dengan membentak keras dia kibaskan jubah
nya diiringi tendangan kilat ke arah lambung.
Terpaksa Hantu Pencabut Nyawa tarik kembali
serangannya untuk segera menghindari terjangan la-
wan. Agaknya Rumpini tak mau berlama-lama untuk
menghabisi lawannya. Segera dia melompat agak men-
jauh. Tampak bibir perempuan tua ini komat-kamit
seperti membaca mantera. Mendadak sebelah lengan-
nya terangkat ke arah Gajah Sora diiringi bentakan ke-
ras.
Segumpal uap biru meluncur ke arah Gajah So-
ra. Whuut! Laki-laki tua ini kebutkan lengan jubahnya
yang dibarengi tenaga dalam dahsyat. Uap biru itu
buyar. Hal itulah yang diinginkan si hantu Pencabut
Nyawa. Detik itu tubuhnya melambung ke atas mele-
wati kepala Gajah Sora.
"Hihik... hik.. lihatlah sekelilingmu, Gajah Sora!
Hantu-hantu pencabut nyawa siap merenggut jiwamu!"
Apa yang terjadi kemudian? Tebaran uap biru
itu mendadak berubah menjadi makhluk-makhluk
menyeramkan yang banyaknya berpuluh-puluh.
"Ilmu sihir!?" desis Gajah Sora terkejut. Dengan
membentak keras laki-laki ini hantamkan pukulan-
pukulan ke sekelilingnya. Akan tetapi hantu-hantu itu
bergemingpun tidak. Bahkan mereka telah meluruk
maju untuk mencengkeramkan lengan-lengannya ke
arah Gajah Sora. Sret! Pendekar tua ini cabut keluar
senjata keris Wesi Kuning dari balik bajunya. Benda
ini agaknya punya pengaruh luar biasa. Buktinya
makhluk-makhluk itu buyar ketika dia kibaskan ke
arah mereka. Kali ini Gajah Sora tak membuang waktu
untuk segera menerjangkan senjata pusaka ditangan-
nya. Makhluk-makhluk itu lenyap!
Menggeram gusar Rumpini. Tiba-tiba dia lem-
parkan sesuatu ke arah Gajah Sora. "Terimalah ini!"
bentaknya. Benda hitam itu dihantam dengan gempu-
ran telapak tangannya. Akan tetapi detik itu terjadilah
ledakan keras. Asap hijau menyembur keluar. Gajah
Sora terpekik kaget. Asap itu telah membuat matanya
menjadi pedih. Dengan terhuyung-huyung dia menu-
tupi mukanya.
"Hihik...hik... rasakan Gajah Sora! Itulah asap
pembuta mata! Kau telah terkena asap itu. Matamu
akan menjadi buta seumur hidup!" mengekeh tertawa
si Hantu Pencabut Nyawa.
"Isteriku! biarlah aku yang menghabiskannya!"
berkata Lawe Wereng. Dia sudah mau melompat untuk
menerjang. Akan tetapi Rumpini mengangkat tangan-
nya. "Biarkan dia menderita seperti itu, suamiku! Me-
nyingkirlah kau!"
Lawe Wereng segera mengetahui bahayanya
asap pembuta mata itu. Segera dia menyingkir pergi.
Keadaan Gajah Sora tampak mengenaskan. Dia benar-
benar tak dapat melihat apa-apa lagi. Pandangan ma-
tanya menjadi gelap pekat. "Kurang ajar! kau.. kau be-
nar-benar manusia terkutuk, Rumpini!" teriak laki-laki
ini. Diiringi gemboran keras yang mengguntur pende-
kar berlengan tunggal ini menerjang sejadi-jadinya.
Tak peduli lagi dia ke arah mana serangannya. Pepo-
honan dan semak belukar serta batu-batu berhambu-
ran di sekitarnya akibat terjangan itu.
Pada saat itulah terdengar teriakan nyaring his-
teris dari arah belakang. "Ayaah...!" Sesosok tubuh te-
lah berkelebat muncul diiringi sosok tubuh lain dibela-
kangnya.
"Walet Wungu...? kau..." sentak Gajah Sora ter-
kejut girang.
"Ayah! apa yang terjadi?" membelalak mata ga-
dis ini melihat keadaan ayah angkatnya. Dara ini memang tak lain dari Walet Wungu dan Jalapaksi yang
telah menyusul dan tiba di istana kuno.
"Iblis perempuan itu telah membutakan mata-
ku! Mereka... mereka semua adalah manusia-manusia
terkutuk! termasuk Pati Lanang dan Lawe Wereng si
Cecak Terbang!" desis Gajah Sora.
"Pati Lanang dan Lawe Wereng?" sentak Walet
Wungu terkejut.
"Benar! mereka telah bergabung dengan iblis
perempuan itu!" sahut Gajah Sora. Laki-laki tua ini
mengusap matanya yang berair. Menggebulah kemara-
han di dada gadis ini. Akan tetapi Gajah Sora kembali
berkata.
"Hati-hati dengan benda-benda yang dilempar-
kan iblis perempuan itu. Dia memiliki ilmu sihir. Kau
gunakanlah keris Wesi Kuning ini untuk menghadapi
ilmu sihirnya!"
"Baik, ayah!" sahut Walet Wungu seraya mene-
rima keris pusaka itu dari tangan gurunya. "Eh, den-
gan siapa kau datang?" tiba-tiba Gajah Sora miringkan
kepalanya. "Dia Jalapaksi, murid si Cecak Terbang!"
sahut Walet Wungu.
"Ahh...!?" terkejut si Pendekar Gajah. Sebelum
Gajah Sora berkata lagi Jalapaksi yang telah menden-
gar semua percakapan itu cepat-cepat buka suara.
"Demi kebenaran, aku Jalapaksi tak akan berpihak
pada mereka! Tenangkanlah hatimu, paman Gajah!"
SEPULUH
"Akupun berada di pihakmu, sobat Gajah Sora!"
sebuah suara terdengar di belakang mereka. Serentak
mereka menoleh ke belakang.
"Siapa kau?" tanya pendekar tua ini dengan mi-
ringkan kepalanya.
"Raden WIRAKRAMA...!" Walet Wungu menda-
hului berkata. Gadis ini berseru girang melihat siapa
yang telah berada diantara mereka.
