1
Waktu terus menyeret malam. Terengah-engah. Tapi
bukankah itu kodrat yang harus dijalani? Memang
begitu kehendak Yang Maha Pencipta. Siang adalah
waktu untuk bekerja. Dan malam untuk beristirahat.
Tapi herannya, masih ada saja dua sosok yang
berkelebat, menembus hutan lebat. Arah yang
mereka tuju jelas ke utara.
Ketika tiba di sebuah tempat yang agak terbuka
dan banyak ditumbuhi semak belukar setinggi dada,
dua sosok ini berhenti. Mereka memandang ke
sekeliling tanpa bersuara. Bahkan, getar napas pun
tak terdengar.
"Aku yakin, daerah inilah yang disebut Gerbang
Neraka...," bisik sosok yang sukar sekali melukiskan
wajahnya, karena pekatnya malam. Tapi yang jelas,
seorang lelaki tinggi tegap.
"Dan kau yakin juga tentang berita Bunga Neraka
itu?" tanya sosok satu lagi. Tubuhnya agak pendek,
namun suaranya lebih besar.
"Ya. Menurut kabar, barang siapa yang men-
dapatkan Bunga Neraka, maka akan memiliki
kesaktian sangat tinggi. Bahkan boleh dikatakan, tak
akan pernah ada yang mengalahkannya!" sahut lelaki
tinggi tegap, menjelaskan.
Kembali tak ada yang bersuara. Keduanya mem-
perhatikan berkeliling, berusaha menembus gelapnya
malam dengan mata yang lebih terbuka. Tiba-tiba
pandangan mereka tertuju pada sebuah batu besar di
depan.
Bukan batu itu yang mengejutkan, justru sosok
kerempeng dengan jenggot menjuntai hingga batu
yang di dudukinya.
"Gila! Siapa makhluk aneh itu?" mata lelaki tinggi
tegap melotot berusaha menegaskan penglihatannya.
Tak juga berhasil. Terlalu gelap bila hanya ditembus
sepasang mata. "Aku baru melihatnya sekarang."
Lelaki pendek tak bersuara. Matanya juga mem-
perhatikan sosok kerempeng yang terdiam itu. Tetapi
mereka bisa melihat tatapan setajam serigala milik si
tubuh kerempeng.
Sebelum menyadari siapa orang itu, mendadak
kedua orang yang tak jelas wajahnya ini terjungkal ke
belakang disertai teriakan keras. Namun dengan
kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun mereka
segera bangkit.
"Kita hantam manusia keparat itu!" dengus lelaki
tinggi tegap. Serempak mereka menyergap tubuh
kerempeng yang masih duduk di atas batu besar.
Sementara, bau busuk menebar dari sana.
Kalau melihat gerakannya, serangan yang di-
lakukan dua sosok itu bukanlah serangan
sembarangan. Buktinya tenaga dalam mereka yang
diimbangi gerakan tubuh secepat kilat siap meng-
hancurkan sosok kerempeng itu. Malah mungkin saja
batu yang didudukinya pun akan pecah berantakan.
Aneh.... Tubuh kerempeng yang duduk di batu
nampaknya tenang-tenang saja. Dan ini membuat
kedua penyerangnya semakin bernafsu menghabisi-
nya.
"Heaaa...!"
Diawali bentakan keras, mendadak saja tubuh
kerempeng itu mengangkat kedua tangannya.
Gerakannya sangat cepat, nyaris tak terlihat. Tahu
tahu....
Wuuut! Prak!
Wuuut! Prak!
Dua buah serangan balik dilancarkan sosok
kerempeng sekaligus, membuat kedua penyerangnya
terlempar ke belakang dengan kepala pecah. Begitu
mencium tanah tak ada gerakan lagi. Selebihnya
sunyi.
Tubuh kerempeng itu juga membisu, sebisu dua
orang yang baru dibunuhnya. Sementara bau busuk
menyebar dari tubuhnya. Memuakan sekali.
Tanpa disadari, seorang lelaki tua berpakaian
kuning sejak tadi menatap tak berkesiap pada tubuh
kerempeng. Caping bambunya bergerak-gerak ketika
kepalanya menggeleng-geleng. Tiba-tiba kakinya
menggeduk ke bumi.
Bukan main akibatnya. Bumi seketika seolah ber-
goyang. Malah beberapa pohon tumbang secara men-
dadak. Tetapi, aneh! Sosok kerempeng yang men-
duduki batu besar itu tak bergeming sedikit pun!
Bahkan batu besar yang didudukinya tak bergoyang!
Bagai ditantang dan merasa diremehkan, si tua
bercaping menggeram. Kakinya lantas melangkah
perlahan mendekati tubuh kerempeng.
"Prana Bantoro! Kau yang dikenal sebagai Penjaga
Gerbang Neraka rupanya masih mempunyai taring!"
bentak si tua berpakaian kuning-kuning itu. "Kalau
dulu aku tak berhasil mendapatkan Bunga Neraka,
hari ini jangan harap bisa mengusir Halimun Baju
Kuning lagi!"
Tubuh kerempeng berjuluk Penjaga Gerbang
Neraka tetap tak berkutik dari tempatnya. Entah
karena malas, atau karena menganggap remeh.
Bahkan napasnya pun tak terdengar.
Sementara, si tua bercaping berjuluk Halimun Baju
Kuning semakin marah. Harga dirinya merasa diinjak-
injak. Maka tiba-tiba saja kakinya menjejak kembali.
Kali ini dua kali.
Duk! Duk!
Akibatnya, puluhan pohon besar yang ada di sana
bertumbangan dengan suara bergemuruh. Tetapi
batu besar yang diduduki Penjaga Gerbang Neraka
tetap tak bergeming.
Bagai api disiram minyak, amarah Halimun Baju
Kuning kian membakar. Wajahnya memerah. Tiba-
tiba tangannya bergerak ke arah batu besar itu.
Wuuut!
Blammm...!
Seperti suara meriam di sundut, batu besar yang
diduduki Penjaga Gerbang Neraka meledak dan
hancur seketika. Sementara sosok kerempeng di
atasnya tadi sudah tidak nampak lagi.
Halimun Baju Kuning celingukan sambil tetap
bersiaga. Wajahnya kian memerah.
"Lebih baik pergi dari sini, Halimun Baju Kuning!
Urungkan niatmu untuk mendapatkan Bunga Neraka.
Karena, siapa pun yang tiba di Gerbang Neraka, maka
akan mampus! Seperti Sepasang Bayangan Maut
tadi!"
Tiba-tiba terdengar suara dari samping Halimun
Baju Kuning berbalik. Tampak Penjaga Gerbang
Neraka seperti sedang menundukkan kepalanya.
Namun dirasakannya getaran-geraran maut yang
seolah terpancar dari tubuh kerempeng itu.
"Jangan sesumbar! Tunjukkan kepadaku jalan
menuju Gerbang Neraka! Maka, kau akan hidup lebih
lama lagi!"
Penjaga Gerbang Neraka tetap masih menunduk
kan kepalanya.
"Tinggalkan tempat ini. Kalau tidak, nyawamu tak
akan pernah lagi melekat di tubuh gempalmu itu!"
dingin terdengar suara si kerempeng.
Halimun Baju Kuning tak kuasa lagi menahan
amarahnya. Lima bulan yang lalu, dia gagal
mengalahkan Penjaga Gerbang Neraka. Maka hari ini
tekadnya sudah bulat untuk kembali menaklukannya.
Sekaligus, memaksa Penjaga Gerbang Neraka untuk
memberitahu jalan menuju Gerbang Neraka!
Bagai disentak tenaga kuat, mendadak saja
Halimun Baju Kuning meluruk ke arah Penjaga
Gerbang Neraka. Gerakan tubuhnya benar-benar
menimbulkan kesiur angin yang sangat keras.
Namun seperti tadi, Penjaga Gerbang Neraka tetap
tak bergerak. Dan ketika tubuh si tua bercaping
sudah mendekat, barulah dengan gerakan secepat
kilat sebelah kakinya diangkat.
Wuuut!
Halimun Baju Kuning sigap membuang tubuh
gempalnya ke kiri secara bergulingan. Namun...
Tak!
Belum lagi Halimun Baju Kuning bisa bangkit,
sebelah kakinya dirasakan sudah patah.
"Keluar kau dari sini sebelum amarahku tak bisa
lagi kupendam!"
Rupanya Halimun Baju Kuning masih menyayangi
selembar nyawanya. Sambil menggeram murka, dia
tertatih-tatih bangkit meninggalkan tempat itu. Sejuta
dendam membara membaluri hatinya. Sia-sia saja dia
melatih diri selama empat bulan untuk menaklukkan
Penjaga Gerbang Neraka!
***
2
Hutan Kegelapanlah nama yang pantas bagi hutan
belantara besar yang saat ini dilintasi seorang
pemuda tampan berbaju hijau pupus. Padahal siang
hari ini matahari menyorot garang. Tapi, tetap saja tak
mampu menembus rimbunnya pepohonan.
Namun si pemuda dengan kain bercorak catur di
bahu terus melangkah seperti tanpa dosa. Langkah-
nya begitu tenang sambil bersiul-siul tak beraturan.
Matanya memperhatikan berkeliling, hingga suatu
ketika....
"Wallaaahhh...!" desisnya sambil berhenti melang-
kah seraya menatap pepohonan yang berjajar.
"Jangan-jangan aku salah jalan...!"
Kembali si pemuda melangkah. Agak ragu-ragu.
Sepertinya, kakinya berat sekali dilangkahkan.
"Gila! Ini sih tempat jin buang anak...! Aku harus
buru-buru keluar dari sini sebelum menemukan anak
jin!"
Sebelum si pemuda melangkah lagi, dilihatnya
satu sosok tubuh berkelebat cepat dari arah ber-
lawanan.
"Hei!" seru si pemuda, langsung menghadang.
Namun, sosok yang dihadang malah melenting ke
atas, lalu kembali berkelebat tanpa menghiraukan si
pemuda yang terheran-heran.
Si pemuda berbalik.
"Hup...!"
Dalam empat kali lentingan saja, pemuda tampan
itu berhasil mengejar sosok gempal bercaping dan
berbaju serba kuning.
Sosok bercaping berbalik. Matanya menatap dingin
dengan wajah memerah.
"Siapa kau?!" tegur lelaki tua yang tak lain Halimun
Baju Kuning.
Si pemuda menyeringai.
"Walah, sombongnya. Bertemu orang malah
melengos.... Perkenalkan, namaku Andika. Pak tua,
apakah kau bisa memberitahukanku untuk keluar
dari hutan ini?" tanya si pemuda yang tak lain
Pendekar Slebor.
Halimun Baju Kuning memperhatikan seksama
pemuda berambut gondrong dengan alis hitam
seperti kepakan elang.
"Carilah sendiri!" ujarnya sambil berkelebat lagi.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Seperti tak mau menyerah, si pemuda pewaris ilmu
Lembah Kutukan ini mengempos tubuhnya lagi,
mengejar Halimun Baju Hijau.
"Pak tua.... Aku hanya menanyakan jalan keluar
dari sini!" paksa Andika ketika berhasil menghadang
Halimun Baju Kuning kembali.
Sekali lagi si tua bercaping memperhatikan
dengan seksama.
"Siapa sebenarnya kau ini?"
Andika tertawa setengah gusar.
"Ah, mengapa kau jadi curiga terus menerus"?
Namaku Andika. Aku hanya ingin tahu jalan keluar
dari hutan ini."
"Pergilah ke arah selatan."
"Bukankah kau sedang menuju ke selatan? Kalau
begitu, kau juga hendak keluar dari hutan ini, bukan?"
Tanpa menjawab, Halimun Baju Kuning kembali
berkelebat meneruskan lesatannya.
"Sombong...! Mungkin ibunya tak pernah mengajar
sopan santun...!"
Sementara pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan
itu menggerutu panjang pendek. Dan segera melang-
kah ke arah selatan seperti yang dikatakan sosok
gempal berbaju kuning itu.
Namun baru saja Pendekar Slebor melangkah dua
puluh tindak, tiba-tiba terdengar suara derap langkah
kuda bergemuruh. Bila mendengar langkahnya saja,
bisa diperkirakan kalau kuda-kuda itu berjumlah
sekitar dua puluh ekor.
"Hup!"
Andika cepat melenting ke atas, lalu hinggap
dengan ringan di salah sebuah dahan pohon. Di-
tunggunya orang-orang berkuda itu muncul.
***
Sekitar dua puluh ekor kuda seperti saling ber-
lomba berpacu ke arah Pendekar Slebor ber-
sembunyi. Di deretan terdepan, berlari seekor kuda
tinggi gagah berwarna coklat. Penunggangnya se-
orang lelaki berewok memakai sehelai kain ditekuk,
berbentuk topi menjuntai ke belakang. Pakaian
merah dengan celana berwarna hitam. Di per-
gelangan tangannya melingkar dua buah gelang
bahar yang besar. Dan di punggungnya terdapat dua
buah pedang yang bersilang dengan warangka dihiasi
benang-benang emas menjuntai.
Lelaki brewok terus menggebrak kudanya,
menyusul dua puluh ekor kuda yang penunggangnya
berpakaian merah-merah. Di pinggang mereka ter-
dapat sebilah pedang berwarangka hitam.
Dari tempat persembunyiannya, Andika jadi bertanya-tanya sendiri.
"Ada apa ini?"
Rasa ingin tahu Pendekar Slebor menyingkap
benaknya. Dan dengan ringannya si pemuda ber-
lompat turun dari tempat persembunyiannya. Ke-
inginannya untuk segera keluar dari Hutan Kegelapan
urung, saat rasa ingin tahunya terusik oleh orang-
orang tadi.
Menurut Andika, di hutan ini sudah tentu tak ada
sepotong manusia kecuali hewan. Namun tadi, dia
sudah berjumpa manusia bertubuh gempal yang kini
entah ke mana. Kemudian, puluhan manusia yang
menunggang kuda.
Adakah sesuatu yang menarik di hutan ini?
Andika terus membuntuti dengan hati-hati. Sampai
akhirnya di satu tempat agak terbuka yang dipenuhi
semak belukar setinggi dada, Andika melihat orang
brewok berpakaian merah itu mengangkat tangannya
sambil menghentikan laju kudanya. Begitu pula yang
di belakangnya.
Andika yang mengintip dari balik semak mengerut-
kan keningnya. Dia melihat orang-orang itu segera
mencabut pedang. Yang membuatnya merasa aneh,
apakah ada bahaya yang mengancam orang-orang
itu?
"Kita harus berhati-hati sekarang. Aku yakin, di
sinilah pintu masuk menuju Gerbang Neraka," ujar
yang berpedang dua di punggung. Sikapnya nampak
tegar, meskipun matanya memancarkan sedikit
gelisah.
"Tak seorang pun kuizinkan untuk masuk ke
Gerbang Neraka."
Tiba-tiba terdengar suara dingin bersamaan
dengan hembusan angin kuat.
Bagai disengat kalajengking, orang-orang itu ter-
sentak. Sementara kening Pendekar Slebor yang
sedang mengintip pun berkerut. Sepasang matanya
menyipit.
"Penjaga Gerbang Neraka! Aku Siluman Pedang
Kembar, datang untuk mencari jalan menuju ke
Gerbang Neraka!" teriak lelaki brewok berjuluk
Siluman Pedang Kembar. Lagaknya seperti ingin
menggetarkan si pemilik suara.
"Hanya orang-orang serakah yang menginginkan
Bunga Neraka."
"Bangsat hina! Cepat tampakkan wajah jelekmu!
Aku sudah tidak sabar untuk menghancurkan mulut
lancangmu itu!" teriak Siluman Pedang Kembar.
Gayanya, seperti dia sendiri yang tampan. Padahal,
seekor monyet betina pun akan berpikir dua kali bila
bercinta dengannya.
Terdengar helaan napas berat yang sangat keras.
"Aku bukanlah orang yang kejam. Lebih baik,
tinggalkan tempat ini sebelum nyawa kalian akan
pindah dari jasad kotor kalian!"
"Keparaaattt...!"
Di awali teriakan kemurkaan, Siluman Pedang
Kembar mengibaskan pedang yang berada di tangan
kirinya. Seketika tampak sebuah cahaya yang sekilas
menerangi tempat itu. Dan tiba-tiba saja, tiga buah
pohon bertumbangan sekaligus.
"Keluar kau!" maki lelaki brewok itu.
Sedangkan Andika yang terus mengintip hanya
menggeleng-geleng. Bukan main jurus yang diperlihat-
kan Siluman Pedang Kembar!
Pendekar Slebor menunggu, untuk melihat sosok
yang bersuara tadi. Tetapi, tak satu sosok pun yang
muncul. Hanya suaranya saja yang semakin dingin."Jangan unjuk gigi di hadapanku. Tak ada guna-
nya...."
"Keparat!"
Kali ini Siluman Pedang Kembar benar-benar
murka. Kedua tangannya yang memegang pedang
mendadak bergerak. Sinar-sinar aneh yang keluar
dari kedua pedangnya berkelebat lagi. Dan kali ini
lebih banyak pepohonan yang tumbang.
"Keluar kau!" bentaknya dengan suara memekik.
Sementara para pengikutnya semakin bersiaga.
Tak ada sahutan apa-apa, kecuali gemuruhnya
pepohonan yang tumbang. Namun tiba-tiba saja....
"Aaa...!"
Rasa terkejut menyentak. Apalagi begitu beberapa
orang pengikut Siluman Pedang Kembar berjatuhan
dengan kepala pisah dari tubuh.
Melihat hal itu, semakin murkalah Siluman Pedang
Kembar. Kedua pedangnya semakin liar dikibaskan.
Sinar-sinar aneh yang berbahaya itu semakin banyak
berdesingan dan kembali menumbangkan pe-
pohonan. Suaranya benar-benar bagaikan serom-
bongan gajah mengamuk!
Andika sampai menekap kedua telinganya.
"Edan! Kenapa dia jadi marah-marah begitu?" maki
Andika dalam hati. "Siapa pula yang membunuh
orang-orang yang bersama si Siluman Pedang
Kembar? Lagi pula, apa yang ditanyakan oleh
Siluman Pedang Kembar tadi? Jalan masuk ke
Gerbang Neraka? Apa-apaan ini?
Belum lagi Andika berhasil menemukan jawaban-
nya. Kembali terlihat tujuh buah kepala terpental.
Buk! Buk...!
Persis butiran kelapa jatuh dari pohon. Darah
memancur tinggi dengan tubuh roboh.
"Siapa orang gila yang bertindak kejam seperti ini?"
tanya Andika lagi.
Sementara Siluman Pedang Kembar semakin
bertambah geram dan marah. Sedangkan kedua
pedangnya terus dikibaskan.
"Rupanya kau berada di sana, Kerempeng!"
dengus lelaki brewok ini.
"Sejak tadi aku berada di sini. Hanya matamu saja
yang mendadak menjadi buta," sahut sosok
kerempeng yang memang Penjaga Gerbang Neraka
dingin, sambil menundukkan kepala.
Andika sendiri hanya mengucak-ngucak matanya.
Gila! Sejak kapan manusia kerempeng itu duduk di
sebuah batang kayu yang tumbang?
"Penjaga Gerbang Neraka! Tunjukkan jalan menuju
Gerbang Neraka!" seru Siluman Pedang Kembar.
Kedua tangannya siap mengibaskan kedua pedang-
nya.
"Lebih baik urungkan seluruh niatmu itu, Siluman
Pedang Kembar. Karena, kau tak akan pernah ber-
hasil mendapatkannya."
"Keparaaattt...!"
Kali ini Siluman Pedang Kembar mengibaskan
kedua pedangnya ke arah Penjaga Gerbang Neraka
yang tetap duduk dengan kepala tertunduk. Seolah
bahaya mengancamnya tak disadari.
Sret! Sret!
Dua larik sinar yang bergerak bagaikan potongan
pedang menderu ke arah lelaki kerempeng itu.
***
3
Andika sendiri sampai melongo. Edan! Apakah orang
kerempeng itu memang ingin mencari mampus?
Tetapi sesaat kemudian matanya terbelalak. Karena
dengan ringannya, lelaki kerempeng itu mengangkat
kedua tangannya.
Wuuus! Wuuuus!
Dua larik sinar itu berbalik arah, menderu kembali
kepada pemiliknya. Siluman Pedang Kembar mem-
buang jauh-jauh tubuhnya. Namun malang bagi para
pengikutnya....
Crasss!
"Aaa...!"
Seluruhnya menjerit setinggi langit. Semuanya
ambruk dengan perut terbelah!
Siluman Pedang Kembar berdiri lagi dengan wajah
pias. Keringat sudah mengalir di tubuhnya. Namun,
sebagai seorang tokoh yang disegani pantang mundur
baginya.
"Heaaa...!"
Siluman Pedang Kembar melesat cepat luar biasa,
bagai ingin memusnahkan segala persoalannya.
Padahal tindakannya mengandung bahaya amat
besar. Kedua pedangnya tiba-tiba saja memancarkan
sinar berwarna merah.
Kali ini Penjaga Gerbang Neraka melompat
laksana kilat. Batang kayu yang tadi didudukinya tadi
tercacah menjadi potongan ranting terkena sambaran
pedang Siluman Pedang Kembar.
Bukan hanya sampai di situ saja Siluman Pedang
Kembar menyerang. Begitu serangannya gagal,
tubuhnya kembali meluruk. Dikirimkannya serangan-
serangan sangat berbahaya.
Namun yang menarik, lagi-lagi Penjaga Gerbang
Neraka tak bergerak. Bahkan kepalanya tetap
menunduk.
Ketika dua buah pedang di tangan Siluman
Pedang Kembar sejengkal lagi menebas, tiba-tiba
saja Penjaga Gerbang Neraka mengangkat sebelah
kakinya yang kurus penuh bulu.
Wuuut!
Prak!
"Aaakh...!"
Gerakan lelaki kerempeng itu benar-benar cepat
tak terlihat, bagaikan angin. Namun akibatnya,
Siluman Pedang Kembar memekik keras. Tangan kiri-
nya terhantam satu tendangan keras sekali. Bukan
hanya patah, tapi copot dari sendinya.
Siluman Pedang Kembar bergulingan sambil men-
jerit-jerit kesakitan. Sementara Penjaga Pintu Neraka
tetap berdiri tetap dengan kepala tertunduk.
"Pergilah dari sini! Urungkanlah niatmu untuk
masuk ke Gerbang Neraka!" usir lelaki kerempeng.
Meskipun rasa sakitnya seperti hendak menjebol
dadanya, tetapi Siluman Pedang Kembar bukanlah
orang yang pantang menyerah. Kejadian tadi di-
anggap belum apa-apa, dibanding angan-angannya
untuk memiliki Bunga Neraka.
Saat itu juga, lelaki brewok ini melesat dengan
sebelah pedang di tangan kanan siap dikibaskan. Di
benaknya yang ada hanya Bunga Neraka. Dia tak
ingin kembali dengan sia-sia. Kalau perlu, mengadu
jiwa sekalian.
"Rupanya, kau-memang ingin mati! Baiklah.... Kau
akan kukirim ke neraka!"
Penjaga Gerbang Neraka berdiri bagaikan me-
nunggu. Dan ketika Siluman Pedang Kembar sudah
tidak di dekatnya, mendadak saja tangannya
mengibas.
Wuuus!
***
Ajal Siluman Pedang Kembar sudah benar-benar di
ambang mata. Manusia satu ini benar-benar meng-
andalkan kenekatan saja. Padahal, dia sudah tahu
kalau ilmu lawan lebih tinggi!
Namun sebelum serangan balik Penjaga Gerbang
Neraka menelan korban, tiba-tiba saja berkelebat
bayangan hijau yang langsung menyambar tubuh
Siluman Pedang Kembar.
Brosshh...!
Sementara, pukulan yang dilancarkan Penjaga
Gerbang Neraka langsung menghantam sebatang
pohon hingga hangus seketika.
"Rupanya, masih ada orang yang menolong orang
serakah!" desisnya tetap menundukkah kepala.
Siluman Pedang Kembar yang baru lolos dari maut
menatap penolongnya. Seorang pemuda tampan
berbaju hijau pupus yang sekarang sedang me-
nantang Penjaga Gerbang Neraka.
"Maaf, Pak Tua Kerempeng. Bukannya aku usil.
Tapi lawanmu sudah tidak berdaya. Apa kau tidak
kasihan melihat orang yang sudah terkencing-kencing
di celana...?" ucap pemuda yang tidak lain Pendekar
Slebor.
Siluman Pedang Kembar terjingkat. Cepat diraba-
nya bagian benda terlarangnya. Basah! Lalu tangan
nya diangkat ke hidung. Bau...! Bahkan bibirnya
sampai mengerucut dengan hidung ditarik. Tanpa
sadar, saking ketakutannya, lelaki brewok ini ter-
kencing-kencing di celana.
"Aku tak pernah memberi hati pada orang lancang,
Anak Muda...," sahut lelaki kerempeng.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang kita berlaku bagai-
kan seorang sahabat."
Penjaga Gerbang Neraka terdiam sebentar.
"Anak muda.... Aku belum tahu, siapa kau sebenar-
nya. Tetapi kata-katamu terasa enak terdengar di
telingaku."
Andika mengerutkan keningnya. Enak? Si pemuda
dari Lembah Kutukan ini rasanya mau terbahak-
bahak. Burung gagak saja terbirit-birit mendengar
suaranya.
"Sebenarnya ada apa, Pak Tua?" tanya Andika.
"Hmm..., ketahuilah. Selama seratus tahun aku
berdiam di hutan ini, baru hari ini ada yang datang
dengan pertanyaan ada apa. Bukan bertanya tentang
Bunga Neraka."
"Ah...! Sudahlah, jangan bicara soal bunga. Toh kau
bukan lintah darat? Aku hanya ingin, kau jangan main
bunuh saja...," tukas Andika, mengucapkan tanya.
"Jangan beri ampun manusia kerempeng itu, Anak
Muda. Selama seratus tahun pula dia membunuh
orang-orang yang ingin mencari tahu jalan masuk
menuju Gerbang Neraka!"
Justru Siluman Pedang Kembar yang berkata
sambil meringis menahan rasa nyeri di tangannya.
Wajahnya sudah pucat karena hampir-hampir
kehabisan darah.
Kening Andika berkerut. Lagi-lagi jalan menuju
Gerbang Neraka. Di manakah jalan itu? Setahunya,sepanjang mata memandang yang ada hanya hutan
belantara saja?
"Itulah yang kumaksudkan dengan orang-orang
serakah, Anak Muda," kata Penjaga Gerbang Neraka
tetap dengan kepala tertunduk. "Apakah mereka tidak
menginginkan aku hidup tenang? Mengapa mereka
menginginkan Bunga Neraka? Padahal, hanya ada
sekuntum saja bunga itu. Kalaupun ada yang berhasil
memilikinya, yang kukhawatirkan hanyalah untuk
kesenangan semata! Untuk menjadikan dirinya
digdaya."
"Biarpun ilmumu setinggi dewa, aku tak akan
mundur sebelum kudapatkan Bunga Neraka!" sambar
Siluman Pedang Kembar, seraya menerjang kembali
ke arah lejaki tua kerempeng.
"Tahaaan...!" seru Andika terkejut.
Tetapi tubuh Siluman Pedang Kembar sudah dekat
dengan Penjaga Gerbang Neraka. Dan kali ini,
gerakan satu tangannya disertai tenaga dalam penuh.
Pada saat yang sama, si lelaki kerempeng telah
mengibaskan tangannya.
Wuuus! Duaarrr!
Bunyi dentuman terdengar bersamaan hancurnya
tubuh Siluman Pedang Kembar. Tubuhnya menjadi
serpihan bagaikan dedaunan yang dirancah.
Pendekar Slebor memerah wajahnya.
"Aku heran! Mestinya di usia yang sudah bau
tanah, kau harus sudah bertobat. Bukannya malah
mengumbar kekejaman...!"
Entah ingin mencoba kekuatan si tua kerempeng
itu, atau memang ingin melumpuhkan kepandaian-
nya, Andika meluncur ke arah Penjaga Gerbang
Neraka.
"Kekejaman itu hanyalah merupakan sebuah alat,"sahut Penjaga Gerbang Neraka sambil mengangkat
sebelah tangannya.
Wuuus...!
Andika merasa sebuah angin bagaikan tusukan
ratusan lembing menderu ke arahnya. Seketika
tubuhnya di buang ke kanan. Namun tak urung
celananya yang sebelah kiri koyak hingga sebatas
dengkul.
Begitu bangkit Pendekar Slebor menggeleng-
geleng, kaget sekaligus takjub. Jurus yang sangat
aneh dan hebat, pujinya.
"Anak muda! Kepada orang-orang seperti kaulah
aku tak menginginkan menurunkan tangan telengas.
Aku tahu, kau menyerangku bukanlah untuk men-
dapatkan jalan menuju Gerbang Neraka, tapi sekadar
tak suka melihat tindakanku...."
"Aku memang ingin menghukummu!" seru Andika
lagi.
Dengan tenaga 'inti petir' tingkat keduabelas,
Pendekar Slebor melesat kembali ke arah Penjaga
Gerbang Neraka. Namun, kali ini lelaki kerempeng
nampak terjingkat dan membuang dirinya ke kiri.
"Hei?! Bukankah itu jurus Ki Saptacakra?!" seru
Penjaga Gerbang Neraka kaget dan berdiri tegak. Kali
ini kepalanya terangkat.
Andika cepat menghentikan serangannya. Dan dia
ladi bergidik melihat wajah yang mengerikan. Ter-
utama bila mata Penjaga Gerbang Neraka yang tak
ubahnya mata serigala kelaparan.
"Anak muda.... Apa hubunganmu dengan Ki
Saptacakra Penguasa Lembah Kutukan?" tanya
Penjaga Gerbang Neraka.
"Dia Eyang buyutku," sahut Andika, masih
menampakkan ketidaksenangannya.
"Oh! Bagaimanakah kabarnya dia sekarang?"
Kali ini Andika tidak menjawab. Diperhatikannya
wajah mengerikan di hadapannya dengan seksama.
"Urusan ini tak ada hubungannya dengan Eyang
buyutku."
"Tahan! Ketahuilah, aku sangat menghormatinya."
"Kalau begitu, lebih baik tinggalkan tempat ini. Aku
tak ingin keonaran terjadi lagi."
Penjaga Gerbang Neraka menghembuskan napas-
nya.
"Aku tahu, apa yang kulakukan ini hanyalah
menumpahkan darah belaka. Tetapi, ketahuilah. Bila
tempat ini kutinggalkan, maka banjir darah akan
semakin banyak. Apalagi, bila aku mengatakan jalan
masuk menuju Gerbang Neraka. Bukan hanya tempat
ini yang akan banjir darah, melainkan seluruh isi
persada ini!"
Andika terdiam, mencoba menelaah kata-kata
Penjaga Gerbang Neraka. Rasa penasarannya pun
mulai bermain di hatinya. Bunga Neraka.... Bunga apa
itu. Dan jalan menuju Gerbang Neraka, di manakah
jalan masuknya?
"Di dunia ini tak ada yang aneh, Anak Muda.
Seperti kau yang mengaku sebagai cucu terakhir dari
Ki Saptacakra. Sangat sulit dipercaya kalau Ki
Saptacakra adalah Eyang buyutmu."
"Mau percaya ya syukur, tidak percaya ya sudah,"
kata Andika, menelan rasa dongkolnya mentah-
mentah.
(Untuk mengetahui Ki Saptacakra, silakan baca
"Lembah Kutukan" serta "Dendam dan Asmara").
"Tetapi melihat tenaga 'inti petir' yang kau per-
gunakan tadi, sedikit banyaknya aku yakin tentang
hal itu. Karena, tak seorang pun yang memiliki tenaga
'inti petir', kecuali Ki Saptacakra yang telah bertahun-
tahun menjaga 'Buah Inti Petir'. Dan pasti kau telah
memakannya, bukan?"
Andika terdiam. Rupanya manusia kerempeng ini
tahu tentang dirinya.
"Karena aku sekarang yakin kalau kau keturun dari
Ki Saptacakra, maka kau akan kuberitahukan jalan
menuju Gerbang Neraka."
Andika terkejut. Tapi dia mendengus dalam hati.
Lagi-lagi Gerbang Neraka! Seperti apa sih tempat itu?
Rasa penasaran semakin mengusik hatinya. Namun
Pendekar Slebor bukanlah orang bodoh yang mau
menelan mentah-mentah semua itu. Barangkali ini
suatu jebakan. Terbukti, sudah disaksikannya
bagaimana Penjaga Gerbang Neraka mempertahan-
kan jalan rahasia itu kepada Siluman Pedang
Kembar. Entah, kepada siapa lagi. Mungkin telah
ratusan orang yang ingin mengetahui jalan menuju
Gerhang Neraka.
"Mengapa kau begitu mudah ingin mengatakannya
kepadaku?" tanya Pendekar Slebor, memancing.
"Karena, keturunan Ki Saptacakra kuyakini tak
pernah berdusta atau berlaku munafik."
"Bagaimana kalau aku dusta? Toh kau bilang tadi,
bila ada yang berhasil masuk ke Gerbang Neraka dan
memetik Bunga Neraka, berarti darah akan semakin
bersimbah di persada ini."
"Karena, aku yakin kau pasti akan berada di jalan
lurus. Sepertinya, Bunga Neraka berjodoh denganmu,
Anak Muda."
Andika kembali terdiam. Dicobanya merangkaikan
kata-kata itu.
"Maaf, meskipun aku penasaran sekali ingin
mengetahui di mana Gerbang Neraka dan sejenis apa
Bunga Neraka, aku menolak untuk memenuhi per-
mintaanmu," ucap Andika.
"Dengan kata lain, kau akan membiarkan aku
menjadi seorang pembunuh?" tukas si lelaki
kerempeng.
"Kau bisa mengendalikan amarahmu."
"Dengan begitu, akulah yang mati. Dengan matinya
aku, maka seluruh orang serakah yang menginginkan
Bunga Neraka akan berdatangan dan saling adu
kehebatan untuk mendapatkannya."
Kembali Andika terdiam. Di satu segi, dia ingin
tahu tentang hal itu. Tetapi di segi lain, dia se-
sungguhnya memang tak berminat untuk menge-
tahuinya. Hanya saja, apa yang dikatakan Penjaga
Gerbang Neraka memang benar.
"Mengapa kau menjadi lemah seperti itu? Padahal
kau nampaknya mati-matian menyembunyikan jalan
rahasia menuju Gerbang Neraka?" tanya Pendekar
Slebor.
"Ki Saptacakra telah merelakan 'Buah Inti Petir'nya
kau makan. Aku pun merelakan Bunga Neraka untuk
dipetik dan kau cium wanginya."
"Karena aku keturunan dari Ki Saptacakra, kau
merelakannya begitu saja?"
"Sudah tentu tidak. Aku hanya memberitahu jalan
masuk menuju Gerbang Neraka. Dan tentunya juga
kau tak semudah itu untuk memakan 'Buah Inti Petir'
di Lembah Kutukan, bukan?"
Berarti, memang ada bahaya yang mengancam.
"Baiklah.... Aku setuju dengan keinginanmu itu.
Akan kupetik Bunga Neraka dan kupersembahkan
kepadamu."
Penjaga Gerbang Neraka terbahak-bahak. Suara-
nya begitu menggema sekali. Dedaunan pun banyak
yang rontok seketika. Untuk pertama kalinya Andika
melihat Penjaga Gerbang Neraka tak lagi berwajah
bengis.
"Anak muda.... Jiwa kesatria dan hati suci benar-
benar kau miliki. Sudah tentu aku tidak menginginkan
Bunga Neraka, karena aku adalah pemilik dan
penjaganya. Aku telah memberikannya kepadamu.
Bila kau memang berkenan untuk mendapatkannya,
hiruplah sari Bunga Neraka tersebut. Maka kau akan
merasakan sesuatu yang lain pada dirimu."
"Mengapa begitu?"
"Kau bisa melihatnya nanti. Sekarang, pejamkan
matamu. Atur napas dari perut ke dada, dan tahan
sampai kuperintahkan untuk bernapas kembali. Kau
sudah bersedia untuk melakukannya, bukan?"
Tak ada jalan lain lagi bagi Andika, meskipun
bayang-bayang keraguan masih berputar-putar di
benaknya. Di satu segi, hatinya memang sangat
penasaran terhadap Bunga Neraka. Bukan semata
karena ingin memilikinya, tapi karena ingin melihat
seperti apa. Di segi lain, dia pun membenarkan kata-
kata Penjaga Gerbang Neraka. Bila saja ada orang
dari golongan sesat yang mendapatkannya, niscaya
akan bertindak kejam melebihi Raja Iblis sekali pun.
"Bila memang kau percaya kepadaku, aku akan
melakukannya," kata Pendekar Slebor kemudian.
Penjaga Gerbang Neraka tersenyum.
"Dan aku yakin, Ki Saptacakra tidak akan marah
keturunannya kupinjam untuk sementara."
"Dipinjam? Memang aku barang rongsokan?!"
Andika mendengus dalam hati, mendengar istilah
pijam itu. Lalu diturutinya kata-kata Penjaga Gerbang
Neraka.
Kedua mata Pendekar Slebor terpejam. Pikirannya
dikosongkannya dengan segera. Lalu napasnya diatur
melalui perut hingga ke dada. Di dadalah napasnya
ditahan.
Sesaat Andika merasakan seluruhnya gelap gulita.
Bahkan tak ada suara-suara yang terdengar. Namun
mendadak saja, si anak muda ini melihat sebuah titik
cahaya bersinar keemasan yang semakin lama
semakin mendekatinya. Berpendar-pendar dan mem-
berikan penerangan seketika.
Andika tidak tahu, kalau tiba-tiba saja tubuh
Penjaga Gerbang Neraka bagaikan limbung. Namun
lelaki tua kerempeng ini berusaha untuk menjaga
keseimbangan dan mengirimkan alam pikiran gaibnya
kepada Andika.
Dan yang membuat Andika merasa aneh, saat ini
dirasakannya hawa panas yang bergejolak. Tubuhnya
seketika mengeluarkan keringat.
Rasa panas itu bukan hanya bagaikan membakar
tubuh Andika, tetapi seluruh jiwanya. Pendekar Slebor
berusaha meronta dan menjerit. Namun, tak ada
gerakan apa-apa. Bahkan jeritan pun tak bisa
dilakukan.
"Bernapaslah!" seru lelaki tua kerempeng ini tiba-
tiba.
Yang dirasakan Pendekar Slebor kemudian, tubuh-
nya tiba-tiba terlontar ke satu alam yang sangat jauh.
Dan rasa panas pun semakin menyengat. Samar-
samar terlihat satu sosok tubuh berpakaian hitam-
hitam dengan rambut merah acak-acakan pun ter-
lontar mengikutinya! Siapakah dia?
***
4
Tubuh Andika terhempas di sebuah tempat yang
sangat tandus. Begitu pantatnya terhenyak di pasir
putih, saat itu juga si pemuda langsung bangkit.
Betapa tidak, pasir itu terasa panas menyengat
sekali!
"Busyet! Inikah yang dinamakan Gerbang Neraka?"
keluh Andika sambil memandang sekeliling.
Apa yang dilihat seluruhnya hanyalah lautan pasir
panas belaka. Udara yang berhembus pun begitu
panas. Keringat sudah langsung membanjir di tubuh-
nya.
"Uhh.... Kalau tahu begini sih, lebih baik tak usah
ke sini!" makinya jengkel.
Lantas mendapat petunjuk dari mana, Andika
segera mengalirkan tenaga dalam ke seluruh tubuh-
nya. Terutama, ke kedua kakinya, untuk menahan
rasa panas yang menusuk-nusuk. Mulai Andika me-
langkah. Dan yang membuatnya merasa aneh, ketika
mendongak ke atas, tak dirasakannya sinar matahari
yang menyengat.
"Edan! Apakah tidak ada matahari di sini? Lalu dari
mana hawa panas ini?"
Andika terus melangkah menyongsong udara
panas dan pasir menyengat. Tiba-tiba saja pen-
dengarannya menangkap suara raungan dan jeritan
minta ampun. Seketika, Andika menghentikan
langkahnya. Bersiaga!
Di luar sepengetahuan Pendekar Slebor, ada sosok
lain yang memperhatikan. Sementara suara jeritan
dan tangisan minta ampun terus terdengar. Andika
terus melangkah menuju sumber suara.
Tapi, mendadak saja si pemuda dari Lembah
Kutukan tersentak. Karena, di hadapannya ber-
geletakan puluhan sosok tubuh yang sedang me-
lolong kesakitan. Seluruhnya berada dalam keadaan
telanjang bulat. Tidak perempuan, tidak laki-laki.
Juga, tua dan muda. Semuanya berguling-guling di
atas pasir yang sangat panas. Bahkan lamat-lamat
terlihat kobaran api di bawah tubuh-tubuh itu. Seakan
bara api yang sedang memanggang.
"Gila! Kenapa mereka? Siapa mereka? Dan, bagai-
mana tahu-tahu bisa berada di hadapanku? Tadi kan
tidak ada apa-apa?" desis Andika, bingung.
Sesaat Pendekar Slebor melihat satu sosok tubuh
dengan wajah seperti Siluman Pedang Kembar
sedang kelojotan berguling. Tubuhnya sudah meng-
hitam dengan darah terus mengalir.
Sadarlah Andika, kalau mereka adalah orang-orang
yang menginginkan masuk ke Gerbang Neraka.
Mereka telah dibunuh oleh Penjaga Gerbang Neraka,
dan roh-roh mereka tidak kembali ke Sang Pencipta,
tapi terus tinggal di sini dulu untuk menebus segala
dosa. Entah berapa lama.
Kepala Andika cepat berpaling, tak tega melihat
penderitaan orang-orang itu. Ini benar-benar mengeri-
kan. Lebih mengerikan ketika dia terdampar di Alam
Sunyi, negeri bangsa siluman! (Baca serial Pendekar
Slebor dalam episode : "Neraka Di Keraton Barat").
Ketika berpaling kembali untuk melihat lagi bagai-
mana penderitaan orang-orang itu, Andika menjadi
terperangah. Karena, tak satu pun yang nampak di
depan matanya. Semuanya lenyap mendadak.
"Banyak keanehan selama ini yang kualami. Tetapi
apa yang kualami sekarang ini lebih aneh lagi,"
gumam Pendekar Slebor seraya berbalik lagi. "Hmm...
di mana aku harus mencari Bunga Neraka."
Andika melangkah lagi, melewati dataran pasir
yang panas dan kobaran api yang sesekali menyem-
bur ke atas. Terus terang, hatinya kecut juga. Jangan-
jangan, bila salah melangkah akan termakan api yang
mendadak berkobar.
Dan apa yang dikhawatirkan terbukti. Karena tiba-
tiba saja pasir yang dipijak bergerak. Sebelum terjadi
ancaman yang bisa merenggut nyawa, Pendekar
Slebor sudah melompat bergulingan. Saat itu juga
kobaran api yang luar biasa besar dan panasnya
menyembul keluar!
"Gila! Bisa mampus aku di sini!" rutuk Andika
sambil menepuk-nepuk seluruh tubuhnya karena
pasir-pasir panas itu menempel. Pakaian yang di-
kenakannya sudah bolong-bolong. Tetapi, kain
bercorak catur warisan dari Ki Saptacakra tetap utuh!
Otak si pemuda yang cerdik segera melepaskan
kain pusakanya, lalu meletakkannya di pasir panas.
Tetap utuh. Karena penasaran, ditekan kain itu
dengan kedua tangannya. Tak merasa panas. Bahkan
terasa sejuk.
Sadarlah Andika, kalau kain pusaka ini mampu
melindunginya dari panas. Maka, dikerudungkannya
kain bercorak catur di kepala. Sehingga panas yang
menyengat tidak lagi dirasakannya. Bahkan seluruh
tubuhnya seolah dilindungi kesejukan semata.
Mata Andika memandang ke sekeliling.
"Di mana aku harus mencari Bunga Neraka?" tanya
si pemuda sambil melangkah tak tentu arah.
Rasanya telah lama sekali Pendekar Slebor me-
langkah. Tetapi padang tandus itu tak habis-habisnya
membentang. Menurut perkiraannya, di alam sana
saat ini pasti sudah menjelang malam. Namun berada
di sini, nampaknya tak akan pernah ada malam.
Bahkan hawa panas yang menusuk-nusuk itu pun tak
berubah. Untungnya, Pendekar Slebor sudah menye-
limuti tubuhnya dengan kain pusaka bercorak catur.
"Aduhhh...!"
Tiba-tiba saja Andika mengaduh keras. Tubuhnya
bukan hanya terjajar ke belakang. Bahkan terpelan-
ting beberapa kali. Sambil berdiri tegak kembali,
pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu menatap
ke depan dengan kening berkerut.
"Heran? Kenapa aku jadi begini?" desisnya
bingung. "Padahal tak ada apa-apa di hadapanku."
Rasa penasaran mulai bergumpal di hati Andika.
Kakinya melangkah kembali. Dan lagi-lagi bagaikan
ada sebuah dinding tebal, tubuhnya terpentok dan
terpental kembali ke belakang. Kali ini keningnya
benjut sebesar telur puyuh.
Kepalanya terasa pusing sesaat. Tetapi bukan itu
yang dirasakan Andika. Penasaran di hatinya telah
berubah menjadi kejengkelan.
"Monyet pitak! Kutu kudis! Apa sih yang meng-
halangi langkahku!" maki Pendekar Slebor.
Lalu dengan gagahnya Andika melangkah lagi. Kali
ini kedua tangannya meraba-raba bagai orang buta.
Tetapi anehnya sampai melangkah cukup jauh,
tangannya tak menyentuh apa-apa. Bahkan, seakan
tak ada dinding penghalang apa pun di hadapannya.
Karena heran, Andika berhenti melangkah.
"Kenapa jadi begini? Mana yang menghalangiku
tadi. Mana?" Andika marah-marah sendiri.
Kembali Andika melangkah lagi tanpa meraba-raba
bagai orang buta. Dan....
Duukkk!
Kesombongan Andika terbalas. Tubuhnya kembali
terpental ke belakang dan bergulingan. Bahkan lebih
jauh dari yang pertama dan kedua. Sambil terduduk,
Pendekar Slebor mengusap-usap kepalanya. Dan
bingung bercampur geram. Masih untung kain
pusakanya masih membaluti tubuhnya. Kalau tidak,
sudah pasti akan tersengat pasir-pasir panas yang
melekat di sekujur tubuhnya.
"Brengsek!" maki Andika, sewot sendiri. "Mau
nantang, ya?!"
Andika bangkit. Begitu melangkah, kali ini kedua
tangannya bergerak bagaikan meraba-raba lagi.
"Apakah aku harus terus-menerus melangkah
bagaikan orang buta?" dengusnya, ketika melang-
kahkan kedua kakinya, lagi-lagi tak menyentuh apa-
apa. Bahkan tubuhnya dengan mulus bergerak.
Bagaikan tak terhalangi lagi.
Sambil melangkah, Andika terus memaki-maki
dirinya.
"Monyet pitak! Aku benar-benar dikerjai! Kenapa
sih mau-maunya datang ke Gerbang Neraka ini. Mana
perut sudah keroncongan lagi! Eh, apakah ada
warung pojok di sini?"
***
Apa yang dialami oleh Penjaga Gerbang Neraka
sepeninggalan Andika? Sesuatu yang tak disangka
memang dialami Penjaga Gerbang Neraka.
Rupanya tanpa setahu mereka, satu sosok tubuh
berpakaian hitam-hitam dengan rambut merah dan
jenggot merah pula mengintai apa yang sedang
dilakukan Penjaga Gerbang Neraka terhadap Andika.
Manusia itu tersenyum dan menyeringai sendirian.
Diam-diam dia telah menebarkan ajian 'Buyar
Sukma', sehingga kedatangannya tak diketahui
Penjaga Gerbang Neraka dan Pendekar Slebor.
Seringai lebar semakin nyata ketika lelaki ber-
jenggot merah itu mengetahui apa yang sedang
dilakukan Penjaga Gerbang Neraka terhadap Andika.
Ini adalah saat-saat yang ditunggunya. Seketika ter-
diam dengan kedua tangan mengatup di dada. Lalu
dengan ilmu batinnya, sosok yang di kalangan
persilatan dikenal sebagai Manusia Jenggot Merah itu
mengirimkan kendali pikirannya untuk menyadap
pikiran Penjaga Gerbang Neraka.
Saat itu, memang Penjaga Gerbang Neraka
merasa keanehan luar biasa pada dirinya. Pikiran
untuk menembus jalan masuk ke Gerbang Neraka
terasa terpecah. Seolah petunjuknya dikirimkan
kepada dua orang.
Meskipun merasakan keheranan itu, Penjaga
Gerbang Neraka terus mengirimkan pikiran alam gaib-
nya. Karena dia tahu, apa akibatnya bila meng-
hentikan tindakannya. Andika seketika bisa mampus
dengan tubuh hancur lebur!
Dan keheranan itu semakin dirasakan ketika angin
berkesiur cepat ke arahnya. Dan ini semakin mem-
buatnya untuk bertahan agar kesimbangannya jangan
sampai hilang. Sementara Andika sendiri tidak tahu
akan hal itu, karena masih harus menahan napasnya.
Hingga saat Penjaga Gerbang Neraka membentak
menyuruh Andika bernapas, dan bersamaan dengan
terpentalnya si pemuda ke alam yang aneh dan
panas itu, Manusia Jenggot Merah pun terlontar pula.
Lelaki berjengot merah berputaran beberapa kali,
dan tiba di Gerbang Neraka setelah beberapa saat
Pendekar Slebor tiba di sana. Matanya yang me-
mancarkan sinar merah memperhatikan sekeliling-
nya. Tak dilihatnya tubuh pemuda berpakaian hijau
pupus itu.
Tetapi Manusia Jenggot Merah sudah merasa
puas, karena tak perlu bersusah payah untuk
mendapatkan jalan masuk menuju Gerbang Neraka.
Tekadnya sudah bulat sekarang. Dia harus mem-
bunuh pemuda berbaju hijau pupus itu. Karena kini di
Gerbang Neraka, hanya ada dua anak manusia yang
akan memperebutkan Bunga Neraka!
Sementara, Penjaga Gerbang Neraka yang ter-
banting ke belakang dengan mulut dan hidung
mengeluarkan darah, seketika meraung keras, bagai-
kan serigala lapar!
Memang, lelaki kerempeng ini baru menyadari
kalau ada satu sosok tubuh lain yang tak diinginkan
telah masuk pula ke Gerbang Neraka. Untuk sekali
ini, lelaki yang telah seratus tahun menjaga Gerbang
Neraka kecolongan. Untuk sekali ini, lelaki tua yang
gagah itu menangis menyadari kebodohannya!
***
Kehidupan pada alam yang dinamakan Gerbang
Neraka sangat berbeda dengan kehidupan alam
nyata. Saat ini, Pendekar Slebor bukan hanya merasa
tenaganya sudah terkuras karena terus menerus
melangkah, melainkan perutnya yang sudah ke-
laparan dengan rasa puas menyengat.
Hawa panas itu terus menyergap kejam, lebih
kejam dari panggangan api unggun. Semuanya tak
memungkinkan Andika untuk beristirahat sekali pun.
Apalagi tak satu batang pohon pun yang hidup di
sana. Juga, tak ada gubuk atau rumah yang seperti
diharapkan Pendekar Slebor sekarang ini.
Hanya kebulatan hatinya saja sehingga Andika
terus melangkah untuk mencari Bunga Neraka yang
masih dipikirkannya. Seperti apa bunga itu? Di mana
letaknya?
Pertanyaan kedua itulah yang paling penting bagi
Pendekar Slebor. Karena sampai sejauh ini, pemuda
pewaris ilmu Lembah Kutukan melangkah tak sekali
pun melihat tumbuhan hidup di sana. Kedua tangan-
nya masih terus meraba-raba, bagaikan orang buta.
Tentu saja, Andika tidak ingin kepalanya harus ter-
bentur dinding tak terlihat lagi. Dan dia tak tahu harus
berapa lama lagi melakukannya.
Otot-otot di pangkal lengan sudah terasa nyeri,
sedikit menegang. Perasaan Andika saat ini benar-
benar tak karuan.
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor berhenti melang-
kah. Matanya yang setajam elang berkeliling, karena
telinganya menangkap sebuah gemuruh yang keras
sekali. Malah semakin lama semakin keras.
Belum lagi Andika menyadari apa yang terjadi, tiba-
tiba saja pasir yang dipijaknya longsor. Amblas ke
dalam bumi!
Andika memekik keras sambil berusaha mengem-
pos tubuhnya untuk keluar dari longsoran pasir yang
tiba-tiba itu. Namun bagaikan ada sebuah tenaga
gaib yang menyedotnya, tak kuasa Andika menahan.
Sukar ditentukan, tempat mana yang bisa dijadikan
pijakan kakinya. Kalang kabut dia.
Sekuat tenaga Pendekar Slebor mengerahkan
segenap kemampuan agar tidak tersedot kekuatan
gaib yang kuat dan aneh itu. Kalau tadi dia meng-
alami dua bahaya beruntun, tetapi bahaya yang
sekarang ini lebih mengerikan.
Wajah tampannya terasa ditampar tenaga kasat
mata yang menyedot tubuhnya. Sekuat tenaga Andika
bertahan. Dan saat itu dilepaskan kain bercorak
caturnya yang sejak tadi menyelimuti kepalanya.
Wuuut...!
Sekuat tenaga, Andika mengebut kain pusaka itu
ke arah tenaga yang menyedotnya. Sekali dia merasa-
kan kalau tenaga gaib itu hilang. Dirinya kini sedikit
terbebas.
Namun, kembali tiba-tiba saja tenaga itu datang.
Bahkan lebih mengerikan lagi. Seluruh tanah berpasir
panas itu bagaikan melesak ke dalam!
Kali ini Andika tak mampu berbuat apa-apa,
karena kesimbangannya telah hilang. Dan tubuhnya
terus meluncur deras ke dalam bumi.
***
5
Lain yang dialami Andika, lain pula yang dialami
Prana Bantoro alias Penjaga Gerbang Neraka
sekarang ini. Meskipun hatinya sedih sekaligus
geram, namun telinganya tetap bekerja dengan baik
ketika mendengar satu sosok tubuh ramping datang
mendekatinya.
Kepala Prana Bantoro tak terangkat. Hatinya luka
penuh amarah.
Sosok ramping yang baru datang itu cukup aneh.
Tubuhnya bungkuk, ada punuk seperti onta di atas-
nya. Pakaiannya compang-camping. Rambutnya
panjang menjuntai ke bawah setiap kali melangkah.
Di tangannya terdapat sebuah tongkat berkepala ular
di ujungnya.
Sosok bungkuk itu terkekeh. Suaranya tak ubah-
nya burung hantu. Dari kekehannya bisa diketahui
kalau dia adalah seorang wanita.
"Prana Bantoro.... Aku, Dewi Ular Hitam, kembali
lagi untuk menghadapimu...."
Prana Bantoro alias Penjaga Gerbang Neraka tak
menyahut.
Si nenek yang ternyata berjuluk Dewi Ular Hitam
mengeluarkan kekehannya lagi. Lima puluh tahun
yang lalu, dia pernah mencoba mengalahkan Penjaga
Gerbang Neraka, sekaligus mencari tahu jalan
menuju Gerbang Neraka.
Meskipun pernah dikalahkan, Dewi Ular Hitam tak
pernah kapok. Hatinya memang telah tumpul, terbalut
dendam. Lima puluh tahun itu adalah waktu yang
sangat lama menyimpan dendam. Dan dia telah
menggembleng dirinya dengan ajian-ajian aneh yang
hebat. Kali ini kedatangannya selain mencari tahu
jalan masuk menuju Gerbang Neraka, juga untuk
menghancurkan sekaligus membalas dendamnya
pada Prana Bantoro.
"Apakah kau sudah melupakanku, Kerempeng?"
usik Dewi Ular Hitam. "Aku datang untuk mencabut
nyawa hinamu! Hhh! Kau lihat hasil pukulanmu lima
puluh tahun yang lalu! Tubuhku yang bagus, kini
harus membungkuk terus menerus. Bahkan ada
punuk yang tiba-tiba tumbuh, karena terlalu keras
mengerahkan seluruh tenaga dalamku untuk
menahan luka yang kuderita!"
Penjaga Gerbang Neraka tetap tak menyahut. Dia
masih merutuki diri sendiri, menyesali kebodohannya
karena ada orang lain yang berhasil masuk ke
Gerbang Neraka. Kalau begini akhirnya, rasanya sia-
sia saja menjaga Gerbang Neraka selama seratus
tahun.
Lelaki kerempeng itu tak menggubris setiap kata-
kata Dewi Ular Hitam yang selalu disertai makian.
Bahkan dibiarkannya saja tubuhnya terbanting, ketika
Dewi Ular Hitam mengibaskan tongkatnya.
Dari mulut Prana Bantoro mengeluarkan darah.
Tetapi dia tetap tak bergeming.
"Hhh! Apakah kau sudah melupakan kehebatan
dan kesombonganmu itu, Penjaga Gerbang Neraka?!"
bentak Dewi Ular Hitam.
"Apa pun yang hendak kau lakukan, aku me-
nerimanya, Dewi Ular Hitam...."
Tiba-tiba terdengar kata-kata Penjaga Gerbang
Neraka. Pelan, penuh helaan napas. Seolah sifat dan
sikapnya yang asli telah berubah. Prana Bantoro
benar-benar merasa tak ada artinya lagi karena
kecolongan secara mudah.
"Permainan apa lagi yang kau berikan ini, hah?!"
bentak Dewi Ular Hitam sengit.
Penjaga Gerbang Neraka tak menjawab, hanya
menundukkan kepalanya.
"Apakah kau pikir, aku akan membiarkanmu hidup,
setelah kau menyiksaku selama lima tahun?! Tidak,
Kerempeng! Kau harus mampus!" bentak si perem-
puan bungkuk lagi.
"Lakukanlah...."
Dewi Ular Hitam benar-benar merasa diejek oleh
pernyataan Penjaga Gerbang Neraka. Tiba-tiba saja
tubuhnya meluruk laksana kilat. Tongkatnya dikibas-
kan ke arah Penjaga Gerbang Neraka. Tongkat itu
bukan hanya akan mengepruk hancur kepala, bahkan
akan melumat tubuh Prana Bantoro.
"Heaaa...!"
Trak!
Dewi Ular Hitam mundur dengan wajah berubah
ketika serangan mautnya dihalangi sambaran lain. Si
perempuan bungkuk ini berdiri sigap di tempatnya
kembali.
"Rupanya ada orang iseng yang ingin mem-
perebutkan Bunga Neraka!" bentaknya.
Dari salah satu semak yang rimbun, seorang lelaki
berpakaian putih-putih muncul. Sorban berwarna
hitam bertengger di kepalanya yang lonjong. Di
tangannya, terdapat sebuah tongkat berwarna putih.
Wajahnya yang penuh keriput masih memperlihatkan
sisa-sisa ketampanannya di masa muda. Sepasang
matanya begitu lembut. Yang aneh, rambutnya bak
untai emas yang sangat indah. Teratur.
"Dewi Ular Hitam rupanya siap mencabut nyawa
orang tak berdaya...," tegur sosok bermata bijaksana
itu.
Kening Dewi Ular Hitam berkerut dengan mata
memicing. Dari mulutnya terdengar dengusan pelan
bernada gusar.
"Kalau tidak salah, yang datang adalah Penghulu
Segala Ilmu...."
Lelaki tua tampan berambut emas itu hanya
tersenyum saja.
"Rupanya, julukan yang tak berarti itu masih ada
saja yang mengingatnya," kata lelaki berjuluk
Penghulu Segala Ilmu.
"Siapa yang tak mengenal Penghulu Segala Ilmu?
Sosok yang dulu bertualang sampai ke seberang
lautan, dan sekarang menjadi penunggu rumah tua!"
sahut Dewi Ular Hitam, mengejek.
Penghulu Segala Ilmu terbahak-bahak.
"Aku sudah tua.... Itulah sebabnya aku tidak
pernah lagi bertualang. Tetapi, naluri petualangku ini
pun selalu memanggil-manggilku."
Dewi Ular Hitam memandang geram. Dia tahu,
siapa Penghulu Segala Ilmu. Nama besarnya sampai
sekarang masih berkumandang meskipun telah lama
tidak nongol dalam rimba persilatan. Penghulu Segala
Ilmu mempunyai seorang murid yang kehebatan
ilmunya tak perlu disangsikan lagi. Beberapa bulan
lalu, Pendekar Slebor pun pernah dibuat kocar-kacir
oleh Malaikat Peti Mati yang merupakan murid
Penghulu Segala Ilmu (Untuk lebih jelasnya, silakan
baca: "Malaikat Peti Mati").
"Lalu apa maumu hadir di Hutan Kegelapan ini?"
"Mana aku tahu? Toh aku cuma berjalan-jalan
saja. Hei, Sobat!" seru Penghulu Segala Ilmu pada
Penjaga Gerbang Neraka yang masih berdiam diri
dengan menundukkan kepala. "Kulihat kau seperti
sedang bermuram durja? Apakah ada sesuatu yang
merisaukanmu?"
Penjaga Gerbang Neraka tak menjawab. Justru
Dewi Ular Hitam yang meledakkan kemarahannya.
Dia berpikir, dengan hadirnya Penghulu Segala Ilmu
yang merupakan dedengkotnya golongan lurus, bisa
dipastikan segala niatan dan keinginannya tak bisa
terlaksana.
Belum lagi Prana Bantoro menyahuti kata-kata
Penghulu Segala Ilmu, Dewi Ular Hitam sudah mener-
jang dengan kibasan dahsyat tongkatnya.
Werrr...!
Angin laksana topan badai bertiup saat Dewi Ular
Hitam menghibaskan tongkatnya.
"Heran... Masih ada saja orang yang telengas
seperti kau ini!" desah Penghulu Segala Ilmu tanpa
beranjak dari tempatnya.
Namun begitu serangan Dewi Ular Hitam men-
dekat, tiba-tiba saja lelaki tua ini menggerakkan
tongkatnya yang berwarna putih.
Wuuut! Bummm!
Dua tongkat yang telah dialirkan tenaga dalam
tinggi bertemu, menimbulkan ledakan dahsyat. Bumi
seketika bergetar. Pepohonan bukan hanya tumbang,
tapi tercabut hingga akarnya yang terdalam. Tubuh
Penjaga Gerbang Neraka pun terpelanting ke tanah.
Namun seolah tak ada kejadian itu, dia kembali
berdiri dengan kepala tetap tertunduk.
Dewi Ular Hitam semakin murka. Maka jurus-jurus
aneh yang penuh tenaga dalam dan menebarkan
maut dilancarkannya dengan gencar. Sementara,
Penghulu Segala Ilmu pun menghadapinya dengan
kecepatan sama.Blammm!
Hingga yang terdengar hanyalah suara bagaikan
ledakan. Dan bumi pun bergoyang berkali-kali.
Dalam sekilas saja, lima jurus aneh menggidikkan
pun terbuang sia-sia tanpa ada yang kalah atau
menyerah. Kalau Penghulu Segala Ilmu menyerang
tetap menggunakan perasaan keadilannya, lain
halnya Dewi Ular Hitam. Wanita bungkuk ini mencecar
membabibuta, menginginkan kematian Penghulu
Segala Ilmu secepatnya. Karena lelaki tua itu di-
anggap telah mengacaukan seluruh rencananya.
Benturan tongkat tadi sebenarnya telah menimbul-
kan rasa ngilu dan kesemutan di tangan masing-
masing. Namun mereka tetap nampak tegar. Masing-
masing tetap pada jalur kekuatannya.
Keanehan terjadi. Ketika lima jurus berlalu
kembali, Penghulu Segala Ilmu tahu-tahu lenyap
begitu saja dari pandangan Dewi Ular Hitam. Dan
sesungguhnya, dia tidak menghilang. Tetapi mem-
pergunakan kecepatannya yang dinamakan ajian 'Lari
Sukma' yang bisa membuatnya bergerak laksana
hantu. Bahkan desir angin saat tubuhnya bergerak
tak terdengar!
Selagi Dewi Ular Hitam celingukan heran, tiba-tiba
merasakan angin berkesiur cepat di belakangnya.
Sigap, tongkatnya digerakkan. Tubuhnya berbalik dan
menangkis.
Trak!
Dalam keadaan membelakangi seperti itu sudah
bisa dipastikan kekuatan yang keluar tidak penuh.
Apalagi, Penghulu Segala Ilmu bagaikan tinggal
menggetok lawan yang tak berdaya.
Akibatnya, Dewi Ular Hitam bergulingan karena
terdorong tenaga pukulan tongkat Penghulu Segala
Ilmu. Tangannya benar-benar terasa patah. Dia
merasa ajalnya sudah tiba. Tetapi perempuan ber-
punuk ini membelalakkan matanya. Ternyata
Penghulu Segala Ilmu hanya berdiri tegap dengan
tatapan dingin.
"Kuampuni nyawamu, Dewi Ular Hitam," gumam si
lelaki tua.
"Persetan dengan ucapanmu itu! Aku akan
mengadu jiwa denganmu!"
Sehabis berkata begitu, Dewi Ular Hitam meng-
empos tubuhnya lagi. Tongkatnya diputar di atas
bagaikan baling-baling. Angin yang keluar sangat
dahsyat dan mengerikan. Malah sorban hitam yang
dikenakan Penghulu Segala Ilmu sampai terbang!
"Kau terlalu memaksa!" desis Penghulu Segala
Ilmu.
"Mampuslah kau!"
Dikawal gerengan keras, Dewi Ular Hitam bergerak
menyerbu dengan kecepatan dan kekuatan penuh.
Pusaran angin yang ditimbulkan tongkatnya, mem-
buat Penghulu Segala Ilmu merasakan dirinya
bagaikan diserbu ribuan jarum tajam.
Maka dengan gerakan luar biasa tubuh Penghulu
Segala Ilmu berputar. Kecepatannya lebih daripada
yang diperlihatkan tongkat Dewi Ular Hitam.
Dan tiba-tiba saja, Dewi Ular Hitam terjengkang ke
belakang dan bergulingan. Wajahnya tadi bagaikan
ditampar oleh pukulan aneh yang tak terlihat.
Rambutnya yang panjang semakin acak-acakan.
Rontok, pula!
Menyadari hal itu, piaslah wajah Dewi Ular Hitam.
Apalagi ketika hendak bangkit. Dia langsung menjerit
setinggi langit. Karena, tulang iganya yang sudah
bengkok patah beberapa buah!
Namun kegeraman dan kesombongannya semakin
menjadi-jadi. Matanya menatap penuh amarah.
"Kau telah lancang mengganggu kesenanganku,
Orang Tua! Suatu saat, kau akan merasakan bagai-
mana sakitnya mati dalam keadaan tersiksa!" ancam
si perempuan bungkuk, mendesis.,
Penghulu Segala Ilmu hanya menyeringai saja.
Sekujur tubuhnya pun terasa linu. Lalu dilihatnya
Dewi Ular Hitam berkelebat membawa dendam.
Penghulu Segala Ilmu menghela napas. Ditariknya
hawa murninya melalui mulut, lalu dialirkannya pada
seluruh tubuhnya. Sesaat kemudian badannya terasa
sudah segar kembali.
Kini si tua bersorban itu menghampiri Penjaga
Gerbang Neraka yang masih berdiri dengan kepala
tertunduk.
"Sobat..., mengapa kau murung?" sapa Penghulu
Segala Ilmu.
"Sobat Penghulu Segala Ilmu.... Akulah orang tua
yang paling malang di dunia ini," sahut Penjaga
Gerbang Neraka, mendesah.
"Ceritakanlah masalahmu...."
Penjaga Gerbang Neraka pun bercerita, apa yang
menjadi kesusahan darinya.
"Kalau sudah begitu, mengapa tidak segera
menyusulnya saja?" tanya Penghulu Segala Ilmu
kemudian.
Penjaga Gerbang Neraka menggeleng.
"Bila ada yang masuk kembali ke Gerbang Neraka,
maka akan hancur seketika terkena kobaran api yang
sangat panas. Ilmu jenis apa pun tak akan mampu
menahannya," jelas Prana Bantoro.
"Hei?! Mengapa bisa begitu?" tanya Penghulu
Segala Ilmu, ingin tahu.
"Ada pantangan yang tak bisa dilanggar di Gerbang
Neraka. Tak boleh lebih dari dua orang yang
memasuki tempat itu. Karena orang ketiga yang
masuk, akan punah seketika. Kecuali, bila dua orang
yang pertama masuk tadi, sudah keluar keduanya.
Atau salah seorang dari mereka."
"Kalau begitu, apa yang harus dicemaskan?" tanya
Penghulu Segala Ilmu lagi. "Aku yakin, Pendekar
Slebor akan mampu menjaga diri."
"Bukan soal itu yang kucemaskan. Bukan pula soal
manusia laknat yang masuk dengan menyadap
pikiranku. Melainkan, aku tak bisa mengendalikan
Pendekar Slebor dan menunjukkan tempat Bunga
Neraka berada. Karena, Gerbang Neraka hanyalah
sebuah tempat maut yang tak bisa dilupakan orang.
Sekali seseorang datang, maka dia bertekad tak akan
pernah mendatanginya lagi."
Penghulu Segala Ilmu terdiam. Samar-samar
dicobanya membayangkan bagaimana kejam dan
mengerikannya tempat yang dinamakan Gerbang
Neraka. Entah dengan cara bagaimana, Penjaga
Gerbang Neraka menemukannya.
"Seratus lima tahun yang lalu, aku tak sengaja tiba
di Hutan Kegelapan ini. Saat itu, aku sangat letih
sekali hingga tertidur. Dalam tidurku, aku didatangi
sesosok bayangan putih yang memancarkan hawa
panas luar biasa. Yang teristimewa, sekujur tubuh itu
mengeluarkan api berkobar-kobar. Dan seperti halnya
peristiwa gaib yang tak kumengerti, bayangan putih
itu mengadakan perjanjian denganku. Dia akan me-
nurunkan ilmu-ilmu aneh yang dahsyat kepadaku,
dengan imbalan agar aku menjaga Bunga Neraka.
Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa. Dalam
mimpiku, aku mengiyakan saja. Dan mendadak saja,aku bagaikan dilatih ilmu-ilmu yang dahsyat,
sekaligus mengerikan. Lalu, aku pun diajak menuju
tempat yang dinamakannya Gerbang Neraka. Di
sanalah aku diperlihatkan Bunga Neraka yang sangat
langka dan aneh. Malah kabarnya mengandung
khasiat yang sangat luar biasa. Sekali lagi di sana aku
diminta untuk menjaga Bunga Neraka dengan seluruh
jiwa dan ragaku. Bahkan sampai akhir hayatku. Aku
diperkenankan untuk memberikan Bunga Neraka
pada seseorang yang memang berjiwa mulia. Dan
tentunya, tepat menurut pilihanku. Karena, bila aku
salah memberikan, akibatnya bencanalah yang akan
terjadi," tutur Prana Bantoro.
Sejenak lelaki ini terdiam. Berusaha mengumpul-
kan ingatannya.
"Ketika aku terbangun, aku hanya menganggapnya
sebuah mimpi saja. Makanya, aku langsung mening-
galkan tempat itu. Maksudku, tempat yang kita pijak
sekarang ini. Tetapi yang terasa aneh, ketika dalam
perjalanan, aku dihadang lima begundal bersenjata
parang besar. Padahal selama ini, aku tak pernah
merasa memiliki kepandaian apa-apa. Akan tetapi,
saat secara tak sengaja aku mengibaskan tangan,
mereka terpental! Bukan hanya itu saja yang terjadi.
Mereka bahkan mati seketika. Saat itulah aku ber-
pikir tentang diriku. Masih tak percaya apa yang
terjadi, kukibaskan lagi tanganku pada pohon-pohon.
Hasilnya, pohon-pohon itu berterbangan. Sadarlah
aku, apa yang terjadi. Rupanya, mimpi yang kualami
bukanlah mimpi biasa. Melainkan, mimpi yang luar
biasa!"
Kembali Prana Bantoro terdiam. Kali ini untuk
mengairi tenggorokannya.
"Lalu, aku teringat pada janjiku. Hingga akhirnya,
kuputuskan untuk kembali lagi dan menjaganya
sampai saat ini. Aku juga diberi petunjuk menuju
Gerbang Neraka. Dan sekarang, selama seratus
tahun menjaganya, aku baru saja kecolongan oleh
orang serakah yang berhasil menyusup masuk."
Penghulu Segala Ilmu terdiam mendengarkan
cerita Penjaga Gerbang Neraka. Memang cerita yang
tak masuk akal. Namun pada nyatanya, semuanya itu
terjadi begitu saja.
"Lalu, petunjuk apa lagi yang hendak kau sampai-
kan pada Pendekar Slebor?" tanya si tua bersorban
pelan.
Sejak bercakap-cakap dengan Penghulu Segala
Ilmu, baru kali ini Penjaga Gerbang Neraka meng-
angkat kepalanya. Matanya yang setajam tatapan
serigala, kini meredup.
"Ada tempat-tempat aneh yang sangat mengerikan
dan mampu membuat nyawanya melayang," sahut
Prana Bantoro.
"Aku yakin, dengan seluruh ilmu yang dimiliki dan
kecerdikannya, Pendekar Slebor akan mampu meng-
atasi berbagai rintangan. Aku percaya padanya,
karena sekali pernah berjumpa dengannya. Meski-
pun..., dia hanyalah seorang manusia biasa. Seperti
kita yang terkadang mempunyai keapesan," kata
Penghulu Segala Ilmu, setelah lama tercenung.
"Itulah yang kukhawatirkan. Ada 'Semburan Api',
Dinding Neraka'. Dan yang paling mengerikan,
'Kuburan Neraka'. Entahlah, apakah dia akan mampu
mengatasinya. Terutama, 'Kuburan Neraka'. Karena
aku sendiri tidak pernah diberitahukan, bagaimana
caranya ke luar atau mengatasi tempat yang dinama-
kan "Kuburan Neraka'. Dan aku tak tahu, rahasia
apalagi yang ada di Gerbang Neraka. Mungkin tidak
ada, mungkin pula masih banyak yang tidak ku-
ketahui," desah Prana Bantoro.
Tak ada yang bersuara. Masing-masing dicekami
alam pikiran. Peristiwa itu begitu gaib. Begitu sulit
diterima akal. Namun pada kenyataannya, memang
seperti itulah.
"Apakah tak ada jalan lain lagi untuk masuk
menuju Gerbang Neraka?" tanya Penghulu Segala
Ilmu, memecah keheningan.
***
6
Andika yakin, tubuhnya saat ini terbanting di tempat
yang jauh sekali. Menyusul, rasa perih yang menyiksa
akibat butiran pasir yang seakan menyelimuti tubuh-
nya. Masih untung matanya bisa dipejamkan se-
hingga tak kemasukan sebutir pasir pun. Namun
harapan untuk keluar dari sana, Andika benar-benar
pusing tujuh keliling. Karena begitu tubuhnya
terhempas ke dasar bumi, tiba-tiba pasir-pasir itu
mengatup kembali!
Seketika suasana menjadi gelap. Andika tak berani
membuka matanya. Dan napasnya terasa sesak luar
biasa. Butiran pasir telah masuk ke hidungnya, meng-
ganggu jalan pernapasannya. Selebihnya yang dirasa-
kan hanya gelap.
Entah berapa lama Andika tersekap di tempat yang
sebenarnya bernama 'Kuburan Neraka'. Yang jelas,
tahu-tahu napasnya terasa lapang. Bahkan himpitan
keras 'Kuburan Neraka' tak lagi dirasakannya. Tubuh-
nya pun bisa digerakkan.
Perlahan-lahan Andika membuka matanya. Dan
dirasakannya suatu perubahan aneh. Begitu matanya
membuka, justru keheranan yang terjadi. Keningnya
berkerut dengan mata memicing. Matanya langsung
memperhatikan sekelilingnya yang jauh berbeda
dengan apa yang dialaminya tadi.
Tempat di mana Pendekar Slebor berada sekarang
ini berupa tempat berdinding empat. Ada sebuah
pintu berukiran kobaran api. Dinding-dinding itu
berwarna biru. Dan yang lebih mengejutkannya,
tubuhnya terasa berdenyut pelan, empuk, dan
nyaman. Dan si pemuda terperangah ketika me-
nyadari berada di sebuah kasur yang empuk dengan
aroma wangi.
"Busyet! Di mana aku ini? Apakah sebenarnya yang
terjadi? Aku bermimpi?" tanyanya tak mengerti.
Pendekar Slebor mengangkat tubuhnya yang ber-
baring. Terasa desir angin dingin mengusap sampai
daerah terlarangnya.
"Edan! Aku telanjang bulat!" sentak Andika,
langsung melotot.
Memang, saat ini Pendekar Slebor hanya di-
selimuti sehelai kain berwarna biru, bersulamkan
kobaran api. Dan di balik selimut tubuhnya tak
mengenakan sehelai benang pun!
"Ampun.... Siapa orang yang iseng menelanjangiku
begini rupa!" maki si pemuda setengah kaget
setengah jengkel.
Belum lagi Andika mengetahui apa yang dialami-
nya, pintu berukiran kobaran api itu terbuka. Muncul
satu sosok ramping berpakaian merah menyala
dengan langkah gemulai. Wajahnya bagaikan dewi
kayangan dalam dongeng. Bibirnya tipis, tersaput
pemerah yang menawan. Hidungnya bangir me-
nambah kelengkapan kecantikannya. Matanya
lembut dengan bulu mata lentik dan sepasang alis
hitam. Rambutnya indah tergerai panjang. Kedua
pipinya bening sehalus pualam. Yang lebih
mengejutkan Andika, pakaian merah menyala yang
dikenakannya tembus pandang, hingga memper-
lihatkan kesempurnaan lekuk tubuhnya. Sayang, di
balik pakaian merawangnya, dia mengenakan dua
helai kain berwarna biru yang menutupi auratnya.
Sesaat Pendekar Slebor melotot dengan dada tak
karuan. Hatinya semakin heran menyadari semua itu.
Di manakah dia berada saat ini? Bukankah tadi
berada di Gerang Neraka? Dan, siapakah gadis jelita
yang menggairahkan ini?
"Kau sudah bangun, Orang Asing...," sapa si gadis.
Suaranya merdu, mengandung kekuatan menggoda.
Sesaat Andika hanya bisa mengangguk saja.
Sementara, matanya yang nakal terus memper-
hatikan wajah dan tubuh gadis itu. Tetapi sesaat
kemudian wajahnya menjadi memerah dan buru-buru
memalingkan kepalanya.
"Enakkah tidurmu?"
Gadis itu mendekati. Semakin dekat, penciuman
Pendekar Slebor semakin lekat mengendus aroma
wangi di hadapannya.
Si pemuda masih ingin melampiaskan kedong-
kolannya. Karena tubuhnya ditelanjangi seperti itu.
"Enak, enak! Pakaianku mana?!" maki Andika.
Tanpa peduli, gadis cantik ini mengangkat sebuah
teko yang berwarna keemasan, juga bergambar
kobaran api di tengahnya. Diangkatnya sebuah
cangkir yang mungil. Dituangnya isi teko itu. Cairan
berwarna merah. Lalu dengan gerakan yang gemulai
disodorkannya pada Andika.
"Minumlah, Orang asing..., ujar si gadis.
Andika mengerutkan keningnya. "Mana pakaian-
ku? Apa aku akan dibiarkan kedinginan tanpa
pakaian. Hm.... Aku ada usul, bagaimana kalau kita
sama-sama bu....
"Sebentar lagi pakaianmu akan diantarkan.
Silahkan minum!" potong si gadis, tak ingin si pemuda
mengumbar suara.
"Soal minum gampang!" kali ini Andika mem-
bentak.
Di tempat yang sangat asing seperti ini, sudah
tentu Pendekar Slebor tak menginginkan kejadian
yang lebih mengerikan lagi. Dia harus berhati-hati.
Makanya, cangkir yang disodorkan tak diraihnya.
Dipandanginya gadis jelita yang duduk di tepi ranjang
yang ditidurinya.
"Kau ini siapa sih?" tanya Andika.
Gadis itu meletakkan kembali cangkir yang berisi
cairan merah.
"Namaku Rawangi. Siapa namamu, Orang Asing?"
"Andika. Eh, kalau boleh tahu, aku berada di
penginapan apa? Kok bagus benar tempatnya?" tanya
Andika, lugu.
"Kau berada di dalam Istana Gerbang Neraka.
Kalau saja aku tidak melihatmu, kau pasti sudah mati
tersedot pasir di 'Kuburan Neraka'.
Andika mengingat-ingat lagi kejadian yang dialami-
nya. Semuanya terulang bagai rekaman belaka dan
membuatnya benar-benar tak mengerti.
"Istana Gerbang Neraka?"
"Ya! Kau berada di Istana Gerbang Neraka,
Andika."
"Ah, kalau begitu aku mau pulang saja. Mana
pakaianku?"
Gadis bernama Rawangi tersenyum geli.
"Pulang? Bagaimana caranya kalau kau bisa
pulang? Andika.... Kau telah masuk ke Istana
Gerbang Neraka, maka selamanya akan menjadi
penghuni di sini."
Andika melotot.
"Tidak..., tidak.... Aku lebih suka di alam bebas.
Bisa mandi di sungai, main di sawah, dan sebagainya.
Lalu Pendekar Slebor menyingkapkan selimutnya.
Tetapi sesaat kemudian ditariknya kembali dengan
wajah memerah. Brengsek! Maki Andika dalam hati
begitu melihat Rawangi terkikik sambil berpaling.
"Mana pakaianku?!" tanya Pendekar Slebor, sewot.
Tanpa menoleh Rawangi bertepuk tangan dua kali.
Pintu di kamar itu terbuka. Lagi-lagi muncul satu
sosok ramping berpakaian berwarna biru tembus
pandang. Di tangannya terdapat pakaian berwarna
hijau pupus dan sehelai kain bercorak catur.
Rawangi berdiri.
"Berikan pakaian itu kepadanya," ujar Rawangi
sambil melangkah keluar.
"Baik,Tuan Putri...."
Andika langsung menyambar pakaiannya. Dan
matanya terbelalak ketika gadis yang mengantarkan
pakaian masih berada di sana, duduk bersimpuh.
"Eh! Keluar sana! Aku mau berpakaian!"
"Tuan Putri memperintahkan hamba untuk me-
layani Paduka."
"Paduka...?"
Andika menghentikan cerocosnya. Siapa yang di-
maksud dengan Paduka? Lalu, diperhatikannya gadis
itu yang menundukkan kepalanya. Tiba-tiba, otak jahil
Andika muncul.
"Kalau tidak mau keluar, jangan salahkan kalau
kau menjerit melihat ular kadut!"
Andika yakin, wajah gadis itu bersemu merah.
Dipikirnya, gadis itu akan meninggalkan tempat itu.
Tetapi, nyatanya masih bersimpuh di sana.
Baik-baik! Kata Andika dalam hati. Lalu si pemuda
pun bangkit sambil memegang selimutnya.
"Kuhitung sampai tiga, aku akan membukanya."
Tetapi gadis itu tetap tak bergeming sedikit pun.
Justru Andika yang menggaruk-garuk kepalanya.
Walah, gadis ini tak bisa digertak dengan ular kadut!
Mungkin urat malunya telah putus! Rutuk Pendekar
Slebor jengkel.
Hingga akhirnya Andika sendiri yang kerepotan
mengenakan pakaiannya kembali.
"Kalau kau mau melayani aku dan menuruti
perintahku, keluar sana," ujar Andika, enteng. "Oh, ya.
Siapa namamu?"
Gadis itu mengangkat kepalanya.
"Srisisi, Paduka," sahut si gadis.
"Siapa yang kau panggil Paduka?"
"Paduka sendiri. Dan, bukankah Paduka akan
menikah dengan Tuan Putri Rawangi?" tukas gadis
bernama Srisisi.
"Menikah...?"
Andika melengak dengan mata melotot. Namun
kemudian dia teringat sesuatu.
"Hei, kau tahu di mana Bunga Neraka berada?"
tanya Pendekar Slebor.
Kali ini Andika melihat wajah itu mengerjap berkali-
kali.
"Paduka jangan membicarakan soal Bunga Neraka
disini. Kalaupun Paduka ingin tahu, jangan bertanya
pada hamba...."
Andika menyadari perubahan wajah yang terjadi
pada Srisisi. Gadis itu tiba-tiba ketakutan sekali,
seolah memang ada pantangan yang tak boleh
dilanggar.
"Kenapa?"
"Maaf.... Maatkan hamba, Paduka," ucap Srisisi
cepat. Kepalanya menggeleng-geleng pucat, lalu ber-
diri terburu-buru. "Paduka tadi meminta hamba
keluar, bukan? Maka, hamba akan keluar...."
Andika cepat menyambar tangan yang halus itu.
"Tunggu! Aku ingin meminta penjelasan darimu."
"Oh...! Tidak, Paduka.... Jangan...."
"Kenapa kau takut seperti itu? Kenapa memang-
nya? Ada apa sebenarnya?" kejar Andika.
Srisisi tetap menolak permintaan Andika yang
justru semakin penasaran. Dan sebelum kelanjutan
itu terjadi, pintu sudah terbuka.
Rawangi muncul dengan tatapan memerah.
Srisisi menundukkan kepalanya, penuh ketakutan.
Tubuhnya menggigil tak karuan. Andika melepas-
kan cekalan tangannya sambil nyengir kuda.
"Kalau kau ingin melihat tubuhku sekali lagi, kau
terlambat. Aku sudah mengenakan pakaianku," kata
Andika, berlagak garang.
Rawangi tak menghiraukan kata-kata Andika itu.
Justru dia menatap tajam Srisisi.
"Kembali ke tempatmu!" ujar Rawangi, tegas.
Bagaikan menemukan napas kembali, Srisisi
langsung keluar dengan tubuh terbungkuk-bungkuk.
Andika bertambah penasaran saja. Ada apa
sebenarnya? Dia teringat lagi pada Penjaga Gerbang
Neraka yang mengirimnya ke Gerbang Neraka.
Apakah Penjaga Gerbang Neraka mengetahui semua
ini? Atau, tidak sama sekali? Ah! Bodohnya dia mau
masuk ke Gerbang Neraka yang aneh dan penuh
kegaiban itu!
Sementara Rawangi kini sedang menatap tajam-
tajam pada Andika.
"Jangan bertindak bodoh di sini!" desis Rawangi.
Andika tertawa.
"Kau akan terkejut mengetahui, betapa cerdiknya
aku," selorohnya.
Rawangi mengeluarkan dengusan dingin. "Bila kau
sudah selesai berpakaian, aku mengundangmu
makan."Andika tiba-tiba merasa perutnya sangat lapar.
Menurut perasaannya, sudah berhari-hari cacing-
cacing dalam perutnya tak diempani.
"Undangan yang sangat kutunggu...."
Rawangi tak menjawab. Dia mendahului melang-
kah.
***
Selesai makan, Andika diajak ke sebuah taman
yang benar-benar seperti surga. Ada kolam yang
penuh bunga mirip teratai, hanya saja berwarna biru
bersih. Beberapa ekor ikan berenang ke sana kemari.
Di tengah kolam, air mancur melenggak-lenggok
keluar dari mulut patung berbentuk gadis kecil. Di
ujung sana, tumbuh sebuah tanaman berbuah sangat
lebat.
Sungguh, Andika tidak bisa mengerti dengan apa
yang dialaminya sekarang. Kalau sebelum menjumpai
padang pasir yang tandus dan panas menyengat,
keadaan di sini jauh berbeda. Benar-benar tak
ubahnya berada di surga!
Beberapa orang gadis berpakaian biru datang
membawa buah-buah segar, lalu keluar dari taman
setelah Rawangi menganggukkan kepalanya.
Rawangi duduk di tepi kolam, sementara Andika
masih tak mengerti dengan apa yang dialaminya.
"Andika, mengapa kau bertanya soal Bunga
Neraka?" tanya Rawangi.
Mendengar pertanyaan itu Andika tercekat
sejenak, lalu tertawa.
"Memangnya kenapa?" si pemuda balik bertanya.
"Apa yang kau ketahui tentang Bunga Neraka?"
"Yang kuketahui? Tak ada."
"Jangan berdusta."
"Aku pantang berdusta kalau tidak terpaksa,"
sahut Andika seenak perutnya.
Tiba-tiba kepala Rawangi menoleh. Matanya tajam
menatap Andika.
"Jangan berdusta, Andika!"
Andika menyeringai. Agak ngeri juga hatinya
melihat tatapan yang menggidikkan itu.
"Aku tidak berdusta," sahut Andika.
Tetapi kau tahu tentang bunga itu," desak
Rawangi.
Andika mengangguk lalu duduk di sebelah kiri
Rawangi. Seketika gadis itu menggeser duduknya.
Tatapannya masih sengit pada Andika.
"Berita tentang Bunga Neraka telah terdengar
sampai ke tempatku. Bahkan banyak yang mem-
perebutkannya. Kalaupun kau memaksaku ingin
mengetahui secara pasti, terus terang hanya itu saja
yang kuketahui."
"Andika.... Tak seorang pun yang bisa memasuki
Gerbang Neraka, kecuali para penghuninya yang
memang mendatangi alammu. Lalu, bagaimana kau
bisa datang ke sini?"
Kali ini Andika terdiam. Jelas sekali telinganya
menangkap nada tak senang dari suara Rawangi. Dia
harus berhati-hati, agar jangan salah mengucap.
"Aku sendiri tidak tahu. Mendadak saja, aku telah
tiba di sini. Wah.... Terus terang, aku sendiri tidak
betah di sini," sahut Pendekar Slebor, berbohong.
"Jangan dusta."
"Kau sejak tadi tidak percaya kata-kataku? Kenapa
sih? Apakah aku memang berdusta?"
"Berapa tahun usiamu, Andika?" tanya Rawangi,
bukannya menjawab.
"Kenapa?" balik Andika.
"Jawab pertanyaanku itu."
"Dua puluh satu tahun."
"Hmm.... Kau masih kanak-kanak, menurut ukuran
penghuni Gerbang Neraka."
Andika melotot.
"Masih kanak-kanak? Kau sendiri berapa usiamu,
hah?!"
"Kau tak akan percaya kalau kukatakan. Usiaku,
tujuh puluh tujuh tahun."
Andika berjingkat terkejut.
"Tujuh puluh tujuh tahun? Edan! Kau tak lebih baru
berusia delapan belas tahun, Rawangi!"
"Ya! Dan aku masih kanak-kanak menurut
penghuni Gerbang Neraka."
Edan! Kalaupun ada masalah aneh, baru kali ini
Andika benar-benar berada dalam alam aneh.
"Untuk apa kau bertanya tentang Bunga Neraka?"
usik Rawangi lagi dengan suara ditekan.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Itu lagi! Apa tidak ada pembicaraan yang menarik
lainnya?"
"Aku hanya ingin tahu saja."
Rawangi berdiri.
"Kuperingatkan kepadamu, Andika.... Jangan
sekali-sekali lagi menyebut tentang bunga itu."
"Kenapa?"
Tatapan Rawangi semakin dingin.
"Karena, akibatnya akan berbahaya sekali! Dan
kau akan mengalami kejadian yang paling menyakit-
kan seumur hidupmu."
Ditantang seperti itu, justru Andika menjadi geram.
Dan kegeramannya diperlihatkannya.
"Bagaimana kalau aku memaksa?" tantang
Pendekar Slebor.
"Kau akan menyesal."
Tiba-tiba saja dengan gerakan yang cepat Andika
menyergap Rawangi. Gadis itu memekik pelan, lalu
menggerakkan tangannya.
Des!
Andika terhuyung ke belakang ketika merasakan
satu pukulan keras menghantam dadanya. Mulutnya
sempat meringis kesakitan.
Rawangi menatap tajam. "Jangan memaksaku
untuk berbuat lebih, Andika!"
Dengan konyolnya pemuda tampan berbaju hijau
pupus itu nyengir.
"Justru aku penasaran! Barangkali saja aku bisa
merangkulmu!" balas si pemuda, makin keterlaluan.
***
7
Manusia Jenggot Merah memaki-maki sendiri ketika
tubuhnya terpental kembali ketika hendak melang-
kah.
"Bangsat! Benda apa sebenarnya ini!"
Seketika lelaki ini merangkum pukulan saktinya.
Dikawal bentakan keras, dilontarkannya pukulan itu
dengan kecepatan kilat.
Blarrr...!
Suara bagai ledakan terdengar. Namun mendadak
dia memekik sendiri ketika pukulan yang dilancar-
kannya berbalik ke arahnya. Cepat tubuhnya ber-
gulingan sambil memaki-maki.
"Dinding sialan! Peduli setan! Aku harus mencari
Bunga Neraka itu!"
Kali ini Manusia Jenggot Merah menyatukan kedua
tangannya di dada, seraya menggosok-gosoknya.
Asap hitam langsung mengepul bersamaan dengan
tubuhnya yang menggigil hebat. Lalu ditingkahi
teriakan keras sekali, kedua tangannya dikibaskan ke
depan.
Duaarrr!
Pasir di depan Manusia Jenggot Merah seketika
berserakan. Sementara dinding kasat mata yang
sejak tadi menghalangi langkahnya pun punah
seketika. Manusia Jenggot Merah terbahak-bahak.
"Bangsa siluman mana pun, tak akan mampu
menghalangi ajian 'Tutup Sukma' milikku!"
Dengan langkah gagah, lelaki ini berjalan kembali.
Butiran pasir dan hawa panas menderu-deru ke
arahnya. Dengan punahnya dinding siluman yang
kasat mata akibat gedoran ajian 'Tutup Sukma' milik
Manusia Jenggot Merah, maka suasana di Istana
Gerbang Neraka goyah bagaikan ada gempa dahsyat.
Jeritan ketakutan terdengar keras. Rawangi berseru-
seru pada pengikutnya agar jangan kalut. Sementara
Andika sendiri segera bersiaga.
"Busyet! Kenapa tahu-tahu ada gempa seperti ini?"
dengusnya.
Gempa itu memang hanya sesaat saja. Tetapi,
mampu meruntuhkan pintu depan Istana Gerbang
Neraka.
Rawangi melesat ke satu tempat. Andika yang
kebetulan keluar dari taman indah itu melihatnya.
Lalu dengan bergegas dikuntitnya dara berparas
bidadari itu. Ternyata, Rawangi masuk ke ruangan
seperti ruang kaca.
Tampak si gadis sedang menghadapi sebuah bola
kaca berwarna merah. Andika pun melihat kalau
mulut Rawangi berkomat-kamit. Dan mata Pendekar
Slebor pun terbelalak ketika menyaksikan bola kaca
itu mengeluarkan asap merah, lalu terlihat sebuah
bayangan di dalamnya.
Andika yakin, apa yang terlihat dalam bola kaca itu
adalah tempat dia berpijak sebelumnya. Dan yang
membuatnya terkejut, ketika terpampang gambar
seorang lelaki seram berjenggot merah sedang
melangkah tegap.
"Gila! Rupanya ada manusia lain yang bisa
memasuki Gerbang Neraka ini. Siapa dia? Apakah
orang itu memang sengaja dikirim Penjaga Gerbang
Neraka untuk mengikutiku?" desis Andika, tak
mengerti.
Sementara itu Rawangi sedang mengempalkankedua tangannya. Dan sebelum Andika sempat
berbuat apa-apa, tiba-tiba gadis itu menoleh dengan
tatapan garang setajam mata serigala lapar.
Urung untuk bersembunyi, Andika justru
merasakan satu tenaga kuat luar biasa menghantam
kepalanya. Selebihnya, tubuhnya tersuruk dan
pingsan.
***
Rawangi berdiri di hadapan lima orang gadis
berpakaian biru tembus pandang.
"Hadang manusia keparat yang berani menginjak
Gerbang Neraka ini! Bunuh dia!" perintah gadis ini
dalam kemarahan.
Serentak kelima gadis itu mengangguk, lalu
menyatukan tangannya. Dan tiba-tiba saja, mereka
lenyap dari pandangan.
Kini tinggal Rawangi yang menghenyakkan pinggul
padatnya ke kursi berukiran kobaran api. Otaknya
berpikir keras, mengapa sampai datang manusia-
manusia ini? Bila Andika tidak dibunuh, saat ini,
karena Rawangi menghendaki si pemuda pewaris
ilmu Lembah Kutukan menjadi suaminya. Bila dia
melahirkan anak keturunan manusia, maka akan
menjadi Ratu penguasa yang abadi di Istana Gerbang
Neraka!
Tiba-tiba gadis ini menggeram dengan kedua
tangan terkepal.
"Apakah ini ada hubungannya dengan pengkhianat
Basofrat? Huh! Sayang, dia telah melarikan diri dari
Istana Gerbang Neraka? Hm.... Kalau memang iya,
inilah kesempatan bagiku untuk menghancurkannya!
Sekaligus, membalas kematian para pendahuluku
akibat pengkhianatan Basofrat durjana itu!"
Setelah terdiam beberapa saat, Rawangi bangkit
dari duduknya.
"Kalau memang begitu, Bunga Neraka harus
kupetik sekarang juga," lanjutnya.
Tetapi, kemudian gadis ini urung untuk melaku-
kannya.
"Bunga Neraka, hhh! Bunga itulah yang diper-
tahankan Basofrat! Tetapi, mengapa dia harus
menceritakan tentang bunga itu pada dunia luar. Tak
mungkin manusia-manusia semacam Andika tahu
tentang bunga itu, kalau tidak dari Basofrat! Tetapi,
kalau kupetik sekarang dan kuhisap sarinya, sudah
jelas aku tak akan bisa melahirkan. Berarti, aku bisa
gagal menjadi penguasa di Istana Gerbang Neraka ini.
Dan bila Andika menikah denganku, maka kehebatan-
ku tak akan bisa ditandingi. Sekalipun oleh Basofrat
laknat itu!"
Kembali Rawangi duduk kembali. Pikirannya
dipenuhi berjuta masalah. Tapi dia lantas bangkit lagi
dan melangkah menuju ruangan di mana Andika
masih dalam keadaan pingsan akibat pukulannya.
Diperhatikannya wajah tampan milik Andika yang
bagaikan tertidur itu.
"Hmm.... Tak kusangka, kalau di dunia luar ada
manusia setampan ini. Kalau saja di Istana Gerbang
Neraka masih ada kaum lelaki, belum tentu ada yang
setampan Andika."
Tiba-tiba saja Rawangi melepaskan seluruh
pakaiannya. Dan kini tubuh tanpa benang sehelai
pun. Dibelai-belainya wajah Andika dengan penuh
birahi. Diciuminya wajah yang sedang tak sadarkan
diri itu.
"Lebih baik sekarang saja kita menjadi suami istri,
Andika. Daripada nanti kau menolak?"
Lalu dengan hati-hati, Rawangi membukai seluruh
pakaian Andika. Diambilnya selimut yang ada di sana,
lalu tubuhnya menyusup ke balik selimut. Dengusan
dan desahan napas penuh birahi terdengar lembut
dan memburu. Namun....
"Aaauwww...!"
Tiba-tiba saja Rawangi memekik. Tubuhnya
terpental dari balik selimut, jatuh ke lantai pualam.
Matanya membelalak tak percaya.
"Kurang ajar! Tenaga apa yang ada di diri pemuda
ini sehingga bisa menolakku begitu saja!"
Rasa penasaran mulai menggayuti perasaan
Rawangi. Dengan paksa dan mengerahkan ilmunya,
gadis ini berusaha mendapatkan Andika. Namun lagi-
lagi tak mampu. Bahkan terasa sekali perutnya
bagaikan berputar-putar. Sakit sekali.
"Setan alas! Rupanya pemuda ini memiliki tenaga
petir yang sangat kuat! Keparat! Jalan satu-satunya
untuk mendapatkannya memang harus menikah!
Dengan cara seperti itu, tenaga petir yang ada di
tubuhnya tak akan menolakku, karena sesuai
perintah otaknya."
Rawangi mengenakan pakaiannya lagi dengan
geram. Juga dikenakannya pakaian Andika kembali.
Lalu kakinya melangkah keluar.
***
Hawa panas membuat sekujur tubuh Manusia
Jenggot Merah berkeringat. Namun lelaki ini terus
melangkah. Yang ada di benaknya hanyalah Bunga
Neraka saja. Tak peduli dengan segala macam
rintangan, kakinya terus melangkah.
Tiba-tiba Manusia Jenggot Merah berhenti.
Sepasang matanya yang memerah memandang tak
berkesip ke depan. Karena, di depannya muncul lima
orang gadis berbaju biru tembus pandang.
Kemunculannya seolah-olah dari dasar pasir panas
ini.
Tetapi sejurus kemudian lelaki ini terbahak-bahak.
Suaranya begitu keras, menggema segala penjuru
padang pasir.
"Benar-benar menakjubkan! Aku bertemu gadis-
gadis berparas jelita di sini! Dan lagi..., tubuh mereka
benar-benar menggiurkan! Mari, Manis! Aku sanggup
memberikan kenikmatan kepada kalian sekaligus!"
Salah seorang dari kelima gadis itu yang ternyata
Srisisi menggeram marah.
"Manusia busuk! Angkat kaki dari sini sebelum kau
mampus ditelan pasir panas!"
"Benar-benar luar biasa! Tetapi, sayang....
Ancamanmu justru terdengar semacam undangan
untuk menggeluti tubuhmu yang indah! Sini, sini....
Biar kudekap kau lama-lama!"
Manusia Jenggot Merah yang memang cabul itu
bergerak menyergap Srisisi. Namun lelaki ini kecele,
karena Srisisi sudah menghindar dengan ringan.
"Bisa menghindar juga kau rupanya?! Justru ini
yang membuat ku semakin bersemangat!"
Kali ini bukan hanya Srisisi yang dikejar Manusia
Jenggot Merah, tapi keempat gadis lainnya. Dan, lagi-
lagi Manusia Jenggot Merah kecele. Karena hanya
angin belaka yang ditangkapnya.
Menyadari kalau gadis-gadis ini tak bisa dianggap
sembarangan, Manusia Jenggot Merah memperguna-
kan ilmunya untuk menangkap. Tetapi, Srisisi dan
teman-temannya yang telah ditugaskan untuk mem
bunuh Manusia Jenggot Merah segera bertindak
cepat.
Begitu tangan Manusia Jenggot Merah yang dialir-
kan tenaga kuat meraih, tangan Srisisi membentur-
nya.
Plak!
Manusia Jenggot Merah terkejut dan mundur ke
belakang. Ketika melirik, tangannya membiru.
Sementara Srisisi menyeringai dingin.
"Cepat tinggalkan nyawamu di sini!"
Manusia Jenggot Merah semakin sadar kalau
kelima gadis ini bukanlah orang-orang sembarangan.
Seketika dia murka. Segera diserbunya dengan ilmu-
ilmunya yang tinggi.
Wesss...!
Angin keras melebihi kecepatan waktu, bergerak
ke arah kelima gadis itu. Namun mereka langsung
berlompatan dan membuyar. Dan hanya sesaat
mereka berlompatan, karena di kejap lain secara
serempak kelimanya menyerbu Manusia Jenggot
Merah dengan serangan berbahaya.
Manusia Jenggot Merah mengeluarkan suara
menggebah. Tubuhnya seketika bergulingan di atas
pasir panas. Meskipun tubuhnya mengeluarkan
keringat akibat panas menyengat. Akibat dari ilmu
yang dimilikinya kulitnya tidak melepuh, ketika pasir-
pasir itu melekat di tubuhnya.
"Hiaaa...!"
Lelaki ini menderu kembali dengan serangan-
serangan aneh dan dahsyat. Salah seorang dari
gadis-gadis itu tak kuasa menahan serangan.
Sehingga....
Desss...!
Seketika terlihat tubuh gadis yang jadi sasaran
terpental puluhan tombak. Sesuatu muncrat dari
tubuhnya.
Tetapi justru Manusia Jenggot Merah yang terkejut.
Karena darah yang keluar dari mulut si gadis bukan
berwarna merah, melainkan berwarna biru! Dan yang
membuat lebih mengejutkan lagi, gadis itu bangkit
dengan tegar, lalu menyerang kembali.
"Apa-apaan ini?! Siapa mereka?" dengus Manusia
Jenggot Merah tak mengerti.
Kembali lelaki ini menyerang ganas. Bahkan jauh
lebih ganas dari yang pertama.
Namun sampai sejauh itu, tak seorang gadis pun
yang terjatuh akibat pukulannya. Justru, setiap kali
kena hantaman, mereka bangkit kembali. Dan baru
lelaki ini sadar, kalau gadis-gadis itu sama sekali tak
mengeluarkan keringat, seperti dirinya!
Piaslah wajah Manusia Jenggot Merah. Sebelum
wajahnya berubah kembali, lima buah serangan
dahsyat penuh tenaga tinggi menderu ke arahnya.
Seketika lelaki ini bersalto ke belakang, ringan sekali
hinggap di pasir kembali. Dan tangannya yang sudah
berada di dada digosok-gosok hingga mengeluarkan
asap berwarna hitam.
"Rupanya kalian bangsa siluman-siluman busuk
yang menjual lagak di hadapanku! Majulah kalian!"
Srisisi berhenti sejenak, serangannya dihentikan.
Sejenak diperhatikan tindakan lawan. Namun
selanjutnya dia melesat cepat dengan hantaman
pukulan siap dilontarkan.
Manusia Jenggot Merah yang memang sudah
menunggu, mendadak saja menggerakkan kedua
tangannya.
Blammm...!
Tanpa ampun lagi, ajian 'Tutup Sukma' yang
dilontarkan Manusia Jenggot Merah menghantam
telak tubuh Srisisi. Bukan hanya tubuhnya yang
terpental ke belakang. Bahkan seluruh anggota
tubuhnya bagaikan meledak dan membuyar!
"Srisisi!" seru yang lain terkejut. Dan serentak
mereka menyerbu dengan ganasnya. Kemarahan
telah membludak. Bahkan yang tak pernah disangka,
lelaki berjenggot merah itu ternyata memiliki ajian-
ajian aneh sekaligus mampu menjatuhkan. Pada saat
yang sama, Manusia Jenggot Merah mengibaskan
tangan.
Blammm...! Blammm...!
Kenekatan itu bukanlah jalan terbaik. Karena
tubuh mereka pada akhirnya menjadi sasaran ajian
'Tutup Sukma' milik Manusia Jenggot Merah yang
sangat dahsyat. Sama seperti Srisisi.
Namun ternyata salah seorang berhasil melolos-
kan diri. Dan ketika tubuhnya hendak lenyap begitu
saja, Manusia Jenggot Merah telah menyergapnya.
Gadis berbaju biru itu langsung meronta-ronta
dengan jeritan setinggi gunung. Karena sekujur
tubuhnya terasa bagaikan tersengat.
Manusia Jenggot Merah terbahak-bahak.
"Rupanya kalian memang orang-orang bodoh! Hhh!
Siluman jenis apa pun, tak akan mampu meng-
halangiku! Katakan kepadaku, di manakah Bunga
Neraka?!"
Gadis itu tak menjawab. Justru tubuhnya terus
meronta-ronta.
"Keparat!"
Cekalan di tangan Manusia Jenggot Merah
semakin mengencang. Semakin membuat gadis itu
kelojotan.
"Kalau kau tak mau mengatakannya, jawab
pertanyaanku ini! Siapa kalian...? Dan, dari mana asal
kalian?!"
Gadis itu tetap tak menjawab. Hanya makiannya
saja yang terlontar keras. Hal itu justru membuat
Manusia Jenggot Merah menjadi panas.
"Meskipun aku tak tahu siapa dirimu, tetapi kau
memiliki tubuh yang indah dan bagus! Aku ingin tahu,
apakah kau memang benar-benar bisa memuaskan-
ku!"
Dan dengan bengis Manusia Jenggot Merah
merobek-robek pakaian gadis itu. Dan ditariknya
sampai lepas dua carik kain lain yang melekat pada
tubuh molek itu.
Manusia Jenggot Merah terbahak-bahak. "Siluman
atau bukan, kau memiliki tubuh sempurna!"
Dengan liarnya, tangan kekar si lelaki bergerak,
semakin membuat gadis itu meronta-ronta, berusaha
melepaskan diri.
Manusia Jenggot Merah semakin terbahak-bahak
kesenangan. Ini adalah sisi lain dari yang tak pernah
diduga. Tiba-tiba, dibantingnya tubuh gadis itu.
Anehnya, sekali lagi tak terlihat gadis itu kepanasan
atau berkeringat. Dan dengan buasnya, sambil
tertawa-tawa dibuka pakaiannya sendiri.
"Akan kuketahui, jenis apa kau ini!"
Gadis itu memejamkan matanya dengan ketakutan
amat sangat. Namun belum lagi Manusia Jenggot
Merah melakukan niat busuknya, tiba-tiba saja pasir
yang dipijaknya longsor. Ada tenaga yang sangat kuat
menyedotnya.
Tubuh lelaki ini meluncur dan meluncur, bersama
tubuh gadis yang polos.
***
8
Andika yang telah dipindahkan ke ruang lain telah
sadar dari pingsannya. Dia ingat, tadi satu tenaga
halus telah menghantamnya. Yang membuatnya
heran, walaupun sudah berusaha mengelak, namun
pukulan tenaga halus itu tetap menghantam tubuh-
nya.
Kini Pendekar Slebor mulai memikirkan setiap
kejadian, hingga teringat pada bola kaca yang berada
dalam ruang kaca. Lantas, apakah bola kaca itu bisa
membantunya untuk menemukan letak Bunga
Neraka?
Si pemuda merasa harus mencobanya. Bergegas
dia bangkit. Rasa nyeri masih terasa di bahunya. Dan
dengan sadar, dialirkannya tenaga dalam dan hawa
murni. Setelah dirasakan cukup nyaman, segera
didekatinay pintu dan dibukanya. Terkunci!
"Apa lagi ini?" rutuk si anak muda yang dikenal
urakan ini.
Sambil mengerahkan tenaganya, Andika kembali
membuka pintu. Tapi tetap tak terbuka. Andika
menjadi jengkel. Lebih jengkel lagi setelah yakin
kalau serangan tenaga halus itu dilakukan oleh
Rawangi.
Sekarang Pendekar Slebor menambah kekuatan
nya. Namun pintu itu tetap tak terbuka.
"Edan! Apa aku akan terkurung terus di tempat
menyeramkan ini?"
Maka dengan terpaksa Pendekar Slebor menge-
rahkan ajian 'Guntur Selaksa' untuk membuka pintu
yang kokoh itu.
Drakkk...!
Terdengar suara berderak. Lalu pintu berukiran
kobaran api itu copot dengan engselnya.
"Begini lebih baik. Biar nanti panggil tukang kayu
saja untuk membetulkannya."
Andika bergegas keluar, setelah memperhatikan
sekelilingnya. Tubuhnya berkelebat laksana
bayangan, langsung menuju ruang kaca. Ketika
melewati satu ruangan, pendengarannya yang terlatih
menangkap suara gusar bercampur marah.
"Manusia hina! Katakan, dengan cara bagaimana
kau datang ke Gerbang Neraka ini!"
Suara Rawangi! Andika mengurungkan niatnya
untuk segera ke ruang kaca. Siapakah orang yang
dimaki-maki Rawangi? Tetapi kali ini si pemuda harus
berhati-hati. Dia tak mau terkena serangan gelap
yang dilancarkan gadis itu. Lama-lama, bisa rontok
jantungnya.
Sekarang, Pendekar Slebor mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Lalu dengan berhati-hati dia
mengintip dari lubang kecil. Keningnya seketika
berkerut, dan cepat berdiri tegak.
"Gila! Siapa manusia berjenggot merah yang kedua
kaki dan tangannya terentang itu? Kelihatannya, dia
sukar sekali melepaskan diri. Tetapi yang meng-
herankan, kelihatannya dia tak terikat oleh apa-apa?"
Dengan rasa penasaran Andika mengintip lagi. Apa
yang dilihatnya memang benar. Saat ini, Manusia
Jenggot Merah sedang menjadi tawanan Rawangi.
Memang gadis itulah yang menyedot tubuh lelaki
yang hendak memperkosa salah seorang anak
buahnya.
Penglihatan Andika sekali lagi tidak salah. Tubuh
Manusia Jenggot Merah bagaikan dibelenggu rantai
halus kasat mata. Kedua tangannya terentang ke
atas, begitu pula kedua kakinya.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
"Busyet! Semakin lama, Gerbang Neraka ini semakin
membingungkan saja. Kalau melihat sosok manusia
jelek itu, sudah bisa dipastikan dia datang dari
alamku. Tetapi, bagaimana caranya bisa tiba di sini
juga? Ataukah, benar dugaanku kalau Penjaga
Gerbang Neraka mengutus orang? Hhh! Tidak usah
dibantu juga tidak apa-apa! Kalau gadis jelita yang
membantu, aku akan menyambutnya sebaik mung-
kin! Ini, manusia jeleknya minta ampun...! Mana
tahaaan...!"
Tetapi sesaat kemudian Andika tak mempedulikan
Manusia Jenggot Merah yang menjerit-jerit keras,
karena Rawangi menghantamnya dengan tenaga
halus dahsyat.
Pendekar Slebor bergegas menuju ruang kaca.
Tetapi setiba di sana, dia jadi kebingungan lagi.
Ternyata di tempat itu tak ditemukan pintu masuk ke
dalamnya.
"Bukankah waktu itu aku berada di sini? Aku yakin,
Rawangi pun masuk lewat sini. Tetapi, di mana
pintunya? Semuanya seperti tertutup begitu saja,"
gumamnya sambil meraba-raba kaca yang tebal.
Sesaat Andika melepaskan kedua tangannya yang
melepuh.
"Benar-benar sinting! Kaca itu rupanya panas
sekali! Tetapi mengapa aku tak merasakan hawa
panas sebelumnya?"
Rasa penasaran yang semakin menggumpal,
membuat Andika mengalirkan tenaga dalam
untukmengusir rasa panas yang menyengat. Si anak
muda memang bisa meraba-raba kembali. Tetapi,
tetap saja tak menemukan pintu masuknya. Ini mem-
buatnya bertambah penasaran.
Namun belum lagi menemukan jalan terbaik, tiba-
tiba....
"Apa yang Paduka lakukan di tempat terlarang ini?"
terdengar suara bernada hormat.
Andika berbalik. Langsung mulutnya nyengir begitu
melihat dua sosok tubuh berpakaian biru-biru
menatapnya tajam.
"Eh! Kupikir siapa? Kalian membingungkanku
saja," kelit Andika.
"Paduka, tempat itu dilarang oleh Tuan Putri
Rawangi, untuk siapa pun juga," jelas salah seorang
gadis.
"Termasuk aku?"
"Ya."
Andika mengulap-ulapkan tangannya.
"Kalian salah! Justru aku diperintahkan Rawangi
untuk masuk ke dalamnya," sergah Pendekar Slebor
mengakali.
Kedua gadis ini berpandangan, seolah tak percaya.
"Kalian tidak percaya, ya? Kalau tidak percaya,
silahkan tanya Putri Rawangi," ujar Andika, meyakin-
kan.
"Tetapi...."
"Siapa sih namamu?"
"Hamba Martisi. Dan ini..., Kirmasi."
"Nah! Lebih baik kalian pergi saja deh, daripada
nanti kulaporkan pada Tuan Putri Rawangi kalau
kalian hanya menggangguku saja."
Martisi dan Karmasi lagi-lagi berpandangan.
Mereka memang tak mau melihat Tuan Putri Rawangi
marah. Tetapi, sesuai perintah Tuan Putri Rawangi
sendiri, siapa pun juga dilarang mendekati ruang
kaca ini. Andika mulai melihat kedua gadis ini ragu-
ragu.
"Eh, masih berada di sini terus? Ayo, pergi dari sini!
Tetapi kalau kalian tak percaya, silakan tanya Tuan
Putri Rawangi. Pasti kalian yang akan kena marah
nanti. Apalagi kalian kan tahu, aku ini calon Paduka
kalian. Calon suami Tuan Putri Rawangi? Nah,
mengapa masih ragu?"
Kedua gadis itu kali ini tak bisa berbuat apa-apa.
Alasan yang dikemukakan Andika memang tepat dan
masuk akal. Meskipun masih ragu karena ingat akan
perintah Rawangi, namun mereka pun membenarkan
pula apa yang akan dikatakan Andika. Tak mustahil
Tuan Putri Rawangi mengizinkan kepada Andika yang
sebentar lagi akan menjadi suaminya.
"Maafkan kami, Paduka," ucap Martisi sambil
menjura. Begitu pula Kirmasi.
Andika mengangkat dagunya. Sambil menahan
gelinya, kepalanya mengangguk-angguk.
"Eh, tunggu! Aku lupa bagaimana cara membuka
ruang kaca ini. Tadi Tuan Putri Rawangi sudah
memberitahu," seru Andika.
"Paduka.... Untuk membuka pintu ruang kaca,
Paduka cukup menahan napas saja sambil meng-
gedukkan kaki dua kali," jelas yang bernama Martisi.
"Oh, iya. Pantas aku lupa tadi. Aku cuma menahan
napas saja. Sudah, sudah.... Kalian lebih baik pergi.
Barangkali saja Tuan Putri Rawangi membutuhkan
kalian."
Martisi dan Kirmasi mengangguk, lalu berlalu.
Andika mendesah lega. Buru-buru dilakukannya apa
yang dikatakan Martisi tadi.
Dan secara aneh, pintu ruang kaca itu terbuka.Bergegas Andika masuk. Bau harum mempesona
langsung menyapa. Namun sesaat saja dia meng-
hiraukannya. Selebihnya Andika menuju ke bola kaca
yang di bawahnya terdapat sebuah cawan dari emas.
Andika mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Wah.... Bagaimana lagi menggunakan bola kaca
ini?" desisnya.
Perlahan-lahan dipegangnya bola kaca itu. Sekilas
ada cahaya yang keluar dari bola itu. Setelah itu,
redup.
"Apakah ada mantera khusus untuk mengguna-
kannya?" gumam Andika sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
Tahu-tahu saja si anak muda memegang bola kaca
itu dengan kedua tangan. Tak ada perubahan apa-
apa.
"Benar-benar membingungkan!"
Namun ketika Andika melepaskan tangannya dari
bola kaca, mendadak ada nyala yang cukup terang di
dalamnya. Lalu, tergambar pemandangan padang
pasir tempat yang pernah dilalui Andika waktu
"Nah! Bisa juga akhirnya! Hei, Bola Kaca.... Beri
tahu aku, di mana Bunga Gerbang Neraka berada?"
Perlahan-lahan pemandangan dalam bola kaca
berubah. Beberapa kobaran api panas telah lewat.
Begitu pula bangunan-bangunan aneh yang terbuat
dari api. Hingga kemudian, tergambar sebuah lautan
api yang besar sekali. Di tengah-tengah lautan api,
terlihatlah sebuah bunga cukup besar. Hampir sama
dengan bunga matahari. Hanya saja di tengahnya
terdapat percikan api yang berkali-kali keluar.
"Gila! Inikah Bunga Neraka? Tetapi, bagaimana
caranya untuk mengambil bunga dari lautan api
panas itu? Apakah ada jalan khusus untuk men
dapatkannya? Brengsek! Kenapa sih, Penjaga
Gerbang Neraka tidak mengatakannya kepadaku
bagaimana cara mengambilnya?"
Tiba-tiba pendengaran Andika menangkap suara
langkah menuju ke ruang kaca. Dengan cepat
tubuhnya berkelebat keluar. Dan secara aneh pintu
ruang kaca itu tertutup.
Andika lantas bersembunyi di atas bangunan
besar. Dia melihat Rawangi sedang bergegas menuju
ke kamar tempat pingsan Andika tadi.
Dengan gerakan secepat kilat Andika berkelebat
masuk ke kamarnya. Lalu tubuhnya direbahkan. Dia
tak sempat lagi memikirkan satu keanehan yang
sebenarnya sudah jelas di matanya. Tepat ketika
matanya memejamkan, Rawangi muncul.
Aroma bunga langsung tercium hidung Andika.
"Pemuda tampan... Rupanya ada manusia busuk
yang mengikuti jejakmu untuk mendapatkan Bunga
Neraka. Hhh! Kalau kau terbangun dari pingsanmu,
akan kutanyai kau habis-habisan! Akan kujebloskan
kau ke Lautan Pasir bila tak mau mengaku juga! Hhh!
Apakah semua ini akibat perbuatan Basofrat! Keparat
hina itu pun akan kucari dan kubunuh, karena
mengacaukan seluruh rencanaku!"
Andika yang sengaja menahan napas mendengar-
kan semua itu. Basofrat? Siapa yang dimaksudkan
Rawangi? Apakah Penjaga Gerbang Neraka itu ber-
nama Basofrat?
Tiba-tiba Pendekar Slebor merasakan sesuatu
yang lembut menempel di bibirnya. Busyet! Hampir
saja Andika bernapas kembali ketika yakin kalau yang
menempel di bibirnya adalah bibir lembut Rawangi.
Dan perlahan-lahan dirasakannya gadis itu terus
mengecupnya. Berbahaya ini!
Pendekar Slebor berusaha agar kelaki-lakiannya
tak terbakar. Kalau Rawangi tahu dirinya sudah
tersadar dari pingsannya, apakah akan dihajar?
Ya! Daripada ketahuan, Jebih baik berlagak baru
siuman saja. Dan Andika pun menggerakkan tubuh-
nya perlahan-lahan sambil mengeluarkan desahan
pelan. Apa yang diperkirakannya, tepat! Karena,
Rawangi cepat menarik kepalanya.
Andika membuka matanya. Dan dia sempat
melihat wajah Rawangi yang memerah.
"Rawangi...," desah Andika perlahan.
Tampak wajah Rawangi semakin memerah. Dan
kegelisahan pun jelas sekali di matanya.
"Andika.... Ada seorang manusia yang datang dari
alammu sana...!" kata Rawangi.
Andika perlahan-lahan bangkit dan bersandar.
Tangannya memijit-mijit kepala. Dicobanya mencari
siasat untuk menghindari dari pertanyaan Rawangi.
Karena dia tahu, gadis itu akan mulai mendesaknya
pula.
"Siapa dia, Rawangi?"
"Dia mengaku berjuluk Manusia Jenggot Merah.
Kedatangannya untuk mencari Bunga Neraka. Sama
sepertimu."
Andika menangkap tekanan nada di akhir kalimat
Rawangi. Tetapi, dia tetap berlagak tidak tahu. Dan
masih pura-pura pusing akibat pingsannya.
"Sama sepertiku? Ah! Kau ini terlalu mengada-ada,
Rawangi. Aku hanya bertanya soal Bunga Neraka.
Bukan untuk mendapatkannya."
"Baiklah.... Kalau begitu..., siapa yang mengirimmu
datang ke sini, Andika? Tak mungkin seorang anak
manusia dari alam berlainan dengan kami, bisa
memasuki Gerbang Neraka?" desak Rawangi.
"Yang mengirimku? Bukankah waktu itu sudah
kuceritakan?" tukas Andika, berlagak memijit kepala-
nya.
Rawangi menatapnya tajam. Seolah dia hendak
menguliti Andika.
Andika bergidik melihat tatapannya yang tajam itu.
"Jangan berdusta, Andika," kata Rawangi hendak
menyudutkan.
"Rawangi.... Apa yang kukatakan ini benar. Lagi
pula, kalaupun aku hendak mencari Bunga Neraka,
aku tak tahu di mana tempatnya."
Rawangi terdiam. Sementara Andika sendiri yakin
kalau gadis itu tidak percaya dengan yang dikata-
kannya. Tetapi, Pendekar Slebor pun segera mencari
alasan-alasan yang dirasakannya tepat, agar Rawangi
mau mempercayai ceritanya.
"Kau kenal dengan Manusia Jenggot Merah?"
tanya Rawangi.
"Nama itu baru kudengar sekarang."
"Andika.... Aku akan menunjukkan, di mana Bunga
Neraka berada."
Andika segera mengangkat kepalanya. Ter-
perangah. Dicobanya untuk meneliti, apakah Rawangi
hanya mempermainkannya, atau tengah men-
jebaknya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Rawangi? Lagi
pula, aku tidak berniat mencarinya. Aku hanya ingin
tahu, apakah Bunga Neraka memang benar-benar
ada."
Rawangi mengangguk.
"Aku tidak main-main," tandas gadis itu sungguh-
sungguh. "Bahkan, aku akan menunjukkan bagai-
mana caranya kau mendapatkan Bunga Neraka."
Andika masih berlagak tak acuh.
"Kalau kau ingin memberitahu, mengapa harus
aku?"
"Karena, aku menginginkan imbalan darimu...."
"Maksudmu?"
"Bila aku menunjukkan tempat Bunga Neraka dan
cara mengambilnya, aku menghendaki kau me-
lakukan sesuatu untukku."
"Apa itu?"
"Nikahi aku."
"Apa?" Andika terbelalak. "Menikahimu?
Rawangi menatap sengit.
"Ya!"
"Mengapa aku harus menikahimu?"
"Jawab saja, ya atau tidak. Bila mengiyakan, maka
kau akan mendapatkan Bunga Neraka itu. Bila
tidak...," Rawangi menghentikan kata-katanya.
"Bila tidak?" sambung Andika.
"Kau akan mendapatkan hukuman luar biasa
sakitnya. Dan yang terpenting lagi, kau tak akan
mampu keluar dari Gerbang Neraka ini."
Andika tersenyum mendengarnya.
"Apakah ini ancaman, Rawangi?"
"Tergantung kau mengartikannya."
Andika memikir-mikir beberapa saat. Rupanya, apa
yang didengarnya memang benar. Rawangi memang
menghendaki dirinya untuk dijadikan suami. Ini
memang kesempatan terbaik untuk mendapatkan
Bunga Neraka. Tetapi, bagaimana bila terjebak?
Otak Pendekar Slebor yang cerdik terus berpikir
merangkaikan beberapa jalinan yang bisa diuraikan
nanti.
"Sebenarnya, aku mempunyai kekasih. Banyak,
lagi. Tetapi, kalau menikah denganmu, apa susah-
nya?" kata Andika, sambil mengedip-ngedipkan
matanya.
Rawangi hanya tersenyum, namun sukar ditebak
hatinya. Dan diam-diam, Andika melengak dalam hati.
Karena pintu yang tadi dipukulnya dengan ajian
'Guntur Selaksa', telah utuh kembali!
***
9
Persiapan pernikahan Rawangi dengan Andika segera
dilangsungkan. Seluruh penghuni Gerbang Neraka
yang terdiri dari para wanita bekerja giat penuh
semangat. Bangunan besar tempat Andika tinggal
sekarang telah dibuat begitu indah. Batu-batu pualam
diukir membentuk lambang kobaran api yang nampak
sangat panas.
Di kamarnya, Andika menjadi gelisah sendiri.
Sudah dua hari pemuda ini berada di kamar yang
indah dengan hidangan beraneka rasa. Dia masih
memikirkan soal pintu yang berantakan itu. Apakah
Rawangi telah membetulkannya? Kalau memang iya,
berarti gadis itu mengetahui apa yang dilakukannya.
Tetapi mengapa waktu itu Rawangi diam saja?
Ataukah ini memang jelas-jelas satu jebakan?
Andika tak bisa menemukan jawabannya. Yang
pasti, dia memang harus berhati-hati. Karena mau tak
mau mulai disadari sebelah kakinya telah dicelupkan
ke suasana yang tidak enak. Dan mau tak mau pula,
harus meneruskan apa yang direncanakannya.
Diam-diam Pendekar Slebor pun memikirkan soal
Manusia Jenggot Merah. Kalau memang lelaki itu di
suruh pula oleh Penjaga Gerbang Neraka untuk
mengawasinya, mengapa dengan mudahnya bisa ter-
tangkap.
Paling tidak, Penjaga Gerbang Neraka akan mem-
beri petunjuk yang lebih pasti. Kalau memang bukan
seperti yang diperkirakannya, siapakah lelaki jelek
itu? Lalu, soal Basofrat. Siapakah dia? Dan Andika
bisa mengetahui meskipun sedikit soal Basofrat
ketika Martisi dan Kirmasi datang untuk melayaninya
seperti yang diperintahkan Rawangi.
Dengan cara memutar percakapan, akhirnya
Andika tiba pada sasaran.
"Basofrat?"
Martisi mengangkat wajahnya dengan tatapan pias
dan heran. Tangannya yang sejak tadi menguruti
kedua kaki Andika berhenti. Begitu pula Kirmasi yang
memijiti kedua tangan Andika.
"Ya, Basofrat. Siapakah sebenarnya dia, Martisi?
Tuan Putri Rawangi mengajakku bermain teka-teki.
Bila aku berhasil mengetahui siapa gerangan
Basofrat tanpa diberitahu olehnya, maka pernikahan
akan dipercepat. Padahal, aku sudah tidak sabar
menunggunya, lho," pancing Andika, mengatur siasat.
Martisi sejenak terdiam. Kelihatan ragu-ragu.
Andika tersenyum.
"Ayolah.... Katakan padaku, siapakah Basotrat itu."
"Tetapi, Paduka...."
"Aku tahu, kau pasti dilarang juga oleh Tuan Putri
Rawangi, kan? Tetapi, aku ini calon suaminya. Dan
aku ingin mengetahui, siapakah Basofrat itu. Apakah
dia sainganku, atau bukan...?"
Setelah menarik napas panjang. Martisi pun
memulai.
"Menurut yang hamba dengar, ratusan tahun yang
lalu hidup seorang laki-laki bernama Basofrat di
Gerbang Neraka ini. Dulu tempat ini banyak sekali
laki-laki, Paduka. Tidak seperti sekarang yang sepi
sekali."
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Basofrat menemukan Bunga Neraka bersama
beberapa orang lain. Termasuk, eyang buyut Tuan
Putri Rawangi. Kemudian, terjadilah keributan besar.
Saat itu, Basofrat menghendaki untuk menghancur-
kan Bunga Neraka. Karena di sari bunga itu terdapat
kekuatan sangat dahsyat yang bisa membuat
keadaan di Gerbang Neraka bisa kacau. Namun,
eyang buyut Tuan Putri Rawangi menghendaki lain...,"
tutur Martisi.
Andika manggut-manggut seperti burung pelatuk.
Sampai Martisi melanjutkan ceritanya. "Eyang buyut
Tuan Putri Rawangi berkeinginan untuk mendapatkan
Bunga Neraka sebagai penambah kekuatan dan
kekuasaannya. Basofrat yang merasa telah menemu-
kannya, sudah tentu menolak. Dia pun mem-
pertahankannya. Hingga, terjadilah pertarungan
hebat," jelas Martisi. "Konon, akhirnya Basofrat
memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh
eyang buyut Tuan Putri Rawangi. Bahkan, berhasil
melarikan diri dari Gerbang Neraka dan sekarang
entah berada di mana."
"Siapakah kalau begitu yang pantas untuk meng-
hisap sari Bunga Neraka?" sela Andika.
"Soal itu, hamba tidak tahu, Paduka."
"Apakah ada kabar tentang Basofrat sekarang ini?"
Tidak. Tuan Putri Rawangi berniat untuk mencari
dan membunuhnya bila muncul. Namun hingga hari
ini, sosok Basofrat tak pernah diketahui. Tetapi yang
pasti, Tuan Putri Rawangi tetap akan melaksanakan
ancamannya...."
"Budak-budak keparat...!"
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar penuh
kemarahan. Bahkan....
Srrrttt!
"Aaakh...!"
Dua buah sinar bagai kobaran api tiba-tiba
menyambar leher Martisi dan Kirmasi. Seketika
kepala dua gadis ini menggelinding. Mati!
Andika segera bangkit kaget. Tampak Rawangi
sedang memandang dengan sinar mata dingin.
"Kenapa kau membunuh mereka, Rawangi?"
sentak Andika dengan kemarahan menggelegak.
"Mereka tak pantas hidup, karena hanya mem-
bongkar seluruh rahasia yang kupendam."
"Tetapi, aku ini calon suamimu. Mengapa aku tak
diperbolehkan tahu, hah?!" Andika merasakan kalau
kepalanya sudah berasap. Lama kelamaan dia
memang tak tahan melihat sikap Rawangi.
"Andika! Mulai saat ini, kau tak kuperkenankan
membicarakan soal Basofrat!"
"Persetan dengan semua itu!"
Rawangi mendelik.
"Apa katamu?"
"Persetan dengan semua itu!" seru Andika. Bahkan
lebih tandas dari yang pertama.
Wajah Rawangi memerah. Tiba-tiba saja mulutnya
mendesis. Seketika sesuatu yang aneh dirasakan
Andika. Karena, tubuhnya mendadak saja bergetar
hebat.
"Gila! Ilmu apa yang diperlihatkannya kepadaku
ini?" maki Pendekar Slebor sambil mengalirkan
tenaga dalamnya.
Dan semakin Andika mengalirkan tenaga dalam,
getaran yang dirasakan semakin keras. Rasa panas
pun mulai dirasakan.
"Benar-benar sinting wanita ini! Bisa mampus aku!"
"Berjanjilah, Andika.... Kau tak perlu lagi banyak
bertanya soal Basofrat keparat itu!" ancam Rawangi.
Untuk saat ini, Andika merasa lebih baik menurut
saja. Memang masih banyak keanehan yang belum
bisa dipecahkan di Gerbang Neraka ini. Rasanya
memang sangat menyulitkan. Keadaan semacam ini
justru membuatnya terkadang tak mampu mengen-
dalikan amarah.
Dan yang ada di hati Andika sekarang, bukan
hanya penasaran tentang Bunga Neraka. Bahkan
teka-teki yang ada di Gerbang Neraka ini. Sesuatu
yang memang sangat sulit diterima akal.
Rawangi mendesis kembali. Maka getaran hebat
mengandung hawa panas yang menerpa Andika
sesaat menghilang.
"Kalau kau selalu begini terus, aku tak akan sudi
menjadi suamimu!" ancam Andika mangkel.
***
Manusia Jenggot Merah tersadar dari pingsannya.
Tubuhnya terasa kosong tak bertenaga. Ketika
penglihatannya membaik kembali, sekelilingnya
tampak begitu pekat. Dan hawa panas terus meng-
getarkan hingga ke relung hatinya yang terdalam.
Menyakitkan dan menyiksanya.
"Bangsat! Siapa gadis cantik sialan itu?" maki
lelaki ini. Seketika Manusia Jenggot Merah mengerah-
kan tenaga untuk meloloskan diri dari empat ikatan
yang dirasakannya. Keringat mulai bercucuran di
wajahnya ketika seluruh tenaganya dikerahkan.
Namun ikatan di kedua tangan dan kakinya masih
tetap kokoh.
"Bangsat! Siapa pun gadis itu, aku tak peduli!"
Tiba-tiba Manusia Jenggot Merah mengerahkan
ajian 'Tutup Sukma'nya yang dahsyat. Hingga...
Blammm...!
Terdengar suara bagaikan dentuman keras. Batu
batu pualam yang menjadi tembok di ruangan
langsung berguguran. Kini Manusia Jenggot Merah
leluasa mengusap-usap kedua tangannya yang telah
terbebas.
"Hhh! Akan kuhancurkan gadis keparat itu!"
Bergegas, Manusia Jenggot Merah melangkah.
Namun mendadak saja dirasakannya satu goresan di
tangan. Begitu perih. Dan ketika dipegang, tangannya
basah. Bukan oleh air, melainkan darahnya sendiri.
Murkalah Manusia Jenggot Merah.
"Siapa pun kalian adanya, harus tunduk kepada-
ku!" bentak lelaki ini. Kembali manusia ini
mengumbar ajian Tutup Sukma'nya yang dahsyat.
Seketika, tempat itu bergetar disertai ledakan berkali-
kali.
Rawangi yang masih berada di tempat Andika
segera menoleh. Wajahnya begitu sengit.
"Manusia Jenggot Merah!"
Seketika tubuh gadis ini berkelebat cepat
meninggalkan kamar. Andika sendiri segera menyusul
dengan kecepatan tak kalah hebatnya.
Pendekar Slebor memang tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Apalagi keadaan memang belum
mengizinkan. Bahkan tentang Manusia Jenggot
Merah saja belum diketahui, secara pasti.
Baru saja Andika sampai, tampak tubuh Rawangi
terpental deras ke belakang. Seketika Andika dengan
sigap menangkap tubuh ramping itu. Ketika dipegang
hawa panas luar biasa langsung menyengatnya.
Sementara satu sosok tubuh dengan kegeraman
memuncak telah berdiri di hadapan Andika.
"Gadis siluman! Katakan, di mana Bunga Neraka
itu berada!" bentak Manusia Jenggot Merah.
Rawangi mengusap darah yang keluar dari
mulutnya. Dia terkejut sekali. Sungguh tak disangka
kalau satu serangan aneh menghantamnya.
Andika dalam jarak yang cukup dekat seperti ini,
bisa melihat jelas sosok Manusia Jenggot Merah.
Seingatnya, dia memang belum pernah berjumpa
manusia satu ini. Dan yang agak mengherankan,
mengapa Rawangi bisa terkena hanya sekali pukul?
Rawangi melepaskan diri dari dekapan Andika.
"Manusia busuk! Tempatmu bukan di sini! Tetapi,
siapa pun yang memasuki Gerbang Neraka, maka
akan mati!"
Manusia Jenggot Merah tertawa keras.
"Gadis siluman! Siluman atau bukan, kau harus
melayaniku terlebih dahulu!"
"Apakah kau dikirim oleh Basofrat, Keparat?"
bentak Rawangi lagi.
"Basofrat? Persetan dengan nama itu! Katakan, di
mana Bunga Neraka? Kalau tidak, akan kuhancurkan
seluruh isi bangunan ini!" ancam Manusia Jenggot
Merah.
Andika yang sejak tadi sudah berusaha bersabar,
tak mampu lagi menahan sabarnya. Jelas sudah,
Manusia Jenggot Merah bukanlah orang suruhan
Penjaga Gerbang Neraka.
Pendekar Slebor melangkah dua tindak.
"Manusia Jenggot Merah! Tak ada gunanya
berusaha mendapatkan Bunga Neraka. Karena, yang
kau dapat nanti hanya bunga duka cita.... Bunga
Kematian..., he he he...!"
Manusia Jenggot Merah mendengus. Kedua
tangannya terkepal.
"Hhh! Rupanya kaulah yang dikirim Penjaga
Gerbang Neraka! Masih bodoh dan muda! Sebutkan
namamu!"
"Hhh.... Rupanya kau mengintili aku ke sini. Sudah
pikun dan bau tanah...," balas Andika. "Asal kau tahu,
namaku Andika...!"
"Andika?" Manusia Jenggot Merah mengusap-usap
jenggotnya. "Hhh! Rasanya aku pernah mendengar
nama jelekmu itu!"
"Manusia Jenggot Merah...? Rasanya aku belum
pernah mendengar julukanmu, kecuali Manusia
Jenggot Kambing...!" Andika terus memanasi.
"Hmm.... Aku tahu sekarang, apakah kau yang
dijuluki Pendekar Slebor?"
"Kalau memang iya, kenapa?" tukas Andika.
"Bangsat! Namamu memang sudah sampai di
telingaku! Kalaupun kita bertemu di sini, bagus!
Sebelum gadis itu kubunuh, kau dulu yang akan
mampus, Sleborrr...!"
"Buktikan, Kambing!"
Saat itu juga ManUsia Jenggot Merah melabrak
maju. Dia sudah menggedor dengan kekuatan tinggi
dan kecepatan luar biasa. Tenaga sakti terangkum di
tangannya. Andika yang menyadari hal itu, segera
mengerahkan tenaga 'inti petir' tingkat ke tujuh.
Maka pertarungan pun berlangsung sengit.
***
Pertarungan Manusia Jenggot Merah dan Andika
benar-benar kedot. Serang menyerang terjadi begitu
cepat. Terkadang yang terlihat hanya kelebatan tubuh
mereka. Dan sesekali terdengar suara berdentum
keras.
Suara-suara yang keras memancing keingintahuan
anak buah Rawangi. Mereka terperangah melihat
pertarungan aneh dan mengerikan. Namun mereka
segera berdiri di sisi Rawangi, siap melindungi sang
jujungan bila terjadi apa-apa.
Tetapi, Rawangi justru menyuruh mereka untuk
keluar dari sana. Meskipun tak mengerti mengapa
diperintahkan seperti itu, mereka pun keluar. Namun
tetap berjaga-jaga bila memang diperintahkan.
Andika berkali-kali mendengus karena hampir saja
kepalanya copot dari leher ketika angin bak puting
beliung menyambar dan kembali lagi ke arahnya
dengan cepat. Belum lagi cahaya yang berpendar-
pendar, membuat penglihatannya terhalang beberapa
kali.
"Busyet! Jurus apa itu?" maki Pendekar Slebor
sambil bersalto ke belakang terus menerus.
Wajah Andika menjadi tegang menyadari betapa
hebatnya serangan Manusia Jenggot Merah. Maka
seketika langsung dipergunakannya ajian 'Guntur
Selaksa'. Namun itu pun tak banyak gunanya. Bahkan
lagi-lagi dia yang terpontang-panting.
Rawangi yang melihat hal itu menggeram jengkel.
Biar bagaimanapun juga, Andika tidak dikehendaki
mati saat ini. Terus terang, dia memerlukan Andika
untuk dijadikan suaminya. Dengan begitu, Bunga
Neraka bisa dikuasai dengan segera.
Maka Rawangi pun menyerbu Manusia Jenggot
Merah. Sementara lelaki itu langsung menyambar
dengan ajian 'Tutup Sukma'.
"Katakan! Di mana Bunga Neraka itu berada?"
dengus Manusia Jenggot Merah sambil terus
melancarkan serangan.
Sejenak dia gelagapan ketika menerima serangan
Rawangi. Bahkan dalam hatinya mendengus, karena
gerakan gadis itu membuat jantungnya mau copot!
Bukannya menjawab, Rawangi terus menderu.
Gadis ini mencecar dengan serangan bahaya. Berkali-
kali terdengar ledakan dahsyat. Dalam dua jurus
berikutnya, Manusia Jenggot Merah benar-benar ter-
desak.
Dan mendadak saja, lelaki ini mengeluarkan
gerengan setinggi langit. Tubuhnya langsung
mencelat bagaikan menempel pada langit-langit.
Duarrr!
Tiba-tiba terdengar suara ledakan. Entah apa yang
terjadi. Tapi tahu-tahu tubuh Manusia Jenggot Merah
telah berada dalam keseimbangannya kembali, dan
langsung meluruk pada Rawangi. Si gadis sejenak
terperangah. Akibatnya.... Des!
Tubuh Rawangi terlontar keras hingga menabrak
dinding pualam. Tak ada luka berarti, meskipun
dinding itu jebol terhantam tubuhnya. Dan dikawal
gerengan keras disertai kemarahan tinggi, Rawangi
menderu kembali.
"Kau telah mencorengkan noda di Istana Gerbang
Neraka, Manusia Laknat! Dan kau akan terkubur di
sini!" sentak gadis itu.
Sementara dalam hati, Rawangi masih terheran-
heran bagaimana Manusia Jenggot Merah bisa
meloloskan diri dari 'Ikatan Sutera Neraka'.
Si lelaki berjenggot merah berdiri lagi dengan
tatapan nyalang. Dan mendadak seketika terlihat
asap berwarna hitam keluar dari sana. Lalu....
Blammm...!
Serangan aneh mengandung kekuatan maha
dahsyat itu berbenturan lagi dengan serangan
Rawangi. Kali ini, tempat itu bagaikan dilanda gempa.
Tubuh Manusia Jenggot Merah terpental keras.
Sementara Rawangi berdiri dengan tubuh bergetar.
"Tak kusangka! Ternyata gadis ini berilmu begitu
tinggi. Menghadapi Pendekar Slebor saja, aku sudah
harus tunggang langgang. Tetapi biar bagaimanapun
juga, aku harus mendapatkan Bunga Neraka!" tandas
Manusia Jenggot Merah.
Manusia Jenggot Merah berdiri lagi. Sempoyongan,
sebelum mendapat keseimbangannya kembali. Dan
kini kedua tangannya terlihat memancarkan sinar
berwarna biru.
"Hhh! Mampuslah kau, Rawangi!"
Andika yang menyadari kalau itu adalah jurus
sangat berbahaya, segera mendorong tubuh Rawangi
yang masih berdiri dengan tubuh bergetar. Dan
Pendekar Slebor sendiri berdiri berhadapan dengan
Manusia Jenggot Merah.
"Pendekar Slebor! Seharusnya kita bahu membahu
untuk menghancurkan Istana Gerbang Neraka ini,
dan merebut Bunga Neraka! Rupanya, kau sudah
diperbudak gadis jelita itu!" dengus Manusia Jenggot
Merah.
"Apa tidak salah? Kaulah yang sudah diperbudak
nafsu iblismu, Manusia Jenggot Merah! Sayang, aku
tak mungkin bisa bekerja sama denganmu. Tapi
sebaiknya, katakan bagaimana kau bisa masuk ke
Gerbang Neraka ini?!" tukas Pendekar Slebor sambil
memikirkan bagaimana cara untuk menjatuhkan
Manusia Jenggot Merah.
"Sudah tentu dengan cara sama seperti yang kau
lakukan, Pendekar Slebor!"
Andika terperangah. Kalau begitu, apakah
Manusia Jenggot Merah memanfaatkan keadaan saat
dirinya dikirim melalui alam pikiran oleh Penjaga
Gerbang Neraka? Keparat! Bagaimana keadaan
Penjaga Gerbang Neraka saat ini?
"Dasar culas! Kau mengambil kesempatan di
dalam kesempitan rupanya, ya?"
"Kelicikan bukan hanya ada di alam kita saja,
Andika! Di alam aneh yang panas ini pun telah
terkuak pula. Kalau kau masih menghalangiku untuk
membunuh gadis itu, maka tak ada jalan lain selain
melihat mayatmu terkapar!"
Andika mencibir.
"Omonganmu boleh juga!"
Tubuh Manusia Jenggot Merah bergetar karena
menahan marah. Lalu, tubuhnya pun melesat dengan
kedua tangan merah.
"Heaaa...!"
Dibarengi teriakan keras Andika yang memang
sudah memperhitungkan segera melesat pula.
Dua sosok tubuh melesat saling berlawanan
dengan kecepatan tinggi. Dua tenaga aneh dan sakti
telah terangkum di tangan. Rawangi diam-diam
menahan napas. Dia cukup terkejut melihat jurus-
jurus aneh dan hebat yang dimiliki orang-orang yang
berlainan alam dengannya.
***
10
Bummm...!
Dua kekuatan dahsyat pun bertemu. Terdengar
suara ledakan begitu keras.
Tempat ini benar-benar bergoyang. Tubuh
Pendekar Slebor terpental deras ke belakang, meng-
hantam dinding pualam. Dari mulut dan hidungnya
mengeluarkan darah. Tulang di seluruh tubuhnya
bagaikan patah. Sementara Manusia Jenggot Merah
hanya bergulingan sesaat sebelum berdiri kembali.
Lelaki tua ini benar-benar kaget menyadari
kehebatan Pendekar Slebor yang mampu menahan
ajian 'Penebus Sukma'. Nyatanya, nama besar
Pendekar Slebor yang selama ini didengarnya
memang bukan omong kosong belaka.
Sedangkan Andika segera bangkit terhuyung.
Kalau saja tak menggunakan ajian 'Singkir Geni'
sudah tentu tubuhnya akan hancur lumat.
Ajian 'Singkir Geni' dipelajari Andika dari Eyang
Sasongko Murti, seorang murid yang membelot dari
gurunya dari bangsa siluman. Jadi, jurus ajian 'Singkir
Geni' memang jurus bangsa siluman (Silakan baca
serial Pendekar Slebor: "Siluman Hutan Waringin").
Memang, menurut Andika sangat sulit menghajar
Manusia Jenggot Merah bila tidak mempergunakan
ajian bangsa siluman.
Rawangi sendiri diam-diam kembali menahan
napas. Sungguh suatu bentrokan yang sangat
dahsyat tadi. Namun dalam hatinya, melihat
kesungguhan bertarung Andika sudah tentu kalau si
pemuda memang tidak mengenal Manusia Jenggot
Merah.
Kesempatan itu pun dipergunakan Rawangi untuk
melesat maju, menyerang Manusia Jenggot Merah
yang masih setengah terhuyung.
"Kau harus mati dan menjadi penghuni 'Neraka
Lembah Abadi'!" bentak Rawangi.
Namun....
Plashhh...!
Mendadak saja tubuh Manusia Jenggot Merah
telah lenyap dari pandangan, bagaikan hilang ditelan
perut bumi. Rawangi sampai celingukan sejenak.
Namun tiba-tiba saja Rawangi berjumpalitan sambil
mendorong tubuh Andika. Seketika tubuh Pendekar
Slebor terguling dengan kening berkerut. Dan....
Duaaarrr...!
Satu pukulan keras mengenai dinding batu pualam
hingga hancur. Menyusul, suara tawa keras.
"Kalian saat ini masih kuampuni! Hhh! Aku akan
mencari Bunga Neraka dulu. Dan kau, Pendekar
Slebor! Kuucapkan selamat menikah!"
Lalu tawa yang menggema keras itu semakin lama
semakin menghilang. Andika menekan rasa sakit di
dadanya. Dia mengerti sekarang, mengapa Rawangi
mendorongnya.
Rupanya, apa yang dialami Pendekar Slebor di
Gerbang Neraka ini memang benar-benar aneh.
Banyak sekali masalah yang belum terpecahkan.
Termasuk, masalah Rawangi dan seisi Gerbang
Neraka ini. Juga, bagaimana cara mendapatkan
Bunga Neraka.
Dan sekarang, masalah lain sudah timbul dari
Manusia Jenggot Merah yang bisa membokong
dengan mudahnya. Gila! Ilmu manusia satu itu
memang sangat tinggi. Andika yakin, kalau tidak ada
Rawangi, bisa-bisa sudah jadi mayat terpendam di
Istana Gerbang Neraka.
"Rawangi.... Kita harus cepat mendapatkan Bunga
Neraka, sebelum didahului Manusia Jenggot Merah!"
pinta Andika setelah memikirkan bagaimana caranya
menjatuhkan Manusia Jenggot Merah. Terutama,
hatinya sangat khawatir bila Bunga Neraka berhasil
didapatkan manusia telengas itu.
Rawangi menoleh sengit.
"Jangan memanfaatkan kesempatan, Andika!"
Busyet! Dia masih bersikap bermusuhan dengan
Andika!
"Bukan begitu maksudku! Tetapi, bila saja kita
terlambat mendapatkan Bunga Neraka, keadaan
akan menjadi kacau balau!" kilah Andika, tegas.
"Bila kau memang ingin cepat mendapatkan Bunga
Neraka kita harus menikah segera!" sentak Rawangi,
mangkel.
***
Andika terdiam dengan kepala pusing tujuh
keliling. Keadaan semacam ini memang tak pernah
disadari sebelumnya. Menurut dugaannya, Bunga
Neraka akan mudah didapatkannya. Tetapi
sekarang? Justru dia menjadi terikat!
"Kalau kau tak mau mengatakan bagaimana cara
mengambil Bunga Neraka, aku tak akan pernah mau
menikah denganmu!" ancam Andika.
"Kau mengancamku?"
"Tergantung kau mengartikannya," balas Andika
seperti yang pernah dikatakan Rawangi tempo hari
"Aku mengartikannya kau mengancamku, Andika."
"Itulah keadaan yang sesungguhnya," desis Andika
sambil melangkah setengah terhuyung ke kamarnya.
Kini Pendekar Slebor harus memainkan peranan-
nya. Kalau waktu itu Rawangi yang mengancamnya
untuk segera menikahinya, sekarang dia yang harus
memanfaatkan kesempatan. Jelas, tujuannya untuk
mengambil Bunga Neraka.
Andika pun ingin tahu, ada rencana apa di balik
semua ini sebenarnya? Mengapa Rawangi meng-
hendaki menjadi suaminya? Pasti ada sesuatu yang
dicari gadis itu. Dan soal Bunga Neraka, Andika
merasakan lama kelamaan kepalanya menjadi pusing
tak karuan. Pusing yang benar-benar membuatnya
jengkel.
Ketika sampai di kamarnya Andika bergidik.
"Hiii! Kalau aku menikah dengannya, bisa gawat!
Umurku dua puluh satu tahun. Sedangkan dia? Tujuh
puluh tujuh tahun! Ampun.... Memang dia cantik
dan...., montok. Tetapi tujuh puluh tujuh tahun? Wah!
Masa aku nikah sama nenek-nenek?"
Lalu Andika membuka pakaiannya. Diperiksanya
luka yang dideritanya akibat serangan Manusia
Jenggot Merah. Segera diambilnya sikap bersemadi.
Selain untuk menyembuhkan luka yang dideritanya,
juga berusaha mengosongkan diri agar tidak terlalu
tegang.
***
Di tempat semula, Rawangi masih berdiri. Kakinya
menghentak-hentak jengkel. Rupanya, pemuda ber-
juluk Pendekar Slebor bukanlah orang yang memiliki
otak kosong. Begitu cerdik dengan ilmu tinggi.
Di satu segi, Rawangi memang tak ingin
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Bunga
Neraka. Bila menikah dengan Andika, maka seluruh-
nya akan menjadi miliknya. Kekuatan maha dahsyat
juga akan dimilikinya!
Belum lagi tuntas masalah Basofrat yang
melingkar-lingkar di benaknya, kini Manusia Jenggot
Merah yang melakukan sepak terjang mengerikan.
Hhh! Siapakah yang mengirim mereka sebenarnya?
Lalu tadi, wanita ini mendengar nama Penjaga
Gerbang Neraka? Siapa pula manusia keparat itu?
Apakah dia Basofrat?
Rawangi mendengus jengkel. Apalagi mengingat
Andika sudah mengeluarkan pernyataannya yang
mematikan. Bila ingin menikahinya, maka Rawangi
harus rnemberitahukan bagaimana cara mengambil
Bunga Neraka. Selama belum menikah dengan
pemuda dari alam yang berlainan dengannya,
Rawangi memang tidak akan pernah bisa mengambil
Bunga Neraka. Meskipun dia tahu bagaimana cara
mengambilnya. Inilah yang memusingkan.
Bila hal itu diberitahukan, apakah pemuda itu bisa
memenuhi janjinya? Ataukah, akan mengambilnya
sendiri dan memanfaatkannya?
Rawangi benar-benar pusing tujuh keliling. Tak
tahu, keputusan apa yang harus diambil sekarang ini.
Karena, keadaan memang benar-benar tak mampu
dikendalikan lagi!
Apalagi ketika tiga orang anak buahnya datang
dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa?" tegurnya, jengkel.
"Maafkan kami,Tuan Putri.... Kami melihat seorang
lelaki tua telah datang ke Gerbang Neraka. Dan
sekarang, sedang menghancurkan dinding peng-
halang."
Rawangi menghentakkan kakinya.
"Siapa pula manusia itu?" tanyanya, makin jengkel.
"Mengapa begitu mudahnya orang-orang di alam yang
berlainan masuk ke Gerbang Neraka?!"
Seketika, gadis penguasa Istana Gerbang Neraka
berlari menuju ruang kaca. Dia ingin melihat orang
yang dikatakan anak buahnya melalui bola kaca. Kini
terlihat orang itu mengenakan pakaian berwarna
putih dengan sorban berwarna hitam di kepala. Di
tangannya terdapat sebuah tongkat berwarna putih
pula. Anehnya, meskipun mengenakan sorban di
kepalanya, rambutnya yang berwarna keemasan
menjurai teratur. Dan orang itu sedang menggeleng-
gelengkan kepala setelah menghancurkan dinding
gaib yang pecah berantakan, tetapi tak pernah
terlihat wujudnya.
Rawangi menggeram murka.
"Siapa lagi manusia keparat itu! Hhh! Aku yakin
sekarang, Basofrat yang telah melakukan semua ini!
Dia sengaja menunjukkan jalan, sekaligus mengirim-
kan orang-orang ini masuk ke Gerbang Neraka untuk
mengambil Bunga Neraka. Ini memang tak bisa
dibiarkan! Manusia-manusia itu memang harus
mampus! Juga, Pendekar Slebor yang telah men-
jengkelkan aku sekarang! Baik! Aku akan
mengatakan padanya, bagaimana cara mengambil
Bunga Neraka agar mau menikahiku. Setelah itu,
nyawanya akan kucabut!"
Lelaki yang dilihat Rawangi yang sedang
melangkah kembali tanpa keringat setetes pun tak
lain dari Penghulu Segala Ilmu. Bagaimana caranya
dia bisa masuk ke Gerbang Neraka?
***
Setelah bertanya apakah tak ada jalan lain untuk
masuk ke Gerbang Neraka, Penjaga Gerbang Neraka
menceritakan satu jalan lain yang sangat aneh. Bila
saja ada orang yang mampu melepaskan sukmanya
dari raga, maka akan mampu menembus pintu
masuk Gerbang Neraka.
Penghulu Segala Ilmu termangu ketika mendengar
jawaban itu.
"Karena penasaran ingin tahu apa yang terjadi di
Gerbang Neraka, maka aku akan segera berangkat
sekarang juga. Lagi pula, aku membutuhkan
Pendekar Slebor. Kecerdikan otaknya kubutuhkan
dalam memecahkan persoalan."
Penjaga Gerbang Neraka mengangkat bahunya
terperangah.
"Kau? Menuju Gerbang Neraka?"
Penghulu Segala Ilmu tersenyum.
"Kebetulan, aku mampu melakukan apa yang kau
katakan tadi, Penjaga Gerbang Neraka. Tetapi
kuminta, kau harus menjaga jasadku agar tak
diganggu orang-orang busuk."
"Tetapi...."
"Inilah jalan yang terbaik bagi kita untuk menyusul
Pendekar Slebor. Aku juga tidak ingin dia mampus di
sana, sebelum membantuku," jelas Penghulu Segala
Ilmu, memotong.
Tahu-tahu lelaki bersorban itu duduk dengan sikap
bersemadi. Sementara Penjaga Gerbang Neraka
hanya memperhatikannya dengan tegang.
"Aku sudah siap, Penjaga Gerbang Neraka."
Penjaga Gerbang Neraka menoleh dan kembali
terbelalak. Tampak Penghulu Segala Ilmu telah berdiri
di samping kanannya. Sementara, matanya tetap
melihat sosok Penghulu Segala Ilmu sedang duduk
bersemadi.
Sadarlah Prana Bantoro sekarang kalau Penghulu
Segala Ilmu membuktikan apa yang dikatakannya.
Setelah membicarakan beberapa soal, segera dikirim-
nya Penghulu Segala Ilmu ke Gerbang Neraka. Dan
tak lupa, diberitahukannya, bagaimana cara keluar
dari Gerbang Neraka.
Dan yang dilihat Rawangi sekarang ini melalui bola
kacanya adalah roh Penghulu Segala Ilmu. Sementara
jasadnya tetap berada dalam sikap bersemadi di
alam Sana, dijagai Penjaga Gerbang Neraka.
***
11
Andika tersenyum dalam hati ketika Rawangi
mengatakan setuju atas permintaannya.
"Aha!" Pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu
melompat bangkit. Dirangkulnya Rawangi yang
seketika memerah wajahnya. "Memang begitu kalau
hendak menjadi istri yang baik. Permintaan suaminya
segera dituruti."
Rawangi hanya mengangguk saja. Bagi Andika, hal
ini memang lebih menguntungkan lagi. Karena,
dikhawatirkan Manusia Jenggot Merah akan segera
menemukan Bunga Neraka.
"Ikuti aku, Andika," ujar Rawangi pelan. "Tetapi
kuminta kau tetap memenuhi janjimu."
Andika nyengir. "Bereslah soal itu! Nikah apa
susahnya, sih?"
"Kita ke sana," tunjuk Rawangi sambil mendahului.
Pendekar Slebor hanya mengiyakan, dan meng-
ikuti langkah Rawangi. Meskipun demikian, sikapnya
tetap waspada.
Pendekar Slebor dibawa ke sebuah tempat yang
benar-benar menakjubkan. Sekelilingnya bagaikan
tanah lapang belaka. Hanya bedanya, dikungkung
bangunan yang cukup besar. Di tengah-tengah
ruangan itu, Rawangi berdiri.
"Pegang tanganku."
Sambil mesem-mesem Andika memegang tangan
itu. Uhh.... Halusnya! Lalu, dilihatnya Rawangi
menggedukkan kakinya lima kali ke tanah yang
dipijaknya. Seketika itu juga bagaikan ada tenaga
sentakan sangat kuat, tubuh keduanya tertarik ke
bawah.
"Wooo!" seru Andjka, lebih erat lagi memegang
lengan Rawangi. Rambutnya yang gondrong diper-
mainkan tarikan angin yang sangat kuat ke bawah.
"Jangan kau lepaskan tanganku, Andika! Karena,
sebentar lagi kita akan memasuki sebuah pusaran
angin maha dahsyat!"
Hati Andika jadi kebat-kebit mendengarnya. Edan!
Rupanya tak semudah yang diperkirakan sebelumnya.
Tangannya pun lebih erat menggenggam tangan
Rawangi.
Seperti yang dikatakan gadis itu, tiba-tiba saja
muncul angin melingkar yang besar sekali. Andika
merasakan wajahnya bagaikan ditampar tangan-
tangan kasar dan kuat sekali. Tangannya semakin
erat menggenggam. Dia berseru-seru keras ketika
tubuhnya hampir-hampir terlempar.
Hanya yang mengherankan, Rawangi tetap ber-
sikap biasa saja. Begitu tenang! Bahkan tubuhnya
seakan tak terkena pengaruh pusaran angin yang
maha dahsyat.
Cukup lama juga Andika merasa terombang-
ombang di dalam pusaran angin hebat itu. Hingga
akhirnya, tubuhnya terasa terlempar lebih dalam lagi.
Sekelilingnya terasa gelap gulita, ketika kedua
kakinya merasa memijak landasan.
"Tetap jangan kau lepaskan tanganmu. Ikuti aku,"
perintah Rawangi mendesir dalam kegelapan.
Gadis itu melangkah perlahan-lahan. Andika
berusaha memicingkan matanya, melihat apa yang
ada disekelilingnya. Namun tak tampak olehnya
sesuatu apa pun.
Hingga setelah melangkah dalam kegelapan, dari
kejauhan Andika melihat cahaya terang yang semakin
lama semakin terang. Juga, dirasakannya hawa
panas, yang menyengat hingga seluruh kulitnya.
Rawangi berhenti melangkah. Tahu-tahu diusapnya
kening Andika dengan lembut. Belum sempat si
pemuda menyadari apa yang dilakukan Rawangi,
dirasakannya hawa panas menyengat itu lenyap
seketika. Dan yang ada di hadapannya adalah lautan
api yang luas membentang!
"Di sinilah Bunga Neraka berada, Andika...," tunjuk
Rawangi.
Andika memandang takjub sekelilingnya. Semakin
banyak rahasia di Gerbang Neraka dan seisinya ini,
semakin memusingkan kepalanya.
"Seperti yang kulihat dalam bola kaca itu,"
desisnya dalam hati. "Tetapi, bagaimana caranya
melewati lautan api ini?"
"Andika.... Aku sudah memberitahu di mana letak
Bunga Neraka."
"Kau belum memberitahu, bagaimana cara meng-
ambilnya," sambar Andika, ketika melihat sebuah
bunga yang besar di tengah-tengah lautan api itu.
"Nikahi aku. Maka kau segera mendapatkan
jawabannya."
"Bukankah aku sudah berjanji soal itu? Nah!
Beritahu aku, bagaimana caranya mengambil Bunga
Neraka."
Rawangi menatapnya. Lekat. Diam-diam dia
merasakan sesuatu yang semakin asing di dadanya.
Kalau sebelumnya ingin Andika menikahinya hanya
untuk mendapatkan Bunga Neraka, tetapi sekarang
sesuatu yang yang ganjil semakin meresap hingga ke
relung hatinya yang entah di sisi sebelah mana.
"Kita kembali, Andika," ajak Rawangi, meng
herankan.
Andika tahu akan kekerasan hati Rawangi.
"Beritahu aku bagaimana cara mengambil Bunga
Neraka itu, Rawangi," ujar Pendekar Slebor, setengah
memaksa.
Kekerasan hati gadis itu pun melemah. Biar
bagaimanapun, juga perasaan aneh di hatinya
semakin membesar.
"Lautan api ini akan membakar siapa saja yang
menginginkan Bunga Neraka. Tetapi bila tahu
bagaimana caranya mengambil bunga itu, maka
lautan api ini tak akan terasa panas. Andika....
Benarkah kau akan menikahiku setelah ini?" tanya
Rawangi, setengah memaksa pula.
"Kita lihat saja nanti."
"Baiklah. Pertama..., kau injaklah api yang berada
paling ujung. Ingat, tahan napasmu. Setelah itu,
pergunakan ilmu meringankan tubuh untuk melang-
kah. Dan setiap kali melangkah, kau harus bernapas.
Tetapi bila berhenti, harus menahan napas."
"Semudah itukah?" tanya Andika, cerah.
Rawangi menggeleng, membuat Andika kusut
kembali.
"Tidak. Untuk memetik Bunga Neraka, kau harus
mempergunakan gigimu. Bila sebelum berhasil
memetik Bunga Neraka, dan terkena salah satu
bagian kulit tubuhmu, misalnya bibirmu, maka tanpa
ampun lagi justru kau yang akan tersedot bunga itu,"
papar Rawangi.
"Berbahaya."
"Masih ada lagi bahaya yang akan mengancammu.
Bila kau berhasil memetik bunga itu, harus segera
meninggalkan tempat ini. Karena, lautan api yang
akan segera menggulung tubuhmu dan membakar
hangus!"
Andika menggeleng-geleng.
"Luar biasa!"
"Itulah Bunga Neraka. Sekarang kita kembali,
Andika. Nikahi aku segera."
"Tetapi...."
Rawangi menatap dingin. "Kau sudah berjanji
padaku, Andika. Ingat! Kau hanya meminta, bagai-
mana caranya memetik Bunga Neraka. Bukannya
akan memetik. Ingat itu!"
Andika menggaruk-garuk kepalanya. Mati kutu dia
"Bisa berabe!" desisnya. Pendekar Slebor memikirkan
bagaimana caranya melepaskan diri dari Rawangi
"Baiklah.... Kita akan segera melangsungkan per-
nikahan."
Andika melihat bibir Rawangi tersenyum. Seperti
anak kecil yang diberi gula-gula, desis Pendekar
Slebor dalam hati.
***
Tetapi, benarkah keadaan saat ini aman? Ternyata
tidak. Manusia Jenggot Merah yang telah lenyap dari
pandangan, rupanya berhasil masuk pula ke dalam
tempat rahasia Bunga Neraka berada.
Dengan wujud tak terlihat, lelaki licik itu berhasil
mengikuti Rawangi dan Andika menuju tempat ini.
Dan setelah keduanya kembali lagi ke Istana Gerbang
Neraka, Manusia Jenggot Merah masih berada di
sana.
Sosok lelaki itu kini telah muncul dan terbahak-
bahak keras. Dengan menggunakan seluruh ajiannya,
panasnya lautan api itu berhasil dilumpuhkan.
"Kini tiba saatnya bagiku untuk memiliki Bunga
Neraka. Tak seorang pun yang bisa menghalangiku
lagi!"
Dan seperti yang dikatakan Rawangi tadi, Manusia
Jenggot Merah menginjak ujung lautan api sambil
menahan napas. Hanya beberapa langkah saja, dia
kini sudah tiba di dekat Bunga Neraka.
Pandangannya semakin liar dan berbinar-binar
melihat Bunga Neraka. Lalu perlahan-lahan dipetik-
nya bunga itu dengan gigi sambil siap melompat bila
telah berhasil mendapatkannya.
Tas!
Bunga Neraka pun patah. Seketika, lautan api
bergulung deras ke arah Manusia Jenggot Merah.
Namun secepat kilat lelaki ini melompat ke tempat
semula.
Sesaat mengejutkannya! Lautan api itu justru terus
mengejar Manusia Jenggot Merah.
"Bangsat!" maki lelaki licik ini kalang-kabut sambil
bersalto kembali. Bunga Neraka sekarang berada di
tangannya. Dan dia berusaha meloloskan diri.
Lautan api yang mengeluarkan suara bagai air bah
tumpah, terus mengejar cepat. Manusia Jenggot
Merah memaki-maki sendiri ketika tak berhasil
menemukan jalan keluar dari tempat itu. Ujung
bajunya yang telah compang-camping akibat
benturan tenaga sakti dengan Pendekar Slebor,
terbakar habis. Begitu pula ujung celananya!
"Keparat! Bagaimana aku harus keluar dari
lingkungan api sialan ini!"
Manusia Jenggot Merah terus berusaha mencari
jalan keluar dari sana. Sementara lautan api itu
semakin memburu, membentuk bagaikan gelombang
lautan yang sangat keras.
Di Istana Gerbang Neraka, Rawangi yang sudah
duduk bersanding dengan Andika tersentak. Dia ber-
diri dengan wajah tegang.
"Bunga Neraka!" desisnya, seraya berkelebat.
Kening Andika sejenak berkerut, tetapi segera
menyusul Rawangi. Biar bagaimanapun juga, per-
nikahan itu bisa dibatalkan.
Sedangkan saat ini anak buah Rawangi yang
hendak menjadi saksi atas pernikahan menjadi ribut.
Serentak beberapa orang mengikuti ke mana arah
Rawangi pergi. Dan sebagian yang lain masih berada
di sana dengan bersiaga.
***
12
Seperti yang dilakukannya tadi, Rawangi meng-
gedukkan kakinya ke tanah. Lalu, tubuhnya tersedot
ke bawah. Bersamaan dengan itu, Andika bagaikan
seorang penerjun menyambar tangan Rawangi.
"Kau tidak usah ikut!" sentak Rawangi.
"Aku ingin tahu apa yang terjadi di sana!" Andika
bersikeras.
"Ada yang mengambil Bunga Neraka! Hhh!
Rupanya Basofrat sudah berada di sini!"
Lagi-lagi Basofrat! Rutuk Andika dalam hati.
Siapakah dia? Dan hal ini semakin membuatnya
penasaran.
Ketika mereka tiba di sana, lautan api semakin
membentang membentuk gelombang kuat. Andika
melihat sosok Manusia Jenggot Merah sedang
pontang-panting menghindari serbuan lautan api. Dan
di tangannya, terdapat Bunga Neraka.
"Manusia hina itu lagi!" teriak Rawangi, keras.
Tubuhnya pun menderu ke arah Manusia Jenggot
Merah.
Desss!
Tendangan kuat menimpa dada Manusia Jenggot
Merah. Sementara Andika dengan tangkas menen-
dang manusia licik itu yang sedang meluncur di atas
api yang menderu pula ke arahnya.
Desss...!
Tubuh Manusia Jenggot Merah tak ubahnya bola.
Begitu terpental, segera disambar lagi oleh Rawangi.
"Katupkan kedua kakimu menjadi satu, Andika!
Tahan napasmu sekuat mungkin!" perintah Rawangi
terus menghajar Manusia Jenggot Merah.
Andika mengikuti apa yang dikatakan Rawangi.
Dan benar saja, karena lautan api itu seolah hanya
melingkari saja tanpa membakar tubuhnya.
"Busyet! Berapa lama aku harus menahan napas
begini?" rutuk Andika.
Manusia Jenggot Merah mendengar pula apa yang
dikatakan Rawangi pada Andika. Tetapi, gadis itu tak
memberinya kesempatan untuk melakukannya.
Rawangi terus menyerang. Dan manusia satu ini tak
bisa menghindari lagi serangannya. Kalaupun ingin
membalas, sebelum dilakukan sambaran api sudah
menderu ke arahnya.
Manusia Jenggot Merah kalang kabut, karena
harus menghindari dua serangan maut sekaligus.
Bukan serangan dari Rawangi yang membuatnya jeri,
karena masih mampu menahan setiap serangan.
Tetapi, sambaran lautan api yang membentuk
gelombang dan semburan tinggi itu yang mem-
bingungkannya!
Sementara itu, wajah Andika sudah memerah
karena terlalu lama menahan napasnya. Matanya
sudah mendelik, karena merasa tak akan mampu
menahan lebih lama lagi. Keadaannya sudah payah
sekarang. Bisa mampus tubuhnya dimakan api yang
berkobar-kobar. Namun tiba-tiba....
Desss...!
Pendekar Slebor merasakan satu tenaga keras
menghantamnya, hingga terlontar ke atas. Wusss!
Tubuh si anak muda ini bagaikan luncuran anak
panah. Dan dia terlontar kembali ke tempat masuk-
nya tadi.
Andika mendesah.
"Gila! Aku harus kembali ke sana! Meskipun aku
tak tahu apakah Rawangi berpihak kepadaku atau
justru memusuhiku, aku harus tetap membantunya!"
tandas si anak muda sambil menarik napas dalam-
dalam.
Dengan mengempos tubuhnya, Andika berusaha
masuk kembali ke dalam. Tampak, bagaimana
Rawangi berusaha keras mendesak Manusia Jenggot
Merah. Sementara lautan api berkobar sangat panas
luar biasa. Inikah neraka yang sesungguhnya?
Andika melenting pula untuk mendesak Manusia
Jenggot Merah yang semakin kewalahan.
"Minggir kau, Andika! Manusia itu bagianku!"
bentak Rawangi.
Andika jelas sekali melihat Rawangi akan segera
menyudahi Manusia Jenggot Merah. Karena selain
harus menghindari kobaran api yang besar, manusia
licik itu pontang-panting menerima serbuan-serbuan
dahsyat Rawangi.
"Andika! Sambar Bunga Neraka!" perintah Rawangi
sambil mengirimkan satu tendangan keras ke tubuh
Manusia Jenggot Merah.
Diegkh...!
Tulang iga Manusia Jenggot Merah patah. Dan
tubuhnya meluncur ke belakang. Sementara Andika
dengan cepat menyambar Bunga Neraka.
"Tinggalkan tempat ini! Cepaaat...!!" teriak Rawangi
lagi, setelah memastikan Andika berhasil menyambar
bunga itu.
Andika melirik sekilas pada Rawangi. Gadis itu
tengah menendang Manusia Jenggot Merah yang
sudah tak mampu melawan.
Desss...!
"Aaa...!"
Tubuh lelaki itu meluncur deras ke lautan api,
tertelan dan terbakar. Jeritannya begitu keras,
merobek udara!
Rawangi yang melihat keadaan sudah sangat
berbahaya, mengempos tubuhnya.
Plasss...!
Tepat ketika Rawangi menghilang, lautan api
menelan seluruh tempat Bunga Neraka berada.
***
"Rawangi!" panggil Andika begitu gadis itu muncul.
Wajahnya nampak begitu lelah, tetapi tetap
tersenyum.
"Kita harus segera melangsungkan pernikahan,
Andika," todong gadis itu.
Sesaat Andika terdiam. Hatinya memang gembira
melihat Rawangi muncul kembali. Namun, per-
mintaan itu? Sebelum Andika sempat berpikir dan
menjawab....
"Pernikahanmu dengan pemuda itu bukanlah jalan
keluar yang baik, untuk memiliki Bunga Neraka,
Rawangi."
Terdengar suara bernada teguran. Rawangi
menoleh.
"Basofrat!" seru gadis itu.
Andika terperangah, mengikuti pandangan
Rawangi ke satu tempat. Namun, dia tak melihat
siapa-siapa di sana, kecuali mereka berdua dan
beberapa orang anak buah Rawangi.
"Pengkhianat! Karena ulahmu tempat ini menjadi
berantakan!"
Andika melihat Rawangi membentak sambil
menuding. Entah tertuju pada siapa.
"Tidak, Rawangi. Itu adalah hukum yang berlaku di
alam kita. Untuk memulihkan kesenjangan yang ter-
jadi di sini, aku memang harus memberitahukan
seseorang di alam sana, untuk mendapatkan Bunga
Neraka. Dan yang terpilih, adalah pemuda gagah di
sebelahmu, Rawangi."
Orang yang dimaksud justru sedang menggaruk-
garuk kepalanya bingung. Memang, saat ini Andika
tak bisa menembus satu ilmu aneh yang terdapat di
alam Gerbang Neraka. Beberapa anak buah Rawangi
sendiri tak bisa melihat Basofrat saat ini. Terkecuali,
Rawangi sendiri.
"Persetan dengan semua ucapanmu! Pengkhianat
harus mampus!" dengus Rawangi.
"Tahan, Rawangi.... Bukankah lebih baik kita buang
saja Bunga Neraka"? Coba kau pikirkan.... Aku sendiri
tak menghendaki Bunga Neraka. Meskipun kau
menghendakinya, tapi harus menikah dulu dengan
pemuda itu. Inilah yang sulit, Rawangi. Apakah, kau
lupa, kalau bangsa kita menikah dengan bangsa dari
alam berlainan, maka dalam beberapa purnama saja
kita akan mati? Rawangi.... Menikah dengan pemuda
itu hanyalah bunuh diri. Kau masih muda. Kau sangat
dihargai penduduk di Gerbang Neraka ini. Kau bisa
menjadi pimpinan mereka, Rawangi. Di samping itu,
keadaan semacam ini telah lama kita rindukan,
bukan? Kita kembali berdampingan dengan damai,
tanpa dapat pengkhianatan di antara kita," bujuk
suara yang masih kasat mata.
"Kau sudah berkhianat!"
"Tidak! Apa yang kulakukan ini adalah satu
kebenaran. Kita memang harus berkorban, untuk
mencari damai. Apalagi, hukum di alam kita sangat
keras. Berlainan dengan hukum di alam lainnya. Kau
seharusnya mengerti, Rawangi. Ingat! Bunga Neraka
biarlah menjadi satu kenangan. Bahkan, kalau tidak
mau membuangnya, kau bisa menanamnya. Meski-
pun, khasiatnya akan hilang bila tidak di tempat
Lautan Api Neraka. Namun, namanya tetap harum.
Dan, satu lagi! Bunga Neraka menjadi lambang abadi
dari kerukunan bangsa di alam Gerbang Neraka."
Dari rasa marahnya, terlihat Rawangi terdiam.
Nampaknya kata-kata orang Basofrat benar-benar
dipikirkan. Perlahan-lahan wajahnya tak setegang
tadi.
"Haya! Bagus itu! Jadi kita tidak perlu kawin!" sorak
Andika, dalam hati.
Pendekar Slebor lantas menatap ke sekeliling.
Karena dia tak tahu, di mana sosok Basofrat berada.
"Baiklah, Basofrat! Yang kau katakan itu, aku
setuju," kata Rawangi pelan, namun pasti.
"Itulah yang kutunggu. Rawangi, aku merestui
semua sepak terjangmu sekarang ini. Dan yang aku
yakini, semua tindakanmu akan membangun alam
Gerbang Neraka dan mensejahterakan rakyatmu."
Terdengar suara yang sangat keras. Andika sampai
mendengus mendengarnya.
Setelah itu tak ada suara lagi. Rawangi mendesah
pendek. Dia tahu, Basofrat sudah pergi. Makanya
kemudian kepalanya menoleh pada Andika.
"Kau sudah mendengar semuanya, bukan?"
Andika mengangguk.
"Bunga Neraka akan kuserahkan kepadamu,"
cetus Andika.
Rawangi menerimanya.
"Kita tak perlu lagi melangsungkan pernikahan,
Andika."
"Yah..., sayang sekali, ya?" kata Andika berlagak.
Padahal dalam hati bersyukur. "Eh! Kenapa sih,
Basofrat tak mau menampilkan sosok tubuhnya?
Padahal aku penasaran, lho? Jangan-jangan dia
khawatir kalah ganteng denganku?"
Rawangi tak menjawab. Tiba-tiba, satu sosok
tubuh muncul di hadapan mereka.
"Penghulu Segala ilmu!" seru Andika langsung
mengenali.
Yang datang itu tak lain dari roh Penghulu Segala
Ilmu.
"Wah, aku terlambat, ya? Tetapi, baguslah. Jadi,
tidak ikut pusing. Andika! Apakah kau akan tetap
tinggal di sini?" kata Penghulu Segala Ilmu.
"Oh, sudah tentu tidak!"
"Kalau begitu, cepat pegang tanganku! Ada
sesuatu yang hendak kukatakan padamu," ujar lelaki
bersorban itu.
Andika nyengir.
"Kau ingin bilang aku ini tampan, ya?"
"Anak monyet! Ayo, cepat!"
"Sebentar!"
Andika mendekati Rawangi. Diraihnya tangan gadis
itu dan digenggamnya.
"Maaf, aku harus meninggalkan tempat ini.
Barangkali suatu saat kita akan berjumpa," ucap
Pendekar Slebor.
Rawangi tersenyum.
"Andika.... Dengan kehadiranmu di sini, aku akhir-
nya sadar apa yang telah tersimpan di dadaku ini
ternyata sebuah dendam," desah gadis itu, bergetar.
"Sudahlah.... Semuanya sudah berlalu."
"Andika.... Bila kau membutuhkan bantuanku, aku
akan selalu datang. Bertepuklah sebanyak tiga kali
sambil menyebutkan namaku. Maka, aku akan hadir
di dekatmu."
"Terima kasih."
"Hei, Slebor! Ayo, cepat!" dengus Penghulu Segal
Ilmu.
Andika mendengus. "Iya, iya! Selamat tinggal,
Rawangi!"
Penghulu Segala Ilmu sudah menyambar tangan
Pendekar Slebor. Lalu....
Plasss!
Tubuh mereka lenyap begitu saja. Tinggallah
Rawangi yang tertunduk dengan Bunga Neraka di
tangan, dan akan ditanamnya di belakang istana.
SELESAI
Segera terbit:
ISTANA DURJANA
0 comments:
Posting Komentar