Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
PESISIR pantai Jawa Tengah, Kadipa-
ten Ketawang. Hari itu alam murka. Badai
besar mendatangi wilayah tersebut. Ombak
raksasa bergulung-gulung di kejauhan ba-
gai tembok hidup menggapai angkasa. Sulit
memastikan berapa ketinggian ombak saat
itu. Lima enam meter bisa jadi lebih. Dan
untuk ombak setinggi itu, tak diragukan
lagi akan sanggup memporak-porandakan se-
luruh keadaan di sekitar pesisir pantai.
Awan gelap sudah mengepung beberapa
lama sebelumnya. Seperti halnya angin
kencang yang terus mendengus-dengus. Ma-
tahari benar-benar terkunci dalam timbu-
nan awan kelam. Siang nyaris bagaikan su-
asana menjelang malam. Tak ada tanda-
tanda bahwa alam akan bersikap ramah pada
siapa pun, pada apa pun. Tak peduli bari-
san pepohonan kelapa, atau gubuk-gubuk
rapuh di sekitarnya, serta seluruh manu-
sia yang mendiaminya.
Terlalu sulit untuk berkelit dari
bencana. Suara-suara riuh bergemuruh yang
terdengar tak lebih dari berita mena-
kutkan. Keberanian manusia seperti tak
dibutuhkan untuk menjelang kejadian ter-
sebut. Di salah satu perkampungan yang
terletak tepat di bibir pantai Ketawang,
berpuluh-puluh penduduk desa berhamburan
ketakutan. Masing-masing bersicepat dalam
irama kacau balau untuk menyelamatkan ji-
wa dan harta mereka. Dalam himpitan keta-
kutan teramat sangat, mereka keluar dari
rumah dengan membopong benda-benda yang
perlu diselamatkan.
Hewan-hewan ternak berteriak-
teriak, menimpali teriakan-teriakan pen-
duduk desa. Kambing mengembik-embik dalam
seretan beberapa lelaki, kerbau melenguh-
lenguh, ayam berkeok-keok. Dan sehimpun
keributan lain berbaur membangun suasana
hiruk-pikuk. Belum lagi para ibu yang se-
rabutan mencari anak-anaknya. Belum pula
para lelaki muda yang kelimpungan menca-
ri-cari istri tercinta yang baru dinikahi
kurang dari satu purnama. Ada janda ribut
kehilangan konde, ada duda kalap terlang-
gar kerbau. Ada nenek dan kakek pikun me-
ributkan tempayan bocor yang lupa dibawa.
Putus kata, semuanya kacau balau!
Di satu sudut desa, seorang anak
malah asyik terpulas di atap kandang ker-
bau. Satria namanya. Seorang anak lelaki
berusia sekitar tiga belas tahun. Berpa-
kaian kumal dengan baju hitam koyak moyak
tanpa lengan dan celana pendek. Rambutnya
panjang kemerahan. Berwajah lugu bagai
tanpa dosa. Dengkur halusnya seolah me-
nyelinap-nyelinap santai di antara riuh-
rendah suara keributan.
Entah bagaimana Satria bisa terti-
dur sepulas itu dalam keadaan yang me
mungkinkan nyawanya terlempar dari raga
setiap saat. Mungkin semalam dia begadang
semalam suntuk menyaksikan pagelaran
wayang kulit. Mungkin juga dia terlalu
lelah bekerja. Tak mungkin dia sedang da-
lam keadaan mabuk. Satria tergolong bocah
yang pantang menyentuh arak.
Yang jelas, ketika seorang perem-
puan setengah baya meneriakinya, barulah
Satria tersentak bangun.
"Ada apa?" tanyanya polos sambil
mengusap-usap kedua bola matanya yang bu-
lat namun bergaris kuat. Ada apa katanya?
Padahal angin begitu ngotot berseliweran
di sekitarnya. Sampai-sampai tubuhnya te-
roleng-oleng. Bagaimana dia masih bisa
bertanya begitu?
"Ada apa?!" pekik si perempuan se-
tengah baya dengan mata mendelik. "Apa
kau bocah gendeng?! Cepat kau turun dari
atap itu. Ombak besar sedang menuju ke
sini. Kalau mau mampus, teruskan saja ti-
durmu!" semburnya lagi dengan suara bagai
kaleng rombeng.
"Ada badai memangnya?" tanya Satria
terperangah kebodoh-bodohan. Matanya mem-
belalak. Sampai gumpalan tahi mata ke-
ringnya terpental.
"Iya, Bodoh! Cepat turun!"
Bukannya cepat-cepat turun, Satria
malah melepas pandangannya ke arah laut.
Dari atas atap kandang kerbau, dia dapat
dengan bebas memandang ke arah sana. Di-
lihatnya sebentang suasana mengerikan.
Menyaksikan gulungan ombak raksasa
di kejauhan dan angkasa yang berwarna le-
gam, mata bocah itu jadi tak berkedip.
Sesaat dia terpana seperti terkena tenung
nenek sihir dari negeri Antah Berantah.
Sampai akhirnya teriakan memekakkan
telinga perempuan setengah baya tadi me-
nyadarkannya. Satria segera turun terbi-
rit-birit dari atap kandang kerbau. Nya-
ris saja dia terpelanting jatuh.
"Cepat bantu aku ke atas bukit!"
seru si perempuan setengah baya lagi. Sa-
tria berhenti bergerak. "Bantu mengangkat
Si Mbok ke atas bukit? Astaga, mana aku
kuat...," gerutunya, salah paham.
"Maksudku, bantu membawa barang-
barang, Bocah Bodoh!"
Tahu maksud perintah perempuan yang
dipanggil Si Mbok, Satria bergegas kemba-
li. Dia berlari ke satu gubuk sekitar se-
puluh depa dari kandang kerbau. Di depan
pintu gubuk, tergolek satu buntalan be-
sar. Benda itu segera disambarnya.
"Bocah celaka, jangan kau curi bun-
talanku!" teriak seorang lelaki berbadan
kurus berkulit hitam.
"Astaga, salah sambar...," desis
Satria seraya terburu-buru mengembalikan
buntalan tadi ke tempatnya.
"Satriaaa!!!" Perempuan setengah
baya tadi berteriak dari bawah satu pohon
kelapa. Tertatih-tatih, dia berjalan den-
gan beban dua buntalan besar di kedua be-
lah tangannya. Rupanya dia sudah siap me-
ninggalkan desa secepatnya.
Badai serupa pernah terjadi bebera-
pa puluh tahun silam. Waktu itu terjadi
malam hari, ketika penduduk desa sama se-
kali tak siap. Mereka terlibas gulungan
ombak setinggi atap saat terpulas di ba-
lai masing-masing. Puluhan nyawa menjadi
korban. Seandainya mereka siap saat itu,
tentu mereka akan segera menyingkir ke
tempat yang lebih tinggi dari permukaan
laut. Sementara desa mereka berada tepat
di bibir pantai, di mana ketinggian wi-
layah itu dari permukaan laut begitu ren-
dah. Itu sebabnya terjangan ombak raksasa
dengan begitu empuk mengunyah.
Tempat yang paling tepat untuk itu
adalah dataran tinggi berumput yang mere-
ka sebut bukit. Tingginya sekitar dua ra-
tus meter dari permukaan laut.
Dengan ketinggian seperti itu, me-
reka berharap dapat selamat dari terja-
ngan ombak raksasa.
Kini, ke dataran itu para penduduk
desa berlarian kalang-kabut. Jaraknya tak
begitu jauh. Hanya memakan waktu sekitar
setengah peminuman teh.
Satria segera menyambar satu bunta-
lan dari tangan perempuan setengah baya.
Dipanggulnya buntalan berukuran lebih be-
sar dari tubuh kurusnya itu. Satu tangan-
nya cepat menggamit pergelangan tangan
perempuan yang dipanggil Si Mbok.
"Cepat lari, Si Mbok! Lari!" teriak
Satria kalang-kabut.
Perempuan setengah baya yang menge-
nakan kain di bawah lutut tentu saja tak
bisa mengimbangi langkah-langkah cepat si
bocah. Dia berlari terhuyung-huyung, ter-
sandung kainnya sendiri. Sebelah tangan-
nya berusaha mengangkat kain setinggi-
tingginya, tak terpikir lagi kalau seba-
gian kulit pahanya berwarna keling ma-
tang!
Malang tak dapat ditolak. Meski pa-
ra penduduk desa sudah berusaha secepat-
nya tiba di dataran tinggi, gulungan om-
bak raksasa ternyata lebih cepat tiba di
pesisir. Pantai ditanduknya dengan ga-
rang. Pepohonan kelapa tua tumbang terli-
bas, lalu dihanyutkan. Beberapa gubuk ne-
layan yang berdiri paling dekat pada bi-
bir pantai hancur saat itu juga. Puing-
puingnya dilarikan gerakan ombak yang te-
rus memburu ke pesisir.
Satria dan perempuan setengah baya
berbalik dengan wajah mengeras ketat. Ma-
ta keduanya membelalak. Di belakang sana,
mereka menyaksikan pemandangan mengeri-
kan. Air laut lebih tinggi dari atap gu-
buk memburu mereka. Si perempuan setengah
baya memekik tinggi. Hampir saja dia se-
maput di tempat.
Meskipun tak kalah terkesiap, Sa-
tria segera tersadar untuk segera menye-
lamatkan diri. Ditariknya lebih kuat per-
gelangan tangan perempuan setengah baya.
"Lari, Mbok! Lari!!!!" teriaknya
terpecah seraya berlari jalang menghela
perempuan setengah baya di belakangnya.
Serabutan keduanya menggerakkan ka-
ki. Di belakang mereka, air laut lebih
cepat lagi memburu. Geraknya lebih garang
dari amukan air bah.
Beberapa kejap mata kemudian, kedu-
anya terlibas. Terjangan gelombang laut
menggulung dua orang itu bagai dua keping
kerikil tak berarti. Mereka dipelanting-
kan, ditenggelamkan, dihanyutkan dan di-
putar-putar. Sulit untuk menahan napas
dalam keadaan seperti itu, kendati seba-
gai seorang bocah nelayan Satria terbiasa
menyelam di laut.
Cepat air laut menerjang ke jalan
napas mereka.
Paru-paru mereka diterjang. Mereka
kehilangan kesadaran.
Hal mengagumkan terjadi. Pegangan
Satria pada pergelangan tangan wanita se-
tengah umur ternyata tetap terpagut. Dia
memang tak sadarkan diri. Namun, kekuatan
hatinya untuk menyelamatkan wanita itu
telah membuat kehendak bawah sadar Satria
memerintahnya untuk tetap memegang kuat-
kuat pergelangan tangan si wanita seten-
gah umur.
Beberapa kejapan sebelum bocah itu
kehilangan kesadaran, satu gulungan cai-
ran berwarna kelabu berasal dari dasar
laut amat dalam di sekitar Samudera Hin-
dia tanpa sengaja menutupinya. Tarikan
napas tersedaknya menyebabkan cairan ke-
ruh kelabu itu terhisap langsung ke paru-
paru Satria.
Tubuh Satria mengejang saat beri-
kutnya. Menyusul sentakan-sentakan tak
terkendali, saat tubuhnya sendiri terus
digulung oleh gelombang.
Lalu dunia seperti menghilang dari
dirinya.
* * *
Sepekan berlalu.
Siang di pusat Kadipaten Ketawang.
Saat itu matahari terhalang mendung. Si-
narnya tak terlalu menyiksa. Angin sejuk
sepoi-sepoi berdenyut, mempermainkan de-
daunan pepohonan.
Seorang anak lelaki dekil berjalan
gontai dijalan pusat pemerintahan Kadipa-
ten Ketawang. Wajahnya demikian lusuh.
Penampilannya sudah mirip gembel. Wajah-
nya pucat. Anak itu adalah Satria.
Sepekan lalu, ketika dia tersadar,
disaksikannya seluruh kampung telah po-
rak-poranda. Yang terlihat di sana cuma
tebaran kematian. Beberapa mayat berge-
limpangan. Entah itu perempuan tua, bo-
cah-bocah kecil atau para lelaki malang.
Amukan gelombang laut telah menum-
pas mereka. Seluruh penduduk desa mati.
Tak ada yang tersisa, bahkan sekadar he-
wan ternak. Kecuali dirinya.
Di sisi tubuhnya tergeletak mayat
seorang wanita setengah baya. Tangan Sa-
tria masih menggenggam kuat pergelangan
tangan perempuan setengah baya itu. Per-
tanda betapa kokohnya kemauan kuat dalam
diri si bocah yang ingin menyelamatkan
nyawa orang lain. Sampai dia kehilangan
kesadaran pun, tangannya tetap menggeng-
gam pergelangan tangan si perempuan se-
tengah baya.
Dengan mata mengerjap-erjap, menco-
ba menyingkirkan rasa berat serta berde-
nyut-denyut di kepalanya, si bocah kecil
Satria mengangkat kepalanya dari posisi
tertelungkup. Tubuhnya terasa demikian
lemah. Serasa tulang-belulang diloroti
dari dagingnya. Setelah cukup kuat men-
gumpulkan tenaga, dia bangkit terseok.
Dia berdiri gontai.
Ditatapinya gelimpangan mayat di
mana-mana. Ditatapinya kepingan-kepingan
kayu gubuk penduduk. Juga bangkai-bangkai
hewan. Juga benda-benda berserakan. Ha
tinya pilu. Giris menyelinap. Betapa dia
tak mempercayai pemandangan yang tergelar
di depan matanya.
"Apa yang telah terjadi?" bisiknya
mendesah.
Apa yang terjadi? Satu pertanyaan
yang terdengar ganjil. Bahkan untuk di-
pertanyakan pada dirinya sendiri. Ya, se-
mestinya Satria tahu musibah apa yang te-
lah menimpa desanya. Tapi, saat itu dia
tak ingat apa yang telah terjadi. Lebih
jauh dari itu, dia bahkan tak ingat siapa
dirinya. Tak ingat asal-usulnya. Tak i-
ngat pada seorang perempuan setengah baya
yang beberapa waktu sebelumnya berlari-
lari berjuang menyelamatkan nyawa bersa-
manya.
"Kenapa aku berada di sini?" bisik-
nya lagi.
Didekatinya mayat perempuan seten-
gah baya tadi. Ditatapinya wajah mayat
yang telentang menyedihkan itu. Lama. Gu-
rat-gurat wajah pucat yang diisi keriput
itu seperti pernah dikenalnya. Tapi ka-
pan? Di mana?
Semuanya tak jelas lagi di benak
Satria. Ada bayang-bayang yang timbul-
tenggelam, lalu mengabur sama sekali da-
lam benaknya. Yang cuma dia tahu, bahwa
namanya adalah Satria. Kemudian, ditata-
pinya lagi seluruh pemandangan menge-
naskan di depannya dengan tatapan lowong.
DUA
HARI makin siang. Matahari di atas
pusat Kadipaten Ketawang masih juga tak
berkutik menghadapi kepungan awan gelap.
Beberapa orang terlihat hilir-mudik di
jalan utama berbatu koral. Satu dua peda-
ti sesekali melintas dalam kecepatan se-
dang.
Satria sampai di kedai di pinggir
jalan. Sebenarnya, tempat itu lebih tepat
disebut warung makan kecil, menilik ben-
tuknya yang terlalu sederhana dibanding
kedai biasa. Tempat yang hanya berupa sa-
wungan kecil dengan satu meja besar. Di
atas meja terdapat piring-piring tanah
liat berisi makanan. Ada lauk-pauk, buah-
buahan dan makanan kecil goreng. Di kedua
belah tiang di sisi sawungan, tergantung
beberapa sisir pisang ambon. Warnanya
mengundang selera.
Di tiga sisi meja besar dari bela-
han kayu asam, terdapat tiga bangku pan-
jang. Salah satu bangku panjang diduduki
oleh dua lelaki berpakaian hitam-hitam
berikat kepala kain hitam pula. Keduanya
duduk mengangkat sebelah kaki ke atas
bangku. Salah seorang lelaki bertubuh
tinggi besar. Dadanya bidang berbulu le-
bat. Selebat kumis baplangnya. Di kain
pengikat pinggangnya terselip sebilah go-
lok besar. Lelaki yang lain berbadan pen
dek gemuk. Mulutnya tak berhenti memamah
makanan. Baru saja tenggorokannya menelan
yang dikunyah, sudah dimasukkan lagi ma-
kanan ke dalam mulut. Pipinya tebal se-
perti pipi seekor kelinci. Di pinggang
lelaki gemuk itu pun terselip sebilah
senjata. Badik panjang tepatnya.
Sesekali terdengar pembicaraan se-
rius mereka, diselingi tawa lepas. Salah
seorang terbatuk-batuk ketika tersedak
kopi.
Pemilik warung makan adalah seorang
lelaki tua berperawakan kekar. Masih tam-
pak otot-otot kekarnya. Meski berkerut,
wajahnya masih menampakkan kegarangan.
Selagi mudanya kemungkinan besar dia seo-
rang jawara.
"Mau apa kau, Bocah?" tegur pemilik
kedai, mendapati kedatangan Satria. Cukup
lama bocah itu hanya berdiri memandangi
makanan di atas meja. Jakunnya berkali-
kali turun naik. Perutnya memang sudah
terasa sangat lapar. Sejak malam tadi dia
belum makan nasi. Hanya sepotong singkong
bakar pemberian seorang lelaki gembel
yang sempat mengisi perutnya.
"Saya ingin makan, tapi tak punya
kepeng (Mata uang cina yang berlaku pada masa
itu.), Pak Tua," kata Satria. Tak ada ke-
san memelas dalam kata-katanya. Dalam ha-
ti kecil anak itu, memang tak terbersit
keinginan untuk meminta belas kasihan
orang lain.
Pemilik warung makan tertawa kecil.
"Bagaimana kau ini? Kau ingin makan
di warungku, tapi kau tak punya uang...,"
katanya ringan seraya menggeleng-
gelengkan kepala. Dua lelaki pengunjung
warung tertawa tergelak-gelak mendengar
jawaban polos Satria.
"Kalau begitu, boleh aku membantumu
agar aku bisa sedikit mengisi perut?"
usul Satria. Tetap tak terlihat kesan me-
melas di wajah bocah tiga belas tahun
itu. Garis-garis parasnya tetap memperli-
hatkan ketegaran, meski demikian pucat.
"Bagaimana kalau aku tidak mengi-
zinkan?" tanya lelaki tua pemilik warung.
Satria agak kecewa. Terlihat sekali
dari perubahan wajahnya. Namun, kekuatan
hatinya tidak menyebabkan dia lantas men-
geluh.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang be-
lum ada rezeki yang bisa kumakan," sahut
Satria perlahan. Dia hendak beranjak me-
ninggalkan warung.
"Tunggu, Bocah!" tahan pemilik wa-
rung. "Aku bukan orang yang tak punya pe-
rasaan. Aku menerima kau!" sambungnya
dengan wajah menampakkan kekaguman terha-
dap sikap tegar yang jarang dimiliki oleh
seorang bocah seusia Satria.
Satria berbalik. Sepasang mata ber-
garis kuatnya berbinar.
"Kalau begitu, apa yang bisa kuker-
jakan sekarang, Pak Tua?!" burunya, ber-
semangat. Padahal tubuhnya sendiri masih
terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan.
"Ha-ha-ha, aku suka sekali padamu,
Bocah!" puji lelaki berkumis baplang pen-
gunjung warung. Sama seperti pemilik wa-
rung, diam-diam kedua pengunjungnya pun
merasa kagum pada sifat Satria. Biasanya,
anak gelandangan yang mereka temukan cuma
bisa merengek-rengek memancing rasa iba
untuk meminta sedekah. Kebanyakan dari
mereka menjengkelkan. Kalau tidak diberi-
kan, mereka akan menguntit terus di bela-
kang. Tak jarang di antara mereka mena-
rik-narik lengan baju. Sementara bocah
satu ini berbeda sama sekali. Dia bahkan
lebih suka bersusah-payah terlebih dahulu
meski tubuhnya sudah lemah.
"Siapa namamu, Cah Bagus?" tanya
pengunjung bertubuh gemuk. Ditepuknya ba-
hu kurus, namun bertulang bagus Satria.
"Satria, Kang."
"Hari ini, aku merasa harus berbuat
baik pada Bocah sepertimu. Makanlah seke-
nyangnya, biar aku yang bayar. Kau tak
usah mengeluarkan tenagamu untuk itu..."
sambung si pengunjung tambun. Dengan tan-
gan yang lain, disodorkannya piring beri-
si tumpukan ketan kelapa pada Satria.
"Ayo, ambil! Jangan ragu!" tukas-
nya.
Satria menatap ketan itu sambil me-
nelan air liur. Betapa menggoda makanan
bertabur kelapa parut itu. Tentu rasanya
nikmat bukan main. Apalagi saat perutnya
demikian lapar.
Tapi Satria malah menggelengkan ke-
pala.
"Maaf, Kang. Bukannya aku tak ingin
menerima kebaikan Kakang. Aku tahu, tak
ada rezeki yang boleh ditolak. Tapi, aku
sudah berjanji pada Pak Tua pemilik wa-
rung untuk membantunya," tolak Satria so-
pan.
Mendengar jawaban Satria, kedua
pengunjung warung dan pemiliknya tertawa
kembali. Satu cara mereka mengagumi jiwa
besar si bocah.
"Kau akan jadi orang besar, Bocah!
Orang besar, aku yakin itu!" ujar Pak Tua
pemilik warung.
Satria hanya mengernyitkan kening
tak mengerti.
"Kalau begitu, cepatlah kau makan
terlebih dahulu. Aku tak bisa mempekerja-
kan seseorang jika dia loyo macam kau!"
kelakarnya lagi seraya menarik pangkal
lengan Satria.
Menjelang sore, dua orang mendatan-
gi kedai. Satu orang perempuan berusia
empat puluhan. Sedang seorang lagi bocah
perempuan sebaya Satria. Dari wajahnya,
tampak kalau mereka adalah Ibu dan anak.
Sang ibu, meski berusia terbilang
cukup tua namun masih memperlihatkan sisa
pesona kecantikannya. Wajahnya anggun.
Sinar mata berbulu lentiknya memancarkan
perbawa yang jarang dimiliki kebanyakan
wanita. Dia mengenakan pakaian silat ber-
warna ungu. Kepalanya ditutup caping.
Anaknya adalah seorang bocah perem-
puan bermata bulat berbinar-binar. Wajah-
nya mungil. Dari pancar matanya, terpan-
car keriangan dan kepercayaan diri yang
kuat. Rambutnya panjang diikat ekor kuda.
Anak perempuan itu mengenakan pakaian si-
lat berwarna merah hati. Di pinggangnya,
terselip sepasang belati besar.
"Selamat sore, Pak Tua...," tabik
si perempuan berpakaian ungu seraya mele-
pas capingnya. Ketika itulah terlihat le-
bih jelas raut wajahnya. Pucat dan ber-
simbah keringat. Bersit matanya memendam
penderitaan. Ada penyakit yang mendekam
dalam tubuhnya dan menyiksanya selama
ini.
"Selamat sore...," balas Pak Tua
pemilik warung ramah. "Ada yang bisa saya
bantu, Tuan-tuan Putri?"
"Aku perlu arak. Apakah kau masih
punya persediaan?" tanya perempuan berpa-
kaian ungu.
"O, tentu!"
Satria tanpa diperintah segera men-
gambilkan dua kendi arak dari bawah meja
besar. Sambil merunduk, matanya mencuri-
curi pandang ke arah bocah perempuan.
Cantik, nilainya terkagum-kagum.
Si bocah perempuan kebetulan sedang
memperhatikannya.
"Huh!" dengus bocah perempuan. Di-
anggapnya mata Satria telah berbuat lan-
cang.
Satria malu hati. Wajahnya memerah.
Cepat-cepat dia meletakkan kendi arak ke
atas meja sambil berpura-pura tak melihat
perubahan wajah si bocah perempuan.
"Berapa?" tanya perempuan berpa-
kaian ungu.
"Tiga keping kepeng, Tuan Putri,"
jawab Pak Tua pemilik warung.
Perempuan berwajah pucat itu cepat
mengeluarkan tiga keping uang dari kan-
tong kulit kecil di pinggangnya. Diberi-
kan uang itu pada pemilik warung.
"Terima kasih, Pak Tua," haturnya
seraya melangkah.
Sementara itu, anaknya masih terus
memelototi Satria dengan wajah judes. Sa-
tria sendiri jadi salah tingkah. Begini
salah, begitupun salah. Dadanya jadi dag-
dig-dug tak karuan. Dia sebenarnya tidak
ngeri pada pelototan mata bocah ayu itu.
Sebaliknya, Satria malah jadi senang bu-
kan alang kepalang. Hanya saja dia tak
tahu, kenapa merasa berdebar-debar. Bi-
asalah, cinta monyet! Saking gugupnya,
tak sengaja dia menginjak jempol kaki
Pale Tua pemilik warung. Untung lelaki
tua itu bisa mengerti polah anak sebaya
Satria. Dia cuma tersenyum dengan kepala
menggeleng-geleng.
Baru sepuluh langkah kedua ibu-anak
itu melangkah, dari jalan sebelah selatan
terdengar hiruk-pikuk hentakan kaki kuda
dan teriakan-teriakan berangasan.
Ada sekitar lima orang lelaki men-
gendarai kuda dalam kecepatan tinggi.
Arahnya menuju kedua perempuan tadi. Be-
berapa orang yang kebetulan berjalan ce-
pat-cepat menepi, takut diterjang kuda.
Debu mengepul di belakang lari kuda-kuda
mereka.
"Hiaaa! Hiaaa-haaaa!"
Sampai di depan kedua ibu-anak ta-
di, kawanan lelaki berkuda menghentikan
lari tunggangan masing-masing. Sentakan
mendadak pada tali kekang membuat kuda-
kuda mereka meringkik nyaring seraya me-
naikkan kaki depan mereka.
"Hiiiii!"
Begitu kelima kuda tunggangan ber-
henti, kawanan lelaki itu melompat turun.
Kini wajah mereka terlihat lebih
jelas. Rata-rata berwajah bengis. Perawa-
kannya besar-besar dan berotot. Pakaian
yang dikenakan berbeda satu sama lain.
Rata-rata berwarna gelap. Di dagu mereka
tumbuh bulu kasar kehijauan. Dua lelaki
menyandang sepasang pedang pendek di
punggung. Satu orang memegang tombak ber-
mata tiga. Dua lelaki sisanya memegangi
gada berbandul baja berduri.
"Oho! ada dua perempuan cantik ru-
panya. Satu sudah matang, sedang satunya
lagi baru mulai ranum!" koar seorang le-
laki mengenakan rompi terbuka, memperli-
hatkan dada berbulu kasar.
"Hei, mereka bawa arak pula! Apakah
mereka sengaja hendak menyambut kedatan-
gan kita?!" timpal lelaki yang memegang
tombak bermata tiga.
Dua lelaki yang turun dari kuda
paling belakang tergelak-gelak mendengar
perkataan kedua temannya barusan.
Perempuan bercaping tak ingin me-
nanggapi ocehan tadi. Dia beranjak lagi.
Diajaknya anaknya mengambil jalan menepi.
"Eit, kenapa terburu-buru?!"
Salah seorang kawanan berkuda meng-
hadang. Kedua tangannya membentang, meng-
halangi jalan dua perempuan berbeda usia
tadi.
Satria yang menyaksikan peristiwa
itu mendengus. Dia tak suka menyaksikan
kekurangajaran terjadi di depan matanya.
Terutama karena bocah perempuan ayu itu.
"Biarkan kami lewat, Kisanak," pin-
ta perempuan bercaping. Suaranya datar.
Tak ada kesan ketakutan. Bahkan tak ter-
dengar getar gusar di dalamnya. Dia begi
tu tenang menghadapi lelaki penghadang-
nya.
Lain lagi sikap anak perempuannya.
Wajah bocah ayu itu memerah matang. Ma-
tanya menyipit geram. Tangannya mengepal
kuat-kuat.
"Kenapa aku mesti membiarkan kalian
lewat? Terus terang, kami sangat haus.
Pertama kami butuh arak yang kau bawa un-
tuk mengenyahkan haus kerongkongan kami.
Kedua, kami pun rasanya butuh tubuh ka-
lian untuk memuaskan haus yang lain. Ha-
ha-ha!"
"Cuih, mesum!" maki bocah perem-
puan, gusar.
"Sopanlah berbicara pada orang yang
lebih tua, Tresna..." tegur sang ibu.
"Bagaimana aku bisa sopan, sementa-
ra dia sendiri berkata tak sopan pada ki-
ta, Nyai?" protes si bocah perempuan ber-
sungut-sungut.
Kembali kawanan lelaki tadi terta-
wa-tawa seenaknya, seolah dunia cuma mi-
lik mereka.
"Siapa namamu tadi Cah Ayu? Tresna?
Hm, kalau tak salah, bukankah itu artinya
'cinta'. Apa dengan begitu, kau sudah bi-
sa 'bercinta'?!" goda lelaki penghadang
kembali, tetap mesum.
Gadis ayu bernama lengkap Tresnasa-
ri makin kalap. Hidungnya mendengus-
dengus. Kekalapannya makin terdongkel
naik ketika dengan kurang ajar, lelaki
penghadang merunduk ke arahnya sedang
tangannya hendak menjamah pipi gadis itu.
Dengan tiba-tiba....
Bletak!
"Iya!"
Lelaki tadi menjerit kuat-kuat. Ji-
datnya berdenyut-denyut luar biasa. Sa-
kitnya seperti langsung turun ke jempol
kakinya.
"Bocah kecil keparat!" makinya ka-
lap. Tangannya mendekap kening.
Tresnasari sendiri sudah menggeng-
gam satu belatinya di tangan kanan. Den-
gan ujung gagang belati itu, dihantamnya
kening si lelaki kurang ajar.
TIGA
BUKAN main murkanya lelaki pengha-
dang. Kepalanya benar-benar dibuat benjut
sebesar uang logam oleh seorang bocah pe-
rempuan kecil. Oleh bocah perempuan ke-
cil? Bayangkan! Bukan cuma kepalanya saja
berdenyut-denyut, cuping hidungnya pun
ikut berdenyut-denyut saking gusarnya.
Terutama karena Satria menertawai keja
dian itu dari tempatnya.
"Rupanya kau ingin cepat-cepat mam-
pus, heh?!" Meluncur serapah susulan si
lelaki penghadang. Dilanjutkan dengan
tamparan keras sekaligus deras ke pipi
Tresnasari.
Wukh!
Telapak tangan besar itu tinggal
berjarak satu jari lagi dari pipi si ga-
dis kecil. Sebelum benar-benar sampai,
dengan gesit, Tresnasari merundukkan ba-
dan. Dilemparnya tubuh ke depan. Di tanah
dia berguling sekali. Kakinya terjulur
lurus, seperti patukan cepat seekor ular.
Begh!
"Ngekh!"
Mata penyerangnya mendelik. Masih
di tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam
dengan badan setengah membungkuk. Tangan-
nya mendekap benda kesayangannya kuat-
kuat. Wajahnya menyeramkan sekali untuk
dikatakan sebagai manusia. Sebentar ber-
warna merah, sebentar kemudian berwarna
biru, selanjutnya memucat. Pasti dia me-
rasakan penderitaan lahir batin yang luar
biasa....
Tresnasari sendiri sudah berdiri
kembali. Terlihat senyum nakalnya tersem-
bul samar. Santai didekatinya lelaki ke-
jang tadi. Tak peduli dianggap kurang
ajar atau tidak, dijulurkannya tangan ke
kening lelaki tadi.
"Kalau sudah waktunya jatuh, kenapa
tidak juga mau jatuh?" ucapnya enteng
sambil mendorong kepala lelaki tadi ke
belakang.
Setelah itu, lelaki korban
'kenakalan'nya tumbang ke belakang.
Mata keempat kawannya tak berkedip
menyaksikan kejadian tersebut. Mereka sa-
ma sekali tak habis pikir bagaimana bocah
perempuan kecil dapat demikian mudah mem-
pecundangi kawan mereka? Tak habis pikir
pula, bagaimana bocah yang dianggap men-
tah seperti Tresnasari sanggup melancar-
kan serangan secepat ular sendok?
Setelah itu, cuma kemarahan besar
yang mengisi benak masing-masing. Dua le-
laki bersenjatakan gada berbandul baja
berduri melangkah gusar ke dekat Tresna-
sari dan ibunya.
"Kau akan merasakan akibat dari ke-
lancanganmu, Bocah!" ancam salah seorang
dari mereka dengan wajah amat ketat, me-
nyeramkan. Satu sudut bibirnya tertarik
ke atas, memperlihatkan sebagian barisan
gigi yang tak cuma berwarna kuning lang-
sat, tapi juga diselipi sisa cabe merah!
Wajah Satria di kejauhan berubah.
Dia melihat gelagat yang tak baik. Menye-
ruak dorongan dalam dirinya untuk memban-
tu dua perempuan ibu-anak itu. Satu sifat
yang sesungguhnya menjadi bagian kuat da-
lam diri si bocah. Satria hendak beran
jak, tapi ditahan pemilik warung.
"Kenapa Pak Tua?" tanya Satria, tak
setuju dengan tindakan lelaki tua itu
mencegahnya.
"Mereka itu adalah kawanan orang-
orang telengas," susul pemilik kedai.
"Tak peduli mereka orang-orang te-
lengas sekali pun," gerutu Satria.
Pak tua pemilik warung melirik Sa-
tria sejenak. Punya nyali juga anak ini,
pikirnya. Sampai saat itu, nama si bocah
saja belum sempat diketahuinya. Tapi, su-
dah banyak hal yang pantas dikagumi dalam
diri anak itu.
Masalahnya sekarang, nyali besar si
bocah saja tak cukup untuk menghadapi pa-
ra lelaki pengacau itu. Dibanding mereka,
Satria bukanlah apa-apa. Bagaimana pula
dia bisa membantu perempuan dan anaknya
tadi?
"Aku bukan ingin meremehkan kau,
Bocah. Aku cuma tak ingin terjadi apa-apa
padamu, mengingat siapa mereka. Mereka
terbiasa bertarung dan bertempur. Biasa
membunuh. Lagi pula, tampaknya dua perem-
puan itu dapat mengatasi mereka," tambah
pemilik kedai.
Satria seperti tidak menanggapi se-
luruh perkataan pemilik kedai. Dengan ne-
kat, dia menerjang tangan si pemilik ke-
dai begitu saja.
"Bocah, tunggu!" tahan pemilik ke
dai. Sayang, usahanya sia-sia. Satria te-
rus berjalan cepat dengan langkah-langkah
lebar terbanting. Lagaknya sudah seperti
seorang jawara yang siap membuat babak-
belur cecunguk-cecunguk.
Kalau sudah begitu, pemilik kedai
cuma bisa geleng-geleng kepala. Dahinya
agak berkerut memperlihatkan kekhawati-
ran. Sebaliknya, sinar matanya memperli-
hatkan tekad untuk turun tangan bila bo-
cah nekat itu dalam bahaya.
Sementara itu, salah seorang dari
dua lelaki bersenjatakan gada berbandul
baja berduri sudah merangsak Tresnasari.
Gadis itu sendiri sudah beranjak maju
dua-tiga langkah, seakan sengaja menyong-
song serangan lawan.
"Tahu rasa kau, Anak Sundal!" ma-
kinya seraya melayangkan satu tamparan
keras dengan punggung tangan. Seperti le-
laki yang telah menjadi korban tendangan
Tresnasari, tampaknya lelaki ini pun me-
rasa jatuh gengsi jika menyerang secara
membabi-buta seorang bocah kecil. Perem-
puan pula. Dia berniat hanya memberi pe-
lajaran keras pada Tresnasari. Pelajaran
keras itu benar-benar dimaksudkan
'keras', karena tamparannya dilakukan
dengan tenaga penuh. Andai gadis sebaya
Tresnasari terkena, tentu tubuhnya akan
terlempar.
Tapi yang terjadi?
Tanpa banyak kesulitan, Tresnasari
menangkis tamparan keji tadi dengan per-
gelangan tangan mungilnya.
"Hait!"
Deg!
Ketika itulah mata penyerangnya
terbuka lebar. Semestinya, tubuh Tresna-
sari terjajar saat memapaki tamparan kuat
lawan. Ukuran tubuh gadis belasan itu sa-
ja tak lebih dari setengah tubuh penye-
rangnya. Tapi, nyatanya dia masih tegak
di atas kuda-kudanya. Tangan mungilnya
bahkan tak terlihat tergetar menyambut
tamparan lawan.
Sebaliknya, si lelaki penyerang ma-
lah tersurut mundur satu tindak. Di samp-
ing karena terkejut mendapati kenyataan
di luar perkiraan, dia juga merasakan
nyeri di sekujur tangannya.
"Sialan, anak ini tak bisa dibuat
main-main!" desisnya nyaris tak terden-
gar. Meski merasa begitu nyeri di bagian
tangan, sengaja dia tak mendekapnya. Juga
diusahakannya agar mimik wajahnya tak
memperlihatkan hal itu. Lagi-lagi itu
persoalan agar tak jatuh gengsi.
Sewaktu kegeramannya menanjak dan
perhatiannya tertuju lekat-lekat pada
Tresnasari, tahu-tahu saja 'nyelonong'
sebuah kepala ke perutnya tanpa permisi
lagi. Kebetulan pula arahnya dari samp-
ing, menyebabkan dia luput menyadari se
rangan gelap barusan.
Begh!
"Ngek!"
Lelaki tadi terjajar mundur, lebih
jauh dari sebelumnya. Tangannya mendekap
perut. Matanya melotot seperti hendak
mencelat keluar. Bukan itu saja, lidahnya
pun terjulur. Kalau saja rahangnya menge-
ras, tentu lidahnya akan tergigit putus
saat itu juga. Sekarang, dia tak bisa la-
gi merisaukan soal jatuh gengsi. Bagaima-
na bisa kalau wajahnya saat itu saja su-
dah tak meyakinkan lagi?
"Biar tahu rasa kau!" Terdengar
bentakan dari si penyerang gelap. Siapa
lagi kalau bukan Satria?
Menyaksikan cara menyerang si bocah
yang begitu konyol, mendadak saja teru-
railah tawa kecil Tresnasari,
"Hi-hi-hi!"
Ditertawakan begitu, Satria jadi
tersinggung. Sudah ditolong kok malah me-
nertawakan, protesnya dalam hati. Jelas-
jelas itu tidak adil. Dia berbalik. Dipe-
lototinya bocah perempuan itu.
"Kenapa tertawa?!" hardiknya sok
galak.
Tanpa mempedulikan kedongkolan Sa-
tria, Tresnasari mencemooh.
"Jurus apa yang kau pakai itu? Seu-
mur hidup, aku baru kali ini menyaksikan
jurus 'sehebat' itu. Hi-hi-hi...."
"Ah, peduli setan dengan segala ma-
cam jurus! Terserah kau mau sebut apa.
Mau kau sebut jurus, 'kepala rasa nanas',
kek, mau apa kek...," sergah Satria pa-
nas.
Jawaban seenak dengkul Satria makin
membuat tawa gadis tanggung itu terjang-
kit. Dia terpingkal-pingkal dengan mende-
kap perutnya. Sampai....
"Hei, Bocah Kunyuk!"
Satu bentakan terdengar persis di
belakang Satria. Bocah itu terperanjat.
Cepat dibalikkannya tubuh.
Bugh!
Satu hantaman keras melanda ulu ha-
tinya. Lelaki yang sebelumnya menerima
serangan asal jadi Satria berusaha memba-
las perbuatan si bocah berambut kemerahan
dengan tendangan lurus tak tanggung-
tanggung. Kontan saja tubuh kurus Satria
terpental dua-tiga tombak. Layaknya ka-
rung pasir, tubuh anak itu jatuh berdebam
di permukaan jalan. Dia menggeliat-geliat
menahan rasa sesak hebat di atas tanah.
Akibat rasa sesak tersebut, menarik napas
saja sudah teramat sulit baginya. Otot-
otot dadanya seperti mengejang seketika
dan tak dapat dikendalikan lagi. Padahal
tendangan yang menimpanya tadi hanya ten-
dangan biasa. Tenaga yang dipakai pun ma-
sih tenaga luar. Lalu apa jadinya kalau
tendangan tadi disalurkan tenaga dalam?
Benar perkataan lelaki tua pemilik
kedai, Satria jelas tidak berarti apa-apa
bagi kawanan pengacau tadi. Untuk mengha-
dapi satu tendangan salah seorang dari
mereka saja, si bocah berhati baja sudah
tak berkutik,
Dasarnya Satria memiliki sifat pan-
tang menyerah, dengan terseok-seok meme-
gangi dada, dia berusaha bangkit. Meski-
pun saat itu boleh dibilang dadanya belum
seluruhnya dapat menarik udara secara wa-
jar.
Belum sempat anak itu berdiri te-
gak, penyerangnya sudah berjalan ke arah-
nya, siap menghadiahinya satu hajaran la-
gi.
"Matamu benar-benar buta, Bocah Ku-
nyuk. Kau tidak tahu dengan siapa kini
kau berhadapan, heh?" rutuknya. Paras le-
laki itu sarat ancaman, berbaur kegera-
man.
Tiba di dekat Satria, lelaki tadi
menggerakkan kakinya kembali. Hendak di-
jejakannya tumit kaki ke punggung si pe-
muda tanggung.
"Biar mampus sekalian kau!"
Sebelum Satria didarati hantaman
yang lebih parah tersebut....
Wesss....
Clep!
"Aaah!"
Mulut si penyerang melontarkan
lengkingan. Kaki kanannya yang telah te-
rangkat tinggi, urung mendarati punggung
Satria. Satu belati telah menancap tepat
di pinggir luar kakinya dan menembus
hingga ke luar. Kaki itu seperti sedang
disate melebar! Dapat dibayangkan bagai-
mana rasanya. Lelaki tadi pun berjingkat-
jingkat liar di tempat dengan sebelah ka-
ki. Kaki yang lain dipeganginya sambil
terus berteriak-teriak.
Pada saat berikutnya, satu sosok-
tubuh mungil melayang gesit membentuk
salto sekali di udara. Dengan amat cepat,
disambarnya belati yang menancap di kaki
sang korban tanpa sedikit pun menyentuh
satu bagian tubuhnya.
Slap!
"Masih bagus aku hanya mengarahkan
belati ini ke kakimu. Bagaimana kalau ku-
arahkan ke lehermu?" tukas Tresnasari
dengan gaya seorang ksatria wanita, sete-
lah menyambar kembali belatinya. Dia ber-
diri empat langkah dari lelaki korban be-
latinya. Tangannya menggenggam belati
berlumur darah.
"Aku lebih suka kalau belati itu
menancap di lehernya! Kalau aku jadi kau,
itu yang akan kulakukan. Tapi, kau sendi-
ri tampaknya memang bodoh!" sela Satria,
terengah.
Sekali ini, mata Tresnasari-lah
yang ganti mendeliki bocah dekil berambut
kemerahan itu.
Menyaksikan dua rekan mereka dipe-
cundangi oleh gadis tanggung berpakaian
merah hati, tiga lelaki lain menjadi ka-
lap. Dalam hati, mereka juga merasa ter-
hina dengan semua itu. Wajah mereka se-
perti dilempari kotoran kerbau! Hanya
oleh seorang gadis baru besar saja dua
orang di antara mereka dibuat keok. Satu
roboh karena kantong ajimatnya dibuat
nyaris pecah. Seorang lagi jadi lumpuh
karena satu kakinya tertembus belati. Ke-
terlaluan sekali, pikir mereka.
Dalam benak ketiganya, sudah tak
terbetik lagi untuk tanggung-tanggung
menghajar si bocah perempuan tanggung.
Kalau sudah tahu akibat yang terjadi pada
dua kawannya, tentunya mereka akan men-
ganggap Tresnasari sebagai lawan tangguh
yang patut diperhitungkan. Ditambah lagi
oleh kekalapan mereka yang sudah mendaki
naik sampai ke ubun-ubun.
Karena itu, serempak mereka menge-
luarkan senjata masing-masing. Seorang
mengeluarkan gada berbandul baja berdu-
rinya. Yang lain meloloskan sepasang pe-
dang pendek dari punggungnya. Sisanya
langsung memutar-mutar tombak bermata ti-
ga.
Tresnasari pun lantas dikepung me-
reka. Melihat gelagat yang makin memanas,
Tresnasari tak ingin bertindak ceroboh.
Tentu saja dia tak bisa menganggap remeh
serangan dari tiga lelaki kasar sekali-
gus. Nyawanya menjadi taruhan.
Sang ibu, masih tenang-tenang saja
di tempatnya. Jaraknya dengan Tresnasari
kini sekitar sepuluh tombak. Kalau ber-
niat membantu, tentunya dia akan cepat
bergerak mendekati anaknya. Itu tidak di-
lakukan. Pertanda dia yakin putri tung-
galnya mampu mengatasi kesulitan terse-
but.
"Kau akan menyesal, Anak Perempuan
Sial! Karena setelah hari ini, umurmu tak
akan bertambah barang sehari pun!" ancam
lelaki bersenjata tombak bermata tiga
sambil memutar ujung tombaknya seperti
sebuah baling-baling tajam.
"Jangan terlalu yakin!" dengus
Tresnasari. Tak tampak kepanikan pada wa-
jah bocah perempuan muda itu. Yang kenta-
ra jelas justru garis-garis kesiapan ber-
tarung. Di masing-masing tangannya sudah
siap belati. Sesekali belati itu berputar
cepat di antara jari-jemari mungil halus-
nya.
Ketiga calon lawan bergerak membuat
putaran di sekeliling Tresnasari, seakan
sengaja berniat mengacaukan konsentra-
sinya. Lelaki bersenjata sepasang pedang
pendek membuat gerakan membacok ke selu-
ruh penjuru, seperti gerakan seorang yang
sedang membentengi diri dari serangan.
Sedangkan lelaki bersenjata gada berban-
dul besi berduri memutar-mutar senjatanya
di atas kepala
Gerak berkekuatan serta terarah
senjata mereka membentuk dengung kencang
menggetarkan nyali. Tapi, tidak untuk si
bocah perempuan. Secuil pun tak ada ken-
gerian terbetik di benaknya. Tampaknya,
dia telah tergojlok untuk menghadapi se-
rangan-serangan semacam itu.
"Hei! Kalian mau bertarung atau
hendak adu keras suara senjata! Kalau cu-
ma itu, kenapa kalian tak mengganti saja
senjata kalian dengan gasing bambu yang
bisa memperdengarkan dengung tanpa harus
mengeluarkan tenaga terlalu banyak," oceh
Satria.
Gayanya seolah dia menguasai jurus-
jurus silat. Dasar tong kosong berbunyi
nyaring! Apa dikiranya perkelahian orang-
orang persilatan itu cuma main terjang
kalang-kabut seperti kakek kebakaran
jenggot?
"Diam kau!" hardik Tresnasari.
"Kau juga! Kenapa tak kau tusuk sa-
ja mereka, suk... suk... suk! Kan,
beres?!" sengit Satria.
Wajah Tresnasari merah bukan main
mendengar perkataan si bocah bermulut
lancang. Selama ini, dia meyakini kalau
ilmu silatnya sudah cukup mahir. Perlu
waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan
setiap jurus yang dikuasainya, Tapi, ku-
nyuk dekil satu ini malah mengajarkan
seenaknya saja. Seolah bocah berambut ke-
merahan itu menganggap bertarung dengan
mengandalkan jurus itu tak beda dengan
buang hajat, tinggal jongkok beberapa
saat lalu beres!
Sedang ngotot-ngototnya si gadis
muda tanggung mencemberuti Satria, seran-
gan lawan datang.
"Putus lehermu, Setan Alas Kecil!"
Wukh!
Satria terkesiap. "Hei awas!!" te-
riaknya memperingati. Lalu si lancang mu-
lut itu cepat-cepat mendekap wajah. Ngeri
sekali dia membayangkan sepasang pedang
pendek akan membabat leher perempuan yang
sebenarnya ditaksirnya itu. Saat itu, hi-
lang entah ke mana sikap sok jagonya.
Dengan kesigapan mengagumkan, Tres-
nasari menjemput serangan pembuka lawan.
Diayunkannya sepasang belati ke arah da-
tangnya suara pedang berkelebat. Hanya
dengan mengandalkan kepekaan nalurinya,
gadis tanggung itu sanggup mementahkan
serangan lawan tanpa melihat terlebih da-
hulu.
Trang!
Dan terperciklah lidah api dari
benturan dua pasang senjata mereka.
Setelah mendengar suara benturan
senjata, Satria baru berani mengintip da
ri sela-sela jarinya, Wuh, syukurlah pe-
rempuan cantik judes itu tak apa-apa, bi-
siknya membatin.
Serangan selanjutnya melanda Tres-
nasari seperti serbuan air bah. Tiga la-
wannya menyerang sekaligus. Itu sebenar-
nya perbuatan pengecut. Dalam aturan para
ksatria dunia persilatan, tak terhormat
jika menyerang dari belakang. Apalagi
main keroyokan terhadap seorang yang di-
anggap jauh lebih mentah pengalaman.
Sayang, mereka memang bukan para ksatria.
Ketika sehimpun senjata meluruk
berbarengan ke arah Tresnasari dari arah
berbeda....
Trang-trang!
Seketika senjata-senjata tadi ber-
mentalan ke segenap penjuru. Dalam kece-
patan yang deras pula. Tombak bermata ti-
ga dan satu pedang pendek menancap dalam
di dua tiang kedai yang jaraknya cukup
jauh dari kancah pertarungan.
Tresnasari sendiri tak memperli-
hatkan gerak sama sekali ketika semua itu
terjadi. Dia masih siap dalam kuda-kuda
kokohnya. Wajahnya memperlihatkan keter-
kejutan. Sebaliknya, pikirannya sendiri
cepat mengambil kesimpulan. Tentu, itu
tadi perbuatan Nyai, simpulnya.
Berbeda dengan dugaan ketiga penye-
rangnya. Mereka justru menyangka bahwa
kejadian barusan adalah tindakan Tresna
sari. Mereka terperangah. Ketiganya mun-
dur teratur. Tak bisa dipercaya mereka
kalau seorang anak bisa bergerak tanpa
terlihat dan sanggup membuat senjata me-
reka terpental berbarengan. Apa itu tidak
menakjubkan mereka? Padahal, mereka saja
yang bodoh.
Maka, tanpa perlu digebah ketiganya
segera ngacir dengan kuda masing-masing.
Sepeninggalan mereka, Satria men-
cak-mencak tak karuan. Entah jurus apa
yang dikeluarkan. Semuanya serba ngawur.
Mulutnya bersat-sut-sat-sut, mengikuti
gerakan silat dari negeri Antah Berantah!
Sambil menatap para pecundang yang berku-
da di kejauhan, bibirnya mencibir. "Cuma
sebegitu saja? Heh, tak ada apa-
apanya...," ocehnya.
EMPAT
TEMPAT keributan kembali tenang.
Beberapa orang yang menjadi penonton ke-
jadian memulai kembali kegiatan masing-
masing. Sementara si perempuan berpakaian
silat warna ungu mendekati anak gadisnya.
"Kapan kau mempelajari gerakan se-
cepat itu, Anakku?" tanyanya, ingin tahu
bagaimana anaknya bisa bergerak tanpa
terlihat hingga seluruh senjata penye-
rangnya berpentalan laksana disapu topan.
Tresnasari melengak. Sungguh perta-
nyaan sang ibu agak mengejutkannya. "Aku
justru mengira itu perbuatan Nyai!" tu-
kasnya agak meninggi.
Wajah pucat wanita berpakaian ungu
agak terlipat. Dia berpikir sejenak. "Ka-
lau bukan perbuatanmu dan perbuatanku,
lalu siapa?" gumamnya, tipis berbisik.
Sejenak kepalanya menoleh pada Sa-
tria. Mungkinkah bocah itu? Tanya hatinya
ragu. Bocah yang diperhatikan malah se-
dang cengengesan tak karuan. Dia mengira
keberaniannya menyeruduk seorang lelaki
pengacau sedang dibicarakan ibu dan anak
itu. Bangganya minta ampun dia. Hidungnya
pun jadi kembang-kempis.
"Tentu saja bukan dia," cibir Tres-
nasari, mengetahui ibunya menyangka Sa-
tria-lah pelaku tindakan mengagumkan se-
belumnya. "Bagaimana dia bisa melakukan
itu kalau cara menyerangnya saja mirip
kambing buduk!"
Lalu pandangan Nyai Cemarawangi,
nama perempuan berpakaian ungu, beralih
ke arah lelaki tua pemilik kedai. "Mung-
kinkah orang tua itu?" gumamnya tak ken-
tara. Dia bukan cuma penasaran ingin men-
getahui si pelaku, tapi juga ingin meng-
haturkan banyak terima kasih. Sebab, ka-
lau putrinya tidak ditolong waktu itu,
dia ragu Tresnasari mampu mengatasi se-
rangan serempak yang keji dari para pen-
geroyoknya.
Orang yang diperhatikan malah mulai
sibuk lagi mengebuti lalat-lalat yang
berkeliaran di atas dagangannya. Wajahnya
tetap tenang seperti sebelumnya. Namun
bukan itu yang menjadi pusat perhatian
Nyai Cemarawangi. Justru perbuatan kecil-
nya mengebuti lalat yang luput mendapat
perhatian orang lain, tapi tidak untuk
mata jeli perempuan itu. Si lelaki tua
pemilik warung terlihat santai saja meng-
gerakkan alat pengebut lalat terbuat dari
batang bambu yang diberi rumbai tali pe-
lepah pisang kering. Tapi, setiap kail
tangannya bergerak santai, beberapa ekor
lalat langsung menemui ajal!
Nyai Cemarawangi tersenyum. Seka-
rang dia yakin telah menemukan penolong
putrinya. Segera dihampirinya orang tua
itu.
Satria mengira dia yang dihampiri.
Makin parah saja cengangas-cengengesnya.
Besar rasa juga rupanya bocah itu. Dan
dia tinggal bisa bengong ketika Nyai Ce-
marawangi cuma melintasinya.
"Terima kasih atas bantuanmu, Orang
Tua. Aku yang muda rupanya terlalu tak
menyadari kalau kau adalah seorang tokoh
mandraguna...."
Ucapan Nyai Cemarawangi tak digu-
bris orang tua itu. Dia terus saja sibuk
berbenah, seolah sama sekali tak mengeta-
hui apa maksud ucapan Nyai Cemarawangi.
Sementara itu, Tresnasari menyusul
ibunya. Dilewatinya pula Satria yang mu-
lai pula senyum-senyum pada gadis tang-
gung itu. Di dekat Satria, Tresnasari
berhenti melangkah. Ditatapnya bocah itu
tajam-tajam.
"Kenapa senyum-senyum?!" bentaknya.
"Mau kubuat rontok gigimu?!"
Satria langsung bungkam. Mulutnya
terkunci rapat. Jangankan senyum, merin-
gis pun dia tak berani.
"Kalau diperkenankan, bolehkah aku
tahu siapa sesungguhnya dirimu, Orang
Tua?" susul Nyai Cemarawangi, kemudian.
Seperti baru tersadar seseorang te-
lah berdiri di depannya, orang tua itu
tersenyum, memperlihatkan barisan gigi
kehitaman dan telah tanggal dua-tiga bu-
tir.
"Seperti kau lihat, aku cuma seo-
rang penjual makanan," sahut pemilik wa-
rung. Nada bicaranya tetap tak berubah.
Tetap santai, sambil menjentiki beberapa
ekor lalat yang mati di atas mejanya.
"Kalau begitu, izinkan aku mengenal
namamu," mohon perempuan cantik meski
usianya sudah terbilang cukup tua itu.
Kening berkerut orang tua berkumis
putih itu sesaat terlipat. Sepasang alis
putihnya yang tumbuh jarang agak mendekat
satu dengan yang lain. Bola matanya naik
ke atas.
"Seingatku, namaku Kusumo...," ka-
tanya setelah berpikir beberapa saat.
Aneh juga, bagaimana dia bisa lupa nama
sendiri?
Sebenarnya, Nyai Cemarawangi ingin
mengetahui nama lengkap orang tua itu.
Siapa tahu dia pernah mendengar nama itu
di dunia persilatan. Sebab, menurut per-
kiraannya, orang tua yang mengaku bernama
Kusumo ini pasti seorang tokoh yang dis-
egani di dunia persilatan. Mungkin karena
satu atau lain sebab, dia mengundurkan
diri. Namun, hanya karena tak ingin di-
anggap terlalu lancang, akhirnya perem-
puan itu tak bertanya lebih jauh.
"Kalau begitu, terima kasih sekali
lagi Ki Kusumo. Aku harap kita akan ber-
jumpa lagi. Siapa tahu aku masih bisa
membatas budimu...."
"Siapa yang perlu membalas budi?
Kau berbicara aneh sekali, Cah Ayu," ki-
lah Ki Kusumo, matanya menyipit memperli-
hatkan ketidakmengertian maksud perkataan
perempuan di depannya. Di akhir katanya,
dia terkekeh.
Nyai Cemarasari menjura, hormat.
"Kalau begitu, aku mohon pamit,
Ki."
"Ya... ya... ya," sahut Ki Kusumo
enteng. "Pergilah. Dan kudo'akan agar kau
dapat menemukan tabib yang berjodoh den-
ganmu!" tambahnya.
Seketika itu, Nyai Cemarawangi men-
gangkat kepalanya. Wajah memeram perta-
nyaan. Bagaimana dia tahu kalau aku se-
dang sakit dan bagaimana pula dia tahu
kalau sampai sekarang aku belum bertemu
dengan tabib yang dapat menyembuhkan pe-
nyakitku? Bisik hatinya. Makin kagum saja
perempuan itu pada Ki Kusumo.
Nyai Cemarawangi baru hendak mena-
nyakan hal itu, Ki Kusumo sudah mengge-
rakkan tangannya.
"Ayo, pergilah.... Pergi...."
Perempuan berpakaian ungu mengulang
juranya. Caping yang sejak tadi mengge-
lantung di belakang punggungnya ditem-
patkan kembali di atas kepala. Dia pun
melangkah.
"Ayo, Tresna," ajak Nyai Cemarawan-
gi pada putrinya, baru saja Tresnasari
tiba di sampingnya
Keduanya berangkat.
* * *
Hari makin tua. Sinar merah temba-
ganya meredup dan terengah-engah. Mataha-
ri terkapar disudut barat bumi. Di batas
Kadipaten Ketawang, dua perempuan berja-
lan perlahan menuju arah matahari tengge-
lam. Mereka adalah Nyai Cemarawangi dan
anaknya, Tresnasari.
"Kita membutuhkan kuda untuk sampai
di Jogoboyo, Nyai," kata si gadis ayu ba-
ru tumbuh remaja pada ibunya.
"Kenapa? Apa kau tak kuat berjalan
sampai ke sana?"
"Bukan begitu. Aku justru iba pada
Nyai. Nyai tampaknya makin kehilangan ba-
nyak tenaga karena sakit yang mendekam
dalam tubuh Nyai," kata Tresnasari lagi.
Nyai Cemarawangi merangkul anaknya
dengan sebelah tangan. Bahu Tresnasari
diguncang-guncangkan kecil.
"Aku bersyukur memiliki putri yang
sayang terhadapku. Rasanya, kalau kau te-
rus berada di sampingku, berjalan sampai
ke ujung bumi aku masih sanggup," gu-
raunya dengan sebaris senyum di bibirnya
yang memucat dan kering.
"Ah, Nyai ini. Aku sedang bicara
sungguh-sungguh! Apa tak sebaiknya kita
ke desa terdekat dulu untuk mencari dua
ekor kuda? Kalau perlu, kita menumpang
bermalam. Besok pagi, baru kita lanjutkan
lagi perjalanan. Bagaimana?" cecar Tres-
nasari, nyaris lupa berhenti.
Sementara mereka terus melangkah,
seseorang menguntit keduanya. Sejak mere-
ka meninggalkan pusat Kadipaten Ketawang,
orang itu terus mengekori. Sesekali dia
bersembunyi di balik pohon atau semak-
belukar yang banyak tumbuh di sepanjang
jalan setapak. Jika jaraknya sudah cukup
aman, dia mulai menguntit lagi.
Dari caranya bergerak, tak ada ke-
san kalau si penguntit adalah orang per-
silatan. Gerakannya begitu kasar dan
berkesan serampangan. Langkah-langkah ka-
kinya memperdengarkan bunyi ribut, meski-
pun tampak lincah.
Kalau sudah begitu, tentu saja Nyai
Cemarawangi dan Tresnasari akan cepat
mengendusi.
"Sejak tadi ada orang menguntit ki-
ta terus, Nyai," bisik Tresnasari.
"Ya-ya, aku tahu."
"Apa perlu kita hadang sekarang?"
"Tak perlu. Tampaknya orang itu tak
berbahaya. Lagi pula...." Nyai Cemarawan-
gi tak meneruskan perkataannya. Dia malah
senyum tertahan.
"Kenapa, Nyai? Kenapa?" desak Tres-
nasari.
"Lagi pula, aku sudah tahu siapa
orang itu." Kening si gadis belia dibuat
berkerut.
"Siapa Nyai?"
Jawaban Nyai Cemarawangi cuma se-
nyum kecilnya, yang lagi-lagi sengaja di-
tahan.
"Siapa Nyai? Dan kenapa Nyai malah
tersenyum-senyum seperti itu?" sewot
Tresnasari.
"Nanti juga kau tahu."
Tresnasari jadi tak sabar lagi den-
gan kucing-kucingan ibunya. Dia merajuk.
Dengan wajah asam, dihentikannya langkah
tiba-tiba. Lalu cepat dibalikkannya tu-
buh.
Demi melihat salah seorang yang di-
kuntit mendadak membalikkan tubuh, si
penguntit terperanjat bukan alang-
kepalang. Serabutan dicarinya tempat per
sembunyian. Ada sebatang pohon beringin
besar di dekatnya. Ke sana dia berlari.
Saking terburu-buru, tak dilihatnya akar
pohon merangas di tanah. Akhirnya....
"E-e-eeeeee!"
Gedubrak!
Jatuh juga orang itu dengan posisi
tertelungkup. Jidatnya terhantam batang
pohon beringin. Orang itu ternyata si bo-
cah sok jago, Satria. Apa maunya dia men-
guntit begitu rupa?
Melihat siapa yang sejak tadi men-
guntit, Tresnasari memasang wajah perang-
nya. Kalau bisa, ingin dibuat wajah
ayunya seseram tampang Batari Durga, pe-
rempuan raksasa di pewayangan.
"Mau apa lagi kau?!" serunya ketus.
Satria bangkit terseok. Satu tan-
gannya memegangi pinggang. Tangan yang
lain mengusap-usap keningnya yang sudah
benjut sebesar tempurung dengkulnya sen-
diri. Bibirnya meringis-ringis berkepan-
jangan, antara rasa dongkol dibentak
Tresnasari dan penderitaannya.
"Apa maumu mengikuti kami, Cah Ba-
gus?" tanya Nyai Cemarawangi, jauh lebih
bersahabat dari pertanyaan anaknya baru-
san.
"Anu, Bibik... anu...," Si bocah
berambut kemerahan tak bisa mencari ala-
san yang tepat satu pun. Sejak keributan
di jalan pusat kadipaten berakhir, dia
pamit pada lelaki tua pemilik warung.
Orang tua itu sendiri sebenarnya berat
melepas Satria. Di samping dia sudah
'jatuh hati' pada sifat-sifat Satria, dia
juga merasakan keuntungan dari kerja ra-
jin anak itu di tempatnya. Karena Satria
tidak bisa dicegah, pemilik warung yang
penuh teka-teki di mata Nyai Cemarawangi
itu akhirnya melepas Satria juga. Dibeka-
linya anak itu dengan beberapa keping ke-
peng.
"Anu apa?!" bentak Tresnasari.
Dengan isyarat, Nyai Cemarawangi
memperingati sikap judes anaknya.
"Aku cuma ingin ikut kalian...,"
aku Satria akhirnya.
"Ikut kami? Bagaimana dengan ke-
luargamu?" tanya Nyai Cemarawangi.
Satria menggelengkan kepala perla-
han. Dia tertunduk. Raut wajahnya berubah
mendung. Muram, biarpun dia bukan tergo-
long bocah cengeng.
"Aku sendiri sampai sekarang tidak
tahu apa-apa tentang keluargaku. Bahkan
aku tak pernah tahu asal-usul diriku...,"
katanya. Dari desah napasnya, terdengar
dia berusaha untuk tidak terbawa perasaan
memelasnya sendiri. Itu pula salah satu
sifat yang dikagumi Ki Kusumo.
Menilai dari sinar matanya, Nyai
Cemarawangi tahu Satria tidak berdusta.
Rasa keibuannya agak tersentuh juga.
"Baiklah. Kau boleh ikut kami...,*
katanya memutuskan.
Satria tersenyum senang. Tresnasari
cemberut sejadi-jadinya.
LIMA
PERAMPOKAN besar-besaran siap ter-
jadi di perbatasan Kadipaten Ketawang
dengan Jogoboyo, wilayah yang telah dire-
but pihak Demak dari Majapahit dalam ba-
bad sengit beberapa purnama lalu.
Saat itu, malam telah menjelang.
Bulan sabit diselimuti awan tambun di
angkasa. Sinarnya tak kuasa untuk mene-
rangi permukaan bumi. Ditengah-tengah ke-
gelapan, satu pasukan berkuda yang terdi-
ri dari kurang-lebih dua puluh lima orang
beriringan menyusuri jalan menuju bentan-
gan hutan bakau sebelah barat Jogoboyo.
Kuda-kuda mereka berjalan tak lambat, ju-
ga tak cepat. Tangan masing-masing pe-
nunggang memegang obor. Penunggang terde-
pan memegang tombak panjang. Di ujungnya
diikatkan panji segitiga sama kaki sepan-
jang empat jengkal berwarna merah dengan
gambar seekor kelelawar penghisap darah.
Mereka adalah Panji Prajurit Silu-
man atau Laskar Lawa Merah. Sepasukan pe
rampok, di bawah pimpinannya yang bertu-
buh raksasa
Sejak kekacauan meletus di mana-
mana akibat peta kekuatan Kerajaan Maja-
pahit tercabik-cabik, keadaan jadi tak
lagi terkendali. Dan hilangnya tongkat
komando kerajaan yang pernah mencita-
citakan penyatuan Nusantara di bawah sum-
pah Mahapatih Gajah Mada itu, menyebabkan
kekuatan demi kekuatan pasukan mereka
terpecah berkeping. Sebagian di antara
orang-orang berpengaruh Majapahit memban-
gun gerakan mulia seperti mendirikan pon-
dok-pondok persilatan. Ada juga yang men-
jadi pertapa suci, atau sesepuh masyara-
kat suatu daerah yang berwibawa dan dis-
egani.
Karena haus kekuasaan, ada juga di
antara mereka tak dapat menguasai diri
untuk membentuk kekuatan sendiri-sendiri.
Mereka mengambil jalan yang dianggap da-
pat dengan cepat mewujudkan keinginan me-
reka meraih kekuasaan.
Salah seorang di antara mereka ada-
lah Dirgasura. Dia membentuk gerombolan
perampok. Terdiri dari para bajingan-
bajingan yang dulunya selalu merongrong
kerajaan. Dirgasura dan antek-anteknya
kemudian menjadi satu gerombolan yang
paling ditakuti di sepanjang pesisir Jawa
Tengah. Mereka menyebut diri sebagai Pan-
ji Prajurit Siluman. Kawanan perampok
yang selalu membawa panji-panji berwarna
merah bergambar kelelawar penghisap da-
rah. Penduduk kerap pula menjuluki mereka
sebagai Laskar Lawa Merah.
Dirgasura memiliki tubuh yang lebih
besar dan tinggi dari kebanyakan ukuran
tubuh orang biasa.
Tingginya mencapai dua meter. Ben-
tuk badannya kekar berotot. Dadanya bi-
dang mengembung, ditumbuhi bulu lebat.
Lehernya besar, mengimbangi kekarnya ba-
gian tubuh yang lain. Karena begitu bero-
totnya, punuk lelaki itu lebar menonjol
seperti seekor kerbau liar. Wajahnya sen-
diri sebenarnya tak tergolong menyeram-
kan, bahkan boleh dibilang biasa-biasa
saja. Namun, matanya selalu membersitkan
ketelengasan. Dagu perseginya dihiasi
brewok kasar. Dan dia selalu berpakaian
perang yang di bagian dadanya terbuat da-
ri lempengan logam, untuk menunjukkan ke-
kuasaannya seperti yang dilakukan para
manggala.
Kini, Laskar Lawa Merah atau Panji
Prajurit Siluman memasuki wilayah perba-
tasan antara Ketawang dan Jogoboyo. Mere-
ka punya rencana khusus untuk membumihan-
guskan desa-desa di sekitar dan menguras
harta serta wanita muda di sana. Rencana
tersebut sudah dipersiapkan Dirgasura se-
jak lama sebelumnya.
Wilayah sasaran jarahan sendiri ki
ni berada di bawah kekuasaan pasukan De-
mak. Mereka membentuk basis kekuatan di
sana karena daerah pesisir tersebut di-
anggap strategis sebagai pintu gerbang
masuknya armada laut ke daratan. Dengan
begitu, tentu saja pasukan yang ditem-
patkan pihak Demak di sana terbilang ber-
kekuatan besar.
Jika Dirgasura mencoba menyerang
melalui sisi utara, maka dia harus berha-
dapan langsung dengan kekuatan pasukan
Demak yang ditempatkan di sana. Tentu sa-
ja mereka akan dihancurleburkan. Untuk
menghindari hal itu, Dirgasura memakai
siasat gerilya. Dia tak menyerang melalui
perbatasan yang dijaga ketat, melainkan
melalui pintu masuk yang dianggap memili-
ki pertahanan terlemah. Pintu masuk yang
dimaksud adalah wilayah rawa bakau. Menu-
rut perhitungan Dirgasura sebagai seorang
pimpinan perampok yang berpengalaman,
tentu pasukan Demak tak akan mengira ser-
buan dari wilayah rawa. Pertama karena
wilayah itu amat berbahaya untuk dimasu-
ki. Banyak buaya liar berkeliaran. Selain
itu, pasukan yang mencoba menerobos ke
sana harus menempuh perjalanan tanpa ken-
daraan menembus rawa setinggi pusar sela-
ma satu malam. Lebatnya hutan bakau tak
memungkinkan untuk menggunakan perahu.
Besar kemungkinan selama merambah bentan-
gan rawa, mereka akan diserang nyamuk
nyamuk pembawa penyakit. Kesiapan tempur
mereka akan terkoyak setibanya di batas
rawa penghubung ke wilayah kekuasaan pa-
sukan Demak. Belum lagi banyaknya hewan-
hewan melata berbisa.
Namun, Dirgasura tak ingin melaku-
kan bunuh diri terhadap pasukan sendiri.
Dia telah mempersiapkan perambahan rawa
tersebut secara cermat dan matang.
Untuk mengatasi serangan buaya-
buaya penghuni rawa, sang pemimpin gerom-
bolan perampok memerintahkan anak buahnya
membuat keranda setinggi dada manusia.
Bagian bawah dan atasnya terbuka, hingga
memungkinkan seseorang bisa berjalan be-
bas di dalam kurungan keranda. Keranda
itu terbuat dari rotan memanjang yang
disatukan satu dengan yang lain dengan
tali dari samakan urat binatang. Panjang-
nya cukup untuk mengurung tubuh tiga
orang. Dengan keranda rotan itu, mereka
akan merambah rawa bakau. Buaya tak akan
bisa mendekati mereka karena terhalang
keranda. Sedangkan ikatan tali dari sama-
kan urat banteng pada rotan menyebabkan
keranda tersebut dapat lentur meliuk ke
sana-ke sini di antara tetumbuhan bakau.
Untuk menghindari serangan nyamuk-
nyamuk rawa pembawa bibit penyakit menu-
lar, Dirgasura mendatangi seorang tabib
ahli yang pernah dikenalnya ketika sebe-
lum menggalang para perampok. Diperintah
nya tabib itu untuk membuat ramuan mengu-
sir nyamuk yang diborehkan ke kulit.
"Aku mendengar Pak Tua Kusumo, pe-
milik warung di pusat kadipaten, mengata-
kan kalau kau sedang sakit, Bik. Apa be-
nar begitu?"
Satria bertanya pada Nyai Cemara-
wangi. Ketika itu mereka bermalam di hu-
tan. Desa terdekat masih cukup jauh. Se-
mentara malam sudah terlalu larut untuk
menempuh perjalanan. Karenanya mereka
membuat api unggun. Bocah itu duduk di
atas batang pohon kayu tua yang roboh di
atas tanah, menghadapi api unggun. Warna
merah cahaya api menari-nari di wajah
bergaris kokoh Satria.
Berseberangan dengannya, duduk
Tresnasari. Sejak sore gadis tanggung itu
terus merajuk. Dia tak mau bicara sepatah
pun kalau tidak ditanya. Seperti tidak
ingin peduli pada pertanyaan Satria pada
ibunya, Tresna mempermainkan bara api un-
ggun dengan batang pohon kering.
"Ya," sahut Nyai Cemarawangi berba-
reng helaan napas.
"Sakit apa, Bik?" susul Satria, in-
gin tahu lebih banyak. Atau mungkin dia
hanya ingin berbasa-basi, mengingat gadis
sebayanya terus saja memperlihatkan wajah
permusuhan. Inginnya dia berbincang-
bincang dengan Tresnasari. Pasti banyak
bahan obrolan yang bisa dibicarakan oleh
sepasang remaja seperti mereka. Tapi,
Tresna dingin saja terhadapnya. Jangan
lagi bicara, melirik pun tidak.
Satria merasa dirinya hanya diang-
gap kentut. Brengsek!
Helaan napas Nyai Cemarawangi ter-
dengar lagi. Lebih berat dan berbeban da-
ri sebelumnya. Sambil meluruskan kaki,
pandangan perempuan itu menerawang.
"Entahlah.... Aku sudah berusaha
mencari tabib yang dapat menyembuhkanku.
Namun sampai sekarang, penyakitku tetap
tak terobati. Aku tetap saja makin
payah," jawabnya kemudian.
Ketiganya hening. Satria hanya bisa
menatap iba wajah perempuan empat puluhan
yang kian memucat dalam sapuan lamat ca-
haya api unggun itu. Diam-diam, Satria
kagum juga terhadap diri Nyai Cemarawan-
gi. Wajahnya tak sedikit pun membersitkan
rasa kekalahan. Sinar matanya bahkan mem-
perlihatkan seolah dia siap ditantang pe-
nyakitnya sendiri untuk melakukan apa
pun. Tak ada keluh di sana.
Bunyi gemeritik bara api yang di-
mainkan Tresnasari terdengar, ditingkahi
derik ramai jangkrik di kejauhan. Nyai
Cemarasari merebahkan tubuhnya yang demi-
kian penat dan lunglai di atas rumput.
Dengan caping, diganjalnya kepalanya.
Tampaknya dia mulai mengantuk. Keadaan
tubuhnya memang tak memungkinkan dia ber-
tahan tidak tidur terlalu lama. Dia butuh
istirahat.
"Tidurlah lebih dulu, Nyai. Biar
aku berjaga-jaga," kata Tresnasari, meme-
cah kebungkaman dirinya sendiri.
Nyai Cemarasari tersenyum rapuh.
Dia tahu benar anaknya sedang dilanda
kasmaran. Namun karena ini masalah cinta
pertamanya, gadis remaja itu malah tak
tahu harus berbuat apa. Akhirnya cuma
muncul kekesalan pada diri Satria. Meski
tanpa alasan sama sekali.
"Anak muda... anak muda..," bisik
Nyai Cemarasari, samar sekali, sambil me-
natap anak gadisnya.
Malam beringsut lagi. Satria duduk
memeluk lutut. Dingin bukan main. Pa-
kaiannya yang sudah usang dan koyak-moyak
sudah tak cukup untuk mengenyahkan din-
gin. Matanya sejak tadi sudah meredup-
redup diserbu kantuk. Hanya dia berusaha
terus untuk melawannya, kantuk itu akhir-
nya minggat sendiri. Dia tak boleh terti-
dur, pikirnya. Sebab Nyai Cemarasari su-
dah terpulas. Sementara Tresnasari mulai
terkantuk-kantuk. Sesekali Satria menam-
bahkan dahan pohon kering ke api unggun
yang mulai meredup.
Sewaktu menatap Nyai Cemarasari,
Satria jadi terbayang pada seorang perem-
puan setengah baya yang mati tergeletak
di dekatnya ketika dia tersadar dari
pingsan, seusai badai. Sampai sekarang,
bocah dekil itu tidak ingat siapa wanita
itu sebenarnya. Apa hubungan dengan di-
rinya? Mungkinkah wanita setengah baya
itu ibunya? Sampai detik itu juga, Satria
tetap tak ingat asal-usul dirinya.
Suatu ketika, terdengar semliweran
halus dari belakang tubuh bocah itu.
Satria tersentak. Kepalanya menoleh
cepat. Dan dia terpana saat itu juga.
Disaksikannya sesosok tubuh sedang me-
lenting-lenting ringan di atas dahan-
dahan pepohonan
Bagai tertenung, Satria terpaku
tanpa berkedip. Ditatapinya terus bayan-
gan tadi, sosok yang terus bergerak demi-
kian lincah melebihi seekor kera pohon
menuju arahnya. Yang lebih membuat bocah
itu terpana-pana lagi, sosok itu bahkan
membuat satu ranting setipis batang lidi
untuk jejakannya
Jleg!
Dengan suara teramat halus, sosok
itu hinggap tepat di depan Satria. Seo-
rang lelaki tua berpakaian hitam-hitam
longgar. Bersabuk kulit buaya dan berikat
kepala kain warna hitam pula.
Manakala menyaksikan wajahnya, Sa-
tria dibuat bertambah terperanjat. Rambut
putih sebatas bahu itu, kumis putih lebat
itu. Alis mata yang tumbuh jarang dan gu
rat-gurat ketuaan di wajahnya itu....
ENAM
"PAK Tua Kusumo?" desis Satria tak
percaya.
"Apa kabar, Bocah?" sapa lelaki tua
itu, yang ternyata Ki Kusumo, pemilik ke-
dai tempat Satria bekerja beberapa hari
lalu di pusat Kadipaten Ketawang. Hanya
pakaian orang tua itu yang kini berbeda
dari yang dilihat sebelumnya.
Sambil tersenyum didekatinya Sa-
tria. Dia duduk tepat di batang pohon se-
belah bocah dekil itu.
"Aku bawa empat ekor ayam hutan ge-
muk untuk makan malam kita," katanya en-
teng tanpa takut membangunkan dua wanita
yang kini sudah terpulas. Lalu diangkat-
nya tangan kanan. Ada empat ekor ayam
jantan mati. "Cepat kau siangi!"
Satria menerima empat ekor ayam ta-
di dengan mata terus menatapi wajah Ki
Kusumo
Selesai menyiangi, dipanggangnya
empat ekor ayam itu di atas api unggun.
Tak begitu lama, sudah tercium bau sedap
ayam bakar.
"Kita akan makan besar!" seru Ki
Kusumo. Yang membuat Satria heran, dua
wanita yang tertidur sama sekali tak te-
rusik dengan seruan yang sebenarnya ter-
golong keras itu. Apalagi dilakukan Ki
Kusumo di dekat mereka berdua.
"Kenapa kau terus menatapi aku se-
perti itu, Bocah?" tanya Ki Kusumo, men-
dapati Satria terus saja memperhatikannya
seolah benda ajaib yang baru saja jatuh
dari langit.
Satria menggelengkan kepala, entah
apa maksudnya.
Alis jarang Ki Kusumo bertaut. "Kau
tak tahu alasanmu menatapi aku seperti
itu?" perangahnya.
"Oh, itu Pak Tua Kusumo...." Bocah
itu terkesiap sesaat. Dia akhirnya menya-
dari sikap bodohnya. "Aku cuma tak per-
caya kalau aku benar-benar telah bertemu
dengan orang tua pemilik warung itu,"
sambungnya, setelah cukup mampu menguasai
rasa herannya.
Ki Kusumo terkekeh. Cukup keras.
Dan lagi-lagi itu tak menyebabkan Nyai
Cemarawangi dan Tresnasari terbangun.
Sambil melirik dua wanita itu, Sa-
tria menambahkan pertanyaan. "Aku juga
tak percaya, bagaimana mereka bisa tak
terbangun sementara kau begitu enak bica-
ra dan tertawa," ungkapnya seperti bergu-
mam. "Jangan-jangan, aku cuma bermimpi.
Dan kau pun cuma bagian dari mimpiku."
Kembali Ki Kusumo terkekeh keras.
"Kau tidak sedang bermimpi, Cah Bagus!
Mereka memang telah aku 'sirap'..."
"Sirap?"
"Ah, itu semacam keahlian yang bisa
membuat orang tertidur pulas."
Satria terbengong-bengong tak men-
gerti.
"Asal kau tahu saja. Sebenarnya,
kau pun kujadikan sasaran 'sirap'ku.
Sialnya, kau seperti tak mempan. Aku he-
ran, bagaimana bocah seperti kau mampu
melawan pengaruh sirapku...," tambah Ki
Kusumo seraya menggeleng-gelengkan kepa-
la. Di pancar matanya terbetik rasa kagum
pada kemampuan si bocah tanggung untuk
melawan rasa kantuk yang disebabkan oleh
pengaruh sirapnya.
Buat seorang bocah yang tak memili-
ki kepandaian kedigdayaan sedikit pun se-
perti Satria, sebenarnya hal itu sungguh
luar biasa. Orang berkepandaian saja ma-
sih jarang yang bisa menahan pengaruh
'sirap'nya, kecuali beberapa orang yang
memiliki kesaktian tingkat tertentu,
Rahasia yang menyebabkan Satria da-
pat melawan pengaruh 'sirap'nya membuat
Ki Kusumo dibuat penasaran. Sedangkan Sa-
tria masih juga terbengong-bengong tak
mengerti.
* * *
Ki Kusumo memiliki nama asli Raden
Giri Kusumo. Dia adalah seorang ningrat
dari Singasari. Sejak mudanya, dia gemar
mengembara ke berbagai daerah untuk mem-
perdalam ilmu kedigdayaan dan ketabiban.
Banyak daerah telah dikunjunginya. Bahkan
dia pernah memburu satu ramuan obat-
obatan hingga ke Tibet.
Selama bertahun-tahun dia berkelana
dari satu negeri ke negeri lain. Beragam
obat-obatan, seni pijat, ilmu ketabiban
hingga ilmu kanuragan selama itu pula di-
dapatnya. Menjelang berusia empat puluh
tahun, Raden Giri Kusumo kembali ke tanah
Jawa.
Namanya kemudian harum sebagai sa-
lah seorang tabib sakti kepercayaan ka-
langan Kerajaan Majapahit yang kala itu
mencapai puncak keemasan di bawah kekua-
saan Prabu Rajasanegara atau Hayam Wuruk.
Namun karena sifatnya yang tak ingin te-
rikat oleh apa pun, pihak kerajaan tak
bisa memintanya untuk menjadi tabib ista-
na.
Karena sifat tak ingin terikat pu-
la, Raden Giri Kusumo melepas gelar darah
birunya. Dia hanya memakai nama Kusumo
saja. Ketika hari berganti, kalangan per-
silatan tanah Jawa malah lebih mengenal-
nya dengan julukan Tabib Sakti.
Ketika Majapahit dilanda perang
saudara sepeninggalan Prabu Rajasanega-
ra, Ki Kusumo mengasingkan diri di se-
buah pulau karang yang terpencil di seki-
tar Laut Selatan. Dia benci pada setiap
pertumpahan darah yang menggerogoti Maja-
pahit. Jarang Ki Kusumo kembali ke dunia
persilatan kecuali setiap lima tahun se-
kali.
Banyak kalangan istana yang sakit
dan membutuhkan pertolongannya tak bisa
berbuat apa-apa kecuali menanti sampai
dia turun kembali ke dunia persilatan.
Bahkan ada yang akhirnya menemui ajal se-
belum berhasil menanti sampai sang Tabib
Sakti kembali. Pulau karang tempatnya
mengasingkan diri disebut orang Pulau De-
demit karena bentuknya yang menyeramkan
dan menyerupai sosok dedemit jika diper-
hatikan malam hari. Jika malam hari pula,
beberapa nelayan yang kebetulan melewati
pulau itu sering mendengar suara-suara
seperti orang menangis tersedu-sedu. Lalu
timbulah kepercayaan orang bahwa pulau
itu adalah pulau yang dihuni oleh dede-
mit.
Lalu julukan Ki Kusumo pun bertam-
bah: Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Lelaki tua itu sebenarnya sudah be-
rumur demikian lanjut. Usianya lebih dari
seratus tahun. Karena beberapa obat-
obatan yang diminumnya, dia tampak seper-
ti orang tua berusia tak lebih dari tujuh
puluhan.
Dua tahun lalu, dia turun ke dunia
persilatan kembali. Itu lebih awal seta-
hun dari kebiasaannya turun lima tahun
sekali. Sekali ini dia mempunyai niat
khusus. Hendak dicarinya seorang murid
yang bisa diturunkan ilmu ketabiban dan
kanuragan miliknya. Untuk itu, Ki Kusumo
sengaja menyamar sebagai seorang pedagang
kecil. Sebelum-sebelumnya dia sempat juga
menyamar menjadi seorang gembel, atau pe-
narik pedati, dan samaran lain yang tak
pernah disangka-sangka orang.
Kebetulan, ketika sedang menyamar
di pusat Kadipaten Ketawang, orang tua
sakti itu bertemu dengan si bocah gelan-
dangan, Satria. Dengan mata tua yang ter-
latihnya Ki Kusumo bisa menilai bagaimana
bagusnya bentuk tulang Satria, biarpun
tubuhnya sendiri kurus. Timbul simpati
pertamanya pada Satria.
Itu saja belum lagi cukup. Ki Kusu-
mo tak hanya ingin mencari murid yang bi-
sa menurunkan kesaktian semata. Murid itu
harus juga memiliki sifat-sifat seorang
ksatria sejati. Pucuk dicinta ulam tiba,
Satria ternyata memiliki pula sifat-sifat
itu. Dalam tingkahnya yang terkadang
acuh, terpendam sifat keras kemauannya.
Dalam tingkahnya yang terkadang kebodoh-
bodohan, justru tersimpan kecerdasan. Da-
lam tingkah yang terkadang sok, malah
terpendam sifat rendah hatinya. Dan semua
itu hanya dapat dilihat oleh mata yang
berpengamatan jeli seperti Ki Kusumo.
Lalu, sejak Satria pamit padanya,
Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit
pun terus berusaha memantau Satria. Sam-
pai dengan pertemuan kedua mereka di hu-
tan perbatasan Ketawang-Jogoboyo malam
itu.
* * *
Menjelang pagi, Laskar Lawa Merah
berhasil merambahi rawa bakau. Mereka te-
rus bergerak lambat mendekati batas wi-
layah kekuasaan pasukan Demak dengan per-
tahanan terlemah.
Di tepi bentangan rawa sebelah ba-
rat sebelumnya, mereka meninggalkan kuda
tunggangan masing-masing. Keranda yang
mereka persiapkan untuk mengarungi rawa
bakau mereka turunkan dari sisi pelana
kuda. Lalu setiap tiga orang mengurung
tubuh bagian pinggang hingga ke kaki den-
gan tiap keranda, dan mulai turun ke da-
lam air rawa yang keruh dan dingin. Tan-
gan mereka memegangi batang kayu yang di-
ikatkan pada puncak keranda. Sedangkan
seluruh senjata mereka digantungkan di
punggung.
Setelah berhasil menempuh waktu
hampir satu malam dan berhasil mengatasi
serangan buaya-buaya lapar dengan susah-
payah, mereka berhasil juga mendekati
daerah sasaran. Di kejauhan, terlihat
kerlap-kerlip lampu-lampu minyak yang be
rasal dari rumah-rumah penduduk dan ten-
da-tenda prajurit Demak. Jauh di tepi ra-
wa, cuma ada satu menara kayu yang diban-
gun setinggi empat tombak. Ada tiga orang
di sana. Satu orang berdiri di menara.
Sisanya terlihat berdiri di bawah pohon
besar. Keduanya bercakap-cakap sambil
menghisap lintingan rokok kawung.
Tepat seperti perkiraan Dirgasura,
batas wilayah itu memang tak dianggap
berbahaya oleh pasukan Demak. Buktinya
mereka hanya menempatkan tiga prajurit.
Dan itu membuat Dirgasura makin bernafsu
untuk secepatnya menjarah harta dan mem-
bawa lari beberapa wanita dari daerah
tersebut. Belum lagi harta rampasan pe-
rang milik pasukan Demak yang kabarnya
belum sempat dikirim ke pusat.
"Bagus...," desis Dirgasura. Ma-
tanya berkilat-kilat nyalang. "Saatnya
kita berpesta-pora!"
Lalu mereka mulai bergerak lambat
kembali. Pada jarak yang dianggap cukup
dekat dari tiga prajurit Demak, Dirgasura
memerintah tiga orang anak buah ahli pa-
nahnya untuk memulai aksi.
Tak jauh dari wilayah sasaran se-
rangan Laskar Lawa Merah, tepatnya di
tempat Satria, Nyai Cemarawangi dan Tres-
nasari beristirahat, dua orang lelaki
bertaut usia amat jauh masih terlibat
percakapan.
"Jadi, kau ini sebenarnya siapa,
Pak Tua Kusumo?" tanya Satria.
"Kau tak perlu menanyakan itu."
"Kenapa tak perlu? Aku bahkan mera-
sa harus menanyakan siapa dirimu sebenar-
nya. Sebab aku curiga. Sebelumnya kau
berpura-pura menjadi seorang pemilik wa-
rung kecil. Dan tiba-tiba, kau muncul
dengan 'kedok' aslimu...," sengit Satria.
Di tangannya masih tersisa sepotong
besar panggang ayam. Setengah bagiannya
sudah tandas ke dalam perutnya tanpa te-
deng aling-aling.
Ki Kusumo terkekeh. Padahal siapa
pun tak akan menganggap ucapan Satria ba-
rusan sebagai suatu yang lucu. Apalagi
sampai ditertawakan. Tapi sekali ini ru-
panya orang tua itu punya alasan yang cu-
kup tepat.
"Kau bilang kau curiga padaku. Tapi
kau menyikat begitu saja ayam bawaan-
ku...."
Satria menatap sejenak sisa besar
panggangan ayam di tangannya. Mulutnya
masih terus mengunyah tiada henti seperti
seekor anak lembu
"Terang saja aku akan memakannya.
Aku sudah begitu lapar!"
"Bukan itu, maksudku. Mestinya kau
curiga juga kalau-kalau aku meracuni ayam
itu," Ki Kusumo terkekeh lagi.
"Iya-ya...," ujar Satria kebodohan.
Tapi terus saja dia mengunyah daging di
mulutnya.
"Jadi apa alasanmu sebenarnya mena-
nyakan siapa diriku? Tentu bukan curiga,
kan?"
Satria menyikat lagi panggang ayam
di tangannya. Belum lagi kunyahan di mu-
lut tertelan.
"Apa ya? Ah, tak tahulah. Pokoknya
aku penasaran pada dirimu, Pak Tua!"
"He-he-he. Sebenarnya, aku juga pe-
nasaran pada dirimu, Cah Bagus!"
"Penasaran bagaimana?"
Ki Kusumo tak segera menjawab.
Tresnasari yang tertidur beberapa tindak
didekatnya mulai bergeliat.
"Mmm, tampaknya aku mesti segera
pergi...," ucap Ki Kusumo.
"Tapi, Pak Tua..."
Belum selesai kalimat Satria, tubuh
si orang tua sudah melenting ringan ke
atas dahan pohon. Di atas dia berkelebat
dan hilang di kegelapan.
Ayam jantan hutan mulai terdengar
berkokok di kejauhan. Shubuh telah tiba.
Tresnasari terbangun. Menyaksikan
ada tiga ekor ayam panggang di atas api
unggun, dia menatap Satria terheran-
heran. Bagaimana si kambing buduk ini
sempat-sempatnya berburu ayam hutan di
malam hari? Empat ekor pula?
"Ayo, mhakan. Jhangan malhu-malfu!"
Satria mempersilakan dengan mulut masih
terjejal daging panggang. Sepertinya me-
mang benar-benar dia yang telah susah
payah mencari ayam hutan!
Di penghujung dini hari, sebelum
warna kuning pucat matahari pagi menyem-
bul perlahan di sebelah timur, orang-
orang Laskar Lawa Merah melakukan seran-
gan gelapnya. Tiga orang prajurit Demak
yang sedang berjaga di batas rawa bakau
mengalami nasib naas terkena anak panah.
Tepat di dada kiri masing-masing, anak
panah milik anak buah Dirgasura menghujam
sasaran.
Prajurit di atas menara pengawas
tak sempat melempar teriakan sedikit pun.
Ketika terkena, tubuhnya terhuyung seben-
tar. Tangannya mendekap bagian dada yang
tertembus. Setelah itu tubuhnya limbung
ke depan dan jatuh melayang deras ke ba-
wah.
Tepat pada saat bersamaan, dua pra-
jurit di bawah pun mengalami kejadian se-
rupa. Keduanya hanya sempat mengeluh ter-
tahan. Keduanya kemudian tersungkur ke
dalam rawa.
Beberapa ekor buaya yang kebetulan
berada di sekitar tempat itu segera mem-
buru ke arah dua prajurit tadi. Binatang-
binatang berdarah dingin itu berebutan,
menciptakan riak permukaan rawa yang ke-
mudian berwarna kemerah-merahan. Mereka
berpesta pora menikmati sarapan pagi.
Setelah membereskan ketiga prajurit
penjaga, pasukan Dirgasura bergerak kem-
bali mendekati tepi rawa. Gerakan mereka
kali ini tak lagi lambat. Seperti sekawa-
nan anjing lapar yang melihat tumpukan
tulang di depan mata, mereka memburu ke
tepi. Meski begitu, tak ada keributan be-
rarti mereka ciptakan.
Di tepi rawa bakau, mereka mele-
paskan keranda pelindung. Selanjutnya pa-
sukan yang terdiri dari kurang-lebih dua
puluh lima orang itu mengendap-endap me-
nuju barak-barak pasukan Demak
Di barak pasukan Demak, Laskar Lawa
Merah melanjutkan serangan gelap. Bebera-
pa penjaga yang terkantuk-kantuk dibelai
hawa shubuh menemui ajal disergap secara
tiba-tiba. Ada yang bernasib serupa den-
gan tiga prajurit penjaga, tertembus anak
panah anak buah Dirgasura. Ada yang diti-
kam dari belakang dengan pisau. Ada juga
yang digorok lehernya dengan telengas!
Semua itu memang bagian dari rencana pe-
mimpin gerombolan, Dirgasura. Lelaki ber-
tubuh mirip raksasa itu tahu benar, mere-
ka tak akan memiliki kesempatan unggul
jika harus menghadapi secara langsung ke-
kuatan pasukan Demak yang bermarkas di
sana. Kalau dibuat perbandingan, jumlah
pasukannya cuma seperlima jumlah kekuatan
pasukan Demak. Satu-satunya taktik yang
mungkin dijalankan adalah melakukan ser-
buan gelap. Dengan cara itu, sedikit demi
sedikit kekuatan pasukan Demak terkikis.
Setelah menumpas seluruh prajurit
penjaga di luar barak, Dirgasura mengatur
siasat selanjutnya. Untuk melakukan pe-
rang terbuka, Dirgasura masih belum mau
mengambil resiko. Meski sudah cukup ba-
nyak prajurit Demak terbunuh, namun jum-
lah mereka yang kini masih terlelap di
dalam barak tetap tak imbang dengan jum-
lah anak buahnya.
Karenanya, Dirgasura mencoba mengi-
kis lebih jauh kekuatan pasukan Demak
dengan cara yang tak kalah telengas dari
sebelumnya. Disiapkannya tabung-tabung
racun. Tabung-tabung dari bambu itu memi-
liki sumbu. Jika sumbu dibakar, maka ser-
buk racun di dalam tabung akan mengelua-
rkan asap tipis mengandung racun memati-
kan. Jika dalam satu tarikan napas saja
asap itu tersedot ke dalam paru-paru, ma-
ka dalam beberapa hitungan jari, korban
akan menemui ajal dengan mulut mengelua-
rkan busa!
Racun itu didapat salah seorang
Manggala Majapahit di masa kekuasaan Pra-
bu Kertarajasa lebih dari seratus tahun
lalu, dari para prajurit Tartar. Ketika
pasukan Tartar di bawah pimpinan Ike
Mese, Kau Shing dan Shih Pi bergabung
dengan pasukan Majapahit untuk menyerang
Kediri, si Manggala sempat mempelajari
beberapa ilmu racun Cina. Termasuk racun
asap mematikan yang kini hendak dipergu-
nakan Dirgasura.
Beberapa tahun kemudian, Manggala
itu justru mati oleh salah satu racun
yang dipelajarinya. Catatan-catatannya
hilang begitu saja. Rupanya ada orang da-
lam yang berhasrat menguasai ilmu racun
Cina itu, lalu membunuh si Manggala seca-
ra licik. Orang tersebut adalah kakek
Dirgasura. Secara diam-diam ilmu racun
Cina itu akhirnya diwariskan pada Dirga-
sura, tanpa pernah diketahui sama sekali
oleh pihak istana yang lain.
Karena kebetulan sekali barak-barak
pasukan Demak dibuat dari tenda kulit he-
wan, maka dengan mudah asap beracun akan
tertahan di dalam jika seluruh tenda ter-
tutup. Namun sebelum gerombolan perampok
berdarah dingin itu memulai, mereka dike-
jutkan oleh suara tabuhan keras bertalu-
talu dari satu bangunan kecil di sebelah
timur barak.
Dung-dung-dung...!
Mereka terperanjat. Pada saat yang
sama, prajurit Demak di dalam barak mulai
terbangun. Menyusul terdengar sayup-sayup
suara seruan seseorang. Panjang, meliuk-
liuk dan mengalun.
Rupanya, suara tabuhan keras, cepat
dan bertalu itu berasal dari bedug di
langgar kecil yang dibuat khusus oleh pa-
sukan Demak untuk melaksanakan shalat.
Sedangkan seruan panjang yang mengiku-
tinya adalah suara azan.
Dalam keadaan tak terduga itu, sa-
lah seorang prajurit Demak sudah keluar
dari barak. Salah seorang anak buah Dir-
gasura cepat melepas anak panahnya. Kare-
na dilakukan dalam keadaan terburu, anak
panah itu melesat tak tepat ke sasaran
yang dituju. Mestinya dada kiri korban
tujuannya, tapi yang terkena malah bahu
kirinya.
"Aaaaaa! Ada serangan!"
Teriakan si prajurit Demak yang
terkena panah pun menyeruak awal shubuh
yang semula hening. Maka, seluruh pasukan
dalam barak bangun tersentak. Mereka me-
nerobos keluar dari barak-barak dengan
senjata di tangan meskipun keadaan mereka
belum lagi siap untuk melakukan pertempu-
ran....
Telanjur diketahui, Dirgasura tak
ingin mental anak buahnya jadi hancur.
Segera saja dia meneriakkan seruan pe-
rang, menyulut api semangat anak buahnya.
"Seraaaaaaang!"
Menyusul setelah itu, bunyi denting
senjata dan teriakan haus darah Laskar
Lawa Merah. Dirgasura sendiri sudah lebih
dahulu maju membabat beberapa prajurit
Demak yang tak siap menghadapi terjangan-
nya. Sepertinya dia tahu benar, dengan
begitu anak buahnya tak akan memikirkan
lagi jumlah mereka yang lebih sedikit.
Prahara pun berlangsung!
* * *
Pagi menjelang. Kokok ayam jantan
terus bersahut-sahutan dari menjelang
shubuh hingga kini. Matahari mulai meng-
hangatkan bumi, mengenyahkan embun yang
bergerak lamat-lamat. Sinar mulai bende-
rang di ufuk timur.
"Pagiiii! Selamat pagi!!!!" Gila-
gilaan, Satria berteriak sendiri di pun-
cak pohon jangkung. Di salah satu batang
yang cukup untuk menahan tubuhnya, anak
itu duduk bertengger sambil mengayun-
ayunkan kaki seenaknya. Entah pada siapa
tabik itu hendak ditujukannya. Tak ada
yang tahu. Barangkali, bocah itu sendiri
tak tahu juga. Dia hanya ingin meneriakan
salam, maka dia teriakan. Itu saja. Yang
jelas, pagi bugar ini membawa kesegaran
dalam dirinya, meski hampir semalaman dia
tak tidur. Apalagi karena perutnya sudah
aman dari rasa lapar setelah menandaskan
sepotong ayam panggang bakar dinihari ta-
di.
"He! kambing buduk! Jangan seenak
nya berteriak! Memangnya cuma kau saja
yang punya telinga?!"
Di bawahnya, Tresnasari sudah ber-
diri bertolak pinggang. Dia dongkol seka-
li pada teriakan Satria barusan. Karena
teriakan itu, dia jadi bangun mendadak.
Kepalanya berdenyut-denyut. Matanya ber-
kunang-kunang. Dikiranya ada gempa bumi.
Tak tahunya ada 'bocah setengah sinting'
berteriak-teriak tak karuan dari atas po-
hon.
Ketika terjaga semalam, Tresnasari
melanjutkan tidurnya. Tawaran ayam pang-
gang Satria ditolaknya mentah-mentah. Le-
bih baik dia melanjutkan tidur dengan pe-
rut keroncongan daripada menerima tawaran
bocah yang membuatnya sebal itu.
Satria tak keberatan dengan penola-
kan Tresnasari. Pikirnya, dengan bakal
ada jatah ayam panggang tambahan yang bi-
sa disikatnya untuk sarapan pagi.
"Pagi, Nona...," salam Satria. Di-
pasangnya senyum semenawan mungkin. Di-
pandangan gadis tanggung berparas ayu
yang disalaminya, senyum itu benar-benar
menyebalkan. Sekali lagi menyebalkan. Tak
pernah mimpi, bangun tidur disambut se-
nyum seekor kambing buduk, dengus Tresna-
sari dalam hati.
Terus memasang wajah bebas lepas-
nya, Satria turun dari atas pohon.
Gayanya seperti seekor anak kera. Lincah
dan cepat.
Sementara itu, Nyai Cemarawangi su-
dah pula terbangun. Dia duduk dahulu be-
berapa saat sebelum bangun dan mengge-
liatkan tubuh. Seperti juga Tresnawati
semalam, wanita berusia empat puluhan itu
agak terkejut juga melihat tiga potong
ayam panggang di atas bara api unggun.
"Siapa yang telah berburu ayam
panggang, Tresna?" tanyanya pada sang pu-
tri.
Tresna cemberut. "Tak tahu!" sahut-
nya ketus.
Nyai Cemarawangi giliran melirik
Satria. "Kau yang berburu ayam hutan?"
tanyanya.
Satria cengengesan. "Bukan..."
akunya jujur.
Nyai Cemarawangi tak percaya. Kalau
bukan anaknya, pasti Satria. Masa' iya,
panggang ayam datang begitu saja? Memang-
nya ada dedemit hutan yang suka berbuat
baik membawakan makanan? Pikirnya.
"Kau baik sekali, Bocah. Kebetulan
sekali perutku memang begitu lapar pagi
ini. Tapi, ngomong-ngomong, apa kau ter-
biasa berburu ayam hutan waktu hari ge-
lap?" aju perempuan itu lagi, agak heran.
Satria membesarkan kelopak matanya.
Dia ingin Nyai Cemarawangi melihat mimik
wajahnya yang mengungkapkan kesungguhan.
"Sungguh, bukan aku yang berburu ayam hu
tan itu, semalam...."
"Ya, sudahlah...," sela Nyai Cema-
rawangi seraya menepiskan tangan ringan
di udara. "Kalau kau tak suka menerima
ucapan terima kasihku," tambahnya.
Satria menggaruk-garuk keningnya
tak gatal.
Nyai Cemarawangi lalu mendekati
panggangan ayam. Dijemputnya sepotong.
Dia duduk di atas batang pohon roboh dan
mulai memakannya.
"Tresna, apa kau sudah makan?"
tanya perempuan itu melihat putrinya te-
rus saja membelakangi dengan tangan ter-
lipat di dada.
Tak ada jawaban.
Nyai Cemarawangi cuma bisa menaik-
kan bahu. Satria yang berdiri menatap
Nyai Cemarawangi melahap ayam panggang
penuh selera, menelan ludah berkali-kali.
Kira-kira, apa sudah waktunya aku makan
lagi, ya? Bisik hati anak tanggung beram-
but kemerahan itu. Lapar, atau memang ra-
kus? Ah, peduli setan, pikirnya. Dideka-
tinya api unggun dengan sikap seolah-olah
memang benar-benar dia yang telah berjasa
berburu ayam hutan.
"Enak ayam panggangnya, Bik?" ujar-
nya, sok berbasa-basi. Padahal maksudnya
cuma ingin menyikat satu potong lagi. Dan
itu benar-benar dilakukan tanpa ragu-
ragu. Maju pantang mundur, pikirnya nga
wur.
Ketika keduanya asyik menikmati
daging panggang hangat, di kejauhan ter-
dengar suara ribut-ribut.
Trang!
"Hiaaaattt"
Ketiganya tercekat. Nyai Cemarawan-
gi bangkit tergesa. Tresnasari malah si-
gap meloloskan sepasang belatinya. Lain
lagi Satria, ketercekatan itu justru mem-
buat kunyahannya makin seru saja
TUJUH
TAK begitu lama setelah terdengar
teriakan, seseorang terlihat berlari di
kejauhan. Sekelebatan, Satria, Nyai Cema-
rawangi dan Tresnasari menyaksikan orang
itu penuh luka pada tubuhnya. Di antara
pepohonan, sosok orang itu timbul tengge-
lam. Di belakangnya seseorang memburu ga-
nas. Tangannya mengayun-ayunkan tombak
bermata golok berlumuran darah, siap me-
lemparkannya pada lelaki di depan.
Arah lari mereka menuju tempat is
tirahat Nyai Cemarawangi dan dua muda-
mudi yang bersamanya. Tak berapa lama ke-
mudian, sosok pertama yang penuh luka ak-
hirnya tiba juga di tempat mereka.
Tak lebih dari dua puluh langkah di
belakangnya, si pengejar sudah mengangkat
tinggi-tinggi tombak bermata golok di
tangannya. Mata senjata itu diarahkan ke
depan. Hingga pada saatnya....
"Mampus kau! Hih!!!"
Wukh!
Satria yang berada paling dekat
dengan lelaki yang terluka entah mendapat
dorongan keberanian dari mana, tiba-tiba
saja melompat sepenuh tenaga. Diterjang-
nya tubuh lelaki terluka tadi ke samping
memaksanya jatuh bergulingan di tanah.
Jlep!
Sekejapan dari terjangan nekat Sa-
tria, tombak bermata golok tertancap di
satu batang pohon. Sasarannya luput. Tin-
dakan cepat dan amat berani telah dilaku-
kan Satria untuk menyelamatkan lelaki ta-
di. Untuk seorang bocah tanggung yang tak
memiliki bekal olah kanuragan sedikit
pun, tindakan itu sebenarnya bisa dibi-
lang luar biasa.
Sempat Nyai Cemarawangi memuji ke-
tajaman naluri bocah berambut kemerahan
itu. Perempuan itu yakin, hanya dengan
berbekal naluri saja Satria bertindak.
Dia pun harus mengakui itu sungguh luar
biasa!
"Ttterima... ka... sih," hatur si
lelaki terluka terbata-bata.
"Thi... dhak apha-apha...," jawab
Satria terengah-engah. Saat itu, baru
terpikir olehnya betapa tindakannya tadi
telah mempertaruhkan nyawa semata wayang-
nya. Bagaimana kalau tombak bermata golok
yang dilempar si pengejar memangsa di-
rinya? Satria jadi bergidik juga mem-
bayangkan hal itu. Kalau dia tak di dekat
orang yang baru ditolong, ingin disumpah-
serapahinya diri sendiri karena telah
berlaku nekat
Si pengejar adalah lelaki berpera-
wakan kekar.
Berkumis hitam, menjuntai panjang
sampai ke bagian dagu seperti orang Mon-
gol. Tapi, wajahnya jelas tidak menunjuk-
kan dia orang Mongol. Matanya saja berke-
lopak besar, berkilat jahat. Hidungnya
pesek. Kulitnya sawo matang. Apa ada
orang Mongol seperti itu? Lagi pula, pa-
kaian orang itu berciri khas prajurit ta-
nah Jawa. Cuma ada beberapa tambahan yang
berkesan seram. Seperti sabuk tengkorak
kepala ular yang dikenakannya.
"Siapa kalian?!" seru lelaki berku-
mis panjang. Merah sekali parasnya menge-
tahui buruannya luput dari maut.
Satria cepat-cepat berdiri. Dia ya-
kin lelaki seram itu akan marah besar pa
danya karena telah berbuat usil menyela-
matkan buruan orang itu. Usil? Satria me-
ringis pada lelaki berkumis panjang. Mak-
sudnya mau sedikit merayu, supaya dia tak
dijadikan sasaran kemarahan akibat keusi-
lannya.
"Aku usil ya, Kang?" ujarnya, kebo-
doh-bodohan.
"Diam kau!"
Satria tercekat. Jakunnya naik se-
bentar, turun lagi, lalu naik lagi.
"Ada apa sebenarnya, Kisanak?" ser-
gah Nyai Cemarawangi, menengahi. Kakinya
maju beberapa tindak, mendekati tempat
Satria.
"Maafkan kalau, ng... anak lelakiku
ini telah berbuat lancang. Tapi, mungkin
dia hanya tak ingin ada tindakan main ha-
kim sendiri," sambung Nyai Cemarawangi.
Si bocah dekil di sisinya mengang-
guk-angguk membenarkan, seperti seekor
kakak tua. Padahal, sebelumnya terpikir
pun tidak alasan seperti itu di benaknya.
"Tak perlu kau banyak tanya, Perem-
puan! Cepat kau serahkan saja lelaki itu
padaku!"
"Tidak, sampai kau jelaskan duduk
perkaranya!" sela Tresnasari, menan-
daskan! Dari tempatnya berdiri gadis
tanggung itu pun maju beberapa tindak.
"Bedebah!" maki lelaki berwajah
bengis.
"Setan alas!" balas Tresnasari,
sengit.
"Ular kadut!" Satria ikut-ikutan.
Cuma sedikit latah pada saat kea-
daan jadi tegang seperti itu. Sewaktu me-
nyadari dia telah memaki lelaki bertam-
pang seram, buru-buru mulutnya didekap.
"Cukup, Anak-anak! tak selayaknya
kalian bersikap seperti itu pada orang
yang lebih tua." Nyai Cemarawangi mempe-
ringati. "Nah, Kisanak. Kurasa, pendapat
anak perempuanku dapat kuterima. Aku ha-
rus tahu dulu duduk perkaranya sebelum
menyerahkan lelaki ini," lanjut Nyai Ce-
marawangi seraya menunjuk lelaki bersera-
gam prajurit Demak.
Luka-lukanya sudah banyak mengelua-
rkan darah. Khususnya pada bagian bahu
yang tersayat dalam. Dia tampak begitu
lemah. Wajahnya pucat.
"Kalian tak perlu bersikap sok pah-
lawan. Cepat serahkan saja keparat itu
padaku, lalu kalian menyingkir dari tem-
pat ini!"
"Sikapmu mencurigakan sekali, Kisa-
nak. Kau memberi kesan pada kami kalau
kau bukan orang baik-baik...." Tetap te-
nang bagai permukaan telaga, Nyai Cemara-
wangi menanggapi hardikan lelaki berkumis
panjang.
Mendengus-denguslah napas orang itu
mendengar sindiran halus Nyai Cemarawangi
yang mengena ke sasaran.
"Grrr! Sekali lagi, pergilah sebe-
lum kesabaranku musnah!"
Satria melirik Tresnasari. "Bagai-
mana? Apa tak sebaiknya kita pergi saja?
Orang ini tampaknya sinting, ya? Kau tak
takut dikunyahnya? Seram, ah...."
Tambah mendengus-dengus saja lelaki
bertampang seram mendengar kasak-kusuk
sembarangan Satria. Biji matanya mende-
lik. Warnanya merah matang. Lalu....
"Mampuslah kalian semua! Hiaaat!!"
Dengan kemurkaan tak kalah menggi-
dikkan dari amukan banteng mata gelap,
lelaki kekar tadi menerjang dengan satu
tendangan terbang. Kaki kanannya lurus ke
depan.
"Menyingkir kau, Cah Bagus!" seru
Nyai Cemarawangi pada Satria.
Susahnya, Satria malah ngotot untuk
tetap berdiri di tempatnya. Kalau ditanya
apakah dia ngeri melihat perawakan dan
wajah lelaki itu, dia pasti mengiyakan.
Cuma, kalau masalah apakah dia takut? Ma-
ka, dia akan dengan agak pongah akan men-
gatakan, tidak. Sebabnya, bocah itu mera-
sa tidak pantas kalau Nyai Cemarawangi
yang dirangsak. Bukankah semua itu karena
kesalahannya? Karena dia telah usil me-
nyelamatkan nyawa lelaki berpakaian pra-
jurit Demak. Karena rasa bertanggung-
jawab pada perbuatannya tadi, membuat bo
cah itu tetap berdiri di tempatnya.
Lebih gila lagi, bocah itu malah
beranjak ke depan Nyai Cemarawangi. Den-
gan mata terpejam, Satria sengaja hendak
menghadang tendangan terbang lelaki tadi.
Dadanya dibusungkan ke depan. Biarlah ke-
na tendangan sekali-kali, buat menebus
kesalahan, pikirnya. Ah, dasar bocah lu-
gu! Apa dikiranya nyawa satu-satunya akan
selamat kalau terkena tendangan beringas
itu, meski cuma sekali?
Kenekatan Satria membuat Tresnasari
membelalak sebesar-besarnya. Dia saja
yang sudah berlatih olah kanuragan selama
bertahun-tahun akan berpikir berpuluh
kali untuk memapaki tendangan kuat itu.
Apalagi menghadang dengan dada? Itu na-
manya sinting!
"Kambing buduk tak punya otak!"
lengking Tresnasari sambil cepat menerkam
tubuh Satria. Keduanya bergulingan saling
himpit di tanah. Ketika berhenti, Satria
sudah berada di atas tubuh si gadis tang-
gung.
"Bangun kau!" hardik Tresnasari.
Wajahnya bersemu merah. Matang sekali.
Habisnya, Satria malah keenakan tak mau
cepat-cepat bangkit. Si bocah dekil pun
buru-buru bangkit bersungut-sungut. "Me-
mang, siapa yang menyuruhmu menyelamatkan
aku?" gerutunya, asam.
Plak!
Selang beberapa kedip mata setelah
luputnya tubuh Satria dari tendangan ter-
bang lelaki bengis, terdengar suara ke-
ras.
Plak!
Tangan Nyai Cemarawangi menyambut
kedatangan terjangan kaki tadi. Kalau me-
nilik betapa kuatnya tendangan lawan,
tentunya tubuh perempuan dalam keadaan
sakit itu akan terlempar jauh. Setidaknya
dia akan terseret beberapa tindak ke be-
lakang. Itu justru tidak terjadi. Kuda-
kudanya masih terpancang kokoh di tanah.
Malah, lawannya meringis-ringis menahan
nyeri ketika telah menjejakkan kaki kem-
bali.
"Jangan memaksaku bertindak lebih
jauh, Kisanak!" Nyai Cemarawangi mempe-
ringati. Tangannya masih dalam posisi se-
mula, memperlihatkan sikap menangkis. Wa-
jah pucatnya tak berubah sama sekali. Te-
tap datar.
Kemarahan tetap kemarahan kalau
orangnya sendiri sudah tak bisa menguasai
diri. Mata gelap memang seringkali membu-
takan penilaian sehat seseorang. Hal itu
terjadi pada diri si lelaki bengis. Meski
sudah tahu kalau kepandaian tarung lawan-
nya tak sebanding dengan dirinya, dia ma-
sih saja mengumbar kemarahan.
"Pergilah kau ke neraka, Wanita Ja-
dah!" Berkawal makian menyakitkan telinga
seorang wanita terhormat seperti Nyai Ce-
marawangi, orang berkumis panjang berlari
liar menggempur lawan kembali.
Tresnasari yang tak tega pada kea-
daan sakit ibundanya menjadi geram pada
sikap keras kepala lelaki bengis. Dia tak
pernah ingin sakit ibunya menjadi makin
parah hanya karena melayani kekalapan bo-
doh seorang berangasan tak dikenal.
Dari tempatnya berdiri, si gadis
ayu baru beranjak remaja melompat. Di
udara tubuhnya tergulung berjumpalitan.
Arahnya menuju ke tombak bermata golok
yang tertancap di batang pohon, beberapa
depa di samping kancah perkelahian.
Wrrr.... Krakh!
Ketika gulungan tubuh Tresnasari
terbuka, sebelah kakinya menghentak amat
keras ke tengah-tengah batang tombak.
Tombak terpatah dua. Patahannya memburu
deras ke arah tubuh lelaki bengis.
Creph!
"Ukh!"
Hanya sempat memperdengarkan henta-
kan napas teramat pendek tercekat, si le-
laki bertubuh kekar ambruk dengan leher
tertembus patahan batang tombak dari
samping!
"Kau tak perlu berbuat itu padanya,
Tresna...," tegur Nyai Cemarawangi.
"Tapi dia pantas menerimanya. Apa
Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik
dari binatang?" kilah Tresna.
Si perempuan menjelang tengah baya
menggeleng-gelengkan kepala lamat.
"Bocah perempuan keparat!!!"
Sebuah suara lantang melantun ka-
sar. Dedaunan bergemerisik. Sebagian ber-
guguran. Tubuh Satria tersentak kejang.
Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela
diri itu langsung ambrol. Dia jatuh ber-
lutut dalam keadaan menggigil. Tresnasari
pun tersentak. Cuma dia tak separah Sa-
tria. Tubuhnya hanya tergetar sebentar.
Bahkan badan Nyai Cemarawangi sempat ter-
sentak. Wajahnya setegang otot-otot di
sekujur tubuhnya.
Dari balik semak-semak rimbun, me-
layang ringan sesosok tubuh. Caranya me-
layang seolah-olah sedang berdiri tegak
di udara saja. Gerakan yang mengagumkan,
bahkan terbilang amat sulit dilakukan.
Di tengah-tengah ketiga orang tadi,
orang yang baru muncul menjejakkan kaki.
Seorang lelaki tinggi besar yang tak lain
Dirgasura, gembong Laskar Lawa Merah!
Daerah tempat Nyai Cemarawangi dengan se-
pasang muda-mudi itu memang berada tak
jauh dari desa tempat basis pasukan Demak
yang diserang gerombolan perampok di ba-
wah pimpinan lelaki setengah raksasa itu.
Mereka berhasil memporak-porandakan keku-
atan pasukan Demak meski jumlah mereka
masih kalah banyak. Itu pun karena siasat
licik Dirgasura juga. Dia melancarkan
taktik lain setelah rencana pertamanya
hancur di tengah jalan.
Sewaktu seluruh prajurit Demak ke-
luar dari barak dengan senjata siap di
tangan, Dirgasura turut melakukan gempu-
ran awal di depan seluruh anak buahnya.
Lawan terdepan diterabasnya tanpa ampun.
Beberapa prajurit langsung menemui ajal,
menjadi korban senjata berbentuk kapak
besar bermata duanya. Dia terus menerobos
menembus setiap prajurit Demak yang men-
coba menghadang. Tujuannya adalah salah
satu rumah penduduk desa yang berdampin-
gan dengan barak pasukan Demak.
Dengan kepandaian olah kanuragan
yang dimiliki, sebenarnya gembong peram-
pok yang dulu merajalela di zaman Majapa-
hit itu mampu menghadapi pasukan Demak
tanpa harus kehilangan nyawa. Dia bisa
mengamuk sejadi-jadinya dan membunuhi sa-
tu demi satu para lawan. Tapi, persoalan
anak buahnya akan lain lagi. Mungkin saja
dia bisa menghadapi serangan-serangan
prajurit Demak, namun dia tak ingin mem-
pertaruhkan nyawa anak buah setianya. Se-
makin banyak anak buahnya tewas, maka da-
lam pandangan Dirgasura, akan semakin be-
sar kekalahan yang ditelan. Karena itu
dia lebih suka melaksanakan siasat licik
lain. Lagi pula, dia memang ingin melak-
sanakan secepatnya penjarahan harta tanpa
harus bertele-tele menghadapi pertarun-
gan.
Dirgasura berhasil mendekati satu
rumah penduduk. Dengan meminta dua nyawa
lagi dari prajurit Demak yang mencoba
menghalanginya, Dirgasura berhasil mene-
robos masuk. Di dalam rumah dia menemukan
seorang ibu muda bersama seorang bayinya
berdiri ketakutan di sudut ruangan.
Dipaksanya ibu muda itu keluar be-
serta bayi dalam gendongannya. Tanpa men-
genal belas kasihan, diseretnya si ibu
muda yang menjerit-jerit ketakutan ke
tengah-tengah pertempuran yang sedang
berlangsung sengit.
"Hentikan serangan kalian jika tak
ingin wanita dan bayinya ini mampus oleh
kapakku!!!" seru Dirgasura, teramat ke-
ras, menggetarkan arena pertarungan. Bah-
kan menandingi riuh-rendah suara pertem-
puran sendiri.
Perlahan-lahan, gempuran pasukan
Demak terhadap anak buah Dirgasura mele-
mah. Satu demi satu prajurit Demak mundur
beberapa tindak dari para lawannya. Sete-
lah ancaman kedua terlepas dari tenggoro-
kan Dirgasura, mereka terpaksa melepaskan
senjata masing-masing. Jika tidak, ketua
perompak paling ditakuti di wilayah pesi-
sir Jawa beberapa tahun belakangan itu
akan mulai membelah kepala si bayi!
Dirgasura kemudian memerintah anak
buahnya untuk mengumpulkan seluruh praju-
rit Demak ke satu lapangan. Di dekatinya
salah seorang tangan kanannya, lelaki ku-
rus berkulit hitam berkepala botak ketu-
runan India. Pada lelaki itu, Dirgasura
berbisik sebentar.
"Kita tak mungkin menjarah harta
rampasan perang mereka, mengangkut harta
penduduk dan membawa wanitanya jika mere-
ka masih hidup. Mereka cuma menyerah ka-
rena kita masih menyandera perempuan dan
bayinya ini," sambil berbisik, tangannya
terus menempelkan mata kapaknya ke leher
si ibu muda. "Kalau kita lengah ketika
sedang menjarah, mereka bisa menggempur
kita lagi dengan tiba-tiba. Kau tahu me-
reka prajurit yang tak sudi menyerah, bu-
kan? Jadi, bunuh mereka semua dengan ser-
buk racun!" tambahnya, menuntaskan satu
perintah keji yang pasti dilaksanakan
anak buah setianya tanpa banyak tanya.
Maka, si lelaki keling yang banyak
tahu tentang gejala alam itu mengamati
arah angin beberapa saat. Tahu angin te-
lah bertiup tetap pada satu arah, diisya-
ratkannya seluruh anggota Laskar Lawa Me-
rah untuk berdiri di belakangnya. Kantong
kulit yang tergantung di ikat pinggang-
nya, dilepas. Lalu....
Wrrrr!
Sepenuh tenaga, dilemparnya kantong
kulit tadi ke udara. Seluruh prajurit De
mak tanpa sadar mengikuti layangan kan-
tong tadi. Sebelum sempat mencapai titik
baliknya, kantong itu tertembus pisau ba-
ja kecil yang dilempar lelaki keling.
Isinya pun berhamburan keluar. Ser-
buk putih kehijauan memenuhi udara, me-
layang-layang lamat sejenak, lalu digir-
ing angin sepoi-sepoi ke arah para praju-
rit Demak. Sementara sekumpulan orang
yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi
di udara, tak pernah menyadari bahwa tan-
gan-tangan maut siap menjemput! Mereka
hanya menatap tak mengerti dengan wajah
penuh tanda tanya.
Sampai akhirnya beberapa orang per-
tama terkena tebaran serbuk. Teriakan me-
reka memecah keheningan suasana dan kehe-
ningan pagi muda. Kala itulah yang lain
menyadari kalau serbuk tadi adalah racun
ganas. Sayang, mereka sudah terlambat un-
tuk menghindar. Tak ada beberapa tarikan
napas saja, seluruh prajurit malang tadi
sudah menggelepar-gelepar di lapangan
rumput yang masih dilembabi embun.
Kulit mereka berubah memerah laksa-
na terpanggang. Ketika tangan mereka
menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelu-
pas. Mereka bergelinjangan terus. Saling
tindih, saling menyentak. Sampai akhir-
nya, racun yang terserap kulit mereka di-
giring aliran darah dan sampai ke jan-
tung. Jantung mereka terbakar. Seluruh
prajurit tewas!
Saat itulah, entah bagaimana salah
seorang dari mereka ternyata luput terke-
na serbuk racun. Nasib memang sulit di-
tentukan. Terutama saat kematian yang se-
lalu menjadi teka-teki siapa pun. Pada
saat semua rekannya tewas terkena serbuk
racun, salah seorang prajurit selamat.
Lengahnya anggota gerombolan Laskar Lawa
Merah saat menyaksikan para korban serbuk
racun, segera dimanfaatkannya untuk mela-
rikan diri.
Prajurit yang bernasib baik itulah
yang telah diselamatkan oleh 'keusilan'
Satria belum lama.
"Kalian telah lancang membunuh seo-
rang anak buahku!" geram Dirgasura. Ma-
tanya berkilat-kilat menggidikkan. Cuping
hidungnya kembang-kempis cepat.
Satria saat itu mulai bisa mengge-
rakkan badan yang semula kaku tiba-tiba.
Sendi-sendinya linu. Gendang telinganya
masih terasa pedih. Sampai saat itu, dia
masih belum bisa mendengar secara jelas.
Untuk cepat-cepat bangkit, rasanya masih
lemas. Jadi terus saja dia tertelungkup.
Kepalanya diangkat perlahan. Pandangan
ditebarnya. Begitu dilihatnya seseorang
tinggi besar bertolak-pinggang, matanya
mengerjap-erjap. Disangkanya dia sedang
sekarat, dan sosok yang dilihatnya adalah
mambang penunggu hutan yang ingin menye
satkan jiwanya. Sewaktu sadar dia masih
bisa hidup lebih lama, bibirnya langsung
melepas cengiran tanggung. Diperhatikan-
nya lagi Dirgasura. Dilihatnya hidung si
lelaki setengah raksasa kembang-kempis
cepat diburu kemurkaan. Bocah yang hilang
ingatan meski tak sampai sinting sama se-
kali itu lantas saja merasa harus mende-
kap hidungnya sendiri, tak tahan melihat
gerak cuping hidung Dirgasura.
"Apa kalian tak tahu siapa yang te-
lah kalian bunuh?!" bentak Dirgasura kem-
bali.
Satria melirik Tresnasari. Sepan-
jang pengetahuannya, gadis tanggung itu-
lah yang telah melempar nyawa si lelaki
berkumis ekor tikus ke neraka.
"Hei Nona, apa kau tahu siapa orang
yang telah kau bikin mampus? Sumpah mati,
aku tidak tahu menahu siapa orang itu,"
ucapnya sungguh-sungguh, masih dengan tu-
buh tertelungkup. Hanya kepalanya saja
yang terangkat seperti sebelumnya. Sung-
guh, dia tak menyadari kalau pertanyaan
Dirgasura sebenarnya tak perlu jawaban,
sekadar cetusan kemurkaan semata.
"Kalian telah membunuh anak bua-
hku!" teriak Dirgasura. Kekuatan tenaga
dalamnya tersalur kembali melalui teria-
kan kemarahannya. Dedaunan kembali berge-
merisik. Sebagian berguguran bagai daun
kering diterpa angin kencang. Siksaan he
bat merangsak Nyai Cemarawangi dan Tres-
nasari pula.
Bagaimana dengan Satria?
Lucunya, anak itu seperti tak ter-
pengaruh sedikit pun. Tak seperti sebe-
lumnya, dia bangun santai. Tenang-tenang
saja, ditepuknya pakaian untuk mengenyah-
kan dedaunan kering yang menempel di pa-
kaian kumalnya.
"Nah, sekarang tidak terasa linu
lagi..." ocehnya sambil menggeliatkan
pinggangnya. Apa dipikirkan dia baru saja
bangun tidur?
Dirgasura menyaksikan itu. Dia ter-
nanar. Apa-apaan ini? Bukankah sebelumnya
anak itu justru ambruk karena kekuatan
tenaga dalam yang disalurkan melalui sua-
ranya? Kenapa sekarang tidak? Apa ada
yang salah?
Bocah yang diperhatikan terus saja
melangkah tanpa perasaan apa-apa ke arah
Tresnasari. Dilihatnya gadis tanggung pu-
jaan hati selama beberapa hari ini sedang
mendekap telinga kuat-kuat, menahan sakit
seperti ditohok oleh sebatang lidi sebe-
sar kelingking ke gendang telinganya.
"Kau kenapa, Nona? Apa 'buto ijo'
itu mengeluarkan teriakan dedemitnya la-
gi?" tanya Satria, kelugu-luguan.
DELAPAN
TERLALU mustahil kalau tiba-tiba
bocah berambut kemerahan, Satria mendadak
menjadi sakti. Khususnya bagi Nyai Cema-
rawangi dan Tresnasari yang sudah cukup
mengenalnya. Tapi, kalau dipikir ulang,
sebenarnya mereka hanya baru satu hari
saja mengenal anak itu. Tepatnya dimulai
kemarin siang ketika Satria masih menjadi
pelayan dadakan di warung Ki Kusumo. Ter-
pikir oleh Ibu beranak itu bahwa selama
ini Satria telah berpura-pura. Bahwa se-
benarnya dia adalah seorang bocah sakti.
Mereka terpedaya karena sikapnya selama
ini yang selalu tampak lugu, lemah dan
kebodoh-bodohan. Apa benar begitu?
Setidaknya, Dirgasura berpikir se-
rupa. Dia merasa telah dikelabui oleh
seorang bocah yang telah berpura-pura bo-
doh semenjak kedatangannya ke tempat itu.
Satria sendiri sebenarnya tetap
seorang bocah berusia belasan yang buta
ilmu bela diri. Kalau sekarang dia menda-
dak jadi tampak sakti pasti ada sebabnya.
'Asap ada pasti karena ada api!'.
Di lain tempat, tepatnya dif atas
sebuah pohon tak jauh dari tempat mereka,
seseorang duduk bertengger menonton selu-
ruh kejadian dari awal. Tempat yang didu
duki sambil mengongkang kaki adalah rant-
ing, tak lebih tebal dari kaki burung nu-
ri kecil. Itu tak jadi terlalu aneh kalau
mengetahui siapa si penonton itu sebenar-
nya. Dia tak lain Ki Kusumo.
Orang tua sakti misterius itukah
yang telah sengaja menyalurkan tenaga da-
lamnya ke diri Satria hingga membuatnya
sanggup bertahan terhadap terjangan keku-
atan tenaga dalam yang disalurkan Dirga-
sura dalam bentakannya?
Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu ma-
lah sedang sibuk menggeleng-gelengkan ke-
pala. Biar mampus disambar capung, dia
terheran-heran menyaksikan si bocah sehat
wal'afiat. Padahal Ki Kusumo sudah mengu-
kur kekuatan teriakan bertenaga dalam ke-
dua Dirgasura. Teriakan itu lebih kuat
dari sebelumnya. Mestinya, keadaan Satria
akan semakin parah. Bahkan bisa-bisa pula
tak sadarkan diri. Semalam dia dibuat
bertanya-tanya dalam hati karena si bocah
yang ditaksirnya hendak dijadikan murid
ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya.
Kini terjadi hal lain lagi. Benar-benar
tak bisa dimengerti!
Merasa telah dikelabui dari awal,
Dirgasura jadi penasaran.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Dir-
gasura, ditujukan pada Satria.
Satria tak memperhatikan. Dia sibuk
memapah Tresnasari agar tidak terjatuh
akibat sentakan tenaga dalam suara si ke-
tua Laskar Lawa Merah.
"Hey, aku bertanya padamu! Siapa
kau sebenarnya?'" ulang Dirgasura.
"Hah?" Anak itu baru menoleh. Mu-
lutnya menganga.
Geram sekali Dirgasura. Pasti dia
sedang berusaha mempermainkan aku terus,
pikirnya.
"Siapa kau sebenarnya, Setan Alas!"
ulang Dirgasura lagi, sengit.
"O, 'Paman' tanya siapa aku sebe-
narnya?" Satria mencoba bersopan-santun.
Biarpun sebelumnya dia menyebut Dirgasura
sebagai 'buto ijo'. Bocah dekil itu men-
gangguk-angguk. Cuma mengangguk-angguk,
sementara pertanyaan Dirgasura tak cepat-
cepat dijawabnya. Bagaimana dia bisa men-
jawab, sementara ingatannya tentang asal-
usul dirinya saja tak sedikit pun tersisa
di benak. "Ngg, aku Satria. Itu saja,"
akunya sejujur-jujurnya. Karena, memang
cuma nama itu yang diingat dari dirinya.
Biji mata Dirgasura membesar. Ubun-
ubunnya terasa hendak mengelotok di tem-
pat itu juga karena saking panasnya. Ra-
hangnya mengeras. Gigi-giginya bergemele-
tukan. Wajahnya merah matang. "Ap... apa
aku salah, Paman? Aku memang Satria. Kau
tak suka nama itu? Kka... kalau kau tak
suka, kk... kau boleh ganti nam... nama-
ku! Somad boleh! Gugun boleh! Maemunah
juga boleh! Pok... pokoknya terserah Pa-
man saja!" gagap Satria, ngeri melihat
perubahan wajah Dirgasura yang kian meng-
gidikkan. Dalam pandangannya, lelaki se-
tengah raksasa itu hendak menelannya bu-
lat-bulat.
Lain yang ada di benak Satria ke-
cil, lain pula di benak Dirgasura. Kenge-
rian anak itu malah diartikan lain oleh
sang ketua perampok. Dia merasa makin di-
ejek oleh Satria, seseorang yang diang-
gapnya memiliki kesaktian tapi berpura-
pura bodoh untuk menghinanya.
"Peduli setan siapa kau sebenarnya!
Kau pun harus mampus seperti dua wanita
itu nanti! Hih!" Berkawal hardikan meng-
geledek sarat kegeraman, Dirgasura mele-
pas pukulan jarak jauhnya ke arah Satria.
Wush! Dash!
"Aaakh!"
Seketika badan agak kurus bocah itu
melayang lurus sepuluh tombak ke bela-
kang. Tak akan berhenti luncuran tubuhnya
kalau tak terhadang pohon besar.
Dugh!
Lalu tubuh kecil itu merosot lun-
glai ke tanah. Mengenaskan.
Ki Kusumo terbengong di atas pohon,
Nyai Cemarawangi terbengong, Tresnasari
pun terbengong. Mereka semua terpana me-
nyaksikan kejadian itu. Sekaligus merutuk
kenapa tak cepat-cepat bertindak untuk
menyelamatkan bocah yang mungkin saja me-
mang tak pernah memiliki ilmu kanuragan
itu. Cuma Dirgasura yang terus saja ka-
lap. Dia mencak-mencak sambil meruntunkan
makian.
"Jangan kau bermain-main lagi den-
ganku, Keparat! Keluarkan kesaktianmu!
Aku ingin tahu apakah kau mampu mengalah-
kan Dirgasura, Tangan Seribu Dewa!!!"
Sekali ini, Nyai Cemarawangi dike-
jutkan oleh pengakuan julukan Dirgasura.
Tangan Seribu Dewa. Julukan itu pernah
didengarnya beberapa waktu lalu. Tapi di
mana? Dia kurang ingat persis. Siapa le-
laki tinggi besar ini? Pikirnya.
Segenap tanda tanya di hati Nyai
Cemarawangi dikandaskan oleh teriakan ga-
rang Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa
kembali. Lelaki itu hendak melepas puku-
lan jarak jauhnya kembali ke arah Satria.
Sedangkan Satria sendiri saat itu benar-
benar dalam keadaan mengkhawatirkan. Dari
sudut bibirnya mengalir darah kehitaman.
Juga dari lubang hidungnya. Luka dalam
pasti. Dan itu luput terlihat oleh pan-
dangan kalap Dirgasura.
Dasarnya bocah itu memang berke-
mauan sekeras baja, dia tak tampak cen-
geng menderita siksaan yang merejang se-
kujur badannya. Rasa panas luar biasa
menjerang. Dadanya sesak teramat sangat.
Kepalanya berat bagai dibebani beban ra
tusan kati. Dengan mata berkedip-kedip
sayu, dia malah berusaha bangkit. Seben-
tar dia terseok, jatuh lagi. Lalu berusa-
ha lagi.
"Hadapi akuuuuu!" seru Dirgasura
panjang, merasa kepalanya telah diinjak-
injak demikian rupa oleh bocah tak diken-
al. Lantas....
Wush.
Ki Kusumo di atas pohon berjingkat
kaget. Pukulan jarak jauh Dirgasura tak
boleh menghajar anak itu lagi. Itu tak
boleh terjadi, kalau ingin nyawa anak itu
tetap tinggal di badan. Dia hendak ber-
tindak. Namun kalah cepat oleh Nyai Cema-
rawangi. Tubuh wanita itu sudah lebih da-
hulu melejit lurus ke udara.
"Heeeaa!"
Dash!
Mempertaruhkan nyawa sendiri, pe-
rempuan yang menderita sakit itu menyong-
song pukulan jarak jauh Dirgasura dengan
terkaman tubuhnya.
Dash!
"Ugh!"
"Nyaiii!!" Tresnasari menjerit me-
lengking. Tinggi dan menelusupi pelosok
hutan.
Serupa dengan kejadian yang menimpa
Satria, Nyai Cemarawangi pun terpental
jauh sebelum akhirnya jatuh. Meski masih
sempat bersalto dan membuat pijakan den
gan kedua kakinya, tak urung perempuan
itu oleng. Tak lama berikutnya dia ter-
simpuh. Darah hitam termuntah dari mulut-
nya. Kalau saja dia tak dalam keadaan sa-
kit, tentu luka dalam yang dideritanya
tak akan separah itu.
Tresnasari meraung-raung memanggil-
manggil ibunya. Dari tempatnya berdiri,
dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Ti-
ba di dekatnya, disergapnya tubuh perem-
puan itu sambil bersimpuh.
"Nyai tidak apa-apa?" tanya gadis
ayu itu tersendat-sendat dihadang isak.
Air mata membasahi kedua pipi kemayunya.
Ibunya tak bisa menjawab, kecuali
menggelengkan kepala. Dia ingin meyakin-
kan anaknya kalau keadaan dirinya tak
perlu dikhawatirkan. Sayang, darah kehi-
taman yang terus merembes keluar dari se-
la-sela bibir pucatnya mengatakan suatu
yang lain.
Beranglah Tresnasari. Cepat dica-
butnya kembali sepasang belati dari ikat
pinggang. Dia bangkit dengan wajah menge-
ras.
"Orang itu harus membayar perla-
kuannya terhadap Nyai," geramnya.
"Jjj... jangan, Tresna...." Sang
ibunda hendak menahan.
Tresnasari sudah telanjur berlari
menghambur ke arah Dirgasura.
"Kubunuh kau manusia keji!!!" pe
kiknya melengking.
Sebelum gadis tanggung itu sampai
ke dekat Dirgasura, sesosok tubuh me-
layang ringan memotong geraknya dari
atas. Gerakannya sulit diikuti mata. Sea-
kan-akan dia sudah berdiri menghadang ke-
kalapan Tresnasari.
Tuk!
Tubuh Tresnasari lemas. Satu toto-
kan mendarat di satu jalan darahnya.
Orang yang menghadang dan baru saja mele-
pas totokan adalah Ki Kusumo. Mencegah
agar Tresnasari tak ambruk ke tanah,
orang tua itu cepat membopongnya. Ditepi-
kannya tubuh gadis itu ke bawah pohon.
"Kau sudah keterlaluan Tangan Seri-
bu Dewa," ucapnya datar kepada Dirgasura.
"Siapa pula kau, Lelaki Keropos?!"
"Kau akan terkejut bila kukatakan
siapa aku. Sebaiknya kau meninggalkan
tempat ini," perintah Ki Kusumo, tetap
dingin. Tetap datar.
Kepala Dirgasura yang sudah dipena-
ti oleh kekalapan tak sudi begitu saja
menyingkir. Apalagi karena perintah seo-
rang tua bangka tak dikenal. Rasanya dia
ingin mengunyah tulang rapuh dan daging
alot orang tua itu.
"Peduli setan pula denganmu, Orang
Tua Keropos! Makan pukulanku ini!
Heaaa!!!"
Untuk ketiga kalinya, pukulan jarak
jauh Tangan Seribu Dewa dilepaskan. Seka-
li ini, berkekuatan empat kali lipat dari
sebelumnya, pertanda Dirgasura memang be-
nar-benar ingin meremuk-redamkan tulang
Ki Kusumo. Kalau perlu sampai seperti ku-
nyahan seekor naga!
Ki Kusumo hanya melirik enteng ke
arah angin pukulan yang menderu di udara.
Sambil bangkit dari simpuhnya, lelaki tua
itu berbalik. Tak ada tanda-tanda kalau
dia hendak memapaki pukulan jarak jauh
tadi.
Blap!
Tepat di dada orang tua itu, puku-
lan jarak jauh Dirgasura mendarat.
Dirgasura dibuat terperangah dengan
mulut ternganga. Pukulannya yang sanggup
meluluh-lantakkan badan lima ekor kerbau
sekaligus teredam begitu saja ketika men-
genal dada sasarannya!
"Kukatakan sekali lagi, pergilah
kau, sebelum aku berubah pikiran...,"
ucap Ki Kusumo.
Dirgasura tak mau banyak cakap. Le-
laki berbadan raksasa itu tahu diri juga.
Dengusan kasar dan gigi-giginya yang ber-
gemeletukan terdengar disertai tatapan
jalang dari matanya. Sesaat dia menggeram
marah, lalu bergerak pergi. Bodoh kalau
dia tetap ngotot menggempur lelaki tua
yang kini diyakininya sebagai salah satu
tokoh sakti dunia persilatan yang jarang
memunculkan diri. Belum lagi si kecil
gendeng yang tingkat kepandaiannya sampai
saat ini sulit ditebak!
SEMBILAN
WAKTU terus menggilas tanpa menanti
barang sekejap pun. Hari baru digulirkan.
Fajar baru menampakkan wajahnya seperti
hari-hari kemarin. Masih dengan sinar la-
mat merah tembaga di ufuk timur. Masih
dengan sahut-sahutan kokok ayam jantan.
Semuanya seperti tidak berubah.
Satria tersadar dari pingsannya.
Kepalanya masih berdenyut-denyut luar bi-
asa. Seluruh bagian tubuhnya, dari sendi
hingga ke otot terasa seperti direjam-
rejam dari dalam. Untuk menggerakkan otot
leher saja nyerinya bukan kepalang.
Kelopak mata anak itu membuka. Di-
lihatnya sepotong wajah yang sudah dike-
nalnya. Ki Kusumo.
"Syukurlah kau telah sadar, Anak
Muda! He-he-he...," sambut orang tua itu,
Sungguh sulit dimengerti bagaimana Ki Ku-
sumo menganggap siumannya Satria sebagai
satu hal yang lucu hingga perlu diterta-
wakan?
Dari wajah Ki Kusumo, mata Satria
berkeliling ke sekitar. Dilihatnya atap
kecoklatan daun kelapa kering dan bambu-
bambu penglari tak berlangit-langit. Di
sekitarnya terlihat kabang-kabang tebal.
"Di mana aku?" tanyanya lirih.
"Di tempat yang aman...," jawab Ki
Kusumo.
"Di gubukmu, Pak Tua Kusumo?"
"Bukan...."
"Jadi di rumah siapa?"
"Aku sendiri tak tahu."
Satria mencoba bangkit. Linu-linu
masih menyertai setiap gerakan otot serta
sendinya. Baru saja dia bisa menegakkan
punggung, satu jotosan melanda bibirnya.
Dugh!
"Wadau!"
Matanya agak berkunang-kunang. Tapi
dia tetap penasaran untuk mencari tahu
siapa orang iseng brengsek yang mengha-
diahkan jotosan tadi. Samar-samar dili-
hatnya wajah seorang dara ayu yang mem-
pertontonkan kemarahannya. Matanya berki-
lat-kilat.
"Nona Tresna?" gumam Satria, masih
telentang.
"Jangan sebut-sebut namaku, kambing
buduk tak tahu diuntung!" sembur dara
yang memang Tresnasari. Tangannya terang-
kat kembali. Satu kepalan baru siap diha-
diahkan kedua kalinya untuk si bocah.
Satria memejamkan mata ngeri.
"Huph! Cukup!"
Tahan Ki Kusumo cepat. Pergelangan
tangan gadis ayu yang diamuk kegusaran
segera dicekalnya.
Tresnasari bersungut-sungut mening-
galkan sisi pembaringan Satria. Di kelo-
pak mata bagian bawahnya, kentara sekali
kalau dia menahan air mata.
"Kenapa dengannya, Pak Tua? Apa di
rumah ini ada setan penunggu yang telah
merasukinya?" bisik Satria pada Ki Kusumo
yang membawakan satu tabung bambu dan
mangkuk tanah liat.
Rupanya Tresnasari belum terlalu
jauh dari tempat Satria. Dia menangkap
kasak-kusuk bocah itu barusan. Kalap, tu-
buhnya berbalik.
"Kau yang menyebabkan Nyai terluka
parah, Kambing Buduk Brengsek!" makinya
seperti suara orang hendak menangis.
"Sudahlah, Cah Ayu...," Ki Kusumo
mencoba menengahi. Kalau tidak, pasti sa-
tu jotosan bersarang empuk kembali di wa-
jah Satria. Bisa jadi juga berkali-kali.
Mungkin sampai Satria pingsan lagi. Siapa
tahu?
Masih dengan dada turun-naik diba-
kar kegusaran, si dara tanggung mening-
galkan gubuk. Pintu dikuaknya lebar-
lebar, membiarkan sinar matahari lancang
menerobos masuk. Mata Satria menyipit,
silau diterjang sinar terang.
"Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak
Tua?" tanya Satria tergesa, ketika tern-
giang hardikan Tresnasari terakhir.
"Ibu perempuan itu yang kau mak-
sud?" Ki Kusumo meminta kejelasan seraya
menyerahkan gelas bambu pada Satria.
Satria menerima. Sambil menyambut
sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya ja-
waban orang tua yang sedang mengaduk-aduk
sesuatu di dalam mangkuk tanah liat den-
gan tangan kanannya.
"Bagaimana dengan Bibik yang baik
itu, Pak Tua?" desak Satria, penasaran.
"Sebaiknya kau minum ramuanku itu
dulu. Mari kubantu!" alih Ki Kusumo.
Karena ingin tahu keadaan Nyai Ce-
marawangi, Satria tak banyak cingcong.
Setelah dibantu untuk duduk oleh Ki Kusu-
mo, ditenggaknya sekaligus ramuan yang
diberikan KI Kusumo. Tak peduli rasanya
sepahit empedu. Pokoknya dia bisa cepat
mendapat keterangan dari Ki Kusumo!
"Nah, aku sudah meminum ramuan yang
pahitnya seperti racun itu, Pak Tua. Se-
karang, bisakah kau katakan apa yang ter-
jadi pada diri Bibik?"
"Lihatlah ke sana!" perintah Ki Ku-
sumo seraya menunjuk satu arah dengan
isyarat dagunya.
Satria mengikuti arah yang dimaksud
orang tua tadi.
Di balai-balai sudut ruangan, dili-
hatnya Nyai Cemarawangi terbujur. Wajah-
nya pucat. Namun cukup tenang.
Tak ada angin tak ada hujan, tahu-
tahu saja Satria sesegukan. Tangannya me-
nutup wajah. Dari sesegukan, dia meraung-
raung seperti orang sinting.
"Hey, kenapa kau, Bocah?!" perangah
orang tua di sisinya.
"Ini semua salahku! Huk-huk-huk!
Ini semua salahku, Pak Tua!"
"Bukan...."
"Iya! Hu-hu-huk...."
"Itu semua hanya kebetulan saja.
Kebetulan waktu itu dia hendak menyela-
matkanmu dari pukulan jarak jauh Tangan
Seribu Dewa," tutur Ki Kusumo menerang-
kan.
"Tapi aku lebih suka mati, daripada
dia mati!"
Ki Kusumo merengut.
"Siapa yang mati?!" sergahnya.
Sesegukan dan raungan Satria lang-
sung tersunat.
"Bibik itu bukannya sudah mati?"
tanyanya dengan mata terbuka lebar. Air
matanya tak ada. Cara menangis manusia
dari mana lagi yang barusan dipakainya?
Masa' menangis tak ada air mata?
"Siapa yang bilang dia telah mati,
Cah Gendeng! Hua-ha-ha-he-heeee...," Ki
Kusumo tergelak-gelak, terkekeh-kekeh.
Karena begitu terpingkal-pingkalnya, ma-
lah dia yang benar-benar mengeluarkan air
mata.
* * *
Telah empat hari berlalu. Waktu itu
menjelang sore. Matahari lumpuh di pelu-
puk bumi barat. Tresnasari berdiri bisu
menatapi rembang sore, membelakangi gubuk
terbengkalai yang dipakai Ki Kusumo untuk
merawat luka-luka Satria dan Nyai Cemara-
wangi.
Gubuk mereka berada tepat di bibir
pantai Ketawang. Cukup jauh dari tempat
kejadian. Sewaktu Satria dan Nyai Cemara-
wangi terluka, Ki Kusumo yang membopong
keduanya sekaligus ke tempat itu! Tresna
sari yang telah mengenal Ki Kusumo sebe-
lumnya tak curiga. Dia percaya orang tua
baik hati itu berniat mengobati luka-luka
ibunya.
Di belakang Tresnasari, Satria du-
duk terdiam di depan pintu gubuk. Hukuman
Tresnasari mendiamkannya beberapa hari
belakangan benar-benar membuat perasaan-
nya babak-belur. Dia jadi lebih banyak
diam. Keceriaannya dan ketengikan ting-
kahnya entah raib ke mana, entah dibawa
setan dari mana.
Ki Kusumo keluar. Derit pintu gubuk
tak mengusik keheningan Tresnasari. Juga
tak mengusik ketercenungan Satria.
Ki Kusumo bersimpuh di samping anak
itu. Ditepuknya bahu Satria perlahan.
"Sudah kukatakan, kau tak bersalah
apa-apa dengan keadaan Nyai Cemarawan-
gi...," hiburnya pada Satria. Dia tahu,
sikap si gadis ayu yang melekat di hati
Satria, membuat anak itu merasa dirinya
terus bersalah atas semua kejadian yang
menimpa Nyai Cemarawangi.
Satria diam saja. Bibirnya terus
manyun.
"Ayo kita jalan-jalan!" ajak KI Ku-
sumo.
Satria menggeleng.
"Ayolah!"
Tetap saja Satria menggeleng tak
bersemangat.
Ki Kusumo ikut menggeleng-gelengkan
kepala. Bibir keriputnya mendecak kecil.
Disambarnya telinga anak itu, lalu dije-
wernya keras-keras.
"Ayo jalan-jalan!" bentaknya mang-
kel.
"Wado-wado! Tidak mau!"
Ki Kusumo lebih mengeraskan jewe-
rannya, sementara itu dia mulai melang-
kah. Mau tak mau, Satria jadi ikut me-
langkah. Dia masih kepingin daun telin-
ganya lengkap. Orang tua sakti itu terus
menyeret Satria dengan menjewer telin-
ganya.
Setelah cukup jauh, barulah terden-
gar kekeh keras si orang tua misterius.
Di bibir pantai yang memiliki bukit
karang kecil menjulang, Ki Kusumo baru
berhenti. Dilepasnya telinga anak tang-
gung berusia belasan tahun itu. Warna te-
linganya sudah merah sekali.
Satria berbalik dengan wajah kesal
minta ampun. Dia mau kembali ke gubuk.
Lama kelamaan, Ki Kusumo jadi mang-
kel sungguhan. Anak ini benar-benar keras
kepala, gerutunya membatin. Tapi aku se-
nang dia begitu! Aku jadi makin yakin ka-
lau anak inilah yang berjodoh menjadi mu-
ridku!
"Hendak ke mana kau?!" bentak Ki
Kusumo, baru saja empat langkah Satria
menjejakkan kaki di atas pasir pantai.
Mendadak saja, tubuh Satria sulit
digerakkan. Bukan cuma sepasang kakinya
yang memberat seperti dipaku langsung ke
dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerak-
kan. Anak itu mematung dalam posisi orang
melangkah, membelakangi Ki Kusumo.
"Kalau kau ingin terus berdiam diri
di situ sampai beberapa hari, kau boleh
menolak ajakanku sekarang," ancam Ki Ku-
sumo. Main-main tentunya.
Satria tidak menyahut. Meski Ki Ku-
sumo tidak membuat otot mulutnya kaku ju-
ga.
"Aku cuma ingin bicara padamu. Apa
salahnya?" bujuk Ki Kusumo.
"Salahnya, kau terlalu memaksa Pak
Tua," ucap Satria akhirnya, keras kepala.
"Tapi aku ingin membicarakan satu
hal penting."
"Tapi mestinya kau menanyakan dulu
padaku, apakah aku mau kau ajak bicara
atau tidak," sengit Satria.
Si orang tua yang sampai saat itu
belum diketahui jati diri sesungguhnya
mati kutu. Minta ampun dia pada kekeras
kepalaan Satria!
"Baiklah. Kau boleh pergi. Pergi-
lah!" tukas Ki Kusumo akhirnya. Melalui
hentakan tenaga dalam tingkat tinggi di
kata terakhirnya, dibebaskan totokan pada
tubuh Satria. Nada suaranya terdengar me-
rajuk. Seperti seorang kakek yang dongkol
dan kecewa pada sikap cucunya sendiri.
Timbul rasa tidak tega dalam diri
Satria mendengar nada suara Ki Kusumo.
Dengan agak segan, dibalikkannya tubuh.
Dia melangkah kembali mendekati orang tua
itu.
"Kenapa kau tak jadi pergi? Bukan-
kah kau sudah kusuruh pergi?!" gerutu Ki
Kusumo tanpa berniat menatap Satria. Wa-
jahnya kusam. Di balik itu, sebenarnya
dia tertawa geli dalam hati. Siasatnya
memancing perasaan Satria berhasil. Dia
tahu anak itu tidak cuma keras kepala se-
mata. Hatinya sesungguhnya sebening pua-
lam. Tampak sekali dia tak ingin menyaki-
ti orang-orang yang sudah telanjur dekat
dengannya. Seperti Tresnasari, Nyai Cema-
rawangi, dan Ki Kusumo sendiri
Satria menjatuhkan pantat ke pasir,
Dengan tangannya, dipermainkan pasir men-
jadi tumpukan-tumpukan kecil tanpa mak-
sud.
Dengan senyum penuh kemenangan, Ki
Kusumo mendekati dari belakang.
"Hmmm, selama ini kau tentu telah
mengenal cukup baik diriku. Bukan begitu,
Cah Bagus? Kau dulu bertanya-tanya siapa
diriku sebenarnya. Kau ingin tahu?"
Satria tak menggubris perkataan KI
Kusumo. "Baiklah. Aku tahu kau ingin tahu
siapa aku sebenarnya. Cuma kau sedang ma-
las menjawab saja bukan? He-he-he...."
"Bukan," sahut Satria enteng dan
datar.
Cep! Langsung saja kekehan Ki Kusu-
mo terbungkam. Dia menarik napas dalam-
dalam. Sabar... sabar, pikirnya. Kalau
bocah ini tidak ingin dijadikan murid,
sudah ditotoknya kembali Satria lalu di-
tinggal sendiri di pantai. Biar air pa-
sang menghanyutkannya!
Untuk sedikit merayu, Ki Kusumo
sengaja duduk di pasir tepat di sisi bo-
cah itu. Ditumpangkannya sebelah tangan
ke bahu Satria.
"Aku seorang tokoh tua dunia persi-
latan," aku Ki Kusumo, mencoba memancing
keingintahuan si bocah besar adat.
Tapi celaka dua belas, makinya da-
lam hati. Anak itu sedikit pun tak mem-
perlihatkan keterkejutan atau sedikit
keingintahuan seperti malam itu kala me-
reka di tengah hutan! Sambar geledek se-
kali!
"Baik... baik. Kau menang. Aku se-
benarnya berniat mengangkatmu menjadi mu-
rid. Asal kau tahu, banyak orang telah
memohon padaku menjadi murid dan menda-
patkan kesaktianku yang disegani dunia
persilatan. Tak pernah ada di antara me-
reka yang menarik minatku. Artinya, kau
mesti merasa beruntung karena aku berniat
mengangkatmu menjadi murid...," bujuk Ki
Kusumo lagi.
Satria menarik napas. Tahu-tahu dia
bangkit sambil berkata malas, "Kalau cuma
itu yang ingin kau katakan padaku, Pak
Tua, sebaiknya aku permisi saja...."
Lalu tanpa menggubris orang tua
sakti yang terbengong-bengong setengah
modar, Satria melangkah meninggalkan pan-
tai. Satu tindakan Satria yang tak pernah
sedikit pun terpikir oleh Ki Kusumo. Se-
mula, Ki Kusumo merasa yakin sekali bahwa
bocah tanggung itu akan menerima tawaran-
nya. Tawarannya terbilang menggiurkan.
Sebab dirinya tergolong tokoh kenamaan
kalangan atas yang disegani. Menjadi mu-
ridnya sama saja kejatuhan bulan! Ini ma-
lah, Ki Kusumo ditinggalkan begitu sa-
ja....
"Kurang ajar, apa maunya bocah
ini?" rutuk Ki Kusumo gemas bukan main.
Apa akalnya untuk bisa membuat Sa-
tria menerima tawarannya? Ki Kusumo ter-
menung lama sekali. Menilik kerut di da-
hinya, tampak orang tua itu tetap juga
tak menemukan jalan keluar.
Tiga hari berlalu setelah peristiwa
tersebut. Sakit Nyai Cemarawangi tak me-
nunjukkan tanda-tanda akan segera sembuh.
Keadaannya terbilang makin payah semenjak
terluka menerima pukulan jarak jauh Dir-
gasura. Meskipun luka dalam yang dideri-
tanya sendiri sudah diobati oleh Ki Kusu-
mo, tetap saja tak mempengaruhi penyakit
yang diderita Nyai Cemarawangi. Wanita
itu terbaring terus tanpa dapat turun da-
ri balai-balai sama sekali. Wajahnya kian
pucat, tubuhnya makin kurus.
Tresnasari terbawa keadaan terse-
but. Dia kekeringan semangat. Yang hanya
ingin dilakukan hanya duduk termenung di
sisi balai tempat ibu tercintanya terbar-
ing. Untuk keadaan ibunya itu, Tresnasari
masih saja menyalahkan Satria. Dianggap-
nya Satrialah biang keladi semua itu. Di-
hukumnya Satria dengan mendiamkan bocah
tanggung itu.
Satria setengah mati mencoba meng-
hiburnya. Namun setiap kali dicoba, Tres-
nasari malah memperlihatkan wajah tak
bersahabat. Lebih dari itu, tersirat ke-
bencian di matanya. Itu menyebabkan Sa-
tria pun makin merasa disudutkan.
Sampai siang ini, si bocah tanggung
dekil berambut kemerahan tak tahan lagi.
Diam-diam dia pergi meninggalkan gubuk
tanpa sepengetahuan Ki Kusumo ataupun
Tresnasari.
Satu tujuannya yang terbilang gen-
deng untuk bocah seperti dia hendak dica-
rinya Dirgasura. Dia akan menuntut balas
atas perlakuan Dirgasura pada Nyai Cema-
rawangi. Bocah tanpa bekal olah kanuragan
secuil pun seperti dia? Apa itu tidak
gendeng?
* * *
Satria tiba di satu daerah dekat
perbatasan Ketawang-Jogoboyo slang itu.
Angin berhembus semilir damai melintasi
wajah keruhnya. Sejak berangkat dari pan-
tai Ketawang, tak ada perubahan tekad se-
dikit pun dalam hati anak itu. Benar-
benar sudah bulat tekadnya untuk meminta
pertanggungjawaban Dirgasura terhadap
keadaan Nyai Cemarawangi kini.
Sebagai seorang bocah yang memiliki
kemauan yang lebih besar dari tubuh ku-
rus-keringnya, dan lebih kuat dari tenaga
seekor kambing buduknya, tampaknya dia
memang tak akan berhenti mencari Dirgasu-
ra sebelum benar-benar menemuinya. Bukti
itu sedikit terlihat dari paras wajahnya
yang terus saja terlipat, memeram kegusa-
ran. Dia gusar pada dirinya karena merasa
telah menjadi biang keladi keadaan yang
menimpa Nyai Cemarawangi. Dia juga gusar
pada lelaki setengah raksasa yang diang-
gapnya telah berbuat keji terhadap wanita
yang sedang menderita sakit itu.
Meski belum pasti ke arah mana lagi
dia harus mencari Dirgasura, Satria terus
saja melangkah merambah hutan batas Keta-
wang-Jogoboyo. Bocah berambut kemerahan
itu tak akan berhenti melangkah kalau sa-
ja sebentuk suara mengerikan tak menegur-
nya.
"Berhenti kau, Bocah!"
Satria berhenti mendadak. Bukan ka-
rena dia sekadar terkejut. Lebih dari
itu, suara teguran kasar tadi telah mem-
buat seluruh otot-otot dan sendinya men-
jadi terkunci. Belum lagi kekuatan suara
yang membuat gendang telinganya seperti
mau pecah mendengar teguran tadi. Seba-
liknya, nada suara teguran tadi sebenar-
nya dilakukan pemiliknya tak terlalu ke-
ras.
Tak ada dua tarikan napas, berkele-
bat sesosok tubuh beberapa langkah di de-
pan Satria. Kini, sudah berdiri seorang
kakek kurus kering. Berjubah hitam pendek
sebatas paha. Berjenggot dan berambut pu-
tih amat panjang hingga mencapai lutut.
Seluruh wajahnya sudah berkerut-merut.
Bahkan kulit bagian bawah pipinya sudah
bergelantungan. Sinar mata kakek itu mem-
bersitkan sinar keji.
Begitu menjejakkan kaki tanpa suara
sedikit pun, kakek itu menjentikan ja-
rinya. Mengagumkan, tubuh Satria detik
itu juga kembali dapat digerakkan.
"Siapa kau, Pak Jenggot?" tanya Sa-
tria. Tak ada perasaan takut sedikit pun
dalam diri bocah itu, meskipun rasa ber-
gidik ngeri menatap mata orang tua di de-
pannya tetap mengusik. Kalau anak lain
sebayanya, tentu sudah lari tunggang-
langgang. Mungkin akan terkencing-kencing
pula. Sebab, bisa jadi mereka akan men-
ganggap orang tua itu adalah dedemit pe-
nunggu hutan.
"Katakan padaku di mana aku bisa
menemui Ki Kusumo?!" Kakek tadi malah ba-
lik bertanya. Suaranya berat parau. Ter-
dengar tak kalah menggidikkan dari bersit
matanya.
Satria tak mau cepat menjawab. Dia
lagi-lagi bertanya tanpa kenal rasa ta-
kut.
"Memangnya Pak Jenggot ini ada uru-
san apa dengan Pak Tua Kusumo?"
"Kau jangan banyak tanya Bocah. Se-
butkan saja di mana aku bisa menemui
dia!" geram si kakek berjenggot, berkawal
dengusnya.
"Kenapa kau pikir aku tahu di mana
orang yang kau tanyakan?" Satria main
kucing kucingan.
"Katakan padaku!"
"Kalau aku bilang tidak tahu?"
"Kau akan kupaksa bicara!"
"Kalau aku tetap tak bicara?"
Dengusan si kakek makin cepat. Ke-
marahannya mulai terpancing oleh kucing-
kucingan Satria. Kilat matanya makin ta-
jam. Kelopak matanya mulai menyipit ge-
ram. Lalu dengan cepat jarinya menjentik
kembali.
"Waaa!"
Tiba-tiba saja, tubuh Satria ter
lempar amat jauh. Derasnya luncuran tu-
buhnya seolah dia baru saja dilontarkan
sebentuk tangan raksasa kasat mata. Jauh-
nya lebih dari lima belas tombak! Malang-
nya, tubuh bocah kurus itu kemudian ter-
jerembab ke dalam lumpur dalam.
Entah bagaimana caranya, begitu Sa-
tria masuk ke dalam lumpur, kakek tua itu
sudah pula berada di sana. Seolah-olah
dia dapat berpindah-pindah tempat seperti
dedemit. Lebih mencengangkan Satria lagi,
orang tua itu berdiri di atas lumpur da-
lam tanpa tenggelam. Sementara tubuh si
bocah kurus yang sebenarnya jauh lebih
ringan sendiri perlahan-lahan tertelan
masuk.
"Kau bocah yang memuakkan! Tanpa
kau beritahu padaku pun, aku tetap akan
menemukan Tabib Sakti Pulau Dedemit yang
harus menyembuhkan penyakit menahun sia-
lanku ini!" rutuk si kakek dengan suara
mengerikan.
Setelah itu, sosoknya berkelebat
cepat seperti menghilang.
Tinggal Satria sendiri terdiam da-
lam lumpur. Perlahan tapi pasti, tubuhnya
terus tertelan. Dari pinggang, naik ke
bagian dada. Dari dada terus naik sampai
tinggal kepalanya saja.
Jadi jelas sekarang kenapa si kakek
tadi membiarkan Satria tak terluka dengan
tenaga dahsyat jentikan tangannya. Ru
panya dia ingin bocah itu mati perlahan-
lahan dalam lumpur!
SELESAI
Ikuti kelanjutan kisah menggemaskan ini
dalam episode selanjutnya:
" GEGER PESISIR JAWA "
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar