..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 25 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE IBLIS DARI NERAKA

Iblis Dari Neraka

 IBLIS DARI NERAKA

Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak 
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Satria Gendeng
Dalam Episode :
Iblis Dari Neraka
128 Hal.; 12 x 18 Cm

1
SEORANG pemuda berusia belasan 
merenung sendiri di sebentang pagi 
yang dikurung mendung. Mendung di 
angkasa sana, seakan bertakhta pula di 
wajahnya. Wajah tampan. Bergaris ra-
hang jantan. Bermata sembilu. Berambut 
panjang kemerahan.
Angin dingin berlarian. Pakai-
annya diusili, bergeletaran kecil. 
Juga rambutnya. Juga kulitnya. tapis
tak mengusik keheningannya. Tak 
menggugah kebisuannya. Si pemuda tetap 
diam. Duduk bersandar dan bertopang 
dagu di atas dahan pohon besar. 
Matanya menombak lurus dan senyap ke 
arah ubun-ubun mentari merah muda di 
tepi bumi sebeiah tmur.
Pemuda itu mengenakan rompi bulu 
putih dari kulit hewan. Bercelana 
pangsi putih sebatas lutut. Pada kain 
putih pengikat pinggangnya terselip 
semacam tongkat pendek berwarna hitam. 
Berpangkal logam perak kepala naga, 
berujung logam perak ekor naga.
Beberapa waktu belakangan, ada 
banyak bayang-bayang kejadian menjajah 
benaknya. Membuatnya lebih sering 
terdiam seperti saat ini dilakukan.
Baginya, betapa hidup begitu 
sulit untuk dipahami. Mencari satu 
maknanya saja terasa tak cukup usia 
yang dimiliki. Setiap kejadian seakan

terputus sama sekali dengan kejadian 
lain. Terputus karena dibatasi sekat 
waktu. Namun siapa nyana, semuanya 
ternyata berkait seperti rantai tak 
terputus. Dan ujung rantai itu adalah 
pernyataan bahwa hidup bukanlah 
miliknya semata. Melainkan juga milik 
Sang Pemilik Kejadian dan Waktu itu 
sendiri.
Renungan si pemuda terpenggal.
Ada suara di kejauhan. Mengu-
siknya.
Seekor kuda berlari kencang. 
Mengarak debu tinggi dan panjang. 
Penunggangnya seorang lelaki berusia 
tiga puluhan tahun. Berpakaian biru 
tua. Mengenakan ikat kepala kuning 
berlambangkan satu perguruan silat 
bergambar cemeti lidah api. Di 
wajahnya tergambar ketergesaan luar 
biasa bertumbukkan dengan ketakutan. 
Dilarikannya kuda bagai kesetanan.
Pemuda tadi tertarik. Dia melom-
pat turun dari dahan pohon. Kebetulan 
sekaii penunggang kuda melewati 
tempatnya. Segera saja dia berteriak, 
mencoba menghentikan.
"Tunggu, Kakang!"
Kuda meringkik karena tali kekang 
ditarik mendadak. Lalu berhenti tak 
jauh di depan pemuda tadi. "Kenapa 
tampaknya Kakang tergesa-gesa sekali? 
Dan dari wajah Kakang, tampaknya ada 
kesulitan. Apakah aku bisa mem

bantumu?" tegur si pemuda belasan.
Tanpa turun dari kuda tung-
gangannya, lelaki tiga puluhan tadi 
berkata, "Aku tergesa-gesa, Adik Muda. 
Tolong jangan kau halangi jalanku!" 
Suara keras. Bukan karena berniat 
membentak. Melainkan karena dia 
dipengaruhi ketergesaannya.
"Maaf, Kakang. Aku bukan hendak 
menghalangi jalanmu. Aku hanya ber-
harap dapat membantu jika kau punya 
kesulitan. Sungguh...."
Penunggang kuda menggeleng sing-
kat.
"Sayang. Aku tak yakin kau dapat 
membantu...."
Setelah itu digebahnya kuda hitam 
tunggangannya dengan hentakan kuat 
berbareng teriakan keras. Kuda merin-
gkik kembali. Lebih keras. Didahului 
dengan mengangkat dua kaki depannya 
tinggi-tinggi akibat hentakan yang 
membuatnya terkejut, kuda itu pun 
melanjutkan lari.
Mau tak mau, si pemuda menying-
kirkan tubuh ke sisi jalan agar tak 
terlanggar kuda.
"Izinkan aku membantumu, Kang!" 
seru si pemuda penasaran begitu kuda 
melewatinya. Jawaban yang didapat cuma 
teriakan-teriakan menggila si pe-
nunggang untuk memacu lari kuda lebih 
cepat. Dan debu yang melayap ke 
wajahnya.

Si pemuda berambut kemerahan 
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepal-
a. Dibuntutinya terus penunggang kuda 
tadi dengan pandangan. Menjauh dan 
makin jauh. Sampai dilihatnya penung-
gang tadi membalikkan lari kudanya 
kembali ke arahnya.
"Baiklah. Mungkin kau bisa 
menolong kami!" ujarnya, dengan napas 
terengah-engah.
"Kenapa kau berubah pikiran, 
Kang?" tanya si pemuda.
"Tak ada waktu menjelaskannya! 
Tapi, akan kujelaskan juga dengan 
singkat. Aku berubah pikiran karena 
kulihat kau memiliki senjata itu!" 
sahut penunggang kuda. Matanya melirik 
ke ikat pinggang si pemuda. Pada 
tongkat naga hitam pendek.
Si pemuda turut melirik ke arah 
ikat pinggangnya. Wajahnya memperli-
hatkan mimik ketidak mengertian. 
Kenapa karena senjata di pinggangnya?
"Tak ada waktu untuk menje-
laskan!" seru si penunggang kuda, 
ketika mata pemuda yang menawarkan 
pertolongan bertanya dengan pandangan 
matanya. "Sebaiknya cepat kau pergi ke 
utara. Sekitar sepenanakan nasi 
berkuda, kau akan menemui perguruan 
silat kami. Di sana ada seorang yang 
sedang mengamuk membantai anggota 
perguruan!"
Belum lagi kalimatnya selesai,

lelaki penunggang kuda sudah memutar 
kudanya dan menggebah kembali.
"Kakang sendiri hendak ke mana?!" 
tanya anak muda belasan.
"Aku harus memberitahukan hal ini 
pada Guru Besar kami! Dia sedang 
beristirahat di pendapanya di Lembah 
Kaliangkrik!"
* * *
Perguruan Cemeti Api.
Terletak di sebelah utara wilayah 
Kaliangkrik. Di sana sedang terjadi 
kekacauan besar ketika si pemuda 
berambut kemerahan tiba. Kekacauan 
yang sebenarnya lebih tepat disebut 
prahara berdarah. Kancah di mana nyawa 
begitu gampang beterbangan.
Satu orang tokoh sesat sedang 
mengamuk membantai satu persatu murid 
Perguruan Cemeti Api yang sedang 
ditinggalkan guru besarnya itu. Satu 
persatu nyawa terbang. Teriakan demi 
teriakan maut melengking bersahutan. 
Tumpang-tindih. Satu memenggal yang 
lain. Pelataran perguruan telah banjir 
oleh darah. Tak kurang dua puluh orang 
telah menemui ajal. Perbuatan teramat 
biadab!
Tokoh sesat itu adalah seorang 
kakek tua seram. Kurus-kering tubuh-
nya. Berjubah hitam pendek sebatas 
paha. Berjenggot putih amat panjang

hingga mencapai lutut. usia yang 
demikian tua, membuat wajahnya di-
penati oleh kerut-merut. Sampai-
sampai, pipi di bagian bawahnya ber-
gelantungan.
Kira-kira seperempat hari sebe-
lumnya, orang tua keji itu datang 
mengikuti seorang murid Cemeti Api 
yang baru pulang bertandang dari 
perguruan sahabat di Wadaslintang. 
Diam-diam, dia menyusup masuk ke dalam 
perguruan tanpa diketahui. Bangunan 
utama perguruan dimasukinya. Demikian 
juga pondokan para murid. Dia mencari-
cari sesuatu yang hanya diketahui oleh 
dirinya sendiri.
Ketika yang dicarinya tak kunjung 
ditemukan, timbul kegusarannya. Kakek 
tua itu keluar ke pelataran perguruan. 
Di sana dia berteriak-teriak berg-
muruh dengan penyaluran tenaga dalam 
tinggi. Seluruh penghuni Perguruan 
Cemeti Api tersentak. Mereka berham-
buran keluar.
Pancasona mencoba menanyakan 
maksud kedatangan tak santun tamu tak 
diundang itu.
"Apa maksud kedatanganmu ke 
tempat kami, Orang Tua?"
"Aku mencari seorang pemuda!" 
jawab sang tamu tak diundang.
"Di sini banyak pemuda. Pemuda 
yang mana yang kau maksud? Siapa 
namanya?"

"Tak peduli siapa namanya. Yang 
jelas, pemuda itu membawa senjata 
pusaka.... Kail Naga Samudera!'
Hanya Pancasona yang terperanjat 
mendengar kalimat terakhir tamu tak 
diundang tadi. Di antara para murid, 
dialah yang paling banyak tahu tentang 
dunia persilatan. Termasuk Kail Naga 
Samudera. Gurunya yang tergolong 
kalangan tua sering bercerita tentang 
seluk-beluk dunia persilatan padanya. 
Tentang tokoh-tokohnya, tentang keja-
dian kejadiannya Juga tentang senjata-
senjata pusaka yang pernan menciptakan 
kegegeran.
Salah satunya tentang Kail Naga 
Samudera. Senjata pusaka yang sudah 
demikian lama menghilang dari dunia 
persilatan. Dikabarkan hanyalah bagian 
dongeng belaka. Menurut selentingan 
cerita senjata itu sebenarnya adalah 
cemeti milik salah seorang dari tiga 
Jendral Tiongkok yang diutus Kubilai 
Khan untuk menyerang Prabu Ker-
tanegara, Raja Singasari.
Alkisah, ketiga Jendral Tiongkok 
ini diperintah Kubilai Khan, cucu 
Jengis Khan Sang Penakluk Perkasa dari 
Mongol, untuk membalas penghinaan Raja 
Kertanegara terhadap utusan Tiongkok 
bernama Meng-ki. Telinga Mengki dibuat 
cacat oleh Raja Kertanegara. Pasukan 
besar Tiongkok pun menyertai ketiga 
jendral itu.

Setibanya di tanah Jawa Raja 
Kertanegara ternyata sudah wafat.
Kerajaan Singasari telah ditaklukkan 
oleh Kediri di bawah pimpinan Jaya-
katwang. Sementara itu, Kerajaan 
Majapahit didirikan oleh menantu Prabu 
Kertanegara, Raden Wijaya. Raden 
Wijaya sendiri saat itu sedang diburu 
oleh pihak Kediri.
Dengan siasatnya, pasukan Tiong-
kok akhirnya dikelabui oleh Raden 
Wijaya. Dia memanfaatkan kekuatan 
pasukan Tiongkok untuk menyerang 
Singasari yang telah dikuasai oleh 
Jayakatwang. Ketiga Jendral Tiongkok; 
Chepi, Jhekomisu, dan Kau Hsing tak 
pernah menyadari Singasari telah 
dikuasai Kediri. Mereka yang masih 
menyangka Prabu Kertanegara menguasai 
Singasari segera menyerbu. Pasukan 
Raden Wijaya membantu penyerangan 
tersebut Untuk meruntuhkan kekuasaan 
Jayakatwang yang telah merebut Kediri.
Negeri Majapahit yang semula 
hendak dibumi hanguskan tentara Kediri 
pun dapat diselamatkan berkat bantuan 
tentara Tiongkok.
Sampai akhirnya, Daha sebagai 
pusat pemerintahan Kediri jatuh. 
Kerajaan Kediri berhasil dikuasai oleh 
bala tentara Tiongkok dan bala tentara 
Raden Wijaya.
Chepi sebagai salah seorang 
perwira Tiongkok menganggap Raden

Wijaya telah berjasa dalam membantu 
penyerangan mereka. Dia hendak meng-
hadiahkan Raden Wijaya satu cambuk 
pusaka berbentuk naga.
Sebelum niatnya terlaksana, Raden 
Wijaya telah berbalik menyerang bala 
tentara Tiongkok. Mereka hendak diusir 
dari tanah Jawa. Saat kekacauan itu, 
cambuk Chepi yang telah menelan banyak 
nyawa dicuri, dan menghilang tanpa 
diketahui rimbanya seiama ratusan 
tahun.
Seperti diketahui, orang terakhir 
yang memiliki cambuk pusaka itu 
ternyata adalah Ki Kusumo, si Tabib 
Sakti Pulau Dedemit. Dialah yang telah 
menemukan benda pusaka itu berada di 
Pulau Dedemit. Dinamakannya cambuk 
pusaka itu, Kail Naga Samudera. Se-
belumnya, tali cambuknya diganti 
dengan ekor pari pelangi dan disimpan 
kembali di tempat rahasia. Sampai 
akhirnya Satria menemukan tanpa 
sengaja cambuk pusaka itu. (Bacalah 
episode sebelumnya : "Kail Naga Sa-
mudera")
"Kenapa kau mengira kalau salah 
seorang murid perguruan kami memiliki 
Kail Naga Samudera, Orang Tua?" tanya 
Pancasona lebih jauh, setelah seluruh 
cerita tentang Kail Naga Samudera 
terlintas di benaknya.
"Aku curiga, pemuda itu akan 
memperdalam jurus-jurus cemeti di

perguruan ini! Lagi pula, bukankah 
guru besarnya sudah lama memimpikan 
benda itu untuk dijadikan senjata-
nya?!"
Pancasona memperlihatkan senyum 
kecil. Dia tak bermaksud mengejek. 
Hanya dianggapnya lucu perkataan orang 
tua tadi.
Senyum kecil itu justru dianggap 
lain oleh kakek tua kurus. 
Kecurigaannya makin menyubur dalam 
dirinya. Dia menganggap Pancasona 
sengaja menyembunyikan sesuatu. Makin 
kuat dugaannya kalau Perguruan Cemeti 
Api memang telah menerima seorang 
murid baru yang membawa Kail Naga Sa-
mudera.
Akibatnya, dia pun mengamuk. Jauh 
lebih buas dan ganas dari seekor singa 
hutan jantan kelaparan. Caranya 
membunuh mengingatkan siapa pun pada 
ketelengasan seekor ular mematuk 
katak. Setiap kali tangan atau kakinya 
bergerak, ketika itu pula darah kental 
kehitaman tersembur. Dan nyawa pun 
terpental dari raga sang korban.
Di sekujur tangan dan kakinya 
yang terus berkelebat, berpusingan 
asap tipis membentuk lingkaran-
lingkaran kecil. Lingkaran-lingkaran 
asap tipis sesekali berubah warna 
menjadi merah bara. Menyala. Menerkam 
ke calon korban.
Korban kesekian tersungkur.

Tubuhnya nyaris mengering. Biru 
kehitaman.
Berdebam di bumi, dan melepas 
asap tipis kelam.
Pemuda berambut merah berdiri 
tercekam di pintu gerbang perguruan. 
Tak berkedip, disaksikannya seluruh 
kejadian. Hati kecilnya tertikam 
geram. Dia tak habis mengerti mengapa 
sampai ada orang sebegitu tega 
membunuh sekiah puluh nyawa. Dan masih 
pula tak cukup. Dari apa terbuat 
hatinya?
Darahnya dibuat mendidih.
Melepuhkan perasaannya.
Dia merasa harus bertindak. 
Harus!
"Berhenti kau manusia dur-
jana!!!!" serunya nyaris berupa pekik 
bergeletaran. Suara teriakannya ter-
amat mengguntur. Kekuatannya menyebab-
kan gerbang berderak. Pagar perguruan 
dari susunan potongan batang pohon 
bergetar. Debunya berguguran. Per-
mukaan bumi bagai diusik lini. 
Dedaunan di dahan pohon-pohon randu 
yang tumbuh di sekitar pelataran per-
guruan turut berguguran. Mayat-mayat 
yang bergelimpangan, sekedipan mata 
tersentak berbarengan, seolah nyawanya 
berjuang untuk kembaii.
Sayangnya, beberapa murid per-
guruan pun harus menerima akibat. 
Mereka langsung mendekap telinga kuat

kuat. Dengan tubuh mengerut. Untung 
saja akibat itu tak terlalu parah bagi 
mereka. Tak ada yang sempat jatuh tak 
sadarkan diri.
Sebentuk kesaktian yang sebenar-
nya tak pantas dimiliki oleh orang 
semuda dia. Usianya belasan.
Sementara suara bertenaga dalam 
dengan tingkat seperti itu hanya bisa
didapat tokoh-tokoh tua tertentu yang 
telah mencapai tingkat olah kanuragan 
tertentu pula.
Hal luar biasa.
Menyentak amukan si kakek kurus 
jelek. Memenggalnya dalam sekejap. 
Kakek telengas itu menghentikan 
seluruh gerakan mautnya. Berhenti 
dalam kuda-kuda terakhir. Mata kela-
bunya memburu ke arah datangnya suara. 
Ditemukannya pemuda berambut merah 
tadi.
"Siapa kau, Cah! Seberapa besar 
nyalimu hingga berani-beraninya kau 
menghentikan aku!!" geram kakek kurus 
jelek, padat ancaman. Suaranya serak 
terseret. Terdengar dalam, buas dan 
menerkam nyali.
"Siapa kau, Kakek Busuk! Seberapa 
keras hatimu sampai kau tega berbuat 
sekejam itu pada mereka?!" balas 
pemuda berambut merah. Matanya 
membersitkan kobaran kemarahan.
Sesuatu akan segera terjadi.
Nampaknya adalah pertarungan

sengit.
Seorang anggota Perguruan Cemeti 
Api terlihat melompat mendekat ke arah 
si pemuda. Dari penampilannya, tampak 
kalau dia termasuk salah seorang murid 
perguruan yang cukup berpengaruh. 
Wajahnya keras, memperlihatkan kete-
gasan sikap dan ketegaran hati. 
Mengenakan pakaian merah api, berbeda 
dengan anggota perguruan lain yang 
mengenakan pakaian warna biru tua 
seperti penunggang kuda yang ditemui 
pemuda berambut merah beberapa waktu 
lalu.
Namanya Pancasona. Murid tertua 
Perguruan Cemeti Api yang diberi 
kepercayaan memimpin perguruan selama 
Guru Besar Cemeti Api sedang menyepi.
Orang satu ini rupanya tak begitu 
yakin pada kehadiran si pemuda. Tak 
yakin pada kemampuannya. Apalagi dapat 
menghadapi kakek kurus kering.
"Pergi dari sini, Adik Muda!" 
peringatnya keras.
Pemuda berambut merah menoleh.
"Apa yang sesungguhnya telah 
terjadi, Kang?!" tanyanya.
"Bukan urusanmu, Adik Muda. Kau 
harus segera menyingkir dari tempat 
ini. Aku tak mau terjadi apa-apa pada 
dirimu!"
Bukannya menyingkir, pemuda be-
rambut merah malah melangkah melewati 
gerbang perguruan. Langkahnya tak

memperlihatkan dia memiliki tingkat 
ilmu peringan tubuh yang tinggi. 
Serampangan. Walau diwarnai kesan 
kegarangan.
"Aku tak akan menyingkir dari 
tempat ini kalau kakek busuk itu tak 
menyingkir lebih dahulu!" tandasnya 
sengit. Wajahnya tak berkedip mendelik 
penuh-penuh pada kakek kurus.
"Bocah bau kencur keparat! Besar 
sekali nyalimu memerintahkan aku Ki 
Ageng Sulut menyingkir dari tempat 
ini!"
Pandangan Pancasona menyergap 
wajah kakek tua yang berdiri dengan 
segenap kebengisannya. Tiba-tiba hati-
nya bergetar hebat. Ki Ageng Sulut?
Tak beda dengan Pancasona, pemuda 
berambut merah pun seketika menatap 
kakek kurus kering dengan pandangan 
mata menombak tajam.
"Ki Ageng Sulut...," desisnya 
perlahan, namun terisi kegeraman 
penuh.
* * *
2
KI Ageng Sulut. Nama yang tak 
asing lagi bagi si pemuda berambut 
kemerahan. Mendengar nama itu, me-
ngingatkannya pada kejadian silam. 
Tentang kematian mengenaskan seorang

wanita yang dekat dengan dirinya. 
Wanita yang disayangi sebagaimana anak 
menyayangi ibunya sendiri. Kendati dia 
bukanlah darah dan daging wanita itu.
Nama wanita itu Nyai Cemarawangi. 
Mati akibat pukulan Ki Ageng Sulut 
yang tak lain dedengkot golongan sesat 
berjulukan menggetarkan Iblis Dari 
Neraka!
"Rupanya kaulah orangnya," geram 
anak muda belasan yang pernah begitu 
dekat dengan Nyai Cemarawangi. Siapa 
dia? Dia adalah Satria. Lelaki hijau 
yang baru saja memasuki kancah 
persilatan. Dalam waktu yang terbilang 
singkat, dia berhasil membuat kegege-
ran dengan mengoyak-ngoyak kekuatan 
gerombolan perampok besar di sekitar 
Pesisir Selatan Jawa Tengah, Laskar 
Lawa Merah. Pemimpinnya berhasil 
dilemparkan ke neraka!
Sejak hari itu, namanya sering 
dihubung-hubungkan dengan sesepuh di 
antara sepuh dunia persilatan yang 
terkenal dengan julukan Dedengkot Sin-
ting Kepala Gundul. Bukan cuma itu, 
beberapa kalangan mulai menyebut-
nyebut dirinya sebagai seorang pen-
dekar muda baru yang siap menjadi 
besar. Mereka pun tak luput memberinya 
julukan. Satria Gendeng!
Satria Gendeng? Ya, julukan yang 
lahir karena kekhasan jurus-jurusnya. 
Gerakan-gerakan tempur maut yang

begitu mirip dengan tingkah orang 
sinting! Jurus warisan dari sang guru, 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Kenyataannya, orang tua sakti 
bertabiat kurang waras itu belum lagi 
tuntas menurunkan segenap kesaktiannya 
pada Satria. Selama ini, hanya ter-
batas pada jurus-jurus awal saja yang 
diturunkan.
Kalau dengan sebegitu saja si 
pemuda berambut merah sudah demikian 
menggedor dunia persilatan, bagaimana 
pula jika dia telah berhasil menerima 
seluruh warisan ilmu kesaktian sang 
dedengkot?
Setelah tiga bulan berlalu, 
Satria belum sekali pun bertemu kem-
bali dengan Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul bernama asli Dongdongka itu. 
Dia melanglang tanpa tujuan. Melang-
kahkan kaki ke mana pun kaki hendak 
menuju.
Satu hal yang memancing niatnya 
untuk meneruskan perjalanan adalah 
keinginan untuk bertemu dengan 
Tresnasari. Lalu bagaimana dengan Ma-
yang seruni? Gadis yang begitu mirip 
dengan Tresnasari? Gadis yang tak 
disangka tak diduga ternyata putri 
Dirgasura, si pemimpin gerombolan 
perampok Laskar Lawa Merah? (Lihat 
kembali episode sebelumnya : "Kail 
Naga Samudera")!
Dendam pun merangas cepat di

sekujur dada Satria. Bagai api yang 
lahap melalap.
Tercetus dengusnya.
Termuntah murkanya.
Bayaran setimpal harus dituntut.
Nyawa dilunasi nyawa!
"Kau harus mati di tanganku, 
Manusia Busuk Keji!" maki Satria.
Otot di sekujur tangannya menge-
ras. Uratnya seperti menggelembung 
Hat. Perlahan, dalam getaran hebat 
digenggamnya gagang tongkat kecil 
berbentuk naga yang terselip di kain 
ikat pinggangnya.
Sret!
Wajah Ki Ageng Sulut berubah. 
Matanya nyalang, menemukan benda dalam 
genggaman calon lawannya kini. Seben-
tar kemudian terdengar bisiknya.
"Kail Naga Samudera...."
Hampir berbarengan dengan bisikan 
kakek kurus itu, Pancasona pun 
mendesiskan kalimat serupa.
Dan, senjata pusaka Kail Naga 
Samudera terangkat tinggi di tangan 
Satria. Mengabarkan ancaman.
* * *
Jauh dari prahara di Perguruan 
Cemeti Api, tepatnya di wilayah 
Tanjung Karangbolong, tempat di mana 
beberapa waktu lalu seorang anak muda 
ditempa ilmu olah kanuragan oleh dua

tokoh dunia persilatan kalangan atas, 
Tabib Sakti Pulau Dedemit dan 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di 
sana terdapat gubuk kecil. Di gubuk 
itu pula dua tokoh ternama tersebut 
kini berada.
Seperti diketahui, Ki Kusumo 
alias Tabib Sakti Pulau Dedemit 
mengalami luka berat setelah bertarung 
amat sengit dengan seteru lamanya 
Iblis Dari Neraka. Sepasang kaki Ki 
Kusumo dibuntungi oleh kakek bengis 
bernama Ki Ageng Sulut itu. Hanya ka-
rena Ki Kusumo tak sudi mengobati 
penyakit menahun yang diderita Ki 
Ageng Sulut.
Dalam keadaan luka parah dan 
banyak kehilangan darah, Ki Kusumo 
mati-matian pulang ke Tanjung Karang-
bolong. Kebetulan di sana ada De-
dengkot Sinting Kepala Gundul. Sesepuh 
para sepuh dunia persilatan tanah Jawa 
itu selama beberapa lama memang sedang 
menggodok Satria, menurunkan kesak-
tiannya pada murid 'gendeng'nya.
Sementara Satria sendiri sudah 
meninggalkan tempat tersebut untuk 
menyelamatkan Mayangseruni yang me-
nurut kabar dari seorang prajurit 
Demak telah disandera oleh kawanan 
begal Laskar Lawa Merah.
Ketika itulah tergelar dua 
pilihan di hadapan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Kedua-duanya sama-sama


sulit. Antara menolong Ki Kusumo 
terlebih dahulu, atau menyusul murid-
nya yang jelas-jelas terancam oleh Ki 
Ageng Sulut. Sebab menurut Ki Kusumo 
sendiri, datuk aliran sesat itu 
menghendaki Kail Naga Samudera. Di 
lain sisi, Satria telah pergi membawa 
senjata pusaka itu tanpa membertahukan 
tujuannya (Bacalah episode sebelumnya 
: "Kail Naga Samudera")!
Dongdongka saat itu ibarat men-
dapatkan buah simalakama. Serba-salah. 
Kalau diputuskan menolong Ki Kusumo, 
maka nyawa Satria yang akan terancam. 
Sebaliknya, kalau diputuskan untuk 
menyusul Satria, justru nyawa Ki 
Kusumo yang akan melayang. Membingung-
kan. Kalau kepalanya masih berambut, 
bisa-bisa menjadi rontok. Untung sudah 
klimis sempurna!
Sesakti-saktinya dia, tak mungkin 
dia berada di dua tempat dalam waktu 
yang sama. Kalaupun banyak desas-desus 
kalangan persilatan tanah Jawa 
rnenyebutkan dirinya bisa terlihat di 
dua tempat dalam waktu yang sama, itu 
tak menjamin dia bisa menyelesaikan 
dua masalah sekaligus di dua tempat 
tersebut. Kejadian yang disaksikan 
beberapa orang persilatan itu sebenar-
nya hanya bentuk kewaskitaan batin 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. 
Karena kemampuan batinnya sudah 
mencapai taraf waskita, Dedengkot

Sinting Kepala Gundul dapat melepas 
sementara badan halusnya dan 
meninggalkan wadagnya dengan cara 
bersemadi. Orang yang tak memiliki 
ketajaman mata batin, tentu mengira 
badan halus yang disaksikannya adalah 
Dongdongka sendiri.
Akhir-akhirnya, Sang Sesepuh 
memutuskan untuk menyelamatkan Ki 
Kusumo terlebih dahulu. Menurut peni-
laiannya, keadaan Ki Kusumo jauh lebih 
mendesak. Dalam beberapa saja, orang 
tua ahli pengobatan itu akan mati 
kehabisan darah. Kendati untuk 
melaksanakan itu Dongdongka sempat 
juga menggerutu sepanjang arak-arakan 
semut rangrang! Sambil berharap-harap 
cemas agar murid bandelnya tak cepat-
cepat ditemukan oleh Ki Ageng Sulut.
"Kusumo, kira-kira ke mana bocah 
itu pergi, ya?" tanya Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul. Ki Kusumo masih 
belum pulih benar. Masih terbaring di 
atas balai. Kedua kakinya terbalut 
kain putih. Setelah sekian lama dalam 
perawatan, kaki buntungnya sudah 
mengering. Sebenarnya, Dongdongka tak 
cukup pandai merawat Ki Kusumo. Pada 
awalnya, tua bangka bertabiat gila 
gilaan itu hanya menotok jalan darah 
di bagian kaki Ki Kusumo yang telah 
buntung sebatas lutut. Tujuannya agar 
darah tidak lagi mengalir keluar. 
Selanjutnya, dia menyalurkan hawa

murni selama hampir tiga hari tiga 
malam. Terus menerus, tanpa henti.
Hari ke empat, saat Dongdongka sendiri 
sudah nyaris kehabisan tenaga, Ki 
Kusumo baru siuman.
Setelah siuman itulah, Dongdongka 
meminta petunjukKi Kusumo agar dia
dapat melakukan perawatan secara baik 
sebagaimana seorang tabib. Setidak-
tidaknya tabib karbitan! Dengan 
petunjuk dari Ki Kusumo, Dongdongka 
pun dapat membuatkan ramuan-ramuan 
khusus untuk pemulihan kesehatan tabib 
ternama tanah Jawa itu.
Sampai hari ini, hasilnya sudah 
terlihat. Wajah Ki Kusumo sudah tak 
tampak memucat lagi. Meski masih 
lemah, namun sudah jauh lebih baik 
keti-bang hari-hari sebelumnya. Lebih 
jauh, bahkan dia sudah bisa bangkit. 
Meski hanya duduk di tepi balai.
"Apakah Satria tidak bilang ke 
mana dia hendak pergi, Panembahan?" Ki 
Kusumo balik bertanya. Dari berbaring, 
ia mencoba duduk. Tak beradat rasanya 
berbincang dengan orang yang jauh 
lebih tua dengan berbaring, nilai Ki 
Kusumo.
Dongdongka sendiri sedang duduk 
bertopang dagu di pintu gubuk. Seperti 
perawan menunggu perjaka tunangan. 
Wajahnya asam. Tak enak dipandang. 
Malah masih lebih enak memandang 
bakiak butut berjamur.


Terdengar Dongdongka menggerutu.
"Kalau dia bilang, sudah aku 
susul bocah gendeng itu. Kau ini 
bagaimana, Kusumo?!"
Wajah Ki Kusumo berubah cemas.
"Aku khawatir Ki Ageng Sulut 
menemukannya," desahnya.
"Aku juga khawatir begitu," 
timpal Dongdongka. Wajahnya bertambah 
asam.
"Kalau saja aku sanggup men-
carinya," gumam Ki Kusumo.
"Kalau saja aku tak sedang mera-
watmu," balas Dongdongka. Sepertinya 
dia mengungkit-ungkit keputusan untuk 
menolong Ki Kusumo. Sepertinya dia 
menyesal. Padahai tidak. Ikhlas tidak 
ikhlas, memang sudah begitu tabiatnya. 
Suka menjengkelkan siapa saja. Ki 
Kusumo sudah lama maklum.
"Apakah tak sebaiknya Panembahan 
mencari Satria? Kurasa aku sudah cukup 
sehat untuk ditinggal...," usul Ki 
Kusumo.
"Kan sudah kubilang, kalau tahu 
di mana bocah brengsek itu sekarang, 
aku sudah terbang subuh-subuh tadi!"
Ah, serba salah berbicara dengan 
manusia buluk macam Dongdongka!
Ki Kusumo terdiam. Apa akalnya 
agar dapat menyelamatkan Satria dari 
cengkeraman tangan Ki Ageng Sulut? 
Orang tua itu berpikir keras. Sayang-
nya, tak ada satu jalan pun ditemukan.

Buntu.
Dongdongka mendadak terkikik 
geli.
"Kenapa Panembahan?" tanya Ki 
Kusumo kebingungan, tak paham kenapa 
tak ada angin tak ada hujan, 
Dongdongka tertawa sendiri.
Bukan tak ada sebab. Ki Kusumo 
cuma tak tahu. Dongdongka tertawa 
karena dia teringat bagaimana dia 
telah dipecundangi mentah-mentah oleh 
'si bocah gendeng' ketika Satria 
hendak pergi. Juga karena dia teringat 
bagaimana dia benar-benar dibuat mati 
kutu oleh sikap Satria hari-hari 
sebelumnya.
Mestinya, murid macam itu tak 
perlu dipusingkan. Mau pergi, kek. Mau 
mampus, kek. Mau dimakan genderuwo, 
kek. Anehnya, justru dia sekarang 
malah, mengkhawatirkan keselamatannya. 
Memusingkannya sampai tujuh keliling. 
Apa yang begitu itu tidak lucu?
Sampai akhirnya Dongdongka bang-
kit.
"Begini saja...," ucapnya sambil 
melangkah masuk ke tengah ruang gubuk.
Ki Kusumo menunggu kelanjutan 
ucapan Dongdongka.
Dongdongka malah menjatuhkan pan-
tat di lantai tanah. Bersila, melipat 
tangan didada, lalu memejamkan mata.
Sia-sia Ki Kusumo menunggu ucapan 
orang tua bertabiat sinting itu. Apa

maksudnya, cuma dia yang tahu. Sekali 
lagi, memang serba salah berbicara de-
ngan Dedengkot Sinting Kepala Gundul!
* * *
3
KAIL Naga Samudera di tangan 
Satria memperlihatkan kehebatannya. Di 
depan puluhan pasang mata yang menatap 
nanar murid-murid Perguruan Cemeti 
Api. Termasuk di hadapan sepasang mata 
yang membersitkan nafsu menguasai, 
mata milik Ki Ageng Sulut.
Wukh wukh wukh!
Ekor pari pelangi, ekor binatang 
samudera yang telah musnah sekitar dua 
ratus tahun lalu, memancarkan sinar 
warna-warni manakala tangan pemiliknya 
memutar benda itu layaknya cemeti yang 
setiap saat siap dilecutkan.
Merah.
Kuning.
Hijau.
Jingga.
Menyelubungi tubuh Satria. Meli-
ngkar-lingkar, tiada berpangkal.
Suasana berubah mencekam. Deru 
Kail Naga Samudera seperti menyalak-
nyalak. Mendengarnya seolah menemukan 
geram murka seekor naga.
Beberapa murid Perguruan Cemeti 
Api tersurut mundur tak sadar. Ki

Ageng Sulut justru melepas tawa 
nyaring mendengking-dengking, hendak 
membabat wibawa deru senjata pusaka di 
tangan Satria.
Pendekar muda berusia hijau 
kalap.
"Pergilah kau ke neraka!" maki-
nya. Dan dia menerjang. Buas. Sepasang 
kaki kokohnya menghantami pelataran 
perguruan. Berdebam. Tangannya membuat 
satu lecutan sengit.
Wukh!
Cletar!
Udara seketika terbakar. Bunga 
api ramai bertaburan sesaat. Detik 
berikutnya, pupus diseret sambaran 
udara yang terbawa lecutan.
Sekali lagi, beberapa murid 
Cemeti Api tersurut. Kali ini 
dibayangi ketercekatan pada wajah 
masing-masing. Betapa mengerikan sen-
jata pusaka di tangan Satria dalam 
pandangan mereka. Berapa menggedor 
nyali!
Satria melepas lecutan kedua. 
Sekali ini diarahkan langsung ke arah 
lawan. Tepatnya, ke bagian wajah Ki 
Ageng Sulut.
Wukh..cletar!
Kalau murid-murid Cemeti Api 
merasa kecut, Ki Ageng Sulut sebagai 
pihak yang harus berurusan langsung 
dengan kehebatan Kail Naga Samudera 
malah sempat tertawa. Sekejapan

sebelum ujung Kail Naga Samudera 
menjemput sasarannya.
Begitu tiba, ujung senjata pusaka 
itu tak berhasil memangsa sasaran. 
Bagai setan, Ki Ageng Sulut berkelit 
sekali. Sulit menentukan ke arah mana, 
karena tiba-tiba saja tubuhnya bagai 
melebur dengan udara.
Baru detik berikutnya sosok datuk 
aliran sesat itu terlihat kembali. 
Hanya berpindah tak lebih dari 
setengah langkah dari tempat semula! 
Posisi menghindar yang amat berbahaya, 
yang sengaja dilakukannya.
Mata tajam nan jeli Satria 
menangkap sosok lawan sepersekian 
detik lebih cepat dari para penonton 
pertarungan. Tangkas dia memberi 
sambutan. Satu sodokan lurus punggung 
kakinya melayang. Arahnya dada lawan.
Ki Ageng Sulut tergelak singkat.
Apakah serangan lawan hanya 
dianggapnya sebagai permainan? 
Kenyataannya memang tak bertolak 
belakang. Dengan mudah dia mengelak. 
Bahkan terlalu mudah. Disusul dengan 
satu dongkelan tangan di bawah 
terjangan kaki Satria.
Degh!
Satria memekik. Tubuhnya ikut 
terdongkel. Terasa selangkangannya 
hendak terbelah. Di udara, tubuhnya 
dipaksa berputar nyalang.
Satu kesempatan emas terbuka bagi

Ki Ageng Sulut. Tangannya yang barusan 
mendongkel cepat menyampok ke samping, 
mengejar arah putaran Satria.
Dash!
"Egh!"
Pekikan si anak muda sekali ini 
dipaksa lahir karena hantaman telak 
punggung tangan lawan di dadanya. 
Diaterpental. Tak tanggung-tanggung, 
nyaris sejauh tujuh tombak. Padahal, 
sampokan punggung datuk aliran sesat 
tadi sepertinya tak akan membunuh 
seekor lalat pun!
"Aku tak berselera membunuhmu, 
Bocah Bau Kencur! Berikan saja senjata 
itu padaku! Kau sendiri boleh 
menyingkir dari sini!"
Satria mengerang-erang di tanah 
tempatnya tersungkur. Tangannya 
mendekap dada. Mulutnya dibasahi darah 
segar. Betapa sesak dadanya. Betapa 
sakit seluruh bagian dalam tubuhnya. 
Namun, sinar matanya sendiri seakan 
tak pernah menganggap sakit dan sesak 
itu ada. Matanya tetap memancarkan 
tantangan seekor singa muda. Tetap 
melecutkan kesan keangkeran padat 
ancaman. Sebentuk keberanian meng-
hadapi tokoh paling ditakuti seantero 
persilatan tanah Jawa yang terlampau 
jarang dimiliki oleh pemuda lain 
seusianya.
Mendengar peringatan lawannya, 
bibir Satria malah tersungging, men

cemooh.
"Kau boleh memiliki benda ini
kalau kau telah berhasil membuatku 
mampus," tandasnya, tegas.
Satria bangkit. Biar terseok. Tak 
lama, dia sudah sanggup berdiri dengan 
segala kegarangannya. Tempaan keras 
selama ini membuat ketahanan tubuhnya 
demikian mengagumkan.
Tangannya mengeras lagi. Terutama 
genggaman pada Kail Naga Samudera.
"Kau mau benda ini?"
Satria melecutkan Kail Naga 
Samudera.
"Rebutlah dari tanganku!" tan-
tangnya. Rupanya dia memilih untuk 
bertahan, setelah serangan sebelumnya 
tidak membawa hasil.
"Keparat kecil! Kau benar-benar 
tak tahu adat!!!! Jangan menyesal bila 
kulempar kau ke liang lahat!"
Pancingan Satria berhasil 
menjerumuskan kegusaran lawan lebih 
dalam. Rencananya untuk bertahan 
sekarang terwujud dengan menghamburnya 
serangan Ki Ageng Sulut.
"Hiah!"
Wukh!
Tangan kurus berbalut kulit 
keriput Ki Ageng Sulut, Si Iblis Dari 
Neraka yang terkenal menakutkan dengan 
pukulan menyalanya, menerkam leher, 
dada, dan perut Satria. Ganas tak 
terkata.


Satria tegang.
Pukulan beruntun datang dengan 
cepat. Namun pemuda berjiwa ksatria 
itu telah siap.
Matanya bahkan telah menangkap 
dengan demikian jeli ke mana arah 
serangan lawan. Hanya dalam waktu yang 
demikian sempit, dipusatkannya segenap 
perhatian kepada serangan lawan. 
Dibangkitkannya kesiagaan yang telah 
terlatih selama mengarungi samudera 
berkarang tajam di sekitar Pulau 
Dedemit. Pada puncaknya.... 
"Haaaa!"
Berbareng teriakan menggila se-
akan hendak mengoyak pita suara di 
kerongkongan sendiri, Satria membuat 
tiga gerakan dari jurus 'Dedengkot 
Gendeng Kegirangan' yang dikembangkan 
sendiri secara naluriah olehnya saat 
itu juga.
Plak! Plak! plak!
Serbuan tiga pukulan beruntun Ki 
Ageng Sulut termentahkan. Padahal 
rentang waktu antara satu pukulan 
dengan yang lain demikian sempit. 
Mungkin lebih cepat dari waktu yang 
dipergunakan seekor ular untuk mematuk 
mangsa!
Ki Ageng Sulut dipaksa terper-
angah. Tak disangka sama sekali lawan 
bau kencurnya sanggup bergerak cepat 
mempecundangi serangan cepatnya. Lebih 
dari itu, datuk sesat golongan sesat

kalangan atas ini pun dibuat sekejap 
terpana mengetahui lawan mudanya sama 
sekali tak beranjak dari tempat 
semula. Tenaga pukulan beruntunnya 
seperti tak mengusik kuda-kuda pemuda 
tanggung itu.
Kakinya seperti terpacak dan 
mengakar ke dalam bumi.
Ki Ageng Sulut terlalu mere-
mehkannya!
Selang beberapa kejap berikutnya, 
dalam tenggang waktu yang demikian 
singkat, Satria mengirim serangan 
balasan. Pinggangnya meliuk gemulai 
menyamping lebih dahulu. Seperti 
seorang perawan penari ular. Lawan 
sulit menduga apa yang hendak 
dilakukannya. Tangannya mengembang. 
Lawan mengira kedua tangan itu hendak 
menumbuknya dari samping kiri kanan. 
Kala berikutnya, punggung pemuda 
tanggung itu yang justru membuat 
dorongan bertenaga ke ulu hati Ki 
Ageng Sulut.
Serangan yang ganjil dan benar-
benar sulit diduga!
Ki Ageng Sulut kecele.
Karena dasarnya dia tokoh yang 
telah kenyang makan asam garam, 
gerakan memperdaya lawan tidak sempat 
mendarat di sasarannya. Dia hanya agak 
kelimpungan dalam menghindar. Membuat 
badannya agak terhuyung ke belakang. 
Posisinya jadi kurang menguntungkan.

Satria tak menyia-nyiakan kesem-
patan. Jarak yang agak terentang lebih 
lebar dengan lawan memberinya peluang 
untuk menyambar kepala lawan dengan 
sapuan tinggi menyamping dengan 
kakinya.
Sikap meremehkan lawan Ki Ageng 
Sulut telah membawa akibat buruk 
untuknya sendiri. Dalam rangkaian 
serangan yang belum terputus, sudah 
telanjur untuk memperbaiki sikap. 
Satu-satunya jalan adalah mengambil 
jarak aman terlebih dahulu. Setelah 
itu, memulai gempuran baru.
Untuk itu, Ki Ageng Sulut harus 
bisa menyelamatkan diri dari sapuan 
kaki lawan mudanya yang demikian 
cepat. Hampir-hampir tak memberi 
kesempatan untuk dibendung dalam 
pertahanan yang demikian rapuh bagi Ki 
Ageng Sulut.
Sekali lagi Sang Datuk Sangar 
dibuat kelimpungan. Dia memilih untuk 
menangkis serangan. Menghindar terlalu 
sulit. Di samping posisinya sudah 
demikian terjepit, belum tentu gerakan 
menghindarnya bisa meiebihi kecepatan 
sapuan kaki lawan. 
Saat yang sama, tenaga tendangan 
Satria dialiri tenaga dalam 
berkekuatan tinggi yang seringkali 
mengalir keluar tanpa disadarinya. 
Tenaga dalam yang lahir begitu saja 
akibat berbaurnya Ramuan Pulau Dedemit

racikan Ki Kusumo dengan zat langka 
dasar samudera. Tenaga dalam yang 
pernah melempar beberapa nyawa anggota 
Laskar Lawa Merah hanya dalam sekali 
kepruk! Tenaga dalam yang hanya bisa 
diperoleh oleh para pendekar-pendekar 
berusia lanjut dalam tempaan bertahun-
tahun.
Dagh!
"Keparat!" maki Ki Ageng Sulut, 
terdengar lebih mirip erangan. 
Pergelangan tangannya terasa nyeri 
teramat sangat. Berdenyut-denyut 
sampai ke uiu hati. Bahkan kekokohan 
tangkisannya menjadi tergoyahkan. 
Tangannya terdorong kuat. Hampir saja 
menghajar kepalanya sendiri.
Dengan memanfaatkan tenaga kuat 
sapuan kaki lawan pada pergelangan 
tangannya, Ki Ageng Sulut memperlebar 
jarak. Kemudian dia melakukan putaran 
tubuh di atas tanah empat kali. Dan 
akhirnya menjejak kembali ke bumi.
Jemari tangan kanan yang diper-
gunakan untuk menangkis tadi tampak 
meremas-remas, mencoba mengenyahkan 
rasa nyeri yang masih saja berdenyar-
denyar.
Siapa anak muda sundal ini? Ru-
tuknya membatin. Kenapa tenaga 
dalamnya sudah seperti orang persi-
latan kalangan atas? Kalau kukira-
kira, mungkin tak jauh beda dengan 
kekuatan tenaga dalamku sendiri,

bisik-bisik hati Ki Ageng Sulut 
berlanjut. Sementara matanya tak 
kunjung terlepas menatap lawan bau 
kencurnya.
* * *
Di gubuk tepi pantai Tanjung 
Karangbolong, Ki Kusumo hanya bisa 
menatapi keheran-heranan Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul. Sebelumnya dia 
terus menggerutu, memusingkan bagai-
mana cara menyelamatkan murid mereka 
yang besar kemungkinan sedang dalam 
intaian bahaya. Sekarang, tak ada 
angin tak ada kentut, tiba-tiba saja 
dia duduk bersila di tengah ruangan.
Sudah lewat sepeminum teh, Sang 
Sesepuh Persilatan tanah Jawa itu 
begitu. Sampai sejauh itu, Ki Kusumo 
masih tetap saja menduga-duga apa 
maksudnya. Orang tua ahli pengobatan 
itu terus memperhatikan.
Sampai suatu ketika, samar-samar 
Ki Kusumo menyaksikan sebentuk sinar 
lembut tipis merayap keluar dari 
sekujur badan Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul. Pada awalnya demikian samar. 
Nyaris saja mata Ki Kusumo tak 
menangkapnya. Lama kelamaan, sinar itu 
makin tegas. Berangsur-angsur pula si-
nar tadi merayap naik ke atas tubuh 
Dongdongka. Bentuknya menjadi lebih 
jelas dan lebih jelas.

Ki Kusumo baru mengerti maksud 
sahabat tuanya ketika disaksikan 
dengan seutuhnya kini sinar dari dalam 
tubuhnya telah berwujud Dongdongka. 
Wujud kembaran itu seperti terlepas 
dari badan si tua bangka yang diam 
tanpa gemik. Pada akhirnya, wujud 
kembaran Dongdongka terlepas dari 
jasad aslinya. Penampakannya benar-
benar sulit dibedakan, antara 
Dongdongka yang sedang duduk bersila 
dengan kembarannya yang kini berdiri 
tegak di depannya.
Ki Kusumo tak berbuat apa pun. 
Juga tak berniat mengusik Dongdongka 
yang bersila. Ataupun menegur 
kembarannya yang berdiri diam. 
Sepenuhnya dia telah paham, yang 
terbaik baginya adalah diam.
Dalam beberapa tarikan napas, 
kembaran Dongdongka sirna dari 
tempatnya.
* * *
"Kenapa kau menyingkir seperti 
itu, Orang Tua Busuk? Bukankah kau 
katakan kau ingin memiliki benda ini?" 
cemooh Satria. Diacungkannya Kail Naga 
Samudera ke depan.
Ki Ageng Sulut menggeram. Cukup 
sudah, tandasnya dalam hati. Dia tak 
bisa main-main lagi dengan pemuda 
tanggung yang dianggapnya bau kencur

namun kenyataannya memiliki tenaga 
dalam nyaris setingkat dengannya.
Permainan usai!
Kedua tangan orang tua keriput 
itu bergerak. Untuk gerakan yang baru, 
terlihat getaran kecil namun hebat. 
Lama kelamaan, di sekujur tangannya 
berpendaran sinar lamat merah bara.
Ki Ageng Sulut mulai mengerahkan 
kesaktian yang telah begitu lama 
menjadi momok menakutkan dunia 
persilatan tanah Jawa!
Geraknya makin melambat. Seba-
liknya, pendaran merah bara di sekujur 
tangannya makin menguat. Wajahnya 
terpulas cahaya itu. Membangun kesan 
mengerikan. Padat ancaman. 
Satria sadar, dia kini dihadapkan 
pada ancaman amat berbahaya. Nyawanya 
jadi taruhan.
Bersamaan dengan hembusan napas 
panjang Ki Ageng Sulut, tepattiga 
langkah dari Satria, Dongdongka alias 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
muncul. Secara tiba-tiba! Seolah 
dedemit gentayangan yang keluar dari 
persemayamannya.
Semuanya terkesiap.
Satria. Begitupun seluruh murid 
Perguruan Cemeti Api.
Tak terkecuali Ki Ageng Sulut. 
Baginya, tokoh tua satu ini adalah 
lawan paling berat yang pernah hidup 
di bumi Jawadwipa ini. Seteru paling

tangguh. Padanan yang paling 
berbahaya. Sebab, kesaktian mereka 
bisa terbilang setingkat. Hanya jalan 
yang mereka ambil bersilangan satu 
dengan yang lain. Ki Ageng Sulut 
memilih jalan sesat. Sebaliknya, De-
dengkot Sinting Kepala Gundul memilih 
jalan lurus.
Kesaktian sepadan keduanya mem-
buat mereka harus bertumbukan sebagai 
seteru.
Terhitung sudah lima kali mereka 
pernah berurusan. Keduanya mengadu 
kesaktian. Sampai saat itu, tak ada 
satu pun yang dapat dikatakan meng-
genggam kemenangan.
Kalau Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul itu hadir hari ini, itu bisa 
berarti hilangnya kesempatan Ki Ageng 
Sulut mendapatkan Kail Naga Samudera. 
Padahal dia telah menanti saat itu 
selama puluhan tahun. Puluhan tahun! 
Bukan waktu yang singkat. Terutama 
kalau dia harus menderita penyakit 
menjijikkan!
Ki Ageng Sulut benci keadaan itu. 
Dia benar-benar gusar.
Di lain pihak, Dongdongka 
berbisik perlahan pada Satria, murid 
gendengnya.
"Satria, kembali kau! Sekarang 
juga!"
"Tapi," kilah Satria.
"Jangan pakai tetapi. Kau harus

kembali sekarang juga! Tak mungkin kau 
unggul menghadapi kakek jelek itu! 
Atau kau mau membiarkan tanah Jawa 
menjadi ladang pembantaian berdarah?"
"Apa maksudmu?"
"Percayalah. Kakek jelek itu, 
cepat atau lambat akan berhasil 
merebut Kail Naga Samudera dari 
tanganmu, karena kau belum siap 
menghadapinya.
Jika pusaka itu sampai jatuh ke 
tangannya, maka prahara besar akan 
segera meledak di tanah Jawa ini...."
* * *
4
JURANG di kaki Gunung Sumbing. 
Seorang gadis muda tanggung sedang 
digantung pada satu pohon tak begitu 
besar yang tumbuh miring di dindsng 
jurang. Kakinya diikat dengan oyot 
pohon. Sedangkan kepalanya tergantung 
ke bawah. Rambut panjangnya tergerai 
lunglai menutupi bagian besar 
wajahnya.
Keadaan gadis muda itu sungguh 
berantakan. Wajahnya sudah kotor. 
Begitupun pakaiannya dan rambutnya. 
Mengenakan pakaian pendekar wanita 
berwarna merah hati. Sudah demikian 
kusam warnanya. Tangannya terikat di 
sisi tubuh oleh oyot pohon yang sama.

Dari sela-sela geraian rambutnya, 
tampak wajahnya yang cantik. 
Keadaannya yang dekil tak menutupi 
pancar pesona di wajahnya. Wajah itu 
agak pucat Bibirnya mungil dan ber-
warna pucat pula. Matanya yang berbulu 
lentik hitam terpejam.
Tubuh gadis muda itu tergantung 
diam, seolah-olah telah kehilangan 
nyawa.
Dasar jurang gelap, sulit bagi 
cahaya matahari terjun langsung hingga 
ke sana. Tak banyak pohon yang sanggup 
hidup tanpa sinar matahari seperti 
itu. Kalaupun ada, hanya enam tujuh 
pohon yang tumbuh menyamping di 
dinding jurang. Itu pun karena mereka 
masih dapat menerima sedikit cahaya 
matahari yang kebetulan bisa menerobos 
hingga tempat nya.
Ketika sore menapak, suasana 
makin menjadi kelam.
Kabut bergerak iambanterhuyung, 
merayapi dasar jurang dan kaki tebing. 
Sepanjang hari, kabut memang tak 
pernah beranjak dari tempat itu. 
Jangankan malam, di siang hari pun 
tetap ada. Keadaannya yang lembab dan 
dingin memungkinkan hal itu terjadi.
Tak di bawah tempat gadis muda 
tadi tergantung, tergeletak tumpukan 
kerangka manusia. Sebagian di 
antaranya masih memiliki daging mem-
busuk. Ulat-ulat menjijikkan ber

geliat-geliat di sekitarnya.
Bau bangkai menebar ke mana-mana, 
seakan memadatkan segenap penjuru 
dasar jurang.
Satu sosok bayangan lalu keluar 
dari satu sudut tebing. Kegelapan
menyelimutinya. Di antara gerayangan 
kabut, sosok itu seperti penjelmaan 
hantu dasar jurang. Terbungkuk-bungkuk 
dia bergerak mendekati tempat gadis 
muda tadi tergantung. Dari baya-
ngannya, tampak rambutnya yang panjang 
dan kaku. Sulit menentukan pakaian 
yang dikenakan. Namun samar-samar 
tampak seperti mengenakan kurungan 
kain compang-camping yang sama kaku 
dengan rambutnya.
Tepat di bawah gadis muda yang 
tergantung, sosok bayangan seorang 
nenek itu berhenti. Kepala nya mene-
ngadah, melihat si gadis muda. 
Sebentar kemudian, tubuhnya tergun-
cang-guncang bersama kikik mening-
ginya.
"Apa kau masih bersikeras, Gadis 
Hijau?!"tanyanya kemudian. Suaranya 
serak. Mengusik bulu roma.
"Ayo bicaralah. Jangan diam saja 
seperti itu. Aku tahu kau masih sadar, 
bukan?" lanjutnya.
Lamat-lamat, bola mata sayu gadis 
muda terbuka. Kalau saja keadaannya 
tak begitu kacau seperti saat itu, 
tentu sepasang bola matanya akan mem

perlihatkan daya pikat sempurna. 
Sesempurna purnama yang mengambangi 
angkasa raya.
Bibir pucat keringnya bergerak 
kecil.
"Kenapa kau berbuat seperti ini 
padaku, Nek?" desahnya, lemah. Hampir-
hampir sulit didengar.
"Hi hi hi! Kau jangan melucu, 
Gadis Hijau. Aku memintamu menjadi 
muridku. Tapi kau menolak. Kau 
membuatku jadi marah. Lalu bagaimana 
aku tidak ingin memberimu pelajaran?"
"Tapi, kau tak berhak 
memaksaku...."
"Siapa bilang?! Kau telah lancang 
memasuki tempat kediamanku. Karena kau 
kini berada di tempatku, maka aku 
berhak bertindak apa saja terhadap-
mu...," serbu si nenek berwajah amat 
menjijikkan. Dua bola matanya besar. 
Biji matanya berurat kemerahan. 
Sekeliling matanya berwarna biru 
legam. Seluruh wajahnya dipenuhi 
keriput bercampur kudis berlendir. 
Bibirnya pucat berkerut-kerut.
"Aku tak pernah bermaksud lancang 
ke tempatmu, Nek."
"Hi hi hi, siapa peduli! Yang 
jelas, hukumku adalah hukumku. Aku 
yang menentukan apakah kau salah atau 
tidak. Karena kau kuputuskan bersalah, 
maka kau harus menerima hukuman. Kau 
bisa lepas dari hukumanku apabila kau

menjadi muridku!"
Beberapa saat si gadis tak 
mengeluarkan kalimat susulan. Lidahnya 
yang terlalu kelu sudah sulit untuk 
mengeluarkan kata tambahan. Ditambah 
lagi rasa kering kerontang mencekik 
kerongkongannya.
"Baiklah, aku bersedia," katanya 
samar, akhirnya.
Si nenek buruk rupa tertawa 
kegirangan. Kikik menyeramkan 
merambahi tebing, menelusupi kabut. 
Seperti dengking sekawanan siluman 
perempuan.
* * *
Ki Ageng Sulut tertawa tanpa 
tedeng aling-aling ketika mengetahui 
bahwa Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
yang tiba-tiba datang pada Kenya-
taannya bukan wujud sempurna. Hanya 
badan halus orang tua sakti itu saja 
yang tiba. Sedangkan wadagnya sendiri 
di tinggal dalam gubuk di pantai 
Tanjung Karangbolong.
Si datuk sesat mengetahui hal itu 
ketika menyaksikan wujud seteru 
lamanya tak berbuat apa-apa, kecuali 
berdiri di tempatnya. Meskipun Ki 
Ageng Sulut tak bisa mendengar 
langsung bisikan batin yang dikatakan 
badan halus Dongdongka kepada Satria, 
namun tokoh sesat kelas atas itu

sedikit banyak bisa menduga apa 
maksudnya. Lagi pula, kalau memang 
Dongdongka telah hadir di sana tentu 
dia tak akan berdiam diri demikian
rupa seperti karobing congek. 
Sebaliknya, besar kemungkinan dia akan 
kegirangan setengah mampus bakal 
berurusan kembali dengan musuh sesat 
terberat. (Kegirangan? Jangan heran. 
Maklumlah, dia memang 'sinting'!) 
Melihat semua gelagat itu, Ki Ageng 
Sulut pun mulai menyadari.
Ketika terakhir berbicara dengan 
Ki Kusumo, rupanya tercetus pemikiran 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk 
berusaha menghubungi murid bandelnya 
dengan jalan melepas badan halusnya. 
Karena badan halus tak lagi terbatas 
oleh ruang, Dongdongka dapat menjumpai 
Satria di mana pun dia berada. Juga
dengan waktu yang teramat singkat.
Setelah hampir sekian lama memu-
singkan cara menyelamatkan muridnya, 
baru kali itu si tua bangka terpikir 
demikian? Jadi, selama ini 'ngelantur' 
ke mana saja pikirannya?
Kembali ke halaman Perguruan 
Cemeti Api.
Menunggu lebih lama, tentu akan 
teramat bodoh bagi Ki Ageng Sulut. 
Terutama setelah mengetahui keberadaan 
Dedengkot Sakti Kepala Gundul sebe-
narnya. Karena itu pula, dia 
menghambur kembali ke arah Satria. Tak

dihiraukan penampakkan badan halus tua 
bangka seterunya.
Pada kenyataannya, ketika dengan 
sengaja Ki Ageng Sulut melanggar 
Dongdongka, memang tidak terjadi apa 
pun. Orang tua bengis aliran sesat itu 
seperti melanggar asap. Sekelebatan 
kemudian, penampakan Dedengkot Sakti 
Kepala Gundul memupus bagai dilarikan 
angin.
"Mampuslah kau, Bocah!" seru Ki 
Ageng Sulut seraya menusukkan jari-
jari kanan berwarna merah bara ke 
tenggorokan lawan muda belianya.
Ganas. 
Sadar peringatan gurunya, Satria 
siaga menyambut lawan. Terlambat sudah 
untuk melaksanakan perintah Dedengkot 
Sakti Kepala Gundul untuk segera 
menyingkir dari tempat tersebut. Lagi 
pula, Satria sendiri memang tak 
sedikit pun memiliki niat untuk 
melakukannya. 
Tak ada kata mundur dalam 
bertempur! Maju menjemput maut. 
Rebah tanpa nyawa, lebih baik 
daripada menyingkir. 
Deb!
Sekian kedip lilin sebelum jemari 
merah bara si Iblis Dari Neraka 
merobek tenggorokannya, Satria tangkas 
mengangkat batang Kail Naga Samudera. 
Dengan senjata pusaka itu, 
ditangkisnya serangan bengis lawan.

Gempuran pertama dapat dimen-
tahkan. Namun, bukan berarti dia telah 
lolos dari ancaman maut. Sebab, satu 
patukan tangan lawan yang lain mencoba 
mencuri dari samping. Pelipis Satria 
hendak dilobanginya!
Satria sadar sesadar-sadarnya, 
lawan bisa mengirimnya ke liang lahat 
cepat atau lambat. Peringatan gurunya 
bukanlah main-main semata. Orang se-
perti Dongdongka saja sudah menganggap 
Ki Ageng Sulut begitu berbahaya, 
apalagi untuk Satria? Sementara 
Dongdongka adalah satu tokoh persilat-
an tanah Jawa yang julukannya saja 
sudah sanggup menggebuk nyali warga 
persilatan seantero Jawa Dwipa. 
Sedangkan Satria sendiri? Cuma bocah 
baru besar. Hijau. Tak terlalu meleset 
pula untuk dikatakan bau kencur.
Menghadapi empat jari maut yang 
meleset tajam ke pelipisnya, Satria 
tidak ingin mengambil risiko dengan 
menghadangnya. Jika dia mencoba me-
nangkis, besar kemungkinan tangannya 
akan tertembus. Karena tampaknya, 
patukan jari tangan si Tua Bangka 
telah dialiri tenaga dalam tingkat 
tinggi. Sekaligus pengerahan kesaktian 
yang mengandung tenaga panas luar
biasa. Panas yang sanggup melobangi 
kulit, daging bahkan tulang. Seperti 
baja membara menembus lilin! 
"Haiiih!"


Kepala anak muda itu berkelit 
tangkas ke belakang. Jari tangan lawan 
lewat begitu saja, dua jengkal di 
depan wajahnya. Ketika itu, tercium 
bau udara terbakar. Salah satu 
kehebatan yang dihasilkan jurus 
Tepukan Iblis Kematian'. Celakanya, 
Satria sedikit pun tak menyadari 
kehandalan jurus ini.
'Tepukan Iblis Kematian' adalah 
salah satu jurus maut milik si Iblis 
Dari Neraka yang begitu khas. Karena
inti kekuatannya bukan terletak pada 
hantaman tangan langsung pemiliknya, 
melainkan pada angin sambarannya!
Memang, Satria bukanlah Ki Kusumo 
yang mengetahui dengan jelas kehebatan 
jurus lawan (kisah pertarungan Ki 
Kusumo, Tabib Sakti Pulau Dedemit, 
dengan Ki Ageng Sulut dapat dibaca 
pada episode sebelumnya: "Kail Naga 
Samudera")! Bukan pula seteru besar 
bagi Ki Ageng Sulut layaknya Dongdong-
ka. Dia hanyalah seorang pemuda 
tanggung yang baru saja memasuki medan 
ganas dunia persilatan.
Akibatnya....
Srat!
Inti kekuatan pada angin sambaran 
tangan Ki Ageng Sulut melebur benteng 
keraton dalam jarak sekitar satu 
tombak, langsung menyambar kepala si 
pemuda tanggung.
"Akh!"

Ketika itu juga, Satria terlempar 
deras ke belakang.
Keras.
Udara terbelah luncuran tubuhnya. 
Jauh.
Pada saatnya, jatuh berdebam 
meninju bumi. Satria tak kuasa bangkit 
lagi.
* * *
Dari semadinya, Dongdongka ter-
sentak. Keheningannya terkoyak. Dia 
bangkit seperti bocah kecil baru 
tersadar dari mimpi menakutkan. Wajah 
berkeriputnya tertarik tegang. Kelopak 
matanya mendelik-delik seolah 
tercekik.
"Bencana... bencana...." Sumpah 
serapahnya menyusul kemudian. Di depan 
balai Ki Kusumo, tua bangka itu hilir-
mudik sambil mengetuk-ngetuk kepalanya 
sendiri dengan bambu tipis yang tak 
pernah lepas dari tangannya. Tak 
lepas, meski sedang buang hajat 
sekalipun.
Ki Kusumo kebingungan. Namun, 
setidaknya dia bisa mengendusi sesuatu 
yang genting telah terjadi.
"Ada apa Panembahan?" tanyanya.
"Celaka seratus tujuh belas! 
Bocah gendeng kita 'ngejoprak', prak! 
Si Jelek Ageng Sulut bisa-bisa 
melarikan Kail Naga Samudera...,"


cerocos Dongdongka, menyembur-
nyemburkan ludah sendiri.
Ki Kusumo mendesis. Entah apa 
yang diucapkannya.
"Celaka...," ujarnya kemudian.
"Aku juga bilang begitu barusan, 
bukan?!"
"Jadi, apa yang harus kita 
lakukan?!"
"Aku ingin sekali memenggal 
kepala si Jelek Ageng Sulut itu, yang 
atas dan yang 'bawah'!"
"Maksudku, bagaimana dengan Sat-
ria?"
"Sudah kubilang, dia 'ngejo-
prak'!"
"Bagaimana kita bisa menolongnya, 
maksudku?"
Dongdongka menepak kening keras-
keras.
"Astaga, iya ya! Kenapa aku jadi 
lupa pada bocah gendeng itu. Kalau dia 
mati lebih dulu, bagaimana pula aku 
bisa mati?!"
Dongdongka menerjang pintu gubuk 
begitu saja.
Gedubrak!
Pintu gubuk hancur berantakan.
* * *

5
DUA tahun berlalu. Tanpa terasa, 
bagai hembusan angin datang dari 
negeri yang jauh dan tiba-tiba saja 
sampai. Waktu memang selalu piawai 
memperdayai manusia.
Sejak peristiwa di Perguruan 
Cemeti Api, dunia persilatan tanah 
Jawa kehilangan dua tokoh besar: 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan 
Tabib Sakti Pulau Dedemit. Keduanya 
tak terdengar kabar beritanya. 
Menghilang dari dunia persilatan 
seolah menguapnya genangan air di 
gurun luas.
Sebaliknya, julukan Iblis Dari 
Neraka merebakkan ketakutan di mana-
mana. Di banyak tempat, tak peduli di 
sudut-sudut tanah Jawa, orang tua 
telengas sakti itu menebar bencana. 
Sepak terjangnya kian berangasan. 
Terutama setelah menguasai Kail Naga 
Samudera yang berhasil direbutnya dari 
tangan Satria.
Pembantaian besar-besaran berlan-
jut dari hari ke hari.
Sudah tak terhitung perguruan 
silat yang disatroni. Warganya ditum-
pas seolah sekawanan lalat. Darah 
membalurkan anyir di bumi tanah Jawa. 
Ini hari di sana. Besok di sini.
Satu nama terus disebut-sebut 
dengan sehimpun nada ketakutan di

mana-mana. Satu nama terus dihubung-
hubungkan dengan setiap pembantaian 
keji.... Iblis Dari Neraka! Tua bangka 
bertabiat iblis yang selalu membawa 
senjata pusaka berbentuk naga 
sepanjang dua tahun belakangan.
Bagaimana pula dengan nasib si 
pemuda tanggung berhati pualam 
bertekad baja?
Di mana pula Ki Kusumo dan 
Dongdongka?
* * *
Kotapraja Kerajaan Demak. Siang 
yang terik.
Seorang pemuda berjalan gagah. 
Usianya masih tergolong muda, belum 
mencapai kepala dua. Badannya kekar 
berotot. Rambutnya lurus, memanjang 
kemerahan sampai batas bahu. Wajahnya 
tak begitu tampan, namun memancarkan 
daya tarik kuat. Terutama pada 
matanya. Sepasang bola mata pemuda itu 
memancarkan kepribadiannya. Ada kesan 
ketegasan, kewibawaan, kemantapan 
hati, kejernihan jiwa. Semuanya ber-
gabung dan menciptakan kekuatan tadi 
di matanya. Rahangnya terlihat kokoh 
dengan garis yang memikat. Bibirnya 
tipis. Ada bulu-bulu kehijauan di 
sekujur dagu dan rahangnya. Membuatnya 
makin terlihat gagah.
Pemuda itu mengenakan pakaian

bulu dari kulit binatang berwarna 
kelabu. Bercelana sebatas lutut 
berwarna hijau tua. Kepalanya ditutup 
caping lebar, menyembunyikan ketampa-
nannya di balik bayang-bayang.
Suasana di alun-alun cukup ramai, 
tak terlihat seperti hari-hari biasa. 
Beberapa pedati yang ditarik lembu 
tampak melintasi jalan Pesiar Raya, 
jalan utama yang menghubungkan pela-
buhan dengan Keraton. Jalan Pesiar 
Raya terbuat dari susunan bata. 
Beberapa orang berjalan hilir-mudik. 
Kebanyakan rakyat jelata. Sementara 
satu-dua orang priyayi atau saudagar 
melintas dengan mengendarai kuda.
Hari pasaran jatuh pada hari itu. 
Hari di mana para pedagang meman-
faatkan beberapa tempat di sekitar 
kotapraja untuk mengadu peruntungan. 
Di beberapa sudut terlihat para pandai 
besi dari kampung pandean menggelar 
dagangannya. Di sudut lain, terlihat 
beberapa pedagang dari Gujarat yang 
khusus datang dari kampung Pekojan di 
sekitar alun-alun. Sudut lain sudah 
pula diisi oleh pedagang-pedagang dari 
kampung Kauman lain. Termasuk para 
pedagang Cina dari Pecinan.
Bersebelahan dengan alun-alun, 
tepatnya di sebelah Selatan, berdiri 
keraton. Tembok dan gapura keraton 
terlihat megah dan kokoh. Dua orang 
prajurit selalu tampak berjaga di

kedua sisi gapura.
Di sebelah barat alun-alun, 
berdiri satu bangunan megah, tempat 
penduduk muslim melaksanakan salat. 
Bentuknya segi empat. Memiliki atap 
bersusun. Mereka menyebutnya Masjid 
Raya.
Pemuda yang baru tiba berjalan 
tak cepat, tak juga lambat. Langkah-
langkahnya mantap, memperlihatkan 
kekokohan kakinya. Tiba di persim-
pangan jalan langkah si pemuda 
terhenti. Ada iring-iringan kecil 
melintas dari arah utara.
Di depan iring-iringan terlihat 
seorang penunggang kuda. Pakaian yang 
dikenakan memperlihatkan jabatan pen-
ting dalam keperwiraan kerajaan. Di 
belakang pengendara kuda, berbaris 
empat orang prajurit berseragam. Salah 
seorang di antaranya membawa semacam 
umbul-umbul hijau bergambar simbol 
kebesaran Kerajaan Demak. Tak terlihat 
terlalu mewah, namun kesannya megah 
berwibawa.
Beberapa orang yang kebetulan 
berjalan berbarengan dengan pemuda 
berambut kemerahan turut berhenti. 
Sikap mereka berubah. Ada gelagat ka-
lau mereka berusaha bersikap hormat 
pada iring-iringan yang lewat.
Iring-iringan melintas. Saat itu, 
si pemuda bercaping sempat mencuri 
pandang ke arah lelaki gagah

penunggang kuda. Dia dibuat terkejut 
demi menemukan wajah orang itu. Tanpa 
sadar, dilepasnya caping seraya 
menyebutkan satu nama.
"Kakang Bagaspati...."
Ucapannya tadi sampai ke telinga 
penunggang kuda. Sebentuk suara 
berwibawa mencelat keluar dari 
kerongkongannya. Berat, agak serak. 
Berpengaruh.
"Berhenti!"
Empat punggawa di belakangnya 
berhenti. Beriring dengan ditariknya 
tali kekang kuda.
"Satria? Bukankah kau Satria?" 
sapa penunggang kuda. Nadanya 
terdengar membubung dihempas 
kegirangan.
Wajah itu memang dikenali pemuda 
berbaju kulit binatang. Wajah bersih. 
Tak begitu tampan, namun bermuatan 
prabawa. Usianya masih terbilang belum 
terlalu tua, menjelang masa-masa 
kematangan. Pada sepasang bola 
matanya, terpancar ketajaman, seakan 
dapat menemukan satu kuman ter-
sembunyi di dasar lautan.
Dia adalah orang penting dalam 
jajaran keperwiraan Kerajaan Demak. 
Namanya Abdul Malik Bagaspati. Seorang 
yang sudah tak asing lagi bagi si 
pemuda. Ketika bertemu sekitar dua 
tahun lalu, jabatannya masih Manggala. 
Kalau menilik dari pakaiannya, tentu

jabatannya sudah menanjak beberapa 
tingkat. Besar kemungkinan sebagai 
imbal jasa dari Raja Demak atas 
keberhasilannya menumpas gerombolan 
Laskar Lawa Merah.
(Baca kembali kisah sebelumnya: 
"Geger Pesisir Jawa")
Di lain sisi, ada kenyataan lain 
yang tak mungkin dipungkiri oleh 
Bagaspati. Keberhasilan tugas mulianya 
tersebut bukanlah semata keberhasi-
lannya memimpin pasukan. Melainkan, 
karena uluran tangan seorang pemuda 
belia yang meledakkan kegemparan hebat 
di segenap penjuru dunia persilatan 
dengan membunuh pemimpin gerombolan 
Laskar Lawa Merah, Dirgasura.
Kenyataan itu memberatkan hati 
Bagaspati menerima penghargaan jasa 
langsung dari Raden Fatah. Penye-
babnya, dia merasa tak pantas untuk 
itu. Sebaliknya, seluruh penghargaan 
semestinya dilimpahkan kepada pemuda 
belia yang telah membantunya.
Dengan jujur, Bagaspati mengung-
kapkan hal ikhwal keberhasilan 
penumpasan Laskar Lawa Merah kepada 
Raden Patah. Dia sungguh tak ingin 
nanti anak cucunya mengejeknya sebagai 
seorang pahlawan kesiangan. Orang yang 
sesumbar tentang jasa-jasanya pada 
negara setelah perjuangan mencapai 
keberhasilan untuk mendapatkan bintang 
jasa. Sementara di medan perjuangan

dahulu, justru dia tak lebih dari 
seorang badut pengecut.
Si pemuda belia kini dijumpai 
kembali. Dialah Satria. Tokoh muda 
kita. Selang dua tahun ini, wajah, 
perawakan sekaligus penampilannya 
memang cukup jauh berubah. Kendati 
demikian, tak ada kesulitan sedikit 
pun bagi Bagaspati untuk mengenalinya.
Bagaspati turun dari punggung 
kuda. Dihampirinya Satria dengan suka-
cita melimpah pada parasnya. 
Dirangkulnya pemuda itu hangat-hangat, 
seolah sahabat lama yang baru saja 
berjumpa kembali selama bertahun-
tahun. Tawanya bahkan terdengar 
meletup-letup, meski sebagai seorang 
abdi dalam istana dia selalu berusaha 
untuk tidak begitu.
Orang-orang yang kebetulan 
berdiri di sana menatap terheran-heran 
pada pemuda berbaju bulu binatang. 
Hati mereka tak habis bertanya, 
bagaimana seorang perwira tinggi 
Kerajaan Demak bisa begitu suka cita 
bertemu dengan seorang pemuda yang 
penampilannya saja tak lebih bagus 
dari seorang penggembala kerbau?
* * *
Apa yang sesungguhnya terjadi 
pada diri si anak muda setelah 
kejadian di Perguruan Cemeti Api?

Ketika itu Dongdongka jelas 
mengetahui di mana keberadaan murid 
gendengnya setelah dia melepas jasad 
halusnya dari wadag. Mengetahui ke-
adaan Satria dalam kegentingan, segera 
disusulnya pemuda itu.
Di sana, ternyata Ki Ageng Sulut 
alias Iblis Dari Neraka sudah tidak 
ada lagi di tempatnya. Pergi membawa 
senjata pusaka yang seharusnya 
berjodoh dengan Satria, Kail Naga 
Samudera.
Dibawanya kembali Satria ke 
Tanjung Karangbolong.
Di sana, Ki Kusumo mengobatinya. 
Setelah sembuh, Satria digodok kembali 
oleh mereka dua tokoh kelas atas dunia 
persilatan tanah Jawa. Itu sebabnya 
selama dua tahun mereka seperti hilang 
disembunyikan zaman.
Selama dua tahun lebih, pemuda 
berhati pualam, berkehendak sekeras 
baja murni menjalani tempaan. Baik itu 
berupa tempaan jasmani maupun rohani. 
Jurus-jurus silat tingkat tinggi
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan 
Tabib Sakti Pulau Dedemit diterimanya. 
Ajian-ajian ampuh dipelajarinya. 
Nilai-nilai darma kesatriaan dikucur-
kan ke dalam batin nya. Bagai sosok 
Gatotkaca yang harus dimasukkan dalam 
Kawah Candradimuka untuk mencapai 
tingkat demi tingkat kesaktiannya. 
Usai dua tahun.

Apakah dengan begitu Sang 
Dedengkot Gendeng Dongdongka berhasil 
mencapai keinginannya untuk menemui 
ajal sendiri yang sudah begitu lama 
didamba?
Pertanyaan yang tak mudah untuk 
ditemukan jawabannya. Karena, apa pun 
alasannya, bagaimanapun ngototnya 
usaha diperjuangkan tokoh sakti 
sesepuh para sepuh golongan lurus 
bertabiat sinting itu, urusan kematian 
bukan sekali-kali ditentukan seenak 
udel oleh dirinya sendiri. Nyawa 
adalah milik Sang Pencipta. Datang 
dari-Nya, dan kelak akan kembali pada-
Nya. Kapan waktu kembalinya si nyawa, 
Juga menjadi hak-Nya untuk menentukan.
Seperti sudah dimaklumi, menurut 
perhitungan Dongdongka, dia akan 
segera memasuki pintu kematian dengan 
tenang dan damai setelah tuntas 
menurunkan seluruh kesaktian pada 
murid pilihannya.
Pada purnama kedua puluh lima, 
satu purnama setelah seluruh ilmu Ki 
Kusumo dan Dongdongka diwariskan 
kepada Satria, Dongdongka memanggil 
pemuda itu.
Dongdongka duduk bersila di tepi 
pantai kala itu. Menghadap samudera 
yang tak pernah lelah mengayun 
gelombang. Tak pernah letih menyenan-
dungkan puji-pujian kepada Sang 
Pencipta. Duduknya hening. Napasnya

pun seolah larut dalam setiap desah 
ombak.
Satria mendatanginya dari bela-
kang.
"Kenapa Kakek memanggilku?" tanya 
pemuda tanggung itu.
Tak ada jawaban sampai beberapa 
tarikan napas. Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul masih mempertahankan 
keheningannya.
"Duduklah di sebelahku, Cah Gen-
deng," pinta Dongdongka sejurus 
kemudian.
Satria memenuhi permintaan guru-
nya. Bersilalah dia tepat di sisi kiri 
Dongdongka. Menghadap samudera seperti 
gurunya.
"Aku ingin menyampaikan satu hal 
yang penting kepada dirimu, Cah," 
mulai Dongdongka. Suaranya perlahan, 
menyelinapi setiap desir angin pantai.
"Katakan padaku, Kakek."
Dongdongka menghimpun napas.
Dalam.
Padat.
Sarat.
Mata kelabunya mencengkeramai 
setiap gemulai samudera di kejauhan 
sana.
"Dua tahun lebih kau telah 
menerima ilmu-ilmu dariku, juga dari 
Kusumo. Malam ini, tuntas sudah 
kewajiban kami terhadapmu." Tak ada 
tanda-tanda kalau kesintingan Sang

Dedengkot Sinting hari itu akan 
kambuh. Kata-katanya mengalir demikian 
datar.
"Tiba waktunya bagi kami berdua 
untuk melepasmu, memberimu kesempatan 
untuk mengamalkan seluruh kepandaian 
yang telah kau miliki. Bukan hanya 
sekadar untuk 'hidup'. Lebih dari itu, 
kami berharap kau dapat mengamalkannya 
untuk 'kehidupan’"
Satria tepekur mendengarkan. Rasa 
nya, memang sudah semestinya dia 
cepat-cepat kembali ke dunia persi-
latan. Ada banyak urusan yang sebelum-
nya tak terselesaikan. Satu ha! besar 
yang begitu mengusik pikirannya adalah 
Ki Ageng Sulut. Orang yang bertanggung 
jawab pada kematian Nyai Cemarawangi, 
juga orang yang telah merampas Kaii 
Naga Samudera dari Satria. Suatu saat, 
akan direbut nya kembali senjata 
pusaka itu, tekad Satria membatin.
"Sebelum kau kulepas, ada satu 
pemberian akhir dariku yang hendak 
kuserahkan padamu malam ini," lanjut 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Apa itu, Kakek?"
"Ajian Melepas Sukma'. Satu ajian 
yang tak bisa dipelajari sembarang 
orang, kecuali bagi yang memiliki 
kemurnian hati Kemurnian itu mendo-
rongnya untuk selalu membersihkan 
sukma. Kebersihan sukma itulah yang
memungkinkannya untuk mendapatkan

ajian 'Melepas Sukma'."
Melepas Sukma? Satria bertanya 
membatin. Ajian macam apa lagi itu? 
Sebentar, dia pun teringat pada 
kejadian ketika Ki Ageng Sulut 
menggempur habis-habisan di pelataran 
Perguruan Cemeti Api. Bukankah dia 
menyaksikan gurunya datang, yang pada 
dasarnya kehadirannya itu hanya 
diwakili oleh sukmanya?
"Untuk hal itu, kau tak 
memerlukan waktu lama. Aku cukup 
memasukkan 'kunci'nya ke dalam dirimu. 
Sebab, kau telah memenuhi syarat untuk 
menerimanya."
"Kunci?" gumam Satria. Di 
benaknya, terbayang sebentuk kunci 
sebesar jempol kaki Buto Ijo. Bagai-
mana caranya benda seperti itu hendak 
dimasukkan ke dalam dirinya? Jangan-
jangan gurunya hendak memaksanya 
menelan kunci. Atau setidak-tidaknya, 
akan dibuat semacam lobang di udelnya 
untuk memasukkan kunci itu. Apa iya 
begitu? Satria meringis. Ngeri.
"Kunci, Kakek?" tanyanya, ingin 
meyakinkan diri sendiri.
Dongdongka mengangguk.
"Besar apa tidak?" susui Satria 
sambil menelan ludah susah-payah.
Dongdongka kontan tergelak-gelak 
detik itu juga.
Tepat tengah malam, keduanya 
sudah terlihat duduk bersila


berhadapan. Masih di tempat yang sama. 
Telapak tangan keduanya bertemu di 
depan.
Dalam diam, dalam hening, dalam 
bisu yang dalam, keduanya tetap 
mempertahankan posisi.
Lama.
Malam beringsut. Dini hari jatuh.
Pada kokok ayam pertama, tubuh 
keduanya tampak mulai bergetar. 
Awalnya hanya sebentuk getaran halus. 
Lama kelamaan makin kasar. Selanjutnya 
seperti ada hentakanhentakan yang 
memaksa tubuh keduanya melonjak-lonjak 
kecil.
Kening, wajah, leher, dan 
sebagian tubuh Dongdongka dibasahi 
peluh. Asap tipis mengepul lamat dari 
setiap lobang pori-pori kulitnya. 
Sebaliknya, tubuh Satria justru tampak 
diserang oleh rasa dingin luar biasa. 
Uap tipis mengambang lambat. Juga dari 
seluruh lobang pori-porinya. Bibirnya 
sudah tampak membiru. Gigi-giginya 
saling beradu, bergemeletak halus.
Lalu rembang pagi mengambang 
diam-diam di cakrawala sebelah timur
Getaran tubuh kedua guru-murid 
itu pun melemah dan melemah. Sampai 
akhirnya tenang kembali. Hening 
kembali. Bisu kembali.
Tangan Satria terjatuh, beriring 
terjatuhnya tangan si tua bangka 
Dongdongka.

Satria yakin segalanya telah 
usai. Selama itu, dia tak merasakan 
apa pun. Aneh memang. Padahal mestinya 
dia mendapatkan serangan rasa dingin 
yang menyengat hingga ke tulang 
sumsum. Seingatnya, dia hanya 
merasakan ada sesuatu mengalir sejuk 
dari telapak tangan gurunya. Mengalir 
lagi melalui telapak tangannya lalu 
berdesir cepat bagai meliuknya seekor 
belut ke bagian dalam badannya di 
antara tulang belikat. Selain itu. tak 
ada.
Kelopak matanya pun dibuka. Kaget 
juga dia begitu menyaksikan 
pemandangan yang dilihatnya di depan. 
Matanya sampai membesar.
Matikah Dongdongka? Bukankah 
menurut perkiraan Dongdongka sendiri, 
dia akan segera dijemput maut jika 
seluruh kesaktiannya telah diturunkan 
pada sang murid, termasuk ajian akhir 
‘Melepas Sukma’?
Dua tiga tindak dari tempat 
Satria, si tua bangka ternyata sedang 
nungging di atas pasir.
Apa yang sedang dilakukan Kakek? 
Satria kebingungan. Disangkanya tin-
dakan Dongdongka sebagai bagian dari 
upacara penyerahan kunci ajian 
'Melepas Sukma'. Satria keliru besar. 
Sebab, tak lama kemudian terdengar 
suara raungan Dongdongka.
"Tobat tobaaaat, ya Gusti Agung!

Kenapa aku belum modar juga!"
Dan Dongdongka pun menangis 
seperti anak monyet kehabisan jatah 
pisang.
* * *
6
KUUNDANG kau ke keraton, Satria!" 
cetus Bagaspati yang kini telah 
menjadi salah seorang Patih Kerajaan 
Demak. Satria tercengang. Ke keraton? 
Bukan main, pikirnya. Tempat yang 
sebenarnya tak pernah mimpi untuk 
dimasuki. Tempat orang-orang besar. 
Bukan dirinya. Karena dia cuma satu 
dari wong cilik. Bahkan dengan 
keadaannya kini yang tidak pernah lagi 
mengetahui asal-usulnya, dia mungkin 
lebih pantas disebut gembel pengelana. 
Gubuk mungkin lebih pantas untuknya. 
Atau padang rumput, atau lembah, atau 
bukit, gunung yang semuanya terbuka. 
Sementara atapnya adalah langit. 
Meskipun, langit dan bentangan bumi 
pada hakikatnya jauh lebih megah dari 
keraton termegah sekalipun....
"Jangan terdiam seperti itu, 
Dinda Satria!" tegur Bagaspati ketika 
ajakannya ditanggapi Satria dengan 
mulut menganga. Baru kali itu pula 
disebutnya Satria dengan panggilan 
Dinda, sebagai orang yang berusia

lebih muda. Seolah-olah Satria sudah 
benar-benar berada dalam lingkup tata
krama kraton.
"Maksud Kakang, bertemu dengan 
Raja?" Mata Satria mulai membesar. 
Lugu sekali dia. Sifat murni seorang 
bocah yang masih saja dimilikinya
meski usianya sudah menapaki awal 
kedewasaan. Bagaspati tersenyum.
"Itulah maksudku! Sudah lama aku 
ingin memperkenalkan kau dengan 
Kanjeng Susuhan!"
"Memperkenalkan aku?"
Nganga si pemuda tanggung makin 
melebar.
"Aku sudah menjelaskan, bukan aku 
yang sebenarnya paling berjasa besar 
menumpas Laskar Lawa Merah. Bukan aku. 
Tapi, tampaknya Kanjeng Susuhan tak 
cukup puas sebelum dia menjumpai 
langsung orang yang kumaksud."
"Kakang sudah bertemu orangnya?" 
tanya Satria. Lagi-lagi lugu.
"Tentu saja kau!"
"Aku????" Satria nyengir-nyengir 
kuda. "Ah, masaaaaak?!"
Anak muda itu masih belum 
mengerti benar kenapa dia hendak 
dipertemukan dengan Raja Demak yang 
menguasai sebagian besar tanah Jawa? 
Mulutnya mau mengulur pertanyaan untuk 
keadan yang belum dimengertinya, tapi 
Bagaspati sudah mempersilahkan dia 
untuk menaiki kuda. Setelah sebelumnya

dia naik lebih dahulu.
Kaki Satria baru saja sampai pada 
pijakan di sisi perut kuda ketika satu 
kelebatan tiba-tiba memangkas udara 
dari arah samping. Arahnya deras 
menuju Satria. Ada desir tajam 
mengancam terbawa kelebatan itu.
Menyambar laksana tukikan elang.
Wesh!
Satria menggerakkan tangan 
sekali, menyambut kelebatan bayangan 
seseorang. Satu tamparan amat cepat 
yang akan memenggal telak-telak kele-
batan tadi. Hampir bisa dipastikan.
Namun, kejadiannya justru tak 
begitu. Sambutan tangan kokoh si 
pendekar muda tak lebih memangsa 
angin. Arah gerak kelebatan tadi 
mendadak berubah pada jarak dan 
kecepatan yang sebenarnya nyaris tidak 
mungkin untuk melakukan tindakan itu.
Seperti gerak Dewa Penunggang 
Angin....
Luar biasa!!
Selanjutnya kuda milik Bagaspati 
meringkik nyalang. Kelebatan sosok 
bayangan tadi mengejutkan, menyebabkan 
binatang itu mendepak-depakkan kaki 
depan tinggi-tinggi ke atas. Liar.
Bagaspati susah-payah berusaha 
menenangkan hewan itu kembali dengan 
ketangkasan yang terlatih selaku 
seorang Patih kepercayaan.
Satria sendiri sudah memutar

badan, mengikuti arah gerakan 
kelebatan bayangan tadi. Sekali lagi 
dia dipaksa terperanjat manakala 
menyadari matanya tidak lagi menangkap 
apa pun. Kelebatan bayangan tadi sudah
menghilang. Udara seakan telah 
menyembunyikannya.
Mata tajam Satria mencari-cari. 
Waspada. Disiapkannya kuda-kuda, tanpa 
mempedulikan apakah kuda jantan besar 
di belakangnya akan menghantamkan kaki
depan ke bokongnya. Pada dasarnya, 
Satria memang lebih mengkhawatirkan 
kelebatan bayangan tadi. Dia cepat 
menilai bahwa orang yang hendak 
mencari perkara barusan bukan orang 
sembarangan. Kesaktiannya sulit diukur 
olehnya, kendati dia sudah mewarisi 
ilmu-ilmu dua tokoh kenamaan tanah 
Jawa....
Menurut perkiraannya pula, bisa 
jadi orang itu setingkat dengan 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ya, 
Satria yakin! Lantas bagaimana dia tak 
men-anggapnya sebagai satu bahaya 
besar, jauh lebih besar dari amukan 
seekor kuda liar?
Bagaspati masih berkutat di atas 
punggung kuda agar tak terlempar, 
keempat prajurit pengawalnya memper-
siapkan posisi. Tombak di tangan 
mereka diacungkan ke depan. Mata 
keempatnya turut mencari-cari si biang 
keladi.

Sampai terdengar suara cekikik 
tinggi dari pucuk pohon besar yang 
tumbuh di tepi jalan utama. Mendirikan 
bulu roma siapa pun pendengarnya. 
"Hi hi hi hi!"
Satria mendongak. Keempat pra-
jurit turut pula. Sama-sama mereka 
temukan pemandangan menggetarkan 
nyali. Di pucuk pohon tempat asal tawa 
telah bertengger seorang nenek tua, 
yang tidak hanya jelek tapi sekaligus 
mengerikan.
Bagaspati yang merasa sia-sia 
menjinakkan kuda jantan nya segera 
saja melompat tangkas dari punggung 
hewan itu. Dengan sekali putaran 
ringan di udara, dia menempatkan diri 
di samping kiri Satria.
"Siapa dia Kang Bagaspati?" aju 
Satria.
Bagsspati sudah pula menyaksikan 
nenek jelek di pucuk pohon. Wajahnya 
berubah. Mengeras. Ada garis-garis 
yang sulit diterjemahkan. Bersit 
matanya yang selama ini tak pernah 
kehilangan ketegasan untuk beberapa 
jenak seperti tergetar, laksana pancar 
api lilin terhembus angin. Bukan 
persoalan takut penyebabnya. Apalagi 
untuk seorang ksatria sejati seperti 
dirinya. Lebih tepatnya ada sebentuk 
keterperanjatan teramat sangat.
"Nini Jonggrang...," desisnya 
kemudian, dalam getar suara yang sulit

disembunyikan.
Seperti dugaan Satria, Nini 
Jonggrang memang seorang nenek yang 
tingkat kesaktiannya tak berbeda 
dengan gurunya sendiri Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul. Di rimba 
persilatan tanah Jawa, Nini Jonggrang 
lebih dikenal dengan julukan Nenek 
Pengumpul Bangkai.
"Hey, anak muda berambut merah!" 
tukas nenek yang disebut Patih 
Bagaspati dengan nama Nini Jonggrang. 
Tidak ada lagi anak muda berambut 
merah lain yang dimaksudnya kecuali 
Satria.
Satria terpana-pana. Apa urusan-
nya dengan si nenek jelek itu sampai 
dia yang pertama kali ditukasi? Apa 
telah terjadi kesalah pahaman?
Tak peduli pada keterpanaan 
Satria, nenek jelek tadi menyambung 
ucapan bersuara sama serak dengan 
teriakan lapar sekawanan burung 
pemakan bangkai.
"Katakan pada gurumu, Dongdongka, 
bahwa urusan lama antara aku dengannya 
belum lagi tuntas. Kau sebagai 
muridnya, akan menerima pula ganjaran 
atas kesalahan yang telah dibuat 
gurumu terhadapku!"
Meski berpantang untuk membiarkan 
rasa takut tumbuh dalam dirinya, tak 
urung Satria merinding mendengar 
ancaman barusan. Jangan pernah

menganggap ancamannya main-main, 
begitu hati kecilnya memperingati.
"Ada urusan apa antara kau dan 
guruku sebenarnya, Nenek?" tanya 
Satria berseru. Dia tak ingin 
terjerumus dalam satu urusan yang sama 
sekali tak diketahui sebab musababnya.
Jawaban yang didapat cuma tawa 
terkikik pendek menohok langit. Untuk 
yang terakhir, terisi oleh tenaga 
dalam berkekuatan tak terukur.
Satria mendekap telinga kuat-
kuat. Tubuhnya terbungkuk mengejang. 
Liang telinganya seperti dirasuki oleh 
ular berbisa. Patih Bagaspati 
mengalami keadaan serupa. Keempat 
prajurit pengawal mengalami nasib 
lebih sial. Mereka langsung ter-
jengkang di tempat tanpa sempat 
menjerit. Sebagian selaput otak mereka 
pecah di dalam. Dari lobang telinga 
mereka mengalir darah segar. Mereka 
memang tak memiliki tingkat tenaga 
dalam seperti Patih Bagaspati atau 
Satria.
Lebih gila dari itu, ada sekitar 
tiga orang lain yang harus mengalami 
nasib tak kalah menyedihkan dengan 
keempat prajurit. Mereka cuma rakyat 
jelata yang kebetulan berada amat 
dekat dengan tempat kejadian. Mereka
tentu saja tak tahu menahu. Namun, 
mereka tetap membayar terpaksa dengan 
nyawa.

Begitu gema kikik hanyut dalam 
gelombang di angkasa, Satria membuka 
mata. Disaksikannya seluruh dedaunan 
tempat si nenek bertengger telah 
rontok sama sekali.
Tak ada sisa sehelai pun.
Terpangkas tuntas.
Sedangkan Patih Bagaspati 
menemukan kuda jantan gagah dari tanah 
Arab miliknya telah terbujur 
mengejang. Mulutnya mengeluarkan buih 
yang masih mengalir lambat.
Satria menggeram amat dalam saat 
pandangannya berpindah ke arah tujuh 
sosok mayat yang bergelimpangan di 
sekitar jalan utama. Darahnya 
mendidih. Terutama karena disaksi-
kannya tiga orang lelaki desa yang 
hendak berdagang di kotapraja dan 
kebetulan berjalan satu arah 
dengannya, telah turut terbantai.
Tahu pula dia kini bahwa nenek 
sakti bernama Nini Jonggrang tadi 
bukanlah manusia sejenis gurunya. 
Sesinting-sintingnya Dongdongka, tak 
akan begitu gampang menurunkan tangan 
keji pada orang lemah. Dia memang 
bukan seorang sesepuh yang begitu 
gencar menegakkan keadilan dan 
memerangi kebatilan. Namun dia masih 
cukup pantas untuk disebut sebagai 
tokoh golongan putih.
Sedangkan Nini Jonggrang tak 
lebih dari tokoh aliran sesat!

* * *
7
SATRIA dan Patih Bagaspati 
terpaksa kembali ke kraton berdua 
tanpa prajurit pengawal. Jarak tak 
begitu jauh ke keraton. Itu sebabnya 
mereka cukup berjalan kaki. Jenazah 
keempat prajurit dan tiga orang desa 
untuk sementara diurus oleh beberapa 
orang warga. Patih Bagaspati sendiri 
yang meminta tolong pada mereka.
"Kalau aku boleh tahu, ada urusan 
apa antara gurumu dengan Nini 
Jonggrang?" tanya Bagaspati, dalam 
perjalanan menuju kraton. Satria 
menggeleng.
"Aku tak tahu jelas, Kang," 
jawabnya."Kakek Dongdongka pun tak 
pernah menceritakan tentang itu 
padaku."
Bagaspati mengangguk-angguk. Ja-
waban Satria sudah memadai. Meskipun 
dia tak mendapatkan jawaban atas 
persoalan yang sebenarnya.
Dalam segala hal yang menyangkut 
keamanan seluruh wilayah Kerajaan 
Demak, Bagaspati merasa bertanggung-
jawab. Apalagi karena dalam urusan 
yang baru diketahuinya ini telah jatuh 
tujuh korban jiwa. Dia harus 
mengetahui inti permasalahan sebe-
narnya. Karena, sudah tentu Raja Demak

akan menanyakan jatuhnya korban jiwa 
tersebut langsung padanya. Namun 
karena Satria tidak tahu menahu, dia 
bisa menyelidikinya lain kali.
Hal paling mengusik Bagaspati 
sebenarnya adalah kemunculan Nini 
Jonggrang. Ketakutan besar yang pernah 
terjadi puluhan tahun silam memb-yang 
kembali di benak Bagaspati. Waktu itu 
dia masih begitu kecil, masih berusia 
delapan tahun.
Ketika bermain di pinggir sungai 
di satu wilayah Kediri, dia 
menyaksikan puluhan mayat lelaki 
dibawa arus sungai. Di atas salah satu 
bangkai, berdiri perempuan tua 
mengerikan. Dia tertawa terkikik-kikik 
menggidikkan, seakan baru saja 
menemukan kepuasan teramat sangat.
Saat melewati tempat Bagaspati 
kecil bersembunyi, perempuan menjelang 
tua itu melirik. Matanya merah seperti 
hendak membakar dari jauh nyali si 
bocah. Bibirnya menyeringai dengan 
lelehan lendir berwarna kemerahan.
Bagaspati kecil tersuruk mundur 
ketakutan.
Si perempuan menjelang tua malah 
meneruskan tawa, dan terus dibawa arus 
sungai dengan menunggang bangkai.
Beberapa lama kemudian, didengar-
nya kegemparan yang melibas segenap 
wilayah Kediri, Tentang pembantaian 
orang-orang persilatan yang dilakukan

oleh perempuan menjelang tua. Satu 
julukan terus didesas-desuskan ke mana 
pun dia pergi.... Perempuan Pengumpul 
Bangkai.
Ada kabar burung santer bergulir 
di segenap penjuru Kediri bahwa 
Perempuan Pengumpul Bangkai adalah 
wanita yang menuntut ajian sesat. 
Untuk penyempurna kesaktiannya, dia 
membutuhkan sejumlah mayat. Mayat itu 
sendiri harus didapatkannya dengan 
jalan membunuh langsung.
Setiap mayat yang berhasil 
didapatnya, dipindahkan ke satu tempat 
tersembunyi melalui sungai....
Bayang-bayang menakutkan masa 
kecil Bagaspati dibuyarkan oleh 
hadangan tangan Satria di depan 
dadanya.
"Ada apa Satria?" tanyanya.
Pemuda di sisinya hanya menatap 
lurus ke depan. Bagaspati mengikuti 
arah tatapan Satria. Ditemukannya 
seorang sedang menghadang jalan me-
reka. Orang itu mengenakan caping 
lebar. Bayangan caping menutupi 
seluruh wajahnya dan sebagian dadanya. 
Untuk sementara, masih sulit untuk 
menentukan lelaki atau perempuan. 
Tubuhnya tak terlalu tinggi. Ber-
pakaian serba hitam. Kulitnya putih. 
Sedikit memucat.
"Kenapa menghadang jalan kami, 
Saudara?" Bagaspati melontar per

tanyaan.
Seperti enggan untuk mengeluarkan 
suaranya, penghadang tadi menggangkat 
tangan kanan. Ditunjuknya Satria 
dengan gerak lambat berkesan me-
ngancam.
Satria merengut.
"Ada apa dengan diriku?" 
protesnya tak menerima. Jelas-jelas 
dia merasa baru kali ini berjumpa 
dengan orang itu. Satria yakin, 
meskipun dia belum bisa menemukan 
wajah di balik caping itu. Lalu kenapa
tiba-tiba dia mendapat tudingan.
Sial benar nasibnya ini hari. 
Dengan kali ini dia sudah mendapatkan 
urusan dua kali. Kedua-duanya dari 
orang yang sama sekali tak dikenalnya. 
Pertama dari seorang nenek jelek. 
Sekarang dari orang bercaping yang 
wajahnya mungkin rata, atau hidungnya 
sebesar dengkul. Dan siapa tahu pula 
dengkulnya malah sebesar hidung?
Menjengkelkan!
"Kau harus bertarung denganku!" 
tandas orang bercaping. Suaranya 
seperti sengaja hendak disamarkan. 
Namun sudah cukup jelas bagi telinga 
Satria maupun Bagaspati.
Nah, lo! Satria tambah merengut. 
Ini lebih gila lagi, pikirnya. Tak ada 
angin tak ada kentut, bisa-bisanya 
orang itu mengharuskan dia untuk 
bertarung. Apa tidak gila


kedengarannya?
"Aku tak punya urusan denganmu!" 
tepis Satria. Bukan persoalan takut. 
Dia hanya tak ingin berurusan tanpa 
alasan jelas.
"Tak perlu membuat urusan dengan-
ku dulu untuk memulai pertarungan!"
Satria mengeraskan rahang keras-
keras. Kalau terus begini, bisa-bisa 
dia terpancing untuk bertarung juga 
akhirnya. Dongkol sebesar kepalan 
centeng terasa melonjak ke tenggorokan 
mendengar perkataan orang bercaping. 
Masa bertarung tanpa ada urusan? Itu 
kan, sama saja dengan orang gila yang 
tertawa tanpa sebab? Orang ini gila 
apa waras?
Satria berjuang untuk tetap 
tenang. Sabar, pikirnya. Beberapa 
persoalan biasanya cukup diselesaikan 
dengan kesabaran.
Bagaspati maju dua tindak. 
Jabatannya sebagai seorang petinggi 
istana menyebabkannya merasa harus 
menjadi penengah dalam persoalan dalam 
negeri. Biarpun pada dasarnya setiap 
tanggung jawab dalam negeri tidak 
dibebankan padanya.
"Sebaiknya kita membicarakan 
masalah ini dengan kepala dingin, 
Kisanak," ucapnya. Dari caranya me-
nyebut 'kisanak' tampaknya dia 
menganggap penghadang tadi seorang 
lelaki.

"Tak perlu!" tepis si penghadang
tegas.
Angkuh sekali orang ini, rutuk 
Satria dalam hati. Tak bisa tidak, 
kejengkelannya bertambah membesar. 
Entah sebesar panu atau koreng. 
Pokoknya membesar.
"Tapi leluhur bumi JawaDwipa ini 
mewariskan musyawarah pada kita, 
bukan?" Bagaspati terus mencoba.
"Kubilang tak perlu! Aku hanya 
harus bertarung dengan dia dan
membunuhnya!" hardik si penghadang.
Tambah lagi kejengkelan Satria. 
Sekarang, kejengkelannya sudah luber. 
Kesabarannya sakarat. Sedikit lagi. 
Yang jelas penyebab utamanya adalah 
ucapan terakhir si penghadang. 
Membunuhku? Cibir Satria membatin. Apa 
dikiranya dia sejenis lalat dari 
selokan keraton yang gampang ditepuk, 
plok! Lantas modar? Sial benar!
Kesabaran Satria, si pemuda yang 
mulai sering disebut-sebut dengan 
julukan Ksatria Gendeng ini benar-
benar bures ketika si penghadang 
melepas tendangan terbang berbahaya ke 
pelipis Bagaspati....
"Hiaa!" 
Deb!
Sodokan punggung kaki 
penyerangnya dihindari Bagaspati. 
Mulus. Tak tampak gelagat Sang Patih 
Demak satu ini hendak membalas. Tak

seperti Satria, kematangan usia dan 
godokan keprajuritan yang diterimanya 
selama ini membuat dia lebih bisa 
menguasai diri.
Kejap berikutnya, tubuh orang 
bercaping berputar di udara. Kaki yang 
lain membuat satu sapuan menyamping. 
Arahnya tetap pelipis Bagaspati.
Bagaspati merasa dikejar. Dia tak 
bisa menghindar lebih jauh. Karenanya, 
dihadangnya sapuan kaki lawan dengan 
kedua pergelangan tangannya.
Dash!
Orang bercaping tak puas sampai 
di situ. Tiba di bumi, kedua tangannya 
mencecar bergantian. Sasarannya 
beberapa titik mematikan di tubuh Ba-
gaspati. Serbuan yang terbilang kejam 
untuk seorang yang belum pernah 
berurusan dengan lawan sekalipun!
Bagaspati mengendusi hawa 
mematikan dalam setiap gempuran tangan 
lawan. Bersamaan dengan itu, tumbuh 
kesadaran dalam dirinya, serangan la-
wan tak bisa dihadapi hanya dengan 
menangkis atau menghidar semata. Harus 
ada perlawanan.
Selain itu, dari benturan pertama 
tadi saja Sang Patih Kerajaan Demak 
itu sudah bisa mengukur tingkat ilmu 
kanuragan lawan. Jika tak salah 
menduga, lawan berada setingkat dengan 
dirinya untuk kehandalan memainkan 
jurus-jurus silat. Dan untuk satu hal


kekuatan tenaga dalam orang bercaping 
malah berada di atas Bagaspati.
Bahaya setiap saat mendatangi 
Bagaspati.
Dab! Dab! dab!
Satu gerak tangan lawan mematuk 
lurus ke tenggorokan Bagaspati. 
Bagaspati mencoba menahan dengan 
telapak tangannya. Karena tenaga da-
lamnya berada sekian tingkat di bawah 
lawan, tangannya terdorong. Hampir 
saja menghantam wajah sendiri.
Sisa gempuran tangan lawan mem-
buru cepat, deras, ganas ke jantung, 
ulu hati, dan dua buah pinggangnya.
Kejap itulah Bagaspati menyadari 
satu hal lagi. Dalam kerepotan meng-
hadapi serbuan tangan lawan, matanya 
membeliak lebar. Tak sadar, 
didesiskannya satu kalimat....
'"Enam Patukan Sang Pengumpul 
Mayat'!"
Untuk melepas kalimat itu, 
Bagaspati harus membayar cukup mahai. 
Lawan mendadak sontak menaikkan kaki 
kanan tinggi-tinggi. Mata Bagaspati 
mengikuti tanpa sadar. Begitu 
kepalanya mendongak, kaki lawan 
membuat gerakan memenggal dari atas.
"Ahk!"
Tubuh Sang Patih Perkasa 
terdorong. Langkahnya kacau, tak bisa 
lagi mengendalikan kuda-kuda. Wajahnya 
berhasil didarati telapak kaki lawan.

"Kang Bagaspati!"
Satria tercekat. Untuk bertindak, 
tampaknya sudah terlambat. Namun untuk 
menyelamatkan nyawa satu-satunya 
perwira tinggi yang begitu setia 
dengan Raden Fattah, dia masih punya 
kesempatan.
"Heeaaatt"
* * *
8
JANGAN tanya bagaimana gusarnya 
Satria menyaksikari sepak terjang 
orang bercaping. Sudah cukup dia 
berdiam. Sudah cukup. Api tak mungkin 
tak membakar kalau tak ada yang 
menyulut.
Seperti seekor singa jantan, 
Satria menerkam untuk menyelamatkan 
Bagaspati dari patukan sepasang tangan 
orang bercaping yang mengancam 
tenggorokannya, titik tubuh yang 
sedang terbuka lebar saat lelaki itu 
menengadah kesakitan. Tidak, mungkin 
lebih tepat diibaratkan seperti seekor 
lumba-lumba jantan yang sedang menukik 
ke permukaan laut setelah menggapai 
udara.
Wukh!
Dash!
Benturan hebat terjadi di udara 
siang yang semakin bersinar garang.

Antara ujung jari-jemari orang 
bercaping dengan tinju Satria.
"Aih!"
Pekikan mencelat dari kerong-
kongan orang bertopeng. Pekikan asli 
yang tak lagi dibuat-buat. Tak lagi 
disamarkan demikian rupa. Sebentuk 
suara yang semakin jelas menunjukkan 
apakah orang itu perempuan atau 
lelaki.
Berbareng dengan itu, Satria pun 
mengeluh tertahan.
Tubuh dua seteru itu terpental. 
Melayang di udara beberapa tombak 
seperti dua batang bambu yang dihempas 
ledakan mesiu. Keduanya berputaran di 
udara. Keduanya memang menguasai 
peringan tubuh cukup sempurna. Dan 
tingkat tenaga dalam mereka pun 
sepertinya cukup berimbang.
Satria berhasil memacakkan kaki. 
Demikian pula lawannya.
Meskipun tampak berimbang, dalam 
segebrakan barusan Satria mendapatkan 
sedikit kemenangan. Entah bagaimana 
caranya, tangan pemuda baru turun ke 
rimba persilatan itu sudah memegang 
caping lawan.
Kini, terbukalah penampakan wajah 
orang bercaping. Parasnya bukanlah 
teka-teki lagi, bukan pula rahasia 
lagi. Wajah yang diterjang tegas-tegas 
sinar matahari siang si pemilik caping 
memaksa Satria terperangah.

Dia tak hanya kaget. Juga tak 
menyangka.
Wajah itu... memang telah 
mendekam cukup lama dalam ingatannya! 
Bahkan sudah begitu lekat. Lekat, 
seketat mulut kerang dasar samudera!
"Mayangseruni????"
* * *
Dongdongka sedang tepekur mere-
nungi perjalanan nasibnya. Karena 
sudah terlalu lama hidup di atas 
dunia, dia sampai tak tahu pasti sudah 
berapa usianya. Mungkin lebih dari 
seratus. Atau dua ratus? Atau lebih?
Semenjak belasan tahun 
belakangan, dia dibuat sebal, kesal, 
dongkol, jengkel, dan sejenisnya de-
ngan segala tingkah tengik dunia. 
Seperti seorang yang telah begitu 
kekenyangan memakan sesuatu sampai 
akhirnya malah menimbulkan kemuakan. 
Inginnya dia mati, biar terlepas 
seluruh beban yang selalu menggang-
gunya selama masih bernapas dan 
menyaksikan ketengikan tadi.
Dan, kalau sedang ingat pada 
Tuhan, doanya cuma satu. Dimohonnya 
agar Sang Gusti Agung segera mengirim 
malaikat maut untuknya. Sampai 
sekarang, doa itu belum juga terkabul, 
bul bul!
Kadang-kadang, sempat terpikir

oleh sesepuh bangkotan ini bahwa Tuhan 
mungkin kikir. Dia toh, tak minta 
macam-macam. Orang lain silakan me-
mohon setengah mampus sampai 
terjungkal-jungkal untuk mendapatkan 
harta sebanyak dunia dan seisinya, 
atau jabatan setinggi ubun-ubun 
langit, atau kesenangan yang melimpah 
ruah seperti adonan bubur kebanyakan 
air. Sedangkan dia kan, cuma minta 
mati. Mati, mati, mati. Sekali lagi 
mati! Apa susahnya buat Tuhan?
Waktu melihat lalat yang begitu 
mudah mampus tergenjet kotoran kerbau, 
Dongdongka cemburu.
Waktu ada seekor semut mati 
dengan sukses tenggelam di genangan 
air, Dongdongka juga ngiri banget-
banget. Begitu gampangnya mereka mati? 
Jangan-jangan Tuhan bukannya kikir. 
Barangkali, cuma pilih kasih?
Idih, hidup kenapa sulit sekali 
dimengerti!
Si tua bangka sesepuh dunia 
persilatan tanah Jawa itu berada di 
tepi sungai. Sudah cukup jauh dari 
Tanjung Karangbolong. Di atas sebuah 
batu besar, dia berjongkok. Apa 
enaknya tepekur sambil berjongkok? 
Maklum, saking kebelet mau mati, cara 
duduk yang lebih nyaman saja sampai 
lupa. Bertopang dagu dia. Matanya sayu 
tanpa binar menatapi arus sungai yang 
mengalir lambat tenang. Gemericik


damainya tak pernah bisa dinikmati 
Dongdongka. Seperti juga tak bisa 
dinikmatinya kerlap-kerlip pantulan 
sinar matahari di permukaan sungai.
Bibir kendor leiaki bosan hidup 
itu terus menggumamkan satu kata 
berulang-ulang.
"Mati... mati... mati... 
mati...."
Kasihan dia. Sikapnya sudah 
seperti orang linglung. Sinting sih, 
tidak. Sebab, dia sendiri sebenar nya 
sudah terbiasa bertingkah sinting. 
Malah dia mulai bosan dengan hal itu.
Suatu saat, pandangan hambarnya 
diusik oleh seekor burung kecil yang 
menukik tiba tiba dari udara menuju 
permukaan air sungai. Tukikannya cepat 
dan tangkas. Di permukaan sungai, 
burung kecil itu menyambar seekor ikan 
kecil. Dibawa larinya si ikan kecil ke 
udara.
Ikan kecil malang menggelepar 
gelepar di himpitan paruh si burung. 
Maut seperti akan segera menjemputnya. 
Dan sebentar lagi, tentu dia akan 
menjadi isi perut burung yang 
menyambarnya dari permukaan sungai.
Entah bagaimana, Dongdongka terus 
mengikuti arah terbang burung itu. Dia 
sebenarnya tak tertarik. Namun, ada 
semacam dorongan hati untuk terus 
mengamati.
Di udara lepas bebas, ternyata

tak cukup bebas untuk si burung. Dari 
arah selatan tiba-tiba saja menyambar 
cepat dan bengis seekor rajawali
besar.
Crep!
Burung tadi dicengkeramnya dengan 
cakar kokoh. Burung pemakan ikan yang 
hanya berukuran sedikit lebih besar 
dari cakar sang rajawali ganti 
menggelepar-gelepar meregang maut. 
Sementara itu, ikan kecil di paruhnya 
terlepas. Bebas. Jatuh pun bebas.
Plung!!
Kembalilah dia ke sungai.
Si burung pemangsa ikan dilarikan 
ke awang-awang oleh rajawali perkasa,
Dongdongka terpesona. Semula dia 
menganggap nyawa si ikan kecil akan 
segera tamat hanya dalam beberapa 
kedip mata berikutnya. Kenyataan yang 
dilihatnya kini berbalik sama sekali. 
Si ikan kecil kini tampak riang 
berlarian dalam beningnya air sungai. 
Sementara nasib si burung pemangsa 
ikan entah bagaimana.
Dongdongka dengan takjub terus 
mengikuti gerak-gerik si ikan kecil 
yang ternyata seekor betina berperut 
buncit. Merenangi sungai dia, 
menentang arusnya sejenak, lalu 
berkelok mengikuti ke mana air sungai 
mengalir. Beberapa saat kemudian, si 
ikan kecil berenang menuju bawah batu 
yang diduduki Dongdongka. Melenggak

lenggok dia seperti menggeniti hati
murung Dongdongka.
Dongdongka makin terpincut untuk 
mengamatinya. Aih, lucunya. Aih 
menggemaskannya.... Lalu, disaksika-
nnya si ikan kecil mengeluarkan telur-
telur dari mulutnya. Berhamburanlah 
telur-telur halus ke sekitar permukaan 
batu berlumut.
Usai semua itu, Dongdongka sontak 
bangkit dari jongkoknya. Wajahnya 
entah bagaimana berubah terang ben-
derang. Bak mendung yang tersibak, 
memperlihatkan pancaran sinar mentari. 
Bibir peyotnya memasang senyum lepas. 
Senyum teramat bebas, seperti udara 
bebas atau arus sungai bebas.
Lalu terdengar bisiknya,
"Gusti Agung, ternyata Engkau 
tidaklah kikir atau piiih kasih. Kau 
membiarkan aku tetap hidup karena Kau 
memiliki rencana lain untukku. Seperti 
Kau membiarkan hidup ikan kecil itu 
agar dapat menelurkan telur-telurnya 
untuk kelanjutan kehidupan yang Kau 
pelihara...."
Mata si tua digenangi garis 
bening. Keharu biruan Dongdongka 
dibuyarkan oleh teriakan cempreng 
memekakkan telinga.
"Dongdongkaaaa!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
berbalik.
Seorang nenek peyot jelek sudah

berdiri dilepi sungai dengan sikap 
permusuhan.
"Kau? Apa maumu menemuiku, 
Jonggrang?!!" Wajah Dongdongka 
berubah. Ada garis-garis kegusaran 
merangas.
"Hi hi hii"
"Jangan ketawa!"
"Hi hi hi! Suka-suka aku!"
"Hi hi hi," cibir Dongdongka. 
"Kau sudah jelek. Kalau tertawa jadi 
tambah jelek, tahu!"
"Hi hi hi, kau juga jelek!"
"Dibanding kau, masih jelek aku"
"Memang!"
"Eh, maksudku, dibanding aku, 
masih bagus kau!"
"Memang, hi hi hi!"
"Eh, salah lagi. Brengsek! Ah, 
sudah! Sekarang katakan, apa maumu 
menemuiku? Bukankah sudah hampir empat 
puluh tahun kita tak bertemu? Dan 
sampai aku mati nanti, lebih baik 
tetap begitu!"
"Empat puluh sembilan tahun, tiga 
bulan, sembilan hari tepatnya!"
"Masa bodoh!"
"Aku hanya ingin menjelaskan 
padamu kalau utangmu padaku akan 
segera kau lunasi!"
Mata Dongdongka membesar. Men-
dengar kata 'utang' disebut-sebut si 
nenek yang tak lain Nini Jonggrang, 
kakek bangkotan itu seperti disulut

api.
"Apa maksudmu?!" bentaknya. Dia 
bertolak pinggang.
"Muridmu. Kau tentu masih ingat 
kalau kau tak terlalu pikun, bukan?"
"Muridku, kenapa dengan murid-
ku?!" 
"Kau akan tahu nanti!" 
"Sekarang saja, tahu!"
Dengan membubungkan cekikik tak 
sedap di telinga, Nini Jonggrang 
berkelebat dari tempatnya bagai setan 
perempuan mau datang kendurian.
"Jonggrang!!! Kalau sampai ter-
jadi apa-apa pada muridku, kulit 
kendor di jidatmu akan kukuliti! Kulit 
jidatmu itu akan kubuat kantong 
kemenyan, tahu! Hey Jonggrang, kau 
dengar aku????!!!!!"
* * *
Meski telah dua tahun tak pernah 
berjumpa kembali, ingatan Satria pada 
perempuan muda belia seusianya yang 
berdiri berhadapan dengannya kini tak 
akan mungkin dilupakan. Wajah yang 
kemiripannya nyaris sempurna dengan 
seseorang yang menempatkan bilah cinta 
pertama dalam diri si anak muda, 
Tresnasari. Karena itu, dia tak akan 
mungkin lupa!
Siapa gadis berwajah mirip 
Tresnasari yang dijumpainya dua tahun

lalu kalau bukan Mayangseruni. Dan 
nama itu baru saja didesiskan Satria 
dengan sehimpun rasa kaget.
Gadis itu pun memperlihatkan 
keterkejutan di raut wajahnya demi 
menyaksikan jelas-jelas paras orang 
yang ditantangnya untuk bertarung. 
Selama ini, tampaknya dia tak melihat 
langsung wajah calon lawannya karena 
terhalang oleh caping lebar. Ketika 
caping itu terebut oleh tangan Satria, 
semuanya pun berubah.
Kejadiannya begitu tampak aneh. 
Siapa pun akan menganggap begitu. 
Termasuk anggapan Satria sebelumnya. 
Bagaimana mungkin gadis muda itu tahu-
tahu hendak membunuh orang yang belum 
lagi dilihat wajahnya secara langsung?
Namun semuanya akan menjadi jelas 
bila mengetahui duduk persoalan 
sebenarnya. Baik bagi Satria ataupun 
si gadis sendiri.
"Mayangseruni, aku tak menyangka 
kau akan sedendam ini padaku setelah 
aku membunuh ayahmu, Dirgasura (Untuk 
mengetahui bagian kisah tersebut, 
bacalah episode sebelumnya : "Kail 
Naga Samudera")! Waktu itu, mana aku 
tahu kalau pemimpin gerombolan Laskar 
Lawa Merah adalah ayah kandungmu 
sendiri.... Sampai saat ini, bahkan 
aku tak mengetahui secara jelas, 
bagaimana asal-usul kau sebenarnya. 
Sampai kau harus bertemu dengan ayah

kandung yang sebelumnya sama sekali 
tak kau kenali...." Satria nyerocos 
panjang lebar. Dia yakin sekali kalau 
tindakan penyerangan yang dilakukan si 
gadis disebabkan dendam terhadap 
dirinya.
Gadis berambut panjang lepas yang 
berdiri sejauh delapan langkah dari 
tempat Satria mulai pula 
memperlihatkan keheranan atas setiap 
perkataan yang didengarnya dari mulut 
Satria.
"Apakah kau benar-benar Satria?" 
tanyanya ragu.
Satria jadi bengong ditanya 
seperti itu. "Apa maksudmu bertanya 
begitu? Aku memang Satria. Kau pikir 
siapa?" Satria balik bertanya. Dengan 
keheranan yang tak kurang sarat di 
wajahnya.
"Lalu, kenapa kau memanggilku 
Mayangseruni? Siapa dia?" susul si 
gadis berparas ayu yang keayuannya itu 
mulai mematang dieram usia menjelang 
dewasa.
Satria tak mengerti ini. Semuanya 
betul-betul membingungkan. Padahal dia 
sudah begitu yakin bahwa gadis yang 
berhadapan dengannya kini adalah 
Mayangseruni. Dan kalau Mayangseruni 
memusuhinya, tentu karena Satria 
pernah punya hutang nyawa membunuh 
ayahnya. Tapi, sekarang gadis muda ayu 
itu malah mengaku dirinya bukan Ma

yangseruni. Apa-apaan ini?
Tiba-tiba, plak! Satria menampar 
keningnya kuat-kuat. Pikirannya jadi 
terbuka sekarang. Dia ingat, dulu dia 
pernah salah menyangka. Mayangseruni 
dikira Tresnasari. Kali ini, dia yakin 
telah salah menyangka lagi.
"Apakah kau...." Satria tak 
melanjutkan ucapan. Mungkinkah gadis 
yang disaksikannya kini benar-benar 
Tresnasari? Gadis impiannya yang telah 
hilang sekian lama? Yang kehilangannya 
membawa lari cinta pertama si perjaka 
gagah dalam ketidakpastian?
"Aku Tresnasari, Satria? Apa kau 
lupa padaku?"
"Tresnasari?" Nama gadis itu 
akhirnya terlahir dalam gumaman ragu 
Satria.
Si dara nan ayu melangkah. 
Satu... dua... tiga tindak. Ragu. 
Sinar matanya berbinar-binar. Wajahnya 
sendiri masih dikungkung kebingungan
atas sikap Satria.
Satria sendiri malah bengong 
seperti kerbau linglung.
Sampai akhirnya, Tresnasari 
menghambur ke arah Satria. Satria 
didekapnya kuat-kuat. Hangat.
Gegap. Wajahnya tersuruk dalam di 
bahu kekar si perjaka muda yang kini 
telah menjadi seorang pemuda gagah 
(meskipun sifat lugunya masih belum 
minggat-minggat juga!). Terdengar
seguk kecilnya di telinga Satria.
Satria masih saja bengong. 
Melompong.
* * *
9
KERATON Demak. Di ruang pendapa. 
Tresnasari selesai menuturkan cerita 
dirinya selama lebih kurang dua tahun 
terakhir ini pada Satria. Bahwa dia 
terpaksa menjadi murid Nini Jonggrang, 
seorang wanita tua penganut ilmu sesat 
yang menyandang julukan mengerikan 
sepanjang lebih dari tiga puluh tahun 
terakhir.
Lalu kenapa Tresnasari jadi 
menyerang Satria waktu itu? Si dara 
ayu yang menanjak dewasa seperti juga 
Satria itu pun menjelaskan. Nini Jong-
grang memang telah mempunyai rencana 
semenjak Tresnasari menjadi muridnya. 
Dia hendak menuntut balas dendam pada 
Dongdongka. Namun karena satu sebab, 
dia tak bisa langsung menuntutnya pada 
Dongdongka. Karena dia mendengar kabar 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul telah 
mengangkat murid, maka dia hendak 
membalaskan dendamnya melalui Satria, 
murid Dongdongka.
Setelah dianggap telah cukup 
berguru, Tresnasari sebagai muridnya 
diperintah untuk menyingkirkan sese

orang. Tak dijelaskan padanya siapa 
yang harus dibunuh. Dan kenapa harus 
membunuh.
Dia hanya diantar ke kotapraja 
untuk menemui seseorang yang telah 
diamat-amati beberapa lama oleh Nini 
Jonggrang. Semula Tresnasari tidak 
sudi menuruti perintah gurunya. Namun 
karena gurunya menurunkan ancaman, dia 
tak bisa berbuat banyak. Biar 
bagaimanapun, keadaan jiwa Tresnasari 
memang dalam keadaan lemah semenjak 
kehilangan ibu tercintanya. Dia begitu 
rapuh. Sehingga, dengan mudah Nini 
Jonggrang menguasainya.
Karena tak ingin menyaksikan 
wajah orang yang hendak dibunuhnya, 
Tresnasari mengenakan caping. Dia tak 
ingin nantinya dibayang-bayangi baya-
ngan wajah orang yang dibunuhnya. 
Apalagi jika di belakang hari 
diketahuinya kalau orang itu tak 
pantas mati.
"Jadi selama dua tahun ini kau 
telah berguru pada perempuan tua sesat 
itu?!" perangah Satria.
Tresnasari mengangguk perlahan. 
Ada garis penyesalan di wajahnya.
"Kenapa Tresnasari? Kenapa?" 
Tresnasari seperti tak suka mendengar 
pertanyaan jejaka yang juga telah 
memperkenalkan ke dalam relung hatinya 
cinta pertama itu. Dia merasa sedang 
diadili. Karenanya dia tak ingin

menjawab pertanyaan terakhir Satria.
Satria mengheia napas. Dirang-
kulnya bahu gadis di sisinya, lembut.
"Maaf kalau kau merasa 
tersinggung dengan pertanyaanku, 
Tresna. Namun yang jelas, aku tak 
ingin menghakimimu. Sama sekali tidak. 
Sebab, menurut penilaianku, tak ada 
yang batil di alam semesta ini. Tak 
juga ilmu olah kanuragan yang kau 
pelajari. Hakikat kebatilan itu hanya 
terjadi karena kita salah menempatkan 
sesuatu pada tempat semestinya...," 
papar Satria.
Sebentar dia berhenti. Diulurnya 
napas.
"Dalam hal ini, ilmu olah 
kanuragan apa pun akan menjadi batil 
jika dipakai untuk jalan sesat. Jadi 
yang sesat sebenarnya adalah manusia 
pemiliknya. Itu maksudku. Kau paham?"
Barulah Tresnasari mau 
mengangguk. Lega rasanya perjaka 
pujaan yang sempat disebalinya bukan 
main saat awal perkenalannya itu tidak 
berniat menyudutkannya. Apa lagi 
hendak menghakimi.
"Terima kasih, Satria," hatur 
Tresnasari. Haru. Dibalasnya rangkulan 
tangan Satria dengan pelukan kecil.
Lalu keduanya menikmati keheni-
ngan yang terpadu menjadi satu dalam 
percakapan hati yang hanya bisa 
dimengerti oleh mereka sendiri.

"Bagaimana dengan nasib ibuku?" 
tanya Tresnasari kemudian. Sebelumnya, 
wajah ayu gadis itu berubah murung.
"Dia telah tiada, Tresna. Aku 
menyesal sekali."
"Bukan itu maksud pertanyaanku. 
Aku tahu, beliau telah meninggal ka-
rena penyakitnya. Yang ingin 
kutanyakan, apakah dia meninggal dalam 
keadaan menderita?"
Giris hati Satria mendengar 
pertanyaan bergetar disesaki kesedihan 
dalam Tresnasari. Keluguannya menitah-
nya untuk mengatakan segala sesuatu 
apa adanya. Namun kebijakannya 
menimbang lain. Tentu hati Tresnasari 
akan terluka parah andai dikatakan 
kalau....
"Tidak Tresna. Ibumu meninggal 
dengan tenang. Dengan damai," akhirnya 
Satria terpaksa berdusta.
Tresnasari terdiam. Tatapannya 
menerawang lowong. Sepertinya dia 
melacaki hari-hari yang telah lewat 
selama dia bersama ibu tercintanya.
Dan tanpa terasa ada titik bening 
mengguliri pipi.
Satria tak bisa berkata apa pun. 
Dia hanya bisa menawarkan pelukan 
penghibur. Dia berharap pelukan itu 
dapat sedikit mngobati pedih di hati 
Tresnasari.
Keduanya hening lagi.
Bagaspati datang beberapa saat

kemudian. Di tangga pendapa, sesaat 
dia berhenti. Ragu, apakah mesti 
diusiknya dua insan yang sedang 
menikmati kebisuan itu?
"Silakan Kakang," ucap Satria, 
menyadari Bagaspati sudah berdiri tak 
jauh dari tempat mereka, Malu-malu dia 
melepas pelukan. Bibirnya cengir sini
cengir sana.
Tresnasari tergesa menghapus 
genangan air matanya. Dia pun berusaha 
tersenyum meski rapuh.
Bagaspati tersenyum. Dia maklum 
pada keadaan Satria atau Tresnasari. 
Dulu pun dia pernah muda, bukan?
"Kanjeng Susuhan berkenan bertemu 
denganmu, Dinda Satria, Dinda 
Tresnasari." Kabarnya kemudian.
"Yak. kami siap! Eh, apa?!"
Satria jadi kaget sendiri. Jadi, 
Raja Demak berkenan bertemu dengan 
mereka berdua? Benar begitu? Rasanya 
sulit dipercaya!
Kita akan bertemu Raja, Tresna! 
Kanjeng Susuhan!" Satria hampir saja 
berjingkat kegirangan. Sewaktu kepala 
Bagaspati menggeleng-geleng, pemuda 
itu jadi malu hati sendiri. Buru-buru 
diperbaikinya sikap.
"Ehm ehm! Baik Kang Bagaspati. 
Kalau begitu, kami 'persilakan' Kakang 
untuk membawa kami ke hadapan Kanjeng
Susuhan, kata Satria dengan gaya 
seorang ningrat. Lagak!

* * *
"Ke mana Cah Gendeng itu, 
Kusumo?"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
datang sradak-sruduk ke gubuk di tepi 
pantai Tanjung Karangbolong. Semadi Ki
Kusumo jadi berantakan gara-gara 
bangkotan satu ini. Sudah masuk tak 
ketuk pintu. pakai teriak-teriak lagi.
"Dia tak berkata padaku hendak ke 
mana," jawab Ki Kusumo. Saat itu si 
tabib kenamaan tanah Jawa yang tak 
memiliki kaki lagi sedang di atas 
balai.
"Kacau balau!"
Alis putih jarang Ki Kusumo 
mengernyit. Baik sikap, sifat atau 
sepak terjang sesepuh gendeng yang 
tetap dihormatinya itu kerap kali 
membuatnya pusing sendiri. Kacau 
balau, apa maksudnya? Kalau persoalan 
tak jadi mati, sudah beberapa hari Ki 
Kusumo tahu. Rasanya persoalan itu
belum cukup bisa disebut kacau balau. 
Sebaliknya, kesintingan Si Tua Bangka 
Sinting malah melorot.
Jadi persoalan mana yang dianggap 
kacau balau?
"Apa maksudmu, Panembahan?" 
"Anu.... Jonggrang mulai cari 
gara-gara lagi padaku!"
"Nini Jonggrang?"
"Iya, Kusumo. jonggrang, nenek

jelek bau itu! Apa tadi aku debut 
'jomplang' atau jamblang'? Eh, 
bagaimana kau ini, Kusumo?"
"Apa maunya si Perempuan 
Pengumpul Bangkai itu?" .
"Tidak mau apa-apa. Cuma dia 
memang sirik saja! Dia mau balas 
dendam padaku! Bayangkan, Kusumo! 
Bayangkan!" Dongdongka melempar pantat 
teposnya ke balai. Balai bambu sampai 
berderak mau patah. Lalu dipeluknya 
lutut. Dagunya ditopangkan ke salah 
satu dengkul antiknya. Dia pun manyun.
"Lalu apa hubungannya dengan 
Satria?" Ki Kusumo ingin tahu lebih 
jelas.
Dongdongka menggerakkan leher, 
menaikkan kepala. Bernafsu. Persis 
seperti onta padang pasir yang 
celingukan mencari mata air di gurun.
"Tai kucing, si Jonggrang ini! 
Aku yakin dia punya niat jelek pada 
Cah Gendeng kita. Niat jelek, tahu?! 
Seperti mukanya yang jelek itu! Ah, 
aku sebal sama dia!"
Ki Kusumo mengangguk-angguk. 
Sampai di sana, dia tak butuh bertanya 
lagi. Semuanya sudah agak jelas di 
benak orang tua yang bersifat amat 
bertolak belakang dengan Dongdongka. 
Kalaupun belum jelas, rasanya percuma 
bertanya lebih banyak saat Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul sedang sewot.
Namun, ada keresahan yang

menjalar diam-diam di dalam diri Ki 
Kusumo. Keresahan yang dilahirkan oleh 
kecemasan pada keselamatan Satria, 
murid kesayangannya. Sebab, dia tahu 
benar siapa yang mengincar, pemuda 
hijau itu.
Untuk dirinya saja yang sudah 
demikian kenyang makan asam garam. 
Nini Jonggrang terhitung lawan yang 
sulit. Bukan saja sulit untuk 
ditandingi kesaktiannya. Namun juga 
sulit untuk diduga segala rencananya.
Di dunia persilatan tanah Jawa, 
Nini Jonggrang alias Perempuan 
Pengumpul Bangkai, tak lebih dari 
dedemit betina yang tega melakukan 
seribu satu kekejian tak berperi
kemanusiaan. ,
Belum lagi satu persoalan lain 
yang tak kalah mengkhawatirkan, Ki 
Ageng Sulut yang sepak terjangnya kian 
bengis hari-hari belakangan. Ki Kusumo 
tahu, si Iblis Dari Neraka itu sengaja 
mengumbar kekejaman dengan tujuan 
memaksa Ki Kusumo secara tak langsung 
mengobati penyakitnya dengan Kail Naga 
Samudera. Jika Kail Naga Samudera 
telah dikuasainya, tentu dia tinggal 
mengusahakan agar Ki Kusumo bersedia 
mengobati?
Sementara ini, Ki Ageng Sulut 
memang tak pernah tahu kalau Satria 
termasuk murid Ki Kusumo. Lalu, 
bagaimana pula jika dia mengetahui?

Bukankah cepat atau lambat, kabar 
burung akan sampai ke telinganya, dan 
dia akan tahu tentang hal itu?
* * *
Beberapa puluh tahun silam 
Dongdongka dan Nini Jonggrang adalah 
sepasang pendekar kenamaan. Malang 
melintang di dunia persilatan dengan 
jutukan besar Dewa dan Dewi Pegunungan 
Sewu, sesuai dengan nama tempat asal 
mereka memperdalam ilmu olah 
kanuragan.
Dongdongka masih berdarah ningrat 
bergaris keturunan raja Majapahit. 
Seperti juga Ki Kusumo yang berdarah 
ningrat Singasari, Dongdongka mening-
galkan gelar dan kehidupan kening-
ratannya. Sejak bocah, dia pergi dari 
keluarganya tanpa embel-embel apa pun.
Seperti layaknya seorang bayi yang 
baru dilahirkan. Nama aslinya pun 
dilupakan. Tujuannya adalah menuntut 
ilmu sebanyak-banyaknya. 
Di Pegunungan Sewu dia berhasil 
berguru dengan seorang pertapa sakti
tak dikenal. Pertapa sakti itu telah 
pula memiliki seorang murid perempuan 
bernama Jonggrang. Keduanya lalu 
menjadi saudara seperguruan.
Setelah bertahun-tahun menuntut 
ilmu di Pegunungan Sewu, tibalah waktu 
bagi keduanya untuk turun gunung. Saat

itu. keduanya telah menanjak dewasa. 
Dongdongka tumbuh sebagai pendekar 
muda gagah, tampan, sekaligus sakti. 
(Padahal sekarang ini, genderuwo saja 
tak akan nafsu mendekatinya!). Jong-
grang pun demikian. Dia menjadi 
pendekar wanita muda yang ranum, baik 
wajah, ataupun tubuhnya.
Jonggrang sebagai kakak 
seperguruan Dongdongka, diam-diam 
memendam cinta pada sang perjaka 
gagah. Cintanya itu hanya bertepuk 
sebelah tangan. Dongdongka tak lebih 
menganggapnya sebagai seorang kakak 
seperguruan. tak lebih, tak kurang.
Kalaupun ada rasa sayang, maka rasa 
sayang itu demikian tulus tanpa 
disertai gelora asmara. 
Jonggrang pada dasarnya adalah 
seorang wanita penggoda. Gelora bira-
hinya sangat besar dan sulit 
terhendung. Kelemahannya itu sering-
kali menjerumuskan dirinya ke dalam 
tindakan-tindakan bodoh. Si pertapa 
tua sakti guru mereka menyadari hal 
itu. Karenanya, dia berwanti-wanti 
teramat sangat pada Dongdongka muda 
untuk. mengawasi dan menjaganya.
Sang pertama tua sakti sesung-
guhnya telah berusaha untuk mengikir 
sifat tercela tersebut dalam diri 
Jonggrang melalui godokan-godokan 
batin. Namun, tampaknya tak cukup 
berhasil. Hal itu berkenaan dengan

masa kecil Jonggrang. Dia besar di 
tempat mesum. Ibunya seorang wanita 
penghibur kelas tinggi, langganan para 
pejabat bejat di kotapraja. Masa 
kecilnya harus dicekoki dengan hal-hal 
seperti itu. Bahkan pada usia dua 
belas tahun dia telah mengalami 
perlakukan binatang dari seorang 
pejabat bejat yang mempengaruhinya 
melepas keperawanan.
Suatu hari terjadi keributan 
besar di tempat mesum tersebut. Rumah 
mewah tempat penjualan kehormatan 
wanita itu terbakar. Jonggrang yang 
kala itu berusia lima belas tahun 
berhasil diselamatkan Oleh Sang 
Pertapa Tua.
Sang Pertapa Tua begitu prihatin 
dengan keadaan murid pertamanya itu. 
Kehadiran Dongdongka muda, sedikit
menghiburnya dan memberinya harapan
agar dapat menjaga Jonggrang jika saat 
turun gunung tiba.
Pernah suatu hari, Jonggrang 
mencoba menggoda Dongdongka. Saat itu 
mereka berada ditengah hutan. Keduanya
hendak ke kota. Karena kemalaman, 
mereka memutuskan untuk bermalam di 
tepi danau di tengah hutan.
Hujan turun deras melimpahi 
hutan. Mereka hanya bisa berteduh di 
bawah batang pohon raksasa tumbang. 
Hawa demikian dingin. Di samping 
karena malam sudah cukup larut, angin

pun bertiup sejadi-jadinya. Tak 
mungkin mereka membuat api unggun pada 
saat seperti itu. Akhirnya, mereka 
hanya berusaha menghangatkan tubuh 
dengan jalan mengatur peredaran hawa 
murni dalam aliran darah.
"Truna...," desah Jonggrang, 
menyebut Dongdongka dengan nama 
panggilan pemberian guru mereka.
Dongdongka muda alias Truna yang 
sedang bersila dalam posisi bersemadi 
membuka matanya perlahan.
"Kenapa, Nyi?" tanyanya. Dilirik-
nya Jonggrang yang meringkuk setengah 
terbaring di sudut tetumbangan pohon 
raksasa. Tangannya mendekap dada 
rapat-rapat. Sampai sebagian buah 
dadanya agak menyembul dari balik 
belahan pakaiannya.
"Apakah kau tak merasakan 
dingin?" tanya Jonggrang. Matanya sayu 
menatap wajah bergaris kuat Dongdongka 
yang dibasahi tempias hujan. Sudah 
beberapa saat dipandanginya sekujur 
tubuh pemuda Truna ketika pemuda itu 
tenggelam dalam kekhusukannya 
bersemadi. Dada bidangnya yang turun 
naik perlahan diguliri oleh titik-
titik air hujan. Juga lehernya yang 
kokoh, juga otot-otot pinggangnya. 
Juga....
Semua itu membakar birahinya. 
mengangkat gairahnya ke ubun-ubun, 
mendidihkannya.

Pemuda Truna menggeleng.
"Aku bisa mengatasinya dengan 
sedikit bersemadi... katanya lagi. 
"Kenapa Nyai tak melakukannya juga 
agar dapat mengusir dingin?"
Jonggrang menggeleng. Mata sayu 
menantang yang berhias bulu mata hitam 
lentiknya terus merayapi wajah basah 
pemuda tampak di dekatnya.
"Kenapa?" Truna tak memiliki 
prasangka apa-apa. Sama sekali tak
terbetik dalam benaknya pikiran macam-
macam. Karenanya dia jadi tak paham 
kenapa kakak seperguruannya tak 
mencoba mengatur peredaran hawa murni 
sementara perempuan itu bisa 
melakukannya.
"Kenapa?" Jonggrang mengulang 
pertanyaan Truna dengan nada 
mengundang. Mendesah, mendesis basah. 
Dari tempatnya, dia pun bersingsut. 
Geraknya melata, seperti seekor ular 
betina yang mengundang pejantannya. Di 
dekatinya Truna. Napasnya terpacu, 
terpicu gairah liar dalam dirinya.
"Apakah tak sebaiknya kita 
melakukan sesuatu yang mudah dan 
menyenangkan untuk kita berdua?" 
lanjut Jonggrang sambil melayapkan 
tangannya ke dada bidang Truna, 
melatainya, menikmatinya.
"Maksud, Nyai?" Truna tetap tak 
paham. Namun, sebagai seorang pemuda, 
tak urung darahnya berdesir cepat

menerima sapuan-sapuan telapak tangan 
lembut bergeletar.
"Kau tak tahu maksudku?" Mata 
Jonggrang menerkam penuh ke manik mata 
Truna, memamahnya bulat-bulat. Ber-
sitnya seperti mengerang-erang menga-
lunkan undangan. 
Tangan Jonggrang makin tak 
terkendali. Melayap, melata, kesegenap 
dada basah Truna. Bahkan dengus 
napasnya terasa menghangatkan leher 
kokoh Truna.
Truna kian diamuk gejolak yang 
memberontak kuat di dasar dirinya. 
Dadanya berdentam, membuat tangan 
Jonggrang seperti merasakan sambutan 
menggairahkan.
"Apakah kau tak ingin....?”
Kalimat Jonggrang terputus ketika 
dengan tiba-tiba Truna bangkit 
mendadak. Pemuda gagah itu mulai sadar 
tujuan Jonggrang sebenarnya. Dia bukan 
tak memiliki keinginan itu, dia bukan 
seorang pemuda tanpa gairah. Namun, 
dia teringat pada pesan gurunya. Kalau 
dia malah menyambuti undangan 
Jonggrang, bukankah sama artinya pagar 
makan tanaman? Apakah dengan begitu 
dia masih bisa disebut manusia? 
Ataukah seekor anjing pemangsa domba 
yang semestinya dilindungi?
Di bawah limpahan hujan yang 
membasahi kuyup-kuyup tubuhnya, Truna 
menatap Jonggrang dengan sinar mata

tak percaya.
"Kenapa, Truna? Kenapa?" desis 
Jonggrang di antara deru angin dan 
luruhan hujan. "Apakah kau takut Guru 
mengetahui perbuatan kita? Atau aku 
tak cukup menarik buatmu?"
Jonggrang ikut bangkit.
Di tengah gempuran hujan, ke-
duanya berdiri berhadapan. Basah 
pakaian mereka. Dingin menjalari 
kulit. Namun gejolak dalam diri 
Jonggrang tak berubah. Tetap mendidih. 
Pakaiannya yang basah menyebabkan 
lekuk-lekuk sempurna tubuhnya memben-
tuk nyata. Ada sembulan putih, halus, 
dan padat dari belahan pakaian di 
dadanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, 
Truna, Apakah aku tak cukup menarik 
buatmu?" ulang Jonggrang, makin samar. 
Makin dikaburkan desis dan desah, 
mencoba menjamah tungku darah muda 
Truna.
Truna masih terpaku tanpa geming. 
Matanya masih menatap tak percaya.
Jonggrang tak berhenti sampai di 
situ. Dalam gerak lambat gemulai di 
antara butir-butir air hujan, tangan-
nya membuka belahan pakaian di bagian 
dadanya. Sembulan putih, padat, sekal 
itu makin nampak sempurna di mata pria 
mana pun. Begitupun di mata Truna.
Lalu Jonggrang mengeluh di 
hadapan Truna, menggeliatkan leher

jenjang putih dan basahnya. Melenguh 
lagi. Mendesahkan panggilan yang sulit 
didengarkan. Namun, begitu mudah untuk 
diterjemahkan.
"Ayo, Truna...." Dan tangan 
lentik basahnya menjemput leher kokoh 
Truna.
"Tidak!!!" sentak Truna keras-
keras. Dia berontak dari seluruh 
tenung birahi yang terpancar keluar 
dari sekujur tubuh Jonggrang. Dia 
berkutat dan berhasil melawan. Dia 
bukan anjing, atau semacam pagar 
pemangsa tanaman! Ditinggalkannya 
tempat itu segera, menembus lebatnya 
hujan.
Tinggal Jonggrang yang memekik-
mekik memanggil Truna.
* * *
Setelah peristiwa itu, Truna tak 
bertemu dengan Jonggrang kembali. Pagi 
harinya, ketika hujan reda dan 
matahari menyapa, Truna mencoba 
kembali ke tempat teirakhir. Jonggrang 
sudah tak ada lagi di sana.
Timbul penyesalan dalam diri 
Truna. Menyesal harus pergi mening-
galkan Jonggrang, kakak seperguruannya 
yang diamanatkan Sang Pertapa Tua un-
tuk dijaganya. Namun, tak sekalipun 
dia menyesali penolakannya atas ajakan 
Jonggrang.

Sejak hari itu, dengan rasa 
tanggung jawab yang tak luntur sedikit 
pun, dicarinya Jonggrang.
Setengah tahun mencari, si kakak 
seperguruan tak kunjung ditemukan. 
Sampai akhirnya, Truna berhasil 
bertemu kembali dengan Jonggrang di 
sebuah desa. Dia bersama seorang 
pendeta yang sebaya dengannya.
Mula-mula Truna bersyukur. Menu-
rut penilaiannya, tentu Jonggrang 
dapat berubah setelah kenal dengan 
pendeta. Tentu nilai-nilai rohaniah 
dapat menenteram gairah birahinya yang 
demikian binal.
Karena itu, Truna memutuskan
untuk mengawasi kakak seperguruannya 
dari jauh saja.
Kenyataan berujar lain. Setelah 
diawasi sekian lama, barulah terbuka 
kedok si pendeta muda. Ternyata 
pendeta muda itu adalah seorang tokoh 
sesat dari kalangan pendeta. Pakai-
annya saja seorang pendeta, namun 
tabiatnya tak lebih mulia dari hewan. 
Dia mengetahui nilai-nilai kebajikan 
seperti mengenal setiap jarinya, namun 
seluruh pehgetahuan keagamaan di 
kepalanya cuma dijadikan modal untuk 
mencari pengaruh dalam masyarakat.
Bersama Jonggrang, keduanya 
melakukan beberapa kebatilan tersamar. 
Jonggrang mula-mula diumpankan kepada 
beberapa pejabat kerajaan. Setelah

itu, Sang Pendeta Muka Dua datang 
memberi ancaman pada si pejabat korban 
mereka agar mau memberi apa-apa yang 
mereka minta. Jika tidak, maka Sang
Pendeta Muka Dua akan melaporkan 
kemesumannya bersama Jonggrang kepada 
raja.
Hal itu terus berlanjut berkali-
kali.
Truna tak tahan lagi. Sebagai 
seorang yang dididik dengan nilai-
nilai keksatriaan, dia tak bisa 
mendiamkan begitu rupa perbuatan kakak 
seperguruannya bersama Sang Pendeta 
Muka Dua. Suatu hari, Truna pun 
memutuskan untuk mencegah berlanjutnya 
perbuatan mereka.
Ketika itulah, terjadi perta-
rungan hebat antara Truna dan Sang
Pendeta Muka Dua. Tak ada yang unggul 
ataupun kalah. Keduanya sama-sama 
mengalami luka parah.
Sisa cinta Jonggrang yang masih 
mengendap dalam dirinya terhadap Truna 
menyebabkan dia mencoba membawa Truna 
kembali ke Pegunungan Sewu.
Beberapa lama kemudian, atas 
perawatan Sang Pertapa Tua, Truna 
berhasil disembuhkan. Truna. kini 
berhutang budi pada Jonggrang yang 
telah membawanya kembali pada guru 
mereka, sehingga dia berhasil dise-
lamatkan. Karenanya, dia tak sampai 
hati untuk melaporkan segala tabiat

buruk Jonggrang selama turun gunung.
Untuk mencegah sifat tercela 
Jonggrang yang demikian liar, Truna 
malah bersedia berkorban. Dengan jiwa 
seorang lelaki sejati, dimintanya Sang 
Pertapa Tua untuk menikahi mereka 
berdua.
Keduanya menikah. Untuk beberapa 
tahun, mereka kembali ke dunia persi-
latan. Sebab, ilmu yang telah mereka 
dapatkan harus diamalkan. Selama be-
berapa tahun itulah, sepasang suami-
istri muda itu dikenal dengan julukan 
Dewa-Dewi dari Pegunungan Sewu.
Namun, setan memang tak pernah 
berhenti berjuang untuk menyesatkan 
manusia. Penyakit lama Jonggrang 
kambuh lagi ketika untuk kedua kalinya 
dia bertemu dengan Sang Pendeta Muka 
Dua. Dia lari bersama lelaki bejat 
itu.
Cukup sudah bagi Truna untuk 
menutup-nutupi perbuatan Jonggrang 
pada guru mereka. Truna memutuskan 
untuk pulang ke Pegunungan Sewu dan 
melaporkan segalanya pada Sang Pertapa 
Tua.
Tentu saja gurunya menjadi pri-
hatin. Juga gusar. Prihatin karena 
biar bagaimanapun, dia menyayangi 
Jonggrang seperti putrinya sendiri. 
Gusar karena Jonggrang telah berkhi-
anat pada satu ikatan suci pernikahan.
Maka, dengan berat hati Sang


Pertapa Tua memutuskan untuk menghukum 
Jonggrang. Truna diperintah untuk 
membawanya kembali.
Truna kembali.
Dunia persilatan tanah Jawa saat 
itu digemparkan oleh perbuatan sepa-
sang lelaki-wanita bertopeng yang 
melakukan penculikan-penculikan terha-
dap beberapa perjaka tampan dan gadis 
cantik.
Selidik punya selidik, Truna 
akhirnya mengetahui kalau kedua 
pengacau itu adalah Jonggrang dan 
pasangan bejatnya. Mereka menculik 
untuk memuaskan birahi liar keduanya.
Suatu kali, Truna berhasil 
memergoki mereka. Dengan hormat, Truna 
meminta Jonggrang kembali ke Pegu-
nungan Sewu untuk memenuhi panggilan 
guru mereka. Tahu, dirinya bakal 
dihukum, Jonggrang malah hendak mela-
rikan diri. Truna terpaksa menahan. 
Sampai pecahlah perkelahian.
Dibantu Sang Pendeta Muka Dua, 
Jonggrang menggempur Truna. Truna 
dapat dikalahkan, Sebagian tubuhnya
lumpuh akibat kekejaman dua lawannya. 
Sang pendekar muda kemudian menyepi 
untuk beberapa lama, guna memulihkan 
keadaannya dan menyempurnakan ilmu 
olah kanuragan. Dia bersumpah tak akan 
kembali ke Pegunungan Sewu sebelum 
berhasil membawa Jonggrang.
Pada saat yang sama, Jonggrang

pun memperdalam kesaktian bersama 
pasangannya.
Pasangan perempuan itu di hari 
belakangan dikenal dengan julukan 
Iblis Dari Neraka. Siapa lagi kalau 
bukan Ki Ageng Sulut?
* * *
10
ALAM tiba. Setelah siang itu 
Satria dan Tresnasari mendapat 
kehormatan untuk bertemu langsung 
dengan Raden Patah, Raja Demak 
penguasa sebagian tanah Jawa, Satria 
dan Tresnasari dipersilahkan untuk 
menginap dikeraton. Perjumpaannya 
dengan Raden Patah sebenarnya ber-
kaitan dengan peristiwa penumpasan 
Laskar Lawa Merah waktu lalu. Sang 
Raja Demak ingin sekali bertemu dengan 
Satria muda yang sering.kali disebut-
sebut oleh patihnya, Bagaspati. Dia 
merasa wajib menyampaikan penghargaan 
langsung pada si pendekar muda atas 
jasanya membantu pemberantasan Laskar 
Lawa Merah.
Sewaktu Raden Patah mengungkap 
rasa terima kasihnya pada Satria di 
ruang kebesaran, pemuda lugu itu cuma 
cengar-cengir tak habis-habisnya. Tak 
peduli giginya menjadi kering. Raden 
Patah dengan tulus pun memberikan

pujian pada si pendekar muda. Katanya. 
negeri ini membutuhkan satria-satria 
muda. Para pendekar yang tak hanya 
bermodal keberanian, namun juga 
memiliki jiwa luhur, penjunjung nilai-
nilai yang ditetapkan Illahi. Lagi-
lagi Satria cengar-cengir lugu. Dalam 
hati, Satria merasa tak pantas 
mendapat pujian dari orang besar dan 
mulia seperti Raden Patah yang sudah 
berusia cukup lanjut. Kalau mengingat 
bagaimana masa-masa muda gemilang 
pendiri Kerajaan Demak itu yang sering 
didengarnya dari cerita-cerita 
masyarakat, Satria merasa tak berarti 
apa-apa.
Pernah Satria mendengar, masa 
muda Raden Patah sudah diisi dengan 
perjuangan tak kunjung padam. Tak 
kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan 
sampai kini, di usianya yang sudah 
cukup tua. Bukan karena dalam dirinya 
masih mengalir darah raja-raja 
Majapahit. Melainkan karena keluhuran 
budi pekertinya dalam godokan pemuka-
pemuka masyarakat yang tak diragukan 
pula keluhuran jiwanya.
Membayangkan masa muda Raden 
Patah; membuat dorongan semangat dalam 
diri Satria untuk mengikuti jejaknya.
Malam sudah cukup larut. Satria 
diberi kamar di dekat ruang pasang-
rahan. Tresnasari mendapat kamar 
tersendiri, berseberangan dengan tem


pat Satria.
Lirih, terdengar senandung 
jangkrik. Mendayu, bertiup bayu malam. 
Keraton terpaku hening. Suasana 
hening.
Satu-dua punggawa tampak hilir 
mudik di beberapa tempat. Lengkap 
persenjataan masing-masing. Seluruh 
keraton diterangi oleh lampu-lampu 
minyak yang ditempatkan di beberapa 
tempat. Malam terus berlanjut.
Diawal dini hari, satu bayangan 
berkelindan ringan tanpa suara di atas 
wuwungan keraton. Geraknya nyaris 
tanpa suara. Seolah seekor semut pun 
tak mati terkena pijakannya. Bergerak 
terus dia menuju tempat peristirahatan 
raja. Tanpa satu prajurit pun 
mengendusi kehadirannya.
Dikamarnya, Satria direjam kege-
lisahan. Sulit sekali dipejamkan 
matanya. Meskipun dia sudah berusaha 
berbaring di atas ranjang beraroma 
harum setanggi.
Berkali-kali dicobanya merebahkan 
diri. Matanya memang bisa dipejamkan. 
Namun, sama sekali tak bisa terpulas. 
Ada getar-getar halus yang terus 
mengusiknya. Semacam firasat yang 
belum lagi jelas.
Satria pun akhirnya hanya bisa 
mondar-mandir di sisi pembaringan.
Angin melayap masuk lamat-lamat 
dari kisi-kisi di atas jendela. Saat

itu, entah kenapa ada dbrongan dalam 
dirinya untuk menguak mulut jendela. 
Tanpa niat apa pun, Satria membuka 
jendela. Setidaknya, nanti dia bisa 
sedikit menikmati udara malam yang 
segar bersahabat di luar, pikirnya.
Jendela terkuak.
Kala yang sama, secara kebetulan 
matanya menangkap kelebatan bayangan 
di atas wuwungan, dalam kegelapan 
langit malam. Pakaian hitam-hitam yang 
dikenakan membuat orang itu nyaris 
tersamar kegelapan.
Mata Satria tak bisa begitu saja 
diperdaya. Ketajamannya telah terlatih 
sekian lama dalam tempaan yang berat 
selama merenangi Lautan Selatan di 
sekitar Pulau Dedemit. Kegelapan goa 
tempat kediaman Ki Kusumo waktu itu 
pun telah membuatnya terbiasa bergerak 
di tempat gelap atau melatih 
penglihatannya dalam kegelapan (Untuk 
lebih jelasnya, ikuti kisah Satria 
Gendeng : "Geger Pesisir Jawa')!
Satria yakin orang berpakaian 
hitam-hitam itu bermaksud buruk. Kalau 
menilik arah bergeraknya, tentu 
sasarannya adalah Raden Patah 
langsung.
"Apa maunya orang ini," desis 
Satria halus.
Jiwa kependekarannya terbakar. 
Cepat, dilompatinya jendela Dari mulut 
jendela, tubuhnya langsung mencelat.

Mula-mula ke arah dinding kayu yang 
berhadapan dengan jendela. Kakinya 
menghentak sekali ke permukaan 
dinding. Lalu Satria mencelat ke arah 
beriawanan, langsung menuju wuwungan. 
Satu rangkai gerak yang selalu 
dilatihnya saat Dongdongka uring-
uringan meminta minum air kelapa (Baca 
dalam episode: Kail Naga Samudera")!
Seorang prajurit yang kebetulan 
melewati sisi kamarnya bahkan tak 
menyadari kalau Satria baru saja 
melintas di sisinya. Dia malah asyik 
menyenandungkan tembang lamat-lamat.
Di atas wuwungan yang bersebe-
rangan dengan si penyusup gelap, 
Satria terus mengintai. Hasil godokan 
Dongdongka dan Ki Kusumo terhadap 
kemampuan peringan tubuhnya selama ini 
telah membuahkan hasil sempurna.
Untuk menghindar agar penyusup 
gelap tadi tak melihatnya. Satria 
berusaha mengatur jarak.
Penyusup gelap sampai tepatdi 
atas wuwungan ruang peristirahatan 
raja. Tak dilanjutkannya gerak. 
Artinya, dugaan Satria tak meleset. 
Makin besar kemungkinan penyusup gelap 
itu hendak mengincar Raden Patah.
Sebelum semuanya jadi serba 
terlambat, Satria berpikir untuk 
mendahului saja.
"Hei!" hardiknya sangar. Sengaja 
dia berdiri tegak tanpa mengendap

endap lagi.
Penyusup gelap tersentak sejenak. 
Dia menoleh sigap ke arah hardikan 
berasal. Sinar lampu minyak dari taman 
sari menyapu. Kalau saja orang itu tak 
mengenakan kain hitam penutup wajah, 
tentu Satria bisa langsung menyaksikan 
parasnya.
Mengetahui dirinya telah ter-
tangkap basah, si penyusup gelap. 
berusaha melarikan diri. Satria tak 
mungkin mendiamkannya. Dia harus 
menangkapnya. Setidaknya untuk mengo-
rek keterangan. 
"Haaaa!"
Satria melompat disertai penge-
rahan tenaga dalam penuh dan segenap 
peringan tubuhnya. Bentangan jarak 
antara tempatnya dan tempat si penyu-
sup yang terbilang jauh terpangkas 
lompatannya. Sekelebatan dia bagai 
kelelawar terbang di kegelapan 
wuwungan.
Jleg!
Tepat di depan si penyusup, 
Satria hinggap menghadang. 
"Heaah!" 
Sring!
Entah bagaimana caranya. tangan 
penyusup gelap sudah menggenggam keris 
panjang. Dibabatkannya ujung keris 
langsung ke leher Satria.
Udara tergores tajam.
Leher Satria terancam.

Tertusuk atau tergorok.
"Hih!" 
Satria meninggikan telapak 
tangannya, membentuk benteng. Sulit 
menangkis sambaran senjata lawan yang 
membentuk gerakan miring setengah 
lingkaran. Dibutuhkan ketajaman seekor 
elang untuk raenempatkan tangkisan. 
Salah-salah, tangan Satria tertembus 
keris, atau tersayat ujungnya! 
Plak!
Tepat di kepalan tangan lawan. 
telapak tangan Satria berhasil 
memapak.
Lawan menyusulkan sabetan. Keris-
nya menggores udara malam lagi, 
membalikkan arah putaran sedikit lebih 
ke bawah. Perut Satria sasarannya.
Wess!
Satria kali ini membiarkan saja. 
Benar-benar membiarkan. Seakan dengan 
sengaja hendak ditadahinya sambaran 
ujung keris dengan perutnya.
Jarak menipis. Dan ancaman 
membesar.
Lawan menyangka kerisnya akan 
segera bersarang telak di perut si 
pendekar belia. Satria Gendeng. 
Sekedip mata lagi, isi perut pemuda 
tangguh akan segera bobol keluar.
Kecele!
Karena tanpa terduga-duga otot 
perut Satria mengempis. Tanpa sedikit 
pun menggerakkan badan. Dan ujung

keris lawan hanya terlewat seujung 
kuku. Satu perhitungan yang luar biasa 
jeli, tajam dan berisiko amat fatal!
Justru dengan begitu, Satria 
langsung dapat memetik keuntungan 
lawan yang semula mengira sudah 
mendapatkan posisi di atas angin 
menjadi lengah. Tangan Satria menyen-
tak cepat dari dua sudut berbeda.
Wess!
Degh! 
"Aah!"
Tubuh lawan terdorong. Di atas 
wuwungan, dia terjengkang. Sebagian 
gentingnya hancur. Kalau saja 
rangkanya tak cukup kuat, tentu tubuh 
penyusup gelap akan menjebol masuk ke 
dalam ruang istirahat raja. 
"Berdirilah!" gertak Satria 
sambil menaikkan sudut bibirnya, 
mencemooh lawan. Jari telunjuknya 
diacungkan dan digerak-gerakkan seper-
ti geliatan seekor cacing kepanasan.
Si penyusup menggeram. Hanya 
dengan satu sentakan otot perut dan 
pinggang, dia bangkit.
Jarak antara keduanya kini cukup 
renggang.
Sementara itu, keributan di atas 
wuwungan telah mengundang seluruh 
punggawa pengawal keraton berhamburan 
keluar di sekitar tempat kejadian.
Mereka menyaksikan dua sosok 
sedang berdiri dalam kuda-kuda masing

masing. Raden Patah sendiri sudah 
keluar dengan wajah yang tetap memper-
lihatkan ketenangan luar biasa. 
Wajahnya seolah permukaan danau yang 
membeku.
Si penyusup gelap, tampak meng-
gerak-gerakkan kedua tangannya. Sese-
kali terdengar hempasan-hempasan 
napasnya. Diacungkannya keris tinggi 
tinggi ke udara. Lalu....
"Heaaa!" 
Zzzz!
Keris di tangannya memancarkan 
cahaya merah!
Si penyusup gelap membuat gerakan 
menyabet searah dengan tempat berdiri 
Satria. 
Wezzz!
Serangkum cahaya merah terjulur 
memanjang, meluruk langsung dan hendak 
menanduk Satria Gendeng.
Satria terperangah. Dalam keter-
kejutan luar biasa itu, tak ada 
tindakan yang bisa dilakukannya. Namun 
kekuatan terpendam dalam dirinya 
akibat pengaruh zat dasar samudera dan 
ramuan Pulau Dedemit justru bergolak 
amat cepat. Lebih cepat dari desir 
darahnya sendiri. Bahkart lebih cepat 
dari terjangan cahaya merah lawan.
"Haaakh!"
Lolongan menggidikkan menggempur 
angkasa malam. Melejit langsung dari 
tenggorokan si pendekar muda, manakala

tubuhnya tertanduk cahaya merah tadi.
Getaran hebat terjadi. , Genting
hancur. Kepingannya seperti berlom-
patan riuh.
Dan tubuh penyusup gelap turut 
tergetar. 
"Huaaah"
Belum lagi ujung lolongan Satria 
tercapai, lolongan dari kerongkongan 
lawannya menyusul. Beberapa saat 
kemudian.... 
Blar!
Cahaya merah membersit lebar, 
mengembang.
Lelaki berpakaian hitam-hitam 
terpental deras ke belakang. Sentakan 
amat kuat membuat kain penutup 
wajahnya saat itu juga terlepas.
Dia jatuh bergulingan deras ke 
bawah, di antara keping-keping genting 
keraton.
Lalu bumi menyambutnya. Telen-
tang, tubuhnya terengah-engah. Darah 
membasahi sudut bibirnya. Saat itulah 
Satria dipaksa terperanjat menyaksikan 
wajah penyusup gelap itu. 
"Kang Bagaspati????"
* * *
Kenapa dengan Bagaspati ini? Apa 
benar dia ingin mengincar Raja Demak? 
Benar apa tidak? Lalu, ada urusan apa 
si nenek jelek, peyot, bau (hidup

lagi!) Nini Jonggrang dengan Dong-
dongka? Bagaimana kalau dia tahu 
muridnya yang diperintah untuk mem-
bunuh Satria, eh malah bermasyuk-
masyuk dengan pemuda itu?
Ikuti kelanjutannya dalam 
episode:
“Perempuan Pengumpul 
Bangkai”


                          SELESAI
 


Share:

0 comments:

Posting Komentar