"Benar! aku telah mengetahui semua ini! Keda-
tanganku adalah untuk mengambil kembali kitab pu-
saka Mega Mendung dari tangan iblis perempuan itu!"
berkata laki-laki panglima Kerajaan ini. "Benda itu ha-
rus dimusnahkan!"
"Ahh... sukurlah! kedatanganmu amat kuha-
rapkan sekali, Raden!" kata Gajah Sora dengan wajah
girang.
"Bahugora si Dedemit Segara Kidul memang be-
rada di tempat kediamanku. Akan tetapi dia telah sa-
dar dari kesesatannya. Dialah yang telah memberita-
hukan kitab pusaka Mega Mendung itu berada di tan-
ganmu! Kitab itu tak boleh jatuh ke tangan siapapun,
dan harus segera dimusnahkan. Bahugora yang telah
menjadi guruku yakin kalau kau tak akan mempelajari
isi kitab itu. Sayang kedatanganku terlambat! Kitab
Sesat itu telah jatuh ke tangan manusia iblis itu..."
ujar Raden Wirakrama. Ternyata orang yang diam-
diam membuntuti Walet Wungu dan Jalapaksi itu ada-
lah Raden Wirakrama. Kemunculannya di pesanggra-
han Gajah Sakti telah keduluan oleh si Hantu penca-
but Nyawa yang membawa lari kitab Pusaka Mega
Mendung.
Pada saat itu si Hantu Pencabut Nyawa telah
perdengarkan suara tertawa mengekeh. Walau diam-
diam hatinya terkejut melihat kemunculan Raden Wi-
rakrama. Tentu saja sebagai seorang tokoh berilmu
tinggi dia dapat menangkap pembicaraan mereka. Ta
hulah Rumpini kalau panglima Kerajaan itu berpihak
pada si Pendekar Gajah dan kedatangannya untuk me-
rebut kembali kitab pusaka Mega Mendung dari tan-
gannya.
"Hi hik...hik... bagus! kalian telah datang untuk
mengantarkan nyawa! Jangan mimpi di siang hari un-
tuk merampas kitab pusaka itu dari tanganku!" berka-
ta si Hantu Pencabut Nyawa.
"Perempuan iblis! rencana busukmu telah ter-
cium! Cita-cita mu tak akan menjadi kenyataan!"
membentak Wirakrama. Diiringi Walet Wungu dan Ja-
lapaksi Panglima Kerajaan ini melompat ke arah Rum-
pini. Melihat demikian si Cecak Terbang Lawe Wereng
dan Pati Lanang segera maju menyongsong.
"Jalapaksi! apakah kau mau menentang guru-
mu?" bentak Lawe Wereng menatap pada Jalapaksi.
Pemuda ini perlihatkan senyum sinis, dan cabut ke-
luar senjatanya. "Hei?! terpaksa! Saat ini aku tak men-
ganggapmu sebagai guruku lagi! Demi kebenaran ter-
paksa aku harus menumpas mu!" berkata Jalapaksi
dengan tegas. Berubahlah air muka Lawe Wereng.
"Bagus! Jangan menyesal kalau terpaksa aku
harus melenyapkan kau!" bentaknya. Tanpa menunggu
lebih lama laki-laki kurus ini langsung menerjang ke
arah pemuda itu. Dengan pedangnya Jalapaksi siap
menghadapi gurunya.
Terjadilah pertarungan seru antara guru mela-
wan murid. Sementara, itu Walet Wungu dengan ke-
marahan tak terbendung segera menerjang Pati La-
nang yang telah mencabut sepasang pedang pendek
senjatanya.
"Iblis perempuan! Akulah lawanmu!" bentak
Raden Wirakrama.
"Bagus! hihik...hik.. silahkan maju panglima
muda!"
Tanpa ayal lagi Raden Wirakrama segera men-
cabut keluar dua buah senjata. Sebuah tombak ber-
mata tiga dan sebuah kelewang yang membersitkan si-
nar putih.
"Heh! pedang Mutiara Putih!" mendesis perem-
puan tua ini. "Bagus! ingin ku menjajal kehebatan pe-
dang pusaka mu itu!" Dan dengan diiringi bentakan
keras si Hantu Pencabut Nyawa mendahului mener-
jang. Segera saja terjadilah pertarungan hebat. Samba-
ran-sambaran pedang dan tombak mata tiga panglima
muda itu menderu-deru mematahkan serangan lawan.
Sementara itu dengan hantamkan telapak tan-
gannya si Cecak Terbang Lawe Wereng siap menghabisi
nyawa muridnya. Akan tetapi dengan pedangnya Jala-
paksi memapaki serangan itu. Akibatnya pemuda itu
menjerit kaget. Detik itu juga pedangnya terlepas. Ja-
lapaksi rasakan telapak tangannya membeku. Detik
itulah Lawe Wereng membentak keras.
"Terimalah kematianmu!"
Hantaman dahsyat yang dilontarkan Lawe We-
reng tak dapat dielakkan lagi! Menjeritlah Jalapaksi
dengan tubuh terlempar beberapa tombak. Pemuda itu
mencoba bangkit lagi. Akan tetapi kepalanya menda-
dak terkulai dan jatuh tersungkur. Walet Wungu ter-
pekik kaget. "Ah, Jalapaksi...!?" Sekali bergerak dia te-
lah melompat menghampiri pemuda itu. "Jalapaksi!
kau kena...?" Akan tetapi pemuda itu sudah tak berge-
rak lagi. Tulang dadanya remuk dan jiwanya telah me-
layang. Setitik air bening membersit dicelah kelompak
mata dara ini. Seketika mendidihlah darah Walet Wun-
gu. Kematian pemuda itu adalah demi cintanya terha-
dap dirinya. Juga demi kebenaran! Dia telah korban-
kan jiwanya sebagai seorang pendekar!
"Manusia-manusia kotor! kalian tak patut hi-
dup dimuka bumi ini!" Membentak dara ini. Dan detik
itu juga dia telah melompat menerjang si Cecak Ter-
bang Lawe Wereng. Keris Wesi Kuning di tangannya
menderu membelah udara. Dengan kemarahan meluap
dia mengamuk bagai kesetanan. Lawe Wereng terke-
siap kaget. Nyaris lehernya terkoyak senjata pusaka
Gajah Sora itu. Dengan sebatan dia segera gunakan
kosentrasinya. Serangan-serangan Walet Wungu me-
mang tak boleh dianggap remeh. Di samping pukulan-
pukulannya yang mengarah ke tempat-tempat berba-
haya, senjata keris Wesi Kuning itu tak kalah jauh
berbahayanya.
Dengan membentak keras segera dia merobah
gerakan. Terkejutlah Walet Wungu melihat dengan se-
ketika serangan-serangannya dapat diatasi. Dan bah-
kan kini berbalik dia yang terdesak. Terpaksa Walet
Wungu gunakan kelincahannya untuk menghindari se-
rangan-serangan lawan. Beruntung gadis ini mempu-
nyai kelebihan dalam hal kegesitan, hingga pertarun-
gan boleh dikatakan cukup seimbang. Di pihak lain
Raden Wirakrama masih terus menggempur si Hantu
Pencabut Nyawa dengan gencar. Ternyata panglima
muda ini telah mewarisi ilmu-ilmu Bahugora si Dede-
mit Segera Kidul. Serangan-serangannya tak memberi
kesempatan sedikitpun pada perempuan tua itu untuk
mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan ilmu sihir-
nya.
Sementara itu Pati Lanang yang merasa kea-
daan tidak menguntungkan telah berkelebat masuk ke
dalam Istana Kuno...
"Haha.,.. biarlah mereka bertempur. Aku tak
boleh menyia-nyiakan kesempatan baik ini!" mendesis
Pati Lanang dengan wajah menyeringai.
Sementara itu di lain tempat dua sosok tubuh
berlari cepat melintasi hutan lebat. Dari gerakan lari
mereka nyatalah kalau mereka bukan orang-orang bi-
asa. Ternyata mereka memang bukan lain dari si Dewa
Linglung dan Srimala yang bertujuan menyatroni Ista-
na Kuno.
"Agak pelahan, Srimala! Hati-hati! Di tempat ini
banyak bahaya...!" desis Nanjar berbisik. Benar saja.
Baru selesai Nanjar bicara telah berkelebatan sosok
tubuh menghadang dari balik semak belukar.
Sebentar saja enam orang laki-laki bertampang
seram telah mengurung mereka dari segenap penjuru.
Nanjar yang mengawasi penghadang-penghadang ini
segera melihat si laki-laki berbaju kuning Iblis Kipas
Emas berada diantara mereka.
"Hehe... ternyata kau masih hidup, bocah! Dan
membawa "Santapan" yang masih segar bugar! Hehe...
kali ini kau tak mungkin lolos!" berkata Iblis Kipas
Emas seraya melompat mendekat.
"Habisi nyawanya! biar nona manis ini bagian-
ku!" teriak si Iblis Kipas Emas memberi tanda pada
kawan-kawannya. Nanjar segera mengetahui bahwa
kali ini lawan-lawannya bukanlah sebangsa keroco bi-
asa, melainkan tokoh-tokoh Rimba Hijau kaum golon-
gan hitam yang berilmu tinggi.
"Tahan!" teriak Nanjar. "Kalian menginginkan
nyawaku tanpa sebab. Siapakah yang telah memberi
perintah edan macam ini?"
"Hoho... kami diberi tugas oleh ketua kami. Di-
alah bergelar si Hantu Pencabut Nyawa!" menyahut la-
ki-laki bertelanjang dada yang berkepala botak dengan
muka penuh berewok. Di lengannya tercekal sebuah
kapak bermata lebar. Melengak Nanjar. "Siapakah si
Hantu Pencabut Nyawa itu dan punya kedudukan
apakah dia hingga membuat kalian tunduk pada perin-
tahnya?"
"Hoho... pertanyaanmu banyak sekali? Tapi
baiklah! Karena nyawamu pun tak akan tertolong lagi
aku akan mengatakannya!" berkata si botak berewok
ini.
"Dialah si penghuni Istana Kuno! Yang telah
mempersatukan kami untuk mendirikan sebuah partai
besar di wilayah ini! Bahkan dalam waktu dekat akan
merebut kekuasaan Kerajaan! Hoho... kukira cukup je-
las, bukan? Nah! segera bersiaplah untuk kau meng-
hadapi ajal!"
"Bagus! tak percuma kedatanganku kemari!
Sebelum ajal berpantang mati! Aku akan memperta-
hankan selembar nyawaku!" Sret! Sekali menggerak-
kan tangan Nanjar telah mencabut keluar senjata pu-
sakanya.
Sementara Srimala pun telah mengeluarkan se-
lendang suteranya untuk menghadapi pembegal-
pembegal nyawa ini.
Si botak berewok berkapak lebar ini tersurut
mundur melihat sinar merah yang terpancar dari ba-
dan pedang di tangan pemuda itu.
"Pedang Mustika Naga Merah!" sentak mereka
hampir berbareng. Tentu saja mereka mengenal pada
senjata itu karena pada beberapa tahun yang lalu sen-
jata pusaka itu pernah menghebohkan Rimba Hijau.
"Heh! kiranya kau si Dewa Linglung!? Bagus!
tak percuma kami membunuhmu, karena kau bakal
menjadi duri penghalang cita-cita kami!" bentak Buto
Cakil alias si Kapak Malaikat. Laki-laki berkepala bo-
tak ini berikan tanda pada kawan-kawannya untuk se-
gera maju menerjang.
Serentak saja terdengarlah bentakan-bentakan
keras merobek udara. Kilatan-kilatan senjata tajam
meluruk bagai hujan ke arah si Dewa Linglung.
"Menjauhlah!" berkata Nanjar seraya mendo-
rong tubuh Srimala.
Dara ini melompat dua tombak. Tapi segera te-
lah dihadang oleh si Iblis Kipas Emas. "Hehe... senja-
tamu sebuah selendang sutera. Apakah kau mau
mempertunjukkan tarian di hadapanku?" berkata laki-
laki ini dengan mata membinar dan muka menyeringai.
Sebagai jawabannya adalah...
Whuuuk! Ztarr!
Selendang itu benar-benar telah mempertun-
jukkan tarian maut meluncur bagaikan seekor ular
mematuk ganas! Tahu-tahu telah merobek jubah si Ib-
lis Kipas Emas. Nyaris saja lehernya terkena serangan
mendadak itu kalau dia tak cepat melompat menghin-
dari. Merahlah muka laki-laki ini. Seraya membentak
dia segera menerjang dara itu. "Kurang ajar! ternyata
kau murid si Pendekar Melati Putih!" kibasan lengan
manusia menimbulkan uap hitam yang berbau amis.
Sadarlah Srimala kalau itulah uap beracun. Seperti
yang telah dikatakan Nanjar, manusia inilah yang te-
lah melukainya. Srimala tutup jalan pernafasannya.
Seraya berkelebat melompat ke sisi, selendangnya
kembali menghantam.
Ternyata gadis murid si Pendekar Melati Putih
dari puncak gunung Betiri ini bukan lawan yang en-
teng bagi si Iblis Kipas Emas. Karena dengan senjata
selendang suteranya Srimala dapat menerobos kepun-
gan dari serangan-serangan yang dilancarkan lawan-
nya.
Sementara itu di pihak lain tampaklah perta-
rungan yang tak seimbang. Lima orang mengeroyok sa-
tu orang. Akan tetapi hal itu tak membuat si Dewa
Linglung menjadi gentar. Kesempatan ini bahkan di-
pergunakan Nanjar untuk mengeluarkan jurus-jurus
simpanannya. Suara membersit bagaikan suara desis
seekor Naga yang ditimbulkan dari kibasan pedang
Naga Merah membuat lawan-lawannya sedikit terpu-
kau. Nanjar memang belum mempergunakan senja-
tanya untuk menyerang. Selama itu dia hanya men-
gandalkan kegesitan tubuhnya dengan lompatan-
lompatan kera dan liukan ular untuk menghindari se-
rangan. Kibasan pedangnya hanya dipergunakan un-
tuk mengacaukan mereka.
Laki-laki jubah merah yang bersenjata bandu-
lan berduri adalah tokoh hitam dari pesisir utara. Sen-
jata bandulannya telah banyak merengut nyawa. Di-
alah yang berjulukan si Setan Utara. Sifatnya yang
sombong dan takabur membuat dia membentak keras.
"Tahan! semua mundur!" teriak orang ini. Tentu
saja bentakan itu membuat keempat penyerang segera
melompat ke belakang.
"Heh! menghadapi bocah ingusan macam begini
mengapa harus main kerubutan? Biarlah aku yang
menghadapinya! Senjataku sudah lama tak menghirup
darah!" berkata si Setan Utara dengan sikap angkuh.
"Haha... ilmu macam apakah yang akan kau
gunakan untuk merenggut nyawa ku, setan muka
bengap?" berkata Nanjar dengan berdiri satu kaki. Si-
kap ini terlihat sekilas seperti orang yang memandang
enteng terhadap lawan. Akan tetapi itulah jurus Silu-
man Bangau yang sudah dipersiapkan untuk mengha-
dapi sang lawan.
"Kurang ajar! inilah ilmu pencabut nyawa yang
akan kupergunakan!" bentak si Setan Utara. Laki-laki
jubah merah yang kedua pipinya menggembung mirip
orang bengap itu gusar sekali. Sikap Nanjar seperti
menganggap rendah dirinya. Seraya membentak keras
dia menerjang...! Senjata bandulan berdurinya mende-
ru ke arah kepala si Dewa Linglung.
Serangan itu dibarengi pula dengan hantaman
lengannya ke arah dada pendekar konyol itu. Belum
lagi serangan itu datang, tiba-tiba Nanjar sudah roboh
terjengkang terlebih dulu. Tentu saja si Setan Utara
tak menyangka sama sekali. Setan Utara melompat
kaget. Gerakkannya bagus sekali. Begitu serangan lo-
los, dia lakukan salto di udara dan jejakkan kaki dua
tombak di belakang lawannya.
Akan tetapi tersentak kaget laki-laki ini karena
merasa tubuhnya bagian bawah ada yang tidak beres.
Tahu-tahu terdengar suara tertawa tertahan dua orang
kawannya. Yang tertawa adalah Lowo Ireng si Golok
Samper Nyawa dan Jalu Wesi kepala perampok gu-
nung Burangrang.
"Mengapa kau tertawa?" bentak marah. Akan
tetapi ketika dia memandang kebagian bawah tubuh-
nya, merahlah seketika muka si Setan Utara. Ternyata
celana pangsinya telah terbelah menjadi dua bagian
dan merosot ke bawah.
"Haha...haha... ganti dulu celana mu dengan
yang baru, setan bengap! barulah kau maju mengha-
dapiku!" Nanjar tak dapat menahan rasa gelinya hing-
ga dia tertawa terpingkal-pingkal. Ternyata dengan ge-
rakkan cepat sekali Nanjar telah gerakkan pedangnya
menabas kebagian bawah tubuh si Setan Utara.
Mendadak si Setan Utara membeliak kaget. Wa-
jahnya sekonyong-konyong berubah pucat pias. Len-
gan yang digunakan menutupi auratnya telah dibanjiri
darah yang mengucur deras.
"Darah!" sentak Lowo Ireng dan Jalu Wesi den-
gan terperangah terkejut. Belum lagi hilang terkejut
nya, Si Setan Utara telah roboh terjungkal. Ketika ke-
duanya memeriksa ternyata nyawa si Setan Utara telah
putus! Berubahlah seketika air muka pentolan-
pentolan golongan hitam ini.
Serentak mereka membentak keras dan mener-
jang si Dewa Linglung.
Pertarungan dahsyatpun kembali terjadi... Ben-
takan-bentakan dan suara beradunya senjata tajam
merobek udara. Nanjar tak dapat main-main lagi
menghadapi serangan-serangan lawan. Jurus demi ju-
rus terus berlanjut.
Sementara itu si Iblis Kipas Emas telah kelua-
rkan senjatanya. Dengan senjata ini di tangannya tam-
pak kini Srimala terdesak hebat. Beberapa kali nyaris
senjata itu menggores kulit tubuh dan lehernya. Kalau
tadinya si Iblis Kipas Emas cuma mau merobohkan
tanpa melukainya, kali ini dia benar-benar dia mau
menghabisi nyawa sang gadis.
Detik itulah tiba-tiba berkelebat sebuah bayan-
gan putih. Tahu-tahu tubuh si Iblis Kipas Emas ter-
lempar bergulingan. Kipas mautnya hancur berteba-
ran. "Hah!? kau...kau..." membeliak mata laki-laki ju-
bah kuning ini. Melihat siapa yang telah berdiri di ha-
dapannya.
