Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi
dan celana bersisik warna putih keperakan ten-
gah terlelap di celah-celah dahan batang pohon.
Tubuhnya yang kekar dengan otot-otot lengannya
yang bertonjolan dibaringkan begitu saja. Kedua
telapak tangannya disedekapkan di depan dada.
Nyaman sekali agaknya pemuda itu menikmati
mimpinya. Padahal matahari saat itu mulai mem-
bubung tinggi. Untungnya, pohon itu cukup rin-
dang sehingga membuatnya merasa terayomi dari
sengatan matahari.
Sementara angin yang bertiup semilir, ma-
kin membuat pemuda berambut gondrong sebahu
itu makin terlena. Dalam mimpinya seolah ada
seorang gadis yang hendak mencium bibirnya.
Sehingga bibir si pemuda tampak monyong-
monyong....
"Keakk! Keakkkk!"
Di atas sana, seekor burung gagak hitam
hinggap di ranting pohon itu, tepat di atas wajah
si pemuda. Entah mungkin perut si burung se-
dang mules, sehingga dengan seenaknya mem-
buang hajat yang tak mampu ditahan.
Crott!
Pluk!
Tepat sekali kotoran burung itu mendarat
di bibir monyong si pemuda berambut gondrong
yang tak lain Soma alias Siluman Ular Putih. Si
pemuda kontan tersentak kaget. Mimpinya ten
tang ciuman dari seorang gadis lenyap seketika.
Dan ketika meraba bibirnya terasa hangat dan
basah. Tanpa sadar, tangan yang memegang bibir
berpindah ke hidung.
"Slompret! Bau apa ini? Phuahh...!" maki
Siluman Ular Putih kalang kabut langsung melu-
dah. Ketika menyadari bibirnya didarati kotoran
burung, mulutnya makin mengumpat serapah tak
karuan. Segera dicarinya biang musibah itu. Dan
kepalanya langsung mendongak.
"Keakk! Keakkk!"
Seekor burung gagak hitam yang barusan
buang hajat ternyata masih berada di atas ranting
pohon. Suaranya yang riuh terdengar nyaring seo-
lah-olah mengejek pemuda gondrong di bawah-
nya.
"Dasar burung tak tahu adat! Enak saja
membuang kotoran di bibir orang!"
Siluman Ular Putih bergegas mematahkan
ranting pohon di sampingnya dan hendak melem-
parkannya. Tapi belum sempat melemparkan, bu-
rung gagak itu telah terbang jauh sambil mem-
perdengarkan suara riuh memekakkan telinga.
"Brengsek! Alamat macam apa ini sampai
bibirku kejatuhan kotoran burung!" sungut Soma.
"Pagi-pagi sudah dikasih sarapan kotoran burung.
Huh...! Menjengkelkan!"
Siluman Ular Putih lantas memetik bebe-
rapa daun untuk membersihkan telapak tangan
kiri maupun bibir. Hidungnya terlihat kembang
kempis. Kalau saja tidak sedang sibuk member-
sihkan kotoran burung, ingin rasanya tangannya
memencet hidung kuat-kuat. Celakanya, kotoran
burung itu tidak hilang begitu saja. Meski telah
dibersihkan, Soma tetap masih merasakan betapa
harumnya kotoran burung tadi.
"Wah...! Kalau tidak cepat-cepat membasuh
muka dan bibir, bisa-bisa aku pingsan saking tak
tahannya dengan bau busuk ini. Benar-benar
brengsek burung itu. Bikin susah orang saja!"
Walau masih kesal, Siluman Ular Putih se-
gera melompat turun dari pohon. Cukup tinggi
sebenarnya dahan pohon tempatnya tidur sema-
lam. Namun ringan sekali gerakannya sehingga
saat kedua kakinya menjejak tanah, sedikit pun
tidak menimbulkan suara!
Untuk sesaat Siluman Ular Putih celinguk-
kan ke sana kemari mencari sumber air. Sejurus
kemudian bibirnya pun tersenyum ketika samar-
samar telinganya mendengar gemericiknya air tak
jauh dari tempat itu. Tanpa banyak cakap ka-
kinya segera melangkah menuju sumber air.
Tak jauh dari situ memang terdapat se-
buah sendang kecil yang diapit pohon-pohon be-
sar. Air sendang yang berair jernih kebiru-biruan
terlihat begitu menantang, membuat Soma tak la-
gi hanya sekadar membasuh, tapi juga ingin
mandi. Tanpa pikir panjang lagi segera pakaian-
nya dilepas. Dengan satu lompatan. Soma mence-
burkan diri ke dalam sendang.
Byuuurrr...!
Air sendang membuncah ke atas, dan men-
ciptakan gelombang-gelombang yang lama kela-
maan menghilang di pinggiran sendang. Sementa
ra tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo terus
amblas ke dalam air. Laksana seekor ikan besar
berwarna putih tubuhnya terus bergerak ke sana
kemari. Di akhir kenikmatannya, Soma pun me-
nyembulkan kepala di permukaan sendang.
Namun begitu si pemuda membuka kelo-
pak matanya, tahu-tahu di pinggir sendang telah
duduk bersila di atas sebuah batu besar seorang
kakek renta yang usianya sulit sekali ditafsirkan.
Rambutnya yang memutih digelung ke atas. Se-
dang tubuhnya yang kurus kering seolah tak ber-
tenaga dibungkus kain putih yang diselempang-
kan begitu saja. Meski raut wajahnya terlihat pe-
nuh keriput, namun tampak berseri-seri. Seolah-
olah wajah itu membuat sejuk bagi siapa saja
yang memandang.
Sambil duduk bersila, si kakek yang memi-
liki sepasang mata mencorong ini terus memilin-
milin biji-biji tasbih di tangan kanannya. Kedua
bibirnya pun tak henti-hentinya terus berkemik.
Entah apa yang sedang diucapkan.
"Eyang Bromo...!" desis Soma, terkejut.
Kakek renta yang ternyata Eyang Bromo
sejenak menghentikan gerakan jari-jari tangannya
di atas biji-biji tasbih. Perlahan lahan kepalanya
pun berpaling ke arah Siluman Ular Putih yang
masih di permukaan sendang.
Wajah si kakek yang teduh tampak demi-
kian berwibawa.
Tanpa menunggu perintah Siluman Ular
Putih segera berenang menuju tepi. Segera dis-
ambarnya pakaian miliknya, lalu cepat bersem
bunyi di batu besar. Bergegas pakaiannya dike-
nakan kembali. Sejurus kemudian si pemuda te-
lah muncul dan langsung duduk bersimpuh di
hadapan Eyang Bromo.
"Terimalah salam hormatku, Eyang!" ucap
Siluman Ular Putih seraya menelangkupkan ke-
dua telapak tangan di depan hidung.
"Jangan terlalu banyak peradatan, Cucu-
ku! Sebab peradatan hanyalah semu. Hanya Yang
Maha Kuasa sajalah yang abadi."
"Baik, Eyang."
Siluman Ular Putih menurunkan kedua te-
lapak tangan kembali. Sikapnya yang biasa bersi-
kap ugal-ugalan kini terlihat patuh. Diturutinya
apa yang diperintahkan Eyang Bromo. Bukannya
takut, melainkan karena merasa segan dan hor-
mat pada kakek renta di hadapannya. Di samping
ilmunya tinggi, Eyang Bromo pun sebenarnya
masih terhitung paman seperguruan Eyang Be-
gawan Kamasetyo di puncak Gunung Bucu. Jadi,
Siluman Ular Putih pun masih terhitung cucu
murid tokoh sakti dari Gunung Muncar itu. (Un-
tuk mengetahui siapa Eyang Bromo, baca episode:
"Sumur Kematian" dan "Pedang Kelelawar Putih").
"Bagaimana kabar eyang dan ibumu, Cu-
cuku?" tanya Eyang Bromo tetap dengan suara
lembut.
"Baik-baik saja, Eyang. Cuma..., sayang
ibu masih tetap menjelma menjadi sosok ular pu-
tih. Apakah Eyang dapat membantu agar ibu da-
pat menjelma kembali menjadi manusia?" jelas
Soma.
"Hm...!"
Eyang Bromo menggumam sambil meme-
jamkan matanya. Jari-jari tangannya kembali
memilin-milin biji tasbih. Cukup lama hal itu di-
lakukan hingga membuat Siluman Ular Putih ti-
dak sabar. Namun untuk mengusik Soma tak be-
rani. Maka terpaksa ia hanya menunggu Eyang
Bromo membuka suara.
"Dengarlah, Cucuku! Bila Yang Maha Kua-
sa sudah berkehendak, tak satu pun kekuatan di
dunia ini yang mampu membendungnya. Tidak
juga ibumu, eyangmu, maupun aku sendiri. Se-
mua terserah pada titah-Nya. Kita sebagai manu-
sia beriman paling hanya dapat berdoa. Kalau
memang Tuhan menghendaki ibumu tetap men-
jadi siluman ular, apalagi yang harus diperbuat
selain menuruti kehendak-Nya? Sebab Dia-lah
Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa. Kena-
pa tidak menggantungkan harapan kita pada-
Nya? Kau paham, Cucuku?"
Siluman Ular Putih menggeleng perlahan.
Sulit sekali benaknya mencerna kata-kata yang
mengandung petuah itu. Ia belum mampu men-
cerna arti kehidupan seperti yang telah dialami
Eyang Bromo.
"Eyang maklum. Kau masih muda. Masih
banyak kesempatan untuk memahami hakekat
kehidupan ini dengan sebenarnya."
"Terima kasih atas petuahmu, Eyang. Tapi,
apakah aku harus menerima begitu saja melihat
ibuku masih menjelma menjadi siluman ular? Pa-
dahal aku ingin sekali melihat ibu kembali men
jelma menjadi manusia biasa. Tapi, aku bingung.
Aku belum tahu, apa yang harus kulakukan,
Eyang?" ungkap Soma, sedih bila mengingat pen-
deritaan ibunya yang masih menjelma menjadi si-
luman ular. (Untuk mengetahui hal ini, silakan
baca episode: "Misteri Bayi Ular" dan "Murka
Penghuni Kubur").
"Seperti kukatakan tadi, semua tergantung
titah-Nya. Tergantung kehendak Yang Maha Kua-
sa. Sekarang tak ada pilihan lain, kecuali menu-
rutkan apa yang menjadi kehendak Yang Maha
Kuasa."
"Jadi kita harus pasrah begitu saja,
Eyang?" tuntut Siluman Ular Putih tak puas den-
gan penjelasan Eyang Bromo.
Eyang Bromo menggeleng perlahan.
"Tidak begitu, Cucuku. Kau salah dalam
mengartikan hidup ini. Ketahuilah! Sebagai ma-
nusia berakal, kita tentu harus bisa mengguna-
kannya. Salah besar kalau kita hanya membiar-
kan urusan yang melilit begitu saja. Pasrahnya
manusia berakal itu bukan seperti orang yang
hanyut terbawa arus. Bukan itu maksudku, Cu-
cuku. Melainkan kita tetap terus berusaha. Dan,
jangan lupa. Berdoa! Mintalah petunjuk pada
Hyang Widi!"
"Wih...! Aku malah tambah puyeng, Eyang.
Pusing kepalaku menelan petuahmu," desah So-
ma, jujur.
"Kalau begitu, mulai hari ini kau harus
mulai belajar mengerti apa arti kehidupan yang
sebenarnya, Cucuku!" tegas Eyang Bromo.
"Aku memang sedang menuju ke sana,
Eyang. Tapi aku belum mampu mencerna apa arti
kehidupan yang sebenarnya."
"Nanti kau akan tahu sendiri, Cucuku. Se-
karang, kau sendiri hendak ke mana?"
"Oh ya, Eyang?" Siluman Ular Putih tiba-
tiba menepuk jidatnya sendiri.
"Ada apa, Cucuku?"
"Dunia persilatan sedang dalam keadaan
bahaya, kali ini aku harus meminta petunjukmu,
Eyang," ujar Siluman Ular Putih.
"Aku sudah tahu. Di pertapaanku, aku
mendapat firasat kalau dunia persilatan benar-
benar dalam keadaan bahaya oleh munculnya
Hantu Tangan Api, bukan? Ternyata mata batin-
ku tak salah. Maka untuk itulah aku turun dari
pertapaan. Dan sungguh kebetulan aku menemu-
kanmu di sini. Jadi, kuharapkan kau harus
mampu membendung sepak terjang Hantu Tan-
gan Api...!"
"Aku sudah mencobanya, Eyang. Tapi, tak
berhasil."
"Aku mengerti. Kau memang bukan tan-
dingannya. Tapi bukan berarti kau tak mampu
mengalahkannya, Cucuku," tandas Eyang Bromo.
"Maksud, Eyang...?" Siluman Ular Putih
membelalakkan matanya lebar. Tak mengerti
maksud ucapan Eyang Bromo. "Apakah Eyang in-
gin memberi petunjuk barang satu dua jurus pa-
daku."
"Kukira itu perlu kalau kau ingin menga-
lahkannya, Cucuku," sahut Eyang Bromo, mem
buat mata Siluman Ular Putih membeliak lebar
saking gembiranya.
"Terima kasih, Eyang," ucap Siluman Ular
Putih seraya menelangkupkan kedua telapak tan-
gan di depan hidung.
"Jangan berlebih-lebihan, Cucuku! Meski
telah mendapat ilmu yang akan kuturunkan pa-
damu, kau tetap harus waspada terhadap Hantu
Tangan Api! Sebab, bukan mustahil ia pun memi-
liki ilmu andalan yang dapat mengalahkan ilmu
yang akan kuturunkan padamu."
"Tidak mungkin, Eyang. Ilmu yang akan
Eyang turunkan padaku pasti bukan ilmu semba-
rangan. Tentu merupakan satu ilmu tingkat tinggi
yang mampu mengalahkan ilmu Hantu Tangan
Api. Tapi ngomong-ngomong, ilmu apakah yang
akan Eyang turunkan padaku?"
"Hm...! Eyang tidak ingin menurunkan ba-
nyak ilmu padamu, Cucuku. Eyang hanya ingin
menurunkan pukulan 'Lidah Bianglala'."
"Pukulan 'Lidah Bianglala'...!" desis Silu-
man Ular Putih, tak dapat lagi menyembunyikan
perasaan gembira. Sebab Soma tahu, pukulan
'Lidah Bianglala' adalah salah satu ilmu langka
yang hanya dimiliki Eyang Bromo.
"Ya! Eyang harap, kau harus mengeluarkan
ilmu ini seperlunya saja. Jangan dikeluarkan ka-
lau keadaan belum benar-benar terjepit. Kau pa-
ham, Cucuku!" pesan Eyang Bromo. "Iya, Eyang."
"Nah...! Sekarang, lekas kerahkan Tenaga
Inti Kapas'-mu! Eyang ingin menyalurkan ilmu
pukulan 'Lidah Bianglala' ke dalam tubuhmu!"
perintah Eyang Bromo.
"Baik, Eyang."
Tanpa diperintah lagi, Siluman Ular Putih
segera menuruti. Begitu ilmu 'Tenaga Inti Kapas'
dikerahkan, seketika Soma merasakan sekujur
tubuhnya ringan laksana kapas.
Eyang Bromo mengangguk-angguk seben-
tar. Lalu perlahan-lahan kedua telapak tangannya
mulai diusap-usap. Saat itu juga kedua telapak
tangannya berubah jadi putih berkilauan.
Siluman Ular Putih memandang takjub.
Belum pernah rasanya pemuda itu melihat ilmu
Eyang Bromo sehebat itu. Dari hawa dingin yang
ditebarkan, ia tahu kalau 'Lidah Bianglala' me-
mang benar-benar suatu ilmu langka.
"Kerahkan 'Tenaga Inti Kapas'-mu dengan
kekuatan penuh, Cucuku! Eyang akan menyalur-
kan ilmu pukulan 'Lidah Bianglala' ke dalam tu-
buhmu...."
* * *
Siluman Ular Putih memejamkan mata ra-
pat-rapat. Samar-samar sekujur tubuhnya mulai
dipenuhi asap putih tipis, pertanda telah menge-
rahkan ‘Tenaga Inti Kapas’-nya dengan kekuatan
penuh.
"Bersiap-siaplah, Cucuku!"
Eyang Bromo terus mengusap-usapkan ke-
dua telapak tangan yang kian berubah jadi putih
berkilauan. Lalu perlahan-lahan sekali kedua te-
lapak tangannya direnggangkan. Seketika, tam
pak bulatan putih kecil berkilauan di antara ke-
dua telapak tangannya. Tak berapa lama, kedua
telapak tangannya pun didorong ke depan.
Seketika itu juga bulatan-bulatan kecil
berwarna putih berkilauan melesat cepat ke da-
lam perut Siluman Ular Putih.
Werrr! Werrr!
Tubuh Siluman Ular Putih kontan bergetar
hebat. Hampir saja tubuhnya terjengkang kalau
tidak cepat mengerahkan tenaga dalam kuat-
kuat. Sedang bulatan-bulatan kecil berwarna pu-
tih berkilauan dari kedua telapak tangan Eyang
Bromo terus mengalir deras ke dalam tubuhnya.
Siluman Ular Putih saat itu juga merasa-
kan hawa dingin yang bukan kepalang seolah-
olah ingin mengobrak-abrik isi perutnya. Entah
sudah berapa kali mulutnya mengeluh tertahan.
Sekujur tubuhnya menggigil hebat. Hampir saja
pemuda ini tak kuat menahan. Namun karena
terdorong keinginan kuatnya. Soma tetap memak-
sakan diri.
"Bertahanlah, Cucuku! Kau pasti kuat,"
ujar Eyang Bromo memberi semangat. Parasnya
yang renta pun tampak mulai dipenuhi keringat.
Meski demikian keadaannya tetap kelihatan tegar.
Sedikit pun tidak mencerminkan rasa letih akibat
terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam.
Mendengar ucapan Eyang Bromo, Siluman
Ular Putih memilih diam. Karena dengan cara itu
sajalah perhatiannya dapat dipusatkan. Sambil
menggeletukkan gerahamnya kuat-kuat, dico-
banya untuk memompa semangat yang hampir
luruh karena didera hawa dingin yang terus men-
gaduk-aduk dalam tubuhnya.
"Sekarang kendalikanlah hawa dingin yang
mengeram dalam tubuhmu, Cucuku!"
Perlahan-lahan Eyang Bromo menurunkan
kedua telapak tangannya seperti semula. Semen-
tara, hawa dingin yang mengaduk-aduk dalam
tubuh Siluman Ular Putih kian hebat. Mulutnya
mengeluarkan keluhan berkali-kali saking tak ta-
han didera hawa dingin yang mengaduk-aduk da-
lam tubuhnya. Meski demikian, Siluman Ular Pu-
tih tetap memperhatikan petunjuk-petunjuk
Eyang Bromo untuk mengendalikan hawa dingin
dalam tubuhnya.
Sepeminum teh kemudian, Siluman Ular
Putih mulai dapat mengendalikan hawa dingin
dalam tubuhnya. Kini wajah murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo betapa piasnya.
"Syukur. Akhirnya kau dapat juga men-
gendalikan hawa dingin dalam tubuhmu, Cucu-
ku. Sekarang, cobalah hantam batang pohon itu!"
tunjuk Eyang Bromo ke batang pohon yang tum-
buh rindang di hadapannya. "Baik, Eyang."
Siluman Ular Putih cepat mengalihkan
perhatian ke arah sasaran. Kedua telapak tan-
gannya ditarik ke belakang seiring tarikan napas-
nya yang dalam. Untuk sesaat, pukulan 'Lidah
Bianglala' yang baru saja dipelajarinya disalurkan
ke kedua telapak tangan.
"Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Silu-
man Ular Putih menghantamkan kedua telapak
tangan ke depan. Seketika meluruk dua larik si-
nar putih berkilauan yang menjulur-julur dahsyat
laksana bianglala ke depan. Sebelum mengenai
sasaran, mendadak dua larik sinar putih dari ke-
dua telapak tangan Siluman Ular Putih tadi men-
gembang dan membungkus batang pohon.
Besss!
Krekk! Krekkk!
Dua gulungan sinar putih dari kedua tela-
pak tangan Siluman Ular Putih terus membung-
kus batang pohon. Dan saat Soma menurunkan
kedua telapak tangannya, gulungan sinar putih
itu pun sirna. Sementara batang pohon itu pun
luruh ke tanah. Batang dan daun-daunnya lang-
sung hancur berkeping-keping dengan warna be-
rubah menjadi kelabu!
Siluman Ular Putih tertegun, seolah tak
percaya dengan apa yang dilihat.
"Edan! Tak kusangka pukulan 'Lidah Bian-
glala' demikian hebat. Hm...! Kukira aku sekarang
sudah mampu menghadapi kehebatan Hantu
Tangan Api," gumam Siluman Ular Putih.
"Bagus! Untuk tahap pertama, kau sudah
cukup bagus, Cucuku. Nanti kalau dua larik si-
nar putih dari kedua telapak tanganmu sudah
dapat kau ubah menjadi dua gulungan asap, baru
kau dapat menguasai pukulan 'Lidah Bianglala'
seperti aku menguasai pukulan itu," jelas Eyang
Bromo dengan wajah berseri. Meski wajah kakek
renta itu tampak masih pias, namun tetap saja
tak mampu menyembunyikan rasa kagumnya.
"Terima kasih, Eyang. Tapi, apakah aku
dapat mencapai tingkat yang Eyang maksudkan
dalam waktu singkat?" tanya Siluman Ular Putih
penasaran.
"Tentu. Asal kau giat berlatih. Untuk itu,
kau harus terus berlatih agar ilmu yang kuturun-
kan ini benar-benar dapat digunakan untuk me-
negakkan kebenaran di muka bumi ini."
"Aku akan terus mencobanya sampai da-
pat, Eyang. Sesulit apa pun tingkatan yang kau
maksud, pasti aku akan berusaha mencapainya,"
tandas Siluman Ular Putih bersemangat.
"Bagus! Aku senang sekali mendengar ke-
sanggupanmu. Sekarang, kukira sudah waktunya
aku kembali ke Curug Muncar. Harap jaga dirimu
baik-baik, Cucuku!"
"Kenapa Eyang buru-buru? Kulihat wajah
Eyang pucat. Baiknya Eyang istirahat dulu me-
mulihkan tenaga dalam dulu!" cegah Siluman
Ular Putih cemas.
"Aku dapat menjaga diri, Cucuku! Selamat
tinggal!" ucap Eyang Bromo kemudian.
Saat itu juga, Eyang Bromo menutulkan
kakinya ke tanah. Dan seketika, sosoknya yang
tinggi kurus pun melesat cepat dan segera meng-
hilang di kerimbunan depan sana.
"Hebat bukan main ilmu meringankan tu-
buhnya Eyang Bromo. Meski aku mengerahkan
ilmu meringankan tubuh 'Menjangan Kencono',
belum tentu dapat menyusulnya. Hm...! Pantas
saja ia sangat ditakuti di dunia persilatan," gu-
mam Siluman Ular Putih bcrdecak kagum. "Kalau
aku sudah menguasai pukulan 'Lidah Bianglala'
aku harus secepatnya menemukan Hantu Tangan
Api. Aku tak ingin tokoh sesat dari Bukit Pedang
itu membuat onar di dunia persilatan!"
DUA
Di dalam sebuah goa tersembunyi di kawa-
san hutan kecil, seorang lelaki tua berbaju jubah
hitam dan bertopi panjang juga berwarna hitam
tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang
gadis berbaju ketat warna hijau. Mereka saling
menatap sebentar, namun si gadis menundukkan
kepala dalam-dalam.
Si gadis mendesah, seolah ada sesuatu
yang mengganjal hatinya. Sikapnya serba salah,
tak tahu apa yang harus dikerjakan.
"Aneh...!" desis si gadis, nyaris tak kentara.
"Kenapa hatiku jadi risau begini? Kenapa aku su-
lit sekali melupakan Siluman Ular Putih?"
Memang, sejak berpisah sekaligus berteng-
kar dengan Siluman Ular Putih, hati gadis yang
tak lain Arum Sari kian dililit perasaan bingung
tak menentu. Meski merasa kesal terhadap sikap
Soma, namun sebenarnya dalam hatinya sangat
mencintai.
"Ada apa Arum? Kulihat kau gelisah sekali.
Apa ada sesuatu yang membebani pikiranmu?"
tanya lelaki tua berbaju besar warna hitam yang
tak lain Pendidik Ulung.
Arum Sari tak mampu menjawab perta-
nyaan Pendidik Ulung. Wajahnya malah kian disembunyikan dalam-dalam menekuri tanah di ba-
wahnya. Bibirnya pun digigit kuat-kuat. Meski tak
berkata sepatah kata pun, namun Pendidik Ulung
sudah tahu kalau si gadis tengah memikirkan se-
suatu.
"Apa kau masih teringat Siluman Ular Pu-
tih?" tanya Pendidik Ulung menduga-duga.
Arum Sari mendesis. Kepalanya menenga-
dahkan sebentar. Tampak dari wajahnya yang
pucat tergambar sebuah kegetiran hidup yang su-
lit dimengerti.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku. Arum?
Jadi benar, kau sedang memikirkan Siluman Ular
Putih?" desak Pendidik Ulung, seperti dapat
membaca apa yang tengah membebani hati Arum
Sari.
Si gadis menggeleng perlahan.
"Jangan berdusta. Arum! Aku tahu, kau
pasti sedang memikirkan bocah gondrong itu."
Arum Sari tetap bungkam, seperti mati ku-
tu. Di samping itu, ia berpikir tak ada gunanya
membicarakan masalah dirinya dengan Siluman
Ular Putih. Apalagi Soma kelihatannya tidak begi-
tu menyukainya. Bahkan bisa jadi pemuda itu le-
bih menyukai Ratu Adil. (Untuk lebih jelasnya
mengenai hal ini, silakan baca episode sebelum-
nya: "Hantu Tangan Api").
"Paman! Sebenarnya apa yang ingin Paman
bicarakan?" tanya Arum Sari tiba-tiba.
Kini gantian Pendidik Ulung yang bung-
kam. Matanya hanya menatap Arum Sari untuk
beberapa saat, lalu mendesah panjang.
"Ada apa, Paman? Tampaknya ada sesuatu
yang sedang kau sembunyikan?" desak Arum Sa-
ri.
Pendidik Ulung menggeleng perlahan. Se-
mentara benaknya tengah berkecamuk tentang
sebuah keinginan. "Aku sebenarnya ingin men-
gangkatmu menjadi muridku, Arum. Tapi sayang,
aku sudah telanjur dikecewakan Prameswara dan
Samber Nyowo. Jadi, aku harus hati-hati untuk
memilih siapa saja yang akan kujadikan murid.
Aku tak ingin dikecewakan untuk yang ketiga
kali. Untuk itu aku harus menguji calon muridku
terlebih dulu...."
"Kenapa, Paman? Kenapa Paman meman-
dangiku seperti itu?" sentak Arum Sari, menga-
getkan Pendidik Ulung yang berkata-kata sendiri
dalam hati.
"Tidak ada apa-apa. Arum. Aku hanya...."
"Ah...! Pasti Paman sedang menyembunyi-
kan sesuatu. Kalau tidak, mustahil Paman segu-
gup ini," terabas Arum Sari.
Pendidik Ulung menggeleng-geleng. Bibir-
nya dicoba dipaksakan untuk tersenyum. "Tapi,
Paman...."
"Tunggu!"
Tiba-tiba Pendidik Ulung mengisyaratkan
Arum Sari untuk diam. Sedang sepasang matanya
yang kelabu kontan jelalatan ke sana kemari.
Samar-samar telinganya memang mendengar
langkah-langkah halus di sekitar goa tempat me-
reka bersembunyi.
"Ada apa, Paman?" bisik Arum Sari, ber
tanya.
"Tampaknya ada beberapa orang tengah
melintas di sekitar gua ini. Arum," sahut Pendidik
Ulung, memberi tahu.
"Ah.... Jangan-jangan bajingan-bajingan itu
lagi, Paman?" duga Arum Sari cemas.
"Kalau mereka, aku tak begitu mengkhawa-
tirkan, Arum. Tapi kalau bangkotan tua yang ber-
gelar Hantu Tangan Api sudah mengetahui tem-
pat persembunyian kita, wah...! Bisa celaka!"
Arum Sari diam tak menyahut. Kalau Pen-
didik Ulung yang sudah sangat terkenal di dunia
persilatan sampai gentar menghadapi seseorang,
berarti sulit dibayangkan betapa tingginya ilmu
orang itu. Kalau tidak, mustahil Pendidik Ulung
jadi gentar seperti itu. Begitu pikir Arum Sari.
"Sebentar! Aku ingin melihatnya keluar.
Arum."
Pendidik Ulung segera berkelebat keluar
dari gua tempat persembunyiannya. Hanya dalam
sekelebatan saja, sosoknya telah menghilang di
balik mulut gua.
Sejenak Arum Sari seperti tidak tahu apa
yang harus diperbuat. Namun karena terdorong
rasa penasaran untuk mengetahui siapa orang
yang ditakuti Pendidik Ulung, tubuhnya segera
berkelebat menyusul.
* * *
Dari balik semak belukar, Pendidik Ulung
dan Arum Sari melihat seorang lelaki bertubuh
tinggi besar dengan pakaian serba hijau tengah
memandang berkeliling tak jauh dari gua. Usia le-
laki berparas bengis itu kira-kira empat puluh ta-
hun. Rambutnya panjang sebahu dengan ikat ke-
pala dari kain berwarna hijau pula. Sedang sepa-
sang matanya yang merah menyala terus menya-
pu sekitarnya.
Tak jauh dari lelaki berperangai kasar itu,
tampak pula puluhan lelaki kasar yang juga ber-
pakaian serba hijau yang berdiri di samping kuda
masing-masing.
"Setan Haus Darah...!" desis Arum Sari.
"Sssstt...!"
Buru-buru Pendidik Ulung mengisyaratkan
Arum Sari untuk diam dengan menempelkan te-
lunjuk di bibirnya. Tanpa banyak membantah, si
gadis menuruti perintah.
"Surono! Di mana Arum Sari yang pernah
kau lihat itu, he?!" bentak Setan Haus Darah, ga-
rang.
Seorang lelaki kasar yang juga berpakaian
serba hijau segera maju menghampiri lelaki ber-
tubuh tinggi besar yang tak lain Setan Haus Da-
rah. Memang, mereka semua tergabung dalam
Pasukan Laskar Hijau yang akhir-akhir ini mere-
sahkan para penduduk kampung.
"Ketua! Dua hari yang lalu aku pernah me-
lihat gadis itu tengah berlatih silat di sekitar hu-
tan ini. Aku yakin, gadis itu dan Pendidik Ulung
pasti bersembunyi di sekitar sini," jawab Surono
seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Tapi buktinya mana? Dari tadi aku tak
menemukan batang hidung gadis itu?!"
Surono gelagapan. Matanya pun makin liar
memperhatikan keadaan sekitar.
"Sekali ini kau berbohong, kau akan tahu
rasa, Surono!" bentak Setan Haus Darah sarat
ancaman.
"Tid.... Tidak, Ketua. Dua hari yang lalu
akan benar-benar melihat gadis itu sedang berla-
tih silat di sekitar hutan ini...," tegas Surono ge-
metaran.
"Huh!" Setan Haus Darah mendengus gu-
sar. Pandangan matanya kembali beredar ke se-
genap penjuru.
"Buat apa kau memiliki anak buah tak be-
cus begitu, Singgih! Bunuh saja dia biar tahu ra-
sa!"
Tiba-tiba terdengar bentakan garang yang
disusul berkelebatnya sesosok bayangan merah
ke tempat itu. Di kejap kemudian, bayangan itu
telah berdiri tak jauh dari Setan Haus Darah. Ia
adalah seorang lelaki tua berpakaian ringkas
warna merah menyala. Dari rambut, bulu mata,
alis mata, dan juga jenggotnya yang panjang juga
berwarna merah menyala. Sepasang matanya
yang melesak di antara tulang-tulang pipinya
yang bertonjolan mencorong beringas.
Sekilas sosok lelaki tua itu memang seperti
tak bertenaga. Sekali dorong, tentu tubuh kurus
keringnya akan terjungkal. Namun kalau menilik
raut wajah dan juga sorot matanya, jelas sekali
kalau kepandaiannya tak bisa dianggap semba-
rangan. Apalagi dengan kemunculannya yang tak
terduga-duga. Buktinya tadi, dalam sekejap so-
soknya telah berdiri di hadapan Selan Haus Da-
rah.
"Guru...!" sambut Setan Haus Darah, men-
desis.
Hantu Tangan Api hanya mendengus ang-
kuh. Sedikit pun tidak menanggapi ucapan mu-
ridnya. Wajahnya yang garang malah dialihkan ke
arah tangan kanan muridnya.
Surono menggigil di tempatnya. Parasnya
kontan pucat pasi. Tanpa sadar kakinya melang-
kah mundur.
"Kambing jelek macam begitu saja dipeliha-
ra!"desis Hantu Tangan Api.
Sementara Pendidik Ulung yang melihat
kemunculan Hantu Tangan Api jadi gelisah.
"Celaka! Kalau bangkotan tua itu muncul,
bisa berabe semua ini," keluh Pendidik Ulung da-
lam hati.
Arum Sari yang belum mengenal Hantu
Tangan Api sedikit pun tidak menunjukkan rasa
takut. Malah terus diperhatikannya tokoh sesat
dari Bukit Pedang itu dengan seksama.
"Katakan! Dengan cara apa kau ingin me-
nemui ajalmu, Kambing Jelek!" bentak Hantu
Tangan Api.
Surono terus melangkah mundur. Hatinya
makin kecut bukan main.
"Ampun..., Ketua Besar! Aku.... Aku tidak
berbohong. Aku.... Aku...," sahut Surono gugup.
"Setan! Aku tidak menyuruhmu minta am-
pun, tahu?! Aku menyuruhmu mengatakan kema
tian macam apa yang kau inginkan," bentak Han-
tu Tangan Api tak dapat lagi mengendalikan ama-
rah.
Tiba-tiba saja Hantu Tangan Api mendo-
rong kedua telapak tangan ke depan. Saat itu ju-
ga dua larik kobaran api melesat dari kedua tela-
pak tangan Hantu Tangan Api, siap mengganyang
tubuh Surono.
"Ja.... Jangan...!" pekik Surono ketakutan.
Namun belum sempat lelaki itu bertindak
lebih lanjut, tubuhnya telah diganyang kobaran
api dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api.
Tanpa ampun, Surono kontan menjerit-jerit
menyayat. Tubuhnya limbung ke sana kemari
sambil berusaha mengebut-ngebutkan api yang
membakar sekujur tubuhnya. Namun sayang,
usahanya sia-sia. Makin lama kobaran api yang
memanggang tubuhnya makin hebat.
Pendidik Ulung dan Arum Sari yang meli-
hat kekejian itu jadi tak dapat mengendalikan diri
lagi. Maka demi pertimbangan kemanusiaan, me-
reka segera melompat keluar dari tempat persem-
bunyian. Namun agaknya, untuk menolong Suro-
no agaknya sudah tak mungkin. Lelaki itu sudah
ambruk dengan tubuh melejang-lejang.
"Biadab! Sungguh kejamnya kau memper-
lakukan orang itu seperti ini. Apa salahnya,
hah?!" bentak Pendidik Ulung begitu mendarat
tak jauh dari tubuh Surono bersama Arum Sari.
"Tua bangka tak berperasaan! Kau tak
ubahnya seperti iblis dari liang kubur. Tak mung-
kin aku membiarkan sepak terjangmu yang telen
gas itu begitu saja!" hardik Arum Sari.
Mendengar bentakan-bentakan di samping,
Hantu Tangan Api dan semua yang berada di
tempat itu segera berpaling ke arah datangnya
suara. Tak jauh dari situ, Pendidik Ulung dan
Arum Sari tengah memandang Hantu Tangan Api
penuh kemarahan. Sedang tubuh Surono yang
terbakar tampak sudah tak bergerak-gerak lagi
dalam keadaan hangus terbakar!
Melihat siapa yang datang, Hantu Tangan
Api kontan tertawa bergelak. Sambil berkacak
pinggang, tokoh sesat dari Bukit Pedang ini terus
memperhatikan Pendidik Ulung dan Arum Sari
dengan sinar mata meremehkan.
"Jangan banyak bacot! Kalian juga akan
mengalami nasib sama," geram Hantu Tangan
Api. "Apalagi kau telah mempermalukan muridku,
Pendidik Ulung! Kenapa kau tak lekas muncul,
hingga aku sampai menurunkan tangan maut pa-
da kambing jelek itu?"
"Hantu Tangan Api! Sejak dulu kau selalu
menebar angkara murka. Kaulah yang selalu
menjadi biang petaka dunia persilatan. Hari ini,
aku tak mungkin membiarkan sepak terjangmu
begitu saja! Meski kesaktianmu setinggi langit se-
kalipun, jangan dikira aku takut menghadapimu,
Hantu Tangan Api!" bentak Pendidik Ulung sengit.
Melihat gelagat yang kurang baik, Setan
Haus Darah segera memerintahkan anak buah-
nya untuk mengurung tempat pertarungan. Me-
reka siap membantu gurunya bila keadaan me-
maksa.
"Mundur! Biar aku yang menghadapi me-
reka!" geram Hantu Tangan Api, beringas.
Setan Haus Darah dan anak buahnya sege-
ra melangkah mundur. Dari kejauhan mereka te-
rus menyaksikan apa yang akan dilakukan Ki
Banaspati alias Hantu Tangan Api"
"Lagakmu pongah sekali, Hantu Tangan
Api! Sayang sekali, kau dilahirkan hanya untuk
menjadi biang malapetaka dunia persilatan!" desis
Pendidik Ulung.
"Bajingan! Bacotmu kian memerahkan te-
lingaku, Pendidik Ulung! Kali ini aku benar-benar
menginginkan nyawa busukmu, Tua Bangka Ke-
parat!" geram Hantu Tangan Api tak main-main.
"Kakek jahat! Kau pikir kami takut dengan
ancamanmu? Kalau kau ingin membunuh kami,
lakukanlah! Jangan hanya mengancam saja," ejek
Arum Sari merasa panas.
"Gadis bengal! Aku memang akan mengha-
bisi kalian semua. Dan, kaulah orang pertama
yang akan menjadi korbanku!" hardik Hantu Tan-
gan Api.
Maka tanpa banyak cakap lagi, tokoh sesat
dari Bukit Pedang ini segera menghantamkan ke-
dua telapak tangan ke arah sasaran.
TIGA
Dua larik kobaran api yang ditingkahi ha-
wa panas luar biasa yang berkesiuran kembali ke-
luar dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api.
Kali ini tampak begitu menggiriskan disertai sua-
ra bergemeletakkan.
Werrr! Werrr!
Pendidik Ulung dan Arum Sari terkesiap.
Melihat kobaran api yang demikian dahsyat, me-
reka tahu kalau Hantu Tangan Api tidak main-
main dengan ancamannya.
Tanpa buang-buang waktu lagi, Pendidik
Ulung dan Arum Sari segera bertindak dengan
melemparkan tubuh masing-masing ke samping.
Sehingga, kobaran api dari kedua telapak tangan
Hantu Tangan Api terus melabrak ke belakang,
langsung menghantam batang pohon.
Brakkk!
Batang pohon di belakang Pendidik Ulung
dan Arum Sari kontan dilalap kobaran api yang
menyala-nyala. Suaranya terdengar bergemele-
takkan saat ranting-ranting dan daun-daun po-
hon itu terbakar. Hanya dalam waktu yang tidak
lama batang pohon itu pun tumbang!
Blammm!
Debu-debu kontan beterbangan tinggi
menghalangi pandangan. Gumpalan-gumpalan
asap hitam yang ditingkahi percikan api yang
menyala menebar menghambur ke udara.
"Bangsat! Kalian pikir mudah mengecoh se-
ranganku, hah?! Jangan mimpi! Kalian tetap akan
modar di tanganku!" geram Hantu Tangan Api
murka bukan main ketika debu dan asap yang
menghalangi pandangan mata tertiup angin.
"Kakek telengas! Lakukan saja kalau kau
mampu! Kenapa banyak bicara?!" ejek Arum Sari.
Sekali menggerakkan tangannya, pedang pusaka
yang menggelantung di pinggangnya telah ter-
genggam di tangan kanan.
"Hantu Tangan Api! Kau memang benar-
benar memuakkan! Enak benar kau bicara hidup
mati seseorang! Apa dipikir, kau yang menguasai
nyawa orang?!" ejek Pendidik Ulung.
Diam-diam lelaki tua ini pun mulai me-
nyiapkan jurus andalan 'Tangan Maut Dewa
Kayangan' disertai pengerahan tenaga dalam. Lu-
tut kanannya segera diangkat dalam-dalam. Se-
dang kedua telapak tangannya direntangkan bak
sayap burung garuda.
"Jurus picisan 'Tangan Maut Dewa Kayan-
gan' macam itu mana mampu menghadapi seran-
ganku!"
Di akhir ejekannya, Hantu Tangan Api se-
gera memutar tubuhnya sedemikian rupa dengan
kedua telapak tangan meliuk-liuk liar laksana tar-
ing-taring tajam kalajengking. Dengan putaran
tubuhnya, perlahan-lahan mulai didekatinya
Pendidik Ulung.
"Hea!"
Bed...!
Tiba-tiba Hantu Tangan Api melontarkan
tendangan memutar. Angin keras kontan berke-
siur menampar-nampar kulit tubuh. Namun Pen-
didik Ulung tak kalah sigap. Kedua tangannya ce
pat mengibas dari dalam keluar!
Plakk! Plakkk!
Tubuh kedua orang itu sama-sama berge-
tar hebat. Pendidik Ulung merasakan lengan tan-
gannya ngilu. Demikian juga yang dialami Hantu
Tangan Api. Namun tubuh Hantu Tangan Api
hanya sempat bergetar sebentar, membuktikan
kalau tenaga dalamnya masih setingkat lebih
tinggi dibanding lawan.
"Kakek telengas! Makanlah pedangku!
Hea!"
Diiringi teriakan nyaring. Arum Sari yang
merasa penasaran melihat sepak terjang Hantu
Tangan Api, cepat menerjang ke depan dengan
pedang di tangan. Tidak tanggung-tanggung lang-
sung dikeluarkannya jurus andalan 'Tongkat Se-
laksa Badai'. Maka saat itu juga tercipta gulun-
gan-gulungan sinar pedang di tangan Arum Sari
yang seperti mengeluarkan bunyi menggemuruh
ditingkahi amukan badai!
Melihat serangan datang, Hantu Tangan
Api yang sebenarnya ingin menyerang Pendidik
Ulung terpaksa harus membelokkan arah seran-
gan. Begitu merasakan angin kencang menampar-
nampar kulit tubuh, tanpa menoleh sama sekali
ke arah Arum Sari, tiba-tiba tubuhnya berputar
sedemikian rupa. Dan tahu-tahu, tendangan me-
mutarnya telah mengancam perut Arum Sari.
"Ah...!"
Arum Sari terkejut bukan main. Gadis ini
tidak menyangka akan mendapat serangan demi-
kian cepat. Untuk menghindar rasanya tidak
mungkin. Karena, serangan Hantu Tangan Api
datangnya cepat tak terduga-duga. Akibatnya....
Bukkk!
"Aaakh!"
Perut Arum Sari pun jadi sasaran empuk
serangan Hantu Tangan Api. Diiringi pekik kesa-
kitan tubuhnya terlempar jauh ke belakang dan
terbanting keras.
Brukkk!
Arum Sari kalap bukan main sambil men-
dekap perutnya kuat-kuat. Matanya berkunang-
kunang. Darah segar tampak mengalir dari sudut-
sudut bibir. Tendangan kaki Hantu Tangan Api
tadi memang benar-benar membuat isi perutnya
terguncang!
"Hantu Tangan Api! Jangan banyak lagak
di hadapan gadis kemarin sore! Akulah lawanmu!"
teriak Pendidik Ulung keras.
Tanpa banyak cakap lagi. Pendidik Ulung
segera menerjang Hantu Tangan Api. Kedua tela-
pak tangannya yang berwarna putih berkilauan
siap melontarkan pukulan maut. Begitu kedua te-
lapaknya menghantam ke depan, maka melesat
dua larik sinar putih berkilauan menerabas ke
depan, siap melabrak tubuh Hantu Tangan Api.
Wesss! Wesss!
Hantu Tangan Api tentu saja tak mau ka-
lah. Kedua telapak tangannya yang telah berubah
jadi merah menyala segera menghantam ke depan
memapak serangan Pendidik Ulung. Maka itu dua
gulungan bola api ditingkahi hawa panas bukan
main yang meluncur dari kedua telapaknya lang
sung melabrak dua larik sinar putih dari kedua
telapak tangan Pendidik Ulung.
Derrr! Derrr!
Terdengar dua kali ledakan disertai perci-
kan bunga api yang ketika pukulan andalan mas-
ing-masing berbenturan. Seketika tempat perta-
rungan jadi terang benderang. Batang-batang po-
hon yang banyak berjajar di sekitar tempat perta-
rungan jadi porak-poranda.
Tepat ketika terjadi ledakan, tubuh Pendi-
dik Ulung terjajar beberapa langkah ke belakang
dengan paras pucat pasi. Kedua telapak tangan-
nya melepuh. Sementara seisi dadanya terasa ter-
bakar hawa panas yang bukan kepalang! Buru-
buru diambilnya beberapa obat pulung berwarna
kuning dari dalam jubah dan ditelannya.
Sedangkan Hantu Tangan Api yang tubuh-
nya tadi juga sempat terjajar ke belakang hanya
tertawa bergelak. Puas sekali ia melihat basil se-
rangannya kali ini. Parasnya yang garang tampak
demikian mengerikan dengan sepasang mata
mencorong sarat akan kekejian.
Arum Sari yang melihat Pendidik Ulung
mengalami luka dalam cukup lumayan jadi kalap.
Apalagi tubuhnya pun telah terluka oleh serangan
Hantu Tangan Api. Tanpa banyak pikir panjang,
segera dikeluarkannya pukulan andalan 'Aji Gada
Bumi'. Maka begitu kedua telapak tangan murid
Nenek Rambut Putih ini pun telah berubah jadi
kuning, diiringi teriakan nyaring dihantamkannya
dengan kekuatan penuh.
"Hea!"
Dua larik sinar kuning menyilaukan mata
meluruk dari kedua telapak tangan Arum Sari,
siap melabrak tubuh Hantu Tangan Api.
Wesss! Wesss!
Sebagai tokoh tingkat tinggi, Hantu Tangan
Api cepat tanggap. Maka begitu merasa hawa din-
gin berkesiur menyerang punggung, lelaki ini jadi
murka bukan main. Parasnya yang garang jadi
mengelam. Ini menandakan kalau tokoh sesat da-
ri Bukit Pedang tak dapat lagi mengampuni kesa-
lahan lawan. Saat itu juga dikerahkannya tenaga
dalam sepenuhnya. Begitu tubuhnya memutar
sedikit ke samping kedua tangannya menghentak.
Derrr! Derrr!
Terdengar ledakan dahsyat begitu gulun-
gan dua bola api dari kedua telapak tangan Hantu
Tangan Api melabrak dua larik sinar kuning ber-
kilauan dari kedua telapak tangan Arum Sari. Pa-
da saat yang sama juga terdengar jerit menyayat
hati dari mulut Arum Sari. Tubuhnya langsung
melayang jauh ke belakang bak layangan putus
talinya. Sejenak tubuh ramping murid Nenek
Rambut Putih itu berputar-putar, lalu terbanting
keras
Brukkk!
Arum Sari menjerit tertahan. Tangannya
tampak menggapai-gapai berusaha untuk menca-
ri pegangan agar bisa bangkit. Namun sayang,
tubuhnya keburu luruh ke tanah bersamaan den-
gan meluncurnya cairan merah darah dari mu-
lutnya. Setelah itu tubuhnya tak bergerak-gerak
lagi. Entah pingsan, entah tewas!
"Bajingan! Kau apakan gadis itu, Tua
Bangka Keparat!" maki Pendidik Ulung kalap bu-
kan main. Sekali lihat saja ia tahu kalau gadis itu
menderita luka dalam hebat yang bisa saja me-
renggut nyawa.
"Kau lihat sendiri nanti, apa yang menimpa
gadis bengal itu! Sekarang giliranmulah yang ha-
rus modar di tanganku," desis Hantu Tangan Api
sarat hawa membunuh.
Pendidik Ulung geram bukan main. Wajah-
nya yang teduh mendadak mengelam, pertanda
tak dapat lagi mengendalikan hawa amarah. Buk-
tinya saja, jurus andalannya segera dikeluarkan
'Tulisan Gaib Dewa Kayangan'. Itu terlihat dari
tubuhnya yang meliuk-liuk indah. Jari-jari tan-
gannya pun mulai menggurat-gurat udara. Jari-
jari tangan kanan menggurat-gurat dari kanan ke
kiri. Sedang jari-jari tangan kiri menggurat-gurat
dari kiri ke kanan. Dan dari setiap guratan jari-
jari tangan ternyata mampu mengeluarkan bunyi
mencicit yang amat memekakkan telinga.
Hantu Tangan Api menyurutkan langkah
ke belakang. Sepasang matanya yang merah kon-
tan membelalak liar.
"'Tulisan Gaib Dewa Kayangan'...!" desis
Hantu Tangan Api penuh takjub.
"Bagus, kalau kau masih ingat dengan ju-
rusku. Berarti aku tak sia-sia kalau nyawa bu-
sukmu melayang ke akhirat," desis Pendidik
Ulung.
Hantu Tangan Api kini tertawa bergelak.
"Jangan bangga dulu, Pendidik Ulung! Mari
kita lihat, apakah kau sanggup menahan pukulan
'Gemuruh Badai Api'-ku?" tukas Hantu Tangan
Api, tak kalah gertak.
"Jangan banyak bacot! Keluarkanlah puku-
lan andalanmu itu! Aku ingin lihat, sampai di
mana kehebatanmu!" balas Pendidik Ulung sengit.
"Keparat! Kau akan modar, Pendidik Ulung!
Makanlah pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Hantu Tangan
Api menghentakkan kedua telapak tangan ke de-
pan, membuat dua gulungan api yang berkobar-
kobar melesat cepat ke depan. Angin kencang
yang menderu-deru pun turut menyertai datang-
nya kobaran api sebelum mengenai sasaran!
Werrr! Werrr!
Pendidik Ulung terkesiap kaget. Melihat da-
tangnya serangan yang demikian hebat, ia tahu
kalau tokoh sesat dari Bukit Pedang ini telah
menggunakan pukulan andalan dengan kekuatan
tenaga dalam penuh. Maka tanpa banyak pikir
panjang lagi, jari-jari telunjuk tangannya yang da-
ri tadi menggurat-gurat di udara segera diperte-
mukan.
Classs!
Seketika selarik sinar putih yang berkerilap
melesat dari ujung telunjuk Pendidik Ulung den-
gan kecepatan mengagumkan. Akibatnya, puku-
lan Hantu Tangan Api yang meluncur cepat lang-
sung terpapak.
Besss!
Tak ada bunyi ledakan yang berarti akibat
pertemuan dua tenaga dalam tingkat tinggi baru
san. Namun hebatnya, tubuh kedua orang itu
sama-sama bergetar hebat. Tanah di sekitar tem-
pat pertarungan pun berguncang seperti terjadi
gempa dahsyat.
Sementara tubuh Pendidik Ulung perlahan-
lahan mulai tersurut ke belakang. Darah segar
mulai mengalir di sudut-sudut bibir, pertanda to-
koh sakti dari Lembah Kalierang itu menderita
luka dalam cukup parah.
Namun pendidik Ulung tak mau menerima
begitu saja. Dengan menggeletukkan geraham
kuat-kuat, kekuatan tenaga dalamnya kian di-
tambah.
Di tempatnya, Hantu Tangan Api malah
tertawa bergelak. Sedikit pun ia tak merasa kewa-
lahan menghadapi Pendidik Ulung. Malah gulun-
gan api yang berkobar-kobar dari kedua telapak
tangannya kian menghimpit sinar putih berkeri-
lap dari ujung jari-jari tangan Pendidik Ulung.
Akibatnya, tubuh Pendidik Ulung kian ter-
surut ke belakang. Wajahnya telah berubah pias.
Apalagi yang harus diperbuat? Sulit rasanya bagi
Pendidik Ulung menahan gelombang hawa panas
dari kobaran api tangan tokoh sesat dari Bukit
Pedang itu.
"Celaka! Kalau begini terus aku bisa modar
di tangan manusia bejat ini. Aku harus segera
bertindak...," gumam Pendidik Ulung, membatin.
Tanpa diduga Hantu Tangan Api, tiba-tiba
Pendidik Ulung menjejakkan kakinya ke tanah.
Tubuhnya langsung melenting tinggi ke udara,
hingga membuat gulungan kobaran api dari ke
dua telapak tangan Hantu Tangan Api terus me-
nerabas, menghantam batang pohon di belakang
Pendidik Ulung tadi.
Brasss!
Seketika pohon itu tumbang. Ranting-
ranting dan daun-daunnya terbakar hangus!
Masih berada di udara, Pendidik Ulung pun
merogoh sakunya, mengambil beberapa benda
sebesar telur puyuh. Langsung dilemparkannya
benda-benda itu ke arah Hantu Tangan Api.
Sepertinya yang telah diduga, Hantu Tan-
gan Api segera menangkis benda-benda itu den-
gan mengibaskan tangannya. Akibatnya....
Blarrr! Blarrr!
Seketika tempat pertarungan dipenuhi
asap putih pekat yang bergulung-gulung mengha-
langi pandangan. Tak henti-hentinya Hantu Tan-
gan Api mengeluarkan sumpah serapahnya. Lalu
dengan kegeraman memuncah, ujung jubahnya
segera dikibaskan. Satu angin berkesiur keras da-
ri kebutan jubah segera melabrak mengusir gu-
lungan asap putih yang memenuhi tempat perta-
rungan.
Namun begitu gulungan asap putih itu hi-
lang, ternyata tubuh Pendidik Ulung dan Arum
Sari tak lagi berada di tempat pertarungan. Hanya
di kejauhan sana, lelaki sesat itu melihat Pendidik
Ulung tengah berkelebat cepat sambil memon-
dong tubuh Arum Sari.
"Bajingan! Jangan biarkan tua bangka itu
lolos! Hayo, kejar mereka!"
EMPAT
Dalam terpaan semilir angin siang, Ratu
Adil tengah memandang jauh ke depan, ke arah
sebuah hamparan lembah hijau yang terasa len-
gang. Selengang hatinya. Sudah dua hari ini sejak
berpisah dengan Siluman Ular Putih, Ratu Adil
melakukan perjalanan seorang diri untuk mene-
mukan ayah kandungnya. Dan sudah banyak pu-
la orang-orang yang dimintai keterangan, namun
belum juga menemukan siapa orang yang berna-
ma Gendon Prakoso.
Murid Ratu Alit ini tidak putus asa. Ha-
tinya yakin sekali kalau akan bertemu dengan
ayah kandungnya. Cuma waktunya kapan me-
mang sulit ditentukan. Satu hal yang membuat-
nya yakin adalah keterangan gurunya. Gadis ini
percaya, Ratu Alit tidak hanya sekadar omong ko-
song belaka.
Di sisi lain ada juga yang membuat Ratu
Alit kecewa, karena perjalanannya tak ditemani
Soma. Padahal Siluman Ular Putih telah berjanji
akan menemaninya. Dan itu tak lain akibat cem-
buru buta Arum Sari terhadap Ratu Alit.
Ratu Alit masih ingat, bagaimana ia dan Si-
luman Ular Putih pada saat pingsan dibawa ke
dalam gua tempat persembunyian Pendidik Ulung
di sebuah kawasan hutan kecil. Namun di dalam
gua ternyata Pendidik Ulung tidak sendirian, tapi
ada gadis lain yang diketahuinya bernama Arum
Sari.
Melihat Siluman Ular Putih datang bersa-
ma Ratu Adil, Arum Sari jadi cemburu. Kecembu-
ruannya ini kian memuncak manakala pada kee-
sokan harinya. Soma dan Ratu Adil hendak ber-
pamitan. Gadis itu memaksa Soma untuk memi-
lih antara meneruskan perjalanan bersama-nya,
atau bersama Ratu Adil.
Melihat gelagat yang kurang baik, Ratu Adil
yang berwatak arif segera memilih untuk mening-
galkan Siluman Ular Putih. Namun ternyata Soma
pun tak mau menuruti permintaan Arum Sari.
Pemuda itu malah meneruskan perjalanan ke
utara.
Ratu Adil yang diam-diam menunggu Silu-
man Ular Putih kalau-kalau akan menyusul jadi
kecewa. Sebenarnya Ratu Adil telah merelakan Si-
luman Ular Putih untuk meneruskan perjalanan
bersama Arum Sari. Namun entah kenapa, begitu
meninggalkan pemuda itu hatinya jadi rusuh bu-
kan main. Terus terang Ratu Adil merasa me-
nyesal sekali dengan tindakannya. Juga, tindakan
Siluman Ular Putih. Untuk menghilangkan keke-
salannya gadis ini segera meneruskan perjala-
nannya seorang diri. (Baca episode : "Hantu Tan-
gan Api").
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Me-
nurut ramalan Peramal Maut, tak lama lagi aku
akan segera bertemu ayah kandungku bila sudah
bertemu seorang pemuda tampan yang diam-diam
mulai menarik hatiku. Siapkah sebenarnya pe-
muda yang dimaksudkan Peramal Maut itu? Si-
luman Ular Putih? Atau, Pembunuh Iblis? Sebab
baru dua pemuda itulah yang kukenal selama
ini...," gumam Ratu Adil dalam hati.
Teringat akan ramalan Peramal Maut, Ratu
Adil jadi ragu-ragu.
"Mungkinkah ramalan Peramal Maut dapat
dipegang kebenarannya? Rasa-rasanya, aku kok
tak begitu mempercayainya. Tapi, kenapa tiba-
tiba aku jadi selalu teringat Siluman Ular Putih?
Aneh! Apakah pemuda itu yang dimaksud Peram-
al Maut? Sebab, kalau mau jujur, rasa-rasanya
aku sudah mulai menyukai pemuda itu. Tapi...."
Ratu Adil tak meneruskan perang batinnya.
Ia hanya menggigit bibirnya resah. Lalu dihelanya
napas berulang-ulang, seolah-olah ingin menepis
keresahan dalam hati.
"Gendon Prakoso...," desis Ratu Adil tiba-
tiba. "Di manakah aku dapat menemukan ayah
kandungku? Rasa-rasanya sulit sekali mencari
seorang tokoh dunia persilatan hanya dengan
mengetahui namanya. Bagaikan mencari jarum
ditumpukan jerami. Kebanyakan tokoh dunia
persilatan pasti menggunakan gelarnya diban-
dingkan nama aslinya. Bahkan tidak mungkin
banyak tokoh dunia persilatan yang sudah lupa
dengan nama aslinya. Kalau hal ini menimpa
ayah kandungku, wah...! Bisa berabe! Mungkin
dalam waktu yang lama, aku baru dapat mene-
mukan ayah kandungku. Atau, malah sebaliknya.
Aku sama sekali tak dapat menemukan siapa
ayah kandungku...."
Berpikir sampai di sini, Ratu Adil malah
makin dililit keresahan. Berkali-kali napasnya di
hembuskan panjang-panjang. Namun, keresahan
itu masih saja menggelayuti hatinya.
"Sabar, Yustika! Sabar! Jangan putus asa!
Kau pasti akan menemukan siapa ayah kan-
dungmu," kata sudut hati kecilnya, mengin-
gatkan.
Sekali lagi Ratu Adil menghela napasnya
panjang. Bibirnya pun makin digigit kuat-kuat.
"Yah...! Apa pun yang akan terjadi, aku te-
tap akan meneruskan perjalanan ini. Aku harus
dapat menemukan siapa ayah kandungku...,"
tandas Ratu Adil akhirnya.
Saat itu juga murid Ratu Alit dari Nusa
Kambangan ini segera membalik arah tujuan.
Namun baru saja berbalik, mendadak gadis can-
tik berpakaian serba merah ini terkesiap kaget.
Ternyata di hadapannya sejauh tiga tombak telah
berdiri seorang pemuda.
"Pembunuh Iblis...?!"
* * *
"Maaf, kalau kedatanganku membuatmu
terkejut, Ratu Adil!" sahut pemuda berjubah biru
yang memang Pembunuh Iblis seraya mengumbar
senyum.
Melihat sikap bersahabat Pembunuh Iblis,
Ratu Adil hanya menyunggingkan senyum. Na-
mun hatinya sempat terheran-heran melihat ke-
munculan Teguh Sayekti yang tidak terduga-
duga, sekaligus lepas dari pendengarannya yang
tajam. Mengingat ini, si gadis sadar kalau pemuda
itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh lu-
mayan. Kalau saja Ratu Adil tidak sedang didera
keresahannya, pasti masih dapat menangkap su-
ara gerakannya.
"Jangan terlalu berbasa basi, Sobat! Aku
memang sempat terkejut melihat kemunculanmu
yang tiba-tiba ini. Tapi ngomong-ngomong, apa-
kah kau sedang mencari seseorang hingga lang-
kahmu sampai kemari?" tanya Ratu Adil dengan
suara lembut.
"Sebenarnya aku memang sedang mencari
seseorang. Mungkin malah dua orang. Tapi aku
yakin, bukan itu yang kau maksud. Aku hanya
merasa heran, kenapa sejak pagi kulihat Setan
Haus Darah dan pasukannya mondar-mandir di
sekitar hutan ini. Malah aku melihat seorang ka-
kek berpakaian serba merah dengan rambut yang
juga berwarna merah, ikut pula dalam rombongan
Setan Haus Darah. Tapi selanjutnya mereka su-
dah berpencar. Kakek merah itu tak lagi berga-
bung dengan Setan Haus Darah. Terus terang aku
jadi curiga sekali. Jangan-jangan mereka akan
membuat onar di tempat ini.
Paras Ratu Adil seketika memucat men-
dengar keterangan itu. Sesaat dia terdiam.
"Hm...! Mungkin dugaanmu benar, Sobat.
Sebab Hantu Tangan Api pasti sedang mencari Si-
luman Ular Pulih dan Pendidik Ulung," sahut Ra-
tu Adil, menggumam.
"Siapa Hantu Tangan Api itu, Ratu Adil?
Apakah kakek renta berpakaian serba merah itu?"
"Benar. Dialah yang bergelar Hantu Tangan
Api. Mungkin lelaki sesat itu merasa kesal melihat
muridnya Selan Haus Darah telah dikalahkan Si-
luman Ular Pulih. Jadi tak heran bila Hantu Tan-
gan Api turun tangan."
"Oh...! Jadi, Setan Haus Darah itu murid
dari Hantu Tangan Api?!" sentak Pembunuh Iblis
terkejut. Kepalanya mengangguk-angguk. "Pantas
kalau kakek itu mondar-mandir di sekitar tempat
ini. Hm...! Sekarang aku dapat menebak, pasti Si-
luman Ular Putih dan Pendidik Ulung berada di
sekitar hutan ini...."
"Dugaanmu memang benar, Sobat. Kukira
mereka memang masih berada di sekitar hutan
ini," kata Ratu Adil.
Entah kenapa, kali ini Pembunuh Iblis me-
nangkap sesuatu yang lain dari ucapan Ratu Adil.
Terutama sekali sewaktu gadis di hadapannya
menyebut nama Siluman Ular Putih.
"Hmm... mungkinkah gadis ini juga men-
cintai Siluman Ular Putih? Hm...," gumam hati
Pembunuh Iblis gelisah.
"Ada apa, Sobat? Kulihat raut wajahmu be-
rubah?" tanya Ratu Adil. Tatapannya penuh seli-
dik.
"Tidak. Aku tidak apa-apa." kilah Pembu-
nuh Iblis
"Tapi raut wajahmu berubah...," cecar Ratu
Adil tak percaya. "Aku yakin kau pasti sedang
memikirkan seseorang."
Pembunuh Iblis tak menyahut, kecuali
hanya menghela napas panjang seraya mengalih-
kan perhatian ke arah hamparan lembah hijau di
hadapannya.
"Ah, iya? Kau pasti sedang memikirkan se-
seorang. Boleh aku tahu, siapa orang yang sedang
kau pikirkan, Sobat?" tanya Ratu Adil tanpa ber-
maksud mencampuri urusan Pembunuh Iblis.
Hanya terdorong rasa persahabatannya sajalah
yang membuatnya bertanya demikian.
"Aku memang sedang gelisah memikirkan-
mu dan Arum Sari, Ratu Adil. Kenapa kalian sela-
lu tampak akrab dengan Siluman Ular Putih," je-
las Pembunuh Iblis, namun hanya dalam hati.
"Siapa, Sobat? Apa kau merasa keberatan
kalau mengatakan siapa orang yang sedang kau
pikirkan?" desak Ratu Adil.
"Tidak. Aku memang sedang memikirkan
seseorang, mungkin malah dua orang. Tapi,
sayang. Sampai sekarang aku belum juga mene-
mukan mereka," keluh Pembunuh Iblis.
"Siapa orang yang sedang kau cari itu, So-
bat?" tanya Ratu Adil penasaran.
"Hhh...!" Pembunuh Iblis mendengus.
"Ayah dan adik kandungku...."
"Kau sedang mencari ayah dan adik kan-
dungmu?!" pekik Ratu Adil dengan mata membe-
lalak lebar.
"Ya. Tapi sayang, sampai sekarang aku be-
lum juga menemukan mereka. Kalau menurut ke-
terangan guruku, Kakek Pikun dari Gunung Sla-
met, adik kandungku tentu sudah sebesar kau,
Ratu Adil," jelas Pembunuh Iblis melanjutkan
tanpa diminta.
"Oh, ya? Kalau boleh tahu, siapa sebenar
nya ayah dan adik kandungmu? Kita senasib! Aku
juga sedang mencari ayah kandungku. Tapi se-
perti yang kau alami, sampai sekarang pun aku
belum dapat menemukan siapa ayah kandung-
ku," keluh Ratu Adil sedih bila teringat ayah kan-
dungnya.
Kali ini pandang mata murid Ratu Alit dari
Nusa Kambangan itu pun kembali redup. Pera-
saannya entah melayang ke mana. Tanpa sadar
pandangannya kembali tertumbuk pada hampa-
ran luas lembah hijau di hadapannya.
"Jangan bersedih, Sobat! Tak ada gunanya
menyesali nasibmu yang tak jauh berbeda dengan
nasibku. Pokoknya yang penting, kita jangan
sampai putus asa. Aku yakin, Tuhan pasti berpi-
hak pada kita. Tapi ngomong-ngomong, siapakah
ayah kandungmu itu, Ratu Adil? Yah...! Barang-
kali saja aku dapat membantumu."
Ratu Adil tidak langsung menjawab perta-
nyaan Pembunuh Iblis. Hanya disekanya air mata
yang mengembang di pipi dengan menggunakan
sapu tangan.
Pembunuh Iblis menunggu sabar. Dan, di-
am-diam terus diperhatikannya wajah gadis can-
tik di hadapannya penuh kagum.
"Kasihan sekali gadis ini. Andai saja dia tak
keberatan, ingin rasanya aku melindunginya, wa-
lau tak mendapatkan cintanya," gumam Pembu-
nuh Iblis kian digelayuti perasaannya. "Yah...!
Mungkin adik kandungku yang hilang beberapa
tahun lalu juga mengalami nasib seperti gadis ini
bila masih hidup...."
"Sebelumnya, aku mengucapkan terima
kasih atas kesediaanmu untuk membantu men-
carikan ayah kandungku yang sebenarnya. Cuma
sayang, keterangan yang kudapatkan dari guruku
sangat sedikit sekali. Guruku hanya menye-
butkan ayah kandungku bernam..."
"Tunggu, Ratu Adil! Baiknya obrolan kita
diteruskan nanti saja. Kulihat Setan Haus Darah
dan pasukannya tengah menuju kemari," potong
Pembunuh Iblis.
Memang saat itu derap puluhan kaki kuda
Pasukan Laskar Hijau memang tengah menuju ke
tempat Ratu Adil dan Pembunuh Iblis. Teriakan-
teriakan mereka yang garang sesekali terdengar di
antara riuhnya derap kaki kuda.
"Baiknya, kita menyingkir saja dulu, Ratu
Adil'" ajak Pembunuh Iblis.
Ratu Adil pun tak menolak. Namun baru
saja hendak meninggalkan tempat itu, menda-
dak....
"Tetap di tempat kalian! Siapa pun juga
yang berani membantah perintahku, berarti mati!"
LIMA
Puluhan laki-laki kasar yang tergabung da-
lam Pasukan Laskar Hijau dibawah pimpinan Se-
tan Haus Darah segera menghentikan kuda di
hadapan Ratu Adil dan Pembunuh Iblis. Satu per-
satu mereka meloncat turun dari punggung kuda.
"Kau tentu bocah congkak yang bergelar
Pembunuh Iblis! Kali ini kau tak mungkin lolos
dari tangan mautku!" hardik Setan Haus Darah,
langsung saja.
Melihat puluhan anggota anak buah Setan
Haus Darah sudah mengepung, Ratu Adil dan
Pembunuh Iblis segera saling beradu punggung.
Sebab hanya dengan cara itulah mereka dapat
menghadapi keroyokan Setan Haus Darah dan
pasukannya.
"Biang rampok! Percuma saja kau mengger-
tak kami! Kalian pikir, kami takut menghadapi
manusia-manusia bejat macam kalian, he?!" ben-
tak Pembunuh Iblis sengit.
"Biarpun nyawa taruhannya, sudah menja-
di kewajiban kami untuk membasmi manusia-
manusia pembuat onar macam kalian!" timpal Ra-
tu Adil, lalu buru-buru mencabut pedang pusaka
yang menggantung di pinggang.
"Ha ha ha...! Tidak… tidak! Kau tak boleh
mati, Gadis Galak! Kau harus menemaniku dulu
barang satu atau dua malam, baru kau boleh
mampus!" celoteh Setan Haus Darah memua-
kkan. Matanya yang tajam pun lalu menelusuri
lekuk-lekuk tubuh Ratu Adil dengan jakun turun
naik.
"Bedebah! Manusia bermulut kotor tak ta-
hu adat! Enak saja kau mengumbar omong!" ben-
tak Pembunuh Iblis.
"Jaga bacotmu, Bocah! Kau tak pantas ber-
cakap-cakap denganku! Nyawa busukmulah yang
pantas kukirim ke liang lahat!" dengus Setan
Haus Darah tak dapat lagi mengendalikan amarah.
Di akhir kalimatnya, Setan Haus Darah se-
gera mengibaskan tangannya ke depan. Melihat
isyarat pimpinan mereka, para anggota Pasukan
Laskar Hijau yang berjumlah dua belas orang se-
gera menerjang Ratu Adil dan Pembunuh Iblis
dengan golok di tangan.
"Cincang pemuda keparat itu! Biar aku
yang mengurus gadis bengal itu!" perintah Setan
Haus Darah.
Kedua belas orang anggota Pasukan Laskar
Hijau segera mengalihkan serangan pada Pembu-
nuh Iblis. Sedang Setan Haus Darah sendiri lang-
sung menggebrak Ratu Adil dengan pukulan jarak
jauh.
Wesss! Wesss!
Seketika meluruk dua larik sinar merah
menyala dari kedua telapak tangan Setan Haus
Darah, siap melabrak tubuh Ratu Adil.
Ratu Adil menggeram kesal. Tak ada pili-
han lain, kecuali memang harus memapak seran-
gan. Sebab kalau menghindar, Teguh Sayekti pas-
ti akan celaka terkena serangan Setan Haus Da-
rah. Berpikir sampai di situ, Ratu Adil merasa ha-
rus mengerahkan pukulan andalan 'Cakar Naga
Samudera'.
Begitu murid Ratu Alit dari Nusa Kamban-
gan mengalirkan tenaga dalam ke kedua tangan,
jari-jarinya langsung berubah menjadi kebiruan.
Lalu dengan menggaruk-garukkannya ke udara,
dari kesepuluh jari-jari tangan telah membersit
sepuluh larik sinar biru, langsung memapak pu
kulan yang dikerahkan Setan Haus Darah.
Classs! Classs!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga
dalam di udara barusan. Seketika tempat perta-
rungan jadi terang benderang. Angin berkesiur
akibat bentrokan barusan menebar ke segenap
penjuru, memporak-porandakan ranting-ranting
pohon di sekitarnya.
Setan Haus Darah terlempar beberapa
langkah ke belakang, sedang tubuh Ratu Adil
yang agak menyamping dari tubuh Pembunuh Ib-
lis kontan juga terlempar jauh. Akibatnya, jatuh-
nya gadis itu langsung disambut puluhan mata
golok para anggota Pasukan Laskar Hijau.
Srett! Sreet!
"Oww...!"
Rupanya para anggota Pasukan Laskar Hi-
jau tak bermaksud melukai, kecuali membabat
pakaian si gadis.
"Bajingan! Siapa pun juga berani menyen-
tuh tubuh gadis itu, demi Tuhan aku tak akan
mengampuni nyawa kalian!"
Melihat keselamatan Ratu Adil terancam,
Pembunuh Iblis jadi gusar bukan main. Tubuh-
nya seketika meluruk dengan pedang di tangan.
Cepat dibabatnya para anak buah Setan Haus
Darah.
Sratt! Srattt!
Namun sayang usaha murid Kakek Pikun
dari Gunung Slamet ini terhalang oleh anak buah
Setan Haus Darah yang langsung menghadang
dengan golok.
Di tempatnya Ratu Adil hanya menjerit ter-
tahan melihat pakaiannya robek di sana-sini.
Meski demikian, tak urung juga gadis itu jadi ge-
ram bukan main. Pakaian di sekujur tubuhnya
compang-camping terkena sambaran-sambaran
golok di tangan anggota-anggota Pasukan Laskar
Hijau. Di samping itu darah segar pun tampak
mengucur di sana sini.
"Bajingan! Akan kubasmi kalian semua!"
teriak Pembunuh Iblis kalap. Pedang di tangan
kanannya pun makin liar bergerak mengancam
tubuh para anggota Pasukan Laskar Hijau.
"Tahan bocah bengal itu!" ujar Setan Haus
Darah penuh kemarahan.
Sementara itu Ratu Adil jadi kewalahan
bukan main. Bukan karena kewalahan mengha-
dapi sepak terjang Setan Haus Darah dan anak
buahnya, tapi kewalahan karena pakaian yang
menutupi tubuhnya robek di sana-sini. Tak
urung, sebagian lekuk-lekuk tubuhnya yang
menggairahkan pun terlihat.
Melihat kerepotan Ratu Adil yang tengah
sibuk membenahi pakaian. Setan Haus Darah ja-
di gembira bukan main. Tak putus-putusnya lela-
ki itu terus mengumbar tawa penuh nafsu.
"Bukan main! Sudah kukira tubuhmu me-
mang amat menggiurkan. Tidak...! Tidak mungkin
aku membiarkan begitu saja tubuhmu yang
menggairahkan! Kalau perlu malah ingin rasanya
aku mempertontonkan tubuhmu yang molek itu
di sini. Ha ha ha...!" oceh Setan Haus Darah se-
maunya.
"Keparat! Akan kubunuh kau...!" desis Ra-
tu Adil begitu mendengar ocehan Setan Haus Da-
rah. Namun sebentar kemudian terpaksa ia harus
buru-buru meraih robekan-robekan kain baju un-
tuk menutupi lekuk-lekuk tubuhnya.
Setan Haus Darah tak ingin membuang-
buang waktu begitu saja. Dalam gebrakan perta-
ma tadi, lelaki ini tahu kalau Ratu Adil ternyata
memiliki satu pukulan hebat. Buktinya saja, ia
sampai menderita luka dalam. Meski tidak terlalu
parah, namun cukup membuatnya gusar. Dan
saat melihat Ratu Adil kerepotan kesempatan itu
tak ingin disia-siakan.
"Jangan takut, Gadis! Sebentar lagi aku
akan mengajakmu terbang ke angkasa. Ha ha
ha...!" kata Setan Haus Darah ceriwis.
Di akhir kalimatnya, Setan Haus Darah se-
gera melompat ke arah Ratu Adil. Kedua tangan-
nya yang terkembang seolah-olah ingin meringkus
tubuh gadis itu dalam pelukannya.
Tentu saja Ratu Adil tak sudi terjatuh da-
lam pelukan tangan Setan Haus Darah. Begitu
melihat tangan lawan sudah terkembang siap
menerkam tubuhnya, pukulan mautnya pun se-
gera dilontarkan dengan menghentakkan kedua
tangannya. Namun, akibatnya, robekan kain pe-
nutup tubuhnya pun terkuak hingga menam-
pakkan lekuk-lekuk tubuhnya.
Melihat hal ini Setan Haus Darah hanya
tertawa-tawa senang. Dan enak saja pukulan Ra-
tu Adil bisa dihindari dengan menggeser tubuh-
nya ke samping.
Brasss!
Pukulan Ratu Adil terus menerabas ke de-
pan, menghantam semak-semak belukar. Seketi-
ka semak-semak belukar itu pun terbakar.
"Jangan terlalu bernafsu untuk meroboh-
kanku, Manis! Nanti malah kau sendiri yang akan
roboh dalam pelukanku!" ejek Setan Haus Darah.
Ratu Adil gelisah bukan main. Lagi-lagi, ia
harus sibuk membenahi pakaiannya yang robek
di sana-sini.
Melihat Ratu Adil kerepotan, Pembunuh Ib-
lis yang sedang sibuk menghadapi keroyokan
anggota-anggota Pasukan Laskar Hijau jadi tak
dapat lagi mengendalikan diri. Disertai pekik ke-
marahan, tiba-tiba pemuda itu melompat tinggi,
meninggalkan para pengeroyok.
"Jangan ganggu gadis itu, Setan Haus Da-
rah! Kaulah lawanku!" teriak Pembunuh Iblis. Tu-
buhnya cepat menukik tajam dengan pedang siap
menembus ubun-ubun.
Setan Haus Darah yang menyadari akan
datangnya bahaya, cepat membuang tubuh ke
samping. Namun, Pembunuh Iblis tak sudi mem-
biarkan lawan begitu saja, Begitu kakinya menje-
jak tanah, segera diburunya Setan Haus Darah.
Crakkk! Crakkk!
Berkali-kali Pembunuh Iblis menggerakkan
pedangnya ke bawah. Namun berkali-kali pula
pedangnya hanya membentur tanah. Sedang tu-
buh Setan Haus Darah bergerak ke sana kemari,
menghindari serangan-serangan Pembunuh Iblis.
Dan begitu mempunyai jarak memungkinkan, Se
tan Haus Darah menghentakkan kedua tangan-
nya.
"Hea...!"
Bersama teriakannya, tiba-tiba dari kedua
telapak tangan Setan Haus Darah telah meluruk
dua larik sinar merah menyala menghadang se-
rangan-serangan Pembunuh Iblis.
Wesss! Wesss!
Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis kaget
bukan main. Namun bukan berarti harus kehi-
langan akal. Begitu melihat serangan datang se-
gera dikerahkannya tenaga dalam penuh. Lalu ti-
ba-tiba kedua telapak tangannya telah disentak-
kan ke depan.
Werrr! Werrr!
Dua rangkum angin dingin langsung me-
luncur dari kedua telapak tangan Pembunuh Ib-
lis, dan segera memapak pukulan Setan Haus Da-
rah.
Derrr! Derrr!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga
dalam yang terjadi. Bumi berguncang laksana di-
guncang prahara. Ranting-ranting dan daun-daun
di sekitar tempat pertarungan hangus terbakar
begitu terkena angin berkesiur itu.
Sementara tubuh Setan Haus Darah dan
Pembunuh Iblis pun sama-sama terpental ke be-
lakang. Tubuh Setan Haus Darah terus melesat
ke belakang, menghantam batang pohon. Sedang
tubuh Pembunuh Iblis justru menabrak Ratu Adil
yang saat itu akan datang membantu. Sehingga,
tak dapat dicegah tubuh mereka jatuh berguling
guling.
"Maaf! Maaf! Aku tak sengaja," ucap Pem-
bunuh Iblis kemudian.
Saat itu tubuh pemuda itu menindih pung-
gung Ratu Adil. Sudah barang tentu murid Kakek
Pikun dari Gunung Slamet itu jadi gusar bukan
main. Namun manakala melihat sebuah tanda toh
berwarna hijau di punggung Ratu Adil, mata pe-
muda murid Kakek Pikun dari Gunung Slamet
pun membelalak lebar.
Untuk sesaat, Pembunuh Iblis diam terpa-
ku di tempatnya. Seolah ia tak percaya sehingga
terus memandangi tanda toh hijau sebesar ibu ja-
ri di punggung Ratu Adil tanpa berkedip.
"Ratu Adil! Cepat kita tinggalkan tempat
ini! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan-
mu," bisik Pembunuh Iblis tiba-tiba.
"Apa?" tanya Ratu Adil.
"Sudahlah! Ikuti saja kemauanku!" sergah
Pembunuh Iblis.
Seketika Pembunuh Iblis memondong tu-
buh Ratu Adil. Dengan satu kali bentakan, tu-
buhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat
pertarungan.
Setan Haus Darah dan pasukannya yang
tidak menyangka kalau Ratu Adil dan Pembunuh
Iblis akan meninggalkan tempat pertarungan jadi
murka bukan main.
"Bajingan! Jangan biarkan mereka lolos!
Kejar!"
ENAM
Matahari belum begitu tinggi di ufuk kaki
langit sebelah timur. Namun sinarnya seolah in-
gin membakar semua yang ada di muka bumi.
Tanah kering merekah. Tak urung, rumput-
rumput yang tumbuh di sekitar hutan kecil tem-
pat seorang pemuda tengah berlatih silat pun
mengering karena terlalu sering tertimpa sinar
matahari di musim kemarau yang berkepanjan-
gan ini.
Di tanah agak luas dalam hutan kecil itu
Siluman Ular Putih memang tengah giat menem-
pa diri mempelajari pukulan 'Lidah Bianglala'
yang diwarisi dari Eyang Bromo. Tanpa mengenal
putus asa sedikit pun, pemuda itu terus mencoba
seperti yang diinginkan Eyang Bromo dua hari la-
lu.
Sayang, sampai sejauh ini Siluman Ular
Putih belum juga mampu mewujudkan keingi-
nannya. Warisan Agung berupa pukulan 'Lidah
Bianglala' yang diwarisi dua hari lalu, ternyata te-
tap saja masih berupa sinar putih berkerilap me-
nandakan kalau pukulan andalan Eyang Bromo
belum sepenuhnya mampu dikuasai. Padahal
Eyang Bromo menghendaki agar pukulan 'Lidah
Bianglala' bisa berubah menjadi kabut putih
membersit cahaya beraneka warna.
"Gila! Sudah dua hari ini aku memperda-
lam pukulan 'Lidah Bianglala', namun belum juga
berhasil. Tak mungkin aku begini terus. Tapi, ba-
gaimana aku harus menghadapi Hantu Tangan
Api yang telah mengalahkanku beberapa hari la
lu? Edan! Terpaksa aku harus menyempurnakan
pukulan ini sampai berhasil. Yah...! Tak ada pili-
han lain...," tandas Siluman Ular Putih dalam ha-
ti.
Siluman Ular Putih pun kembali membuat
beberapa gerakan tangan di depan dada dengan
kuda-kuda kokoh. Tenaga dalam penuh dikerah-
kannya. Seketika kedua telapak tangannya beru-
bah jadi putih berkilauan. Dan diiringi teriakan
keras, kedua telapak tangannya di-hentakkan ke
depan.
Wesss! Wesss!
Dua larik sinar putih berkilauan dari ke-
dua telapak tangan Siluman Ular Putih kontan
membersit ke depan. Kira-kira beberapa tombak
di hadapannya, dua larik sinar putih itu menjadi
gulungan kabut putih yang menjulur-julur laksa-
na lidah bianglala. Namun yang membuat hatinya
kesal, ternyata kabut putih itu belum juga mam-
pu mengeluarkan cahaya beraneka warna.
Besss!
Batang pohon di hadapan murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang menjadi sasaran ini ter-
bungkus kabut putih tipis yang mengandung ha-
wa dingin bukan kepalang. Tak berapa lama, ter-
dengar ranting pohon itu berderak. Kejap beri-
kutnya, kabut putih dari kedua telapak tangan Si-
luman Ular Putih yang menyelimuti pohon itu
pun sirna.
Bersamaan dengan itu, ternyata batang
pohon yang jadi sasaran telah luruh ke tanah,
bertumpuk seperti onggokan abu!
"Edan! Belum berhasil juga aku! Hm...! Tak
kusangka pukulan 'Lidah Bianglala' ini demikian
sulit disempurnakan. Hm...! Baik-baik. Aku akan
pelajari terus sampai dapat," tegas Siluman Ular
Putih sambil menggeleng-geleng.
Karena terdorong rasa penasaran, Siluman
Ular Putih segera menarik kedua telapak tangan-
nya ke belakang. Sejenak pikirannya ditenangkan.
Lalu dikawal teriakan nyaring, kembali kedua te-
lapak tangannya dihantamkan ke depan.
Tak seperti sebelumnya, ternyata kabut pu-
lih dari pukulannya yang dilepaskan Siluman
Ular Pulih perlahan-lahan membersitkan cahaya
beraneka warna. Melihat hal ini Siluman Ular Pu-
tih membeliak. Dan....
"Aku berhasil! Aku berhasil!" teriak Silu-
man Ular Putih gembira bukan main.
Untuk lebih meyakinkan, Siluman Ular Pu-
tih sedikit pun tak mau mengendurkan tenaga
dalamnya. Sehingga, kabut putih yang membung-
kus batang pohon di hadapan semakin berkilauan
penuh cahaya beraneka warna. Tak selang bebe-
rapa lama, terdengar suara bergemeletak dari
ranting-ranting pohon yang luruh ke tanah. Dan
ketika tenaga dalamnya dikendurkan, batang po-
hon itu ternyata telah berubah menjadi tumpuk-
an abu beraneka warna!
"Aku berhasil! Aku berhasil mempelajari
Warisan Agung dari Eyang Bromo!" teriak murid
Eyang Begawan Kamasetyo.
Kali ini Soma benar-benar tak tahan untuk
tidak melampiaskan kegembiraannya. Begitu me
lihat hasil pukulannya tadi, pemuda itu segera
melompat-lompat penuh kegembiraan.
"Sekarang aku akan mencari Hantu Tan-
gan Api. Akan kujadikan tubuhnya yang kurus
kering itu seperti tumpukan abu itu. Ya ya ya...!
Tunggulah pembalasan alas kekalahanku waktu
itu, Hantu Tangan Api," gumam murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo penuh semangat.
* * *
"Turunkan aku, Sobat! Kalau begini terus,
kita bisa terkejar," teriak Ratu Adil kepada Pem-
bunuh Iblis, ketika mereka sudah merasa cukup
jauh dari kejaran Setan Haus Darah dan Pasukan
Laskar Hijau.
"Tapi pakaianmu...," kata Pembunuh Iblis
seraya menghentikan langkahnya dan menurun-
kan Ratu Adil.
Si gadis mengeluh. Memang pakaiannya
saat itu compang-camping tidak karuan menam-
pakkan sebagian lekuk-lekuk tubuhnya. Tak
mungkin Setan Haus Darah dan pasukannya di-
hadapi dalam keadaan seperti itu. Ia harus mem-
benahi pakaiannya terlebih dulu.
"Bedebah! Kalau saja keadaanku tidak se-
perti ini, ingin rasanya aku menghajar manusia
tak tahu diri itu!" geram Ratu Adil tak dapat me-
nahan rasa jengkel.
"Sudahlah! Tak ada gunanya kau men-
gumpat," ujar Pembunuh Iblis. "Pokoknya kita ha-
rus secepatnya meloloskan diri dari kejaran me
reka. Mari kita lari lagi."
"Baik. Kuturuti permintaanmu. Tapi, kata-
kan dulu apa yang ingin kau bicarakan, Sobat!"
"Waktunya kurang tepat. Sebaiknya turuti
saja...."
"Jangan dikira bisa lolos begitu saja, Kepa-
rat!"
Mendadak terdengar bentakan nyaring
yang disusul berlompatannya beberapa bayangan
serba hijau. Rupanya dengan jalan memotong, Se-
tan Haus Darah dan pasukannya kembali berha-
sil menghadang Pembunuh Iblis dan Ratu Adil.
Sebentar saja, kedua anak muda itu terkepung
rapat oleh anggota-anggota Pasukan Laskar Hi-
jau.
"Kau bisa saja tinggalkan tempat ini asal
tinggalkan kepalamu di sini. Dan gadis itu pun
kau serahkan padaku!" lanjut Setan Haus Darah
di atas kuda tunggangannya.
"Bangsat! Kalian memang benar-benar
mencari penyakit. Baik. Akan kuladeni kalian bi-
arpun nyawa taruhannya!" dengus Pembunuh Ib-
lis.
"Ha ha ha...! Bocah pongah! Bisanya me-
mang hanya membacot begitu nyaring! Apa kau
buta kalau kematian sudah di depan mata, hah?!"
ejek Setan Haus Darah seraya melompat turun
dari punggung kuda.
Melihat Pimpinan Pasukan Laskar Hijau
sudah melompat turun dari punggung kuda, ke-
dua belas orang anggota Pasukan Laskar Hijau
pun segera bersiap-siap membuat gebrakan.
"Cincang bocah pongah itu!" perintah Setan
Haus Darah, garang.
Begitu mendapat aba-aba, kedua belas
anggota Pasukan Laskar Hijau itu segera mener-
jang Pembunuh Iblis. Sedang Setan Haus Darah
segera menerjang Ratu Adil. Agak kewalahan juga
si gadis menghadapi serangan-serangan Pimpinan
Pasukan Laskar Hijau itu. Bukannya tak sanggup
meladeni, namun karena sesekali Ratu Adil harus
membenahi pakaiannya yang compang-camping
sehingga membuatnya kewalahan.
Keadaan Pembunuh Iblis tak jauh berbeda.
Meski memiliki kepandaian tinggi, namun untuk
menghadapi keroyokan anggota-anggota Pasukan
Laskar Hijau yang memiliki kepandaian lumayan,
Pembunuh Iblis kerepotan juga. Berkali-kali sam-
baran-sambaran golok di tangan para pengeroyok
hampir saja membeset tubuhnya. Untung saja
Teguh Sayekti masih memiliki ilmu meringankan
tubuh yang cukup lumayan yang dipadu permai-
nan pedangnya. Sehingga serangan-serangan pa-
ra anggota Pasukan Laskar Hijau dapat diimban-
ginya.
Trang! Trang!
Dengan kecepatan mengagumkan tubuh
Pembunuh Iblis berkelebat cepat ke sana kemari
menghindari terjangan-terjangan golok sambil
berkelebat menghindar, sesekali pedangnya men-
cari sasaran.
Craghhh! Craghhh!
"Augh...!"
Dua kali sabetan pedang di tangan Pembu
nuh Iblis, kejap itu pula terdengar dua kali jeritan
kesakitan yang disusul ambruknya dua orang
anggota Pasukan Laskar Hijau tanpa dapat ban-
gun lagi.
Kalau Pembunuh Iblis sedikit banyaknya
mampu mengatasi para pengeroyoknya, tidak de-
mikian halnya Ratu Adil. Gadis ini benar-benar
kewalahan menghadapi sepak terjang Setan Haus
Darah. Diam-diam Pembunuh Iblis sesekali meli-
rik ke arah Ratu Adil. Dan hal ini membuat ha-
tinya jadi gelisah sekali.
Keadaan ini membuat perhatian Pembunuh
Iblis bercabang dua. Untuk membantu Ratu Adil
jelas tidak mungkin. Jangankan untuk memban-
tu. Untuk keluar dari kepungan para pengeroyok
pun sulit.
"Bajingan tua! Jangan sentuh gadis itu!
Akulah lawanmu!" teriak Pembunuh Iblis kalang
kabut.
"Ha ha ha...! Bocah pongah macam kau
memang layak dicincang ramai-ramai. Terima sa-
ja nasibmu, Bocah!" ejek Setan Haus Darah.
Di akhir ejekannya, Setan Haus Darah se-
gera meningkatkan serangan. Bagaimanapun juga
hatinya memang merasa kesal sekali, karena te-
lah sekian jurus menyerang belum juga mampu
melumpuhkan Ratu Adil. Padahal jurus-jurus an-
dalannya pun telah dikeluarkan.
"Bangsat! Rupanya gadis ini harus diberi
pelajaran terlebih dulu. Tak mungkin rasanya aku
menangkap kalau tidak sedikit menyakitinya," de-
sis Setan Haus Darah.
Selagi Setan Haus Darah masih berpikir
bagaimana caranya harus melumpuhkan lawan,
kenyataannya Ratu Adil malah terlebih dulu
membuka serangan. Dengan diiringi teriakan
nyaring, tiba-tiba kedua tangannya telah meng-
hentak.
"Hea!"
Wesss! Wesss!
Sepuluh sinar biru dari jari-jari tangan Ra-
tu Adil melesat cepat ke arah Setan Haus Darah.
"Hm.... Setan! Aku harus segera memapak
pukulan gadis itu dengan pukulan 'Gemuruh Ba-
dai Api'!"
Maka dengan sedikit menekuk lututnya ke
bawah, Setan Haus Darah bersiap melontarkan
pukulan andalan 'Gemuruh Badai Api'. Begitu
murid Hantu Tangan Api ini menghentakkan tan-
gannya ke depan, seketika itu juga melesat dua
gulungan api yang berkobar-kobar yang diiringi
angin keras laksana badai lautan dan hawa panas
menyengat. Dan....
Derrr! Derrr!
Terdengar satu ledakan hebat terjadi diser-
tai kobaran api yang menghambur ke segenap
penjuru. Akibatnya ranting-ranting pohon di seki-
tar tempat pertarungan yang jadi sasaran kontan
hangus terbakar!
Sementara tubuh Ratu Adil dan Setan
Haus Darah sama-sama terpental jauh ke bela-
kang. Tampak tubuh Setan Haus Darah berputar-
putar sebentar di udara sebelum akhirnya ter-
banting keras!
Bukkk!
Setan Haus Darah menggembor penuh ke-
marahan. Hatinya benar-benar tidak puas melihat
hasil serangannya barusan. Lebih tidak puas lagi
manakala melihat sesosok bayangan putih tiba-
tiba berkelebat cepat menyambar tubuh Ratu Adil
yang masih melayang di udara.
"Edan! Lagi-lagi manusia biang rampok ini
yang membuat onar. Apa tidak bosan membuat
orang lain susah, he?!" rutuk sosok bayangan
berpakaian putih keperakan itu.
Bukan main geramnya hati Setan Haus Da-
rah mendengar ejekan sosok bayangan yang kini
telah mendarat di depannya. Tampak kedua bola
mata murid Hantu Tangan Api ini berkilat-kilat
liar. Kedua pelipisnya pun bergerak-gerak pertan-
da tak lagi dapat mengendalikan amarah.
"Setan alas! Lagi-lagi kau yang mengacau-
kan rencanaku, Monyet Gondrong!"
Sambil memondong tubuh Ratu Adil sosok
bayangan berpakaian putih keperakan yang baru-
san datang hanya tertawa-tawa. Cara tertawanya
yang melecehkan membuat Setan Haus Darah ja-
di kesal bukan main.
"Bajingan! Bacotmu sungguh lancang, Si-
luman Ular Putih! Tak mungkin kali ini kau lolos
dari tangan mautku!" bentak Setan Haus Darah
kemudian.
"Wah wah...! Lagakmu seperti jagoan saja,
Biang Rampok! Apa kau lupa kalau beberapa hari
lalu, kau lari terbirit-birit dari kejaranku?" ejek
Siluman Ular Putih kian membuat telinga Setan
Haus Darah memerah.
"Setan! Kalau saja ada Guru, tak mungkin
monyet gondrong ini berani jual lagak," maki Se-
tan Haus Darah dalam hati.
"Kenapa diam, Biang Rampok? Budek, ya?"
ejek Siluman Ular Putih mulai kambuh penyakit-
nya seraya mendekati Setan Haus Darah. Lang-
kahnya terlihat santai saja.
"Lepaskan aku, Soma!" pinta Ratu Adil me-
rasa jengah berada dalam pelukan Siluman Ular
Putih.
"Oh, ya? Sampai lupa. Gara-gara biang
rampok itu, sih!" ujar Siluman Ular Putih, lalu
buru-buru melepaskan Ratu Adil dari pondon-
gannya. "Tolong betulkan dulu pakaianmu, ya!
Nanti mata manusia biang rampok itu tambah
ijo."
Tanpa diperintah pun Ratu Adil segera ber-
lari dan berlindung ke balik rindangnya batang
pohon. Lalu dengan agak gugup, buru-buru di-
ikatnya kain penutup tubuhnya yang robek.
Meski tidak begitu rapi, gadis ini sudah merasa
lega. Kali ini, tekadnya telah bulat kembali untuk
segera menghajar Setan Haus Parah. Maka segera
ia melompat keluar.
Saat itu, si gadis melihat Siluman Ular Pu-
tih tengah bertarung hebat melawan Setan Haus
Darah. Sejenak Ratu Adil hanya termangu di
tempatnya. Namun manakala melihat Pembunuh
Iblis tengah kewalahan menghadapi gempuran-
gempuran para pengeroyoknya, tanpa pikir pan-
jang tubuhnya segera melompat ke tempat pertarungan.
"Jangan khawatir, Sobat! Aku datang
membantu," teriak Ratu Adil. Lalu dengan kema-
rahan memuncak Ratu Adil mulai mengamuk.
Pedang di tangannya langsung berputaran dah-
syat mencari sasaran.
Sratt! Srattt!
Tanpa ampun pedang di tangan Ratu Adil
membuat barisan Pasukan Laskar Hijau seketika
kocar-kacir.
"Mari kita hajar manusia-manusia tak tahu
adat ini! Jangan biarkan mereka lolos!" sambut
Pembunuh Iblis.
Pedang di tangan murid Kakek Pikun dari
Gunung Slamet pun kembali berkelebat cepat,
siap memangsa tubuh anggota-anggota Pasukan
Laskar Hijau.
Sementara pertarungan antara Siluman
Ular Putih melawan Setan Haus Darah pun kian
memuncak. Mereka tak segan-segan lagi menge-
luarkan jurus-jurus andalan. Kali ini Soma meng-
gunakan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Dan
ternyata, murid Eyang Begawan Kamasetyo ber-
hasil mendesak Setan Haus Darah tanpa ampun.
Malah beberapa kali patukan-patukan kedua te-
lapak tangannya sempat mampir di tubuh lawan
"Bangsattt...!"
Setan Haus Darah menggembor penuh ke-
marahan. Dan begitu bisa menguasai keadaan,
murid Hantu Tangan Api ini berusaha membalas
serangan-serangan lawan.
"Hea! Hea!"
Dikawal teriakan nyaring, Setan Haus Da-
rah langsung menggebrak cepat. Lelaki ini terus
berusaha menindih gelombang serangan Siluman
Ular Putih. Kedua telapak tangannya yang telah
berubah menjadi merah menyala hingga pangkal
siku berkelebat mencari sasaran.
Bed! Bed!
Melihat datangnya serangan, Siluman Ular
Putih tersenyum dingin. Manakala serangan itu
hanya tinggal beberapa jengkal, Siluman Ular Pu-
tih pun segera mengerahkan pukulan 'Tenaga Inti
Bumi' untuk memapak.
Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat ketika terjadi
perlawanan tangan-tangan para petarung. Hawa
panas dan dingin akibat bentrokan barusan me-
nebar ke segenap penjuru dan menghantam apa
saja yang ada di sekitarnya. Beberapa orang anak
buah Setan Haus Darah yang berada tak jauh da-
ri situ menjerit menyayat begitu terkena samba-
ran angin pukulan, dan langsung ambruk dengan
sekujur tubuh melepuh!
Sedang tubuh Setan Haus Darah sendiri
pun tak luput dari getahnya. Sewaktu terjadinya
bentrokan, lelaki itu kontan meraung setinggi
langit. Tubuhnya yang tak mampu menahan gun-
cangan tenaga lawan, tanpa ampun terpental jauh
ke belakang.
Brukkk!
Begitu jatuh di tanah, Setan Haus Darah
menggeletukkan gerahamnya penuh kemarahan.
Tampak parasnya yang garang menyiratkan rasa
nyeri yang amat sangat. Bahkan tak henti-
hentinya lelaki ini menggigit bibir dengan napas
memburu.
Di hadapannya, Siluman Ular Putih yang
sempat tersurut beberapa langkah ke belakang
sudah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
Dan sambil berkacak pinggang dengan tangan ki-
ri, tangan kanannya pun melambai-lambai ke
arah Setan Haus Darah.
"Hayo, bangun! Katanya ingin membunuh-
ku?" ejek Siluman Ular Putih, Setan Haus Darah
menggeram murka sambil merangkak bangun.
Rahangnya yang menggembung tampak mene-
gang. Kedua pelipisnya pun bergerak-gerak per-
tanda murid tunggal Hantu Tangan Api itu tak
dapat lagi mengendalikan amarah!
"Bajingan! Jangan dikira aku sudah kalah,
Monyet Gondrong! Makanlah pukulan 'Gemuruh
Badai Api'-ku! Hea!"
Karena terlalu dikuasai hawa amarah, Se-
tan Haus Darah jadi kalap bukan main. Rasa gen-
tarnya yang semula menyelimuti hatinya menda-
dak sirna berganti kenekatan. Ia merasa amarah-
nya akan tuntas dengan tetesan darah lawan.
Maka tanpa segan-segan lagi dikeluarkannya pu-
kulan andalan milik gurunya Hantu Tangan Api.
Begitu Setan Haus Darah menghantamkan
kedua telapak tangan ke depan, melesat gulungan
api yang berkobar-kobar dari kedua telapak tan-
gannya. Hawa panas yang ditingkahi angin ber-
gemuruh dahsyat laksana badai pun turut me-
nyertai datangnya serangan.
Werrr! Werrr!
Siluman Ular Putih sejenak terkesiap ka-
get, namun cepat bisa menguasai diri. Begitu me-
lihat serangan datang, pemuda itu jadi ingin men-
coba ilmu yang baru saja diwarisi dari Eyang
Bromo. Yakni, pukulan 'Lidah Bianglala'.
Begitu tenaga dalamnya dikerahkan, kedua
telapak tangan murid Eyang Begawan Kamasetyo
ini berubah menjadi putih berkilauan. Lalu tanpa
segan-segan lagi, kedua tangannya segera dihan-
tamkan ke depan.
Werrr! Werrr!
Tanpa bisa dicegah dua gulungan kabut
yang beraneka warna meluncur, langsung mema-
pak pukulan 'Gemuruh Badai Api' milik Setan
Haus Darah.
Besss!
Tak ada ledakan berarti akibat bentrokan
dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Namun
anehnya, tubuh Setan Haus Darah mendadak
bergetar hebat. Setindak demi setindak langkah-
nya tersurut ke belakang.
Geraham Setan Haus Darah bergemelutuk
keras. Ia berusaha menindih gelombang serangan
Siluman Ular Putih dengan tenaga dalam sepe-
nuhnya. Namun tetap saja hasilnya sia-sia. Malah
perlahan-lahan gulungan api yang berkobar-
kobar dari kedua telapak tangannya mulai tertin-
dih kabut beraneka warna dari kedua telapak
tangan Siluman Ular Putih. Hingga akhirnya, so-
sok tubuh murid Hantu Tangan Api ini terbung-
kus!
"Aghhh...!!!" Setan Haus Darah menjerit ke-
sakitan, seolah-olah tengah menahan rasa sakit
luar biasa!
Kabut yang menyelimuti tubuh Setan Haus
Darah kian bergulung-gulung membungkus tu-
buh murid Hantu Tangan Api. Dan lama kela-
maan teriakan Pemimpin Pasukan Laskar Hijau
pun mulai melemah dan tidak terdengar lagi.
Tepat ketika teriakan Setan Haus Darah
terputus, murid Eyang Begawan Kamasetyo me-
nurunkan kedua telapak tangannya. Sementara
kabut beraneka warna yang membungkus Setan
Haus Darah pun sirna. Namun apa yang terlihat
benar-benar membuat hati Siluman Ular Putih
bergidik. Ternyata, tubuh Setan Haus Darah telah
luluh menjadi tumpukan abu beraneka warna!
"Edan! Tak kusangka kalau tubuh Setan
Haus Darah akan menjadi abu seperti itu. Hm...!"
desah Siluman Ular Putih sambil menggeleng-
geleng.
Beberapa orang anggota Pasukan Laskar
Hijau yang melihat pimpinan mereka tewas den-
gan amat mengerikan, segera membuang senjata,
mereka segera duduk berlutut di hadapan Pem-
bunuh Iblis dan Ratu Adil.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Ampun-
kan kami...!" ratap anggota-anggota Pasukan
Laskar Hijau itu seraya menyembah-nyembah.
Sebenarnya Ratu Adil dan Pembunuh Iblis
merasa muak sekali melihat tingkah mereka. In-
gin rasanya mereka mendamprat. Namun mana-
kala melihat Siluman Ular Putih, entah kenapa
mereka jadi ragu-ragu. Untuk sesaat Ratu Adil
dan Pembunuh Iblis hanya memandangi Siluman
Ular Putih.
"Mau kau apakan manusia-manusia tak
tahu adat ini, Sobat?" tanya Pembunuh Iblis me-
minta pendapat Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih tersenyum. Ia yang tadi
sempat terpana melihat tubuh Setan Haus Darah
berubah jadi abu, kini mulai melangkah mende-
kati anggota-anggota Pasukan Laskar Hijau.
"Mau kuapakan, ya?" Siluman Ular Putih
malah balik bertanya. Nada suaranya terdengar
menggoda. "Dibunuh atau digantung? Bagaima-
na, Yustika?" lanjut Siluman Ular Putih dengan
menyebut nama asli Ratu Adil meminta pendapat.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Ampun-
kan kami! Berilah kami kesempatan untuk mene-
bus dosa-dosa," ratap sisa anggota Pasukan
Laskar Hijau serempak.
"Wah...! Nyaring benar suara kalian. Apa
benar kalian ingin bertobat?" tanya Siluman Ular
Putih.
"Benar, Tuan Pendekar."
"Hm...! Rasa-rasanya aku kok kurang per-
caya. Jangan-jangan, kahan akan kembali mem-
buat onar setelah kulepaskan."
"Tidak, Tuan Pendekar! Tidak!"
"Oh, ya?" Siluman Ular Pulih masih kurang
percaya. "Bagaimana, Yustika?" lanjut Siluman
Ular Putih lagi-lagi meminta pendapat murid Ratu
Alit dari pulau Nusa Kambangan.
"Ampunkan mereka. Soma! Berilah mereka
kesempatan untuk menebus dosa," ujar Ratu Adil
akhirnya.
"Kalian dengar apa yang dikatakan teman-
ku yang cantik ini?" tanya Soma, kembali mena-
tap para anak buah Setan Haus Darah.
"Dengar, Tuan Pendekar."
"Bagus. Kalau begitu, pergilah! Hanya aku
tak ingin mendengar kalian membuat onar lagi.
Kalau sampai melanggar pesanku, jangan harap
kalian akan lolos dari tanganku!"
"Tidak, Tuan Pendekar. Kami sudah berto-
bat."
"Pergilah! Jangan ucapkan kata-kata itu di
sini!" usir Siluman Ular Putih seraya mengi-
baskan tangan.
Beberapa orang sisa anggota Pasukan
Laskar Hijau itu kembali mengucapkan terima
kasih. Lalu dengan langkah terburu, mereka sege-
ra lari pontang panting meninggalkan tempat itu,
melupakan kuda-kuda mereka.
DELAPAN
"Sekarang aku ingin bicara, Sobat."
Pembunuh Iblis memandang Ratu Adil
dengan sinar mata penuh kasih sayang yang sarat
kerinduan. Sulit diartikan dengan kata-kata.
Ratu Adil membalas pandang mata Pem-
bunuh Iblis tak mengerti. Sewaktu Teguh Sayekti
mengajaknya duduk di rerumputan, gadis itu pun
tak kuasa menolak. Di samping itu ia menimbul
kan kesan jelek di mata Pembunuh Iblis maupun
Siluman Ular Putih.
"Ada apa, nih? Kok, tampaknya penting
amat?" tanya Siluman Ular Putih, ikut-ikutan du-
duk di samping Ratu Adil.
"Duduklah dulu, Sobat!"
"Aku sudah duduk," ujar Siluman Ular Pu-
tih tak bermaksud menggoda. Dipandangnya Ratu
Adil dan Pembunuh Iblis yang tampaknya tak in-
gin bergurau.
Pembunuh Iblis tersenyum. Sama sekali
hatinya tidak tersinggung mendengar jawaban Si-
luman Ular Putih
"Begini...."
Pembunuh Iblis menelan ludahnya seben-
tar, mengatur kata-kata apa yang akan di-
ucapkan.
"Ada apa, Sobat? Tampaknya ada sesuatu
yang mengganjal hatimu?" desak Ratu Adil lem-
but.
"Memang. Bertahun-tahun aku menahan
derita ini seorang diri. Orang-orang yang kucintai
entah pergi ke mana. Ayahku, ibuku, juga adik-
ku."
Sampai di sini, tiba-tiba Pembunuh Iblis
memandang Ratu Adil seksama. Diperhatikannya
wajah dan tubuh gadis di hadapannya penuh
perhatian.
Ratu Adil jadi jengah.
"Kenapa kau memandangku seperti itu,
Sobat?" tegur Ratu Adil makin tak mengerti meli-
hat sikap Pembunuh Iblis.
"Sebenarnya, sebelum Setan Haus Darah
dan pasukannya datang, aku sedang mencari
ayah dan adik kandungku. Menurut keterangan
guruku di puncak Gunung Slamet, aku sebenar-
nya masih mempunyai seorang adik perempuan.
Guruku yang dulu sering turun gunung, akhirnya
berhasil memperoleh keterangan mengenai adik
kandungku. Konon adikku yang baru saja dila-
hirkan dibawa seorang tokoh sakti dari selatan.
Penduduk kampung yang pernah didatangi tokoh
sakti itu pernah melihat kalau bayi perempuan
yang baru dilahirkan itu memiliki tanda toh hijau
sebesar ibu jari di punggungnya."
Ratu Adil tercekat. Parasnya kontan pucat
pasi.
Pembunuh Iblis memandang Ratu Adil se-
kilas.
"Sewaktu aku terkena pukulan Setan Haus
Darah dan tubuhku menabrak tubuhmu, aku
sempat melihat kalau di punggungmu terdapat
tanda toh hijau sebesar ibu jari," lanjut Pembu-
nuh Iblis.
"Sobat! Semua keteranganmu benar. Aku
memang memiliki tanda toh hijau sebesar ibu jari
di punggung. Dan akulah yang sewaktu masih
bayi dibawa seorang tokoh sakti dari selatan. Tapi
sekarang aku ingin tahu, siapakah nama ayah
kandungmu?" tanya Ratu Adil, mulai tak dapat
mengendalikan diri.
"Nama ayah kandungku adalah.... Gendon
Prakoso...."
"Apa?! Gendong Prakoso?!" sentak Ratu
Adil dengan mata membeliak lebar-lebar.
"Iya. Kenapa?"
"Jadi.... Jadi, kau..., kakak kandungku!
Kau.... Kau..., ah! Kakang! Aku ini adikmu...!"
Saat itu juga Ratu Adil menghambur ke da-
lam pelukan Pembunuh Iblis. Tangisnya pun tak
dapat lagi dibendung.
"Kakang! Maafkan aku, Kakang! Sungguh
aku tak mengira kalau kau adalah kakak kan-
dungku," ucap Ratu Adil terisak memelas. "Bo-
dohnya, aku juga lupa menjelaskan maksudku
turun gunung sekarang ini...."
"Jangan menyalahkan dirimu, Adikku! Ka-
kang juga bersalah. Tidak seharusnya Kakang
membiarkan kau hidup merana seorang diri," hi-
bur Pembunuh Iblis. Suaranya bergetar. Tangan-
nya terus mengelus-elus rambut Ratu Adil dengan
segenap perasaannya.
"Wah...! Kenapa jadi tangis-tangisan begi-
ni? Walah...," desah Siluman Ular Putih merasa
trenyuh juga. Lalu entah karena apa tiba-tiba
tangannya sudah garuk-garuk kepala.
Pembunuh Iblis tak mempedulikan ucapan
Siluman Ular Putih. Sepasang matanya tiba-tiba
meredup membayangkan kejadian beberapa pu-
luh tahun lalu.
"Dulu sewaktu aku masih kecil, kira-kira
berusia tujuh tahun, kulihat ayah dan ibu sering
bertengkar. Ayah menuduh ibu menyeleweng. Ibu
tidak terima. Lalu, pada suatu hari, tiba-tiba ayah
menyeret ibu yang membawa bayi berusia empat
bulan ke sebuah hutan. Entah, apa yang dilaku
kan. Namun setelah aku menunggu, ternyata
ayah dan ibu tidak pernah kembali. Aku terlunta-
lunta. Bertahun-tahun aku hidup merana seorang
diri. Hingga akhirnya, pada suatu hari aku diajak
guruku ke puncak Gunung Slamet. Lalu, aku pun
belajar silat darinya. Namun dalam hatiku, aku
bertekad akan mencari ayah dan ibu, juga adik
kandungku."
Ratu Adil makin terisak. Wajahnya yang
pias berhamburan air mata.
"Ayah.... Ayah telah membunuh ibu...," je-
las Ratu Adil bergetar.
"Ah...! Tak kusangka! Kenapa ayah demi-
kian tega membunuh ibu yang waktu itu baru sa-
ja melahirkan? Benar-benar kejam. Rasanya tak
mungkin aku memaafkan kesalahan ayah.... Dan
pasti bayi yang dibawa ibu itu adalah kau, Adik"
"Benar, Kakang! Ketika ditemukan guru,
umurku baru empat bulan. Ah, sudahlah. Yang
penting sekarang kita harus secepatnya menemu-
kan ayah."
"Baik. Memang itu sudah menjadi tekadku.
Ayo, sekarang kita lanjutkan perjalanan!"
Perlahan-lahan Pembunuh Iblis mele-
paskan pelukan Ratu Adil. Dipapahnya si adik
penuh kelembutan. Seolah mereka terlupa begitu
saja pada Soma.
"Yah...! Mungkin inilah yang dinamakan
dengan habis manis sepah dibuang. Sudah tak
perlukan, ditinggalkan begitu saja," celoteh Silu-
man Ular Putih.
Pembunuh Iblis dan Ratu Adil tersadar.
Saking larutnya dalam suasana mengharukan,
mereka sampai lupa kalau di tempat itu masih
ada Siluman Ular Putih. Buru-buru mereka me-
nahan langkah dan berbalik
"Maaf, Sobat! Bukan maksudku mening-
galkanmu. Kami.... Kami...."
"Sudahlah! Tak usah diteruskan. Aku mak-
lum, kok. Sekarang, ayo ikut aku!" Siluman Ular
Putih langsung melompat bangun.
"Ke mana?" tanya Ratu Adil dan Pembunuh
Iblis serempak.
"Terus terang aku khawatir sekali. Hantu
Tangan Api pasti masih berkeliaran di sekitar hu-
tan ini."
"Hm..., yah! Kau benar. Sebab, tak mung-
kin Setan Haus Darah membuat onar lagi kalau
tidak ada gurunya yang menyertai."
"Baik. Kalau begitu, ayo kita cari Hantu
Tangan Api!" ujar Siluman Ular Putih.
* * *
Hampir setengah harian Hantu Tangan Api
mondar-mandir di hutan kecil itu. Sepasang ma-
tanya liar memperhatikan sekeliling. Namun lelaki
tua ini belum juga menemukan Pendidik Ulung
yang melarikan diri dari tempat pertarungan
sambil memondong tubuh Arum Sari.
"Setan! Tak mungkin tua bangka itu lenyap
begitu saja. Ia pasti masih berada di sekitar hutan
ini. Apalagi tengah menderita luka dalam yang
cukup parah," gumam Hantu Tangan Api kesal
bukan main.
Hantu Tangan Api kembali mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Lalu, tubuhnya kembali
berkelebat ke sana kemari meneliti semak-semak
belukar dengan seksama. Namun sejurus kemu-
dian tubuhnya telah berada di tempat semula.
"Bajingan! Kenapa aku belum juga mene-
mukan batang hidungnya? Apa muridku beserta
anak buahnya juga kehilangan jejak? Tapi, kena-
pa mereka tidak segera kembali kemari? Apakah
mereka...."
Hantu Tangan Api tak meneruskan kegeli-
sahan hatinya.
"Ah...! Tak mungkin...," lanjut Hantu Tan-
gan Api menepis bayangan buruk yang tiba-tiba
menggelayuti perasaannya.
Di saat Hantu Tangan Api tengah terman-
gu, mendadak sepasang matanya yang tajam me-
lihat bercak-bercak darah di semak-semak belu-
kar. Tentu saja hatinya jadi gembira bukan main.
Segera diikutinya bercak-bercak darah itu. Se-
sampainya di ujung semak belukar, bercak-
bercak darah itu pun tak kelihatan lagi.
"Hm...!"
Hantu Tangan Api mengangguk-anggukkan
kepala, Akalnya yang cerdik pun segera bekerja.
SEMBILAN
Ke manakah sebenarnya Pendidik Ulung
dan Arum Sari pergi? Mungkinkah mereka pergi
jauh meninggalkan hutan itu? Padahal mereka
dalam keadaan terluka parah?
Tidak. Pendidik Ulung dan Arum Sari tak
mungkin jauh meninggalkan hutan dalam kea-
daan menderita luka parah. Meski ilmu merin-
gankan tubuh Pendidik Ulung sudah mencapai
tingkat tinggi, bagaimanapun juga tenaganya
akan terkuras. Apalagi habis bertarung yang san-
gat melelahkan dengan Hantu Tangan Api.
Ketika Hantu Tangan Api yang disertai Se-
tan Haus Darah dan anggota Pasukan Laskar Hi-
jau mengejar tadi, Pendidik Ulung menyelinap ke
semak belukar yang tinggi dan lebat. Sambil
membawa Arum Sari, lelaki itu berputar-putar di
sekitar semak belukar untuk mengecoh Hantu
Tangan Api. Lalu mereka cepat menyelinap ke
pintu rahasia di belakang gua persembunyian.
Kini di dalam sebuah ruangan di gua per-
sembunyian tampak Pendidik Ulung tengah du-
duk memandang haru pada Arum Sari yang terge-
letak tak berdaya di hadapannya. Hatinya trenyuh
sekali melihat sosok yang telah dingin dan kaku
tanpa gerakan sama sekali.
"Iblis...! Tua bangka itu telah merenggut
nyawa gadis ini...," desis Pendidik Ulung. Paras-
nya mengelam, menahan amarah yang menggele-
gak dalam dada.
Berkali-kali Pendidik Ulung menghela na-
pas panjang-panjang. Sulit sekali amarahnya da-
lam dada dienyahkan begitu saja. Untuk sesaat
lelaki tua itu hanya termangu di hadapan jasad
kaku Arum Sari. Baru setelah amarahnya mere-
da, perlahan-lahan disedekapkannya kedua tan-
gan halus si gadis di depan dada.
"Sayang sekali aku masih menderita luka
dalam. Kalau tidak, sudah pasti akan kubalas
perbuatan Hantu Tangan Api. Tunggulah pemba-
lasanku, Tua Bangka Keparat!"
Pendidik Ulung memejamkan matanya.
Samar-samar pendengarannya yang tajam me-
nangkap gerakan-gerakan halus di atas gua per-
sembunyiannya.
Selama Pendidik Ulung bersemadi, diam-
diam hatinya merasa heran. Ternyata langkah-
langkah halus yang diyakininya milik Hantu Tan-
gan Api masih saja sesekali melintas di atas. Pen-
didik Ulung merasa khawatir juga kalau-kalau to-
koh bengis itu mengetahui tempat persembu-
nyiannya.
Dan apa yang dikhawatirkan Pendidik
Ulung pun terjadi. Ternyata Hantu Tangan Api
memang telah menemukan tempat persembu-
nyiannya. Dengan mengikuti bercak-bercak darah
yang tercecer di semak-semak belukar, akhirnya
lelaki sesat itu menemukan pintu rahasia di gua
tempat persembunyian Pendidik Ulung.
"Ha ha ha...! Akhirnya kutemukan juga kau
di sini, Tua Bangka Keparat!" tawa Hantu Tangan
Api bergelak.
Pendidik Ulung terkesiap bukan main, dan
buru-buru melompat bangun. Sepasang matanya
pun kontan mencorong tajam.
"Bangsat! Kau kira aku takut menghada-
pimu, hah?! Justru kaulah yang bertanggung ja-
wab atas tewasnya gadis itu!" sembur Pendidik
Ulung seraya menuding ke arah Arum Sari.
Hantu Tangan Api menoleh sekilas. Diper-
hatikannya sosok gadis berpakaian serba hijau
yang tergeletak di tumpukan jerami dengan se-
nyum mengejek. Bahkan kemudian disusul suara
tawanya yang kembali menggema memenuhi
ruangan gua.
"Salah sendiri! Kenapa ia mencari mati di
tanganku!" dengus Hantu Tangan Api.
"Dasar manusia penyebar petaka! Bisanya
selalu membacot demikian. Tak tahu malu!"
"Diam! Kau pun juga akan mengalami na-
sib serupa dengan gadis itu! Sekaranglah saatnya
kau menemui ajal, Tua Bangka Keparat!" putus
Hantu Tangan Api beringas.
Pendidik Ulung tertawa sumbang. Dengan
lutut agak goyah menahan luka dalam yang be-
lum sembuh, lelaki tua bertopi panjang warna hi-
tam itu melangkah mendekat.
"Meski aku terluka, jangan dikira takut
menghadapimu, Tua Bangka Keriput! Hayo! La-
wanlah aku kalau kau punya keberanian!" tan-
tang Pendidik Ulung sengit saking gusarnya.
"Boleh! Orang yang akan mampus memang
terkadang suka membacot yang tidak-tidak. Aku
pun tak keberatan untuk mengantar nyawa bu-
sukmu menemui malaikat maut!" dengus Hantu
Tangan Api.
Di akhir kalimat, tokoh sesat dari Bukit
Pedang ini pun segera menerjang Pendidik Ulung.
Kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi
merah menyala segera dihantamkan ke depan.
Seketika meluruk dua gulungan bola api disertai
suara menggemuruh siap melabrak tubuh Pendi-
dik Ulung.
Werrr! Werrr!
Pendidik Ulung tersenyum kecut. Melihat
datangnya serangan, tokoh putih dari Lembah Ka-
lierang ini pun segera menekuk lututnya dalam-
dalam. Lalu dengan kekuatan tenaga dalam sepe-
nuhnya, segera dipapaknya pukulan Hantu Tan-
gan Api.
Blarrr!
Seketika ruangan dalam gua jadi terang
benderang. Cahaya merah dan putih akibat ben-
trokan dua tenaga dalam berpendaran, melabrak
dinding-dinding gua.
Sementara bak layangan putus tubuh Pen-
didik Ulung kontan terlempar dan menabrak
dinding-dinding gua. Lelaki berhati bersih ini
menggeram murka. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak pertanda tak dapat lagi mengendalikan
amarah.
"Hup!"
Dengan sekali menggerakkan tubuh, Pen-
didik Ulung segera melompat bangun. Darah yang
mengalir di sudut-sudut bibir segera dibesut den-
gan punggung tangan.
"Majulah, Pendidik Ulung! Sudah lama se-
kali tanganku tak merenggut korban orang-orang
pongah macam kau!" desis Hantu Tangan Api.
Pendidik Ulung dia tak menyahut. Paras-
nya yang pucat pasi kini begitu tegang.
"Ayo, serang aku! Tunggu apa lagi?" ejek
Hantu Tangan Api seraya menepuk-nepuk dada.
"Mumpung nyawamu masih di badan, kenapa
semua kepandaianmu tak lekas dikeluarkan? Aku
ingin lihat, apa manusia congkak macam kau
mampu menghadapiku, heh?!"
"Bangsat! Kau pikir mudah merobohkanku,
hah?! Meski aku menderita luka dalam, kalau
Yang Maha Kuasa belum menghendaki mati, apa
kau pikir bisa, hah?!"
"Jangan menyebut-nyebut nama Yang Ma-
ha Kuasa! Sebab saat ini akulah yang menguasai
nyawamu!"
"Jangan takabur, Hantu Tangan Api! Kalau
boleh aku menasihati, cepatlah bertobat sebelum
nyawamu lepas dari raga!"
"Ha ha ha...! Bilang saja kau takut meng-
hadapiku, pakai menasihati segala. Huh! Jangan
harap aku akan menuruti bacotmu!"
"Kalau begitu, hatimu memang sudah be-
jat!" sembur Pendidik Ulung kasar.
"Terserah kau mau ngomong apa! Yang je-
las, saat ini juga kau harus modar di tanganku!"
putus Hantu Tangan Api dengan suara memba-
hana.
Kali ini tak segan-segan lagi Hantu Tangan
Api hendak menghabisi nyawa Pendidik Ulung.
Maka saat itu juga segera dilontarkannya puku-
lan maut.
Werrr! Werrr!
Hawa panas bukan kepalang yang disertai
kobaran api kontan melesat cepat dari kedua te-
lapak tangan Hantu Tangan Api.
"Hup!"
Pendidik Ulung cepat membuang tubuhnya
ke samping, membuat kobaran api yang menye-
rangnya melabrak dinding-dinding gua. Seketika
dinding-dinding gua hancur berantakan mencip-
takan lobang besar yang menganga dan menge-
pulkan uap kehitaman!
Hantu Tangan Api gusar bukan main. Ia
kecewa berat melihat hasil serangannya dapat di-
hindari Pendidik Ulung dengan mudah.
Di hadapannya, Pendidik Ulung yang juga
merasa penasaran sekali tampak mulai menggu-
rat-guratkan kedua jari telunjuk di udara. Telun-
juk tangan kanan menggurat-gurat dari kanan ke
kiri, sedang telunjuk tangan kiri menggurat-gurat
dari kiri ke kanan. Dari setiap guratan-guratan
jari tangan ternyata mampu mengeluarkan bunyi
mencicit yang amat memekakkan telinga! Dari ge-
rakannya jelas kalau Pendidik Ulung mengerah-
kan jurus 'Tulisan Gaib Dewa Kayangan'.
"Bagus! Keluarkan semua kepandaianmu
sebelum kau menemui ajal, Tua Bangka Keparat!"
tantang Hantu Tangan Api, pongah.
Hantu Tangan Api pun segera membuat
beberapa gerakan disertai pengerahan tenaga da-
lam. Seketika kedua telapak tangan lelaki sesat
itu berubah menjadi merah menyala hingga
pangkal lengan, pertanda telah mengerahkan te-
naga dalam dengan kekuatan penuh.
"Makanlah pukulan 'Gemuruh Badai Api'-
ku...! Heaaa...!"
Bersamaan teriakan yang nyaring, tiba-tiba
Hantu Tangan Api menghentakkan kedua telapak
tangan ke depan membuat dua gulungan api yang
berkobar-kobar melesat cepat disertai bunyi
menggemuruh laksana badai prahara! Langsung
dipapaknya sinar-sinar putih yang keluar dari te-
lunjuk kedua tangan Pendidik Ulung yang dis-
alurkan.
Classs! Classs!
Derrr!
"Aaakh...!"
Pendidik Ulung memekik kesakitan. Tanpa
ampun tubuhnya terpental jauh ke belakang dan
terbanting keras!
Brukkk!
Lelaki tua bertopi panjang ini mengerang
hebat. Kedua telapak tangannya melepuh. Paras-
nya pun pucat pasi, menahan guncangan dalam
dada. Bahkan saking tidak kuatnya menahan
guncangan dalam dada yang seolah-olah ingin
membakar sekujur tubuh, Pendidik ulung pun
memuntahkan darah segar.
"Oeeekh!"
Hantu Tangan Api gembira bukan main.
Sambil berkacak pinggang ia terus mengumbar
tawa.
"Sehebat apa pun kau tetap akan modar di
tanganku, Pendidik Ulung!" ejek Hantu Tangan
Api.
Pendidik Ulung menggigit bibirnya kuat
kuat. Hawa panas yang mengaduk-aduk dalam
dadanya berusaha ditindih dengan hawa amarah
yang memuncak.
"Demi Tuhan! Aku akan mengadu nyawa
denganmu, Hantu Tangan Api!" desis Pendidik
Ulung, kalap.
"Akan kulayani! Majulah!" ejek Hantu Tan-
gan Api.
Pendidik Ulung berusaha melompat ban-
gun. Dengan susah payah, akhirnya lelaki itu da-
pat tegak kembali, meski dengan kedua lutut ge-
metar. Kepalang basah lelaki tua ini tetap me-
maksakan diri untuk melanjutkan pertarungan.
Selangkah demi selangkah kakinya pun maju
mendekat.
Dua tombak di hadapannya, Hantu Tangan
Api terus mengumbar suara tawanya. Lagaknya
pongah sekali. seolah-olah dialah yang paling
berkuasa di muka bumi ini. Lalu dengan pandang
mata melecehkan dibalasnya tatapan Pendidik
Ulung.
"Heaaattt...?"
Pendidik Ulung yang tak dapat lagi men-
gendalikan amarah telah menerjang beringas. Ja-
ri-jari telunjuknya yang telah berubah putih ber-
kilauan berkali-kali berkelebat cepat di antara tu-
buh Hantu Tangan Api.
Namun sayang meski telah mengeluarkan
segenap kepandaiannya, tetap saja Pendidik
Ulung tak mampu menghadapi sepak terjang
Hantu Tangan Api. Malah berkali-kali tubuhnya
dijadikan sasaran empuk serangan-serangan to
koh sesat dari Bukit Pedang itu.
SEBELAS
Sementara itu, Siluman Ular Putih beserta
Ratu Adil dan Pembunuh Iblis terus berkelebat
cepat menelusuri hutan kecil.
"Soma! Apakah kau yakin Hantu Tangan
Api tengah mencari Pendidik Ulung?" tanya Ratu
Adil sambil berkelebat.
"Aku yakin sekali. Hantu Tangan Api tak
mungkin melepaskan Pendidik Ulung begitu saja.
Apalagi, ia lelah mempermalukan muridnya Setan
Haus Darah," sahut Siluman Ular Putih.
"Apa bukan karena kau ingin bertemu
Arum Sari, Soma?" tanya Ratu Adil bernada cem-
buru. Nada suaranya pun berubah, seperti men-
gandung kekecewaan.
"Jangan menuduh sembarangan, Yustika!
Aku benar-benar sangat mencemaskan keselama-
tan Pendidik Ulung," sergah Soma.
Ketika tiba-tiba bumi yang mereka pijak te-
rasa bergetar, tiba-tiba Siluman Ular Putih men-
dadak menghentikan langkahnya. Soma tak tahu
apa yang menyebabkan tanah di sekitar itu berge-
tar hebat. Kepalanya lantas berpaling ke arah Ra-
tu Adil dan Pembunuh Iblis yang juga menghenti-
kan langkahnya.
Ratu Adil dan Pembunuh Iblis pun hanya
melongo.
"Tampaknya ada sesuatu yang kurang
beres di sekitar tempat ini. Tapi di mana, ya?"
tanya Siluman Ular Pulih. "Coba aku periksa se-
bentar."
Murid Eyang Begawan Kamasetyo itu pun
segera berlutut. Namun belum sempat menem-
pelkan telinganya ke tanah, tiba-tiba sepasang
matanya yang tajam melihat bercak-bercak darah
di semak-semak belukar. Kontan saja matanya
jadi membesar.
"Kukira dugaanku benar. Lihat bercak-
bercak darah itu!" tunjuk Siluman Ular Putih ke
semak-.semak belukar.
Ratu Adil dan Pembunuh Iblis segera meli-
hat ke arah tudingan telunjuk jari Siluman Ular
Putih. Ternyata benar. Di semak-semak belukar
itu terdapat banyak bercak-bercak darah yang be-
lum begitu kering.
"Hm...! Kalau tak salah, bukankah di seki-
tar hutan ini terdapat gua tempat persembunyian
Pendidik Ulung dan Arum Sari? Jangan-
jangan...."
"Tampaknya ada satu kejadian kurang
beres di sekitar tempat ini," tukas Pembunuh Iblis
cepat.
Siluman Ular Putih tak menggubris. Segera
telinganya ditempelkan ke tanah. Di sana Soma
seperti menangkap getaran-getaran hebat yang
datang dari dalam tanah, sehingga membuat ke-
ningnya berkerut dalam-dalam.
"Jangan-jangan di dalam gua tempat per-
sembunyiannya, Pendidik Ulung dan Arum Sari
tengah terjadi pertarungan...," duga Soma.
"Kau benar, Soma. Pasti Pendidik Ulung
dan Arum Sari tengah disatroni Hantu Tangan
Api," sahut Ratu Adil.
"Kalau begitu, ayo cepat kita selidiki!" ujar
Siluman Ular Putih.
Ratu Adil dan Pembunuh Iblis hanya me-
nurut. Namun belum sempat mereka melaksana-
kan niat, tiba-tiba....
Srakkk!
Blukk!
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam terlem-
par keluar dari dalam semak belukar, dan lang-
sung jatuh terkapar.
Siluman Ular Putih heran bukan main. Bu-
ru-buru pemuda itu melompat mendekati sosok
bayangan hitam yang tak bergerak sama sekali.
"Pendidik Ulung...!" desis Siluman Ular Pu-
tih kaget bukan main begitu mengenali sesosok
bayangan hitam yang tergeletak.
Belum sempat Soma memeriksa....
"Ha ha ha...! Siapa pun juga yang berani
menentang Hantu Tangan Api, berarti mati!"
Tiba-tiba terdengar tawa membahana yang
disusul berkelebatnya sesosok bayangan merah
ke tempat itu.
Mata Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
kontan terbeliak lebar. Sosok bayangan merah
yang kini telah berdiri tegak tak jauh dari mereka
tak lain adalah Hantu Tangan Api.
"Heaaat!"
Sedang Pembunuh Iblis yang belum begitu
mengenali siapa Hantu Tangan Api, segera mener
jang ke arah tokoh sesat dari Bukit Pedang itu.
"Tolong, Yustika! Uruslah orang tua ini!"
ujar Siluman Ular Putih kemudian cepat berkele-
bat ke tempat pertarungan.
"Hantu Tangan Api! Akulah lawanmu!" te-
riak Siluman Ular Putih lantang.
Hantu Tangan Api yang tengah menghada-
pi serangan-serangan Pembunuh Iblis hanya ter-
tawa bergelak. Sedikit pun lelaki sesat itu tak
mau memandang sebelah mata pada Siluman
Ular Putih. Malah dengan kecepatan luar biasa,
tiba-tiba Hantu Tangan Api berkelebat tepat keti-
ka Pembunuh Iblis tengah meluruk menyerang.
Di udara Hantu Tangan Api membuat putaran.
Dan ketika Pembunuh Iblis tepat berada di ba-
wahnya, kedua tangannya menelusup dari atas,
langsung menggedor dada.
Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Telak sekali dua telapak tangan Hantu
Tangan Api yang telah berubah menjadi merah
menyala mendarat di dada Pembunuh Iblis. Seke-
tika itu juga pemuda itu meraung setinggi langit.
Tanpa ampun tubuhnya terpelanting keras ke ta-
nah.
"Kakang...!" teriak Ratu Adil kalap bukan
main.
Buru-buru gadis itu melompat mendekati
Pembunuh Iblis. Yang wajahnya sudah demikian
pias. Darah segar mengalir dari lobang hidung
dan telinga. Sedang dadanya yang terkena han-
taman tangan Hantu Tangan Api melepuh!
"Biadab!" desis Ratu Adil murka. Keadaan
tubuh kakak kandungnya demikian memelaskan-
nya. Gadis itu segera meletakkan kepala Pembu-
nuh Iblis ke atas pangkuannya.
"Adikku...! Jaga dirimu baik-baik! Aku....
Aku..., ah!"
Pembunuh Iblis tak dapat lagi meneruskan
ucapannya. Kepalanya keburu terkulai di pang-
kuan Ratu Adil disertai hembusan napas terakhir.
Bukan main terpukulnya hati Ratu Adil
melihat kakak kandungnya yang baru saja dite-
mukan ternyata telah tewas. Sudah pasti si gadis
tidak terima melihat kenyataan itu. Rasa sedih
bercampur geram kini mengaduk-aduk dadanya.
Rasanya tak ada lagi yang harus dilakukan kecu-
ali membalaskan dendam untuk kakaknya. Maka
perlahan-lahan direbahkannya kepala Pembunuh
Iblis ke tanah. Lalu tubuhnya cepat berkelebat ke
tempat pertarungan.
"Bajingan tua! Kau harus membayar mahal
nyawa kakak kandungku! Kau harus tewas di
tanganku!" pekik Ratu Adil dengan kesepuluh ja-
ri-jari tangan telah berubah menjadi biru penuh
pukulan 'Cakar Naga Samudera'.
Wesss! Wesss!
Namun Hantu Tangan Api yang saat itu
tengah bertarung hebat melawan Siluman Ular
Putih dapat menghindar dengan melenting ke
atas. Sehingga serangan-serangan Ratu Adil terus
menerabas ke belakang menghantam semak-
semak belukar hingga kontan terpangkas habis
dalam keadaan hangus.
"Jangan gegabah, Yustika! Biar aku yang
mengurus tua bangka ini!" teriak Siluman Ular
Putih gusar bukan main. Langsung dipeganginya
Ratu Adil yang hendak menyerang Hantu Tangan
Api kembali. Sebab bukan mustahil Hantu Tan-
gan Api yang telengas tak segan-segan untuk
membunuh gadis itu.
"Tidak, Siluman Ular Putih! Tua bangka itu
harus modar di tanganku!" geram Ratu Adil keras
kepala.
"Dengarlah, Yustika! Tolong kau urus Pen-
didik Ulung! Ia sangat membutuhkan pertolon-
gan!" tegas Siluman Ular Putih.
Ratu Adil sejenak bimbang di tempatnya.
Pendidik Ulung memang sangat berjasa terhadap
dirinya. Dialah yang telah menyelamatkan nya-
wanya dari cengkeraman tangan Hantu Tangan
Api. Kalau tidak ada orang tua baik hati itu, be-
lum tentu dirinya akan selamat. Berpikir sampai
di sini, Ratu Adil jadi ragu-ragu.
"Baiklah, Siluman Ular Putih. Aku memang
harus membalas budi Pendidik Ulung. Tapi, to-
long jangan kau beri ampun tua bangka keparat
itu!" geram Ratu Adil, lalu segera melompat men-
dekati tubuh Pendidik Ulung yang tergeletak di
luar tempat pertarungan.
"Kau dengar apa yang diucapkan temanku
yang cantik itu, Tua Bangka Biang Kerok? Aku
tak boleh melepaskanmu begitu saja. Dengan ka-
ta lain, kau harus tewas di tanganku!" ejek Silu-
man Ular Putih, kini kembali menghadapi Hantu
Tangan Api.
"Jangan sembarangan membacot, Kunyuk
Gondrong! Justru nyawamulah yang jadi taru-
han!" geram Hantu Tangan Api.
"Bagus! Kalau begitu, buktikan saja omon-
ganmu! Kau atau aku yang akan terlebih dulu
berkalang tanah!"
"Setan! Akan kubuktikan ucapanmu, Bo-
cah! Akan kukirim nyawa busukmu menemui ma-
laikat maut!"
Di akhir kalimatnya, Hantu Tangan Api se-
gera mengerahkan tenaga dalamnya. Begitu ke-
dua telapak tangannya yang telah berubah jadi
merah menyala, segera dihantam ke arah Siluman
Ular Putih. Seketika melesat dua gulungan bola
api menyambar-nyambar deras ke arah si pemu-
da.
Werrr! Werrr!
Siluman Ular Putih tak perlu banyak
buang waktu. Segera dikerahkannya pukulan an-
dalan 'Tenaga Inti Bumi', membuat kedua telapak
tangannya berubah putih terang. Lalu dengan te-
naga dalam sepenuhnya, segera dipapaknya pu-
kulan Hantu Tangan Api.
Blammm! Blammm!
Terdengar ledakan hebat begitu terjadi per-
temuan dua kekuatan dahsyat. Bumi laksana di-
guncang prahara. Ranting-ranting pohon yang
terkena sambaran angin akibat bentrokan baru-
san kontan hangus terbakar!
Sementara, tubuh Siluman Ular Putih dan
tubuh Hantu Tangan Api sama-sama terjajar be-
berapa langkah ke belakang. Paras mereka pun
sama-sama pias, pertanda sama-sama menderita
luka dalam.
Siluman Ular Putih cepat mengendalikan
tubuhnya yang sempat oleng. Kemudian dengan
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, kembali
kedua telapak tangan dihantamkan ke depan.
Di hadapannya, Hantu Tangan Api sudah
tak ingin bermain-main lagi. Segera dikeluarkan-
nya pukulan andalan 'Gemuruh Badai Api' den-
gan maksud untuk merobohkan Siluman Ular Pu-
tih secepatnya. Maka tanpa banyak membuang-
buang waktu, kedua telapak tangannya disentak-
kan ke depan.
Werrr! Werrr!
Seketika meluruk dua gulungan api yang
berkobar-kobar dari kedua telapak tangan Hantu
Tangan Api yang disertai bunyi menggemuruh
laksana topan badai siap melabrak tubuh Silu-
man Ular Putih. Bahkan sebelum pukulan tokoh
sesat dari Bukit Pedang itu mengenai sasaran,
terlebih dulu telah berkesiur angin panas bukan
kepalang menampar-nampar tubuh Siluman Ular
Putih.
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Sebe-
narnya ia menyesal sekali, kenapa tidak segera
mengeluarkan pukulan 'Lidah Bianglala'. Sedang
untuk mengerahkan pukulan itu sudah terlam-
bat. Maka yang dapat dilakukannya hanya meli-
patgandakan tenaga dalam. Dan....
Derrr! Derrr!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga
dalam yang terjadi. Laksana diguncang badai
prahara, tempat pertarungan jadi terang bende-
rang oleh bunga-bunga api yang menyebar ke se-
gala arah disertai hawa panas akibat bentrokan
pukulan itu. Keadaan tempat pertarungan pun
jadi porak poranda.
Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, tubuh
Siluman Ular Putih pun terbanting keras dengan
napas tersengal. Sedang kobaran api dari kedua
telapak tangan Hantu Tangan Api terus menge-
jarnya tanpa ampun.
Werrr! Werrr!
Tentu saja Siluman Ular Putih tak ingin
tubuhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan
Hantu Tangan Api. Dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, pemuda itu cepat me-
lenting ke atas menghindari serangan-serangan
Hantu Tangan Api. Di udara, diam-diam murid
Eyang Begawan Kamasetyo berniat mengerahkan
pukulan andalan Eyang Bromo. 'Lidah Bianglala'!
Begitu mendarat, kedua telapak tangan Si-
luman Ular Putih telah berubah jadi putih dihiasi
sinar yang beraneka warna!
"Pukulan 'Lidah Bianglala'...!" desis Hantu
Tangan Api, kaget bukan main. Hatinya menda-
dak kecut.
"Benar! Pukulan inilah yang nantinya akan
mengantar nyawa busukmu ke neraka!" dengus
Siluman Ular Putih.
"Bajingan! Apa hubunganmu dengan Eyang
Bromo, hah?!" bentak Hantu Tangan Api gusar.
"Tak ada gunanya aku menerangkan pa-
damu, Tua Bangka Keparat! Baiknya, tanyakan
saja pada malaikat maut nanti!"
Hantu Tangan Api mengkelap bukan main.
Belum pernah seumur hidupnya, harga dirinya
dihina demikian rupa. Apalagi oleh bocah kemarin
sore seperti Siluman Ular Putih.
"Bangsat! Bacotmu sungguh lancang, Si-
luman Ular Putih. Jangan dikira aku akan mem-
biarkanmu lolos dari tangan mautku! Hea!"
Mungkin karena sekadar menutupi rasa
gusarnya, tiba-tiba dikawal teriakan nyaring Han-
tu Tangan Api kembali melontarkan pukulan an-
dalan 'Gemuruh Badai Api' dengan kekuatan te-
naga dalam penuh.
Wusss! Wusss!
Maka kembali meluncur dua gulungan api
yang berkobar-kobar dari kedua telapak tangan
lelaki tua sesat itu, menerabas ke arah Siluman
Ular Putih.
Setombak lagi serangan Hantu Tangan Api
datang, Siluman Ular Putih segera mendorongkan
kedua telapak tangannya ke depan. Akibatnya,
dua gulungan kabut putih yang ditingkahi sinar
beraneka warna yang berkilauan telah melesat
cepat memapak pukulan Hantu Tangan Api.
Besss!
Tak ada bunyi yang berarti akibat bentro-
kan dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan.
Namun, tampak tubuh Siluman Ular Putih dan
Hantu Tangan Api sama-sama tergetar hebat. Di
samping itu, dua sinar merah dan putih yang
berkilauan di udara tampak saling tindih. Terka-
dang kobaran api milik Hantu Tangan Api yang
menindih kabut putih milik Siluman Ular Putih.
Namun kejap kemudian ganti kebalikannya.
Hingga pada titik puncaknya....
"Hea...!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menyentak-
kan kedua telapak tangan dengan kekuatan tena-
ga dalam penuh. Hasilnya, kabut putih tipis dari
kedua telapak tangannya melesat ke depan, me-
nindih gulungan kobaran api milik Hantu Tangan
Api.
"Ah...!"
Hantu Tangan Api kaget bukan kepalang.
Perlahan-lahan kabut putih yang berkilauan den-
gan sinar beraneka warna itu makin menindih gu-
lungan kobaran api miliknya. Tanpa sadar peluh
sebesar jagung membasahi keningnya.
Dan dengan mata membeliak lebar, tokoh
sesat dari Bukit Pedang itu dapat melihat jelas
kalau kabut putih dari kedua telapak tangan la-
wan mulai membungkus tubuhnya. Hal ini mem-
buat gusar hatinya bukan main.
Pada saat kabut putih tipis dari kedua te-
lapak tangan Siluman Ular Putih membungkus
sekujur tubuh, Hantu Tangan Api meraung-raung
hebat. Namun gulungan kabut itu terus mem-
bungkus tubuhnya tanpa ampun. Hingga pada
akhirnya, teriakan-teriakan Hantu Tangan Api
pun tak kedengaran sama sekali.
Ketika Siluman Ular Putih menurunkan
tangannya seperti semula, maka gulungan kabut
dari kedua telapak tangannya kontan sirna. Dan
begitu gulungan kabut itu sirna, yang tampak di
hadapannya bukan lain sosok tinggi kurus tubuh
Hantu Tangan Api, tapi setumpukan abu yang be-
raneka warna!
"Syukur! Akhirnya manusia penyebar peta-
ka itu mampus juga...," desah Siluman Ular Putih
dalam hati.
SEBELAS
Siluman Ular Putih menggeleng-geleng tak-
jub. Lalu mulutnya pun menggumam tidak jelas.
Kini, hatinya merasa agak lega setelah melihat
tubuh Hantu Tangan Api telah berubah menjadi
setumpukan abu yang berkilauan.
"Satu tugas di pundakku telah terlepas.
Sekarang, tinggal membantu Ratu Adil.... Eh, di
manakah gadis itu?"
Buru-buru Siluman Ular Putih berpaling ke
samping. Dilihatnya, Ratu Adil tengah sibuk me-
nyalurkan tenaga dalam ke tubuh Pendidik
Ulung. Sedang tak jauh darinya, tampak sosok
Pembunuh Iblis tergeletak kaku.
Siluman Ular Putih segera melangkah
mendekat, namun tidak berani membuka suara.
Pemuda ini takut mengganggu pekerjaan Ratu
Adil. Matanya hanya sekilas memandang ke arah
si gadis dan Pendidik Ulung.
"Hoeeekh!"
Tiba-tiba Pendidik Ulung menyemburkan
darah merah kehitaman dari mulutnya. Lalu per-
lahan-lahan, kelopak matanya pun terbuka. Ketika menyadari di hadapannya ada seorang gadis
tengah mengobati, bibirnyapun tersenyum.
"Terima kasih. Rupanya kau yang telah
menyelamatkan nyawaku, Gadis," ucap Pendidik
Ulung dengan suara bergetar. Parasnya pun tam-
pak demikian pias dengan napas agak tersengal.
Ratu Adil tersenyum. Perlahan-lahan ke-
dua telapak tangannya ditarik kembali dari dada
Pendidik Ulung.
"Jangan ucapkan kata-kata itu, Kek! Bu-
kankah waktu itu kau juga telah menyelamatkan
nyawaku?" sahut Ratu Adil lembut.
"Ah, iya? Tapi, di manakah bajingan tua
itu?" tanya Pendidik Ulung. Segera lelaki tua ini
membalikkan badan sambil berusaha bangun.
Namun, tenaganya masih lemas, hingga sulit se-
kali untuk bangun. Untung saja Siluman Ular Pu-
tih segera mengulurkan tangan dan memban-
tunya bangun.
"Di manakah bajingan tua itu, Bocah Gon-
drong?" tanya Pendidik Ulung sambil terus men-
gedarkan pandangan ke segenap penjuru.
Siluman Ular Putih tak menjawab, kecuali
hanya menudingkan telunjuk jarinya ke arah
tumpukan abu yang berkilauan tak jauh dari
tempat itu.
"Dia telah menjadi abu?!' sentak Pendidik
Ulung dan Ratu Adil, seolah tak percaya.
Siluman Ular Putih hanya mengangguk.
"Oh...! Kalau begitu sekarang aku tahu.
Kau pasti telah bertemu Eyang Bromo. Kau pasti
telah diwarisi pukulan 'Lidah Bianglala' yang dah
syat itu," duga Pendidik Ulung penuh kagum.
"Kau benar, Kek. Aku memang telah ber-
temu Eyang Bromo sekaligus mendapat warisan
darinya."
"Hm...," Pendidik Ulung mengangguk-
anggukkan kepala. Sejenak matanya beredar ke
sekeliling, lalu tertumbuk pada mayat Pembunuh
Iblis. "Eh...! Mayat siapakah ini?"
"Kakak kandungku, Kek. Dia telah tewas di
tangan Hantu Tangan Api," jelas Ratu Adil berge-
tar. Matanya kembali merembang, namun Ratu
Adil berusaha menguatkan hati.
"Oh...! Benar-benar bajingan tua bangka
itu! Sayang sekali aku tak dapat membunuhnya.
Tapi, sudahlah! Tak ada gunanya membicarakan
tua bangka itu. Toh, dia sudah modar. Sekarang,
ayo ikut aku!" ajak Pendidik Ulung.
"Ke mana, Kek?" tanya Siluman Ular Putih.
"Jangan banyak tanya! Kalian pasti akan
terkejut. Terutama sekali kau, Siluman Ular Pu-
tih!"
"Oh ya?"
"Cepat bawa mayat itu. Dan, ikuti aku!"
ajak Pendidik Ulung lagi, lalu segera melangkah
mendahului Siluman Ular Putih dan Ratu Adil.
Siluman Ular Putih yang mendapat tugas
mengangkat mayat Pembunuh Iblis hanya meng-
gerutu. Namun, toh akhirnya mau juga mengang-
kat mayat itu. Sedang Ratu Adil tampak sudah
menyusul Pendidik Ulung yang tengah menyibak
semak belukar.
Siluman Ular Putih segera menyusul. Dili
hatnya Pendidik Ulung dan Ratu Adil mulai me-
langkah memasuki mulut gua. Hanya saja kali ini
mereka masuk lewat pintu lain, tidak seperti wak-
tu Soma dan Ratu Adil dibawa Pendidik Ulung ke
gua itu pula.
Memang, Pendidik Ulung terus membawa
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil ke sebuah
ruangan khusus dalam gua itu. Begitu Siluman
Ular Putih tahu siapa yang tergeletak di tumpu-
kan jerami, matanya langsung membeliak lebar.
Buru-buru didekati sosok tubuh yang lak lain
Arum Sari. Diperiksanya gadis itu dengan seksa-
ma.
Manakala menyadari denyut nadi Arum Sa-
ri tidak bergerak-gerak sama sekali, Siluman Ular
Putih langsung menggeram penuh kemarahan.
"Siapa yang melakukan ini, Kek?!" tanya
Siluman Ular Putih pada Pendidik Ulung.
"Hm...! Siapa lagi kalau bukan manusia se-
sat Hantu Tangan Api?" desis Pendidik Ulung.
Hati Siluman Ular Putih kontan mencelos
begitu mendengar Hantu Tangan Api-lah yang te-
lah menewaskan Arum Sari. Parasnya menegang
penuh hawa amarah. Namun sejurus kemudian
wajah itu meredup dan dengan mata sedikit me-
rembang.
"Oh...! Maafkan aku. Arum! Aku benar-
benar tak menginginkan hal ini terjadi. Kau ada-
lah sahabatku yang paling baik...," desah Siluman
Ular Putih dalam hati.
"Kenapa malah melongo, Bocah? Kau ma-
sih mendapat tugas menguburkan mayat kedua
orang itu!" Pendidik Ulung memecah keheningan.
Siluman Ular Putih tak menyahut. Bibirnya
tersenyum getir ke arah Pendidik Ulung. Tanpa
diperintah pun, ia memang akan menguburkan
mayat Pembunuh Iblis dan Arum Sari. Maka tan-
pa banyak cakap segera digalinya dua lobang ku-
bur di dalam gua itu.
Pendidik Ulung dan Ratu Adil pun turut
pula membantu. Dengan pengerahan tenaga da-
lam, tak berselang lama, dua lobang kubur pun
tercipta dalam ruangan gua itu. Pendidik Ulung
yang dibantu Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
segera menguburkan mayat Arum Sari dan Pem-
bunuh Iblis.
Ratu Adil masih sesenggukan di samping
makam Pembunuh Iblis. Sejenak Siluman Ular
Putih dan Pendidik Ulung hanya membiarkan sa-
ja. Namun manakala tangis si gadis makin men-
jadi. Soma jadi tak tega. Segera didekatinya Ratu
Adil dan direngkuhnya ke dalam pelukannya.
"Jangan menangis, Yustika, masih ada
aku. Dan aku pun telah berjanji akan membantu
mencari ayah kandungmu," hibur Siluman Ular
Putih, lembut sekali di telinga Ratu Adil.
"Benarkah?" sambut Ratu Adil sambil
menghapus air mata.
Siluman Ular Putih mengangguk perlahan.
Entah karena terdorong perasaan apa, ti-
ba-tiba Ratu Adil menyandarkan kepalanya ke
dada bidang Siluman Ular Putih. Hatinya merasa
sejuk sekali. Apalagi merasakan pelukan hangat
si pemuda....
SELESAI
Segera terbit
WASIAT KEMATIAN
0 comments:
Posting Komentar