Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
Wajah bulan di angkasa bagaikan berselimut
duka. Awan-awan kelabu di sekitarnya membuat bulan
malas tersenyum. Tak ada kegairahan terpancar pada
wajah sang Dewi Malam. Sementara angin yang ber-
hembus semilir seolah tak berdaya mengusir awan ke-
labu di angkasa raya.
Cahaya bulan yang demikian temaram seolah
tak mampu menerangi sebuah dataran luas berumput
di luar Hutan Watu Malang. Di pinggiran dataran, se-
buah pohon randu tua tumbuh rindang dengan daun-
daunnya yang berjuntaian berdiri kokoh. Batangnya
yang sebesar dua lingkaran tangan manusia dewasa
telah keropos di sana-sini termakan usia. Sebagian
akarnya yang berwarna kuning bertonjolan keluar.
Di sebuah celah pada batang pohon randu yang
kerowok samar-samar terlihat sesosok tubuh terbung-
kus pakaian putih-putih tengah khusuk bertapa.
Sungguh aneh. Dalam ruangan di dalam pohon yang
luasnya tak lebih dari setengah tombak didiami satu
sosok yang tak lain seorang lelaki tua yang umurnya
sulit ditaksir. Pintu masuknya pun sempit sekali. Tak
lebih dari ukuran badan manusia. Dari, semak belukar
dan lumut yang melapisi pohon maupun tubuhnya, je-
las kalau lelaki itu telah berada cukup lama di dalam
celah pohon.
Rambut panjang lelaki itu digelung ke atas. Alis
mata dan bulu mata semuanya berwarna putih. Wa-
jahnya tirus kepucatan, karena sejak berada di dalam
celah pohon ini jarang sekali terkena sinar matahari.
Tubuhnya pun kurus kering seperti tak bertenaga.
Meski demikian, wajahnya yang renta penuh keriput
masih tetap menampakkan sisa-sisa ketampanannya
di waktu muda.
Sebenarnya siapakah lelaki berpakaian putih-
putih itu? Mengapa ia bersemadi di dalam batang po-
hon?
Sejarah rimba persilatan sebenarnya pernah
mencatat adanya seorang tokoh sakti yang jarang se-
kali menemui lawan tanding. Ia berjuluk Dewa Langit.
Tak seorang pun tahu, siapa nama aslinya. Yang jelas,
Dewa Langit adalah tokoh besar yang namanya sempat
tercatat oleh para pujangga di tanah Jawa ini.
Hanya beberapa gelintir orang saja yang sang-
gup menandingi kesaktian Dewa Langit. Satu di anta-
ranya adalah Eyang Bromo. Namun sejak Eyang Bro-
mo menghilang dari dunia persilatan, Dewa Langit jadi
kebingungan sendiri. Dengan ajian 'Sukma Sejati'-nya
yang dimiliki justru membuat tokoh sakti itu kebin-
gungan. Akibat memiliki ajian 'Sukma Sejati'-nya, De-
wa Langit ini menemui kesulitan untuk menemui ke-
matian!
Dan, sosok yang berada di dalam celah pohon
itu lak lain adalah Dewa Langit. Dengan cara bertapa
di dalam celah batang pohon, Dewa Langit berusaha
mencari wangsit agar Hyang Widi sudi mengabulkan
keinginannya. Sebelum mendapat wangsit, Dewa Lan-
git bertekad untuk tidak keluar dari tempatnya.
Berpuluh-puluh tahun Dewa Langit terus ber-
tapa. Sayang, sampai saat ini Sang Hyang Widi belum
mengabulkan keinginannya. Namun Dewa Langit tidak
putus asa. Ia telah bertekad untuk menemui jalan ke-
matian dengan cara bertapa. Telah sangat lama ia hi-
dup di dunia. Telah banyak asam garam yang telah di-
telannya. Sebagai tokoh teratas dunia persilatan, tak
ada lagi lawan yang mampu menghadapinya.
Entah karena apa, mendadak pohon itu berge-
tar hebat laksana diguncang oleh sebuah kekuatan
dahsyat. Padahal tanah di sekitarnya tetap tenang. Se-
dikit pun tidak ada tanda-tanda kalau ada gempa. Cu-
kup aneh memang! Malah sebagian daun-daunnya
mulai berguguran!
Dan sewaktu pohon randu tadi bergetar hebat,
tubuh kurus kering Dewa Langit pun ikut bergetar he-
bat. Parasnya mendadak tegang. Keringat dingin pun
mulai membasahi sekujur tubuhnya. Sementara dari
alam bawah sadarnya, mendadak....
"Wahai, Anak Manusia! Bangunlah! Sesung-
guhnya permintaanmu sangat mustahil. Kau tidak se-
patutnya meminta mati sebelum waktunya! Kau sangat
lancang dalam hal ini, Anak Manusia! Apa kau tidak
sadar kalau mati dan hidup itu di tangan Sang Pencip-
ta? Mengapa kau nekat mencari jalan di luar kehen-
dak-Nya?"
Sebuah suara gaib yang entah dari mana da-
tangnya, menelusup ke telinga Dewa Langit. Begitu
gaung suara gaib itu sirna, batang pohon randu itu
pun makin bergetar hebat. Bumi berguncang laksana
ada gempa. Tubuh Dewa Langit sendiri pun tergetar-
getar hebat. Parasnya yang tirus menegang. Kedua bi-
birnya berkemik-kemik seperti ada sesuatu yang di-
ucapkan dari alam bawah sadarnya.
"Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau melarang
caraku dalam mencari kematian. Aku sudah bosan hi-
dup. Aku sudah ingin bersanding dengan Pendamping
Setia ku? Mengapa kau larang aku?"
"Adalah orang pengecut bila meminta keinginan
di luar kehendak-Nya. Tapi, baiklah. Berhubung kau
bersikeras untuk menemui jalan kematian, aku pemi-
lik Kitab Sukma Sejati yang kau temukan di batang
pohon randu ini, terpaksa akan memberimu cara."
Kembali suara gaib itu bergema ke segenap
penjuru alam pikiran Dewa Langit.
Tubuh Dewa Langit pun kembali bergetar he-
bat.
Parasnya tampak demikian tegang. Kedua bi-
birnya pun berkemik-kemik hebat.
"Ja.... Jadi? Kau.... Kau Eyang Parikesit?"
"Tak usah banyak tanya, Muridku! Meski aku
belum pernah bertemu denganmu, namun aku tetap
menganggapmu sebagai muridku. Karena, kaulah yang
telah mewarisi ajian 'Sukma Sejati'-ku. Dan karena
mendengar permintaanmu ini, aku jadi tidak tenang di
alamku. Maka, sekarang dengarlah apa yang kuterima
dari kabar gaib."
"Terima kasih, Eyang. Tak kusangka kau sudi
membantuku. Dan sebelumnya, aku minta maaf kalau
keinginanku membuatmu tidak dapat tenang di alam
mu. Namun seperti yang tersirat dalam Kitab Sukma
Sejati, aku tidak akan menemukan kematian walau di-
keroyok oleh puluhan tokoh sakti. Untuk itu, aku ingin
sekali dapat hidup tenang di sisi Hyang Widi seperti
Eyang saat ini. Namun sayang, aku belum menemukan
caranya Eyang," ucap Dewa Langit.
"Dengarlah, Muridku! Sebenarnya ada dua ja-
lan kematian yang telah kuterima. Namun, mungkin
hanya jalan kedua saja yang dapat mewujudkan kein-
ginanmu, Muridku," lanjut suara bergema itu.
"Katakan, Eyang! Aku sudah tidak sabar men-
dengarnya."
"Baiklah. Pertama, kau akan dapat menemui ja-
lan kematian setelah menemukan dan menelan daun
lontar merah seperti yang pernah kulakukan beratus-
ratus tahun lalu. Dan kukira, jalan kedua yang harus
kau tempuh adalah bila sudah terkena ilmu aneh dari
seorang anak manusia yang juga dilahirkan dengan
cara aneh. Kukira, hanya itu saja kabar gaib yang ku-
terima, Muridku."
"Lalu, apakah berarti aku harus menempuh ja-
lan kedua, Eyang?"
"Kukira hanya itu, Muridku. Sebab, aku dulu
pernah melakukan jalan pertama. Dan sekarang, kuki-
ra hanya jalan kedua itulah jika kau menginginkan
kematian."
"Tapi... tapi, bagaimana aku dapat menemukan
anak manusia yang dilahirkan dengan cara aneh seka-
ligus juga memiliki ilmu aneh, Eyang?"
"Untuk hal ini, sayang sekali aku tidak dapat
membantumu, Muridku. Sebab hanya itu sajalah ka-
bar gaib yang kuterima. Sekarang kau bangunlah dari
tempat bertapa mu. Dan, cari anak manusia yang ku-
maksudkan. Selamat tinggal, Muridku! Aku harus se-
cepatnya kembali ke alamku. Nah, selamat tinggal...!"
"Tunggu, Eyang!"
Namun suara itu memang tak muncul-muncul
lagi. Bahkan mendadak berkesiur angin kencang seba-
gai pertanda kalau Eyang Parikesit benar-benar telah
kembali ke alamnya. Padahal, ia pun masih membu-
tuhkan beberapa keterangan yang mungkin dapat di-
butuhkan.
"Oh..., Eyang! Kenapa kau siksa aku seperti
ini? Bagaimana aku dapat menemukan jalan kema-
tian? Aku sudah bosan hidup, Eyang! Aku tersiksa
memiliki ajian 'Sukma Sejati' walau sebenarnya dulu
aku sangat membutuhkannya," keluh Dewa Langit be-
gitu kelopak matanya terbuka.
Wajahnya yang semula kepucatan mendadak
berubah kemerahan. Kedua pelipisnya pun bergerak
gerak, pertanda tokoh sakti tanpa tanding ini tak dapat
lagi mengendalikan kegeraman hatinya.
"Tak mungkin aku dapat menemukan orang
yang kau maksudkan, Eyang. Mana mungkin, Eyang.
Mana mungkin...!!!"
Dewa Langit tak dapat lagi menahan kekesa-
lannya. Kedua tangannya yang bergetar mendadak dis-
entakkan ke samping. Kelihatannya seperti gerakan
biasa. Namun setelah itu....
Brakkk...!!!
Batang pohon randu sebesar lingkaran dua
tangan manusia dewasa itu mendadak hancur beran-
takan seperti terbelah jadi beberapa bagian. Bersa-
maan dengan itu, Dewa Langit mencelat keluar dari
dalam batang pohon yang terbelah. Tubuhnya yang
tinggi kurus tampak melayang-layang indah, sebelum
akhirnya menjejak tanah membelakangi pohon.
Tepat ketika sosok berpakaian putih-putih itu
mendarat, batang pohon randu itu tumbang dan jatuh
berdebam ke tanah. Bumi bergetar hebat. Debu-debu
kontan membubung tinggi memenuhi sekitarnya.
Sedang Dewa Langit tampak masih tegak di
tempatnya. Sedikit pun juga tidak terpengaruh oleh
keadaan di belakangnya. Kepalanya mendongak tinggi-
tinggi menatap angkasa raya dengan kedua bibir ber-
getar.
Bulan purnama di atas sana tetap bermuram
durja oleh awan kelabu yang membungkusnya. Berjuta
bintang di angkasa pun sepertinya malas tersenyum.
"Oh..., Hyang Widi...! Kenapa jalan hidupku
demikian buruk? Apa salahku, Hyang Widi? Apa kare-
na aku mempelajari Kitab Sukma Sejati yang membuat
aku begini? Tapi, bukankah Kau tahu! Ilmu yang ku
peroleh ini hanya untuk membela jalan mu, jalan ke
benaran? Lantas, kenapa di saat aku ingin menemui-
Mu, malah ini yang ku peroleh?" keluh Dewa Langit
dalam hati, seolah-olah ingin menyesali kiprahnya di
rimba persilatan.
Namun apa yang dikeluhkan Dewa Langit
hanya bergema dalam relung-relung hatinya yang geli-
sah. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda akan mendapat
petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Dewa Langit kini menggereng hebat. Suaranya
yang berat dan kasar sampai bergema keempat penju-
ru.
"Keparat...! Semuanya membisu! Semuanya tak
mau dengar keluhan! Semuanya tak berguna!" teriak
Dewa Langit lantang. "Kini tak ada pilihan lain. Ter-
paksa aku harus turun tangan sendiri. Aku harus
mencari anak manusia yang dilahirkan secara aneh,
sekaligus juga memiliki ilmu aneh. Persetan! Ke ujung
akhirat pun aku harus dapat menemukan orang itu!
Tak akan kubiarkan orang lain membunuhnya, sebe-
lum keinginanku terkabul!"
Dewa Langit sejenak masih mendongak ke atas.
Rahangnya bergemeletukkan pertanda tak dapat lagi
mengendalikan amarahnya yang menggelegak.
"Yah...! Siapa pun juga tak boleh mengusik
orang yang kumaksudkan," gumam Dewa Langit se-
raya mengangguk-angguk.
Habis menggumam begitu, Dewa Langit berke-
lebat cepat meninggalkan tempat itu. Kedua kakinya
tampak seperti menjejak biasa. Namun anehnya,
hanya dalam beberapa kali jejak saja sosok tinggi ku-
rusnya telah menghilang di balik kegelapan.
***
DUA
Siang terik di Lembah Selaksa Pasir. Matahari
menyorot garang memanggang bumi, membuat udara
panas menebar ke segenap penjuru. Karena angin se-
perti malas berhembus, maka suasana siang itu pun
tak ubahnya seperti dalam kubangan bara api.
Di luar lembah itu, tepatnya di jalanan setapak
yang berdebu, angin malah berhembus kencang. Aki-
batnya debu-debu dan daun-daun kering di sekitar ja-
lan itu berhamburan tinggi ke udara, membuat seo-
rang pemuda tampan yang melintas jalan ini mengi-
bas-ngibaskan kedua tangannya. Sambil mengusir de-
bu-debu dan daun-daun kering yang beterbangan den-
gan kedua tangannya, mulutnya mengoceh tidak ka-
ruan.
Namun rupanya pusaran angin seperti tidak
peduli dengan ocehan si pemuda. Pusarannya malah
makin kencang, memaksa pemuda berambut gondrong
itu menyembunyikan wajah di balik kedua lengannya.
"Sontoloyo! Dasar angin tak tahu diri! Bukan-
nya berhembus semilir, eh... malah ngamuk! Mana bi-
sa nyaman kalau begini?!" omel si pemuda sambil te-
rus menyembunyikan wajahnya.
Selang beberapa saat, pusaran angin pun ber-
henti. Debu-debu dan daun-daun kering yang tadi di-
terbangkan angin perlahan-lahan kembali jatuh ke
bumi. Sementara si pemuda telah menurunkan tan-
gannya. Sepasang matanya yang berwarna kebiruan
sejenak memperhatikan keadaan sekitarnya.
"Busyet! Tempat macam apa ini! Kok mirip ku-
bangan pasir. Panas lagi!" celoteh pemuda itu lagi.
Si pemuda kira-kira berusia delapan belas ta
hun. Wajahnya tampan kekanak-kanakan. Rambutnya
yang gondrong dibiarkan tergerai di bahu. Tubuhnya
yang tinggi kekar terbalut pakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan. Di balik rompinya
yang terbuka tampak sebuah rajahan bergambar ular
putih kecil di dadanya yang kekar. Dan menilik ciri-
cirinya, pemuda tampan itu tidak lain adalah murid
Eyang Begawan Kamasetyo. Siapa lagi kalau bukan
Soma alias Siluman Ular Putih?
"Ah...! Bisa modar kalau kepanasan seperti ini.
Sebaiknya aku beristirahat barang sejenak. Ah... di de-
pan sana ada sebuah pohon. Kukira cukup untuk be-
ristirahat barang sejenak," murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini tersenyum senang dengan mata meman-
dang tak berkedip ke arah yang dimaksud.
Habis berkata begitu, Soma segera melangkah
mendekati pohon tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sembari terus berjalan, terus diperhatikannya keadaan
sekitar dengan kening berkerut. Hanya beberapa keja-
pan si pemuda tiba di dekat batang pohon. Segera tu-
buhnya direbahkan seenaknya di atas akar-akar pohon
yang bertonjolan.
Namun di saat murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini tengah menikmati semilir angin di bawah se-
buah pohon rindang dengan mata terkantuk-kantuk,
mendadak....
Debu-debu beterbangan – Prol
Daun-daun kering beterbangan – Prol
Angin tengik memang tidak tahu diri – Prol
Di lembah berpasir lagi – Prol
Menyebalkan - Prol
Panas sekali - Prol
Prol- Prooolll!
Kening Siluman Ular Putih bertautan ketika
mendengar suara cempreng dalam bentuk nyanyian
yang tak enak didengar. Seketika matanya tertuju ke
ujung jalan setapak sana. Tampak seorang lelaki tua
tengah melenggang santai dengan tongkat terantuk-
antuk. Usia lelaki itu kira-kira tujuh puluh tahun.
Rambutnya yang panjang tampak awut-awutan tak te-
rawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging. Sedang
tubuhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat
warna biru.
"Siapakah kakek tua berpakaian biru ini? Rasa-
rasanya aku belum pernah mengenalnya...," tanya So-
ma dalam hati.
Dan begitu langkah si tua berpakaian biru ma-
kin dekat, Soma pun hanya membiarkan Saja. Tak ada
keinginan untuk menggoda. Ia malah lebih senang
menikmati angin semilir yang mengelus-elus tubuh-
nya.
Namun rupanya tidak demikian halnya sang
kakek. Begitu berada di depan murid Eyang Begawan
Kamasetyo, sejenak langkahnya berhenti. Sepasang
matanya yang berwarna kelabu pun terus perhatikan
Soma dengan seksama.
"Semprul! Mau apa orang tua ini? Kenapa ia
memandangi aku, seperti melihat gadis cantik? Heran?
Jangan-jangan ia suka padaku? Wah, gawat kalau be-
gini...?" bisik Siluman Ular Putih curiga dalam hati.
Habis bergumam begitu, Soma menyelonjorkan
kedua kaki seenaknya dengan tangan tetap bertelekan
menyangga kepala. Tampak nyaman sekali. Namun
meski terkantuk-kantuk menikmati semilirnya angin,
sebenarnya murid Eyang Begawan Kamasetyo ini tetap
memperhatikan gerak-gerik si tua aneh di hadapan
nya.
"Heran-heran! Rasa-rasanya hidungku men-
cium bau bangkai di tempat ini. Hey, Anak Muda! Apa
kau sumber bau bangkai ini?" tegur orang tua berpa-
kaian biru itu buka suara.
Seketika mengangkat kepalanya. Ditatapnya
orang tua di hadapannya dengan sinar mata tak se-
nang. Hatinya jadi mengkelap dikatakan sumber bau
bangkai.
"Ah, iya! Kau pasti yang berbau bangkai itu,
Anak Muda. Tak mungkin ramalanku salah. Dan kau
pun harus mengakui kebenaran ramalanku. Kalau ti-
dak, berarti mati!!" sentak lelaki tua itu mengagetkan.
Tanpa sadar Soma pun segera mencium tu-
buhnya sendiri. Namun sama sekali tidak tercium bau
bangkai pada tubuhnya. Ia hanya mencium bau kecut,
karena hampir dua hari belum mandi. Menyadari uca-
pan orang tua berpakaian biru itu tidak benar, Soma
pun lalu tersenyum.
"Maaf, Orang Tua! Apa tidak salah penciuman-
mu? Mana mungkin aku yang masih muda, berbau
bangkai? Kalau kau mungkin pantas. Umurmu saja
sudah berbau tanah? Sebab kau sudah tua peot lagi.
Rasa-rasanya untuk membawa tubuh kurusmu saja
kau tak sanggup. Jadi wajar saja kalau kaulah yang
berbau bangkai, Orang Tua!" balas si pemuda tenang.
Orang tua berpakaian biru itu melotot garang.
Tampak sekali kalau hatinya gusar mendengar ucapan
pemuda di hadapannya.
"Jadi, kau tidak mempercayai ramalanku, Bo-
cah?" desis si tua ini.
"Ah...! Bukan begitu. Mana berani sih aku tidak
mempercayai ramalanmu. Cuma seperti yang kukata-
kan tadi, ramalanmu terbalik. Bukannya aku yang bau
bangkai. Tapi kau, Orang Tua!" kata Soma seraya
sunggingkan senyum.
"Bedebah! Bicaramu berbelit-belit, Bocah! Na-
mun kau tetap saja tidak mempercayai ramalanku. Ke-
tahuilah, Bocah Edan! Ramalan si Peramal Maut, tidak
akan dan belum pernah luput dari kebenaran. Namun
kalau kau tetap tidak mempercayaiku, berarti kau pun
layak modar di tanganku!" dengus lelaki tua berpa-
kaian biru-biru yang ternyata bergelar Peramal Maut
garang
Sekali lagi Soma pun tersentak kaget begitu
mendengar ucapan orang tua berpakaian biru ini. Sa-
ma sekali tidak diduga kalau saat ini ia tengah berha-
dapan dengan Peramal Maut yang namanya sudah
sangat kondang di dunia persilatan.
"Ah...! Tak kusangka hari ini aku akan bertemu
orang tua sakti dari Gunung Kembang yang bergelar
Peramal Maut. Menurut keterangan Eyang, aku harus
berhati-hati terhadapnya. Namun Eyang pun juga me-
nyarankan agar tidak menganggap enteng apa yang di-
katakan Peramal Maut. Ya ya ya...! Ini berarti aku ha-
rus setengah mempercayai ramalannya," gumam Soma
dalam hati sambil mengangguk-angguk.
"Bagaimana, Bocah? Apa kau masih belum
mempercayai ramalanku?" usik Peramal Maut.
"Ah...! Bagaimana, ya? Terserah kau sajalah.
Aku sih nurut-nurut saja. Mau bau bangkai kek, bau
tanah kek, atau bau apa saja, aku nurut orang tua,"
sahut Soma seenaknya.
Namun justru Peramal Maut mendengus penuh
kemarahan. Rahangnya mengembung. Kedua pelipis-
nya pun bergerak-gerak, pertanda amarahnya tak da-
pat lagi dikendalikan.
"Kau mempermainkanku, Bocah. Memang tampaknya kau mempercayaiku. Tapi, jangan dikira aku
tidak mengetahui isi hatimu. Dan karena hanya mem-
percayai sebagian dari ramalanku, maka kau pun pa-
tut modar di tanganku. Siapa pun juga harus modar di
tanganku, kalau tidak mempercayai ramalanku. Seka-
rang, terimalah kematianmu hari ini, Bocah!" bentak
Peramal Maut penuh kemarahan.
Habis menggeram begitu, Peramal Maut pun
segera memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah jadi merah darah digerak-
gerakkan sedemikian rupa di depan dada. Sedang se-
pasang matanya yang tajam terus memperhatikan Si-
luman Ular Putih.
"Ah...! Pantas saja kau dijuluki Peramal Maut,
Orang Tua. Rupanya kau selalu menginginkan nyawa
orang yang tidak mempercayai ramalanmu. Tapi apa
kau lupa kalau aku masih mempercayai ramalanmu,
Orang Tua! Mengapa kau menginginkan nyawaku?"
kata Soma masih tetap enak-enakan tiduran dengan
kepala bertelekan sebelah lengan.
"Jangan banyak bacot! Sikapmu pun menun-
jukkan kalau kau hanya sebagian mempercayai rama-
lanku. Sekarang, makanlah pukulan maut 'Gelap
Ngampar'-ku! Heaaa...!"
Diiringi teriakan lantang, Peramal Maut mendo-
rongkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika
tampak dua larik sinar merah darah melesat dari ke-
dua telapak tangannya yang dikawal oleh angin panas
berkesiur kencang. Namun dengan gerakan luar biasa
cepat, si pemuda langsung bergulingan di tanah
menghindarinya.
Wesss! Wesss!
Brakkk...!!!
Batang pohon di belakang Siluman Ular Putih
tadi kontan tumbang, dan jatuh berdebam ke tanah.
Seketika debu-debu membubung tinggi memenuhi
tempat itu.
Melihat serangan pertamanya dapat dihindari
dengan mudah, Peramal Maut pun jadi gusar bukan
main. Dan dikawal bentakan nyaring, begitu kakinya
menjejak tanah kembali diterjangnya Siluman Ular Pu-
tih. Seketika tubuh tinggi kurusnya telah berubah jadi
bayangan biru, terus merangsek Siluman Ular Putih.
"Hea...! Hea...!"
Peramal Maut berkah-kali mencoba dengan ju-
rus-jurus tipuan. Namun, sayangnya Siluman Ular Pu-
tih selalu saja dapat menghindarinya dengan mudah.
Malah kalau si pemuda itu mau, tak jarang banyak ke-
sempatan lowong untuk melancarkan serangan balik.
Maka, hal ini pulalah yang membuat kemarahan Pe-
ramal Maut makin menggelegak
"Setan alas! Jangan dikira kau sudah di atas
angin hingga tak mau balas seranganku, Bocah! Ba-
gaimanapun juga, kau harus modar di tangan ku, Bo-
cah! Heaaa...!"
Peramal Maut terus menekan pertahanan Si-
luman Ular Putih. Tangan kanannya membentuk
cengkeraman berkelebatan hebat siap meremukkan
batok kepala Siluman Ular Putih. Sedang tangan ki-
rinya yang terkepal erat, siap pula mendaratkan bogem
mentah.
"Hea...! Hea...!"
"Ah...! Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Ke-
napa kau berhasrat sekali dengan nyawaku. Padahal di
antara kita tidak ada silang sengketa. Apa tidak se-
baiknya kita selesaikan urusan sampai di sini?" ujar
Soma sambil terus berkelebatan menghindari seran-
gan.
"Boleh boleh! Asal kepalamu kau tinggalkan di
sini!" dengus Peramal Maut penuh kemarahan
"Ah...! Kau terlalu memaksaku, Orang Tua. Pa-
dahal aku sama sekali tidak ada hasrat untuk berta-
rung denganmu."
"Peduli setan! Mau bernafsu, kek! Tidak, kek!
Pokoknya aku harus membunuhmu!"
Peramal Maut makin memperhebat tekanan-
nya. Kedua telapak tangannya yang. berubah jadi me-
rah darah itu sesekali menyambar-nyambar ganas.
Dan tentu saja lama-kelamaan Siluman Ular Putih jadi
kewalahan sendiri. Kalau terus menghindar tanpa mau
membalas serangan, bukan mustahil akan celaka. Ma-
ka ketika serangan-serangan Peramal Maut makin
menghebat, terpaksa jurus ‘Terjangan Maut Ular Putih’
harus dikeluarkan
"Heaaa...!"
Disertai bentakan membelah angkasa, Siluman
Ular Putih mengeluarkan jurus andalannya. Segera di-
balasnya serangan Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya yang membentuk kepala ular sesekali mengu-
sap cepat melepas serangan balik yang tak kalah he-
bat.
Wuttt! Wuttt!
Saking cepatnya serangan Soma membuat Pe-
ramal Maut agak terkesima. Dan ini membuat perta-
hanannya lowong. Akibatnya, tanpa disadari patukan
telapak tangan Siluman Ular Putih telah menyusup ce-
pat. Lalu...
Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Telak sekali dada Peramal Maut terkena patu-
kan tangan kanan kiri Siluman Ular Putih. Tubuh
tinggi kurusnya seketika terpental jauh ke belakang
disertai teriakan kesakitan bercampur kemarahan. Se-
dang dadanya yang terkena patukan terasa seperti
mau jebol! Padahal, Siluman Ular Putih hanya sedikit
mengerahkan tenaga dalam.
"Sudahlah, Orang Tua! Sebaiknya kita akhiri
urusan ini sampai di sini saja! Toh, sebenarnya di an-
tara kita tidak ada silang sengketa," kata Siluman Ular
Putih kurang bernafsu.
Peramal Maut sedikit pun tidak mempedulikan
ucapan Siluman Ular Putih sambil berusaha bangkit,
sejenak dipandanginya Siluman Ular Putih dengan ra-
hang mengembung. Begitu ia memasang kuda-kuda,
kedua telapak tangannya makin berubah merah hing-
ga sampai ke pangkal siku. Dan diiringi gemboran ke-
ras, kembali kedua telapak tangannya didorongkan ke
depan melepas pukulan 'Gelap Ngampar'.
Wesss! Wesss!
Saat itu pula melesat dua larik sinar merah da-
rah dari kedua telapak tangan Peramal Maut ke arah
tubuh Siluman Ular putih.
Soma mendengus jengkel. Ia yang dari tadi su-
dah bersikap mengalah. Maka tak mungkin tubuhnya
sudi dijadikan sasaran empuk pukulan 'Gelap Ngam-
par'. Maka demi untuk lindungi selembar nyawa, Soma
pun segera mengerahkan tenaga dalam ke kedua tan-
gan. Lalu disertai teriakan keras, tangan kanannya
menyentak ke depan dengan pukulan tenaga 'Inti Bu-
mi'.
Wesss! Wesss!
Blaaarrrr...!!!
Terdengar ledakan hebat di udara saat dua te-
naga dalam tingkat tinggi beradu. Bumi berguncang
hebat! Debu-debu dan semua yang ada di sekitar tem-
pat pertarungan seketika berhamburan di udara! Se
dang tubuh Peramal Maut pun kontan melayang jauh
ke belakang! Parasnya tampak demikian piasnya, per-
tanda telah mengalami luka dalam cukup hebat!
Sewaktu terjadi bentrokan tadi, Siluman Ular
Putih sendiri pun sempat terguncang hebat. Malah ke-
dua kakinya tampak melesak beberapa dim ke dalam
tanah berpasir!
"Maafkan aku, Orang Tua! Demi Tuhan, aku ti-
dak bermaksud mencelakakanmu. Selamat tinggal,
Orang Tua!" kata Siluman Ular Putih penuh sesal.
Habis berkata begitu, murid Eyang Begawan
Kamasetyo ini segera berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu.
Peramal Maut yang sudah bangkit, geram bu-
kan main. Lalu sambil mendekap dadanya erat-erat,
segera tubuhnya berkelebat cepat berusaha menyusul
Siluman Ular Putih. Namun sayangnya baru saja bebe-
rapa langkah, bayangan putih keperakan murid Eyang
Begawan Kamasetyo telah begitu jauh melesat.
Sekali lagi Peramal Maut hanya menggeram pe-
nuh kemarahan. Dengan menderita luka dalam cukup
parah, tak mungkin ia melanjutkan pengejaran. Maka
dengan terpaksa langkahnya dihentikan tepat di ba-
wah pohon. Segera lelaki ini duduk bersemadi untuk
menyembuhkan luka dalamnya.
"Tunggulah pembalasanku, Bocah Bau Bang-
kai!" desis Peramal Maut sebelum mulai bersemadi.
***
TIGA
Malam berselimut awan, menutupi bintang
yang seharusnya bertaburan di angkasa. Gemericik air
di Grojogan Sewu terdengar sampai jauh keluar hutan
luas yang mengelilinginya. Sebuah hutan yang ditum-
buhi pohon-pohon besar dan menjulang tinggi ke ang-
kasa. Seolah-olah, ingin menggapai cakrawala.
Sementara tak jauh dari aliran Grojogan Sewu
terdengar suara teriakan seperti orang berlatih silat.
Memang di sebuah tanah datar yang tak begitu luas,
seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun
lengah memantapkan jurus-jurusnya. Wajahnya ber-
bentuk bulat telur dengan kulit putih bersih. Rambut-
nya yang hitam lurus dikuncir dua ke belakang. Se-
dang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ringkas warna hijau
"Hea...! Hea...!"
Dengan sebilah pedang di tangan kanan, gadis
cantik itu meliuk-liuk indah serta berkelebat ke sana
kemari. Seolah-olah ada musuh di hadapannya, pe-
dangnya terus mengibas-ngibas laksana seekor kupu-
kupu yang tengah menghisap madu bunga. Meski ter-
kadang gerakan-gerakan pedangnya tampak lembut
dan perlahan, namun sesungguhnya di situlah letak
kekuatan jurusnya. Dan di saat musuh lengah, tiba-
tiba gerakan pedangnya berubah cepat laksana kilat.
Lalu....
Wesss! Wesss!
Crakkk! Crakkk!
Berkali-kali pedang di tangan si gadis bergerak-
gerak lincah membabat batang pohon yang dibayang-
kan sebagai seorang musuh. Hanya dalam waktu tidak
lama, ranting-ranting pohon itu pun telah gundul ter-
tebas pedangnya.
Sementara tak jauh dari tempat si gadis berla-
tih berdiri tegak seorang lelaki setengah baya yang ten-
gah mengamati. Sesekali kepalanya mengangguk-
angguk penuh kagum, pertanda puas dengan jurus-
jurus yang diperagakan si gadis.
"Bagus, bagus! Tak kusangka kau dapat men-
guasai jurus-jurus 'Pedang Kumbang Hitam'-ku den-
gan baik, Ningtyas. Aku si Raja Pedang, bangga sekali
mempunyai murid sepertimu," puji lelaki setengah
baya itu.
Dia adalah seorang lelaki berusia lima puluh
lima tahun. Wajahnya berbentuk persegi penuh den-
gan kumis dan jenggot. Sepasang matanya tajam, me-
nyimpan ketelengasan yang nyaris tersembunyi. Ram-
butnya panjang dikuncir sebagian ke belakang.
Sedang tubuhnya yang tinggi besar dibalut pa-
kaian ringkas berwarna kuning.
"Terima kasih, Guru. Semua ini tak lepas dari
bimbingan Guru," sahut gadis cantik yang dipanggil
Ningtyas itu merendah.
Lelaki setengah baya bertubuh tinggi besar
yang berjuluk Raja Pedang ini tertawa gembira.
"Sekarang coba peragakan pukulan 'Bara Nera-
ka'!" ujar si Raja Pedang, sedikit jumawa.
"Baik, Guru!"
Kepala Ningtyas menunduk dengan tangan me-
rapat di depan dada. Lalu tubuhnya digeser sedikit ke
samping. Kini membuat kuda-kuda kokoh disertai
pengerahan tenaga dalam. Kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi merah menyala segera dido-
rongkan ke depan ke arah sebuah batang pohon. Seke-
tika tampak dua leret sinar merah menyala melesat da
ri kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Brakkk...!!!
Batang pohon sebesar satu lingkaran tangan
manusia dewasa kontan berderak hebat begitu terhan-
tam sinar-sinar merah dari kedua telapak tangan Ning-
tyas. Pohon itu bergoyang-goyang sebentar, lalu jatuh
berdebam ke tanah. Seketika debu-debu dan semua
yang ada di dekat tempat itu berhamburan tinggi ke
udara dalam keadaan kering terbakar. Pada bagian ba-
tang pohon yang terkena pukulan 'Bara Neraka' tadi
kontan berlobang besar, mengepulkan asap tipis keme-
rah-merahan.
Raja Pedang terkekeh puas. Kepalanya men-
gangguk penuh kegembiraan. Namun belum sempat le-
laki setengah baya itu buka suara....
"Hem...! Pukulan 'Bara Neraka'? Bagus! Serem
kedengarannya. Tapi sayang gadis itu belum mengua-
sai sepenuhnya!"
"Heh...?!"
***
Raja Pedang tersentak kaget ketika terdengar
suara dari belakang agak menyamping. Buru-buru ke-
palanya berpaling ke arah datangnya suara. Tampak
tak jauh dari pohon yang tumbang terkena pukulan
'Bara Neraka' tampak telah berdiri seorang lelaki tua
renta berpakaian ringkas warna putih. Wajahnya tirus
kepucatan saking jarangnya terkena sinar matahari.
Rambutnya yang panjang telah memutih. Alis mata
dan bulu matanya pun juga berwarna putih. Tubuhnya
kurus kering seperti tak bertenaga. Meski demikian,
wajahnya yang renta penuh keriput masih tetap me
nampakkan sisa-sisa ketampanannya di waktu muda.
"Siapa kau, Orang Tua? Kenapa mengganggu
kami berlatih?" tanya Raja Pedang berusaha mene-
nangkan dirinya.
Melihat kehadiran orang tua renta berpakaian
putih-putih yang tidak diketahui sebelumnya, mem-
buat Raja Pedang dan Ningtyas kagum setengah mati.
Betapa tidak? Kehadiran yang tanpa suara itu me-
nandakan kalau lelaki tua ini memiliki ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah sangat tinggi. Dan ini membuat
mereka merasa harus berhati-hati. Tanpa sadar lelaki
setengah baya itu meraba gagang pedang yang terselip
di balik pinggang. Sedang Ningtyas makin mempererat
pegangan pedang di tangan kanannya.
"Kukira aku harus hati-hati. Melihat kemuncu-
lannya yang tidak diketahui, bukan mustahil kalau
orang tua renta itu memiliki kepandaian di atasku. So-
rot matanya yang tajam jelas membuktikan kalau te-
naga dalamnya tinggi sekali," gumam Raja Pedang da-
lam hati
"Bukan main kemunculan orang tua renta ini!
Kenapa aku maupun Guru tidak dapat mendengar
langkah-langkahnya sebelum ia muncul? Hm...! Kukira
tak ada jeleknya kalau aku harus hati-hati. Siapa tahu
orang tua ini sengaja mencari penyakit?" gumam Ning-
tyas, pada saat yang bersamaan.
"Maaf, jika kedatanganku mengganggu kalian.
Sebenarnya aku, Dewa Langit tidak ingin mengganggu
kalian berlatih. Terus terang aku hanya ingin mena-
nyakan beberapa pertanyaan. Barangkali, kalian dapat
membantuku," ucap lelaki tua yang ternyata Dewa
Langit.
Sekali lagi Raja Pedang tersentak kaget. Sepa-
sang matanya pun membelalak liar, mendengar nama
yang disebutkan si tua renta itu.
"Hm..., Dewa Langit! Rasa-rasanya aku pernah
mendengar tokoh satu ini berpuluh tahun lalu. Konon
kesaktiannya pun tinggi sekali. Jarang sekali menemui
lawan tandingan. Tapi, kenapa ia mendadak menda-
tangi tempat tinggalku? Mau apa orang tua ini sebe-
narnya? Ah, ia tak mungkin hanya ingin meminta be-
berapa keterangan dariku. Pasti ada apa-apanya!"
Dengan gigi bergemeretak, Raja Pedang me-
mandang dingin pada Dewa Langit.
"Huh! Rupanya kau Dewa Langit yang kesohor
itu! Tapi siapa peduli dengan bacotmu?! Tanyakan saja
pada setan-setan gentayangan penunggu hutan ini!"
sahut Raja Pedang tajam menyengat.
Dewa Langit tersenyum arif. Sedikit pun tidak
tersinggung mendengar kata Raja Pedang.
"Guru...! Kukira orang ini bermaksud baik. Tak
pantas kalau kita memperlakukannya semena-mena,
Guru," sela Ningtyas turut angkat bicara.
"Diam kau, Ningtyas! Sekali lagi buka suara,
aku tak segan-segan lagi menghukummu!" hardik Raja
Pedang kasar.
Dewa Langit tetap tersenyum arif.
"Bicaramu sungguh manis, Gadis. Tidak seperti
gurumu itu. Dan kukira kau tidak pantas mempunyai
guru macam dia, Gadis," kata Dewa Langit seraya
menggerakkan ujung dagunya ke arah Raja Pedang.
Raja Pedang kembali menggeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Tampak kedua pelipisnya
bergerak-gerak pertanda amarahnya tak terkendali.
"Setan alas! Dulu aku memang pernah men-
dengar nama besarmu di dunia persilatan, Dewa Lan-
git. Tapi meski kesaktianmu setinggi langit, jangan di-
kira aku takut menghadapimu, Orang Tua!" bentak Raja Pedang.
"Sayang sekali aku tidak butuh sesumbarmu,
Orang Muda," tukas Dewa Langit. "Aku tahu, tentu ka-
lian sangat terganggu melihat kedatanganku ini. Tapi
tak apa-apa. Mungkin kalian masih sudi mendengar
pertanyaanku. Apakah di antara kalian ada yang per-
nah mendengar seorang anak manusia yang terlahir
dengan cara aneh, sekaligus memiliki kesaktian aneh?"
Raja Pedang dan Ningtyas sejenak menautkan
alis mata.
"Pertanyaanmu aneh, Orang Tua Sinting. Mana
mungkin ada orang terlahir dengan cara aneh," jawab
Raja Pedang, seenaknya.
"Kukira jawabanku pun sama dengan Guru,
Orang Tua. Sepanjang umur hidupku, rasanya belum
pernah aku mendengar orang yang dilahirkan dengan
cara aneh, sekaligus memiliki ilmu aneh," timpal Ning-
tyas.
"Baiklah kalau kalian memang tidak tahu. Tapi,
apakah barangkali kalian dapat membantuku pada
siapa aku bertanya?"
"Keparat! Sudah kubilang tidak tahu, masih sa-
ja mengumbar bacot. Apa kau pikir aku takut men-
dengar nama besarmu, he?!" bentak Raja Pedang
mengkelap bukan main.
"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku tidak in-
gin bermusuhan denganmu," jawab Dewa Langit en-
teng.
"Setan alas! Aku jadi ingin lihat apa keheba-
tanmu juga, sehebat bacotmu?!"
Si Raja Pedang langsung melompat menyerang
dengan jurus-jurus ganas.
Dewa Langit mengeluh dalam hati. Tentu saja
ia tidak ingin membiarkan tubuhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan Raja Pedang. Dengan sedikit
memiringkan tubuhnya ke samping, tiba-tiba tepukan
tangannya telah bergerak amat cepat. Bahkan sama
sekali tak disadari oleh si Raja Pedang. Akibatnya....
Bukkk...!
"Aaa...!"
Raja Pedang meraung hebat saat tangan Dewa
Langit mendarat telak di dadanya. Darah segar kontan
menyembur dari mulut. Tubuhnya pun terpental ke
belakang dan jatuh berdebam ke tanah, melejang-
lejang sebentar dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas!
Sejenak Dewa Langit terpaku di tempatnya,
seolah tak percaya dengan apa yang dilakukan.
"Ya ampun! Kenapa aku bertindak kelewat ba-
tas. Oh...! Hyang Widi! Maafkanlah aku! Aku tak me-
nyangka pukulanku akan berakibat begini...," keluh
Dewa Langit dalam hati penuh sesal.
"Guruuu...!"
Ningtyas memekik menyayat melihat tubuh Ra-
ja Pedang tahu-tahu sudah terkapar tak berdaya. Ke-
mudian dengan mata liar ditatapnya Dewa Langit.
"Laknat! Kau... kau harus bertanggung jawab
utas kekejian ini, Orang Tua!" bentak Ningtyas.
"Heaaat...!"
Disertai bentakan keras, Ningtyas yang telah
menghimpun tenaga dalamnya segera menghentakkan
kedua tangannya. Seketika dari kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah merah menyala, melesat dua
berkas sinar merah. Jelas, gadis itu tengah mengerah-
kan pukulan 'Bara Neraka'.
Wesss! Wesss!
Brakkk...!!!
Batang pohon di belakang Dewa Langit kontan
tumbang begitu terkena pukulan 'Bara Neraka'. Rant
ing-ranting dan daun-daun pohon itu pun hangus ter-
bakar!
Sementara, justru lelaki tua itu telah melayang
di udara, lalu meluruk ke arah si gadis. Betapa ilmu
meringankan tubuh Dewa Langit telah mencapai ting-
kat yang tinggi, sehingga Ningtyas tak sempat melihat
gerakannya.
Ningtyas baru sadar ketika mendengar suara
tawa Dewa Langit yang entah tiba-tiba datangnya dari
belakang. Bahkan belum sempat gadis cantik berpa-
kaian hijau itu berpaling, tahu-tahu....
Tuk!
"Oh...!"
Si gadis mendesah lirih ketika tengkuknya telah
terkena totokan dari arah belakang. Namun anehnya
begitu terkena totokan tubuhnya masih dapat digerak-
kan. Hanya saja gadis ini merasakan hawa dingin aki-
bat totokan jari-jari tangan Dewa Langit yang terus
menerabas menyerang ulu hatinya!
"Keparat! Demi Tuhan aku akan menuntut ba-
las atas kematian guruku Raja Pedang, Manusia Lak-
nat!" dengus Ningtyas penuh kemarahan.
Kedua telapak tangannya yang masih berubah
merah menyala kembali didorongkan ke arah Dewa
Langit. Seketika tampak dua leret sinar merah menyala
melesat dari kedua telapak tangannya.
Dewa Langit menggeleng-gelengkan kepala. Ka-
lau ia menginginkan nyawa gadis cantik di hadapan-
nya, sudah dari tadi lawan dibuat terkapar di tanah.
Namun rupanya lelaki tua ini memang tidak menghen-
dakinya.
"Jangan terlalu gegabah, Gadis! Terus terang
aku menyesal telah membunuh gurumu? Hayo, lekas
hentikan seranganmu!"
Tapi, mana mau Ningtyas yang tengah terpukul
melihat gurunya tewas di tangan Dewa Langit menuru-
ti perintah Dewa Langit? Malah dengan kemarahan
meluap kembali diserangnya lelaki tua itu.
Melihat datangnya serangan-serangan, Dewa
Langit hanya sedikit menggeser tubuhnya ke samping.
Dan pada saat Ningtyas kembali menerjang, jari-jari
tangannya kembali melancarkan totokan ke arah ping-
gang.
Tukkk! Tukkk!
"Ohh...!"
Dua kali pinggang Ningtyas terkena totokan ja-
ri-jari tangan Dewa Langit. Seketika tubuh si gadis ka-
ku tak dapat digerakkan dengan mata melotot lebar-
lebar.
"Jahanam! Hayo lepaskan totokanku. Dan kita
bertanding sampai ada yang modar!" sentak si gadis.
"Aku tahu, tentu kau sangat marah melihat aku
telah menewaskan gurumu. Tapi dengarlah, Gadis! Se-
sungguhnya kau tak pantas mempunyai guru macam
dia. Kalau kau tak keberatan, aku ingin mewariskan
sesuatu padamu. Tapi, aku pun juga minta agar kau
mencarikan pemuda yang kumaksudkan. Ingat, Gadis!
Aku menunggu kedatanganmu empat puluh hari di
muka, di sebuah dataran berumput di luar Hutan Wa-
tu Malang."
Ningtyas tidak menyahut. Amarahnya yang
menggelegak membuat sepasang matanya terus me-
mandangi Dewa Langit penuh kemarahan.
Dewa Langit sejenak memperhatikan Ningtyas.
Lalu tanpa banyak cakap lagi, segera ditotok jalan da-
rah di pinggang Ningtyas dua kali untuk membe-
baskan pengaruh totokan. Dan begitu tubuh Ningtyas
terbebas, Dewa Langit segera berkelebat cepat mening
galkan tempat ini.
Ningtyas menggeram penuh kemarahan. Tak
mungkin ia mengejar Dewa Langit. Hanya dalam bebe-
rapa kelebatan saja, sosok tinggi kurus si tua itu telah
menghilang di balik kegelapan malam.
***
EMPAT
Dewa Langit terus berkelebat cepat tanpa tu-
juan pasti. Ke mana kakinya melangkah, ke situlah
arah tujuannya. Sementara dalam pikirannya terus
berkecamuk, bagaimana agar secepatnya dapat mene-
mukan pemuda aneh yang sekaligus memiliki ilmu
aneh seperti kabar gaib yang diterimanya dari men-
diang gurunya bernama Parikesit.
"Ah...! Kukira ucapan Raja Pedang tadi benar.
Tak mungkin aku menemukan anak manusia yang ter-
lahir aneh sekaligus memiliki ilmu aneh. Hm...! Ba-
gaimana ini? Rasanya mustahil. Tapi biar bagaimana-
pun, aku harus dapat menemukannya. Aku sudah je-
nuh hidup di dunia ini," desah Dewa Langit dalam ha-
ti.
Hampir semalaman tokoh sakti dari Hutan Wa-
tu Malang itu menempuh perjalanan yang tak jelas
juntrungannya. Dan selama melakukan perjalanan,
banyak sudah tokoh sakti dunia persilatan yang di-
mintai keterangan. Namun, tak ada satu pun yang da-
pat menunjukkan di mana anak manusia yang dimak-
sudkan.
"Sulit! Bagaimana mungkin aku dapat mene
mukan anak manusia yang kumaksudkan? Dari se-
kian banyak tokoh dunia persilatan yang sempat ku-
mintai keterangan, tak ada satu pun juga memberikan
keterangan pasti. Ah...! Jangan-jangan kabar gaib yang
diterima Eyang Parikesit hanyalah mimpi kosong bela-
ka. Kalau iya, ah...! Bagaimana aku dapat menemukan
jalan kematian? Oh...!" keluh Dewa Langit merasa ga-
lau.
Dan baru saja lelaki tua ini mengeluh begitu,
mendadak pendengarannya yang tajam menangkap ge-
rakan halus di belakang jauh dari tempatnya berlari.
Tanpa banyak cakap segera langkahnya dihentikan.
Sementara sepasang pendengarannya makin diperta-
jam.
"Hm...! Kalau pendengaranku tidak salah, lang-
kah-langkah halus yang terdengar terdiri dari dua
orang. Dan kini mereka tengah berdiri di balik rin-
dangnya sebuah pohon depan sana. Ya ya ya...! Se-
baiknya aku ke sana. Siapa tahu mereka dapat mem-
berikan keterangan," pikir Dewa Langit.
Saat itu pula Dewa Langit pun segera meloncat
ke atas pohon. Lalu dengan kecepatan dahsyat, tu-
buhnya berkelebatan dari pohon satu ke pohon lain.
Dan sebentar saja Dewa Langit sampai di pohon yang
dimaksudkan.
Begitu sampai di pohon itu, Dewa Langit pun
segera menjulurkan kepala ke bawah. Tampak di balik
pohon yang dimaksudkan, dua orang laki-laki tua ten-
gah celingukkan ke sana kemari seperti mencari se-
suatu.
Orang di sebelah kanan adalah seorang lelaki
tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya
yang panjang memutih digelung ke atas. Wajahnya pu-
cat pasi mirip wajah mayat. Sedang tubuhnya yang
tinggi kurus menyerupai jerangkong hidup dibalut kain
katun warna putih.
Di sebelahnya juga seorang lelaki tua renta be-
rusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Rambutnya yang
panjang memutih dibiarkan tergerai di bahu. Bentuk
wajahnya agak aneh, yakni menyerupai wajah bayi.
Sedang tubuhnya yang pendek kurus dibalut pakaian
ringkas warna hitam.
"Hantu Pocong! Tak mungkin Siluman Ular Pu-
tih lenyap begitu saja. Pasti ia masih bersembunyi di
sekitar tempat ini!" kata lelaki tua berwajah bayi.
"Ya ya ya...! Benar, Iblis Muka Bayi! Rupanya
kabar yang kudengar ternyata benar. Pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu ternyata memiliki ke-
saktian hebat. Buktinya saja kita sampai kehilangan
jejak. Apalagi ilmu meringankan tubuhnya tadi. Bukan
main...! Kita sendiri pun sampai kewalahan mengiku-
tinya," sahut lelaki tua berbalut kain kafan yang di-
panggil Hantu Pocong.
Kedua lelaki tua memang dedengkot dunia per-
silatan golongan hitam. Dan mengenai kemunculan
mereka yang secara mendadak, sebenarnya hanya ke-
betulan saja. Sebagai tokoh-tokoh nomor satu di dunia
persilatan, mereka merasa penasaran sekali dengan
tersiarnya kabar gencar tentang munculnya seorang
pendekar muda bergelar Siluman Ular Putih. Seperti
desas-desus yang terdengar, konon kesaktian pende-
kar muda itu tinggi sekali. Maka begitu mendengar de-
sas-desus itu, Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi me-
rasa penasaran bukan main. Mereka ingin sekali men-
jajal kesaktian Siluman Ular Putih.
Namun sewaktu Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi tengah beristirahat setelah melakukan pencarian,
tiba-tiba melihat sesosok bayangan putih tengah ber
kelebat cepat melintasi tempat mereka. Apalagi ketika
menyadari ilmu meringankan tubuh bayangan putih
yang semula dikira Siluman Ular Putih tampak demi-
kian hebat. Maka kedua tokoh hitam itu berkesimpu-
lan kalau bayangan yang tengah diikuti itu adalah
orang yang tengah dicari. Namun sayangnya di saat
tengah melakukan pengejaran terhadap bayangan pu-
tih yang sebenarnya Dewa Langit, mendadak mereka
kehilangan jejak. Melihat buruannya lenyap bak dite-
lan bumi, maka kedua orang itu pun memutuskan un-
tuk beristirahat kembali.
"Ya ya ya...! Harus kita akui kalau pemuda
yang bergelar Siluman Ular Putih itu hebat. Tapi, aku
sedikit pun tidak gentar menghadapinya. Pokoknya,
sekarang kita lanjutkan pengejaran. Mungkin pemuda
tengik itu telah berhasil mengecoh kita, lalu kembali
meneruskan perjalanan," ajak Iblis Muka Bayi.
"Ya ya ya...! Kalau begitu buat apa buang-
buang waktu! Rasa-rasanya tanganku sudah gatal-
gatal ingin menghajar pendekar muda itu. Hayo, kita
teruskan pencarian kita, Iblis Muka Bayi!" kata Hantu
Pocong menyahuti.
Namun belum sempat kedua tokoh itu bertin-
dak lebih lanjut, tiba-tiba dikejutkan oleh gerakan-
gerakan halus tak jauh dari tempat itu. Sebagai tokoh
silat tinggi sudah pasti Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi dapat merasakannya. Maka seketika, kepala me-
reka segera berpaling ke samping.
Seketika itu pula, mata kedua tokoh sesat ini
terbeliak liar. Di hadapan mereka kini telah berdiri se-
sosok lelaki tua renta dengan pakaian ringkas warna
putih-putih. Rambutnya yang panjang memutih seba-
gian digelung ke atas. Sosok itu tidak lain dari sosok
yang tengah dikejar oleh mereka sendiri.
"Manusia-manusia pengecut! Sebenarnya apa
yang kau inginkan dariku? Kenapa kau buntuti aku?"
tegur Dewa Langit kalem.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi melengak
kaget. Bukan saja kaget melihat kemunculan lelaki tua
renta itu yang tidak terduga-duga sama sekali, namun
juga kaget melihat kalau yang dikejar tadi jelas bukan
sosok Siluman Ular Putih yang sedang mereka cari.
"Melihat ciri-cirinya, jelas orang tua renta di
hadapan kita bukan Siluman Ular Putih. Sebab, kabar
yang tersiar mengatakan, Siluman Ular Putih adalah
seorang pemuda dan berparas tampan. Tapi, bagaima-
na mungkin kemunculannya sama sekali tidak terden-
gar oleh ku? Dan siapa pula dia? Rasa-rasanya selama
malang melintang di dunia persilatan aku belum per-
nah melihatnya," gumam Hantu Pocong dalam hati se-
raya menautkan alis.
Sedang di samping Hantu Pocong, Iblis Muka
Bayi itu pun tampak tengah berpikir keras. Agaknya ia
pun cukup terkejut melihat kemunculan lelaki tua
yang memang Dewa Langit.
"Hebat! Kalau kedatangannya sampai tidak ter-
dengar, berarti kepandaiannya tak bisa dianggap re-
meh. Dan yang jelas lagi, orang tua renta ini bukanlah
Siluman Ular Putih," kata batin Iblis Muka Bayi penuh
kagum.
"Siapa kau, Orang Tua?!" bentak Hantu Pocong.
"Melihat ciri-ciri, tampaknya kalian bukan
orang baik-baik. Sungguh sayang, kalian yang sudah
tua seperti ini masih suka membuat onar," sindir Dewa
Langit, tanpa menjawab pertanyaan Hantu Pocong.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi melengak
kaget. Belum pernah rasanya mereka dipandang ren-
dah demikian rupa selama malang melintang di dunia
persilatan. Mendengar sindiran Dewa Langit.
Iblis Muka Bayi sejenak mengalihkan pandang
matanya ke arah Hantu Pocong. Dan seperti diberi
aba-aba, mendadak kedua tokoh sesat itu tertawa ber-
gelak.
"Heran heran! Beraninya kau mengumbar sua-
ra demikian nyaringnya. Apa matamu sudah lamur
tengah berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Hantu
Pocong lagi.
Dewa Langit mengulas senyum. Tampak sekali
kalau ia tidak gentar menghadapi kedua tokoh sesat di
hadapannya.
"Kau akan menyesal seumur hidup berani ber-
tindak lancang di hadapan Dewa Langit!" sahut Dewa
Langit, tak kalah gertak.
Kali ini rasa kaget Hantu Pocong dan Iblis Mu-
ka Bayi tak dapat dibayangkan lagi mendengar nama
Dewa Langit disebut. Namun kekagetan mereka hanya
sebentar. Setelah dapat mengendalikan perasaan, ke-
dua orang tua itu pun lantas tertawa bergelak. Sebagai
tokoh tua dunia persilatan, mereka jelas pernah men-
dengar tokoh sakti tanpa tanding yang bergelar Dewa
Langit, walau belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi
sifat mereka yang sombong mengalahkan segalanya.
Apalagi mereka juga belum pernah menjajal kesaktian
Dewa Langit.
"Setan! Tak kusangka Dewa Langit yang sudah
lama menyembunyikan diri kini kembali muncul di
dunia persilatan," dengus batin Hantu Pocong.
"Hm...! Bukankah Dewa Langit sudah mati?
Tapi, kenapa mendadak muncul ke dunia persilatan?
Ah...! Jangan-jangan kabar bohong yang telah kuden-
gar tentang kematian Dewa Langit hanyalah dusta be-
laka. Dan tak kusangka sama sekali kalau hari ini aku
dapat bertemu tokoh sakti yang sering digunjingkan
tokoh-tokoh tua dunia persilatan," gumam Iblis Muka
Bayi dalam hati.
Namun untuk menutupi kegusaran, Iblis Muka
Bayi dan Hantu Pocong malah makin melipat ganda-
kan tawanya.
"Keparat! Kau pikir hanya kau saja yang dita-
kuti di dunia persilatan, he?! Jangan ngelindur, Orang
Tua Bau Tanah! Aku, Iblis Muka Bayi, sedikit pun ti-
dak gentar menghadapi nama besarmu. Malah hari ini
juga aku akan menjajal kehebatanmu yang konon tan-
pa tanding itu. Hayo kita bermain-main sebentar den-
gan orang tua renta itu, Hantu Pocong! Tanganku su-
dah lama karatan ingin menghajar orang," ajak Iblis
Muka Bayi, disambut tawa bergelak.
"Maut ada di tangan Hyang Widi. Sesungguh-
nya kalian tidak pantas, kenapa kalian suka bicara
tentang maut. Sebab hanya Yang Maha di Atas sajalah
yang patut membicarakannya. Untuk, itu mari kita sal-
ing bergandeng tangan, sama-sama melangkah dengan
kasih sayang!" ujar Dewa Langit. "Tapi sebelumnya,
kalau kalian tidak keberatan, aku ingin meminta bebe-
rapa keterangan dari kalian...."
Sejenak Dewa Langit menghentikan bicara. Se-
pasang matanya yang berwarna kelabu, mendadak
mencorong tajam ke arah Iblis Muka Bayi dan Hantu
Pocong.
"Apakah kalian dapat membantuku di mana
aku dapat menemukan anak manusia yang terlahir se-
cara aneh sekaligus memiliki ilmu aneh?!" lanjut Dewa
Langit.
"Pertanyaan aneh. Kukira jalan pikiranmu pun
aneh. Kenapa tidak kau tanyakan saja pada Raja Akhi-
rat nanti?!" ejek Iblis Muka Bayi sinis.
Habis mengejek begitu, Iblis Muka Bayi segera
menutulkan kaki kanannya ke tanah, seketika tubuh-
nya berkelebat cepat menyerang Dewa Langit hebat.
Melihat Iblis Muka Bayi telah bertindak, Hantu
Pocong pun tak mau ketinggalan. Tubuhnya segera
berkelebat menyerang.
"Hea...! Hea...!"
Diiringi bentakan keras, Dewa Langit meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari serangan. Dan begitu
serangan lewat di sisinya, tubuhnya segera berbalik.
Begitu berkelebat, segera dikeluarkannya jurus-jurus
andalan. Tangan kanannya yang terkepal siap melepas
jotosan ke arah muka Hantu Pocong. Sementara tan-
gan kirinya dengan jari-jari membuka siap pula men-
daratkan totokan-totokan.
Hebat bukan main serangan-serangan balik
Dewa Langit. Bahkan sebelum serangan-serangannya
mengenai sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin
dingin.
Wesss! Wesss!
Tukkk! Tukkk!
"Aakh...!"
Dua kali totokan-totokan 'Jari-jari Suci' Dewa
Langit dipapak oleh telapak tangan kanan Iblis Muka
Bayi. Seketika tokoh sesat ini meraung keras. Telapak
tangan kanannya yang memapak seraya mau remuk!
Sedang Hantu Pocong yang terbebas dari joto-
san tangan Dewa Langit, segera melancarkan serangan
balik. Tangan kirinya mencengkeram dari bawah ke
atas. Tangan kanannya yang membentuk cakar segera
membabat cepat ke arah ulu hati lawannya.
Dewa Langit hanya tersenyum dingin melihat
serangan-serangannya dapat dimentahkan oleh kedua
orang pengeroyoknya. Padahal kini Iblis Muka Bayi
pun telah meloloskan senjata andalan berupa sebuah
cemeti berekor sembilan.
Sebelum Iblis Muka Bayi mengebutkan ceme-
tinya, Dewa Langit telah berkelebat cepat ke arah Han-
tu Pocong. Begitu cepatnya, sehingga Hantu Pocong
pontang-panting dibuatnya. Bahkan tiba-tiba Dewa
Langit mendapat kesempatan baik.
Begitu Hantu Pocong melenting ke belakang.
Dewa Langit segera mengikutinya. Dari atas, tokoh
berjiwa arif ini langsung mematuk pinggang Hantu Po-
cong dengan totokan ‘Jari-jari Suci’ Dan...
Tukkk! Tukkk!!
Telak sekali pinggang Hantu Pocong terkena to-
tokan. Seketika tubuh tinggi kurusnya ambruk di ta-
nah tanpa bisa mendarat empuk. Pinggang yang terke-
na totokan terasa mau hancur!
"Heaaa...!"
Ctarrrr...!
Tepat ketika Dewa Langit mendarat manis di
tanah, cemeti Iblis Muka Bayi meluncur datang. Sece-
patnya lelaki tua ini membuang tubuhnya ke samping.
Jdarri...!
Tanah tempat Dewa Langit tadi berdiri kontan
terbongkar oleh cemeti Iblis Muka Bayi. Namun pada
saat itu, Dewa Langit telah melenting kembali. Bahkan
sebelum Iblis Muka Bayi mengebutkan cemetinya, De-
wa Langit telah berkelebat cepat
Bed! Bed!
Jari-jari tangan Dewa Langit kembali melancar-
kan totokan-totokan maut ke ubun-ubun Iblis Muka
Bayi.
Tentu saja lelaki tua bermuka bayi itu tidak in-
gin tubuhnya jadi sasaran empuk. Seketika tubuhnya
diemposkan ke samping.
Tetapi baru saja tokoh sesat itu berkelit, men-
dadak arah totokan Dewa Langit telah berubah, lang-
sung mengancam dada Iblis Muka Bayi. Lalu....
Tukkk! Tukkk!
"Aaakh...!"
Iblis Muka Bayi memekik setinggi langit ketika
dadanya terkena totokan Dewa Langit. Sakitnya bukan
main. Tubuh pun kontan terpental beberapa tombak
ke belakang tanpa dapat bergerak lagi.
Dewa Langit tersenyum kecut. Dipandanginya
kedua lawan yang tengah merintih-rintih.
"Sungguh sayang sekali.... Kalian orang-orang
tua yang berkepandaian, namun tak mau mengamal-
kannya pada jalan kebenaran. Tapi, tak apa-apalah!
Barang kali kalian masih bermurah hati untuk mem-
beritahukan, di mana aku dapat menemukan pemuda
yang kumaksudkan...," kata Dewa Langit, lembut.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang nya-
linya sudah ciut, mendapat kenyataan kalau kesaktian
Dewa Langit amat tinggi, sejenak saling berpandangan.
"Mana sudi aku memberi keterangan padamu,
Dewa Langit! Tanyakan saja pada arwah-arwah gen-
tayangan hutan ini!" sahut Iblis Muka Bayi, ketus.
Dewa Langit tersenyum arif. Tentu saja ia ma-
sih ingin membutuhkan keterangan dari Hantu Pocong
dan Iblis Muka Bayi. Maka tanpa menghiraukan oce-
han Iblis Muka Bayi, Dewa Langit melangkah tenang
mendekati.
"Maaf! Bukannya aku yang menyakiti kalian.
Tapi, apakah kalian tidak ingin memberitahu ku, pada
siapa aku harus bertanya?" ucap Dewa Langit penuh
tekanan. Kedua matanya menyorot tajam, penuh per-
bawa menggetarkan.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi seketika
makin ciut nyalinya. Mereka tidak menyangka kalau
Dewa Langit memiliki perbawa demikian hebatnya.
Maka begitu melihat kedua bola mata lelaki arif itu,
tak urung hati mereka bergetar.
"Mana aku tahu? Kenapa kau tidak tanyakan
saja pada Peramal Maut? Mungkin orang tua sinting
dari Gunung Kembang itu tahu, di mana dan siapa
orang yang tengah kau cari!" sahut Iblis Muka Bayi,
berusaha memberanikan diri.
"Kalian tahu, itu bukan jawaban!" sahut Dewa
Langit, dingin dan penuh tekanan.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang me-
nyadari kalau keadaannya kurang menguntungkan
kembali saling berpandangan.
"Demi iblis! Aku tidak tahu. Mungkin Peramal
Maut tahu, di mana dan siapa orang yang kau cari,"
tandas Hantu Pocong gelagapan saking takutnya.
"Hm...!, Peramal Maut! Lagi-lagi orang ini me-
nyebut Peramal Maut. Bisa jadi aku dapatkan keteran-
gan orang yang sedang kucari itu darinya. Ya ya ya.
Dari sorot matanya, dia berkata jujur...!" gumam Dewa
Langit dalam hati.
Puas menatap Hantu Pocong, Dewa Langit me-
natap Iblis Muka Bayi. Dari pancaran sinar mata, De-
wa Langit yakin kalau tokoh sesat itu pun memang be-
rusaha untuk jujur.
"Lalu di mana aku dapat menemukan Peramal
Maut, Hantu Pocong?!" kata Dewa Langit lebih lanjut
"Aku... aku tidak tahu, Dewa Langit. Demi iblis,
aku tidak tahu. Peramal Maut memang tak pernah
memiliki tempat tinggal tetap. Ia selalu berkelana dari
tempat yang satu ke tempat lain," jawab Hantu Pocong
seadanya.
"Terima kasih! Akhirnya kau mau bermurah
hati juga padaku," ujar Dewa Langit
Lalu tanpa banyak cakap, Dewa Langit segera
berkelebat cepat dan langsung menotok kedua tokoh
sesat itu kembali. Dan seketika tubuhnya berkelebat
meninggalkan tempat ini
Begitu bebas dari totokan, Hantu Pocong dan
Iblis Muka Bayi kesal bukan main. Api dendam makin
membara dalam dada mereka setelah dibuat malu oleh
Dewa Langit.
***
LIMA
Tak jauh dari Lembah Selaksa Pasir, tepatnya
di bawah rindangnya sebuah pohon, seorang lelaki tua
berusia tujuh puluh tahun tengah duduk bersila den-
gan kedua telapak tangan merangkap di depan dada.
Setelah hampir setengah harian lelaki berpakaian biru-
biru yang tidak lain Peramal Maut ini bersemadi, da-
danya terasa nyaman. Rupanya, ia baru saja dapat
menyembuhkan luka dalamnya akibat pertarungannya
melawan Siluman Ular Putih.
Namun baru saja Peramal Maut menghentikan
semadi dengan sebuah napas panjang, mendadak pen-
ciumannya yang tajam merasakan bau busuk yang
sangat luar biasa. Sambil tetap memejamkan mata,
ujung hidungnya mencoba mengendus-endus. Kemu-
dian seraya membuka kelopak matanya perlahan, ke-
palanya berpaling ke arah datangnya bau busuk. Dan
anehnya lagi, makin lama bau busuk itu makin me-
nyengat hidung!
"Ah...! Bau busuk apa lagi ini? Kok, terasa begi-
tu menyengat?" gumam Peramal Maut.
Ketika lelaki ini berpaling ke arah ujung jalan
sebelah barat, sepasang mata kelabunya menangkap
sesosok bayangan putih tengah melintas cepat ke
arahnya. Makin dekat bayangan itu, Peramal Maut ya-
kin kalau itu adalah seorang lelaki tua berpakaian pu-
tih-putih yang tengah melintas jalan setapak menuju
ke arahnya. Segera saja ia meloncat bangun, siap
menghadang lelaki yang kian dekat ke arahnya.
"Tunggu! Kau tidak boleh lewat begitu saja se-
belum aku tahu siapa dirimu!" bentak Peramal Maut,
ketika lelaki tua yang baru datang telah berjarak lima
tombak.
Lelaki berpakaian putih-putih yang tak lain dari
Dewa Langit menghentikan langkahnya. Sepasang ma-
tanya yang tajam terus meneliti sosok berpakaian biru-
biru di hadapannya dengan kening berkerut.
"Ada apa, Sobat? Kenapa kau menahan lang-
kahku?" sapa Dewa Langit, bertanya.
Peramal Maut tersenyum angkuh. Sepasang
matanya yang kelabu tak henti-hentinya memperhati-
kan Dewa Langit.
"Hm...! Bau busuk itu memang dari tubuhmu,
Orang Tua Keriput. Itu menandakan kalau sebentar
lagi kau akan menemui kematian!" gumam Peramal
Maut, enteng.
Dewa Langit tersenyum tenang mendengar ka-
ta-kata berbau ancaman. Matanya yang arif meman-
carkan perbawa kuat.
"Benarkah aku akan menemui kematian? Apa
bukan orang tua ini mengada-ada? Tapi, kenapa uca-
pannya demikian tepat?" tanya Dewa Langit dalam hati.
Mata Dewa Langit bersinar cerah. Sungguh ia
kagum dengan dugaan lelaki di hadapannya yang
mampu merubah keinginannya.
"Ah...! Benarkah?" tanya Dewa Langit penuh
minat.
"Eh...! Jadi kau tidak percaya dengan ramalan
Peramal Maut, he?!" bentak Peramal Maut. Kedua bola
matanya terbeliak penuh kemarahan.
Sekali lagi Dewa Langit dibuat terkesiap kaget.
Saking kagetnya, kedua bola matanya kontan membe-
liak, seolah-olah tak mempercayai pendengarannya.
"Jadi... Jadi? Kaukah yang bergelar Peramal
Maut?" tanya Dewa Langit.
"Sudah tahu kenapa tanya-tanya segala! Dan
kenapa kau tidak mempercayai ramalanku?! Kau me-
ragukan ramalanku, ya? Kalau begitu, kau harus
modar di tanganku!"
"Tunggu, Peramal Maut! Justru aku ingin ber-
tanya padamu. Kalau memang kau orang tua bergelar
Peramal Maut, tentu dapat menunjukkan tentang anak
manusia yang terlahir dengan cara aneh, sekaligus
memiliki ilmu aneh pula. Cepat katakan di mana anak
manusia yang kumaksudkan itu, Peramal Maut?" ujar
Dewa Langit tak sabar.
Mendengar pertanyaan Dewa Langit, entah ka-
rena apa, mendadak ingatan Peramal Maut tertuju pa-
da Siluman Ular Putih. Lelaki berpakaian biru-biru ini
pun mendengar ada seorang pemuda sakti yang dila-
hirkan dari rahim seekor ular betina!
"Hm...! Aku yakin, tentu pemuda sakti itu yang
dimaksudkannya," gumam Peramal Maut seperti pada
diri sendiri.
"Siapa bocah sakti yang kau maksudkan, Pe-
ramal Maut?" tanya Dewa Langit tak sabar.
"Dia bergelar Siluman Ular Putih!" sahut Pe-
ramal Maut dengan sepasang mata menerawang.
Sejenak tubuh Dewa Langit tergetar hebat begi-
tu mendengar julukan anak manusia yang terlahir se-
cara aneh. Dan sejenak itu pula kepalanya mengang-
guk-angguk dengan senyum tipis terkembang di bibir
keriputnya.
"Ya ya ya...! Kukira ucapannya benar adanya.
Aku harus secepatnya dapat menemukan pemuda itu,"
gumam Dewa Langit dengan kepala mengangguk-
angguk. "Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas
keteranganmu."
Baru saja Dewa Langit akan berkelebat me-
ninggalkan tempat itu, tiba-tiba....
"Dasar orang tua tak tahu diri! Tadi kau ragu-
kan ramalanku. Tapi, begitu kutunjukkan siapa pe-
muda yang kau cari, kau malah seenak perutmu akan
meninggalkan aku. Apa itu tidak menjengkelkan, he?!"
hardik Peramal Maut, langsung menghadang.
"Ada apa lagi, Sobat? Apa kau juga bermaksud
menghalang-halangi langkahku?" pancing Dewa Lan-
git.
"Tua bangka tak tahu diri! Kau harus mem-
bayar mahal atas ramalanku. Lima puluh keping emas
pun belum cukup ditambah kelancangan sikapmu. Se-
karang bersiap-siaplah menerima kematianmu hari ini
Keparat!"
"Lakukan saja kalau kau memang bisa. Malah
aku senang sekali bila kau dapat membunuhku!" ujar
Dewa Langit tanpa bermaksud menyinggung perasaan
Peramal Maut.
"Keparat! Kelancanganmu sudah bertumpuk!
Tak mungkin aku membiarkanmu pergi begitu saja.
Makanlah bogem mentahku ini, Tua Bangka Bau Bangkai!"
Peramal Maut yang sudah telanjur tersinggung
atas ucapan Dewa Langit tadi, tanpa banyak cakap se-
gera melayangkan bogem mentah ke arah rahang Dewa
Langit.
Wuttt! Wuttt!
Dua kali lontaran pukulan tangan kanan kiri
Peramal Maut mengenai tempat kosong. Padahal Dewa
Langit hanya sedikit menggeser tubuhnya. Lelaki ber-
baju biru ini gusar bukan main. Rasanya belum per-
nah serangan-serangan mautnya dapat dihindari mu-
suh dengan demikian mudah. Dan ini membuatnya
mengkelap. Saat itu juga daya serangnya ditingkatkan.
Tongkat di tangan kanannya pun segera berkelebat ce-
pat ke beberapa jalan kematian di tubuh Dewa Langit.
Wuttt! Wuttt!
Plakkk! Plakkk!
Dua kali Dewa Langit mampu menahan tongkat
di tangan Peramal Maut dengan telapak tangannya.
Sementara Peramal Maut sama sekali tidak menduga
kalau Dewa Langit berani menangkis serangan-
serangan tongkatnya hanya menggunakan tangan ko-
song. Dan hebatnya lagi, justru telapak tangan kanan-
nya yang terasa bergetar hebat! Sementara tangan De-
wa Langit seperti tak terpengaruh sama sekali.
Geraham Peramal Maut menggeletak mengung-
kapkan kemarahannya. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak, diamuk oleh amarah menggelegak. Kemudian....
"Terimalah pukulan ‘Gada Akhirat’-ku ini!
Heaaat...!"
Disertai teriakan keras, Peramal Maut segera
menyentakkan kedua tangannya yang telah berisi te-
naga dalam tinggi. Maka seketika dari kedua telapak
tangan Peramal Maut melesat dua buah sinar merah
kekuningan.
Ketika dua larik sinar merah kekuningan itu
dalam luncurannya, tiba-tiba menjadi beberapa ba-
gian, namun tetap mengarah ke tubuh Dewa Langit.
"Hm.... Kalau begini terus, ku tahan dengan
ajian 'Sukma Sejati'," gumam Dewa Langit segera me-
nyentakkan kedua tangannya ke depan begitu sinar-
sinar merah kekuningan setengah tombak lagi meng-
hajar tubuhnya.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Sinar-sinar merah kekuningan dari kedua tela-
pak tangan Peramal Maut mendadak buyar begitu ter-
papak ajian 'Sukma Sejati'. Sedang tubuh Peramal
Maut sendiri kontan terpental beberapa tombak ke be-
lakang. Untung saja lelaki ini mampu membuat puta-
ran di udara. Namun tetap saja keseimbangan tubuh-
nya tidak dapat dikendalikan. Saat kedua kakinya me-
napak ke tanah. Tubuhnya langsung saja terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang.
Peramal Maut mengerang hebat. Telapak tan-
gan kanannya mendekap dadanya yang terasa bergo-
lak. Namun tetap saja usahanya sia-sia bila untuk
menahan sesuatu yang menggedor-gedor dadanya.
"Hoeeekh...!"
Peramal Maut kontan memuntahkan darah se-
gar.
"Cukup sampai di sini kita main-main, Peramal
Maut! Selamat tinggal!" kata Dewa Langit.
Habis berkata demikian, Dewa Langit pun sege-
ra menjejak tanah. Saat itu pula tubuhnya berkelebat
cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam beberapa
kelebatan saja, sosok tinggi kurusnya telah jauh di
ujung jalan depan sana.
"Setan alas! Tak kusangka kesaktian tua bang-
ka bau tanah itu demikian hebat! Siapakah dia sebe-
narnya? Rasa-rasanya aku belum pernah mengenal-
nya?" gumam Peramal Maut dalam hati.
Namun setelah memeras daya ingatnya, Peram-
al Maut belum juga tahu siapa lawan sebenarnya. Ke-
mudian sambil menahan luka dalamnya yang belum
begitu pulih akibat pertarungannya dengan Siluman
Ular Putih, tubuhnya segera berkelebat cepat tinggal-
kan tempat ini dengan mengerahkan ilmu meringan-
kan tubuh sekadarnya.
***
ENAM
Kendati sinar matahari berusaha menembus
kerimbunan hutan di Bukit Karang Kajen, tetap saja
suasana dalam hutan terasa lengang dan lembab.
Di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh
rindang di tengah hutan, seorang pemuda berambut
gondrong tergerai di bahu tengah asyik menikmati dag-
ing kelinci panggang. Sepasang mata pemuda berpa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan itu sebentar-sebentar mengerjap-ngerjap penuh
nikmat. Lalu begitu daging kelinci telah pindah ke da-
lam perutnya, buru-buru dipotesnya paha kelinci yang
sedikit hangus dan menebarkan aroma kurang sedap.
"Semprul! Tak seharusnya paha kelinci kesu-
kaanku ini terlalu hangus. Tapi, tak apa-apalah! Biar
hangus, toh masih terasa daging," celoteh pemuda
yang tak lain Soma pada diri sendiri.
Sehabis mengoceh begitu, pemuda berjuluk Siluman Ular Putih ini segera menyantap paha kelinci
panggang. Terlalu panas memang, tapi tidak dipeduli-
kannya. Meski lidahnya terasa seperti terbakar, mu-
lutnya terus mengunyah lahap.
Namun di saat Siluman Ular Putih tengah asyik
menikmati paha kelinci kesukaannya, tiba-tiba kesu-
nyian hutan terusik oleh suara tangis seseorang.
Sejenak Soma pun menghentikan kunyahan-
nya. Sepasang matanya bergerak-gerak ke arah da-
tangnya suara sambil beranjak bangun.
"Eh...! Siapa yang menangis di hutan sesepi ini?
Menilik suara tangisnya, tampaknya ia seorang gadis.
Ya ya ya...! Benar seorang gadis. Sebaiknya, kulihat sa-
ja sebentar. Siapa tahu ia gadis cantik? Atau malah,
jangan-jangan peri hutan ini yang tengah kesepian
mencari mangsa? Hih.... Jadi ngeri aku! Tapi, tak ada
jeleknya kalau aku melihatnya sebentar," gumam Si-
luman Ular Putih dalam hati.
Segera Soma melemparkan paha kelincinya ke
semak-semak belukar di depannya. Lalu dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, tubuhnya berkelebat cepat ke arah datangnya
suara.
Tidak lama kemudian, Soma segera menemu-
kan asal suara tangis tadi. Dan rupanya, harapan Si-
luman Ular Putih terkabul. Ternyata, yang tengah me-
nangis di balik batang pohon adalah seorang gadis
cantik!
"Huh! Baik benar nasibku kali ini. Tak kusang-
ka harapanku terkabul. Tak kuduga, ternyata yang
menangis seorang gadis cantik!" oceh Siluman Ular Pu-
tih lagi dalam hati.
Namun, Soma belum juga beranjak dari tem-
patnya bersembunyi. Malah dengan senyum nakal terkembang di bibir, sepasang mata tajamnya terus men-
jilati gadis cantik di hadapannya, penuh kagum.
Sosok gadis yang tengah diperhatikan memang
cantik. Usianya paling baru delapan belas tahun. Na-
mun wajahnya yang berbentuk bulat telur terlihat
kuyu dengan air mata membasahi pipi. Bentuk kedua
bibirnya tipis kemerah-merahan bak delima merekah.
Bentuk hidungnya mancung. Belum lagi dengan ram-
butnya yang hitam panjang dikuncir dua ke belakang!
Sementara bentuk tubuhnya yang ramping dibalut pa-
kaian ringkas warna hijau.
"Bukan main! Benar-benar cantik gadis satu
ini. Tak kusangka di tengah hutan sesepi ini ternyata
ada penghuninya seorang gadis cantik!" celoteh Soma
dalam hati.
Lalu dengan langkah hati-hati, Siluman Ular
Putih pun mulai mendekati si gadis.
Mendengar langkah-langkah halus mendekati,
si gadis buru-buru mengangkat wajahnya seraya me-
nyeka airmata dengan sedikit agak gugup. Lalu kepa-
lanya menoleh ke arah Soma.
"Kenapa kau hapus air matamu, Nona? Kukira
kau malah tambah manis dengan airmata bercucuran
begitu," usik Soma mulai membuka percakapan.
Si gadis kembali menunduk, menyembunyikan
kepalanya dalam-dalam. Sewaktu bersitatap dengan
pemuda tampan di hadapannya, tiba-tiba saja hatinya
jadi berdegup aneh. Namun secepat itu pula ia berusa-
ha menguasai perasaannya. Segera kepalanya diangkat
kembali. Sepasang matanya pun lantas bergerak-gerak
aneh, memperhatikan sosok Siluman Ular Putih sek-
sama.
"Jangan buang air matamu percuma, Nona!
Aku takut burung-burung akan beterbangan dan ma
tahari malas bersinar begitu mendengar suara tangis-
mu yang teramat menyayat hati," usik Siluman Ular
Putih lagi, mulai kambuh penyakitnya.
"Diam! Namaku bukan Nona! Aku Ningtyas!
Dan lagi, tak seharusnya kau mencampuri urusanku,
Pemuda Usil! Mau aku menangis di sini kek, di tempat
lain kek. Apa pedulimu?" bentak si gadis yang ternyata
Ningtyas, murid tunggal si Raja Pedang.
"Cccck...! Cccckkk...! Oh... jadi namamu Ning-
tyas? Bagus juga namamu. Oh, ya Ningtyas. Apa kau
tidak lihat kalau burung-burung kontan beterbangan,
begitu mendengar suara tangismu?" goda Siluman Ular
Putih.
"Pemuda nyinyir! Apa telingamu budek? Aku bi-
lang diam! Kenapa kau masih ngoceh tidak karuan?"
sungut si gadis jengkel.
Si pemuda tersenyum-senyum nakal. Lalu tan-
pa mempedulikan kemarahan si gadis, Soma meletak-
kan pantat di depannya.
"Uh... genit!"
Sambil memaki begitu, si gadis menyingkir
agak menjauh. Sementara Soma hanya garuk-garuk
kepala melihat sikap Ningtyas.
"Ah...! Kenapa menyingkir, Ningtyas? Apa kau
tak tahan dengan bau tubuhku? Sudah dua hari ini
aku memang tak sempat mandi. Jadi, ya maklumlah
kalau bau badanku sedikit kurang sedap. Tapi, kau
mau kan kalau aku ingin bersahabat denganmu?" celo-
teh Soma seolah-olah tidak menyadari kejengkelan
Ningtyas. "Atau...? Jangan-jangan kau sewot melihat
pemuda setampan aku ini? Jangan begitu, ah! Nanti
aku jadi besar kepala, lho!"
"Tak ada gunanya bicara dengan pemuda sint-
ing macam kau!" sungut Ningtyas jengkel, seraya
bangkit.
Namun di saat gadis itu hendak beranjak me-
ninggalkan tempat ini, entah bagaimana tiba-tiba len-
gan tangan kanannya telah terpegang oleh tangan Si-
luman Ular Putih.
"Eh...! Mau apa kau ini, he?! Beruntung aku ti-
dak merobek-robek mulutmu. Pakai pegang-pegang
tangan lagi. Lepaskan!" bentak Ningtyas kesal.
Tangan kanan si gadis yang terpegang Soma
segera disentakkan keras-keras. Namun sedikit pun Si-
luman Ular Putih tidak mau mengendurkan pegangan-
nya. Begitu Ningtyas kembali menyentakkan tangan-
nya, si pemuda makin memperketat pegangannya. Se-
hingga, gadis cantik itu meringis kesakitan.
Siluman Ular Putih tidak peduli. Malah bibirnya
terus mengumbar senyum nakal.
"Aku paling ngenes kalau mendengar suara
tangis. Apalagi suara tangisnya gadis cantik sepertimu,
Ningtyas,"
"Sekali ini kau tidak mau lepaskan tanganku,
jangan dikira aku tidak berani menamparmu, Keparat!"
bentak Ningtyas penuh kemarahan.
"Namaku bukan Keparat. Namaku Soma. Kau
sendiri, kenapa menangis seorang diri di tengah hutan
sunyi ini?" tukas Siluman Ular Putih, terus menggoda
seraya memamerkan giginya yang putih-putih.
Ningtyas gusar bukan main. Sepasang matanya
yang indah berkilat-kilat penuh kemarahan,
"Ah...! Kenapa kau tampak uring-uringan begi-
ni? Baiklah. Aku akan melepaskan pegangan tangan-
mu. Tapi tolong ceritakan, kenapa kau menangis di si-
ni!" susul Soma sambil melepaskan tangannya
"Pemuda sinting! Mana sudi aku bicara den-
ganmu?!" sentak Ningtyas kasar.
Soma garuk-garuk kepala. Entah kenapa, meli-
hat sikap gadis cantik di hadapannya, tiba-tiba saja
rambut murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-
lar Siluman Ular Putih itu jadi gatal.
Ningtyas mencibir sinis. Mungkin muak melihat
sikap Soma. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, si ga-
dis segera berkelebat cepat meninggalkan tempat ini
Kembali Soma hanya bisa menggaruk-garuk
kepala. Sementara matanya masih menatapi sosok
tinggi ramping yang terus berkelebat.
"Ah...! Dasar nasib sial! Sebenarnya aku ingin
bercakap-cakap barang sebentar untuk sekedar men-
gusir sepi. Tapi, sayang. Rupanya gadis cantik itu tidak
tertarik padaku. Baiklah. Kukira, lain waktu aku ma-
sih bisa menemuinya. Sekarang, sebaiknya aku meng-
habiskan daging kelinciku dulu, baru meneruskan per-
jalanan," desah Soma dalam hati.
***
TUJUH
Ningtyas terus berkelebat cepat meninggalkan
puncak Bukit Karang Kajen. Saat ini, rasa dendam
bercampur kekecewaan berkecamuk dalam hati murid
Raja Pedang itu. Gurunya tewas di tangan Dewa Lan-
git. Dan ia sebagai murid, merasa harus berbakti ter-
hadap gurunya. Makanya, kini Ningtyas bertekad men-
cari Dewa Langit untuk meminta pertanggung-
jawabannya.
"Dewa Langit...!" desis Ningtyas penuh kemara-
han. "Kini tak ada pilihan lain lagi. Terpaksa aku harus menuruti keinginanmu. Tapi, ingat! Walau sebe-
narnya aku tak sealiran dengan guruku, tapi sebagai
murid bagaimanapun juga harus berbakti. Aku harus
meminta pertanggungjawabanmu Dewa Langit atas te-
wasnya guruku!"
Ningtyas sejenak menghentikan langkahnya.
Dadanya yang membusung bergerak turun naik, me-
mendam kemarahan membludak. Udara segar di luar
hutan Bukit Karang Kajen terasa sesak.
"Tapi, ke mana aku harus mencari orang. Seo-
rang anak manusia yang terlahir dengan cara aneh,
sekaligus memiliki ilmu aneh pula seperti yang di in-
ginkan Dewa Langit? Hm...! Rasanya mustahil. Mana
mungkin di dunia ini ada anak manusia yang terlahir
aneh? Huh! Aku bagai mencari jarum ditumpukan je-
rami saja! Sungguh bukan satu pekerjaan mudah,"
dengus murid Raja Pedang gelisah.
Dan baru saja Ningtyas akan melanjutkan per-
jalanan, mendadak telinganya mendengar suara angin
berkesiur kencang ke arahnya,
Werrr! Werrr!
Bagaikan ada angin puting beliung, ranting-
ranting pohon, debu-debu jalanan bercampur daun-
daun kering kontan beterbangan tinggi ke udara. Po-
hon-pohon besar di sekitar tempat itu pun meliuk-liuk
ke sana kemari mengikuti arah angin.
Tubuh Ningtyas pun mulai limbung dipermain-
kan angin. Pakaian hijau-hijaunya berkibar-kibar
membuat beberapa kancing baju bagian atasnya tang-
gal. Sehingga menampakkan sebagian dadanya yang
membusung indah. Tapi si gadis tidak menyadarinya.
Perhatiannya saat ini tengah dipusatkan pada angin
puting beliung yang tiba-tiba menyerangnya. Bahkan
pusaran angin itu makin kencang. Sementara tubuh
nya pun mulai limbung tak terkendali. Padahal tenaga
dalamnya pun telah dikerahkan.
"Setan alas! Pasti ada orang sakti yang usil di
sekitar tempat ini!" maki Ningtyas, ketika setangan an-
gin puting beliung mulai berhenti.
Dan baru saja murid Raja Pedang itu menarik
napas lega, tiba-tiba....
"Ha ha ha...! Selamat datang di tempatku, Ga-
dis Cantik! Senang sekali aku menerima kedatangan-
mu!"
Ningtyas menggeram penuh kemarahan ketika
mendengar suara berat ditingkahi suara tawa yang
menggetarkan. Suara tawa itu terdengar menggema ke
segenap penjuru. Seketika si gadis mengedarkan pan-
dangan mencari sumber suara. Namun sayang, asal
suara tawa itu seperti berubah-rubah. Terkadang ter-
dengar di timur, namun sebentar kemudian seperti da-
tang dari barat. Bahkan kemudian sudah pindah ke
sebelah lain, sebelum si gadis bisa menentukannya.
"Keparat! Tunjukkan dirimu, Manusia Penge-
cut!" bentak Ningtyas penuh kemarahan, disertai pen-
gerahan tenaga dalam pada suaranya.
Tapi suara tawa itu kian terdengar bergelak.
Dan karena disertai dorongan tenaga dalam, membuat
sekujur tubuh Ningtyas menggigil hebat. Namun buru-
buru murid Raja Pedang itu mengerahkan hawa murni
hingga sedikit dapat mengusir pengaruh suara baru-
san.
"Hm...! Sudah jelas, orang itu pasti memiliki te-
naga dalam hebat. Kukira aku harus berhati-hati
menghadapinya," keluh si gadis perlahan sekali.
Sejenak Ningtyas menunggu kemunculan orang
yang menyerangnya lewat suara tawa barusan. Namun
yang ditunggu tak juga menampakkan batang hidung
nya.
"Bedebah! Kau belum juga menunjukkan ba-
tang hidungmu, he?! Baik! Kalau begitu. Makanlah
pukulan 'Bara Neraka'-ku! Heaaa...!"
Dikawal bentakan nyaring, mendadak Ningtyas
mendorongkan kedua telapak tangannya yang telah
berubah jadi merah kekuningan ke arah semak-semak
belukar. Seketika dua buah sinar merah kekuningan
meluncur cepat menghantam semak-semak belukar.
Prasss!
Semak belukar yang jadi sasaran kemarahan
gadis cantik itu terpapas habis. Sebagian lainnya han-
gus terbakar, dan masih mengobarkan api di sana-sini!
Geraham Ningtyas bergemeletak penuh kema-
rahan. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau si pe-
milik suara terpengaruh oleh sambaran pukulan 'Bara
Neraka'. Malah selang beberapa saat....
"Bagus, bagus! Rupanya kau punya sedikit ke-
pandaian juga, Nona? Senang sekali kalau Algojo Dari
Timur dapat berkenalan denganmu. Apalagi, kalau
mau menemaniku barang dua atau tiga malam," lanjut
suara tanpa wujud itu.
Ningtyas muak sekali mendengar ocehan suara
yang berbau cabul itu. Namun kali ini mendadak kepa-
lanya berpaling ke belakang. Dan betapa terkejutnya
gadis itu ketika melihat di atas ranting kecil sebesar ja-
ri kelingking tampak seorang lelaki tinggi besar ter-
bungkus pakaian merah dan kuning. Rambut kepa-
lanya dikuncir ke atas. Hanya itu saja rambutnya. Se-
lebihnya, plontos! Sebuah anting besar pun tampak
menghiasi telinga kirinya. Wajahnya dingin mem-
bayangkan kekejian luar biasa. Hidungnya besar den-
gan mata bulat besar. Rahangnya besar menyiratkan
kelicikan. Ia tak lain memang Algojo Dari Timur. (Untuk mengetahui siapa Algojo Dari Timur silakan baca:
"Misteri Bayi Ular" dan "Manusia Rambut Merah").
"Kenapa menghadang langkahku, he?!" bentak
Ningtyas mengkelap.
Algojo Dari Timur hanya memperdengarkan su-
ara sumbang. Dan begitu tawanya mereda, tubuhnya
segera melenting tinggi ke udara, membuat pakaiannya
yang kedodoran berkibar-kibar.
Tepat ketika lelaki kasar itu mendarat, seketika
tanah di sekitar tempat ini bergetar hebat! Pada bagian
yang terkena injakan kontan berlobang besar!
"Kenapa? Kau tanyakan kenapa, Cah Ayu?" tu-
kas Algojo Dari Timur disusul suara tawa bergelak.
"Baik, baik! Aku Algojo Dari Timur yang menguasai
Hutan Karang Kajen ini tentu saja mengharapkan upe-
ti dari orang yang melintas!"
Ningtyas mengeluh dalam hati. Meski belum
pernah bertemu, namun menurut keterangan dari
mendiang gurunya, tokoh sesat dari timur itu memiliki
kesaktian tinggi. Bahkan sama sekali tidak mengenal
belas kasihan.
"Hm...! Rupanya hari ini aku tengah berhada-
pan dari tokoh sesat dari timur itu. Agaknya aku harus
hati-hati. Sebab menurut keterangan Guru, tokoh se-
sat ini sangat licik dan keji!" kata Ningtyas dalam hati.
"Hm...! Algojo Dari Timur! Kukira, dosamu su-
dah bertumpuk. Alangkah akan nyamannya bila
orang-orang macam kau ini lekas-lekas enyah dari
bumi. Dan akulah yang akan mengirim nyawa busuk-
mu menemui kakek moyangmu di alam kubur!" den-
gus murid Raja Pedang ketus.
Algojo Dari Timur tertawa bergelak. Saking ge-
linya, tokoh sesat dari Hutan Karang Kajen ini sampai
mengeluarkan airmata!
"Lucu! Lucu sekali! Baru kali ini aku melihat
seorang gadis segalak dirimu. Baik, baik! Tunjukkan
kebolehanmu, bagaimana caranya menghajarku! Tapi
kalau tak sanggup, kau harus membalas serangan-
serangan di atas tempat itu, Nona."
Ningtyas mengkelap bukan main. Saking ama-
rahnya tak dapat dikendalikan segera kedua telapak
tangannya yang telah berubah jadi merah kekuningan
didorongkan ke depan.
Wesss! Wesss!
Seketika meluruk dua sinar merah kekuningan
dari kedua telapak tangan murid Raja Pedang siap me-
labrak tubuh tinggi besar Algojo Dari Timur!
Tentu saja tokoh sesat bertubuh tinggi besar itu
tak sudi tubuhnya dijadikan sasaran. Ketika sedikit la-
gi kedua sinar itu melabrak tubuhnya, secepatnya ke-
dua tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi dihen-
takkan.
"Aji 'Pemecah Bumi'! Heaaa...!"
Bummm...!
Terjadi ledakan hebat bukan main ketika dua
kekuatan dahsyat bertemu. Seketika bumi pun ber-
guncang! Ranting-ranting pohon berderak dengan
daun-daun hangus terbakar!
Algojo Dari Timur yang baru saja melepas ajian
'Pemecah Bumi' tertawa bergelak. Kedua kakinya sem-
pat melesak beberapa dim ke dalam. Sedang sewaktu
terjadinya bentrokan tadi, tubuh si gadis kontan lim-
bung.
Melihat calon mangsanya belum bisa mengen-
dalikan keseimbangan, tokoh sesat dari Hutan Karang
Kajen itu pun segera melompat cepat. Jari-jari tangan-
nya terkembang, siap menotok tubuh Ningtyas. Begitu
cepat gerakannya, sehingga....
Tukkk! Tukkk!
"Aaahh...!" Ningtyas memekik tertahan saat to-
tokan Algojo Dari Timur mendarat di atas dadanya.
Seketika tubuh murid Raja Pedang itu pun kaku tak
dapat bergerak
"Ha ha ha...!"
Saat mendarat, Algojo Dari Timur tertawa ber-
gelak. Sepasang matanya berkilat-kilat terus menjilati
tubuh Ningtyas tanpa berkedip. Apalagi ketika sepa-
sang mata bengisnya tertumbuk pada bagian membu-
sung di dada murid Raja Pedang yang sedikit terbuka.
Seolah gejolak hatinya tak kuasa lagi ditahan untuk
segera menikmati tubuh Ningtyas.
"Kau cantik sekali, Nona! Rasanya tak mungkin
lagi kubiarkan tubuhmu yang montok begini," desah
Algojo Dari Timur sambil menelan ludahnya sendiri
Habis berkata begitu, tokoh sesat dari Hutan
Karang Kajen ini segera mendekati tubuh Ningtyas. Ja-
ri-jari tangannya yang besar segera bergerak cepat.
Dan....
Bret! Bret!
"Aauww...!"
Ningtyas menjerit ngeri. Tanpa ampun lagi pa-
kaian hijaunya di bagian dadanya robek, menampak-
kan sepasang buah dadanya yang besar menggairah-
kan.
"Bajingan! Lepaskan aku! Lepaskan aku...!!!" te-
riak Ningtyas kalang kabut.
Algojo Dari Timur tak peduli lagi. Begitu meli-
hat sepasang buah dada yang terasa mengundang,
tangan-tangan kekarnya segera meraih tubuh Ning-
tyas. Langsung direbahkannya gadis itu di atas rerum-
putan.
Ningtyas berteriak-teriak menyayat, menyadari
kalau sebentar lagi sebuah petaka bakal merenggut
kehormatannya. Gigi-giginya yang runcing berkali-kali
mencoba menggigit ke sana kemari. Namun dengan
mudahnya Algojo Dari Timur mempermainkannya.
Bahkan kemudian tangannya bergerak-gerak liar,
menjamah dua bukit kembar milik Ningtyas setelah
menindihnya.
Menyadari kehormatannya terancam, murid
Raja Pedang itu mulai putus asa. Tanpa disadari air-
mata pun menitik. Dengan suara tersendat-sendat,
berkali-kali Ningtyas minta dirinya dilepaskan. Namun
suara-suara itu dianggap sebagai rintihan penuh nik-
mat oleh lelaki kasar itu.
"Jangan menangis, Cah Ayu! Kau tidak akan ku
sakiti. Aku malah akan membawamu terbang jauh ke
langit tingkat tujuh," desis Algojo Dari Timur.
"Boleh-boleh saja kau ajak gadis cantik itu ter-
bang jauh. Tapi, hati-hati! Nanti malah kau sendiri
yang jatuh ke comberan!"
"Heh...?!"
Tiba-tiba terdengar suara dari arah samping
yang disertai serangkum angin dingin ke arah Algojo
Dari Timur. Lelaki sesat ini cepat menggulingkan tu-
buhnya, kalau tak ingin celaka.
Brakkk!
Batang pohon sebesar satu lingkaran tangan
manusia yang tak jauh dari tempat itu kontan tum-
bang dan jatuh berdebam ke tanah terkena serangan
nyasar. Debu-debu pun langsung membubung tinggi
menyelimuti tempat itu!
Sewaktu menggulingkan tubuhnya ke samping,
sial bagi Algojo Dari Timur. Ternyata di sampingnya te-
lah menunggu sebuah kubangan Lumpur
"Nah nah...! Kubilang apa? Akhirnya jatuh ke
comberan, kan?" ejek sosok penyerangnya.
Algojo Dari Timur marah bukan main. Apalagi
ketika mendengar suara tawa yang mencemooh di-
rinya.
Melihat siapa yang datang menolong, Ningtyas
tak dapat lagi kendalikan perasaannya. Airmatanya
yang membasahi pipinya pun makin dibiarkan mem-
banjir. Kedua bibirnya bergetar-getar. Matanya terus
memandangi sosok pemuda yang berdiri tak jauh da-
rinya.
"Kau.... Kau! Terima kasih atas pertolonganmu,
Soma," ucap murid Raja Pedang bergetar.
***
DELAPAN
Sosok pemuda berambut gondrong yang me-
mang Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-
nyum-senyum nakal. Sementara sepasang matanya
yang tajam pun terus menatap sepasang bukit kembar
Ningtyas yang membusung indah.
Sementara Ningtyas yang tidak menyadari kea-
daan dirinya hanya menangis sesenggukan. Namun
sepasang matanya yang indah pun sesekali mencuri
pandang pada sesosok pemuda tampan di hadapan-
nya.
Algojo Dari Timur yang sudah cukup mengenal
siapa pemuda tampan di hadapannya kontan membe-
liakkan matanya liar. Selang beberapa saat, kedua pe-
lipisnya bergerak-gerak penuh kemarahan.
"Bangsat! Lagi-lagi kau yang menghalang
halangi niatku, Siluman Ular Putih!" bentak Algojo Da-
ri Timur, langsung meloncat bangun.
Mendengar nama pemuda tampan itu disebut,
kekaguman Ningtyas pun makin bertambah. Meski be-
lum pernah bertemu sebelumnya, namun dari kabar
yang tersiar ia tahu kalau pemuda itu adalah seorang
pendekar muda yang akhir-akhir ini menggemparkan
dunia persilatan.
"Selamat bertemu kembali, Algojo Dari Timur.
Aku memang senang menghalang-halangi maksud bu-
sukmu. Juga maksud orang-orang yang telengas lain-
nya," kata Soma, kalem.
"Setan alas! Kali ini aku tidak akan mele-
paskanmu lagi, Siluman Gondrong! Jangan dikira sete-
lah kau mengalahkan aku waktu itu, aku sudi mene-
rima kekalahan begitu saja, he?! Sekaranglah saatnya
untuk membalas kekalahanku!" dengus Algojo Dari
Timur, kalap.
Memang, setelah dikalahkan oleh Siluman Ular
Putih di puncak Gunung Merapi, diam-diam tokoh se-
sat dari Hutan Karang Kajen itu pulang ke tempat per-
sembunyiannya. Dan di tempat itu, giat melatih jurus-
jurus silat dan kesaktian selama berbulan-bulan tanpa
mengenal lelah. Dan kini setelah jurus-jurus silatnya
dan kesaktiannya dapat disempurnakan, maka tak he-
ran kalau Algojo Dari Timur kini tidak merasa gentar
menghadapi Siluman Ular Putih.
"Sekarang kau muncul di hadapanku, Siluman
Ular Putih! Kebetulan sekali. Tangan-tanganku sudah
lama sekali ingin membeset jantungmu," geram Algojo
Dari Timur penuh kemarahan.
Algojo Dari Timur segera mementangkan ka-
kinya lebar-lebar. Perlahan-lahan, tangan kanannya
yang terkepal bergerak menyilang di atas kepala. Tangan kirinya yang juga terkepal diletakkan di sisi ping-
gang. Lalu....
"Hea...! Hea...!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh tinggi besar
Algojo Dari Timur segera berkelebat cepat menyerang
Siluman Ular Putih. Tangan kanannya yang terkepal
erat cepat melepas bogem mentah ke wajah si pemuda.
Sedang tangan kiri yang juga terkepal erat siap pula
didaratkan ke ulu hati.
Hebat bukan main serangan-serangan tokoh
sesat dari Hutan Karang Kajen itu. Sebelum serangan-
nya tiba, terlebih dahulu telah berkesiur angin dingin
menyambar-nyambar kulit tubuh Siluman Ular Putih.
Melihat datangnya serangan, murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu segera membuka jurus-jurus
'Terjangan Maut Ular Putih' yang menjadi andalannya.
Sedang kedua telapak tangannya yang kini berubah
jadi putih terang siap melontarkan pukulan maut te-
naga 'Inti Bumi'.
"Heaaa...!"
Dan begitu serangan-serangan Algojo Dari Ti-
mur mulai mendekati sasaran, kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih yang membentuk dua kepala ular
pun segera bergerak lincah.
Plakkk! Plakkk!
Begitu terjadi benturan tangan, dengan gerakan
sulit terduga Algojo Dari Timur melayangkan bogem
mentah ke beberapa bagian yang mematikan di tubuh
Siluman Ular Putih. Namun pada saat itu, si pemuda
segera dapat membaca arah gerakan. Cepat bagai kilat
segera dipapakinya pukulan-pukulan Algojo Dari Ti-
mur dengan gerakan patukan-patukan kedua telapak
tangannya.
Plakkk! Plakkk!
Serangan-serangan Algojo Dari Timur berhasil
ditangkis oleh patukan-patukan kedua tangan Siluman
Ular Putih. Seketika buku-buku tangan lelaki sesat
membiru seperti membentur lempengan baja yang kuat
sekali!
Algojo Dari Timur menggeram penuh kemara-
han. Namun sebelum sempat melancarkan serangan
susulan, tanpa terduga-duga tubuh Siluman Ular Pu-
tih telah berkelebat cepat. Patukan-patukan kedua
tangannya tahu-tahu telah mengancam dada lelaki se-
sat itu.
Tukkk! Tukkk!
Telak sekali patukan kedua telapak tangan Si-
luman Ular Putih yang membentuk dua kepala ular
mendarat di dada Algojo Dari Timur. Seketika tubuh
tokoh itu terjajar beberapa langkah ke belakang. Pa-
rasnya pucat pasi! Seisi dadanya yang terkena patukan
tadi terasa mau jebol!
Algojo Dari Timur menggeram penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang besar berkilat-kilat. Lalu
dengan kasar, senjata andalannya yang berupa parang
besar dikeluarkan. Kilatan-kilatan mata parang yang
terkena sinar matahari memendarkan cahaya mengi-
riskan. Lalu disertai teriakan membelah langit, Algojo
Dari Timur kembali menerjang Siluman Ular Putih
dengan parang berputar-putar kencang.
"Ah...! Kau ini tak ubahnya seperti penjagal sa-
pi saja, Algojo Dari Timur. Hei! Ingat, ya! Aku bukan
sapi yang seenaknya dapat dijagal!" ejek Siluman Ular
Putih.
Algojo Dari Timur sedikit pun tak tertarik untuk
meladeni ocehan murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Malah parang di tangannya makin bergerak-gerak
mengiriskan. Namun anehnya, Siluman Ular Putih
enak-enakan berkelit ke sana kemari sambil bersiul-
siul gembira. Bahkan sesekali disusupkannya patu-
kan-patukan kedua tangannya ke tubuh Algojo Dari
Timur.
"Hia...! Kena!"
Tukkk! Tukkk!
"Aaakh...!"
Algojo Dari Timur menjerit kesakitan. Batok ke-
palanya yang terkena patukan tangan Siluman Ular
Putih terasa mau pecah. Untung saja tadi tenaga da-
lamnya telah dikerahkan. Sehingga patukan-patukan
Siluman Ular Putih tidak terlalu membahayakan, wa-
lau kepalanya masih berdenyut-denyut.
Menyadari serangan-serangannya hanya me-
nemui kesia-siaan, Algojo Dari Timur menggembor pe-
nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya yang telah
berubah kuning berkilauan siap melontarkan pukulan
'Badai Gurun Pasir'. Dan begitu kedua telapak tangan-
nya dihantamkan ke depan. Seketika serangkum angin
panas yang bukan kepalang meluncur dari kedua tela-
pak tangannya.
Melihat serangan yang demikian hebat, Silu-
man Ular Putih tak berani lagi bersikap ayal-ayalan.
Segera dikeluarkannya pukulan maut tenaga 'Inti Bu-
mi'. Seketika kedua telapak tangannya pun berubah
jadi putih terang. Kemudian dengan menggunakan se-
pertiga bagian tenaga dalamnya, segera dipapakinya
serangan Algojo Dari Timur.
Wesss! Wesss!
Memang tak ada ledakan hebat dari bentrokan
dua tenaga dalam barusan. Namun selang beberapa
saat, tiba-tiba angin panas dari kedua telapak tangan
Algojo Dari Timur telah buyar, langsung menyambar-
nyambar ranting-ranting dan daun-daun di sekitar
tempat pertarungan. Seketika di sekitar tempat perta-
rungan pun bagai hangus terbakar!
"Hup...!"
Algojo Dari Timur segera buang tubuhnya ke
samping. Dan ketika kembali tegak, wajah garang to-
koh sesat dari Hutan Karang Kajen itu berubah pias-
nya. Telapak tangannya pun mendekap erat ke dada,
seolah-olah ingin menahan guncangan dalam tubuh-
nya. Namun sayangnya Algojo Dari Timur tak kuasa.
Dari rahangnya yang mengembung pun segera me-
nyemburkan darah segar!
"Nah! Sekarang baru aku pinjam parangmu.
Aku ingin lihat seperti apa sih, enaknya jadi pejagal
manusia-manusia sapi macammu," celoteh Siluman
Ular Putih menggoda, lalu segera mendekati Algojo Da-
ri Timur.
Paras Algojo Dari Timur tampak makin pucat
bagai mayat. Seketika nyalinya pun lumer. Dan saat
melihat Siluman Ular Putih mulai melangkah mende-
kati, segera tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan
tempat ini.
Siluman Ular Putih tak berhasrat mengejar.
Perhatiannya kini tertuju pada gadis cantik yang sem-
pat menggoda hatinya dan masih terbaring di atas re-
rumputan.
***
Wajah cantik murid si Raja Pedang mendadak
jadi berseri-seri. Senyum manisnya pun tampak ter-
sungging di bibir. Namun ketika menyadari sikapnya
tadi sewaktu mereka masih berada di puncak Bukit
Karang Kajen, mendadak sikapnya jadi salah tingkah.
"Ah...! Aku benar-benar minta maaf, Soma.
Demi Tuhan, aku tidak menduga kalau kau adalah Si-
luman Ular Putih yang sedang banyak dibicarakan
orang," ucap Ningtyas gugup.
Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-
nyum. Sementara sepasang matanya yang tajam tak
henti-hentinya memandangi buah dada Ningtyas yang
membusung indah. Dan tanpa sadar, si pemuda jadi
menelan ludahnya sendiri.
Ningtyas yang kini menyadari keadaan dirinya
jadi malu bukan main. Semburat rona merah pun kon-
tan menghiasi kedua pipinya. Namun ketika hendak
menutupi buah dadanya, gadis cantik itu jadi menge-
luh. Ternyata tubuhnya masih kaku tak dapat dige-
rakkan.
"To.... Tolonglah bebaskan totokanku, Soma!"
pinta Ningtyas malu-malu.
Soma yang masih terpaku pada sepasang buah
dada yang terpentang di depan mata itu mendadak jadi
tersentak kaget dan salah tingkah. Saking kagetnya,
tanpa sadar dadanya ditarik ke belakang.
"Ah, ya? Apa tadi kau bilang, Ningtyas?" Ning-
tyas mengeluh. Sebenarnya, mulutnya ingin sekali
mengeluarkan cacian. Namun buru-buru niatnya di-
urungkan.
"Aku tertotok. Tolonglah bebaskan totokanku,
Soma," pinta Ningtyas sedikit lebih lancar.
"Oh...!" Soma menepuk jidatnya. "Kenapa aku
jadi lupa begini? Baiklah!"
Dengan menahan perasaan jengah, terpaksa
Ningtyas hanya memejamkan kedua bola matanya se-
waktu murid Eyang Begawan Kamasetyo menotok pu-
lih tubuhnya. Dan begitu terbebas, murid Raja Pedang
segera menggulingkan tubuhnya ke samping.
"Tolong belakangi aku sebentar, Soma! Aku ingin membetulkan pakaianku," ujar Ningtyas.
"Baik."
Tanpa banyak cakap, Soma segera berbalik.
Sambil menunggu gadis itu membetulkan pakaian,
murid Eyang Begawan Kamasetyo mencoba membuka
percakapan.
"Sebenarnya, kenapa tadi kau menangis demi-
kian menyedihkan di dalam hutan?"
Ningtyas yang tengah sibuk membetulkan pa-
kaian sengaja tidak langsung menjawab. Dan dengan
agak gugup pakaiannya yang robek memanjang di sa-
na sini diikat. Memang tidak begitu rapi dan masih
menampakkan sebagian lekuk-lekuk tubuhnya. Tapi
itu sudah cukup. Baru kemudian Ningtyas segera
mendekati pemuda penolongnya.
"Sebelumnya aku minta maaf atas kelakuanku
tadi, Soma! Aku memang sedang bersedih. Guruku,
Raja Pedang tewas di tangan manusia durjana yang
bergelar Dewa Langit."
"Ya ya ya...! Tapi, sekarang aku sudah diperbo-
lehkan melihat tubuh..., eh! Maksudku, bolehkah aku
berbalik?" kata Soma buru-buru mengulangi ucapan-
nya.
Sebenarnya sewaktu gadis cantik di belakang-
nya tadi berbicara, murid Eyang Begawan Kamasetyo
masih sangat terkesan dengan tubuh Ningtyas yang te-
rus membayang di benaknya.
"Tentu! Tentu! Kenapa tidak?"
Soma pun segera berbalik. Senyum nakalnya
pun kontan tersungging di bibir begitu melihat gadis
cantik di hadapannya. Sejenak pandang matanya pun
terus menelusuri tubuh tinggi ramping di hadapannya.
"Kau... kau tampak cantik sekali dalam kea-
daan begini, Ningtyas."
Sekali lagi Ningtyas tersenyum. Hatinya merasa
tersanjung mendengar perkataan pemuda tampan di
hadapannya.
"Oh, iya. Tadi kau menyebut-nyebut Raja Pe-
dang dan Dewa Langit. Ada apa sih sebenarnya? Kena-
pa kau tadi menangis demikian menyedihkan?" ulang
Soma.
Ningtyas bungkam. Kedua bibirnya yang tipis
berwarna kemerahan tampak bergetar bila teringat se-
pak terjang Dewa Langit yang telah menewaskan gu-
runya, sekaligus membuat dirinya menderita.
Sementara itu Soma yang kurang memperhati-
kan gadis cantik di hadapannya sudah meletakkan
pantatnya di atas rerumputan. Lalu ditariknya lengan
Ningtyas.
"Hayo, duduk! Kan enak kalau bicara sambil
duduk begini," ujarnya.
Ningtyas yang merasa lamunannya dibuyarkan
oleh tarikan tangan Soma pun segera tersadar. Namun
untuk sesaat, ia belum juga buka suara. Perasaannya
yang menggemuruh sejenak dibiarkan bermain dalam
hati. Namun perlahan ia mulai dapat kendalikan pera-
saannya yang galau. Dan mulailah si gadis bercerita.
Selama Ningtyas bercerita, Soma hanya men-
gangguk-angguk saja. Tak ada keinginan untuk memo-
tong cerita Ningtyas. Namun ketika Ningtyas berkali-
kali menyebut nama Dewa Langit, si pemuda jadi mu-
lai tertarik.
"Apa? Kau bilang, kau diberi tugas untuk dapat
menemukan seorang anak manusia yang dilahirkan
secara aneh dan sekaligus memiliki ilmu aneh pula,
Ningtyas?"
"Iya. Dan untuk itu pula manusia durjana De-
wa Langit itu melukaiku. Entah kenapa, sejak terkena
totokan tua bangka keparat itu, ulu hatiku terasa nyeri
bukan main. Tapi, tak apalah. Nanti kalau aku sudah
menemukan orang yang dicari Dewa Langit, baru aku
boleh menemuinya di Hutan Watu Malang," sungut
murid Raja Pedang.
"Dewa Langit...? Rasa-rasanya aku pernah
mendengar nama itu. Kalau tidak salah, dulu eyang
pernah bercerita. Dewa Langit adalah serang tokoh
sakti yang jarang sekali mendapat lawan tanding. Ko-
non hanya Eyang Bromo sajalah yang dapat menan-
dingi kesaktiannya. Tapi, kenapa menebar angkara
murka di dunia persilatan? Bukankah ia dari golongan
putih? Ah...! Bisa jadi bukan Dewa Langit yang seperti
diceritakan Eyang. Sebab menurut cerita Eyang, tokoh
itu sudah sangat tua. Dan kini sudah lama tidak me-
nampakkan diri di dunia persilatan. Entah ia menyem-
bunyikan diri, atau memang sudah mati. Tapi menurut
perkiraanku, pasti bukan Dewa Langit yang dicerita-
kan Eyang," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo
dalam hati.
Sambil melamun begitu, Soma mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Memang sulit untuk mencari anak manusia
yang seperti diinginkan Dewa Langit. Tapi, tak apa-
apalah! Aku pasti akan membantumu. Cuma sekarang,
ke mana aku mesti mencari manusia yang bergelar
Dewa Langit itu, Ningtyas?" tanya Soma.
"Aku sendiri tidak tahu, Soma. Tapi, kau berha-
ti-hatilah kalau bertemu dengannya. Kesaktiannya
tinggi sekali. Bahkan guruku pun dapat ditewaskan-
nya hanya dalam satu gebrakan. Sungguh tidak ma-
suk akal. Guruku yang sakti itu dapat dirobohkan
hanya dalam satu gebrakan. Kuharap kau... kau...."
Ningtyas tak jadi melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Semburat rona merah
pun kembali menghiasi pipi.
"Kau berharap apa, Ningtyas? Kenapa kau tidak
melanjutkan?" usik Soma.
"Aku.... Aku...." Ningtyas gelagapan. Debar-
debar aneh dalam hatinya makin membuat rona merah
di kedua pipinya terlihat jelas.
Mendadak Soma pun tertawa bergelak, mem-
buat Ningtyas memandangi dengan kening berkerut.
"Apa kau mengkhawatirkan keselamatanku,
Ningtyas? Kulihat wajahmu selalu merona merah. Pasti
kau mengkhawatirkan keselamatanku. Tak mungkin
meleset tebakanku, bukan?" tebak murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo, besar kepala.
Ningtyas gelisah sekali. Tapi memang benar apa
yang diucapkan pemuda tampan di sampingnya. Dan
untuk mengakuinya, mana mungkin gadis cantik ini
berani. Dan hal ini pula yang membuat tawa murid
Eyang Begawan Kamasetyo makin bergelak.
Dan di saat Soma hendak membuka suara
kembali, mendadak pendengarannya yang tajam me-
nangkap gerakan-gerakan halus beberapa orang ten-
gah mendekati tempat ini.
"Kalau ada apa-apa tenang saja, Ningtyas!
Tampaknya ada dua orang tengah mendengarkan
pembicaraan kita."
***
SEMBILAN
Ningtyas melengak kaget. Diam-diam hatinya
makin kagum pada pemuda tampan di sampingnya.
Namun, rupanya ia pun tak dapat menahan rasa ingin
tahunya. Dan ketika kepalanya berpaling ke samping,
keningnya lantas berkerut.
Tak jauh dari tempat mereka, tampak dua
orang lelaki tua tengah tegak mengamati. Kedua orang
lelaki tua itu sama-sama sudah berusia lanjut. Yang
sebelah kanan mengenakan pakaian kafan warna pu-
tih. Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya yang panjang
memutih digelung ke atas. Wajahnya pun pucat mirip
mayat.
Sedang lelaki tua di sebelahnya memiliki paras
lucu menyerupai wajah bayi. Rambutnya putih dibiar-
kan riap-riapan di bahu. Tubuhnya yang pendek kurus
dibalut pakaian ringkas warna hitam. Melihat ciri-
cirinya, mereka tidak lain dari Hantu Pocong dan Iblis
Muka Bayi.
Sejak mereka dikalahkan oleh Dewa Langit,
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi jadi kesal sekali.
Untung saja mereka dapat membebaskan diri dari to-
tokan Dewa Langit. Kemudian mereka sepakat untuk
mencari Siluman Ular Putih.
"Cepat jawab pertanyaanku! Benarkah kau ber-
gelar Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong ga-
rang.
Soma alias Siluman Ular Putih tenang saja, se-
perti tak mempedulikan kehadiran kedua orang tua
itu.
"Kau ini bertanya pada siapa, Pak Tua," kata
Soma, kalem.
"Keparat! Aku bertanya padamu, tahu?" bentak
Hantu Pocong lagi. "Sekarang katakan! Benarkah kau
yang bergelar Siluman Ular Putih?"
"Oh...! Jadi kau bertanya padaku? Kenapa ka-
sar amat? Sopan sedikit dong?"
"Jangan banyak bacot! Apa kau tidak tahu ten-
gah berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Iblis Muka
Bayi garang.
Siluman Ular Putih sebenarnya heran, karena
kedua orang tua itu seperti mempunyai maksud yang
tidak baik. Lebih heran lagi, karena rasa-rasanya ia be-
lum pernah bertemu mereka. Jadi, tak ada alasan me-
reka memusuhinya.
"Heran-heran! Kenapa selalu saja ada orang
yang meributkan siapa aku? Hey, dengar! Kenapa sih
kalian usil bertanya tentang siapa aku sengaja? Dasar
kurang kerjaan! Sudah tua bukannya sadar, malah
mau cari penyakit!" gerutu si pemuda kesal.
"Bedebah! Kau bilang apa, Bocah?!" sentak Iblis
Muka Bayi gusar bukan main.
"Aku tidak ingin apa-apa. Kenapa kalian uring-
uringan begini? Maaf deh kalau bicaraku tadi sedikit
menyinggung perasaan. Makanya omonganku jangan
dimasukin ke hati. Coba dimasukkan ke mulut, aku
jamin pasti kalian kenyang," celoteh Soma seenak
dengkul.
"Bajingan! Kau jangan berlagak pilon, Bocah!
Melihat ciri-cirimu, pasti kaulah kunyuk kudisan ber-
gelar Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong.
Soma sejenak hanya cengar-cengir sambil ga-
ruk-garuk kepala. Namun belum sempat murid Eyang
Begawan Kamasetyo buka suara, tiba-tiba....
"Goblok! Dasar orang tua-orang tua goblok! Ke-
napa pakai tanya-tanya segala?! Kunyuk gondrong itu-
lah yang bergelar Siluman Ular Putih!"
Sebuah bentakan keras terdengar, disertai ber-
kelebatnya satu bayangan biru ke arah mereka.
***
Seketika paras Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi memerah. Keningnya pun berkerut-kerut melihat
seorang lelaki tua berpakaian biru telah berdiri tegak
di tempat itu. Rambutnya awut-awutan tak terawat.
Wajahnya kasar dipenuhi tonjolan daging. Sedang tu-
buhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna
biru.
"Peramal Maut! Berani kau menghinaku seperti
itu?!" bentak Hantu Pocong garang.
"Apa kau sudah bosan hidup hingga berani
membacot begitu, Peramal Maut?!" bentak pula Iblis
Muka Bayi tak kalah garang.
Lelaki tua yang memang Peramal Maut hanya
tertawa bergelak seraya ketuk-ketukkan tongkat di
tangan kanannya ke tanah. Aneh! Meski tongkatnya
diketuk-ketukkan. Perlahan, namun seketika tanah di
sekitar tempat itu bergetar! Pada bagian yang terkena
ketukan tongkat pun kontan berlobang!
Sementara Siluman Ular Putih merasa dongkol
bukan main melihat kemunculan Peramal Maut. De-
mikian juga Ningtyas. Meski mulutnya terkunci rapat-
rapat, namun menilik kilatan sepasang matanya yang
indah itu jelas kalau murid Raja Pedang ini tak me-
nyukai kehadiran lelaki tua jago meramal itu.
"Kenapa tak berani? Memang kenyataannya ka-
lian semua tolol. Pemuda yang sedang kalian cari-cari
itulah yang berjuluk Siluman Ular Putih; Hayo, kenapa
kalian hanya memandangi aku! Kunyuk gondrong itu
masih punya hutang barang satu dua gebukan pada-
ku. Dan aku tak sabar lagi untuk menagih, berikut
bunganya," teriak Peramal Maut nyaring.
Habis berteriak begitu, Peramal Maut segera
menerjang Siluman Ular Putih hebat. Dalam sekali ke
lebatan saja, tongkat hitam di tangan kanannya telah
berubah jadi gulungan hitam yang terus mendesak la-
wannya.
Melihat Peramal Maut mendahului, tentu saja
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi tak mau ketingga-
lan. Dengan senjata masing-masing, mereka pun sege-
ra menyerang hebat.
"Hea...! Hea...!"
Dikeroyok bertiga begitu, Siluman Ular Putih
kewalahan bukan main. Gempuran-gempuran ketiga
lawannya, berkali-kali mengancam beberapa jalan ke-
matian di tubuhnya. Untung saja sampai sejauh ini se-
rangan-serangan ketiga orang pengeroyoknya dapat
dihindari dengan melompat ke sana kemari.
Tapi, tentu saja murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu tidak ingin diserang habis-habisan. Apalagi
paduan serangan ketiga orang pengeroyok makin be-
ringas saja. Maka tidak ada pilihan lagi, kecuali mem-
balas ketiga serangan. Namun kali ini jurus-jurus an-
dalan yang dipelajarinya dari eyangnya di Gunung Bu-
cu tidak dikeluarkan, justru si pemuda kini berniat
mengerahkan ilmu yang dipelajarinya di Lembah Ko-
dok Perak untuk membalas serangan ketiga orang
pengeroyoknya.
Begitu Soma terbebas dari serangan dengan
membuat lentingan tubuh menjauh, Siluman Ular Pu-
tih pun segera menekuk kedua lututnya. Lalu sambil
berloncatan ke sana kemari mirip seekor kodok, segera
diserang ketiga lawannya.
"Kooook...!!!"
Tiba-tiba terdengar bunyi mirip kodok dari mu-
lut Siluman Ular Putih. Bersamaan dengan itu, kedua
telapak tangannya cepat didorong ke depan. Maka se-
ketika serangkum angin dingin dari ilmu 'Kodok Perak
Sakti' melesat cepat.
Wesss! Wesss!
Bumm...!!!
Hebat bukan main bunyi ledakan barusan, saat
'Kokok Perak Sakti' Siluman Ular Putih hanya meng-
hantam tanah. Untung saja ketiga orang pengeroyok-
nya bisa menghindar dengan membuang tubuh mas-
ing-masing. Seketika bumi pun bergetar hebat laksana
ada gempa!
Selagi Siluman Ular Putih hendak menyerang
kembali, tiba-tiba Ningtyas meluruk menyerang para
pengeroyok Siluman Ular Putih yang telah bangkit ber-
diri. Pedang di tangan kanannya segera berkelebat liar
mencari sasaran. Namun sayangnya yang dihadapi ga-
dis cantik itu bukan tokoh sembarangan.
Ketiga tokoh itu adalah para dedengkot dunia
persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Sehingga
tak heran bila serangan gadis itu mudah sekali dimen-
tahkan.
Wesss!
Bahkan pada saat Ningtyas hendak melontar-
kan pukulan maut 'Bara Neraka', tiba-tiba melesat an-
gin berkesiur menyerang. Seketika Ningtyas segera
mengurungkan serangan. Lalu, melirik ke belakang.
Ternyata punggungnya tengah terancam gebukan
tongkat di tangan Peramal Maut.
"Uts!"
Si gadis cepat berkelit ke samping. Namun
sayangnya, saat itu Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi
telah menunggu dengan sambaran tulang paha manu-
sia dan cemeti berekor sembilan.
"Ah...!" pekik Ningtyas gugup.
Belum sempat Si gadis bertindak lebih lanjut,
tahu-tahu senjata-senjata kedua tokoh sesat itu telah
menghantam tubuh Ningtyas.
Bukkk! Ctarr...!
"Augh...!"
Siluman Ular Putih hanya bisa terpana melihat
tubuh Ningtyas jatuh berdebam ke tanah dan tak da-
pat bangun lagi. Soma yang semula sengaja memberi
kesempatan gadis itu untuk mengumbar serangan jadi
menyesali kebodohannya. Maka hatinya kontan tersa-
put kemarahan. Saking tak dapat mengendalikan ama-
rah, mendadak rambut kepalanya telah berubah jadi
ratusan ular putih hidup yang meliuk-liuk!
"Jahanam! Kalian benar-benar manusia jaha-
nam tak tahu malu! Demi Tuhan aku tidak akan mem-
biarkan kalian menebar angkara murka di depan ma-
taku!" bentak Siluman Ular Putih penuh kemarahan.
Srat!
Saat itu pula Siluman Ular Putih mengeluarkan
senjata andalan, sebuah anak panah berbentuk aneh.
Bagian ujung runcing anak panah yang sedikit me-
lengkung ke atas berbentuk kepala ular. Di kanan kiri
kepala ular terdapat dua buah cakra kembar dari besi
putih. Sedang pada bagian badan yang berupa badan
ular, terdapat beberapa lobang suling. Itulah Anak Pa-
nah Bercakra Kembar, sebuah senjata pusaka yang ja-
rang tandingannya.
Bahkan begitu murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini mengerahkan tenaga dalam, seketika hawa
dingin yang bukan kepalang telah memenuhi tempat
itu. Entah bagaimana, baik ilmu meringankan tubuh
maupun tenaga dalam si pemuda kontan bertambah
begitu senjata andalannya dikeluarkan.
"Heaaa...!"
Dan dengan teriakan membelah angkasa, Silu-
man Ular Putih kembali menerjang ketiga orang pengeroyoknya. Telapak tangan kirinya yang berwarna putih
terang siap melontarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi'.
Tangan kanannya yang memegang Anak Panah Berca-
kra Kembar berputar-putar menerbitkan angin panas.
Begitu murid Siluman Ular Putih menerjang,
senjata Anak Panah Bercakra Kembar segera dilem-
parkan ke arah Iblis Muka Bayi. Tepat saat senjata itu
melesat, Siluman Ular Putih pun melancarkan seran-
gan dengan kedua telapak tangannya yang telah penuh
tenaga 'Inti Bumi' dan tenaga ‘Inti Api’. Arahnya tertuju
pada Hantu Pocong dan Peramal Maut.
Wesss! Wesss!
Seketika melesat dua larik sinar merah dan si-
nar putih terang dari kedua telapak tangan Siluman
Ular Putih. Hantu Pocong dan Peramal Maut tentu saja
tidak ingin jadi sasaran empuk. Maka dengan ajian
andalan mereka pun segera memapaki.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Hebat bukan main ledakan yang terjadi ketika
satu kekuatan dahsyat bertemu kekuatan dahsyat
lainnya. Bumi pun bergetar. Tanah-tanah berhambu-
ran tinggi ke udara. Bahkan batang-batang pohon di
sekitar tempat pertarungan hangus terbakar!
Sementara sewaktu Siluman Ular Putih melem-
parkan senjata pusakanya, Iblis Muka Bayi hanya ter-
senyum dingin seperti meremehkan. Tetapi ketika sen-
jata anak panah itu berhasil dihindari, Iblis Muka Bayi
kontan terperanjat. Ternyata senjata itu mampu berba-
lik, dan menyerangnya kembali. Meski demikian Iblis
Muka Bayi tidak gugup. Segera cemeti di tangan ka-
nannya digerakkan beberapa kali.
Ctarrr! Ctaaarrr!
Taakkk!
Telak sekali senjata anak panah itu tertangkis
lecutan cemeti di tangan Iblis Muka Bayi. Seketika sen-
jata andalan Siluman Ular Putih melesat ke samping.
Kebetulan sekali arahnya menuju ke tubuh
Soma yang sempat terhuyung-huyung beberapa lang-
kah ke belakang. Maka dengan napas tersengal, murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu kembali dapat menang-
kap senjata andalannya.
Siluman Ular Putih kini telah berdiri tegak di
luar pertarungan. Senjata anak panahnya telah dis-
elipkan kembali ke balik rompi. Kemudian jalan piki-
rannya mulai dipusatkan, siap mengerahkan ajian
pamungkas ‘Titisan Siluman Ular Putih’. Namun
sayangnya baru saja hendak membacakan mantra
ajian....
"Sungguh memalukan! Tua bangka-tua bangka
memalukan! Beraninya cuma mengeroyok anak ingu-
san!" Terdengar bentakan nyaring yang disusul mele-
satnya angin dingin ke arah tiga orang pengeroyok Si-
luman Ular Putih.
***
SEPULUH
Tiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih seke-
tika melengak kaget. Dan ketika merasakan angin
dahsyat yang mendadak menyerang, tanpa pikir pan-
jang lagi mereka membuang tubuh masing-masing ke
samping. Sehingga, lesatan angin itu terus menerabas
ke belakang, menghantam batang-batang pohon di be-
lakang.
Brakkk!!!
Batang pohon di belakang ketiga orang penge-
royok Siluman Ular Putih kontan berderak, lalu jatuh
berdebam ke tanah. Daun-daunnya pun membeku.
Begitu ketiganya terbebas dari serangan maut,
ketiga tokoh sesat itu pun kontan membeliakkan mata
lebar-lebar. Saat itu di hadapan mereka telah berdiri
tegak seorang lelaki amat tua berpakaian putih-putih.
Rambutnya memutih digelung ke atas. Wajahnya telah
penuh keriput. Namun tubuhnya yang kurus kering
tak bertenaga, ternyata menyimpan kekuatan luar bi-
asa!
"Dewa Langit...!!!" desis ketiga orang pengeroyok
Siluman Ular Putih hampir bersamaan
Siluman Ular Putih sendiri pun sempat terke-
jut. Ia tidak menyangka kalau lelaki tua renta di sam-
pingnya itulah yang tadi menyerang ketiga orang pen-
geroyoknya dengan demikian hebat.
"Sungguh tak kusangka orang tua renta. Tam-
paknya tak bertenaga, tapi mampu melancarkan se-
rangan hebat. Dan tampaknya ketiga orang tokoh sesat
di hadapanku ini jerih sekali menghadapi orang tua
renta ini. Dewa Langit...! Hm...! Inikah manusia durja-
na yang dimaksudkan Ningtyas? Tapi, kenapa ia meno-
longku?" gumam hati Siluman Ular Putih.
"Dewa Langit! Apa matamu buta?! Pemuda yang
sedang kami keroyok itulah yang sedang kau cari-cari!
Dialah yang bergelar siluman Ular Putih. Tapi, kenapa
kau malah menyerang kami?" teriak Peramal Maut
nyaring.
"Hm...!" lelaki tua yang tak lain Dewa Langit
menggumam tak jelas. Kepalanya pun segera berpaling
ke arah Siluman Ular Putih sambil mengangguk-
angguk.
"Jadi? Pemuda inikah yang telah dilahirkan
dengan cara aneh? Sungguh kebetulan sekali...," desis
Dewa Langit dalam hati.
"Bagaimana, Dewa Langit? Kenapa diam saja?
Bukankah kau menginginkan pemuda itu? Hayo, kita
hajar kunyuk gondrong ini ramai-ramai! Atau kau in-
gin menghajarnya sendiri? Jadi biarlah kami menonton
saja," kata Peramal Maut lagi.
Siluman Ular Putih terkesiap kaget.
"Ah...! Bagaimana ini kalau sampai orang tua
renta di sampingku termakan kata-kata Peramal Maut.
Benar-benar celaka tiga belas! Menghadapi Peramal
Maut yang dibantu kedua orang temannya saja ra-
sanya sulit. Apalagi sekarang ditambah lelaki renta di
sampingku yang tampaknya sangat ditakuti Peramal
Maut dan kedua orang kawannya? Ah...! Bagaimana
mungkin aku dapat menghadapi mereka?!" gumam ha-
ti Siluman Ular Putih.
"Aku paling benci melihat cara bertarung ke-
royokan. Dengan dalih apa pun juga, aku tak sudi me-
nuruti keinginan kalian. Malah, justru sebaliknya aku
ingin melindunginya!" tunjuk Dewa Langit pada Silu-
man Ular Putih. "Dan bagi siapa saja yang mengingin-
kan nyawa pemuda ini, maka akulah orang yang per-
tama akan membelanya. Apa kalian bertiga masih in-
gin mengeroyoknya?"
Hantu Pocong, Iblis Muka Bayi, dan Peramal
Maut terperanjat. Mereka tidak menyangka kalau De-
wa Langit malah justru melindungi Siluman Ular Pu-
tih.
"Sungguh aneh watak manusia sinting ini. Ke-
marin ingin mencari Siluman Ular Putih. Tapi begitu
ketemu, kenapa mendadak pikirannya berubah? Dasar
orang tua sinting!" gerutu Iblis Muka Bayi penuh ke-
marahan.
Dewa Langit tersenyum hambar. Selangkah
demi selangkah mulai didekati Hantu Pocong dan ke-
dua orang kawannya.
Siluman Ular Putih yang merasa di atas angin
membusungkan dada. Lalu dengan langkah mantap, ia
berjalan mengekor di belakang Dewa Langit.
"Hayo, sekarang kalian mau apa lagi?! Aku ti-
dak takut lagi menghadapi keroyokan kalian. Majulah
kalau ingin kugebuk pantat kalian!" ejek Siluman Ular
Putih.
Peramal Maut dan Hantu Pocong mengkelap
bukan main. Kalau saja di situ tidak ada Dewa Langit,
sudah pasti akan kembali diserangnya Siluman Ular
Putih. Namun berhubung tokoh sakti itu berada pada
pihak Siluman Ular Putih, terpaksa mereka hanya bisa
melotot gusar.
Namun rupanya tidak demikian halnya Iblis
Muka Bayi. Meski telah merasakan kehebatan Dewa
Langit, namun ia sedikit pun tidak gentar.
"Dewa Langit! Kuakui, waktu itu aku kalah da-
rimu. Namun, sedikit aku tidak gentar menghadapimu!
Sekarang kalau kau ingin melindungi pemuda tengil
itu, majulah! Aku siap melayanimu!"
Mendengar ucapan Iblis Muka Bayi, seketika
nyali Hantu Pocong dan Peramal Maut yang semula
menciut kini mendadak berkobar-kobar.
"Setan alas! Kau boleh ditakuti banyak tokoh
dunia persilatan, Dewa Langit! Tapi seperti yang dika-
takan Iblis Muka Bayi, sekali lagi kami belum kalah!"
"Nah! Sekarang, kau bisa berbuat apa, Dewa
Langit? Apa kau sanggup menghadapi kami?" tantang
pula Peramal Maut.
"Jangan banyak bacot, Peramal Maut! Akulah
lawanmu," teriak Siluman Ular Putih jengkel.
Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih me-
lompat menerjang Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya yang membentuk dua kepala ular segera berke-
lebat cepat ke arah tubuh Peramal Maut. Namun
sayangnya baru saja Siluman Ular Putih berada di
udara, Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi segera da-
tang menghadang.
"Makanlah cemetiku, Bocah Gondrong!" teriak
Iblis Muka Bayi garang.
Ctarrr...!
Wuttt...!
Cemeti berekor sembilan di tangan kanan Iblis
Muka Bayi pun segera menyambar-nyambar ganas
menyerang Siluman Ular Putih yang terpaksa harus
menarik serangannya. Sedang tulang paha manusia di
tangan Hantu Pocong menyambar deras ke arah Silu-
man Ular Putih.
"Hea...! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring, Peramal Maut pun
turut pula mengeroyok Siluman Ular Putih. Dalam se-
kali kelebatan saja, mendadak tongkat hitam di tangan
kanannya telah berubah jadi gulungan hitam yang te-
rus mendesak sosok putih keperakan si pemuda.
"Manusia-manusia durjana tak tahu malu! Ka-
lian semua memang patut diberi pelajaran!" geram De-
wa Langit murka.
Maka dengan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Langit berkele-
bat. Segera diserangnya ketiga orang pengeroyok Silu-
man Ular Putih. Jari-jari tangannya yang telah beru-
bah putih berkilauan pun segera menyosor-nyosor ke
sana kemari siap menotok tubuh ketiga tokoh sesat
itu.
Wesss! Wesss!
Ketiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih se-
rentak menghentikan serangan. Tubuh mereka segera
dibuang ke belakang. Namun meski totokan-totokan
Dewa Langit hanya mengenai tempat kosong, tak
urung ketiga tokoh sesat itu pun masih saja merasa-
kan hawa dingin menyambar-nyambar dada.
"Mampuslah kalian! Sekarang aku pun juga in-
gin menghajar kalian. Tapi mana ya lawan yang akan
ku pilih? Ah, iya? Sebaiknya aku akan menghajar ma-
nusia culas bergelar Peramal Maut saja!" celoteh Silu-
man Ular Putih, setelah beberapa saat mendarat di ta-
nah seraya memperhatikan pertarungan.
Habis berceloteh, Siluman Ular Putih pun sege-
ra meluruk ke arah Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya yang telah berubah jadi putih terang segera di-
dorong ke depan. Seketika dua larik sinar putih terang
melesat dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Tentu saja Peramal Maut tidak ingin jadi sasa-
ran empuk serangan-serangan Siluman Ular Putih.
Dengan mengandalkan pukulan 'Gelap Ngampar' pun
segera dipapaki serangan Siluman Ular Putih. Saat itu
pula kedua tangannya menghentak disertai tenaga da-
lam tinggi.
Blaaar...!
Seketika tubuh Peramal Maut mencelat ke be-
lakang. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan! Pa-
rasnya pun tampak pucat pasi, pertanda menderita lu-
ka dalam cukup hebat.
Sementara begitu Siluman Ular Putih kembali
menerjang Peramal Maut, Dewa Langit telah mencecar
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi. Dengan ajian
'Sukma Sejati' kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah jadi putih berkilauan menghentak ke arah ke
dua tokoh sesat itu.
Tentu saja Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong
tidak ingin jadi sasaran empuk serangan-serangan
Dewa Langit. Begitu melihat dua sinar putih berki-
lauan menyerang, mereka segera menggabungkan te-
naga dalam. Lalu secara bersamaan, mereka menghen-
takkan kedua telapak tangannya, memapak pukulan
'Sukma Sejati' milik Dewa Langit.
Wesss! Wesss!
Bumm...! Bummm...!
Terdengar dua kali ledakan hebat di udara.
Bumi laksana diguncang angin prahara! Ranting-
ranting pohon di sekitar pertarungan kontan berderak!
Sebagian daun-daunnya ada yang hangus terbakar.
Sebagian lainnya membeku!
Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, seketika tu-
buh Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong kontan lim-
bung ke samping dengan wajah pucat pasi. Seisi dada
mereka terasa terguncang hebat!
Dewa Langit tersenyum kecut. Dan ia memang
tidak ingin membiarkan kedua tokoh sesat itu berting-
kah di muka bumi. Segera diserangnya kedua lawan-
nya.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang belum
bisa menguasai keadaan kontan mengeluarkan kerin-
gat dingin. Mereka berusaha menghindar, namun ge-
rakan Dewa Langit lebih cepat. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk!
"Aaah...!"
"Akh...!"
Telak sekali tepukan kedua tangan Dewa Langit
mendarat di ulu hati Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi. Disertai semburan darah segar mereka berteriak
menyayat dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke
belakang. Ketika tubuh mereka membentur batang po-
hon, langsung luruh ke atas tanah. Pingsan!
Sejenak Dewa Langit memperhatikan dua tokoh
sesat yang terbujur pingsan. Lalu pandang matanya
dialihkan ke arah Siluman Ular Putih yang tengah ber-
tarung hebat melawan Peramal Maut.
Dalam pertarungannya murid Eyang Begawan
Kamasetyo tengah melontarkan pukulan tenaga 'Inti
Bumi'. Peramal Maut yang tampak kewalahan meng-
hadapi Siluman Ular Putih terpaksa harus memapak
pukulan maut 'Gelap Ngampar'.
Blarrr...!
Karena Peramal Maut ragu-ragu, tubuhnya pun
kontan melayang-layang bak layangan putus begitu
terjadi bentrokan di udara yang menimbulkan ledakan
dahsyat. Kemudian begitu kedua kakinya menjejak ta-
nah, tubuhnya segera berkelebat meninggalkan tempat
ini.
Sebenarnya Siluman Ular Putih ingin sekali
mengejar. Namun karena teringat akan keselamatan
Ningtyas niatnya diurungkan. Dan meski tampaknya
merelakan kepergian Peramal Maut, namun tidak de-
mikian mulutnya.
"Jangkrik! Kalau saja aku tidak ingat akan ke-
selamatan Ningtyas, sudah pasti kubuat pepesan teri
tubuhmu, Peramal Maut!" teriak Siluman Ular Putih
seraya berbalik. Kakinya segera melangkah lebar men-
dekati tubuh Ningtyas, Namun baru saja melangkah,
mendadak....
"Tetap di tempatmu, Siluman Ular Putih! Kalau
tidak, biarkan gadis itu mati sekarang juga!"
Terdengar bentakan keras, membuat langkah
Soma terhenti.
SEBELAS
Kening Siluman Ular Putih berkerut dalam me-
natap sosok yang mengeluarkan bentakan. Sosok yang
tak lain Dewa Langit itu kini malah melangkah mende-
kati tubuh Ningtyas. Semula si pemuda merasa cemas
bukan main. Namun ketika dilihatnya orang tua renta
itu menotok beberapa jalan darah dan mengurut teng-
kuk tubuh gadis itu, baru Soma merasa lega.
"Aneh...! Rasanya belum pernah aku bertemu
orang macam dia. Ternyata Ningtyas yang telah dicela-
kakan, eh, malah sekarang diobati," gumam Soma da-
lam hati
Selang beberapa saat, Ningtyas pun mulai si-
uman. Perlahan-lahan kelopak matanya pun mulai
membuka. Namun saat itu pula, Ningtyas memekik
tertahan. Sepasang matanya yang semula bersinar in-
dah, mendadak berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Jangan terlalu banyak bergerak, Cah Ayu...!
Luka dalammu belum begitu pulih. Minumlah obat
ini!" kata Dewa Langit lembut seraya menyerahkan ob-
at pulung yang diambil dari dalam saku bajunya.
Sejenak Ningtyas membelalak heran melihat pe-
rubahan sikap orang tua renta yang telah menewaskan
gurunya. Dan ketika Dewa Langit mengulurkan obat
pemunah racun, Ningtyas pun tampak masih ragu-
ragu.
"Ambillah, Cah Ayu." Ujar Dewa Langit lembut.
"Mungkin kau tidak menyadari kalau sebenarnya toto-
kanku tempo hari masih mempengaruhi tubuhmu.
Aku menyesal sekali, Cah Ayu. Untuk itu telanlah obat
pemunah racun ini"
Ningtyas masih membisu. Hanya sepasang ma
tanya yang berkilat-kilat, terus memandang paras De-
wa Langit tak percaya.
"Hm...! Apakah kau masih ingat mendiang gu-
rumu, Cah Ayu?" lanjut Dewa Langit, seolah-olah da-
pat menebak jalan pikiran Ningtyas. "Ah...! Aku me-
nyesal sekali Aku sendiri tidak tahu, kenapa sampai
demikian keji aku mencelakakan gurumu. Mungkin
aku terlalu kecewa dengan jalan hidupku akhir-akhir
ini, sehingga membuatku jadi khilaf. Maka, kalau kau
tidak keberatan, sebagai tebusan atas kesalahanku,
sudilah kau mempelajari kitab-kitab peninggalan ku.
Dan kau bisa mengambilnya sendiri di goa kecil, di
luar Hutan Watu Malang"
Ningtyas yang semula merasa geram bukan
main melihat gurunya tewas di tangan Dewa Langit,
entah kenapa kemarahannya lumer. Malah kini ha-
tinya sangat terharu dengan apa yang diucapkan orang
tua renta di hadapannya.
"Kau... Kau mau ke mana, Orang Tua? Tam-
paknya kau ingin pergi jauh?" tanya Ningtyas dengan
suara bergetar.
Dewa Langit tersenyum gusar. Namun ketika
sepasang matanya yang berwarna kelabu tertumbuk
pada pemuda berpakaian putih keperakan yang masih
berada di tempatnya, Dewa Langit pun melebarkan se-
nyum.
"Tetaplah tenang di tempatmu, Cah Ayu! Kuha-
rap kau jangan terlalu banyak ulah bila terjadi sesuatu
denganku," ujar Dewa Langit, lalu buru-buru meloncat
bangun.
Soma yang masih berdiri di tempatnya hanya
menggaruk-garuk kepala seraya berpaling ke tempat
lain. Seolah-olah, ia tidak menyadari dirinya tengah
diperhatikan Dewa Langit dan Ningtyas!
"Siluman Ular Putih! Demi Tuhan aku senang
sekali bertemu denganmu. Sekarang kuminta tun...."
Dewa Langit menghentikan bicaranya. Namun
sepasang matanya yang berwarna kelabu terus perha-
tikan pemuda tampan di hadapannya.
"Ah...! Kukira tidak seharusnya aku berterus
terang mengatakan maksud tujuanku. Bila aku berke-
ras kepala meminta pemuda itu menunjukkan ilmu
anehnya untuk membunuhku, sudah pasti pemuda ini
keberatan. Dan bisa jadi malah tidak mau menuruti
keinginanku. Sedang aku tidak menginginkannya. Ya
ya ya...! Memang sebaiknya aku tak usah memberita-
hukannya," gumam Dewa Langit dalam hati.
Mendengar Dewa Langit menghentikan bicara,
murid Eyang Begawan Kamasetyo tetap saja tenang di
tempatnya. Seolah-olah, tak ingin lagi bicara dengan
orang tua renta di hadapannya.
"Anak muda! Kukira sudah saatnya kita berta-
rung. Aku tak ingin kita buang-buang waktu lagi!" kata
Dewa Langit, mengejutkan.
"Eh...! Apa tadi kau bilang, Orang Tua? Kita
bertarung? Yang benar, ah?! Mana berani aku kurang
ajar padamu. Toh, di antara kita tak ada silang sengke-
ta. Kau ini ada-ada saja, Orang Tua! Tadi kau sibuk
membantuku menghadapi keroyokan. Tapi sekarang,
kau malah memintaku untuk bertarung!" tukas Soma
tak dapat menahan perasaan herannya lagi.
"Terserah kau mau omong apa, Anak Muda!
Pokoknya, aku harus menantangmu bertarung!" tan-
das Dewa Langit.
"Kenapa harus?"
"Karena aku...," hampir saja Dewa Langit kele-
pasan bicara. Untung saja ia segera teringat akal bu-
lusnya. "Karena... karena memang aku menginginkan
nyawamu, Anak Muda."
"Kau plintat-plintut, Orang Tua! Aku tak per-
caya omonganmu. Kalau memang iya, pasti kau men-
ginginkan sesuatu dariku. Entah apa? Yang jelas, ma-
na sudi aku bertarung denganmu tanpa sebab pasti,"
tolak Soma.
"Sudah kuduga! Pemuda di hadapanku ini pasti
akan keberatan," gumam Dewa Langit lagi dalam hati.
"Kalau begitu aku harus memaksamu Bocah?!"
"Kau ini sebenarnya menginginkan apa, sih?
Kenapa nafsu sekali ingin bertarung denganku?"
"Jangan banyak tanya! Cepat sambut pukulan-
ku!" teriak Dewa Langit lantang.
Habis berkata begitu, Dewa Langit pun segera
membuka jurusnya. Jari-jari tangannya yang telah be-
rubah jadi putih berkilauan telah terangkat. Namun
sayangnya baru saja bermaksud akan menyerang, ti-
ba-tiba Ningtyas telah berkelebat menghadang lang-
kahnya.
"Jangan, Orang Tua! Kalau kau benar-benar
menyesal telah menewaskan guruku, kau tidak boleh
menyerang Soma. Kalau kau tetap keras kepala, lang-
kahi dulu mayatku. Baru kau boleh menyerang Soma!"
teriak Ningtyas lantang
Dewa Langit menggeram penuh kemarahan.
Tampak sekali kalau hatinya sangat bimbang. Namun,
bila teringat akan maksud tujuannya, kebimbangan di
hatinya pun sirna.
"Kau tetap tenang di tempatmu, Cah Ayu! Aku
tidak bermaksud mencelakakan pemuda itu," ujar De-
wa Langit, tandas.
"Aku tak percaya. Kau pasti akan mencelaka-
kan Soma," sergah si gadis.
"Ah...! Kau hanya menghalang-halangi mak
sudku saja. Sebaiknya tonton saja, apakah aku ingin
membunuh Siluman Ular Putih atau tidak," kata Dewa
Langit lagi.
Lalu dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
luar biasa, tahu-tahu tubuh Dewa Langit telah berke-
lebat cepat, langsung menotok tubuh Ningtyas.
Tuk! Tuk!
Begitu tubuhnya terkena totokan, seketika itu
juga kaku, tak dapat digerakkan. Kemudian dengan
menahan perasaan gusar, Ningtyas pun terpaksa
hanya dapat menonton apa yang akan dilakukan Dewa
Langit.
"Sekarang tunjukkan kehebatanmu, Bocah!
Kudengar kau memiliki ilmu aneh, hingga mendapat
julukan Siluman Ular Putih. Hayo, sekarang tunjukkan
ilmu anehmu padaku!" teriak Dewa Langit tak sabar
lagi.
Saat itu pula, Dewa Langit meluruk deras me-
nyerang Siluman Ular Putih. Ia yang ingin segera me-
nemui kematian, tidak tanggung-tanggung lagi untuk
mengeluarkan ajian 'Sukma Sejati' agar Siluman Ular
Putih mau mengerahkan ilmu pamungkasnya. Maka
begitu, 'Sukma Sejati' dikerahkan, seketika kedua tela-
pak tangan Dewa Langit telah berubah jadi putih ber-
kilauan hingga sampai ke pangkal siku! Kemudian
dengan sebagian tenaga dalamnya, lelaki tua itu segera
menghantamkan kedua tangannya ke depan.
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan Dewa Langit. Sebe-
lum pukulan 'Sukma Sejati' mengenai sasaran, terlebih
dahulu berkesiur angin dingin mendahului!
Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Kendati tak berhasrat untuk bertarung, tentu sa-
ja tubuhnya tidak ingin jadi sasaran empuk serangan
serangan Dewa Langit. Maka begitu menyadari da-
tangnya bahaya, segera tubuhnya melenting ke samp-
ing. Sehingga dua larik sinar putih terang dari kedua
telapak tangan Dewa Langit terus menerabas ke bela-
kang, menghantam batang pohon.
Brakkk!!!
Seketika batang pohon di belakang Siluman
Ular Putih tumbang, lalu jatuh berdebam ke tanah!
Debu-debu membubung tinggi, memenuhi tempat per-
tarungan!
Begitu Siluman Ular Putih mendarat, Dewa
Langit yang sudah merasa geram karena serangannya
hanya dihindari, kembali menerjang. Jurus-jurus sak-
tinya langsung digelar, diiringi pukulan 'Sukma Sejati'.
"Jangkrik! Rupanya orang tua sinting ini benar-
benar menginginkan nyawaku! Padahal dari tadi aku
sudah berusaha mengalah. Tapi entah kenapa, Dewa
Langit terus mendesakku seperti orang kesurupan!"
"Ah...! Kalau begini terus, bisa modar aku!" ke-
luh Siluman Ular Putih dalam hati.
Serangan-serangan Dewa Langit makin meng-
hebat. Malah dengan kekuatan tenaga dalam sepe-
nuhnya, tokoh sakti dari Hutan Watu Malang ini kem-
bali melontarkan pukulan 'Sukma Sejati'.
"Hea...! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring, Dewa Langit segera
mendorong kedua telapak tangan ke depan. Seketika,
melesat dua larik sinar putih berkilauan dari kedua te-
lapak tangannya.
"Sontoloyo! Rupanya orang tua renta ini me-
maksaku bertarung! Baiklah! Daripada mati konyol,
kukira tak ada jeleknya meladeni serangan-serangan
orang tua sinting ini!" omel murid Eyang Begawan Ka-
masetyo dalam hati.
Saat itu Siluman Ular Putih mendorongkan ke-
dua telapak tangannya yang telah penuh tenaga 'Inti
Bumi' ke depan. Maka melesat pula dua larik sinar pu-
tih terang dari kedua telapak tangan Soma, memapaki
pukulan ‘Sukma Sejati’.
Blaammm...!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
di udara kali ini! Bumi berguncang hebat. Tanah-tanah
di sekitar pertarungan kontan terbongkar ke udara!
Bak karung basah, tubuh Siluman Ular Putih
mencelat beberapa tombak ke belakang. Untung saja
tubuhnya mampu membuat putaran. Sehingga, daya
luncur tubuhnya bisa dipatahkan. Namun begitu ke-
dua kakinya menjejak tanah, tetap saja keseimbangan
tubuhnya tak dapat dikendalikan. Malah parasnya pun
tampak demikian pias dengan darah segar berleleran
di sudut-sudut bibir. Jelas murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu mengalami luka dalam.
"Semprul! Tak kusangka aku dapat dirobohkan
tua bangka di hadapanku ini hanya dalam satu gebra-
kan!" dengus hati Siluman Ular Putih.
Saat itu, Dewa Langit pun kembali menyerang
hebat. Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Kali ini sulit rasanya menghindari gempuran-
gempuran lawan. Dan kenyataannya memang demi-
kian. Belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
ini bertindak, tiba-tiba tepukan tangan Dewa Langit te-
lah mengancam dadanya. Dan....
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali hantaman tangan Dewa Langit
mendarat di dada Siluman Ular Putih. Seketika tubuh
si pemuda limbung ke samping, lalu jatuh berdebam
ke tanah! Parasnya kian pucat bagai mayat! Sedang
dadanya yang terkena hantaman tangan terasa mau
jebol!
Siluman Ular Putih mengerang hebat. Dan begi-
tu meloncat bangun, darah segar tersembur dari mu-
lutnya.
"Slompret! Benar-benar slompret! Tua bangka
ini rupanya benar-benar menginginkan nyawaku. Ku-
kira sudah saatnya aku mengeluarkan ajian 'Titisan
Siluman Ular Putih' seperti yang diinginkan orang tua
itu," pikir Soma dalam hati.
Maka tanpa banyak cakap lagi, Soma segera
memusatkan jalan pikirannya. Sementara itu, kedua
bibirnya mulai berkemik-kemik, membaca mantra
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Dan begitu selesai,
seketika itu pula sekujur tubuhnya diselimuti asap pu-
tih tipis. Sehingga, bayangan tinggi kekarnya tidak ke-
lihatan sama sekali!
Melihat ilmu aneh yang tengah dikeluarkan Si-
luman Ular Putih, sejenak Dewa Langit pun menghen-
tikan serangan. Sepasang matanya yang berwarna ke-
labu terus memandangi asap putih yang bergulung-
gulung di hadapannya tanpa berkedip. Dan ketika
asap yang menyelimuti sekujur tubuh Siluman Ular
Putih sirna, seketika itu pula....
"Ggggeeerrr...!!!"
* * *
"Si.... Siluman Ular Putih...!" pekik Dewa Lan-
git.
Ningtyas pun tak urung terperangah dengan
mata melotot. Namun ketika gadis ini berniat berlari
karena ngeri, tetap saja tubuhnya masih terpaku kare-
na tertotok,
"Hm...! Rupanya inikah yang disebut-sebut il
mu aneh yang dapat membunuhku...?" gumam Dewa
Langit menegang, saking gembiranya melihat ilmu
yang tengah dikeluarkan murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
Sejenak tokoh sakti dari Hutan Watu Malang
itu belum melanjutkan serangan. Hanya sepasang ma-
tanya saja yang terus memandang takjub pada sosok
panjang sebesar pohon kelapa berwarna putih.
"Oh...! Hyang Widi! Rupanya kau telah menga-
bulkan permintaanku. Terima kasih, Hyang Widi. Se-
karang juga aku siap menerima jalan kematianku," de-
sah Dewa Langit seraya mendongakkan kepala.
Dan dengan wajah berseru, Dewa Langit kem-
bali memperhatikan sosok mengerikan di hadapannya.
Hatinya kini lapang. Apalagi saat itu sosok panjang Si-
luman Ular Putih mulai mengibas-ngibaskan ekornya
ke sana kemari, siap menyerang Dewa Langit.
Diam-diam Dewa Langit jadi gembira. Dan se-
perti dugaannya, ternyata ular putih raksasa itu kini
menerjang hebat dengan terkaman-terkaman mengi-
riskan.
Aneh! Dengan senyum terkembang, Dewa Lan-
git siap menerima serangan-serangan Siluman Ular
Putih tanpa sedikit pun berusaha mengelak. Hal ini
tentu saja sangat mencemaskan hati Ningtyas yang
menonton jalannya pertarungan tanpa dapat mengge-
rakkan tubuhnya.
Buk! Buk!
"Ohh...!"
Ketika terjangan Siluman Ular Putih mengenai
sasaran, Ningtyas memekik lirih. Matanya terpejam ra-
pat-rapat. Lalu....
"Aaa...!"
Saat mata murid si Raja Pedang terpejam tiba
tiba terdengar satu lengking kematian yang teramat
menyayat hati.
Ningtyas penasaran bukan main. Buru-buru
kelopak matanya kembali dibuka. Dan saat itu pula, si
gadis memekik, melihat tubuh bersimbah darah milik
Dewa Langit yang telah terkapar di atas tanah di sam-
pingnya. Dadanya bergerak turun naik. Kembali terjadi
keanehan. Meski mendapat luka teramat parah, Dewa
Langit tampak berusaha tersenyum.
"Kau.... Kau, kenapa tidak berusaha menghin-
dar, Orang Tua?" tanya Ningtyas, tak dapat menahan
perasaan heran.
"Me... memang inilah yang kuinginkan, Cah
Ayu. Aku sudah jenuh. Aku sudah muak melihat kehi-
dupan ini. Dan hanya dengan cara inilah aku dapat
menemukan kematian," jelas Dewa Langit, tersengal.
Ningtyas terharu sekali. Tak disangka, Dewa
Langit memang menginginkan kematian di tangan Si-
luman Ular Putih.
Saat yang sama sekujur tubuh Siluman Ular
Putih mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga,
bayangan sosok panjang sebesar pohon kelapa itu ti-
dak kelihatan sama sekali. Lalu saat asap putih itu
sirna tertiup angin, maka yang tampak kini hanya so-
sok pemuda berambut gondrong murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo!
"Ah...! Kenapa jadi begini?" teriak Soma begitu
kembali menjelma jadi manusia biasa.
Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih se-
gera berlari ke arah Dewa Langit. Rasa menyesal yang
teramat sangat tiba-tiba membaluri hatinya. Lalu den-
gan agak gugup, segera diraihnya kepala Dewa Langit
ke atas pangkuannya.
Meski dengan susah payah, Dewa Langit tetap
berusaha tersenyum.
"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali.
Kau telah antarkan aku menemui Pendampingku Yang
Setia. Kalau kau tertarik, sekalian ajak gadis itu mem-
pelajari kitab-kitab peninggalan ku. Asal, jangan Kitab
Sukma Sejati! Itu amat berbahaya, Anak Muda. Kukira
hanya itu pesanku, Anak Muda! Selamat tinggal!" ucap
Dewa Langit lirih.
Dan perlahan-lahan, Dewa Langit pun meme-
jamkan matanya rapat-rapat. Dadanya yang tadi ter-
sengal, perlahan-lahan tenang kembali. Tokoh sakti
dari Hutan Watu Malang ini pun telah berangkat ke
tempat kekal yang diinginkannya.
"Sungguh orang tua hebat! Tak kusangka ia
menginginkan kematian dari tanganku," desah Silu-
man Ular Putih dalam hati.
Siluman Ular Putih lantas bangkit sambil
membopong tubuh Dewa Langit yang telah menjadi
mayat. Murid Eyang Begawan Kamasetyo ini segera
mendekati Ningtyas yang masih tertotok.
"Bagaimana ini, Ningtyas? Apa tidak sebaiknya
kita kuburkan saja di tempat kediamannya, di Hutan
Watu Malang? Kukira ini akan lebih baik bagi ketente-
raman arwahnya?" tanya Soma meminta pendapat.
"Baiklah. Aku menurut saja. Asal...."
"Asal apa?" potong Soma. "Asal berduaan den-
ganku, kan?"
"Apa?! Enak saja!" sungut Ningtyas kesal.
"Lantas?"
"Aku memang ingin mengikutimu. Tapi, aku ju-
ga ingin mempelajari kitab-kitab peninggalannya," jelas
Ningtyas.
"Oh, begitu...?" desah Soma.
"Iya. Makanya cepat bebaskan totokanku!"
"Baik."
Soma cepat menotok tubuh Ningtyas, hingga
dapat kembali menggerakkan tubuhnya. Kemudian si
pemuda segera mengajak pergi meninggalkan tempat
ini. Kedua tangannya masih memondong jasad Dewa
Langit yang perlahan-lahan mulai dingin dan kaku.
Angin pun berbisik-bisik, seolah membicarakan
keanehan Dewa Langit yang menginginkan kematian-
nya di tangan seorang pendekar yang dilahirkan secara
aneh, serta memiliki ilmu aneh.
SELESAI
Segera hadir kembali!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
PERSEKUTUAN MAUT
0 comments:
Posting Komentar