..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 29 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE MISTERI DEWA LANGIT

Misteri Dewa Langit

 

Hak cipta dan copy right pada 

penerbit dibawah lindungan 

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


Wajah bulan di angkasa bagaikan berselimut 

duka. Awan-awan kelabu di sekitarnya membuat bulan 

malas tersenyum. Tak ada kegairahan terpancar pada 

wajah sang Dewi Malam. Sementara angin yang ber-

hembus semilir seolah tak berdaya mengusir awan ke-

labu di angkasa raya.

Cahaya bulan yang demikian temaram seolah 

tak mampu menerangi sebuah dataran luas berumput 

di luar Hutan Watu Malang. Di pinggiran dataran, se-

buah pohon randu tua tumbuh rindang dengan daun-

daunnya yang berjuntaian berdiri kokoh. Batangnya 

yang sebesar dua lingkaran tangan manusia dewasa 

telah keropos di sana-sini termakan usia. Sebagian 

akarnya yang berwarna kuning bertonjolan keluar.

Di sebuah celah pada batang pohon randu yang 

kerowok samar-samar terlihat sesosok tubuh terbung-

kus pakaian putih-putih tengah khusuk bertapa. 

Sungguh aneh. Dalam ruangan di dalam pohon yang 

luasnya tak lebih dari setengah tombak didiami satu 

sosok yang tak lain seorang lelaki tua yang umurnya 

sulit ditaksir. Pintu masuknya pun sempit sekali. Tak 

lebih dari ukuran badan manusia. Dari, semak belukar 

dan lumut yang melapisi pohon maupun tubuhnya, je-

las kalau lelaki itu telah berada cukup lama di dalam 

celah pohon.

Rambut panjang lelaki itu digelung ke atas. Alis 

mata dan bulu mata semuanya berwarna putih. Wa-

jahnya tirus kepucatan, karena sejak berada di dalam 

celah pohon ini jarang sekali terkena sinar matahari. 

Tubuhnya pun kurus kering seperti tak bertenaga. 

Meski demikian, wajahnya yang renta penuh keriput



masih tetap menampakkan sisa-sisa ketampanannya 

di waktu muda.

Sebenarnya siapakah lelaki berpakaian putih-

putih itu? Mengapa ia bersemadi di dalam batang po-

hon?

Sejarah rimba persilatan sebenarnya pernah 

mencatat adanya seorang tokoh sakti yang jarang se-

kali menemui lawan tanding. Ia berjuluk Dewa Langit. 

Tak seorang pun tahu, siapa nama aslinya. Yang jelas, 

Dewa Langit adalah tokoh besar yang namanya sempat 

tercatat oleh para pujangga di tanah Jawa ini.

Hanya beberapa gelintir orang saja yang sang-

gup menandingi kesaktian Dewa Langit. Satu di anta-

ranya adalah Eyang Bromo. Namun sejak Eyang Bro-

mo menghilang dari dunia persilatan, Dewa Langit jadi 

kebingungan sendiri. Dengan ajian 'Sukma Sejati'-nya 

yang dimiliki justru membuat tokoh sakti itu kebin-

gungan. Akibat memiliki ajian 'Sukma Sejati'-nya, De-

wa Langit ini menemui kesulitan untuk menemui ke-

matian!

Dan, sosok yang berada di dalam celah pohon 

itu lak lain adalah Dewa Langit. Dengan cara bertapa 

di dalam celah batang pohon, Dewa Langit berusaha 

mencari wangsit agar Hyang Widi sudi mengabulkan 

keinginannya. Sebelum mendapat wangsit, Dewa Lan-

git bertekad untuk tidak keluar dari tempatnya.

Berpuluh-puluh tahun Dewa Langit terus ber-

tapa. Sayang, sampai saat ini Sang Hyang Widi belum 

mengabulkan keinginannya. Namun Dewa Langit tidak 

putus asa. Ia telah bertekad untuk menemui jalan ke-

matian dengan cara bertapa. Telah sangat lama ia hi-

dup di dunia. Telah banyak asam garam yang telah di-

telannya. Sebagai tokoh teratas dunia persilatan, tak 

ada lagi lawan yang mampu menghadapinya.


Entah karena apa, mendadak pohon itu berge-

tar hebat laksana diguncang oleh sebuah kekuatan 

dahsyat. Padahal tanah di sekitarnya tetap tenang. Se-

dikit pun tidak ada tanda-tanda kalau ada gempa. Cu-

kup aneh memang! Malah sebagian daun-daunnya 

mulai berguguran!

Dan sewaktu pohon randu tadi bergetar hebat, 

tubuh kurus kering Dewa Langit pun ikut bergetar he-

bat. Parasnya mendadak tegang. Keringat dingin pun 

mulai membasahi sekujur tubuhnya. Sementara dari 

alam bawah sadarnya, mendadak....

"Wahai, Anak Manusia! Bangunlah! Sesung-

guhnya permintaanmu sangat mustahil. Kau tidak se-

patutnya meminta mati sebelum waktunya! Kau sangat 

lancang dalam hal ini, Anak Manusia! Apa kau tidak 

sadar kalau mati dan hidup itu di tangan Sang Pencip-

ta? Mengapa kau nekat mencari jalan di luar kehen-

dak-Nya?"

Sebuah suara gaib yang entah dari mana da-

tangnya, menelusup ke telinga Dewa Langit. Begitu 

gaung suara gaib itu sirna, batang pohon randu itu 

pun makin bergetar hebat. Bumi berguncang laksana 

ada gempa. Tubuh Dewa Langit sendiri pun tergetar-

getar hebat. Parasnya yang tirus menegang. Kedua bi-

birnya berkemik-kemik seperti ada sesuatu yang di-

ucapkan dari alam bawah sadarnya.

"Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau melarang 

caraku dalam mencari kematian. Aku sudah bosan hi-

dup. Aku sudah ingin bersanding dengan Pendamping 

Setia ku? Mengapa kau larang aku?"

"Adalah orang pengecut bila meminta keinginan 

di luar kehendak-Nya. Tapi, baiklah. Berhubung kau 

bersikeras untuk menemui jalan kematian, aku pemi-

lik Kitab Sukma Sejati yang kau temukan di batang


pohon randu ini, terpaksa akan memberimu cara."

Kembali suara gaib itu bergema ke segenap 

penjuru alam pikiran Dewa Langit.

Tubuh Dewa Langit pun kembali bergetar he-

bat.

Parasnya tampak demikian tegang. Kedua bi-

birnya pun berkemik-kemik hebat.

"Ja.... Jadi? Kau.... Kau Eyang Parikesit?"

"Tak usah banyak tanya, Muridku! Meski aku 

belum pernah bertemu denganmu, namun aku tetap 

menganggapmu sebagai muridku. Karena, kaulah yang 

telah mewarisi ajian 'Sukma Sejati'-ku. Dan karena 

mendengar permintaanmu ini, aku jadi tidak tenang di 

alamku. Maka, sekarang dengarlah apa yang kuterima 

dari kabar gaib."

"Terima kasih, Eyang. Tak kusangka kau sudi 

membantuku. Dan sebelumnya, aku minta maaf kalau 

keinginanku membuatmu tidak dapat tenang di alam

mu. Namun seperti yang tersirat dalam Kitab Sukma 

Sejati, aku tidak akan menemukan kematian walau di-

keroyok oleh puluhan tokoh sakti. Untuk itu, aku ingin 

sekali dapat hidup tenang di sisi Hyang Widi seperti 

Eyang saat ini. Namun sayang, aku belum menemukan 

caranya Eyang," ucap Dewa Langit.

"Dengarlah, Muridku! Sebenarnya ada dua ja-

lan kematian yang telah kuterima. Namun, mungkin 

hanya jalan kedua saja yang dapat mewujudkan kein-

ginanmu, Muridku," lanjut suara bergema itu.

"Katakan, Eyang! Aku sudah tidak sabar men-

dengarnya."

"Baiklah. Pertama, kau akan dapat menemui ja-

lan kematian setelah menemukan dan menelan daun 

lontar merah seperti yang pernah kulakukan beratus-

ratus tahun lalu. Dan kukira, jalan kedua yang harus


kau tempuh adalah bila sudah terkena ilmu aneh dari 

seorang anak manusia yang juga dilahirkan dengan 

cara aneh. Kukira, hanya itu saja kabar gaib yang ku-

terima, Muridku." 

"Lalu, apakah berarti aku harus menempuh ja-

lan kedua, Eyang?"

"Kukira hanya itu, Muridku. Sebab, aku dulu 

pernah melakukan jalan pertama. Dan sekarang, kuki-

ra hanya jalan kedua itulah jika kau menginginkan 

kematian."

"Tapi... tapi, bagaimana aku dapat menemukan 

anak manusia yang dilahirkan dengan cara aneh seka-

ligus juga memiliki ilmu aneh, Eyang?"

"Untuk hal ini, sayang sekali aku tidak dapat 

membantumu, Muridku. Sebab hanya itu sajalah ka-

bar gaib yang kuterima. Sekarang kau bangunlah dari 

tempat bertapa mu. Dan, cari anak manusia yang ku-

maksudkan. Selamat tinggal, Muridku! Aku harus se-

cepatnya kembali ke alamku. Nah, selamat tinggal...!"

"Tunggu, Eyang!"

Namun suara itu memang tak muncul-muncul 

lagi. Bahkan mendadak berkesiur angin kencang seba-

gai pertanda kalau Eyang Parikesit benar-benar telah 

kembali ke alamnya. Padahal, ia pun masih membu-

tuhkan beberapa keterangan yang mungkin dapat di-

butuhkan.

"Oh..., Eyang! Kenapa kau siksa aku seperti 

ini? Bagaimana aku dapat menemukan jalan kema-

tian? Aku sudah bosan hidup, Eyang! Aku tersiksa 

memiliki ajian 'Sukma Sejati' walau sebenarnya dulu 

aku sangat membutuhkannya," keluh Dewa Langit be-

gitu kelopak matanya terbuka.

Wajahnya yang semula kepucatan mendadak 

berubah kemerahan. Kedua pelipisnya pun bergerak


gerak, pertanda tokoh sakti tanpa tanding ini tak dapat 

lagi mengendalikan kegeraman hatinya.

"Tak mungkin aku dapat menemukan orang 

yang kau maksudkan, Eyang. Mana mungkin, Eyang. 

Mana mungkin...!!!"

Dewa Langit tak dapat lagi menahan kekesa-

lannya. Kedua tangannya yang bergetar mendadak dis-

entakkan ke samping. Kelihatannya seperti gerakan 

biasa. Namun setelah itu....

Brakkk...!!!

Batang pohon randu sebesar lingkaran dua 

tangan manusia dewasa itu mendadak hancur beran-

takan seperti terbelah jadi beberapa bagian. Bersa-

maan dengan itu, Dewa Langit mencelat keluar dari 

dalam batang pohon yang terbelah. Tubuhnya yang 

tinggi kurus tampak melayang-layang indah, sebelum 

akhirnya menjejak tanah membelakangi pohon.

Tepat ketika sosok berpakaian putih-putih itu 

mendarat, batang pohon randu itu tumbang dan jatuh 

berdebam ke tanah. Bumi bergetar hebat. Debu-debu 

kontan membubung tinggi memenuhi sekitarnya.

Sedang Dewa Langit tampak masih tegak di 

tempatnya. Sedikit pun juga tidak terpengaruh oleh 

keadaan di belakangnya. Kepalanya mendongak tinggi-

tinggi menatap angkasa raya dengan kedua bibir ber-

getar.

Bulan purnama di atas sana tetap bermuram 

durja oleh awan kelabu yang membungkusnya. Berjuta 

bintang di angkasa pun sepertinya malas tersenyum.

"Oh..., Hyang Widi...! Kenapa jalan hidupku 

demikian buruk? Apa salahku, Hyang Widi? Apa kare-

na aku mempelajari Kitab Sukma Sejati yang membuat 

aku begini? Tapi, bukankah Kau tahu! Ilmu yang ku

peroleh ini hanya untuk membela jalan mu, jalan ke


benaran? Lantas, kenapa di saat aku ingin menemui-

Mu, malah ini yang ku peroleh?" keluh Dewa Langit 

dalam hati, seolah-olah ingin menyesali kiprahnya di 

rimba persilatan.

Namun apa yang dikeluhkan Dewa Langit 

hanya bergema dalam relung-relung hatinya yang geli-

sah. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda akan mendapat 

petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

Dewa Langit kini menggereng hebat. Suaranya 

yang berat dan kasar sampai bergema keempat penju-

ru.

"Keparat...! Semuanya membisu! Semuanya tak 

mau dengar keluhan! Semuanya tak berguna!" teriak 

Dewa Langit lantang. "Kini tak ada pilihan lain. Ter-

paksa aku harus turun tangan sendiri. Aku harus 

mencari anak manusia yang dilahirkan secara aneh, 

sekaligus juga memiliki ilmu aneh. Persetan! Ke ujung 

akhirat pun aku harus dapat menemukan orang itu! 

Tak akan kubiarkan orang lain membunuhnya, sebe-

lum keinginanku terkabul!"

Dewa Langit sejenak masih mendongak ke atas. 

Rahangnya bergemeletukkan pertanda tak dapat lagi 

mengendalikan amarahnya yang menggelegak.

"Yah...! Siapa pun juga tak boleh mengusik 

orang yang kumaksudkan," gumam Dewa Langit se-

raya mengangguk-angguk.

Habis menggumam begitu, Dewa Langit berke-

lebat cepat meninggalkan tempat itu. Kedua kakinya 

tampak seperti menjejak biasa. Namun anehnya, 

hanya dalam beberapa kali jejak saja sosok tinggi ku-

rusnya telah menghilang di balik kegelapan.

***


DUA


Siang terik di Lembah Selaksa Pasir. Matahari 

menyorot garang memanggang bumi, membuat udara 

panas menebar ke segenap penjuru. Karena angin se-

perti malas berhembus, maka suasana siang itu pun 

tak ubahnya seperti dalam kubangan bara api.

Di luar lembah itu, tepatnya di jalanan setapak 

yang berdebu, angin malah berhembus kencang. Aki-

batnya debu-debu dan daun-daun kering di sekitar ja-

lan itu berhamburan tinggi ke udara, membuat seo-

rang pemuda tampan yang melintas jalan ini mengi-

bas-ngibaskan kedua tangannya. Sambil mengusir de-

bu-debu dan daun-daun kering yang beterbangan den-

gan kedua tangannya, mulutnya mengoceh tidak ka-

ruan.

Namun rupanya pusaran angin seperti tidak 

peduli dengan ocehan si pemuda. Pusarannya malah 

makin kencang, memaksa pemuda berambut gondrong 

itu menyembunyikan wajah di balik kedua lengannya.

"Sontoloyo! Dasar angin tak tahu diri! Bukan-

nya berhembus semilir, eh... malah ngamuk! Mana bi-

sa nyaman kalau begini?!" omel si pemuda sambil te-

rus menyembunyikan wajahnya.

Selang beberapa saat, pusaran angin pun ber-

henti. Debu-debu dan daun-daun kering yang tadi di-

terbangkan angin perlahan-lahan kembali jatuh ke 

bumi. Sementara si pemuda telah menurunkan tan-

gannya. Sepasang matanya yang berwarna kebiruan 

sejenak memperhatikan keadaan sekitarnya.

"Busyet! Tempat macam apa ini! Kok mirip ku-

bangan pasir. Panas lagi!" celoteh pemuda itu lagi.

Si pemuda kira-kira berusia delapan belas ta


hun. Wajahnya tampan kekanak-kanakan. Rambutnya 

yang gondrong dibiarkan tergerai di bahu. Tubuhnya 

yang tinggi kekar terbalut pakaian rompi dan celana 

bersisik warna putih keperakan. Di balik rompinya 

yang terbuka tampak sebuah rajahan bergambar ular 

putih kecil di dadanya yang kekar. Dan menilik ciri-

cirinya, pemuda tampan itu tidak lain adalah murid

Eyang Begawan Kamasetyo. Siapa lagi kalau bukan 

Soma alias Siluman Ular Putih? 

"Ah...! Bisa modar kalau kepanasan seperti ini. 

Sebaiknya aku beristirahat barang sejenak. Ah... di de-

pan sana ada sebuah pohon. Kukira cukup untuk be-

ristirahat barang sejenak," murid Eyang Begawan Ka-

masetyo ini tersenyum senang dengan mata meman-

dang tak berkedip ke arah yang dimaksud.

Habis berkata begitu, Soma segera melangkah 

mendekati pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. 

Sembari terus berjalan, terus diperhatikannya keadaan 

sekitar dengan kening berkerut. Hanya beberapa keja-

pan si pemuda tiba di dekat batang pohon. Segera tu-

buhnya direbahkan seenaknya di atas akar-akar pohon 

yang bertonjolan.

Namun di saat murid Eyang Begawan Kama-

setyo ini tengah menikmati semilir angin di bawah se-

buah pohon rindang dengan mata terkantuk-kantuk, 

mendadak....

Debu-debu beterbangan – Prol

Daun-daun kering beterbangan – Prol

Angin tengik memang tidak tahu diri – Prol

Di lembah berpasir lagi – Prol

Menyebalkan - Prol 

Panas sekali - Prol 

Prol- Prooolll!


Kening Siluman Ular Putih bertautan ketika 

mendengar suara cempreng dalam bentuk nyanyian 

yang tak enak didengar. Seketika matanya tertuju ke 

ujung jalan setapak sana. Tampak seorang lelaki tua 

tengah melenggang santai dengan tongkat terantuk-

antuk. Usia lelaki itu kira-kira tujuh puluh tahun. 

Rambutnya yang panjang tampak awut-awutan tak te-

rawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging. Sedang 

tubuhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat 

warna biru.

"Siapakah kakek tua berpakaian biru ini? Rasa-

rasanya aku belum pernah mengenalnya...," tanya So-

ma dalam hati.

Dan begitu langkah si tua berpakaian biru ma-

kin dekat, Soma pun hanya membiarkan Saja. Tak ada 

keinginan untuk menggoda. Ia malah lebih senang 

menikmati angin semilir yang mengelus-elus tubuh-

nya.

Namun rupanya tidak demikian halnya sang 

kakek. Begitu berada di depan murid Eyang Begawan 

Kamasetyo, sejenak langkahnya berhenti. Sepasang 

matanya yang berwarna kelabu pun terus perhatikan 

Soma dengan seksama.

"Semprul! Mau apa orang tua ini? Kenapa ia 

memandangi aku, seperti melihat gadis cantik? Heran? 

Jangan-jangan ia suka padaku? Wah, gawat kalau be-

gini...?" bisik Siluman Ular Putih curiga dalam hati.

Habis bergumam begitu, Soma menyelonjorkan 

kedua kaki seenaknya dengan tangan tetap bertelekan

menyangga kepala. Tampak nyaman sekali. Namun 

meski terkantuk-kantuk menikmati semilirnya angin, 

sebenarnya murid Eyang Begawan Kamasetyo ini tetap 

memperhatikan gerak-gerik si tua aneh di hadapan


nya.

"Heran-heran! Rasa-rasanya hidungku men-

cium bau bangkai di tempat ini. Hey, Anak Muda! Apa 

kau sumber bau bangkai ini?" tegur orang tua berpa-

kaian biru itu buka suara. 

Seketika mengangkat kepalanya. Ditatapnya 

orang tua di hadapannya dengan sinar mata tak se-

nang. Hatinya jadi mengkelap dikatakan sumber bau 

bangkai. 

"Ah, iya! Kau pasti yang berbau bangkai itu, 

Anak Muda. Tak mungkin ramalanku salah. Dan kau 

pun harus mengakui kebenaran ramalanku. Kalau ti-

dak, berarti mati!!" sentak lelaki tua itu mengagetkan.

Tanpa sadar Soma pun segera mencium tu-

buhnya sendiri. Namun sama sekali tidak tercium bau 

bangkai pada tubuhnya. Ia hanya mencium bau kecut, 

karena hampir dua hari belum mandi. Menyadari uca-

pan orang tua berpakaian biru itu tidak benar, Soma 

pun lalu tersenyum.

"Maaf, Orang Tua! Apa tidak salah penciuman-

mu? Mana mungkin aku yang masih muda, berbau 

bangkai? Kalau kau mungkin pantas. Umurmu saja 

sudah berbau tanah? Sebab kau sudah tua peot lagi. 

Rasa-rasanya untuk membawa tubuh kurusmu saja 

kau tak sanggup. Jadi wajar saja kalau kaulah yang 

berbau bangkai, Orang Tua!" balas si pemuda tenang. 

Orang tua berpakaian biru itu melotot garang. 

Tampak sekali kalau hatinya gusar mendengar ucapan 

pemuda di hadapannya. 

"Jadi, kau tidak mempercayai ramalanku, Bo-

cah?" desis si tua ini.

"Ah...! Bukan begitu. Mana berani sih aku tidak 

mempercayai ramalanmu. Cuma seperti yang kukata-

kan tadi, ramalanmu terbalik. Bukannya aku yang bau


bangkai. Tapi kau, Orang Tua!" kata Soma seraya 

sunggingkan senyum. 

"Bedebah! Bicaramu berbelit-belit, Bocah! Na-

mun kau tetap saja tidak mempercayai ramalanku. Ke-

tahuilah, Bocah Edan! Ramalan si Peramal Maut, tidak 

akan dan belum pernah luput dari kebenaran. Namun 

kalau kau tetap tidak mempercayaiku, berarti kau pun 

layak modar di tanganku!" dengus lelaki tua berpa-

kaian biru-biru yang ternyata bergelar Peramal Maut 

garang

Sekali lagi Soma pun tersentak kaget begitu 

mendengar ucapan orang tua berpakaian biru ini. Sa-

ma sekali tidak diduga kalau saat ini ia tengah berha-

dapan dengan Peramal Maut yang namanya sudah 

sangat kondang di dunia persilatan. 

"Ah...! Tak kusangka hari ini aku akan bertemu 

orang tua sakti dari Gunung Kembang yang bergelar 

Peramal Maut. Menurut keterangan Eyang, aku harus 

berhati-hati terhadapnya. Namun Eyang pun juga me-

nyarankan agar tidak menganggap enteng apa yang di-

katakan Peramal Maut. Ya ya ya...! Ini berarti aku ha-

rus setengah mempercayai ramalannya," gumam Soma 

dalam hati sambil mengangguk-angguk.

"Bagaimana, Bocah? Apa kau masih belum 

mempercayai ramalanku?" usik Peramal Maut.

"Ah...! Bagaimana, ya? Terserah kau sajalah. 

Aku sih nurut-nurut saja. Mau bau bangkai kek, bau 

tanah kek, atau bau apa saja, aku nurut orang tua," 

sahut Soma seenaknya.

Namun justru Peramal Maut mendengus penuh 

kemarahan. Rahangnya mengembung. Kedua pelipis-

nya pun bergerak-gerak, pertanda amarahnya tak da-

pat lagi dikendalikan.

"Kau mempermainkanku, Bocah. Memang tampaknya kau mempercayaiku. Tapi, jangan dikira aku 

tidak mengetahui isi hatimu. Dan karena hanya mem-

percayai sebagian dari ramalanku, maka kau pun pa-

tut modar di tanganku. Siapa pun juga harus modar di 

tanganku, kalau tidak mempercayai ramalanku. Seka-

rang, terimalah kematianmu hari ini, Bocah!" bentak 

Peramal Maut penuh kemarahan.

Habis menggeram begitu, Peramal Maut pun 

segera memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangan-

nya yang telah berubah jadi merah darah digerak-

gerakkan sedemikian rupa di depan dada. Sedang se-

pasang matanya yang tajam terus memperhatikan Si-

luman Ular Putih.

"Ah...! Pantas saja kau dijuluki Peramal Maut, 

Orang Tua. Rupanya kau selalu menginginkan nyawa 

orang yang tidak mempercayai ramalanmu. Tapi apa 

kau lupa kalau aku masih mempercayai ramalanmu, 

Orang Tua! Mengapa kau menginginkan nyawaku?" 

kata Soma masih tetap enak-enakan tiduran dengan 

kepala bertelekan sebelah lengan.

"Jangan banyak bacot! Sikapmu pun menun-

jukkan kalau kau hanya sebagian mempercayai rama-

lanku. Sekarang, makanlah pukulan maut 'Gelap 

Ngampar'-ku! Heaaa...!"

Diiringi teriakan lantang, Peramal Maut mendo-

rongkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika 

tampak dua larik sinar merah darah melesat dari ke-

dua telapak tangannya yang dikawal oleh angin panas 

berkesiur kencang. Namun dengan gerakan luar biasa 

cepat, si pemuda langsung bergulingan di tanah 

menghindarinya.

Wesss! Wesss!

Brakkk...!!!

Batang pohon di belakang Siluman Ular Putih


tadi kontan tumbang, dan jatuh berdebam ke tanah. 

Seketika debu-debu membubung tinggi memenuhi 

tempat itu.

Melihat serangan pertamanya dapat dihindari 

dengan mudah, Peramal Maut pun jadi gusar bukan 

main. Dan dikawal bentakan nyaring, begitu kakinya 

menjejak tanah kembali diterjangnya Siluman Ular Pu-

tih. Seketika tubuh tinggi kurusnya telah berubah jadi 

bayangan biru, terus merangsek Siluman Ular Putih.

"Hea...! Hea...!"

Peramal Maut berkah-kali mencoba dengan ju-

rus-jurus tipuan. Namun, sayangnya Siluman Ular Pu-

tih selalu saja dapat menghindarinya dengan mudah. 

Malah kalau si pemuda itu mau, tak jarang banyak ke-

sempatan lowong untuk melancarkan serangan balik. 

Maka, hal ini pulalah yang membuat kemarahan Pe-

ramal Maut makin menggelegak

"Setan alas! Jangan dikira kau sudah di atas 

angin hingga tak mau balas seranganku, Bocah! Ba-

gaimanapun juga, kau harus modar di tangan ku, Bo-

cah! Heaaa...!"

Peramal Maut terus menekan pertahanan Si-

luman Ular Putih. Tangan kanannya membentuk 

cengkeraman berkelebatan hebat siap meremukkan 

batok kepala Siluman Ular Putih. Sedang tangan ki-

rinya yang terkepal erat, siap pula mendaratkan bogem 

mentah.

"Hea...! Hea...!"

"Ah...! Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Ke-

napa kau berhasrat sekali dengan nyawaku. Padahal di 

antara kita tidak ada silang sengketa. Apa tidak se-

baiknya kita selesaikan urusan sampai di sini?" ujar 

Soma sambil terus berkelebatan menghindari seran-

gan.


"Boleh boleh! Asal kepalamu kau tinggalkan di 

sini!" dengus Peramal Maut penuh kemarahan

"Ah...! Kau terlalu memaksaku, Orang Tua. Pa-

dahal aku sama sekali tidak ada hasrat untuk berta-

rung denganmu."

"Peduli setan! Mau bernafsu, kek! Tidak, kek! 

Pokoknya aku harus membunuhmu!" 

Peramal Maut makin memperhebat tekanan-

nya. Kedua telapak tangannya yang. berubah jadi me-

rah darah itu sesekali menyambar-nyambar ganas. 

Dan tentu saja lama-kelamaan Siluman Ular Putih jadi 

kewalahan sendiri. Kalau terus menghindar tanpa mau 

membalas serangan, bukan mustahil akan celaka. Ma-

ka ketika serangan-serangan Peramal Maut makin 

menghebat, terpaksa jurus ‘Terjangan Maut Ular Putih’ 

harus dikeluarkan

"Heaaa...!"

Disertai bentakan membelah angkasa, Siluman 

Ular Putih mengeluarkan jurus andalannya. Segera di-

balasnya serangan Peramal Maut. Kedua telapak tan-

gannya yang membentuk kepala ular sesekali mengu-

sap cepat melepas serangan balik yang tak kalah he-

bat.

Wuttt! Wuttt!

Saking cepatnya serangan Soma membuat Pe-

ramal Maut agak terkesima. Dan ini membuat perta-

hanannya lowong. Akibatnya, tanpa disadari patukan 

telapak tangan Siluman Ular Putih telah menyusup ce-

pat. Lalu...

Bukkk! Bukkk! 

"Aaakh...!"

Telak sekali dada Peramal Maut terkena patu-

kan tangan kanan kiri Siluman Ular Putih. Tubuh 

tinggi kurusnya seketika terpental jauh ke belakang


disertai teriakan kesakitan bercampur kemarahan. Se-

dang dadanya yang terkena patukan terasa seperti 

mau jebol! Padahal, Siluman Ular Putih hanya sedikit 

mengerahkan tenaga dalam.

"Sudahlah, Orang Tua! Sebaiknya kita akhiri 

urusan ini sampai di sini saja! Toh, sebenarnya di an-

tara kita tidak ada silang sengketa," kata Siluman Ular 

Putih kurang bernafsu.

Peramal Maut sedikit pun tidak mempedulikan 

ucapan Siluman Ular Putih sambil berusaha bangkit, 

sejenak dipandanginya Siluman Ular Putih dengan ra-

hang mengembung. Begitu ia memasang kuda-kuda, 

kedua telapak tangannya makin berubah merah hing-

ga sampai ke pangkal siku. Dan diiringi gemboran ke-

ras, kembali kedua telapak tangannya didorongkan ke 

depan melepas pukulan 'Gelap Ngampar'.

Wesss! Wesss!

Saat itu pula melesat dua larik sinar merah da-

rah dari kedua telapak tangan Peramal Maut ke arah 

tubuh Siluman Ular putih.

Soma mendengus jengkel. Ia yang dari tadi su-

dah bersikap mengalah. Maka tak mungkin tubuhnya 

sudi dijadikan sasaran empuk pukulan 'Gelap Ngam-

par'. Maka demi untuk lindungi selembar nyawa, Soma 

pun segera mengerahkan tenaga dalam ke kedua tan-

gan. Lalu disertai teriakan keras, tangan kanannya 

menyentak ke depan dengan pukulan tenaga 'Inti Bu-

mi'.

Wesss! Wesss!

Blaaarrrr...!!!

Terdengar ledakan hebat di udara saat dua te-

naga dalam tingkat tinggi beradu. Bumi berguncang 

hebat! Debu-debu dan semua yang ada di sekitar tem-

pat pertarungan seketika berhamburan di udara! Se


dang tubuh Peramal Maut pun kontan melayang jauh 

ke belakang! Parasnya tampak demikian piasnya, per-

tanda telah mengalami luka dalam cukup hebat!

Sewaktu terjadi bentrokan tadi, Siluman Ular 

Putih sendiri pun sempat terguncang hebat. Malah ke-

dua kakinya tampak melesak beberapa dim ke dalam 

tanah berpasir!

"Maafkan aku, Orang Tua! Demi Tuhan, aku ti-

dak bermaksud mencelakakanmu. Selamat tinggal, 

Orang Tua!" kata Siluman Ular Putih penuh sesal.

Habis berkata begitu, murid Eyang Begawan 

Kamasetyo ini segera berkelebat cepat meninggalkan 

tempat itu.

Peramal Maut yang sudah bangkit, geram bu-

kan main. Lalu sambil mendekap dadanya erat-erat, 

segera tubuhnya berkelebat cepat berusaha menyusul 

Siluman Ular Putih. Namun sayangnya baru saja bebe-

rapa langkah, bayangan putih keperakan murid Eyang 

Begawan Kamasetyo telah begitu jauh melesat.

Sekali lagi Peramal Maut hanya menggeram pe-

nuh kemarahan. Dengan menderita luka dalam cukup 

parah, tak mungkin ia melanjutkan pengejaran. Maka 

dengan terpaksa langkahnya dihentikan tepat di ba-

wah pohon. Segera lelaki ini duduk bersemadi untuk 

menyembuhkan luka dalamnya.

"Tunggulah pembalasanku, Bocah Bau Bang-

kai!" desis Peramal Maut sebelum mulai bersemadi.

***


TIGA


Malam berselimut awan, menutupi bintang 

yang seharusnya bertaburan di angkasa. Gemericik air 

di Grojogan Sewu terdengar sampai jauh keluar hutan 

luas yang mengelilinginya. Sebuah hutan yang ditum-

buhi pohon-pohon besar dan menjulang tinggi ke ang-

kasa. Seolah-olah, ingin menggapai cakrawala.

Sementara tak jauh dari aliran Grojogan Sewu 

terdengar suara teriakan seperti orang berlatih silat. 

Memang di sebuah tanah datar yang tak begitu luas, 

seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun 

lengah memantapkan jurus-jurusnya. Wajahnya ber-

bentuk bulat telur dengan kulit putih bersih. Rambut-

nya yang hitam lurus dikuncir dua ke belakang. Se-

dang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian 

ringkas warna hijau

"Hea...! Hea...!"

Dengan sebilah pedang di tangan kanan, gadis 

cantik itu meliuk-liuk indah serta berkelebat ke sana 

kemari. Seolah-olah ada musuh di hadapannya, pe-

dangnya terus mengibas-ngibas laksana seekor kupu-

kupu yang tengah menghisap madu bunga. Meski ter-

kadang gerakan-gerakan pedangnya tampak lembut 

dan perlahan, namun sesungguhnya di situlah letak 

kekuatan jurusnya. Dan di saat musuh lengah, tiba-

tiba gerakan pedangnya berubah cepat laksana kilat. 

Lalu....

Wesss! Wesss!

Crakkk! Crakkk!

Berkali-kali pedang di tangan si gadis bergerak-

gerak lincah membabat batang pohon yang dibayang-

kan sebagai seorang musuh. Hanya dalam waktu tidak


lama, ranting-ranting pohon itu pun telah gundul ter-

tebas pedangnya.

Sementara tak jauh dari tempat si gadis berla-

tih berdiri tegak seorang lelaki setengah baya yang ten-

gah mengamati. Sesekali kepalanya mengangguk-

angguk penuh kagum, pertanda puas dengan jurus-

jurus yang diperagakan si gadis.

"Bagus, bagus! Tak kusangka kau dapat men-

guasai jurus-jurus 'Pedang Kumbang Hitam'-ku den-

gan baik, Ningtyas. Aku si Raja Pedang, bangga sekali 

mempunyai murid sepertimu," puji lelaki setengah 

baya itu.

Dia adalah seorang lelaki berusia lima puluh 

lima tahun. Wajahnya berbentuk persegi penuh den-

gan kumis dan jenggot. Sepasang matanya tajam, me-

nyimpan ketelengasan yang nyaris tersembunyi. Ram-

butnya panjang dikuncir sebagian ke belakang.

Sedang tubuhnya yang tinggi besar dibalut pa-

kaian ringkas berwarna kuning.

"Terima kasih, Guru. Semua ini tak lepas dari 

bimbingan Guru," sahut gadis cantik yang dipanggil 

Ningtyas itu merendah.

Lelaki setengah baya bertubuh tinggi besar 

yang berjuluk Raja Pedang ini tertawa gembira.

"Sekarang coba peragakan pukulan 'Bara Nera-

ka'!" ujar si Raja Pedang, sedikit jumawa.

"Baik, Guru!"

Kepala Ningtyas menunduk dengan tangan me-

rapat di depan dada. Lalu tubuhnya digeser sedikit ke 

samping. Kini membuat kuda-kuda kokoh disertai 

pengerahan tenaga dalam. Kedua telapak tangannya 

yang telah berubah jadi merah menyala segera dido-

rongkan ke depan ke arah sebuah batang pohon. Seke-

tika tampak dua leret sinar merah menyala melesat da


ri kedua telapak tangannya.

Wesss! Wesss!

Brakkk...!!!

Batang pohon sebesar satu lingkaran tangan 

manusia dewasa kontan berderak hebat begitu terhan-

tam sinar-sinar merah dari kedua telapak tangan Ning-

tyas. Pohon itu bergoyang-goyang sebentar, lalu jatuh 

berdebam ke tanah. Seketika debu-debu dan semua 

yang ada di dekat tempat itu berhamburan tinggi ke 

udara dalam keadaan kering terbakar. Pada bagian ba-

tang pohon yang terkena pukulan 'Bara Neraka' tadi 

kontan berlobang besar, mengepulkan asap tipis keme-

rah-merahan.

Raja Pedang terkekeh puas. Kepalanya men-

gangguk penuh kegembiraan. Namun belum sempat le-

laki setengah baya itu buka suara....

"Hem...! Pukulan 'Bara Neraka'? Bagus! Serem 

kedengarannya. Tapi sayang gadis itu belum mengua-

sai sepenuhnya!"

"Heh...?!"

***

Raja Pedang tersentak kaget ketika terdengar 

suara dari belakang agak menyamping. Buru-buru ke-

palanya berpaling ke arah datangnya suara. Tampak 

tak jauh dari pohon yang tumbang terkena pukulan 

'Bara Neraka' tampak telah berdiri seorang lelaki tua 

renta berpakaian ringkas warna putih. Wajahnya tirus 

kepucatan saking jarangnya terkena sinar matahari. 

Rambutnya yang panjang telah memutih. Alis mata 

dan bulu matanya pun juga berwarna putih. Tubuhnya 

kurus kering seperti tak bertenaga. Meski demikian, 

wajahnya yang renta penuh keriput masih tetap me


nampakkan sisa-sisa ketampanannya di waktu muda.

"Siapa kau, Orang Tua? Kenapa mengganggu 

kami berlatih?" tanya Raja Pedang berusaha mene-

nangkan dirinya.

Melihat kehadiran orang tua renta berpakaian 

putih-putih yang tidak diketahui sebelumnya, mem-

buat Raja Pedang dan Ningtyas kagum setengah mati. 

Betapa tidak? Kehadiran yang tanpa suara itu me-

nandakan kalau lelaki tua ini memiliki ilmu meringan-

kan tubuh yang sudah sangat tinggi. Dan ini membuat 

mereka merasa harus berhati-hati. Tanpa sadar lelaki 

setengah baya itu meraba gagang pedang yang terselip 

di balik pinggang. Sedang Ningtyas makin mempererat 

pegangan pedang di tangan kanannya.

"Kukira aku harus hati-hati. Melihat kemuncu-

lannya yang tidak diketahui, bukan mustahil kalau 

orang tua renta itu memiliki kepandaian di atasku. So-

rot matanya yang tajam jelas membuktikan kalau te-

naga dalamnya tinggi sekali," gumam Raja Pedang da-

lam hati

"Bukan main kemunculan orang tua renta ini! 

Kenapa aku maupun Guru tidak dapat mendengar 

langkah-langkahnya sebelum ia muncul? Hm...! Kukira 

tak ada jeleknya kalau aku harus hati-hati. Siapa tahu 

orang tua ini sengaja mencari penyakit?" gumam Ning-

tyas, pada saat yang bersamaan.

"Maaf, jika kedatanganku mengganggu kalian. 

Sebenarnya aku, Dewa Langit tidak ingin mengganggu 

kalian berlatih. Terus terang aku hanya ingin mena-

nyakan beberapa pertanyaan. Barangkali, kalian dapat 

membantuku," ucap lelaki tua yang ternyata Dewa 

Langit.

Sekali lagi Raja Pedang tersentak kaget. Sepa-

sang matanya pun membelalak liar, mendengar nama


yang disebutkan si tua renta itu.

"Hm..., Dewa Langit! Rasa-rasanya aku pernah 

mendengar tokoh satu ini berpuluh tahun lalu. Konon 

kesaktiannya pun tinggi sekali. Jarang sekali menemui 

lawan tandingan. Tapi, kenapa ia mendadak menda-

tangi tempat tinggalku? Mau apa orang tua ini sebe-

narnya? Ah, ia tak mungkin hanya ingin meminta be-

berapa keterangan dariku. Pasti ada apa-apanya!"

Dengan gigi bergemeretak, Raja Pedang me-

mandang dingin pada Dewa Langit.

"Huh! Rupanya kau Dewa Langit yang kesohor 

itu! Tapi siapa peduli dengan bacotmu?! Tanyakan saja 

pada setan-setan gentayangan penunggu hutan ini!" 

sahut Raja Pedang tajam menyengat.

Dewa Langit tersenyum arif. Sedikit pun tidak 

tersinggung mendengar kata Raja Pedang.

"Guru...! Kukira orang ini bermaksud baik. Tak 

pantas kalau kita memperlakukannya semena-mena, 

Guru," sela Ningtyas turut angkat bicara.

"Diam kau, Ningtyas! Sekali lagi buka suara, 

aku tak segan-segan lagi menghukummu!" hardik Raja 

Pedang kasar.

Dewa Langit tetap tersenyum arif.

"Bicaramu sungguh manis, Gadis. Tidak seperti 

gurumu itu. Dan kukira kau tidak pantas mempunyai 

guru macam dia, Gadis," kata Dewa Langit seraya 

menggerakkan ujung dagunya ke arah Raja Pedang.

Raja Pedang kembali menggeretakkan gera-

hamnya penuh kemarahan. Tampak kedua pelipisnya 

bergerak-gerak pertanda amarahnya tak terkendali.

"Setan alas! Dulu aku memang pernah men-

dengar nama besarmu di dunia persilatan, Dewa Lan-

git. Tapi meski kesaktianmu setinggi langit, jangan di-

kira aku takut menghadapimu, Orang Tua!" bentak Raja Pedang.

"Sayang sekali aku tidak butuh sesumbarmu, 

Orang Muda," tukas Dewa Langit. "Aku tahu, tentu ka-

lian sangat terganggu melihat kedatanganku ini. Tapi 

tak apa-apa. Mungkin kalian masih sudi mendengar 

pertanyaanku. Apakah di antara kalian ada yang per-

nah mendengar seorang anak manusia yang terlahir 

dengan cara aneh, sekaligus memiliki kesaktian aneh?"

Raja Pedang dan Ningtyas sejenak menautkan 

alis mata.

"Pertanyaanmu aneh, Orang Tua Sinting. Mana 

mungkin ada orang terlahir dengan cara aneh," jawab 

Raja Pedang, seenaknya.

"Kukira jawabanku pun sama dengan Guru, 

Orang Tua. Sepanjang umur hidupku, rasanya belum 

pernah aku mendengar orang yang dilahirkan dengan 

cara aneh, sekaligus memiliki ilmu aneh," timpal Ning-

tyas.

"Baiklah kalau kalian memang tidak tahu. Tapi, 

apakah barangkali kalian dapat membantuku pada 

siapa aku bertanya?"

"Keparat! Sudah kubilang tidak tahu, masih sa-

ja mengumbar bacot. Apa kau pikir aku takut men-

dengar nama besarmu, he?!" bentak Raja Pedang 

mengkelap bukan main.

"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku tidak in-

gin bermusuhan denganmu," jawab Dewa Langit en-

teng.

"Setan alas! Aku jadi ingin lihat apa keheba-

tanmu juga, sehebat bacotmu?!"

Si Raja Pedang langsung melompat menyerang 

dengan jurus-jurus ganas.

Dewa Langit mengeluh dalam hati. Tentu saja 

ia tidak ingin membiarkan tubuhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan Raja Pedang. Dengan sedikit 

memiringkan tubuhnya ke samping, tiba-tiba tepukan 

tangannya telah bergerak amat cepat. Bahkan sama 

sekali tak disadari oleh si Raja Pedang. Akibatnya....

Bukkk...!

"Aaa...!" 

Raja Pedang meraung hebat saat tangan Dewa 

Langit mendarat telak di dadanya. Darah segar kontan 

menyembur dari mulut. Tubuhnya pun terpental ke 

belakang dan jatuh berdebam ke tanah, melejang-

lejang sebentar dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas!

Sejenak Dewa Langit terpaku di tempatnya, 

seolah tak percaya dengan apa yang dilakukan.

"Ya ampun! Kenapa aku bertindak kelewat ba-

tas. Oh...! Hyang Widi! Maafkanlah aku! Aku tak me-

nyangka pukulanku akan berakibat begini...," keluh 

Dewa Langit dalam hati penuh sesal.

"Guruuu...!"

Ningtyas memekik menyayat melihat tubuh Ra-

ja Pedang tahu-tahu sudah terkapar tak berdaya. Ke-

mudian dengan mata liar ditatapnya Dewa Langit.

"Laknat! Kau... kau harus bertanggung jawab 

utas kekejian ini, Orang Tua!" bentak Ningtyas. 

"Heaaat...!"

Disertai bentakan keras, Ningtyas yang telah 

menghimpun tenaga dalamnya segera menghentakkan 

kedua tangannya. Seketika dari kedua telapak tangan-

nya yang telah berubah merah menyala, melesat dua 

berkas sinar merah. Jelas, gadis itu tengah mengerah-

kan pukulan 'Bara Neraka'.

Wesss! Wesss!

Brakkk...!!!

Batang pohon di belakang Dewa Langit kontan 

tumbang begitu terkena pukulan 'Bara Neraka'. Rant



ing-ranting dan daun-daun pohon itu pun hangus ter-

bakar!

Sementara, justru lelaki tua itu telah melayang 

di udara, lalu meluruk ke arah si gadis. Betapa ilmu 

meringankan tubuh Dewa Langit telah mencapai ting-

kat yang tinggi, sehingga Ningtyas tak sempat melihat 

gerakannya.

Ningtyas baru sadar ketika mendengar suara 

tawa Dewa Langit yang entah tiba-tiba datangnya dari 

belakang. Bahkan belum sempat gadis cantik berpa-

kaian hijau itu berpaling, tahu-tahu....

Tuk!

"Oh...!"

Si gadis mendesah lirih ketika tengkuknya telah 

terkena totokan dari arah belakang. Namun anehnya 

begitu terkena totokan tubuhnya masih dapat digerak-

kan. Hanya saja gadis ini merasakan hawa dingin aki-

bat totokan jari-jari tangan Dewa Langit yang terus 

menerabas menyerang ulu hatinya!

"Keparat! Demi Tuhan aku akan menuntut ba-

las atas kematian guruku Raja Pedang, Manusia Lak-

nat!" dengus Ningtyas penuh kemarahan.

Kedua telapak tangannya yang masih berubah 

merah menyala kembali didorongkan ke arah Dewa 

Langit. Seketika tampak dua leret sinar merah menyala 

melesat dari kedua telapak tangannya.

Dewa Langit menggeleng-gelengkan kepala. Ka-

lau ia menginginkan nyawa gadis cantik di hadapan-

nya, sudah dari tadi lawan dibuat terkapar di tanah. 

Namun rupanya lelaki tua ini memang tidak menghen-

dakinya.

"Jangan terlalu gegabah, Gadis! Terus terang 

aku menyesal telah membunuh gurumu? Hayo, lekas 

hentikan seranganmu!"

Tapi, mana mau Ningtyas yang tengah terpukul 

melihat gurunya tewas di tangan Dewa Langit menuru-

ti perintah Dewa Langit? Malah dengan kemarahan 

meluap kembali diserangnya lelaki tua itu.

Melihat datangnya serangan-serangan, Dewa 

Langit hanya sedikit menggeser tubuhnya ke samping. 

Dan pada saat Ningtyas kembali menerjang, jari-jari 

tangannya kembali melancarkan totokan ke arah ping-

gang.

Tukkk! Tukkk!

"Ohh...!"

Dua kali pinggang Ningtyas terkena totokan ja-

ri-jari tangan Dewa Langit. Seketika tubuh si gadis ka-

ku tak dapat digerakkan dengan mata melotot lebar-

lebar.

"Jahanam! Hayo lepaskan totokanku. Dan kita 

bertanding sampai ada yang modar!" sentak si gadis.

"Aku tahu, tentu kau sangat marah melihat aku 

telah menewaskan gurumu. Tapi dengarlah, Gadis! Se-

sungguhnya kau tak pantas mempunyai guru macam 

dia. Kalau kau tak keberatan, aku ingin mewariskan 

sesuatu padamu. Tapi, aku pun juga minta agar kau 

mencarikan pemuda yang kumaksudkan. Ingat, Gadis! 

Aku menunggu kedatanganmu empat puluh hari di 

muka, di sebuah dataran berumput di luar Hutan Wa-

tu Malang."

Ningtyas tidak menyahut. Amarahnya yang 

menggelegak membuat sepasang matanya terus me-

mandangi Dewa Langit penuh kemarahan.

Dewa Langit sejenak memperhatikan Ningtyas. 

Lalu tanpa banyak cakap lagi, segera ditotok jalan da-

rah di pinggang Ningtyas dua kali untuk membe-

baskan pengaruh totokan. Dan begitu tubuh Ningtyas 

terbebas, Dewa Langit segera berkelebat cepat mening


galkan tempat ini.

Ningtyas menggeram penuh kemarahan. Tak 

mungkin ia mengejar Dewa Langit. Hanya dalam bebe-

rapa kelebatan saja, sosok tinggi kurus si tua itu telah 

menghilang di balik kegelapan malam.

***

EMPAT



Dewa Langit terus berkelebat cepat tanpa tu-

juan pasti. Ke mana kakinya melangkah, ke situlah 

arah tujuannya. Sementara dalam pikirannya terus 

berkecamuk, bagaimana agar secepatnya dapat mene-

mukan pemuda aneh yang sekaligus memiliki ilmu 

aneh seperti kabar gaib yang diterimanya dari men-

diang gurunya bernama Parikesit.

"Ah...! Kukira ucapan Raja Pedang tadi benar. 

Tak mungkin aku menemukan anak manusia yang ter-

lahir aneh sekaligus memiliki ilmu aneh. Hm...! Ba-

gaimana ini? Rasanya mustahil. Tapi biar bagaimana-

pun, aku harus dapat menemukannya. Aku sudah je-

nuh hidup di dunia ini," desah Dewa Langit dalam ha-

ti.

Hampir semalaman tokoh sakti dari Hutan Wa-

tu Malang itu menempuh perjalanan yang tak jelas 

juntrungannya. Dan selama melakukan perjalanan, 

banyak sudah tokoh sakti dunia persilatan yang di-

mintai keterangan. Namun, tak ada satu pun yang da-

pat menunjukkan di mana anak manusia yang dimak-

sudkan.

"Sulit! Bagaimana mungkin aku dapat mene


mukan anak manusia yang kumaksudkan? Dari se-

kian banyak tokoh dunia persilatan yang sempat ku-

mintai keterangan, tak ada satu pun juga memberikan 

keterangan pasti. Ah...! Jangan-jangan kabar gaib yang 

diterima Eyang Parikesit hanyalah mimpi kosong bela-

ka. Kalau iya, ah...! Bagaimana aku dapat menemukan 

jalan kematian? Oh...!" keluh Dewa Langit merasa ga-

lau.

Dan baru saja lelaki tua ini mengeluh begitu, 

mendadak pendengarannya yang tajam menangkap ge-

rakan halus di belakang jauh dari tempatnya berlari. 

Tanpa banyak cakap segera langkahnya dihentikan. 

Sementara sepasang pendengarannya makin diperta-

jam.

"Hm...! Kalau pendengaranku tidak salah, lang-

kah-langkah halus yang terdengar terdiri dari dua 

orang. Dan kini mereka tengah berdiri di balik rin-

dangnya sebuah pohon depan sana. Ya ya ya...! Se-

baiknya aku ke sana. Siapa tahu mereka dapat mem-

berikan keterangan," pikir Dewa Langit.

Saat itu pula Dewa Langit pun segera meloncat 

ke atas pohon. Lalu dengan kecepatan dahsyat, tu-

buhnya berkelebatan dari pohon satu ke pohon lain. 

Dan sebentar saja Dewa Langit sampai di pohon yang 

dimaksudkan.

Begitu sampai di pohon itu, Dewa Langit pun 

segera menjulurkan kepala ke bawah. Tampak di balik 

pohon yang dimaksudkan, dua orang laki-laki tua ten-

gah celingukkan ke sana kemari seperti mencari se-

suatu.

Orang di sebelah kanan adalah seorang lelaki 

tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya 

yang panjang memutih digelung ke atas. Wajahnya pu-

cat pasi mirip wajah mayat. Sedang tubuhnya yang

tinggi kurus menyerupai jerangkong hidup dibalut kain 

katun warna putih. 

Di sebelahnya juga seorang lelaki tua renta be-

rusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Rambutnya yang 

panjang memutih dibiarkan tergerai di bahu. Bentuk 

wajahnya agak aneh, yakni menyerupai wajah bayi. 

Sedang tubuhnya yang pendek kurus dibalut pakaian 

ringkas warna hitam.

"Hantu Pocong! Tak mungkin Siluman Ular Pu-

tih lenyap begitu saja. Pasti ia masih bersembunyi di 

sekitar tempat ini!" kata lelaki tua berwajah bayi.

"Ya ya ya...! Benar, Iblis Muka Bayi! Rupanya 

kabar yang kudengar ternyata benar. Pemuda murid 

Eyang Begawan Kamasetyo itu ternyata memiliki ke-

saktian hebat. Buktinya saja kita sampai kehilangan 

jejak. Apalagi ilmu meringankan tubuhnya tadi. Bukan 

main...! Kita sendiri pun sampai kewalahan mengiku-

tinya," sahut lelaki tua berbalut kain kafan yang di-

panggil Hantu Pocong.

Kedua lelaki tua memang dedengkot dunia per-

silatan golongan hitam. Dan mengenai kemunculan 

mereka yang secara mendadak, sebenarnya hanya ke-

betulan saja. Sebagai tokoh-tokoh nomor satu di dunia 

persilatan, mereka merasa penasaran sekali dengan 

tersiarnya kabar gencar tentang munculnya seorang 

pendekar muda bergelar Siluman Ular Putih. Seperti 

desas-desus yang terdengar, konon kesaktian pende-

kar muda itu tinggi sekali. Maka begitu mendengar de-

sas-desus itu, Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi me-

rasa penasaran bukan main. Mereka ingin sekali men-

jajal kesaktian Siluman Ular Putih.

Namun sewaktu Hantu Pocong dan Iblis Muka 

Bayi tengah beristirahat setelah melakukan pencarian, 

tiba-tiba melihat sesosok bayangan putih tengah ber


kelebat cepat melintasi tempat mereka. Apalagi ketika 

menyadari ilmu meringankan tubuh bayangan putih 

yang semula dikira Siluman Ular Putih tampak demi-

kian hebat. Maka kedua tokoh hitam itu berkesimpu-

lan kalau bayangan yang tengah diikuti itu adalah 

orang yang tengah dicari. Namun sayangnya di saat 

tengah melakukan pengejaran terhadap bayangan pu-

tih yang sebenarnya Dewa Langit, mendadak mereka 

kehilangan jejak. Melihat buruannya lenyap bak dite-

lan bumi, maka kedua orang itu pun memutuskan un-

tuk beristirahat kembali.

"Ya ya ya...! Harus kita akui kalau pemuda 

yang bergelar Siluman Ular Putih itu hebat. Tapi, aku 

sedikit pun tidak gentar menghadapinya. Pokoknya, 

sekarang kita lanjutkan pengejaran. Mungkin pemuda 

tengik itu telah berhasil mengecoh kita, lalu kembali 

meneruskan perjalanan," ajak Iblis Muka Bayi.

"Ya ya ya...! Kalau begitu buat apa buang-

buang waktu! Rasa-rasanya tanganku sudah gatal-

gatal ingin menghajar pendekar muda itu. Hayo, kita 

teruskan pencarian kita, Iblis Muka Bayi!" kata Hantu 

Pocong menyahuti.

Namun belum sempat kedua tokoh itu bertin-

dak lebih lanjut, tiba-tiba dikejutkan oleh gerakan-

gerakan halus tak jauh dari tempat itu. Sebagai tokoh 

silat tinggi sudah pasti Hantu Pocong dan Iblis Muka 

Bayi dapat merasakannya. Maka seketika, kepala me-

reka segera berpaling ke samping.

Seketika itu pula, mata kedua tokoh sesat ini 

terbeliak liar. Di hadapan mereka kini telah berdiri se-

sosok lelaki tua renta dengan pakaian ringkas warna 

putih-putih. Rambutnya yang panjang memutih seba-

gian digelung ke atas. Sosok itu tidak lain dari sosok 

yang tengah dikejar oleh mereka sendiri.


"Manusia-manusia pengecut! Sebenarnya apa 

yang kau inginkan dariku? Kenapa kau buntuti aku?" 

tegur Dewa Langit kalem.

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi melengak 

kaget. Bukan saja kaget melihat kemunculan lelaki tua 

renta itu yang tidak terduga-duga sama sekali, namun 

juga kaget melihat kalau yang dikejar tadi jelas bukan 

sosok Siluman Ular Putih yang sedang mereka cari. 

"Melihat ciri-cirinya, jelas orang tua renta di 

hadapan kita bukan Siluman Ular Putih. Sebab, kabar 

yang tersiar mengatakan, Siluman Ular Putih adalah 

seorang pemuda dan berparas tampan. Tapi, bagaima-

na mungkin kemunculannya sama sekali tidak terden-

gar oleh ku? Dan siapa pula dia? Rasa-rasanya selama 

malang melintang di dunia persilatan aku belum per-

nah melihatnya," gumam Hantu Pocong dalam hati se-

raya menautkan alis.

Sedang di samping Hantu Pocong, Iblis Muka 

Bayi itu pun tampak tengah berpikir keras. Agaknya ia 

pun cukup terkejut melihat kemunculan lelaki tua 

yang memang Dewa Langit.

"Hebat! Kalau kedatangannya sampai tidak ter-

dengar, berarti kepandaiannya tak bisa dianggap re-

meh. Dan yang jelas lagi, orang tua renta ini bukanlah 

Siluman Ular Putih," kata batin Iblis Muka Bayi penuh 

kagum.

"Siapa kau, Orang Tua?!" bentak Hantu Pocong.

"Melihat ciri-ciri, tampaknya kalian bukan 

orang baik-baik. Sungguh sayang, kalian yang sudah 

tua seperti ini masih suka membuat onar," sindir Dewa 

Langit, tanpa menjawab pertanyaan Hantu Pocong.

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi melengak 

kaget. Belum pernah rasanya mereka dipandang ren-

dah demikian rupa selama malang melintang di dunia


persilatan. Mendengar sindiran Dewa Langit.

Iblis Muka Bayi sejenak mengalihkan pandang 

matanya ke arah Hantu Pocong. Dan seperti diberi 

aba-aba, mendadak kedua tokoh sesat itu tertawa ber-

gelak.

"Heran heran! Beraninya kau mengumbar sua-

ra demikian nyaringnya. Apa matamu sudah lamur 

tengah berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Hantu 

Pocong lagi.

Dewa Langit mengulas senyum. Tampak sekali 

kalau ia tidak gentar menghadapi kedua tokoh sesat di 

hadapannya.

"Kau akan menyesal seumur hidup berani ber-

tindak lancang di hadapan Dewa Langit!" sahut Dewa 

Langit, tak kalah gertak.

Kali ini rasa kaget Hantu Pocong dan Iblis Mu-

ka Bayi tak dapat dibayangkan lagi mendengar nama 

Dewa Langit disebut. Namun kekagetan mereka hanya 

sebentar. Setelah dapat mengendalikan perasaan, ke-

dua orang tua itu pun lantas tertawa bergelak. Sebagai 

tokoh tua dunia persilatan, mereka jelas pernah men-

dengar tokoh sakti tanpa tanding yang bergelar Dewa 

Langit, walau belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi 

sifat mereka yang sombong mengalahkan segalanya. 

Apalagi mereka juga belum pernah menjajal kesaktian 

Dewa Langit.

"Setan! Tak kusangka Dewa Langit yang sudah 

lama menyembunyikan diri kini kembali muncul di 

dunia persilatan," dengus batin Hantu Pocong.

"Hm...! Bukankah Dewa Langit sudah mati? 

Tapi, kenapa mendadak muncul ke dunia persilatan? 

Ah...! Jangan-jangan kabar bohong yang telah kuden-

gar tentang kematian Dewa Langit hanyalah dusta be-

laka. Dan tak kusangka sama sekali kalau hari ini aku


dapat bertemu tokoh sakti yang sering digunjingkan 

tokoh-tokoh tua dunia persilatan," gumam Iblis Muka 

Bayi dalam hati.

Namun untuk menutupi kegusaran, Iblis Muka 

Bayi dan Hantu Pocong malah makin melipat ganda-

kan tawanya.

"Keparat! Kau pikir hanya kau saja yang dita-

kuti di dunia persilatan, he?! Jangan ngelindur, Orang 

Tua Bau Tanah! Aku, Iblis Muka Bayi, sedikit pun ti-

dak gentar menghadapi nama besarmu. Malah hari ini 

juga aku akan menjajal kehebatanmu yang konon tan-

pa tanding itu. Hayo kita bermain-main sebentar den-

gan orang tua renta itu, Hantu Pocong! Tanganku su-

dah lama karatan ingin menghajar orang," ajak Iblis 

Muka Bayi, disambut tawa bergelak.

"Maut ada di tangan Hyang Widi. Sesungguh-

nya kalian tidak pantas, kenapa kalian suka bicara 

tentang maut. Sebab hanya Yang Maha di Atas sajalah 

yang patut membicarakannya. Untuk, itu mari kita sal-

ing bergandeng tangan, sama-sama melangkah dengan 

kasih sayang!" ujar Dewa Langit. "Tapi sebelumnya, 

kalau kalian tidak keberatan, aku ingin meminta bebe-

rapa keterangan dari kalian...."

Sejenak Dewa Langit menghentikan bicara. Se-

pasang matanya yang berwarna kelabu, mendadak 

mencorong tajam ke arah Iblis Muka Bayi dan Hantu 

Pocong.

"Apakah kalian dapat membantuku di mana 

aku dapat menemukan anak manusia yang terlahir se-

cara aneh sekaligus memiliki ilmu aneh?!" lanjut Dewa 

Langit.

"Pertanyaan aneh. Kukira jalan pikiranmu pun 

aneh. Kenapa tidak kau tanyakan saja pada Raja Akhi-

rat nanti?!" ejek Iblis Muka Bayi sinis.


Habis mengejek begitu, Iblis Muka Bayi segera 

menutulkan kaki kanannya ke tanah, seketika tubuh-

nya berkelebat cepat menyerang Dewa Langit hebat.

Melihat Iblis Muka Bayi telah bertindak, Hantu 

Pocong pun tak mau ketinggalan. Tubuhnya segera 

berkelebat menyerang.

"Hea...! Hea...!"

Diiringi bentakan keras, Dewa Langit meliuk-

liukkan tubuhnya menghindari serangan. Dan begitu 

serangan lewat di sisinya, tubuhnya segera berbalik. 

Begitu berkelebat, segera dikeluarkannya jurus-jurus 

andalan. Tangan kanannya yang terkepal siap melepas 

jotosan ke arah muka Hantu Pocong. Sementara tan-

gan kirinya dengan jari-jari membuka siap pula men-

daratkan totokan-totokan.

Hebat bukan main serangan-serangan balik 

Dewa Langit. Bahkan sebelum serangan-serangannya 

mengenai sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin 

dingin.

Wesss! Wesss!

Tukkk! Tukkk! 

"Aakh...!"

Dua kali totokan-totokan 'Jari-jari Suci' Dewa 

Langit dipapak oleh telapak tangan kanan Iblis Muka 

Bayi. Seketika tokoh sesat ini meraung keras. Telapak 

tangan kanannya yang memapak seraya mau remuk!

Sedang Hantu Pocong yang terbebas dari joto-

san tangan Dewa Langit, segera melancarkan serangan 

balik. Tangan kirinya mencengkeram dari bawah ke 

atas. Tangan kanannya yang membentuk cakar segera 

membabat cepat ke arah ulu hati lawannya.

Dewa Langit hanya tersenyum dingin melihat 

serangan-serangannya dapat dimentahkan oleh kedua 

orang pengeroyoknya. Padahal kini Iblis Muka Bayi



pun telah meloloskan senjata andalan berupa sebuah 

cemeti berekor sembilan.

Sebelum Iblis Muka Bayi mengebutkan ceme-

tinya, Dewa Langit telah berkelebat cepat ke arah Han-

tu Pocong. Begitu cepatnya, sehingga Hantu Pocong 

pontang-panting dibuatnya. Bahkan tiba-tiba Dewa 

Langit mendapat kesempatan baik.

Begitu Hantu Pocong melenting ke belakang. 

Dewa Langit segera mengikutinya. Dari atas, tokoh 

berjiwa arif ini langsung mematuk pinggang Hantu Po-

cong dengan totokan ‘Jari-jari Suci’ Dan...

Tukkk! Tukkk!!

Telak sekali pinggang Hantu Pocong terkena to-

tokan. Seketika tubuh tinggi kurusnya ambruk di ta-

nah tanpa bisa mendarat empuk. Pinggang yang terke-

na totokan terasa mau hancur!

"Heaaa...!"

Ctarrrr...! 

Tepat ketika Dewa Langit mendarat manis di 

tanah, cemeti Iblis Muka Bayi meluncur datang. Sece-

patnya lelaki tua ini membuang tubuhnya ke samping.

Jdarri...!

Tanah tempat Dewa Langit tadi berdiri kontan 

terbongkar oleh cemeti Iblis Muka Bayi. Namun pada 

saat itu, Dewa Langit telah melenting kembali. Bahkan 

sebelum Iblis Muka Bayi mengebutkan cemetinya, De-

wa Langit telah berkelebat cepat

Bed! Bed!

Jari-jari tangan Dewa Langit kembali melancar-

kan totokan-totokan maut ke ubun-ubun Iblis Muka

Bayi.

Tentu saja lelaki tua bermuka bayi itu tidak in-

gin tubuhnya jadi sasaran empuk. Seketika tubuhnya 

diemposkan ke samping.


Tetapi baru saja tokoh sesat itu berkelit, men-

dadak arah totokan Dewa Langit telah berubah, lang-

sung mengancam dada Iblis Muka Bayi. Lalu....

Tukkk! Tukkk!

"Aaakh...!"

Iblis Muka Bayi memekik setinggi langit ketika 

dadanya terkena totokan Dewa Langit. Sakitnya bukan 

main. Tubuh pun kontan terpental beberapa tombak 

ke belakang tanpa dapat bergerak lagi.

Dewa Langit tersenyum kecut. Dipandanginya 

kedua lawan yang tengah merintih-rintih. 

"Sungguh sayang sekali.... Kalian orang-orang 

tua yang berkepandaian, namun tak mau mengamal-

kannya pada jalan kebenaran. Tapi, tak apa-apalah! 

Barang kali kalian masih bermurah hati untuk mem-

beritahukan, di mana aku dapat menemukan pemuda 

yang kumaksudkan...," kata Dewa Langit, lembut.

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang nya-

linya sudah ciut, mendapat kenyataan kalau kesaktian 

Dewa Langit amat tinggi, sejenak saling berpandangan.

"Mana sudi aku memberi keterangan padamu, 

Dewa Langit! Tanyakan saja pada arwah-arwah gen-

tayangan hutan ini!" sahut Iblis Muka Bayi, ketus.

Dewa Langit tersenyum arif. Tentu saja ia ma-

sih ingin membutuhkan keterangan dari Hantu Pocong 

dan Iblis Muka Bayi. Maka tanpa menghiraukan oce-

han Iblis Muka Bayi, Dewa Langit melangkah tenang 

mendekati.

"Maaf! Bukannya aku yang menyakiti kalian. 

Tapi, apakah kalian tidak ingin memberitahu ku, pada 

siapa aku harus bertanya?" ucap Dewa Langit penuh 

tekanan. Kedua matanya menyorot tajam, penuh per-

bawa menggetarkan.

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi seketika


makin ciut nyalinya. Mereka tidak menyangka kalau 

Dewa Langit memiliki perbawa demikian hebatnya. 

Maka begitu melihat kedua bola mata lelaki arif itu, 

tak urung hati mereka bergetar.

"Mana aku tahu? Kenapa kau tidak tanyakan 

saja pada Peramal Maut? Mungkin orang tua sinting 

dari Gunung Kembang itu tahu, di mana dan siapa 

orang yang tengah kau cari!" sahut Iblis Muka Bayi, 

berusaha memberanikan diri.

"Kalian tahu, itu bukan jawaban!" sahut Dewa 

Langit, dingin dan penuh tekanan. 

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang me-

nyadari kalau keadaannya kurang menguntungkan 

kembali saling berpandangan. 

"Demi iblis! Aku tidak tahu. Mungkin Peramal 

Maut tahu, di mana dan siapa orang yang kau cari,"

tandas Hantu Pocong gelagapan saking takutnya.

"Hm...!, Peramal Maut! Lagi-lagi orang ini me-

nyebut Peramal Maut. Bisa jadi aku dapatkan keteran-

gan orang yang sedang kucari itu darinya. Ya ya ya. 

Dari sorot matanya, dia berkata jujur...!" gumam Dewa 

Langit dalam hati.

Puas menatap Hantu Pocong, Dewa Langit me-

natap Iblis Muka Bayi. Dari pancaran sinar mata, De-

wa Langit yakin kalau tokoh sesat itu pun memang be-

rusaha untuk jujur. 

"Lalu di mana aku dapat menemukan Peramal 

Maut, Hantu Pocong?!" kata Dewa Langit lebih lanjut

"Aku... aku tidak tahu, Dewa Langit. Demi iblis, 

aku tidak tahu. Peramal Maut memang tak pernah 

memiliki tempat tinggal tetap. Ia selalu berkelana dari 

tempat yang satu ke tempat lain," jawab Hantu Pocong 

seadanya.

"Terima kasih! Akhirnya kau mau bermurah


hati juga padaku," ujar Dewa Langit

Lalu tanpa banyak cakap, Dewa Langit segera 

berkelebat cepat dan langsung menotok kedua tokoh 

sesat itu kembali. Dan seketika tubuhnya berkelebat 

meninggalkan tempat ini

Begitu bebas dari totokan, Hantu Pocong dan 

Iblis Muka Bayi kesal bukan main. Api dendam makin 

membara dalam dada mereka setelah dibuat malu oleh 

Dewa Langit.

***

LIMA



Tak jauh dari Lembah Selaksa Pasir, tepatnya 

di bawah rindangnya sebuah pohon, seorang lelaki tua 

berusia tujuh puluh tahun tengah duduk bersila den-

gan kedua telapak tangan merangkap di depan dada. 

Setelah hampir setengah harian lelaki berpakaian biru-

biru yang tidak lain Peramal Maut ini bersemadi, da-

danya terasa nyaman. Rupanya, ia baru saja dapat 

menyembuhkan luka dalamnya akibat pertarungannya 

melawan Siluman Ular Putih.

Namun baru saja Peramal Maut menghentikan 

semadi dengan sebuah napas panjang, mendadak pen-

ciumannya yang tajam merasakan bau busuk yang 

sangat luar biasa. Sambil tetap memejamkan mata, 

ujung hidungnya mencoba mengendus-endus. Kemu-

dian seraya membuka kelopak matanya perlahan, ke-

palanya berpaling ke arah datangnya bau busuk. Dan 

anehnya lagi, makin lama bau busuk itu makin me-

nyengat hidung!


"Ah...! Bau busuk apa lagi ini? Kok, terasa begi-

tu menyengat?" gumam Peramal Maut.

Ketika lelaki ini berpaling ke arah ujung jalan 

sebelah barat, sepasang mata kelabunya menangkap 

sesosok bayangan putih tengah melintas cepat ke 

arahnya. Makin dekat bayangan itu, Peramal Maut ya-

kin kalau itu adalah seorang lelaki tua berpakaian pu-

tih-putih yang tengah melintas jalan setapak menuju 

ke arahnya. Segera saja ia meloncat bangun, siap 

menghadang lelaki yang kian dekat ke arahnya.

"Tunggu! Kau tidak boleh lewat begitu saja se-

belum aku tahu siapa dirimu!" bentak Peramal Maut, 

ketika lelaki tua yang baru datang telah berjarak lima 

tombak.

Lelaki berpakaian putih-putih yang tak lain dari 

Dewa Langit menghentikan langkahnya. Sepasang ma-

tanya yang tajam terus meneliti sosok berpakaian biru-

biru di hadapannya dengan kening berkerut.

"Ada apa, Sobat? Kenapa kau menahan lang-

kahku?" sapa Dewa Langit, bertanya.

Peramal Maut tersenyum angkuh. Sepasang 

matanya yang kelabu tak henti-hentinya memperhati-

kan Dewa Langit.

"Hm...! Bau busuk itu memang dari tubuhmu, 

Orang Tua Keriput. Itu menandakan kalau sebentar 

lagi kau akan menemui kematian!" gumam Peramal 

Maut, enteng.

Dewa Langit tersenyum tenang mendengar ka-

ta-kata berbau ancaman. Matanya yang arif meman-

carkan perbawa kuat.

"Benarkah aku akan menemui kematian? Apa 

bukan orang tua ini mengada-ada? Tapi, kenapa uca-

pannya demikian tepat?" tanya Dewa Langit dalam hati.


Mata Dewa Langit bersinar cerah. Sungguh ia 

kagum dengan dugaan lelaki di hadapannya yang 

mampu merubah keinginannya.

"Ah...! Benarkah?" tanya Dewa Langit penuh 

minat.

"Eh...! Jadi kau tidak percaya dengan ramalan 

Peramal Maut, he?!" bentak Peramal Maut. Kedua bola 

matanya terbeliak penuh kemarahan.

Sekali lagi Dewa Langit dibuat terkesiap kaget. 

Saking kagetnya, kedua bola matanya kontan membe-

liak, seolah-olah tak mempercayai pendengarannya.

"Jadi... Jadi? Kaukah yang bergelar Peramal 

Maut?" tanya Dewa Langit.

"Sudah tahu kenapa tanya-tanya segala! Dan 

kenapa kau tidak mempercayai ramalanku?! Kau me-

ragukan ramalanku, ya? Kalau begitu, kau harus 

modar di tanganku!"

"Tunggu, Peramal Maut! Justru aku ingin ber-

tanya padamu. Kalau memang kau orang tua bergelar 

Peramal Maut, tentu dapat menunjukkan tentang anak 

manusia yang terlahir dengan cara aneh, sekaligus 

memiliki ilmu aneh pula. Cepat katakan di mana anak 

manusia yang kumaksudkan itu, Peramal Maut?" ujar 

Dewa Langit tak sabar.

Mendengar pertanyaan Dewa Langit, entah ka-

rena apa, mendadak ingatan Peramal Maut tertuju pa-

da Siluman Ular Putih. Lelaki berpakaian biru-biru ini 

pun mendengar ada seorang pemuda sakti yang dila-

hirkan dari rahim seekor ular betina!

"Hm...! Aku yakin, tentu pemuda sakti itu yang 

dimaksudkannya," gumam Peramal Maut seperti pada 

diri sendiri.

"Siapa bocah sakti yang kau maksudkan, Pe-

ramal Maut?" tanya Dewa Langit tak sabar.



"Dia bergelar Siluman Ular Putih!" sahut Pe-

ramal Maut dengan sepasang mata menerawang.

Sejenak tubuh Dewa Langit tergetar hebat begi-

tu mendengar julukan anak manusia yang terlahir se-

cara aneh. Dan sejenak itu pula kepalanya mengang-

guk-angguk dengan senyum tipis terkembang di bibir 

keriputnya.

"Ya ya ya...! Kukira ucapannya benar adanya. 

Aku harus secepatnya dapat menemukan pemuda itu," 

gumam Dewa Langit dengan kepala mengangguk-

angguk. "Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas 

keteranganmu."

Baru saja Dewa Langit akan berkelebat me-

ninggalkan tempat itu, tiba-tiba....

"Dasar orang tua tak tahu diri! Tadi kau ragu-

kan ramalanku. Tapi, begitu kutunjukkan siapa pe-

muda yang kau cari, kau malah seenak perutmu akan 

meninggalkan aku. Apa itu tidak menjengkelkan, he?!" 

hardik Peramal Maut, langsung menghadang.

"Ada apa lagi, Sobat? Apa kau juga bermaksud 

menghalang-halangi langkahku?" pancing Dewa Lan-

git.

"Tua bangka tak tahu diri! Kau harus mem-

bayar mahal atas ramalanku. Lima puluh keping emas 

pun belum cukup ditambah kelancangan sikapmu. Se-

karang bersiap-siaplah menerima kematianmu hari ini 

Keparat!"

"Lakukan saja kalau kau memang bisa. Malah 

aku senang sekali bila kau dapat membunuhku!" ujar 

Dewa Langit tanpa bermaksud menyinggung perasaan 

Peramal Maut.

"Keparat! Kelancanganmu sudah bertumpuk! 

Tak mungkin aku membiarkanmu pergi begitu saja. 

Makanlah bogem mentahku ini, Tua Bangka Bau Bangkai!"

Peramal Maut yang sudah telanjur tersinggung 

atas ucapan Dewa Langit tadi, tanpa banyak cakap se-

gera melayangkan bogem mentah ke arah rahang Dewa 

Langit.

Wuttt! Wuttt!

Dua kali lontaran pukulan tangan kanan kiri 

Peramal Maut mengenai tempat kosong. Padahal Dewa 

Langit hanya sedikit menggeser tubuhnya. Lelaki ber-

baju biru ini gusar bukan main. Rasanya belum per-

nah serangan-serangan mautnya dapat dihindari mu-

suh dengan demikian mudah. Dan ini membuatnya 

mengkelap. Saat itu juga daya serangnya ditingkatkan. 

Tongkat di tangan kanannya pun segera berkelebat ce-

pat ke beberapa jalan kematian di tubuh Dewa Langit.

Wuttt! Wuttt!

Plakkk! Plakkk!

Dua kali Dewa Langit mampu menahan tongkat 

di tangan Peramal Maut dengan telapak tangannya. 

Sementara Peramal Maut sama sekali tidak menduga 

kalau Dewa Langit berani menangkis serangan-

serangan tongkatnya hanya menggunakan tangan ko-

song. Dan hebatnya lagi, justru telapak tangan kanan-

nya yang terasa bergetar hebat! Sementara tangan De-

wa Langit seperti tak terpengaruh sama sekali.

Geraham Peramal Maut menggeletak mengung-

kapkan kemarahannya. Kedua pelipisnya bergerak-

gerak, diamuk oleh amarah menggelegak. Kemudian....

"Terimalah pukulan ‘Gada Akhirat’-ku ini! 

Heaaat...!"

Disertai teriakan keras, Peramal Maut segera 

menyentakkan kedua tangannya yang telah berisi te-

naga dalam tinggi. Maka seketika dari kedua telapak 

tangan Peramal Maut melesat dua buah sinar merah


kekuningan.

Ketika dua larik sinar merah kekuningan itu 

dalam luncurannya, tiba-tiba menjadi beberapa ba-

gian, namun tetap mengarah ke tubuh Dewa Langit.

"Hm.... Kalau begini terus, ku tahan dengan 

ajian 'Sukma Sejati'," gumam Dewa Langit segera me-

nyentakkan kedua tangannya ke depan begitu sinar-

sinar merah kekuningan setengah tombak lagi meng-

hajar tubuhnya.

Wesss! Wesss!

Bummm...!!!

Sinar-sinar merah kekuningan dari kedua tela-

pak tangan Peramal Maut mendadak buyar begitu ter-

papak ajian 'Sukma Sejati'. Sedang tubuh Peramal 

Maut sendiri kontan terpental beberapa tombak ke be-

lakang. Untung saja lelaki ini mampu membuat puta-

ran di udara. Namun tetap saja keseimbangan tubuh-

nya tidak dapat dikendalikan. Saat kedua kakinya me-

napak ke tanah. Tubuhnya langsung saja terhuyung-

huyung beberapa langkah ke belakang.

Peramal Maut mengerang hebat. Telapak tan-

gan kanannya mendekap dadanya yang terasa bergo-

lak. Namun tetap saja usahanya sia-sia bila untuk 

menahan sesuatu yang menggedor-gedor dadanya.

"Hoeeekh...!"

Peramal Maut kontan memuntahkan darah se-

gar.

"Cukup sampai di sini kita main-main, Peramal 

Maut! Selamat tinggal!" kata Dewa Langit.

Habis berkata demikian, Dewa Langit pun sege-

ra menjejak tanah. Saat itu pula tubuhnya berkelebat 

cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam beberapa 

kelebatan saja, sosok tinggi kurusnya telah jauh di 

ujung jalan depan sana.


"Setan alas! Tak kusangka kesaktian tua bang-

ka bau tanah itu demikian hebat! Siapakah dia sebe-

narnya? Rasa-rasanya aku belum pernah mengenal-

nya?" gumam Peramal Maut dalam hati.

Namun setelah memeras daya ingatnya, Peram-

al Maut belum juga tahu siapa lawan sebenarnya. Ke-

mudian sambil menahan luka dalamnya yang belum 

begitu pulih akibat pertarungannya dengan Siluman 

Ular Putih, tubuhnya segera berkelebat cepat tinggal-

kan tempat ini dengan mengerahkan ilmu meringan-

kan tubuh sekadarnya.

***

ENAM



Kendati sinar matahari berusaha menembus 

kerimbunan hutan di Bukit Karang Kajen, tetap saja 

suasana dalam hutan terasa lengang dan lembab.

Di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh 

rindang di tengah hutan, seorang pemuda berambut 

gondrong tergerai di bahu tengah asyik menikmati dag-

ing kelinci panggang. Sepasang mata pemuda berpa-

kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepera-

kan itu sebentar-sebentar mengerjap-ngerjap penuh 

nikmat. Lalu begitu daging kelinci telah pindah ke da-

lam perutnya, buru-buru dipotesnya paha kelinci yang 

sedikit hangus dan menebarkan aroma kurang sedap.

"Semprul! Tak seharusnya paha kelinci kesu-

kaanku ini terlalu hangus. Tapi, tak apa-apalah! Biar 

hangus, toh masih terasa daging," celoteh pemuda 

yang tak lain Soma pada diri sendiri.

Sehabis mengoceh begitu, pemuda berjuluk Siluman Ular Putih ini segera menyantap paha kelinci 

panggang. Terlalu panas memang, tapi tidak dipeduli-

kannya. Meski lidahnya terasa seperti terbakar, mu-

lutnya terus mengunyah lahap.

Namun di saat Siluman Ular Putih tengah asyik 

menikmati paha kelinci kesukaannya, tiba-tiba kesu-

nyian hutan terusik oleh suara tangis seseorang.

Sejenak Soma pun menghentikan kunyahan-

nya. Sepasang matanya bergerak-gerak ke arah da-

tangnya suara sambil beranjak bangun.

"Eh...! Siapa yang menangis di hutan sesepi ini? 

Menilik suara tangisnya, tampaknya ia seorang gadis. 

Ya ya ya...! Benar seorang gadis. Sebaiknya, kulihat sa-

ja sebentar. Siapa tahu ia gadis cantik? Atau malah, 

jangan-jangan peri hutan ini yang tengah kesepian 

mencari mangsa? Hih.... Jadi ngeri aku! Tapi, tak ada 

jeleknya kalau aku melihatnya sebentar," gumam Si-

luman Ular Putih dalam hati.

Segera Soma melemparkan paha kelincinya ke 

semak-semak belukar di depannya. Lalu dengan ilmu 

meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat 

tinggi, tubuhnya berkelebat cepat ke arah datangnya 

suara.

Tidak lama kemudian, Soma segera menemu-

kan asal suara tangis tadi. Dan rupanya, harapan Si-

luman Ular Putih terkabul. Ternyata, yang tengah me-

nangis di balik batang pohon adalah seorang gadis 

cantik!

"Huh! Baik benar nasibku kali ini. Tak kusang-

ka harapanku terkabul. Tak kuduga, ternyata yang 

menangis seorang gadis cantik!" oceh Siluman Ular Pu-

tih lagi dalam hati.

Namun, Soma belum juga beranjak dari tem-

patnya bersembunyi. Malah dengan senyum nakal terkembang di bibir, sepasang mata tajamnya terus men-

jilati gadis cantik di hadapannya, penuh kagum.

Sosok gadis yang tengah diperhatikan memang 

cantik. Usianya paling baru delapan belas tahun. Na-

mun wajahnya yang berbentuk bulat telur terlihat 

kuyu dengan air mata membasahi pipi. Bentuk kedua 

bibirnya tipis kemerah-merahan bak delima merekah. 

Bentuk hidungnya mancung. Belum lagi dengan ram-

butnya yang hitam panjang dikuncir dua ke belakang! 

Sementara bentuk tubuhnya yang ramping dibalut pa-

kaian ringkas warna hijau.

"Bukan main! Benar-benar cantik gadis satu 

ini. Tak kusangka di tengah hutan sesepi ini ternyata 

ada penghuninya seorang gadis cantik!" celoteh Soma 

dalam hati.

Lalu dengan langkah hati-hati, Siluman Ular 

Putih pun mulai mendekati si gadis.

Mendengar langkah-langkah halus mendekati, 

si gadis buru-buru mengangkat wajahnya seraya me-

nyeka airmata dengan sedikit agak gugup. Lalu kepa-

lanya menoleh ke arah Soma.

"Kenapa kau hapus air matamu, Nona? Kukira 

kau malah tambah manis dengan airmata bercucuran 

begitu," usik Soma mulai membuka percakapan.

Si gadis kembali menunduk, menyembunyikan 

kepalanya dalam-dalam. Sewaktu bersitatap dengan 

pemuda tampan di hadapannya, tiba-tiba saja hatinya 

jadi berdegup aneh. Namun secepat itu pula ia berusa-

ha menguasai perasaannya. Segera kepalanya diangkat 

kembali. Sepasang matanya pun lantas bergerak-gerak 

aneh, memperhatikan sosok Siluman Ular Putih sek-

sama.

"Jangan buang air matamu percuma, Nona! 

Aku takut burung-burung akan beterbangan dan ma

tahari malas bersinar begitu mendengar suara tangis-

mu yang teramat menyayat hati," usik Siluman Ular 

Putih lagi, mulai kambuh penyakitnya.

"Diam! Namaku bukan Nona! Aku Ningtyas! 

Dan lagi, tak seharusnya kau mencampuri urusanku, 

Pemuda Usil! Mau aku menangis di sini kek, di tempat 

lain kek. Apa pedulimu?" bentak si gadis yang ternyata 

Ningtyas, murid tunggal si Raja Pedang.

"Cccck...! Cccckkk...! Oh... jadi namamu Ning-

tyas? Bagus juga namamu. Oh, ya Ningtyas. Apa kau 

tidak lihat kalau burung-burung kontan beterbangan, 

begitu mendengar suara tangismu?" goda Siluman Ular 

Putih.

"Pemuda nyinyir! Apa telingamu budek? Aku bi-

lang diam! Kenapa kau masih ngoceh tidak karuan?" 

sungut si gadis jengkel.

Si pemuda tersenyum-senyum nakal. Lalu tan-

pa mempedulikan kemarahan si gadis, Soma meletak-

kan pantat di depannya. 

"Uh... genit!"

Sambil memaki begitu, si gadis menyingkir 

agak menjauh. Sementara Soma hanya garuk-garuk 

kepala melihat sikap Ningtyas.

"Ah...! Kenapa menyingkir, Ningtyas? Apa kau 

tak tahan dengan bau tubuhku? Sudah dua hari ini 

aku memang tak sempat mandi. Jadi, ya maklumlah 

kalau bau badanku sedikit kurang sedap. Tapi, kau 

mau kan kalau aku ingin bersahabat denganmu?" celo-

teh Soma seolah-olah tidak menyadari kejengkelan 

Ningtyas. "Atau...? Jangan-jangan kau sewot melihat 

pemuda setampan aku ini? Jangan begitu, ah! Nanti 

aku jadi besar kepala, lho!"

"Tak ada gunanya bicara dengan pemuda sint-

ing macam kau!" sungut Ningtyas jengkel, seraya


bangkit.

Namun di saat gadis itu hendak beranjak me-

ninggalkan tempat ini, entah bagaimana tiba-tiba len-

gan tangan kanannya telah terpegang oleh tangan Si-

luman Ular Putih.

"Eh...! Mau apa kau ini, he?! Beruntung aku ti-

dak merobek-robek mulutmu. Pakai pegang-pegang 

tangan lagi. Lepaskan!" bentak Ningtyas kesal.

Tangan kanan si gadis yang terpegang Soma 

segera disentakkan keras-keras. Namun sedikit pun Si-

luman Ular Putih tidak mau mengendurkan pegangan-

nya. Begitu Ningtyas kembali menyentakkan tangan-

nya, si pemuda makin memperketat pegangannya. Se-

hingga, gadis cantik itu meringis kesakitan.

Siluman Ular Putih tidak peduli. Malah bibirnya 

terus mengumbar senyum nakal.

"Aku paling ngenes kalau mendengar suara 

tangis. Apalagi suara tangisnya gadis cantik sepertimu, 

Ningtyas,"

"Sekali ini kau tidak mau lepaskan tanganku, 

jangan dikira aku tidak berani menamparmu, Keparat!" 

bentak Ningtyas penuh kemarahan.

"Namaku bukan Keparat. Namaku Soma. Kau 

sendiri, kenapa menangis seorang diri di tengah hutan 

sunyi ini?" tukas Siluman Ular Putih, terus menggoda 

seraya memamerkan giginya yang putih-putih.

Ningtyas gusar bukan main. Sepasang matanya 

yang indah berkilat-kilat penuh kemarahan,

"Ah...! Kenapa kau tampak uring-uringan begi-

ni? Baiklah. Aku akan melepaskan pegangan tangan-

mu. Tapi tolong ceritakan, kenapa kau menangis di si-

ni!" susul Soma sambil melepaskan tangannya

"Pemuda sinting! Mana sudi aku bicara den-

ganmu?!" sentak Ningtyas kasar.


Soma garuk-garuk kepala. Entah kenapa, meli-

hat sikap gadis cantik di hadapannya, tiba-tiba saja 

rambut murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-

lar Siluman Ular Putih itu jadi gatal.

Ningtyas mencibir sinis. Mungkin muak melihat 

sikap Soma. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, si ga-

dis segera berkelebat cepat meninggalkan tempat ini

Kembali Soma hanya bisa menggaruk-garuk 

kepala. Sementara matanya masih menatapi sosok 

tinggi ramping yang terus berkelebat.

"Ah...! Dasar nasib sial! Sebenarnya aku ingin 

bercakap-cakap barang sebentar untuk sekedar men-

gusir sepi. Tapi, sayang. Rupanya gadis cantik itu tidak 

tertarik padaku. Baiklah. Kukira, lain waktu aku ma-

sih bisa menemuinya. Sekarang, sebaiknya aku meng-

habiskan daging kelinciku dulu, baru meneruskan per-

jalanan," desah Soma dalam hati.

***

TUJUH



Ningtyas terus berkelebat cepat meninggalkan 

puncak Bukit Karang Kajen. Saat ini, rasa dendam 

bercampur kekecewaan berkecamuk dalam hati murid 

Raja Pedang itu. Gurunya tewas di tangan Dewa Lan-

git. Dan ia sebagai murid, merasa harus berbakti ter-

hadap gurunya. Makanya, kini Ningtyas bertekad men-

cari Dewa Langit untuk meminta pertanggung-

jawabannya.

"Dewa Langit...!" desis Ningtyas penuh kemara-

han. "Kini tak ada pilihan lain lagi. Terpaksa aku harus menuruti keinginanmu. Tapi, ingat! Walau sebe-

narnya aku tak sealiran dengan guruku, tapi sebagai 

murid bagaimanapun juga harus berbakti. Aku harus 

meminta pertanggungjawabanmu Dewa Langit atas te-

wasnya guruku!"

Ningtyas sejenak menghentikan langkahnya. 

Dadanya yang membusung bergerak turun naik, me-

mendam kemarahan membludak. Udara segar di luar 

hutan Bukit Karang Kajen terasa sesak.

"Tapi, ke mana aku harus mencari orang. Seo-

rang anak manusia yang terlahir dengan cara aneh, 

sekaligus memiliki ilmu aneh pula seperti yang di in-

ginkan Dewa Langit? Hm...! Rasanya mustahil. Mana 

mungkin di dunia ini ada anak manusia yang terlahir 

aneh? Huh! Aku bagai mencari jarum ditumpukan je-

rami saja! Sungguh bukan satu pekerjaan mudah," 

dengus murid Raja Pedang gelisah.

Dan baru saja Ningtyas akan melanjutkan per-

jalanan, mendadak telinganya mendengar suara angin 

berkesiur kencang ke arahnya,

Werrr! Werrr!

Bagaikan ada angin puting beliung, ranting-

ranting pohon, debu-debu jalanan bercampur daun-

daun kering kontan beterbangan tinggi ke udara. Po-

hon-pohon besar di sekitar tempat itu pun meliuk-liuk 

ke sana kemari mengikuti arah angin.

Tubuh Ningtyas pun mulai limbung dipermain-

kan angin. Pakaian hijau-hijaunya berkibar-kibar 

membuat beberapa kancing baju bagian atasnya tang-

gal. Sehingga menampakkan sebagian dadanya yang 

membusung indah. Tapi si gadis tidak menyadarinya. 

Perhatiannya saat ini tengah dipusatkan pada angin 

puting beliung yang tiba-tiba menyerangnya. Bahkan 

pusaran angin itu makin kencang. Sementara tubuh


nya pun mulai limbung tak terkendali. Padahal tenaga 

dalamnya pun telah dikerahkan.

"Setan alas! Pasti ada orang sakti yang usil di 

sekitar tempat ini!" maki Ningtyas, ketika setangan an-

gin puting beliung mulai berhenti.

Dan baru saja murid Raja Pedang itu menarik 

napas lega, tiba-tiba....

"Ha ha ha...! Selamat datang di tempatku, Ga-

dis Cantik! Senang sekali aku menerima kedatangan-

mu!"

Ningtyas menggeram penuh kemarahan ketika 

mendengar suara berat ditingkahi suara tawa yang 

menggetarkan. Suara tawa itu terdengar menggema ke 

segenap penjuru. Seketika si gadis mengedarkan pan-

dangan mencari sumber suara. Namun sayang, asal 

suara tawa itu seperti berubah-rubah. Terkadang ter-

dengar di timur, namun sebentar kemudian seperti da-

tang dari barat. Bahkan kemudian sudah pindah ke 

sebelah lain, sebelum si gadis bisa menentukannya.

"Keparat! Tunjukkan dirimu, Manusia Penge-

cut!" bentak Ningtyas penuh kemarahan, disertai pen-

gerahan tenaga dalam pada suaranya.

Tapi suara tawa itu kian terdengar bergelak. 

Dan karena disertai dorongan tenaga dalam, membuat 

sekujur tubuh Ningtyas menggigil hebat. Namun buru-

buru murid Raja Pedang itu mengerahkan hawa murni 

hingga sedikit dapat mengusir pengaruh suara baru-

san.

"Hm...! Sudah jelas, orang itu pasti memiliki te-

naga dalam hebat. Kukira aku harus berhati-hati 

menghadapinya," keluh si gadis perlahan sekali.

Sejenak Ningtyas menunggu kemunculan orang 

yang menyerangnya lewat suara tawa barusan. Namun 

yang ditunggu tak juga menampakkan batang hidung



nya.

"Bedebah! Kau belum juga menunjukkan ba-

tang hidungmu, he?! Baik! Kalau begitu. Makanlah 

pukulan 'Bara Neraka'-ku! Heaaa...!"

Dikawal bentakan nyaring, mendadak Ningtyas 

mendorongkan kedua telapak tangannya yang telah 

berubah jadi merah kekuningan ke arah semak-semak 

belukar. Seketika dua buah sinar merah kekuningan 

meluncur cepat menghantam semak-semak belukar.

Prasss! 

Semak belukar yang jadi sasaran kemarahan 

gadis cantik itu terpapas habis. Sebagian lainnya han-

gus terbakar, dan masih mengobarkan api di sana-sini! 

Geraham Ningtyas bergemeletak penuh kema-

rahan. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau si pe-

milik suara terpengaruh oleh sambaran pukulan 'Bara 

Neraka'. Malah selang beberapa saat.... 

"Bagus, bagus! Rupanya kau punya sedikit ke-

pandaian juga, Nona? Senang sekali kalau Algojo Dari 

Timur dapat berkenalan denganmu. Apalagi, kalau 

mau menemaniku barang dua atau tiga malam," lanjut 

suara tanpa wujud itu. 

Ningtyas muak sekali mendengar ocehan suara 

yang berbau cabul itu. Namun kali ini mendadak kepa-

lanya berpaling ke belakang. Dan betapa terkejutnya 

gadis itu ketika melihat di atas ranting kecil sebesar ja-

ri kelingking tampak seorang lelaki tinggi besar ter-

bungkus pakaian merah dan kuning. Rambut kepa-

lanya dikuncir ke atas. Hanya itu saja rambutnya. Se-

lebihnya, plontos! Sebuah anting besar pun tampak 

menghiasi telinga kirinya. Wajahnya dingin mem-

bayangkan kekejian luar biasa. Hidungnya besar den-

gan mata bulat besar. Rahangnya besar menyiratkan 

kelicikan. Ia tak lain memang Algojo Dari Timur. (Untuk mengetahui siapa Algojo Dari Timur silakan baca: 

"Misteri Bayi Ular" dan "Manusia Rambut Merah").

"Kenapa menghadang langkahku, he?!" bentak 

Ningtyas mengkelap.

Algojo Dari Timur hanya memperdengarkan su-

ara sumbang. Dan begitu tawanya mereda, tubuhnya 

segera melenting tinggi ke udara, membuat pakaiannya 

yang kedodoran berkibar-kibar.

Tepat ketika lelaki kasar itu mendarat, seketika 

tanah di sekitar tempat ini bergetar hebat! Pada bagian 

yang terkena injakan kontan berlobang besar!

"Kenapa? Kau tanyakan kenapa, Cah Ayu?" tu-

kas Algojo Dari Timur disusul suara tawa bergelak. 

"Baik, baik! Aku Algojo Dari Timur yang menguasai 

Hutan Karang Kajen ini tentu saja mengharapkan upe-

ti dari orang yang melintas!"

Ningtyas mengeluh dalam hati. Meski belum 

pernah bertemu, namun menurut keterangan dari 

mendiang gurunya, tokoh sesat dari timur itu memiliki 

kesaktian tinggi. Bahkan sama sekali tidak mengenal 

belas kasihan.

"Hm...! Rupanya hari ini aku tengah berhada-

pan dari tokoh sesat dari timur itu. Agaknya aku harus 

hati-hati. Sebab menurut keterangan Guru, tokoh se-

sat ini sangat licik dan keji!" kata Ningtyas dalam hati. 

"Hm...! Algojo Dari Timur! Kukira, dosamu su-

dah bertumpuk. Alangkah akan nyamannya bila 

orang-orang macam kau ini lekas-lekas enyah dari 

bumi. Dan akulah yang akan mengirim nyawa busuk-

mu menemui kakek moyangmu di alam kubur!" den-

gus murid Raja Pedang ketus.

Algojo Dari Timur tertawa bergelak. Saking ge-

linya, tokoh sesat dari Hutan Karang Kajen ini sampai 

mengeluarkan airmata!


"Lucu! Lucu sekali! Baru kali ini aku melihat 

seorang gadis segalak dirimu. Baik, baik! Tunjukkan 

kebolehanmu, bagaimana caranya menghajarku! Tapi 

kalau tak sanggup, kau harus membalas serangan-

serangan di atas tempat itu, Nona."

Ningtyas mengkelap bukan main. Saking ama-

rahnya tak dapat dikendalikan segera kedua telapak 

tangannya yang telah berubah jadi merah kekuningan 

didorongkan ke depan.

Wesss! Wesss! 

Seketika meluruk dua sinar merah kekuningan 

dari kedua telapak tangan murid Raja Pedang siap me-

labrak tubuh tinggi besar Algojo Dari Timur!

Tentu saja tokoh sesat bertubuh tinggi besar itu 

tak sudi tubuhnya dijadikan sasaran. Ketika sedikit la-

gi kedua sinar itu melabrak tubuhnya, secepatnya ke-

dua tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi dihen-

takkan.

"Aji 'Pemecah Bumi'! Heaaa...!"

Bummm...!

Terjadi ledakan hebat bukan main ketika dua 

kekuatan dahsyat bertemu. Seketika bumi pun ber-

guncang! Ranting-ranting pohon berderak dengan 

daun-daun hangus terbakar!

Algojo Dari Timur yang baru saja melepas ajian 

'Pemecah Bumi' tertawa bergelak. Kedua kakinya sem-

pat melesak beberapa dim ke dalam. Sedang sewaktu 

terjadinya bentrokan tadi, tubuh si gadis kontan lim-

bung.

Melihat calon mangsanya belum bisa mengen-

dalikan keseimbangan, tokoh sesat dari Hutan Karang 

Kajen itu pun segera melompat cepat. Jari-jari tangan-

nya terkembang, siap menotok tubuh Ningtyas. Begitu 

cepat gerakannya, sehingga....


Tukkk! Tukkk!

"Aaahh...!" Ningtyas memekik tertahan saat to-

tokan Algojo Dari Timur mendarat di atas dadanya. 

Seketika tubuh murid Raja Pedang itu pun kaku tak 

dapat bergerak

"Ha ha ha...!"

Saat mendarat, Algojo Dari Timur tertawa ber-

gelak. Sepasang matanya berkilat-kilat terus menjilati 

tubuh Ningtyas tanpa berkedip. Apalagi ketika sepa-

sang mata bengisnya tertumbuk pada bagian membu-

sung di dada murid Raja Pedang yang sedikit terbuka. 

Seolah gejolak hatinya tak kuasa lagi ditahan untuk 

segera menikmati tubuh Ningtyas.

"Kau cantik sekali, Nona! Rasanya tak mungkin 

lagi kubiarkan tubuhmu yang montok begini," desah 

Algojo Dari Timur sambil menelan ludahnya sendiri

Habis berkata begitu, tokoh sesat dari Hutan 

Karang Kajen ini segera mendekati tubuh Ningtyas. Ja-

ri-jari tangannya yang besar segera bergerak cepat. 

Dan....

Bret! Bret! 

"Aauww...!"

Ningtyas menjerit ngeri. Tanpa ampun lagi pa-

kaian hijaunya di bagian dadanya robek, menampak-

kan sepasang buah dadanya yang besar menggairah-

kan.

"Bajingan! Lepaskan aku! Lepaskan aku...!!!" te-

riak Ningtyas kalang kabut.

Algojo Dari Timur tak peduli lagi. Begitu meli-

hat sepasang buah dada yang terasa mengundang, 

tangan-tangan kekarnya segera meraih tubuh Ning-

tyas. Langsung direbahkannya gadis itu di atas rerum-

putan.

Ningtyas berteriak-teriak menyayat, menyadari


kalau sebentar lagi sebuah petaka bakal merenggut 

kehormatannya. Gigi-giginya yang runcing berkali-kali 

mencoba menggigit ke sana kemari. Namun dengan 

mudahnya Algojo Dari Timur mempermainkannya. 

Bahkan kemudian tangannya bergerak-gerak liar, 

menjamah dua bukit kembar milik Ningtyas setelah 

menindihnya.

Menyadari kehormatannya terancam, murid 

Raja Pedang itu mulai putus asa. Tanpa disadari air-

mata pun menitik. Dengan suara tersendat-sendat, 

berkali-kali Ningtyas minta dirinya dilepaskan. Namun 

suara-suara itu dianggap sebagai rintihan penuh nik-

mat oleh lelaki kasar itu.

"Jangan menangis, Cah Ayu! Kau tidak akan ku 

sakiti. Aku malah akan membawamu terbang jauh ke 

langit tingkat tujuh," desis Algojo Dari Timur.

"Boleh-boleh saja kau ajak gadis cantik itu ter-

bang jauh. Tapi, hati-hati! Nanti malah kau sendiri 

yang jatuh ke comberan!"

"Heh...?!"

Tiba-tiba terdengar suara dari arah samping 

yang disertai serangkum angin dingin ke arah Algojo 

Dari Timur. Lelaki sesat ini cepat menggulingkan tu-

buhnya, kalau tak ingin celaka. 

Brakkk!

Batang pohon sebesar satu lingkaran tangan 

manusia yang tak jauh dari tempat itu kontan tum-

bang dan jatuh berdebam ke tanah terkena serangan 

nyasar. Debu-debu pun langsung membubung tinggi 

menyelimuti tempat itu!

Sewaktu menggulingkan tubuhnya ke samping, 

sial bagi Algojo Dari Timur. Ternyata di sampingnya te-

lah menunggu sebuah kubangan Lumpur

"Nah nah...! Kubilang apa? Akhirnya jatuh ke


comberan, kan?" ejek sosok penyerangnya.

Algojo Dari Timur marah bukan main. Apalagi 

ketika mendengar suara tawa yang mencemooh di-

rinya.

Melihat siapa yang datang menolong, Ningtyas 

tak dapat lagi kendalikan perasaannya. Airmatanya 

yang membasahi pipinya pun makin dibiarkan mem-

banjir. Kedua bibirnya bergetar-getar. Matanya terus 

memandangi sosok pemuda yang berdiri tak jauh da-

rinya. 

"Kau.... Kau! Terima kasih atas pertolonganmu, 

Soma," ucap murid Raja Pedang bergetar.

***

DELAPAN



Sosok pemuda berambut gondrong yang me-

mang Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-

nyum-senyum nakal. Sementara sepasang matanya 

yang tajam pun terus menatap sepasang bukit kembar 

Ningtyas yang membusung indah.

Sementara Ningtyas yang tidak menyadari kea-

daan dirinya hanya menangis sesenggukan. Namun 

sepasang matanya yang indah pun sesekali mencuri 

pandang pada sesosok pemuda tampan di hadapan-

nya.

Algojo Dari Timur yang sudah cukup mengenal 

siapa pemuda tampan di hadapannya kontan membe-

liakkan matanya liar. Selang beberapa saat, kedua pe-

lipisnya bergerak-gerak penuh kemarahan.

"Bangsat! Lagi-lagi kau yang menghalang


halangi niatku, Siluman Ular Putih!" bentak Algojo Da-

ri Timur, langsung meloncat bangun.

Mendengar nama pemuda tampan itu disebut, 

kekaguman Ningtyas pun makin bertambah. Meski be-

lum pernah bertemu sebelumnya, namun dari kabar 

yang tersiar ia tahu kalau pemuda itu adalah seorang 

pendekar muda yang akhir-akhir ini menggemparkan 

dunia persilatan.

"Selamat bertemu kembali, Algojo Dari Timur. 

Aku memang senang menghalang-halangi maksud bu-

sukmu. Juga maksud orang-orang yang telengas lain-

nya," kata Soma, kalem.

"Setan alas! Kali ini aku tidak akan mele-

paskanmu lagi, Siluman Gondrong! Jangan dikira sete-

lah kau mengalahkan aku waktu itu, aku sudi mene-

rima kekalahan begitu saja, he?! Sekaranglah saatnya 

untuk membalas kekalahanku!" dengus Algojo Dari 

Timur, kalap.

Memang, setelah dikalahkan oleh Siluman Ular 

Putih di puncak Gunung Merapi, diam-diam tokoh se-

sat dari Hutan Karang Kajen itu pulang ke tempat per-

sembunyiannya. Dan di tempat itu, giat melatih jurus-

jurus silat dan kesaktian selama berbulan-bulan tanpa 

mengenal lelah. Dan kini setelah jurus-jurus silatnya 

dan kesaktiannya dapat disempurnakan, maka tak he-

ran kalau Algojo Dari Timur kini tidak merasa gentar 

menghadapi Siluman Ular Putih.

"Sekarang kau muncul di hadapanku, Siluman 

Ular Putih! Kebetulan sekali. Tangan-tanganku sudah 

lama sekali ingin membeset jantungmu," geram Algojo 

Dari Timur penuh kemarahan.

Algojo Dari Timur segera mementangkan ka-

kinya lebar-lebar. Perlahan-lahan, tangan kanannya 

yang terkepal bergerak menyilang di atas kepala. Tangan kirinya yang juga terkepal diletakkan di sisi ping-

gang. Lalu.... 

"Hea...! Hea...!"

Diiringi bentakan nyaring, tubuh tinggi besar 

Algojo Dari Timur segera berkelebat cepat menyerang 

Siluman Ular Putih. Tangan kanannya yang terkepal 

erat cepat melepas bogem mentah ke wajah si pemuda. 

Sedang tangan kiri yang juga terkepal erat siap pula 

didaratkan ke ulu hati.

Hebat bukan main serangan-serangan tokoh 

sesat dari Hutan Karang Kajen itu. Sebelum serangan-

nya tiba, terlebih dahulu telah berkesiur angin dingin 

menyambar-nyambar kulit tubuh Siluman Ular Putih.

Melihat datangnya serangan, murid Eyang Be-

gawan Kamasetyo itu segera membuka jurus-jurus 

'Terjangan Maut Ular Putih' yang menjadi andalannya. 

Sedang kedua telapak tangannya yang kini berubah 

jadi putih terang siap melontarkan pukulan maut te-

naga 'Inti Bumi'.

"Heaaa...!"

Dan begitu serangan-serangan Algojo Dari Ti-

mur mulai mendekati sasaran, kedua telapak tangan 

Siluman Ular Putih yang membentuk dua kepala ular 

pun segera bergerak lincah.

Plakkk! Plakkk!

Begitu terjadi benturan tangan, dengan gerakan 

sulit terduga Algojo Dari Timur melayangkan bogem 

mentah ke beberapa bagian yang mematikan di tubuh 

Siluman Ular Putih. Namun pada saat itu, si pemuda 

segera dapat membaca arah gerakan. Cepat bagai kilat 

segera dipapakinya pukulan-pukulan Algojo Dari Ti-

mur dengan gerakan patukan-patukan kedua telapak 

tangannya. 

Plakkk! Plakkk!


Serangan-serangan Algojo Dari Timur berhasil 

ditangkis oleh patukan-patukan kedua tangan Siluman 

Ular Putih. Seketika buku-buku tangan lelaki sesat 

membiru seperti membentur lempengan baja yang kuat 

sekali!

Algojo Dari Timur menggeram penuh kemara-

han. Namun sebelum sempat melancarkan serangan 

susulan, tanpa terduga-duga tubuh Siluman Ular Pu-

tih telah berkelebat cepat. Patukan-patukan kedua 

tangannya tahu-tahu telah mengancam dada lelaki se-

sat itu.

Tukkk! Tukkk!

Telak sekali patukan kedua telapak tangan Si-

luman Ular Putih yang membentuk dua kepala ular 

mendarat di dada Algojo Dari Timur. Seketika tubuh 

tokoh itu terjajar beberapa langkah ke belakang. Pa-

rasnya pucat pasi! Seisi dadanya yang terkena patukan 

tadi terasa mau jebol!

Algojo Dari Timur menggeram penuh kemara-

han. Sepasang matanya yang besar berkilat-kilat. Lalu 

dengan kasar, senjata andalannya yang berupa parang 

besar dikeluarkan. Kilatan-kilatan mata parang yang 

terkena sinar matahari memendarkan cahaya mengi-

riskan. Lalu disertai teriakan membelah langit, Algojo 

Dari Timur kembali menerjang Siluman Ular Putih 

dengan parang berputar-putar kencang.

"Ah...! Kau ini tak ubahnya seperti penjagal sa-

pi saja, Algojo Dari Timur. Hei! Ingat, ya! Aku bukan 

sapi yang seenaknya dapat dijagal!" ejek Siluman Ular 

Putih.

Algojo Dari Timur sedikit pun tak tertarik untuk 

meladeni ocehan murid Eyang Begawan Kamasetyo. 

Malah parang di tangannya makin bergerak-gerak 

mengiriskan. Namun anehnya, Siluman Ular Putih


enak-enakan berkelit ke sana kemari sambil bersiul-

siul gembira. Bahkan sesekali disusupkannya patu-

kan-patukan kedua tangannya ke tubuh Algojo Dari 

Timur.

"Hia...! Kena!"

Tukkk! Tukkk!

"Aaakh...!"

Algojo Dari Timur menjerit kesakitan. Batok ke-

palanya yang terkena patukan tangan Siluman Ular 

Putih terasa mau pecah. Untung saja tadi tenaga da-

lamnya telah dikerahkan. Sehingga patukan-patukan 

Siluman Ular Putih tidak terlalu membahayakan, wa-

lau kepalanya masih berdenyut-denyut.

Menyadari serangan-serangannya hanya me-

nemui kesia-siaan, Algojo Dari Timur menggembor pe-

nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya yang telah 

berubah kuning berkilauan siap melontarkan pukulan 

'Badai Gurun Pasir'. Dan begitu kedua telapak tangan-

nya dihantamkan ke depan. Seketika serangkum angin 

panas yang bukan kepalang meluncur dari kedua tela-

pak tangannya.

Melihat serangan yang demikian hebat, Silu-

man Ular Putih tak berani lagi bersikap ayal-ayalan. 

Segera dikeluarkannya pukulan maut tenaga 'Inti Bu-

mi'. Seketika kedua telapak tangannya pun berubah 

jadi putih terang. Kemudian dengan menggunakan se-

pertiga bagian tenaga dalamnya, segera dipapakinya 

serangan Algojo Dari Timur.

Wesss! Wesss!

Memang tak ada ledakan hebat dari bentrokan 

dua tenaga dalam barusan. Namun selang beberapa 

saat, tiba-tiba angin panas dari kedua telapak tangan 

Algojo Dari Timur telah buyar, langsung menyambar-

nyambar ranting-ranting dan daun-daun di sekitar


tempat pertarungan. Seketika di sekitar tempat perta-

rungan pun bagai hangus terbakar! 

"Hup...!"

Algojo Dari Timur segera buang tubuhnya ke 

samping. Dan ketika kembali tegak, wajah garang to-

koh sesat dari Hutan Karang Kajen itu berubah pias-

nya. Telapak tangannya pun mendekap erat ke dada, 

seolah-olah ingin menahan guncangan dalam tubuh-

nya. Namun sayangnya Algojo Dari Timur tak kuasa. 

Dari rahangnya yang mengembung pun segera me-

nyemburkan darah segar!

"Nah! Sekarang baru aku pinjam parangmu. 

Aku ingin lihat seperti apa sih, enaknya jadi pejagal 

manusia-manusia sapi macammu," celoteh Siluman 

Ular Putih menggoda, lalu segera mendekati Algojo Da-

ri Timur.

Paras Algojo Dari Timur tampak makin pucat 

bagai mayat. Seketika nyalinya pun lumer. Dan saat 

melihat Siluman Ular Putih mulai melangkah mende-

kati, segera tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan 

tempat ini.

Siluman Ular Putih tak berhasrat mengejar. 

Perhatiannya kini tertuju pada gadis cantik yang sem-

pat menggoda hatinya dan masih terbaring di atas re-

rumputan.

***

Wajah cantik murid si Raja Pedang mendadak 

jadi berseri-seri. Senyum manisnya pun tampak ter-

sungging di bibir. Namun ketika menyadari sikapnya 

tadi sewaktu mereka masih berada di puncak Bukit 

Karang Kajen, mendadak sikapnya jadi salah tingkah.

"Ah...! Aku benar-benar minta maaf, Soma.


Demi Tuhan, aku tidak menduga kalau kau adalah Si-

luman Ular Putih yang sedang banyak dibicarakan 

orang," ucap Ningtyas gugup.

Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-

nyum. Sementara sepasang matanya yang tajam tak 

henti-hentinya memandangi buah dada Ningtyas yang 

membusung indah. Dan tanpa sadar, si pemuda jadi 

menelan ludahnya sendiri.

Ningtyas yang kini menyadari keadaan dirinya 

jadi malu bukan main. Semburat rona merah pun kon-

tan menghiasi kedua pipinya. Namun ketika hendak 

menutupi buah dadanya, gadis cantik itu jadi menge-

luh. Ternyata tubuhnya masih kaku tak dapat dige-

rakkan. 

"To.... Tolonglah bebaskan totokanku, Soma!" 

pinta Ningtyas malu-malu.

Soma yang masih terpaku pada sepasang buah 

dada yang terpentang di depan mata itu mendadak jadi 

tersentak kaget dan salah tingkah. Saking kagetnya, 

tanpa sadar dadanya ditarik ke belakang.

"Ah, ya? Apa tadi kau bilang, Ningtyas?" Ning-

tyas mengeluh. Sebenarnya, mulutnya ingin sekali 

mengeluarkan cacian. Namun buru-buru niatnya di-

urungkan.

"Aku tertotok. Tolonglah bebaskan totokanku, 

Soma," pinta Ningtyas sedikit lebih lancar.

"Oh...!" Soma menepuk jidatnya. "Kenapa aku 

jadi lupa begini? Baiklah!"

Dengan menahan perasaan jengah, terpaksa 

Ningtyas hanya memejamkan kedua bola matanya se-

waktu murid Eyang Begawan Kamasetyo menotok pu-

lih tubuhnya. Dan begitu terbebas, murid Raja Pedang 

segera menggulingkan tubuhnya ke samping.

"Tolong belakangi aku sebentar, Soma! Aku ingin membetulkan pakaianku," ujar Ningtyas.

"Baik."

Tanpa banyak cakap, Soma segera berbalik. 

Sambil menunggu gadis itu membetulkan pakaian, 

murid Eyang Begawan Kamasetyo mencoba membuka 

percakapan.

"Sebenarnya, kenapa tadi kau menangis demi-

kian menyedihkan di dalam hutan?"

Ningtyas yang tengah sibuk membetulkan pa-

kaian sengaja tidak langsung menjawab. Dan dengan 

agak gugup pakaiannya yang robek memanjang di sa-

na sini diikat. Memang tidak begitu rapi dan masih 

menampakkan sebagian lekuk-lekuk tubuhnya. Tapi 

itu sudah cukup. Baru kemudian Ningtyas segera 

mendekati pemuda penolongnya. 

"Sebelumnya aku minta maaf atas kelakuanku 

tadi, Soma! Aku memang sedang bersedih. Guruku, 

Raja Pedang tewas di tangan manusia durjana yang 

bergelar Dewa Langit."

"Ya ya ya...! Tapi, sekarang aku sudah diperbo-

lehkan melihat tubuh..., eh! Maksudku, bolehkah aku 

berbalik?" kata Soma buru-buru mengulangi ucapan-

nya.

Sebenarnya sewaktu gadis cantik di belakang-

nya tadi berbicara, murid Eyang Begawan Kamasetyo 

masih sangat terkesan dengan tubuh Ningtyas yang te-

rus membayang di benaknya.

"Tentu! Tentu! Kenapa tidak?"

Soma pun segera berbalik. Senyum nakalnya 

pun kontan tersungging di bibir begitu melihat gadis 

cantik di hadapannya. Sejenak pandang matanya pun 

terus menelusuri tubuh tinggi ramping di hadapannya. 

"Kau... kau tampak cantik sekali dalam kea-

daan begini, Ningtyas."


Sekali lagi Ningtyas tersenyum. Hatinya merasa 

tersanjung mendengar perkataan pemuda tampan di 

hadapannya.

"Oh, iya. Tadi kau menyebut-nyebut Raja Pe-

dang dan Dewa Langit. Ada apa sih sebenarnya? Kena-

pa kau tadi menangis demikian menyedihkan?" ulang 

Soma.

Ningtyas bungkam. Kedua bibirnya yang tipis 

berwarna kemerahan tampak bergetar bila teringat se-

pak terjang Dewa Langit yang telah menewaskan gu-

runya, sekaligus membuat dirinya menderita.

Sementara itu Soma yang kurang memperhati-

kan gadis cantik di hadapannya sudah meletakkan 

pantatnya di atas rerumputan. Lalu ditariknya lengan 

Ningtyas.

"Hayo, duduk! Kan enak kalau bicara sambil 

duduk begini," ujarnya.

Ningtyas yang merasa lamunannya dibuyarkan 

oleh tarikan tangan Soma pun segera tersadar. Namun 

untuk sesaat, ia belum juga buka suara. Perasaannya 

yang menggemuruh sejenak dibiarkan bermain dalam 

hati. Namun perlahan ia mulai dapat kendalikan pera-

saannya yang galau. Dan mulailah si gadis bercerita.

Selama Ningtyas bercerita, Soma hanya men-

gangguk-angguk saja. Tak ada keinginan untuk memo-

tong cerita Ningtyas. Namun ketika Ningtyas berkali-

kali menyebut nama Dewa Langit, si pemuda jadi mu-

lai tertarik.

"Apa? Kau bilang, kau diberi tugas untuk dapat 

menemukan seorang anak manusia yang dilahirkan 

secara aneh dan sekaligus memiliki ilmu aneh pula, 

Ningtyas?"

"Iya. Dan untuk itu pula manusia durjana De-

wa Langit itu melukaiku. Entah kenapa, sejak terkena


totokan tua bangka keparat itu, ulu hatiku terasa nyeri 

bukan main. Tapi, tak apalah. Nanti kalau aku sudah 

menemukan orang yang dicari Dewa Langit, baru aku 

boleh menemuinya di Hutan Watu Malang," sungut 

murid Raja Pedang.

"Dewa Langit...? Rasa-rasanya aku pernah 

mendengar nama itu. Kalau tidak salah, dulu eyang 

pernah bercerita. Dewa Langit adalah serang tokoh 

sakti yang jarang sekali mendapat lawan tanding. Ko-

non hanya Eyang Bromo sajalah yang dapat menan-

dingi kesaktiannya. Tapi, kenapa menebar angkara 

murka di dunia persilatan? Bukankah ia dari golongan 

putih? Ah...! Bisa jadi bukan Dewa Langit yang seperti 

diceritakan Eyang. Sebab menurut cerita Eyang, tokoh 

itu sudah sangat tua. Dan kini sudah lama tidak me-

nampakkan diri di dunia persilatan. Entah ia menyem-

bunyikan diri, atau memang sudah mati. Tapi menurut 

perkiraanku, pasti bukan Dewa Langit yang dicerita-

kan Eyang," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo 

dalam hati.

Sambil melamun begitu, Soma mengangguk-

anggukkan kepalanya.

"Memang sulit untuk mencari anak manusia 

yang seperti diinginkan Dewa Langit. Tapi, tak apa-

apalah! Aku pasti akan membantumu. Cuma sekarang, 

ke mana aku mesti mencari manusia yang bergelar 

Dewa Langit itu, Ningtyas?" tanya Soma.

"Aku sendiri tidak tahu, Soma. Tapi, kau berha-

ti-hatilah kalau bertemu dengannya. Kesaktiannya 

tinggi sekali. Bahkan guruku pun dapat ditewaskan-

nya hanya dalam satu gebrakan. Sungguh tidak ma-

suk akal. Guruku yang sakti itu dapat dirobohkan 

hanya dalam satu gebrakan. Kuharap kau... kau...."

Ningtyas tak jadi melanjutkan kata-katanya.


Tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Semburat rona merah 

pun kembali menghiasi pipi.

"Kau berharap apa, Ningtyas? Kenapa kau tidak 

melanjutkan?" usik Soma.

"Aku.... Aku...." Ningtyas gelagapan. Debar-

debar aneh dalam hatinya makin membuat rona merah 

di kedua pipinya terlihat jelas.

Mendadak Soma pun tertawa bergelak, mem-

buat Ningtyas memandangi dengan kening berkerut.

"Apa kau mengkhawatirkan keselamatanku, 

Ningtyas? Kulihat wajahmu selalu merona merah. Pasti 

kau mengkhawatirkan keselamatanku. Tak mungkin 

meleset tebakanku, bukan?" tebak murid Eyang Bega-

wan Kamasetyo, besar kepala.

Ningtyas gelisah sekali. Tapi memang benar apa 

yang diucapkan pemuda tampan di sampingnya. Dan 

untuk mengakuinya, mana mungkin gadis cantik ini 

berani. Dan hal ini pula yang membuat tawa murid 

Eyang Begawan Kamasetyo makin bergelak.

Dan di saat Soma hendak membuka suara 

kembali, mendadak pendengarannya yang tajam me-

nangkap gerakan-gerakan halus beberapa orang ten-

gah mendekati tempat ini.

"Kalau ada apa-apa tenang saja, Ningtyas! 

Tampaknya ada dua orang tengah mendengarkan 

pembicaraan kita."

***

SEMBILAN



Ningtyas melengak kaget. Diam-diam hatinya 

makin kagum pada pemuda tampan di sampingnya.


Namun, rupanya ia pun tak dapat menahan rasa ingin 

tahunya. Dan ketika kepalanya berpaling ke samping, 

keningnya lantas berkerut.

Tak jauh dari tempat mereka, tampak dua 

orang lelaki tua tengah tegak mengamati. Kedua orang 

lelaki tua itu sama-sama sudah berusia lanjut. Yang 

sebelah kanan mengenakan pakaian kafan warna pu-

tih. Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya yang panjang 

memutih digelung ke atas. Wajahnya pun pucat mirip 

mayat.

Sedang lelaki tua di sebelahnya memiliki paras 

lucu menyerupai wajah bayi. Rambutnya putih dibiar-

kan riap-riapan di bahu. Tubuhnya yang pendek kurus 

dibalut pakaian ringkas warna hitam. Melihat ciri-

cirinya, mereka tidak lain dari Hantu Pocong dan Iblis 

Muka Bayi.

Sejak mereka dikalahkan oleh Dewa Langit, 

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi jadi kesal sekali. 

Untung saja mereka dapat membebaskan diri dari to-

tokan Dewa Langit. Kemudian mereka sepakat untuk 

mencari Siluman Ular Putih.

"Cepat jawab pertanyaanku! Benarkah kau ber-

gelar Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong ga-

rang.

Soma alias Siluman Ular Putih tenang saja, se-

perti tak mempedulikan kehadiran kedua orang tua 

itu.

"Kau ini bertanya pada siapa, Pak Tua," kata 

Soma, kalem.

"Keparat! Aku bertanya padamu, tahu?" bentak 

Hantu Pocong lagi. "Sekarang katakan! Benarkah kau 

yang bergelar Siluman Ular Putih?"

"Oh...! Jadi kau bertanya padaku? Kenapa ka-

sar amat? Sopan sedikit dong?"


"Jangan banyak bacot! Apa kau tidak tahu ten-

gah berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Iblis Muka 

Bayi garang.

Siluman Ular Putih sebenarnya heran, karena 

kedua orang tua itu seperti mempunyai maksud yang 

tidak baik. Lebih heran lagi, karena rasa-rasanya ia be-

lum pernah bertemu mereka. Jadi, tak ada alasan me-

reka memusuhinya.

"Heran-heran! Kenapa selalu saja ada orang 

yang meributkan siapa aku? Hey, dengar! Kenapa sih 

kalian usil bertanya tentang siapa aku sengaja? Dasar 

kurang kerjaan! Sudah tua bukannya sadar, malah 

mau cari penyakit!" gerutu si pemuda kesal.

"Bedebah! Kau bilang apa, Bocah?!" sentak Iblis 

Muka Bayi gusar bukan main.

"Aku tidak ingin apa-apa. Kenapa kalian uring-

uringan begini? Maaf deh kalau bicaraku tadi sedikit 

menyinggung perasaan. Makanya omonganku jangan 

dimasukin ke hati. Coba dimasukkan ke mulut, aku 

jamin pasti kalian kenyang," celoteh Soma seenak 

dengkul.

"Bajingan! Kau jangan berlagak pilon, Bocah! 

Melihat ciri-cirimu, pasti kaulah kunyuk kudisan ber-

gelar Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong.

Soma sejenak hanya cengar-cengir sambil ga-

ruk-garuk kepala. Namun belum sempat murid Eyang 

Begawan Kamasetyo buka suara, tiba-tiba....

"Goblok! Dasar orang tua-orang tua goblok! Ke-

napa pakai tanya-tanya segala?! Kunyuk gondrong itu-

lah yang bergelar Siluman Ular Putih!"

Sebuah bentakan keras terdengar, disertai ber-

kelebatnya satu bayangan biru ke arah mereka.

***


Seketika paras Hantu Pocong dan Iblis Muka 

Bayi memerah. Keningnya pun berkerut-kerut melihat 

seorang lelaki tua berpakaian biru telah berdiri tegak 

di tempat itu. Rambutnya awut-awutan tak terawat. 

Wajahnya kasar dipenuhi tonjolan daging. Sedang tu-

buhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna 

biru.

"Peramal Maut! Berani kau menghinaku seperti 

itu?!" bentak Hantu Pocong garang.

"Apa kau sudah bosan hidup hingga berani 

membacot begitu, Peramal Maut?!" bentak pula Iblis 

Muka Bayi tak kalah garang.

Lelaki tua yang memang Peramal Maut hanya 

tertawa bergelak seraya ketuk-ketukkan tongkat di 

tangan kanannya ke tanah. Aneh! Meski tongkatnya 

diketuk-ketukkan. Perlahan, namun seketika tanah di 

sekitar tempat itu bergetar! Pada bagian yang terkena 

ketukan tongkat pun kontan berlobang!

Sementara Siluman Ular Putih merasa dongkol 

bukan main melihat kemunculan Peramal Maut. De-

mikian juga Ningtyas. Meski mulutnya terkunci rapat-

rapat, namun menilik kilatan sepasang matanya yang 

indah itu jelas kalau murid Raja Pedang ini tak me-

nyukai kehadiran lelaki tua jago meramal itu.

"Kenapa tak berani? Memang kenyataannya ka-

lian semua tolol. Pemuda yang sedang kalian cari-cari 

itulah yang berjuluk Siluman Ular Putih; Hayo, kenapa 

kalian hanya memandangi aku! Kunyuk gondrong itu 

masih punya hutang barang satu dua gebukan pada-

ku. Dan aku tak sabar lagi untuk menagih, berikut 

bunganya," teriak Peramal Maut nyaring.

Habis berteriak begitu, Peramal Maut segera 

menerjang Siluman Ular Putih hebat. Dalam sekali ke

lebatan saja, tongkat hitam di tangan kanannya telah 

berubah jadi gulungan hitam yang terus mendesak la-

wannya.

Melihat Peramal Maut mendahului, tentu saja 

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi tak mau ketingga-

lan. Dengan senjata masing-masing, mereka pun sege-

ra menyerang hebat. 

"Hea...! Hea...!"

Dikeroyok bertiga begitu, Siluman Ular Putih 

kewalahan bukan main. Gempuran-gempuran ketiga 

lawannya, berkali-kali mengancam beberapa jalan ke-

matian di tubuhnya. Untung saja sampai sejauh ini se-

rangan-serangan ketiga orang pengeroyoknya dapat 

dihindari dengan melompat ke sana kemari.

Tapi, tentu saja murid Eyang Begawan Kama-

setyo itu tidak ingin diserang habis-habisan. Apalagi 

paduan serangan ketiga orang pengeroyok makin be-

ringas saja. Maka tidak ada pilihan lagi, kecuali mem-

balas ketiga serangan. Namun kali ini jurus-jurus an-

dalan yang dipelajarinya dari eyangnya di Gunung Bu-

cu tidak dikeluarkan, justru si pemuda kini berniat 

mengerahkan ilmu yang dipelajarinya di Lembah Ko-

dok Perak untuk membalas serangan ketiga orang 

pengeroyoknya.

Begitu Soma terbebas dari serangan dengan 

membuat lentingan tubuh menjauh, Siluman Ular Pu-

tih pun segera menekuk kedua lututnya. Lalu sambil 

berloncatan ke sana kemari mirip seekor kodok, segera 

diserang ketiga lawannya.

"Kooook...!!!"

Tiba-tiba terdengar bunyi mirip kodok dari mu-

lut Siluman Ular Putih. Bersamaan dengan itu, kedua 

telapak tangannya cepat didorong ke depan. Maka se-

ketika serangkum angin dingin dari ilmu 'Kodok Perak


Sakti' melesat cepat.

Wesss! Wesss!

Bumm...!!!

Hebat bukan main bunyi ledakan barusan, saat 

'Kokok Perak Sakti' Siluman Ular Putih hanya meng-

hantam tanah. Untung saja ketiga orang pengeroyok-

nya bisa menghindar dengan membuang tubuh mas-

ing-masing. Seketika bumi pun bergetar hebat laksana 

ada gempa!

Selagi Siluman Ular Putih hendak menyerang 

kembali, tiba-tiba Ningtyas meluruk menyerang para 

pengeroyok Siluman Ular Putih yang telah bangkit ber-

diri. Pedang di tangan kanannya segera berkelebat liar 

mencari sasaran. Namun sayangnya yang dihadapi ga-

dis cantik itu bukan tokoh sembarangan.

Ketiga tokoh itu adalah para dedengkot dunia 

persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Sehingga 

tak heran bila serangan gadis itu mudah sekali dimen-

tahkan.

Wesss!

Bahkan pada saat Ningtyas hendak melontar-

kan pukulan maut 'Bara Neraka', tiba-tiba melesat an-

gin berkesiur menyerang. Seketika Ningtyas segera 

mengurungkan serangan. Lalu, melirik ke belakang. 

Ternyata punggungnya tengah terancam gebukan 

tongkat di tangan Peramal Maut.

"Uts!"

Si gadis cepat berkelit ke samping. Namun 

sayangnya, saat itu Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi 

telah menunggu dengan sambaran tulang paha manu-

sia dan cemeti berekor sembilan.

"Ah...!" pekik Ningtyas gugup.

Belum sempat Si gadis bertindak lebih lanjut, 

tahu-tahu senjata-senjata kedua tokoh sesat itu telah


menghantam tubuh Ningtyas.

Bukkk! Ctarr...!

"Augh...!"

Siluman Ular Putih hanya bisa terpana melihat 

tubuh Ningtyas jatuh berdebam ke tanah dan tak da-

pat bangun lagi. Soma yang semula sengaja memberi 

kesempatan gadis itu untuk mengumbar serangan jadi 

menyesali kebodohannya. Maka hatinya kontan tersa-

put kemarahan. Saking tak dapat mengendalikan ama-

rah, mendadak rambut kepalanya telah berubah jadi 

ratusan ular putih hidup yang meliuk-liuk!

"Jahanam! Kalian benar-benar manusia jaha-

nam tak tahu malu! Demi Tuhan aku tidak akan mem-

biarkan kalian menebar angkara murka di depan ma-

taku!" bentak Siluman Ular Putih penuh kemarahan. 

Srat!

Saat itu pula Siluman Ular Putih mengeluarkan 

senjata andalan, sebuah anak panah berbentuk aneh. 

Bagian ujung runcing anak panah yang sedikit me-

lengkung ke atas berbentuk kepala ular. Di kanan kiri 

kepala ular terdapat dua buah cakra kembar dari besi 

putih. Sedang pada bagian badan yang berupa badan 

ular, terdapat beberapa lobang suling. Itulah Anak Pa-

nah Bercakra Kembar, sebuah senjata pusaka yang ja-

rang tandingannya.

Bahkan begitu murid Eyang Begawan Kama-

setyo ini mengerahkan tenaga dalam, seketika hawa 

dingin yang bukan kepalang telah memenuhi tempat 

itu. Entah bagaimana, baik ilmu meringankan tubuh 

maupun tenaga dalam si pemuda kontan bertambah 

begitu senjata andalannya dikeluarkan. 

"Heaaa...!"

Dan dengan teriakan membelah angkasa, Silu-

man Ular Putih kembali menerjang ketiga orang pengeroyoknya. Telapak tangan kirinya yang berwarna putih 

terang siap melontarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi'. 

Tangan kanannya yang memegang Anak Panah Berca-

kra Kembar berputar-putar menerbitkan angin panas.

Begitu murid Siluman Ular Putih menerjang, 

senjata Anak Panah Bercakra Kembar segera dilem-

parkan ke arah Iblis Muka Bayi. Tepat saat senjata itu 

melesat, Siluman Ular Putih pun melancarkan seran-

gan dengan kedua telapak tangannya yang telah penuh 

tenaga 'Inti Bumi' dan tenaga ‘Inti Api’. Arahnya tertuju 

pada Hantu Pocong dan Peramal Maut.

Wesss! Wesss!

Seketika melesat dua larik sinar merah dan si-

nar putih terang dari kedua telapak tangan Siluman 

Ular Putih. Hantu Pocong dan Peramal Maut tentu saja 

tidak ingin jadi sasaran empuk. Maka dengan ajian 

andalan mereka pun segera memapaki.

Wesss! Wesss!

Bummm...!!!

Hebat bukan main ledakan yang terjadi ketika 

satu kekuatan dahsyat bertemu kekuatan dahsyat 

lainnya. Bumi pun bergetar. Tanah-tanah berhambu-

ran tinggi ke udara. Bahkan batang-batang pohon di 

sekitar tempat pertarungan hangus terbakar!

Sementara sewaktu Siluman Ular Putih melem-

parkan senjata pusakanya, Iblis Muka Bayi hanya ter-

senyum dingin seperti meremehkan. Tetapi ketika sen-

jata anak panah itu berhasil dihindari, Iblis Muka Bayi 

kontan terperanjat. Ternyata senjata itu mampu berba-

lik, dan menyerangnya kembali. Meski demikian Iblis 

Muka Bayi tidak gugup. Segera cemeti di tangan ka-

nannya digerakkan beberapa kali.

Ctarrr! Ctaaarrr!

Taakkk!


Telak sekali senjata anak panah itu tertangkis 

lecutan cemeti di tangan Iblis Muka Bayi. Seketika sen-

jata andalan Siluman Ular Putih melesat ke samping. 

Kebetulan sekali arahnya menuju ke tubuh 

Soma yang sempat terhuyung-huyung beberapa lang-

kah ke belakang. Maka dengan napas tersengal, murid 

Eyang Begawan Kamasetyo itu kembali dapat menang-

kap senjata andalannya.

Siluman Ular Putih kini telah berdiri tegak di 

luar pertarungan. Senjata anak panahnya telah dis-

elipkan kembali ke balik rompi. Kemudian jalan piki-

rannya mulai dipusatkan, siap mengerahkan ajian 

pamungkas ‘Titisan Siluman Ular Putih’. Namun 

sayangnya baru saja hendak membacakan mantra 

ajian....

"Sungguh memalukan! Tua bangka-tua bangka 

memalukan! Beraninya cuma mengeroyok anak ingu-

san!" Terdengar bentakan nyaring yang disusul mele-

satnya angin dingin ke arah tiga orang pengeroyok Si-

luman Ular Putih.

***

SEPULUH



Tiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih seke-

tika melengak kaget. Dan ketika merasakan angin 

dahsyat yang mendadak menyerang, tanpa pikir pan-

jang lagi mereka membuang tubuh masing-masing ke 

samping. Sehingga, lesatan angin itu terus menerabas 

ke belakang, menghantam batang-batang pohon di be-

lakang.

Brakkk!!!



Batang pohon di belakang ketiga orang penge-

royok Siluman Ular Putih kontan berderak, lalu jatuh 

berdebam ke tanah. Daun-daunnya pun membeku.

Begitu ketiganya terbebas dari serangan maut, 

ketiga tokoh sesat itu pun kontan membeliakkan mata 

lebar-lebar. Saat itu di hadapan mereka telah berdiri 

tegak seorang lelaki amat tua berpakaian putih-putih. 

Rambutnya memutih digelung ke atas. Wajahnya telah 

penuh keriput. Namun tubuhnya yang kurus kering 

tak bertenaga, ternyata menyimpan kekuatan luar bi-

asa!

"Dewa Langit...!!!" desis ketiga orang pengeroyok 

Siluman Ular Putih hampir bersamaan

Siluman Ular Putih sendiri pun sempat terke-

jut. Ia tidak menyangka kalau lelaki tua renta di sam-

pingnya itulah yang tadi menyerang ketiga orang pen-

geroyoknya dengan demikian hebat.

"Sungguh tak kusangka orang tua renta. Tam-

paknya tak bertenaga, tapi mampu melancarkan se-

rangan hebat. Dan tampaknya ketiga orang tokoh sesat 

di hadapanku ini jerih sekali menghadapi orang tua 

renta ini. Dewa Langit...! Hm...! Inikah manusia durja-

na yang dimaksudkan Ningtyas? Tapi, kenapa ia meno-

longku?" gumam hati Siluman Ular Putih.

"Dewa Langit! Apa matamu buta?! Pemuda yang 

sedang kami keroyok itulah yang sedang kau cari-cari! 

Dialah yang bergelar siluman Ular Putih. Tapi, kenapa 

kau malah menyerang kami?" teriak Peramal Maut 

nyaring.

"Hm...!" lelaki tua yang tak lain Dewa Langit 

menggumam tak jelas. Kepalanya pun segera berpaling 

ke arah Siluman Ular Putih sambil mengangguk-

angguk.

"Jadi? Pemuda inikah yang telah dilahirkan


dengan cara aneh? Sungguh kebetulan sekali...," desis 

Dewa Langit dalam hati.

"Bagaimana, Dewa Langit? Kenapa diam saja? 

Bukankah kau menginginkan pemuda itu? Hayo, kita 

hajar kunyuk gondrong ini ramai-ramai! Atau kau in-

gin menghajarnya sendiri? Jadi biarlah kami menonton 

saja," kata Peramal Maut lagi.

Siluman Ular Putih terkesiap kaget. 

"Ah...! Bagaimana ini kalau sampai orang tua 

renta di sampingku termakan kata-kata Peramal Maut. 

Benar-benar celaka tiga belas! Menghadapi Peramal 

Maut yang dibantu kedua orang temannya saja ra-

sanya sulit. Apalagi sekarang ditambah lelaki renta di 

sampingku yang tampaknya sangat ditakuti Peramal 

Maut dan kedua orang kawannya? Ah...! Bagaimana 

mungkin aku dapat menghadapi mereka?!" gumam ha-

ti Siluman Ular Putih.

"Aku paling benci melihat cara bertarung ke-

royokan. Dengan dalih apa pun juga, aku tak sudi me-

nuruti keinginan kalian. Malah, justru sebaliknya aku 

ingin melindunginya!" tunjuk Dewa Langit pada Silu-

man Ular Putih. "Dan bagi siapa saja yang mengingin-

kan nyawa pemuda ini, maka akulah orang yang per-

tama akan membelanya. Apa kalian bertiga masih in-

gin mengeroyoknya?"

Hantu Pocong, Iblis Muka Bayi, dan Peramal 

Maut terperanjat. Mereka tidak menyangka kalau De-

wa Langit malah justru melindungi Siluman Ular Pu-

tih.

"Sungguh aneh watak manusia sinting ini. Ke-

marin ingin mencari Siluman Ular Putih. Tapi begitu 

ketemu, kenapa mendadak pikirannya berubah? Dasar 

orang tua sinting!" gerutu Iblis Muka Bayi penuh ke-

marahan.


Dewa Langit tersenyum hambar. Selangkah 

demi selangkah mulai didekati Hantu Pocong dan ke-

dua orang kawannya.

Siluman Ular Putih yang merasa di atas angin 

membusungkan dada. Lalu dengan langkah mantap, ia 

berjalan mengekor di belakang Dewa Langit.

"Hayo, sekarang kalian mau apa lagi?! Aku ti-

dak takut lagi menghadapi keroyokan kalian. Majulah 

kalau ingin kugebuk pantat kalian!" ejek Siluman Ular 

Putih.

Peramal Maut dan Hantu Pocong mengkelap 

bukan main. Kalau saja di situ tidak ada Dewa Langit, 

sudah pasti akan kembali diserangnya Siluman Ular 

Putih. Namun berhubung tokoh sakti itu berada pada 

pihak Siluman Ular Putih, terpaksa mereka hanya bisa 

melotot gusar.

Namun rupanya tidak demikian halnya Iblis 

Muka Bayi. Meski telah merasakan kehebatan Dewa 

Langit, namun ia sedikit pun tidak gentar.

"Dewa Langit! Kuakui, waktu itu aku kalah da-

rimu. Namun, sedikit aku tidak gentar menghadapimu! 

Sekarang kalau kau ingin melindungi pemuda tengil 

itu, majulah! Aku siap melayanimu!"

Mendengar ucapan Iblis Muka Bayi, seketika 

nyali Hantu Pocong dan Peramal Maut yang semula 

menciut kini mendadak berkobar-kobar.

"Setan alas! Kau boleh ditakuti banyak tokoh 

dunia persilatan, Dewa Langit! Tapi seperti yang dika-

takan Iblis Muka Bayi, sekali lagi kami belum kalah!"

"Nah! Sekarang, kau bisa berbuat apa, Dewa 

Langit? Apa kau sanggup menghadapi kami?" tantang 

pula Peramal Maut.

"Jangan banyak bacot, Peramal Maut! Akulah 

lawanmu," teriak Siluman Ular Putih jengkel.


Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih me-

lompat menerjang Peramal Maut. Kedua telapak tan-

gannya yang membentuk dua kepala ular segera berke-

lebat cepat ke arah tubuh Peramal Maut. Namun 

sayangnya baru saja Siluman Ular Putih berada di 

udara, Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi segera da-

tang menghadang.

"Makanlah cemetiku, Bocah Gondrong!" teriak 

Iblis Muka Bayi garang.

Ctarrr...!

Wuttt...!

Cemeti berekor sembilan di tangan kanan Iblis 

Muka Bayi pun segera menyambar-nyambar ganas 

menyerang Siluman Ular Putih yang terpaksa harus 

menarik serangannya. Sedang tulang paha manusia di 

tangan Hantu Pocong menyambar deras ke arah Silu-

man Ular Putih.

"Hea...! Hea...!"

Dikawal teriakan nyaring, Peramal Maut pun 

turut pula mengeroyok Siluman Ular Putih. Dalam se-

kali kelebatan saja, mendadak tongkat hitam di tangan 

kanannya telah berubah jadi gulungan hitam yang te-

rus mendesak sosok putih keperakan si pemuda.

"Manusia-manusia durjana tak tahu malu! Ka-

lian semua memang patut diberi pelajaran!" geram De-

wa Langit murka.

Maka dengan ilmu meringankan tubuh yang 

sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Langit berkele-

bat. Segera diserangnya ketiga orang pengeroyok Silu-

man Ular Putih. Jari-jari tangannya yang telah beru-

bah putih berkilauan pun segera menyosor-nyosor ke 

sana kemari siap menotok tubuh ketiga tokoh sesat 

itu.

Wesss! Wesss!


Ketiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih se-

rentak menghentikan serangan. Tubuh mereka segera 

dibuang ke belakang. Namun meski totokan-totokan 

Dewa Langit hanya mengenai tempat kosong, tak 

urung ketiga tokoh sesat itu pun masih saja merasa-

kan hawa dingin menyambar-nyambar dada.

"Mampuslah kalian! Sekarang aku pun juga in-

gin menghajar kalian. Tapi mana ya lawan yang akan 

ku pilih? Ah, iya? Sebaiknya aku akan menghajar ma-

nusia culas bergelar Peramal Maut saja!" celoteh Silu-

man Ular Putih, setelah beberapa saat mendarat di ta-

nah seraya memperhatikan pertarungan.

Habis berceloteh, Siluman Ular Putih pun sege-

ra meluruk ke arah Peramal Maut. Kedua telapak tan-

gannya yang telah berubah jadi putih terang segera di-

dorong ke depan. Seketika dua larik sinar putih terang 

melesat dari kedua telapak tangannya.

Wesss! Wesss!

Tentu saja Peramal Maut tidak ingin jadi sasa-

ran empuk serangan-serangan Siluman Ular Putih. 

Dengan mengandalkan pukulan 'Gelap Ngampar' pun 

segera dipapaki serangan Siluman Ular Putih. Saat itu 

pula kedua tangannya menghentak disertai tenaga da-

lam tinggi.

Blaaar...!

Seketika tubuh Peramal Maut mencelat ke be-

lakang. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan! Pa-

rasnya pun tampak pucat pasi, pertanda menderita lu-

ka dalam cukup hebat.

Sementara begitu Siluman Ular Putih kembali 

menerjang Peramal Maut, Dewa Langit telah mencecar 

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi. Dengan ajian 

'Sukma Sejati' kedua telapak tangannya yang telah be-

rubah jadi putih berkilauan menghentak ke arah ke


dua tokoh sesat itu.

Tentu saja Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong 

tidak ingin jadi sasaran empuk serangan-serangan 

Dewa Langit. Begitu melihat dua sinar putih berki-

lauan menyerang, mereka segera menggabungkan te-

naga dalam. Lalu secara bersamaan, mereka menghen-

takkan kedua telapak tangannya, memapak pukulan 

'Sukma Sejati' milik Dewa Langit.

Wesss! Wesss!

Bumm...! Bummm...!

Terdengar dua kali ledakan hebat di udara. 

Bumi laksana diguncang angin prahara! Ranting-

ranting pohon di sekitar pertarungan kontan berderak! 

Sebagian daun-daunnya ada yang hangus terbakar. 

Sebagian lainnya membeku!

Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, seketika tu-

buh Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong kontan lim-

bung ke samping dengan wajah pucat pasi. Seisi dada 

mereka terasa terguncang hebat!

Dewa Langit tersenyum kecut. Dan ia memang 

tidak ingin membiarkan kedua tokoh sesat itu berting-

kah di muka bumi. Segera diserangnya kedua lawan-

nya.

Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang belum 

bisa menguasai keadaan kontan mengeluarkan kerin-

gat dingin. Mereka berusaha menghindar, namun ge-

rakan Dewa Langit lebih cepat. Akibatnya....

Bukkk! Bukkk!

"Aaah...!"

"Akh...!"

Telak sekali tepukan kedua tangan Dewa Langit

mendarat di ulu hati Hantu Pocong dan Iblis Muka 

Bayi. Disertai semburan darah segar mereka berteriak 

menyayat dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke


belakang. Ketika tubuh mereka membentur batang po-

hon, langsung luruh ke atas tanah. Pingsan!

Sejenak Dewa Langit memperhatikan dua tokoh 

sesat yang terbujur pingsan. Lalu pandang matanya 

dialihkan ke arah Siluman Ular Putih yang tengah ber-

tarung hebat melawan Peramal Maut.

Dalam pertarungannya murid Eyang Begawan 

Kamasetyo tengah melontarkan pukulan tenaga 'Inti 

Bumi'. Peramal Maut yang tampak kewalahan meng-

hadapi Siluman Ular Putih terpaksa harus memapak 

pukulan maut 'Gelap Ngampar'.

Blarrr...!

Karena Peramal Maut ragu-ragu, tubuhnya pun 

kontan melayang-layang bak layangan putus begitu 

terjadi bentrokan di udara yang menimbulkan ledakan 

dahsyat. Kemudian begitu kedua kakinya menjejak ta-

nah, tubuhnya segera berkelebat meninggalkan tempat 

ini.

Sebenarnya Siluman Ular Putih ingin sekali 

mengejar. Namun karena teringat akan keselamatan 

Ningtyas niatnya diurungkan. Dan meski tampaknya 

merelakan kepergian Peramal Maut, namun tidak de-

mikian mulutnya. 

"Jangkrik! Kalau saja aku tidak ingat akan ke-

selamatan Ningtyas, sudah pasti kubuat pepesan teri 

tubuhmu, Peramal Maut!" teriak Siluman Ular Putih 

seraya berbalik. Kakinya segera melangkah lebar men-

dekati tubuh Ningtyas, Namun baru saja melangkah, 

mendadak....

"Tetap di tempatmu, Siluman Ular Putih! Kalau 

tidak, biarkan gadis itu mati sekarang juga!"

Terdengar bentakan keras, membuat langkah 

Soma terhenti.


SEBELAS


Kening Siluman Ular Putih berkerut dalam me-

natap sosok yang mengeluarkan bentakan. Sosok yang 

tak lain Dewa Langit itu kini malah melangkah mende-

kati tubuh Ningtyas. Semula si pemuda merasa cemas 

bukan main. Namun ketika dilihatnya orang tua renta 

itu menotok beberapa jalan darah dan mengurut teng-

kuk tubuh gadis itu, baru Soma merasa lega.

"Aneh...! Rasanya belum pernah aku bertemu 

orang macam dia. Ternyata Ningtyas yang telah dicela-

kakan, eh, malah sekarang diobati," gumam Soma da-

lam hati

Selang beberapa saat, Ningtyas pun mulai si-

uman. Perlahan-lahan kelopak matanya pun mulai 

membuka. Namun saat itu pula, Ningtyas memekik 

tertahan. Sepasang matanya yang semula bersinar in-

dah, mendadak berkilat-kilat penuh kemarahan.

"Jangan terlalu banyak bergerak, Cah Ayu...! 

Luka dalammu belum begitu pulih. Minumlah obat 

ini!" kata Dewa Langit lembut seraya menyerahkan ob-

at pulung yang diambil dari dalam saku bajunya.

Sejenak Ningtyas membelalak heran melihat pe-

rubahan sikap orang tua renta yang telah menewaskan 

gurunya. Dan ketika Dewa Langit mengulurkan obat 

pemunah racun, Ningtyas pun tampak masih ragu-

ragu.

"Ambillah, Cah Ayu." Ujar Dewa Langit lembut. 

"Mungkin kau tidak menyadari kalau sebenarnya toto-

kanku tempo hari masih mempengaruhi tubuhmu. 

Aku menyesal sekali, Cah Ayu. Untuk itu telanlah obat 

pemunah racun ini" 

Ningtyas masih membisu. Hanya sepasang ma


tanya yang berkilat-kilat, terus memandang paras De-

wa Langit tak percaya.

"Hm...! Apakah kau masih ingat mendiang gu-

rumu, Cah Ayu?" lanjut Dewa Langit, seolah-olah da-

pat menebak jalan pikiran Ningtyas. "Ah...! Aku me-

nyesal sekali Aku sendiri tidak tahu, kenapa sampai 

demikian keji aku mencelakakan gurumu. Mungkin 

aku terlalu kecewa dengan jalan hidupku akhir-akhir 

ini, sehingga membuatku jadi khilaf. Maka, kalau kau 

tidak keberatan, sebagai tebusan atas kesalahanku, 

sudilah kau mempelajari kitab-kitab peninggalan ku. 

Dan kau bisa mengambilnya sendiri di goa kecil, di 

luar Hutan Watu Malang"

Ningtyas yang semula merasa geram bukan 

main melihat gurunya tewas di tangan Dewa Langit, 

entah kenapa kemarahannya lumer. Malah kini ha-

tinya sangat terharu dengan apa yang diucapkan orang 

tua renta di hadapannya.

"Kau... Kau mau ke mana, Orang Tua? Tam-

paknya kau ingin pergi jauh?" tanya Ningtyas dengan 

suara bergetar.

Dewa Langit tersenyum gusar. Namun ketika 

sepasang matanya yang berwarna kelabu tertumbuk 

pada pemuda berpakaian putih keperakan yang masih 

berada di tempatnya, Dewa Langit pun melebarkan se-

nyum.

"Tetaplah tenang di tempatmu, Cah Ayu! Kuha-

rap kau jangan terlalu banyak ulah bila terjadi sesuatu 

denganku," ujar Dewa Langit, lalu buru-buru meloncat 

bangun.

Soma yang masih berdiri di tempatnya hanya 

menggaruk-garuk kepala seraya berpaling ke tempat 

lain. Seolah-olah, ia tidak menyadari dirinya tengah 

diperhatikan Dewa Langit dan Ningtyas!


"Siluman Ular Putih! Demi Tuhan aku senang 

sekali bertemu denganmu. Sekarang kuminta tun...."

Dewa Langit menghentikan bicaranya. Namun 

sepasang matanya yang berwarna kelabu terus perha-

tikan pemuda tampan di hadapannya.

"Ah...! Kukira tidak seharusnya aku berterus 

terang mengatakan maksud tujuanku. Bila aku berke-

ras kepala meminta pemuda itu menunjukkan ilmu 

anehnya untuk membunuhku, sudah pasti pemuda ini 

keberatan. Dan bisa jadi malah tidak mau menuruti 

keinginanku. Sedang aku tidak menginginkannya. Ya 

ya ya...! Memang sebaiknya aku tak usah memberita-

hukannya," gumam Dewa Langit dalam hati.

Mendengar Dewa Langit menghentikan bicara, 

murid Eyang Begawan Kamasetyo tetap saja tenang di 

tempatnya. Seolah-olah, tak ingin lagi bicara dengan 

orang tua renta di hadapannya.

"Anak muda! Kukira sudah saatnya kita berta-

rung. Aku tak ingin kita buang-buang waktu lagi!" kata 

Dewa Langit, mengejutkan.

"Eh...! Apa tadi kau bilang, Orang Tua? Kita 

bertarung? Yang benar, ah?! Mana berani aku kurang 

ajar padamu. Toh, di antara kita tak ada silang sengke-

ta. Kau ini ada-ada saja, Orang Tua! Tadi kau sibuk 

membantuku menghadapi keroyokan. Tapi sekarang, 

kau malah memintaku untuk bertarung!" tukas Soma 

tak dapat menahan perasaan herannya lagi.

"Terserah kau mau omong apa, Anak Muda! 

Pokoknya, aku harus menantangmu bertarung!" tan-

das Dewa Langit.

"Kenapa harus?"

"Karena aku...," hampir saja Dewa Langit kele-

pasan bicara. Untung saja ia segera teringat akal bu-

lusnya. "Karena... karena memang aku menginginkan


nyawamu, Anak Muda."

"Kau plintat-plintut, Orang Tua! Aku tak per-

caya omonganmu. Kalau memang iya, pasti kau men-

ginginkan sesuatu dariku. Entah apa? Yang jelas, ma-

na sudi aku bertarung denganmu tanpa sebab pasti," 

tolak Soma. 

"Sudah kuduga! Pemuda di hadapanku ini pasti

akan keberatan," gumam Dewa Langit lagi dalam hati.

"Kalau begitu aku harus memaksamu Bocah?!" 

"Kau ini sebenarnya menginginkan apa, sih? 

Kenapa nafsu sekali ingin bertarung denganku?" 

"Jangan banyak tanya! Cepat sambut pukulan-

ku!" teriak Dewa Langit lantang.

Habis berkata begitu, Dewa Langit pun segera 

membuka jurusnya. Jari-jari tangannya yang telah be-

rubah jadi putih berkilauan telah terangkat. Namun 

sayangnya baru saja bermaksud akan menyerang, ti-

ba-tiba Ningtyas telah berkelebat menghadang lang-

kahnya.

"Jangan, Orang Tua! Kalau kau benar-benar 

menyesal telah menewaskan guruku, kau tidak boleh 

menyerang Soma. Kalau kau tetap keras kepala, lang-

kahi dulu mayatku. Baru kau boleh menyerang Soma!" 

teriak Ningtyas lantang

Dewa Langit menggeram penuh kemarahan. 

Tampak sekali kalau hatinya sangat bimbang. Namun, 

bila teringat akan maksud tujuannya, kebimbangan di 

hatinya pun sirna.

"Kau tetap tenang di tempatmu, Cah Ayu! Aku 

tidak bermaksud mencelakakan pemuda itu," ujar De-

wa Langit, tandas.

"Aku tak percaya. Kau pasti akan mencelaka-

kan Soma," sergah si gadis.

"Ah...! Kau hanya menghalang-halangi mak


sudku saja. Sebaiknya tonton saja, apakah aku ingin 

membunuh Siluman Ular Putih atau tidak," kata Dewa 

Langit lagi.

Lalu dengan ilmu meringankan tubuhnya yang 

luar biasa, tahu-tahu tubuh Dewa Langit telah berke-

lebat cepat, langsung menotok tubuh Ningtyas.

Tuk! Tuk!

Begitu tubuhnya terkena totokan, seketika itu 

juga kaku, tak dapat digerakkan. Kemudian dengan 

menahan perasaan gusar, Ningtyas pun terpaksa 

hanya dapat menonton apa yang akan dilakukan Dewa 

Langit. 

"Sekarang tunjukkan kehebatanmu, Bocah! 

Kudengar kau memiliki ilmu aneh, hingga mendapat 

julukan Siluman Ular Putih. Hayo, sekarang tunjukkan 

ilmu anehmu padaku!" teriak Dewa Langit tak sabar 

lagi. 

Saat itu pula, Dewa Langit meluruk deras me-

nyerang Siluman Ular Putih. Ia yang ingin segera me-

nemui kematian, tidak tanggung-tanggung lagi untuk 

mengeluarkan ajian 'Sukma Sejati' agar Siluman Ular 

Putih mau mengerahkan ilmu pamungkasnya. Maka 

begitu, 'Sukma Sejati' dikerahkan, seketika kedua tela-

pak tangan Dewa Langit telah berubah jadi putih ber-

kilauan hingga sampai ke pangkal siku! Kemudian 

dengan sebagian tenaga dalamnya, lelaki tua itu segera 

menghantamkan kedua tangannya ke depan. 

Wesss! Wesss!

Hebat bukan main serangan Dewa Langit. Sebe-

lum pukulan 'Sukma Sejati' mengenai sasaran, terlebih 

dahulu berkesiur angin dingin mendahului!

Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam 

hati. Kendati tak berhasrat untuk bertarung, tentu sa-

ja tubuhnya tidak ingin jadi sasaran empuk serangan


serangan Dewa Langit. Maka begitu menyadari da-

tangnya bahaya, segera tubuhnya melenting ke samp-

ing. Sehingga dua larik sinar putih terang dari kedua 

telapak tangan Dewa Langit terus menerabas ke bela-

kang, menghantam batang pohon.

Brakkk!!!

Seketika batang pohon di belakang Siluman 

Ular Putih tumbang, lalu jatuh berdebam ke tanah! 

Debu-debu membubung tinggi, memenuhi tempat per-

tarungan!

Begitu Siluman Ular Putih mendarat, Dewa 

Langit yang sudah merasa geram karena serangannya 

hanya dihindari, kembali menerjang. Jurus-jurus sak-

tinya langsung digelar, diiringi pukulan 'Sukma Sejati'. 

"Jangkrik! Rupanya orang tua sinting ini benar-

benar menginginkan nyawaku! Padahal dari tadi aku 

sudah berusaha mengalah. Tapi entah kenapa, Dewa 

Langit terus mendesakku seperti orang kesurupan!"

"Ah...! Kalau begini terus, bisa modar aku!" ke-

luh Siluman Ular Putih dalam hati.

Serangan-serangan Dewa Langit makin meng-

hebat. Malah dengan kekuatan tenaga dalam sepe-

nuhnya, tokoh sakti dari Hutan Watu Malang ini kem-

bali melontarkan pukulan 'Sukma Sejati'.

"Hea...! Hea...!"

Dikawal teriakan nyaring, Dewa Langit segera 

mendorong kedua telapak tangan ke depan. Seketika, 

melesat dua larik sinar putih berkilauan dari kedua te-

lapak tangannya.

"Sontoloyo! Rupanya orang tua renta ini me-

maksaku bertarung! Baiklah! Daripada mati konyol, 

kukira tak ada jeleknya meladeni serangan-serangan 

orang tua sinting ini!" omel murid Eyang Begawan Ka-

masetyo dalam hati.


Saat itu Siluman Ular Putih mendorongkan ke-

dua telapak tangannya yang telah penuh tenaga 'Inti 

Bumi' ke depan. Maka melesat pula dua larik sinar pu-

tih terang dari kedua telapak tangan Soma, memapaki 

pukulan ‘Sukma Sejati’.

Blaammm...!

Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam 

di udara kali ini! Bumi berguncang hebat. Tanah-tanah 

di sekitar pertarungan kontan terbongkar ke udara!

Bak karung basah, tubuh Siluman Ular Putih 

mencelat beberapa tombak ke belakang. Untung saja 

tubuhnya mampu membuat putaran. Sehingga, daya 

luncur tubuhnya bisa dipatahkan. Namun begitu ke-

dua kakinya menjejak tanah, tetap saja keseimbangan 

tubuhnya tak dapat dikendalikan. Malah parasnya pun 

tampak demikian pias dengan darah segar berleleran 

di sudut-sudut bibir. Jelas murid Eyang Begawan Ka-

masetyo itu mengalami luka dalam.

"Semprul! Tak kusangka aku dapat dirobohkan 

tua bangka di hadapanku ini hanya dalam satu gebra-

kan!" dengus hati Siluman Ular Putih.

Saat itu, Dewa Langit pun kembali menyerang 

hebat. Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam 

hati. Kali ini sulit rasanya menghindari gempuran-

gempuran lawan. Dan kenyataannya memang demi-

kian. Belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo 

ini bertindak, tiba-tiba tepukan tangan Dewa Langit te-

lah mengancam dadanya. Dan.... 

Bukkk! Bukkk!

Telak sekali hantaman tangan Dewa Langit 

mendarat di dada Siluman Ular Putih. Seketika tubuh 

si pemuda limbung ke samping, lalu jatuh berdebam 

ke tanah! Parasnya kian pucat bagai mayat! Sedang 

dadanya yang terkena hantaman tangan terasa mau



jebol!

Siluman Ular Putih mengerang hebat. Dan begi-

tu meloncat bangun, darah segar tersembur dari mu-

lutnya.

"Slompret! Benar-benar slompret! Tua bangka 

ini rupanya benar-benar menginginkan nyawaku. Ku-

kira sudah saatnya aku mengeluarkan ajian 'Titisan 

Siluman Ular Putih' seperti yang diinginkan orang tua 

itu," pikir Soma dalam hati.

Maka tanpa banyak cakap lagi, Soma segera 

memusatkan jalan pikirannya. Sementara itu, kedua 

bibirnya mulai berkemik-kemik, membaca mantra 

ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Dan begitu selesai, 

seketika itu pula sekujur tubuhnya diselimuti asap pu-

tih tipis. Sehingga, bayangan tinggi kekarnya tidak ke-

lihatan sama sekali!

Melihat ilmu aneh yang tengah dikeluarkan Si-

luman Ular Putih, sejenak Dewa Langit pun menghen-

tikan serangan. Sepasang matanya yang berwarna ke-

labu terus memandangi asap putih yang bergulung-

gulung di hadapannya tanpa berkedip. Dan ketika 

asap yang menyelimuti sekujur tubuh Siluman Ular 

Putih sirna, seketika itu pula....

"Ggggeeerrr...!!!"

* * *

"Si.... Siluman Ular Putih...!" pekik Dewa Lan-

git.

Ningtyas pun tak urung terperangah dengan 

mata melotot. Namun ketika gadis ini berniat berlari 

karena ngeri, tetap saja tubuhnya masih terpaku kare-

na tertotok,

"Hm...! Rupanya inikah yang disebut-sebut il


mu aneh yang dapat membunuhku...?" gumam Dewa 

Langit menegang, saking gembiranya melihat ilmu 

yang tengah dikeluarkan murid Eyang Begawan Kama-

setyo.

Sejenak tokoh sakti dari Hutan Watu Malang 

itu belum melanjutkan serangan. Hanya sepasang ma-

tanya saja yang terus memandang takjub pada sosok 

panjang sebesar pohon kelapa berwarna putih.

"Oh...! Hyang Widi! Rupanya kau telah menga-

bulkan permintaanku. Terima kasih, Hyang Widi. Se-

karang juga aku siap menerima jalan kematianku," de-

sah Dewa Langit seraya mendongakkan kepala.

Dan dengan wajah berseru, Dewa Langit kem-

bali memperhatikan sosok mengerikan di hadapannya. 

Hatinya kini lapang. Apalagi saat itu sosok panjang Si-

luman Ular Putih mulai mengibas-ngibaskan ekornya 

ke sana kemari, siap menyerang Dewa Langit.

Diam-diam Dewa Langit jadi gembira. Dan se-

perti dugaannya, ternyata ular putih raksasa itu kini 

menerjang hebat dengan terkaman-terkaman mengi-

riskan.

Aneh! Dengan senyum terkembang, Dewa Lan-

git siap menerima serangan-serangan Siluman Ular 

Putih tanpa sedikit pun berusaha mengelak. Hal ini 

tentu saja sangat mencemaskan hati Ningtyas yang 

menonton jalannya pertarungan tanpa dapat mengge-

rakkan tubuhnya.

Buk! Buk!

"Ohh...!"

Ketika terjangan Siluman Ular Putih mengenai 

sasaran, Ningtyas memekik lirih. Matanya terpejam ra-

pat-rapat. Lalu....

"Aaa...!"

Saat mata murid si Raja Pedang terpejam tiba


tiba terdengar satu lengking kematian yang teramat 

menyayat hati.

Ningtyas penasaran bukan main. Buru-buru 

kelopak matanya kembali dibuka. Dan saat itu pula, si 

gadis memekik, melihat tubuh bersimbah darah milik 

Dewa Langit yang telah terkapar di atas tanah di sam-

pingnya. Dadanya bergerak turun naik. Kembali terjadi 

keanehan. Meski mendapat luka teramat parah, Dewa 

Langit tampak berusaha tersenyum.

"Kau.... Kau, kenapa tidak berusaha menghin-

dar, Orang Tua?" tanya Ningtyas, tak dapat menahan 

perasaan heran.

"Me... memang inilah yang kuinginkan, Cah 

Ayu. Aku sudah jenuh. Aku sudah muak melihat kehi-

dupan ini. Dan hanya dengan cara inilah aku dapat 

menemukan kematian," jelas Dewa Langit, tersengal.

Ningtyas terharu sekali. Tak disangka, Dewa 

Langit memang menginginkan kematian di tangan Si-

luman Ular Putih.

Saat yang sama sekujur tubuh Siluman Ular 

Putih mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga, 

bayangan sosok panjang sebesar pohon kelapa itu ti-

dak kelihatan sama sekali. Lalu saat asap putih itu 

sirna tertiup angin, maka yang tampak kini hanya so-

sok pemuda berambut gondrong murid Eyang Bega-

wan Kamasetyo!

"Ah...! Kenapa jadi begini?" teriak Soma begitu 

kembali menjelma jadi manusia biasa.

Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih se-

gera berlari ke arah Dewa Langit. Rasa menyesal yang 

teramat sangat tiba-tiba membaluri hatinya. Lalu den-

gan agak gugup, segera diraihnya kepala Dewa Langit 

ke atas pangkuannya.

Meski dengan susah payah, Dewa Langit tetap


berusaha tersenyum.

"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali. 

Kau telah antarkan aku menemui Pendampingku Yang 

Setia. Kalau kau tertarik, sekalian ajak gadis itu mem-

pelajari kitab-kitab peninggalan ku. Asal, jangan Kitab 

Sukma Sejati! Itu amat berbahaya, Anak Muda. Kukira 

hanya itu pesanku, Anak Muda! Selamat tinggal!" ucap 

Dewa Langit lirih. 

Dan perlahan-lahan, Dewa Langit pun meme-

jamkan matanya rapat-rapat. Dadanya yang tadi ter-

sengal, perlahan-lahan tenang kembali. Tokoh sakti 

dari Hutan Watu Malang ini pun telah berangkat ke 

tempat kekal yang diinginkannya.

"Sungguh orang tua hebat! Tak kusangka ia 

menginginkan kematian dari tanganku," desah Silu-

man Ular Putih dalam hati.

Siluman Ular Putih lantas bangkit sambil 

membopong tubuh Dewa Langit yang telah menjadi 

mayat. Murid Eyang Begawan Kamasetyo ini segera 

mendekati Ningtyas yang masih tertotok.

"Bagaimana ini, Ningtyas? Apa tidak sebaiknya 

kita kuburkan saja di tempat kediamannya, di Hutan 

Watu Malang? Kukira ini akan lebih baik bagi ketente-

raman arwahnya?" tanya Soma meminta pendapat.

"Baiklah. Aku menurut saja. Asal...." 

"Asal apa?" potong Soma. "Asal berduaan den-

ganku, kan?"

"Apa?! Enak saja!" sungut Ningtyas kesal. 

"Lantas?"

"Aku memang ingin mengikutimu. Tapi, aku ju-

ga ingin mempelajari kitab-kitab peninggalannya," jelas 

Ningtyas.

"Oh, begitu...?" desah Soma.

"Iya. Makanya cepat bebaskan totokanku!"


"Baik."

Soma cepat menotok tubuh Ningtyas, hingga 

dapat kembali menggerakkan tubuhnya. Kemudian si 

pemuda segera mengajak pergi meninggalkan tempat 

ini. Kedua tangannya masih memondong jasad Dewa 

Langit yang perlahan-lahan mulai dingin dan kaku.

Angin pun berbisik-bisik, seolah membicarakan 

keanehan Dewa Langit yang menginginkan kematian-

nya di tangan seorang pendekar yang dilahirkan secara 

aneh, serta memiliki ilmu aneh.


                           SELESAI


Segera hadir kembali!!! 

Serial Siluman Ular Putih dalam episode:


PERSEKUTUAN MAUT


Share:

0 comments:

Posting Komentar