1
Senja baru saja datang menyapa, matahari
terus terseret waktu. Bias-bias sinarnya menyapu
tiga lelaki di depan halaman sebuah pondok, tak
begitu besar. Dua lelaki muda duduk bersila saling
berhadapan dengan satu lelaki tua. Tak ada
cengkrama di situ, setelah tadi mereka baru saja
menyelesaikan latihan jurus-jurus ampuh. Kedua
pemuda duduk dengan kepala tertunduk, meng-
hadap ke arah pantai Laut Selatan yang jarang
disinggahi biduk. Sementara si lelaki tua, seperti
biasa memberi wejangan yang sarat kata-kata bi-
jak.
"Suro Gandring, dan kau Argomulyo! Sela-
ma lima tahun kalian menuntut ilmu kepadaku
dengan hasil sangat memuaskan. Setelah seratus
jurus yang kalian mainkan tadi, aku bisa menilai
kemajuan yang kalian dapatkan. Satu sama lain
memiliki kekuatan, ketangkasan, dan kehebatan
sama," buka si tua berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun dengan pakaian serba putih. "Dan pagi ini, se-
telah melihat kalian bertarung tadi, rasanya aku
sudah cukup puas. Bahkan yakin untuk melepas
kalian!"
Kedua anak muda bernama Suro Gandring
dan Argomulyo saling berpandangan.
"Apa maksud, Guru?" tanya yang bernama
Suro Gandring lebih dulu.
Si tua bersorban putih ini terbahak-bahak.
Suaranya menggema ke seantero lembah.
"Sudah jelas, aku tak ingin melihat kalian
menghabiskan waktu di lembah sepi ini. Aku ingin
kalian segera mengarungi dunia luas berbekal ke-
mampuan yang kuberikan. Jadilah kalian orang-
orang pembela kebenaran. Lagi pula, sebentar lagi
cucuku si Prawitri akan kembali dari Gunung Se-
meru. Tepat sudah tiga tahun dia berguru pada
sahabatku Suralangi alias Pendekar Mutiara Pe-
rak. Jadi, kalian tak perlu lagi berada di sini.
Soalnya..., ha ha ha,..! Cucuku itu sangat cantik."
"Tetapi, Guru...."
Si pemuda yang bernama Argomulyo hen-
dak membantah. Namun kata-katanya telah dipo-
tong lebih dulu oleh gurunya.
"Tidak ada tapi-tapian. Besok pagi tepat
matahari terbit kalian sudah tidak berada di sini
lagi!"
"Tetapi...."
"Hik hik hik.... Kalian memang harus me-
nolak usul orang tua jelek berjuluk si Manusia
Buaya itu! Dan kalian melihatnya terkapar menja-
di mayat di Lembah Busuk ini!"
Satu suara yang nyaring namun merdu
menggema di sekitar tempat ini.
Serentak Suro Gandring dan Argomulyo
berdiri sigap memandang ke arah datangnya sua-
ra. Sementara si tua bersorban yang berjuluk si
Manusia Buaya hanya mengusap dagunya.
Satu sosok gemulai melangkah ke arah me-
reka. Dia seorang gadis cantik berambut panjang,
dengan bunga mawar pada tengah rambutnya
yang sedikit digelung ke atas. Tubuhnya padat be-
risi, terbungkus pakaian tipis berwarna merah
yang tembus pandang.
"Gadis keparat! Berani-beraninya kau lan-
cang bicara pada Guru kami!" bentak Suro Gandr-
ing setelah beberapa saat sempat terpana melihat
tubuh molek gadis cantik itu. Namun segera dite-
piskannya gejolak kelaki-lakiannya. Biar bagaima-
napun juga, hatinya sudah keburu marah men-
dengar ejekan yang menyakitkan dari bibir merangsang gadis ini.
Dara jelita itu hanya tersenyum.
"Bila kalian tidak percaya, aku akan mem-
buktikannya! Untuk apa berguru pada si Manusia
Buaya yang tak memiliki kemampuan apa-apa?
Ayo, kalian segera bersujud di kakiku! Karena, se-
bentar lagi akulah yang akan menjadi guru ka-
lian!" sergah si gadis, bukan main kurang ajarnya.
Amarah Suro Gandring tak tertahankan la-
gi. Dengan tenaga dalam penuh dia menerjang.
Yang ada dalam benaknya hanyalah membungkam
mulut lancang gadis ini.
Melihat serangan berbahaya, si gadis
hanya terkikik saja tanpa bergerak dari tempat-
nya. Dan ini membuat kemarahan Suro Gandring
makin memuncak.
"Aku ingin lihat kehebatanmu!" bentaknya.
Namun belum lagi pukulan si pemuda
mengenai sasaran, tiba-tiba saja tangan lembut
kuning yang halus milik si gadis terangkat.
Wrrr!
Tiba-tiba saja serangkum angin dahsyat
meluruk dari sebuah serangan balik si gadis. Suro
Gandring terkejut. Namun dia sudah tidak bisa
berbuat apa-apa ketika....
Desss...!
Si pemuda memekik keras. Deras juga tu-
buhnya meluncur ke belakang terhantam pukulan
tak terduga gadis ini.
Melihat hal itu, Argomulyo langsung melu-
ruk pula. Diawali satu gerengan setinggi langit, dia
hendak mengarahkan tinjunya ke tubuh si gadis.
Namun seperti yang dialami Suro Gandring, gadis
itu kembali mengangkat tangan kanannya. Dan…
Desss...!
Tubuh Argomulyo terlempar ke belakang.
Sementara itu si Manusia Buaya menghela
napas pendek. Perlahan-lahan dia bangkit dari
duduknya.
"Tak ada hujan tak ada angin, datang seo-
rang gadis mencari silang sengketa. Kalau bukan
kau, tentunya aku yang akan celaka," gumam si
Manusia Buaya.
"Si Manusia Buaya! Nama besarmu sudah
lama kudengar di telingaku. Aku ingin mencoba
kesaktianmu!" desis si gadis.
"Tak pernah terpikirkan oleh ku untuk
mencari kehebatan. Tetapi, sikapmu yang keterla-
luan itu tak bisa didiamkan lagi."
Gadis ini terkikik sambil menekap mulut-
nya yang merah, tak ubahnya bagai seorang gadis
yang malu-malu.
"Perlihatkan kehebatanmu!"
"Ku persilakan kau untuk menyerangku!"
Mendengar kata-kata itu, si dara jelita
membuka kedua tangannya ke depan.
"Baik! Kau hanya kuberi tiga jurus, Orang
Tua! Kalau dalam tiga jurus aku tak berhasil men-
galahkanmu, maka aku akan berguru kepadamu!"
Mendengar kata-kata itu, Suro Gandring
dan Argomulyo tersentak. "Perempuan takabur!
Tak tahu tingginya langit dan dalamnya bumi!"
gumam mereka berdua dalam hati.
Kejap berikutnya dara jelita itu sudah ber-
kelebat. Gerakannya sangat cepat. Sesaat terlihat
tubuhnya memancarkan sinar berwarna merah
yang menyengat. Sampai-sampai si Manusia
Buaya tersentak melihatnya.
"Gila! Selama ini aku baru tahu kalau ada
ilmu aneh seperti ini!" sentak hati si Manusia
Buaya sambil mengibaskan tongkatnya.
Wusss!
Selarik sinar putih yang dikawal suara ge-
muruh angin kencang menderu ke arah si gadis je-
lita yang sudah berkelebat. Dalam keadaan begitu,
si gadis mengibaskan tangannya.
Serangkum sinar merah pun menderu,
menyambut luncuran sinar putih. Lalu....
Bummm!
Pertemuan sinar merah dan sinar putih
menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga.
Tanah di tempat ini bagaikan bergetar.
Si Manusia Buaya sampai tercekat karena
serangannya dihantam sebuah serangan yang tak
kalah hebatnya. Sementara tubuh si gadis yang
berkelebat semakin kencang menderu.
Wuuusss!
"Uts...!"
Kalau saja si Manusia Buaya tidak merun-
duk, bisa dipastikan kepalanya akan terpisah dari
lehernya.
Sementara si dara jelita telah berjungkir
balik. Hanya dalam sekali gerak, kakinya telah
menjejak tanah.
"Jurus kedua!"
Berkawal satu teriakan bernada peringa-
tan, si gadis kembali melancarkan serangan. Dari
udara, kakinya terjulur hendak mematahkan leher
si tua bersorban.
Dan kali ini si Manusia Buaya pun mela-
kukan gerakan sama. Disongsongnya serangan si
dara jelita. Tongkat putih di tangannya diputarkan
bagaikan baling-baling. Pohon yang letaknya enam
tombak dari tempat itu berguguran daun-
daunnya. Dan tongkatnya siap menghantam kaki
si dara jelita.
Namun bersamaan dengan itu, si dara jeli-
ta menarik pulang kakinya. Begitu sambaran
tongkat lewat, tubuhnya berputar. Dan kali ini
tangannya siap melepas hantaman.
Di luar dugaan, si Manusia Buaya masih
bisa memutar tongkatnya. Namun tangan kiri si
gadis telah siap pula menahan.
Prak!
Tongkat kebanggaan si Manusia Buaya
yang bertahun-tahun dijadikan senjata andalan
patah menjadi dua. Piaslah wajah si tua bersor-
ban. Dan belum lagi sempat memikirkan apa yang
telah terjadi, tangan kanan si dara jelita sudah
menghantam dadanya.
Buk!
Keras juga pukulan si gadis. Sampai-
sampai tubuh si Manusia Buaya terlempar bebe-
rapa tombak. Dari mulut dan hidungnya menga-
lirkan darah segar.
Si dara jelita menatap angker.
"Jurus ketiga!"
Namun sebelum gadis ini melancarkan se-
rangan berikut, dua sosok tubuh telah menderu
ke arahnya.
"Gadis keparat! Mampuslah kau!"
Suro Gandring dan Argomulyo yang meli-
hat bagaimana jiwa gurunya terancam bahaya su-
dah meluruk maju dengan kekuatan tenaga dalam
penuh. Jurus 'Buaya Kibaskan Ekor' yang menga-
rah pada kelincahan dan kekuatan kaki, menderu
secara bersamaan.
Namun entah bagaimana caranya, si dara
jelita itu sudah berkelebat laksana setan. Tangan-
nya bergerak lincah, dan....
Tuk! Tuk!
Dua kali totokan dilancarkan sekaligus,
membuat tubuh kedua murid si Manusia Buaya
menjadi tak bergerak lagi. Mereka ambruk sambil
memaki-maki dengan hati panas, tanpa mampu
bergerak.
Si dara jelita tak menggubris mereka lagi.
Pandangan sengitnya tertuju pada si Manusia
Buaya.
"Kini tiba saatnya kau berangkat mengha-
dap penjaga pintu neraka, Orang Tua! Dan sebe-
lum mampus, aku masih berkenan untuk mem-
perkenalkan diri. Julukanku adalah Ratu Setan!
Dan kini, bersiaplah untuk menghadapi jurus ke-
tiga!"
Si Manusia Buaya yang sudah berdiri tegak
siap menyambut serangan dara jelita, mencoba
berpikir keras untuk mengetahui siapakah geran-
gan Ratu Setan itu.
Namun si tua bersorban tak sempat lagi
berpikir lebih lama. Karena, tubuh dara jelita yang
menjuluki diri Ratu Setan telah berkelebat. Gera-
kannya sangat cepat, benar-benar laksana setan.
Tangannya telah berubah menjadi semerah darah.
Begitu tubuhnya berkelebat, sinar warna merah
pun berkelebat. Sesaat si Manusia Buaya kelaba-
kan juga, karena sinar itu sangat menyilaukan
mata.
Di kejap lain, tangan Ratu Setan yang telah
membuka, menebas leher si Manusia Buaya seper-
ti seorang pencari rumput yang sedang menebas
rumput jarahannya.
Crasss...!
"Aaaakhhh...!"
Terdengar lolongan seperti kambing disem-
belih.
Suro Gandring dan Argomulyo menggeram
murka. Namun tubuh keduanya tak mampu dige-
rakkan. Dengan kemarahan bercampur kesedihan,
keduanya melihat tubuh si Manusia Buaya perla
han terhuyung dengan leher buntung, lalu am-
bruk bersimbah darah.
Matilah seorang guru yang baru saja gem-
bira menyaksikan hasil gemblengannya kepada
kedua muridnya.
Terdengar suara terkikik Ratu Setan yang
sangat keras sekali, menggema keseluruh lembah.
Daun-daun berguguran dan bumi seakan ber-
goyang.
"Hik hik hik.... Nama besar si Manusia
Buaya kini sudah terkubur! Tibalah saatnya bagi-
ku untuk menjadi tokoh papan atas rimba persila-
tan ini!"
Tiba-tiba si gadis terdiam. Tubuhnya men-
dadak menggigil. Sepasang matanya tiba-tiba me-
merah, dengan perubahan kulit yang putih mulus
itu menjadi kemerahan. Nampak jelas sekali Ratu
Setan berusaha menahan seluruh getaran di ji-
wanya. Mulutnya mendesis geram.
"Pendekar Slebor.... Kau akan kubunuh
untuk menunaikan janji ku pada Iblis Jagat Raya
yang menginginkan kain bercorak catur milikmu!"
desisnya.
Dan mendadak Ratu Setan menoleh ke
arah Suro Gandring dan Argomulyo yang tengah
berusaha membebaskan diri dari totokan. Tetapi
meskipun sudah mengerahkan seluruh tenaga da-
lam, tetap saja mereka tak mampu melepaskan to-
tokan.
Begitu melihat Ratu Setan menoleh dengan
wajah memerah dan geliatan tubuhnya yang aneh,
kedua murid si Manusia Buaya.
"Bebaskan kami! Kita bertarung sampai
mampus!" teriak mereka hampir bersamaan.
Lain dengan sikapnya yang kejam dan te-
lengas, tiba-tiba saja Ratu Setan tersenyum. Rekahan bibirnya begitu penuh rangsangan meng-
gairahkan.
"Gila! Apa yang tengah dilakukannya?" pi-
kir kedua murid mendiang si Manusia Buaya. "Dia
seperti seorang gadis yang sedang birahi."
Apa yang dipikirkan keduanya memang
benar. Karena langkah Ratu Setan kemudian san-
gat gemulai. Pakaiannya yang tipis menerawang
seperti sengaja dikuakkan lebih lebar saat me-
langkah. Bungkahan kedua pahanya yang montok
dan mulus, tersibak dan terserobok di mata kedua
pemuda itu.
"Kalian harus menjadi budakku mulai se-
karang...," desis Ratu Setan dengan suara lembut.
Lalu tangannya berkelebat cepat.
Sing! Sing!
Seketika dua buah benda mirip jarum ber-
warna keemasan melesat, masuk ke urat di bawah
leher kedua pemuda itu yang terjengak sebentar.
Sebelum mereka tahu apa yang terjadi, ti-
ba-tiba saja tubuh Ratu Setan sudah berkelebat.
Disambarnya mereka dengan ringan disertai suara
kikikan keras yang menggema di lembah itu.
***
2
Siapakah sebenarnya Ratu Setan? Siapa
pula Iblis Jagat Raya? Untuk apa kain bercorak
catur milik pemuda berjuluk Pendekar Slebor diin-
ginkannya? Mungkin pertarungan-pertarungan itu
bisa terjawab bila menyingkap peristiwa lima ta-
hun yang lalu, sebelum matinya si Manusia Buaya
di tangan Ratu Setan!
Waktu itu ada seorang gadis yang ayahnya
adalah tokoh sesat. Tanpa sepengetahuan si gadis
ternyata ayahnya adalah kaki tangan seorang to-
koh sesat berkepandaian tinggi yang berjuluk Iblis
Jagat Raya.
Atas perintah Iblis Jagat Raya, ayah si ga-
dis berhasil membunuh tokoh sesat lainnya. Julu-
kannya si Rase Terbang. Akibatnya, peristiwa itu
jadi berekor panjang. Enam orang anak buah si
Rase Terbang berniat menuntut balas. Mereka
berhasil membunuh ayah si gadis. Bahkan juga
memaksa si gadis untuk memberitahukan kebera-
daan Iblis Jagat Raya.
Si gadis berhasil melarikan diri, setelah
bertarung beberapa jurus. Namun, anak buah si
Rase Terbang tak membiarkannya lolos begitu sa-
ja.
ketika si gadis telah terjepit keadaannya,
dia tetap bersikeras kalau tak pernah mendengar
nama Iblis Jagal Raya. Namun, enam orang anak
buah si Rase Terbang telah berubah pikiran. Me-
reka berniat merampas kehormatan si gadis.
Pada saat yang gawat, apalagi mendengar
namanya disebut, kebetulan Iblis Jagat Raya yang
berada di sekitar tempat ini menggagalkan mak-
sud keenam anak buah si Rase Terbang.
Pertarungan sengit terjadi. Akibatnya, kea-
daan anak buah si Rase Terbang berhasil dite-
waskan.
Kini tinggallah si gadis seorang diri. Melihat
kemolekannya, Iblis Jagat Raya bernafsu untuk
menikmati tubuh si gadis. Seketika ditotoknya ga-
dis itu. Bahkan juga diberikannya Susuk Pem-
bangkit Birahi.
***
Begitulah akhirnya, Iblis Jagat Raya mem-
bawa si gadis ke tempat tinggalnya di sebuah gua
yang gelap berudara sangat lembab. Juga tertutup
semak belukar setinggi dada.
Si gadis benar-benar tak sadar kalau kini
telah menjadi budak nafsu Iblis Jagat Raya. Wajah
si lelaki bangkotan yang mengerikan dengan tu-
buh kerempeng menakutkan itu di matanya tak
ubahnya seorang pemuda gagah dan tampan.
Kapan saja Iblis Jagat Raya menghendaki,
gadis yang mengaku bernama Anjar Pitaloka selalu
bersedia melayaninya. Namun di samping itu, si
tua sakti ini pun menurunkan ilmu- ilmu anehnya
yang hebat pada si gadis. Dan kemudian gadis ini
dijuluki Ratu Setan.
Berkat gemblengan Iblis Jagat Raya, dalam
tempo empat tahun saja kehebatan Ratu Setan
sudah hampir menyamainya. Yang lebih gila lagi,
Anjar Pitaloka pun kini memiliki birahi yang san-
gat tinggi. Tak peduli siapa saja yang ditemuinya,
maka akan digumuli penuh nafsu.
Pernah ketika Iblis Jagat Raya tak ada di
tempat, Ratu Setan yang saat itu sedang naik bi-
rahi, berkelebat meninggalkan gua. Dia menjum-
pai dua orang lelaki di sebuah hutan. Yang satu
masih muda dan yang satunya lagi sudah tua. Ke-
tika tiba-tiba saja Anjar Pitaloka menggerakkan
tangannya, maka dua buah jarum berwarna kee-
masan pun berkelebat masuk ke tubuh dua laki-
laki itu.
Setelah menunggu beberapa saat, keluar-
lah Ratu Setan dari tempatnya. Saat itu juga bira-
hinya dituntaskan sampai puas. Baru kemudian
kedua laki-laki itu dibunuh secara kejam.
Begitulah yang terjadi pada Anjar Pitaloka
yang kini disebut Ratu Setan. Birahinya selalu
bergejolak tiba-tiba. Ini dikarenakan beberapa
buah Susuk Pembangkit Birahi yang dimasukkan
Iblis Jagat Raya pada tubuhnya.
***
Waktu kian bergeser. Tak terasa, lima ta-
hun sudah Ratu Setan berada di bawah bimbingan
Iblis Jagat Raya. Dan pada suatu malam, Iblis Ja-
gat memanggilnya.
"Aku sudah bosan denganmu, Ratu Setan!
Lebih baik kau minggat dari sini!" ujar si lelaki tua
kerempeng, seenaknya.
Ratu Setan kelihatan sedih. Padahal saat
ini, akal tak warasnya benar-benar memuja Iblis
Jagat Raya.
Tidak usah sedih. Kau boleh kembali ke si-
ni. Asalkan, kau mencari seorang pemuda yang
memiliki sebuah senjata dahsyat. Senjata itu be-
rupa kain bercorak catur. Sebagai penangkal seka-
ligus alat penyerang, kain bercorak catur itu
mampu mengeluarkan tenaga angin luar biasa he-
batnya. Bila aku berhasil memilikinya, hanya se-
dikit mengeluarkan tenaga dalam yang sesuai ilmu
yang kumiliki, kain itu bukan hanya menjadi sen-
jata, tapi juga tameng sangat dahsyat dari setiap
serangan lawan. Dan yang perlu kau ketahui, kain
bercorak catur itu satu-satunya senjata pusaka
terdahsyat! Tak ada bandingannya!"
Ratu Setan mengangkat kepalanya. "Di
manakah aku bisa mendapatkan kain pusaka
itu?" tanyanya gembira.
"Seorang pendekar muda memilikinya. Dia
berjuluk Pendekar Slebor. Kau harus menda-
patkan kain bercorak catur itu darinya! Bila gagal
mcndapatkannya, jangan harap bisa datang lagi!""Akan kubunuh Pendekar Slebor dan
membawa kain pusaka bercorak catur miliknya
kepadamu!" desis Ratu Setan.
"Bukan main! Kekejamanmu sudah sama
denganku! Kemarikan kedua tanganmu!" sahut Ib-
lis Jagat Raya sambil terbahak keras.
Dengan patuhnya, Anjar Pitaloka mengu-
lurkan kedua tangannya ke depan.
Tuk! Tuk!
Iblis Jagat Raya menotok kedua tangan Ra-
tu Setan hingga mengeluarkan suara mengeluh.
Lalu perlahan-lahan dimasukkannya lima buah
susuk berwarna keemasan di sekujur tubuh Anjar
Pitaloka.
"Kekuatan yang akan kau miliki tak akan
terkalahkan bila sudah melakukan hubungan ba-
dan dengan lelaki siapa pun juga. Dan kau akan
semakin terangsang bila melihat lelaki mana pun
juga. Tinggalkan tempat ini sekarang juga! Bunuh
Pendekar Slebor. Dan, bawa kain bercorak catur
itu kepadaku!"
"Tetapi..., maukah kau mengabulkan per-
mintaanku sebelum aku mencari Pendekar Sle-
bor," desah Ratu Setan lirih.
"Keparat! Berani benar kau meminta begitu
kepadaku, hah?!" sentak Iblis Jagat Raya, tetapi
tertawa dalam hati. "Keberanianmu sudah begitu
tinggi. Sama tinggi dengan kekejamannya yang
tiada tara."
"Maafkan. Tetapi aku minta..., gelutilah
aku lebih dulu."
Terdengar suara Iblis Jagat Raya terbahak-
ba-hak. Lalu diangkatnya tubuh lembut itu dan
direbahkannya di tanah dalam gua.
***
Senja hari, Ratu Setan pun meninggalkan
gua itu dengan hati puas. Akan dicarinya Pende-
kar Slebor untuk mendapatkan kain bercorak ca-
tur. Baru beberapa purnama muncul, julukan Ra-
tu Setan pun telah menggemparkan dunia persila-
tan, karena kekejamannya yang banyak membu-
nuhi para tokoh. Salah seorang korban yang baru
saja dibantai adalah si Manusia Buaya. Tindakan
itu dilakukan, untuk memancing kehadiran Pen-
dekar Slebor.
Di samping itu, banyak pula lelaki baik be-
rusia muda maupun tua yang menjadi korban bi-
rahinya. Setelah puas menuntaskan segalanya,
dengan kekejaman sangat luar biasa, dibunuhnya
para lelaki itu.
Sampai sejauh ini, Ratu Setan memang be-
lum bertemu Pendekar Slebor. Tapi yang jelas, bila
bertemu segala perintah Iblis Jagat Raya akan di-
laksanakannya. Itu sebabnya dia selalu memanc-
ing keonaran.
***
3
"Heh?! Mayat siapa itu? Kok dibiarkan be-
gitu saja? Apa tak ada keluarganya yang mau
mengurusnya? "
Suara bernada terkejut itu muncul dari
mulut seorang pemuda berpakaian hijau pupus
yang baru saja tiba di depan pondok milik si Ma-
nusia Buaya. Kepalanya menggeleng-gelengkan
sambil memeriksa mayat lelaki tua malang itu.
"Busyet! Setan belang mana yang keji me-
nurunkan tangan pada lelaki tua ini?!" makinya
entah pada siapa. "Hmm.... Bila melihat tongkat
yang ada pada lelaki ini, aku yakin dia yang berju-
luk si Manusia Buaya. Tetapi, siapa yang membu-
nuhnya?"
Pemuda tampan berambut gondrong den-
gan alis hitam legam bagaikan kepakan sayap
elang ini kembali menggeleng-geleng.
"Heran? Apa dunia sudah mau kiamat?
Hm.... Bunuh-membunuh sekarang menjadi ba-
rang murah! Tetapi, itulah hukum rimba persila-
tan! Bukan melihat siapa yang benar atau siapa
yang salah, tapi siapa yang kuat dialah yang akan
menang!"
Pemuda yang tak lain Andika alias Pende-
kar Slebor itu langsung melangkah empat tindak
dari mayat si Manusia Buaya. Kemudian kakinya
berlutut sambil menyingsingkan lengan baju.
Pendekar Slebor segera menggali tanah
dengan kedua tangannya. Setelah dirasakan cu-
kup, perlahan-lahan diangkatnya mayat si Manu-
sia Buaya dan dimasukkan ke lubang. Segera An-
dika menimbun mayat itu dengan tanah.
"Beres sudah. Sekarang, aku tinggal men-
cari si biang panu yang telah membunuh si Manu-
sia Buaya ini," gumam si pemuda sakti dari Lem-
bah Kutukan itu, begitu selesai menguburkan.
Namun sebelum Pendekar Slebor mening-
galkan lembah itu, tiba-tiba....
Wuuttt!
Satu ancaman mematikan meluncur ke
arah si pemuda urakan ini. Bukan main dahsyat-
nya. Angin sambaran saja, mampu merontokkan
beberapa ranting pohon. Walaupun sempat terke-
jut, namun sambaran seperti ini tak membuat An-
dika mati kutu. Secepatnya dia melompat ke atas.
Blammm...!
"Monyet pitak! Orang sinting mana yang
iseng mau membunuhku ini?" rutuk Andika.
Begitu kedua kakinya hinggap lagi di tanah, Andi-
ka langsung melirik ke arah tempat tadi dia berdi-
ri. Debu dan pasir tampak berterbangan. Dan se-
telah kepulan debu menghilang, terlihatlah sebuah
benda bening sebesar kelereng di tanah itu.
"Astaga! Biji siapa, eh! Biji apa itu? Kecil,
tapi sudah menimbulkan angin sangat dahsyat!"
desah Pendekar Slebor. Dengan lagak yang sok,
dia pura-pura mengamati benda yang tadi mener-
jangnya. "Siapa yang punya biji seperti ini?"
"Sebentar lagi kau akan melihatnya!" Di
iringi suatu suara bentakan, muncul satu sosok
tubuh langsing berparas cantik. Dia seorang gadis
berpakaian putih-putih dengan sebuah selendang
berwarna keperakan. Rambutnya yang panjang di-
kuncir ekor kuda dengan pita berwarna keperakan
pula.
Sejenak Andika sampai melongo melihat-
nya.
"Busyet! Tak kusangka gadis secantik ini
punya biji sekecil itu," desisnya tanpa sadar.
"Kurang ajar! Mulutmu lancang sekali!"
bentak gadis itu. Setelah tangannya siap bergerak.
"Eit! Sabar, sabar!" cegah Andika, langsung
melangkah mundur. "Aku kan cuma bilang begi-
tu..., kok kau marah sih. Oh, ya. Ada yang bisa
kubantu, Nona?"
"Siapa kau?!" wanita ayu ini malah ber-
tanya.
"Aku? Ah, Nona cukup memanggilku Andi-
ka," sahut Andika lugas.
"Aku tak tanya namamu. Aku tanya julu-
kanmu!" sentak gadis itu, galak.
Andika benar-benar tak menyangka gadis
secantik ini bisa galak seperti itu. Dia jadi garuk-
garuk jidat, garuk-garuk pantat, dan garuk-garuk
hidung. Bibirnya cengengesan serba salah. Sebab,
dia sebal kalau orang ingin tahu julukannya. Tapi
yang ini hanya seorang gadis cantik lagi.
"Jangan cengengesan, Pemuda Lancang!"
hardik si gadis. Bola matanya membesar, meng-
gemaskan. Namun kemudian matanya melirik ke
sebuah makam yang nampak masih baru. Sesaat
di benaknya timbul pertanyaan. Makam siapakah
itu?
"Aku tidak bermaksud lancang, cuma...."
Wusss!
Kata-kata Andika terpenggal oleh desiran
angin ketika gadis berkuncir ekor kuda itu meng-
gerakkan tangannya. Pendekar Slebor yang sudah
tahu kalau angin dahsyat itu ditimbulkan dua
buah benda mirip kelereng segera mencoba me-
mapakinya. Seketika tangannya bergerak pula.
Wrrr!
Angin pukulan bertenaga dalam tak begitu
tinggi melesat pula menghalangi serangan angin
yang dilakukan gadis berbaju putih-putih.
Blarrr!
Terdengar bunyi yang keras begitu papa-
kan Pendekar Slebor berhasil membuat benda mi-
rip kelereng itu berbelok entah ke mana.
"Hebat..., hebat!" puji Andika, sambil
menggeleng-geleng.
Gadis itu tersenyum sinis.
Tinggalkan tempat ini sebelum kau kubu-
nuh!"
"Persoalan meninggalkan tempat ini sangat
ingin kulakukan. Tapi aku ingin tahu, apa kepen-
tinganmu di sini. Dan siapa kau ini?"
"Justru aku yang harus bertanya, hah!
Mau apa kau datang ke tempat tinggal kakekku?!"
balik gadis ini membentak.
Kali ini kening Andika berkerut.
"Kakekmu?"
"Kalau sudah tahu, cepat minggat!"
"Tunggu! Apakah kakekmu yang dijuluki si
Manusia Buaya?"
"Benar-benar sinting! Apa kau ingin me-
nantang kakekku? Jangankan untuk menghadapi
kakekku, menghadapiku saja kau akan kubuat
kocar-kacir!"
"Tetapi...."
Andika jadi serba salah. Pendekar Slebor
melihat gadis yang sedang geram padanya. Ini je-
las sekali baru datang dari perjalanan jauh. Apa-
kah akan dikatakannya kalau si Manusia Buaya
telah tewas?
"Cepat pergi dari sini!" bentak gadis itu
yang memang Prawitri.
"Aku akan meninggalkan tempat ini, sete-
lah aku menerangkan sesuatu kepadamu. Maaf,
bila aku lancang bicara...," ucap Andika, kali ini
terlihat hati-hati. "Kakekmu si Manusia Buaya, te-
lah menemui ajalnya. Aku baru saja mengubur-
kannya. Bila melihat darah yang masih segar di
tubuhnya, jelas sekali kalau kematiannya baru sa-
ja terjadi...."
Prawitri sejenak terdiam. Namun sejurus
kemudian….
"Kakek!" teriak gadis ini, langsung berkele-
bat ke makam yang ditunjuk Andika.
Andika terdiam. Perasaannya menjadi tidak
enak saat mendengar isak tangis gadis itu. bagai-
manapun tegarnya seorang gadis, pasti akan men-
galirkan air matanya sebagai upaya terakhir dari
pelampiasan jiwanya yang terpukul. Andika bisa
memakluminya.
Tiba-tiba gadis itu berdiri tegar dengan ta-
tapan nyalang. Kembali sikapnya galak. Dan ini
yang tak disukai Andika.
"Katakan! Siapa yang membunuh kakek?!"
desis Prawitri, garang.
Andika menggeleng.
"Aku baru saja tiba di sini. Dan kulihat,
kakekmu sudah menjadi mayat. Lalu, aku mengu-
burkannya," tutur Pendekar Slebor, terus terang.
"Oh!"
Tiba-tiba Prawitri menoleh ke sana kemari.
Dan seketika dia berlari ke gubuk.
"Kakang Suro dan Kakang Argo, di mana
kalian?"
Andika segera mengikuti gadis itu.
Langkah Prawitri terhenti, ketika tak me-
nemukan kedua murid kakeknya. Kemudian dia
menghadap ke arah Pendekar Slebor.
"Siapa mereka?" tanya Pendekar Slebor
sambil berusaha menjajari.
"Keduanya adalah murid kakekku! Aku
memang tak pernah mengenal mereka, karena aku
lebih dulu pergi ke Gunung Semeru. Aku tahu,
kakekku memiliki ilmu cukup tinggi. Bahkan aku
mengenali jurus-jurus utamanya. Tapi, kakek tak
pernah mau menurunkan ilmunya kepadaku, ka-
rena aku akan dibimbing oleh guru lain. Katanya,
kalau belajar dengan kakek sendiri, aku akan ber-
sikap manja. Kemudian aku tahu dari guruku
yang berjuluk Pendekar Mutiara Perak, kalau ka-
kekku telah mengangkat dua orang murid. Yang
satu bernama Suro Gandring, dan yang satu lagi
bernama Argomulyo. Lalu, ke mana mereka seka-
rang? Mengapa mereka tak ada di sini?"
Andika terdiam, mencoba merenungkan
kata-kata Prawitri.
"Sejak aku tiba di sini, aku tak melihat sia-
pa pun juga selain mayat kakekmu."
Prawitri kembali menatap Andika. Namun
kali ini sinar matanya penuh praduga.
"Apakah kedua murid kakekku telah men-
jadi pembunuh?"
Andika tidak menjawab. "Hhh! Kalau begi-
tu, aku harus mencari mereka untuk kutanyai!"
"Tunggu! Bila melihat luka-luka yang dide-
rita kakekmu, jelas sekali yang sanggup membu-
nuhnya adalah orang yang memiliki ilmu sangat
tinggi. Si Manusia Buaya tak mungkin begitu mu-
dah bisa dilumpuhkan oleh sepuluh orang murid-
nya sekali pun!" cegah Andika, memberi alasan
kuat.
"Apa maksudmu, hah?!" geram Prawitri.
Andika nyengir.
"Jangan gusar. Aku belum tahu, siapa na-
mamu."
"Setelah kuberitahu namaku, lebih baik
minggat dari sini! Namaku Prawitri! Ayo pergi sa-
na!"
"Ketahuilah, Prawitri.... Aku pun ingin ta-
hu, siapa yang telah membunuh kakekmu ini. Ja-
di, aku pun akan mencarinya!"
"Peduli setan dengan urusanmu! Aku harus
mencari kedua murid kakek!"
Lalu tanpa mempedulikan Andika lagi,
Prawitri sudah berkelebat meninggalkan tempat
itu. Sungguh, hati gadis ini sakit sekali. Sejak ke-
berangkatannya dari Gunung Semeru, dia sudah
tak sabar untuk memperlihatkan ilmu-ilmu hebat
yang dimilikinya. Bahkan senjata rahasia berben-
tuk Mutiara Perak pun telah diberikan gurunya.
Tetapi sekarang, kakeknya sudah menjadi mayat.
Jangankan untuk menunjukkan kehebatannya
sekarang ini. Untuk berjumpa saja, tak sempat.
Akan dicarinya pembunuh kakeknya. Jauh di da-
sar hati Prawitri, dia menduga kalau kedua murid
kakeknyalah yang telah berkhianat!
Sementara Andika hanya menggeleng-
geleng melihat kekeraskepalaan gadis itu.
"Hhh! Seperti Sari!" dengusnya. "Gadis-
gadis kebanyakan lebih suka memakai perasaan
daripada perhitungan! Bila melihat derita yang di-
alami si Manusia Buaya sebelum ajalnya, bisa di-
pastikan lawannya memang memiliki ilmu sangat
tinggi! Ini berbahaya buat Prawitri, meskipun aku
tahu ilmunya sangat tinggi. Aku harus membuntu-
tinya sekarang juga!"
Namun sebelum Andika meninggalkan
tempat itu, tiba-tiba saja segulung angin menderu-
deru bak puting beliung meluncur deras ke arah-
nya....
***
4
"Busyet! Siapa lagi yang iseng ini?!" rutuk
Pendekar Slebor, langsung bergulingan. Maka an-
gin deras itu melabrak dua buah pohon sekaligus.
Bukan hanya tercabut dari akarnya, kedua pohon
itu juga terbang melayang.
Begitu kedua kaki Andika menginjak ta-
nah, sepasang matanya membesar seakan hendak
melompat.
"Tapak Darah!" sebut Andika begitu meli-
hat kemunculan seseorang.
Orang yang baru muncul terkekeh-kekeh.
Bentuk tubuhnya sungguh lucu. Sudah pendek,
kepalanya besar lagi. Rambutnya panjang. Hi-
dungnya pesek. Dan yang membuat lucu, sosok-
nya yang kerdil terbungkus pakaian panjang seu-
kuran manusia sewajarnya. Sehingga ketika berja-
lan mendekati Andika, tubuhnya terguling karena
bajunya yang kepanjangan terinjak kakinya sendi-
ri.
"Wah, wah! Apakah kau sedang mengajari
ku jurus 'Tangkap Kodok Badan Nyungsep'!" ledek
Andika.
Sosok kerdil itu mengepalkan tangannya.
"Kurang ajar sama orang tua, ya?! Sedang apa kau
di sini?"
Andika memang sangat geli melihat tingkah
laku lelaki kerdil berjuluk Tapak Darah. Dia jadi
teringat bagaimana Tapak Darah memaksa Lasmi,
cucu dari Panembahan Reso Tunggal untuk mem-
buka pakaiannya dan ditukar dengan pakaian biru
panjang yang dikenakannya (Untuk mengetahui
soal Tapak Darah, silakan baca serial Pendekar
Slebor dalam episode: "Istana Sembilan Iblis").
"Heran! Manusia kok kecil begini, ya? Se-
waktu bayi, mungkin kau sebesar sandalku ini,
ya?" ledek Pendekar Slebor lagi.
Wajah Tapak Darah memerah. "Dasar, Sle-
bor! Bisanya mengejek orang tua saja! Hei, kau be-
lum menjawab pertanyaanku tadi? Sedang apa di
tempat kediaman temanku si Manusia Buaya ini,
hah?"
Kali ini Andika menghentikan tawanya.
Rupanya Tapak Darah dan si Manusia Buaya ber-
sahabat.
"Kau sendiri mau apa?" tukas Pendekar
Slebor kemudian.
"Busyet! Benar-benar mau ku kemplang
kepalamu, ya? Anak kecil mau tahu urusan orang
tua!"
"Orang tua kok cuma sejengkal badannya."
"Sialan!"
Tiba-tiba saja Tapak Darah berkelebat ke
arah Andika. Dan Pendekar Slebor langsung me-
lompat. Namun, sesaat si pemuda menjadi gelaga-
pan, karena lompatannya telah terkurung pusaran
tubuh Tapak Darah yang mengelilingi tubuhnya.
"Gila! Dia masih hebat saja!" seru Andika
dalam hati, seraya mencoba mengirimkan satu jo-
tosannya.
Plas!
Jotosannya seperti mengenai angin belaka,
karena kecepatan perputaran tubuh Tapak Darah
sangat luar biasa. Sebelum Andika menggerakkan
tangannya lagi, tiba-tiba....
Plak!
Entah bagaimana caranya tahu-tahu kepa-
la Pendekar Slebor seperti ditampar. Dan, saat itu-
lah putaran tubuh Tapak Darah terhenti.
"Puas sudah aku bisa mengemplang kepa-
lamu, Hoi! Minggir, minggir!" seru Tapak Darah
sambil melangkah. Dan tubuhnya tiba-tiba bergu-
lingan ketika ujung pakaiannya yang panjang te-
rinjak lagi oleh kakinya.
Andika kembali tertawa melihat adegan lu-
cu tanpa sengaja itu.
"Dulu sudah kubilang, lebih baik tak usah
memakai baju saja! Atau, kau bisa membeli di ko-
taraja baju milik anak usia tiga tahun!" celoteh
Andika lagi, tak mempedulikan kekesalan si orang
tua kerdil.
"Sialan! Kalau tak memakai baju, aku
khawatir gadis-gadis jelita akan mengerubungiku
yang tampan dan gagah ini."
Kali ini Andika terbahak-bahak keras. Te
tapi bagaikan diingatkan kembali akan maksud
kedatangan Tapak Darah ke sini, tawanya dihenti-
kan.
"Si Manusia Buaya! Aku datang! Jangan
bersembunyi untuk menyambut kedatanganku
ini!" teriak Tapak Darah keras.
Suara lelaki kerdil ini menggema keras. Se-
saat, Andika merasa darahnya berhenti.
"Tapak Darah? Kalau kau mencari saha-
batmu, tak perlu jauh-jauh. Kau lihat itu," ujar
Andika sambil menunjuk makam si Manusia
Buaya.
"Astaga! Apakah kau pikir aku bersahabat
dengan tanah, hah?"
"Bukan! Maksudku, si Manusia Buaya te-
lah tewas. Dan aku telah menguburnya di sana,"
jelas Andika.
Kali ini Tapak Darah terdiam. Lalu dia ter-
bahak-bahak tanpa sebab.
"Ya, sudah kalau sudah mati. Untuk apa
aku menemui mayat?" sahut Tapak Darah, enteng.
Andika menghela napas kesal. Terkadang
dia memang tak mengerti sifat tokoh-tokoh sakti
dunia persilatan yang aneh dan rada-rada gila.
Dan kini, tampak Tapak Darah sudah melangkah
dengan sesekali bergulingan akibat baju kepan-
jangannya.
Andika pun tak menghiraukannya lagi ke-
tika teringat akan Prawitri. Lebih baik, segera di-
cari gadis itu. Karena dikhawatirkan akan terjadi
apa-apa padanya. Di samping, dia sendiri ingin
tahu siapa pembunuh si Manusia Buaya. Ma-
kanya, tubuhnya segera berkelebat.
Akan tetapi...
Brak!
"Kodok kontet! Kenapa lagi sih?" maki Pen
dekar Slebor begitu tahu kalau Tapak Darah yang
menghalangi kelebatan tubuhnya. Tangannya
mengusap-usap kaki kanannya yang terasa nyeri,
akibat satu sentakan yang dilakukan Tapak Da-
rah.
"Anak muda kurang ajar! Ada orang tua,
malah main pergi begitu saja tanpa pamit!" justru
Tapak Darah yang ganti memaki.
"Kau sendiri tadi melakukan seperti itu?"
sungut Pendekar Slebor, tak mau kalah.
"Kalau aku wajar. Karena, aku orang tua!
Hei, Andika! Sudahkah kau mendengar tentang
sepak terjang seorang gadis jelita berjuluk Ratu
Setan?"
"Kalau sudah kenapa, kalau belum kena-
pa?" tukas Pendekar Slebor.
"Kalau sudah, ya bagus. Itu berarti kau te-
lah siap menyambutnya. Kalau belum, ya mampus
saja!" sahut manusia kuntet itu enteng.
Kali ini Andika memperhatikan Tapak Da-
rah dengan seksama.
"Apa maksudmu dengan kata-kata aku te-
lah siap menyambutnya?" tanyanya.
"Dasar gemblung! Apakah kau tidak men-
dengar kalau Ratu Setan akan merebut kain ber-
corak catur yang bau apek itu, hah?!"
Andika merutuk dalam hati. Enak saja si
kuntet ini bilang kalau kain warisan Ki Saptacakra
ini bau apek. Tapi ketika Andika nengok sedikit
kepalanya ke arah kain itu, mulutnya jadi nyengir
sendiri.
Belum sempat Andika berkata....
"Yah.... Mudah-mudahan kau berhasil
mempertahankan kain bututmu itu!"
Wusss!
Kali ini tubuh Tapak Darah lenyap begitu
saja. Andika menggaruk-garuk kepalanya. Edan!
Kalau manusia kuntet itu melangkah, selalu saja
terserimpung pakaiannya yang panjang. Tetapi bi-
la berkelebat, cepatnya bisa laksana hantu!
Sesaat Andika terdiam memikirkan ucapan
Tapak Darah. Sepak terjang tangan telengas yang
diturunkan dara jelita yang berjuluk Ratu Setan
memang telah didengarnya. Bahkan saat ini, An-
dika sendiri berniat menghentikan sepak terjang-
nya. Tetapi apa yang dikatakan Tapak Darah itu
baru saja didengarnya.
"Dari mana Tapak Darah tahu kalau Ratu
Setan menghendaki kain bercorak catur ini?
Hmm.. Siapakah yang memerintahkannya? Aku
jadi penasaran ingin mengetahui gadis itu. Jan-
gan-jangan, yang membunuh si Manusia Buaya
adalah Ratu Setan? Busyet! Bila memang Ratu Se-
tan yang melakukannya, berarti kepandaiannya
sangat tinggi. Hhh! Tak seorang pun yang akan
kubiarkan untuk merebut kain pusaka ini. Aku te-
lah berjanji pada Eyang buyutku, untuk selalu
menjaganya. Daripada pusing memikirkan soal
itu, lebih baik aku segera menyusul Prawitri."
Sebelum pergi, sejenak Andika memperha-
tikan makam si Manusia Buaya.
"Si Manusia Buaya! Nama besarmu sebagai
tokoh golongan kaum putih telah lama kudengar.
Kini kau telah bersemayam di tempatmu yang te-
rakhir. Cucumu baru saja datang. Dan kini dia
sudah pergi lagi. Di depan makammu, aku berjanji
akan selalu menjaga cucumu itu. Hhh! Ratu Se-
tan! Ingin kulihat, siapa kau sebenarnya?"
***
5
"Suro Gandring! Dan kau, Argomulyo....
Kalian sangat perkasa dan tampan. Aku sangat
menyukai kalian. Bila kalian menginginkan tu-
buhku! Bunuh Pendekar Slebor! Dan, rebut kain
bercorak catur miliknya itu!" kata Ratu Setan, se-
telah puas melampiaskan nafsu birahinya pada
dua murid si Manusia Buaya di sebuah gubuk, di
pinggiran hutan.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, kedua
pemuda itu mengangguk dengan patuh. Sementa-
ra, Ratu Setan terkikik-kikik.
"Aku tahu, sepak terjangku ini akan me-
nimbulkan amarah orang-orang golongan lurus
dunia persilatan. Jadi, kalian bukan hanya kutu-
gaskan untuk membunuh Pendekar Slebor. Tetapi,
juga untuk menjaga diriku! Mengerti?"
Suro Gandring dan Argomuluyo mengang-
guk patuh. Apa yang dimasukkan Rain Selan ke
tubuh mereka, memang membuat tindakan-
tindakan mereka tak ubahnya kerbau dicocok hi-
dungnya. Apa yang dimaui Ratu Setan akan selalu
dituruti.
Dan tiba-tiba Ratu Setan yang bernama as-
li Anjar Pitaloka ini tersentak. Kepalanya seketika
dimiringkan ke kiri.
"Rupanya ada manusia pengintip iseng!"
dengusnya sambil mengerakkan tangannya ke
atas.
Wuusss! Blarrr!
Atap gubuk kecil itu langsung terlempar ke
atas, hancur menjadi satu. Dalam perkiraan Ratu
Setan, orang yang mengintip pasti juga sudah
menjadi abu. Akan tetapi....
"Gadis mesum berhati setan! Lebih baik ke
luar, sebelum gubuk itu kuterbangkan!"
Ratu Setan terkikik.
"Aku ingin melihat kehebatan kalian seka-
rang. Siapa yang berhasil membunuh manusia
iseng itu, akan mendapatkan tubuhku selama tiga
hari tiga malam!" kata Anjar Pitaloka, pada dua
budak pemuas nafsunya.
Bagai merebutkan sepotong kue, kedua
pemuda itu serentak melompat keluar dengan ta-
tapan marah. Sementara, Ratu Setan kembali me-
rebahkan tubuhnya di dipan kayu yang dipergu-
nakan untuk memuaskan nafsunya tadi.
Di luar, dua pemuda yang telah dipengaru-
hi susuk Ratu Setan menatap sengit pada seorang
gadis berbaju kuning yang berdiri tegak dengan ta-
tapan penuh hawa amarah.
"Lebih baik kalian minggat dari sini! Uru-
sanku hanyalah pada Ratu Setan!" bentak gadis
berambut panjang dengan wajah geram. Di tan-
gannya terdapat dua buah pedang tipis, berkilau
tajam.
Suro Gandring dan Argomulyo saling ber-
pandangan sejenak. Mereka benar-benar telah be-
rubah watak, berada di bawah pengaruh Ratu Se-
tan. Dan
tanpa banyak cakap lagi, keduanya segera mener-
jang ganas. Serangan dilakukan dari dua penjuru,
sehingga agak menyulitkan si gadis berbaju kun-
ing.
"Keterlaluan! Pemuda-pemuda hina yang
menjadi pemuas Ratu Setan!" makinya sambil
mengibaskan kedua pedang di tangan kanan dan
kiri.
Wut! Wut!
Dua serangan yang dilakukan sekaligus itu
menutup jalur serangan Suro Gandring dan Argo
mulyo. Kedua pemuda itu harus berjumpalitan.
Bahkan wajah mereka terasa bagai ditampar angin
yang keras, ketika pedang itu mengibas.
Namun kedua pemuda yang berada di ba-
wah pengaruh Ratu Setan langsung melompat
menyerang kembali. Serangan mereka kali ini san-
gat berbahaya, diiringi gerengan keras.
Serangan berikutnya nampak sangat me-
nyulitkan si gadis meskipun berusaha untuk
mempertahankan diri. Karena, Suro Gandring ba-
gaikan melompat-lompat menerjang bagian atas.
Sementara Argomulyo dengan gerakan mirip
buaya lapar, menerjang bagian bawah.
"Gila!" desis gadis berbaju kuning, melihat
Suro Gandring yang tak mempedulikan kibasan
pedang yang bergerak memutar dan mengeluarkan
desingan keras.
Cras!
Bahu pemuda itu tergores oleh ujung pe-
dang si gadis. Namun seakan tak mempedulikan
kalau lengannya telah terluka, Suro Gandring te-
rus melompat-lompat. Kedua tangannya siap men-
cengkrami leher si gadis.
"Keparat! Rupanya Susuk Ratu Setan telah
mendekam di tubuh kedua pemuda ini! Tingkah
mereka seperti yang terjadi terhadap kakakku
yang telah kena dipengaruhi Ratu Setan. Dan ak-
hirnya dia mati bunuh diri setelah gadis sesat itu
meninggalkannya dalam penuh birahi yang berko-
bar! Sinting! Apakah aku harus membunuh dua
pemuda yang tak berdosa ini? Namun, kalau aku
tidak melakukannya, bisa-bisa aku yang mampus!
Kalau begitu..., baik!"
Tiba-tiba saja si gadis melompat, ketika tu-
buh Argomulyo menyergap bagian bawah tubuh-
nya. Begitu melompat pedangnya mengibas ke
arah Suro Gandring yang sedang memburu bagian
atas tubuhnya.
Pedang itu kembali menggores tubuh Suro Gandr-
ing. Namun, meskipun berhasil mematahkan se-
rangan, gadis itu kembali harus memekik keras.
Karena, tubuh Suro Gandring terus meluruk ke
arahnya.
"Sialan!"
Seketika kaki ramping si gadis bergerak
menyambar kepala Suro Gandring.
Duk!
Si pemuda terhuyung ke belakang. Bersa-
maan dengan it,. si gadis menyergap cepat.
Tuk! Tuk!
Dua totokan dilakukan si gadis secara ber-
samaan, mempergunakan hulu kedua pedang di
tangannya. Seketika Suro Gandring ambruk tanpa
bisa bergerak lagi.
Sementara itu, Argomulyo bagai tak mem-
pedulikan keadaan kakak seperguruannya terus
menyergap dari bawah. Sejenak, si gadis harus be-
rusaha melompat-lompat menghindari serangan
yang selalu menderu angin besar.
"Aku harus bergerak cepat, sebelum Ratu
Setan melarikan diri! Hampir tiga bulan aku men-
carinya!" gumam gadis itu.
Setelah berkata begitu, si gadis segera
menggerakkan kedua kakinya. Gerakannya sangat
luar biasa, karena dilakukan selagi melayang di
udara.
Des! Des! Des! Des!
Empat kali tubuh Argomulyo terhantam
tendangan keras, membuat tubuhnya terjajar ke
belakang. Sebelum ambruk di tanah, si gadis su-
dah bergerak setengah lingkaran sambil mengge-
rakkan tangannya.
Tuk! Tuk!
Seperti yang dialami oleh Suro Gandring,
tubuh Argomulyo pun tertotok hulu pedang.
"Kasihan kedua pemuda itu. Aku yakin,
mereka tak tahu apa yang sedang terjadi sebenar-
nya. Kini, tinggal si Ratu Setan yang harus dimus-
nahkan!"
Lalu diiringi teriakan sangat keras si gadis
menggerakkan kedua pedangnya dari tempatnya
berdiri.
Putaran kedua pedang itu sangat keras.
Suaranya bagai dengungan ratusan tawon marah.
"Mampuslah kau, Ratu Setan!"
Tiba-tiba gadis ini mengarahkan kibasan
pedangnya ke gubuk itu.
Angin yang sangat keras meluruk ke arah
gubuk. Bagaikan topan badai prahara yang sangat
besar, angin itu melabrak dan menerbangkan gu-
buk hingga menjadi seperti segumpal kapas yang
dipermainkan angin.
Namun sebelum angin tadi melabrak, satu
sosok tubuh ramping telah berkelebat keluar pon-
dok.
"Hik hik hik.... Rupanya kau, Juwita,"
sambut satu suara dari sebuah pohon. "Apakah
kau tak bisa memaafkan aku atas tindakan bunuh
diri yang dilakukan Prasetyo?"
Gadis berbaju kuning bernama Juwita itu
menggeram sambil menatap satu sosok tubuh
berbaju merah menerawang yang duduk di seba-
tang ranting pohon.
"Ratu keparat! Kau harus membayar nyawa
kakakku!" maki Juwita mangkel.
"Mengapa kau berkata seperti itu? Bukan-
kah kau seharusnya berterima kasih kepadaku,
karena kakakmu yang tampan itu kuhibur dan
kuperkenalkan pada surga dunia?"
Wajah Juwita mengkelap. Tanpa banyak
cakap tubuhnya segera dikempos. Kedua tangan-
nya dijarakkan, menimbulkan desing angin yang
sangat deras.
Ratu Setan hanya terkikik-kikik melihat se-
rangan.
"Ah! Apakah kau tak sadar kalau kakakmu
yang memiliki ilmu lebih tinggi darimu, masih bisa
kukalahkan?"
Lalu....
Plas!
Crak! Crak!
Tubuh Ratu Setan tiba-tiba saja lenyap da-
ri tempatnya. Sementara, ranting yang tadi didu-
dukinya patah berkeping-keping terkena cacahan
pedang Juwita.
***
6
"Aduh, aduh...! Kau masih tak mau me-
maafkan aku juga?"
Seketika Juwita memutar tubuhnya ke
arah datangnya suara dengan tatapan sengit. Eje-
kan itu sangat membuat telinganya memerah.
"Kau harus mampus, Manusia Setan!" sen-
tak Juwita.
Dikawal satu dendam kesumat, si Juwita
membawa tubuhnya meluncur. Jurus simpanan-
nya langsung dikerahkan.
Gerakan si gadis tak hanya cepat, tapi juga
menimbulkan deru angin kencang. Dedaunan ber-
guguran ketika tubuhnya melesat cepat ke arah
Ratu Setan.
Terbayang di wajahnya, bagaimana Pra-
setyo kakak kandungnya yang tersiksa setelah di-
masukkan susuk oleh Ratu Setan. Birahi pemuda
itu selalu berkobar keras. Hingga kemudian, me-
nyergap tubuh adik kandungnya sendiri yang
menjadi ketakutan akan perbuatan kakaknya! Ke-
heranan telah mengubah rasa takut di hati Juwi-
ta, ketika kakaknya tiba-tiba melepaskan tubuh-
nya sambil menutup wajahnya dan berlari me-
ninggalkannya.
Penasaran pun menggayuti hati Juwita.
Dia tersentak hingga tercekat beberapa kali, ketika
melihat kakaknya telah berdiri tegak dengan ujung
pedang di dada.
Seruan Juwita untuk menghentikan kein-
ginan nekat kakaknya gagal, karena Prasetyo lebih
dulu menikam jantungnya!
Juwita menggigil dengan perasaan hancur.
Didekatinya kakaknya yang sudah menjadi mayat.
Masih sempat dia mendengar kakaknya menyebut
nama 'Ratu Setan'.
Dan sekarang perempuan busuk itu telah
berada di hadapannya. Selama tiga bulan Juwita
berkelana untuk membalaskan dendam. Meskipun
menyadari kalau ilmu Ratu Setan lebih tinggi, na-
mun kegeramannya sudah menjadi-jadi!
Ratu Setan terkikik-kikik ketika serangan
maut Juwita itu kian mendekat. Dan tiba-tiba..
Wuutt!
Sekali sentak, enam kali kebutan pedang
itu telah dilakukan Juwita. Sejenak Ratu Setan
mendengus, sambil membuang tubuhnya ke
samping. Sungguh tak disangka kalau serangan
gadis berbaju kuning begitu dahsyat.
"Keparat! Kau benar-benar ingin mampus!"
bentak Ratu Setan.
Tiba-tiba saja, si perempuan yang sudah
dikangkangi nafsu ini bergerak memutar. Luar bi-
asa cepat gerakannya. Dan ini membuat gerakan
Juwita bagai tak ada apa-apanya. Di mata Ratu
Setan, malah bagai geliatan bayi!
Malahan....
Duk! Duk!
Tubuh Juwita tersuruk ke belakang, ketika
dua jotosan mengandung tenaga sakti menghan-
tam dadanya.
"Gila! Aku benar-benar tak akan sanggup
menandingi ilmu Ratu Iblis ini!" desis gadis itu
sambil mengusap darah yang keluar dari mulut-
nya. Tatapannya semakin nyalang, melihat Ratu
Setan terkikik-kikik.
"Silakan bertindak seperti yang dilakukan
kakakmu, Juwita!" leceh Ratu Setan.
"Perempuan berotak mesum! Kita akan ma-
ti bersama!"
Dikawal satu gerengan keras, tubuh Juwita
meluruk laksana kilat. Gemuruh angin terdengar
begitu dahsyat.
Namun kali ini Ratu Setan tak bergerak da-
ri tempatnya. Dia hanya berdiri tegak sambil ter-
kikik-kikik, seolah tak menyadari akan kehebatan
serangan Juwita.
Sejengkal lagi, pedang di tangan Juwita
mengenai sasaran, Ratu Setan mengangkat kedua
tangannya ke atas dan mendorongnya ke arah
Juwita.
Wrrr!
Tubuh Juwita kontan terjungkir dan bergu-
lingan ke belakang. Sambaran kedua pukulan
yang telak tadi terasa seperti mematahkan tulang
iganya. Sehingga dia tak mampu berdiri. Juwita
cuma bisa duduk dengan kaki selonjor, menahan
rasa sakit luar biasa.
Namun kekeras kepalaan gadis itu membuatnya
tak menghiraukan rasa sakitnya.
"Kau akan mampus, Ratu Setan!"
"Hik hik hik.... Aku justru ingin melihat
kau mampus! Bersiaplah, Juwita!"
Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri, Ra-
tu Setan menggerakkan tangan kanannya.
Wusss!
Juwita hanya bisa terperangah saja melihat
serangan datang. Serangkum angin deras melu-
ruk, siap meluluhlantakkan tubuhnya. Karena ke-
beranian dan dendamnya, tubuhnya dipalingkan
juga tak menutup matanya, ketika maut akan
menjemputnya. Untuk menghindari serangan me-
mang tak bisa sebab tubuhnya terasa lemah seka-
li.
Namun tiba-tiba saja, meluncur pula dari
tempat lain, langsung menghantam pukulan jarak
jauh Ratu Setan.
Blarrr!
***
Juwita yang tak memejamkan matanya
terperangah melihat satu benturan tenaga dalam
luar biasa, yang menimbulkan ledakan keras.
Ratu Setan menggeram murka.
"Bangsat hina! Siapa yang berani mengha-
lang sepak terjangku, hah?!" maki Ratu Setan ke-
ras.
"Ratu Setan! Tingkahmu benar-benar
membuatku muak!"
Seruan itu disusul dengan munculnya satu
sosok tubuh kuntet.
"Mau ku pukul bokongmu yang besar itu,
hah?" makinya lagi.Lalu si tubuh kuntet yang tak lain Tapak
Darah melangkah. Dan tiba-tiba saja, tubuhnya
terjatuh bergulingan karena kakinya tersangkut
pakaian birunya yang kepanjangan.
"Bego! Kenapa sih, pakaian ini tidak ku
buang saja? Tetapi kalau ku buang, burungku bi-
sa terbang..."
Ratu Setan membelalak besar dengan kege-
raman luar biasa.
"Manusia kuntet! Kau lancang telah men-
gacaukan sepak terjangku!"
Si Tapak Darah yang sempat memancing
senyum Juwita tampak melotot.
"Enak saja kau mengejekku sembarangan!
Kalau sudah kucium, pasti minta tambah!"
"Lebih baik kau mampus saja!" Ratu Setan
menggerakkan tangan kanannya dengan marah.
Wrrr!
Serangan berhawa maut menderu ke arah
Tapak Darah. Padahal lelaki yang tubuhnya terlalu
irit ini sedang membetulkan pakaiannya.
Hlairr!
Tempat yang dipijak Tapak Darah tadi su-
dah membentuk sebuah lubang. Ratu Setan terki-
kik-kikik, karena merasa yakin kalau manusia
kuntet itu akan berkalang tanah terkena pukulan
dahsyatnya.
"Hhh! Hanya membuang waktu saja!"
Juwita sendiri terperangah melihat tubuh
manusia kuntet itu telah lenyap. Dia pun yakin,
Tapak Darah tak akan mampu menahan serangan
Ratu Setan.
Tetapi, bukan hanya Juwita yang kemu-
dian menjadi terkejut. Ratu Setan sendiri sampai
mengeluarkan teriakan keras.
Rupanya, Tapak Darah sudah berdiri di
tempat lain sambil tetap memperbaiki letak pa-
kaiannya. Sikapnya benar-benar santai, seolah tak
tahu kalau serangan Ratu Setan tadi begitu dah-
syat.
"Kau?!" pekik Ratu Setan dengan wajah
gemetar karena geram.
Seperti baru sadar apa yang terjadi, Tapak
Darah mengangkat wajahnya. Lalu kepalanya me-
noleh ke belakang, seperti orang kebingungan. Ba-
ru kemudian matanya yang bulat menatap Ratu
Setan yang menggigil menahan amarah dengan
wajah terheran-heran.
"Kau memanggilku? Nah, apa kubilang?
Belum apa-apa saja kau sudah terkesan melihat
penampilanku kan? Tetapi, maaf. Aku tak pernah
suka pada gadis mesum sepertimu!"
Ratu Setan benar-benar menggigil hebat
melihat sikap Tapak Darah. Apalagi dengan san-
tainya lelaki ini mendekati Juwita dengan sekali
gulingan tubuhnya.
"Sialan! Memalukan sekali! Di depan gadis
cantik ini, aku harus terjatuh!" makinya. Lalu tan-
gannya memegang tubuh Juwita. "Wah.... Kau ter-
luka dalam, Cah Ayu. Oh, ya. Namaku Tapak Da-
rah. Hm.... Sebaiknya beristirahat saja dulu. Nih!
Telanlah obatku yang sangat manjur."
Juwita yang merasa kalau Tapak Darah
bukanlah orang keji, menerima dua buah obat
berbentuk bulat, berwarna merah. Lalu segera di-
telannya.
"Kau pergilah. Biar aku urus gadis mesum
itu."
"Tidak! Aku ingin membunuhnya!" sahut
Juwita, berkeras.
Dan tiba-tiba si gadis merasakan hawa pa-
nas mengaliri tubuhnya. Dan perlahan-lahan, rasa
panas itu menjelma menjadi sejuk. Tubuhnya
yang terasa sakit tadi, perlahan-lahan mulai
membaik.
Tapak Darah menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Kau pergi saja sana. Biar aku...."
Belum tuntas Tapak Darah bicara....
"Kau membuatku muak, Manusia Kuntet!"
geram Ratu Setan.
Wanita yang suka mengumbar birahi ini
merasa diinjak-injak kepalanya oleh Tapak Darah.
Dan tangannya seketika mengibas kembali.
Gemuruh angin dahsyat menderu. Semen-
tara Tapak Darah menoleh sambil mengangkat
alisnya.
"Benar-benar pemarah! Aku pukul bo-
kongmu nanti!"
Wuusss!
Dengan gerakan cepat luar biasa, Tapak
Darah menyambar tubuh Juwita. Memang, meski-
pun sudah membaik, namun gadis ini masih le-
mah.
Blarrr!
Tanah berterbangan ketika pukulan Ratu
Setan menyambar ke tempat tadi Tapak Darah
dan Juwita berada. Tetapi, tubuh Tapak Darah
sudah lenyap.
Sesaat Ratu Setan celingukan dengan kege-
raman luar biasa.
"Keluar kau, Manusia Kuntet! Kau harus
mampus!"
"Kenapa sih kau memanggilku lagi? Aku
pasti akan muncul! Sudah kubilang tadi, aku akan
memukul bokongmu! Lagi pula, manusia begini
mau merebut kain pusaka milik Pendekar Slebor.
Huh! Menghadapiku saja, belum tentu mampu!"
Tiba-tiba terdengar suara keras bersama
gemuruh angin.
Wajah Ratu Setan memerah legam men-
dengarnya.
"Kau akan kuampuni bila mengatakan di
mana Pendekar Slebor berada?"
"Wah.... Kalau kau ingin menjumpainya,
mengapa harus bersusah payah? Toh ada aku,
kan? Malah aku lebih tampan?" sahut Tapak Da-
rah tanpa juntrungan.
"Katakan, di mana Pendekar Slebor bera-
da?!" desak Ratu Setan.
"Busyet! Menurut kabar, padahal aku lebih
tampan dari pada Pendekar Slebor! Kenapa justru
aku yang dijelek-jelekkan?!"
Sambil memaki tanpa juntrungan, Tapak
Darah telah muncul kembali. Kali ini tubuh Juwi-
ta tak bersamanya lagi.
Melihat kemunculan lelaki bertubuh apa
adanya itu, Ratu Setan langsung menerjang dah-
syat. Gerengannya keras sekali, membahana di
sekitar hutan ini.
"Kau ternyata punya nyali yang besar, Kun-
tet! Aku mau lihat, apakah kau mampu menahan
pukulanku!"
Sambil melenting di udara ke arah Tapak
Darah, Ratu Setan merapal ajian kesaktiannya.
Dan mendadak saja, tangannya sudah berwarna
keemasan, siap dihantamkan ke arah Tapak Da-
rah.
Wuuttt!
Sinar keemasan itu menyambar, mengelua-
rkan suara menderu. Itu adalah pukulan maut
'Setan Sambar Nyawa' milik Ratu Setan yang se-
lain mengerikan juga mengandung racun memati-
kan.
Dari sinarnya, Tapak Darah sudah dapat
menduga keganasan pukulan lawan. Maka cepat-
cepat dia melompat ke kiri. Berbarengan dengan
itu, dilontarkannya serangan balasan berupa ajian
'Tapak Darah Lima Jari' yang memancarkan sinar
berwarna merah pula.
Blammm...!
Dua pukulan sakti itu mengeluarkan suara
berdentum bagai ledakan ketika bertemu di udara.
Ratu Setan merasakan kedua kakinya bergetar
hebat, hingga membuatnya hampir jatuh kalau ti-
dak cepat-cepat menjaga keseimbangan.
Sementara yang dialami Tapak Darah, tu-
buhnya terlempar dua tindak. Dia memang berha-
sil menahan serangan maut Ratu Setan. Namun
akibatnya justru nafasnya tadi sesak dan jantung-
nya berdenyut lebih keras.
"Busyet! Bagaimana aku bisa memukul bo-
kongnya?" dengusnya.
Cepat-cepat Tapak Darah mengerahkan te-
naga dalamnya, mengatur napas dan jalan darah-
nya. Namun selagi Tapak Darah tengah melaku-
kan hal itu, Ratu Setan tanpa membuat tempo lagi
sudah mengempos tubuhnya dengan serangan
sama. Hanya saja, dengan kekuatan tenaga dalam
penuh.
Tak ada yang bisa dilakukan Tapak Darah
selain menjatuhkan diri rata dengan tanah. Na-
mun, tak urung punggungnya terhantam samba-
ran angin pukulan Ratu Setan yang panas dan
menyengat.
"Brengsek! Aku pukul bokongmu!" dengus
Tapak Darah sambil berdiri.
Sementara itu Suro Gandring dan Argo-
mulyo sedang berusaha membebaskan diri dari to-
tokan Juwita. Mereka sudah tak sabar untuk
membantu Ratu Setan dalam memusnahkan manusia kuntet itu. Pengaruh Susuk Ratu Setan se-
makin kuat menjadi-jadi membelenggu keduanya.
Di depan sana, Ratu Setan sudah siap
kembali untuk menyerang. Kali ini dengan tubuh
melesat, Tapak Darah pun melakukan hal yang
sama. Lalu....
Blammm...!
Sinar berwarna keemasan yang memancar
dari pukulan Ratu Setan bertemu kembali dengan
sinar merah milik Tapak Darah. Terdengar dentu-
man lebih dahsyat dari yang pertama. Tanah yang
terpijak seakan bergetar. Tubuh Suro Gandring
dan Argomulyo terjingkat sejenak, karena getaran
tanah itu.
Kali ini tubuh Tapak Darah terpental deras
ke belakang setelah terjuntai-juntai tak punya ke-
seimbangan. Lalu perlahan-lahan tubuhnya am-
bruk, jatuh pingsan setelah nafasnya tersengal
beberapa kali.
Sedangkan Ratu Setan tegak berdiri den-
gan pakaian bagian bawahnya sedikit hangus. Ha-
tinya nampak sangat puas. Dan tiba-tiba saja tu-
buhnya bergetar hebat, dengan wajah memerah.
Perlahan-lahan didekati tubuh Tapak Darah yang
pingsan. Hendak dihabisinya si lelaki kerdil ini.
Namun sebelum melakukannya, pandan-
gan Ratu Setan berpaling pada Suro Gandring dan
Argomulyo yang berada di sana. Seketika berkele-
bat, wanita ini sudah berada dekat dengan mere-
ka. Dibebaskannya totokan kedua budak pemuas
nafsu itu.
"Kalian seharusnya menerima hukuman,
karena tak mampu membunuh Juwita. Tetapi,
aku masih membutuhkan kalian! Sebentar! Manu-
sia kuntet itu harus mampus lebih dulu!"
Ratu Setan melangkah mendekati Tapak
Darah yang masih pingsan. Tangannya diangkat,
siap memukul hancur tubuh Tapak Darah. Na-
mun....
Wuusss!
Satu sosok tubuh telah menyambar tubuh Tapak
Darah. Ratu Setan terkejut, ketika pukulannya
menghantam angin kosong. Dia berteriak setinggi
langit. Mendadak tangannya digerakkan kembali
ke arah bayangan yang membawa lari tubuh Ta-
pak Darah.
Bummm!
Bayangan itu dengan lincah berkelit, lantas
menghilang. Tinggal Ratu Setan yang menggeram
murka.
"Keparat!" maki wanita ini dengan tubuh
semakin bergetar. Memang birahinya saat ini su-
dah memuncak. Jadi, dia tak berniat untuk men-
gejar bayangan tadi.
Wuuttt!
Tubuh Ratu Setan pun menghilang sambil
membopong tubuh kedua pemuda itu.
***
Di satu tempat, bayangan yang tadi me-
nyambar tubuh Tapak Darah mendesah panjang.
Dia tak lain cucu si Manusia Buaya. Begitu terke-
jutnya Prawitri melihat keadaan manusia kuntet
yang pingsan dengan pakaian bolong di lengan.
"Gila! Pukulan macam apa ini? Kelihatan-
nya kejam sekali," desah Prawitri. Segera dico-
banya untuk membuat sadar Tapak Darah. "Aku
yakin yang melakukannya gadis berbaju menera-
wang itu. Hhh! Aku tak tahu siapa dia. Juga, ma-
nusia kuntet ini. Tetapi, aku harus menolongnya.
Masih kudengar detak jantungnya, walaupun lemah."
Setelah melakukan pengurutan dan mem-
berikan hawa murni pada Tapak Darah, Prawitri
pun bersemadi sejenak. Namun belum tuntas se-
madinya, dilihatnya satu sosok tubuh agak ter-
huyung mendekati Tapak Darah.
Kening Prawitri sejenak berkerut melihat
gadis yang baru dating itu duduk terpekur di sisi
Tapak Darah yang pingsan.
"Siapakah Nona ini?" tanya Prawitri pelan.
Gadis berbaju kuning itu menoleh.
"Namaku Juwita."
"Kenalkah kau dengan manusia kuntet
ini?"
"Aku baru saja mengenalnya. Dia sangat
baik." Prawitri menghela napas panjang.
"Apa yang telah terjadi?"
Juwita yang tadi disembunyikan Tapak Da-
rah di tempat aman karena kesehatannya belum
membaik, segera menceritakan apa yang terjadi.
***
"Ratu Setan.... Oh, aku pernah mendengar
julukan yang santer itu. Apakah dia yang telah
menggegerkan rimba persilatan ini dengan banyak
membunuh para tokoh?"
"Ya! Ilmunya sangat tinggi. Sangat sulit un-
tuk mengalahkannya. Dan lagi..., dia mempunyai
susuk yang mampu mempengaruhi laki-laki mana
pun juga, sehingga bersedia mengikutinya tanpa
tahu apa yang tengah dilakukan."
"Juwita.... Katamu tadi, Ratu Setan bersa-
ma dua orang pemuda? Siapakah mereka?"
"Kalau tak salah namanya Suro Gandring
dan Argomulyo."
"Ohh...!"
Prawitri tersentak.
"Kenapa, Prawitri?"
"Tidak, tidak.... Lalu, apa yang terjadi?"
"Nampaknya, kedua pemuda itu berada di
bawah pengaruh Ratu Setan. Aku yakin sebenar-
nya mereka pemuda baik-baik, sama seperti yang
dialami kakakku. Tetapi karena pengaruh Susuk
Ratu Setan, mereka telah berubah pikiran. Sepe-
nuhnya mereka akan mematuhi apa yang diingin-
kan Ratu Setan."
"Juwita.... Tahukah, ke mana mereka per-
gi?" tanya Prawitri, menjadi tegang.
Diam-diam gadis ini bisa mengira-ngira,
apa yang telah terjadi. Kalau memang yang dika-
takan Juwita benar, berarti yang membunuh ka-
keknya adalah Ratu Setan. Buktinya, Suro Gandr-
ing dan Argomulyo sekarang berada di bawah pen-
garuhnya. Menggigillah tubuh gadis itu, setelah ti-
ba pada kesimpulan yang membuatnya menjadi
marah.
Juwita menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu, ke mana mereka pergi.
Ketika aku berusaha datang ke sini lagi, aku su-
dah bertemu denganmu. Dan, kakek Tapak Darah
sudah pingsan."
Prawitri berdiri.
"Kalau begitu, kita berpisah di sini. Aku
hendak mencari ratu mesum itu!"
"Hei!" seru Juwita. Namun, tubuh Prawitri
sudah berkelebat cepat.
***
7
Matahari senja dengan sinarnya yang mulai
memudar, membuat bayangan panjang di tanah
saat menerpa tubuh Pendekar Slebor. Saat ini An-
dika terus berusaha mengikuti jejak Prawitri. Tu-
buhnya terus berkelebat, dan kini hutan telah
menghadangnya. Andika segera menyusuri pinggi-
ran hutan yang cukup lebat ini.
"Walah..., ke mana gadis judes itu...? Tapi,
kasihan juga nasibnya. Siapa tahu kalau aku to-
long, aku dapat..., cup!" Andika memonyongkan
mulutnya sendiri. Mulai timbul pikiran buayanya.
Tapi bicara soal buaya, Pendekar Slebor merasa
kesulitan mencari pembunuh si Manusia Buaya.
Dia tahu, yang melakukannya adalah Ratu Setan.
Dan apa yang dikatakan Tapak Darah pun menuju
ke sana!
"Gila! Kalau aku terlambat menghentikan
sepak terjang Ratu Setan, bisa habis kaum lelaki
disikatnya...! Dasar rakus! Yang dipikirkan cu-
ma..., he he he...!"
Sambil terus melangkah, benak si pemuda
digayuti tentang perempuan yang menggegerkan
dunia persilatan saat ini dengan tingkahnya yang
penuh kemesuman.
"Siapa sebenarnya Ratu Setan? Apakah dia
menginginkan kain pusakaku ini karena kehen-
daknya, ataukah karena ada orang lain yang me-
nyuruhnya? Hmmm.... Susuk yang dimilikinya ter-
lalu membahayakan. Dia memang harus dihenti-
kan...."
Laju pikiran Andika terpenggal oleh suara
benda yang mendesing. Ketajaman telinga Pende-
kar Slebor menangkap suara-suara yang mengan-
camnya tak dapat diragukan. Ketika matanya melirik, tampak lima buah benda berbentuk gelang
berduri melesat ke arahnya.
Menghadapi serangan liar ini, tak membuat
Andika kelimpungan. Santai saja tubuhnya me-
runduk. Hasilnya, ternyata bisa mementahkan
sambaran lima buah gelang berduri.
Sambil merunduk, mata Andika mengikuti
laju lima gelang berduri. Dan bagai memiliki mata,
kelima senjata terbang itu kembali ke arah da-
tangnya tadi.
Tap!
Dengan hebatnya, satu sosok tubuh tinggi
besar berkulit hitam menangkap lima buah senja-
ta gelang berduri. Sementara di jarak sejauh em-
pat tombak. Andika mendengus begitu menyadari
kalau senjata itu milik lelaki berikat kepala putih
yang di tengahnya terdapat gambar gelang berduri.
"Kalau mau main lempar-lemparan, lihat-
lihat! Apa kau mau mengganti kepalaku kalau co-
pot?! rutuknya.
Sosok berkulit hitam dengan pakaian hi-
tam pula itu tergelak-gelak.
"Tanggalkan kain bercorak catur itu. Maka,
kau akan selamat!" gertak sosok tinggi besar itu.
Kedua alis Andika hampir bertaut, mena-
tap sosok di depannya. Siapa lagi ini? Setahunya,
saat ini yang menginginkan kain bercorak catur
miliknya hanyalah Ratu Setan? Apakah begitu ba-
nyak yang menginginkan kain pusakanya?
"Wah..., jangan dong.... Ini kan kain dari
ibuku untuk jaga-jaga kalau aku lagi ingusan...."
Wajah hitam itu semakin kelam. Mirip pan-
tat panci.
"Sekali lagi kukatakan, tanggalkan kain
bercorak catur itu! Atau, tubuhmu ingin kujadikan
sasaran gelang berduri ku!"
"Nah, ini. Aku paling suka dengan orang
keras kepala. Siapa kau ini, Orang Tinggi Besar?
Kenapa kau ingin kainku?" Andika membesarkan
suaranya, melecehkan.
"Orang-orang menjuluki aku Setan Gelang
Duri. Dan kau tak perlu tahu untuk apa kain itu.
Yang penting, laksanakan perintahku!"
"Hm.... Kalau begitu, memohonlah padaku
sambil bersimpuh. Biar aku bisa menendangmu!"
sahut si pemuda, kalem saja.
Setan Gelang Duri menggeram sambil
menggertakkan gigi-giginya mendengar sahutan
Pendekar Slebor yang seenak udelnya. Tiba-tiba
saja tangannya bergerak cepat.
Swing! Swing...!
Lima buah senjata gelang berduri berdesin-
gan, mengancam keselamatan si pemuda sakti da-
ri Lembah Kutukan. Derasnya luncuran kelima
benda itu demikian sulit terukur. Namun itu tak
membuat si pemuda jadi ciut nyalinya. Tubuh
Pendekar Slebor sama sekali tak bergeser. Entah
apakah si pemuda sableng ini sudah kebal dengan
kata kematian, atau otaknya sedang ngeres.
Sejengkal lagi, kelima senjata itu mere-
jam....
Wuuttt...!
Kelima gelang berduri hanya menebas an-
gin. Ke mana Pendekar Slebor?
"He he he..., mestinya senjatamu jangan
gelang besi. Tapi gelang karet. Pasti aku tak mela-
wan.
Sosok tinggi besar itu berbalik. Dia tak ta-
hu, kapan Pendekar Slebor berkelebat dan tahu-
tahu hinggap di atas dahan sebuah pohon.
"Kembali!"
Dengan kegusaran yang membulat, Setan
Gelang Duri membentak. Maka lima gelang itu
kembali ke arahnya. Namun begitu sampai di tan-
gannya, kembali benda-benda mematikan itu ber-
gerak ke arah Andika.
"Busyet! Tenaga dalamnya cukup tinggi ju-
ga!" dengus Andika.
Kali ini Pendekar Slebor melompat turun
dengan tubuh berputaran. Dan tiba-tiba saja tan-
gannya bergerak cepat.
Tap! Tap!
Dua gelang duri berhasil ditangkap Andika.
Sedang yang tiga lagi meluncur terus ke batang
pohon tempat Pendekar Slebor tadi menghilang.
Yang membuat Andika tercengang, pohon yang
tertanam tiga gelang duri itu mendadak mengering
dengan daun berguguran. Lalu hangus dan tum-
bang menimbulkan suara berdebam.
"Benar-benar tinggi tenaga dalamnya! Ka-
lau begitu aku tak bisa menganggap enteng.
Hiih...!"
Dengan satu dengusan, Pendekar Slebor
meremas dua gelang berduri yang dipegangnya
dengan mengalirkan tenaga 'inti petir', Seketika
dua benda berduri itu meleleh.
Bukannya mengkeret nyalinya, Setan Gelang Duri
malah menggeram. Tangannya langsung masuk ke
balik bajunya. Ketika tangannya keluar, tampak
dua gelang berduri ukuran yang sangat besar te-
lah dipegangnya. Memancarkan sinar warna hitam
yang menggidikkan.
"Berikan kain pusaka itu kepadaku!" sen-
tak Setan Gelang Duri keras. Selama aku belum
mendapatkannya, Ratu Setan tak akan pernah lagi
memberikan tubuhnya padaku!"
Sejenak Andika terdiam. Dicobanya memi-
kirkan, siapa Setan Gelang Duri sesungguhnya.
Bila mendengar julukannya, sudah jelas dari go-
longan sesat. Dan Andika pun yakin kalau lelaki
hitam itu telah terkena pengaruh Ratu Setan.
Mungkin, beberapa buah susuk milik Ratu Selan
telah bersemayam di tubuhnya.
Tetapi Pendekar Slebor mencoba untuk
menyadarkan kemarahan yang ada di tubuh Setan
Gelang Duri.
"Darah akan bersimbah sebentar lagi. Te-
tapi, jiwamu saat ini bukanlah milikmu. Kau di-
pengaruhi Ratu Setan."
Setan Gelang Duri terbahak-bahak. "Justru
dia yang ku pengaruhi. Karena, bila kain bercorak
catur milikmu kudapatkan, maka tubuhnya akan
diberikan seumur hidup kepadaku."
Memang tak guna untuk menasihati Setan
Gelang Duri. Kini Andika pun bersiap menyambut
serangan Setan Gelang Duri. Dan memang, kejap
berikutnya lelaki berkulit hitam itu sudah melesat
dengan serangan mautnya. Gemuruh angin men-
dahului serangannya. Sementara senjatanya me-
mancarkan kilatan hitam mengerikan.
Wuusss!
Andika merunduk. Namun tak urung kepa-
lanya terasa bagaikan dipapas angin keras. Tepat
ketika tubuhnya merunduk satu jotosan dilancar-
kan ke arah dada Setan Gelang Duri.
Namun di luar dugaan, Setan Gelang Duri
justru menarik pulang tangannya.
Wuuttt!
Kembali senjatanya bagaikan menjelajah
siap memapas tangan Andika bila tak cepat mena-
rik tangannya.
"Gila! Dari desir anginnya saja bulu ku-
dukku sudah meremang. Tetapi aku yakin, manu-
sia itu telah dipengaruhi Ratu Setan. Berarti, aku
harus melepaskan susuk pada tubuh lelaki hitam
ini. Tetapi, di mana letaknya?"
Andika kembali menghindari sambaran ke-
ras senjata Setan Gelang Duri dengan mengandal-
kan kecepatannya. Sesekali Pendekar Slebor me-
nyerang. Namun setiap kali menyerang, senjata di
tangan lelaki hitam itu bagaikan berkeliling men-
coba menghalanginya.
Ini sangat menyulitkan Andika. Di samp-
ing, dia juga harus menghindari sambaran-
sambaran maut dari Setan Gelang Duri. Dalam hal
ini, pertarungan memang harus dalam jarak rapat,
baru bisa menjatuhkan serangannya. Tetapi jan-
gankan untuk menyerang. Untuk mencoba masuk
saja sangat sulit dilakukan.
"Lekas kau berikan kain pusaka itu kepa-
daku?!" bentak Setan Gelang Duri sambil terus
mencecar dengan gerakan-gerakan aneh.
Andika benar-benar kehilangan bentuk se-
rangannya sekarang. Pertahanannya menjadi ka-
lang kabut ketika senjata di tangan Setan Gelang
Duri semakin menyudutkannya dengan sinar hi-
tam menyilaukan yang menggidikkan.
"Bila melihat kenyataan ini, sudah tentu
Ratu Setan memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi.
Karena, untuk mengalahkan Setan Gelang Duri
saja aku sudah kesulitan."
Tiba-tiba saja, Andika membuat gerakan
setengah lingkaran. Tubuhnya dimiringkan ketika
serangan Setan Gelang Duri melesat ke arahnya.
Bersamaan dengan itu, dibuatnya gerakan yang
mendadak..
Srettt!
Kain bercorak catur sudah terpegang Andi-
ka segera dikibaskan ke wajah Setan Gelang Duri.
Ctar!
Wajah lelaki hitam itu tersambar. Seketika
dirasakannya hawa panas menyengat wajahnya.
Bersamaan dengan itu Andika bergerak
kembali. Kain pusakanya telah tersampir kembali
di bahunya, sementara tangan kirinya menotok
pergelangan tangan Setan Gelang Duri.
Tuk!
Senjata lelaki hitam itu jatuh seketika. Dan
bersamaan dengan itu, tangan kanan Andika yang
telah terangkum tenaga 'inti petir' menjotos ke de-
pan.
Des! Des!
Tubuh Setan Gelang Duri terhuyung ke be-
lakang. Saat itu dengan sekali sentak saja Andika
bisa menghabisi Setan Gelang Duri. Namun si pe-
muda sakti ini tidak melakukannya. Dia hanya
bergerak cepat, menotok tubuh Setan Gelang Duri
hingga tak bisa bergerak sama sekali.
Namun yang mengherankan, Andika sea-
kan tak melihat Setan Gelang Duri kesakitan. Pa-
dahal, jotosannya sangat kuat tadi.
"Pengecut! Ayo, lepaskan totokanmu! Kita
bertarung sampai mampus! Ratu Setan! Sebentar
lagi aku akan mendapatkan kain bercorak catur
itu. Dan, ha ha ha.... Kau akan menjadi milikku
selamanya," teriak Setan Gelang Duri, ngelantur.
Andika yakin, rupanya Susuk Ratu Setan
benar-benar sudah bekerja di tubuh lelaki hitam
ini. Jalan satu-satunya memang harus mencari
susuk itu.
Dengan cepat Pendekar Slebor menotok
urat suara Setan Gelang Duri. Saat itu juga mulut
lelaki hitam ini ternganga. Namun, sepasang ma-
tanya melotot tajam.
Si Pemuda segera memeriksa sekujur tu-
buh Setan Gelang Duri dengan seksama. Cukup
lama juga hal itu dilakukan. Dipergunakannya te-
naga 'inti petir' untuk mengetahui hawa panas
yang lain dari tubuh Setan Gelang Duri.
Setelah beberapa saat, barulah Andika me-
nemukan di mana letak Susuk Ratu Setan. Perta-
ma, di telapak tangan kanan lelaki hitam itu. Ke-
dua, di dada sebelah kiri. Dan terakhir, di pung-
gung.
Setan Gelang Duri bagai hendak berteriak
setinggi langit ketika Andika menekan keluar su-
suk-susuk itu. Namun, tak ada suara yang keluar.
Andika hanya melihat matanya mengatup rapat-
rapat dengan tubuh bergetar. Jelas kalau lelaki itu
tengah menahan rasa sakit luar biasa!
Si pemuda sakti yang urakan ini tak mem-
pedulikannya. Dia terus menekan kuat-kuat. Dari
tempat susuk itu bersemayam, keluar darah segar.
Dengan cepat, Andika menotok tangan itu agar ti-
dak terlalu banyak yang keluar.
Karena tak kuasa menahan sakit yang luar
biasa, Setan Gelang Duri jatuh pingsan. Andika
mendesah.
"Gila! Berbahaya sekali susuk-susuk gadis
setan itu. Aku harus secepatnya menemukan Ratu
Setan, sebelum peristiwa yang lebih mengerikan
ini terjadi. Aku masih penasaran, siapakah orang
yang berada di balik kekejaman Ratu Setan?
Orang yang tentunya menginginkan nyawaku, un-
tuk mendapatkan kain pusaka warisan Ki Sapta-
cakra ini."
Pendekar Slebor segera melepaskan toto-
kan pada tubuh Setan Gelang Duri yang pingsan.
Sambil mengusap keringatnya yang mengalir, di-
perhatikannya lagi tubuh Setan Gelang Duri.
"Hmm.... Sekarang juga aku harus berang-
kat sebelum malam datang."
Seketika Andika pun bangkit, dan hendak
melangkah. Namun mendadak saja terasa satu
angin deras siap menghajar punggungnya dari be-
lakang.
Wuuuttt!
Cepat Pendekar Slebor mengegos ke samp-
ing, menghindar. Tampak Setan Gelang Duri se-
dang bangkit untuk kembali melancarkan seran-
gannya. Gila! Rupanya lelaki hitam itu memiliki
daya tahan tubuh yang kuat. Pingsannya hanya
terjadi beberapa kejapan saja.
Sambil berteriak marah, Pendekar Slebor
menjatuhkan diri ke tanah, ketika Setan Gelang
Duri meluruk ke arahnya dengan pukulan terhe-
batnya. Dan seketika si pemuda berguling ke ka-
nan, lalu kaki kanannya menendang ke arah dada
Setan Gelang Duri.
Desss...!
Terdengar pekik yang sangat keras dari la-
ki-laki hitam itu. Tubuhnya terlontar sampai dua
tombak, menabrak sebuah pohon hingga langsung
tumbang.
"Manusia bodoh!" bentak Andika marah
sambil berdiri. "Bukannya berterima kasih karena
telah kuselamatkan dari pengaruh Ratu Setan, ju-
stru kau hendak membunuhku!"
Setan Gelang Duri menggeram muak,
meskipun tubuhnya sudah sangat sulit digerak-
kan. Dadanya seolah melesak ke dalam dengan tu-
lang iga patah. Dari bibir dan hidungnya keluar
darah segar.
"Tak perlu aku berterima kasih kepadamu!
Karena..., kau menggagalkan keinginanku untuk
mendapatkan tubuh Ratu Setan selama-lamanya.
Kau harus mempertanggung jawabkan perbua-
tanmu ini, Pendekar Slebor."
"Brengsek! Begitu kuatkah pengaruh su-
suk-susuk Ratu Setan, sehingga lelaki itu masih
terpengaruh? Padahal, sudah ku buang semua su-
suk di tubuhnya?" pikir Andika. "Ataukah, masih
ada susuk lainnya yang tak bisa kutemukan?"
Tiba-tiba Andika melihat tubuh Setan Ge-
lang Duri mengejang. Dari pori-pori di bagian da-
danya mengalirkan darah. Memang, masih ada se-
buah susuk yang ditanamkan Ratu Selan di tubuh
Setan. Susuk itu terletak di antara kedua paru-
parunya.
Darah yang keluar dari pori-pori tubuh le-
laki hitam itu semakin banyak. Tak lama, terden-
gar teriakan maut, lalu perlahan-lahan melemah.
Sesaat kemudian, lepaslah nyawa Setan
Gelang Duri.
Andika menggeleng-geleng.
"Aku harus secepatnya mencari Ratu Se-
tan.
***
8
Andika terus berlari tanpa menghiraukan
kelelahan di tubuhnya. Dia merasa harus berlom-
ba dengan waktu. Ketika matahari sudah muncul
kembali, Pendekar Slebor tiba-tiba menghentikan
larinya. Keningnya berkerut melihat seorang dara
berbaju kuning sedang tidur pulas di samping seo-
rang lelaki tua bertubuh kuntet.
"Hmm, Tapak Darah. Apa yang telah terjadi
padanya? Bila melihatnya terbaring, dia bukan se-
dang tidur. Tapi, pingsan. Lalu, siapakah gadis di
sebelahnya? Kalau dia, jelas tertidur karena desa-
han nafasnya begitu lembut dan teratur," gumam
Andika.
Perlahan-lahan Andika mendekati kedua-
nya. Sialnya, kakinya menginjak sebatang ranting
hingga menimbulkan suara.
Bersamaan dengan itu, gadis berbaju kun-
ing itu terbangun. Si gadis sampai tercekal dan
melompat begitu melihat seorang pemuda beram-
but gondrong yang berdiri di dekatnya.
"Siapa kamu?" bentak gadis yang tak lain
Juwita dengan siaga, berdiri di depan tubuh Tapak
Darah yang masih pingsan.
"Tahan, Nona! Namaku Andika. Apa yang
telah terjadi?" tanya Pendekar Slebor.
"Aku tidak mengenalmu. Bila kau suruhan
Ratu Setan, aku akan bertarung denganmu sam-
pai mati!" sahut gadis itu, ketus.
Andika mendesah pelan. Secara tak lang-
sung, dia sudah diberitahu oleh gadis itu, kalau
pingsannya Tapak Darah karena perbuatan Ratu
Setan.
"Tidak usah tegang. Aku sahabat Tapak
Darah," ujar Andika sambil berlutut.
Si pemuda segera memeriksa tubuh Tapak
Darah yang hangat. Rupanya, udara dingin sema-
lam tak mengusik keadaan tubuh Tapak Darah.
"Nona, apakah kau yang mengobati Tapak
Darah? Karena, di tubuhnya telah mengalir ke-
hangatan yang mampu melindunginya dari udara
dingin?" tanya Andika.
Juwita yang melihat kalau pemuda itu me-
nunjukkan sikap bersahabat menggelengkan ke-
palanya. Sikapnya tidak setegang tadi. Di saat se-
perti ini, dia memang harus waspada. Karena tak
mustahil Ratu Setan telah mengirimkan orang-
orang suruhannya. Juwita tahu, lelaki mana pun
yang terkena susuk, akan menuruti perintah Ratu
Setan.
"Bukan.... Tetapi, seorang gadis yang ber-
nama Prawitri."
"Apa? Prawitri? Oh! Di mana dia sekarang?"
Dengan kening berkerut Juwita mencerita-
kan apa yang terjadi.
"Dia sudah pergi sejak kemarin, mengejar
Ratu Setan."
"Kacau! Aku tidak boleh terlambat. Berba-
haya sekali bila Prawitri berhasil tertangkap Ratu
Setan.
Dan semakin kuat keyakinanku, kalau ga-
dis mesum itu memiliki ilmu sangat tinggi. Menga-
lahkan Tapak Darah bukanlah pekerjaan mudah.
Tetapi, dia berhasil mengalahkannya," gumam An-
dika.
Lalu Pendekar Slebor mengobati lagi Tapak Darah
yang sampai saat ini masih pingsan.
"Bila melihat derita yang mulai membaik
ini, aku yakin Prawitri mengerti ilmu obat-obatan.
Mungkin dia mendapatkan banyak pelajaran obat-
obatan dari gurunya," jelas Pendekar Slebor sam-
bil menatap si Tapak Darah.
Andika lalu menoleh pada Juwita.
"Juwita.... Sebaiknya, kau bawa tubuh Ta-
pak Darah ke tempat aman. Di ujung masuk hu-
tan ini, aku melihat sebuah gua. Dalam waktu ku-
rang lebih lima penanakan nasi, Tapak Darah
akan siuman. Berbahaya bila berada di sini."
"Kau sendiri hendak ke mana?" tanya Ju-
wita, merasa cepat akrab dengan Andika. Sejenak
tadi perasaannya tak menentu ketika sorot mata si
pemuda menghujam sifat kewanitaannya. Dia me-
rasa secelah dinding hatinya dibelai-belai tangan
lembut.
"Aku akan menyusul Prawitri untuk men
cari Ratu Setan. Hhh! Sebenarnya gadis mesum
itu hanya menginginkan aku. Dia menghendaki
kain pusakaku ini! Tetapi, dia tak segan-segan
menurunkan tangan telengasnya dan membuat
rimba persilatan menjadi muram."
"Andika.... Di tanganmu aku berharap kau
bisa membunuh Ratu Setan. Karena, nyawa ka-
kakku hilang gara-gara dia."
"Berdoalah semoga aku berhasil. Sekarang,
bawalah tubuh Tapak Darah. Sampaikan salamku
bila dia sudah siuman."
Juwita pun mengangguk, lalu membopong
tubuh Tapak Darah yang masih pingsan. Ditatap-
nya Andika sejenak. Sementara si pemuda melihat
kerjapan gelisah di mata gadis itu.
"Terima kasih atas bantuanmu. Mudah-
mudahan kita bertemu lagi."
Wuuuttt!
Tanpa kelihatan letih atau kesusahan, Ju-
wita membawa tubuh Tapak Darah ke tempat
aman.
"Hebat! Aku yakin gadis itu bukan gadis
sembarangan. Dari gerakannya saja terbukti ke-
pandaiannya cukup hebat. Kalau saja aku tidak
hendak mencari Ratu Setan, aku ingin berlama-
lama dengannya. Hmmm.... Lebih baik aku segera
mencarinya saja."
Ketika Andika hendak mengempos tubuh-
nya, mendadak saja kedua kakinya terasa sangat
sulit diangkat. Tenaga dalamnya segera dikerah-
kan, namun kedua kakinya bagai dipantek di ta-
nah.
"Kutu monyet! Siapa yang jahil lagi ini?!"
makinya sambil mengerahkan seluruh tenaga da-
lam.
Plas!
Tubuh Andika terbebas. Dan pemuda pe-
waris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu segera
menoleh, ketika terdengar tawa bernada dingin di
belakangnya.
***
Andika melihat satu sosok tubuh dengan
wajah mengerikan. Sejenak kening pemuda tam-
pan itu mengerut melihat lelaki hanya bercawat
itu terbahak-bahak.
"Tak perlu jauh-jauh melangkah! Rupanya
yang dicari ada di sini," kata orang tua aneh itu,
terbahak-bahak.
"Hei?! Kalau mau pamer aurat kenapa ha-
rus di hadapanku?!" bentak Andika, sewot.
Orang itu tiba-tiba menghentikan tawanya.
"Pendekar Slebor! Serahkan kain pusaka
itu kepadaku!"
"Sinting! Kok ada tengkorak hidup yang
rambutnya bau busuk seperti kau ini, ya? Apakah
kau orang suruhan Ratu Setan yang mengingin-
kan kain pusaka ini?"
Sekarang lelaki tua bercawat itu terbahak-
bahak.
"Memang hebat muridku itu. Julukannya
sudah menggegerkan dunia persilatan. Ah! Aku
rindu padanya hingga akhirnya aku muncul di si-
ni. Sudah lama aku tak menikmati tubuhnya yang
indah."
Diam-diam kening Pendekar Slebor berke-
rut. Kalau begitu, apakah manusia ini guru dari
Ratu Setan?
"Mana mungkin Ratu Setan muridmu? Dia
cantik sekali. Dan kau seperti gembel kumal yang
tak pernah tercuci...."
"Keparat! Kau menghinaku, berarti berani
menantangku! Iblis Jagat Raya memang tak akan
pernah membiarkan kau hidup! Pendekar Slebor!
Berikan kain pusaka itu kepadaku?!"
Kali ini Andika mulai yakin, kalau yang
berdiri di hadapannya adalah guru Ratu Setan.
Kalau begini caranya dia harus berhati-hati dan
mempergunakan otaknya. Karena sudah pasti Iblis
Jagat Raya memiliki ilmu sangat tinggi.
Teka-teki yang ada di benak Andika selama
ini berarti mulai terpecahkan. Rupanya sepak ter-
jang Ratu Setan yang menggemparkan, didalangi
Iblis Jagat Raya.
"Menyerahkan kain pusakaku ini sangat
mudah. Tetapi, sayangnya tak akan pernah me-
nyerahkannya."
"Keparat!
Wuuusss!
Angin besar bergulung-gulung. Dan Pende-
kar Slebor memang sudah siap menghindarinya.
Dengan ringan sekali tubuhnya dibuang ke samp-
ing.
Blammm...!
Tanah yang dipijak Andika tadi menjadi se-
buah lubang mengeluarkan asap, setelah didahu-
lui ledakan keras.
"Benar-benar hebat!" desisnya dalam hati.
Tetapi bukan Andika kalau tidak mengejek. "Se-
rangan seperti kentut orang yang kebanyakan ma-
kan ubi saja dipamerkan! Lebih baik panggil mu-
ridmu! Keroyok aku! Hmm.... Aku khawatir kau
tak akan mampu menandingi kehebatanku!"
"Pemuda sialan! Mampuslah kau!"
Andika tercekat begitu tahu-tahu dua buah
bayangan tangan mendesir keras. Rupanya sambil
meluruk kedua tangan Iblis Jagat Raya yang men
jelma menjadi semacam bayangan tangan raksasa
telah mengibas, menimbulkan gemuruh luar bi-
asa.
Andika bukannya tak menyadari bahaya.
Dia sudah berusaha melompat jauh-jauh, namun
tak urung tersampok keras pula hingga tubuhnya
terpental ke belakang.
Tampaknya Pendekar Slebor demikian ter-
siksa akibat serangan ini. Bahkan belum lagi ber-
diri tegak, sambaran kedua bayangan tangan rak-
sasa itu kembali berkelebat, menimbulkan desin-
gan menggidikkan. Hanya keteguhan hati yang
membuat Pendekar Slebor masih berusaha berta-
han.
"Gila! Benar-benar ilmu iblis yang dimili-
kinya!" makinya. "Bagaimana caranya agar aku bi-
sa menghentikan serangan aneh ini?"
Dengan kelincahannya yang dipelajarinya
di Lembah Kutukan dalam menghindari samba-
ran-sambaran petir, Andika melompat ke sana
kemari. Kendati demikian, Pendekar Slebor terus
memeras otaknya. Dicobanya menghantamkan
bayangan tangan yang besar itu dengan tenaga
'inti petir' tingkat kesepuluh. Namun tak memba-
wa hasil apa-apa. Pukulannya bagai jeplos, mene-
bas angin.
Dan hal yang ditakutkan akhirnya terjadi
juga. Untuk yang kedua kalinya, tangan raksasa
itu kembali menghantam Pendekar Slebor hingga
terpental lagi ke belakang.
Andika sempat memekik kecil. Tulang
iganya terasa seperti patah. Dan dari hidungnya
mengalirkan darah. Namun dengan ketegarannya
yang patut diberi acungan jempol, dia harus kem-
bali menghindari serangan-serangan maut itu.
"Persetujuan yang kutawarkan padamu te
lah kau tolak. Kebodohan telah ada di dirimu. Ki-
ni, mampuslah!"
Setelah Iblis Jagat Raya membentak, kedua
tangan raksasanya mengibas keras ke arah Andika
yang semakin blingsatan. Wajahnya kali ini benar-
benar pias. Tenaga 'inti petir' yang dilancarkannya
tadi tak ada gunanya!
Tidak! Dia tidak boleh pasrah dan menga-
lah seperti itu. Maka dikawal teriakan keras, Andi-
ka menyongsong serangan maut itu dengan ajian
'Guntur Selaksa'. Serangan ini memang mengan-
dalkan keberanian luar biasa. Nyatanya, justru
akibatnya bertambah parah. Karena serangan
yang dilancarkan, lagi-lagi nyeplos begitu saja.
Dan....
Wusss! Buk!
Untuk ketiga kalinya Andika terpental ke
belakang. Tubuhnya terpelanting lima tombak.
Kali ini darah bukan hanya mengalir dari hidung-
nya melainkan juga dari mulutnya.
***
Kesehatan Tapak Darah kini sudah ber-
tambah pulih. Malah telah siuman dari pingsan-
nya. Begitu sadar dia terkekeh-kekeh, melihat seo-
rang gadis manis duduk bersimpuh di sisinya. Wa-
jah gadis ini kelihatan sangat gembira begitu meli-
hat Tapak Darah sadar.
"Nah, nah.... Apakah aku sudah berada di
surga dan ditemani seorang bidadari?"
Juwita memasang senyum.
"Kau masih ada di dunia, Kek. Kau masih
hidup. Dan aku bukan bidadari," sahut Juwita.
"Aku tahu, aku tahu. Kau pasti gadis yang
kutolong dari maut ketika Ratu Setan hendak
menghajarmu, bukan? Ah! Aku jadi tidak enak
mengatakan kalau aku telah menolongmu. Hei?
Apakah kau telah menolongku?"
Juwita menggeleng. Diceritakannya siapa
yang telah menolong Tapak Darah.
"Brengsek! Aku jadi berhutang budi pada
Pendekar Slebor! Kau tahu, di mana dia?" cerocos
lelaki kerdil ini.
"Dia mencari Ratu Setan, Kek."
"Berbahaya! Ilmu Ratu Setan sangat tinggi,
meskipun aku yakin kalau Pendekar Slebor akan
mampu menandinginya. Ihh! Gadis setan itu ter-
nyata sangat cantik. Sayang hatinya kejam. Kalau
tidak, aku mau mengawininya...."
Juwita menekap tangannya ke mulut agar
tidak tertawa.
"Lucu sekali kakek kuntet ini," pikirnya.
Tapak Darah kini merasa kesehatannya
benar-benar pulih. Apalagi setelah bersemadi.
"Sebaiknya, aku segera menyusul Pendekar
Slebor. Aku ingin membalas perlakuan Ratu Se-
tan. Kurang ajar sekali! Sampai-sampai membua-
tku pingsan. Memalukan. Uhh! Aku juga gagal
memukul bokongnya yang montok itu...."
"Kalau kau hendak mencari Ratu Setan,
aku ikut Kek."
"Tidak usah."
"Kek! Aku pun punya kepentingan yang
sama denganmu untuk membunuh Ratu Setan.
Kakak kandungku meninggal gara-gara dia."
"Huh! Perempuan memang merepotkan!"
gerutu Tapak Darah.
Lelaki kerdil ini melangkah. Tetapi sesaat
terguling, karena kakinya menginjak pakaiannya
yang panjang. Dan ini membuat Juwita terpingkal.
"Brengsek! Hei? Kenapa tertawa? Lucu ya?
Lucu?"
Juwita semakin keras tertawa. Dia tidak
malu atau curiga lagi dengan manusia kuntet itu.
Karena dia tahu, sesungguhnya manusia kuntet
berjuluk Tapak Darah sangat baik.
"Bukan maksudku untuk menertawakan-
mu, Kek" kilah Juwita.
"Tetapi kau sudah tertawa," terabas Tapak
Darah.
"Apakah aku harus menarik tawaku kem-
bali?"
"Pintar omong! Kau pantasnya menjadi istri
Pendekar Slebor yang bisa ngomong itu!"
Kali ini Juwita mendadak saja terdiam. Ti-
ba-tiba saja di benaknya membayang wajah tam-
pan Pendekar Slebor. Ah! Dalam sekali jumpa
yang hanya beberapa saat saja, sesungguhnya dia
sudah tertarik pada pemuda tampan itu.
"Nah, nah.... Wajahmu memerah? Berarti
kau memang mencintainya, kan?" ledek Tapak Da-
rah.
"Kau ini ada-ada saja, Kek."
"Hmm.... Kalau kau tidak mau dengannya,
aku yang tampan ini bersedia mengawinimu? Te-
tapi, tidak usah ya? Aku masih terlalu ganteng un-
tuk menjadi suamimu. Jangan-jangan kau malah
makan hati kalau banyak gadis cantik berdekatan
denganku. Apa kau sudah siap untuk cemburu?"
Kali ini Juwita tertawa lepas.
"Brengsek! Dia tertawa lagi?" dengus Tapak
Darah dalam hati. "Apakah dia bilang aku ini je-
lek, tidak tampan dan gagah? Kurang ajar!"
Lalu Tapak Darah melotot garang pada Ju-
wita.
"Biarpun kepentingan kita sama, kita jalan
saja sendiri- sendiri. Kalau kita berdua, bila berjumpa gadis cantik, pasti tidak akan mau berdeka-
tan denganku. Karena dia, menyangka kau adalah
kekasih atau istriku."
Juwita tambah tergelak- gelak. Lalu dengan
tak acuhnya diikutinya langkah Tapak Darah. Se-
mentara si lelaki kerdil tiba-tiba berhenti melang-
kah.
"Ampun, nih gadis! Tadi sudah kukatakan
alasanku tak ingin berjalan bersamamu, bukan?
Kepalamu keras benar, sih? Apa kau memang su-
dah siap menanggung cemburu?"
Juwita hanya terdiam saja, memasang wa-
jah memelas. Tak dipedulikannya ketika Tapak
Darah marah-marah dan menghentikan langkah-
nya lagi.
"Kau ini kenapa sih? Kok, masih nekat juga
ingin bersama-samaku yang ganteng ini?"
Juwita tetap terdiam dengan wajah meme-
las. Biar bagaimanapun juga, dia merasa hidup
seorang diri di dunia ini. Meskipun sifatnya aneh,
namun Juwita yakin kalau sesungguhnya manu-
sia kuntet itu memiliki hati mulia. Lebih baik, dia
selalu bersama Tapak Darah yang ucapan-
ucapannya selalu memancing tawa.
"Perempuan! Bisanya cuma merajuk!" ben-
tak Tapak Darah. "Iya, iya! Aku tahu, kau akan di-
am dan memasang wajah merajuk! Tetapi, ingat!
Jangan cemburu bila ada gadis cantik yang berde-
katan denganku?"
Juwita cepat-cepat mengangguk. Dia be-
nar-benar merasa senang dengan Tapak Darah.
Lalu, diikutinya langkah lelaki itu yang sesekali
terguling karena menginjak ujung baju birunya
yang panjang.
Dan mendadak, terdengar suara bentakan
keras dan angin menderu kencang.
Dada Tapak Darah bergetar.
"Kali ini jangan keras kepala! Kau tunggu
aku di sini. Ada sesuatu yang tak beres di sana,"
ujar lelaki kerdil ini.
Meskipun ingin mengetahui apa yang ten-
gah terjadi, Juwita hanya mengangguk. Dan dia
melihat bagaimana ccpatnya Tapak Darah berke-
lebat.
"Sejak aku turun gunung bersama Kang
Prasetyo, baru kali ini aku melihat tokoh yang
sangat aneh. Kalau berjalan, dia selalu terguling.
Tetapi tadi..., dia bisa berkelebat laksana kilat.
Mungkin, masih banyak lagi tokoh aneh yang sakti
di tanah Jawa ini."
Sementara itu Tapak Darah sudah tiba di
tempat asal suara yang tadi didengarnya. Kening-
nya berkerut tajam melihat pertarungan antara
Pendekar Slebor dengan lelaki bercawat yang di-
dengarnya menjuluki dirinya Iblis Jagat Raya. Se-
jenak laki-laki kuntet itu berpikir keras untuk
mengetahui, siapa Iblis Jagat Raya.
Serangan-serangan yang dilancarkan lelaki
bercawat itu pada Andika bagaikan membuat ta-
nah yang dipijak bergetar hebat.
"Gila, ilmunya sangat hebat sekali," desis
Tapak Darah. "Aku harus cepat menolongnya bila
pemuda konyol itu sudah benar-benar terdesak.
Yah..., sekalipun I nonton pertunjukan gratis.... He
he he...."
***
9
"Nyawamu sudah berada di ujung tanduk!
Kain bercorak catur akan menjadi milikku!" dengus Iblis Jagat Raya.
Tubuh Andika semakin limbung. Matanya
memancarkan sinar amarah yang tinggi.
"Biar kau rencah tubuhku, tak akan per-
nah aku memberikan kain pusaka ini!" tekad An-
dika.
"Anak setan! Mampuslah kau!"
Kali ini serangan Iblis Jagat Raya lebih
dahsyat dari semula. Kedua bayangan tangan rak-
sasa yang melesat itu menderu-deru mencari sasa-
rannya. Kali ini, dengan hanya sekali kepruk saja
bisa dipastikan pemuda sakti ini akan menemui
ajal.
Akan tetapi, di saat yang sangat gawat,
mendadak saja Andika bergulingan ke kanan dan
kiri. Tangannya bergerak cepat.
Ctar!
Blarrr!
Bayangan tangan raksasa itu mendadak
saja sirna. Lalu tahu-tahu menjelma menjadi asap.
Wajah Iblis Jagat Raya memerah dalam dengan
mata kelabu seperti melompat keluar.
"Kain bercorak catur!" teriaknya.
Andika mendesah lega. Buru-buru perna-
pasannya diatur. Tadi, dengan gerakan yang san-
gat cepat pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan telah menyambar kain pusaka bercorak
catur yang tersampir di lehernya, dan langsung
dikibaskan disertai aliran seluruh tenaga dalam-
nya.
Hasilnya sungguh luar biasa. Karena
bayangan tangan raksasa yang menderu-deru ke
arahnya tersampok dan menjadi asap.
"Bukankah ini yang kau inginkan?" desis
Andika mencibir. Lalu digerakkan-gerakkannya
kain bercorak catur itu dengan sikap penuh ejekan. "Memang hebat kain pusakaku ini. Sayang-
nya, tak pantas berada di tangan manusia jelek
sepertimu. Kalau kau tampan sedikit saja, aku
pasti akan memberikannya. Tetapi bila kau me-
mang menghendakinya, boleh saja merasakan ke-
hebatan kain pusakaku ini!"
"Pemuda setan!" geram Iblis Jagat Raya
sampai kedua kakinya amblas ke tanah.
Andika tercekat melihatnya.
"Busyet! Apakah dia sedang menahan ma-
rah, atau sedang menahan buang air sih?" gumam
Andika. tatapan matanya tajam menusuk ke arah
Iblis Jagat Raya. "Kau lihat kain pusaka ini? Di
dunia ini, hanya seorang saja yang memilikinya.
Dan orang itu sangat tampan tak ada duanya."
"Keparat!"
Wusss!
Seketika tangan Iblis Jagat Raya mengibas.
Pada saat yang sama, Andika pun menggerakkan
tangannya yang menggenggam erat kain pusaka
warisan Ki Saptacakra.
Blarrr!
Tenaga dalam itu beradu di udara. Kali ini,
serpihan angin deras menderu ke arah Iblis Jagat
Raya. Tokoh jelek itu merunduk, namun tak urung
rambutnya sedikit terpapas.
"Bagus sekali!" desis Andika tertawa. Dan
kesempatan itu dipergunakan untuk mengatur na-
fasnya lagi. "Kau tak perlu mencari tukang cukur
di kotapraja, Jelek. Tetapi ya, mana ada yang mau
mencukuri rambutmu? Baunya saja, lebih anyir
daripada selokan mampet! Eh, kau masih mau
memiliki kain pusakaku ini tidak? Kalau begitu,
ambillah!"
Sehabis berkata begitu, Andika mendahu-
lui menyerang. Dan memang inilah kesempatan
satu-satunya di saat mempergunakan kain berco-
rak catur yang sangat ampuh itu. Dengungan ke-
ras disertai gemuruh angin menderu meluruk ke
arah Iblis Jagat Raya.
Dan sungguh di luar dugaan, Iblis Jagat
Raya tak berani memapaki. Justru lelaki tua ber-
cawat itu kini menghindarinya.
Namun bukan berarti tokoh berwajah bu-
ruk ini tak mampu menandingi Andika. Karena di
saat melompat itu, tangannya bergerak kembali.
Wuusss!
Serangkum angin deras menerpa ke arah
Andika. Dan sambil membentak keras, Pendekar
Slebor mengibaskan kain pusakanya.
Blarrr!
Kembali ledakan terdengar. Andika sampai
memejamkan matanya, karena ledakan itu me-
nimbulkan desing angin tajam yang mengarah ke-
padanya. Tak sempat lagi desingan itu dihindari.
Dan lagi-lagi tubuhnya terpental ke belakang.
Sementara lelaki tua bercawat itu hanya
tertawa tergelak keras.
"Kini nyawamu tak akan kuampuni, Pen-
dekar Slebor!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Iblis Jagat
Raya melesat. Kedua tangannya membentuk ca-
kar, siap mencengkeram leher dan mencabik-cabik
tubuh Andika.
Akan tetapi, tiba-tiba saja satu sosok tu-
buh telah melesat menyambar tubuh Andika. Di-
buatnya lompatan dua kali tindak, lalu menghi-
lang secepat angin.
Tangan Iblis Jagat Raya yang hanya berha-
sil mencengkeram sebatang pohon langsung han-
gus. Betapa murkanya dia. Kedua tangannya lang-
sung mengibas ke sana kemari, menghancurkan
pepohonan yang ada di sana hingga seketika men-
jadi debu.
"Ke mana pun pergi kau harus mampus,
Pendekar Slebor!" desis Iblis Jagat Raya lalu mele-
sat pergi.
***
Andika benar-benar tidak menyangka den-
gan kemunculan Tapak Darah yang menyela-
matkannya. Meskipun tadi sebenarnya dia sudah
siap untuk mengibaskan kain pusakanya.
"Kau harus berterima kasih kepadaku,"
tuntut Tapak Darah sambil membanting tubuh
Andika ke tanah.
Andika hanya nyengir saja. Lalu dengan
gaya bercanda, dia berlutut. Agak membungkuk
sedikit, hingga tubuhnya lebih rendah dari Tapak
Darah.
"Hamba berterima kasih pada Paduka yang
Mulia."
Justru Juwita yang tergelak-gelak menden-
garnya. Sementara Tapak Darah mengangkat da-
gunya jumawa. Lalu tangannya diselipkan ke balik
pakaian gombrongnya.
"Kalau tadi kau yang menolongku, seka-
rang giliran aku. Nih! Telan bulatan tahi kambing."
Andika hanya nyengir saja mendengar ka-
ta-kata itu. Lalu ditelannya tiga buah obat pulung
yang mirip tahi kambing.
"Kesaktian Iblis Jagat Raya sangat luar bi-
asa," katanya setelah mengatur napas. "Begitu pu-
la yang dimiliki Ratu Setan. Untuk mengalahkan
mereka, hanya ada satu cara."
"Kalau ngomong memang enteng! Apa ren-
canamu?"
Andika mengangkat bahunya. "Aku tidak
tahu, apakah punya rencana atau tidak," sahut
Pendekar Slebor enteng.
"Iya, apa rencanamu?"
"Kalau kuberitahu, jangan-jangan kau bisa
mengacaukannya."
"Brengsek! Hei, Juwita! Kau buktikan sen-
diri kata-kataku, kan?" sentak Tapak Darah.
Juwita menjadi tergagap. Betapa tidak. Dia
hampir saja dipergoki sedang menatap Andika!
"Buktikan apa, Kek?" tanya Juwita setelah
berhasil menguasai hatinya.
"Kau pandai omong. Dan pemuda gem-
blung ini juga. Kan tadi kubilang, kau pantasnya
menjadi istri dia. Dia juga pantasnya menjadi su-
amimu. Nah, cocok kan? Kalau kalian bertengkar,
pasti tak ada yang menang dan kalah."
Lalu bagai lucu dengan kata-katanya sen-
diri, Tapak Darah tertawa tergelak.
Juwita memerah wajahnya. Sementara An-
dika tertawa.
"Kalau aku sih mau saja. Tetapi, apa dia
mau?" seloroh Pendekar Slebor.
"Siapa bilang dia mau, hah?! Untuk apa
menjadi istrimu yang slebor begini?"
Andika kembali tertawa keras. Kesehatan-
nya benar- benar sudah pulih sekarang ini. Ru-
panya, obat yang diberikan Tapak Darah sangat
manjur.
"Kalau begitu, kita berpisah di sini. Aku
akan memata-matai Ratu Setan dan Iblis Jagat
Raya. Terutama, si Prawitri. Biarpun kedua guru
dan murid itu memiliki tian yang tinggi, aku akan
tetap menghalangi sepak terjangnya. Terutama,
Susuk Ratu Setan yang mampu membuat lelaki
mana pun juga berada di bawah pengaruhnya."
"Jangan pergi dulu!" bentak Tapak Darah.
"Bagaimana dengan Juwita?"
"Wah! Kek..., aku tahu kau sebenarnya
tengah mengolok-olok aku untuk menutupi kein-
ginanmu yang sebenarnya, kan?"
"Lho? Apa maksudmu, Bor?"
"Kau sendiri yang mau dengannya, kan?"
"Sialan!"
Tapak Darah menggerakkan tangannya pa-
da Andika.
Wusss!
Tetapi, Andika sudah menghilang begitu
saja.
Sementara Juwita menunduk saja.
"Hei? Kau tidak usah bersedih. Dia hanya
pura-pura saja. Masa sih, dia tidak mau dengan-
mu yang cantik ini?" ledek Tapak Darah yang ju-
stru membuat wajah Juwita menjadi merah dadu.
"Sudah, sudah.... Lebih baik kita susul si Slebor
itu. Kalau dia tidak mau, akan ku kemplang kepa-
lanya."
"Kek! Mengapa tahu-tahu kau jadi sibuk
menjodohkan aku dengannya?" tanya Juwita, me-
nutupi rasa malunya.
"Jadi, kau tidak mau dengannya? Kalau
begitu, ya tidak apa-apa. Tetapi, ingat! Jangan
cemburu kalau berjalan bersamaku, ya?"
Juwita cuma tersenyum saja.
***
10
Prawitri mendadak menghentikan larinya.
Di hadapannya telah berdiri menghadang dua so-
sok tubuh. Sebentar lagi, malam akan datang.
Tempat gadis ini berada, ditumbuhi pepohonan
yang tinggi besar.
"Hmm.... Siapa dua pemuda ini? Bila meli-
hat sikapnya, sudah jelas keduanya tak bersaha-
bat sama sekali," gumam Prawitri dalam hati.
Sementara kedua pemuda itu melangkah
dengan sikap siap menerkam. Wajah mereka yang
tampan, berbinar-binar berbalur birahi menggele-
gak. Keduanya tak lain dari Suro Gandring dan
Argomulyo, yang kini benar-benar berada di ba-
wah pengaruh Ratu Setan.
"Siapa kalian?" bentak Prawitri.
Tak ada yang bersuara. Namun tiba-tiba
saja Suro Gandring sudah bergerak cepat, seperti
menyergap.
"Manusia yang ingin melakukan perbuatan
hina!" dengus Prawitri dalam hati. "Perjalanan un-
tuk mencari Ratu Setan ternyata tidak mudah.
Dengan munculnya kedua pemuda ini, bisa-bisa
hanya menghambatku saja."
Ketika setengah tombak lagi serangan
sampai, dengan sigap gadis itu menghindar den-
gan melompat kesamping. Namun belum lagi
mendarat, Argomulyo telah melesat mengejar.
"Sial!" maki Prawitri. Masih melayang di
atas, si gadis memutar tubuhnya. Seketika, ka-
kinya bergerak cepat sekali.
Buk!
Tubuh Argomulyo terpelanting jatuh. Na-
mun dengan gerengan keras, pemuda itu segera
melompat kembali. Bersamaan dengan itu, Suro
Gandring pun sudah meluruk ke arah Prawitri.
Sambil membentak-bentak keras, Prawitri
menghindar dengan sesekali membalas. Tak tera-
sa, lima jurus sudah berlangsung. Namun, belum
ada tanda-tanda yang kalah.
Namun pada jurus berikutnya, Prawitri
terkejut ketika melihat kedua pemuda itu kini me-
nyerang dengan kibasan kaki.
"Gila! Apakah mereka murid kakek? Meski-
pun aku tak mempelajari jurus 'Buaya Kibaskan
Ekor', tapi aku tahu kalau jurus itulah yang diper-
gunakan mereka. Hm... Jadi inikah yang bernama
Argomulyo dan Suro Gandring? Menurut Juwita,
kedua pemuda ini berada di bawah pengaruh Ratu
Setan? Kalau tidak kukalahkan, justru aku yang
akan mampus!"
Jurus 'Buaya Kibaskan Ekor' benar-benar
sangat dahsyat. Beberapa kali Prawitri harus be-
rusaha mengeluarkan segenap kemampuan untuk
menghindari sambaran kaki yang penuh tenaga
dan angin menderu keras.
Sulit bagi Prawitri untuk menghentikan se-
rangan keduanya. Namun, dia mencoba cara lain.
"Kakang Suro Gandring dan Kakang Argo-
mulyo! Hentikan semua ini! Aku Prawitri!"
Seketika, serangan kedua pemuda ini ter-
henti. Lalu bagaikan keheranan, keduanya mena-
tap Prawitri. Kesempatan itu segera dipergunakan
cucu si Manusia Buaya untuk menyadarkan.
"Kakang berdua! Aku Prawitri, cucu guru
kalian si Manusia Buaya. Kita bersaudara, Ka-
kang. Tak perlu kita bersilang sengketa sekarang
ini. Sadarlah! Aku tahu, kalian berada di bawah
pengaruh Ratu Setan. Justru Ratu Setan yang ha-
rus kita bunuh! Karena, dia telah membunuh guru
kalian!"
Kedua pemuda itu jelas sekali kebingun-
gan, dengan kening berkerut. Sementara Prawitri
masih mencoba menyadarkan.
Namun tiba-tiba....
"Untuk apa kalian bermurah hati pada ga-
dis itu? Siapa yang berhasil membunuhnya, kalian
akan mendapatkan tubuhku."
Terdengar tawa mengikik dingin.
***
"Ratu Setan!" sebut Prawitri, keras.
"Rupanya cucu si Manusia Buaya yang
muncul. Ah! Tak kusangka kalau si Manusia
Buaya memiliki cucu rupawan seperti ini."
"Perempuan hina! Kau harus membayar
nyawa kakekku!"
"Sayang sekali, justru nyawamu yang hi-
lang hari ini!" sahut Ratu Setan, sambil tergelak-
gelak.
Merahlah wajah Prawitri. Tiba-tiba saja,
tangannya berkelebat cepat.
Sing!
Sebuah benda mirip kelereng menderu ke
arah Ratu Setan.
"Cih! Ilmu yang hanya dipunyai anak-anak
kecil!" dengus Ratu Setan.
Sambil berkata demikian, wanita berhati
telengas ini mengibaskan tangannya. Maka selarik
sinar warna merah menderu memapas mutiara
yang memancarkan sinar warna keperakan.
Blarrr!
Satu ledakan keras terdengar. Namun saat
Ratu Setan mengibaskan tangannya tadi, Prawitri
sudah menggerakkan tangannya kembali sambil
melompat ke samping. Kali ini, tiga buah mutiara
menderu-deru mengeluarkan sinar yang menggi-
dikkan.
Ratu Setan menggeram sambil berjumpali-
tan. Serangan senjata rahasia Prawitri tak mengenai sasarannya, Dua butir mutiara tadi hanya
menghantam tanah yang dipijak Ratu Setan hing-
ga berkubang. Dan seketika, butiran pasir menge-
pul keras setelah didahului ledakan keras. Semen-
tara butiran mutiara lainnya menghantam sebuah
pohon hingga langsung hangus seketika.
"Rupanya kau memang mempunyai sedikit
ilmu lumayan!" dengus Ratu Setan, menatap sen-
git.
"Kau akan tahu, siapa diriku ini!"
Srrrt!
Prawitri meloloskan selendang perak dari
pinggangnya.
"Aku ingin tahu, sampai di mana keheba-
tanmu!"
Seketika, gadis ini berkelebat menderu
kencang sambil menggerakkan tangan kirinya. Ti-
ga butir mutiara kembali menderu ke arah Ratu
Setan.
Ratu Setan terkikik keras. Tubuhnya sege-
ra berjumpalitan, menghindari tiga butir mutiara
yang lebih dulu menderu ke arahnya. Saat itu ju-
ga, ledakan tiga kali berturut-turut terdengar.
"Suro Gandring dan Argomulyo, untuk apa
kalian berdiam diri? Bunuh perempuan itu!"
Begitu mendengar perintah Ratu Setan,
bagai kerbau dicocok hidungnya kedua pemuda
itu menyerang Prawitri dengan jurus 'Buaya Ki-
baskan Ekor'.
Gadis cucu si Manusia Buaya sejenak
mendengus. Dia benar-benar tak ingin bertarung
dengan kedua murid kakeknya. Namun keadaan
semacam ini sangat sulit dielakkan lagi. Terutama,
mengingat serangan-serangan maut yang dilaku-
kan kedua pemuda itu.
Mau tak mau Prawitri pun membalas se
rangan. Sementara Ratu Setan cekikikan keras
sambil menyaksikan jalannya pertarungan. Jalan
satu-satunya, Prawitri memang harus melumpuh-
kan dua pemuda itu. Paling tidak, mencoba men-
cari celah untuk menyerang Ratu Setan.
Ctar!
Buk! Buk!
Selendang perak Prawitri yang gemulai itu
mulai menyambar tubuh kedua pemuda ini hingga
bergulingan ke belakang. Dan masih melenting di
udara, Prawitri meluruk masuk ke arah Ratu Se-
tan.
"Sialan!" maki Ratu Setan. Dan....
Tubuh wanita berhati mesum itu bergetar
laksana setan. Tahu-tahu sudah disongsongnya
serangan Prawitri. Tubuhnya tahu-tahu telah be-
rada di bawah tubuh Prawitri. Dua jotosannya
mengandung tenaga dalam hebat langsung dile-
paskan.
Des! Des!
Dua hantaman mendarat di dada Prawitri
hingga terjajar ke belakang. Bila saja tidak memi-
liki keseimbangan tinggi, bisa dipastikan gadis itu
sudah tersungkur.
"Keparat!" makinya sambil mengusap darah
yang keluar dari mulut.
"Hhhh! Pekerjaan yang membuang waktu
saja!" maki Ratu Setan. "Yang kubutuhkan bukan-
lah nyawamu. Tapi, nyawa Pendekar Slebor!"
"Peduli setan apa maumu! Mengapa kau
membunuh kakekku, hah?"
"Karena aku membutuhkan kedua murid-
nya untuk kujadikan pemuas nafsuku...!"
"Kurang ajar! Jaga lehermu!"
Prawitri sudah menderu cepat laksana ki-
lat. Selendangnya yang dialiri tenaga dalam dikibaskan, hingga menimbulkan ledakan berkali-kali.
Tetapi orang yang menjadi sasaran selalu berhasil
menghindar. Bahkan melakukan gerakan tak ka-
lah mengerikan penuh hawa kematian.
Prawitri menggeram meskipun tahu kalau
tak akan mampu menandingi kehebatan Ratu Se-
tan. Namun biar bagaimanapun juga, hatinya tak
pernah gentar.
Kini gadis cucu si Manusia Buaya tahu ka-
lau sesungguhnya Ratu Setan membuat keka-
cauan hanya untuk memancing Pendekar Slebor.
Dan dia berusaha keras untuk melumpuhkan wa-
nita telengas itu dengan serangan-serangan penuh
gerak tipu, berkecepatan tinggi.
Namun tiba-tiba Ratu Setan membuat satu
putaran tubuh di udara, tepat ketika Prawitri baru
saja melepas serangan. Lalu mendadak saja tubuh
Ratu Selan meluruk, melepas satu jotosan keras.
Des!
Kali ini tubuh Prawiti benar-benar tersung-
kur. Dan gadis itu benar-benar sudah tak kuasa
untuk bangkit. Sementara, Suro Gandring dan Ar-
gomulyo berdiri tegak, tinggal menunggu aba-aba.
Keduanya telah diluluhi lagi oleh birahi yang san-
gat menyesakkan. Mereka semula menginginkan
tubuh Prawitri, Namun dengan munculnya Ratu
Setan di sisinya, mereka kembali menginginkan
tubuh junjungannya.
"Kini, mampuslah kau!"
Tanpa bergerak dari berdirinya, Ratu Setan
menggerakkan tangannya.
Wusss!
Serangkum angin berhawa merah menderu
keras ke arah Prawitri. Namun sebelum serangan
itu sampai, dari tempat lain melesat serangkum
angin pula menghalangi serangannya.
Blammm...!
Terdengar ledakan keras, membuat Ratu
Setan tersentak. Kepalanya langsung menoleh ke
arah datangnya angin keras tadi.
"Kau?" seru Ratu Setan dengan gembira.
Prawitri juga melihat satu sosok tubuh
yang baru datang. Bertubuh kerempeng dengan
rambut panjang, menebarkan bau busuk dan
hanya mengenakan cawat.
"Telah lama aku mencarimu, Manis...."
Ratu Setan bagai anak kecil yang menda-
patkan gula-gula menghampiri sosok bercawat
yang tak lain Iblis Jagat Raya.
"Oh.... Aku sudah merindukanmu sekali...,"
desah wanita telengas ini penuh birahi yang men-
dadak bergejolak. Lalu tanpa malu-malu, dici-
uminya wajah tirus mengerikan itu.
"Sabar, sabar, Manis.... Aku pun sudah tak
tahan. Hmm.... Siapakah gadis itu? Dan, siapa pu-
la dua pemuda yang menatapku dengan sinar
cemburu?"
"Gadis itu adalah Prawitri, cucu si Manusia
Buaya yang telah kubunuh. Sementara, dua pe-
muda itu telah menjadi budakku," jelas Ratu Se-
tan dengan tatapan mesra.
"Rupanya kau telah memasukkan susuk-
mu, bukan?"
Ratu Setan mengangguk-anggukkan kepa-
lanya, "Sebentar, aku akan membunuh gadis ke-
parat itu."
"Tahan dulu. Apakah kau sudah bertemu
Pendekar Slebor?"
Kali ini Ratu Setan menundukkan kepa-
lanya.
"Mengapa kau menunduk, hah? Apakah
kau tidak berhasil mengalahkannya?" bentak Iblis
Jagat Raya.
"Maaf, maafkan aku. Aku belum bertemu
dengannya, Guru," sahut Ratu Setan tergagap.
"Bodoh! Bodoh sekali!" bentak Iblis Jagat
Raya lagi dengan suara menggelegar. Tetapi sesaat
kemudian dirangkulnya Ratu Setan. "Maafkan
aku, Manis ... Aku telah membuatmu takut. Tidak
apa-apa kalau kau belum bertemu dengannya.
Toh, aku sudah tidak lagi membutuhkan kain pu-
saka itu."
"Oh.. Mengapa?" tanya Ratu Setan kepada
lelaki kerempeng itu.
"kau tidak perlu banyak tanya! Aku me-
nyuruhmu untuk melupakan kain pusaka milik
Pendekar Slebor. Itu hanya untuk menguji kese-
tiaanmu!" tegas Iblis Jagal Raya.
"Ohh! Aku akan selalu setia kepadamu,
Guru."
"Aku tahu, aku tahu.... Sekarang kita kem-
bali saja."
"Guru, aku ingin sekali.... Aku membutuh-
kanmu...," rintih Ratu Setan.
"Ha ha ha.... Aku pun telah lama mengin-
ginkannya."
"Manusia hina keparat! Lepaskan Ratu jun-
jungan kami itu!"
Mendadak terdengar bentakan keras. Suro
Gandring dan Argomulyo sudah berdiri sigap den-
gan tatapan nyalang.
Sementara Prawitri yang tengah mempergunakan
kesempatan itu untuk memulihkan tubuhnya,
menghela napas panjang. Rupanya kedua murid
kakeknya benar-benar sudah berada di bawah
pengaruh Ratu Setan. Terbukti, sikap mereka
tampak garang dan menginginkan Ratu Setan.
Keadaan sekarang benar-benar sangat
mengerikan. Untuk mengalahkan Ratu Setan saja,
sudah tidak mudah. Apalagi sekarang bersama le-
laki bercawat yang mengerikan itu.
***
Ratu Setan melepaskan rangkulannya pada
Iblis Jagat Raya.
"Jangan gegabah! Yang ada di sampingku
ini guruku, junjungan kalian!" bentak Ratu Setan.
"Kami tidak peduli! Tak seorang pun yang
kami perkenankan untuk menyentuh tubuhmu!
Kau milik kami!" bantah Suro Gandring.
"Keparat! Hentikan ocehan busuk itu!"
"Tidak! Sebelum kami bunuh manusia jelek
itu, kami tak akan pernah diam!"
Wusss!
Ratu Setan menggerakkan tangannya. Se-
ketika serangkum angin merah langsung menderu
kencang, menghantam Suro Gandring dan Argo-
mulyo secara bersamaan. Akibatnya, tubuh kedu-
anya pun terpental lima tombak dan jatuh ping-
san.
"Memalukan!" maki Ratu Setan. Lalu kepa-
lanya berpaling pada Iblis Jagat Raya. "Maafkan
aku, Guru.... Mereka memang bodoh."
Iblis Jagat Raya hanya terbahak-bahak sa-
ja. Sementara Prawitri menggeram hebat.
"Gadis mesum keparat! Kau harus mam-
pus!" bentak Prawitri.
Mendengar kata-kata itu, Ratu Setan siap
menggerakkan tangannya kembali. Namun, tinda-
kannya dihalangi Iblis Jagat Raya.
" Mengapa, Guru?" tanya wanita itu tak
mengerti.
"Apakah kau cemburu bila kukatakan aku
menginginkan gadis itu?"
Ratu Setan tersenyum. Tubuhnya direbah-
kan di dada Iblis Jagat Raya.
"Sudah tentu tidak. Asalkan, kau meme-
nuhi dulu keinginanku ini...."
"Bagus, bagus.... Tak akan pernah kulupa-
kan itu, kalau aku pun menginginkanmu."
Prawitri sudah menggigil hebat menahan
marah melihat sikap kedua manusia itu. Apalagi
mendengar kata-kata yang diucapkan Iblis Jagat
Raya. Amarahnya tak mampu ditahan. Tubuhnya
seketika sudah melesat cepat ke arah keduanya.
Namun tanpa melepaskan rangkulannya
dari tubuh Iblis Jagat Raya, Ratu Setan mengge-
rakkan tangannya.
Des!
Tubuh Prawitri terpental deras ke belakang
dan pingsan seketika.
Iblis Jagat Raya hanya tersenyum saja.
"Kita tak perlu membunuh mereka. Juga
tindakan mu selama ini sudah cukup. Karena, aku
tahu kau tetap setia padaku, Ratu Setan. Biarlah
Pendekar Slebor akan mampus diganyang tokoh-
tokoh aneh lainnya."
"Guru... Bukan aku hendak membantah
kata-katamu," kilah Ratu Setan dengan kening
berkerut. "Tetapi, aku telah bersumpah untuk
membunuh Pendekar Slebor. Bahkan merebut
kain pusaka bercorak catur yang kau inginkan."
"Aku tahu soal itu. Tetapi, sudah kukata-
kan tadi. Aku hanya ingin menguji kesetiaanmu
saja. Lagi pula, kain pusaka itu tak sehebat dan
sesakti yang pernah kudengar. Lebih baik, kita
kembali saja sekarang," sergah Iblis Jagat Raya.
"Tetapi, Guru...."
Iblis Jagat Raya melotot, membuat hati Ra-
tu Setan menjadi ciut.
"Kau sudah berani membantahku seka-
rang, hah?!"
Kali ini Ratu Setan menunduk.
"Maafkan aku, Guru."
"Ha ha ha.... Itu bagus.... Bagus sekali. Se-
karang ayo kita cari tempat sepi."
Kali ini Wajah Ratu Setan tersenyum pe-
nuh harap.
***
11
Iblis Jagat Raya dan Ratu Setan berkelebat
cepat. Setelah lima puluh tombak dari tempat tadi,
mereka masuk ke balik semak. Ratu Setan lang-
sung merebahkan tubuhnya. Pakaiannya yang ti-
pis menerawang, tersingkap memperlihatkan ba-
gian tubuhnya yang indah menggairahkan. Ma-
tanya meredup dengan pancaran penuh birahi.
"Guru, aku sudah tidak tahan...," desah
Ratu Setan, merintih lirih.
"Tidak perlu terburu-buru. Aku mau kenc-
ing dulu," sahut Iblis Jagat Raya.
Ratu Setan mengerutkan keningnya. Dia
merasa heran, mengapa gurunya seperti kelihatan
menolak? Padahal, biasanya tak pernah mem-
buang waktu lagi meskipun ada hal mendesak. Te-
tapi tak dipedulikannya lagi soal itu.
"Jangan lama-lama, Guru," kata Ratu Se-
tan.
Iblis Jagat Raya tersenyum.
"Kau selalu tak sabaran," desisnya. Setelah
itu, tubuhnya pun berkelebat menerobos malam
yang sudah datang.
Iblis Jagat Raya yang hendak membuang
air kecil tadi kini sudah muncul di tempat Prawitri
dan kedua murid si Manusia Buaya pingsan. Lalu
dengan cepat tubuhnya berkelebat, membawa me-
reka dengan sekali sentak. Di sebuah tempat
aman yang ditumbuhi semak setinggi dada manu-
sia, ketiga orang yang pingsan itu diletakkan. Di-
periksanya tubuh Suro Gandring dan Argomulyo.
"Sialan, di mana letak susuk Ratu Setan
itu?"
***
"Ha ha ha.... Kau sudah tahu saja kalau
aku akan datang, Ratu Setan. Lama sudah aku
menunggumu untuk menikmati saat-saat menga-
syikkan ini...."
Terdengar suara keras menggelegar, mem-
buat Ratu Setan menoleh dengan wajah gembira.
Wanita yang tengah diamuk birahi segera merang-
kul sosok bercawat yang baru datang ini.
"Hampir satu tahun aku menunggu saat-
saat indah ini, Ratu Setan...," desah sosok yang
tak lain Iblis Jagat Raya, sambil menciumi leher
jenjang Ratu Setan.
"Aku pun demikian, Guru," desah Ratu Se-
tan sambil merangkul tubuh Iblis Jagat Raya.
"Kalau begitu, kita kembali saja sekarang.
Di tempat tinggal kita, aku lebih leluasa mengum-
bar gairahku!"
Kening Ratu Setan berkerut melihat Iblis
Jagat Raya tiba-tiba menghentikan ciumannya
dan memandangi dirinya.
"Kembali? apa maksudmu?" Iblis Jagat
Raya benar-benar tidak mengerti. Kapan dia pernah menyuruh muridnya kembali?
"Maksudku..., bukankah tadi Guru men-
ginginkan kita kembali saja?"
"Gila!" bentak Iblis Jagat Raya, menggele-
gar. "Siapa yang menginginkannya, hah?! Ratu Se-
tan! Apakah kau sudah mendapatkan kain berco-
rak catur milik Pendekar Slebor?"
Kali ini Ratu Setan mengerjapkan matanya
takut-takut.
"Be..belum, Guru," sahut Ratu Setan terga-
gap.
"Dasar bodoh!"
"Tetapi, bukankah Guru sudah tidak men-
ginginkannya lagi?" tukas wanita itu terbata.
Sungguh tidak dimengerti keinginan gurunya yang
berubah-ubah. Atau, mungkinkah yang menim-
panya sebelum ini bukan gurunya sendiri? Masa-
kan dia sampai salah melihat! Sebab jika tadi gu-
runya yang sudah mengurungkan niat untuk me-
rebut kain bercorak catur milik Pendekar Slebor.
"Anak keparat! Siapa yang berkata begitu,
hah?! Aku baru saja bentrok dengan Pendekar
Slebor! Kalau tak ada yang menolongnya, pende-
kar urakan itu pasti sudah mampus!"
"Tapi...," Ratu Setan hendak membantah.
"Apalagi yang hendak kau katakan, hah?!"
potong Iblis Jagat Raya dengan bentakan sampai
menggugurkan dedaunan. Lelaki tua itu benar-
benar gusar melihat tingkah muridnya yang di-
anggap bertentangan dengan perintahnya semula.
"Bukankah Guru...."
Plak!
Tangan Iblis Jagat Raya melayang keras
dan mendarat di pipi Ratu Setan hingga memerah.
"Guru!" pekik Ratu Setan sambil memegan-
gi pipinya dengan tangan kanan.
"Murid sundal! Apakah kau terlalu banyak
tidur dengan lelaki lain, hingga melupakan perin-
tahku, hah?! Cari Pendekar Slebor sampai dapat!"
Perasaan yang tak menentu terjadi di hati
Ratu Setan. Sungguh tidak disangka kalau gu-
runya akan semarah ini. Namun yang membin-
gungkannya, mengapa gurunya menjadi marah-
marah tak karuan. Dia benar-benar tak mengerti.
Tadi, bukankah Iblis Jagat Raya mengata-
kan kalau sudah tidak lagi. membutuhkan kain
bercorak catur yang dimiliki Pendekar Slebor? La-
lu, mengapa tahu-tahu meralat kata-katanya lagi?
Apakah ini semacam uji coba untuk menguji kese-
tiaan seperti yang dikatakannya tadi?
"Baiklah, Guru. Aku akan tetap mencari
Pendekar Slebor."
"Dasar bodoh! Rupanya kau memang telah
melupakanku, hah?! Ingat! Dalam waktu tiga hari
tak mendapatkan kain bercorak catur itu, maka
kau akan mampus!! Pergi sana!"
***
Masih membawa keheranan dan rasa jeng-
kel yang mulai tertimbun di hatinya, Ratu Setan
berkelebat meninggalkan Iblis Jagat Raya. Dia be-
nar-benar tak mengerti, mengapa jadi seperti ini?
"Ratu Setan!"
Di saat tubuh wanita itu masih berkelebat
terdengar panggilan dari arah depan.
Ratu Setan menghentikan larinya dan me-
lihat satu sosok kurus bercawat yang sedang ter-
kekeh-kekeh mendekatinya.
"Oh! Apa..., apa lagi, Guru?" tanya Ratu Se-
tan dengan wajah pias. Dia sangat heran tiba-tiba
gurunya bisa berada jauh di depannya. Namun di
satu segi, meskipun rasa heran dan jengkelnya
mulai muncul, namun hatinya sangat mengasihi
gurunya. Karena, selain menurunkan ilmu-ilmu
tinggi dan dahsyat, Iblis Jagat Raya juga menjadi
peneman tidurnya.
"Hei? Mengapa kau jadi mengkeret seperti
itu?" tanya Iblis Jagat Raya yang baru muncul
sambil tersenyum. "Sudahlah.... Kau tidak usah
tegang. Aku memang agak tidak enak hari ini."
"Tetapi..., bukankah Guru sekarang meme-
rintahkanku untuk mencari Pendekar Slebor?"
Iblis Jagat Raya menyeringai. Sementara
Ratu Setan tak berani menatap wajahnya.
"Jangan mengambil sikap ketakutan seper-
ti itu, Biar bagaimanapun juga, seperti yang kuka-
takan kepadamu, aku sedang menguji kesetiaan-
mu, Ratu Setan...."
Ratu Setan perlahan-lahan mengangkat
wajahnya. Sebenarnya dia merasa aneh melihat
sikap gurunya yang rada plin-plan.
"Guru..., maafkan atas semua kesalahan-
ku," ucap Ratu Setan, mendesis.
"Kenapa?? Tak ada yang perlu dimaafkan."
"Jadi..., Guru tetap menginginkan kain pu-
saka milik Pendekar Slebor?"
"Bukankah sudah kukatakan, aku tidak
menginginkannya lagi?"
"Tetapi, tadi Guru menamparku. Guru ma-
rah, karena aku belum mendapatkan kain pusaka
itu. Dan Guru memintaku untuk mencarinya la-
gi?"
Iblis Jagat Raya terbahak-bahak keras.
"Kekejaman dan kesaktianmu hampir sama
denganku, Ratu Setan. Tetapi, kau masih memiliki
rasa takut juga."
"Hanya kepadamu aku takut."
"Bagus! Sekarang, dengarkan baik-baik!
Aku ingin memeriksa susuk yang ada di tubuh-
mu."
"Mengapa Guru?"
"Akan kumasukkan lagi susuk penghilang
rasa takut. Aku ingin dianggap sebagai seorang
sahabat olehmu. Dan yang terpenting..., aku ingin
dianggap sebagai teman tidur yang sangat hebat."
"Ahh, Guru..."
Ratu Setan yang kini seakan menjelma
menjadi jinak di hadapan Iblis Jagat Raya me-
rangkul tubuh kerempeng bercawat itu.
"Ulurkan kedua tanganmu."
Dengan patuhnya, Ratu Setan mengulur-
kan kedua tangannya. Tangan Iblis Jagat Raya
merayap di atas kedua tangan itu.
"Tahan, aku akan mengeluarkannya."
Ratu Setan mengangguk. Lalu dilihatnya
gurunya berusaha mengeluarkan susuk yang ada
di tubuhnya. Perlahan-lahan dirasakannya sesua-
tu bergerak dari tangannya. Rasa sakitnya sangat
luar biasa. Namun, ditahannya agar tidak berte-
riak. Di hadapan gurunya, hal itu adalah sesuatu
yang memalukan!
Tiga buah susuk mencelat dari jari tengah-
nya, mengeluarkan darah. Dua buah susuk keluar
dari telapak dan pangkal lengannya. Darah sema-
kin banyak keluar
Tiba-tiba tangan Iblis Jagat Raya menotok
tubuh Ratu Setan.
Tuk!
"Aaakh...!"
Ratu Setan mengeluarkan keluhan kecil.
Darah yang keluar seketika terhenti. Lalu perla-
han-lahan dibaringkannya tubuh montok itu di
tanah.Tangan Iblis Jagat Raya merayap dari jari
kaki hingga ke pangkal paha Ratu Setan. Lalu, di-
keluarkannya lagi susuk-susuk yang ada di sana.
Kembali darah keluar. Dan segera Iblis Jagat Raya
menghentikannya dengan jalan menotok. Lalu
tangannya merayap dari pangkal paha gadis me-
sum itu, hingga ke ubun-ubun kepala.
Dari belahan buah dada wanita ini keluar
sebuah susuk yang disertai aliran darah. Begitu
pula dari lubang pusarnya. Keringat semakin ba-
nyak membasahi sekujur tubuh Ratu Setan. Rasa
sakitnya bukan alang kepalang. Namun rasa sakit
yang menyiksa tubuhnya selalu ditahannya.
Pusing menyiksa kepala Ratu Setan. Perut-
nya bagaikan diaduk-aduk tangan kasar, dan
membuatnya ingin muntah. Dia hanya tersedak
saja, tanpa ada cairan apa pun yang keluar.
"Ratu Setan.... Masih adakah susuk yang
kumasukkan ke tubuhmu?" tanya Iblis Jagat Raya
tiba-tiba.
"Oh..., mengapa Guru lupa?" tanya Ratu
Setan dengan kepala berpendar-pendar pusing.
Matanya setengah menutup, setengah membuka.
"Bukankah waktu itu Guru memasukkannya se-
buah di pangkal pahaku?"
Kali ini kelihatan Iblis Jagat Raya tersentak
sedikit, dia tak melakukan apa-apa. Hanya duduk
terdiam.
"Guru.... Kalau kau ingin mengganti selu-
ruh susuk yang ada di tubuhku, mengapa tidak
mengeluarkannya juga?"
Iblis Jagat Raya mengangguk.
"Baiklah. Aku akan melakukannya."
Lalu perlahan-lahan, Iblis Jagat Raya
membuka penutup daerah terlarang yang ada di
pangkal paha Ratu Setan.
***
Setelah susuk di pangkal paha berhasil di-
keluarkan, Ratu Setan pingsan. Sementara sosok
bercawat itu dengan segera menutup kembali au-
rat gadis berpakaian merah menerawang dan me-
rapikannya.
Setelah darah yang keluar benar-benar ter-
henti. Iblis Jagat Raya melepas totokannya pada
seluruh tubuh Ratu Setan. Dan satu totokan di
leher, membuat Ratu Setan terbangun.
"Oh! Siapakah kau?" desis Ratu Setan, ter-
kejut.
"Dia sudah terbebas dari susuk-susuk
mengerikan itu...," desah Iblis Jagat Raya, mende-
sah.
***
12
"Apakah kau tidak mengenaliku?" tanya Ib-
lis Jagat Raya.
Ratu Setan menggeleng-geleng sambil be-
ringsut ketakutan. Tiba-tiba wajahnya celingukan
dan dengan seketika..
"Oh! Ke manakah para anak buah Rase
Terbang yang ingin memperkosaku? Apa..., apa-
kah mereka sudah mati?"
Aneh bin ajaib. Peristiwa lima tahun yang
lalu, bagaikan mimpi saja bagi si gadis. Begitu su-
suk-susuk ditanggalkan dari tubuhnya, dia seperti
baru saja terbangun dari mimpi.
"Kau tak usah takut. Kini kau sudah terbe-
bas dari susuk-susuk kejam yang dimiliki Iblis Jagat Raya."
"Tapi, kau sendiri mengatakan kalau kau
adalah Iblis Jagat Raya?" tukas Ratu Setan, keta-
kutan.
Iblis Jagat Raya perlahan-lahan mengge-
leng.
"Tidak.... Aku adalah orang yang hendak
menolongmu," sergah sosok bercawat itu.
Perlahan-lahan sosok ini menarik rambut
panjang yang mengeluarkan bau busuk. Rambut
itu copot seketika, dan berubah menjadi rambut
gondrong sebahu. Perlahan-lahan pula, tangannya
mengupas kulit wajah yang ternyata terbuat dari
semacam getah pohon. Kini, di balik wajah menge-
rikan itu terlihat seraut wajah tampan dengan alis
seperti kepakan sayap elang. Wajah Pendekar Sle-
bor!
"Namaku Andika. Semula, aku memang
bermaksud untuk membunuhmu. Tetapi, setelah
tahu kau berada di bawah pengaruh Iblis Jagat
Raya, aku berusaha untuk membebaskanmu. Ka-
rena, yang menjadi dalangnya adalah Iblis Jagat
Raya," jelas Pendekar Slebor.
"Tetapi, siapa dia?" tanya Ratu Setan be-
nar-benar kebingungan.
Andika yang menyamar sebagai Iblis Jagat
Raya mendesah lagi.
"Dia benar-benar sudah terbebas sekarang.
Dan yang diingatnya hanyalah para penunggang
kuda anak buah si Rase Terbang yang hendak
memperkosanya. Aku harus berusaha meyakin-
kannya. Karena, ilmu yang dimilikinya ini bisa
menjadi tandingan dari Iblis Jagat Raya."
Memang, Andikalah yang menyamar men-
jadi Iblis Jagat Raya. Setelah mengatakan kalau
dia punya rencana jitu untuk mengelabui Iblis Ja-
gat Raya dan Ratu Setan pada Tapak Darah dan
Juwita, Pendekar Slebor pun segera melesat me-
ninggalkan mereka.
Di satu tempat, Andika yang berotak encer
coba mengingat-ingat sosok dan wajah Iblis Jagat
Raya. Dan dia berhasil. Dengan keahlian yang di-
dapatnya dari Raja Penyamar, bukanlah sesuatu
yang menyulitkan bila Andika lantas menyamar
sebagai Iblis Jagat Raya. Pakaian hijau pupus dan
kain bercorak caturnya dibuntal, dan disembunyi-
kan di sebuah pohon.
Andika pula yang datang ketika Ratu Setan yang
masih berada di bawah pengaruh susuk Iblis Ja-
gat Raya, hendak membunuh Prawitri dalam pe-
nyamarannya sebagai Iblis Jagat Raya. Dia pula
yang muncul untuk menyelamatkan Prawitri, Suro
Gandring dan Argomulyo yang pingsan. Dan ber-
samaan waktunya ketika Ratu Setan ditinggalkan
sendirian, rupanya Iblis Jagat Raya yang asli be-
nar-benar muncul.
Dan apa yang dilakukan Pendekar Slebor
memang berhasil, meskipun sempat terkejut juga
ketika Ratu Setan sangat ketakutan menghada-
pinya. Otaknya yang cerdik segera menyimpulkan,
kalau Iblis Jagat Raya yang asli sudah tiba pula di
tempat ini. Juga, ketika dia mengetahui letak su-
suk terakhir yang ditanamkan Iblis Jagat Raya.
"Nona.., siapakah namamu yang sebenar-
nya?"
"Oh! Aku..., aku Anjar,.., Anjar Pitaloka. Ya,
ya.... Sekarang aku ingat. Ketika enam orang anak
buah si Rase Terbang hendak melakukan tindakan
kotor terhadapku, tiba-tiba muncul seorang kakek
berwajah mengerikan. Dia mengaku berjuluk Iblis
Jagat Raya, yang memang tengah dicari keenam
anak buah si Rase Terbang. Selebihnya..., oh!
Aku..., aku tak tahu lagi...."
Perlahan-lahan Andika merangkul gadis
itu. Malang benar nasib si gadis bila mengetahui
apa yang telah terjadi pada dirinya. Semua itu
memang dilakukan tanpa disadari. Dan yang ter-
penting sekarang, Andika bersyukur karena Anjar
Pitaloka telah terbebas dari pengaruh kejam Iblis
Jagat Raya.
Lalu dengan hati-hati Pendekar Slebor
menceritakan apa yang telah dialami Anjar Pitalo-
ka. Gadis kejam yang kini telah kembali pada sifat
asalnya tergugu menyadari semua itu.
"Akan kubunuh manusia busuk itu!" den-
gus si gadis setengah terisak.
"Anjar.... Aku pun ingin melenyapkannya
pula. Dan kau bisa membunuhnya dengan kesak-
tian yang telah kau miliki yang kuyakini masih
ada padamu. Rupanya susuk yang dimasukkan
Iblis Jagat Raya kepadamu, tidak ada hubungan-
nya dengan kesaktian yang telah kau dapatkan
darinya. Susuk itu hanya untuk membuatmu pa-
tuh, ingin membunuh, dan selalu melakukan tin-
dakan mesum."
"Di mana manusia keparat itu, Andika?!"
dengus Anjar Pitaloka alias Ratu Setan langsung
bangkit.
"Oh...!"
Sesaat terdengar pekikan gadis ini ketika
melihat pakaian yang dikenakannya.
"Kau memang tak sadar apa yang telah ter-
jadi. Kau tunggu di sini. Aku hendak mengambil
pakaianku dulu!"
Setelah gadis ini menganggukkan kepala,
Pendekar Slebor pun berkelebat.
Tak lama kemudian, ketika Pendekar Sle-
bor kembali ke tempat semula, telah berpakaian
hijau pupus. Dan di lehernya, tersampir kain pusaka bercorak catur yang diinginkan Iblis Jagat
Raya.
Namun begitu sampai si pemuda sakti ini
jadi terperanjat. Di depannya terlihat Ratu Setan
tengah bertarung hebat melawan Iblis Jagat Raya.
Apa yang disaksikan Andika benar-benar di luar
dugaan. Suatu pertarungan yang mengerikan,
mengundang maut.
Tubuh murid dan guru itu tak ubahnya
burung walet yang saling patuk dengan gencar.
Sesekali terdengar suara bagai ledakan, ketika ter-
jadi benturan tenaga dalam. Juga, diselingi ma-
kian Ratu Setan yang kini lelah sadar dari penga-
ruh keji Iblis Jagat Raya.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Sepeninggal Andika, tiba-tiba saja Iblis Ja-
gat Raya muncul di hadapan Ratu Setan. Dia
menggeram murka, karena Ratu Setan belum juga
menjalankan perintahnya.
Ketika hendak menurunkan tangan, Ratu
Setan yang sudah tersadar dari kesesatannya
langsung menyerang. Tentu saja hal ini membuat
Iblis Jagat Raya surut ke belakang dengan wajah
terkejut.
***
Blarrr...!
Kembali satu ledakan terdengar disertai pi-
jaran bunga api. Kalau Rat Setan benar-benar
murka, dan menginginkan kematian Iblis Jagat
Raya. Dia terus menerjang hebat, membuat lelaki
bekas gurunya menjadi tercekal. Sungguh tak di-
duga kalau muridnya menyerang penuh nafsu
membunuh. Padahal, bila bertemu akan selalu
menunduk dan minta pelukannya.
Sesaat, lelaki ini pun sadar kalau susuk
yang dimasukkan ke dalam tubuh Ratu Setan su-
dah menghilang. Entah, siapa yang menghilang-
kannya. Dia tidak tahu....
"Kurang ajar! Bagaimana bisa membuang
susuk-susuk itu? Tak mungkin dia bisa membua-
ngnya begitu saja! Tetapi, siapa yang bisa menga-
lahkannya? Mustahil ada yang sanggup menga-
lahkannya bila sudah kumasukkan susuk-susuk
itu! Dia tak akan pernah mau mengalah, karena
salah satu susuk yang kutanamkan di tubuhnya
akan selalu menjadikannya nekat dan berani! Pas-
ti ada yang telah menolongnya? Tapi, siapa?"
Iblis Jagat Raya benar-benar merasa heran
dan bertanya-tanya dalam hati. Namun dia tak bi-
sa lagi untuk memikirkannya lebih lanjut, karena
serangan-serangan Ratu Setan benar-benar ber-
bahaya.
Kini terlihatlah bagaimana Iblis Jagat Raya
seperti tengah menghadapi bayangannya sendiri.
Karena, seluruh ilmu yang dimilikinya telah ditu-
runkan pada Ratu Setan. Dan ilmu-ilmu itu kini
menderu-deru ke arahnya.
"Kau harus mampus, Manusia Keparat!"
"Ratu Setan! Aku adalah gurumu! Tak se-
harusnya kau melakukan seperti ini?" dengus Iblis
Jagat Raya sambil merunduk. Namun tak urung
rambutnya di bagian atas terpapas angin pukulan
Ratu Setan. Kini kepalanya di bagian ubun-
ubunnya botak!
"Tak ada guruku di hadapanku! Yang ada
manusia laknat yang telah memperlakukanku un-
tuk kepentingan kebejatanmu!"
"Katakan! Siapa yang telah melepaskan su-
suk-susuk itu??" bentak Iblis Jagat Raya sambil
bergulingan dan sesekali menyerang.
Memang sangat sulit menghadapi gempu-
ran-gempuran ilmunya sendiri. Iblis Jagat Raya
mendengus begitu menyadari kalau seluruh susuk
yang dimilikinya telah diberikannya kepada Ratu
Setan. Ini berbahaya. Susuk-susuk itu harus se-
cepatnya direbut.
Akan tetapi, jangankan untuk mendekati
Ratu Setan menghindari serangannya saja lelaki
itu sudah kewalahan. Iblis Jagat Raya sendiri pun
mencoba masuk mendekat dengan ajian-ajiannya
yang sakti. Namun, ajian-ajiannya pun dimiliki
Ratu Setan. Tak heran kalau berkali-kali berhasil
dimentahkan.
"Keparat! Kau harus mampus!"
Tiba-tiba saja Iblis Jagat Raya bertepuk ti-
ga kali. Lalu, bayangan tangan raksasa tiba-tiba
saja menderu-deru ke arah Ratu Setan. Rupanya,
dia tak main-main langsung menggunakan ajian
'Bayangan Tangan Raksasa' kepada Ratu Setan.
Dan kali ini Ratu Setan nampak kewalahan.
Pendekar Slebor yang melihat hal itu sege-
ra melenting ke depan sambil mengerahkan ajian
'Guntur Selaksa'. Seperti yang pernah dialaminya,
Andika tak bermaksud menggempur bayangan
tangan raksasa yang mengerikan itu. Karena, an-
ginnya saja sudah mampu menerbangkan pepo-
honan yang ada di sana.
Justru kini Pendekar Slebor mencoba me-
nyerang Iblis Jagat Raya dari belakang. Namun,
tindakannya bukanlah sesuatu yang mudah. Ka-
rena tiba-tiba saja, salah satu bayangan tangan
raksasa Iblis Jagat Raya menderu ke belakang. La-
lu....
Des!
Tubuh Andika tersampok, kontan terlem-
par deras ke belakang. Seketika tulang
belulangnya terasa seperti patah. Dan melihat ke-
munculannya, Iblis Jagat Raya menggeram murka.
"Pendekar Slebor keparat! Pasti kau yang
telah membuang susuk-susuk di tubuh Ratu Se-
tan?!" bentak lelaki berwajah mengerikan itu.
Seketika tangan raksasanya mengibas ke
arah Pendekar Slebor. Secepat kilat, Pendekar Sle-
bor mencelat kalau tidak ingin tersambar untuk
kedua kalinya.
"Kalau sudah tahu, mengapa kau tidak
bunuh diri saja?" ledek Pendekar Slebor.
"Bagaimana kau melakukannya?"
"Itu rahasiaku! Pakai saja otakmu untuk
memecahkannya!" jawab Andika, sambil bergulin-
gan.
Iblis Jagat Raya semakin kuat mengalirkan
tenaga dalam pada ajian 'Bayangan Tangan Rak-
sasa' nya yang hebat. Yang sebelah kiri terus me-
nyapu Ratu Setan, dan yang sebelah kanan siap
menghancurkan Pendekar Slebor. Sambil menye-
rang hatinya tetap bertanya-tanya. Dia benar-
benar tak mengerti, mengapa Pendekar Slebor
sampai berhasil membuang susuk di tubuh Ratu
Setan.
"Andika.... Kau minggir! Biar kuhajar ma-
nusia keparat itu!" seru Ratu Setan, sambil men-
gibaskan tangannya.
Serangkum angin merah dengan kekuatan
dahsyat melesat ke arah tangan kiri Iblis Jagat
Raya.
Namun pukulan itu seolah ceplos begitu
saja. Dan bersamaan dengan itu, tubuh Iblis Jagat
Raya melenting ke atas.
Wrrr!
Akibatnya pukulan keras yang dilancarkan
Ratu Selan terus meluncur ke arah Andika. Wajah
Andika kontan pias. Untung dia masih sempat
menjatuhkan diri di tanah, meskipun tubuhnya
masih merasakan bagai diterapas. Namun bahaya
lain sudah siap menyambutnya. Karena, tangan
kanan raksasa Iblis Jagat Raya sudah siap men-
gepruk kepalanya!
Bummm!
Untungnya, Andika berhasil mengguling-
kan tubuhnya dengan cepat. Siku dan tangannya
sampai lecet akibat gesekan kerikil yang bersera-
kan di tanah. Malah tanah tempat dia tadi rebah
kini berbentuk lubang seperti lima buah jari rak-
sasa dengan dalam tiga hasta.
"Busyet!! Tubuhku bisa ringsek kalau begi-
ni!" dengus Andika, begitu bangkit.
Pendekar Slebor mencoba menyerang kem-
bali. Kali ini di tangannya sudah tergenggam kain
pusaka bercorak catur.
Melihat kain pusaka yang diinginkannya
sudah dipergunakan pemiliknya, Iblis Jagat Raya
semakin panas saja. Seketika kekuatan sampokan
kedua tangan raksasanya ditambah. Pada saat
yang sama, Pendekar Slebor juga telah mengi-
baskan kain caturnya. Saat itu juga terasa ada
angin bak topan prahara dan air bah yang tum-
pah, menghantam tangan raksasa Iblis Jagat
Raya.
Bum!
Ledakan keras terdengar Andika sampai
bergetar tangannya. Begitu pula bumi yang dipi-
jaknya. Sementara, Iblis Jagat Raya menggeram
dengan kemarahan luar biasa, karena ajian ke-
banggaannya lenyap tiba-tiba.
Dan mendadak saja tubuh lelaki berwajah
jelek ini berputar cepat, seperti pusaran air yang
siap menghancurkan kapal yang sedang berlayar.
Desingan sangat dahsyat menderu ke arah Andika.
Sementara, Pendekar Slebor berusaha melindungi
diri dengan kibasan-kibasan kain pusaka di tan-
gannya.
Serangan yang dilancarkan Iblis Jagat Raya
benar-benar membuat Andika kewalahan. Untung
di saat itu pula Ratu Setan kembali meluruk den-
gan tangan memancarkan sinar warna merah.
Namun di luar dugaan, sambil terus men-
cecar Andika, kaki Iblis Jagat Raya bergerak lak-
sana kilat.
Buk!
Kaki itu tepat menghantam dada gadis
yang terbebas dari pengaruh susuk jahat Iblis Ja-
gat Raya hingga terpental ke belakang dan bergu-
lingan. Begitu bangkit, dia muntah darah.
Sementara serangan Iblis Jagat Raya yang
mengarah pada Andika semakin bertubi-tubi. Dan
ini membuat pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan harus tunggang-langgang.
"Ratu Setan! Bunuh dia dengan susuk-
susuk yang diberikannya kepadamu!" teriak Andi-
ka.
Entah dapat dari mana, Pendekar Slebor
bisa menyuruh Anjar Pitaloka untuk membunuh
Iblis Jagat Raya dengan susuk-susuk pemberian-
nya. Dan Andika sebenarnya memang sekadar co-
ba-coba. Yah..., barangkali nasib baik berada di
tangannya.
Mendengar kata-kata itu, wajah Iblis Jagat
Raya menjadi pias. Serangannya pada Andika di-
hentikan. Dan kepalanya menoleh ke arah Ratu
Setan yang siap melemparkan susuk-susuk maut-
nya.
Andika tersenyum penuh kemenangan, me-
lihat lelaki bercawat itu menggereng keras sambil
berkelebat ke arah Ratu Setan. Hampir-hampir dia
nandak sendiri, bagai orang tak waras menemu-
kan permainan yang mengasyikkan. Betapa tidak?
Ternyata dari dengusan Iblis Jagat Raya bisa ter-
baca kalau susuk-susuk itu justru merupakan ke-
lemahan bila menghujam tubuhnya.
Iblis Jagat Raya tak boleh membuang wak-
tu. Dia harus segera menutup setiap serangan Ra-
tu Setan. Apalagi gadis berbaju merah menera-
wang itu kini siap melemparkan susuk-susuk
mautnya.
"Mampuslah kau, Gadis Pengkhianat!" ma-
ki lelaki itu dengan tubuh meluruk, menggidikkan.
Namun sebelum tubuh Iblis Jagat Raya
sampai ke arah Ratu Setan, Andika sudah melu-
ruk dengan menyentakkan kakinya ke kaki Iblis
Jagat Raya.
Duk!
Brak!
Tubuh lelaki bercawat itu ambruk seketika.
Namun dia segera bangkit sambil mengibaskan
tangan kanannya.
Wuusss!
Andika cepat melompat, seraya melempar-
kan kain pusaka yang telah dialiri tenaga dalam.
Bluk!
Kain itu tepat menutupi wajah Iblis Jagat
Raya. Seketika, lelaki ini menjadi gelagapan. Kain
pusaka itu bukan hanya menghalangi pandangan-
nya, namun juga sempat menyesakkan nafasnya.
"Sekarang, Anjar!" seru Andika.
Siiingg!
Crap! Crap!
Lima belas buah susuk telah dilemparkan
Ratu Setan dengan kecepatan tinggi, dan menan-
cap di seluruh bagian tubuh Iblis Jagat Raya.
"Aaakh...!"
Tokoh sakti aliran sesat ini menjerit seting-
gi langit, dengan tubuh tersentak laksana disengat
ribuan kalajengking. Kedua tangannya bergerak ke
segala penjuru melepaskan pukulan jarak jauhnya
yang mengeluarkan sinar warna merah.
"Gila! Dia masih mampu melepaskan se-
rangan-serangan berbahaya," dengus Andika sam-
bil berjumpalitan menghindar. Begitu pula yang
dilakukan Ratu Setan.
Andika sendiri tak mau membuang kesem-
patan yang sudah ada di depan mata. Dengan
memutar tubuh setengah lingkaran, kakinya me-
nyampok kaki Iblis Jagat Raya.
Duk!
Hruk!
Lelaki kerempeng itu terpelanting. Di saat
tubuhnya hampir rebah di tanah, dengan cepat
Pendekar Slebor menarik kain pusaka yang menu-
tupi wajah Iblis Jagat Raya. Bersamaan dengan itu
pula, tangannya yang telah terangkum ajian
'Guntur Selaksa', menghantam batok kepala lelaki
bercawat.
Prat!
"Aaa...!"
Iblis Jagat Raya meraung-raung setinggi
langit. Satu kerikil berpentalan, debu berterban-
gan, daun-daun berguguran saat lelaki bercawat
itu menghadapi maut. Dari kepalanya telah ber-
simbah darah dan berwarna putih. Kejap berikut-
nya, rontaan dan jeritan Ratu Setan pun terhenti.
Tubuhnya tak berkutik lagi dengan keadaan se-
tengah hancur!
Andika menghela napas panjang. Dan dia
tercekat, ketika melihat Ratu Setan tergeletak di
tanah."Anjar"...!" serunya, langsung mendekat.
Saat ini, matahari sudah mulai mem-
biaskan cahayanya di ufuk timur.
***
13
Ratu Setan tersenyum sambil menahan ra-
sa sakit. Rupanya, pukulan sinar merah yang di-
lepaskan Iblis Jagat Raya sempat menghantam se-
belah kakinya.
"Aku tidak apa-apa, meskipun akan pin-
cang seumur hidup," kata Anjar Pitaloka perlahan,
ketika Pendekar Slebor memeriksa kakinya.
"Biar ku coba untuk mengobati. Barangkali
saja kau tak akan mengalami cacat...."
Ratu Setan menutup mulut Andika dengan
tangannya. Bibirnya kembali tersenyum.
"Tidak usah. Biarlah ini kujadikan huku-
man. Aku sendiri sudah mengalirkan tenaga da-
lam dan hawa murni untuk mencegah racun yang
akan mengalir lebih jauh. Andika.... Aku berterima
kasih atas bantuanmu. Kalau tidak, aku tanpa sa-
dar akan terus berada di bawah pengaruh Iblis Ja-
gat Raya. Sekarang, izinkanlah aku untuk kembali
ke desaku...."
Andika tidak berkata apa-apa. Dia bisa se-
dih juga memikirkan nasib yang dialami Anjar Pi-
taloka. Dan itu terjadi karena kebusukan Iblis Ja-
gat Raya!
"Apakah tidak sebaiknya kau beristirahat
dulu?" tukas Andika.
"Itu akan membuang waktu. Lima tahun
aku telah meninggalkan desaku. Mungkin orang-
orang di desaku sudah tak ada yang mencariku.Mungkin pula mereka sudah menganggap aku ma-
ti. Dan yang ku cemaskan memikirkan keadaan
ibuku yang tentunya sangat kesepian, karena tak
ada aku di sisinya."
Andika hanya mengangguk. Lalu, digeng-
gamnya tangan Ratu Setan perlahan-lahan.
"Kudoakan, semoga kau selamat sampai di
desamu."
Anjar Pitaloka alias Ratu Setan tersenyum,
lalu bangkit perlahan-lahan. Ditatapnya Andika
dengan sinar lembut.
"Andika...., bila saja tak pernah ada keja-
dian memuakkan itu, dan kita dipertemukan oleh
Yang Maha Kuasa, aku bersedia selalu menema-
nimu."
Andika kembali tersenyum.
"Semoga kita berjumpa lagi, Andika."
Wuuttt!
Tubuh Ratu Setan sudah berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu. Andika mendesah pan-
jang. Si pemuda sakti ini bangkit perlahan dan
menengadah. Yang terlihat langit mulai cerah
meskipun terhalang oleh rimbunnya pepohonan.
"Satu lagi keangkaramurkaan telah berak-
hir. Dan aku yakin, masih banyak yang akan ter-
jadi lagi"
"Kau benar, Pemuda Urakan!" Tiba-tiba
terdengar satu suara dari belakang diiringi keke-
han.
Andika menoleh. Dan bibirnya tersenyum
melihat Tapak Darah terguling, karena kakinya
menginjak pakaiannya yang kepanjangan. Di si-
sinya Juwita tegak berdiri.
"Sialan! Lama-lama aku buang saja pa-
kaian sial ini!" rutuk Tapak Darah. Tetapi, kemu-
dian dia terkekeh-kekeh. "Tetapi kalau aku telanjang, nanti ada yang terangsang lagi."
Andika terbahak-bahak mendengar seloro-
han Tapak Darah yang diucapkan seperti sung-
guh-sungguh. Ketegangannya agak menghilang.
"Kambing saja belum tentu mau dengan-
mu."
Tapak Darah melotot.
"Urakan! Sembarangan ngomong! Kau mau
ku kemplang? Nah, nah..., mayat siapa itu lagi?"
Andika menceritakan apa yang telah terja-
di. Sementara, kedua orang di depannya menden-
garkan penuh perhatian.
"Jadi..., Ratu Setan sudah sadar?" tanya
Juwita, terharu setelah mendengar cerita Andika
tentang Ratu Setan.
"Ya, kini dia sedang menuju tempat asal-
nya. Ngomong-ngomong, apakah kau akan mengi-
kuti terus Tapak Darah ini, Juwita?"
Juwita terdiam. Dia memang tak tahu ha-
rus menjawab apa.
"Mana bisa begitu? Aku tidak mau dia nan-
ti cemburu terus kepadaku bila ada gadis cantik
melirikku. Lebih baik dia bersamamu saja, Bor!"
sahut Tapak Darah.
"Wah, Kek.... Justru aku ingin menitipkan
dia kepadamu. Karena, aku merasa aman bila Ju-
wita ada di sisimu. Soalnya, dia tak akan pernah
mau denganmu."
"Sialan! Hei?! Kau mau ke mana?" tanya
Tapak Darah, melihat Pendekar Slebor langsung
berkelebat.
"Aku hendak menjumpai Prawitri dan dua
pemuda yang pingsan. Menurut perkiraanku, me-
reka sudah sadar sekarang!" sahut Andika sambil
terus berkelebat.
Tapak Darah memaki-maki tak karuan.
"Hei?! Seharusnya kau bersama dia! Ayo,
sana! Susul dia! Jangan mengikuti aku!" bentak
lelaki kerdil ini pada Juwita.
Ketika melihat Juwita terdiam dan mera-
juk, Tapak Darah mendengus. kepalanya men-
gangguk dengan gerakan menyentak.
"Iya, iya.... Aku tahu. Kalau kau sudah ber-
sikap begitu, aku tak bisa menyalahkanmu. Kalau
kau mau ikut denganku, ayo! Asal, ingat! Jangan
cemburuan, ya?"
Juwita tertawa geli. Lucu sekali kakek kun-
tet ini. Tetapi, dia merasa lebih tenang dan terhi-
bur bila bersamanya. Apalagi Kang Prasetyo telah
tiada. Dan Kang Andika..., ah! Bisakah dia meng-
harapkan suatu saat Andika ada di sisinya?
"Hei?! Kenapa bengong? Ayo berangkat!"
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar