..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 21 Januari 2025

SATRIA LONCENG DEWA EPISODE PENGERAN BUNGA BANGKAI

Pangeran Bunga Bangkai

 PANGERAN BUNGA BANGKAI 

Di depan semak belukar lebat, 

bersandar ke sebuah batu hitam duduk 

menjelepokdi tanah satu mahlukyang seumur 

hidup baru kali itu dilihat Ratu Dhika 

Gelang Gelang. Jika manusia mana 

kepalanya. Kalau hantu mengapa tubuhnya 

utuh seperti seorang manusia. 

Sebagai pengganti kepala ada sekuntum 

bunga luar biasa besar berwarna kuning 

berbintik coklat. Pada bagian tengah bunga 

mencuat kuncup berwarna hijau setinggi 

tiga jengkal. Bunga aneh ini menebar bau 

busuknya bangkai yang membuat Ratu Dhika 

Gelang Gelang hampir tidak sanggup menahan 

muntah. 

"Bunga Bangkai..." ucap Ratu Dhika 

Gelang Gelang. 

MAHLUK TANPA KEPALA

Rumah bambu berkolong tinggi beratap 

ijuk di lereng lembah kecil diselimuti 

kesunyian. Saat itu rembang petang. Cahaya 

terik sang surya mulai memudar. Ketika 

angin bertiup silir dari arah Gunung 

Merapi tiba-tiba satu bayangan putih 

berkelebat dari arah timur lembah. 

Gerakannya luar biasa cepat dan ringan. 

Sesaat kemudian kelihatan seorang kakek 

berpakaian selempang kain putih, berkalung 

semacam tasbih besar terbuat dari kayu


cendana, berdiri di ujung atas tangga 

rumah panggung, di hadapan sebuah pintu 

kajang yang tertutup. 

"Salam sejahtera bagi penghuni rumah. 

Sri Sikaparwathi, apakah kau ada di 

dalam?" 

Orang tua tadi memberi salam. Dia 

menunggu jawaban sambil memandang 

berkeliling, mengelus kumis dan janggut 

putih sementara rambut panjang menjela 

bahu melambai-lambai tertiup angin. Ketika 

tidak ada jawaban dari dalam rumah, si 

kakek lantas mengulang salamnya untuk 

kedua kali. 

"Sri Sikaparwathi, salam sejahtera 

untukmu. Apakah kau ada di dalam rumah?" 

Tiba-tiba dari dalam rumah bambu yang 

pintunya tertutup terdengar suara batuk-

batuk. Lalu menyusul ucapan perempuan. 

Perlahan sekali hingga nyaris tidak 

kedengaran. 

"Orang yang ada di luar. Jika kau 

adalah utusan Dewa untuk mencabut nyawaku, 

silahkan lakukan sekarang juga. Lebih 

cepat lebih baik." 

Paras orang tua di depan pintu serta 

meria berubah. Jantung berdetak, perasaan 

langsung tidak enak 

"Sikaparwathi? Benarsuaramu yang aku 

dengar? Mengapa lain sekali? Mengapa kau 

berkata seperti itu?" 

Tidak menunggu jawaban, orang tua itu 

mendobrak pintu kajang lalu menghambur 

masuk ke dalam rumah. Di bagian dalam,


rumah bambu itu hanya memiliki satu 

ruangan. Di tengah ruangan ada sebuah 

tempat tidur terbuat dari bambu beralaskan 

rumput kering. Orang tua yang barusan 

masuk ini tak percaya akan apa yang 

disaksikannya. Di atas tempat tidur 

terbujur sosok seorang nenek berjubah 

warna Jingga yang keadaan hampir sama rata 

dengan alas jerami kering. Tubuh kurus 

kering, wajah pucat keriput. Sepasang mata 

yang cekung nyalang menatap ke atas, ke 

arah atap. 

"Dewa Agung! Sika, apa yang terjadi 

dengan dirimu?" 

Orang tua berselempang kain putih 

sampai berteriak karena terkejutnya 

melihat keadaan nenek di atas tempat tidur 

itu. Jari-jari tangannya memegang keras 

bambu pinggiran tempat tidur dan dalam 

menahan gelora perasaan jari-jari itu 

tidak sengaja meremas hingga kraaakk! 

Bambu pinggiran tempat tidur remuk di dua 

tempat. 

Sepasang mata cekung perempuan di 

atas tempat tidur bergerak sedikit, 

berusaha melirik ke arah orang tua yang 

tegak di sampingnya. Bibir yang kering 

bergerak sedikit, mengeluarkan suara batuk 

baru berucap. 

"Tubuhmu terlihat tidak jelas, 

wajahmu tampak samar.Tapi telingaku 

mengenali suaramu. Bukankah kau Gede 

Kabayana sahabatku dari Klungkung 

Bali...?"


"Dewa Jagat Batara! Aku bersyukur kau 

masih mengenali diriku. Sikaparwathi 

sahabatku, katakan apa yang terjadi dengan 

dirimu. Sepintas lalu aku melihat sakitmu 

bukan sakit wajar." 

Perempuan tua di atas tempat tidur 

bambu kembali batuk-batuk. Kali ini ada 

lelehan darah mengucur di sela bibirnya. 

Dengan cepat orang tua yang dipanggil 

dengan nama Gede Kabayana menyeka noda 

darah itu mempergunakan ujung selempang 

kain putih pakaiannya. 

"Kabayana, aku memang bukan sakit 

wajar. Aku menderita seperti ini karena 

ada orang jahat menggandakan tubuh dan 

rohku lalu dibawa pergi untuk dipakai 

berbuat jahat." 

Orang tua di pinggir tempat tidur 

terkesiap mendengar ucapan si nenek. 

"Orang jahat menggandakan tubuh dan 

rohmu? Demi Dewa Agung! Baru sekali ini 

aku mendengar hal seperti yang kau 

katakan! Itu adalah perbuatan luar biasa 

keji! Tapi apakah ada orang yang begitu 

sakti di Bhumi Mataram ini hingga mampu 

melakukan hal itu? Aku tidak percaya. Atau 

mungkin..." Gede Kabayana gelengkan 

kepala. Lalu bertanya. "Kau sudah tahu 

siapa pelakunya dan sudah berapa lama hal 

itu terjadi?" 

"Aku tidak tahu siapa pelakunya. 

Kejadiannya dua hari lalu." 

Kembali Gede Kabayana dibuat 

terkejut. "Baru dua hari dan keadaanmu


sudah sangat sengsara seperti ini!" "Gede 

Kabayana...." 

"Sudah, kau jangan terlalu banyak 

bicara dulu. Aku akan menolongmu sebisaku. 

Jika kau sudah sembuh kita sama-sama 

mencari siapa pelaku keji rtu!" 

"Kau sahabatku paling baik. Tapi 

sebelum kau melakukan sesuatu aku ingin 

bertanya dulu. Sekian belas tahun kita 

tidak pernah bertemu. Langkah peruntungan 

apa yang membawa dirimu terpesat ke lembah 

tempat kediamanku ini?" 

"Sebenarnya aku datang membawa kabar 

baik. Tapi dalam keadaanmu seperti ini 

apakah kabar itu masih bisa mendatangkan 

kegembiraan pada dirimu..." 

"Sebelumnya aku pasrah menerima 

kematian. Sekarang biarlah rasa gembira 

mungkin menunda kematianku beberapa 

kejapan mata. Katakan, kabar apa yang 

hendak kau sampaikan." 

"Jauh-jauh aku tinggal di Klungkung. 

Tiga purnama yang silam aku datang ke 

tanah Jawa. Dari seorang sahabat aku 

berhasil mencari tahu dimana selama ini 

Sedayu Galiwardhana bersembunyi 

mengasingkan diri. Orang 

cari, dia tinggal dan bertapa di 

salah satu lereng Gunung Merbabu." 

Wajah pucat si nenek berubah 

bercahaya sekilas. Namun sesaat kemudian 

wajah itu tampak redup dan letih seperti 

menahan beban yang sangat berat. Mulut 

yang tadi terbuka perlahan-lahan mengatup



seolah-olah sengaja dikancingkan, pertanda 

dia tidak mau bicara lagi. 

"Sikaparwathi, apakah kau masih 

mendengarkan kata-kataku?" bertanya Gede 

Kabayana. 

"Aku tidak ingin membicarakan orang 

itu..." 

"Aaahhh..." Gede Kabayana hela nafas 

dalam. "Menggantang dendam asmara dalam 

keadaanmu seperti ini sangat tidak baik, 

Sika..." 

"Aku insan polos. Aku tidak pernah 

menaruh benci apalagi dendam terhadap 

siapapun. Dendam asmara katamu..." Secuil 

senyum hampa menyeruak di bibir yang 

kering. "Gede Kabayana, aku punya firasat 

buruk. Saat ini Sedayu Galiwardhana sudah 

tidak ada lagi..." 

"Maksudmu Sika?" 

"Dia sudah mati. Mungkin sekali 

dibunuh oleh manusia jahat yang meminjam 

tubuh dan rohku." 

"Dewa Agung! Aku tidak berani 

berpikir sampai ke situ. Sikaparwathi, kau 

sakit tapi pikiranmu tidak kacau?" Gede 

Kabayana usap kening Sri Sikaparwathi. 

Terasa panas. 

"Dewa Agung memberi petunjuk padaku 

tadi malam melalui mimpi." 

"Sika, kau orang cerdik orang pandai. 

Jangan percaya pada mimpi." 

"Aku juga punya dugaan kalau kura-

kura hijau peliharaanku Raden Cahyo Kumolo 

juga telah di gandakan secara gaib.


Dikendalikan untuk berbuat kejahatan. 

Sudah dua hari aku tidak melihatnya. Aku 

tidak tahu dimana ujud asli kura-kura itu 

berada. Entah masih hidup atau sudah 

menemui ajal." 

"Sikaparwathi, aku sahabatmu. Aku 

akan..." 

Si nenek potong ucapan Gede Kabayana. 

"Sahabatku Gede Kabayana, kalau apa 

yang hendak kau sampaikan sudah semua, 

tinggalkan tempat ini. Biarkan aku 

sendirian. Aku ingin menghadap Para Dewa 

di Swargaloka dengan tenang dan 

sendirian..." 

"Tidak bisa! Aku memohon dengan 

sejuta doa pada Para Dewa agar kau 

disembuhkan!" 

Gede Kabayana pegang tasbih kayu 

cendana dengan tangan kiri.Ujung dua jari 

tangan kanan lalu ditekankan ke batok 

kepala pada arah ubun-ubun Sikaparwathi, 

pelipis kiri kanan, pertengahan dada lalu 

pada dua telapak kaki. Setiap dua ujung 

jari itu menyentuh bagian tubuh yang 

ditekan maka mengepul asap kelabu menebar 

harumnya bau kayu cendana. 

"Tidurlah sahabatku, tidurlah. Para 

Dewa akan menolongmu. Para Dewa 

menyayangimu. Para Dewa akan 

menyembuhkanmu!" 

Selesai kata-kata itu diucapkan Gede 

Kabayana maka sepasang mata Sri 

Sikaparwathi yang sejak tadi nyalang 

nyaris tak berkesip kini merapat terpejam.


Nenek ini benar-benar memasuki alam tidur. 

BEGITU sepasang mata Sri Sikaparwathi 

terpejam Gede Kabayana segera duduk 

bersila di lantai rumah bambu dalam sikap 

siap untuk melakukan samadi. Memohon 

petunjuk dari Yang Kuasa. Hanya sesaat 

setelah orang tua ini memulai samadinya, 

di luar udara tiba-tiba berubah gelap. 

Guntur menggelegar, kilat menyambung 

seolah hendak membelah langit. Tak lama 

kemudian hujan lebat turun mengguyur 

kawasan lembah. 

Pada saat itulah ketika udara dingin 

merambas masuk ke dalam rumah bambu, 

ketika deru hujan dan tiupan angin kencang 

menutup pendengaran, sesosok mahlukaneh 

muncul dalam keadaan basah kuyup di ambang 

pintu rumah bambu. Saat itu juga udara di 

tempat itu dilanda bau luar biasa 

busuk. Mahluk yang datang bertubuh manusia 

utuh mengenakan pakaian biru ringkas. 

Namun mahluk ini tidak memiliki kepala 

sama sekati. Bahunya tertutup kelopak 

lebar berbentuk bunga besar berwarna 

kuning berbintik coklat. Dari bunga inilah 

keluar dan menebar bau busuk seperti 

busuknya bangkai. Pada bagian yang 

seharusnya ada kepala hanya terdapat satu 

kuncup hijau setinggi tiga jengkal. Di 

tangan kiri mahluk ini mengepit sebuah 

benda hijau yang ternyata adalah seekor 

kura-kura. 

Dengan hati-hati mahluk busuk 

berkepala bunga berbau bangkai ini letakan


kura-kura hijau di samping sosok Sri 

Sikaparwathi yang terbaring nyenyak di 

atas tempat tidur bambu. Sambil mengusap 

punggung kura-kura hijau mahluk ini 

anehnya bisa mengeluarkan suara seperti 

manusia. 

"Yang Kuasa telah menyelamatkan 

dirimu. Walau tubuh gandamu pernah hancur 

lulu di tangan pertapa Sedayu Galiwardhana 

namun ujud aslimu tiada menerima cidera. 

Karena kau tidak menyandang dosa maka Para 

Dewa mempertemukan diriku denganmu. Aku 

membawamu ke tempat ini. Tidurlah bersama 

nenek pengasuhmu. Bila kelak kalian 

terbangun, carilah kebenaran. Mudah-

mudahan amal kecilku ini akan memberi 

kemudahan bagiku untuk menemukan orang 

yang aku cari..." 

Entah dari mana datangnya, lalat 

mulai muncul di tempat itu, hinggap di 

atas kepala mahluk aneh yang merupakan 

sumber bau busuknya bangkai. Perlahan-

lahan bunga kuning berbintik coklat dan 

berkuncup hijau di atas bahu mahluk aneh 

berputar ke arah Gede Kabayana. Lalu 

kembali terdengar suaranya berkata. 

"Orang tua, aku tidak ingin 

mengganggu samadimu walau aku punya 

firasat, kau adalah salah seorang yang 

bisa memberi petunjuk dimana dan siapa 

adanya orang yang aku cari. Aku harus 

pergi. Yang Maha kuasa memberkahi kita 

semua..." 

Mahluk aneh memutar tubuh. Sesaat


kemudian sosoknya telah melesat keluar 

pintu rumah bambu, melayang laksana 

terbang dibawah curahan hujan lebat dan 

lenyap dari pemandangan. 

SRI MAHARAJA KE DELAPAN

DIRIWAYATKAN dalam kisah terdahulu 

berjudul" Arwah Candi Miring" bagaimana 

Sri sikaparwathi palsu jejadian bersama 

kura-kura hijau Raden Cahyo Kumolo yang 

juga mahluk yang digandakan untuk kesekian 

kali dan berada di bawah kendalinya, 

berusaha menyusup masuk ke dalam Sumur Api 

untuk menculik Ananthawuri yang tengah 

mengandung besar. Bila mana dia berhasil 

menculik anak perawan desa Sorogedug yang 

hamil secara gaib maka berarti dia akan 

dapat menguasai dua orang bayi yang akan 

dilahirkan dan diramal bakal menjadi dua 

Kesatria sakti mandraguna di Bhumi 

Mataram. 

Namun di sebuah lobang batu yang 

menuju ke dasar Sumur Api mereka di hadang 

oleh Naga Akhirat Raden Culo Dua. Walau si 

nenek dan kura-kuranya berhasil 

menyelamatkan diri namun mereka terlempar 

keluar dari sumur gaib dan terdampar di 

satu rimba belantara. 

Sambil duduk menjelepok di tanah dan 

bersandar pada sebatang pohon dalam kecewa 

sakit hatinya, Sri Sikaparwathi jejadian 

mengusap-usap kura-kura hijau yang



bertengger di atas kepala. 

"Raden, kita masih belum beruntung. 

Tapi kita tidak boleh putus asa. Kita 

pasti akan mendapatkan dua bayi itu. Suara 

tangisan bayi yang aku dengar di dasar 

Sumur Api adalah suara tipuan untuk 

memecah perhatian dan memperlambat gerakan 

kita. Aku yakin anak perawan desa itu 

masih belum melahirkan. Kita akan mencari 

jalan untuk mendapatkannya. Dua bayi itu 

harus kita dapati!" 

Kura-kura hijau di atas kepala si 

nenek gerak-gerakan kepala beberapa kali 

seolah mengerti apa yang dikatakan sang 

tuan. Tiba-tiba dari atas pohon besar 

meluncur seekor tikus hutan berwarna hitam 

pekat. Sri Sikaparwathi baru tahu 

kehadiran binatang itu ketika si tikus 

telah masuk ke balik jubah, merayap di 

dada, turun ke perut, terus turun lagi ke 

bagian terlarang diantara dua pangkal kaki 

dan mendekam di sana tidak bergerak-gerak. 

Pekik si nenek bukan olah-olah. 

Tubuhnya terlompat sampai kepalanya 

menghantam cabang pohon sementara kura-

kura di atas kepala saking kaget terpental 

jatuh ke tanah. 

"Celaka! Celaka diriku!” Sri 

Sikaparwathi berteriak berulang kali 

sambil menjingkrak-jingkrak kalang 

kabut.Tapi tikus nakal masih saja mendekam 

di tempat semula. Tidak sabar dan tidak 

tahan rasa geli serta jijik, nenek ini 

singsingkan jubahnya tinggi-tinggi. Tangan


kanan diturunkan lalu disusupkan ke atas. 

Sekail diremas tikus pohon mencicit keras 

lalu mati dengan tubuh hancur luluh. 

Si nenek kibas-kibaskan tangan 

kanannya yang bergelimang darah. Sekujur 

tubuh merinding. Muka pucat pasi seperti 

tidak berdarah lagi. Bersamaan dengan itu 

perlahan-lahan tubuhnya menjadi lemas. Ada 

satu hal yang membuatnya sangat takut. 

"Tubuhku terasa lemas. Aku seperti 

tidak punya tulang belulang. Aku tidak 

punya kekuatan, tiada daya. Mungkin 

kesaktianku juga sudah lenyap...Binatang 

celaka itu!" 

Sementara itu kura-kura hijau yang 

tadi terlempar dari atas kepalanya kini 

mendakam tak bergerak di akar pohon. 

Binatang ini juga tampak lemas tiada daya, 

nyaris tidak mampu bergerak. Dalam keadaan 

Hal 18-19 Hilang 

agaknya binatang ini juga telah 

kehilangan kekuatan dan kesaktian! 

Tidak lagi mempedulikan kura-kura 

hijau itu, si nenek memutuskan untuk kabur 

seorang diri. Dengan sisa-sisa tenaga yang 

ada, didahului satu lengking jeritan keras 

dua tangan di kembang. 

"Yang di bumi naik ke langit! Yang di 

langit turun ke bumi!" Sri Sikaparwathi 

berteriak. Sri Maharaja Ke Delapan!Tolong 

diriku!" 

Saat itu juga terjadilah satu hal


yang hebat! 

Dari langit satu benda memancarkan 

cahaya tiga warna melesat ke arah Sri 

Sikaparwathi. Di saat yang sama tubuh si 

nenek melesat ke udara seolah ada yang 

menarik. 

"Mahlukjahat! Kau mau lari kemana? 

Riwayatmu cukup sampai disini!" 

"Braakkk!" 

Kepala botak bertanduk yang ada di 

tanah melesat ke atas di susul sosok besar 

mengenakan jubah biru. Dada tersingkap dan 

dua tangan tertutup bulu lebat. Begitu 

tinggi dan besarnya mahluk ini hingga 

kepalanya hampir mencapai pucuk pohon 

besar yang ada di sebelahnya. Sekali 

tangan kanan yang besar bergerak, leher 

Sikaparwathi sudah berada dalam ceng 

keramannya. 

"Lepaskan! Jangan!" teriak 

Sikaparwathi berusaha 

keras loloskan diri namun tidak punya 

kemampuan. "Arwah Ketua! Aku tidak punya 

silang sengketa denganmu! Mengapa hendak 

membunuhku?" 

Mahluk raksasa bertanduk merah 

menyeringai. Dia ternyata adalah Arwah 

Ketua dari Candi Miring di bukit gersang! 

"Berapa manusia tidak berdosa yang 

telah kau bunuh sejak kau muncul sebagai 

mahlukjahat!" 

"Mereka tidak ada sangkut paut dengan 

dirimu!" 

"Bisa saja kau berkata begitu.Tapi


mereka adalah orang-orang Bhumi Mataram 

yang telah berbakti pada Kerajaan. Mereka 

adalah orang-orang yang punya kewajiban 

untuk menjaga dan melindungi masa depan 

Kerajaan. Sebaliknya kau malah hendak 

menghancurkan Kerajaan!" Arwah Ketua 

keluarkan suara menggembor, meniup ke 

depan hingga Sri Sikaparwathi merasa 

sepasang matanya luar biasa perih laksana 

disayat-sayat. Dalam kesakitan si nenek 

mengancam. 

"Kalau kau tidak melepaskan diriku 

maka Sri Maharaja Ke Delapan akan melumat 

tubuhmu!" 

Arwah Ketua tertawa tergelak. 

Mendekatnya cahaya tiga warna seolah 

memberi kekuatan pada Sri Sikaparwathi. Si 

nenek hantamkan pukulan berantai ke arah 

dada Arwah Ketua hingga dada berbulu itu 

bergoncang keras dan kelihatan bengkak 

matang biru pada bagian yang kena dijotos. 

Saat itu pula cahaya tiga warna yang 

melesat turun dari langit menderu dahsyat, 

menyambar ke arah Arwah Ketua. Di atas 

pohon terdengar suara berkerincing. 

"Bummm!" 

"Blaaar!" 

Letusan keras menggelegar ketika tiga 

cahaya merah menghantam kepala Arwah Ketua 

lalu bertebar lenyap di udara. Mahluk 

raksasa ini melesat ke tanah sampai 

sedalam pinggang. Kepalanya yang botak 

pancarkan cahaya benderang menyilaukan 

mata. Tanduk merah di atas kepala berpijar


lalu leleh! Dari mata, telinga hidung dan 

mulut mengucur darah. Leher Sikaparwathi 

yang tadi dicekal di tangan kanan 

terlepas. Begitu lolos nenek ini cepat 

ambil langkah seribu. 

"Perempuan celaka! Kucabik batang 

lehermu!" 

Ada suara perempuan berteriak marah 

disusul dengan melesatnya satu bayangan 

merah disertai suara mengeong keras. Sri 

Sikaparwathi menjerit keras. Seekor kucing 

merah tahu-tahu telah bergelayutan 

dibahunya. Mulut menganga, deretan gigi 

panjang runcing menancap dileher, dua kaki 

depan siap merobek tubuh. 

"Ratu Dhika Gelang Gelang! Tahan 

serangan kucingmu! Aku perlu menanyakan 

sesuatu pada mahluk celaka ini! Aku tak 

apa-apa! Semoga Dewa mengembalikan 

keadaanku seperti semula!" 

Arwah Ketua yang mukanya bergelimang 

darah usapkan tangan kiri ke atas kepala 

dan seluruh wajah sambil mulut merapal 

doa. Saat itu juga seluruh cidera yang 

dialaminya sembuh. Darah bukan saja 

berhenti mengucur tapi juga 

lenyap.Tandukdi kepala yang tadi leleh 

kini kembali mencuat tegak memancarkan 

cahaya meran. VVaiau di luar keadaannya 

puli! t seperti semuia namun Arwah Ketua 

maklum kalau disebelah dalam dia mengalami 

luka yang cukup parah. Ini memaksanya 

harus segera kembali ke Candi Miring. Maka 

Arwah Ketua cepat menggoyang bahu.



Tubuhnya yang terpendam di tanah sampai 

pinggang serta merta melesat keluar. "Pus 

Meong Ragil Abang, kembali ke sini!" Kata-

kata itu diucapkan oleh seorang perempuan 

muda bertubuh gemuk subur berkulit hitam 

yang berdiri di dekat Arwah Ketua. Dia 

berkata sambil tepukkan tangan kiri ke 

bahu kanan. Pus Meong Ragil Abang si 

kucing besar yang siap membeset leher dan 

merobektubuh Sri Sikapartwaihi setelah 

mengeong keras dengan cepat melompat ke 

atas bahu perempuan gemuk. Perempuan ini 

mengenakan kemben merah yang bagian depan 

belakang dibelah tinggi. Rambut dikonde di 

atas kepala, ditancapi sekuntum bunga 

mawar merah yang tak pernah layu karena 

diberi semacam jelaga. Wajahnya yang 

bundar tertutup dandanan tebal mendok. 

Pergelangan tangan dan kaki dihiasi gelang 

emas diganduli kencingan. Setiap dia 

membuat gerakan, empat gelang itu 

keluarkan suara berkerincing. 

Sambil mematuk rambut ikal disamping 

telinganya, si gemuk berdandan mencorong 

ini perhatikan wajahnya dalam sebuah 

cermin kecil yang dipegang di tangan kiri. 

Seperti yang disebut oleh Arwah Ketua 

tadi, perempuan muda ini memang adalah 

Ratu Dhika Gelang Gelang yang di Bhumi 

Mataram juga dikenal dengan julukan Ratu 

Meong. 

Mendengar ucapan sang tuan, kucing 

besar Ragil Abang segera melompat ke bahu 

perempuan gemuk itu. Di saat yang sama


Arwah Ketua cepat jambak rambut Sri 

Sikaparwathi hingga nenek ini tidak sempat 

melarikan diri. 

Setelah membasahi bibirnya yang 

diberi pemerah dengan ujung lidah, Ratu 

Dhika Gelang Gelang berbisik pada Arwah 

Ketua. 

"Rakanda Arwah Ketua, mahluk satu ini 

luar biasa berbahaya. Mengapa tidak 

dihabisi saat ini juga?" 

"Aku memang ingin melakukan hal itu. 

Tapi barusan dia menyebut sesuatu. Aku 

harus menyelidiki sebelum menghabisinya!" 

Tangan Arwah Ketua yang menjambak 

rambut si nenek diangkat ke atas hingga 

muka mereka saling berhadapan. 

"Tadi kau berteriak minta tolong pada 

seseorang yang kau sebut Sri Maharaja ke 

Delapan. Jelaskan siapa orang itu!" 

Walau keadaannya sudah babak belur 

tapi Sri Sikaparwathi agaknya kembali 

timbul keberanian. Sambil sunggingkan 

seringai dia berkata. 

"Kalau kau mau membuat janji, aku 

akan katakan siapa yang kumaksud dengan 

Sri Maharaja Ke Delapan." 

"Apa pintamu?!" tanya Arwah Ketua. 

"Rakanda, jangan sampai tertipu. 

Perempuan tua ini liar seperti srigala, 

licin seperti belut!" Kata Ratu Dhika 

Gelang Gelang mengingatkan. 

"Radinda Ratu, aku tidak tolol," 

jawab Arwah Ketua. Dia perkencang jambakan 

rambutnya si nenek. Ayo lekas bicara!"


"Jika kau bersedia melepaskan diriku 

dan kura-kura hijau di akar pohon sana, 

baru aku akan mengatakan siapa adanya Sri 

Maharaja Ke Delapan." 

"Hemmm...begitu?" ujar Arwah Ketua. 

"Ya, begitu!" jawab Sikaparwathi yang 

merasa berada di atas angin. 

Arwah Ketua angguk-anggukkan 

kepala.Tiba-tiba tangannya yang menjambak 

rambut Sri Sikaparwathi disentakan ke 

depan, dihantamkan ke kepala botaknya! 

"Praakkk!" 

Tak ampun lagi kepala si nenek remuk 

nyaris rengkah. Begitu jambakan dilepas 

sosok Sikaparwathi terbanting di tanah. 

Setelah mengepulkan asap kelabu tubuh 

hasil pergandaan gaib ini lenyap dari 

pemandangan. Di bawah pohon besar kura-

kura hijau menyusup di dekat akar 

keluarkan suara mencuit panjang. Sekali 

ulurkan kaki, Arwah Ketua injak binatang 

itu hingga hancur dan amblas ke dalam 

tanah di susul dengan kepulan asap kelabu. 

Arwah Ketua berpaling kepada Ratu 

Dhika Gelang Gelang. 

"Rakadinda Ratu, aku harus segera 

kembali ke Candi miring. Waktuku berada di 

dunia luar hampir habis. Aku mohon kau 

menyelidiki beberapa perkara. Pertama cari 

tahu siapa manusianya yang disebut sebagai 

Sri Maharaja Ke Delapan oleh perempuan tua 

jejadian itu. Kedua mahluk tadi diketahui 

berusaha masuk ke dalam Sumur Api untuk 

menculik perawan desa pilihan Para Dewa.


Aku punya kecurigaan ada satu perkara 

besar di balik semua perbuatan Sri 

Sikaparwathi. Hal ketiga kau melihat 

sendiri tadi ada cahaya tiga warna melesat 

turun dari langit. Itu adalah ilmu 

kesaktian yang belum pernah ada di Bhumi 

Mataram.Selidiki siapa pemilikdan 

pengendalinya...." 

"Oala Rakanda Arwah Ketua. Banyak 

sekali pekerjaan yang kau berikan padaku. 

Kau sendiri mau melakukan apa?" tanya Ratu 

Dhika Gelang Gelang lalu keluarkan kaca 

kecil dan bercermin diri sambil merapikan 

letak rambut, mengusap pipi yang medok 

tebal tertutup bedak merah. Orang lain 

sekalipun berkepandaian tinggi tidak akan 

berani seenaknya bicara serta bersikap 

seperti itu terhadap Arwah Ketua. Tapi 

Ratu Gelang Gelang sudah kenal lama dan 

sangat dekat bahkan menganggap Arwah Ketua 

sebagai kakaknya bicara ceplas ceplos apa 

sukanya. 

"Seperti aku katakan tadi, aku akan 

kembali ke Candi Miring. Bukan untuk 

berlepas tangan tapi untuk menyimak apa 

yang saat ini terjadi di Bhumi Mataram. 

Juga menyimak serta membantu tugasmu. Lalu 

yang paling penting adalah mencari tahu 

dimana keberadaan Sri Sikaparwathi yang 

asli. Selain itu aku perlu memeriksa 

keadaan diriku. Hantaman cahaya tiga warna 

tadi tidak mustahil mendatangkan cidera 

dalam yang saat ini belum kelihatan..." 

"Kalau begitu kata Rakanda Arwah


Ketua aku menurut saja. Satu hal perlu aku 

beritahukan kalau Sedayu Galiwardhana, 

orang tua sakti yang bertapa di lereng 

Gunung Merbabu telah menemui ajal di 

tangan Sikaparwathi..." 

"Aku sudah tahu. Aku juga tahu kalau 

diriku telah digandakan. Syukur para Dewa 

telah melindungiku hingga ketika tubuh dan 

rohku yang digandakan meninggalkan tubuh 

dan roh asli, aku tidak sampai sengsara 

menderita sakit. Namun aku kawatir apakah 

Sri Sikaparwathi mampu bertahan. Sejak 

belasan tahun dia tidak pernah bertemu 

dengan Sedayu Galiwardhana, sahabatku itu 

selalu dirundung sakit-sakitan..." 

Ratu Dhika Gelang Gelang menatap 

sekali lagi kedalam cermin lalu bertanya. 

"Bagaimana Rakanda, apakah dandananku 

sudah rapi?" 

Arwah Ketua pencongkan mulut. "Yang 

jelas wajahmu lebih cantikdariku. 

Ha...ha...ha. Atau sekali-kali kau ingin 

bertukar wajah denganku?" Tidak menunggu 

jawaban orang Arwah Ketua usap wajahnya 

dengan tangan kiri lalu tangan yang sama 

diusapkan ke muka Ratu Dhika Gelang 

Gelang. Saat itu juga terjadilah keanehan. 

Kepala Arwah Ketua kini berada di atas 

tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang dan kepala 

Ratu Dhika Gelang Gelang kini berada 

diatas tubuh Arwah Ketua. 

Ratu Dhika langsung mengomel banting-

banting kaki. Arwah Ketua sambil tertawa 

mengekeh rubah kembali wajahnya dan wajah


Ratu Dhika Gelang Gelang seperti semula. 

"Rakadinda, tidak sepantasnya aku 

bercanda seperti ini. Aku pergi 

sekarang..." 

"Tunggu, sekarang aku yang tak mau 

kelupaan bertanya." Kata Ratu Dhika Gelang 

Gelang pula. 

"Kau mau bertanya apa?" 

"Waktu tikus pohon masuk ke balik 

pakaian Sri Sikaparwathi, tua bangka itu 

kulihat langsung pucat, lemas dan 

ketakutan. Dan kau mengatakan dia telah 

tertimpa barang pantangan hingga tidak 

punya kekuatan dan kesaktian lagi. Yang 

aku ingin tahu pantangan apa yang telah 

menimpa perempuan tua itu?" 

Arwah ketua tertawa lebar. 

"Kalau kau memang ingin tahu baik aku 

beri tahu. Ilmu kesaktian yang dimiliki 

Sri Sikaparwathi akan luntur bilamana ada 

mahluk hidup bersentuhan dengan bagian 

bawah perutnya..." 

"Bagian perut yang mana?" Ratu Dhika 

Gelang Gelang ingin lebih jelas. 

"Aku tidak akan menyebutkan. Kau 

pikir saja sendiri. Kau juga punya! 

Ha...ha..ha." 

Ratu Dhika Gelang Gelang ikut 

tertawa. 

"Kalau memang disitu letak kelemahan 

dan pantangan si nenek mengapa tidak kau 

saja yang menyentuh tempat terlarang itu! 

Kau juga mahluk hidup! Malah akan lebih 

cepat perempuan itu menemui ajalnya!


Begitu saja repot! Tapi eh...Jangan-jangan 

tadi kau yang merubah diri menjadi tikus 

pohon itu! 

Hik...hik...hik!" 

Tidak tahan diganggu perempuan gemuk 

berdandan medok itu Arwah Ketua berkata. 

"Aku pergi sekarang." Dia memutar tubuh 

tapi tak jadi. Masih ada satu hal yang 

terlupa..." 

"Ah, dari dulu kau selalu punya sifat 

begitu Rakanda." Kata Ratu Dhika Gelang 

Gelang sambil simpan cermin kecil. "Apa 

lagi yang hendak kau tanya atau kau 

sampaikan..." 

"Ini menyangkut hubungan pribadi 

mu..." "Aku sudah menduga. Maksud Rakanda 

hubunganku dengan pemuda ahli perawat 

ukiran candi itu bukan? Pemuda bernama 

Sebayang Kaligantha." 

"Benar sekali Rakadinda. Cari dan 

temui dia. Aku tahu dia memiliki sebuah 

jimat sakti. Jika yang memegang jimat 

orang baik maka jadilah benda itu benda 

baik bermanfaat untuk menolong sesama 

manusia. Tapi jika berada di tangan orang 

jahat, jangankan manusia Bhumi Mataram ini 

bisa dibinasakannya!" 

"Baik Rakanda Arwah Ketua. Aku akan 

mencari pemuda itu..." 

"Kau pasti bisa cepat menemukannya. 

Bukankah dia kekasihmu? Atau salah aku 

menyebut?" Habis berkata begitu Arwah 

Ketua tertawa gelak-gelak. Lalu dia 

memutar tubuhnya yang besar, siap hendak


tinggalkan tempat itu tapi lagi-lagi dia 

berbalik. 

"Pasti ada yang kau lupakan lagi!" 

ucap Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kau bisa-

bisa membuat kucingku Ragil Abang 

terkencing-kencing!" 

"Rakadinda, apa kau tahu kalau dua 

orang aneh yang aku beri tahu padamu tempo 

hari sudah muncul di Bhumi Mataram?" 

"Maksud Rakanda si Tambur Bopeng dan 

si Suling Burik?" 

Arwah Ketua anggukkan kepala. 

"Sudah Rakanda. Aku melihat sendiri. 

Mereka muncul sewaktu pertapa Sedayu 

Galiwardhana tewas di tangan Sri 

Sikaparwathi yang menggandakan diri 

menjadi Rakanda. Aku menyaksikan sendiri 

mereka membuat makam dan mengubur pertapa 

malang itu secara aneh. Suling dan tambur 

bisa membuat lobang besar di tanah. Ke 

dalam lobang itu mereka memasukkan jenazah 

pertapa Sedayu Galiwardhana." 

"Aku belum dapat meyakini, di pihak 

mana kedua orang aneh itu berada.Tapi jika 

melihat mereka mau bersusah payah 

menguburkan sang pertapa, agaknya mereka 

adalah orang baik-baik. Rakadinda, aku 

harus pergi sekarang." (Mengenai dua orang 

aneh ini bisa dibaca kembali dalam riwayat 

sebelumnya berjudul "Arwah Candi Miring") 

Tubuh raksasa Arwah Ketua kepulkan 

asap putih lalu amblas masuk ke dalam 

tanah dan lenyap tanpa bekas.


MENCARI SANG PENGENDALI

PADA saat mahluk ganda jejadian Sri 

Sikaparwathi dan kura-kura hijau Cahyo 

kumolo menemui ajal, rumah panggung yang 

terbuat dari bambu bergoyang keras 

berderak-derak. Atap dari ijuk terhempas 

terulang kali. Dari atas wuwungan bangunan 

ini keluar secarik cahaya tiga warna, 

melesat ke langit. Di dalam rumah bambu, 

atas tempat tidur sosok Sri Sikaparwathi 

asli bergoncang hebat dan mengepulkan asap 

hitam. Kura-kura hijau yang ada di 

sampingnya keluarkan suara menguik 

panjang. 

Di samping tempat tidur, masih 

bersila di lantai dalam keadaan bersamadi, 

tubuh Gede Kabayana tampak bergoncang 

lebih hebat dari goncangan yang dialami 

Sri Sikaparwathi. Hal ini karena dalam 

keadaan seperti itu orang tua ini masih 

sanggup kerahkan tenaga dalam dan hawa 

sakti untuk melndungi diri. Ternyata 

kekuatan yang datang dari luar jauh lebih 

tinggi dari kekuatan yang dimilikinya. 

Ketika pertahanannya jebol, orang tua ini 

jatuh terlentang di lantai rumah. Masih 

untung dia tidak menderita cidera apa-apa. 

Di atas tempat tidur tiba-tiba Sri 

Sikaparwathi tersentak bangun dari 

tidurnya, bergerak bangkit dan duduk. 

Wajahnya yang pucat tampak mulai berdarah. 

Sepasang mata cekung memandang


berkeliling. Kura-kura di atas tempat 

tidur ulurkan kepala. Sepasang matanya 

tampak merah bersinar. 

"Cahyo Kumolo, kau tidak apa-apa?" Si 

nenek usap punggung atas kura-kura hijau. 

Binatang ini menguik panjang lalu melesat 

ke atas dan bertengger di atas kepala Sri 

Sikaparwathi. 

"Ah, kau juga mendapat kekuatanmu 

kembali.Apa yang terjadi. Mengapa tubuhku 

bergoncang hebat. Rumah ini seperti mau 

roboh..." Memandang ke samping kanan dia 

melihat Gede Kabayana tergeletak di 

lantai. Dengan cepat si nenek turun dari 

tempat tidur. Dia memeriksa tubuh Gede 

Kabayana lalu memijatnya di beberapa 

tempat. Sesaat kemudian 

sahabat dari Klungkung ini siuman dan 

duduk di lantai. Seperti si nenek dia juga 

heran dan bertanya-tanya dalam hati apa 

yang telah terjadi. 

"Gede Kabayana, aku berterima kasih 

padamu. Pasti kau yang telah menolong 

diriku hingga bisa mengalami keadaan 

seperti ini. Aku merasa kekuatan diriku 

mulai pulih..." 

Gede Kabayana gelengkan kepala. 

"Tidak bukan aku yang menolongmu. Samadiku 

belum rampung. Tiba-tiba ada satu kekuatan 

menggoncang bangunan ini.Termasuk 

menggoncang diriku dan tubuhmu! Sesuatu 

telah terjadi. Bukan disini.Tapi akibatnya 

membawa kesembuhan pada dirimu. Juga pada 

kura-kura hijau di atas kepalamu. Ini


pasti kuasa tangan Para Dewa yang telah 

melakukan. Aku hanya bisa menduga. Mahluk 

ganda yang menyerupai dirimu dan kura-kura 

telah menemui kemusnahan..." 

"Kau tahu kira-kira siapa yang 

rhelakukan?" tanya Sri Sikaparwathi. 

"Sulit sekali menduga apa lagi 

memastikan. Cuma satu hal sangat aku 

kawatirkan. Gagal dengan diri dan binatang 

peliharaanmu, orang jahat yang memegang 

kendali ilmu kesaktian itu akan mengulangi 

perbuatannya. Melakukan lagi atas diri 

orang lain. Apa lagi jika maksud tujuannya 

belum kesampaian." 

"Kita harus mencari tahu siapa orang 

jahat itu, apa maksud tujuannya 

menggandakan diriku! Aku yakin mahluk 

diriku yang digandakan telah dikendalikan 

untuk melakukan kejahatan. Mungkin juga 

aku telah melakukan pembunuhan..."Tiba-

tiba Sri Sikaparwathi keluarkan suara 

tercekat. Mukanya yang tadi mulai berdarah 

kini mendadak pucat dan tangan pegang" 

dada. Bahunya bergoyang dan nenek ini 

mulai terisak-isak lalu menangis keras. 

"Ada apa Sika?" tanya Gede Kabayana 

sambil mendekat dan pegangi bahu si nenek. 

"Aku ingat mimpiku. Aku merasa yakin 

kalau diri gandaku telah membunuh Sedayu 

Galiwardhana..." 

Gede Kabayana jadi ternganga 

mendengar ucapan sahabatnya itu. Kuduknya 

merinding dingin. 

"Sika. Jika kau sudah sembuh betul


kita akan menyelidiki kejadian ini. 

Goncangan aneh membuat samadiku tidak 

khusuk. Aku sempat melihat ada cahaya tiga 

warna' keluar dari tubuhmu, melesat keluar 

rumah melalui atap tanpa atap mengalami 

kerusakan atau terbakar. Itu adalah tanda-

tanda ilmu hitam yang jahat luar biasa..." 

Sri Sikaparwathi usap air mata di 

pipinya yang cekung. 

Gede Kabayana, kita harus berterima 

kasih dan bersyukur pada Para Dewa. Walau 

menderita sakit sengsara selama dua hari 

namun Para Dewa masih melindungi dan 

menyelamatkan diriku. Mari kita sama-sama 

memanjatkan puji syukur serta berdoa bagi 

keselamatan masa datang..." 

Kedua orang itu lalu pejamkan mata, 

menyampaikan rasa terima kasih serta 

berdoa pada Para Dewa memohon keselamatan. 

Selesai berdoa Gede Kabayana berkata. 

"Sika, apakah kau tidak mencium bau 

sesuatu di dalam rumah ini?" 

Si nenek menatap wajah sahabatnya itu 

lalu menghirup udara dalam-dalam. Wajahnya 

berubah. 

"Aku mencium seperti ada bau busuk 

bangkai. Mungkin bau tubuhku." Si nenek 

lalu menciumi tubuh dan pakaiannya 

sendiri. 

"Bukan, ini bukan bau busuk yang bisa 

muncul dari dalam rumah.Tapi datang dari 

luar rumah." Kata Gede Kabayana pula. 

"Berarti ada seseorang atau mahluk 

yang masuk ke sini.Tapi kapan?"Tanya Sri


Sikaparwathi. 

"Mungkin sekali ketika kau tengah 

tertidur lelap dan aku sedang bersamadi." 

"Kurasa rumah ini sudah tidak aman 

lagi. Aku harus mencari tempat kediaman 

baru." Kata Sri Sikaparwathi. Dia mengusap 

punggung kura-kura hijau di atas kepala. 

Tak sengaja kemudian tangannya yang habis 

mengusap di letakkan di depan hidung. Si 

nenek terkejut. "Punggung Cahyo Kumolo! 

Bau busuk!" 

“Berarti ada satu mahluk busuk 

membawanya ke sini..." kata Gede Kabayana. 

"Cahyo Kumolo, berikan tanda padaku 

kalau memang ada satu mahluk busuk yang 

membawamu ke sini." 

Kura-kura di atas kepala keluarkan 

suara menguik memberi tanda sebagai 

jawaban! 

"Kau dengar sendiri," kata si nenek 

pada sahabatnya. 

"Siapa pun mahluk busuk itu aku rasa 

dia tidak punya niat jahat. Karena kalau 

dia membekal niat jahat kita berdua pasti 

sudah dihabisi." Ucap Gede Kabayana. 

"Cahyo Kumolo?!" Sikaparwathi 

bertanya lagi pada kura-kura sakti 

peliharaannya. Binatang itu untuk kedua 

kali menguik panjang. Membenarkan ucapan 

Gede Kabayana bahwa mahluk busuk yang 

membawanya kembali ke rumah tidak punya 

niat jahat. 

"Berarti ada tambahan tugas. Kita 

harus mencari tahu siapa mahluk busuk bau


bangkai itu." Kata Sri Sikaparwathi pula 

lalu melangkah ke pintu. 

Gede Kabayana berdiri. Sambil tegak 

disamping sahabatnya orang tua ini 

berkata. 

"Sika, selain datang untuk memberi 

tahu mengenai dimana beradanya Sedayu 

Galiwardhana, aku juga membawa satu cerita 

yang ingin aku tanyakan kebenarannya." 

"Cerita apa?" 

"Riwayat Sumur Api. Konon dikabarkan 

akan terlahir dua orang bayi yang kelak 

akan menjadi dua Kesatria sakti andalan 

Kerajaan Bhumi Mataram..." 

Sri Sikaparwathi palingkan wajah, 

menatap Gede Kabayana beberapa lama lalu 

berkata. 

"Sebelum kau menjelaskan aku tidak 

pernah tahu dimana beradanya Sedayu 

Galiwardhana, namun aku pernah menyirap 

kabar bahwa Sedayu memiliki sebuah benda 

yang ada sangkut pautnya dengan Sumur Api. 

Mungkinkah dia dibunuh oleh pengendali 

mahluk ganda diriku karena benda 

tersebut?" 

"Gading bersurat. Benda itukah yang 

kau maksudkan Sika?" 

Si nenek anggukan kepala. 

"Gede Kabayana, saat ini aku merasa 

sudah cukup kuat. Bagaimana kalau kita 

berdua melakukan penyelidikan mulai 

sekarang juga?" 

"Tidak perlu menunggu barang satu dua 

hari? Kulihat wajahmu masih agak pucat."


Sri Sikaparwathi tertawa. 

"Mudah-mudahan Para Dewa kelak akan 

memberikan kesembuhan sempurna padaku 

dalam perjalanan." 

Kedua orang bersahabat itu lalu 

tinggalkan rumah panggung di lereng 

lembah. 

HUKUM KUTUKAN ATAS SANG PANGERAN

MAJELIS Keadilan Kerajaan Tarum-

anagara yang terdiri dari sembilan tokoh 

penting dalam sidangnya di Kotaraja pada 

pagi hari yang mendung itu mengambil kepu-

tusan menjatuhkan hukuman terhadap 

Pangeran Nalapraya. Keputusan yang 

dituangkan di atas daun lontar bertuiiskan 

huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta 

dibacakan oleh Ketua Mejelis, Resi Siga 

Kalamanda. 

Dalam keputusan disebutkan bahwa 

Pangeran Nalapraya dijatuhi hukuman 

pancung di alun-alun Kerajaan karena 

terbukti telah melakukan pembunuhan atas 

diri Wiramenggala yang juga adalah ayah 

kandungnya sendiri dan merupakan Wakil 

Patih Kerajaan. Sebagai seorang Pangeran 

adalah tidak pantas dia melakukan 

perbuatan keji seperti itu. Kepada 

terhukum Majelis Keadilan memberikan 

kesempatan untuk menyampaikan pembelaan. 

Dalam pembelaan Pangeran Nalapraya 

mengatakan bahwa dia tidak mengakui telah



membunuh ayah kandungnya sendiri. Walau 

demikian dia menyatakan penyesalan 

terjadinya kematian sang ayah. Namun 

karena merasa tidak bersalah maka dia 

tidak meminta pengampunan. 

"Kenyataan memang ada korban yang 

menemui kematian yaitu Wiramenggala yang 

adalah ayah kandung saya sendiri. Namun 

saya mempunyai kesan, Majelis Keadilan 

terlalu memaksakan hukuman mati atas diri 

saya karena korban adalah Wakil Patih 

Kerajaan. Padahal saksi yaitu ibu saya 

sendiri telah menjelaskan bahwa korban 

bukan menemui ajal karena saya bunuh, 

melainkan karena kecelakaan. Selain itu 

Majelis Pengadilan tidak meninjau secara 

dalam alasan mengapa korban akhirnya 

menemui kematian. Sejakdua tahun terakhir 

ayah telah berlaku sangat kejam terhadap 

Ibu. Ucapan kotor adalah yang sering 

dilontarkan korban merupakan makanan 

sehari-hari bagi Ibu. Dari hanya sekedar 

ucapan kotor 

perlakuan korban meningkat menjadi 

tindak kekerasan berupa penamparan bahkan 

pemukulan. Hai ini terjadi hampir setiap 

hari. Majelis Keadilan dan semua orang 

yang ada di sini bisa melihat sendiri 

keadaan Ibu saya yang hadir di tempat 

ini." 

Lalu Pangeran Nalapraya menunjuk ke 

arah seorang perempuan yang duduk menangis 

terisak-isak di sebuah kursi. Wajahnya 

sembab bengkak dan ada beberapa luka yang


masih belum kering. 

"Pagi hari satu minggu yang lalu, 

korban bukan lagi hanya memukuli ibu tapi 

berniat hendak membunuh Ibu dengan sebilah 

keris, hanya karena Ibu terlambat 

menyiapkan sarapan pagi. Padahal Ibu saat 

itu sedang gering, menderita sakit demam 

panas. Saya berusaha mencegah namun korban 

dengan semena-mena menikam saya..." 

Pangeran Nalapraya lalu membuka 

lebar-lebar baju birunya di bagian dada. 

Pada bagian tubuh itu terlihat jelas luka 

bekas tusukan benda tajam sepanjang hampir 

setengah jengkal. 

"Ketika saya berlumuran darah dan 

jatuh terlentang, korban tanpa belas 

kasihan sama sekali mendatangi Ibu, 

membanting Ibu ke lantai. Selagi Ibu 

terkapar tidak berdaya korban bergerak 

hendak menusuk ke arah leher. Saya 

berusaha menyelamatkan Ibu dengan 

menendang korban hingga jatuh terguling. 

Pada saat terguling keris yang di pegang 

korban sendiri secara tak sengaja menusuk 

dada dan menghujam tepat di arah jantung. 

Korban akhirnya tewas. Jelas seperti yang 

disaksikan sendiri oleh Ibu peristiwa itu 

adalah kecelakaan. Namun Majelis Keadilan 

menyebutnya sebagai pembunuhan tanpa dapat 

mengajukan saksi yang membenarkan tuduhan 

tersebut. Karena yang terjadi adalah 

kecelakaan maka saya tidak akan mengajukan 

pembelaan, juga tidak akan meminta ampun. 

Saya di sini hanya menyatakan menyesal


telah terjadinya peristiwa yang sangat 

tidak diharapkan itu. Selanjutnya saya 

tidak mengharapkan tanggapan Majelis 

Keadilan atas apa yang saya sampaikan ini. 

Saya menyatakan siap menerima hukuman 

dipancung di alun-alun di depan Istana 

sekarang juga! Biarlah ketidak adilan 

disaksikan oleh. semua orang di Kerajaan 

ini. Dan tangan-tangan mereka yang 

berdarah semoga akan dibasuh oleh keadilan 

yang datang dari Para Dewa." 

Ibu pangeran Nalapraya langsung 

menjerit lalu tersandar di tempat duduk 

setengah sadar setengah pingsan. Suasana 

persidangan menjadi kacau. Orang banyak 

yang ada dalam ruangan sidang berteriak-

teriak gaduh. Mereka menghujat, mencaci 

maki Majelis Keadilan karena dianggap 

telah telah menjatuhkan hukuman semena-

mena. Mereka meminta agar Pangeran 

Nalapraya segera dibebaskan. 

Sementara gedung sidang menjadi kacau 

dan panas, di luar gedung hujan dengan 

lebatnya. Deru angin keras tiada henti. 

Sesekali kilat menyambar disusul gelegar 

suara guntur. Alam seolah ikut meratapi 

terjadinya ketidakadilan ini. 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba 

ruangan sidang diterangi oleh seberkas 

cahaya terang yang entah dari mana 

datangnya. Cahaya itu menyorot ke arah 

sembilan anggota Majelis Keadilan dan 

Ketua Majelis Siga Kalamanda. Lalu ada 

getaran aneh di lantai, dinding serta


langit-langit ruangan sidang. Sesaat 

kemudian terdengar gema suara yang membuat 

banyak orang jadi kecut merinding. 

"Selama ini manusia tidak pernah 

menerapkan keadilan dengan benar, maka 

selama itu pula tangan Para Dewa akan 

turun ke bumi. Hukuman pancung atas diri 

Pangeran Nalapraya tidak akan menghidupkan 

kembali Wakil Patih Kerajaan Wiramenggala. 

Malah hanya akan menambah jatuhnya satu 

korban lagi. Para Dewa di Swargaloka telah 

menetapkan bahwa Pangeran Nalapraya yang 

berusia delapan belas tahun hanya pantas 

dihukum dengan kutukan selama sepuluh 

tahun. Bilamana sebelum masa hukuman kutuk 

itu berakhir dia menemukan seorang anak 

perawan yang bersedia dinikahinya maka 

kutukan akan berakhir. Tiada tuntutan lagi 

yang boleh dijatuhkan atas dirinya." 

"Roh Agung!" Ada beberapa orang di 

dalam ruangan sidang berseru dengan suara 

tercekat. 

Begitu mendengar suara tanpa 

kelihatan ujud orang yang bicara, semua 

orang yang ada di ruang sidang tundukkan 

kepala. Para anggota Majelis Keadilan 

tampak ketakutan. Orang banyak berteriak 

dan menunjuk-nunjuk ke arah sepuluh orang 

itu. Apa yang terjadi. Sembilan mulut 

anggota Majelis Keadilan ditambah sang 

Ketua Siga Kalamanda saat itu tampak 

pencong ke kiri. Ketika mereka berusaha 

bicara yang keluar hanya suara cadel! 

Sepuluh orang ini langsung jatuhkan diri


ke lantai ruangan, tempelkan kening di 

lantai berulang kali dan keluarkan ucapan 

yang tidak jelas. Agaknya mereka tengah 

menyeru Para Dewa mohon pengampunan. Namun 

apa yang mereka mohon tidak terjadi malah 

orang banyak di ruangan itu terus memaki 

dan menyoraki mereka! 

Pangeran Nalapraya adalah satu-

satunya orang di ruang sidang yang masih 

tetap berdiri tegar. Setelah merunduk 

setengah berlutut pemuda gagah ini membuka 

mulut dengan suara lembut tapi jelas 

sehingga orang mendengar. 

"Mahlukyang bicara tanpa kelihatan 

ujud. Salam sejahtera untukmu. Tiada 

kekuasaan tertinggi selain kuasaNya Para 

Dewa. Saya percaya hukum kutuk yang tadi 

diucapkan datangnya dari Swargaloka. Saya 

ikhlas menerima. Karena itu saya mohon 

diberi tahu hukum kutuk apa yang akan 

dijatuhkan pada diri saya." 

"Pangeran Nalapraya, salam sejahtera 

berbalas bagi dirimu. Masuklah ke Hutan 

Raja. Saat ini baru saja memasuki musim 

penghujan. Kau akan melihat banyak sekali 

bunga-bunga mengembang. Carilah bunga 

bunga paling besar di dalam Hutan Raja dan 

menebar busuknya bau bangkai. Pegang 

kuncup hijaunya. Maka seperti itulah ujud 

hukuman akan jatuh atas dirimu. Kepalamu 

mulai dari leher ke atas akan lenyap dan 

berganti menjadi bunga besar berbau 

busuknya bangkai! Bilamana kutuk telah 

jatuh atas dirimu dan kau telah mengalami


perubahan, tinggalkan Kerajaan ini, 

pergilah ke arah timur hingga akhirnya kau 

menemukan sebuah Kerajaan bernama Bhumi 

Mataram. Menetaplah di sana sampai Para 

Dewa memberi petunjuk lebih lanjut atas 

dirimu. Perlu kau ketahui, bilamana Para 

Dewa menghendaki, sewaktu-waktu kau 

menjalani hukuman, ujud kepalamu bisa 

kembali untuk beberapa ketika." 

Tidak lagi memperdulikan Majelis 

Keadilan, Nalapraya menemui ibunya, 

memeluk dan mencium kening perempuan itu 

dan berkata "Ibu, maafkan anakmu. Jika 

Para Dewa menghendaki kita pasti akan 

bertemu." 

Sang ibu menjerit keras. Sebelum 

jatuh pingsan perempuan ini berteriak. 

"Roh Agung. Hyang Jagat Bathara Dewa! 

Siapapun yang hadir di tempat ini secara 

gaib. Puteraku Nalapraya tidak berdosa! 

Aku mohon biar diriku yang menerima hukum 

kutukan! Jangan hukum kutukan dijatuhkan 

atas dirinya!" 

Untuk kedua kalinya perempuan ini 

rubuh dan kali ini dia benar-benar 

pingsan. Dengan menguatkan hati Pangeran 

Nalapraya tinggalkan ruangan sidang. 

Setengah berlari dia pergi memasuki Hutan 

Raja yang terletak di pinggir selatan 

Kotaraja. Beberapa orang mengikuti. 

Kebanyakan dari mereka adalah para sahabat 

dan tetangga si pemuda. Ketika sampai di 

dalam Hutan Raja orang-orang itu tidak 

berhasil menemui sang Pangeran. Selain itu


sebuah bunga besar yang disebut Bunga 

Bangkai dan selama ini terlihat tumbuh di 

dalam Hutan Raja dekat sebuah kolam, kini 

tidak kelihatan lagi. Lenyap tidak 

diketahui kemana perginya. 

Seekor burung gagak hitam berdiri di 

atas sebuah batu besar tak jauh dari 

tempat beradanya Bunga Bangkai. Burung ini 

tiada henti mematuki batu keras itu hingga 

akhirnya berlubang. Dari lubang itu 

mengucur keluar air sangat bening. Seolah 

air mata yang meratapi nasib peruntungan 

malang pemuda bernama Nalapraya. 

Sejak hari itu pula Pangeran 

Nalapraya tidak pernah terlihat lagi 

diTarumanegara. 

PERNIKAHAN GAIB

SATU purnama setelah peristiwa 

jatuhnya hukum kutukan atas dirinya, 

Nalapraya sampai di sebuah desa bernama 

Tegal rejo. Karena tidak tahu mau pergi 

kemana atau menemui siapa akhirnya pemuda 

ini mencari satu tempat yang baik untuk 

beristirahat. Nalapraya menemukan sebuah 

goa begitu sunyi, juga agaknya jarang 

orang mendatangi tempat itu. Ditambah pula 

keadaan goa yang bersih dan sejuk serta 

tak jauh dari situ ada satu rimba 

belantara yang ditumbuhi banyak pohon 

bebuahan lalu terdapat pula sebuah telaga 

kecil maka pemuda ini memutuskan untuk


menjadikan goa tersebut sebagai tempat 

kediaman sementara hingga dia menemukan 

tempat yang lebih baik. 

Beberapa hari berada di goa ternyata 

Nalapraya merasa kerasan hingga akhirnya 

dia menjadikan goa itu sebagai tempat 

kediaman selamanya sekaligus menjadi 

tempat pertapaan sampai petunjukdari Yang 

Maha Kuasa datang. 

Memasuki tahun kedua.pertapaannya di 

goa Tegalrejo itu, Nalapraya yang 

kepalanya masih berujud Bunga Bangkai, 

pada suatu malam ketika dia tengah khusuk 

bersemedi tiba-tiba ada seberkas cahaya 

putih berbentuk bola masuk ke dalam goa 

dan turun di atas pangkuannya. 

Walau hati bergejolak namun Nalapraya 

berusaha bertahan agar tapa samadinya 

tidak terhenti. Pada saat itu dia 

mendengar suara mengiang di telinganya 

kiri kanan. 

"Anak perjaka pilihan Para Dewa. 

Sudahi tapa samadimu sekarang juga. Buka 

dua matamu dan lihat apa yang ada di 

pangkuanmu." 

Nalapraya coba untuktidak mengambil 

perhatian dan tidak mengikuti perintah 

suara gaib itu. Namun serta merta sekujur 

tubuhnya menjadi panas. Kuncup hijau di 

kepalanya mengepulkan asap, bunga kuning 

berbintik coklat di atas bahu menciut 

mengeriput. Getaran keras menyelimuti 

sekujur tubuh. Tidak mampu bertahan 

akhirnya si pemuda membuka ke dua matanya.



"Nalapraya, katakan apa yang kau 

lihat berada di pangkuanmu?" Suara 

mengiang bertanya. 

"Siapa yang bertanya?" Nalapraya 

balik bertanya. 

"Tidak perlu balik bertanya. Jawab 

saja apa yang ditanya." 

Si pemuda menatap ke arah pangkuannya 

lalu berkata. "Saya melihat cahaya 

berbentuk bulat seperti bola." 

"Sekarang dengar baik-baik. Cahaya 

itu akan menuntunmu ke suatu tempat yang 

sangat rahasia. Di tempat ini kau akan 

dipertemukan dengan seorang anak perawan 

berhati mulia. Di tempat ini kau akan 

dinikahkan dengan anak perawan itu. Kau 

boleh mengunjunginya sebanyak tujuh kali 

berturut-turut dan melakukan sebagai suami 

istri. Pada setiap pertemuan Para Dewa 

menurunkan berkah padamu hingga ujud 

kepalamu kembali ke bentuk asal. Setelah 

tujuh kali maka kau tidak akan bertemu 

lagi dengan anak perawan itu, kecuali Para 

Dewa menghendaki lain. Dari hasil hubungan 

kalian kelak istrimu akan melahirkan dua 

orang bayi laki-laki. Keduanya akan 

menjadi Kesatria sakti mandraguna andalan 

Kerajaan Bhumi Mataram. Sekarang 

bersiaplah untuk berangkat." 

Nalapraya tidak segera bangkit 

berdiri tapi keluarkan ucapan. 

"Suara gaib, siapapun kau adanya 

apakah saya boleh mengajukan pertanyaan?" 

"Lakukan cepat. Waktumu tidak banyak"


"Saya ingin tahu dimana letak tempat 

sangat rahasia itu. Apakah tempat itu 

memiliki nama?" 

"Sayang sekali, Para Dewa tidak akan 

memberi tahu nama atau letak tempat yang 

kau tanyakan itu." 

Nalapraya terdiam sesaat lalu kembali 

bertanya. 

"Siapakah nama anak perawan yang akan 

dinikahkan Dewa dengan saya itu?" 

"Hal itupun tidak diperkenankan Para 

Dewa untuk kau ketahui." Suara mengiang 

berikan jawaban. 

"Jika ini benar-benar datang atas 

kemauan Para Dewa, maka saya merasa 

diperlakukan tidak adil. Saya memilih 

meneruskan bertapa di goa ini. Saya harap 

siapapun adanya jangan mengganggu diriku 

lagi." 

"Anak perjaka bernama Nalapraya. 

Sadar atau tidak kau telah terikat pada 

perjanjian dengan Para Dewa. Kau akan 

mendapatkan kesembuhan dari hukum kutukan 

bilamana mengikuti apa yang telah 

ditetapkan Para Dewa." 

"Kalau begitu saya lebih memilih mati 

di tempat ini dari pada mengikuti satu 

kemauan yang dipaksakan dan sangat tidak 

adil. Silahkan Para Dewa mencabut nyawa 

saya saat ini juga!" Lalu Nalapraya duduk 

bersila, pejamkan mata, dua tangan 

dirangkap di atas dada. 

"Anak muda, mengapa bersikap bodoh. 

Ketidak adilan yang kau katakan itu justru


mendatangkan rakhmat di masa datang. 

Bukankah kau berjanji pada Ibumu akan 

menemui perempuan itu. Bagaimana mungkin 

kau akan datang padanya dengan ujud 

kutukan seperti keadaanmu saat ini?" 

"Hukum kutukan ini telah saya terima 

dengan pasrah. Mengapa masih ada tindakan 

yang saya rasakan sangat tidak adil dan 

ingin terus menerus memperalat saya?" 

"Nalapraya, justru di dalam ketidak 

adilan itu kau kelak akan mendapatkan 

keadilan. Bilamana kau tetap menginginkan 

kematian maka kelak Bhumi Mataram akan 

dilanda kekacauan besar tanpa ada yang 

bisa mengendalikan dan memperbaiki." 

"Saya orang Tarumanagara. Saya tidak 

mempunyai kewajiban apa-apa terhadap Bhumi 

Mataram." 

"Kau keliru anak muda. Tarumanagara 

dan Bhumi Mataram hanyalah sebagian kecil 

dari jagat ciptaan Yang Maha Kuasa. 

Dimanapun kau berada kau sebenarnya berada 

di alam yang sama. Jadi kau 

memiliki rasa tanggung jawab serta 

bakti yang sama pula. Kita semua adalah 

insan yang diciptakan untuk semua dan 

semua untuk kita." 

Lama Nalapraya dudukterdiam. 

Perlahan-lahan dia amudian berdiri. Bola 

bercahaya di pangkuannya bergerak naik, 

melayang ke arah mulut goa. Tanpa berkata 

apa-apa lagi Nalapraya melangkah mengikuti 

cahaya bundar itu. Dia tidak menyadari 

kalau saat itu dia bukan melangkah biasa


tapi melesat cepat laksana hembusan angin! 

MALAM itu di tempat kediamannya di 

dasar Sumur Api, yang terletak antara 

Prambanan dan Kali Dengkeng, selagi berada 

di atas pembaringan antara tertidur dan 

jaga Ananthawuri tiba-tiba mencium bau 

sangat busuk. Kepalanya langsung pusing 

dan perut mual. Anak perawan dari Desa 

Sorogedug ini berusaha agar tidak muntah. 

Nafasnya mulai terasa lega ketika bau 

busuk lenyap dan kini berganti dengan bau 

wangi harum semerbak. Saat itu dia 

dapatkan diri terbaring bukan di dalam 

kamar, namun di alam terbuka. Dari arah 

langit kelihatan ada satu cahaya putih, 

mendatangi ke arahnya lalu menyelubungi 

sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai 

ke ujung kaki. Saat itu juga Ananthawuri 

merasakan ada kehangatan dalam tubuhnya. 

Lalu ada hembusan nafas di permukaan 

wajahnya. Si gadis membuka mata lebih 

besar. Sesaat kemudian dia baru menyadari 

kalau ada satu sosok tubuh di dalam cahaya 

putih. Sosoktubuh ini adalah sosok seorang 

pemuda berwajah gagah, mengenakan pakaian 

serba biru. 

"Anak perawan, siapakah namamu?" 

Pemuda gagah bertanya. 

Ananthawuri membuka mulut hendak 

menjawab. Namun tiada suara yang mampu 

diucapkannya. Dia hanya bisa mengedipkan 

mata dan tersenyum. 

"Anak perawan, apakah kau sudah 

mengetahui kalau Para Dewa akan menikahkan..


kita?" 

Kembali si pemuda berbaju biru yang 

bukan lain adalah Nalapraya berkata dan 

lagi-lagi Ananthawuri tak kuasa menjawab. 

Nalapraya muncul dan dengan kuasa Para 

Dewa, muncul dengan kepala utuh 

sebagaimana aslinya. 

Tiba-tiba ada suara gaib berkata. 

"Nalapraya, Para Dewa bukan akan, tapi 

baru saja teiah menikahkan kalian secara 

gaib. Anak perawan itu sekarang syah 

menjadi istrimu. Perlakukan dia sebagai 

seorang istri sebagaimana mestinya." 

Si pemuda memandang ke langit. Apa 

yang dikatakan suara gaib sewaktu di goa 

Tegalrejo kini agaknya akan menjadi 

kenyataan. Namun dalam diri anak muda 

berperilaku baik ini muncul perasaan 

bimbang. 

"Apakah saya tidak menyalahi aturan 

adat dan agama jika saya menggauli anak 

perawan ini?" 

"Para Dewa telah mengatur semuanya. 

Jangan ada perasaan bimbang apa lagi ragu 

!” Terdengar jawab suara gaib. "Ini adalah 

berkat Para Dewa paling besar untuk dirimu 

dan calon istrimu. Kalian berdua telah 

menjadi insan-insan terpilih." 

Nalapraya menatap wajah cantik 

Ananthawuri beberapa ketika lalu bertanya. 

"Anak perawan, apakah kau bersedia 

dan ikhlas dinikahkan Para Dewa dengan 

diriku?" 

Jawaban tak terdengar meluncur dari


mulut Ananthawuri. 

"Mulutmu bergerak tapi suaramu sejak 

tadi tidak terdengar," kata Nalapraya 

pula. "Berikan tanda jika kau suka menikah 

denganku. Jika kau ikhlas mau menjadi 

istriku." 

Ananthawuri tersenyum. Kedipkan mata 

lalu anggukkan kepala. Ketika si pemuda 

memeluk tubuhnya dia balas merangkul. Dia 

telah lama menunggu hal ini terjadi. Sejak 

mahluk Roh Agung memberi tahu. Malam itu 

terjadilah hubungan suami 

istri antara kedua insan tersebut. 

Ternyata atas kehendak Para Dewa Nalapraya 

tidak cuma datang malam itu. Dia muncul 

tujuh malam berturut-turut. 

Pada malam ke tujuh Nalapraya berkata 

pada Ananthawuri. 

"Kekasihku istriku. Atas kehendak 

Para Dewa malam ini adalah malam terakhir 

aku mengunjungimu. Setelah itu semua 

kembali berpulang pada Yang Maha Kuasa. 

Mungkin kita akan bertemu lagi, mungkin 

juga tidak untuk selama-lamanya. Jika 

kelak dari hubungan kita selama tujuh 

malam kau mengandung dan melahirkan dua 

anak lelaki, pelihara mereka baik-baik. 

Berikan nama Mimba Purana pada anak kita 

yang bungsu dan Dirga Purana pada putera 

kita yang sulung. Berdoalah setiap malam 

tiba agar sewaktu-waktu kita bisa 

berkumpul kembali. Satu hal perlu aku beri 

tahu. Walau kita telah berhubungan dan 

kelak kau akan melahirkan, namun menurut


suara gaib yang sering kudengar, kau akan 

tetap merupakan seorang gadis, seorang 

anak perawan. Karena Para Dewa telah 

memilih dirimu dan menyayangi dirimu." 

Mendengar kata-kata Nalapraya, 

Ananthawuri kucurkan air mata. Mulutnya 

bergerak. Banyak kata-kata yang 

diucapkan.Tetapi seperti yang sudah-sudah 

suaranya tidak pernah keluar dan 

terdengar. Nalapraya memeluk Ananthawuri 

erat-erat, mencium pipi dan keningnya 

berulang kali. Si gadis kemudian keluarkan 

sehelai sapu tangan warna merah muda. 

"Brettt!" 

Ananthawuri robek sapu tangan itu 

tepat di bagian tengah. Potongan pertama 

diserahkan pada Nalapraya, potongan kedua 

disimpan di balik pakaian hijau yang 

dikenakannya. 

"Kekasihku, istriku tercinta. Aku 

mengerti...aku mengerti apa maksudmu." 

Nalapraya mengambil robekan sapu tangan, 

menciumnya berulang kali, menyimpan di 

balik pakaian lalu dia kembali memeluk 

Ananthawuri. Cukup lama kedua insan itu 

saling berangkulan dengan saling 

mengucurkan air mata sampai akhirnya 

Ananthawuri menyadari bahwa saat itu sosok 

sang suami tidak ada lagi dalam 

pelukannya. 

SEPERTI yang diriwayatkan dalam kisah 

sebelumnya dalam judul "Perawan Sumur Api" 

apa yang telah terjadi dengan dirinya 

diceritakan Ananthawuri pada Sukantili



sang ibunda yang juga diam di dasar Sumur 

Api. Hanya saja kepada sang ibu anak 

perawan ini mengatakan bahwa dia tidak 

mengalami secara sungguhan, tapi mengalami 

dalam mimpi. Dan semua apa yang terjadi 

tidak dituturkan secara lengkap. Karena 

bagaimanapun juga si gadis merasa malu. 

Hari ke delapan sang pemuda memang 

tidak datang lagi. Demikian juga hari-hari 

berikutnya. Ananthawuri menunggu dengan 

penuh sabar dan penuh harapan. Hingga pada 

suatu hari akhirnya anak perawan itu 

menemui ibunya, memberi tahu bahwa dia 

telah terlambat haid. 

"Saya merasa ada kelainan pada tubuh 

saya." "Kelainan bagaimana anakku?" tanya 

sang Ibu. "Dada saya bu Tadi pagi saya 

memperhatikan dan meraba. Dada saya 

membesar dan lebih kencang dari biasanya. 

Pinggul saya terasa melebar. Ibu, jangan-

jangan saya..." 

Sukantili memeluk anaknya. Seminggu 

kemudian Sukantili melihat ada kelainan 

pada perut anaknya. Sang Ibu tidak bisa 

menduga lain. Anak perawannya memang 

benar-benar telah mengandung. 

"Anakku, kalau bukan kehendak dan 

kuasa Yang Maha Kuasa, bagaimana mungkin 

hal ini bisa terjadi." Sukantili lalu 

memeluk anak gadisnya. Saat itu tiba-tiba 

berhembus tiupan angin disertai suara 

berdesir seolah-olah ada seorang berjubah 

panjang melintas di samping ibu dan anak 

itu. Lalu terdengar suara tanpa ujud.


Dua insan yang tengah bersatu hati 

Di dunia ini tidak ada yang abadi 

Namun kehendak Yang Maha Kuasa adalah 

pasti 

Ananthawuri, takdir Yang Maha Kuasa 

telah terjadi 

Kau hamil tapi dirimu tetap suci 

Setelah sembilan bulan sepuluh hari 

Kau akan melahirkan 

Namun kau tetap sebagai seorang 

perawan 

Karena keturunanmu sudah ditetapkan 

Menjadi Kesatria Bhumi Mataram 

SEBAYANG KALIGANTHA

TELAH lebih dua hari Ratu Dhika 

Gelang Gelang mendatangi hampir seluruh 

candi di dalam dan di luar batas Kerajaan 

Bhumi Mataram. Namun orang yang dicari 

yaitu pemuda kekasihnya yang bernama Se-

bayang Kaligantha tidak kunjung ditemukan. 

Dengan perasaan kawatir Ratu Dhika 

mendatangi rumah kediaman si pemuda di 

sebuah desa kecil di kaki persimpangan 

Kali Elo dan Kali Progo. Ternyata rumah si 

pemuda kosong. 

"Pus Meong Ragil Abang," kata 

perempuan gemuk berkulit hitam itu pada 

kucing merah peliharaannya. "Aku tidak 

tahu lagi kita mau mencari ke mana. Namun 

aku kawatir telah terjadi sesuatu dengan 

Sebayang Kaligantha. Sekarang aku perlu


bantuanmu. Pergunakan kemampuan 

penciumanmu. Coba kau lacak dimana 

keberadaan pemuda itu." 

Ratu Dhika lalu masuk kembali ke 

dalam rumah. Turunkan kucing besar merah. 

Binatang ini mengelilingi bagian dalam 

rumah sambil mengendus tiada henti. Lalu 

keluar dan melanjutkan mencium jejak-jejak 

di tanah yang telah mulai pupus.Tak lama 

kemudian didahului suara mengeong panjang 

Ragil Abang melompat ke kiri dan 

selanjutnya lari ke arah timur. 

Mengikuti sekitar sepeminuman teh 

ternyata kucing merah lari ke arah hutan 

jati yang sudah gersang, terus ke satu 

bukit kapur yang jarang didatangi manusia. 

Di atas bukit kapur ini ada satu runtuhan 

candi. Ragil Abang mengeong keras di depan 

tangga candi yang sudah hancur. 

"Oala...Pertanda buruk! Pertanda 

buruk!" kata Ratu Dhika Gelang Gelang. 

Lalu sekali melesat perempuan gemuk ini 

melesat melewati tembok candi. Sampai di 

bagian dalam candi, Ratu Dhika Gelang 

Gelang memekik keras. 

Di atas satu gundukan batu rata 

terbujur tertelentang sosok seorang 

pemuda. Dua mata terpejam. Tubuh yang 

sebelumnya kekar berotot tampak lunglai 

tiada daya. Jangankan bergerak, bemafaspun 

agaknya dilakukan dengan susah payah. Pipi 

dan rongga matanya cekung membiru. Karena 

hanya mengenakan celana maka di dadanya 

yang telanjang terlihat jelas satu robekan


luka yang masih menganga sepanjang satu 

jengkal. Dua kaki dan dua tangan 

terpentang diikat dengan rantai besi 

sebesar betis. Ujung rantai besi dipendam 

ke dalam gundukan batu. 

"Sebayang! Jahanam mana yang 

menyiksamu seperti ini! Akan kubunuh! Akan 

kuhabisi!" Teriak Ratu Dhika Gelang 

Gelang.Tangan kanan diangkat ke 

atas.Tangan itu serta merta pancarkan 

cahaya merah. Begitu dihantamkan empat 

kali berturut-turut, empat rantai besi 

yang mengikat dua tangan dan dua kaki si 

pemuda tak ampun lagi hancur berkeping-

keping. 

Ratu Dhika Gelang Gelang cepat 

turunkan sosok pemuda dari atas gundukan 

batu rata, dibaringkan di lantai candi, 

kepala dipangku. Sebelum kembali 

mengajukan pertanyaan perempuan ini cepat 

kerahkan hawa sakti dan tenaga dalam, 

dimasukkan ke dalam tubuh si pemuda 

melalui ubun-ubun dan pusar. Dada yang 

luka diusap dengan telapaktangan kiri. 

Sepasang mata si pemuda terbuka sedikit. 

Begitu terbuka dia langsung menjerit. 

Wajahnya yang tidak berdarah menunjukkan 

rasa takut amat sangat. Ratu 

Dhika tepuk-tepuk wajah pemuda itu. 

"Sebayang, tenang! Tidak ada yang 

perlu kau takutkan. Lihat ini aku. Ratu 

Dhika Gelang Gelang, kekasihmu!" 

Dua mata membuka lebih lebar. Si 

pemuda mengenali. Mulutnya berucap lirih.



"Ratu, syukur kau datang. Satu hari 

saja terlambat pasti aku sudah jadi 

mayat..." 

"Katakan apa yang terjadi dengan 

dirimu. Ada koyakan luka di dadamu. 

Seseorang telah mencuri sesuatu dari dalam 

tubuhmu!" 

"Kau betul Ratu. Lima hari lalu ada 

tiga orang muncul di rumahku. Yang dua 

hanya sebagai pengiring. Yang satu orang 

pelakunya. Aku di bawa ke tempat ini. 

Dadaku dirobek. Orang itu mengambil jimat 

Mutiara Mahakam dari dalam rongga dadaku." 

"Kurang ajar! Kau tahu, kau mengenali 

siapa manusianya?!" tanya Ratu Dhika 

Gelang Gelang. 

"Aku mengenali. Tapi agaknya dia 

bukan tokoh yang menjadi otak perbuatan 

keji itu. Dia hanya seorang yang disuruh 

diperalat..." 

"Tidak perduli siapa dia. Yang 

penting lekas kau katakan siapa nama orang 

itu!" 

"Dia orang dari selatan, 

Namanya....." 

"Bett....bettt!" 

Belum sempat Sebayang Kaligantha 

menyelesaikan ucapan memberi tahu nama si 

penjebol dadal pencuri jimat Mutiara 

Mahakam, tiba-tiba dua buah I benda hitam 

melesat di udara. Benda pertama cepat I 

dihantam Ratu Dhika Gelang Gelang dengan 

pukulan tangan kosong tangan kiri hingga 

mental dani menancap di dinding lapuk


candi. Benda kedua tak mampu disingkirkan. 

Benda ini dengan telaki menancap tembus ke 

dalam tenggorokan Sebayang Kaligantha. 

Darah muncrat. Dari mulut si pemuda keluar 

suara menggorok pendek lalu kepalanya 

terkulai. Mata nyalang tak berkesip. 

Tubuhnya mulai dari leher sampai kepala 

serta dari leher sampai separuh dada 

tampak membiru pertanda ada racun jahat 

yang mengidap. 

"Ragil Abang! Kejar pembunuh jahanam 

itu!" teriak Ratu Dhika Gelang Gelang pada 

kucing merah. Dia memeriksa keadaan 

Sebayang Kaligantha sebentar. Setelah 

memastikan bahwa pemuda itu tidak bernyawa 

lagi, perempuan ini menggerung keras. 

Puas menangis mayat yang masih hangat 

itu dibaringkan di lantai candi. Sepasang 

mata yang terbuka disapu dengan tangan 

agar tertutup. Setelah lebih dulu menotok 

leher Sebayang Kaligantha, Ratu Dhika 

mencabut benda yang menancap di 

tenggorokan kekasihnya. Ternyata sebuah 

besi pipih bulat yang pinggirannya 

bergerigi dan berwarna biru karena 

dilapisi racun jahat. Ratu Dhika Gelang 

Gelang masukkan senjata rahasia itu ke 

balik pakaiannya lalu melompat ke arah 

melesatnya kucing merah. Setelah mengejar 

cukup lama dia tidak mampu menyusul atau 

menemui si kucing merah. Ratu Dhika Gelang 

Gelang hentikan pengejaran. Dua tangan 

diangkat ke atas lalu digoyang-goyang 

hingga dua gelang yang digelantungi


kerincingan mengeluarkan suara keras. 

Dengan berbuat begitu perempuan ini 

berharap kucingnya akan mendengar dan 

datang ke arahnya. Namun sampai dua tangan 

terasa letih binatang itu tidak kunjung 

muncul. 

"Sesuatu telah terjadi dengan Ragil 

Abang! Jangan-jangan dia sudah menemui 

ajal pula. Dibunuh manusia jahat pembunuh 

Sebayang Kaligantha!" 

DI LANGIT sang surya mulai 

menggelincir ke ufuk tenggelamnya di 

sebelah barat. Ratu Dhika Gelang Gelang 

cemas sekali dan juga jengkel. Sampai saat 

itu dia belum mendapatkan jejak si kucing 

merah. Apa lagi jejak pembunuh Sebayang 

Kaligantha. Apa saja yang menghalangi 

jalannya seperti batu, semak belukar 

bahkan pohon habis dilabraknya dengan 

tendangan hingga mencelat hancur. 

Tiba-tiba perempuan yang sebenarnya 

adalah puteri ke tiga dari Sri Maharaja 

Rakai Pikatan Dyah Saladu yang pernah 

memerintah Kerajaan Bhumi Mataram, 

hentikan langkah. Kepala diputar, 

memandang berkeliling. Dia tidak melihat 

sesuatu tapi dia bisa mencium. 

"Bau busuk. Busuk bangkai. Apa ada 

mayat binatang atau manusia sekitar sini?" 

Ratu Dhika berucap seorang diri. Dia 

menghirup udara dalam-dalam. Hampir muntah 

taktahan oleh bau busuk yang menyengat 

memasuki jalan pernafasan sampai di rongga 

dadanya. Namun dengan cara begitu dia


berhasil mengetahui dimana beradanya 

sumber bau busuk. 

Begitu dia melompat ke balik 

serumpunan semak belukar, perempuan ini 

berteriak girang. 

"Pus Meong Ragil Abang!"Ternyata 

kucing merah itu masih hidup. Namun 

bersamaan dengan itu Ratu Dhika Gelang 

Gelang tersurut mundur sampai tiga 

langkah. 

PEMBUNUH DARI SELATAN

DI DEPAN semak belukar lebat, ber 

sandar ke sebuah batu hitam besar duduk 

men-jelepok di tanah satu mahluk yang 

seumur hidup baru kali itu dilihat Ratu 

Dhika Gelang Gelang. Jika manusia mana 

kepalanya. Kalau hantu mengapa tubuhnya 

utuh seperti seorang manusia? Dan Ragil 

Abang si kucing merah duduk jinak di 

pangkuan mahluk aneh itu tengah diusap-

usap kepalanya! 

Orang yang dudukdi tanah bersandar ke 

batu itu mengenakan baju dan celana biru. 

Bahu baju sebelah kiri dalam keadaan 

robek.Tubuhnya mulai dari leher ke atas 

tidak memiliki kepala. Sebagai pengganti 

kepala ada sekuntum bunga luar biasa 

besar, berwarna kuning berbintikcoklat. 

Bunga ini dilapisi lendir. Pada bagian 

tengah bunga mencuat kuncup berwarna hijau 

setinggi tiga jengkal. Bunga aneh ini


menebar bau busuknya bangkai yang membuat 

Ratu Dhika Gelang Gelang 

hampirtidaksanggup menahan muntah. 

"Bunga Bangkai...." Ucap Ratu Dhika 

Gelang Gelang. Lalu perempuan ini 

berteriak. "Ragil Abang! Apa yang kau 

perbuat di situ! Lekas kesini!" 

Kucing merah di atas pangkuan mahluk 

aneh lalu melompat dan lari ke arah Ratu 

Dhika Gelang Gelang, langsung naik ke atas 

bahunya. 

"Pemilik kucing merah telah datang. 

Aku gembira. Salam sejahtera untukmu..." 

Ratu Dhika Gelang Gelang terbelalak. 

Mahluk yang punya kepala berbentuk Bunga 

Bangkai itu ternyata bisa bicara! 

"Mahluk aneh! Kau ini hantu atau 

manusia?!" Membentak Ratu Dhika Gelang 

Gelang. 

"Aku adalah sebagaimana kau melihat 

diriku saat ini," jawab mahluk yang 

ditanya yaitu Nalapraya alias Pangeran 

Bunga Bangkai. 

"Kau apakan kucingku?!" 

"Tidak aku apa-apakan. Dia kucing 

baik. Aku tadi hanya mengelus-elusnya. 

Ternyata kucingmu itu punya kepandaian 

tinggi. Tadi dia tengah mengejar 

seseorang. 

"Seseorang siapa?!" Tanya Ratu Dhika 

Gelang Gelang. "Mana orangnya?!" 

"Aku tidak tahu siapa orang itu.Tapi 

saat ini dia adi atas sana. Sudah-jadi 

mayat!" Pangeran Bcnga Bangkai menunjuk ke


atas pchon besar di belakang fatu Dhika 

Gelang Gelang. Ketika perempuan ini 

erputar dan mendongak ke atas, dia melihat 

seorang tua bsrkumis dan berjanggut putih, 

berpakaian serba hitam, tergelimpang 

melintang di atas cabang pohon. Ratu Dhika 

berpikir-pikir kalau kucingnya yang 

membunuh orang itu mengapa korban berada 

di atas cabang pohon? Lalu mengapa tidak 

ada tanda-tanda luka bekas cakaran atau 

gigitan. Pertanyaan selanjutnya, apakah 

orang itu yang telah membunuh Sebayang 

Kaligantha? 

Dari dalam saku pakaiannya mahluk 

tanpa kepala berpakaian serba biru 

keluarkan sebuah benda. Kejut Ratu Dhika 

Gelang Gelang bukan kepalang ketika dia 

melihat benda apa yang ada di tangan 

mahluk aneh bau bangkai itu. Benda 

tersebut adalah benda pipih bulat 

bergerigi dan berwarna biru seperti yang 

dipergunakan orang untuk membunuh Sebayang 

Kaligantha. Untuk memastikan dia tidak 

keliru Ratu Dhika Gelang Gelang keluarkan 

benda yang disimpannya di balik pakaian, 

yang sebelumnya membunuh dan menancap di 

leher kekasihnya. Sama! 

"Jahanam keparat! Jadi kau 

pembunuhnya!" teriak Ratu Dhika Gelang 

Gelang. Wuttt! Dia lemparkan besi pipih 

bulat bergerigi dan mengandung racun itu 

ke arah mahluk berkepala Bunga Bangkai. 

"Hyang Bathara Jagat! Tidak ada 

permusuhan mengapa kau menyerang dengan


benda beracun! Siapa yang aku bunuh?!" 

Nalapraya berseru sambil cepat melompat ke 

samping. 

"Kau membunuh Sebayang Kaligantha!" 

"Siapa itu Sebayang Kaligantha? Aku 

tidak kenal!" teriak Nalapraya. 

Saat itu besi bulat bergerigi yang 

dilemparkan ke arahnya walau bisa 

dielakkan namun masih sempat menyambar 

pucuk hijau yang menjadi kepalanya hingga 

tergores dan mengepulkan asap, membuat bau 

bangkai busuk semakin menjadi-jadi. 

"Bagus! Mahluk iblis! Kau punya ilmu 

juga rupanya! Keluarkan semua ilmu 

kepandaianmu! Kalau kau tidak mampus dalam 

tiga jurus lebih baik aku bunuh diri!" 

Tangan kanan Ratu Dhika Gelang Gelang 

berkelebat ke depan. Bukan untuk 

melepaskan pukulan sakti tapi tangan itu 

justru berubah panjang. Lima jari yang 

kini membentuk cakar besi lancip melesat 

ke dada Nalapraya. Siap untuk menjebol 

dada dan menghancurkan jantung! Inilah 

serangan bernama Cakar Besi Penghancur 

Berhala! 

"Hai! Apa salahku kau menyerang 

seganas mi?!" Kembali Pengeran Bunga 

Bangkai berteriak sambil melompat mundur. 

Breettt!Tak urung dua ujung jari lancip 

yang sudah berubah menyerupai besi hitam 

legam masih sempat merobek dada pakaian 

birunya. 

Melihat serangannya lagi-lagi tidak 

mampu mengenai sasaran Ratu Dhika Gelang


Gelang menjadi Kalap. Didahului teriakan 

dahsyat perempuan ini kembali menyerbu. 

Dua tangan di pentangkan ke depan. Sepuluh 

kerincingan yang tergantung di gelang emas 

keluarkan suara nyaring. Bersamaan dengan 

itu sepuluh sinar kuning menyambar. 

Pada saat itulah tiba-tiba Ragil 

Abang si kucing merah yang berada di bahu 

kanan Ratu Dhika tegakkan ekor, mengeong 

keras lalu melompat dan mendekam di bahu 

kiri Nalapraya. Binatang ini kembali 

mengeong sambil lidahnya menjilat-jilat 

bahu Pangeran Bunga Bangkai. 

"Ragil Abang! Apa yang kau lakukan! 

Lekas menyingkir atau kau akan mati 

sekalian!"Teriak Ratu Dhika dalam 

amarahnya yang meledak karena terpaksa 

batalkan serangan maut. 

"Kucingmu mau menunjukkan bahwa dia 

bersahabat dengan diriku. Jika kami 

bersahabat maka berarti kau juga adalah 

sahabatku!" 

"Hantu kesasar! Enak saja kau 

bicara!" Hardik Ratu Dhika Gelang Gelang 

begitu mendengar kata-kata Nalapraya Namun 

kalau tadi dia sangat marah melihat 

perbuatan Ragil Abang yang melompat ke 

bahu mahluktanpa kepala itu, kini 

amarahnya mengendur sedikit dan ini 

membuat dia mau berpikir lebih jernih. 

"Ragil Abang memang menunjukkan sikap ber-

sahabat dengan mahluk aneh kesasar itu. 

Mengapa?" Ratu Dhika ingat pada mayat yang 

melintang di cabang pohon. Perempuan ini


angkat tangan kanannya. Diarahkan pada 

mayat di atas pohon. Lalu dia kerahkan 

ilmu bernama Selaksa Angin Menghisap Roh. 

Begitu tangannya bergerak sedikit maka 

mayat 'di atas pohon tertarik keras ke 

bawah dan jatuh bergedebukdi tanah. Dengan 

cepat Ratu Dhika Gelang Gelang memeriksa 

pakaian orang itu. Dalam sebuah kantong 

kain berwarna hitam dia menemukan lima 

buah besi bulat pipih bergerigi berwarna 

biru. 

"Kurang ajar!" Rutuk Ratu Dhika. 

"Tapi...." Perempuan ini angkat kepala, 

memandang melotot pada Nalapraya. "Mahluk 

aneh, katakan dengan jujur. Bagaimana kau 

juga memiliki benda pembunuh seperti ini?! 

Jangan-jangan kau menipuku. Bukan mustahil 

kau adalah kawan dari kakek ini!" 

"Aku tidak memiliki benda pembunuh 

itu. Yang aku keluarkan dan aku 

perlihatkan padamu tadi adalah senjata 

rahasia yang dipergunakan kakek itu untuk 

menyerang kucing milikmu. Ketika aku 

berusaha menolong kucingmu, kakek yang aku 

tidak kenal itu berbalik menyerangku. Aku 

bermaksud hanya melumpuhkannya.Tapi dia 

malah semakin ganas. Aku terpaksa 

menendangnya hingga mencelat mental ke 

atas cabang pohon. Ketika terkapar di atas 

cabang sana, sebuah benda jatuh dari balik 

pakaiannya. Ternyata senjata rahasia 

berbentuk besi bulat biru dan bergerigi 

itu. Si kakek menemui kematian diatas 

pohon. Mungkin ada isi perutnya yang


pecah. Aku menyesal, aku merasa berdosa. 

Seumur hidup baru hari ini aku membunuh 

orang..." 

Mendengar ucapan Nalapraya Ratu Dhika 

Gelang Gelang tak urung jadi menganga 

tercengang. Kucing merah di atas bahu 

Nalapraya mengeong panjang lalu melompat 

kembali ke bahu tuannya. 

"Kalau begitu aku telah kesalahan 

mengira," kata Ratu Dhika Gelang Gelang 

pula. "Aku tengah mengejar seorang yang 

telah membunuh kekasihku dengan senjata 

berbentuk besi bulat bergerigi berwarna 

biru seperti ini. Aku yakin kakek ini 

pelakunya. Apa kau mengenal tua bangka 

jahanam ini?" Sambil bertanya sambil 

kakinya bergerak menendang. Sosok mayat 

yang ditendang mencelat mental dengan 

pinggang hancur! 

Nalapraya gelengkan kepala. 

"Aku harus mengurus jenazah Sebayang 

Kaligantha. Tapi ada beberapa hal perlu 

aku tanyakan padamu..." 

"Soal jenazah kekasihmu itu, kau tak 

usah merisaukan. Para Dewa telah 

mengurusnya baik-baik." 

Ratu Dhika Gelang Gelang kerenyitkan 

kening. Sepasang alis mata hitam kereng 

mencuat ke atas. 

"Enaknya kau berkata begitu..." 

"Aku tidak berdusta. Ada serombongan 

orang yang kebetulan lewat. Mereka 

menemukan jenazah kekasihmu. Mereka turun 

tangan membakar jenazah itu..."


"Aku tidak percaya ucapanmu. Kau 

berada di sini. Bagaimana kau bisa tahu. 

Apa kau bisa melihat? Matapun kau tak 

punya!" 

"Sudahlah, nanti kau kembali saja 

pergi ke tempat dimana kekasihmu menemui 

kematian. Kau akan membuktikan sendiri 

apakah aku ini bohong atau bagaimana." 

Ratu Dhika Gelang Gelang pandangi 

manusia berkepala Bunga Bangkai itu 

beberapa lama. Dalam hati dia mulai 

menduga-duga. Jangan-jangan mahluk ini 

adalah Dewa yang menjelma turun ke bumi. 

Maka selanjutnya perempuan ini bicara 

hati-hati. 

"Sahabatku yang aku tak tahu namanya, 

pertanyaan apa yang hendak kau sampaikan 

padaku?" Bertanya Nalapraya. 

"Seumur hidup baru kali ini aku 

melihat-mahluk sepertimu. Tubuh manusia, 

bisa bicara tapi kepala berupa Bunga 

Bangkai!" 

"Aku insan yang malang. Kutukan Dewa 

jatuh atas diriku sebagai hukuman." 

"Kalau dia dikutuk berarti dia bukan 

utusan atau penjelmaan Dewa..." pikir Ratu 

Dhika Gelang Gelang. "Hukuman apa? Kenapa 

kau sampai dikutuk begini rupa?" Sang Ratu 

kemudian bertanya. 

"Aku takbisa menceritakan padamu..." 

"Kau tinggal sekitar sini?" tanya 

Ratu Dhika. 

"Di sebuah goa tak jauh dari sini. 

Aku tinggal dan bertapa di sana."


"Kau tengah memperdalam ilmu 

kesaktian atau tengah berusaha menebus 

dosa agar ujudmu kembali ke bentuk semu 

la?" 

Nalapraya tidak menjawab. 

"Kau punya nama?" 

"Maaf, aku tidak bisa memberitahu." 

"Kau mahluk aneh. Lalu dari mana asal 

usulmu?" 

"Aku bukan orang Bhumi Mataram. Aku 

berasal dari Kerajaan Tarumanagara." 

"Kalau begitu agaknya kau tengah 

mencari atau ingin mendapatkan sesuatu..." 

"Saat ini aku hanya ingin pengampunan 

dari Para Dewa. Agar kutukan ku 

bisadiakhiri lebih cepat..." 

Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa. 

"Tidak, aku tidak percaya. Kau bertapa 

bukan hanya karena itu. Ada satu dorongan 

lain yang lebih kuat yang membuat kau 

datang jauh-jauh dari Tarumanagara. Kalau 

kau mau bersikap jujur padaku mungkin aku 

bisa menolong. Bukankah aku harus 

berterima kasih padamu karena kau telah 

menanam budi menyelamatkan kucing 

merahku?" 

Pangeran Bunga Bangkai keluarkan 

suara tertawa. 

"Sahabatku, berbuat baik menanam budi 

dengan mengharapkan pamrih bukanlah satu 

kebajikan tapi merupnknn kebijakan untuk 

mendapatkan sesuatu. Yang Maha Kuasa tidak 

suka pada orang-orang seperti itu." 

Ratu Dhika Gelang Gelang kembali


terkesiap mendengar ucapan orang. 

Nalapraya kemudian berkata lagi. 

"Sahabat, dugaanmu memang benar. Kau 

mungkin bisa menolong jika kau ikhlas 

melakukan dan bukan aku yang meminta. Aku 

tengah mencari seseorang..." Kata 

Nalapraya pula. 

"Siapa?" 

"Aku tengah mencari istriku." 

Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut. 

"Astaganaga! Kau tengah mencari 

istrimu katamu? Hik...hik! Tidak sangka 

kau punya seorang istri." 

"Aku tidak bisa menceritakan 

bagaimana kejadiannya aku sampai punya 

istri. Semua sudah kehendak danTakdirYang 

Maha Kuasa. Semua serba gaib." 

"Gaib?!" 

Pengeran Bunga Bangkai mengangguk. 

"Apakah istrimu minggat atau diculik 

orang, atau kabur bersama kekasih 

barunya?" 

"Tidak satupun dugaanmu yang 

benar..." 

"Lalu?" 

"Kami berpisah setelah berkumpul 

selama satu minggu. Di satu tempat yang 

aku tidak tahu dimana..." 

"Ceritamu semakin aneh. Bagaimana 

ciri-ciri istrimu? Apakah dia juga 

sepertimu. Berkepala bunga busuk begini 

rupa?" 

"Istriku manusia biasa sepertimu. 

Tingginya hampir sama denganmu. Tapi


kulitnya putih bersih tidak hitam 

sepertimu. Wajahnya cantik, tidak diberi 

dandanan mencolok sepertimu. Rambut hitam 

sepinggang..." 

Ratu Dhika tersenyum. 

"Di Bhumi Mataram ini ada puluhan 

perempuan seperti itu..." 

"Itulah yang menyulitkan diriku dalam 

mencarinya. Apa lagi aku juga tidak tahu 

namanya." 

Dua bola mata Ratu Dhika Gelang 

Gelang terbeliak. "Kau bercanda!" 

Nalapraya alias Pangeran Bunga 

Bangkai gelengkan kepala. 

"Apa katamu? Mana ada orang tidak 

tahu nama istrinya sendiri! Kucingku saja 

punya nama." 

"Aku yakin istriku punya nama. Tapi 

aku tidak pernah tahu siapa namanya." 

Dari pucuk hijau di atas tubuh 

Nalapraya terdengar tarikan nafas panjang. 

"Sebelum berpisah istriku memberikan 

sehelai sapu tangan yang dipotong dua. 

Satu potongan diberikan padaku, satu 

potongan lagi ada padanya." Dari balik 

pakaiannya Pangeran Bunga Bangkai kemudian 

keluarkan robekan sapu tangan merah muda 

yang diberikan Ananthawuri pada malam 

terakhir sebelum mereka berpisah lalu 

diserahkan pada Ratu Dhika. Perempuan ini 

ambil potongan sapu tangan yang diberikan, 

diperhatikan dan dibolak balik lalu 

berkata. 

"Sahabatku malang yang kehilangan


istri. Aku tidak tahu.Tapi orang atau 

perempuan yang memiliki sapu tangan merah 

muda seperti ini sangat banyak di Bhumi 

Mataram. Aku sendiri punya lebih dan satu! 

Lalu dari balik kemben merah yang 

dikenakannya dia keluarkan lima helai sapu 

tangan merah muda! 

Setelah memasukkan lima sapu tangan 

ke balik pakaian, Ratu Dhika kembali 

meneliti potongan sapu tangan merah muda. 

"Di sini sama sekali tidak ada 

sulaman atau tanda-tanda lain yang 

menyatakan siapa pemiliknya. Kurasa sangat 

sulit menjajagi dan mencari istrimu 

melalui potongan sapu tangan merah muda 

ini." 

"Cobalah kau cium. Mungkin kau bisa 

mendapat petunjuk," kata Nalapraya pula. 

Ratu Dhika tempelkan sapu tangan 

merah muda ke hidungnya lalu menghirup 

dalam-dalam. Dia mencium harum bunga 

melati. 

"Aku mencium bau bunga melati. Segar 

sekali," kata Ratu Dhika kemudian. "Sudah 

berapa lama sapu tangan ini kau simpan?" 

"Lebih dari delapan purnama." 

"Adalah aneh kalau bau bunga yang ada 

masih melekat." 

"Tubuh istriku seperti itu. Wangi 

seharum bunga melati." Memberi tahu 

Nalapraya. 

Ratu Dhika tatap mahluk tanpa kepala 

itu dengan pandangan sayu sedih kemudian 

berkata.



"Aku akan berbuat sebisaku. Mudah-

mudahan aku bisa menolong." 

"Terima kasih. Lakukanlah dengan 

ikhlas. Sesuatu yang dilakukan dengan 

ikhlas merupakan sebagian ibadah dan sudah 

merupakan sebagian keberhasilan." 

"Ya...ya..." jawab Ratu Dhika 

beruiang ulang sambil anggukkan kepala dan 

penuh kagum atas ucapan orang. Lalu dia 

bertanya. "Kau mau kemana sekarang?" 

"Aku akan kembali ke pertapaan di 

Tegalrejo." "Ada lagi yang mungkin akan 

kau sampaikan padaku?" 

"Rasanya tidakada.Tapi....Memang ada 

satu hal. Istriku itu. Konon dia tengah 

mengandung. Mungkin akan segera 

melahirkan." 

"Oala.....Dewa Maha Agung." Ucap Ratu 

Dhika Gelang Gelang sambi tampungkan dua 

tangan ke atas dan mulut berkomat kamit 

seperti tengah memanjatkan doa. Ketika 

perempuan ini angkat kepala, sosok 

Pangeran Bunga Bangkai tak ada lagi di 

hadapannya. 

"Hyang Jagat Batara." Ucap Ratu 

Dhika." Mahluk seperti itu bisa punya 

istri. Dan sang istri mau melahirkan. 

Hyang Jagat Dewa! Bagaimana kelak ujud 

bayi itu? Yang Maha Kuasa Dewa berbuat se-

kehendakNya. Wahai Para Dewa. Aku 

tidaktahu siapa sebenarnya mahluk tadi. 

Tapi aku mohon pada Para Dewa, kasihani 

dia dan tolong dia." Lalu sambil mengusap 

Ragil Abang dia tinggalkan pula tempat Itu


menuju bukit kapur dimana terletak 

bangunan candi runtuh tempat Sebayang 

Kaligantha menemui ajal dibunuh dengan 

senjata rahasia beracun. 

SANG RATU DAN SANG PENGERAN

TAK LAMA setelah Ratu Dhika Gelang 

Gelang meninggalkan candi runtuh di bukit 

kapur serombongan pemuda yang berburu rusa 

dan kelinci di hutan jati sampai di candi 

itu. Mereka yang berjumlah delapan orang 

ini bermaksud istirahat sebelum kembali 

pulang setelah mendapatkan hasil buruan 

berupa tiga ekor rusa dan hampir selusin 

kelinci. 

Begitu masuk ke dalam candi kaget 

para pemburu muda ini bukan alang 

kepalang. Di lantai candi mereka melihat 

sesosoktubuh terbujur dengan leher koyak 

dan sebagian tubuh bergelimang darah. 

Beberapa di antara pemuda itu lebih kaget 

lagi karena mengenali, sosok yang sudah 

jadi mayat itu bukan lain adalah Sebayang 

Kaligantha sahabat mereka. 

Para pemuda itu lalu berunding, apa 

yang akan mereka lakukan dengan jenazah 

Sebayang Kaligantha. Jika dibawa pulang 

kerumahnya di desa dekat Kaliprogo 

perjalanan cukup jauh. Selain itu Sebayang 

Kaligantha adalah pemuda yang hidup 

sebatang kara, tidak punya orang tua 

ataupun saudara dan sanak keluarga.


Akhirnya diputuskan untuk membakar jenazah 

Sebayang Kaligantha. Apa lagi diantara 

mereka ada seorang yang cukup punya 

pengetahuan di bidang keagamaan hingga 

jenazah pemuda itu bisa diurus sesuai 

dengan agama yang dianutnya. Maka 

dikumpulkanlah kayu bakar sebanyak 

mungkin, ditumpukdi pelataran candi. 

Hanya sesaat setelah kayu dibakar dan 

api mulai berkobartiba-tiba sosok Sebayang 

Kaligantha bergerak ke atas. Semua orang 

yang ada di tempat itu bukan saja menjadi 

kaget tapi juga ketakutan. Mereka yang 

tengah membaca doa, berucap terbata-bata 

akhirnya tak sanggup lagi melanjutkan doa. 

Ketika jenazah yang naik ke atas 

berada sekitar dua jengkal dari atas 

tumpukan kayu api yang menyala mendadak 

ada cahaya tiga warna memancar keluar dari 

tubuh Sebayang Kaligantha. Ketika cahaya 

tiga warna itu melesat ke langit, jenazah 

Sebayang Kaligantha juga melesat seolah 

mengikuti. Di satu ketinggian cahaya tiga 

warna lenyap, tubuh Sebayang Kaligantha 

menebar seperti meledak lalu berubah 

menjadi asap hitam dan akhirnya lenyap 

dari pandangan mata semua orang yang ada 

di candi! 

"Dewa Jagat Bathara! Apa yang 

terjadi?!" Seorang pemuda sahabat yang 

sangat dekat dengan Sebayang Kaligantha 

berseru keras. 

Tiba-tiba terdengar suara perempuan 

berteriak. "Aku juga ingin tahu apa yang


terjadi?!" Lalu terdengar suara 

bergemerincing disusul suara kucing 

mengeong! Di lain kejap seorang perempuan 

gemuk berkulit hitam, mengenakan kemben 

merah dan berdandanan seronok berdiri di 

hadapan delapan pemuda. Ratu Dhika Gelang 

Gelang! 

Mengenali siapa yang datang yaitu 

perempuan muda berkepandaian tinggi yang 

mereka ketahui adalah kekasih Sebayang 

Kaligantha delapan pemuda jadi timbul 

keberanian lalu menceritakan apa yang 

terjadi mulai dari awal sewaktu mereka 

menemukan mayat pemuda sahabat mereka itu 

dalam keadaan leher hampir putus, tubuh 

biru bersimbah darah. 

"Aku berada di sini sewaktu Sebayang 

menemui ajal. Dibokong seseorang secara 

keji.Yang aku ingin tahu apa yang terjadi 

setelah kalian menemukan mayatnya." Kata 

Ratu Dhika Gelang Gelang pula. 

Seorang dari delapan pemuda memberi 

penjelasan. 

"Kami mengumpulkan kayu api untuk 

menyempurnakan jenazah Sebayang menuju 

alam baka. Ketika api mulai menyala tiba-

tiba tubuh Sebayang naik ke atas. Lalu 

kami lihat ada cahaya tiga warna, hitam, 

biru dan merah memancar keluar dari tubuh 

Sebayang. Cahaya itu melesat ke langit. 

Tubuh Sebayang mengikuti. Di atas sana 

tubuh Sebayang seperti meledak. Berubah 

menjadi kepulan asap lalu lenyap." 

"Cahaya tiga warna. Hitam, merah dan



biru." Mengulang Ratu Dhika Gelang Gelang. 

Dia ingat peristiwa sewaktu bersama Arwah 

Ketua diserang cahaya tiga warna dalam 

menghadapi Sri Sikaparwathi jejadian. Ratu 

Dhika menatap ke langit."Tidak mustahil 

Sebayang Kaligantha sudah menjadi korban 

penggandaan pula. Mudah-mudahan pemuda itu 

masih hidup. Mungkin dalam keadaan 

sengsara bahkan bisa saja dalam keadaan 

sekarat. Aku harus mencari tahu dimana 

tubuh aslinya berada." Lalu Ratu Dhika 

ingat pada manusia aneh berkepala Bunga 

Bangkai. 

"Jangan-jangan dia manusia 

pengendalinya. Bisa juga dia mata-mata 

pihak selatan. Aku mendengat kabar orang 

selatan telah mempersiapkan satu pasukan 

besar untuk menyerbu Bhumi Mataram. Apa 

yang harus aku lakukan?" Sang Ratu 

berpikir sejenak. 

"Aku 

harus mencari manusia Bunga Bangkai 

itu. Dia memberi keterangan setengah-

setengah. Dia mengatakan kejadian ada 

orang yang turun tangan menolong membakar 

jenazah Sebayang.Tapi dia tidak mencerita-

kan perihal cahaya tiga warna. Jika 

kutanya dia tidak mau memberi keterangan 

jelas biar aku bunuh saja!" 

Setelah mengucapkan terima kasih pada 

delapan pemuda dan meminta mereka agar 

segera kembali pulang ke desa Ratu Dhika 

Gelang Gelang segera menuju desa Tegal 

rejo. Menjelang tengah malam dia sampai di


lereng bukit dimana terletak goa tempat 

kediaman dalam keadaan kosong.Takada 

tanda-tanda ada orang yang tinggal di 

dalam goa itu. Tidak ada ranjang tidur, 

juga tidak ada sepotong perabotanpun. Hal 

ini membuat Ratu Dhika Gelang Gelang 

merasa bahwa dia benar-benar telah ditipu 

orang. Dalam marahnya Ratu Dhika Gelang 

Gelang kerahkan tenaga dalam ke tangan 

kanan hingga tangan itu berpijar 

merah.Tidak bertemu orang yang dicari, 

menghancurkan goa itu sudah cukup membuat 

hatinya puas. 

Tiba-tiba kucing merah di bahu Ratu 

Dhika Gelang Gelang merunduk dan mengeong 

keras. Gerakan Ratu Dhika agak tersendat 

namun akhirnya pukulan sakti di tangan 

kanan dilepaskan juga ke dalam gua. 

Pukulan bernama Langit Robek Bumi 

Terbongkar! 

Sinar merah berkiblat. 

Di saat yang sama dinding sebelah 

dalam goa tiba-tiba bergerak membuka. Dari 

balik dinding muncul keluar sosok Pangeran 

Bunga Bangkai. Begitu melihat sinar merah 

melabrak ke arahnya Pangeran ini berteriak 

kaget dan cepat bertindak mundur. 

"Sahabat! Mengapa...." 

Ucapan Pangeran Bunga Bangkai hanya 

sampai di situ karena sinar merah telah 

lebih dulu menghantam tubuhnya sebelah 

depan. Dia masih sempat melihat ada 

selarik sinar putih tipis turun dari atas 

atap goa seperti membuat tabir


perlindungan bagi dirinya. Namun begitu 

sinar merah menghantam tak ampun Pangeran 

Bunga Bangkai terpental. Bagian dalam goa 

hancur berkeping-keping. Ragil Abang 

kembali mengeong keras sementara Ratu 

Dhika Gelang Gelang terpental keluar dari 

goa yang sudah runtuh hancur, jatuh 

setengah berlutut dengan sekujur tubuh 

bergetar dan muka pucat. 

"Apa yang terjadi. Apa yang 

sesungguhnya terjadi. Di balik dinding goa 

itu ternyata....Dewa Agung, apakah 

aku....Tapi aku bersyukur kalau si penipu 

jahat itu telah menemui ajal!" 

Tiba-tiba ada kilatan cahaya putih 

disusul suara bergema. 

"Kematian adalah bagian setiap 

manusia di dunia fana agar bisa sampai ke 

alam baka. Namun kematian manusia tidak 

ditentukan oleh manusia lainnya. Rah, 

Dhika Gelang Gelang. Kau telah bertindak 

diluar batas kewajaran. Kau telah 

mencelakai seseorang yang telah menjadi 

pilihan Para Dewa untuk ikut menyelamatkan 

Bhumi Mataram dari angkara murka...." 

"Si..siapa yang bicara?" Ratu Dhika 

tergagap] pucat. "Roh Agung?" 

"Ratu Dhika....." 

"Tunggu! Siapa sebenarnya manusia 

berkepala Bunga Bangkai itu!" 

"Ratu Dhika, kau tidak pantas 

memotong ucapanku. Pasang telinga dan 

dengarkan baik-baik. Atau kutukan atas 

diri orang itu akan berpindah pada


dirimu!” 

Mendengar kata-kata tanpa ujud itu 

Ratu Dhika Gelang Gelang kini sadar kalau 

dia bukan berhadapan dengan sembarang 

mahluk gaib. 

"Hyang Jagat Batara Agung, saya yang 

hina ini mohon maafmu. Saya mengaku salah. 

Telah melepas tangan tanpa menyelidiki 

lebih dulu. Saya siap menerima hukuman." 

"Sekali ini kesalahanmu diampunkan 

Para Dewa. Namun mulai hari ini kau 

ditugaskan menjadi penjaga Sumur Api. 

Bilamana ada yang sampai menerobos masuk 

ke dalam Sumur Api sekalipun seekor semut! 

Maka hukuman yang lebih berat akan jatuh 

atas dirimu!" 

Ratu Dhika Gelang Gelang jatuhkan 

diri bersujud ke tanah. Setengah meratap 

dia berkata. 

"Dewa Jagat Bathara Agung. Saya yang 

hina ini mohon ampunMu. Banyak tugas yang 

harus saya laksanakan. Saya harus mencari 

dimana beradanya Sebayang Kaligantha..." 

"Ratu Dhika, bila kau masih terus 

berkeras menolak hukuman maka saatnya kau 

berubah diri!" 

Saat itu juga bagian atas kepala Ratu 

Dhika Gelang Gelang berubah menjadi kuncup 

hijau sementara bagian di bawah leher 

mengembang membentuk kelopak bunga lebar 

berlendir berwarna kuning berbintik 

coklat. Bersamaan dengan itu tubuhnya 

sebelah atas mulai mengeluarkan bau busuk! 

Ratu Dhika menjerit keras.


"Ampun seribu ampun! Wahai Para Dewa 

di Swargaloka, saya meratap meminta 

keampunan. Saya berjanji akan mematuhi apa 

yang telah ditetapkan. Saya akan menjadi 

penjaga Sumur Api. Jangankan untuk satu 

purnama. Untuk seribu purnamapun akan saya 

lakukan!" Ratu Dhika benturkan keningnya 

berulang kali ke tanah sampai luka sambil 

air mata bercucuran. 

"Selama bertugas menjaga Sumur Api 

kau tidak diperkenankan meninggalkan 

tempat itu lebih dari seratus langkah! 

Bilamana Para Dewa berkehendak lain maka 

Para Dewa akan memberi keampunan atas 

dirimu. Kau harus berangkat menuju Sumur 

Api saat ini juga!" 

"Akan saya lakukan. Akan saya lakukan 

wahai Para Dewa." 

Ratu Dhika Gelang Gelang segera 

berdiri sambil mengepit Ragil Abang si 

kucing merah lalu dengan langkah 

terhuyung-huyung, masih menangis terisak 

dia tinggalkan tempat itu. Sambil berjalan 

tidaklupa dia mengambil kaca lalu 

bercermin memperhatikan wajah. 

"Ah, mengapa wajahku jadi buruk. 

Keningku luka dan benjut! Mengapa hidungku 

seperti melebar dan pesek! Mahluk Bunga 

Bangkai, apakah kau masih hidup atau sudah 

mati karena pukulanku tadi? Mahluk Bunga 

Bangkai maafkan diriku! Jika seandainya 

kau masih hidup, tolong...tolong temui 

diriku di Sumur Api. Aku akan bersujud 

minta maaf dan ampunan padamu. Aku tak


bisa mencari menemuimu. Aku hanya boleh 

meninggalkan Sumur Api paling jauh seratus 

langkah! Tobat.....!" 

Mendadak Ratu Dhika Gelang Gelang 

hentikan langkah. Di kejauhan dia 

mendengar suara tambur ditabuh dan suara 

seruling ditiup. 

"Itu pasti dua manusia aneh Si Tambur 

Bopeng dan Si Suling Kurus. Ada apa 

keduanya berkeliaran di sekitar sini. 

Arwah Ketua menyuruh aku mengawasi dua 

orang itu. Bagaimana ini?" Setelah 

berpikir sebentar akhirnya perempuan ini 

memutar langkah, berjalan ke arah suara 

tambur dan seruling. Namun baru menindak 

tiga langkah tiba-tiba suara mengiang 

mendera telinganya. 

"Ratu Dhika Gelang Gelang, tugasmu 

adalah segera pergi ke Sumur Api. Mengapa 

lebih memperdulikan si penabuh tambur dan 

si peniup seruling?!" 

Ditegur seperti itu Ratu Dhika 

menjadi kecut dan cepat-cepat berjalan 

kembali ke arah semula. Namun dalam hati 

dia mengomel. 

"Kalau mahluk gaib sudah terlalu 

banyak mencampuri urusan dunia di Bhumi 

Mataram ini oala! Lebih baik rasanya aku 

berhenti saja jadi orang!" 

"Kalau kau memang mau berhenti jadi 

orang, mengapa tidak membenturkan kepalamu 

ke gunung batu?!" Tiba-tiba ada suara 

menyahuti disusul tawa cekikikan. 

Ratu Dhika Gelang Gelang tersentak


kaget. Dia memandang berkeliling. 

"Siapa yang barusan bicara? Kalau 

manusia masakan bisa mendengar ucapan 

hatiku?" Merasakan tengkuknya mendadak 

jadi dingin, perempuan ini segera 

mempercepat langkahnya. 

TAMBUR BOPENG DAN SULING BURIK

SUARA tambur dan seruling terdengar 

semakin santar. Tak lama kemudian 

kelihatan dua orang berdiri di depan goa 

yang runtuh akibat pukulan Langit Robek 

Bumi Terbongkar yang tadi dilepaskan Ratu 

Dhika Gelang Gelang. Orang yang memegang 

tambur bertubuh gemuk pendek bermuka 

bopeng. Kawannya yang meniup seruling 

berbadan tinggi kurus, muka penuh bintik-

bintik putih. 

Si gemuk bopeng hentikan menabuh 

tambur. Dia berpaling pada si kurus burik 

yang juga telah berhenti meniup seruling. 

"Apakah kita terlambat?" tanya si 

gemuk bopeng. 

"Jangan-jangan orang yang hendak kita 

temui sudah menemui ajal dibawah timbunan 

reruntuhan goa." 

"Siapa yang punya pekerjaan? Heran, 

Bhumi Mataram akhir-akhir ini telah 

dijejali banyak orang-orang jahat.Tambur 

Bopeng, mari cepat kita periksa. Kalau 

benar dia sudah menemui ajal celaka kita. 

Celaka Kerajaan ini!"


"Suling Burik! Yang Kuasa Maha Agung! 

Memohon padaNya untuk keselamatan orang 

yang kita cari!" Lalu tam..tam..tam. Si 

gemuk pendek bermuka bopeng mulai menabuh 

tambur kembali. Sahabatnya si Suling Burik 

segera pula meniup seruling. Suara 

seruling melengking keras dan sesekali 

menurun berhiba-hiba. Tabuhan tambur 

terkadang keras lalu berubah pelan. 

Sementara suling ditiup dan tambur ditabuh 

terjadilah hal yang sulit dipercaya. Satu 

persatu runtuhan puing-puing yang 

bertimbunan di goa bekas kediaman dan 

pertapaan Pangeran Bunga Bangkai terangkat 

ke atas, melayang ke udara lalu jatuh 

menumpuk di lereng pedataran yang menurun. 

Ketika tumpukan puing batu telah 

terangkat semua, kelihatan satu sosok 

berkepala aneh duduk dalam sikap 

bersamadi. Sekujur tubuh dari atas sampai 

ke bawah tertutup debu reruntuhan goa. 

Si Tambur Bopeng tabuh tamburnya 

keras-keras lalu berhenti. Mata memandang 

melotot ke depan. Disebelahnya Si Suling 

Burik tiup serulingnya kuat-kuat lalu 

berhenti dan seperti temannya menatap ke 

depan. Begitu tabuhan tambur dan tiupan 

seruling berhenti, sosok tanpa kepala di 

depan sana bergerak. Sekali dia goyangkan 

tubuh maka debu beterbangan dan kini lebih 

jelas kelihatan sosoknya. Berpakaian biru, 

tanpa kepala. Yang ada di bagian kepala 

adalah kuncup hijau setinggi tiga jengkal 

dan kuntum bunga besar kuning berbintik


coklat berlendir! Saat itu juga bau busuk 

menghampar di tempat itu. 

"Kita sudah menemukan! Dia masih 

hidup! Terima kasih Dewa! Terima kasih 

Yang Maha Kuasa!" Berseru Si Tambur 

Bopeng. 

"Aku turut bersyukur. Tapi setelah 

tertimpa dan tertimbun batu goa yang luar 

biasa beratnya, apakah otaknya tidak 

cidera dan masih waras?!" Si Suling Burik 

keluarkan ucapan. 

"Selama dia masih mampu menebar bau 

busuk, berarti dia tidak kurang suatu 

apa." Jawab Tambur Bopeng. 

"Kalau begitu mari kita periksa!" 

Sambil menabuh tambur dan meniup seruling 

dua orang aneh itu melangkah mendekati 

sosok tanpa kepala yang bukan lain adalah 

Pangeran Bunga Bangkai alias Nalapraya, 

Pangeran Kerajaan Taru-managara yang 

tengah menjalani kutukan dari Para 

Dewa karena dituduh telah membunuh 

ayah kandungnya sendiri. 

Mendengar suara tambur dan seruling 

sejaktadi serta melihat ada dua orang 

mendatangi Nalapraya segera berdiri. 

"Salam sejahtera bagimu wahai orang 

yang baru keluar dari timbunan reruntuhan 

goa. Kami datang untuk satu urusan sangat 

penting." Yang berucap adalah Si Tambur 

Bopeng. 

"Salam berbalas disertai ucapan 

terima kasih karena sahabat berdua telah 

menolong aku keluar dari timbunan batu


goa. Apakah aku mengenal sahabat berdua?" 

"Dalam hal tolong menolong apakah 

harus diutamakan soal kenal atau tidak? 

Kami merasa bahagia telah berbuat 

kebajikan karena dipercaya Para Dewa untuk 

menolong Pangeran." 

Nalapraya terkejut karena ada orang 

takdi kenalnya mengetahui siapa dirinya. 

Menyebut Pangeran. Untuk jelasnya dia 

lantas bertanya. 

"Puji syukur semoga sahabat berdua 

akan mendapat pahala serta rakhmat besar 

dari Dewa Agung Yang Maha Kuasa. Sahabat 

tadi memanggil saya dengan sebutan 

Pangeran. Apakah...." 

"Sstttt.... Jangan bicara terlalu 

keras." Kata si Suling Burik. "Tanah dan 

batu serta pohon di tempat ini mungkin 

saja punya telinga. Apakah kami mengada-

ada? Bukankah sahabat seorang Pangeran 

muda berasal dari Kerajaan Tarumanagara di 

wilayah barat? Bernama Nalapraya?" 

Nalapraya tercengang. 

"Dari mana sahabat berdua mengetahui 

siapa diriku?" 

"Orang di Bhumi Mataram ini mungkin 

tidak ada yang tahu. Tapi kami sudah tahu 

riwayat Pangeran. Malah sejak dua belas 

purnama lalu kami telah menunggu 

kedatangan Pengeran di Bhumi Mataram ini." 

Kembali Pangeran Bunga Bangkai dibuat 

tercengang oleh ucapan orang. "Aku sungguh 

tertarik. Sahabat berdua sudah tahu siapa 

diriku. Sebaliknya aku belum tahu siapa


kalian." 

Si Tambur Bopeng pukul tamburnya 

berdentam-dentam lalu membungkuk dan 

berkata. 

"Aku yang gemuk pendek dan bermuka 

bopeng ini biasa dipanggil si Tambur 

Bopeng." 

Si Tinggi kurus tiup serulingnya 

melengking-lengking lalu menjura seraya 

berkata. "Aku yang kurus tinggi jelek ini 

bernama Suling Burik." 

"Nama kalian berdua sungguh 

bagus...." Memuji Nalapraya." Sekarang 

katakan urusan sangat penting apakah yang 

tadi para sahabat maksudkan?" 

Si Tambur Bopeng membungkuk. Lalu 

menjawab. 

"Kami datang sebagai utusan. Untuk 

menyampaikan pinangan." 

Kali ini Pangeran Bunga Bangkai 

benar-benar dibuat tercengang dan ter 

kejut. Kalau saja kepala dan wajahnya ada, 

pasti akan kelihatan bagaimana raut muka 

sang Pangeran. 

"Kalian berdua adalah utusan. Untuk 

menyampaikan pinangan. Utusan siapa? Lalu 

siapa yang hendak kalian pinang? Diriku?!" 

Si Suling Burik membungkuk. 

"Mengenai kami ini utusan siapa mohon 

dimaafkan karena saat ini belum dapat kami 

beritahukan. Tapi mengenai siapa yang akan 

kami pinang, saat ini juga dapat kami 

beritahukan. Yang jelas yang hendak kami 

pinang bukan Pangeran."


"Lalu siapa?" tanya Nalapraya. 

"Putera Pangeran," menjawab Tambur 

Bopeng. 

Kepala aneh Pangeran Bunga Bangkai 

menatap ke arah Tambur Bopeng lalu 

berputar ke jurusan Suling Burik. 

"Kalian ini bicara apa? Aku sama 

sekali tidak punya putera. Tidak punya 

anak." Lalu Pangeran tanpa kepala ini 

keluarkan tawa bergelak. 

Si Tambur Bopeng dan Suling Burik 

ikutan tertawa. 

"Sahabatku Pangeran Nalapraya. Saat 

ini Pangeran memang belum punya putera. 

Tapi dalam waktu tidak terlalu lama lagi 

bukankah Pangeran akan segera memiliki dua 

orang bayi laki-laki? Nah kami akan 

meminang salah seorang dari putera 

Pangeran itu. Putera yang mana nanti baru 

ketahuan setelah tujuh tahun berjalan." 

Lama Pangeran Bunga Bangkai terdiam. 

"Kalian ini siapa? Bagaimana bisa 

tahu banyak mengenai riwayat diriku?" 

"Pangeran, siapa kami beginilah 

ujudnya. Mengenai diri dan riwayat 

Pangeran agaknya bukan cuma kami yang tahu 

di Bhumi Mataram ini. Namun mengenai 

pinangan memang baru kami yang punya niat 

baik. Saat ini jika tidak dikatakan 

terlalu memaksa dan berlaku lancang, 

apakah kami bisa mendapatkan penjelasan 

bahwa Pangeran menerima pinangan yang kami 

sampaikan?" 

"Jika aku menjawab pertanyaan kalian,


berarti aku sudah gila. Anak saja belum 

punya, aku juga tidak tahu siapa yang mau 

meminang anakku! Dua sahabat, lebih baik 

kita bicara perihal lain. Atau kalau tidak 

kalian berdua silahkan meninggalkan tempat 

ini. Aku tetap menghormati kalian, ber 

terima kasih dan tidak melupakan 

pertolongan kalian berdua." 

"Kalau Pangeran tidak bersedia 

membicarakan soal pinangan itu lebih 

lanjut tidak jadi apa. Yang penting 

Pangeran sudah tahu bahwa kami telah 

mengajukan pinangan. Jadi jangan putera 

Pangeran kelak diberikan pada orang lain. 

Soal kami diminta pergi, itu hak Pangeran. 

Namun ketahuilah mulai saat ini kami telah 

menjadi pengawal-pengawal Pangeran. Kemana 

Pangeran pergi kesitu kami ikut. Bilamana 

nanti putera Pangeran yang kami pinang 

telah besar maka kami akan melanjutkan 

tugas menjadi pengawalnya." 

"Sahabat berdua. Aku hidup dalam 

kutukan Para Dewa.Tapi aku percaya Para 

Dewa masih melindungi diriku. Karena itu 

aku tidak memerlukan pengawalan kalian 

berdua..." . 

"Kami mengerti, tapi kami berdua 

tidak akan beranjak dari tempat ini barang 

sejengkalpun. Kami mohon maaf kalau telah 

berlaku lancang. Mungkin bisa membuat 

Pangeran menjadi jengkel atau marah. Namun 

kami hanya menjalankan tugas. Sekalipun 

kami berdua dibunuh, kami tidak mungkin 

pergi meninggalkan Pangeran."


"Sahabat berdua. Jika kalian ingin 

berbakti, masih banyak orang lain yang 

pantas tempat kalian berbakti. Pergilah ke 

Kotaraja. Kalian berdua pasti menemukan 

pekerjaan yang pantas." 

Tambur Bopeng dan Suling Buriktidak 

menjawab. Kedua orang ini dudukkan diri di 

tanah. Dua tangan disatukan dan dijunjung 

di atas kepala. Tubuh tidak bergerak 

sedikitpun. Mata dipejam. 

Melihat apa yang dilakukan kedua 

orang itu Pangeran Bunga Bangkai jadi 

berpikir. "Kalau mereka bukan menipuku, 

mungkin aku bisa minta bantuan keduanya 

untuk mencari istriku..." 

"Dua sahabat, bangunlah. Mengapa 

menyembah seperti itu. Jika kalian berdua 

memang punya niat baik, aku bersedia 

membawamu kemana aku pergi." 

Mendengar ucapan Pangeran Bunga 

Bangkai Tambur Bopeng dan Suling Burik 

serta merta buka mata masing-masing lalu 

melompat bangun! 

"Terimakasih Pangeran, terimakasih." 

Tambur Bopeng dan Suling Burik berbarengan 

sambi! membungkuk berulang kali. 

"Tam...tam...tam!" 

Tambur Bopeng pukul tamburnya dengan 

tangan kiri. 

Suling Burik tidak mau kalah. Dia 

segera tiup serulingnya. 

Sambil memukul tambur dan meniup 

seruling keduanya melangkah memutari 

Pangeran Bunga Bangkai. Satu kali dari


bawah tambur, si Tambur Bopeng keluarkan 

gulungan kain putih lalu diberikan pada 

Pangeran Nalapraya. 

"Pangeran, jika kau bisa melihat kau 

pasti bisa 

"Apa ini?" tanya Pangeran Bunga 

Bangkai. 

"Salinan dari tulisan yang ada pada 

Empat Gading Bersurat." Jawab Tambur 

Bopeng. 

"Gading Bersurat?" Pangeran Bunga 

Bangkai buka gulungan kain. 

"Bacalah, mungkin ada manfaatnya 

untuk Pangeran ketahui. Kami berdua yakin 

ada hubungannya dengan diri Pangeran..." 

Pangeran Bunga Bangkai buka gulungan 

kain dimana terdapat serangkai tulisan 

cukup panjang dalam huruf Palawa. Dengan 

agak berdebar pemuda ini mulai membaca. 

Gading Bersurat Pertama 

Di masa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi 

Dyah Lokapala memegang tahta. 

Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan 

lahir ke dunia. Terlahir dari seorang Ibu 

yang pada saat melahirkan berusia tujuh 

belas tahun. 

Perempuan yang telah dipilih Para 

Dewa. Berasal dari sebuah desa kecil di 

selatan Prambanan. Ibu yang akan tetap 

perawan sepanjang masa. Kelak dua anak 

akan menjadi Kesatria mengabdi pada 

Kerajaan Mataram. Siapa berjodoh akan 

menangguk rakhmat. Siapa tidak berjodoh



jangan menebar umpat dan hujat. Berita 

disebar ke utara, selatan, timur dan 

barat. Untuk kemaslahatan seluruh umat. 

Gading Bersurat 

Kedua Siapa yang bersahabat dengan 

dua anak 

Akan mendapat rakhmat dari Para Dewa 

Siapa yang menjadi guru serta 

pelindung dua anak 

Akan mendapat rakhmat Para Dewa 

sepanjang masa 

Siapa yang bisa menguasai dua anak 

Akan menguasai Bhumi Mataram 

Namun niat jahat akan mendapat 

balasan 

Karenanya tempuhlah selalu jalan yang 

lurus Jalan yang penuh rakhmat 

Gading Bersurat Ketiga 

Jika ingin tahu lama kehamilan 

Dari perawan desa yang dipilih Para 

Dewa 

Menjadi ibu dari bayi 

Yang kelak akan menjadi Kesatria 

Mataram 

Letakkan gading di atas Sumur Api 

Ukur bagian gading yang menjadi hitam 

Maka akan diketahui lama kehamilan 

Gading Bersurat Ke Empat 

Malam bulan purnama empat belas hari 

Konon itulah saat lahirnya dua bayi 

Orang baik dan orang jahat


Manusia nyata dan mahluk gaib 

Akan berkumpul untuk mendapatkan bayi 

Sumur Api akan menjadi Sumur Darah 

Mohon perlindungan hanya pada Yang 

Maha Kuasa 

Semoga Bhumi Mataram terlepas dari 

bencana 

Setelah membaca tulisan di atas kain 

putih, Pangeran Bunga Bangkai merenung 

berpikir. Saat itu yang bertahta di 

Kerajaan Bhumi Mataram adalah Sri Maharaja 

Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Berarti dua 

bayi dimaksud akan lahir sekarang ini di 

masa pemerintahannya. 

Dada Pangeran Bunga Bangkai berdebar, 

jantung berdetak kencang dan darah 

mengalir cepat. "Dua bayi dilahirkan, 

apakah....Jika ini memang ada sangkut paut 

dengan diriku seperti yang dikatakan dua 

sahabat aneh, berarti yang akan lahir itu 

adalah anak-anakku...." 

"Dua sahabat, dari mana kalian 

dapatkan kain bertulis ini?" Pangeran 

Bunga Bangkai bertanya. 

"Dari orang yang mengutus kami," 

jawab Tambur Bopeng. 

"Kalian masih belum mau memberi tahu 

siapa sang pengutus itu?" 

Tambur Bopeng menggeleng. Pangeran 

Bunga Bangkai putar kepalanya ke arah 

Suling Burik. Orang ini gelengkan kepala. 

Pangeran Bunga Bangkai kembali 

merenung.



"Malam bulan purnama empat belas 

hari. Malam tadi aku lihat di langit bulan 

besar muncul belum bulat benar. Baru malam 

ke dua belas." 

"Dua sahabat, apakah kalian tahu 

bagaimana ciri-ciri perawan desa yang 

katanya akan melahirkan dua bayi lelaki 

itu?" 

"Tidak satupun dari kami yang tahu. 

Kami tidak pernah melihat." Jawab Tambur 

Bopeng. 

"Namun pernah ada cerita tentang 

lenyapnya seorang perawan desa bersama 

ibunya di selatan Prambanan. Hanya sayang 

kami juga tidak tahu siapa mereka. Kalau 

Pangeran mau menyelidiki kami bisa 

mengantar ke desa itu. Agak jauh di arah 

timur. Dari penduduk mungkin kita bisa 

mencari keterangan." Menjelaskan Suling 

Burik. 

"Apakah kalian berdua tahu dimana 

letak Sumur Api yang tertulis pada kain 

putih itu?" Kembali Pangeran Bunga Bangkai 

ajukan pertanyaan. 

"Kami belum pernah kesana. Tapi kami 

tahu dimana kira-kira letaknya. Jika 

dicari pasti bertemu." Menjawab Suling 

Burik. 

"Kalau begitu kita berangkat ke sana 

sekarang juga." Kata Pangeran Bunga 

Bangkai pula.


10 

MALAM BERDARAH DI SUMUR API 

KESUNYIAN mencekam sekitar Sumur Api. 

Cahaya api yang membesit keluar dari dasar 

sumur tidak mampu menerangi sampai ke 

pinggiran rimba belantara hingga bayang-

bayang hitam pekat tampak bertebaran 

dimana-mana. Langit yang semalam cerah 

malam ini justru tampak redup. Bulan 

purnama empat belas hari yang diharapkan 

muncul seolah sembunyi dibalik ketebalan 

awan. 

Sesekali jauh di dalam rimba 

terdengar suara raungan anjing hutan, 

mengejutkan burung-burung yang hampir 

terlelap tidur. Binatang ini kepakkan 

sayap lalu menghambur terbang mencari 

tempat yang lebih dirasakan aman. 

Dalam sebuah kali kecil tak jauh dari 

Sumur Api, beberapa orang mendekam dalam 

gelap, seolah menyatu dengan tebing kali. 

Di atas pohon-pohon besar, hampir tidak 

kelihatan, tersamar dalam kegelapan, 

mendekam pula beberapa orang yang setiap 

saat selalu memandang memperhatikan ke 

arah Sumur Api. 

Di balik sederetan semak belukar dan 

dua gundukan batu juga tampak beberapa 

orang bersembunyi, diam tak bergerak 

laksana patung. Lalu ketika ada suara 

kucing mengeong disertai bunyi 

bergemerincing, semua orang yang ada di 

tempat itu jadi tercekat. Mata dipentang


menatap ke arah Sumur Api. Melihat siapa 

yang muncul semua jadi terkesiap. 

Bagaimana mungkin.Tadi tidak terlihat 

orang itu dekat sumur. Kini tahu-tahu dia 

sudah berdiri di sana! 

"Ratu Meong......" beberapa orang 

berucap perlahan, bibir bergetar dada 

berdebar. 

"Ratu Dhika Gelang Gelang..."Beberapa 

orang lain menyebut nama perempuan itu. 

Dua orang yang mendekam di tebing 

kali saling berbisik. 

"Tidak disangka perempuan satu ini 

juga punya urusan di Sumur Api. Kita harus 

segera bicara dengan teman-teman agar 

cepat menyingkirkannya. Kalau tidak urusan 

bisa jadi tidak karuan." 

"Aku tidak seberapa kawatir dengan 

perempuan itu. Yang aku takutkan adalah 

kalau sampai mahluk bernama Arwah Ketua 

datang ke tempat ini. Terakhir sekali aku 

dengar dia memusnahkan mahluk jejadian Sri 

Sikaparwathi." 

Yang ada di tepi Sumur Api memang 

Ratu Dhika Gelang Gelang. Di bahu kirinya 

berbaring kucing merah Ragil Abang. 

Perempuan berkemben yang dibelah bagian 

bawah depan belakang ini berdiri memegang 

cermin. Sambi! merapikan dandanan serta 

rambutnya dia berkata. 

"Ragil Abang, apakah sudah kau hitung 

berapa manusia kesasar yang datang ke 

tempat ini?!" 

Kucing merah di bahu kiri Ratu Dhika


Gelang Gelang menjawab dengan ngeongan 

panjang. Perempuan itu kemudian tertawa 

cekikikan. 

"Sembilan orang katamu! Hik...hik... 

hik! Banyak sekali! Perlu apa malam-malam 

mereka ke sini. Malah ada yang datang dari 

kemarin pagi! Hik...hik!" 

Ratu Dhika melangkah ke dekat Sumur 

Api. Dia memandang ke langit hitam gelap 

lalu berkata lantang. 

"Sembilan mahluk tolol! Kalau kalian 

hendak menunggu munculnya bulan purnama 

empat belas hari maka itu adalah satu 

kesia-siaan! Bulan purnama tidak akan 

muncul malam ini! Apapun urusan kalian di 

tempat ini datanglah satu bulan lagi 

sampai bulan purnama yang akan datang!" 

Tak ada yang menjawab. Sembilan orang 

yang mendekam di tempat gelap diam membisu 

tapi mata menengadah ke langit. Mereka 

memang tidak melihat bulan purnama empat 

belas hari. Awan gelap masih bertebaran di 

langit. 

Di atas satu pohon besar seorang tua 

berjanggut putih panjang yang mendekam 

sambil melilitkan janggutnya ke cabang 

pohon berpaling pada seorang nenek kepala 

botak beralis rimbun yang duduk manja di 

sebelahnya merangkul pinggangnya. Sambil 

ciumi kepala botak si nenek dia berbisik. 

"Kekasihku Kunti Jenggala, aku tahu 

betul di langit sana bulan purnama telah 

muncul. Tapi ada seseorang berkepandaian 

tinggi mengarak awan hitam menutupi


rembulan." 

"Ametung Warangtilis, Ratu Dhika 

Gelang Gelang manusia sungguhan. Kepan-

daian mengarak awan hanya dimiliki oleh 

mahluk gaib jejadian atau mahluk alam 

roh." Menjawab sang kekasih sambil balas 

mengusap janggut si kakek. 

"Kau bisa menduga siapa mahluknya?" 

tanya kakek bernama Ametung Warangtilis. 

"Di Bhumi Mataram hanya satu mahluk 

yang bisa melakukan. Siapa lagi kalau 

bukan Arwah Ketua, dedengkot raja diraja 

mahluk alam kematian! Sejak tadi tidak ada 

satu orang tokohpun yang berada di sini 

berani jual tampang unjukkan diri. Jika 

Ratu Dhika Gelang Gelang melakukan hal itu 

maka berarti dia punya seseorang yang 

diandalkan. Pasti dia mengandalkan Arwah 

Ketua!" 

"Lalu apakah kau merasa takut 

kekasihku?" Si kakek bertanya lalu 

menjilat kepala botak si nenek. 

Di dekat Sumur Api Ratu Dhika 

goyangkan dua tangannya hingga gelang yang 

diganduli kerincingan berbunyi keras. 

"Sembilan mahluk yang ada di tempat 

ini! Apa kalian manusia sungguhan atau 

mahluk jejadian! Dengar apa yang aku 

katakan! Aku Ratu Dhika Gelang Gelang, 

kerabat Sri Maharaja yang bertahta di 

Bhumi Mataram, mempunyai kewenangan untuk 

mengatakan bahwa kalian semua tidak ada 

kepentingan di tempat ini! Karena itu aku 

meminta kalian semua untuk segera pergi!


Siapa yang berani menolak bangkainya akan 

menggeletak di tempat ini atau rohnya akan 

berserabutan kelangit!" 

Tidak ada suara jawaban. Namun dari 

arah kali terdengar suara seperti orang 

menggerutu. Ratu Dhika Gelang Gelang 

melangkah lebih dekat ke Sumur Api. 

Tangan kirinya yang memegang cermin 

diletakkan di dekat bibir batu sumur. 

Cahaya nyala api di dasar sumur menerangi 

cermin. Ketika cermin itu digoyang maka 

cahaya merah terang memantul ke depan. 

Ratu Dhika membuat gerakan sembilan kali 

ke sembilan arah. Setiap gerakan cermin 

yang diarahkan jatuh tepat secara 

bergantian pada sembilan wajah orang-orang 

yang mendekam di tempat gelap. 

"Hik...hik...hik. Kau benar Ragil 

Abang! Mereka semua berjumlah delapan 

orang! Beberapa diantaranyacukup aku 

kenal! Biaraku bicara lagi. Aku mulai 

dengan yang aku kena! lebih dulu!" 

Ratu Dhika Gelang Gelang goyangkan 

lagi cerminnya lalu diam tidak digerakkan. 

Pantulan cahaya terang nyala api dari 

dasar sumur jatuh pada satu wajah seram 

yang mendekam di belakang gundukan batu 

besar. Orang ini lelaki garang berambut 

tebal hitam, memelihara berewok, janggut 

dan kumis tebal. Mata kiri berwarna merah, 

mata kanan berwarna kuning. Dua gigi di 

sudut bibir sebelah atas mencuat 

berbentukcaling berwarna merah. Pantulan 

cahaya merah dari cermin membuat


tampangnya tambah menyeramkan. 

"KamaraTunggalbisma alias Hantu Mata 

Iblis! Kita sudah lama saling kenal. Atas 

nama persahabatan aku minta kau menjadi 

orang yang pertama untuk segera 

meninggalkan kawasan Sumur Api ini. 

Syukur-syukur kalau kau mau mengajak 

delapan orang lainnya untuk ikut 

bersamamu. Kalian tidak akan melihat bulan 

purnama malam ini! Apapun urusan dan 

kepentingan kalian di tempat ini adalah 

satu kesia-siaan!" 

Lelaki di balik gundukan batu 

menggeram pendek. Lalu meniup ke depan. 

Cahaya merah yang sejak tadi menyoroti 

wajahnya buyar. Tangan kiri Ratu Dhika 

Gelang Gelang yang memegang cermin 

bergetar. Perempuan gemuk ini cepat 

kerahkan tenaga dalam hingga getaran di 

tangannya menjadi lenyap. 

Setelah lebih dulu tertawa Ratu Dhika 

Gelang Gelang Berkata. 

"Aku sangat mengagumi ilmu 

kepandaianmu, Kamara Tunggalbisma. Sayang 

kalau ilmu meniup langka yang kau miliki 

itu lenyap dan dilupakan orang begitu 

saja. Aku mohon, tinggalkan tempat ini." 

"Ratu Dhika!" Sunra jawaban Kamara 

Tunggalbisma menggelegar. "Aku pergi ke 

mana aku suka! Aku diam dimana aku senang! 

Bhumi Mataram adalah milik semua orang. 

Dia boleh berada dimana saja sesuai 

kehendaknya, termasuk diriku yang ingin 

berada di kawasan Sumur Api ini. Kalau kau


meminta aku pergi maka kau juga akan aku 

minta angkat kaki dari sini." 

"Begitu?!" Ratu Dhika Gelang Gelang 

berucap sambil menyeringai. Alis kereng 

mencuat ke atas. Perempuan ini lalu 

tertawa panjang. "Kalau kita memang sama-

sama ingin pergi maka aku persilahkan kau 

pergi duluan!" 

Ratu Dhika tutup ucapannya dengan 

menggerakkan tangan kiri yang sudah 

dialiri tenaga dalam tinggi. 

"Wusss!" 

Dari dalam cermin yang melesat kini 

bukan cuma pantulan cahaya nyala api tapi 

api sungguhan. Kamara Tunggalbisma 

berteriak kaget tak mengira. Dia cepat 

menyingkir. Namun terlambat.Tubuhnya 

terbanting ke tanah.Tergelimpang tak 

bergerak lagi. Di mukanya yang seram kini 

tampak lobang besar menggidikkan! Udara di 

tempat itu serta merta dipenuhi bau daging 

yang terpanggang! 

Kesunyian yang menggantung dipecah 

oleh suara Ratu Dhika Gelang Gelang. 

"Kasihan....Kasihan sekali! Siapa 

lagi yang perlu aku kasihani?!" 

"Ratu Dhika Gelang Gelang! Kita 

memiliki kepentingan sama! Mengapa 

menyele-saikan persoalan dengan 

kematian?!" 

 Tiba-tiba ada yang bicara lantang. 

"Siapa yang bicara?! Aku ingin 

melihat tampangnya!" 

Saat itu juga dari atas pohon


melayang turun sepasang kakek nenek yang 

bukan lain adalah Ametung Warangtilis dan 

kekasihnya Kunti Jenggala. 

"Ah, sepasang tua bangka bercinta!" 

Ratu Dhika berseru lalu tertawa gelak-

gelak. "Sudah lama aku mendengar nama 

besar kalian. Baru kali ini bisa bertatap 

muka. Sungguh satu kehormatan besar!" 

Si kakek Ametung Warangtilis diam 

saja namun sepasang matanya memperhatikan 

sang Ratu dengan pandangan mata liar. Di 

sebelahnya si nenek berkomat kamit. Ratu 

Dhika membentak. 

"Kalian bilang kita punya kepentingan 

sama! Kepentingan apa?!" 

Ametung Warangtilis berjingkat 

sedikit lalu miringkan kepala. Lidah 

dijulurkan untuk menjilat kepala botak si 

nenek yang membuat Ratu Dhika menjadi 

jijik. 

"Tua bangka edan! Kalau mau bercinta 

jangan dihadapanku! Pergi ke comberan 

sana!" 

Ametung Warangtilis menyeringai 

sambil julur-julurkan lidah. 

"Comberan memang bukan tempat sedap. 

Tapi lebih enak dari pada kuburan atau 

timbunan kayu pembakar jenazah! Ha...ha... 

ha!" 

Si nenek ikutan tertawa lalu berkata. 

"Ratu Dhika! Jika kau berjanji 

menyerahkan dua bayi yang bakal lahir 

malam ini, aku dan kekasihku bersedia 

mengakhiri urusan sampai di sini!"


"Ah, jadi itu maksud kalian datang ke 

Sumur Api. Berarti kepentingan kita tidak 

sama! Kau mau dua bayi. Aku sebaliknya 

melindungi mereka! Selagi malam belum 

larut pergilah dari sini!" 

"Jika begitu jawabmu, maka kami akan 

membawamu sama-sama masuk ke dalam sumur 

api!" Kata si nenek bernama Kunti 

Jenggala. 

"Kalau kalian memang punya kemampuan 

aku sudi-sudi saja ikut!" jawab Ratu 

Dhika. 

Sepasang kakek nenek angkat dua 

tangan lurus-lurus ke atas. Saat itu juga 

dari ujung jari-jari mereka mengepul asap 

putih menghampar hawa luar biasa dingin. 

Asap putih kemudian dengan cepat bergulung 

ke bawah menyelubungi tubuh mulai dari 

kepala sampai ujung kaki. 

"Ilmu Salju Merapi!" teriak Ratu 

Dhika Gelang Gelang terkejut. Dia 

mengenali dan mengetahui kehebatan ilmu 

tersebut. Walau belum tentu sepasang kakek 

nenek itu mampu mengambil dua bayi yang 

malam itu memang akan lahir di dasar Sumur 

Api, namun kalau keduanya bisa menerobos 

masuk ke dalam sumur paling tidak 

kekacauan besar akan terjadi. 

"Ragil Abang! Hadapi si kakek! Aku 

akan menahan si nenek!" teriak Ratu Dhika. 

Kucing merah di atas bahu kiri 

mengeong keras lalu melompat ke arah 

Ametung Warangtilis. Tubuh berselubung si 

kakek segera berkelebat menghadapi


serangan kucing merah. Kejap itu juga 

cahaya putih menderu membungkus kaku tubuh 

Ragil Abang. Kucing ini seperti memiliki 

tenaga dalam mengandung hawa panas, 

menggeliat jungkir balik di udara lalu 

kembali menyerang lawan dengan dua kaki 

depan terpentang, kuku siap mencabik-

cabik. 

Kunti Jenggala lepaskan dua pukulan 

tangan kosong. Selagi Ratu Dhika Gelang 

Gelang membuat gerakan mengelak nenek ini 

memburu dengan tendangan serta dua pukulan 

tangan kosong. Tendangan meleset, dua 

pukulan tangan kosong saling beradu dengan 

dua lengan Ratu Dhika Gelang Gelang. Si 

nenek mencelat ke udara. Ketika lawan 

mengejar, perempuan tua ini goyangkan 

sekujur tubuhnya. Seluruh benda putih 

menyerupai salju yang menutupi dirinya 

berhamburan dan dengan cepat menyelubungi 

tubuh Ratu Dhika. Selagi perempuan gemuk 

ini tertegun kaku Kunti Jenggala langsung 

menghajar dengan pukulan-pukulan keras 

hingga Ratu Dhika terjengkang. Dua pukulan 

dengan telak melanda dadanya membuat Ratu 

Dhika semburkan darah. Sadar akan bahaya 

yang dihadapi Ratu Dhika cepat kerahkan 

hawa panas hingga sebagian tubuhnya yang 

kaku kini bisa digerakkan. 

Kunti Jenggala tertawa bergelak. 

Sekali lompat saja dia sudah melayang di 

atas tubuh Ratu Dhika, siap untuk 

menghancurkan kepala lawan dengan hunjaman 

tumit kaki kanan!


Sambil bergulingan selamatkan diri 

Ratu Dhika kerahkan hawa panas ke tangan 

kanan. Begitu tangannya mampu digerakkan 

dengan cepat dia melepas pukulan sakti 

Langit Roboh Bumi Terbongkar. Pukulan 

sakti inilah yang sebelumnya 

dikeluarkannya waktu menghancurkan goa 

tempat pertapaan Pangeran Bunga Bangkai. 

Kalau batu goa yang begitu tebal saja 

hancur berantakan dapat dibayangkan apa 

yang akan terjadi dengan tubuh seorang 

nenek seperti Kunti Jenggala! 

Tak ampun lagi tubuh si nenek 

mencelat sampai dua tombak ke udara. Ktika 

tubuh itu melayang turun keadaannya 

tercerai berai menjadi dua puluh tujuh 

potongan! 

Lapisan benda putih menyerupai salju 

yang menyelubungi Ratu Dhika meleleh cair 

begitu si nenek Kunti Jenggala menemui 

ajal. Ratu Dhika tengah berusaha berdiri 

sambi! pegangi dada ketika sebuah benda 

jatuh di depannya. 

"Bluukk!" 

Ketika melihat benda yang jatuh Ratu 

Dhika menggerung keras dan jatuhkan diri 

menubruk. Benda itu ternyata adalah Ragil 

Abang. Kucing besar ini menemui ajal kena 

dihantam pukulan dahsyat Ametung 

Warangtilis. Si kakek sendiri tewas dengan 

dua belas koyakan luka mengerikan di muka, 

leher dan dada. 

Kalap melihat kematian kucing 

peliharaannya, Ratu Dhika Gelang Gelang


menjerit-jerit lalu tendang tubuh Ametung 

Warangtilis. Karena tendangan yang 

dilancarkan dengan mengandalkan aji 

kesaktian Langit Roboh Bumi Terbongkar, 

maka seperti yang dialami si nenek, tubuh 

kakek inipun hancur bercerai berai! 

"Kubunuh semua! Kubunuh semua!"Teriak 

Ratu Dhika Gelang Gelang masih kalap. 

Tiba-tiba enam orang berkelebat dari 

tempat gelap, langsung mengurung Ratu 

Dhika Gelang Gelang. Mereka adalah sisa 

dari sembilan orang yang sejak tadi 

mendekam di tempat gelap, menunggu kesem-

patan. Melihat kehebatan dan keganasan 

ilmu perempuan itu mereka merasa sangsi 

untuk bertarung sendiri-sendiri. Setelah 

secara diam-diam saling mengatur siasat, 

mereka lalu menyerbu bersama-sama. 

"Bagus! Kalian sudah keluar semua! 

Ayo serang! Biar aku buat mampus kalian 

berbarengan!" 

Ratu Dhika Gelang Gelang hentakkan 

dua kaki, angkat tangan ke udara. Dua 

puluh kerincing menderu keras. Dua puluh 

larik sinar kuning memancar menyilaukan. 

Siap menebar maut. Tapi enam orang yang 

mengurung tidak tunjukkan perasaan jerih. 

Didahului teriakan keras mereka menyerbu. 

Mereka sadar kalau di antara mereka akan 

jadi korban. Namun mereka juga mengharap 

bilamana Ratu Dhika Gelang Gelang tewas 

maka mereka bisa menerobos masuk ke dasar 

Sumur Api. Akibatnya setiap orang membekal 

niat keji. Siapa saja diantara mereka


kelak yang masih hidup akan dibunuh agar 

bisa mendapatkan dua orang bayi. Walau 

mereka belum melihat bulan purnama empat 

belas hari namun mereka yakin bulan itu 

ada di atas langit sana yang saat itu 

masih tertutup tebaran awan gelap. 

Tiba-tiba tam...tam...tam! Suara 

tambur ditabuh. Disusul suara tiupan 

suling. Tanah bergetar. Udara bergaung. 

Awan tebal yang sejak tadi menutupi langit 

secara aneh perlahan-lahan menebar buyar. 

Langit tampak terang ketika rembulan empat 

belas hari sedikit demi sedikit muncul 

menampakkan diri. 

11 

LAHIRNYA DUA BAYI KERAMAT 

DI DALAM ruangan tidur di dasar Sumur 

Api. Ananthawuri terbaring di ranjang 

besar. Perawan desa Sorogedug yang sedang 

hamil besar ini berada dalam keadaan 

setengah tidur setengah terjaga. Dia tidak 

tahu apakah dia bermimpi atau melihat 

kejadian yang sebenarnya ketika di langit 

di luar Sumur Api bulan purnama empat 

belas hari akhirnya muncul, di dalam 

ruangan satu cahaya putih kemilau turun 

dari langit-langit kamar menyelubungi 

dirinya. Sekujur tubuhnya terasa sejuk dan 

nyaman. Bersamaan dengan itu bau harum 

segar menebar. Perlahan-lahan kedua 

matanya terasa berat lalu terpejam dan 

tertidur sangat lelap.


Suara aneh yang tidak pernah 

didengarnya sebelumnya membangunkan anak 

perawan pilihan Para Dewa dari tidurnya. 

Ananthawuri nyalang mata, mengucak-ngucak 

beberapa kali sementara telinganya terus 

mendengar suara aneh itu. Suara genta 

lonceng! 

Ananthawuri bergerak bangun. Karena 

kebiasaan dua tangan langsung mengelus 

perut. Ananthawuri ' terkejut ketika 

merasakan bahwa perutnya yang selama ini 

besar karena mengandung kini telah rata. 

Tiba-tiba dia mendengar suara lain. Suara 

tangis bayi! 

Dewa Agung Jagat Bhatara! Di atas 

tempat tidur di sampingnya berbaring dua 

bayi laki-laki merah montok, melejang-

lejang kaki, menggerak-gerakkan tangan dan 

menangis sama-sama keras. Sulit dibedakan 

bayi satu dengan lainnya karena kedua bayi 

itu seperti kembar. 

"Anakku? Apakah mereka benar anak-

anakku? Bayi-bayi yang aku lahirkan 

seperti pernah diberitahu Roh Agung? Tapi 

bagaimana mungkin? Aku tidak merasa 

seperti melahirkan. Aku hanya tidur dan 

tahu-tahu mereka sudah ada di sini. Kalau 

mereka bukan anak-anakku lalu...?" 

Ananthawuri kembali mengusap perutnya yang 

telah kempes. 

Bagaimanapun dalam diri anak perawan 

dari Desa Sorogedug itu ada perasaan 

ikatan bathin bahwa dua bayi itu memang


adalah darah daging yang dilahirkannya. 

Perasaan kasih sayang yang muncul dalam 

dirinya membuat dia membelai kepala ke dua 

bayi itu. Ketika membelai itulah dia 

melihat bahwa bayi yang di sebelah kanan 

ada anting-anting emas di telinga kirinya 

sedang bayi yang di sebelah kiri ada 

anting-anting yang sama tapi pada telinga 

kanan. 

"Dewa Agung, sembilan bulan lebih 

saya menunggu. Sekarang inilah anugerah 

Mu. Saya merasa sangat berbahagia. Terima 

kasih Dewa, terima kasih Yang Maha Kuasa 

Maha Pengasih...." Ananthawuri lalu 

merunduk mencium kening bayi itu satu 

persatu. Ketika dia mencium kening bayi 

yang memiliki anting-anting emas pada 

telinga kanan, tiba-tiba dua cahaya putih 

sejuk muncul menyelubungi dua bayi. 

Bersamaan dengan itu terdengar suara yang 

tidak asing lagi. Suara Roh Agung. 

"Ananthawuri anak perawan pilihan 

Para Dewa 

Berkat anugerah Para Dewa yang paling 

indah telah 

menjadi bagian dirimu 

Mereka bayi-bayi yang baru kau 

lahirkan secara gaib bukanlah bayi-bayi 

biasa 

Mereka dua bayi keramat berwajah 

mirip 

Namun mereka tidak kembar 

Mereka akan tumbuh tidak seperti bayi 

biasa


Satu purnama bagi mereka sama dengan 

dua belas purnama 

Jangan heran bilamana dalam usia 

tujuh bulan mereka akan sama besarnya 

dengan anak-anak seusia tujuh tahun 

Bilamana mereka dewasa kelak 

Mereka akan menjadi dua orang 

Kesatria Yang akan berbakti pada 

Bhumi Mataram 

Mereka sama dengan sehelai kain putih 

Mereka bisa tetap putih tapi juga bisa 

berubah hitam 

Sesuai dengan apa yang mereka terima 

dari luar 

Karenanya pelihara dan jaga mereka 

baik-baik 

Mohon selalu petunjuk dan 

perlindungan Para Dewa 

Agar mereka berada dijalan yang benar 

dan lurus 

Seperti yang pernah dikatakan suamimu 

Pada hari terakhir pertemuan kalian 

Berikan nama Dirga Purana pada bayi 

yang ada anting-anting di telinga kiri 

Dialah anakmu yang sulung 

Berikan nama Mimba Purana 

Pada bayi yang memiliki anting-anting 

di telinga kanan 

Dialah anakmu yang bungsu 

Semoga berkat Para Dewa menjadi 

bagian kalian bertiga. 

Aku pergi sekarang." 

"Roh Agung, tunggu dulu. Bolehkah


saya bertanya?" Ananthawuri yang sejak 

tadi berdiam diri mendengarkan ucapan 

suara tanpa ujud memberanikan diri membuka 

mulut. 

"Apa yang ingin kau tanyakan anak 

perawan pilihan Para Dewa?" 

"Siapakah nama suami saya? Nama ayah 

dari dua anak saya?" 

"Suamimu seorang Pangeran. Hanya itu 

yang bisa aku beritahu." 

"Seorang Pangeran? Lalu apakah dia 

tidak punya nama?" 

"Hanya itu yang bisa aku katakan." 

Suara tanpa ujud mengulangi ucapannya. 

"Roh Agung, apakah saya bisa bertemu 

dengan dia? Dimana saya harus mencari 

suami saya? Apakah anak-anak saya bisa 

bertemu dengan ayahnya?" 

"Pertemuan adalah salah satu kehendak 

Yang Maha Kuasa. Memohonlah padaNya. Niat 

baikmu pasti akan dikabulkan. Untuk itu 

kau perlu bersabar..." 

"Satu hal lagi wahai Roh Agung. Sejak 

tadi saya mendengar bunyi suara lonceng. 

Saya tidak tahu dari mana datangnya. Mohon 

petunjuk Roh Agung, apakah artinya suara 

lonceng itu, dari mana datangnya?" 

"Suara lonceng yang kau dengar datang 

dari Swargaloka tempat kediaman Para 

Dewa." Menjelaskan suara tanpa ujud. "Itu 

adalah satu pertanda bahwa kelak salah 

seorang dari puteramu akan menerima satu 

ilmu kesaktian melebihi dari saudaranya 

yang lain. Ilmu itu bersumber pada Lonceng


Gaib terbuat dari emas milik Para Dewa..." 

"Berarti Para Dewa membeda-bedakan 

diantara dua putera saya?" 

"Para Dewa tidak pernah membeda-

bedakan. Bahkan berkat dan rahmat 

diberikan bukan cuma pada manusia tapi 

juga pada tetumbuhan dan hewan. Jika kau 

mau merenungi lebih dalam justru disitulah 

makna yang sangat hakiki dari kehidupan 

dimana terkait hubungan antara manusia 

dengan Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. 

Manusia memiliki suratan nasib dan takdir 

masing-masing." 

"Dari kedua putera saya wahai Roh 

Agung, yang mana yang akan mendapat 

kelebihan ilmu itu?" 

"Aku tidak tahu karena itu adalah 

kuasa dan kehendak Para Dewa. Namun jika 

mereka sudah dewasa kelak kau akan 

mengetahui sendiri. Waktuku sudah habis. 

Selamat tinggal..." 

"Terima kasih Roh Agung. Saya selalu 

mohon petunjukmu," kata Ananthawuri sambil 

membungkuk dalam-dalam. 

KEMBALI ke Sumur Api. 

Ketika Ratu Dhika Gelang Gelang 

dengan galak menghadapi enam musuh yang 

datang menyerang secara serentak, suara 

tambur dan tiupan seruling memenuhi tempat 

itu. Tanah bergetar, udara bergaung dan 

api di dalam sumur bergejolak, menyambar 

tinggi melewati bibir sumur. 

Tiba-tiba ada yang berseru. 

"Sahabatku Ratu Dhika, kau dalam


keadaan terluka di dalam. Biar aku dan dua 

teman menghadapi para penyerang keji 

pembawa niat jahat!" 

Meski belum melihat orang yang bicara 

namun Ratu Dhika mengenali suara. Maka dia 

segera menyahuti. 

"Aku tidak perlu bantuan. Kaupun 

belum tentu berhati lurus dan membawa niat 

jujur!" 

Enam larik serangan laksana topan 

prahara menyambar ke arah Ratu Dhika 

Gelang Gelang. Empat dari serangan itu 

memancarkan cahaya menggidikkan. Ratu 

Dhika Gelang Gelang goyangkan dua tangan 

dan hentakkan dua kaki. Saat itu juga dua 

puluh sinar kuning menyambar keluar dari 

kerincingan emas, menyambut serangan enam 

lawan tak kalah ganasnya. Namun sebelum 

semua ilmu kesaktian itu saling bentrok di 

udara tiba-tiba terjadi keanehan. 

Satu persatu enam orang yang 

menyerang Ratu Dhika tubuh mereka 

terangkat ke atas lalu seperti ada tangan 

yang tidak kelihatan tubuh-tubuh itu 

dibanting-kan ke tanah, ke arah gundukan 

batu dan ada juga yang dilempar ke batang 

pohon besar. Jerit pekik memenuhi udara. 

Enam tubuh berkaparan.Tiga dalam keadaan 

kepala hancur. Dua orang mengalami patah 

leher dan satu dengan dada remuk. Semuanya 

tidak bernyawa lagi! 



                      TAMAT


Meskipun Ratu Dhika Gelang Gelang 

yang dalam keadaan terluka dalam mendapat 

pertolongan dari dua orang aneh, apakah 

dia masih mampu menyelamatkan Sumur Api 

dari serombongan tokoh pendatang baru yang 

juga ingin menerobos masuk ke dasar Sumur 

Api pada malam bulan purnama yang sama? 

Mengapa Arwah Ketua tidak muncul 

untuk membantu? 

Siapa yang telah mencuri jimat 

Mutiara Mahakam dan apakah Sebayang 

Kaligantha pemuda kekasih Ratu Dhika yang 

memiliki jimat itu masih hidup? 

Siapa sebenarnya manusia pengganda 

gaib yang memiliki ilmu kesaktian begitu 

tinggi? 

Lalu siapa sang peminang salah 

seorang bayi keramat yang mengutus si 

Tambur Bopeng dan si Suling Burik? 

Lalu siapa pula: 


DEWI TANGAN JERANGKONG 


(Judul kisah berikutnya)









Share:

0 comments:

Posting Komentar