..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 28 Januari 2025

RAJA NAGA EPISODE KAIN PUSAKA SETAN

Kain Pusaka Setan

 

"Mengapa kau bertanya demikian?!" desis 

Dayang Biru dengan mata menyipit.

"Aku ingin meluruskan ketimpangan yang 

ada! Terus terang, saat ini aku sedang mencari 

gadis berpakaian kuning yang telah merebut Kain 

Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang!"

Dayang Biru menatap pemuda di hadapan-

nya lekat-lekat.

"Hemm... rupanya dia termasuk salah seo-

rang yang menghendaki Kain Pusaka Setan! Be-

rarti... dia juga termasuk orang yang harus ku-

singkirkan!" desisnya dalam hati. Lalu katanya 

dengan mulut agak dirapatkan, "Raja Naga... per-

lu kau ketahui, aku dan saudara seperguruanku 

pun sedang berusaha untuk mendapatkan Kain 

Pusaka Setan yang terdapat di Taman Kematian! 

Perjumpaanku dengan Pengemis Pincang sudah 

menjelaskan kalau aku tak perlu lagi datang ke 

Taman Kematian! Karena, Kain Pusaka Setan 

yang didapatkannya telah direbut seseorang ber-

pakaian kuning!"

"Jadi... apa yang dikatakan Pengemis Pin-

cang itu benar?!"

"Tak sepenuhnya benar! Karena... aku be-

lum pasti apakah memang gadis berpakaian kun-

ing yang telah merebut Kain Pusaka Setan dari 

tangan Pengemis Pincang, memang saudara se-

perguruanku si Dayang Kuning atau bukan!"

"Siapakah yang menyuruhmu untuk men-

gambil Kain Pusaka Setan?" tanya Raja Naga.

Dayang Biru tak segera menjawab. Kemu


 membuat onar. Dialah 

yang memulai mengambil Kain Pusaka Setan 

yang kemudian direbut oleh gadis berpakaian 

kuning. Aku tak tahu ada urusan apa dia dengan 

gadis berpakaian biru ini. Tetapi yang kutahu, 

Pengemis Pincang bukanlah orang baik-baik...."

Karena ucapannya tak mendapatkan sahu-

tan, Pengemis Pincang menggeram gusar. Tangan 

kanannya menunjuk tepat ke arah wajah si pe-

muda yang bukan lain Boma Paksi alias Raja Na-

ga. Sesaat dia menelan ludahnya begitu melihat 

tatapan yang sedemikian angker terpancar dari 

mata pemuda tampan berambut gondrong tak be-

raturan!

"Bagus! Kau tak mau menjawab perta-

nyaanku! Berarti kau telah siap untuk mampus!"

Habis ucapannya, Pengemis Pincang siap 

melepaskan ilmu 'Menggiring Awan Hitam' yang 

telah membuat Dayang Biru kewalahan. Bila saja

Raja Naga tidak muncul mungkin gadis jelita ber


kuncir kuda itu sudah tewas di tangan Pengemis 

Pincang.

Sebelum Pengemis Pincang melancarkan 

serangan, Raja Naga sudah berseru, "Pengemis 

Pincang! Aku tak pernah campuri urusan orang! 

Apalagi urusanmu dengan gadis berpakaian biru 

ini! Tetapi... aku ingin masalah dapat dituntaskan 

tanpa ada dendam lain!"

Pengemis Pincang yang urung menyerang 

justru mengerutkan kening.

"Gila! Baru pertama kali aku berjumpa 

dengan pemuda ini, tetapi dia sudah mengenalku, 

sementara aku tak tahu siapa dia adanya."

Tetap dengan suara menyentak keras, Pen-

gemis Pincang berseru, "Anak muda! Siapa kau 

sebenarnya?!"

Pemuda itu terdiam beberapa saat sebelum 

menjawab,

"Namaku Boma Paksi... julukanku Raja 

Naga!"

Ucapan dingin dengan sorot mata angker 

itu membuat Pengemis Pincang terdiam. Tapi di 

kejap lain dia sudah membentak kembali, "Raja 

Naga! Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini sebe-

lum terlambat!"

Raja Naga menggeleng.

"Pengemis Pincang... aku tahu apa yang 

sedang kau cari! Seorang gadis berpakaian kun-

ing yang telah merebut Kain Pusaka Setan yang 

sudah kau dapatkan dengan cara berlagak bodoh 

di hadapan Demit Merah! Apakah gadis ini ada


hubungannya dengan gadis berpakaian kuning?!"

Kembali Pengemis Pincang terdiam. Kedua 

matanya memandang tak berkedip.

"Pemuda bersisik coklat ini ternyata bukan 

hanya mengetahui julukanku, tetapi juga menge-

tahui apa yang telah kulakukan. Jangan-jangan... 

dia berada di sekitar Taman Kematian tatkala aku 

dan Demit Merah mendatangi tempat itu?"

Selagi Pengemis Pincang membatin, Raja 

Naga yang memang sebelumnya melihat kejadian 

di Taman Kematian sudah berkata lagi, "Kain Pu-

saka Setan adalah sebuah benda yang sangat 

mengerikan! Kau berusaha untuk merebutnya 

kembali karena kau hendak membuat perhitun-

gan dengan Dewi Bintang yang belum kutahu sia-

pa adanya orang! Dan siapa pun yang memiliki 

Kain Pusaka Setan, aku akan merebut dari tan-

gannya untuk kubuang jauh atau ku kubur di sa-

tu tempat!"

Mendengar kata-kata itu, menggigil tubuh 

Pengemis Pincang. Kemarahannya yang sempat 

surut tadi naik kembali.

"Pemuda ini benar-benar telah mengetahui 

semuanya, bahkan rencanaku untuk membunuh 

Dewi Bintang pun juga diketahuinya...," katanya 

dalam hati. "Huh! Menilik gelagatnya, Jelas kalau 

anak muda bersisik coklat ini akan jadi duri dari 

semua rencanaku! Sebaiknya... kuhabisi saja dia 

sekarang!"

Memutuskan demikian, Pengemis Pincang 

mengerahkan tenaga dalamnya.


"Anak muda! Kau terlalu banyak tahu!"

Kejap kemudian, lelaki pincang ini sudah 

melesat ke depan. Tangan kanan kirinya bergerak 

cepat. Raja Naga hanya terdiam di tempatnya. Be-

gitu kedua jotosan lawan siap menghajar wajah-

nya, dia segera mengangkat kedua tangannya 

dengan cara menyentak.

Buk! Buk!

Dua benturan terjadi susul menyusul. Raja 

Naga tetap berada di tempatnya tanpa bergeser 

sedikit pun juga. Tetapi di pihak lain. Pengemis 

Pincang justru mundur beberapa langkah. Kedua 

tangannya yang berbenturan dengan kedua tan-

gan Raja Naga nampak agak membiru. Rasa nyeri 

dirasakannya.

"Gila! Tenaga dalamnya sungguh hebat!" 

desisnya.

Raja Naga tersenyum. Apa yang diduga 

Pengemis Pincang salah besar. Karena anak muda 

dari Lembah Naga ini belum mengeluarkan tenaga 

dalam. Kalau pun Pengemis Pincang merasakan 

ngilu pada kedua tangannya akibat benturan tadi, 

itu dikarenakan kedua tangan Raja Naga yang 

bersisik coklat sebatas siku memiliki satu keam-

puhan luar biasa!

Pengemis Pincang menggereng keras. Kali 

ini dia mengerahkan ilmu 'Menggiring Awan Hi-

tam'. Disertai teriakan membahana, dia sudah 

menerjang kembali. Tangan kanan kirinya dido-

rong yang serta merta menggebah awan-awan hi-

tam yang mengeluarkan suara bergemuruh.


Dayang Biru yang sejak tadi terdiam dan 

agak terkejut melihat mundurnya Pengemis Pin-

cang begitu berbenturan dengan kedua tangan si 

pemuda, mendadak berseru, "Awaasss! Awan-

awan hitam itu dapat menghanguskan tubuhmu!"

Dayang Biru sendiri sudah melompat ke 

samping kanan. Di pihak lain, Raja Naga menje-

rengkan matanya. Dari gelagatnya tak ada tanda-

tanda dia akan menghindar. Bahkan tak terlihat 

dia juga akan lakukan satu papakan.

"Gila! Kau bisa hangus!!" seruan kaget ter-

lontar dari mulut Dayang Biru.

Murid Dewa Naga melirik sekilas. Bersa-

maan lirikannya diarahkan kembali pada awan-

awan hitam yang menggebrak ke arahnya, dia 

mendehem kecil.

"Ehmmm!"

Mendadak....

Blaar! Blaaarr! Blaaarrr!

Satu tenaga dahsyat menggebah, menghan-

tam awan-awan hitam itu hingga putus di tengah 

jalan, berhamburan mengenai bagian-bagian po-

hon yang seketika hangus.

"Gila!" seruan itu terdengar bersamaan dari 

mulut Dayang Biru dan Pengemis Pincang.

Kalau Dayang Biru kemudian berdecak ka-

gum. Pengemis Pincang melongo dengan mulut 

membuka lebar.

Raja Naga tetap berdiri tegak di tempatnya. 

Sorot matanya semakin angker mengerikan.

"Kau terlalu banyak berbuat kekejian, Pen


gemis Pincang! Kau telah memperalat seseorang 

dengan imbalan berlian yang bukanlah milikmu, 

tetapi kau katakan sebagai harta karun! Padahal 

yang kau hendaki adalah Kain Pusaka Setan!"

Pengemis Pincang yang masih memandang 

tak percaya kalau ada orang yang mampu men-

gandaskan ilmu 'Menggiring Awan Hitam'nya den-

gan satu deheman saja, tak bersuara walau terli-

hat mulutnya berkemak-kemik. Kalaupun tadi dia 

sempat dikejutkan akibat benturan dengan kedua 

tangan si pemuda, kali ini rasa terkejutnya men-

jadi lebih besar!

Tetapi di saat lain dia sudah membentak, 

"Pemuda bersisik! Siapa kau sebenarnya? Manu-

siakah atau setan gentayangan penghuni tempat 

ini?!"

Raja Naga tak menyahut. Matanya tetap 

memandang angker. Lamat-lamat dia justru men-

garahkan pandangannya pada Dayang Biru yang 

juga menatapnya takjub.

"Gadis berpakaian biru... lebih baik kau 

segera tinggalkan tempat ini! Tak perlu buka uru-

san dengan orang seperti dia!"

Mendengar kata-kata itu, Dayang Biru seo-

lah diingatkan kalau ada orang lain yang sebe-

lumnya menghendaki nyawanya. Seketika itu dia 

memutar tubuh dan memandang Pengemis Pin-

cang tajam-tajam.

Masih memandang lelaki berpakaian putih 

penuh tambalan warna-warni itu dia mendesis, 

"Manusia satu itu telah menuduh saudaraku


yang merebut Kain Pusaka Setan! Bahkan dia te-

lah menantang guruku! Apakah aku tak boleh tu-

run tangan untuk menutup mulut lancangnya?!"

Raja Naga melirik si gadis tajam. Lalu ka-

tanya, "Mengapa dia menuduh saudaramu yang 

telah merebut Kain Pusaka Setan?!"

"Kebetulan sekali saudaraku mengenakan 

pakaian berwarna kuning, sama seperti gadis 

yang telah merebut benda itu dari tangannya!"

"Hmmm... s! Bayangan Kuning? Aku juga 

menduga kalau dia seorang gadis? Aku memang 

datang agak terlambat. Baru muncul dan lang-

sung menyelamatkan gadis ini dari serangan Pen-

gemis Pincang, hingga aku belum jelas masalah 

apa yang sebenarnya keduanya hadapi sekarang 

ini...."

Selagi Raja Naga membatin demikian, Pen-

gemis Pincang sudah membentak, "Raja Naga! 

Sekali lagi kukatakan, lebih baik kau pergi dari 

sini! Jangan campuri urusanku!"

Raja Naga memandang Pengemis Pincang 

dengan sorot matanya yang tetap angker menge-

rikan.

"Urusan Kain Pusaka Setan memang masih 

buntu sampai saat ini. Si bayangan kuning yang 

belum diketahui siapa adanya, dapat saja menim-

bulkan keonaran dengan mempergunakan Kain 

Pusaka Setan. Inilah yang harus kukejar...."

Habis membatin demikian, Raja Naga be-

rucap, "Baik... aku akan menyingkir dari sini. Te-

tapi aku ingin melihat kepergian kau lebih dulu


dari sini!"

"Terkutuk! Kau mencoba menghalangi apa 

yang ku mau, nah?!" menggeram Pengemis Pin-

cang sambil melesat ke depan. Tangan kanan ki-

rinya digerakkan lagi dengan tenaga berlipat gan-

da. Awan-awan hitam yang mengeluarkan hawa 

dingin sudah menggebrak dahsyat!

Kalau sebelumnya Raja Naga hanya men-

dehem mematahkan serangan ganas itu, kali ini 

dia membuang tubuh ke samping, karena kekua-

tan gelombang awan-awan hitam itu lebih dah-

syat dari yang pertama! Bersamaan dia menghin-

dar, tangan kanannya segera dikibaskan!

Blaaamm! Blaaam! Blaaammm!

Awan-awan hitam itu pun lagi-lagi putus di 

tengah jalan.

"Jangan membuat kemarahanku semakin 

membara!" bentak Raja Naga setelah berdiri te-

gak.

Di tempatnya lagi-lagi Pengemis Pincang 

terdiam dengan mulut menganga lebar.

"Celaka! Aku bisa celaka kalau terus mene-

rus mencoba untuk mengalahkannya! Ilmu 

'Menggiring Awan Hitam' tetap dengan mudah di-

patahkannya! Huh! Lebih baik aku menyingkir 

dulu dari sini untuk kemudian mengikuti ke ma-

na perginya Dayang Biru! Aku merasa pasti kalau 

Dayang Kuning-lah orang yang telah menyambar 

Kain Pusaka Setan!"

Memutuskan demikian, dengan tatapan 

angkuh disertai gusaran kemarahan tinggi, Pen


gemis Pincang buka suara, "Raja Naga! Untuk 

saat ini kuanggap persoalan selesai! Dan kelak... 

urusan ini akan kita lanjutkan lagi!"

Kemudian diarahkan pandangannya pada 

Dayang Biru. "Gadis keparat! Kau tak akan per-

nah bisa meloloskan diri dari tanganku! Bukan 

hanya kau saja yang akan kukejar, tetapi Dayang 

Kuning dan gurumu sendiri yang berjuluk Ratu 

Dayang-dayang pun akan mampus di tanganku!!"

Habis mengumbar ancamannya, Pengemis 

Pincang segera mengempos tubuh di antara pan-

dangan dendam dari Dayang Biru dan helaan na-

pas pendek Raja Naga.

Dayang Biru menatap Raja Naga.

"Sobat... mengapa kau melepaskan manu-

sia keparat seperti dia? Tak seharusnya kau la-

kukan seperti itu!"

Raja Naga melirik.

"Apa yang seharusnya kulakukan?"

"Manusia seperti dia tak layak hidup!" 

"Kau menghendaki dia mati?" 

"Sangat menghendaki!"

"Kalau begitu... apa bedanya aku dengan 

dirinya bila kulakukan hal yang sama dengan 

keinginannya untuk membunuhmu?"

Ucapan Raja Naga membuat Dayang Biru 

sesaat terdiam sebelum mendengus.

Raja Naga tak menghiraukan dengusan itu, 

dia berkata, "Dayang Biru... apakah kau memang 

memiliki seorang saudara berpakaian serba kuning?"


"Mengapa kau bertanya demikian?!" desis 

Dayang Biru dengan mata menyipit.

"Aku ingin meluruskan ketimpangan yang 

ada! Terus terang, saat ini aku sedang mencari 

gadis berpakaian kuning yang telah merebut Kain 

Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang!"

Dayang Biru menatap pemuda di hadapan-

nya lekat-lekat.

"Hemm... rupanya dia termasuk salah seo-

rang yang menghendaki Kain Pusaka Setan! Be-

rarti... dia juga termasuk orang yang harus ku-

singkirkan!" desisnya dalam hati. Lalu katanya 

dengan mulut agak dirapatkan, "Raja Naga... per-

lu kau ketahui, aku dan saudara seperguruanku 

pun sedang berusaha untuk mendapatkan Kain 

Pusaka Setan yang terdapat di Taman Kematian! 

Perjumpaanku dengan Pengemis Pincang sudah 

menjelaskan kalau aku tak perlu lagi datang ke 

Taman Kematian! Karena, Kain Pusaka Setan 

yang didapatkannya telah direbut seseorang ber-

pakaian kuning!"

"Jadi... apa yang dikatakan Pengemis Pin-

cang itu benar?!"

"Tak sepenuhnya benar! Karena... aku be-

lum pasti apakah memang gadis berpakaian kun-

ing yang telah merebut Kain Pusaka Setan dari 

tangan Pengemis Pincang, memang saudara se-

perguruanku si Dayang Kuning atau bukan!"

"Siapakah yang menyuruhmu untuk men-

gambil Kain Pusaka Setan?" tanya Raja Naga.

Dayang Biru tak segera menjawab. Kemudian katanya, "Guruku...."

"Pengemis Pincang menyebutkan julukan 

gurumu; Ratu Dayang-dayang! Hemm... apakah 

kau mengetahui mengapa gurumu memerintah-

kan kau dan Dayang Kuning untuk mendapatkan 

Kain Pusaka Setan?!"

Pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh 

Pengemis Pincang sebelumnya itu sudah mem-

buat gusar Dayang Biru. Dan sekarang dia men-

dengar lagi pertanyaan yang sama, yang semakin 

membuatnya bertambah gusar.

"Raja Naga... kendati kau telah menolong-

ku, jangan harap aku mau menjawab pertanyaan 

itu! Karena aku tak berhak untuk mengetahuinya! 

Apalagi kau?!"

"Berarti... kau tak tahu sebab-sebabnya?!"

"Tutup mulutmu! Tadi sudah kukatakan, 

jangan mencampuri urusan itu!"

Raja Naga menjerengkan matanya. Lama 

dia memandang si gadis yang sedang sengit me-

mandangnya, tetapi kemudian disertai dengusan 

kesal segera menunduk.

"Gila! Tatapan itu seperti meremas jan-

tungku!" desis Dayang Biru dalam hati.

"Dayang Biru... bukan maksudku untuk 

mencampuri urusanmu! Tetapi, aku sudah 

niatkan tekad untuk merebut Kain Pusaka Setan! 

Bahkan kalau mampu akan kuhancurkan!"

"Mengapa kau mau melakukannya?!" Raja 

Naga mengarahkan pandangan ke tempat lain.

"Kau belum melihat kehebatan sekaligus


kekejaman Kain Pusaka Setan! Kain hitam usang 

itu bukanlah benda sembarangan! Dia dapat 

menghancurkan apa saja dengan satu kibasan 

lembut! Dapat kau bayangkan bila dilakukan 

dengan satu sentakan keras! Dan aku sudah 

membayangkan, orang yang akan mendapatkan-

nya akan melakukan satu tindakan makar yang 

mengerikan!"

"Kata-katanya sungguh masuk akal. Teta-

pi... apakah guruku akan lakukan tindakan se-

perti itu juga?" desis Dayang Biru dalam hati. 

Lantas berkata, "Kau terlalu banyak menuduh! 

Bagaimana bila orang yang kemudian memiliki 

Kain Pusaka Setan bermaksud baik?!"

"Bila orang itu bermaksud baik, dia tak 

akan pernah memilikinya! Karena dia tahu kalau 

Kain Pusaka Setan akan menimbulkan petaka! 

Berarti... dia akan membuangnya jauh-jauh atau 

menguburnya dan membawa rahasia itu sampai 

mati!"

Lagi-lagi Dayang Biru tak buka suara. Di-

bayangkannya apa yang akan dilakukan gurunya 

bila sudah mendapatkan Kain Pusaka Setan.

Sembari menggeleng-gelengkan kepala, ga-

dis berponi indah ini mendesis, "Tak mungkin... 

tak mungkin guruku akan melakukan tindakan 

seperti yang kau katakan. Selama ini aku men-

genal guruku adalah orang baik-baik...."

"Jadi kau yakin kalau Dayang Kuninglah 

yang telah merebut Kain Pusaka Setan dan telah 

menyerahkannya pada gurumu?" sambar Raja


Naga tiba-tiba.

Ucapan yang mengejutkan itu membuat 

Dayang Biru segera mengangkat kepala.

"Aku tak pernah mengatakan seperti itu!"

"Tetapi dari ucapanmu, kau seperti punya 

dugaan seperti itu!"

Dayang Biru tak menjawab.

"Ah, apa yang sebenarnya sedang kulaku-

kan saat ini? Aku telah terpancing oleh setiap ka-

ta-katanya? Huh! Lebih baik kusudahi saja per-

cakapan in! dan kembali menjumpai Guru untuk 

mendapatkan kejelasan!"

Memutuskan demikian Dayang Biru berka-

ta, "Raja Naga... kita hanya membicarakan pepe-

san kosong yang belum jelas! Kuucapkan terima 

kasih atas pertolonganmu tadi!"

Baru habis ucapannya, gadis berpakaian 

serba biru itu sudah melesat meninggalkan Raja 

Naga. Raja Naga tak melakukan tindakan apa-

apa. Dia membiarkan si gadis minggat.

"Urusan Kain Pusaka Setan ini masih 

membingungkanku. Terutama apa yang sebelum-

nya terjadi di balik semua ini. Julukan Peramal 

Sakti, Ki Dundung Kali, Dewi Bintang, Ratu 

Dayang-dayang dan Dayang Kuning masih mem-

buatku pusing. Aku hanya tahu julukan mereka 

saja tanpa tahu siapa mereka sebenarnya...."

Untuk sesaat murid Dewa Naga ini terdiam, 

sebelum kemudian menarik napas dalam-dalam.

"Sebaiknya kuikuti saja Dayang Biru. Mu-

dah-mudahan dia akan membawaku pada tempat


yang lebih jelas, terutama siapakah orang yang te-

lah mendapatkan Kain Pusaka Setan...."

Memutuskan demikian, pemuda tampan 

bersisik coklat ini segera mengempos tubuh ke 

arah perginya Dayang Biru.


DUA



BERSAMAAN kokokan ayam jantan dan si-

nar sang Fajar menerobos dedaunan, satu sosok 

tubuh bongkok menyeruak dari balik ranggasan 

semak. Sesaat kakek bongkok yang pada tangan 

kanannya terdapat sebuah tongkat hitam ini me-

mandangi sekelilingnya dengan pandangan sengit, 

sebelum melangkah lagi. Saat melangkah, pa-

kaian hitam panjang yang dikenakannya berkibar 

dihembus angin.

Baru sepuluh tindak dia melangkah, secara 

tiba-tiba dihentikan langkahnya. Dan langsung 

terdengar makiannya, "Kurang asem! Kata-kata Ki 

Dundung Kali maupun Peramal Sakti memang 

benar! Tak mungkin muridku tewas akibat ilmu 

'Menggiring Awan Hitam'! Keparat betul! Betul-

betul keparat! Kalau begitu, siapa yang telah 

membunuh muridku itu?!"

Kakek berambut panjang ini terus memaki-

maki. Seekor kelinci lewat, sesaat hewan gemuk 

menggemaskan itu menegakkan kepalanya den-

gan sepasang telinga panjangnya yang bergerak-

gerak sebelum kemudian berlari lagi.


Apa yang dilakukan kelinci gemuk itu tak 

menarik perhatian kakek yang bukan lain Dadu 

Ganggang adanya. Si kakek sudah mengangkat 

kepalanya, memandang ke depan.

"Dasar murid tolol! Mengapa dia tak meng-

hajar Pengemis Pincang?! Mengapa dia mau men-

gikuti manusia satu itu? Benar-benar tolol!" ge-

ramnya kemudian.

Tongkatnya tahu-tahu amblas sebatas lu-

tut. Bersamaan dia menarik kembali tongkat itu 

yang membuat tanah muncrat ke udara, mulut-

nya berbunyi lagi, "Huh! Biar bagaimanapun juga, 

murid Ki Dundung Kali yang katanya sudah tak 

dianggapnya sebagai murid karena telah meracu-

ninya, akan kuhajar sampai patah tulang ka-

kinya! Karena dialah yang mengajak muridku per-

tama kali!!"

Seperti diceritakan pada episode "Taman 

Kematian" Dadu Ganggang menjumpai muridnya 

yang dijulukinya Demit Merah telah tewas. Meli-

hat muridnya tewas dengan tubuh hangus, Dadu 

Ganggang menyangka kalau Pengemis Pincanglah 

yang telah membunuhnya, mengingat Demit Me-

rah pergi bersama Pengemis Pincang. Terutama 

lagi, akan ilmu 'Menggiring Awan Hitam' yang di-

miliki Pengemis Pincang. Tetapi mencari Pengemis 

Pincang akan sulit dilakukannya. Makanya dia 

mendatangi Ki Dundung Kali yang merupakan 

guru dari Pengemis Pincang yang saat itu kebetu-

lan bersama dengan Peramal Sakti. Tetapi dari 

penjelasan Ki Dundung Kali maupun Peramal


Sakti, Dadu Ganggang akhirnya menyurutkan 

kemarahan.

"Keparat! Aku baru sadar kalau Ilmu 

'Menggiring Awan Hitam' tak akan menghan-

guskan jantung! Setan! Kemungkinannya besar 

sekali kalau bukan Pengemis Pincang yang mem-

bunuh muridku si Demit Merah! Lantas... siapa-

kah yang telah membunuh muridku yang beru-

bah menjadi tolol karena mau-maunya mengikuti 

Pengemis Pincang?!"

Dadu Ganggang kembali menggeram pan-

jang pendek. Dan kehadiran Dadu Ganggang di 

tempat itu, sebenarnya sudah menarik perhatian 

sepasang mata indah yang berada di atas sebuah 

pohon. Begitu mendengar suara orang memaki-

maki, si pemilik mata indah yang sebelumnya se-

dang tidur terbangun. Dicarinya dari mana ma-

kian yang didengarnya itu yang kini sudah dili-

hatnya siapa orangnya.

"Astaga! Kakek itu menyebut Demit Merah 

sebagai muridnya?!" desis si pemilik mata indah 

berambut dikuncir ini dalam hati. Tubuhnya dis-

usupkan lebih jauh, agar terhalang dedaunan. 

Dia juga mengerahkan ilmu peringan tubuhnya. 

"Hemm... berarti, kakek bongkok itu adalah guru 

Demit Merah yang sedang mencari pembunuh-

nya?! Dan tadi kudengar dia berulangkali menye-

but julukan Pengemis Pincang! Hemm... bukan-

kah dari orang itulah kurebut Kain Pusaka Setan? 

Kalau begitu... kehadiranku di sini tak boleh dike-

tahui si kakek!"


Si pemilik mata indah berpakaian kuning 

ini tetap berusaha untuk tak bersuara. Bahkan 

bernapas pun sangat pelan dilakukannya. Diden-

garnya lagi apa yang dikatakan kakek bongkok 

bertongkat hitam.

"Siapa pun yang telah membunuh murid-

ku, dia akan kucabik-cabik sebelum kurenggut 

nyawanya!! Akan kubantai dia hingga menyesal 

telah melakukan tindakan busuk terhadap mu-

ridku!"

Dadu Ganggang sesaat terdiam. Lalu sam-

bungnya lebih sengit, "Dasar tolol! Apa yang 

membuatnya tertarik mengikuti Pengemis Pin-

cang, yang justru perjalanan itu kemudian men-

gakhiri hidupnya?!"

Terlihat dada kurus Dadu Ganggang naik 

turun pertanda dia masih direjam kemarahannya. 

Biar bagaimanapun juga, Demit Merah adalah 

murid satu-satunya yang hendak diwarisi seluruh

ilmu yang dimilikinya. Dadu Ganggang termasuk 

salah seorang tokoh rimba persilatan yang berdiri 

di tengah-tengah aliran. Dia dapat berbuat kejam 

laksana orang aliran sesat tetapi dapat juga ber-

tindak santun seperti orang aliran lurus.

Mendadak si kakek bongkok ini memutus 

makiannya sendiri. Kepalanya secara tiba-tiba di-

palingkan ke kanan.

"Hemm... kutangkap satu gerakan terburu-

buru ke arah sini?! Huh! Siapa orangnya yang 

akan muncul di hadapanku?!"

Gerakan si kakek yang melihat ke kanan


itu menarik perhatian gadis bermata indah yang 

bersembunyi di atas sebuah pohon. Tanpa sadar 

dia ikut-ikutan memandang ke kanan.

"Hemm... tak kulihat siapa pun di sana. Te-

tapi dari tanda-tandanya, si kakek bongkok me-

nangkap satu suara yang membuatnya curiga. 

Aku harus lebih berhati-hati. Telinga si kakek ru-

panya begitu peka...."

Di bawah, kakek bertongkat hitam itu terus 

mengarahkan pandangannya ke depan. Sepasang 

matanya tak berkedip, agak menyipit. Kedua 

daun telinganya bergerak-gerak.

"Hemmm... manusia yang datang ini sema-

kin dekat!" desisnya pelan.

Tak lama kemudian, orang yang ditung-

gunya itu pun memperlihatkan sosoknya. Dia 

seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh ta-

hunan. Parasnya elok dengan hidung bangir dan 

kulit putih mulus. Rambutnya hitam tergerai. Pa-

da keningnya terdapat sebuah ikat kepala ber-

warna perak yang di tengah-tengahnya terdapat 

sebuah bintang bersinar berwarna sama. Perem-

puan yang pada bagian lengan kanan kirinya ter-

dapat gelang-gelang warna perak ini mengenakan 

pakaian berwarna hijau keputihan.

Sejenak si perempuan berikat kepala ter-

dapat sebuah bintang mengerutkan keningnya 

tatkala melihat satu sosok tubuh berdiri di hada-

pannya.

Dadu Ganggang sendiri tak bersuara. Dia 

hanya memandang lekat-lekat perempuan di hadapannya. Belum lagi dia angkat bicara, si pe-

rempuan sudah mendahului,

"Tanpa mengurangi rasa hormatku pada-

mu, Orang tua... menilik ciri yang ada padamu... 

salahkah bila kukatakan kau adalah Dadu Gang-

gang?!"

Ucapan si perempuan disambut dengusan 

oleh Dadu Ganggang. Matanya melotot.

"Kau tak salah berucap demikian! Perem-

puan cantik, siapakah kau adanya?!"

Begitu apa yang diucapkannya dibenarkan 

si kakek, perempuan ini langsung merangkapkan 

kedua tangannya di depan dada. Lalu berkata 

hormat,

"Nama besar Dadu Ganggang telah sampai 

di telingaku! Aku yang tak punya kemampuan ini 

bernama Gita Malam! Tetapi orang-orang menju-

lukiku Dewi Bintang!"

Dadu Ganggang hanya memandang dan 

berkata dalam hati, "Sikapnya sungguh sopan. 

Nada suaranya pun enak didengar,"

Sementara itu di balik rimbunnya dedau-

nan, gadis berpakaian kuning mendesis dalam 

hati, "Si kakek bernama Dadu Ganggang dan si 

perempuan berjuluk Dewi Bintang. Hemmm... 

sungguh banyak rupanya orang rimba persilatan 

yang belum kukenal. Yang kuketahui saat ini, ka-

lau si kakek sedang mencari orang yang telah 

membunuh muridnya, si Demit Merah. Ah... aku 

tak mau menghadapi urusan dengannya. Sebaik-

nya tetap ku usahakan kehadiranku di sini tak


diketahui oleh salah seorang dari keduanya."

Dewi Bintang memandang kakek di hada-

pannya yang sedang melotot padanya. Lalu den-

gan suara yang tetap sopan dia berkata, "Di tem-

pat seperti ini tak ada sesuatu yang menarik un-

tuk diperhatikan, bahkan tempat ini begitu sunyi. 

Lantas, kalau kau berkenan, ada urusan apakah 

bisa-bisanya kau berada di sini, Orang tua?"

"Perempuan!" bentak Dadu Ganggang den-

gan senyuman sinis. "Kau baru saja datang di 

tempat ini, tetapi sudah banyak pertanyaan! Apa 

mulutmu tak enak bila kau tak segera melontar-

kan pertanyaan?!"

Makian itu hanya disambut senyuman oleh 

Dewi Bintang.

"Sudah lama kudengar nama tokoh ini, te-

tapi baru kali ini aku berjumpa dengannya...." ka-

tanya dalam hati.

"Ganti aku yang harus bertanya padamu!"

Dewi Bintang mengangguk. Di hadapannya 

Dadu Ganggang tak segera melontarkan perta-

nyaannya. Dipandanginya dulu lekat-lekat pe-

rempuan di hadapannya. Lalu, "Aku sedang men-

cari manusia keparat berjuluk Pengemis Pincang! 

Karena dialah orang terakhir yang kuketahui ber-

sama-sama dengan muridku!"

Mendengar julukan itu disebutkan, kepala 

Dewi Bintang menegak. Bola matanya yang bagus 

tak berkedip. Terbuka agak lebar. Lamat-lamat 

terlihat keningnya sedikit dikerutkan. "Pengemis 

Pincang?!"


"Kau tentunya tidak tuli! Jadi kau jelas 

mendengarnya! Lalu dengan maksud apa kau 

mengulangi lagi ucapanku?!" bentak Dadu Gang-

gang keras.

"Orang tua... bukan lancang aku mencam-

puri urusan, tetapi aku ingin tahu, mengapa kau 

mencari Pengemis Pincang?"

"Muridku telah mampus dibunuh oleh se-

seorang yang tak kuketahui siapa adanya! Satu-

satunya orang yang dapat kujadikan sebagai tem-

pat bertanya hanyalah Pengemis Pincang, karena 

dialah orang terakhir yang bersama dengan mu-

ridku!"

Perempuan berpakaian hijau keputihan 

yang membungkus tubuh sintalnya, menggeleng-

geleng setelah terdiam beberapa saat.

"Aku bukan hanya pernah mendengar ju-

lukan Pengemis Pincang, bahkan aku sangat 

mengenalnya! Tetapi sayang, sudah lima tahun 

terakhir ini aku tak berjumpa dengannya!"

Dadu Ganggang mengertakkan rahangnya. 

"Dari ucapanmu jelas kalau kau tak bertemu 

dengannya sebelumnya, dan jelas pula kau tidak 

tahu di mana dia berada! Sekarang lebih baik 

menyingkir dari hadapanku!"

"Orang tua... sekali lagi bukan lancang 

mencampuri urusan, tetapi saat ini aku pun se-

dang mencarinya...."

"Hemm... apa maksudmu dengan menca-

rinya?"

Dewi Bintang tak segera menjawab. Lamat


lamat dia justru mengarahkan pandangannya ke 

kejauhan. Lantas pelan-pelan kembali diarahkan-

nya pada Dadu Ganggang.

"Lima tahun lalu, Pengemis Pincang telah 

membuka urusan denganku! Karena... dia telah 

memperkosa adikku satu-satunya yang kala itu 

baru berusia tujuh belas tahun! Karena menderita 

malu berkepanjangan, adikku akhirnya membu-

nuh diri! Dengan penuh amarah dan dendam, 

aku berusaha menemukan manusia keparat itu! 

Aku memang berhasil menemukannya, tetapi aku 

gagal membunuhnya karena manusia itu telah 

berhasil meloloskan diri!"

Dewi Bintang menghentikan kata-katanya. 

Matanya menerawang mengingat kejadian lima 

tahun lalu. Kemudian sambungnya, "Dan saat ini, 

aku muncul kembali untuk mencari Pengemis 

Pincang! Karena kudengar kabar kalau manusia 

itu sedang berusaha untuk mendapatkan sebuah 

benda sakti yang tersembunyi di Taman Kema-

tian! Rimba persilatan bukanlah tempat yang te-

pat untuk menyimpan sebuah rahasia, rahasia 

apa pun lambat laun akhirnya terdengar juga! 

Termasuk kepergian Pengemis Pincang ke Taman 

Kematian!"

Dadu Ganggang mendengus.

"Jangan kau ajarkan aku tentang rahasia 

yang tak bisa dipendam di rimba persilatan!"

"Maafkan kelancanganku.,.."

"Kau mengatakan kalau kau mencarinya 

hendak membunuhnya! Bagus kalau kau punya


maksud demikian!"

"Karena hatiku belum tenang bila belum 

mengetahui dia sudah mampus! Dan seperti yang 

diancamkannya di saat dia berhasil meloloskan 

diri, dia akan membalas kekalahannya itu! Aku 

sudah lama menunggu tetapi dia tak muncul! Ku-

cari pun sulit kutemukan! Setelah kabar kuden-

gar, kuputuskan untuk mulai mencarinya kemba-

li!"

Gadis berpakaian kuning yang bersem-

bunyi dan mencuri dengar percakapan keduanya 

membatin, "Astaga! Apa yang diperintahkan Guru 

ternyata tak semudah dugaanku! Aku memang te-

lah berhasil merebut Kain Pusaka Setan dari tan-

gan Pengemis Pincang, bahkan telah menyerah-

kan benda itu pada Guru! Yang tak kusangka ka-

lau urusan akan berkembang menjadi panjang! Di 

rimba persilatan ini ternyata begitu banyak orang 

yang memendam dendam! Siapa tahu, Guru pun 

memiliki hal yang sama..."

Dadu Ganggang berkata, "Kau punya uru-

san yang jelas dengan Pengemis Pincang! Begitu 

pula denganku! Hanya bedanya kau akan mem-

bunuh manusia satu itu, atau bisa jadi kau yang 

akan terbunuh olehnya! Sedangkan aku, menca-

rinya dengan maksud agar semua menjadi jelas, 

agar aku dapat mengetahui siapa orang yang te-

lah membunuh muridku! Dewi Bintang... jangan 

coba-coba bertindak gegabah! Kau tak kuperke-

nankan untuk membunuh Pengemis Pincang se-

belum kutanyai!"


"Dendam di dadaku mungkin sama besar-

nya dengan dendam yang disimpan manusia ke-

parat itu! Orang tua... maafkan aku bila tak bisa 

kupenuhi apa yang kau katakan...."

"Berarti kau telah melakukan tindakan 

lancang!" gusar suara Dadu Ganggang dengan 

mata melotot.

Dewi Bintang merangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada dan berkata hormat, "Sedi-

kit pun aku tak punya pikiran untuk bertindak 

lancang seperti itu! Hanya dikarenakan Pengemis 

Pincang telah memperkosa adikku yang kemudian 

membunuh diri, aku dengan berat hati mengata-

kan kalau apa yang kau inginkan tak bisa kupe-

nuhi...."

Dadu Ganggang menatap gusar.

"Keparat! Huh! Bila saja aku punya urusan 

dengan perempuan ini, tak kusesali bila dia ku-

bunuh sekarang! Tetapi apa yang dikatakannya 

memang masuk akal! Lagi pula, belum jelas kalau 

memang Pengemis Pincang mengetahui tentang 

kematian Demit Merah! Kalau dia sebagai pela-

kunya jelas tak mungkin, mengingat penjelasan 

Ki Dundung Kali maupun Peramal Sakti. Berar-

ti..."

Memutus kata batinnya sendiri, kakek 

bongkok berpakaian hitam ini bicara, "Ku tarik 

kembali ucapanku! Tak ku halangi niatmu untuk 

membunuhnya! Tapi kau harus melaksanakan 

perintahku! Tanyakan dulu kejelasannya pada 

Pengemis Pincang bila kau berjumpa dengannya


tentang muridku! Atau... kau cari tahu siapakah 

orang yang telah membunuh muridku!"

"Bila itu perintahmu, aku bisa melaksana-

kannya!"

"Bagus! Menyingkir dari sini!"

Dewi Bintang menganggukkan kepalanya.

Setelah merangkapkan kedua tangannya 

diiringi anggukan hormat, Dewi Bintang sudah 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

Dadu Ganggang mengantar kepergiannya 

dengan tatapannya yang garang

"Huh! Ada-ada saja! Aku sudah setua ini 

masih mau melibatkan diri dalam urusan kecil! 

Betul-betul keparat si pembunuh itu! Aku tidak 

tahu, siapakah yang bodoh sekarang? Si pembu-

nuh, muridku ataukah aku sendiri?!"

Ucapan terakhirnya itu diiringi dengusan.

Lalu tanpa banyak bicara lagi, Dadu Gang-

gang sudah melangkah meninggalkan tempat itu 

diiringi makian panjang pendek.

Sepeninggalnya, gadis berpakaian kuning 

yang sejak tadi bersembunyi di balik dedaunan, 

melompat turun. Lompatannya begitu ringan, 

tanpa mengeluarkan suara. Belum apa-apa si ga-

dis berparas cantik ini sudah mendesis,

"Urusan yang kuhadapi ini benar-benar 

berkembang panjang. Si kakek bongkok adalah 

guru Demit Merah yang telah kubunuh. Sementa-

ra Dewi Bintang sedang mencari Pengemis Pin-

cang yang menurut dugaannya si Pengemis Pin-

cang pun sedang mencarinya. Ah! Yang kutahu



saat ini, tentunya Pengemis Pincang sedang men-

cari orang yang telah merebut Kain Pusaka Setan 

dari tangannya!"

Gadis jelita ini menarik napas panjang.

"Aku tak boleh membuang waktu. Aku ha-

rus segera menemukan Dayang Biru yang entah 

berada di mana dan secepatnya kembali lagi men-

jumpai Guru. Aku yakin, Guru punya maksud 

tertentu dengan menyuruhku dan Dayang Biru 

mendapatkan Kain Pusaka Setan. Sayang aku ti-

dak tahu apa yang ada di balik benaknya.... "

Gadis berkuncir kuda bermata indah ini 

memperhatikan dulu sekelilingnya. Dia tak berani 

memutuskan untuk mengambil arah yang ditem-

puh Dadu Ganggang. Makanya dia segera memu-

tar tubuh ke kanan, mengambil arah yang ditem-

puh Dewi Bintang.

Namun sebelum dia mengangkat kaki dari 

sana, satu suara sudah terdengar tajam, "Sejak 

tadi aku sudah melihat ada cecunguk iseng yang 

mencuri dengar percakapan! Dan tanpa disangka 

kalau cecunguk itu mengaku sebagai pembunuh 

murid Dadu Ganggang!!"

Serta merta gadis berpakaian serba kuning 

ini mengarahkan pandangannya ke depan. Seo-

rang perempuan yang pada keningnya terdapat 

sebuah bintang, sudah melangkah ke arahnya!


TIGA



PADA saat yang bersamaan, rupanya 

Dayang Biru tahu kalau dia diikuti seseorang. 

Sambil berlari dia sesekali melirik.

"Pengemis Pincang!" desisnya. "Rupanya 

manusia pincang itu hanya berpura-pura tinggal-

kan tempat sementara tentunya dia punya renca-

na untuk mengikutiku! Hmm... akan ku permain-

kan dia!"

Memutuskan demikian. Dayang Biru sege-

ra mengubah arah yang ditempuhnya. Tindakan 

yang dilakukannya itu membuat Pengemis Pin-

cang yang memang bersembunyi kemudian me-

nyusulnya, menjadi sedikit mengerutkan kening-

nya.

"Sejak tadi gadis berpakaian biru itu berlari 

ke arah timur, tetapi mengapa sekarang agak di-

belokkan ke utara? Apakah ini memang arah yang 

ditempuhnya, atau dia mengetahui kalau aku 

mengikutinya?"

Sambil berpikir demikian dan berusaha 

agar tidak diketahui orang, Pengemis Pincang te-

rus berlari. Sesekali dia melirik ke belakang. Tak 

ada orang yang mengikutinya sama sekali.

Sementara itu, di sebuah tempat Raja Naga 

yang memutuskan untuk mengikuti ke mana 

Dayang Biru pergi, akhirnya mengurungkan niat 

tatkala pandangannya menangkap dua kelebatan 

tubuh yang tak jauh dari samping kirinya. Raja


Naga sebelumnya sempat melihat Pengemis Pin-

cang yang keluar dari balik ranggasan semak dan 

mengikuti ke mana perginya Dayang Biru.

Sesaat sebelumnya anak muda dari Lem-

bah Naga ini agak geram melihat apa yang dila-

kukan Pengemis Pincang. Tetapi dibiarkan saja 

Pengemis Pincang mengikuti ke mana perginya 

Dayang Biru. Dan dua kelebatan tubuh yang 

membuatnya menghentikan langkahnya tadi, su-

dah menjauh.

"Aku masih belum mendapat kejelasan 

apakah Dayang Kuning yang memang telah mere-

but Kain Pusaka Setan. Dari gelagatnya Dayang 

Biru sendiri belum jelas akan hal itu. Sebaiknya, 

kuikuti saja ke mana perginya dua orang tadi...."

Memutuskan demikian, murid Dewa Naga 

ini putar haluan dan menyusul dua sosok tubuh 

yang dilihatnya. Kedua orang yang berlari tanpa 

kecepatan tinggi itu berhasil disusul oleh Raja 

Naga. Tetapi Raja Naga tetap menjaga jarak.

Begitu dilihatnya kedua orang yang diiku-

tinya menghentikan langkah di jalan setapak, Ra-

ja Naga segera menyusup ke balik ranggasan se-

mak. Diperhatikan kedua orang itu dengan sek-

sama.

Kakek yang berdiri di sebelah kanan men-

genakan pakaian putih panjang dan tangannya 

tak bosan-bosannya mengusap-usap jenggot pu-

tihnya yang menjulai sampai perut. Sementara di 

sampingnya berdiri seorang kakek yang usianya 

tak jauh berbeda. Mengenakan pakaian merah


penuh tambalan.

Kedua kakek ini tak ada yang bersuara un-

tuk beberapa lama. Lalu terlihat kepala kakek 

berpakaian merah penuh tambalan menatap si 

kakek yang selalu mengusap-usap jenggot putih-

nya, yang nampak sedang mengerutkan kening 

memikirkan sesuatu.

"Sobat, apa yang sedang kau pikirkan? 

Apakah kau sedang meramalkan sesuatu?"

Kakek yang selalu mengusap jenggotnya itu 

melirik sesaat. Masih mengusap jenggotnya dia 

menjawab, "Dundung Kali... entah mengapa ra-

malanku semakin kuat, kalau seorang pemuda

yang memiliki kesaktian tinggi akan mendapatkan 

Kain Pusaka Setan! Walaupun dengan susah 

payah, pemuda yang punya niatan untuk mengu-

bur Kain Pusaka Setan itu, akan berhasil mela-

kukannya. Tapi...."

"Tapi apa maksudmu, Peramal Sakti?"

Si kakek yang bukan lain Peramal Sakti 

adanya masih mengusap-usap jenggotnya.

"Kita tahu, kalau Dadu Ganggang muncul 

untuk mencari pembunuh muridnya yang dijulu-

kinya Demit Merah. Dan hampir saja terjadi kesa-

lahpahaman antara kau dengannya. Masih berun-

tung dia mau mempergunakan sedikit otaknya. 

Dan ramalanku mengatakan, kalau si pembunuh 

adalah orang yang telah menggunakan Kain Pu-

saka Setan."

"Maksudmu... pemuda yang kau ramalkan 

tadi?


"Bukan, bukan dia!"

Peramal Sakti tak meneruskan ucapannya. 

Ki Dundung Kali membiarkan sahabatnya itu ter-

diam.

Di tempatnya Raja Naga sedikit terkejut.

"Demit Merah telah tewas terbunuh? Asta-

ga! Siapakah orang yang telah melakukannya? 

Menurut si kakek yang selalu usap jenggotnya 

itu, si pembunuh mempergunakan Kain Pusaka 

Setan! Jangan-jangan... si bayangan kuning yang 

menurut dugaan sementara adalah Dayang Kun-

ing, murid Ratu Dayang-dayang yang telah mela-

kukannya...."

Peramal Sakti berkata lagi, "Sobat... urusan 

Kain Pusaka Setan akan semakin membentang. 

Dan ramalanku juga mengatakan, masih ada 

orang yang menghendaki Kain Pusaka Setan un-

tuk kepentingan pribadi. Satu hal yang membua-

tku sedikit kecut, karena kutangkap ramalan ka-

lau seseorang akan muncul di hadapan kita un-

tuk membalas dendam...."

"Astaga! Apakah ramalanmu tak meleset?"

"Sejauh ini, ramalanku selalu benar!"

"Lama malang melintang di rimba persila-

tan dan lama berdiam diri di tempat sunyi, ter-

nyata masih ada orang yang menaruh dendam 

pada kita. Peramal Sakti... apakah orang itu ada 

hubungannya dengan si Durjana Kayangan?"

Peramal Sakti tak menjawab.

Raja Naga membatin, "Hebat! Ramalan ka-

kek yang selalu mengusap jenggotnya itu sung



guh luar biasa! Dia dapat meramalkan kalau ada 

orang yang sedang mencarinya! Tentunya orang 

yang dimaksud itu adalah Lara Dewi yang saat ini 

sedang mencari keduanya bersama Setan Gemo-

long! Yang tak kusangka, kalau Setan Gemolong 

punya urusan dengan guruku!"

Tiba-tiba Peramal Sakti mendesis, "Anak 

muda... apakah tidak sebaiknya kau menampak-

kan diri? Tak ada rasa amarah pada dadaku ka-

rena kau berani lancang mencuri dengar perca-

kapan ini!" 

Mendengar kata-kata Peramal Sakti jauh 

dari urusan yang sedang mereka bicarakan, 

membuat Ki Dundung Kali sedikit terkejut. Se-

mentara Raja Naga lebih terkejut lagi.

"Hemmm... rasanya tak ada orang lain yang 

bersembunyi di sekitar sini kecuali diriku. Kakek 

berjuluk Peramal Sakti itu telah mengetahui per-

sembunyianku. Sebaiknya... aku memang keluar 

saja...."

Memutuskan demikian, pemuda bersisik 

coklat pada kedua tangan sebatas sikunya ini se-

gera keluar dari balik ranggasan semak diikuti 

oleh tatapan mata Peramal Sakti dan Ki Dundung 

Kali.

Berdiri sejarak lima langkah dari hadapan 

kedua kakek itu, Boma Paksi langsung merang-

kapkan kedua tangannya dan berkata sopan, 

"Bukan maksudku lancang mencuri dengar per-

cakapan kalian! Hanya saja, aku tertarik dan 

mengikuti Kalian pergi...."


"Hemmm... sikapnya santun dan suaranya 

sopan. Wajahnya tampan dengan rambut gon-

drong menambah ketampanannya. Seorang pe-

muda gagah... oh! Astaga! Mulutnya kembangkan 

senyuman, tetapi matanya bersorot sedemikian 

angker dan mengerikan! Gila! Apakah aku tak sa-

lah lihat?!" desis Peramal Sakti dengan kepala te-

rangkat

Di pihak lain, Ki Dundung Kali pun batin-

kan hal yang sama, "Tatapan itu sedemikian me-

nusuk jantung, menikam hingga orang yang meli-

hatnya tak akan berani berbuat apa-apa. Benar-

benar sosok yang mengerikan. Siapakah pemuda 

ini? Kedua tangannya sebatas siku bersisik cok-

lat..."

Sementara itu Raja Naga masih tersenyum.

Peramal Sakti berkata, "Anak muda be-

rompi ungu... siapakah kau yang memiliki tata-

pan seperti itu?" 

Masih tersenyum Raja Naga menyahut, 

"Peramal Sakti... namaku Boma Paksi. Aku da-

tang dari Lembah Naga. Dan julukanku Raja Na-

ga...."

Sementara Peramal Sakti mengerutkan 

kening, Ki Dundung Kali sudah berkata, "Ada hu-

bungan apakah kau dengan Dewa Naga yang se-

tahuku tinggal di tempat penuh misteri yang su-

kar ditemukan dan bernama Lembah Naga?"

Raja Naga mengarahkan pandangannya 

pada Ki Dundung Kali. Masih tersenyum dia me-

nyahut, "Dewa Naga adalah guruku, Ki..."


Ki Dundung Kali mengangguk-anggukkan 

kepalanya, ada sedikit kepuasan di bibirnya kare-

na dugaannya telah terbukti.

Peramal Sakti berkata, "Dari sebutan yang 

kau berikan kepada kami, nampaknya kau sudah 

mengenal kami. Benarkah tentang hal itu?"

"Mengenal dalam arti berjumpa baru kali 

ini terjadi. Tetapi bila kukatakan aku pernah 

mendengar julukan kalian, rasanya hampir setiap 

saat...."

"Raja Naga... apa maksudmu dengan ham-

pir setiap saat?"

Raja Naga memperhatikan dulu keduanya 

dengan senyuman lebar. Kemudian katanya, "Ku-

dengar tadi, kau meramalkan tentang kehadiran 

seseorang yang membawa dendam dan hendak 

mencelakakan kalian! Ramalanmu memang sung-

guh luar biasa, Orang tua! Apa yang kau ramal-

kan itu dapat ku benarkan!"

"Lebih baik... kau jelaskan secara rinci...."

"Sebelum aku berjumpa dengan Kalian, 

aku telah berjumpa dengan seorang perempuan 

bertubuh menggiurkan dan memiliki sifat mesum. 

Dia bernama Lara Dewi. Perempuan yang tubuh 

sintalnya dibalut dengan kain berwarna keema-

san itu ditemani oleh seorang kakek...."

"Kau mengatakan ciri perempuan itu begitu 

rinci! Jangan sampai membuatku yang sudah se-

tua ini naik birahi...," desis Ki Dundung Kali.

Peramal Sakti mendengus.

"Busyet! Otak tuamu masih ngeres juga!"


Ki Dundung Kali cuma mengangkat sepa-

sang alis tipisnya sambil tersenyum.

Peramal Sakti bertanya, "Kau mengetahui 

siapa kakek yang bersama Lara Dewi?"

"Aku mengenalnya dengan nama Setan 

Gemolong...."

"Setan Gemolong?!" suara Peramal Sakti 

agak tersentak. "Gila! Mau apa manusia setengah 

gila itu muncul kembali di rimba persilatan?!"

"Yang pasti... dia telah membulatkan tekad 

untuk membantu Lara Dewi guna membunuh ka-

lian!"

"Nama Lara Dewi baru kali ini ku dengar

Dundung Kali... apakah kau sudah pernah men-

dengarnya?!"

Ki Dundung Kali menggeleng.

"Aku juga baru kali ini mendengarnya. Te-

tapi dari ciri yang dikatakan Raja Naga, aku su-

dah dapat langsung membayangkan seperti apa 

orangnya!"

Lagi Peramal Sakti mendengus.

"Bila manusia satu ini sudah muncul sifat 

angin-anginannya, urusan akan jadi berantakan! 

Huh! Aku tak pernah habis pikir dengan sifat se-

perti itu! Terkadang begitu serius, bahkan saking 

seriusnya dapat kalahkan orang yang selalu se-

rius dalam keadaan apa pun! Tetapi kalau sifat 

konyolnya sudah muncul, dia tak lebih dari seo-

rang badut belaka!"

Raja Naga sendiri sedang membatin, "Sifat 

Ki Dundung Kali tak jauh berbeda dengan Guru!


Hanya bedanya Guru selalu kentut di sembarang 

tempat."

Peramal Sakti berkata lagi, "Raja Naga... 

apakah kau mendapat kejelasan tentang siapa 

adanya Lara Dewi dan sebab-sebab hendak mem-

bunuh kami?"

"Yang kuketahui hanya sedikit saja. Menu-

rut penuturannya, dia adalah adik kandung dari 

seorang tokoh yang telah kalian bunuh empat pu-

luh tahun lalu! Tokoh berjuluk Durjana Kayan-

gan! Dan Lara Dewi kini muncul untuk membalas 

kematian kakak kandungnya!" sahut Boma Paksi.

Peramal Sakti mengangguk-anggukkan ke-

palanya.

"Dundung Kali... ternyata urusan yang kita 

hadapi, bukan hanya urusan Kain Pusaka Setan! 

Tetapi seorang perempuan bertubuh sintal den-

gan dibantu Setan Gemolong pun akan menurun-

kan dendam kepada kita!"

Ki Dundung Kali tak menyahuti ucapan si 

kakek yang selalu mengusap jenggot putih pan-

jangnya. Dia berkata pada Raja Naga, "Anak mu-

da gagah bersisik coklat! Kau nampaknya banyak 

mengetahui sesuatu! Apakah kau juga mengeta-

hui tentang Kain Pusaka Setan?"

Raja Naga mengangguk-angguk. Tanpa di-

minta lagi dia sudah mengutarakan apa yang di-

ketahuinya. Ki Dundung Kali berkata pada Pe-

ramal Sakti, "Sobat... lagi-lagi ramalanmu benar. 

Seseorang telah merebut Kain Pusaka Setan dari 

tangan murid murtadku yang telah mencoba meracuniku."

Peramal Sakti tak menjawab. Dipandan-

ginya pemuda di hadapannya sebelum berkata, 

"Raja Naga... kau melihat sendiri Pengemis Pin-

cang bersama-sama dengan Demit Merah. Tahu-

kah kau kalau Demit Merah telah mati?"

Raja Naga terdiam, lalu menggeleng.

"Baru sekarang kudengar berita itu."

"Jadi... kau tidak tahu apakah Pengemis 

Pincang telah membunuhnya atau tidak?"

"Demit Merah telah mendahuluinya setelah 

mendapatkan berlian-berlian yang ada di Taman 

Kematian."

Peramal Sakti berkata pada Ki Dundung 

Kali, "Sobat... sudah jelas kalau bukan murid 

murtadmu yang telah membunuh Demit Merah. 

Dan pemuda ini dapat dijadikan sebagai saksi di 

hadapan Dadu Ganggang bila dia muncul kembali 

dengan membawa dugaan kalau murid murtadmu 

yang telah membunuh muridnya...."

"Ya! Tetapi aku yakin kalau Dadu Gang-

gang juga sudah punya keyakinan kalau bukan 

murid murtadku yang telah membunuh murid-

nya...."

Suasana hening.

Raja Naga membatin, "Hemm... jadi seseo-

rang yang tak diketahui siapa orangnya telah 

membunuh Demit Merah. Jangan-jangan... si 

pembunuh itu adalah gadis berpakaian kuning 

yang telah merebut Kain Pusaka Setan dari tan-

gan Pengemis Pincang? Tentunya gadis itu bukan


hanya menghendaki Kain Pusaka Setan, tetapi ju-

ga berlian-berlian yang dibawa oleh Demit Me-

rah."

DI pihak lain, Peramal Sakti membatin 

sambil memandang si pemuda bersorot angker.

"Pemuda ini banyak tahu tentang segala 

urusan, tetapi tentunya tak semua dia tahu. Dan 

yang sedikit mengherankanku, bagaimana dia bi-

sa lolos dari tangan Setan Gemolong? Seingatku, 

Setan Gemolong punya urusan dendam dengan 

Dewa Naga! Urusan yang seharusnya sudah di-

kubur dalam-dalam...."

Karena penasaran dengan apa yang dipi-

kirkannya, Peramal Sakti berkata, "Raja Naga... 

terlepas dari urusan orang yang telah merebut 

Kain Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang 

dan orang yang telah membunuh Demit Merah, 

pada nyatanya kau masih bisa berjumpa dengan 

kami. Apakah tak terjadi sesuatu antara kau den-

gan Lara Dewi? Atau... dengan Setan Gemolong?"

Raja Naga mengangguk. Tatapannya tetap 

angker menusuk. Seraya menghela napas pendek 

dia berkata, "Setan Gemolong punya dendam pa-

da guruku...."

"Dan kau berhasil meloloskan diri dari tan-

gannya?"

"Walau dengan susah payah akhirnya aku 

berhasil meloloskan diri...."

Peramal Sakti mengangguk-angguk sambil 

memandang si pemuda dalam-dalam. Suasana 

hening.


Ki Dundung Kali yang juga sedang me-

mandangi Raja Naga tiba-tiba mendengar suara di 

telinga kanannya, "Dundung Kali... mungkin ra-

malanku telah tiba pada satu kenyataan. Pemuda 

inilah yang mungkin kumaksudkan dapat te-

nangkan segala urusan...."

"Hemm... Peramal Sakti telah mengerahkan 

ilmu 'Ucapan Tertutup' yang juga kumiliki, karena 

aku pernah diajarkan olehnya," kata Ki Dundung 

Kali dalam hati. Lalu dibalasnya ucapan Peramal 

Sakti, "Bila kau memang yakin akan hal itu, men-

gapa tak kau jelaskan tentang Kain Pusaka Setan 

sepenuhnya?"

"Apakah ini perlu?"

"Menurutku, perlu. Karena kita bisa mem-

bebankan tugas kita padanya untuk memburu 

Kain Pusaka Setan. Sementara kita bersiap 

menghadapi datangnya Lara Dewi dan Setan Ge-

molong. Kau tahu sendiri bukan, kehebatan Setan 

Gemolong?"

"Ya! Walaupun kita berdua, tentunya akan 

membutuhkan waktu satu hari satu malam un-

tuk mengalahkannya."

"Dan kita belum mengetahui tentang Lara 

Dewi. Bisa jadi perempuan bertubuh sintal itu 

memiliki ilmu yang sama tingginya dengan Setan 

Gemolong."

"Pemuda murid Dewa Naga ini telah lolos 

dari tangan Setan Gemolong. Kemungkinannya 

dia mampu menghadapinya."

"Aku paham apa yang kau maksudkan. Te


tapi, biarlah dia yang akan merebut Kain Pusaka 

Setan. Terutama, dari apa yang telah kau ramal-

kan...."

"Kalau begitu... aku akan menceritakan 

semuanya...."

Terdengar deheman Peramal Sakti. "Raja 

Naga... apakah kau tahu asal usul Kain Pusaka 

Setan?"

Raja Naga yang tadi memperhatikan kedu-

anya menggeleng. "Aku hanya tahu sedikit sa-

ja...."

Peramal Sakti menarik napas dalam-dalam, 

lalu diceritakannya tentang asal muasal Kain Pu-

saka Setan (Untuk mengetahui tentang hal ini, si-

lakan baca: "Rahasia Taman Kematian").

"Durjana Kayangan orang yang pertama 

memilikinya...," kata Peramal Sakti kemudian.

Raja Naga terdiam beberapa saat. Kemu-

dian berkata, "Peramal Sakti dan Ki Dundung 

Kali... kenalkah kau dengan seorang tokoh berju-

luk Ratu Dayang-dayang?"

Pertanyaan itu membuat kepala Peramal 

Sakti menegak. Suaranya berubah menjadi tajam, 

"Anak muda! Mengapa kau tahu-tahu menanya-

kan tentang perempuan itu?"

Raja Naga sesaat mengerutkan kening 

mendengar perubahan nada suara Peramal Sakti. 

Lamat-lamat dia berkata, "Karena... aku punya 

dugaan kalau orang yang telah merebut Kain Pu-

saka Setan setelah Pengemis Pincang menda-

patkannya, adalah salah seorang murid Ratu



Dayang-dayang!"

"Bagaimana kau punya dugaan seperti 

itu?"

"Sebelum ini aku telah berjumpa dengan 

Pengemis Pincang yang sedang mendesak seorang 

gadis berpakaian serba biru yang berjuluk 

Dayang Biru! Dari setiap ucapan keduanya, aku 

menangkap satu gambaran kalau seorang gadis 

berjuluk Dayang Kuning yang merupakan murid 

Ratu Dayang-dayanglah yang telah merebut Kain 

Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang...."

Peramal Sakti tak segera berkata. Tangan-

nya yang selalu mengusap-usap jenggotnya lebih 

cepat bergerak, pertanda dia sedang gelisah.

Ki Dundung Kali yang berkata, "Anak mu-

da... aku dan sobatku ini jelas mengenal Ratu 

Dayang-dayang! Terutama dirinya yang sangat 

mengenalnya!"

"Peramal Sakti seperti menyembunyikan 

sesuatu. Rasanya tak enak kalau aku memaksa 

untuk tahu. Biarlah untuk sementara aku simpan 

dulu keingintahuan ku ini," kata Raja Naga dalam 

hati. Lalu berkata, "Rasanya... percakapan ini 

memang harus disudahi. Aku akan tetap mene-

mukan Ratu Dayang-dayang yang ku perkirakan 

telah diserahkannya Kain Pusaka Setan oleh mu-

ridnya.... Bila tak keberatan, dapatkah kalian 

mengatakan di manakah Ratu Dayang-dayang 

berdiam?"

Ki Dundung Kali melirik dulu Peramal Sak-

ti. Tak ada tanda-tanda kakek yang kali ini lebih


cepat mengusap-usap jenggotnya akan berkata.

Ki Dundung Kali memutuskan untuk me-

nyahuti pertanyaan Raja Naga, "Berjalanlah ke 

arah timur! Sampai kau temukan sebuah patung 

setinggi dirimu! Tak jauh dari sanalah Ratu 

Dayang-dayang tinggal!"

"Biar menghemat waktu, aku akan segera 

berangkat ke sana!"

"Tunggu! Anak muda... bersediakah kau 

untuk menuntaskan urusan Kain Pusaka Setan? 

Sebenarnya itu adalah tugas kami. Tetapi kehadi-

ran Lara Dewi dan Setan Gemolong tak bisa di-

pandang ringan...."

"Tanpa kau minta, Ki, aku akan melaku-

kannya...."

"Terima kasih!"

Habis mendengar ucapan Ki Dundung Kali, 

Raja Naga segera berlari ke arah timur. Pemuda 

dari Lembah Naga ini masih memikirkan sikap 

Peramal Sakti yang mendadak terdiam tatkala dia 

mengatakan tentang Ratu Dayang-dayang.

"Suatu saat... aku akan mencoba mencari 

tahu ada urusan apa antara Peramal Sakti dan 

Ratu Dayang-dayang...."

Sepeninggal Raja Naga, Ki Dundung Kali 

melirik Peramal Sakti yang masih terdiam. Tak 

ada keinginan di hati Ki Dundung Kali untuk 

mengusik sobatnya yang seperti melamun itu.

"Ah, sekian puluh tahun dia coba melupa-

kan tentang Ratu Dayang-dayang, tak tahunya 

kini teringat kembali," desis Ki Dundung Kali da


lam hati. "Ratu Dayang-dayang adalah adik se-

perguruannya sendiri yang bertindak makar. Yang 

dengan kejamnya telah meracuni guru mereka 

untuk mendapatkan rahasia Patung Darah Dewa. 

Sampai saat ini aku yakin, kalau Peramal Sakti 

masih menyimpan sakit hatinya itu. Dan aku ya-

kin pula, kalau dia mengetahui rahasia apa yang 

ada pada Patung Darah Dewa. Patung batu ber-

tampang lelaki bengis yang kini tak jauh dari ke-

diaman Ratu Dayang-dayang...."

Tiba-tiba terdengar desisan Peramal Sakti, 

bernada dalam, "Ratu Dayang-dayang... sekian 

lama aku berusaha untuk lupakan segala tinda-

kannya terhadap Kiai Gede Arum! Tapi nyatanya, 

dia masih tetap tinggal di sekitar Patung Darah 

Dewa! Tentunya dia masih penasaran untuk 

mengetahui rahasia apa yang ada pada Patung 

Darah Dewa! Rasanya... sudah cukup lama ku-

biarkan dia berada dalam kesalahannya. Dan se-

karang dia mencoba mendapatkan Kain Pusaka 

Setan. Tak akan bisa ku maafkan perbuatannya 

untuk yang kedua kalinya...."

Ki Dundung Kali tak menyahut.

Masing-masing orang terdiam dengan di-

buncah pikiran yang sama dan berbeda.

Hening menggigit keras.


EMPAT


GADIS berpakaian kuning bermata indah 

itu memandang tak berkedip pada perempuan 

berpakaian hijau keputihan. Perasaan si gadis se-

saat menjadi tidak tenang. Tapi di lain saat, dia 

sudah mendengus. Mata indahnya bersinar ga-

rang.

Dewi Bintang menghentikan langkahnya 

sejarak sepuluh langkah dari hadapan si gadis. 

Dipandanginya gadis jelita di hadapannya dengan 

seksama.

Lalu terucap kata-katanya, "Mencuri den-

gar pembicaraan orang sungguh tidak baik, terle-

bih lagi dilakukan oleh seseorang yang telah me-

lakukan satu pembunuhan!"

"Dewi Bintang! Kau sebenarnya tak ada 

urusan dengan apa yang kulakukan! Kakek ber-

nama Dadu Ganggang yang harusnya muncul lagi 

di hadapanku!" bentak si gadis dengan mata 

membuka lebar. Lalu sambungnya dalam hati, 

"Keparat! Mengapa aku tak berhati-hati? Mengapa 

aku tak memikirkan kemungkinan salah seorang 

dari mereka tadi akan muncul kembali di sini?!"

"Janji telah kuucapkan, dan harus ku tu-

naikan!"

"Apa pun bentuk janjimu pada Dadu Gang-

gang bukanlah urusanku! Bila kau memang hen-

dak buka urusan, kedua tanganku selalu terbuka!"



"Murid siapa gadis berparas jelita tetapi 

berhati kejam ini? Kesombongannya sudah me-

nandakan akan kekejamannya," kata batin Dewi 

Bintang. Kemudian katanya, "Aku bukan lancang 

mencampuri urusan, tetapi aku hanya menunai-

kan janji!"

"Lakukan bila kau memang menginginkan-

nya!"

"Gadis Jelita... siapakah kau adanya? Dan 

mengapa kau membunuh murid Dadu Ganggang 

yang berjuluk Demit Merah?"

"Kau boleh mengenal siapa akui Namaku 

Dayang Kuning! Dan mengenai mengapa aku 

membunuh Demit Merah, karena manusia satu 

itu telah mencoba mempermalukanku! Dewi Bin-

tang... sebagai seorang perempuan, apa yang 

akan kau lakukan bila seorang lelaki buas hen-

dak mempermalukanmu?!"

Dewi Bintang tak segera menjawab.

"Hemm... benarkah Demit Merah hendak 

mempermalukannya hingga gadis jelita ini mela-

kukan satu tindakan?" tanyanya pada dirinya 

sendiri dalam hati.

Sambil memandang si gadis lekat-lekat, pe-

rempuan yang di keningnya terdapat sebuah bin-

tang bersinar keperakan ini menjawab, "Sudah 

tentu aku akan melakukan hal yang sama!"

"Bila demikian jawabmu, apakah aku salah 

telah membunuhnya? Sementara kau sendiri se-

belumnya mengatakan pada Dadu Ganggang, ka-

lau kau sedang mencari Pengemis Pincang yang


telah memperkosa adikmu hingga adikmu mem-

bunuh diri? Lantas... apakah tindakan yang kula-

kukan sebelumnya berbeda dengan apa yang kau 

hendaki sekarang?!"

Ucapan Dayang Kuning benar-benar mem-

buat Dewi Bintang terdiam. Perempuan ini mena-

rik napas pendek. Terbayang bagaimana adiknya 

yang membunuh diri karena tak kuasa menahan 

malu dan kepedihan hati akibat diperkosa Pen-

gemis Pincang.

Kemudian katanya, "Kau benar. Dayang 

Kuning! Manusia-manusia seperti itu memang 

layak dibunuh!"

"Kau sudah menunaikan janji! Seingatku, 

kau hanya berjanji pada Dadu Ganggang untuk 

menanyai siapakah orang yang telah membunuh 

muridnya? Dan aku telah jawab sejujurnya!"

"Tapi...."

"Apa maksudmu dengan tapi?"

"Benarkah Demit Merah hendak memper-

malukanmu? Jangan-jangan, kau asal bicara! Ka-

rena kau sudah mendengar percakapanku dengan 

Dadu Ganggang! Kau mempergunakan kesempa-

tan karena kau mengetahui kalau saat ini aku se-

dang mencari lelaki berjuluk Pengemis Pincang 

yang telah memperkosa adikku!"

"Tak ada saksi yang melihat apa yang hen-

dak dilakukan Demit Merah kepadaku! Jadi, se-

muanya tergantung pada kau sendiri! Bila kau 

percaya, sudah seharusnya kau membiarkan aku 

pergi sekarang! Tetapi bila kau tak mempercayai


apa yang kukatakan, aku pun tak keberatan un-

tuk menghadapi apa yang akan kau lakukan!"

Dewi Bintang tersenyum.

"Dayang Kuning... jangan berpikir sejauh 

itu! Semula aku memang agak geram mendengar 

ada orang yang begitu enaknya melakukan pem-

bunuhan tanpa sebab-sebab yang jelas! Tetapi 

sekarang, apa yang kau lakukan terhadap Demit 

Merah dapat ku benarkan! Dayang Kuning... apa-

kah kau keberatan bila kutanyakan tentang sia-

pakah gurumu?"

Dayang Kuning merapatkan mulut. Dipan-

danginya perempuan berparas cantik yang juga 

sedang menatapnya.

"Semula tadi dia memang nampak gusar, 

terutama tahu kalau aku mencuri dengar perca-

kapannya dengan Dadu Ganggang. Tetapi keliha-

tannya kegusarannya mulai mencair. Dia juga se-

dang mengalami satu peristiwa yang sebenarnya 

tak jauh berbeda denganku. Hanya saja adiknya 

telah diperkosa yang kemudian membunuh diri. 

Hemmm... tak ada salahnya kalau kuberitahukan 

siapa guruku...."

Memutuskan demikian, gadis berpakaian 

serba kuning ini menjawab, "Mungkin kau men-

genal guruku, tetapi mungkin juga tidak. Dewi 

Bintang... guruku berjuluk Ratu Dayang-

dayang..."

Kepala Dewi Bintang menegak. Matanya 

memandang tak berkedip ke depan.

"Aku pernah mendengar tentang julukan



itu. Kalau tidak salah ingat... Ratu Dayang-

dayang punya urusan dengan Peramal Sakti!"

Kalau sebelumnya Dewi Bintang yang me-

negakkan kepala, kali ini Dayang Kuning yang 

melakukannya. Gadis jelita itu terdiam dengan ta-

tapan tajam pada Dewi Bintang.

Sebelum akhirnya ia berkata, "Aku sama 

sekali tak mengetahui apa yang kau ketahui ten-

tang urusan guruku dengan Peramal Sakti! Dan 

aku tak ingin kau telah lakukan satu fitnahan ke-

ji terhadapnya! Jadi kuminta, lebih baik kau sege-

ra katakan sebelum aku menuduh mu lakukan 

fitnah!"

"Dari gelagatnya, Dayang Kuning tidak ta-

hu apa yang telah terjadi antara gurunya dengan 

Peramal Sakti. Aku pernah mendengar cerita itu 

dari guruku yang dulu bersahabat dengan Ratu 

Dayang-dayang dan Peramal Sakti. Hemm... bila 

tak ku jelaskan, gadis itu menuduhku lakukan 

fitnahan terhadap gurunya. Sebaiknya aku me-

mang mengatakannya saja...."

Memutuskan demikian, perempuan cantik 

berpakaian hijau keputihan ini berkata, "Setahu-

ku, gurumu dan Peramal Sakti adalah saudara 

seperguruan yang berguru pada Kiai Gede Arum! 

Setahuku pula kalau sejak dulu mereka bersaha-

bat akrab karena mereka memang saudara seper-

guruan. Bahkan ada yang menyangka kalau ke-

duanya terlibat urusan asmara padahal tidak sa-

ma sekali. Sampai...."

Dewi Bintang putuskan kata-katanya ka


rena melihat Dayang Kuning begitu serius men-

dengarkannya. Bahkan gadis itu mendengus ka-

rena dia tak teruskan ucapan. Makanya Dewi Bin-

tang segera melanjutkan, "Satu kejadian buruk 

telah menimpa Kiai Gede Arum. Seseorang yang 

saat itu belum diketahui telah meracuninya. Bah-

kan sampai dia meninggal belum ada yang men-

getahui siapakah pelaku pembunuhan itu, baik 

Peramal Sakti maupun gurumu sendiri. Namun 

dua tahun kemudian, Peramal Sakti menemukan 

bukti-bukti kalau gurumulah yang telah meracuni 

Kiai Gede Arum."

"Fitnah!" menggelegar suara Dayang Kun-

ing.

Dewi Bintang tersenyum.

"Apa pun penilaianmu, yang pasti aku 

akan teruskan cerita ini! Setelah diketahui kalau 

Ratu Dayang-dayang yang lakukan pembunuhan, 

Peramal Sakti menyerangnya. Mereka terlibat per-

tarungan dahsyat. Bila saja Peramal Sakti tak 

memaafkan perbuatannya, mungkin gurumu te-

lah tewas di tangannya."

"Kau telah memfitnah guruku!" desis 

Dayang Kuning dengan kegusaran tinggi.

Dewi Bintang tak pedulikan ucapannya. 

Dia justru menangkap sesuatu yang segera di-

rangkaikan di benaknya. Diteruskan lagi kata-

katanya, "Kemudian diketahui... kalau gurumu 

menginginkan rahasia Patung Darah Dewa 

yang...."

"Patung Darah Dewa?!" suara Dayang Kun


ing seperti tercekik.

"Ya! Patung Darah Dewa!"

Dayang Kuning kelihatan agak sedikit geli-

sah. Sikapnya sudah tidak segusar maupun sete-

nang tadi.

Dewi Bintang berkata, "Dayang Kuning... 

kau sepertinya memang tak mengetahui latar be-

lakang kehidupan gurumu! Tetapi... nampaknya 

kau mengetahui sesuatu yang lain.... "

Ucapan tenang itu membuat Dayang Kun-

ing berucap, "Sulit rasanya mempercayai apa 

yang kau katakan tentang perbuatan guruku pa-

da Kiai Gede Arum yang ternyata adalah gurunya. 

Tetapi mengenai... patung... Patung Darah De-

wa... di tempat tinggalku... ada... ada sebuah pa-

tung. Yang oleh Guru disebut... Patung Darah 

Dewa...."

Dewi Bintang hanya tersenyum.

"Dewi Bintang... rahasia apa yang ada di 

Patung Darah Dewa?" tanya Dayang Kuning ke-

mudian.

"Aku tak tahu, demikian pula gurumu."

"Lantas... siapakah orang yang mengeta-

huinya?"

"Seseorang yang punya rahasia teguh itu 

adalah Kiai Gede Arum yang kini telah tewas pu-

luhan tahun lalu. Dan tinggal seorang yang men-

getahuinya, yang sampai saat ini tak ada tanda-

tanda dia akan memecahkan rahasia Patung Da-

rah Dewa...."

"Siapakah orang itu, Dewi?"

"Dia adalah Peramal Sakti...."

***

Dayang Kuning merasakan kepalanya agak 

pusing sekarang. Seluruh dugaan buruk yang ada 

di hatinya pada Dewi Bintang, lenyap sudah. Ber-

ganti dengan perasaan tak tenang.

"Dewi Bintang... guruku adalah orang yang 

kejam. Aku dan saudara seperguruanku berjuluk 

Dayang Biru, dididik pula secara kejam. Dan ka-

mi diharuskan membela nama baik Guru! Dewi 

Bintang... maafkan aku, aku tak percaya dengan 

apa yang kau ceritakan!"

"Bagaimana halnya dengan Patung Darah 

Dewa?"

"Seperti yang kau dengar tadi, kalau di 

tempat tinggal kami ada patung yang kau mak-

sudkan!" sahut Dayang Kuning. Wajahnya kem-

bali berubah tegang. "Aku akan menanyakan ke-

benaran ini pada guruku! Bila semua yang kau 

katakan tidak dibenarkan oleh guruku, maka aku 

akan mencarimu untuk menghajar kelancangan 

mulutmu, Dewi Bintang!"

Dewi Bintang hanya tersenyum.

"Kendati ucapannya bernada kasar kemba-

li, tetapi aku tetap menangkap nada suara gelisah 

di dalamnya. Kemungkinannya dia percaya den-

gan apa yang kukatakan dan coba tutupi keper-

cayaannya itu. Tetapi bisa jadi kalau dia tak me-

rasa yakin, kalau dia akan bisa menanyakan soal


itu pada gurunya. Paling tidak, dia menyadari ka-

lau gurunya tak akan mau menjawab perta-

nyaannya...."

Kemudian Dewi Bintang berkata, "Ada satu 

masalah yang sebenarnya kutangkap dari sikap-

mu saat ini, Dayang Kuning...."

"Dewi Bintang... jangan mencoba mema-

sukkan lagi fitnahan-fitnahan busukmu kepada-

ku!"

Tetapi Dewi Bintang tak mempedulikan 

bentakan itu. Dia berkata, "Saat ini ramai dibica-

rakan orang tentang Kain Pusaka Setan! Ten-

tunya kau...."

"Tutup mulutmu!" putus si gadis geram, 

tubuhnya sudah melesat ke depan dengan tangan 

kanan kiri digerakkan ke arah Dewi Bintang.

Wuusss!!

Gelombang angin berwarna kuning sudah 

menggebrak dengan suara bergemuruh.

Dewi Bintang mendengus seraya menghin-

dar. 

Blaaarrr!!

Tanah di mana tadi dia berdiri seketika 

rengkah dan membentuk lubang cukup dalam.

"Dayang Kuning! Kau dirasuki satu pikiran 

yang membuat kau bingung! Dalam bingung mu 

kau mencoba melupakan dengan cara menye-

rangku!" seru Dewi Bintang.

"Kau telah memfitnah guruku!" bentak 

Dayang Kuning dan melancarkan serangannya lagi.



Dewi Bintang menyilangkan kedua tangan-

nya di depan dada, yang segera didorong ke de-

pan.

Blaaammm! Blaaammm!

Gelombang angin warna kuning yang dile-

paskan Dayang Kuning amblas terhajar sinar ke-

perakan yang mencelat dari kedua tangan Dewi 

Bintang. Tempat itu sesaat bergetar. Angin kun-

ing dipadu dengan sinar keperakan bermuncra-

tan.

Tetapi Dayang Kuning tak surutkan niat 

kendati tadi dia terhuyung tiga langkah ke bela-

kang. Saat itu pula dia sudah menjejakkan kaki 

kanannya yang seketika membuat tubuhnya 

mumbul di atas. Lalu diputar tubuhnya tiga Kali 

seraya mengibaskan tangan kanan kirinya.

Dewi Bintang mendengus.

"Gadis ini jelas dalam keadaan bingung! 

Huh! Urusanku sudah selesai! Karena aku hanya 

cari kejelasan tentang kematian Demit Merah! 

Dan rasanya... tak perlu kukatakan pada Dadu 

Ganggang siapa orang yang telah membunuh mu-

ridnya!"

Tanpa bergeser lagi dari tempatnya, Dewi 

Bintang melakukan gebrakan yang sama, yang 

memutus serangan Dayang Kuning untuk kedua 

kalinya!

Tubuh si gadis yang masih berputar di 

udara, terlempar deras ke belakang. Justru Dewi 

Bintang yang terkejut.

"Heiii!!!"

Serta merta perempuan yang pada kening-

nya terdapat sebuah bintang berwarna keperakan 

ini memburu untuk menangkap sosok Dayang 

Kuning.

Tap!

Dia berhasil melakukannya tatkala tubuh 

Dayang Kuning hampir menghantam sebuah po-

hon. Dengan satu gerakan cepat, perempuan ber-

pakaian hijau keputihan ini sudah mendarat 

kembali di atas tanah.

"Jangan bergerak...," desisnya seraya me-

notok punggung Dayang Kuning.

Tubuh Dayang Kuning melengak sesaat se-

belum kemudian muntah darah. Darah hitam 

kental keluar.

"Kau terluka dalam. Bila kau tak melipat-

gandakan tenaga dalammu tadi, mungkin kau tak 

akan luka seperti ini...."

Dayang Kuning sudah hendak membentak, 

tetapi seperti teringat akan sesuatu dia menjadi 

urung. 

"Lepaskan totokanmu...."

"Bila lukamu sudah kembali normal, toto-

kan ini akan terlepas dengan sendirinya...."

"Berapa lama?" tanyanya dengan mata se-

tengah dipejamkan.

"Hanya dua puluh kali tarikan napas...."

Dayang Kuning mengangguk-anggukkan 

kepalanya.

Dewi Bintang hanya memperhatikan saja.

Dayang Kuning berkata, "Dewi Bintang...


kuakui kau memiliki kemampuan yang lebih da-

ripada ku. Tetapi bukan berarti aku akan mengu-

rungkan niat untuk menanyakan kebenaran dari 

segala ucapanmu itu pada guruku...." 

"Kau boleh melakukannya, Dayang Kuning. 

Saat ini, masih ada urusan yang harus kuselesai-

kan. Aku akan tetap mencari Pengemis Pincang... 

"

Dayang Kuning terbatuk-batuk. Dewi Bin-

tang perlahan-lahan berdiri. Sambil memandang 

si gadis dia berkata, "Saran ku satu untukmu. 

Usahakan agar kau tidak berjumpa dengan Dadu 

Ganggang. Kalaupun berjumpa dengannya, jan-

gan membicarakan soal kematian Demit Merah. 

Kakek itu sedang mencari pembunuh muridnya. 

Dan aku sudah dapat membayangkan apa yang 

akan terjadi bila kau diketahuinya sebagai pem-

bunuh Demit Merah...."

Habis ucapannya, perempuan cantik yang 

pada keningnya terdapat sebuah bintang bersinar 

keperakan itu sudah berkelebat meninggalkan 

Dayang Kuning.

Dayang Kuning hendak berucap, tetapi 

Dewi Bintang sudah tak nampak di depan mata.

"Ah, aku semakin tak mengerti apa yang 

sebenarnya sedang kulakukan...," desisnya pelan 

setelah terdiam beberapa saat. "Guru menyuruh-

ku untuk membunuh Peramal Sakti bersama-

sama Dayang Biru. Kalau begitu... aku akan men-

cari lebih dulu Dayang Biru. Biar bagaimanapun 

juga, aku harus menuntaskan perintah Guru.


Hanya saja...."

Sesuatu bergolak dalam pikiran Dayang 

Kuning yang membuatnya menarik dan meng-

hembuskan napas. Lamat-lamat dirasakan da-

danya tak se nyeri tadi. Kemudian dirasakannya 

kalau punggungnya sudah tidak se kaku tadi.

Perlahan-lahan murid Ratu Dayang-dayang 

ini berdiri. Dipandanginya arah yang ditempuh 

Dewi Bintang tadi. Terlihat wajahnya begitu ma-

sygul, dengan masalah yang menindih perasaan-

nya. Untuk beberapa lama gadis bermata indah 

ini terdiam, sebelum kemudian meninggalkan 

tempat itu.


LIMA



HEI, heii! Kau mau ke mana?! Aku mau la-

gi!" suara itu terdengar dari balik ranggasan se-

mak. Perempuan berbalut kain panjang keemasan 

yang sedang menyeruak ranggasan semak itu, 

menolehkan kepala. Perlahan-lahan diperli-

hatkannya senyuman yang memabukkan.

"Maumu selalu itu melulu, sementara kau 

belum menjalankan apa yang kuinginkan?!"

"Lara Dewi... bagaimana aku menjalankan-

nya kalau Peramal Sakti maupun Ki Dundung 

Kali belum kita temukan?! Lagi pula, selagi belum 

kita temukan mereka, kita masih punya banyak 

waktu untuk menikmati apa yang ada! Ayo, kau

kesini lagi. Perempuan montok! Aku masih ingin 

sekali lagi!"

Perempuan yang bagian atas tubuhnya 

terbuka hingga memperlihatkan kulit mulus ini 

terkikik. Buah dadanya yang berukuran besar 

bergerak-gerak. Sebagian besar bukit kembar ba-

gian atasnya mencuat ke atas. Karena selain dis-

ebabkan ketatnya kain yang dikenakan, juga uku-

rannya yang tiga kali lipat bukit kembar seorang 

gadis belasan tahun.

"Setan Gemolong! Apakah tak ada yang 

lainnya di otakmu kecuali menggeluti ku terus?! 

Sejak tengah malam tadi hingga hari sudah ber-

ganti pagi, aku sudah melayanimu! Apakah kau 

ingin bikin tubuhku patah?"

"Patah juga tidak apa-apa! Asal yang ku-

perlukan jangan rusak!"

Perempuan setengah baya bertubuh sintal 

itu terkikik sambil memandang ke depan.

"Sampai saat ini, aku memang belum ber-

jumpa dengan Peramal Sakti dan Ki Dundung 

Kali! Huh! Sampai kapan pun akan kucari mere-

ka, orang-orang keparat yang telah membunuh 

kakak kandungku, si Durjana Kayangan. Dan ka-

kek tua bangka itu, tentunya akan tetap mudah 

ku kuasai. Dia tergila-gila padaku dan ini memu-

dahkan ku untuk... heiiii"

Desisan Lara Dewi diakhiri satu teriakan 

kecil, karena pinggang rampingnya yang mencua-

tkan pantat besarnya itu dirangkul sepasang tan-

gan kurus dari belakang. Lalu... clepoot!


Mulut yang menebarkan bau tak sedap 

menempel pada bukit kembarnya.

"Hik hik hik... kau memang tak pernah 

puas rupanya...."

Setan Gemolong yang sedang sibuk menge-

cupi bagian atas bukit kembar Lara Dewi berseru 

meracau, "Sebelum dunia kiamat, aku tak akan 

pernah puas mendapatkan mu, Lara Dewi...."

Perempuan bertubuh sintal menggiurkan 

itu menggeliat. Dekapan si kakek kurus tanpa 

pakaian itu mendadak terlepas.

"Eiiit! Mau mempermainkan aku, ya? iya?!"

Lara Dewi memutar tubuhnya menghadap 

Setan Gemolong yang bersikap seperti serigala 

melihat mangsa. Apalagi saat angin meniup kain 

keemasan yang dikenakan Lara Dewi. Kain yang 

ternyata terbelah hingga pangkal paha itu berge-

rak, sesuatu yang berbalut kain merah muda 

mengintip. Membuat napas Setan Gemolong se-

makin memburu.

"Kalau saja aku tak membutuhkan tena-

ganya untuk membunuh Peramal Sakti dan Ki 

Dundung Kali... mana sudi kubiarkan tubuhku 

dijamah sekaligus dinikmatinya...," desis Lara 

Dewi dalam hati tetap terkikik. Kemudian berka-

ta, "Setan Gemolong... kapan saja kau mengin-

ginkan tubuhku, aku selalu bersedia melayani-

mu...."

"Kalau begitu, sekarang saja! Aku masih 

mau lagi!" sahut si kakek dengan napas memburu.


Lara Dewi mengerling manja.

"Apakah kau tak bisa menunda dulu untuk 

sementara?"

"Hanya orang bodoh yang mau menunda 

kesempatan untuk menggeluti tubuhmu! Ayo, kau 

telentang lagi! Aku akan terjun dan memasuki 

mu!"

"Hik hik hik... kau memang tak sabaran. O 

ya, tadi aku sempat berpikir mengenai satu hal."

Mendengar ucapan perempuan bertubuh 

montok, Setan Gemolong mengerutkan kening-

nya. Napasnya tetap memburu.

"Berpikir? Kapan kau melakukannya?"

"Saat kau sedang asyik memacu dirimu di 

atas tubuhku!"

Mendadak kakek tanpa baju itu menden-

gus.

"Brengsek! Jadi kau tidak menikmati apa 

yang kita lakukan tadi seperti apa yang ku nik-

mati?!"

"Kau terlalu emosi! Sudah tentu aku me-

nikmatinya!" sahut Lara Dewi sambil memamer-

kan senyumannya yang membuat kegusaran Se-

tan Gemolong segera lenyap.

"Aku senang mendengarnya! Lantas... apa 

yang kau pikirkan itu?!"

Lara Dewi mengerling, sedikit menggerak-

kan bukit kembar besarnya.

"Kau tentu ingat pada Ratu Dayang-

dayang, bukan?"

Setan Gemolong mendengus.


"Mengapa kau tiba-tiba menyebut nama 

perempuan satu itu?! Bukankah dia adik seper-

guruan Peramal Sakti?"

"Ya! Dia memang adik seperguruan Peram-

al Sakti! Tetapi setahuku... dia juga punya urusan 

dengannya!"

"Lantas apa yang kau inginkan?"

"Tentunya Ratu Dayang-dayang hingga hari 

ini masih menyimpan bara dendam pada Peramal 

Sakti! Kau tahu apa yang kumaksudkan?"

"Kau bermaksud untuk bergabung den-

gannya?"

"Kemungkinan itu belum kupikirkan!"

"Lalu apa yang kau maui sebenarnya?!"

"Hendak kutanyakan padanya kemungki-

nan di manakah Peramal Sakti berada! Kau tahu 

bukan, kemarin kita telah tiba di tempat Ki Dun-

dung Kali! Tetapi manusia satu itu tak ada di 

tempat. Sementara kediaman Peramal Sakti sen-

diri aku tidak tahu! Jadi siapa tahu bila kita 

menghubungi Ratu Dayang-dayang urusan akan 

lebih mudah"

"Kau menganggap Ratu Dayang-dayang 

mau menjelaskannya?!"

"Mengingat dia menyimpan dendam pada 

Peramal Sakti, kupikir tak terlalu sulit! Akan ku

jelaskan kalau kita juga hendak membunuh ma-

nusia itu, termasuk Ki Dundung Kali! Dengan be-

gitu urusan akan lebih mudah!"

Setan Gemolong mengertakkan rahangnya. 

Kakek kejam ini terdiam beberapa saat.


Kemudian diangkat kepalanya.

"Lara Dewi! Kau yang punya urusan, aku 

tinggal mengikuti asalkan imbalannya tepat! Dan 

aku sudah mendapatkan imbalan yang benar-

benar luar biasa! Apa pun yang kau hendaki, su-

dah tentu aku akan turuti!"

Lara Dewi tersenyum. Sengaja mengangkat 

dada besarnya yang sesak itu, hingga semakin 

mumbul.

"Bila sudah kulihat kematian Peramal Sakti 

dan Ki Dundung Kali... kau akan mendapatkan 

imbalan yang lebih dari apa yang sudah kau da-

patkan sekarang!"

Setan Gemolong bertepuk tangan dan ber-

jingkrakan seperti anak kecil.

"Aku sudah tak sabar untuk mendapat im-

balan itu! Ayo, sekarang juga kita berangkat men-

cari Ratu Dayang-dayang!"

"Aku sudah tahu di mana dia tinggal."

"Heiiii!!" Setan Gemolong menatap sesaat 

sebelum melanjutkan ucapannya, "Jadi... kau su-

dah memikirkan semuanya?"

Lara Dewi mengangguk sambil tersenyum.

Kemudian berkata, "Masih ada satu hal 

yang kupikirkan."

"Apa itu?"

"Tentang Raja Naga!"

Mendengar julukan itu disebutkan, Setan 

Gemolong mendengus.

"Huh! Kau tak perlu memikirkan murid 

Dewa Naga itu! Gurunya pernah buat urusan


denganku! Tak dapat gurunya, muridnya pun tak 

mengapa sebagai balasan pertama atas perbua-

tannya dulu!"

Lara Dewi tersenyum. Tanpa berucap lagi, 

dia sudah membalikkan tubuhnya dan melang-

kah. Pantat besarnya sengaja digerak-gerakkan 

saat melangkah, yang membuat Setan Gemolong 

menahan napas dengan jakun bergerak-gerak.

"Gila! Gila! Kau akan ku geluti habis-

habisan, Lara Dewi!" serunya seraya menyusul.

***

Raja Naga yang meneruskan langkah un-

tuk menyusul Dayang Biru yang sedang dibuntuti 

Pengemis Pincang, menghentikan larinya tatkala 

didengarnya suara ramai tak jauh dari sana. Sua-

ra letupan disusul dengan teriakan membahana 

berulangkali didengarnya. Segera murid Dewa 

Naga ini memutuskan untuk mencari asal suara 

itu.

Tatkala ditemukannya, dilihatnya Pengemis 

Pincang sedang menggempur dahsyat Dayang Bi-

ru yang berjuang mati-matian untuk halangi se-

tiap serangannya.

Pemuda tampan berompi ungu ini mengge-

ram.

"Huh! Mereka sudah terlibat pertarungan 

lagi! Bisa jadi kalau Dayang Biru mengetahui ka-

lau dia diikuti oleh Pengemis Pincang!"

Pemuda yang memiliki tatapan angker me


rejam jantung ini membiarkan saja dulu perta-

rungan itu. Tatkala dilihatnya bagaimana Dayang 

Biru sudah tak mampu lagi menahan awan-awan 

hitam yang dilepaskan Pengemis Pincang, dipu-

tuskan untuk segera membantunya kembali.

Tetapi satu bayangan kuning telah menda-

huluinya. Diiringi teriakan keras, dua gelombang 

angin berwarna kuning sudah menggebrak ke 

arah Pengemis Pincang!

Pengemis Pincang yang hendak mele-

paskan ilmu 'Menggiring Awan Hitam' urung me-

lakukannya. Dia cepat menghindar ke belakang.

Blaaammm!!

Dua gelombang angin berwarna kuning itu 

menghantam tanah di mana tadi sebelumnya dia 

berdiri.

"Keparat!!" maki Pengemis Pincang tatkala 

melihat orang yang menyerangnya sudah berdiri 

di samping Dayang Biru yang berseru kaget seka-

ligus gembira,

"Dayang Kuning!"

Si bayangan kuning yang bukan lain 

Dayang Kuning itu memandang tajam pada Pen-

gemis Pincang yang memperhatikannya dengan 

kening berkerut.

"Orang yang menyambar Kain Pusaka Se-

tan mengenakan pakaian berwarna kuning! Sejak 

berjumpa dengan Dayang Biru, aku mulai merasa 

pasti kalau orang itu adalah saudaranya yang 

berjuluk Dayang Kuning! Dan sekarang, orang 

yang ternyata memiliki paras jelita sama dengan


Dayang Biru itu telah berada di hadapanku!" de-

sis Pengemis Pincang dalam hati.

Sebelum dia berkata, Dayang Kuning su-

dah merandek dingin, "Lelaki pincang keparat! 

Tindakanmu yang hendak mencelakakan sauda-

raku tak akan pernah ku maafkan! Camkan baik-

baik! Hidupmu tak lama lagi akan berakhir!!"

Pengemis Pincang mendengus. Lalu mem-

bentak tak kalah garangnya, "Gadis berpakaian 

kuning bermata indah! Ada satu pertanyaan yang 

masih menari-nari di benakku! Katakan, kalau 

kaulah orangnya yang telah merebut Kain Pusaka 

Setan!"

"Bicara sembarangan biasanya akan be-

rakhir dengan petaka!"

"Kau yang bicara sembarangan! Ratu 

Dayang-dayang memerintahkan kau dan Dayang 

Biru untuk mendapatkan Kain Pusaka Setan! 

Siapa lagi orangnya yang telah berani menantang 

kematian karena telah merebut Kain Pusaka Se-

tan dari tanganku, kalau bukan orang yang su-

dah bosan hidup?!"

Dayang Kuning tak bersuara. Dayang Biru 

mempergunakan kesempatan itu untuk memulih-

kan tenaganya. Keberaniannya muncul kembali 

begitu melihat kehadiran Dayang Kuning. Bahkan 

tekadnya untuk membalas perbuatan Pengemis 

Pincang semakin membesar.

Di lain pihak Raja Naga yang di saat 

Dayang Kuning menyambar tubuh Dayang Biru 

setelah melancarkan serangan bokongan pada


Pengemis Pincang, segera melompat ke atas se-

buah pohon. Dari atas pohon itulah pemuda ber-

tatapan angker ini memandangi semua kejadian.

"Sejak pertama Kali si bayangan kuning 

merebut Kain Pusaka Setan dari tangan Pengemis 

Pincang, sudah kuduga kalau dia seorang gadis. 

Lantas perjumpaan ku sebelumnya dengan 

Dayang Biru, memperkuat dugaan itu. Tetapi... 

dari sikapnya Dayang Kuning menolak tuduhan 

Pengemis Pincang! Hemm... apakah aku memang 

salah menduga Dayang Kuning yang telah mere-

but Kain Pusaka Setan? Atau... Dayang Kuning 

berpura-pura?"

Terdengar bentakan gadis bermata indah 

yang kini bersorot tajam, "Pengemis Pincang! 

Mungkin aku dilahirkan sebagai seorang gadis 

yang suka menantang kematian! Kini aku pun 

menantang kematian itu!"

"Terkutuk! Secara tak langsung kau telah 

mengaku kalau kaulah yang telah merebut Kain 

Pusaka Setan dari tanganku?!"

Dayang Kuning tersenyum sinis.

"Bila kau sudah merasa pasti dengan hal 

itu, lebih baik menyingkir dan pergi sejauh-

jauhnya dari sini! Aku masih punya sikap baik 

hati untuk tidak mencabut nyawamu hari ini!!"

Menggigil tubuh Pengemis Pincang yang 

berdiri dengan satu kaki sementara kaki lainnya 

menjuntai-juntai itu.

Di pihak lain, Dayang Biru yang sudah se-

lesai mengembalikan keadaannya seperti semula


berbisik, "Hati-hati... ilmunya cukup tinggi. Teru-

tama bila dia menyerang dengan melontarkan 

awan-awan hitamnya yang dapat menghanguskan 

apa saja."

Dayang Kuning balas berbisik, "Bagaimana 

keadaanmu?"

Gadis berponi indah itu menyahut, "Aku 

baik-baik saja. Manusia keparat itu tak akan ku-

biarkan lolos. Dayang Kuning... benarkah yang di-

tuduhkannya itu?"

"Ya! Akulah orang yang merebut Kain Pu-

saka Setan yang dikehendaki Guru."

"Oh! Sekarang benda itu ada padamu?"

"Aku telah menyerahkannya pada Guru. 

Guru memerintahkan ku untuk mencarimu dan 

memerintah kita berdua untuk mencari sekaligus 

membunuh kakek berjuluk Peramal Sakti."

"Mengapa?"

"Guru tak mengatakan sebab-sebabnya ke-

padaku. Dayang Biru... bersiaplah! Manusia pin-

cang ini akan jadi duri kelak bila kita tidak tun-

taskan hari ini!"

Mendengar ucapan Dayang Kuning, 

Dayang Biru menganggukkan kepalanya. Lalu 

menggeser kakinya tiga langkah dari tempat 

Dayang Kuning berdiri.

Melihat Dayang Biru sudah mengatur ja-

rak. Pengemis Pincang mendengus.

"Huh! Gadis-gadis bosan hidup! Sebaiknya 

kalian memang mampus sekarang!!"

"Tunggu!!" satu suara keras telah terdengar


bersamaan satu sosok tubuh melayang turun dari 

atas sebuah pohon. Dan hinggap dengan ringan-

nya di atas tanah.

"Raja Naga...," desis Pengemis Pincang pe-

lan dengan mata mengerjap-ngerjap. Hatinya se-

ketika menjadi geram bercampur kecut. "Lagi-lagi 

pemuda bersisik ini...."

Melihat kemunculan orang, Dayang Kuning 

langsung membentak, "Hei, Pemuda! Jangan ber-

diri di tengah-tengah seperti itu kalau masih ingin 

hidup?!"

Raja Naga melirik. Dayang Kuning yang 

hendak meneruskan ucapannya tersedak, kata-

kata yang siap terlontar itu seperti tertahan di 

tenggorokan.

"Astaga!" desisnya dengan jantung yang 

mendadak berdenyut lebih cepat dan keras. "Ta-

tapan itu... gila! Begitu mengerikan! Seolah hen-

dak telan seluruh tubuhku!!"

Raja Naga mengarahkan lagi pandangan-

nya pada Pengemis Pincang, "Pengemis Pincang! 

Jangan lagi kau ucapkan kalau aku lancang men-

campuri urusan! Kali ini cuma sekali kuperin-

gatkan kepadamu! Tinggalkan tempat ini! Dan 

pergilah menjumpai gurumu, Ki Dundung Kali, 

untuk meminta maaf sebelum gurumu tiba di ha-

dapanmu!!"

Pengemis Pincang yang jadi ragu-ragu un-

tuk menyerang begitu melihat si pemuda muncul, 

terdiam beberapa saat. Matanya mengerjap-

ngerjap panik.


Mendadak dia membentak, "Huh! Apakah 

kau akan berpikir seseorang yang telah menjadi 

mayat akan muncul di hadapanku?!"

"Kau mengatakan gurumu sendiri telah 

menjadi mayat, berarti memang benar kalau kau 

telah meracuninya! Pengemis Pincang, kau akan 

merasakan dunia mu berguncang hebat bila kau 

melihat kemunculan gurumu!!"

"Kata-kata pemuda yang kedua tangannya 

sebatas siku bersisik coklat ini penuh keyakinan 

sekali! Jangan-jangan... Ki Dundung Kali memang 

masih hidup? Celaka! Aku bisa celaka kalau begi-

tu!" desis Pengemis Pincang dalam hati. Rasa ta-

kutnya mendadak muncul.

Raja Naga berkata lagi, "Tindakan busuk 

telah kau lakukan terhadap gurumu sendiri demi 

satu benda sakti bernama Kain Pusaka Setan! 

Pengemis Pincang! Segera tinggalkan tempat ini! 

Atau... kau ingin aku yang menghukum mu?"

"Kesaktian pemuda ini bikin jantungku se-

rasa terbakar. Dia dengan mudah pernah mema-

tahkan ilmu 'Menggiring Awan Hitam'. Dan lagi... 

ah, kedudukanku semakin sempit sekarang. Ra-

sanya aku memang harus melupakan semua ini. 

Niatku untuk membunuh Dewi Bintang dengan 

terpaksa harus ku kubur lagi," kata Pengemis 

Pincang dalam hati.

Lalu dengan menindih rasa kecutnya dia 

berseru, "Raja Naga! Bukan karena kehadiranmu 

di sini atau akan munculnya Ki Dundung Kali 

yang membuatku memutuskan untuk tinggalkan


tempat ini! Ingat baik-baik... urusan antara kita 

belum selesai! Kelak aku akan muncul lagi di ha-

dapanmu!"

"Apa yang kau katakan barusan akan ku-

tunggu sampai kapan pun juga, itu pun kalau 

kau selamat dari amarah gurumu sendiri!"

Semakin tidak tenang perasaan Pengemis 

Pincang sekarang.

"Tentunya seseorang telah menyelamatkan 

Ki Dundung Kali dari kematian. Huh! Bisa jadi 

kalau pemuda itu yang telah melakukannya! Ke-

parat busuk! Bila saja aku tidak tahu betapa 

tinggi ilmunya, sudah kulabrak dia!"

Dengan pandangan sengit tetapi segera di-

alihkan ke tempat lain karena tak kuasa mena-

han angkernya tatapan si pemuda berambut gon-

drong, Pengemis Pincang berbalik untuk mening-

galkan tempat itu. Dia memutuskan untuk ber-

sembunyi sekian lama dari kejaran gurunya sen-

diri.

"Kau boleh meninggalkan tempat ini sete-

lah kau menanggalkan nyawamu!!" seruan keras 

itu terdengar bersamaan melesatnya bayangan 

kuning ke arah Pengemis Pincang.

Namun... 

Buk! Buk!

Dua jotosan yang hendak dilancarkan si 

bayangan kuning itu tertahan satu papakan yang 

cukup keras. Bersamaan tubuh si bayangan kun-

ing terhuyung ke belakang, sosok Pengemis Pin-

cang sudah tak ada lagi di sana.


ENAM


PEMUDA bersisik! Kemunculanmu boleh 

menggetarkan hati manusia pincang itu! Tetapi 

jangan berharap aku akan kecut menghadapimu!" 

seru si bayangan kuning setelah berhasil mengu-

asai keseimbangannya. Kedua tangannya terasa 

ngilu bukan main. Segera dialiri tenaga dalamnya 

untuk menghilangkan rasa ngilu itu.

Raja Naga yang tadi sudah cepat bergerak 

untuk mematahkan serangan Dayang Kuning pa-

da Pengemis Pincang, merandek pelan. Tatapan-

nya tetap angker. 

"Kau terlalu ringan tangan rupanya!" 

"Manusia pincang itu telah melakukan tin-

dakan busuk terhadap saudara seperguruanku?! 

Apakah tak patut bila kubalas memperlakukan-

nya dengan tindakan yang sama?!" bentak 

Dayang Kuning sengit.

"Kau tak perlu cabut nyawanya!"

"Itu urusanku! Dan bila kau hendak mem-

buka urusan, aku siap menghadapimu!!"

Raja Naga menggeleng-gelengkan kepa-

lanya. 

"Biarkan dia hidup, karena dia tak akan 

berani muncul lagi selagi diyakini gurunya yang 

pernah diracuninya akan mencarinya!" sahutnya 

dingin. Lalu sambungnya, "Dan kurasa telah cu-

kup kau mencabut satu nyawa saja!"

Ucapan si pemuda bersisik membuat


Dayang Kuning sesaat terdiam. Bola mata indah-

nya membuka lebar. Keningnya sedikit berkernyit. 

Saat itu juga dirasakan kalau perasaannya agak 

tidak enak.

Tapi di lain saat dia sudah membentak, 

"Apa maksudmu dengan aku yang telah cabut sa-

tu nyawa?"

"Dayang Kuning... apakah aku salah bila 

kukatakan kalau kau telah membunuh Demit Me-

rah?"

Sampai surut satu tindak Dayang Kuning 

karena terkejut. Kepalanya sampai bergoyang-

goyang sebelum tegak dan memandang tajam pa-

da Raja Naga.

Di lain pihak, dengan kening berkerut, 

Dayang Biru melirik Dayang Kuning yang me-

mandang Raja Naga.

"Astaga! Bagaimana dia bisa mengetahui 

soal itu? Setahuku hanya seorang yang tahu, dan 

dia adalah Dewi Bintang. Jangan-jangan... pemu-

da bersisik coklat ini telah berjumpa dengan Dewi 

Bintang?" desis Dayang Kuning dalam hati.

Sebelum dia membuka mulut, Raja Naga 

sudah angkat bicara, "Tak ada urusanku kau te-

lah membunuh Demit Merah atau tidak! Karena 

semua risiko itu kau yang tanggung sendiri! Seka-

rang urusan yang ada, aku meminta agar kau 

menyerahkan Kain Pusaka Setan padaku untuk 

kuhancurkan!"

Dayang Kuning yang terkejut karena tak 

menyangka pemuda bersisik coklat ini tahu apa


yang telah dilakukannya terhadap Demit Merah, 

menegakkan kepala. Seperti baru sadar dia lang-

sung membentak,

"Kemunculanmu dan perbuatanmu yang 

menghentikan niatku untuk membunuh Penge-

mis Pincang, sudah tak dapat kuterima! Dan se-

karang, kau lancang minta Kain Pusaka Setan 

itu!"

"Dayang Kuning... mungkin kau belum ta-

hu kehebatan sekaligus kekejaman dari Kain Pu-

saka Setan! Dan sebelum urusan menjadi pan-

jang, sebaiknya kau menyerahkan benda itu ke-

padaku!" suara Raja Naga terdengar dingin. Den-

gan tatapan kian angker anak muda dari Lembah 

Naga ini meneruskan ucapan, "Atau... kau telah 

menyerahkan Kain Pusaka Setan pada gurumu, si 

Ratu Dayang-dayang?!"

Bukannya Dayang Kuning yang buka sua-

ra, justru Dayang Biru yang sudah membentak, 

"Raja Naga! Sebelum ini kau telah menyelamatkan 

aku dari serangan yang hendak dilancarkan Pen-

gemis Pincang! Dan dalam waktu yang tak terlalu 

lama kita sudah berjumpa lagi! Tetapi sikap dan 

tindakanmu kali ini sungguh tak menyenangkan!"

Raja Naga melirik.

"Dayang Biru... aku hanya mencoba meng-

hentikan segala tindakan yang akan menuju pada 

kehancuran! Dan aku yakin, Kain Pusaka Setan 

akan dipergunakan oleh orang yang tak bertang-

gung jawab untuk kepentingan pribadinya!"

"Dan kau menuduh guru kami akan ber


tindak seperti itu?!"

Raja Naga tersenyum, sorot matanya tetap 

angker.

"Tak ada maksudku menuduh seperti itu! 

Tetapi aku yakin, gurumu akan mempergunakan 

Kain Pusaka Setan untuk kepentingannya! Sejauh 

ini, yang kutangkap gelagat adalah, gurumu 

punya urusan dengan Peramal Sakti!"

Tak ada yang buka suara. Dayang Biru 

memandang si pemuda dengan perasaan tak me-

nentu. Di pihak lain Dayang Kuning menggeram 

dalam hati,

"Semakin lama urusan ini semakin mem-

bingungkan. Tetapi biar bagaimanapun juga, aku 

akan tetap menjalankan perintah Guru. Dayang 

Biru sudah kutemukan! Berarti, kini tibalah per-

jalanan untuk mencari Peramal Sakti!"

Habis membatin demikian, gadis bermata 

indah ini berkata, "Raja Naga! Urusan kami ada-

lah urusan kami! Begitu pula sebaliknya! Jadi sa-

tu sama lain tak berhak untuk mencampuri uru-

san! Dan sekarang tak ada lagi urusan di antara 

kita! Memang akulah orangnya yang telah mere-

but Kain Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pin-

cang, yang telah kuserahkan pada Guru!"

Raja Naga merandek dingin.

"Dayang Kuning... kau tetap tak tahu apa 

yang akan terjadi! Padahal seharusnya kau sudah 

punya dugaan tentang hal itu! Dan maafkan aku 

bila aku masih mencampuri urusan ini! Mengin-

gat Kain Pusaka Setan akan...."


"Lama-lama sikapmu membikin ku bosan!!"

Bentakan Dayang Kuning itu diiringi den-

gan dorongan tangan kanan kirinya. Dua gelom-

bang angin berwarna kuning menerjang ke arah 

Raja Naga. Dalam jarak sedemikian dekat ten-

tunya akan kesulitan bagi seseorang yang dis-

erang secara mendadak itu. Tetapi....

Raja Naga hanya menggeser sedikit tubuh-

nya. Ganasnya dua gelombang angin itu menderu 

hanya satu jengkal dari tubuhnya!

Blaaam! Blaaammm!!

Sebatang pohon di belakangnya jadi sasa-

ran serangan Dayang Kuning. Melihat serangan-

nya dapat dielakkan dengan mudah, membuat 

gadis berpakaian serba kuning ini menjadi mur-

ka. Dia segera mencelat ke depan diiringi teriakan 

membahana.

Di tempatnya Dayang Biru menarik napas 

panjang.

"Aku sudah menyaksikan kehebatan pe-

muda berompi ungu ini tatkala mematahkan se-

rangan Pengemis Pincang. Tetapi biar bagaimana-

pun juga, aku tak menginginkan sesuatu terjadi 

pada Dayang Kuning. Aku harus membantunya."

Menyusul gelombang angin warna kuning 

yang dilepaskan Dayang Kuning, suara menderu 

keras menggebrak dari samping kanan. Dua ge-

lombang angin biru menyilang siap menghantam 

Raja Naga!

Murid Dewa Naga ini cepat menghindari 

kedua serangan yang dilancarkan beruntun itu.


"Kusesali karena kalian terlalu keras kepa-

la! Padahal kalian sadar apa yang akan dilakukan 

oleh guru kalian dengan pergunakan Kain Pusaka 

Setan!"

"Tutup mulutmu!!" hardik Dayang Kuning 

sambil bersalto ke depan.

"Kehebatanmu memang sungguh menga-

gumkan! Tetapi jangan berpikir picik kalau kami 

akan mundur dari hadapanmu!" sambung Dayang 

Biru.

Serangan demi serangan berbahaya yang 

dilancarkan masing-masing orang itu membuat 

Raja Naga sedikit agak kewalahan. Pemuda tam-

pan bersorot mata angker ini memang tak mau 

lakukan serangan balasan, mengingat bukan me-

rekalah sasarannya. Sesungguhnya bukan pula 

Ratu Dayang-dayang. Melainkan Kain Pusaka Se-

tan yang hendak direbutnya untuk dimusnahkan.

Saat menghindar Boma Paksi berseru, 

"Dayang Kuning dan Dayang Biru! Aku tak ingin 

urusan ini berlanjut! Sebaiknya kalian katakan 

saja padaku di mana Ratu Dayang-dayang ting-

gal!"

"Kau akan mengetahuinya setelah kau ber-

hasil melewati mayat kami!" sahut Dayang Kuning 

terus menggempur ke depan. Gadis bermata in-

dah ini sungguh penasaran karena sejak tadi tak 

satu pun serangannya yang mengenal sasaran-

nya. Dan yang membuatnya jengkel, dia merasa 

seperti dipermainkan oleh si pemuda yang sama 

sekali tak membalas.


Lain halnya dengan Dayang Biru yang telah 

tahu kesaktian pemuda yang sedang digempurnya 

ini. Walaupun demikian, gadis berponi indah ini 

terus berusaha menggempur si pemuda. Karena 

biar bagaimanapun, sudah jelas tanda-tanda ka-

lau Raja Naga akan menghalangi apa yang akan 

mereka lakukan!

Raja Naga sendiri lama kelamaan menjadi 

jengkel melihat kekeraskepalaan kedua gadis ini.

"Dari mulut mereka sudah tentu tak akan 

mudah kudapatkan keterangan di mana Ratu 

Dayang-dayang tinggal! Kalau begitu aku memang 

harus mencarinya sendiri...."

Memutuskan demikian, murid Dewa Naga 

segera melesat ke depan seraya menggerakkan 

tangan kanan kirinya. Kecepatan yang diperli-

hatkannya sukar diikuti oleh mata. Tahu-tahu 

terdengar seruan tertahan susul menyusul. 

Dayang Kuning telah terjajar ke belakang, me-

nyusul Dayang Biru yang ambruk di atas tanah.

"Kita sudahi urusan ini!" desis Raja Naga 

setelah berdiri kembali di atas tanah. Lalu tanpa 

menunggu jawaban keduanya, dia sudah melesat 

meninggalkan tempat itu.

"Pemuda celaka! Kau berlaku seperti tikus 

got! Keangkeranmu tak sepadan dengan apa yang 

kau lakukan sekarang! Kembali! Hadapi kami!!" 

seru Dayang Kuning setelah menguasai keseim-

bangannya sambil memegangi perutnya yang te-

rasa mulas. Dia tidak tahu, kalau Raja Naga mau, 

perutnya bisa jebol dihantam oleh kedua tangan


nya yang memiliki kekuatan dahsyat dan dapat 

menahan senjata tajam apa pun!

Dayang Biru yang telah bangkit mendesis, 

"Tak perlu kau mengejarnya. Dayang Kuning...."

Dayang Kuning mendengus. Dadanya yang 

membusung bergerak cepat, pertanda gelora ama-

rahnya masih terjaga di dada.

Dayang Biru mengatur napas pelan-pelan 

sebelum berkata lagi, "Aku pernah melihat kesak-

tian pemuda berompi ungu itu, Dayang Kuning! 

Kita akan mengalami kesulitan untuk mengalah-

kannya! Dan tak akan mampu menghadapinya 

tanpa bantuan Guru!"

Tanpa melirik pada Dayang Biru, Dayang 

Kuning menyahut, "Apakah dengan berkata begi-

tu kau sebenarnya kecil hati, Dayang Biru?"

"Tak ada perasaan itu di dadaku."

"Lantas mengapa kau berkata demikian?"

"Sekali lagi kukatakan, kalau dia memiliki 

ilmu yang sangat tinggi."

Mendadak kepala Dayang Kuning bergerak 

ke arah Dayang Biru. Tatapan tajamnya menghu-

jam tepat pada bola mata si gadis berponi indah.

"Suaramu bergetar, Dayang Biru...."

"Bergetar? Ah, kau terlalu berperasaan se-

karang...."

"Aku tak bisa dibohongi! Mengapa suaramu 

bergetar? Apakah kau memang khawatir akan il-

mu yang dimilikinya, atau kau punya satu pera-

saan lain?"

"Dayang Kuning... mengapa kau jadi gusar


seperti itu kepadaku? Urusan Raja Naga sekarang 

ini sudah jelas jadi urusan kita. Karena dia akan 

menghentikan siapa pun orang yang memiliki 

Kain Pusaka Setan! Kau mengatakan kalau kau 

telah menyerahkan benda itu pada Guru! Berar-

ti... pemuda itu akan mencari Guru!"

"Tidak!"

"Apa maksudmu berkata tidak?" 

"Guru memerintahkan kita untuk mencari 

Peramal Sakti!"

"Dayang Kuning... di saat kau membisik-

kan kata-kata itu dan dihubungkan dengan apa 

yang dikatakan Raja Naga, aku justru menangkap 

satu bayangan kalau memang ada urusan antara 

Guru dengan Peramal Sakti!"

"Ucapan bodoh! Tadi kukatakan kalau 

Guru menyuruh kita untuk membunuh Peramal 

Sakti! Apakah kau pikir Guru memerintahkan ki-

ta hanya untuk satu basa-basi?!"

Dayang Biru tak menjawab. Diam-diam ga-

dis berponi indah ini menelan ludah.

Tindakan diamnya justru semakin me-

mancing kecurigaan Dayang Kuning yang me-

mandangnya lekat-lekat. Dayang Biru kelihatan 

berusaha untuk mengalihkan pandangannya dari 

tatapan Dayang Kuning. Melihat hal itu Dayang 

Kuning mendengus.

"Kau menyimpan perasaan lain pada pe-

muda yang kedua tangan sebatas sikunya bersi-

sik coklat, Dayang Biru!!" bentaknya tiba-tiba.

"Dayang Kuning!" suara Dayang Biru ber


getar. "Apa-apaan kau bicara? Aku baru dua kali 

berjumpa dengannya! Dan pemuda itu sudah 

memperlihatkan sikap tak enak karena secara tak 

langsung dia telah mengancam guru kita! Jadi... 

jaga mulutmu itu!"

Dayang Kuning mengertakkan rahangnya. 

Tatapannya menusuk tajam. Mulutnya sejenak 

merapat sebelum dia berkata dingin, "Aku tak ta-

hu apa yang menyebabkan mu menjadi pengecut 

seperti itu menghadapinya! Padahal selama ini 

kau kukenal memiliki hati kejam yang tak terkira! 

Sekarang, apakah kau akan turut denganku un-

tuk mencari Peramal Sakti?"

Dayang Biru diam-diam menarik napas 

pendek. Lalu menurunkan nada suaranya, "Kita 

sama-sama tahu kalau sekarang ini Raja Naga 

sedang mencari Guru! Apakah tak lebih baik kita 

kembali untuk melihat keadaan Guru, setelah itu 

baru kita mencari Peramal Sakti?"

Mendengar usul itu tatapan Dayang Kun-

ing semakin tajam. Tetapi diam-diam gadis ber-

mata indah ini membenarkan juga apa yang dika-

takan Dayang Biru.

"Apa yang dikatakan Dayang Biru dapat ku 

benarkan. Tetapi... aku justru menangkap satu 

keinginan lain darinya. Ah, biar bagaimanapun 

juga aku tak boleh bertindak keras padanya. Me-

nurut Guru, usiaku lebih tua darinya. Jadi aku 

harus menjaga dan mengemongnya...."

Tatapan tajam Dayang Kuning perlahan-

lahan mencair. Bola matanya kini bersinar indah.


Laki dia tersenyum.

"Dayang Biru... maafkan ucapanku yang 

terlalu keras tadi. Tak ada maksudku untuk 

membentakmu dan punya pikiran lain tentang 

perasaanmu pada pemuda berompi ungu itu. 

Yah... lebih baik kita memang kembali dulu untuk 

melihat keadaan Guru. Paling tidak, kita membe-

ritahukannya kalau yang akan dihadapinya bu-

kan hanya Peramal Sakti, melainkan pemuda ber-

juluk Raja Naga itu...."

Mendengar suara lembut yang sudah dike-

nalnya semenjak kecil, Dayang Biru balas terse-

nyum.

"Terima kasih atas pengertianmu, Dayang 

Kuning. Apa yang kukatakan ini bukan dikarena-

kan aku takut pada Raja Naga karena pernah 

menyaksikan kesaktiannya saat menghadapi Pen-

gemis Pincang. Melainkan, karena aku tak ingin 

kita mati konyol menghadapinya walaupun jelas 

terlihat kalau pemuda itu tak hendak melakukan 

kekerasan kepada kita."

Dayang Kuning tersenyum.

"Kita berangkat sekarang...."

Kejap kemudian kedua gadis yang sama-

sama berambut dikuncir ekor kuda itu sudah 

meninggalkan tempat itu yang segera direjam sepi.


TUJUH


TEMPAT yang bila pagi dan siang saja su-

dah begitu redup dan sunyi, kini telah didatangi 

malam, yang semakin membuat tempat itu gelap 

semata. Masih beruntung karena malam ini bulan 

bersinar penuh.

Satu sosok tubuh nampak sedang mem-

perhatikan benda di hadapannya. Mata sosok tu-

buh yang ternyata seorang nenek ini tak berkedip 

pada benda yang ternyata sebuah patung berpa-

ras lelaki kejam. Cukup lama si nenek berkonde 

mencuat ini memperhatikan patung di hadapan-

nya sebelum kemudian dia menghela napas pan-

jang.

"Berpuluh tahun lamanya aku menunggu 

rahasia apa yang ada di balik Patung Darah De-

wa.... Bertahun-tahun pula ku coba untuk men-

getahui rahasia apa yang ada di sana. Tetapi 

sampai hari ini, aku masih belum dapat mengeta-

huinya...."

Si nenek berkonde yang mengenakan pa-

kaian dan jubah hitam ini terdiam. Sorot matanya 

seperti mengeluarkan cahaya merah tatkala dia 

kembali tatap tajam-tajam patung di hadapannya.

"Satu-satunya orang yang dapat kujadikan 

petunjuk bagiku guna mengetahui rahasia apa 

yang di balik Patung Darah Dewa ini, hanyalah 

Peramal Sakti! Menghadapinya aku memang tak 

akan mampu! Itu pertanda kalau Kiai Gede Arum


pilih kasih dalam menurunkan ilmunya. Terbukti, 

aku berhasil dikalahkan oleh Peramal Sakti...."

Perempuan ini menarik napas dalam-

dalam. Saat dilakukannya tindakan itu, kedua pi-

pinya tertarik ke dalam, karena si nenek yang bu-

kan lain Ratu Dayang-dayang ini tak punya gigi

"Tetapi aku sudah puas sekarang, karena 

Kiai Gede Arum telah mampus di tanganku! Huh! 

Tinggal Peramal Sakti yang harus kubunuh, yang 

tentunya sebelum kubunuh aku harus menden-

gar dari mulutnya, rahasia apa yang ada pada Pa-

tung Darah Dewa...."

Perempuan tua berkonde ini terdiam lagi. 

Lama kelamaan kerut merut di wajahnya seperti 

bertumpuk. Jubah hitamnya bergerai-gerai di-

hembusi angin malam.

"Huh! Tak lagi kudengar kabar dari Dayang 

Kuning! Apakah saat ini dia sudah berjumpa den-

gan Dayang Biru sekaligus membunuh Peramal 

Sakti? Atau... keduanya belum berjumpa?" desis-

nya lagi. Mendadak terdengar dengusannya keras, 

"Huh! Peramal Sakti akan kubunuh dengan 

mempergunakan Kain Pusaka Setan! Tetapi... ten-

tunya aku harus mendengar dulu tentang rahasia 

Patung Darah Dewa! Kiai Gede Arum memang ke-

terlaluan! Dia bukan hanya menurunkan ilmunya 

lebih banyak pada Peramal Sakti, tetapi hanya 

mengatakan rahasia Patung Darah Dewa kepada 

kakek keparat itu!"

"Ratu Dayang-dayang! Aku pun ingin 

membunuh Peramal Sakti! Makanya aku datang


sekarang!"

Satu suara yang kemudian terdengar itu 

seketika membuat Ratu Dayang-dayang mema-

lingkan kepalanya ke belakang. Dua kejapan ma-

ta kemudian, dilihatnya dua sosok tubuh telah 

berdiri di belakangnya.

Disusul suara, "Lara Dewi... seharusnya ki-

ta tak segera tiba di tempat ini! Aku masih ingin 

menggeluti tubuhmu yang montok itu! Tanganku 

sudah gatal buat colek-colek pantat besarmu!"

"Hik hik hik... Setan Gemolong! Rasanya 

saat inilah kau mempertunjukkan kesaktianmu 

kembali! Karena dengan bergabungnya Ratu 

Dayang-dayang, maka kekuatan kita untuk mem-

bunuh Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti akan 

bertambah!"

Di tempatnya, nenek berjubah hitam mem-

perhatikan dengan seksama kedua orang di de-

pannya.

"Hemmm... yang perempuan berwajah can-

tik! Pakaiannya hanya berupa kain keemasan 

yang membalut mulai dari batas tengah payuda-

ranya yang jelas-jelas sengaja dilakukan seperti 

itu! Tentunya... huh! Dia sengaja memperlihatkan 

bukit kembarnya yang jadi semakin sesak! Lagi 

pula... gila! Perempuan ini tak punya malu ru-

panya! Kainnya terbelah hingga pangkal paha! 

Siapa perempuan mesum itu? Baru kali ini aku 

melihatnya! Tetapi... kakek tanpa baju itu jelas 

aku tahu! Setan Gemolong!"

Habis membatin demikian, Ratu Dayang


dayang bersuara, "Setan Gemolong! Kau hadir di 

tempatku tanpa kuundang! Ini sudah menunjuk-

kan kelancanganmu!"

"Brengsek! Nenek peot! Jangan main ben-

tak sebelum tahu urusan!!" balas Setan Gemolong 

geram.

"Tua bangka keparat! Kau masih saja ber-

sikap sombong, padahal kau tak memiliki ke-

mampuan apa-apa di hadapanku!"

"Gila! Gila! Ratu Dayang-dayang! Bila tak 

ingat kalau kekasihku ini punya urusan dengan-

mu, sudah kurobek mulut keparatmu itu!"

Sebelum Ratu Dayang-dayang menyahut, 

perempuan berbukit kembar sesak itu sudah 

mendahului, "Ratu Dayang-dayang! Kami hadir di 

sini bukan untuk mencari urusan tak menye-

nangkan! Tetapi kami datang dengan membawa 

kegembiraan yang tentunya telah kau tunggu ju-

ga!"

Sepasang mata tua Ratu Dayang-dayang 

menyipit. Mulutnya merapat hingga pipinya terte-

kuk ke dalam.

Kemudian serunya, "Perempuan bertam-

pang mesum! Aku tak perlu mendengar kabar apa 

pun meskipun kabar itu sesuatu yang menggem-

birakan!"

"Kau belum mendengarnya hingga kau bisa 

berkata demikian!"

"Jangan bertele-tele!"

Lara Dewi tersenyum.

"Aku tahu kau punya dendam beruntun


pada Peramal Sakti! Demikian pula adanya den-

ganku! Aku sudah tak sabar pula untuk membu-

nuhnya! Mungkin kau pernah mendengar julukan 

seorang tokoh besar; Durjana Kayangan! Dia ada-

lah kakak kandungku yang tewas dibunuh oleh Ki 

Dundung Kali dan Peramal Sakti! Sebagai adik 

kandungnya, aku kini muncul untuk menuntut 

balas! Bukankah ini kabar yang menggembirakan 

bagimu?!"

Ratu Dayang-dayang tidak menyahuti kata-

kata Lara Dewi. Dilihatnya tangan kurus Setan 

Gemolong dengan nakalnya merogoh bukit kem-

bar sebelah kiri Lara Dewi yang menepiskannya 

dengan manja.

Lalu katanya dingin, "Aku tak butuh ka-

wan untuk membunuh Peramal Sakti!"

"Demikian pula denganku!" sahut Lara De-

wi segera. "Tetapi, bukankah ini hal yang meng-

gembirakan? Dengan gabungan kekuatan kita, 

maka kita akan lebih cepat menghabisi Peramal 

Sakti!"

Lagi-lagi Ratu Dayang-dayang terdiam. Di-

tatapnya Lara Dewi dan Setan Gemolong secara 

bergantian.

Setelah beberapa lama terdiam dia baru 

berkata, "Baiklah! Aku menyetujui apa yang kau 

katakana! Tetapi ada satu hal yang harus kubica-

rakan!"

"Tentang apa?!"

"Kain Pusaka Setan!"

"Aha! Benda sakti milik kakak kandungku


itu? Tidak, aku tak pernah menginginkannya! Se-

tahuku benda itu telah direbut oleh Ki Dundung 

Kali dan Peramal Sakti! Tetapi saat ini aku juga 

sudah mendengar kabar, kalau Kain Pusaka Se-

tan telah lenyap dari Taman Kematian karena te-

lah diambil oleh seseorang!" sahut Lara Dewi. La-

lu dengan senyuman sinis dia melanjutkan, "Dari 

ucapanmu... aku menangkap dugaan kalau kau 

tahu siapa orang yang telah mengambil Kain Pu-

saka Setan!"

"Bisa jadi benda itu berada di tangannya, 

Lara Dewi!" sambung Setan Gemolong sementara 

tangan kanannya meremas-remas pantat besar 

Lara Dewi.

Ratu Dayang-dayang mendengus.

"Ya! Benda itu berada d! tanganku! Dan ka-

lian tentunya tahu kesaktian dari Kain Pusaka 

Setan! Jadi jangan coba-coba untuk merebut 

benda itu dari tanganku!"

Lara Dewi tersenyum. 

"Tadi kukatakan kalau aku tak peduli den-

gan Kain Pusaka Setan! Yang kuinginkan adalah 

nyawa Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti!"

"Baik! Kita bisa bahu membahu mengha-

dapi keduanya!"

Lara Dewi terkikik senang.

Mendadak saja kikikannya terputus karena 

mendengar kelebatan yang mengarah ke tempat 

mereka. Ratu Dayang-dayang yang juga menden-

gar terdiam. Sementara itu Setan Gemolong se-

makin gemas meremas-remas pantat besar Lara


Dewi, meskipun dia juga mendengar kelebatan 

tubuh ke arah mereka.

Kelebatan tubuh yang mereka dengar kini 

sudah menampakkan sosoknya.

Dayang Kuning dan Dayang Biru!

Kedua gadis berkuncir kuda ini memper-

lambat lari mereka. Seraya mendekati Ratu 

Dayang-dayang, mata masing-masing orang tak 

berkedip pada Lara Dewi dan Setan Gemolong.

Dayang Kuning berbisik, "Siapakah mere-

ka, Guru?"

"Yang perempuan bertampang mesum itu 

bernama Lara Dewi! Sementara kakek tanpa pa-

kaian itu berjuluk Setan Gemolong! Mereka da-

tang menawarkan kerja sama untuk membunuh 

Peramal Sakti!" sahut Ratu Dayang-dayang tetap 

memandangi kedua orang itu bergantian.

"Guru menerima tawaran itu?"

"Ya! Kita tak perlu khawatir terhadap ke-

duanya. Dayang Kuning... bagaimana dengan Pe-

ramal Sakti?"

Dayang Kuning merangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada.

"Maafkan aku, Guru... aku dan Dayang Bi-

ru belum menemukan Peramal Sakti."

"Tak jadi masalah! Karena sekarang juga 

kita akan berangkat untuk mencari kedua manu-

sia itu!"

"Guru... ada sesuatu yang hendak kubica-

rakan...."

Sebelum Ratu Dayang-dayang menyahut,


Setan Gemolong sudah membentak, "Mengapa 

pakai berbisik-bisik?! Apakah kalian pikir kami 

tak mendengarnya?!"

Dayang Kuning seketika memalingkan wa-

jahnya. Tatapannya menusuk tajam pada Setan 

Gemolong yang melotot gusar.

Ratu Dayang-dayang berkata, "Dayang 

Kuning... kau tak perlu berbisik lagi! Katakan apa 

yang hendak kau bicarakan!"

Dayang Kuning masih menatap Setan Ge-

molong. Hati gadis bermata indah ini mangkel 

mendengar bentakan keras itu. Di pihak lain, ga-

dis berponi indah nampak bersiaga sambil mem-

perhatikan Setan Gemolong dan Lara Dewi.

Dayang Kuning berkata, tidak berbisik lagi, 

"Guru! Kami telah berjumpa dengan seorang pe-

muda berompi ungu yang pada kedua tangannya 

sebatas siku terdapat sisik berwarna coklat! Dia 

berjuluk...."

"Raja Naga!" kata-kata Lara Dewi sudah 

mendahului ucapan Dayang Kuning. Perempuan 

mesum ini menyeringai. "Tak perlu gusar, karena 

kami juga sudah bertemu dengan pemuda yang 

ternyata murid Dewa Naga!"

Dayang Kuning tak mempedulikan kata-

kata itu. 

Dia meneruskan ucapannya, "Guru! Pemu-

da bersisik itu memang berjuluk Raja Naga! Dia 

muncul hendak merebut Kain Pusaka Setan!"

"Huh! Pemuda itu berani mampus ru-

panya!"


"Aku dan Dayang Biru pernah terlibat per-

tarungan dengannya! Ilmunya sangat tinggi! Bah-

kan kalau pemuda itu mau, dengan mudahnya 

kami akan dapat dikalahkan! Guru... dia tahu ka-

lau Kain Pusaka Setan berada di tangan Guru! 

Dan aku yakin, tak lama lagi dia akan muncul di 

sini untuk merebut benda itu!"

"Huh! Bukan masalah besar!" sahut Ratu 

Dayang-dayang sambil menyeringai. Kemudian 

katanya pada Lara Dewi, "Kau telah mengetahui 

pemuda bersisik coklat itu! Apakah kau pernah 

terlibat urusan dengannya?!"

"Urusan itu bukan milikku! Tetapi milik Se-

tan Gemolong! Pemuda yang kedua tangannya 

bersisik coklat sebatas siku itu adalah murid De-

wa Naga! Dan Setan Gemolong punya urusan 

dengannya! Kuakui kalau pemuda itu memiliki 

Ilmu yang tinggi! Tetapi... dia bukanlah seseorang 

yang perlu dikhawatirkan! Karena Setan Gemo-

long akan melipat tulangnya hingga dia tak bisa 

bergerak!"

"Bagus! Apa rencanamu sekarang?!"

"Kau telah setuju untuk bergabung guna 

membunuh Peramal Sakti!! Apakah kau akan 

menunggu kemunculan manusia itu di sini, men-

gingat kau punya urusan dengannya?!"

"Sejak semula aku sudah hendak keluar 

dari tempat ini untuk mencarinya!"

"Bagus! Mengapa tidak sekarang kita be-

rangkat?!"

Setan Gemolong buka suara, "Lara Dewi!


Berangkat ya berangkat! Tetapi barangku sudah 

berdiri! Ini harus dilemaskan dulu! Ayo, kau le-

maskan dulu barang beberapa jam!"

Sementara Lara Dewi mengikik, Dayang 

Kuning dan Dayang Biru mendengus secara ber-

samaan.

"Setan Gemolong... kau benar-benar tak 

dapat menahan birahi! Tahanlah dulu! Ingat apa 

yang kukatakan, bukan? Bila kedua manusia ja-

hanam itu sudah berkalang tanah, maka kau 

akan mendapatkan sesuatu yang tak pernah kau 

bayangkan sebelumnya!"

"Aku sudah membayangkannya dan tak 

sabar menunggu saat-saat yang menggairahkan 

itu!"

"Hik hik hik... sekarang ini bukanlah saat-

nya untuk memikirkan soal itu. Ratu Dayang-

dayang... kita bisa berangkat sekarang!"

"Sebentar!" sahut Ratu Dayang-dayang. La-

lu berkata pada kedua muridnya, "Kalian tetap 

berada di sini! Berjaga-jaga penuh! Bila ada yang 

muncul dan kalian merasa tak sanggup mengha-

dapinya, sebaiknya kalian tak perlu keluar! Pa-

ham?!"

Baik Dayang Kuning maupun Dayang Biru 

sama-sama menganggukkan kepala.

Ratu Dayang-dayang berkata pada Lara 

Dewi, "Kita sudah mengambil kesepakatan! Dan 

tentunya seorang pengkhianat akan menerima 

hukuman yang sangat berat! Kita berangkat seka-

rang!"


Lara Dewi mengikik panjang.

Di sela-sela kikikan Lara Dewi terdengar 

satu suara, "Ratu Dayang-dayang! Berpuluh ta-

hun kau kubiarkan hidup bebas dengan segala 

beban yang kau tanggung sendiri! Tetapi tinda-

kanmu sekarang ini tak akan bisa ku maafkan!"

Serentak masing-masing orang mengarah-

kan pandangan ke depan. Tiga tarikan napas ke-

mudian, telah berdiri dua sosok tubuh sejarak li-

ma belas langkah dari hadapan masing-masing 

orang.


DELAPAN


KEDUA orang yang baru muncul itu bukan 

lain Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti adanya. 

Masing-masing orang memandang tak berkedip ke 

depan.

Ledakan suara Lara Dewi mendadak mem-

bahana, "Manusia-manusia keparat! Kalian punya 

nyali juga untuk tiba di tempat ini!" Kemudian di-

angkat kepalanya sambil merentangkan kedua 

tangannya ke atas. Sepasang bukit kembarnya 

agak naik. "Durjana Kayangan! Kau akan tenang 

di alammu sana melihat kematian kedua manu-

sia-manusia keparat yang telah membunuhmu!!"

Kembali diarahkan tatapannya yang bersi-

nar berbahaya.

Setan Gemolong ikut-ikutan buka suara, 

"Lara Dewi! Bagus kalau mereka berani muncul di


sini! Berarti urusan akan cepat selesai dan aku 

akan segera menikmati apa yang kau janjikan!"

Peramal Sakti yang tetap mengusap-usap 

jenggot putih panjangnya buka suara, "Jadi... 

kaulah orang yang diceritakan Raja Naga yang 

akan menuntut balas atas kematian Durjana 

Kayangan?! Lara Dewi! Kau tidak tahu siapa ka-

kak kandungmu itu, yang bila dia hidup hingga 

saat ini akan tetap menimbulkan keonaran! Bila 

kau mau mempergunakan otakmu, tentunya kau 

akan paham kalau Durjana Kayangan lebih baik 

mampus ketimbang hidup sampai sekarang!"

"Tutup mulutmu! Ajalmu sudah memben-

tang, Peramal Sakti!"

Bentakan Lara Dewi disambung oleh Ratu 

Dayang-dayang, "Peramal Sakti! Kalau dulu kau 

dapat mengalahkan aku, kali ini jangan berharap 

kau dapat melakukannya!"

Habis bentakannya, nenek berjubah hitam 

ini mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Se-

helai kain hitam usang yang segera dibebalkan 

pada telapak tangan kanannya.

Melihat itu baik Peramal Sakti maupun Ki 

Dundung Kali menahan napas.

"Hemm... rupanya Kain Pusaka Setan be-

rada di tangannya! Berarti... apa yang dikatakan 

Raja Naga tentang seorang gadis berpakaian kun-

ing yang merebut benda itu dari tangan Pengemis 

Pincang, adalah gadis yang berdiri di sebelah ka-

nannya yang tentunya adalah muridnya! Hemm... 

aku harus berhati-hati...," desis Peramal Sakti da


lam hati.

Di pihak lain, Ki Dundung Kali yang kem-

bali pada sikap seriusnya memandang tak berke-

dip.

"Dengan adanya Kain Pusaka Setan di tan-

gannya, urusan ini akan semakin panjang nam-

paknya...."

Mendapati kedua kakek di hadapannya tak 

buka mulut, Ratu Dayang-dayang terbahak-

bahak.

Dia berseru pada Lara Dewi, "Lara Dewi! 

Siapa yang lebih dulu untuk mencabut nyawa ke-

duanya?!"

"Aku akan ambil kesempatan yang perta-

ma!"

Habis ucapannya, perempuan mesum ber-

kain keemasan yang terbelah hingga pangkal pa-

ha ini sudah menerjang ke depan. Tangan kanan 

kirinya serta merta digerakkan, diarahkan pada 

dada Peramal Sakti.

Melihat Lara Dewi sudah melancarkan se-

rangan, Setan Gemolong juga menerjang ke arah 

Ki Dundung Kali.

Kedua kakek itu sudah tentu tak mau ting-

gal diam. Mereka pun segera mengambil posisi 

untuk melayani serangan ganas keduanya. Dan 

dalam waktu yang singkat saja, tempat itu sudah 

mulai diramaikan oleh suara teriakan diselingi le-

tupan keras. Beberapa ranggasan semak belukar 

membuyar. Tanah muncrat ke udara. Keadaan 

yang sudah benar-benar kacau balau itu diting


kahi dengan tumbangnya beberapa buah pohon.

Ratu Dayang-dayang menggeram dalam 

hati, "Hemm... biarlah keduanya yang menghabisi 

nyawa manusia-manusia itu, terutama nyawa Pe-

ramal Sakti! Bila mereka berhasil, aku tak perlu 

buang tenaga banyak! Huh! Tetapi... aku tak ingin 

Peramal Sakti tewas sebelum dikatakannya raha-

sia apa yang tersembunyi pada Patung Darah 

Dewa."

Lara Dewi yang dibaluri dendam mencoba 

mendesak Peramal Sakti dengan serangan-

serangan tingkat tinggi. Perempuan mesum ini 

tak mau memberikan kesempatan pada si kakek 

berjenggot putih panjang. Baginya, inilah malam 

yang tepat untuk membunuh Peramal Sakti sete-

lah melalui penantian panjang.

Di pihak lain, Setan Gemolong juga mela-

kukan hal yang sama. Dari gebrakan-gebrakan 

yang diperlihatkannya yang selalu mengarah pada 

jantung dan sepasang mata lawan, si kakek hen-

dak mempersingkat waktu untuk menghabisi Ki 

Dundung Kali.

Ki Dundung Kali sendiri sudah mempergu-

nakan Ilmu 'Menggiring Awan Hitam' yang lebih 

dahsyat dari yang dimiliki Pengemis Pincang. 

Dengan ilmu itu dia dapat menunda niatan Setan 

Gemolong untuk menghabisinya. Bahkan untuk 

beberapa lama dia dapat mendesak Setan Gemo-

long yang menggeram setinggi langit.

"Setan terkutuk!!" makinya sambil meng-

hindar ke samping kanan. Di belakangnya, tiga


orang perempuan sudah menghindar pula karena 

awan-awan hitam yang mengeluarkan hawa san-

gat dingin menderu ke arah mereka.

Blaaaammm!!

Ranggasan semak seketika berhamburan 

ke udara dan tanah telah membentuk sebuah lu-

bang yang keluarkan asap.

Sementara itu Setan Gemolong nampak se-

dang meluruskan tangan kanan kirinya dengan 

cara disentakkan hingga terdengar seperti tulang-

tulang patah. Berkretek-kretek!

"Kau akan merasakan ilmu 'Penghancur 

Tulang'-ku ini, Dundung Kali!"

Ki Dundung Kali tahu akan kehebatan ilmu 

'Penghancur Tulang' milik Setan Gemolong.

"Aku harus berhati-hati!" desisnya dalam 

hati. Dia mendahului menerjang dengan Ilmu 

'Menggiring Awan Hitam'-nya yang mengarah ke 

jantung lawan.

Bersamaan terdengar suara dengusan dan 

keretekan tulang, Setan Gemolong menerjang pu-

la ke depan. Kedua tangannya dikibaskan yang 

bergerak demikian lentur, tetapi memperdengar-

kan suara seperti tulang mau patah.

Awan-awan hitam yang dilepaskan Ki Dun-

dung Kali berhamburan pecah ke udara, tatkala 

tenaga tak nampak yang keluar dari kibasan ke-

dua tangan Setan Gemolong melabraknya.

Blaamm! Blaaam! Blaaammm!!

Letupan keras beberapa kali terdengar 

yang bikin suasana di tempat itu semakin kacau


balau. Kejap berikutnya. Setan Gemolong sudah 

mendesak hebat Ki Dundung Kali yang saat itu 

juga kewalahan menghadapinya.

Keadaan Ki Dundung Kali berbalikan den-

gan Peramal Sakti. Kakek yang selalu usap-usap 

jenggot putihnya itu berhasil mendesak Lara De-

wi.

"Aku bukanlah orang yang kejam! Tetapi 

tindakan ini tak akan bisa kubiarkan!"

"Keparat!! Kau pikir aku akan mundur 

menghadapimu?!" balas Lara Dewi dengan wajah 

ditekuk dan kegusaran dalam. Dan dia harus be-

rusaha untuk menghindari setiap serangan dah-

syat Peramal Sakti. Bahkan, dia tak punya lagi 

kesempatan itu karena serangan Peramal Sakti 

telah mengurungnya!

Mendadak... wwwrrrrr!!

Telah menghampar gelombang angin lak-

sana badai yang mengarah pada Peramal Sakti.

"Astaga!!" seruan tertahan itu terdengar, 

menyusul sosok Peramal Sakti menghindar ke 

samping kanan dengan cara bergulingan.

Blaaaarrrr!!

Letupan dahsyat terdengar beberapa kali 

bersamaan tanah yang muncrat dahsyat! Peramal 

Sakti yang telah berdiri tegak, tersentak kaget. 

Kedua matanya membuka lebar.

Karena mendadak saja hamparan gelom-

bang angin yang tadi gagal menghantamnya dan 

membuat tanah di mana sebelumnya dia berdiri 

membentuk sebuah lubang besar, telah berbalik


arah, menyentak naik ke udara dan meluncur 

kembali ke bawah disertai letupan berulang-ulang 

di udara.

"Celakaaaa!!" Lagi-lagi terdengar seruan 

tertahan Peramal Sakti bersamaan dia melompat 

menghindar lagi

Buummm!!

Begitu gelombang angin yang meluncur ta-

di menghantam tanah, letupan mengerikan terjadi 

seiring tanah yang membuyar ke atas. Cukup la-

ma tanah-tanah itu menghalangi pandangan se-

belum kemudian sirap kembali. Dan terlihat ke-

mudian bagaimana sebuah lubang besar yang 

mengeluarkan asap telah terbentuk sejarak sepu-

luh langkah dari samping kiri Peramal Sakti yang 

memandang dengan dada naik turun.

"Aku ambil bagian sekarang, Lara Dewi!"

Lara Dewi yang diselamatkan tadi menoleh 

ke kanan, pada Ratu Dayang-dayang yang sedang 

memandang dingin pada Peramal Sakti. Perem-

puan mesum ini tersenyum.

"Aku juga akan ambil bagian lagi! Kita ha-

jar kakek keparat itu untuk selama-lamanya!"

"Tunggu! Sebelum ku cabut nyawanya, ada 

yang hendak kutanyakan padanya!"

Lara Dewi tak gusar mendengar hal itu. Dia 

justru mempergunakan kesempatan untuk men-

gatur napas.

Ratu Dayang-dayang menatap tajam pada 

kakek yang dibencinya yang saat ini sedang men-

gatur napasnya pula.


"Sekian lama kutunggu kesempatan ini ak-

hirnya kesampaian juga! Tua bangka! Katakan 

padaku sekarang juga apa rahasia dari Patung 

Darah Dewa dan bagaimana cara memecahkan-

nya?!"

Peramal Sakti tersenyum mengejek.

"Aku punya ramalan yang cukup mengeri-

kan bagiku sendiri! Karena tak lama lagi Patung 

Darah Dewa akan ketahuan menyimpan satu ra-

hasia mengerikan! Tetapi... rahasia itu akan ter-

jadi bukan karena dari mulutku atau paksaanmu, 

Ratu Dayang-dayang! Kau telah membunuh guru 

kita sendiri demi nafsu serakahmu! Apakah kau 

pikir sekarang akan kubocorkan rahasia itu se-

mentara Guru lebih rela mati ketimbang menga-

takannya padamu?!"

Mengkelap wajah Ratu Dayang-dayang 

mendengar ejekan Peramal Sakti.

"Kau telah melihat kehebatan Kain Pusaka 

Setan yang sekarang menjadi milikku! Dan ten-

tunya kau tahu kalau kehebatan benda sakti ini 

tetap sama bila dipergunakan oleh Durjana 

Kayangan! Benda sakti yang dengan susah payah 

kau rebut untuk kau sembunyikan bersama Ki 

Dundung Kali! Tapi pada nyatanya, akulah yang 

memilikinya sekarang!"

"Dengan ucapanmu itu, apakah kau akan 

membunuhku?" sinis suara Peramal Sakti. Ke-

mudian sambil menggelengkan kepala dia melan-

jutkan, "Aku tak yakin kau akan membunuhku! 

Sebelum kau mendapatkan rahasia Patung Darah


Dewa, kau tak akan pernah melakukannya?! Pe-

rempuan celaka! Apakah salah omonganku?!"

Bergetar tubuh Ratu Dayang-dayang.

"Kakek keparat ini tentunya punya alasan 

kuat dengan mengatakan hal itu! Aku memang 

tak akan membunuhnya sebelum kuketahui apa 

rahasia dari Patung Darah Dewa! Tetapi...."

Memutus kata batinnya sendiri, nenek ber-

jubah hitam ini menegakkan kepala. Matanya 

memandang tak berkedip.

"Kau salah besar bila aku ragu membu-

nuhmu!!"

Belum habis bentakannya terdengar, tan-

gan kanannya yang telah dibebati Kain Pusaka 

Setan sudah didorong ke depan. Serta merta ge-

lombang angin menggidikkan menerjang ke arah 

Peramal Sakti yang menghindar. Kalau sebelum-

nya gelombang angin itu muncrat ke udara dan 

meluruk kembali disertai letupan-letupan, kali ini 

gelombang angin itu bergerak laksana ombak. 

Ranggasan semak berhamburan dan tanah mun-

crat ke udara.

Peramal Sakti mengertakkan rahang. Dico-

banya menahan serangan ganas itu dengan men-

dorong kedua tangannya. Tetapi gagal. Dan mau 

tak mau dia menghindar cepat-cepat.

Blaaarrr!!

Sebatang pohon hangus dan berderai men-

jadi debu terkena hantaman gelombang angin 

laksana ombak itu!

Ratu Dayang-dayang hendak membuktikan


ucapannya. Dia terus melancarkan serangan. La-

ra Dewi sendiri mengambil kesempatan. Dibo-

kongnya Peramal Sakti yang sedang menghindar.

Serangan-serangan berbahaya itu mem-

buat wajah Peramal Sakti pucat pasi.

Di pihak lain, Ki Dundung Kali yang juga 

sudah terdesak oleh ilmu 'Penghancur Tulang' mi-

lik Setan Gemolong membatin resah, "Kain Pusa-

ka Setan dapat dipatahkan dengan gabungan ha-

wa dingin dan panas yang kumiliki dan dimiliki 

oleh Peramal Sakti! Tetapi, bagaimana caranya 

aku membantu kalau aku sendiri sedang dide-

sak?!"

Kedua kakek perkasa itu harus mati-

matian memperjuangkan selembar nyawa mereka.

Sementara itu Dayang Kuning berbisik, 

"Dayang Biru... ternyata Patung Darah Dewa me-

nyimpan satu rahasia yang ingin diketahui Guru."

"Ya! Dan orang yang tahu rahasia itu ha-

nyalah Peramal Sakti...."

"Bagaimana pendapatmu?"

"Apa maksudmu?"

"Sekarang kita sudah mendapat kejelasan 

mengapa Guru memaksa kita untuk menda-

patkan Kain Pusaka Setan! Biar bagaimanapun 

juga kita tetap akan menghormati Guru! Apakah 

kita akan turun tangan sekarang?"

Dayang Biru menggelengkan kepalanya.

"Tak perlu! Seumur hidupku, baru kali ini 

aku menyaksikan pertarungan yang begitu men-

gerikan! Dayang Kuning... apakah tidak sebaiknya


kita mencari tahu tentang rahasia Patung Darah 

Dewa?"

"Kau telah mendengar kalau Peramal Sakti-

lah satu-satunya orang yang mengetahui tentang 

rahasia itu. Guru sendiri tidak tahu."

"Kita pikirkan cara yang lain!"

"Apa maksudmu?"

"Kita hancurkan Patung Darah Dewa!"

"Astaga! Dayang Biru! Bila aku menyetujui 

usulmu itu, sama saja akan menjerumuskan mu! 

Tidak, aku tak menyetujui tindakan itu!"

"Lantas... kita hanya menyaksikan perta-

rungan itu saja?"

"Kurasa ya! Kau lihat... Setan Gemolong 

sudah mendesak Ki Dundung Kali yang tentunya 

tak lama lagi akan mampus! Demikian pula Guru 

yang dengan hebatnya membuat Peramal Sakti 

pontang-panting! Justru bantuan yang diberikan 

Lara Dewi malah mempersulit ruang geraknya!"

Kedua gadis ini kembali terdiam.

Di depan, Ki Dundung Kali benar-benar 

sudah tak mampu lagi menahan ganasnya seran-

gan Setan Gemolong. Keadaan yang lebih parah 

dialami oleh Peramal Sakti. Bokongan yang dila-

kukan Lara Dewi berhasil menghantam kaki ka-

nannya yang membuatnya goyah. Tetapi kekera-

san hatinya masih tetap terjaga. Dia terus men-

coba menghindari ganasnya serangan Kain Pusa-

ka Setan yang berada di tangan Ratu Dayang-

dayang!

"Tak ku pedulikan lagi tentang rahasia Pa

tung Darah Dewa yang kini mulai kusadari kalau 

aku telah terbelenggu untuk mengetahui rahasia 

yang sebenarnya tak ada sama sekali!"

"Kau salah besar! Kau salah sama sekali!"

"Peduli setan! Kematianmu lebih menye-

nangkan ketimbang mengetahui rahasia Patung 

Darah Dewa!"

Serangan bertubi-tubi kembali dilancarkan 

oleh Ratu Dayang-dayang.

Peramal Sakti sudah tak mampu lagi 

menghadapinya. Wajahnya ditekuk menahan le-

lah dan sakit. Namun mendadak saja satu bayan-

gan melompat disertai gelombang angin yang di-

hiasi asap merah.

"Setaannn!!" Ratu Dayang-dayang yang su-

dah siap untuk mengibaskan lagi tangan kanan-

nya guna mencabut nyawa Peramal Sakti melom-

pat terkejut karena gelombang angin yang men-

dadak menggebah itu.

Dan kecepatan orang yang baru muncul itu 

sungguh menakjubkan. Dia sudah menyambar 

tubuh Peramal Sakti, yang segera memutar tu-

buhnya. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya 

dijejakkan di atas tanah.

Terdengar suara keras berderaknya tanah, 

yang disusul bergerak cepat ke arah Setan Gemo-

long. Gelombang tanah itu mengejutkan kakek 

sesat tanpa pakaian yang serta merta membuang 

tubuh ke belakang.

Bersamaan dengan itu, masih memegang 

tubuh Peramal Sakti dengan tangan kanannya,


orang ini sudah menyambar tubuh Ki Dundung 

Kali yang sempoyongan. Dan dengan gerakan ce-

pat dia melompat ke udara dan hinggap di tempat 

yang agak jauh.

Orang-orang yang berada di sana tak ber-

kedip memandang kejadian yang sangat cepat itu, 

sebelum dipecahkan oleh suara Dayang Kuning 

keras, 

"Raja Naga!!"



SEMBILAN



SOSOK tubuh yang menyelamatkan Pe-

ramal Sakti dan Ki Dundung Kali tak buka suara. 

Tatapannya bersorot angker pada orang-orang 

yang berada di sana. Suasana hening terjaga, 

mencekam dan mengiriskan perasaan.

Lamat-lamat pemuda yang memang Raja 

Naga adanya angkat bicara, "Lagi-lagi pertarun-

gan yang mengatasnamakan dendam terjadi! 

Sungguh memalukan sekaligus memuakkan! 

Apakah tak ada tindakan lain yang bisa dilaku-

kan kecuali menanamkan bibit permusuhan dan 

selalu menumpahkan darah?!"

Dayang Kuning yang menyahut, "Raja Na-

ga! Kau berani muncul di sini berarti kau sudah 

siap mencapai kematian!"

"Kau telah tahu apa tujuanku! Aku datang 

untuk mengambil Kain Pusaka Setan! Dayang 

Kuning! Mustahil rasanya kalau kau belum melihat kehebatan Kain Pusaka Setan! Apakah seka-

rang kau tetap akan membela gurumu yang ter-

nyata mendapatkan benda sakti itu untuk mem-

bunuh sesama? Bahkan membunuh kakak seper-

guruannya sendiri! Dan hal yang sama telah dila-

kukan pada gurunya sendiri!!"

Mendengar ucapan itu Dayang Kuning ter-

diam. Dadanya naik turun dengan napas agak 

memburu. Di pihak lain Dayang Biru membatin, 

"Oh! Mengapa pemuda itu berani muncul di sini? 

Ah, tentunya dia mengikuti aku dan Dayang Kun-

ing! Tapi... tapi... ah, dia bisa terluka... dia bi-

sa...."

Dayang Biru tak meneruskan kata batin-

nya yang kian gelisah. Dia memandangi pemuda 

yang begitu pertama kali bertemu telah merebut 

sebagian hatinya. Dia memang berusaha untuk 

menutup perasaannya itu pada Dayang Kuning 

yang sempat mencurigainya. Pemuda itu memiliki 

tatapan kejam, angker dan mengerikan. Tetapi 

Dayang Biru tahu kalau pemuda itu memiliki ke-

lembutan hati.

"Jadi... pemuda ini yang berjuluk Raja Na-

ga?!" terdengar suara sinis Ratu Dayang-dayang. 

"Huh! Hanya seorang pemuda ingusan belaka! 

Dayang Kuning! Kau mengatakan tak mampu 

menghadapinya?"

Dayang Kuning tergagap mendengar ben-

takan itu. Dia tak menjawab.

Ratu Dayang-dayang berseru lagi, "Pemuda 

berjuluk Raja Naga! Kudengar kabar kalau kau


hendak merebut Kain Pusaka Setan. Apakah se-

karang kau akan mengurungkan niat?!"

Raja Naga menarik napas. Perasaannya 

mendadak menjadi tegang. "Keadaan sudah san-

gat terjepit sekali. Bila kuhadapi nenek yang di 

tangannya terbebat Kain Pusaka Setan, tentunya 

urusan akan jadi runyam. Ki Dundung Kali nam-

paknya tak mampu menghadapi Setan Gemolong. 

Sementara karena dikeroyok, Peramal Sakti tak 

berkutik. Apakah aku harus menghadapi Ratu 

Dayang-dayang sekarang? Ah, biar bagaimanapun 

juga aku harus merebut Kain Pusaka Setan dari 

tangannya. Bila tidak, urusan akan berabe. Se-

baiknya...."

Memutus kata batinnya sendiri, Raja Naga 

berbisik pada Peramal Sakti dan Ki Dundung Kali, 

"Aku memutuskan untuk menghadapi Ratu 

Dayang-dayang sebagai lawanku! Bukan bermak-

sud untuk merendahkan masing-masing orang, 

tetapi sebaiknya kalian bertukar lawan! Ki Dun-

dung Kali... cobalah kau menghadapi Lara Dewi. 

Peramal Sakti... kau menghadapi Setan Gemo-

long...."

Kedua kakek yang tadi mengambil kesem-

patan untuk memulihkan tenaganya, sama-sama 

menganggukkan kepala.

"Pikiran itu pun ada di benakku...," kata 

Peramal Sakti.

"Kalau begitu... kita bersiap!"

Habis ucapannya, Raja Naga berseru pada 

Ratu Dayang-dayang, "Tak ku ubah sedikit niat di


hatiku untuk merebut Kain Pusaka Setan untuk 

kumusnahkan!"

"Bagus! Bersiaplah untuk perjalanan ke 

akhirat!!" Usai bentakannya, Ratu Dayang-dayang 

sudah menerjang ke depan. Tangan kanannya 

yang dibebat Kain Pusaka Setan sudah didorong 

ke arah Raja Naga.

Raja Naga segera mengambil tindakan. Ka-

ki kanannya dijejakkan di atas tanah melepaskan 

ilmu 'Barisan Naga Penghancur Karang'. Begitu 

tanah bergerak bergelombang ke arah Ratu 

Dayang-dayang, dia segera membuang tubuh. 

Pukulan 'Hamparan Naga Tidur' sudah dilepaskan 

disusul dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung 

Lautan'. Menggebraknya tiga serangan dahsyat 

yang dilancarkan susul menyusul itu membuat 

Ratu Dayang-dayang tersentak sesaat. Tetapi 

dengan mempergunakan Kain Pusaka Setan, keti-

ga serangan beruntun itu dapat dipatahkan.

"Keluarkan seluruh ilmu yang kau punya, 

Anak muda!" serunya menerjang.

Raja Naga membatin, "Kekuatannya bukan 

terletak pada ilmu yang dimilikinya! Aku yakin 

Peramal Sakti dapat menghadapinya bila si nenek 

tak mempergunakan Kain Pusaka Satan!"

Raja Naga terus mengulangi ganasnya se-

rangan yang dilakukan. Bahkan tak tanggung la-

gi, dia sudah mengeluarkan ilmu 'Naga Menga-

muk' yang membuat tempat itu laksana didatangi 

ratusan gajah liar.

Di pihak lain Ki Dundung Kali sudah


menggebrak, lawannya sekarang adalah Lara De-

wi. Sementara itu Peramal Sakti menghadapi Se-

tan Gemolong.

Bergantinya lawan yang mereka hadapi 

ternyata membawa hasil. Dalam delapan jurus 

kemudian, Ki Dundung Kali sudah berhasil men-

desak Lara Dewi. Dia terus mencoba mengalah-

kannya dengan tujuan agar cepat membantu Pe-

ramal Sakti yang masih belum berhasil mendesak 

Setan Gemolong.

Dayang Kuning yang menyaksikan keheba-

tan pemuda berompi ungu dan bermata angker 

itu mendesis, "Kau benar, Dayang Biru. Kita tak 

akan mampu menghadapinya...."

Dayang Biru mengangguk-anggukkan ke-

pala. Tak berani menatap Dayang Kuning, khawa-

tir kalau kecemasan pada wajahnya akan terlihat 

oleh Dayang Kuning.

Ratu Dayang-dayang semakin murka kare-

na belum juga berhasil mendesak Raja Naga. Ilmu 

'Naga Mengamuk' yang dikeluarkan Raja Naga 

benar-benar ampuh, mampu menahan beberapa 

lama serangan ganas dari Kain Pusaka Setan. Te-

tapi pada jurus berikutnya. Raja Naga mulai ter-

desak hebat.

Kedua tangan si pemuda yang dipenuhi si-

sik coklat sebatas siku semakin menyala. Pertan-

da dia marah sekaligus resah.

"Kau tak akan mampu menghadapiku, Raja 

Naga! Namamu akan terkubur hari ini juga!!"

Desss!!


Dada Raja Naga terhantam tendangan kaki 

kanan Ratu Dayang-dayang yang mendadak men-

cuat, membuatnya tergontai-gontai ke belakang 

dan kejap itu pula dia membuang tubuh ke samp-

ing. Karena gelombang angin mengerikan yang 

keluar dari Kain Pusaka Setan telah menggebrak 

ke arahnya!

Blaaarrr!!

Pohon di belakangnya terhantam dan ber-

derai menjadi debu begitu angin berhembus.

Di tempatnya Dayang Biru membatin re-

sah, "Celaka! Raja Naga bukan hanya akan kalah, 

tetapi juga... oh! Apa yang harus kulakukan?"

Dayang Kuning yang mendengar desahan 

napas gelisah gadis di sampingnya melirik. Ke-

ningnya berkerut sesaat sebelum kemudian diam-

diam ditariknya napas pendek.

"Ah, desahan dan tatapan gelisah Dayang 

Biru kali ini tak bisa berbohong lagi. Dugaanku 

ternyata tepat, kalau Dayang Biru menaruh per-

hatian pada pemuda bersisik itu. Ah... tak patut 

bila perasaannya itu ku usik...."

Di pihak lain, Lara Dewi benar-benar su-

dah didesak oleh Ki Dundung Kali. Perempuan 

mesum ini berteriak keras,

"Setan Gemolong! Bantu aku!!"

Mendengar seruan itu, Setan Gemolong se-

gera melompat untuk membantu, padahal dia su-

dah mendesak Peramal Sakti. Apa yang dilakukan 

Setan Gemolong sudah tentu tak disia-siakan 

oleh Peramal Sakti. Dia segera menerjang dan....


Bukk! Bukkk!!

"Aaaaakhhh....!!" seruan tertahan terdengar 

dari mulut Setan Gemolong. Sosoknya tersungkur 

di atas tanah begitu punggungnya telah terhan-

tam.

Setan Gemolong menggeliat menahan sakit 

tak terkira.

Peramal Sakti melesat ke depan, "Sesung-

guhnya aku bukanlah orang kejam! Dan aku tak 

menyukai keadaan ini! Di saat usia semakin me-

nipis tetapi kita masih terlibat urusan yang me-

musingkan kepala!"

Lesatan tubuhnya tiba-tiba naik ke atas. 

Lalu meluncur dengan kaki kanan siap menghan-

tam patah punggung Setan Gemolong. Dalam 

keadaan terdesak dan tipis harapan, Setan Gemo-

long masih tunjukkan kelasnya.

Dia cepat berbalik seraya mengibaskan 

tangan kanannya. 

Buk! Des!!

Kaki kanan Peramal Sakti menghantam 

dada Satan Gemolong yang berteriak setinggi lan-

git dan menggeliat hebat. Dua tarikan napas ke-

mudian, kakek tanpa baju ini sudah diam tak 

bergerak dengan dada yang membekaskan kaki 

kanan Peramal Sakti.

Di pihak lain, Peramal Sakti terbanting di 

atas tanah dengan paha kiri patah dan hangus. Si 

kakek menggeliat kesakitan diiringi keluhan lirih.

Melihat nasib sial yang dialami oleh Setan 

Gemolong rasa kecut segera menghinggapi pera


saan Lara Dewi. Apalagi saat ini Ki Dundung Kali 

terus mendesaknya dengan hebat.

"Celaka! Aku bukan hanya tak akan bisa 

balas kematian kakak kandungku, tetapi aku bisa 

mampus di sini!" desisnya dalam hati dengan wa-

jah panik. "Setan Gemolong sudah mampus! Be-

rarti tak ada lagi tempatku berlindung! Sebaik-

nya...."

Mendadak sontak Lara Dewi mencelat ke 

depan. Nekat menyongsong serangan Ki Dundung 

Kali. Gebrakan nekat Lara Dewi membuat Ki 

Dundung Kali sesaat tersentak. Tetapi dengan 

mudah dapat menguasai keadaan kembali. Hanya 

saja, Lara Dewi sudah keburu melarikan diri!

Kendati penasaran, tetapi Ki Dundung Kali 

tak mau mengejar. Dia segera mendekati Peramal 

Sakti dan membawanya ke tempat lebih aman. 

Segera ditotok urat saraf pada paha kiri Peramal 

Sakti. Lalu dialirkan tenaga dalamnya yang mem-

buat kakek itu meringis kesakitan.

Sementara itu keadaan Raja Naga hampir 

tak jauh berbeda. Ganasnya serangan Kain Pusa-

ka Setan yang terbebat pada tangan kanan Ratu 

Dayang-dayang semakin merepotkan dan mem-

bahayakan jiwanya. Bahkan beberapa kali da-

danya terhantam jotosan tangan kiri dan kaki ka-

nan kiri si nenek berjubah hitam.

Tubuhnya berbalik dan terjerunuk! 

Saat itulah Ratu Dayang-dayang menerjang 

untuk menghabisinya.

Dayang Biru mendesis pelan,


"Oh!"

Dayang Kuning melirik sekilas lalu melihat 

bagaimana gurunya siap menghantam tewas pe-

muda bersisik coklat yang tengkurap di atas ta-

nah!

Tetapi sesuatu yang mengejutkan terjadi. 

Karena mendadak saja dari punggung si pemuda 

mencelat bayangan seekor naga hijau ke arah gu-

runya!

Dan... desss!!

"Aaaakhhh....!!"

Ratu Dayang-dayang terlempar ke belakang 

dengan darah muncrat dari mulutnya. Dia masih 

dapat menguasai keseimbangan hingga tidak ru-

buh. Dari bibirnya merembas darah segar. Ma-

tanya memandang tak percaya dengan apa yang 

dialaminya.

"Gila! Mengapa jadi begini? Dari mana da-

tangnya bayangan seekor naga hijau itu?!" desis-

nya tertahan.

Sementara itu Raja Naga perlahan-lahan 

berdiri. Sisik-sisik pada kedua tangan sebatas si-

kunya yang berwarna coklat semakin menyala. 

Matanya bertambah angker mengiriskan.

"Hemm... tentunya tato gambar naga hijau 

yang ada di punggungku ini yang telah menyela-

matkanku! Berarti aku harus mempergunakan 

kesempatan ini sekaligus merebut Kain Pusaka 

Setan! Kehebatan Ratu Dayang-dayang tak akan 

banyak arti bila tak mempergunakan Kain Pusaka 

Setan!" (Mengenai gambar naga hijau yang ada


pada punggungnya ini, silakan baca : "Tapak De-

wa Naga").

Tetapi sebelum si pemuda menyerang, Ratu 

Dayang-dayang sudah mengibaskan Kain Pusaka 

Setan. Cepat Boma Paksi membalikkan tubuh. 

Bersamaan gelombang angin dahsyat menggebrak 

ke arahnya, bayangan naga hijau melesat pula. 

Menelan gelombang angin itu tanpa mengelua-

rkan suara.

"Heiiii!!" Ratu Dayang-dayang sampai surut 

satu tindak ke belakang dengan kepala menegak.

Raja Naga tak membuang kesempatan. Se-

lagi Ratu Dayang-dayang dibingungkan oleh se-

rangan anehnya, pemuda dari Lembah Naga ini 

sudah melesat ke depan. Tangan kanannya dido-

rong ke depan untuk membingungkan Ratu 

Dayang-dayang sementara tangan kirinya cepat 

bergerak.

Buk!

Praaakk!

Pergelangan tangan kanan Ratu Dayang-

dayang patah terhantam tangan kirinya. Nenek 

ini menjerit setinggi langit sambil memegangi tan-

gan kanannya. Dan....

Breettt!!

Kain Pusaka Setan yang membebat pada 

tangannya telah disambar oleh Raja Naga yang 

kemudian mundur.

"Keparat! Kembalikan benda itu kepadaku!" 

suara Ratu Dayang-dayang tersekat di tenggoro-

kan karena menahan sakit.


Raja Naga mendesis dingin, "Benda ini bu-

kanlah milikmu! Dan juga bukan milikku! Benda 

ini harus dibuang atau dimusnahkan!"

"Keparat! Akan kubunuh kau!!" serak sua-

ra Ratu Dayang-dayang. Orangnya sudah mener-

jang ke depan, dengan amarah tinggi.

Raja Naga menahan napas melihat kekeras 

kepalaan Ratu Dayang-dayang.

Anak muda ini mendehem.

Mendadak saja laksana dihantam gelom-

bang angin dahsyat, tubuh Ratu Dayang-dayang 

terpental ke belakang meluncur deras tak terken-

dali.

Dayang Kuning dan Dayang Biru yang tadi 

tersentak kaget segera memburu ke arahnya.

"Guru!" desis Dayang Kuning sambil mele-

sat. Tetapi tubuh gurunya telah menghantam se-

buah pohon hingga tumbang. Dan terbanting ke-

ras di atas tanah bersamaan tubuh Ratu Dayang-

dayang yang terlempar ke depan. Begitu ambruk, 

perempuan itu telah menjadi mayat!

Di pihak lain, Dayang Biru memandang ta-

jam pada Raja Naga. Biarpun dia menaruh hati 

pada pemuda bersisik coklat itu, tetapi dia tak 

menerima melihat keadaan gurunya.

Lalu desisnya, "Raja Naga... kelak kami 

akan muncul di hadapanmu untuk lakukan pem-

balasan!"

Kemudian bersama dengan Dayang Kuning 

yang membawa mayat Ratu Dayang-dayang, ke-

dua gadis itu berlalu penuh kemarahan dan dendam.

Di tempatnya Raja Naga menarik napas 

panjang.

"Ah, mengapa harus terjadi seperti ini?" de-

sisnya.

"Raja Naga...."

Panggilan di belakangnya itu membuatnya 

menoleh. Dilihatnya Ki Dundung Kali sedang 

memapah Peramal Sakti yang kaki kirinya patah.

"Ramalan sahabatku ini terbukti, kalau se-

seorang yang ternyata kau adanya akan berhasil 

merebut Kain Pusaka Setan...."

Raja Naga tersenyum.

"Aku hanya sedikit beruntung, Ki...."

Peramal Sakti buka mulut, "Raja Naga... 

simpanlah benda sakti itu padamu. Aku percaya 

kau akan menjaganya dari tangan orang-orang 

jahat...."

"Semula aku memang hendak menyimpan 

atau memusnahkannya. Tetapi... sekarang, aku 

akan memberikan Kain Pusaka Setan ini pada ka-

lian...."

Raja Naga melangkah mendekati keduanya. 

Baru saja diangsurkan tangan kanannya yang 

memegang Kain Pusaka Setan, mendadak saja 

benda hitam usang itu melayang deras, seperti 

tertarik oleh satu tenaga gaib.

Tiga pasang mata melihat Kain Pusaka Se-

tan masuk dan lenyap ke wajah patung lelaki ke-

jam yang tak jauh berada di sana.

"Heiii! Apa yang terjadi?!" desis Raja Naga


terkejut. Lalu dilihatnya Ki Dundung Kali yang 

mengerutkan kening. Dilihatnya pula bagaimana 

wajah Peramal Sakti menjadi pucat.

"Astaga! Jangan-jangan... jangan-jangan...," 

mendesis Peramal Sakti dengan suara tertahan.

"Orang tua... ada apa? Kau nampaknya 

mengetahui sesuatu?" tanya Raja Naga heran.

Peramal Sakti tak menyahut. Wajahnya 

yang pucat kini menjadi tegang. Matanya tak ber-

kedip memandang Patung Darah Dewa. Cukup 

lama tak ada yang buka suara sampai kemudian 

terdengar kata-kata Peramal Sakti, "Ah... ternyata 

tak terbukti... ternyata tak benar...."

"Orang tua... katakan padaku, apa yang 

kau maksudkan dengan tak terbukti?"

"Patung Darah Dewa menyimpan satu te-

naga gaib yang mengerikan, yang akan terbuka 

bila Kain Pusaka Setan masuk ke dalamnya. Perlu 

kau ketahui. Kain Pusaka Setan boleh dikatakan 

adalah nyawa untuk Patung Darah Dewa. Dan 

sedotan tenaga tadi itu berasal dari Patung Darah 

Dewa. Tetapi... tak ada yang perlu dicemaskan. 

Karena... patung itu tak menunjukkan gejala 

aneh...."

Raja Naga tersenyum.

"Kalau begitu... sebaiknya kita tinggalkan 

tempat ini."

"Kau hendak ke mana, Anak muda?" tanya 

Peramal Sakti.

"Aku ingin melihat dunia luas. Ke mana 

kakiku melangkah ke sanalah aku pergi...."



Habis ucapannya Raja Naga sudah me-

ninggalkan tempat itu. Sementara itu Peramal 

Sakti dengan dibimbing Ki Dundung Kali mening-

galkan tempat itu setelah memandang Patung Da-

rah Dewa beberapa saat.

Suasana kering, hening dan sepi. Hanya 

tinggal mayat Setan Gemolong yang berada di sa-

na.

Tetapi menjelang matahari terbit, menda-

dak terjadi perubahan pada Patung Darah Dewa.

Patung yang tak bergerak itu mendadak memper-

lihatkan sinar hitam dari seluruh bagiannya, te-

rutama dari wajah patung yang berukiran lelaki 

kejam itu.

Mendadak... terdengar letupan yang sangat 

kuat. Tanah di sekeliling patung itu berdiri mun-

crat ke udara. Mengurung patung itu hingga un-

tuk beberapa lama tak bergerak.

Lamat-lamat tanah itu pun sirap dan ber-

tebaran sinar-sinar hitam dari sekujur tubuh Pa-

tung Darah Dewa, ke segenap penjuru yang me-

nerangi sekaligus menggelapi tempat itu. Menyu-

sul sinar-sinar itu lenyap, terlihat laksana seo-

rang manusia, dari sekujur patung itu keluar da-

rah segar yang mengalir ke tanah.

Didahului oleh letupan keras, dari kepala 

Patung Darah Dewa mendadak mencelat sebuah 

sinar hitam ke udara, menghantam bagian atas 

sebuah pohon yang pecah berhamburan.

Lalu sinar hitam itu melesat menjauh....


                            SELESAI


Segera menyusul :


PATUNG DARAH DEWA


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive