..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 20 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA

DEWI SRI TANJUNG

 

TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA

Serial 06 Dewi Sritanjung

Karya: Widi Widayat

Cover & Illustrasi: Arie

Penerbit: MELATI Jakarta

Cetakan pertama: 1987

HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-

undang

Penyiaran harus seizin Penulis


Pengantar

Dewi Sritanjung melakukan per-

jalanan dalam usaha mencari ayah 

kandung. Di perjalanan bertemu dengan 

dua pemuda bernama Kaligis dan 

Sangkan, lalu terbujuk untuk pergi 

bersama. Di dalam hutan, gadis ini 

ditangkap oleh dua pemuda itu. Untung 

ia berkepandaian tinggi hingga usaha 

itu gagal, dan malah dapat mengusir 

Sangkan dan Kaligis lari terbirit-

birit.

Tetapi perhatian Dewi Sritanjung 

segera tertarik oleh datangnya gadis 

cantik yang menghadang Kaligis dan 

Sangkan. Gadis ini adalah Sarindah, 

cucu tua Si Tangan Iblis. Dewi 

Sritanjung sembunyi di belakang batu 

besar dan siap menolong Sarindah 

apabila gadis itu sampai kalah. Ia 

rela apabila gadis itu celaka di 

tangan Kaligis maupun Sangkan.

Celakanya, kepandaian Sarindah 

hampir seimbang dengan dua pemuda itu. 

Maka akibatnya, gadis ini tidak lekas 

dapat menundukkan Sangkan maupun 

Kaligis.

Untung sekali Si Tangan Iblis dan 

Sarwiyah segera muncul dan menolong. 

Hingga kesulitan Sarindah teratasi.

Namun segera terjadi salah paham 

antara si Tangan Iblis dengan Dewi 

Sritanjung, setelah mendengar


keterangan mempunyai hubungan erat 

dengan Gajah Mada. Maka si Tangan 

Iblis ingin menangkap, tetapi Dewi 

Sritanjung melawan. Terjadi perkela-

hian dan hampir saja gadis ini celaka 

kalau Gajah Mada tidak segera muncul 

dan menolong.

Dalam perkelahian secara ksatrya, 

satu lawan satu ini, pada akhirnya si 

Tangan Iblis kalah dan mati. Sesudah 

itu Dewi Sritanjung lalu mengikuti 

Gajah Mada menuju Ibukota Majapahit 

guna dipertemukan dengan ayah kan-

dungnya.

Pada kesempatan ini Surya Lelana 

yang sudah sejak lama tertarik oleh 

kejelitaan Dewi Sritanjung tidak dapat 

menguasai perasaan dan menyatakan 

cintanya, dan tidak ditolak oleh Dewi 

Sritanjung.

Nah, untuk seterusnya ikutilah 

cerita “Tersiksa Seperti di Neraka” 

ini.



1

Dewi Sritanjung dipersilakan 

masuk lebih dahulu ketika pintu kereta 

dibuka Surya Lelana. Tanpa ragu sedi-

kitpun gadis ini masuk, lalu duduk 

pada bak bagian belakang.

Namun ketika Surya Lelana sudah 

masuk, pemuda ini cepat memberitahu, 

“Diajeng, kita harus duduk di sini. 

Kita berjajar, sebab bak belakang 

untuk tempat duduk Rama.”

“Idih! Kau ini bagaimana?” sahut 

Dewi Sritanjung sambil tersenyum dan 

mata yang indah itu mengerling. 

“Bukankah alasanmu ini, karena engkau 

bermaksud agar engkau dapat duduk 

berdampingan dengan aku?”

Sekalipun berkata demikian, 

sebenarnya gadis ini merasa senang 

sekali apabila dapat duduk berdam-

pingan dengan Surya Lelana. Entah apa 

sebabnya, rasanya bahagia sekali.

Surya Lelana menyambut gadis ini 

dengan ketawa lirih. Lalu, “Diajeng, 

aku memang berkata sejujurnya. Memang 

pada bagian belakang itu merupakan 

tempat duduk kebesaran bagi Rama dalam 

kedudukannya sebagai Mahapatih 

Majapahit. Sedang engkau dan aku harus 

duduk di sini, dan....”

Dewi Sritanjung yang sudah duduk 

di samping Surya Lelana menatap wajah 

pemuda ini sambil bertanya, “Dan


apa...?”

Surya Lelana tidak cepat 

menjawab. Bibirnya tersenyum dan 

matanya menatap wajah ayu itu.

Yang dipandang menjadi berdebar 

dan malu, tapi dalam dadanya terasa 

amat bahagia.

“Apakah engkau tidak marah dengan 

kejadian waktu itu? Ketika aku mau 

pergi dan minta diri dari kau 

sambil..... mencium...?”

Pipi gadis ini berubah merah 

mendengar pertanyaan itu. Untuk 

sejenak gadis ini menundukkan muka. 

Setelah diangkat lagi, kepalanya 

menggeleng.

“Tidak, Surya. Tidak ada rasa 

marah dalam hatiku,” jawabnya polos.

“Apakah sebabnya engkau tidak 

marah?”

Gadis ini tergagap mendengar per-

tanyaan ini. Sesungguhnya ia ingin 

sekali mengatakan, dirinya tak tahu 

mengapa sebabnya tidak marah atas 

perlakuan Surya Lelana itu, dan 

sungguh aneh pula dirinya malah selalu 

terkenang pengalaman itu.

Dewi Sritanjung menggelengkan 

kepalanya, jawabnya lirih, “Aku tidak 

tahu....”

Jantung Surya Lelana berdebar 

mendengar jawaban gadis yang singkat 

ini. Kalau demikian halnya, apakah 

jawaban ini merupakan tanda, gadis


inipun mengimbangi perasaan hatinya? 

Ia sudah terlanjur tercuri hatinya 

oleh gadis ini. Gadis sederhana, 

tetapi memiliki kecantikan luar biasa, 

kecantikan yang alami.

Dengan agak ragu Surya Lelana 

bergerak. Pemuda ini ingin menjajagi 

bagaimanakah sikap Dewi Sritanjung. 

Maka jari tangannya lalu meraba jari 

tangan Dewi Sritanjung yang kecil, 

runcing dan halus itu. Jari tangan itu 

untuk beberapa saat lamanya ia usap-

usap dan ia permainkan. Setelah 

melihat gadis ini diam saja, gera-

kannya mulai berani dan merembet naik

ke lengan. Lalu sambil mengusap-usap 

lengan itu, Surya Lelana berkata 

halus, “Diajeng, apakah engkau takkan 

marah apabila mendengar perkataanku?”

“Engkau mau berkata apa?” sahut 

Dewi Sritanjung sambil menundukkan 

kepala, karena usapan tangan Surya 

Lelana itu kuasa membuat jantungnya 

berdebar tegang. “Dan mengapa pula aku 

harus marah?”

“Diajeng, tahukah engkau bahwa 

sejak pertemuanku denganmu yang 

pertama kali, aku sudah jatuh cinta 

kepadamu?”

Dewi Sritanjung berjingkrak men-

dengar istilah asing yang diucapkan 

oleh pemuda tampan di sampingnya ini. 

Tetapi justru kata-kata asing ini, 

sebenarnya sudah lama tersimpan dalam


dadanya dan selalu berharap agar Surya 

Lelana mengucapkan kata-kata itu.

Akan tetapi sekarang, anehnya, 

setelah mendengar ucapan dari mulut 

Surya Lelana yang mencintai dirinya, 

mulut Dewi Sritanjung malah seperti 

terkunci dan tidak bisa menjawab, 

sekali pun dalam dadanya bergolak 

perasaan yang mendesak agar segera 

memberi jawaban. Gadis ini hanya bisa 

menundukkan muka, dadanya turun naik.

“Diajeng Tanjung,” bisik Surya 

Lelana halus, sedang jari tangannya 

dengan lancang sudah mengangkat dagu 

Dewi Sritanjung yang halus dan kuning 

itu, “Bagaimana? Engkau terimakah 

perasaan cintaku ini?”

Dewi Sritanjung belum juga men-

jawab, sekalipun hatinya amat ingin. 

Namun sekalipun gadis ini belum 

menjawab, Surya Lelana sudah cukup 

maklum bahwa gadis ini mengimbangi 

perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung 

tidak berusaha melepaskan jari tangan 

Surya Lelana yang memegang dagu.

Tahu-tahu Surya Lelana sudah 

memeluk, lalu mencium mulut Dewi 

Sritanjung. Untuk sejenak gadis ini 

gelagapan, namun kemudian sudah 

mendorong pundak Surya Lelana 

perlahan.

“Surya, ya... agaknya aku pun 

mempunyai perasaan yang sama...,” 

jawabnya.


“Mengapa masih menggunakan 

istilah agaknya, Diajeng? Apakah 

engkau masih meragukan cinta kasihku?”

“Surya, hal ini bisa kita bica-

rakan setelah aku bertemu dengan orang 

tuaku. Kemudian orang tuamu bisa 

bicara dengan orang tuaku. Hemm, 

sudahlah.... Guru datang....”

Dewi Sritanjung mengubah letak 

duduknya, menggeser pantat ke seberang 

kanan menyentuh dinding kereta. Surya 

Lelana tahu diri bergeser pada bagian 

lain.

Pintu kereta terbuka. Gajah Mada 

masuk sambil tersenyum. Katanya halus, 

“Aku senang sekali kalian rukun. 

Marilah kita sekarang pulang. Aku 

sudah menyuruh orang untuk memanggil 

orang tuamu, Tanjung.”

Gajah Mada duduk pada bak 

belakang. Pintu kereta ditutupkan 

kembali oleh sais kereta dari luar.

Dewi Sritanjung hanya bisa me-

ngangguk. Gadis ini jantungnya 

berdebar penuh perasaan gembira, tak 

lama lagi akan dapat berhadapan dengan 

orang tuanya, yang sudah belasan tahun 

lamanya belum pernah ia lihat wajahnya 

dan belum pernah ia kenal.

Akan tetapi sesungguhnya disam-

ping jantungnya berdebaran oleh 

pengaruh bakal bertemu dengan orang 

tuanya, gadis ini juga berdebar oleh 

perlakuan Surya Lelana tadi yang


lancang memberi ciuman. Ia khawatir 

apabila apa yang dilakukan itu 

diketahui Gajah Mada. Sebab, ternyata 

begitu masuk tokoh itu mengatakan 

gembira mereka berdua begitu rukun.

Tak lama kemudian roda kereta 

sudah bergerak oleh tarikan kuda yang 

dicambuk sais. Selama hidupnya baru 

kali ini Dewi Sritanjung merasakan 

naik kereta. Tubuhnya terguncang-

guncang oleh lari kuda yang cepat.

Bagi Dewi Sritanjung, naik kereta 

seperti ini nyaman juga, sekalipun 

lambat, apabila dibandingkan dirinya 

naik di punggung harimau.

Dewi Sritanjung menggunakan jari 

tangannya untuk membuka tirai yang 

menutup lubang kereta. Ia memandang 

keluar, kemudian terpikat oleh 

pemandangan baru yang belum pernah ia 

saksikan. Sepanjang jalan yang dilalui 

banyak berdiri rumah besar dan megah. 

Orang yang lalu lalang semakin banyak. 

Di samping juga banyak orang 

menjajakan dagangan sambil berteriak.

Tiba-tiba perhatiannya terganggu 

oleh pertanyaan Gajah Mada.

“Tanjung, mengapa sebabnya gurumu 

tidak menyertai engkau kemari?”

“Apakah Paman belum membaca surat 

dari Kakek?” Sritanjung berbalik 

bertanya.

Gajah Mada tersenyum. Lalu, 

“Memang sudah, Anakku. Tetapi Kakang


Tunjung Biru tidak menyinggung keadaan 

pribadi gurumu. Beliau hanya membe-

ritahu, engkau adalah murid tunggal. 

Engkau merupakan pewaris Kiageng 

Tunjung Biru. Karena itu engkau 

mempunyai hak menggunakan pedang pu-

saka Tunggul Wulung.”

“Kakek tidak bicara tentang 

siapakah orang tuaku?”

“Bicara, Anakku, dan kau tak 

perlu khawatir. Tak lama lagi engkau 

akan dapat bertemu dengan orang tuamu. 

Anakku, engkau sungguh beruntung 

sebagai pewaris kakak seperguruanku. 

Bukan saja engkau merupakan pewaris 

ilmu satu-satunya, engkau juga mempe-

roleh hak mewarisi senjata pusakanya.”

Dewi Sritanjung tersenyum bangga.

Lalu, “Paman, kalau tidak salah Guru 

pernah mengatakan pedang pusaka 

Tunggul Wulung itu mempunyai saudara 

kembar, bernama Tunggul Naga. Dan 

menurut Kakek, Pamanlah yang memiliki 

pedang Tunggul Naga itu. Benarkah?”

“Itu benar, Anakku. Akan tetapi 

karena aku kurang membutuhkan pedang 

pusaka itu, maka aku pinjamkan kepada 

Gusti Adityawarman.”

Mendengar pedang pusaka dipin-

jamkan kepada orang lain, sesungguhnya 

Dewi Sritanjung kurang senang. Tetapi 

ia tidak membuka mulut dan mencela.

“Tanjung, engkau belum menjawab 

pertanyaanku. Mengapa engkau tidak


datang bersama gurumu?”

Surya Lelana yang sejak tadi 

berdiam diri menyambut, “Ya! Mengapa 

Uwa Guru tidak datang bersama kau? 

Alangkah senang hatiku apabila Uwa 

Guru bersedia datang ke Majapahit. 

Apalagi kalau membawa serta harimau 

yang jinak itu.”

Dewi Sritanjung menghela napas 

pendek. Lalu, “Ya, keputusan Kakek itu 

sebenarnya menyebabkan hati murid 

kurang sreg (puas). Akan tetapi Kakek 

tidak mau meninggalkan pondoknya. 

Ketika murid mengatakan tidak ingin 

pergi dan ingin menunggui dan melayani 

kebutuhannya, Kakek malah marah. Murid 

kurang tahu alasan Kakek sebenarnya, 

mengapa tidak bersedia meninggalkan 

tempat yang sepi itu.”

Gajah Mada menghela napas. 

Sesungguhnya ia amat mengharapkan 

kakak seperguruannya itu datang ke 

Majapahit. Sebab, walaupun sudah tua, 

bantuan pikiran kakak seperguruannya 

itu amat ia butuhkan, sehubungan 

dengan jabatan yang ia pangku.

Sudah menjadi cita-citanya untuk 

membangun Majapahit ke puncak 

kejayaan. Dan cita-citanya itu baru 

akan terwujud dan terlaksana apabila 

Majapahit menggunakan kekuatan 

angkatan perang untuk menyerbu ke 

wilayah dan menaklukkan penguasanya.

Walaupun jumlah prajurit tidak


terhitung banyaknya, jumlah tersebut 

tak akan ada artinya apabila 

kekurangan pemimpin yang sakti 

mandraguna. Namun apa harus dikata, 

agaknya Kiageng Tunjung Biru memang 

sudah tidak mau lagi mencampuri urusan 

duniawi dan apalagi urusan peme-

rintahan.

“Sungguh sayang,” desisnya. 

“Tetapi ahh, sudahlah. Agaknya memang 

harus demikianlah garis yang telah 

ditentukan Yang Maha Tinggi. Manusia 

bisa berusaha, tetapi ketentuan di 

tangan Dia.”

Untuk sejenak dalam kereta itu 

tidak ada suara. Tetapi kemudian Dewi 

Sritanjung bertanya, “Paman, bolehkah 

murid bertanya?”

Gajah Mada memandang gadis itu 

sambil tersenyum. Jawabnya, “Mengapa 

tidak? Bertanyalah apa saja yang 

engkau butuhkan. Jika aku dapat 

menjawab, semua pertanyaanmu akan 

kujawab.”

“Guru banyak memberi nasihat 

padaku, agar murid menggunakan ilmu 

kesaktian untuk membela rakyat dan 

memberantas kejahatan. Menurut peni-

laian murid, kakek yang bernama si 

Tangan Iblis itu jahat. Bukan saja 

berusaha menangkap murid, setelah 

diketahui mempunyai hubungan dengan 

Paman, tetapi di samping itu juga 

berusaha merebut pedang pusaka Tunggul


Wulung. Akan tetapi mengapa pada saat 

orang itu sudah tidak berdaya dan 

minta dibunuh, Paman tidak sedia 

membunuhnya? Paman, apakah sikap ini 

sudah benar?”

Gajah Mada mengangguk-anggukkan 

kepala mendengar pertanyaan ini. 

Setelah batuk-batuk kecil, jawabnya, 

“Ya, pertanyaanmu ini penting sekali 

artinya. Dharma seorang gagah, seorang 

ksatrya, harus mendekatkan diri dengan 

perbuatan yang menguntungkan rakyat 

banyak. Sebaliknya, jauhkanlah dirimu 

dari nafsu dan kepentingan pribadi. 

Pendeknya, dalam melaksanakan tugas 

dan dharma baktimu, harus sepi dari 

pamrih untuk diri sendiri. Semua 

ditujukan untuk kesejahteraan 

manusia.”

Ia berhenti sejenak, dan sejenak 

kemudian meneruskan, “Tetapi engkau 

harus selalu ingat, pembunuhan 

bukanlah jalan terbaik untuk mencapai 

tujuan masyarakat yang sejahtera. 

Sebab kekerasan dan tangan besi takkan 

memberi kesadaran kepada mereka yang 

sedang gelap jiwanya. Maka berikanlah 

kasih dan petunjuk, dan beri pula 

kesempatan untuk memperbaiki diri, 

untuk kembali ke jalan benar.”

Gajah Mada berhenti lagi sambil 

mencari kesan. Ketika melihat Dewi 

Sritanjung maupun Surya Lelana berdiam 

diri, ia meneruskan, “Betapa untung


yang akan kau peroleh apabila orang 

yang semula tersesat itu kemudian 

menjadi sadar. Mereka akan menjadi 

pembantu yang setia. Mereka akan 

menjadi tenaga sukarela dalam usaha 

kita mencapai masyarakat sejahtera dan 

kerta raharja. Sebaliknya Anakku, 

apabila main bunuh dengan alasan 

memberantas kejahatan, akan mende-

katkan diri dengan bahaya. Dengan 

alasan apapun juga, pembunuhan 

terhadap sesama manusia adalah tidak 

baik. Lupakah engkau bahwa orang yang 

terbunuh itu mempunyai anak, cucu, 

saudara dan sanak keluarga? Betapa 

sakit hati keluarga yang terbunuh itu, 

yang kemudian hari akan menimbulkan 

rasa benci dan dendam. Seterusnya akan 

terjadi balas-membalas yang tidak ada

akhirnya, yang semua itu hanyalah akan 

merugikan manusia sendiri.”

Dewi Sritanjung maupun Surya 

Lelana masih berdiam diri, dan Gajah 

Mada memandang mereka mencari kesan. 

Karena dua orang muda itu tidak 

membuka mulut, ia meneruskan, “Dalam 

pada itu sudah merupakan kesopanan dan 

jiwa ksatrya, yang pantang melakukan 

perbuatan apa pun terhadap lawan yang 

sudah tidak bisa melawan, tidak 

berdaya atau sudah terluka. Itulah 

sebabnya aku tadi mengatakan, tidak 

pada tempatnya mengganggu Taruno.”

“Tetapi Paman...,” ujar Dewi


Sritanjung, “orang seperti si Tangan 

Iblis itu jelas tidak bisa diharapkan 

kembali ke jalan benar. Buktinya 

walaupun Paman bersikap bijaksana, 

orang itu malah membuka mulut semau 

sendiri dan mengancam kepada Paman.”

Gajah Mada ketawa lirih. Lalu, 

“Bisa dimengerti apabila dia membuka 

mulut seperti itu. Sebab hati dan 

perasaannya masih dilanda oleh 

penasaran. Seseorang akan bisa sadar 

tidaklah mungkin terjadi secara tiba-

tiba, dan tentu memerlukan waktu. 

Anakku, orang yang sudah mendapat 

kesempatan untuk merenungkan, untuk 

mendalami dan menghayati, baru dengan 

demikian hati dan perasaan ini bisa 

terbuka. Dan kemudian membawa kepada 

kesadaran.”

“Akan tetapi, sudah tentukah 

orang mau merenungkan, mendalami, 

menghayati atau mawas diri?”

Gajah Mada terkekeh senang 

mendengar bantahan Dewi Sritanjung 

ini. Ia mengangguk-angguk, lalu, “Ya, 

memang antara manusia satu dan yang 

lain akan terjadi perbedaan. Dan 

memang belum tentu semua orang mau 

merenungkan, menghayati dan mawas 

diri. Akan tetapi Anakku, orang yang 

bijaksana takkan mengambil keputusan 

sebelum mencoba. Segala sesuatu 

dipikir lebih dahulu sedalam-dalamnya, 

ditimbang-timbang, dan takkan menyesal


maupun putus asa apabila harapannya 

sampai gagal. Sebab engkau harus tahu, 

kita ini amat kecil apabila 

dibandingkan dengan Dia.”

Ketika itu roda kereta sudah 

berhenti berputar. Sais meloncat dari 

tempat duduknya, lalu membuka pintu 

kereta.

Gajah Mada tersenyum sambil 

berkata, “Tanjung, kita sudah sampai. 

Dan kau Surya, engkau harus dapat 

menjadi tuan rumah yang baik. Ajaklah 

adikmu lebih dulu menghadap ibumu, dan 

perkenalkanlah pula dengan Trisna 

Dewi.”

Surya Lelana mengangguk mengi-

akan, lalu membimbing Dewi Sritanjung, 

diajak keluar dari kereta.

Dewi Sritanjung terbelalak kagum 

begitu turun dari kereta, dan melihat 

bangunan rumah yang luas, kokoh dan 

bagus. Pekarangan rumah dikurung oleh 

tembok batu yang amat tinggi, dan 

beberapa orang prajurit yang bertugas 

jaga tak pernah lepas dengan tombak 

telanjang. Mereka nampak gagah dan 

menyeramkan.

Akan tetapi gadis ini tidak 

mendapat kesempatan melihat semua itu 

lama-lama, karena lengannya sudah 

ditarik dan diajak melangkah oleh 

Surya Lelana.

“Diajeng Tanjung,” katanya, “jika 

engkau menginginkan melihat keadaan


kota Majapahit, jangan khawatir. Aku 

akan selalu bersedia menjadi teman dan 

pengawalmu. Tetapi saat sekarang ini, 

kita harus patuh kepada perintah Guru. 

Aku harus mengantar engkau menghadap 

Ibu, isteri Rama Gajah Mada untuk 

memperkenalkan diri, dan juga kepada 

Diajeng Trisna Dewi, puteri Rama.”

“Tetapi....”

“Mengapa?”

“Aku malu. Bagaimanakah perasaan 

Puteri Trisna Dewi itu kalau melihat 

kelancanganku menggunakan pakaiannya?”

“Engkau sudah memperoleh izin 

dari Rama. Aku yang akan menerangkan 

bahwa engkau hanyalah menuruti 

perintah Rama saja,” Surya Lelana 

menghibur. “Ahh, engkau belum kenal 

dan tahu wajah Diajeng Trisna Dewi, 

maka engkau menjadi khawatir. Dia 

seorang puteri bangsawan yang amat 

baik, sabar, dan ramah. Sudahlah, 

engkau jangan takut. Aku yang akan 

menerangkan semuanya.”

Dewi Sritanjung ragu. Kemudian 

katanya, “Tetapi... aku biasa hidup di 

hutan, kurang mengenal segala macam 

adat kesopanan, tatakrama maupun 

aturan dalam lingkungan keluarga 

pembesar tinggi. Lalu bagaimanakah aku 

harus bersikap, baik kepada Ibu Gajah 

Mada maupun kepada Puteri Trisna 

Dewi?”

Surya Lelana bisa mengerti


keraguan gadis ini. Maka sambil 

melangkah menuju rumah belakang, 

pemuda ini terpaksa memberi sedikit 

pengertian dalam hubungan lingkungan, 

sikap dan tutur kata, yang diperlukan 

gadis ini nanti.

Petunjuk itu amat diperhatikan 

oleh Dewi Sritanjung, maka perjalanan 

mereka menjadi agak terlambat, dan 

bagi mereka yang tidak tahu, agaknya 

dua orang muda ini sedang membicarakan 

perasaan hati masing-masing, yang 

sedang dilanda oleh gelora asmara 

muda.

Akan tetapi sekalipun sambil 

melangkah Surya Lelana sudah memberi 

sekadar petunjuk, tidak urung hati 

Dewi Sritanjung kurang tenteram dan 

selalu berdebaran.

Kaki Dewi Sritanjung terasa kaku 

ketika dirinya harus menirukan Surya 

Lelana, menggunakan jari kaki dan 

lutut untuk berjalan dengan jongkok 

(laku dhodhok - Jawa), sesuai dengan 

tata kesopanan di dalam rumah 

bangsawan tinggi.

Akan tetapi hati gadis ini 

kemudian agak terhibur, ketika dari 

tempat duduknya isteri Gajah Mada 

memberi senyum manis sedang tangannya 

diangkat memberi isyarat agar lekas 

datang menghadap.

Puteri Trisna Dewi yang ketika 

itu duduk di samping ibunya, cepat


cepat bangkit, lalu lari-lari kecil 

mendapatkan Dewi Sritanjung. Dan gadis 

ini dengan wajah cerah dan senyum 

manis sudah berkata halus, “Diajeng, 

berdirilah. Mengapa kau harus 

merendahkan diri seperti itu?”

Trisna Dewi menarik bangun Dewi 

Sritanjung dan gadis ini pun tidak 

membantah, lalu berdiri. Memang jari 

kaki dan lututnya terasa sakit dipaksa 

untuk berjalan seperti itu. Kemudian 

kepada Surya Lelana, puteri ini 

berkata, “Surya, tugasmu sudah 

selesai.”

Surya Lelana mengangguk dan 

tersenyum. Kemudian pemuda ini kembali 

keluar, tetapi dalam hatinya agak 

masygul. Sebab apabila boleh, ia tidak 

ingin berpisah sekejap pun dengan 

gadis yang ia cintai itu. Dan setiba 

di luar, pemuda ini mengamati ke 

dalam, ke arah Dewi Sritanjung.

Dewi Sritanjung seperti mimpi 

ketika tiba-tiba isteri Gajah Mada 

meraih, lalu memeluk dan menciumi 

sepasang mata berkaca-kaca penuh rasa 

haru. Gadis ini tidak tahu akan 

sebabnya, memandang wajah wanita tua 

itu dengan rasa heran, dan ketika 

memalingkan muka memandang Trisna 

Dewi, ternyata puteri Gajah Mada 

itupun sepasang matanya berkaca-kaca. 

Sekalipun demikian bibir Trisna Dewi 

menyungging senyum manis.


Di luar tahu gadis ini, Gajah 

Mada sudah memberitahu kepada isteri 

dan anaknya, tentang gadis malang 

bernama Dewi Sritanjung.

Dewi Sritanjung disuruh duduk di 

atas kursi, diapit oleh ibu dan anak 

itu. Sesaat kemudian terdengar isteri 

Gajah Mada berkata, “Anakku, engkau 

jangan merasa rendah diri. Tahukah

engkau, siapakah sesungguhnya orang 

tuamu?”

Dewi Sritanjung menggeleng. 

Hatinya berdebar kemudian bertanya, 

“Siapakah sebenarnya orang tua 

hamba...?”

“Ahhh...,” potong isteri Gajah 

Mada. “Jangan engkau gunakan kata 

hamba itu, Anakku. Engkau bukan 

seorang hamba.”

“Diajeng Tanjung, Ibu benar,” 

sambung Trisna Dewi. “Engkau pun 

seorang puteri bangsawan seperti aku.”

“Puteri?” Dewi Sritanjung 

terbelalak. “Mengapa seorang puteri, 

dan siapa pula ayah bundaku?”

“Engkau adalah puteri Laksamana 

Nala, seorang Panglima Angkatan Laut 

Majapahit. Ayahmu seorang panglima 

yang amat terkenal, dan berkedudukan 

tinggi.”

“Laksamana Nala?” Dewi Sritanjung 

ragu.

Dewi Sritanjung menundukkan 

kepala dan merenung. Dalam hatinya


timbul rasa heran dan bertanya-tanya. 

Kalau benar dirinya seorang puteri 

bangsawan, mengapa sampai tujuhbelas 

tahun umurnya, ia belum pernah 

mendapat kesempatan mengenal wajah 

orang tua dan belum merasakan kasih 

sayangnya pula? Mengapa bisa demikian?

“Saya menjadi bingung,” ujar 

gadis ini ragu. “Bagaimanakah 

sesungguhnya saya ini? Mengapakah 

sebabnya saya hidup di tengah hutan 

bersama Kakek Tunjung Biru seorang 

diri? Lalu apa sajakah rahasia dari 

kehidupanku ini?”

“Anakku, engkau jangan kecil 

hati,” hibur ibu itu. “Semua akan 

segera engkau ketahui, sesudah ayahmu 

datang.”

“Tetapi mengapakah sebabnya aku 

harus di sini? Dan mengapa sebabnya 

tidak langsung dibawa ke rumah orang 

tuaku?”

“Hal itu sesuai dengan surat 

Kakang Tunjung Biru. Tetapi percayalah 

bahwa baik gurumu maupun Kangmas Gajah 

Mada bermaksud baik. Dan engkau akan 

mendengar semua itu nanti.”

Keterangan yang samar-samar ini 

menyebabkan Dewi Sritanjung tetap 

bingung dan kurang mengerti. Akan 

tetapi gadis ini terpaksa harus puas 

dengan semua ini. Namun demikian oleh 

sikap ramah dari ibu dan anak ini, 

menyebabkan Dewi Sritanjung terhibur,


dan segala keraguannya sedikit 

menghilang. Ia mulai dapat 

menyesuaikan diri dengan kehidupan 

para bangsawan.

Pada kesempatan ini, beberapa 

orang pelayan wanita bermunculan, lalu 

menghidangkan minuman dan makanan. 

Lalu dengan ramah ibu dan anak ini 

mengajak Dewi Sritanjung makan.

Menghadapi meja yang penuh 

hidangan dan belum pernah ia kenal ini 

Dewi Sritanjung gembira dan lupalah ia 

kepada hal yang lain. Dasar perutnya 

sudah lapar, maka Dewi Sritanjung 

makan dengan lahap. Sedang baik ibu 

maupun Trisna Dewi tidak jemunya 

menerangkan nama makanan yang sedang 

diambil maupun dimakan gadis ini.

Demikianlah Dewi Sritanjung cepat 

dapat menyesuaikan diri, berkat sikap 

isteri dan puteri Gajah Mada yang 

ramah. Seusai makan, diajaklah gadis 

ini pergi ke taman. Bagi gadis ini 

segala macam tanaman dan bunga yang 

terdapat di dalam taman ini tidak 

menarik, karena tanaman dan bunga-

bunga yang bermekaran itu jauh kalah 

indah dan kalah menyedapkan apabila 

dibanding dengan bunga-bunga yang 

tumbuh liar di dalam hutan. Akan 

tetapi ketika diajak ke kolam ikan, 

Dewi Sritanjung gembira dan berkali-

kali mengemukakan kekagumannya, 

melihat ikan di dalam air yang


warnanya aneka macam itu.

Pada kesempatan ini Dewi 

Sritanjung banyak diminta untuk 

menceritakan kehidupannya di dalam 

hutan. Dan gadis ini menceritakan apa 

adanya, tentang keadaan hutan yang 

penuh belukar, sepi dan banyak 

binatang liar dan buas maupun berbisa.

Trisna Dewi tertarik sekali oleh 

cerita ini, sebab bagi puteri ini, apa 

yang disebut hutan dan belukar itu 

adalah asing. Sering juga ia minta 

kepada ayahnya untuk ikut serta di 

kala Gajah Mada berburu. Namun 

permintaan itu tidak pernah dika-

bulkan, ditolak secara halus dengan 

berbagai alasan.

Di saat dua orang gadis ini 

sedang asyik bicara sambil memandang 

ikan-ikan yang berseliweran di dalam 

kolam ini, datanglah seorang pelayan 

yang tergopoh. Perempuan itu setelah 

berlutut di depan Trisna Dewi, 

berkata, “Ampunkan hamba, Gusti. Tuan 

puteri berdua mendapat panggilan agar 

langsung datang ke pendapa. Semuanya 

sudah menunggu Gusti berdua.”

“Baiklah,” sahut Trisna Dewi, 

kemudian mengajak Dewi Sritanjung 

langsung menuju ke pendapa.

Ketika tiba di pendapa, Dewi 

Sritanjung agak heran melihat Surya 

Lelana menundukkan kepala dan 

tampaknya masgul sekali. Perubahan


sikap ini menimbulkan pertanyaan dalam 

hati gadis ini. Sebab biasanya Surya 

Lelana akan segera memandang dirinya 

dengan mata bersinar-sinar dan bibir 

tersenyum.

Laksamana Nala duduk juga 

berhadapan dengan Gajah Mada, menga-

mati Dewi Sritanjung penuh perhatian. 

Hatinya berdebar tidak karuan, karena 

baik wajah maupun bentuk tubuh Dewi 

Sritanjung mirip sekali dengan ibunya, 

Dewi Anwari. Hati panglima ini amat 

terharu, teringat kepada Dewi Anwari 

yang sudah tiada.

Tiba-tiba saja Laksamana Nala 

bangkit dari tempat duduknya. Ia 

melangkah dan langsung memeluk Dewi 

Sritanjung. Tentu saja gadis ini kaget 

dan hampir saja memberontak. Untung 

nalurinya mencegah, hingga gadis ini 

berdiam diri dengan pandang mata 

keheranan.

Melihat ini Gajah Mada cepat 

memberitahu, “Tanjung, dialah ayahmu.”

“Ohh.... Ayah...,” pekik Dewi 

Sritanjung.

Dan tiba-tiba saja gadis ini 

menyembunyikan mukanya ke dada 

Laksamana Nala, sambil menangis ter-

sedu. Sebaliknya Laksamana Nala 

memeluk pundak anaknya ini, sambil 

meneliti kalung gadis ini yang 

mempunyai hiasan burung garuda.

Dari sudut mata laki-laki ini


kemudian menitik pula air mata yang 

bening. Laksamana Nala yang gagah 

perkasa itu, sekarang menangis benar-

benar. Menangis karena hatinya amat 

terharu berbareng menyesal, teringat 

akan isteri tercinta Dewi Anwari. 

Kalau saja waktu itu dirinya tidak 

meninggalkan Dewi Anwari secara diam-

diam, tentunya isterinya itu tidak 

akan mati. Dan tentunya Dewi 

Sritanjung tidak kehilangan ibu 

kandungnya, juga tak akan dibuang ke 

sungai.

Di saat Dewi Sritanjung 

sesenggukan di dada ayahnya ini, tiba-

tiba terdengarlah jerit tertahan. 

“Anakku...!”

Lalu seorang wanita yang wajahnya 

masih nampak cantik sekalipun sudah 

tua, sudah menubruk dan memeluk Dewi 

Sritanjung.

Dewi Sritanjung mengangkat 

wajahnya yang basah air mata, 

memandang perempuan itu sejenak.

Laksamana melepaskan pelukannya 

sambil berkata lirih, “Tanjung, inilah 

ibumu.”

“Ibuuuu...!” pekik Dewi 

Sritanjung sambil memeluk erat perem-

puan itu dan menyembunyikan mukanya ke 

dada.

Menyusul kemudian terdengar suara 

tangis dua orang perempuan yang 

mengibakan hati, dan menimbulkan rasa


haru kepada mereka yang melihat. 

Saking terharu, isteri Gajah Mada 

maupun Trisna Dewi ikut menangis di 

tempat duduknya. Adapun Gajah Mada 

hanya berdiam diri sambil menghela 

napas berulang-ulang, sedang Surya 

Lelana menundukkan kepala tampak lesu 

dan sedih.

Akan tetapi Laksamana Nala kaget 

dan cepat menyambar tubuh isterinya, 

hingga perempuan itu tidak jadi roboh. 

Ternyata perempuan yang mengaku 

sebagai ibu Dewi Sritanjung itu sudah 

pingsan. Dan menyebabkan Dewi 

Sritanjung yang baru bisa bertemu 

dengan ibunya itu, kebingungan dan 

memanggil-manggil.

Isteri Gajah Mada dan Trisna Dewi 

cepat menyerbu dan menghibur Dewi 

Sritanjung. Dan yang pingsan segera 

dirawat, dipondong Laksamana Nala, 

lalu dibaringkan di pembaringan kayu 

berukir indah, beralas kain warna 

jambon (merah jambu).

Apakah sebabnya isteri Laksamana 

Nala menjadi pingsan setelah mengaku 

sebagai ibu Dewi Sritanjung? Memang 

ada sebabnya. Semula terjadilah 

pertentangan dalam hatinya, dibujuk 

oleh Gajah Mada, agar mau mengaku 

sebagai ibu kandung Dewi Sritanjung. 

Hal itu dilakukan dengan maksud agar 

gadis yang belum pernah melihat wajah 

ayah bundanya itu tidak menjadi kecil


hati. Sebab betapa akan sedih Dewi 

Sritanjung, apabila tahu ibunya sudah 

tiada! Di samping untuk menjaga agar 

hati dan perasaan gadis ini tidak 

kaget, langkah ini dimaksud pula untuk 

menutup rahasia Laksamana Nala yang 

sudah menyia-nyiakan Dewi Anwari. 

Sedang yang teramat penting adalah 

guna menghilangkan noda hitam dalam 

keluarga, karena Dewi Sritanjung 

adalah cucu Kuti, seorang dharmaputra 

yang memberontak dan mati terbunuh.

Itulah sebabnya Dewi Sritanjung 

tadi sengaja disingkirkan ke taman 

dulu, agar gadis ini tidak mendengar 

rahasia kematian ibu kandungnya.

Akan tetapi betapa berat rasa 

hati isteri Laksamana Nala ini, tahu-

tahu harus mengakui anak dari madunya, 

sebagai anak kandungnya sendiri. 

Lebih-lebih gadis ini adalah cucu 

Kuti, seorang pemberontak yang hampir 

saja menimbulkan bencana hebat bagi 

Majapahit.

Namun sekalipun berat rasa hati 

perempuan ini, setelah dipikir lebih 

dalam dan luas lagi, semua kesalahan 

terletak pada pundak suaminya sendiri. 

Sebab taklah mungkin anak Kuti itu 

menjadi isteri suaminya, kalau su-

aminya memang tidak menghendaki. 

Sebaliknya anak yang tidak berdosa 

ini, tidak mungkin lahir di dunia ini 

dan mencari orang tuanya, apabila


tidak ada dua insan yang mencip-

takannya.

Setelah terjadi pertentangan 

hebat dalam dada ibu ini, pada akhir-

nya kesadarannya menang. Ia sedikit 

berkorban untuk suaminya sendiri, 

adalah sudah sepatutnya bagi seorang 

isteri. Merupakan kewajibannya pula, 

justru apa yang dilakukan adalah untuk 

nama baik suaminya sendiri. Akan 

tetapi walaupun sudah sedemikian jauh 

ia berpikir dan ia mempertimbangkan, 

tidak urung ibu ini pingsan juga.

Akhirnya ibu ini sadar juga 

setelah dirawat sendiri oleh Laksamana 

Nala, Setelah membuka mata dan sadar, 

mulutnya sudah berkata, “Tanjung.... 

ohh, anakku....”

Dewi Sritanjung segera memberikan 

kepalanya untuk diusap-usap oleh 

ibunya, juga memberikan pipinya untuk 

dicium ibunya. Air mata mereka 

membanjir membasahi pipi, dan untuk 

beberapa lama tidak ada yang bicara.

Jari-jari tangan isteri Panglima 

Nala mengusap-usap rambut, kemudian 

seluruh muka dan leher Dewi 

Sritanjung. Dan gadis ini hatinya amat 

terharu, bangga, gembira dan bahagia. 

Apa yang diharapkan selama ini, dan 

apa yang dibayangkan serta dikenang 

selama belasan tahun lamanya itu, 

sekarang terwujud. Ia bertemu dengan 

ibunya, dan beginilah kasih sayang



seorang ibu kepada anaknya.

Akan tetapi sekalipun gadis ini 

merasa amat bahagia dan bangga, dapat 

bertemu dengan ayah bundanya, timbul 

pula perasaan aneh dalam dadanya. 

Sekarang menjadi jelas dirinya bukan 

anak orang sembarangan. Ternyata diri-

nya seorang puteri Panglima Angkatan 

Laut, Laksamana Nala, yang kedudu-

kannya amat tinggi di Kerajaan 

Majapahit. Namun mengapa sebabnya 

dirinya terpisah dengan ayah bundanya, 

dan kemudian sampai dipelihara oleh 

Kiageng Tunjung Biru? Timbul perta-

nyaan dalam hatinya, kalau demikian 

apakah dirinya ini memang salah 

seorang anak yang disia-siakan oleh 

ayah bundanya?

Dewi Sritanjung tak kuasa menahan 

perasaan dan pertanyaan yang bergolak 

dalam dadanya ini. Maka masih sambil 

memeluk ibunya, gadis ini bertanya, 

“Ibu.... ohh, mengapa aku ini?”

“Apakah maksudmu, Anakku?” tanya 

ibunya dengan nada yang amat kasih.

“Apakah sebabnya Ayah dan Ibu 

tega kepadaku? Mengapa baru sekarang 

ini saja Tanjung dapat bertemu dan 

mengenal wajah Ayah maupun Ibu? Dan 

mengapa pula sebabnya Tanjung terpisah 

dengan Ayah dan Ibu?”

Ibunya tidak cepat menjawab. 

Tetapi malah memandang suaminya dengan 

sinar mata yang bertanya. Laksamana


Nala dapat menduga maksud isterinya.

“Anakku, kisahnya cukup panjang,” 

sahut ayahnya.

Laksamana Nala segera mengarang 

cerita yang ia pikir masuk akal. Ia 

mengatakan bahwa ketika Dewi 

Sritanjung masih kecil, kira-kira baru 

berumur satu setengah tahun, sudah 

dilarikan oleh pengasuhnya. Tentu saja 

peristiwa ini menyebabkan seluruh 

keluarga sedih dan berusaha menemukan 

kembali, dengan menyebar banyak hamba

untuk mencari. Namun usaha-usaha yang 

sudah mengerahkan ratusan orang 

banyaknya, dan pencarian dilakukan ke 

seluruh penjuru itu, sia-sia belaka. 

Setiap petugas yang pulang, selalu 

memberi laporan sama, tidak dapat 

menemukannya. Setelah lebih dua tahun 

lamanya mencari tidak juga berhasil, 

akhirnya usaha pencarian dihentikan.

“Betapa sedih hatiku dan hati 

ibumu, sulit dilukiskan, Anakku,” 

lanjut Laksamana Nala. “Akhirnya 

karena usaha itu gagal, baik aku 

maupun ibumu hanya dapat mohon kepada 

Dewata Agung, agar engkau selalu 

selamat dan kemudian hari dapat 

bertemu kembali.”

“Tetapi Ayah, siapa yang kemudian 

memberi petunjuk bahwa Tanjung dirawat 

oleh Guru?” sela Dewi Sritanjung.

“Ya. Itulah permulaan aku dan 

ibumu dapat bertemu dengan anak yang


sudah lama hilang. Dalam surat gurumu 

yang ditujukan kepada Kangmas Gajah 

Mada, belum lama berselang gurumu 

datang ke Caruban. Kemudian gurumu 

mendengar keterangan dari Bupati 

Caruban yang memang sudah aku mintai 

pertolongan ikut serta mencari 

jejakmu. Adapun sebagai tanda anakku 

yang hilang itu, ialah seutas kalung 

dengan hiasan burung garuda, terbuat 

dari emas. Nah, Anakku, setelah gurumu 

mendengar keterangan ini, maka 

terpikir kemudian untuk mengembalikan 

engkau kepada orang tuanya.”

“Tetapi.... mengapa sebabnya Ayah 

tidak datang ke sana?”

“Anakku..., agaknya memang sudah 

menjadi kehendak gurumu, memang harus 

demikian. Buktinya gurumu tidak mau 

memberitahu langsung padaku. Melainkan 

malah mengutus engkau supaya datang 

sendiri ke Majapahit. Bukankah gurumu 

pun menerangkan, bahwa di Majapahit 

engkau bakal bertemu dengan orang 

tuamu?”

Dewi Sritanjung menghela napas 

panjang. Untuk beberapa saat lamanya 

gadis ini hanya terisak-isak.

Ketika itu datanglah Gajah Mada, 

isterinya, Trisna Dewi dan Surya 

Lelana. Gajah Mada dan isterinya 

berseri wajahnya setelah melihat Dewi 

Sritanjung dengan ibunya nampak rukun.

Laksamana Nala menatap Surya


Lelana yang nampak lesu dan kecewa. 

Tetapi karena tidak tahu apa yang 

dikandung dalam hati pemuda ini, maka 

Laksamana Nala memalingkan muka ke 

arah Dewi Sritanjung. Katanya, 

“Tanjung, sudahkah engkau kenal dengan 

saudaramu yang tua?”

“Mana, Ayah? Siapa?” Dewi 

Sritanjung terperangah.

“Dia inilah abangmu, namanya 

Surya Lelana,” Laksamana Nala memper-

kenalkan.

Dewi Sritanjung terbelalak kemu-

dian terpaku seperti patung dan tidak 

dapat membuka mulut, Surya Lelana 

diperkenalkan sebagai abangnya.

Dalam hatinya timbul rasa masy-

gul, mengapa bisa terjadi demikian? 

Mengapa pemuda tampan yang sudah 

mencuri hatinya dan ia cintai pula 

itu, adalah abangnya sendiri? Hemm, 

seorang abang dan sudah memberi ciuman 

beberapa kali kepada dirinya, ciuman 

penuh kasih sayang antara pria dan 

wanita. Timbullah rasa malu dalam hati 

gadis ini, hingga ia menundukkan 

mukanya, tidak berani bertatap pandang 

dengan Surya Lelana.

Untunglah Surya Lelana cepat 

dapat menekan perasaan. Walaupun 

hatinya amat sedih setelah tahu gadis 

ini adiknya sendiri, ia melangkah 

menghampiri sambil meletakkan telapak 

tangannya di atas pundak.


“Adikku, oh.... maafkanlah 

aku.... yang tidak tahu....”

Dewi Sritanjung tidak menjawab, 

hanya menangis sesenggukan. Laksamana 

Nala dan isterinya memandang mereka 

dengan heran. Dalam hati bertanya, apa 

yang sudah terjadi?

Di antara mereka yang hadir hanya 

Gajah Mada yang tahu sebabnya. Katanya 

dengan nada penuh sabar, “Anakku, 

hidup manusia ini takkan lepas dari 

garis yang sudah ditetapkan oleh Yang 

Maha Tinggi. Manusia yang bijaksana, 

karena merasa hidupnya dikuasai dan 

ada yang memberi hidup, akan menerima 

hidupnya ini secara wajar, dan apa 

adanya. Karena dengan cara itu 

hidupnya akan dijauhkan dari rasa 

sesal atau kecewa. Dan menerima apa 

adanya karena sadar hidupnya sesuai 

dengan garis yang sudah ditentukan 

oleh Dewata Yang Agung.”

Gajah Mada berhenti sejenak, 

lalu, “Anakku, lupakanlah apa yang 

sudah terjadi. Jangan kau tengok apa 

yang sudah kau lalui. Ketahuilah, 

hidup adalah saat ini. Sekarang, bukan 

kemarin, bukan tadi dan bukan pula 

esok pagi atau nanti. Yang lalu 

biarlah berlalu, yang belum jangan 

dipikir. Bersyukurlah kalian kepada 

Dewata Yang Agung, kita dipertemukan 

dan dapat berkumpul kembali masih 

dalam keadaan selamat tidak kurang



satu apa.”

Sekalipun Gajah Mada mengucapkan 

kata-kata yang samar-samar, Laksamana 

Nala sudah dapat menduga apa yang 

terjadi antara Dewi Sritanjung dengan 

Surya Lelana. Bahwa saudara seayah 

lain ibu itu, karena tidak tahu, sudah 

menjalin cinta kasih. Diam-diam Nala 

menyesal sekali, mengapa bisa terjadi 

seperti ini. Tetapi apa harus dikata, 

justru tidak tahu? Masih untung dua 

anak muda ini pada saat sudah genting 

dapat mengetahui keadaan yang 

sebenarnya. Mereka belum terlanjur.

Baik Nala maupun isterinya 

kemudian menghibur pula dengan petun-

juk yang berharga. Dewi Sritanjung 

hanya dapat menangis sesenggukkan di 

dada ibunya. Tidak tahu apa yang harus 

ia lakukan, menghadapi peristiwa yang 

tidak pernah ia duga dan harapkan itu.

Akhirnya terhibur juga hati Dewi 

Sritanjung setelah mendapat nasihat 

dan bujukan dari ayah, ibu, Gajah Mada 

dan isterinya. Setelah dianggap cukup, 

kemudian diboyonglah Dewi Sritanjung 

ke rumah kediaman Laksamana Nala. 

Kedatangannya disambut oleh saudaranya 

yang lain, dua orang kakak perempuan. 

Dewi Sritanjung dielu-elukan tiada 

bedanya dengan tamu agung. Semua 

keluarga dikumpulkan seluruhnya, lalu 

satu demi satu hamba sahaya ini 

berlutut di depan Dewi Sritanjung


sambil memperkenalkan diri dan 

menghaturkan selamat datang.

Akan tetapi betapapun meriah 

penyambutan ayah, bunda, saudara 

maupun hamba sahaya, dalam hati gadis 

ini masih terdapat perasaan yang 

kurang sreg (puas). Gadis ini masih 

kurang percaya keterangan ayahnya, 

bahwa ketika dirinya kecil dilarikan 

oleh pengasuhnya, kemudian ayah 

bundanya berusaha menemukan kembali 

dengan berbagai macam cara. Sebab 

kalau benar dirinya sudah lama dicari, 

dan kalau benar sebagai tanda seutas 

kalung emas dan hiasan burung garuda, 

mengapa pada saat Surya Lelana datang 

dan berkenalan pertama kali, Surya 

Lelana tidak segera mengenal dirinya 

sebagai adiknya yang sudah lama 

hilang? Sebab Surya Lelana pun tentu 

tahu pula tentang tanda ini. Dan kalau 

tidak tahu, itulah aneh dan sulit ia

percaya.

Diam-diam timbullah kecurigaan 

gadis ini, tentu ada suatu rahasia 

yang ditutup oleh ayah bundanya. 

Kemudian timbul dugaan gadis ini, 

kiranya ketika dirinya kecil, memang 

sengaja dibuang oleh ayah bundanya. 

Dan berarti dirinya lahir di dunia 

ini, memang diluar kehendak orang 

tuanya.

Berkecamuk berbagai macam 

perasaan di dalam dada gadis ini,


ketika sudah berbaring di pembaringan 

kayu yang berukir indah, beralas kain 

sutera biru dan di dalam kamar indah 

berbau harum pula. Akibatnya gadis ini 

tidak juga dapat tidur, sekalipun 

tubuhnya terasa lelah.

Entah mengapa sebabnya, dalam 

hati gadis ini timbul perasaan tidak 

puas oleh sikap ibu maupun dua orang 

kakak perempuan. Sebab setelah selesai 

mengelu-elukan ketika dirinya tiba, 

tiga perempuan itu seperti tidak 

peduli lagi kepada dirinya.

Mengapa bisa terjadi demikian? 

Waktu yang belasan tahun tidaklah 

singkat. Namun mengapa baik ibu maupun 

dua kakak perempuannya itu membiarkan 

dirinya tidur dalam sebuah kamar dan 

sendirian pula? Apakah sebabnya 

keluarga itu tidak tampak rindu? Dan 

lagi pula kalau dirinya muncul, bukan 

ibunya yang lebih dahulu menyambut 

kedatangannya, tetapi malah ayahnya? 

Bagaimanapun seorang ibu tentu lebih 

memperhatikan anak yang dilahirkan 

dari rahimnya, dibanding dengan ayah. 

Akan tetapi apakah sebabnya malah 

terjadi sebaliknya?

Mengapa? Apakah sebabnya? Per-

tanyaan ini terus berkecamuk dalam 

dadanya. Akan tetapi sayangnya ia 

tidak dapat menjawab sendiri.

“Hanya Ayah seorang yang akan 

dapat menjawab pertanyaan ini,”


pikirnya sambil bangkit dari 

pembaringan. “Hemm, malam ini juga aku 

harus bertemu dengan Ayah. Aku harus 

mendapat keterangan jelas dan Ayah 

harus sedia membeberkan kenyataan yang 

sebenarnya.”

Demikianlah, gadis ini kemudian 

keluar dari kamar. Rumah yang besar 

itu sunyi dan tidak melihat seorang 

pun. Lampu besar di tengah ruangan, 

sudah dipadamkan orang, dan ia 

termangu beberapa saat lamanya sambil 

menebarkan pandang matanya. Di manakah 

letak kamar ayahnya? Rumah ini luas 

sekali, tidak gampang mencari letak 

kamar ayahnya.

“Huh, luas, hi hi hiiiikk,” gadis 

ini ketawa lirih seorang diri. “Aku 

biasa hidup di dalam hutan yang luas 

dan berbahaya. Apakah artinya rumah 

yang hanya seluas ini?”

Setelah menetapkan hatinya, 

dengan langkah hati-hati ia mulai 

menyelidik. Tetapi mendadak Dewi 

Sritanjung mempertajam pendengarannya, 

ketika mendengar suara perempuan 

sedang bicara perlahan. “Ahh, dari 

kamar besar yang masih menyala 

lampunya itu.”

Sebagai gadis sakti, ia dapat 

bergerak tanpa suara. Dan kebetulan 

sekali pintu tidak terkunci dan 

sedikit terbuka. Dari celah pintu itu, 

ia melihat di dalam kamar, ibunya


duduk bersimpuh di meja pendek, sedang 

dua kakak perempuannya duduk di depan 

ibunya.

Ia mendengar suara kakaknya yang 

bertanya, “Ibu, sebenarnya saya heran 

sekali dengan munculnya seorang gadis 

yang disebut sebagai adikku itu. Ayah 

bilang, dahulu dilarikan oleh pengasuh 

ketika masih kecil. Tetapi ketika aku 

tanyakan kepada hamba tertua, yang 

sudah lebih duapuluh tahun lamanya 

mengabdi di rumah ini, dia malah kehe-

ranan dan bingung. Dan dia menerangkan 

bahwa puteri Ibu hanya tiga orang saja 

dan tidak seorang pun yang hilang. 

Ibu, jelaskanlah. Mana yang benar?”

Berdebar jantung Dewi Sritanjung 

mendengar ini. Ia menahan napas, ingin 

mendengar jawaban ibunya secara jelas. 

Tetapi ibunya tidak segera memberikan 

jawaban, malah kemudian menghela napas 

berulang-ulang, seperti berat untuk 

membuka mulut. Dan baru sesudah 

didesak berkali-kali oleh anaknya, ibu 

itu menjawab.

“Sesungguhnya memang demikian, 

Anakku. Memang anakku hanya tiga orang 

saja. Gadis yang tadi datang, dan 

diakukan sebagai anak bungsu oleh ibu, 

memang bukan anak ibu.”

Berdenyut kepala Dewi Sri 

tanjung, lalu pandang matanya menjadi 

kabur. Bukan anaknya? Kalau demikian, 

aku ini anak siapa?


“Kalau bukan, mengapa Ibu mau 

mengakui?”

“Itu hanya menuruti kehendak 

Ayahmu saja. Jelasnya demikian, akan 

tetapi aku minta rahasiakanlah agar 

tidak sampai didengar oleh Sritanjung. 

Dahulu ayahmu mempunyai seorang isteri 

muda, bernama Dewi Anwari. Dari isteri 

muda itu lahirlah Dewi Sritanjung. 

Tetapi malang, ketika melahirkan anak 

pertama itu, Dewi Anwari meninggal.”

“Horeee....” sorak dua gadis itu.

“Kamu tidak boleh berkata begitu. 

Tahu? Kamu harus dapat bersikap baik 

dan mencintai dia seperti kepada 

adikmu sendiri. Kalau aku sedia 

berkorban demi kepentingan Ayahmu, 

mengapa kamu tidak? Kamu harus pandai 

menjaga rahasia ini, agar Dewi 

Sritanjung tidak tahu dan Ayahmu tidak 

marah kepadamu, kepada kita. Bagaima-

napun dia seorang anak yang patut 

dikasihani. Sejak kecil dia tidak 

mengenal ayah dan bundanya, dan tidak 

pernah mendapatkan kasih sayang dari 

orang tua maupun saudara-saudaranya.”

Dua gadis itu berdiam diri 

dibentak ibunya. Namun dari sikapnya, 

Dewi Sritanjung tahu, jelas tidak 

senang.

Untuk beberapa saat lamanya gadis 

ini berdiri bagai patung. Tetapi dari 

sudut matanya, menitik air mata yang 

bening. Dan dalam dada gadis ini,


tiba-tiba saja terjadi semacam perang 

batin yang amat hebat.

Ibuku sudah mati? pekik dalam 

dadanya. Di mana? Ah..., Kakek tentu 

bisa menerangkan tentang Ibu dan 

makamnya.

Mendadak terdengar suara pekik 

nyaring dan panjang, “Ibuuu...!”

Disusul suara brakkkk....

Penghuni rumah kaget. Laksamana 

Nala dan Surya Lelana yang ketika itu 

belum tidur cepat melompat dan lari ke 

rumah belakang. Sebab mereka mengira, 

telah terjadi sesuatu di dalam rumah 

itu.

Ketika ayah dan anak ini masuk ke 

dalam rumah, Nala melihat isteri 

anaknya baru saja keluar dari kamar 

dengan wajah pucat karena kaget.

“Apa yang terjadi?” tanya Nala.

Tetapi tanpa menunggu jawaban, 

Nala kemudian tertarik perhatiannya 

kepada pecahan kayu di lantai rumah. 

Ketika ia menengadah ternyata baik 

langit-langit maupun atap sudah jebol. 

Nala cepat melompat ke kamar Dewi 

Sritanjung, ternyata puterinya tidak 

ada.

“Celaka!” pekik Nala. “Surya.... 

aahh, adikmu pergi tiba-tiba. Mari 

kita kejar!”

Saking gugup dan gelisahnya, 

tanpa menunggu jawaban, Nala sudah 

menjejak lantai, tubuhnya melesat ke



atas lewat langit-langit dan atap yang 

jebol. Sedang Surya Lelana cepat lari 

ke arah pintu.

Nala memang sudah dapat menduga, 

Dewi Sritanjung pergi lewat langit-

langit dan atap yang jebol itu. Dan 

pekik panjang yang menyebut ibu tadi, 

tentu pekikan puterinya. Sebab tidak 

mungkin orang luar berani datang dan 

mengganggu rumahnya.

Nala mengerahkan kepandaiannya 

lari, sambil memanggil nama Dewi 

Sritanjung. Tetapi teriakan Nala itu 

sia-sia belaka, demikian pula usahanya 

mengejar. Gadis itu sudah tidak tampak 

bayangannya dan sudah jauh pergi.

Surya Lelana juga berlarian cepat 

sekali mengambil arah lain. Pemuda ini 

lari dengan hati tidak keruan, sebab 

ternyata gadis jelita yang ia cintai 

itu adalah adiknya sendiri, sehingga 

hatinya menjadi masygul dan kecewa.

***

2

Matahari musim kemarau sinarnya 

menyengat kulit. Jalan berdebu dan 

pohon-pohon kecil layu kesulitan 

mendapatkan air. Ladang orang dibiar-

kan kosong tanpa tanaman, dan tanahnya 

yang kering pecah-pecah sedang rumput 

pun sulit bisa hidup. Sawah-sawah yang


menggantungkan air hujan juga terbeng-

kalai, pak tani terpaksa menganggur, 

karena sawah tidak dapat menghasilkan 

apa-apa.

Seorang gadis yang hanya berpa-

kaian dari bahan kasar dan sederhana, 

melangkah dengan lesu. Rambutnya yang 

kering itu sudah tidak teratur lagi 

oleh angin nakal. Peluh membasahi 

dahi, pipi, dan lehernya dibiarkan 

menetas. Dan pipi yang kuning halus 

itu oleh sinar matahari berubah men-

jadi merah jambu. Sekalipun demikian 

kejelitaan gadis ini tidak berkurang 

malah bertambah.

Hanya sayang, sepasang mata 

bintang itu nampak sayu, dan berkali-

kali gadis ini melangkah sambil 

menghela napas panjang. Dan agaknya 

dada gadis ini terasa sesak oleh 

derita batin.

Kenyataannya memang demikian. 

Batin gadis cantik itu menderita, 

sehingga dunia yang luas ini dirasa 

terlalu sempit. Matahari yang 

menyinarkan cahayanya amat terik itu 

seperti gelap. Segelap hatinya 

sekarang ini!

Siapakah gadis ini dan ke manakah 

tujuannya hanya seorang diri? Seakan 

ia tidak menyadari bahwa kejelitaannya 

ini bisa menimbulkan bahaya setiap 

waktu. Karena kecantikannya dapat 

menimbulkan rangsangan laki-laki tidak


bertanggung jawab untuk menggunakan 

kesempatan dan mengganggu.

Namun sebaliknya gadis ini memang 

tidak merasa khawatir dan takut oleh 

gangguan orang dalam perjalanannya 

sekarang ini. Ia memang bukan gadis 

sembarangan. Laki-laki yang berani 

sembrono salah-salah menderita malu 

dihajar oleh kaki dan tangan yang 

kecil, namun berbahaya.

Dialah Dewi Sritanjung yang 

menderita pukulan batin hebat, setelah 

tertumbuk oleh peristiwa yang tidak 

sesuai dengan harapannya semula. 

Harapan yang sudah belasan tahun 

lamanya ia tunggu untuk dapat bertemu 

dengan ayah bundanya, tetapi yang 

terjadi malah sebaliknya.

Tetapi adakah sesuatu yang aneh 

itu di dunia ini? Segalanya bisa 

terjadi yang serba aneh. Demikian pula 

apa yang harus diderita oleh Dewi 

Sritanjung ini. Masih semuda itu, ia 

sudah harus mengalami pukulan batin 

dan harus menempuh perjalanan tanpa 

tujuan, tidak bedanya dengan 

gelandangan.

Seseorang yang sedang menderita, 

semuanya tidak menyenangkan, dan 

biasanya menjadi kurang waspada akan 

keadaan sekitarnya. Demikian pula 

gadis ini, ia menjadi tidak sadar, 

semenjak tadi telah dibayangi oleh 

sepasang mata dan selalu memperhatikan


gerak-geriknya. Sepasang mata itu 

mirip sepasang mata seekor kucing yang 

melihat tikus gemuk. Mata yang meli-

hat, tetapi mulut yang mengeluarkan 

air liur.

Sepasang mata yang bersinar aneh 

itu, adalah mata seorang pemuda 

berumur 22 tahun. Pemuda yang wajahnya 

cukup tampan, tetapi pucat. Gerakan 

pemuda ini gesit dan tidak bersuara, 

seakan mempunyai sayap, sehingga 

seperti terbang. Sambil bergerak gesit 

dan tidak bersuara ini, mulutnya 

berkomat-kamit dan tersenyum aneh. 

Entah apa saja yang sedang terpikir 

oleh pemuda ini.

Sungguh sayang, Dewi Sritanjung 

tidak menyadari dirinya ada orang yang 

membayangi. Derita batinnya menyebab-

kan telinga yang biasa peka itu 

menjadi seperti tuli. Ia terus 

melangkah menuju ke barat, tidak 

mempedulikan kulitnya yang kuning 

halus itu tersengat oleh matahari.

Tak lama kemudian gadis ini malah 

menuju ke tempat yang berjauhan 

letaknya dengan desa. Kemudian ia 

malah masuk ke dalam sebuah hutan yang 

tidak jauh dari Kali Bluwak Julang, 

yang bermata air dari perbukitan 

Kendeng.

Melihat air yang jernih, mendadak 

saja ia merasa gerah. Betapa nikmatnya 

setelah sejak pagi terbakar sinar


matahari yang panas, sekarang dapat 

menyejukkan tubuh dengan menyelam 

dalam air kali ini, mandi dan 

berkecimpung.

Namun gadis ini tidak segera 

melaksanakan niatnya, dan ia kemudian 

duduk di atas batu di tepi sungai. 

Kaki terasa sejuk setelah menjulur ke 

bawah dan terendam air sungai sampai 

betis.

Gadis ini duduk berdiam diri. 

Tetapi pada saat ia duduk berdiam diri 

ini, tiba-tiba saja kenangannya 

melayang kembali ke Majapahit, waktu 

bertemu ayahnya pertama kali di ramah 

Gajah Mada. Ia menangis dan ayahnya 

juga menangis. Ketika itu ia merasa 

heran, mengapa ibunya malah tidak 

menitikkan air mata, bertemu pertama 

kali dengan puterinya yang belasan 

tahun lamanya hilang? Semula ia 

menduga tentu ibunya seorang wanita 

tabah, hingga tidak menitikkan air 

mata, sekalipun berhadapan dengan 

peristiwa yang amat mengharukan.

Namun keheranannya itu kemudian 

terjawab setelah ia berdiam di rumah 

sendiri, rumah Laksamana Nala. 

Ternyata wanita yang mengaku sebagai 

ibunya itu, bukan ibu kandungnya, 

malah ibu tirinya.

Rahasia itu baru diketahui 

setelah secara tidak sengaja dirinya 

mendengar pembicaraan ibunya dengan


dua orang kakak perempuannya, bahwa 

dirinya bukan anak hilang, tetapi anak 

tiri.

Hatinya terpukul kemudian ia lari 

dari rumah gedung yang megah itu.

Dewi Sritanjung menghela napas 

panjang. Ia kemudian meruntuhkan 

pandang matanya ke air yang mengalir 

dengan tenang itu. Lalu ia membuka 

bajunya dengan maksud akan segera 

merendam tubuh dalam air sungai dan 

mandi.

Namun baru saja selesai melepas 

baju, tiba-tiba gadis ini kaget dan 

cepat memakai kembali bajunya. Sebab 

pada saat bajunya lepas tadi, ia 

mendengar dengus napas halus orang,

tidak jauh dari tempatnya duduk.

Dengan lincah Dewi Sritanjung 

meloncat berdiri. Sepasang mata yang 

semula sayu itu sekarang berubah 

berkilat-kilat, dan dari mulutnya 

kemudian terdengarlah bentakan nya-

ring.

“Hai! Siapa yang bersembunyi di 

semak itu? Hayo, lekaslah keluar.”

Pemuda pucat yang sejak tadi 

membayangi gadis ini terkejut. Pemuda 

ini dalam hati mencaci maki dirinya 

sendiri, mengapa sudah mendengus dan 

jantungnya berdegup cepat sekali, 

ketika baru saja melihat kulit tubuh 

yang kuning mulus, sesaat gadis itu 

melepas baju? Akibatnya si gadis tahu


dirinya sedang mengintip di dalam 

semak. Padahal apabila tadi dirinya 

kuasa menahan debaran jantungnya, ia 

tentu dapat menyaksikan sesuatu yang 

lebih indah dan menarik, di kala gadis 

itu sudah bugil dan mandi di kali.

Sesungguhnya ia tadi meren-

canakan, pada saat si gadis ber-

kecimpung dalam air, ia akan 

menggunakan kesempatan dengan jalan 

mencuri dan menyembunyikan pakaian 

gadis itu. Apabila pakaian gadis itu 

sudah ia sembunyikan, dirinya tentu 

akan dapat menekan gadis itu supaya 

menyerah.

Akan tetapi sekarang semuanya 

sudah terlanjur. Semua harapannya 

sudah buyar, dan mau tidak mau dirinya 

sekarang harus keluar dari tempat 

persembunyiannya.

Namun ia memang seorang pemuda 

sakti. Karena itu ia tidak gentar 

sedikit pun walau tahu gadis itu 

bersenjata pedang. Memang ia sudah 

menduga, seorang gadis ayu yang berani 

melakukan perjalanan seorang diri, 

tentu bukan gadis sembarangan.

Pemuda itu meloncat keluar dari 

semak tempatnya bersembunyi sambil 

terkekeh. Lalu mulutnya menyeringai, 

tidak menyembunyikan kekagumannya 

melihat kejelitaan gadis yang baru 

berumur delapan belas tahun itu, 

ibarat bunga yang sedang mekar dan


menyebarkan bau yang harum semerbak.

“Heh heh heh heh, Adik Manis, 

apakah sebabnya engkau tidak jadi 

mandi? Silakan engkau mandi dulu untuk 

menyegarkan tubuh. Dan biarkanlah aku 

membantumu dengan menjaga pakaianmu, 

yang sekaligus menjagai keselamatanmu 

pula dari gangguan orang. Dan lebih 

dari itu aku pun dapat melihat dan 

mengamati tubuhmu yang bugil itu.”

“Keparat mata keranjang!” bentak 

Dewi Sritanjung. “Apa kerjamu memang 

hanya mengintip orang sedang mandi?”

“Heh heh heh heh, mengapa tidak? 

Aku paling senang mengintip perempuan 

yang mandi di kali. Apalagi jika 

perempuan itu mandi di sungai yang 

airnya jernih seperti ini.”

“Kurang ajar! Cabul! Jika engkau 

tidak lekas enyah dari tempat ini, 

rasakan jika aku marah!”

Makin meledak ketawa pemuda itu, 

dan menjadi geli oleh jawaban gadis 

yang ketus itu. Dalam hatinya sudah 

menduga, tentu gadis ini belum 

mengenal dirinya, maka berhadapan 

tidak menjadi gentar. Padahal bagi 

wanita lain yang sudah mengenal 

dirinya, tentu sudah ndheprok (duduk 

bersimpuh) dan minta ampun sambil 

gemetaran tubuhnya.

“Heh heh heh heh. Aku ingin 

melihat, apa yang akan engkau lakukan 

terhadap diriku? Apakah engkau bisa



memaksa dan mengusir aku tanpa aku 

sendiri yang menghendaki?”

Ejekan itu menyebabkan Dewi 

Sritanjung tambah marah. Sepasang 

matanya yang indah itu sekarang 

menyala.

Memang tidak mengherankan apabila 

pemuda ini mengejek seperti itu. Ia 

memang bukan pemuda sembarangan, dan 

malah murid seorang tokoh sakti pula. 

Pemuda ini bernama Rudra Sangkala, dan 

gurunya bernama Murti Sari. Hanya 

sungguh sayang, ilmunya yang tinggi 

bukan diperuntukkan berbuat mulia, 

menolong sesama hidup, malah untuk 

perbuatan jahat. Ia memang seorang 

pemuda yang gemar mendekatkan diri 

kepada nafsu berburu perempuan.

Karena sesat, maka Rudra Sangkala 

menjadi pemuda liar yang tidak pernah 

melewatkan kesempatan bagus apabila 

berhadapan dengan perempuan. Dan 

sungguh amat sayang pula, gurunya yang 

bernama Murti Sari itupun tidak pernah 

menegur perbuatan muridnya yang sesat. 

Menyebabkan pemuda ini semakin 

menjadi, dan sekarang ia berhadapan 

dengan Dewi Sritanjung, sikapnya 

memandang enteng.

Sikap ini memancing kemarahan 

Dewi Sritanjung. Bentaknya, “Aku akan 

mengusir engkau seperti anjing, dengan 

pedangku ini!”

Sring...!


Rudra Sangkala berjingkrak kaget, 

melihat sebatang pedang yang 

menyinarkan cahaya biru.

“Pedang bagus, heh heh heh heh!” 

ujarnya.

Sebagai pemuda yang sudah cukup 

pengalaman, ia segera dapat menerka 

secara tepat pedang si gadis ini bukan 

pedang sembarangan, tetapi malah 

pedang pusaka. Namun demikian ia tidak 

menjadi gentar, malah gembira dan 

kemudian timbullah niatnya untuk 

menaklukkan gadis cantik ini dengan 

jalan apapun. Apabila maksudnya ini 

terkabul, sekali tepuk akan mendapat 

dua sasaran yang berharga. Pertama ia 

akan mempunyai pedang pusaka yang 

menyinarkan cahaya biru dan yang kedua 

ia akan dapat mempunyai gadis ayu ini.

Dewi Sritanjung mengerutkan alis-

nya yang lentik. Sebentar ia meragu. 

Haruskah ia berselisih dan berkelahi 

dengan pemuda ini? Padahal sesuai 

dengan pesan kakeknya, ia harus 

berusaha menghindari perselisihan 

dengan siapapun. Sebab walaupun memi-

liki sejuta orang sahabat, hidupnya 

tidak juga dapat tentram apabila masih 

mempunyai seorang musuh saja. Dan jika 

ia ingat pesan Kiageng Tunjung Biru 

ini, ia memang tidak ingin berkelahi. 

Tetapi celakanya, pemuda ini sengaja 

mengganggu dirinya dan malah mere-

mehkan. Tidak, bantah hatinya. Apapun


yang terjadi, pemuda yang kurang ajar 

ini harus engkau lawan dan engkau 

hajar biar menjadi jera.

“Hemm,” Dewi Sritanjung mendengus 

dingin. “Apakah engkau membandel dan 

tidak lekas enyah dari tempat ini? 

Engkau janganlah menunggu aku marah!”

Akan tetapi walaupun gadis ini 

sudah memperingatkan, Rudra Sangkala 

malah semakin bersikap meremehkan. 

Matanya bersinar-sinar aneh dan bibir-

nya membentuk senyum mengejek.

“Heh heh heh heh, aku ingin 

melihat apakah engkau dapat mengusir 

aku? Hemm, Adik Manis, apakah aku 

kurang gagah dan kurang tampan? Huh, 

adakah laki-laki segagah dan setampan 

aku ini? Hem, daripada kita ini 

berselisih, toh lebih menyenangkan 

apabila kita rukun menjadi kekasih.”

Meledak kemarahan gadis ini, 

mendengar ucapan pemuda itu. 

Bentaknya, “Awas pedang...!”

Siut... wut.... Auww...!

Rudra Sangkala memekik tertahan 

saking kagetnya. Mimpi pun tidak, 

gadis cantik ini dapat bergerak 

secepat itu. Begitu membentak, pedang 

yang bersinar biru itu sudah menyambar 

dahsyat sekali. Maka sedikit lambat 

bergerak, dirinya tentu sudah ber-

lubang tubuhnya. Karena itu ia menjadi 

cepat sadar, sekalipun tampaknya lemah 

lembut, gadis ini bukan sembarangan.


Namun demikian ia juga bukan 

pemuda lemah. Ia merasa sebagai murid 

tunggal wanita sakti Murti Sari. Maka 

sungguh memalukan sekali apabila 

berhadapan dengan perempuan saja 

dirinya harus menyerah kalah.

Sring...! Sungguh cepat gerakan 

tangan Rudra Sangkala. Tahu-tahu 

sebatang pedang telah di tangan kanan. 

Seleret sinar kuning menyambar ketika 

pedang itu tercabut dari sarungnya, 

dan inilah pedang pusaka yang bernama 

Wesi Kuning, pedang pusaka pemberian 

gurunya.

Trang trang....

Benturan pedang terdengar amat 

nyaring. Dua-duanya kaget dan melompat 

mundur, karena benturan tadi memang 

hebat. Lengan masing-masing tergetar, 

dan seperti mendapat aba-aba, masing-

masing melihat pedangnya. Namun 

ternyata pedang itu tidak apa-apa, 

sekalipun berbenturan keras.

Dewi Sritanjung heran dalam hati. 

Mengapa pedang lawan tidak patah 

berbenturan dengan pedangnya? Kalau 

demikian jelas sekali pedang bersinar 

kuning itu pedang pusaka pula. 

Menyadari pedang lawan merupakan 

pedang pusaka, gadis ini amat hati-

hati.

Seleret sinar panjang yang 

warnanya biru membentuk lingkaran 

membungkus dirinya dengan kecepatan


yang sulit dilukiskan. Sinar yang 

membentuk lingkaran besar dan kecil 

ini, kadang menggetar dan menyambar ke 

arah lawan secara dahsyat, tetapi 

celakanya pedang ini tidak kuasa 

menembus benteng pedang lawan.

Sebagai murid Murti Sari, pemuda 

ini sudah termasuk ahli ilmu pedang 

jempolan. Gerakannya demikian aneh, 

kadang menggetar, hingga pedang yang 

hanya sebatang itu dapat berubah 

seperti belasan banyaknya. Namun 

kadang juga membentuk lingkaran yang 

tidak pernah putus.

Oleh kecepatan gerak dua orang 

muda ini menggunakan pedang, lenyaplah 

bentuk pedang itu dan yang tampak 

hanyalah sinar kuning dan biru saling 

libat. Seakan dua ekor ular yang 

sedang berkelahi dan saling libat.

Trang trang.... siutt.... 

wutt....

Benturan pedang yang nyaring 

terdengar lagi. Kemudian disusul oleh 

sambaran pedang yang lebih dahsyat.

Apabila dua orang yang memiliki 

ilmu pedang bertemu dan masing-masing 

menggunakan pedang pusaka, tentu 

terjadi perkelahian yang seru dan 

berbahaya. Maka dalam waktu singkat, 

keadaan di tepi sungai itu menjadi 

bosah-basih (morat-marit) tidak 

karuan. Semak belukar yang tinggi dan 

subur itu, seakan diserbu oleh puluhan


penyabit rumput. Dan pohon-pohon 

sekitarnya, seperti diserbu oleh para 

tukang kayu. Pohon-pohon yang kecil 

segera tumbang oleh tajamnya pedang. 

Sedang ranting dan dahan pohon yang 

tidak begitu tinggi, juga menjadi 

berantakan.

Makin lama perkelahian ini 

bertambah sengit. Mereka adalah dua 

orang muda yang masih berdarah panas 

dan masih bertenaga penuh. Maka 

semakin lama berkelahi, dua batang 

pedang pusaka itu sambarannya menjadi 

semakin cepat dan berbahaya.

Rudra Sangkala yang pada mulanya 

meremehkan gadis ini sekarang matanya 

baru terbuka. Gadis yang tampaknya 

lemah lembut ini memang tak dapat 

dianggap remeh. Ia juga melihat jelas 

gerakan gadis ini masih agak kaku, 

membuktikan gadis ini belum memiliki 

pengalaman cukup luas dalam dunia 

perkelahian. Akan tetapi kekurangannya 

itu bisa ditutup oleh kecepatan gadis 

ini bergerak. Dan bukan hanya itu, 

tangan kirinya yang membantu, setiap 

memukul segera menyambar angin pukulan 

dahsyat Diam-diam ia heran dan 

bertanya dalam hati, siapakah guru 

gadis ini?

Terbayang kemudian dalam benak-

nya, betapa hebat apabila dirinya dan 

gadis itu dapat menjadi kekasih. Tentu 

akan menggemparkan jagad ini, dengan


munculnya sepasang jago pedang. Akan 

tetapi celakanya gadis ini sulit 

dibujuk dengan ucapan, dan sulit pula 

ditundukkan dengan kekerasan. Hal ini 

menyebabkan Rudra Sangkala penasaran. 

Kalau pada mulanya ia masih berharap 

dapat menundukkan gadis ini, makin 

lama berkelahi menjadi semakin tipis 

harapannya. Dalam keadaan seperti ini 

lalu timbul kekhawatirannya, kalau 

dirinya sampai kalah. Karena timbul 

kekhawatirannya ini, akibatnya 

membangkitkan watak asli Rudra 

Sangkala. Watak yang sesat!

“Hiaaaattt...!”

Rudra Sangkala kaget sekali dan 

cepat membuang diri ke belakang, 

berjungkir balik dalam usaha menye-

lamatkan diri.

Sambaran pedang yang bersinar 

biru itu memang tidak terduga-duga. 

Sedikit saja lambat, dirinya tentu 

akan roboh.

Tetapi justru oleh serangan ini, 

Rudra Sangkala semakin penasaran. 

Kalau tidak dapat menundukkan gadis 

ini masih dalam keadaan hidup, 

pendeknya ia harus menang. Meskipun 

demikian ia masih berteriak sambil 

melawan.

“Adik ayu, apakah engkau masih 

membandel juga?”

“Mampuslah!” jawaban Dewi Sritan-

jung disusul oleh sambaran pedangnya


yang dahsyat, dibantu oleh pukulan 

tangan kiri yang melancarkan pukulan 

dari ilmu tangan kosong, Sindung 

Riwut.

Semua ini menyebabkan Rudra 

Sangkala tambah marah. Hampir saja ia 

mengambil pisau kecil untuk menyerang 

gadis bandel ini. Tetapi niatnya ini 

segera urung, dan ia berpendapat lebih 

baik menundukkan dengan racun wangi. 

Bukankah dengan racun ini, ia dapat 

membuat gadis ayu ini terpengaruh dan 

kemudian pingsan?

Dalam keadaan gadis ini pingsan, 

dirinya akan dapat menawan. Dan kalau 

sudah dapat menawan, ia akan dapat 

merayu dan membujuk. Namun sebaliknya 

apabila gadis ini tetap membandel, ia 

akan menggunakan kekerasan. Pendeknya 

sudah timbul keputusan dalam hatinya, 

apabila tidak dapat mendapatkan kasih 

cinta, ia harus dapat memiliki 

tubuhnya.

Memperoleh keputusan demikian, 

tiba-tiba saja Rudra Sangkala ter-

kekeh. Pedangnya yang bersinar kuning 

itu segera menyambar lagi dengan 

dahsyat

Trang trang.... siut.... sring 

trang....

Beberapa kali terjadi benturan 

pedang yang keras dan nyaring. Pada 

saat pedang berbenturan ini, Rudra 

Sangkala sudah menyebarkan racun wangi


yang jahat itu.

Dasar Dewi Sritanjung belum 

berpengalaman menghadapi lawan yang 

biasa berbuat curang, maka ia hanya 

keheranan, ketika tiba-tiba hidungnya 

menghirup bau yang semerbak wangi. 

Karena polos dan tidak curiga, maka 

gadis ini menduga tentu tak jauh dari 

tempat ini terdapat rumpun pohon bunga 

yang menyebarkan bau harum itu. Maka 

gadis ini tidak curiga sedikit pun, 

bahwa bau wangi ini adalah hasil 

perbuatan dari lawan.

Dewi Sritanjung baru menjadi 

kaget setelah tiba-tiba kepalanya 

pening dan matanya kabur. Merasakan 

keadaan ini ia baru menyadari lawan 

sudah menggunakan racun. Saking 

marahnya, ia membentak nyaring sambil 

menyerang dahsyat sambil mencaci.

“Jahanam busuk! Engkau curang 

menyebar racun!”

Rudra Sangkala tidak melayani 

serangan lawan dan hanya berlompatan 

jauh menghindar sambil terkekeh 

mengejek, “Heh heh heh heh, engkau 

takkan dapat menang melawan aku!”

Gadis ini menjadi amat khawatir 

setelah kepala pening dan pandang 

matanya kabur. Sadarlah gadis ini, 

racun sudah terlanjur masuk ke paru-

paru.

Sayang sekali Dewi Sritanjung 

sadar sudah terlambat. Kesadarannya


yang terlambat ini tidak dapat 

menolong dirinya, karena racun wangi 

dapat bekerja cepat sekali. Maka 

kemudian terdengar keluhan Dewi Sri-

tanjung, disusul tubuhnya yang 

terhuyung-huyung lalu roboh.

Untung sebelum roboh Rudra 

Sangkala sudah melompat dan menyambar. 

Dan gadis ini sekarang sudah dalam 

pondongan pemuda itu.

Rudra Sangkala menyeringai se-

perti iblis kelaparan. Kemudian ia 

tertawa terkekeh, membuktikan sekarang 

ini ia gembira sekali, pada akhirnya 

dapat merobohkan gadis ayu ini. Dan 

saking tak kuasa menahan hasrat ia 

lalu menunduk dan mencium bibir mungil 

dan merah itu.

Dengan hati-hati ia menyarungkan 

pedangnya sendiri. Lalu ia memungut 

pedang Dewi Sritanjung yang bersinar 

biru itu. Pedang ini ditimang-timang 

sebentar, diamati agak lama, dan 

setelah puas ia meringis.

“Diajeng, kekasihku yang ayu, 

sekarang engkau harus mengakui 

keunggulanku? Heh heh heh heh. Engkau 

harus menjadi kekasihku, dan engkau 

harus menurut menjadi isteriku.”

Kemudian ia menundukkan kepalanya 

lagi, menggunakan ujung hidungnya 

mencium pipi yang halus dan montok 

itu.

“Pedangmu ini amat bagus. Tetapi



aku tidak ingin merampas, maupun 

memiliki. Bukankah setelah kita men-

jadi kekasih, menjadi suami-isteri, 

aku dan kau sama-sama membutuhkan 

senjata yang ampuh? Engkau dengan 

pedang pusakamu sendiri dan aku dengan 

pedang pusakaku pula, akhirnya akan 

menjagoi seluruh dunia ini. Heh heh 

heh heh, semua orang akan tunduk dan 

kita dapat memerintah mereka sesuka 

hati.”

Rudra Sangkala berhenti dan 

memberikan ciumannya lagi. Sejenak 

kemudian sambungnya, “Sesudah semua 

orang tunduk dan di bawah pengaruh 

kita berdua, huawaduh.... kita akan 

hidup terhormat. Kemudian Diajeng, 

kita kumpulkan semua kekuatan itu, dan 

kita gunakan untuk memukul Kerajaan 

Majapahit. Diajeng, dengan bantuan 

guruku, percayalah akan dapat 

menundukkan semua tokoh Majapahit. 

Huh, Mahapatih Gajah Mada harus 

dicincang, biar tubuhnya hancur 

berkeping-keping. Lalu Mpu Nala yang 

terkenal gagah perkasa itu, kita hukum 

rangket dengan sapu kawat berduri 

sampai mampus. Huh, kemudian 

Adityawarman yang sombong itu, aku 

memang benci sekali. Untuk dia hukuman 

yang aku berikan harus lain. Maka 

semua orang kita perintahkan agar 

menghukum dengan sengatan api rokok. 

Heh heh heh heh, hukuman yang amat


menyenangkan, bukan? Dan Adityawarman 

baru mampus setelah amat menderita 

oleh siksaan itu.”

Membayangkan kemungkinan yang 

bisa dicapai kemudian hari, pemuda ini 

ketawa terkekeh nyaring.

Akan tetapi tiba-tiba timbul rasa 

khawatirnya, kalau gadis ini sampai 

memberontak. Jika sampai terjadi 

demikian, semua harapannya akan sia-

sia, apabila gadis ini nanti sudah 

diberi penawar racun.

Ia memang bisa main paksa dan 

menggunakan kekerasan. Namun dengan 

cara demikian apalah dirinya dapat 

mengharapkan cinta kasih dan kesetiaan 

dari gadis ini?

Ia menunduk lagi dan memandang 

wajah perawan ayu dalam pondongannya 

ini. Wajah ini sungguh-sungguh ayu dan 

mempesona. Dan walaupun dalam keadaan 

pingsan, namun tidak bedanya dengan 

orang sedang tidur. Mulut mungil dan 

bibir yang merah merekah itu 

menyungging senyum seperti menantang. 

Hatinya tidak kuat lalu ia mengecup 

agak lama.

Mengamati wajah ayu ini dan 

memeluk tubuhnya yang hangat, darah 

dalam tubuhnya bergolak dan membe-

rontak. Rasanya tak kuat lagi harus 

menahan diri, dan ingin memperisteri 

perawan ayu ini sekarang juga.

Akan tetapi tiba-tiba terde


ngarlah suara hatinya yang mencegah, 

“Jangan! Engkau jangan melakukannya, 

jika ingin terkabul cita-citamu dapat 

menguasai bumi nusantara ini, dan 

apabila engkau ingin menjadi Raja 

Majapahit. Sebab dengan perbuatanmu, 

perawan ayu ini bukannya mencintai 

engkau, tetapi malah semakin benci 

kepada engkau.”

“Persetan dengan cita-cita. 

Persetan dengan kedudukan sebagai Raja 

Majapahit,” bantah keinginannya. “Aku 

tak kuat lagi menahan hasrat. Gadis 

ini demikian cantik dan menggairahkan, 

menyebabkan aku tergila-gila. Makin 

cepat aku memperisteri gadis ini, 

berarti akan mengurangi rasa 

gandrungku.”

“Bodoh kau! Lupakah engkau bahwa 

di dunia yang luas ini tidak terhitung 

jumlah wanita cantik jelita? Setelah 

engkau berhasil menjadi Raja 

Majapahit, apa yang engkau kehendaki 

takkan seorang pun berani melawan dan 

membantah. Dengan kekuasaanmu engkau 

dapat memerintahkan punggawa untuk 

menangkap dan merampas perawan ayu 

maupun isteri orang, jika engkau 

memang membutuhkan. Pendeknya engkau 

akan dapat mengumpulkan perempuan 

berapa saja yang kau suka.”

“Tetapi, aku tidak dapat menahan 

keinginan.”

“Huh, engkau memang bandel. Yang



engkau pikirkan hanyalah mencari 

pemuas nafsu melulu, tanpa memikirkan 

cita-cita. Pendeknya engkau harus 

tunduk kepadaku. Sekarang juga kita 

bawa pergi gadis ini menemui ibu. 

Dengan bantuan ibu, percayalah gadis 

ini pada akhirnya akan bisa kau 

tundukkan. Apakah engkau tidak senang 

apabila kemudian gadis cantik ini 

menjadi isterimu yang setia dan 

penurut?”

Akhirnya sang keinginan itu sadar 

dan tunduk. Mulut Rudra Sangkala ter-

kekeh nyaring, dan wajahnya berseri.

“Bagus, heh heh heh heh. Aku 

harus membawa pulang perawan ayu ini 

secepatnya. Aku harus minta per-

tolongan Ibu, agar gadis ini menjadi 

tunduk dan menjadi kekasihku.”

Ia menunduk sambil memandang 

wajah ayu itu, dan sejenak 

melanjutkan, “Diajeng, walaupun engkau 

menolak toh akhirnya engkau akan 

tunduk juga kepadaku. Guruku wanita 

sakti disamping cerdik. Jika lewat 

bujukan halus engkau tidak juga 

tunduk, guruku akan menggunakan ramuan 

racun untuk menundukkan engkau. Heh 

heh heh heh, marilah kita sekarang 

pulang Manis, tetapi ehh, berikan dulu 

upah memondong dengan bibirmu yang 

bagai madu itu.”

Ia menunduk. Sekali lagi ia 

mengecup bibir yang mungil dan merah


itu. Dan sejenak kemudian ia sudah 

berlompatan meninggalkan tempat yang 

sudah bosah-basih itu.

Cepat sekali gerakan dan lari 

pemuda ini. Hanya dalam waktu singkat 

ia sudah menghilang dalam rimbunan 

daun hutan.

Dada yang terpenuhi oleh rasa 

gembira yang meluap ini, menyebabkan 

gerakannya makin lama semakin menjadi 

cepat. Beban tubuh Dewi Sritanjung 

dalam pondongannya itu, seakan tidak 

mempengaruhi gerakannya. Dan seakan 

gadis cantik berumur delapan belas 

tahun ini hanyalah boneka yang amat 

ringan.

***

3

Rudra Sangkala berlarian cepat 

menuju ke selatan. Ia memilih jalan 

yang jauh dari pedesaan dan jalan 

umum. Dan ia memilih menerobos hutan 

belantara dan perbukitan. Sebab 

apabila bertemu dengan orang, tidak 

urung orang akan curiga dan salah-

salah perjalanannya terganggu. Maka 

walaupun sedikit jauh dan memutar, 

jalan yang ia tempuh sekarang ini akan 

aman dan ia akan dapat mencapai Lodaya 

tanpa gangguan.

Akan tetapi ketika pemuda ini


sudah berada di tepi hutan yang tidak 

jauh lagi dengan Desa Pringsewu, 

pemuda ini menjadi kaget disamping 

keheranan. Ia menghentikan larinya dan 

mendadak sepasang matanya terbelalak.

Apa yang sudah terjadi?

Tiba-tiba saja gadis ayu dalam 

pondongannya itu sudah lenyap seperti 

dapat menghilang. Walaupun ia tidak 

merasakan perawan ayu itu jatuh dan 

lepas dari tangannya, namun ia 

celingukan juga mencari ke sekitarnya. 

Namun sungguh celaka, yang dicari 

tetap tidak ada.

“Adakah setan yang sudah berani 

mengganggu diriku?” desisnya, bertanya 

kepada diri sendiri.

Namun pertanyaan itu kemudian ia 

sendiri yang menjawab, “Tidak mungkin! 

Untuk apa setan merebut calon 

isteriku?”

Pemuda ini kemudian menghela 

napas panjang. Hatinya menjadi bingung 

dan serba salah. Apabila bukan setan, 

lalu siapakah yang dapat merebut gadis 

ayu itu dari pondongannya, dan dalam 

keadaan dirinya lari cepat? Telinganya 

sudah amat terlatih dan peka. Setiap 

gerakan orang yang halus sekalipun ia 

akan dapat mendengar, padahal ia tadi 

tidak mendengar suara apa-apa.

Di samping itu ia juga sudah 

celingukan ke sekeliling, tetapi ia 

tidak melihat seorang pun.


Pemuda ini mengerutkan alis dan 

kemudian berpikir, mengingat-ingat, 

apakah yang terjadi sebelum Dewi 

Sritanjung lenyap dari pondongannya.

Sesudah menenangkan hati dan 

mengingat-ingat, kemudian pemuda ini 

ingat kembali apa yang terjadi. Tadi, 

ia merasakan sambaran angin yang amat 

halus. Dan berbareng dengan menyambar-

nya angin yang halus itu, lenyaplah 

Dewi Sritanjung dari pondongannya. 

Jika demikian halnya tentu gadis ayu 

itu sudah direbut orang. Tetapi yang 

menjadi pertanyaan, bagaimanakah orang 

itu bisa merebut dari tangannya? Dan 

sekarang orang itu bersembunyi di 

mana?

Untung juga ia seorang pemuda 

cerdik. Ia dapat menduga, seseorang 

yang sudah merebut gadis itu tentu 

bersembunyi di pohon. Karena itu tiba-

tiba ia menengadahkan kepalanya.

“Ahhhh....!” Tidak tercegah lagi 

dari mulut pemuda ini terdengar seruan 

kaget

Apakah yang ia lihat?

Ternyata perawan ayu yang 

digandrungi dan tadi ia pondong itu, 

sekarang sudah tergantung di bawah 

dahan pohon yang cukup tinggi. Kepala 

gadis itu di bawah dan kaki di atas. 

Aneh sekali! Ia hampir tidak percaya 

kepada pandang matanya sendiri. 

Mungkinkah bisa terjadi?


Kalau secara aneh gadis yang tadi

ia pondong itu dalam waktu singkat 

sudah tergantung seperti itu, jelas 

memang ada setan yang sudah mengganggu 

dirinya. Jika dirinya berhadapan 

dengan manusia yang berani mengganggu, 

tentu ia akan sanggup melawan dan 

berkelahi. Tetapi apabila setan yang 

bisa menghilang, diam-diam tengkuknya 

merinding. Mungkinkah dirinya dapat 

melawan makhluk halus yang tidak kasat 

mata (dapat dipandang)?

Betapapun rasa sayang memenuhi 

dada, dan betapa kecewa kehilangan 

perawan ayu ini, ia terpaksa harus 

pergi sambil gigit jari. Maka kemudian 

ia sudah melompat dan lari ketakutan.

“Heh heh heh heh... lucu!”

Rudra Sangkala kaget mendengar 

suara tertawa terkekeh yang nadanya 

menghina dirinya itu. Kemudian ia 

membalikkan tubuh, tetapi celakanya ia 

tidak melihat seorang pun. Padahal ia 

tadi tidak salah dengar dan jelas ia 

mendengar suara orang ketawa terkekeh.

Apakah bukan manusia? Apakah 

suara setan? Rudra Sangkala bukan 

pemuda penakut. Karena itu ia 

menebarkan pandang matanya dan menye-

lidik. Pada saat ia sedang mencari-

cari itu, mendadak ia mendengar suara 

air gemericik dari atas pohon. Dan 

ketika ia melihat ke arah turunnya 

air, ia mengerutkan alis. Dari manakah


air terjun yang kecil itu? Dan kalau 

terjadi hujan mengapakah di tempat itu 

melulu yang jatuh hujan?

Tetapi sejenak kemudian pemuda 

ini berjingkrak. Kemarahannya meledak. 

Sekarang ia baru sadar bahwa air 

terjun itu berasal dari seorang kakek 

gendut berjubah putih yang jongkok di 

atas dahan pohon, tidak jauh dari 

tempat gadis itu tergantung secara 

terbalik itu.

Sekarang Rudra Sangkala bisa 

menduga, kiranya kakek gendut berjubah 

putih itulah yang sudah mengganggu 

dirinya. Kakek itu telah merebut calon 

korbannya. Dan tentu pula kakek gendut 

itu kebetulan harus membuang air kecil 

karena tidak sempat turun dari pohon.

“Jahanam keparat! Setan alas 

bangkotan. Hayo, cepatlah turun jika 

engkau memang tidak ingin aku sambit 

dari bawah. Hayo cepat, lepaskan 

gadisku.”

Sambil mencaci-maki dan mengancam 

ini, Rudra Sangkala sudah memper-

siapkan pisau kecil sebagai senjata 

rahasia, berjumlah enam buah. Ia sudah 

memutuskan apabila kakek gendut 

berjubah putih itu tidak tunduk 

perintahnya, ia akan segera menyerang 

dengan pisau yang sudah ia persiapkan.

Akan tetapi celakanya kakek 

gundul berjubah putih itu tidak takut. 

Kakek itu masih tetap nongkrong di


dahan sambil ketawa terkekeh-kekeh.

“Heh heh heh heh, siapakah yang 

mau percaya, gadis ini milikmu? 

Buktinya engkau sudah menggunakan 

racun untuk merobohkannya. Heh heh heh 

heh, itulah sebabnya sekarang gadis 

ini aku gantung secara terbalik, kaki

di atas dan kepala di bawah. Dengan 

cara ini, aku harapkan racunmu akan 

dapat terusir dari tubuhnya.”

Betapa kaget pemuda ini sulit 

terlukiskan. Jika kakek gendut itu 

secara tepat sudah dapat mengetahui 

rahasianya, jelas sekali kakek gendut 

ini bukanlah tokoh sembarangan.

Namun demikian diam-diam ia 

menjadi geli. Manakah mungkin racun 

yang menyebabkan Dewi Sritanjung 

pingsan itu dapat dipunahkan hanya 

dengan digantung seperti itu? Gurunya 

seorang sakti dan ahli racun. Racun 

wangi itu takkan dapat diusir tanpa 

obat pemunah dan yang hanya dirinya 

sendiri yang memiliki, di samping juga 

gurunya.

Rudra Sangkala terkekeh mengejek, 

“Heh heh heh heh, kakek tua bangka 

yang tidak tahu malu. Huh, kakek yang 

masih suka daun muda!”

“Hai, apa katamu?!” bentak kakek 

itu sambil mendelik, tetapi masih 

tetap nongkrong di dahan pohon.

“Engkau sudah kakek-kakek 

termakan usia, namun engkau masih juga


berbuat curang, merebut gadis calon 

isteriku. Apakah ini tidak berarti 

engkau seorang kakek yang masih suka 

makan daun muda?” ejek Rudra Sangkala 

yang merasa geli. “Dan sangkamu, hanya 

dengan engkau gantung seperti itu, 

racun yang sudah masuk dalam tubuhnya 

menjadi punah?”

“Uah ha ha hah, seorang maling 

tanpa melalui pemeriksaan berbelit-

belit, sekarang sudah mengaku sendiri. 

Nah, bukankah dugaanku benar belaka, 

gadis ini pingsan oleh racunmu? 

Nyatalah kau seorang pemuda curang, 

pemuda licik. Huh, sungguh memalukan 

karena di samping engkau curang dan 

licik, engkau pun seorang muda yang 

sombong. Huh, untuk mengajar sopan 

bagi kau, sekarang aku ingin bertanya, 

apakah yang aku pegang ini bukan obat 

pemunah racunmu itu?”

Sambil tetap nongkrong di atas 

dahan, kakek gendut ini lalu 

memamerkan kantung kecil terbuat dari 

kain hijau.

Rudra Sangkala berjingkrak kaget. 

Karena pemuda ini segera dapat 

mengenal kantung kain hijau miliknya 

itu, dan merupakan tempat menyimpan 

obat pemunah racun wangi. Tetapi 

apakah sebabnya secara ajaib kantung 

itu sudah di tangan si kakek? Ahh, 

sekarang Rudra Sangkala baru sadar, 

bukan saja kakek itu sudah merebut


Dewi Sritanjung, tetapi juga secara 

pandai sekali sudah mencuri pula obat 

pemunah racun.

Dari kaget pemuda ini menjadi 

amat marah. Tiba-tiba ia sudah 

menggeram keras dan tangannya bergerak 

menyambut. Enam batang pisau kecil 

yang tadi sudah ia persiapkan itu 

menyambar seperti tatit. Lima batang 

pisau langsung menyerang kakek gendut 

sedang yang sebatang mengarah ke tali 

yang menggantung Dewi Sritanjung.

Gerakan Rudra Sangkala ini di 

samping cepat juga mengagumkan. Desir 

angin yang kuat mendahului datangnya 

pisau dan sudah tentu sungguh 

berbahaya bagi kedudukan si kakek 

gendut yang nongkrong di atas dahan 

pohon itu.

“Haitt.... uahh.... hayaaaa...!” 

seru kakek gendut itu seperti gugup.

Rudra Sangkala tersenyum menge-

jek. Ia sudah memastikan, sambaran 

lima batang pisaunya akan menancap 

tepat pada tubuh kakek gendut itu, 

sedang yang sebatang tentu akan dapat 

memutuskan tali yang menggantung Dewi 

Sritanjung.

Dan tali itu memang putus oleh 

sambaran pisau. Namun Rudra Sangkala 

menjadi kaget merasa kecewa dan hampir 

tidak percaya kepada pandang matanya 

sendiri.

Kakek gendut itu yang semula ia


duga akan terpanggang oleh pisaunya, 

ternyata belum mati. Entah bagaimana 

cara kakek ini menyelamatkan diri. 

Yang jelas semua pisau sudah menancap 

pada dahan dan batang pohon. Sedang 

kakek itu sendiri kemudian dengan 

gerakan yang mengagumkan, sudah mela-

yang turun sambil mengepit tubuh Dewi 

Sritanjung yang masih pingsan.

Namun demikian rasa kagetnya 

hanya sebentar saja menghuni dalam 

dadanya. Tangannya kembali bergerak 

dan tujuh sinar berkeredap telah 

menyambar ke arah si kakek yang sedang 

meluncur turun.

“Hayaaaa...!”

Kakek itu mengebutkan lengan 

jubahnya dan tujuh batang pisau 

terbang itu secara ajaib sudah ter-

tangkap oleh lengan jubah. Dan ketika 

tangan kakek itu bergerak, wutt.... 

tujuh batang pisau itu menyambar ke 

bawah.

Saking kaget dan tidak pernah 

menduga, Rudra Sangkala seperti 

terpaku di tanah. Tetapi justru per-

buatannya yang tidak sengaja ini malah 

menyelamatkan dirinya dari maut Sebab 

pisau itu telah menancap di sekitar 

kakinya, dan yang tampak tinggal 

hulunya saja.

Kakek gendut berjubah putih dan 

gundul ini tidak lain tokoh yang kita 

kenal. Seorang tokoh sakti berhati


emas, yang selalu ringan tangan 

menolong orang, tanpa mengharapkan 

pamrih untuk pribadi.

Kakek itu sekarang sudah berdiri 

di tanah dan Dewi Sritanjung dikepit 

pada ketiak kiri. Ia menatap Rudra 

Sangkala dengan sepasang mata 

bersinar-sinar, lalu menegur, “Hai 

bocah! Mengapa sebabnya engkau 

demikian kejam? Aku toh sudah tua, 

tanpa engkau bunuh pun, tidak lama 

lagi aku akan mati dengan sendirinya, 

sesuai dengan takdir Dewata. Tetapi 

apakah sebabnya engkau seperti tidak 

sabar menunggu saat Dewata memanggil 

aku pula?”

“Tetapi engkau sendiri yang cari 

perkara. Jika Kakek tidak mengganggu 

aku, tentu saja aku takkan mengganggu 

kau.”

“Orang muda, hati-hati sedikit 

kau bicara. Siapakah yang sudah 

mengganggu?”

Rudra Sangkala mendelik saking 

penasaran. Sudah jelas kakek ini 

mengganggu dirinya, mengapa masih juga 

bertanya dan tidak mau mengaku? Karena 

itu bentaknya lantang, “Kakek tua 

bangka! Huh, engkau jangan menggunakan 

kepandaianmu bersilat lidah. Sudah 

jelas engkau yang mengganggu diriku, 

mengapa engkau masih juga menyangkal?”

“Heh heh heh heh,” kakek itu 

terkekeh geli. “Engkau sudah memutar


balikkan kenyataan, bocah! Engkau 

sendiri yang lancang tangan, engkau 

malah menuduh orang lain telah 

mengganggumu. Kalau saja engkau tidak 

main curang merobohkan gadis ini 

dengan racun, siapakah yang sudi 

mencampuri urusanmu?”

“Akan tetapi gadis itu tidak 

mempunyai hubungan apa pun dengan 

kau!”

“Siapa bilang? Hayo, siapa yang 

bilang tidak mempunyai hubungan? Bocah 

ini masih saudaraku.”

“Apa? Saudaramu? Apakah engkau 

tahu nama gadis ini?”

“Hemm, aku tak tahu namanya. 

Tetapi jelas gadis ini saudaraku, maka 

menjadi kewajibanku untuk menyelamat-

kan dari tanganmu yang jahat. Tetapi 

sebaliknya engkau pun masih mempunyai 

hubungan saudara pula. Apakah engkau 

tidak tahu?”

“Kakek tua bangka yang tidak tahu 

malu, engkau jangan mengacau. Siapakah 

yang sudi mempunyai saudara macam 

engkau?”

“Heh heh heh heh, jika engkau 

tidak sudi tidaklah apa. Tetapi yang 

jelas semua manusia yang hidup di atas 

bumi ini mempunyai hubungan saudara. 

Sebab manusia pertama yang diciptakan 

oleh Dewata Agung itu hanya dua orang 

saja. Yang seorang laki-laki bernama 

Adam dan yang seorang perempuan dengan


nama Hawa.”

Dada Rudra Sangkala seperti mau 

meledak saking marahnya. Kiranya 

dirinya sekarang ini berhadapan dengan 

seorang kakek sinting. Kalau tidak 

sinting mana mungkin bicara seperti 

ini? Saking tak kuat lagi menahan 

marahnya, pemuda ini sudah membentak 

lantang.

“Kakek tua bangka! Engkau jangan 

memancing kemarahanku. Hayo, cepat 

kembalikan obat pemunah racun milikku 

dan juga gadis itu.”

“Heh heh heh heh, orang muda, 

ketahuilah bahwa diriku bukan orang 

serakah. Aku hanya memerlukan sebutir 

obat pemunah racun ini. Nah, yang lain 

aku kembalikan. Nih!”

Benar juga! Kakek gendut ini 

hanya mengambil sebutir obat saja. 

Obat yang sebutir itu langsung ia 

masukkan ke mulut Dewi Sritanjung. 

Sedangkan kantung hijau yang penuh 

obat pemunah racun itu segera 

dilemparkan kepada Rudra Sangkala.

Dengan gagah Rudra Sangkala 

segera menyambar kantung yang dilem-

parkan itu. Akan tetapi betapa kaget 

pemuda ini ketika lemparan yang 

nampaknya perlahan itu, mengandung 

tenaga dahsyat yang tidak nampak. 

Kendati Rudra Sangkala itu sudah 

mengerahkan kekuatannya, tidak urung 

masih terhuyung beberapa langkah ke


belakang.

Setelah menyimpan kembali kantung 

obat pemunah racun itu, sambil men-

delik Rudra Sangkala sudah membentak, 

“Kakek busuk! Apakah engkau sengaja 

menghina orang muda?”

“Hemm, bocah! Siapa yang 

menghina? Aku tidak menghina siapa 

pun, baik yang tua, maupun yang muda. 

Baik yang gemuk maupun yang kurus, dan 

baik yang belum ubanan maupun yang 

sudah ubanan. Juga baik kepada orang 

waras maupun kepada orang gendeng.”

Sring....

Tahu-tahu seleret sinar kuning 

kemilauan sudah siap pada tangan 

kanan. “Kakek busuk! Jika kau tetap 

membandel, aku Rudra Sangkala, murid 

tunggal Ibu Murti Sari, akan membunuh 

kau dengan pedang ini.”

Sebenarnya memang ada maksud 

tertentu dari Rudra Sangkala, menyebut 

nama gurunya ini. Maksudnya agar kakek 

ini menjadi kaget dan mau mengalah.

Akan tetapi celakanya, Mpu Anusa 

Dwipa tidak takut. Kakek ini malah 

tersenyum, lalu jawabnya, “Tanpa 

engkau beritahu pun, sesungguhnya aku 

sudah tahu jika engkau murid Murti 

Sari, perempuan yang galak itu. Huh, 

ketahuilah bocah, di dunia ini hanya 

seorang saja yang menggunakan racun 

wangi sebagai senjata, ialah gurumu. 

Sudahlah bocah, sebaiknya engkau


mengalah saja padaku. Relakanlah gadis 

ini untuk aku. Bocah, aku sudah tua 

tentu saja sulit bagi diriku untuk 

memperoleh gadis yang lebih muda dan 

secantik ini. Berbeda dengan engkau 

toh masih muda. Tanpa memaksa pun 

tentu banyak gadis yang suka kepada 

engkau.”

Rudra Sangkala mendelik mendengar 

jawaban Mpu Anusa Dwipa ini dan 

matanya seperti menyinarkan api. 

Ternyata dugaannya benar belaka, kakek 

gendut ini memang ‘bandot tua’ yang 

masih suka daun muda. Karena sudah tua 

dan tidak ada lagi gadis yang mau 

mendekati, lalu menggunakan kesempatan 

merebut dari tangan orang lain. 

Sungguh tidak tahu malu, bandot tua 

seperti ini harus ia bunuh.

“Huh, bandot tua kurang ajar! 

Engkau tidak bisa mencari gadis, 

tahumu hanya merebut milik orang. 

Sekarang harus mampus dalam tanganku.”

Sambil membentak ia sudah 

menerjang maju, memilih jurus ilmu 

pedangnya yang paling hebat dan berba-

haya. Ia sadar sekarang ini berhadapan 

dengan kakek sakti mandraguna. 

Dugaannya ini ia mendasarkan teba-

kannya yang tepat tentang gurunya 

Murti Sari.

Sadar menghadapi kakek sakti ia 

tidak berani sembrono. Karena itu 

dalam serangannya ini ia tidak


tanggung-tanggung lagi. Di samping 

menggunakan pedang pusaka, tangan 

kirinya sudah membantu dengan menye-

barkan racun wangi untuk mengalahkan 

lawan.

Siut wut.... tik tik....

“Hayaaaaa...!”

Gerakan Rudra Sangkala memang 

cepat sekali. Tetapi gerakan Mpu Anusa 

Dwipa lebih cepat lagi dalam menghin-

darkan diri. Hingga semua serangan 

Rudra Sangkala luput.

Tiba-tiba kakek gendut ini 

menggerakkan cuping hidungnya dan mem-

bentak, “Kurang ajar! Kau menggunakan 

racun wangi untuk mengalahkan aku? 

Huh, kalau saja bukan murid Murti 

Sari, engkau tentu sudah aku pukul 

mampus!”

Sambil bicara Mpu Anusa Dwipa 

sudah menggerakkan lengan jubah yang 

panjang itu. Lengan jubah yang terbuat 

dari kain itu sekarang berubah seperti 

hidup. Seakan sudah berubah menjadi 

seekor ular yang sedang marah. Dan 

sambaran lengan jubah ini menerbitkan 

angin kuat sekali.

Mendadak saja Rudra Sangkala 

kaget sekali. Ia sudah menggunakan 

kecepatannya bergerak dan mengerahkan 

seluruh tenaganya. Tetapi sungguh 

celaka sekali, di luar kemauannya 

lengan yang memegang pedang itu 

seperti tidak berdaya, dan secara



mendadak pula tubuhnya sudah ikut 

berputar mengikuti gerak arah putaran 

angin yang menyambar dari lengan 

jubah.

Makin ia mengerahkan tenaga untuk 

melawan, putaran itu justru semakin 

bertambah kuat. Kemudian tubuhnya 

berputar seperti gasing, dan sama 

sekali tidak dapat melawan lagi.

Sebagai akibatnya kepala menjadi 

pusing, dada sesak dan pandang mata 

kabur. Ia sadar putaran angin ini amat 

berbahaya, tetapi usahanya melawan 

sia-sia belaka. Apabila keadaan ini 

berlangsung terus, jiwanya tentu 

terancam. Namun untuk berteriak minta 

ampun, ia pun tidak sudi karena malu.

Makin lama Rudra Sangkala semakin 

payah. Ia sudah tidak bisa melawan 

lagi, dan tinggal mengikuti angin 

putaran yang semakin lama bertambah 

dahsyat.

Tiba-tiba saja ia merasakan 

dirinya seperti terbang. Kakinya tidak 

menginjak bumi lagi dan beberapa 

batang pohon berseliweran di bawah 

kakinya. Sebagai seorang pemuda yang 

sudah cukup pengalaman ia sadar 

dirinya sekarang sudah terlempar oleh 

kekuatan maha dahsyat. Maka yang bisa 

dilakukan sekarang tidak lain hanya 

menjaga keseimbangan tubuh agar tidak 

jatuh ke tanah tidak terbanting.

Blung....


“Aduhhh...!” pekik Rudra Sangkala 

yang nyaring, kemudian ia menangis 

kesakitan.

Ternyata walaupun ia sudah 

berusaha menjaga keseimbangan tubuh-

nya, agar tidak sampai terbanting, 

harapannya sia-sia belaka. Ia 

terbanting keras sekali di tanah 

dengan pantat lebih dahulu.

Maka kita tidak aneh apabila 

pemuda ini mengaduh-aduh kesakitan, 

meringis, dan tidak cepat dapat 

berdiri, dan ia terpaksa mengusap-usap 

pantat dan tengah selakangnya.

Rasa nyeri, kiut-miut, cekot-

cekot, panas dan senut-senut campur 

aduk menjadi satu. Karena pada saat 

dirinya terbanting tadi, tengah 

selakangnya terbentur oleh tonggak 

kayu yang menonjol. Maka tidak 

terbayangkan betapa sakit dan derita 

pemuda ini, kecuali bagi orang yang 

sudah pernah mengalami sendiri, tengah 

selakangnya terjepit.

Dan kepala pemuda ini pun terasa 

lebih pening dan pandang matanya 

semakin kabur, sedang jari tangan 

masih tetap sibuk mengelus-elus tengah 

selakangnya. Ketika rasa pening sudah 

banyak berkurang dan rasa cekot-cekot

tengah selakang hampir tak terasa 

lagi, ia memandang ke depan. Tetapi 

kakek gundul berjubah putih itu sudah 

tidak tampak lagi.


“Huh, bangsat tua cabul! Pada 

saatnya nanti aku tentu akan dapat 

membalas kekurang-ajaranmu!” desisnya 

sambil bangkit berdiri.

Setelah memungut pedangnya yang 

tadi terlempar dan disarungkan 

kembali, ia meninggalkan tempat itu 

dengan hati masygul dan kecewa.

Mpu Anusa Dwipa sekarang sudah 

duduk di rerumputan, dan Dewi 

Sritanjung didudukkan di depannya, 

disandarkan pada batang pohon. Kakek 

gendut ini matanya berkedip-kedip 

mengamati wajah ayu Dewi Sritanjung, 

sedang mulutnya beberapa kali 

menyeringai.

Ternyata ia tidak terlalu lama 

menunggu gadis ini, karena sudah mulai 

bergerak dan kemudian membuka matanya. 

Gadis ayu ini kaget lalu melompat 

berdiri, ketika mendapatkan dirinya 

bersandar pada batang pohon, sedang di 

depannya duduk seorang kakek gendut 

pendek yang mulutnya menyeringai dan 

belum pernah ia kenal.

Pada mulanya gadis ini menduga, 

kakek gendut ini bukan manusia. Karena 

dalam keadaan duduk ini kakek itu 

pendek sekali dan hampir bundar bagai 

bola.

“Kakek tua, engkau apakan aku 

ini?” tegurnya penuh curiga, ber-

hadapan dengan kakek belum ia kenal.

“Heh heh heh heh, apakah sebabnya


engkau malah bertanya kepadaku? 

Mestinya engkau tanyakan kepada dirimu 

sendiri, engkau sudah aku apakan?”

Jawaban Mpu Anusa Dwipa ini 

barang tentu menyebabkan Dewi Sri-

tanjung kaget sekali. Gilakah kakek 

ini? Kalau dirinya tahu sebabnya, 

tentu saja tidak bertanya. Tetapi 

mengapa kakek ini malah menganjurkan 

bertanya kepada diri sendiri?

Hampir saja Dewi Sritanjung 

marah. Namun mendadak ia teringat 

kepada apa yang tadi sudah dialami. Ia 

ingat berkelahi melawan seorang 

pemuda. Namun kemudian pandang matanya 

menjadi kabur dan selanjutnya ia tidak 

ingat apa-apa. Tahu-tahu sekarang 

dirinya sudah berada di depan kakek 

ini.

“Kek, terangkanlah. Di manakah 

pemuda kurang ajar yang tadi berkelahi 

dengan aku?”

Mpu Anusa Dwipa tidak cepat 

menjawab dan masih tetap saja duduk 

tidak bergerak. Hanya sepasang matanya 

saja yang membuktikan bahwa masih 

hidup, berkedip-kedip seperti bintang 

di langit.

Karena mengira kakek ini belum 

mendengar, ia mengulangi lagi, “Kek, 

terangkanlah. Di manakah pemuda kurang 

ajar tadi yang telah berkelahi dengan 

aku? Dan mengapa pula sebabnya aku 

sampai di tempat ini?”


Tiba-tiba Mpu Anusa Dwipa 

terkekeh sebelum menjawab. Kemudian, 

“Hemm, engkau tadi roboh di tangan 

pemuda itu, bukan? Kemudian engkau 

ditawan dan akan dibawa pergi. Tetapi 

ketika pemuda itu lewat di sini, dia 

aku hadang. Kemudian engkau kurebut 

dari tangan dia.”

“Ohh....!” Tiba-tiba saja Dewi 

Sritanjung menjatuhkan diri dan 

berlutut, memberi hormat kepada kakek 

gendut yang masih duduk itu. Sebab 

sadarlah ia sekarang, kakek gendut ini 

adalah penolongnya, hingga dirinya 

dapat selamat dari bahaya.

Setelah berlutut, gadis ini 

kemudian berkata, “Kakek, terima kasih 

atas pertolonganmu.”

“Heh heh heh heh, siapakah yang 

menolong engkau? Aku merebut dari 

tangan bocah tadi, karena aku sendiri 

memang butuh engkau.”

Betapa kaget Dewi Sritanjung 

hingga ia sudah melompat berdiri 

dengan tangan kanan sudah siap pada 

hulu pedang pusaka Tunggul Wulung. 

Sepasang mata gadis ini mendelik dan 

kemudian membentak.

“Kau.... kau tua bangka masih 

ingin perempuan muda? Huh, bandot tua! 

Apakah engkau tidak malu kepada 

tubuhmu sendiri yang sudah hampir 

mampus?”

“Heh heh heh heh, apakah


bedanya?” Mpu Anusa Dwipa terkekeh 

tetapi masih tetap duduk. “Aku juga 

laki-laki seperti pemuda tadi, dan 

laki-laki seratus prosen. Sedang tua 

dan muda itu bukankah hanya oleh 

perbedaan umur saja?”

Kakek ini berhenti dan memandang 

Dewi Sritanjung mencari kesan. Setelah 

berkedip-kedip, ia meneruskan, “Hai 

bocah, dengarlah. Bukankah tentang 

manusianya toh sama saja? Di dunia ini 

laki-laki selalu butuh perempuan, dan 

sebaliknya perempuan butuh laki-laki. 

Hayo, katakanlah, apakah engkau tidak 

membutuhkan laki-laki dan selama hidup 

engkau akan hidup sendirian sebagai 

perawan?”

“Jahanam. Setan alas! Kakek tua 

bangka yang cabul!” bentak Dewi 

Sritanjung yang cepat tersinggung dan 

marah mendengar ucapan Mpu Anusa 

Dwipa.

Tetapi sekalipun demikian, dalam 

hati ia juga menyesal, mengapa dirinya 

ini sial bertumpuk-tumpuk? Dan mengapa 

pula dirinya harus berhadapan dengan 

laki-laki berwatak buaya? Yang muda 

apa lagi sedangkan yang tua pun masih 

tidak malu berburu perempuan.

Dan Mpu Anusa Dwipa masih tetap 

saja duduk, menjawab, “Heh heh heh 

heh, engkau boleh memaki apa saja 

kepada diriku, Cah Ayu! Pendeknya aku 

ini seorang laki-laki dan engkau gadis

yang ayu. Hayo, mau apa lagi kalau 

sudah begitu?”

“Setan alas! Babi, celeng, 

anjing, kunyuk, bedebah busuk! Kau 

bandot tua yang ingin mampus...!”

Dada Dewi Sritanjung berombak 

saking marahnya. Tetapi celakanya 

kakek gendut ini, mendapat caci maki 

masih saja duduk santai. Malah mata 

kakek ini berkedip-kedip sedang 

mulutnya menyeringai.

“Cah Ayu, teruskanlah caci-makimu 

itu. Hayo, apa lagi? Sebutlah semua 

binatang yang kotor dan boleh pula 

engkau menyebut diriku dengan jahanam 

busuk. Heh heh heh heh.”

“Jahanam busuk!” Tanpa sesadarnya 

Dewi Sritanjung menirukan.

Dan kakek itu, perutnya yang 

gendut bergerak-gerak, terkekeh geli. 

“Teruskanlah. Hayo, teruskanlah, heh 

heh heh heh.”

“Keparat! Kakek tua bandot dan 

jahanam busuk. Cacing busuk, babi 

kudisan, bandot bangkotan! Sepasang 

matamu seperti kucing melihat ikan 

asin. Mulutmu menyeringai seperti kera 

makan trasi. Huh, setan alas! Hayo 

berdirilah dan hayo berkelahi melawan 

aku jika engkau memang berani.”

“Ha ha ha ha.” Mpu Anusa Dwipa 

ketawa bekakakan. “Apakah sekarang kau 

sudah puas mencaci-maki aku? Dan 

sekarang kau akan membunuh aku dengan


pedangmu?”

“Manusia macam kau, bandot tua, 

babi gila, celeng sinting, kenapa 

tidak dibunuh mampus saja, agar dunia 

ini tidak kotor? Hayo bersiaplah. Aku 

tidak mau menyerang orang yang tidak 

mau melawan.”

Sring...!

Pedang yang menyinarkan cahaya 

biru segera tercabut dari sarung, dan 

gadis ini sudah siap menghadapi segala 

kemungkinan. Walaupun belum banyak 

pengalaman, Dewi Sritanjung sudah 

dapat menduga, kakek ini bukan orang 

sembarangan.

Tetapi celakanya Mpu Anusa Dwipa 

masih tetap duduk dengan santai, dan 

jawabannya malah seenaknya, “Jika mau 

membunuh aku, kenapa pedangmu tidak 

lekas kau sabatkan ke leherku? Berdiri 

juga bakal mati, duduk pun akan mati. 

Tentu saja aku lebih suka duduk saja 

seperti sekarang ini.”

Perut gadis ini menjadi panas dan 

dadanya seperti mau meledak merasa 

direndahkan orang.

“Rasakan pedangku. Kepalamu akan 

segera berpisah dengan lehermu!” 

bentaknya nyaring.

Siuutt.... wuuuttt....

“Aih....!”

Dengan kecepatan luar biasa, 

seleret sinar itu berkelebat dan 

bergulung-gulung ke sekitar kakek


gendut itu. Tetapi tiba-tiba gadis ini 

terbelalak kaget, sebab setelah ia 

menghentikan serangan, kakek itu sudah 

lenyap.

Dewi Sritanjung celingukan. Ia 

tidak percaya begitu saja orang dapat 

lenyap secara tiba-tiba maupun 

menghilang. Dalam hati gadis ini 

menduga, tentu kakek gendut cabul itu 

sekarang bersembunyi.

“Hai tua bangka cabul!” teriaknya 

lantang. “Apakah sebabnya engkau 

bersembunyi? Hayo, jika engkau memang 

laki-laki sejati dan gagah perwira, 

keluarlah dari tempat persembunyianmu. 

Inilah Dewi Sritanjung, murid tunggal 

Kiageng Tunjung Biru.”

Tiba-tiba ia mendengar suara 

ketawa terkekeh dari atas, “Heh heh 

heh heh, kenapa tidak engkau sebut 

sekalian embah gurumu dan juga moyang 

gurumu? Ha ha ha ha, sangkamu apabila 

sudah memperkenalkan diri sebagai 

murid Kiageng Tunjung Biru, aku 

menjadi ketakutan seperti melihat 

gendruwo?”

Dewi Sritanjung menengadah. Ia 

melihat kakek gendut itu sekarang 

sudah nongkrong dan berjongkok di atas 

dahan pohon yang cukup tinggi.

Melihat itu diam-diam gadis ini 

kagum. Dalam keadaan duduk kemudian 

dapat melesat setinggi itu membuktikan 

kakek ini benar-benar seorang kakek


sakti mandraguna. Tetapi sekarang ini 

ia dalam keadaan marah, maka gadis ini 

tidak peduli. Ia mengerahkan 

kepandaiannya meloncat tinggi sambil 

menyerang dengan pedangnya.

Siutt.... wutt.... sing....

Sebagai murid Kiageng Tunjung 

Biru, begitu menjejak tanah, tubuhnya 

sudah meluncur ringan sekali ke atas. 

Pedangnya menyambar dahsyat tetapi 

kemudian gadis ini memekik kaget, 

ketika tiba-tiba kakek gendut itu 

terjatuh ke bawah dengan kepala di 

bawah dan kaki di atas. Karena itu ia 

menduga, kakek itu tentu lepas dari 

pegangannya kemudian terpeleset dan 

akan mati dengan kepala hancur.

Dewi Sritanjung sudah meluncur 

turun kembali ke tanah. Tetapi 

kemudian gadis ini terbelalak kaget. 

Ia bagai mimpi, menghadapi peristiwa 

yang cukup aneh ini. Pada saat 

tubuhnya sendiri meluncur ke bawah 

ini, ternyata tubuh kakek gendut itu, 

yang sudah jatuh ke bawah dengan 

kepala lebih dahulu, tahu-tahu sudah 

membal lalu duduk di tempat semula.

“Heh heh heh heh, apakah sebabnya 

engkau tidak jadi membunuh aku yang 

sudah tua ini?” ejek Mpu Anusa Dwipa. 

“Apakah engkau menginginkan si kakek 

bangkotan yang cabul ini masih hidup 

terus di dunia?”

Sulit terbayangkan betapa marah


gadis ini, diejek seperti itu. Jelas 

ia tadi sudah menyerang dengan maksud 

membunuh. Namun ternyata usahanya 

gagal, dan bagaimanakah cara kakek itu 

menyelamatkan diri, ia tidak tahu. 

Saking gemasnya gadis ini sudah 

membantingkan kakinya.

Kemudian ia melengking nyaring 

lalu kembali menyerang kakek itu yang 

sekarang duduk di dahan pohon. Dan ia 

sudah siap sedia apabila kakek itu 

meluncur ke bawah, akan ia hajar 

dengan pedang pusakanya.

Akan tetapi gadis ini lagi-lagi 

terbelalak kaget berbareng keheranan. 

Sebab tiba-tiba saja kakek gendut itu 

secara mendadak sudah lenyap. Dan 

ketika ia meluncur kembali turun ke 

bumi, ia menengadah. Tetapi ternyata 

ia tidak melihat kakek gendut itu tadi 

dan entah sudah pergi ke mana.

“Heran! Ke manakah dia?” desisnya 

perlahan.

Tetapi pada saat gadis ini sedang 

kebingungan dan mencari-cari, tiba-

tiba dari tempat yang agak jauh, ia 

mendengar suara halus masuk dalam 

rongga telinganya.

“Cah Ayu, anak baik, cepatlah 

engkau pergi dari tempat ini. Sebab 

apabila pemuda yang menawan engkau 

tadi datang kembali bersama gurunya, 

aku tidak berani menanggung lagi 

keselamatanmu.”


Mendengar suara halus ini, dan ia 

kenal suara si kakek gendut tadi, ia 

menjadi heran dan mengerutkan alis. 

Namun mendadak saja gadis ini 

menjatuhkan diri berlutut ke arah 

suara.

“Aduh.... kakek yang baik...,” 

teriaknya. “Maafkanlah aku yang 

seperti buta ini. Terima kasih atas 

segala pertolongan Kakek. Akan tetapi,

apakah sebabnya Kakek tidak sudi 

memperkenalkan diri?”

Dan dari tempat yang jauh ia 

mendengar suara jawaban yang halus, 

“Anak baik, sudah seharusnya manusia 

di dunia ini saling tolong. Tetapi 

anak baik, sebutan menolong ini ada 

dua macam. Menolong secara ikhlas 

tanpa pamrih dan menolong tidak secara 

ikhlas dan berarti mempunyai pamrih. 

Ketahuilah Anak baik, jika ada orang 

menolong tetapi mengandung pamrih 

untuk mencari keuntungan diri, itu 

jelas bukan pertolongan namanya. Sebab 

apabila sebagai dasar memberi 

pertolongan itu mengandung pamrih, 

jelas sekali apabila pamrih yang 

dimaksud tidak diperoleh, orang itu 

takkan mau mengulurkan tangan dan 

memberi pertolongan.

Sebaliknya yang kedua, menolong 

itu harus ikhlas, tanpa pamrih untuk 

kepentingan diri. Ia mengulurkan 

tangannya tiada lain hanya bermaksud


menolong. Ia tidak mengharapkan 

sesuatu Nah, inilah yang baru bisa 

disebut pertolongan itu.

Sekarang tentang namaku, mengapa 

sebabnya engkau repot? Bukankah 

sebenarnya nama itu hanyalah sebutan 

guna pengenal diri? Manusia hidup di 

dunia ini yang penting bukanlah nama 

dan kedudukan, tetapi adalah per-

buatan. Sebab walaupun manusia itu 

bernama mentereng, kedudukannya ting-

gi, berpangkat, kaya raya, apabila 

perbuatannya tidak patut, ia adalah 

manusia yang memalukan. Karena itu 

bagiku, Anak baik, engkau boleh 

menyebut dengan nama apa saja apabila 

ketemu kembali. Kau boleh menyebut 

kakek gendut, boleh juga kakek cabul, 

babi, cacing busuk dan apa lagi, heh 

heh heh heh.”

“Ahhhh...!” Dewi Sritanjung 

memekik lirih dan ia menjadi amat 

menyesal.

Ia menyesal mengapa tadi tanpa 

meneliti lebih dahulu, ia sudah curiga 

dan menduga yang bukan-bukan. Padahal 

ia tadi sudah mencaci-maki habis-

habisan, dan akibatnya tidak bisa lain 

kecuali minta maaf penuh penyesalan.

Berhadapan dengan kenyataan yang 

aneh ini, Dewi Sritanjung baru menjadi 

ingat kepada petunjuk gurunya yang 

mengatakan, di dunia ini banyak tokoh 

sakti yang aneh. Dan kiranya kakek


gendut itu tadi termasuk di dalamnya, 

termasuk tokoh aneh itu. Dia sudah 

memberi pertolongan namun tidak 

membanggakan pertolongannya, hingga 

dirinya salah duga, dan celakanya 

walaupun ia mencaci maki kalang kabut 

tidak ditanggapi.

Namun demikian ia tidak berani 

terlalu lama di tempat ini. Peringatan 

kakek itu patut ia patuhi, sebab kalau 

pemuda itu benar kembali lagi dengan 

gurunya, tidak mungkin dirinya sanggup 

melawan. Oleh karena itu ia cepat 

menyarungkan pedangnya lalu secepatnya 

meninggalkan tempat itu.

Tetapi sekalipun demikian benak 

gadis ini masih terliputi pertanyaan 

yang menyesak dada. Siapakah kakek 

gendut berjubah putih dan gundul 

seperti pendeta itu? Ia tidak 

menyadari sama sekali telah bertemu 

dengan tokoh sakti berhati emas, Mpu 

Anusa Dwipa. Seorang kakek yang selalu 

mendekatkan diri kepada kebajikan, 

suka menolong orang yang sedang dalam 

kesulitan tanpa mengharapkan pamrih 

untuk pribadi.

***


4

Dua orang gadis berumur duapuluh 

dua dan duapuluh satu tahun, duduk di 

atas batu di tepi Bengawan Solo yang 

mengalir dengan tenang. Di tempat 

mereka duduk sekarang ini merupakan 

tebing curam, terlindung oleh rim-

bunnya pepohonan.

Wajah dua gadis itu tampak muram, 

pakaian mereka kusut, dan merupakan 

suatu keanehan dari sikap gadis. Sebab 

biasanya gadis akan selalu memper-

hatikan kerapian pakaian maupun 

perawatan diri agar selalu tampak 

cantik.

Mereka cukup lama duduk ter-

menung, dan mata mereka mengamati air 

sungai yang mengalir dan jernih itu. 

Sedang keindahan alam dan sinar 

matahari pagi yang hangat itu seakan 

tidak ada artinya bagi mereka.

Dua gadis ini sebenarnya kakak 

beradik. Yang tua bernama Sarindah dan 

yang muda bernama Sarwiyah, sedang 

wajah mereka tergolong gadis cantik. 

Kecantikan yang khas bagi para gadis 

desa dan kecantikannya itu merupakan 

kecantikan asli pemberian alam.

Tetapi sekalipun demikian sinar 

matanya mencerminkan watak antara dua 

gadis ini. Yang tua sinar matanya 

mencerminkan watak keras, galak dan 

cerewet. Sebaliknya yang muda sinar


matanya mencerminkan kelembutan, 

keibuan dan kehalusan seorang wanita.

Tiba-tiba terdengar Sarindah 

menghela napas panjang. Sarwiyah 

mengangkat muka dan menatap kakaknya. 

Namun hanya sebentar, kemudian ia 

menundukkan kepalanya kembali tanpa 

membuka mulut. Lalu ia pun menghela 

napas panjang tetapi tidak terdengar 

jelas.

“Wiyah, apakah kita harus hidup 

bergelandangan seperti ini terus?” 

tanya Sarindah mengandung penyesalan 

dalam.

“Tentu saja aku pun tidak 

menginginkan, Mbakyu,” sahut Sarwiyah 

sambil menatap wajah kakaknya dengan 

sinar mata sayu. “Tetapi apa yang 

harus dikata, apabila keadaan memang 

menghendaki?”

“Tetapi kita tidak boleh hanya 

menggantungkan diri kepada nasib 

melulu, Wiyah.”

“Lalu, bagaimanakah maksudmu?”

“Bagaimanapun kita berdua harus 

berusaha sekuat tenaga.”

Sarindah menghela napas panjang 

lagi. Lalu terdengar gerutunya yang 

bernada gemas. “Huh, semua ini tidak 

lain adalah gara-gara jahanam busuk 

Gajah Mada! Huh, kelak kemudian hari 

akan datang saatnya pembalasanku!”

Sarwiyah keheranan. Kemudian ia 

memandang kakaknya sambil bertanya,



“Mbakyu, apakah maksudmu, dan mengapa 

pula engkau menyalahkan Gajah Mada?”

“Mengapa tidak? Dialah biang 

keladi hidup kita yang tidak beruntung 

ini!” desis perempuan ini dengan nada 

gemas. “Lupakah engkau, ayah kita 

dibunuh mati oleh jahanam itu? Dan 

yang masih segar dalam ingatan kita, 

bukankah kakek pun tewas dalam tangan 

jahanam itu?”

Untuk sejenak Sarwiyah memandang 

kakaknya dengan pandang mata heran. 

Kemudian gadis ini berkata, “Tetapi 

Mbakyu, Kakek tewas secara wajar. Dia 

dikalahkan dalam perkelahian melawan 

Mahapatih Gajah Mada. Mengapa harus 

kita sesalkan? Dan tentang ayah kita, 

Mbakyu, apakah engkau lupa kepada 

penjelasan Mahapatih Gajah Mada sesaat 

sebelum berkelahi dengan Kakek? Waktu 

itu Gajah Mada sedang menyelamatkan 

Raja Jayanegara, dalam kedudukannya 

sebagai Bekel Bhayangkara Majapahit.”

Gadis ini berhenti mengambil 

napas. Lalu, “Ayah merupakan salah 

seorang anggota pasukan Bhayangkara 

penyelamat Raja itu. Tetapi ternyata 

Ayah kemudian minta diri dengan alasan 

menjenguk keluarga. Ketika itu Gajah 

Mada curiga, maka Ayah kita dibunuh, 

demi keselamatan Raja. Tindakan itu 

tidak bisa kita salahkan dan kita 

sesalkan Mbakyu, sebab Gajah Mada 

sedang membela Raja. Apalagi kemudian


terbukti, ayah kita termasuk salah 

seorang sekutu Bendara Kuti yang 

memberontak, maka....”

“Wiyah!” bentak Sarindah lantang 

memotong ucapan adiknya yang belum 

selesai itu, dan sepasang mata gadis 

ini menyala, pertanda marah. “Engkau 

adalah anak ayah dan cucu kakek macam 

apa ini? Sebagai seorang anak ayah dan 

seorang cucu Kakek si Tangan Iblis 

yang dibunuh orang, mengapa sebabnya 

engkau tidak membela ayah dan kakekmu, 

malah engkau menyalahkannya? Apakah 

engkau akan memusuhi keluargamu sen-

diri dan membela musuh?”

Bentakan kakaknya ini menyebabkan 

Sarwiyah terdiam, sekalipun sebenarnya 

apa yang ia ucapkan tadi beralasan, 

sebagai ungkapan kejujuran hati yang 

mengakui bahwa ayah dan kakeknya 

memang pada pihak bersalah, dan 

mengapa harus membela?

Akan tetapi dasar seorang gadis 

yang berperasaan halus dan selalu 

tunduk pada kakaknya, maka selama 

hidup ia tidak pernah sanggup 

berbantahan dan bertengkar dengan 

mbakyunya ini. Dan selamanya ia selalu 

bersikap mengalah, sekalipun sebe-

narnya pada pihak yang benar.

Sarindah masih menatap tajam 

adiknya. Lalu, “Wiyah! Jika aku tidak 

mengingat engkau adalah adikku, tentu 

sudah aku hancurkan kepalamu, tahu?!


Ucapanmu itu merupakan pengkhianatan 

terhadap keluarga yang tidak tanggung-

tanggung. Wiyah, engkau harus ber-

pendirian tegas. Apapun alasannya, 

kematian Ayah dan Kakek harus kita 

balas dan tanpa bisa ditawar-tawar 

lagi. Mengerti?!”

Sarwiyah terpaksa mengangguk 

juga, jawabnya, “Mengerti, Mbakyu.”

Sekalipun demikian anggukan dan 

jawaban ini bertentangan dengan isi 

hatinya, ia terpaksa melakukannya 

juga.

“Nah, jika engkau sudah mengerti, 

engkau adalah adikku yang baik. Engkau 

anak Ayah dan engkau cucu Kakek yang 

dapat membalas budi kebaikan orang 

tua. Hemm, betapa menyesal Ayah maupun 

Kakek di alam sana dan akan mengutuk 

dirimu, apabila kau berkhianat.”

Sarindah berhenti sejenak mencari 

kesan. Kemudian ia melanjutkan, 

“Engkau harus mengerti, Wiyah. Gara-

gara Gajah Mada yang jahat itu, kita 

mengalami hidup seperti sekarang ini. 

Kita terpaksa harus hidup bergela-

ndangan karena takut pulang ke Tosari. 

Takut kalau-kalau Gajah Mada memerin-

tahkan orang-orangnya untuk menangkap 

kita. Apakah engkau tidak menginginkan 

bisa hidup tenteram seperti dulu?”

(Tentang terbunuh matinya si 

Tangan Iblis atau kakek dari dua gadis 

ini, silakan baca buku Seri Dewi


Sritanjung, berjudul “Mencari Ayah 

Kandung”, oleh pengarang yang sama.)

“Tentu saja, Mbakyu. Sebab hidup 

seperti sekarang ini hati amat 

tersiksa.”

“Itulah soalnya. Sekarang kita 

harus berusaha. Kita sekarang harus 

mau memeras pikiran dan tenaga. 

Bukankah engkau masih ingat juga, 

usaha mencari adik bungsu Sentiko, 

sampai sekarang belum juga berhasil?”

Sarwiyah tambah muram teringat 

kepada adiknya, Sentiko. Padahal 

Sentiko adalah adik laki-laki satu-

satunya. Adik bungsu! Namun bocah itu 

pergi diam-diam, kemudian hilang dan 

sampai sekarang belum terdengar 

tentang kabar beritanya. Rasa dada 

gadis ini terhimpit teringat Sentiko. 

Dan Sarwiyah sekarang menjadi ingat, 

tugas yang ia hadapi cukup berat. 

Bukan saja tuntutan membalas sakit 

hati keluarga, tetapi masih pula harus 

mencari Sentiko sampai ketemu.

“Lalu, bagaimanakah menurut 

pendapatmu, Mbakyu?”

Untuk beberapa saat lamanya 

Sarindah tidak menjawab. Wajah yang 

semula murung itu sekarang agak 

berseri dan kemudian jawabnya, “Wiyah, 

jika engkau bersedia menuruti perin-

tahku, usaha kita tentu berhasil.”

“Katakanlah Mbakyu, apa yang 

harus kulakukan?” desaknya sambil


memandang kakaknya.

“Tugas yang harus kau lakukan, 

engkau harus mencari calon suamimu. 

Warigagung.”

“Ahh...!” gadis ini berseru 

tertahan. “Mengapa harus mencari dia? 

Tidak, Mbakyu. Aku malu! Aku adalah 

gadis dan tak sampai hati apabila aku 

harus mengejar dia.... sekalipun dia 

calon suamiku. Apakah aku harus 

menurunkan martabatku sebagai wanita 

di mata laki-laki?”

Sarindah mengerutkan alis tidak 

senang. Lalu katanya agak kasar, 

“Wiyah! Engkau harus mengerti, baik 

Warigagung maupun gurunya, Julung 

Pujud, ada dua orang yang bisa kita 

harapkan bantuannya. Padahal Wari-

gagung adalah calon suamimu dan Julung 

Pujud adalah calon mertuamu yang sudah 

mendapat persetujuan Kakek. Kenapa 

engkau harus merasa malu dan merasa 

mengejar laki-laki? Tidak! Engkau 

bukan mengejar, tetapi merupakan 

kewajibanmu untuk membicarakan masalah 

kita ini kepada mereka. Maka aku 

percaya Warigagung maupun gurunya akan 

mengerti alasanmu, mengapa kau mencari 

mereka.”

Sarindah berhenti, menghela napas 

pendek. Sejenak kemudian ia mene-

ruskan, “Kalau dahulu Kakang Tanu Pada 

yang aku cintai dan Kebo Pradah yang 

engkau cintai belum jelas kabar


beritanya, memang waktu itu aku 

mengerti, engkau masih bimbang dan 

ragu. Tetapi Kebo Pradah sekarang 

sudah tewas oleh kecurangan Kaligis 

dan Sangkan. Huh, bangsat itu apabila 

bertemu dengan aku, tentu kuremukkan 

kepalanya. Sayang, waktu itu kita 

lengah sehingga sesudah tertangkap, 

mereka dapat melarikan diri.”

Ia berhenti lagi dan sejenak 

kemudian lanjutnya, “Sudahlah Wiyah, 

pendeknya kau harus mencari Warigagung

guna minta bantuannya.”

“Dan Mbakyu menyertai keper-

gianku?”

“Goblok! Mengapa aku dan engkau 

harus selalu begini terus? Engkau 

sudah dewasa dan ilmu kesaktianmu 

tidak mengecewakan. Maka sudah waktu-

nya engkau harus dapat hidup dan 

berdiri sendiri. Engkau jangan 

khawatir, aku pun akan berusaha sekuat 

kemampuanku. Sekarang aku harus pergi 

dan mencari bantuan. Sedang ke mana 

tujuanku, aku sendiri belum tahu 

pasti.”

“Tetapi Mbakyu, apakah tidak 

lebih baik apabila kita ini terus 

berdua saja? Perlunya kita akan dapat 

bekerja sama setiap berhadapan dengan 

kesulitan.”

“Wiyah, mengapa engkau ini 

sekarang menjadi penakut? Tidak! 

Pendeknya mulai sekarang ini kita


harus berpisah. Engkau pergi mencari 

Warigagung dan aku akan mencari 

bantuan kepada orang lain. Marilah 

kita sekarang berpisah dan melakukan 

tugas masing-masing.”

“Mbakyu, ahhh.... mengapa harus 

sekarang juga? Kita akan berpisah dan 

tak tahu kapan bisa bertemu kembali. 

Maka dari itu, kita gunakan waktu ini 

untuk persiapan perpisahan itu agar 

hati kita tidak demikian kosong.”

“Wiyah! Waktu amat berharga bagi 

kita sekarang ini. Sudahlah, kita 

harus berpisah sekarang juga. Hayo, 

lekaslah kita berangkat. Dan aku pun 

akan menempuh perjalanan ke arah 

lain.”

Sarwiyah sudah amat kenal watak 

dan sifat kakak perempuannya ini, yang 

tidak bisa dibantah kemauannya. Maka 

walaupun terasa berat ia harus 

berpisah, dan akhirnya Sarwiyah ban-

gkit juga lalu pergi. Ketika sudah 

melangkah agak jauh, ia membalikkan 

tubuh dan memandang ke arah Sarindah 

yang masih duduk di atas batu.

Melihat kebimbangan adiknya, 

Sarindah berteriak lantang, “Lekaslah 

pergi, Wiyah! Engkau jangan menoleh 

lagi kemari. Saat kita akan berpisah 

memang berat. Namun sesudah dilakukan 

takkan terasa lagi.”

Sarwiyah membalikkan tubuh tanpa 

menjawab, tetapi yang jelas gadis ini


berusaha menyembunyikan air matanya 

yang mengalir turun. Gadis ini merasa 

juga betapa beratnya berpisah dengan 

kakaknya, sehingga gadis itu menangis.

Ketika Sarwiyah sudah tidak 

tampak bayangannya lagi, Sarindah 

menghela napas panjang. Terbayanglah 

kini semua perjalanan hidupnya. Bebe-

rapa bulan lalu dirinya, Sarwiyah dan 

kakeknya masih hidup terhormat di 

Tosari dan juga mempunyai beberapa 

orang murid laki-laki. Dan di antara 

murid laki-laki itu, ia mencintai 

pemuda pendiam bernama Tanu Pada. 

Sedangkan Sarwiyah mencintai Kebo 

Pradah. Namun ternyata kemudian dua 

orang pemuda itu harus tewas dalam 

tangan Kaligis dan Sangkan yang 

curang.

Sekarang bukan saja dirinya 

kehilangan pemuda yang ia cintai, 

tetapi juga kakeknya tewas dalam 

tangan Gajah Mada. Sekarang terpaksa 

hidup tidak menentu sebagai gadis yang 

bergelandangan.

Tetapi Sarindah tidak lama duduk 

termenung di tempat ini. Kemudian ia 

bangkit dan melangkah cepat menuju ke 

barat. Ia sudah mempunyai rencana 

tetap. Sarindah akan minta bantuan 

seorang sakti yang pernah ia dengar, 

bertempat tinggal di Ngaglik, lereng 

Gunung Lawu.

Di sana menurut keterangan yang


pernah ia dengar, hiduplah seorang 

kakek yang telah lumpuh dua kakinya. 

Kakek ini menurut keterangan baru 

berumur sekitar empat puluh lima 

tahun. Tetapi sebagai akibat lumpuhnya 

kaki itu menjadi tampak lebih tua dan 

kakek itu pun menjadi jorok.

Terhadap masalah joroknya kakek 

itu sebenarnya Sarindah tidak peduli. 

Sebab yang penting bagi dirinya 

sekarang, bukankah kakek bernama 

Madrim itu mempunyai keahlian yang 

amat ia butuhkan?

Kakek Madrim itu seorang ahli 

ilmu hitam. Dia dapat membunuh orang 

dengan jampi-jampi dan mantra gaib. 

Maka dalam usahanya membalas dendam 

kepada Gajah Mada, kiranya hanya 

dengan sarana itu sajalah yang paling 

tepat. Namun yang menyebabkan gadis 

ini agak ragu adalah syarat untuk 

meluluskan permintaannya itu, dan 

tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang 

dan tubuhnya gemetaran merasa ngeri.

Menurut keterangan yang sudah ia 

peroleh, syarat kakek itu aneh! 

Berhubungan dengan lumpuhnya itu ia 

menjadi benci kepada setiap laki-laki. 

Maka apabila ada laki-laki yang berani 

datang ke pondoknya, orang itu tentu 

mati terbunuh oleh Kakek Madrim. Atau 

kalau hati Kakek Madrim sedang riang, 

maka laki-laki yang berani datang ke 

pondoknya tentu menjadi lumpuh dua



kakinya oleh tangan kakek itu. 

Mungkin, siksaan itu mempunyai maksud 

agar sama dengan dirinya yang lumpuh.

Apakah watak seperti itu tidak 

aneh? Orang tidak bersalah, kakek itu 

sanggup membunuh dan atau menyiksa. 

Mungkinkah hal seperti ini merupakan 

suatu penyakit yang menghinggapi jiwa 

Kakek Madrim sesudah kakinya lumpuh? 

Karena dirinya menderita lumpuh maka 

kakek ini menjadi iri dan tidak senang 

kepada setiap laki-laki yang tidak 

cacat?

Sebaliknya, kakek itu akan 

menerima dengan senang hati dan tangan 

terbuka, mulut tertawa dan wajah 

berseri, apabila orang yang datang 

berkunjung ke pondoknya itu seorang 

perempuan. Lebih lagi apabila yang 

datang itu gadis atau perempuan muda 

yang cantik wajahnya. Kakek Madrim 

akan menyambut kedatangan tamu itu 

dengan sikap amat manis. Dan semua 

permintaan tamu-tamu perempuan ini, 

akan dilayani dengan senang hati.

Dia akan melayani orang minta 

obat untuk penyakit ringan sampai 

kepada penyakit yang sudah parah. 

Kemudian orang yang patah hati karena 

cinta, maupun sampai kepada guna-guna 

untuk menundukkan orang yang tidak mau 

membalas cintanya. Demikian pula 

tentang masalah yang disebut tenung, 

kakek itu sanggup memberinya.


Dan menurut kabar, orang yang 

tertenung oleh Kakek Madrim itu dalam 

waktu mendadak akan mati didahului 

dengan muntah darah yang bercampur 

dengan jarum karatan, ijuk, paku dan 

beberapa benda yang lain.

Akan tetapi sebagai sarana bagi 

setiap orang yang minta bantuan itu, 

syarat Kakek Madrim selalu aneh dan 

tidak lumrah. Sebab perempuan yang 

datang dan minta pertolongan itu harus 

mau menyerahkan diri sebagai “isteri” 

tanpa nikah, sedikitnya satu hari satu 

malam.

Tiba-tiba Sarindah menghentikan 

langkahnya, dan tubuhnya tampak 

gemetaran, bulu kuduk berdiri teringat 

syarat semacam itu. Haruskah dirinya 

yang selama ini selalu menjaga 

kesuciannya sebagai perawan, secara 

mudah menyerah kepada Kakek Madrim 

yang lumpuh dan jorok itu?

Akan tetapi kemauannya membalas 

dendam menggebu-gebu. Maka walaupun 

dirinya harus menjadi korban, semua 

itu merupakan pengorbanan suci demi 

keluarga. Demi ayahnya maupun kakeknya 

yang sudah tewas di tangan Gajah Mada.

“Tidak, tidaaaakkkk!” pekiknya. 

“Manakah mungkin harus menerima begitu 

saja syarat yang gila-gilaan itu? 

Tidak sudi.... tidak sudiiii...!”

Sarindah menjatuhkan diri dan 

duduk pada sebuah batu di bawah pohon


rindang. Ia menghela napas berat, lalu 

merenung. Sedang keringat yang 

membasahi leher dan tubuhnya ia 

biarkan saja mengalir pada kulit yang 

halus dan lumar itu.

“Hemm, tetapi apakah dayaku?” 

desisnya. “Hanya dengan jalan minta 

pertolongan Kakek Madrim itu sajalah, 

jalan termudah bagiku untuk dapat 

membalaskan sakit hati keluargaku. Dan 

tanpa lewat tenung itu, manakah 

mungkin aku dapat mengalahkan orang 

yang kedudukannya setinggi itu? Dia 

selalu dikawal keselamatannya oleh 

prajurit. Dua puluh tahun lagi belum 

tentu aku dapat mencapai cita-citaku 

tanpa bantuan orang lain.”

“Tetapi pertolongan Madrim itu 

hanya diberikan apabila engkau 

bersedia menjadi isterinya tanpa nikah 

sehari semalam,” teriak hatinya yang 

marah. “Semurah itukah harga diriku, 

dan harus menyerahkan kehormatan dan 

harga diriku kepada kakek lumpuh?”

“Engkau jangan sembarangan 

bicara!” bentak kemauan.

“Huh, engkau jangan menuduh aku 

semurah itu kawan. Aku sudah berumur 

dua puluh dua tahun, tetapi aku tetap 

pandai menjaga kesucianku. Kalau seka-

rang terpikir olehku untuk menyerahkan 

diri kepada kakek itu, tidak lain demi 

kepentingan kita semua. Demi membalas 

sakit hati orang tua,” sambung si


pikiran.

“Nah, engkau benar!” sambut 

kemauan. “Pengorbanan satu hari satu 

malam itu tentu saja masih murah 

apabila dibanding dengan tercapainya 

cita-cita dalam waktu singkat. Gajah 

Mada akan mampus oleh tenung. Apakah 

engkau tidak mau mengerti, hai hati.”

“Hu hu huuuuu...,” tiba-tiba si 

hati menangis. “Engkau bisa berkata, 

tetapi tidak tahu betapa deritaku oleh 

peristiwa seperti itu. Engkau, hai 

kemauan dan pikiran, akan memperoleh 

keuntungan tanpa penderitaan. Dan 

engkau tubuh, setelah engkau lepas 

dari pelukan Kakek Madrim tidak akan 

merasakan apa-apa lagi. Tetapi aku 

ini, selama hidup akan menderita. Aku 

akan terkenang terus peristiwa 

terkutuk itu. Engkau tahu? Hu hu 

huuuu.... belum terjadi saja aku sudah 

ngeri. Aku sudah ketakutan setengah 

mati!”

“Matikanlah rasamu itu, hai 

hati!” bujuk kemauan. “Derita itu 

hanya bersemayam dan tak mau pergi, 

jika engkau selalu mengenang. Akan 

tetapi jika engkau tidak mengenang dan 

tidak merasakannya, apa yang disebut 

suka dan duka maupun derita itu tidak 

ada lagi. Dan semuanya akan berlalu 

seperti tertiup angin. Nah, anggap 

saja belum pernah terjadi. Bukankah 

pada saat kita harus berdiam di pondok



Kakek Madrim itu, tidak seorang pun 

tahu apa yang sudah terjadi?”

Tiba-tiba saja otaknya tertawa. 

Katanya, “Ha ha ha ha, sudahlah! 

Kalian jangan bersitegang dan ber-

tengkar. Pendeknya sekarang kita harus 

pergi ke sana. Biarkan kakek itu 

menuntut persyaratan segila itu. 

Sanggupilah! Terimalah! Aku yang akan 

mengatur semuanya nanti. Percayalah 

oleh siasatku, maksud kita bakal 

tercapai, tetapi kita tetap selamat.”

“Benarkah itu?” teriak hati. 

“Engkau berani menanggung kita ini 

selamat?”

“Kenapa tidak? Aku yang ber-

tanggung jawab!” sahut si otak dengan 

mantap. “Apakah engkau masih kurang 

percaya akan kemampuanku? Sudahlah, 

mari kita berangkat dan tidak perlu 

ragu maupun takut!”

Setelah bagian tubuhnya saling 

bantah beberapa saat lamanya, bibir 

Sarindah tersenyum sekali. Hatinya 

menjadi mantap. Tekadnya menjadi 

bulat, dan rencananya pasti berhasil.

“Huh, engkau akan tahu rasa Kakek 

Madrim, berhadapan dengan gadis cerdik 

seperti aku!” desisnya. “Huh, kakek 

jorok, cabul dan biadab. Engkau akan 

ketemu batunya!”

Dengan gerakan yang mantap dan 

penuh percaya diri, Sarindah menuju 

Gunung Lawu. Dan ketika tiba di kaki


Lawu, Sarindah mandi pada air kali 

yang airnya jernih sekali. Ia perlu 

berganti pakaian bersih. Dan rambut 

yang sudah beberapa hari lamanya 

dibiarkan kusut dan awut-awutan itu, 

sekarang disisir rapi dan disanggul 

demikian menarik. Dasar rambutnya 

subur dan hitam, maka setelah menghias 

diri tampak menjadi semakin cantik. Ia 

sengaja mematut diri dan sengaja 

memikat perhatian laki-laki. Seakan 

saat ini dirinya sedang menuju ke 

rumah laki-laki yang dicintai untuk 

ngunggah-unggahi (untuk menyerahkan 

diri ).

Ketika ia bercermin pada sebuah 

kubangan yang airnya amat jernih, ia 

tersenyum bangga melihat kecantikannya 

sendiri. Ia makin percaya, setiap 

laki-laki akan terpesona.

Tetapi sekalipun demikian, tidak 

urung ia menghela napas dalam pula, 

ketika teringat Madrim itu kakek 

lumpuh. Sekarang dirinya harus ke 

sana, minta pertolongannya untuk 

membunuh Gajah Mada dengan tenung. 

Akan tetapi sesudah itu dirinya harus 

menyerah diperlakukan sebagai is-

terinya.

Bergidik juga gadis ini sekalipun 

ia sudah mempunyai rencana matang. 

Apakah di rumah kakek itu siasat yang 

akan dilakukan dapat berjalan dengan 

baik? Ia belum tahu! Namun demikian ia


percaya, akan berusaha sesuai dengan 

kemampuannya.

Demikianlah dengan hati yang 

bulat ia sudah mendaki pinggang Lawu 

dengan cepat. Ia kemudian terpaksa 

harus bertanya kepada penduduk desa 

yang ia jumpai. Dan ketika Sarindah 

menyatakan akan ke Ngaglik menemui 

Madrim, penduduk desa yang mendengar 

terbelalak.

“Anak mau pergi ke sana?” tanya 

perempuan tua seakan kurang percaya.

“Benar, Bibi! Aku akan ke sana 

minta pertolongan.”

“Mengapa harus minta pertolongan 

ke sana? Kasihan engkau Nak, kau masih 

muda lagi cantik. Di dunia ini masih 

banyak dukun peng-pengan dan dapat 

menolong orang. Mengapa kau tidak 

memilih dukun lain saja? Jika Anak 

menginginkan, aku bisa memberi 

petunjuk dukun sakti, rumahnya di 

Matesih.”

Sarindah tersenyum, jawabnya, 

“Terima kasih Bibi atas perhatianmu. 

Tetapi aku akan tetap datang ke pondok 

Kakek Madrim. Dia terkenal sebagai 

dukun manjur dan aku percaya. 

Tetapi.... apakah sebabnya Bibi tak 

rela aku ke sana?”

Kendati ia sudah mendengar syarat 

aneh dan gila-gilaan dari Kakek 

Madrim, namun ia masih mencoba 

bertanya.


“Anak, Kakek Madrim itu lumpuh 

tetapi gila perempuan. Maka setiap 

perempuan yang datang ke sana, harus 

memenuhi persyaratan, mau diperisteri 

tanpa nikah beberapa hari lamanya.”

“Dan perempuan-perempuan itu juga 

bersedia?” tanyanya.

Perempuan itu mengangguk.

“Apakah segala yang diminta orang 

itu pasti terkabul?”

Perempuan itu menggeleng. 

Jawabnya, “Belum tentu, Nak. Buktinya 

ada pula perempuan yang sudah menye-

rahkan diri, tetapi toh permintaannya 

tidak terkabul.”

“Apakah yang diminta?”

“Macam-macam. Dari soal pela-

risan, susuk dan cinta.”

Namun akhirnya kemauan Sarindah 

tidak bisa berkurang oleh pengaruh. 

Katanya dalam hati, “Persetan dengan 

keadaan kakek itu. Sekalipun 

keadaannya menjijikkan kalau kakek itu 

dapat menolong membunuh Gajah Mada, 

apakah salahnya? Aku bukan perempuan 

tolol. Sebelum kakek itu dapat men-

jamah tubuhku, kakek itu akan mampus 

lebih dulu oleh pedangku ini.”

Di depan pondok, Sarindah 

berteriak, “Kulanuwun.., kulanuwun...”

Lalu terdengar suara seperti 

kaleng pecah dari dalam pondok.

“Masuklah Anak, apakah engkau 

mencari Kakek Madrim?”


“Benar.”

Ketika masuk gadis ini tidak lupa 

sopan santun. Ia membungkuk memberi 

hormat ke arah suara, karena pondok 

itu gelap sekali. Dan baru setelah 

beberapa lama dapat membiasakan diri, 

tiba-tiba saja gadis ini bergidik dan 

bulu kuduknya berdiri, melihat keadaan 

Kakek Madrim yang duduk bersila di 

atas tikar usang tanpa bergerak. 

Karena benar, kakek itu jorok dan 

menjijikkan. Agaknya sebagai akibat 

kelumpuhannya menyebabkan kakek ini 

jarang menyentuh air.

“Duduklah!”

Sarindah sadar lalu membungkuk 

memberi hormat. Kemudian ia duduk di 

atas tikar yang kotor, yang 

dibentangkan di tanah. Gadis ini 

terpaksa menundukkan kepala karena 

merasa ngeri bertatap pandang dengan 

kakek itu. Namun sekalipun menunduk, 

Sarindah mengintip dari celah bulu 

matanya untuk melihat kakek itu. Dan 

ia melihat mata kakek itu berkedip-

kedip dan mulut menyeringai seperti 

iblis kelaparan.

“Anak, engkau siapa dan datang 

dari mana?”

Sarindah mengangkat mukanya se-

kilas, menatap Madrim, lalu jawabnya, 

“Saya bernama Sarindah, dan datang 

dari Madiun.”

“Apakah maksudmu datang kemari?


Adakah engkau minta syarat agar lekas 

memperoleh jodoh? Hemm, engkau cukup 

cantik, sesungguhnya tanpa syarat 

apapun banyak laki-laki yang suka 

kepadamu.”

Kalau saja sekarang ini dirinya 

tidak memerlukan bantuan kakek ini, ia 

tentu sudah marah dan memukul kakek 

yang dianggap lancang.

“Tidak, Kek. Bukan itu. 

Kedatanganku agar Kakek mau membantu 

aku membunuh orang, dengan tenung.”

“Hai...! Aku harus membunuh orang 

dengan tenung? Apakah sebab engkau 

mempunyai permintaan seperti itu, Nak? 

Engkau jangan main-main dengan 

tenung.”

“Tetapi..., aku benci dengan 

orang itu. Dia sudah membunuh seluruh 

keluargaku.”

“Ohhh.... keluargamu dibunuh 

orang? Kasihan....”

Sarindah mengangguk. “Itulah 

sebabnya aku mohon pertolongan Kakek, 

agar orang itu dapat mati dengan 

tenung.”

“Siapakah orang yang kau maksud 

itu?”

“Gajah Mada.”

“Ahhh...!” Kakek itu kaget. 

“Gajah Mada sebagai Mahapatih Maja-

pahit itu? Uah, berat... berat....”

“Apakah sebabnya berat? Apakah 

Kakek tidak sanggup dan tidak bisa?”


“Apa katamu? Siapakah yang tidak 

bisa?” bentak kakek itu. “Siapa pun 

aku bisa membunuh dengan tenung 

apabila aku menghendaki.”

“Tetapi apakah sebabnya Kakek 

tadi bilang berat?”

“Yang berat itu tebusan dan 

syarat perlengkapan tenung itu 

sendiri. Karena tenung itu ditujukan 

kepada Gajah Mada, maka aku bisa 

melakukan asal saja engkau memenuhi 

syarat yang diperlukan untuk itu.”

“Katakanlah Kek, apakah 

syaratnya?”

“Anak, tenung yang akan membunuh 

Gajah Mada tenung betina atau perem-

puan. Karena tenung perempuan maka 

membutuhkan kawan.”

“Tentunya kakek dapat mengusaha-

kan kawan itu.”

“Tentu saja, Nak. Tetapi tenung 

tadi tidak mau diberi kawan samba-

rangan. Kawannya harus orang yang 

minta tenung itu sendiri.”

“Aku? Mengapa?” Sarindah kaget.

“Sabarlah Nak, dengarkan baik-

baik. Engkau harus tahu, baik tenung 

laki-laki maupun perempuan yang akan 

melakukan tugas itu, semuanya menghuni 

dalam tubuhku. Jadi antara aku dan 

engkau, syaratnya harus rukun tidak 

bedanya suami dan isteri.”

Sekalipun ia sudah tahu akhirnya 

kakek ini akan mengucapkan kata-kata


seperti itu, tidak urung hatinya 

tercekat juga. Memandang pun sudah 

jijik, dan kalau tidak dalam keadaan 

terpaksa, duduk berhadapan ini pun 

tidak kuat lama.

Bau kakek ini tengik sekali, dan 

napasnya hampir sesak. Tetapi 

sebaliknya kalau dirinya menolak, 

tentu kakek ini tidak mau menolong, 

dan cita-citanya akan gagal.

“Kek, demi tercapainya maksud 

itu, aku setuju. Aku bersedia menjadi 

kawan tenung itu. Tetapi....”

“Tetapi apa?”

“Kerjakan dahulu tenung itu. 

Kemudian aku akan memenuhi persyaratan 

itu.”

Sarindah mengucapkan kata-katanya 

dengan tenang dan mantap. Sebab ia 

sudah mempunyai rencana bulat, kakek 

ini lumpuh dan ia akan menyerang dan 

membunuh sebelum kakek ini dapat 

menjamah tubuhnya.

***

                             TAMAT


Sala, Medio Maret 1987


 


Share:

0 comments:

Posting Komentar