"Manusia telengas! masih juga kau mengumbar
kejahatan?" terdengar bentakan halus. Sinar putih me-
luncur ke arah dada laki-laki ini. Terdengarlah jeritan
parau si Iblis Kipas Emas. Tubuhnya berkelojotan ba-
gai ayam di kuliti!
Akan tetapi cuma beberapa saat. Detik selan-
jutnya tubuh itu sudah terkapar tak bergerak. Nya-
wanya telah melayang ke Akhirat! sosok tubuh berbaju
serba putih itu telah membunuhnya dengan menghun-
jamkan ujung tongkat yang digunakan sebagai pe
nyangga tubuhnya.
Terpekik girang Srimala melihat siapa adanya
orang yang telah menolongnya itu. "Guru...!" sekali me-
lompat dia sudah tiba di hadapan wanita tua yang ma-
sih tampak bekas-bekas kecantikan parasnya. Dialah
si Pendekar Melati Putih! Sementara itu Nanjar telah
berhasil merobohkan dua orang lawannya. Yaitu si Ka-
pak Malaikat dan si Golok Samber Nyawa. Kini cuma
tinggal dua orang lagi yang masih mati-matian mener-
jang si Dewa Linglung.
Kembali sinar merah membilas udara. Terden-
gar jerit kematian salah seorang dari dua pengeroyok
itu. Ternyata Jalu Wesi si kepala perampok dari gu-
nung Burangrang menemui ajalnya. Tinggallah yang
seorang ini. Dia bernama Wikalpa yang bergelar si Se-
tan Tongkat Darah. Akan tetapi tampaknya orang ini
telah kehilangan semangat untuk bertarung. Di ke-
sempatan yang baik dia tak menyia-nyiakan untuk se-
gera melompat kabur melarikan diri.
"Kau tak dapat melarikan diri, setan tengik!"
bentak Nanjar. Nanjar gerakkan lengannya menghan-
tam dengan pukulan Inti Es. Hawa dingin menebar.
Tubuh si Setan Tongkat Darah terjungkal roboh den-
gan tubuh kejang terbalut lapisan es. Tampak si Dewa
Linglung perlihatkan senyum puas. Segera dia sarung-
kan pedang Naga Merahnya ke balik punggung. Lalu
balikkan tubuhnya... Tiba-tiba wajah Nanjar menam-
pakkan keterkejutan. "Wah, celaka...!?" sentaknya. Bu-
ru-buru dia balikkan tubuhnya lagi. Ternyata cuma
mau membenarkan celananya yang kedodoran.
Pendekar Melati Putih yang berdiri tak jauh di
hadapan pemuda itu tersenyum. "Pemuda lucu, gagah
dan berilmu tinggi, tapi macam orang tolol..." berkata
wanita tua ini dalam hati.
"Kak Nanjar...! inilah guruku dari puncak gu-
nung Betiri!" teriak Srimala. Gadis ini telah melompat
menghampiri.
"Ah, selamat datang Pendekar Melati Putih...!"
berkata Nanjar seraya menjura. Dia memang telah
mendengar tentang guru Srimala ini. Tentu saja Nanjar
disamping terkejut juga kagum. Ternyata walaupun te-
lah berusia cukup lanjut, namun bekas-bekas kecanti-
kan wanita tua ini masih tampak jelas membayang.
Di saat Nanjar bertempur tadi dia memang
mendengar suara jeritan si Iblis Kipas Emas dan seki-
las melihat kemunculan sesosok tubuh berpakaian
serba putih. Walaupun dia belum tahu jelas siapa yang
datang, tapi hatinya girang karena telah datang ban-
tuan yang tak terduga. Hingga dia tak mengkhawatir-
kan nasib Srimala lagi.
"Senang sekali bertemu denganmu, anak muda!
Gelar lucu mu si Dewa Linglung telah kudengar sebe-
lum aku mengundurkan diri dari dunia Rimba Hijau.
Ternyata kau telah menyandang pula gelar si pendekar
Naga Merah dengan berhasilnya kau miliki pedang
mustika itu...!" berkata si Pendekar Melati Putih.
"Ah, anda terlalu memujiku, bibi..." menyahut
Nanjar. "Gelar-gelar itu tak sesuai dengan kebodohan
yang kumiliki!"
"Kebodohan seseorang tak dapat dinilai dari
luar. Dengan kau berhasil menumpas kelima penjahat
besar itu serta ku melihat sendiri kehebatan mu mem-
buat mata tuaku jadi terbuka, bahwa telah muncul
seorang pendekar muda yang gagah perkasa pada za-
man ini...!" Pujian itu membuat Nanjar tersipu.
"Kurasa aku sendiripun tak akan mampu
menghadapi ilmu pedangmu dalam sepuluh jurus!"
lanjut si Pendekar Melati Putih.
"Ah, aku yang rendah mana berani jual lagak di
hadapanmu, bibi...?"
"Hm, menurut yang kudengar pedang mustika
Naga Merah itu nama aslinya adalah bernama Kiam
Hoat Ang Liong, milik seorang kaisar di negeri Tibet!
Dalam gagang pedang itu telah disembunyikan segu-
lung kertas kulit yang berisi sembilan jurus ilmu pe-
dang yang luar biasa hebatnya. Kalau kau telah memi-
liki kesembilan jurus itu mana aku mampu bertahan
dalam sepuluh jurus?" berkata si Pendekar Melati Pu-
tih dengan tersenyum.
"Aih, bibi...! aku belum sempat mempelajari ke-
semuanya. Mana mungkin aku dapat mengalahkan-
mu?" tukas Nanjar dengan wajah memerah.
Srimala yang mendengarkan percakapan itu en-
tah mengapa hatinya berdebar tak keruan. Wajahnya
sebentar-sebentar berubah. Hati wanita memang sukar
di terka. Siapa sangka kalau diam-diam di hati dara ini
telah bersemi bibit-bibit cinta...! Rasa simpati pada diri
Nanjar yang telah menyelamatkan dirinya dari cengke-
raman Pati Lanang serta kejujuran dan kerendahan
hati pemuda itu membuat dia semakin menaruh sim-
pati terhadap pemuda itu.
Khayalan indah di mata dara ini terputus keti-
ka mendengar Nanjar berkata.
"Bibi...! kami sebenarnya sedang dalam perjala-
nan ke Istana Kuno! Tempat itu tak jauh lagi dari si-
ni..." Segera Nanjar ceritakan secara singkat mengenai
apa yang telah dilihat dan didengarnya. Ternyata si
pendekar Melati Putih telah dapat menerka siapa si
penghuni istana Kuno itu.
"Hm, kalau memang benar perampok perem-
puan itu adalah si Hantu Pencabut Nyawa berhati-
hatilah terhadap dia. Setan perempuan itu memiliki
ilmu sihir dan senjata-senjata rahasia mengandung ra-
cun yang berbahaya. Kelumpuhan kakiku pun akibat
perbuatan kejinya. Terpaksa aku memotong kedua ka-
kiku ini demi keselamatan jiwaku!" berkata pendekar
wanita ini dengan air muka berubah
"Ah...!" sentak Nanjar dengan mulut ternganga.
"Hm, marilah kita kesana!" berkata Pendekar Melati
Putih. Lalu menoleh pada Srimala. "Berangkatlah
lebih dulu, muridku..." Srimala mengangguk. Gadis ini
menatap sejenak pada si Dewa Linglung. Justru Nanjar
tengah menatap ke arah gadis itu. Dua pasang mata
saling bentur. Kalau Nanjar tak merasakan apa-apa,
tapi hati gadis ini. Telah bergetar. Perubahan air muka
Srimala nampak sekilas oleh si Pendekar Melati Putih
gurunya.
"Pergilah kalian lebih dulu!" katanya dengan
tersenyum.
"Bibi, bibi...!" sahut Nanjar dengan cepat seraya
menggamit lengan Srimala, Nanjar segera menariknya
untuk segera tinggalkan tempat itu. Nyessss! hati dara
ini bagaikan disiram air sejuk. "Oh, Nanjar..! apakah
kau mengetahui isi hatiku?" teriak hatinya yang dilipu-
ti kegembiraan.
Pendekar Wanita dari gunung Betiri ini mena-
tap kepergian kedua muda-mudi itu dengan tersenyum
dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Haiih! bocah gagah berilmu tinggi itu pasti ba-
nyak digandrungi perempuan. Srimala masih terlalu
hijau. Cintanya cuma cinta monyet! Dia belum men-
genal apa yang namanya patah hati! Kelak bila urusan
sudah selesai aku perlu menggemblengnya lagi..." ber-
kata dalam hati pendekar wanita ini. Tak lama tubuh-
nya segera berkelebat meninggalkan hutan itu. Gera-
kan wanita tua berkaki buntung ini ternyata luar biasa
cepatnya. Dalam sekejapan mata saja tubuhnya sudah
lenyap tak kelihatan lagi...
Teriakan Walet Wungu membelah udara. Keris
Wesi Kuning yang dipergunakannya terlempar ke uda-
ra. Sedangkan tubuh dara ini terlempar beberapa tom-
bak bergulingan. Teriakan gadis itu membuat terkejut
Gajah Sora yang telah buta. Dia melompat memburu
ke arah suara orang terjatuh yang didengarnya.
Kilatan cahaya kuning yang melayang di udara
yang dibarengi jeritan Walet Wungu membuat terkejut
Raden Wirakrama. Kerajaan ini telah kehilangan se-
buah senjatanya, yaitu pedang Mutiara Putih yang
menancap di batang pohon akibat benturan dengan
lengan si Hantu Pencabut Nyawa yang berisi tenaga
dalam dahsyat. Saat itu si Hantu Pencabut Nyawa ten-
gah tertawa terkekeh. Dengan terlepasnya pedang
mustika itu dari tangan lawan berarti kekuatan lawan
jauh berkurang. Di saat itulah kilatan sinar kuning
yang melayang di udara telah terlihat, bukan saja oleh
Raden Wirakrama akan tetapi juga terlihat oleh perem-
puan iblis ini.
Mengetahui senjata yang melayang itu adalah
keris Wesi Kuning, panglima muda itu tak berayal lagi
untuk melompat menangkapnya. Justru saat itu si
Hantu Pencabut Nyawa juga telah julurkan lengannya
seraya melompat untuk menangkap benda pusaka si
pendekar Gajah itu. Kesempatan baik itu tak disia-
siakan perempuan iblis itu untuk menyarangkan pu-
kulan dengan lengan kirinya.
"Terimalah kematianmu, panglima muda!" Detik
itulah selarik sinar merah membelah udara. Trang!
Buk! Percikan lelatu api merambah udara diiringi te-
riakan parau si Hantu Pencabut Nyawa. Tubuh perem-
puan tua itu terlempar ke bumi. Selamatlah Panglima
Kerajaan itu dari kematian. Keris Pusaka Wesi Kuning
meluncur deras dan menancap di dahan pohon sampai
ke gagangnya.
Terhuyung-huyung Rumpini mengangkat tu-
buhnya untuk bangkit berdiri.
Tampak darah mengalir dari kelima buah jari-
jari tangannya yang terpapas putus. Dari mulutnya
menyembur darah segar. Perempuan iblis ini rasakan
dadanya sesak dan terasa nyeri untuk bernafas. Tiga
tulang rusuknya telah patah. Akibat tendangan kilat
yang dilakukan si penyerang itu.
Tampaklah di hadapan si Hantu Pencabut
Nyawa berdiam sosok tubuh. Siapa orang yang telah
menggagalkan serangan maut iblis perempuan itu tia-
da lain dari si Dewa Linglung.
Ternyata Nanjar dan Srimala telah tiba di Ista-
na Kuno. Kemunculan mereka tepat pada waktunya.
Saat itu Srimala terkejut melihat di depannya seorang
laki-laki bermata buta dengan keadaan mengenaskan
tengah meraba-raba mencari letak sesosok tubuh yang
terkapar di rerumputan. Tubuh seorang yang dalam
keadaan terluka parah. Sesosok tubuh laki-laki berpa-
kaian abu-abu baru saja berkelebat memasuki istana
kuno. Tadinya Srimala mau mengejar. Akan tetapi se-
gera diurungkan, karena mendengar laki-laki buta itu
berteriak-teriak dengan melangkah terhuyung kesana-
kemari dengan keadaan yang mengibakan hati.
"Anakku, Walet Wungu...! ah, dimana kau? kau
terlukakah?" Gadis ini tak sampai hati untuk men-
diamkan hal itu. Segera dihampiri laki-laki buta itu.
"Bapak...! dia ada di sebelah kirimu...!" berkata Srima-
la.
"Oh, siapakah kau?" sentak Gajah Sora terke-
jut. "Tenanglah, pak tua! aku bukan musuh...!" Srima
la menggamit lengan Gajah Sora, lalu dituntunnya
mendekati sosok tubuh si gadis yang terkapar pingsan
itu.
"Ah, terima kasih...!" ujar Gajah Sora. "Walet...!
Walet Wungu...! kau...?" tampak wajah laki-laki buta
ini berubah pucat. Dia miringkan kepala dan menem-
pelkan telinganya ke perut gadis itu. "Haih! sukurlah!
kau cuma pingsan. Tapi kau telah terluka dalam! Sia-
pa yang telah mencelakaimu, anakku?" menggumam
Gajah Sora dengan air mata meleleh membasahi pipi
tuanya.
"Oh, nona... siapakah kau? Apakah yang telah
kau ketahui? siapa yang telah mencelakai muridku
ini?" Tiba-tiba Gajah Sora palingkan kepala ke arah
Srimala. Akan tetapi yang ditanya justru tengah mem-
perhatikan raut muka dara yang pingsan itu.
"Dia... benarkah dia ini muridmu?" tanya Sri-
mala.
"Benar! tapi aku telah menganggapnya sebagai
anakku sendiri..." sahut Gajah Sora. "Siapakah kau,
nona?" balik bertanya Gajah Sora.
"Aku Srimala, murid si pendekar Melati Pu-
tih...!" sahut Srimala.
"Srimala?... Hm, seperti aku pernah mendengar
nama itu...?" sentak Gajah Sora dalam hati "Ya, ya...!
aku ingat! Walet Wungu pernah menyebut-nyebut na-
ma itu!" gumam si Pendekar Gajah.
"Hah!?" sentak Srimala terkejut. "Katakanlah,
bapak! siapakah nama gadis ini? apakah nama Walet
Wungu itu pemberianmu apakah dia mempunyai nama
lain?" tanya Srimala.
"Benar! nama ini aku yang telah memberikan-
nya. Nama sebenarnya adalah PALASARI...!" sahut Ga-
jah Sora dengan kerutkan kening. Kalau saja matanya
tidak buta tentulah dia dapat melihat perubahan wa-
jah Srimala.
Seketika itu juga gadis ini telah memekik histe-
ris seraya memeluk tubuh Walet Wungu. "Kakaaak!
kakak Palasari...! Oh, inilah aku adikmu Srimala..."
Menangislah dara ini sejadi-jadiriya seraya memeluk
dan mengguncang-guncangkan tubuh gadis yang tak
sadarkan diri itu. Gajah Sora terpaku tak beranjak dari
duduknya. Laki-laki tua itu uraikan air mata. "Haih!
tak disangka...! pertemuan dua orang saudara kan-
dung bisa terjadi pada saat begini..." Gajah Sora ge-
leng-gelengkan kepala dengan terharu. Walau dia tak
dapat melihat, dia dapat membayangkan betapa per-
temuan itu begitu menyayat hati.
Sebuah suara halus tiba-tiba terdengar menyi-
bak udara diantara isak tangis Srimala. "Muridku.
bangunlah! biar kuperiksa lukanya...! Srimala men-
gangkat wajahnya. Tampak gurunya telah berdiri di
hadapan mereka.
"Sobat Pendekar Melati Putih! betulkah anda
yang datang?" sentak Gajah Sora dengan wajah girang.
"Tidak salah, sobat Pendekar Gajah! Haih! men-
gapa kau bisa begini?" menyahut pendekar wanita itu.
"Iblis perempuan si Hantu Pencabut Nyawa be-
kas isteriku itulah yang membuat mataku buta!" me-
nyahut si Pendekar Gajah.
"Ah, sungguh terlalu manusia itu. Setelah
membuat kakiku cacad, ternyata membutakan pula
matamu...! Sukurlah, iblis perempuan itu telah mam-
pus!" berkata pendekar wanita ini dengan geram.
"Si... siapa yang telah membunuhnya?" sentak
Gajah Sora dengan girang.
"Dia telah tewas dengan membunuh dirinya
sendiri...!" sahut wanita ini dengan suara agak kecewa.
Dalam berkata-kata itu lengan pendekar gunung Betiri
ini bekerja cepat menotok di beberapa bagian tubuh
Walet Wungu. Lalu keluarkan sebutir pel yang segera
dijejalkan ke mulut gadis itu. Dengan bantuan air lu-
dah dia mendorong pel itu agar masuk ke dalam perut
si gadis.
Lalu gunakan tenaga dalamnya untuk memu-
lihkan kekuatan Walet Wungu. Selang tak lama Walet
Wungu tampak gerakkan tubuhnya. Lalu membuka
mata lebar-lebar. "Kakak...! kakak Palasari! aku adik-
mu....! Masih kenalkah kau padaku?"
"Srimala!..??" bagai bermimpi Walet Wungu
menatap gadis di depannya. Saat itu juga kedua kakak
beradik itu telah berpelukan dengan hujan air mata.
"Sobat Pendekar Gajah! kau masih punya harapan un-
tuk dapat melihat lagi. Mudah-mudahan belum ter-
lambat!" berkata Pendekar wanita ini seraya memerik-
sa mata Gajah Sora. Wanita ini keluarkan bungkusan
obat dari dalam sebuah kantung dari balik pakaian-
nya. Dengan cepat si Pendekar Melati Putih bekerja
mencampur beberapa ramuan yang dibasahi air ludah.
Lalu diperas dan diteteskan pada kedua mata Gajah
Sora. Sisanya di balurkan ke sekitar mata. Kemudian
dengan cekatan dia mengambil segumpal kapas yang
digunakan untuk membungkus mata Gajah Sora.
Dengan menyobek ujung jubahnya ia membalut
mata pendekar tua itu.
"Jangan kau buka balutan ini selama tiga hari.
Mudah-mudahan kau dapat melihat lagi!" berkata si
Pendekar Melati Putih.
"Haih! entah bagaimana aku dapat membalas
budimu, sobat Pendekar Melati Putih...!" berkata Gajah
Sora dengan wajah penuh kegembiraan tak terlukiskan.
Pada saat itu Nanjar muncul dengan menyeret
dua sosok tubuh yang telah tewas dengan tubuh
membeku. Itulah mayat si Cecak Terbang Lawe Wereng
dan pemuda murid Gajah Sora bernama Pati Lanang.
Dibelakangnya mengikuti si panglima Muda Raden Wi-
rakrama. Ketika kedua tubuh itu dilemparkan ke ta-
nah, bergemirincinglah uang emas dan perhiasan dari
dalam baju pemuda yang telah menjadi mayat ini.
Bagaimana kejadian sebenarnya hingga tewas-
nya si Hantu Pencabut Nyawa dan kedua orang ini?
Ternyata ketika perempuan iblis bekas isteri Gajah So-
ra itu melihat keadaan tidak menguntungkan, telah
berbuat nekat! Apalagi di saat itu keadaan dirinya su-
dah tak berdaya. Juga melihat kemunculan si Pende-
kar Melati Putih yang siap merenggut nyawanya. Sekali
gerakkan tangan perempuan itu menghantam batok
kepalanya sendiri! Dan tewas dengan seketika...! Ter-
kejut Pendekar Melati Putih, karena tak menduga sa-
ma sekali. Pada detik itu tiba-tiba Nanjar membentak
keras, seraya melompat ke arah Istana Kuno. Berkele-
batnya sosok tubuh Lawe Wereng tak luput dari pen-
glihatannya. Nanjar mengajar manusia itu. Dalam
waktu singkat Nanjar berhasil membinasakan manusia
licik penuh tipu daya itu. Ketika Nanjar memeriksa ke
dalam Istana tua itu telah menjumpai Pati Lanang
yang baru saja mengeruk barang-barang berharga
yang disembunyikan si Hantu Pencabut Nyawa. Di da-
lam kamar rahasia. Bahkan di tangan pemuda itu ter-
genggam kitab pusaka Mega Mendung.
Melihat kemunculan Nanjar di dalam ruangan
itu, Pati Lanang terkejut. Dengan gerakkan cepat dia
menyelinap dan melompat kabur melarikan diri.
Bayangan sekilas itu telah terlihat oleh Nanjar. Dengan
membentak keras Nanjar menghantam ke arah bergeraknya bayangan itu. Tak tanggung-tanggung, yang
dipergunakan adalah jurus pukulan Inti Es. Jurus ini
tak lagi digunakan dengan cara jungkir balik. Karena
dengan ketekunannya berlatih, Nanjar telah berhasil
menggunakannya dengan cara wajar. Tadinya bernama
jurus tenaga dalam sungsang
Tak ampun lagi Pati Lanang menjerit parau.
Tubuhnya terjengkang kaku. Nyawanya telah lepas
meninggalkan raganya!
Saat itulah Raden Wirakrama menyusul masuk
ke dalam Istana Kuno.
Betapa gembira dan suka citanya panglima
muda ini dengan kemenangan yang berada di pihak
mereka. Demikianlah. Ketika Nanjar keluar dari ban-
gunan tua bekas istana kerajaan itu dengan menyeret
dua sosok mayat, Raden Wirakrama mengikuti langkah
si Dewa Linglung. Tampak di tangan Panglima Kera-
jaan ini sebuah kitab yang tengah dibalik-balik lemba-
rannya. Pendekar Melati Putih melompat menghampiri.
"Kitab apakah itu, Raden Wirakrama?" bertanya
pendekar wanita ini. Wanita tua ini mengetahui kalau
laki-laki itu seorang abdi Kerajaan dari keterangan Wa-
let Wungu.
"Hm, inilah kitab pusaka Mega Mendung! kitab
sesat yang harus dimusnahkan!" menyahut panglima
Kerajaan ini.
Sekali kedua lengan abdi Kerajaan itu mere-
mas. Hancurlah benda pusaka itu menjadi serpihan
kertas kecil-kecil.
"Sobat pendekar gagah.... ah, kemana dia?"
sentak Wirakrama terkejut. Baru saja dia mau mengu-
capkan terima kasih, tahu-tahu orangnya sudah le-
nyap. Srimala baru tersadar akan kepergian Nanjar.
Dia melompat berdiri dengan wajah berubah kaget.
"Dewa Linglung...." desisnya tersendat.
"Sudahlah muridku! dia sudah pergi..! Jangan-
lah kau melibatkan diri dengan api yang bisa memba-
kar dirimu sendiri. Kau masih terlalu muda untuk
urusan orang-orang dewasa! Agaknya kau masih me-
merlukan tambahan pelajaran lagi!" berkata si Pende-
kar Melati Putih.
"Aku masih dibolehkan tinggal di puncak gu-
nung Betiri, guru?" bertanya Srimala diantara kesedi-
han yang membaur dengan kegembiraan.
"Ya, sampai kau benar-benar menjadi dewasa!"
sahut sang pendekar wanita ini dengan tersenyum.
"Tidak cuma tersendiri, Srimala. Tapi juga bersama
kakakmu dan paman Pendekar Gajah!"
Matahari semakin menggelincir ke arah barat
ketika kelima sosok tubuh itu meninggalkan Istana
Kuno...
Di persimpangan jalan Raden Wirakrama minta
diri untuk berpisah. Dia akan meneruskan langkah-
nya, kembali ke Blambangan. Tentu saja Panglima Ke-
rajaan itu telah menceritakan panjang lebar mengenai
tugasnya. Juga tugas dari gurunya untuk memusnah-
kan kitab sesat itu.
Pendekar Melati Putih mengangguk-angguk
dengan tersenyum.
"Selamat jalan, Raden...! Semoga Tuhan selalu
membersihkan hatimu!" berkata pendekar wanita ini.
"Terima kasih, bibi pendekar!" sahut Raden Wi-
rakrama.
Setelah sekali lagi minta diri, Raden Wirakrama
segera melangkah pergi dan berkelebat cepat untuk
kembali ke Kota Raja.
Nun jauh di arah tenggara, tampak si Dewa
Linglung melangkah lebar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Sekali dia menendang batu yang menggeletak di
tanah.
TAMAT
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar