..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 25 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE TABIB SAKTI PULAU DEDEMIT

Tabib Sakti Pulau Dedemit

 Hak cipta dan copy right pada

penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU
PESISIR pantai Jawa Tengah, Kadipa-
ten Ketawang. Hari itu alam murka. Badai 
besar mendatangi wilayah tersebut. Ombak 
raksasa bergulung-gulung di kejauhan ba-
gai tembok hidup menggapai angkasa. Sulit 
memastikan berapa ketinggian ombak saat 
itu. Lima enam meter bisa jadi lebih. Dan 
untuk ombak setinggi itu, tak diragukan 
lagi akan sanggup memporak-porandakan se-
luruh keadaan di sekitar pesisir pantai.
Awan gelap sudah mengepung beberapa 
lama sebelumnya. Seperti halnya angin 
kencang yang terus mendengus-dengus. Ma-
tahari benar-benar terkunci dalam timbu-
nan awan kelam. Siang nyaris bagaikan su-
asana menjelang malam. Tak ada tanda-
tanda bahwa alam akan bersikap ramah pada 
siapa pun, pada apa pun. Tak peduli bari-
san pepohonan kelapa, atau gubuk-gubuk 
rapuh di sekitarnya, serta seluruh manu-
sia yang mendiaminya.
Terlalu sulit untuk berkelit dari 
bencana. Suara-suara riuh bergemuruh yang 
terdengar tak lebih dari berita mena-
kutkan. Keberanian manusia seperti tak 
dibutuhkan untuk menjelang kejadian ter-
sebut. Di salah satu perkampungan yang 
terletak tepat di bibir pantai Ketawang, 
berpuluh-puluh penduduk desa berhamburan 
ketakutan. Masing-masing bersicepat dalam


irama kacau balau untuk menyelamatkan ji-
wa dan harta mereka. Dalam himpitan keta-
kutan teramat sangat, mereka keluar dari 
rumah dengan membopong benda-benda yang 
perlu diselamatkan.
Hewan-hewan ternak berteriak-
teriak, menimpali teriakan-teriakan pen-
duduk desa. Kambing mengembik-embik dalam 
seretan beberapa lelaki, kerbau melenguh-
lenguh, ayam berkeok-keok. Dan sehimpun 
keributan lain berbaur membangun suasana 
hiruk-pikuk. Belum lagi para ibu yang se-
rabutan mencari anak-anaknya. Belum pula 
para lelaki muda yang kelimpungan menca-
ri-cari istri tercinta yang baru dinikahi 
kurang dari satu purnama. Ada janda ribut 
kehilangan konde, ada duda kalap terlang-
gar kerbau. Ada nenek dan kakek pikun me-
ributkan tempayan bocor yang lupa dibawa. 
Putus kata, semuanya kacau balau!
Di satu sudut desa, seorang anak 
malah asyik terpulas di atap kandang ker-
bau. Satria namanya. Seorang anak lelaki 
berusia sekitar tiga belas tahun. Berpa-
kaian kumal dengan baju hitam koyak moyak 
tanpa lengan dan celana pendek. Rambutnya 
panjang kemerahan. Berwajah lugu bagai 
tanpa dosa. Dengkur halusnya seolah me-
nyelinap-nyelinap santai di antara riuh-
rendah suara keributan.
Entah bagaimana Satria bisa terti-
dur sepulas itu dalam keadaan yang me

mungkinkan nyawanya terlempar dari raga 
setiap saat. Mungkin semalam dia begadang 
semalam suntuk menyaksikan pagelaran 
wayang kulit. Mungkin juga dia terlalu 
lelah bekerja. Tak mungkin dia sedang da-
lam keadaan mabuk. Satria tergolong bocah 
yang pantang menyentuh arak.
Yang jelas, ketika seorang perem-
puan setengah baya meneriakinya, barulah 
Satria tersentak bangun.
"Ada apa?" tanyanya polos sambil 
mengusap-usap kedua bola matanya yang bu-
lat namun bergaris kuat. Ada apa katanya? 
Padahal angin begitu ngotot berseliweran 
di sekitarnya. Sampai-sampai tubuhnya te-
roleng-oleng. Bagaimana dia masih bisa 
bertanya begitu?
"Ada apa?!" pekik si perempuan se-
tengah baya dengan mata mendelik. "Apa 
kau bocah gendeng?! Cepat kau turun dari 
atap itu. Ombak besar sedang menuju ke 
sini. Kalau mau mampus, teruskan saja ti-
durmu!" semburnya lagi dengan suara bagai 
kaleng rombeng.
"Ada badai memangnya?" tanya Satria 
terperangah kebodoh-bodohan. Matanya mem-
belalak. Sampai gumpalan tahi mata ke-
ringnya terpental.
"Iya, Bodoh! Cepat turun!"
Bukannya cepat-cepat turun, Satria 
malah melepas pandangannya ke arah laut. 
Dari atas atap kandang kerbau, dia dapat

dengan bebas memandang ke arah sana. Di-
lihatnya sebentang suasana mengerikan.
Menyaksikan gulungan ombak raksasa 
di kejauhan dan angkasa yang berwarna le-
gam, mata bocah itu jadi tak berkedip. 
Sesaat dia terpana seperti terkena tenung 
nenek sihir dari negeri Antah Berantah.
Sampai akhirnya teriakan memekakkan 
telinga perempuan setengah baya tadi me-
nyadarkannya. Satria segera turun terbi-
rit-birit dari atap kandang kerbau. Nya-
ris saja dia terpelanting jatuh.
"Cepat bantu aku ke atas bukit!" 
seru si perempuan setengah baya lagi. Sa-
tria berhenti bergerak. "Bantu mengangkat 
Si Mbok ke atas bukit? Astaga, mana aku 
kuat...," gerutunya, salah paham.
"Maksudku, bantu membawa barang-
barang, Bocah Bodoh!"
Tahu maksud perintah perempuan yang 
dipanggil Si Mbok, Satria bergegas kemba-
li. Dia berlari ke satu gubuk sekitar se-
puluh depa dari kandang kerbau. Di depan 
pintu gubuk, tergolek satu buntalan be-
sar. Benda itu segera disambarnya.
"Bocah celaka, jangan kau curi bun-
talanku!" teriak seorang lelaki berbadan 
kurus berkulit hitam.
"Astaga, salah sambar...," desis 
Satria seraya terburu-buru mengembalikan 
buntalan tadi ke tempatnya.
"Satriaaa!!!" Perempuan setengah

baya tadi berteriak dari bawah satu pohon 
kelapa. Tertatih-tatih, dia berjalan den-
gan beban dua buntalan besar di kedua be-
lah tangannya. Rupanya dia sudah siap me-
ninggalkan desa secepatnya.
Badai serupa pernah terjadi bebera-
pa puluh tahun silam. Waktu itu terjadi 
malam hari, ketika penduduk desa sama se-
kali tak siap. Mereka terlibas gulungan 
ombak setinggi atap saat terpulas di ba-
lai masing-masing. Puluhan nyawa menjadi 
korban. Seandainya mereka siap saat itu, 
tentu mereka akan segera menyingkir ke 
tempat yang lebih tinggi dari permukaan 
laut. Sementara desa mereka berada tepat 
di bibir pantai, di mana ketinggian wi-
layah itu dari permukaan laut begitu ren-
dah. Itu sebabnya terjangan ombak raksasa 
dengan begitu empuk mengunyah.
Tempat yang paling tepat untuk itu 
adalah dataran tinggi berumput yang mere-
ka sebut bukit. Tingginya sekitar dua ra-
tus meter dari permukaan laut.
Dengan ketinggian seperti itu, me-
reka berharap dapat selamat dari terja-
ngan ombak raksasa.
Kini, ke dataran itu para penduduk 
desa berlarian kalang-kabut. Jaraknya tak 
begitu jauh. Hanya memakan waktu sekitar 
setengah peminuman teh.
Satria segera menyambar satu bunta-
lan dari tangan perempuan setengah baya.

Dipanggulnya buntalan berukuran lebih be-
sar dari tubuh kurusnya itu. Satu tangan-
nya cepat menggamit pergelangan tangan 
perempuan yang dipanggil Si Mbok.
"Cepat lari, Si Mbok! Lari!" teriak 
Satria kalang-kabut.
Perempuan setengah baya yang menge-
nakan kain di bawah lutut tentu saja tak 
bisa mengimbangi langkah-langkah cepat si 
bocah. Dia berlari terhuyung-huyung, ter-
sandung kainnya sendiri. Sebelah tangan-
nya berusaha mengangkat kain setinggi-
tingginya, tak terpikir lagi kalau seba-
gian kulit pahanya berwarna keling ma-
tang!
Malang tak dapat ditolak. Meski pa-
ra penduduk desa sudah berusaha secepat-
nya tiba di dataran tinggi, gulungan om-
bak raksasa ternyata lebih cepat tiba di 
pesisir. Pantai ditanduknya dengan ga-
rang. Pepohonan kelapa tua tumbang terli-
bas, lalu dihanyutkan. Beberapa gubuk ne-
layan yang berdiri paling dekat pada bi-
bir pantai hancur saat itu juga. Puing-
puingnya dilarikan gerakan ombak yang te-
rus memburu ke pesisir.
Satria dan perempuan setengah baya 
berbalik dengan wajah mengeras ketat. Ma-
ta keduanya membelalak. Di belakang sana, 
mereka menyaksikan pemandangan mengeri-
kan. Air laut lebih tinggi dari atap gu-
buk memburu mereka. Si perempuan setengah

baya memekik tinggi. Hampir saja dia se-
maput di tempat.
Meskipun tak kalah terkesiap, Sa-
tria segera tersadar untuk segera menye-
lamatkan diri. Ditariknya lebih kuat per-
gelangan tangan perempuan setengah baya.
"Lari, Mbok! Lari!!!!" teriaknya 
terpecah seraya berlari jalang menghela 
perempuan setengah baya di belakangnya.
Serabutan keduanya menggerakkan ka-
ki. Di belakang mereka, air laut lebih 
cepat lagi memburu. Geraknya lebih garang 
dari amukan air bah.
Beberapa kejap mata kemudian, kedu-
anya terlibas. Terjangan gelombang laut 
menggulung dua orang itu bagai dua keping 
kerikil tak berarti. Mereka dipelanting-
kan, ditenggelamkan, dihanyutkan dan di-
putar-putar. Sulit untuk menahan napas 
dalam keadaan seperti itu, kendati seba-
gai seorang bocah nelayan Satria terbiasa 
menyelam di laut.
Cepat air laut menerjang ke jalan 
napas mereka. 
Paru-paru mereka diterjang. Mereka 
kehilangan kesadaran.
Hal mengagumkan terjadi. Pegangan 
Satria pada pergelangan tangan wanita se-
tengah umur ternyata tetap terpagut. Dia 
memang tak sadarkan diri. Namun, kekuatan 
hatinya untuk menyelamatkan wanita itu 
telah membuat kehendak bawah sadar Satria

memerintahnya untuk tetap memegang kuat-
kuat pergelangan tangan si wanita seten-
gah umur.
Beberapa kejapan sebelum bocah itu 
kehilangan kesadaran, satu gulungan cai-
ran berwarna kelabu berasal dari dasar 
laut amat dalam di sekitar Samudera Hin-
dia tanpa sengaja menutupinya. Tarikan 
napas tersedaknya menyebabkan cairan ke-
ruh kelabu itu terhisap langsung ke paru-
paru Satria.
Tubuh Satria mengejang saat beri-
kutnya. Menyusul sentakan-sentakan tak 
terkendali, saat tubuhnya sendiri terus 
digulung oleh gelombang.
Lalu dunia seperti menghilang dari 
dirinya. 
* * *
Sepekan berlalu.
Siang di pusat Kadipaten Ketawang. 
Saat itu matahari terhalang mendung. Si-
narnya tak terlalu menyiksa. Angin sejuk 
sepoi-sepoi berdenyut, mempermainkan de-
daunan pepohonan.
Seorang anak lelaki dekil berjalan 
gontai dijalan pusat pemerintahan Kadipa-
ten Ketawang. Wajahnya demikian lusuh. 
Penampilannya sudah mirip gembel. Wajah-
nya pucat. Anak itu adalah Satria.
Sepekan lalu, ketika dia tersadar,

disaksikannya seluruh kampung telah po-
rak-poranda. Yang terlihat di sana cuma 
tebaran kematian. Beberapa mayat berge-
limpangan. Entah itu perempuan tua, bo-
cah-bocah kecil atau para lelaki malang.
Amukan gelombang laut telah menum-
pas mereka. Seluruh penduduk desa mati. 
Tak ada yang tersisa, bahkan sekadar he-
wan ternak. Kecuali dirinya.
Di sisi tubuhnya tergeletak mayat 
seorang wanita setengah baya. Tangan Sa-
tria masih menggenggam kuat pergelangan 
tangan perempuan setengah baya itu. Per-
tanda betapa kokohnya kemauan kuat dalam 
diri si bocah yang ingin menyelamatkan 
nyawa orang lain. Sampai dia kehilangan 
kesadaran pun, tangannya tetap menggeng-
gam pergelangan tangan si perempuan se-
tengah baya.
Dengan mata mengerjap-erjap, menco-
ba menyingkirkan rasa berat serta berde-
nyut-denyut di kepalanya, si bocah kecil 
Satria mengangkat kepalanya dari posisi 
tertelungkup. Tubuhnya terasa demikian 
lemah. Serasa tulang-belulang diloroti 
dari dagingnya. Setelah cukup kuat men-
gumpulkan tenaga, dia bangkit terseok. 
Dia berdiri gontai.
Ditatapinya gelimpangan mayat di 
mana-mana. Ditatapinya kepingan-kepingan 
kayu gubuk penduduk. Juga bangkai-bangkai 
hewan. Juga benda-benda berserakan. Ha

tinya pilu. Giris menyelinap. Betapa dia 
tak mempercayai pemandangan yang tergelar 
di depan matanya.
"Apa yang telah terjadi?" bisiknya 
mendesah.
Apa yang terjadi? Satu pertanyaan 
yang terdengar ganjil. Bahkan untuk di-
pertanyakan pada dirinya sendiri. Ya, se-
mestinya Satria tahu musibah apa yang te-
lah menimpa desanya. Tapi, saat itu dia 
tak ingat apa yang telah terjadi. Lebih 
jauh dari itu, dia bahkan tak ingat siapa 
dirinya. Tak ingat asal-usulnya. Tak i-
ngat pada seorang perempuan setengah baya 
yang beberapa waktu sebelumnya berlari-
lari berjuang menyelamatkan nyawa bersa-
manya.
"Kenapa aku berada di sini?" bisik-
nya lagi.
Didekatinya mayat perempuan seten-
gah baya tadi. Ditatapinya wajah mayat 
yang telentang menyedihkan itu. Lama. Gu-
rat-gurat wajah pucat yang diisi keriput 
itu seperti pernah dikenalnya. Tapi ka-
pan? Di mana?
Semuanya tak jelas lagi di benak 
Satria. Ada bayang-bayang yang timbul-
tenggelam, lalu mengabur sama sekali da-
lam benaknya. Yang cuma dia tahu, bahwa 
namanya adalah Satria. Kemudian, ditata-
pinya lagi seluruh pemandangan menge-
naskan di depannya dengan tatapan lowong.

DUA
HARI makin siang. Matahari di atas 
pusat Kadipaten Ketawang masih juga tak 
berkutik menghadapi kepungan awan gelap. 
Beberapa orang terlihat hilir-mudik di 
jalan utama berbatu koral. Satu dua peda-
ti sesekali melintas dalam kecepatan se-
dang.
Satria sampai di kedai di pinggir 
jalan. Sebenarnya, tempat itu lebih tepat 
disebut warung makan kecil, menilik ben-
tuknya yang terlalu sederhana dibanding 
kedai biasa. Tempat yang hanya berupa sa-
wungan kecil dengan satu meja besar. Di 
atas meja terdapat piring-piring tanah 
liat berisi makanan. Ada lauk-pauk, buah-
buahan dan makanan kecil goreng. Di kedua 
belah tiang di sisi sawungan, tergantung 
beberapa sisir pisang ambon. Warnanya 
mengundang selera.
Di tiga sisi meja besar dari bela-
han kayu asam, terdapat tiga bangku pan-
jang. Salah satu bangku panjang diduduki 
oleh dua lelaki berpakaian hitam-hitam 
berikat kepala kain hitam pula. Keduanya 
duduk mengangkat sebelah kaki ke atas 
bangku. Salah seorang lelaki bertubuh 
tinggi besar. Dadanya bidang berbulu le-
bat. Selebat kumis baplangnya. Di kain 
pengikat pinggangnya terselip sebilah go-
lok besar. Lelaki yang lain berbadan pen

dek gemuk. Mulutnya tak berhenti memamah 
makanan. Baru saja tenggorokannya menelan 
yang dikunyah, sudah dimasukkan lagi ma-
kanan ke dalam mulut. Pipinya tebal se-
perti pipi seekor kelinci. Di pinggang 
lelaki gemuk itu pun terselip sebilah 
senjata. Badik panjang tepatnya.
Sesekali terdengar pembicaraan se-
rius mereka, diselingi tawa lepas. Salah 
seorang terbatuk-batuk ketika tersedak 
kopi.
Pemilik warung makan adalah seorang 
lelaki tua berperawakan kekar. Masih tam-
pak otot-otot kekarnya. Meski berkerut, 
wajahnya masih menampakkan kegarangan. 
Selagi mudanya kemungkinan besar dia seo-
rang jawara.
"Mau apa kau, Bocah?" tegur pemilik 
kedai, mendapati kedatangan Satria. Cukup 
lama bocah itu hanya berdiri memandangi 
makanan di atas meja. Jakunnya berkali-
kali turun naik. Perutnya memang sudah 
terasa sangat lapar. Sejak malam tadi dia 
belum makan nasi. Hanya sepotong singkong 
bakar pemberian seorang lelaki gembel 
yang sempat mengisi perutnya.
"Saya ingin makan, tapi tak punya 
kepeng (Mata uang cina yang berlaku pada masa 
itu.), Pak Tua," kata Satria. Tak ada ke-
san memelas dalam kata-katanya. Dalam ha-
ti kecil anak itu, memang tak terbersit 
keinginan untuk meminta belas kasihan

orang lain.
Pemilik warung makan tertawa kecil.
"Bagaimana kau ini? Kau ingin makan 
di warungku, tapi kau tak punya uang...," 
katanya ringan seraya menggeleng-
gelengkan kepala. Dua lelaki pengunjung 
warung tertawa tergelak-gelak mendengar 
jawaban polos Satria.
"Kalau begitu, boleh aku membantumu 
agar aku bisa sedikit mengisi perut?" 
usul Satria. Tetap tak terlihat kesan me-
melas di wajah bocah tiga belas tahun 
itu. Garis-garis parasnya tetap memperli-
hatkan ketegaran, meski demikian pucat.
"Bagaimana kalau aku tidak mengi-
zinkan?" tanya lelaki tua pemilik warung.
Satria agak kecewa. Terlihat sekali 
dari perubahan wajahnya. Namun, kekuatan 
hatinya tidak menyebabkan dia lantas men-
geluh.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang be-
lum ada rezeki yang bisa kumakan," sahut 
Satria perlahan. Dia hendak beranjak me-
ninggalkan warung.
"Tunggu, Bocah!" tahan pemilik wa-
rung. "Aku bukan orang yang tak punya pe-
rasaan. Aku menerima kau!" sambungnya 
dengan wajah menampakkan kekaguman terha-
dap sikap tegar yang jarang dimiliki oleh 
seorang bocah seusia Satria.
Satria berbalik. Sepasang mata ber-
garis kuatnya berbinar.

"Kalau begitu, apa yang bisa kuker-
jakan sekarang, Pak Tua?!" burunya, ber-
semangat. Padahal tubuhnya sendiri masih 
terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan.
"Ha-ha-ha, aku suka sekali padamu, 
Bocah!" puji lelaki berkumis baplang pen-
gunjung warung. Sama seperti pemilik wa-
rung, diam-diam kedua pengunjungnya pun 
merasa kagum pada sifat Satria. Biasanya, 
anak gelandangan yang mereka temukan cuma 
bisa merengek-rengek memancing rasa iba 
untuk meminta sedekah. Kebanyakan dari 
mereka menjengkelkan. Kalau tidak diberi-
kan, mereka akan menguntit terus di bela-
kang. Tak jarang di antara mereka mena-
rik-narik lengan baju. Sementara bocah 
satu ini berbeda sama sekali. Dia bahkan 
lebih suka bersusah-payah terlebih dahulu 
meski tubuhnya sudah lemah.
"Siapa namamu, Cah Bagus?" tanya 
pengunjung bertubuh gemuk. Ditepuknya ba-
hu kurus, namun bertulang bagus Satria.
"Satria, Kang."
"Hari ini, aku merasa harus berbuat 
baik pada Bocah sepertimu. Makanlah seke-
nyangnya, biar aku yang bayar. Kau tak 
usah mengeluarkan tenagamu untuk itu..." 
sambung si pengunjung tambun. Dengan tan-
gan yang lain, disodorkannya piring beri-
si tumpukan ketan kelapa pada Satria.
"Ayo, ambil! Jangan ragu!" tukas-
nya.

Satria menatap ketan itu sambil me-
nelan air liur. Betapa menggoda makanan 
bertabur kelapa parut itu. Tentu rasanya 
nikmat bukan main. Apalagi saat perutnya 
demikian lapar.
Tapi Satria malah menggelengkan ke-
pala.
"Maaf, Kang. Bukannya aku tak ingin 
menerima kebaikan Kakang. Aku tahu, tak 
ada rezeki yang boleh ditolak. Tapi, aku 
sudah berjanji pada Pak Tua pemilik wa-
rung untuk membantunya," tolak Satria so-
pan.
Mendengar jawaban Satria, kedua 
pengunjung warung dan pemiliknya tertawa 
kembali. Satu cara mereka mengagumi jiwa 
besar si bocah.
"Kau akan jadi orang besar, Bocah! 
Orang besar, aku yakin itu!" ujar Pak Tua 
pemilik warung.
Satria hanya mengernyitkan kening 
tak mengerti.
"Kalau begitu, cepatlah kau makan 
terlebih dahulu. Aku tak bisa mempekerja-
kan seseorang jika dia loyo macam kau!" 
kelakarnya lagi seraya menarik pangkal 
lengan Satria.
Menjelang sore, dua orang mendatan-
gi kedai. Satu orang perempuan berusia 
empat puluhan. Sedang seorang lagi bocah 
perempuan sebaya Satria. Dari wajahnya, 
tampak kalau mereka adalah Ibu dan anak.

Sang ibu, meski berusia terbilang 
cukup tua namun masih memperlihatkan sisa 
pesona kecantikannya. Wajahnya anggun. 
Sinar mata berbulu lentiknya memancarkan 
perbawa yang jarang dimiliki kebanyakan 
wanita. Dia mengenakan pakaian silat ber-
warna ungu. Kepalanya ditutup caping.
Anaknya adalah seorang bocah perem-
puan bermata bulat berbinar-binar. Wajah-
nya mungil. Dari pancar matanya, terpan-
car keriangan dan kepercayaan diri yang 
kuat. Rambutnya panjang diikat ekor kuda. 
Anak perempuan itu mengenakan pakaian si-
lat berwarna merah hati. Di pinggangnya, 
terselip sepasang belati besar.
"Selamat sore, Pak Tua...," tabik 
si perempuan berpakaian ungu seraya mele-
pas capingnya. Ketika itulah terlihat le-
bih jelas raut wajahnya. Pucat dan ber-
simbah keringat. Bersit matanya memendam 
penderitaan. Ada penyakit yang mendekam 
dalam tubuhnya dan menyiksanya selama 
ini.
"Selamat sore...," balas Pak Tua 
pemilik warung ramah. "Ada yang bisa saya 
bantu, Tuan-tuan Putri?"
"Aku perlu arak. Apakah kau masih 
punya persediaan?" tanya perempuan berpa-
kaian ungu. 
"O, tentu!"
Satria tanpa diperintah segera men-
gambilkan dua kendi arak dari bawah meja

besar. Sambil merunduk, matanya mencuri-
curi pandang ke arah bocah perempuan. 
Cantik, nilainya terkagum-kagum.
Si bocah perempuan kebetulan sedang 
memperhatikannya.
"Huh!" dengus bocah perempuan. Di-
anggapnya mata Satria telah berbuat lan-
cang.
Satria malu hati. Wajahnya memerah. 
Cepat-cepat dia meletakkan kendi arak ke 
atas meja sambil berpura-pura tak melihat 
perubahan wajah si bocah perempuan.
"Berapa?" tanya perempuan berpa-
kaian ungu.
"Tiga keping kepeng, Tuan Putri," 
jawab Pak Tua pemilik warung.
Perempuan berwajah pucat itu cepat 
mengeluarkan tiga keping uang dari kan-
tong kulit kecil di pinggangnya. Diberi-
kan uang itu pada pemilik warung.
"Terima kasih, Pak Tua," haturnya 
seraya melangkah.
Sementara itu, anaknya masih terus 
memelototi Satria dengan wajah judes. Sa-
tria sendiri jadi salah tingkah. Begini 
salah, begitupun salah. Dadanya jadi dag-
dig-dug tak karuan. Dia sebenarnya tidak 
ngeri pada pelototan mata bocah ayu itu. 
Sebaliknya, Satria malah jadi senang bu-
kan alang kepalang. Hanya saja dia tak 
tahu, kenapa merasa berdebar-debar. Bi-
asalah, cinta monyet! Saking gugupnya,

tak sengaja dia menginjak jempol kaki 
Pale Tua pemilik warung. Untung lelaki 
tua itu bisa mengerti polah anak sebaya 
Satria. Dia cuma tersenyum dengan kepala 
menggeleng-geleng. 
Baru sepuluh langkah kedua ibu-anak 
itu melangkah, dari jalan sebelah selatan 
terdengar hiruk-pikuk hentakan kaki kuda 
dan teriakan-teriakan berangasan.
Ada sekitar lima orang lelaki men-
gendarai kuda dalam kecepatan tinggi. 
Arahnya menuju kedua perempuan tadi. Be-
berapa orang yang kebetulan berjalan ce-
pat-cepat menepi, takut diterjang kuda. 
Debu mengepul di belakang lari kuda-kuda 
mereka.
"Hiaaa! Hiaaa-haaaa!"
Sampai di depan kedua ibu-anak ta-
di, kawanan lelaki berkuda menghentikan 
lari tunggangan masing-masing. Sentakan 
mendadak pada tali kekang membuat kuda-
kuda mereka meringkik nyaring seraya me-
naikkan kaki depan mereka.
"Hiiiii!"
Begitu kelima kuda tunggangan ber-
henti, kawanan lelaki itu melompat turun.
Kini wajah mereka terlihat lebih 
jelas. Rata-rata berwajah bengis. Perawa-
kannya besar-besar dan berotot. Pakaian 
yang dikenakan berbeda satu sama lain. 
Rata-rata berwarna gelap. Di dagu mereka 
tumbuh bulu kasar kehijauan. Dua lelaki

menyandang sepasang pedang pendek di 
punggung. Satu orang memegang tombak ber-
mata tiga. Dua lelaki sisanya memegangi 
gada berbandul baja berduri.
"Oho! ada dua perempuan cantik ru-
panya. Satu sudah matang, sedang satunya 
lagi baru mulai ranum!" koar seorang le-
laki mengenakan rompi terbuka, memperli-
hatkan dada berbulu kasar.
"Hei, mereka bawa arak pula! Apakah 
mereka sengaja hendak menyambut kedatan-
gan kita?!" timpal lelaki yang memegang 
tombak bermata tiga.
Dua lelaki yang turun dari kuda 
paling belakang tergelak-gelak mendengar 
perkataan kedua temannya barusan.
Perempuan bercaping tak ingin me-
nanggapi ocehan tadi. Dia beranjak lagi. 
Diajaknya anaknya mengambil jalan menepi.
"Eit, kenapa terburu-buru?!"
Salah seorang kawanan berkuda meng-
hadang. Kedua tangannya membentang, meng-
halangi jalan dua perempuan berbeda usia 
tadi.
Satria yang menyaksikan peristiwa 
itu mendengus. Dia tak suka menyaksikan 
kekurangajaran terjadi di depan matanya. 
Terutama karena bocah perempuan ayu itu.
"Biarkan kami lewat, Kisanak," pin-
ta perempuan bercaping. Suaranya datar. 
Tak ada kesan ketakutan. Bahkan tak ter-
dengar getar gusar di dalamnya. Dia begi

tu tenang menghadapi lelaki penghadang-
nya.
Lain lagi sikap anak perempuannya. 
Wajah bocah ayu itu memerah matang. Ma-
tanya menyipit geram. Tangannya mengepal 
kuat-kuat.
"Kenapa aku mesti membiarkan kalian 
lewat? Terus terang, kami sangat haus. 
Pertama kami butuh arak yang kau bawa un-
tuk mengenyahkan haus kerongkongan kami. 
Kedua, kami pun rasanya butuh tubuh ka-
lian untuk memuaskan haus yang lain. Ha-
ha-ha!" 
"Cuih, mesum!" maki bocah perem-
puan, gusar.
"Sopanlah berbicara pada orang yang 
lebih tua, Tresna..." tegur sang ibu.
"Bagaimana aku bisa sopan, sementa-
ra dia sendiri berkata tak sopan pada ki-
ta, Nyai?" protes si bocah perempuan ber-
sungut-sungut.
Kembali kawanan lelaki tadi terta-
wa-tawa seenaknya, seolah dunia cuma mi-
lik mereka.
"Siapa namamu tadi Cah Ayu? Tresna? 
Hm, kalau tak salah, bukankah itu artinya 
'cinta'. Apa dengan begitu, kau sudah bi-
sa 'bercinta'?!" goda lelaki penghadang 
kembali, tetap mesum.
Gadis ayu bernama lengkap Tresnasa-
ri makin kalap. Hidungnya mendengus-
dengus. Kekalapannya makin terdongkel

naik ketika dengan kurang ajar, lelaki 
penghadang merunduk ke arahnya sedang 
tangannya hendak menjamah pipi gadis itu. 
Dengan tiba-tiba....
Bletak!
"Iya!"
Lelaki tadi menjerit kuat-kuat. Ji-
datnya berdenyut-denyut luar biasa. Sa-
kitnya seperti langsung turun ke jempol 
kakinya.
"Bocah kecil keparat!" makinya ka-
lap. Tangannya mendekap kening.
Tresnasari sendiri sudah menggeng-
gam satu belatinya di tangan kanan. Den-
gan ujung gagang belati itu, dihantamnya 
kening si lelaki kurang ajar.
TIGA
BUKAN main murkanya lelaki pengha-
dang. Kepalanya benar-benar dibuat benjut 
sebesar uang logam oleh seorang bocah pe-
rempuan kecil. Oleh bocah perempuan ke-
cil? Bayangkan! Bukan cuma kepalanya saja 
berdenyut-denyut, cuping hidungnya pun 
ikut berdenyut-denyut saking gusarnya. 
Terutama karena Satria menertawai keja

dian itu dari tempatnya.
"Rupanya kau ingin cepat-cepat mam-
pus, heh?!" Meluncur serapah susulan si 
lelaki penghadang. Dilanjutkan dengan 
tamparan keras sekaligus deras ke pipi 
Tresnasari. 
Wukh!
Telapak tangan besar itu tinggal 
berjarak satu jari lagi dari pipi si ga-
dis kecil. Sebelum benar-benar sampai, 
dengan gesit, Tresnasari merundukkan ba-
dan. Dilemparnya tubuh ke depan. Di tanah 
dia berguling sekali. Kakinya terjulur 
lurus, seperti patukan cepat seekor ular.
Begh!
"Ngekh!"
Mata penyerangnya mendelik. Masih 
di tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam 
dengan badan setengah membungkuk. Tangan-
nya mendekap benda kesayangannya kuat-
kuat. Wajahnya menyeramkan sekali untuk 
dikatakan sebagai manusia. Sebentar ber-
warna merah, sebentar kemudian berwarna 
biru, selanjutnya memucat. Pasti dia me-
rasakan penderitaan lahir batin yang luar 
biasa....
Tresnasari sendiri sudah berdiri 
kembali. Terlihat senyum nakalnya tersem-
bul samar. Santai didekatinya lelaki ke-
jang tadi. Tak peduli dianggap kurang 
ajar atau tidak, dijulurkannya tangan ke 
kening lelaki tadi.

"Kalau sudah waktunya jatuh, kenapa 
tidak juga mau jatuh?" ucapnya enteng 
sambil mendorong kepala lelaki tadi ke 
belakang.
Setelah itu, lelaki korban 
'kenakalan'nya tumbang ke belakang.
Mata keempat kawannya tak berkedip 
menyaksikan kejadian tersebut. Mereka sa-
ma sekali tak habis pikir bagaimana bocah 
perempuan kecil dapat demikian mudah mem-
pecundangi kawan mereka? Tak habis pikir 
pula, bagaimana bocah yang dianggap men-
tah seperti Tresnasari sanggup melancar-
kan serangan secepat ular sendok?
Setelah itu, cuma kemarahan besar 
yang mengisi benak masing-masing. Dua le-
laki bersenjatakan gada berbandul baja 
berduri melangkah gusar ke dekat Tresna-
sari dan ibunya.
"Kau akan merasakan akibat dari ke-
lancanganmu, Bocah!" ancam salah seorang 
dari mereka dengan wajah amat ketat, me-
nyeramkan. Satu sudut bibirnya tertarik 
ke atas, memperlihatkan sebagian barisan 
gigi yang tak cuma berwarna kuning lang-
sat, tapi juga diselipi sisa cabe merah!
Wajah Satria di kejauhan berubah. 
Dia melihat gelagat yang tak baik. Menye-
ruak dorongan dalam dirinya untuk memban-
tu dua perempuan ibu-anak itu. Satu sifat 
yang sesungguhnya menjadi bagian kuat da-
lam diri si bocah. Satria hendak beran


jak, tapi ditahan pemilik warung.
"Kenapa Pak Tua?" tanya Satria, tak 
setuju dengan tindakan lelaki tua itu 
mencegahnya.
"Mereka itu adalah kawanan orang-
orang telengas," susul pemilik kedai.
"Tak peduli mereka orang-orang te-
lengas sekali pun," gerutu Satria.
Pak tua pemilik warung melirik Sa-
tria sejenak. Punya nyali juga anak ini, 
pikirnya. Sampai saat itu, nama si bocah 
saja belum sempat diketahuinya. Tapi, su-
dah banyak hal yang pantas dikagumi dalam 
diri anak itu.
Masalahnya sekarang, nyali besar si 
bocah saja tak cukup untuk menghadapi pa-
ra lelaki pengacau itu. Dibanding mereka, 
Satria bukanlah apa-apa. Bagaimana pula 
dia bisa membantu perempuan dan anaknya 
tadi?
"Aku bukan ingin meremehkan kau, 
Bocah. Aku cuma tak ingin terjadi apa-apa 
padamu, mengingat siapa mereka. Mereka 
terbiasa bertarung dan bertempur. Biasa 
membunuh. Lagi pula, tampaknya dua perem-
puan itu dapat mengatasi mereka," tambah 
pemilik kedai.
Satria seperti tidak menanggapi se-
luruh perkataan pemilik kedai. Dengan ne-
kat, dia menerjang tangan si pemilik ke-
dai begitu saja.
"Bocah, tunggu!" tahan pemilik ke

dai. Sayang, usahanya sia-sia. Satria te-
rus berjalan cepat dengan langkah-langkah
lebar terbanting. Lagaknya sudah seperti 
seorang jawara yang siap membuat babak-
belur cecunguk-cecunguk.
Kalau sudah begitu, pemilik kedai 
cuma bisa geleng-geleng kepala. Dahinya 
agak berkerut memperlihatkan kekhawati-
ran. Sebaliknya, sinar matanya memperli-
hatkan tekad untuk turun tangan bila bo-
cah nekat itu dalam bahaya.
Sementara itu, salah seorang dari 
dua lelaki bersenjatakan gada berbandul 
baja berduri sudah merangsak Tresnasari. 
Gadis itu sendiri sudah beranjak maju 
dua-tiga langkah, seakan sengaja menyong-
song serangan lawan.
"Tahu rasa kau, Anak Sundal!" ma-
kinya seraya melayangkan satu tamparan 
keras dengan punggung tangan. Seperti le-
laki yang telah menjadi korban tendangan 
Tresnasari, tampaknya lelaki ini pun me-
rasa jatuh gengsi jika menyerang secara 
membabi-buta seorang bocah kecil. Perem-
puan pula. Dia berniat hanya memberi pe-
lajaran keras pada Tresnasari. Pelajaran 
keras itu benar-benar dimaksudkan 
'keras', karena tamparannya dilakukan 
dengan tenaga penuh. Andai gadis sebaya 
Tresnasari terkena, tentu tubuhnya akan 
terlempar.
Tapi yang terjadi?

Tanpa banyak kesulitan, Tresnasari 
menangkis tamparan keji tadi dengan per-
gelangan tangan mungilnya.
"Hait!" 
Deg!
Ketika itulah mata penyerangnya 
terbuka lebar. Semestinya, tubuh Tresna-
sari terjajar saat memapaki tamparan kuat 
lawan. Ukuran tubuh gadis belasan itu sa-
ja tak lebih dari setengah tubuh penye-
rangnya. Tapi, nyatanya dia masih tegak 
di atas kuda-kudanya. Tangan mungilnya 
bahkan tak terlihat tergetar menyambut 
tamparan lawan.
Sebaliknya, si lelaki penyerang ma-
lah tersurut mundur satu tindak. Di samp-
ing karena terkejut mendapati kenyataan 
di luar perkiraan, dia juga merasakan 
nyeri di sekujur tangannya.
"Sialan, anak ini tak bisa dibuat 
main-main!" desisnya nyaris tak terden-
gar. Meski merasa begitu nyeri di bagian 
tangan, sengaja dia tak mendekapnya. Juga 
diusahakannya agar mimik wajahnya tak 
memperlihatkan hal itu. Lagi-lagi itu 
persoalan agar tak jatuh gengsi.
Sewaktu kegeramannya menanjak dan 
perhatiannya tertuju lekat-lekat pada 
Tresnasari, tahu-tahu saja 'nyelonong' 
sebuah kepala ke perutnya tanpa permisi 
lagi. Kebetulan pula arahnya dari samp-
ing, menyebabkan dia luput menyadari se

rangan gelap barusan.
Begh!
"Ngek!"
Lelaki tadi terjajar mundur, lebih 
jauh dari sebelumnya. Tangannya mendekap 
perut. Matanya melotot seperti hendak 
mencelat keluar. Bukan itu saja, lidahnya 
pun terjulur. Kalau saja rahangnya menge-
ras, tentu lidahnya akan tergigit putus 
saat itu juga. Sekarang, dia tak bisa la-
gi merisaukan soal jatuh gengsi. Bagaima-
na bisa kalau wajahnya saat itu saja su-
dah tak meyakinkan lagi?
"Biar tahu rasa kau!" Terdengar 
bentakan dari si penyerang gelap. Siapa 
lagi kalau bukan Satria?
Menyaksikan cara menyerang si bocah 
yang begitu konyol, mendadak saja teru-
railah tawa kecil Tresnasari,
"Hi-hi-hi!"
Ditertawakan begitu, Satria jadi 
tersinggung. Sudah ditolong kok malah me-
nertawakan, protesnya dalam hati. Jelas-
jelas itu tidak adil. Dia berbalik. Dipe-
lototinya bocah perempuan itu.
"Kenapa tertawa?!" hardiknya sok 
galak.
Tanpa mempedulikan kedongkolan Sa-
tria, Tresnasari mencemooh.
"Jurus apa yang kau pakai itu? Seu-
mur hidup, aku baru kali ini menyaksikan 
jurus 'sehebat' itu. Hi-hi-hi...."

"Ah, peduli setan dengan segala ma-
cam jurus! Terserah kau mau sebut apa. 
Mau kau sebut jurus, 'kepala rasa nanas', 
kek, mau apa kek...," sergah Satria pa-
nas.
Jawaban seenak dengkul Satria makin 
membuat tawa gadis tanggung itu terjang-
kit. Dia terpingkal-pingkal dengan mende-
kap perutnya. Sampai....
"Hei, Bocah Kunyuk!"
Satu bentakan terdengar persis di 
belakang Satria. Bocah itu terperanjat. 
Cepat dibalikkannya tubuh.
Bugh!
Satu hantaman keras melanda ulu ha-
tinya. Lelaki yang sebelumnya menerima 
serangan asal jadi Satria berusaha memba-
las perbuatan si bocah berambut kemerahan 
dengan tendangan lurus tak tanggung-
tanggung. Kontan saja tubuh kurus Satria 
terpental dua-tiga tombak. Layaknya ka-
rung pasir, tubuh anak itu jatuh berdebam 
di permukaan jalan. Dia menggeliat-geliat 
menahan rasa sesak hebat di atas tanah. 
Akibat rasa sesak tersebut, menarik napas 
saja sudah teramat sulit baginya. Otot-
otot dadanya seperti mengejang seketika 
dan tak dapat dikendalikan lagi. Padahal 
tendangan yang menimpanya tadi hanya ten-
dangan biasa. Tenaga yang dipakai pun ma-
sih tenaga luar. Lalu apa jadinya kalau 
tendangan tadi disalurkan tenaga dalam?

Benar perkataan lelaki tua pemilik 
kedai, Satria jelas tidak berarti apa-apa 
bagi kawanan pengacau tadi. Untuk mengha-
dapi satu tendangan salah seorang dari 
mereka saja, si bocah berhati baja sudah 
tak berkutik,
Dasarnya Satria memiliki sifat pan-
tang menyerah, dengan terseok-seok meme-
gangi dada, dia berusaha bangkit. Meski-
pun saat itu boleh dibilang dadanya belum
seluruhnya dapat menarik udara secara wa-
jar.
Belum sempat anak itu berdiri te-
gak, penyerangnya sudah berjalan ke arah-
nya, siap menghadiahinya satu hajaran la-
gi.
"Matamu benar-benar buta, Bocah Ku-
nyuk. Kau tidak tahu dengan siapa kini 
kau berhadapan, heh?" rutuknya. Paras le-
laki itu sarat ancaman, berbaur kegera-
man.
Tiba di dekat Satria, lelaki tadi 
menggerakkan kakinya kembali. Hendak di-
jejakannya tumit kaki ke punggung si pe-
muda tanggung.
"Biar mampus sekalian kau!"
Sebelum Satria didarati hantaman 
yang lebih parah tersebut....
Wesss.... 
Clep!
"Aaah!"
Mulut si penyerang melontarkan


lengkingan. Kaki kanannya yang telah te-
rangkat tinggi, urung mendarati punggung 
Satria. Satu belati telah menancap tepat 
di pinggir luar kakinya dan menembus 
hingga ke luar. Kaki itu seperti sedang 
disate melebar! Dapat dibayangkan bagai-
mana rasanya. Lelaki tadi pun berjingkat-
jingkat liar di tempat dengan sebelah ka-
ki. Kaki yang lain dipeganginya sambil 
terus berteriak-teriak.
Pada saat berikutnya, satu sosok-
tubuh mungil melayang gesit membentuk 
salto sekali di udara. Dengan amat cepat, 
disambarnya belati yang menancap di kaki 
sang korban tanpa sedikit pun menyentuh 
satu bagian tubuhnya. 
Slap!
"Masih bagus aku hanya mengarahkan 
belati ini ke kakimu. Bagaimana kalau ku-
arahkan ke lehermu?" tukas Tresnasari 
dengan gaya seorang ksatria wanita, sete-
lah menyambar kembali belatinya. Dia ber-
diri empat langkah dari lelaki korban be-
latinya. Tangannya menggenggam belati 
berlumur darah.
"Aku lebih suka kalau belati itu 
menancap di lehernya! Kalau aku jadi kau, 
itu yang akan kulakukan. Tapi, kau sendi-
ri tampaknya memang bodoh!" sela Satria, 
terengah.
Sekali ini, mata Tresnasari-lah 
yang ganti mendeliki bocah dekil berambut

kemerahan itu.
Menyaksikan dua rekan mereka dipe-
cundangi oleh gadis tanggung berpakaian 
merah hati, tiga lelaki lain menjadi ka-
lap. Dalam hati, mereka juga merasa ter-
hina dengan semua itu. Wajah mereka se-
perti dilempari kotoran kerbau! Hanya 
oleh seorang gadis baru besar saja dua 
orang di antara mereka dibuat keok. Satu 
roboh karena kantong ajimatnya dibuat 
nyaris pecah. Seorang lagi jadi lumpuh 
karena satu kakinya tertembus belati. Ke-
terlaluan sekali, pikir mereka.
Dalam benak ketiganya, sudah tak 
terbetik lagi untuk tanggung-tanggung 
menghajar si bocah perempuan tanggung. 
Kalau sudah tahu akibat yang terjadi pada 
dua kawannya, tentunya mereka akan men-
ganggap Tresnasari sebagai lawan tangguh 
yang patut diperhitungkan. Ditambah lagi 
oleh kekalapan mereka yang sudah mendaki 
naik sampai ke ubun-ubun.
Karena itu, serempak mereka menge-
luarkan senjata masing-masing. Seorang 
mengeluarkan gada berbandul baja berdu-
rinya. Yang lain meloloskan sepasang pe-
dang pendek dari punggungnya. Sisanya 
langsung memutar-mutar tombak bermata ti-
ga.
Tresnasari pun lantas dikepung me-
reka. Melihat gelagat yang makin memanas, 
Tresnasari tak ingin bertindak ceroboh.

Tentu saja dia tak bisa menganggap remeh 
serangan dari tiga lelaki kasar sekali-
gus. Nyawanya menjadi taruhan.
Sang ibu, masih tenang-tenang saja 
di tempatnya. Jaraknya dengan Tresnasari 
kini sekitar sepuluh tombak. Kalau ber-
niat membantu, tentunya dia akan cepat 
bergerak mendekati anaknya. Itu tidak di-
lakukan. Pertanda dia yakin putri tung-
galnya mampu mengatasi kesulitan terse-
but.
"Kau akan menyesal, Anak Perempuan 
Sial! Karena setelah hari ini, umurmu tak 
akan bertambah barang sehari pun!" ancam 
lelaki bersenjata tombak bermata tiga 
sambil memutar ujung tombaknya seperti 
sebuah baling-baling tajam.
"Jangan terlalu yakin!" dengus 
Tresnasari. Tak tampak kepanikan pada wa-
jah bocah perempuan muda itu. Yang kenta-
ra jelas justru garis-garis kesiapan ber-
tarung. Di masing-masing tangannya sudah 
siap belati. Sesekali belati itu berputar 
cepat di antara jari-jemari mungil halus-
nya.
Ketiga calon lawan bergerak membuat 
putaran di sekeliling Tresnasari, seakan 
sengaja berniat mengacaukan konsentra-
sinya. Lelaki bersenjata sepasang pedang 
pendek membuat gerakan membacok ke selu-
ruh penjuru, seperti gerakan seorang yang 
sedang membentengi diri dari serangan.

Sedangkan lelaki bersenjata gada berban-
dul besi berduri memutar-mutar senjatanya 
di atas kepala
Gerak berkekuatan serta terarah 
senjata mereka membentuk dengung kencang 
menggetarkan nyali. Tapi, tidak untuk si 
bocah perempuan. Secuil pun tak ada ken-
gerian terbetik di benaknya. Tampaknya, 
dia telah tergojlok untuk menghadapi se-
rangan-serangan semacam itu.
"Hei! Kalian mau bertarung atau 
hendak adu keras suara senjata! Kalau cu-
ma itu, kenapa kalian tak mengganti saja 
senjata kalian dengan gasing bambu yang 
bisa memperdengarkan dengung tanpa harus 
mengeluarkan tenaga terlalu banyak," oceh 
Satria.
Gayanya seolah dia menguasai jurus-
jurus silat. Dasar tong kosong berbunyi 
nyaring! Apa dikiranya perkelahian orang-
orang persilatan itu cuma main terjang 
kalang-kabut seperti kakek kebakaran 
jenggot?
"Diam kau!" hardik Tresnasari. 
"Kau juga! Kenapa tak kau tusuk sa-
ja mereka, suk... suk... suk! Kan, 
beres?!" sengit Satria.
Wajah Tresnasari merah bukan main 
mendengar perkataan si bocah bermulut 
lancang. Selama ini, dia meyakini kalau 
ilmu silatnya sudah cukup mahir. Perlu 
waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan

setiap jurus yang dikuasainya, Tapi, ku-
nyuk dekil satu ini malah mengajarkan 
seenaknya saja. Seolah bocah berambut ke-
merahan itu menganggap bertarung dengan 
mengandalkan jurus itu tak beda dengan 
buang hajat, tinggal jongkok beberapa 
saat lalu beres!
Sedang ngotot-ngototnya si gadis 
muda tanggung mencemberuti Satria, seran-
gan lawan datang. 
"Putus lehermu, Setan Alas Kecil!"
Wukh!
Satria terkesiap. "Hei awas!!" te-
riaknya memperingati. Lalu si lancang mu-
lut itu cepat-cepat mendekap wajah. Ngeri 
sekali dia membayangkan sepasang pedang 
pendek akan membabat leher perempuan yang 
sebenarnya ditaksirnya itu. Saat itu, hi-
lang entah ke mana sikap sok jagonya.
Dengan kesigapan mengagumkan, Tres-
nasari menjemput serangan pembuka lawan. 
Diayunkannya sepasang belati ke arah da-
tangnya suara pedang berkelebat. Hanya 
dengan mengandalkan kepekaan nalurinya, 
gadis tanggung itu sanggup mementahkan 
serangan lawan tanpa melihat terlebih da-
hulu. 
Trang!
Dan terperciklah lidah api dari 
benturan dua pasang senjata mereka.
Setelah mendengar suara benturan 
senjata, Satria baru berani mengintip da


ri sela-sela jarinya, Wuh, syukurlah pe-
rempuan cantik judes itu tak apa-apa, bi-
siknya membatin.
Serangan selanjutnya melanda Tres-
nasari seperti serbuan air bah. Tiga la-
wannya menyerang sekaligus. Itu sebenar-
nya perbuatan pengecut. Dalam aturan para 
ksatria dunia persilatan, tak terhormat 
jika menyerang dari belakang. Apalagi 
main keroyokan terhadap seorang yang di-
anggap jauh lebih mentah pengalaman. 
Sayang, mereka memang bukan para ksatria.
Ketika sehimpun senjata meluruk 
berbarengan ke arah Tresnasari dari arah 
berbeda....
Trang-trang!
Seketika senjata-senjata tadi ber-
mentalan ke segenap penjuru. Dalam kece-
patan yang deras pula. Tombak bermata ti-
ga dan satu pedang pendek menancap dalam 
di dua tiang kedai yang jaraknya cukup 
jauh dari kancah pertarungan.
Tresnasari sendiri tak memperli-
hatkan gerak sama sekali ketika semua itu 
terjadi. Dia masih siap dalam kuda-kuda 
kokohnya. Wajahnya memperlihatkan keter-
kejutan. Sebaliknya, pikirannya sendiri 
cepat mengambil kesimpulan. Tentu, itu 
tadi perbuatan Nyai, simpulnya.
Berbeda dengan dugaan ketiga penye-
rangnya. Mereka justru menyangka bahwa 
kejadian barusan adalah tindakan Tresna

sari. Mereka terperangah. Ketiganya mun-
dur teratur. Tak bisa dipercaya mereka 
kalau seorang anak bisa bergerak tanpa 
terlihat dan sanggup membuat senjata me-
reka terpental berbarengan. Apa itu tidak 
menakjubkan mereka? Padahal, mereka saja 
yang bodoh.
Maka, tanpa perlu digebah ketiganya 
segera ngacir dengan kuda masing-masing.
Sepeninggalan mereka, Satria men-
cak-mencak tak karuan. Entah jurus apa 
yang dikeluarkan. Semuanya serba ngawur. 
Mulutnya bersat-sut-sat-sut, mengikuti 
gerakan silat dari negeri Antah Berantah! 
Sambil menatap para pecundang yang berku-
da di kejauhan, bibirnya mencibir. "Cuma 
sebegitu saja? Heh, tak ada apa-
apanya...," ocehnya.

EMPAT
TEMPAT keributan kembali tenang. 
Beberapa orang yang menjadi penonton ke-
jadian memulai kembali kegiatan masing-
masing. Sementara si perempuan berpakaian 
silat warna ungu mendekati anak gadisnya.
"Kapan kau mempelajari gerakan se-
cepat itu, Anakku?" tanyanya, ingin tahu 
bagaimana anaknya bisa bergerak tanpa 
terlihat hingga seluruh senjata penye-
rangnya berpentalan laksana disapu topan.
Tresnasari melengak. Sungguh perta-
nyaan sang ibu agak mengejutkannya. "Aku 
justru mengira itu perbuatan Nyai!" tu-
kasnya agak meninggi.
Wajah pucat wanita berpakaian ungu 
agak terlipat. Dia berpikir sejenak. "Ka-
lau bukan perbuatanmu dan perbuatanku, 
lalu siapa?" gumamnya, tipis berbisik.

Sejenak kepalanya menoleh pada Sa-
tria. Mungkinkah bocah itu? Tanya hatinya 
ragu. Bocah yang diperhatikan malah se-
dang cengengesan tak karuan. Dia mengira 
keberaniannya menyeruduk seorang lelaki 
pengacau sedang dibicarakan ibu dan anak 
itu. Bangganya minta ampun dia. Hidungnya 
pun jadi kembang-kempis.
"Tentu saja bukan dia," cibir Tres-
nasari, mengetahui ibunya menyangka Sa-
tria-lah pelaku tindakan mengagumkan se-
belumnya. "Bagaimana dia bisa melakukan 
itu kalau cara menyerangnya saja mirip 
kambing buduk!"
Lalu pandangan Nyai Cemarawangi, 
nama perempuan berpakaian ungu, beralih 
ke arah lelaki tua pemilik kedai. "Mung-
kinkah orang tua itu?" gumamnya tak ken-
tara. Dia bukan cuma penasaran ingin men-
getahui si pelaku, tapi juga ingin meng-
haturkan banyak terima kasih. Sebab, ka-
lau putrinya tidak ditolong waktu itu, 
dia ragu Tresnasari mampu mengatasi se-
rangan serempak yang keji dari para pen-
geroyoknya.
Orang yang diperhatikan malah mulai 
sibuk lagi mengebuti lalat-lalat yang 
berkeliaran di atas dagangannya. Wajahnya 
tetap tenang seperti sebelumnya. Namun 
bukan itu yang menjadi pusat perhatian 
Nyai Cemarawangi. Justru perbuatan kecil-
nya mengebuti lalat yang luput mendapat

perhatian orang lain, tapi tidak untuk 
mata jeli perempuan itu. Si lelaki tua 
pemilik warung terlihat santai saja meng-
gerakkan alat pengebut lalat terbuat dari 
batang bambu yang diberi rumbai tali pe-
lepah pisang kering. Tapi, setiap kail 
tangannya bergerak santai, beberapa ekor 
lalat langsung menemui ajal!
Nyai Cemarawangi tersenyum. Seka-
rang dia yakin telah menemukan penolong 
putrinya. Segera dihampirinya orang tua 
itu.
Satria mengira dia yang dihampiri. 
Makin parah saja cengangas-cengengesnya. 
Besar rasa juga rupanya bocah itu. Dan 
dia tinggal bisa bengong ketika Nyai Ce-
marawangi cuma melintasinya.
"Terima kasih atas bantuanmu, Orang 
Tua. Aku yang muda rupanya terlalu tak 
menyadari kalau kau adalah seorang tokoh 
mandraguna...."
Ucapan Nyai Cemarawangi tak digu-
bris orang tua itu. Dia terus saja sibuk 
berbenah, seolah sama sekali tak mengeta-
hui apa maksud ucapan Nyai Cemarawangi.
Sementara itu, Tresnasari menyusul 
ibunya. Dilewatinya pula Satria yang mu-
lai pula senyum-senyum pada gadis tang-
gung itu. Di dekat Satria, Tresnasari 
berhenti melangkah. Ditatapnya bocah itu 
tajam-tajam.
"Kenapa senyum-senyum?!" bentaknya.

"Mau kubuat rontok gigimu?!"
Satria langsung bungkam. Mulutnya 
terkunci rapat. Jangankan senyum, merin-
gis pun dia tak berani.
"Kalau diperkenankan, bolehkah aku 
tahu siapa sesungguhnya dirimu, Orang 
Tua?" susul Nyai Cemarawangi, kemudian.
Seperti baru tersadar seseorang te-
lah berdiri di depannya, orang tua itu 
tersenyum, memperlihatkan barisan gigi 
kehitaman dan telah tanggal dua-tiga bu-
tir.
"Seperti kau lihat, aku cuma seo-
rang penjual makanan," sahut pemilik wa-
rung. Nada bicaranya tetap tak berubah. 
Tetap santai, sambil menjentiki beberapa 
ekor lalat yang mati di atas mejanya.
"Kalau begitu, izinkan aku mengenal 
namamu," mohon perempuan cantik meski 
usianya sudah terbilang cukup tua itu.
Kening berkerut orang tua berkumis 
putih itu sesaat terlipat. Sepasang alis 
putihnya yang tumbuh jarang agak mendekat 
satu dengan yang lain. Bola matanya naik 
ke atas.
"Seingatku, namaku Kusumo...," ka-
tanya setelah berpikir beberapa saat. 
Aneh juga, bagaimana dia bisa lupa nama 
sendiri?
Sebenarnya, Nyai Cemarawangi ingin 
mengetahui nama lengkap orang tua itu. 
Siapa tahu dia pernah mendengar nama itu

di dunia persilatan. Sebab, menurut per-
kiraannya, orang tua yang mengaku bernama 
Kusumo ini pasti seorang tokoh yang dis-
egani di dunia persilatan. Mungkin karena 
satu atau lain sebab, dia mengundurkan 
diri. Namun, hanya karena tak ingin di-
anggap terlalu lancang, akhirnya perem-
puan itu tak bertanya lebih jauh.
"Kalau begitu, terima kasih sekali 
lagi Ki Kusumo. Aku harap kita akan ber-
jumpa lagi. Siapa tahu aku masih bisa 
membatas budimu...."
"Siapa yang perlu membalas budi? 
Kau berbicara aneh sekali, Cah Ayu," ki-
lah Ki Kusumo, matanya menyipit memperli-
hatkan ketidakmengertian maksud perkataan 
perempuan di depannya. Di akhir katanya, 
dia terkekeh.
Nyai Cemarasari menjura, hormat.
"Kalau begitu, aku mohon pamit, 
Ki."
"Ya... ya... ya," sahut Ki Kusumo 
enteng. "Pergilah. Dan kudo'akan agar kau 
dapat menemukan tabib yang berjodoh den-
ganmu!" tambahnya.
Seketika itu, Nyai Cemarawangi men-
gangkat kepalanya. Wajah memeram perta-
nyaan. Bagaimana dia tahu kalau aku se-
dang sakit dan bagaimana pula dia tahu 
kalau sampai sekarang aku belum bertemu 
dengan tabib yang dapat menyembuhkan pe-
nyakitku? Bisik hatinya. Makin kagum saja

perempuan itu pada Ki Kusumo.
Nyai Cemarawangi baru hendak mena-
nyakan hal itu, Ki Kusumo sudah mengge-
rakkan tangannya.
"Ayo, pergilah.... Pergi...."
Perempuan berpakaian ungu mengulang 
juranya. Caping yang sejak tadi mengge-
lantung di belakang punggungnya ditem-
patkan kembali di atas kepala. Dia pun 
melangkah.
"Ayo, Tresna," ajak Nyai Cemarawan-
gi pada putrinya, baru saja Tresnasari 
tiba di sampingnya
Keduanya berangkat.
* * *
Hari makin tua. Sinar merah temba-
ganya meredup dan terengah-engah. Mataha-
ri terkapar disudut barat bumi. Di batas 
Kadipaten Ketawang, dua perempuan berja-
lan perlahan menuju arah matahari tengge-
lam. Mereka adalah Nyai Cemarawangi dan 
anaknya, Tresnasari.
"Kita membutuhkan kuda untuk sampai 
di Jogoboyo, Nyai," kata si gadis ayu ba-
ru tumbuh remaja pada ibunya.
"Kenapa? Apa kau tak kuat berjalan 
sampai ke sana?"
"Bukan begitu. Aku justru iba pada 
Nyai. Nyai tampaknya makin kehilangan ba-
nyak tenaga karena sakit yang mendekam

dalam tubuh Nyai," kata Tresnasari lagi.
Nyai Cemarawangi merangkul anaknya 
dengan sebelah tangan. Bahu Tresnasari 
diguncang-guncangkan kecil.
"Aku bersyukur memiliki putri yang 
sayang terhadapku. Rasanya, kalau kau te-
rus berada di sampingku, berjalan sampai 
ke ujung bumi aku masih sanggup," gu-
raunya dengan sebaris senyum di bibirnya 
yang memucat dan kering.
"Ah, Nyai ini. Aku sedang bicara 
sungguh-sungguh! Apa tak sebaiknya kita 
ke desa terdekat dulu untuk mencari dua 
ekor kuda? Kalau perlu, kita menumpang 
bermalam. Besok pagi, baru kita lanjutkan 
lagi perjalanan. Bagaimana?" cecar Tres-
nasari, nyaris lupa berhenti.
Sementara mereka terus melangkah, 
seseorang menguntit keduanya. Sejak mere-
ka meninggalkan pusat Kadipaten Ketawang, 
orang itu terus mengekori. Sesekali dia 
bersembunyi di balik pohon atau semak-
belukar yang banyak tumbuh di sepanjang 
jalan setapak. Jika jaraknya sudah cukup 
aman, dia mulai menguntit lagi.
Dari caranya bergerak, tak ada ke-
san kalau si penguntit adalah orang per-
silatan. Gerakannya begitu kasar dan 
berkesan serampangan. Langkah-langkah ka-
kinya memperdengarkan bunyi ribut, meski-
pun tampak lincah.
Kalau sudah begitu, tentu saja Nyai

Cemarawangi dan Tresnasari akan cepat 
mengendusi.
"Sejak tadi ada orang menguntit ki-
ta terus, Nyai," bisik Tresnasari. 
"Ya-ya, aku tahu." 
"Apa perlu kita hadang sekarang?"
"Tak perlu. Tampaknya orang itu tak 
berbahaya. Lagi pula...." Nyai Cemarawan-
gi tak meneruskan perkataannya. Dia malah 
senyum tertahan. 
"Kenapa, Nyai? Kenapa?" desak Tres-
nasari. 
"Lagi pula, aku sudah tahu siapa 
orang itu." Kening si gadis belia dibuat 
berkerut. 
"Siapa Nyai?"
Jawaban Nyai Cemarawangi cuma se-
nyum kecilnya, yang lagi-lagi sengaja di-
tahan.
"Siapa Nyai? Dan kenapa Nyai malah 
tersenyum-senyum seperti itu?" sewot 
Tresnasari.
"Nanti juga kau tahu."
Tresnasari jadi tak sabar lagi den-
gan kucing-kucingan ibunya. Dia merajuk. 
Dengan wajah asam, dihentikannya langkah 
tiba-tiba. Lalu cepat dibalikkannya tu-
buh.
Demi melihat salah seorang yang di-
kuntit mendadak membalikkan tubuh, si 
penguntit terperanjat bukan alang-
kepalang. Serabutan dicarinya tempat per

sembunyian. Ada sebatang pohon beringin 
besar di dekatnya. Ke sana dia berlari. 
Saking terburu-buru, tak dilihatnya akar 
pohon merangas di tanah. Akhirnya....
"E-e-eeeeee!"
Gedubrak!
Jatuh juga orang itu dengan posisi 
tertelungkup. Jidatnya terhantam batang 
pohon beringin. Orang itu ternyata si bo-
cah sok jago, Satria. Apa maunya dia men-
guntit begitu rupa?
Melihat siapa yang sejak tadi men-
guntit, Tresnasari memasang wajah perang-
nya. Kalau bisa, ingin dibuat wajah 
ayunya seseram tampang Batari Durga, pe-
rempuan raksasa di pewayangan.
"Mau apa lagi kau?!" serunya ketus.
Satria bangkit terseok. Satu tan-
gannya memegangi pinggang. Tangan yang 
lain mengusap-usap keningnya yang sudah 
benjut sebesar tempurung dengkulnya sen-
diri. Bibirnya meringis-ringis berkepan-
jangan, antara rasa dongkol dibentak 
Tresnasari dan penderitaannya.
"Apa maumu mengikuti kami, Cah Ba-
gus?" tanya Nyai Cemarawangi, jauh lebih 
bersahabat dari pertanyaan anaknya baru-
san.
"Anu, Bibik... anu...," Si bocah 
berambut kemerahan tak bisa mencari ala-
san yang tepat satu pun. Sejak keributan 
di jalan pusat kadipaten berakhir, dia

pamit pada lelaki tua pemilik warung. 
Orang tua itu sendiri sebenarnya berat 
melepas Satria. Di samping dia sudah 
'jatuh hati' pada sifat-sifat Satria, dia 
juga merasakan keuntungan dari kerja ra-
jin anak itu di tempatnya. Karena Satria 
tidak bisa dicegah, pemilik warung yang 
penuh teka-teki di mata Nyai Cemarawangi 
itu akhirnya melepas Satria juga. Dibeka-
linya anak itu dengan beberapa keping ke-
peng.
"Anu apa?!" bentak Tresnasari.
Dengan isyarat, Nyai Cemarawangi 
memperingati sikap judes anaknya.
"Aku cuma ingin ikut kalian...," 
aku Satria akhirnya.
"Ikut kami? Bagaimana dengan ke-
luargamu?" tanya Nyai Cemarawangi.
Satria menggelengkan kepala perla-
han. Dia tertunduk. Raut wajahnya berubah 
mendung. Muram, biarpun dia bukan tergo-
long bocah cengeng.
"Aku sendiri sampai sekarang tidak 
tahu apa-apa tentang keluargaku. Bahkan 
aku tak pernah tahu asal-usul diriku...," 
katanya. Dari desah napasnya, terdengar 
dia berusaha untuk tidak terbawa perasaan 
memelasnya sendiri. Itu pula salah satu 
sifat yang dikagumi Ki Kusumo.
Menilai dari sinar matanya, Nyai 
Cemarawangi tahu Satria tidak berdusta. 
Rasa keibuannya agak tersentuh juga.

"Baiklah. Kau boleh ikut kami...,* 
katanya memutuskan.
Satria tersenyum senang. Tresnasari 
cemberut sejadi-jadinya.
LIMA
PERAMPOKAN besar-besaran siap ter-
jadi di perbatasan Kadipaten Ketawang 
dengan Jogoboyo, wilayah yang telah dire-
but pihak Demak dari Majapahit dalam ba-
bad sengit beberapa purnama lalu.
Saat itu, malam telah menjelang. 
Bulan sabit diselimuti awan tambun di 
angkasa. Sinarnya tak kuasa untuk mene-
rangi permukaan bumi. Ditengah-tengah ke-
gelapan, satu pasukan berkuda yang terdi-
ri dari kurang-lebih dua puluh lima orang 
beriringan menyusuri jalan menuju bentan-
gan hutan bakau sebelah barat Jogoboyo. 
Kuda-kuda mereka berjalan tak lambat, ju-
ga tak cepat. Tangan masing-masing pe-
nunggang memegang obor. Penunggang terde-
pan memegang tombak panjang. Di ujungnya 
diikatkan panji segitiga sama kaki sepan-
jang empat jengkal berwarna merah dengan 
gambar seekor kelelawar penghisap darah.
Mereka adalah Panji Prajurit Silu-
man atau Laskar Lawa Merah. Sepasukan pe

rampok, di bawah pimpinannya yang bertu-
buh raksasa
Sejak kekacauan meletus di mana-
mana akibat peta kekuatan Kerajaan Maja-
pahit tercabik-cabik, keadaan jadi tak 
lagi terkendali. Dan hilangnya tongkat 
komando kerajaan yang pernah mencita-
citakan penyatuan Nusantara di bawah sum-
pah Mahapatih Gajah Mada itu, menyebabkan 
kekuatan demi kekuatan pasukan mereka 
terpecah berkeping. Sebagian di antara 
orang-orang berpengaruh Majapahit memban-
gun gerakan mulia seperti mendirikan pon-
dok-pondok persilatan. Ada juga yang men-
jadi pertapa suci, atau sesepuh masyara-
kat suatu daerah yang berwibawa dan dis-
egani.
Karena haus kekuasaan, ada juga di 
antara mereka tak dapat menguasai diri 
untuk membentuk kekuatan sendiri-sendiri. 
Mereka mengambil jalan yang dianggap da-
pat dengan cepat mewujudkan keinginan me-
reka meraih kekuasaan.
Salah seorang di antara mereka ada-
lah Dirgasura. Dia membentuk gerombolan 
perampok. Terdiri dari para bajingan-
bajingan yang dulunya selalu merongrong 
kerajaan. Dirgasura dan antek-anteknya 
kemudian menjadi satu gerombolan yang 
paling ditakuti di sepanjang pesisir Jawa 
Tengah. Mereka menyebut diri sebagai Pan-
ji Prajurit Siluman. Kawanan perampok

yang selalu membawa panji-panji berwarna 
merah bergambar kelelawar penghisap da-
rah. Penduduk kerap pula menjuluki mereka 
sebagai Laskar Lawa Merah.
Dirgasura memiliki tubuh yang lebih 
besar dan tinggi dari kebanyakan ukuran 
tubuh orang biasa.
Tingginya mencapai dua meter. Ben-
tuk badannya kekar berotot. Dadanya bi-
dang mengembung, ditumbuhi bulu lebat. 
Lehernya besar, mengimbangi kekarnya ba-
gian tubuh yang lain. Karena begitu bero-
totnya, punuk lelaki itu lebar menonjol 
seperti seekor kerbau liar. Wajahnya sen-
diri sebenarnya tak tergolong menyeram-
kan, bahkan boleh dibilang biasa-biasa 
saja. Namun, matanya selalu membersitkan 
ketelengasan. Dagu perseginya dihiasi 
brewok kasar. Dan dia selalu berpakaian 
perang yang di bagian dadanya terbuat da-
ri lempengan logam, untuk menunjukkan ke-
kuasaannya seperti yang dilakukan para 
manggala.
Kini, Laskar Lawa Merah atau Panji 
Prajurit Siluman memasuki wilayah perba-
tasan antara Ketawang dan Jogoboyo. Mere-
ka punya rencana khusus untuk membumihan-
guskan desa-desa di sekitar dan menguras 
harta serta wanita muda di sana. Rencana 
tersebut sudah dipersiapkan Dirgasura se-
jak lama sebelumnya.
Wilayah sasaran jarahan sendiri ki

ni berada di bawah kekuasaan pasukan De-
mak. Mereka membentuk basis kekuatan di 
sana karena daerah pesisir tersebut di-
anggap strategis sebagai pintu gerbang 
masuknya armada laut ke daratan. Dengan 
begitu, tentu saja pasukan yang ditem-
patkan pihak Demak di sana terbilang ber-
kekuatan besar.
Jika Dirgasura mencoba menyerang 
melalui sisi utara, maka dia harus berha-
dapan langsung dengan kekuatan pasukan 
Demak yang ditempatkan di sana. Tentu sa-
ja mereka akan dihancurleburkan. Untuk 
menghindari hal itu, Dirgasura memakai 
siasat gerilya. Dia tak menyerang melalui 
perbatasan yang dijaga ketat, melainkan 
melalui pintu masuk yang dianggap memili-
ki pertahanan terlemah. Pintu masuk yang 
dimaksud adalah wilayah rawa bakau. Menu-
rut perhitungan Dirgasura sebagai seorang 
pimpinan perampok yang berpengalaman, 
tentu pasukan Demak tak akan mengira ser-
buan dari wilayah rawa. Pertama karena 
wilayah itu amat berbahaya untuk dimasu-
ki. Banyak buaya liar berkeliaran. Selain 
itu, pasukan yang mencoba menerobos ke 
sana harus menempuh perjalanan tanpa ken-
daraan menembus rawa setinggi pusar sela-
ma satu malam. Lebatnya hutan bakau tak 
memungkinkan untuk menggunakan perahu. 
Besar kemungkinan selama merambah bentan-
gan rawa, mereka akan diserang nyamuk

nyamuk pembawa penyakit. Kesiapan tempur 
mereka akan terkoyak setibanya di batas 
rawa penghubung ke wilayah kekuasaan pa-
sukan Demak. Belum lagi banyaknya hewan-
hewan melata berbisa.
Namun, Dirgasura tak ingin melaku-
kan bunuh diri terhadap pasukan sendiri. 
Dia telah mempersiapkan perambahan rawa 
tersebut secara cermat dan matang.
Untuk mengatasi serangan buaya-
buaya penghuni rawa, sang pemimpin gerom-
bolan perampok memerintahkan anak buahnya 
membuat keranda setinggi dada manusia. 
Bagian bawah dan atasnya terbuka, hingga 
memungkinkan seseorang bisa berjalan be-
bas di dalam kurungan keranda. Keranda 
itu terbuat dari rotan memanjang yang 
disatukan satu dengan yang lain dengan 
tali dari samakan urat binatang. Panjang-
nya cukup untuk mengurung tubuh tiga 
orang. Dengan keranda rotan itu, mereka 
akan merambah rawa bakau. Buaya tak akan 
bisa mendekati mereka karena terhalang 
keranda. Sedangkan ikatan tali dari sama-
kan urat banteng pada rotan menyebabkan 
keranda tersebut dapat lentur meliuk ke 
sana-ke sini di antara tetumbuhan bakau.
Untuk menghindari serangan nyamuk-
nyamuk rawa pembawa bibit penyakit menu-
lar, Dirgasura mendatangi seorang tabib 
ahli yang pernah dikenalnya ketika sebe-
lum menggalang para perampok. Diperintah

nya tabib itu untuk membuat ramuan mengu-
sir nyamuk yang diborehkan ke kulit.
"Aku mendengar Pak Tua Kusumo, pe-
milik warung di pusat kadipaten, mengata-
kan kalau kau sedang sakit, Bik. Apa be-
nar begitu?"
Satria bertanya pada Nyai Cemara-
wangi. Ketika itu mereka bermalam di hu-
tan. Desa terdekat masih cukup jauh. Se-
mentara malam sudah terlalu larut untuk 
menempuh perjalanan. Karenanya mereka 
membuat api unggun. Bocah itu duduk di 
atas batang pohon kayu tua yang roboh di 
atas tanah, menghadapi api unggun. Warna 
merah cahaya api menari-nari di wajah 
bergaris kokoh Satria.
Berseberangan dengannya, duduk 
Tresnasari. Sejak sore gadis tanggung itu 
terus merajuk. Dia tak mau bicara sepatah 
pun kalau tidak ditanya. Seperti tidak 
ingin peduli pada pertanyaan Satria pada 
ibunya, Tresna mempermainkan bara api un-
ggun dengan batang pohon kering.
"Ya," sahut Nyai Cemarawangi berba-
reng helaan napas.
"Sakit apa, Bik?" susul Satria, in-
gin tahu lebih banyak. Atau mungkin dia 
hanya ingin berbasa-basi, mengingat gadis 
sebayanya terus saja memperlihatkan wajah 
permusuhan. Inginnya dia berbincang-
bincang dengan Tresnasari. Pasti banyak

bahan obrolan yang bisa dibicarakan oleh 
sepasang remaja seperti mereka. Tapi, 
Tresna dingin saja terhadapnya. Jangan 
lagi bicara, melirik pun tidak.
Satria merasa dirinya hanya diang-
gap kentut. Brengsek!
Helaan napas Nyai Cemarawangi ter-
dengar lagi. Lebih berat dan berbeban da-
ri sebelumnya. Sambil meluruskan kaki, 
pandangan perempuan itu menerawang.
"Entahlah.... Aku sudah berusaha 
mencari tabib yang dapat menyembuhkanku. 
Namun sampai sekarang, penyakitku tetap 
tak terobati. Aku tetap saja makin 
payah," jawabnya kemudian.
Ketiganya hening. Satria hanya bisa 
menatap iba wajah perempuan empat puluhan 
yang kian memucat dalam sapuan lamat ca-
haya api unggun itu. Diam-diam, Satria 
kagum juga terhadap diri Nyai Cemarawan-
gi. Wajahnya tak sedikit pun membersitkan 
rasa kekalahan. Sinar matanya bahkan mem-
perlihatkan seolah dia siap ditantang pe-
nyakitnya sendiri untuk melakukan apa 
pun. Tak ada keluh di sana.
Bunyi gemeritik bara api yang di-
mainkan Tresnasari terdengar, ditingkahi 
derik ramai jangkrik di kejauhan. Nyai 
Cemarasari merebahkan tubuhnya yang demi-
kian penat dan lunglai di atas rumput. 
Dengan caping, diganjalnya kepalanya. 
Tampaknya dia mulai mengantuk. Keadaan

tubuhnya memang tak memungkinkan dia ber-
tahan tidak tidur terlalu lama. Dia butuh 
istirahat.
"Tidurlah lebih dulu, Nyai. Biar 
aku berjaga-jaga," kata Tresnasari, meme-
cah kebungkaman dirinya sendiri.
Nyai Cemarasari tersenyum rapuh. 
Dia tahu benar anaknya sedang dilanda 
kasmaran. Namun karena ini masalah cinta 
pertamanya, gadis remaja itu malah tak 
tahu harus berbuat apa. Akhirnya cuma 
muncul kekesalan pada diri Satria. Meski 
tanpa alasan sama sekali.
"Anak muda... anak muda..," bisik 
Nyai Cemarasari, samar sekali, sambil me-
natap anak gadisnya.
Malam beringsut lagi. Satria duduk 
memeluk lutut. Dingin bukan main. Pa-
kaiannya yang sudah usang dan koyak-moyak 
sudah tak cukup untuk mengenyahkan din-
gin. Matanya sejak tadi sudah meredup-
redup diserbu kantuk. Hanya dia berusaha 
terus untuk melawannya, kantuk itu akhir-
nya minggat sendiri. Dia tak boleh terti-
dur, pikirnya. Sebab Nyai Cemarasari su-
dah terpulas. Sementara Tresnasari mulai 
terkantuk-kantuk. Sesekali Satria menam-
bahkan dahan pohon kering ke api unggun 
yang mulai meredup.
Sewaktu menatap Nyai Cemarasari, 
Satria jadi terbayang pada seorang perem-
puan setengah baya yang mati tergeletak

di dekatnya ketika dia tersadar dari 
pingsan, seusai badai. Sampai sekarang, 
bocah dekil itu tidak ingat siapa wanita 
itu sebenarnya. Apa hubungan dengan di-
rinya? Mungkinkah wanita setengah baya 
itu ibunya? Sampai detik itu juga, Satria 
tetap tak ingat asal-usul dirinya.
Suatu ketika, terdengar semliweran 
halus dari belakang tubuh bocah itu.
Satria tersentak. Kepalanya menoleh 
cepat. Dan dia terpana saat itu juga. 
Disaksikannya sesosok tubuh sedang me-
lenting-lenting ringan di atas dahan-
dahan pepohonan
Bagai tertenung, Satria terpaku 
tanpa berkedip. Ditatapinya terus bayan-
gan tadi, sosok yang terus bergerak demi-
kian lincah melebihi seekor kera pohon 
menuju arahnya. Yang lebih membuat bocah 
itu terpana-pana lagi, sosok itu bahkan 
membuat satu ranting setipis batang lidi 
untuk jejakannya
Jleg!
Dengan suara teramat halus, sosok 
itu hinggap tepat di depan Satria. Seo-
rang lelaki tua berpakaian hitam-hitam 
longgar. Bersabuk kulit buaya dan berikat 
kepala kain warna hitam pula.
Manakala menyaksikan wajahnya, Sa-
tria dibuat bertambah terperanjat. Rambut 
putih sebatas bahu itu, kumis putih lebat 
itu. Alis mata yang tumbuh jarang dan gu

rat-gurat ketuaan di wajahnya itu....
ENAM
"PAK Tua Kusumo?" desis Satria tak 
percaya. 
"Apa kabar, Bocah?" sapa lelaki tua 
itu, yang ternyata Ki Kusumo, pemilik ke-
dai tempat Satria bekerja beberapa hari 
lalu di pusat Kadipaten Ketawang. Hanya 
pakaian orang tua itu yang kini berbeda 
dari yang dilihat sebelumnya.
Sambil tersenyum didekatinya Sa-
tria. Dia duduk tepat di batang pohon se-
belah bocah dekil itu.
"Aku bawa empat ekor ayam hutan ge-
muk untuk makan malam kita," katanya en-
teng tanpa takut membangunkan dua wanita 
yang kini sudah terpulas. Lalu diangkat-
nya tangan kanan. Ada empat ekor ayam 
jantan mati. "Cepat kau siangi!"
Satria menerima empat ekor ayam ta-
di dengan mata terus menatapi wajah Ki 
Kusumo
Selesai menyiangi, dipanggangnya 
empat ekor ayam itu di atas api unggun. 
Tak begitu lama, sudah tercium bau sedap 
ayam bakar.
"Kita akan makan besar!" seru Ki 
Kusumo. Yang membuat Satria heran, dua 
wanita yang tertidur sama sekali tak te-
rusik dengan seruan yang sebenarnya ter-
golong keras itu. Apalagi dilakukan Ki

Kusumo di dekat mereka berdua.
"Kenapa kau terus menatapi aku se-
perti itu, Bocah?" tanya Ki Kusumo, men-
dapati Satria terus saja memperhatikannya 
seolah benda ajaib yang baru saja jatuh 
dari langit.
Satria menggelengkan kepala, entah 
apa maksudnya.
Alis jarang Ki Kusumo bertaut. "Kau 
tak tahu alasanmu menatapi aku seperti 
itu?" perangahnya.
"Oh, itu Pak Tua Kusumo...." Bocah 
itu terkesiap sesaat. Dia akhirnya menya-
dari sikap bodohnya. "Aku cuma tak per-
caya kalau aku benar-benar telah bertemu 
dengan orang tua pemilik warung itu," 
sambungnya, setelah cukup mampu menguasai 
rasa herannya.
Ki Kusumo terkekeh. Cukup keras. 
Dan lagi-lagi itu tak menyebabkan Nyai 
Cemarawangi dan Tresnasari terbangun.
Sambil melirik dua wanita itu, Sa-
tria menambahkan pertanyaan. "Aku juga 
tak percaya, bagaimana mereka bisa tak 
terbangun sementara kau begitu enak bica-
ra dan tertawa," ungkapnya seperti bergu-
mam. "Jangan-jangan, aku cuma bermimpi. 
Dan kau pun cuma bagian dari mimpiku."
Kembali Ki Kusumo terkekeh keras. 
"Kau tidak sedang bermimpi, Cah Bagus! 
Mereka memang telah aku 'sirap'..."
"Sirap?"

"Ah, itu semacam keahlian yang bisa 
membuat orang tertidur pulas."
Satria terbengong-bengong tak men-
gerti.
"Asal kau tahu saja. Sebenarnya, 
kau pun kujadikan sasaran 'sirap'ku. 
Sialnya, kau seperti tak mempan. Aku he-
ran, bagaimana bocah seperti kau mampu 
melawan pengaruh sirapku...," tambah Ki 
Kusumo seraya menggeleng-gelengkan kepa-
la. Di pancar matanya terbetik rasa kagum 
pada kemampuan si bocah tanggung untuk 
melawan rasa kantuk yang disebabkan oleh 
pengaruh sirapnya.
Buat seorang bocah yang tak memili-
ki kepandaian kedigdayaan sedikit pun se-
perti Satria, sebenarnya hal itu sungguh 
luar biasa. Orang berkepandaian saja ma-
sih jarang yang bisa menahan pengaruh 
'sirap'nya, kecuali beberapa orang yang 
memiliki kesaktian tingkat tertentu,
Rahasia yang menyebabkan Satria da-
pat melawan pengaruh 'sirap'nya membuat 
Ki Kusumo dibuat penasaran. Sedangkan Sa-
tria masih juga terbengong-bengong tak 
mengerti. 
* * *
Ki Kusumo memiliki nama asli Raden 
Giri Kusumo. Dia adalah seorang ningrat 
dari Singasari. Sejak mudanya, dia gemar


mengembara ke berbagai daerah untuk mem-
perdalam ilmu kedigdayaan dan ketabiban. 
Banyak daerah telah dikunjunginya. Bahkan 
dia pernah memburu satu ramuan obat-
obatan hingga ke Tibet.
Selama bertahun-tahun dia berkelana 
dari satu negeri ke negeri lain. Beragam 
obat-obatan, seni pijat, ilmu ketabiban 
hingga ilmu kanuragan selama itu pula di-
dapatnya. Menjelang berusia empat puluh 
tahun, Raden Giri Kusumo kembali ke tanah 
Jawa.
Namanya kemudian harum sebagai sa-
lah seorang tabib sakti kepercayaan ka-
langan Kerajaan Majapahit yang kala itu 
mencapai puncak keemasan di bawah kekua-
saan Prabu Rajasanegara atau Hayam Wuruk. 
Namun karena sifatnya yang tak ingin te-
rikat oleh apa pun, pihak kerajaan tak 
bisa memintanya untuk menjadi tabib ista-
na.
Karena sifat tak ingin terikat pu-
la, Raden Giri Kusumo melepas gelar darah 
birunya. Dia hanya memakai nama Kusumo 
saja. Ketika hari berganti, kalangan per-
silatan tanah Jawa malah lebih mengenal-
nya dengan julukan Tabib Sakti.
Ketika Majapahit dilanda perang 
saudara sepeninggalan Prabu Rajasanega-
ra, Ki Kusumo mengasingkan diri di se-
buah pulau karang yang terpencil di seki-
tar Laut Selatan. Dia benci pada setiap

pertumpahan darah yang menggerogoti Maja-
pahit. Jarang Ki Kusumo kembali ke dunia 
persilatan kecuali setiap lima tahun se-
kali.
Banyak kalangan istana yang sakit 
dan membutuhkan pertolongannya tak bisa 
berbuat apa-apa kecuali menanti sampai 
dia turun kembali ke dunia persilatan. 
Bahkan ada yang akhirnya menemui ajal se-
belum berhasil menanti sampai sang Tabib 
Sakti kembali. Pulau karang tempatnya 
mengasingkan diri disebut orang Pulau De-
demit karena bentuknya yang menyeramkan 
dan menyerupai sosok dedemit jika diper-
hatikan malam hari. Jika malam hari pula, 
beberapa nelayan yang kebetulan melewati 
pulau itu sering mendengar suara-suara 
seperti orang menangis tersedu-sedu. Lalu 
timbulah kepercayaan orang bahwa pulau 
itu adalah pulau yang dihuni oleh dede-
mit.
Lalu julukan Ki Kusumo pun bertam-
bah: Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Lelaki tua itu sebenarnya sudah be-
rumur demikian lanjut. Usianya lebih dari 
seratus tahun. Karena beberapa obat-
obatan yang diminumnya, dia tampak seper-
ti orang tua berusia tak lebih dari tujuh 
puluhan.
Dua tahun lalu, dia turun ke dunia 
persilatan kembali. Itu lebih awal seta-
hun dari kebiasaannya turun lima tahun

sekali. Sekali ini dia mempunyai niat 
khusus. Hendak dicarinya seorang murid 
yang bisa diturunkan ilmu ketabiban dan 
kanuragan miliknya. Untuk itu, Ki Kusumo 
sengaja menyamar sebagai seorang pedagang 
kecil. Sebelum-sebelumnya dia sempat juga 
menyamar menjadi seorang gembel, atau pe-
narik pedati, dan samaran lain yang tak 
pernah disangka-sangka orang.
Kebetulan, ketika sedang menyamar 
di pusat Kadipaten Ketawang, orang tua 
sakti itu bertemu dengan si bocah gelan-
dangan, Satria. Dengan mata tua yang ter-
latihnya Ki Kusumo bisa menilai bagaimana 
bagusnya bentuk tulang Satria, biarpun 
tubuhnya sendiri kurus. Timbul simpati 
pertamanya pada Satria.
Itu saja belum lagi cukup. Ki Kusu-
mo tak hanya ingin mencari murid yang bi-
sa menurunkan kesaktian semata. Murid itu 
harus juga memiliki sifat-sifat seorang 
ksatria sejati. Pucuk dicinta ulam tiba, 
Satria ternyata memiliki pula sifat-sifat 
itu. Dalam tingkahnya yang terkadang 
acuh, terpendam sifat keras kemauannya. 
Dalam tingkahnya yang terkadang kebodoh-
bodohan, justru tersimpan kecerdasan. Da-
lam tingkah yang terkadang sok, malah 
terpendam sifat rendah hatinya. Dan semua 
itu hanya dapat dilihat oleh mata yang 
berpengamatan jeli seperti Ki Kusumo.
Lalu, sejak Satria pamit padanya,

Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit 
pun terus berusaha memantau Satria. Sam-
pai dengan pertemuan kedua mereka di hu-
tan perbatasan Ketawang-Jogoboyo malam 
itu.
* * *
Menjelang pagi, Laskar Lawa Merah 
berhasil merambahi rawa bakau. Mereka te-
rus bergerak lambat mendekati batas wi-
layah kekuasaan pasukan Demak dengan per-
tahanan terlemah.
Di tepi bentangan rawa sebelah ba-
rat sebelumnya, mereka meninggalkan kuda 
tunggangan masing-masing. Keranda yang 
mereka persiapkan untuk mengarungi rawa 
bakau mereka turunkan dari sisi pelana 
kuda. Lalu setiap tiga orang mengurung 
tubuh bagian pinggang hingga ke kaki den-
gan tiap keranda, dan mulai turun ke da-
lam air rawa yang keruh dan dingin. Tan-
gan mereka memegangi batang kayu yang di-
ikatkan pada puncak keranda. Sedangkan 
seluruh senjata mereka digantungkan di 
punggung.
Setelah berhasil menempuh waktu 
hampir satu malam dan berhasil mengatasi 
serangan buaya-buaya lapar dengan susah-
payah, mereka berhasil juga mendekati 
daerah sasaran. Di kejauhan, terlihat 
kerlap-kerlip lampu-lampu minyak yang be

rasal dari rumah-rumah penduduk dan ten-
da-tenda prajurit Demak. Jauh di tepi ra-
wa, cuma ada satu menara kayu yang diban-
gun setinggi empat tombak. Ada tiga orang 
di sana. Satu orang berdiri di menara. 
Sisanya terlihat berdiri di bawah pohon 
besar. Keduanya bercakap-cakap sambil 
menghisap lintingan rokok kawung.
Tepat seperti perkiraan Dirgasura, 
batas wilayah itu memang tak dianggap 
berbahaya oleh pasukan Demak. Buktinya 
mereka hanya menempatkan tiga prajurit. 
Dan itu membuat Dirgasura makin bernafsu 
untuk secepatnya menjarah harta dan mem-
bawa lari beberapa wanita dari daerah 
tersebut. Belum lagi harta rampasan pe-
rang milik pasukan Demak yang kabarnya 
belum sempat dikirim ke pusat.
"Bagus...," desis Dirgasura. Ma-
tanya berkilat-kilat nyalang. "Saatnya 
kita berpesta-pora!"
Lalu mereka mulai bergerak lambat 
kembali. Pada jarak yang dianggap cukup 
dekat dari tiga prajurit Demak, Dirgasura 
memerintah tiga orang anak buah ahli pa-
nahnya untuk memulai aksi.
Tak jauh dari wilayah sasaran se-
rangan Laskar Lawa Merah, tepatnya di 
tempat Satria, Nyai Cemarawangi dan Tres-
nasari beristirahat, dua orang lelaki

bertaut usia amat jauh masih terlibat 
percakapan.
"Jadi, kau ini sebenarnya siapa, 
Pak Tua Kusumo?" tanya Satria.
"Kau tak perlu menanyakan itu."
"Kenapa tak perlu? Aku bahkan mera-
sa harus menanyakan siapa dirimu sebenar-
nya. Sebab aku curiga. Sebelumnya kau 
berpura-pura menjadi seorang pemilik wa-
rung kecil. Dan tiba-tiba, kau muncul 
dengan 'kedok' aslimu...," sengit Satria.
Di tangannya masih tersisa sepotong 
besar panggang ayam. Setengah bagiannya 
sudah tandas ke dalam perutnya tanpa te-
deng aling-aling.
Ki Kusumo terkekeh. Padahal siapa 
pun tak akan menganggap ucapan Satria ba-
rusan sebagai suatu yang lucu. Apalagi 
sampai ditertawakan. Tapi sekali ini ru-
panya orang tua itu punya alasan yang cu-
kup tepat.
"Kau bilang kau curiga padaku. Tapi 
kau menyikat begitu saja ayam bawaan-
ku...."
Satria menatap sejenak sisa besar 
panggangan ayam di tangannya. Mulutnya 
masih terus mengunyah tiada henti seperti 
seekor anak lembu
"Terang saja aku akan memakannya. 
Aku sudah begitu lapar!"
"Bukan itu, maksudku. Mestinya kau 
curiga juga kalau-kalau aku meracuni ayam

itu," Ki Kusumo terkekeh lagi.
"Iya-ya...," ujar Satria kebodohan. 
Tapi terus saja dia mengunyah daging di 
mulutnya.
"Jadi apa alasanmu sebenarnya mena-
nyakan siapa diriku? Tentu bukan curiga, 
kan?"
Satria menyikat lagi panggang ayam 
di tangannya. Belum lagi kunyahan di mu-
lut tertelan.
"Apa ya? Ah, tak tahulah. Pokoknya 
aku penasaran pada dirimu, Pak Tua!"
"He-he-he. Sebenarnya, aku juga pe-
nasaran pada dirimu, Cah Bagus!"
"Penasaran bagaimana?"
Ki Kusumo tak segera menjawab. 
Tresnasari yang tertidur beberapa tindak 
didekatnya mulai bergeliat.
"Mmm, tampaknya aku mesti segera 
pergi...," ucap Ki Kusumo. 
"Tapi, Pak Tua..."
Belum selesai kalimat Satria, tubuh 
si orang tua sudah melenting ringan ke 
atas dahan pohon. Di atas dia berkelebat 
dan hilang di kegelapan.
Ayam jantan hutan mulai terdengar 
berkokok di kejauhan. Shubuh telah tiba.
Tresnasari terbangun. Menyaksikan 
ada tiga ekor ayam panggang di atas api 
unggun, dia menatap Satria terheran-
heran. Bagaimana si kambing buduk ini 
sempat-sempatnya berburu ayam hutan di

malam hari? Empat ekor pula?
"Ayo, mhakan. Jhangan malhu-malfu!" 
Satria mempersilakan dengan mulut masih 
terjejal daging panggang. Sepertinya me-
mang benar-benar dia yang telah susah 
payah mencari ayam hutan!
Di penghujung dini hari, sebelum 
warna kuning pucat matahari pagi menyem-
bul perlahan di sebelah timur, orang-
orang Laskar Lawa Merah melakukan seran-
gan gelapnya. Tiga orang prajurit Demak 
yang sedang berjaga di batas rawa bakau 
mengalami nasib naas terkena anak panah. 
Tepat di dada kiri masing-masing, anak 
panah milik anak buah Dirgasura menghujam 
sasaran.
Prajurit di atas menara pengawas 
tak sempat melempar teriakan sedikit pun. 
Ketika terkena, tubuhnya terhuyung seben-
tar. Tangannya mendekap bagian dada yang 
tertembus. Setelah itu tubuhnya limbung 
ke depan dan jatuh melayang deras ke ba-
wah.
Tepat pada saat bersamaan, dua pra-
jurit di bawah pun mengalami kejadian se-
rupa. Keduanya hanya sempat mengeluh ter-
tahan. Keduanya kemudian tersungkur ke 
dalam rawa.
Beberapa ekor buaya yang kebetulan 
berada di sekitar tempat itu segera mem-
buru ke arah dua prajurit tadi. Binatang-
binatang berdarah dingin itu berebutan,

menciptakan riak permukaan rawa yang ke-
mudian berwarna kemerah-merahan. Mereka 
berpesta pora menikmati sarapan pagi.
Setelah membereskan ketiga prajurit 
penjaga, pasukan Dirgasura bergerak kem-
bali mendekati tepi rawa. Gerakan mereka 
kali ini tak lagi lambat. Seperti sekawa-
nan anjing lapar yang melihat tumpukan 
tulang di depan mata, mereka memburu ke 
tepi. Meski begitu, tak ada keributan be-
rarti mereka ciptakan.
Di tepi rawa bakau, mereka mele-
paskan keranda pelindung. Selanjutnya pa-
sukan yang terdiri dari kurang-lebih dua 
puluh lima orang itu mengendap-endap me-
nuju barak-barak pasukan Demak
Di barak pasukan Demak, Laskar Lawa 
Merah melanjutkan serangan gelap. Bebera-
pa penjaga yang terkantuk-kantuk dibelai 
hawa shubuh menemui ajal disergap secara 
tiba-tiba. Ada yang bernasib serupa den-
gan tiga prajurit penjaga, tertembus anak 
panah anak buah Dirgasura. Ada yang diti-
kam dari belakang dengan pisau. Ada juga 
yang digorok lehernya dengan telengas! 
Semua itu memang bagian dari rencana pe-
mimpin gerombolan, Dirgasura. Lelaki ber-
tubuh mirip raksasa itu tahu benar, mere-
ka tak akan memiliki kesempatan unggul 
jika harus menghadapi secara langsung ke-
kuatan pasukan Demak yang bermarkas di 
sana. Kalau dibuat perbandingan, jumlah

pasukannya cuma seperlima jumlah kekuatan 
pasukan Demak. Satu-satunya taktik yang 
mungkin dijalankan adalah melakukan ser-
buan gelap. Dengan cara itu, sedikit demi 
sedikit kekuatan pasukan Demak terkikis.
Setelah menumpas seluruh prajurit 
penjaga di luar barak, Dirgasura mengatur 
siasat selanjutnya. Untuk melakukan pe-
rang terbuka, Dirgasura masih belum mau 
mengambil resiko. Meski sudah cukup ba-
nyak prajurit Demak terbunuh, namun jum-
lah mereka yang kini masih terlelap di 
dalam barak tetap tak imbang dengan jum-
lah anak buahnya.
Karenanya, Dirgasura mencoba mengi-
kis lebih jauh kekuatan pasukan Demak 
dengan cara yang tak kalah telengas dari 
sebelumnya. Disiapkannya tabung-tabung 
racun. Tabung-tabung dari bambu itu memi-
liki sumbu. Jika sumbu dibakar, maka ser-
buk racun di dalam tabung akan mengelua-
rkan asap tipis mengandung racun memati-
kan. Jika dalam satu tarikan napas saja 
asap itu tersedot ke dalam paru-paru, ma-
ka dalam beberapa hitungan jari, korban 
akan menemui ajal dengan mulut mengelua-
rkan busa!
Racun itu didapat salah seorang 
Manggala Majapahit di masa kekuasaan Pra-
bu Kertarajasa lebih dari seratus tahun 
lalu, dari para prajurit Tartar. Ketika 
pasukan Tartar di bawah pimpinan Ike

Mese, Kau Shing dan Shih Pi bergabung 
dengan pasukan Majapahit untuk menyerang 
Kediri, si Manggala sempat mempelajari 
beberapa ilmu racun Cina. Termasuk racun 
asap mematikan yang kini hendak dipergu-
nakan Dirgasura.
Beberapa tahun kemudian, Manggala 
itu justru mati oleh salah satu racun 
yang dipelajarinya. Catatan-catatannya 
hilang begitu saja. Rupanya ada orang da-
lam yang berhasrat menguasai ilmu racun 
Cina itu, lalu membunuh si Manggala seca-
ra licik. Orang tersebut adalah kakek 
Dirgasura. Secara diam-diam ilmu racun 
Cina itu akhirnya diwariskan pada Dirga-
sura, tanpa pernah diketahui sama sekali 
oleh pihak istana yang lain.
Karena kebetulan sekali barak-barak 
pasukan Demak dibuat dari tenda kulit he-
wan, maka dengan mudah asap beracun akan 
tertahan di dalam jika seluruh tenda ter-
tutup. Namun sebelum gerombolan perampok 
berdarah dingin itu memulai, mereka dike-
jutkan oleh suara tabuhan keras bertalu-
talu dari satu bangunan kecil di sebelah 
timur barak.
Dung-dung-dung...!
Mereka terperanjat. Pada saat yang 
sama, prajurit Demak di dalam barak mulai 
terbangun. Menyusul terdengar sayup-sayup 
suara seruan seseorang. Panjang, meliuk-
liuk dan mengalun.

Rupanya, suara tabuhan keras, cepat 
dan bertalu itu berasal dari bedug di 
langgar kecil yang dibuat khusus oleh pa-
sukan Demak untuk melaksanakan shalat. 
Sedangkan seruan panjang yang mengiku-
tinya adalah suara azan.
Dalam keadaan tak terduga itu, sa-
lah seorang prajurit Demak sudah keluar 
dari barak. Salah seorang anak buah Dir-
gasura cepat melepas anak panahnya. Kare-
na dilakukan dalam keadaan terburu, anak 
panah itu melesat tak tepat ke sasaran 
yang dituju. Mestinya dada kiri korban 
tujuannya, tapi yang terkena malah bahu 
kirinya.
"Aaaaaa! Ada serangan!"
Teriakan si prajurit Demak yang 
terkena panah pun menyeruak awal shubuh 
yang semula hening. Maka, seluruh pasukan 
dalam barak bangun tersentak. Mereka me-
nerobos keluar dari barak-barak dengan 
senjata di tangan meskipun keadaan mereka 
belum lagi siap untuk melakukan pertempu-
ran....
Telanjur diketahui, Dirgasura tak 
ingin mental anak buahnya jadi hancur. 
Segera saja dia meneriakkan seruan pe-
rang, menyulut api semangat anak buahnya.
"Seraaaaaaang!"
Menyusul setelah itu, bunyi denting 
senjata dan teriakan haus darah Laskar 
Lawa Merah. Dirgasura sendiri sudah lebih

dahulu maju membabat beberapa prajurit 
Demak yang tak siap menghadapi terjangan-
nya. Sepertinya dia tahu benar, dengan 
begitu anak buahnya tak akan memikirkan 
lagi jumlah mereka yang lebih sedikit.
Prahara pun berlangsung!
* * *
Pagi menjelang. Kokok ayam jantan 
terus bersahut-sahutan dari menjelang 
shubuh hingga kini. Matahari mulai meng-
hangatkan bumi, mengenyahkan embun yang 
bergerak lamat-lamat. Sinar mulai bende-
rang di ufuk timur.
"Pagiiii! Selamat pagi!!!!" Gila-
gilaan, Satria berteriak sendiri di pun-
cak pohon jangkung. Di salah satu batang 
yang cukup untuk menahan tubuhnya, anak 
itu duduk bertengger sambil mengayun-
ayunkan kaki seenaknya. Entah pada siapa 
tabik itu hendak ditujukannya. Tak ada 
yang tahu. Barangkali, bocah itu sendiri 
tak tahu juga. Dia hanya ingin meneriakan 
salam, maka dia teriakan. Itu saja. Yang 
jelas, pagi bugar ini membawa kesegaran 
dalam dirinya, meski hampir semalaman dia 
tak tidur. Apalagi karena perutnya sudah 
aman dari rasa lapar setelah menandaskan 
sepotong ayam panggang bakar dinihari ta-
di.
"He! kambing buduk! Jangan seenak

nya berteriak! Memangnya cuma kau saja 
yang punya telinga?!"
Di bawahnya, Tresnasari sudah ber-
diri bertolak pinggang. Dia dongkol seka-
li pada teriakan Satria barusan. Karena 
teriakan itu, dia jadi bangun mendadak. 
Kepalanya berdenyut-denyut. Matanya ber-
kunang-kunang. Dikiranya ada gempa bumi. 
Tak tahunya ada 'bocah setengah sinting' 
berteriak-teriak tak karuan dari atas po-
hon.
Ketika terjaga semalam, Tresnasari 
melanjutkan tidurnya. Tawaran ayam pang-
gang Satria ditolaknya mentah-mentah. Le-
bih baik dia melanjutkan tidur dengan pe-
rut keroncongan daripada menerima tawaran 
bocah yang membuatnya sebal itu.
Satria tak keberatan dengan penola-
kan Tresnasari. Pikirnya, dengan bakal 
ada jatah ayam panggang tambahan yang bi-
sa disikatnya untuk sarapan pagi.
"Pagi, Nona...," salam Satria. Di-
pasangnya senyum semenawan mungkin. Di-
pandangan gadis tanggung berparas ayu 
yang disalaminya, senyum itu benar-benar 
menyebalkan. Sekali lagi menyebalkan. Tak 
pernah mimpi, bangun tidur disambut se-
nyum seekor kambing buduk, dengus Tresna-
sari dalam hati.
Terus memasang wajah bebas lepas-
nya, Satria turun dari atas pohon. 
Gayanya seperti seekor anak kera. Lincah

dan cepat.
Sementara itu, Nyai Cemarawangi su-
dah pula terbangun. Dia duduk dahulu be-
berapa saat sebelum bangun dan mengge-
liatkan tubuh. Seperti juga Tresnawati 
semalam, wanita berusia empat puluhan itu 
agak terkejut juga melihat tiga potong 
ayam panggang di atas bara api unggun.
"Siapa yang telah berburu ayam 
panggang, Tresna?" tanyanya pada sang pu-
tri.
Tresna cemberut. "Tak tahu!" sahut-
nya ketus.
Nyai Cemarawangi giliran melirik 
Satria. "Kau yang berburu ayam hutan?" 
tanyanya.
Satria cengengesan. "Bukan..." 
akunya jujur.
Nyai Cemarawangi tak percaya. Kalau 
bukan anaknya, pasti Satria. Masa' iya, 
panggang ayam datang begitu saja? Memang-
nya ada dedemit hutan yang suka berbuat 
baik membawakan makanan? Pikirnya.
"Kau baik sekali, Bocah. Kebetulan 
sekali perutku memang begitu lapar pagi 
ini. Tapi, ngomong-ngomong, apa kau ter-
biasa berburu ayam hutan waktu hari ge-
lap?" aju perempuan itu lagi, agak heran.
Satria membesarkan kelopak matanya. 
Dia ingin Nyai Cemarawangi melihat mimik
wajahnya yang mengungkapkan kesungguhan. 
"Sungguh, bukan aku yang berburu ayam hu

tan itu, semalam...."
"Ya, sudahlah...," sela Nyai Cema-
rawangi seraya menepiskan tangan ringan 
di udara. "Kalau kau tak suka menerima 
ucapan terima kasihku," tambahnya.
Satria menggaruk-garuk keningnya 
tak gatal. 
Nyai Cemarawangi lalu mendekati 
panggangan ayam. Dijemputnya sepotong. 
Dia duduk di atas batang pohon roboh dan 
mulai memakannya.
"Tresna, apa kau sudah makan?" 
tanya perempuan itu melihat putrinya te-
rus saja membelakangi dengan tangan ter-
lipat di dada.
Tak ada jawaban.
Nyai Cemarawangi cuma bisa menaik-
kan bahu. Satria yang berdiri menatap 
Nyai Cemarawangi melahap ayam panggang 
penuh selera, menelan ludah berkali-kali. 
Kira-kira, apa sudah waktunya aku makan 
lagi, ya? Bisik hati anak tanggung beram-
but kemerahan itu. Lapar, atau memang ra-
kus? Ah, peduli setan, pikirnya. Dideka-
tinya api unggun dengan sikap seolah-olah 
memang benar-benar dia yang telah berjasa 
berburu ayam hutan.
"Enak ayam panggangnya, Bik?" ujar-
nya, sok berbasa-basi. Padahal maksudnya 
cuma ingin menyikat satu potong lagi. Dan 
itu benar-benar dilakukan tanpa ragu-
ragu. Maju pantang mundur, pikirnya nga

wur.
Ketika keduanya asyik menikmati 
daging panggang hangat, di kejauhan ter-
dengar suara ribut-ribut.
Trang! 
"Hiaaaattt"
Ketiganya tercekat. Nyai Cemarawan-
gi bangkit tergesa. Tresnasari malah si-
gap meloloskan sepasang belatinya. Lain 
lagi Satria, ketercekatan itu justru mem-
buat kunyahannya makin seru saja
TUJUH
TAK begitu lama setelah terdengar 
teriakan, seseorang terlihat berlari di 
kejauhan. Sekelebatan, Satria, Nyai Cema-
rawangi dan Tresnasari menyaksikan orang 
itu penuh luka pada tubuhnya. Di antara 
pepohonan, sosok orang itu timbul tengge-
lam. Di belakangnya seseorang memburu ga-
nas. Tangannya mengayun-ayunkan tombak 
bermata golok berlumuran darah, siap me-
lemparkannya pada lelaki di depan.
Arah lari mereka menuju tempat is

tirahat Nyai Cemarawangi dan dua muda-
mudi yang bersamanya. Tak berapa lama ke-
mudian, sosok pertama yang penuh luka ak-
hirnya tiba juga di tempat mereka.
Tak lebih dari dua puluh langkah di 
belakangnya, si pengejar sudah mengangkat 
tinggi-tinggi tombak bermata golok di 
tangannya. Mata senjata itu diarahkan ke 
depan. Hingga pada saatnya....
"Mampus kau! Hih!!!"
Wukh!
Satria yang berada paling dekat 
dengan lelaki yang terluka entah mendapat 
dorongan keberanian dari mana, tiba-tiba 
saja melompat sepenuh tenaga. Diterjang-
nya tubuh lelaki terluka tadi ke samping 
memaksanya jatuh bergulingan di tanah. 
Jlep!
Sekejapan dari terjangan nekat Sa-
tria, tombak bermata golok tertancap di 
satu batang pohon. Sasarannya luput. Tin-
dakan cepat dan amat berani telah dilaku-
kan Satria untuk menyelamatkan lelaki ta-
di. Untuk seorang bocah tanggung yang tak 
memiliki bekal olah kanuragan sedikit 
pun, tindakan itu sebenarnya bisa dibi-
lang luar biasa.
Sempat Nyai Cemarawangi memuji ke-
tajaman naluri bocah berambut kemerahan 
itu. Perempuan itu yakin, hanya dengan 
berbekal naluri saja Satria bertindak. 
Dia pun harus mengakui itu sungguh luar

biasa!
"Ttterima... ka... sih," hatur si 
lelaki terluka terbata-bata.
"Thi... dhak apha-apha...," jawab 
Satria terengah-engah. Saat itu, baru 
terpikir olehnya betapa tindakannya tadi 
telah mempertaruhkan nyawa semata wayang-
nya. Bagaimana kalau tombak bermata golok 
yang dilempar si pengejar memangsa di-
rinya? Satria jadi bergidik juga mem-
bayangkan hal itu. Kalau dia tak di dekat 
orang yang baru ditolong, ingin disumpah-
serapahinya diri sendiri karena telah 
berlaku nekat
Si pengejar adalah lelaki berpera-
wakan kekar.
Berkumis hitam, menjuntai panjang 
sampai ke bagian dagu seperti orang Mon-
gol. Tapi, wajahnya jelas tidak menunjuk-
kan dia orang Mongol. Matanya saja berke-
lopak besar, berkilat jahat. Hidungnya 
pesek. Kulitnya sawo matang. Apa ada 
orang Mongol seperti itu? Lagi pula, pa-
kaian orang itu berciri khas prajurit ta-
nah Jawa. Cuma ada beberapa tambahan yang 
berkesan seram. Seperti sabuk tengkorak 
kepala ular yang dikenakannya.
"Siapa kalian?!" seru lelaki berku-
mis panjang. Merah sekali parasnya menge-
tahui buruannya luput dari maut.
Satria cepat-cepat berdiri. Dia ya-
kin lelaki seram itu akan marah besar pa

danya karena telah berbuat usil menyela-
matkan buruan orang itu. Usil? Satria me-
ringis pada lelaki berkumis panjang. Mak-
sudnya mau sedikit merayu, supaya dia tak 
dijadikan sasaran kemarahan akibat keusi-
lannya.
"Aku usil ya, Kang?" ujarnya, kebo-
doh-bodohan.
"Diam kau!"
Satria tercekat. Jakunnya naik se-
bentar, turun lagi, lalu naik lagi.
"Ada apa sebenarnya, Kisanak?" ser-
gah Nyai Cemarawangi, menengahi. Kakinya 
maju beberapa tindak, mendekati tempat 
Satria.
"Maafkan kalau, ng... anak lelakiku 
ini telah berbuat lancang. Tapi, mungkin 
dia hanya tak ingin ada tindakan main ha-
kim sendiri," sambung Nyai Cemarawangi.
Si bocah dekil di sisinya mengang-
guk-angguk membenarkan, seperti seekor 
kakak tua. Padahal, sebelumnya terpikir 
pun tidak alasan seperti itu di benaknya.
"Tak perlu kau banyak tanya, Perem-
puan! Cepat kau serahkan saja lelaki itu 
padaku!"
"Tidak, sampai kau jelaskan duduk
perkaranya!" sela Tresnasari, menan-
daskan! Dari tempatnya berdiri gadis 
tanggung itu pun maju beberapa tindak.
"Bedebah!" maki lelaki berwajah 
bengis.

"Setan alas!" balas Tresnasari, 
sengit.
"Ular kadut!" Satria ikut-ikutan. 
Cuma sedikit latah pada saat kea-
daan jadi tegang seperti itu. Sewaktu me-
nyadari dia telah memaki lelaki bertam-
pang seram, buru-buru mulutnya didekap.
"Cukup, Anak-anak! tak selayaknya 
kalian bersikap seperti itu pada orang 
yang lebih tua." Nyai Cemarawangi mempe-
ringati. "Nah, Kisanak. Kurasa, pendapat 
anak perempuanku dapat kuterima. Aku ha-
rus tahu dulu duduk perkaranya sebelum 
menyerahkan lelaki ini," lanjut Nyai Ce-
marawangi seraya menunjuk lelaki bersera-
gam prajurit Demak.
Luka-lukanya sudah banyak mengelua-
rkan darah. Khususnya pada bagian bahu 
yang tersayat dalam. Dia tampak begitu 
lemah. Wajahnya pucat.
"Kalian tak perlu bersikap sok pah-
lawan. Cepat serahkan saja keparat itu 
padaku, lalu kalian menyingkir dari tem-
pat ini!"
"Sikapmu mencurigakan sekali, Kisa-
nak. Kau memberi kesan pada kami kalau 
kau bukan orang baik-baik...." Tetap te-
nang bagai permukaan telaga, Nyai Cemara-
wangi menanggapi hardikan lelaki berkumis 
panjang.
Mendengus-denguslah napas orang itu 
mendengar sindiran halus Nyai Cemarawangi

yang mengena ke sasaran.
"Grrr! Sekali lagi, pergilah sebe-
lum kesabaranku musnah!"
Satria melirik Tresnasari. "Bagai-
mana? Apa tak sebaiknya kita pergi saja? 
Orang ini tampaknya sinting, ya? Kau tak 
takut dikunyahnya? Seram, ah...."
Tambah mendengus-dengus saja lelaki 
bertampang seram mendengar kasak-kusuk 
sembarangan Satria. Biji matanya mende-
lik. Warnanya merah matang. Lalu....
"Mampuslah kalian semua! Hiaaat!!"
Dengan kemurkaan tak kalah menggi-
dikkan dari amukan banteng mata gelap, 
lelaki kekar tadi menerjang dengan satu 
tendangan terbang. Kaki kanannya lurus ke 
depan.
"Menyingkir kau, Cah Bagus!" seru 
Nyai Cemarawangi pada Satria.
Susahnya, Satria malah ngotot untuk 
tetap berdiri di tempatnya. Kalau ditanya 
apakah dia ngeri melihat perawakan dan 
wajah lelaki itu, dia pasti mengiyakan. 
Cuma, kalau masalah apakah dia takut? Ma-
ka, dia akan dengan agak pongah akan men-
gatakan, tidak. Sebabnya, bocah itu mera-
sa tidak pantas kalau Nyai Cemarawangi 
yang dirangsak. Bukankah semua itu karena 
kesalahannya? Karena dia telah usil me-
nyelamatkan nyawa lelaki berpakaian pra-
jurit Demak. Karena rasa bertanggung-
jawab pada perbuatannya tadi, membuat bo

cah itu tetap berdiri di tempatnya.
Lebih gila lagi, bocah itu malah 
beranjak ke depan Nyai Cemarawangi. Den-
gan mata terpejam, Satria sengaja hendak 
menghadang tendangan terbang lelaki tadi. 
Dadanya dibusungkan ke depan. Biarlah ke-
na tendangan sekali-kali, buat menebus 
kesalahan, pikirnya. Ah, dasar bocah lu-
gu! Apa dikiranya nyawa satu-satunya akan 
selamat kalau terkena tendangan beringas 
itu, meski cuma sekali?
Kenekatan Satria membuat Tresnasari 
membelalak sebesar-besarnya. Dia saja 
yang sudah berlatih olah kanuragan selama 
bertahun-tahun akan berpikir berpuluh 
kali untuk memapaki tendangan kuat itu. 
Apalagi menghadang dengan dada? Itu na-
manya sinting!
"Kambing buduk tak punya otak!" 
lengking Tresnasari sambil cepat menerkam 
tubuh Satria. Keduanya bergulingan saling 
himpit di tanah. Ketika berhenti, Satria 
sudah berada di atas tubuh si gadis tang-
gung.
"Bangun kau!" hardik Tresnasari. 
Wajahnya bersemu merah. Matang sekali. 
Habisnya, Satria malah keenakan tak mau 
cepat-cepat bangkit. Si bocah dekil pun 
buru-buru bangkit bersungut-sungut. "Me-
mang, siapa yang menyuruhmu menyelamatkan 
aku?" gerutunya, asam.
Plak!

Selang beberapa kedip mata setelah 
luputnya tubuh Satria dari tendangan ter-
bang lelaki bengis, terdengar suara ke-
ras.
Plak!
Tangan Nyai Cemarawangi menyambut 
kedatangan terjangan kaki tadi. Kalau me-
nilik betapa kuatnya tendangan lawan, 
tentunya tubuh perempuan dalam keadaan 
sakit itu akan terlempar jauh. Setidaknya 
dia akan terseret beberapa tindak ke be-
lakang. Itu justru tidak terjadi. Kuda-
kudanya masih terpancang kokoh di tanah. 
Malah, lawannya meringis-ringis menahan 
nyeri ketika telah menjejakkan kaki kem-
bali.
"Jangan memaksaku bertindak lebih 
jauh, Kisanak!" Nyai Cemarawangi mempe-
ringati. Tangannya masih dalam posisi se-
mula, memperlihatkan sikap menangkis. Wa-
jah pucatnya tak berubah sama sekali. Te-
tap datar.
Kemarahan tetap kemarahan kalau 
orangnya sendiri sudah tak bisa menguasai 
diri. Mata gelap memang seringkali membu-
takan penilaian sehat seseorang. Hal itu 
terjadi pada diri si lelaki bengis. Meski 
sudah tahu kalau kepandaian tarung lawan-
nya tak sebanding dengan dirinya, dia ma-
sih saja mengumbar kemarahan. 
"Pergilah kau ke neraka, Wanita Ja-
dah!" Berkawal makian menyakitkan telinga

seorang wanita terhormat seperti Nyai Ce-
marawangi, orang berkumis panjang berlari 
liar menggempur lawan kembali.
Tresnasari yang tak tega pada kea-
daan sakit ibundanya menjadi geram pada 
sikap keras kepala lelaki bengis. Dia tak 
pernah ingin sakit ibunya menjadi makin 
parah hanya karena melayani kekalapan bo-
doh seorang berangasan tak dikenal.
Dari tempatnya berdiri, si gadis 
ayu baru beranjak remaja melompat. Di 
udara tubuhnya tergulung berjumpalitan. 
Arahnya menuju ke tombak bermata golok 
yang tertancap di batang pohon, beberapa 
depa di samping kancah perkelahian.
Wrrr.... Krakh!
Ketika gulungan tubuh Tresnasari 
terbuka, sebelah kakinya menghentak amat 
keras ke tengah-tengah batang tombak. 
Tombak terpatah dua. Patahannya memburu 
deras ke arah tubuh lelaki bengis.
Creph!
"Ukh!"
Hanya sempat memperdengarkan henta-
kan napas teramat pendek tercekat, si le-
laki bertubuh kekar ambruk dengan leher 
tertembus patahan batang tombak dari 
samping!
"Kau tak perlu berbuat itu padanya, 
Tresna...," tegur Nyai Cemarawangi.
"Tapi dia pantas menerimanya. Apa 
Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik

dari binatang?" kilah Tresna.
Si perempuan menjelang tengah baya 
menggeleng-gelengkan kepala lamat.
"Bocah perempuan keparat!!!"
Sebuah suara lantang melantun ka-
sar. Dedaunan bergemerisik. Sebagian ber-
guguran. Tubuh Satria tersentak kejang. 
Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela 
diri itu langsung ambrol. Dia jatuh ber-
lutut dalam keadaan menggigil. Tresnasari 
pun tersentak. Cuma dia tak separah Sa-
tria. Tubuhnya hanya tergetar sebentar. 
Bahkan badan Nyai Cemarawangi sempat ter-
sentak. Wajahnya setegang otot-otot di 
sekujur tubuhnya.
Dari balik semak-semak rimbun, me-
layang ringan sesosok tubuh. Caranya me-
layang seolah-olah sedang berdiri tegak 
di udara saja. Gerakan yang mengagumkan, 
bahkan terbilang amat sulit dilakukan.
Di tengah-tengah ketiga orang tadi, 
orang yang baru muncul menjejakkan kaki. 
Seorang lelaki tinggi besar yang tak lain 
Dirgasura, gembong Laskar Lawa Merah! 
Daerah tempat Nyai Cemarawangi dengan se-
pasang muda-mudi itu memang berada tak 
jauh dari desa tempat basis pasukan Demak 
yang diserang gerombolan perampok di ba-
wah pimpinan lelaki setengah raksasa itu. 
Mereka berhasil memporak-porandakan keku-
atan pasukan Demak meski jumlah mereka 
masih kalah banyak. Itu pun karena siasat

licik Dirgasura juga. Dia melancarkan 
taktik lain setelah rencana pertamanya 
hancur di tengah jalan.
Sewaktu seluruh prajurit Demak ke-
luar dari barak dengan senjata siap di 
tangan, Dirgasura turut melakukan gempu-
ran awal di depan seluruh anak buahnya. 
Lawan terdepan diterabasnya tanpa ampun. 
Beberapa prajurit langsung menemui ajal, 
menjadi korban senjata berbentuk kapak 
besar bermata duanya. Dia terus menerobos 
menembus setiap prajurit Demak yang men-
coba menghadang. Tujuannya adalah salah 
satu rumah penduduk desa yang berdampin-
gan dengan barak pasukan Demak.
Dengan kepandaian olah kanuragan 
yang dimiliki, sebenarnya gembong peram-
pok yang dulu merajalela di zaman Majapa-
hit itu mampu menghadapi pasukan Demak 
tanpa harus kehilangan nyawa. Dia bisa 
mengamuk sejadi-jadinya dan membunuhi sa-
tu demi satu para lawan. Tapi, persoalan 
anak buahnya akan lain lagi. Mungkin saja 
dia bisa menghadapi serangan-serangan 
prajurit Demak, namun dia tak ingin mem-
pertaruhkan nyawa anak buah setianya. Se-
makin banyak anak buahnya tewas, maka da-
lam pandangan Dirgasura, akan semakin be-
sar kekalahan yang ditelan. Karena itu 
dia lebih suka melaksanakan siasat licik 
lain. Lagi pula, dia memang ingin melak-
sanakan secepatnya penjarahan harta tanpa

harus bertele-tele menghadapi pertarun-
gan.
Dirgasura berhasil mendekati satu 
rumah penduduk. Dengan meminta dua nyawa 
lagi dari prajurit Demak yang mencoba 
menghalanginya, Dirgasura berhasil mene-
robos masuk. Di dalam rumah dia menemukan 
seorang ibu muda bersama seorang bayinya 
berdiri ketakutan di sudut ruangan.
Dipaksanya ibu muda itu keluar be-
serta bayi dalam gendongannya. Tanpa men-
genal belas kasihan, diseretnya si ibu 
muda yang menjerit-jerit ketakutan ke 
tengah-tengah pertempuran yang sedang 
berlangsung sengit.
"Hentikan serangan kalian jika tak 
ingin wanita dan bayinya ini mampus oleh 
kapakku!!!" seru Dirgasura, teramat ke-
ras, menggetarkan arena pertarungan. Bah-
kan menandingi riuh-rendah suara pertem-
puran sendiri.
Perlahan-lahan, gempuran pasukan 
Demak terhadap anak buah Dirgasura mele-
mah. Satu demi satu prajurit Demak mundur 
beberapa tindak dari para lawannya. Sete-
lah ancaman kedua terlepas dari tenggoro-
kan Dirgasura, mereka terpaksa melepaskan 
senjata masing-masing. Jika tidak, ketua 
perompak paling ditakuti di wilayah pesi-
sir Jawa beberapa tahun belakangan itu 
akan mulai membelah kepala si bayi!
Dirgasura kemudian memerintah anak

buahnya untuk mengumpulkan seluruh praju-
rit Demak ke satu lapangan. Di dekatinya 
salah seorang tangan kanannya, lelaki ku-
rus berkulit hitam berkepala botak ketu-
runan India. Pada lelaki itu, Dirgasura 
berbisik sebentar.
"Kita tak mungkin menjarah harta 
rampasan perang mereka, mengangkut harta 
penduduk dan membawa wanitanya jika mere-
ka masih hidup. Mereka cuma menyerah ka-
rena kita masih menyandera perempuan dan 
bayinya ini," sambil berbisik, tangannya 
terus menempelkan mata kapaknya ke leher 
si ibu muda. "Kalau kita lengah ketika 
sedang menjarah, mereka bisa menggempur 
kita lagi dengan tiba-tiba. Kau tahu me-
reka prajurit yang tak sudi menyerah, bu-
kan? Jadi, bunuh mereka semua dengan ser-
buk racun!" tambahnya, menuntaskan satu 
perintah keji yang pasti dilaksanakan 
anak buah setianya tanpa banyak tanya. 
Maka, si lelaki keling yang banyak 
tahu tentang gejala alam itu mengamati 
arah angin beberapa saat. Tahu angin te-
lah bertiup tetap pada satu arah, diisya-
ratkannya seluruh anggota Laskar Lawa Me-
rah untuk berdiri di belakangnya. Kantong 
kulit yang tergantung di ikat pinggang-
nya, dilepas. Lalu.... 
Wrrrr!
Sepenuh tenaga, dilemparnya kantong 
kulit tadi ke udara. Seluruh prajurit De

mak tanpa sadar mengikuti layangan kan-
tong tadi. Sebelum sempat mencapai titik 
baliknya, kantong itu tertembus pisau ba-
ja kecil yang dilempar lelaki keling.
Isinya pun berhamburan keluar. Ser-
buk putih kehijauan memenuhi udara, me-
layang-layang lamat sejenak, lalu digir-
ing angin sepoi-sepoi ke arah para praju-
rit Demak. Sementara sekumpulan orang 
yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi 
di udara, tak pernah menyadari bahwa tan-
gan-tangan maut siap menjemput! Mereka 
hanya menatap tak mengerti dengan wajah 
penuh tanda tanya.
Sampai akhirnya beberapa orang per-
tama terkena tebaran serbuk. Teriakan me-
reka memecah keheningan suasana dan kehe-
ningan pagi muda. Kala itulah yang lain 
menyadari kalau serbuk tadi adalah racun 
ganas. Sayang, mereka sudah terlambat un-
tuk menghindar. Tak ada beberapa tarikan 
napas saja, seluruh prajurit malang tadi 
sudah menggelepar-gelepar di lapangan 
rumput yang masih dilembabi embun.
Kulit mereka berubah memerah laksa-
na terpanggang. Ketika tangan mereka 
menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelu-
pas. Mereka bergelinjangan terus. Saling 
tindih, saling menyentak. Sampai akhir-
nya, racun yang terserap kulit mereka di-
giring aliran darah dan sampai ke jan-
tung. Jantung mereka terbakar. Seluruh

prajurit tewas!
Saat itulah, entah bagaimana salah 
seorang dari mereka ternyata luput terke-
na serbuk racun. Nasib memang sulit di-
tentukan. Terutama saat kematian yang se-
lalu menjadi teka-teki siapa pun. Pada 
saat semua rekannya tewas terkena serbuk 
racun, salah seorang prajurit selamat. 
Lengahnya anggota gerombolan Laskar Lawa 
Merah saat menyaksikan para korban serbuk 
racun, segera dimanfaatkannya untuk mela-
rikan diri.
Prajurit yang bernasib baik itulah 
yang telah diselamatkan oleh 'keusilan' 
Satria belum lama.
"Kalian telah lancang membunuh seo-
rang anak buahku!" geram Dirgasura. Ma-
tanya berkilat-kilat menggidikkan. Cuping 
hidungnya kembang-kempis cepat.
Satria saat itu mulai bisa mengge-
rakkan badan yang semula kaku tiba-tiba. 
Sendi-sendinya linu. Gendang telinganya 
masih terasa pedih. Sampai saat itu, dia 
masih belum bisa mendengar secara jelas. 
Untuk cepat-cepat bangkit, rasanya masih 
lemas. Jadi terus saja dia tertelungkup. 
Kepalanya diangkat perlahan. Pandangan 
ditebarnya. Begitu dilihatnya seseorang 
tinggi besar bertolak-pinggang, matanya
mengerjap-erjap. Disangkanya dia sedang 
sekarat, dan sosok yang dilihatnya adalah 
mambang penunggu hutan yang ingin menye

satkan jiwanya. Sewaktu sadar dia masih 
bisa hidup lebih lama, bibirnya langsung 
melepas cengiran tanggung. Diperhatikan-
nya lagi Dirgasura. Dilihatnya hidung si 
lelaki setengah raksasa kembang-kempis 
cepat diburu kemurkaan. Bocah yang hilang 
ingatan meski tak sampai sinting sama se-
kali itu lantas saja merasa harus mende-
kap hidungnya sendiri, tak tahan melihat 
gerak cuping hidung Dirgasura.
"Apa kalian tak tahu siapa yang te-
lah kalian bunuh?!" bentak Dirgasura kem-
bali.
Satria melirik Tresnasari. Sepan-
jang pengetahuannya, gadis tanggung itu-
lah yang telah melempar nyawa si lelaki 
berkumis ekor tikus ke neraka.
"Hei Nona, apa kau tahu siapa orang 
yang telah kau bikin mampus? Sumpah mati, 
aku tidak tahu menahu siapa orang itu," 
ucapnya sungguh-sungguh, masih dengan tu-
buh tertelungkup. Hanya kepalanya saja 
yang terangkat seperti sebelumnya. Sung-
guh, dia tak menyadari kalau pertanyaan 
Dirgasura sebenarnya tak perlu jawaban, 
sekadar cetusan kemurkaan semata.
"Kalian telah membunuh anak bua-
hku!" teriak Dirgasura. Kekuatan tenaga 
dalamnya tersalur kembali melalui teria-
kan kemarahannya. Dedaunan kembali berge-
merisik. Sebagian berguguran bagai daun 
kering diterpa angin kencang. Siksaan he

bat merangsak Nyai Cemarawangi dan Tres-
nasari pula.
Bagaimana dengan Satria?
Lucunya, anak itu seperti tak ter-
pengaruh sedikit pun. Tak seperti sebe-
lumnya, dia bangun santai. Tenang-tenang 
saja, ditepuknya pakaian untuk mengenyah-
kan dedaunan kering yang menempel di pa-
kaian kumalnya.
"Nah, sekarang tidak terasa linu 
lagi..." ocehnya sambil menggeliatkan 
pinggangnya. Apa dipikirkan dia baru saja 
bangun tidur?
Dirgasura menyaksikan itu. Dia ter-
nanar. Apa-apaan ini? Bukankah sebelumnya 
anak itu justru ambruk karena kekuatan 
tenaga dalam yang disalurkan melalui sua-
ranya? Kenapa sekarang tidak? Apa ada 
yang salah?
Bocah yang diperhatikan terus saja 
melangkah tanpa perasaan apa-apa ke arah 
Tresnasari. Dilihatnya gadis tanggung pu-
jaan hati selama beberapa hari ini sedang 
mendekap telinga kuat-kuat, menahan sakit 
seperti ditohok oleh sebatang lidi sebe-
sar kelingking ke gendang telinganya.
"Kau kenapa, Nona? Apa 'buto ijo' 
itu mengeluarkan teriakan dedemitnya la-
gi?" tanya Satria, kelugu-luguan.

DELAPAN
TERLALU mustahil kalau tiba-tiba 
bocah berambut kemerahan, Satria mendadak 
menjadi sakti. Khususnya bagi Nyai Cema-
rawangi dan Tresnasari yang sudah cukup 
mengenalnya. Tapi, kalau dipikir ulang, 
sebenarnya mereka hanya baru satu hari 
saja mengenal anak itu. Tepatnya dimulai 
kemarin siang ketika Satria masih menjadi 
pelayan dadakan di warung Ki Kusumo. Ter-
pikir oleh Ibu beranak itu bahwa selama
ini Satria telah berpura-pura. Bahwa se-
benarnya dia adalah seorang bocah sakti. 
Mereka terpedaya karena sikapnya selama
ini yang selalu tampak lugu, lemah dan 
kebodoh-bodohan. Apa benar begitu?
Setidaknya, Dirgasura berpikir se-
rupa. Dia merasa telah dikelabui oleh 
seorang bocah yang telah berpura-pura bo-
doh semenjak kedatangannya ke tempat itu.
Satria sendiri sebenarnya tetap 
seorang bocah berusia belasan yang buta 
ilmu bela diri. Kalau sekarang dia menda-
dak jadi tampak sakti pasti ada sebabnya. 
'Asap ada pasti karena ada api!'.
Di lain tempat, tepatnya dif atas 
sebuah pohon tak jauh dari tempat mereka, 
seseorang duduk bertengger menonton selu-
ruh kejadian dari awal. Tempat yang didu

duki sambil mengongkang kaki adalah rant-
ing, tak lebih tebal dari kaki burung nu-
ri kecil. Itu tak jadi terlalu aneh kalau 
mengetahui siapa si penonton itu sebenar-
nya. Dia tak lain Ki Kusumo.
Orang tua sakti misterius itukah 
yang telah sengaja menyalurkan tenaga da-
lamnya ke diri Satria hingga membuatnya 
sanggup bertahan terhadap terjangan keku-
atan tenaga dalam yang disalurkan Dirga-
sura dalam bentakannya?
Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu ma-
lah sedang sibuk menggeleng-gelengkan ke-
pala. Biar mampus disambar capung, dia 
terheran-heran menyaksikan si bocah sehat 
wal'afiat. Padahal Ki Kusumo sudah mengu-
kur kekuatan teriakan bertenaga dalam ke-
dua Dirgasura. Teriakan itu lebih kuat 
dari sebelumnya. Mestinya, keadaan Satria 
akan semakin parah. Bahkan bisa-bisa pula 
tak sadarkan diri. Semalam dia dibuat 
bertanya-tanya dalam hati karena si bocah 
yang ditaksirnya hendak dijadikan murid 
ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya. 
Kini terjadi hal lain lagi. Benar-benar 
tak bisa dimengerti!
Merasa telah dikelabui dari awal, 
Dirgasura jadi penasaran.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Dir-
gasura, ditujukan pada Satria.
Satria tak memperhatikan. Dia sibuk 
memapah Tresnasari agar tidak terjatuh

akibat sentakan tenaga dalam suara si ke-
tua Laskar Lawa Merah.
"Hey, aku bertanya padamu! Siapa 
kau sebenarnya?'" ulang Dirgasura.
"Hah?" Anak itu baru menoleh. Mu-
lutnya menganga.
Geram sekali Dirgasura. Pasti dia 
sedang berusaha mempermainkan aku terus, 
pikirnya.
"Siapa kau sebenarnya, Setan Alas!" 
ulang Dirgasura lagi, sengit.
"O, 'Paman' tanya siapa aku sebe-
narnya?" Satria mencoba bersopan-santun. 
Biarpun sebelumnya dia menyebut Dirgasura 
sebagai 'buto ijo'. Bocah dekil itu men-
gangguk-angguk. Cuma mengangguk-angguk, 
sementara pertanyaan Dirgasura tak cepat-
cepat dijawabnya. Bagaimana dia bisa men-
jawab, sementara ingatannya tentang asal-
usul dirinya saja tak sedikit pun tersisa 
di benak. "Ngg, aku Satria. Itu saja," 
akunya sejujur-jujurnya. Karena, memang 
cuma nama itu yang diingat dari dirinya.
Biji mata Dirgasura membesar. Ubun-
ubunnya terasa hendak mengelotok di tem-
pat itu juga karena saking panasnya. Ra-
hangnya mengeras. Gigi-giginya bergemele-
tukan. Wajahnya merah matang. "Ap... apa 
aku salah, Paman? Aku memang Satria. Kau 
tak suka nama itu? Kka... kalau kau tak 
suka, kk... kau boleh ganti nam... nama-
ku! Somad boleh! Gugun boleh! Maemunah

juga boleh! Pok... pokoknya terserah Pa-
man saja!" gagap Satria, ngeri melihat 
perubahan wajah Dirgasura yang kian meng-
gidikkan. Dalam pandangannya, lelaki se-
tengah raksasa itu hendak menelannya bu-
lat-bulat.
Lain yang ada di benak Satria ke-
cil, lain pula di benak Dirgasura. Kenge-
rian anak itu malah diartikan lain oleh 
sang ketua perampok. Dia merasa makin di-
ejek oleh Satria, seseorang yang diang-
gapnya memiliki kesaktian tapi berpura-
pura bodoh untuk menghinanya.
"Peduli setan siapa kau sebenarnya! 
Kau pun harus mampus seperti dua wanita 
itu nanti! Hih!" Berkawal hardikan meng-
geledek sarat kegeraman, Dirgasura mele-
pas pukulan jarak jauhnya ke arah Satria.
Wush! Dash!
"Aaakh!"
Seketika badan agak kurus bocah itu 
melayang lurus sepuluh tombak ke bela-
kang. Tak akan berhenti luncuran tubuhnya 
kalau tak terhadang pohon besar.
Dugh!
Lalu tubuh kecil itu merosot lun-
glai ke tanah. Mengenaskan.
Ki Kusumo terbengong di atas pohon, 
Nyai Cemarawangi terbengong, Tresnasari 
pun terbengong. Mereka semua terpana me-
nyaksikan kejadian itu. Sekaligus merutuk 
kenapa tak cepat-cepat bertindak untuk

menyelamatkan bocah yang mungkin saja me-
mang tak pernah memiliki ilmu kanuragan 
itu. Cuma Dirgasura yang terus saja ka-
lap. Dia mencak-mencak sambil meruntunkan 
makian.
"Jangan kau bermain-main lagi den-
ganku, Keparat! Keluarkan kesaktianmu! 
Aku ingin tahu apakah kau mampu mengalah-
kan Dirgasura, Tangan Seribu Dewa!!!"
Sekali ini, Nyai Cemarawangi dike-
jutkan oleh pengakuan julukan Dirgasura. 
Tangan Seribu Dewa. Julukan itu pernah 
didengarnya beberapa waktu lalu. Tapi di 
mana? Dia kurang ingat persis. Siapa le-
laki tinggi besar ini? Pikirnya.
Segenap tanda tanya di hati Nyai 
Cemarawangi dikandaskan oleh teriakan ga-
rang Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa 
kembali. Lelaki itu hendak melepas puku-
lan jarak jauhnya kembali ke arah Satria. 
Sedangkan Satria sendiri saat itu benar-
benar dalam keadaan mengkhawatirkan. Dari 
sudut bibirnya mengalir darah kehitaman. 
Juga dari lubang hidungnya. Luka dalam 
pasti. Dan itu luput terlihat oleh pan-
dangan kalap Dirgasura.
Dasarnya bocah itu memang berke-
mauan sekeras baja, dia tak tampak cen-
geng menderita siksaan yang merejang se-
kujur badannya. Rasa panas luar biasa 
menjerang. Dadanya sesak teramat sangat. 
Kepalanya berat bagai dibebani beban ra

tusan kati. Dengan mata berkedip-kedip 
sayu, dia malah berusaha bangkit. Seben-
tar dia terseok, jatuh lagi. Lalu berusa-
ha lagi.
"Hadapi akuuuuu!" seru Dirgasura 
panjang, merasa kepalanya telah diinjak-
injak demikian rupa oleh bocah tak diken-
al. Lantas.... 
Wush.
Ki Kusumo di atas pohon berjingkat 
kaget. Pukulan jarak jauh Dirgasura tak 
boleh menghajar anak itu lagi. Itu tak 
boleh terjadi, kalau ingin nyawa anak itu 
tetap tinggal di badan. Dia hendak ber-
tindak. Namun kalah cepat oleh Nyai Cema-
rawangi. Tubuh wanita itu sudah lebih da-
hulu melejit lurus ke udara.
"Heeeaa!"
Dash!
Mempertaruhkan nyawa sendiri, pe-
rempuan yang menderita sakit itu menyong-
song pukulan jarak jauh Dirgasura dengan 
terkaman tubuhnya.
Dash! 
"Ugh!"
"Nyaiii!!" Tresnasari menjerit me-
lengking. Tinggi dan menelusupi pelosok 
hutan.
Serupa dengan kejadian yang menimpa 
Satria, Nyai Cemarawangi pun terpental 
jauh sebelum akhirnya jatuh. Meski masih 
sempat bersalto dan membuat pijakan den

gan kedua kakinya, tak urung perempuan 
itu oleng. Tak lama berikutnya dia ter-
simpuh. Darah hitam termuntah dari mulut-
nya. Kalau saja dia tak dalam keadaan sa-
kit, tentu luka dalam yang dideritanya 
tak akan separah itu.
Tresnasari meraung-raung memanggil-
manggil ibunya. Dari tempatnya berdiri, 
dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Ti-
ba di dekatnya, disergapnya tubuh perem-
puan itu sambil bersimpuh.
"Nyai tidak apa-apa?" tanya gadis 
ayu itu tersendat-sendat dihadang isak. 
Air mata membasahi kedua pipi kemayunya.
Ibunya tak bisa menjawab, kecuali 
menggelengkan kepala. Dia ingin meyakin-
kan anaknya kalau keadaan dirinya tak 
perlu dikhawatirkan. Sayang, darah kehi-
taman yang terus merembes keluar dari se-
la-sela bibir pucatnya mengatakan suatu 
yang lain.
Beranglah Tresnasari. Cepat dica-
butnya kembali sepasang belati dari ikat 
pinggang. Dia bangkit dengan wajah menge-
ras.
"Orang itu harus membayar perla-
kuannya terhadap Nyai," geramnya.
"Jjj... jangan, Tresna...." Sang 
ibunda hendak menahan.
Tresnasari sudah telanjur berlari 
menghambur ke arah Dirgasura.
"Kubunuh kau manusia keji!!!" pe

kiknya melengking.
Sebelum gadis tanggung itu sampai 
ke dekat Dirgasura, sesosok tubuh me-
layang ringan memotong geraknya dari 
atas. Gerakannya sulit diikuti mata. Sea-
kan-akan dia sudah berdiri menghadang ke-
kalapan Tresnasari.
Tuk!
Tubuh Tresnasari lemas. Satu toto-
kan mendarat di satu jalan darahnya. 
Orang yang menghadang dan baru saja mele-
pas totokan adalah Ki Kusumo. Mencegah 
agar Tresnasari tak ambruk ke tanah, 
orang tua itu cepat membopongnya. Ditepi-
kannya tubuh gadis itu ke bawah pohon.
"Kau sudah keterlaluan Tangan Seri-
bu Dewa," ucapnya datar kepada Dirgasura.
"Siapa pula kau, Lelaki Keropos?!"
"Kau akan terkejut bila kukatakan 
siapa aku. Sebaiknya kau meninggalkan 
tempat ini," perintah Ki Kusumo, tetap 
dingin. Tetap datar.
Kepala Dirgasura yang sudah dipena-
ti oleh kekalapan tak sudi begitu saja 
menyingkir. Apalagi karena perintah seo-
rang tua bangka tak dikenal. Rasanya dia 
ingin mengunyah tulang rapuh dan daging 
alot orang tua itu.
"Peduli setan pula denganmu, Orang 
Tua Keropos! Makan pukulanku ini! 
Heaaa!!!"
Untuk ketiga kalinya, pukulan jarak

jauh Tangan Seribu Dewa dilepaskan. Seka-
li ini, berkekuatan empat kali lipat dari 
sebelumnya, pertanda Dirgasura memang be-
nar-benar ingin meremuk-redamkan tulang 
Ki Kusumo. Kalau perlu sampai seperti ku-
nyahan seekor naga!
Ki Kusumo hanya melirik enteng ke 
arah angin pukulan yang menderu di udara. 
Sambil bangkit dari simpuhnya, lelaki tua 
itu berbalik. Tak ada tanda-tanda kalau 
dia hendak memapaki pukulan jarak jauh 
tadi. 
Blap!
Tepat di dada orang tua itu, puku-
lan jarak jauh Dirgasura mendarat.
Dirgasura dibuat terperangah dengan 
mulut ternganga. Pukulannya yang sanggup 
meluluh-lantakkan badan lima ekor kerbau 
sekaligus teredam begitu saja ketika men-
genal dada sasarannya!
"Kukatakan sekali lagi, pergilah 
kau, sebelum aku berubah pikiran...," 
ucap Ki Kusumo.
Dirgasura tak mau banyak cakap. Le-
laki berbadan raksasa itu tahu diri juga. 
Dengusan kasar dan gigi-giginya yang ber-
gemeletukan terdengar disertai tatapan 
jalang dari matanya. Sesaat dia menggeram 
marah, lalu bergerak pergi. Bodoh kalau 
dia tetap ngotot menggempur lelaki tua 
yang kini diyakininya sebagai salah satu 
tokoh sakti dunia persilatan yang jarang

memunculkan diri. Belum lagi si kecil 
gendeng yang tingkat kepandaiannya sampai 
saat ini sulit ditebak!
SEMBILAN
WAKTU terus menggilas tanpa menanti 
barang sekejap pun. Hari baru digulirkan. 
Fajar baru menampakkan wajahnya seperti 
hari-hari kemarin. Masih dengan sinar la-
mat merah tembaga di ufuk timur. Masih 
dengan sahut-sahutan kokok ayam jantan. 
Semuanya seperti tidak berubah.
Satria tersadar dari pingsannya.

Kepalanya masih berdenyut-denyut luar bi-
asa. Seluruh bagian tubuhnya, dari sendi 
hingga ke otot terasa seperti direjam-
rejam dari dalam. Untuk menggerakkan otot 
leher saja nyerinya bukan kepalang.
Kelopak mata anak itu membuka. Di-
lihatnya sepotong wajah yang sudah dike-
nalnya. Ki Kusumo.
"Syukurlah kau telah sadar, Anak 
Muda! He-he-he...," sambut orang tua itu, 
Sungguh sulit dimengerti bagaimana Ki Ku-
sumo menganggap siumannya Satria sebagai 
satu hal yang lucu hingga perlu diterta-
wakan?
Dari wajah Ki Kusumo, mata Satria 
berkeliling ke sekitar. Dilihatnya atap 
kecoklatan daun kelapa kering dan bambu-
bambu penglari tak berlangit-langit. Di 
sekitarnya terlihat kabang-kabang tebal.
"Di mana aku?" tanyanya lirih.
"Di tempat yang aman...," jawab Ki 
Kusumo.
"Di gubukmu, Pak Tua Kusumo?"
"Bukan...."
"Jadi di rumah siapa?" 
"Aku sendiri tak tahu."
Satria mencoba bangkit. Linu-linu 
masih menyertai setiap gerakan otot serta 
sendinya. Baru saja dia bisa menegakkan 
punggung, satu jotosan melanda bibirnya.
Dugh!
"Wadau!"

Matanya agak berkunang-kunang. Tapi 
dia tetap penasaran untuk mencari tahu 
siapa orang iseng brengsek yang mengha-
diahkan jotosan tadi. Samar-samar dili-
hatnya wajah seorang dara ayu yang mem-
pertontonkan kemarahannya. Matanya berki-
lat-kilat.
"Nona Tresna?" gumam Satria, masih 
telentang.
"Jangan sebut-sebut namaku, kambing 
buduk tak tahu diuntung!" sembur dara 
yang memang Tresnasari. Tangannya terang-
kat kembali. Satu kepalan baru siap diha-
diahkan kedua kalinya untuk si bocah.
Satria memejamkan mata ngeri.
"Huph! Cukup!"
Tahan Ki Kusumo cepat. Pergelangan 
tangan gadis ayu yang diamuk kegusaran 
segera dicekalnya.
Tresnasari bersungut-sungut mening-
galkan sisi pembaringan Satria. Di kelo-
pak mata bagian bawahnya, kentara sekali 
kalau dia menahan air mata.
"Kenapa dengannya, Pak Tua? Apa di 
rumah ini ada setan penunggu yang telah 
merasukinya?" bisik Satria pada Ki Kusumo 
yang membawakan satu tabung bambu dan 
mangkuk tanah liat.
Rupanya Tresnasari belum terlalu 
jauh dari tempat Satria. Dia menangkap 
kasak-kusuk bocah itu barusan. Kalap, tu-
buhnya berbalik.

"Kau yang menyebabkan Nyai terluka 
parah, Kambing Buduk Brengsek!" makinya 
seperti suara orang hendak menangis.
"Sudahlah, Cah Ayu...," Ki Kusumo 
mencoba menengahi. Kalau tidak, pasti sa-
tu jotosan bersarang empuk kembali di wa-
jah Satria. Bisa jadi juga berkali-kali. 
Mungkin sampai Satria pingsan lagi. Siapa 
tahu?
Masih dengan dada turun-naik diba-
kar kegusaran, si dara tanggung mening-
galkan gubuk. Pintu dikuaknya lebar-
lebar, membiarkan sinar matahari lancang 
menerobos masuk. Mata Satria menyipit, 
silau diterjang sinar terang.
"Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak 
Tua?" tanya Satria tergesa, ketika tern-
giang hardikan Tresnasari terakhir.
"Ibu perempuan itu yang kau mak-
sud?" Ki Kusumo meminta kejelasan seraya 
menyerahkan gelas bambu pada Satria.
Satria menerima. Sambil menyambut 
sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya ja-
waban orang tua yang sedang mengaduk-aduk 
sesuatu di dalam mangkuk tanah liat den-
gan tangan kanannya.
"Bagaimana dengan Bibik yang baik 
itu, Pak Tua?" desak Satria, penasaran.
"Sebaiknya kau minum ramuanku itu 
dulu. Mari kubantu!" alih Ki Kusumo. 
Karena ingin tahu keadaan Nyai Ce-
marawangi, Satria tak banyak cingcong.

Setelah dibantu untuk duduk oleh Ki Kusu-
mo, ditenggaknya sekaligus ramuan yang 
diberikan KI Kusumo. Tak peduli rasanya 
sepahit empedu. Pokoknya dia bisa cepat 
mendapat keterangan dari Ki Kusumo!
"Nah, aku sudah meminum ramuan yang 
pahitnya seperti racun itu, Pak Tua. Se-
karang, bisakah kau katakan apa yang ter-
jadi pada diri Bibik?"
"Lihatlah ke sana!" perintah Ki Ku-
sumo seraya menunjuk satu arah dengan 
isyarat dagunya.
Satria mengikuti arah yang dimaksud 
orang tua tadi.
Di balai-balai sudut ruangan, dili-
hatnya Nyai Cemarawangi terbujur. Wajah-
nya pucat. Namun cukup tenang.
Tak ada angin tak ada hujan, tahu-
tahu saja Satria sesegukan. Tangannya me-
nutup wajah. Dari sesegukan, dia meraung-
raung seperti orang sinting.
"Hey, kenapa kau, Bocah?!" perangah 
orang tua di sisinya.
"Ini semua salahku! Huk-huk-huk! 
Ini semua salahku, Pak Tua!" 
"Bukan...." 
"Iya! Hu-hu-huk...."
"Itu semua hanya kebetulan saja. 
Kebetulan waktu itu dia hendak menyela-
matkanmu dari pukulan jarak jauh Tangan 
Seribu Dewa," tutur Ki Kusumo menerang-
kan.

"Tapi aku lebih suka mati, daripada 
dia mati!"
Ki Kusumo merengut.
"Siapa yang mati?!" sergahnya.
Sesegukan dan raungan Satria lang-
sung tersunat.
"Bibik itu bukannya sudah mati?" 
tanyanya dengan mata terbuka lebar. Air 
matanya tak ada. Cara menangis manusia 
dari mana lagi yang barusan dipakainya? 
Masa' menangis tak ada air mata?
"Siapa yang bilang dia telah mati, 
Cah Gendeng! Hua-ha-ha-he-heeee...," Ki 
Kusumo tergelak-gelak, terkekeh-kekeh. 
Karena begitu terpingkal-pingkalnya, ma-
lah dia yang benar-benar mengeluarkan air 
mata.
* * *
Telah empat hari berlalu. Waktu itu 
menjelang sore. Matahari lumpuh di pelu-
puk bumi barat. Tresnasari berdiri bisu 
menatapi rembang sore, membelakangi gubuk 
terbengkalai yang dipakai Ki Kusumo untuk 
merawat luka-luka Satria dan Nyai Cemara-
wangi.
Gubuk mereka berada tepat di bibir 
pantai Ketawang. Cukup jauh dari tempat 
kejadian. Sewaktu Satria dan Nyai Cemara-
wangi terluka, Ki Kusumo yang membopong 
keduanya sekaligus ke tempat itu! Tresna

sari yang telah mengenal Ki Kusumo sebe-
lumnya tak curiga. Dia percaya orang tua 
baik hati itu berniat mengobati luka-luka 
ibunya.
Di belakang Tresnasari, Satria du-
duk terdiam di depan pintu gubuk. Hukuman 
Tresnasari mendiamkannya beberapa hari 
belakangan benar-benar membuat perasaan-
nya babak-belur. Dia jadi lebih banyak 
diam. Keceriaannya dan ketengikan ting-
kahnya entah raib ke mana, entah dibawa 
setan dari mana.
Ki Kusumo keluar. Derit pintu gubuk 
tak mengusik keheningan Tresnasari. Juga 
tak mengusik ketercenungan Satria.
Ki Kusumo bersimpuh di samping anak 
itu. Ditepuknya bahu Satria perlahan.
"Sudah kukatakan, kau tak bersalah 
apa-apa dengan keadaan Nyai Cemarawan-
gi...," hiburnya pada Satria. Dia tahu, 
sikap si gadis ayu yang melekat di hati 
Satria, membuat anak itu merasa dirinya 
terus bersalah atas semua kejadian yang 
menimpa Nyai Cemarawangi.
Satria diam saja. Bibirnya terus 
manyun.
"Ayo kita jalan-jalan!" ajak KI Ku-
sumo.
Satria menggeleng.
"Ayolah!"
Tetap saja Satria menggeleng tak 
bersemangat.

Ki Kusumo ikut menggeleng-gelengkan 
kepala. Bibir keriputnya mendecak kecil. 
Disambarnya telinga anak itu, lalu dije-
wernya keras-keras.
"Ayo jalan-jalan!" bentaknya mang-
kel.
"Wado-wado! Tidak mau!"
Ki Kusumo lebih mengeraskan jewe-
rannya, sementara itu dia mulai melang-
kah. Mau tak mau, Satria jadi ikut me-
langkah. Dia masih kepingin daun telin-
ganya lengkap. Orang tua sakti itu terus 
menyeret Satria dengan menjewer telin-
ganya.
Setelah cukup jauh, barulah terden-
gar kekeh keras si orang tua misterius.
Di bibir pantai yang memiliki bukit 
karang kecil menjulang, Ki Kusumo baru 
berhenti. Dilepasnya telinga anak tang-
gung berusia belasan tahun itu. Warna te-
linganya sudah merah sekali.
Satria berbalik dengan wajah kesal 
minta ampun. Dia mau kembali ke gubuk.
Lama kelamaan, Ki Kusumo jadi mang-
kel sungguhan. Anak ini benar-benar keras 
kepala, gerutunya membatin. Tapi aku se-
nang dia begitu! Aku jadi makin yakin ka-
lau anak inilah yang berjodoh menjadi mu-
ridku!
"Hendak ke mana kau?!" bentak Ki
Kusumo, baru saja empat langkah Satria 
menjejakkan kaki di atas pasir pantai.

Mendadak saja, tubuh Satria sulit 
digerakkan. Bukan cuma sepasang kakinya 
yang memberat seperti dipaku langsung ke 
dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerak-
kan. Anak itu mematung dalam posisi orang 
melangkah, membelakangi Ki Kusumo.
"Kalau kau ingin terus berdiam diri 
di situ sampai beberapa hari, kau boleh 
menolak ajakanku sekarang," ancam Ki Ku-
sumo. Main-main tentunya.
Satria tidak menyahut. Meski Ki Ku-
sumo tidak membuat otot mulutnya kaku ju-
ga.
"Aku cuma ingin bicara padamu. Apa 
salahnya?" bujuk Ki Kusumo.
"Salahnya, kau terlalu memaksa Pak 
Tua," ucap Satria akhirnya, keras kepala.
"Tapi aku ingin membicarakan satu 
hal penting." 
"Tapi mestinya kau menanyakan dulu 
padaku, apakah aku mau kau ajak bicara 
atau tidak," sengit Satria.
Si orang tua yang sampai saat itu 
belum diketahui jati diri sesungguhnya 
mati kutu. Minta ampun dia pada kekeras 
kepalaan Satria!
"Baiklah. Kau boleh pergi. Pergi-
lah!" tukas Ki Kusumo akhirnya. Melalui 
hentakan tenaga dalam tingkat tinggi di 
kata terakhirnya, dibebaskan totokan pada 
tubuh Satria. Nada suaranya terdengar me-
rajuk. Seperti seorang kakek yang dongkol

dan kecewa pada sikap cucunya sendiri.
Timbul rasa tidak tega dalam diri 
Satria mendengar nada suara Ki Kusumo. 
Dengan agak segan, dibalikkannya tubuh. 
Dia melangkah kembali mendekati orang tua 
itu.
"Kenapa kau tak jadi pergi? Bukan-
kah kau sudah kusuruh pergi?!" gerutu Ki 
Kusumo tanpa berniat menatap Satria. Wa-
jahnya kusam. Di balik itu, sebenarnya 
dia tertawa geli dalam hati. Siasatnya 
memancing perasaan Satria berhasil. Dia 
tahu anak itu tidak cuma keras kepala se-
mata. Hatinya sesungguhnya sebening pua-
lam. Tampak sekali dia tak ingin menyaki-
ti orang-orang yang sudah telanjur dekat 
dengannya. Seperti Tresnasari, Nyai Cema-
rawangi, dan Ki Kusumo sendiri
Satria menjatuhkan pantat ke pasir, 
Dengan tangannya, dipermainkan pasir men-
jadi tumpukan-tumpukan kecil tanpa mak-
sud.
Dengan senyum penuh kemenangan, Ki 
Kusumo mendekati dari belakang.
"Hmmm, selama ini kau tentu telah 
mengenal cukup baik diriku. Bukan begitu, 
Cah Bagus? Kau dulu bertanya-tanya siapa 
diriku sebenarnya. Kau ingin tahu?"
Satria tak menggubris perkataan KI 
Kusumo. "Baiklah. Aku tahu kau ingin tahu 
siapa aku sebenarnya. Cuma kau sedang ma-
las menjawab saja bukan? He-he-he...."

"Bukan," sahut Satria enteng dan 
datar.
Cep! Langsung saja kekehan Ki Kusu-
mo terbungkam. Dia menarik napas dalam-
dalam. Sabar... sabar, pikirnya. Kalau 
bocah ini tidak ingin dijadikan murid, 
sudah ditotoknya kembali Satria lalu di-
tinggal sendiri di pantai. Biar air pa-
sang menghanyutkannya!
Untuk sedikit merayu, Ki Kusumo 
sengaja duduk di pasir tepat di sisi bo-
cah itu. Ditumpangkannya sebelah tangan 
ke bahu Satria.
"Aku seorang tokoh tua dunia persi-
latan," aku Ki Kusumo, mencoba memancing 
keingintahuan si bocah besar adat.
Tapi celaka dua belas, makinya da-
lam hati. Anak itu sedikit pun tak mem-
perlihatkan keterkejutan atau sedikit 
keingintahuan seperti malam itu kala me-
reka di tengah hutan! Sambar geledek se-
kali!
"Baik... baik. Kau menang. Aku se-
benarnya berniat mengangkatmu menjadi mu-
rid. Asal kau tahu, banyak orang telah 
memohon padaku menjadi murid dan menda-
patkan kesaktianku yang disegani dunia 
persilatan. Tak pernah ada di antara me-
reka yang menarik minatku. Artinya, kau 
mesti merasa beruntung karena aku berniat 
mengangkatmu menjadi murid...," bujuk Ki 
Kusumo lagi.

Satria menarik napas. Tahu-tahu dia 
bangkit sambil berkata malas, "Kalau cuma 
itu yang ingin kau katakan padaku, Pak 
Tua, sebaiknya aku permisi saja...."
Lalu tanpa menggubris orang tua 
sakti yang terbengong-bengong setengah 
modar, Satria melangkah meninggalkan pan-
tai. Satu tindakan Satria yang tak pernah 
sedikit pun terpikir oleh Ki Kusumo. Se-
mula, Ki Kusumo merasa yakin sekali bahwa 
bocah tanggung itu akan menerima tawaran-
nya. Tawarannya terbilang menggiurkan. 
Sebab dirinya tergolong tokoh kenamaan 
kalangan atas yang disegani. Menjadi mu-
ridnya sama saja kejatuhan bulan! Ini ma-
lah, Ki Kusumo ditinggalkan begitu sa-
ja....
"Kurang ajar, apa maunya bocah 
ini?" rutuk Ki Kusumo gemas bukan main.
Apa akalnya untuk bisa membuat Sa-
tria menerima tawarannya? Ki Kusumo ter-
menung lama sekali. Menilik kerut di da-
hinya, tampak orang tua itu tetap juga 
tak menemukan jalan keluar.
Tiga hari berlalu setelah peristiwa 
tersebut. Sakit Nyai Cemarawangi tak me-
nunjukkan tanda-tanda akan segera sembuh. 
Keadaannya terbilang makin payah semenjak 
terluka menerima pukulan jarak jauh Dir-
gasura. Meskipun luka dalam yang dideri-
tanya sendiri sudah diobati oleh Ki Kusu-
mo, tetap saja tak mempengaruhi penyakit

yang diderita Nyai Cemarawangi. Wanita 
itu terbaring terus tanpa dapat turun da-
ri balai-balai sama sekali. Wajahnya kian 
pucat, tubuhnya makin kurus.
Tresnasari terbawa keadaan terse-
but. Dia kekeringan semangat. Yang hanya 
ingin dilakukan hanya duduk termenung di 
sisi balai tempat ibu tercintanya terbar-
ing. Untuk keadaan ibunya itu, Tresnasari 
masih saja menyalahkan Satria. Dianggap-
nya Satrialah biang keladi semua itu. Di-
hukumnya Satria dengan mendiamkan bocah 
tanggung itu.
Satria setengah mati mencoba meng-
hiburnya. Namun setiap kali dicoba, Tres-
nasari malah memperlihatkan wajah tak 
bersahabat. Lebih dari itu, tersirat ke-
bencian di matanya. Itu menyebabkan Sa-
tria pun makin merasa disudutkan.
Sampai siang ini, si bocah tanggung 
dekil berambut kemerahan tak tahan lagi. 
Diam-diam dia pergi meninggalkan gubuk 
tanpa sepengetahuan Ki Kusumo ataupun 
Tresnasari.
Satu tujuannya yang terbilang gen-
deng untuk bocah seperti dia hendak dica-
rinya Dirgasura. Dia akan menuntut balas 
atas perlakuan Dirgasura pada Nyai Cema-
rawangi. Bocah tanpa bekal olah kanuragan 
secuil pun seperti dia? Apa itu tidak 
gendeng?

* * *
Satria tiba di satu daerah dekat 
perbatasan Ketawang-Jogoboyo slang itu. 
Angin berhembus semilir damai melintasi 
wajah keruhnya. Sejak berangkat dari pan-
tai Ketawang, tak ada perubahan tekad se-
dikit pun dalam hati anak itu. Benar-
benar sudah bulat tekadnya untuk meminta 
pertanggungjawaban Dirgasura terhadap 
keadaan Nyai Cemarawangi kini.
Sebagai seorang bocah yang memiliki 
kemauan yang lebih besar dari tubuh ku-
rus-keringnya, dan lebih kuat dari tenaga 
seekor kambing buduknya, tampaknya dia 
memang tak akan berhenti mencari Dirgasu-
ra sebelum benar-benar menemuinya. Bukti 
itu sedikit terlihat dari paras wajahnya 
yang terus saja terlipat, memeram kegusa-
ran. Dia gusar pada dirinya karena merasa 
telah menjadi biang keladi keadaan yang 
menimpa Nyai Cemarawangi. Dia juga gusar 
pada lelaki setengah raksasa yang diang-
gapnya telah berbuat keji terhadap wanita 
yang sedang menderita sakit itu.
Meski belum pasti ke arah mana lagi 
dia harus mencari Dirgasura, Satria terus 
saja melangkah merambah hutan batas Keta-
wang-Jogoboyo. Bocah berambut kemerahan 
itu tak akan berhenti melangkah kalau sa-
ja sebentuk suara mengerikan tak menegur-
nya.

"Berhenti kau, Bocah!"
Satria berhenti mendadak. Bukan ka-
rena dia sekadar terkejut. Lebih dari 
itu, suara teguran kasar tadi telah mem-
buat seluruh otot-otot dan sendinya men-
jadi terkunci. Belum lagi kekuatan suara 
yang membuat gendang telinganya seperti 
mau pecah mendengar teguran tadi. Seba-
liknya, nada suara teguran tadi sebenar-
nya dilakukan pemiliknya tak terlalu ke-
ras.
Tak ada dua tarikan napas, berkele-
bat sesosok tubuh beberapa langkah di de-
pan Satria. Kini, sudah berdiri seorang 
kakek kurus kering. Berjubah hitam pendek 
sebatas paha. Berjenggot dan berambut pu-
tih amat panjang hingga mencapai lutut. 
Seluruh wajahnya sudah berkerut-merut. 
Bahkan kulit bagian bawah pipinya sudah 
bergelantungan. Sinar mata kakek itu mem-
bersitkan sinar keji.
Begitu menjejakkan kaki tanpa suara 
sedikit pun, kakek itu menjentikan ja-
rinya. Mengagumkan, tubuh Satria detik 
itu juga kembali dapat digerakkan.
"Siapa kau, Pak Jenggot?" tanya Sa-
tria. Tak ada perasaan takut sedikit pun 
dalam diri bocah itu, meskipun rasa ber-
gidik ngeri menatap mata orang tua di de-
pannya tetap mengusik. Kalau anak lain 
sebayanya, tentu sudah lari tunggang-
langgang. Mungkin akan terkencing-kencing

pula. Sebab, bisa jadi mereka akan men-
ganggap orang tua itu adalah dedemit pe-
nunggu hutan.
"Katakan padaku di mana aku bisa 
menemui Ki Kusumo?!" Kakek tadi malah ba-
lik bertanya. Suaranya berat parau. Ter-
dengar tak kalah menggidikkan dari bersit 
matanya. 
Satria tak mau cepat menjawab. Dia 
lagi-lagi bertanya tanpa kenal rasa ta-
kut.
"Memangnya Pak Jenggot ini ada uru-
san apa dengan Pak Tua Kusumo?"
"Kau jangan banyak tanya Bocah. Se-
butkan saja di mana aku bisa menemui 
dia!" geram si kakek berjenggot, berkawal 
dengusnya.
"Kenapa kau pikir aku tahu di mana 
orang yang kau tanyakan?" Satria main 
kucing kucingan. 
"Katakan padaku!" 
"Kalau aku bilang tidak tahu?" 
"Kau akan kupaksa bicara!" 
"Kalau aku tetap tak bicara?"
Dengusan si kakek makin cepat. Ke-
marahannya mulai terpancing oleh kucing-
kucingan Satria. Kilat matanya makin ta-
jam. Kelopak matanya mulai menyipit ge-
ram. Lalu dengan cepat jarinya menjentik
kembali. 
"Waaa!"
Tiba-tiba saja, tubuh Satria ter


lempar amat jauh. Derasnya luncuran tu-
buhnya seolah dia baru saja dilontarkan 
sebentuk tangan raksasa kasat mata. Jauh-
nya lebih dari lima belas tombak! Malang-
nya, tubuh bocah kurus itu kemudian ter-
jerembab ke dalam lumpur dalam.
Entah bagaimana caranya, begitu Sa-
tria masuk ke dalam lumpur, kakek tua itu 
sudah pula berada di sana. Seolah-olah 
dia dapat berpindah-pindah tempat seperti 
dedemit. Lebih mencengangkan Satria lagi, 
orang tua itu berdiri di atas lumpur da-
lam tanpa tenggelam. Sementara tubuh si 
bocah kurus yang sebenarnya jauh lebih 
ringan sendiri perlahan-lahan tertelan 
masuk.
"Kau bocah yang memuakkan! Tanpa 
kau beritahu padaku pun, aku tetap akan 
menemukan Tabib Sakti Pulau Dedemit yang 
harus menyembuhkan penyakit menahun sia-
lanku ini!" rutuk si kakek dengan suara 
mengerikan.
Setelah itu, sosoknya berkelebat 
cepat seperti menghilang.
Tinggal Satria sendiri terdiam da-
lam lumpur. Perlahan tapi pasti, tubuhnya 
terus tertelan. Dari pinggang, naik ke 
bagian dada. Dari dada terus naik sampai 
tinggal kepalanya saja.
Jadi jelas sekarang kenapa si kakek 
tadi membiarkan Satria tak terluka dengan 
tenaga dahsyat jentikan tangannya. Ru


panya dia ingin bocah itu mati perlahan-
lahan dalam lumpur!

                         SELESAI

Ikuti kelanjutan kisah menggemaskan ini 
dalam episode selanjutnya:
" GEGER PESISIR JAWA "

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar