Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
"Benar-benar laknat!"
Adipati Reksopati mendesis geram di kursi kebe-
sarannya. Kedua telapak tangannya mencengkeram
lengan kursi kuat-kuat. Sepasang matanya beringas
menyapu semua yang hadir di ruang pendopo Kadipa-
ten Pleret.
Saking gusarnya, lelaki gagah berusia empat pu-
luh tahun yang menguasai Kadipaten Pleret itu sampai
terlonjak dari tempat duduknya. Sementara semua
yang hadir di ruang pendopo membungkam. Ketika le-
laki yang memiliki wajah tampan itu kembali luruh di
kursi kebesarannya, wajahnya terlihat muram. Tu-
buhnya yang tinggi besar dibalut pakaian kebesaran
terguncang. Dadanya bergerak turun naik, seolah ten-
gah menahan gejolak amarah.
"Kangmas Adipati Reksopati! Apa maksud ucapan,
Kangmas?" tanya seorang gadis cantik berusia tujuh
belas tahun setelah memberanikan diri.
Wajah si gadis yang berbentuk bulat telur nampak
putih bersih. Rambutnya yang hitam panjang digelung
ke atas. Pakaiannya yang ringkas warna kuning. Dan
ia memang masih adik tiri Adipati Pleret, yakni Putri
Sekartaji.
Di sebelah Putri Sekartaji, duduk bersila seorang
lelaki gagah berusia lima puluh lima tahun. Tubuhnya
tinggi besar. Rambutnya dikuncir ke belakang. Pa-
kaiannya berupa jubah kuning keemasan. Sebilah pe-
dang berwarna kuning menyembul dari balik pung-
gungnya. Menilik pakaiannya, jelas lelaki ini berasal
dari dunia persilatan. Memang, ia adalah Pendekar
Bintang Emas yang merupakan guru Putri Sekartaji!
"Putri! Harap jaga ucapanmu!" ujar Pendekar Bin
tang Emas berbisik cemas. Kata-katanya tadi di-
ucapkan sedikit sopan. Tak seperti biasanya bila guru
dan murid itu sedang di luar lingkungan kadipaten.
"Memangnya kenapa, Guru? Apa aku salah ber-
tanya demikian? Kukira justru Kangmas Adipati-lah
yang harus segera bertindak terhadap pemberontakan
laknat. Yah...! Kangmas Sembodo yang kini bergelar
Pangeran Pemimpin itu memang laknat! Tak tahu diri!
Teganya ingin menggulingkan kekuasaan Kadipaten
Pleret. Tanah kelahirannya!" sergah Putri Sekartaji
tanpa mempedulikan kecemasan gurunya. (Untuk
mengetahui tentang sepak terjang Pangeran Pemimpin,
baca episode: "Penguasa Alam").
Adipati Pleret membetulkan letak duduknya. Se-
pasang matanya tajam memperhatikan adik tirinya.
Lalu perhatiannya beralih pada Pendekar Bintang
Emas juga semua yang hadir di ruang pendopo. Sua-
sana pun jadi tegang.
''Nimas...!" panggil Adipati Reksopati bergetar.
"Sebenarnya apa yang kau ketahui belum seberapa.
Kau hanya mengetahui sikap Kangmas Sembodo seka-
rang saja. Tapi, kau tak tahu dengan apa yang dilaku-
kan Kangmas Sembodo terhadapku beberapa puluh
tahun lalu sewaktu kau masih kecil?"
"Hm... Tentu saja tidak, Kangmas," jawab Putri
Sekartaji kalem.
Adipati Pleret menghela napas sebentar. Tampak
sekali kalau gejolak amarahnya berusaha ditahan.
"Nimas! Tentunya kau tahu, Kangmas Sembodo
itu sangat licik. Tapi apa kau pikir kelicikannya hanya
ingin menggulingkan kekuasaanku saja? Tidak! Sama
sekali tidak. Dulu sewaktu kau masih kecil, berkali-
kali ia ingin mencelakakanku. Entah dengan cara apa,
selalu saja ia ingin menjatuhkanku. Bahkan pernah
pula meracuniku. Untung saja Ibunda Permaisuri tahu
dan segera membawaku pada tabib kadipaten. Kalau
tidak, bukan mustahil nyawaku melayang. Sekarang
apa yang diinginkannya, benar-benar membuatku
jengkel."
Putri Sekartaji semakin geram mendengarnya.
"Sudahlah, Aku pun mengerti perasaanmu. Oh,
ya. Sekarang bagaimana kau sampai datang bersama
gurumu? Bukankah tempo hari kau sudah pulang?"
kata Adipati Reksopati, mengalihkan pembicaraan.
"Maaf, Kangmas Adipati! Sebenarnya aku masih
belum puas dengan hasil penyelidikanku. Untuk itu,
diam-diam aku kembali bergabung dengan Siluman
Ular Putih untuk menyelidiki Kangmas Sembodo. Juga,
menyelidiki Lukisan Darah yang raib. Namun karena
satu hal, tiba-tiba Siluman Ular Putih memutuskan
untuk membagi pekerjaan. Dan akhirnya aku bertemu
Guru," jelas Putri Sekartaji.
"Hm...! Tampaknya kau menyembunyikan sesua-
tu, Nimas? Apakah benar demikian, Paman Jayaraka?"
tanya Adipati Pleret meminta pendapat Pendekar Bin-
tang Emas yang bernama asli Jayaraka.
Pendekar Bintang Emas sejenak menghela napas
panjang. Ia tidak menyangka kalau dirinya akan dili-
batkan pembicaraan antara Putri Sekartaji dengan ka-
kaknya.
"Terus terang, hamba kurang tahu apa yang dis-
embunyikan murid hamba. Lebih lagi dengan kedatan-
gannya selaku utusan Kanjeng Adipati untuk meminta
bantuan para pendekar guna menghadapi pemberon-
takan Pangeran Pemimpin. Benarkah demikian, Kan-
jeng Adipati?"
Setelah berkata demikian, Pendekar Bintang Emas
melirik Putri Sekartaji.
Si gadis jadi gelisah sekali di tempat duduknya.
Sebentar-sebentar ia selalu meremas-remas tangannya
sendiri.
"Nimas! Apa benar kau telah mengaku sebagai
utusanku?" tegur Adipati Pleret tak senang seraya
menggeleng.
"Maaf, Kangmas Adipati! Hal ini terpaksa kulaku-
kan. Sebenarnya kepergianku ke puncak Gunung Ke-
lud hanya ingin memberitahukan Ki Rombeng kalau
orang tua sakti yang bergelar Pendidik Ulung kini be-
rada dalam cengkeraman Pangeran Pemimpin. Sewak-
tu aku dan Siluman Ular Putih memergoki utusan-
utusan Pangeran Pemimpin hendak pergi ke suatu
tempat, kelihatan sekali kalau sikap Pendidik Ulung
amat mencurigakan. Sikapnya kaku mirip mayat hi-
dup. Sikapnya berbeda jauh sekali sewaktu kami per-
tama kali bertemu. Di samping itu, kami pun melihat
salah seorang dari rombongan utusan Pangeran Pe-
mimpin tengah membawa-bawa Lukisan Darah. Atas
dasar itulah kemudian kami membagi pekerjaan. Si-
luman Ular Putih terus mengikuti kepergian para utu-
san Pangeran Pemimpin, sedang aku terus berkunjung
ke puncak Gunung Kelud."
"Tapi bukan berarti kau harus seenaknya menga-
ku utusanku, Nimas!"
"Maaf, Kangmas Adipati! Mula-mula aku memang
tidak berpikir ke sana. Tapi, waktu kulihat banyak
pendekar berkumpul di puncak Gunung Kelud, tiba-
tiba pikiranku berubah. Lantas, aku mengaku saja se-
bagai utusan Kangmas Adipati."
"Hm…!" gumam Adipati Pleret seraya menggeleng-
geleng. "Seharusnya kau tak boleh selancang itu, Ni-
mas! Terus terang aku sangat mencemaskan kesel..."
"Maaf, Kanjeng Adipati! Aku datang melapor."
Sebuah suara membuat Adipati Reksopati meng-
hentikan pembicaraan. Keningnya berkerut tak se-
nang. Namun ketika melihat sesosok manusia yang di
kenalnya di depan pintu masuk ruang pendopo, men-
dadak jadi tersenyum senang.
***
Di depan pintu ruang pendopo, berdiri seorang
pemuda tampan dengan rambut gondrong tergerai di
bahu. Tubuhnya tinggi kekar. Pakaiannya rompi dan
celana bersisik warna putih keperakan. Di pinggang-
nya tampak terselip senjata berupa sebatang anak pa-
nah yang memiliki dua cakra kembar di kanan kiri
ujung anak panah yang berupa kepala ular.
"Siluman Ular Putih!" pekik Putri Sekartaji se-
nang.
Dengan sikap santai pemuda yang dipanggil Silu-
man Ular Putih segera masuk ke dalam ruang pendo-
po. Dua orang prajurit yang tadi mengawal pun segera
kembali ke tempat jaga masing-masing.
"Sobatku Siluman Ular Putih! Apa yang ingin kau
laporkan?" sambut Kanjeng Adipati Pleret disertai se-
nyum terkembang.
Siluman Ular Putih tersenyum-senyum sebentar
seraya melangkah ke arah Putri Sekartaji.
"Ada, Kanjeng Adipati. Tapi, tunggu!" sahut Soma.
Segera pantatnya dihenyakkan di samping Putri Sekar-
taji seenaknya.
"Eh...! Kau jangan duduk di situ, Sobat! Mari du-
duk di sampingku," ujar Kanjeng Adipati seraya me-
langkah turun mendekati murid Eyang Begawan Ka-
masetyo.
Mendapat kehormatan besar, Soma malah meng-
garuk-garuk kepala Senyumnya pun tampak aneh ter-
sungging di bibir.
"Apes memang! Mau duduk di samping Putri Se-
kartaji saja tidak boleh. Baik. Kuturuti kemauanmu,
Kanjeng," gerutu Soma seperti berkata pada diri sendi-
ri:
Kanjeng Adipati yang mendengar gerutuan Soma
hanya tersenyum lebar. Sedikit pun tidak merasa ter-
singgung dengan tingkah laku nyeleneh Siluman Ular
Putih.
"Kau selalu saja bersikap begitu, Sobat. Apa kau
tidak bisa sedikit berlaku hormat padaku?" tegur Adi-
pati Pleret lalu disusul tawa berderai.
Entah kenapa Soma pun ikut tertawa.
"Kalau Kanjeng Adipati dapat terbang seperti bu-
rung, bolehlah aku menghormat. Dia di atas. Bukan
begitu, Kanjeng?" oceh Soma di antara tawa gelaknya.
Kanjeng Adipati makin melipatgandakan tawanya.
Lalu diraihnya lengan Siluman Ular Putih.
"Kau memang nyeleneh, Soma! Beraninya berkata
begitu padaku. Hayo, duduk di sampingku!" lanjut le-
laki Penguasa Kadipaten Pleret ini.
"Kenapa tidak berani kalau aku sudah tahu bah-
wa Kanjeng Adipati tidak akan murka?" sahut Soma
seenaknya, lalu duduk di kursi samping Kanjeng Adi-
pati.
"Ah..,! Kau ini!" ujar Kanjeng Adipati Pleret. "Su-
dah! Sekarang kau mau lapor apa?"
Siluman Ular Putih tersenyum. Mendadak pan-
dang matanya membentur sepasang mata indah Putri
Sekartaji. Senyum murid Eyang Begawan Kamasetyo
pun makin melebar.
"Tidak bertemu sehari saja kau sudah demikian
cantiknya, Putri. Apalagi kalau tidak bertemu satu
atau dua tahun. Hm...! Sungguh aku tak dapat mem-
bayangkan betapa cantiknya wajahmu nanti!" celoteh
Soma.
Entah kenapa, mendengar pujian Siluman Ular
Putih hati Putri Sekartaji jadi tak karuan. Kedua pi
pinya kontan dihiasi rona merah. Sikapnya pun jadi
serba salah tingkah.
Siluman Ular Putih dan semua yang berada di
ruang pendopo hanya tersenyum saja. Apalagi ketika si
pemuda kembali menggoda. Maka semua yang berada
di ruang pendopo jadi tidak tahan menahan tawa.
"Sudah, sudah! Katanya mau melapor! Malah me-
lantur tak jelas juntrungnya!" tegur Adipati Pleret, tak
tega melihat adik tirinya jadi makin salah tingkah.
"Ah...! Rupanya kau membela adikmu, Kanjeng.
Tapi tak apa-apalah. Mungkin memang begitulah sifat
seorang kakak," lanjut Soma
"Iya, iya! Tapi kau mau melapor apa?" tukas Kan-
jeng Adipati tak sabar.
Soma tidak langsung menjawab. Dan senyumnya
malah makin diumbar.
"Begini, Kanjeng Adipati. Mudah-mudahan Kan-
jeng Adipati tak terkejut bila kukatakan kalau aku su-
dah menemukan harta karun yang terkandung dalam
Lukisan Darah," lapor Soma seenaknya.
"Jadi kau sudah mendapatkan harta karun itu?!
Kau sudah mendapat Lukisan Darah?" sentak Kanjeng
Adipati, memberondong. Sungguh tak disangka kalau
Siluman Ular Putih akan melaporkan kejadian penting
itu dengan cara demikian santai.
"Ya. Memangnya kenapa? Kaget?" goda Soma.
"Tunggu! Sebaiknya kau jangan mengatakan sem-
barangan, Soma!" pinta Kanjeng Adipati, takut Soma
kelepasan bicara.
"Tentu. Aku mengerti, kok," sahut Soma. Lalu bi-
birnya didekatkan ke telinga Kanjeng Adipati. "Seka-
rang aku telah menemukan harta karun itu, Kanjeng."
"Di mana?" sahut Kanjeng Adipati berbisik pula.
"Di puncak Gunung Kembang. Tepatnya, di dalam
sebuah goa di lereng sebelah barat puncak Gunung
Kembang."
"Ah...!" desah Kanjeng Adipati penuh keterkejutan.
"Kenapa ah? Apa Kanjeng Adipati cemas kalau
aku mengangkangi harta karun itu?"
"Bukan! Bukan itu! Tapi, kenapa tidak kau bawa
sekalian kemari?"
"Jumlah harta karun itu terlampau banyak. Tak
mungkin aku membawa kemari seorang diri. Baiknya,
Kanjeng Adipati segera mengutus beberapa orang pra-
jurit kepercayaan untuk mengambilnya! Ini petanya!"
jelas Soma. Segera diambilnya gulungan besar yang
disembunyikan di balik punggung dan diserahkannya
pada Kanjeng Adipati.
Adipati Reksopati mengamati gulungan pemberian
murid Eyang Begawan Kamasetyo seksama. Lalu alis-
nya bertautan.
"Bukankah ini Lukisan Darah, Soma? Kenapa jadi
begini tak karuan?" bisik Kanjeng Adipati heran,
"Aku sendiri tidak tahu, kenapa Lukisan Darah
yang semula bergambar seorang wanita tanpa busana
itu jadi demikian rupa. Sayang memang. Aku jadi tidak
dapat melihat keindahan tubuhnya dalam lukisan itu.
Apa kau juga menyenanginya, Kanjeng?" oceh Soma
seenak udelnya.
"Hush...! Kau jangan melantur! Maksudku, kena-
pa lukisan ini jadi gulungan begini?"
"Oh... itu! Sebenarnya memang sayang. Tapi un-
tuk lebih amannya, aku sengaja mencopot lukisan itu
dari bingkainya. Apa kau keberatan? Kalau keberatan,
ya... nantilah kucarikan bingkainya," sahut Soma ka-
lem.
"Tak usah. Aku bisa menyuruh beberapa orang
ahli ukir di kadipaten ini untuk membuatnya yang sa-
ma persis."
"Nah...! Begitu juga boleh...."
"Ah...! Kau ini...," ujar Kanjeng Adipati. Lalu per-
hatiannya dialihkan pada Pendekar Bintang Emas.
"Paman Jayaraka! Seperti yang telah kita bicarakan
tadi, apakah para pendekar sudi membantu kami guna
menumpas kaum pemberontak pimpinan Kangmas
Sembodo?"
"Hamba datang kemari justru diutus teman-teman
pendekar, Kanjeng. Dan sekarang terserah, Kanjeng
Adipati. Kami hanya tinggal menunggu perintah," jelas
Pendekar Bintang Emas.
"Baik. Kalau begitu sampaikan salamku pada Ki
Rombeng, dan juga para pendekar lain. Nanti kalau
ada kabar baik, aku pasti akan mengutus seorang pra-
juritku untuk memberi tahu kalau kalian di puncak
Gunung Kelud," ujar Adipati Pleret akhirnya.
"Baik," sahut Pendekar Bintang Emas singkat.
Adipati Pleret mengangguk-angguk penuh kepua-
san.
***
DUA
Pangeran Pemimpin gusar bukan main setelah
menerima laporan kalau Pelajar Agung, Raja Racun,
dan Raja Golok tidak dapat menjalankan tugas dengan
baik. Bahkan kini Pendidik Ulung telah diamankan
oleh para pendekar yang dipimpin Raja Penyihir dan
Manik Biru! (Untuk mengetahui kegagalan tugas Pela-
jar Agung dan kawan-kawan, silakan baca: "Penguasa
Alam").
Meski Pangeran Pemimpin merasa gusar menden-
gar laporan Pelajar Agung, namun tak sepatah kata
pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya memukul
mukulkan tinju ke telapak tangan sambil berjalan
mondar-mandir di hadapan sekutu dan anggota Partai
Kawula Sejati. Memang, ada hal lain yang mengganggu
pikirannya. Bagaimanapun juga ia cukup tahu watak
Pelajar Agung yang tinggi hati. Kalau Pangeran Pemim-
pin mencaci kegagalannya, bukan mustahil Pelajar
Agung akan balik memusuhi. Bahkan tidak mau lagi
membantu perjuangannya. Maka wajar kalau Pangeran
Pemimpin tidak mengeluarkan caci makinya, meski da-
lam hatinya merasa gusar bukan main.
"Sungguh aku tidak tahu lagi apa yang harus ku-
lakukan! Kegagalan demi kegagalan benar-benar bisa
membuatku sinting! Nimas Putri Sekartaji yang sebe-
narnya dapat kumanfaatkan untuk menggulingkan
kekuasaan Adipati Pleret telah lenyap dari genggaman
tanganku. Sekarang harta karun yang sebenarnya su-
dah di depan mata pun lenyap! Benar-benar menjeng-
kelkan! Bisa sinting aku memikirkannya!" desis Pange-
ran Pemimpin, tanpa bermaksud menyinggung pera-
saan Pelajar Agung.
"Aku tahu apa yang kau maksudkan, Pangeran.
Tampaknya kau menyalahkanku?" tukas Pelajar
Agung, ternyata tersinggung juga.
Pangeran Pemimpin mendadak menghentikan
langkahnya. Sepasang matanya langsung bertumbuk
pada pembantu utamanya. Pelajar Agung hanya terse-
nyum-senyum kecut. Kendati hatinya makin gusar,
namun sekali ini Pangeran Pemimpin pun tetap beru-
saha mengendalikan gelegak amarahnya.
"Kau terlalu perasa, Sobat. Terus terang alangkah
gusarnya aku melihat kegagalan demi kegagalan. Tapi
amarahku bukan kutujukan kepadamu," kata Pange-
ran Pemimpin mencoba meminta pengertian Pelajar
Agung.
"Memang, aku sendiri maklum kalau kau gusar.
Tapi semua kegagalan itu di luar kehendakku. Teru-
tama sekali, kepergianku untuk merampas harta ka-
run dari tangan Penguasa Alam. Belum sempat kami
menemukan Penguasa Alam di puncak Gunung Kem-
bang, mendadak muncul rombongan pendekar yang
dipimpin Raja Penyihir dan Manik Biru. Merekalah
yang telah menggagalkan semua rencana kita," jelas
Pelajar Agung membela diri.
Pangeran Pemimpin menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat seraya mengangguk-angguk. Sebenarnya
amarahnya ingin sekali dilampiaskan. Namun entah
kenapa, mulutnya seperti terkunci. Ia bingung pada
siapa kemarahannya harus dilampiaskan.
"Tak ada gunanya menyesali kegagalan demi ke-
gagalan, Pangeran. Yang penting, bagaimana kita ha-
rus secepatnya merebut kekuasaan Adipati Pleret! Itu-
lah yang penting!" usul seorang lelaki tua, memberani-
kan diri.
Usia lelaki itu sekitar enam puluh tahun. Wajah-
nya garang. Rambutnya gondrong awut-awutan tak ka-
ruan. Tubuhnya yang tinggi kurus mirip orang cacin-
gan dibalut pakaian warna hitam. Tokoh sesat dari
Gunung Lawu yang bersenjatakan tongkat hitam ini
dikenal se-bagai Bajing Ireng.
Di samping Bajing Ireng duduk seorang pemuda
berusia dua puluh dua tahun. Tubuhnya juga kurus,
namun otot-otot lengannya bertonjolan. Dari sinar ma-
tanya yang garang, jelas kalau pemuda berpakaian bi-
ru-biru itu pun memiliki kepandaian. Apalagi di balik
punggungnya pun tersembul gagang pedang, yang me-
nandakan kalau pemuda itu juga dari dunia persila-
tan. Dan dia tidak lain memang murid Bajing Ireng
yang bergelar Bajing Biru.
Guru dan murid itu memang telah bergabung
dengan Partai Kawula Sejati setelah terlebih dahulu
menangkap Putri Sekartaji sebagai tanda kesetiaan.
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode: "Perse-
kutuan Maut").
Di samping guru dan murid dari Gunung Lawu itu
tampak duduk beberapa tokoh sesat lain di ruang
pendopo Partai Kawula Sejati ini. Di antaranya ada Ib-
lis Mayat Merah yang sebelumnya terluka parah di
tangan Siluman Ular Putih, Ia duduk di samping adik
seperguruannya yang berjuluk Setan Mayat Merah. Di
sebelah mereka adalah Iblis Muka Merah, Rantai Ku-
mala Kuning, dan masih banyak tokoh sesat lainnya.
"Bicara memang gampang, Bajing Ireng! Tapi apa
kau tidak sadar betapa kegagalan demi kegagalan ini
bisa membuatku sinting, he?!" dengus Pangeran Pe-
mimpin lantang, seperti mendapat tempat untuk me-
lampiaskan kemarahannya.
Bajing Ireng tertawa sumbang.
"Aku tahu. Tapi, apa gunanya menyesali kejadian
yang sudah lewat? Seperti tidak ada jalan lain saja!"
sahut Bajing Ireng seenaknya.
"Bedebah! Kau memanas-manasiku, Bajing Ireng!
Kalau kau tidak dapat memberi jalan keluar, jangan
harap dapat melihat terbitnya matahari esok hari!" an-
cam Pangeran Pemimpin beringas. "
"Ah...! Kenapa jadi begini? Kau... kau tampaknya
seperti memojokkanku, Pangeran? Tapi baik kalau
memang itu yang kau inginkan!"
Sejenak Bajing Ireng menghentikan ucapannya.
Keningnya tampak berkerut-kerut bertanda tengah
berpikir keras.
"Ah...! Gampang! Gampang sekali! Kenapa kita ja-
di pusing begini? Coba Pangeran perhatikan. Apa ke-
kuatan kita selama ini kurang? Coba perhatikan baik-
baik, Pangeran! Kekuatan kita sekarang ini jauh mele-
bihi kekuatan prajurit-prajurit kadipaten. Apalagi,
dengan banyak tokoh dunia persilatan dari golongan
sesat yang memiliki ilmu hebat sudi bergabung den-
ganmu. Apa ini bukan suatu kekuatan besar? Kenapa
kita tidak lekas memanfaatkannya?" kilah Bajing Ireng
penuh semangat.
"Apa maksudmu sebenarnya, Bajing Ireng? Coba
bicara yang jelas! Kalau jalan keluarmu ini kurang
menguntungkan, maka nyawamulah tebusannya!"
bentak Pangeran Pemimpin gusar.
Bajing Ireng tersenyum dingin. Tampak sekali ka-
lau uneg-unegnya sebenarnya ingin sekali dikeluarkan.
Namun entah kenapa, ia tidak berani.
"Tidak ada pilihan lain, Pangeran. Sebelum kekua-
tan menyusut, terpaksa kita harus secepatnya me-
nyerbu kadipaten! Itulah jalan satu-satunya yang ter-
baik!" tutur Bajing Ireng akhirnya dengan hati kecut.
Pangeran Pemimpin terdiam, seperti mempertim-
bangkan usul Bajing Ireng. Sejurus kemudian kepa-
lanya manggut-manggut dengan kening berkernyit.
"Kali ini kita tidak ada pilihan lain. Kukira me-
mang itulah jalan satu-satunya yang terbaik, Pange-
ran," timpal Raja Racun, menyetujui usul Bajing Ireng.
Tiba-tiba semangat Pangeran Pemimpin yang
mengendur kembali menggebu-gebu. Namun sampai di
sini lelaki setengah baya itu belum membuka suara.
Garis-garis keningnya tampak makin berlipat-lipat.
"Kenapa harus bingung, Pangeran? Kalau itu me-
mang satu-satunya jalan terbaik, kenapa tidak lekas-
lekas dilakukan?" kali ini yang angkat bicara adalah
Pelajar Agung.
"Menurutmu bagaimana?" tanya Pangeran Pe-
mimpin, meminta pendapat Pelajar Agung.
"Dalam urusan ini yang paling menentukan ada-
lah kau! Kalau kau masih ingin mengincar singgasana
Kadipaten Pleret, maka sudah waktunya berpikir lebih
cermat!"
"Hm...!" Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan kepala. "Kukira memang sudah saatnya ki-
ta menggempur Kadipaten Pleret!"
"Nah! Akhirnya, usulku diterima juga, kan?" kata
Bajing Ireng dengan senyum terkembang.
Tidak ada sahutan dari mulut Pangeran Pemim-
pin.
Sepasang matanya yang tajam sejenak memperha-
tikan semua yang berada di ruang pendopo Partai Ka-
wula Sejati dengan sinar penuh wibawa.
"Saudara-saudara anggota Partai Kawula Sejati,
dan juga sekutu-sekutuku yang setia dari dunia persi-
latan! Aku mengumumkan mulai besok pagi kita harus
mulai mengangkat senjata untuk menggulingkan ke-
kuasaan Adipati Pleret! Namun, tentu saja aku tidak
akan melupakan budi kalian. Bilamana kelak aku da-
pat menggulingkan kekuasaan Adipati Tamak itu, aku
berjanji akan membalasnya dengan berlipat ganda!"
Genderang perang baru saja ditabuh oleh Pange-
ran Pemimpin. Semua anggota dan sekutu Partai Ka-
wula Sejati menyambut gembira. Tak henti-hentinya
semua yang berada di ruang pendopo Partai Kawula
Sejati berteriak lantang, menyambut keputusan Pange-
ran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin membusungkan dadanya.
Angkuh. Sambutan para anggota Partai Kawula Sejati
dan sekutu-sekutu dekatnya makin membuat seman-
gatnya berkobar!
***
Malam terasa lengang, tanpa kerlip bintang mau-
pun sinar bulan di angkasa. Alam mayapada seolah
dikungkung sepi. Kesunyian malam pun juga mengungkung sebuah sendang berkelilingkan pohon-
pohon besar. Bahkan angin pun seolah enggan ber-
hembus.
Keadaan semacam ini membuat seorang lelaki se-
tengah baya yang duduk bersila di depan sendang ma-
kin khusuk bersemadi. Wajahnya kaku dengan kulit
putih bersih. Tubuhnya tinggi kekar, terbungkus pa-
kaian surjan dan kain batik. Sebuah keris berlekuk tu-
juh menyembul di sisi pinggang belakang. Melihat ciri-
cirinya, jelas lelaki itu tak lain dari Raden Sembodo
atau yang lebih terkenal dengan Pangeran Pemimpin!
Sebenarnya apa yang tengah dilakukan Pangeran
Pemimpin seorang diri di pinggir sendang? Kenapa se-
kujur tubuhnya basah kuyup?
Memang, Pangeran Pemimpin baru saja mengada-
kan upacara suci seorang diri sebelum maju perang,
yakni dengan cara mandi 'jamas' yang dilengkapi pula
dengan berbagai macam bunga. Itu dapat dilihat dari
sisa-sisa bunga yang masih menempel di rambutnya.
Dan itu memang sudah menjadi kebiasaannya yang
kemudian dilanjutkan dengan bersemadi.
Walau keadaan malam itu kurang menguntung-
kan, namun Pangeran Pemimpin terus saja bersemadi.
Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Telapak tan-
gannya disedekapkan di depan dada, seolah-olah tidak
mempedulikan hawa dingin yang menusuk kulit.
Ketika semadi lelaki setengah baya itu mencapai
titik puncaknya, air telaga di hadapannya bergolak.
Tubuh Pangeran Pemimpin berguncang hebat. Bukan-
nya menahan dingin yang teramat menusuk kulit, me-
lainkan seolah-olah tengah menghadapi serangan te-
naga gaib yang entah datang dari mana.
Menyadari ada sesuatu yang aneh, perlahan-lahan
Pangeran Pemimpin membuka kelopak matanya. Ke-
dua bibirnya terus berkemik-kemik membaca mantra.
Air sendang di hadapannya makin bergolak, seperti
ada seekor naga besar yang tengah murka di dasar
sendang.
"Eyang Pamekasan! Tunjukkanlah dirimu, Eyang!
Aku datang memanggilmu," kata Pangeran Pemimpin
dengan bibir bergetar.
Tak ada sahutan. Hanya air sendang yang-makin
bergolak hebat. Namun setelah itu perlahan-lahan dari
dasar sendang menyembul sesosok tubuh ke permu-
kaan.
Sosok tubuh itu adalah seorang lelaki tua berpa-
kaian hitam. Wajahnya tirus dengan rambut yang pu-
tih digelung ke atas. Dan kini lelaki tua yang dipanggil
Eyang Pamekasan telah muncul di permukaan air da-
lam sikap semadi!
Melihat kemunculan Eyang Pamekasan, sejenak
Pangeran Pemimpin terkesima. Namun buru-buru ke-
dua telapak tangannya ditangkupkan di depan hidung
penuh hormat.
"Sembodo! Apa yang kau inginkan? Kenapa kau
mengusik semadiku?" tegur Eyang Pamekasan dengan
suara serak.
Sekali lagi Pangeran Pemimpin menangkupkan
kedua telapak tangannya di depan hidung penuh hor-
mat. "Maaf, Eyang! Seperti yang telah Eyang janji bah-
wa akan membantuku bila aku akan menggulingkan
kekuasaan Adipati Pleret, maka aku Sekarang mem-
bangunkan semadimu."
"Hm...! Jadi kau sudah merencanakan untuk me-
rebut takhta Kadipaten Pleret, Cucuku? Kapan?" tanya
Eyang Pamekasan penuh minat.
"Kalau tidak ada halangan, besok pagi pasukanku
mulai bergerak menuju Kadipaten Pleret, Eyang."
"Bagus! Lebih cepat lebih baik! Rasanya aku be-
lum puas kalau Cokro Ningrat belum turun takhta dan
mampus di tanganku!" desis Eyang Pamekasan, penuh
kegeraman
"Sekarang bukan Romo Cokro Ningrat yang ber-
kuasa di Kadipaten Pleret, Eyang. Melainkan Dim...."
"Cih! Tak tahu malu!" potong lelaki tua itu, mem-
buat kata-kata Pangeran Pemimpin tertahan. "Dia itu
bukan romomu! Dia itu hanya romo tirimu! Kau tidak
pantas menyebutnya romo, Cucuku! Lalu, siapa yang
sekarang berkuasa di Kadipaten Pleret?"
"Dimas Reksopati, Eyang. Tapi, kenapa tadi Eyang
mengatakan kalau aku adalah anak tiri Cokro Nin-
grat?" tanya Pangeran Pemimpin dengan kening berke-
rut.
Eyang Pamekasan tidak langsung menjawab. Ia
malah mengumbar tawanya untuk beberapa saat. Se-
mentara Pangeran Pemimpin tidak berani mengusik.
Dibiarkannya Eyang Pamekasan mengumbar tawanya.
"Tolol! Kau ini cucuku! Kau bukan anak dari Co-
kro Ningrat!" hardik Eyang Pamekasan kasar.
"Lalu, sebenarnya aku ini anak siapa, Eyang?"
tuntut Pangeran Pemimpin makin heran.
Eyang Pamekasan melipat gandakan tawanya. Wa-
jahnya yang tirus tampak demikian mengerikannya.
"Ketahuilah, Cucuku! Sebenarnya kau adalah
anak dari Prabangkoro, yakni anakku sendiri. Dan
berhubung juga mencintai Sundari, mendiang ibumu,
maka Cokro Ningrat pun memfitnah Prabangkoro
hingga dihukum gantung! Akhirnya ia berhasil mempe-
ristri mendiang ibumu, Cucuku!" tutur Eyang Pameka-
san dengan kemarahan meluap.
"Keparat! Jadi Cokro Ningrat yang telah membu-
nuh ayahku, Eyang? Kenapa Eyang baru mencerita-
kannya sekarang?" sentak Pangeran Pemimpin, tak ka-
lah gusar.
"Kusengaja, Cucuku. Karena waktu itu kau masih
kecil. Tak mungkin aku menceritakan rahasia besar
ini. Namun ketika aku hendak bertapa di Sendang
Kenjeran ini, bukankah aku telah memerintahkanmu
untuk bersiap-siap memberontak?" tukas Eyang Pa-
mekasan tajam.
"Benar, Eyang. Tapi, terus terang aku menyayang-
kan kenapa baru sekarang rahasia besar ini dicerita-
kan," keluh Pangeran Pemimpin sedih.
"Sudahlah! Jangan diteruskan! Itu memang satu
di antara sekian rencanaku!" sergah Eyang Pamekasan
tak senang. "Sekarang, lekaslah kembali ke markasmu!
Aku ingin melanjutkan semadiku."
"Tapi, Eyang. Bukankah Eyang telah berjanji akan
membantuku bila aku memberontak? Kenapa Eyang
malah ingin melanjutkan semadi?" kejar Pangeran Pe-
mimpin, merasa khawatir kalau usahanya hanya me-
nemui kesia-siaan.
"Aku memang akan membantumu, Cucuku. Tapi
bukan sekarang. Sekarang, aku harus ingin menga-
mat-amati dari jarak jauh. Nanti kalau kau benar-
benar memerlukan bantuan, baru aku datang. Sudah-
lah! Sekarang, lekas tinggalkan Sendang Kenjeran ini!"
"Baik, Eyang."
Pangeran Pemimpin sejenak menangkupkan ke-
dua telapak tangannya di depan hidung penuh hormat.
Eyang Pamekasan pun memejamkan matanya.
Maka seketika air sendang pun bergolak hebat. Semen-
tara perlahan-lahan tubuh tuanya yang tengah berse-
madi terus amblas ke dalam permukaan air, hingga ti-
dak kelihatan sama sekali.
"Hebat! Tak kusangka ilmunya demikian tinggi!
Entah dengan ilmu apa Eyang Pamekasan dapat ber-
semadi di dalam air...!" puji Pangeran Pemimpin men-
desah penuh kagum
Kalau saja Pangeran Pemimpin tahu bahwa Eyang
Pamekasan memiliki aji 'Panglarut Banyu Putih', su-
dah pasti akan terkesima dibuatnya. Ajian itu memang
sangat langka. Barang siapa yang dapat memiliki ajian
ini, tubuhnya akan kebal terhadap berbagai macam
pukulan maut maupun berbagai macam senjata tajam.
Namun sayangnya, Pangeran Pemimpin tidak
sempat berpikir ke sana. Kemarahannya yang mengge-
legak membuat cucu Eyang Pamekasan ini sudah tidak
sabar lagi untuk segera memberontak Kadipaten Ple-
ret. Sekaligus, merebut takhta dari tangan Dimas Rek-
sopati!
"Jahanam! Kalau saja Cokro Ningrat belum mam-
pus, ingin rasanya aku memecahkan batok kepalanya.
Tapi sayang, tua bangka itu telah mampus. Terpaksa
aku harus membalaskan sakit hatiku ini pada Dimas
Reksopati dan keluarganya! Tunggulah pembalasanku,
Dimas Reksopati!" desis Pangeran Pemimpin dengan
jari-jari tangan terkepal erat.
***
TIGA
Pagi menjelang. Matahari mulai menempati takh-
tanya. Sinarnya menyirami beratus-ratus anak buah
dan sekutu Partai Kawula Sejati yang lelah siaga di ha-
laman dengan berbagai macam senjata perang.
Kebanyakan yang baris di depan adalah para ang-
gota Partai Kawula Sejati. Sedang di belakangnya ber-
diri berpuluh-puluh tokoh sesat dunia persilatan yang
menjadi sekutu Pangeran Pemimpin, Dan ketika Ketua
Partai Kawula Sejati itu muncul bersama Pelajar
Agung, mendadak suasana hiruk pikuk di depan mar-
kas makin sulit dikendalikan. Mereka menyambut ke
datangan ke-tua dan wakil ketua Partai Kawula Sejati.
"Hidup Pangeran Pemimpin!"
"Hidup wakil ketua Pelajar Agung!"
"Kita ganyang Adipati Reksopati. Ia tak pantas lagi
duduk di singgasana Kadipaten Pleret!"
Teriakan-teriakan dari beberapa orang anggota
Partai Kawula Sejati terdengar saling sahut. Sementara
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung hanya men-
gangguk-angguk dengan sepasang mata tajam mem-
perhatikan lautan manusia yang penuh semangat
tempur. Dan ketika Pangeran Pemimpin pun men-
gangkat tangannya tinggi-tinggi, seketika teriakan-
teriakan jadi terhenti.
Pangeran Pemimpin senang sekali melihat ketaa-
tan dan kesetiaan anak buahnya. Dada pun dibusung-
kan, jumawa sekali sikapnya.
"Saudara-saudaraku anggota Partai Kawula Sejati!
Seperti yang telah direncanakan, hari ini adalah hari
penentuan bagi perjuangan kita. Di hari ini pulalah
nasib kita ditentukan. Maka sebelum maju berperang,
harap saudara-saudara sekalian harus saling bahu
membahu dengan yang lain! Jangan biarkan musuh
bertindak se-wenang-wenang di hadapan kita! Kita si-
kat habis siapa saja yang menghadang. Mari kita ang-
kat senjata! Kita tumpas adipati itu dari muka bumi!"
teriak Pangeran Pemimpin lantang. Suaranya bergema
sampai ke pelosok hutan.
Semua yang berada di depan markas Partai Kawu-
la Sejati bertepuk tangan menyambuti ucapan ketua
mereka. Pangeran Pemimpin sejenak membiarkan sua-
ra hiruk pikuk itu.
"Aku mengerti perasaan saudara-saudara seka-
lian!" lanjut cucu Eyang Pamekasan ini lantang. "Dan
seperti yang telah kita rencanakan, harap saudara-
saudara sekalian mematuhi pimpinan kalian. Pasukan
pemanah harap segera bergabung dengan Ki Tunggul
Yudho! Demikian juga pasukan lain, harap segera ber-
gabung dengan pimpinan masing-masing. Sementara
aku sendiri yang mengambil pucuk pimpinan."
Tanpa diperintah sekali lagi, beberapa orang anak
buah Partai Kawula Sejati segera bergabung dengan
pimpinan masing-masing. Kini pasukan telah terben-
tuk seperti yang diinginkan Pangeran Pemimpin. Lelaki
ini mengangguk-angguk puas.
"Sobatku, Pelajar Agung!" panggil Pangeran Pe-
mimpin pada sobatnya di sebelah: "Tolong pimpin se-
kutu-sekutu kita dari dunia persilatan!"
"Baik."
Tanpa banyak cakap lagi, Pelajar Agung segera
berkelebat menghampiri sekutu-sekutu Pangeran Pe-
mimpin yang berasal dari golongan sesat dunia persila-
tan.
"Saudara-saudara sekalian anggota Partai Kawula
Sejati! Juga, sekutu-sekutuku dari dunia persilatan!
Hari ini juga, mari kita berangkat menuju Kadipaten
Pleret!" teriak Pangeran Pemimpin lantang.
Semua yang berada di halaman depan markas
Partai Kawula Sejati menyambuti ucapan Pangeran
Pemimpin dengan teriakan-teriakan riuh rendah. Maka
hari itu pula, pasukan Partai Kawula Sejati yang di-
pimpin Pangeran Pemimpin segera bergerak menuju
Kadipaten Pleret.
Pada saat pasukan Partai Kawula Sejati mulai be-
rangkat meninggalkan markas, tanpa disadari dari ja-
rak yang agak jauh sesosok bayangan di atas pohon te-
rus memperhatikan. Tampak sekali kalau sosok di atas
sebuah ranting pohon itu berkali-kali mengerutkan
kening.
"Hm...! Tak kusangka manusia-manusia pembe-
rontak itu akan melancarkan serangan sekarang. Ku
kira aku harus secepatnya melaporkan kejadian ini
pada Ki Rombeng di puncak Gunung Kelud!" gumam
sosok itu dalam hati.
Habis menggumam, dengan sangat hati-hati
bayangan itu segera berkelebat cepat meninggalkan
tempat ini. Gerakan kedua kakinya ringan sekali, lak-
sana seekor tupai. Dan sebentar saja ia telah menghi-
lang di balik kerapatan hutan depan sana.
***
Puncak Gunung Kelud masih berselimut awan.
Padahal matahari telah menapak jauh. Namun, sinar-
nya tak kuasa menembus tebalnya kabut, hingga uda-
ra dingin masih terus bergelayut.
Di hadapan para pendekar yang masih berkumpul
di puncak Gunung Kelud, seorang lelaki berusia enam
puluh tahun tengah bercakap-cakap dengan seseo-
rang. Meski berusia senja, namun tubuh tinggi besar-
nya tampak masih kekar dengan otot-otot lengan ber-
tonjolan. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
sampai ke bahu. Pakaiannya putih bersih. Dua gelang
akar bahar besar di pergelangan tangan menambah
angker penampilannya
Sementara orang yang diajak bercakap-cakap ada-
lah lelaki tua renta berusia delapan puluh tahun. Tu-
buhnya tinggi kurus. Pakaiannya tambal-tambalan mi-
rip pengemis. Wajahnya tirus dengan sepasang bibir
hitam. Dari tadi tongkat di tangan kanannya terus di-
ketuk-ketukkan dengan sikap gelisah.
"Raja Penyihir! Aku maklum kalau kau tampak ge-
lisah. Semua yang berada di puncak Gunung Kelud ini
juga mengalaminya. Bukan saja gelisah memikirkan
keamanan Kadipaten Pleret, namun juga melihat kea-
daan dunia persilatan saat ini," kata lelaki berpakaian
putih pada kakek renta di hadapannya yang dipanggil
Raja Penyihir.
Raja Penyihir makin mengetuk-ngetukkan tong-
katnya gelisah.
"Ki Rombeng!" panggil Raja Penyihir memanggil le-
laki berpakaian putih yang memang Ki Rombeng. "Ke-
gelisahanku bukan itu saja."
"Kalau begitu, pasti ada sesuatu yang luar biasa,
Raja Penyihir?" Tanya Ki Rombeng menyahuti
"Bukan luar biasa lagi namanya kalau muridku
yang bergelar Siluman Ular Putih belum jelas jun-
trungnya. Jangan-jangan bocah sinting itu telah tewas
di tangan Penguasa Alam. Buktinya, aku dan para
pendekar lain sudah menelusuri seluruh puncak Gu-
nung Kembang, namun tetap saja tak menemukannya.
Itulah yang sebenarnya merisaukan hatiku, Ki Rom-
beng," ungkap Raja Penyihir sedih. "Di samping itu aku
juga gelisah memikirkan Pendidik Ulung. Apakah ra-
cun yang mengeram dalam tubuhnya dapat dikelua-
rkan oleh Tabib Agung atau tidak. Aku tak tahu. Se-
moga saja tua bangka dari Gunung Perahu itu dapat
menyembuhkan Pendidik Ulung."
"Hm...! Yah...! Semoga saja demikian, Raja Penyi-
hir," desah Ki Rombeng seraya mengangguk-angguk.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa sobat kita Pendekar
Bintang Emas belum datang kemari? Jangan-jangan
mendapat halangan di tengah jalan?"
Ki Rombeng langsung mengedarkan pandangan ke
seputar puncak Gunung Kelud.
"Ada yang datang," kata Ki Rombeng tiba-tiba.
Semua yang berada di puncak Gunung Kelud se-
ketika mengalihkan perhatian mengikuti pandang ma-
ta Ki Rombeng. Tampak di lereng sebelah barat puncak
Gunung Kelud sesosok bayangan hijau tua tengah
berkelebat cepat menuju puncak Gunung Kelud
***
"Maaf, sobat-sobat sekalian! Ada kabar penting
yang harus kusampaikan pada kalian."
Sebuah suara langsung meluncur saat bayangan
berpakaian hijau tua tadi menjejakkan kakinya di ha-
dapan Ki Rombeng dan kawan-kawan.
Kini jelas, siapa sosok yang ternyata berpakaian
hijau tua itu. Ia adalah seorang wanita cantik berusia
tiga puluh tahun. Tubuhnya teramat menggiurkan
dengan pakaian agak seronok, menampakkan lekuk-
lekuk buah dadanya. Sedang rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas.
"Rondo Kasmaran! Apa yang ingin kau laporkan?"
kata seorang pendekar muda yang mengenali wanita
itu agak jengah melihat penampilan perempuan cantik
yang baru saja muncul.
Rondo Kasmaran tersenyum simpul. Sengaja tidak
langsung dijawab pertanyaan pendekar itu. Seolah
dengan senyumnya, ia ingin memikat semua yang be-
rada di puncak Gunung Kelud. Konon sejak ditinggal
mati suaminya, wanita cantik ini lantas menjalin hu-
bungan asmara dengan seorang pendekar sakti dari
wilayah timur. Tapi sayang, cintanya bertepuk sebelah
tangan. Apalagi sang pendekar yang teramat dicintai
ternyata sudah beristri. Dan karena cintanya teramat
dalam, wanita cantik itu mengalami gangguan jiwa.
Dan dalam setiap pengembaraannya, tak henti-
hentinya wanita cantik yang sebenarnya bernama Su-
kesi itu terus memanggil-manggil nama pendekar yang
dicintai. Maka tak heran, sejak saat itu orang-orang
persilatan menjulukinya Rondo Kasmaran! Untung sa-
ja, berkat pertolongan seorang sakti dari puncak Gu-
nung Anjasmoro, akhirnya Sukesi dapat disembuhkan.
Bahkan kemudian diangkat menjadi murid oleh sang
penolongnya, sehingga ilmunya pun bertambah.
"Kau mau melaporkan apa, Rondo Kasmaran?
Semua yang berada di puncak Gunung Kelud ini se-
dang gelisah. Kau jangan bertingkah macam-macam!"
ingat Raja Penyihir sambil menatap lekat-lekat. Sung-
guh ia tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya me-
lihat kecantikan Rondo Kasmaran.
"Kau tua bangka jelek! Tutup mulutmu! Aku tak
sudi bicara denganmu. Kau tidak mirip Kangmas
Sungkono. Aku hanya ingin bicara dengan orang yang
mirip Kangmas Sungkono. Oh...! Ini dia!" ujar Rondo
Kasmaran tiba-tiba begitu melihat Ki Rombeng. "Siapa
namamu, Ki? Sepertinya aku ingin bicara denganmu
saja. Kau mirip Kangmas Sungkono. Meski usiamu su-
dah agak tua, tapi aku senang sekali melihat tubuhmu
yang masih berotot. Pasti banyak wanita cantik yang
dulu menyukaimu, ya?"
Rondo Kasmaran kemudian melangkah mendekati
Ki Rombeng.
Ki Rombeng gelisah bukan main. Tanpa sadar wa-
jahnya kontan memerah mirip udang rebus.
Rondo Kasmaran tertawa senang.
"Ah... kau! Seperti masih muda saja! Pakai malu-
malu! Ayo dong, sebutkan namamu?"
Ken Umi dan Ken Sari yang duduk di samping gu-
runya, entah kenapa jadi tidak menyukai Rondo Kas-
maran. Namun untuk mengeluarkan kekesalan ha-
tinya, kedua gadis kembar itu tidak berani. Sebab me-
nurut kabar yang tersiar, meski tingkah lakunya agak
berlebihan bila bertemu laki-laki tampan, namun se-
benarnya Rondo Kasmaran adalah tokoh sakti golon-
gan putih. Mungkin karena itulah Ken Umi dan Ken
Sari memilih diam.
"Ki Rombeng! Turuti saja kemauannya! Kenapa
malu-malu?" ujar Raja Penyihir menggoda.
"Ya. Tua bangka jelek itu benar. Kenapa malu-
malu? Kabar yang akan kusampaikan ini teramat pent-
ing. Apa kalian tidak mau mendengar?" lanjut Rondo
Kasmaran makin mengumbar senyum.
Ki Rombeng makin salah tingkah. Sebentar-
sebentar matanya mencuri pandang ke arah Rondo
Kasmaran.
"Ba... baik! Aku memang Ki Rombeng. Katakanlah!
Kau mau melaporkan apa, Rondo Kasmaran?" ujar Ki
Rombeng kaku.
"Ah...! Kurang mesra sedikit, Ki. Tapi tak apa. Jadi
kau yang bernama Ki Rombeng, ya? Hm...! Kukira yang
namanya Ki Rombeng itu sudah tua. Eh...! Tak ta-
hunya masih cukup muda. Tampan lagi!"
Ki Rombeng makin salah tingkah.
Rondo Kasmaran tersenyum-senyum gembira.
"Ketahuilah, Ki! Juga, semua yang berada di pun-
cak Gunung Kelud ini. Buka telinga kalian lebar-lebar."
Lanjut Rondo Kasmaran bersungguh-sungguh. "Seperti
yang tengah kalian bicarakan di tempat ini, saat ini se-
sungguhnya Pangeran Pemimpin telah menggerakkan
pasukannya menuju ke Kadipaten Pleret. Untuk apa?
Tentu saja ingin menggulingkan kekuasaan Adipati
Reksopati!"
Ki Rombeng dan semua yang berada di puncak
Gunung Kelud kontan melengak kaget. Paras mereka
menegang penuh gejolak amarah.
"Kau jangan main-main, Rondo Kasmaran!" ingat
Raja Penyihir mendesis tak percaya.
"Tua bangka jelek! Mulutmu bau! Siapa sudi bica-
ra denganmu! Pokoknya kalau kalian tidak percaya, ya
sudah! Lebih baik kulaporkan saja pada Adipati Ple-
ret!" dengus Rondo Kasmaran jengkel.
"Eh... tunggu! Kau hendak ke mana?" teriak Raja
Penyihir begitu melihat Rondo Kasmaran bermaksud
meninggalkan puncak Gunung Kelud.
Namun Rondo Kasmaran yang sedang kesal tak
sudi bagi menuruti perintah Raja Penyihir. Malah
langkahnya makin dipercepat, meninggalkan tempat
ini.
Raja Penyihir menyesal sekali. Buru-buru tubuh-
nya berkelebat cepat menyusul Rondo Kasmaran. Se-
bentar kemudian wanita itu berhasil dihadangnya.
"Tunggu, Rondo Kasmaran! Aku bukannya tidak
mempercayai keteranganmu. Tapi... Tapi..."
"Jangan banyak bacot, Mulut Bau! Siapa sudi bi-
cara denganmu?!" sahut Rondo Kasmaran kesal. Kem-
bali tubuhnya berkelebat setelah menggeser ke kiri,
mencari jalan.
Raja Penyihir jadi salah tingkah. Ia menyesal seka-
li telah menggoda Rondo Kasmaran tadi.
"Ah...! Kenapa jadi begini?" desah Raja Penyihir
sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya.
Sementara itu tubuh Rondo Kasmaran telah beru-
bah jadi titik hijau kecil di kejauhan sana, di lereng
puncak Gunung Kelud sebelah barat.
Raja Penyihir menyesal bukan main. Ingin rasanya
kembali menyusul Rondo Kasmaran. Namun sayang-
nya baru saja hendak menjejakkan kakinya di tanah,
tiba-tiba....
"Keparat! Aku harus menuntut balas atas penghi-
naan ini!"
***
Raja Penyihir, juga semua yang berada di puncak
Gunung Kelud buru-buru memalingkan kepalanya ke
arah sumber suara barusan. Tampak dari tempat yang
agak terpisah berjalan seorang lelaki tua renta berju
bah hitam kedodoran sampai lutut. Kepalanya menge-
nakan penutup dari kain hitam sambil berjalan, lelaki
itu terus memberontak dari pegangan tangan seorang
kakek tua berjubah kuning.
"Sobatku Pendidik Ulung! Kendalikan amarahmu!
Siapa pun merasa geram sekali melihat sepak terjang
Pangeran Pemimpin," ujar kakek berjubah kuning pa-
da lelaki tua yang dipanggil Pendidik Ulung.
"Kau tidak tahu, Tabib Agung! Betapa sakitnya ha-
tiku ini! Aku harus menuntut balas atas penghinaan
ini! Juga meminta pertanggungjawaban Pelajar Agung
yang kini telah menjadi murid murtad. Ia telah menco-
reng arang hitam di mukaku! Aku malu bertemu den-
gan kalian semua kalau belum dapat membunuh mu-
rid murtad ku!" teriak Pendidik Ulung kalap.
"Aku mengerti perasaanmu, Sobat. Tapi badanmu
masih lemah. Racun ular kobra putih yang mengeram
dalam tubuhmu belum sepenuhnya dapat dikeluarkan.
Kau masih membutuhkan perawatan barang satu atau
dua hari," hibur Tabib Agung.
"Aku tidak peduli! Buat apa aku kau obati kalau
hanya untuk menanggung malu, Tidak! Aku harus
menuntut balas atas penghinaan ini! Aku harus me-
remukkan batok kepala Raja Racun. Juga batok kepala
Pangeran Pemimpin. Lepaskan aku, Tabib Agung!"
Ketika tiba di hadapan Ki Rombeng dan kawan-
kawan, Pendidik Ulung memberontak sekuat tenaga.
Tapi, sayang. Tubuhnya kembali luruh ke tanah kala
jari-jari tangan Tabib Agung tiba-tiba menotok pung-
gungnya.
"Ah... kau! Kenapa tidak kau biarkan aku menun-
tut balas, Tabib Agung?" keluh Pendidik Ulung, lirih
sekali.
"Tubuhmu masih lemah. Kau belum sembuh se-
penuhnya. Aku harus mengeluarkan racun dalam tubuhmu dulu, baru kau boleh menuntut balas."
Pendidik Ulung menggeretakkan gerahamnya pe-
nuh kemarahan, seolah tak tahan lagi menerima peng-
hinaan yang pernah dilakukan Raja Racun dan Pange-
ran Pemimpin. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca:
"Lukisan Darah").
"Sudahlah, Pendidik. Ulung! Semua yang berada
di puncak Gunung Kelud ini juga merasa prihatin se-
kali atas musibah yang menimpamu. Tapi bukan be-
rarti kami harus mencemoohmu. Tidak! Tidak sama
sekali! Justru kami akan segera membantu prajurit
Kadipaten Pleret guna menumpas Pangeran Pemimpin
berikut sekutu-sekutunya!" jelas Ki Rombeng mencoba
memberi pengertian pada Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung tersenyum pahit, menatap kuyu
pada Ki Rombeng yang tengah menghampirinya.
Ki Rombeng menepuk-nepuk bahu Pendidik Ulung
sebentar, sebelum akhirnya kembali berkumpul den-
gan para pendekar lain.
"Teman-teman! Seperti yang telah dilaporkan
Rondo Kasmaran tadi, rupanya kita tidak bisa tinggal
di tempat ini lebih lama lagi. Sekarang juga, kita harus
membantu prajurit-prajurit Kadipaten Pleret!" kata Ki
Rombeng lantang di hadapan para pendekar yang ber-
kumpul di puncak Gunung Kelud.
Mendengar ucapan Ki Rombeng, beberapa orang
pendekar muda yang sudah tidak sabar lagi untuk se-
gera membantu prajurit-prajurit Kadipaten Pleret sege-
ra menyambut hangat keputusan Ki Rombeng. Kemu-
dian tanpa banyak cakap lagi, mereka segera bangkit
dan langsung meninggalkan puncak Gunung Kelud.
"Tabib Agung! Kau temani dulu Pendidik Ulung!
Nanti kalau ia sudah sembuh, kalian boleh menyusul,"
ujar Ki Rombeng. Lalu segera tangannya mengisya-
ratkan pada kedua orang muridnya untuk segera meninggalkan tempat ini.
***
EMPAT
Udara di dalam Istana Kadipaten Pleret terasa pa-
nas. Sementara di dalam salah satu kamar Istana Ka-
dipaten Pleret, Soma susah sekali memejamkan mata.
Berkali-kali ia membolak-balikkan badan, namun ma-
tanya belum juga terpejam. Akhirnya pemuda ini jadi
kesal.
Rasa kesalnya inilah yang membuat murid Eyang
Begawan Kamasetyo melangkah turun dari ranjang.
Langsung dihampirinya jendela dan dibukanya. Angin
segar seketika menerpa tubuhnya. Untuk sesaat Soma
membiarkan tubuhnya diterpa angin. Sementara ma-
tanya terus memperhatikan suasana malam itu.
Suasana malam ini memang cukup cerah. Jutaan
bintang bertaburan di angkasa. Sinar bulan yang kepe-
rakan pun membuat orang betah memandanginya.
Soma terus memperhatikan suasana malam itu. Piki-
rannya dibiarkan mengembara menikmati indahnya
malam.
Namun mendadak perhatian Soma terusik ketika
samar-samar pendengarannya yang tajam menangkap
suara dari gerakan-gerakan halus yang datangnya dari
pintu kadipaten sebelah barat. Belum sempat Siluman
Ular Putih bertindak, matanya telah menangkap kele-
batan satu sosok bayangan hijau menuju istana kadi-
paten.
"Pasti mata-mata Pangeran Pemimpin! Kalau ti-
dak, siapa sudi kelayapan malam-malam begini di da-
lam lingkungan kadipaten!" duga murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo dalam hati.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, Soma pun
segera mengempos tenaganya. Seketika tubuhnya telah
melesat lewat jendela, berkelebat menyusul sosok
bayangan tadi. Dengan ilmu meringankan tubuh
'Menjangan Kencono', murid Eyang Begawan Kama-
setyo pun telah menyusul sosok bayangan.
"Cekitir!"
Sosok bayangan yang ternyata berpakaian hijau
tua itu terperanjat. Ia tadi memang merasakan ber-
hembusnya angin kencang. Namun baru saja menya-
dari, tahu-tahu kini di hadapannya telah berdiri seo-
rang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan.
Soma sendiri juga tak kalah terkejutnya. Sama
sekali tidak disangka kalau sosok berpakaian hijau tua
di hadapannya adalah seorang wanita cantik bertubuh
amat menggiurkan. Apalagi pakaian yang dikenakan
pun sedikit seronok, menampakkan lekuk-lekuk dua
buah bukit kembarnya. Sedang rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas.
"Ah...! Tak kusangka ada mata-mata secantik ini!"
desah Soma penuh kagum.
Sepasang mata indah wanita cantik itu yang se-
mula berbinar-binar melihat pemuda tampan di hada-
pannya, mendadak jadi berkilat-kilat penuh kemara-
han.
"Siapa mata-mata? Aku bukan mata-mata! Aku
datang sengaja ingin menemui Kanjeng Adipati. Kau
sendiri siapa?!" bentak wanita cantik ini.
Soma tertawa seenaknya.
"Hm...! Jadi kau bukan mata-mata? Tapi kenapa
mengendap-endap seperti maling? Ah, iya! Kau pasti
mata-mata musuh kadipaten! Kalau tidak, jangan-
jangan kau wanita nakal yang suka mengganggu lela-
ki," celoteh Soma menggoda.
"Keparat! Bicaramu teramat melewati batas, Bo-
cah! Aku bukan mata-mata. Aku Rondo Kasmaran,
utusan para pendekar untuk menemui Kanjeng Adipa-
ti," pekik wanita cantik yang ternyata Rondo Kasmaran
gusar bukan main.
"Ah...! Jadi kau Rondo Kasmaran? Kasmaran pada
siapa? Yang jelas bukan padaku, kan?" goda Soma
makin menjadi.
"Bocah sinting! Kau akan merasakan akibat kata-
katamu!" sentak Rondo Kasmaran jengkel.
"Boleh, boleh! Malah aku akan menangkapmu dan
kuhadapkan pada Kanjeng Adipati."
"Cih!" Rondo Kasmaran mencibir. "Dan kau akan
mendapat malu besar karena aku sebenarnya teman
Adipati Reksopati!"
"Mana mungkin Adipati Reksopati punya teman
macammu. Melihat tampangmu saja, aku yakin dia ju-
ga terpesona. Apalagi aku. Hayolah menurut! Biar ku-
tangkap!" ejek Soma menggoda.
Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular Putih
berkelebat cepat sekali, sehingga sulit sekali diikuti
pandangan mata. Dan belum sempat Rondo Kasmaran
bertindak tahu-tahu.
Tuk! Tuk!
"Aahh...!"
Rondo Kasmaran mengeluh ketika jari-jari tangan
Soma menotok urat geraknya. Kini wanita itu tak bisa
lagi menggerakkan tubuhnya.
Begitu mendarat Soma hanya tersenyum-senyum
nakal. Sepasang matanya yang tajam sempat melirik
lekuk-lekuk sepasang payudara Rondo Kasmaran yang
amat mengundang. Malah tanpa sadar murid Eyang
Begawan Kamasetyo menelan ludahnya sendiri. Dan
sebelum syahwatnya bergejolak, Siluman Ular Putih
segera menyambar tubuh Rondo Kasmaran. Seketika
tubuhnya berkelebat ke kanan sambil memondong
Rondo Kasmaran.
"Kau rebahan dululah sesukamu! Biar aku mene-
mui Kanjeng Adipati," kata Soma begitu telah tiba di
kamarnya. Langsung dilemparkannya tubuh Rondo
Kasmaran seenaknya.
Bukkk!
Rondo Kasmaran meringis kesakitan.
"Kau akan menyesal memperlakukanku seperti
ini, Monyet Gondrong!" sungut Rondo Kasmaran kesal
Siluman Ular Putih hanya tertawa bergelak. Lalu,
buru-buru tubuhnya berbalik, dan melangkah ke pin-
tu. Namun belum juga dibuka, pintu telah terbuka dis-
ertai munculnya sesosok tubuh ramping.
"Memalukan! Wanita mana yang kau bawa ke ka-
mar, Soma!" bentak sosok bertubuh ramping di am-
bang pintu.
Soma terperanjat, seperti mau copot jantungnya.
Apalagi saat melihat sepasang mata yang berkilat-kilat
penuh kemarahan menatapnya.
"Eh...! Ada-apa Putri Sekartaji? Kenapa kau uring-
uringan begini?" tukas Soma, pura-pura bodoh.
Sosok ramping yang ternyata Putri Sekartaji men-
cibir kesal. Ia tadi memang tidak melihat percekcokan
Siluman Ular Putih dengan Rondo Kasmaran. Adik tiri
Adipati Reksopati ini hanya sempat melihat Soma ten-
gah memondong tubuh seorang wanita cantik ke da-
lam kamar ketika baru Saja membuka jendela kamar.
Itulah sebabnya, Putri Sekartaji langsung menyusul ke
kamar Soma
"Hoh! Benar-benar memalukan! Jangan dikira aku
tidak tahu apa yang akan dilakukan seorang wanita
dan seorang lelaki di dalam kamar! Dasar lelaki hidung
belang!" semprot Putri Sekartaji kasar.
Tiba-tiba Soma tertawa bergelak. Kini ia tahu, apa
yang tengah dipikirkan gadis cantik di hadapannya.
Cemburu!
"Soma! Jangan cengengesan! Aku bersungguh-
sungguh!"
"Aku juga sungguh-sungguh! Tapi sepertinya hi-
dungku tak belang? Malah kalau tak salah, hidungku
cukup mancung kok. Cukup untuk memikat hati seo-
rang wanita cantik. Seperti kau, misalnya!" oceh Soma.
"Soma!" pekik Putri Sekartaji tak tahan lagi. Tela-
pak tangannyapun sudah tidak sabar lagi untuk bica-
ra. Kemudian....
Plakkk!
Soma meringis, pura-pura menahan sakit. Telapak
tangan kirinya mengelus-elus pipinya yang terkena
tamparan Putri Sekartaji.
"Heran? Kenapa setiap gadis selalu suka menam-
par pipiku? Apa mereka pikir pipiku ini barang rong-
sokan hingga perlu dikemplang?" gerutu Soma kesal.
"Tutup mulutmu, Soma! Aku harus segera mela-
por pada Kangmas Adipati," sungut Putri Sekartaji.
Lalu tanpa banyak cakap, Putri Sekartaji segera
meninggalkan Soma.
"Sana kalau mau lapor! Toh, nanti kau juga tahu
sendiri siapa yang salah," ujar Soma.
Putri Sekartaji tidak menggubris ocehan Soma.
Kakinya terus melangkah.
Soma menggaruk-garuk kepala. Entah kenapa ti-
ba-tiba ia jadi ingin sekali menggaruk-garuk kepala.
Padahal rambutnya tidak gatal.
***
"Mampus kau! Kubilang apa?" goda Rondo Kasma-
ran.
"Diam kau! Nasibmu pun akan ditentukan setelah
Kanjeng Adipati kemari. Kalau kau terbukti mata-mata
musuh, hm.... Aku pasti akan mencubit pipimu yang
gembur itu sampai memerah!" balas Soma.
Entah kenapa tiba-tiba Rondo Kasmaran malah
tertawa terpingkal. Sepasang matanya yang tadi berki-
lat-kilat penuh kemarahan, kini berganti kilatan penuh
kagum melihat Soma.
"Kau memang menjengkelkan, Pemuda. Tapi kau
cukup tampan. Kukira ketampananmu cukup melebihi
ketampanan Kangmas Sungkono. Siapa namamu, Pe-
muda Tampan? Apa kau bernama Soma seperti gadis
tadi memanggilmu?" kata Rondo Kasmaran diiringi
kerling nakal.
"Kalau memang iya, kau mau apa?" sahut Soma.
"Yah...! Setidak-tidaknya, bolehkan aku berkena-
lan. Kukira aku tidak rugi berkenalan dengan pemuda
tampan macammu,"" oceh Rondo Kasmaran makin
mengumbar senyum.
Soma sebenarnya jengkel sekali. Namun manakala
sepasang matanya tertumbuk pada lekuk-lekuk sepa-
sang payudara wanita cantik di hadapannya, entah
kenapa sikapnya jadi berubah.
"Boleh! Tapi sayang, kau mata-mata. Mungkin aku
harus berpikir seribu kali untuk berkenalan dengan-
mu, Rondo Kasmaran."
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu, Soma."
"Mungkin. Tapi mungkin juga aku senang sekali
melihat kecantikanmu. Terutama sekali, tubuhmu
yang teramat menggiurkan itu," kata Soma terus te-
rang.
Perasaan Rondo Kasmaran jadi melambung tinggi.
Tingkahnya makin dibuat-buat genit.
"Kau memang pintar merayu seorang wanita, So-
ma. Pantas gadis tadi marah-marah pad...''
"Hush...!"
Soma memalangkan telunjuk jarinya di depan bi-
bir.
"Rupanya Kanjeng Adipati sedang kemari. Mam-
pus kau sekarang, Rondo Kasmaran!" lanjutnya.
Rondo Kasmaran tersenyum manis. Sedikit pun
tidak membayangkan rasa takut mendengar ancaman
Soma. Hal ini malah membuat si pemuda jadi terhe-
ran-heran.
"Jangan-jangan apa yang dikatakan Rondo Kas-
maran benar? Dia bukan mata-mata musuh, melain-
kan utusan para pendekar. Mampus aku!" gumam
Soma dalam hati gelisah.
Pintu kamar terbuka. Ternyata yang muncul me-
mang Kanjeng Adipati Reksopati. Di belakangnya Putri
Sekartaji masih memberengut kesal.
"Kau.... Kau Sukesi! Ah...! Kenapa kau meringkuk
begitu? Siapa yang mcmperlakukanmu seperti ini?" be-
rondong Adipati Pleret, cemas bercampur terkejut.
Rondo Kasmaran hanya tersenyum. Sepasang ma-
tanya yang nakal sempat melirik ke arah Soma penuh
kemenangan.
Si pemuda hanya bisa menggaruk-garuk kepala
sebagai tanda kesalahannya. Kemudian tanpa diperin-
tah, Soma segera melepaskan totokan Rondo Kasma-
ran.
"Betul, kan? Untung saja aku tidak minta kau di-
gantung!" goda Rondo Kasmaran.
Putri Sekartaji pun gelisah sekali. Tadi, gadis ini
sama sekali tidak mengira kalau wanita cantik yang
dipondong Soma ke kamar adalah Rondo Kasmaran.
Hatinya yang kelewat panas membuat matanya seolah
tertutup.
"Sebenarnya ada apa, Soma? Kenapa temanku ini
berada di sini? Apa kau tadi menangkapnya?" tanya
Adipati Pleret.
"Benar, Kanjeng. Tadi aku memang menangkap-
nya. Kukira ia mata-mata musuh," jawab Soma kaku.
"Dia bukan mata-mata. Dia temanku!" sahut Adi-
pati Pleret cepat.
"Ah...!" sahut Soma gelisah.
"Sudahlah! Sekarang kau mau melaporkan apa,
Sukesi?" Kanjeng Adipati mengalihkan perhatian pada
Rondo Kasmaran. Dan itu cukup membebaskan Soma
dari rasa gelisah.
"Aku cuma ingin memberitahukan kalau pasukan-
pasukan Pangeran Pemimpin mulai bergerak menuju
kemari. Maksudku dalam waktu dekat-dekat ini mere-
ka akan menyerang Kadipaten Pleret," lapor Rondo
Kasmaran.
"Ah...!" desah Adipati Pleret hampir bersamaan
dengan Soma dan Putri Sekartaji.
"Dari mana kau dapat mengetahui berita ini, Su-
kesi?" tanya Adipati Pleret lagi.
"Aku melihatnya sendiri, Kanjeng. Di samping itu,
aku memang sudah lama mengawasi sepak terjang
Pangeran Pemimpin berikut anak buahnya," jelas Ron-
do Kasmaran.
"Hm...!" Kanjeng Adipati Pleret menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. "Apa para pendekar
yang berkumpul di puncak Gunung Kelud sudah, tahu
hal ini, Sukesi?"
"Sudah, Kanjeng. Tadi siang, aku sempat mela-
porkan hal ini pada Ki Rombeng di puncak Gunung
Kelud."
"Bagus! Kalau begitu aku harus secepatnya me-
nyiapkan prajurit-prajurit," kata Adipati Pleret seraya
bergegas keluar kamar.
Dengan langkah mantap, Rondo Kasmaran pun
segera mengikuti langkah Kanjeng Adipati Pleret.
Soma dan Putri Sekartaji yang masih berada di be-
lakang sejenak saling termangu. Seolah mereka terba-
wa arus pikiran masing-masing.
"Rupanya kita sama-sama salah paham, ya?" ce-
tus Soma.
"Maksudmu?" Putri Sekartaji mengangkat alisnya
heran.
"Aku telah mencurigai kalau Rondo Kasmaran
adalah mata-mata musuh. Kau sendiri menuduhku te-
lah berbuat macam-macam dengan wanita itu. Apa ini
bukan salah paham namanya?" papar Soma.
Putri Sekartaji memberengut. Entah kenapa tiba-
tiba wajahnya merona merah.
"Kau menyindirku?' desis Putri Sekartaji.
"Eh...! Siapa yang menyindir? Aku tidak menyin-
dirmu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.
Atau... jangan-jangan kau memang mencemburui wa-
nita itu?" tukas Soma sambil memperhatikan Putri Se-
kartaji.
"Tidak lucu! Siapa yang cemburu? Mau bermain
gila dengan Rondo cantik itu, kek. Mau tidak, kek. Sia-
pa peduli? Itu urusanmu!" sergah Putri Sekartaji ke-
tus. Ketus sekali Bahkan si gadis bergegas keluar ka-
mar.
"Eh... tunggu! Kenapa kau jadi uring-uringan be-
gini?"
Buru-buru Soma mengejar, segera menangkap
pergelangan tangan Putri Sekartaji. Namun dengan ka-
sar si gadis menepiskan tangan Siluman Ular Putih.
"Lepaskan! Aku benci kau!" teriak Putri Sekartaji.
"Iya, iya! Tapi kenapa kau jadi uring-uringan begi-
ni? Apa salahku?" tanya Soma masih belum mengerti
"Tanyakan saja pada dirimu sendiri!"
Putri Sekartaji mempercepat langkahnya. Diam-
diam, sebenarnya ia pun mengharap kalau murid
Eyang Begawan Kamasetyo akan mengejar. Namun
sayang, Siluman Ular Putih malah menggaruk-garuk
kepala. Si gadis jadi kesal bukan main. Saking tidak
kuat menahan perasaan kesal, ia berlari ke kamarnya,
dan langsung menangis di balik pintu.
***
LIMA
Malam kian menegang dengan bulan sepotong
menggantung di angkasa. Ratusan prajurit Kadipaten
Pleret mulai bergerak menuju luar batas kadipaten.
Memang di sanalah ajang pertempuran akan digelar.
Sebuah tempat sengketa yang siap dibanjiri darah
Kuda-kuda tunggangan meringkik. Debu-debu be-
terbangan diterjang kaki-kaki kuda para panglima pe-
rang. Derap langkah ratusan prajurit berderak mem-
bahana.
Di sebuah ladang kering yang dikelilingi bebukitan
tandus, sebuah peristiwa mengerikan tidak lama lagi
akan terjadi. Darah-darah prajurit perkasa, darah-
darah manusia laknat, maupun darah-darah manusia
penjilat akan tumpah ruah menjadi satu dalam sebuah
peperangan.
Kini prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret mulai
memasuki dataran tandus. Seorang lelaki gagah ber-
pakaian perang dengan pangkat senopati mendadak
menghentikan langkah kudanya. Para perwira pun
yang masing-masing mengepalai lima puluh prajurit
yang berjalan kaki juga menghentikan langkah kuda.
Di depan sana, telah bersiaga pula sosok-sosok
berpakaian warna-warni dengan senjata di tangan. Se-
bagian dari mereka berpakaian sebagaimana orang
persilatan. Mereka berteriak riuh rendah sambil men-
gacungkan senjata tinggi-tinggi. Di antara mereka,
tampak seorang lelaki berpakaian surjan tengah mengacung-acungkan keris di tangan kanan. Sementara
tangan kirinya memegangi tali kendali kuda.
"Serang...!!!" teriak lelaki yang tak lain Pangeran
Pemimpin lantang
Tangan kiri Pangeran Pemimpin pun segera mena-
rik tali kekang, membuat kuda hitam tunggangannya
mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi sebelum
akhirnya berlari cepat ke depan.
Melihat Pimpinan Partai Kawula Sejati itu telah
bertindak, berpuluh-puluh pengikutnya segera berla-
rian mencari lawan masing-masing diiringi teriakan-
teriakan lantang.
"Hea..! Hea...!"
Sementara itu beberapa sekutu Pangeran Pemim-
pin ikut mengiringi di belakang dengan teriakan-
teriakan membahana.
Begitu melihat pasukan Pangeran Pemimpin mulai
bergerak menyerang, senopati itu pun segera meniup
terompet di tangan kanan yang terbuat dari tanduk
kerbau.
"Huuuunggg...! Huuuungggg...!"
Terompet perang telah berbunyi. Suara riuh ren-
dah ratusan prajurit Kadipaten Pleret menyambuti pe-
nuh semangat. Senopati yang memimpin prajurit Kadi-
paten Pleret segera memacu kudanya cepat-cepat. Di
tangan kanannya kini telah tergenggam sebilah keris
yang memancarkan sinar biru. Setiap orang yang hi-
dup di lingkungan kadipaten ini tahu kalau senopati
yang dikenal sebagai pemilik keris Dayang Biru ber-
nama Gajah Keling.
"Hea...! Hea...!"
Senopati Gajah Keling terus memacu kudanya ce-
pat. Di belakangnya, empat perwira dan dua ratus pra-
jurit Kadipaten Pleret turut pula menyertai dengan
senjata terhunus. Mereka semua siap menyabung
nyawa.
Trang! Trang!
Terdengar dentang senjata beradu yang disertai
pijaran bunga api. Jerit-jerit kematian dan teriakan
penambah semangat pertarungan saling bersahutan.
Satu persatu tubuh-tubuh bersimbah darah ambruk
ke tanah. Di sini nyawa mereka kembali dipertaruh-
kan. Kalau beruntung, mereka akan kembali mencari
lawan baru.
Tak ada kekejaman melebihi kekejaman perang.
Inilah gambaran nyawa sebuah peperangan. Bagi para
prajurit, mereka bertempur untuk mempertahankan
kedaulatan kadipaten. Tak heran bila mereka berta-
rung penuh semangat tanpa mengenal takut sedikit
pun.
"Sembodo, Manusia Pemberontak! Kaulah lawan-
ku!"
Gajah Keling memekik penuh kemarahan ketika
melihat Sembodo atau yang lebih terkenal dengan ju-
lukan Pangeran Pemimpin tanpa malu tengah menga-
muk hebat membunuhi prajurit-prajurit Kadipaten Ple-
ret. Sementara senopati Kadipaten Pleret itu sendiri
susah sekali keluar dari keroyokan Sepasang Mayat
Merah dari Lembah Duka yang dibantu Iblis Muka Me-
rah.
Namun meski dikeroyok demikian hebat oleh tiga
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin,
Senopati Gajah Keling tampak masih sanggup melade-
ni. Bahkan serangan-serangan baliknya sempat pula
membuat ketiga orang pengeroyoknya kocar-kacir.
"Makanlah keris Dayang Biruku! Hea!" Dikawal benta-
kan nyaring, tiba-tiba Gajah Keling berkelebat cepat
sambil menggerakkan keris di tangan kanannya ke
arah dada Iblis Muka Merah. Sambil menyerang, Gajah
Keling membuat satu gerakan aneh untuk berkelit dari
serangan-serangan Sepasang Mayat Merah dari Lem-
bah Duka.
Melihat datangnya serangan yang sama sekali tak
terduga, Iblis Muka Merah jadi terperangah. Meski ter-
desak namun akal sehatnya untuk menghindar belum
hilang. Maka dengan cepat, tiba-tiba pedangnya dige-
rakkan sedemikian rupa.
"Uts..., ohh...!"
Namun betapa terkejutnya Iblis Muka Merah keti-
ka tiba-tiba di tangan Gajah Keling berkelit dari samp-
ing kanan. Dan dengan satu gerakan indah, keris itu
meluncur deras ke dadanya. Lalu....
Cleppp!
"Aaa...!"
Telak sekali keris di tangan Gajah Keling menghu-
jam ulu hati Iblis Muka Merah hingga meraung setinggi
langit. Dan begitu keris tercabut, tubuh Iblis Muka Me-
rah pun kontan jatuh berdebam ke tanah bersimbah
darah. Sebentar ia menggelepar-gelepar, namun seju-
rus kemudian tidak bergerak-gerak lagi dengan seku-
jur tubuh membiru!
Sepasang Mayat Merah murka bukan main. Sung-
guh sulit dipercaya kalau Iblis Muka Merah akan me-
nemui ajal secepat itu. Padahal ia merupakan seorang
tokoh berilmu tinggi. Namun anehnya, ia tak berdaya
menerima serangan Senopati Gajah Keling.
"Jahanam...! Kau harus membayar nyawa teman-
ku, Senopati Keparat!" dengus Iblis Mayat Merah pe-
nuh kemarahan. Parasnya yang kemerah-merahan
tampak demikian mengerikan. Lalu dikawal teriakan
membelah angkasa, kembali diserangnya Senopati Ga-
jah Keling.
"Enyahlah kalian dari hadapanku! Aku tak sudi
melayani kalian!" bentak Senopati Gajah Keling sengit.
Lebih lagi ketika melihat sepak terjang Pangeran Pemimpin yang tengah membantai prajurit-prajurit Kadi-
paten Pleret. Maka kemarahannya kian meledak-ledak
saja.
"Bajingan! Kaulah lawanku, Pangeran Pemberon-
tak! Minggir! Beri aku jalan!" hardik Senopati Gajah
Keling kasar.
Sang panglima menggerakkan kerisnya ke kanan
kiri, bermaksud mengusir Sepasang Mayat Merah dari
Lembah Duka. Namun mana sudi kedua tokoh sesat
itu menuruti kemauan Senopati Gajah Keling. Malah
dengan rasa penasaran memuncak, mereka kembali
menghadang jalan sang senopati.
"Jangan terburu-buru, Senopati Keparat! Urusan
di sini belum selesai!" cegat Iblis Mayat Merah seraya,
menghujamkan pedang di tangan kanan dari atas ke
bawah.
Senopati Gajah Keling tak sudi lagi berurusan
dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka. Ba-
ginya keselamatan anak buahnya yang terancam amu-
kan Pangeran Pemimpin justru lebih penting. Maka ke-
tika mendapat kesempatan, segera tubuhnya melent-
ing tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali,
ia berkelebat cepat meninggalkan kedua orang penge-
royoknya.
"Ki Prenjak! Dan kau, Ki Jalak Manuro! Hajar tua
bangka dari Lemah Duka itu! Biar aku yang mengurus
manusia pemberontak bergelar Pangeran Pemimpin!"
perintah Senopati Gajah Keling pada dua dari empat
perwiranya, sebelum membuat serangan.
Tanpa banyak cakap dua perwira yang bernama Ki
Prenjak dan Ki Jalak Manuro segera berkelebat ke arah
Sepasang Mayat Merah. Sementara, Senopati Gajah
Keling terus berkelebat mendekati Pangeran Pemimpin.
Anehnya Pangeran Pemimpin hanya tertawa-tawa.
"Mundur...!!!"
"Keparat! Mau lari ke mana, Pangeran Pemberon-
tak?! Akulah lawanmu!" bentak Senopati Gajah Keling
penuh kemarahan.
'"Hati-hati, Kawan! Mungkin manusia pemberon-
tak itu tengah merencanakan sesuatu!"
Senopati Gajah Keling menoleh sebentar ketika
terdengar sebuah suara bernada memperingatkan.
Ternyata, suara itu berasal dari mulut Siluman Ular
Putih.
Melihat siapa yang memperingatkan, Senopati Ga-
jah Keling hanya mengangguk. Lalu dengan kemara-
han meluap kembali tubuhnya berkelebat mengejar
Pangeran Pemimpin yang terus bergerak mundur, wa-
lau sebenarnya keadaannya saat itu belum terjepit.
Siluman Ular Putih heran bukan main. Sebenar-
nya, ia ingin sekali berhadapan dengan Pangeran Pe-
mimpin. Namun berhubung takut menyinggung pera-
saan Senopati Gajah Keling, terpaksa murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo hanya menghadapi beberapa orang
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin.
Dengan ban-tuan Putri Sekartaji, para pengeroyoknya
dapat dipermainkan dengan mudah.
"Tak mungkin Pangeran Pemimpin bermaksud
mengalah. Padahal kedudukannya belum terjepit. Pasti
ini sebuah siasatnya!" gumam murid Eyang Begawan
Kamasetyo dalam hati.
Dan ketika pertempuran mulai memasuki dataran
tandus yang diapit dua bukit kecil di kanan kiri, ter-
nyata dugaan Siluman Ular Putih. Tiba-tiba....
"Suiiit...!"
Pangeran Pemimpin bersuit nyaring. Sebentar ke-
mudian, Pangeran Pemimpin berikut anak buahnya
berlari meninggalkan tempat pertarungan. Dan bersa-
maan itu, tiba-tiba terdengar bunyi bergemuruh yang
datang dari atas bukit!
Siluman Ular Putih terkejut bukan main. Seketika
kepalanya dipalingkan ke atas. Ternyata berpuluh-
puluh batu sebesar kerbau tengah meluncur cepat
menyerang para prajurit-prajurit Kadipaten Pleret!
"Ah...!" pekik Senopati Gajah Keling gusar bukan
main.
Keadaan kali ini benar-benar kurang mengun-
tungkan bagi para prajurit. Ternyata mereka telah ter-
jebak! Tentu saja keadaan ini sangat mengkhawatir-
kan. Maka tanpa banyak cakap, prajurit-prajurit itu
segera berlarian ke sana kemari menghindari serangan
batu-batu. Tapi keadaan ini malah makin memperbu-
ruk beberapa orang prajurit di belakang!
Tentu saja beberapa orang prajurit itu kontan ber-
lari kalang kabut. Namun di saat berpaling ke bela-
kang, di celah-celah bukit bagian belakang telah
menghadang sepasukan pemanah!
Bukan main geramnya hati Senopati Gajah Keling
melihat bahaya besar mengancam pasukannya. Se-
mentara serangan-serangan batu sebesar kerbau dari
puncak bukit pun tak dapat tertahankan lagi! Tanpa
ampun, beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret ter-
lindas batu-batu sebesar kerbau!
Keadaan ini makin bertambah parah manakala
beberapa orang prajurit-prajurit Kadipaten Pleret me-
nemui ajal oleh batang anak panah yang menembus
tubuh!
***
Di tempat lain, tepatnya di Kadipaten Pleret itu
sendiri, ternyata Pangeran Pemimpin pun telah mene-
rapkan satu siasat jitu. Diam-diam beberapa orang to-
koh sesat yang dipimpin Pelajar Agung telah menyusup
ke dalam lingkungan kadipaten.
Hal ini tentu saja sangat di luar perhitungan Se-
nopati Gajah Keling maupun Kanjeng Adipati Pleret.
Untungnya, sang senopati tidak membawa semua pra-
jurit ke kancah pertempuran. Tidak kurang dari dua
ratus prajurit Kadipaten Pleret sengaja ditinggal seba-
gai pasukan cadangan. Dan hal ini pulalah yang sedi-
kitnya dapat menolong keselamatan Adipati Pleret.
Begitu beberapa orang tokoh sesat yang dipimpin
Pelajar Agung memasuki lingkungan kadipaten, maka
tak heran kalau kedatangan pasukan kecil Pangeran
Pemimpin itu telah diketahui beberapa orang prajurit
jaga.
"Bajingan! Pasukan-pasukan pemberontak ini me-
nyusup ke kadipaten!" teriak seorang prajurit jaga
nyaring.
Teriakan ini telah menyadarkan beberapa orang
prajurit lain. Maka dengan teriakan-teriakan nyaring
penuh kemarahan, beberapa orang prajurit segera
memanggil prajurit-prajurit. Akibatnya dalam waktu
yang tidak lama pasukan kecil Pangeran Pemimpin
yang di pimpin Pelajar Agung telah dikepung prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret.
"Prajurit-prajurit tolol! Enyahlah kalian dari hada-
pan kami!" dengus Pelajar Agung, beringas.
"Justru kalianlah yang angkat kaki dari tempat ini
Manusia-manusia Pemberontak!" hardik seorang lelaki
gagah berpangkat perwira yang menjadi pimpinan pra-
jurit Kadipaten Pleret
Dikalangan Kadipaten Pleret, lelaki gagah ini di-
kenal bernama Ki Ageng Selo!
"He he he...! Tua bangka ini bisa juga membacot!
Tak kusangka sudah setua ini masih-bisa menggong-
gong nyaring!" ejek Pelajar Agung, memerahkan telinga
Ki Ageng Selo.
Ki Ageng Selo menggeram penuh kemarahan. Tan
gan kirinya langsung dikibaskan ke depan.
"Prajurit! Hajar manusia-manusia pemberontak
ini!" teriaknya lantang.
Ki Ageng Selo cepat mencabut keris dari balik
punggung. Sambil menggembor lantang, diterjangnya
Pelajar Agung. Keris di tangan kanannya membuat ge-
rakan menusuk mengarah dada. Sedang tangan ki-
rinya siap melontarkan pukulan maut.
Melihat Ki Ageng Selo telah bertindak, prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret yang jumlahnya hampir dua
ratus orang pun tidak mau ketinggalan. Dengan ber-
bagai macam senjata di tangan, mereka segera maju
menyerang.
Meski berjumlah tak kurang dari empat puluh
orang, namun pasukan Pangeran Pemimpin yang di-
pimpin Pelajar Agung tidak bisa dianggap sembaran-
gan. Mereka adalah para tokoh sakti dunia persilatan
yang bersekutu dengan Pangeran Pemimpin. Di anta-
ranya terlihat guru dan murid, yakni Bajing Ireng dan
Bajing Biru. Maka tak heran kalau serangan prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret dapat diladeni dengan mu-
dah.
Begitu tokoh-tokoh sesat itu bertindak jerit-jerit
kematian dari para prajurit pun mulai terdengar susul
menyusul. Satu persatu mereka roboh ke tanah dalam
keadaan bersimbah darah. Sementara dengan kejinya
tokoh-tokoh sesat itu terus menuntut korban nyawa
para prajurit.
Darah merah telah melumuri bumi pertiwi. Para
prajurit Kadipaten Pleret yang bertekad membela bumi
pertiwi rela mempertaruhkan selembar nyawa!
Sementara Ki Ageng Selo sendiri tak bisa berbuat
banyak. Apalagi, serangannya tadi dapat diatasi Pelajar
Agung dengan mudah. Begitu kerisnya dihujamkan, ti-
ba-tiba dengan kecepatan luar biasa Pelajar Agung telah melepas tendangan ke tangannya.
Plak!
Keris di tangan Ki Ageng Selo terpental. Dan se-
waktu hendak melontarkan pukulan maut; Pelajar
Agung memutar tubuhnya sambil melepas sapuan kaki
kiri ke dada.
Bukkk!
"Aaahhh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Pelajar Agung
menghajar dada. Seketika tubuh tinggi kekar Ki Ageng
Selo terpental ke belakang. Darah segar langsung me-
nyembur keluar saat tubuhnya jatuh berdebam ke ta-
nah. Sebentar ia melejang-lejang, lalu tidak bergerak-
gerak lagi. Tewas!
Bukan main kagetnya prajurit-prajurit Kadipaten
Pleret melihat pimpinan mereka dapat dirobohkan mu-
suh hanya dalam sekali gebrak! Ini sungguh di luar
dugaan. Akibatnya bak anak ayam kehilangan induk,
prajurit-prajurit Kadipaten Pleret makin dibuat kocar-
kacir. Tanpa, ampun, tokoh-tokoh sakti itu terus me-
nebar kematian terhadap prajurit-prajurit Kadipaten
Pleret.
Kini prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret itu
benar-benar tak berdaya menghadapi amukan sekutu
Pangeran Pemimpin. Apalagi ketika Pelajar Agung telah
mengerahkan ilmu 'Amblas Bumi'. Bukan main kecut-
nya hati mereka. Satu persatu para prajurit tewas ter-
kubur hidup-hidup setelah terbetot ke dalam tanah!
Keadaan benar-benar genting. Keamanan kadipa-
ten terancam. Keselamatan Adipati Pleret pun tak ter-
jamin. Perlahan namun pasti, tokoh-tokoh sesat itu te-
rus memasuki lingkungan kadipaten. Para prajurit Ka-
dipaten Pleret yang berusaha menahan sekuat tenaga,
hanya mendapat kesia-siaan. Bahkan kemudian tewas
begitu mendapat serangan dari sekutu Pangeran Pemimpin!
Tiba-tiba suasana hiruk pikuk yang diiringi bera-
dunya senjata tajam, telah dikejutkan oleh bunyi-
bunyi sangkala yang mengangkasa. Rupanya ada salah
seorang prajurit Kadipaten Pleret yang telah meniup
sangkala sebagai tanda bahaya. Kemudian suara te-
rompet itu pun terdengar saling sahut menyahut, seo-
lah ingin mengabarkan pada alam semesta bahwa
angkara murka kembali merajalela...
***
ENAM
Adipati Reksopati terlihat tegang di tempatnya.
Suara tiupan sangkala tadi seolah-olah ingin meluluh-
lantakkan apa saja yang ada di muka bumi. Tangan-
nya gemetar, pertanda jiwanya tengah terguncang.
Beberapa orang punggawa kadipaten yang turut
menemani di ruang pendopo merasa cemas bukan
main.
Mereka tahu, perasaan apa yang tengah-dialami
junjungannya. Mereka juga tahu, apa yang akan di-
alami bila takhta Kadipaten Pleret jatuh ke tangan
Pangeran Pemimpin.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Rasanya hamba tidak bisa
berpangku tangan saja. Hamba harus membantu te-
man-teman," ucap seorang lelaki berpangkat tumeng-
gung mengusik kecemasan Adipati Pleret.
"Benar, Kanjeng Adipati. Tampaknya prajurit-
prajurit kita kewalahan menghadapi serangan musuh.
Hamba harus secepatnya membantu, Kanjeng," tam-
bah seorang punggawa.
"Hhh...!" Adipati Pleret menarik napas dalam
dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Tampak-
nya memang demikian. Tumenggung Batu Ampel. Dan
kau, Ki Demang Jarakan! Lekas bawa beberapa tokoh
sakti kadipaten untuk membantu!"
"Maaf, Kanjeng Adipati! Hamba datang melapor!"
Tiba-tiba seorang prajurit datang tergopoh-gopoh,
langsung menghadap. Buru-buru Kanjeng Adipati Ple-
ret dan juga semua yang berada di ruang pendopo me-
noleh. Mereka menatap dengan kening berkerut pada
prajurit yang baru datang dengan sembah penuh hor-
mat.
"Apa yang ingin kau laporkan, Prajurit?" tanya
Adipati Reksopati, tak sabar.
"Keadaan benar-benar genting, Kanjeng. Beberapa
tokoh sakti dunia persilatan yang menjadi sekutu Pan-
geran Pemimpin diam-diam menyusup ke dalam ling-
kungan kadipaten. Mereka membantai prajurit-prajurit
kita tanpa ampun. Bahkan Ki Ageng Selo pun tewas di
tangan mereka, Kanjeng," lapor sang prajurit.
"Keparat!" desis Kanjeng Adipati Pleret penuh ke-
marahan. "Tumenggung Batu Ampel! Dan kau, Ki De-
mang Jarakan. Lekas hadang mereka! Jangan biarkan
mereka masuk kemari!"
"Baik, Kanjeng! Tapi apa tidak sebaiknya untuk
sementara Kanjeng Adipati menyingkir terlebih dahu-
lu," usul Tumenggung Batu Ampel, cemas.
Kanjeng Adipati Pleret menggeleng mantap dengan
geraham berkerut-kerut geram.
"Tidak, Tumenggung! Apa pun yang terjadi, aku
harus tetap di takhtaku. Biar nyawa sekalipun taru-
hannya!" tandas Kanjeng Adipati Pleret, mantap. "Se-
karang lekas kalian berangkat!"
"Baik, Kanjeng. Hamba mohon pamit."
"Hati-hatilah! Aku merestui kepergian kalian!"
Tumenggung Batu Ampel dan Ki Demang Jarakan
sejenak menangkupkan kedua telapak tangan di depan
hidung penuh hormat. Lalu dengan sigap mereka sege-
ra melangkah keluar diikuti beberapa orang punggawa
lain.
Adipati Pleret mendesis-desis penuh kemarahan.
Samar-samar suara denting senjata beradu mulai
mendekati lingkungan istana kadipaten....
***
Sebuah pembantaian besar-besaran mulai ber-
langsung. Batu-batu sebesar kerbau yang meluruk ce-
pat dari atas bukit dan berpuluh-puluh batang anak
pariah yang datang bak air hujan, rasanya sulit dihin-
dari. Semua bergerak pada satu titik sasaran, yakni
prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret!
Menyadari diri mereka masuk dalam jebakan, Se-
nopati Gajah Keling murka bukan main. Lebih lagi ke-
tika tadi mendengar tipuan sangkala yang saling susul.
Jelas ini merupakan petaka bagi Kadipaten Pleret!
Isyarat sangkala itu mengabarkan kalau keamanan
Kadipaten Pleret terancam!
"Bajingan pemberontak! Aku akan mengadu nya-
wa dengan kalian!" geram Senopati Gajah Keling tak
dapat lagi mengendalikan amarah.
Sekali menghentakkan kaki ke tanah, tahu-tahu
tubuh tinggi kekar Senopati Gajah Keling telah mence-
lat tinggi ke udara. Kemudian dengan ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, lelaki
gagah ini terus berusaha naik ke atas bukit. Namun
sayang, serangan-serangan batu Sebesar kerbau dari
atas bukit langsung menghadang langkahnya. Senopa-
ti Gajah Keling berusaha bertahan dan terus memak-
sakan diri untuk naik ke atas bukit. Hingga pada ak-
hirnya....
Dukkk!
Tiba-tiba sebuah batu sebesar kerbau yang dihan-
curkan dari bukit menghantam punggung Senopati
Gajah Keling hingga memekik penuh kemarahan. Se-
ketika keseimbangan tubuhnya hilang. Maka tanpa
ampun lagi, tubuhnya terus berguling-gulingan ke ba-
wah.
Untung saja Siluman Ular Putih segera melesat
cepat. Langsung disambarnya tubuh Senopati Gajah
Keling dan dibawa ke tempat aman.
Sementara Senopati Gajah Keling telah diamankan
Siluman Ular Putih, mendadak jerit-jerit kematian di
bawah sana terdengar makin mengerikan. Tanpa am-
pun, batu-batu gunung yang dimuntahkan dari atas
bukit terus meluncur cepat, langsung menghantam pa-
ra prajurit Kadipaten Pleret di bawahnya. Belum lagi
serangan anak-anak panah di belakang mereka.
Keadaan ini benar-benar sangat memprihatinkan.
Hampir separo prajurit Kadipaten Pleret tewas terkena
hantaman batu dan anak-anak panah. Seketika sua-
sana di dataran tandus di bawah sana berubah menja-
di ajang pembantaian mengerikan.
Siluman Ular Putih bergidik menyaksikan keja-
dian mengenaskan ini. Untuk beberapa saat ia masih
belum tahu apa yang harus dilakukan. Dari tadi, pe-
muda ini hanya berusaha menghindari setiap serangan
yang mengarah ke tubuhnya sambil sesekali menolong
beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret yang terde-
sak.
"Kita harus melakukan sesuatu, Soma! Tak
mungkin kita membiarkan prajurit-prajurit itu mati
konyol," kata Putri Sekartaji tiba-tiba.
"Aku sedang memikirkannya, Putri. Apa kau su-
dah menemukan jalan keluar?" sahut Soma.
"Hm,..! Tampaknya kita harus menggempur pasukan-pasukan pemanah itu! Kita robek pertahanannya
biar para prajurit bisa menyelamatkan diri dari jalan
yang kita robek!" cetus si gadis yang tak mau ketingga-
lan untuk ikut berperang.
"Bagus! Otakmu cukup cemerlang, Putri! Kukira
kau tadi kebingungan untuk menyelamatkan diri. Eh
ternyata otakmu boleh juga," puji Soma, lalu disusul
senyum menggoda.
"Aku tidak butuh pujianmu, Soma. Hayo, lekas ki-
ta bertindak!" tukas Putri Sekartaji cepat.
"Tunggu!"
''Apalagi?!"
Putri Sekartaji berbalik kesal. Soma yang dipan-
dangi Putri Sekartaji tajam malah mengumbar senyum.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya mau tanya. Apa
kau tidak marah lagi padaku? Sebab sejak bar...."
"Sudahlah, Soma!" potong Putri Sekartaji. "Kalau
aku masih marah padamu, buat apa aku mengajakmu
bicara!"
"Jadi, kau...?"
Soma tak meneruskan ucapannya, ketika melihat
Putri Sekartaji telah melesat dengan pedang di tangan
menuju ke pasukan pemanah lawan. Tentu saja Soma
tidak ingin gadis itu melakukan tugas berat seorang di-
ri. Maka tanpa banyak cakap, tubuhnya segera berke-
lebat menyusul Putri Sekartaji.
"Ha ha ha...! Prajurit-prajurit tolol! Mampuslah!
Kalian semua!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa seseorang dari atas
bukit. Soma yang sudah dapat menyusul Putri Sekar-
taji, segera mendongak ke atas dan menggeram penuh
kemarahan. Ia cukup tahu, siapa lelaki berpakaian
surjan yang berkacak pinggang di atas bukit itu. Dia
tidak lain memang Pangeran Pemimpin!
"Pangeran tengik! Tak tahu malu! Kau harus ber
tanggung jawab atas perbuatanmu!" teriak Soma nyar-
ing.
Pangeran Pemimpin hanya tertawa bergelak.
Soma tidak mempedulikannya. Segera diikutinya
gadis cantik murid Pendekar Bintang Emas itu dalam
menerjang pasukan pemanah yang bersembunyi di ba-
lik celah-celah bukit. Tidak gampang memang melaku-
kan tugas berat itu. Soma menyadarinya. Untuk itu
kedua tangannya mengebut-ngebut untuk menangkis
serangan anak panah sambil terus berkelebat maju.
Perlahan-lahan Soma dan Putri Sekartaji mende-
kati pasukan pemanah lawan. Kemudian dengan satu
loncatan indah, mereka telah melepas serangan.
Set! Set!
"Heaaa...!"
Meski hujan anak panah terus menyerang, Soma
dan Putri Sekartaji terus berusaha balik menyerang.
Sambil melayang di udara, mereka menghentakkan
kedua tangan melontarkan pukulan maut ke arah ta-
nah dengan maksud untuk menakut-nakuti.
Blam!
Kenyataan siasat Soma dan Putri Sekartaji berha-
sil. Begitu pukulan mereka menghantam tanah, pulu-
han pasukan pemanah langsung kocar-kacir. Saat itu-
lah kedua anak muda ini melancarkan serangan se-
sungguhnya
Blam!
Blam!
Meski hanya dua orang, dalam waktu yang tidak
lama pasukan pemanah lawan telah lari tunggang
langgang bergabung dengan pasukan-pasukan lain
Kesempatan ini tentu saja segera digunakan Se-
nopati Gajah Keling untuk menarik mundur pasukan-
nya beberapa saat. Sebab atas kejadian tadi, banyak
prajurit Kadipaten Pleret yang jadi ciut nyalinya.
"Setan alas! Lagi-lagi kau yang menggagalkan ren-
canaku, Siluman Ular Putih!" desis Pangeran Pemim-
pin di atas bukit
Siluman Ular Putih hanya tertawa bergelak.
"Serang...!" teriak Pangeran Pemimpin lantang se-
raya mengibaskan tangan kanannya.
Pangeran Pemimpin segera meloncat ke atas
punggung kudanya. Lalu dengan kasar disentakkan-
nya tali kekangnya kuat-kuat. Binatang tunggangan
itu meringkik keras dengan kedua kaki depan terang-
kat tinggi-tinggi.
Ketua Partai Kawula Sejati ini tidak mempeduli-
kannya. Tangan kanannya segera menggebah badan
kuda tunggangannya. Sehingga kuda hitam itu pun
berlari kencang menuruni bukit diikuti kuda-kuda
tunggangan anggota Partai Kawula Sejati.
"Hea...! Hea...!"
Sementara itu berpuluh-puluh pasukan berkuda
Partai Kawula Sejati mulai berdatangan dari empat
penjuru mata angin. Jumlahnya jauh lebih banyak tiga
kali lipat daripada pasukan Partai Kawula Sejati yang
pertama.
Keadaan ini benar-benar di luar dugaan Senopati
Gajah Keling. Ia tidak mengira Pangeran Pemimpin
masih menyimpan pasukan-pasukan di balik bukit.
Sungguh nyali mereka jadi ciut. Apalagi mereka baru
saja digempur habis-habisan oleh pasukan Pangeran
Pemimpin dalam jebakan tadi.
"Sontoloyo! Rupanya Pangeran Pemimpin itu pin-
tar juga mengatur siasat perang!" gerutu Soma kesal.
Sepasang mata si pemuda tertumbuk pada pasu-
kan-pasukan Pangeran Pemimpin yang mulai datang
menyerang dari empat penjuru. Senopati Gajah Keling
dan Putri Sekartaji pun tampak gelisah sekali.
"Putri! Mari kita menghadang jalan Pangeran Pe
mimpin! Biar Senopati Gajah Keling dan prajuritnya
menggempur pasukan-pasukan itu!" teriak Soma tiba-
tiba.
"Baik," sahut Putri Sekartaji penuh semangat.
"Harap kalian hati-hati! Pangeran Pemimpin dan an-
tek-anteknya sangat berbahaya!" pesan Senopati Gajah
Keling.
"Terima kasih, Paman," sahut Putri Sekartaji
hampir bersamaan dengan Soma.
Soma dan Putri Sekartaji segera berkelebat cepat
menghadang Pangeran Pemimpin beserta beberapa
orang sekutunya. Bahkan saat ini Rondo Kasmaran
pun ikut membantu, meski tidak mendapat perintah
dari murid Eyang Begawan Kamasetyo.
"Terima kasih! Ternyata kau mau membantu ka-
mi, Rondo Kasmaran," ucap Soma begitu tiba di jalan
yang diduga bakal dilalui Pangeran Pemimpin beserta
para sekutunya dan masih di sekitar ajang pertarun-
gan.
Rondo Kasmaran tersenyum manis.
"Diminta atau tidak, aku harus membantu kalian
menumpas manusia-manusia gila pangkat itu!" sahut
Rondo Kasmaran, lalu kembali mengumbar senyum.
"Heaaa...! Hea...!"
Pangeran Pemimpin dan pasukannya mulai berda-
tangan. Tangan kirinya yang memegang tali kekang te-
rus disentak-sentakkannya kasar. Sementara tangan
kanannya yang memegang keris pusakanya diacung-
acungkan ke atas. Di belakangnya, beberapa tokoh se-
sat dunia persilatan turut menyertai.
"Siluman Ular Putih! Kaulah orang pertama yang
harus ku enyahkan!" teriak Pangeran Pemimpin penuh
kemarahan, ketika berhenti pada jarak lima tombak di
depan Siluman Ular Putih.
"Kebetulan sekali. Aku juga menginginkannya.
Apalagi tanganku. Rasa-rasanya sudah tidak sabar un-
tuk menghajar pantatmu!" ejek Siluman Ular Putih.
"Setan alas! Jangan menyesal kalau kau telah ber-
temu aku, Bocah!" geram Pangeran Pemimpin, lang-
sung melompat dari punggung kuda. Karena memang
hanya dengan cara itu ia dapat menyerang Siluman
Ular Putih dengan leluasa.
"Nah! Begitu juga boleh. Sebab, aku takut kalau-
kalau kudamu yang tak bersalah malah jadi sasaran."
"Jangan banyak bacot, Bocah! Ingat! Kematianmu
sudah di depan mata!" dengus Pangeran Pemimpin ka-
sar. "Teman-teman! Hajar bocah sinting ini!" lanjut
Pangeran Pemimpin seraya meluruk menerjang.
Pertarungan tak seimbang tak dapat dielakkan la-
gi. Pangeran Pemimpin yang dibantu hampir dua pu-
luh tokoh sesat dunia persilatan sudah melepas seran-
gan ke arah Siluman Ular Putih beserta Putri Sekartaji
dan Rondo Kasmaran.
Siluman Ular Putih sedikit pun tidak berani me-
mandang ringan. Meski bibirnya selalu menyungging-
kan senyum, namun diam-diam telah pula mengelua-
rkan jurus andalan 'Terjangan Maut Ular Putih'. Kedua
telapak tangannya yang berwarna putih terang hingga
ke pangkal siku pun siap melontarkan pukulan tenaga
‘Inti Bumi’
Seperti yang telah dilakukan murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo, Putri Sekartaji dan Rondo Kasmaran
pun telah mengeluarkan jurus-jurus andalan. Dengan
sebilah pedang pusaka, adik tiri Adipati Reksopati ini
segera memainkan jurus 'Pedang Bintang Emas' cip-
taan Pendekar Bintang Emas.
Demikian pula Rondo Kasmaran. Sebagai seorang
murid tokoh sakti dari wilayah timur, segera dikelua-
rkannya jurus-jurus andalan. Meski hanya mengguna-
kan tangan kosong, namun jurus-jurusnya untuk be
berapa saat mampu memudarkan serangan-serangan
lawan.
"Bedebah! Kalian memang patut modar di tangan
kami!" geram Pangeran Pemimpin.
Kedua telapak tangan lelaki setengah baya ini
yang mendadak berubah jadi hitam legam pun segera
didorongkan ke depan. Seketika melesat dua larik si-
nar hitam legam yang disertai bau busuk luar biasa ke
arah murid Eyang Begawan Kamasetyo. Bahkan sebe-
lum serangan itu mengenai sasaran, terlebih dahulu
berkesiut hawa panas bukan kepalang menampar-
nampar kulit tubuh.
Siluman Ular Putih menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat. Sungguh berbahaya sekali bila serangan
dihindari. Sebab dibelakangnya masih ada Putri Sekar-
taji dan Rondo Kasmaran. Tidak ada pilihan lain. Se-
rangan itu pun harus dipapaki.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Siluman Ular
Putih menghentakkan kedua tangannya melontarkan
pukulan tenaga ‘Inti Bumi’. Seketika meluruk dua larik
sinar putih terang dari telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Blaaam...!!!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
barusan. Bumi laksana diguncang prahara. Angin pa-
nas akibat bentrokan berkesiur ke segenap penjuru,
menghantam apa saja di sekitarnya. Beberapa orang
prajurit Kadipaten Pleret dari beberapa orang anak
buah Pangeran Pemimpin seketika menjerit menyayat
dengan sekujur tubuh hangus terbakar!
Siluman Ular Putih sendiri terdorong beberapa
langkah ke belakang. Parasnya pias. Kedua telapak
tangannya terasa bagai terpanggang bara api!
"Semprul! Tak kusangka akan begini akibat tang
kisan ku. Bukan saja aku hampir celaka, bahkan aki-
bat angin sambarannya mampu membunuh beberapa
orang prajurit di sekitar tempat ini!" desah Siluman
Ular Putih dalam hati.
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Tubuhnya
yang tadi sempat tergetar kini sudah dapat terkuasai.
Malah kini dengan pukulan maut yang teramat meng-
giriskan, kembali diterjangnya Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih terus berusaha menghindar
sebisanya. Karena kalau ditangkis, bukan mustahil
akibatnya akan seperti tadi.
"Paman Senopati! Bawa pasukanmu minggir dari
pertarungan kami!" teriak Soma.
Namun sayang apa yang tengah dialami Senopati
Gajah Keling dan para prajuritnya tak jauh berbeda,
malah jauh lebih parah. Serangan-serangan pasukan
Partai Kawula Sejati yang saat ini jumlahnya jauh lebih
banyak, benar-benar membuat Senopati Kadipaten
Pleret dan para prajurit kalang kabut. Padahal di sana
Pendekar Bintang Emas pun turut membantu. Namun,
tetap saja Senopati Gajah Keling belum mampu men-
gatasi serangan-serangan.
Ini benar-benar memprihatinkan. Lambat laun pa-
ra prajurit Kadipaten Pleret pasti dapat dikalahkan.
Sedang Soma yang dibantu Putri Sekartaji dan Rondo
Kasmaran belum sanggup menghadapi gempuran-
gempuran Pangeran Pemimpin yang dibantu dua pu-
luh orang tokoh sesat.
"Ha ha ha...! Apa lagi yang ingin kau pamerkan,
Bocah?! Kematian kalian sudah di depan mata! Tak
ada gunanya berkoar. Kalian tetap saja akan modar!"
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Wajahnya
yang berkulit putih bersih kini tampak menyiratkan
kekejian luar biasa.
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku, Bocah!"
Pangeran Pemimpin segera mengempos tenaga da-
lamnya. Dan baru saja cucu Eyang Pamekasan itu
hendak mendorongkan kedua telapak tangan ke de-
pan, mendadak....
"Manusia laknat! Sungguh memalukan perbua-
tanmu ini! Kau tak pantas mengumbar maut dengan
pukulan 'Pelebur Bumi'-mu di sini!"
Mendadak terdengar bentakan keras menggelegar
yang disusul berkelebatnya berpuluh-puluh bayangan
ke arah pertarungan.
***
TUJUH
Sepasang mata culas Pangeran Pemimpin berkilat-
kilat penuh kemarahan, menatap serombongan orang
berpakaian sebagaimana kaum persilatan yang seper-
tinya dari golongan putih; Sementara orang yang tadi
membentak sekaligus mengenali pukulan maut Pange-
ran Pemimpin adalah seorang lelaki gagah berusia
enam puluh, tahun. Tubuhnya tinggi besar, menam-
pakkan otot-otot lengan yang bertonjolan meski
usianya sudah di ambang senja. Pakaiannya putih.
Dua gelang akar bahar menghiasi pergelangan tangan-
nya.
"Keparat kau, Ki Rombeng!" desis Pangeran Pe-
mimpin menggeram penuh kemarahan.
Kedua telapak tangan Ketua Partai Kawula Sejati
yang berwarna hitam legam hingga ke pangkal siku ini
kembali mendorong ke depan. Sedikitpun tidak dihi-
raukan teriakan lelaki berpakaian putih-putih yang
memang Ki Rombeng. Maka saat itu pula melesat dua
larik sinar hitam legam yang disertai bau busuk bukan
kepalang menyerang Siluman Ular Putih!
Namun sebelum Siluman Ular Putih melontarkan
pukulan tenaga dalam 'Inti Bumi', mendadak Ki Rom-
beng telah mendorongkan kedua telapak tangannya ke
depan.
Wesss!
Seketika dari kedua telapak tangan tokoh sakti
dari Gunung Kelud itu telah meluruk asap putih ber-
gulung-gulung, langsung membungkus sinar hitam le-
gam pukulan Pangeran Pemimpin.
Besss!
Tidak ada ledakan yang berarti akibat bentrokan
dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Namun
anehnya, tubuh Pangeran Pemimpin dan Ki Rombeng
sama-sama bergetar hebat. Paras mereka pucat pasi
dengan tubuh terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang.
"Setan alas kau, Tua Bangka dari Gunung Kelud.
Hm...!" desis Pangeran Pemimpin.
"Itu belum seberapa Pangeran Pemimpin!" ejek Ki
Rombeng.
"Bajingan! Kau akan menyesal telah berlaku lan-
cang terhadapku, Ki Rombeng!"
"Aku tidak akan menyesal membunuh manusia
pengecut macam kau, Sembodo!" ucap Ki Rombeng
dingin.
Pangeran Pemimpin tak lagi menyahuti ucapan Ki
Rombeng, kecuali hanya menggeretakkan gerahamnya
penuh kemarahan. Kemudian dibuatnya beberapa ge-
rakan tangan dengan kuda-kuda rendah. Terakhir ke-
dua telapaknya menangkup di depan dada. Kedua bi-
birnya pun lantas berkemik-kemik kebat.
Ki Rombeng terhenyak melihat ajian yang akan
dikeluarkan Pangeran Pemimpin. Saking kagetnya, da-
danya sampai tertarik ke belakang.
"Hm...! Tak kusangka! Rupanya Eyang Pamekasan
telah menurunkan aji 'Setan Kober' padamu, Bocah.
Sungguh berbahaya. Manusia berhati ular macammu
sampai memiliki aji 'Setan Kober'...!"
"Bagus! Rupanya kau sudah cukup mengenal aji
'Setan Kober'. Berarti kau tidak akan mati penasaran.
Sekarang bersiap-siap menerima kematianmu hari ini,
Tua Bangka Keparat!"
Ki Rombeng menarik kaki kirinya ke belakang
membuat kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi putih berkilauan membuka di
sisi pinggang dengan jari-jari mengarah ke bawah.
Namun....
"Toeettt...!"
"Heh...?!"
Mendadak kesiagaan Ki Rombeng terusik oleh
bunyi sangkala yang saling susul di kejauhan sana.
Dan belum sempat mengerti apa yang terjadi.....
"Ki Rombeng! Tolong cepat ajak beberapa orang
pendekar ke Kadipaten Pleret. Tiupan sangkala itu
menandakan kalau Kadipaten Pleret terancam ba-
haya!" Terdengar teriakan seseorang dari samping.
Ki Rombeng gusar bukan main. Baginya keama-
nan Kadipaten Pleret adalah segala-galanya. Maka
tanpa mempedulikan Pangeran Pemimpin, kepalanya
segera dipalingkan ke samping.
Ternyata yang berteriak tadi adalah Senopati Ga-
jah Keling, setelah meninggalkan dua orang penge-
royoknya. Wajah kerasnya menegang.
"Apa kau bilang, Senopati Gajah Keling? Keama-
nan Kadipaten Pleret terancam?" tanya Ki Rombeng,
seolah minta kepastian.
"Benar, Ki. Tiupan sangkala itu menandakan ka-
lau keamanan kadipaten benar-benar terancam. Cepat,
Ki! Ajak beberapa orang pendekar lain untuk membantu prajurit-prajurit yang berjaga di dalam kadipaten,"
ujar Senopati Gajah Keling cemas bukan main.
"Hm...! Baiklah," kata Ki Rombeng akhirnya. Bu-
ru-buru lelaki tua ini memalingkan kepala ke arah Si-
luman Ular Putih.
"Kau pasti pendekar muda yang akhir-akhir ini
membuat gempar dunia persilatan. Apa kau sanggup
menahan manusia pemberontak itu?" lanjut Ki Rom-
beng seraya menudingkan telunjuk jarinya ke arah
Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin yang saat itu hendak melon-
tarkan aji 'Setan Kober' hanya menggeram penuh ke-
marahan. Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda
tak dapat lagi mengendalikan amarah.
"Aku akan berusaha dengan segenap tenagaku,
Orang Tua," sahut Siluman Ular Putih mantap.
"Baik. Kalau begitu, hati-hatilah. Di samping me-
miliki aji 'Pelebur Bumi', ia juga memiliki aji 'Setan Ko-
ber' yang amat berbahaya. Selamat tinggal, Anak Mu-
da. Terpaksa kita harus membagi pekerjaan," ingat Ki
Rombeng seraya berkelebat cepat.
Siluman Ular Putih tidak menyahut. Saat ini, So-
ma memang harus menghadapi Pangeran Pemimpin.
"Kau gantinya tua bangka keparat itu, Bocah Sint-
ing! Makanlah aji 'Setan Kober'-ku! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring Pangeran Pemimpin se-
gera menghantam kedua telapak tangannya ke depan.
Kali ini bukan lagi dua larik sinar hitam legam yang
melesat cepat, melainkan dua gulungan asap hitam
tebal yang baru memanjang ke depan. Dan hebatnya,
sejurus kemudian dua gulungan asap tebal itu telah
berubah menjadi sesuatu yang teramat mengerikan!
Wutt...!
Dua kepala bayi yang memiliki taring panjang
dengan kulit hitam dengan tiba-tiba menjulurkan tan
gannya ke depan. Lama kelamaan tangan kedua bayi
itu menjadi besar, dan terus mengejar Siluman Ular
Putih!
Siluman Ular Putih sejenak terkesima. Sungguh
baru kali ini murid Eyang Begawan Kamasetyo mene-
mui ajian yang demikian aneh. Untuk beberapa saat,
pemuda ini pun hanya melongo menyaksikan dua so-
sok mengerikan. Akibatnya, ia terlupa untuk melon-
tarkan pukulan tenaga ‘Inti Bumi’. Maka tanpa ampun
lagi....
Crep!
"Aakh...!"
Leher Siluman Ular Putih tahu-tahu telah ter-
cengkeram tangan-tangan bayi aneh di hadapannya!
Siluman Ular Putih kewalahan bukan main. Na-
pasnya mendadak sesak. Tubuhnya menyentak-
nyentak seperti orang menjelang menemui ajal. Sedang
sepasang matanya melotot tak berkedip!
"Nggghhh...! Nggghhh...!"
Siluman Ular Putih terus melejang-lejang sembari
menggerak-gerakkan kepalanya ke sana kemari.
"Soma...!" pekik Putri Sekartaji cemas bukan
main.
Sejenak gadis cantik murid Pendekar Bintang
Emas itu terpana melihat dua sosok bayi aneh dari ke-
dua telapak tangan Pangeran Pemimpin yang tengah
menyerang Siluman Ular Putih. Putri Sekartaji tak ta-
han lagi melihat penderitaan Siluman Ular Putih. Maka
dengan lengkingan tinggi, tubuhnya berkelebat cepat
meninggalkan lawannya. Pedang di tangan kanannya
dikibaskan untuk menebas sosok bayi aneh yang ten-
gah menjerat leher Siluman Ular Putih.
Wessss!
"Heh...?!"
Putri Sekartaji melongo. Tebasan pedangnya se
perti menebas angin. Sedang dua sosok bayi aneh itu
tetap saja mencengkeram leher Siluman Ular Putih!
Pada saat demikian, tiba-tiba gulungan hitam tangan
bayi aneh itu telah meluruk ke dadanya
Dess...!
"Aaakh...!"
Cepat dan telak sekali tangan bayi aneh itu meng-
hantam dada Putri Sekartaji hingga memekik kesaki-
tan. Tubuhnya terpental ke belakang, dan jatuh berde-
bam ke tanah.
Putri Sekartaji mencoba merangkak bangun. Na-
mun sayang, tubuhnya kembali luruh. Dadanya yang
terkena hantaman tadi terasa mau jebol.
"Hoeekh...!"
Putri Sekartaji tak tahan lagi. Darah merah kehi-
taman kontan menyembur keluar dari mulutnya. Tu-
buhnya menggigil. Parasnya mendadak jadi pias!
"Ba... bajingan...!!!" pekik Siluman Ular Putih su-
sah bukan main.
Karena terdorong rasa sakit yang mencengkeram
leher dan juga melihat Putri Sekartaji telah terluka, Si-
luman Ular Putih jadi tak dapat mengendalikan diri la-
gi. Diam-diam mulai dikerahkannya aji Titisan Silu-
man Ular Putih. Begitu kedua bibirnya berkemik-
kemik membaca mantra ajian ciptaan Eyang Begawan
Kamasetyo di Gunung Bucu, maka seketika mengepul
asap putih tipis yang segera menyelimuti tubuh Soma.
Dan ketika asap yang menyelimuti tubuh Soma
hilang tersapu angin, maka yang terlihat kini adalah
sosok panjang berwarna putih sebesar pohon kelapa
dengan taring-taring mengerikan! Itulah sosok Siluman
Ular Putih!
"Ggggeeerrr...!!!"
***
"Si...! Siluman Ular Putih...!"
Pekikan nyaring seseorang membuat pertempuran
mendadak jadi berhenti. Sepasang mata mereka mem-
beliak lebar seolah tak percaya melihat sosok besar
panjang berwarna putih dengan taring runcing. Semua
bagai mimpi. Semua di luar angan mereka.
"Gggeeerrr...!"
Sosok ular putih raksasa itu mengeluarkan geren-
gan hebat. Suaranya berat menggiriskan, seolah ingin
merobek angkasa!
Sambil menggereng, Siluman Ular Putih mengge-
liatkan tubuhnya sedemikian rupa. Gerakannya tam-
pak biasa saja. Namun akibatnya, bumi laksana di-
guncang prahara!
Pangeran Pemimpin sendiri pun terkesiap kaget.
Sepasang matanya membelalak liar. Perlahan-lahan
tangan hitam bayi anehnya mengendur. Namun masih
tetap berwujud dua sosok bayi hitam mengerikan.
"Hebat, hebat! Jadi inikah sosok Siluman Ular Pu-
tih yang menggemparkan dunia persilatan? Hem...!"
Tiba-tiba Pangeran Temimpin tertawa. Entah
hanya untuk menindih perasaan ngerinya, atau me-
mang memandang rendah lawan. Yang jelas, langkah-
nya sempat tersurut beberapa tindak ke belakang.
Mungkin gentar. Mungkin malah sebaliknya!
Siluman Ular Putih tak banyak membuat gerakan
berarti kecuali hanya mengibas-ngibaskan ekor ke ka-
nan kiri. Kilatan sepasang matanya yang berwarna me-
rah saga seolah ingin menelan musuhnya bulat-
bulat....
***
DELAPAN
Fajar di Kadipaten Pleret mulai menyingsing. Tak
seperti biasanya, fajar terasa demikian mencekam,
mengerikan. Jerit kematian, bau anyir darah yang
mengambang di mana-mana, serta dentingan senjata
tajam beradu mewarnai suasana pagi itu. Sementara
matahari seolah malas beranjak dari singgasananya.
Sinarnya yang ramah hangat tertutup awan kelabu.
Seolah tak kuasa menyaksikan kejadian mengerikan di
mayapada ini.
Kini apa yang terjadi di Kadipaten Pleret, tak
ubahnya seperti pembantaian besar-besaran. Tokoh-
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin
dengan leluasa mengayunkan tangan maut sekehen-
dak hati. Tanpa ada yang menghalangi.
Nyaris hanya Tumenggung Batu Ampel dan Ki
Demang Jarakan saja yang masih sanggup bertahan.
Itu saja keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan.
Pakaiannya compang-camping. Banyak luka bacokan
senjata tajam di sekujur tubuhnya. Namun kedua
orang perwira kadipaten itu tetap berusaha bertahan,
walau nyawa taruhannya.
"Reksopati! Adipati keparat! Keluar kau! Lihat! Li-
hat yang kami lakukan pada prajurit-prajuritmu! Apa
kau tega membiarkan mereka mati konyol? Lekas se-
rahkan kepalamu pada kami!" teriak Bajing Ireng nyar-
ing.
Bersama Bajing Ireng gurunya, Bajing Biru terus
mengeroyok Tumenggung Batu Ampel. Sambil mem-
permainkan lawannya tak henti-hentinya ia berteriak
begitu. Bahkan dengan menggunakan jurus andalan-
nya, hampir saja kepala Tumenggung Batu Ampel dipenggalnya
Untung saja Tumenggung Batu Ampel cukup sia-
ga. Begitu melihat bahaya mengancam, segera ditang-
kisnya kilatan mata pedang di tangan Bajing Biru den-
gan keris
Tranggg!
"Akh..,!"
Tumenggung Batu Ampel mengeluh tertahan. Ke-
ris di tangannya mental entah ke mana. Pada saat
yang sama tongkat hitam milik Bajing Ireng kembali
mengancam. Tumenggung Batu Ampel mengeluh. Ia
hanya melihat gulungan sinar hitam kemudian....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Telak sekali tongkat hitam di tangan Bajing Ireng
mendarat di dada, membuat Tumenggung Batu Ampel
memekik tertahan. Tubuhnya kontan mencelat ke be-
lakang. Dadanya yang terkena hantaman tongkat tera-
sa mau jebol, meremukkan tiga tulang iga!
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa denganmu,
Manusia-manusia Pemberontak!" geram Tumenggung
Batu Ampel penuh kemarahan.
Karena terdorong amarah menggelegak, mendadak
Tumenggung Batu Ampel jadi nekat. Disertai gerengan
keras, tiba-tiba diterjangnya Bajing Ireng.
"Hea...!"
"Bajing Ireng tersenyum dingin. Tubuhnya digeser
sedikit ke samping. Lalu dengan satu gerakan memati-
kan, tahu-tahu tongkat hitam di tangannya telah ber-
kelebat cepat.
Prakkk!
Tumenggung Batu Ampel tak sempat mengelua-
rkan keluhan ketika tongkat hitam milik Bajing Ireng
mendarat telak di kepala. Seketika tubuhnya jatuh
berdebam ke tanah. Kepalanya yang terkena hantaman
kontan retak, mengeluarkan darah merah keputihan.
Ki Demang Jarakan murka bukan main. Melihat
Tumenggung Batu Ampel telah menemui ajal, lelaki ini
jadi menggembor penuh kemarahan. Ingin rasanya ia
membalas kematian rekannya. Namun sayang, gempu-
ran-gempuran lawan sedikit pun tidak memberi ke-
sempatan padanya untuk bertindak.
"Bajingan kau, Rantai Kumala! Kau sama saja
dengan tua bangka keparat itu! Demi Tuhan, aku akan
menghabisi kalian semua!" dengus Ki Demang Jarakan
penuh kemarahan. Tubuhnya gemetaran saking tak
kuatnya menahan amarah menggelegak terhadap la-
wannya, seorang tokoh sesat bernama Rantai Kumala.
"Boleh. Boleh saja. Asal kau sanggup. Awas, jaga
batok kepalamu!" ejek Rantai Kumala.
Habis mengejek, Rantai Kumala telah mendahului
menyerang. Rantai baja berwarna kuningnya kembali
diputar-putar hingga menimbulkan suara menderu,
siap meremukkan tubuh Ki Demang Jarakan.
Meski dengan susah payah, akhirnya Ki Demang
Jarakan dapat keluar dari tekanan-tekanan Rantai
Kumala. Namun ketika Bajing Ireng dan Bajing Biru
ikut turut mengeroyok, keadaan benar-benar jadi be-
rubah.
Jangankan untuk membalas. Untuk keluar dari
tekanan-tekanan ketiga orang pcngeroyoknya pun su-
lit!
Rupanya keadaan ini pun tak jauh berbeda den-
gan prajurit-prajurit Kadipaten Pleret lain. Ibarat laron
bertemu api, satu persatu para prajurit gagah kadipa-
ten menemui ajal. Jumlah mereka lambat laun menyu-
sut, benar-benar mencemaskan!
Meski demikian, semangat juang para prajurit Ka-
dipaten Pleret patut diacungi jempol. Demi menegak-
kan kebenaran di muka bumi, mereka terus berusaha
bertahan.
Sebaliknya, tokoh-tokoh sesat yang menjadi seku-
tu Pangeran Pemimpin tak segan-segannya terus
membantai. Ibarat mendapat permainan baru, tangan-
tangan maut mereka terus merenggut korban dengan
jurus andalan masing-masing.
Dengan mengerahkan ilmu 'Amblas Bumi', Pelajar
Agung terus membetoti dan mengubur satu persatu
prajurit Kadipaten Pleret tanpa ampun. Dan bilamana
tanah di hadapan bergerak-gerak, paras para prajurit
sudah jadi pias. Mereka tahu, petaka apa yang akan
dialami. Terkubur hidup-hidup!
Brolll...!
Namun kini mendadak tanah di hadapan para
prajurit Kadipaten Pleret membuncah tinggi ke udara.
Dari buncahan tanah, samar-samar muncul sesosok
bayangan hitam tengah berdiri sambil berkacak ping-
gang dengan angkuh. Meski tersenyum, namun tam-
pak mengundang maut!
Beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret jadi ciut
nyalinya. Ketakutan mendera hati mereka. Semangat
juang pun luluh. Sepasang mata mereka membelalak
ngeri, memperhatikan sosok seorang pemuda tampan
dengan rambut dikuncir sebagian ke belakang. Jubah-
nya besar berwarna hitam, serta topi hitam yang me-
manjang pada bagian atasnya. Dialah sosok Pelajar
Agung yang telah membuat ciut nyali para prajurit!
"Kalian para prajurit Kadipaten Pleret! Dengar!
Buka telinga lebar-lebar! Lekas, suruh adipati keparat
itu keluar! Kalau tidak, jangan harap kami mengam-
puni kalian! Kami akan menumpas habis kalian se-
mua!" teriak Pelajar Agung nyaring, disertai pengera-
han tenaga dalam melalui suara.
Sebelum ada yang menyahut, mendadak....
"Cck cck cck...! Pongah benar lagak manusia satu
ini! Sepertinya dia saja yang punya jagat!"
Tiba-tiba terdengar seseorang menyahut. Kemu-
dian, berkelebat beberapa sosok bayangan ke tempat
pertempuran.
Pelajar Agung melengak kaget. Seketika sepasang
matanya membelalak liar. Di hadapan mereka kini
tampak beberapa orang pendekar yang dipimpin Ki
Rombeng telah hadir di tempat pertempuran. Bahkan
tanpa basa-basi langsung menyerang beberapa tokoh
sesat sekutu Pangeran Pemimpin.
Pelajar Agung menggeram penuh kemarahan. Le-
bih lagi ketika orang yang menyahut tadi tak lain dari
Raja Penyihir! Seorang tokoh sakti yang telah mem-
permalukan dirinya sewaktu terjadi pertarungan di
puncak Gimung Kembang. Maka tak heran betapa gu-
sarnya hatinya melihat kehadiran Raja Penyihir di an-
tara rombongan para pendekar yang dipimpin Ki Rom-
beng. (Untuk mengetahui pertarungan antara Raja Pe-
nyihir dan Pelajar Agung, silakan baca : "Penguasa
Alam").
"Keparat! Kalian semua mengacaukan rencana
kami!" geram Pelajar Agung murka
"Rencana busuk sudah pasti akan kacau. Kenapa
kalian masih juga berencana?" ejek Raja Penyihir.
"Setan! Jaga bacotmu, Tua Bangka Keparat! Apa
kau pikir, aku dapat menerima kekalahanku begitu sa-
ja, he?! Sekaranglah saatnya membalas kekalahanku!"
"Boleh, boleh! Asal kau sanggup," kata Raja Pe-
nyihir memanas-manasi.
Pelajar Agung mendongkol bukan main. Diam-
diam mulai dikerahkannya ilmu 'Amblas Bumi'nya
kembali. Begitu ilmu yang dipelajarinya dari mendiang
'Manusia Rambut Merah' dikeluarkan, seketika tubuh-
nya berputar-putar laksana gasing. Tanah tempat ber-
pijak kedua kakinya pun kontan membuncah ke uda-
ra. Dan perlahan-lahan tubuh Pelajar Agung telah amblas ke dalam bumi!
Raja Penyihir tercekat.
"Semprul! Rupanya ia juga murid dari si biang ke-
rok Manusia Rambut Merah!" gerutu Raja Penyihir da-
lam hati.
Melihat Pelajar Agung mulai bertindak, Raja Pe-
nyihir makin meningkatkan kewaspadaan. Apalagi saat
tanah di hadapannya bergerak-gerak. cepat ke arah-
nya.
Tuk! Tuk!
Raja Penyihir mengetuk-ngetukkan tongkatnya
beberapa kali. Saat itu pula tanah di sekitar tempat
pertempuran bergetar hebat! Sementara gundukan ta-
nah di hadapan Raja Penyihir makin mendekati sasa-
ran.
"Hup!"
Tiba-tiba Raja Penyihir melompat tinggi ke udara.
Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk
deras dengan tongkat hitam mengarah pada tanah
yang bergerak-gerak. Lalu...
Blesss!
Tanah itu bergetar hebat laksana ada gempa. Se-
dang begitu mendarat, Raja Penyihir membiarkan un-
tuk beberapa saat tanah yang bergetar. Indra keenam-
nya terus ditujukan pada tanah dibawahnya.
Broll…!!
Mendadak tanah di hadapan Raja Penyihir mem-
buncah tinggi ke udara disertai menyeruaknya satu
sosok bayangan hitam dari dalam tanah. Sebelum Raja
Penyihir menyadari apa yang terjadi, telah berkelebat
dua cahaya biru yang menggemuruh ke arahnya. Bu-
ru-buru Raja Penyihir menghentakkan kedua tangan-
nya melontarkan pukulan 'Tangan Gaib Penindih Se-
tan'.
"Hea...!"
Blaaam...!!!
Terdengar satu ledakan hebat saat dua kekuatan
dahsyat beradu pada titik tengah. Tampak sosok hitam
tubuh Pelajar Agung terpental ke belakang, lalu jatuh
menimpa beberapa orang kawannya di belakang! Pa-
rasnya pias. Darah segar meleleh membasahi sudut-
sudut bibir, pertanda menderita luka dalam cukup pa-
rah.
Tepat saat tubuh Pelajar Agung melayang tadi, Ki
Rombeng melancarkan tendangan sampingnya ke tu-
buh Bajing Ireng.
Bukkk!
Telak sekali tendangan kaki kiri Ki Rombeng men-
genai iga Bajing Ireng. Seketika tubuh tokoh sesat ini
melintir ke samping. Pada saat yang sama, di sana te-
lah menanti kilatan mata pedang dari salah seorang
pendekar. Dan....
Crakkk!
Ada sebuah benda yang jatuh dan menggelinding.
Sementara darah merah menyembur dari leher Bajing
Ireng. Lelaki itu bergoyang-goyang sebentar, lalu am-
bruk ke tanah!
Satu persatu sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin
menemui ajal.
Para pendekar yang dipimpin Ki Rombeng terus
menggempur sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin tanpa
ampun. Bajing Biru yang kalap melihat kematian gu-
runya jadi mengamuk hebat. Kilatan-kilatan pedang di
tangan kanannya berkelebatan mengerikan.
Ken Umi dan Ken Sari cepat datang menghadang
dengan pedang masing-masing.
Bajing Biru terus mengamuk hebat. Namun teba-
san-tebasan pedangnya dapat dipatahkan Ken Umi
dan Ken Sari. Malah hampir saja bahu kanan Bajing
Ireng terkena tebasan pedang di tangan Ken Sari.
"Wanita sundal! Kaulah yang harus membayar
nyawa guruku!"
Bajing Biru menggeram. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak, pertanda tak dapat lagi mengendalikan
amarah. Sehabis menggeram, kembali diterjangnya
Ken Umi dan Ken Sari.
Wutt...! Wuuttt...!
Tebasan-tebasan pedang Bajing Biru makin mem-
bahayakan. Namun percuma saja menjadi murid Ki
Rombeng kalau Ken Umi dan Ken Sari tidak dapat me-
layaninya. Dengan satu gerakan nyilang, tiba-tiba pe-
dang di tangan Ken Umi telah mengancam leher Bajing
Biru.
"Akh...!"
Bajing Biru terperangah. Sulit rasanya menghin-
dari serangan itu. Namun tentu saja tubuhnya tidak
sudi jadi sasaran empuk serangan Ken Umi. Dengan
gerakan tidak terduga, Bajing Biru nekat mengayun-
kan pedang ke arah Ken Umi dari arah berlawanan.
"Ah...!"
Kini ganti Ken Umi yang terperangah kaget. Si ga-
dis sadar, ternyata Bajing Biru bermaksud mengadu
nyawa. Namun untuk menghindar jelas tidak mungkin.
Tak ada pilihan, karena memang itu jalan satu-
satunya! Tapi....
Crakkk!
"Aaah...!"
Terdengar satu pekik setinggi langit. Bukan dari
mulut Ken Umi, melainkan dari mulut Bajing Biru!
Sejenak Ken Umi gemetar di tempat. Tadi matanya
memang sempat melihat kilatan, pedang di tangan
saudaranya ke arah Bajing Biru.
"Ja.... Jahanam...!"
Bajing Biru terhuyung-huyung ke belakang. Pe-
rutnya yang terkena tebasan pedang Ken Sari terkuak
berikut isinya. Lelaki ini meringis menahan sakit. Ke-
dua tangannya menyangga isi perut. Namun sayang,
keseimbangan tubuhnya tak tertahankan lagi. Tanpa
ampun tubuhnya ambruk ke tanah. Melejang-lejang
sebentar, lalu tidak bergerak-gerak sama sekali.
Satu lagi sekutu Pangeran Pemimpin menemui aj-
al.
***
SEMBILAN
Sebuah pertarungan tingkat tinggi mulai digelar.
Siluman Ular Putih yang kini telah menjelma menjadi
sosok ular putih raksasa hanya mengibas-ngibaskan
ekornya untuk beberapa saat. Bumi bergetar! Debu-
debu beterbangan!
Di depannya, kedua tangan Pangeran Pemimpin
makin terjulur panjang, membentuk dua sosok bayi hi-
tam yang mengerikan. Tangan-tangan bayi hitam itu
pun menjulur ke depan, menggapai-gapai tubuh Silu-
man Ular Putih!
"Gggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Ujung
ekornya dikibaskan ke samping.
"Hup!"
Pangeran Pemimpin hanya perlu mengangkat ke-
dua kakinya bergantian, menghindari kibasan ekor Si-
luman Ular Putih. Sedang kedua tangan bayi hitam itu
terus menjulur ke depan.
"Hoaahhh...!"
Crap!
Siluman Ular Putih mencaplok salah satu tangan
aneh berbentuk bayi. Tak ada pengaruh apa-apa. Tangan itu tidak mengalami apa-apa. Kejadiannya tak
jauh berbeda saat Putri Sekartaji membabat tangan
aneh itu. Sewaktu Siluman Ular Putih mencaplok, se-
perti memangsa angin saja.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Sedangkan
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak.
Tangan-tangan berbentuk bayi itu kini malah me-
lilit tubuh Siluman Ular Putih. Semakin lama libatan-
nya semakin mengencang. Siluman Ular Putih mengi-
baskan ekornya kesana kemari. Meski tidak terpenga-
ruh oleh libatan tangan-tangan bayi, namun kemara-
hannya makin tersulut.
Wuttt...!
Ekor Siluman Ular Putih mendadak mengibas
jauh ke depan. Begitu cepatnya sehingga....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Pangeran Pemimpin meraung setinggi langit. Kiba-
san ekor ular putih raksasa itu membuat tubuhnya
terlempar ke samping. Bagian punggungnya yang ter-
kena kibasan terasa mau remuk! Akibatnya libatan
tangan-tangan bayi itu jadi mengendur!
Pangeran Pemimpin geram bukan main. Tak
mungkin libatan tangan bayi itu tidak mempengaruhi
Siluman Ular Putih sama sekali. Mustahil! Jangankan
tubuh Siluman Ular Putih yang hanya sebesar batang
pohon kelapa. Batu sebesar gajah pun akan hancur
berkeping-keping bila terkena libatannya.
Didorong rasa penasaran bukan main, Pangeran
Pemimpin kembali merapalkan aji 'Setan Kober' lebih
hebat. Maka dua sosok bayi aneh di pergelangan ke-
dua tangannya pun menyerang kembali. Sepasang ma-
tanya menyorot merah. Tangan-tangan itu pun bak
tangan-tangan raksasa hitam yang terus menjulur,
meraih tubuh Siluman Ular Putih. Melibat dan mence-
kik leher kuat-kuat!
"Ggggeeerrr...! Gggggeeerrr...!!!"
Buk! Buk!
Siluman Ular Putih mengibaskan ekornya ke sana
kemari. Percuma. Libatan-libatan tangan-tangan aneh
itu makin mencekik leher. Sulit rasanya keluar dari li-
batan.
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Wajahnya
mendadak jadi mengerikan. Sepasang matanya meme-
rah seperti sepasang mata bayi aneh miliknya.
"Mampus kau, Siluman Ular Putih! Sekarang bisa
apa, he?!"
Pangeran Pemimpin tertawa gembira melihat liba-
tan-libatan tangan-tangan bayi makin kokoh. Namun
mendadak sekujur tubuh Siluman Ular Putih telah di-
penuhi asap putih tipis.
"Heh...?!"
Pangeran Pemimpin tersentak. Libatan tangan-
tangan anehnya di tubuh Siluman Ular Putih pun
mengendur.
Sementara dari gulungan asap putih tebal yang
menyelimuti, sosok panjang Siluman Ular Putih me-
nyeruak keluar. Taring-taringnya yang runcing siap
mencabik-cabik tubuh Pangeran Pemimpin.
"Bangsat! Siluman Ular Putih keparat!"
Pangeran Pemimpin geram bukan main, karena
merasa tertipu oleh Siluman Ular Putih. Dan ketika ta-
di libatan tangan-tangan bayinya sempat dikendurkan,
tubuhnya kini jadi sasaran empuk taring-taring Silu-
man Ular Putih
Krakkk!
"Aaa...!"
Pangeran Pemimpin menggembor setinggi langit
seraya memberontak melepaskan diri. Pakaiannya robek di sana sini menampakkan cairan berwarna merah
darah di sekujur tubuh. Untung saja ia dapat keluar
dari, moncong Siluman Ular Putih. Namun, tetap saja
tubuhnya terasa ngilu bukan alang kepalang hingga
limbung ke samping.
Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan Si-
luman Ular Putih. Begitu tubuh Pangeran Pemimpin
menjauh, ekornya telah dikibaskan cepat luar biasa.
Dan....
Blakkk!
"Aaakh...!"
Sekali lagi Pangeran Pemimpin menggembor se-
tinggi langit. Tubuhnya terpental jauh ke belakang,
meliuk-liuk sebentar dan jatuh berdebam ke tanah.
Bagian punggung yang terkena hantaman terasa mau
remuk! Seketika parasnya pun jadi pucat pasi! Gigitan
taring-taring Siluman Ular Putih tadi pun terasa nyeri
bukan kepalang seperti menusuk-nusuk dada!
Mendadak pemandangan di hadapan Pangeran
Pemimpin jadi kabur. Ia tidak tahu kalau gigitan Silu-
man Ular Putih mengandung racun berbahaya hampir
sulit dicari obat pemunahnya!
"Setan alas!" geram Pangeran Pemimpin murka.
Karena terdorong rasa sakit, mendadak Pangeran
Pemimpin menyilangkan kedua kakinya dan duduk
bersemadi. Kedua bibirnya segera berkemik-kemik
dengan mata terpejam rapat-rapat.
Sejenak sosok ular putih raksasa itu terlonglong.
Mungkin menyangka kalau Pangeran Pemimpin tengah
menyembuhkan luka dalamnya. Hingga hal ini me-
maksa Siluman Ular Putih menghentikan serangan.
Sementara Pangeran Pemimpin terus khusuk ber-
semadi. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik. Sege-
nap rasa dan pikirannya tengah ditujukan ke sebuah
tempat yang cukup jauh dari tempat pertempuran.
Yakni, ke Sendang Kenjeran!
"Eyang! Datanglah, Eyang! Aku membutuhkan
kehadiranmu.:.," desah Pangeran Pemimpin berulang-
ulang dalam hati.
***
Aneh!
Seketika air Sendang Kenjeran mendadak bergo-
lak. Makin lama golakannya makin menghebat, laksa-
na ada naga besar tengah mengguncang dasar sen-
dang!
Selang beberapa saat, tampak sesosok bayangan
berpakaian hitam-hitam muncul ke permukaan sen-
dang masih dalam keadaan bersemadi! Kedua kakinya
dilipat rapat. Kedua telapak tangannya bersedekap
dengan mata terpejam. Sosok lelaki tua inilah yang ta-
di dipanggil Pangeran Pemimpin. Siapa lagi kalau bu-
kan Eyang Pamekasan! Kakek sekaligus guru Pangeran
Pemimpin?!
Perlahan-lahan Eyang Pamekasan pun membuka
kelopak matanya. Parasnya yang pucat tampak keme-
rah-merahan. Sepasang matanya bersinar nyalang!
Berkilat-kilat penuh kemarahan. Panggilan cucu ter-
sayangnya itulah yang membuatnya bangun dari se-
madi.
"Cucuku...! Aku datang...!"
Hanya itu yang diucapkan Eyang Pamekasan. Ke-
mudian sosok yang masih bersemadi itu terus melun-
cur ketepian sendang dalam sikap bersemadi.
"Hup!"
Baru ketika mendekati bibir sendang, Eyang Pa-
mekasan meloncat tinggi ke udara. Anehnya air sen-
dang itu sedikit pun tidak bergolak manakala Eyang
Pamekasan meloncat dari permukaannya. Lebih hebatnya lagi, pakaian di tubuhnya sedikit pun tidak ba-
sah!
Hebat! Entah menggunakan ilmu apa hingga
orang tua itu mampu berbuat demikian. Yang jelas,
sekarang sosok tinggi kurus Eyang Pamekasan terus
berkelebat cepat ke arah timur. Gerakan kedua ka-
kinya ringan sekali, laksana anak panah terlepas dari
busur. Hingga dalam beberapa kelebatan saja sosok
Eyang Pamekasan telah berubah menjadi satu titik hi-
tam di kejauhan sana. Tepat di mana matahari me-
nampakkan sinarnya yang berwarna kuning keema-
san.
***
Matahari merah di ufuk timur mulai menjarah
bumi. Menjarah segenap yang ada dialam mayapada.
Namun sinarnya seperti tak bergairah! Tak seharusnya
demikian! Seolah sang raja slang merasa ikut berdosa
menyaksikan pembantaian demi pembantaian yang
terjadi di mayapada!
Mengerikan!
Itulah yang terjadi di Kadipaten Pleret. Lambat
laun, berkat bantuan para pendekar, satu persatu se-
kutu Pangeran Pemimpin dapat dilumpuhkan. Kini
keadaan mulai berbalik. Semangat juang para prajurit
Kadipaten Pleret yang semula menciut, kini kembali
berkobar-kobar.
Pedang kembali digenggam erat. Tameng diangkat.
Perang!
Pelajar Agung dan kawan-kawan nyaris tak dapat
melakukan perlawanan. Satu persatu mereka dijemput
ajal dengan cara sama. Sama-sama mengerikan. Tu-
buh-tubuh penuh sayatan dan hujaman tergelar di sini.
"Bajingan! Kalian memporak-porandakan rencana
kami! Demi iblis! Aku akan membunuh kalian semua!"
teriak Pelajar Agung murka.
"Jangan banyak mengumbar suara, Bocah Pon-
gah! Menghadapiku saja masih kalang kabut. Pakai
mau membunuh kami semua lagi! Huh!" ejek Raja Pe-
nyihir memerahkan telinga Pelajar Agung.
"Bajingan! Kaulah yang pertama kuremukkan ba-
tok kepalamu, Tua Bangka Keparat!"
"Biasa. Lagu kuno. Tadi kau juga bilang begitu.
Buktinya apa?" ejek Raja Penyihir menyakitkan.
Bukan main murkanya hati Pelajar Agung kali ini.
Teman-temannya sudah banyak yang memenuhi ajal.
Bahkan Raja Racun dan Raja Golok sekutu dekatnya
pun telah menemui ajal, Hal ini pulalah yang menyulut
kemarahannya.
"Heaaa...!"
Dengan menggembor penuh kemarahan, tiba-tiba
Pelajar Agung segera mengeluarkan jurus-jurus ampuh
‘Tulisan Maut Dewa Kayangan’. Sebuah jurus maut
ciptaan Pendidik Ulung yang telah dikhianati.
Begitu Pelajar Agung mengeluarkan jurus anda-
lan, seketika kedua telunjuk jarinya telah menggurat-
gurat ke udara. Jari telunjuk kanan menggurat-gurat
lemah gemulai dari kanan ke kiri. Sedang jari-jari te-
lunjuk kiri menggurat lemah gemulai dari kiri ke ka-
nan, membentuk sebuah huruf gaib ciptaan Pendidik
Ulung.
"Ciit..! Sritt...!"
Memang hebat bukan main jurus-jurus Pelajar
Agung ciptaan Pendidik Ulung itu. Di samping gura-
tan-guratan telunjuknya mampu mengeluarkan suara
mencicit yang teramat memekakkan telinga, jurus-
jurus itu pun mampu menjebol tembok baja selembar
tiga jengkal hanya dengan telunjuk jari!
Melihat jurus-jurus yang dikeluarkan Pelajar
Agung, anehnya Raja Penyihir hanya tersenyum-
senyum saja. Bukannya ia ingin memandang remeh
lawan. Melainkan, diam-diam tengah bersiap-siap
mengeluarkan pukulan "Tangan Gaib Penindih Setan'-
nya. Karena memang hanya pukulan itulah yang
mampu melumpuhkan jurus ‘Tulisan Maut Dewa
Kayangan’ ciptaan Pendidik Ulung.
"Majulah, Bocah! Akan kulihat, sampai di mana
kepongahanmu!" tantang Raja Penyihir lagi.
Pelajar Agung tidak menyahut, kecuali hanya
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jelas amarah
bekas murid Pendidik Ulung itu sudah mencapai pun-
cak ubun-ubun. Kemudian dengan segenap tenaga da-
lam yang dimiliki, Pelajar Agung mempertemukan dua
telunjuk jarinya di udara.
Sraaatt...!
Seketika melesat seleret sinar putih menyilaukan
mata dari pertemuan dua telunjuk jari Pelajar Agung
ke arah Raja Penyihir!
"Hmm...!" Raja Penyihir bergumam tak jelas. Lela-
ki tua ini tak berani main-main lagi. Begitu melihat da-
tangnya serangan, segera kedua telapak tangannya
yang juga berwarna putih berkilauan dihantamkan ke
depan.
Blaaammm...!
Terdengar satu ledakan hebat manakala tenaga
dalam kedua orang itu bertemu pada satu titik. Seketi-
ka angin dingin akibat bentrokan bertiup kencang,
memporak-porandakan apa saja yang berada di sekitar
tempat pertarungan. Daun-daun membeku! Beberapa
orang prajurit Kadipaten Pleret yang berkepandaian
rendah kontan menggigil kedinginan!
Tubuh Pelajar Agung sendiri limbung ke samping.
Parasnya pias! Seisi dadanya terasa berguncang hebat!
Hampir saja keseimbangan tubuhnya tak dapat diken-
dalikan kalau saja tidak cepat-cepat menjejakkan ka-
kinya ke tanah. Namun baru saja kedua kakinya men-
jejak tanah, mendadak segulung sinar hitam di tangan
Raja Penyihir telah menyerang dari samping.
"Hup...!"
Pelajar Agung berusaha menghindar sebisa mung-
kin. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Tapi
sayang, gerakan tubuhnya masih kalah cepat. Akibat-
nya....
Bukkk! Bukkk!
Dua kali tongkat hitam di tangan Raja Penyihir
menghajar punggung. Pelajar Agung menggereng pe-
nuh kemarahan. Untung saja tadi tenaga dalamnya te-
lah dikerahkan sebelum serangan lawan mengenai sa-
saran sehingga meski punggung terasa berdenyut, na-
mun masih sedikit menolongnya dari luka dalam yang
bisa membahayakan nyawa.
"Bagaimana dengan gebukan tongkatku, Bocah?
Enakkan?" ejek Raja Penyihir.
Pelajar Agung tidak menyahut. Amarahnya makin
membakar darah dalam dada. Tanpa banyak cakap la-
gi, segera kedua telunjuk jarinya digurat-guratkan
kembali ke udara. Kali ini gerakan-gerakan tubuh
maupun jari-jari tangannya tampak demikian lamban.
Namun anehnya, malah membuat suara mencicit ma-
kin memekakkan telinga!
"Kuakui, jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'-mu
memang hebat, Bocah. Tapi sayang, kau tetap tidak
mampu mengalahkanku," oceh Raja Penyihir.
"Setan alas! Jangan dikira kau sudah di atas an-
gin, Tua Bangka Keparat! Aku belum kalah!"
"Bagus! Kalau begitu, kau masih ingin merasakan
gebukan tongkatku, he?! Majulah! Sebenarnya aku
mudah saja merobohkanmu. Dengan kekuatan sihir
ku, kujamin kau pasti merangkak-rangkak memohon
ampun padaku. Tapi, itu tidak kulakukan. Aku tidak
akan mengerahkan kekuatan sihirku. Aku malah lebih
senang mempermainkan manusia pengecut macammu!
Hayo, majulah!"
"Setan alas! Kuakui, tua bangka di hadapanku ini
memang lihai. Baik ilmu sihir maupun ilmu silatnya.
Rasanya tak mungkin aku dapat mengalahkannya. Ta-
pi, apa boleh buat? Kalau memang terpaksa, tak ada
pilihan lain. Aku harus melarikan diri...," kata hati Pe-
lajar Agung.
"Hey? Kenapa berhenti? Hayo, serang aku! Apa
kau takut? Baik. Kalau begitu, aku yang akan mengha-
jarmu. Hitung-hitung membalas sakit hati Adipati Ple-
ret."
Raja Penyihir mulai memasang kuda-kuda. Na-
mun belum sempat bertindak, mendadak....
"Bedebah! Kau tidak patut menghukum bocah itu,
Raja Penyihir! Melainkan akulah yang berhak..."
Terdengar bentakan keras yang disusul berkele-
batnya satu sosok bayangan hitam ke arah pertarun-
gan.
***
SEPULUH
Raja Penyihir mendengus gusar. Di hadapannya
kini telah berdiri tegak seorang lelaki tua seusia den-
gannya. Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya putih
nyaris tak kentara oleh penutup kepala berwarna hi-
tam yang memanjang pada bagian atas. Jubahnya hi-
tam besar kedodoran sampai lutut. Siapa lagi tokoh
yang mempunyai ciri-ciri seperti itu kalau bukan Pendidik Ulung?
Lelaki tua ini memang telah mendapat perawatan
dari Tabib Agung di puncak Gunung Kelud. Begitu ra-
cun ular kobra putih milik Raja Racun dapat dikelua-
rkan, Pendidik Ulung pun segera menyusul Ki Rom-
beng dan para pendekar Jain. Namun ketika sampai di
tempat pertempuran di luar Kadipaten Pleret, Pendidik
Ulung jadi kecewa. Untung saja Senopati Gajah Keling
memberi tahu kemungkinan kalau Pelajar Agung ju-
stru turut menyerang Kadipaten Pleret.
Atas keterangan Senopati Gajah Keling, maka
Pendidik Ulung segera menuju Kadipaten Pleret. Se-
dang Tabib Agung diminta Senopati Gajah Keling un-
tuk menghadapi sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin
lain-nya. (Untuk mengetahui bagaimana Pendidik
Ulung sampai terkena racun ular kobra putih, silakan
baca : "Lukisan Darah" dan "Penguasa Alam").
"Apa kau bilang, Pendidik Ulung? Hanya kau yang
berhak menghukum Bocah Tengil ini?! Aku juga ber-
hak!" tukas Raja Penyihir.
Raja Penyihir uring-uringan. Sepasang matanya
membelalak. Tongkat hitam di tangan kanannya dike-
tuk-ketuk gusar.
'"Apa pun katamu, itu bukan urusanmu. Minggir!"
sentak Pendidik Ulung, mengusir. Tangan kanannya
dikibaskan ke belakang.
Raja Penyihir yang terdorong ke belakang jadi ma-
kin gusar dibuatnya.
"Tua bangka tak tahu diri! Sudah ditolong, pakai
mengusir lagi! Huh!" dengus Raja Penyihir kesal. Na-
mun, akhirnya lelaki tua ini mau juga menyingkir. Ia
kemudian membantu menumpas sekutu-sekutu Pan-
geran Pemimpin lainnya.
Pendidik Ulung tak menyahut. Sepasang matanya
berkilat-kilat penuh kemarahan memandangi bekas
muridnya.
"Murid murtad! Sekaranglah saatnya aku meng-
hukummu! Cepat cabut senjatamu! Kita bertarung
sampai ada yang modar!" bentak Pendidik Ulung se-
raya mencabut senjata andalannya. Sepasang pena
berbulu!
Pelajar Agung ragu-ragu. Namun karena memang
tidak ada pilihan lain, terpaksa dicabutnya keluar sen-
jata andalan, walau sebenarnya bukan senjata andalan
miliknya sendiri. Melainkan, senjata andalan Pendekar
Kujang Emas yang berupa kujang berwarna kuning
keemasan. Kujang Emas!
"Hm...! Senjata itu milik mendiang Pendekar Ku-
jang Emas. Kau tak berhak memiliki senjata pusaka
itu. Aku harus mengembalikannya pada yang berke-
pentingan!" gumam Pendidik Ulung.
"Jangan banyak omong, Orang Tua! Kalau mau
menghukumku, silakan! Tapi, ingat! Jangan dikira aku
pasrah saja!" tantang Pelajar Agung.
"Bagus! Memang itu yang kuinginkan!" sahut Pen-
didik Ulung cepat
Tanpa banyak cakap lagi segera lelaki tua ini me-
masang kuda-kuda. Kedua pena di tangannya segera
digurat-guratkan ke udara. Seketika terdengar bunyi
mencicit yang teramat memekakkan telinga dari gura-
tan-guratan kedua pena di tangan Pendidik Ulung.
Perlahan-lahan tokoh sakti dari Lembah Kaliurang itu
pun mulai melangkah lemah gemulai mendekati Pela-
jar Agung.
Pelajar Agung tidak mau mengeluarkan jurus yang
sama. Ia tahu, betapa hebatnya bekas gurunya kalau
sudah mengeluarkan jurus-jurus 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan' ciptaannya. Maka untuk menandingi segera
dikeluarkannya jurus milik Pendekar Kujang Emas
yang bernama jurus 'Pedang Pembawa Maut'!
Meski hanya menggunakan sebilah kujang, na-
mun tidak jadi soal bagi Pelajar Agung. Karena ia su-
dah terbiasa melatih jurus 'Pedang Pembawa Maut'
dengan sebilah kujang! Maka begitu melihat bekas gu-
runya mulai mendekat, segera diserangnya. Sedang
tangan kirinya yang telah berubah jadi biru siap me-
lontarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'.
Cring! Cring!
Beberapa kali sambaran kujang di tangan Pelajar
Agung dapat tertangkis sepasang pena yang bergerak
lemah gemulai di tangan Pendidik Ulung. Entah kena-
pa, Pelajar Agung merasa tangannya kesemutan.
"Bedebah! Rupanya tua bangka ini telah menge-
rahkan segenap kekuatan tenaga dalamnya. Aku harus
segera mengeluarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru' se-
belum tua bangka itu mempertemukan ujung kedua
penanya. Yah...!"
Berpikir demikian, Pelajar Agung lantas meng-
gembor keras. Tangan kirinya yang telah berubah jadi
biru sampai ke pangkal lengan segera dihentakkan ke
depan. Maka seketika melesat selarik sinar biru yang
menggemuruh dari telapak tangan kiri Pelajar Agung,
siap melabrak tubuh Pendidik Ulung.
Namun Pelajar Agung kecele. Dengan satu gera-
kan tak terduga, tiba-tiba Pendidik Ulung telah mem-
pertemukan kedua ujung penanya di udara. Seketika
itu pula meluruk seleret sinar putih berkilauan dari
ujung-ujung pena yang dipertemukan, ke arah sinar
biru milik Pelajar Agung!
Blaaaarrrr...!!!
Terdengar satu ledakan hebat begitu kedua suara
itu berbenturan di udara. Bumi laksana diguncang
prahara. Hawa panas akibat bentrokan dua tenaga da-
lam tadi menebar ke mana-mana, membakar prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret yang berkepandaian rendah.
Juga, membakar ranting-ranting pohon di sekitar tem-
pat pertarungan!
Tubuh Pendidik Ulung sendiri sempat terguncang
hebat. Kedua telapak kakinya melesak beberapa dim
ke dalam tanah. Namun keadaan ini masih jauh lebih
menguntungkan dibanding Pelajar Agung
Pelajar Agung yang sebenarnya sudah menderita
luka dalam yang cukup lama akibat pertarungannya
dengan Raja Penyihir tadi, tak dapat lagi mengendali-
kan keseimbangan tubuhnya. Maka tanpa ampun ia
langsung terpental jauh ke belakang!
Pelajar Agung mengeluh dalam hati. Parasnya
pias! Tampak darah segar membasahi sudut-sudut bi-
bir, pertanda luka dalamnya makin parah!
Pendidik Ulung mendengus dingin. Sedikit puri ia
tidak ingin memberi kesempatan pada Pelajar Agung
untuk membalas serangan. Namun belum sempat to-
koh sakti dari Lembah Kaliurang itu bertindak, men-
dadak terdengar suara ribut-ribut dari teriakan para
prajurit Kadipaten Pleret.
Sekilas Pendidik Ulung melirik dengan ekor mata.
Ternyata, pertempuran di sebelah telah usai. Sekutu-
sekutu Pangeran Pemimpin sudah banyak yang dilum-
puhkan. Namun, banyak juga yang melarikan diri.
Pendidik Ulung tak mempedulikan lagi. Keingi-
nannya saat itu hanya untuk membunuh Pelajar
Agung.
"Kau akan secepatnya menyusul teman-temanmu
itu, Bocah! Bersiap-siaplah menerima kematianmu!"
ancam Pendidik Ulung dingin dan menggetarkan. Ke-
dua penanya pun kembali digurat-guratkan di udara
membentuk huruf gaib ciptaannya sendiri.
Pelajar Agung merasa cemas bukan main. Tak
mungkin ia melanjutkan pertempuran seorang diri.
Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus melarikan di
ri. Namun ketika hendak melarikan diri dengan ilmu
'Amblas Bumi', mendadak Pendidik Ulung telah melon-
tarkan pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'.
"Hea...!"
Bukkk!
Pelajar Agung menjerit setinggi langit saat seran-
gan Pendidik Ulung mengenai sasaran. Seketika tu-
buhnya melayang bak layangan putus. Namun akibat-
nya Pelajar Agung tetap mengerahkan ilmu 'Amblas
Bumi'. Maka saat kedua kakinya mendarat, tubuhnya
pun amblas ke dalam bumi!
Pendidik Ulung gusar bukan main. Cepat dikejar-
nya gerakan gundukan pasir di hadapannya. Lalu
kembali dilontarkannya pukulan 'Tangan Penggebuk
Dewa' secara membabi buta.
Blaaam! Blaaam...!!!
"Kendalikan amarahmu, Sobat! Dia telah pergi!"
cegah Raja Penyihir yang tahu-tahu telah tegak di
sampingnya.
"Aku harus menghukumnya...! Aku harus meng-
hukumnya...!" desis Pendidik Ulung penuh kemarahan.
"Belum puas aku kalau belum memecahkan batok ke-
palanya! Ia telah mencemarkan nama baikku! Hea...!"
"Tunggu...!" cegah Raja Penyihir.
Pendidik Ulung mana sudi mendengar ucapan Ra-
ja Penyihir. Ia terus saja berkelebat cepat ke arah ba-
rat, dan menghilang di kerapatan hutan depan sana.
Raja Penyihir hanya menggeleng-geleng disertai
dengusan napas prihatin.
***
"Cucuku, bangun! Kau tak pantas bersimpuh be-
gitu! Kau adalah calon adipati. Bangun!"
Pangeran Pemimpin yang masih duduk bersimpuh
tersentak kaget mendengar sebuah suara penuh tena-
ga dalam. Kelopak matanya buru-buru dibuka. Bibir-
nya lantas tersenyum. Senyum bangga melihat sosok
yang diharapkan bantuannya telah datang. Dialah
Eyang Pamekasan!
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar bi-
asa. Eyang Pamekasan telah tiba di tempat pertempu-
ran dalam waktu singkat. Dan getaran-getaran suara
batin Pangeran Pemimpin itulah yang menuntun lang-
kah Eyang Pamekasan menuju tempat pertempuran!
"Terima kasih, Eyang. Ternyata kau sudi memban-
tuku," ucap Pangeran Pemimpin sambil menang-
kupkan kedua telapak tangan di depan dada penuh
hormat.
Eyang Pamekasan mengibaskan tangan sebagai
isyarat. Pangeran Pemimpin tahu. Cepat ia melompat
bangun.
"Gggggeeerrr...!!!"
Sementara sosok ular putih raksasa penjelmaan
Soma menggereng. Sepasang matanya yang berwarna
merah saga mencorong tajam, memperhatikan lelaki
tua renta di hadapannya penuh tanda tanya.
Eyang Pamekasan sendiri pun tampak heran. Ke-
ningnya berkerut-kerut. Sepertinya ia sudah tahu, sia-
pa yang menjelma jadi sosok ular putih raksasa.
"Dia.... Dia Siluman Ular Putih, Eyang,!!, jelas
Pangeran Pemimpin dapat membaca keheranan eyang-
nya. Eyang Pamekasan mengangguk-angguk. "Sebaik-
nya cepat kita bertindak, Eyang. Mumpung anak bua-
hku masih sanggup bertahan. Kalau saja eyang dapat
membunuh ular keparat itu dan juga semua pendekar
yang turut membantu, pasti kita akan menang,
Eyang."
Eyang Pamekasan tak menyahuti. Selangkah demi
selangkah mulai didekatinya Siluman Ular Putih.
Langkahnya baru berhenti ketika tokoh dari Sendang
Kenjeran itu kembali mendengar gerengan ular putih
raksasa di hadapannya.
"Hhh...! Kau pasti ada sangkut pautnya dengan
tua bangka dari Gunung Bucu itu. Begawan Kama-
setyo. Bah!" dengus Eyang Pamekasan dapat menduga
siapa sosok yang menjelma menjadi Siluman Ular Pu-
tih.
Siluman Ular Putih hanya menggereng. Ekornya
dikibaskan ke sana kemari. Seolah hatinya gusar meli-
hat Pangeran Pemimpin mulai membantai prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret tanpa ampun dengan meng-
gunakan aji 'Setan Kober'.
"Ggggeeerrrr...!!!"
Siluman Ular Putih makin mengibas-ngibaskan
ekornya tak sabar. Lalu dengan gerengan hebat, tahu-
tahu sosok besar panjang Siluman Ular Putih telah
menerjang Pangeran Pemimpin garang.
Namun pada saat yang sama Eyang Pamekasan
telah menghentakkan kedua tangan ke arah Siluman
Ular Putih.
Bukkk!
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Tubuhnya
meliuk sebentar, lalu terlempar jauh ke samping. Se-
pasang matanya mencorong mengerikan memandangi
sosok tua yang tadi melontarkan pukulan maut terha-
dapnya saat menerjang Pangeran Pemimpin.
Siluman Ular Putih kembali mengibas-ngibaskan
ekornya penuh kemarahan. Sepasang matanya menco-
rong tampak demikian mengerikan. Lalu disertai ge-
rengan hebat, Siluman Ular Putih balik menerjang
Eyang Pamekasan. Moncongnya yang besar dibuka le-
bar-lebar, menampakkan taring-taringnya yang runc-
ing.
"Ggggeeerrr...!!!"
Eyang Pamekasan tersenyum dingin, seraya sedi-
kit menggeser tubuhnya ke samping. Dan sebelum
ekor Siluman Ular Putih menghajar tubuhnya, kembali
tangannya menghentak.
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku! Hea...!"
Begitu Eyang Pamekasan menghantamkan kedua tela-
pak tangannya ke depan, seketika melesat dua larik
sinar hitam legam dari kedua telapak tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Sekali lagi Siluman Ular Putih menggereng hebat.
Tubuhnya yang terhantam pukulan 'Pelebur Bumi'
kontan terlempar ke samping dan jatuh berdebam me-
nerbangkan debu-debu!
Namun anehnya sedikit pun tubuh Siluman Ular
Putih tidak mengalami cedera. Padahal tadi Eyang Pa-
mekasan telah membayangkan kalau tubuh Siluman
Ular Putih akan hancur berkeping-keping.
"Keparat! Rupanya kau kebal terhadap pukulan
'Pelebur Bumi'-ku, he?!" Eyang Pamekasan membela-
lakkan matanya heran.
Siluman Ular Putih menggeliat ke sana kemari se-
bentar. Kemudian dengan sepasang matanya yang
mencorong, sejenak diperhatikannya kakek tua renta
di hadapannya sengit.
"Majulah! Aku ingin lihat! Apa tubuhmu juga keb-
al terhadap ‘Cemeti Api’-ku!"
Cttttaaarr...!
Eyang Pamekasan tahu-tahu telah mengeluarkan
sebuah cambuk berwarna merah dari pinggang dan
langsung melecutkannya ke bawah. Seketika tanah di
bawahnya yang terkena lecutan kontan menyala!
"Ggggeerrrr! Gggggeeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih gusar bukan main. Dari tadi ia
hanya mengibas-ngibaskan ekornya. Tampak sekali
kalau hatinya ragu-ragu, apakah sanggup menerima
lecutan cemeti di tangan tokoh sesat dari Sendang
Kenjeran atau tidak.
"Ggggeeeerrrr...!!!"
Namun akhirnya Siluman Ular Putih menerjang
juga ke arah Eyang Pamekasan disertai gerengan be-
ringas.
Eyang Pamekasan menyunggingkan bibirnya, ter-
senyum dingin. Cemeti di tangan kanannya segera di-
lecutkan ke udara menyambut lesatan Siluman Ular
Putih
Ctarrr! Ctaaarrr!!!
Prakkk! Prakkk!
Dua kali lecutan ‘Cemati Api’ di tangan Eyang Pa-
mekasan mendarat di sasaran. Namun, Siluman Ular
Putih hanya menggereng hebat. Bagian tubuhnya yang
terkena lecutan Cemeti Api sempat menyala, namun
hanya sebentar. Selang beberapa saat, api yang mem-
bakar tubuhnya hilang dengan sendirinya!
"Heh...?!"
Eyang Pamekasan melongo kaget. Sungguh tak
disangka kalau tubuh Siluman Ular Putih ternyata ti-
dak mengalami luka sedikit pun akibat lecutan Cemeti
Api-nya! Eyang Pamekasan tak percaya. Ia harus
membuktikannya lagi. Maka sekali tubuhnya berkele-
bat, cemeti di tangan kanannya kembali menderu-deru
di sekujur tubuh Siluman Ular Putih.
Ctarrr! Ctarrrr!
Berkali-kali tubuh Siluman Ular Putih terkena le-
cutan cemeti, namun tidak mengalami cedera sedikit
pun. Memang, tubuh Siluman Ular Putih sempat me-
nyala, tapi hanya sebentar. Selang beberapa saat, api
di sekujur tubuhnya padam sendiri.
Bukan main geramnya hati Eyang Pamekasan.
Kali ini sepasang matanya yang kelabu harus dipaksa
untuk terbelalak kembali. Bahkan kibasan ekor Silu
man Ular Putih tadi sempat menghajar tubuhnya.
Meski Eyang Pamekasan tidak mengalami luka sedikit
pun, namun sudah cukup menyulut amarahnya.
"Jahanam! Kali ini kalau kau masih sanggup ber-
tahan, aku patut berguru padamu, Siluman Ular Pu-
tih!" dengus Eyang Pamekasan penuh kemarahan.
Cemeti Api di tangan kanan lelaki tua ini kembali
disimpan di pinggang. Lalu kedua telapak tangannya
digosok-gosokkan sedemikian rupa. Seketika kedua te-
lapak tangannya telah berubah jadi putih berkilauan
disertai kepulan asap putih yang menebarkan hawa
dingin bukan kepalang!
"Hebat! Kau memang hebat, Siluman Ular Putih!
Tapi aku belum percaya kalau kau juga sanggup me-
nerima aji 'Panglarut Banyu Putih'-ku! Majulah! Aku
ingin lihat sampai di mana kehebatanmu!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Sepasang
matanya yang berwarna merah semakin menggidikkan.
Kemudian dengan kemarahan meluap, sosok ular pu-
tih raksasa itu kembali menerjang hebat Eyang Pame-
kasan!
Eyang Pamekasan sempat menyurutkan langkah-
nya setindak ke belakang. Lalu disertai kekuatan tena-
ga dalam penuh, kedua telapak tangannya segera dido-
rongkan ke depan. Seketika tampak asap putih berki-
lauan bergulung-gulung memapak serangan Siluman
Ular Putih.
Pesss!
Siluman Ular Putih menggereng setinggi langit.
Asap putih yang dingin bukan kepalang makin mem-
bungkus tubuhnya yang terus menggeliat-geliat hebat
ke sana kemari. Rasa dingin yang teramat menusuk
kulit tubuh benar-benar membuatnya jadi tidak tahan.
Selang beberapa saat, sosok ular putih raksasa itu
diam tak bergerak-gerak lagi. Sekujur tubuhnya mem
beku tak dapat digerakkan. Hanya sepasang matanya
saja yang mencorong penuh kemarahan.
Eyang Pamekasan tertawa sumbang. Selangkah
demi selangkah, didekatinya Siluman Ular Putih. Ke-
dua telapak tangannya yang berwarna putih berki-
lauan kembali siap melontarkan aji 'Panglarut Banyu
Putih'. Namun belum sempat tokoh dari Sendang Ken-
jeran bertindak mendadak perhatiannya terusik oleh....
Klinting! Klinting!
Terdengar suara lonceng yang memekakkan telin-
ga.
"Bedebah! Siapa berani bermain gila denganku?!"
geram Eyang Pamekasan dengan sepasang mata berki-
lat-kilat penuh kemarahan.
Tak ada sahutan. Hanya samar-samar terdengar
seseorang tengah membacakan bait syair....
Kawan......
Kuberi kau pengetahuan,
Jika kau inginkan tirai terbuka.
Datanglah ke jalanku,
Dan ikuti aturanku mencinta.
Sebab mata air Sabda yang melimpah,
ada bersamaku....
***
SEBELAS
"Keparat! Tua bangka itu lagi!" dengus Eyang Pa-
mekasan kalap bukan main.
Di kejauhan sana, tampak seorang lelaki tua renta
berpakaian putih bersih. Rambutnya digelung ke atas!
Dengan lenggang seenaknya, lelaki tua itu menuju
tempat pertempuran.
Meski melenggang seenaknya, namun dalam wak-
tu singkat si kakek telah berada di tempat pertempu-
ran. Mulutnya terus mengoceh membacakan bait-bait
sajak sambil terus membunyikan lonceng kecil di tan-
gan kanannya.
Klinting! Klinting!
"Hm...! Cck cck cck...! Bocah sinting itu...! Kasi-
han...," gumam si kakek.
Lelaki tua ini menggeleng-gelengkan kepala. Entah
heran, entah takjub melihat tubuh Siluman Ular Putih
membeku. Lalu kakinya melangkah mendekati Silu-
man Ular Putih.
"Pasti kau biang keroknya! Heran?! Sudah tua
bangka begini, masih juga bertingkah! Dasar tua
bangka kurang kerjaan!" lanjut si kakek mengomel.
Habis mengomel, si kakek segera menepuk tubuh
Siluman Ular Putih sekali. Hebatnya, seketika tubuh
Siluman Ular Putih kontan dapat bergerak-gerak lagi.
Sebenarnya siapakah kakek tua renta yang dapat
memunahkan aji 'Panglarut Banyu Putih' milik Eyang
Pamekasan dengan demikian mudah? Dia tak lain ada-
lah Penyair Sinting. Seorang sesepuh sakti dunia persi-
latan yang jarang sekali menampakkan diri di dunia
ramai, kecuali bila ada keperluan. Satu di antara ke-
munculannya adalah sewaktu membantu Siluman Ular
Putih menghadapi jelangkung. (Baca kisah: "Iblis Pe-
manggil Roh").
Melihat Penyair Sinting telah memunahkan aji
'Panglarut Banyu Putih'-nya, Eyang Pamekasan jadi
murka. Ia tadi memang ingin mencegah perbuatan Pe-
nyair Sinting. Namun entah kenapa, ia tak mampu me-
lakukannya.
"Keparat! Kau lancang sekali, Penyair Sinting! Kau
harus membayarnya mahal!"
Eyang Pamekasan membentak penuh kemarahan.
Kedua telapak tangannya yang telah berwarna putih
berkilauan segera didorongkan ke depan. Seketika me-
luruk dua asap putih tebal berkilauan ke arah Penyair
Sinting dan Siluman Ular Putih.
"Eh... tunggu! Aku belum sempat mengurus bocah
sinting ini. Kenapa kau malah mengurusku? Apa kau
kurang urusan, he?!" teriak Penyair Sinting mulai
kambuh penyakitnya.
Sembari berteriak begitu, Penyair Sinting berkelit
dengan melompat ke atas. Saat meluruk, segera dis-
ambarnya ekor Siluman Ular Putih dan ditariknya
kuat-kuat ke samping. Dengan demikian, serangan
Eyang Pamekasan hanya mengenai angin kosong.
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang mencorong terus mem-
perhatikan Eyang Pamekasan tajam-tajam.
"Har-her-har-her! Sudah sana! Minggir! Ini ba-
gianku!" usir Penyair Sinting.
Tangan kanan lelaki tua ini segera mendorong ke
depan. Seketika ada satu kekuatan yang tidak terlihat
telah mendorong tubuh Siluman Ular Putih hingga ter-
lempar jauh, langsung menimpa beberapa orang yang
tengah bertarung.
Penyair Sinting melonjak-lonjak gembira.
"Mampus kalian! Ada yang tergencet! Ada yang
ngacir ketakutan!"
"Tua bangka sinting! Berani kau bertingkah ma-
cam-macam di hadapanku, he!" bentak Eyang Pame-
kasan.
Buru-buru Penyair Sinting berbalik.
"Eh, iya! Sampai aku lupa. Apa kabar, Pameka-
san?" sapa Penyair Sinting, kebodoh-bodohan.
"Jangan banyak bacot! Kita selesaikan urusan kita
disini!"
"Eh eh eh...! Rupanya kau sudah tidak sabar, Pa-
mekasan. Baik! Apa kita mau adu gebuk-gebukan?
Atau mau adu mulut? Atau mau adu...."
"Setan alas!"
'Tidak mau! Aku tidak mau adu setan alas. Aku
tidak punya setan. Aku tidak punya alas. Sawah apa-
lagi!"
Bukan main mengkelapnya hati Eyang Pamekasan
dipermainkan seperti itu. Tanpa banyak cakap segera
kedua telapak tangannya digosok-gosokkan. Seketika
tangan tokoh sesat dari Sendang Kenjeran telah beru-
bah jadi putih berkilauan.
Penyair Sinting bukannya tidak tahu betapa he-
batnya aji 'Panglarut Banyu Putih'- milik Eyang Pame-
kasan.
Namun, sikapnya masih saja ayal-ayalan. Seenak-
nya sendiri. Meski begitu, diam-diam mulai disiapkan-
nya pukulan 'Tameng Selaksa Prahara' yang sengaja
diciptakan untuk menghadapi aji 'Panglarut Banyu Pu-
tih'.
Kening Eyang Pamekasan sempat berkerut. Ia
memang belum tahu pukulan apa yang akan dikelua-
rkan musuh bebuyutannya nanti. Namun begitu ia ti-
dak mau ambil peduli. Dengan raut wajah menegang,
pertanda segenap kekuatan tenaga dalamnya telah di-
kerahkan, tahu-tahu Eyang Pamekasan telah melon-
tarkan aji 'Panglarut Banyu Putih'.
Wesss! Wesss!
Seketika dua gulungan asap putih tebal yang
mengandung hawa dingin bukan kepalang telah bergu-
lung-gulung cepat ke arah Penyair Sinting.
Penyair Sinting sempat berceloteh menggoda sebe-
lum menghentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Lalu....
Blesss!
Tak ada bunyi ledakan yang berarti. Namun, gu-
lungan-gulungan putih dari kedua telapak tangan
Eyang Pamekasan sempat terhadang di tengah jalan.
Kedua tokoh sakti itu terus menambah kekuatan tena-
ga dalam. Tak ada yang mau mengalah satu sama lain.
Paras-paras mereka kini pun memucat. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuh.
"Mampus kau, Pamekasan! Hea...!"
Tiba-tiba Penyair Sinting melipatgandakan tenaga
dalamnya serentak, membuat tubuh Eyang Pamekasan
bergoyang-goyang. Sementara dua gulungan asap pu-
tih tebal pun makin mendekati tubuh Eyang Pameka-
san. Paras Eyang Pamekasan makin pias. Keringat
dingin membanjir di sekujur tubuh. Ia terus berusaha
bertahan mati-matian. Celaka besar bila gulungan-
gulung-an dari kedua telapak tangannya sampai
menghantam dirinya. Tentu saja lelaki ini tidak ingin
tubuhnya mati membeku karena ajian miliknya sendi-
ri.
Selang beberapa saat, adu tenaga dalam tingkat
tinggi itu makin menegangkan. Terutama sekali bagi
Eyang Pamekasan. Karena, gulungan-gulungan asap
tebalnya terhalang oleh sesuatu tameng yang kuat luar
biasa.
Eyang Pamekasan berusaha bertahan. Namun
percuma. Gulungan-gulungan asap putih tebal itu ma-
kin mendekati tubuh. Ia harus bertindak cerdik kalau
tidak ingin celaka!
"Hea...!"
Tiba-tiba Eyang Pamekasan melipatgandakan te-
naga dalamnya sampai puncaknya. Di saat gulungan-
gulungan asap tebalnya tertahan, saat itulah lelaki tua
ini melompat tinggi ke udara. Sehingga, gulungan-
gulungan asap tebal itu terus menerabas ke belakang
dan....
Blaaar...!!!
Terdengar satu ledakan hebat saat gulungan-
gulungan asap tebal itu menghantam bukit. Tak lama
terdengar suara menggemuruh dari lereng-lereng bukit
yang berguguran.
Penyair Sinting sempat terkejut, namun tetap ti-
dak kehilangan akal. Begitu melihat tubuh Eyang Pa-
mekasan masih melayang-layang di udara, tubuhnya
berkelebat cepat. Segera dilontarkannya tusukan 'Jari-
jari Suci'-nya.
Tukkk! Tukkk!
"Aaakh...!"
Eyang Pamekasan meraung keras. Tubuhnya me-
lintir ke samping, lalu jatuh berdebam ke tanah. Ba-
gian tubuhnya yang terkena tusukan jari kontan ber-
lobang mengucurkan darah segar!
"Keparat! Kau.... Kau.,.."
Eyang Pamekasan gemetar di tempatnya. Paras-
nya pias. Tampak sekali kalau hatinya mulai ciut
menghadapi musuh bebuyutannya. Sialnya lagi, ter-
nyata cucunya pun mulai terdesak hebat oleh Siluman
Ular Putih!
"Sembodo! Cepat tinggalkan tempat ini!" perintah
Eyang Pamekasan tiba-tiba begitu bangkit. Lalu tu-
buhnya segera berkelebat cepat meninggalkan tempat
pertempuran.
"Eh..., Sontoloyo! Kau hendak ke mana? Urusan
kita belum selesai. Kenapa kau ngacir, he?! Aku belum
puas menggebukmu. Hayo, berhenti!" teriak Penyair
Sinting kalang kabut.
Tapi, mana Sudi Eyang Pamekasan yang sudah
terluka parah menuruti teriakan Penyair Sinting. Ma-
lah dengan ilmu meringankan tubuhnya yang cepat
luar biasa, Eyang Pamekasan malah menambah kece
patan larinya.
"Ah...! Kau tidak boleh meninggalkanku! Aku ha-
rus menggebuk pantatmu sampai merah!" sungut Pe-
nyair Sinting kesal.
Beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret yang me-
lihat tingkah Penyair Sinting sempat tersenyum geli.
Lebih-lebih ketika Penyair Sinting terus berteriak-
teriak kalang kabut sambil terus mengejar Eyang Pa-
mekasan di kejauhan sana.
Jelas tak mungkin Penyair Sinting dapat mengejar
Eyang Pamekasan. Namun dasar orang tua sinting, te-
rus dikejarnya Eyang Pamekasan. Dan baru langkah-
nya berhenti kala tidak lagi menemukan bayangan
Eyang Pamekasan.
Penyair Sinting uring-uringan bukan main dan te-
rus berteriak-teriak kalang kabut.
***
Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Bukannya
lelaki ini tidak mau menuruti perintah Eyang Pameka-
san untuk melarikan diri, namun karena keadaannya
memang tidak memungkinkan. Beberapa orang pende-
kar yang sudah menyelesaikan pertarungan telah
membentuk lingkaran, membuat semacam arena per-
tarungan antara Pangeran Pemimpin melawan Siluman
Ular Putih.
Seketika paras Pangeran Pemimpin berubah pias.
Tak mungkin ia melarikan diri. Satu-satunya jalan ha-
nyalah mengadu nyawa dengan Siluman Ular Putih!
Berpikir demikian, Pangeran Pemimpin makin melipat-
gandakan tenaga dalamnya. Berkat ajian 'Setan Kober'
dua sosok bayi hitam di pergelangan tangannya tam-
pak demikian mengerikan. Tangan-tangannya menju-
lur-julur ke depan, siap mencengkeram tubuh Siluman
Ular Putih.
Berdasarkan pengalamannya berulang-ulang, Si-
luman Ular Putih tentu saja tidak ingin tubuhnya ter-
cengkeram tangan-tangan hitam milik bayi aneh di
pergelangan tangan Pangeran Pemimpin. Ia harus ber-
tindak cerdik. Begitu tangan-tangan bayi hitam itu
menjulur ke depan, tiba-tiba Siluman Ular Putih me-
liuk cepat. Dan tahu-tahu tubuhnya meluncur ke arah
Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin kaget bukan main. Tangan-
tangan hitam si bayi tak mungkin dapat bertindak se-
cepat itu untuk menghambat laju Siluman Ular Putih.
Dan kenyataannya memang demikian. Baru saja hen-
dak menggerak-gerakkan tangan-tangan bayinya,
mendadak Siluman Ular Putih telah melihat tubuhnya
kuat!
Rrapp!
Pangeran Pemimpin menggeliat-geliat kesakitan.
Tubuhnya terus meronta berusaha melepaskan libatan
Siluman Ular Putih. Namun percuma. Libatan Siluman
Ular Putih malah makin kuat, walau tangan-tangan hi-
tam bayi itu berusaha keras untuk menarik-narik.
"Ggggeeeerrrr...!!!"
Pucat pasi paras Pangeran Pemimpin kini. Pada
saat yang sama tiba-tiba moncong Siluman Ular Putih
telah berada persis di depan wajahnya. Taring-
taringnya yang runcing siap meremukkan batok kepa-
la.
"Aaaahhh...!"
Pangeran Pemimpin mengeluh dalam hati. Ia be-
rusaha menghindar dari terkaman Siluman Ular Putih.
Namun....
Kresss!
"Aaa...!"
Tanpa ampun bahu kanan Pangeran Pemimpin ja
di santapan empuk ular putih raksasa itu. Seketika
Pangeran Pemimpin meraung setinggi langit. Hanya
yang terkena taring-taring terasa nyeri bukan main.
Darah segar pun menetes keluar.
Sementara Siluman Ular Putih sendiri tak mau
melepaskan mangsanya. Taring-taringnya yang runc-
ing terus saja ditancapkan di bahu Pangeran Pemim-
pin. Bahkan tubuh Pangeran Pemimpin diputar-putar
demikian rupa di udara.
"Tahan! Lepaskan Kangmas. Sembodo!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memasuki
tempat pertarungan.
"Ggggeeerrrr...!!''
Siluman Ular Putih menggereng hebat, melihat sa-
tu sosok yang berlari ke tengah pertempuran. Ia adalah
seorang lelaki gagah berusia empat puluh tahun. Pa-
kaiannya menunjukkan kalau ia adalah Adipati Pleret.
"Soma! Lepaskan Kangmas Sembodo!" teriak lelaki
yang tak lain Adipati Reksopati penuh harap.
Siluman Ular Putih ragu-ragu. Sejenak diperhati-
kannya ke sekeliling tempat pertempuran yang ternya-
ta telah dipenuhi para pendekar yang tadi ikut bertem-
pur di lingkungan kadipaten. Dan setelah dapat me-
lumpuhkan tokoh-tokoh sesat sekutu Pangeran Pe-
mimpin, mereka pun segera menuju tempat pertempu-
ran di luar Kadipaten Pleret atas perintah Adipati Ple-
ret sendiri.
"Soma! Lepaskan Kangmas Sembodo!" pinta Adi-
pati Pleret lagi.
Andai saja sosok ular putih raksasa itu dapat bi-
cara, sudah pasti akan bertanya, mengapa? Namun,
rupanya Siluman Ular Putih hanya menggereng. Lalu
segera dilemparkannya tubuh Pangeran Pemimpin ke
sembarang tempat.
Bukkk!
Habis melempar, mendadak sekujur tubuh ular
putih raksasa ini telah dipenuhi asap putih tipis. Se-
hingga sosok besar panjangnya tidak kelihatan sama
sekali. Dan saat asap putih tipis yang menyelimuti tu-
buhnya hilang tertiup angin, maka seketika yang tam-
pak bukan lagi sosok Siluman Ular Putih. Melainkan,
sosok pemuda bertubuh tinggi besar berpakaian rompi
dan celana bersisik warna putih keperakan. Itulah so-
sok murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Si-
luman Ular Putih!
Melihat kejadian langka di hadapannya, beberapa
orang prajurit Kadipaten Pleret dan juga beberapa
orang pendekar muda yang belum pernah melihat ke-
hebatan Siluman Ular Putih hanya melongo sambil
menggeleng-geleng penuh kagum.
"Terimakasih, Soma. Kau baik sekali!" ucap Adipa-
ti Pleret.
Lelaki setengah baya ini bukannya tidak menga-
gumi kehebatan murid Eyang Begawan Kamasetyo,
melainkan karena merasa memelas dengan keadaan
Pangeran Pemimpin.
"Kangmas Sembodo! Kenapa Kangmas menempuh
jalan seperti ini? Kalau saja Kangmas meminta takhta
Kadipaten Pleret dengan cara baik-baik, sudah pasti
aku menyerahkannya. Tapi, kenapa Kangmas melaku-
kan ini?" tanya Adipati Reksopati.
Pangeran Pemimpin yang mendapat luka parah di
sekujur tubuhnya hanya mendengus penuh kebencian.
Sepasang matanya berkilat-kilat mengerikan.
"Kenapa, Kangmas?"
Pangeran Pemimpin tak menyahut. Amarahnya
membuatnya sulit mengendalikan diri. Di samping ia
juga menderita luka dalam yang cukup parah.
"Tai kucing! Kau hanya berkhotbah. Padahal se-
mua tahu, kau berjiwa busuk! Apa kau pikir aku bodoh dengan sikap lembutmu ini. Tidak! Aku tidak bo-
doh! Aku tahu, apa yang kau maksud. Bukankah kau
ingin merebut hati para prajuritmu, bukan? Juga me-
rebut hati para pendekar gagah yang membantu praju-
ritmu?" tukas Pangeran Pemimpin penuh kemarahan.
Tubuh lelaki ini limbung ke sana kemari. Namun
Pangeran Pemimpin tetap memaksakan diri untuk ber-
tahan.
"Jawab, Reksopati! Kenapa hanya membisu?!"
bentak Pangeran Pemimpin garang.
"Kau salah, Kangmas. Demi Tuhan aku tidak ber-
maksud demikian," sanggah Adipati Reksopati.
"Keparat! Kau memang berhati ular, Reksopati!
Kau patut mampus di tanganku!" teriak Pangeran Pe-
mimpin kalap.
Sambil berteriak, Pangeran Pemimpin berlari ke
arah Adipati Pleret dengan keris terhunus di tangan
kanan.
Semua yang berada di tempat pertempuran terpe-
kik kaget. Jarak antara Pangeran Pemimpin dan Adipa-
ti Pleret demikian dekat. Sulit sekali rasanya bagi Adi-
pati Pleret untuk menghindar. Namun....
Crakkk!
Ada sesuatu yang jatuh dan menggelinding. Darah
segar yang menyembur keluar. Tapi bukan dari leher
Adipati Reksopati, melainkan dari leher Pangeran Pe-
mimpin. Kepala tokoh sesat ini telah menggelinding en-
tah kemana!
Adipati Reksopati gemetar dibuatnya. Sepasang
matanya membelalak liar ke arah tubuh Pangeran Pe-
mimpin. Lalu sepasang matanya bergerak-gerak liar ke
arah Putri Sekartaji yang telah berdiri di samping
mayat Pangeran Pemimpin. Dialah yang berkelebat ce-
pat, langsung tadi menebas kepala Pangeran Pemimpin.
"Maafkan aku, Kangmas Adipati! Kukira Kangmas
Sembodo memang patut mendapat hukuman mati,"
ucap Putri Sekartaji lembut. Pedang di tangan kanan-
nya tampak masih berlumuran darah Pangeran Pe-
mimpin.
Adipati Reksopati hanya menggeleng-geleng. Tak
sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetar-
getar.
Semua yang berada di tempat pertempuran itu
pun seperti dicekam sepi. Hanya angin saja yang terus
berhembus, seolah ingin mengabarkan pada alam ka-
lau telah terjadi banjir darah di tempat ini!
SELESAI
Segera terbit!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
PENGASUH SETAN
0 comments:
Posting Komentar