"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 20 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE SUSUK RATU SETAN

Susuk Ratu setan


1


Senja baru saja datang menyapa, matahari 

terus terseret waktu. Bias-bias sinarnya menyapu 

tiga lelaki di depan halaman sebuah pondok, tak 

begitu besar. Dua lelaki muda duduk bersila saling 

berhadapan dengan satu lelaki tua. Tak ada 

cengkrama di situ, setelah tadi mereka baru saja 

menyelesaikan latihan jurus-jurus ampuh. Kedua 

pemuda duduk dengan kepala tertunduk, meng-

hadap ke arah pantai Laut Selatan yang jarang 

disinggahi biduk. Sementara si lelaki tua, seperti 

biasa memberi wejangan yang sarat kata-kata bi-

jak.

"Suro Gandring, dan kau Argomulyo! Sela-

ma lima tahun kalian menuntut ilmu kepadaku 

dengan hasil sangat memuaskan. Setelah seratus 

jurus yang kalian mainkan tadi, aku bisa menilai

kemajuan yang kalian dapatkan. Satu sama lain 

memiliki kekuatan, ketangkasan, dan kehebatan 

sama," buka si tua berusia sekitar tujuh puluh ta-

hun dengan pakaian serba putih. "Dan pagi ini, se-

telah melihat kalian bertarung tadi, rasanya aku 

sudah cukup puas. Bahkan yakin untuk melepas 

kalian!"

Kedua anak muda bernama Suro Gandring 

dan Argomulyo saling berpandangan.

"Apa maksud, Guru?" tanya yang bernama 

Suro Gandring lebih dulu.

Si tua bersorban putih ini terbahak-bahak. 

Suaranya menggema ke seantero lembah.

"Sudah jelas, aku tak ingin melihat kalian 

menghabiskan waktu di lembah sepi ini. Aku ingin 

kalian segera mengarungi dunia luas berbekal ke-

mampuan yang kuberikan. Jadilah kalian orang-

orang pembela kebenaran. Lagi pula, sebentar lagi

cucuku si Prawitri akan kembali dari Gunung Se-

meru. Tepat sudah tiga tahun dia berguru pada 

sahabatku Suralangi alias Pendekar Mutiara Pe-

rak. Jadi, kalian tak perlu lagi berada di sini. 

Soalnya..., ha ha ha,..! Cucuku itu sangat cantik."

"Tetapi, Guru...."

Si pemuda yang bernama Argomulyo hen-

dak membantah. Namun kata-katanya telah dipo-

tong lebih dulu oleh gurunya.

"Tidak ada tapi-tapian. Besok pagi tepat 

matahari terbit kalian sudah tidak berada di sini 

lagi!"

"Tetapi...."

"Hik hik hik.... Kalian memang harus me-

nolak usul orang tua jelek berjuluk si Manusia 

Buaya itu! Dan kalian melihatnya terkapar menja-

di mayat di Lembah Busuk ini!"

Satu suara yang nyaring namun merdu 

menggema di sekitar tempat ini.

Serentak Suro Gandring dan Argomulyo 

berdiri sigap memandang ke arah datangnya sua-

ra. Sementara si tua bersorban yang berjuluk si 

Manusia Buaya hanya mengusap dagunya.

Satu sosok gemulai melangkah ke arah me-

reka. Dia seorang gadis cantik berambut panjang, 

dengan bunga mawar pada tengah rambutnya 

yang sedikit digelung ke atas. Tubuhnya padat be-

risi, terbungkus pakaian tipis berwarna merah 

yang tembus pandang.

"Gadis keparat! Berani-beraninya kau lan-

cang bicara pada Guru kami!" bentak Suro Gandr-

ing setelah beberapa saat sempat terpana melihat 

tubuh molek gadis cantik itu. Namun segera dite-

piskannya gejolak kelaki-lakiannya. Biar bagaima-

napun juga, hatinya sudah keburu marah men-

dengar ejekan yang menyakitkan dari bibir merangsang gadis ini.

Dara jelita itu hanya tersenyum.

"Bila kalian tidak percaya, aku akan mem-

buktikannya! Untuk apa berguru pada si Manusia 

Buaya yang tak memiliki kemampuan apa-apa? 

Ayo, kalian segera bersujud di kakiku! Karena, se-

bentar lagi akulah yang akan menjadi guru ka-

lian!" sergah si gadis, bukan main kurang ajarnya.

Amarah Suro Gandring tak tertahankan la-

gi. Dengan tenaga dalam penuh dia menerjang. 

Yang ada dalam benaknya hanyalah membungkam 

mulut lancang gadis ini.

Melihat serangan berbahaya, si gadis 

hanya terkikik saja tanpa bergerak dari tempat-

nya. Dan ini membuat kemarahan Suro Gandring 

makin memuncak.

"Aku ingin lihat kehebatanmu!" bentaknya.

Namun belum lagi pukulan si pemuda 

mengenai sasaran, tiba-tiba saja tangan lembut 

kuning yang halus milik si gadis terangkat.

Wrrr!

Tiba-tiba saja serangkum angin dahsyat 

meluruk dari sebuah serangan balik si gadis. Suro 

Gandring terkejut. Namun dia sudah tidak bisa 

berbuat apa-apa ketika....

Desss...!

Si pemuda memekik keras. Deras juga tu-

buhnya meluncur ke belakang terhantam pukulan 

tak terduga gadis ini.

Melihat hal itu, Argomulyo langsung melu-

ruk pula. Diawali satu gerengan setinggi langit, dia 

hendak mengarahkan tinjunya ke tubuh si gadis. 

Namun seperti yang dialami Suro Gandring, gadis 

itu kembali mengangkat tangan kanannya. Dan…

Desss...!

Tubuh Argomulyo terlempar ke belakang.

Sementara itu si Manusia Buaya menghela 

napas pendek. Perlahan-lahan dia bangkit dari 

duduknya.

"Tak ada hujan tak ada angin, datang seo-

rang gadis mencari silang sengketa. Kalau bukan 

kau, tentunya aku yang akan celaka," gumam si 

Manusia Buaya.

"Si Manusia Buaya! Nama besarmu sudah 

lama kudengar di telingaku. Aku ingin mencoba 

kesaktianmu!" desis si gadis.

"Tak pernah terpikirkan oleh ku untuk 

mencari kehebatan. Tetapi, sikapmu yang keterla-

luan itu tak bisa didiamkan lagi."

Gadis ini terkikik sambil menekap mulut-

nya yang merah, tak ubahnya bagai seorang gadis 

yang malu-malu.

"Perlihatkan kehebatanmu!"

"Ku persilakan kau untuk menyerangku!"

Mendengar kata-kata itu, si dara jelita 

membuka kedua tangannya ke depan.

"Baik! Kau hanya kuberi tiga jurus, Orang 

Tua! Kalau dalam tiga jurus aku tak berhasil men-

galahkanmu, maka aku akan berguru kepadamu!"

Mendengar kata-kata itu, Suro Gandring 

dan Argomulyo tersentak. "Perempuan takabur! 

Tak tahu tingginya langit dan dalamnya bumi!" 

gumam mereka berdua dalam hati.

Kejap berikutnya dara jelita itu sudah ber-

kelebat. Gerakannya sangat cepat. Sesaat terlihat 

tubuhnya memancarkan sinar berwarna merah 

yang menyengat. Sampai-sampai si Manusia 

Buaya tersentak melihatnya.

"Gila! Selama ini aku baru tahu kalau ada 

ilmu aneh seperti ini!" sentak hati si Manusia 

Buaya sambil mengibaskan tongkatnya.

Wusss!

Selarik sinar putih yang dikawal suara ge-

muruh angin kencang menderu ke arah si gadis je-

lita yang sudah berkelebat. Dalam keadaan begitu, 

si gadis mengibaskan tangannya.

Serangkum sinar merah pun menderu, 

menyambut luncuran sinar putih. Lalu....

Bummm!

Pertemuan sinar merah dan sinar putih 

menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. 

Tanah di tempat ini bagaikan bergetar.

Si Manusia Buaya sampai tercekat karena 

serangannya dihantam sebuah serangan yang tak

kalah hebatnya. Sementara tubuh si gadis yang 

berkelebat semakin kencang menderu.

Wuuusss!

"Uts...!"

Kalau saja si Manusia Buaya tidak merun-

duk, bisa dipastikan kepalanya akan terpisah dari 

lehernya.

Sementara si dara jelita telah berjungkir 

balik. Hanya dalam sekali gerak, kakinya telah 

menjejak tanah.

"Jurus kedua!"

Berkawal satu teriakan bernada peringa-

tan, si gadis kembali melancarkan serangan. Dari 

udara, kakinya terjulur hendak mematahkan leher 

si tua bersorban.

Dan kali ini si Manusia Buaya pun mela-

kukan gerakan sama. Disongsongnya serangan si 

dara jelita. Tongkat putih di tangannya diputarkan 

bagaikan baling-baling. Pohon yang letaknya enam 

tombak dari tempat itu berguguran daun-

daunnya. Dan tongkatnya siap menghantam kaki 

si dara jelita.

Namun bersamaan dengan itu, si dara jeli-

ta menarik pulang kakinya. Begitu sambaran

tongkat lewat, tubuhnya berputar. Dan kali ini 

tangannya siap melepas hantaman.

Di luar dugaan, si Manusia Buaya masih 

bisa memutar tongkatnya. Namun tangan kiri si 

gadis telah siap pula menahan.

Prak!

Tongkat kebanggaan si Manusia Buaya 

yang bertahun-tahun dijadikan senjata andalan 

patah menjadi dua. Piaslah wajah si tua bersor-

ban. Dan belum lagi sempat memikirkan apa yang 

telah terjadi, tangan kanan si dara jelita sudah 

menghantam dadanya.

Buk!

Keras juga pukulan si gadis. Sampai-

sampai tubuh si Manusia Buaya terlempar bebe-

rapa tombak. Dari mulut dan hidungnya menga-

lirkan darah segar.

Si dara jelita menatap angker.

"Jurus ketiga!"

Namun sebelum gadis ini melancarkan se-

rangan berikut, dua sosok tubuh telah menderu 

ke arahnya.

"Gadis keparat! Mampuslah kau!"

Suro Gandring dan Argomulyo yang meli-

hat bagaimana jiwa gurunya terancam bahaya su-

dah meluruk maju dengan kekuatan tenaga dalam 

penuh. Jurus 'Buaya Kibaskan Ekor' yang menga-

rah pada kelincahan dan kekuatan kaki, menderu 

secara bersamaan.

Namun entah bagaimana caranya, si dara 

jelita itu sudah berkelebat laksana setan. Tangan-

nya bergerak lincah, dan....

Tuk! Tuk!

Dua kali totokan dilancarkan sekaligus,

membuat tubuh kedua murid si Manusia Buaya 

menjadi tak bergerak lagi. Mereka ambruk sambil

memaki-maki dengan hati panas, tanpa mampu 

bergerak.

Si dara jelita tak menggubris mereka lagi. 

Pandangan sengitnya tertuju pada si Manusia 

Buaya.

"Kini tiba saatnya kau berangkat mengha-

dap penjaga pintu neraka, Orang Tua! Dan sebe-

lum mampus, aku masih berkenan untuk mem-

perkenalkan diri. Julukanku adalah Ratu Setan! 

Dan kini, bersiaplah untuk menghadapi jurus ke-

tiga!"

Si Manusia Buaya yang sudah berdiri tegak 

siap menyambut serangan dara jelita, mencoba 

berpikir keras untuk mengetahui siapakah geran-

gan Ratu Setan itu.

Namun si tua bersorban tak sempat lagi 

berpikir lebih lama. Karena, tubuh dara jelita yang 

menjuluki diri Ratu Setan telah berkelebat. Gera-

kannya sangat cepat, benar-benar laksana setan. 

Tangannya telah berubah menjadi semerah darah. 

Begitu tubuhnya berkelebat, sinar warna merah 

pun berkelebat. Sesaat si Manusia Buaya kelaba-

kan juga, karena sinar itu sangat menyilaukan 

mata.

Di kejap lain, tangan Ratu Setan yang telah 

membuka, menebas leher si Manusia Buaya seper-

ti seorang pencari rumput yang sedang menebas 

rumput jarahannya.

Crasss...!

"Aaaakhhh...!"

Terdengar lolongan seperti kambing disem-

belih.

Suro Gandring dan Argomulyo menggeram 

murka. Namun tubuh keduanya tak mampu dige-

rakkan. Dengan kemarahan bercampur kesedihan, 

keduanya melihat tubuh si Manusia Buaya perla

han terhuyung dengan leher buntung, lalu am-

bruk bersimbah darah.

Matilah seorang guru yang baru saja gem-

bira menyaksikan hasil gemblengannya kepada 

kedua muridnya.

Terdengar suara terkikik Ratu Setan yang 

sangat keras sekali, menggema keseluruh lembah. 

Daun-daun berguguran dan bumi seakan ber-

goyang.

"Hik hik hik.... Nama besar si Manusia 

Buaya kini sudah terkubur! Tibalah saatnya bagi-

ku untuk menjadi tokoh papan atas rimba persila-

tan ini!"

Tiba-tiba si gadis terdiam. Tubuhnya men-

dadak menggigil. Sepasang matanya tiba-tiba me-

merah, dengan perubahan kulit yang putih mulus 

itu menjadi kemerahan. Nampak jelas sekali Ratu 

Setan berusaha menahan seluruh getaran di ji-

wanya. Mulutnya mendesis geram.

"Pendekar Slebor.... Kau akan kubunuh 

untuk menunaikan janji ku pada Iblis Jagat Raya

yang menginginkan kain bercorak catur milikmu!" 

desisnya.

Dan mendadak Ratu Setan menoleh ke 

arah Suro Gandring dan Argomulyo yang tengah 

berusaha membebaskan diri dari totokan. Tetapi 

meskipun sudah mengerahkan seluruh tenaga da-

lam, tetap saja mereka tak mampu melepaskan to-

tokan.

Begitu melihat Ratu Setan menoleh dengan 

wajah memerah dan geliatan tubuhnya yang aneh, 

kedua murid si Manusia Buaya.

"Bebaskan kami! Kita bertarung sampai 

mampus!" teriak mereka hampir bersamaan.

Lain dengan sikapnya yang kejam dan te-

lengas, tiba-tiba saja Ratu Setan tersenyum. Rekahan bibirnya begitu penuh rangsangan meng-

gairahkan.

"Gila! Apa yang tengah dilakukannya?" pi-

kir kedua murid mendiang si Manusia Buaya. "Dia 

seperti seorang gadis yang sedang birahi."

Apa yang dipikirkan keduanya memang 

benar. Karena langkah Ratu Setan kemudian san-

gat gemulai. Pakaiannya yang tipis menerawang 

seperti sengaja dikuakkan lebih lebar saat me-

langkah. Bungkahan kedua pahanya yang montok 

dan mulus, tersibak dan terserobok di mata kedua 

pemuda itu.

"Kalian harus menjadi budakku mulai se-

karang...," desis Ratu Setan dengan suara lembut. 

Lalu tangannya berkelebat cepat. 

Sing! Sing!

Seketika dua buah benda mirip jarum ber-

warna keemasan melesat, masuk ke urat di bawah 

leher kedua pemuda itu yang terjengak sebentar.

Sebelum mereka tahu apa yang terjadi, ti-

ba-tiba saja tubuh Ratu Setan sudah berkelebat. 

Disambarnya mereka dengan ringan disertai suara 

kikikan keras yang menggema di lembah itu.

***

2


Siapakah sebenarnya Ratu Setan? Siapa 

pula Iblis Jagat Raya? Untuk apa kain bercorak 

catur milik pemuda berjuluk Pendekar Slebor diin-

ginkannya? Mungkin pertarungan-pertarungan itu 

bisa terjawab bila menyingkap peristiwa lima ta-

hun yang lalu, sebelum matinya si Manusia Buaya 

di tangan Ratu Setan!

Waktu itu ada seorang gadis yang ayahnya

adalah tokoh sesat. Tanpa sepengetahuan si gadis 

ternyata ayahnya adalah kaki tangan seorang to-

koh sesat berkepandaian tinggi yang berjuluk Iblis 

Jagat Raya.

Atas perintah Iblis Jagat Raya, ayah si ga-

dis berhasil membunuh tokoh sesat lainnya. Julu-

kannya si Rase Terbang. Akibatnya, peristiwa itu 

jadi berekor panjang. Enam orang anak buah si 

Rase Terbang berniat menuntut balas. Mereka 

berhasil membunuh ayah si gadis. Bahkan juga 

memaksa si gadis untuk memberitahukan kebera-

daan Iblis Jagat Raya.

Si gadis berhasil melarikan diri, setelah 

bertarung beberapa jurus. Namun, anak buah si 

Rase Terbang tak membiarkannya lolos begitu sa-

ja.

ketika si gadis telah terjepit keadaannya, 

dia tetap bersikeras kalau tak pernah mendengar 

nama Iblis Jagal Raya. Namun, enam orang anak 

buah si Rase Terbang telah berubah pikiran. Me-

reka berniat merampas kehormatan si gadis.

Pada saat yang gawat, apalagi mendengar 

namanya disebut, kebetulan Iblis Jagat Raya yang 

berada di sekitar tempat ini menggagalkan mak-

sud keenam anak buah si Rase Terbang.

Pertarungan sengit terjadi. Akibatnya, kea-

daan anak buah si Rase Terbang berhasil dite-

waskan.

Kini tinggallah si gadis seorang diri. Melihat 

kemolekannya, Iblis Jagat Raya bernafsu untuk 

menikmati tubuh si gadis. Seketika ditotoknya ga-

dis itu. Bahkan juga diberikannya Susuk Pem-

bangkit Birahi.

***

Begitulah akhirnya, Iblis Jagat Raya mem-

bawa si gadis ke tempat tinggalnya di sebuah gua 

yang gelap berudara sangat lembab. Juga tertutup 

semak belukar setinggi dada.

Si gadis benar-benar tak sadar kalau kini 

telah menjadi budak nafsu Iblis Jagat Raya. Wajah 

si lelaki bangkotan yang mengerikan dengan tu-

buh kerempeng menakutkan itu di matanya tak 

ubahnya seorang pemuda gagah dan tampan.

Kapan saja Iblis Jagat Raya menghendaki, 

gadis yang mengaku bernama Anjar Pitaloka selalu 

bersedia melayaninya. Namun di samping itu, si 

tua sakti ini pun menurunkan ilmu- ilmu anehnya 

yang hebat pada si gadis. Dan kemudian gadis ini 

dijuluki Ratu Setan.

Berkat gemblengan Iblis Jagat Raya, dalam 

tempo empat tahun saja kehebatan Ratu Setan 

sudah hampir menyamainya. Yang lebih gila lagi, 

Anjar Pitaloka pun kini memiliki birahi yang san-

gat tinggi. Tak peduli siapa saja yang ditemuinya, 

maka akan digumuli penuh nafsu.

Pernah ketika Iblis Jagat Raya tak ada di 

tempat, Ratu Setan yang saat itu sedang naik bi-

rahi, berkelebat meninggalkan gua. Dia menjum-

pai dua orang lelaki di sebuah hutan. Yang satu 

masih muda dan yang satunya lagi sudah tua. Ke-

tika tiba-tiba saja Anjar Pitaloka menggerakkan 

tangannya, maka dua buah jarum berwarna kee-

masan pun berkelebat masuk ke tubuh dua laki-

laki itu.

Setelah menunggu beberapa saat, keluar-

lah Ratu Setan dari tempatnya. Saat itu juga bira-

hinya dituntaskan sampai puas. Baru kemudian 

kedua laki-laki itu dibunuh secara kejam.

Begitulah yang terjadi pada Anjar Pitaloka 

yang kini disebut Ratu Setan. Birahinya selalu

bergejolak tiba-tiba. Ini dikarenakan beberapa 

buah Susuk Pembangkit Birahi yang dimasukkan 

Iblis Jagat Raya pada tubuhnya.

***

Waktu kian bergeser. Tak terasa, lima ta-

hun sudah Ratu Setan berada di bawah bimbingan 

Iblis Jagat Raya. Dan pada suatu malam, Iblis Ja-

gat memanggilnya.

"Aku sudah bosan denganmu, Ratu Setan! 

Lebih baik kau minggat dari sini!" ujar si lelaki tua 

kerempeng, seenaknya.

Ratu Setan kelihatan sedih. Padahal saat 

ini, akal tak warasnya benar-benar memuja Iblis 

Jagat Raya.

Tidak usah sedih. Kau boleh kembali ke si-

ni. Asalkan, kau mencari seorang pemuda yang 

memiliki sebuah senjata dahsyat. Senjata itu be-

rupa kain bercorak catur. Sebagai penangkal seka-

ligus alat penyerang, kain bercorak catur itu 

mampu mengeluarkan tenaga angin luar biasa he-

batnya. Bila aku berhasil memilikinya, hanya se-

dikit mengeluarkan tenaga dalam yang sesuai ilmu 

yang kumiliki, kain itu bukan hanya menjadi sen-

jata, tapi juga tameng sangat dahsyat dari setiap 

serangan lawan. Dan yang perlu kau ketahui, kain 

bercorak catur itu satu-satunya senjata pusaka 

terdahsyat! Tak ada bandingannya!" 

Ratu Setan mengangkat kepalanya. "Di 

manakah aku bisa mendapatkan kain pusaka 

itu?" tanyanya gembira.

"Seorang pendekar muda memilikinya. Dia 

berjuluk Pendekar Slebor. Kau harus menda-

patkan kain bercorak catur itu darinya! Bila gagal 

mcndapatkannya, jangan harap bisa datang lagi!""Akan kubunuh Pendekar Slebor dan 

membawa kain pusaka bercorak catur miliknya 

kepadamu!" desis Ratu Setan.

"Bukan main! Kekejamanmu sudah sama 

denganku! Kemarikan kedua tanganmu!" sahut Ib-

lis Jagat Raya sambil terbahak keras.

Dengan patuhnya, Anjar Pitaloka mengu-

lurkan kedua tangannya ke depan.

Tuk! Tuk!

Iblis Jagat Raya menotok kedua tangan Ra-

tu Setan hingga mengeluarkan suara mengeluh. 

Lalu perlahan-lahan dimasukkannya lima buah 

susuk berwarna keemasan di sekujur tubuh Anjar 

Pitaloka.

"Kekuatan yang akan kau miliki tak akan 

terkalahkan bila sudah melakukan hubungan ba-

dan dengan lelaki siapa pun juga. Dan kau akan 

semakin terangsang bila melihat lelaki mana pun 

juga. Tinggalkan tempat ini sekarang juga! Bunuh 

Pendekar Slebor. Dan, bawa kain bercorak catur 

itu kepadaku!"

"Tetapi..., maukah kau mengabulkan per-

mintaanku sebelum aku mencari Pendekar Sle-

bor," desah Ratu Setan lirih.

"Keparat! Berani benar kau meminta begitu 

kepadaku, hah?!" sentak Iblis Jagat Raya, tetapi 

tertawa dalam hati. "Keberanianmu sudah begitu 

tinggi. Sama tinggi dengan kekejamannya yang 

tiada tara."

"Maafkan. Tetapi aku minta..., gelutilah 

aku lebih dulu."

Terdengar suara Iblis Jagat Raya terbahak-

ba-hak. Lalu diangkatnya tubuh lembut itu dan 

direbahkannya di tanah dalam gua.

***

Senja hari, Ratu Setan pun meninggalkan 

gua itu dengan hati puas. Akan dicarinya Pende-

kar Slebor untuk mendapatkan kain bercorak ca-

tur. Baru beberapa purnama muncul, julukan Ra-

tu Setan pun telah menggemparkan dunia persila-

tan, karena kekejamannya yang banyak membu-

nuhi para tokoh. Salah seorang korban yang baru 

saja dibantai adalah si Manusia Buaya. Tindakan 

itu dilakukan, untuk memancing kehadiran Pen-

dekar Slebor.

Di samping itu, banyak pula lelaki baik be-

rusia muda maupun tua yang menjadi korban bi-

rahinya. Setelah puas menuntaskan segalanya, 

dengan kekejaman sangat luar biasa, dibunuhnya 

para lelaki itu.

Sampai sejauh ini, Ratu Setan memang be-

lum bertemu Pendekar Slebor. Tapi yang jelas, bila 

bertemu segala perintah Iblis Jagat Raya akan di-

laksanakannya. Itu sebabnya dia selalu memanc-

ing keonaran.

***

3


"Heh?! Mayat siapa itu? Kok dibiarkan be-

gitu saja? Apa tak ada keluarganya yang mau 

mengurusnya? "

Suara bernada terkejut itu muncul dari 

mulut seorang pemuda berpakaian hijau pupus 

yang baru saja tiba di depan pondok milik si Ma-

nusia Buaya. Kepalanya menggeleng-gelengkan 

sambil memeriksa mayat lelaki tua malang itu.

"Busyet! Setan belang mana yang keji me-

nurunkan tangan pada lelaki tua ini?!" makinya

entah pada siapa. "Hmm.... Bila melihat tongkat 

yang ada pada lelaki ini, aku yakin dia yang berju-

luk si Manusia Buaya. Tetapi, siapa yang membu-

nuhnya?"

Pemuda tampan berambut gondrong den-

gan alis hitam legam bagaikan kepakan sayap 

elang ini kembali menggeleng-geleng.

"Heran? Apa dunia sudah mau kiamat? 

Hm.... Bunuh-membunuh sekarang menjadi ba-

rang murah! Tetapi, itulah hukum rimba persila-

tan! Bukan melihat siapa yang benar atau siapa 

yang salah, tapi siapa yang kuat dialah yang akan 

menang!"

Pemuda yang tak lain Andika alias Pende-

kar Slebor itu langsung melangkah empat tindak 

dari mayat si Manusia Buaya. Kemudian kakinya 

berlutut sambil menyingsingkan lengan baju.

Pendekar Slebor segera menggali tanah 

dengan kedua tangannya. Setelah dirasakan cu-

kup, perlahan-lahan diangkatnya mayat si Manu-

sia Buaya dan dimasukkan ke lubang. Segera An-

dika menimbun mayat itu dengan tanah.

"Beres sudah. Sekarang, aku tinggal men-

cari si biang panu yang telah membunuh si Manu-

sia Buaya ini," gumam si pemuda sakti dari Lem-

bah Kutukan itu, begitu selesai menguburkan.

Namun sebelum Pendekar Slebor mening-

galkan lembah itu, tiba-tiba.... 

Wuuttt!

Satu ancaman mematikan meluncur ke 

arah si pemuda urakan ini. Bukan main dahsyat-

nya. Angin sambaran saja, mampu merontokkan 

beberapa ranting pohon. Walaupun sempat terke-

jut, namun sambaran seperti ini tak membuat An-

dika mati kutu. Secepatnya dia melompat ke atas. 

Blammm...!

"Monyet pitak! Orang sinting mana yang 

iseng mau membunuhku ini?" rutuk Andika.

Begitu kedua kakinya hinggap lagi di tanah, Andi-

ka langsung melirik ke arah tempat tadi dia berdi-

ri. Debu dan pasir tampak berterbangan. Dan se-

telah kepulan debu menghilang, terlihatlah sebuah 

benda bening sebesar kelereng di tanah itu.

"Astaga! Biji siapa, eh! Biji apa itu? Kecil, 

tapi sudah menimbulkan angin sangat dahsyat!" 

desah Pendekar Slebor. Dengan lagak yang sok, 

dia pura-pura mengamati benda yang tadi mener-

jangnya. "Siapa yang punya biji seperti ini?"

"Sebentar lagi kau akan melihatnya!" Di

iringi suatu suara bentakan, muncul satu sosok 

tubuh langsing berparas cantik. Dia seorang gadis 

berpakaian putih-putih dengan sebuah selendang 

berwarna keperakan. Rambutnya yang panjang di-

kuncir ekor kuda dengan pita berwarna keperakan 

pula.

Sejenak Andika sampai melongo melihat-

nya.

"Busyet! Tak kusangka gadis secantik ini 

punya biji sekecil itu," desisnya tanpa sadar.

"Kurang ajar! Mulutmu lancang sekali!" 

bentak gadis itu. Setelah tangannya siap bergerak.

"Eit! Sabar, sabar!" cegah Andika, langsung 

melangkah mundur. "Aku kan cuma bilang begi-

tu..., kok kau marah sih. Oh, ya. Ada yang bisa 

kubantu, Nona?"

"Siapa kau?!" wanita ayu ini malah ber-

tanya. 

"Aku? Ah, Nona cukup memanggilku Andi-

ka," sahut Andika lugas.

"Aku tak tanya namamu. Aku tanya julu-

kanmu!" sentak gadis itu, galak.

Andika benar-benar tak menyangka gadis

secantik ini bisa galak seperti itu. Dia jadi garuk-

garuk jidat, garuk-garuk pantat, dan garuk-garuk 

hidung. Bibirnya cengengesan serba salah. Sebab, 

dia sebal kalau orang ingin tahu julukannya. Tapi 

yang ini hanya seorang gadis cantik lagi.

"Jangan cengengesan, Pemuda Lancang!" 

hardik si gadis. Bola matanya membesar, meng-

gemaskan. Namun kemudian matanya melirik ke 

sebuah makam yang nampak masih baru. Sesaat 

di benaknya timbul pertanyaan. Makam siapakah 

itu?

"Aku tidak bermaksud lancang, cuma...." 

Wusss!

Kata-kata Andika terpenggal oleh desiran 

angin ketika gadis berkuncir ekor kuda itu meng-

gerakkan tangannya. Pendekar Slebor yang sudah 

tahu kalau angin dahsyat itu ditimbulkan dua 

buah benda mirip kelereng segera mencoba me-

mapakinya. Seketika tangannya bergerak pula.

Wrrr!

Angin pukulan bertenaga dalam tak begitu 

tinggi melesat pula menghalangi serangan angin 

yang dilakukan gadis berbaju putih-putih.

Blarrr!

Terdengar bunyi yang keras begitu papa-

kan Pendekar Slebor berhasil membuat benda mi-

rip kelereng itu berbelok entah ke mana.

"Hebat..., hebat!" puji Andika, sambil 

menggeleng-geleng.

Gadis itu tersenyum sinis.

Tinggalkan tempat ini sebelum kau kubu-

nuh!"

"Persoalan meninggalkan tempat ini sangat 

ingin kulakukan. Tapi aku ingin tahu, apa kepen-

tinganmu di sini. Dan siapa kau ini?"

"Justru aku yang harus bertanya, hah!

Mau apa kau datang ke tempat tinggal kakekku?!" 

balik gadis ini membentak.

Kali ini kening Andika berkerut.

"Kakekmu?"

"Kalau sudah tahu, cepat minggat!"

"Tunggu! Apakah kakekmu yang dijuluki si 

Manusia Buaya?"

"Benar-benar sinting! Apa kau ingin me-

nantang kakekku? Jangankan untuk menghadapi 

kakekku, menghadapiku saja kau akan kubuat 

kocar-kacir!"

"Tetapi...."

Andika jadi serba salah. Pendekar Slebor 

melihat gadis yang sedang geram padanya. Ini je-

las sekali baru datang dari perjalanan jauh. Apa-

kah akan dikatakannya kalau si Manusia Buaya 

telah tewas?

"Cepat pergi dari sini!" bentak gadis itu 

yang memang Prawitri.

"Aku akan meninggalkan tempat ini, sete-

lah aku menerangkan sesuatu kepadamu. Maaf, 

bila aku lancang bicara...," ucap Andika, kali ini 

terlihat hati-hati. "Kakekmu si Manusia Buaya, te-

lah menemui ajalnya. Aku baru saja mengubur-

kannya. Bila melihat darah yang masih segar di 

tubuhnya, jelas sekali kalau kematiannya baru sa-

ja terjadi...."

Prawitri sejenak terdiam. Namun sejurus 

kemudian….

"Kakek!" teriak gadis ini, langsung berkele-

bat ke makam yang ditunjuk Andika.

Andika terdiam. Perasaannya menjadi tidak 

enak saat mendengar isak tangis gadis itu. bagai-

manapun tegarnya seorang gadis, pasti akan men-

galirkan air matanya sebagai upaya terakhir dari 

pelampiasan jiwanya yang terpukul. Andika bisa

memakluminya.

Tiba-tiba gadis itu berdiri tegar dengan ta-

tapan nyalang. Kembali sikapnya galak. Dan ini 

yang tak disukai Andika.

"Katakan! Siapa yang membunuh kakek?!" 

desis Prawitri, garang.

Andika menggeleng.

"Aku baru saja tiba di sini. Dan kulihat, 

kakekmu sudah menjadi mayat. Lalu, aku mengu-

burkannya," tutur Pendekar Slebor, terus terang.

"Oh!"

Tiba-tiba Prawitri menoleh ke sana kemari. 

Dan seketika dia berlari ke gubuk.

"Kakang Suro dan Kakang Argo, di mana 

kalian?"

Andika segera mengikuti gadis itu.

Langkah Prawitri terhenti, ketika tak me-

nemukan kedua murid kakeknya. Kemudian dia 

menghadap ke arah Pendekar Slebor.

"Siapa mereka?" tanya Pendekar Slebor 

sambil berusaha menjajari.

"Keduanya adalah murid kakekku! Aku

memang tak pernah mengenal mereka, karena aku 

lebih dulu pergi ke Gunung Semeru. Aku tahu, 

kakekku memiliki ilmu cukup tinggi. Bahkan aku 

mengenali jurus-jurus utamanya. Tapi, kakek tak 

pernah mau menurunkan ilmunya kepadaku, ka-

rena aku akan dibimbing oleh guru lain. Katanya, 

kalau belajar dengan kakek sendiri, aku akan ber-

sikap manja. Kemudian aku tahu dari guruku 

yang berjuluk Pendekar Mutiara Perak, kalau ka-

kekku telah mengangkat dua orang murid. Yang 

satu bernama Suro Gandring, dan yang satu lagi 

bernama Argomulyo. Lalu, ke mana mereka seka-

rang? Mengapa mereka tak ada di sini?"

Andika terdiam, mencoba merenungkan

kata-kata Prawitri.

"Sejak aku tiba di sini, aku tak melihat sia-

pa pun juga selain mayat kakekmu."

Prawitri kembali menatap Andika. Namun 

kali ini sinar matanya penuh praduga.

"Apakah kedua murid kakekku telah men-

jadi pembunuh?"

Andika tidak menjawab. "Hhh! Kalau begi-

tu, aku harus mencari mereka untuk kutanyai!"

"Tunggu! Bila melihat luka-luka yang dide-

rita kakekmu, jelas sekali yang sanggup membu-

nuhnya adalah orang yang memiliki ilmu sangat 

tinggi. Si Manusia Buaya tak mungkin begitu mu-

dah bisa dilumpuhkan oleh sepuluh orang murid-

nya sekali pun!" cegah Andika, memberi alasan 

kuat.

"Apa maksudmu, hah?!" geram Prawitri.

Andika nyengir.

"Jangan gusar. Aku belum tahu, siapa na-

mamu."

"Setelah kuberitahu namaku, lebih baik 

minggat dari sini! Namaku Prawitri! Ayo pergi sa-

na!"

"Ketahuilah, Prawitri.... Aku pun ingin ta-

hu, siapa yang telah membunuh kakekmu ini. Ja-

di, aku pun akan mencarinya!"

"Peduli setan dengan urusanmu! Aku harus 

mencari kedua murid kakek!"

Lalu tanpa mempedulikan Andika lagi, 

Prawitri sudah berkelebat meninggalkan tempat 

itu. Sungguh, hati gadis ini sakit sekali. Sejak ke-

berangkatannya dari Gunung Semeru, dia sudah 

tak sabar untuk memperlihatkan ilmu-ilmu hebat 

yang dimilikinya. Bahkan senjata rahasia berben-

tuk Mutiara Perak pun telah diberikan gurunya. 

Tetapi sekarang, kakeknya sudah menjadi mayat.


Jangankan untuk menunjukkan kehebatannya 

sekarang ini. Untuk berjumpa saja, tak sempat. 

Akan dicarinya pembunuh kakeknya. Jauh di da-

sar hati Prawitri, dia menduga kalau kedua murid 

kakeknyalah yang telah berkhianat!

Sementara Andika hanya menggeleng-

geleng melihat kekeraskepalaan gadis itu.

"Hhh! Seperti Sari!" dengusnya. "Gadis-

gadis kebanyakan lebih suka memakai perasaan 

daripada perhitungan! Bila melihat derita yang di-

alami si Manusia Buaya sebelum ajalnya, bisa di-

pastikan lawannya memang memiliki ilmu sangat 

tinggi! Ini berbahaya buat Prawitri, meskipun aku 

tahu ilmunya sangat tinggi. Aku harus membuntu-

tinya sekarang juga!"

Namun sebelum Andika meninggalkan 

tempat itu, tiba-tiba saja segulung angin menderu-

deru bak puting beliung meluncur deras ke arah-

nya....

***

4


"Busyet! Siapa lagi yang iseng ini?!" rutuk 

Pendekar Slebor, langsung bergulingan. Maka an-

gin deras itu melabrak dua buah pohon sekaligus. 

Bukan hanya tercabut dari akarnya, kedua pohon 

itu juga terbang melayang.

Begitu kedua kaki Andika menginjak ta-

nah, sepasang matanya membesar seakan hendak 

melompat.

"Tapak Darah!" sebut Andika begitu meli-

hat kemunculan seseorang.

Orang yang baru muncul terkekeh-kekeh. 

Bentuk tubuhnya sungguh lucu. Sudah pendek,

kepalanya besar lagi. Rambutnya panjang. Hi-

dungnya pesek. Dan yang membuat lucu, sosok-

nya yang kerdil terbungkus pakaian panjang seu-

kuran manusia sewajarnya. Sehingga ketika berja-

lan mendekati Andika, tubuhnya terguling karena 

bajunya yang kepanjangan terinjak kakinya sendi-

ri.

"Wah, wah! Apakah kau sedang mengajari

ku jurus 'Tangkap Kodok Badan Nyungsep'!" ledek 

Andika.

Sosok kerdil itu mengepalkan tangannya. 

"Kurang ajar sama orang tua, ya?! Sedang apa kau

di sini?"

Andika memang sangat geli melihat tingkah

laku lelaki kerdil berjuluk Tapak Darah. Dia jadi 

teringat bagaimana Tapak Darah memaksa Lasmi,

cucu dari Panembahan Reso Tunggal untuk mem-

buka pakaiannya dan ditukar dengan pakaian biru 

panjang yang dikenakannya (Untuk mengetahui 

soal Tapak Darah, silakan baca serial Pendekar 

Slebor dalam episode: "Istana Sembilan Iblis").

"Heran! Manusia kok kecil begini, ya? Se-

waktu bayi, mungkin kau sebesar sandalku ini, 

ya?" ledek Pendekar Slebor lagi.

Wajah Tapak Darah memerah. "Dasar, Sle-

bor! Bisanya mengejek orang tua saja! Hei, kau be-

lum menjawab pertanyaanku tadi? Sedang apa di 

tempat kediaman temanku si Manusia Buaya ini, 

hah?"

Kali ini Andika menghentikan tawanya. 

Rupanya Tapak Darah dan si Manusia Buaya ber-

sahabat.

"Kau sendiri mau apa?" tukas Pendekar 

Slebor kemudian.

"Busyet! Benar-benar mau ku kemplang

kepalamu, ya? Anak kecil mau tahu urusan orang


tua!" 

"Orang tua kok cuma sejengkal badannya." 

"Sialan!"

Tiba-tiba saja Tapak Darah berkelebat ke 

arah Andika. Dan Pendekar Slebor langsung me-

lompat. Namun, sesaat si pemuda menjadi gelaga-

pan, karena lompatannya telah terkurung pusaran 

tubuh Tapak Darah yang mengelilingi tubuhnya.

"Gila! Dia masih hebat saja!" seru Andika 

dalam hati, seraya mencoba mengirimkan satu jo-

tosannya.

Plas!

Jotosannya seperti mengenai angin belaka, 

karena kecepatan perputaran tubuh Tapak Darah 

sangat luar biasa. Sebelum Andika menggerakkan 

tangannya lagi, tiba-tiba....

Plak!

Entah bagaimana caranya tahu-tahu kepa-

la Pendekar Slebor seperti ditampar. Dan, saat itu-

lah putaran tubuh Tapak Darah terhenti.

"Puas sudah aku bisa mengemplang kepa-

lamu, Hoi! Minggir, minggir!" seru Tapak Darah 

sambil melangkah. Dan tubuhnya tiba-tiba bergu-

lingan ketika ujung pakaiannya yang panjang te-

rinjak lagi oleh kakinya.

Andika kembali tertawa melihat adegan lu-

cu tanpa sengaja itu.

"Dulu sudah kubilang, lebih baik tak usah 

memakai baju saja! Atau, kau bisa membeli di ko-

taraja baju milik anak usia tiga tahun!" celoteh 

Andika lagi, tak mempedulikan kekesalan si orang 

tua kerdil.

"Sialan! Kalau tak memakai baju, aku 

khawatir gadis-gadis jelita akan mengerubungiku 

yang tampan dan gagah ini."

Kali ini Andika terbahak-bahak keras. Te

tapi bagaikan diingatkan kembali akan maksud 

kedatangan Tapak Darah ke sini, tawanya dihenti-

kan.

"Si Manusia Buaya! Aku datang! Jangan 

bersembunyi untuk menyambut kedatanganku 

ini!" teriak Tapak Darah keras.

Suara lelaki kerdil ini menggema keras. Se-

saat, Andika merasa darahnya berhenti.

"Tapak Darah? Kalau kau mencari saha-

batmu, tak perlu jauh-jauh. Kau lihat itu," ujar 

Andika sambil menunjuk makam si Manusia 

Buaya.

"Astaga! Apakah kau pikir aku bersahabat 

dengan tanah, hah?"

"Bukan! Maksudku, si Manusia Buaya te-

lah tewas. Dan aku telah menguburnya di sana,"

jelas Andika. 

Kali ini Tapak Darah terdiam. Lalu dia ter-

bahak-bahak tanpa sebab.

"Ya, sudah kalau sudah mati. Untuk apa 

aku menemui mayat?" sahut Tapak Darah, enteng.

Andika menghela napas kesal. Terkadang 

dia memang tak mengerti sifat tokoh-tokoh sakti 

dunia persilatan yang aneh dan rada-rada gila. 

Dan kini, tampak Tapak Darah sudah melangkah 

dengan sesekali bergulingan akibat baju kepan-

jangannya.

Andika pun tak menghiraukannya lagi ke-

tika teringat akan Prawitri. Lebih baik, segera di-

cari gadis itu. Karena dikhawatirkan akan terjadi 

apa-apa padanya. Di samping, dia sendiri ingin 

tahu siapa pembunuh si Manusia Buaya. Ma-

kanya, tubuhnya segera berkelebat.

Akan tetapi...

Brak!

"Kodok kontet! Kenapa lagi sih?" maki Pen

dekar Slebor begitu tahu kalau Tapak Darah yang 

menghalangi kelebatan tubuhnya. Tangannya 

mengusap-usap kaki kanannya yang terasa nyeri, 

akibat satu sentakan yang dilakukan Tapak Da-

rah.

"Anak muda kurang ajar! Ada orang tua, 

malah main pergi begitu saja tanpa pamit!" justru 

Tapak Darah yang ganti memaki.

"Kau sendiri tadi melakukan seperti itu?" 

sungut Pendekar Slebor, tak mau kalah.

"Kalau aku wajar. Karena, aku orang tua! 

Hei, Andika! Sudahkah kau mendengar tentang 

sepak terjang seorang gadis jelita berjuluk Ratu 

Setan?"

"Kalau sudah kenapa, kalau belum kena-

pa?" tukas Pendekar Slebor.

"Kalau sudah, ya bagus. Itu berarti kau te-

lah siap menyambutnya. Kalau belum, ya mampus 

saja!" sahut manusia kuntet itu enteng.

Kali ini Andika memperhatikan Tapak Da-

rah dengan seksama.

"Apa maksudmu dengan kata-kata aku te-

lah siap menyambutnya?" tanyanya.

"Dasar gemblung! Apakah kau tidak men-

dengar kalau Ratu Setan akan merebut kain ber-

corak catur yang bau apek itu, hah?!"

Andika merutuk dalam hati. Enak saja si 

kuntet ini bilang kalau kain warisan Ki Saptacakra 

ini bau apek. Tapi ketika Andika nengok sedikit 

kepalanya ke arah kain itu, mulutnya jadi nyengir 

sendiri.

Belum sempat Andika berkata....

"Yah.... Mudah-mudahan kau berhasil 

mempertahankan kain bututmu itu!" 

Wusss!

Kali ini tubuh Tapak Darah lenyap begitu

saja. Andika menggaruk-garuk kepalanya. Edan! 

Kalau manusia kuntet itu melangkah, selalu saja 

terserimpung pakaiannya yang panjang. Tetapi bi-

la berkelebat, cepatnya bisa laksana hantu!

Sesaat Andika terdiam memikirkan ucapan 

Tapak Darah. Sepak terjang tangan telengas yang 

diturunkan dara jelita yang berjuluk Ratu Setan 

memang telah didengarnya. Bahkan saat ini, An-

dika sendiri berniat menghentikan sepak terjang-

nya. Tetapi apa yang dikatakan Tapak Darah itu 

baru saja didengarnya.

"Dari mana Tapak Darah tahu kalau Ratu 

Setan menghendaki kain bercorak catur ini? 

Hmm.. Siapakah yang memerintahkannya? Aku 

jadi penasaran ingin mengetahui gadis itu. Jan-

gan-jangan, yang membunuh si Manusia Buaya 

adalah Ratu Setan? Busyet! Bila memang Ratu Se-

tan yang melakukannya, berarti kepandaiannya 

sangat tinggi. Hhh! Tak seorang pun yang akan 

kubiarkan untuk merebut kain pusaka ini. Aku te-

lah berjanji pada Eyang buyutku, untuk selalu 

menjaganya. Daripada pusing memikirkan soal 

itu, lebih baik aku segera menyusul Prawitri."

Sebelum pergi, sejenak Andika memperha-

tikan makam si Manusia Buaya.

"Si Manusia Buaya! Nama besarmu sebagai 

tokoh golongan kaum putih telah lama kudengar. 

Kini kau telah bersemayam di tempatmu yang te-

rakhir. Cucumu baru saja datang. Dan kini dia 

sudah pergi lagi. Di depan makammu, aku berjanji 

akan selalu menjaga cucumu itu. Hhh! Ratu Se-

tan! Ingin kulihat, siapa kau sebenarnya?"

***

5


"Suro Gandring! Dan kau, Argomulyo.... 

Kalian sangat perkasa dan tampan. Aku sangat 

menyukai kalian. Bila kalian menginginkan tu-

buhku! Bunuh Pendekar Slebor! Dan, rebut kain 

bercorak catur miliknya itu!" kata Ratu Setan, se-

telah puas melampiaskan nafsu birahinya pada 

dua murid si Manusia Buaya di sebuah gubuk, di 

pinggiran hutan.

Bagai kerbau dicocok hidungnya, kedua 

pemuda itu mengangguk dengan patuh. Sementa-

ra, Ratu Setan terkikik-kikik.

"Aku tahu, sepak terjangku ini akan me-

nimbulkan amarah orang-orang golongan lurus 

dunia persilatan. Jadi, kalian bukan hanya kutu-

gaskan untuk membunuh Pendekar Slebor. Tetapi, 

juga untuk menjaga diriku! Mengerti?"

Suro Gandring dan Argomuluyo mengang-

guk patuh. Apa yang dimasukkan Rain Selan ke 

tubuh mereka, memang membuat tindakan-

tindakan mereka tak ubahnya kerbau dicocok hi-

dungnya. Apa yang dimaui Ratu Setan akan selalu 

dituruti.

Dan tiba-tiba Ratu Setan yang bernama as-

li Anjar Pitaloka ini tersentak. Kepalanya seketika 

dimiringkan ke kiri.

"Rupanya ada manusia pengintip iseng!" 

dengusnya sambil mengerakkan tangannya ke 

atas.

Wuusss! Blarrr!

Atap gubuk kecil itu langsung terlempar ke 

atas, hancur menjadi satu. Dalam perkiraan Ratu 

Setan, orang yang mengintip pasti juga sudah 

menjadi abu. Akan tetapi....

"Gadis mesum berhati setan! Lebih baik ke

luar, sebelum gubuk itu kuterbangkan!"

Ratu Setan terkikik.

"Aku ingin melihat kehebatan kalian seka-

rang. Siapa yang berhasil membunuh manusia 

iseng itu, akan mendapatkan tubuhku selama tiga 

hari tiga malam!" kata Anjar Pitaloka, pada dua 

budak pemuas nafsunya.

Bagai merebutkan sepotong kue, kedua 

pemuda itu serentak melompat keluar dengan ta-

tapan marah. Sementara, Ratu Setan kembali me-

rebahkan tubuhnya di dipan kayu yang dipergu-

nakan untuk memuaskan nafsunya tadi.

Di luar, dua pemuda yang telah dipengaru-

hi susuk Ratu Setan menatap sengit pada seorang 

gadis berbaju kuning yang berdiri tegak dengan ta-

tapan penuh hawa amarah.

"Lebih baik kalian minggat dari sini! Uru-

sanku hanyalah pada Ratu Setan!" bentak gadis 

berambut panjang dengan wajah geram. Di tan-

gannya terdapat dua buah pedang tipis, berkilau 

tajam.

Suro Gandring dan Argomulyo saling ber-

pandangan sejenak. Mereka benar-benar telah be-

rubah watak, berada di bawah pengaruh Ratu Se-

tan. Dan

tanpa banyak cakap lagi, keduanya segera mener-

jang ganas. Serangan dilakukan dari dua penjuru, 

sehingga agak menyulitkan si gadis berbaju kun-

ing.

"Keterlaluan! Pemuda-pemuda hina yang 

menjadi pemuas Ratu Setan!" makinya sambil 

mengibaskan kedua pedang di tangan kanan dan 

kiri.

Wut! Wut!

Dua serangan yang dilakukan sekaligus itu 

menutup jalur serangan Suro Gandring dan Argo

mulyo. Kedua pemuda itu harus berjumpalitan. 

Bahkan wajah mereka terasa bagai ditampar angin 

yang keras, ketika pedang itu mengibas.

Namun kedua pemuda yang berada di ba-

wah pengaruh Ratu Setan langsung melompat 

menyerang kembali. Serangan mereka kali ini san-

gat berbahaya, diiringi gerengan keras.

Serangan berikutnya nampak sangat me-

nyulitkan si gadis meskipun berusaha untuk 

mempertahankan diri. Karena, Suro Gandring ba-

gaikan melompat-lompat menerjang bagian atas. 

Sementara Argomulyo dengan gerakan mirip 

buaya lapar, menerjang bagian bawah.

"Gila!" desis gadis berbaju kuning, melihat 

Suro Gandring yang tak mempedulikan kibasan 

pedang yang bergerak memutar dan mengeluarkan 

desingan keras.

Cras!

Bahu pemuda itu tergores oleh ujung pe-

dang si gadis. Namun seakan tak mempedulikan 

kalau lengannya telah terluka, Suro Gandring te-

rus melompat-lompat. Kedua tangannya siap men-

cengkrami leher si gadis.

"Keparat! Rupanya Susuk Ratu Setan telah 

mendekam di tubuh kedua pemuda ini! Tingkah 

mereka seperti yang terjadi terhadap kakakku

yang telah kena dipengaruhi Ratu Setan. Dan ak-

hirnya dia mati bunuh diri setelah gadis sesat itu 

meninggalkannya dalam penuh birahi yang berko-

bar! Sinting! Apakah aku harus membunuh dua 

pemuda yang tak berdosa ini? Namun, kalau aku 

tidak melakukannya, bisa-bisa aku yang mampus! 

Kalau begitu..., baik!"

Tiba-tiba saja si gadis melompat, ketika tu-

buh Argomulyo menyergap bagian bawah tubuh-

nya. Begitu melompat pedangnya mengibas ke

arah Suro Gandring yang sedang memburu bagian 

atas tubuhnya.

Pedang itu kembali menggores tubuh Suro Gandr-

ing. Namun, meskipun berhasil mematahkan se-

rangan, gadis itu kembali harus memekik keras. 

Karena, tubuh Suro Gandring terus meluruk ke 

arahnya.

"Sialan!"

Seketika kaki ramping si gadis bergerak 

menyambar kepala Suro Gandring. 

Duk!

Si pemuda terhuyung ke belakang. Bersa-

maan dengan it,. si gadis menyergap cepat.

Tuk! Tuk!

Dua totokan dilakukan si gadis secara ber-

samaan, mempergunakan hulu kedua pedang di 

tangannya. Seketika Suro Gandring ambruk tanpa 

bisa bergerak lagi.

Sementara itu, Argomulyo bagai tak mem-

pedulikan keadaan kakak seperguruannya terus 

menyergap dari bawah. Sejenak, si gadis harus be-

rusaha melompat-lompat menghindari serangan 

yang selalu menderu angin besar.

"Aku harus bergerak cepat, sebelum Ratu 

Setan melarikan diri! Hampir tiga bulan aku men-

carinya!" gumam gadis itu.

Setelah berkata begitu, si gadis segera 

menggerakkan kedua kakinya. Gerakannya sangat 

luar biasa, karena dilakukan selagi melayang di 

udara.

Des! Des! Des! Des!

Empat kali tubuh Argomulyo terhantam 

tendangan keras, membuat tubuhnya terjajar ke 

belakang. Sebelum ambruk di tanah, si gadis su-

dah bergerak setengah lingkaran sambil mengge-

rakkan tangannya.

Tuk! Tuk!

Seperti yang dialami oleh Suro Gandring, 

tubuh Argomulyo pun tertotok hulu pedang.

"Kasihan kedua pemuda itu. Aku yakin, 

mereka tak tahu apa yang sedang terjadi sebenar-

nya. Kini, tinggal si Ratu Setan yang harus dimus-

nahkan!"

Lalu diiringi teriakan sangat keras si gadis 

menggerakkan kedua pedangnya dari tempatnya 

berdiri.

Putaran kedua pedang itu sangat keras. 

Suaranya bagai dengungan ratusan tawon marah.

"Mampuslah kau, Ratu Setan!"

Tiba-tiba gadis ini mengarahkan kibasan 

pedangnya ke gubuk itu.

Angin yang sangat keras meluruk ke arah 

gubuk. Bagaikan topan badai prahara yang sangat 

besar, angin itu melabrak dan menerbangkan gu-

buk hingga menjadi seperti segumpal kapas yang 

dipermainkan angin.

Namun sebelum angin tadi melabrak, satu 

sosok tubuh ramping telah berkelebat keluar pon-

dok.

"Hik hik hik.... Rupanya kau, Juwita," 

sambut satu suara dari sebuah pohon. "Apakah 

kau tak bisa memaafkan aku atas tindakan bunuh 

diri yang dilakukan Prasetyo?"

Gadis berbaju kuning bernama Juwita itu 

menggeram sambil menatap satu sosok tubuh 

berbaju merah menerawang yang duduk di seba-

tang ranting pohon.

"Ratu keparat! Kau harus membayar nyawa 

kakakku!" maki Juwita mangkel.

"Mengapa kau berkata seperti itu? Bukan-

kah kau seharusnya berterima kasih kepadaku, 

karena kakakmu yang tampan itu kuhibur dan

kuperkenalkan pada surga dunia?"

Wajah Juwita mengkelap. Tanpa banyak 

cakap tubuhnya segera dikempos. Kedua tangan-

nya dijarakkan, menimbulkan desing angin yang 

sangat deras.

Ratu Setan hanya terkikik-kikik melihat se-

rangan.

"Ah! Apakah kau tak sadar kalau kakakmu 

yang memiliki ilmu lebih tinggi darimu, masih bisa 

kukalahkan?"

Lalu....

Plas!

Crak! Crak!

Tubuh Ratu Setan tiba-tiba saja lenyap da-

ri tempatnya. Sementara, ranting yang tadi didu-

dukinya patah berkeping-keping terkena cacahan 

pedang Juwita.

***

6


"Aduh, aduh...! Kau masih tak mau me-

maafkan aku juga?"

Seketika Juwita memutar tubuhnya ke 

arah datangnya suara dengan tatapan sengit. Eje-

kan itu sangat membuat telinganya memerah.

"Kau harus mampus, Manusia Setan!" sen-

tak Juwita.

Dikawal satu dendam kesumat, si Juwita 

membawa tubuhnya meluncur. Jurus simpanan-

nya langsung dikerahkan.

Gerakan si gadis tak hanya cepat, tapi juga 

menimbulkan deru angin kencang. Dedaunan ber-

guguran ketika tubuhnya melesat cepat ke arah 

Ratu Setan.

Terbayang di wajahnya, bagaimana Pra-

setyo kakak kandungnya yang tersiksa setelah di-

masukkan susuk oleh Ratu Setan. Birahi pemuda 

itu selalu berkobar keras. Hingga kemudian, me-

nyergap tubuh adik kandungnya sendiri yang 

menjadi ketakutan akan perbuatan kakaknya! Ke-

heranan telah mengubah rasa takut di hati Juwi-

ta, ketika kakaknya tiba-tiba melepaskan tubuh-

nya sambil menutup wajahnya dan berlari me-

ninggalkannya.

Penasaran pun menggayuti hati Juwita. 

Dia tersentak hingga tercekat beberapa kali, ketika 

melihat kakaknya telah berdiri tegak dengan ujung 

pedang di dada.

Seruan Juwita untuk menghentikan kein-

ginan nekat kakaknya gagal, karena Prasetyo lebih 

dulu menikam jantungnya!

Juwita menggigil dengan perasaan hancur. 

Didekatinya kakaknya yang sudah menjadi mayat. 

Masih sempat dia mendengar kakaknya menyebut 

nama 'Ratu Setan'.

Dan sekarang perempuan busuk itu telah 

berada di hadapannya. Selama tiga bulan Juwita

berkelana untuk membalaskan dendam. Meskipun 

menyadari kalau ilmu Ratu Setan lebih tinggi, na-

mun kegeramannya sudah menjadi-jadi!

Ratu Setan terkikik-kikik ketika serangan 

maut Juwita itu kian mendekat. Dan tiba-tiba..

Wuutt!

Sekali sentak, enam kali kebutan pedang 

itu telah dilakukan Juwita. Sejenak Ratu Setan 

mendengus, sambil membuang tubuhnya ke 

samping. Sungguh tak disangka kalau serangan 

gadis berbaju kuning begitu dahsyat.

"Keparat! Kau benar-benar ingin mampus!"

bentak Ratu Setan.

Tiba-tiba saja, si perempuan yang sudah 

dikangkangi nafsu ini bergerak memutar. Luar bi-

asa cepat gerakannya. Dan ini membuat gerakan 

Juwita bagai tak ada apa-apanya. Di mata Ratu 

Setan, malah bagai geliatan bayi!

Malahan....

Duk! Duk!

Tubuh Juwita tersuruk ke belakang, ketika 

dua jotosan mengandung tenaga sakti menghan-

tam dadanya.

"Gila! Aku benar-benar tak akan sanggup 

menandingi ilmu Ratu Iblis ini!" desis gadis itu 

sambil mengusap darah yang keluar dari mulut-

nya. Tatapannya semakin nyalang, melihat Ratu 

Setan terkikik-kikik.

"Silakan bertindak seperti yang dilakukan

kakakmu, Juwita!" leceh Ratu Setan.

"Perempuan berotak mesum! Kita akan ma-

ti bersama!"

Dikawal satu gerengan keras, tubuh Juwita 

meluruk laksana kilat. Gemuruh angin terdengar 

begitu dahsyat.

Namun kali ini Ratu Setan tak bergerak da-

ri tempatnya. Dia hanya berdiri tegak sambil ter-

kikik-kikik, seolah tak menyadari akan kehebatan 

serangan Juwita.

Sejengkal lagi, pedang di tangan Juwita 

mengenai sasaran, Ratu Setan mengangkat kedua 

tangannya ke atas dan mendorongnya ke arah 

Juwita.

Wrrr!

Tubuh Juwita kontan terjungkir dan bergu-

lingan ke belakang. Sambaran kedua pukulan 

yang telak tadi terasa seperti mematahkan tulang 

iganya. Sehingga dia tak mampu berdiri. Juwita 

cuma bisa duduk dengan kaki selonjor, menahan

rasa sakit luar biasa.

Namun kekeras kepalaan gadis itu membuatnya

tak menghiraukan rasa sakitnya.

"Kau akan mampus, Ratu Setan!"

"Hik hik hik.... Aku justru ingin melihat 

kau mampus! Bersiaplah, Juwita!"

Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri, Ra-

tu Setan menggerakkan tangan kanannya.

Wusss!

Juwita hanya bisa terperangah saja melihat 

serangan datang. Serangkum angin deras melu-

ruk, siap meluluhlantakkan tubuhnya. Karena ke-

beranian dan dendamnya, tubuhnya dipalingkan 

juga tak menutup matanya, ketika maut akan 

menjemputnya. Untuk menghindari serangan me-

mang tak bisa sebab tubuhnya terasa lemah seka-

li.

Namun tiba-tiba saja, meluncur pula dari 

tempat lain, langsung menghantam pukulan jarak 

jauh Ratu Setan.

Blarrr!

***

Juwita yang tak memejamkan matanya 

terperangah melihat satu benturan tenaga dalam 

luar biasa, yang menimbulkan ledakan keras.

Ratu Setan menggeram murka.

"Bangsat hina! Siapa yang berani mengha-

lang sepak terjangku, hah?!" maki Ratu Setan ke-

ras.

"Ratu Setan! Tingkahmu benar-benar 

membuatku muak!"

Seruan itu disusul dengan munculnya satu 

sosok tubuh kuntet.

"Mau ku pukul bokongmu yang besar itu, 

hah?" makinya lagi.Lalu si tubuh kuntet yang tak lain Tapak 

Darah melangkah. Dan tiba-tiba saja, tubuhnya 

terjatuh bergulingan karena kakinya tersangkut 

pakaian birunya yang kepanjangan.

"Bego! Kenapa sih, pakaian ini tidak ku

buang saja? Tetapi kalau ku buang, burungku bi-

sa terbang..."

Ratu Setan membelalak besar dengan kege-

raman luar biasa.

"Manusia kuntet! Kau lancang telah men-

gacaukan sepak terjangku!"

Si Tapak Darah yang sempat memancing 

senyum Juwita tampak melotot.

"Enak saja kau mengejekku sembarangan! 

Kalau sudah kucium, pasti minta tambah!"

"Lebih baik kau mampus saja!" Ratu Setan 

menggerakkan tangan kanannya dengan marah.

Wrrr!

Serangan berhawa maut menderu ke arah 

Tapak Darah. Padahal lelaki yang tubuhnya terlalu 

irit ini sedang membetulkan pakaiannya.

Hlairr!

Tempat yang dipijak Tapak Darah tadi su-

dah membentuk sebuah lubang. Ratu Setan terki-

kik-kikik, karena merasa yakin kalau manusia 

kuntet itu akan berkalang tanah terkena pukulan 

dahsyatnya.

"Hhh! Hanya membuang waktu saja!"

Juwita sendiri terperangah melihat tubuh 

manusia kuntet itu telah lenyap. Dia pun yakin, 

Tapak Darah tak akan mampu menahan serangan 

Ratu Setan.

Tetapi, bukan hanya Juwita yang kemu-

dian menjadi terkejut. Ratu Setan sendiri sampai 

mengeluarkan teriakan keras.

Rupanya, Tapak Darah sudah berdiri di

tempat lain sambil tetap memperbaiki letak pa-

kaiannya. Sikapnya benar-benar santai, seolah tak 

tahu kalau serangan Ratu Setan tadi begitu dah-

syat.

"Kau?!" pekik Ratu Setan dengan wajah 

gemetar karena geram.

Seperti baru sadar apa yang terjadi, Tapak 

Darah mengangkat wajahnya. Lalu kepalanya me-

noleh ke belakang, seperti orang kebingungan. Ba-

ru kemudian matanya yang bulat menatap Ratu 

Setan yang menggigil menahan amarah dengan 

wajah terheran-heran.

"Kau memanggilku? Nah, apa kubilang? 

Belum apa-apa saja kau sudah terkesan melihat 

penampilanku kan? Tetapi, maaf. Aku tak pernah 

suka pada gadis mesum sepertimu!"

Ratu Setan benar-benar menggigil hebat 

melihat sikap Tapak Darah. Apalagi dengan san-

tainya lelaki ini mendekati Juwita dengan sekali 

gulingan tubuhnya.

"Sialan! Memalukan sekali! Di depan gadis 

cantik ini, aku harus terjatuh!" makinya. Lalu tan-

gannya memegang tubuh Juwita. "Wah.... Kau ter-

luka dalam, Cah Ayu. Oh, ya. Namaku Tapak Da-

rah. Hm.... Sebaiknya beristirahat saja dulu. Nih! 

Telanlah obatku yang sangat manjur."

Juwita yang merasa kalau Tapak Darah 

bukanlah orang keji, menerima dua buah obat 

berbentuk bulat, berwarna merah. Lalu segera di-

telannya.

"Kau pergilah. Biar aku urus gadis mesum 

itu."

"Tidak! Aku ingin membunuhnya!" sahut 

Juwita, berkeras.

Dan tiba-tiba si gadis merasakan hawa pa-

nas mengaliri tubuhnya. Dan perlahan-lahan, rasa

panas itu menjelma menjadi sejuk. Tubuhnya 

yang terasa sakit tadi, perlahan-lahan mulai 

membaik.

Tapak Darah menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Kau pergi saja sana. Biar aku...."

Belum tuntas Tapak Darah bicara....

"Kau membuatku muak, Manusia Kuntet!" 

geram Ratu Setan.

Wanita yang suka mengumbar birahi ini 

merasa diinjak-injak kepalanya oleh Tapak Darah. 

Dan tangannya seketika mengibas kembali.

Gemuruh angin dahsyat menderu. Semen-

tara Tapak Darah menoleh sambil mengangkat 

alisnya.

"Benar-benar pemarah! Aku pukul bo-

kongmu nanti!"

Wuusss!

Dengan gerakan cepat luar biasa, Tapak 

Darah menyambar tubuh Juwita. Memang, meski-

pun sudah membaik, namun gadis ini masih le-

mah.

Blarrr!

Tanah berterbangan ketika pukulan Ratu 

Setan menyambar ke tempat tadi Tapak Darah 

dan Juwita berada. Tetapi, tubuh Tapak Darah 

sudah lenyap.

Sesaat Ratu Setan celingukan dengan kege-

raman luar biasa.

"Keluar kau, Manusia Kuntet! Kau harus 

mampus!"

"Kenapa sih kau memanggilku lagi? Aku 

pasti akan muncul! Sudah kubilang tadi, aku akan 

memukul bokongmu! Lagi pula, manusia begini 

mau merebut kain pusaka milik Pendekar Slebor. 

Huh! Menghadapiku saja, belum tentu mampu!"

Tiba-tiba terdengar suara keras bersama

gemuruh angin.

Wajah Ratu Setan memerah legam men-

dengarnya.

"Kau akan kuampuni bila mengatakan di 

mana Pendekar Slebor berada?"

"Wah.... Kalau kau ingin menjumpainya, 

mengapa harus bersusah payah? Toh ada aku, 

kan? Malah aku lebih tampan?" sahut Tapak Da-

rah tanpa juntrungan.

"Katakan, di mana Pendekar Slebor bera-

da?!" desak Ratu Setan.

"Busyet! Menurut kabar, padahal aku lebih 

tampan dari pada Pendekar Slebor! Kenapa justru 

aku yang dijelek-jelekkan?!"

Sambil memaki tanpa juntrungan, Tapak 

Darah telah muncul kembali. Kali ini tubuh Juwi-

ta tak bersamanya lagi.

Melihat kemunculan lelaki bertubuh apa 

adanya itu, Ratu Setan langsung menerjang dah-

syat. Gerengannya keras sekali, membahana di 

sekitar hutan ini.

"Kau ternyata punya nyali yang besar, Kun-

tet! Aku mau lihat, apakah kau mampu menahan 

pukulanku!"

Sambil melenting di udara ke arah Tapak 

Darah, Ratu Setan merapal ajian kesaktiannya. 

Dan mendadak saja, tangannya sudah berwarna 

keemasan, siap dihantamkan ke arah Tapak Da-

rah.

Wuuttt!

Sinar keemasan itu menyambar, mengelua-

rkan suara menderu. Itu adalah pukulan maut 

'Setan Sambar Nyawa' milik Ratu Setan yang se-

lain mengerikan juga mengandung racun memati-

kan. 

Dari sinarnya, Tapak Darah sudah dapat

menduga keganasan pukulan lawan. Maka cepat-

cepat dia melompat ke kiri. Berbarengan dengan 

itu, dilontarkannya serangan balasan berupa ajian 

'Tapak Darah Lima Jari' yang memancarkan sinar 

berwarna merah pula.

Blammm...!

Dua pukulan sakti itu mengeluarkan suara 

berdentum bagai ledakan ketika bertemu di udara. 

Ratu Setan merasakan kedua kakinya bergetar 

hebat, hingga membuatnya hampir jatuh kalau ti-

dak cepat-cepat menjaga keseimbangan.

Sementara yang dialami Tapak Darah, tu-

buhnya terlempar dua tindak. Dia memang berha-

sil menahan serangan maut Ratu Setan. Namun 

akibatnya justru nafasnya tadi sesak dan jantung-

nya berdenyut lebih keras.

"Busyet! Bagaimana aku bisa memukul bo-

kongnya?" dengusnya.

Cepat-cepat Tapak Darah mengerahkan te-

naga dalamnya, mengatur napas dan jalan darah-

nya. Namun selagi Tapak Darah tengah melaku-

kan hal itu, Ratu Setan tanpa membuat tempo lagi 

sudah mengempos tubuhnya dengan serangan 

sama. Hanya saja, dengan kekuatan tenaga dalam 

penuh.

Tak ada yang bisa dilakukan Tapak Darah 

selain menjatuhkan diri rata dengan tanah. Na-

mun, tak urung punggungnya terhantam samba-

ran angin pukulan Ratu Setan yang panas dan 

menyengat.

"Brengsek! Aku pukul bokongmu!" dengus 

Tapak Darah sambil berdiri.

Sementara itu Suro Gandring dan Argo-

mulyo sedang berusaha membebaskan diri dari to-

tokan Juwita. Mereka sudah tak sabar untuk 

membantu Ratu Setan dalam memusnahkan manusia kuntet itu. Pengaruh Susuk Ratu Setan se-

makin kuat menjadi-jadi membelenggu keduanya.

Di depan sana, Ratu Setan sudah siap 

kembali untuk menyerang. Kali ini dengan tubuh 

melesat, Tapak Darah pun melakukan hal yang 

sama. Lalu....

Blammm...!

Sinar berwarna keemasan yang memancar 

dari pukulan Ratu Setan bertemu kembali dengan 

sinar merah milik Tapak Darah. Terdengar dentu-

man lebih dahsyat dari yang pertama. Tanah yang 

terpijak seakan bergetar. Tubuh Suro Gandring 

dan Argomulyo terjingkat sejenak, karena getaran 

tanah itu.

Kali ini tubuh Tapak Darah terpental deras 

ke belakang setelah terjuntai-juntai tak punya ke-

seimbangan. Lalu perlahan-lahan tubuhnya am-

bruk, jatuh pingsan setelah nafasnya tersengal 

beberapa kali.

Sedangkan Ratu Setan tegak berdiri den-

gan pakaian bagian bawahnya sedikit hangus. Ha-

tinya nampak sangat puas. Dan tiba-tiba saja tu-

buhnya bergetar hebat, dengan wajah memerah. 

Perlahan-lahan didekati tubuh Tapak Darah yang 

pingsan. Hendak dihabisinya si lelaki kerdil ini.

Namun sebelum melakukannya, pandan-

gan Ratu Setan berpaling pada Suro Gandring dan 

Argomulyo yang berada di sana. Seketika berkele-

bat, wanita ini sudah berada dekat dengan mere-

ka. Dibebaskannya totokan kedua budak pemuas 

nafsu itu.

"Kalian seharusnya menerima hukuman, 

karena tak mampu membunuh Juwita. Tetapi, 

aku masih membutuhkan kalian! Sebentar! Manu-

sia kuntet itu harus mampus lebih dulu!"

Ratu Setan melangkah mendekati Tapak

Darah yang masih pingsan. Tangannya diangkat, 

siap memukul hancur tubuh Tapak Darah. Na-

mun....

Wuusss!

Satu sosok tubuh telah menyambar tubuh Tapak 

Darah. Ratu Setan terkejut, ketika pukulannya

menghantam angin kosong. Dia berteriak setinggi 

langit. Mendadak tangannya digerakkan kembali 

ke arah bayangan yang membawa lari tubuh Ta-

pak Darah.

Bummm!

Bayangan itu dengan lincah berkelit, lantas 

menghilang. Tinggal Ratu Setan yang menggeram 

murka.

"Keparat!" maki wanita ini dengan tubuh 

semakin bergetar. Memang birahinya saat ini su-

dah memuncak. Jadi, dia tak berniat untuk men-

gejar bayangan tadi.

Wuuttt!

Tubuh Ratu Setan pun menghilang sambil 

membopong tubuh kedua pemuda itu.

***

Di satu tempat, bayangan yang tadi me-

nyambar tubuh Tapak Darah mendesah panjang. 

Dia tak lain cucu si Manusia Buaya. Begitu terke-

jutnya Prawitri melihat keadaan manusia kuntet 

yang pingsan dengan pakaian bolong di lengan.

"Gila! Pukulan macam apa ini? Kelihatan-

nya kejam sekali," desah Prawitri. Segera dico-

banya untuk membuat sadar Tapak Darah. "Aku 

yakin yang melakukannya gadis berbaju menera-

wang itu. Hhh! Aku tak tahu siapa dia. Juga, ma-

nusia kuntet ini. Tetapi, aku harus menolongnya. 

Masih kudengar detak jantungnya, walaupun lemah."

Setelah melakukan pengurutan dan mem-

berikan hawa murni pada Tapak Darah, Prawitri 

pun bersemadi sejenak. Namun belum tuntas se-

madinya, dilihatnya satu sosok tubuh agak ter-

huyung mendekati Tapak Darah.

Kening Prawitri sejenak berkerut melihat 

gadis yang baru dating itu duduk terpekur di sisi 

Tapak Darah yang pingsan.

"Siapakah Nona ini?" tanya Prawitri pelan.

Gadis berbaju kuning itu menoleh.

"Namaku Juwita."

"Kenalkah kau dengan manusia kuntet 

ini?"

"Aku baru saja mengenalnya. Dia sangat 

baik." Prawitri menghela napas panjang.

"Apa yang telah terjadi?"

Juwita yang tadi disembunyikan Tapak Da-

rah di tempat aman karena kesehatannya belum 

membaik, segera menceritakan apa yang terjadi.

***

"Ratu Setan.... Oh, aku pernah mendengar 

julukan yang santer itu. Apakah dia yang telah 

menggegerkan rimba persilatan ini dengan banyak 

membunuh para tokoh?"

"Ya! Ilmunya sangat tinggi. Sangat sulit un-

tuk mengalahkannya. Dan lagi..., dia mempunyai 

susuk yang mampu mempengaruhi laki-laki mana 

pun juga, sehingga bersedia mengikutinya tanpa 

tahu apa yang tengah dilakukan."

"Juwita.... Katamu tadi, Ratu Setan bersa-

ma dua orang pemuda? Siapakah mereka?"

"Kalau tak salah namanya Suro Gandring 

dan Argomulyo."

"Ohh...!"

Prawitri tersentak.

"Kenapa, Prawitri?"

"Tidak, tidak.... Lalu, apa yang terjadi?"

"Nampaknya, kedua pemuda itu berada di 

bawah pengaruh Ratu Setan. Aku yakin sebenar-

nya mereka pemuda baik-baik, sama seperti yang 

dialami kakakku. Tetapi karena pengaruh Susuk

Ratu Setan, mereka telah berubah pikiran. Sepe-

nuhnya mereka akan mematuhi apa yang diingin-

kan Ratu Setan."

"Juwita.... Tahukah, ke mana mereka per-

gi?" tanya Prawitri, menjadi tegang.

Diam-diam gadis ini bisa mengira-ngira, 

apa yang telah terjadi. Kalau memang yang dika-

takan Juwita benar, berarti yang membunuh ka-

keknya adalah Ratu Setan. Buktinya, Suro Gandr-

ing dan Argomulyo sekarang berada di bawah pen-

garuhnya. Menggigillah tubuh gadis itu, setelah ti-

ba pada kesimpulan yang membuatnya menjadi 

marah.

Juwita menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu, ke mana mereka pergi. 

Ketika aku berusaha datang ke sini lagi, aku su-

dah bertemu denganmu. Dan, kakek Tapak Darah 

sudah pingsan."

Prawitri berdiri.

"Kalau begitu, kita berpisah di sini. Aku 

hendak mencari ratu mesum itu!"

"Hei!" seru Juwita. Namun, tubuh Prawitri 

sudah berkelebat cepat.

***

7


Matahari senja dengan sinarnya yang mulai 

memudar, membuat bayangan panjang di tanah 

saat menerpa tubuh Pendekar Slebor. Saat ini An-

dika terus berusaha mengikuti jejak Prawitri. Tu-

buhnya terus berkelebat, dan kini hutan telah 

menghadangnya. Andika segera menyusuri pinggi-

ran hutan yang cukup lebat ini.

"Walah..., ke mana gadis judes itu...? Tapi, 

kasihan juga nasibnya. Siapa tahu kalau aku to-

long, aku dapat..., cup!" Andika memonyongkan 

mulutnya sendiri. Mulai timbul pikiran buayanya. 

Tapi bicara soal buaya, Pendekar Slebor merasa 

kesulitan mencari pembunuh si Manusia Buaya. 

Dia tahu, yang melakukannya adalah Ratu Setan. 

Dan apa yang dikatakan Tapak Darah pun menuju 

ke sana!

"Gila! Kalau aku terlambat menghentikan 

sepak terjang Ratu Setan, bisa habis kaum lelaki 

disikatnya...! Dasar rakus! Yang dipikirkan cu-

ma..., he he he...!"

Sambil terus melangkah, benak si pemuda 

digayuti tentang perempuan yang menggegerkan 

dunia persilatan saat ini dengan tingkahnya yang 

penuh kemesuman.

"Siapa sebenarnya Ratu Setan? Apakah dia 

menginginkan kain pusakaku ini karena kehen-

daknya, ataukah karena ada orang lain yang me-

nyuruhnya? Hmmm.... Susuk yang dimilikinya ter-

lalu membahayakan. Dia memang harus dihenti-

kan...."

Laju pikiran Andika terpenggal oleh suara 

benda yang mendesing. Ketajaman telinga Pende-

kar Slebor menangkap suara-suara yang mengan-

camnya tak dapat diragukan. Ketika matanya melirik, tampak lima buah benda berbentuk gelang 

berduri melesat ke arahnya.

Menghadapi serangan liar ini, tak membuat 

Andika kelimpungan. Santai saja tubuhnya me-

runduk. Hasilnya, ternyata bisa mementahkan 

sambaran lima buah gelang berduri.

Sambil merunduk, mata Andika mengikuti 

laju lima gelang berduri. Dan bagai memiliki mata, 

kelima senjata terbang itu kembali ke arah da-

tangnya tadi.

Tap!

Dengan hebatnya, satu sosok tubuh tinggi 

besar berkulit hitam menangkap lima buah senja-

ta gelang berduri. Sementara di jarak sejauh em-

pat tombak. Andika mendengus begitu menyadari 

kalau senjata itu milik lelaki berikat kepala putih 

yang di tengahnya terdapat gambar gelang berduri.

"Kalau mau main lempar-lemparan, lihat-

lihat! Apa kau mau mengganti kepalaku kalau co-

pot?! rutuknya.

Sosok berkulit hitam dengan pakaian hi-

tam pula itu tergelak-gelak.

"Tanggalkan kain bercorak catur itu. Maka, 

kau akan selamat!" gertak sosok tinggi besar itu.

Kedua alis Andika hampir bertaut, mena-

tap sosok di depannya. Siapa lagi ini? Setahunya, 

saat ini yang menginginkan kain bercorak catur 

miliknya hanyalah Ratu Setan? Apakah begitu ba-

nyak yang menginginkan kain pusakanya?

"Wah..., jangan dong.... Ini kan kain dari 

ibuku untuk jaga-jaga kalau aku lagi ingusan...."

Wajah hitam itu semakin kelam. Mirip pan-

tat panci.

"Sekali lagi kukatakan, tanggalkan kain 

bercorak catur itu! Atau, tubuhmu ingin kujadikan 

sasaran gelang berduri ku!"

"Nah, ini. Aku paling suka dengan orang 

keras kepala. Siapa kau ini, Orang Tinggi Besar? 

Kenapa kau ingin kainku?" Andika membesarkan 

suaranya, melecehkan.

"Orang-orang menjuluki aku Setan Gelang 

Duri. Dan kau tak perlu tahu untuk apa kain itu. 

Yang penting, laksanakan perintahku!"

"Hm.... Kalau begitu, memohonlah padaku 

sambil bersimpuh. Biar aku bisa menendangmu!" 

sahut si pemuda, kalem saja.

Setan Gelang Duri menggeram sambil 

menggertakkan gigi-giginya mendengar sahutan 

Pendekar Slebor yang seenak udelnya. Tiba-tiba 

saja tangannya bergerak cepat.

Swing! Swing...!

Lima buah senjata gelang berduri berdesin-

gan, mengancam keselamatan si pemuda sakti da-

ri Lembah Kutukan. Derasnya luncuran kelima 

benda itu demikian sulit terukur. Namun itu tak 

membuat si pemuda jadi ciut nyalinya. Tubuh 

Pendekar Slebor sama sekali tak bergeser. Entah 

apakah si pemuda sableng ini sudah kebal dengan 

kata kematian, atau otaknya sedang ngeres.

Sejengkal lagi, kelima senjata itu mere-

jam....

Wuuttt...!

Kelima gelang berduri hanya menebas an-

gin. Ke mana Pendekar Slebor?

"He he he..., mestinya senjatamu jangan 

gelang besi. Tapi gelang karet. Pasti aku tak mela-

wan.

Sosok tinggi besar itu berbalik. Dia tak ta-

hu, kapan Pendekar Slebor berkelebat dan tahu-

tahu hinggap di atas dahan sebuah pohon.

"Kembali!"

Dengan kegusaran yang membulat, Setan

Gelang Duri membentak. Maka lima gelang itu 

kembali ke arahnya. Namun begitu sampai di tan-

gannya, kembali benda-benda mematikan itu ber-

gerak ke arah Andika.

"Busyet! Tenaga dalamnya cukup tinggi ju-

ga!" dengus Andika.

Kali ini Pendekar Slebor melompat turun 

dengan tubuh berputaran. Dan tiba-tiba saja tan-

gannya bergerak cepat.

Tap! Tap!

Dua gelang duri berhasil ditangkap Andika. 

Sedang yang tiga lagi meluncur terus ke batang 

pohon tempat Pendekar Slebor tadi menghilang. 

Yang membuat Andika tercengang, pohon yang 

tertanam tiga gelang duri itu mendadak mengering 

dengan daun berguguran. Lalu hangus dan tum-

bang menimbulkan suara berdebam.

"Benar-benar tinggi tenaga dalamnya! Ka-

lau begitu aku tak bisa menganggap enteng. 

Hiih...!"

Dengan satu dengusan, Pendekar Slebor 

meremas dua gelang berduri yang dipegangnya 

dengan mengalirkan tenaga 'inti petir', Seketika 

dua benda berduri itu meleleh.

Bukannya mengkeret nyalinya, Setan Gelang Duri 

malah menggeram. Tangannya langsung masuk ke 

balik bajunya. Ketika tangannya keluar, tampak 

dua gelang berduri ukuran yang sangat besar te-

lah dipegangnya. Memancarkan sinar warna hitam 

yang menggidikkan.

"Berikan kain pusaka itu kepadaku!" sen-

tak Setan Gelang Duri keras. Selama aku belum 

mendapatkannya, Ratu Setan tak akan pernah lagi 

memberikan tubuhnya padaku!"

Sejenak Andika terdiam. Dicobanya memi-

kirkan, siapa Setan Gelang Duri sesungguhnya.

Bila mendengar julukannya, sudah jelas dari go-

longan sesat. Dan Andika pun yakin kalau lelaki 

hitam itu telah terkena pengaruh Ratu Setan. 

Mungkin, beberapa buah susuk milik Ratu Selan 

telah bersemayam di tubuhnya.

Tetapi Pendekar Slebor mencoba untuk 

menyadarkan kemarahan yang ada di tubuh Setan 

Gelang Duri.

"Darah akan bersimbah sebentar lagi. Te-

tapi, jiwamu saat ini bukanlah milikmu. Kau di-

pengaruhi Ratu Setan."

Setan Gelang Duri terbahak-bahak. "Justru 

dia yang ku pengaruhi. Karena, bila kain bercorak 

catur milikmu kudapatkan, maka tubuhnya akan 

diberikan seumur hidup kepadaku."

Memang tak guna untuk menasihati Setan 

Gelang Duri. Kini Andika pun bersiap menyambut 

serangan Setan Gelang Duri. Dan memang, kejap 

berikutnya lelaki berkulit hitam itu sudah melesat 

dengan serangan mautnya. Gemuruh angin men-

dahului serangannya. Sementara senjatanya me-

mancarkan kilatan hitam mengerikan. 

Wuusss!

Andika merunduk. Namun tak urung kepa-

lanya terasa bagaikan dipapas angin keras. Tepat 

ketika tubuhnya merunduk satu jotosan dilancar-

kan ke arah dada Setan Gelang Duri.

Namun di luar dugaan, Setan Gelang Duri 

justru menarik pulang tangannya.

Wuuttt!

Kembali senjatanya bagaikan menjelajah 

siap memapas tangan Andika bila tak cepat mena-

rik tangannya.

"Gila! Dari desir anginnya saja bulu ku-

dukku sudah meremang. Tetapi aku yakin, manu-

sia itu telah dipengaruhi Ratu Setan. Berarti, aku

harus melepaskan susuk pada tubuh lelaki hitam 

ini. Tetapi, di mana letaknya?"

Andika kembali menghindari sambaran ke-

ras senjata Setan Gelang Duri dengan mengandal-

kan kecepatannya. Sesekali Pendekar Slebor me-

nyerang. Namun setiap kali menyerang, senjata di 

tangan lelaki hitam itu bagaikan berkeliling men-

coba menghalanginya.

Ini sangat menyulitkan Andika. Di samp-

ing, dia juga harus menghindari sambaran-

sambaran maut dari Setan Gelang Duri. Dalam hal 

ini, pertarungan memang harus dalam jarak rapat, 

baru bisa menjatuhkan serangannya. Tetapi jan-

gankan untuk menyerang. Untuk mencoba masuk 

saja sangat sulit dilakukan.

"Lekas kau berikan kain pusaka itu kepa-

daku?!" bentak Setan Gelang Duri sambil terus 

mencecar dengan gerakan-gerakan aneh.

Andika benar-benar kehilangan bentuk se-

rangannya sekarang. Pertahanannya menjadi ka-

lang kabut ketika senjata di tangan Setan Gelang 

Duri semakin menyudutkannya dengan sinar hi-

tam menyilaukan yang menggidikkan.

"Bila melihat kenyataan ini, sudah tentu 

Ratu Setan memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi. 

Karena, untuk mengalahkan Setan Gelang Duri 

saja aku sudah kesulitan."

Tiba-tiba saja, Andika membuat gerakan 

setengah lingkaran. Tubuhnya dimiringkan ketika 

serangan Setan Gelang Duri melesat ke arahnya. 

Bersamaan dengan itu, dibuatnya gerakan yang 

mendadak..

Srettt!

Kain bercorak catur sudah terpegang Andi-

ka segera dikibaskan ke wajah Setan Gelang Duri. 

Ctar!

Wajah lelaki hitam itu tersambar. Seketika 

dirasakannya hawa panas menyengat wajahnya.

Bersamaan dengan itu Andika bergerak 

kembali. Kain pusakanya telah tersampir kembali 

di bahunya, sementara tangan kirinya menotok 

pergelangan tangan Setan Gelang Duri.

Tuk!

Senjata lelaki hitam itu jatuh seketika. Dan 

bersamaan dengan itu, tangan kanan Andika yang 

telah terangkum tenaga 'inti petir' menjotos ke de-

pan.

Des! Des!

Tubuh Setan Gelang Duri terhuyung ke be-

lakang. Saat itu dengan sekali sentak saja Andika 

bisa menghabisi Setan Gelang Duri. Namun si pe-

muda sakti ini tidak melakukannya. Dia hanya 

bergerak cepat, menotok tubuh Setan Gelang Duri 

hingga tak bisa bergerak sama sekali.

Namun yang mengherankan, Andika sea-

kan tak melihat Setan Gelang Duri kesakitan. Pa-

dahal, jotosannya sangat kuat tadi.

"Pengecut! Ayo, lepaskan totokanmu! Kita 

bertarung sampai mampus! Ratu Setan! Sebentar 

lagi aku akan mendapatkan kain bercorak catur 

itu. Dan, ha ha ha.... Kau akan menjadi milikku 

selamanya," teriak Setan Gelang Duri, ngelantur.

Andika yakin, rupanya Susuk Ratu Setan 

benar-benar sudah bekerja di tubuh lelaki hitam 

ini. Jalan satu-satunya memang harus mencari 

susuk itu.

Dengan cepat Pendekar Slebor menotok 

urat suara Setan Gelang Duri. Saat itu juga mulut 

lelaki hitam ini ternganga. Namun, sepasang ma-

tanya melotot tajam.

Si Pemuda segera memeriksa sekujur tu-

buh Setan Gelang Duri dengan seksama. Cukup

lama juga hal itu dilakukan. Dipergunakannya te-

naga 'inti petir' untuk mengetahui hawa panas 

yang lain dari tubuh Setan Gelang Duri.

Setelah beberapa saat, barulah Andika me-

nemukan di mana letak Susuk Ratu Setan. Perta-

ma, di telapak tangan kanan lelaki hitam itu. Ke-

dua, di dada sebelah kiri. Dan terakhir, di pung-

gung.

Setan Gelang Duri bagai hendak berteriak

setinggi langit ketika Andika menekan keluar su-

suk-susuk itu. Namun, tak ada suara yang keluar. 

Andika hanya melihat matanya mengatup rapat-

rapat dengan tubuh bergetar. Jelas kalau lelaki itu 

tengah menahan rasa sakit luar biasa!

Si pemuda sakti yang urakan ini tak mem-

pedulikannya. Dia terus menekan kuat-kuat. Dari 

tempat susuk itu bersemayam, keluar darah segar. 

Dengan cepat, Andika menotok tangan itu agar ti-

dak terlalu banyak yang keluar.

Karena tak kuasa menahan sakit yang luar 

biasa, Setan Gelang Duri jatuh pingsan. Andika 

mendesah.

"Gila! Berbahaya sekali susuk-susuk gadis 

setan itu. Aku harus secepatnya menemukan Ratu 

Setan, sebelum peristiwa yang lebih mengerikan 

ini terjadi. Aku masih penasaran, siapakah orang 

yang berada di balik kekejaman Ratu Setan? 

Orang yang tentunya menginginkan nyawaku, un-

tuk mendapatkan kain pusaka warisan Ki Sapta-

cakra ini."

Pendekar Slebor segera melepaskan toto-

kan pada tubuh Setan Gelang Duri yang pingsan. 

Sambil mengusap keringatnya yang mengalir, di-

perhatikannya lagi tubuh Setan Gelang Duri.

"Hmm.... Sekarang juga aku harus berang-

kat sebelum malam datang."

Seketika Andika pun bangkit, dan hendak 

melangkah. Namun mendadak saja terasa satu 

angin deras siap menghajar punggungnya dari be-

lakang.

Wuuuttt!

Cepat Pendekar Slebor mengegos ke samp-

ing, menghindar. Tampak Setan Gelang Duri se-

dang bangkit untuk kembali melancarkan seran-

gannya. Gila! Rupanya lelaki hitam itu memiliki 

daya tahan tubuh yang kuat. Pingsannya hanya 

terjadi beberapa kejapan saja.

Sambil berteriak marah, Pendekar Slebor 

menjatuhkan diri ke tanah, ketika Setan Gelang 

Duri meluruk ke arahnya dengan pukulan terhe-

batnya. Dan seketika si pemuda berguling ke ka-

nan, lalu kaki kanannya menendang ke arah dada 

Setan Gelang Duri.

Desss...!

Terdengar pekik yang sangat keras dari la-

ki-laki hitam itu. Tubuhnya terlontar sampai dua 

tombak, menabrak sebuah pohon hingga langsung 

tumbang.

"Manusia bodoh!" bentak Andika marah 

sambil berdiri. "Bukannya berterima kasih karena 

telah kuselamatkan dari pengaruh Ratu Setan, ju-

stru kau hendak membunuhku!"

Setan Gelang Duri menggeram muak, 

meskipun tubuhnya sudah sangat sulit digerak-

kan. Dadanya seolah melesak ke dalam dengan tu-

lang iga patah. Dari bibir dan hidungnya keluar 

darah segar.

"Tak perlu aku berterima kasih kepadamu! 

Karena..., kau menggagalkan keinginanku untuk 

mendapatkan tubuh Ratu Setan selama-lamanya. 

Kau harus mempertanggung jawabkan perbua-

tanmu ini, Pendekar Slebor."

"Brengsek! Begitu kuatkah pengaruh su-

suk-susuk Ratu Setan, sehingga lelaki itu masih 

terpengaruh? Padahal, sudah ku buang semua su-

suk di tubuhnya?" pikir Andika. "Ataukah, masih 

ada susuk lainnya yang tak bisa kutemukan?"

Tiba-tiba Andika melihat tubuh Setan Ge-

lang Duri mengejang. Dari pori-pori di bagian da-

danya mengalirkan darah. Memang, masih ada se-

buah susuk yang ditanamkan Ratu Selan di tubuh 

Setan. Susuk itu terletak di antara kedua paru-

parunya.

Darah yang keluar dari pori-pori tubuh le-

laki hitam itu semakin banyak. Tak lama, terden-

gar teriakan maut, lalu perlahan-lahan melemah.

Sesaat kemudian, lepaslah nyawa Setan 

Gelang Duri.

Andika menggeleng-geleng.

"Aku harus secepatnya mencari Ratu Se-

tan.

***

8


Andika terus berlari tanpa menghiraukan 

kelelahan di tubuhnya. Dia merasa harus berlom-

ba dengan waktu. Ketika matahari sudah muncul 

kembali, Pendekar Slebor tiba-tiba menghentikan 

larinya. Keningnya berkerut melihat seorang dara 

berbaju kuning sedang tidur pulas di samping seo-

rang lelaki tua bertubuh kuntet.

"Hmm, Tapak Darah. Apa yang telah terjadi 

padanya? Bila melihatnya terbaring, dia bukan se-

dang tidur. Tapi, pingsan. Lalu, siapakah gadis di 

sebelahnya? Kalau dia, jelas tertidur karena desa-

han nafasnya begitu lembut dan teratur," gumam

Andika.

Perlahan-lahan Andika mendekati kedua-

nya. Sialnya, kakinya menginjak sebatang ranting 

hingga menimbulkan suara.

Bersamaan dengan itu, gadis berbaju kun-

ing itu terbangun. Si gadis sampai tercekal dan 

melompat begitu melihat seorang pemuda beram-

but gondrong yang berdiri di dekatnya.

"Siapa kamu?" bentak gadis yang tak lain 

Juwita dengan siaga, berdiri di depan tubuh Tapak 

Darah yang masih pingsan.

"Tahan, Nona! Namaku Andika. Apa yang 

telah terjadi?" tanya Pendekar Slebor.

"Aku tidak mengenalmu. Bila kau suruhan 

Ratu Setan, aku akan bertarung denganmu sam-

pai mati!" sahut gadis itu, ketus.

Andika mendesah pelan. Secara tak lang-

sung, dia sudah diberitahu oleh gadis itu, kalau 

pingsannya Tapak Darah karena perbuatan Ratu 

Setan.

"Tidak usah tegang. Aku sahabat Tapak 

Darah," ujar Andika sambil berlutut.

Si pemuda segera memeriksa tubuh Tapak 

Darah yang hangat. Rupanya, udara dingin sema-

lam tak mengusik keadaan tubuh Tapak Darah.

"Nona, apakah kau yang mengobati Tapak 

Darah? Karena, di tubuhnya telah mengalir ke-

hangatan yang mampu melindunginya dari udara 

dingin?" tanya Andika.

Juwita yang melihat kalau pemuda itu me-

nunjukkan sikap bersahabat menggelengkan ke-

palanya. Sikapnya tidak setegang tadi. Di saat se-

perti ini, dia memang harus waspada. Karena tak 

mustahil Ratu Setan telah mengirimkan orang-

orang suruhannya. Juwita tahu, lelaki mana pun 

yang terkena susuk, akan menuruti perintah Ratu

Setan.

"Bukan.... Tetapi, seorang gadis yang ber-

nama Prawitri."

"Apa? Prawitri? Oh! Di mana dia sekarang?"

Dengan kening berkerut Juwita mencerita-

kan apa yang terjadi.

"Dia sudah pergi sejak kemarin, mengejar 

Ratu Setan."

"Kacau! Aku tidak boleh terlambat. Berba-

haya sekali bila Prawitri berhasil tertangkap Ratu 

Setan.

Dan semakin kuat keyakinanku, kalau ga-

dis mesum itu memiliki ilmu sangat tinggi. Menga-

lahkan Tapak Darah bukanlah pekerjaan mudah. 

Tetapi, dia berhasil mengalahkannya," gumam An-

dika.

Lalu Pendekar Slebor mengobati lagi Tapak Darah 

yang sampai saat ini masih pingsan.

"Bila melihat derita yang mulai membaik 

ini, aku yakin Prawitri mengerti ilmu obat-obatan. 

Mungkin dia mendapatkan banyak pelajaran obat-

obatan dari gurunya," jelas Pendekar Slebor sam-

bil menatap si Tapak Darah.

Andika lalu menoleh pada Juwita.

"Juwita.... Sebaiknya, kau bawa tubuh Ta-

pak Darah ke tempat aman. Di ujung masuk hu-

tan ini, aku melihat sebuah gua. Dalam waktu ku-

rang lebih lima penanakan nasi, Tapak Darah

akan siuman. Berbahaya bila berada di sini."

"Kau sendiri hendak ke mana?" tanya Ju-

wita, merasa cepat akrab dengan Andika. Sejenak 

tadi perasaannya tak menentu ketika sorot mata si 

pemuda menghujam sifat kewanitaannya. Dia me-

rasa secelah dinding hatinya dibelai-belai tangan 

lembut.

"Aku akan menyusul Prawitri untuk men

cari Ratu Setan. Hhh! Sebenarnya gadis mesum 

itu hanya menginginkan aku. Dia menghendaki 

kain pusakaku ini! Tetapi, dia tak segan-segan 

menurunkan tangan telengasnya dan membuat 

rimba persilatan menjadi muram."

"Andika.... Di tanganmu aku berharap kau 

bisa membunuh Ratu Setan. Karena, nyawa ka-

kakku hilang gara-gara dia."

"Berdoalah semoga aku berhasil. Sekarang, 

bawalah tubuh Tapak Darah. Sampaikan salamku 

bila dia sudah siuman."

Juwita pun mengangguk, lalu membopong 

tubuh Tapak Darah yang masih pingsan. Ditatap-

nya Andika sejenak. Sementara si pemuda melihat 

kerjapan gelisah di mata gadis itu.

"Terima kasih atas bantuanmu. Mudah-

mudahan kita bertemu lagi."

Wuuuttt!

Tanpa kelihatan letih atau kesusahan, Ju-

wita membawa tubuh Tapak Darah ke tempat 

aman.

"Hebat! Aku yakin gadis itu bukan gadis 

sembarangan. Dari gerakannya saja terbukti ke-

pandaiannya cukup hebat. Kalau saja aku tidak 

hendak mencari Ratu Setan, aku ingin berlama-

lama dengannya. Hmmm.... Lebih baik aku segera 

mencarinya saja."

Ketika Andika hendak mengempos tubuh-

nya, mendadak saja kedua kakinya terasa sangat 

sulit diangkat. Tenaga dalamnya segera dikerah-

kan, namun kedua kakinya bagai dipantek di ta-

nah.

"Kutu monyet! Siapa yang jahil lagi ini?!" 

makinya sambil mengerahkan seluruh tenaga da-

lam. 

Plas!

Tubuh Andika terbebas. Dan pemuda pe-

waris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu segera 

menoleh, ketika terdengar tawa bernada dingin di 

belakangnya.

***

Andika melihat satu sosok tubuh dengan 

wajah mengerikan. Sejenak kening pemuda tam-

pan itu mengerut melihat lelaki hanya bercawat 

itu terbahak-bahak.

"Tak perlu jauh-jauh melangkah! Rupanya

yang dicari ada di sini," kata orang tua aneh itu, 

terbahak-bahak.

"Hei?! Kalau mau pamer aurat kenapa ha-

rus di hadapanku?!" bentak Andika, sewot.

Orang itu tiba-tiba menghentikan tawanya.

"Pendekar Slebor! Serahkan kain pusaka 

itu kepadaku!"

"Sinting! Kok ada tengkorak hidup yang 

rambutnya bau busuk seperti kau ini, ya? Apakah 

kau orang suruhan Ratu Setan yang mengingin-

kan kain pusaka ini?"

Sekarang lelaki tua bercawat itu terbahak-

bahak.

"Memang hebat muridku itu. Julukannya 

sudah menggegerkan dunia persilatan. Ah! Aku 

rindu padanya hingga akhirnya aku muncul di si-

ni. Sudah lama aku tak menikmati tubuhnya yang 

indah."

Diam-diam kening Pendekar Slebor berke-

rut. Kalau begitu, apakah manusia ini guru dari 

Ratu Setan?

"Mana mungkin Ratu Setan muridmu? Dia 

cantik sekali. Dan kau seperti gembel kumal yang 

tak pernah tercuci...."

"Keparat! Kau menghinaku, berarti berani 

menantangku! Iblis Jagat Raya memang tak akan 

pernah membiarkan kau hidup! Pendekar Slebor! 

Berikan kain pusaka itu kepadaku?!"

Kali ini Andika mulai yakin, kalau yang 

berdiri di hadapannya adalah guru Ratu Setan. 

Kalau begini caranya dia harus berhati-hati dan 

mempergunakan otaknya. Karena sudah pasti Iblis 

Jagat Raya memiliki ilmu sangat tinggi.

Teka-teki yang ada di benak Andika selama 

ini berarti mulai terpecahkan. Rupanya sepak ter-

jang Ratu Setan yang menggemparkan, didalangi 

Iblis Jagat Raya.

"Menyerahkan kain pusakaku ini sangat 

mudah. Tetapi, sayangnya tak akan pernah me-

nyerahkannya."

"Keparat!

Wuuusss!

Angin besar bergulung-gulung. Dan Pende-

kar Slebor memang sudah siap menghindarinya. 

Dengan ringan sekali tubuhnya dibuang ke samp-

ing.

Blammm...!

Tanah yang dipijak Andika tadi menjadi se-

buah lubang mengeluarkan asap, setelah didahu-

lui ledakan keras.

"Benar-benar hebat!" desisnya dalam hati. 

Tetapi bukan Andika kalau tidak mengejek. "Se-

rangan seperti kentut orang yang kebanyakan ma-

kan ubi saja dipamerkan! Lebih baik panggil mu-

ridmu! Keroyok aku! Hmm.... Aku khawatir kau 

tak akan mampu menandingi kehebatanku!"

"Pemuda sialan! Mampuslah kau!"

Andika tercekat begitu tahu-tahu dua buah 

bayangan tangan mendesir keras. Rupanya sambil 

meluruk kedua tangan Iblis Jagat Raya yang men

jelma menjadi semacam bayangan tangan raksasa 

telah mengibas, menimbulkan gemuruh luar bi-

asa.

Andika bukannya tak menyadari bahaya. 

Dia sudah berusaha melompat jauh-jauh, namun 

tak urung tersampok keras pula hingga tubuhnya 

terpental ke belakang.

Tampaknya Pendekar Slebor demikian ter-

siksa akibat serangan ini. Bahkan belum lagi ber-

diri tegak, sambaran kedua bayangan tangan rak-

sasa itu kembali berkelebat, menimbulkan desin-

gan menggidikkan. Hanya keteguhan hati yang 

membuat Pendekar Slebor masih berusaha berta-

han.

"Gila! Benar-benar ilmu iblis yang dimili-

kinya!" makinya. "Bagaimana caranya agar aku bi-

sa menghentikan serangan aneh ini?"

Dengan kelincahannya yang dipelajarinya 

di Lembah Kutukan dalam menghindari samba-

ran-sambaran petir, Andika melompat ke sana 

kemari. Kendati demikian, Pendekar Slebor terus 

memeras otaknya. Dicobanya menghantamkan 

bayangan tangan yang besar itu dengan tenaga

'inti petir' tingkat kesepuluh. Namun tak memba-

wa hasil apa-apa. Pukulannya bagai jeplos, mene-

bas angin.

Dan hal yang ditakutkan akhirnya terjadi 

juga. Untuk yang kedua kalinya, tangan raksasa 

itu kembali menghantam Pendekar Slebor hingga

terpental lagi ke belakang.

Andika sempat memekik kecil. Tulang 

iganya terasa seperti patah. Dan dari hidungnya 

mengalirkan darah. Namun dengan ketegarannya 

yang patut diberi acungan jempol, dia harus kem-

bali menghindari serangan-serangan maut itu.

"Persetujuan yang kutawarkan padamu te

lah kau tolak. Kebodohan telah ada di dirimu. Ki-

ni, mampuslah!"

Setelah Iblis Jagat Raya membentak, kedua 

tangan raksasanya mengibas keras ke arah Andika 

yang semakin blingsatan. Wajahnya kali ini benar-

benar pias. Tenaga 'inti petir' yang dilancarkannya 

tadi tak ada gunanya!

Tidak! Dia tidak boleh pasrah dan menga-

lah seperti itu. Maka dikawal teriakan keras, Andi-

ka menyongsong serangan maut itu dengan ajian 

'Guntur Selaksa'. Serangan ini memang mengan-

dalkan keberanian luar biasa. Nyatanya, justru 

akibatnya bertambah parah. Karena serangan 

yang dilancarkan, lagi-lagi nyeplos begitu saja. 

Dan....

Wusss! Buk!

Untuk ketiga kalinya Andika terpental ke 

belakang. Tubuhnya terpelanting lima tombak. 

Kali ini darah bukan hanya mengalir dari hidung-

nya melainkan juga dari mulutnya.

***

Kesehatan Tapak Darah kini sudah ber-

tambah pulih. Malah telah siuman dari pingsan-

nya. Begitu sadar dia terkekeh-kekeh, melihat seo-

rang gadis manis duduk bersimpuh di sisinya. Wa-

jah gadis ini kelihatan sangat gembira begitu meli-

hat Tapak Darah sadar.

"Nah, nah.... Apakah aku sudah berada di 

surga dan ditemani seorang bidadari?"

Juwita memasang senyum.

"Kau masih ada di dunia, Kek. Kau masih 

hidup. Dan aku bukan bidadari," sahut Juwita.

"Aku tahu, aku tahu. Kau pasti gadis yang 

kutolong dari maut ketika Ratu Setan hendak

menghajarmu, bukan? Ah! Aku jadi tidak enak 

mengatakan kalau aku telah menolongmu. Hei? 

Apakah kau telah menolongku?"

Juwita menggeleng. Diceritakannya siapa 

yang telah menolong Tapak Darah.

"Brengsek! Aku jadi berhutang budi pada 

Pendekar Slebor! Kau tahu, di mana dia?" cerocos 

lelaki kerdil ini.

"Dia mencari Ratu Setan, Kek."

"Berbahaya! Ilmu Ratu Setan sangat tinggi, 

meskipun aku yakin kalau Pendekar Slebor akan 

mampu menandinginya. Ihh! Gadis setan itu ter-

nyata sangat cantik. Sayang hatinya kejam. Kalau 

tidak, aku mau mengawininya...."

Juwita menekap tangannya ke mulut agar 

tidak tertawa.

"Lucu sekali kakek kuntet ini," pikirnya.

Tapak Darah kini merasa kesehatannya 

benar-benar pulih. Apalagi setelah bersemadi.

"Sebaiknya, aku segera menyusul Pendekar 

Slebor. Aku ingin membalas perlakuan Ratu Se-

tan. Kurang ajar sekali! Sampai-sampai membua-

tku pingsan. Memalukan. Uhh! Aku juga gagal 

memukul bokongnya yang montok itu...."

"Kalau kau hendak mencari Ratu Setan, 

aku ikut Kek."

"Tidak usah."

"Kek! Aku pun punya kepentingan yang 

sama denganmu untuk membunuh Ratu Setan. 

Kakak kandungku meninggal gara-gara dia."

"Huh! Perempuan memang merepotkan!" 

gerutu Tapak Darah.

Lelaki kerdil ini melangkah. Tetapi sesaat 

terguling, karena kakinya menginjak pakaiannya 

yang panjang. Dan ini membuat Juwita terpingkal.

"Brengsek! Hei? Kenapa tertawa? Lucu ya?

Lucu?"

Juwita semakin keras tertawa. Dia tidak 

malu atau curiga lagi dengan manusia kuntet itu. 

Karena dia tahu, sesungguhnya manusia kuntet 

berjuluk Tapak Darah sangat baik.

"Bukan maksudku untuk menertawakan-

mu, Kek" kilah Juwita.

"Tetapi kau sudah tertawa," terabas Tapak 

Darah.

"Apakah aku harus menarik tawaku kem-

bali?" 

"Pintar omong! Kau pantasnya menjadi istri 

Pendekar Slebor yang bisa ngomong itu!"

Kali ini Juwita mendadak saja terdiam. Ti-

ba-tiba saja di benaknya membayang wajah tam-

pan Pendekar Slebor. Ah! Dalam sekali jumpa 

yang hanya beberapa saat saja, sesungguhnya dia 

sudah tertarik pada pemuda tampan itu.

"Nah, nah.... Wajahmu memerah? Berarti 

kau memang mencintainya, kan?" ledek Tapak Da-

rah.

"Kau ini ada-ada saja, Kek."

"Hmm.... Kalau kau tidak mau dengannya, 

aku yang tampan ini bersedia mengawinimu? Te-

tapi, tidak usah ya? Aku masih terlalu ganteng un-

tuk menjadi suamimu. Jangan-jangan kau malah 

makan hati kalau banyak gadis cantik berdekatan 

denganku. Apa kau sudah siap untuk cemburu?"

Kali ini Juwita tertawa lepas.

"Brengsek! Dia tertawa lagi?" dengus Tapak 

Darah dalam hati. "Apakah dia bilang aku ini je-

lek, tidak tampan dan gagah? Kurang ajar!"

Lalu Tapak Darah melotot garang pada Ju-

wita.

"Biarpun kepentingan kita sama, kita jalan 

saja sendiri- sendiri. Kalau kita berdua, bila berjumpa gadis cantik, pasti tidak akan mau berdeka-

tan denganku. Karena dia, menyangka kau adalah 

kekasih atau istriku."

Juwita tambah tergelak- gelak. Lalu dengan 

tak acuhnya diikutinya langkah Tapak Darah. Se-

mentara si lelaki kerdil tiba-tiba berhenti melang-

kah.

"Ampun, nih gadis! Tadi sudah kukatakan 

alasanku tak ingin berjalan bersamamu, bukan? 

Kepalamu keras benar, sih? Apa kau memang su-

dah siap menanggung cemburu?"

Juwita hanya terdiam saja, memasang wa-

jah memelas. Tak dipedulikannya ketika Tapak 

Darah marah-marah dan menghentikan langkah-

nya lagi.

"Kau ini kenapa sih? Kok, masih nekat juga 

ingin bersama-samaku yang ganteng ini?"

Juwita tetap terdiam dengan wajah meme-

las. Biar bagaimanapun juga, dia merasa hidup 

seorang diri di dunia ini. Meskipun sifatnya aneh, 

namun Juwita yakin kalau sesungguhnya manu-

sia kuntet itu memiliki hati mulia. Lebih baik, dia 

selalu bersama Tapak Darah yang ucapan-

ucapannya selalu memancing tawa.

"Perempuan! Bisanya cuma merajuk!" ben-

tak Tapak Darah. "Iya, iya! Aku tahu, kau akan di-

am dan memasang wajah merajuk! Tetapi, ingat! 

Jangan cemburu bila ada gadis cantik yang berde-

katan denganku?"

Juwita cepat-cepat mengangguk. Dia be-

nar-benar merasa senang dengan Tapak Darah. 

Lalu, diikutinya langkah lelaki itu yang sesekali 

terguling karena menginjak ujung baju birunya 

yang panjang.

Dan mendadak, terdengar suara bentakan 

keras dan angin menderu kencang.

Dada Tapak Darah bergetar.

"Kali ini jangan keras kepala! Kau tunggu 

aku di sini. Ada sesuatu yang tak beres di sana," 

ujar lelaki kerdil ini.

Meskipun ingin mengetahui apa yang ten-

gah terjadi, Juwita hanya mengangguk. Dan dia 

melihat bagaimana ccpatnya Tapak Darah berke-

lebat.

"Sejak aku turun gunung bersama Kang 

Prasetyo, baru kali ini aku melihat tokoh yang 

sangat aneh. Kalau berjalan, dia selalu terguling. 

Tetapi tadi..., dia bisa berkelebat laksana kilat. 

Mungkin, masih banyak lagi tokoh aneh yang sakti 

di tanah Jawa ini."

Sementara itu Tapak Darah sudah tiba di 

tempat asal suara yang tadi didengarnya. Kening-

nya berkerut tajam melihat pertarungan antara 

Pendekar Slebor dengan lelaki bercawat yang di-

dengarnya menjuluki dirinya Iblis Jagat Raya. Se-

jenak laki-laki kuntet itu berpikir keras untuk 

mengetahui, siapa Iblis Jagat Raya.

Serangan-serangan yang dilancarkan lelaki 

bercawat itu pada Andika bagaikan membuat ta-

nah yang dipijak bergetar hebat.

"Gila, ilmunya sangat hebat sekali," desis 

Tapak Darah. "Aku harus cepat menolongnya bila 

pemuda konyol itu sudah benar-benar terdesak. 

Yah..., sekalipun I nonton pertunjukan gratis.... He 

he he...."

***

9


"Nyawamu sudah berada di ujung tanduk! 

Kain bercorak catur akan menjadi milikku!" dengus Iblis Jagat Raya.

Tubuh Andika semakin limbung. Matanya 

memancarkan sinar amarah yang tinggi.

"Biar kau rencah tubuhku, tak akan per-

nah aku memberikan kain pusaka ini!" tekad An-

dika.

"Anak setan! Mampuslah kau!"

Kali ini serangan Iblis Jagat Raya lebih 

dahsyat dari semula. Kedua bayangan tangan rak-

sasa yang melesat itu menderu-deru mencari sasa-

rannya. Kali ini, dengan hanya sekali kepruk saja 

bisa dipastikan pemuda sakti ini akan menemui 

ajal.

Akan tetapi, di saat yang sangat gawat, 

mendadak saja Andika bergulingan ke kanan dan 

kiri. Tangannya bergerak cepat.

Ctar!

Blarrr!

Bayangan tangan raksasa itu mendadak 

saja sirna. Lalu tahu-tahu menjelma menjadi asap. 

Wajah Iblis Jagat Raya memerah dalam dengan 

mata kelabu seperti melompat keluar.

"Kain bercorak catur!" teriaknya.

Andika mendesah lega. Buru-buru perna-

pasannya diatur. Tadi, dengan gerakan yang san-

gat cepat pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah 

Kutukan telah menyambar kain pusaka bercorak 

catur yang tersampir di lehernya, dan langsung

dikibaskan disertai aliran seluruh tenaga dalam-

nya.

Hasilnya sungguh luar biasa. Karena 

bayangan tangan raksasa yang menderu-deru ke 

arahnya tersampok dan menjadi asap.

"Bukankah ini yang kau inginkan?" desis 

Andika mencibir. Lalu digerakkan-gerakkannya 

kain bercorak catur itu dengan sikap penuh ejekan. "Memang hebat kain pusakaku ini. Sayang-

nya, tak pantas berada di tangan manusia jelek 

sepertimu. Kalau kau tampan sedikit saja, aku 

pasti akan memberikannya. Tetapi bila kau me-

mang menghendakinya, boleh saja merasakan ke-

hebatan kain pusakaku ini!"

"Pemuda setan!" geram Iblis Jagat Raya 

sampai kedua kakinya amblas ke tanah.

Andika tercekat melihatnya.

"Busyet! Apakah dia sedang menahan ma-

rah, atau sedang menahan buang air sih?" gumam 

Andika. tatapan matanya tajam menusuk ke arah 

Iblis Jagat Raya. "Kau lihat kain pusaka ini? Di 

dunia ini, hanya seorang saja yang memilikinya. 

Dan orang itu sangat tampan tak ada duanya."

"Keparat!"

Wusss!

Seketika tangan Iblis Jagat Raya mengibas. 

Pada saat yang sama, Andika pun menggerakkan 

tangannya yang menggenggam erat kain pusaka 

warisan Ki Saptacakra. 

Blarrr!

Tenaga dalam itu beradu di udara. Kali ini, 

serpihan angin deras menderu ke arah Iblis Jagat 

Raya. Tokoh jelek itu merunduk, namun tak urung 

rambutnya sedikit terpapas.

"Bagus sekali!" desis Andika tertawa. Dan 

kesempatan itu dipergunakan untuk mengatur na-

fasnya lagi. "Kau tak perlu mencari tukang cukur 

di kotapraja, Jelek. Tetapi ya, mana ada yang mau 

mencukuri rambutmu? Baunya saja, lebih anyir 

daripada selokan mampet! Eh, kau masih mau 

memiliki kain pusakaku ini tidak? Kalau begitu, 

ambillah!"

Sehabis berkata begitu, Andika mendahu-

lui menyerang. Dan memang inilah kesempatan

satu-satunya di saat mempergunakan kain berco-

rak catur yang sangat ampuh itu. Dengungan ke-

ras disertai gemuruh angin menderu meluruk ke 

arah Iblis Jagat Raya.

Dan sungguh di luar dugaan, Iblis Jagat 

Raya tak berani memapaki. Justru lelaki tua ber-

cawat itu kini menghindarinya.

Namun bukan berarti tokoh berwajah bu-

ruk ini tak mampu menandingi Andika. Karena di 

saat melompat itu, tangannya bergerak kembali.

Wuusss!

Serangkum angin deras menerpa ke arah 

Andika. Dan sambil membentak keras, Pendekar 

Slebor mengibaskan kain pusakanya.

Blarrr!

Kembali ledakan terdengar. Andika sampai 

memejamkan matanya, karena ledakan itu me-

nimbulkan desing angin tajam yang mengarah ke-

padanya. Tak sempat lagi desingan itu dihindari. 

Dan lagi-lagi tubuhnya terpental ke belakang.

Sementara lelaki tua bercawat itu hanya 

tertawa tergelak keras.

"Kini nyawamu tak akan kuampuni, Pen-

dekar Slebor!"

Sehabis berkata begitu, tubuh Iblis Jagat 

Raya melesat. Kedua tangannya membentuk ca-

kar, siap mencengkeram leher dan mencabik-cabik 

tubuh Andika.

Akan tetapi, tiba-tiba saja satu sosok tu-

buh telah melesat menyambar tubuh Andika. Di-

buatnya lompatan dua kali tindak, lalu menghi-

lang secepat angin.

Tangan Iblis Jagat Raya yang hanya berha-

sil mencengkeram sebatang pohon langsung han-

gus. Betapa murkanya dia. Kedua tangannya lang-

sung mengibas ke sana kemari, menghancurkan

pepohonan yang ada di sana hingga seketika men-

jadi debu.

"Ke mana pun pergi kau harus mampus, 

Pendekar Slebor!" desis Iblis Jagat Raya lalu mele-

sat pergi.

***

Andika benar-benar tidak menyangka den-

gan kemunculan Tapak Darah yang menyela-

matkannya. Meskipun tadi sebenarnya dia sudah 

siap untuk mengibaskan kain pusakanya.

"Kau harus berterima kasih kepadaku," 

tuntut Tapak Darah sambil membanting tubuh 

Andika ke tanah.

Andika hanya nyengir saja. Lalu dengan 

gaya bercanda, dia berlutut. Agak membungkuk 

sedikit, hingga tubuhnya lebih rendah dari Tapak 

Darah.

"Hamba berterima kasih pada Paduka yang 

Mulia."

Justru Juwita yang tergelak-gelak menden-

garnya. Sementara Tapak Darah mengangkat da-

gunya jumawa. Lalu tangannya diselipkan ke balik 

pakaian gombrongnya.

"Kalau tadi kau yang menolongku, seka-

rang giliran aku. Nih! Telan bulatan tahi kambing."

Andika hanya nyengir saja mendengar ka-

ta-kata itu. Lalu ditelannya tiga buah obat pulung 

yang mirip tahi kambing.

"Kesaktian Iblis Jagat Raya sangat luar bi-

asa," katanya setelah mengatur napas. "Begitu pu-

la yang dimiliki Ratu Setan. Untuk mengalahkan 

mereka, hanya ada satu cara."

"Kalau ngomong memang enteng! Apa ren-

canamu?"

Andika mengangkat bahunya. "Aku tidak

tahu, apakah punya rencana atau tidak," sahut 

Pendekar Slebor enteng. 

"Iya, apa rencanamu?"

"Kalau kuberitahu, jangan-jangan kau bisa 

mengacaukannya."

"Brengsek! Hei, Juwita! Kau buktikan sen-

diri kata-kataku, kan?" sentak Tapak Darah.

Juwita menjadi tergagap. Betapa tidak. Dia 

hampir saja dipergoki sedang menatap Andika!

"Buktikan apa, Kek?" tanya Juwita setelah 

berhasil menguasai hatinya.

"Kau pandai omong. Dan pemuda gem-

blung ini juga. Kan tadi kubilang, kau pantasnya 

menjadi istri dia. Dia juga pantasnya menjadi su-

amimu. Nah, cocok kan? Kalau kalian bertengkar, 

pasti tak ada yang menang dan kalah."

Lalu bagai lucu dengan kata-katanya sen-

diri, Tapak Darah tertawa tergelak.

Juwita memerah wajahnya. Sementara An-

dika tertawa.

"Kalau aku sih mau saja. Tetapi, apa dia 

mau?" seloroh Pendekar Slebor.

"Siapa bilang dia mau, hah?! Untuk apa 

menjadi istrimu yang slebor begini?"

Andika kembali tertawa keras. Kesehatan-

nya benar- benar sudah pulih sekarang ini. Ru-

panya, obat yang diberikan Tapak Darah sangat 

manjur.

"Kalau begitu, kita berpisah di sini. Aku 

akan memata-matai Ratu Setan dan Iblis Jagat 

Raya. Terutama, si Prawitri. Biarpun kedua guru 

dan murid itu memiliki tian yang tinggi, aku akan 

tetap menghalangi sepak terjangnya. Terutama, 

Susuk Ratu Setan yang mampu membuat lelaki 

mana pun juga berada di bawah pengaruhnya."

"Jangan pergi dulu!" bentak Tapak Darah.

"Bagaimana dengan Juwita?"

"Wah! Kek..., aku tahu kau sebenarnya 

tengah mengolok-olok aku untuk menutupi kein-

ginanmu yang sebenarnya, kan?"

"Lho? Apa maksudmu, Bor?"

"Kau sendiri yang mau dengannya, kan?"

"Sialan!"

Tapak Darah menggerakkan tangannya pa-

da Andika. 

Wusss!

Tetapi, Andika sudah menghilang begitu 

saja.

Sementara Juwita menunduk saja.

"Hei? Kau tidak usah bersedih. Dia hanya 

pura-pura saja. Masa sih, dia tidak mau dengan-

mu yang cantik ini?" ledek Tapak Darah yang ju-

stru membuat wajah Juwita menjadi merah dadu. 

"Sudah, sudah.... Lebih baik kita susul si Slebor 

itu. Kalau dia tidak mau, akan ku kemplang kepa-

lanya."

"Kek! Mengapa tahu-tahu kau jadi sibuk 

menjodohkan aku dengannya?" tanya Juwita, me-

nutupi rasa malunya.

"Jadi, kau tidak mau dengannya? Kalau 

begitu, ya tidak apa-apa. Tetapi, ingat! Jangan 

cemburu kalau berjalan bersamaku, ya?"

Juwita cuma tersenyum saja.

***

10


Prawitri mendadak menghentikan larinya. 

Di hadapannya telah berdiri menghadang dua so-

sok tubuh. Sebentar lagi, malam akan datang. 

Tempat gadis ini berada, ditumbuhi pepohonan

yang tinggi besar.

"Hmm.... Siapa dua pemuda ini? Bila meli-

hat sikapnya, sudah jelas keduanya tak bersaha-

bat sama sekali," gumam Prawitri dalam hati.

Sementara kedua pemuda itu melangkah 

dengan sikap siap menerkam. Wajah mereka yang 

tampan, berbinar-binar berbalur birahi menggele-

gak. Keduanya tak lain dari Suro Gandring dan 

Argomulyo, yang kini benar-benar berada di ba-

wah pengaruh Ratu Setan.

"Siapa kalian?" bentak Prawitri.

Tak ada yang bersuara. Namun tiba-tiba 

saja Suro Gandring sudah bergerak cepat, seperti 

menyergap.

"Manusia yang ingin melakukan perbuatan 

hina!" dengus Prawitri dalam hati. "Perjalanan un-

tuk mencari Ratu Setan ternyata tidak mudah. 

Dengan munculnya kedua pemuda ini, bisa-bisa

hanya menghambatku saja."

Ketika setengah tombak lagi serangan 

sampai, dengan sigap gadis itu menghindar den-

gan melompat kesamping. Namun belum lagi 

mendarat, Argomulyo telah melesat mengejar.

"Sial!" maki Prawitri. Masih melayang di 

atas, si gadis memutar tubuhnya. Seketika, ka-

kinya bergerak cepat sekali.

Buk!

Tubuh Argomulyo terpelanting jatuh. Na-

mun dengan gerengan keras, pemuda itu segera 

melompat kembali. Bersamaan dengan itu, Suro 

Gandring pun sudah meluruk ke arah Prawitri.

Sambil membentak-bentak keras, Prawitri 

menghindar dengan sesekali membalas. Tak tera-

sa, lima jurus sudah berlangsung. Namun, belum 

ada tanda-tanda yang kalah.

Namun pada jurus berikutnya, Prawitri

terkejut ketika melihat kedua pemuda itu kini me-

nyerang dengan kibasan kaki.

"Gila! Apakah mereka murid kakek? Meski-

pun aku tak mempelajari jurus 'Buaya Kibaskan 

Ekor', tapi aku tahu kalau jurus itulah yang diper-

gunakan mereka. Hm... Jadi inikah yang bernama 

Argomulyo dan Suro Gandring? Menurut Juwita, 

kedua pemuda ini berada di bawah pengaruh Ratu 

Setan? Kalau tidak kukalahkan, justru aku yang 

akan mampus!"

Jurus 'Buaya Kibaskan Ekor' benar-benar 

sangat dahsyat. Beberapa kali Prawitri harus be-

rusaha mengeluarkan segenap kemampuan untuk 

menghindari sambaran kaki yang penuh tenaga 

dan angin menderu keras.

Sulit bagi Prawitri untuk menghentikan se-

rangan keduanya. Namun, dia mencoba cara lain.

"Kakang Suro Gandring dan Kakang Argo-

mulyo! Hentikan semua ini! Aku Prawitri!"

Seketika, serangan kedua pemuda ini ter-

henti. Lalu bagaikan keheranan, keduanya mena-

tap Prawitri. Kesempatan itu segera dipergunakan 

cucu si Manusia Buaya untuk menyadarkan.

"Kakang berdua! Aku Prawitri, cucu guru 

kalian si Manusia Buaya. Kita bersaudara, Ka-

kang. Tak perlu kita bersilang sengketa sekarang 

ini. Sadarlah! Aku tahu, kalian berada di bawah 

pengaruh Ratu Setan. Justru Ratu Setan yang ha-

rus kita bunuh! Karena, dia telah membunuh guru 

kalian!"

Kedua pemuda itu jelas sekali kebingun-

gan, dengan kening berkerut. Sementara Prawitri 

masih mencoba menyadarkan.

Namun tiba-tiba....

"Untuk apa kalian bermurah hati pada ga-

dis itu? Siapa yang berhasil membunuhnya, kalian

akan mendapatkan tubuhku."

Terdengar tawa mengikik dingin.

***

"Ratu Setan!" sebut Prawitri, keras.

"Rupanya cucu si Manusia Buaya yang 

muncul. Ah! Tak kusangka kalau si Manusia 

Buaya memiliki cucu rupawan seperti ini."

"Perempuan hina! Kau harus membayar 

nyawa kakekku!"

"Sayang sekali, justru nyawamu yang hi-

lang hari ini!" sahut Ratu Setan, sambil tergelak-

gelak.

Merahlah wajah Prawitri. Tiba-tiba saja, 

tangannya berkelebat cepat.

Sing!

Sebuah benda mirip kelereng menderu ke 

arah Ratu Setan.

"Cih! Ilmu yang hanya dipunyai anak-anak 

kecil!" dengus Ratu Setan.

Sambil berkata demikian, wanita berhati 

telengas ini mengibaskan tangannya. Maka selarik 

sinar warna merah menderu memapas mutiara 

yang memancarkan sinar warna keperakan.

Blarrr!

Satu ledakan keras terdengar. Namun saat 

Ratu Setan mengibaskan tangannya tadi, Prawitri 

sudah menggerakkan tangannya kembali sambil 

melompat ke samping. Kali ini, tiga buah mutiara 

menderu-deru mengeluarkan sinar yang menggi-

dikkan.

Ratu Setan menggeram sambil berjumpali-

tan. Serangan senjata rahasia Prawitri tak mengenai sasarannya, Dua butir mutiara tadi hanya 

menghantam tanah yang dipijak Ratu Setan hing-

ga berkubang. Dan seketika, butiran pasir menge-

pul keras setelah didahului ledakan keras. Semen-

tara butiran mutiara lainnya menghantam sebuah 

pohon hingga langsung hangus seketika.

"Rupanya kau memang mempunyai sedikit 

ilmu lumayan!" dengus Ratu Setan, menatap sen-

git.

"Kau akan tahu, siapa diriku ini!" 

Srrrt!

Prawitri meloloskan selendang perak dari 

pinggangnya.

"Aku ingin tahu, sampai di mana keheba-

tanmu!"

Seketika, gadis ini berkelebat menderu 

kencang sambil menggerakkan tangan kirinya. Ti-

ga butir mutiara kembali menderu ke arah Ratu 

Setan.

Ratu Setan terkikik keras. Tubuhnya sege-

ra berjumpalitan, menghindari tiga butir mutiara 

yang lebih dulu menderu ke arahnya. Saat itu ju-

ga, ledakan tiga kali berturut-turut terdengar.

"Suro Gandring dan Argomulyo, untuk apa 

kalian berdiam diri? Bunuh perempuan itu!"

Begitu mendengar perintah Ratu Setan, 

bagai kerbau dicocok hidungnya kedua pemuda 

itu menyerang Prawitri dengan jurus 'Buaya Ki-

baskan Ekor'.

Gadis cucu si Manusia Buaya sejenak 

mendengus. Dia benar-benar tak ingin bertarung 

dengan kedua murid kakeknya. Namun keadaan

semacam ini sangat sulit dielakkan lagi. Terutama, 

mengingat serangan-serangan maut yang dilaku-

kan kedua pemuda itu.

Mau tak mau Prawitri pun membalas se

rangan. Sementara Ratu Setan cekikikan keras 

sambil menyaksikan jalannya pertarungan. Jalan 

satu-satunya, Prawitri memang harus melumpuh-

kan dua pemuda itu. Paling tidak, mencoba men-

cari celah untuk menyerang Ratu Setan.

Ctar!

Buk! Buk!

Selendang perak Prawitri yang gemulai itu 

mulai menyambar tubuh kedua pemuda ini hingga 

bergulingan ke belakang. Dan masih melenting di 

udara, Prawitri meluruk masuk ke arah Ratu Se-

tan.

"Sialan!" maki Ratu Setan. Dan....

Tubuh wanita berhati mesum itu bergetar 

laksana setan. Tahu-tahu sudah disongsongnya 

serangan Prawitri. Tubuhnya tahu-tahu telah be-

rada di bawah tubuh Prawitri. Dua jotosannya 

mengandung tenaga dalam hebat langsung dile-

paskan.

Des! Des!

Dua hantaman mendarat di dada Prawitri 

hingga terjajar ke belakang. Bila saja tidak memi-

liki keseimbangan tinggi, bisa dipastikan gadis itu 

sudah tersungkur.

"Keparat!" makinya sambil mengusap darah 

yang keluar dari mulut.

"Hhhh! Pekerjaan yang membuang waktu 

saja!" maki Ratu Setan. "Yang kubutuhkan bukan-

lah nyawamu. Tapi, nyawa Pendekar Slebor!"

"Peduli setan apa maumu! Mengapa kau 

membunuh kakekku, hah?"

"Karena aku membutuhkan kedua murid-

nya untuk kujadikan pemuas nafsuku...!"

"Kurang ajar! Jaga lehermu!"

Prawitri sudah menderu cepat laksana ki-

lat. Selendangnya yang dialiri tenaga dalam dikibaskan, hingga menimbulkan ledakan berkali-kali. 

Tetapi orang yang menjadi sasaran selalu berhasil 

menghindar. Bahkan melakukan gerakan tak ka-

lah mengerikan penuh hawa kematian.

Prawitri menggeram meskipun tahu kalau 

tak akan mampu menandingi kehebatan Ratu Se-

tan. Namun biar bagaimanapun juga, hatinya tak 

pernah gentar.

Kini gadis cucu si Manusia Buaya tahu ka-

lau sesungguhnya Ratu Setan membuat keka-

cauan hanya untuk memancing Pendekar Slebor. 

Dan dia berusaha keras untuk melumpuhkan wa-

nita telengas itu dengan serangan-serangan penuh 

gerak tipu, berkecepatan tinggi.

Namun tiba-tiba Ratu Setan membuat satu 

putaran tubuh di udara, tepat ketika Prawitri baru 

saja melepas serangan. Lalu mendadak saja tubuh 

Ratu Selan meluruk, melepas satu jotosan keras.

Des!

Kali ini tubuh Prawiti benar-benar tersung-

kur. Dan gadis itu benar-benar sudah tak kuasa 

untuk bangkit. Sementara, Suro Gandring dan Ar-

gomulyo berdiri tegak, tinggal menunggu aba-aba. 

Keduanya telah diluluhi lagi oleh birahi yang san-

gat menyesakkan. Mereka semula menginginkan 

tubuh Prawitri, Namun dengan munculnya Ratu 

Setan di sisinya, mereka kembali menginginkan 

tubuh junjungannya.

"Kini, mampuslah kau!"

Tanpa bergerak dari berdirinya, Ratu Setan 

menggerakkan tangannya. 

Wusss!

Serangkum angin berhawa merah menderu 

keras ke arah Prawitri. Namun sebelum serangan 

itu sampai, dari tempat lain melesat serangkum 

angin pula menghalangi serangannya.

Blammm...!

Terdengar ledakan keras, membuat Ratu 

Setan tersentak. Kepalanya langsung menoleh ke 

arah datangnya angin keras tadi.

"Kau?" seru Ratu Setan dengan gembira.

Prawitri juga melihat satu sosok tubuh 

yang baru datang. Bertubuh kerempeng dengan 

rambut panjang, menebarkan bau busuk dan 

hanya mengenakan cawat.

"Telah lama aku mencarimu, Manis...."

Ratu Setan bagai anak kecil yang menda-

patkan gula-gula menghampiri sosok bercawat 

yang tak lain Iblis Jagat Raya.

"Oh.... Aku sudah merindukanmu sekali...," 

desah wanita telengas ini penuh birahi yang men-

dadak bergejolak. Lalu tanpa malu-malu, dici-

uminya wajah tirus mengerikan itu.

"Sabar, sabar, Manis.... Aku pun sudah tak 

tahan. Hmm.... Siapakah gadis itu? Dan, siapa pu-

la dua pemuda yang menatapku dengan sinar 

cemburu?"

"Gadis itu adalah Prawitri, cucu si Manusia 

Buaya yang telah kubunuh. Sementara, dua pe-

muda itu telah menjadi budakku," jelas Ratu Se-

tan dengan tatapan mesra.

"Rupanya kau telah memasukkan susuk-

mu, bukan?"

Ratu Setan mengangguk-anggukkan kepa-

lanya, "Sebentar, aku akan membunuh gadis ke-

parat itu."

"Tahan dulu. Apakah kau sudah bertemu 

Pendekar Slebor?"

Kali ini Ratu Setan menundukkan kepa-

lanya.

"Mengapa kau menunduk, hah? Apakah 

kau tidak berhasil mengalahkannya?" bentak Iblis

Jagat Raya.

"Maaf, maafkan aku. Aku belum bertemu 

dengannya, Guru," sahut Ratu Setan tergagap.

"Bodoh! Bodoh sekali!" bentak Iblis Jagat 

Raya lagi dengan suara menggelegar. Tetapi sesaat 

kemudian dirangkulnya Ratu Setan. "Maafkan

aku, Manis ... Aku telah membuatmu takut. Tidak 

apa-apa kalau kau belum bertemu dengannya. 

Toh, aku sudah tidak lagi membutuhkan kain pu-

saka itu."

"Oh.. Mengapa?" tanya Ratu Setan kepada 

lelaki kerempeng itu.

"kau tidak perlu banyak tanya! Aku me-

nyuruhmu untuk melupakan kain pusaka milik 

Pendekar Slebor. Itu hanya untuk menguji kese-

tiaanmu!" tegas Iblis Jagal Raya.

"Ohh! Aku akan selalu setia kepadamu, 

Guru."

"Aku tahu, aku tahu.... Sekarang kita kem-

bali saja."

"Guru, aku ingin sekali.... Aku membutuh-

kanmu...," rintih Ratu Setan.

"Ha ha ha.... Aku pun telah lama mengin-

ginkannya."

"Manusia hina keparat! Lepaskan Ratu jun-

jungan kami itu!"

Mendadak terdengar bentakan keras. Suro 

Gandring dan Argomulyo sudah berdiri sigap den-

gan tatapan nyalang.

Sementara Prawitri yang tengah mempergunakan 

kesempatan itu untuk memulihkan tubuhnya, 

menghela napas panjang. Rupanya kedua murid 

kakeknya benar-benar sudah berada di bawah 

pengaruh Ratu Setan. Terbukti, sikap mereka 

tampak garang dan menginginkan Ratu Setan.

Keadaan sekarang benar-benar sangat

mengerikan. Untuk mengalahkan Ratu Setan saja, 

sudah tidak mudah. Apalagi sekarang bersama le-

laki bercawat yang mengerikan itu.

***

Ratu Setan melepaskan rangkulannya pada 

Iblis Jagat Raya.

"Jangan gegabah! Yang ada di sampingku 

ini guruku, junjungan kalian!" bentak Ratu Setan.

"Kami tidak peduli! Tak seorang pun yang 

kami perkenankan untuk menyentuh tubuhmu! 

Kau milik kami!" bantah Suro Gandring.

"Keparat! Hentikan ocehan busuk itu!"

"Tidak! Sebelum kami bunuh manusia jelek 

itu, kami tak akan pernah diam!" 

Wusss!

Ratu Setan menggerakkan tangannya. Se-

ketika serangkum angin merah langsung menderu 

kencang, menghantam Suro Gandring dan Argo-

mulyo secara bersamaan. Akibatnya, tubuh kedu-

anya pun terpental lima tombak dan jatuh ping-

san.

"Memalukan!" maki Ratu Setan. Lalu kepa-

lanya berpaling pada Iblis Jagat Raya. "Maafkan 

aku, Guru.... Mereka memang bodoh."

Iblis Jagat Raya hanya terbahak-bahak sa-

ja. Sementara Prawitri menggeram hebat.

"Gadis mesum keparat! Kau harus mam-

pus!" bentak Prawitri.

Mendengar kata-kata itu, Ratu Setan siap 

menggerakkan tangannya kembali. Namun, tinda-

kannya dihalangi Iblis Jagat Raya.

" Mengapa, Guru?" tanya wanita itu tak 

mengerti.

"Apakah kau cemburu bila kukatakan aku 

menginginkan gadis itu?"

Ratu Setan tersenyum. Tubuhnya direbah-

kan di dada Iblis Jagat Raya.

"Sudah tentu tidak. Asalkan, kau meme-

nuhi dulu keinginanku ini...."

"Bagus, bagus.... Tak akan pernah kulupa-

kan itu, kalau aku pun menginginkanmu."

Prawitri sudah menggigil hebat menahan 

marah melihat sikap kedua manusia itu. Apalagi 

mendengar kata-kata yang diucapkan Iblis Jagat 

Raya. Amarahnya tak mampu ditahan. Tubuhnya 

seketika sudah melesat cepat ke arah keduanya.

Namun tanpa melepaskan rangkulannya 

dari tubuh Iblis Jagat Raya, Ratu Setan mengge-

rakkan tangannya.

Des!

Tubuh Prawitri terpental deras ke belakang 

dan pingsan seketika.

Iblis Jagat Raya hanya tersenyum saja.

"Kita tak perlu membunuh mereka. Juga 

tindakan mu selama ini sudah cukup. Karena, aku 

tahu kau tetap setia padaku, Ratu Setan. Biarlah 

Pendekar Slebor akan mampus diganyang tokoh-

tokoh aneh lainnya."

"Guru... Bukan aku hendak membantah 

kata-katamu," kilah Ratu Setan dengan kening 

berkerut. "Tetapi, aku telah bersumpah untuk 

membunuh Pendekar Slebor. Bahkan merebut 

kain pusaka bercorak catur yang kau inginkan."

"Aku tahu soal itu. Tetapi, sudah kukata-

kan tadi. Aku hanya ingin menguji kesetiaanmu 

saja. Lagi pula, kain pusaka itu tak sehebat dan 

sesakti yang pernah kudengar. Lebih baik, kita 

kembali saja sekarang," sergah Iblis Jagat Raya.

"Tetapi, Guru...."

Iblis Jagat Raya melotot, membuat hati Ra-

tu Setan menjadi ciut.

"Kau sudah berani membantahku seka-

rang, hah?!"

Kali ini Ratu Setan menunduk.

"Maafkan aku, Guru."

"Ha ha ha.... Itu bagus.... Bagus sekali. Se-

karang ayo kita cari tempat sepi." 

Kali ini Wajah Ratu Setan tersenyum pe-

nuh harap.

***

11


Iblis Jagat Raya dan Ratu Setan berkelebat 

cepat. Setelah lima puluh tombak dari tempat tadi, 

mereka masuk ke balik semak. Ratu Setan lang-

sung merebahkan tubuhnya. Pakaiannya yang ti-

pis menerawang, tersingkap memperlihatkan ba-

gian tubuhnya yang indah menggairahkan. Ma-

tanya meredup dengan pancaran penuh birahi.

"Guru, aku sudah tidak tahan...," desah 

Ratu Setan, merintih lirih.

"Tidak perlu terburu-buru. Aku mau kenc-

ing dulu," sahut Iblis Jagat Raya.

Ratu Setan mengerutkan keningnya. Dia 

merasa heran, mengapa gurunya seperti kelihatan 

menolak? Padahal, biasanya tak pernah mem-

buang waktu lagi meskipun ada hal mendesak. Te-

tapi tak dipedulikannya lagi soal itu.

"Jangan lama-lama, Guru," kata Ratu Se-

tan.

Iblis Jagat Raya tersenyum.

"Kau selalu tak sabaran," desisnya. Setelah 

itu, tubuhnya pun berkelebat menerobos malam

yang sudah datang.

Iblis Jagat Raya yang hendak membuang 

air kecil tadi kini sudah muncul di tempat Prawitri 

dan kedua murid si Manusia Buaya pingsan. Lalu 

dengan cepat tubuhnya berkelebat, membawa me-

reka dengan sekali sentak. Di sebuah tempat 

aman yang ditumbuhi semak setinggi dada manu-

sia, ketiga orang yang pingsan itu diletakkan. Di-

periksanya tubuh Suro Gandring dan Argomulyo.

"Sialan, di mana letak susuk Ratu Setan 

itu?"

***

"Ha ha ha.... Kau sudah tahu saja kalau 

aku akan datang, Ratu Setan. Lama sudah aku 

menunggumu untuk menikmati saat-saat menga-

syikkan ini...."

Terdengar suara keras menggelegar, mem-

buat Ratu Setan menoleh dengan wajah gembira.

Wanita yang tengah diamuk birahi segera merang-

kul sosok bercawat yang baru datang ini.

"Hampir satu tahun aku menunggu saat-

saat indah ini, Ratu Setan...," desah sosok yang 

tak lain Iblis Jagat Raya, sambil menciumi leher 

jenjang Ratu Setan.

"Aku pun demikian, Guru," desah Ratu Se-

tan sambil merangkul tubuh Iblis Jagat Raya. 

"Kalau begitu, kita kembali saja sekarang. 

Di tempat tinggal kita, aku lebih leluasa mengum-

bar gairahku!"

Kening Ratu Setan berkerut melihat Iblis 

Jagat Raya tiba-tiba menghentikan ciumannya 

dan memandangi dirinya.

"Kembali? apa maksudmu?" Iblis Jagat 

Raya benar-benar tidak mengerti. Kapan dia pernah menyuruh muridnya kembali?

"Maksudku..., bukankah tadi Guru men-

ginginkan kita kembali saja?"

"Gila!" bentak Iblis Jagat Raya, menggele-

gar. "Siapa yang menginginkannya, hah?! Ratu Se-

tan! Apakah kau sudah mendapatkan kain berco-

rak catur milik Pendekar Slebor?"

Kali ini Ratu Setan mengerjapkan matanya 

takut-takut.

"Be..belum, Guru," sahut Ratu Setan terga-

gap. 

"Dasar bodoh!"

"Tetapi, bukankah Guru sudah tidak men-

ginginkannya lagi?" tukas wanita itu terbata. 

Sungguh tidak dimengerti keinginan gurunya yang 

berubah-ubah. Atau, mungkinkah yang menim-

panya sebelum ini bukan gurunya sendiri? Masa-

kan dia sampai salah melihat! Sebab jika tadi gu-

runya yang sudah mengurungkan niat untuk me-

rebut kain bercorak catur milik Pendekar Slebor.

"Anak keparat! Siapa yang berkata begitu, 

hah?! Aku baru saja bentrok dengan Pendekar 

Slebor! Kalau tak ada yang menolongnya, pende-

kar urakan itu pasti sudah mampus!"

"Tapi...," Ratu Setan hendak membantah. 

"Apalagi yang hendak kau katakan, hah?!" 

potong Iblis Jagat Raya dengan bentakan sampai 

menggugurkan dedaunan. Lelaki tua itu benar-

benar gusar melihat tingkah muridnya yang di-

anggap bertentangan dengan perintahnya semula.

"Bukankah Guru...." 

Plak!

Tangan Iblis Jagat Raya melayang keras 

dan mendarat di pipi Ratu Setan hingga memerah.

"Guru!" pekik Ratu Setan sambil memegan-

gi pipinya dengan tangan kanan.

"Murid sundal! Apakah kau terlalu banyak 

tidur dengan lelaki lain, hingga melupakan perin-

tahku, hah?! Cari Pendekar Slebor sampai dapat!"

Perasaan yang tak menentu terjadi di hati 

Ratu Setan. Sungguh tidak disangka kalau gu-

runya akan semarah ini. Namun yang membin-

gungkannya, mengapa gurunya menjadi marah-

marah tak karuan. Dia benar-benar tak mengerti.

Tadi, bukankah Iblis Jagat Raya mengata-

kan kalau sudah tidak lagi. membutuhkan kain 

bercorak catur yang dimiliki Pendekar Slebor? La-

lu, mengapa tahu-tahu meralat kata-katanya lagi? 

Apakah ini semacam uji coba untuk menguji kese-

tiaan seperti yang dikatakannya tadi?

"Baiklah, Guru. Aku akan tetap mencari 

Pendekar Slebor."

"Dasar bodoh! Rupanya kau memang telah 

melupakanku, hah?! Ingat! Dalam waktu tiga hari 

tak mendapatkan kain bercorak catur itu, maka 

kau akan mampus!! Pergi sana!"

***

Masih membawa keheranan dan rasa jeng-

kel yang mulai tertimbun di hatinya, Ratu Setan 

berkelebat meninggalkan Iblis Jagat Raya. Dia be-

nar-benar tak mengerti, mengapa jadi seperti ini?

"Ratu Setan!"

Di saat tubuh wanita itu masih berkelebat 

terdengar panggilan dari arah depan.

Ratu Setan menghentikan larinya dan me-

lihat satu sosok kurus bercawat yang sedang ter-

kekeh-kekeh mendekatinya.

"Oh! Apa..., apa lagi, Guru?" tanya Ratu Se-

tan dengan wajah pias. Dia sangat heran tiba-tiba 

gurunya bisa berada jauh di depannya. Namun di

satu segi, meskipun rasa heran dan jengkelnya 

mulai muncul, namun hatinya sangat mengasihi 

gurunya. Karena, selain menurunkan ilmu-ilmu 

tinggi dan dahsyat, Iblis Jagat Raya juga menjadi 

peneman tidurnya.

"Hei? Mengapa kau jadi mengkeret seperti 

itu?" tanya Iblis Jagat Raya yang baru muncul 

sambil tersenyum. "Sudahlah.... Kau tidak usah 

tegang. Aku memang agak tidak enak hari ini."

"Tetapi..., bukankah Guru sekarang meme-

rintahkanku untuk mencari Pendekar Slebor?"

Iblis Jagat Raya menyeringai. Sementara 

Ratu Setan tak berani menatap wajahnya.

"Jangan mengambil sikap ketakutan seper-

ti itu, Biar bagaimanapun juga, seperti yang kuka-

takan kepadamu, aku sedang menguji kesetiaan-

mu, Ratu Setan...."

Ratu Setan perlahan-lahan mengangkat 

wajahnya. Sebenarnya dia merasa aneh melihat 

sikap gurunya yang rada plin-plan.

"Guru..., maafkan atas semua kesalahan-

ku," ucap Ratu Setan, mendesis.

"Kenapa?? Tak ada yang perlu dimaafkan."

"Jadi..., Guru tetap menginginkan kain pu-

saka milik Pendekar Slebor?"

"Bukankah sudah kukatakan, aku tidak 

menginginkannya lagi?"

"Tetapi, tadi Guru menamparku. Guru ma-

rah, karena aku belum mendapatkan kain pusaka 

itu. Dan Guru memintaku untuk mencarinya la-

gi?"

Iblis Jagat Raya terbahak-bahak keras.

"Kekejaman dan kesaktianmu hampir sama 

denganku, Ratu Setan. Tetapi, kau masih memiliki 

rasa takut juga."

"Hanya kepadamu aku takut."

"Bagus! Sekarang, dengarkan baik-baik! 

Aku ingin memeriksa susuk yang ada di tubuh-

mu." 

"Mengapa Guru?"

"Akan kumasukkan lagi susuk penghilang 

rasa takut. Aku ingin dianggap sebagai seorang 

sahabat olehmu. Dan yang terpenting..., aku ingin 

dianggap sebagai teman tidur yang sangat hebat."

"Ahh, Guru..."

Ratu Setan yang kini seakan menjelma 

menjadi jinak di hadapan Iblis Jagat Raya me-

rangkul tubuh kerempeng bercawat itu.

"Ulurkan kedua tanganmu." 

Dengan patuhnya, Ratu Setan mengulur-

kan kedua tangannya. Tangan Iblis Jagat Raya 

merayap di atas kedua tangan itu.

"Tahan, aku akan mengeluarkannya."

Ratu Setan mengangguk. Lalu dilihatnya 

gurunya berusaha mengeluarkan susuk yang ada 

di tubuhnya. Perlahan-lahan dirasakannya sesua-

tu bergerak dari tangannya. Rasa sakitnya sangat 

luar biasa. Namun, ditahannya agar tidak berte-

riak. Di hadapan gurunya, hal itu adalah sesuatu 

yang memalukan!

Tiga buah susuk mencelat dari jari tengah-

nya, mengeluarkan darah. Dua buah susuk keluar 

dari telapak dan pangkal lengannya. Darah sema-

kin banyak keluar

Tiba-tiba tangan Iblis Jagat Raya menotok 

tubuh Ratu Setan. 

Tuk!

"Aaakh...!"

Ratu Setan mengeluarkan keluhan kecil. 

Darah yang keluar seketika terhenti. Lalu perla-

han-lahan dibaringkannya tubuh montok itu di 

tanah.Tangan Iblis Jagat Raya merayap dari jari 

kaki hingga ke pangkal paha Ratu Setan. Lalu, di-

keluarkannya lagi susuk-susuk yang ada di sana. 

Kembali darah keluar. Dan segera Iblis Jagat Raya 

menghentikannya dengan jalan menotok. Lalu 

tangannya merayap dari pangkal paha gadis me-

sum itu, hingga ke ubun-ubun kepala.

Dari belahan buah dada wanita ini keluar 

sebuah susuk yang disertai aliran darah. Begitu 

pula dari lubang pusarnya. Keringat semakin ba-

nyak membasahi sekujur tubuh Ratu Setan. Rasa 

sakitnya bukan alang kepalang. Namun rasa sakit 

yang menyiksa tubuhnya selalu ditahannya.

Pusing menyiksa kepala Ratu Setan. Perut-

nya bagaikan diaduk-aduk tangan kasar, dan 

membuatnya ingin muntah. Dia hanya tersedak

saja, tanpa ada cairan apa pun yang keluar.

"Ratu Setan.... Masih adakah susuk yang 

kumasukkan ke tubuhmu?" tanya Iblis Jagat Raya 

tiba-tiba.

"Oh..., mengapa Guru lupa?" tanya Ratu 

Setan dengan kepala berpendar-pendar pusing. 

Matanya setengah menutup, setengah membuka. 

"Bukankah waktu itu Guru memasukkannya se-

buah di pangkal pahaku?"

Kali ini kelihatan Iblis Jagat Raya tersentak 

sedikit, dia tak melakukan apa-apa. Hanya duduk 

terdiam.

"Guru.... Kalau kau ingin mengganti selu-

ruh susuk yang ada di tubuhku, mengapa tidak 

mengeluarkannya juga?"

Iblis Jagat Raya mengangguk.

"Baiklah. Aku akan melakukannya."

Lalu perlahan-lahan, Iblis Jagat Raya 

membuka penutup daerah terlarang yang ada di 

pangkal paha Ratu Setan.

***

Setelah susuk di pangkal paha berhasil di-

keluarkan, Ratu Setan pingsan. Sementara sosok

bercawat itu dengan segera menutup kembali au-

rat gadis berpakaian merah menerawang dan me-

rapikannya.

Setelah darah yang keluar benar-benar ter-

henti. Iblis Jagat Raya melepas totokannya pada 

seluruh tubuh Ratu Setan. Dan satu totokan di 

leher, membuat Ratu Setan terbangun.

"Oh! Siapakah kau?" desis Ratu Setan, ter-

kejut.

"Dia sudah terbebas dari susuk-susuk 

mengerikan itu...," desah Iblis Jagat Raya, mende-

sah.

***

12


"Apakah kau tidak mengenaliku?" tanya Ib-

lis Jagat Raya.

Ratu Setan menggeleng-geleng sambil be-

ringsut ketakutan. Tiba-tiba wajahnya celingukan 

dan dengan seketika..

"Oh! Ke manakah para anak buah Rase 

Terbang yang ingin memperkosaku? Apa..., apa-

kah mereka sudah mati?"

Aneh bin ajaib. Peristiwa lima tahun yang 

lalu, bagaikan mimpi saja bagi si gadis. Begitu su-

suk-susuk ditanggalkan dari tubuhnya, dia seperti 

baru saja terbangun dari mimpi.

"Kau tak usah takut. Kini kau sudah terbe-

bas dari susuk-susuk kejam yang dimiliki Iblis Jagat Raya."


"Tapi, kau sendiri mengatakan kalau kau 

adalah Iblis Jagat Raya?" tukas Ratu Setan, keta-

kutan.

Iblis Jagat Raya perlahan-lahan mengge-

leng.

"Tidak.... Aku adalah orang yang hendak 

menolongmu," sergah sosok bercawat itu.

Perlahan-lahan sosok ini menarik rambut 

panjang yang mengeluarkan bau busuk. Rambut 

itu copot seketika, dan berubah menjadi rambut 

gondrong sebahu. Perlahan-lahan pula, tangannya 

mengupas kulit wajah yang ternyata terbuat dari 

semacam getah pohon. Kini, di balik wajah menge-

rikan itu terlihat seraut wajah tampan dengan alis 

seperti kepakan sayap elang. Wajah Pendekar Sle-

bor!

"Namaku Andika. Semula, aku memang 

bermaksud untuk membunuhmu. Tetapi, setelah 

tahu kau berada di bawah pengaruh Iblis Jagat 

Raya, aku berusaha untuk membebaskanmu. Ka-

rena, yang menjadi dalangnya adalah Iblis Jagat 

Raya," jelas Pendekar Slebor.

"Tetapi, siapa dia?" tanya Ratu Setan be-

nar-benar kebingungan.

Andika yang menyamar sebagai Iblis Jagat 

Raya mendesah lagi.

"Dia benar-benar sudah terbebas sekarang. 

Dan yang diingatnya hanyalah para penunggang 

kuda anak buah si Rase Terbang yang hendak 

memperkosanya. Aku harus berusaha meyakin-

kannya. Karena, ilmu yang dimilikinya ini bisa 

menjadi tandingan dari Iblis Jagat Raya."

Memang, Andikalah yang menyamar men-

jadi Iblis Jagat Raya. Setelah mengatakan kalau 

dia punya rencana jitu untuk mengelabui Iblis Ja-

gat Raya dan Ratu Setan pada Tapak Darah dan

Juwita, Pendekar Slebor pun segera melesat me-

ninggalkan mereka.

Di satu tempat, Andika yang berotak encer 

coba mengingat-ingat sosok dan wajah Iblis Jagat 

Raya. Dan dia berhasil. Dengan keahlian yang di-

dapatnya dari Raja Penyamar, bukanlah sesuatu

yang menyulitkan bila Andika lantas menyamar 

sebagai Iblis Jagat Raya. Pakaian hijau pupus dan 

kain bercorak caturnya dibuntal, dan disembunyi-

kan di sebuah pohon.

Andika pula yang datang ketika Ratu Setan yang 

masih berada di bawah pengaruh susuk Iblis Ja-

gat Raya, hendak membunuh Prawitri dalam pe-

nyamarannya sebagai Iblis Jagat Raya. Dia pula 

yang muncul untuk menyelamatkan Prawitri, Suro 

Gandring dan Argomulyo yang pingsan. Dan ber-

samaan waktunya ketika Ratu Setan ditinggalkan 

sendirian, rupanya Iblis Jagat Raya yang asli be-

nar-benar muncul.

Dan apa yang dilakukan Pendekar Slebor 

memang berhasil, meskipun sempat terkejut juga 

ketika Ratu Setan sangat ketakutan menghada-

pinya. Otaknya yang cerdik segera menyimpulkan, 

kalau Iblis Jagat Raya yang asli sudah tiba pula di 

tempat ini. Juga, ketika dia mengetahui letak su-

suk terakhir yang ditanamkan Iblis Jagat Raya.

"Nona.., siapakah namamu yang sebenar-

nya?"

"Oh! Aku..., aku Anjar,.., Anjar Pitaloka. Ya, 

ya.... Sekarang aku ingat. Ketika enam orang anak 

buah si Rase Terbang hendak melakukan tindakan 

kotor terhadapku, tiba-tiba muncul seorang kakek

berwajah mengerikan. Dia mengaku berjuluk Iblis 

Jagat Raya, yang memang tengah dicari keenam 

anak buah si Rase Terbang. Selebihnya..., oh! 

Aku..., aku tak tahu lagi...."

Perlahan-lahan Andika merangkul gadis 

itu. Malang benar nasib si gadis bila mengetahui 

apa yang telah terjadi pada dirinya. Semua itu 

memang dilakukan tanpa disadari. Dan yang ter-

penting sekarang, Andika bersyukur karena Anjar 

Pitaloka telah terbebas dari pengaruh kejam Iblis 

Jagat Raya.

Lalu dengan hati-hati Pendekar Slebor 

menceritakan apa yang telah dialami Anjar Pitalo-

ka. Gadis kejam yang kini telah kembali pada sifat 

asalnya tergugu menyadari semua itu.

"Akan kubunuh manusia busuk itu!" den-

gus si gadis setengah terisak.

"Anjar.... Aku pun ingin melenyapkannya 

pula. Dan kau bisa membunuhnya dengan kesak-

tian yang telah kau miliki yang kuyakini masih 

ada padamu. Rupanya susuk yang dimasukkan

Iblis Jagat Raya kepadamu, tidak ada hubungan-

nya dengan kesaktian yang telah kau dapatkan 

darinya. Susuk itu hanya untuk membuatmu pa-

tuh, ingin membunuh, dan selalu melakukan tin-

dakan mesum."

"Di mana manusia keparat itu, Andika?!" 

dengus Anjar Pitaloka alias Ratu Setan langsung 

bangkit. 

"Oh...!"

Sesaat terdengar pekikan gadis ini ketika 

melihat pakaian yang dikenakannya.

"Kau memang tak sadar apa yang telah ter-

jadi. Kau tunggu di sini. Aku hendak mengambil 

pakaianku dulu!"

Setelah gadis ini menganggukkan kepala, 

Pendekar Slebor pun berkelebat.

Tak lama kemudian, ketika Pendekar Sle-

bor kembali ke tempat semula, telah berpakaian 

hijau pupus. Dan di lehernya, tersampir kain pusaka bercorak catur yang diinginkan Iblis Jagat 

Raya.

Namun begitu sampai si pemuda sakti ini 

jadi terperanjat. Di depannya terlihat Ratu Setan 

tengah bertarung hebat melawan Iblis Jagat Raya. 

Apa yang disaksikan Andika benar-benar di luar 

dugaan. Suatu pertarungan yang mengerikan, 

mengundang maut.

Tubuh murid dan guru itu tak ubahnya 

burung walet yang saling patuk dengan gencar. 

Sesekali terdengar suara bagai ledakan, ketika ter-

jadi benturan tenaga dalam. Juga, diselingi ma-

kian Ratu Setan yang kini lelah sadar dari penga-

ruh keji Iblis Jagat Raya.

Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Sepeninggal Andika, tiba-tiba saja Iblis Ja-

gat Raya muncul di hadapan Ratu Setan. Dia 

menggeram murka, karena Ratu Setan belum juga 

menjalankan perintahnya.

Ketika hendak menurunkan tangan, Ratu 

Setan yang sudah tersadar dari kesesatannya 

langsung menyerang. Tentu saja hal ini membuat 

Iblis Jagat Raya surut ke belakang dengan wajah 

terkejut.

***

Blarrr...!

Kembali satu ledakan terdengar disertai pi-

jaran bunga api. Kalau Rat Setan benar-benar 

murka, dan menginginkan kematian Iblis Jagat 

Raya. Dia terus menerjang hebat, membuat lelaki 

bekas gurunya menjadi tercekal. Sungguh tak di-

duga kalau muridnya menyerang penuh nafsu 

membunuh. Padahal, bila bertemu akan selalu 

menunduk dan minta pelukannya.

Sesaat, lelaki ini pun sadar kalau susuk 

yang dimasukkan ke dalam tubuh Ratu Setan su-

dah menghilang. Entah, siapa yang menghilang-

kannya. Dia tidak tahu....

"Kurang ajar! Bagaimana bisa membuang 

susuk-susuk itu? Tak mungkin dia bisa membua-

ngnya begitu saja! Tetapi, siapa yang bisa menga-

lahkannya? Mustahil ada yang sanggup menga-

lahkannya bila sudah kumasukkan susuk-susuk 

itu! Dia tak akan pernah mau mengalah, karena 

salah satu susuk yang kutanamkan di tubuhnya 

akan selalu menjadikannya nekat dan berani! Pas-

ti ada yang telah menolongnya? Tapi, siapa?"

Iblis Jagat Raya benar-benar merasa heran 

dan bertanya-tanya dalam hati. Namun dia tak bi-

sa lagi untuk memikirkannya lebih lanjut, karena 

serangan-serangan Ratu Setan benar-benar ber-

bahaya.

Kini terlihatlah bagaimana Iblis Jagat Raya 

seperti tengah menghadapi bayangannya sendiri. 

Karena, seluruh ilmu yang dimilikinya telah ditu-

runkan pada Ratu Setan. Dan ilmu-ilmu itu kini 

menderu-deru ke arahnya.

"Kau harus mampus, Manusia Keparat!"

"Ratu Setan! Aku adalah gurumu! Tak se-

harusnya kau melakukan seperti ini?" dengus Iblis 

Jagat Raya sambil merunduk. Namun tak urung 

rambutnya di bagian atas terpapas angin pukulan 

Ratu Setan. Kini kepalanya di bagian ubun-

ubunnya botak!

"Tak ada guruku di hadapanku! Yang ada 

manusia laknat yang telah memperlakukanku un-

tuk kepentingan kebejatanmu!"

"Katakan! Siapa yang telah melepaskan su-

suk-susuk itu??" bentak Iblis Jagat Raya sambil 

bergulingan dan sesekali menyerang.

Memang sangat sulit menghadapi gempu-

ran-gempuran ilmunya sendiri. Iblis Jagat Raya 

mendengus begitu menyadari kalau seluruh susuk 

yang dimilikinya telah diberikannya kepada Ratu 

Setan. Ini berbahaya. Susuk-susuk itu harus se-

cepatnya direbut.

Akan tetapi, jangankan untuk mendekati 

Ratu Setan menghindari serangannya saja lelaki 

itu sudah kewalahan. Iblis Jagat Raya sendiri pun 

mencoba masuk mendekat dengan ajian-ajiannya 

yang sakti. Namun, ajian-ajiannya pun dimiliki 

Ratu Setan. Tak heran kalau berkali-kali berhasil 

dimentahkan.

"Keparat! Kau harus mampus!"

Tiba-tiba saja Iblis Jagat Raya bertepuk ti-

ga kali. Lalu, bayangan tangan raksasa tiba-tiba 

saja menderu-deru ke arah Ratu Setan. Rupanya, 

dia tak main-main langsung menggunakan ajian 

'Bayangan Tangan Raksasa' kepada Ratu Setan. 

Dan kali ini Ratu Setan nampak kewalahan.

Pendekar Slebor yang melihat hal itu sege-

ra melenting ke depan sambil mengerahkan ajian 

'Guntur Selaksa'. Seperti yang pernah dialaminya, 

Andika tak bermaksud menggempur bayangan 

tangan raksasa yang mengerikan itu. Karena, an-

ginnya saja sudah mampu menerbangkan pepo-

honan yang ada di sana.

Justru kini Pendekar Slebor mencoba me-

nyerang Iblis Jagat Raya dari belakang. Namun, 

tindakannya bukanlah sesuatu yang mudah. Ka-

rena tiba-tiba saja, salah satu bayangan tangan 

raksasa Iblis Jagat Raya menderu ke belakang. La-

lu....

Des!

Tubuh Andika tersampok, kontan terlem-

par deras ke belakang. Seketika tulang

belulangnya terasa seperti patah. Dan melihat ke-

munculannya, Iblis Jagat Raya menggeram murka.

"Pendekar Slebor keparat! Pasti kau yang 

telah membuang susuk-susuk di tubuh Ratu Se-

tan?!" bentak lelaki berwajah mengerikan itu.

Seketika tangan raksasanya mengibas ke 

arah Pendekar Slebor. Secepat kilat, Pendekar Sle-

bor mencelat kalau tidak ingin tersambar untuk 

kedua kalinya.

"Kalau sudah tahu, mengapa kau tidak 

bunuh diri saja?" ledek Pendekar Slebor.

"Bagaimana kau melakukannya?"

"Itu rahasiaku! Pakai saja otakmu untuk 

memecahkannya!" jawab Andika, sambil bergulin-

gan.

Iblis Jagat Raya semakin kuat mengalirkan 

tenaga dalam pada ajian 'Bayangan Tangan Rak-

sasa' nya yang hebat. Yang sebelah kiri terus me-

nyapu Ratu Setan, dan yang sebelah kanan siap 

menghancurkan Pendekar Slebor. Sambil menye-

rang hatinya tetap bertanya-tanya. Dia benar-

benar tak mengerti, mengapa Pendekar Slebor 

sampai berhasil membuang susuk di tubuh Ratu 

Setan.

"Andika.... Kau minggir! Biar kuhajar ma-

nusia keparat itu!" seru Ratu Setan, sambil men-

gibaskan tangannya.

Serangkum angin merah dengan kekuatan 

dahsyat melesat ke arah tangan kiri Iblis Jagat 

Raya.

Namun pukulan itu seolah ceplos begitu 

saja. Dan bersamaan dengan itu, tubuh Iblis Jagat 

Raya melenting ke atas.

Wrrr!

Akibatnya pukulan keras yang dilancarkan 

Ratu Selan terus meluncur ke arah Andika. Wajah

Andika kontan pias. Untung dia masih sempat 

menjatuhkan diri di tanah, meskipun tubuhnya 

masih merasakan bagai diterapas. Namun bahaya 

lain sudah siap menyambutnya. Karena, tangan 

kanan raksasa Iblis Jagat Raya sudah siap men-

gepruk kepalanya!

Bummm!

Untungnya, Andika berhasil mengguling-

kan tubuhnya dengan cepat. Siku dan tangannya 

sampai lecet akibat gesekan kerikil yang bersera-

kan di tanah. Malah tanah tempat dia tadi rebah 

kini berbentuk lubang seperti lima buah jari rak-

sasa dengan dalam tiga hasta.

"Busyet!! Tubuhku bisa ringsek kalau begi-

ni!" dengus Andika, begitu bangkit.

Pendekar Slebor mencoba menyerang kem-

bali. Kali ini di tangannya sudah tergenggam kain 

pusaka bercorak catur.

Melihat kain pusaka yang diinginkannya 

sudah dipergunakan pemiliknya, Iblis Jagat Raya 

semakin panas saja. Seketika kekuatan sampokan 

kedua tangan raksasanya ditambah. Pada saat

yang sama, Pendekar Slebor juga telah mengi-

baskan kain caturnya. Saat itu juga terasa ada 

angin bak topan prahara dan air bah yang tum-

pah, menghantam tangan raksasa Iblis Jagat 

Raya. 

Bum!

Ledakan keras terdengar Andika sampai 

bergetar tangannya. Begitu pula bumi yang dipi-

jaknya. Sementara, Iblis Jagat Raya menggeram 

dengan kemarahan luar biasa, karena ajian ke-

banggaannya lenyap tiba-tiba.

Dan mendadak saja tubuh lelaki berwajah 

jelek ini berputar cepat, seperti pusaran air yang 

siap menghancurkan kapal yang sedang berlayar.

Desingan sangat dahsyat menderu ke arah Andika. 

Sementara, Pendekar Slebor berusaha melindungi 

diri dengan kibasan-kibasan kain pusaka di tan-

gannya.

Serangan yang dilancarkan Iblis Jagat Raya 

benar-benar membuat Andika kewalahan. Untung 

di saat itu pula Ratu Setan kembali meluruk den-

gan tangan memancarkan sinar warna merah.

Namun di luar dugaan, sambil terus men-

cecar Andika, kaki Iblis Jagat Raya bergerak lak-

sana kilat.

Buk!

Kaki itu tepat menghantam dada gadis 

yang terbebas dari pengaruh susuk jahat Iblis Ja-

gat Raya hingga terpental ke belakang dan bergu-

lingan. Begitu bangkit, dia muntah darah.

Sementara serangan Iblis Jagat Raya yang 

mengarah pada Andika semakin bertubi-tubi. Dan 

ini membuat pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-

bah Kutukan harus tunggang-langgang.

"Ratu Setan! Bunuh dia dengan susuk-

susuk yang diberikannya kepadamu!" teriak Andi-

ka.

Entah dapat dari mana, Pendekar Slebor 

bisa menyuruh Anjar Pitaloka untuk membunuh 

Iblis Jagat Raya dengan susuk-susuk pemberian-

nya. Dan Andika sebenarnya memang sekadar co-

ba-coba. Yah..., barangkali nasib baik berada di 

tangannya.

Mendengar kata-kata itu, wajah Iblis Jagat 

Raya menjadi pias. Serangannya pada Andika di-

hentikan. Dan kepalanya menoleh ke arah Ratu 

Setan yang siap melemparkan susuk-susuk maut-

nya.

Andika tersenyum penuh kemenangan, me-

lihat lelaki bercawat itu menggereng keras sambil

berkelebat ke arah Ratu Setan. Hampir-hampir dia 

nandak sendiri, bagai orang tak waras menemu-

kan permainan yang mengasyikkan. Betapa tidak? 

Ternyata dari dengusan Iblis Jagat Raya bisa ter-

baca kalau susuk-susuk itu justru merupakan ke-

lemahan bila menghujam tubuhnya.

Iblis Jagat Raya tak boleh membuang wak-

tu. Dia harus segera menutup setiap serangan Ra-

tu Setan. Apalagi gadis berbaju merah menera-

wang itu kini siap melemparkan susuk-susuk 

mautnya.

"Mampuslah kau, Gadis Pengkhianat!" ma-

ki lelaki itu dengan tubuh meluruk, menggidikkan.

Namun sebelum tubuh Iblis Jagat Raya 

sampai ke arah Ratu Setan, Andika sudah melu-

ruk dengan menyentakkan kakinya ke kaki Iblis 

Jagat Raya. 

Duk! 

Brak!

Tubuh lelaki bercawat itu ambruk seketika. 

Namun dia segera bangkit sambil mengibaskan 

tangan kanannya.

Wuusss!

Andika cepat melompat, seraya melempar-

kan kain pusaka yang telah dialiri tenaga dalam. 

Bluk!

Kain itu tepat menutupi wajah Iblis Jagat 

Raya. Seketika, lelaki ini menjadi gelagapan. Kain 

pusaka itu bukan hanya menghalangi pandangan-

nya, namun juga sempat menyesakkan nafasnya.

"Sekarang, Anjar!" seru Andika.

Siiingg!

Crap! Crap!

Lima belas buah susuk telah dilemparkan 

Ratu Setan dengan kecepatan tinggi, dan menan-

cap di seluruh bagian tubuh Iblis Jagat Raya.

"Aaakh...!"

Tokoh sakti aliran sesat ini menjerit seting-

gi langit, dengan tubuh tersentak laksana disengat 

ribuan kalajengking. Kedua tangannya bergerak ke 

segala penjuru melepaskan pukulan jarak jauhnya 

yang mengeluarkan sinar warna merah.

"Gila! Dia masih mampu melepaskan se-

rangan-serangan berbahaya," dengus Andika sam-

bil berjumpalitan menghindar. Begitu pula yang 

dilakukan Ratu Setan.

Andika sendiri tak mau membuang kesem-

patan yang sudah ada di depan mata. Dengan 

memutar tubuh setengah lingkaran, kakinya me-

nyampok kaki Iblis Jagat Raya.

Duk!

Hruk!

Lelaki kerempeng itu terpelanting. Di saat 

tubuhnya hampir rebah di tanah, dengan cepat 

Pendekar Slebor menarik kain pusaka yang menu-

tupi wajah Iblis Jagat Raya. Bersamaan dengan itu 

pula, tangannya yang telah terangkum ajian 

'Guntur Selaksa', menghantam batok kepala lelaki 

bercawat.

Prat!

"Aaa...!"

Iblis Jagat Raya meraung-raung setinggi 

langit. Satu kerikil berpentalan, debu berterban-

gan, daun-daun berguguran saat lelaki bercawat 

itu menghadapi maut. Dari kepalanya telah ber-

simbah darah dan berwarna putih. Kejap berikut-

nya, rontaan dan jeritan Ratu Setan pun terhenti. 

Tubuhnya tak berkutik lagi dengan keadaan se-

tengah hancur!

Andika menghela napas panjang. Dan dia 

tercekat, ketika melihat Ratu Setan tergeletak di 

tanah."Anjar"...!" serunya, langsung mendekat.

Saat ini, matahari sudah mulai mem-

biaskan cahayanya di ufuk timur.

***

13


Ratu Setan tersenyum sambil menahan ra-

sa sakit. Rupanya, pukulan sinar merah yang di-

lepaskan Iblis Jagat Raya sempat menghantam se-

belah kakinya.

"Aku tidak apa-apa, meskipun akan pin-

cang seumur hidup," kata Anjar Pitaloka perlahan, 

ketika Pendekar Slebor memeriksa kakinya.

"Biar ku coba untuk mengobati. Barangkali 

saja kau tak akan mengalami cacat...."

Ratu Setan menutup mulut Andika dengan 

tangannya. Bibirnya kembali tersenyum.

"Tidak usah. Biarlah ini kujadikan huku-

man. Aku sendiri sudah mengalirkan tenaga da-

lam dan hawa murni untuk mencegah racun yang 

akan mengalir lebih jauh. Andika.... Aku berterima 

kasih atas bantuanmu. Kalau tidak, aku tanpa sa-

dar akan terus berada di bawah pengaruh Iblis Ja-

gat Raya. Sekarang, izinkanlah aku untuk kembali 

ke desaku...."

Andika tidak berkata apa-apa. Dia bisa se-

dih juga memikirkan nasib yang dialami Anjar Pi-

taloka. Dan itu terjadi karena kebusukan Iblis Ja-

gat Raya!

"Apakah tidak sebaiknya kau beristirahat 

dulu?" tukas Andika.

"Itu akan membuang waktu. Lima tahun 

aku telah meninggalkan desaku. Mungkin orang-

orang di desaku sudah tak ada yang mencariku.Mungkin pula mereka sudah menganggap aku ma-

ti. Dan yang ku cemaskan memikirkan keadaan 

ibuku yang tentunya sangat kesepian, karena tak 

ada aku di sisinya."

Andika hanya mengangguk. Lalu, digeng-

gamnya tangan Ratu Setan perlahan-lahan.

"Kudoakan, semoga kau selamat sampai di 

desamu."

Anjar Pitaloka alias Ratu Setan tersenyum, 

lalu bangkit perlahan-lahan. Ditatapnya Andika 

dengan sinar lembut.

"Andika...., bila saja tak pernah ada keja-

dian memuakkan itu, dan kita dipertemukan oleh 

Yang Maha Kuasa, aku bersedia selalu menema-

nimu."

Andika kembali tersenyum.

"Semoga kita berjumpa lagi, Andika."

Wuuttt!

Tubuh Ratu Setan sudah berkelebat cepat 

meninggalkan tempat itu. Andika mendesah pan-

jang. Si pemuda sakti ini bangkit perlahan dan 

menengadah. Yang terlihat langit mulai cerah 

meskipun terhalang oleh rimbunnya pepohonan.

"Satu lagi keangkaramurkaan telah berak-

hir. Dan aku yakin, masih banyak yang akan ter-

jadi lagi"

"Kau benar, Pemuda Urakan!" Tiba-tiba 

terdengar satu suara dari belakang diiringi keke-

han.

Andika menoleh. Dan bibirnya tersenyum 

melihat Tapak Darah terguling, karena kakinya 

menginjak pakaiannya yang kepanjangan. Di si-

sinya Juwita tegak berdiri.

"Sialan! Lama-lama aku buang saja pa-

kaian sial ini!" rutuk Tapak Darah. Tetapi, kemu-

dian dia terkekeh-kekeh. "Tetapi kalau aku telanjang, nanti ada yang terangsang lagi."

Andika terbahak-bahak mendengar seloro-

han Tapak Darah yang diucapkan seperti sung-

guh-sungguh. Ketegangannya agak menghilang.

"Kambing saja belum tentu mau dengan-

mu."

Tapak Darah melotot.

"Urakan! Sembarangan ngomong! Kau mau 

ku kemplang? Nah, nah..., mayat siapa itu lagi?"

Andika menceritakan apa yang telah terja-

di. Sementara, kedua orang di depannya menden-

garkan penuh perhatian.

"Jadi..., Ratu Setan sudah sadar?" tanya 

Juwita, terharu setelah mendengar cerita Andika 

tentang Ratu Setan.

"Ya, kini dia sedang menuju tempat asal-

nya. Ngomong-ngomong, apakah kau akan mengi-

kuti terus Tapak Darah ini, Juwita?"

Juwita terdiam. Dia memang tak tahu ha-

rus menjawab apa.

"Mana bisa begitu? Aku tidak mau dia nan-

ti cemburu terus kepadaku bila ada gadis cantik 

melirikku. Lebih baik dia bersamamu saja, Bor!" 

sahut Tapak Darah.

"Wah, Kek.... Justru aku ingin menitipkan 

dia kepadamu. Karena, aku merasa aman bila Ju-

wita ada di sisimu. Soalnya, dia tak akan pernah 

mau denganmu."

"Sialan! Hei?! Kau mau ke mana?" tanya 

Tapak Darah, melihat Pendekar Slebor langsung 

berkelebat.

"Aku hendak menjumpai Prawitri dan dua 

pemuda yang pingsan. Menurut perkiraanku, me-

reka sudah sadar sekarang!" sahut Andika sambil 

terus berkelebat.

Tapak Darah memaki-maki tak karuan.

"Hei?! Seharusnya kau bersama dia! Ayo, 

sana! Susul dia! Jangan mengikuti aku!" bentak 

lelaki kerdil ini pada Juwita.

Ketika melihat Juwita terdiam dan mera-

juk, Tapak Darah mendengus. kepalanya men-

gangguk dengan gerakan menyentak.

"Iya, iya.... Aku tahu. Kalau kau sudah ber-

sikap begitu, aku tak bisa menyalahkanmu. Kalau 

kau mau ikut denganku, ayo! Asal, ingat! Jangan 

cemburuan, ya?"

Juwita tertawa geli. Lucu sekali kakek kun-

tet ini. Tetapi, dia merasa lebih tenang dan terhi-

bur bila bersamanya. Apalagi Kang Prasetyo telah 

tiada. Dan Kang Andika..., ah! Bisakah dia meng-

harapkan suatu saat Andika ada di sisinya?

"Hei?! Kenapa bengong? Ayo berangkat!"



                  SELESAI




















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive