PEREMPUAN PENGUMPUL BANGKAI
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Satria Gendeng
Dalam Episode 005 :
Perempuan Pengumpul Bangkai
1
KERATON Demak di penghujung dini
hari.
Kekacauan baru saja pupus, berkawal
kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Se-
luruh prajurit Keraton Demak berkumpul di
luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peris-
tirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara
mereka, mengawasi kejadian di samping satu
tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk
kekacauan, parasnya sama sekali tak beru-
bah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukan-
nya. Seolah badai hebat pun tak bisa mem-
pengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.
Di tengah-tengah pelataran Taman Sari,
seorang lelaki berpakaian hitam-hitam terge-
letak lemah. Mulut dan hidungnya mengalir-
kan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh
demikian pucat. Menderita sekali tampaknya.
Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga
dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia
berusaha bergerak bangkit.
Di atas wuwungan ruang peristirahatan,
berdiri seorang pemuda gagah berambut lu-
rus panjang kemerahan hingga sebatas bahu.
Dia mengenakan rompi putih dari kulit bina-
tang, Matanya disarati oleh bersit kebingun-
gan. Mimik wajahnya melepas sekian perta-
nyaan yang belum sempat terjawab. Menilik
wajah itu, usianya terbilang cukup muda. Ba-
ru saja menginjak masa kedewasaan.
Wuwungan tempatnya berdiri beran-
takan. Centang-perentang. Genteng-genteng
porak-poranda ke mana-mana. Setiap orang
yang melihat, akan dengan mudah menilai,
baru saja terjadi pertarungan sengit di atas
sana.
Mendapati Raden Patah telah berada ke-
luar dari ruang peristirahatan nya, pemuda
tadi segera menggenjot tubuh. Ringan. dia
melompat turun. Geraknya bagai seekor raja-
wali muda perkasa yang baru saja meme-
nangkan pertarungan di angkasa.
Tiba di bumi, cepat dia menjura hormat
pada Raden Patah.
"Maafkan kelancangan saya, Kanjeng
Susuhan...." haturnya khidmat.
Raja Demak berwibawa itu mengangkat
tangan. Ada sebaris senyum la mat tersembul
di bibirnya. Senyum yang sama sekali tak bi-
sa dipahami oleh pemuda berambut kemera-
han. Bukankah tak tepat waktunya untuk
tersenyum setelah kekacauan?
"Tak usah kau meminta maaf, Nanda Sa-
tria," ujar Raja Demak, dengan suara berat
berpengaruh. Dia melangkah, mendekati pe-
muda berambut kemerahan.
Puluhan prajurit pengawal keraton me-
nyusul mempersembahkan juraan pada sang
Raja Demak.
Setelah menjura, dua orang prajurit ber-
gegas membantu lelaki berpakaian hitam-
hitam yang terluka dalam untuk bangkit. Ke-
duanya memegang pangkal lengan di dua sisi.
Tak ada tanda-tanda kalau lelaki itu akan di-
tawan, kendati kekacauan yang terjadi karena
ulahnya.
Bahkan ketika lelaki gagah berwajah tak
kalah berwibawa dengan Raja Demak itu su-
dah dapat berdiri agak limbung, kedua praju-
rit tadi menghaturkan juraan.
Masih dengan tanda tanya di wajah, pe-
muda berambut kemerahan yang dipanggil
Satria seorang pendekar muda belia yang be-
lum cukup lama terjun ke dunia persilatan
tanah Jawa - menatap lelaki berpakaian hi-
tam-hitam, beralih ke Raja Demak, dan ak-
hirnya kembali lagi ke lelaki berpakaian hi-
tam-hitam. Dia seperti ingin meminta penjela-
san dari siapa pun yang sudi menjelaskan
duduk perkara padanya.
Beberapa saat lalu, Satria telah berta-
rung dengan lelaki berpakaian hitam-hitam
itu. Sebelumnya, lelaki berpakaian hitam ser-
ta kain hitam penutup wajah, mengendap-
endap di wuwungan keraton menuju ruang
peristirahatan raja. Tindakan itu menimbul-
kan kecurigaan Satria. Dia menguntit sampai
terjadi pertarungan. Yang mengejutkan, la-
wannya justru orang yang sudah cukup dike-
nalnya. Dia seorang patih kepercayaan raja,
Bagaspati (bagian kisah ini dapat dibaca pada
episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka").
"Maaf Kanjeng Susuhan Kalau saya bo-
leh tahu, ada apa sebenarnya ini? Kenapa
Kang Bagaspati mengendap-endap menuju
ruang peristirahatan Kanjeng dengan pakaian
penyamaran seperti itu, hingga memancing
kecurigaan saya?" susul Satria.
Kendati masih merasakan luka dalam
akibat bertarung sengit dengan si pemuda be-
rambut kemerahan alias Satria Gendeng, Pa-
tih Bagaspati memperlihatkan senyum diam-
diam mendengar pertanyaan barusan.
Dengan tenang, dimasukkannya kembali
keris pusaka ke warangka. Selesai itu, dia
menjura pada raja.
"Kau bisa menjelaskan sekarang, Dinda
Bagaspati!" perintah raja kemudian.
Bagaspati mendekati Satria.
Satria terus menatapnya terheran-heran.
Mulutnya sampai ternganga tanpa sadar aki-
bat terlalu dirasuki rasa penasaran.
Bagaspati menepuk bahu kekar pemuda
itu.
Satria masih saja manyun tak mengerti.
Setelah seluruh prajurit pengawal kera-
ton diperintahkan Bagaspati untuk segera
kembali ke tempat masing-masing, dan raja
sudah kembali pula masuk ke dalam, Bagas-
pati menggandeng bahu pemuda di samping-
nya. Diajaknya Satria melangkah lambat, me-
nyusuri jalan setapak berbatu kerikil yang
mengrangkai Taman Sari.
"Cepat jelaskan padaku, Kang, kenapa
Kakang melakukan tindakan konyol Itu?"
sungut Satria, tak sabar.
Bagaspati tersenyum. Dadanya jadi tera-
sa sesak kembali. Tangannya mendekap dada.
"Jangan anggap perkataan ku lucu,
Kang! Perbuatan Kakang memang konyol. Ba-
gaimana kalau di antara kita sampai ada yang
celaka?"
"Nyatanya aku sudah 'celaka' di tan-
ganmu, bukan?" seloroh Bagaspati, seperti
gaya seorang kakak mencandai adik sendiri.
"O, jangan salahkan aku! Mana aku ta-
hu kalau orang yang ku curigai ternyata Ka-
kang sendiri. Lagi pula, siapa suruh Kakang
mengenakan kain hitam penutup wajah sega-
la?!" serbu Satria. Sumpah dikawini bidadari,
dia tak sudi disalahkan.
"Baik baik, kau jangan sewot seperti itu."
"Baik apa?"
"Akan kuceritakan kenapa aku berbuat
seperti itu."
"Aku memang sudah berharap dari tadi.
Bahkan sejak aku menyaksikan wajah Ka-
kang sewaktu telentang waktu itu. Aku pikir
Kakang mati. Celaka kalau sampai terjadi!
Bagaimana tidak, Kakang sudah kuanggap
kakak sendiri. Orang mana yang tega mem-
bunuh kakak sendiri, kecuali orang gila? Lagi
pula...."
Bagaspati terpaksa tersenyum lagi men-
dengar cerocos Satria. Padahal, sebelumnya
pemuda itu justru yang tak sabar meminta
penjelasan.
Sampai akhirnya Satria menyadari sen-
diri kebodohannya.
"He he he, aku terlalu banyak ngomong,
ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan ma-
lu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).
'Kau siap mendengar penjelasanku?"
tanya Patih Bagaspati.
Satria mengangguk. Dia tak ingin mem-
biarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang
bingung. mulutnya sering kali sulit dikendali-
kan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon.
"Begini.." Bagaspati memulai. "Sebenar-
nya, tindakanku menyelinap di atas wuwun-
gan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendi-
ri...."
"Ah, masa'?!" perangah Satria. Matanya
membesar. Langkahnya terhenti.
"Ya. Beliau bermaksud menguji kepan-
daianmu selaku seorang pendekar muda. La-
lu, aku diperintah untuk mengujinya.'
"Ah, buat apa menguji aku segala? Sa-
tria tak percaya. Benar-benar tak percaya!
Apa alasannya menguji kepandaian kanura-
gannya? Apa tujuannya?
"Dengar dulu," potong Bagaspati ketika
mulut Satria sudah memperlihatkan gelagat
buruk kembali.
"Sengaja aku menyamar agar kau men-
curigaiku. Setelah kau curiga, dan mengang-
gap aku akan mencelakai Kanjeng Susuhan,
tentu kau tak akan ragu-ragu lagi bertarung
denganku dan mengeluarkan kepandaianmu.
Bahkan kau pun tak ragu-ragu membuat aku
'celaka'...."
"Bukan itu maksudku. Kang. Bukankah
sudah kubilang kalau...."
"Ya ya, aku paham," potong Bagaspati
kembali. "Memang itu tujuan aku menyamar.
Agar kau tak ragu-ragu bertarung denganku.
Jadi kau tak perlu merasa bersalah."
"Baik, yang itu aku paham. Tapi, kenapa
Kanjeng Susuhan hendak menguji kepan-
daian kanuragan ku?"
"Karena dia berniat mempercayakan pa-
damu satu perkara besar?"
"Ah, masa'?!"
"Kanjeng Susuhan belakangan ini men-
cari orang yang bisa dipercaya untuk me-
nangkap seorang pengacau besar berbahaya.
Hidup atau mati. Ketika bertemu dengan kau,
Kanjeng Susuhan merasa kau bisa dipilih un-
tuk menjalankan tugas itu...."
"Ah, masaaaaaaa'?!"
"Untuk itu, kau perlu diuji. Kanjeng Su-
suhan bukan tak yakin pada kemampuanmu.
Dia hanya ingin mengetahui sampai di mana
tingkat kepandaianmu. Aku pun diperintah
untuk mengujimu."
"Ah ah, masa' masa'?!"
"Dan tampaknya Kanjeng Susuhan telah
yakin kini. Apa kau tak mau tahu siapa yang
hendak kau hadapi dalam mengemban tugas
dari Kanjeng Susuhan?"
"Ah, masa', eh iya ya! Siapa orangnya,
Kang?"
"Ki Ageng Sulut...,"
"Ah, Mak!"
Satria kontan melotot. Ki Ageng Sulut?
Lelaki tua sakti berjuluk Iblis Dari Neraka itu-
lah yang dulu telah membuatnya terjengkang
hampir modar dalam kerusuhan di Perguruan
Cemeti Api (Baca kisahnya dalam episode :
"Iblis Dari Neraka"!). Dia juga yang telah me-
rebut senjata pusakanya Kail Naga Samudera.
Tresnasari datang tergopoh-gopoh. Di
kamarnya yang cukup jauh dari ruang peristi-
rahatan raja, mendengar dua prajurit membi-
carakan pertarungan hebat Satria. Karena
khawatir jejaka pujaannya kenapa-napa dia
buru-buru keluar.
"Kau tak apa-apa, Satria?!" serbu Tres-
nasari, penuh kecemasan di wajahnya. Tan-
gannya memagut pangkal lengan si pemuda
kuat-kuat, akibat kecamuk perasaan.
Satria cengengesan. Malu hati dia pada
Bagaspati.
"Sebenarnya, aku tak apa-apa...," ucap
Satria. "Entah kalau Kang Bagaspati ini,"
tambahnya, meledek.
Bagaspati bisa bilang apa kalau sudah
dibegitukan?
* * *
2
ACARA pungut mantu diadakan oleh
seorang saudagar besar Kadipaten Kudus.
Dalam acara itu, diadakan sayembara untuk
mencari seorang suami bagi putri tunggal
sang Saudagar. Bentuk sayembaranya adalah
dengan menggelar pertandingan silat di atas
panggung besar yang sudah disediakan di de-
pan pelataran rumah besar saudagar itu.
Bagaspati mengajak Satria dan Tresna-
sari ke sana. Beberapa hari lalu, dia menda-
pat undangan untuk menghadiri acara terse-
but. Biasa, para saudagar besar terkadang
sering mencoba membuat 'pendekatan-pende-
katan' dengan pejabat. Dengan begitu, usa-
hanya secara tak langsung akan mendapat
dukungan kekuasaan.
Bagaspati sendiri sebenarnya tak begitu
berminat untuk menghadiri undangan sang
Saudagar. Namun karena dia ingin menjaga
citra pihak keraton, dia datang juga.
Dengan menunggang kuda, ketiganya
sampai di gapura rumah yang dikelilingi tem-
bok tinggi layaknya keraton itu. Empat orang
centeng berwajah sangar lengkap dengan
'perkakas'nya menyambut mereka. Melihat
Bagaspati, mereka cepat-cepat menyampai-
kan juraan.
"Selamat datang Gusti Patih...," sambut
salah seorang dari mereka. "Dan juga Nisanak
dan Kisanak berdua," tambahnya, ditujukan
untuk Satria dan Tresnasari.
Bagaspati mengangguk sekali, membalas
sambutan mereka. Satria latah mengangguk.
Entah apa maksudnya. Tresnasari tertawa
tertahan di belakangnya, geli menyaksikan la-
gak pemuda itu.
Ketiganya lalu diantar masuk oleh salah
seorang centeng.
Pelataran rumah sudah ramai. Di seke-
liling panggung, sudah hadir para undangan.
Di pendapa, tampak para kaum bangsawan
dan beberapa pamong duduk di atas kursi. Di
sekeliling panggung di depan pendapa, duduk
di kursi puluhan pendekar-pendekar silat dari
beberapa penjuru tanah Jawa. Mereka bermi-
nat besar untuk mengikuti sayembara yang
diadakan. Sebagian hanya berniat untuk
menguji dan mengukur sampai di mana ke-
pandaian silat yang dimiliki. Sebagian lain,
datang dengan tujuan mendapatkan putri
cantik si Saudagar yang telah disediakan
layaknya 'piala'.
Putri sang Saudagar sendiri tak tampak
di antara tamu di pendapa. Di sana tak ada
seorang gadis pun. Kalaupun ada wanita, ha-
nyalah istri-istri para undangan. Gadis itu
tampaknya masih berada di dalam kamarnya.
Mungkin baru akan keluar setelah acara
sayembara selesai.
Sang Saudagar tergopoh-gopoh me-
nyambut kedatangan rombongan kecil Bagas-
pati. Dia seorang lelaki agak pendek. Berwa-
jah bulat berlemak. Berperut buncit. Berpa-
kaian seperti para ningrat tanah Jawa. Men-
genakan blangkon dan kain lurik.
Di sampingnya, Bupati Kudus turut me-
langkah terburu. Seorang lelaki menjelang
tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak
seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya
mengembang. Wajahnya bersih dan enak di-
pandang.
"Waduh, waduh Gusti Patih, selamat da-
tang!!" sambut sang Saudagar, berlebihan.
Bagaspati turun dari punggung kuda.
Diikuti Satria dan Tresnasari.
Kuda mereka digiring seorang kacung ke
kandang.
Dengan terbungkuk-bungkuk dalam,
sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Sa-
tria dan Tresnasari untuk melangkah ke pen-
dapa rumahnya. Beberapa undangan di pen-
dapa serentak bangkit dan menghaturkan
hormat pada tiga orang tamu yang baru da-
tang.
Hidung Satria kembang-kempis. Baru
sekali ini dia merasakan suasana seperti itu.
Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan
itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya di-
gagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih
yang dihormati. Sekali-kali, bolehlah bermim-
pi, gumam Satria dalam hati. Ngaco!
Coba kalau tak ada Bagaspati, tak akan
ada pula acara penghormatan sehebat itu. Bi-
sa-bisa justru tendangan centeng mampir di
pantatnya! Acara 'orang besar' memang tak
bisa dikunjungi sembarang orang. Apalagi
'wong cilik' macam Satria. Hari ini ada penge-
cualian. Karena dia datang dengan seorang
Patih Demak, tentunya!
"Dinda Satria. Dinda!"
Panggilan Bagaspati mengejutkan lamu-
nan tinggi Satria. Pemuda lugu itu terperan-
jat. Cepat-cepat dia menoleh ke arah suara
Bagaspati tadi.
Merah mukanya saat itu juga. Bagaima-
na tidak? Bagaspati sudah duduk di kursi
yang disediakan bersama Tresnasari. Sementara dia masih saja melangkah. Bahkan,
hampir sampai di tangga luar pendapa sebe-
lah selatan.
Satria tersenyum kecut. Buru-buru dia
putar haluan. Siapa yang suruh melamun?
* * *
Setelah sekian mata acara yang menje-
mukan berlangsung, sayembara pertandingan
silat pun dimulai. Satu orang pendekar dari
tanah Parahiayangan wilayah kekuasaan Ke-
rajaan Pajajaran naik ke panggung.
Pendekar ini mengenakan baju putih, ce-
lana dan ikat kepala hitam. Seorang lelaki be-
rusia tak terlalu tua. Rambutnya panjang
bergelombang. Di pinggangnya melilit sabuk
kulit ular tempatnya menyelipkan kujang.
Sebentar dia memberi salam penghorma-
tan kepada seluruh hadirin. Lalu diperkenal-
kannya diri. Nama dan daerah asal dis-
ebutkan. Juga julukannya.
Berikutnya seorang penantang menyusul
naik panggung. Seorang lelaki muda Tiongkok
yang datang dari Pecinan di kotapraja Demak.
Berambut panjang dikepang. Meski bermata
sipit, wajahnya terbilang tampan. Kulitnya
putih kemerahan. Mengenakan pakaian khas
orang dari negeri asalnya, berwarna kuning
dengan beberapa ikatan di bagian dada. Ber-
celana panjang dan bergandul tali.
Seperti lelaki pertama, pemuda Tiongkok
itu pun menyampaikan hormat. serta mem
perkenalkan diri. Ucapannya agak terpatah-
patah, kental dengan logat Tiongkoknya.
Keduanya pun mulai berhadapan satu
dengan yang lain. Saling menghormat, kemu-
dian memulai pertandingan. Pendekar dari
Parahiayangan bergerak kian kemari, me-
mainkan kembangan jurus-jurusnya.
Lambat, gemulai, dan indah disaksikan.
Laksana perawan penari.
"Hiaaa!"
Si pemuda Tiongkok mengambil inisiatif
serangan lebih dahulu. Dia tak ingin mem-
buang waktu memainkan kembangan jurus-
jurus seperti dilakukan calon lawannya. Seni
silat negerinya memang tidak sama dengan
seni silat orang-orang tanah Parahiayangan.
Satu sambaran cakar elang memangkas
udara.
Tangan si pemuda Tiongkok mengan-
cam. Jarinya mengejang tak beda dengan ca-
kar-cakar burung raksasa perkasa. Jurus-
jurus khas negerinya memang diambil dari
gerak-gerik hewan.
Sementara pertandingan berlangsung,
Satria celingak-celinguk sendirian. Dia mulai
tak betah dengan suasana itu. Orang-orang
yang bersikap dengan tatakrama berlebihan
di sekelilingnya, pertandingan silat yang ba-
ginya seperti menonton adu ayam atau adu
domba, dan wajah-wajah para jago di sekelil-
ing panggung yang keras dan tak nyaman di-
pandang. Heran, kenapa Kang Bagaspati bisa
tahan dengan suasana ini, bisik Satria dalam
hati.
Satria mencolek lengan Bagaspati.
"Kang, aku permisi dulu, ya?" bisiknya.
"Mau ke mana?"
"Aku tak betah," aku Satria jujur.
Bagaspati tersenyum. Kepalanya meng-
geleng-geleng perlahan. Semakin lama kenal
pemuda itu, dia kian memaklumi sifat-
sifatnya. Kepolosan dan keluguannya terka-
dang begitu menggelikan. Namun, dengan be-
gitu justru tercermin kemurnian hati si pe-
muda. Tak ada kepalsuan tersimpan. Tak ada
kemunafikan. Tak seperti beberapa orang di
sekitarnya.
"Boleh aku keluar cari angin, Kang?" su-
sul Satria.
Bagaspati tak bisa mengiyakan. Juga tak
bisa melarang. Mengiyakan sebenarnya ber-
tentangan dengan tatakrama. Kesannya tidak
sopan. Melarang pun percuma. Dalam suasa-
na seperti itu, tentu sulit menjelaskan pada
Satria tentang tatakrama. Akhirnya Bagaspati
cuma bisa tersenyum kembali.
Satria sendiri menganggap senyuman
Bagaspati sebagai tanda setuju. Satria pun
bangkit dari kursi ukir Jepara.
Tresnasari di sebelahnya menatap tak
mengerti. Mau apa dia? Tanyanya membatin.
"Mau ke mana kau?" tanya Tresnasari,
berbisik.
"Cari angin," sahut Satria seenaknya,
Tresnasari cemberut. Dari dulu, rasa kesalnya
pada Satria sering kali merebak karena pe
muda itu sepertinya tak pernah tahu tata-
krama. Lebih menyebalkan lagi, dia seper-
tinya tak mau kenal dengan aturan tersebut.
Mendapati wajah asam Tresnasari, Sa-
tria cuma cengengesan.
* * *
Satria berkeliling di sekitar rumah besar
milik sang Saudagar. Beberapa centeng ber-
tampang seram memperhatikannya dengan
pandangan curiga. Karena tahu Satria datang
dengan seorang Patih Demak, mereka tak be-
rani melarang. Kalau kebetulan berpapasan,
mereka malah menjura, sambil tersenyum di-
buat-buat.
Satria tiba di sisi barat bangunan.
Disana terdapat taman kecil asri. Bebe-
rapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di
tengah-tengah taman, ada semacam kolam
pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau
bukan di tempat orang, dia akan segera buka
pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bu-
gil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecil-
nya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke
laut le-pas di pantai Ketawang....
Hey, Satria terhenyak. Sebagian ingatan
masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini,
bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali
tak terngiang di benaknya.
Selagi tertakjub dengan sekelumit inga-
tannya, perhatian pemuda itu diusik oleh su-
ara tangisan seorang wanita dari balik dinding
kayu bangunan.
Karena suara tangisan itu begitu halus,
Satria beringsut mendekati dinding kayu di
bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.
Jangan-jangan cuma salah dengar, pikirnya.
Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar,
memang ada seorang perempuan sedang me-
nangis di dalam sana.
"Siapa, ya?" gumam Satria.
Pemuda berambut kemerahan itu mulai
menduga-duga. Barangkali istri sang Sauda-
gar? Kenapa menangis? Bisa saja karena ke-
habisan makanan untuk disuguhkan kepada
tamu? Ah, ngawur! Apa itu anak gadis sang
Saudagar yang sedang dipingit? Bisa saja dia
menangis karena tak ingin dinikahkan de-
ngan salah seorang pemenang sayembara?
Lagi pula, bapak macam apa saudagar
buncit' itu? Kenapa bisa-bisanya dia hendak
menjodohkan anak gadis satu-satunya den-
gan orang yang belum tentu dikenal putrinya?
Keterlaluan! Satria menggerutu panjang lebar
dalam hati.
"Ehm ehm!" dehem Satria.
Tangisan di dalam sana terpancung.
"Siapa?" terdengar suara halus. Agak
sengau karena baru menangis.
"Aku cuma seorang undangan, Nona,"
ucap Satria. "Kenapa Nona menangis?" ta-
nyanya. Usil sekali dia. Mau tahu urusan
orang saja!
"Tak apa-apa," jawab suara wanita di da-
lam sana.
"Sungguh?"
"Sungguh. Terima kasih, Saudara sudah
memperhatikan ku...."
"Tuan sedang apa?!" bentak seseorang
tiba-tiba dari kejauhan.
Satria mendelik. Sial, rutuknya. Dia ter-
tangkap basah! Yang menegurnya barusan
ternyata seorang centeng galak. Brewokan.
Berhidung besar. Bermata besar pula, seperti
naga keracunan jengkol!
Buru-buru Satria menjauhi dinding ban-
gunan. Tangannya bergerak serba salah. Wa-
jahnya apalagi. Mau tersenyum, malah keliha-
tan seperti ringisan orang yang 'khusuk'
buang hajat.
Centeng tadi berlari mendekat. Tangan-
nya tak lepas dari gagang golok besar.
"Apa yang sedang Tuan lakukan?"
ulangnya. Nadanya mengandung kemarahan,
namun ditahan-tahan. Biar bagaimana, Satria
tetap seorang tamu. Apalagi datang bersama
seorang Patih Demak (lagi-lagi hal itu yang
membuat Satria dihormati!).
"Eh, anu...," gagap Satria, kehabisan
alasan. Orang seperti dia memang paling sulit
berpura-pura. Apalagi mencari-cari alasan
untuk berdusta.
Jendela mendadak terkuak. Di balik
dinding tempat Satria nguping tadi, rupanya
kamar anak gadis saudagar. Terang saja cen-
teng brewok jadi 'kepingin' marah.
"Tak apa-apa, Kang!" sergah seorang ga-
dis yang muncul dari jendela.
Centeng brewok menjura.
Satria menoleh. Matanya kembali men-
delik. Sekali ini bukan kaget karena bentakan
centeng. Melainkan karena terkejut tak alang
kepalang menyaksikan wajah gadis di jendela.
Sumpah mampus Satria tak bisa percaya ka-
lau gadis yang disaksikannya adalah Mayang-
seruni!
* * *
3
DI panggung sayembara, beberapa per-
tarungan telah selesai. Satu persatu peserta
berjatuhan. Tak ada yang sampai kehilangan
nyawa. Dalam pertarungan seperti itu, tak di-
perkenankan membunuh. Lawan cukup dika-
lahkan dengan berbagai macam cara.
Ketika peserta kesebelas tumbang, ber-
kelebat bayangan membelah udara. Datang
entah dari mana. Namun yang jelas tak da-
tang dari jajaran bangku peserta di sekeliling
panggung.
Jleg!
Berdirilah kini seorang kurus agak
bungkuk. Mengenakan jubah hitam kusam
pendek. Mengenakan tudung berbentuk keru-
cut dari anyaman bambu, menutupi seluruh
kepala dan wajahnya. Padahal, dua peserta
sebelumnya belum lagi turun.
"Tampaknya kau sudah tak sabar lagi,
Kisanak?" tegur lelaki kekar berwajah klimis
dan berpakaian perlente. Dialah pemenang
pada pertandingan terakhir.
Sahutan orang bertudung cuma gera-
man berat, "Turunlah, kalau nyawamu masih
ingin menetap di badan!" ancamnya sambil
menudingkan tangan berbungkus kulit keri-
put.
Melengaklah lelaki klimis perlente. Wa-
jahnya berubah. Garis-garis keberangan me-
rangas.
"Kau hanya bergurau, bukan?" desisnya.
"Jika tidak, kutunggu permohonan maafmu
sekarang juga, Kisanak!"
"Cuih!"
Padat penghinaan, orang bertudung ma-
lah meludah ke panggung.
Lelaki perlente merasa bukan panggung
yang diludahi, melainkan wajahnya. Dia me-
rasa terhina sekali. Dia merasa disepelekan di
hadapan khalayak. Harga dirinya terasa diin-
jak-injak semena-mena.
"Bukan aku yang memulai keributan ini,
Kisanak!" tandas lelaki perlente. Cukup su-
dah, pikirnya. Penghinaan terhadap dirinya
tidak bisa dibiarkan. Orang bermulut lancang
satu ini harus mendapat pelajaran agar dia
tahu bagaimana bersopan-santun.
"Kau memang ingin minta mampus!" te-
bas orang bertudung, manakala calon lawan-
nya kalap menerjang.
"Heaa!"
Deb!
Tendangan lurus datang ke arah orang
bertudung. Serangan yang demikian cepat,
karena dilakukan dalam jarak yang begitu
dekat.
Wukh!
Hantaman kaki cepat lelaki perlente lo-
los begitu saja. Sementara orang bertudung
sepertinya tidak mengelak sedikit pun. Tiba-
tiba saja, tubuhnya sudah berpindah dari
tempatnya berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terperanjat pada gerak ba-
gai bayangan orang bertudung, lelaki perlente
tak ingin mundur atau sekadar mempertim-
bangkan kembali serangannya. Dengan kaki
kanan yang masih terangkat, dikejarnya la-
wan.
Deb! Deb! Deb!
Tiga sodokan sisi telapak kakinya kem-
bali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hen-
dak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak
kentara. Bahkan oleh mata lawan yang ba-
nyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Ter-
bukti dengan dimenangkannya satu partai
pertandingan belum lama.
Kepala lawan yang tertutup tudung se-
perti berpindah-pindah tempat meski badan-
nya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila
kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri,
kepala orang bertudung tahu-tahu sudah
condong ke samping kanan. Begitu sebalik-
nya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki
perlente membuat satu putaran dengan ber-
tumpu pada sends lututnya. Seakan hendak
dipeluntirnya kepala orang bertudung.
Jika orang bertudung hanya menggerak-
kan lehernya sekali ini, maka tak akan ada
kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab,
putaran kaki lawan menutup ruang gerak
yang bisa dijangkau otot lehernya.
Wukh!
Tep!
Bergerak bagai bayangan, tangan orang
bertudung mendadak sontak terangkat, dan
disambarnya kaki lancang lawan.
Mata lelaki perlente membeliak. Cengke-
raman
tangan lawan di pergelangan kakinya
bagai himpitan rahang naga. Keras. Kuat.
Dan mengunci erat. Dia berusaha melepaskan
kakinya. Tak bisa. Bahkan, meski dia telah
berkutat sekalipun. Bahkan, meski telah pula
dikerahkannya tenaga dalam keotot-otot di
sekujur kakinya.
Perlahan tapi pasti, tangan orang kurus
bertudung mengangkat sebelah kaki lawan.
Tentu saja si lelaki perlente sadar, kalau
dia mencoba bertahan pada kuda-kudanya
semula, selangkangannya akan robek. Bah-
kan, bukan tak mungkin akan terbelah dua.
Cepat atau lambat. Sesaat tadi, memang dis-
adarinya pula betapa tenaga dalam lawan su-
lit terukur.
Untuk menyelamatkan selangkangan
nya, lelaki perlente melakukan tindakan ter-
paksa. Dia memanfaatkan tenaga dorongan ke
atas tangan lawan untuk mengangkat tubuh
nya ke udara.
Lalu...
"Hiaa!"
Wukh!!
Deb!
Dalam posisi miring di udara, tubuhnya
berputar setengah lingkaran. Sebelah kaki
yang bebas diayunkan berbareng dengan te-
rangkatnya tubuh. Sasarannya tangan lawan
yang mencengkeram pergelangan kaki lain-
nya, sekaligus menghantam leher lawan.
Taktik serangan tak terduga lelaki per-
lente ternyata tak terlalu mengejutkan. Bah-
kan begitu mudah diduga lawan. Selain itu,
tindakan lelaki perlente justru berakibat fatal
bagi dirinya sendiri.
Tep!.
Seperti sebelumnya, sebelah tangan be-
bas orang bertudung bergerak amat cepat,
dan menyambut sapuan kaki lawan. Perge-
langannya dicengkeram kembali. Kini, kedua
kaki lawan terkunci mati sempurna. Badan-
nya sendiri kehilangan kendali.
Meluruklah dia.
Terkesiap wajahnya.
Tangannya terentang, mengira dapat
menahan luncuran tubuhnya di atas tanah.
Perkiraan yang keliru. Sebab....
"Huaaahh!"
Des!
Satu clepakan ke depan kaki kurus
orang bertudung menahan tubuhnya ke bu-
mi. Korbannya hanya sempal mengeluh tertahan. Badannya tersentak ke atas. Ketika tu-
buhnya mulai meluncur turun lagi, kaki la-
wan menyambutnya kembali.
Degh!
Dan sekali lagi.... Degh!
Dan berkali-kali! Tak peduli, meski tu-
buh lawan tersentak-sentak meregang nyawa,
kejang lalu mulai lemas. Sementara darah
berhamburan kemana-mana. Keluar dari mu-
lut, hidung, dan telinganya! Panggung yang
beberapa waktu bersih dari anyir darah, kini
tersapu warna merah di mana-mana.
Ternodai.
Penonton berseru ramai. Para wanita
memekik. Suasana keruh. Riuh.
Sehimpun caci maki melejit di angkasa.
Perbuatan keji!
“Terkutuklah kau!" seru lelaki yang be-
lum sempat turun dari panggung, orang yang
sebelumnya telah dikalahkan lelaki perlente.
Dia pun turut murka atas perbuatan tak ber-
perikemanusiaan orang bertudung.
Kemurkaan yang menggelegakkan da-
rahnya.
"Cukup, Manusia Laknat!" Sambil berte-
riak serak, lelaki berperawakan pendek gem-
pal menyerbu orang bertudung.
Wesh...Wesh!
Kekejian orang bertudung menyebabkan
lelaki berperawakan gempal tak ragu-ragu lagi
bertindak. Tak tanggung-tanggung pula, di-
pergunakannya trisula yang hanya terselip di
ikat pinggangnya selama ini.
Mudah, bahkan bisa disebut terlalu mu-
dah orang bertudung mementahkan seluruh
serangan nyalang lawan barunya. Padahal,
tangannya masih mencengkeram dua perge-
langan kaki lelaki perlente, menyebabkan ke-
pala dan bahu lunglai lelaki malang itu tersu-
ruk-suruk di permukaan panggung. Darah
membentuk kelokan-kelokan mengerikan se-
panjang seretan kepalanya.
Lelaki malang.
Dan pada kejapan berikutnya.
"Cuih!"
Ludah orang bertudung melesat. Terle-
bih dahulu menembus tudungnya, mencipta-
kan lobang sebesar uang logam!
Crresh!
"Wuaa!"
Lelaki berperawakan gempal meraung-
raung seketika. Trisula di tangannya terlepas.
Kedua tangannya mendekap wajah. Dari sela-
sela tangannya mengalir darah segar!
"Pergilah kau ke neraka menemani
bangsat ini!" rutuk orang bertudung. Sebelah
matanya meneroboskan bersit bengis dari lo-
bang di tudung.
"Hih!"
Sekelebatan dilemparnya tubuh korban
pertama. Tangannya menyambar tudung. Dari
balik tudung, dikeluarkannya sesuatu.
Cletarr!
Mengangkasa suara menggidikkan. Ka-
sar menggelegar, seakan menghantam ke se-
genap penjuru.
Saat berikutnya, kepala lawan keduanya
menggelinding, menyusul lesatan tubuh kor-
ban pertama.
Gaduh, suasana makin riuh.
Para undangan kehormatan maupun
undangan di sekeliling panggung bangkit se-
rentak. Mereka tak bisa membiarkan ketelen-
gasan tergelar lebih jauh di hadapan mereka.
Pada saat mereka menyadari itu, dua nyawa
telah melayang.
Bagaspati berdiri tegang dengan rahang
kejang.
Matanya memerah. Seluruh otot di seku-
jur tubuhnya meregang. Terdengar desisnya.
Tak kentara. Namun jelas mengandung kege-
raman memuncak!
Satria yang berada cukup jauh pun ter-
peranjat mendengar kegaduhan dari pelata-
ran. Keterkejutan sebelumnya karena berte-
mu kembali dengan Mayangseruni terpangkas
begitu saja. Mayangseruni sendiri tak bisa
menduga apa yang sedang terjadi di panggung
sana. Juga centeng brewok di depan Satria.
"Ada apa Satria?" tanya Mayangseruni.
"Aku tak tahu!" seru Satria. Cepat di-
ayunnya langkah menuju pelataran.
"Satria tunggu!" pekik Mayangseruni.
Gadis yang masih mengenakan baju adat Ja-
wa itu melompat dari jendela, menyusul Sa-
tria. Sulit berlari karena kain wironnya,
Mayangseruni merobek saja kain tersebut pa-
da bagian tengah. Sebagian paha sekal mu-
lusnya pun tersembul manakala dia berlari.
Mayangseruni tak peduli.
Satria dan Mayangseruni tiba di pelata-
ran.
Di atas panggung, Bagaspati dan Tres-
nasari sedang menggempur seorang lawan.
Suasana sudah berubah kacau balau. Satu
mayat dan sepotong kepala yang terjatuh di
bawah panggung segera diurus beberapa cen-
teng. Sementara di atas panggung, tersisa sa-
tu mayat tanpa kepala.
Para istri undangan di pendapa menjerit-
jerit kalang-kabut. Mereka berlarian keluar.
Kalau kebetulan suaminya termasuk seorang
berjiwa satria, memilih untuk tetap berdiam
di tempat. Sementara beberapa bangsawan
dan saudagar bernyali kodok, serabutan ber-
lari. Dengan istri masing-masing, mereka sal-
ing tarik-menarik tangan. Satu hendak ke sa-
na, yang lain hendak ke sini!
Para centeng bayaran segera membentuk
kepungan di sepanjang panggung, bersama-
sama dengan para pendekar undangan. Me-
reka menganggap tak pantas membiarkan
orang keji yang digempur Bagaspati dan Tres-
nasari lolos begitu saja.
Sang Saudagar, duda kaya yang ternyata
ayah angkat Mayangseruni kelimpungan ser-
ba salah. Sewaktu menyaksikan anak angkat
yang dipingitnya keluar bergandengan tangan
dengan seorang pemuda berambut kemera-
han, matanya mendelik besar-besar.
Tergopoh-gopoh dia berlari menemui
Mayangseruni. Perut buncitnya terayun-ayun.
"Kau... kau apa yang kau lakukan di si-
ni, Nduk?!" bentaknya dengan nada tinggi.
Mukanya memerah. Ludahnya tersembur-
sembur.
"Masuk!" perintahnya.
Mayangseruni menggeleng. "Masuk!"
ulang saudagar gendut. Wajah Mayangseruni
memperlihatkan guratan menentang.
"Aku selama ini sudah cukup menurut
segala perintah Ayah. Sekarang, kuanggap
sudah cukup!" tandasnya.
"Kurang ajar! Kau harus masuk dan me-
nanti calon suamimu!"
"Tidak. Aku tak mau dijadikan alat oleh
Ayah. Ayah tak pernah berniat mencarikan
suami untukku. Melainkan, mencari pelin-
dung untuk kepentingan Ayah sendiri. Ayah
dengan sengaja mengundang orang-orang ber-
pengaruh dan berkuasa untuk mengikuti
sayembara. Jika salah seorang dari mereka
berhasil menjadi suamiku, tentu Ayah akan
memetik keuntungannya!"
Makin mendelik mata sang Saudagar.
Darah tingginya kumat. Napasnya sesak. Jan-
tungnya mendadak mogok kerja. Dan sauda-
gar gendut pun tersengal-sengal sambil me-
megangi dadanya. Sebentar kemudian dia ter-
jengkang.
Satria tercengang sewaktu tahu sauda-
gar gendut sudah telentang di tanah.
"Kau apakan ayahmu, Mayangseruni?"
tanyanya, tak mengerti.
Sementara itu pertarungan di atas pang
gung menanjak makin panas. Teriakan-
teriakan Bagaspati dan Tresnasari terus ber-
sahut-sahutan, menyelinapi deru angin puku-
lan, tendangan, dan gerak menggempur me-
reka.
Kendati keduanya memiliki kepandaian
yang cukup tinggi di dunia persilatan tanah
Jawa, namun mereka seperti terlalu sulit un-
tuk menundukkan lawan. Serbuan mereka
hingga saat itu tak menghasilkan apa-apa.
Satria menggenggam telapak tangan
Mayangseruni lebih keras. Diseretnya gadis
itu, lebih mendekat ke arah panggung.
Tiba sekian tombak dari panggung.
Pendekar muda itu dipaksa menghenti-
kan langkah tiba-tiba begitu matanya mampu
menangkap wajah orang yang dikeroyok Ba-
gaspati dan Tresnasari. Sekelebatan saja su-
dah cukup bagi Satria untuk mengenali orang
itu. Juga cukup baginya untuk mengenali
senjata berbentuk cambuk di tangannya, sen-
jata yang dipergunakan untuk melecut putus
leher korban terakhirnya.
"Ki Ageng Sulut???!!!" perangahnya. Ma-
ta pemuda bernyali naga itu lalu menyipit.
"Kau datang hendak mengantar nyawa dan
Kail Naga Samudera padaku selagi aku hen-
dak mulai mencarimu, Kakek Laknat," desis-
nya.
Dan tampaknya tugas yang hendak di-
percayakan Raja Demak padanya harus sege-
ra dimulai hari ini, meski perintah langsung
belum lagi turun.
4
Dash!
"Akh!"
Belum lagi Satria beranjak dari tempat-
nya, Bagaspati sudah terhantam sambaran
angin pukulan maut milik Ki Ageng Sulut
yang sudah begitu dikenal sekaligus ditakuti
banyak kalangan persilatan, 'Tepukan Iblis
Kematian'.
Terlemparlah Bagaspati dari atas pang-
gung.
Melayang sejauh sembilan tombak, lalu
jatuh menimpa bumi bagai seonggok bangkai.
Tubuhnya ketika itu juga mengejang. Tak ada
darah keluar. Namun, pendarahan dalam tu-
buhnya terjadi demikian parah. Dia tak sa-
darkan diri, saat berikutnya.
Tresnasari merasakan bulu diteng-
kuknya merinding hebat menyaksikan kete-
lengasan lawan. Hal itu menyebabkan kelen-
gahan. Kelengahan menyebabkan kerugian
besar dalam satu pertarungan. Terlebih perta-
rungan berbau maut.
Meski jarak tarung antara Tresnasari
dengan lawan masih terpaut jauh, namun ke-
sempurnaan peringan tubuh Ki Ageng Sulut
memberinya kesempatan untuk menjangkau
lawan begitu cepat. Sebelum lawan sempat
menyadari kelengahannya sendiri, diterkam-
nya Tresnasari bagai mengejar bayangan. Sa-
tu tombak sebelum benar-benar tiba, telapak
tangan si tua sesat menepuk udara. Hanya
udara, namun akibatnya sungguh fatal bagi
Tresnasari.
Dash!
"Ugh!"
Giliran Tresnasari terkena sambaran an-
gin 'Tepukan Iblis Kematian'. Tak beda den-
gan Bagaspati, tubuh gadis murid Nini
Jonggrang itu terlempar deras keluar pang-
gung. Untunglah, murid nenek sesat itu lebih
siap daripada Bagaspati. Meski agak terlam-
bat, Tresnasari sempat mengucurkan segenap
kemampuan tenaga dalamnya ke kedua belah
telapak tangan.
Sebenarnya, hanya dua telapak tangan
yang tersambar angin pukulan lawan. Tapi te-
tap saja, akibatnya tak bisa dibilang ringan.
Sementara pengerahan tenaga dalam miliknya
yang selama dua tahun ini mendapat godokan
langsung dari tokoh jajaran atas golongan se-
sat, juga tak menipiskan kemungkinan men-
dapat luka lebih ringan.
Kalau dibanding-banding, Tresnasari
memang bukanlah tandingan si Iblis Dari Ne-
raka. Siapa Ki Ageng Sulut, siapa pula Tres-
nasari. Baik dari pengalaman, tingkat kesak-
tian, dan kematangan siasat bertarung, Ki
Ageng Sulut jauh berada di atas lawan mu-
danya. Kendati, Tresnasari murid langsung
Nini Jonggrang.
"Tresnaaa!!!"
Satria berteriak kalap.
Di atas panggung, Ki Ageng Sulut berdiri
pongah. Diangkatnya tinggi Kali Naga Samu-
dera. Lalu serunya lantang, "Katakan pada
Tabib Sakti Pulau Dedemit, aku akan mene-
ruskan pembantaian demi pembantaian jika
dia tetap tak ingin menyembuhkan penyakit
ku dengan senjata ini!"
(Seperti diketahui pada episode sebelum-
nya : "Kail Naga Samudera" bahwa penyakit
aneh Ki Ageng Sulut akan dapat disembuhkan
dengan memanfaatkan tali Kail Naga Samude-
ra yang terbuat dari ekor ikan pari pelangi
langka.)
Satria memburu, seperti memburunya
tetes darah di sekujur tubuhnya. Seperti
memburunya badai dari tengah laut!
Napasnya mendengus, menanduk-
nanduk udara.
Belum sampai di dekat panggung, ka-
kinya menghentak.
"Heaaa!!!"
Seluruh mata menangkap lompatannya.
Keterpesonaan pun terjangkit.
Melayang tubuhnya, sengit. Bagai ter-
bang memangkas langit.
Jarak yang demikian jauh terlampaui
oleh Satria. Kakinya menjejak, tepat hanya
satu jengkal dari tepian panggung pertandin-
gan, yang kini telah berubah menjadi pang-
gung pembantaian. Tak ada yang tak terpeso-
na pada tindakannya. Jarak sepanjang seten-
gah pelataran hanya mungkin dilalui oleh se-
orang berperingan tubuh teramat sempurna.
Untuk mencapai tingkatan Itu. seseorang ha
rus menggojlok kemampuannya selama pulu-
han tahun. Sementara pemuda yang baru sa-
ja melakukan berusia tak lebih dari dua pu-
luh tahun!
"Siapa pemuda itu?" perangah beberapa
orang.
"Aku belum pernah melihatnya di kalan-
gan persilatan? Bagaimana mungkin dia
mampu melakukan lompatan sesempurna
itu?" kagum salah seorang dari beberapa pen-
dekar di sekitar panggung.
Aku tak percaya dia dapat melakukan-
nya! Aku tak percaya! Kalau bukan siluman,
tentu dia orang sakti awet muda. Tak mung-
kin orang seusia dia dapat membuat lompa-
tan itu!' seru tertahan yang lain.
Dalam' keadaan biasa, 'memang tak
mungkin bagi Satria berbuat sehebat itu. Ka-
laupun kini mampu dilakukannya, semata
karena bangkitnya tenaga sakti akibat reaksi
zat abu-abu langka dasar terdalam Samudera
Hindia dengan Ramuan Pulau Dedemit pem-
berian Ki Kusumo. Campuran yang telah me-
nyatu dalam darah, daging, dan sumsumnya.
Dan akan meledak menjadikan tenaga dalam-
nya melimpah ruah bagai dikucurkan lang-
sung dari langit ke ubun-ubunnya!
Lepas dari segenap kekaguman yang ter-
tumpah padanya, apakah Satria masih sem-
pat peduli? Tidak mungkin. Sebab, yang ber-
golak, bergejolak, menggelegak dalam benak-
nya kini cuma kemurkaan besar!
"Kubunuh kau!!" pekik si pemuda kalap.
Suara nya pecah dan bergeletar hebat.
* * *
Pantai Tanjung Karangbolong tak pernah
berubah. Dari hari ke hari. Pukulan ombak
dan deru yang dihasilkannya tetap serupa se-
perti hari-hari sebelumnya.
Di pondok tepi pantai tempat berdiam-
nya Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Ki
Kusumo, salah seorang penghuninya keluar
dengan wajah kusut.
"Heran, bisa-bisanya tengah hari bolong
begini aku tertidur dan bermimpi pula," geru-
tu si tua bangkotan itu, sambil menggaruk-
garuk kulit kepala klimisnya. Kulit kering
yang terkelupas dari kepalanya pun berteba-
ran tertiup angin. Dengan mata sayu, dia me-
langkah malas-malasan.
"Ada apa Panembahan?" tanya Ki Kusu-
mo. Tabib tua kenamaan tanah Jawa yang
beberapa waktu lalu tak bisa berbuat apa-apa
karena luka parah akibat pertarungan hidup-
mati dengan Ki Ageng Sulut, kini sudah tam-
pak bugar sama sekali. (Baca kembali episode
sebelumnya : "Kail Naga Samudera"!). Di ba-
wah satu pohon kelapa, orangtua itu sedang
melatih pernapasan.
Beberapa pekan belakangan dia juga se-
dang tekun melatih kaki cacatnya. Kaki ku-
tung sebatas lutut itu kini disambung dengan
logam runcing, dipesan khusus dari seorang
pandai besi yang dulunya menjadi keper
cayaan Raja Brawijaya yang pernah dikenal-
nya.
Keadaan badannya kini, memaksa Ki
Kusumo memperbaharui beberapa jurus-
jurusnya. Bahkan dia pun mulai mencoba
menciptakan jurus-jurus baru, yang mene-
kankan pada keampuhan logam runcing
pengganti kakinya. Keadaan terpaksa me-
mang sering kali membuat seseorang berusa-
ha untuk menemukan kelebihannya di balik
kekurangannya. Hal itu yang terjadi pada diri
Ki Kusumo.
Dalam sepekan terakhir, setidaknya lima
jurus baru tercipta. Jurus-jurus yang berkai-
tan dengan 'senjata baru' di kaki kutungnya.
Hari ini, dia mencoba melatihnya kem-
bali. Di depan tempatnya berada kini, ada
tiang-tiang setinggi atap rumah. Di atas tiang-
tiang tersebut di gantung buah-buah kelapa.
Setiap buah kelapa sudah berlobang seuku-
ran mata uang logam. Tentunya ujung runc-
ing logam pengganti kakinya telah menembus
setiap buah kelapa itu.
Untuk melatih ketepatan sasaran, bukan
cuma kelapa dimanfaatkan Ki Kusumo. Orang
tua itu pun menggantung beberapa mata
uang kepeng. Setiap mata uang yang digan-
tung kini telah terbagi dua, terbelah ujung
runcing logam pengganti kaki Ki Kusumo.
Keringat Ki Kusumo belum lagi menger-
ing ketika Dongdongka keluar dengan geru-
tuannya.
"Aku mimpi," jawab Dongdongka, atas
pertanyaan Ki Kusumo barusan.
"Mimpi?"
"Ya. Keterlaluan kalau kau tak mengerti
apa 'mimpi' itu!"
Ki Kusumo terkekeh. Kebiasaan khasnya
yang mulai sering muncul kembali hari-hari
belakangan, menyusul kembalinya keseha-
tannya.
"Mimpi jelas aku tahu, Panembahan,"
kata Ki Kusumo seraya menghapus keringat
di kening keriputnya dengan lengan baju.
"Aku cuma ingin tahu, mimpi apa yang telah
Panembahan alami?"
Dongdongka 'ngedeprok' seenaknya di
atas pasir, seperti tingkah seorang bocah.
"Aku mimpi, murid kita diserang dua
ekor ular. Ular jantan dan betina yang be-
suuuuuuaaaar! Kepalanya saja sebesar bukit!
Matanya sebesar pintu gubuk kita! Aku he-
ran, ular sebesar itu makanannya apa, ya?
Kalau kerbau, pasti butuh satu kandang. Ka-
lau padi pasti satu sawah. Ah, sejak kapan
ular makan padi, ya?" Kalau ular makan uang
rakyat? Ah itu mah, Ular 'kadut-kadutan'
yang bisa membedakan mana perawan, mana
janda! He he he" Dari menceritakan mimpi,
tua bangka itu mulai ngoceh ngalor-ngidul.
Ki Kusumo terdiam. Punggungnya dis-
andarkan ke batang kelapa. Wajahnya diter-
kam kegalauan.
"Kira-kira, apa kau bisa menafsir arti
mimpi ku itu, Kusumo?"
Ki Kusumo tak memperhatikan per
tanyaan Dongdongka. Matanya menerawang.
"Hey, Kusumo! Aku bertanya padamu,
bukan pada dengkulku sendiri!" bentak
Dongdongka.
Ki Kusumo tersentak.
"Apa yang Panembahan tanyakan?"
"Ah, sudahlah!" tepis Dongdongka, keki
sendiri. Dia bangkit. Dilangkahkannya kaki
ke arah pantai.
Masih tetap dengan gerak malas. Ma-
tanya pun tetap sayu. Sebentar terkatup, se-
bentar membuka tanggung-tanggung.
Byurr!
Bangkotan tua itu pun masuk ke dalam
laut. Barangkali mau sedikit mendinginkan
otaknya yang panas akibat mimpi siang bo-
long. Setidaknya sedikit menyegarkan badan.
Tinggal Ki Kusumo termenung sendiri.
Hati kecilnya memperingati, mimpi Dong-
dongka menjadi satu pertanda. Menurut tafsi-
rannya, murid mereka Satria akan mengha-
dapi lawan berbahaya. Dua lawan sekaligus.
Lelaki dan wanita yang bersekutu bersama!
Tak lama, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul sudah tampak lagi. Badannya basah
kuyup. Baru keluar dari laut. Sambil terus
menggaruk-garuk kepala dan mata terpejam,
dia bergumam pada Ki Kusumo yang dilewa-
tinya.
"Keterlaluan kau Kusumo. Nyam...
nyam.... Kenapa kau tak bilang, kalau arah
gubuk kita bukan ke sana? Aku mau mene-
ruskan tidur di gubuk. Bukan di dasar
laut....”
* * *
Pertemuan-perpisahan. Dua kata tak
terpisahkan. Satu ada untuk melengkapi yang
lain. Kehidupan tak pernah lengkap dengan
dua hal itu. Seperti juga Mayangseruni. Sete-
lah terpisah sekian puluh tahun, untuk per-
tama kali dalam hidupnya, dia bertemu kem-
bali dengan saudara kembarnya, Tresnasari.
Ketika itu dia menyaksikan Tresnasari
terlempar dari atas panggung. Hatinya terta-
rik menyaksikan wajah Tresnasari begitu mi-
rip dengan wajahnya. Saat itulah, dia teringat
pada ucapan Satria beberapa waktu lalu. Kala
bertemu pertama kali dengan Satria, pemuda
itu menyangka dirinya sebagai seorang gadis
yang dikenal Satria. Satria sempat menyebut-
nyebut nama Tresnasari. (Lihat kembali epi-
sode : "Geger Pesisir Jawa"!).
"Apakah kau Tresna?" tanya Mayangse-
runi dengan sehimpun kegempitaan di hati,
setelah berlari kecil mendekati Tresnasari. Di-
bantunya Tresnasari bangkit.
Syukurlah, keadaan luka Tresnasari tak
terbilang parah seperti dialami Bagaspati.
"Siapa kau?" balas tanya Tresnasari. Ma-
tanya ternanar menyaksikan betapa wajah
gadis yang membantunya bangkit demikian
mirip dengannya. Ibarat dirinya sedang ber-
hadapan dengan cermin hidup!
"Aku Mayangseruni! Saudara kembar
mu!" tukas Mayangseruni, nyaris memekik
kegirangan.
Tresnasari terpaku. Bibir merah ranum-
nya terbuka.
* * *
5
NINI Jonggrang melantunkan sumpah
serapah paling tajam untuk telinga manusia.
Bahkan mungkin untuk kuping kambing con-
gek sekalipun. Pasalnya, dia melihat bagai-
mana murid tunggalnya, Tresnasari telah me-
langgar perintahnya mentah-mentah. Melang-
gar, artinya berkhianat. Tak peduli apakah
sebagai gurunya, Perempuan Pengumpul
Bangkai itu adalah seorang sesat. Yang na-
manya berkhianat, ya tetap berkhianat. Begi-
tu menurut si nenek jelek sakti. Padahal, ka-
laupun ada guru yang paling pantas dikhia-
nati, ya Nini Jonggrang orangnya.
Perempuan berusia alot layaknya Dong-
dongka itu 'nangkring 'di atas tembok pagar
rumah sang Saudagar. Sambil menyaksikan
seluruh huru-hara yang berlangsung di peka-
rangan, dia mencak-mencak ke sana ke mari.
Meski gerakannya lebih serampangan dari
tingkah seekor bajing kegatalan, tak ada satu
daun pun yang gugur karenanya. Bahkan
daun kering sekalipun. Itu semua disebabkan
karena Nini Jonggrang nenek moyangnya bajing? Jelas bukan! Kesempurnaan ilmu perin-
gan tubuh yang sulit dicari tandingan yang
menjadi penyebabnya.
Sewaktu Bagaspati, Satria, dan Tresna-
sari sedang dalam perjalanan dari keraton ke
tempat undangan, tanpa disengaja Nini
Jonggrang menyaksikan mereka. Sulit dia
percaya kalau muridnya ternyata tak pernah
membunuh si pendekar muda, Satria Gen-
deng. Malah disaksikannya sendiri Tresnasari
tersenyum-senyum manja, berbincang bin-
cang hangat, bergurau-gurau mesra, ber... ah,
semuanya serba membuat nenek jelek itu jadi
naik darah!
Rasanya. darahnya naik ke ubun-ubun,
lalu menukik ke pantat, terus terpantul naik
lagi ke ubun-ubun. Bukan cuma marah. Nini
Jonggrang juga malu pada keriputnya, pada
dengkulnya, serta pada dunia dan seisinya.
Masa muridnya tak becus menjalankan tugas
pertamanya? Apa sih, susahnya membunuh
satu manusia? Percuma jadi murid Perem-
puan Pengumpul Bangkai yang tersohor! Ru-
tuk Nini Jonggrang.
(Apa dianggapnya manusia itu sama
dengan kecoak?)
Sampai saat itu, Nini Jonggrang belum
bertindak apa-apa. Perutnya masih terasa
mulas karena terlalu dongkol pada Tresnasa-
ri. Lagi pula, dia juga tak ingin kehilangan ke-
sempatan menyaksikan bagaimana murid
Dedengkot Sinting Kepala Gundul melolong-
lolong minta ampun dihajar Ki Ageng Sulut.
Salah satu hal yang bisa membuatnya mera-
sakan puncak kepuasan! Kalau kesenangan-
nya saja bisa membuat orang yang menden-
gar bergidik, tentu manusia satu ini sinting
asli!
Sementara pertarungan Satria dan Ki
Ageng Sulut berlangsung sengit.
Di panggung, Satria bergerak cepat dan
teratur. Terkadang melambat seperti orang
uzur. Terkadang gemulai seperti penari. Ju-
rus-jurus sakti si Dedengkot Sinting Kepala
Gundul bagai mengalir deras dari tubuhnya,
dan terwujud dalam setiap gerak.
Terkadang jurus-jurusnya berubah
menggebu. Pukulannya menderu. Tenda-
ngannya membabi-buta, beruntun laksana
gempuran petir. Setiap kali dia bergerak, ter-
dengar suara cukup keras. Pertanda setiap
gerakannya mengandung tenaga kilat.
Lawannya, meski berusia tua, tak kalah
hebat memainkan jurus-jurus maut. Kecepa-
tan, kekuatan, dan kejalangan jurus 'Satria
Gendeng' diimbangi, biarpun usia mereka ber-
taut amat jauh. Keduanya bergerak bagai dua
malaikat maut. Masing-masing hendak men-
cabut nyawa lawan.
Melewati jurus-jurus keempat puluh, ke-
lebatan gerak mereka sudah sulit diikuti mata
awam. Yang tampak hanya dua larik bayan-
gan yang bergerak kacau dan nyaris menyatu.
Satu bayangan hitam yang lain bayangan pu-
tih keabu-abuan.
Di antara dua kelebatan bayangan itu,
terlihat pendar-pendar warna pelangi. Terka-
dang membentuk selubung yang mengung-
kung dua kelebatan bayangan hitam dan pu-
tih, terkadang membersit lurus, terkadang
pula meluruk tajam. Sepanjang itu, terus ter-
dengar bunyi bergemuruh seperti sabetan-
sabetan petir di angkasa. Asal pendar cahaya
pelangi dan bunyi bergemuruh itu berasal da-
ri Kail Naga Samudera di tangan Ki Ageng Su-
lut.
Seluruh mata di luar kancah pertarun-
gan seperti tak sempat berkedip menyaksikan
pertarungan dahsyat itu.
Suatu ketika....
"Hiaahaa! He he he!" Terlempar teriakan
dari kerongkongan Satria disertai kekeh re-
nyahnya. Saat itu, si pendekar muda sedang
mengerahkan jurus-jurus andalan warisan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Satria makin terlihat gendeng. Dia ber-
jumpalitan ke sana kemari. Gerak tubuhnya
pun makin sulit diikuti mata. Terkadang ke-
lebatan tubuhnya berhenti mendadak. Di te-
pian panggung dia menandak-nandak nga-
wur.
Pada bagian ini, pemuda itu seolah se-
dang bermain-main. Namun di balik itu, se-
benarnya terkandung kehebatan tersendiri.
Orang yang menyaksikannya akan mengang-
gap lelucon tengik. Namun bagi tokoh persila-
tan bermata jeli akan berpendapat lain. Mere-
ka menemukan kekuatan tersembunyi di ba-
lik setiap gerakan kacaunya, atau kecerdikan,
atau kecepatan, atau kegesitan tak terduga,
atau bahaya maut...!
Suatu ketika, Satria menarik mundur
tubuhnya beberapa tombak dari lawan den-
gan cara melejit ke udara. Di ujung panggung,
dia menjejakkan kaki ringan.
Selanjutnya, dibuat satu hentakan ke-
ras-keras sambil menjatuhkan badan ke per-
mukaan panggung. Dengan cara itu, tubuh-
nya meluncur di atas permukaan panggung.
Dengan posisi setengah terbaring, sebelah ka-
kinya merentang lurus. Sebelah kaki yang
Iain terlipat, menjadi tumpuan. Gelagatnya,
dia hendak mematahkan pertahanan kuda-
kuda lawan. Sementara tangannya siap
menghujani bagian selangkangan lawan den-
gan pukulan tak terduga.
Wrrr!
"Hieeeeeheeee!"
Iblis Dari Neraka tentu tak mudah terti-
pu dengan siasat tarung lawan yang dinilai
aneh oleh kalangan persilatan. Karena tokoh
tua sesat ini kenal betul ciri bertarung guru si
pendekar muda, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul.
Mata tuanya yang tak pernah kehilangan
kejelian, membaca keadaan dengan cepat. Ji-
ka dia mencoba menghindari sodokan deras
kaki membentang lawan dengan cara melom-
pat, maka tangan lawan akan menyambut-
nya. Artinya, dia hanya memberi kesempatan
lawan menghantam empuk-empuk selang-
kangannya. Dan memang itu yang tampaknya
dikehendaki lawan.
Jika diputuskan untuk tidak melompat,
maka risiko yang bisa dideritanya adalah pa-
tah kaki pada bagian lutut!
Segenap kejelian dan kewaspadaan di-
tingkatkan Ki Ageng Sulut, menyambut keda-
tangan luncuran tubuh lawan mudanya di
permukaan panggung. Dalam tempo yang
demikian cepat, bahkan untuk hitungan ke-
dipan mata!
Dan....
"Hih!"
Cerdik! Ki Ageng Sulut tidak melakukan
lompatan. Tidak juga membiarkan lututnya
patah oleh tandukan kaki lawan. Dia hanya
merenggangkan kuda-kudanya lebar-lebar.
Gesit geraknya. Tangkas.
Kaki terentang Satria Gendeng lewat di
tengah-tengah dua kaki lawan. Karena sia-
satnya gagal, dibuatnya satu serangan susu-
lan. Sebelah kaki terlipatnya, mendadak son-
tak membuka dari bawah kaki yang teren-
tang. Sapuan keras!
Ssrrrs!
Sebelah kaki lawan terancam.
Dalam keadaan berdiri dengan kaki te-
rentang, tentu sulit bagi Ki Ageng Sulut untuk
mengangkat sebelah kaki. Tua bangka keji itu
tak kehilangan akal. Begitu tampak olehnya
kaki lawan membuat sapuan, tangannya
mengebutkan Kail Naga Samudera ke bawah.
Cletarr!
Clep!
Satria terkesiap.
Senjata pusaka di tangan tua bangka itu
secepat kilat menukik lurus. Tajam. Tahu-
tahu, kayu panggung tertembus. Sedangkan
tali Kail Naga Samudera sendiri merentang te-
gang seperti potongan baja. Sapuan Satria
tertahan seketika!
Kaki pendekar muda itu nyaris saja ter-
pantek langsung ke permukaan panggung!
Kalau saja Ki Ageng Sulut memiliki ketepatan
tinggi mempergunakan senjata pusaka di tan-
gannya!
Saat Satria terpesona...,
Wukh!
Degh!
Satu tangan lawan membuat tamparan
mendongkel dari bawah ke atas.
Dari posisi setengah terbaring di lantai
panggung, kepala si anak muda tersentak te-
ramat keras. Dagunya terhantam angin tam-
paran telapak tangan lawan, satu tombak se-
belum telapak tangan itu menjangkau sasa-
rannya sendiri. Akibat yang lebih hebat, Sa-
tria Gendeng langsung terangkat deras ke
udara.
Seperti dialami oleh Bagaspati maupun
Tresnasari, tubuh pendekar muda itu me-
layang deras. Meluncur keluar panggung.
'Tepukan Iblis Kematian' baru saja mengha-
jarnya!
"Aaaahhh!"
Para penonton pertarungan maut berse-
ru. Pekat.
Satria jatuh bergulingan. Dan baru ber-
henti ketika menghantam tangga batu penda-
pa telak-telak. Sebagian permukaan tangga
batu pualam menjadi gompal!
Segenap pandangan menombak ke arah
dirinya. Bersit cemas bertaburan. Tak lama
mereka seperti sama-sama menunda napas.
Ketika perlahan-lahan si pendekar muda be-
ringsut bangkit, baru terdengar desah napas
lega mereka. Tak urung pula, mereka mem-
perdengarkan helaan terpesona. Terpesona
karena jelas-jelas pendekar muda bau kencur
itu telah terkena salah satu pukulan paling
ditakuti di seantero dunia persilatan tanah
Jawa. Namun, tak ada tanda-tanda kalau dia
mengalami luka berbahaya. Di lain keadaan,
'Tepukan Iblis Kematian' bahkan sanggup me-
lebur karang sebesar kerbau!
Bukankah yang demikian itu mempeso-
na mereka?
Satria Gendeng mengeluh. Melenguh.
Suaranya parau. Betapapun sakit yang dideri-
ta, betapapun sesak mendera, betapapun
mual dan pening terasa, yang jelas dia telah
bangkit kembali kini.
Dari tertunduk, kepalanya terangkat
naik. Perlahan.
Urat-urat di bola mata itu memerah. Se-
perti milik banteng ketaton! Darah kehitaman
mengalir lambat di antara hidung dan bibir-
nya. Wajahnya pun mematang, terbakar gele-
gak kemurkaannya.
"Khuaaaaaa!!!!"
Satria melolong. Kepalanya mendongak.
Urat di lehernya menggelembung. Dia. seperti
seekor serigala luka yang melampiaskan se-
genap kemarahan-nya melalui lolongan tinggi
menohok angkasa.
Udara tergempur.
Getarannya menghancur.
Lapisan luar tembok pagar pecan ter-
hambur.
Dedaunan menggelepar-gelepar, gugur.
Puluhan orang harus menekan daun te-
linga kuat-kuat.
Si nenek jelek yang sedang nangkring di
dahan satu pohon pun tergetar mendengar lo-
longan mengerikan itu. Hidungnya kembang
kempis. Hampir saja lendir dan lobang hidung
dekilnya terjatuh tanpa disadari.
"Bocah Bussssssuk! Bagaimana dia bisa
memiliki tenaga dalam sehebat itu sementara
umurnya baru sejempol kukuku?!!" makinya
sambil meringis-ringis.
Si pemuda sendiri tak pernah peduli pa-
da semua itu. Dari tempatnya berpijak, dia
menggenjot tubuh.
Wrrr!
Tepp!
Di tepi panggung, kembali dia mema-
cakkan kuda-kuda.
Suasana mendadak dibungkam. Senyap,
kebisuan yang memagut. Napas seakan ter-
tunda kembali.
Ki Ageng Sulut tak menyangka dia akan
ikut terbawa pesona yang seolah terpancar
gencar dari dalam diri si satria muda yang be-
lum lagi cukup dikenal dunia persilatan tanah
Jawa itu. Bahkan tak sempat ditariknya kem-
bali tali Kail Naga Samudera yang menembus
ke bawah lantai panggung.
Diam, si tua bangka keji itu dalam ke-
terpanaan. Sampai geraman pemuda di de-
pannya menyadarkan.
"Apakah kau tahu, Orang Tua Sesat.
Kematian tak pernah memilih-milih dan me-
mihak siapa pun," desis Satria, sarat nada
mengancam. "Aku cuma berharap, semoga
Gusti Yang Agung meminta nyawamu hari ini
melalui tanganku...."
Ada yang terasa bergetar di dalam diri Ki
Ageng Sulut mendengar ucapan si anak mu-
da. Aneh. Keganjilan yang menyeruak tak ter-
tahan. Bagaimana mungkin seorang bocah
ingusan dapat menggetarkan hati seorang to-
koh kenamaan yang kekejamannya telah
membuat tanah Jawa merinding selama ber-
puluh-puluh tahun lamanya? Semuanya se-
perti sulit dipercaya oleh Ki Ageng Sulut sen-
diri. Namun, dia tak bisa memungkirinya! Sa-
tu kelebihan yang tak dimiliki oleh pemuda
kebanyakan. Dan akan sulit pula dimiliki oleh
kalangan tua sekalipun. Sebentuk pancar
kharisma kuat yang mungkin sanggup meng-
getarkan nyali seeker singa lapar!
Berkawal teriakan menggila, tubuh Sa-
tria Gendeng berpusing cepat serta liar. Pu-
singan tubuhnya merangsak deras menuju
lawan. Bagai gasing raksasa yang sulit didu
ga. Tangannya sebentar terbentang, membuat
putarannya melambat. Sebentar berikutnya
terlipat dalam, menyebabkan putaran tu-
buhnya menjadi demikian sengit. Kegilaan itu
tidak hanya sampai di sana. Di antara den-
gung yang diciptakan putaran tubuh si pen-
dekar muda, terdengar pula suara berdesisan
di bawahnya. Apa yang terjadi sungguh me-
nabjubkan siapa, pun. yang menyaksikannya.
Begitupun Ki Ageng Sulut, tokoh nomor wahid
golongan hitam yang menggemparkan dengan
julukan Iblis Dari Neraka.
Ki Ageng Sulut tercekat. Dia menyaksi-
kan dengan mata kepala sendiri permukaan
panggung mengeluarkan asap karena gesekan
kaki Satria Gendeng yang menjadi tumpuan
putaran!
"Sinting! Aku tak pernah melihat Dong-
dongka melakukan pertarungan seperti itu.
Lalu jurus siapa yang bocah sial ini main-
kan???" desis Ki Ageng Sulut, bergidik.
Sebenarnya, tak sekali pun Dedengkot
Sinting Kepala Gundul menurunkan jurus
aneh ini pada Satria. Kalaupun kini diperli-
hatkan oleh si pendekar muda, semata adalah
kekuatan dorongan naluri kependekarannya.
Dorongan itu menyebabkan dia mengikuti sa-
ja gerakan yang lahir dari dalam, hingga ter-
cipta sebentuk jurus ampuh tanpa disada-
rinya. Sedangkan kekuatan sakti yang men-
gendap dalam tubuhnya selama ini telah me-
nyebabkan tenaga putarannya sanggup men-
ciptakan gesekan teramat hebat di permu
kaan panggung!
* * *
6
MURID kualat!" Nini Jonggrang tahu-
tahu sudah berada di belakang Tresnasari.
Bertolak pinggang. Cemberut wajahnya. Su-
dah jelek, jadi tambah jelek.
Tresnasari kaget bukan kepalang. Keta-
kutan, dia tersurut mundur ke belakang.
Mayangseruni yang belum mengerti duduk
perkaranya menatap terheran-heran.
"Sini, kau!" bentak Nini Jonggrang,
mendelik-delik menyeramkan.
Tresnasari menggeleng takut-takut. Sifat
judes, bandel, dan ketusnya kabur entah ke
mana kalau sudah berhadapan dengan nenek
sakti penganut ilmu sesat itu. Siapa yang tak
ngeri berhadapan dengan perempuan bangko-
tan seseram Perempuan Pengumpul Bangkai?
Kendati muridnya sendiri? Jangankan men-
dengar bagaimana tabiat darah dinginnya se-
lama ini, menyaksikan wajah dan penampilan
rombengnya saja sudah bikin jantung 'empot-
empotan' separo soak.
Nini Jonggrang menggeram. Seperti de-
demit pohon petai.
"Ke sini, kataku!" susul si Perempuan
Pengumpul Bangkai.
Tresnasari tetap tak ingin mendekat. Ke
palanya menggeleng makin kuat. Wajahnya
disergap ketakutan. Panas-dingin mungkin
juga.
Nini Jonggrang mendengus sekali. Di-
angkatnya tangan kurus berkulit keriput dan
menebarkan bau bangkai busuk ke mana-
mana. Kuku-kukunya panjang menghitam.
Jari kelingkingnya bergerak-gerak bagai see-
kor cacing pesakitan, membuat isyarat agar
murid bandelnya mendekat. Matanya yang se-
ni era h darah menerkam langsung ke manik-
manik mata Tresnasari.
Tajam menusuk.
Tresnasari kian gelagapan. Entah ba-
gaimana, kakinya perlahan-lahan terseret dari
tempat berpijak. Ada tenaga kasat mata
menggeser kakinya. Gadis itu mencoba berta-
han. Tak berhasil. Jangankan mempertahan-
kan pijakan, menggerakkan otot dan sendi
kakinya saja sudah demikian sulit.
Betapa Tresnasari yakin, mata iblis Nini
Jonggrang telah mempengaruhinya. Mata itu
pasti mengirim kekuatan tenung seorang pe-
rempuan penganut ilmu sesat, mengunci
langsung segenap jaringan saraf kaki di otak-
nya.
Mata yang Juga mengirim getaran-
getaran menakutkan ke hati.
Terkutuklah kau nenek setan! Maki
Tresnasari, hanya berani dalam hati. Kalau-
pun punya keberanian, toh mulutnya pun te-
rasa terbelenggu kekuatan tenung perempuan
penganut ilmu sesat itu.
Tresnasari terus terseret perlahan.
Mayangseruni diam tak bergerak. Biar-
pun pengaruh tenung cuma ditujukan pada
Tresnasari, namun gadis kembarannya itu
seperti turut terkena getahnya. Dia takjub
menyaksikan bagaimana hebat, betapa pia-
wainya si nenek jelek mengatur tenaga dalam
demikian rupa. Menurut Mayangseruni, seba-
gai orang yang cukup banyak belajar ilmu-
ilmu olah kanuragan, tenaga dalam tersebut
dikirim Nini Jonggrang melalui gerakan jari
kelingkingnya. Bayangkan? Hanya dengan
menggerakkan jari kelingking, Perempuan
Pengumpul Bangkai 'sudah sanggup mengi-
rim tenaga dalam yang dapat menyeret seseo-
rang ke arah dirinya!
Tresnasari tiba satu tombak di depan
hidung gurunya, yang sampai detik ini tak
akan sudi diakunya. Biar bumi kiamat dan
mengeluarkan bangkai-bangkai berjalan dari
perutnya, sekalipun!
"Kenapa kau tak melakukan tugasmu,
hen?" hardiknya kembali.
Tresnasari tergagap-gagap parah. Butir-
butir keringat bersembulan di wajah dan leher
jenjangnya.
"Ngomong tolol!"
Susah payah setengah mampus gadis itu
berusaha menggerakkan lidah, tak juga ada
satu kata keluar. Kelu lidahnya. Kerongkon-
gannya terasa sudah mau robek karena me-
maksa untuk berbicara.
Hidung Nini Jonggrang menyerupai pa
ruh burung Nazar Hidung itu kembang-
kempis. Sewaktu mekar, terlihat kotoran ber-
lendir menjijikkan. Baunya menyengat. Tan-
gan yang tak sempat diturunkan mulai berge-
rak. Jari-jari kurus panjangnya turut berge-
rak-gerak. Kuku-kukunya melintas-lintas di
depan wajah Tresnasari, membuat gadis itu
makin pucat pasi.
"Kau tahu," mulainya lagi terseret. "Se-
bagai murid, kau telah mengecewakanku.
Mengecewakan sekali! Kau mengkhianati tu-
gas yang kuberikan. Itu artinya, secara tak
langsung kau telah mengkhianatiku!"
Nini Jonggrang mengusap lendir di lo-
bang hidungnya dengan punggung tangan.
Tertawa terkikik dia. Tanpa satu alasan pun
yang dianggap lucu.
"Bagi diriku, tak akan rugi bila seorang
murid berkhianat. Aku bisa mencari murid
yang lain. Yang setia. Yang mau menuruti apa
perintahku, tak peduli dia ku perintah untuk
menelan kotoran kerbau! Tidak seperti kau,
Murid Kualat!"
Nini Jonggrang terkikik-kikik lagi.
"Karena kau telah berkhianat, maka kau
sendiri yang akan merasakan akibatnya! Kau
tahu apa yang bisa kulakukan terhadap ma-
nusia? Aku bisa menguliti kulitnya, bisa
menggeragot ubun-ubunnya dan ku sedot
otaknya, aku akan melakukan apa pun yang
ingin kulakukan," desis Perempuan Pengum-
pul Bangkai, menggempur nyali murid ban-
delnya.
"Dan untuk seorang murid murtad, ten-
tu saja akan bisa melakukan lebih dari itu.
Lebih! Lebih! Lebiiih! Hik hik hik!"
* * *
Wuk wukh wukh!
Pusingan tubuh Satria Gendeng tiba ju-
ga di dekat Ki Ageng Sulut. Sulit untuk men-
duga ke mana arah serangan yang hendak di-
lakukan pendekar muda itu. Setiap saat, tan-
gannya bisa melontarkan pukulan, ke setiap
arah. Juga kakinya bisa melepas tendangan,
atau sapuan, atau tebasan. Yang juga tak ter-
duga arahnya.
Untuk menghadapi serangan ganjil ini,
Iblis Dari Neraka tak bisa sembarangan mela-
kukan gerakan. Atau sembarangan melancar-
kan serangan. Putaran tubuh lawan mudanya
sendiri sudah membuat matanya jadi kehi-
langan konsentrasi. Menyerang dalam kea-
daan seperti itu dengan anggota badan malah
bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri. La-
wan bisa membuat tangkisan, sekaligus se-
rangan balasan tiba-tiba.
Kalau lawan lain, mungkin Ki Ageng Su-
lut tak akan begitu bingung melakukan se-
rangan. Pengalamannya selama menerjuni
dunia persilatan telah mengasah kewaspa-
daan dan ketajaman pandangan dan perhi-
tungannya. Dengan cepat, dia bisa menang-
kap serangan mendadak lawan. Kendati itu
dilakukan dari jarak tak lebih dari tiga jeng
kal.
Lawan yang dihadapinya kini, bukan
sembarang lawan. Dia adalah murid tunggal
Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Dan baru
sekarang disadarinya benar-benar, kalau pe-
muda tanggung itu nyatanya bisa jauh lebih
berbahaya dari gurunya sendiri!
Ki Ageng Sulut tak habis mengerti den-
gan hal itu. Kenyataan memang berkata de-
mikian. Gerakan si pendekar muda, demikian
cepat. Tak terduga. Kekuatannya pun sulit
diukur. Kecepatan dan kekuatan yang sulit
terduga dan telah mengejutkan banyak pihak
itulah yang menjadikannya berbahaya.
Jangankan Ki Ageng Sulut, Satria sendi-
ri pun sebenarnya tak pernah menyadari ke-
saktian apa yang sebenarnya bersemayam da-
lam dirinya. Kesaktian alami yang sanggup
melipatgandakan kekuatan dan kecepatan-
nya. Bahkan dalam keadaan-keadaan terten-
tu, sanggup melampaui satu-dua tingkat dari
tokoh-tokoh jajaran atas tanah Jawa!
Satu-satunya jalan yang dipikir terbaik
oleh Ki Ageng Sulut adalah mendahului se-
rangan. Tidak dengan tangan dan kaki. Me-
lainkan dengan senjata pusaka di tangannya.
Dengan Kail Naga Samudera! Senjata pusaka
yang tak diragukan keampuhannya di tangan
seorang yang tepat.
Wush!!
Cletar!
Menyambut tibanya putaran menggila
tubuh lawan, Iblis Dari Neraka melecutkan
Kail Naga Samudera. Suara celetar terdengar.
Sangar!
Tali Kail Naga Samudera menggelepar
sengit. Bersit cahaya pelangi menebar lebar.
Putaran menggila tubuh Satria Gendeng
diterjang.
Srrt!
Ada yang menyentak hati Ki Ageng Su-
lut. Sekaligus menyentak tubuhnya. Dan ke-
tika menyadari apa yang terjadi, semuanya te-
lah terlambat.
Dengan menakjubkan, tangan satria
muda lawan nya telah menyambar lecutan se-
cepat kilat Kail Naga Samudera. Tak terduga.
itulah hal yang sering kali mengejutkan siapa
pun. Itu pula yang dikhawatirkan si tua
bangka sesat.
Kail Naga Samudera merentang.
Tegang.
Tali di ujung kail mengeras dialiri dua
tenaga dalam tingkat tinggi. Lebih keras dari-
pada saat Iblis Dari Neraka menembuskannya
ke lantai panggung.
Di dua kutub berseberangan, dua lawan
berhadapan. Tampak diam. Pada dasarnya,
mereka sedang berkutat. Badan mereka ber-
geletaran. Mata Satria terpejam. Sebaliknya,
mata kelabu Iblis Dari Neraka membuka le-
bar.
Tangan masing-masing terpagut ketat di
ujung-ujung Kail Naga Samudera.
Detik-detik berjingkatan.
Keduanya makin tampak tegang.
Getaran tubuh mereka menanjak liar.
Peluh merembes deras. Pakaian mereka di-
banjiri. Rahang keduanya seperti hendak re-
tak oleh tekanan kegeraman. Bergemeletuk
dalam. Wajah keduanya terbakar.
Tergarang darah mereka.
Oleh pengerahan tenaga melebihi batas.
Krrt!
Seluruh mata penonton tak berani ber-
kedip, takut kehilangan kesempatan besar
itu. Mereka menyipit-nyipitkan mata, khawa-
tir senjata pusaka yang begitu diminati ba-
nyak kalangan persilatan akan terputus men-
jadi dua.
"Kheeeaaaal"
"Khuuuaaaa!"
Masing-masing lawan mulai pula melon-
tarkan teriakan. Seperti hendak terputus
urat leher keduanya.
Lalu.... Krrak!
Panggung yang dibangun kokoh mulai
tertular getaran tubuh si pendekar muda dan
si tua terkutuk. Gemeretak ramai bersam-
bungan, lamat lalu meruyak hebat. Sampai
diakhiri oleh suara bergemuruh bagai terjadi
gempa. Saat yang sama, panggung roboh ber-
keping-keping. Debu mengepul tinggi. Sera-
kan-serakan kayu beterbangan menggila. Ba-
gai ada angin puting beliung melanda.
Beberapa pecahan kayu melesat deras
menuju siapa pun atau apa pun. Pepohonan
yang kebetulan menghadang arahnya, lang-
sung tertembus. Malang untuk orang-orang di
sekeliling panggung yang tak cukup sigap
menghadapi kejadian itu.
"Huaaa!"
Lima orang tertembus pecahan kayu.
Dua menembus di kepala. Tiga lainnya di da-
da! Mereka ambruk kehilangan nyawa. Kor-
ban jatuh untuk yang kesekian.
Sementara di tengah kancah per-
tarungan, dua sosok yang petarungnya tak
nampak. Debu tebal-tinggi menutupi. Mereka
tentu di dalamnya. Entah dibagian mana.
Sementara sisa-sisa derak pecahan kayu yang
jatuh masih terdengar.
Ketika debu mulai merayap turun kem-
bali ke haribaan bumi, mulai nampak sosok
dua manusia tangguh itu. Keduanya masih
tak beranjak dari tempat semula. Hanya kini
tak lagi berada di atas panggung. Melainkan,
di atas bumi. Sebagian tubuh mereka sudah
melesak masuk. Satria Gendeng sebatas lu-
tut. Sedangkan lawannya sebatas paha.
Para pendekar seperti tak begitu peduli
pada kejadian hancurnya panggung barusan.
Mereka mulai tegang kembali mengikuti adu
tenaga dalam di kancah pertarungan. Seti-
daknya, mereka merasa ditakjubkan oleh ke-
nyataan yang tergelar di sana. Batas mele-
saknya tubuh dua petarung, memperlihatkan
tingkat tenaga dalam yang mereka miliki. Jika
Ki Ageng Sulut lebih dalam melesak, itu ar-
tinya Satria berada pada pengerahan tenaga
dalam di atas Sawannya!
Seorang pemuda bau kencur mengung
guli tenaga dalam si Iblis Dari Neraka? Tak
ada seorang pun yang tak menganggap itu ke-
jadian luar biasa.
Sewaktu panggung hancur lebur, Nini
Jonggrang terhenyak. Keasyikannya mem-
permainkan nyali murid bandelnya terpan-
cung seketika. Dia menyumpah-nyumpah se-
waktu sebilah potongan kayu melesat mele-
wati hidungnya bengkoknya.
Sekarang, nenek tua itu pun dipaksa tak
berkedip menyaksikan pertarungan. Dia me-
nyumpah-nyumpah lagi. Lebih kotor dari se-
belumnya. Kalau semula dia hanya terkejut
karena ulah kayu yang tak permisi lewat di
depan hidung, sekarang dia terkejut bercam-
pur gusar. Bagaimana mungkin, Ki Ageng Su-
lut pasangan bejatnya di masa muda dahulu
dapat kedodoran menghadapi tenaga dalam si
bocah bau kencur?
Nini Jonggrang pun dipersilakan terben-
gong-bengong, tanpa ada larangan untuk
berhenti menyumpah!
Kembali ke kancah adu tenaga dalam.
Seluruh bagian Kail Naga Samudera mu-
lai mengepulkan asap. Berwarna putih kehi-
taman. Jenuh. Banyak hati semakin terce-
kam. Akankah senjata pusaka melegenda itu
akan terputus? Akankah tiba riwayatnya be-
rakhir?
"Khiaaaa!"
Banyak hati kini diciutkan oleh teriakan
garang dari kerongkongan si pendekar muda
pusat kekaguman mereka. Hati sebanyak itu
makin menciut menyaksikan bagaimana tu-
buh pemuda itu mendadak mencelat dari
tempatnya melesak.
Melayang deras, memanfaatkan tenaga
tarikan lawan.
Lawan tua bangkanya dikejutkan. Dia
segera memutuskan tenaga tarikan. Setelah
itu, dialihkannya tenaga dalam kebagian ba-
wah tubuhnya. Kalau tetap terjepit bumi, ma-
ka keadaannya bisa disebut terjepit pula. La-
wan akan segera memanfaatkan. Apalagi kini
dia telah meluncur deras.
Sekejapan berikutnya, tubuh Ki Ageng
Sulut mencelat pula.
Namun, usaha si tua bangka keji sudah
terlambat. Bukan karena dia kurang cepat.
Melainkan karena lawan mudanya telah me-
manfaatkan tenaga tarikan Ki Ageng Sulut ta-
di ditambah pengalihan tenaga dalam untuk
melakukan lompatan.
Di udara, Satria Gendeng menerkam tu-
buh lawan.
Posisinya memang berada di atas angin.
Tak heran....
Dash!
Satu kakinya bersarang di dada Iblis Da-
ri Neraka. Begitu tubuh lawan terdorong ke-
ras di angkasa, tangan pemuda itu menyen-
tak kuat-kuat.
Srrrrtt!
Kail Naga Samudera pun dapat direbut!
Senjata pusaka itu kembali ke tangan pemi-
liknya....
* * *
Peribahasa 'di atas langit masih ada lan-
git' sudah tak asing lagi bagi kalangan dunia
persilatan. Setiap orang persilatan, tersohor
atau tidak akan menyadari bahwa ilmu kanu-
ragannya tak selalu menjadi yang paling he-
bat. Satu saat, akan ditemukan juga orang
berilmu kanuragan lain di atas mereka. Cepat
atau lambat.
Tapi dalam perkara si pemuda tanggung
bau kencur, Nini Jonggrang mentah-mentah
tak bisa menerima peribahasa itu. Menurut
pikirannya, orang yang dapat mengatasi ke-
saktian Ki Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka
sepantasnya orang berusia lebih tua. Setidak-
nya sebaya dengan Ki Ageng Sulut sendiri.
Seumur hidupnya yang panjang seperti ulu-
ran benang layangan, tak pernah didengarnya
orang begitu mudah mencapai kesaktian ter-
tentu. Butuh waktu lama dalam hitungan pu-
luhan tahun untuk bisa menandingi kesak-
tian si Iblis Dari Neraka. Itu pun tak menja-
min seseorang dapat dengan mudah men-
gunggulinya.
Yang disaksikannya sekarang justru ber-
tolak-belakang, bahkan jungkir balik sama
sekali dari semua pemikirannya itu. (itu pun
kalau benar si perempuan tua sinting masih
bisa berpikir sehat!)
"Tak habis aku mengerti, pemuda hijau
yang jakunnya mungkin baru 'membenjol'
kemarin, bisa-bisanya mempecundangi si Sulut," rutuk Nini Jonggrang dalam hati. Tak
puas-puasnya dia mengutuki Satria.
Dan si Truna Buluk tak akan sehebat itu
mendidik seorang murid dalam waktu satu-
dua tahun. Jadi, kenapa bocah ini bisa begitu
hebat?" sambungnya, menyebut-nyebut nama
Truna, nama lain Dedengkot Sinting Kepala
Gundul pemberian Pertapa Sakti Gunung Se-
wu,
(Seperti diketahui pada episode sebelum-
nya : "Iblis Dari Neraka", bahwa Nini
Jonggrang dan Dongdongka adalah saudara
seperguruan yang kemudian menjadi seteru).
Sejenak, Perempuan Pengumpul Bangkai
itu melirik Tresnasari yang masih terpaku ke-
takutan. Bibirnya mencibir.
"Sementara aku saja tak akan mungkin
mendidik murid kualat ini sampai sedemikian
hebat hanya dalam waktu dua tahunan. Sial,
kenapa aku jadi malah memuji murid si Tru-
na Buluk. Memang sial! Memang sial!"
Nenek penganut ilmu sesat itu menghen-
tak-hentakkan kaki ke bumi, diselingi dengan
semburan-semburan ludahnya.
"Cuah! Cuah! Cuah!"
Kemudian dia mulai ingat lagi pada
Tresnasari. Diliriknya perempuan cantik ber-
kulit masih agak memucat karena selama dua
tahun belakangan, dia hampir-hampir tak
pernah mendapatkan sinar matahari. Tepat-
nya ketika dia terpaksa berguru di dasar ju-
rang Gunung Sumbing (Baca kembali episode
: "Kail Naga Samudera").
"Jadi, bagaimana mungkin kau bisa
mengalahkan dia, murid kualat! Kalaupun
kau menjalankan tugasku, rasanya tetap tak
akan membawa hasil. Tapi, hey...."
Dua bola mata menyeramkan Nini
Jonggrang mendadak berbinar. Kelopaknya
membesar. Bibirnya menyeringai. Ada sebetik
akal licik dalam benaknya saat itu.
"Selama ku kuntit keluar dari keraton,
tampaknya aku menemukan bahwa kau me-
mendam rasa suka pada pemuda sialan itu,
bukan? Hik hi hi! Atau malah lebih dari itu?
Lebih, kau mengerti maksudku? Maksudku,
kau tentu mencintai pemuda itu bukan? Ja-
ngan menyangkal! Aku tahu tingkah perem-
puan yang sedang dilanda kasmaran! Aku
sendiri juga pernah muda, hik hi hi!"
Tubuh bungkuk Nini Jonggrang tergun-
cang-guncang, digempa tawa gelinya.
"Dan, aku bisa lihat juga kalau murid si
Truna Buluk itu pun mencintaimu juga! Ini
baru akal bagus! Baru ini akal bagus! Hik hi
hi!"
Perempuan tua sesat itu mengusap-
usapkan telapak tangannya. Bibir kendornya
terus menyeringai.
"Baiklah, kau tentu masih ngeri aku
menghukum mu, bukan? Sekarang, kau tak
perlu takut. Aku tak akan menghukum mu.
Sebab, aku 'membutuhkan' kau meman-
faatkan mu. Hi hi hi!'
Nini Jonggrang bergerak cepat, me-
nyambar tubuh Tresnasari. Dibopongnya sang
murid. Setelah itu, dia melesat bagai setan.
Mayangseruni baru tersadar ketika Nini
Jonggrang telah menghilang dari tempatnya.
"Tressnaaa!!" pekiknya melengking.
"Jangan tinggalkan aku lagi!!!!"
Baru saja Mayangseruni bertemu dengan
saudara kembarnya. Bahkan dia belum lagi
cukup puas menikmati kemiripan wajahnya
dengan Tresnasari. Lalu, nenek tua menye-
ramkan sudah merenggut saudara kembarnya
yang telah sekian lama dinanti dan dicari.
Kerinduan kasih seorang saudara kem-
bar yang tak ingin lebih lama menyiksa di-
rinya, menyebabkan Mayangseruni merasa
kalau belahan nyawa dirinyalah yang baru sa-
ja dilarikan Nini Jonggrang.
Di tempat yang sama pada sudut berbe-
da, Satria mengurungkan niat untuk mela-
brak lawannya kembali begitu mendengar
lengkingan Mayangseruni. Terutama karena
Mayangseruni menjeritkan nama Tresnasari,
gadis dambaan yang baru saja dijumpainya
kembali.
Nyalang dia melepas pandangan ke asal
jeritan. Sekelebatan, masih sempat disaksi-
kannya seorang nenek tua bungkuk melari-
kan sesosok tubuh di pundaknya.
"Tresna..." bisiknya menduga, galau.
Konsentrasi tarungnya jadi kacau balau seke-
tika itu juga. Cepat digenjotnya tubuh, me-
ninggalkan Ki Ageng Sulut yang tersuruk-
suruk mencoba bangkit.
"Apakah terjadi sesuatu pada Tresna,
Mayang?" tanya Satria setibanya di tempat
kejadian.
Mayangseruni, gadis yang sesungguhnya
bersifat lembut meskipun telah mempelajari
seni bela diri itu terseguk kecil. Dia hendak
menangis, tapi ditahan. Air mata menggenan-
gi bawah matanya. Satu bulir tak urung ber-
gulir di pipi.
"Tresna dilarikan oleh nenek tua," lapor
Mayangseruni tercekat-cekat.
"Keparat!" maki Satria.
Satria menggenjot tubuh, menguras se-
genap kemampuan peringan tubuhnya. Pikir-
nya, tentu penculik kekasihnya itu belum
pergi terlalu jauh. Sayang, sampai cukup la-
ma mengejar, buruannya tak juga terlihat.
Kendati pemuda tangguh bertekad. baja itu
tetap ngotot meneruskan pengejaran. Dia me-
mang bukanlah seorang yang mudah putus
asa. Namun, toh tak bisa dipungkiri kalau
buruannya memang sudah tak terkejar.
Satria menghentikan pengejaran dengan
perasaan kacau-balau tak karuan. Seperti ju-
ga dirasa oleh Mayangseruni, Satria merasa-
kan kehilangan yang menyalip dan mengiris-
ngiris hatinya. Belum lagi cukup waktu dia
melepas kerinduan dengan Tresnasari, gadis
itu sudah harus terlepas lagi dari genggaman
cintanya....
Lunglai, Satria kembali ke tempat semu-
la.
Setibanya di sana, Ki Ageng Sulut sudah
tak ditemukan lagi. Tua bangka sesat itu pun
telah menyingkir dengan memanfaatkan ke-
sempatan.
* * *
7
KURANG lebih dua puluh tahun lalu,
Nyai Cemarawangi adalah seorang janda kaya
dari Kadipaten Kudus. Hampir seluruh warga
kadipaten mengenalnya. Bukan saja karena
wanita itu seorang janda kembang pengun-
dang ‘kumbang-kumbang' jantan, juga ter-
kenal karena kedermawanannya. Mendiang
suami pertamanya meninggalkan warisan
yang melimpah kepada Nyai Cemarawangi.
Harta itu kerap kali dipakai Nyai Cemarawan-
gi untuk menolong rakyat yang tertindas.
Sebagai 'kembang' Kadipaten Kudus,
Nyai Cemarawangi tak hanya berwajah cantik.
Dirinya dilengkapi pula dengan kulit kuning
langsat, pinggul berlekuk padat, dada sekal,
leher jenjang, serta betis dan paha yang segar
sempurna.
Kesempurnaan wajah dan tubuh itu te-
lah memancing banyak lelaki untuk memi-
nangnya. Berpuluh-puluh orang lelaki tak
pernah cocok di hatinya. Yang datang, entah
tua bangka yang nyaris pikun namun punya
harta tak habis dipakai tujuh turunan, entah
para pemuda ningrat, entah ningrat tua yang
mencari istri kelima atau kesebelas. Banyak
juga perjaka tulen yang belum tersenggol-
senggol perempuan. Mereka bahkan terbilang
tampan, baik, dan berbudi pekerti.
Lagi-lagi, Nyai Cemarawangi menolak
dengan halus. Menurutnya, mereka semua
belum cocok baginya. Bagaimana lelaki dam-
baan yang bisa menggantikan tempat men-
diang suaminya, hanya dia yang tahu.
Tentu saja hal itu malah tambah me-
mancing rasa penasaran banyak lelaki yang
meminatinya.
Suatu hari, datang seseorang melamar
Nyai Cemarawangi. Orang itu bernama Arta-
pati. Memang jodoh tak bisa diduga datang-
nya. Nyai Cemarawangi langsung bersimpati
ketika bertemu untuk pertama kalidengan-
nya. Janda kembang itu memberi kesempatan
pada peminangnya untuk saling mengenal
terlebih dahulu.
Sebagai seorang lelaki, Artapati memang
memiliki segala hal yang didamba kebanya-
kan perempuan. Memiliki tubuh yang lebih
besar dan tinggi dari kebanyakan ukuran tu-
buh orang biasa. Bentuk badannya kekar be-
rotot. Dadanya bidang mengembung, ditum-
buhi bulu lebat. Lehernya besar, mengimban-
gi kekarnya bagian tubuh yang lain. Wajah-
nya, meski tergolong biasa-biasa saja. Na-
mun, tetap menarik dengan sinar mata tegas
serta tajam. Dengan dagu perseginya klimis.
Semenjak itu, Artapati sering berkun-
jung ke tempat Nyai Cemarawangi. Entah sa-
tu purnama sekali, atau sepekan sekali. Hal
itu berlangsung hingga enam purnama.
Perlahan-lahan, Nyai Cemarawangi se-
makin dekat dengan peminangnya. Sedikit
demi sedikit, dia pun mencoba menilai pribadi
Artapati. Meski tak secara keseluruhan, na-
mun sudah cukup banyak yang diketahuinya
tentang orang itu. Dianggapnya Artapati ada-
lah seorang lelaki sejati yang patut menjadi
suaminya.
Waktu demikian cepat menanam benih-
benih asmara di hati si janda kembang. Sim-
patinya kini telah berubah menjadi cinta. Pa-
da purnama keenam itulah, Nyai Cemarawan-
gi memutuskan untuk menerima lamaran Ar-
tapati.
Padahal tanpa diketahui oleh Nyai Ce-
marawangi sendiri, Artapati adalah lelaki
dengan dua kepribadian. Dia akan bersikap
layaknya seorang lelaki sejati di hadapan Nyai
Cemarawangi. Namun sesungguhnya, dalam
tingkah laku dan sikapnya itu tersembunyi
serigala haus darah.
Artapati sendiri sudah sejak lama men-
gincar Nyai Cemarawangi. Karena kecanti-
kannya, karena tubuhnya, namun yang pal-
ing menggiurkan dari semua itu adalah harta
melimpah warisan suami terdahulunya.
Dan pernikahan pun berlangsung dela-
pan purnama setelah perkenalan pertama me-
reka. Artapati telah memasang jerat yang de-
mikian sempurna terhadap Nyai Cemarawan-
gi.
Dua tahun kemudian, Nyai Cemara
wangi mengandung. Selama setengah tahun
belakangan, sifat-sifat asli suaminya mulai
mengapung ke permukaan. Dia sering menga-
sari Nyai Cemarawangi. Sering pula mabuk-
mabukan selama berhari-hari. Berjudi menja-
di makanan sehari-hari. Harta Nyai Cemara-
wangi diporotnya terus dari hari ke hari.
Namun, cinta memang aneh. Tabiatnya
'makhluk' penghuni hati itu sulit sekali di-
mengerti. Setiap orang sulit menentukan apa
maunya cinta. Meski sifat-sifat asli Artapati
telah ditelan bulat-bulat oleh Nyai Cemara-
wangi, perempuan cantik itu tetap mencin-
tainya. Apa pun yang terjadi, tak bisa dipung-
kiri cinta terhadap diri suaminya telah men-
guasai.
Lalu bayi dalam kandungannya pun la-
hir. Dua orang perempuan kembar yang diberi
nama Tresnasari dan Mayangseruni. Pada
usia satu tahun kedua bayi kembar itu, ben-
cana datang. Sepasukan perampok mengo-
brak-abrik rumah Nyai Cemarawangi dan
menguras hartanya.
Tak hanya sampai di situ, para peram-
pok lalu membakar rumah Nyai Cemarawangi
pula. Dalam keadaan panik, Nyai Cemara-
wangi hanya sempat menyelamatkan satu
orang putrinya, yakni Tresnasari.
Tanpa diketahui oleh Nyai Cemarawangi,
dalang perampokan itu sebenarnya adalah
suaminya sendiri. Dia terlibat hutang amat
besar di meja judi. Untuk membayarnya, Ar-
tapati tak akan mungkin sanggup. Untuk
meminta harta istrinya, Artapati tak yakin
Nyai Cemarawangi akan memberikan. Kepu-
tusasaan itu menyebabkan dia bergabung
dengan gerombolan perampok.
Sewaktu perampokan berlangsung, Ar-
tapati mengenakan penutup wajah. Mengeta-
hui seorang anaknya terperangkap dalam ru-
mah terbakar, ikatan batin antara anak den-
gan ayah menyentuh perasaannya. Disela-
matkannya anak itu. Dibawanya pergi dan
diserahkan kepada suami-istri saudagar yang
tak pernah dikarunia anak di Kadipaten Ku-
dus. Pada sang Saudagar, Artapati tak lupa
menceritakan tentang asal-usul bayi yang di-
berikan. Dia pun memberi satu tanda mata
pada sang bayi. Sebuah kalung dengan mata
logam berlambang Kerajaan Demak beraksara
Arab. Kalung itu adalah satu-satunya harta
peninggalan Nyai Cemarawangi, peninggalan
dari mendiang suami pertamanya.
Sejak saat itu, Artapati tak pernah terli-
hat lagi. Dia terus bergabung dengan gerom-
bolan perampok. Sampai akhirnya dia sendiri
menjadi pemimpin gerombolan perampok
yang menamakan diri Laskar Lawa Merah
atau Panji Prajurit Siluman. Namanya diganti
menjadi Dirgasura.
Sementara anak yang diberikan kepada
saudagar Kudus adalah Mayangseruni. Dan
kalung yang diberikan sebagai tanda mata itu
pula yang akhirnya menjadi penyebab perte-
muan kembali Mayangseruni dengan ayah-
nya.
(Untuk mengetahui tentang sepak terjang
Laskar Lawa Merah, bacalah episode sebe-
lumnya : "Geger Pesisir Jawa"!).
Mayangseruni selesai menceritakan ten-
tang asal-usulnya pada Satria. Saat itu kedu-
anya berkuda dalam perjalanan menuju Tan-
jung Karangbolong. Satria bermaksud mene-
mui gurunya, Dongdongka dan Ki Kusumo
untuk menanyakan tentang Nini Jonggrang.
Menurut Satria, tentu sesepuh dunia persila-
tan tanah Jawa seperti Dongdongka sudah
banyak tahu tentang tokoh seangkatannya.
Tentu pula dia atau Ki Kusumo bisa memberi
pertimbangan ke mana hendak memburu si
Perempuan Pengumpul Bangkai itu, penculik
Tresnasari.
Mata Mayangseruni tampak menahan
genangan bening. Wajahnya murung.
Satria menghela napas perlahan. Ingin
dihiburnya gadis itu. Sayang, betapa sulitnya.
Sulit karena Satria merasa menjadi seorang
pembunuh ayah seorang gadis selembut
Mayangseruni. Terasa ada beban melebihi
gunung karang. Bahkan untuk bicara saja te-
ramat sulit.
Satria berusaha juga, meski bagaimana.
"Aku benar-benar meminta kesediaanmu
memaafkan ku, Mayang...," mulai Satria. Ma-
ta bergaris tegarnya terjatuh ke bawah. Se-
perkasa bagaimanapun batinnya, dia tak ku-
asa untuk menatap langsung ke mata berka-
ca-kaca Mayangseruni. Menatap matanya,
membuat Satria makin merasa bersalah.
"Karena kau telah membunuh ayahku?"
tanya Mayangseruni.
Satria mengangguk.
Giliran Mayangseruni yang menarik na-
pas.
"Kau tak perlu meminta maaf, Satria...,"
desahnya, tulus. Tak ada kesan hendak me-
nyindir.
Satria terpancing. Bagaimana mungkin
seseorang dapat dengan mudah mengatakan
seperti itu pada si pembunuh ayah kandung-
nya? Satria tak habis pikir. Ditatapnya gadis
itu sesaat, melempar pertanyaan tak terucap.
Kendati sebelumnya dia begitu sulit melaku-
kan.
"Karena, kalau aku menjadi dirimu, aku
pun akan melakukan tindakan yang sama,"
kata Mayangseruni kembali. "Maksudku, su-
dah sepantasnya ayahku mendapat hukuman
setimpal. Mungkin dengan begitu, beban do-
sanya akan sedikit berkurang di hadapan
Gusti Yang Agung nanti...," tambahnya ter-
sendat oleh geletar halus. Dia hampir tak ku-
asa membendung tangis.
Satria trenyuh. Betapa mulianya hatimu,
Mayangseruni. Puji Satria membatin. Sean-
dainya semua wanita memiliki hati seperti di-
rimu, tentu bumi akan menjadi sejuk dan
damai.
Dan bulir bening itu akhirnya terjatuh
juga di pipi si gadis.
Satria menjulurkan tangan dan meng-
hapusnya.
"Terima kasih, Satria," ucap Mayangse-
runi, risih seraya bergegas menyapu kembali
air matanya.
Kau tahu, Satria. Sewaktu bertemu den-
gan ayahku, aku seperti dilimpahi keberka-
han besar dari Gusti Yang Agung. Betapapun
dia seorang kepala begal, betapapun bejatnya
dia, betapapun dia akan dibakar di neraka,
dia tetap ayahku. Darah dan daging ku ada-
lah bagian dari dirinya. Tak bisa ku pungkiri,
jalinan batin antara aku dan ayahku mem-
buat aku merasakan kedamaian. Kendati saat
itu aku tahu kalau Ayah adalah seorang yang
kejam. Hingga kini, tak pernah aku mengerti
hal itu...," tutur Mayangseruni, terkadang me-
lamat sendu.
"Pertemuan itu, meski hanya semalam,
benar-benar membuat aku seperti lahir kem-
bali...." sambungnya. "Dan aku ingin merasa-
kan saat-saat seperti itu lagi jika telah berte-
mu dengan saudara kembar ku, Tresnasari
atau bertemu dengan ibuku yang selama ini
tak pernah kukenal dekat."
Mayangseruni memutus ucapan. Dita-
riknya napas beberapa kali. Pekat. Kental.
Seolah seluruh duka terbawa.
"Sewaktu berada di tenda Ayah malam
itu, Ayah menceritakan seluruhnya. Aku me-
lihat matanya berkaca-kaca. Mata seorang
begal bengis yang sulit dipercaya akan mem-
bendung air mata. Dia pun berkata bahwa dia
menyesali seluruh perbuatannya telah mene-
lantarkan aku, Tresna dan Ibu. Dia menyesal.
Di lain sisi, dia pun merasa telah terlambat....
Aku baru hendak mengatakan bahwa tak
pernah ada kata terlambat untuk bertobat,
ketika kau datang melabrak."
Satria makin merasa bersalah.
"Tapi, tetap aku tak ingin menyalah-
kanmu. Semua yang sudah berlalu, kuanggap
selesai. Kita tak bisa menyalahkan ketentuan
nasib, bukan? Sekarang ini, aku hanya ingin
berkumpul kembali dengan saudara kembar
ku, Tresna dan ibuku."
Nyai Cemarawangi? Bisik Satria dalam
hati. Haruskah kuberi tahu Mayangseruni ka-
lau ibunya telah tiada? Apa bedanya diberi
tahu atau tidak? Toh dia tetap akan mengeta-
huinya cepat atau lambat? Bukankah malah
sebaiknya diberi tahu kini, agar dia tak terlalu
berharap lagi?
"Tentang ibumu, Mayang," mulai Satria,
memberanikan diri untuk memberi tahu. Ka-
limatnya tak dilanjutkan. Dia ragu.
"Oh, iya. Aku heran, kalau ternyata Dir-
gasura adalah ayahmu, kenapa dia tak men-
gakui Nyai Cemarawangi dan Tresnasari keti-
ka aku dan mereka berurusan tanpa sengaja
dengan Dirgasura di hutan perbatasan Keta-
wang-Jogoboyo? Waktu itu, salah seorang
anak buah ayahmu mati terbunuh di tangan
Tresnasari." Satria mengalihkan pembicaraan.
(Mengenai kejadian tersebut, bacalah ep-
isode pertama : "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!).
"Ya, ayahku sempat menceritakan per-
temuannya dengan Ibu dan Tresnasari. Saat
itu, Ayah justru mengenali Ibu. Namun, ibu-
lah yang tak mengenali Ayah. Selama menjadi
Pemimpin Gerombolan Laskar Lawa Merah,
penampilannya memang banyak berubah.
Menurutnya, dia berpura-pura tak mengenali
Ibu. Ayah bahkan berusaha agar Ibu tak
mengenalinya dengan cara menunjukkan si-
kap permusuhan. Mungkin dia begitu ma-
lu...," tutur Mayangseruni.
Satria mengira gadis itu telah terkena
pancingannya untuk mengalihkan pembica-
raan. Sayangnya tidak.
"Jadi, bagaimana dengan ibuku? Bu-
kankah kau barusan hendak mengatakan se-
suatu tentang beliau?" tanya Mayangseruni.
Satria terdiam.
Mayangseruni menunggu.
"Ibumu, Nyai Cemarawangi sebenar-
nya...."
Satria ragu.
"Sebenarnya kenapa, Satria?" desak
Mayangseruni.
"Sebenarnya dia telah meninggal dunia,"
kata Satria akhirnya.
Mayangseruni terdiam. Wajahnya beku.
Beberapa saat begitu. Sampai dia terisak ter-
tahan-tahan. Mayangseruni tak sanggup lagi
membendung tangis. Dia menghentikan lang-
kah kuda. Dari atas pelana, gadis itu turun.
Membalikkan badan, dia menangis. Bahunya
terguncang.
Satria menyusul turun dari punggung
kuda.
Di dekat Mayangseruni, dia malah men-
jadi serba salah Apa yang mesti diperbuat?
Sampai Mayangseruni menghambur ke da-
danya dan menumpahkan tangis, Satria ma-
sih saja serba salah....
Ketika tangis Mayangseruni semakin pe-
kat, barulah Satria sadar untuk memberinya
pelukan hangat. Yang menghibur, yang me-
nenteramkan, Meski kepedihan tak bisa dis-
ingkirkan. Juga balasan lembut di rambut le-
gam tergerai Mayangseruni.
Angin mendesah, mencoba turut meng-
hibur sebuah hati.
Juga mentari jingga di batas cakrawala
sana.
"Kakaaaaang Suluuuut!"
Nini Jonggrang memeluk Ki Ageng Sulut,
merangkulnya kuat-kuat, menciumi pipinya
bertubi-tubi, mengguncang-guncangkannya,
lalu hendak diputar-putarnya pula. Untung Ki
Ageng Sulut cepat-cepat berontak.
"Aku masih terluka dalam, Jonggrang.
Jangan macam-macam!" hardiknya, gusar.
"Urusan luka, soal belakang. Yang jelas,
aku sudah begitu kangen padamu, Kaaaang!"
rayu Nini Jonggrang kembali, mendayu-dayu,
mengambil hati Ki Ageng Sulut.
Perempuan dan lelaki berusia alot itu
bertemu di sebuah bangunan tua, bekas can-
di. Pertemuan kembali setelah sekian puluh
tahun terpisah.
Ki Ageng Sulut mendengus sambil me-
naiki tangga terseok-seok. Luka dalam akibat
tendangan Satria Gendeng masih mendekam
cukup parah di bagian dadanya.
"Kita tidak muda lagi, Jonggrang. Bukan
waktunya lagi kita bermesra-mesra seperti
itu. Aku muak" gerutunya serak.
Nini Jonggrang menanggapinya dengan
tawa terkikiknya.
"Apa salahnya orang sebangkotan kita
bermesra-mesraan?! Apa salahnya, hik hi hi!
Peduli setan pada dunia, peduli setan pada
manusia, peduli setan pada setan, hik hi hi!"
Di belakang Ki Ageng Sulut, nenek jelek
itu melangkah mengekori.
Sampai di dalam ruang bangunan, si Ib-
lis Dari Neraka duduk bersila. Wajahnya su-
dah demikian pucat. Darah sudah mengering
di sebagian kerah jubah pendeknya.
"Aku tak habis mengerti, kenapa kau bi-
sa dipecundangi oleh bocah ingusan itu, Kang
Sulut? Seperti menyaksikan singa dikalahkan
seekor anak kucing, hik hi hi!" mulai si nenek
peot lagi, tak puas menggoda.
Mata Ki Ageng Sulut yang baru saja ter-
pejam, membuka kembali. Bola matanya ber-
kilat-kilat. Semakin gusar saja dia.
"Aku hendak memulihkan luka dalamku,
Jonggrang. Jangan usik aku!" bentaknya.
"Kau jangan mengalihkan pembicaraan."
"Aku tidak mengalihkan pembicaraan.
Lukaku cukup parah. Tenaga tendangan bo-
cah keparat itu hampir-hampir membuat isi
dadaku berantakan...."
"Hik hi hi, akhirnya kau mengakui juga
kehebatan bocah ingusan itu."
"Sudah, diamlah!"
"Hm hm hm, kalau saja aku masih mu-
da, sudah ku gaet bocah itu. Kujadikan lelaki
simpanan ku!"
"Kubilang diam!"
"Tapi, apa salahnya kalau setua ini aku
memacarinya? Siapa tahu aku bisa sedikit
awet muda? Hik hi hi!"
"Diam! Diam! Diaaaam!"
Ki Ageng Sulut tak tahan lagi. Dia bang-
kit dengan wajah garang. Tangannya meng-
hentak ke depan. Seketika itu juga menyem-
burlah gulungan udara berhawa panas yang
menghasilkan asap putih pekat bergulung.
Gulungan hawa panas itu menerjang Nini
Jonggrang.
Wrrr!
Si Perempuan Pengumpul Bangkai tak
menghentikan kikik ketawanya. Enteng, dia
mengangkat kedua telapak tangannya yang
telentang.
Wsss!
Gulungan hawa panas dari tangan Ki
Ageng Sulut seketika itu berubah arah. Semu-
la menerkam lurus, kini membelok liar ke
langit-langit bangunan.
Brrr!
Begitu ujung gulungan hawa panas me-
nerkam langit-langit batu candi, bagian itu
pun hancur-lebur menjadi debu panas, men-
geluarkan asap tebal.
Nini Jonggrang menggeram. Gusar pada
perbuatan Ki Ageng Sulut pada dirinya. Ma-
tanya memelototi lelaki tua itu sangar-sangar.
Di lain sisi, Ki Ageng Sulut terbatuk-
batuk. Darah termuntah keluar dari mulut-
nya. Kental. Warnanya sudah menghitam. Dia
terlalu memaksakan diri mengerahkan kesak-
tian pada saat menderita luka-dalamnya. Ge-
lagatnya, luka dalam itu menjadi makin pa-
rah.
"Mampuslah kau!" maki si Perempuan
Pengumpul Bangkai.
Terbungkuk-bungkuk dia melangkah ke-
luar. Langkahnya terbanting-banting. Ke-
dongkolannya membengkak di tenggorokan.
Sepeninggalan Nini Jonggrang, Ki Ageng
Sulut jatuh tersungkur di atas lututnya. Di
dekap dadanya yang terasa panas dan sesak.
Tak lama kemudian, Nini Jonggrang su-
dah masuk lagi.
"Sekarang, kau jangan banyak mulut!
Biar aku bantu kau menyalurkan hawa murni
ke tubuh soak mu itu!" umpatnya ketus. Pa-
dahal. sebelumnya dia yang kelewat banyak
mulut pada Ki Ageng Sulut. Dasar perempuan
sesat sinting! Bibir kendornya manyun kian
kemari. Orang yang melihatnya pasti khawatir
kalau-kalau bibir itu lepas.
Sebelum memulai penyaluran hawa
murni, masih juga Nini Jonggrang menjotos
kepala Ki Ageng Sulut geram-geram. Kalau
saja lelaki tua keji itu tidak dalam keadaan
payah, sudah terjadi perang besar di dalam
candi!
* * *
"Aku sengaja menemuimu karena satu
keperluan!"
Mulut ceriwis Nini Jonggrang mulai ber-
kicau kembali, selesai disalurkannya hawa
murni ke tubuh Ki Ageng Sulut. Kakek telen-
gas itu kini sudah agak segar. Dia masih ber-
sila. Nini Jonggrang sendiri sedang sibuk
mondar-mandir seperti seorang mandor keru-
puk.
"Kau tak bertanya?" susul si Perempuan
Pengumpul Bangkai.
"Bertanya apa?"
Nini Jonggrang melotot. "Ya, bertanya
apa keperluan yang ku maksud, Tolol!"
Ki Ageng Sulut malah mendengus.
"Ya, sudah! Aku juga tak butuh perha-
tianmu! Jelasnya, aku punya rencana. Kau
harus setuju pada rencanaku. Kalau tidak, ku
mampusi kau sekarang juga."
"Jangan banyak bicara, Jonggrang. Ka-
takan saja apa rencanamu!"
"Bagus! Kau tentu sedang berusaha
memaksa Kusumo untuk membantu mengo-
bati penyakitmu, bukan?"
"Ya, lalu?"
"Sementara aku sedang berusaha untuk
membalas sakit hatiku pada si Truna yang te-
lah melaporkan perbuatan buruk ku pada
Pertapa Sakti Gunung Sewu hingga aku dihu-
kum bertahun-tahun dalam goa "Aku bosan
mendengar cerita tentang hukuman dari gu
rumu itu, Jonggrang! Tak perlu kau ulang la-
gi!"
"Cerewet kau! Nah, maksudku kita bisa
bekerja sama lagi untuk mencapai tujuan
masing-masing!"
"Bagaimana caranya?"
"Caranya?"
Nini Jonggrang terkikik. Suara tawa me-
lengkingnya menyesaki ruangan candi yang
pengap dan lembab.
"Kau tahu, bocah ingusan yang berta-
rung dengan kau sebenarnya murid kesayan-
gan si Truna!"
"Urusan Truna keparat itu adalah uru-
sanmu! Lalu apa hubungannya denganku!
Kau keparat sekali, Jonggrang!"
"Sabar, Tolol! Aku belum memberi tahu
semuanya padamu!"
"Apa yang belum kau beri tahu!"
"Bahwa bocah ingusan itu pun murid
Kusumo!! Hik hi hi! Kau terkejut?"
Mata Ki Ageng Sulut menyipit. Kini, dia
mulai bisa mengendusi apa maksud Nini
Jonggrang. Bibirnya menyeringai, memberi
satu penghargaan pada rencana si nenek peot
jelek.
"Hik hi hi! Aku senang kalau wajahmu
seperti itu! Kau jadi lebih ganteng!"
Kunyuk buduk seantero jagat juga tahu,
kalau Ki Ageng Sulut tak mungkin bisa dibi-
lang ganteng!
"Cepat katakan padaku, apa rencanamu
sebenarnya, Jonggrang!" buru Ki Ageng Sulut.
Dia bangkit bersemangat dari silanya.
Bukannya cepat memberi tahu, si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai malah terkikik
kembali, riuh rendah.
"Cepat, Jonggrang!"
"Iya iya! Sini kau!"
Nini Jonggrang menyeret Ki Ageng Sulut
layaknya kambing congek ke sudut ruangan
yang gelap. Si perempuan tua bangka sesat
berbisik di telinga Ki Ageng Sulut. Padahal
apa perlunya? Toh tak ada yang mendengar-
kan mereka. Bodohnya, Ki Ageng Sulut mau
saja melakoni tingkah gila si nenek jelek.
"Sat sut sat sut!"
Ki Ageng Sulut mengangguk-angguk
mendengar penuturan Nini Jonggrang di te-
linganya. Bibirnya makin memperlihatkan se-
ringai. Matanya berkilat-kilat senang.
Nini Jonggrang lagi-lagi terkikik. Tak
berhenti sampai dia jatuh tertidur karena
pegal tertawa....
* * *
8
SATRIA dan Mayangseruni tiba di Tan-
jung Karangbolong siang itu. Dongdongka dan
Ki Kusumo menyambut mereka dengan suka-
cita.
"Kakek!"
Satria menghaturkan sembah pada Ki
Kusumo yang tengah duduk di balai. Juga
pada si Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
guru gendengnya yang sedang menggelantung
seperti kelelawar di langit-langit gubuk. Ka-
kinya diikat oleh seutas getah pepohonan ker-
ing, setebal benang namun lebih getas. Untuk
menggantung kelereng saja tak bisa.
Dedengkot dunia persilatan tanah Jawa
itu cengengesan menyaksikan muridnya kem-
bali.
"Aku sedang melatih ilmu peringan tu-
buhku," akunya pada Satria, meskipun sang
murid sama sekali tidak bertanya. "Maksud-
ku, jangan sampai kawan gadismu mengang-
gapku sinting. Jelek-jelek, aku tetap ingin jadi
manusia. Tak ingin menjadi 'kalong'. Sebab
cuma kalong yang tidur menggelantung seper-
ti ini...," lanjutnya lagi, menjelaskan panjang-
pendek.
Memangnya siapa yang bertanya?
Dongdongka turun. Kakinya tetap di-
biarkan diatas. Tangannya yang justru dijadi-
kan tumpuan di lantai tanah gubuk. Tangan-
nya itu dipakai untuk berjalan mendekati Sa-
tria. Satria dan Mayangseruni bingung. Ba-
gaimana cara berbicara dengan orang tua
yang sedang jungkir balik? Mau ikut-ikutan
jungkir balik, tidak lucu. Tidak jungkir balik,
apa kesannya tidak sopan? Jelek-jelek, Dong-
dongka itu orang tua yang sepatutnya dihor-
mati. Kesintingannya bolehlah dikesamping-
kan dulu.
"Kenapa kau cepat kembali? Kenapa pu
la kau bawa kawan gadismu ini ke tempat
kami" tanya si sesepuh bertabiat sinting-
sintingan.
Satria serba salah untuk menjawabnya.
Dia masih bingung mau ikut jungkir balik
atau tidak. Akhirnya dia cuma bisa berjong-
kok sambil memiring-miringkan kepala.
Mayangseruni jadi latah ikut-ikutan. Si pe-
muda satria baru mau membuka mulut. Be-
lum-belum, mulut Dongdongka mulai berki-
cau kembali.
"Coba ku tebak! Kau mau minta restu
dari aku dan Kusumo, bukan?"
"Restu? Restu untuk apa, Kek?"
Masih dengan kepala terbalik, Dong-
dongka melirik Satria. Lalu berganti ke
Mayangseruni. Kembali ke Satria, lalu
Mayang lagi. Begitu sampai beberapa kali.
Mengikuti bola mata si tua itu, Satria jadi
pusing sendiri.
"Kau siapa? Eit, tak usah dijawab. Aku
belum pikun-pikun benar. Kalau tak salah,
kau gadis yang kutemui dulu ketika Cah
Gendeng muridku ini terkena panah anak
buah Dirgasura kunyuk itu, bukan? (Baca ep-
isode:" Kail Naga Samudera"!).
Dirgasura Kunyuk? Satria meringis. Ka-
cau balau, keluhnya. Dia jadi tak enak hati
pada Mayangseruni. Pasalnya, gurunya me-
nyebut ayah gadis itu seenak udel.
Mayangseruni mengangguki ucapan De-
dengkot Sinting Kepala Gundul.
"Bukankah kau hendak meminta restu
untuk menikahi Cah Ayu ini?" tembak Dong-
dongka, bikin Satria malu hati pada Mayang-
seruni. Malu bukan main. Merah padamlah
wajahnya. Saat itu, Satria cuma berharap
Mayangseruni tak menyaksikan perubahan
rona wajahnya. Malunya bisa dua kali lipat!
"Bukan itu, Kek," sangkal Satria cepat-
cepat.
"Bukan?" Kerut di kening Dedengkot
Sinting Kepala Gundul bertambah. Dia meng-
genjot tangan sekali. Posisinya kini sudah wa-
ras. Setelah berbalik, dia langsung duduk
bersila.
"Jadi apa maksudmu datang ke sini?"
"Aku hendak minta pertimbangan Kakek
Dongdongka dan Kakek Kusumo."
Satria ikut bersila di depan Dongdongka.
Mayangseruni turut pula. Disusul Ki Kusumo.
Orang tua berkaki baja itu merasa tak enak di
atas balai sementara Dongdongka berada di
bawah.
"Kau bicara sepotong-sepotong. Bikin
aku pegal mendengarkannya rutuk Dong-
dongka. Tresna diculik, Kek.... "
"Tresna diculik?" sela Ki Kusumo. Dari
nada suara nya terdengar kalau orang tua itu
cukup terkejut. Mustahil orang tua itu tak
terkejut, kalau dia sendiri menyangka
Mayangseruni adalah Tresnasari.
"Jadi siapa gadis ini?" lanjut Ki Kusumo,
terheran-heran.
"Tresna siapa?" terabas Dongdongka.
Kepala Satria celingukan bergantian ke
arah Ki Kusumo dan Dongdongka. Pertanyaan
siapa yang mesti dijawab dahulu? Karena Sa-
tria tak cepat-cepat menjawab pertanyaan
Dongdongka, Mayangseruni mencoba men-
gambil alih.
"Saudara kembar ku, Kek." jawab
Mayangseruni cepat-cepat, menjawab perta-
nyaan Dongdongka. Sekaligus menjawab ke-
heranan Ki Kusumo.
Saat yang sama, Satria juga menyahut.
"Dia kekasihku, Kek."
Dongdongka cemberut,
Jadi benar yang mana? Tresna itu sau-
dara kembarnya Cah Ayu ini, atau kekasih-
mu, Cah Gendeng?"
Satria manyun. Tangannya menggaruk-
garuk kepala tak gatal. Mulai kumat lagi ke-
sintingan orang tua ini, gerutunya sebal.
Untung Ki Kusumo cepat-cepat menen-
gahi. Kalau tidak, urusan baru akan selesai
sampai tengah malam nanti!
"Boleh aku bicara sebentar pada murid
kita, Panembahan?"
Kepala klimis Dongdongka mengangguk.
Wajahnya sendiri masih tetap asam.
Ki Kusumo mengajak Satria dan
Mayangseruni keluar gubuk.
"Bilang pada muridmu itu, Kusumo! Ma-
sih muda jangan banyak bengong. Begitu ja-
dinya kalau kebanyakan bengong. Ditanya
begitu, jawabnya begini," rutuk Dongdongka
sewaktu Satria, Ki Kusumo dan Mayangseruni
melangkah keluar.
Si pendekar muda cuma bisa mengge-
leng-gelengkan kepala.
Di luar, Ki Kusumo mencoba mene-
gaskan maksud kedatangan Satria.
"Kau katakan tadi Tresna diculik?" ta-
nyanya.
Satria mengangguk.
"Seorang nenek. Aku tak begitu jelas me-
lihatnya. Mungkin Mayang tahu, tambah Sa-
tria.
Tanpa diminta, Mayangseruni pun me-
maparkan ciri-ciri nenek tua buruk rupa yang
telah membawa lari Tresnasari. Seusai men-
dengar penuturan gadis itu, Ki Kusumo me-
narik napas dalam-dalam. Ada keresahan ter-
sembunyi di antara desah napasnya.
"Kenapa, Kek?"
"Itu si Jonggrang!" teriak Dongdongka. Si
manusia buluk satu itu sudah pula berdiri di
pintu gubuk.
Ki Kusumo mengangguk-angguk, mem-
benarkan Dongdongka.
"Ya, dia memang Nini Jonggrang, si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai...."
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tergo-
poh-gopoh mendekat.
"Kau bertemu dengan si Jonggrang ten-
gik itu, Cah Ayu?" tanyanya pada Mayangse-
runi. Wajahnya seperti baru saja dilanda an-
gin ribut.
Mayangseruni baru hendak menyahut,
tapi nasibnya sama seperti Satria sebelum-
nya. Belum-belum, Dongdongka sudah berki
cau lebih dahulu kepada Satria.
"Ah sekarang baru aku ingat!" sentak si
tua bangka buluk sambil menjitak kepala
gundulnya. "Beberapa waktu lalu Jonggrang
pernah mengancam mu, Cah Gendeng! Tapi,
kulihat sampai sekarang kau masih tampak
sehat-sehat saja. Artinya, Jonggrang itu cuma
main gertak sambel! Ah, dasar biang sambel!"
Lalu, tanpa menambah 'ba' atau 'bu' la-
gi, Dedengkot Sinting Kepala Gundul nge-
loyor, masuk kembali ke dalam gubuk.
Tobat tobat!
* * *
Dasar jurang Gunung Sumbing.
Nini Jonggrang membawa muridnya
kembali ke sana. Dalam keadaan masih terto-
tok, Tresnasari direbahkan di atas tumpukan
kerangka manusia yang banyak bertebaran di
sepanjang dasar jurang.
Siang waktu itu. Seperti hari-hari biasa,
tak ada beda antara siang dan ma lam di
tempat tersebut. Kabut sepanjang waktu te-
rus mengendap-endap seperti intaian sege-
rombolan makhluk penghuni alam kegelapan.
Hawanya dingin dan lembab. Bau bangkai
memadati hampir seluruh sudut.
"Kau murid kualat. Tak akan lagi ku-
biarkan kau membangkang perintahku," kata
si Perempuan Pengumpul Bangkai. mengum-
bar kekesalannya pada Tresnasari.
"Seandainya kau tahu apa yang akan
kulakukan terhadap dirimu, tentu kau akan
menangis mengiba-iba padaku, hik hi hi!"
Melangkah tertatih-tatih. Nini Jonggrang
mendekati tumpukan kerangka manusia di
sudut lain. Di atasnya, nenek tua menyeram-
kan itu duduk bersimpuh terbungkuk-
bungkuk.
Beberapa saat, dia terdiam.
Suara hembusan angin terpantul pantul.
merayapi permukaan dinding jurang. Terben-
tuklah gema lamat menyeramkan, Sebentar
sunyi, sebentar terdengar.
Kala berikutnya, Nini Jonggrang mulai
mengangkat tangan. Telapak tangannya dis-
atukan. Matanya perlahan terpejam. Waktu
terus merayap.
Kemudian, bibir berkerut-merut dan tak
kunjung kering dari lendir kental berkomat-
kamit. Nadanya naik-turun. Sebentar me-
ninggi, sebentar melandai. Bisikan dari bibir-
nya seolah-olah menunggang gema desis an-
gin.
Mata berkelopak kendor dan berbiji be-
sar itu mendadak terbuka lebar.
Membeliak,
Lenguhnya serak.
Tangannya terangkat tinggi-tinggi ke
atas.
Menggapai-gapai seakan hendak mena-
rik runtuh mulut jurang. Terdengar lagi jam-
pi-jampi dari bibirnya. Bisikan-bisikan sesa-
mar kabut. Sulit tertangkap maksudnya.
Melantun....
Menanjak tinggi.
Lalu menukik.
Melambat.
Lalu memburu.
Menipis.
Lalu memekat.
Tubuh Tresnasari bergetar. Ada suatu
kekuatan kasat mata yang menggempa-
gempakannya. Entah kekuatan dari mana.
Derak suara benturan tulang-belulang ter-
jangkit mengawal suara-suara ganjil dari ke-
rongkongan si Perempuan Pengumpul Bang-
kai.
Apa yang terjadi berikutnya adalah hal
yang serba sulit dipercaya.
Badan Tresnasari terangkat perlahan.
Tetap dalam keadaan terbaring lurus serta
kaku. Terangkat dan terangkat. Meninggi dan
semakin tinggi.
Setelah mencapai ketinggian dua tom-
bak, tubuh gadis yang tak sadarkan diri itu
mulai berputar lambat. Mula-mula berputar
menyamping, hingga kakinya mengarah ke
Nini Jonggrang. Kemudian arah putarannya
berubah. Tegak lurus. Hingga tubuh gadis itu
tegak menghadap si nenek jelek dalam kea-
daan mengapung di angkasa.
"Buka matamu" perintah Nini Jonggrang
dalam satu seruan serak. Terpecah. Tak ken-
tara.
Kedua kelopak mata berbulu lebat dan
lentik Tresnasari membuka. Tidak. Lebih te-
patnya, mendelik dengan tiba-tiba. Tak ada
tanda-tanda kehidupan pada mimik pucat-
nya. Yang pekat terlihat hanya bias-bias daya
tenung.
"Sekarang dengarkan apa kataku dan ja-
lankan!" Nini Jonggrang berseru lagi.
"Kau adalah murid setia si Perempuan
Pengumpul Bangkai. Kau juga abdi setia ku.
Sebagai murid, kuperintahkan kau untuk
membunuh seorang pendekar muda bernama
Satria. Ingat, Satria! Bunuhlah dia seperti kau
menghabisi seekor kera tak berguna! Penggal
kepalanya dan persembahkan padaku. Hibur-
lah aku, gurumu. Hiburlah aku, si Perem-
puan Pengumpul Bangkai, penganut ilmu se-
sat, ratu tenung tanah Jawa!"
Kalimat-kalimat penuh hawa magis Nini
Jonggrang terpancung sesaat. Sementara jari-
jari berkuku hitam panjang yang terangkat
tinggi bergetar terus.
"Dan mulai kini, kau adalah seorang pe-
rempuan sesat! Sesat! Seperti sesatnya Sang
Iblis Durjana!!!!"
Dan melengkinglah kikik Nini jonggrang.
Mencelat-celat dari satu sudut dinding jurang
ke sudut lain.
* * *
9
Heaaa! Heaaa!!"
Satria menggebah kuda tunggangannya
dengan kecepatan menggila. Di belakangnya,
Mayangseruni mengikuti. Dua kuda jantan
mereka menciptakan kepulan debu yang
membubung pekat ke angkasa.
Tujuan Satria dan Mayangseruni adalah
Gunung Sumbing, tempat kediaman si Pe-
rempuan Pengumpul Bangkai, Nini
Jonggrang. Ki Kusumo telah memberi tahu
Satria perihal tempat nenek penganut ilmu
sesat itu selama tahun-tahun terakhir.
Sedang Dongdongka, seorang yang se-
mestinya lebih tahu dari Ki Kusumo segala
sesuatu yang berkaitan dengan Nini
Jonggrang, malah lebih suka meneruskan
'tidur kalong'nya di langit-langit gubuk!
Kalau tak begitu, bukan Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul!
Butuh perjalanan beberapa hari untuk
berkuda dari Tanjung Karangbolong ke Gu-
nung Sumbing. Jarak sejauh itu, tak dipedu-
likan oleh Satria. Kalau perlu menempuh per-
jalanan sebulan pun, akan dilakoni. Yang ada
dalam benaknya cuma satu tekad untuk me-
nyelamatkan permata hatinya, gadis yang
menitipkan cinta pertama pada si jejaka ber-
jiwa satria.
Sebenarnya, Satria tak begitu setuju
Mayangseruni ikut serta. Dia khawatir akan
terjadi hal-hal tak diinginkan terhadap diri
saudara kembar Tresnasari itu. Apa mau di-
kata, justru Mayangseruni sendiri yang me-
maksa untuk ikut, Bahkan meski sudah tu-
run larangan dari mulut Satria, dia tetap ber
sikeras. Menurutnya, keselamatan Tresnasari
juga menjadi tanggung jawabnya sebagai sau-
dara kandung.
Satria menyerah. Dia terpaksa membiar-
kan gadis itu menyertainya ke Gunung Sumb-
ing. Lagi pula, dia tak akan tahan kalau seki-
ranya si ayu itu merajuk. Baginya, rengekan
perempuan selembut Mayangseruni lebih am-
puh melantak hatinya daripada siksaan keras
seorang algojo bengis.
Apakah nanti malah tak akan mere-
potkan atau Mayangseruni mendapat musi-
bah, adalah persoalan belakangan. Toh, nasib
manusia bukanlah ditentukan manusia lain-
nya. Cuma Tuhan pemilik hak mutlaknya.
Hari demi hari perjalanan berkuda berla-
lu.
Beberapa kali sepasang muda-mudi itu
harus singgah di kota kadipatenan yang dile-
wati untuk mengganti kuda dan membeli be-
berapa keperluan. Mereka jelas perlu meng-
ganti kuda. Sekuat apa pun binatang tung-
gangan, tak akan sanggup diajak berlari te-
rus-menerus dalam kecepatan tinggi. Untuk
menempuh jarak yang demikian jauh pula.
Bayangkan saja, mereka harus menempuh le-
bih dari setengah jarak utara-selatan tanah
Jawa!
Halang-rintang yang mereka hadapi pun
tak sedikit. Dua kali mereka dibegal. Dua kali
pula mereka membuat pontang-panting ka-
wanan begal itu. Tiga kali mereka harus ber-
jalan kaki ke kota kadipaten berikutnya, ka
rena kaki kuda tunggangan mengalami cede-
ra. Serta halangan-halangan lain. Kecil atau
besar. Menyusahkan sekali atau sedikit me-
nyusahkan.
Keduanya tak pernah menyerah. Apalagi
sampai membatalkan perjalanan. Keduanya
pada dasarnya adalah dua sosok manusia
berhati baja. Tahan banting. Tak lekang oleh
panas, tak lapuk oleh hujan. Dan satu hal
yang terus membakar semangat keduanya
agar tetap menggebu-gebu, cinta.
Satria mendapat dorongan semangat da-
ri cintanya pada sang kekasih. Di lain pihak,
Mayangseruni mendapatkan kobaran seman-
gat dari cintanya pada seorang saudara kem-
bar.
Ya, cinta terkadang mampu menjelma
menjadi api semangat yang menyala-nyala!
Hari itu Satria dan Mayangseruni tiba di
Kadipaten Wadaslintang. Kuda mereka mele-
wati satu lembah rumput berbukit. Di tengah
jalan, mereka melihat seseorang sedang du-
duk berteduh di atas batu sebesar kepala. Di
dekatnya tumbuh pohon kamboja yang besar
berdaun rindang.
Anehnya. orang itu duduk diam dengan
kepala tertunduk dalam. Mengenakan caping
yang semestinya dilepas jika memang berniat
berteduh dan sedikit berangin-angin menge-
ringkan keringat.
"Bagaimana kalau kita bertanya dulu
pada orang itu arah Kadipaten Wadaslintang,
Satria?" usul Mayangseruni.
Sudah waktunya mereka mengganti ku-
da dan menyiapkan perbekalan baru lagi.
Meski sedikit curiga dengan orang itu,
Satria mengangguk menyetujui.
Mayangseruni hendak menggiring lang-
kah kudanya ke arah orang di bawah pohon.
Satria mencegahnya.
"Biar aku saja," kata si pemuda.
Satria turun dari kuda. Dia mendekat.
"Maaf, Kisanak," tegurnya.
Tak ada jawaban. Orang yang ditegur te-
tap diam. Bergeming pun tidak. Satria men-
gulang tegurannya. Sekali. Dua kali. Belum
juga ada tanggapan.
Kecurigaan Satria makin menanjak naik.
Ada yang tak beres, duganya yakin. Apa
mungkin dia sedang tertidur karena kelela-
han? Duga sisi lain hatinya.
Hati-hati, dihampirinya orang itu lebih
dekat. Tiba di sampingnya, disentuhnya bahu
orang itu.
Begitu tersentuh, orang itu malah jatuh
tersungkur ke depan. Satria makin curiga. Di
balikkannya badan orang itu. Terkesiaplah
Satria demi menyaksikan bagian wajahnya.
Orang itu ternyata telah menjadi bangkai. Wa-
jahnya sudah membusuk dan dipenuhi ulat-
ulat kecil yang berpesta-pora memakan da-
gingnya!
Menemukan lobang sebesar kepalan
tangan di dada kiri mayat, Satria menilai
orang itu mati karena kehilangan jantung.
Dengan kata lain, ada orang yang telah mem
bunuhnya. Dengan cara di luar batas peri
kemanusiaan.
Mayangseruni hampir saja memekik.
Satria pun sempat dibuat bergidik. Pen-
dekar muda itu tersurut mundur beberapa
tindak ke belakang.
"Perbuatan biadab siapa ini?" desis Sa-
tria geram.
Mendadak kuda Satria meringkik-
ringkik liar. Kaki depannya menendang-
nendang. Ada sesuatu telah mengusik naluri
hewannya, sekaligus membuatnya demikian
gelisah. Bahkan mungkin takut.
Tingkah serupa terjadi pula pada kuda
tunggangan Mayangseruni. Mayangseruni
mencoba mengendalikannya. Tak berhasil.
Kuda malah semakin jalang. Seakan-akan
tuannya hendak dilontarkan dari punggung.
Jika perlu, diinjak-injak pula dengan keempat
kakinya.
"Lompat Mayang!" seru Satria mempe-
ringatkan. Turut sadar pula dia bahwa kuda
Mayangseruni tak mungkin dijinakkan. Keta-
kutan yang mengusiknya terlalu kuat.
Mayang mencelat turun. Gerakannya in-
dah, meski posisinya di atas punggung kuda
terbilang sulit.
Bersamaan dengan melompatnya
Mayangseruni dari punggung kuda, ketika itu
pula si binatang tunggangan mengejang, am-
bruk ke tanah menebar debu. Beberapa saat
tubuhnya tersentak-sentak kuat, menggeliat-
geliat, setelah itu kaku.
Kejadian serupa menimpa pula kuda Sa-
tria.
Kejadian itu mengingatkan Satria Gen-
deng pada kejadian tempo hari, ketika untuk
pertama kali berjumpa kembali dengan Ba-
gaspati. Kuda Bagaspati pun mengalami nasib
serupa. Seorang yang diyakini Satria menjadi
dalangnya adalah Nini Jonggrang.
"Nini Jonggrang," bisik Satria, tak begitu
yakin. Mungkinkah kematian kuda mereka
kali ini perbuatan orang yang sama?
Mayangseruni terpaku menatapi bangkai
dua ekor kuda. Sedangkan Satria sibuk me-
nebar pandangan siaga ke sekitar. Mungkin
saja dia salah menduga tentang Nini
Jonggrang. Namun, dia tak mungkin keliru
bahwa semua kejadian itu didalangi seseo-
rang.
Sepanjang pandangannya terlepas, tak
ada satu pun dapat dicurigai. Tak ada satu
manusia pun. Bahkan Satria juga tak me-
nyaksikan seekor binatang pun. Yang ada
cuma gelaran lembah berumput pendek.
Bodoh, umpat Satria pada diri sendiri.
Kalaupun ada tempat persembunyian di dae-
rah terbuka seperti itu ya cuma di atas pohon
Kamboja!
Pikiran Satria tadi pun diimbangi oleh
getaran dalam hati kecilnya. Getaran yang
memperingatkan akan satu bahaya di atas
pohon. Bulu kuduknya merinding. Waswas,
Satria menengadahkan kepala.
Puncak kecurigaan si pemuda berjiwa
satria meletup manakala dari atas pohon
Kamboja menukik satu bayangan. Secepat ki-
lat. Menuju kepala Satria!
Wrrr!
Telinga tajam terlatih Satria menangkap
suara halus mengancam.
Menggiring kabar kematian.
Menerkam bersama hawa maut.
Satria Gendeng terkesiap. Sepersekian
kedip terasa seluruh jaringan saraf di tubuh-
nya menyentak seketika. Ototnya menegang.
Gerak refleks yang telah begitu terlatih me-
nyebabkan dia melempar tubuh secepat kilat
ke sisi.
"Haih!"
Satria berhasil bangkit tanpa kekuran-
gan apa-apa lima depa dari tempat semula.
Kuda-kuda langsung terbentuk. Wajahnya
mengeras, beriring serbuan pandangannya ke
arah kelebatan bayangan tadi.
Dua tindak dari pohon Kamboja besar,
ditemukannya seseorang berdiri tegak. Ke-
jang.
Bagai cara berdiri mayat hidup.
Dua kali pendekar muda itu dipaksa
terkesiap.
Begitupun Mayang.
Mereka menyaksikan seseorang yang se-
benarnya amat sulit mereka percayai. Tresna-
sari. Kedua muda-mudi itu tak percaya pada
penglihatan mereka karena Tresnasari tidak
seperti yang mereka kenal sebelumnya.
Mata gadis itu memancarkan hawa ke
matian, dan permusuhan. Wajahnya dingin.
Tak ada sedikit pun mimik muka yang me-
nunjukkan kalau dia mengenali Satria dan
Mayangseruni. Hal paling mengejutkan bagi
kedua muda-mudi itu, di tangan Tresna ter-
dapat benda hampir membusuk. Sewaktu di-
perhatikan ternyata sepotong jantung manu-
sia.
"Tresna...," desis Satria dan Mayangse-
runi berbarengan. Keduanya saling menatap.
Tengkuk mereka merinding. Terasa desir ken-
gerian di diri masing-masing.
"Apa yang telah terjadi pada dirinya, Sa-
tria?" tanya Mayang cemas kelewat batas.
"Apakah dia telah membunuh orang itu den-
gan cara keji? Bagaimana mungkin dia mela-
kukannya?"
Satria tak menjawab. Bukan tak ingin,
melainkan tak bisa. Bagaimana dia tahu apa
yang telah terjadi pada diri gadis pujaannya
setelah dilarikan oleh seorang nenek beberapa
hari lalu?
Mencari penjelasannya pada keadaan di-
ri Tresna pun mustahil.
"Tresna? Apakah kau mengenali kami?"
tanya Satria, ragu. Sebab dia melihat sinar
permusuhan makin menyala-nyala pada se-
pasang bola mata gadis itu. Suatu yang tentu
saja tidak wajar. Biasanya, Satria menemu-
kan bersit kegembiraan di mata gadis itu jika
Tresnasari berjumpa dengan dirinya. Atau se-
dang bersama dengannya.
Tanggapan Tresna lagi-lagi tidak seperti
biasa.
Gadis itu menyeringai. Seringai itu sen-
diri seolah bukan lahir dari dirinya.
Mayangseruni kian cemas pada keadaan
saudara kembarnya. Dia mencoba mendekat.
Satria menahan.
"Biar aku yang mencoba," kata si pende-
kar muda.
Hati-hati, Satria lalu mendekat. Perla-
han. Langkahnya satu-satu, seakan sedang
berjalan di tepi tebing rapuh. Matanya terus
menentang tatapan bengis Tresnasari.
Baru tiga langkah, Satria dipaksa me-
menggal langkah oleh tawa Tresnasari. Terki-
kik. Melengking tinggi. Tak juga seperti tawa
Tresnasari yang dikenalnya. Satria ragu me-
neruskan langkahnya. Apa yang sesungguh-
nya telah terjadi padamu, Tresna? keluh Sa-
tria membatin.
Saat berikutnya, ada bisikan dari hati
kecil Satria. Bisikan itu memperingatinya
akan bahaya lain sedang mendatangi dirinya.
Satria siaga. Matanya tak ingin dibiar-
kan terlepas dari Tresna. Dia sadar, pera-
saannya juga mengingatkan kalau Tresnasari
kekasihnya dapat menerjangnya setiap saat
dengan serangan yang teramat kejam. Namun
peringatan dari hati kecilnya bukan tentang
bahaya dari diri Tresnasari.
Karena khawatir Tresnasari menye-
rangnya, akhirnya Satria cuma bisa memper-
tajam pendengarannya. Tanpa berkedip, la-
mat-lamat, mulai didengarnya seliweran angin
dari arah selatan.
Wsss!
Sebisa-bisanya Satria Gendeng berjum-
palitan ke arah samping. Dia tak perlu meli-
hat apa atau siapa yang memburu ke arah-
nya. Seliweran angin tajam yang sekelebatan
tertangkap telinganya sudah cukup baginya
untuk menilai berapa besar bahaya yang da-
tang.
"Hiaaa!"
Sapuan angin kencang terasa berseliwer
satu jengkal di sampingnya. Begitu Satria
berhasil menguasai keseimbangan badannya
kembali, disaksikannya seorang nenek tua
sudah berdiri di dekat Tresnasari.
Entah bagaimana, tahu-tahu si nenek
tua sudah tiba di sana. Satria maupun
Mayangseruni tahu pasti nenek tua itu tak
bersembunyi di atas pohon Kamboja. Ke-
mungkinan besar dia sebelumnya bersem-
bunyi di kejauhan. Lalu datang dengan men-
gerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk tiba
di sana. Sungguh satu tingkat peringan tubuh
yang demikian sempurna. Kesempurnaan itu
menyebabkan kedatangannya seperti angin.
Tanpa diketahui, kecuali setelah dia tiba.
Siapa dia?
Siapa lagi kalau bukan Nini Jonggrang.
Satria langsung yakin kalau perempuan
tua yang sedang dihadapi kini adalah Nini
Jonggrang, perempuan sesat yang diceritakan
Ki Kusumo dan Dongdongka sebelum dia dan
Mayangseruni berangkat ke Gunung Sumb
ing. Kedua gurunya itu bercerita bahwa Nini
Jonggrang mempunyai dendam pribadi den-
gan Dongdongka.
Setelah Truna, nama panggilan Dong-
dongka dari Pertapa Sakti Gunung Sewu me-
laporkan seluruh sepak terjang Jonggrang,
Truna pun diperintah untuk membawa wanita
itu pulang ke Gunung Sewu.
Truna berhasil menjalankan perintah
eyang gurunya itu, dibawa kembali ke Gu-
nung Sewu. Meski untuk itu dia harus berta-
rung habis-habisan menghadapi perseng-
kongkolan Nini Jonggrang dan Ageng Sulut.
Bahkan Truna hampir saja kehilangan nyawa.
Di Gunung Sewu, Jonggrang menerima
hukuman dari Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Dia dikurung dalam goa di sekitar lereng gu-
nung itu selama lima tahun. Goa itu dinama-
kan Goa Kelelawar. Tempat bersarangnya ke-
lelawar. Di dalam goa, keadaannya selalu
lembab pengap karena kurang aliran udara,
dan menebar bau busuk sepanjang waktu.
Tempat yang tak akan didiami oleh manusia
waras, karena terlalu menyiksa.
Untuk menjaga agar Jonggrang tidak
melarikan diri selama menjalani hukuman,
Pertapa Sakti Gunung Sewu untuk sementara
mengunci seluruh kesaktiannya, sampai ma-
sa hukuman perempuan itu selesai.
Selama lima tahun itu, Jonggrang benar-
benar tersiksa. Kecantikan yang selama ini
diagung-agungkan lenyap ditelan waktu. Ke-
lembapan goa menyebabkan sekujur kulitnya
ditumbuhi jamur-jamur dan penyakit kulit.
Rambutnya kotor menggumpal. Sementara se-
lama itu pula dia tak pernah terkena sinar
matahari. Ketika pertama kali keluar dan ter-
kena sinar matahari, penglihatannya menjadi
rusak.
Tak ada lagi sebutan Jonggrang yang
cantik molek bagi dirinya, seperti lima tahun
lalu. Tak tersisa lagi kecantikan pada wajah
dan tubuhnya. Setiap lelaki yang menyaksi-
kannya akan meringis jijik. Seolah dirinya tak
kurang menjijikkan dari seonggok bangkai.
Dendam pun lalu tersulut dalam diri
Jonggrang terhadap Truna.
Sejak saat itu, dia berkeliling tanah Ja-
wa mencari seorang guru yang bisa mengaja-
rinya ajian sesat. Suatu hari dia bertemu
dengan perempuan tua yang tak pernah bisa
mati. Karena menganut ajian. Di adalah du-
kun tenung yang sudah berusia hampir em-
pat ratus tahun. Dari perempuan tua itu,
Jonggrang mempelajari ajian-ajian sesat se-
perti keinginannya selama ini.
Satu syarat puncak dalam menganut
ajian sesat yang dipelajari, Jonggrang diha-
ruskan mengumpulkan sembilan ratus sembi-
lan puluh sembilan bangkai. Bangkai-bangkai
itu harus pula hasil pembunuhan langsung
tangan Jonggrang sendiri.
Setiap kali berhasil melakukan beberapa
pembunuhan, Jonggrang memanfaatkan ali-
ran sungai untuk membawa bangkai-bangkai
itu ke tempat si dukun tenung perempuan.
Kejadian itulah yang pernah disaksikan Ba-
gaspati ketika masih kecil
(Tentang bayangan masa kecil Bagaspati,
bacalah episode sebelumnya: "Iblis Dari Nera-
ka"!).
Sejak saat itu, dunia persilatan tanah
Jawa digemparkan. Julukan disematkan un-
tuknya Perempuan Pengumpul Bangkai!
Selesai mendalami seluruh ajian sesat-
nya, Nini Jonggrang mulai melaksanakan
niatnya untuk membalas dendam. Namun,
hingga kini, tak pernah sekali pun dia mela-
kukannya. Penghalangnya cuma satu, dia tak
pernah bisa mengalahkan rasa cinta di hati-
nya terhadap Truna. Hingga kini.
Dendam dan cinta bertarung dalam di-
rinya. Selama bertahun-tahun dia tak bisa
berbuat apa-apa.
Sampai dia mendengar kalau Truna atau
Dongdongka memiliki murid. Melalui murid-
nya itu, dia hendak membalas dendam! Mela-
lui Satria....
* * *
Satria tersentak dari lamunannya ketika
Nini Jonggrang memperdengarkan tawa terki-
kik melengking. Seperti tawa yang diperden-
garkan Tresnasari sebelumnya.
"Kaukah bocah yang telah mempe-
cundangi Sulut itu? Hi hi, tak kusangka, sete-
lah kulihat dari dekat, ternyata kau ganteng
juga," koar Perempuan Pengumpul Bangkai,
menggidikkan.
"Apa yang telah kau lakukan pada dia,
Nek?" tanya Satria.
Nini Jonggrang melirik Tresnasari di se-
belahnya.
"Kau mau tahu? Gadis ini telah menjadi
pengikut ku. Dia akan melaksanakan apa saja
kehendak dan perintahku."
"Nenek Laknat!"
"Aku suka kau menyebutku begitu, Cah!
Hi hi hi!"
Satria menggeram.
"Apa maumu sebenarnya dengan mena-
han dia?" susul Satria.
"Apa mauku? Dengar baik-baik, Cah!"
tandas Nini Jonggrang. Wajahnya berubah
keras, bengis sekaligus mengancam. "Asa!
kau tahu saja, Sulut tak akan bisa kau ka-
lahkan dengan begitu mudah kalau saja dia
tak sedang dirongrong penyakitnya!"
"Apa urusannya denganku, sehingga
menahan dan mempengaruhi gadis yang de-
kat denganku?!"
Nini Jonggrang terkikik.
"Akhirnya kau akui juga kalau kau dekat
dengan gadis ini."
"Jangan banyak bicara, Nek. Katakan,
apa urusannya penyakit tua bangka itu den-
gan diriku dan Tresna?"
"O, jadi perempuan ini bernama Tresna?'
ledek Nini Jonggrang, kucing-kucingan.
Satria mulai geram. Namun diusahakan
untuk tetap menahan amarahnya yang bergeliat hendak menjangkit. [
"Hi hi hi, kau tadi bertanya apa? Kau in-
gin tahu kenapa gadis ini harus mengalami
nasib seperti sekarang?"
Satria mendengusi pertanyaan bertele-
tele Nini Jonggrang. Toh, sudah jelas dia me-
mang menanyakan itu. Bahkan sudah pula
diulanginya. Dasar nenek busuk, umpatnya
membatin.
Sementara, Mayangseruni mendekati-
nya. Di sisi Satria, gadis itu berdiri. Garis-
garis ketakutan tampak jelas di wajahnya.
Mungkin, itu pula alasan dia mendekati Sa-
tria, berharap bisa mendapatkan sedikit kete-
nangan bila berdiri di dekat pendekar muda
gagah itu.
"Kau jangan berlagak tolol! Senjata pu-
saka di pinggangmu itu bisa dijadikan obat
untuk menyembuhkan penyakitnya!" bentak
Nini Jonggrang garang.
Satria melirik Kail Naga Samudera di
pinggangnya. Menurut Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, senjata pusaka yang begitu di-
minati oleh setiap kalangan persilatan itu te-
lah berjodoh dengan dirinya.
Dengan senjata itu, dia dapat berbuat
banyak dalam menjalankan tugas suci mulia
menegakkan keadilan.
Namun, Satria juga sadar apa artinya bi-
la orang yang dicintainya harus menderita ka-
renanya? "Jadi kau menginginkan benda pu-
saka ini?"
"Jelas, Tolol!'
Satria meloloskan benda itu dari ikat
pinggangnya.
Mayangseruni menyaksikan dengan ke-
lopak mata menyipit dan alis bertaut Dia tak
percaya kalau Satria sudi menyerahkan ben-
da itu kepada si nenek sesat. Apa jadinya du-
nia persilatan jika senjata pusaka itu dikuasai
orang bertabiat iblis? Mungkinkah Satria lu-
put menyadari hal itu?
"Asal kau membebaskan pengaruh ja-
hatmu terhadap gadis itu," aju Satria, mem-
berikan syarat saat memegang Kail Naga Sa-
mudera di depannya.
"Satria...." Mayangseruni memperingati.
Satria meliriknya.
"Aku mencintai Tresna, Mayang. Aku tak
mungkin membiarkan dia menjadi manusia
tak berhati seperti itu," ucapnya, seolah men-
geluh.
Mayangseruni tersentuh. Betapa besar
cintanya pada Tresnasari. Diam-diam,
Mayangseruni menjadi iri.
"Tapi, apa kau sadar...."
"Diam kau, Cah Perempuan!" hardik Nini
Jonggrang, memangkas peringatan Mayangse-
runi pada Satria.
"Kau mau aku melepaskan pengaruh te-
nung ku pada gadis ini? Hi hi hi! Baik, kau
akan mendapatkannya. Namun, ada satu sya-
rat lagi sebelum itu kulakukan," sambung Ni-
ni Jonggrang.
Satria menanti.
"Aku ingin, kau menggantikan tempat
gadis ini?!"
Bulu-bulu halus di tengkuk Satria me-
remang kuat mendengar perkataan terakhir si
Perempuan Pengumpul Bangkai. Mengganti-
kan tempat Tresnasari? Desis batinnya. Apa-
kah itu berarti dia menyerahkan jiwanya un-
tuk dikuasai oleh perempuan tua tukang te-
nung itu?
Mayangseruni makin dilanda kece-
masan. Tanpa sadar dia mendekap pangkal
lengan Satria. Kekhawatiran yang teramat da-
lam menyusup ke dalam relung benaknya.
Apakah artinya itu? Mengapa dia begitu kha-
watir dengan si pendekar muda, Mayang-
seruni sendiri belum cukup memahami.
Manakala Satria dengan mantap tanpa
perubahan mimik mengangguk, menyanggupi
syarat Nini Jonggrang, Mayangseruni tak ku-
asa lagi menahan gemuruh hatinya.
"Tidak, Satria. Jangan kau lakukan itu!"
Kelopak bawah matanya membendung
garis bening. Tak lama genangan itu jatuh
bergulir. Diam-diam pula, meruyak kembali
rasa iri Mayangseruni terhadap saudara kem-
barnya. Bagaimana mungkin Satria rela ber-
korban untuk Tresnasari? Mengorbankan sa-
tu-satunya yang dimiliki? Jiwanya....
Nah lo, nah lo! Bagaimana jadinya itu?
Benar tuh, si Satria Gendeng bakal dikuasai
oleh tenung Nini Jonggrang?
Ah, masa'?
Terus, Ki Ageng Sulut bisa menguasai
Kail Naga Samudera kembali? Ah, masaaaa'?
Rencana si nenek jelek bau juga bakal
berjalan? Apa jadinya kalau si tua bangka
sinting Dongdongka tahu? Wuih seru sekali!
Ah, masaaaaa'?
SELESAI
Ikuti Kelanjutannya dalam episode:
"Kiamat di Goa Sewu"
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar