"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 17 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE BUNGA NERAKA

Bunga Neraka

 

1


Waktu terus menyeret malam. Terengah-engah. Tapi 

bukankah itu kodrat yang harus dijalani? Memang 

begitu kehendak Yang Maha Pencipta. Siang adalah 

waktu untuk bekerja. Dan malam untuk beristirahat. 

Tapi herannya, masih ada saja dua sosok yang 

berkelebat, menembus hutan lebat. Arah yang 

mereka tuju jelas ke utara. 

Ketika tiba di sebuah tempat yang agak terbuka 

dan banyak ditumbuhi semak belukar setinggi dada, 

dua sosok ini berhenti. Mereka memandang ke 

sekeliling tanpa bersuara. Bahkan, getar napas pun 

tak terdengar. 

"Aku yakin, daerah inilah yang disebut Gerbang 

Neraka...," bisik sosok yang sukar sekali melukiskan 

wajahnya, karena pekatnya malam. Tapi yang jelas, 

seorang lelaki tinggi tegap. 

"Dan kau yakin juga tentang berita Bunga Neraka 

itu?" tanya sosok satu lagi. Tubuhnya agak pendek, 

namun suaranya lebih besar. 

"Ya. Menurut kabar, barang siapa yang men-

dapatkan Bunga Neraka, maka akan memiliki 

kesaktian sangat tinggi. Bahkan boleh dikatakan, tak 

akan pernah ada yang mengalahkannya!" sahut lelaki 

tinggi tegap, menjelaskan. 

Kembali tak ada yang bersuara. Keduanya mem-

perhatikan berkeliling, berusaha menembus gelapnya 

malam dengan mata yang lebih terbuka. Tiba-tiba 

pandangan mereka tertuju pada sebuah batu besar di 

depan.

Bukan batu itu yang mengejutkan, justru sosok 

kerempeng dengan jenggot menjuntai hingga batu 

yang di dudukinya. 

"Gila! Siapa makhluk aneh itu?" mata lelaki tinggi 

tegap melotot berusaha menegaskan penglihatannya. 

Tak juga berhasil. Terlalu gelap bila hanya ditembus 

sepasang mata. "Aku baru melihatnya sekarang." 

Lelaki pendek tak bersuara. Matanya juga mem-

perhatikan sosok kerempeng yang terdiam itu. Tetapi 

mereka bisa melihat tatapan setajam serigala milik si 

tubuh kerempeng. 

Sebelum menyadari siapa orang itu, mendadak 

kedua orang yang tak jelas wajahnya ini terjungkal ke 

belakang disertai teriakan keras. Namun dengan 

kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun mereka 

segera bangkit. 

"Kita hantam manusia keparat itu!" dengus lelaki 

tinggi tegap. Serempak mereka menyergap tubuh 

kerempeng yang masih duduk di atas batu besar. 

Sementara, bau busuk menebar dari sana. 

Kalau melihat gerakannya, serangan yang di-

lakukan dua sosok itu bukanlah serangan 

sembarangan. Buktinya tenaga dalam mereka yang 

diimbangi gerakan tubuh secepat kilat siap meng-

hancurkan sosok kerempeng itu. Malah mungkin saja 

batu yang didudukinya pun akan pecah berantakan. 

Aneh.... Tubuh kerempeng yang duduk di batu 

nampaknya tenang-tenang saja. Dan ini membuat 

kedua penyerangnya semakin bernafsu menghabisi-

nya. 

"Heaaa...!" 

Diawali bentakan keras, mendadak saja tubuh 

kerempeng itu mengangkat kedua tangannya. 

Gerakannya sangat cepat, nyaris tak terlihat. Tahu

tahu.... 

Wuuut! Prak! 

Wuuut! Prak! 

Dua buah serangan balik dilancarkan sosok 

kerempeng sekaligus, membuat kedua penyerangnya 

terlempar ke belakang dengan kepala pecah. Begitu 

mencium tanah tak ada gerakan lagi. Selebihnya 

sunyi. 

Tubuh kerempeng itu juga membisu, sebisu dua 

orang yang baru dibunuhnya. Sementara bau busuk 

menyebar dari tubuhnya. Memuakan sekali. 

Tanpa disadari, seorang lelaki tua berpakaian 

kuning sejak tadi menatap tak berkesiap pada tubuh 

kerempeng. Caping bambunya bergerak-gerak ketika 

kepalanya menggeleng-geleng. Tiba-tiba kakinya 

menggeduk ke bumi. 

Bukan main akibatnya. Bumi seketika seolah ber-

goyang. Malah beberapa pohon tumbang secara men-

dadak. Tetapi, aneh! Sosok kerempeng yang men-

duduki batu besar itu tak bergeming sedikit pun! 

Bahkan batu besar yang didudukinya tak bergoyang! 

Bagai ditantang dan merasa diremehkan, si tua 

bercaping menggeram. Kakinya lantas melangkah 

perlahan mendekati tubuh kerempeng. 

"Prana Bantoro! Kau yang dikenal sebagai Penjaga 

Gerbang Neraka rupanya masih mempunyai taring!" 

bentak si tua berpakaian kuning-kuning itu. "Kalau 

dulu aku tak berhasil mendapatkan Bunga Neraka, 

hari ini jangan harap bisa mengusir Halimun Baju 

Kuning lagi!" 

Tubuh kerempeng berjuluk Penjaga Gerbang 

Neraka tetap tak berkutik dari tempatnya. Entah 

karena malas, atau karena menganggap remeh. 

Bahkan napasnya pun tak terdengar.

Sementara, si tua bercaping berjuluk Halimun Baju 

Kuning semakin marah. Harga dirinya merasa diinjak-

injak. Maka tiba-tiba saja kakinya menjejak kembali. 

Kali ini dua kali. 

Duk! Duk! 

Akibatnya, puluhan pohon besar yang ada di sana 

bertumbangan dengan suara bergemuruh. Tetapi 

batu besar yang diduduki Penjaga Gerbang Neraka 

tetap tak bergeming. 

Bagai api disiram minyak, amarah Halimun Baju 

Kuning kian membakar. Wajahnya memerah. Tiba-

tiba tangannya bergerak ke arah batu besar itu. 

Wuuut! 

Blammm...! 

Seperti suara meriam di sundut, batu besar yang 

diduduki Penjaga Gerbang Neraka meledak dan 

hancur seketika. Sementara sosok kerempeng di 

atasnya tadi sudah tidak nampak lagi. 

Halimun Baju Kuning celingukan sambil tetap 

bersiaga. Wajahnya kian memerah. 

"Lebih baik pergi dari sini, Halimun Baju Kuning! 

Urungkan niatmu untuk mendapatkan Bunga Neraka. 

Karena, siapa pun yang tiba di Gerbang Neraka, maka 

akan mampus! Seperti Sepasang Bayangan Maut 

tadi!" 

Tiba-tiba terdengar suara dari samping Halimun 

Baju Kuning berbalik. Tampak Penjaga Gerbang 

Neraka seperti sedang menundukkan kepalanya. 

Namun dirasakannya getaran-geraran maut yang 

seolah terpancar dari tubuh kerempeng itu. 

"Jangan sesumbar! Tunjukkan kepadaku jalan 

menuju Gerbang Neraka! Maka, kau akan hidup lebih 

lama lagi!" 

Penjaga Gerbang Neraka tetap masih menunduk

kan kepalanya. 

"Tinggalkan tempat ini. Kalau tidak, nyawamu tak 

akan pernah lagi melekat di tubuh gempalmu itu!" 

dingin terdengar suara si kerempeng. 

Halimun Baju Kuning tak kuasa lagi menahan 

amarahnya. Lima bulan yang lalu, dia gagal 

mengalahkan Penjaga Gerbang Neraka. Maka hari ini 

tekadnya sudah bulat untuk kembali menaklukannya. 

Sekaligus, memaksa Penjaga Gerbang Neraka untuk 

memberitahu jalan menuju Gerbang Neraka! 

Bagai disentak tenaga kuat, mendadak saja 

Halimun Baju Kuning meluruk ke arah Penjaga 

Gerbang Neraka. Gerakan tubuhnya benar-benar 

menimbulkan kesiur angin yang sangat keras. 

Namun seperti tadi, Penjaga Gerbang Neraka tetap 

tak bergerak. Dan ketika tubuh si tua bercaping 

sudah mendekat, barulah dengan gerakan secepat 

kilat sebelah kakinya diangkat. 

Wuuut! 

Halimun Baju Kuning sigap membuang tubuh 

gempalnya ke kiri secara bergulingan. Namun... 

Tak! 

Belum lagi Halimun Baju Kuning bisa bangkit, 

sebelah kakinya dirasakan sudah patah. 

"Keluar kau dari sini sebelum amarahku tak bisa 

lagi kupendam!" 

Rupanya Halimun Baju Kuning masih menyayangi 

selembar nyawanya. Sambil menggeram murka, dia 

tertatih-tatih bangkit meninggalkan tempat itu. Sejuta 

dendam membara membaluri hatinya. Sia-sia saja dia 

melatih diri selama empat bulan untuk menaklukkan 

Penjaga Gerbang Neraka! 

***

2


Hutan Kegelapanlah nama yang pantas bagi hutan 

belantara besar yang saat ini dilintasi seorang 

pemuda tampan berbaju hijau pupus. Padahal siang 

hari ini matahari menyorot garang. Tapi, tetap saja tak 

mampu menembus rimbunnya pepohonan. 

Namun si pemuda dengan kain bercorak catur di 

bahu terus melangkah seperti tanpa dosa. Langkah-

nya begitu tenang sambil bersiul-siul tak beraturan. 

Matanya memperhatikan berkeliling, hingga suatu 

ketika.... 

"Wallaaahhh...!" desisnya sambil berhenti melang-

kah seraya menatap pepohonan yang berjajar. 

"Jangan-jangan aku salah jalan...!" 

Kembali si pemuda melangkah. Agak ragu-ragu. 

Sepertinya, kakinya berat sekali dilangkahkan. 

"Gila! Ini sih tempat jin buang anak...! Aku harus 

buru-buru keluar dari sini sebelum menemukan anak 

jin!" 

Sebelum si pemuda melangkah lagi, dilihatnya 

satu sosok tubuh berkelebat cepat dari arah ber-

lawanan. 

"Hei!" seru si pemuda, langsung menghadang. 

Namun, sosok yang dihadang malah melenting ke 

atas, lalu kembali berkelebat tanpa menghiraukan si 

pemuda yang terheran-heran. 

Si pemuda berbalik. 

"Hup...!" 

Dalam empat kali lentingan saja, pemuda tampan 

itu berhasil mengejar sosok gempal bercaping dan

berbaju serba kuning. 

Sosok bercaping berbalik. Matanya menatap dingin 

dengan wajah memerah. 

"Siapa kau?!" tegur lelaki tua yang tak lain Halimun 

Baju Kuning. 

Si pemuda menyeringai. 

"Walah, sombongnya. Bertemu orang malah 

melengos.... Perkenalkan, namaku Andika. Pak tua, 

apakah kau bisa memberitahukanku untuk keluar 

dari hutan ini?" tanya si pemuda yang tak lain 

Pendekar Slebor. 

Halimun Baju Kuning memperhatikan seksama 

pemuda berambut gondrong dengan alis hitam 

seperti kepakan elang. 

"Carilah sendiri!" ujarnya sambil berkelebat lagi. 

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

Seperti tak mau menyerah, si pemuda pewaris ilmu 

Lembah Kutukan ini mengempos tubuhnya lagi, 

mengejar Halimun Baju Hijau. 

"Pak tua.... Aku hanya menanyakan jalan keluar 

dari sini!" paksa Andika ketika berhasil menghadang 

Halimun Baju Kuning kembali. 

Sekali lagi si tua bercaping memperhatikan 

dengan seksama. 

"Siapa sebenarnya kau ini?" 

Andika tertawa setengah gusar. 

"Ah, mengapa kau jadi curiga terus menerus"? 

Namaku Andika. Aku hanya ingin tahu jalan keluar 

dari hutan ini." 

"Pergilah ke arah selatan." 

"Bukankah kau sedang menuju ke selatan? Kalau 

begitu, kau juga hendak keluar dari hutan ini, bukan?" 

Tanpa menjawab, Halimun Baju Kuning kembali 

berkelebat meneruskan lesatannya.

"Sombong...! Mungkin ibunya tak pernah mengajar 

sopan santun...!" 

Sementara pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan 

itu menggerutu panjang pendek. Dan segera melang-

kah ke arah selatan seperti yang dikatakan sosok 

gempal berbaju kuning itu. 

Namun baru saja Pendekar Slebor melangkah dua 

puluh tindak, tiba-tiba terdengar suara derap langkah 

kuda bergemuruh. Bila mendengar langkahnya saja, 

bisa diperkirakan kalau kuda-kuda itu berjumlah 

sekitar dua puluh ekor. 

"Hup!" 

Andika cepat melenting ke atas, lalu hinggap 

dengan ringan di salah sebuah dahan pohon. Di-

tunggunya orang-orang berkuda itu muncul. 

*** 

Sekitar dua puluh ekor kuda seperti saling ber-

lomba berpacu ke arah Pendekar Slebor ber-

sembunyi. Di deretan terdepan, berlari seekor kuda 

tinggi gagah berwarna coklat. Penunggangnya se-

orang lelaki berewok memakai sehelai kain ditekuk, 

berbentuk topi menjuntai ke belakang. Pakaian 

merah dengan celana berwarna hitam. Di per-

gelangan tangannya melingkar dua buah gelang 

bahar yang besar. Dan di punggungnya terdapat dua 

buah pedang yang bersilang dengan warangka dihiasi 

benang-benang emas menjuntai. 

Lelaki brewok terus menggebrak kudanya, 

menyusul dua puluh ekor kuda yang penunggangnya 

berpakaian merah-merah. Di pinggang mereka ter-

dapat sebilah pedang berwarangka hitam. 

Dari tempat persembunyiannya, Andika jadi bertanya-tanya sendiri. 

"Ada apa ini?" 

Rasa ingin tahu Pendekar Slebor menyingkap 

benaknya. Dan dengan ringannya si pemuda ber-

lompat turun dari tempat persembunyiannya. Ke-

inginannya untuk segera keluar dari Hutan Kegelapan 

urung, saat rasa ingin tahunya terusik oleh orang-

orang tadi. 

Menurut Andika, di hutan ini sudah tentu tak ada 

sepotong manusia kecuali hewan. Namun tadi, dia 

sudah berjumpa manusia bertubuh gempal yang kini 

entah ke mana. Kemudian, puluhan manusia yang 

menunggang kuda. 

Adakah sesuatu yang menarik di hutan ini? 

Andika terus membuntuti dengan hati-hati. Sampai 

akhirnya di satu tempat agak terbuka yang dipenuhi 

semak belukar setinggi dada, Andika melihat orang 

brewok berpakaian merah itu mengangkat tangannya 

sambil menghentikan laju kudanya. Begitu pula yang 

di belakangnya. 

Andika yang mengintip dari balik semak mengerut-

kan keningnya. Dia melihat orang-orang itu segera 

mencabut pedang. Yang membuatnya merasa aneh, 

apakah ada bahaya yang mengancam orang-orang 

itu? 

"Kita harus berhati-hati sekarang. Aku yakin, di 

sinilah pintu masuk menuju Gerbang Neraka," ujar 

yang berpedang dua di punggung. Sikapnya nampak 

tegar, meskipun matanya memancarkan sedikit 

gelisah. 

"Tak seorang pun kuizinkan untuk masuk ke 

Gerbang Neraka." 

Tiba-tiba terdengar suara dingin bersamaan 

dengan hembusan angin kuat.

Bagai disengat kalajengking, orang-orang itu ter-

sentak. Sementara kening Pendekar Slebor yang 

sedang mengintip pun berkerut. Sepasang matanya 

menyipit. 

"Penjaga Gerbang Neraka! Aku Siluman Pedang 

Kembar, datang untuk mencari jalan menuju ke 

Gerbang Neraka!" teriak lelaki brewok berjuluk 

Siluman Pedang Kembar. Lagaknya seperti ingin 

menggetarkan si pemilik suara. 

"Hanya orang-orang serakah yang menginginkan 

Bunga Neraka." 

"Bangsat hina! Cepat tampakkan wajah jelekmu! 

Aku sudah tidak sabar untuk menghancurkan mulut 

lancangmu itu!" teriak Siluman Pedang Kembar. 

Gayanya, seperti dia sendiri yang tampan. Padahal, 

seekor monyet betina pun akan berpikir dua kali bila 

bercinta dengannya. 

Terdengar helaan napas berat yang sangat keras. 

"Aku bukanlah orang yang kejam. Lebih baik, 

tinggalkan tempat ini sebelum nyawa kalian akan 

pindah dari jasad kotor kalian!" 

"Keparaaattt...!" 

Di awali teriakan kemurkaan, Siluman Pedang 

Kembar mengibaskan pedang yang berada di tangan 

kirinya. Seketika tampak sebuah cahaya yang sekilas 

menerangi tempat itu. Dan tiba-tiba saja, tiga buah 

pohon bertumbangan sekaligus. 

"Keluar kau!" maki lelaki brewok itu. 

Sedangkan Andika yang terus mengintip hanya 

menggeleng-geleng. Bukan main jurus yang diperlihat-

kan Siluman Pedang Kembar! 

Pendekar Slebor menunggu, untuk melihat sosok 

yang bersuara tadi. Tetapi, tak satu sosok pun yang 

muncul. Hanya suaranya saja yang semakin dingin."Jangan unjuk gigi di hadapanku. Tak ada guna-

nya...." 

"Keparat!" 

Kali ini Siluman Pedang Kembar benar-benar 

murka. Kedua tangannya yang memegang pedang 

mendadak bergerak. Sinar-sinar aneh yang keluar 

dari kedua pedangnya berkelebat lagi. Dan kali ini 

lebih banyak pepohonan yang tumbang. 

"Keluar kau!" bentaknya dengan suara memekik. 

Sementara para pengikutnya semakin bersiaga. 

Tak ada sahutan apa-apa, kecuali gemuruhnya 

pepohonan yang tumbang. Namun tiba-tiba saja.... 

"Aaa...!" 

Rasa terkejut menyentak. Apalagi begitu beberapa 

orang pengikut Siluman Pedang Kembar berjatuhan 

dengan kepala pisah dari tubuh. 

Melihat hal itu, semakin murkalah Siluman Pedang 

Kembar. Kedua pedangnya semakin liar dikibaskan. 

Sinar-sinar aneh yang berbahaya itu semakin banyak 

berdesingan dan kembali menumbangkan pe-

pohonan. Suaranya benar-benar bagaikan serom-

bongan gajah mengamuk! 

Andika sampai menekap kedua telinganya. 

"Edan! Kenapa dia jadi marah-marah begitu?" maki 

Andika dalam hati. "Siapa pula yang membunuh 

orang-orang yang bersama si Siluman Pedang 

Kembar? Lagi pula, apa yang ditanyakan oleh 

Siluman Pedang Kembar tadi? Jalan masuk ke 

Gerbang Neraka? Apa-apaan ini? 

Belum lagi Andika berhasil menemukan jawaban-

nya. Kembali terlihat tujuh buah kepala terpental. 

Buk! Buk...! 

Persis butiran kelapa jatuh dari pohon. Darah 

memancur tinggi dengan tubuh roboh.

"Siapa orang gila yang bertindak kejam seperti ini?" 

tanya Andika lagi. 

Sementara Siluman Pedang Kembar semakin 

bertambah geram dan marah. Sedangkan kedua 

pedangnya terus dikibaskan. 

"Rupanya kau berada di sana, Kerempeng!" 

dengus lelaki brewok ini. 

"Sejak tadi aku berada di sini. Hanya matamu saja 

yang mendadak menjadi buta," sahut sosok 

kerempeng yang memang Penjaga Gerbang Neraka 

dingin, sambil menundukkan kepala. 

Andika sendiri hanya mengucak-ngucak matanya. 

Gila! Sejak kapan manusia kerempeng itu duduk di 

sebuah batang kayu yang tumbang? 

"Penjaga Gerbang Neraka! Tunjukkan jalan menuju 

Gerbang Neraka!" seru Siluman Pedang Kembar. 

Kedua tangannya siap mengibaskan kedua pedang-

nya. 

"Lebih baik urungkan seluruh niatmu itu, Siluman 

Pedang Kembar. Karena, kau tak akan pernah ber-

hasil mendapatkannya." 

"Keparaaattt...!" 

Kali ini Siluman Pedang Kembar mengibaskan 

kedua pedangnya ke arah Penjaga Gerbang Neraka 

yang tetap duduk dengan kepala tertunduk. Seolah 

bahaya mengancamnya tak disadari. 

Sret! Sret! 

Dua larik sinar yang bergerak bagaikan potongan 

pedang menderu ke arah lelaki kerempeng itu. 

***

3


Andika sendiri sampai melongo. Edan! Apakah orang 

kerempeng itu memang ingin mencari mampus? 

Tetapi sesaat kemudian matanya terbelalak. Karena 

dengan ringannya, lelaki kerempeng itu mengangkat 

kedua tangannya. 

Wuuus! Wuuuus! 

Dua larik sinar itu berbalik arah, menderu kembali 

kepada pemiliknya. Siluman Pedang Kembar mem-

buang jauh-jauh tubuhnya. Namun malang bagi para 

pengikutnya.... 

Crasss! 

"Aaa...!" 

Seluruhnya menjerit setinggi langit. Semuanya 

ambruk dengan perut terbelah! 

Siluman Pedang Kembar berdiri lagi dengan wajah 

pias. Keringat sudah mengalir di tubuhnya. Namun, 

sebagai seorang tokoh yang disegani pantang mundur 

baginya. 

"Heaaa...!" 

Siluman Pedang Kembar melesat cepat luar biasa, 

bagai ingin memusnahkan segala persoalannya. 

Padahal tindakannya mengandung bahaya amat 

besar. Kedua pedangnya tiba-tiba saja memancarkan 

sinar berwarna merah. 

Kali ini Penjaga Gerbang Neraka melompat 

laksana kilat. Batang kayu yang tadi didudukinya tadi 

tercacah menjadi potongan ranting terkena sambaran 

pedang Siluman Pedang Kembar. 

Bukan hanya sampai di situ saja Siluman Pedang

Kembar menyerang. Begitu serangannya gagal, 

tubuhnya kembali meluruk. Dikirimkannya serangan-

serangan sangat berbahaya. 

Namun yang menarik, lagi-lagi Penjaga Gerbang 

Neraka tak bergerak. Bahkan kepalanya tetap 

menunduk. 

Ketika dua buah pedang di tangan Siluman 

Pedang Kembar sejengkal lagi menebas, tiba-tiba 

saja Penjaga Gerbang Neraka mengangkat sebelah 

kakinya yang kurus penuh bulu. 

Wuuut! 

Prak! 

"Aaakh...!" 

Gerakan lelaki kerempeng itu benar-benar cepat 

tak terlihat, bagaikan angin. Namun akibatnya, 

Siluman Pedang Kembar memekik keras. Tangan kiri-

nya terhantam satu tendangan keras sekali. Bukan 

hanya patah, tapi copot dari sendinya. 

Siluman Pedang Kembar bergulingan sambil men-

jerit-jerit kesakitan. Sementara Penjaga Pintu Neraka 

tetap berdiri tetap dengan kepala tertunduk. 

"Pergilah dari sini! Urungkanlah niatmu untuk 

masuk ke Gerbang Neraka!" usir lelaki kerempeng. 

Meskipun rasa sakitnya seperti hendak menjebol 

dadanya, tetapi Siluman Pedang Kembar bukanlah 

orang yang pantang menyerah. Kejadian tadi di-

anggap belum apa-apa, dibanding angan-angannya 

untuk memiliki Bunga Neraka. 

Saat itu juga, lelaki brewok ini melesat dengan 

sebelah pedang di tangan kanan siap dikibaskan. Di 

benaknya yang ada hanya Bunga Neraka. Dia tak 

ingin kembali dengan sia-sia. Kalau perlu, mengadu 

jiwa sekalian. 

"Rupanya, kau-memang ingin mati! Baiklah.... Kau

akan kukirim ke neraka!" 

Penjaga Gerbang Neraka berdiri bagaikan me-

nunggu. Dan ketika Siluman Pedang Kembar sudah 

tidak di dekatnya, mendadak saja tangannya 

mengibas. 

Wuuus! 

*** 

Ajal Siluman Pedang Kembar sudah benar-benar di 

ambang mata. Manusia satu ini benar-benar meng-

andalkan kenekatan saja. Padahal, dia sudah tahu 

kalau ilmu lawan lebih tinggi! 

Namun sebelum serangan balik Penjaga Gerbang 

Neraka menelan korban, tiba-tiba saja berkelebat 

bayangan hijau yang langsung menyambar tubuh 

Siluman Pedang Kembar. 

Brosshh...! 

Sementara, pukulan yang dilancarkan Penjaga 

Gerbang Neraka langsung menghantam sebatang 

pohon hingga hangus seketika. 

"Rupanya, masih ada orang yang menolong orang 

serakah!" desisnya tetap menundukkah kepala. 

Siluman Pedang Kembar yang baru lolos dari maut 

menatap penolongnya. Seorang pemuda tampan 

berbaju hijau pupus yang sekarang sedang me-

nantang Penjaga Gerbang Neraka. 

"Maaf, Pak Tua Kerempeng. Bukannya aku usil. 

Tapi lawanmu sudah tidak berdaya. Apa kau tidak 

kasihan melihat orang yang sudah terkencing-kencing 

di celana...?" ucap pemuda yang tidak lain Pendekar 

Slebor. 

Siluman Pedang Kembar terjingkat. Cepat diraba-

nya bagian benda terlarangnya. Basah! Lalu tangan

nya diangkat ke hidung. Bau...! Bahkan bibirnya 

sampai mengerucut dengan hidung ditarik. Tanpa 

sadar, saking ketakutannya, lelaki brewok ini ter-

kencing-kencing di celana. 

"Aku tak pernah memberi hati pada orang lancang, 

Anak Muda...," sahut lelaki kerempeng. 

"Baiklah kalau begitu. Sekarang kita berlaku bagai-

kan seorang sahabat." 

Penjaga Gerbang Neraka terdiam sebentar. 

"Anak muda.... Aku belum tahu, siapa kau sebenar-

nya. Tetapi kata-katamu terasa enak terdengar di 

telingaku." 

Andika mengerutkan keningnya. Enak? Si pemuda 

dari Lembah Kutukan ini rasanya mau terbahak-

bahak. Burung gagak saja terbirit-birit mendengar 

suaranya. 

"Sebenarnya ada apa, Pak Tua?" tanya Andika. 

"Hmm..., ketahuilah. Selama seratus tahun aku 

berdiam di hutan ini, baru hari ini ada yang datang 

dengan pertanyaan ada apa. Bukan bertanya tentang 

Bunga Neraka." 

"Ah...! Sudahlah, jangan bicara soal bunga. Toh kau 

bukan lintah darat? Aku hanya ingin, kau jangan main 

bunuh saja...," tukas Andika, mengucapkan tanya. 

"Jangan beri ampun manusia kerempeng itu, Anak 

Muda. Selama seratus tahun pula dia membunuh 

orang-orang yang ingin mencari tahu jalan masuk 

menuju Gerbang Neraka!" 

Justru Siluman Pedang Kembar yang berkata 

sambil meringis menahan rasa nyeri di tangannya. 

Wajahnya sudah pucat karena hampir-hampir 

kehabisan darah. 

Kening Andika berkerut. Lagi-lagi jalan menuju 

Gerbang Neraka. Di manakah jalan itu? Setahunya,sepanjang mata memandang yang ada hanya hutan 

belantara saja? 

"Itulah yang kumaksudkan dengan orang-orang 

serakah, Anak Muda," kata Penjaga Gerbang Neraka 

tetap dengan kepala tertunduk. "Apakah mereka tidak 

menginginkan aku hidup tenang? Mengapa mereka 

menginginkan Bunga Neraka? Padahal, hanya ada 

sekuntum saja bunga itu. Kalaupun ada yang berhasil 

memilikinya, yang kukhawatirkan hanyalah untuk 

kesenangan semata! Untuk menjadikan dirinya 

digdaya." 

"Biarpun ilmumu setinggi dewa, aku tak akan 

mundur sebelum kudapatkan Bunga Neraka!" sambar 

Siluman Pedang Kembar, seraya menerjang kembali 

ke arah lejaki tua kerempeng. 

"Tahaaan...!" seru Andika terkejut. 

Tetapi tubuh Siluman Pedang Kembar sudah dekat 

dengan Penjaga Gerbang Neraka. Dan kali ini, 

gerakan satu tangannya disertai tenaga dalam penuh. 

Pada saat yang sama, si lelaki kerempeng telah 

mengibaskan tangannya. 

Wuuus! Duaarrr! 

Bunyi dentuman terdengar bersamaan hancurnya 

tubuh Siluman Pedang Kembar. Tubuhnya menjadi 

serpihan bagaikan dedaunan yang dirancah. 

Pendekar Slebor memerah wajahnya. 

"Aku heran! Mestinya di usia yang sudah bau 

tanah, kau harus sudah bertobat. Bukannya malah 

mengumbar kekejaman...!" 

Entah ingin mencoba kekuatan si tua kerempeng 

itu, atau memang ingin melumpuhkan kepandaian-

nya, Andika meluncur ke arah Penjaga Gerbang 

Neraka. 

"Kekejaman itu hanyalah merupakan sebuah alat,"sahut Penjaga Gerbang Neraka sambil mengangkat 

sebelah tangannya. 

Wuuus...! 

Andika merasa sebuah angin bagaikan tusukan 

ratusan lembing menderu ke arahnya. Seketika 

tubuhnya di buang ke kanan. Namun tak urung 

celananya yang sebelah kiri koyak hingga sebatas 

dengkul. 

Begitu bangkit Pendekar Slebor menggeleng-

geleng, kaget sekaligus takjub. Jurus yang sangat 

aneh dan hebat, pujinya. 

"Anak muda! Kepada orang-orang seperti kaulah 

aku tak menginginkan menurunkan tangan telengas. 

Aku tahu, kau menyerangku bukanlah untuk men-

dapatkan jalan menuju Gerbang Neraka, tapi sekadar 

tak suka melihat tindakanku...." 

"Aku memang ingin menghukummu!" seru Andika 

lagi. 

Dengan tenaga 'inti petir' tingkat keduabelas, 

Pendekar Slebor melesat kembali ke arah Penjaga 

Gerbang Neraka. Namun, kali ini lelaki kerempeng 

nampak terjingkat dan membuang dirinya ke kiri. 

"Hei?! Bukankah itu jurus Ki Saptacakra?!" seru 

Penjaga Gerbang Neraka kaget dan berdiri tegak. Kali 

ini kepalanya terangkat. 

Andika cepat menghentikan serangannya. Dan dia 

ladi bergidik melihat wajah yang mengerikan. Ter-

utama bila mata Penjaga Gerbang Neraka yang tak 

ubahnya mata serigala kelaparan. 

"Anak muda.... Apa hubunganmu dengan Ki 

Saptacakra Penguasa Lembah Kutukan?" tanya 

Penjaga Gerbang Neraka. 

"Dia Eyang buyutku," sahut Andika, masih 

menampakkan ketidaksenangannya.

"Oh! Bagaimanakah kabarnya dia sekarang?" 

Kali ini Andika tidak menjawab. Diperhatikannya 

wajah mengerikan di hadapannya dengan seksama. 

"Urusan ini tak ada hubungannya dengan Eyang 

buyutku." 

"Tahan! Ketahuilah, aku sangat menghormatinya." 

"Kalau begitu, lebih baik tinggalkan tempat ini. Aku 

tak ingin keonaran terjadi lagi." 

Penjaga Gerbang Neraka menghembuskan napas-

nya. 

"Aku tahu, apa yang kulakukan ini hanyalah 

menumpahkan darah belaka. Tetapi, ketahuilah. Bila 

tempat ini kutinggalkan, maka banjir darah akan 

semakin banyak. Apalagi, bila aku mengatakan jalan 

masuk menuju Gerbang Neraka. Bukan hanya tempat 

ini yang akan banjir darah, melainkan seluruh isi 

persada ini!" 

Andika terdiam, mencoba menelaah kata-kata 

Penjaga Gerbang Neraka. Rasa penasarannya pun 

mulai bermain di hatinya. Bunga Neraka.... Bunga apa 

itu. Dan jalan menuju Gerbang Neraka, di manakah 

jalan masuknya? 

"Di dunia ini tak ada yang aneh, Anak Muda. 

Seperti kau yang mengaku sebagai cucu terakhir dari 

Ki Saptacakra. Sangat sulit dipercaya kalau Ki 

Saptacakra adalah Eyang buyutmu." 

"Mau percaya ya syukur, tidak percaya ya sudah," 

kata Andika, menelan rasa dongkolnya mentah-

mentah. 

(Untuk mengetahui Ki Saptacakra, silakan baca 

"Lembah Kutukan" serta "Dendam dan Asmara"). 

"Tetapi melihat tenaga 'inti petir' yang kau per-

gunakan tadi, sedikit banyaknya aku yakin tentang 

hal itu. Karena, tak seorang pun yang memiliki tenaga

'inti petir', kecuali Ki Saptacakra yang telah bertahun-

tahun menjaga 'Buah Inti Petir'. Dan pasti kau telah 

memakannya, bukan?" 

Andika terdiam. Rupanya manusia kerempeng ini 

tahu tentang dirinya. 

"Karena aku sekarang yakin kalau kau keturun dari 

Ki Saptacakra, maka kau akan kuberitahukan jalan 

menuju Gerbang Neraka." 

Andika terkejut. Tapi dia mendengus dalam hati. 

Lagi-lagi Gerbang Neraka! Seperti apa sih tempat itu? 

Rasa penasaran semakin mengusik hatinya. Namun 

Pendekar Slebor bukanlah orang bodoh yang mau 

menelan mentah-mentah semua itu. Barangkali ini 

suatu jebakan. Terbukti, sudah disaksikannya 

bagaimana Penjaga Gerbang Neraka mempertahan-

kan jalan rahasia itu kepada Siluman Pedang 

Kembar. Entah, kepada siapa lagi. Mungkin telah 

ratusan orang yang ingin mengetahui jalan menuju 

Gerhang Neraka. 

"Mengapa kau begitu mudah ingin mengatakannya 

kepadaku?" tanya Pendekar Slebor, memancing. 

"Karena, keturunan Ki Saptacakra kuyakini tak 

pernah berdusta atau berlaku munafik." 

"Bagaimana kalau aku dusta? Toh kau bilang tadi, 

bila ada yang berhasil masuk ke Gerbang Neraka dan 

memetik Bunga Neraka, berarti darah akan semakin 

bersimbah di persada ini." 

"Karena, aku yakin kau pasti akan berada di jalan 

lurus. Sepertinya, Bunga Neraka berjodoh denganmu, 

Anak Muda." 

Andika kembali terdiam. Dicobanya merangkaikan 

kata-kata itu. 

"Maaf, meskipun aku penasaran sekali ingin 

mengetahui di mana Gerbang Neraka dan sejenis apa

Bunga Neraka, aku menolak untuk memenuhi per-

mintaanmu," ucap Andika. 

"Dengan kata lain, kau akan membiarkan aku 

menjadi seorang pembunuh?" tukas si lelaki 

kerempeng. 

"Kau bisa mengendalikan amarahmu." 

"Dengan begitu, akulah yang mati. Dengan matinya 

aku, maka seluruh orang serakah yang menginginkan 

Bunga Neraka akan berdatangan dan saling adu 

kehebatan untuk mendapatkannya." 

Kembali Andika terdiam. Di satu segi, dia ingin 

tahu tentang hal itu. Tetapi di segi lain, dia se-

sungguhnya memang tak berminat untuk menge-

tahuinya. Hanya saja, apa yang dikatakan Penjaga 

Gerbang Neraka memang benar. 

"Mengapa kau menjadi lemah seperti itu? Padahal 

kau nampaknya mati-matian menyembunyikan jalan 

rahasia menuju Gerbang Neraka?" tanya Pendekar 

Slebor. 

"Ki Saptacakra telah merelakan 'Buah Inti Petir'nya 

kau makan. Aku pun merelakan Bunga Neraka untuk 

dipetik dan kau cium wanginya." 

"Karena aku keturunan dari Ki Saptacakra, kau 

merelakannya begitu saja?" 

"Sudah tentu tidak. Aku hanya memberitahu jalan 

masuk menuju Gerbang Neraka. Dan tentunya juga 

kau tak semudah itu untuk memakan 'Buah Inti Petir' 

di Lembah Kutukan, bukan?" 

Berarti, memang ada bahaya yang mengancam. 

"Baiklah.... Aku setuju dengan keinginanmu itu. 

Akan kupetik Bunga Neraka dan kupersembahkan 

kepadamu." 

Penjaga Gerbang Neraka terbahak-bahak. Suara-

nya begitu menggema sekali. Dedaunan pun banyak

yang rontok seketika. Untuk pertama kalinya Andika 

melihat Penjaga Gerbang Neraka tak lagi berwajah 

bengis. 

"Anak muda.... Jiwa kesatria dan hati suci benar-

benar kau miliki. Sudah tentu aku tidak menginginkan 

Bunga Neraka, karena aku adalah pemilik dan 

penjaganya. Aku telah memberikannya kepadamu. 

Bila kau memang berkenan untuk mendapatkannya, 

hiruplah sari Bunga Neraka tersebut. Maka kau akan 

merasakan sesuatu yang lain pada dirimu." 

"Mengapa begitu?" 

"Kau bisa melihatnya nanti. Sekarang, pejamkan 

matamu. Atur napas dari perut ke dada, dan tahan 

sampai kuperintahkan untuk bernapas kembali. Kau 

sudah bersedia untuk melakukannya, bukan?" 

Tak ada jalan lain lagi bagi Andika, meskipun 

bayang-bayang keraguan masih berputar-putar di 

benaknya. Di satu segi, hatinya memang sangat 

penasaran terhadap Bunga Neraka. Bukan semata 

karena ingin memilikinya, tapi karena ingin melihat 

seperti apa. Di segi lain, dia pun membenarkan kata-

kata Penjaga Gerbang Neraka. Bila saja ada orang 

dari golongan sesat yang mendapatkannya, niscaya 

akan bertindak kejam melebihi Raja Iblis sekali pun. 

"Bila memang kau percaya kepadaku, aku akan 

melakukannya," kata Pendekar Slebor kemudian. 

Penjaga Gerbang Neraka tersenyum. 

"Dan aku yakin, Ki Saptacakra tidak akan marah 

keturunannya kupinjam untuk sementara." 

"Dipinjam? Memang aku barang rongsokan?!" 

Andika mendengus dalam hati, mendengar istilah 

pijam itu. Lalu diturutinya kata-kata Penjaga Gerbang 

Neraka. 

Kedua mata Pendekar Slebor terpejam. Pikirannya

dikosongkannya dengan segera. Lalu napasnya diatur 

melalui perut hingga ke dada. Di dadalah napasnya 

ditahan. 

Sesaat Andika merasakan seluruhnya gelap gulita. 

Bahkan tak ada suara-suara yang terdengar. Namun 

mendadak saja, si anak muda ini melihat sebuah titik 

cahaya bersinar keemasan yang semakin lama 

semakin mendekatinya. Berpendar-pendar dan mem-

berikan penerangan seketika. 

Andika tidak tahu, kalau tiba-tiba saja tubuh 

Penjaga Gerbang Neraka bagaikan limbung. Namun 

lelaki tua kerempeng ini berusaha untuk menjaga 

keseimbangan dan mengirimkan alam pikiran gaibnya 

kepada Andika. 

Dan yang membuat Andika merasa aneh, saat ini 

dirasakannya hawa panas yang bergejolak. Tubuhnya 

seketika mengeluarkan keringat. 

Rasa panas itu bukan hanya bagaikan membakar 

tubuh Andika, tetapi seluruh jiwanya. Pendekar Slebor 

berusaha meronta dan menjerit. Namun, tak ada 

gerakan apa-apa. Bahkan jeritan pun tak bisa 

dilakukan. 

"Bernapaslah!" seru lelaki tua kerempeng ini tiba-

tiba. 

Yang dirasakan Pendekar Slebor kemudian, tubuh-

nya tiba-tiba terlontar ke satu alam yang sangat jauh. 

Dan rasa panas pun semakin menyengat. Samar-

samar terlihat satu sosok tubuh berpakaian hitam-

hitam dengan rambut merah acak-acakan pun ter-

lontar mengikutinya! Siapakah dia? 

***

4


Tubuh Andika terhempas di sebuah tempat yang 

sangat tandus. Begitu pantatnya terhenyak di pasir 

putih, saat itu juga si pemuda langsung bangkit. 

Betapa tidak, pasir itu terasa panas menyengat 

sekali! 

"Busyet! Inikah yang dinamakan Gerbang Neraka?" 

keluh Andika sambil memandang sekeliling. 

Apa yang dilihat seluruhnya hanyalah lautan pasir 

panas belaka. Udara yang berhembus pun begitu 

panas. Keringat sudah langsung membanjir di tubuh-

nya. 

"Uhh.... Kalau tahu begini sih, lebih baik tak usah 

ke sini!" makinya jengkel. 

Lantas mendapat petunjuk dari mana, Andika 

segera mengalirkan tenaga dalam ke seluruh tubuh-

nya. Terutama, ke kedua kakinya, untuk menahan 

rasa panas yang menusuk-nusuk. Mulai Andika me-

langkah. Dan yang membuatnya merasa aneh, ketika 

mendongak ke atas, tak dirasakannya sinar matahari 

yang menyengat. 

"Edan! Apakah tidak ada matahari di sini? Lalu dari 

mana hawa panas ini?" 

Andika terus melangkah menyongsong udara 

panas dan pasir menyengat. Tiba-tiba saja pen-

dengarannya menangkap suara raungan dan jeritan 

minta ampun. Seketika, Andika menghentikan 

langkahnya. Bersiaga! 

Di luar sepengetahuan Pendekar Slebor, ada sosok 

lain yang memperhatikan. Sementara suara jeritan

dan tangisan minta ampun terus terdengar. Andika 

terus melangkah menuju sumber suara. 

Tapi, mendadak saja si pemuda dari Lembah 

Kutukan tersentak. Karena, di hadapannya ber-

geletakan puluhan sosok tubuh yang sedang me-

lolong kesakitan. Seluruhnya berada dalam keadaan 

telanjang bulat. Tidak perempuan, tidak laki-laki. 

Juga, tua dan muda. Semuanya berguling-guling di 

atas pasir yang sangat panas. Bahkan lamat-lamat 

terlihat kobaran api di bawah tubuh-tubuh itu. Seakan 

bara api yang sedang memanggang. 

"Gila! Kenapa mereka? Siapa mereka? Dan, bagai-

mana tahu-tahu bisa berada di hadapanku? Tadi kan 

tidak ada apa-apa?" desis Andika, bingung. 

Sesaat Pendekar Slebor melihat satu sosok tubuh 

dengan wajah seperti Siluman Pedang Kembar 

sedang kelojotan berguling. Tubuhnya sudah meng-

hitam dengan darah terus mengalir. 

Sadarlah Andika, kalau mereka adalah orang-orang 

yang menginginkan masuk ke Gerbang Neraka. 

Mereka telah dibunuh oleh Penjaga Gerbang Neraka, 

dan roh-roh mereka tidak kembali ke Sang Pencipta, 

tapi terus tinggal di sini dulu untuk menebus segala 

dosa. Entah berapa lama. 

Kepala Andika cepat berpaling, tak tega melihat 

penderitaan orang-orang itu. Ini benar-benar mengeri-

kan. Lebih mengerikan ketika dia terdampar di Alam 

Sunyi, negeri bangsa siluman! (Baca serial Pendekar 

Slebor dalam episode : "Neraka Di Keraton Barat"). 

Ketika berpaling kembali untuk melihat lagi bagai-

mana penderitaan orang-orang itu, Andika menjadi 

terperangah. Karena, tak satu pun yang nampak di 

depan matanya. Semuanya lenyap mendadak. 

"Banyak keanehan selama ini yang kualami. Tetapi

apa yang kualami sekarang ini lebih aneh lagi," 

gumam Pendekar Slebor seraya berbalik lagi. "Hmm... 

di mana aku harus mencari Bunga Neraka." 

Andika melangkah lagi, melewati dataran pasir 

yang panas dan kobaran api yang sesekali menyem-

bur ke atas. Terus terang, hatinya kecut juga. Jangan-

jangan, bila salah melangkah akan termakan api yang 

mendadak berkobar. 

Dan apa yang dikhawatirkan terbukti. Karena tiba-

tiba saja pasir yang dipijak bergerak. Sebelum terjadi 

ancaman yang bisa merenggut nyawa, Pendekar 

Slebor sudah melompat bergulingan. Saat itu juga 

kobaran api yang luar biasa besar dan panasnya 

menyembul keluar! 

"Gila! Bisa mampus aku di sini!" rutuk Andika 

sambil menepuk-nepuk seluruh tubuhnya karena 

pasir-pasir panas itu menempel. Pakaian yang di-

kenakannya sudah bolong-bolong. Tetapi, kain 

bercorak catur warisan dari Ki Saptacakra tetap utuh! 

Otak si pemuda yang cerdik segera melepaskan 

kain pusakanya, lalu meletakkannya di pasir panas. 

Tetap utuh. Karena penasaran, ditekan kain itu 

dengan kedua tangannya. Tak merasa panas. Bahkan 

terasa sejuk. 

Sadarlah Andika, kalau kain pusaka ini mampu 

melindunginya dari panas. Maka, dikerudungkannya 

kain bercorak catur di kepala. Sehingga panas yang 

menyengat tidak lagi dirasakannya. Bahkan seluruh 

tubuhnya seolah dilindungi kesejukan semata. 

Mata Andika memandang ke sekeliling. 

"Di mana aku harus mencari Bunga Neraka?" tanya 

si pemuda sambil melangkah tak tentu arah. 

Rasanya telah lama sekali Pendekar Slebor me-

langkah. Tetapi padang tandus itu tak habis-habisnya

membentang. Menurut perkiraannya, di alam sana 

saat ini pasti sudah menjelang malam. Namun berada 

di sini, nampaknya tak akan pernah ada malam. 

Bahkan hawa panas yang menusuk-nusuk itu pun tak 

berubah. Untungnya, Pendekar Slebor sudah menye-

limuti tubuhnya dengan kain pusaka bercorak catur. 

"Aduhhh...!" 

Tiba-tiba saja Andika mengaduh keras. Tubuhnya 

bukan hanya terjajar ke belakang. Bahkan terpelan-

ting beberapa kali. Sambil berdiri tegak kembali, 

pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu menatap 

ke depan dengan kening berkerut. 

"Heran? Kenapa aku jadi begini?" desisnya 

bingung. "Padahal tak ada apa-apa di hadapanku." 

Rasa penasaran mulai bergumpal di hati Andika. 

Kakinya melangkah kembali. Dan lagi-lagi bagaikan 

ada sebuah dinding tebal, tubuhnya terpentok dan 

terpental kembali ke belakang. Kali ini keningnya 

benjut sebesar telur puyuh. 

Kepalanya terasa pusing sesaat. Tetapi bukan itu 

yang dirasakan Andika. Penasaran di hatinya telah 

berubah menjadi kejengkelan. 

"Monyet pitak! Kutu kudis! Apa sih yang meng-

halangi langkahku!" maki Pendekar Slebor. 

Lalu dengan gagahnya Andika melangkah lagi. Kali 

ini kedua tangannya meraba-raba bagai orang buta. 

Tetapi anehnya sampai melangkah cukup jauh, 

tangannya tak menyentuh apa-apa. Bahkan, seakan 

tak ada dinding penghalang apa pun di hadapannya. 

Karena heran, Andika berhenti melangkah. 

"Kenapa jadi begini? Mana yang menghalangiku 

tadi. Mana?" Andika marah-marah sendiri. 

Kembali Andika melangkah lagi tanpa meraba-raba 

bagai orang buta. Dan....

Duukkk! 

Kesombongan Andika terbalas. Tubuhnya kembali 

terpental ke belakang dan bergulingan. Bahkan lebih 

jauh dari yang pertama dan kedua. Sambil terduduk, 

Pendekar Slebor mengusap-usap kepalanya. Dan 

bingung bercampur geram. Masih untung kain 

pusakanya masih membaluti tubuhnya. Kalau tidak, 

sudah pasti akan tersengat pasir-pasir panas yang 

melekat di sekujur tubuhnya. 

"Brengsek!" maki Andika, sewot sendiri. "Mau 

nantang, ya?!" 

Andika bangkit. Begitu melangkah, kali ini kedua 

tangannya bergerak bagaikan meraba-raba lagi. 

"Apakah aku harus terus-menerus melangkah 

bagaikan orang buta?" dengusnya, ketika melang-

kahkan kedua kakinya, lagi-lagi tak menyentuh apa-

apa. Bahkan tubuhnya dengan mulus bergerak. 

Bagaikan tak terhalangi lagi. 

Sambil melangkah, Andika terus memaki-maki 

dirinya. 

"Monyet pitak! Aku benar-benar dikerjai! Kenapa 

sih mau-maunya datang ke Gerbang Neraka ini. Mana 

perut sudah keroncongan lagi! Eh, apakah ada 

warung pojok di sini?" 

*** 

Apa yang dialami oleh Penjaga Gerbang Neraka 

sepeninggalan Andika? Sesuatu yang tak disangka 

memang dialami Penjaga Gerbang Neraka. 

Rupanya tanpa setahu mereka, satu sosok tubuh 

berpakaian hitam-hitam dengan rambut merah dan 

jenggot merah pula mengintai apa yang sedang 

dilakukan Penjaga Gerbang Neraka terhadap Andika.

Manusia itu tersenyum dan menyeringai sendirian. 

Diam-diam dia telah menebarkan ajian 'Buyar 

Sukma', sehingga kedatangannya tak diketahui 

Penjaga Gerbang Neraka dan Pendekar Slebor. 

Seringai lebar semakin nyata ketika lelaki ber-

jenggot merah itu mengetahui apa yang sedang 

dilakukan Penjaga Gerbang Neraka terhadap Andika. 

Ini adalah saat-saat yang ditunggunya. Seketika ter-

diam dengan kedua tangan mengatup di dada. Lalu 

dengan ilmu batinnya, sosok yang di kalangan 

persilatan dikenal sebagai Manusia Jenggot Merah itu 

mengirimkan kendali pikirannya untuk menyadap 

pikiran Penjaga Gerbang Neraka. 

Saat itu, memang Penjaga Gerbang Neraka 

merasa keanehan luar biasa pada dirinya. Pikiran 

untuk menembus jalan masuk ke Gerbang Neraka 

terasa terpecah. Seolah petunjuknya dikirimkan 

kepada dua orang. 

Meskipun merasakan keheranan itu, Penjaga 

Gerbang Neraka terus mengirimkan pikiran alam gaib-

nya. Karena dia tahu, apa akibatnya bila meng-

hentikan tindakannya. Andika seketika bisa mampus 

dengan tubuh hancur lebur! 

Dan keheranan itu semakin dirasakan ketika angin 

berkesiur cepat ke arahnya. Dan ini semakin mem-

buatnya untuk bertahan agar kesimbangannya jangan 

sampai hilang. Sementara Andika sendiri tidak tahu 

akan hal itu, karena masih harus menahan napasnya. 

Hingga saat Penjaga Gerbang Neraka membentak 

menyuruh Andika bernapas, dan bersamaan dengan 

terpentalnya si pemuda ke alam yang aneh dan 

panas itu, Manusia Jenggot Merah pun terlontar pula. 

Lelaki berjengot merah berputaran beberapa kali, 

dan tiba di Gerbang Neraka setelah beberapa saat

Pendekar Slebor tiba di sana. Matanya yang me-

mancarkan sinar merah memperhatikan sekeliling-

nya. Tak dilihatnya tubuh pemuda berpakaian hijau 

pupus itu. 

Tetapi Manusia Jenggot Merah sudah merasa 

puas, karena tak perlu bersusah payah untuk 

mendapatkan jalan masuk menuju Gerbang Neraka. 

Tekadnya sudah bulat sekarang. Dia harus mem-

bunuh pemuda berbaju hijau pupus itu. Karena kini di 

Gerbang Neraka, hanya ada dua anak manusia yang 

akan memperebutkan Bunga Neraka! 

Sementara, Penjaga Gerbang Neraka yang ter-

banting ke belakang dengan mulut dan hidung 

mengeluarkan darah, seketika meraung keras, bagai-

kan serigala lapar! 

Memang, lelaki kerempeng ini baru menyadari 

kalau ada satu sosok tubuh lain yang tak diinginkan 

telah masuk pula ke Gerbang Neraka. Untuk sekali 

ini, lelaki yang telah seratus tahun menjaga Gerbang 

Neraka kecolongan. Untuk sekali ini, lelaki tua yang 

gagah itu menangis menyadari kebodohannya! 

*** 

Kehidupan pada alam yang dinamakan Gerbang 

Neraka sangat berbeda dengan kehidupan alam 

nyata. Saat ini, Pendekar Slebor bukan hanya merasa 

tenaganya sudah terkuras karena terus menerus 

melangkah, melainkan perutnya yang sudah ke-

laparan dengan rasa puas menyengat. 

Hawa panas itu terus menyergap kejam, lebih 

kejam dari panggangan api unggun. Semuanya tak 

memungkinkan Andika untuk beristirahat sekali pun. 

Apalagi tak satu batang pohon pun yang hidup di

sana. Juga, tak ada gubuk atau rumah yang seperti 

diharapkan Pendekar Slebor sekarang ini. 

Hanya kebulatan hatinya saja sehingga Andika 

terus melangkah untuk mencari Bunga Neraka yang 

masih dipikirkannya. Seperti apa bunga itu? Di mana 

letaknya? 

Pertanyaan kedua itulah yang paling penting bagi 

Pendekar Slebor. Karena sampai sejauh ini, pemuda 

pewaris ilmu Lembah Kutukan melangkah tak sekali 

pun melihat tumbuhan hidup di sana. Kedua tangan-

nya masih terus meraba-raba, bagaikan orang buta. 

Tentu saja, Andika tidak ingin kepalanya harus ter-

bentur dinding tak terlihat lagi. Dan dia tak tahu harus 

berapa lama lagi melakukannya. 

Otot-otot di pangkal lengan sudah terasa nyeri, 

sedikit menegang. Perasaan Andika saat ini benar-

benar tak karuan. 

Tiba-tiba saja Pendekar Slebor berhenti melang-

kah. Matanya yang setajam elang berkeliling, karena 

telinganya menangkap sebuah gemuruh yang keras 

sekali. Malah semakin lama semakin keras. 

Belum lagi Andika menyadari apa yang terjadi, tiba-

tiba saja pasir yang dipijaknya longsor. Amblas ke 

dalam bumi! 

Andika memekik keras sambil berusaha mengem-

pos tubuhnya untuk keluar dari longsoran pasir yang 

tiba-tiba itu. Namun bagaikan ada sebuah tenaga 

gaib yang menyedotnya, tak kuasa Andika menahan. 

Sukar ditentukan, tempat mana yang bisa dijadikan 

pijakan kakinya. Kalang kabut dia. 

Sekuat tenaga Pendekar Slebor mengerahkan 

segenap kemampuan agar tidak tersedot kekuatan 

gaib yang kuat dan aneh itu. Kalau tadi dia meng-

alami dua bahaya beruntun, tetapi bahaya yang

sekarang ini lebih mengerikan. 

Wajah tampannya terasa ditampar tenaga kasat 

mata yang menyedot tubuhnya. Sekuat tenaga Andika 

bertahan. Dan saat itu dilepaskan kain bercorak 

caturnya yang sejak tadi menyelimuti kepalanya. 

Wuuut...! 

Sekuat tenaga, Andika mengebut kain pusaka itu 

ke arah tenaga yang menyedotnya. Sekali dia merasa-

kan kalau tenaga gaib itu hilang. Dirinya kini sedikit 

terbebas. 

Namun, kembali tiba-tiba saja tenaga itu datang. 

Bahkan lebih mengerikan lagi. Seluruh tanah berpasir 

panas itu bagaikan melesak ke dalam! 

Kali ini Andika tak mampu berbuat apa-apa, 

karena kesimbangannya telah hilang. Dan tubuhnya 

terus meluncur deras ke dalam bumi. 

***

5


Lain yang dialami Andika, lain pula yang dialami 

Prana Bantoro alias Penjaga Gerbang Neraka 

sekarang ini. Meskipun hatinya sedih sekaligus 

geram, namun telinganya tetap bekerja dengan baik 

ketika mendengar satu sosok tubuh ramping datang 

mendekatinya. 

Kepala Prana Bantoro tak terangkat. Hatinya luka 

penuh amarah. 

Sosok ramping yang baru datang itu cukup aneh. 

Tubuhnya bungkuk, ada punuk seperti onta di atas-

nya. Pakaiannya compang-camping. Rambutnya 

panjang menjuntai ke bawah setiap kali melangkah. 

Di tangannya terdapat sebuah tongkat berkepala ular 

di ujungnya. 

Sosok bungkuk itu terkekeh. Suaranya tak ubah-

nya burung hantu. Dari kekehannya bisa diketahui 

kalau dia adalah seorang wanita. 

"Prana Bantoro.... Aku, Dewi Ular Hitam, kembali 

lagi untuk menghadapimu...." 

Prana Bantoro alias Penjaga Gerbang Neraka tak 

menyahut. 

Si nenek yang ternyata berjuluk Dewi Ular Hitam 

mengeluarkan kekehannya lagi. Lima puluh tahun 

yang lalu, dia pernah mencoba mengalahkan Penjaga 

Gerbang Neraka, sekaligus mencari tahu jalan 

menuju Gerbang Neraka. 

Meskipun pernah dikalahkan, Dewi Ular Hitam tak 

pernah kapok. Hatinya memang telah tumpul, terbalut 

dendam. Lima puluh tahun itu adalah waktu yang

sangat lama menyimpan dendam. Dan dia telah 

menggembleng dirinya dengan ajian-ajian aneh yang 

hebat. Kali ini kedatangannya selain mencari tahu 

jalan masuk menuju Gerbang Neraka, juga untuk 

menghancurkan sekaligus membalas dendamnya 

pada Prana Bantoro. 

"Apakah kau sudah melupakanku, Kerempeng?" 

usik Dewi Ular Hitam. "Aku datang untuk mencabut 

nyawa hinamu! Hhh! Kau lihat hasil pukulanmu lima 

puluh tahun yang lalu! Tubuhku yang bagus, kini 

harus membungkuk terus menerus. Bahkan ada 

punuk yang tiba-tiba tumbuh, karena terlalu keras 

mengerahkan seluruh tenaga dalamku untuk 

menahan luka yang kuderita!" 

Penjaga Gerbang Neraka tetap tak menyahut. Dia 

masih merutuki diri sendiri, menyesali kebodohannya 

karena ada orang lain yang berhasil masuk ke 

Gerbang Neraka. Kalau begini akhirnya, rasanya sia-

sia saja menjaga Gerbang Neraka selama seratus 

tahun. 

Lelaki kerempeng itu tak menggubris setiap kata-

kata Dewi Ular Hitam yang selalu disertai makian. 

Bahkan dibiarkannya saja tubuhnya terbanting, ketika 

Dewi Ular Hitam mengibaskan tongkatnya. 

Dari mulut Prana Bantoro mengeluarkan darah. 

Tetapi dia tetap tak bergeming. 

"Hhh! Apakah kau sudah melupakan kehebatan 

dan kesombonganmu itu, Penjaga Gerbang Neraka?!" 

bentak Dewi Ular Hitam. 

"Apa pun yang hendak kau lakukan, aku me-

nerimanya, Dewi Ular Hitam...." 

Tiba-tiba terdengar kata-kata Penjaga Gerbang 

Neraka. Pelan, penuh helaan napas. Seolah sifat dan 

sikapnya yang asli telah berubah. Prana Bantoro

benar-benar merasa tak ada artinya lagi karena 

kecolongan secara mudah. 

"Permainan apa lagi yang kau berikan ini, hah?!" 

bentak Dewi Ular Hitam sengit. 

Penjaga Gerbang Neraka tak menjawab, hanya 

menundukkan kepalanya. 

"Apakah kau pikir, aku akan membiarkanmu hidup, 

setelah kau menyiksaku selama lima tahun?! Tidak, 

Kerempeng! Kau harus mampus!" bentak si perem-

puan bungkuk lagi. 

"Lakukanlah...." 

Dewi Ular Hitam benar-benar merasa diejek oleh 

pernyataan Penjaga Gerbang Neraka. Tiba-tiba saja 

tubuhnya meluruk laksana kilat. Tongkatnya dikibas-

kan ke arah Penjaga Gerbang Neraka. Tongkat itu 

bukan hanya akan mengepruk hancur kepala, bahkan 

akan melumat tubuh Prana Bantoro. 

"Heaaa...!" 

Trak! 

Dewi Ular Hitam mundur dengan wajah berubah 

ketika serangan mautnya dihalangi sambaran lain. Si 

perempuan bungkuk ini berdiri sigap di tempatnya 

kembali. 

"Rupanya ada orang iseng yang ingin mem-

perebutkan Bunga Neraka!" bentaknya. 

Dari salah satu semak yang rimbun, seorang lelaki 

berpakaian putih-putih muncul. Sorban berwarna 

hitam bertengger di kepalanya yang lonjong. Di 

tangannya, terdapat sebuah tongkat berwarna putih. 

Wajahnya yang penuh keriput masih memperlihatkan 

sisa-sisa ketampanannya di masa muda. Sepasang 

matanya begitu lembut. Yang aneh, rambutnya bak 

untai emas yang sangat indah. Teratur. 

"Dewi Ular Hitam rupanya siap mencabut nyawa

orang tak berdaya...," tegur sosok bermata bijaksana 

itu. 

Kening Dewi Ular Hitam berkerut dengan mata 

memicing. Dari mulutnya terdengar dengusan pelan 

bernada gusar. 

"Kalau tidak salah, yang datang adalah Penghulu 

Segala Ilmu...." 

Lelaki tua tampan berambut emas itu hanya 

tersenyum saja. 

"Rupanya, julukan yang tak berarti itu masih ada 

saja yang mengingatnya," kata lelaki berjuluk 

Penghulu Segala Ilmu. 

"Siapa yang tak mengenal Penghulu Segala Ilmu? 

Sosok yang dulu bertualang sampai ke seberang 

lautan, dan sekarang menjadi penunggu rumah tua!" 

sahut Dewi Ular Hitam, mengejek. 

Penghulu Segala Ilmu terbahak-bahak. 

"Aku sudah tua.... Itulah sebabnya aku tidak 

pernah lagi bertualang. Tetapi, naluri petualangku ini 

pun selalu memanggil-manggilku." 

Dewi Ular Hitam memandang geram. Dia tahu, 

siapa Penghulu Segala Ilmu. Nama besarnya sampai 

sekarang masih berkumandang meskipun telah lama 

tidak nongol dalam rimba persilatan. Penghulu Segala 

Ilmu mempunyai seorang murid yang kehebatan 

ilmunya tak perlu disangsikan lagi. Beberapa bulan 

lalu, Pendekar Slebor pun pernah dibuat kocar-kacir 

oleh Malaikat Peti Mati yang merupakan murid 

Penghulu Segala Ilmu (Untuk lebih jelasnya, silakan 

baca: "Malaikat Peti Mati"). 

"Lalu apa maumu hadir di Hutan Kegelapan ini?" 

"Mana aku tahu? Toh aku cuma berjalan-jalan 

saja. Hei, Sobat!" seru Penghulu Segala Ilmu pada 

Penjaga Gerbang Neraka yang masih berdiam diri

dengan menundukkan kepala. "Kulihat kau seperti 

sedang bermuram durja? Apakah ada sesuatu yang 

merisaukanmu?" 

Penjaga Gerbang Neraka tak menjawab. Justru 

Dewi Ular Hitam yang meledakkan kemarahannya. 

Dia berpikir, dengan hadirnya Penghulu Segala Ilmu 

yang merupakan dedengkotnya golongan lurus, bisa 

dipastikan segala niatan dan keinginannya tak bisa 

terlaksana. 

Belum lagi Prana Bantoro menyahuti kata-kata 

Penghulu Segala Ilmu, Dewi Ular Hitam sudah mener-

jang dengan kibasan dahsyat tongkatnya. 

Werrr...! 

Angin laksana topan badai bertiup saat Dewi Ular 

Hitam menghibaskan tongkatnya. 

"Heran... Masih ada saja orang yang telengas 

seperti kau ini!" desah Penghulu Segala Ilmu tanpa 

beranjak dari tempatnya. 

Namun begitu serangan Dewi Ular Hitam men-

dekat, tiba-tiba saja lelaki tua ini menggerakkan 

tongkatnya yang berwarna putih. 

Wuuut! Bummm! 

Dua tongkat yang telah dialirkan tenaga dalam 

tinggi bertemu, menimbulkan ledakan dahsyat. Bumi 

seketika bergetar. Pepohonan bukan hanya tumbang, 

tapi tercabut hingga akarnya yang terdalam. Tubuh 

Penjaga Gerbang Neraka pun terpelanting ke tanah. 

Namun seolah tak ada kejadian itu, dia kembali 

berdiri dengan kepala tetap tertunduk. 

Dewi Ular Hitam semakin murka. Maka jurus-jurus 

aneh yang penuh tenaga dalam dan menebarkan 

maut dilancarkannya dengan gencar. Sementara, 

Penghulu Segala Ilmu pun menghadapinya dengan 

kecepatan sama.Blammm! 

Hingga yang terdengar hanyalah suara bagaikan 

ledakan. Dan bumi pun bergoyang berkali-kali. 

Dalam sekilas saja, lima jurus aneh menggidikkan 

pun terbuang sia-sia tanpa ada yang kalah atau 

menyerah. Kalau Penghulu Segala Ilmu menyerang 

tetap menggunakan perasaan keadilannya, lain 

halnya Dewi Ular Hitam. Wanita bungkuk ini mencecar 

membabibuta, menginginkan kematian Penghulu 

Segala Ilmu secepatnya. Karena lelaki tua itu di-

anggap telah mengacaukan seluruh rencananya. 

Benturan tongkat tadi sebenarnya telah menimbul-

kan rasa ngilu dan kesemutan di tangan masing-

masing. Namun mereka tetap nampak tegar. Masing-

masing tetap pada jalur kekuatannya. 

Keanehan terjadi. Ketika lima jurus berlalu 

kembali, Penghulu Segala Ilmu tahu-tahu lenyap 

begitu saja dari pandangan Dewi Ular Hitam. Dan 

sesungguhnya, dia tidak menghilang. Tetapi mem-

pergunakan kecepatannya yang dinamakan ajian 'Lari 

Sukma' yang bisa membuatnya bergerak laksana 

hantu. Bahkan desir angin saat tubuhnya bergerak 

tak terdengar! 

Selagi Dewi Ular Hitam celingukan heran, tiba-tiba 

merasakan angin berkesiur cepat di belakangnya. 

Sigap, tongkatnya digerakkan. Tubuhnya berbalik dan 

menangkis. 

Trak! 

Dalam keadaan membelakangi seperti itu sudah 

bisa dipastikan kekuatan yang keluar tidak penuh. 

Apalagi, Penghulu Segala Ilmu bagaikan tinggal 

menggetok lawan yang tak berdaya. 

Akibatnya, Dewi Ular Hitam bergulingan karena 

terdorong tenaga pukulan tongkat Penghulu Segala

Ilmu. Tangannya benar-benar terasa patah. Dia 

merasa ajalnya sudah tiba. Tetapi perempuan ber-

punuk ini membelalakkan matanya. Ternyata 

Penghulu Segala Ilmu hanya berdiri tegap dengan 

tatapan dingin. 

"Kuampuni nyawamu, Dewi Ular Hitam," gumam si 

lelaki tua. 

"Persetan dengan ucapanmu itu! Aku akan 

mengadu jiwa denganmu!" 

Sehabis berkata begitu, Dewi Ular Hitam meng-

empos tubuhnya lagi. Tongkatnya diputar di atas 

bagaikan baling-baling. Angin yang keluar sangat 

dahsyat dan mengerikan. Malah sorban hitam yang 

dikenakan Penghulu Segala Ilmu sampai terbang! 

"Kau terlalu memaksa!" desis Penghulu Segala 

Ilmu. 

"Mampuslah kau!" 

Dikawal gerengan keras, Dewi Ular Hitam bergerak 

menyerbu dengan kecepatan dan kekuatan penuh. 

Pusaran angin yang ditimbulkan tongkatnya, mem-

buat Penghulu Segala Ilmu merasakan dirinya 

bagaikan diserbu ribuan jarum tajam. 

Maka dengan gerakan luar biasa tubuh Penghulu 

Segala Ilmu berputar. Kecepatannya lebih daripada 

yang diperlihatkan tongkat Dewi Ular Hitam. 

Dan tiba-tiba saja, Dewi Ular Hitam terjengkang ke 

belakang dan bergulingan. Wajahnya tadi bagaikan 

ditampar oleh pukulan aneh yang tak terlihat. 

Rambutnya yang panjang semakin acak-acakan. 

Rontok, pula! 

Menyadari hal itu, piaslah wajah Dewi Ular Hitam. 

Apalagi ketika hendak bangkit. Dia langsung menjerit 

setinggi langit. Karena, tulang iganya yang sudah 

bengkok patah beberapa buah!

Namun kegeraman dan kesombongannya semakin 

menjadi-jadi. Matanya menatap penuh amarah. 

"Kau telah lancang mengganggu kesenanganku, 

Orang Tua! Suatu saat, kau akan merasakan bagai-

mana sakitnya mati dalam keadaan tersiksa!" ancam 

si perempuan bungkuk, mendesis., 

Penghulu Segala Ilmu hanya menyeringai saja. 

Sekujur tubuhnya pun terasa linu. Lalu dilihatnya 

Dewi Ular Hitam berkelebat membawa dendam. 

Penghulu Segala Ilmu menghela napas. Ditariknya 

hawa murninya melalui mulut, lalu dialirkannya pada 

seluruh tubuhnya. Sesaat kemudian badannya terasa 

sudah segar kembali. 

Kini si tua bersorban itu menghampiri Penjaga 

Gerbang Neraka yang masih berdiri dengan kepala 

tertunduk. 

"Sobat..., mengapa kau murung?" sapa Penghulu 

Segala Ilmu. 

"Sobat Penghulu Segala Ilmu.... Akulah orang tua 

yang paling malang di dunia ini," sahut Penjaga 

Gerbang Neraka, mendesah. 

"Ceritakanlah masalahmu...." 

Penjaga Gerbang Neraka pun bercerita, apa yang 

menjadi kesusahan darinya. 

"Kalau sudah begitu, mengapa tidak segera 

menyusulnya saja?" tanya Penghulu Segala Ilmu 

kemudian. 

Penjaga Gerbang Neraka menggeleng. 

"Bila ada yang masuk kembali ke Gerbang Neraka, 

maka akan hancur seketika terkena kobaran api yang 

sangat panas. Ilmu jenis apa pun tak akan mampu 

menahannya," jelas Prana Bantoro. 

"Hei?! Mengapa bisa begitu?" tanya Penghulu 

Segala Ilmu, ingin tahu.

"Ada pantangan yang tak bisa dilanggar di Gerbang 

Neraka. Tak boleh lebih dari dua orang yang 

memasuki tempat itu. Karena orang ketiga yang 

masuk, akan punah seketika. Kecuali, bila dua orang 

yang pertama masuk tadi, sudah keluar keduanya. 

Atau salah seorang dari mereka." 

"Kalau begitu, apa yang harus dicemaskan?" tanya 

Penghulu Segala Ilmu lagi. "Aku yakin, Pendekar 

Slebor akan mampu menjaga diri." 

"Bukan soal itu yang kucemaskan. Bukan pula soal 

manusia laknat yang masuk dengan menyadap 

pikiranku. Melainkan, aku tak bisa mengendalikan 

Pendekar Slebor dan menunjukkan tempat Bunga 

Neraka berada. Karena, Gerbang Neraka hanyalah 

sebuah tempat maut yang tak bisa dilupakan orang. 

Sekali seseorang datang, maka dia bertekad tak akan 

pernah mendatanginya lagi." 

Penghulu Segala Ilmu terdiam. Samar-samar 

dicobanya membayangkan bagaimana kejam dan 

mengerikannya tempat yang dinamakan Gerbang 

Neraka. Entah dengan cara bagaimana, Penjaga 

Gerbang Neraka menemukannya. 

"Seratus lima tahun yang lalu, aku tak sengaja tiba 

di Hutan Kegelapan ini. Saat itu, aku sangat letih 

sekali hingga tertidur. Dalam tidurku, aku didatangi 

sesosok bayangan putih yang memancarkan hawa 

panas luar biasa. Yang teristimewa, sekujur tubuh itu 

mengeluarkan api berkobar-kobar. Dan seperti halnya 

peristiwa gaib yang tak kumengerti, bayangan putih 

itu mengadakan perjanjian denganku. Dia akan me-

nurunkan ilmu-ilmu aneh yang dahsyat kepadaku, 

dengan imbalan agar aku menjaga Bunga Neraka. 

Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa. Dalam 

mimpiku, aku mengiyakan saja. Dan mendadak saja,aku bagaikan dilatih ilmu-ilmu yang dahsyat, 

sekaligus mengerikan. Lalu, aku pun diajak menuju 

tempat yang dinamakannya Gerbang Neraka. Di 

sanalah aku diperlihatkan Bunga Neraka yang sangat 

langka dan aneh. Malah kabarnya mengandung 

khasiat yang sangat luar biasa. Sekali lagi di sana aku 

diminta untuk menjaga Bunga Neraka dengan seluruh 

jiwa dan ragaku. Bahkan sampai akhir hayatku. Aku 

diperkenankan untuk memberikan Bunga Neraka 

pada seseorang yang memang berjiwa mulia. Dan 

tentunya, tepat menurut pilihanku. Karena, bila aku 

salah memberikan, akibatnya bencanalah yang akan 

terjadi," tutur Prana Bantoro. 

Sejenak lelaki ini terdiam. Berusaha mengumpul-

kan ingatannya. 

"Ketika aku terbangun, aku hanya menganggapnya 

sebuah mimpi saja. Makanya, aku langsung mening-

galkan tempat itu. Maksudku, tempat yang kita pijak 

sekarang ini. Tetapi yang terasa aneh, ketika dalam 

perjalanan, aku dihadang lima begundal bersenjata 

parang besar. Padahal selama ini, aku tak pernah 

merasa memiliki kepandaian apa-apa. Akan tetapi, 

saat secara tak sengaja aku mengibaskan tangan, 

mereka terpental! Bukan hanya itu saja yang terjadi. 

Mereka bahkan mati seketika. Saat itulah aku ber-

pikir tentang diriku. Masih tak percaya apa yang 

terjadi, kukibaskan lagi tanganku pada pohon-pohon. 

Hasilnya, pohon-pohon itu berterbangan. Sadarlah 

aku, apa yang terjadi. Rupanya, mimpi yang kualami 

bukanlah mimpi biasa. Melainkan, mimpi yang luar 

biasa!" 

Kembali Prana Bantoro terdiam. Kali ini untuk 

mengairi tenggorokannya. 

"Lalu, aku teringat pada janjiku. Hingga akhirnya,

kuputuskan untuk kembali lagi dan menjaganya 

sampai saat ini. Aku juga diberi petunjuk menuju 

Gerbang Neraka. Dan sekarang, selama seratus 

tahun menjaganya, aku baru saja kecolongan oleh 

orang serakah yang berhasil menyusup masuk." 

Penghulu Segala Ilmu terdiam mendengarkan 

cerita Penjaga Gerbang Neraka. Memang cerita yang 

tak masuk akal. Namun pada nyatanya, semuanya itu 

terjadi begitu saja. 

"Lalu, petunjuk apa lagi yang hendak kau sampai-

kan pada Pendekar Slebor?" tanya si tua bersorban 

pelan. 

Sejak bercakap-cakap dengan Penghulu Segala 

Ilmu, baru kali ini Penjaga Gerbang Neraka meng-

angkat kepalanya. Matanya yang setajam tatapan 

serigala, kini meredup. 

"Ada tempat-tempat aneh yang sangat mengerikan 

dan mampu membuat nyawanya melayang," sahut 

Prana Bantoro. 

"Aku yakin, dengan seluruh ilmu yang dimiliki dan 

kecerdikannya, Pendekar Slebor akan mampu meng-

atasi berbagai rintangan. Aku percaya padanya, 

karena sekali pernah berjumpa dengannya. Meski-

pun..., dia hanyalah seorang manusia biasa. Seperti 

kita yang terkadang mempunyai keapesan," kata 

Penghulu Segala Ilmu, setelah lama tercenung. 

"Itulah yang kukhawatirkan. Ada 'Semburan Api', 

Dinding Neraka'. Dan yang paling mengerikan, 

'Kuburan Neraka'. Entahlah, apakah dia akan mampu 

mengatasinya. Terutama, 'Kuburan Neraka'. Karena 

aku sendiri tidak pernah diberitahukan, bagaimana 

caranya ke luar atau mengatasi tempat yang dinama-

kan "Kuburan Neraka'. Dan aku tak tahu, rahasia 

apalagi yang ada di Gerbang Neraka. Mungkin tidak

ada, mungkin pula masih banyak yang tidak ku-

ketahui," desah Prana Bantoro. 

Tak ada yang bersuara. Masing-masing dicekami 

alam pikiran. Peristiwa itu begitu gaib. Begitu sulit 

diterima akal. Namun pada kenyataannya, memang 

seperti itulah. 

"Apakah tak ada jalan lain lagi untuk masuk 

menuju Gerbang Neraka?" tanya Penghulu Segala 

Ilmu, memecah keheningan. 

***

6


Andika yakin, tubuhnya saat ini terbanting di tempat 

yang jauh sekali. Menyusul, rasa perih yang menyiksa 

akibat butiran pasir yang seakan menyelimuti tubuh-

nya. Masih untung matanya bisa dipejamkan se-

hingga tak kemasukan sebutir pasir pun. Namun 

harapan untuk keluar dari sana, Andika benar-benar 

pusing tujuh keliling. Karena begitu tubuhnya 

terhempas ke dasar bumi, tiba-tiba pasir-pasir itu 

mengatup kembali! 

Seketika suasana menjadi gelap. Andika tak berani 

membuka matanya. Dan napasnya terasa sesak luar 

biasa. Butiran pasir telah masuk ke hidungnya, meng-

ganggu jalan pernapasannya. Selebihnya yang dirasa-

kan hanya gelap. 

Entah berapa lama Andika tersekap di tempat yang 

sebenarnya bernama 'Kuburan Neraka'. Yang jelas, 

tahu-tahu napasnya terasa lapang. Bahkan himpitan 

keras 'Kuburan Neraka' tak lagi dirasakannya. Tubuh-

nya pun bisa digerakkan. 

Perlahan-lahan Andika membuka matanya. Dan 

dirasakannya suatu perubahan aneh. Begitu matanya 

membuka, justru keheranan yang terjadi. Keningnya 

berkerut dengan mata memicing. Matanya langsung 

memperhatikan sekelilingnya yang jauh berbeda 

dengan apa yang dialaminya tadi. 

Tempat di mana Pendekar Slebor berada sekarang 

ini berupa tempat berdinding empat. Ada sebuah 

pintu berukiran kobaran api. Dinding-dinding itu 

berwarna biru. Dan yang lebih mengejutkannya,

tubuhnya terasa berdenyut pelan, empuk, dan 

nyaman. Dan si pemuda terperangah ketika me-

nyadari berada di sebuah kasur yang empuk dengan 

aroma wangi. 

"Busyet! Di mana aku ini? Apakah sebenarnya yang 

terjadi? Aku bermimpi?" tanyanya tak mengerti. 

Pendekar Slebor mengangkat tubuhnya yang ber-

baring. Terasa desir angin dingin mengusap sampai 

daerah terlarangnya. 

"Edan! Aku telanjang bulat!" sentak Andika, 

langsung melotot. 

Memang, saat ini Pendekar Slebor hanya di-

selimuti sehelai kain berwarna biru, bersulamkan 

kobaran api. Dan di balik selimut tubuhnya tak 

mengenakan sehelai benang pun! 

"Ampun.... Siapa orang yang iseng menelanjangiku 

begini rupa!" maki si pemuda setengah kaget 

setengah jengkel. 

Belum lagi Andika mengetahui apa yang dialami-

nya, pintu berukiran kobaran api itu terbuka. Muncul 

satu sosok ramping berpakaian merah menyala 

dengan langkah gemulai. Wajahnya bagaikan dewi 

kayangan dalam dongeng. Bibirnya tipis, tersaput 

pemerah yang menawan. Hidungnya bangir me-

nambah kelengkapan kecantikannya. Matanya 

lembut dengan bulu mata lentik dan sepasang alis 

hitam. Rambutnya indah tergerai panjang. Kedua 

pipinya bening sehalus pualam. Yang lebih 

mengejutkan Andika, pakaian merah menyala yang 

dikenakannya tembus pandang, hingga memper-

lihatkan kesempurnaan lekuk tubuhnya. Sayang, di 

balik pakaian merawangnya, dia mengenakan dua 

helai kain berwarna biru yang menutupi auratnya. 

Sesaat Pendekar Slebor melotot dengan dada tak

karuan. Hatinya semakin heran menyadari semua itu. 

Di manakah dia berada saat ini? Bukankah tadi 

berada di Gerang Neraka? Dan, siapakah gadis jelita 

yang menggairahkan ini? 

"Kau sudah bangun, Orang Asing...," sapa si gadis. 

Suaranya merdu, mengandung kekuatan menggoda. 

Sesaat Andika hanya bisa mengangguk saja. 

Sementara, matanya yang nakal terus memper-

hatikan wajah dan tubuh gadis itu. Tetapi sesaat 

kemudian wajahnya menjadi memerah dan buru-buru 

memalingkan kepalanya. 

"Enakkah tidurmu?" 

Gadis itu mendekati. Semakin dekat, penciuman 

Pendekar Slebor semakin lekat mengendus aroma 

wangi di hadapannya. 

Si pemuda masih ingin melampiaskan kedong-

kolannya. Karena tubuhnya ditelanjangi seperti itu. 

"Enak, enak! Pakaianku mana?!" maki Andika. 

Tanpa peduli, gadis cantik ini mengangkat sebuah 

teko yang berwarna keemasan, juga bergambar 

kobaran api di tengahnya. Diangkatnya sebuah 

cangkir yang mungil. Dituangnya isi teko itu. Cairan 

berwarna merah. Lalu dengan gerakan yang gemulai 

disodorkannya pada Andika. 

"Minumlah, Orang asing..., ujar si gadis. 

Andika mengerutkan keningnya. "Mana pakaian-

ku? Apa aku akan dibiarkan kedinginan tanpa 

pakaian. Hm.... Aku ada usul, bagaimana kalau kita 

sama-sama bu.... 

"Sebentar lagi pakaianmu akan diantarkan. 

Silahkan minum!" potong si gadis, tak ingin si pemuda 

mengumbar suara. 

"Soal minum gampang!" kali ini Andika mem-

bentak.

Di tempat yang sangat asing seperti ini, sudah 

tentu Pendekar Slebor tak menginginkan kejadian 

yang lebih mengerikan lagi. Dia harus berhati-hati. 

Makanya, cangkir yang disodorkan tak diraihnya. 

Dipandanginya gadis jelita yang duduk di tepi ranjang 

yang ditidurinya. 

"Kau ini siapa sih?" tanya Andika. 

Gadis itu meletakkan kembali cangkir yang berisi 

cairan merah. 

"Namaku Rawangi. Siapa namamu, Orang Asing?" 

"Andika. Eh, kalau boleh tahu, aku berada di 

penginapan apa? Kok bagus benar tempatnya?" tanya 

Andika, lugu. 

"Kau berada di dalam Istana Gerbang Neraka. 

Kalau saja aku tidak melihatmu, kau pasti sudah mati 

tersedot pasir di 'Kuburan Neraka'. 

Andika mengingat-ingat lagi kejadian yang dialami-

nya. Semuanya terulang bagai rekaman belaka dan 

membuatnya benar-benar tak mengerti. 

"Istana Gerbang Neraka?" 

"Ya! Kau berada di Istana Gerbang Neraka, 

Andika." 

"Ah, kalau begitu aku mau pulang saja. Mana 

pakaianku?" 

Gadis bernama Rawangi tersenyum geli. 

"Pulang? Bagaimana caranya kalau kau bisa 

pulang? Andika.... Kau telah masuk ke Istana 

Gerbang Neraka, maka selamanya akan menjadi 

penghuni di sini." 

Andika melotot. 

"Tidak..., tidak.... Aku lebih suka di alam bebas. 

Bisa mandi di sungai, main di sawah, dan sebagainya. 

Lalu Pendekar Slebor menyingkapkan selimutnya. 

Tetapi sesaat kemudian ditariknya kembali dengan

wajah memerah. Brengsek! Maki Andika dalam hati 

begitu melihat Rawangi terkikik sambil berpaling. 

"Mana pakaianku?!" tanya Pendekar Slebor, sewot. 

Tanpa menoleh Rawangi bertepuk tangan dua kali. 

Pintu di kamar itu terbuka. Lagi-lagi muncul satu 

sosok ramping berpakaian berwarna biru tembus 

pandang. Di tangannya terdapat pakaian berwarna 

hijau pupus dan sehelai kain bercorak catur. 

Rawangi berdiri. 

"Berikan pakaian itu kepadanya," ujar Rawangi 

sambil melangkah keluar. 

"Baik,Tuan Putri...." 

Andika langsung menyambar pakaiannya. Dan 

matanya terbelalak ketika gadis yang mengantarkan 

pakaian masih berada di sana, duduk bersimpuh. 

"Eh! Keluar sana! Aku mau berpakaian!" 

"Tuan Putri memperintahkan hamba untuk me-

layani Paduka." 

"Paduka...?" 

Andika menghentikan cerocosnya. Siapa yang di-

maksud dengan Paduka? Lalu, diperhatikannya gadis 

itu yang menundukkan kepalanya. Tiba-tiba, otak jahil 

Andika muncul. 

"Kalau tidak mau keluar, jangan salahkan kalau 

kau menjerit melihat ular kadut!" 

Andika yakin, wajah gadis itu bersemu merah. 

Dipikirnya, gadis itu akan meninggalkan tempat itu. 

Tetapi, nyatanya masih bersimpuh di sana. 

Baik-baik! Kata Andika dalam hati. Lalu si pemuda 

pun bangkit sambil memegang selimutnya. 

"Kuhitung sampai tiga, aku akan membukanya." 

Tetapi gadis itu tetap tak bergeming sedikit pun. 

Justru Andika yang menggaruk-garuk kepalanya. 

Walah, gadis ini tak bisa digertak dengan ular kadut!

Mungkin urat malunya telah putus! Rutuk Pendekar 

Slebor jengkel. 

Hingga akhirnya Andika sendiri yang kerepotan 

mengenakan pakaiannya kembali. 

"Kalau kau mau melayani aku dan menuruti 

perintahku, keluar sana," ujar Andika, enteng. "Oh, ya. 

Siapa namamu?" 

Gadis itu mengangkat kepalanya. 

"Srisisi, Paduka," sahut si gadis. 

"Siapa yang kau panggil Paduka?" 

"Paduka sendiri. Dan, bukankah Paduka akan 

menikah dengan Tuan Putri Rawangi?" tukas gadis 

bernama Srisisi. 

"Menikah...?" 

Andika melengak dengan mata melotot. Namun 

kemudian dia teringat sesuatu. 

"Hei, kau tahu di mana Bunga Neraka berada?" 

tanya Pendekar Slebor. 

Kali ini Andika melihat wajah itu mengerjap berkali-

kali. 

"Paduka jangan membicarakan soal Bunga Neraka 

disini. Kalaupun Paduka ingin tahu, jangan bertanya 

pada hamba...." 

Andika menyadari perubahan wajah yang terjadi 

pada Srisisi. Gadis itu tiba-tiba ketakutan sekali, 

seolah memang ada pantangan yang tak boleh 

dilanggar. 

"Kenapa?" 

"Maaf.... Maatkan hamba, Paduka," ucap Srisisi 

cepat. Kepalanya menggeleng-geleng pucat, lalu ber-

diri terburu-buru. "Paduka tadi meminta hamba 

keluar, bukan? Maka, hamba akan keluar...." 

Andika cepat menyambar tangan yang halus itu. 

"Tunggu! Aku ingin meminta penjelasan darimu."

"Oh...! Tidak, Paduka.... Jangan...." 

"Kenapa kau takut seperti itu? Kenapa memang-

nya? Ada apa sebenarnya?" kejar Andika. 

Srisisi tetap menolak permintaan Andika yang 

justru semakin penasaran. Dan sebelum kelanjutan 

itu terjadi, pintu sudah terbuka. 

Rawangi muncul dengan tatapan memerah. 

Srisisi menundukkan kepalanya, penuh ketakutan. 

Tubuhnya menggigil tak karuan. Andika melepas-

kan cekalan tangannya sambil nyengir kuda. 

"Kalau kau ingin melihat tubuhku sekali lagi, kau 

terlambat. Aku sudah mengenakan pakaianku," kata 

Andika, berlagak garang. 

Rawangi tak menghiraukan kata-kata Andika itu. 

Justru dia menatap tajam Srisisi. 

"Kembali ke tempatmu!" ujar Rawangi, tegas. 

Bagaikan menemukan napas kembali, Srisisi 

langsung keluar dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. 

Andika bertambah penasaran saja. Ada apa 

sebenarnya? Dia teringat lagi pada Penjaga Gerbang 

Neraka yang mengirimnya ke Gerbang Neraka. 

Apakah Penjaga Gerbang Neraka mengetahui semua 

ini? Atau, tidak sama sekali? Ah! Bodohnya dia mau 

masuk ke Gerbang Neraka yang aneh dan penuh 

kegaiban itu! 

Sementara Rawangi kini sedang menatap tajam-

tajam pada Andika. 

"Jangan bertindak bodoh di sini!" desis Rawangi. 

Andika tertawa. 

"Kau akan terkejut mengetahui, betapa cerdiknya 

aku," selorohnya. 

Rawangi mengeluarkan dengusan dingin. "Bila kau 

sudah selesai berpakaian, aku mengundangmu 

makan."Andika tiba-tiba merasa perutnya sangat lapar. 

Menurut perasaannya, sudah berhari-hari cacing-

cacing dalam perutnya tak diempani. 

"Undangan yang sangat kutunggu...." 

Rawangi tak menjawab. Dia mendahului melang-

kah. 

*** 

Selesai makan, Andika diajak ke sebuah taman 

yang benar-benar seperti surga. Ada kolam yang 

penuh bunga mirip teratai, hanya saja berwarna biru 

bersih. Beberapa ekor ikan berenang ke sana kemari. 

Di tengah kolam, air mancur melenggak-lenggok 

keluar dari mulut patung berbentuk gadis kecil. Di 

ujung sana, tumbuh sebuah tanaman berbuah sangat 

lebat. 

Sungguh, Andika tidak bisa mengerti dengan apa 

yang dialaminya sekarang. Kalau sebelum menjumpai 

padang pasir yang tandus dan panas menyengat, 

keadaan di sini jauh berbeda. Benar-benar tak 

ubahnya berada di surga! 

Beberapa orang gadis berpakaian biru datang 

membawa buah-buah segar, lalu keluar dari taman 

setelah Rawangi menganggukkan kepalanya. 

Rawangi duduk di tepi kolam, sementara Andika 

masih tak mengerti dengan apa yang dialaminya. 

"Andika, mengapa kau bertanya soal Bunga 

Neraka?" tanya Rawangi. 

Mendengar pertanyaan itu Andika tercekat 

sejenak, lalu tertawa. 

"Memangnya kenapa?" si pemuda balik bertanya. 

"Apa yang kau ketahui tentang Bunga Neraka?" 

"Yang kuketahui? Tak ada."

"Jangan berdusta." 

"Aku pantang berdusta kalau tidak terpaksa," 

sahut Andika seenak perutnya. 

Tiba-tiba kepala Rawangi menoleh. Matanya tajam 

menatap Andika. 

"Jangan berdusta, Andika!" 

Andika menyeringai. Agak ngeri juga hatinya 

melihat tatapan yang menggidikkan itu. 

"Aku tidak berdusta," sahut Andika. 

Tetapi kau tahu tentang bunga itu," desak 

Rawangi. 

Andika mengangguk lalu duduk di sebelah kiri 

Rawangi. Seketika gadis itu menggeser duduknya. 

Tatapannya masih sengit pada Andika. 

"Berita tentang Bunga Neraka telah terdengar 

sampai ke tempatku. Bahkan banyak yang mem-

perebutkannya. Kalaupun kau memaksaku ingin 

mengetahui secara pasti, terus terang hanya itu saja 

yang kuketahui." 

"Andika.... Tak seorang pun yang bisa memasuki 

Gerbang Neraka, kecuali para penghuninya yang 

memang mendatangi alammu. Lalu, bagaimana kau 

bisa datang ke sini?" 

Kali ini Andika terdiam. Jelas sekali telinganya 

menangkap nada tak senang dari suara Rawangi. Dia 

harus berhati-hati, agar jangan salah mengucap. 

"Aku sendiri tidak tahu. Mendadak saja, aku telah 

tiba di sini. Wah.... Terus terang, aku sendiri tidak 

betah di sini," sahut Pendekar Slebor, berbohong. 

"Jangan dusta." 

"Kau sejak tadi tidak percaya kata-kataku? Kenapa 

sih? Apakah aku memang berdusta?" 

"Berapa tahun usiamu, Andika?" tanya Rawangi, 

bukannya menjawab.

"Kenapa?" balik Andika. 

"Jawab pertanyaanku itu." 

"Dua puluh satu tahun." 

"Hmm.... Kau masih kanak-kanak, menurut ukuran 

penghuni Gerbang Neraka." 

Andika melotot. 

"Masih kanak-kanak? Kau sendiri berapa usiamu, 

hah?!" 

"Kau tak akan percaya kalau kukatakan. Usiaku, 

tujuh puluh tujuh tahun." 

Andika berjingkat terkejut. 

"Tujuh puluh tujuh tahun? Edan! Kau tak lebih baru 

berusia delapan belas tahun, Rawangi!" 

"Ya! Dan aku masih kanak-kanak menurut 

penghuni Gerbang Neraka." 

Edan! Kalaupun ada masalah aneh, baru kali ini 

Andika benar-benar berada dalam alam aneh. 

"Untuk apa kau bertanya tentang Bunga Neraka?" 

usik Rawangi lagi dengan suara ditekan. 

Andika menggaruk-garuk kepalanya. 

"Itu lagi! Apa tidak ada pembicaraan yang menarik 

lainnya?" 

"Aku hanya ingin tahu saja." 

Rawangi berdiri. 

"Kuperingatkan kepadamu, Andika.... Jangan 

sekali-sekali lagi menyebut tentang bunga itu." 

"Kenapa?" 

Tatapan Rawangi semakin dingin. 

"Karena, akibatnya akan berbahaya sekali! Dan 

kau akan mengalami kejadian yang paling menyakit-

kan seumur hidupmu." 

Ditantang seperti itu, justru Andika menjadi geram. 

Dan kegeramannya diperlihatkannya. 

"Bagaimana kalau aku memaksa?" tantang

Pendekar Slebor. 

"Kau akan menyesal." 

Tiba-tiba saja dengan gerakan yang cepat Andika 

menyergap Rawangi. Gadis itu memekik pelan, lalu 

menggerakkan tangannya. 

Des! 

Andika terhuyung ke belakang ketika merasakan 

satu pukulan keras menghantam dadanya. Mulutnya 

sempat meringis kesakitan. 

Rawangi menatap tajam. "Jangan memaksaku 

untuk berbuat lebih, Andika!" 

Dengan konyolnya pemuda tampan berbaju hijau 

pupus itu nyengir. 

"Justru aku penasaran! Barangkali saja aku bisa 

merangkulmu!" balas si pemuda, makin keterlaluan. 

***

7


Manusia Jenggot Merah memaki-maki sendiri ketika 

tubuhnya terpental kembali ketika hendak melang-

kah. 

"Bangsat! Benda apa sebenarnya ini!" 

Seketika lelaki ini merangkum pukulan saktinya. 

Dikawal bentakan keras, dilontarkannya pukulan itu 

dengan kecepatan kilat. 

Blarrr...! 

Suara bagai ledakan terdengar. Namun mendadak 

dia memekik sendiri ketika pukulan yang dilancar-

kannya berbalik ke arahnya. Cepat tubuhnya ber-

gulingan sambil memaki-maki. 

"Dinding sialan! Peduli setan! Aku harus mencari 

Bunga Neraka itu!" 

Kali ini Manusia Jenggot Merah menyatukan kedua 

tangannya di dada, seraya menggosok-gosoknya. 

Asap hitam langsung mengepul bersamaan dengan 

tubuhnya yang menggigil hebat. Lalu ditingkahi 

teriakan keras sekali, kedua tangannya dikibaskan ke 

depan. 

Duaarrr! 

Pasir di depan Manusia Jenggot Merah seketika 

berserakan. Sementara dinding kasat mata yang 

sejak tadi menghalangi langkahnya pun punah 

seketika. Manusia Jenggot Merah terbahak-bahak. 

"Bangsa siluman mana pun, tak akan mampu 

menghalangi ajian 'Tutup Sukma' milikku!" 

Dengan langkah gagah, lelaki ini berjalan kembali. 

Butiran pasir dan hawa panas menderu-deru ke

arahnya. Dengan punahnya dinding siluman yang 

kasat mata akibat gedoran ajian 'Tutup Sukma' milik 

Manusia Jenggot Merah, maka suasana di Istana 

Gerbang Neraka goyah bagaikan ada gempa dahsyat. 

Jeritan ketakutan terdengar keras. Rawangi berseru-

seru pada pengikutnya agar jangan kalut. Sementara 

Andika sendiri segera bersiaga. 

"Busyet! Kenapa tahu-tahu ada gempa seperti ini?" 

dengusnya. 

Gempa itu memang hanya sesaat saja. Tetapi, 

mampu meruntuhkan pintu depan Istana Gerbang 

Neraka. 

Rawangi melesat ke satu tempat. Andika yang 

kebetulan keluar dari taman indah itu melihatnya. 

Lalu dengan bergegas dikuntitnya dara berparas 

bidadari itu. Ternyata, Rawangi masuk ke ruangan 

seperti ruang kaca. 

Tampak si gadis sedang menghadapi sebuah bola 

kaca berwarna merah. Andika pun melihat kalau 

mulut Rawangi berkomat-kamit. Dan mata Pendekar 

Slebor pun terbelalak ketika menyaksikan bola kaca 

itu mengeluarkan asap merah, lalu terlihat sebuah 

bayangan di dalamnya. 

Andika yakin, apa yang terlihat dalam bola kaca itu 

adalah tempat dia berpijak sebelumnya. Dan yang 

membuatnya terkejut, ketika terpampang gambar 

seorang lelaki seram berjenggot merah sedang 

melangkah tegap. 

"Gila! Rupanya ada manusia lain yang bisa 

memasuki Gerbang Neraka ini. Siapa dia? Apakah 

orang itu memang sengaja dikirim Penjaga Gerbang 

Neraka untuk mengikutiku?" desis Andika, tak 

mengerti. 

Sementara itu Rawangi sedang mengempalkankedua tangannya. Dan sebelum Andika sempat 

berbuat apa-apa, tiba-tiba gadis itu menoleh dengan 

tatapan garang setajam mata serigala lapar. 

Urung untuk bersembunyi, Andika justru 

merasakan satu tenaga kuat luar biasa menghantam 

kepalanya. Selebihnya, tubuhnya tersuruk dan 

pingsan. 

*** 

Rawangi berdiri di hadapan lima orang gadis 

berpakaian biru tembus pandang. 

"Hadang manusia keparat yang berani menginjak 

Gerbang Neraka ini! Bunuh dia!" perintah gadis ini 

dalam kemarahan. 

Serentak kelima gadis itu mengangguk, lalu 

menyatukan tangannya. Dan tiba-tiba saja, mereka 

lenyap dari pandangan. 

Kini tinggal Rawangi yang menghenyakkan pinggul 

padatnya ke kursi berukiran kobaran api. Otaknya 

berpikir keras, mengapa sampai datang manusia-

manusia ini? Bila Andika tidak dibunuh, saat ini, 

karena Rawangi menghendaki si pemuda pewaris 

ilmu Lembah Kutukan menjadi suaminya. Bila dia 

melahirkan anak keturunan manusia, maka akan 

menjadi Ratu penguasa yang abadi di Istana Gerbang 

Neraka! 

Tiba-tiba gadis ini menggeram dengan kedua 

tangan terkepal. 

"Apakah ini ada hubungannya dengan pengkhianat 

Basofrat? Huh! Sayang, dia telah melarikan diri dari 

Istana Gerbang Neraka? Hm.... Kalau memang iya, 

inilah kesempatan bagiku untuk menghancurkannya! 

Sekaligus, membalas kematian para pendahuluku

akibat pengkhianatan Basofrat durjana itu!" 

Setelah terdiam beberapa saat, Rawangi bangkit 

dari duduknya. 

"Kalau memang begitu, Bunga Neraka harus 

kupetik sekarang juga," lanjutnya. 

Tetapi, kemudian gadis ini urung untuk melaku-

kannya. 

"Bunga Neraka, hhh! Bunga itulah yang diper-

tahankan Basofrat! Tetapi, mengapa dia harus 

menceritakan tentang bunga itu pada dunia luar. Tak 

mungkin manusia-manusia semacam Andika tahu 

tentang bunga itu, kalau tidak dari Basofrat! Tetapi, 

kalau kupetik sekarang dan kuhisap sarinya, sudah 

jelas aku tak akan bisa melahirkan. Berarti, aku bisa 

gagal menjadi penguasa di Istana Gerbang Neraka ini. 

Dan bila Andika menikah denganku, maka kehebatan-

ku tak akan bisa ditandingi. Sekalipun oleh Basofrat 

laknat itu!" 

Kembali Rawangi duduk kembali. Pikirannya 

dipenuhi berjuta masalah. Tapi dia lantas bangkit lagi 

dan melangkah menuju ruangan di mana Andika 

masih dalam keadaan pingsan akibat pukulannya. 

Diperhatikannya wajah tampan milik Andika yang 

bagaikan tertidur itu. 

"Hmm.... Tak kusangka, kalau di dunia luar ada 

manusia setampan ini. Kalau saja di Istana Gerbang 

Neraka masih ada kaum lelaki, belum tentu ada yang 

setampan Andika." 

Tiba-tiba saja Rawangi melepaskan seluruh 

pakaiannya. Dan kini tubuh tanpa benang sehelai 

pun. Dibelai-belainya wajah Andika dengan penuh 

birahi. Diciuminya wajah yang sedang tak sadarkan 

diri itu. 

"Lebih baik sekarang saja kita menjadi suami istri,

Andika. Daripada nanti kau menolak?" 

Lalu dengan hati-hati, Rawangi membukai seluruh 

pakaian Andika. Diambilnya selimut yang ada di sana, 

lalu tubuhnya menyusup ke balik selimut. Dengusan 

dan desahan napas penuh birahi terdengar lembut 

dan memburu. Namun.... 

"Aaauwww...!" 

Tiba-tiba saja Rawangi memekik. Tubuhnya 

terpental dari balik selimut, jatuh ke lantai pualam. 

Matanya membelalak tak percaya. 

"Kurang ajar! Tenaga apa yang ada di diri pemuda 

ini sehingga bisa menolakku begitu saja!" 

Rasa penasaran mulai menggayuti perasaan 

Rawangi. Dengan paksa dan mengerahkan ilmunya, 

gadis ini berusaha mendapatkan Andika. Namun lagi-

lagi tak mampu. Bahkan terasa sekali perutnya 

bagaikan berputar-putar. Sakit sekali. 

"Setan alas! Rupanya pemuda ini memiliki tenaga 

petir yang sangat kuat! Keparat! Jalan satu-satunya 

untuk mendapatkannya memang harus menikah! 

Dengan cara seperti itu, tenaga petir yang ada di 

tubuhnya tak akan menolakku, karena sesuai 

perintah otaknya." 

Rawangi mengenakan pakaiannya lagi dengan 

geram. Juga dikenakannya pakaian Andika kembali. 

Lalu kakinya melangkah keluar. 

*** 

Hawa panas membuat sekujur tubuh Manusia 

Jenggot Merah berkeringat. Namun lelaki ini terus 

melangkah. Yang ada di benaknya hanyalah Bunga 

Neraka saja. Tak peduli dengan segala macam 

rintangan, kakinya terus melangkah.

Tiba-tiba Manusia Jenggot Merah berhenti. 

Sepasang matanya yang memerah memandang tak 

berkesip ke depan. Karena, di depannya muncul lima 

orang gadis berbaju biru tembus pandang. 

Kemunculannya seolah-olah dari dasar pasir panas 

ini. 

Tetapi sejurus kemudian lelaki ini terbahak-bahak. 

Suaranya begitu keras, menggema segala penjuru 

padang pasir. 

"Benar-benar menakjubkan! Aku bertemu gadis-

gadis berparas jelita di sini! Dan lagi..., tubuh mereka 

benar-benar menggiurkan! Mari, Manis! Aku sanggup 

memberikan kenikmatan kepada kalian sekaligus!" 

Salah seorang dari kelima gadis itu yang ternyata 

Srisisi menggeram marah. 

"Manusia busuk! Angkat kaki dari sini sebelum kau 

mampus ditelan pasir panas!" 

"Benar-benar luar biasa! Tetapi, sayang.... 

Ancamanmu justru terdengar semacam undangan 

untuk menggeluti tubuhmu yang indah! Sini, sini.... 

Biar kudekap kau lama-lama!" 

Manusia Jenggot Merah yang memang cabul itu 

bergerak menyergap Srisisi. Namun lelaki ini kecele, 

karena Srisisi sudah menghindar dengan ringan. 

"Bisa menghindar juga kau rupanya?! Justru ini 

yang membuat ku semakin bersemangat!" 

Kali ini bukan hanya Srisisi yang dikejar Manusia 

Jenggot Merah, tapi keempat gadis lainnya. Dan, lagi-

lagi Manusia Jenggot Merah kecele. Karena hanya 

angin belaka yang ditangkapnya. 

Menyadari kalau gadis-gadis ini tak bisa dianggap 

sembarangan, Manusia Jenggot Merah memperguna-

kan ilmunya untuk menangkap. Tetapi, Srisisi dan 

teman-temannya yang telah ditugaskan untuk mem

bunuh Manusia Jenggot Merah segera bertindak 

cepat. 

Begitu tangan Manusia Jenggot Merah yang dialir-

kan tenaga kuat meraih, tangan Srisisi membentur-

nya. 

Plak! 

Manusia Jenggot Merah terkejut dan mundur ke 

belakang. Ketika melirik, tangannya membiru. 

Sementara Srisisi menyeringai dingin. 

"Cepat tinggalkan nyawamu di sini!" 

Manusia Jenggot Merah semakin sadar kalau 

kelima gadis ini bukanlah orang-orang sembarangan. 

Seketika dia murka. Segera diserbunya dengan ilmu-

ilmunya yang tinggi. 

Wesss...! 

Angin keras melebihi kecepatan waktu, bergerak 

ke arah kelima gadis itu. Namun mereka langsung 

berlompatan dan membuyar. Dan hanya sesaat 

mereka berlompatan, karena di kejap lain secara 

serempak kelimanya menyerbu Manusia Jenggot 

Merah dengan serangan berbahaya. 

Manusia Jenggot Merah mengeluarkan suara 

menggebah. Tubuhnya seketika bergulingan di atas 

pasir panas. Meskipun tubuhnya mengeluarkan 

keringat akibat panas menyengat. Akibat dari ilmu 

yang dimilikinya kulitnya tidak melepuh, ketika pasir-

pasir itu melekat di tubuhnya. 

"Hiaaa...!" 

Lelaki ini menderu kembali dengan serangan-

serangan aneh dan dahsyat. Salah seorang dari 

gadis-gadis itu tak kuasa menahan serangan. 

Sehingga.... 

Desss...! 

Seketika terlihat tubuh gadis yang jadi sasaran

terpental puluhan tombak. Sesuatu muncrat dari 

tubuhnya. 

Tetapi justru Manusia Jenggot Merah yang terkejut. 

Karena darah yang keluar dari mulut si gadis bukan 

berwarna merah, melainkan berwarna biru! Dan yang 

membuat lebih mengejutkan lagi, gadis itu bangkit 

dengan tegar, lalu menyerang kembali. 

"Apa-apaan ini?! Siapa mereka?" dengus Manusia 

Jenggot Merah tak mengerti. 

Kembali lelaki ini menyerang ganas. Bahkan jauh 

lebih ganas dari yang pertama. 

Namun sampai sejauh itu, tak seorang gadis pun 

yang terjatuh akibat pukulannya. Justru, setiap kali 

kena hantaman, mereka bangkit kembali. Dan baru 

lelaki ini sadar, kalau gadis-gadis itu sama sekali tak 

mengeluarkan keringat, seperti dirinya! 

Piaslah wajah Manusia Jenggot Merah. Sebelum 

wajahnya berubah kembali, lima buah serangan 

dahsyat penuh tenaga tinggi menderu ke arahnya. 

Seketika lelaki ini bersalto ke belakang, ringan sekali 

hinggap di pasir kembali. Dan tangannya yang sudah 

berada di dada digosok-gosok hingga mengeluarkan 

asap berwarna hitam. 

"Rupanya kalian bangsa siluman-siluman busuk 

yang menjual lagak di hadapanku! Majulah kalian!" 

Srisisi berhenti sejenak, serangannya dihentikan. 

Sejenak diperhatikan tindakan lawan. Namun 

selanjutnya dia melesat cepat dengan hantaman 

pukulan siap dilontarkan. 

Manusia Jenggot Merah yang memang sudah 

menunggu, mendadak saja menggerakkan kedua 

tangannya. 

Blammm...! 

Tanpa ampun lagi, ajian 'Tutup Sukma' yang

dilontarkan Manusia Jenggot Merah menghantam 

telak tubuh Srisisi. Bukan hanya tubuhnya yang 

terpental ke belakang. Bahkan seluruh anggota 

tubuhnya bagaikan meledak dan membuyar! 

"Srisisi!" seru yang lain terkejut. Dan serentak 

mereka menyerbu dengan ganasnya. Kemarahan 

telah membludak. Bahkan yang tak pernah disangka, 

lelaki berjenggot merah itu ternyata memiliki ajian-

ajian aneh sekaligus mampu menjatuhkan. Pada saat 

yang sama, Manusia Jenggot Merah mengibaskan 

tangan. 

Blammm...! Blammm...! 

Kenekatan itu bukanlah jalan terbaik. Karena 

tubuh mereka pada akhirnya menjadi sasaran ajian 

'Tutup Sukma' milik Manusia Jenggot Merah yang 

sangat dahsyat. Sama seperti Srisisi. 

Namun ternyata salah seorang berhasil melolos-

kan diri. Dan ketika tubuhnya hendak lenyap begitu 

saja, Manusia Jenggot Merah telah menyergapnya. 

Gadis berbaju biru itu langsung meronta-ronta 

dengan jeritan setinggi gunung. Karena sekujur 

tubuhnya terasa bagaikan tersengat. 

Manusia Jenggot Merah terbahak-bahak. 

"Rupanya kalian memang orang-orang bodoh! Hhh! 

Siluman jenis apa pun, tak akan mampu meng-

halangiku! Katakan kepadaku, di manakah Bunga 

Neraka?!" 

Gadis itu tak menjawab. Justru tubuhnya terus 

meronta-ronta. 

"Keparat!" 

Cekalan di tangan Manusia Jenggot Merah 

semakin mengencang. Semakin membuat gadis itu 

kelojotan. 

"Kalau kau tak mau mengatakannya, jawab

pertanyaanku ini! Siapa kalian...? Dan, dari mana asal 

kalian?!" 

Gadis itu tetap tak menjawab. Hanya makiannya 

saja yang terlontar keras. Hal itu justru membuat 

Manusia Jenggot Merah menjadi panas. 

"Meskipun aku tak tahu siapa dirimu, tetapi kau 

memiliki tubuh yang indah dan bagus! Aku ingin tahu, 

apakah kau memang benar-benar bisa memuaskan-

ku!" 

Dan dengan bengis Manusia Jenggot Merah 

merobek-robek pakaian gadis itu. Dan ditariknya 

sampai lepas dua carik kain lain yang melekat pada 

tubuh molek itu. 

Manusia Jenggot Merah terbahak-bahak. "Siluman 

atau bukan, kau memiliki tubuh sempurna!" 

Dengan liarnya, tangan kekar si lelaki bergerak, 

semakin membuat gadis itu meronta-ronta, berusaha 

melepaskan diri. 

Manusia Jenggot Merah semakin terbahak-bahak 

kesenangan. Ini adalah sisi lain dari yang tak pernah 

diduga. Tiba-tiba, dibantingnya tubuh gadis itu. 

Anehnya, sekali lagi tak terlihat gadis itu kepanasan 

atau berkeringat. Dan dengan buasnya, sambil 

tertawa-tawa dibuka pakaiannya sendiri. 

"Akan kuketahui, jenis apa kau ini!" 

Gadis itu memejamkan matanya dengan ketakutan 

amat sangat. Namun belum lagi Manusia Jenggot 

Merah melakukan niat busuknya, tiba-tiba saja pasir 

yang dipijaknya longsor. Ada tenaga yang sangat kuat 

menyedotnya. 

Tubuh lelaki ini meluncur dan meluncur, bersama 

tubuh gadis yang polos. 

***

8


Andika yang telah dipindahkan ke ruang lain telah 

sadar dari pingsannya. Dia ingat, tadi satu tenaga 

halus telah menghantamnya. Yang membuatnya 

heran, walaupun sudah berusaha mengelak, namun 

pukulan tenaga halus itu tetap menghantam tubuh-

nya. 

Kini Pendekar Slebor mulai memikirkan setiap 

kejadian, hingga teringat pada bola kaca yang berada 

dalam ruang kaca. Lantas, apakah bola kaca itu bisa 

membantunya untuk menemukan letak Bunga 

Neraka? 

Si pemuda merasa harus mencobanya. Bergegas 

dia bangkit. Rasa nyeri masih terasa di bahunya. Dan 

dengan sadar, dialirkannya tenaga dalam dan hawa 

murni. Setelah dirasakan cukup nyaman, segera 

didekatinay pintu dan dibukanya. Terkunci! 

"Apa lagi ini?" rutuk si anak muda yang dikenal 

urakan ini. 

Sambil mengerahkan tenaganya, Andika kembali 

membuka pintu. Tapi tetap tak terbuka. Andika 

menjadi jengkel. Lebih jengkel lagi setelah yakin 

kalau serangan tenaga halus itu dilakukan oleh 

Rawangi. 

Sekarang Pendekar Slebor menambah kekuatan 

nya. Namun pintu itu tetap tak terbuka. 

"Edan! Apa aku akan terkurung terus di tempat 

menyeramkan ini?" 

Maka dengan terpaksa Pendekar Slebor menge-

rahkan ajian 'Guntur Selaksa' untuk membuka pintu

yang kokoh itu. 

Drakkk...! 

Terdengar suara berderak. Lalu pintu berukiran 

kobaran api itu copot dengan engselnya. 

"Begini lebih baik. Biar nanti panggil tukang kayu 

saja untuk membetulkannya." 

Andika bergegas keluar, setelah memperhatikan 

sekelilingnya. Tubuhnya berkelebat laksana 

bayangan, langsung menuju ruang kaca. Ketika 

melewati satu ruangan, pendengarannya yang terlatih 

menangkap suara gusar bercampur marah. 

"Manusia hina! Katakan, dengan cara bagaimana 

kau datang ke Gerbang Neraka ini!" 

Suara Rawangi! Andika mengurungkan niatnya 

untuk segera ke ruang kaca. Siapakah orang yang 

dimaki-maki Rawangi? Tetapi kali ini si pemuda harus 

berhati-hati. Dia tak mau terkena serangan gelap 

yang dilancarkan gadis itu. Lama-lama, bisa rontok 

jantungnya. 

Sekarang, Pendekar Slebor mengerahkan ilmu 

meringankan tubuhnya. Lalu dengan berhati-hati dia 

mengintip dari lubang kecil. Keningnya seketika 

berkerut, dan cepat berdiri tegak. 

"Gila! Siapa manusia berjenggot merah yang kedua 

kaki dan tangannya terentang itu? Kelihatannya, dia 

sukar sekali melepaskan diri. Tetapi yang meng-

herankan, kelihatannya dia tak terikat oleh apa-apa?" 

Dengan rasa penasaran Andika mengintip lagi. Apa 

yang dilihatnya memang benar. Saat ini, Manusia 

Jenggot Merah sedang menjadi tawanan Rawangi. 

Memang gadis itulah yang menyedot tubuh lelaki 

yang hendak memperkosa salah seorang anak 

buahnya. 

Penglihatan Andika sekali lagi tidak salah. Tubuh

Manusia Jenggot Merah bagaikan dibelenggu rantai 

halus kasat mata. Kedua tangannya terentang ke 

atas, begitu pula kedua kakinya. 

Andika menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. 

"Busyet! Semakin lama, Gerbang Neraka ini semakin 

membingungkan saja. Kalau melihat sosok manusia 

jelek itu, sudah bisa dipastikan dia datang dari 

alamku. Tetapi, bagaimana caranya bisa tiba di sini 

juga? Ataukah, benar dugaanku kalau Penjaga 

Gerbang Neraka mengutus orang? Hhh! Tidak usah 

dibantu juga tidak apa-apa! Kalau gadis jelita yang 

membantu, aku akan menyambutnya sebaik mung-

kin! Ini, manusia jeleknya minta ampun...! Mana 

tahaaan...!" 

Tetapi sesaat kemudian Andika tak mempedulikan 

Manusia Jenggot Merah yang menjerit-jerit keras, 

karena Rawangi menghantamnya dengan tenaga 

halus dahsyat. 

Pendekar Slebor bergegas menuju ruang kaca. 

Tetapi setiba di sana, dia jadi kebingungan lagi. 

Ternyata di tempat itu tak ditemukan pintu masuk ke 

dalamnya. 

"Bukankah waktu itu aku berada di sini? Aku yakin, 

Rawangi pun masuk lewat sini. Tetapi, di mana 

pintunya? Semuanya seperti tertutup begitu saja," 

gumamnya sambil meraba-raba kaca yang tebal. 

Sesaat Andika melepaskan kedua tangannya yang 

melepuh. 

"Benar-benar sinting! Kaca itu rupanya panas 

sekali! Tetapi mengapa aku tak merasakan hawa 

panas sebelumnya?" 

Rasa penasaran yang semakin menggumpal, 

membuat Andika mengalirkan tenaga dalam 

untukmengusir rasa panas yang menyengat. Si anak

muda memang bisa meraba-raba kembali. Tetapi, 

tetap saja tak menemukan pintu masuknya. Ini mem-

buatnya bertambah penasaran. 

Namun belum lagi menemukan jalan terbaik, tiba-

tiba.... 

"Apa yang Paduka lakukan di tempat terlarang ini?" 

terdengar suara bernada hormat. 

Andika berbalik. Langsung mulutnya nyengir begitu 

melihat dua sosok tubuh berpakaian biru-biru 

menatapnya tajam. 

"Eh! Kupikir siapa? Kalian membingungkanku 

saja," kelit Andika. 

"Paduka, tempat itu dilarang oleh Tuan Putri 

Rawangi, untuk siapa pun juga," jelas salah seorang 

gadis. 

"Termasuk aku?" 

"Ya." 

Andika mengulap-ulapkan tangannya. 

"Kalian salah! Justru aku diperintahkan Rawangi 

untuk masuk ke dalamnya," sergah Pendekar Slebor 

mengakali. 

Kedua gadis ini berpandangan, seolah tak percaya. 

"Kalian tidak percaya, ya? Kalau tidak percaya, 

silahkan tanya Putri Rawangi," ujar Andika, meyakin-

kan. 

"Tetapi...." 

"Siapa sih namamu?" 

"Hamba Martisi. Dan ini..., Kirmasi." 

"Nah! Lebih baik kalian pergi saja deh, daripada 

nanti kulaporkan pada Tuan Putri Rawangi kalau 

kalian hanya menggangguku saja." 

Martisi dan Karmasi lagi-lagi berpandangan. 

Mereka memang tak mau melihat Tuan Putri Rawangi 

marah. Tetapi, sesuai perintah Tuan Putri Rawangi

sendiri, siapa pun juga dilarang mendekati ruang 

kaca ini. Andika mulai melihat kedua gadis ini ragu-

ragu. 

"Eh, masih berada di sini terus? Ayo, pergi dari sini! 

Tetapi kalau kalian tak percaya, silakan tanya Tuan 

Putri Rawangi. Pasti kalian yang akan kena marah 

nanti. Apalagi kalian kan tahu, aku ini calon Paduka 

kalian. Calon suami Tuan Putri Rawangi? Nah, 

mengapa masih ragu?" 

Kedua gadis itu kali ini tak bisa berbuat apa-apa. 

Alasan yang dikemukakan Andika memang tepat dan 

masuk akal. Meskipun masih ragu karena ingat akan 

perintah Rawangi, namun mereka pun membenarkan 

pula apa yang akan dikatakan Andika. Tak mustahil 

Tuan Putri Rawangi mengizinkan kepada Andika yang 

sebentar lagi akan menjadi suaminya. 

"Maafkan kami, Paduka," ucap Martisi sambil 

menjura. Begitu pula Kirmasi. 

Andika mengangkat dagunya. Sambil menahan 

gelinya, kepalanya mengangguk-angguk. 

"Eh, tunggu! Aku lupa bagaimana cara membuka 

ruang kaca ini. Tadi Tuan Putri Rawangi sudah 

memberitahu," seru Andika. 

"Paduka.... Untuk membuka pintu ruang kaca, 

Paduka cukup menahan napas saja sambil meng-

gedukkan kaki dua kali," jelas yang bernama Martisi. 

"Oh, iya. Pantas aku lupa tadi. Aku cuma menahan 

napas saja. Sudah, sudah.... Kalian lebih baik pergi. 

Barangkali saja Tuan Putri Rawangi membutuhkan 

kalian." 

Martisi dan Kirmasi mengangguk, lalu berlalu. 

Andika mendesah lega. Buru-buru dilakukannya apa 

yang dikatakan Martisi tadi. 

Dan secara aneh, pintu ruang kaca itu terbuka.Bergegas Andika masuk. Bau harum mempesona 

langsung menyapa. Namun sesaat saja dia meng-

hiraukannya. Selebihnya Andika menuju ke bola kaca 

yang di bawahnya terdapat sebuah cawan dari emas. 

Andika mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Wah.... Bagaimana lagi menggunakan bola kaca 

ini?" desisnya. 

Perlahan-lahan dipegangnya bola kaca itu. Sekilas 

ada cahaya yang keluar dari bola itu. Setelah itu, 

redup. 

"Apakah ada mantera khusus untuk mengguna-

kannya?" gumam Andika sambil menggaruk-garuk 

kepalanya. 

Tahu-tahu saja si anak muda memegang bola kaca 

itu dengan kedua tangan. Tak ada perubahan apa-

apa. 

"Benar-benar membingungkan!" 

Namun ketika Andika melepaskan tangannya dari 

bola kaca, mendadak ada nyala yang cukup terang di 

dalamnya. Lalu, tergambar pemandangan padang 

pasir tempat yang pernah dilalui Andika waktu 

"Nah! Bisa juga akhirnya! Hei, Bola Kaca.... Beri 

tahu aku, di mana Bunga Gerbang Neraka berada?" 

Perlahan-lahan pemandangan dalam bola kaca 

berubah. Beberapa kobaran api panas telah lewat. 

Begitu pula bangunan-bangunan aneh yang terbuat 

dari api. Hingga kemudian, tergambar sebuah lautan 

api yang besar sekali. Di tengah-tengah lautan api, 

terlihatlah sebuah bunga cukup besar. Hampir sama 

dengan bunga matahari. Hanya saja di tengahnya 

terdapat percikan api yang berkali-kali keluar. 

"Gila! Inikah Bunga Neraka? Tetapi, bagaimana 

caranya untuk mengambil bunga dari lautan api 

panas itu? Apakah ada jalan khusus untuk men

dapatkannya? Brengsek! Kenapa sih, Penjaga 

Gerbang Neraka tidak mengatakannya kepadaku 

bagaimana cara mengambilnya?" 

Tiba-tiba pendengaran Andika menangkap suara 

langkah menuju ke ruang kaca. Dengan cepat 

tubuhnya berkelebat keluar. Dan secara aneh pintu 

ruang kaca itu tertutup. 

Andika lantas bersembunyi di atas bangunan 

besar. Dia melihat Rawangi sedang bergegas menuju 

ke kamar tempat pingsan Andika tadi. 

Dengan gerakan secepat kilat Andika berkelebat 

masuk ke kamarnya. Lalu tubuhnya direbahkan. Dia 

tak sempat lagi memikirkan satu keanehan yang 

sebenarnya sudah jelas di matanya. Tepat ketika 

matanya memejamkan, Rawangi muncul. 

Aroma bunga langsung tercium hidung Andika. 

"Pemuda tampan... Rupanya ada manusia busuk 

yang mengikuti jejakmu untuk mendapatkan Bunga 

Neraka. Hhh! Kalau kau terbangun dari pingsanmu, 

akan kutanyai kau habis-habisan! Akan kujebloskan 

kau ke Lautan Pasir bila tak mau mengaku juga! Hhh! 

Apakah semua ini akibat perbuatan Basofrat! Keparat 

hina itu pun akan kucari dan kubunuh, karena 

mengacaukan seluruh rencanaku!" 

Andika yang sengaja menahan napas mendengar-

kan semua itu. Basofrat? Siapa yang dimaksudkan 

Rawangi? Apakah Penjaga Gerbang Neraka itu ber-

nama Basofrat? 

Tiba-tiba Pendekar Slebor merasakan sesuatu 

yang lembut menempel di bibirnya. Busyet! Hampir 

saja Andika bernapas kembali ketika yakin kalau yang 

menempel di bibirnya adalah bibir lembut Rawangi. 

Dan perlahan-lahan dirasakannya gadis itu terus 

mengecupnya. Berbahaya ini!

Pendekar Slebor berusaha agar kelaki-lakiannya 

tak terbakar. Kalau Rawangi tahu dirinya sudah 

tersadar dari pingsannya, apakah akan dihajar? 

Ya! Daripada ketahuan, Jebih baik berlagak baru 

siuman saja. Dan Andika pun menggerakkan tubuh-

nya perlahan-lahan sambil mengeluarkan desahan 

pelan. Apa yang diperkirakannya, tepat! Karena, 

Rawangi cepat menarik kepalanya. 

Andika membuka matanya. Dan dia sempat 

melihat wajah Rawangi yang memerah. 

"Rawangi...," desah Andika perlahan. 

Tampak wajah Rawangi semakin memerah. Dan 

kegelisahan pun jelas sekali di matanya. 

"Andika.... Ada seorang manusia yang datang dari 

alammu sana...!" kata Rawangi. 

Andika perlahan-lahan bangkit dan bersandar. 

Tangannya memijit-mijit kepala. Dicobanya mencari 

siasat untuk menghindari dari pertanyaan Rawangi. 

Karena dia tahu, gadis itu akan mulai mendesaknya 

pula. 

"Siapa dia, Rawangi?" 

"Dia mengaku berjuluk Manusia Jenggot Merah. 

Kedatangannya untuk mencari Bunga Neraka. Sama 

sepertimu." 

Andika menangkap tekanan nada di akhir kalimat 

Rawangi. Tetapi, dia tetap berlagak tidak tahu. Dan 

masih pura-pura pusing akibat pingsannya. 

"Sama sepertiku? Ah! Kau ini terlalu mengada-ada, 

Rawangi. Aku hanya bertanya soal Bunga Neraka. 

Bukan untuk mendapatkannya." 

"Baiklah.... Kalau begitu..., siapa yang mengirimmu 

datang ke sini, Andika? Tak mungkin seorang anak 

manusia dari alam berlainan dengan kami, bisa 

memasuki Gerbang Neraka?" desak Rawangi.

"Yang mengirimku? Bukankah waktu itu sudah 

kuceritakan?" tukas Andika, berlagak memijit kepala-

nya. 

Rawangi menatapnya tajam. Seolah dia hendak 

menguliti Andika. 

Andika bergidik melihat tatapannya yang tajam itu. 

"Jangan berdusta, Andika," kata Rawangi hendak 

menyudutkan. 

"Rawangi.... Apa yang kukatakan ini benar. Lagi 

pula, kalaupun aku hendak mencari Bunga Neraka, 

aku tak tahu di mana tempatnya." 

Rawangi terdiam. Sementara Andika sendiri yakin 

kalau gadis itu tidak percaya dengan yang dikata-

kannya. Tetapi, Pendekar Slebor pun segera mencari 

alasan-alasan yang dirasakannya tepat, agar Rawangi 

mau mempercayai ceritanya. 

"Kau kenal dengan Manusia Jenggot Merah?" 

tanya Rawangi. 

"Nama itu baru kudengar sekarang." 

"Andika.... Aku akan menunjukkan, di mana Bunga 

Neraka berada." 

Andika segera mengangkat kepalanya. Ter-

perangah. Dicobanya untuk meneliti, apakah Rawangi 

hanya mempermainkannya, atau tengah men-

jebaknya. 

"Aku tidak mengerti maksudmu, Rawangi? Lagi 

pula, aku tidak berniat mencarinya. Aku hanya ingin 

tahu, apakah Bunga Neraka memang benar-benar 

ada." 

Rawangi mengangguk. 

"Aku tidak main-main," tandas gadis itu sungguh-

sungguh. "Bahkan, aku akan menunjukkan bagai-

mana caranya kau mendapatkan Bunga Neraka." 

Andika masih berlagak tak acuh.

"Kalau kau ingin memberitahu, mengapa harus 

aku?" 

"Karena, aku menginginkan imbalan darimu...." 

"Maksudmu?" 

"Bila aku menunjukkan tempat Bunga Neraka dan 

cara mengambilnya, aku menghendaki kau me-

lakukan sesuatu untukku." 

"Apa itu?" 

"Nikahi aku." 

"Apa?" Andika terbelalak. "Menikahimu? 

Rawangi menatap sengit. 

"Ya!" 

"Mengapa aku harus menikahimu?" 

"Jawab saja, ya atau tidak. Bila mengiyakan, maka 

kau akan mendapatkan Bunga Neraka itu. Bila 

tidak...," Rawangi menghentikan kata-katanya. 

"Bila tidak?" sambung Andika. 

"Kau akan mendapatkan hukuman luar biasa 

sakitnya. Dan yang terpenting lagi, kau tak akan 

mampu keluar dari Gerbang Neraka ini." 

Andika tersenyum mendengarnya. 

"Apakah ini ancaman, Rawangi?" 

"Tergantung kau mengartikannya." 

Andika memikir-mikir beberapa saat. Rupanya, apa 

yang didengarnya memang benar. Rawangi memang 

menghendaki dirinya untuk dijadikan suami. Ini 

memang kesempatan terbaik untuk mendapatkan 

Bunga Neraka. Tetapi, bagaimana bila terjebak? 

Otak Pendekar Slebor yang cerdik terus berpikir 

merangkaikan beberapa jalinan yang bisa diuraikan 

nanti. 

"Sebenarnya, aku mempunyai kekasih. Banyak, 

lagi. Tetapi, kalau menikah denganmu, apa susah-

nya?" kata Andika, sambil mengedip-ngedipkan

matanya. 

Rawangi hanya tersenyum, namun sukar ditebak 

hatinya. Dan diam-diam, Andika melengak dalam hati. 

Karena pintu yang tadi dipukulnya dengan ajian 

'Guntur Selaksa', telah utuh kembali! 

***


9


Persiapan pernikahan Rawangi dengan Andika segera 

dilangsungkan. Seluruh penghuni Gerbang Neraka 

yang terdiri dari para wanita bekerja giat penuh 

semangat. Bangunan besar tempat Andika tinggal 

sekarang telah dibuat begitu indah. Batu-batu pualam 

diukir membentuk lambang kobaran api yang nampak 

sangat panas. 

Di kamarnya, Andika menjadi gelisah sendiri. 

Sudah dua hari pemuda ini berada di kamar yang 

indah dengan hidangan beraneka rasa. Dia masih 

memikirkan soal pintu yang berantakan itu. Apakah 

Rawangi telah membetulkannya? Kalau memang iya, 

berarti gadis itu mengetahui apa yang dilakukannya. 

Tetapi mengapa waktu itu Rawangi diam saja? 

Ataukah ini memang jelas-jelas satu jebakan? 

Andika tak bisa menemukan jawabannya. Yang 

pasti, dia memang harus berhati-hati. Karena mau tak 

mau mulai disadari sebelah kakinya telah dicelupkan 

ke suasana yang tidak enak. Dan mau tak mau pula, 

harus meneruskan apa yang direncanakannya. 

Diam-diam Pendekar Slebor pun memikirkan soal 

Manusia Jenggot Merah. Kalau memang lelaki itu di 

suruh pula oleh Penjaga Gerbang Neraka untuk 

mengawasinya, mengapa dengan mudahnya bisa ter-

tangkap. 

Paling tidak, Penjaga Gerbang Neraka akan mem-

beri petunjuk yang lebih pasti. Kalau memang bukan 

seperti yang diperkirakannya, siapakah lelaki jelek 

itu? Lalu, soal Basofrat. Siapakah dia? Dan Andika

bisa mengetahui meskipun sedikit soal Basofrat 

ketika Martisi dan Kirmasi datang untuk melayaninya 

seperti yang diperintahkan Rawangi. 

Dengan cara memutar percakapan, akhirnya 

Andika tiba pada sasaran. 

"Basofrat?" 

Martisi mengangkat wajahnya dengan tatapan pias 

dan heran. Tangannya yang sejak tadi menguruti 

kedua kaki Andika berhenti. Begitu pula Kirmasi yang 

memijiti kedua tangan Andika. 

"Ya, Basofrat. Siapakah sebenarnya dia, Martisi? 

Tuan Putri Rawangi mengajakku bermain teka-teki. 

Bila aku berhasil mengetahui siapa gerangan 

Basofrat tanpa diberitahu olehnya, maka pernikahan 

akan dipercepat. Padahal, aku sudah tidak sabar 

menunggunya, lho," pancing Andika, mengatur siasat. 

Martisi sejenak terdiam. Kelihatan ragu-ragu. 

Andika tersenyum. 

"Ayolah.... Katakan padaku, siapakah Basotrat itu." 

"Tetapi, Paduka...." 

"Aku tahu, kau pasti dilarang juga oleh Tuan Putri 

Rawangi, kan? Tetapi, aku ini calon suaminya. Dan 

aku ingin mengetahui, siapakah Basofrat itu. Apakah 

dia sainganku, atau bukan...?" 

Setelah menarik napas panjang. Martisi pun 

memulai. 

"Menurut yang hamba dengar, ratusan tahun yang 

lalu hidup seorang laki-laki bernama Basofrat di 

Gerbang Neraka ini. Dulu tempat ini banyak sekali 

laki-laki, Paduka. Tidak seperti sekarang yang sepi 

sekali." 

"Lalu, apa yang terjadi?" 

"Basofrat menemukan Bunga Neraka bersama 

beberapa orang lain. Termasuk, eyang buyut Tuan

Putri Rawangi. Kemudian, terjadilah keributan besar. 

Saat itu, Basofrat menghendaki untuk menghancur-

kan Bunga Neraka. Karena di sari bunga itu terdapat 

kekuatan sangat dahsyat yang bisa membuat 

keadaan di Gerbang Neraka bisa kacau. Namun, 

eyang buyut Tuan Putri Rawangi menghendaki lain...," 

tutur Martisi. 

Andika manggut-manggut seperti burung pelatuk. 

Sampai Martisi melanjutkan ceritanya. "Eyang buyut 

Tuan Putri Rawangi berkeinginan untuk mendapatkan 

Bunga Neraka sebagai penambah kekuatan dan 

kekuasaannya. Basofrat yang merasa telah menemu-

kannya, sudah tentu menolak. Dia pun mem-

pertahankannya. Hingga, terjadilah pertarungan 

hebat," jelas Martisi. "Konon, akhirnya Basofrat 

memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh 

eyang buyut Tuan Putri Rawangi. Bahkan, berhasil 

melarikan diri dari Gerbang Neraka dan sekarang 

entah berada di mana." 

"Siapakah kalau begitu yang pantas untuk meng-

hisap sari Bunga Neraka?" sela Andika. 

"Soal itu, hamba tidak tahu, Paduka." 

"Apakah ada kabar tentang Basofrat sekarang ini?" 

Tidak. Tuan Putri Rawangi berniat untuk mencari 

dan membunuhnya bila muncul. Namun hingga hari 

ini, sosok Basofrat tak pernah diketahui. Tetapi yang 

pasti, Tuan Putri Rawangi tetap akan melaksanakan 

ancamannya...." 

"Budak-budak keparat...!" 

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar penuh 

kemarahan. Bahkan.... 

Srrrttt! 

"Aaakh...!" 

Dua buah sinar bagai kobaran api tiba-tiba

menyambar leher Martisi dan Kirmasi. Seketika 

kepala dua gadis ini menggelinding. Mati! 

Andika segera bangkit kaget. Tampak Rawangi 

sedang memandang dengan sinar mata dingin. 

"Kenapa kau membunuh mereka, Rawangi?" 

sentak Andika dengan kemarahan menggelegak. 

"Mereka tak pantas hidup, karena hanya mem-

bongkar seluruh rahasia yang kupendam." 

"Tetapi, aku ini calon suamimu. Mengapa aku tak 

diperbolehkan tahu, hah?!" Andika merasakan kalau 

kepalanya sudah berasap. Lama kelamaan dia 

memang tak tahan melihat sikap Rawangi. 

"Andika! Mulai saat ini, kau tak kuperkenankan 

membicarakan soal Basofrat!" 

"Persetan dengan semua itu!" 

Rawangi mendelik. 

"Apa katamu?" 

"Persetan dengan semua itu!" seru Andika. Bahkan 

lebih tandas dari yang pertama. 

Wajah Rawangi memerah. Tiba-tiba saja mulutnya 

mendesis. Seketika sesuatu yang aneh dirasakan 

Andika. Karena, tubuhnya mendadak saja bergetar 

hebat. 

"Gila! Ilmu apa yang diperlihatkannya kepadaku 

ini?" maki Pendekar Slebor sambil mengalirkan 

tenaga dalamnya. 

Dan semakin Andika mengalirkan tenaga dalam, 

getaran yang dirasakan semakin keras. Rasa panas 

pun mulai dirasakan. 

"Benar-benar sinting wanita ini! Bisa mampus aku!" 

"Berjanjilah, Andika.... Kau tak perlu lagi banyak 

bertanya soal Basofrat keparat itu!" ancam Rawangi. 

Untuk saat ini, Andika merasa lebih baik menurut 

saja. Memang masih banyak keanehan yang belum

bisa dipecahkan di Gerbang Neraka ini. Rasanya 

memang sangat menyulitkan. Keadaan semacam ini 

justru membuatnya terkadang tak mampu mengen-

dalikan amarah. 

Dan yang ada di hati Andika sekarang, bukan 

hanya penasaran tentang Bunga Neraka. Bahkan 

teka-teki yang ada di Gerbang Neraka ini. Sesuatu 

yang memang sangat sulit diterima akal. 

Rawangi mendesis kembali. Maka getaran hebat 

mengandung hawa panas yang menerpa Andika 

sesaat menghilang. 

"Kalau kau selalu begini terus, aku tak akan sudi 

menjadi suamimu!" ancam Andika mangkel. 

*** 

Manusia Jenggot Merah tersadar dari pingsannya. 

Tubuhnya terasa kosong tak bertenaga. Ketika 

penglihatannya membaik kembali, sekelilingnya 

tampak begitu pekat. Dan hawa panas terus meng-

getarkan hingga ke relung hatinya yang terdalam. 

Menyakitkan dan menyiksanya. 

"Bangsat! Siapa gadis cantik sialan itu?" maki 

lelaki ini. Seketika Manusia Jenggot Merah mengerah-

kan tenaga untuk meloloskan diri dari empat ikatan 

yang dirasakannya. Keringat mulai bercucuran di 

wajahnya ketika seluruh tenaganya dikerahkan. 

Namun ikatan di kedua tangan dan kakinya masih 

tetap kokoh. 

"Bangsat! Siapa pun gadis itu, aku tak peduli!" 

Tiba-tiba Manusia Jenggot Merah mengerahkan 

ajian 'Tutup Sukma'nya yang dahsyat. Hingga... 

Blammm...! 

Terdengar suara bagaikan dentuman keras. Batu

batu pualam yang menjadi tembok di ruangan 

langsung berguguran. Kini Manusia Jenggot Merah 

leluasa mengusap-usap kedua tangannya yang telah 

terbebas. 

"Hhh! Akan kuhancurkan gadis keparat itu!" 

Bergegas, Manusia Jenggot Merah melangkah. 

Namun mendadak saja dirasakannya satu goresan di 

tangan. Begitu perih. Dan ketika dipegang, tangannya 

basah. Bukan oleh air, melainkan darahnya sendiri. 

Murkalah Manusia Jenggot Merah. 

"Siapa pun kalian adanya, harus tunduk kepada-

ku!" bentak lelaki ini. Kembali manusia ini 

mengumbar ajian Tutup Sukma'nya yang dahsyat. 

Seketika, tempat itu bergetar disertai ledakan berkali-

kali. 

Rawangi yang masih berada di tempat Andika 

segera menoleh. Wajahnya begitu sengit. 

"Manusia Jenggot Merah!" 

Seketika tubuh gadis ini berkelebat cepat 

meninggalkan kamar. Andika sendiri segera menyusul 

dengan kecepatan tak kalah hebatnya. 

Pendekar Slebor memang tak tahu apa yang harus 

dilakukannya. Apalagi keadaan memang belum 

mengizinkan. Bahkan tentang Manusia Jenggot 

Merah saja belum diketahui, secara pasti. 

Baru saja Andika sampai, tampak tubuh Rawangi 

terpental deras ke belakang. Seketika Andika dengan 

sigap menangkap tubuh ramping itu. Ketika dipegang 

hawa panas luar biasa langsung menyengatnya. 

Sementara satu sosok tubuh dengan kegeraman 

memuncak telah berdiri di hadapan Andika. 

"Gadis siluman! Katakan, di mana Bunga Neraka 

itu berada!" bentak Manusia Jenggot Merah. 

Rawangi mengusap darah yang keluar dari

mulutnya. Dia terkejut sekali. Sungguh tak disangka 

kalau satu serangan aneh menghantamnya. 

Andika dalam jarak yang cukup dekat seperti ini, 

bisa melihat jelas sosok Manusia Jenggot Merah. 

Seingatnya, dia memang belum pernah berjumpa 

manusia satu ini. Dan yang agak mengherankan, 

mengapa Rawangi bisa terkena hanya sekali pukul? 

Rawangi melepaskan diri dari dekapan Andika. 

"Manusia busuk! Tempatmu bukan di sini! Tetapi, 

siapa pun yang memasuki Gerbang Neraka, maka 

akan mati!" 

Manusia Jenggot Merah tertawa keras. 

"Gadis siluman! Siluman atau bukan, kau harus 

melayaniku terlebih dahulu!" 

"Apakah kau dikirim oleh Basofrat, Keparat?" 

bentak Rawangi lagi. 

"Basofrat? Persetan dengan nama itu! Katakan, di 

mana Bunga Neraka? Kalau tidak, akan kuhancurkan 

seluruh isi bangunan ini!" ancam Manusia Jenggot 

Merah. 

Andika yang sejak tadi sudah berusaha bersabar, 

tak mampu lagi menahan sabarnya. Jelas sudah, 

Manusia Jenggot Merah bukanlah orang suruhan 

Penjaga Gerbang Neraka. 

Pendekar Slebor melangkah dua tindak. 

"Manusia Jenggot Merah! Tak ada gunanya 

berusaha mendapatkan Bunga Neraka. Karena, yang 

kau dapat nanti hanya bunga duka cita.... Bunga 

Kematian..., he he he...!" 

Manusia Jenggot Merah mendengus. Kedua 

tangannya terkepal. 

"Hhh! Rupanya kaulah yang dikirim Penjaga 

Gerbang Neraka! Masih bodoh dan muda! Sebutkan 

namamu!"

"Hhh.... Rupanya kau mengintili aku ke sini. Sudah 

pikun dan bau tanah...," balas Andika. "Asal kau tahu, 

namaku Andika...!" 

"Andika?" Manusia Jenggot Merah mengusap-usap 

jenggotnya. "Hhh! Rasanya aku pernah mendengar 

nama jelekmu itu!" 

"Manusia Jenggot Merah...? Rasanya aku belum 

pernah mendengar julukanmu, kecuali Manusia 

Jenggot Kambing...!" Andika terus memanasi. 

"Hmm.... Aku tahu sekarang, apakah kau yang 

dijuluki Pendekar Slebor?" 

"Kalau memang iya, kenapa?" tukas Andika. 

"Bangsat! Namamu memang sudah sampai di 

telingaku! Kalaupun kita bertemu di sini, bagus! 

Sebelum gadis itu kubunuh, kau dulu yang akan 

mampus, Sleborrr...!" 

"Buktikan, Kambing!" 

Saat itu juga ManUsia Jenggot Merah melabrak 

maju. Dia sudah menggedor dengan kekuatan tinggi 

dan kecepatan luar biasa. Tenaga sakti terangkum di 

tangannya. Andika yang menyadari hal itu, segera 

mengerahkan tenaga 'inti petir' tingkat ke tujuh. 

Maka pertarungan pun berlangsung sengit. 

*** 

Pertarungan Manusia Jenggot Merah dan Andika 

benar-benar kedot. Serang menyerang terjadi begitu 

cepat. Terkadang yang terlihat hanya kelebatan tubuh 

mereka. Dan sesekali terdengar suara berdentum 

keras. 

Suara-suara yang keras memancing keingintahuan 

anak buah Rawangi. Mereka terperangah melihat 

pertarungan aneh dan mengerikan. Namun mereka

segera berdiri di sisi Rawangi, siap melindungi sang 

jujungan bila terjadi apa-apa. 

Tetapi, Rawangi justru menyuruh mereka untuk 

keluar dari sana. Meskipun tak mengerti mengapa 

diperintahkan seperti itu, mereka pun keluar. Namun 

tetap berjaga-jaga bila memang diperintahkan. 

Andika berkali-kali mendengus karena hampir saja 

kepalanya copot dari leher ketika angin bak puting 

beliung menyambar dan kembali lagi ke arahnya 

dengan cepat. Belum lagi cahaya yang berpendar-

pendar, membuat penglihatannya terhalang beberapa 

kali. 

"Busyet! Jurus apa itu?" maki Pendekar Slebor 

sambil bersalto ke belakang terus menerus. 

Wajah Andika menjadi tegang menyadari betapa 

hebatnya serangan Manusia Jenggot Merah. Maka 

seketika langsung dipergunakannya ajian 'Guntur 

Selaksa'. Namun itu pun tak banyak gunanya. Bahkan 

lagi-lagi dia yang terpontang-panting. 

Rawangi yang melihat hal itu menggeram jengkel. 

Biar bagaimanapun juga, Andika tidak dikehendaki 

mati saat ini. Terus terang, dia memerlukan Andika 

untuk dijadikan suaminya. Dengan begitu, Bunga 

Neraka bisa dikuasai dengan segera. 

Maka Rawangi pun menyerbu Manusia Jenggot 

Merah. Sementara lelaki itu langsung menyambar 

dengan ajian 'Tutup Sukma'. 

"Katakan! Di mana Bunga Neraka itu berada?" 

dengus Manusia Jenggot Merah sambil terus 

melancarkan serangan. 

Sejenak dia gelagapan ketika menerima serangan 

Rawangi. Bahkan dalam hatinya mendengus, karena 

gerakan gadis itu membuat jantungnya mau copot! 

Bukannya menjawab, Rawangi terus menderu.

Gadis ini mencecar dengan serangan bahaya. Berkali-

kali terdengar ledakan dahsyat. Dalam dua jurus 

berikutnya, Manusia Jenggot Merah benar-benar ter-

desak. 

Dan mendadak saja, lelaki ini mengeluarkan 

gerengan setinggi langit. Tubuhnya langsung 

mencelat bagaikan menempel pada langit-langit. 

Duarrr! 

Tiba-tiba terdengar suara ledakan. Entah apa yang 

terjadi. Tapi tahu-tahu tubuh Manusia Jenggot Merah 

telah berada dalam keseimbangannya kembali, dan 

langsung meluruk pada Rawangi. Si gadis sejenak 

terperangah. Akibatnya.... Des! 

Tubuh Rawangi terlontar keras hingga menabrak 

dinding pualam. Tak ada luka berarti, meskipun 

dinding itu jebol terhantam tubuhnya. Dan dikawal 

gerengan keras disertai kemarahan tinggi, Rawangi 

menderu kembali. 

"Kau telah mencorengkan noda di Istana Gerbang 

Neraka, Manusia Laknat! Dan kau akan terkubur di 

sini!" sentak gadis itu. 

Sementara dalam hati, Rawangi masih terheran-

heran bagaimana Manusia Jenggot Merah bisa 

meloloskan diri dari 'Ikatan Sutera Neraka'. 

Si lelaki berjenggot merah berdiri lagi dengan 

tatapan nyalang. Dan mendadak seketika terlihat 

asap berwarna hitam keluar dari sana. Lalu.... 

Blammm...! 

Serangan aneh mengandung kekuatan maha 

dahsyat itu berbenturan lagi dengan serangan 

Rawangi. Kali ini, tempat itu bagaikan dilanda gempa. 

Tubuh Manusia Jenggot Merah terpental keras. 

Sementara Rawangi berdiri dengan tubuh bergetar. 

"Tak kusangka! Ternyata gadis ini berilmu begitu

tinggi. Menghadapi Pendekar Slebor saja, aku sudah 

harus tunggang langgang. Tetapi biar bagaimanapun 

juga, aku harus mendapatkan Bunga Neraka!" tandas 

Manusia Jenggot Merah. 

Manusia Jenggot Merah berdiri lagi. Sempoyongan, 

sebelum mendapat keseimbangannya kembali. Dan 

kini kedua tangannya terlihat memancarkan sinar 

berwarna biru. 

"Hhh! Mampuslah kau, Rawangi!" 

Andika yang menyadari kalau itu adalah jurus 

sangat berbahaya, segera mendorong tubuh Rawangi 

yang masih berdiri dengan tubuh bergetar. Dan 

Pendekar Slebor sendiri berdiri berhadapan dengan 

Manusia Jenggot Merah. 

"Pendekar Slebor! Seharusnya kita bahu membahu 

untuk menghancurkan Istana Gerbang Neraka ini, 

dan merebut Bunga Neraka! Rupanya, kau sudah 

diperbudak gadis jelita itu!" dengus Manusia Jenggot 

Merah. 

"Apa tidak salah? Kaulah yang sudah diperbudak 

nafsu iblismu, Manusia Jenggot Merah! Sayang, aku 

tak mungkin bisa bekerja sama denganmu. Tapi 

sebaiknya, katakan bagaimana kau bisa masuk ke 

Gerbang Neraka ini?!" tukas Pendekar Slebor sambil 

memikirkan bagaimana cara untuk menjatuhkan 

Manusia Jenggot Merah. 

"Sudah tentu dengan cara sama seperti yang kau 

lakukan, Pendekar Slebor!" 

Andika terperangah. Kalau begitu, apakah 

Manusia Jenggot Merah memanfaatkan keadaan saat 

dirinya dikirim melalui alam pikiran oleh Penjaga 

Gerbang Neraka? Keparat! Bagaimana keadaan 

Penjaga Gerbang Neraka saat ini? 

"Dasar culas! Kau mengambil kesempatan di

dalam kesempitan rupanya, ya?" 

"Kelicikan bukan hanya ada di alam kita saja, 

Andika! Di alam aneh yang panas ini pun telah 

terkuak pula. Kalau kau masih menghalangiku untuk 

membunuh gadis itu, maka tak ada jalan lain selain 

melihat mayatmu terkapar!" 

Andika mencibir. 

"Omonganmu boleh juga!" 

Tubuh Manusia Jenggot Merah bergetar karena 

menahan marah. Lalu, tubuhnya pun melesat dengan 

kedua tangan merah. 

"Heaaa...!" 

Dibarengi teriakan keras Andika yang memang 

sudah memperhitungkan segera melesat pula. 

Dua sosok tubuh melesat saling berlawanan 

dengan kecepatan tinggi. Dua tenaga aneh dan sakti 

telah terangkum di tangan. Rawangi diam-diam 

menahan napas. Dia cukup terkejut melihat jurus-

jurus aneh dan hebat yang dimiliki orang-orang yang 

berlainan alam dengannya. 

***

10


Bummm...! 

Dua kekuatan dahsyat pun bertemu. Terdengar 

suara ledakan begitu keras. 

Tempat ini benar-benar bergoyang. Tubuh 

Pendekar Slebor terpental deras ke belakang, meng-

hantam dinding pualam. Dari mulut dan hidungnya 

mengeluarkan darah. Tulang di seluruh tubuhnya 

bagaikan patah. Sementara Manusia Jenggot Merah 

hanya bergulingan sesaat sebelum berdiri kembali. 

Lelaki tua ini benar-benar kaget menyadari 

kehebatan Pendekar Slebor yang mampu menahan 

ajian 'Penebus Sukma'. Nyatanya, nama besar 

Pendekar Slebor yang selama ini didengarnya 

memang bukan omong kosong belaka. 

Sedangkan Andika segera bangkit terhuyung. 

Kalau saja tak menggunakan ajian 'Singkir Geni' 

sudah tentu tubuhnya akan hancur lumat. 

Ajian 'Singkir Geni' dipelajari Andika dari Eyang 

Sasongko Murti, seorang murid yang membelot dari 

gurunya dari bangsa siluman. Jadi, jurus ajian 'Singkir 

Geni' memang jurus bangsa siluman (Silakan baca 

serial Pendekar Slebor: "Siluman Hutan Waringin"). 

Memang, menurut Andika sangat sulit menghajar 

Manusia Jenggot Merah bila tidak mempergunakan 

ajian bangsa siluman. 

Rawangi sendiri diam-diam kembali menahan 

napas. Sungguh suatu bentrokan yang sangat 

dahsyat tadi. Namun dalam hatinya, melihat 

kesungguhan bertarung Andika sudah tentu kalau si

pemuda memang tidak mengenal Manusia Jenggot 

Merah. 

Kesempatan itu pun dipergunakan Rawangi untuk 

melesat maju, menyerang Manusia Jenggot Merah 

yang masih setengah terhuyung. 

"Kau harus mati dan menjadi penghuni 'Neraka 

Lembah Abadi'!" bentak Rawangi. 

Namun.... 

Plashhh...! 

Mendadak saja tubuh Manusia Jenggot Merah 

telah lenyap dari pandangan, bagaikan hilang ditelan 

perut bumi. Rawangi sampai celingukan sejenak. 

Namun tiba-tiba saja Rawangi berjumpalitan sambil 

mendorong tubuh Andika. Seketika tubuh Pendekar 

Slebor terguling dengan kening berkerut. Dan.... 

Duaaarrr...! 

Satu pukulan keras mengenai dinding batu pualam 

hingga hancur. Menyusul, suara tawa keras. 

"Kalian saat ini masih kuampuni! Hhh! Aku akan 

mencari Bunga Neraka dulu. Dan kau, Pendekar 

Slebor! Kuucapkan selamat menikah!" 

Lalu tawa yang menggema keras itu semakin lama 

semakin menghilang. Andika menekan rasa sakit di 

dadanya. Dia mengerti sekarang, mengapa Rawangi 

mendorongnya. 

Rupanya, apa yang dialami Pendekar Slebor di 

Gerbang Neraka ini memang benar-benar aneh. 

Banyak sekali masalah yang belum terpecahkan. 

Termasuk, masalah Rawangi dan seisi Gerbang 

Neraka ini. Juga, bagaimana cara mendapatkan 

Bunga Neraka. 

Dan sekarang, masalah lain sudah timbul dari 

Manusia Jenggot Merah yang bisa membokong 

dengan mudahnya. Gila! Ilmu manusia satu itu

memang sangat tinggi. Andika yakin, kalau tidak ada 

Rawangi, bisa-bisa sudah jadi mayat terpendam di 

Istana Gerbang Neraka. 

"Rawangi.... Kita harus cepat mendapatkan Bunga 

Neraka, sebelum didahului Manusia Jenggot Merah!" 

pinta Andika setelah memikirkan bagaimana caranya 

menjatuhkan Manusia Jenggot Merah. Terutama, 

hatinya sangat khawatir bila Bunga Neraka berhasil 

didapatkan manusia telengas itu. 

Rawangi menoleh sengit. 

"Jangan memanfaatkan kesempatan, Andika!" 

Busyet! Dia masih bersikap bermusuhan dengan 

Andika! 

"Bukan begitu maksudku! Tetapi, bila saja kita 

terlambat mendapatkan Bunga Neraka, keadaan 

akan menjadi kacau balau!" kilah Andika, tegas. 

"Bila kau memang ingin cepat mendapatkan Bunga 

Neraka kita harus menikah segera!" sentak Rawangi, 

mangkel. 

*** 

Andika terdiam dengan kepala pusing tujuh 

keliling. Keadaan semacam ini memang tak pernah 

disadari sebelumnya. Menurut dugaannya, Bunga 

Neraka akan mudah didapatkannya. Tetapi 

sekarang? Justru dia menjadi terikat! 

"Kalau kau tak mau mengatakan bagaimana cara 

mengambil Bunga Neraka, aku tak akan pernah mau 

menikah denganmu!" ancam Andika. 

"Kau mengancamku?" 

"Tergantung kau mengartikannya," balas Andika 

seperti yang pernah dikatakan Rawangi tempo hari 

"Aku mengartikannya kau mengancamku, Andika." 

"Itulah keadaan yang sesungguhnya," desis Andika

sambil melangkah setengah terhuyung ke kamarnya. 

Kini Pendekar Slebor harus memainkan peranan-

nya. Kalau waktu itu Rawangi yang mengancamnya 

untuk segera menikahinya, sekarang dia yang harus 

memanfaatkan kesempatan. Jelas, tujuannya untuk 

mengambil Bunga Neraka. 

Andika pun ingin tahu, ada rencana apa di balik 

semua ini sebenarnya? Mengapa Rawangi meng-

hendaki menjadi suaminya? Pasti ada sesuatu yang 

dicari gadis itu. Dan soal Bunga Neraka, Andika 

merasakan lama kelamaan kepalanya menjadi pusing 

tak karuan. Pusing yang benar-benar membuatnya 

jengkel. 

Ketika sampai di kamarnya Andika bergidik. 

"Hiii! Kalau aku menikah dengannya, bisa gawat! 

Umurku dua puluh satu tahun. Sedangkan dia? Tujuh 

puluh tujuh tahun! Ampun.... Memang dia cantik 

dan...., montok. Tetapi tujuh puluh tujuh tahun? Wah! 

Masa aku nikah sama nenek-nenek?" 

Lalu Andika membuka pakaiannya. Diperiksanya 

luka yang dideritanya akibat serangan Manusia 

Jenggot Merah. Segera diambilnya sikap bersemadi. 

Selain untuk menyembuhkan luka yang dideritanya, 

juga berusaha mengosongkan diri agar tidak terlalu 

tegang. 

*** 

Di tempat semula, Rawangi masih berdiri. Kakinya 

menghentak-hentak jengkel. Rupanya, pemuda ber-

juluk Pendekar Slebor bukanlah orang yang memiliki 

otak kosong. Begitu cerdik dengan ilmu tinggi. 

Di satu segi, Rawangi memang tak ingin 

kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Bunga

Neraka. Bila menikah dengan Andika, maka seluruh-

nya akan menjadi miliknya. Kekuatan maha dahsyat 

juga akan dimilikinya! 

Belum lagi tuntas masalah Basofrat yang 

melingkar-lingkar di benaknya, kini Manusia Jenggot 

Merah yang melakukan sepak terjang mengerikan. 

Hhh! Siapakah yang mengirim mereka sebenarnya? 

Lalu tadi, wanita ini mendengar nama Penjaga 

Gerbang Neraka? Siapa pula manusia keparat itu? 

Apakah dia Basofrat? 

Rawangi mendengus jengkel. Apalagi mengingat 

Andika sudah mengeluarkan pernyataannya yang 

mematikan. Bila ingin menikahinya, maka Rawangi 

harus rnemberitahukan bagaimana cara mengambil 

Bunga Neraka. Selama belum menikah dengan 

pemuda dari alam yang berlainan dengannya, 

Rawangi memang tidak akan pernah bisa mengambil 

Bunga Neraka. Meskipun dia tahu bagaimana cara 

mengambilnya. Inilah yang memusingkan. 

Bila hal itu diberitahukan, apakah pemuda itu bisa 

memenuhi janjinya? Ataukah, akan mengambilnya 

sendiri dan memanfaatkannya? 

Rawangi benar-benar pusing tujuh keliling. Tak 

tahu, keputusan apa yang harus diambil sekarang ini. 

Karena, keadaan memang benar-benar tak mampu 

dikendalikan lagi! 

Apalagi ketika tiga orang anak buahnya datang 

dengan tergopoh-gopoh. 

"Ada apa?" tegurnya, jengkel. 

"Maafkan kami,Tuan Putri.... Kami melihat seorang 

lelaki tua telah datang ke Gerbang Neraka. Dan 

sekarang, sedang menghancurkan dinding peng-

halang." 

Rawangi menghentakkan kakinya.

"Siapa pula manusia itu?" tanyanya, makin jengkel. 

"Mengapa begitu mudahnya orang-orang di alam yang 

berlainan masuk ke Gerbang Neraka?!" 

Seketika, gadis penguasa Istana Gerbang Neraka 

berlari menuju ruang kaca. Dia ingin melihat orang 

yang dikatakan anak buahnya melalui bola kaca. Kini 

terlihat orang itu mengenakan pakaian berwarna 

putih dengan sorban berwarna hitam di kepala. Di 

tangannya terdapat sebuah tongkat berwarna putih 

pula. Anehnya, meskipun mengenakan sorban di 

kepalanya, rambutnya yang berwarna keemasan 

menjurai teratur. Dan orang itu sedang menggeleng-

gelengkan kepala setelah menghancurkan dinding 

gaib yang pecah berantakan, tetapi tak pernah 

terlihat wujudnya. 

Rawangi menggeram murka. 

"Siapa lagi manusia keparat itu! Hhh! Aku yakin 

sekarang, Basofrat yang telah melakukan semua ini! 

Dia sengaja menunjukkan jalan, sekaligus mengirim-

kan orang-orang ini masuk ke Gerbang Neraka untuk 

mengambil Bunga Neraka. Ini memang tak bisa 

dibiarkan! Manusia-manusia itu memang harus 

mampus! Juga, Pendekar Slebor yang telah men-

jengkelkan aku sekarang! Baik! Aku akan 

mengatakan padanya, bagaimana cara mengambil 

Bunga Neraka agar mau menikahiku. Setelah itu, 

nyawanya akan kucabut!" 

Lelaki yang dilihat Rawangi yang sedang 

melangkah kembali tanpa keringat setetes pun tak 

lain dari Penghulu Segala Ilmu. Bagaimana caranya 

dia bisa masuk ke Gerbang Neraka? 

***

Setelah bertanya apakah tak ada jalan lain untuk 

masuk ke Gerbang Neraka, Penjaga Gerbang Neraka 

menceritakan satu jalan lain yang sangat aneh. Bila 

saja ada orang yang mampu melepaskan sukmanya 

dari raga, maka akan mampu menembus pintu 

masuk Gerbang Neraka. 

Penghulu Segala Ilmu termangu ketika mendengar 

jawaban itu. 

"Karena penasaran ingin tahu apa yang terjadi di 

Gerbang Neraka, maka aku akan segera berangkat 

sekarang juga. Lagi pula, aku membutuhkan 

Pendekar Slebor. Kecerdikan otaknya kubutuhkan 

dalam memecahkan persoalan." 

Penjaga Gerbang Neraka mengangkat bahunya 

terperangah. 

"Kau? Menuju Gerbang Neraka?" 

Penghulu Segala Ilmu tersenyum. 

"Kebetulan, aku mampu melakukan apa yang kau 

katakan tadi, Penjaga Gerbang Neraka. Tetapi 

kuminta, kau harus menjaga jasadku agar tak 

diganggu orang-orang busuk." 

"Tetapi...." 

"Inilah jalan yang terbaik bagi kita untuk menyusul 

Pendekar Slebor. Aku juga tidak ingin dia mampus di 

sana, sebelum membantuku," jelas Penghulu Segala 

Ilmu, memotong. 

Tahu-tahu lelaki bersorban itu duduk dengan sikap 

bersemadi. Sementara Penjaga Gerbang Neraka 

hanya memperhatikannya dengan tegang. 

"Aku sudah siap, Penjaga Gerbang Neraka." 

Penjaga Gerbang Neraka menoleh dan kembali 

terbelalak. Tampak Penghulu Segala Ilmu telah berdiri 

di samping kanannya. Sementara, matanya tetap

melihat sosok Penghulu Segala Ilmu sedang duduk 

bersemadi. 

Sadarlah Prana Bantoro sekarang kalau Penghulu 

Segala Ilmu membuktikan apa yang dikatakannya. 

Setelah membicarakan beberapa soal, segera dikirim-

nya Penghulu Segala Ilmu ke Gerbang Neraka. Dan 

tak lupa, diberitahukannya, bagaimana cara keluar 

dari Gerbang Neraka. 

Dan yang dilihat Rawangi sekarang ini melalui bola 

kacanya adalah roh Penghulu Segala Ilmu. Sementara 

jasadnya tetap berada dalam sikap bersemadi di 

alam Sana, dijagai Penjaga Gerbang Neraka. 

***

11


Andika tersenyum dalam hati ketika Rawangi 

mengatakan setuju atas permintaannya. 

"Aha!" Pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu 

melompat bangkit. Dirangkulnya Rawangi yang 

seketika memerah wajahnya. "Memang begitu kalau 

hendak menjadi istri yang baik. Permintaan suaminya 

segera dituruti." 

Rawangi hanya mengangguk saja. Bagi Andika, hal 

ini memang lebih menguntungkan lagi. Karena, 

dikhawatirkan Manusia Jenggot Merah akan segera 

menemukan Bunga Neraka. 

"Ikuti aku, Andika," ujar Rawangi pelan. "Tetapi 

kuminta kau tetap memenuhi janjimu." 

Andika nyengir. "Bereslah soal itu! Nikah apa 

susahnya, sih?" 

"Kita ke sana," tunjuk Rawangi sambil mendahului. 

Pendekar Slebor hanya mengiyakan, dan meng-

ikuti langkah Rawangi. Meskipun demikian, sikapnya 

tetap waspada. 

Pendekar Slebor dibawa ke sebuah tempat yang 

benar-benar menakjubkan. Sekelilingnya bagaikan 

tanah lapang belaka. Hanya bedanya, dikungkung 

bangunan yang cukup besar. Di tengah-tengah 

ruangan itu, Rawangi berdiri. 

"Pegang tanganku." 

Sambil mesem-mesem Andika memegang tangan 

itu. Uhh.... Halusnya! Lalu, dilihatnya Rawangi 

menggedukkan kakinya lima kali ke tanah yang 

dipijaknya. Seketika itu juga bagaikan ada tenaga

sentakan sangat kuat, tubuh keduanya tertarik ke 

bawah. 

"Wooo!" seru Andjka, lebih erat lagi memegang 

lengan Rawangi. Rambutnya yang gondrong diper-

mainkan tarikan angin yang sangat kuat ke bawah. 

"Jangan kau lepaskan tanganku, Andika! Karena, 

sebentar lagi kita akan memasuki sebuah pusaran 

angin maha dahsyat!" 

Hati Andika jadi kebat-kebit mendengarnya. Edan! 

Rupanya tak semudah yang diperkirakan sebelumnya. 

Tangannya pun lebih erat menggenggam tangan 

Rawangi. 

Seperti yang dikatakan gadis itu, tiba-tiba saja 

muncul angin melingkar yang besar sekali. Andika 

merasakan wajahnya bagaikan ditampar tangan-

tangan kasar dan kuat sekali. Tangannya semakin 

erat menggenggam. Dia berseru-seru keras ketika 

tubuhnya hampir-hampir terlempar. 

Hanya yang mengherankan, Rawangi tetap ber-

sikap biasa saja. Begitu tenang! Bahkan tubuhnya 

seakan tak terkena pengaruh pusaran angin yang 

maha dahsyat. 

Cukup lama juga Andika merasa terombang-

ombang di dalam pusaran angin hebat itu. Hingga 

akhirnya, tubuhnya terasa terlempar lebih dalam lagi. 

Sekelilingnya terasa gelap gulita, ketika kedua 

kakinya merasa memijak landasan. 

"Tetap jangan kau lepaskan tanganmu. Ikuti aku," 

perintah Rawangi mendesir dalam kegelapan. 

Gadis itu melangkah perlahan-lahan. Andika 

berusaha memicingkan matanya, melihat apa yang 

ada disekelilingnya. Namun tak tampak olehnya 

sesuatu apa pun. 

Hingga setelah melangkah dalam kegelapan, dari

kejauhan Andika melihat cahaya terang yang semakin 

lama semakin terang. Juga, dirasakannya hawa 

panas, yang menyengat hingga seluruh kulitnya. 

Rawangi berhenti melangkah. Tahu-tahu diusapnya 

kening Andika dengan lembut. Belum sempat si 

pemuda menyadari apa yang dilakukan Rawangi, 

dirasakannya hawa panas menyengat itu lenyap 

seketika. Dan yang ada di hadapannya adalah lautan 

api yang luas membentang! 

"Di sinilah Bunga Neraka berada, Andika...," tunjuk 

Rawangi. 

Andika memandang takjub sekelilingnya. Semakin 

banyak rahasia di Gerbang Neraka dan seisinya ini, 

semakin memusingkan kepalanya. 

"Seperti yang kulihat dalam bola kaca itu," 

desisnya dalam hati. "Tetapi, bagaimana caranya 

melewati lautan api ini?" 

"Andika.... Aku sudah memberitahu di mana letak 

Bunga Neraka." 

"Kau belum memberitahu, bagaimana cara meng-

ambilnya," sambar Andika, ketika melihat sebuah 

bunga yang besar di tengah-tengah lautan api itu. 

"Nikahi aku. Maka kau segera mendapatkan 

jawabannya." 

"Bukankah aku sudah berjanji soal itu? Nah! 

Beritahu aku, bagaimana caranya mengambil Bunga 

Neraka." 

Rawangi menatapnya. Lekat. Diam-diam dia 

merasakan sesuatu yang semakin asing di dadanya. 

Kalau sebelumnya ingin Andika menikahinya hanya 

untuk mendapatkan Bunga Neraka, tetapi sekarang 

sesuatu yang yang ganjil semakin meresap hingga ke 

relung hatinya yang entah di sisi sebelah mana. 

"Kita kembali, Andika," ajak Rawangi, meng

herankan. 

Andika tahu akan kekerasan hati Rawangi. 

"Beritahu aku bagaimana cara mengambil Bunga 

Neraka itu, Rawangi," ujar Pendekar Slebor, setengah 

memaksa. 

Kekerasan hati gadis itu pun melemah. Biar 

bagaimanapun, juga perasaan aneh di hatinya 

semakin membesar. 

"Lautan api ini akan membakar siapa saja yang 

menginginkan Bunga Neraka. Tetapi bila tahu 

bagaimana caranya mengambil bunga itu, maka 

lautan api ini tak akan terasa panas. Andika.... 

Benarkah kau akan menikahiku setelah ini?" tanya 

Rawangi, setengah memaksa pula. 

"Kita lihat saja nanti." 

"Baiklah. Pertama..., kau injaklah api yang berada 

paling ujung. Ingat, tahan napasmu. Setelah itu, 

pergunakan ilmu meringankan tubuh untuk melang-

kah. Dan setiap kali melangkah, kau harus bernapas. 

Tetapi bila berhenti, harus menahan napas." 

"Semudah itukah?" tanya Andika, cerah. 

Rawangi menggeleng, membuat Andika kusut 

kembali. 

"Tidak. Untuk memetik Bunga Neraka, kau harus 

mempergunakan gigimu. Bila sebelum berhasil 

memetik Bunga Neraka, dan terkena salah satu 

bagian kulit tubuhmu, misalnya bibirmu, maka tanpa 

ampun lagi justru kau yang akan tersedot bunga itu," 

papar Rawangi. 

"Berbahaya." 

"Masih ada lagi bahaya yang akan mengancammu. 

Bila kau berhasil memetik bunga itu, harus segera 

meninggalkan tempat ini. Karena, lautan api yang 

akan segera menggulung tubuhmu dan membakar

hangus!" 

Andika menggeleng-geleng. 

"Luar biasa!" 

"Itulah Bunga Neraka. Sekarang kita kembali, 

Andika. Nikahi aku segera." 

"Tetapi...." 

Rawangi menatap dingin. "Kau sudah berjanji 

padaku, Andika. Ingat! Kau hanya meminta, bagai-

mana caranya memetik Bunga Neraka. Bukannya 

akan memetik. Ingat itu!" 

Andika menggaruk-garuk kepalanya. Mati kutu dia 

"Bisa berabe!" desisnya. Pendekar Slebor memikirkan 

bagaimana caranya melepaskan diri dari Rawangi 

"Baiklah.... Kita akan segera melangsungkan per-

nikahan." 

Andika melihat bibir Rawangi tersenyum. Seperti 

anak kecil yang diberi gula-gula, desis Pendekar 

Slebor dalam hati. 

*** 

Tetapi, benarkah keadaan saat ini aman? Ternyata 

tidak. Manusia Jenggot Merah yang telah lenyap dari 

pandangan, rupanya berhasil masuk pula ke dalam 

tempat rahasia Bunga Neraka berada. 

Dengan wujud tak terlihat, lelaki licik itu berhasil 

mengikuti Rawangi dan Andika menuju tempat ini. 

Dan setelah keduanya kembali lagi ke Istana Gerbang 

Neraka, Manusia Jenggot Merah masih berada di 

sana. 

Sosok lelaki itu kini telah muncul dan terbahak-

bahak keras. Dengan menggunakan seluruh ajiannya, 

panasnya lautan api itu berhasil dilumpuhkan. 

"Kini tiba saatnya bagiku untuk memiliki Bunga

Neraka. Tak seorang pun yang bisa menghalangiku 

lagi!" 

Dan seperti yang dikatakan Rawangi tadi, Manusia 

Jenggot Merah menginjak ujung lautan api sambil 

menahan napas. Hanya beberapa langkah saja, dia 

kini sudah tiba di dekat Bunga Neraka. 

Pandangannya semakin liar dan berbinar-binar 

melihat Bunga Neraka. Lalu perlahan-lahan dipetik-

nya bunga itu dengan gigi sambil siap melompat bila 

telah berhasil mendapatkannya. 

Tas! 

Bunga Neraka pun patah. Seketika, lautan api 

bergulung deras ke arah Manusia Jenggot Merah. 

Namun secepat kilat lelaki ini melompat ke tempat 

semula. 

Sesaat mengejutkannya! Lautan api itu justru terus 

mengejar Manusia Jenggot Merah. 

"Bangsat!" maki lelaki licik ini kalang-kabut sambil 

bersalto kembali. Bunga Neraka sekarang berada di 

tangannya. Dan dia berusaha meloloskan diri. 

Lautan api yang mengeluarkan suara bagai air bah 

tumpah, terus mengejar cepat. Manusia Jenggot 

Merah memaki-maki sendiri ketika tak berhasil 

menemukan jalan keluar dari tempat itu. Ujung 

bajunya yang telah compang-camping akibat 

benturan tenaga sakti dengan Pendekar Slebor, 

terbakar habis. Begitu pula ujung celananya! 

"Keparat! Bagaimana aku harus keluar dari 

lingkungan api sialan ini!" 

Manusia Jenggot Merah terus berusaha mencari 

jalan keluar dari sana. Sementara lautan api itu 

semakin memburu, membentuk bagaikan gelombang 

lautan yang sangat keras. 

Di Istana Gerbang Neraka, Rawangi yang sudah

duduk bersanding dengan Andika tersentak. Dia ber-

diri dengan wajah tegang. 

"Bunga Neraka!" desisnya, seraya berkelebat. 

Kening Andika sejenak berkerut, tetapi segera 

menyusul Rawangi. Biar bagaimanapun juga, per-

nikahan itu bisa dibatalkan. 

Sedangkan saat ini anak buah Rawangi yang 

hendak menjadi saksi atas pernikahan menjadi ribut. 

Serentak beberapa orang mengikuti ke mana arah 

Rawangi pergi. Dan sebagian yang lain masih berada 

di sana dengan bersiaga. 

***


12


Seperti yang dilakukannya tadi, Rawangi meng-

gedukkan kakinya ke tanah. Lalu, tubuhnya tersedot 

ke bawah. Bersamaan dengan itu, Andika bagaikan 

seorang penerjun menyambar tangan Rawangi. 

"Kau tidak usah ikut!" sentak Rawangi. 

"Aku ingin tahu apa yang terjadi di sana!" Andika 

bersikeras. 

"Ada yang mengambil Bunga Neraka! Hhh! 

Rupanya Basofrat sudah berada di sini!" 

Lagi-lagi Basofrat! Rutuk Andika dalam hati. 

Siapakah dia? Dan hal ini semakin membuatnya 

penasaran. 

Ketika mereka tiba di sana, lautan api semakin 

membentang membentuk gelombang kuat. Andika 

melihat sosok Manusia Jenggot Merah sedang 

pontang-panting menghindari serbuan lautan api. Dan 

di tangannya, terdapat Bunga Neraka. 

"Manusia hina itu lagi!" teriak Rawangi, keras. 

Tubuhnya pun menderu ke arah Manusia Jenggot 

Merah. 

Desss! 

Tendangan kuat menimpa dada Manusia Jenggot 

Merah. Sementara Andika dengan tangkas menen-

dang manusia licik itu yang sedang meluncur di atas 

api yang menderu pula ke arahnya. 

Desss...! 

Tubuh Manusia Jenggot Merah tak ubahnya bola. 

Begitu terpental, segera disambar lagi oleh Rawangi. 

"Katupkan kedua kakimu menjadi satu, Andika!

Tahan napasmu sekuat mungkin!" perintah Rawangi 

terus menghajar Manusia Jenggot Merah. 

Andika mengikuti apa yang dikatakan Rawangi. 

Dan benar saja, karena lautan api itu seolah hanya 

melingkari saja tanpa membakar tubuhnya. 

"Busyet! Berapa lama aku harus menahan napas 

begini?" rutuk Andika. 

Manusia Jenggot Merah mendengar pula apa yang 

dikatakan Rawangi pada Andika. Tetapi, gadis itu tak 

memberinya kesempatan untuk melakukannya. 

Rawangi terus menyerang. Dan manusia satu ini tak 

bisa menghindari lagi serangannya. Kalaupun ingin 

membalas, sebelum dilakukan sambaran api sudah 

menderu ke arahnya. 

Manusia Jenggot Merah kalang kabut, karena 

harus menghindari dua serangan maut sekaligus. 

Bukan serangan dari Rawangi yang membuatnya jeri, 

karena masih mampu menahan setiap serangan. 

Tetapi, sambaran lautan api yang membentuk 

gelombang dan semburan tinggi itu yang mem-

bingungkannya! 

Sementara itu, wajah Andika sudah memerah 

karena terlalu lama menahan napasnya. Matanya 

sudah mendelik, karena merasa tak akan mampu 

menahan lebih lama lagi. Keadaannya sudah payah 

sekarang. Bisa mampus tubuhnya dimakan api yang 

berkobar-kobar. Namun tiba-tiba.... 

Desss...! 

Pendekar Slebor merasakan satu tenaga keras 

menghantamnya, hingga terlontar ke atas. Wusss! 

Tubuh si anak muda ini bagaikan luncuran anak 

panah. Dan dia terlontar kembali ke tempat masuk-

nya tadi. 

Andika mendesah.

"Gila! Aku harus kembali ke sana! Meskipun aku 

tak tahu apakah Rawangi berpihak kepadaku atau 

justru memusuhiku, aku harus tetap membantunya!" 

tandas si anak muda sambil menarik napas dalam-

dalam. 

Dengan mengempos tubuhnya, Andika berusaha 

masuk kembali ke dalam. Tampak, bagaimana 

Rawangi berusaha keras mendesak Manusia Jenggot 

Merah. Sementara lautan api berkobar sangat panas 

luar biasa. Inikah neraka yang sesungguhnya? 

Andika melenting pula untuk mendesak Manusia 

Jenggot Merah yang semakin kewalahan. 

"Minggir kau, Andika! Manusia itu bagianku!" 

bentak Rawangi. 

Andika jelas sekali melihat Rawangi akan segera 

menyudahi Manusia Jenggot Merah. Karena selain 

harus menghindari kobaran api yang besar, manusia 

licik itu pontang-panting menerima serbuan-serbuan 

dahsyat Rawangi. 

"Andika! Sambar Bunga Neraka!" perintah Rawangi 

sambil mengirimkan satu tendangan keras ke tubuh 

Manusia Jenggot Merah. 

Diegkh...! 

Tulang iga Manusia Jenggot Merah patah. Dan 

tubuhnya meluncur ke belakang. Sementara Andika 

dengan cepat menyambar Bunga Neraka. 

"Tinggalkan tempat ini! Cepaaat...!!" teriak Rawangi 

lagi, setelah memastikan Andika berhasil menyambar 

bunga itu. 

Andika melirik sekilas pada Rawangi. Gadis itu 

tengah menendang Manusia Jenggot Merah yang 

sudah tak mampu melawan. 

Desss...! 

"Aaa...!"

Tubuh lelaki itu meluncur deras ke lautan api, 

tertelan dan terbakar. Jeritannya begitu keras, 

merobek udara! 

Rawangi yang melihat keadaan sudah sangat 

berbahaya, mengempos tubuhnya. 

Plasss...! 

Tepat ketika Rawangi menghilang, lautan api 

menelan seluruh tempat Bunga Neraka berada. 

*** 

"Rawangi!" panggil Andika begitu gadis itu muncul. 

Wajahnya nampak begitu lelah, tetapi tetap 

tersenyum. 

"Kita harus segera melangsungkan pernikahan, 

Andika," todong gadis itu. 

Sesaat Andika terdiam. Hatinya memang gembira 

melihat Rawangi muncul kembali. Namun, per-

mintaan itu? Sebelum Andika sempat berpikir dan 

menjawab.... 

"Pernikahanmu dengan pemuda itu bukanlah jalan 

keluar yang baik, untuk memiliki Bunga Neraka, 

Rawangi." 

Terdengar suara bernada teguran. Rawangi 

menoleh. 

"Basofrat!" seru gadis itu. 

Andika terperangah, mengikuti pandangan 

Rawangi ke satu tempat. Namun, dia tak melihat 

siapa-siapa di sana, kecuali mereka berdua dan 

beberapa orang anak buah Rawangi. 

"Pengkhianat! Karena ulahmu tempat ini menjadi 

berantakan!" 

Andika melihat Rawangi membentak sambil 

menuding. Entah tertuju pada siapa.

"Tidak, Rawangi. Itu adalah hukum yang berlaku di 

alam kita. Untuk memulihkan kesenjangan yang ter-

jadi di sini, aku memang harus memberitahukan 

seseorang di alam sana, untuk mendapatkan Bunga 

Neraka. Dan yang terpilih, adalah pemuda gagah di 

sebelahmu, Rawangi." 

Orang yang dimaksud justru sedang menggaruk-

garuk kepalanya bingung. Memang, saat ini Andika 

tak bisa menembus satu ilmu aneh yang terdapat di 

alam Gerbang Neraka. Beberapa anak buah Rawangi 

sendiri tak bisa melihat Basofrat saat ini. Terkecuali, 

Rawangi sendiri. 

"Persetan dengan semua ucapanmu! Pengkhianat 

harus mampus!" dengus Rawangi. 

"Tahan, Rawangi.... Bukankah lebih baik kita buang 

saja Bunga Neraka"? Coba kau pikirkan.... Aku sendiri 

tak menghendaki Bunga Neraka. Meskipun kau 

menghendakinya, tapi harus menikah dulu dengan 

pemuda itu. Inilah yang sulit, Rawangi. Apakah, kau 

lupa, kalau bangsa kita menikah dengan bangsa dari 

alam berlainan, maka dalam beberapa purnama saja 

kita akan mati? Rawangi.... Menikah dengan pemuda 

itu hanyalah bunuh diri. Kau masih muda. Kau sangat 

dihargai penduduk di Gerbang Neraka ini. Kau bisa 

menjadi pimpinan mereka, Rawangi. Di samping itu, 

keadaan semacam ini telah lama kita rindukan, 

bukan? Kita kembali berdampingan dengan damai, 

tanpa dapat pengkhianatan di antara kita," bujuk 

suara yang masih kasat mata. 

"Kau sudah berkhianat!" 

"Tidak! Apa yang kulakukan ini adalah satu 

kebenaran. Kita memang harus berkorban, untuk 

mencari damai. Apalagi, hukum di alam kita sangat 

keras. Berlainan dengan hukum di alam lainnya. Kau

seharusnya mengerti, Rawangi. Ingat! Bunga Neraka 

biarlah menjadi satu kenangan. Bahkan, kalau tidak 

mau membuangnya, kau bisa menanamnya. Meski-

pun, khasiatnya akan hilang bila tidak di tempat 

Lautan Api Neraka. Namun, namanya tetap harum. 

Dan, satu lagi! Bunga Neraka menjadi lambang abadi 

dari kerukunan bangsa di alam Gerbang Neraka." 

Dari rasa marahnya, terlihat Rawangi terdiam. 

Nampaknya kata-kata orang Basofrat benar-benar 

dipikirkan. Perlahan-lahan wajahnya tak setegang 

tadi. 

"Haya! Bagus itu! Jadi kita tidak perlu kawin!" sorak 

Andika, dalam hati. 

Pendekar Slebor lantas menatap ke sekeliling. 

Karena dia tak tahu, di mana sosok Basofrat berada. 

"Baiklah, Basofrat! Yang kau katakan itu, aku 

setuju," kata Rawangi pelan, namun pasti. 

"Itulah yang kutunggu. Rawangi, aku merestui 

semua sepak terjangmu sekarang ini. Dan yang aku 

yakini, semua tindakanmu akan membangun alam 

Gerbang Neraka dan mensejahterakan rakyatmu." 

Terdengar suara yang sangat keras. Andika sampai 

mendengus mendengarnya. 

Setelah itu tak ada suara lagi. Rawangi mendesah 

pendek. Dia tahu, Basofrat sudah pergi. Makanya 

kemudian kepalanya menoleh pada Andika. 

"Kau sudah mendengar semuanya, bukan?" 

Andika mengangguk. 

"Bunga Neraka akan kuserahkan kepadamu," 

cetus Andika. 

Rawangi menerimanya. 

"Kita tak perlu lagi melangsungkan pernikahan, 

Andika." 

"Yah..., sayang sekali, ya?" kata Andika berlagak.

Padahal dalam hati bersyukur. "Eh! Kenapa sih, 

Basofrat tak mau menampilkan sosok tubuhnya? 

Padahal aku penasaran, lho? Jangan-jangan dia 

khawatir kalah ganteng denganku?" 

Rawangi tak menjawab. Tiba-tiba, satu sosok 

tubuh muncul di hadapan mereka. 

"Penghulu Segala ilmu!" seru Andika langsung 

mengenali. 

Yang datang itu tak lain dari roh Penghulu Segala 

Ilmu. 

"Wah, aku terlambat, ya? Tetapi, baguslah. Jadi, 

tidak ikut pusing. Andika! Apakah kau akan tetap 

tinggal di sini?" kata Penghulu Segala Ilmu. 

"Oh, sudah tentu tidak!" 

"Kalau begitu, cepat pegang tanganku! Ada 

sesuatu yang hendak kukatakan padamu," ujar lelaki 

bersorban itu. 

Andika nyengir. 

"Kau ingin bilang aku ini tampan, ya?" 

"Anak monyet! Ayo, cepat!" 

"Sebentar!" 

Andika mendekati Rawangi. Diraihnya tangan gadis 

itu dan digenggamnya. 

"Maaf, aku harus meninggalkan tempat ini. 

Barangkali suatu saat kita akan berjumpa," ucap 

Pendekar Slebor. 

Rawangi tersenyum. 

"Andika.... Dengan kehadiranmu di sini, aku akhir-

nya sadar apa yang telah tersimpan di dadaku ini 

ternyata sebuah dendam," desah gadis itu, bergetar. 

"Sudahlah.... Semuanya sudah berlalu." 

"Andika.... Bila kau membutuhkan bantuanku, aku 

akan selalu datang. Bertepuklah sebanyak tiga kali 

sambil menyebutkan namaku. Maka, aku akan hadir

di dekatmu." 

"Terima kasih." 

"Hei, Slebor! Ayo, cepat!" dengus Penghulu Segal 

Ilmu. 

Andika mendengus. "Iya, iya! Selamat tinggal, 

Rawangi!" 

Penghulu Segala Ilmu sudah menyambar tangan 

Pendekar Slebor. Lalu.... 

Plasss! 

Tubuh mereka lenyap begitu saja. Tinggallah 

Rawangi yang tertunduk dengan Bunga Neraka di 

tangan, dan akan ditanamnya di belakang istana. 



                            SELESAI 



Segera terbit: 

ISTANA DURJANA












Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive