TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA
Serial 06 Dewi Sritanjung
Karya: Widi Widayat
Cover & Illustrasi: Arie
Penerbit: MELATI Jakarta
Cetakan pertama: 1987
HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-
undang
Penyiaran harus seizin Penulis
Pengantar
Dewi Sritanjung melakukan per-
jalanan dalam usaha mencari ayah
kandung. Di perjalanan bertemu dengan
dua pemuda bernama Kaligis dan
Sangkan, lalu terbujuk untuk pergi
bersama. Di dalam hutan, gadis ini
ditangkap oleh dua pemuda itu. Untung
ia berkepandaian tinggi hingga usaha
itu gagal, dan malah dapat mengusir
Sangkan dan Kaligis lari terbirit-
birit.
Tetapi perhatian Dewi Sritanjung
segera tertarik oleh datangnya gadis
cantik yang menghadang Kaligis dan
Sangkan. Gadis ini adalah Sarindah,
cucu tua Si Tangan Iblis. Dewi
Sritanjung sembunyi di belakang batu
besar dan siap menolong Sarindah
apabila gadis itu sampai kalah. Ia
rela apabila gadis itu celaka di
tangan Kaligis maupun Sangkan.
Celakanya, kepandaian Sarindah
hampir seimbang dengan dua pemuda itu.
Maka akibatnya, gadis ini tidak lekas
dapat menundukkan Sangkan maupun
Kaligis.
Untung sekali Si Tangan Iblis dan
Sarwiyah segera muncul dan menolong.
Hingga kesulitan Sarindah teratasi.
Namun segera terjadi salah paham
antara si Tangan Iblis dengan Dewi
Sritanjung, setelah mendengar
keterangan mempunyai hubungan erat
dengan Gajah Mada. Maka si Tangan
Iblis ingin menangkap, tetapi Dewi
Sritanjung melawan. Terjadi perkela-
hian dan hampir saja gadis ini celaka
kalau Gajah Mada tidak segera muncul
dan menolong.
Dalam perkelahian secara ksatrya,
satu lawan satu ini, pada akhirnya si
Tangan Iblis kalah dan mati. Sesudah
itu Dewi Sritanjung lalu mengikuti
Gajah Mada menuju Ibukota Majapahit
guna dipertemukan dengan ayah kan-
dungnya.
Pada kesempatan ini Surya Lelana
yang sudah sejak lama tertarik oleh
kejelitaan Dewi Sritanjung tidak dapat
menguasai perasaan dan menyatakan
cintanya, dan tidak ditolak oleh Dewi
Sritanjung.
Nah, untuk seterusnya ikutilah
cerita “Tersiksa Seperti di Neraka”
ini.
1
Dewi Sritanjung dipersilakan
masuk lebih dahulu ketika pintu kereta
dibuka Surya Lelana. Tanpa ragu sedi-
kitpun gadis ini masuk, lalu duduk
pada bak bagian belakang.
Namun ketika Surya Lelana sudah
masuk, pemuda ini cepat memberitahu,
“Diajeng, kita harus duduk di sini.
Kita berjajar, sebab bak belakang
untuk tempat duduk Rama.”
“Idih! Kau ini bagaimana?” sahut
Dewi Sritanjung sambil tersenyum dan
mata yang indah itu mengerling.
“Bukankah alasanmu ini, karena engkau
bermaksud agar engkau dapat duduk
berdampingan dengan aku?”
Sekalipun berkata demikian,
sebenarnya gadis ini merasa senang
sekali apabila dapat duduk berdam-
pingan dengan Surya Lelana. Entah apa
sebabnya, rasanya bahagia sekali.
Surya Lelana menyambut gadis ini
dengan ketawa lirih. Lalu, “Diajeng,
aku memang berkata sejujurnya. Memang
pada bagian belakang itu merupakan
tempat duduk kebesaran bagi Rama dalam
kedudukannya sebagai Mahapatih
Majapahit. Sedang engkau dan aku harus
duduk di sini, dan....”
Dewi Sritanjung yang sudah duduk
di samping Surya Lelana menatap wajah
pemuda ini sambil bertanya, “Dan
apa...?”
Surya Lelana tidak cepat
menjawab. Bibirnya tersenyum dan
matanya menatap wajah ayu itu.
Yang dipandang menjadi berdebar
dan malu, tapi dalam dadanya terasa
amat bahagia.
“Apakah engkau tidak marah dengan
kejadian waktu itu? Ketika aku mau
pergi dan minta diri dari kau
sambil..... mencium...?”
Pipi gadis ini berubah merah
mendengar pertanyaan itu. Untuk
sejenak gadis ini menundukkan muka.
Setelah diangkat lagi, kepalanya
menggeleng.
“Tidak, Surya. Tidak ada rasa
marah dalam hatiku,” jawabnya polos.
“Apakah sebabnya engkau tidak
marah?”
Gadis ini tergagap mendengar per-
tanyaan ini. Sesungguhnya ia ingin
sekali mengatakan, dirinya tak tahu
mengapa sebabnya tidak marah atas
perlakuan Surya Lelana itu, dan
sungguh aneh pula dirinya malah selalu
terkenang pengalaman itu.
Dewi Sritanjung menggelengkan
kepalanya, jawabnya lirih, “Aku tidak
tahu....”
Jantung Surya Lelana berdebar
mendengar jawaban gadis yang singkat
ini. Kalau demikian halnya, apakah
jawaban ini merupakan tanda, gadis
inipun mengimbangi perasaan hatinya?
Ia sudah terlanjur tercuri hatinya
oleh gadis ini. Gadis sederhana,
tetapi memiliki kecantikan luar biasa,
kecantikan yang alami.
Dengan agak ragu Surya Lelana
bergerak. Pemuda ini ingin menjajagi
bagaimanakah sikap Dewi Sritanjung.
Maka jari tangannya lalu meraba jari
tangan Dewi Sritanjung yang kecil,
runcing dan halus itu. Jari tangan itu
untuk beberapa saat lamanya ia usap-
usap dan ia permainkan. Setelah
melihat gadis ini diam saja, gera-
kannya mulai berani dan merembet naik
ke lengan. Lalu sambil mengusap-usap
lengan itu, Surya Lelana berkata
halus, “Diajeng, apakah engkau takkan
marah apabila mendengar perkataanku?”
“Engkau mau berkata apa?” sahut
Dewi Sritanjung sambil menundukkan
kepala, karena usapan tangan Surya
Lelana itu kuasa membuat jantungnya
berdebar tegang. “Dan mengapa pula aku
harus marah?”
“Diajeng, tahukah engkau bahwa
sejak pertemuanku denganmu yang
pertama kali, aku sudah jatuh cinta
kepadamu?”
Dewi Sritanjung berjingkrak men-
dengar istilah asing yang diucapkan
oleh pemuda tampan di sampingnya ini.
Tetapi justru kata-kata asing ini,
sebenarnya sudah lama tersimpan dalam
dadanya dan selalu berharap agar Surya
Lelana mengucapkan kata-kata itu.
Akan tetapi sekarang, anehnya,
setelah mendengar ucapan dari mulut
Surya Lelana yang mencintai dirinya,
mulut Dewi Sritanjung malah seperti
terkunci dan tidak bisa menjawab,
sekali pun dalam dadanya bergolak
perasaan yang mendesak agar segera
memberi jawaban. Gadis ini hanya bisa
menundukkan muka, dadanya turun naik.
“Diajeng Tanjung,” bisik Surya
Lelana halus, sedang jari tangannya
dengan lancang sudah mengangkat dagu
Dewi Sritanjung yang halus dan kuning
itu, “Bagaimana? Engkau terimakah
perasaan cintaku ini?”
Dewi Sritanjung belum juga men-
jawab, sekalipun hatinya amat ingin.
Namun sekalipun gadis ini belum
menjawab, Surya Lelana sudah cukup
maklum bahwa gadis ini mengimbangi
perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung
tidak berusaha melepaskan jari tangan
Surya Lelana yang memegang dagu.
Tahu-tahu Surya Lelana sudah
memeluk, lalu mencium mulut Dewi
Sritanjung. Untuk sejenak gadis ini
gelagapan, namun kemudian sudah
mendorong pundak Surya Lelana
perlahan.
“Surya, ya... agaknya aku pun
mempunyai perasaan yang sama...,”
jawabnya.
“Mengapa masih menggunakan
istilah agaknya, Diajeng? Apakah
engkau masih meragukan cinta kasihku?”
“Surya, hal ini bisa kita bica-
rakan setelah aku bertemu dengan orang
tuaku. Kemudian orang tuamu bisa
bicara dengan orang tuaku. Hemm,
sudahlah.... Guru datang....”
Dewi Sritanjung mengubah letak
duduknya, menggeser pantat ke seberang
kanan menyentuh dinding kereta. Surya
Lelana tahu diri bergeser pada bagian
lain.
Pintu kereta terbuka. Gajah Mada
masuk sambil tersenyum. Katanya halus,
“Aku senang sekali kalian rukun.
Marilah kita sekarang pulang. Aku
sudah menyuruh orang untuk memanggil
orang tuamu, Tanjung.”
Gajah Mada duduk pada bak
belakang. Pintu kereta ditutupkan
kembali oleh sais kereta dari luar.
Dewi Sritanjung hanya bisa me-
ngangguk. Gadis ini jantungnya
berdebar penuh perasaan gembira, tak
lama lagi akan dapat berhadapan dengan
orang tuanya, yang sudah belasan tahun
lamanya belum pernah ia lihat wajahnya
dan belum pernah ia kenal.
Akan tetapi sesungguhnya disam-
ping jantungnya berdebaran oleh
pengaruh bakal bertemu dengan orang
tuanya, gadis ini juga berdebar oleh
perlakuan Surya Lelana tadi yang
lancang memberi ciuman. Ia khawatir
apabila apa yang dilakukan itu
diketahui Gajah Mada. Sebab, ternyata
begitu masuk tokoh itu mengatakan
gembira mereka berdua begitu rukun.
Tak lama kemudian roda kereta
sudah bergerak oleh tarikan kuda yang
dicambuk sais. Selama hidupnya baru
kali ini Dewi Sritanjung merasakan
naik kereta. Tubuhnya terguncang-
guncang oleh lari kuda yang cepat.
Bagi Dewi Sritanjung, naik kereta
seperti ini nyaman juga, sekalipun
lambat, apabila dibandingkan dirinya
naik di punggung harimau.
Dewi Sritanjung menggunakan jari
tangannya untuk membuka tirai yang
menutup lubang kereta. Ia memandang
keluar, kemudian terpikat oleh
pemandangan baru yang belum pernah ia
saksikan. Sepanjang jalan yang dilalui
banyak berdiri rumah besar dan megah.
Orang yang lalu lalang semakin banyak.
Di samping juga banyak orang
menjajakan dagangan sambil berteriak.
Tiba-tiba perhatiannya terganggu
oleh pertanyaan Gajah Mada.
“Tanjung, mengapa sebabnya gurumu
tidak menyertai engkau kemari?”
“Apakah Paman belum membaca surat
dari Kakek?” Sritanjung berbalik
bertanya.
Gajah Mada tersenyum. Lalu,
“Memang sudah, Anakku. Tetapi Kakang
Tunjung Biru tidak menyinggung keadaan
pribadi gurumu. Beliau hanya membe-
ritahu, engkau adalah murid tunggal.
Engkau merupakan pewaris Kiageng
Tunjung Biru. Karena itu engkau
mempunyai hak menggunakan pedang pu-
saka Tunggul Wulung.”
“Kakek tidak bicara tentang
siapakah orang tuaku?”
“Bicara, Anakku, dan kau tak
perlu khawatir. Tak lama lagi engkau
akan dapat bertemu dengan orang tuamu.
Anakku, engkau sungguh beruntung
sebagai pewaris kakak seperguruanku.
Bukan saja engkau merupakan pewaris
ilmu satu-satunya, engkau juga mempe-
roleh hak mewarisi senjata pusakanya.”
Dewi Sritanjung tersenyum bangga.
Lalu, “Paman, kalau tidak salah Guru
pernah mengatakan pedang pusaka
Tunggul Wulung itu mempunyai saudara
kembar, bernama Tunggul Naga. Dan
menurut Kakek, Pamanlah yang memiliki
pedang Tunggul Naga itu. Benarkah?”
“Itu benar, Anakku. Akan tetapi
karena aku kurang membutuhkan pedang
pusaka itu, maka aku pinjamkan kepada
Gusti Adityawarman.”
Mendengar pedang pusaka dipin-
jamkan kepada orang lain, sesungguhnya
Dewi Sritanjung kurang senang. Tetapi
ia tidak membuka mulut dan mencela.
“Tanjung, engkau belum menjawab
pertanyaanku. Mengapa engkau tidak
datang bersama gurumu?”
Surya Lelana yang sejak tadi
berdiam diri menyambut, “Ya! Mengapa
Uwa Guru tidak datang bersama kau?
Alangkah senang hatiku apabila Uwa
Guru bersedia datang ke Majapahit.
Apalagi kalau membawa serta harimau
yang jinak itu.”
Dewi Sritanjung menghela napas
pendek. Lalu, “Ya, keputusan Kakek itu
sebenarnya menyebabkan hati murid
kurang sreg (puas). Akan tetapi Kakek
tidak mau meninggalkan pondoknya.
Ketika murid mengatakan tidak ingin
pergi dan ingin menunggui dan melayani
kebutuhannya, Kakek malah marah. Murid
kurang tahu alasan Kakek sebenarnya,
mengapa tidak bersedia meninggalkan
tempat yang sepi itu.”
Gajah Mada menghela napas.
Sesungguhnya ia amat mengharapkan
kakak seperguruannya itu datang ke
Majapahit. Sebab, walaupun sudah tua,
bantuan pikiran kakak seperguruannya
itu amat ia butuhkan, sehubungan
dengan jabatan yang ia pangku.
Sudah menjadi cita-citanya untuk
membangun Majapahit ke puncak
kejayaan. Dan cita-citanya itu baru
akan terwujud dan terlaksana apabila
Majapahit menggunakan kekuatan
angkatan perang untuk menyerbu ke
wilayah dan menaklukkan penguasanya.
Walaupun jumlah prajurit tidak
terhitung banyaknya, jumlah tersebut
tak akan ada artinya apabila
kekurangan pemimpin yang sakti
mandraguna. Namun apa harus dikata,
agaknya Kiageng Tunjung Biru memang
sudah tidak mau lagi mencampuri urusan
duniawi dan apalagi urusan peme-
rintahan.
“Sungguh sayang,” desisnya.
“Tetapi ahh, sudahlah. Agaknya memang
harus demikianlah garis yang telah
ditentukan Yang Maha Tinggi. Manusia
bisa berusaha, tetapi ketentuan di
tangan Dia.”
Untuk sejenak dalam kereta itu
tidak ada suara. Tetapi kemudian Dewi
Sritanjung bertanya, “Paman, bolehkah
murid bertanya?”
Gajah Mada memandang gadis itu
sambil tersenyum. Jawabnya, “Mengapa
tidak? Bertanyalah apa saja yang
engkau butuhkan. Jika aku dapat
menjawab, semua pertanyaanmu akan
kujawab.”
“Guru banyak memberi nasihat
padaku, agar murid menggunakan ilmu
kesaktian untuk membela rakyat dan
memberantas kejahatan. Menurut peni-
laian murid, kakek yang bernama si
Tangan Iblis itu jahat. Bukan saja
berusaha menangkap murid, setelah
diketahui mempunyai hubungan dengan
Paman, tetapi di samping itu juga
berusaha merebut pedang pusaka Tunggul
Wulung. Akan tetapi mengapa pada saat
orang itu sudah tidak berdaya dan
minta dibunuh, Paman tidak sedia
membunuhnya? Paman, apakah sikap ini
sudah benar?”
Gajah Mada mengangguk-anggukkan
kepala mendengar pertanyaan ini.
Setelah batuk-batuk kecil, jawabnya,
“Ya, pertanyaanmu ini penting sekali
artinya. Dharma seorang gagah, seorang
ksatrya, harus mendekatkan diri dengan
perbuatan yang menguntungkan rakyat
banyak. Sebaliknya, jauhkanlah dirimu
dari nafsu dan kepentingan pribadi.
Pendeknya, dalam melaksanakan tugas
dan dharma baktimu, harus sepi dari
pamrih untuk diri sendiri. Semua
ditujukan untuk kesejahteraan
manusia.”
Ia berhenti sejenak, dan sejenak
kemudian meneruskan, “Tetapi engkau
harus selalu ingat, pembunuhan
bukanlah jalan terbaik untuk mencapai
tujuan masyarakat yang sejahtera.
Sebab kekerasan dan tangan besi takkan
memberi kesadaran kepada mereka yang
sedang gelap jiwanya. Maka berikanlah
kasih dan petunjuk, dan beri pula
kesempatan untuk memperbaiki diri,
untuk kembali ke jalan benar.”
Gajah Mada berhenti lagi sambil
mencari kesan. Ketika melihat Dewi
Sritanjung maupun Surya Lelana berdiam
diri, ia meneruskan, “Betapa untung
yang akan kau peroleh apabila orang
yang semula tersesat itu kemudian
menjadi sadar. Mereka akan menjadi
pembantu yang setia. Mereka akan
menjadi tenaga sukarela dalam usaha
kita mencapai masyarakat sejahtera dan
kerta raharja. Sebaliknya Anakku,
apabila main bunuh dengan alasan
memberantas kejahatan, akan mende-
katkan diri dengan bahaya. Dengan
alasan apapun juga, pembunuhan
terhadap sesama manusia adalah tidak
baik. Lupakah engkau bahwa orang yang
terbunuh itu mempunyai anak, cucu,
saudara dan sanak keluarga? Betapa
sakit hati keluarga yang terbunuh itu,
yang kemudian hari akan menimbulkan
rasa benci dan dendam. Seterusnya akan
terjadi balas-membalas yang tidak ada
akhirnya, yang semua itu hanyalah akan
merugikan manusia sendiri.”
Dewi Sritanjung maupun Surya
Lelana masih berdiam diri, dan Gajah
Mada memandang mereka mencari kesan.
Karena dua orang muda itu tidak
membuka mulut, ia meneruskan, “Dalam
pada itu sudah merupakan kesopanan dan
jiwa ksatrya, yang pantang melakukan
perbuatan apa pun terhadap lawan yang
sudah tidak bisa melawan, tidak
berdaya atau sudah terluka. Itulah
sebabnya aku tadi mengatakan, tidak
pada tempatnya mengganggu Taruno.”
“Tetapi Paman...,” ujar Dewi
Sritanjung, “orang seperti si Tangan
Iblis itu jelas tidak bisa diharapkan
kembali ke jalan benar. Buktinya
walaupun Paman bersikap bijaksana,
orang itu malah membuka mulut semau
sendiri dan mengancam kepada Paman.”
Gajah Mada ketawa lirih. Lalu,
“Bisa dimengerti apabila dia membuka
mulut seperti itu. Sebab hati dan
perasaannya masih dilanda oleh
penasaran. Seseorang akan bisa sadar
tidaklah mungkin terjadi secara tiba-
tiba, dan tentu memerlukan waktu.
Anakku, orang yang sudah mendapat
kesempatan untuk merenungkan, untuk
mendalami dan menghayati, baru dengan
demikian hati dan perasaan ini bisa
terbuka. Dan kemudian membawa kepada
kesadaran.”
“Akan tetapi, sudah tentukah
orang mau merenungkan, mendalami,
menghayati atau mawas diri?”
Gajah Mada terkekeh senang
mendengar bantahan Dewi Sritanjung
ini. Ia mengangguk-angguk, lalu, “Ya,
memang antara manusia satu dan yang
lain akan terjadi perbedaan. Dan
memang belum tentu semua orang mau
merenungkan, menghayati dan mawas
diri. Akan tetapi Anakku, orang yang
bijaksana takkan mengambil keputusan
sebelum mencoba. Segala sesuatu
dipikir lebih dahulu sedalam-dalamnya,
ditimbang-timbang, dan takkan menyesal
maupun putus asa apabila harapannya
sampai gagal. Sebab engkau harus tahu,
kita ini amat kecil apabila
dibandingkan dengan Dia.”
Ketika itu roda kereta sudah
berhenti berputar. Sais meloncat dari
tempat duduknya, lalu membuka pintu
kereta.
Gajah Mada tersenyum sambil
berkata, “Tanjung, kita sudah sampai.
Dan kau Surya, engkau harus dapat
menjadi tuan rumah yang baik. Ajaklah
adikmu lebih dulu menghadap ibumu, dan
perkenalkanlah pula dengan Trisna
Dewi.”
Surya Lelana mengangguk mengi-
akan, lalu membimbing Dewi Sritanjung,
diajak keluar dari kereta.
Dewi Sritanjung terbelalak kagum
begitu turun dari kereta, dan melihat
bangunan rumah yang luas, kokoh dan
bagus. Pekarangan rumah dikurung oleh
tembok batu yang amat tinggi, dan
beberapa orang prajurit yang bertugas
jaga tak pernah lepas dengan tombak
telanjang. Mereka nampak gagah dan
menyeramkan.
Akan tetapi gadis ini tidak
mendapat kesempatan melihat semua itu
lama-lama, karena lengannya sudah
ditarik dan diajak melangkah oleh
Surya Lelana.
“Diajeng Tanjung,” katanya, “jika
engkau menginginkan melihat keadaan
kota Majapahit, jangan khawatir. Aku
akan selalu bersedia menjadi teman dan
pengawalmu. Tetapi saat sekarang ini,
kita harus patuh kepada perintah Guru.
Aku harus mengantar engkau menghadap
Ibu, isteri Rama Gajah Mada untuk
memperkenalkan diri, dan juga kepada
Diajeng Trisna Dewi, puteri Rama.”
“Tetapi....”
“Mengapa?”
“Aku malu. Bagaimanakah perasaan
Puteri Trisna Dewi itu kalau melihat
kelancanganku menggunakan pakaiannya?”
“Engkau sudah memperoleh izin
dari Rama. Aku yang akan menerangkan
bahwa engkau hanyalah menuruti
perintah Rama saja,” Surya Lelana
menghibur. “Ahh, engkau belum kenal
dan tahu wajah Diajeng Trisna Dewi,
maka engkau menjadi khawatir. Dia
seorang puteri bangsawan yang amat
baik, sabar, dan ramah. Sudahlah,
engkau jangan takut. Aku yang akan
menerangkan semuanya.”
Dewi Sritanjung ragu. Kemudian
katanya, “Tetapi... aku biasa hidup di
hutan, kurang mengenal segala macam
adat kesopanan, tatakrama maupun
aturan dalam lingkungan keluarga
pembesar tinggi. Lalu bagaimanakah aku
harus bersikap, baik kepada Ibu Gajah
Mada maupun kepada Puteri Trisna
Dewi?”
Surya Lelana bisa mengerti
keraguan gadis ini. Maka sambil
melangkah menuju rumah belakang,
pemuda ini terpaksa memberi sedikit
pengertian dalam hubungan lingkungan,
sikap dan tutur kata, yang diperlukan
gadis ini nanti.
Petunjuk itu amat diperhatikan
oleh Dewi Sritanjung, maka perjalanan
mereka menjadi agak terlambat, dan
bagi mereka yang tidak tahu, agaknya
dua orang muda ini sedang membicarakan
perasaan hati masing-masing, yang
sedang dilanda oleh gelora asmara
muda.
Akan tetapi sekalipun sambil
melangkah Surya Lelana sudah memberi
sekadar petunjuk, tidak urung hati
Dewi Sritanjung kurang tenteram dan
selalu berdebaran.
Kaki Dewi Sritanjung terasa kaku
ketika dirinya harus menirukan Surya
Lelana, menggunakan jari kaki dan
lutut untuk berjalan dengan jongkok
(laku dhodhok - Jawa), sesuai dengan
tata kesopanan di dalam rumah
bangsawan tinggi.
Akan tetapi hati gadis ini
kemudian agak terhibur, ketika dari
tempat duduknya isteri Gajah Mada
memberi senyum manis sedang tangannya
diangkat memberi isyarat agar lekas
datang menghadap.
Puteri Trisna Dewi yang ketika
itu duduk di samping ibunya, cepat
cepat bangkit, lalu lari-lari kecil
mendapatkan Dewi Sritanjung. Dan gadis
ini dengan wajah cerah dan senyum
manis sudah berkata halus, “Diajeng,
berdirilah. Mengapa kau harus
merendahkan diri seperti itu?”
Trisna Dewi menarik bangun Dewi
Sritanjung dan gadis ini pun tidak
membantah, lalu berdiri. Memang jari
kaki dan lututnya terasa sakit dipaksa
untuk berjalan seperti itu. Kemudian
kepada Surya Lelana, puteri ini
berkata, “Surya, tugasmu sudah
selesai.”
Surya Lelana mengangguk dan
tersenyum. Kemudian pemuda ini kembali
keluar, tetapi dalam hatinya agak
masygul. Sebab apabila boleh, ia tidak
ingin berpisah sekejap pun dengan
gadis yang ia cintai itu. Dan setiba
di luar, pemuda ini mengamati ke
dalam, ke arah Dewi Sritanjung.
Dewi Sritanjung seperti mimpi
ketika tiba-tiba isteri Gajah Mada
meraih, lalu memeluk dan menciumi
sepasang mata berkaca-kaca penuh rasa
haru. Gadis ini tidak tahu akan
sebabnya, memandang wajah wanita tua
itu dengan rasa heran, dan ketika
memalingkan muka memandang Trisna
Dewi, ternyata puteri Gajah Mada
itupun sepasang matanya berkaca-kaca.
Sekalipun demikian bibir Trisna Dewi
menyungging senyum manis.
Di luar tahu gadis ini, Gajah
Mada sudah memberitahu kepada isteri
dan anaknya, tentang gadis malang
bernama Dewi Sritanjung.
Dewi Sritanjung disuruh duduk di
atas kursi, diapit oleh ibu dan anak
itu. Sesaat kemudian terdengar isteri
Gajah Mada berkata, “Anakku, engkau
jangan merasa rendah diri. Tahukah
engkau, siapakah sesungguhnya orang
tuamu?”
Dewi Sritanjung menggeleng.
Hatinya berdebar kemudian bertanya,
“Siapakah sebenarnya orang tua
hamba...?”
“Ahhh...,” potong isteri Gajah
Mada. “Jangan engkau gunakan kata
hamba itu, Anakku. Engkau bukan
seorang hamba.”
“Diajeng Tanjung, Ibu benar,”
sambung Trisna Dewi. “Engkau pun
seorang puteri bangsawan seperti aku.”
“Puteri?” Dewi Sritanjung
terbelalak. “Mengapa seorang puteri,
dan siapa pula ayah bundaku?”
“Engkau adalah puteri Laksamana
Nala, seorang Panglima Angkatan Laut
Majapahit. Ayahmu seorang panglima
yang amat terkenal, dan berkedudukan
tinggi.”
“Laksamana Nala?” Dewi Sritanjung
ragu.
Dewi Sritanjung menundukkan
kepala dan merenung. Dalam hatinya
timbul rasa heran dan bertanya-tanya.
Kalau benar dirinya seorang puteri
bangsawan, mengapa sampai tujuhbelas
tahun umurnya, ia belum pernah
mendapat kesempatan mengenal wajah
orang tua dan belum merasakan kasih
sayangnya pula? Mengapa bisa demikian?
“Saya menjadi bingung,” ujar
gadis ini ragu. “Bagaimanakah
sesungguhnya saya ini? Mengapakah
sebabnya saya hidup di tengah hutan
bersama Kakek Tunjung Biru seorang
diri? Lalu apa sajakah rahasia dari
kehidupanku ini?”
“Anakku, engkau jangan kecil
hati,” hibur ibu itu. “Semua akan
segera engkau ketahui, sesudah ayahmu
datang.”
“Tetapi mengapakah sebabnya aku
harus di sini? Dan mengapa sebabnya
tidak langsung dibawa ke rumah orang
tuaku?”
“Hal itu sesuai dengan surat
Kakang Tunjung Biru. Tetapi percayalah
bahwa baik gurumu maupun Kangmas Gajah
Mada bermaksud baik. Dan engkau akan
mendengar semua itu nanti.”
Keterangan yang samar-samar ini
menyebabkan Dewi Sritanjung tetap
bingung dan kurang mengerti. Akan
tetapi gadis ini terpaksa harus puas
dengan semua ini. Namun demikian oleh
sikap ramah dari ibu dan anak ini,
menyebabkan Dewi Sritanjung terhibur,
dan segala keraguannya sedikit
menghilang. Ia mulai dapat
menyesuaikan diri dengan kehidupan
para bangsawan.
Pada kesempatan ini, beberapa
orang pelayan wanita bermunculan, lalu
menghidangkan minuman dan makanan.
Lalu dengan ramah ibu dan anak ini
mengajak Dewi Sritanjung makan.
Menghadapi meja yang penuh
hidangan dan belum pernah ia kenal ini
Dewi Sritanjung gembira dan lupalah ia
kepada hal yang lain. Dasar perutnya
sudah lapar, maka Dewi Sritanjung
makan dengan lahap. Sedang baik ibu
maupun Trisna Dewi tidak jemunya
menerangkan nama makanan yang sedang
diambil maupun dimakan gadis ini.
Demikianlah Dewi Sritanjung cepat
dapat menyesuaikan diri, berkat sikap
isteri dan puteri Gajah Mada yang
ramah. Seusai makan, diajaklah gadis
ini pergi ke taman. Bagi gadis ini
segala macam tanaman dan bunga yang
terdapat di dalam taman ini tidak
menarik, karena tanaman dan bunga-
bunga yang bermekaran itu jauh kalah
indah dan kalah menyedapkan apabila
dibanding dengan bunga-bunga yang
tumbuh liar di dalam hutan. Akan
tetapi ketika diajak ke kolam ikan,
Dewi Sritanjung gembira dan berkali-
kali mengemukakan kekagumannya,
melihat ikan di dalam air yang
warnanya aneka macam itu.
Pada kesempatan ini Dewi
Sritanjung banyak diminta untuk
menceritakan kehidupannya di dalam
hutan. Dan gadis ini menceritakan apa
adanya, tentang keadaan hutan yang
penuh belukar, sepi dan banyak
binatang liar dan buas maupun berbisa.
Trisna Dewi tertarik sekali oleh
cerita ini, sebab bagi puteri ini, apa
yang disebut hutan dan belukar itu
adalah asing. Sering juga ia minta
kepada ayahnya untuk ikut serta di
kala Gajah Mada berburu. Namun
permintaan itu tidak pernah dika-
bulkan, ditolak secara halus dengan
berbagai alasan.
Di saat dua orang gadis ini
sedang asyik bicara sambil memandang
ikan-ikan yang berseliweran di dalam
kolam ini, datanglah seorang pelayan
yang tergopoh. Perempuan itu setelah
berlutut di depan Trisna Dewi,
berkata, “Ampunkan hamba, Gusti. Tuan
puteri berdua mendapat panggilan agar
langsung datang ke pendapa. Semuanya
sudah menunggu Gusti berdua.”
“Baiklah,” sahut Trisna Dewi,
kemudian mengajak Dewi Sritanjung
langsung menuju ke pendapa.
Ketika tiba di pendapa, Dewi
Sritanjung agak heran melihat Surya
Lelana menundukkan kepala dan
tampaknya masgul sekali. Perubahan
sikap ini menimbulkan pertanyaan dalam
hati gadis ini. Sebab biasanya Surya
Lelana akan segera memandang dirinya
dengan mata bersinar-sinar dan bibir
tersenyum.
Laksamana Nala duduk juga
berhadapan dengan Gajah Mada, menga-
mati Dewi Sritanjung penuh perhatian.
Hatinya berdebar tidak karuan, karena
baik wajah maupun bentuk tubuh Dewi
Sritanjung mirip sekali dengan ibunya,
Dewi Anwari. Hati panglima ini amat
terharu, teringat kepada Dewi Anwari
yang sudah tiada.
Tiba-tiba saja Laksamana Nala
bangkit dari tempat duduknya. Ia
melangkah dan langsung memeluk Dewi
Sritanjung. Tentu saja gadis ini kaget
dan hampir saja memberontak. Untung
nalurinya mencegah, hingga gadis ini
berdiam diri dengan pandang mata
keheranan.
Melihat ini Gajah Mada cepat
memberitahu, “Tanjung, dialah ayahmu.”
“Ohh.... Ayah...,” pekik Dewi
Sritanjung.
Dan tiba-tiba saja gadis ini
menyembunyikan mukanya ke dada
Laksamana Nala, sambil menangis ter-
sedu. Sebaliknya Laksamana Nala
memeluk pundak anaknya ini, sambil
meneliti kalung gadis ini yang
mempunyai hiasan burung garuda.
Dari sudut mata laki-laki ini
kemudian menitik pula air mata yang
bening. Laksamana Nala yang gagah
perkasa itu, sekarang menangis benar-
benar. Menangis karena hatinya amat
terharu berbareng menyesal, teringat
akan isteri tercinta Dewi Anwari.
Kalau saja waktu itu dirinya tidak
meninggalkan Dewi Anwari secara diam-
diam, tentunya isterinya itu tidak
akan mati. Dan tentunya Dewi
Sritanjung tidak kehilangan ibu
kandungnya, juga tak akan dibuang ke
sungai.
Di saat Dewi Sritanjung
sesenggukan di dada ayahnya ini, tiba-
tiba terdengarlah jerit tertahan.
“Anakku...!”
Lalu seorang wanita yang wajahnya
masih nampak cantik sekalipun sudah
tua, sudah menubruk dan memeluk Dewi
Sritanjung.
Dewi Sritanjung mengangkat
wajahnya yang basah air mata,
memandang perempuan itu sejenak.
Laksamana melepaskan pelukannya
sambil berkata lirih, “Tanjung, inilah
ibumu.”
“Ibuuuu...!” pekik Dewi
Sritanjung sambil memeluk erat perem-
puan itu dan menyembunyikan mukanya ke
dada.
Menyusul kemudian terdengar suara
tangis dua orang perempuan yang
mengibakan hati, dan menimbulkan rasa
haru kepada mereka yang melihat.
Saking terharu, isteri Gajah Mada
maupun Trisna Dewi ikut menangis di
tempat duduknya. Adapun Gajah Mada
hanya berdiam diri sambil menghela
napas berulang-ulang, sedang Surya
Lelana menundukkan kepala tampak lesu
dan sedih.
Akan tetapi Laksamana Nala kaget
dan cepat menyambar tubuh isterinya,
hingga perempuan itu tidak jadi roboh.
Ternyata perempuan yang mengaku
sebagai ibu Dewi Sritanjung itu sudah
pingsan. Dan menyebabkan Dewi
Sritanjung yang baru bisa bertemu
dengan ibunya itu, kebingungan dan
memanggil-manggil.
Isteri Gajah Mada dan Trisna Dewi
cepat menyerbu dan menghibur Dewi
Sritanjung. Dan yang pingsan segera
dirawat, dipondong Laksamana Nala,
lalu dibaringkan di pembaringan kayu
berukir indah, beralas kain warna
jambon (merah jambu).
Apakah sebabnya isteri Laksamana
Nala menjadi pingsan setelah mengaku
sebagai ibu Dewi Sritanjung? Memang
ada sebabnya. Semula terjadilah
pertentangan dalam hatinya, dibujuk
oleh Gajah Mada, agar mau mengaku
sebagai ibu kandung Dewi Sritanjung.
Hal itu dilakukan dengan maksud agar
gadis yang belum pernah melihat wajah
ayah bundanya itu tidak menjadi kecil
hati. Sebab betapa akan sedih Dewi
Sritanjung, apabila tahu ibunya sudah
tiada! Di samping untuk menjaga agar
hati dan perasaan gadis ini tidak
kaget, langkah ini dimaksud pula untuk
menutup rahasia Laksamana Nala yang
sudah menyia-nyiakan Dewi Anwari.
Sedang yang teramat penting adalah
guna menghilangkan noda hitam dalam
keluarga, karena Dewi Sritanjung
adalah cucu Kuti, seorang dharmaputra
yang memberontak dan mati terbunuh.
Itulah sebabnya Dewi Sritanjung
tadi sengaja disingkirkan ke taman
dulu, agar gadis ini tidak mendengar
rahasia kematian ibu kandungnya.
Akan tetapi betapa berat rasa
hati isteri Laksamana Nala ini, tahu-
tahu harus mengakui anak dari madunya,
sebagai anak kandungnya sendiri.
Lebih-lebih gadis ini adalah cucu
Kuti, seorang pemberontak yang hampir
saja menimbulkan bencana hebat bagi
Majapahit.
Namun sekalipun berat rasa hati
perempuan ini, setelah dipikir lebih
dalam dan luas lagi, semua kesalahan
terletak pada pundak suaminya sendiri.
Sebab taklah mungkin anak Kuti itu
menjadi isteri suaminya, kalau su-
aminya memang tidak menghendaki.
Sebaliknya anak yang tidak berdosa
ini, tidak mungkin lahir di dunia ini
dan mencari orang tuanya, apabila
tidak ada dua insan yang mencip-
takannya.
Setelah terjadi pertentangan
hebat dalam dada ibu ini, pada akhir-
nya kesadarannya menang. Ia sedikit
berkorban untuk suaminya sendiri,
adalah sudah sepatutnya bagi seorang
isteri. Merupakan kewajibannya pula,
justru apa yang dilakukan adalah untuk
nama baik suaminya sendiri. Akan
tetapi walaupun sudah sedemikian jauh
ia berpikir dan ia mempertimbangkan,
tidak urung ibu ini pingsan juga.
Akhirnya ibu ini sadar juga
setelah dirawat sendiri oleh Laksamana
Nala, Setelah membuka mata dan sadar,
mulutnya sudah berkata, “Tanjung....
ohh, anakku....”
Dewi Sritanjung segera memberikan
kepalanya untuk diusap-usap oleh
ibunya, juga memberikan pipinya untuk
dicium ibunya. Air mata mereka
membanjir membasahi pipi, dan untuk
beberapa lama tidak ada yang bicara.
Jari-jari tangan isteri Panglima
Nala mengusap-usap rambut, kemudian
seluruh muka dan leher Dewi
Sritanjung. Dan gadis ini hatinya amat
terharu, bangga, gembira dan bahagia.
Apa yang diharapkan selama ini, dan
apa yang dibayangkan serta dikenang
selama belasan tahun lamanya itu,
sekarang terwujud. Ia bertemu dengan
ibunya, dan beginilah kasih sayang
seorang ibu kepada anaknya.
Akan tetapi sekalipun gadis ini
merasa amat bahagia dan bangga, dapat
bertemu dengan ayah bundanya, timbul
pula perasaan aneh dalam dadanya.
Sekarang menjadi jelas dirinya bukan
anak orang sembarangan. Ternyata diri-
nya seorang puteri Panglima Angkatan
Laut, Laksamana Nala, yang kedudu-
kannya amat tinggi di Kerajaan
Majapahit. Namun mengapa sebabnya
dirinya terpisah dengan ayah bundanya,
dan kemudian sampai dipelihara oleh
Kiageng Tunjung Biru? Timbul perta-
nyaan dalam hatinya, kalau demikian
apakah dirinya ini memang salah
seorang anak yang disia-siakan oleh
ayah bundanya?
Dewi Sritanjung tak kuasa menahan
perasaan dan pertanyaan yang bergolak
dalam dadanya ini. Maka masih sambil
memeluk ibunya, gadis ini bertanya,
“Ibu.... ohh, mengapa aku ini?”
“Apakah maksudmu, Anakku?” tanya
ibunya dengan nada yang amat kasih.
“Apakah sebabnya Ayah dan Ibu
tega kepadaku? Mengapa baru sekarang
ini saja Tanjung dapat bertemu dan
mengenal wajah Ayah maupun Ibu? Dan
mengapa pula sebabnya Tanjung terpisah
dengan Ayah dan Ibu?”
Ibunya tidak cepat menjawab.
Tetapi malah memandang suaminya dengan
sinar mata yang bertanya. Laksamana
Nala dapat menduga maksud isterinya.
“Anakku, kisahnya cukup panjang,”
sahut ayahnya.
Laksamana Nala segera mengarang
cerita yang ia pikir masuk akal. Ia
mengatakan bahwa ketika Dewi
Sritanjung masih kecil, kira-kira baru
berumur satu setengah tahun, sudah
dilarikan oleh pengasuhnya. Tentu saja
peristiwa ini menyebabkan seluruh
keluarga sedih dan berusaha menemukan
kembali, dengan menyebar banyak hamba
untuk mencari. Namun usaha-usaha yang
sudah mengerahkan ratusan orang
banyaknya, dan pencarian dilakukan ke
seluruh penjuru itu, sia-sia belaka.
Setiap petugas yang pulang, selalu
memberi laporan sama, tidak dapat
menemukannya. Setelah lebih dua tahun
lamanya mencari tidak juga berhasil,
akhirnya usaha pencarian dihentikan.
“Betapa sedih hatiku dan hati
ibumu, sulit dilukiskan, Anakku,”
lanjut Laksamana Nala. “Akhirnya
karena usaha itu gagal, baik aku
maupun ibumu hanya dapat mohon kepada
Dewata Agung, agar engkau selalu
selamat dan kemudian hari dapat
bertemu kembali.”
“Tetapi Ayah, siapa yang kemudian
memberi petunjuk bahwa Tanjung dirawat
oleh Guru?” sela Dewi Sritanjung.
“Ya. Itulah permulaan aku dan
ibumu dapat bertemu dengan anak yang
sudah lama hilang. Dalam surat gurumu
yang ditujukan kepada Kangmas Gajah
Mada, belum lama berselang gurumu
datang ke Caruban. Kemudian gurumu
mendengar keterangan dari Bupati
Caruban yang memang sudah aku mintai
pertolongan ikut serta mencari
jejakmu. Adapun sebagai tanda anakku
yang hilang itu, ialah seutas kalung
dengan hiasan burung garuda, terbuat
dari emas. Nah, Anakku, setelah gurumu
mendengar keterangan ini, maka
terpikir kemudian untuk mengembalikan
engkau kepada orang tuanya.”
“Tetapi.... mengapa sebabnya Ayah
tidak datang ke sana?”
“Anakku..., agaknya memang sudah
menjadi kehendak gurumu, memang harus
demikian. Buktinya gurumu tidak mau
memberitahu langsung padaku. Melainkan
malah mengutus engkau supaya datang
sendiri ke Majapahit. Bukankah gurumu
pun menerangkan, bahwa di Majapahit
engkau bakal bertemu dengan orang
tuamu?”
Dewi Sritanjung menghela napas
panjang. Untuk beberapa saat lamanya
gadis ini hanya terisak-isak.
Ketika itu datanglah Gajah Mada,
isterinya, Trisna Dewi dan Surya
Lelana. Gajah Mada dan isterinya
berseri wajahnya setelah melihat Dewi
Sritanjung dengan ibunya nampak rukun.
Laksamana Nala menatap Surya
Lelana yang nampak lesu dan kecewa.
Tetapi karena tidak tahu apa yang
dikandung dalam hati pemuda ini, maka
Laksamana Nala memalingkan muka ke
arah Dewi Sritanjung. Katanya,
“Tanjung, sudahkah engkau kenal dengan
saudaramu yang tua?”
“Mana, Ayah? Siapa?” Dewi
Sritanjung terperangah.
“Dia inilah abangmu, namanya
Surya Lelana,” Laksamana Nala memper-
kenalkan.
Dewi Sritanjung terbelalak kemu-
dian terpaku seperti patung dan tidak
dapat membuka mulut, Surya Lelana
diperkenalkan sebagai abangnya.
Dalam hatinya timbul rasa masy-
gul, mengapa bisa terjadi demikian?
Mengapa pemuda tampan yang sudah
mencuri hatinya dan ia cintai pula
itu, adalah abangnya sendiri? Hemm,
seorang abang dan sudah memberi ciuman
beberapa kali kepada dirinya, ciuman
penuh kasih sayang antara pria dan
wanita. Timbullah rasa malu dalam hati
gadis ini, hingga ia menundukkan
mukanya, tidak berani bertatap pandang
dengan Surya Lelana.
Untunglah Surya Lelana cepat
dapat menekan perasaan. Walaupun
hatinya amat sedih setelah tahu gadis
ini adiknya sendiri, ia melangkah
menghampiri sambil meletakkan telapak
tangannya di atas pundak.
“Adikku, oh.... maafkanlah
aku.... yang tidak tahu....”
Dewi Sritanjung tidak menjawab,
hanya menangis sesenggukan. Laksamana
Nala dan isterinya memandang mereka
dengan heran. Dalam hati bertanya, apa
yang sudah terjadi?
Di antara mereka yang hadir hanya
Gajah Mada yang tahu sebabnya. Katanya
dengan nada penuh sabar, “Anakku,
hidup manusia ini takkan lepas dari
garis yang sudah ditetapkan oleh Yang
Maha Tinggi. Manusia yang bijaksana,
karena merasa hidupnya dikuasai dan
ada yang memberi hidup, akan menerima
hidupnya ini secara wajar, dan apa
adanya. Karena dengan cara itu
hidupnya akan dijauhkan dari rasa
sesal atau kecewa. Dan menerima apa
adanya karena sadar hidupnya sesuai
dengan garis yang sudah ditentukan
oleh Dewata Yang Agung.”
Gajah Mada berhenti sejenak,
lalu, “Anakku, lupakanlah apa yang
sudah terjadi. Jangan kau tengok apa
yang sudah kau lalui. Ketahuilah,
hidup adalah saat ini. Sekarang, bukan
kemarin, bukan tadi dan bukan pula
esok pagi atau nanti. Yang lalu
biarlah berlalu, yang belum jangan
dipikir. Bersyukurlah kalian kepada
Dewata Yang Agung, kita dipertemukan
dan dapat berkumpul kembali masih
dalam keadaan selamat tidak kurang
satu apa.”
Sekalipun Gajah Mada mengucapkan
kata-kata yang samar-samar, Laksamana
Nala sudah dapat menduga apa yang
terjadi antara Dewi Sritanjung dengan
Surya Lelana. Bahwa saudara seayah
lain ibu itu, karena tidak tahu, sudah
menjalin cinta kasih. Diam-diam Nala
menyesal sekali, mengapa bisa terjadi
seperti ini. Tetapi apa harus dikata,
justru tidak tahu? Masih untung dua
anak muda ini pada saat sudah genting
dapat mengetahui keadaan yang
sebenarnya. Mereka belum terlanjur.
Baik Nala maupun isterinya
kemudian menghibur pula dengan petun-
juk yang berharga. Dewi Sritanjung
hanya dapat menangis sesenggukkan di
dada ibunya. Tidak tahu apa yang harus
ia lakukan, menghadapi peristiwa yang
tidak pernah ia duga dan harapkan itu.
Akhirnya terhibur juga hati Dewi
Sritanjung setelah mendapat nasihat
dan bujukan dari ayah, ibu, Gajah Mada
dan isterinya. Setelah dianggap cukup,
kemudian diboyonglah Dewi Sritanjung
ke rumah kediaman Laksamana Nala.
Kedatangannya disambut oleh saudaranya
yang lain, dua orang kakak perempuan.
Dewi Sritanjung dielu-elukan tiada
bedanya dengan tamu agung. Semua
keluarga dikumpulkan seluruhnya, lalu
satu demi satu hamba sahaya ini
berlutut di depan Dewi Sritanjung
sambil memperkenalkan diri dan
menghaturkan selamat datang.
Akan tetapi betapapun meriah
penyambutan ayah, bunda, saudara
maupun hamba sahaya, dalam hati gadis
ini masih terdapat perasaan yang
kurang sreg (puas). Gadis ini masih
kurang percaya keterangan ayahnya,
bahwa ketika dirinya kecil dilarikan
oleh pengasuhnya, kemudian ayah
bundanya berusaha menemukan kembali
dengan berbagai macam cara. Sebab
kalau benar dirinya sudah lama dicari,
dan kalau benar sebagai tanda seutas
kalung emas dan hiasan burung garuda,
mengapa pada saat Surya Lelana datang
dan berkenalan pertama kali, Surya
Lelana tidak segera mengenal dirinya
sebagai adiknya yang sudah lama
hilang? Sebab Surya Lelana pun tentu
tahu pula tentang tanda ini. Dan kalau
tidak tahu, itulah aneh dan sulit ia
percaya.
Diam-diam timbullah kecurigaan
gadis ini, tentu ada suatu rahasia
yang ditutup oleh ayah bundanya.
Kemudian timbul dugaan gadis ini,
kiranya ketika dirinya kecil, memang
sengaja dibuang oleh ayah bundanya.
Dan berarti dirinya lahir di dunia
ini, memang diluar kehendak orang
tuanya.
Berkecamuk berbagai macam
perasaan di dalam dada gadis ini,
ketika sudah berbaring di pembaringan
kayu yang berukir indah, beralas kain
sutera biru dan di dalam kamar indah
berbau harum pula. Akibatnya gadis ini
tidak juga dapat tidur, sekalipun
tubuhnya terasa lelah.
Entah mengapa sebabnya, dalam
hati gadis ini timbul perasaan tidak
puas oleh sikap ibu maupun dua orang
kakak perempuan. Sebab setelah selesai
mengelu-elukan ketika dirinya tiba,
tiga perempuan itu seperti tidak
peduli lagi kepada dirinya.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Waktu yang belasan tahun tidaklah
singkat. Namun mengapa baik ibu maupun
dua kakak perempuannya itu membiarkan
dirinya tidur dalam sebuah kamar dan
sendirian pula? Apakah sebabnya
keluarga itu tidak tampak rindu? Dan
lagi pula kalau dirinya muncul, bukan
ibunya yang lebih dahulu menyambut
kedatangannya, tetapi malah ayahnya?
Bagaimanapun seorang ibu tentu lebih
memperhatikan anak yang dilahirkan
dari rahimnya, dibanding dengan ayah.
Akan tetapi apakah sebabnya malah
terjadi sebaliknya?
Mengapa? Apakah sebabnya? Per-
tanyaan ini terus berkecamuk dalam
dadanya. Akan tetapi sayangnya ia
tidak dapat menjawab sendiri.
“Hanya Ayah seorang yang akan
dapat menjawab pertanyaan ini,”
pikirnya sambil bangkit dari
pembaringan. “Hemm, malam ini juga aku
harus bertemu dengan Ayah. Aku harus
mendapat keterangan jelas dan Ayah
harus sedia membeberkan kenyataan yang
sebenarnya.”
Demikianlah, gadis ini kemudian
keluar dari kamar. Rumah yang besar
itu sunyi dan tidak melihat seorang
pun. Lampu besar di tengah ruangan,
sudah dipadamkan orang, dan ia
termangu beberapa saat lamanya sambil
menebarkan pandang matanya. Di manakah
letak kamar ayahnya? Rumah ini luas
sekali, tidak gampang mencari letak
kamar ayahnya.
“Huh, luas, hi hi hiiiikk,” gadis
ini ketawa lirih seorang diri. “Aku
biasa hidup di dalam hutan yang luas
dan berbahaya. Apakah artinya rumah
yang hanya seluas ini?”
Setelah menetapkan hatinya,
dengan langkah hati-hati ia mulai
menyelidik. Tetapi mendadak Dewi
Sritanjung mempertajam pendengarannya,
ketika mendengar suara perempuan
sedang bicara perlahan. “Ahh, dari
kamar besar yang masih menyala
lampunya itu.”
Sebagai gadis sakti, ia dapat
bergerak tanpa suara. Dan kebetulan
sekali pintu tidak terkunci dan
sedikit terbuka. Dari celah pintu itu,
ia melihat di dalam kamar, ibunya
duduk bersimpuh di meja pendek, sedang
dua kakak perempuannya duduk di depan
ibunya.
Ia mendengar suara kakaknya yang
bertanya, “Ibu, sebenarnya saya heran
sekali dengan munculnya seorang gadis
yang disebut sebagai adikku itu. Ayah
bilang, dahulu dilarikan oleh pengasuh
ketika masih kecil. Tetapi ketika aku
tanyakan kepada hamba tertua, yang
sudah lebih duapuluh tahun lamanya
mengabdi di rumah ini, dia malah kehe-
ranan dan bingung. Dan dia menerangkan
bahwa puteri Ibu hanya tiga orang saja
dan tidak seorang pun yang hilang.
Ibu, jelaskanlah. Mana yang benar?”
Berdebar jantung Dewi Sritanjung
mendengar ini. Ia menahan napas, ingin
mendengar jawaban ibunya secara jelas.
Tetapi ibunya tidak segera memberikan
jawaban, malah kemudian menghela napas
berulang-ulang, seperti berat untuk
membuka mulut. Dan baru sesudah
didesak berkali-kali oleh anaknya, ibu
itu menjawab.
“Sesungguhnya memang demikian,
Anakku. Memang anakku hanya tiga orang
saja. Gadis yang tadi datang, dan
diakukan sebagai anak bungsu oleh ibu,
memang bukan anak ibu.”
Berdenyut kepala Dewi Sri
tanjung, lalu pandang matanya menjadi
kabur. Bukan anaknya? Kalau demikian,
aku ini anak siapa?
“Kalau bukan, mengapa Ibu mau
mengakui?”
“Itu hanya menuruti kehendak
Ayahmu saja. Jelasnya demikian, akan
tetapi aku minta rahasiakanlah agar
tidak sampai didengar oleh Sritanjung.
Dahulu ayahmu mempunyai seorang isteri
muda, bernama Dewi Anwari. Dari isteri
muda itu lahirlah Dewi Sritanjung.
Tetapi malang, ketika melahirkan anak
pertama itu, Dewi Anwari meninggal.”
“Horeee....” sorak dua gadis itu.
“Kamu tidak boleh berkata begitu.
Tahu? Kamu harus dapat bersikap baik
dan mencintai dia seperti kepada
adikmu sendiri. Kalau aku sedia
berkorban demi kepentingan Ayahmu,
mengapa kamu tidak? Kamu harus pandai
menjaga rahasia ini, agar Dewi
Sritanjung tidak tahu dan Ayahmu tidak
marah kepadamu, kepada kita. Bagaima-
napun dia seorang anak yang patut
dikasihani. Sejak kecil dia tidak
mengenal ayah dan bundanya, dan tidak
pernah mendapatkan kasih sayang dari
orang tua maupun saudara-saudaranya.”
Dua gadis itu berdiam diri
dibentak ibunya. Namun dari sikapnya,
Dewi Sritanjung tahu, jelas tidak
senang.
Untuk beberapa saat lamanya gadis
ini berdiri bagai patung. Tetapi dari
sudut matanya, menitik air mata yang
bening. Dan dalam dada gadis ini,
tiba-tiba saja terjadi semacam perang
batin yang amat hebat.
Ibuku sudah mati? pekik dalam
dadanya. Di mana? Ah..., Kakek tentu
bisa menerangkan tentang Ibu dan
makamnya.
Mendadak terdengar suara pekik
nyaring dan panjang, “Ibuuu...!”
Disusul suara brakkkk....
Penghuni rumah kaget. Laksamana
Nala dan Surya Lelana yang ketika itu
belum tidur cepat melompat dan lari ke
rumah belakang. Sebab mereka mengira,
telah terjadi sesuatu di dalam rumah
itu.
Ketika ayah dan anak ini masuk ke
dalam rumah, Nala melihat isteri
anaknya baru saja keluar dari kamar
dengan wajah pucat karena kaget.
“Apa yang terjadi?” tanya Nala.
Tetapi tanpa menunggu jawaban,
Nala kemudian tertarik perhatiannya
kepada pecahan kayu di lantai rumah.
Ketika ia menengadah ternyata baik
langit-langit maupun atap sudah jebol.
Nala cepat melompat ke kamar Dewi
Sritanjung, ternyata puterinya tidak
ada.
“Celaka!” pekik Nala. “Surya....
aahh, adikmu pergi tiba-tiba. Mari
kita kejar!”
Saking gugup dan gelisahnya,
tanpa menunggu jawaban, Nala sudah
menjejak lantai, tubuhnya melesat ke
atas lewat langit-langit dan atap yang
jebol. Sedang Surya Lelana cepat lari
ke arah pintu.
Nala memang sudah dapat menduga,
Dewi Sritanjung pergi lewat langit-
langit dan atap yang jebol itu. Dan
pekik panjang yang menyebut ibu tadi,
tentu pekikan puterinya. Sebab tidak
mungkin orang luar berani datang dan
mengganggu rumahnya.
Nala mengerahkan kepandaiannya
lari, sambil memanggil nama Dewi
Sritanjung. Tetapi teriakan Nala itu
sia-sia belaka, demikian pula usahanya
mengejar. Gadis itu sudah tidak tampak
bayangannya dan sudah jauh pergi.
Surya Lelana juga berlarian cepat
sekali mengambil arah lain. Pemuda ini
lari dengan hati tidak keruan, sebab
ternyata gadis jelita yang ia cintai
itu adalah adiknya sendiri, sehingga
hatinya menjadi masygul dan kecewa.
***
2
Matahari musim kemarau sinarnya
menyengat kulit. Jalan berdebu dan
pohon-pohon kecil layu kesulitan
mendapatkan air. Ladang orang dibiar-
kan kosong tanpa tanaman, dan tanahnya
yang kering pecah-pecah sedang rumput
pun sulit bisa hidup. Sawah-sawah yang
menggantungkan air hujan juga terbeng-
kalai, pak tani terpaksa menganggur,
karena sawah tidak dapat menghasilkan
apa-apa.
Seorang gadis yang hanya berpa-
kaian dari bahan kasar dan sederhana,
melangkah dengan lesu. Rambutnya yang
kering itu sudah tidak teratur lagi
oleh angin nakal. Peluh membasahi
dahi, pipi, dan lehernya dibiarkan
menetas. Dan pipi yang kuning halus
itu oleh sinar matahari berubah men-
jadi merah jambu. Sekalipun demikian
kejelitaan gadis ini tidak berkurang
malah bertambah.
Hanya sayang, sepasang mata
bintang itu nampak sayu, dan berkali-
kali gadis ini melangkah sambil
menghela napas panjang. Dan agaknya
dada gadis ini terasa sesak oleh
derita batin.
Kenyataannya memang demikian.
Batin gadis cantik itu menderita,
sehingga dunia yang luas ini dirasa
terlalu sempit. Matahari yang
menyinarkan cahayanya amat terik itu
seperti gelap. Segelap hatinya
sekarang ini!
Siapakah gadis ini dan ke manakah
tujuannya hanya seorang diri? Seakan
ia tidak menyadari bahwa kejelitaannya
ini bisa menimbulkan bahaya setiap
waktu. Karena kecantikannya dapat
menimbulkan rangsangan laki-laki tidak
bertanggung jawab untuk menggunakan
kesempatan dan mengganggu.
Namun sebaliknya gadis ini memang
tidak merasa khawatir dan takut oleh
gangguan orang dalam perjalanannya
sekarang ini. Ia memang bukan gadis
sembarangan. Laki-laki yang berani
sembrono salah-salah menderita malu
dihajar oleh kaki dan tangan yang
kecil, namun berbahaya.
Dialah Dewi Sritanjung yang
menderita pukulan batin hebat, setelah
tertumbuk oleh peristiwa yang tidak
sesuai dengan harapannya semula.
Harapan yang sudah belasan tahun
lamanya ia tunggu untuk dapat bertemu
dengan ayah bundanya, tetapi yang
terjadi malah sebaliknya.
Tetapi adakah sesuatu yang aneh
itu di dunia ini? Segalanya bisa
terjadi yang serba aneh. Demikian pula
apa yang harus diderita oleh Dewi
Sritanjung ini. Masih semuda itu, ia
sudah harus mengalami pukulan batin
dan harus menempuh perjalanan tanpa
tujuan, tidak bedanya dengan
gelandangan.
Seseorang yang sedang menderita,
semuanya tidak menyenangkan, dan
biasanya menjadi kurang waspada akan
keadaan sekitarnya. Demikian pula
gadis ini, ia menjadi tidak sadar,
semenjak tadi telah dibayangi oleh
sepasang mata dan selalu memperhatikan
gerak-geriknya. Sepasang mata itu
mirip sepasang mata seekor kucing yang
melihat tikus gemuk. Mata yang meli-
hat, tetapi mulut yang mengeluarkan
air liur.
Sepasang mata yang bersinar aneh
itu, adalah mata seorang pemuda
berumur 22 tahun. Pemuda yang wajahnya
cukup tampan, tetapi pucat. Gerakan
pemuda ini gesit dan tidak bersuara,
seakan mempunyai sayap, sehingga
seperti terbang. Sambil bergerak gesit
dan tidak bersuara ini, mulutnya
berkomat-kamit dan tersenyum aneh.
Entah apa saja yang sedang terpikir
oleh pemuda ini.
Sungguh sayang, Dewi Sritanjung
tidak menyadari dirinya ada orang yang
membayangi. Derita batinnya menyebab-
kan telinga yang biasa peka itu
menjadi seperti tuli. Ia terus
melangkah menuju ke barat, tidak
mempedulikan kulitnya yang kuning
halus itu tersengat oleh matahari.
Tak lama kemudian gadis ini malah
menuju ke tempat yang berjauhan
letaknya dengan desa. Kemudian ia
malah masuk ke dalam sebuah hutan yang
tidak jauh dari Kali Bluwak Julang,
yang bermata air dari perbukitan
Kendeng.
Melihat air yang jernih, mendadak
saja ia merasa gerah. Betapa nikmatnya
setelah sejak pagi terbakar sinar
matahari yang panas, sekarang dapat
menyejukkan tubuh dengan menyelam
dalam air kali ini, mandi dan
berkecimpung.
Namun gadis ini tidak segera
melaksanakan niatnya, dan ia kemudian
duduk di atas batu di tepi sungai.
Kaki terasa sejuk setelah menjulur ke
bawah dan terendam air sungai sampai
betis.
Gadis ini duduk berdiam diri.
Tetapi pada saat ia duduk berdiam diri
ini, tiba-tiba saja kenangannya
melayang kembali ke Majapahit, waktu
bertemu ayahnya pertama kali di ramah
Gajah Mada. Ia menangis dan ayahnya
juga menangis. Ketika itu ia merasa
heran, mengapa ibunya malah tidak
menitikkan air mata, bertemu pertama
kali dengan puterinya yang belasan
tahun lamanya hilang? Semula ia
menduga tentu ibunya seorang wanita
tabah, hingga tidak menitikkan air
mata, sekalipun berhadapan dengan
peristiwa yang amat mengharukan.
Namun keheranannya itu kemudian
terjawab setelah ia berdiam di rumah
sendiri, rumah Laksamana Nala.
Ternyata wanita yang mengaku sebagai
ibunya itu, bukan ibu kandungnya,
malah ibu tirinya.
Rahasia itu baru diketahui
setelah secara tidak sengaja dirinya
mendengar pembicaraan ibunya dengan
dua orang kakak perempuannya, bahwa
dirinya bukan anak hilang, tetapi anak
tiri.
Hatinya terpukul kemudian ia lari
dari rumah gedung yang megah itu.
Dewi Sritanjung menghela napas
panjang. Ia kemudian meruntuhkan
pandang matanya ke air yang mengalir
dengan tenang itu. Lalu ia membuka
bajunya dengan maksud akan segera
merendam tubuh dalam air sungai dan
mandi.
Namun baru saja selesai melepas
baju, tiba-tiba gadis ini kaget dan
cepat memakai kembali bajunya. Sebab
pada saat bajunya lepas tadi, ia
mendengar dengus napas halus orang,
tidak jauh dari tempatnya duduk.
Dengan lincah Dewi Sritanjung
meloncat berdiri. Sepasang mata yang
semula sayu itu sekarang berubah
berkilat-kilat, dan dari mulutnya
kemudian terdengarlah bentakan nya-
ring.
“Hai! Siapa yang bersembunyi di
semak itu? Hayo, lekaslah keluar.”
Pemuda pucat yang sejak tadi
membayangi gadis ini terkejut. Pemuda
ini dalam hati mencaci maki dirinya
sendiri, mengapa sudah mendengus dan
jantungnya berdegup cepat sekali,
ketika baru saja melihat kulit tubuh
yang kuning mulus, sesaat gadis itu
melepas baju? Akibatnya si gadis tahu
dirinya sedang mengintip di dalam
semak. Padahal apabila tadi dirinya
kuasa menahan debaran jantungnya, ia
tentu dapat menyaksikan sesuatu yang
lebih indah dan menarik, di kala gadis
itu sudah bugil dan mandi di kali.
Sesungguhnya ia tadi meren-
canakan, pada saat si gadis ber-
kecimpung dalam air, ia akan
menggunakan kesempatan dengan jalan
mencuri dan menyembunyikan pakaian
gadis itu. Apabila pakaian gadis itu
sudah ia sembunyikan, dirinya tentu
akan dapat menekan gadis itu supaya
menyerah.
Akan tetapi sekarang semuanya
sudah terlanjur. Semua harapannya
sudah buyar, dan mau tidak mau dirinya
sekarang harus keluar dari tempat
persembunyiannya.
Namun ia memang seorang pemuda
sakti. Karena itu ia tidak gentar
sedikit pun walau tahu gadis itu
bersenjata pedang. Memang ia sudah
menduga, seorang gadis ayu yang berani
melakukan perjalanan seorang diri,
tentu bukan gadis sembarangan.
Pemuda itu meloncat keluar dari
semak tempatnya bersembunyi sambil
terkekeh. Lalu mulutnya menyeringai,
tidak menyembunyikan kekagumannya
melihat kejelitaan gadis yang baru
berumur delapan belas tahun itu,
ibarat bunga yang sedang mekar dan
menyebarkan bau yang harum semerbak.
“Heh heh heh heh, Adik Manis,
apakah sebabnya engkau tidak jadi
mandi? Silakan engkau mandi dulu untuk
menyegarkan tubuh. Dan biarkanlah aku
membantumu dengan menjaga pakaianmu,
yang sekaligus menjagai keselamatanmu
pula dari gangguan orang. Dan lebih
dari itu aku pun dapat melihat dan
mengamati tubuhmu yang bugil itu.”
“Keparat mata keranjang!” bentak
Dewi Sritanjung. “Apa kerjamu memang
hanya mengintip orang sedang mandi?”
“Heh heh heh heh, mengapa tidak?
Aku paling senang mengintip perempuan
yang mandi di kali. Apalagi jika
perempuan itu mandi di sungai yang
airnya jernih seperti ini.”
“Kurang ajar! Cabul! Jika engkau
tidak lekas enyah dari tempat ini,
rasakan jika aku marah!”
Makin meledak ketawa pemuda itu,
dan menjadi geli oleh jawaban gadis
yang ketus itu. Dalam hatinya sudah
menduga, tentu gadis ini belum
mengenal dirinya, maka berhadapan
tidak menjadi gentar. Padahal bagi
wanita lain yang sudah mengenal
dirinya, tentu sudah ndheprok (duduk
bersimpuh) dan minta ampun sambil
gemetaran tubuhnya.
“Heh heh heh heh. Aku ingin
melihat, apa yang akan engkau lakukan
terhadap diriku? Apakah engkau bisa
memaksa dan mengusir aku tanpa aku
sendiri yang menghendaki?”
Ejekan itu menyebabkan Dewi
Sritanjung tambah marah. Sepasang
matanya yang indah itu sekarang
menyala.
Memang tidak mengherankan apabila
pemuda ini mengejek seperti itu. Ia
memang bukan pemuda sembarangan, dan
malah murid seorang tokoh sakti pula.
Pemuda ini bernama Rudra Sangkala, dan
gurunya bernama Murti Sari. Hanya
sungguh sayang, ilmunya yang tinggi
bukan diperuntukkan berbuat mulia,
menolong sesama hidup, malah untuk
perbuatan jahat. Ia memang seorang
pemuda yang gemar mendekatkan diri
kepada nafsu berburu perempuan.
Karena sesat, maka Rudra Sangkala
menjadi pemuda liar yang tidak pernah
melewatkan kesempatan bagus apabila
berhadapan dengan perempuan. Dan
sungguh amat sayang pula, gurunya yang
bernama Murti Sari itupun tidak pernah
menegur perbuatan muridnya yang sesat.
Menyebabkan pemuda ini semakin
menjadi, dan sekarang ia berhadapan
dengan Dewi Sritanjung, sikapnya
memandang enteng.
Sikap ini memancing kemarahan
Dewi Sritanjung. Bentaknya, “Aku akan
mengusir engkau seperti anjing, dengan
pedangku ini!”
Sring...!
Rudra Sangkala berjingkrak kaget,
melihat sebatang pedang yang
menyinarkan cahaya biru.
“Pedang bagus, heh heh heh heh!”
ujarnya.
Sebagai pemuda yang sudah cukup
pengalaman, ia segera dapat menerka
secara tepat pedang si gadis ini bukan
pedang sembarangan, tetapi malah
pedang pusaka. Namun demikian ia tidak
menjadi gentar, malah gembira dan
kemudian timbullah niatnya untuk
menaklukkan gadis cantik ini dengan
jalan apapun. Apabila maksudnya ini
terkabul, sekali tepuk akan mendapat
dua sasaran yang berharga. Pertama ia
akan mempunyai pedang pusaka yang
menyinarkan cahaya biru dan yang kedua
ia akan dapat mempunyai gadis ayu ini.
Dewi Sritanjung mengerutkan alis-
nya yang lentik. Sebentar ia meragu.
Haruskah ia berselisih dan berkelahi
dengan pemuda ini? Padahal sesuai
dengan pesan kakeknya, ia harus
berusaha menghindari perselisihan
dengan siapapun. Sebab walaupun memi-
liki sejuta orang sahabat, hidupnya
tidak juga dapat tentram apabila masih
mempunyai seorang musuh saja. Dan jika
ia ingat pesan Kiageng Tunjung Biru
ini, ia memang tidak ingin berkelahi.
Tetapi celakanya, pemuda ini sengaja
mengganggu dirinya dan malah mere-
mehkan. Tidak, bantah hatinya. Apapun
yang terjadi, pemuda yang kurang ajar
ini harus engkau lawan dan engkau
hajar biar menjadi jera.
“Hemm,” Dewi Sritanjung mendengus
dingin. “Apakah engkau membandel dan
tidak lekas enyah dari tempat ini?
Engkau janganlah menunggu aku marah!”
Akan tetapi walaupun gadis ini
sudah memperingatkan, Rudra Sangkala
malah semakin bersikap meremehkan.
Matanya bersinar-sinar aneh dan bibir-
nya membentuk senyum mengejek.
“Heh heh heh heh, aku ingin
melihat apakah engkau dapat mengusir
aku? Hemm, Adik Manis, apakah aku
kurang gagah dan kurang tampan? Huh,
adakah laki-laki segagah dan setampan
aku ini? Hem, daripada kita ini
berselisih, toh lebih menyenangkan
apabila kita rukun menjadi kekasih.”
Meledak kemarahan gadis ini,
mendengar ucapan pemuda itu.
Bentaknya, “Awas pedang...!”
Siut... wut.... Auww...!
Rudra Sangkala memekik tertahan
saking kagetnya. Mimpi pun tidak,
gadis cantik ini dapat bergerak
secepat itu. Begitu membentak, pedang
yang bersinar biru itu sudah menyambar
dahsyat sekali. Maka sedikit lambat
bergerak, dirinya tentu sudah ber-
lubang tubuhnya. Karena itu ia menjadi
cepat sadar, sekalipun tampaknya lemah
lembut, gadis ini bukan sembarangan.
Namun demikian ia juga bukan
pemuda lemah. Ia merasa sebagai murid
tunggal wanita sakti Murti Sari. Maka
sungguh memalukan sekali apabila
berhadapan dengan perempuan saja
dirinya harus menyerah kalah.
Sring...! Sungguh cepat gerakan
tangan Rudra Sangkala. Tahu-tahu
sebatang pedang telah di tangan kanan.
Seleret sinar kuning menyambar ketika
pedang itu tercabut dari sarungnya,
dan inilah pedang pusaka yang bernama
Wesi Kuning, pedang pusaka pemberian
gurunya.
Trang trang....
Benturan pedang terdengar amat
nyaring. Dua-duanya kaget dan melompat
mundur, karena benturan tadi memang
hebat. Lengan masing-masing tergetar,
dan seperti mendapat aba-aba, masing-
masing melihat pedangnya. Namun
ternyata pedang itu tidak apa-apa,
sekalipun berbenturan keras.
Dewi Sritanjung heran dalam hati.
Mengapa pedang lawan tidak patah
berbenturan dengan pedangnya? Kalau
demikian jelas sekali pedang bersinar
kuning itu pedang pusaka pula.
Menyadari pedang lawan merupakan
pedang pusaka, gadis ini amat hati-
hati.
Seleret sinar panjang yang
warnanya biru membentuk lingkaran
membungkus dirinya dengan kecepatan
yang sulit dilukiskan. Sinar yang
membentuk lingkaran besar dan kecil
ini, kadang menggetar dan menyambar ke
arah lawan secara dahsyat, tetapi
celakanya pedang ini tidak kuasa
menembus benteng pedang lawan.
Sebagai murid Murti Sari, pemuda
ini sudah termasuk ahli ilmu pedang
jempolan. Gerakannya demikian aneh,
kadang menggetar, hingga pedang yang
hanya sebatang itu dapat berubah
seperti belasan banyaknya. Namun
kadang juga membentuk lingkaran yang
tidak pernah putus.
Oleh kecepatan gerak dua orang
muda ini menggunakan pedang, lenyaplah
bentuk pedang itu dan yang tampak
hanyalah sinar kuning dan biru saling
libat. Seakan dua ekor ular yang
sedang berkelahi dan saling libat.
Trang trang.... siutt....
wutt....
Benturan pedang yang nyaring
terdengar lagi. Kemudian disusul oleh
sambaran pedang yang lebih dahsyat.
Apabila dua orang yang memiliki
ilmu pedang bertemu dan masing-masing
menggunakan pedang pusaka, tentu
terjadi perkelahian yang seru dan
berbahaya. Maka dalam waktu singkat,
keadaan di tepi sungai itu menjadi
bosah-basih (morat-marit) tidak
karuan. Semak belukar yang tinggi dan
subur itu, seakan diserbu oleh puluhan
penyabit rumput. Dan pohon-pohon
sekitarnya, seperti diserbu oleh para
tukang kayu. Pohon-pohon yang kecil
segera tumbang oleh tajamnya pedang.
Sedang ranting dan dahan pohon yang
tidak begitu tinggi, juga menjadi
berantakan.
Makin lama perkelahian ini
bertambah sengit. Mereka adalah dua
orang muda yang masih berdarah panas
dan masih bertenaga penuh. Maka
semakin lama berkelahi, dua batang
pedang pusaka itu sambarannya menjadi
semakin cepat dan berbahaya.
Rudra Sangkala yang pada mulanya
meremehkan gadis ini sekarang matanya
baru terbuka. Gadis yang tampaknya
lemah lembut ini memang tak dapat
dianggap remeh. Ia juga melihat jelas
gerakan gadis ini masih agak kaku,
membuktikan gadis ini belum memiliki
pengalaman cukup luas dalam dunia
perkelahian. Akan tetapi kekurangannya
itu bisa ditutup oleh kecepatan gadis
ini bergerak. Dan bukan hanya itu,
tangan kirinya yang membantu, setiap
memukul segera menyambar angin pukulan
dahsyat Diam-diam ia heran dan
bertanya dalam hati, siapakah guru
gadis ini?
Terbayang kemudian dalam benak-
nya, betapa hebat apabila dirinya dan
gadis itu dapat menjadi kekasih. Tentu
akan menggemparkan jagad ini, dengan
munculnya sepasang jago pedang. Akan
tetapi celakanya gadis ini sulit
dibujuk dengan ucapan, dan sulit pula
ditundukkan dengan kekerasan. Hal ini
menyebabkan Rudra Sangkala penasaran.
Kalau pada mulanya ia masih berharap
dapat menundukkan gadis ini, makin
lama berkelahi menjadi semakin tipis
harapannya. Dalam keadaan seperti ini
lalu timbul kekhawatirannya, kalau
dirinya sampai kalah. Karena timbul
kekhawatirannya ini, akibatnya
membangkitkan watak asli Rudra
Sangkala. Watak yang sesat!
“Hiaaaattt...!”
Rudra Sangkala kaget sekali dan
cepat membuang diri ke belakang,
berjungkir balik dalam usaha menye-
lamatkan diri.
Sambaran pedang yang bersinar
biru itu memang tidak terduga-duga.
Sedikit saja lambat, dirinya tentu
akan roboh.
Tetapi justru oleh serangan ini,
Rudra Sangkala semakin penasaran.
Kalau tidak dapat menundukkan gadis
ini masih dalam keadaan hidup,
pendeknya ia harus menang. Meskipun
demikian ia masih berteriak sambil
melawan.
“Adik ayu, apakah engkau masih
membandel juga?”
“Mampuslah!” jawaban Dewi Sritan-
jung disusul oleh sambaran pedangnya
yang dahsyat, dibantu oleh pukulan
tangan kiri yang melancarkan pukulan
dari ilmu tangan kosong, Sindung
Riwut.
Semua ini menyebabkan Rudra
Sangkala tambah marah. Hampir saja ia
mengambil pisau kecil untuk menyerang
gadis bandel ini. Tetapi niatnya ini
segera urung, dan ia berpendapat lebih
baik menundukkan dengan racun wangi.
Bukankah dengan racun ini, ia dapat
membuat gadis ayu ini terpengaruh dan
kemudian pingsan?
Dalam keadaan gadis ini pingsan,
dirinya akan dapat menawan. Dan kalau
sudah dapat menawan, ia akan dapat
merayu dan membujuk. Namun sebaliknya
apabila gadis ini tetap membandel, ia
akan menggunakan kekerasan. Pendeknya
sudah timbul keputusan dalam hatinya,
apabila tidak dapat mendapatkan kasih
cinta, ia harus dapat memiliki
tubuhnya.
Memperoleh keputusan demikian,
tiba-tiba saja Rudra Sangkala ter-
kekeh. Pedangnya yang bersinar kuning
itu segera menyambar lagi dengan
dahsyat
Trang trang.... siut.... sring
trang....
Beberapa kali terjadi benturan
pedang yang keras dan nyaring. Pada
saat pedang berbenturan ini, Rudra
Sangkala sudah menyebarkan racun wangi
yang jahat itu.
Dasar Dewi Sritanjung belum
berpengalaman menghadapi lawan yang
biasa berbuat curang, maka ia hanya
keheranan, ketika tiba-tiba hidungnya
menghirup bau yang semerbak wangi.
Karena polos dan tidak curiga, maka
gadis ini menduga tentu tak jauh dari
tempat ini terdapat rumpun pohon bunga
yang menyebarkan bau harum itu. Maka
gadis ini tidak curiga sedikit pun,
bahwa bau wangi ini adalah hasil
perbuatan dari lawan.
Dewi Sritanjung baru menjadi
kaget setelah tiba-tiba kepalanya
pening dan matanya kabur. Merasakan
keadaan ini ia baru menyadari lawan
sudah menggunakan racun. Saking
marahnya, ia membentak nyaring sambil
menyerang dahsyat sambil mencaci.
“Jahanam busuk! Engkau curang
menyebar racun!”
Rudra Sangkala tidak melayani
serangan lawan dan hanya berlompatan
jauh menghindar sambil terkekeh
mengejek, “Heh heh heh heh, engkau
takkan dapat menang melawan aku!”
Gadis ini menjadi amat khawatir
setelah kepala pening dan pandang
matanya kabur. Sadarlah gadis ini,
racun sudah terlanjur masuk ke paru-
paru.
Sayang sekali Dewi Sritanjung
sadar sudah terlambat. Kesadarannya
yang terlambat ini tidak dapat
menolong dirinya, karena racun wangi
dapat bekerja cepat sekali. Maka
kemudian terdengar keluhan Dewi Sri-
tanjung, disusul tubuhnya yang
terhuyung-huyung lalu roboh.
Untung sebelum roboh Rudra
Sangkala sudah melompat dan menyambar.
Dan gadis ini sekarang sudah dalam
pondongan pemuda itu.
Rudra Sangkala menyeringai se-
perti iblis kelaparan. Kemudian ia
tertawa terkekeh, membuktikan sekarang
ini ia gembira sekali, pada akhirnya
dapat merobohkan gadis ayu ini. Dan
saking tak kuasa menahan hasrat ia
lalu menunduk dan mencium bibir mungil
dan merah itu.
Dengan hati-hati ia menyarungkan
pedangnya sendiri. Lalu ia memungut
pedang Dewi Sritanjung yang bersinar
biru itu. Pedang ini ditimang-timang
sebentar, diamati agak lama, dan
setelah puas ia meringis.
“Diajeng, kekasihku yang ayu,
sekarang engkau harus mengakui
keunggulanku? Heh heh heh heh. Engkau
harus menjadi kekasihku, dan engkau
harus menurut menjadi isteriku.”
Kemudian ia menundukkan kepalanya
lagi, menggunakan ujung hidungnya
mencium pipi yang halus dan montok
itu.
“Pedangmu ini amat bagus. Tetapi
aku tidak ingin merampas, maupun
memiliki. Bukankah setelah kita men-
jadi kekasih, menjadi suami-isteri,
aku dan kau sama-sama membutuhkan
senjata yang ampuh? Engkau dengan
pedang pusakamu sendiri dan aku dengan
pedang pusakaku pula, akhirnya akan
menjagoi seluruh dunia ini. Heh heh
heh heh, semua orang akan tunduk dan
kita dapat memerintah mereka sesuka
hati.”
Rudra Sangkala berhenti dan
memberikan ciumannya lagi. Sejenak
kemudian sambungnya, “Sesudah semua
orang tunduk dan di bawah pengaruh
kita berdua, huawaduh.... kita akan
hidup terhormat. Kemudian Diajeng,
kita kumpulkan semua kekuatan itu, dan
kita gunakan untuk memukul Kerajaan
Majapahit. Diajeng, dengan bantuan
guruku, percayalah akan dapat
menundukkan semua tokoh Majapahit.
Huh, Mahapatih Gajah Mada harus
dicincang, biar tubuhnya hancur
berkeping-keping. Lalu Mpu Nala yang
terkenal gagah perkasa itu, kita hukum
rangket dengan sapu kawat berduri
sampai mampus. Huh, kemudian
Adityawarman yang sombong itu, aku
memang benci sekali. Untuk dia hukuman
yang aku berikan harus lain. Maka
semua orang kita perintahkan agar
menghukum dengan sengatan api rokok.
Heh heh heh heh, hukuman yang amat
menyenangkan, bukan? Dan Adityawarman
baru mampus setelah amat menderita
oleh siksaan itu.”
Membayangkan kemungkinan yang
bisa dicapai kemudian hari, pemuda ini
ketawa terkekeh nyaring.
Akan tetapi tiba-tiba timbul rasa
khawatirnya, kalau gadis ini sampai
memberontak. Jika sampai terjadi
demikian, semua harapannya akan sia-
sia, apabila gadis ini nanti sudah
diberi penawar racun.
Ia memang bisa main paksa dan
menggunakan kekerasan. Namun dengan
cara demikian apalah dirinya dapat
mengharapkan cinta kasih dan kesetiaan
dari gadis ini?
Ia menunduk lagi dan memandang
wajah perawan ayu dalam pondongannya
ini. Wajah ini sungguh-sungguh ayu dan
mempesona. Dan walaupun dalam keadaan
pingsan, namun tidak bedanya dengan
orang sedang tidur. Mulut mungil dan
bibir yang merah merekah itu
menyungging senyum seperti menantang.
Hatinya tidak kuat lalu ia mengecup
agak lama.
Mengamati wajah ayu ini dan
memeluk tubuhnya yang hangat, darah
dalam tubuhnya bergolak dan membe-
rontak. Rasanya tak kuat lagi harus
menahan diri, dan ingin memperisteri
perawan ayu ini sekarang juga.
Akan tetapi tiba-tiba terde
ngarlah suara hatinya yang mencegah,
“Jangan! Engkau jangan melakukannya,
jika ingin terkabul cita-citamu dapat
menguasai bumi nusantara ini, dan
apabila engkau ingin menjadi Raja
Majapahit. Sebab dengan perbuatanmu,
perawan ayu ini bukannya mencintai
engkau, tetapi malah semakin benci
kepada engkau.”
“Persetan dengan cita-cita.
Persetan dengan kedudukan sebagai Raja
Majapahit,” bantah keinginannya. “Aku
tak kuat lagi menahan hasrat. Gadis
ini demikian cantik dan menggairahkan,
menyebabkan aku tergila-gila. Makin
cepat aku memperisteri gadis ini,
berarti akan mengurangi rasa
gandrungku.”
“Bodoh kau! Lupakah engkau bahwa
di dunia yang luas ini tidak terhitung
jumlah wanita cantik jelita? Setelah
engkau berhasil menjadi Raja
Majapahit, apa yang engkau kehendaki
takkan seorang pun berani melawan dan
membantah. Dengan kekuasaanmu engkau
dapat memerintahkan punggawa untuk
menangkap dan merampas perawan ayu
maupun isteri orang, jika engkau
memang membutuhkan. Pendeknya engkau
akan dapat mengumpulkan perempuan
berapa saja yang kau suka.”
“Tetapi, aku tidak dapat menahan
keinginan.”
“Huh, engkau memang bandel. Yang
engkau pikirkan hanyalah mencari
pemuas nafsu melulu, tanpa memikirkan
cita-cita. Pendeknya engkau harus
tunduk kepadaku. Sekarang juga kita
bawa pergi gadis ini menemui ibu.
Dengan bantuan ibu, percayalah gadis
ini pada akhirnya akan bisa kau
tundukkan. Apakah engkau tidak senang
apabila kemudian gadis cantik ini
menjadi isterimu yang setia dan
penurut?”
Akhirnya sang keinginan itu sadar
dan tunduk. Mulut Rudra Sangkala ter-
kekeh nyaring, dan wajahnya berseri.
“Bagus, heh heh heh heh. Aku
harus membawa pulang perawan ayu ini
secepatnya. Aku harus minta per-
tolongan Ibu, agar gadis ini menjadi
tunduk dan menjadi kekasihku.”
Ia menunduk sambil memandang
wajah ayu itu, dan sejenak
melanjutkan, “Diajeng, walaupun engkau
menolak toh akhirnya engkau akan
tunduk juga kepadaku. Guruku wanita
sakti disamping cerdik. Jika lewat
bujukan halus engkau tidak juga
tunduk, guruku akan menggunakan ramuan
racun untuk menundukkan engkau. Heh
heh heh heh, marilah kita sekarang
pulang Manis, tetapi ehh, berikan dulu
upah memondong dengan bibirmu yang
bagai madu itu.”
Ia menunduk. Sekali lagi ia
mengecup bibir yang mungil dan merah
itu. Dan sejenak kemudian ia sudah
berlompatan meninggalkan tempat yang
sudah bosah-basih itu.
Cepat sekali gerakan dan lari
pemuda ini. Hanya dalam waktu singkat
ia sudah menghilang dalam rimbunan
daun hutan.
Dada yang terpenuhi oleh rasa
gembira yang meluap ini, menyebabkan
gerakannya makin lama semakin menjadi
cepat. Beban tubuh Dewi Sritanjung
dalam pondongannya itu, seakan tidak
mempengaruhi gerakannya. Dan seakan
gadis cantik berumur delapan belas
tahun ini hanyalah boneka yang amat
ringan.
***
3
Rudra Sangkala berlarian cepat
menuju ke selatan. Ia memilih jalan
yang jauh dari pedesaan dan jalan
umum. Dan ia memilih menerobos hutan
belantara dan perbukitan. Sebab
apabila bertemu dengan orang, tidak
urung orang akan curiga dan salah-
salah perjalanannya terganggu. Maka
walaupun sedikit jauh dan memutar,
jalan yang ia tempuh sekarang ini akan
aman dan ia akan dapat mencapai Lodaya
tanpa gangguan.
Akan tetapi ketika pemuda ini
sudah berada di tepi hutan yang tidak
jauh lagi dengan Desa Pringsewu,
pemuda ini menjadi kaget disamping
keheranan. Ia menghentikan larinya dan
mendadak sepasang matanya terbelalak.
Apa yang sudah terjadi?
Tiba-tiba saja gadis ayu dalam
pondongannya itu sudah lenyap seperti
dapat menghilang. Walaupun ia tidak
merasakan perawan ayu itu jatuh dan
lepas dari tangannya, namun ia
celingukan juga mencari ke sekitarnya.
Namun sungguh celaka, yang dicari
tetap tidak ada.
“Adakah setan yang sudah berani
mengganggu diriku?” desisnya, bertanya
kepada diri sendiri.
Namun pertanyaan itu kemudian ia
sendiri yang menjawab, “Tidak mungkin!
Untuk apa setan merebut calon
isteriku?”
Pemuda ini kemudian menghela
napas panjang. Hatinya menjadi bingung
dan serba salah. Apabila bukan setan,
lalu siapakah yang dapat merebut gadis
ayu itu dari pondongannya, dan dalam
keadaan dirinya lari cepat? Telinganya
sudah amat terlatih dan peka. Setiap
gerakan orang yang halus sekalipun ia
akan dapat mendengar, padahal ia tadi
tidak mendengar suara apa-apa.
Di samping itu ia juga sudah
celingukan ke sekeliling, tetapi ia
tidak melihat seorang pun.
Pemuda ini mengerutkan alis dan
kemudian berpikir, mengingat-ingat,
apakah yang terjadi sebelum Dewi
Sritanjung lenyap dari pondongannya.
Sesudah menenangkan hati dan
mengingat-ingat, kemudian pemuda ini
ingat kembali apa yang terjadi. Tadi,
ia merasakan sambaran angin yang amat
halus. Dan berbareng dengan menyambar-
nya angin yang halus itu, lenyaplah
Dewi Sritanjung dari pondongannya.
Jika demikian halnya tentu gadis ayu
itu sudah direbut orang. Tetapi yang
menjadi pertanyaan, bagaimanakah orang
itu bisa merebut dari tangannya? Dan
sekarang orang itu bersembunyi di
mana?
Untung juga ia seorang pemuda
cerdik. Ia dapat menduga, seseorang
yang sudah merebut gadis itu tentu
bersembunyi di pohon. Karena itu tiba-
tiba ia menengadahkan kepalanya.
“Ahhhh....!” Tidak tercegah lagi
dari mulut pemuda ini terdengar seruan
kaget
Apakah yang ia lihat?
Ternyata perawan ayu yang
digandrungi dan tadi ia pondong itu,
sekarang sudah tergantung di bawah
dahan pohon yang cukup tinggi. Kepala
gadis itu di bawah dan kaki di atas.
Aneh sekali! Ia hampir tidak percaya
kepada pandang matanya sendiri.
Mungkinkah bisa terjadi?
Kalau secara aneh gadis yang tadi
ia pondong itu dalam waktu singkat
sudah tergantung seperti itu, jelas
memang ada setan yang sudah mengganggu
dirinya. Jika dirinya berhadapan
dengan manusia yang berani mengganggu,
tentu ia akan sanggup melawan dan
berkelahi. Tetapi apabila setan yang
bisa menghilang, diam-diam tengkuknya
merinding. Mungkinkah dirinya dapat
melawan makhluk halus yang tidak kasat
mata (dapat dipandang)?
Betapapun rasa sayang memenuhi
dada, dan betapa kecewa kehilangan
perawan ayu ini, ia terpaksa harus
pergi sambil gigit jari. Maka kemudian
ia sudah melompat dan lari ketakutan.
“Heh heh heh heh... lucu!”
Rudra Sangkala kaget mendengar
suara tertawa terkekeh yang nadanya
menghina dirinya itu. Kemudian ia
membalikkan tubuh, tetapi celakanya ia
tidak melihat seorang pun. Padahal ia
tadi tidak salah dengar dan jelas ia
mendengar suara orang ketawa terkekeh.
Apakah bukan manusia? Apakah
suara setan? Rudra Sangkala bukan
pemuda penakut. Karena itu ia
menebarkan pandang matanya dan menye-
lidik. Pada saat ia sedang mencari-
cari itu, mendadak ia mendengar suara
air gemericik dari atas pohon. Dan
ketika ia melihat ke arah turunnya
air, ia mengerutkan alis. Dari manakah
air terjun yang kecil itu? Dan kalau
terjadi hujan mengapakah di tempat itu
melulu yang jatuh hujan?
Tetapi sejenak kemudian pemuda
ini berjingkrak. Kemarahannya meledak.
Sekarang ia baru sadar bahwa air
terjun itu berasal dari seorang kakek
gendut berjubah putih yang jongkok di
atas dahan pohon, tidak jauh dari
tempat gadis itu tergantung secara
terbalik itu.
Sekarang Rudra Sangkala bisa
menduga, kiranya kakek gendut berjubah
putih itulah yang sudah mengganggu
dirinya. Kakek itu telah merebut calon
korbannya. Dan tentu pula kakek gendut
itu kebetulan harus membuang air kecil
karena tidak sempat turun dari pohon.
“Jahanam keparat! Setan alas
bangkotan. Hayo, cepatlah turun jika
engkau memang tidak ingin aku sambit
dari bawah. Hayo cepat, lepaskan
gadisku.”
Sambil mencaci-maki dan mengancam
ini, Rudra Sangkala sudah memper-
siapkan pisau kecil sebagai senjata
rahasia, berjumlah enam buah. Ia sudah
memutuskan apabila kakek gendut
berjubah putih itu tidak tunduk
perintahnya, ia akan segera menyerang
dengan pisau yang sudah ia persiapkan.
Akan tetapi celakanya kakek
gundul berjubah putih itu tidak takut.
Kakek itu masih tetap nongkrong di
dahan sambil ketawa terkekeh-kekeh.
“Heh heh heh heh, siapakah yang
mau percaya, gadis ini milikmu?
Buktinya engkau sudah menggunakan
racun untuk merobohkannya. Heh heh heh
heh, itulah sebabnya sekarang gadis
ini aku gantung secara terbalik, kaki
di atas dan kepala di bawah. Dengan
cara ini, aku harapkan racunmu akan
dapat terusir dari tubuhnya.”
Betapa kaget pemuda ini sulit
terlukiskan. Jika kakek gendut itu
secara tepat sudah dapat mengetahui
rahasianya, jelas sekali kakek gendut
ini bukanlah tokoh sembarangan.
Namun demikian diam-diam ia
menjadi geli. Manakah mungkin racun
yang menyebabkan Dewi Sritanjung
pingsan itu dapat dipunahkan hanya
dengan digantung seperti itu? Gurunya
seorang sakti dan ahli racun. Racun
wangi itu takkan dapat diusir tanpa
obat pemunah dan yang hanya dirinya
sendiri yang memiliki, di samping juga
gurunya.
Rudra Sangkala terkekeh mengejek,
“Heh heh heh heh, kakek tua bangka
yang tidak tahu malu. Huh, kakek yang
masih suka daun muda!”
“Hai, apa katamu?!” bentak kakek
itu sambil mendelik, tetapi masih
tetap nongkrong di dahan pohon.
“Engkau sudah kakek-kakek
termakan usia, namun engkau masih juga
berbuat curang, merebut gadis calon
isteriku. Apakah ini tidak berarti
engkau seorang kakek yang masih suka
makan daun muda?” ejek Rudra Sangkala
yang merasa geli. “Dan sangkamu, hanya
dengan engkau gantung seperti itu,
racun yang sudah masuk dalam tubuhnya
menjadi punah?”
“Uah ha ha hah, seorang maling
tanpa melalui pemeriksaan berbelit-
belit, sekarang sudah mengaku sendiri.
Nah, bukankah dugaanku benar belaka,
gadis ini pingsan oleh racunmu?
Nyatalah kau seorang pemuda curang,
pemuda licik. Huh, sungguh memalukan
karena di samping engkau curang dan
licik, engkau pun seorang muda yang
sombong. Huh, untuk mengajar sopan
bagi kau, sekarang aku ingin bertanya,
apakah yang aku pegang ini bukan obat
pemunah racunmu itu?”
Sambil tetap nongkrong di atas
dahan, kakek gendut ini lalu
memamerkan kantung kecil terbuat dari
kain hijau.
Rudra Sangkala berjingkrak kaget.
Karena pemuda ini segera dapat
mengenal kantung kain hijau miliknya
itu, dan merupakan tempat menyimpan
obat pemunah racun wangi. Tetapi
apakah sebabnya secara ajaib kantung
itu sudah di tangan si kakek? Ahh,
sekarang Rudra Sangkala baru sadar,
bukan saja kakek itu sudah merebut
Dewi Sritanjung, tetapi juga secara
pandai sekali sudah mencuri pula obat
pemunah racun.
Dari kaget pemuda ini menjadi
amat marah. Tiba-tiba ia sudah
menggeram keras dan tangannya bergerak
menyambut. Enam batang pisau kecil
yang tadi sudah ia persiapkan itu
menyambar seperti tatit. Lima batang
pisau langsung menyerang kakek gendut
sedang yang sebatang mengarah ke tali
yang menggantung Dewi Sritanjung.
Gerakan Rudra Sangkala ini di
samping cepat juga mengagumkan. Desir
angin yang kuat mendahului datangnya
pisau dan sudah tentu sungguh
berbahaya bagi kedudukan si kakek
gendut yang nongkrong di atas dahan
pohon itu.
“Haitt.... uahh.... hayaaaa...!”
seru kakek gendut itu seperti gugup.
Rudra Sangkala tersenyum menge-
jek. Ia sudah memastikan, sambaran
lima batang pisaunya akan menancap
tepat pada tubuh kakek gendut itu,
sedang yang sebatang tentu akan dapat
memutuskan tali yang menggantung Dewi
Sritanjung.
Dan tali itu memang putus oleh
sambaran pisau. Namun Rudra Sangkala
menjadi kaget merasa kecewa dan hampir
tidak percaya kepada pandang matanya
sendiri.
Kakek gendut itu yang semula ia
duga akan terpanggang oleh pisaunya,
ternyata belum mati. Entah bagaimana
cara kakek ini menyelamatkan diri.
Yang jelas semua pisau sudah menancap
pada dahan dan batang pohon. Sedang
kakek itu sendiri kemudian dengan
gerakan yang mengagumkan, sudah mela-
yang turun sambil mengepit tubuh Dewi
Sritanjung yang masih pingsan.
Namun demikian rasa kagetnya
hanya sebentar saja menghuni dalam
dadanya. Tangannya kembali bergerak
dan tujuh sinar berkeredap telah
menyambar ke arah si kakek yang sedang
meluncur turun.
“Hayaaaa...!”
Kakek itu mengebutkan lengan
jubahnya dan tujuh batang pisau
terbang itu secara ajaib sudah ter-
tangkap oleh lengan jubah. Dan ketika
tangan kakek itu bergerak, wutt....
tujuh batang pisau itu menyambar ke
bawah.
Saking kaget dan tidak pernah
menduga, Rudra Sangkala seperti
terpaku di tanah. Tetapi justru per-
buatannya yang tidak sengaja ini malah
menyelamatkan dirinya dari maut Sebab
pisau itu telah menancap di sekitar
kakinya, dan yang tampak tinggal
hulunya saja.
Kakek gendut berjubah putih dan
gundul ini tidak lain tokoh yang kita
kenal. Seorang tokoh sakti berhati
emas, yang selalu ringan tangan
menolong orang, tanpa mengharapkan
pamrih untuk pribadi.
Kakek itu sekarang sudah berdiri
di tanah dan Dewi Sritanjung dikepit
pada ketiak kiri. Ia menatap Rudra
Sangkala dengan sepasang mata
bersinar-sinar, lalu menegur, “Hai
bocah! Mengapa sebabnya engkau
demikian kejam? Aku toh sudah tua,
tanpa engkau bunuh pun, tidak lama
lagi aku akan mati dengan sendirinya,
sesuai dengan takdir Dewata. Tetapi
apakah sebabnya engkau seperti tidak
sabar menunggu saat Dewata memanggil
aku pula?”
“Tetapi engkau sendiri yang cari
perkara. Jika Kakek tidak mengganggu
aku, tentu saja aku takkan mengganggu
kau.”
“Orang muda, hati-hati sedikit
kau bicara. Siapakah yang sudah
mengganggu?”
Rudra Sangkala mendelik saking
penasaran. Sudah jelas kakek ini
mengganggu dirinya, mengapa masih juga
bertanya dan tidak mau mengaku? Karena
itu bentaknya lantang, “Kakek tua
bangka! Huh, engkau jangan menggunakan
kepandaianmu bersilat lidah. Sudah
jelas engkau yang mengganggu diriku,
mengapa engkau masih juga menyangkal?”
“Heh heh heh heh,” kakek itu
terkekeh geli. “Engkau sudah memutar
balikkan kenyataan, bocah! Engkau
sendiri yang lancang tangan, engkau
malah menuduh orang lain telah
mengganggumu. Kalau saja engkau tidak
main curang merobohkan gadis ini
dengan racun, siapakah yang sudi
mencampuri urusanmu?”
“Akan tetapi gadis itu tidak
mempunyai hubungan apa pun dengan
kau!”
“Siapa bilang? Hayo, siapa yang
bilang tidak mempunyai hubungan? Bocah
ini masih saudaraku.”
“Apa? Saudaramu? Apakah engkau
tahu nama gadis ini?”
“Hemm, aku tak tahu namanya.
Tetapi jelas gadis ini saudaraku, maka
menjadi kewajibanku untuk menyelamat-
kan dari tanganmu yang jahat. Tetapi
sebaliknya engkau pun masih mempunyai
hubungan saudara pula. Apakah engkau
tidak tahu?”
“Kakek tua bangka yang tidak tahu
malu, engkau jangan mengacau. Siapakah
yang sudi mempunyai saudara macam
engkau?”
“Heh heh heh heh, jika engkau
tidak sudi tidaklah apa. Tetapi yang
jelas semua manusia yang hidup di atas
bumi ini mempunyai hubungan saudara.
Sebab manusia pertama yang diciptakan
oleh Dewata Agung itu hanya dua orang
saja. Yang seorang laki-laki bernama
Adam dan yang seorang perempuan dengan
nama Hawa.”
Dada Rudra Sangkala seperti mau
meledak saking marahnya. Kiranya
dirinya sekarang ini berhadapan dengan
seorang kakek sinting. Kalau tidak
sinting mana mungkin bicara seperti
ini? Saking tak kuat lagi menahan
marahnya, pemuda ini sudah membentak
lantang.
“Kakek tua bangka! Engkau jangan
memancing kemarahanku. Hayo, cepat
kembalikan obat pemunah racun milikku
dan juga gadis itu.”
“Heh heh heh heh, orang muda,
ketahuilah bahwa diriku bukan orang
serakah. Aku hanya memerlukan sebutir
obat pemunah racun ini. Nah, yang lain
aku kembalikan. Nih!”
Benar juga! Kakek gendut ini
hanya mengambil sebutir obat saja.
Obat yang sebutir itu langsung ia
masukkan ke mulut Dewi Sritanjung.
Sedangkan kantung hijau yang penuh
obat pemunah racun itu segera
dilemparkan kepada Rudra Sangkala.
Dengan gagah Rudra Sangkala
segera menyambar kantung yang dilem-
parkan itu. Akan tetapi betapa kaget
pemuda ini ketika lemparan yang
nampaknya perlahan itu, mengandung
tenaga dahsyat yang tidak nampak.
Kendati Rudra Sangkala itu sudah
mengerahkan kekuatannya, tidak urung
masih terhuyung beberapa langkah ke
belakang.
Setelah menyimpan kembali kantung
obat pemunah racun itu, sambil men-
delik Rudra Sangkala sudah membentak,
“Kakek busuk! Apakah engkau sengaja
menghina orang muda?”
“Hemm, bocah! Siapa yang
menghina? Aku tidak menghina siapa
pun, baik yang tua, maupun yang muda.
Baik yang gemuk maupun yang kurus, dan
baik yang belum ubanan maupun yang
sudah ubanan. Juga baik kepada orang
waras maupun kepada orang gendeng.”
Sring....
Tahu-tahu seleret sinar kuning
kemilauan sudah siap pada tangan
kanan. “Kakek busuk! Jika kau tetap
membandel, aku Rudra Sangkala, murid
tunggal Ibu Murti Sari, akan membunuh
kau dengan pedang ini.”
Sebenarnya memang ada maksud
tertentu dari Rudra Sangkala, menyebut
nama gurunya ini. Maksudnya agar kakek
ini menjadi kaget dan mau mengalah.
Akan tetapi celakanya, Mpu Anusa
Dwipa tidak takut. Kakek ini malah
tersenyum, lalu jawabnya, “Tanpa
engkau beritahu pun, sesungguhnya aku
sudah tahu jika engkau murid Murti
Sari, perempuan yang galak itu. Huh,
ketahuilah bocah, di dunia ini hanya
seorang saja yang menggunakan racun
wangi sebagai senjata, ialah gurumu.
Sudahlah bocah, sebaiknya engkau
mengalah saja padaku. Relakanlah gadis
ini untuk aku. Bocah, aku sudah tua
tentu saja sulit bagi diriku untuk
memperoleh gadis yang lebih muda dan
secantik ini. Berbeda dengan engkau
toh masih muda. Tanpa memaksa pun
tentu banyak gadis yang suka kepada
engkau.”
Rudra Sangkala mendelik mendengar
jawaban Mpu Anusa Dwipa ini dan
matanya seperti menyinarkan api.
Ternyata dugaannya benar belaka, kakek
gendut ini memang ‘bandot tua’ yang
masih suka daun muda. Karena sudah tua
dan tidak ada lagi gadis yang mau
mendekati, lalu menggunakan kesempatan
merebut dari tangan orang lain.
Sungguh tidak tahu malu, bandot tua
seperti ini harus ia bunuh.
“Huh, bandot tua kurang ajar!
Engkau tidak bisa mencari gadis,
tahumu hanya merebut milik orang.
Sekarang harus mampus dalam tanganku.”
Sambil membentak ia sudah
menerjang maju, memilih jurus ilmu
pedangnya yang paling hebat dan berba-
haya. Ia sadar sekarang ini berhadapan
dengan kakek sakti mandraguna.
Dugaannya ini ia mendasarkan teba-
kannya yang tepat tentang gurunya
Murti Sari.
Sadar menghadapi kakek sakti ia
tidak berani sembrono. Karena itu
dalam serangannya ini ia tidak
tanggung-tanggung lagi. Di samping
menggunakan pedang pusaka, tangan
kirinya sudah membantu dengan menye-
barkan racun wangi untuk mengalahkan
lawan.
Siut wut.... tik tik....
“Hayaaaaa...!”
Gerakan Rudra Sangkala memang
cepat sekali. Tetapi gerakan Mpu Anusa
Dwipa lebih cepat lagi dalam menghin-
darkan diri. Hingga semua serangan
Rudra Sangkala luput.
Tiba-tiba kakek gendut ini
menggerakkan cuping hidungnya dan mem-
bentak, “Kurang ajar! Kau menggunakan
racun wangi untuk mengalahkan aku?
Huh, kalau saja bukan murid Murti
Sari, engkau tentu sudah aku pukul
mampus!”
Sambil bicara Mpu Anusa Dwipa
sudah menggerakkan lengan jubah yang
panjang itu. Lengan jubah yang terbuat
dari kain itu sekarang berubah seperti
hidup. Seakan sudah berubah menjadi
seekor ular yang sedang marah. Dan
sambaran lengan jubah ini menerbitkan
angin kuat sekali.
Mendadak saja Rudra Sangkala
kaget sekali. Ia sudah menggunakan
kecepatannya bergerak dan mengerahkan
seluruh tenaganya. Tetapi sungguh
celaka sekali, di luar kemauannya
lengan yang memegang pedang itu
seperti tidak berdaya, dan secara
mendadak pula tubuhnya sudah ikut
berputar mengikuti gerak arah putaran
angin yang menyambar dari lengan
jubah.
Makin ia mengerahkan tenaga untuk
melawan, putaran itu justru semakin
bertambah kuat. Kemudian tubuhnya
berputar seperti gasing, dan sama
sekali tidak dapat melawan lagi.
Sebagai akibatnya kepala menjadi
pusing, dada sesak dan pandang mata
kabur. Ia sadar putaran angin ini amat
berbahaya, tetapi usahanya melawan
sia-sia belaka. Apabila keadaan ini
berlangsung terus, jiwanya tentu
terancam. Namun untuk berteriak minta
ampun, ia pun tidak sudi karena malu.
Makin lama Rudra Sangkala semakin
payah. Ia sudah tidak bisa melawan
lagi, dan tinggal mengikuti angin
putaran yang semakin lama bertambah
dahsyat.
Tiba-tiba saja ia merasakan
dirinya seperti terbang. Kakinya tidak
menginjak bumi lagi dan beberapa
batang pohon berseliweran di bawah
kakinya. Sebagai seorang pemuda yang
sudah cukup pengalaman ia sadar
dirinya sekarang sudah terlempar oleh
kekuatan maha dahsyat. Maka yang bisa
dilakukan sekarang tidak lain hanya
menjaga keseimbangan tubuh agar tidak
jatuh ke tanah tidak terbanting.
Blung....
“Aduhhh...!” pekik Rudra Sangkala
yang nyaring, kemudian ia menangis
kesakitan.
Ternyata walaupun ia sudah
berusaha menjaga keseimbangan tubuh-
nya, agar tidak sampai terbanting,
harapannya sia-sia belaka. Ia
terbanting keras sekali di tanah
dengan pantat lebih dahulu.
Maka kita tidak aneh apabila
pemuda ini mengaduh-aduh kesakitan,
meringis, dan tidak cepat dapat
berdiri, dan ia terpaksa mengusap-usap
pantat dan tengah selakangnya.
Rasa nyeri, kiut-miut, cekot-
cekot, panas dan senut-senut campur
aduk menjadi satu. Karena pada saat
dirinya terbanting tadi, tengah
selakangnya terbentur oleh tonggak
kayu yang menonjol. Maka tidak
terbayangkan betapa sakit dan derita
pemuda ini, kecuali bagi orang yang
sudah pernah mengalami sendiri, tengah
selakangnya terjepit.
Dan kepala pemuda ini pun terasa
lebih pening dan pandang matanya
semakin kabur, sedang jari tangan
masih tetap sibuk mengelus-elus tengah
selakangnya. Ketika rasa pening sudah
banyak berkurang dan rasa cekot-cekot
tengah selakang hampir tak terasa
lagi, ia memandang ke depan. Tetapi
kakek gundul berjubah putih itu sudah
tidak tampak lagi.
“Huh, bangsat tua cabul! Pada
saatnya nanti aku tentu akan dapat
membalas kekurang-ajaranmu!” desisnya
sambil bangkit berdiri.
Setelah memungut pedangnya yang
tadi terlempar dan disarungkan
kembali, ia meninggalkan tempat itu
dengan hati masygul dan kecewa.
Mpu Anusa Dwipa sekarang sudah
duduk di rerumputan, dan Dewi
Sritanjung didudukkan di depannya,
disandarkan pada batang pohon. Kakek
gendut ini matanya berkedip-kedip
mengamati wajah ayu Dewi Sritanjung,
sedang mulutnya beberapa kali
menyeringai.
Ternyata ia tidak terlalu lama
menunggu gadis ini, karena sudah mulai
bergerak dan kemudian membuka matanya.
Gadis ayu ini kaget lalu melompat
berdiri, ketika mendapatkan dirinya
bersandar pada batang pohon, sedang di
depannya duduk seorang kakek gendut
pendek yang mulutnya menyeringai dan
belum pernah ia kenal.
Pada mulanya gadis ini menduga,
kakek gendut ini bukan manusia. Karena
dalam keadaan duduk ini kakek itu
pendek sekali dan hampir bundar bagai
bola.
“Kakek tua, engkau apakan aku
ini?” tegurnya penuh curiga, ber-
hadapan dengan kakek belum ia kenal.
“Heh heh heh heh, apakah sebabnya
engkau malah bertanya kepadaku?
Mestinya engkau tanyakan kepada dirimu
sendiri, engkau sudah aku apakan?”
Jawaban Mpu Anusa Dwipa ini
barang tentu menyebabkan Dewi Sri-
tanjung kaget sekali. Gilakah kakek
ini? Kalau dirinya tahu sebabnya,
tentu saja tidak bertanya. Tetapi
mengapa kakek ini malah menganjurkan
bertanya kepada diri sendiri?
Hampir saja Dewi Sritanjung
marah. Namun mendadak ia teringat
kepada apa yang tadi sudah dialami. Ia
ingat berkelahi melawan seorang
pemuda. Namun kemudian pandang matanya
menjadi kabur dan selanjutnya ia tidak
ingat apa-apa. Tahu-tahu sekarang
dirinya sudah berada di depan kakek
ini.
“Kek, terangkanlah. Di manakah
pemuda kurang ajar yang tadi berkelahi
dengan aku?”
Mpu Anusa Dwipa tidak cepat
menjawab dan masih tetap saja duduk
tidak bergerak. Hanya sepasang matanya
saja yang membuktikan bahwa masih
hidup, berkedip-kedip seperti bintang
di langit.
Karena mengira kakek ini belum
mendengar, ia mengulangi lagi, “Kek,
terangkanlah. Di manakah pemuda kurang
ajar tadi yang telah berkelahi dengan
aku? Dan mengapa pula sebabnya aku
sampai di tempat ini?”
Tiba-tiba Mpu Anusa Dwipa
terkekeh sebelum menjawab. Kemudian,
“Hemm, engkau tadi roboh di tangan
pemuda itu, bukan? Kemudian engkau
ditawan dan akan dibawa pergi. Tetapi
ketika pemuda itu lewat di sini, dia
aku hadang. Kemudian engkau kurebut
dari tangan dia.”
“Ohh....!” Tiba-tiba saja Dewi
Sritanjung menjatuhkan diri dan
berlutut, memberi hormat kepada kakek
gendut yang masih duduk itu. Sebab
sadarlah ia sekarang, kakek gendut ini
adalah penolongnya, hingga dirinya
dapat selamat dari bahaya.
Setelah berlutut, gadis ini
kemudian berkata, “Kakek, terima kasih
atas pertolonganmu.”
“Heh heh heh heh, siapakah yang
menolong engkau? Aku merebut dari
tangan bocah tadi, karena aku sendiri
memang butuh engkau.”
Betapa kaget Dewi Sritanjung
hingga ia sudah melompat berdiri
dengan tangan kanan sudah siap pada
hulu pedang pusaka Tunggul Wulung.
Sepasang mata gadis ini mendelik dan
kemudian membentak.
“Kau.... kau tua bangka masih
ingin perempuan muda? Huh, bandot tua!
Apakah engkau tidak malu kepada
tubuhmu sendiri yang sudah hampir
mampus?”
“Heh heh heh heh, apakah
bedanya?” Mpu Anusa Dwipa terkekeh
tetapi masih tetap duduk. “Aku juga
laki-laki seperti pemuda tadi, dan
laki-laki seratus prosen. Sedang tua
dan muda itu bukankah hanya oleh
perbedaan umur saja?”
Kakek ini berhenti dan memandang
Dewi Sritanjung mencari kesan. Setelah
berkedip-kedip, ia meneruskan, “Hai
bocah, dengarlah. Bukankah tentang
manusianya toh sama saja? Di dunia ini
laki-laki selalu butuh perempuan, dan
sebaliknya perempuan butuh laki-laki.
Hayo, katakanlah, apakah engkau tidak
membutuhkan laki-laki dan selama hidup
engkau akan hidup sendirian sebagai
perawan?”
“Jahanam. Setan alas! Kakek tua
bangka yang cabul!” bentak Dewi
Sritanjung yang cepat tersinggung dan
marah mendengar ucapan Mpu Anusa
Dwipa.
Tetapi sekalipun demikian, dalam
hati ia juga menyesal, mengapa dirinya
ini sial bertumpuk-tumpuk? Dan mengapa
pula dirinya harus berhadapan dengan
laki-laki berwatak buaya? Yang muda
apa lagi sedangkan yang tua pun masih
tidak malu berburu perempuan.
Dan Mpu Anusa Dwipa masih tetap
saja duduk, menjawab, “Heh heh heh
heh, engkau boleh memaki apa saja
kepada diriku, Cah Ayu! Pendeknya aku
ini seorang laki-laki dan engkau gadis
yang ayu. Hayo, mau apa lagi kalau
sudah begitu?”
“Setan alas! Babi, celeng,
anjing, kunyuk, bedebah busuk! Kau
bandot tua yang ingin mampus...!”
Dada Dewi Sritanjung berombak
saking marahnya. Tetapi celakanya
kakek gendut ini, mendapat caci maki
masih saja duduk santai. Malah mata
kakek ini berkedip-kedip sedang
mulutnya menyeringai.
“Cah Ayu, teruskanlah caci-makimu
itu. Hayo, apa lagi? Sebutlah semua
binatang yang kotor dan boleh pula
engkau menyebut diriku dengan jahanam
busuk. Heh heh heh heh.”
“Jahanam busuk!” Tanpa sesadarnya
Dewi Sritanjung menirukan.
Dan kakek itu, perutnya yang
gendut bergerak-gerak, terkekeh geli.
“Teruskanlah. Hayo, teruskanlah, heh
heh heh heh.”
“Keparat! Kakek tua bandot dan
jahanam busuk. Cacing busuk, babi
kudisan, bandot bangkotan! Sepasang
matamu seperti kucing melihat ikan
asin. Mulutmu menyeringai seperti kera
makan trasi. Huh, setan alas! Hayo
berdirilah dan hayo berkelahi melawan
aku jika engkau memang berani.”
“Ha ha ha ha.” Mpu Anusa Dwipa
ketawa bekakakan. “Apakah sekarang kau
sudah puas mencaci-maki aku? Dan
sekarang kau akan membunuh aku dengan
pedangmu?”
“Manusia macam kau, bandot tua,
babi gila, celeng sinting, kenapa
tidak dibunuh mampus saja, agar dunia
ini tidak kotor? Hayo bersiaplah. Aku
tidak mau menyerang orang yang tidak
mau melawan.”
Sring...!
Pedang yang menyinarkan cahaya
biru segera tercabut dari sarung, dan
gadis ini sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Walaupun belum banyak
pengalaman, Dewi Sritanjung sudah
dapat menduga, kakek ini bukan orang
sembarangan.
Tetapi celakanya Mpu Anusa Dwipa
masih tetap duduk dengan santai, dan
jawabannya malah seenaknya, “Jika mau
membunuh aku, kenapa pedangmu tidak
lekas kau sabatkan ke leherku? Berdiri
juga bakal mati, duduk pun akan mati.
Tentu saja aku lebih suka duduk saja
seperti sekarang ini.”
Perut gadis ini menjadi panas dan
dadanya seperti mau meledak merasa
direndahkan orang.
“Rasakan pedangku. Kepalamu akan
segera berpisah dengan lehermu!”
bentaknya nyaring.
Siuutt.... wuuuttt....
“Aih....!”
Dengan kecepatan luar biasa,
seleret sinar itu berkelebat dan
bergulung-gulung ke sekitar kakek
gendut itu. Tetapi tiba-tiba gadis ini
terbelalak kaget, sebab setelah ia
menghentikan serangan, kakek itu sudah
lenyap.
Dewi Sritanjung celingukan. Ia
tidak percaya begitu saja orang dapat
lenyap secara tiba-tiba maupun
menghilang. Dalam hati gadis ini
menduga, tentu kakek gendut cabul itu
sekarang bersembunyi.
“Hai tua bangka cabul!” teriaknya
lantang. “Apakah sebabnya engkau
bersembunyi? Hayo, jika engkau memang
laki-laki sejati dan gagah perwira,
keluarlah dari tempat persembunyianmu.
Inilah Dewi Sritanjung, murid tunggal
Kiageng Tunjung Biru.”
Tiba-tiba ia mendengar suara
ketawa terkekeh dari atas, “Heh heh
heh heh, kenapa tidak engkau sebut
sekalian embah gurumu dan juga moyang
gurumu? Ha ha ha ha, sangkamu apabila
sudah memperkenalkan diri sebagai
murid Kiageng Tunjung Biru, aku
menjadi ketakutan seperti melihat
gendruwo?”
Dewi Sritanjung menengadah. Ia
melihat kakek gendut itu sekarang
sudah nongkrong dan berjongkok di atas
dahan pohon yang cukup tinggi.
Melihat itu diam-diam gadis ini
kagum. Dalam keadaan duduk kemudian
dapat melesat setinggi itu membuktikan
kakek ini benar-benar seorang kakek
sakti mandraguna. Tetapi sekarang ini
ia dalam keadaan marah, maka gadis ini
tidak peduli. Ia mengerahkan
kepandaiannya meloncat tinggi sambil
menyerang dengan pedangnya.
Siutt.... wutt.... sing....
Sebagai murid Kiageng Tunjung
Biru, begitu menjejak tanah, tubuhnya
sudah meluncur ringan sekali ke atas.
Pedangnya menyambar dahsyat tetapi
kemudian gadis ini memekik kaget,
ketika tiba-tiba kakek gendut itu
terjatuh ke bawah dengan kepala di
bawah dan kaki di atas. Karena itu ia
menduga, kakek itu tentu lepas dari
pegangannya kemudian terpeleset dan
akan mati dengan kepala hancur.
Dewi Sritanjung sudah meluncur
turun kembali ke tanah. Tetapi
kemudian gadis ini terbelalak kaget.
Ia bagai mimpi, menghadapi peristiwa
yang cukup aneh ini. Pada saat
tubuhnya sendiri meluncur ke bawah
ini, ternyata tubuh kakek gendut itu,
yang sudah jatuh ke bawah dengan
kepala lebih dahulu, tahu-tahu sudah
membal lalu duduk di tempat semula.
“Heh heh heh heh, apakah sebabnya
engkau tidak jadi membunuh aku yang
sudah tua ini?” ejek Mpu Anusa Dwipa.
“Apakah engkau menginginkan si kakek
bangkotan yang cabul ini masih hidup
terus di dunia?”
Sulit terbayangkan betapa marah
gadis ini, diejek seperti itu. Jelas
ia tadi sudah menyerang dengan maksud
membunuh. Namun ternyata usahanya
gagal, dan bagaimanakah cara kakek itu
menyelamatkan diri, ia tidak tahu.
Saking gemasnya gadis ini sudah
membantingkan kakinya.
Kemudian ia melengking nyaring
lalu kembali menyerang kakek itu yang
sekarang duduk di dahan pohon. Dan ia
sudah siap sedia apabila kakek itu
meluncur ke bawah, akan ia hajar
dengan pedang pusakanya.
Akan tetapi gadis ini lagi-lagi
terbelalak kaget berbareng keheranan.
Sebab tiba-tiba saja kakek gendut itu
secara mendadak sudah lenyap. Dan
ketika ia meluncur kembali turun ke
bumi, ia menengadah. Tetapi ternyata
ia tidak melihat kakek gendut itu tadi
dan entah sudah pergi ke mana.
“Heran! Ke manakah dia?” desisnya
perlahan.
Tetapi pada saat gadis ini sedang
kebingungan dan mencari-cari, tiba-
tiba dari tempat yang agak jauh, ia
mendengar suara halus masuk dalam
rongga telinganya.
“Cah Ayu, anak baik, cepatlah
engkau pergi dari tempat ini. Sebab
apabila pemuda yang menawan engkau
tadi datang kembali bersama gurunya,
aku tidak berani menanggung lagi
keselamatanmu.”
Mendengar suara halus ini, dan ia
kenal suara si kakek gendut tadi, ia
menjadi heran dan mengerutkan alis.
Namun mendadak saja gadis ini
menjatuhkan diri berlutut ke arah
suara.
“Aduh.... kakek yang baik...,”
teriaknya. “Maafkanlah aku yang
seperti buta ini. Terima kasih atas
segala pertolongan Kakek. Akan tetapi,
apakah sebabnya Kakek tidak sudi
memperkenalkan diri?”
Dan dari tempat yang jauh ia
mendengar suara jawaban yang halus,
“Anak baik, sudah seharusnya manusia
di dunia ini saling tolong. Tetapi
anak baik, sebutan menolong ini ada
dua macam. Menolong secara ikhlas
tanpa pamrih dan menolong tidak secara
ikhlas dan berarti mempunyai pamrih.
Ketahuilah Anak baik, jika ada orang
menolong tetapi mengandung pamrih
untuk mencari keuntungan diri, itu
jelas bukan pertolongan namanya. Sebab
apabila sebagai dasar memberi
pertolongan itu mengandung pamrih,
jelas sekali apabila pamrih yang
dimaksud tidak diperoleh, orang itu
takkan mau mengulurkan tangan dan
memberi pertolongan.
Sebaliknya yang kedua, menolong
itu harus ikhlas, tanpa pamrih untuk
kepentingan diri. Ia mengulurkan
tangannya tiada lain hanya bermaksud
menolong. Ia tidak mengharapkan
sesuatu Nah, inilah yang baru bisa
disebut pertolongan itu.
Sekarang tentang namaku, mengapa
sebabnya engkau repot? Bukankah
sebenarnya nama itu hanyalah sebutan
guna pengenal diri? Manusia hidup di
dunia ini yang penting bukanlah nama
dan kedudukan, tetapi adalah per-
buatan. Sebab walaupun manusia itu
bernama mentereng, kedudukannya ting-
gi, berpangkat, kaya raya, apabila
perbuatannya tidak patut, ia adalah
manusia yang memalukan. Karena itu
bagiku, Anak baik, engkau boleh
menyebut dengan nama apa saja apabila
ketemu kembali. Kau boleh menyebut
kakek gendut, boleh juga kakek cabul,
babi, cacing busuk dan apa lagi, heh
heh heh heh.”
“Ahhhh...!” Dewi Sritanjung
memekik lirih dan ia menjadi amat
menyesal.
Ia menyesal mengapa tadi tanpa
meneliti lebih dahulu, ia sudah curiga
dan menduga yang bukan-bukan. Padahal
ia tadi sudah mencaci-maki habis-
habisan, dan akibatnya tidak bisa lain
kecuali minta maaf penuh penyesalan.
Berhadapan dengan kenyataan yang
aneh ini, Dewi Sritanjung baru menjadi
ingat kepada petunjuk gurunya yang
mengatakan, di dunia ini banyak tokoh
sakti yang aneh. Dan kiranya kakek
gendut itu tadi termasuk di dalamnya,
termasuk tokoh aneh itu. Dia sudah
memberi pertolongan namun tidak
membanggakan pertolongannya, hingga
dirinya salah duga, dan celakanya
walaupun ia mencaci maki kalang kabut
tidak ditanggapi.
Namun demikian ia tidak berani
terlalu lama di tempat ini. Peringatan
kakek itu patut ia patuhi, sebab kalau
pemuda itu benar kembali lagi dengan
gurunya, tidak mungkin dirinya sanggup
melawan. Oleh karena itu ia cepat
menyarungkan pedangnya lalu secepatnya
meninggalkan tempat itu.
Tetapi sekalipun demikian benak
gadis ini masih terliputi pertanyaan
yang menyesak dada. Siapakah kakek
gendut berjubah putih dan gundul
seperti pendeta itu? Ia tidak
menyadari sama sekali telah bertemu
dengan tokoh sakti berhati emas, Mpu
Anusa Dwipa. Seorang kakek yang selalu
mendekatkan diri kepada kebajikan,
suka menolong orang yang sedang dalam
kesulitan tanpa mengharapkan pamrih
untuk pribadi.
***
4
Dua orang gadis berumur duapuluh
dua dan duapuluh satu tahun, duduk di
atas batu di tepi Bengawan Solo yang
mengalir dengan tenang. Di tempat
mereka duduk sekarang ini merupakan
tebing curam, terlindung oleh rim-
bunnya pepohonan.
Wajah dua gadis itu tampak muram,
pakaian mereka kusut, dan merupakan
suatu keanehan dari sikap gadis. Sebab
biasanya gadis akan selalu memper-
hatikan kerapian pakaian maupun
perawatan diri agar selalu tampak
cantik.
Mereka cukup lama duduk ter-
menung, dan mata mereka mengamati air
sungai yang mengalir dan jernih itu.
Sedang keindahan alam dan sinar
matahari pagi yang hangat itu seakan
tidak ada artinya bagi mereka.
Dua gadis ini sebenarnya kakak
beradik. Yang tua bernama Sarindah dan
yang muda bernama Sarwiyah, sedang
wajah mereka tergolong gadis cantik.
Kecantikan yang khas bagi para gadis
desa dan kecantikannya itu merupakan
kecantikan asli pemberian alam.
Tetapi sekalipun demikian sinar
matanya mencerminkan watak antara dua
gadis ini. Yang tua sinar matanya
mencerminkan watak keras, galak dan
cerewet. Sebaliknya yang muda sinar
matanya mencerminkan kelembutan,
keibuan dan kehalusan seorang wanita.
Tiba-tiba terdengar Sarindah
menghela napas panjang. Sarwiyah
mengangkat muka dan menatap kakaknya.
Namun hanya sebentar, kemudian ia
menundukkan kepalanya kembali tanpa
membuka mulut. Lalu ia pun menghela
napas panjang tetapi tidak terdengar
jelas.
“Wiyah, apakah kita harus hidup
bergelandangan seperti ini terus?”
tanya Sarindah mengandung penyesalan
dalam.
“Tentu saja aku pun tidak
menginginkan, Mbakyu,” sahut Sarwiyah
sambil menatap wajah kakaknya dengan
sinar mata sayu. “Tetapi apa yang
harus dikata, apabila keadaan memang
menghendaki?”
“Tetapi kita tidak boleh hanya
menggantungkan diri kepada nasib
melulu, Wiyah.”
“Lalu, bagaimanakah maksudmu?”
“Bagaimanapun kita berdua harus
berusaha sekuat tenaga.”
Sarindah menghela napas panjang
lagi. Lalu terdengar gerutunya yang
bernada gemas. “Huh, semua ini tidak
lain adalah gara-gara jahanam busuk
Gajah Mada! Huh, kelak kemudian hari
akan datang saatnya pembalasanku!”
Sarwiyah keheranan. Kemudian ia
memandang kakaknya sambil bertanya,
“Mbakyu, apakah maksudmu, dan mengapa
pula engkau menyalahkan Gajah Mada?”
“Mengapa tidak? Dialah biang
keladi hidup kita yang tidak beruntung
ini!” desis perempuan ini dengan nada
gemas. “Lupakah engkau, ayah kita
dibunuh mati oleh jahanam itu? Dan
yang masih segar dalam ingatan kita,
bukankah kakek pun tewas dalam tangan
jahanam itu?”
Untuk sejenak Sarwiyah memandang
kakaknya dengan pandang mata heran.
Kemudian gadis ini berkata, “Tetapi
Mbakyu, Kakek tewas secara wajar. Dia
dikalahkan dalam perkelahian melawan
Mahapatih Gajah Mada. Mengapa harus
kita sesalkan? Dan tentang ayah kita,
Mbakyu, apakah engkau lupa kepada
penjelasan Mahapatih Gajah Mada sesaat
sebelum berkelahi dengan Kakek? Waktu
itu Gajah Mada sedang menyelamatkan
Raja Jayanegara, dalam kedudukannya
sebagai Bekel Bhayangkara Majapahit.”
Gadis ini berhenti mengambil
napas. Lalu, “Ayah merupakan salah
seorang anggota pasukan Bhayangkara
penyelamat Raja itu. Tetapi ternyata
Ayah kemudian minta diri dengan alasan
menjenguk keluarga. Ketika itu Gajah
Mada curiga, maka Ayah kita dibunuh,
demi keselamatan Raja. Tindakan itu
tidak bisa kita salahkan dan kita
sesalkan Mbakyu, sebab Gajah Mada
sedang membela Raja. Apalagi kemudian
terbukti, ayah kita termasuk salah
seorang sekutu Bendara Kuti yang
memberontak, maka....”
“Wiyah!” bentak Sarindah lantang
memotong ucapan adiknya yang belum
selesai itu, dan sepasang mata gadis
ini menyala, pertanda marah. “Engkau
adalah anak ayah dan cucu kakek macam
apa ini? Sebagai seorang anak ayah dan
seorang cucu Kakek si Tangan Iblis
yang dibunuh orang, mengapa sebabnya
engkau tidak membela ayah dan kakekmu,
malah engkau menyalahkannya? Apakah
engkau akan memusuhi keluargamu sen-
diri dan membela musuh?”
Bentakan kakaknya ini menyebabkan
Sarwiyah terdiam, sekalipun sebenarnya
apa yang ia ucapkan tadi beralasan,
sebagai ungkapan kejujuran hati yang
mengakui bahwa ayah dan kakeknya
memang pada pihak bersalah, dan
mengapa harus membela?
Akan tetapi dasar seorang gadis
yang berperasaan halus dan selalu
tunduk pada kakaknya, maka selama
hidup ia tidak pernah sanggup
berbantahan dan bertengkar dengan
mbakyunya ini. Dan selamanya ia selalu
bersikap mengalah, sekalipun sebe-
narnya pada pihak yang benar.
Sarindah masih menatap tajam
adiknya. Lalu, “Wiyah! Jika aku tidak
mengingat engkau adalah adikku, tentu
sudah aku hancurkan kepalamu, tahu?!
Ucapanmu itu merupakan pengkhianatan
terhadap keluarga yang tidak tanggung-
tanggung. Wiyah, engkau harus ber-
pendirian tegas. Apapun alasannya,
kematian Ayah dan Kakek harus kita
balas dan tanpa bisa ditawar-tawar
lagi. Mengerti?!”
Sarwiyah terpaksa mengangguk
juga, jawabnya, “Mengerti, Mbakyu.”
Sekalipun demikian anggukan dan
jawaban ini bertentangan dengan isi
hatinya, ia terpaksa melakukannya
juga.
“Nah, jika engkau sudah mengerti,
engkau adalah adikku yang baik. Engkau
anak Ayah dan engkau cucu Kakek yang
dapat membalas budi kebaikan orang
tua. Hemm, betapa menyesal Ayah maupun
Kakek di alam sana dan akan mengutuk
dirimu, apabila kau berkhianat.”
Sarindah berhenti sejenak mencari
kesan. Kemudian ia melanjutkan,
“Engkau harus mengerti, Wiyah. Gara-
gara Gajah Mada yang jahat itu, kita
mengalami hidup seperti sekarang ini.
Kita terpaksa harus hidup bergela-
ndangan karena takut pulang ke Tosari.
Takut kalau-kalau Gajah Mada memerin-
tahkan orang-orangnya untuk menangkap
kita. Apakah engkau tidak menginginkan
bisa hidup tenteram seperti dulu?”
(Tentang terbunuh matinya si
Tangan Iblis atau kakek dari dua gadis
ini, silakan baca buku Seri Dewi
Sritanjung, berjudul “Mencari Ayah
Kandung”, oleh pengarang yang sama.)
“Tentu saja, Mbakyu. Sebab hidup
seperti sekarang ini hati amat
tersiksa.”
“Itulah soalnya. Sekarang kita
harus berusaha. Kita sekarang harus
mau memeras pikiran dan tenaga.
Bukankah engkau masih ingat juga,
usaha mencari adik bungsu Sentiko,
sampai sekarang belum juga berhasil?”
Sarwiyah tambah muram teringat
kepada adiknya, Sentiko. Padahal
Sentiko adalah adik laki-laki satu-
satunya. Adik bungsu! Namun bocah itu
pergi diam-diam, kemudian hilang dan
sampai sekarang belum terdengar
tentang kabar beritanya. Rasa dada
gadis ini terhimpit teringat Sentiko.
Dan Sarwiyah sekarang menjadi ingat,
tugas yang ia hadapi cukup berat.
Bukan saja tuntutan membalas sakit
hati keluarga, tetapi masih pula harus
mencari Sentiko sampai ketemu.
“Lalu, bagaimanakah menurut
pendapatmu, Mbakyu?”
Untuk beberapa saat lamanya
Sarindah tidak menjawab. Wajah yang
semula murung itu sekarang agak
berseri dan kemudian jawabnya, “Wiyah,
jika engkau bersedia menuruti perin-
tahku, usaha kita tentu berhasil.”
“Katakanlah Mbakyu, apa yang
harus kulakukan?” desaknya sambil
memandang kakaknya.
“Tugas yang harus kau lakukan,
engkau harus mencari calon suamimu.
Warigagung.”
“Ahh...!” gadis ini berseru
tertahan. “Mengapa harus mencari dia?
Tidak, Mbakyu. Aku malu! Aku adalah
gadis dan tak sampai hati apabila aku
harus mengejar dia.... sekalipun dia
calon suamiku. Apakah aku harus
menurunkan martabatku sebagai wanita
di mata laki-laki?”
Sarindah mengerutkan alis tidak
senang. Lalu katanya agak kasar,
“Wiyah! Engkau harus mengerti, baik
Warigagung maupun gurunya, Julung
Pujud, ada dua orang yang bisa kita
harapkan bantuannya. Padahal Wari-
gagung adalah calon suamimu dan Julung
Pujud adalah calon mertuamu yang sudah
mendapat persetujuan Kakek. Kenapa
engkau harus merasa malu dan merasa
mengejar laki-laki? Tidak! Engkau
bukan mengejar, tetapi merupakan
kewajibanmu untuk membicarakan masalah
kita ini kepada mereka. Maka aku
percaya Warigagung maupun gurunya akan
mengerti alasanmu, mengapa kau mencari
mereka.”
Sarindah berhenti, menghela napas
pendek. Sejenak kemudian ia mene-
ruskan, “Kalau dahulu Kakang Tanu Pada
yang aku cintai dan Kebo Pradah yang
engkau cintai belum jelas kabar
beritanya, memang waktu itu aku
mengerti, engkau masih bimbang dan
ragu. Tetapi Kebo Pradah sekarang
sudah tewas oleh kecurangan Kaligis
dan Sangkan. Huh, bangsat itu apabila
bertemu dengan aku, tentu kuremukkan
kepalanya. Sayang, waktu itu kita
lengah sehingga sesudah tertangkap,
mereka dapat melarikan diri.”
Ia berhenti lagi dan sejenak
kemudian lanjutnya, “Sudahlah Wiyah,
pendeknya kau harus mencari Warigagung
guna minta bantuannya.”
“Dan Mbakyu menyertai keper-
gianku?”
“Goblok! Mengapa aku dan engkau
harus selalu begini terus? Engkau
sudah dewasa dan ilmu kesaktianmu
tidak mengecewakan. Maka sudah waktu-
nya engkau harus dapat hidup dan
berdiri sendiri. Engkau jangan
khawatir, aku pun akan berusaha sekuat
kemampuanku. Sekarang aku harus pergi
dan mencari bantuan. Sedang ke mana
tujuanku, aku sendiri belum tahu
pasti.”
“Tetapi Mbakyu, apakah tidak
lebih baik apabila kita ini terus
berdua saja? Perlunya kita akan dapat
bekerja sama setiap berhadapan dengan
kesulitan.”
“Wiyah, mengapa engkau ini
sekarang menjadi penakut? Tidak!
Pendeknya mulai sekarang ini kita
harus berpisah. Engkau pergi mencari
Warigagung dan aku akan mencari
bantuan kepada orang lain. Marilah
kita sekarang berpisah dan melakukan
tugas masing-masing.”
“Mbakyu, ahhh.... mengapa harus
sekarang juga? Kita akan berpisah dan
tak tahu kapan bisa bertemu kembali.
Maka dari itu, kita gunakan waktu ini
untuk persiapan perpisahan itu agar
hati kita tidak demikian kosong.”
“Wiyah! Waktu amat berharga bagi
kita sekarang ini. Sudahlah, kita
harus berpisah sekarang juga. Hayo,
lekaslah kita berangkat. Dan aku pun
akan menempuh perjalanan ke arah
lain.”
Sarwiyah sudah amat kenal watak
dan sifat kakak perempuannya ini, yang
tidak bisa dibantah kemauannya. Maka
walaupun terasa berat ia harus
berpisah, dan akhirnya Sarwiyah ban-
gkit juga lalu pergi. Ketika sudah
melangkah agak jauh, ia membalikkan
tubuh dan memandang ke arah Sarindah
yang masih duduk di atas batu.
Melihat kebimbangan adiknya,
Sarindah berteriak lantang, “Lekaslah
pergi, Wiyah! Engkau jangan menoleh
lagi kemari. Saat kita akan berpisah
memang berat. Namun sesudah dilakukan
takkan terasa lagi.”
Sarwiyah membalikkan tubuh tanpa
menjawab, tetapi yang jelas gadis ini
berusaha menyembunyikan air matanya
yang mengalir turun. Gadis ini merasa
juga betapa beratnya berpisah dengan
kakaknya, sehingga gadis itu menangis.
Ketika Sarwiyah sudah tidak
tampak bayangannya lagi, Sarindah
menghela napas panjang. Terbayanglah
kini semua perjalanan hidupnya. Bebe-
rapa bulan lalu dirinya, Sarwiyah dan
kakeknya masih hidup terhormat di
Tosari dan juga mempunyai beberapa
orang murid laki-laki. Dan di antara
murid laki-laki itu, ia mencintai
pemuda pendiam bernama Tanu Pada.
Sedangkan Sarwiyah mencintai Kebo
Pradah. Namun ternyata kemudian dua
orang pemuda itu harus tewas dalam
tangan Kaligis dan Sangkan yang
curang.
Sekarang bukan saja dirinya
kehilangan pemuda yang ia cintai,
tetapi juga kakeknya tewas dalam
tangan Gajah Mada. Sekarang terpaksa
hidup tidak menentu sebagai gadis yang
bergelandangan.
Tetapi Sarindah tidak lama duduk
termenung di tempat ini. Kemudian ia
bangkit dan melangkah cepat menuju ke
barat. Ia sudah mempunyai rencana
tetap. Sarindah akan minta bantuan
seorang sakti yang pernah ia dengar,
bertempat tinggal di Ngaglik, lereng
Gunung Lawu.
Di sana menurut keterangan yang
pernah ia dengar, hiduplah seorang
kakek yang telah lumpuh dua kakinya.
Kakek ini menurut keterangan baru
berumur sekitar empat puluh lima
tahun. Tetapi sebagai akibat lumpuhnya
kaki itu menjadi tampak lebih tua dan
kakek itu pun menjadi jorok.
Terhadap masalah joroknya kakek
itu sebenarnya Sarindah tidak peduli.
Sebab yang penting bagi dirinya
sekarang, bukankah kakek bernama
Madrim itu mempunyai keahlian yang
amat ia butuhkan?
Kakek Madrim itu seorang ahli
ilmu hitam. Dia dapat membunuh orang
dengan jampi-jampi dan mantra gaib.
Maka dalam usahanya membalas dendam
kepada Gajah Mada, kiranya hanya
dengan sarana itu sajalah yang paling
tepat. Namun yang menyebabkan gadis
ini agak ragu adalah syarat untuk
meluluskan permintaannya itu, dan
tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang
dan tubuhnya gemetaran merasa ngeri.
Menurut keterangan yang sudah ia
peroleh, syarat kakek itu aneh!
Berhubungan dengan lumpuhnya itu ia
menjadi benci kepada setiap laki-laki.
Maka apabila ada laki-laki yang berani
datang ke pondoknya, orang itu tentu
mati terbunuh oleh Kakek Madrim. Atau
kalau hati Kakek Madrim sedang riang,
maka laki-laki yang berani datang ke
pondoknya tentu menjadi lumpuh dua
kakinya oleh tangan kakek itu.
Mungkin, siksaan itu mempunyai maksud
agar sama dengan dirinya yang lumpuh.
Apakah watak seperti itu tidak
aneh? Orang tidak bersalah, kakek itu
sanggup membunuh dan atau menyiksa.
Mungkinkah hal seperti ini merupakan
suatu penyakit yang menghinggapi jiwa
Kakek Madrim sesudah kakinya lumpuh?
Karena dirinya menderita lumpuh maka
kakek ini menjadi iri dan tidak senang
kepada setiap laki-laki yang tidak
cacat?
Sebaliknya, kakek itu akan
menerima dengan senang hati dan tangan
terbuka, mulut tertawa dan wajah
berseri, apabila orang yang datang
berkunjung ke pondoknya itu seorang
perempuan. Lebih lagi apabila yang
datang itu gadis atau perempuan muda
yang cantik wajahnya. Kakek Madrim
akan menyambut kedatangan tamu itu
dengan sikap amat manis. Dan semua
permintaan tamu-tamu perempuan ini,
akan dilayani dengan senang hati.
Dia akan melayani orang minta
obat untuk penyakit ringan sampai
kepada penyakit yang sudah parah.
Kemudian orang yang patah hati karena
cinta, maupun sampai kepada guna-guna
untuk menundukkan orang yang tidak mau
membalas cintanya. Demikian pula
tentang masalah yang disebut tenung,
kakek itu sanggup memberinya.
Dan menurut kabar, orang yang
tertenung oleh Kakek Madrim itu dalam
waktu mendadak akan mati didahului
dengan muntah darah yang bercampur
dengan jarum karatan, ijuk, paku dan
beberapa benda yang lain.
Akan tetapi sebagai sarana bagi
setiap orang yang minta bantuan itu,
syarat Kakek Madrim selalu aneh dan
tidak lumrah. Sebab perempuan yang
datang dan minta pertolongan itu harus
mau menyerahkan diri sebagai “isteri”
tanpa nikah, sedikitnya satu hari satu
malam.
Tiba-tiba Sarindah menghentikan
langkahnya, dan tubuhnya tampak
gemetaran, bulu kuduk berdiri teringat
syarat semacam itu. Haruskah dirinya
yang selama ini selalu menjaga
kesuciannya sebagai perawan, secara
mudah menyerah kepada Kakek Madrim
yang lumpuh dan jorok itu?
Akan tetapi kemauannya membalas
dendam menggebu-gebu. Maka walaupun
dirinya harus menjadi korban, semua
itu merupakan pengorbanan suci demi
keluarga. Demi ayahnya maupun kakeknya
yang sudah tewas di tangan Gajah Mada.
“Tidak, tidaaaakkkk!” pekiknya.
“Manakah mungkin harus menerima begitu
saja syarat yang gila-gilaan itu?
Tidak sudi.... tidak sudiiii...!”
Sarindah menjatuhkan diri dan
duduk pada sebuah batu di bawah pohon
rindang. Ia menghela napas berat, lalu
merenung. Sedang keringat yang
membasahi leher dan tubuhnya ia
biarkan saja mengalir pada kulit yang
halus dan lumar itu.
“Hemm, tetapi apakah dayaku?”
desisnya. “Hanya dengan jalan minta
pertolongan Kakek Madrim itu sajalah,
jalan termudah bagiku untuk dapat
membalaskan sakit hati keluargaku. Dan
tanpa lewat tenung itu, manakah
mungkin aku dapat mengalahkan orang
yang kedudukannya setinggi itu? Dia
selalu dikawal keselamatannya oleh
prajurit. Dua puluh tahun lagi belum
tentu aku dapat mencapai cita-citaku
tanpa bantuan orang lain.”
“Tetapi pertolongan Madrim itu
hanya diberikan apabila engkau
bersedia menjadi isterinya tanpa nikah
sehari semalam,” teriak hatinya yang
marah. “Semurah itukah harga diriku,
dan harus menyerahkan kehormatan dan
harga diriku kepada kakek lumpuh?”
“Engkau jangan sembarangan
bicara!” bentak kemauan.
“Huh, engkau jangan menuduh aku
semurah itu kawan. Aku sudah berumur
dua puluh dua tahun, tetapi aku tetap
pandai menjaga kesucianku. Kalau seka-
rang terpikir olehku untuk menyerahkan
diri kepada kakek itu, tidak lain demi
kepentingan kita semua. Demi membalas
sakit hati orang tua,” sambung si
pikiran.
“Nah, engkau benar!” sambut
kemauan. “Pengorbanan satu hari satu
malam itu tentu saja masih murah
apabila dibanding dengan tercapainya
cita-cita dalam waktu singkat. Gajah
Mada akan mampus oleh tenung. Apakah
engkau tidak mau mengerti, hai hati.”
“Hu hu huuuuu...,” tiba-tiba si
hati menangis. “Engkau bisa berkata,
tetapi tidak tahu betapa deritaku oleh
peristiwa seperti itu. Engkau, hai
kemauan dan pikiran, akan memperoleh
keuntungan tanpa penderitaan. Dan
engkau tubuh, setelah engkau lepas
dari pelukan Kakek Madrim tidak akan
merasakan apa-apa lagi. Tetapi aku
ini, selama hidup akan menderita. Aku
akan terkenang terus peristiwa
terkutuk itu. Engkau tahu? Hu hu
huuuu.... belum terjadi saja aku sudah
ngeri. Aku sudah ketakutan setengah
mati!”
“Matikanlah rasamu itu, hai
hati!” bujuk kemauan. “Derita itu
hanya bersemayam dan tak mau pergi,
jika engkau selalu mengenang. Akan
tetapi jika engkau tidak mengenang dan
tidak merasakannya, apa yang disebut
suka dan duka maupun derita itu tidak
ada lagi. Dan semuanya akan berlalu
seperti tertiup angin. Nah, anggap
saja belum pernah terjadi. Bukankah
pada saat kita harus berdiam di pondok
Kakek Madrim itu, tidak seorang pun
tahu apa yang sudah terjadi?”
Tiba-tiba saja otaknya tertawa.
Katanya, “Ha ha ha ha, sudahlah!
Kalian jangan bersitegang dan ber-
tengkar. Pendeknya sekarang kita harus
pergi ke sana. Biarkan kakek itu
menuntut persyaratan segila itu.
Sanggupilah! Terimalah! Aku yang akan
mengatur semuanya nanti. Percayalah
oleh siasatku, maksud kita bakal
tercapai, tetapi kita tetap selamat.”
“Benarkah itu?” teriak hati.
“Engkau berani menanggung kita ini
selamat?”
“Kenapa tidak? Aku yang ber-
tanggung jawab!” sahut si otak dengan
mantap. “Apakah engkau masih kurang
percaya akan kemampuanku? Sudahlah,
mari kita berangkat dan tidak perlu
ragu maupun takut!”
Setelah bagian tubuhnya saling
bantah beberapa saat lamanya, bibir
Sarindah tersenyum sekali. Hatinya
menjadi mantap. Tekadnya menjadi
bulat, dan rencananya pasti berhasil.
“Huh, engkau akan tahu rasa Kakek
Madrim, berhadapan dengan gadis cerdik
seperti aku!” desisnya. “Huh, kakek
jorok, cabul dan biadab. Engkau akan
ketemu batunya!”
Dengan gerakan yang mantap dan
penuh percaya diri, Sarindah menuju
Gunung Lawu. Dan ketika tiba di kaki
Lawu, Sarindah mandi pada air kali
yang airnya jernih sekali. Ia perlu
berganti pakaian bersih. Dan rambut
yang sudah beberapa hari lamanya
dibiarkan kusut dan awut-awutan itu,
sekarang disisir rapi dan disanggul
demikian menarik. Dasar rambutnya
subur dan hitam, maka setelah menghias
diri tampak menjadi semakin cantik. Ia
sengaja mematut diri dan sengaja
memikat perhatian laki-laki. Seakan
saat ini dirinya sedang menuju ke
rumah laki-laki yang dicintai untuk
ngunggah-unggahi (untuk menyerahkan
diri ).
Ketika ia bercermin pada sebuah
kubangan yang airnya amat jernih, ia
tersenyum bangga melihat kecantikannya
sendiri. Ia makin percaya, setiap
laki-laki akan terpesona.
Tetapi sekalipun demikian, tidak
urung ia menghela napas dalam pula,
ketika teringat Madrim itu kakek
lumpuh. Sekarang dirinya harus ke
sana, minta pertolongannya untuk
membunuh Gajah Mada dengan tenung.
Akan tetapi sesudah itu dirinya harus
menyerah diperlakukan sebagai is-
terinya.
Bergidik juga gadis ini sekalipun
ia sudah mempunyai rencana matang.
Apakah di rumah kakek itu siasat yang
akan dilakukan dapat berjalan dengan
baik? Ia belum tahu! Namun demikian ia
percaya, akan berusaha sesuai dengan
kemampuannya.
Demikianlah dengan hati yang
bulat ia sudah mendaki pinggang Lawu
dengan cepat. Ia kemudian terpaksa
harus bertanya kepada penduduk desa
yang ia jumpai. Dan ketika Sarindah
menyatakan akan ke Ngaglik menemui
Madrim, penduduk desa yang mendengar
terbelalak.
“Anak mau pergi ke sana?” tanya
perempuan tua seakan kurang percaya.
“Benar, Bibi! Aku akan ke sana
minta pertolongan.”
“Mengapa harus minta pertolongan
ke sana? Kasihan engkau Nak, kau masih
muda lagi cantik. Di dunia ini masih
banyak dukun peng-pengan dan dapat
menolong orang. Mengapa kau tidak
memilih dukun lain saja? Jika Anak
menginginkan, aku bisa memberi
petunjuk dukun sakti, rumahnya di
Matesih.”
Sarindah tersenyum, jawabnya,
“Terima kasih Bibi atas perhatianmu.
Tetapi aku akan tetap datang ke pondok
Kakek Madrim. Dia terkenal sebagai
dukun manjur dan aku percaya.
Tetapi.... apakah sebabnya Bibi tak
rela aku ke sana?”
Kendati ia sudah mendengar syarat
aneh dan gila-gilaan dari Kakek
Madrim, namun ia masih mencoba
bertanya.
“Anak, Kakek Madrim itu lumpuh
tetapi gila perempuan. Maka setiap
perempuan yang datang ke sana, harus
memenuhi persyaratan, mau diperisteri
tanpa nikah beberapa hari lamanya.”
“Dan perempuan-perempuan itu juga
bersedia?” tanyanya.
Perempuan itu mengangguk.
“Apakah segala yang diminta orang
itu pasti terkabul?”
Perempuan itu menggeleng.
Jawabnya, “Belum tentu, Nak. Buktinya
ada pula perempuan yang sudah menye-
rahkan diri, tetapi toh permintaannya
tidak terkabul.”
“Apakah yang diminta?”
“Macam-macam. Dari soal pela-
risan, susuk dan cinta.”
Namun akhirnya kemauan Sarindah
tidak bisa berkurang oleh pengaruh.
Katanya dalam hati, “Persetan dengan
keadaan kakek itu. Sekalipun
keadaannya menjijikkan kalau kakek itu
dapat menolong membunuh Gajah Mada,
apakah salahnya? Aku bukan perempuan
tolol. Sebelum kakek itu dapat men-
jamah tubuhku, kakek itu akan mampus
lebih dulu oleh pedangku ini.”
Di depan pondok, Sarindah
berteriak, “Kulanuwun.., kulanuwun...”
Lalu terdengar suara seperti
kaleng pecah dari dalam pondok.
“Masuklah Anak, apakah engkau
mencari Kakek Madrim?”
“Benar.”
Ketika masuk gadis ini tidak lupa
sopan santun. Ia membungkuk memberi
hormat ke arah suara, karena pondok
itu gelap sekali. Dan baru setelah
beberapa lama dapat membiasakan diri,
tiba-tiba saja gadis ini bergidik dan
bulu kuduknya berdiri, melihat keadaan
Kakek Madrim yang duduk bersila di
atas tikar usang tanpa bergerak.
Karena benar, kakek itu jorok dan
menjijikkan. Agaknya sebagai akibat
kelumpuhannya menyebabkan kakek ini
jarang menyentuh air.
“Duduklah!”
Sarindah sadar lalu membungkuk
memberi hormat. Kemudian ia duduk di
atas tikar yang kotor, yang
dibentangkan di tanah. Gadis ini
terpaksa menundukkan kepala karena
merasa ngeri bertatap pandang dengan
kakek itu. Namun sekalipun menunduk,
Sarindah mengintip dari celah bulu
matanya untuk melihat kakek itu. Dan
ia melihat mata kakek itu berkedip-
kedip dan mulut menyeringai seperti
iblis kelaparan.
“Anak, engkau siapa dan datang
dari mana?”
Sarindah mengangkat mukanya se-
kilas, menatap Madrim, lalu jawabnya,
“Saya bernama Sarindah, dan datang
dari Madiun.”
“Apakah maksudmu datang kemari?
Adakah engkau minta syarat agar lekas
memperoleh jodoh? Hemm, engkau cukup
cantik, sesungguhnya tanpa syarat
apapun banyak laki-laki yang suka
kepadamu.”
Kalau saja sekarang ini dirinya
tidak memerlukan bantuan kakek ini, ia
tentu sudah marah dan memukul kakek
yang dianggap lancang.
“Tidak, Kek. Bukan itu.
Kedatanganku agar Kakek mau membantu
aku membunuh orang, dengan tenung.”
“Hai...! Aku harus membunuh orang
dengan tenung? Apakah sebab engkau
mempunyai permintaan seperti itu, Nak?
Engkau jangan main-main dengan
tenung.”
“Tetapi..., aku benci dengan
orang itu. Dia sudah membunuh seluruh
keluargaku.”
“Ohhh.... keluargamu dibunuh
orang? Kasihan....”
Sarindah mengangguk. “Itulah
sebabnya aku mohon pertolongan Kakek,
agar orang itu dapat mati dengan
tenung.”
“Siapakah orang yang kau maksud
itu?”
“Gajah Mada.”
“Ahhh...!” Kakek itu kaget.
“Gajah Mada sebagai Mahapatih Maja-
pahit itu? Uah, berat... berat....”
“Apakah sebabnya berat? Apakah
Kakek tidak sanggup dan tidak bisa?”
“Apa katamu? Siapakah yang tidak
bisa?” bentak kakek itu. “Siapa pun
aku bisa membunuh dengan tenung
apabila aku menghendaki.”
“Tetapi apakah sebabnya Kakek
tadi bilang berat?”
“Yang berat itu tebusan dan
syarat perlengkapan tenung itu
sendiri. Karena tenung itu ditujukan
kepada Gajah Mada, maka aku bisa
melakukan asal saja engkau memenuhi
syarat yang diperlukan untuk itu.”
“Katakanlah Kek, apakah
syaratnya?”
“Anak, tenung yang akan membunuh
Gajah Mada tenung betina atau perem-
puan. Karena tenung perempuan maka
membutuhkan kawan.”
“Tentunya kakek dapat mengusaha-
kan kawan itu.”
“Tentu saja, Nak. Tetapi tenung
tadi tidak mau diberi kawan samba-
rangan. Kawannya harus orang yang
minta tenung itu sendiri.”
“Aku? Mengapa?” Sarindah kaget.
“Sabarlah Nak, dengarkan baik-
baik. Engkau harus tahu, baik tenung
laki-laki maupun perempuan yang akan
melakukan tugas itu, semuanya menghuni
dalam tubuhku. Jadi antara aku dan
engkau, syaratnya harus rukun tidak
bedanya suami dan isteri.”
Sekalipun ia sudah tahu akhirnya
kakek ini akan mengucapkan kata-kata
seperti itu, tidak urung hatinya
tercekat juga. Memandang pun sudah
jijik, dan kalau tidak dalam keadaan
terpaksa, duduk berhadapan ini pun
tidak kuat lama.
Bau kakek ini tengik sekali, dan
napasnya hampir sesak. Tetapi
sebaliknya kalau dirinya menolak,
tentu kakek ini tidak mau menolong,
dan cita-citanya akan gagal.
“Kek, demi tercapainya maksud
itu, aku setuju. Aku bersedia menjadi
kawan tenung itu. Tetapi....”
“Tetapi apa?”
“Kerjakan dahulu tenung itu.
Kemudian aku akan memenuhi persyaratan
itu.”
Sarindah mengucapkan kata-katanya
dengan tenang dan mantap. Sebab ia
sudah mempunyai rencana bulat, kakek
ini lumpuh dan ia akan menyerang dan
membunuh sebelum kakek ini dapat
menjamah tubuhnya.
***
TAMAT
Sala, Medio Maret 1987
0 comments:
Posting Komentar