IBLIS DARI NERAKA
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Satria Gendeng
Dalam Episode :
Iblis Dari Neraka
128 Hal.; 12 x 18 Cm
1
SEORANG pemuda berusia belasan
merenung sendiri di sebentang pagi
yang dikurung mendung. Mendung di
angkasa sana, seakan bertakhta pula di
wajahnya. Wajah tampan. Bergaris ra-
hang jantan. Bermata sembilu. Berambut
panjang kemerahan.
Angin dingin berlarian. Pakai-
annya diusili, bergeletaran kecil.
Juga rambutnya. Juga kulitnya. tapis
tak mengusik keheningannya. Tak
menggugah kebisuannya. Si pemuda tetap
diam. Duduk bersandar dan bertopang
dagu di atas dahan pohon besar.
Matanya menombak lurus dan senyap ke
arah ubun-ubun mentari merah muda di
tepi bumi sebeiah tmur.
Pemuda itu mengenakan rompi bulu
putih dari kulit hewan. Bercelana
pangsi putih sebatas lutut. Pada kain
putih pengikat pinggangnya terselip
semacam tongkat pendek berwarna hitam.
Berpangkal logam perak kepala naga,
berujung logam perak ekor naga.
Beberapa waktu belakangan, ada
banyak bayang-bayang kejadian menjajah
benaknya. Membuatnya lebih sering
terdiam seperti saat ini dilakukan.
Baginya, betapa hidup begitu
sulit untuk dipahami. Mencari satu
maknanya saja terasa tak cukup usia
yang dimiliki. Setiap kejadian seakan
terputus sama sekali dengan kejadian
lain. Terputus karena dibatasi sekat
waktu. Namun siapa nyana, semuanya
ternyata berkait seperti rantai tak
terputus. Dan ujung rantai itu adalah
pernyataan bahwa hidup bukanlah
miliknya semata. Melainkan juga milik
Sang Pemilik Kejadian dan Waktu itu
sendiri.
Renungan si pemuda terpenggal.
Ada suara di kejauhan. Mengu-
siknya.
Seekor kuda berlari kencang.
Mengarak debu tinggi dan panjang.
Penunggangnya seorang lelaki berusia
tiga puluhan tahun. Berpakaian biru
tua. Mengenakan ikat kepala kuning
berlambangkan satu perguruan silat
bergambar cemeti lidah api. Di
wajahnya tergambar ketergesaan luar
biasa bertumbukkan dengan ketakutan.
Dilarikannya kuda bagai kesetanan.
Pemuda tadi tertarik. Dia melom-
pat turun dari dahan pohon. Kebetulan
sekaii penunggang kuda melewati
tempatnya. Segera saja dia berteriak,
mencoba menghentikan.
"Tunggu, Kakang!"
Kuda meringkik karena tali kekang
ditarik mendadak. Lalu berhenti tak
jauh di depan pemuda tadi. "Kenapa
tampaknya Kakang tergesa-gesa sekali?
Dan dari wajah Kakang, tampaknya ada
kesulitan. Apakah aku bisa mem
bantumu?" tegur si pemuda belasan.
Tanpa turun dari kuda tung-
gangannya, lelaki tiga puluhan tadi
berkata, "Aku tergesa-gesa, Adik Muda.
Tolong jangan kau halangi jalanku!"
Suara keras. Bukan karena berniat
membentak. Melainkan karena dia
dipengaruhi ketergesaannya.
"Maaf, Kakang. Aku bukan hendak
menghalangi jalanmu. Aku hanya ber-
harap dapat membantu jika kau punya
kesulitan. Sungguh...."
Penunggang kuda menggeleng sing-
kat.
"Sayang. Aku tak yakin kau dapat
membantu...."
Setelah itu digebahnya kuda hitam
tunggangannya dengan hentakan kuat
berbareng teriakan keras. Kuda merin-
gkik kembali. Lebih keras. Didahului
dengan mengangkat dua kaki depannya
tinggi-tinggi akibat hentakan yang
membuatnya terkejut, kuda itu pun
melanjutkan lari.
Mau tak mau, si pemuda menying-
kirkan tubuh ke sisi jalan agar tak
terlanggar kuda.
"Izinkan aku membantumu, Kang!"
seru si pemuda penasaran begitu kuda
melewatinya. Jawaban yang didapat cuma
teriakan-teriakan menggila si pe-
nunggang untuk memacu lari kuda lebih
cepat. Dan debu yang melayap ke
wajahnya.
Si pemuda berambut kemerahan
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepal-
a. Dibuntutinya terus penunggang kuda
tadi dengan pandangan. Menjauh dan
makin jauh. Sampai dilihatnya penung-
gang tadi membalikkan lari kudanya
kembali ke arahnya.
"Baiklah. Mungkin kau bisa
menolong kami!" ujarnya, dengan napas
terengah-engah.
"Kenapa kau berubah pikiran,
Kang?" tanya si pemuda.
"Tak ada waktu menjelaskannya!
Tapi, akan kujelaskan juga dengan
singkat. Aku berubah pikiran karena
kulihat kau memiliki senjata itu!"
sahut penunggang kuda. Matanya melirik
ke ikat pinggang si pemuda. Pada
tongkat naga hitam pendek.
Si pemuda turut melirik ke arah
ikat pinggangnya. Wajahnya memperli-
hatkan mimik ketidak mengertian.
Kenapa karena senjata di pinggangnya?
"Tak ada waktu untuk menje-
laskan!" seru si penunggang kuda,
ketika mata pemuda yang menawarkan
pertolongan bertanya dengan pandangan
matanya. "Sebaiknya cepat kau pergi ke
utara. Sekitar sepenanakan nasi
berkuda, kau akan menemui perguruan
silat kami. Di sana ada seorang yang
sedang mengamuk membantai anggota
perguruan!"
Belum lagi kalimatnya selesai,
lelaki penunggang kuda sudah memutar
kudanya dan menggebah kembali.
"Kakang sendiri hendak ke mana?!"
tanya anak muda belasan.
"Aku harus memberitahukan hal ini
pada Guru Besar kami! Dia sedang
beristirahat di pendapanya di Lembah
Kaliangkrik!"
* * *
Perguruan Cemeti Api.
Terletak di sebelah utara wilayah
Kaliangkrik. Di sana sedang terjadi
kekacauan besar ketika si pemuda
berambut kemerahan tiba. Kekacauan
yang sebenarnya lebih tepat disebut
prahara berdarah. Kancah di mana nyawa
begitu gampang beterbangan.
Satu orang tokoh sesat sedang
mengamuk membantai satu persatu murid
Perguruan Cemeti Api yang sedang
ditinggalkan guru besarnya itu. Satu
persatu nyawa terbang. Teriakan demi
teriakan maut melengking bersahutan.
Tumpang-tindih. Satu memenggal yang
lain. Pelataran perguruan telah banjir
oleh darah. Tak kurang dua puluh orang
telah menemui ajal. Perbuatan teramat
biadab!
Tokoh sesat itu adalah seorang
kakek tua seram. Kurus-kering tubuh-
nya. Berjubah hitam pendek sebatas
paha. Berjenggot putih amat panjang
hingga mencapai lutut. usia yang
demikian tua, membuat wajahnya di-
penati oleh kerut-merut. Sampai-
sampai, pipi di bagian bawahnya ber-
gelantungan.
Kira-kira seperempat hari sebe-
lumnya, orang tua keji itu datang
mengikuti seorang murid Cemeti Api
yang baru pulang bertandang dari
perguruan sahabat di Wadaslintang.
Diam-diam, dia menyusup masuk ke dalam
perguruan tanpa diketahui. Bangunan
utama perguruan dimasukinya. Demikian
juga pondokan para murid. Dia mencari-
cari sesuatu yang hanya diketahui oleh
dirinya sendiri.
Ketika yang dicarinya tak kunjung
ditemukan, timbul kegusarannya. Kakek
tua itu keluar ke pelataran perguruan.
Di sana dia berteriak-teriak berg-
muruh dengan penyaluran tenaga dalam
tinggi. Seluruh penghuni Perguruan
Cemeti Api tersentak. Mereka berham-
buran keluar.
Pancasona mencoba menanyakan
maksud kedatangan tak santun tamu tak
diundang itu.
"Apa maksud kedatanganmu ke
tempat kami, Orang Tua?"
"Aku mencari seorang pemuda!"
jawab sang tamu tak diundang.
"Di sini banyak pemuda. Pemuda
yang mana yang kau maksud? Siapa
namanya?"
"Tak peduli siapa namanya. Yang
jelas, pemuda itu membawa senjata
pusaka.... Kail Naga Samudera!'
Hanya Pancasona yang terperanjat
mendengar kalimat terakhir tamu tak
diundang tadi. Di antara para murid,
dialah yang paling banyak tahu tentang
dunia persilatan. Termasuk Kail Naga
Samudera. Gurunya yang tergolong
kalangan tua sering bercerita tentang
seluk-beluk dunia persilatan padanya.
Tentang tokoh-tokohnya, tentang keja-
dian kejadiannya Juga tentang senjata-
senjata pusaka yang pernan menciptakan
kegegeran.
Salah satunya tentang Kail Naga
Samudera. Senjata pusaka yang sudah
demikian lama menghilang dari dunia
persilatan. Dikabarkan hanyalah bagian
dongeng belaka. Menurut selentingan
cerita senjata itu sebenarnya adalah
cemeti milik salah seorang dari tiga
Jendral Tiongkok yang diutus Kubilai
Khan untuk menyerang Prabu Ker-
tanegara, Raja Singasari.
Alkisah, ketiga Jendral Tiongkok
ini diperintah Kubilai Khan, cucu
Jengis Khan Sang Penakluk Perkasa dari
Mongol, untuk membalas penghinaan Raja
Kertanegara terhadap utusan Tiongkok
bernama Meng-ki. Telinga Mengki dibuat
cacat oleh Raja Kertanegara. Pasukan
besar Tiongkok pun menyertai ketiga
jendral itu.
Setibanya di tanah Jawa Raja
Kertanegara ternyata sudah wafat.
Kerajaan Singasari telah ditaklukkan
oleh Kediri di bawah pimpinan Jaya-
katwang. Sementara itu, Kerajaan
Majapahit didirikan oleh menantu Prabu
Kertanegara, Raden Wijaya. Raden
Wijaya sendiri saat itu sedang diburu
oleh pihak Kediri.
Dengan siasatnya, pasukan Tiong-
kok akhirnya dikelabui oleh Raden
Wijaya. Dia memanfaatkan kekuatan
pasukan Tiongkok untuk menyerang
Singasari yang telah dikuasai oleh
Jayakatwang. Ketiga Jendral Tiongkok;
Chepi, Jhekomisu, dan Kau Hsing tak
pernah menyadari Singasari telah
dikuasai Kediri. Mereka yang masih
menyangka Prabu Kertanegara menguasai
Singasari segera menyerbu. Pasukan
Raden Wijaya membantu penyerangan
tersebut Untuk meruntuhkan kekuasaan
Jayakatwang yang telah merebut Kediri.
Negeri Majapahit yang semula
hendak dibumi hanguskan tentara Kediri
pun dapat diselamatkan berkat bantuan
tentara Tiongkok.
Sampai akhirnya, Daha sebagai
pusat pemerintahan Kediri jatuh.
Kerajaan Kediri berhasil dikuasai oleh
bala tentara Tiongkok dan bala tentara
Raden Wijaya.
Chepi sebagai salah seorang
perwira Tiongkok menganggap Raden
Wijaya telah berjasa dalam membantu
penyerangan mereka. Dia hendak meng-
hadiahkan Raden Wijaya satu cambuk
pusaka berbentuk naga.
Sebelum niatnya terlaksana, Raden
Wijaya telah berbalik menyerang bala
tentara Tiongkok. Mereka hendak diusir
dari tanah Jawa. Saat kekacauan itu,
cambuk Chepi yang telah menelan banyak
nyawa dicuri, dan menghilang tanpa
diketahui rimbanya seiama ratusan
tahun.
Seperti diketahui, orang terakhir
yang memiliki cambuk pusaka itu
ternyata adalah Ki Kusumo, si Tabib
Sakti Pulau Dedemit. Dialah yang telah
menemukan benda pusaka itu berada di
Pulau Dedemit. Dinamakannya cambuk
pusaka itu, Kail Naga Samudera. Se-
belumnya, tali cambuknya diganti
dengan ekor pari pelangi dan disimpan
kembali di tempat rahasia. Sampai
akhirnya Satria menemukan tanpa
sengaja cambuk pusaka itu. (Bacalah
episode sebelumnya : "Kail Naga Sa-
mudera")
"Kenapa kau mengira kalau salah
seorang murid perguruan kami memiliki
Kail Naga Samudera, Orang Tua?" tanya
Pancasona lebih jauh, setelah seluruh
cerita tentang Kail Naga Samudera
terlintas di benaknya.
"Aku curiga, pemuda itu akan
memperdalam jurus-jurus cemeti di
perguruan ini! Lagi pula, bukankah
guru besarnya sudah lama memimpikan
benda itu untuk dijadikan senjata-
nya?!"
Pancasona memperlihatkan senyum
kecil. Dia tak bermaksud mengejek.
Hanya dianggapnya lucu perkataan orang
tua tadi.
Senyum kecil itu justru dianggap
lain oleh kakek tua kurus.
Kecurigaannya makin menyubur dalam
dirinya. Dia menganggap Pancasona
sengaja menyembunyikan sesuatu. Makin
kuat dugaannya kalau Perguruan Cemeti
Api memang telah menerima seorang
murid baru yang membawa Kail Naga Sa-
mudera.
Akibatnya, dia pun mengamuk. Jauh
lebih buas dan ganas dari seekor singa
hutan jantan kelaparan. Caranya
membunuh mengingatkan siapa pun pada
ketelengasan seekor ular mematuk
katak. Setiap kali tangan atau kakinya
bergerak, ketika itu pula darah kental
kehitaman tersembur. Dan nyawa pun
terpental dari raga sang korban.
Di sekujur tangan dan kakinya
yang terus berkelebat, berpusingan
asap tipis membentuk lingkaran-
lingkaran kecil. Lingkaran-lingkaran
asap tipis sesekali berubah warna
menjadi merah bara. Menyala. Menerkam
ke calon korban.
Korban kesekian tersungkur.
Tubuhnya nyaris mengering. Biru
kehitaman.
Berdebam di bumi, dan melepas
asap tipis kelam.
Pemuda berambut merah berdiri
tercekam di pintu gerbang perguruan.
Tak berkedip, disaksikannya seluruh
kejadian. Hati kecilnya tertikam
geram. Dia tak habis mengerti mengapa
sampai ada orang sebegitu tega
membunuh sekiah puluh nyawa. Dan masih
pula tak cukup. Dari apa terbuat
hatinya?
Darahnya dibuat mendidih.
Melepuhkan perasaannya.
Dia merasa harus bertindak.
Harus!
"Berhenti kau manusia dur-
jana!!!!" serunya nyaris berupa pekik
bergeletaran. Suara teriakannya ter-
amat mengguntur. Kekuatannya menyebab-
kan gerbang berderak. Pagar perguruan
dari susunan potongan batang pohon
bergetar. Debunya berguguran. Per-
mukaan bumi bagai diusik lini.
Dedaunan di dahan pohon-pohon randu
yang tumbuh di sekitar pelataran per-
guruan turut berguguran. Mayat-mayat
yang bergelimpangan, sekedipan mata
tersentak berbarengan, seolah nyawanya
berjuang untuk kembaii.
Sayangnya, beberapa murid per-
guruan pun harus menerima akibat.
Mereka langsung mendekap telinga kuat
kuat. Dengan tubuh mengerut. Untung
saja akibat itu tak terlalu parah bagi
mereka. Tak ada yang sempat jatuh tak
sadarkan diri.
Sebentuk kesaktian yang sebenar-
nya tak pantas dimiliki oleh orang
semuda dia. Usianya belasan.
Sementara suara bertenaga dalam
dengan tingkat seperti itu hanya bisa
didapat tokoh-tokoh tua tertentu yang
telah mencapai tingkat olah kanuragan
tertentu pula.
Hal luar biasa.
Menyentak amukan si kakek kurus
jelek. Memenggalnya dalam sekejap.
Kakek telengas itu menghentikan
seluruh gerakan mautnya. Berhenti
dalam kuda-kuda terakhir. Mata kela-
bunya memburu ke arah datangnya suara.
Ditemukannya pemuda berambut merah
tadi.
"Siapa kau, Cah! Seberapa besar
nyalimu hingga berani-beraninya kau
menghentikan aku!!" geram kakek kurus
jelek, padat ancaman. Suaranya serak
terseret. Terdengar dalam, buas dan
menerkam nyali.
"Siapa kau, Kakek Busuk! Seberapa
keras hatimu sampai kau tega berbuat
sekejam itu pada mereka?!" balas
pemuda berambut merah. Matanya
membersitkan kobaran kemarahan.
Sesuatu akan segera terjadi.
Nampaknya adalah pertarungan
sengit.
Seorang anggota Perguruan Cemeti
Api terlihat melompat mendekat ke arah
si pemuda. Dari penampilannya, tampak
kalau dia termasuk salah seorang murid
perguruan yang cukup berpengaruh.
Wajahnya keras, memperlihatkan kete-
gasan sikap dan ketegaran hati.
Mengenakan pakaian merah api, berbeda
dengan anggota perguruan lain yang
mengenakan pakaian warna biru tua
seperti penunggang kuda yang ditemui
pemuda berambut merah beberapa waktu
lalu.
Namanya Pancasona. Murid tertua
Perguruan Cemeti Api yang diberi
kepercayaan memimpin perguruan selama
Guru Besar Cemeti Api sedang menyepi.
Orang satu ini rupanya tak begitu
yakin pada kehadiran si pemuda. Tak
yakin pada kemampuannya. Apalagi dapat
menghadapi kakek kurus kering.
"Pergi dari sini, Adik Muda!"
peringatnya keras.
Pemuda berambut merah menoleh.
"Apa yang sesungguhnya telah
terjadi, Kang?!" tanyanya.
"Bukan urusanmu, Adik Muda. Kau
harus segera menyingkir dari tempat
ini. Aku tak mau terjadi apa-apa pada
dirimu!"
Bukannya menyingkir, pemuda be-
rambut merah malah melangkah melewati
gerbang perguruan. Langkahnya tak
memperlihatkan dia memiliki tingkat
ilmu peringan tubuh yang tinggi.
Serampangan. Walau diwarnai kesan
kegarangan.
"Aku tak akan menyingkir dari
tempat ini kalau kakek busuk itu tak
menyingkir lebih dahulu!" tandasnya
sengit. Wajahnya tak berkedip mendelik
penuh-penuh pada kakek kurus.
"Bocah bau kencur keparat! Besar
sekali nyalimu memerintahkan aku Ki
Ageng Sulut menyingkir dari tempat
ini!"
Pandangan Pancasona menyergap
wajah kakek tua yang berdiri dengan
segenap kebengisannya. Tiba-tiba hati-
nya bergetar hebat. Ki Ageng Sulut?
Tak beda dengan Pancasona, pemuda
berambut merah pun seketika menatap
kakek kurus kering dengan pandangan
mata menombak tajam.
"Ki Ageng Sulut...," desisnya
perlahan, namun terisi kegeraman
penuh.
* * *
2
KI Ageng Sulut. Nama yang tak
asing lagi bagi si pemuda berambut
kemerahan. Mendengar nama itu, me-
ngingatkannya pada kejadian silam.
Tentang kematian mengenaskan seorang
wanita yang dekat dengan dirinya.
Wanita yang disayangi sebagaimana anak
menyayangi ibunya sendiri. Kendati dia
bukanlah darah dan daging wanita itu.
Nama wanita itu Nyai Cemarawangi.
Mati akibat pukulan Ki Ageng Sulut
yang tak lain dedengkot golongan sesat
berjulukan menggetarkan Iblis Dari
Neraka!
"Rupanya kaulah orangnya," geram
anak muda belasan yang pernah begitu
dekat dengan Nyai Cemarawangi. Siapa
dia? Dia adalah Satria. Lelaki hijau
yang baru saja memasuki kancah
persilatan. Dalam waktu yang terbilang
singkat, dia berhasil membuat kegege-
ran dengan mengoyak-ngoyak kekuatan
gerombolan perampok besar di sekitar
Pesisir Selatan Jawa Tengah, Laskar
Lawa Merah. Pemimpinnya berhasil
dilemparkan ke neraka!
Sejak hari itu, namanya sering
dihubung-hubungkan dengan sesepuh di
antara sepuh dunia persilatan yang
terkenal dengan julukan Dedengkot Sin-
ting Kepala Gundul. Bukan cuma itu,
beberapa kalangan mulai menyebut-
nyebut dirinya sebagai seorang pen-
dekar muda baru yang siap menjadi
besar. Mereka pun tak luput memberinya
julukan. Satria Gendeng!
Satria Gendeng? Ya, julukan yang
lahir karena kekhasan jurus-jurusnya.
Gerakan-gerakan tempur maut yang
begitu mirip dengan tingkah orang
sinting! Jurus warisan dari sang guru,
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Kenyataannya, orang tua sakti
bertabiat kurang waras itu belum lagi
tuntas menurunkan segenap kesaktiannya
pada Satria. Selama ini, hanya ter-
batas pada jurus-jurus awal saja yang
diturunkan.
Kalau dengan sebegitu saja si
pemuda berambut merah sudah demikian
menggedor dunia persilatan, bagaimana
pula jika dia telah berhasil menerima
seluruh warisan ilmu kesaktian sang
dedengkot?
Setelah tiga bulan berlalu,
Satria belum sekali pun bertemu kem-
bali dengan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul bernama asli Dongdongka itu.
Dia melanglang tanpa tujuan. Melang-
kahkan kaki ke mana pun kaki hendak
menuju.
Satu hal yang memancing niatnya
untuk meneruskan perjalanan adalah
keinginan untuk bertemu dengan
Tresnasari. Lalu bagaimana dengan Ma-
yang seruni? Gadis yang begitu mirip
dengan Tresnasari? Gadis yang tak
disangka tak diduga ternyata putri
Dirgasura, si pemimpin gerombolan
perampok Laskar Lawa Merah? (Lihat
kembali episode sebelumnya : "Kail
Naga Samudera")!
Dendam pun merangas cepat di
sekujur dada Satria. Bagai api yang
lahap melalap.
Tercetus dengusnya.
Termuntah murkanya.
Bayaran setimpal harus dituntut.
Nyawa dilunasi nyawa!
"Kau harus mati di tanganku,
Manusia Busuk Keji!" maki Satria.
Otot di sekujur tangannya menge-
ras. Uratnya seperti menggelembung
Hat. Perlahan, dalam getaran hebat
digenggamnya gagang tongkat kecil
berbentuk naga yang terselip di kain
ikat pinggangnya.
Sret!
Wajah Ki Ageng Sulut berubah.
Matanya nyalang, menemukan benda dalam
genggaman calon lawannya kini. Seben-
tar kemudian terdengar bisiknya.
"Kail Naga Samudera...."
Hampir berbarengan dengan bisikan
kakek kurus itu, Pancasona pun
mendesiskan kalimat serupa.
Dan, senjata pusaka Kail Naga
Samudera terangkat tinggi di tangan
Satria. Mengabarkan ancaman.
* * *
Jauh dari prahara di Perguruan
Cemeti Api, tepatnya di wilayah
Tanjung Karangbolong, tempat di mana
beberapa waktu lalu seorang anak muda
ditempa ilmu olah kanuragan oleh dua
tokoh dunia persilatan kalangan atas,
Tabib Sakti Pulau Dedemit dan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di
sana terdapat gubuk kecil. Di gubuk
itu pula dua tokoh ternama tersebut
kini berada.
Seperti diketahui, Ki Kusumo
alias Tabib Sakti Pulau Dedemit
mengalami luka berat setelah bertarung
amat sengit dengan seteru lamanya
Iblis Dari Neraka. Sepasang kaki Ki
Kusumo dibuntungi oleh kakek bengis
bernama Ki Ageng Sulut itu. Hanya ka-
rena Ki Kusumo tak sudi mengobati
penyakit menahun yang diderita Ki
Ageng Sulut.
Dalam keadaan luka parah dan
banyak kehilangan darah, Ki Kusumo
mati-matian pulang ke Tanjung Karang-
bolong. Kebetulan di sana ada De-
dengkot Sinting Kepala Gundul. Sesepuh
para sepuh dunia persilatan tanah Jawa
itu selama beberapa lama memang sedang
menggodok Satria, menurunkan kesak-
tiannya pada murid 'gendeng'nya.
Sementara Satria sendiri sudah
meninggalkan tempat tersebut untuk
menyelamatkan Mayangseruni yang me-
nurut kabar dari seorang prajurit
Demak telah disandera oleh kawanan
begal Laskar Lawa Merah.
Ketika itulah tergelar dua
pilihan di hadapan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Kedua-duanya sama-sama
sulit. Antara menolong Ki Kusumo
terlebih dahulu, atau menyusul murid-
nya yang jelas-jelas terancam oleh Ki
Ageng Sulut. Sebab menurut Ki Kusumo
sendiri, datuk aliran sesat itu
menghendaki Kail Naga Samudera. Di
lain sisi, Satria telah pergi membawa
senjata pusaka itu tanpa membertahukan
tujuannya (Bacalah episode sebelumnya
: "Kail Naga Samudera")!
Dongdongka saat itu ibarat men-
dapatkan buah simalakama. Serba-salah.
Kalau diputuskan menolong Ki Kusumo,
maka nyawa Satria yang akan terancam.
Sebaliknya, kalau diputuskan untuk
menyusul Satria, justru nyawa Ki
Kusumo yang akan melayang. Membingung-
kan. Kalau kepalanya masih berambut,
bisa-bisa menjadi rontok. Untung sudah
klimis sempurna!
Sesakti-saktinya dia, tak mungkin
dia berada di dua tempat dalam waktu
yang sama. Kalaupun banyak desas-desus
kalangan persilatan tanah Jawa
rnenyebutkan dirinya bisa terlihat di
dua tempat dalam waktu yang sama, itu
tak menjamin dia bisa menyelesaikan
dua masalah sekaligus di dua tempat
tersebut. Kejadian yang disaksikan
beberapa orang persilatan itu sebenar-
nya hanya bentuk kewaskitaan batin
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Karena kemampuan batinnya sudah
mencapai taraf waskita, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dapat melepas
sementara badan halusnya dan
meninggalkan wadagnya dengan cara
bersemadi. Orang yang tak memiliki
ketajaman mata batin, tentu mengira
badan halus yang disaksikannya adalah
Dongdongka sendiri.
Akhir-akhirnya, Sang Sesepuh
memutuskan untuk menyelamatkan Ki
Kusumo terlebih dahulu. Menurut peni-
laiannya, keadaan Ki Kusumo jauh lebih
mendesak. Dalam beberapa saja, orang
tua ahli pengobatan itu akan mati
kehabisan darah. Kendati untuk
melaksanakan itu Dongdongka sempat
juga menggerutu sepanjang arak-arakan
semut rangrang! Sambil berharap-harap
cemas agar murid bandelnya tak cepat-
cepat ditemukan oleh Ki Ageng Sulut.
"Kusumo, kira-kira ke mana bocah
itu pergi, ya?" tanya Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Ki Kusumo masih
belum pulih benar. Masih terbaring di
atas balai. Kedua kakinya terbalut
kain putih. Setelah sekian lama dalam
perawatan, kaki buntungnya sudah
mengering. Sebenarnya, Dongdongka tak
cukup pandai merawat Ki Kusumo. Pada
awalnya, tua bangka bertabiat gila
gilaan itu hanya menotok jalan darah
di bagian kaki Ki Kusumo yang telah
buntung sebatas lutut. Tujuannya agar
darah tidak lagi mengalir keluar.
Selanjutnya, dia menyalurkan hawa
murni selama hampir tiga hari tiga
malam. Terus menerus, tanpa henti.
Hari ke empat, saat Dongdongka sendiri
sudah nyaris kehabisan tenaga, Ki
Kusumo baru siuman.
Setelah siuman itulah, Dongdongka
meminta petunjukKi Kusumo agar dia
dapat melakukan perawatan secara baik
sebagaimana seorang tabib. Setidak-
tidaknya tabib karbitan! Dengan
petunjuk dari Ki Kusumo, Dongdongka
pun dapat membuatkan ramuan-ramuan
khusus untuk pemulihan kesehatan tabib
ternama tanah Jawa itu.
Sampai hari ini, hasilnya sudah
terlihat. Wajah Ki Kusumo sudah tak
tampak memucat lagi. Meski masih
lemah, namun sudah jauh lebih baik
keti-bang hari-hari sebelumnya. Lebih
jauh, bahkan dia sudah bisa bangkit.
Meski hanya duduk di tepi balai.
"Apakah Satria tidak bilang ke
mana dia hendak pergi, Panembahan?" Ki
Kusumo balik bertanya. Dari berbaring,
ia mencoba duduk. Tak beradat rasanya
berbincang dengan orang yang jauh
lebih tua dengan berbaring, nilai Ki
Kusumo.
Dongdongka sendiri sedang duduk
bertopang dagu di pintu gubuk. Seperti
perawan menunggu perjaka tunangan.
Wajahnya asam. Tak enak dipandang.
Malah masih lebih enak memandang
bakiak butut berjamur.
Terdengar Dongdongka menggerutu.
"Kalau dia bilang, sudah aku
susul bocah gendeng itu. Kau ini
bagaimana, Kusumo?!"
Wajah Ki Kusumo berubah cemas.
"Aku khawatir Ki Ageng Sulut
menemukannya," desahnya.
"Aku juga khawatir begitu,"
timpal Dongdongka. Wajahnya bertambah
asam.
"Kalau saja aku sanggup men-
carinya," gumam Ki Kusumo.
"Kalau saja aku tak sedang mera-
watmu," balas Dongdongka. Sepertinya
dia mengungkit-ungkit keputusan untuk
menolong Ki Kusumo. Sepertinya dia
menyesal. Padahai tidak. Ikhlas tidak
ikhlas, memang sudah begitu tabiatnya.
Suka menjengkelkan siapa saja. Ki
Kusumo sudah lama maklum.
"Apakah tak sebaiknya Panembahan
mencari Satria? Kurasa aku sudah cukup
sehat untuk ditinggal...," usul Ki
Kusumo.
"Kan sudah kubilang, kalau tahu
di mana bocah brengsek itu sekarang,
aku sudah terbang subuh-subuh tadi!"
Ah, serba salah berbicara dengan
manusia buluk macam Dongdongka!
Ki Kusumo terdiam. Apa akalnya
agar dapat menyelamatkan Satria dari
cengkeraman tangan Ki Ageng Sulut?
Orang tua itu berpikir keras. Sayang-
nya, tak ada satu jalan pun ditemukan.
Buntu.
Dongdongka mendadak terkikik
geli.
"Kenapa Panembahan?" tanya Ki
Kusumo kebingungan, tak paham kenapa
tak ada angin tak ada hujan,
Dongdongka tertawa sendiri.
Bukan tak ada sebab. Ki Kusumo
cuma tak tahu. Dongdongka tertawa
karena dia teringat bagaimana dia
telah dipecundangi mentah-mentah oleh
'si bocah gendeng' ketika Satria
hendak pergi. Juga karena dia teringat
bagaimana dia benar-benar dibuat mati
kutu oleh sikap Satria hari-hari
sebelumnya.
Mestinya, murid macam itu tak
perlu dipusingkan. Mau pergi, kek. Mau
mampus, kek. Mau dimakan genderuwo,
kek. Anehnya, justru dia sekarang
malah, mengkhawatirkan keselamatannya.
Memusingkannya sampai tujuh keliling.
Apa yang begitu itu tidak lucu?
Sampai akhirnya Dongdongka bang-
kit.
"Begini saja...," ucapnya sambil
melangkah masuk ke tengah ruang gubuk.
Ki Kusumo menunggu kelanjutan
ucapan Dongdongka.
Dongdongka malah menjatuhkan pan-
tat di lantai tanah. Bersila, melipat
tangan didada, lalu memejamkan mata.
Sia-sia Ki Kusumo menunggu ucapan
orang tua bertabiat sinting itu. Apa
maksudnya, cuma dia yang tahu. Sekali
lagi, memang serba salah berbicara de-
ngan Dedengkot Sinting Kepala Gundul!
* * *
3
KAIL Naga Samudera di tangan
Satria memperlihatkan kehebatannya. Di
depan puluhan pasang mata yang menatap
nanar murid-murid Perguruan Cemeti
Api. Termasuk di hadapan sepasang mata
yang membersitkan nafsu menguasai,
mata milik Ki Ageng Sulut.
Wukh wukh wukh!
Ekor pari pelangi, ekor binatang
samudera yang telah musnah sekitar dua
ratus tahun lalu, memancarkan sinar
warna-warni manakala tangan pemiliknya
memutar benda itu layaknya cemeti yang
setiap saat siap dilecutkan.
Merah.
Kuning.
Hijau.
Jingga.
Menyelubungi tubuh Satria. Meli-
ngkar-lingkar, tiada berpangkal.
Suasana berubah mencekam. Deru
Kail Naga Samudera seperti menyalak-
nyalak. Mendengarnya seolah menemukan
geram murka seekor naga.
Beberapa murid Perguruan Cemeti
Api tersurut mundur tak sadar. Ki
Ageng Sulut justru melepas tawa
nyaring mendengking-dengking, hendak
membabat wibawa deru senjata pusaka di
tangan Satria.
Pendekar muda berusia hijau
kalap.
"Pergilah kau ke neraka!" maki-
nya. Dan dia menerjang. Buas. Sepasang
kaki kokohnya menghantami pelataran
perguruan. Berdebam. Tangannya membuat
satu lecutan sengit.
Wukh!
Cletar!
Udara seketika terbakar. Bunga
api ramai bertaburan sesaat. Detik
berikutnya, pupus diseret sambaran
udara yang terbawa lecutan.
Sekali lagi, beberapa murid
Cemeti Api tersurut. Kali ini
dibayangi ketercekatan pada wajah
masing-masing. Betapa mengerikan sen-
jata pusaka di tangan Satria dalam
pandangan mereka. Berapa menggedor
nyali!
Satria melepas lecutan kedua.
Sekali ini diarahkan langsung ke arah
lawan. Tepatnya, ke bagian wajah Ki
Ageng Sulut.
Wukh..cletar!
Kalau murid-murid Cemeti Api
merasa kecut, Ki Ageng Sulut sebagai
pihak yang harus berurusan langsung
dengan kehebatan Kail Naga Samudera
malah sempat tertawa. Sekejapan
sebelum ujung Kail Naga Samudera
menjemput sasarannya.
Begitu tiba, ujung senjata pusaka
itu tak berhasil memangsa sasaran.
Bagai setan, Ki Ageng Sulut berkelit
sekali. Sulit menentukan ke arah mana,
karena tiba-tiba saja tubuhnya bagai
melebur dengan udara.
Baru detik berikutnya sosok datuk
aliran sesat itu terlihat kembali.
Hanya berpindah tak lebih dari
setengah langkah dari tempat semula!
Posisi menghindar yang amat berbahaya,
yang sengaja dilakukannya.
Mata tajam nan jeli Satria
menangkap sosok lawan sepersekian
detik lebih cepat dari para penonton
pertarungan. Tangkas dia memberi
sambutan. Satu sodokan lurus punggung
kakinya melayang. Arahnya dada lawan.
Ki Ageng Sulut tergelak singkat.
Apakah serangan lawan hanya
dianggapnya sebagai permainan?
Kenyataannya memang tak bertolak
belakang. Dengan mudah dia mengelak.
Bahkan terlalu mudah. Disusul dengan
satu dongkelan tangan di bawah
terjangan kaki Satria.
Degh!
Satria memekik. Tubuhnya ikut
terdongkel. Terasa selangkangannya
hendak terbelah. Di udara, tubuhnya
dipaksa berputar nyalang.
Satu kesempatan emas terbuka bagi
Ki Ageng Sulut. Tangannya yang barusan
mendongkel cepat menyampok ke samping,
mengejar arah putaran Satria.
Dash!
"Egh!"
Pekikan si anak muda sekali ini
dipaksa lahir karena hantaman telak
punggung tangan lawan di dadanya.
Diaterpental. Tak tanggung-tanggung,
nyaris sejauh tujuh tombak. Padahal,
sampokan punggung datuk aliran sesat
tadi sepertinya tak akan membunuh
seekor lalat pun!
"Aku tak berselera membunuhmu,
Bocah Bau Kencur! Berikan saja senjata
itu padaku! Kau sendiri boleh
menyingkir dari sini!"
Satria mengerang-erang di tanah
tempatnya tersungkur. Tangannya
mendekap dada. Mulutnya dibasahi darah
segar. Betapa sesak dadanya. Betapa
sakit seluruh bagian dalam tubuhnya.
Namun, sinar matanya sendiri seakan
tak pernah menganggap sakit dan sesak
itu ada. Matanya tetap memancarkan
tantangan seekor singa muda. Tetap
melecutkan kesan keangkeran padat
ancaman. Sebentuk keberanian meng-
hadapi tokoh paling ditakuti seantero
persilatan tanah Jawa yang terlampau
jarang dimiliki oleh pemuda lain
seusianya.
Mendengar peringatan lawannya,
bibir Satria malah tersungging, men
cemooh.
"Kau boleh memiliki benda ini
kalau kau telah berhasil membuatku
mampus," tandasnya, tegas.
Satria bangkit. Biar terseok. Tak
lama, dia sudah sanggup berdiri dengan
segala kegarangannya. Tempaan keras
selama ini membuat ketahanan tubuhnya
demikian mengagumkan.
Tangannya mengeras lagi. Terutama
genggaman pada Kail Naga Samudera.
"Kau mau benda ini?"
Satria melecutkan Kail Naga
Samudera.
"Rebutlah dari tanganku!" tan-
tangnya. Rupanya dia memilih untuk
bertahan, setelah serangan sebelumnya
tidak membawa hasil.
"Keparat kecil! Kau benar-benar
tak tahu adat!!!! Jangan menyesal bila
kulempar kau ke liang lahat!"
Pancingan Satria berhasil
menjerumuskan kegusaran lawan lebih
dalam. Rencananya untuk bertahan
sekarang terwujud dengan menghamburnya
serangan Ki Ageng Sulut.
"Hiah!"
Wukh!
Tangan kurus berbalut kulit
keriput Ki Ageng Sulut, Si Iblis Dari
Neraka yang terkenal menakutkan dengan
pukulan menyalanya, menerkam leher,
dada, dan perut Satria. Ganas tak
terkata.
Satria tegang.
Pukulan beruntun datang dengan
cepat. Namun pemuda berjiwa ksatria
itu telah siap.
Matanya bahkan telah menangkap
dengan demikian jeli ke mana arah
serangan lawan. Hanya dalam waktu yang
demikian sempit, dipusatkannya segenap
perhatian kepada serangan lawan.
Dibangkitkannya kesiagaan yang telah
terlatih selama mengarungi samudera
berkarang tajam di sekitar Pulau
Dedemit. Pada puncaknya....
"Haaaa!"
Berbareng teriakan menggila se-
akan hendak mengoyak pita suara di
kerongkongan sendiri, Satria membuat
tiga gerakan dari jurus 'Dedengkot
Gendeng Kegirangan' yang dikembangkan
sendiri secara naluriah olehnya saat
itu juga.
Plak! Plak! plak!
Serbuan tiga pukulan beruntun Ki
Ageng Sulut termentahkan. Padahal
rentang waktu antara satu pukulan
dengan yang lain demikian sempit.
Mungkin lebih cepat dari waktu yang
dipergunakan seekor ular untuk mematuk
mangsa!
Ki Ageng Sulut dipaksa terper-
angah. Tak disangka sama sekali lawan
bau kencurnya sanggup bergerak cepat
mempecundangi serangan cepatnya. Lebih
dari itu, datuk sesat golongan sesat
kalangan atas ini pun dibuat sekejap
terpana mengetahui lawan mudanya sama
sekali tak beranjak dari tempat
semula. Tenaga pukulan beruntunnya
seperti tak mengusik kuda-kuda pemuda
tanggung itu.
Kakinya seperti terpacak dan
mengakar ke dalam bumi.
Ki Ageng Sulut terlalu mere-
mehkannya!
Selang beberapa kejap berikutnya,
dalam tenggang waktu yang demikian
singkat, Satria mengirim serangan
balasan. Pinggangnya meliuk gemulai
menyamping lebih dahulu. Seperti
seorang perawan penari ular. Lawan
sulit menduga apa yang hendak
dilakukannya. Tangannya mengembang.
Lawan mengira kedua tangan itu hendak
menumbuknya dari samping kiri kanan.
Kala berikutnya, punggung pemuda
tanggung itu yang justru membuat
dorongan bertenaga ke ulu hati Ki
Ageng Sulut.
Serangan yang ganjil dan benar-
benar sulit diduga!
Ki Ageng Sulut kecele.
Karena dasarnya dia tokoh yang
telah kenyang makan asam garam,
gerakan memperdaya lawan tidak sempat
mendarat di sasarannya. Dia hanya agak
kelimpungan dalam menghindar. Membuat
badannya agak terhuyung ke belakang.
Posisinya jadi kurang menguntungkan.
Satria tak menyia-nyiakan kesem-
patan. Jarak yang agak terentang lebih
lebar dengan lawan memberinya peluang
untuk menyambar kepala lawan dengan
sapuan tinggi menyamping dengan
kakinya.
Sikap meremehkan lawan Ki Ageng
Sulut telah membawa akibat buruk
untuknya sendiri. Dalam rangkaian
serangan yang belum terputus, sudah
telanjur untuk memperbaiki sikap.
Satu-satunya jalan adalah mengambil
jarak aman terlebih dahulu. Setelah
itu, memulai gempuran baru.
Untuk itu, Ki Ageng Sulut harus
bisa menyelamatkan diri dari sapuan
kaki lawan mudanya yang demikian
cepat. Hampir-hampir tak memberi
kesempatan untuk dibendung dalam
pertahanan yang demikian rapuh bagi Ki
Ageng Sulut.
Sekali lagi Sang Datuk Sangar
dibuat kelimpungan. Dia memilih untuk
menangkis serangan. Menghindar terlalu
sulit. Di samping posisinya sudah
demikian terjepit, belum tentu gerakan
menghindarnya bisa meiebihi kecepatan
sapuan kaki lawan.
Saat yang sama, tenaga tendangan
Satria dialiri tenaga dalam
berkekuatan tinggi yang seringkali
mengalir keluar tanpa disadarinya.
Tenaga dalam yang lahir begitu saja
akibat berbaurnya Ramuan Pulau Dedemit
racikan Ki Kusumo dengan zat langka
dasar samudera. Tenaga dalam yang
pernah melempar beberapa nyawa anggota
Laskar Lawa Merah hanya dalam sekali
kepruk! Tenaga dalam yang hanya bisa
diperoleh oleh para pendekar-pendekar
berusia lanjut dalam tempaan bertahun-
tahun.
Dagh!
"Keparat!" maki Ki Ageng Sulut,
terdengar lebih mirip erangan.
Pergelangan tangannya terasa nyeri
teramat sangat. Berdenyut-denyut
sampai ke uiu hati. Bahkan kekokohan
tangkisannya menjadi tergoyahkan.
Tangannya terdorong kuat. Hampir saja
menghajar kepalanya sendiri.
Dengan memanfaatkan tenaga kuat
sapuan kaki lawan pada pergelangan
tangannya, Ki Ageng Sulut memperlebar
jarak. Kemudian dia melakukan putaran
tubuh di atas tanah empat kali. Dan
akhirnya menjejak kembali ke bumi.
Jemari tangan kanan yang diper-
gunakan untuk menangkis tadi tampak
meremas-remas, mencoba mengenyahkan
rasa nyeri yang masih saja berdenyar-
denyar.
Siapa anak muda sundal ini? Ru-
tuknya membatin. Kenapa tenaga
dalamnya sudah seperti orang persi-
latan kalangan atas? Kalau kukira-
kira, mungkin tak jauh beda dengan
kekuatan tenaga dalamku sendiri,
bisik-bisik hati Ki Ageng Sulut
berlanjut. Sementara matanya tak
kunjung terlepas menatap lawan bau
kencurnya.
* * *
Di gubuk tepi pantai Tanjung
Karangbolong, Ki Kusumo hanya bisa
menatapi keheran-heranan Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Sebelumnya dia
terus menggerutu, memusingkan bagai-
mana cara menyelamatkan murid mereka
yang besar kemungkinan sedang dalam
intaian bahaya. Sekarang, tak ada
angin tak ada kentut, tiba-tiba saja
dia duduk bersila di tengah ruangan.
Sudah lewat sepeminum teh, Sang
Sesepuh Persilatan tanah Jawa itu
begitu. Sampai sejauh itu, Ki Kusumo
masih tetap saja menduga-duga apa
maksudnya. Orang tua ahli pengobatan
itu terus memperhatikan.
Sampai suatu ketika, samar-samar
Ki Kusumo menyaksikan sebentuk sinar
lembut tipis merayap keluar dari
sekujur badan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Pada awalnya demikian samar.
Nyaris saja mata Ki Kusumo tak
menangkapnya. Lama kelamaan, sinar itu
makin tegas. Berangsur-angsur pula si-
nar tadi merayap naik ke atas tubuh
Dongdongka. Bentuknya menjadi lebih
jelas dan lebih jelas.
Ki Kusumo baru mengerti maksud
sahabat tuanya ketika disaksikan
dengan seutuhnya kini sinar dari dalam
tubuhnya telah berwujud Dongdongka.
Wujud kembaran itu seperti terlepas
dari badan si tua bangka yang diam
tanpa gemik. Pada akhirnya, wujud
kembaran Dongdongka terlepas dari
jasad aslinya. Penampakannya benar-
benar sulit dibedakan, antara
Dongdongka yang sedang duduk bersila
dengan kembarannya yang kini berdiri
tegak di depannya.
Ki Kusumo tak berbuat apa pun.
Juga tak berniat mengusik Dongdongka
yang bersila. Ataupun menegur
kembarannya yang berdiri diam.
Sepenuhnya dia telah paham, yang
terbaik baginya adalah diam.
Dalam beberapa tarikan napas,
kembaran Dongdongka sirna dari
tempatnya.
* * *
"Kenapa kau menyingkir seperti
itu, Orang Tua Busuk? Bukankah kau
katakan kau ingin memiliki benda ini?"
cemooh Satria. Diacungkannya Kail Naga
Samudera ke depan.
Ki Ageng Sulut menggeram. Cukup
sudah, tandasnya dalam hati. Dia tak
bisa main-main lagi dengan pemuda
tanggung yang dianggapnya bau kencur
namun kenyataannya memiliki tenaga
dalam nyaris setingkat dengannya.
Permainan usai!
Kedua tangan orang tua keriput
itu bergerak. Untuk gerakan yang baru,
terlihat getaran kecil namun hebat.
Lama kelamaan, di sekujur tangannya
berpendaran sinar lamat merah bara.
Ki Ageng Sulut mulai mengerahkan
kesaktian yang telah begitu lama
menjadi momok menakutkan dunia
persilatan tanah Jawa!
Geraknya makin melambat. Seba-
liknya, pendaran merah bara di sekujur
tangannya makin menguat. Wajahnya
terpulas cahaya itu. Membangun kesan
mengerikan. Padat ancaman.
Satria sadar, dia kini dihadapkan
pada ancaman amat berbahaya. Nyawanya
jadi taruhan.
Bersamaan dengan hembusan napas
panjang Ki Ageng Sulut, tepattiga
langkah dari Satria, Dongdongka alias
Dedengkot Sinting Kepala Gundul
muncul. Secara tiba-tiba! Seolah
dedemit gentayangan yang keluar dari
persemayamannya.
Semuanya terkesiap.
Satria. Begitupun seluruh murid
Perguruan Cemeti Api.
Tak terkecuali Ki Ageng Sulut.
Baginya, tokoh tua satu ini adalah
lawan paling berat yang pernah hidup
di bumi Jawadwipa ini. Seteru paling
tangguh. Padanan yang paling
berbahaya. Sebab, kesaktian mereka
bisa terbilang setingkat. Hanya jalan
yang mereka ambil bersilangan satu
dengan yang lain. Ki Ageng Sulut
memilih jalan sesat. Sebaliknya, De-
dengkot Sinting Kepala Gundul memilih
jalan lurus.
Kesaktian sepadan keduanya mem-
buat mereka harus bertumbukan sebagai
seteru.
Terhitung sudah lima kali mereka
pernah berurusan. Keduanya mengadu
kesaktian. Sampai saat itu, tak ada
satu pun yang dapat dikatakan meng-
genggam kemenangan.
Kalau Dedengkot Sinting Kepala
Gundul itu hadir hari ini, itu bisa
berarti hilangnya kesempatan Ki Ageng
Sulut mendapatkan Kail Naga Samudera.
Padahal dia telah menanti saat itu
selama puluhan tahun. Puluhan tahun!
Bukan waktu yang singkat. Terutama
kalau dia harus menderita penyakit
menjijikkan!
Ki Ageng Sulut benci keadaan itu.
Dia benar-benar gusar.
Di lain pihak, Dongdongka
berbisik perlahan pada Satria, murid
gendengnya.
"Satria, kembali kau! Sekarang
juga!"
"Tapi," kilah Satria.
"Jangan pakai tetapi. Kau harus
kembali sekarang juga! Tak mungkin kau
unggul menghadapi kakek jelek itu!
Atau kau mau membiarkan tanah Jawa
menjadi ladang pembantaian berdarah?"
"Apa maksudmu?"
"Percayalah. Kakek jelek itu,
cepat atau lambat akan berhasil
merebut Kail Naga Samudera dari
tanganmu, karena kau belum siap
menghadapinya.
Jika pusaka itu sampai jatuh ke
tangannya, maka prahara besar akan
segera meledak di tanah Jawa ini...."
* * *
4
JURANG di kaki Gunung Sumbing.
Seorang gadis muda tanggung sedang
digantung pada satu pohon tak begitu
besar yang tumbuh miring di dindsng
jurang. Kakinya diikat dengan oyot
pohon. Sedangkan kepalanya tergantung
ke bawah. Rambut panjangnya tergerai
lunglai menutupi bagian besar
wajahnya.
Keadaan gadis muda itu sungguh
berantakan. Wajahnya sudah kotor.
Begitupun pakaiannya dan rambutnya.
Mengenakan pakaian pendekar wanita
berwarna merah hati. Sudah demikian
kusam warnanya. Tangannya terikat di
sisi tubuh oleh oyot pohon yang sama.
Dari sela-sela geraian rambutnya,
tampak wajahnya yang cantik.
Keadaannya yang dekil tak menutupi
pancar pesona di wajahnya. Wajah itu
agak pucat Bibirnya mungil dan ber-
warna pucat pula. Matanya yang berbulu
lentik hitam terpejam.
Tubuh gadis muda itu tergantung
diam, seolah-olah telah kehilangan
nyawa.
Dasar jurang gelap, sulit bagi
cahaya matahari terjun langsung hingga
ke sana. Tak banyak pohon yang sanggup
hidup tanpa sinar matahari seperti
itu. Kalaupun ada, hanya enam tujuh
pohon yang tumbuh menyamping di
dinding jurang. Itu pun karena mereka
masih dapat menerima sedikit cahaya
matahari yang kebetulan bisa menerobos
hingga tempat nya.
Ketika sore menapak, suasana
makin menjadi kelam.
Kabut bergerak iambanterhuyung,
merayapi dasar jurang dan kaki tebing.
Sepanjang hari, kabut memang tak
pernah beranjak dari tempat itu.
Jangankan malam, di siang hari pun
tetap ada. Keadaannya yang lembab dan
dingin memungkinkan hal itu terjadi.
Tak di bawah tempat gadis muda
tadi tergantung, tergeletak tumpukan
kerangka manusia. Sebagian di
antaranya masih memiliki daging mem-
busuk. Ulat-ulat menjijikkan ber
geliat-geliat di sekitarnya.
Bau bangkai menebar ke mana-mana,
seakan memadatkan segenap penjuru
dasar jurang.
Satu sosok bayangan lalu keluar
dari satu sudut tebing. Kegelapan
menyelimutinya. Di antara gerayangan
kabut, sosok itu seperti penjelmaan
hantu dasar jurang. Terbungkuk-bungkuk
dia bergerak mendekati tempat gadis
muda tadi tergantung. Dari baya-
ngannya, tampak rambutnya yang panjang
dan kaku. Sulit menentukan pakaian
yang dikenakan. Namun samar-samar
tampak seperti mengenakan kurungan
kain compang-camping yang sama kaku
dengan rambutnya.
Tepat di bawah gadis muda yang
tergantung, sosok bayangan seorang
nenek itu berhenti. Kepala nya mene-
ngadah, melihat si gadis muda.
Sebentar kemudian, tubuhnya tergun-
cang-guncang bersama kikik mening-
ginya.
"Apa kau masih bersikeras, Gadis
Hijau?!"tanyanya kemudian. Suaranya
serak. Mengusik bulu roma.
"Ayo bicaralah. Jangan diam saja
seperti itu. Aku tahu kau masih sadar,
bukan?" lanjutnya.
Lamat-lamat, bola mata sayu gadis
muda terbuka. Kalau saja keadaannya
tak begitu kacau seperti saat itu,
tentu sepasang bola matanya akan mem
perlihatkan daya pikat sempurna.
Sesempurna purnama yang mengambangi
angkasa raya.
Bibir pucat keringnya bergerak
kecil.
"Kenapa kau berbuat seperti ini
padaku, Nek?" desahnya, lemah. Hampir-
hampir sulit didengar.
"Hi hi hi! Kau jangan melucu,
Gadis Hijau. Aku memintamu menjadi
muridku. Tapi kau menolak. Kau
membuatku jadi marah. Lalu bagaimana
aku tidak ingin memberimu pelajaran?"
"Tapi, kau tak berhak
memaksaku...."
"Siapa bilang?! Kau telah lancang
memasuki tempat kediamanku. Karena kau
kini berada di tempatku, maka aku
berhak bertindak apa saja terhadap-
mu...," serbu si nenek berwajah amat
menjijikkan. Dua bola matanya besar.
Biji matanya berurat kemerahan.
Sekeliling matanya berwarna biru
legam. Seluruh wajahnya dipenuhi
keriput bercampur kudis berlendir.
Bibirnya pucat berkerut-kerut.
"Aku tak pernah bermaksud lancang
ke tempatmu, Nek."
"Hi hi hi, siapa peduli! Yang
jelas, hukumku adalah hukumku. Aku
yang menentukan apakah kau salah atau
tidak. Karena kau kuputuskan bersalah,
maka kau harus menerima hukuman. Kau
bisa lepas dari hukumanku apabila kau
menjadi muridku!"
Beberapa saat si gadis tak
mengeluarkan kalimat susulan. Lidahnya
yang terlalu kelu sudah sulit untuk
mengeluarkan kata tambahan. Ditambah
lagi rasa kering kerontang mencekik
kerongkongannya.
"Baiklah, aku bersedia," katanya
samar, akhirnya.
Si nenek buruk rupa tertawa
kegirangan. Kikik menyeramkan
merambahi tebing, menelusupi kabut.
Seperti dengking sekawanan siluman
perempuan.
* * *
Ki Ageng Sulut tertawa tanpa
tedeng aling-aling ketika mengetahui
bahwa Dedengkot Sinting Kepala Gundul
yang tiba-tiba datang pada Kenya-
taannya bukan wujud sempurna. Hanya
badan halus orang tua sakti itu saja
yang tiba. Sedangkan wadagnya sendiri
di tinggal dalam gubuk di pantai
Tanjung Karangbolong.
Si datuk sesat mengetahui hal itu
ketika menyaksikan wujud seteru
lamanya tak berbuat apa-apa, kecuali
berdiri di tempatnya. Meskipun Ki
Ageng Sulut tak bisa mendengar
langsung bisikan batin yang dikatakan
badan halus Dongdongka kepada Satria,
namun tokoh sesat kelas atas itu
sedikit banyak bisa menduga apa
maksudnya. Lagi pula, kalau memang
Dongdongka telah hadir di sana tentu
dia tak akan berdiam diri demikian
rupa seperti karobing congek.
Sebaliknya, besar kemungkinan dia akan
kegirangan setengah mampus bakal
berurusan kembali dengan musuh sesat
terberat. (Kegirangan? Jangan heran.
Maklumlah, dia memang 'sinting'!)
Melihat semua gelagat itu, Ki Ageng
Sulut pun mulai menyadari.
Ketika terakhir berbicara dengan
Ki Kusumo, rupanya tercetus pemikiran
Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk
berusaha menghubungi murid bandelnya
dengan jalan melepas badan halusnya.
Karena badan halus tak lagi terbatas
oleh ruang, Dongdongka dapat menjumpai
Satria di mana pun dia berada. Juga
dengan waktu yang teramat singkat.
Setelah hampir sekian lama memu-
singkan cara menyelamatkan muridnya,
baru kali itu si tua bangka terpikir
demikian? Jadi, selama ini 'ngelantur'
ke mana saja pikirannya?
Kembali ke halaman Perguruan
Cemeti Api.
Menunggu lebih lama, tentu akan
teramat bodoh bagi Ki Ageng Sulut.
Terutama setelah mengetahui keberadaan
Dedengkot Sakti Kepala Gundul sebe-
narnya. Karena itu pula, dia
menghambur kembali ke arah Satria. Tak
dihiraukan penampakkan badan halus tua
bangka seterunya.
Pada kenyataannya, ketika dengan
sengaja Ki Ageng Sulut melanggar
Dongdongka, memang tidak terjadi apa
pun. Orang tua bengis aliran sesat itu
seperti melanggar asap. Sekelebatan
kemudian, penampakan Dedengkot Sakti
Kepala Gundul memupus bagai dilarikan
angin.
"Mampuslah kau, Bocah!" seru Ki
Ageng Sulut seraya menusukkan jari-
jari kanan berwarna merah bara ke
tenggorokan lawan muda belianya.
Ganas.
Sadar peringatan gurunya, Satria
siaga menyambut lawan. Terlambat sudah
untuk melaksanakan perintah Dedengkot
Sakti Kepala Gundul untuk segera
menyingkir dari tempat tersebut. Lagi
pula, Satria sendiri memang tak
sedikit pun memiliki niat untuk
melakukannya.
Tak ada kata mundur dalam
bertempur! Maju menjemput maut.
Rebah tanpa nyawa, lebih baik
daripada menyingkir.
Deb!
Sekian kedip lilin sebelum jemari
merah bara si Iblis Dari Neraka
merobek tenggorokannya, Satria tangkas
mengangkat batang Kail Naga Samudera.
Dengan senjata pusaka itu,
ditangkisnya serangan bengis lawan.
Gempuran pertama dapat dimen-
tahkan. Namun, bukan berarti dia telah
lolos dari ancaman maut. Sebab, satu
patukan tangan lawan yang lain mencoba
mencuri dari samping. Pelipis Satria
hendak dilobanginya!
Satria sadar sesadar-sadarnya,
lawan bisa mengirimnya ke liang lahat
cepat atau lambat. Peringatan gurunya
bukanlah main-main semata. Orang se-
perti Dongdongka saja sudah menganggap
Ki Ageng Sulut begitu berbahaya,
apalagi untuk Satria? Sementara
Dongdongka adalah satu tokoh persilat-
an tanah Jawa yang julukannya saja
sudah sanggup menggebuk nyali warga
persilatan seantero Jawa Dwipa.
Sedangkan Satria sendiri? Cuma bocah
baru besar. Hijau. Tak terlalu meleset
pula untuk dikatakan bau kencur.
Menghadapi empat jari maut yang
meleset tajam ke pelipisnya, Satria
tidak ingin mengambil risiko dengan
menghadangnya. Jika dia mencoba me-
nangkis, besar kemungkinan tangannya
akan tertembus. Karena tampaknya,
patukan jari tangan si Tua Bangka
telah dialiri tenaga dalam tingkat
tinggi. Sekaligus pengerahan kesaktian
yang mengandung tenaga panas luar
biasa. Panas yang sanggup melobangi
kulit, daging bahkan tulang. Seperti
baja membara menembus lilin!
"Haiiih!"
Kepala anak muda itu berkelit
tangkas ke belakang. Jari tangan lawan
lewat begitu saja, dua jengkal di
depan wajahnya. Ketika itu, tercium
bau udara terbakar. Salah satu
kehebatan yang dihasilkan jurus
Tepukan Iblis Kematian'. Celakanya,
Satria sedikit pun tak menyadari
kehandalan jurus ini.
'Tepukan Iblis Kematian' adalah
salah satu jurus maut milik si Iblis
Dari Neraka yang begitu khas. Karena
inti kekuatannya bukan terletak pada
hantaman tangan langsung pemiliknya,
melainkan pada angin sambarannya!
Memang, Satria bukanlah Ki Kusumo
yang mengetahui dengan jelas kehebatan
jurus lawan (kisah pertarungan Ki
Kusumo, Tabib Sakti Pulau Dedemit,
dengan Ki Ageng Sulut dapat dibaca
pada episode sebelumnya: "Kail Naga
Samudera")! Bukan pula seteru besar
bagi Ki Ageng Sulut layaknya Dongdong-
ka. Dia hanyalah seorang pemuda
tanggung yang baru saja memasuki medan
ganas dunia persilatan.
Akibatnya....
Srat!
Inti kekuatan pada angin sambaran
tangan Ki Ageng Sulut melebur benteng
keraton dalam jarak sekitar satu
tombak, langsung menyambar kepala si
pemuda tanggung.
"Akh!"
Ketika itu juga, Satria terlempar
deras ke belakang.
Keras.
Udara terbelah luncuran tubuhnya.
Jauh.
Pada saatnya, jatuh berdebam
meninju bumi. Satria tak kuasa bangkit
lagi.
* * *
Dari semadinya, Dongdongka ter-
sentak. Keheningannya terkoyak. Dia
bangkit seperti bocah kecil baru
tersadar dari mimpi menakutkan. Wajah
berkeriputnya tertarik tegang. Kelopak
matanya mendelik-delik seolah
tercekik.
"Bencana... bencana...." Sumpah
serapahnya menyusul kemudian. Di depan
balai Ki Kusumo, tua bangka itu hilir-
mudik sambil mengetuk-ngetuk kepalanya
sendiri dengan bambu tipis yang tak
pernah lepas dari tangannya. Tak
lepas, meski sedang buang hajat
sekalipun.
Ki Kusumo kebingungan. Namun,
setidaknya dia bisa mengendusi sesuatu
yang genting telah terjadi.
"Ada apa Panembahan?" tanyanya.
"Celaka seratus tujuh belas!
Bocah gendeng kita 'ngejoprak', prak!
Si Jelek Ageng Sulut bisa-bisa
melarikan Kail Naga Samudera...,"
cerocos Dongdongka, menyembur-
nyemburkan ludah sendiri.
Ki Kusumo mendesis. Entah apa
yang diucapkannya.
"Celaka...," ujarnya kemudian.
"Aku juga bilang begitu barusan,
bukan?!"
"Jadi, apa yang harus kita
lakukan?!"
"Aku ingin sekali memenggal
kepala si Jelek Ageng Sulut itu, yang
atas dan yang 'bawah'!"
"Maksudku, bagaimana dengan Sat-
ria?"
"Sudah kubilang, dia 'ngejo-
prak'!"
"Bagaimana kita bisa menolongnya,
maksudku?"
Dongdongka menepak kening keras-
keras.
"Astaga, iya ya! Kenapa aku jadi
lupa pada bocah gendeng itu. Kalau dia
mati lebih dulu, bagaimana pula aku
bisa mati?!"
Dongdongka menerjang pintu gubuk
begitu saja.
Gedubrak!
Pintu gubuk hancur berantakan.
* * *
5
DUA tahun berlalu. Tanpa terasa,
bagai hembusan angin datang dari
negeri yang jauh dan tiba-tiba saja
sampai. Waktu memang selalu piawai
memperdayai manusia.
Sejak peristiwa di Perguruan
Cemeti Api, dunia persilatan tanah
Jawa kehilangan dua tokoh besar:
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan
Tabib Sakti Pulau Dedemit. Keduanya
tak terdengar kabar beritanya.
Menghilang dari dunia persilatan
seolah menguapnya genangan air di
gurun luas.
Sebaliknya, julukan Iblis Dari
Neraka merebakkan ketakutan di mana-
mana. Di banyak tempat, tak peduli di
sudut-sudut tanah Jawa, orang tua
telengas sakti itu menebar bencana.
Sepak terjangnya kian berangasan.
Terutama setelah menguasai Kail Naga
Samudera yang berhasil direbutnya dari
tangan Satria.
Pembantaian besar-besaran berlan-
jut dari hari ke hari.
Sudah tak terhitung perguruan
silat yang disatroni. Warganya ditum-
pas seolah sekawanan lalat. Darah
membalurkan anyir di bumi tanah Jawa.
Ini hari di sana. Besok di sini.
Satu nama terus disebut-sebut
dengan sehimpun nada ketakutan di
mana-mana. Satu nama terus dihubung-
hubungkan dengan setiap pembantaian
keji.... Iblis Dari Neraka! Tua bangka
bertabiat iblis yang selalu membawa
senjata pusaka berbentuk naga
sepanjang dua tahun belakangan.
Bagaimana pula dengan nasib si
pemuda tanggung berhati pualam
bertekad baja?
Di mana pula Ki Kusumo dan
Dongdongka?
* * *
Kotapraja Kerajaan Demak. Siang
yang terik.
Seorang pemuda berjalan gagah.
Usianya masih tergolong muda, belum
mencapai kepala dua. Badannya kekar
berotot. Rambutnya lurus, memanjang
kemerahan sampai batas bahu. Wajahnya
tak begitu tampan, namun memancarkan
daya tarik kuat. Terutama pada
matanya. Sepasang bola mata pemuda itu
memancarkan kepribadiannya. Ada kesan
ketegasan, kewibawaan, kemantapan
hati, kejernihan jiwa. Semuanya ber-
gabung dan menciptakan kekuatan tadi
di matanya. Rahangnya terlihat kokoh
dengan garis yang memikat. Bibirnya
tipis. Ada bulu-bulu kehijauan di
sekujur dagu dan rahangnya. Membuatnya
makin terlihat gagah.
Pemuda itu mengenakan pakaian
bulu dari kulit binatang berwarna
kelabu. Bercelana sebatas lutut
berwarna hijau tua. Kepalanya ditutup
caping lebar, menyembunyikan ketampa-
nannya di balik bayang-bayang.
Suasana di alun-alun cukup ramai,
tak terlihat seperti hari-hari biasa.
Beberapa pedati yang ditarik lembu
tampak melintasi jalan Pesiar Raya,
jalan utama yang menghubungkan pela-
buhan dengan Keraton. Jalan Pesiar
Raya terbuat dari susunan bata.
Beberapa orang berjalan hilir-mudik.
Kebanyakan rakyat jelata. Sementara
satu-dua orang priyayi atau saudagar
melintas dengan mengendarai kuda.
Hari pasaran jatuh pada hari itu.
Hari di mana para pedagang meman-
faatkan beberapa tempat di sekitar
kotapraja untuk mengadu peruntungan.
Di beberapa sudut terlihat para pandai
besi dari kampung pandean menggelar
dagangannya. Di sudut lain, terlihat
beberapa pedagang dari Gujarat yang
khusus datang dari kampung Pekojan di
sekitar alun-alun. Sudut lain sudah
pula diisi oleh pedagang-pedagang dari
kampung Kauman lain. Termasuk para
pedagang Cina dari Pecinan.
Bersebelahan dengan alun-alun,
tepatnya di sebelah Selatan, berdiri
keraton. Tembok dan gapura keraton
terlihat megah dan kokoh. Dua orang
prajurit selalu tampak berjaga di
kedua sisi gapura.
Di sebelah barat alun-alun,
berdiri satu bangunan megah, tempat
penduduk muslim melaksanakan salat.
Bentuknya segi empat. Memiliki atap
bersusun. Mereka menyebutnya Masjid
Raya.
Pemuda yang baru tiba berjalan
tak cepat, tak juga lambat. Langkah-
langkahnya mantap, memperlihatkan
kekokohan kakinya. Tiba di persim-
pangan jalan langkah si pemuda
terhenti. Ada iring-iringan kecil
melintas dari arah utara.
Di depan iring-iringan terlihat
seorang penunggang kuda. Pakaian yang
dikenakan memperlihatkan jabatan pen-
ting dalam keperwiraan kerajaan. Di
belakang pengendara kuda, berbaris
empat orang prajurit berseragam. Salah
seorang di antaranya membawa semacam
umbul-umbul hijau bergambar simbol
kebesaran Kerajaan Demak. Tak terlihat
terlalu mewah, namun kesannya megah
berwibawa.
Beberapa orang yang kebetulan
berjalan berbarengan dengan pemuda
berambut kemerahan turut berhenti.
Sikap mereka berubah. Ada gelagat ka-
lau mereka berusaha bersikap hormat
pada iring-iringan yang lewat.
Iring-iringan melintas. Saat itu,
si pemuda bercaping sempat mencuri
pandang ke arah lelaki gagah
penunggang kuda. Dia dibuat terkejut
demi menemukan wajah orang itu. Tanpa
sadar, dilepasnya caping seraya
menyebutkan satu nama.
"Kakang Bagaspati...."
Ucapannya tadi sampai ke telinga
penunggang kuda. Sebentuk suara
berwibawa mencelat keluar dari
kerongkongannya. Berat, agak serak.
Berpengaruh.
"Berhenti!"
Empat punggawa di belakangnya
berhenti. Beriring dengan ditariknya
tali kekang kuda.
"Satria? Bukankah kau Satria?"
sapa penunggang kuda. Nadanya
terdengar membubung dihempas
kegirangan.
Wajah itu memang dikenali pemuda
berbaju kulit binatang. Wajah bersih.
Tak begitu tampan, namun bermuatan
prabawa. Usianya masih terbilang belum
terlalu tua, menjelang masa-masa
kematangan. Pada sepasang bola
matanya, terpancar ketajaman, seakan
dapat menemukan satu kuman ter-
sembunyi di dasar lautan.
Dia adalah orang penting dalam
jajaran keperwiraan Kerajaan Demak.
Namanya Abdul Malik Bagaspati. Seorang
yang sudah tak asing lagi bagi si
pemuda. Ketika bertemu sekitar dua
tahun lalu, jabatannya masih Manggala.
Kalau menilik dari pakaiannya, tentu
jabatannya sudah menanjak beberapa
tingkat. Besar kemungkinan sebagai
imbal jasa dari Raja Demak atas
keberhasilannya menumpas gerombolan
Laskar Lawa Merah.
(Baca kembali kisah sebelumnya:
"Geger Pesisir Jawa")
Di lain sisi, ada kenyataan lain
yang tak mungkin dipungkiri oleh
Bagaspati. Keberhasilan tugas mulianya
tersebut bukanlah semata keberhasi-
lannya memimpin pasukan. Melainkan,
karena uluran tangan seorang pemuda
belia yang meledakkan kegemparan hebat
di segenap penjuru dunia persilatan
dengan membunuh pemimpin gerombolan
Laskar Lawa Merah, Dirgasura.
Kenyataan itu memberatkan hati
Bagaspati menerima penghargaan jasa
langsung dari Raden Fatah. Penye-
babnya, dia merasa tak pantas untuk
itu. Sebaliknya, seluruh penghargaan
semestinya dilimpahkan kepada pemuda
belia yang telah membantunya.
Dengan jujur, Bagaspati mengung-
kapkan hal ikhwal keberhasilan
penumpasan Laskar Lawa Merah kepada
Raden Patah. Dia sungguh tak ingin
nanti anak cucunya mengejeknya sebagai
seorang pahlawan kesiangan. Orang yang
sesumbar tentang jasa-jasanya pada
negara setelah perjuangan mencapai
keberhasilan untuk mendapatkan bintang
jasa. Sementara di medan perjuangan
dahulu, justru dia tak lebih dari
seorang badut pengecut.
Si pemuda belia kini dijumpai
kembali. Dialah Satria. Tokoh muda
kita. Selang dua tahun ini, wajah,
perawakan sekaligus penampilannya
memang cukup jauh berubah. Kendati
demikian, tak ada kesulitan sedikit
pun bagi Bagaspati untuk mengenalinya.
Bagaspati turun dari punggung
kuda. Dihampirinya Satria dengan suka-
cita melimpah pada parasnya.
Dirangkulnya pemuda itu hangat-hangat,
seolah sahabat lama yang baru saja
berjumpa kembali selama bertahun-
tahun. Tawanya bahkan terdengar
meletup-letup, meski sebagai seorang
abdi dalam istana dia selalu berusaha
untuk tidak begitu.
Orang-orang yang kebetulan
berdiri di sana menatap terheran-heran
pada pemuda berbaju bulu binatang.
Hati mereka tak habis bertanya,
bagaimana seorang perwira tinggi
Kerajaan Demak bisa begitu suka cita
bertemu dengan seorang pemuda yang
penampilannya saja tak lebih bagus
dari seorang penggembala kerbau?
* * *
Apa yang sesungguhnya terjadi
pada diri si anak muda setelah
kejadian di Perguruan Cemeti Api?
Ketika itu Dongdongka jelas
mengetahui di mana keberadaan murid
gendengnya setelah dia melepas jasad
halusnya dari wadag. Mengetahui ke-
adaan Satria dalam kegentingan, segera
disusulnya pemuda itu.
Di sana, ternyata Ki Ageng Sulut
alias Iblis Dari Neraka sudah tidak
ada lagi di tempatnya. Pergi membawa
senjata pusaka yang seharusnya
berjodoh dengan Satria, Kail Naga
Samudera.
Dibawanya kembali Satria ke
Tanjung Karangbolong.
Di sana, Ki Kusumo mengobatinya.
Setelah sembuh, Satria digodok kembali
oleh mereka dua tokoh kelas atas dunia
persilatan tanah Jawa. Itu sebabnya
selama dua tahun mereka seperti hilang
disembunyikan zaman.
Selama dua tahun lebih, pemuda
berhati pualam, berkehendak sekeras
baja murni menjalani tempaan. Baik itu
berupa tempaan jasmani maupun rohani.
Jurus-jurus silat tingkat tinggi
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan
Tabib Sakti Pulau Dedemit diterimanya.
Ajian-ajian ampuh dipelajarinya.
Nilai-nilai darma kesatriaan dikucur-
kan ke dalam batin nya. Bagai sosok
Gatotkaca yang harus dimasukkan dalam
Kawah Candradimuka untuk mencapai
tingkat demi tingkat kesaktiannya.
Usai dua tahun.
Apakah dengan begitu Sang
Dedengkot Gendeng Dongdongka berhasil
mencapai keinginannya untuk menemui
ajal sendiri yang sudah begitu lama
didamba?
Pertanyaan yang tak mudah untuk
ditemukan jawabannya. Karena, apa pun
alasannya, bagaimanapun ngototnya
usaha diperjuangkan tokoh sakti
sesepuh para sepuh golongan lurus
bertabiat sinting itu, urusan kematian
bukan sekali-kali ditentukan seenak
udel oleh dirinya sendiri. Nyawa
adalah milik Sang Pencipta. Datang
dari-Nya, dan kelak akan kembali pada-
Nya. Kapan waktu kembalinya si nyawa,
Juga menjadi hak-Nya untuk menentukan.
Seperti sudah dimaklumi, menurut
perhitungan Dongdongka, dia akan
segera memasuki pintu kematian dengan
tenang dan damai setelah tuntas
menurunkan seluruh kesaktian pada
murid pilihannya.
Pada purnama kedua puluh lima,
satu purnama setelah seluruh ilmu Ki
Kusumo dan Dongdongka diwariskan
kepada Satria, Dongdongka memanggil
pemuda itu.
Dongdongka duduk bersila di tepi
pantai kala itu. Menghadap samudera
yang tak pernah lelah mengayun
gelombang. Tak pernah letih menyenan-
dungkan puji-pujian kepada Sang
Pencipta. Duduknya hening. Napasnya
pun seolah larut dalam setiap desah
ombak.
Satria mendatanginya dari bela-
kang.
"Kenapa Kakek memanggilku?" tanya
pemuda tanggung itu.
Tak ada jawaban sampai beberapa
tarikan napas. Dedengkot Sinting
Kepala Gundul masih mempertahankan
keheningannya.
"Duduklah di sebelahku, Cah Gen-
deng," pinta Dongdongka sejurus
kemudian.
Satria memenuhi permintaan guru-
nya. Bersilalah dia tepat di sisi kiri
Dongdongka. Menghadap samudera seperti
gurunya.
"Aku ingin menyampaikan satu hal
yang penting kepada dirimu, Cah,"
mulai Dongdongka. Suaranya perlahan,
menyelinapi setiap desir angin pantai.
"Katakan padaku, Kakek."
Dongdongka menghimpun napas.
Dalam.
Padat.
Sarat.
Mata kelabunya mencengkeramai
setiap gemulai samudera di kejauhan
sana.
"Dua tahun lebih kau telah
menerima ilmu-ilmu dariku, juga dari
Kusumo. Malam ini, tuntas sudah
kewajiban kami terhadapmu." Tak ada
tanda-tanda kalau kesintingan Sang
Dedengkot Sinting hari itu akan
kambuh. Kata-katanya mengalir demikian
datar.
"Tiba waktunya bagi kami berdua
untuk melepasmu, memberimu kesempatan
untuk mengamalkan seluruh kepandaian
yang telah kau miliki. Bukan hanya
sekadar untuk 'hidup'. Lebih dari itu,
kami berharap kau dapat mengamalkannya
untuk 'kehidupan’"
Satria tepekur mendengarkan. Rasa
nya, memang sudah semestinya dia
cepat-cepat kembali ke dunia persi-
latan. Ada banyak urusan yang sebelum-
nya tak terselesaikan. Satu ha! besar
yang begitu mengusik pikirannya adalah
Ki Ageng Sulut. Orang yang bertanggung
jawab pada kematian Nyai Cemarawangi,
juga orang yang telah merampas Kaii
Naga Samudera dari Satria. Suatu saat,
akan direbut nya kembali senjata
pusaka itu, tekad Satria membatin.
"Sebelum kau kulepas, ada satu
pemberian akhir dariku yang hendak
kuserahkan padamu malam ini," lanjut
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Apa itu, Kakek?"
"Ajian Melepas Sukma'. Satu ajian
yang tak bisa dipelajari sembarang
orang, kecuali bagi yang memiliki
kemurnian hati Kemurnian itu mendo-
rongnya untuk selalu membersihkan
sukma. Kebersihan sukma itulah yang
memungkinkannya untuk mendapatkan
ajian 'Melepas Sukma'."
Melepas Sukma? Satria bertanya
membatin. Ajian macam apa lagi itu?
Sebentar, dia pun teringat pada
kejadian ketika Ki Ageng Sulut
menggempur habis-habisan di pelataran
Perguruan Cemeti Api. Bukankah dia
menyaksikan gurunya datang, yang pada
dasarnya kehadirannya itu hanya
diwakili oleh sukmanya?
"Untuk hal itu, kau tak
memerlukan waktu lama. Aku cukup
memasukkan 'kunci'nya ke dalam dirimu.
Sebab, kau telah memenuhi syarat untuk
menerimanya."
"Kunci?" gumam Satria. Di
benaknya, terbayang sebentuk kunci
sebesar jempol kaki Buto Ijo. Bagai-
mana caranya benda seperti itu hendak
dimasukkan ke dalam dirinya? Jangan-
jangan gurunya hendak memaksanya
menelan kunci. Atau setidak-tidaknya,
akan dibuat semacam lobang di udelnya
untuk memasukkan kunci itu. Apa iya
begitu? Satria meringis. Ngeri.
"Kunci, Kakek?" tanyanya, ingin
meyakinkan diri sendiri.
Dongdongka mengangguk.
"Besar apa tidak?" susui Satria
sambil menelan ludah susah-payah.
Dongdongka kontan tergelak-gelak
detik itu juga.
Tepat tengah malam, keduanya
sudah terlihat duduk bersila
berhadapan. Masih di tempat yang sama.
Telapak tangan keduanya bertemu di
depan.
Dalam diam, dalam hening, dalam
bisu yang dalam, keduanya tetap
mempertahankan posisi.
Lama.
Malam beringsut. Dini hari jatuh.
Pada kokok ayam pertama, tubuh
keduanya tampak mulai bergetar.
Awalnya hanya sebentuk getaran halus.
Lama kelamaan makin kasar. Selanjutnya
seperti ada hentakanhentakan yang
memaksa tubuh keduanya melonjak-lonjak
kecil.
Kening, wajah, leher, dan
sebagian tubuh Dongdongka dibasahi
peluh. Asap tipis mengepul lamat dari
setiap lobang pori-pori kulitnya.
Sebaliknya, tubuh Satria justru tampak
diserang oleh rasa dingin luar biasa.
Uap tipis mengambang lambat. Juga dari
seluruh lobang pori-porinya. Bibirnya
sudah tampak membiru. Gigi-giginya
saling beradu, bergemeletak halus.
Lalu rembang pagi mengambang
diam-diam di cakrawala sebelah timur
Getaran tubuh kedua guru-murid
itu pun melemah dan melemah. Sampai
akhirnya tenang kembali. Hening
kembali. Bisu kembali.
Tangan Satria terjatuh, beriring
terjatuhnya tangan si tua bangka
Dongdongka.
Satria yakin segalanya telah
usai. Selama itu, dia tak merasakan
apa pun. Aneh memang. Padahal mestinya
dia mendapatkan serangan rasa dingin
yang menyengat hingga ke tulang
sumsum. Seingatnya, dia hanya
merasakan ada sesuatu mengalir sejuk
dari telapak tangan gurunya. Mengalir
lagi melalui telapak tangannya lalu
berdesir cepat bagai meliuknya seekor
belut ke bagian dalam badannya di
antara tulang belikat. Selain itu. tak
ada.
Kelopak matanya pun dibuka. Kaget
juga dia begitu menyaksikan
pemandangan yang dilihatnya di depan.
Matanya sampai membesar.
Matikah Dongdongka? Bukankah
menurut perkiraan Dongdongka sendiri,
dia akan segera dijemput maut jika
seluruh kesaktiannya telah diturunkan
pada sang murid, termasuk ajian akhir
‘Melepas Sukma’?
Dua tiga tindak dari tempat
Satria, si tua bangka ternyata sedang
nungging di atas pasir.
Apa yang sedang dilakukan Kakek?
Satria kebingungan. Disangkanya tin-
dakan Dongdongka sebagai bagian dari
upacara penyerahan kunci ajian
'Melepas Sukma'. Satria keliru besar.
Sebab, tak lama kemudian terdengar
suara raungan Dongdongka.
"Tobat tobaaaat, ya Gusti Agung!
Kenapa aku belum modar juga!"
Dan Dongdongka pun menangis
seperti anak monyet kehabisan jatah
pisang.
* * *
6
KUUNDANG kau ke keraton, Satria!"
cetus Bagaspati yang kini telah
menjadi salah seorang Patih Kerajaan
Demak. Satria tercengang. Ke keraton?
Bukan main, pikirnya. Tempat yang
sebenarnya tak pernah mimpi untuk
dimasuki. Tempat orang-orang besar.
Bukan dirinya. Karena dia cuma satu
dari wong cilik. Bahkan dengan
keadaannya kini yang tidak pernah lagi
mengetahui asal-usulnya, dia mungkin
lebih pantas disebut gembel pengelana.
Gubuk mungkin lebih pantas untuknya.
Atau padang rumput, atau lembah, atau
bukit, gunung yang semuanya terbuka.
Sementara atapnya adalah langit.
Meskipun, langit dan bentangan bumi
pada hakikatnya jauh lebih megah dari
keraton termegah sekalipun....
"Jangan terdiam seperti itu,
Dinda Satria!" tegur Bagaspati ketika
ajakannya ditanggapi Satria dengan
mulut menganga. Baru kali itu pula
disebutnya Satria dengan panggilan
Dinda, sebagai orang yang berusia
lebih muda. Seolah-olah Satria sudah
benar-benar berada dalam lingkup tata
krama kraton.
"Maksud Kakang, bertemu dengan
Raja?" Mata Satria mulai membesar.
Lugu sekali dia. Sifat murni seorang
bocah yang masih saja dimilikinya
meski usianya sudah menapaki awal
kedewasaan. Bagaspati tersenyum.
"Itulah maksudku! Sudah lama aku
ingin memperkenalkan kau dengan
Kanjeng Susuhan!"
"Memperkenalkan aku?"
Nganga si pemuda tanggung makin
melebar.
"Aku sudah menjelaskan, bukan aku
yang sebenarnya paling berjasa besar
menumpas Laskar Lawa Merah. Bukan aku.
Tapi, tampaknya Kanjeng Susuhan tak
cukup puas sebelum dia menjumpai
langsung orang yang kumaksud."
"Kakang sudah bertemu orangnya?"
tanya Satria. Lagi-lagi lugu.
"Tentu saja kau!"
"Aku????" Satria nyengir-nyengir
kuda. "Ah, masaaaaak?!"
Anak muda itu masih belum
mengerti benar kenapa dia hendak
dipertemukan dengan Raja Demak yang
menguasai sebagian besar tanah Jawa?
Mulutnya mau mengulur pertanyaan untuk
keadan yang belum dimengertinya, tapi
Bagaspati sudah mempersilahkan dia
untuk menaiki kuda. Setelah sebelumnya
dia naik lebih dahulu.
Kaki Satria baru saja sampai pada
pijakan di sisi perut kuda ketika satu
kelebatan tiba-tiba memangkas udara
dari arah samping. Arahnya deras
menuju Satria. Ada desir tajam
mengancam terbawa kelebatan itu.
Menyambar laksana tukikan elang.
Wesh!
Satria menggerakkan tangan
sekali, menyambut kelebatan bayangan
seseorang. Satu tamparan amat cepat
yang akan memenggal telak-telak kele-
batan tadi. Hampir bisa dipastikan.
Namun, kejadiannya justru tak
begitu. Sambutan tangan kokoh si
pendekar muda tak lebih memangsa
angin. Arah gerak kelebatan tadi
mendadak berubah pada jarak dan
kecepatan yang sebenarnya nyaris tidak
mungkin untuk melakukan tindakan itu.
Seperti gerak Dewa Penunggang
Angin....
Luar biasa!!
Selanjutnya kuda milik Bagaspati
meringkik nyalang. Kelebatan sosok
bayangan tadi mengejutkan, menyebabkan
binatang itu mendepak-depakkan kaki
depan tinggi-tinggi ke atas. Liar.
Bagaspati susah-payah berusaha
menenangkan hewan itu kembali dengan
ketangkasan yang terlatih selaku
seorang Patih kepercayaan.
Satria sendiri sudah memutar
badan, mengikuti arah gerakan
kelebatan bayangan tadi. Sekali lagi
dia dipaksa terperanjat manakala
menyadari matanya tidak lagi menangkap
apa pun. Kelebatan bayangan tadi sudah
menghilang. Udara seakan telah
menyembunyikannya.
Mata tajam Satria mencari-cari.
Waspada. Disiapkannya kuda-kuda, tanpa
mempedulikan apakah kuda jantan besar
di belakangnya akan menghantamkan kaki
depan ke bokongnya. Pada dasarnya,
Satria memang lebih mengkhawatirkan
kelebatan bayangan tadi. Dia cepat
menilai bahwa orang yang hendak
mencari perkara barusan bukan orang
sembarangan. Kesaktiannya sulit diukur
olehnya, kendati dia sudah mewarisi
ilmu-ilmu dua tokoh kenamaan tanah
Jawa....
Menurut perkiraannya pula, bisa
jadi orang itu setingkat dengan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ya,
Satria yakin! Lantas bagaimana dia tak
men-anggapnya sebagai satu bahaya
besar, jauh lebih besar dari amukan
seekor kuda liar?
Bagaspati masih berkutat di atas
punggung kuda agar tak terlempar,
keempat prajurit pengawalnya memper-
siapkan posisi. Tombak di tangan
mereka diacungkan ke depan. Mata
keempatnya turut mencari-cari si biang
keladi.
Sampai terdengar suara cekikik
tinggi dari pucuk pohon besar yang
tumbuh di tepi jalan utama. Mendirikan
bulu roma siapa pun pendengarnya.
"Hi hi hi hi!"
Satria mendongak. Keempat pra-
jurit turut pula. Sama-sama mereka
temukan pemandangan menggetarkan
nyali. Di pucuk pohon tempat asal tawa
telah bertengger seorang nenek tua,
yang tidak hanya jelek tapi sekaligus
mengerikan.
Bagaspati yang merasa sia-sia
menjinakkan kuda jantan nya segera
saja melompat tangkas dari punggung
hewan itu. Dengan sekali putaran
ringan di udara, dia menempatkan diri
di samping kiri Satria.
"Siapa dia Kang Bagaspati?" aju
Satria.
Bagsspati sudah pula menyaksikan
nenek jelek di pucuk pohon. Wajahnya
berubah. Mengeras. Ada garis-garis
yang sulit diterjemahkan. Bersit
matanya yang selama ini tak pernah
kehilangan ketegasan untuk beberapa
jenak seperti tergetar, laksana pancar
api lilin terhembus angin. Bukan
persoalan takut penyebabnya. Apalagi
untuk seorang ksatria sejati seperti
dirinya. Lebih tepatnya ada sebentuk
keterperanjatan teramat sangat.
"Nini Jonggrang...," desisnya
kemudian, dalam getar suara yang sulit
disembunyikan.
Seperti dugaan Satria, Nini
Jonggrang memang seorang nenek yang
tingkat kesaktiannya tak berbeda
dengan gurunya sendiri Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Di rimba
persilatan tanah Jawa, Nini Jonggrang
lebih dikenal dengan julukan Nenek
Pengumpul Bangkai.
"Hey, anak muda berambut merah!"
tukas nenek yang disebut Patih
Bagaspati dengan nama Nini Jonggrang.
Tidak ada lagi anak muda berambut
merah lain yang dimaksudnya kecuali
Satria.
Satria terpana-pana. Apa urusan-
nya dengan si nenek jelek itu sampai
dia yang pertama kali ditukasi? Apa
telah terjadi kesalah pahaman?
Tak peduli pada keterpanaan
Satria, nenek jelek tadi menyambung
ucapan bersuara sama serak dengan
teriakan lapar sekawanan burung
pemakan bangkai.
"Katakan pada gurumu, Dongdongka,
bahwa urusan lama antara aku dengannya
belum lagi tuntas. Kau sebagai
muridnya, akan menerima pula ganjaran
atas kesalahan yang telah dibuat
gurumu terhadapku!"
Meski berpantang untuk membiarkan
rasa takut tumbuh dalam dirinya, tak
urung Satria merinding mendengar
ancaman barusan. Jangan pernah
menganggap ancamannya main-main,
begitu hati kecilnya memperingati.
"Ada urusan apa antara kau dan
guruku sebenarnya, Nenek?" tanya
Satria berseru. Dia tak ingin
terjerumus dalam satu urusan yang sama
sekali tak diketahui sebab musababnya.
Jawaban yang didapat cuma tawa
terkikik pendek menohok langit. Untuk
yang terakhir, terisi oleh tenaga
dalam berkekuatan tak terukur.
Satria mendekap telinga kuat-
kuat. Tubuhnya terbungkuk mengejang.
Liang telinganya seperti dirasuki oleh
ular berbisa. Patih Bagaspati
mengalami keadaan serupa. Keempat
prajurit pengawal mengalami nasib
lebih sial. Mereka langsung ter-
jengkang di tempat tanpa sempat
menjerit. Sebagian selaput otak mereka
pecah di dalam. Dari lobang telinga
mereka mengalir darah segar. Mereka
memang tak memiliki tingkat tenaga
dalam seperti Patih Bagaspati atau
Satria.
Lebih gila dari itu, ada sekitar
tiga orang lain yang harus mengalami
nasib tak kalah menyedihkan dengan
keempat prajurit. Mereka cuma rakyat
jelata yang kebetulan berada amat
dekat dengan tempat kejadian. Mereka
tentu saja tak tahu menahu. Namun,
mereka tetap membayar terpaksa dengan
nyawa.
Begitu gema kikik hanyut dalam
gelombang di angkasa, Satria membuka
mata. Disaksikannya seluruh dedaunan
tempat si nenek bertengger telah
rontok sama sekali.
Tak ada sisa sehelai pun.
Terpangkas tuntas.
Sedangkan Patih Bagaspati
menemukan kuda jantan gagah dari tanah
Arab miliknya telah terbujur
mengejang. Mulutnya mengeluarkan buih
yang masih mengalir lambat.
Satria menggeram amat dalam saat
pandangannya berpindah ke arah tujuh
sosok mayat yang bergelimpangan di
sekitar jalan utama. Darahnya
mendidih. Terutama karena disaksi-
kannya tiga orang lelaki desa yang
hendak berdagang di kotapraja dan
kebetulan berjalan satu arah
dengannya, telah turut terbantai.
Tahu pula dia kini bahwa nenek
sakti bernama Nini Jonggrang tadi
bukanlah manusia sejenis gurunya.
Sesinting-sintingnya Dongdongka, tak
akan begitu gampang menurunkan tangan
keji pada orang lemah. Dia memang
bukan seorang sesepuh yang begitu
gencar menegakkan keadilan dan
memerangi kebatilan. Namun dia masih
cukup pantas untuk disebut sebagai
tokoh golongan putih.
Sedangkan Nini Jonggrang tak
lebih dari tokoh aliran sesat!
* * *
7
SATRIA dan Patih Bagaspati
terpaksa kembali ke kraton berdua
tanpa prajurit pengawal. Jarak tak
begitu jauh ke keraton. Itu sebabnya
mereka cukup berjalan kaki. Jenazah
keempat prajurit dan tiga orang desa
untuk sementara diurus oleh beberapa
orang warga. Patih Bagaspati sendiri
yang meminta tolong pada mereka.
"Kalau aku boleh tahu, ada urusan
apa antara gurumu dengan Nini
Jonggrang?" tanya Bagaspati, dalam
perjalanan menuju kraton. Satria
menggeleng.
"Aku tak tahu jelas, Kang,"
jawabnya."Kakek Dongdongka pun tak
pernah menceritakan tentang itu
padaku."
Bagaspati mengangguk-angguk. Ja-
waban Satria sudah memadai. Meskipun
dia tak mendapatkan jawaban atas
persoalan yang sebenarnya.
Dalam segala hal yang menyangkut
keamanan seluruh wilayah Kerajaan
Demak, Bagaspati merasa bertanggung-
jawab. Apalagi karena dalam urusan
yang baru diketahuinya ini telah jatuh
tujuh korban jiwa. Dia harus
mengetahui inti permasalahan sebe-
narnya. Karena, sudah tentu Raja Demak
akan menanyakan jatuhnya korban jiwa
tersebut langsung padanya. Namun
karena Satria tidak tahu menahu, dia
bisa menyelidikinya lain kali.
Hal paling mengusik Bagaspati
sebenarnya adalah kemunculan Nini
Jonggrang. Ketakutan besar yang pernah
terjadi puluhan tahun silam memb-yang
kembali di benak Bagaspati. Waktu itu
dia masih begitu kecil, masih berusia
delapan tahun.
Ketika bermain di pinggir sungai
di satu wilayah Kediri, dia
menyaksikan puluhan mayat lelaki
dibawa arus sungai. Di atas salah satu
bangkai, berdiri perempuan tua
mengerikan. Dia tertawa terkikik-kikik
menggidikkan, seakan baru saja
menemukan kepuasan teramat sangat.
Saat melewati tempat Bagaspati
kecil bersembunyi, perempuan menjelang
tua itu melirik. Matanya merah seperti
hendak membakar dari jauh nyali si
bocah. Bibirnya menyeringai dengan
lelehan lendir berwarna kemerahan.
Bagaspati kecil tersuruk mundur
ketakutan.
Si perempuan menjelang tua malah
meneruskan tawa, dan terus dibawa arus
sungai dengan menunggang bangkai.
Beberapa lama kemudian, didengar-
nya kegemparan yang melibas segenap
wilayah Kediri, Tentang pembantaian
orang-orang persilatan yang dilakukan
oleh perempuan menjelang tua. Satu
julukan terus didesas-desuskan ke mana
pun dia pergi.... Perempuan Pengumpul
Bangkai.
Ada kabar burung santer bergulir
di segenap penjuru Kediri bahwa
Perempuan Pengumpul Bangkai adalah
wanita yang menuntut ajian sesat.
Untuk penyempurna kesaktiannya, dia
membutuhkan sejumlah mayat. Mayat itu
sendiri harus didapatkannya dengan
jalan membunuh langsung.
Setiap mayat yang berhasil
didapatnya, dipindahkan ke satu tempat
tersembunyi melalui sungai....
Bayang-bayang menakutkan masa
kecil Bagaspati dibuyarkan oleh
hadangan tangan Satria di depan
dadanya.
"Ada apa Satria?" tanyanya.
Pemuda di sisinya hanya menatap
lurus ke depan. Bagaspati mengikuti
arah tatapan Satria. Ditemukannya
seorang sedang menghadang jalan me-
reka. Orang itu mengenakan caping
lebar. Bayangan caping menutupi
seluruh wajahnya dan sebagian dadanya.
Untuk sementara, masih sulit untuk
menentukan lelaki atau perempuan.
Tubuhnya tak terlalu tinggi. Ber-
pakaian serba hitam. Kulitnya putih.
Sedikit memucat.
"Kenapa menghadang jalan kami,
Saudara?" Bagaspati melontar per
tanyaan.
Seperti enggan untuk mengeluarkan
suaranya, penghadang tadi menggangkat
tangan kanan. Ditunjuknya Satria
dengan gerak lambat berkesan me-
ngancam.
Satria merengut.
"Ada apa dengan diriku?"
protesnya tak menerima. Jelas-jelas
dia merasa baru kali ini berjumpa
dengan orang itu. Satria yakin,
meskipun dia belum bisa menemukan
wajah di balik caping itu. Lalu kenapa
tiba-tiba dia mendapat tudingan.
Sial benar nasibnya ini hari.
Dengan kali ini dia sudah mendapatkan
urusan dua kali. Kedua-duanya dari
orang yang sama sekali tak dikenalnya.
Pertama dari seorang nenek jelek.
Sekarang dari orang bercaping yang
wajahnya mungkin rata, atau hidungnya
sebesar dengkul. Dan siapa tahu pula
dengkulnya malah sebesar hidung?
Menjengkelkan!
"Kau harus bertarung denganku!"
tandas orang bercaping. Suaranya
seperti sengaja hendak disamarkan.
Namun sudah cukup jelas bagi telinga
Satria maupun Bagaspati.
Nah, lo! Satria tambah merengut.
Ini lebih gila lagi, pikirnya. Tak ada
angin tak ada kentut, bisa-bisanya
orang itu mengharuskan dia untuk
bertarung. Apa tidak gila
kedengarannya?
"Aku tak punya urusan denganmu!"
tepis Satria. Bukan persoalan takut.
Dia hanya tak ingin berurusan tanpa
alasan jelas.
"Tak perlu membuat urusan dengan-
ku dulu untuk memulai pertarungan!"
Satria mengeraskan rahang keras-
keras. Kalau terus begini, bisa-bisa
dia terpancing untuk bertarung juga
akhirnya. Dongkol sebesar kepalan
centeng terasa melonjak ke tenggorokan
mendengar perkataan orang bercaping.
Masa bertarung tanpa ada urusan? Itu
kan, sama saja dengan orang gila yang
tertawa tanpa sebab? Orang ini gila
apa waras?
Satria berjuang untuk tetap
tenang. Sabar, pikirnya. Beberapa
persoalan biasanya cukup diselesaikan
dengan kesabaran.
Bagaspati maju dua tindak.
Jabatannya sebagai seorang petinggi
istana menyebabkannya merasa harus
menjadi penengah dalam persoalan dalam
negeri. Biarpun pada dasarnya setiap
tanggung jawab dalam negeri tidak
dibebankan padanya.
"Sebaiknya kita membicarakan
masalah ini dengan kepala dingin,
Kisanak," ucapnya. Dari caranya me-
nyebut 'kisanak' tampaknya dia
menganggap penghadang tadi seorang
lelaki.
"Tak perlu!" tepis si penghadang
tegas.
Angkuh sekali orang ini, rutuk
Satria dalam hati. Tak bisa tidak,
kejengkelannya bertambah membesar.
Entah sebesar panu atau koreng.
Pokoknya membesar.
"Tapi leluhur bumi JawaDwipa ini
mewariskan musyawarah pada kita,
bukan?" Bagaspati terus mencoba.
"Kubilang tak perlu! Aku hanya
harus bertarung dengan dia dan
membunuhnya!" hardik si penghadang.
Tambah lagi kejengkelan Satria.
Sekarang, kejengkelannya sudah luber.
Kesabarannya sakarat. Sedikit lagi.
Yang jelas penyebab utamanya adalah
ucapan terakhir si penghadang.
Membunuhku? Cibir Satria membatin. Apa
dikiranya dia sejenis lalat dari
selokan keraton yang gampang ditepuk,
plok! Lantas modar? Sial benar!
Kesabaran Satria, si pemuda yang
mulai sering disebut-sebut dengan
julukan Ksatria Gendeng ini benar-
benar bures ketika si penghadang
melepas tendangan terbang berbahaya ke
pelipis Bagaspati....
"Hiaa!"
Deb!
Sodokan punggung kaki
penyerangnya dihindari Bagaspati.
Mulus. Tak tampak gelagat Sang Patih
Demak satu ini hendak membalas. Tak
seperti Satria, kematangan usia dan
godokan keprajuritan yang diterimanya
selama ini membuat dia lebih bisa
menguasai diri.
Kejap berikutnya, tubuh orang
bercaping berputar di udara. Kaki yang
lain membuat satu sapuan menyamping.
Arahnya tetap pelipis Bagaspati.
Bagaspati merasa dikejar. Dia tak
bisa menghindar lebih jauh. Karenanya,
dihadangnya sapuan kaki lawan dengan
kedua pergelangan tangannya.
Dash!
Orang bercaping tak puas sampai
di situ. Tiba di bumi, kedua tangannya
mencecar bergantian. Sasarannya
beberapa titik mematikan di tubuh Ba-
gaspati. Serbuan yang terbilang kejam
untuk seorang yang belum pernah
berurusan dengan lawan sekalipun!
Bagaspati mengendusi hawa
mematikan dalam setiap gempuran tangan
lawan. Bersamaan dengan itu, tumbuh
kesadaran dalam dirinya, serangan la-
wan tak bisa dihadapi hanya dengan
menangkis atau menghidar semata. Harus
ada perlawanan.
Selain itu, dari benturan pertama
tadi saja Sang Patih Kerajaan Demak
itu sudah bisa mengukur tingkat ilmu
kanuragan lawan. Jika tak salah
menduga, lawan berada setingkat dengan
dirinya untuk kehandalan memainkan
jurus-jurus silat. Dan untuk satu hal
kekuatan tenaga dalam orang bercaping
malah berada di atas Bagaspati.
Bahaya setiap saat mendatangi
Bagaspati.
Dab! Dab! dab!
Satu gerak tangan lawan mematuk
lurus ke tenggorokan Bagaspati.
Bagaspati mencoba menahan dengan
telapak tangannya. Karena tenaga da-
lamnya berada sekian tingkat di bawah
lawan, tangannya terdorong. Hampir
saja menghantam wajah sendiri.
Sisa gempuran tangan lawan mem-
buru cepat, deras, ganas ke jantung,
ulu hati, dan dua buah pinggangnya.
Kejap itulah Bagaspati menyadari
satu hal lagi. Dalam kerepotan meng-
hadapi serbuan tangan lawan, matanya
membeliak lebar. Tak sadar,
didesiskannya satu kalimat....
'"Enam Patukan Sang Pengumpul
Mayat'!"
Untuk melepas kalimat itu,
Bagaspati harus membayar cukup mahai.
Lawan mendadak sontak menaikkan kaki
kanan tinggi-tinggi. Mata Bagaspati
mengikuti tanpa sadar. Begitu
kepalanya mendongak, kaki lawan
membuat gerakan memenggal dari atas.
"Ahk!"
Tubuh Sang Patih Perkasa
terdorong. Langkahnya kacau, tak bisa
lagi mengendalikan kuda-kuda. Wajahnya
berhasil didarati telapak kaki lawan.
"Kang Bagaspati!"
Satria tercekat. Untuk bertindak,
tampaknya sudah terlambat. Namun untuk
menyelamatkan nyawa satu-satunya
perwira tinggi yang begitu setia
dengan Raden Fattah, dia masih punya
kesempatan.
"Heeaaatt"
* * *
8
JANGAN tanya bagaimana gusarnya
Satria menyaksikari sepak terjang
orang bercaping. Sudah cukup dia
berdiam. Sudah cukup. Api tak mungkin
tak membakar kalau tak ada yang
menyulut.
Seperti seekor singa jantan,
Satria menerkam untuk menyelamatkan
Bagaspati dari patukan sepasang tangan
orang bercaping yang mengancam
tenggorokannya, titik tubuh yang
sedang terbuka lebar saat lelaki itu
menengadah kesakitan. Tidak, mungkin
lebih tepat diibaratkan seperti seekor
lumba-lumba jantan yang sedang menukik
ke permukaan laut setelah menggapai
udara.
Wukh!
Dash!
Benturan hebat terjadi di udara
siang yang semakin bersinar garang.
Antara ujung jari-jemari orang
bercaping dengan tinju Satria.
"Aih!"
Pekikan mencelat dari kerong-
kongan orang bertopeng. Pekikan asli
yang tak lagi dibuat-buat. Tak lagi
disamarkan demikian rupa. Sebentuk
suara yang semakin jelas menunjukkan
apakah orang itu perempuan atau
lelaki.
Berbareng dengan itu, Satria pun
mengeluh tertahan.
Tubuh dua seteru itu terpental.
Melayang di udara beberapa tombak
seperti dua batang bambu yang dihempas
ledakan mesiu. Keduanya berputaran di
udara. Keduanya memang menguasai
peringan tubuh cukup sempurna. Dan
tingkat tenaga dalam mereka pun
sepertinya cukup berimbang.
Satria berhasil memacakkan kaki.
Demikian pula lawannya.
Meskipun tampak berimbang, dalam
segebrakan barusan Satria mendapatkan
sedikit kemenangan. Entah bagaimana
caranya, tangan pemuda baru turun ke
rimba persilatan itu sudah memegang
caping lawan.
Kini, terbukalah penampakan wajah
orang bercaping. Parasnya bukanlah
teka-teki lagi, bukan pula rahasia
lagi. Wajah yang diterjang tegas-tegas
sinar matahari siang si pemilik caping
memaksa Satria terperangah.
Dia tak hanya kaget. Juga tak
menyangka.
Wajah itu... memang telah
mendekam cukup lama dalam ingatannya!
Bahkan sudah begitu lekat. Lekat,
seketat mulut kerang dasar samudera!
"Mayangseruni????"
* * *
Dongdongka sedang tepekur mere-
nungi perjalanan nasibnya. Karena
sudah terlalu lama hidup di atas
dunia, dia sampai tak tahu pasti sudah
berapa usianya. Mungkin lebih dari
seratus. Atau dua ratus? Atau lebih?
Semenjak belasan tahun
belakangan, dia dibuat sebal, kesal,
dongkol, jengkel, dan sejenisnya de-
ngan segala tingkah tengik dunia.
Seperti seorang yang telah begitu
kekenyangan memakan sesuatu sampai
akhirnya malah menimbulkan kemuakan.
Inginnya dia mati, biar terlepas
seluruh beban yang selalu menggang-
gunya selama masih bernapas dan
menyaksikan ketengikan tadi.
Dan, kalau sedang ingat pada
Tuhan, doanya cuma satu. Dimohonnya
agar Sang Gusti Agung segera mengirim
malaikat maut untuknya. Sampai
sekarang, doa itu belum juga terkabul,
bul bul!
Kadang-kadang, sempat terpikir
oleh sesepuh bangkotan ini bahwa Tuhan
mungkin kikir. Dia toh, tak minta
macam-macam. Orang lain silakan me-
mohon setengah mampus sampai
terjungkal-jungkal untuk mendapatkan
harta sebanyak dunia dan seisinya,
atau jabatan setinggi ubun-ubun
langit, atau kesenangan yang melimpah
ruah seperti adonan bubur kebanyakan
air. Sedangkan dia kan, cuma minta
mati. Mati, mati, mati. Sekali lagi
mati! Apa susahnya buat Tuhan?
Waktu melihat lalat yang begitu
mudah mampus tergenjet kotoran kerbau,
Dongdongka cemburu.
Waktu ada seekor semut mati
dengan sukses tenggelam di genangan
air, Dongdongka juga ngiri banget-
banget. Begitu gampangnya mereka mati?
Jangan-jangan Tuhan bukannya kikir.
Barangkali, cuma pilih kasih?
Idih, hidup kenapa sulit sekali
dimengerti!
Si tua bangka sesepuh dunia
persilatan tanah Jawa itu berada di
tepi sungai. Sudah cukup jauh dari
Tanjung Karangbolong. Di atas sebuah
batu besar, dia berjongkok. Apa
enaknya tepekur sambil berjongkok?
Maklum, saking kebelet mau mati, cara
duduk yang lebih nyaman saja sampai
lupa. Bertopang dagu dia. Matanya sayu
tanpa binar menatapi arus sungai yang
mengalir lambat tenang. Gemericik
damainya tak pernah bisa dinikmati
Dongdongka. Seperti juga tak bisa
dinikmatinya kerlap-kerlip pantulan
sinar matahari di permukaan sungai.
Bibir kendor leiaki bosan hidup
itu terus menggumamkan satu kata
berulang-ulang.
"Mati... mati... mati...
mati...."
Kasihan dia. Sikapnya sudah
seperti orang linglung. Sinting sih,
tidak. Sebab, dia sendiri sebenar nya
sudah terbiasa bertingkah sinting.
Malah dia mulai bosan dengan hal itu.
Suatu saat, pandangan hambarnya
diusik oleh seekor burung kecil yang
menukik tiba tiba dari udara menuju
permukaan air sungai. Tukikannya cepat
dan tangkas. Di permukaan sungai,
burung kecil itu menyambar seekor ikan
kecil. Dibawa larinya si ikan kecil ke
udara.
Ikan kecil malang menggelepar
gelepar di himpitan paruh si burung.
Maut seperti akan segera menjemputnya.
Dan sebentar lagi, tentu dia akan
menjadi isi perut burung yang
menyambarnya dari permukaan sungai.
Entah bagaimana, Dongdongka terus
mengikuti arah terbang burung itu. Dia
sebenarnya tak tertarik. Namun, ada
semacam dorongan hati untuk terus
mengamati.
Di udara lepas bebas, ternyata
tak cukup bebas untuk si burung. Dari
arah selatan tiba-tiba saja menyambar
cepat dan bengis seekor rajawali
besar.
Crep!
Burung tadi dicengkeramnya dengan
cakar kokoh. Burung pemakan ikan yang
hanya berukuran sedikit lebih besar
dari cakar sang rajawali ganti
menggelepar-gelepar meregang maut.
Sementara itu, ikan kecil di paruhnya
terlepas. Bebas. Jatuh pun bebas.
Plung!!
Kembalilah dia ke sungai.
Si burung pemangsa ikan dilarikan
ke awang-awang oleh rajawali perkasa,
Dongdongka terpesona. Semula dia
menganggap nyawa si ikan kecil akan
segera tamat hanya dalam beberapa
kedip mata berikutnya. Kenyataan yang
dilihatnya kini berbalik sama sekali.
Si ikan kecil kini tampak riang
berlarian dalam beningnya air sungai.
Sementara nasib si burung pemangsa
ikan entah bagaimana.
Dongdongka dengan takjub terus
mengikuti gerak-gerik si ikan kecil
yang ternyata seekor betina berperut
buncit. Merenangi sungai dia,
menentang arusnya sejenak, lalu
berkelok mengikuti ke mana air sungai
mengalir. Beberapa saat kemudian, si
ikan kecil berenang menuju bawah batu
yang diduduki Dongdongka. Melenggak
lenggok dia seperti menggeniti hati
murung Dongdongka.
Dongdongka makin terpincut untuk
mengamatinya. Aih, lucunya. Aih
menggemaskannya.... Lalu, disaksika-
nnya si ikan kecil mengeluarkan telur-
telur dari mulutnya. Berhamburanlah
telur-telur halus ke sekitar permukaan
batu berlumut.
Usai semua itu, Dongdongka sontak
bangkit dari jongkoknya. Wajahnya
entah bagaimana berubah terang ben-
derang. Bak mendung yang tersibak,
memperlihatkan pancaran sinar mentari.
Bibir peyotnya memasang senyum lepas.
Senyum teramat bebas, seperti udara
bebas atau arus sungai bebas.
Lalu terdengar bisiknya,
"Gusti Agung, ternyata Engkau
tidaklah kikir atau piiih kasih. Kau
membiarkan aku tetap hidup karena Kau
memiliki rencana lain untukku. Seperti
Kau membiarkan hidup ikan kecil itu
agar dapat menelurkan telur-telurnya
untuk kelanjutan kehidupan yang Kau
pelihara...."
Mata si tua digenangi garis
bening. Keharu biruan Dongdongka
dibuyarkan oleh teriakan cempreng
memekakkan telinga.
"Dongdongkaaaa!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul
berbalik.
Seorang nenek peyot jelek sudah
berdiri dilepi sungai dengan sikap
permusuhan.
"Kau? Apa maumu menemuiku,
Jonggrang?!!" Wajah Dongdongka
berubah. Ada garis-garis kegusaran
merangas.
"Hi hi hii"
"Jangan ketawa!"
"Hi hi hi! Suka-suka aku!"
"Hi hi hi," cibir Dongdongka.
"Kau sudah jelek. Kalau tertawa jadi
tambah jelek, tahu!"
"Hi hi hi, kau juga jelek!"
"Dibanding kau, masih jelek aku"
"Memang!"
"Eh, maksudku, dibanding aku,
masih bagus kau!"
"Memang, hi hi hi!"
"Eh, salah lagi. Brengsek! Ah,
sudah! Sekarang katakan, apa maumu
menemuiku? Bukankah sudah hampir empat
puluh tahun kita tak bertemu? Dan
sampai aku mati nanti, lebih baik
tetap begitu!"
"Empat puluh sembilan tahun, tiga
bulan, sembilan hari tepatnya!"
"Masa bodoh!"
"Aku hanya ingin menjelaskan
padamu kalau utangmu padaku akan
segera kau lunasi!"
Mata Dongdongka membesar. Men-
dengar kata 'utang' disebut-sebut si
nenek yang tak lain Nini Jonggrang,
kakek bangkotan itu seperti disulut
api.
"Apa maksudmu?!" bentaknya. Dia
bertolak pinggang.
"Muridmu. Kau tentu masih ingat
kalau kau tak terlalu pikun, bukan?"
"Muridku, kenapa dengan murid-
ku?!"
"Kau akan tahu nanti!"
"Sekarang saja, tahu!"
Dengan membubungkan cekikik tak
sedap di telinga, Nini Jonggrang
berkelebat dari tempatnya bagai setan
perempuan mau datang kendurian.
"Jonggrang!!! Kalau sampai ter-
jadi apa-apa pada muridku, kulit
kendor di jidatmu akan kukuliti! Kulit
jidatmu itu akan kubuat kantong
kemenyan, tahu! Hey Jonggrang, kau
dengar aku????!!!!!"
* * *
Meski telah dua tahun tak pernah
berjumpa kembali, ingatan Satria pada
perempuan muda belia seusianya yang
berdiri berhadapan dengannya kini tak
akan mungkin dilupakan. Wajah yang
kemiripannya nyaris sempurna dengan
seseorang yang menempatkan bilah cinta
pertama dalam diri si anak muda,
Tresnasari. Karena itu, dia tak akan
mungkin lupa!
Siapa gadis berwajah mirip
Tresnasari yang dijumpainya dua tahun
lalu kalau bukan Mayangseruni. Dan
nama itu baru saja didesiskan Satria
dengan sehimpun rasa kaget.
Gadis itu pun memperlihatkan
keterkejutan di raut wajahnya demi
menyaksikan jelas-jelas paras orang
yang ditantangnya untuk bertarung.
Selama ini, tampaknya dia tak melihat
langsung wajah calon lawannya karena
terhalang oleh caping lebar. Ketika
caping itu terebut oleh tangan Satria,
semuanya pun berubah.
Kejadiannya begitu tampak aneh.
Siapa pun akan menganggap begitu.
Termasuk anggapan Satria sebelumnya.
Bagaimana mungkin gadis muda itu tahu-
tahu hendak membunuh orang yang belum
lagi dilihat wajahnya secara langsung?
Namun semuanya akan menjadi jelas
bila mengetahui duduk persoalan
sebenarnya. Baik bagi Satria ataupun
si gadis sendiri.
"Mayangseruni, aku tak menyangka
kau akan sedendam ini padaku setelah
aku membunuh ayahmu, Dirgasura (Untuk
mengetahui bagian kisah tersebut,
bacalah episode sebelumnya : "Kail
Naga Samudera")! Waktu itu, mana aku
tahu kalau pemimpin gerombolan Laskar
Lawa Merah adalah ayah kandungmu
sendiri.... Sampai saat ini, bahkan
aku tak mengetahui secara jelas,
bagaimana asal-usul kau sebenarnya.
Sampai kau harus bertemu dengan ayah
kandung yang sebelumnya sama sekali
tak kau kenali...." Satria nyerocos
panjang lebar. Dia yakin sekali kalau
tindakan penyerangan yang dilakukan si
gadis disebabkan dendam terhadap
dirinya.
Gadis berambut panjang lepas yang
berdiri sejauh delapan langkah dari
tempat Satria mulai pula
memperlihatkan keheranan atas setiap
perkataan yang didengarnya dari mulut
Satria.
"Apakah kau benar-benar Satria?"
tanyanya ragu.
Satria jadi bengong ditanya
seperti itu. "Apa maksudmu bertanya
begitu? Aku memang Satria. Kau pikir
siapa?" Satria balik bertanya. Dengan
keheranan yang tak kurang sarat di
wajahnya.
"Lalu, kenapa kau memanggilku
Mayangseruni? Siapa dia?" susul si
gadis berparas ayu yang keayuannya itu
mulai mematang dieram usia menjelang
dewasa.
Satria tak mengerti ini. Semuanya
betul-betul membingungkan. Padahal dia
sudah begitu yakin bahwa gadis yang
berhadapan dengannya kini adalah
Mayangseruni. Dan kalau Mayangseruni
memusuhinya, tentu karena Satria
pernah punya hutang nyawa membunuh
ayahnya. Tapi, sekarang gadis muda ayu
itu malah mengaku dirinya bukan Ma
yangseruni. Apa-apaan ini?
Tiba-tiba, plak! Satria menampar
keningnya kuat-kuat. Pikirannya jadi
terbuka sekarang. Dia ingat, dulu dia
pernah salah menyangka. Mayangseruni
dikira Tresnasari. Kali ini, dia yakin
telah salah menyangka lagi.
"Apakah kau...." Satria tak
melanjutkan ucapan. Mungkinkah gadis
yang disaksikannya kini benar-benar
Tresnasari? Gadis impiannya yang telah
hilang sekian lama? Yang kehilangannya
membawa lari cinta pertama si perjaka
gagah dalam ketidakpastian?
"Aku Tresnasari, Satria? Apa kau
lupa padaku?"
"Tresnasari?" Nama gadis itu
akhirnya terlahir dalam gumaman ragu
Satria.
Si dara nan ayu melangkah.
Satu... dua... tiga tindak. Ragu.
Sinar matanya berbinar-binar. Wajahnya
sendiri masih dikungkung kebingungan
atas sikap Satria.
Satria sendiri malah bengong
seperti kerbau linglung.
Sampai akhirnya, Tresnasari
menghambur ke arah Satria. Satria
didekapnya kuat-kuat. Hangat.
Gegap. Wajahnya tersuruk dalam di
bahu kekar si perjaka muda yang kini
telah menjadi seorang pemuda gagah
(meskipun sifat lugunya masih belum
minggat-minggat juga!). Terdengar
seguk kecilnya di telinga Satria.
Satria masih saja bengong.
Melompong.
* * *
9
KERATON Demak. Di ruang pendapa.
Tresnasari selesai menuturkan cerita
dirinya selama lebih kurang dua tahun
terakhir ini pada Satria. Bahwa dia
terpaksa menjadi murid Nini Jonggrang,
seorang wanita tua penganut ilmu sesat
yang menyandang julukan mengerikan
sepanjang lebih dari tiga puluh tahun
terakhir.
Lalu kenapa Tresnasari jadi
menyerang Satria waktu itu? Si dara
ayu yang menanjak dewasa seperti juga
Satria itu pun menjelaskan. Nini Jong-
grang memang telah mempunyai rencana
semenjak Tresnasari menjadi muridnya.
Dia hendak menuntut balas dendam pada
Dongdongka. Namun karena satu sebab,
dia tak bisa langsung menuntutnya pada
Dongdongka. Karena dia mendengar kabar
Dedengkot Sinting Kepala Gundul telah
mengangkat murid, maka dia hendak
membalaskan dendamnya melalui Satria,
murid Dongdongka.
Setelah dianggap telah cukup
berguru, Tresnasari sebagai muridnya
diperintah untuk menyingkirkan sese
orang. Tak dijelaskan padanya siapa
yang harus dibunuh. Dan kenapa harus
membunuh.
Dia hanya diantar ke kotapraja
untuk menemui seseorang yang telah
diamat-amati beberapa lama oleh Nini
Jonggrang. Semula Tresnasari tidak
sudi menuruti perintah gurunya. Namun
karena gurunya menurunkan ancaman, dia
tak bisa berbuat banyak. Biar
bagaimanapun, keadaan jiwa Tresnasari
memang dalam keadaan lemah semenjak
kehilangan ibu tercintanya. Dia begitu
rapuh. Sehingga, dengan mudah Nini
Jonggrang menguasainya.
Karena tak ingin menyaksikan
wajah orang yang hendak dibunuhnya,
Tresnasari mengenakan caping. Dia tak
ingin nantinya dibayang-bayangi baya-
ngan wajah orang yang dibunuhnya.
Apalagi jika di belakang hari
diketahuinya kalau orang itu tak
pantas mati.
"Jadi selama dua tahun ini kau
telah berguru pada perempuan tua sesat
itu?!" perangah Satria.
Tresnasari mengangguk perlahan.
Ada garis penyesalan di wajahnya.
"Kenapa Tresnasari? Kenapa?"
Tresnasari seperti tak suka mendengar
pertanyaan jejaka yang juga telah
memperkenalkan ke dalam relung hatinya
cinta pertama itu. Dia merasa sedang
diadili. Karenanya dia tak ingin
menjawab pertanyaan terakhir Satria.
Satria mengheia napas. Dirang-
kulnya bahu gadis di sisinya, lembut.
"Maaf kalau kau merasa
tersinggung dengan pertanyaanku,
Tresna. Namun yang jelas, aku tak
ingin menghakimimu. Sama sekali tidak.
Sebab, menurut penilaianku, tak ada
yang batil di alam semesta ini. Tak
juga ilmu olah kanuragan yang kau
pelajari. Hakikat kebatilan itu hanya
terjadi karena kita salah menempatkan
sesuatu pada tempat semestinya...,"
papar Satria.
Sebentar dia berhenti. Diulurnya
napas.
"Dalam hal ini, ilmu olah
kanuragan apa pun akan menjadi batil
jika dipakai untuk jalan sesat. Jadi
yang sesat sebenarnya adalah manusia
pemiliknya. Itu maksudku. Kau paham?"
Barulah Tresnasari mau
mengangguk. Lega rasanya perjaka
pujaan yang sempat disebalinya bukan
main saat awal perkenalannya itu tidak
berniat menyudutkannya. Apa lagi
hendak menghakimi.
"Terima kasih, Satria," hatur
Tresnasari. Haru. Dibalasnya rangkulan
tangan Satria dengan pelukan kecil.
Lalu keduanya menikmati keheni-
ngan yang terpadu menjadi satu dalam
percakapan hati yang hanya bisa
dimengerti oleh mereka sendiri.
"Bagaimana dengan nasib ibuku?"
tanya Tresnasari kemudian. Sebelumnya,
wajah ayu gadis itu berubah murung.
"Dia telah tiada, Tresna. Aku
menyesal sekali."
"Bukan itu maksud pertanyaanku.
Aku tahu, beliau telah meninggal ka-
rena penyakitnya. Yang ingin
kutanyakan, apakah dia meninggal dalam
keadaan menderita?"
Giris hati Satria mendengar
pertanyaan bergetar disesaki kesedihan
dalam Tresnasari. Keluguannya menitah-
nya untuk mengatakan segala sesuatu
apa adanya. Namun kebijakannya
menimbang lain. Tentu hati Tresnasari
akan terluka parah andai dikatakan
kalau....
"Tidak Tresna. Ibumu meninggal
dengan tenang. Dengan damai," akhirnya
Satria terpaksa berdusta.
Tresnasari terdiam. Tatapannya
menerawang lowong. Sepertinya dia
melacaki hari-hari yang telah lewat
selama dia bersama ibu tercintanya.
Dan tanpa terasa ada titik bening
mengguliri pipi.
Satria tak bisa berkata apa pun.
Dia hanya bisa menawarkan pelukan
penghibur. Dia berharap pelukan itu
dapat sedikit mngobati pedih di hati
Tresnasari.
Keduanya hening lagi.
Bagaspati datang beberapa saat
kemudian. Di tangga pendapa, sesaat
dia berhenti. Ragu, apakah mesti
diusiknya dua insan yang sedang
menikmati kebisuan itu?
"Silakan Kakang," ucap Satria,
menyadari Bagaspati sudah berdiri tak
jauh dari tempat mereka, Malu-malu dia
melepas pelukan. Bibirnya cengir sini
cengir sana.
Tresnasari tergesa menghapus
genangan air matanya. Dia pun berusaha
tersenyum meski rapuh.
Bagaspati tersenyum. Dia maklum
pada keadaan Satria atau Tresnasari.
Dulu pun dia pernah muda, bukan?
"Kanjeng Susuhan berkenan bertemu
denganmu, Dinda Satria, Dinda
Tresnasari." Kabarnya kemudian.
"Yak. kami siap! Eh, apa?!"
Satria jadi kaget sendiri. Jadi,
Raja Demak berkenan bertemu dengan
mereka berdua? Benar begitu? Rasanya
sulit dipercaya!
Kita akan bertemu Raja, Tresna!
Kanjeng Susuhan!" Satria hampir saja
berjingkat kegirangan. Sewaktu kepala
Bagaspati menggeleng-geleng, pemuda
itu jadi malu hati sendiri. Buru-buru
diperbaikinya sikap.
"Ehm ehm! Baik Kang Bagaspati.
Kalau begitu, kami 'persilakan' Kakang
untuk membawa kami ke hadapan Kanjeng
Susuhan, kata Satria dengan gaya
seorang ningrat. Lagak!
* * *
"Ke mana Cah Gendeng itu,
Kusumo?"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul
datang sradak-sruduk ke gubuk di tepi
pantai Tanjung Karangbolong. Semadi Ki
Kusumo jadi berantakan gara-gara
bangkotan satu ini. Sudah masuk tak
ketuk pintu. pakai teriak-teriak lagi.
"Dia tak berkata padaku hendak ke
mana," jawab Ki Kusumo. Saat itu si
tabib kenamaan tanah Jawa yang tak
memiliki kaki lagi sedang di atas
balai.
"Kacau balau!"
Alis putih jarang Ki Kusumo
mengernyit. Baik sikap, sifat atau
sepak terjang sesepuh gendeng yang
tetap dihormatinya itu kerap kali
membuatnya pusing sendiri. Kacau
balau, apa maksudnya? Kalau persoalan
tak jadi mati, sudah beberapa hari Ki
Kusumo tahu. Rasanya persoalan itu
belum cukup bisa disebut kacau balau.
Sebaliknya, kesintingan Si Tua Bangka
Sinting malah melorot.
Jadi persoalan mana yang dianggap
kacau balau?
"Apa maksudmu, Panembahan?"
"Anu.... Jonggrang mulai cari
gara-gara lagi padaku!"
"Nini Jonggrang?"
"Iya, Kusumo. jonggrang, nenek
jelek bau itu! Apa tadi aku debut
'jomplang' atau jamblang'? Eh,
bagaimana kau ini, Kusumo?"
"Apa maunya si Perempuan
Pengumpul Bangkai itu?" .
"Tidak mau apa-apa. Cuma dia
memang sirik saja! Dia mau balas
dendam padaku! Bayangkan, Kusumo!
Bayangkan!" Dongdongka melempar pantat
teposnya ke balai. Balai bambu sampai
berderak mau patah. Lalu dipeluknya
lutut. Dagunya ditopangkan ke salah
satu dengkul antiknya. Dia pun manyun.
"Lalu apa hubungannya dengan
Satria?" Ki Kusumo ingin tahu lebih
jelas.
Dongdongka menggerakkan leher,
menaikkan kepala. Bernafsu. Persis
seperti onta padang pasir yang
celingukan mencari mata air di gurun.
"Tai kucing, si Jonggrang ini!
Aku yakin dia punya niat jelek pada
Cah Gendeng kita. Niat jelek, tahu?!
Seperti mukanya yang jelek itu! Ah,
aku sebal sama dia!"
Ki Kusumo mengangguk-angguk.
Sampai di sana, dia tak butuh bertanya
lagi. Semuanya sudah agak jelas di
benak orang tua yang bersifat amat
bertolak belakang dengan Dongdongka.
Kalaupun belum jelas, rasanya percuma
bertanya lebih banyak saat Dedengkot
Sinting Kepala Gundul sedang sewot.
Namun, ada keresahan yang
menjalar diam-diam di dalam diri Ki
Kusumo. Keresahan yang dilahirkan oleh
kecemasan pada keselamatan Satria,
murid kesayangannya. Sebab, dia tahu
benar siapa yang mengincar, pemuda
hijau itu.
Untuk dirinya saja yang sudah
demikian kenyang makan asam garam.
Nini Jonggrang terhitung lawan yang
sulit. Bukan saja sulit untuk
ditandingi kesaktiannya. Namun juga
sulit untuk diduga segala rencananya.
Di dunia persilatan tanah Jawa,
Nini Jonggrang alias Perempuan
Pengumpul Bangkai, tak lebih dari
dedemit betina yang tega melakukan
seribu satu kekejian tak berperi
kemanusiaan. ,
Belum lagi satu persoalan lain
yang tak kalah mengkhawatirkan, Ki
Ageng Sulut yang sepak terjangnya kian
bengis hari-hari belakangan. Ki Kusumo
tahu, si Iblis Dari Neraka itu sengaja
mengumbar kekejaman dengan tujuan
memaksa Ki Kusumo secara tak langsung
mengobati penyakitnya dengan Kail Naga
Samudera. Jika Kail Naga Samudera
telah dikuasainya, tentu dia tinggal
mengusahakan agar Ki Kusumo bersedia
mengobati?
Sementara ini, Ki Ageng Sulut
memang tak pernah tahu kalau Satria
termasuk murid Ki Kusumo. Lalu,
bagaimana pula jika dia mengetahui?
Bukankah cepat atau lambat, kabar
burung akan sampai ke telinganya, dan
dia akan tahu tentang hal itu?
* * *
Beberapa puluh tahun silam
Dongdongka dan Nini Jonggrang adalah
sepasang pendekar kenamaan. Malang
melintang di dunia persilatan dengan
jutukan besar Dewa dan Dewi Pegunungan
Sewu, sesuai dengan nama tempat asal
mereka memperdalam ilmu olah
kanuragan.
Dongdongka masih berdarah ningrat
bergaris keturunan raja Majapahit.
Seperti juga Ki Kusumo yang berdarah
ningrat Singasari, Dongdongka mening-
galkan gelar dan kehidupan kening-
ratannya. Sejak bocah, dia pergi dari
keluarganya tanpa embel-embel apa pun.
Seperti layaknya seorang bayi yang
baru dilahirkan. Nama aslinya pun
dilupakan. Tujuannya adalah menuntut
ilmu sebanyak-banyaknya.
Di Pegunungan Sewu dia berhasil
berguru dengan seorang pertapa sakti
tak dikenal. Pertapa sakti itu telah
pula memiliki seorang murid perempuan
bernama Jonggrang. Keduanya lalu
menjadi saudara seperguruan.
Setelah bertahun-tahun menuntut
ilmu di Pegunungan Sewu, tibalah waktu
bagi keduanya untuk turun gunung. Saat
itu. keduanya telah menanjak dewasa.
Dongdongka tumbuh sebagai pendekar
muda gagah, tampan, sekaligus sakti.
(Padahal sekarang ini, genderuwo saja
tak akan nafsu mendekatinya!). Jong-
grang pun demikian. Dia menjadi
pendekar wanita muda yang ranum, baik
wajah, ataupun tubuhnya.
Jonggrang sebagai kakak
seperguruan Dongdongka, diam-diam
memendam cinta pada sang perjaka
gagah. Cintanya itu hanya bertepuk
sebelah tangan. Dongdongka tak lebih
menganggapnya sebagai seorang kakak
seperguruan. tak lebih, tak kurang.
Kalaupun ada rasa sayang, maka rasa
sayang itu demikian tulus tanpa
disertai gelora asmara.
Jonggrang pada dasarnya adalah
seorang wanita penggoda. Gelora bira-
hinya sangat besar dan sulit
terhendung. Kelemahannya itu sering-
kali menjerumuskan dirinya ke dalam
tindakan-tindakan bodoh. Si pertapa
tua sakti guru mereka menyadari hal
itu. Karenanya, dia berwanti-wanti
teramat sangat pada Dongdongka muda
untuk. mengawasi dan menjaganya.
Sang pertama tua sakti sesung-
guhnya telah berusaha untuk mengikir
sifat tercela tersebut dalam diri
Jonggrang melalui godokan-godokan
batin. Namun, tampaknya tak cukup
berhasil. Hal itu berkenaan dengan
masa kecil Jonggrang. Dia besar di
tempat mesum. Ibunya seorang wanita
penghibur kelas tinggi, langganan para
pejabat bejat di kotapraja. Masa
kecilnya harus dicekoki dengan hal-hal
seperti itu. Bahkan pada usia dua
belas tahun dia telah mengalami
perlakukan binatang dari seorang
pejabat bejat yang mempengaruhinya
melepas keperawanan.
Suatu hari terjadi keributan
besar di tempat mesum tersebut. Rumah
mewah tempat penjualan kehormatan
wanita itu terbakar. Jonggrang yang
kala itu berusia lima belas tahun
berhasil diselamatkan Oleh Sang
Pertapa Tua.
Sang Pertapa Tua begitu prihatin
dengan keadaan murid pertamanya itu.
Kehadiran Dongdongka muda, sedikit
menghiburnya dan memberinya harapan
agar dapat menjaga Jonggrang jika saat
turun gunung tiba.
Pernah suatu hari, Jonggrang
mencoba menggoda Dongdongka. Saat itu
mereka berada ditengah hutan. Keduanya
hendak ke kota. Karena kemalaman,
mereka memutuskan untuk bermalam di
tepi danau di tengah hutan.
Hujan turun deras melimpahi
hutan. Mereka hanya bisa berteduh di
bawah batang pohon raksasa tumbang.
Hawa demikian dingin. Di samping
karena malam sudah cukup larut, angin
pun bertiup sejadi-jadinya. Tak
mungkin mereka membuat api unggun pada
saat seperti itu. Akhirnya, mereka
hanya berusaha menghangatkan tubuh
dengan jalan mengatur peredaran hawa
murni dalam aliran darah.
"Truna...," desah Jonggrang,
menyebut Dongdongka dengan nama
panggilan pemberian guru mereka.
Dongdongka muda alias Truna yang
sedang bersila dalam posisi bersemadi
membuka matanya perlahan.
"Kenapa, Nyi?" tanyanya. Dilirik-
nya Jonggrang yang meringkuk setengah
terbaring di sudut tetumbangan pohon
raksasa. Tangannya mendekap dada
rapat-rapat. Sampai sebagian buah
dadanya agak menyembul dari balik
belahan pakaiannya.
"Apakah kau tak merasakan
dingin?" tanya Jonggrang. Matanya sayu
menatap wajah bergaris kuat Dongdongka
yang dibasahi tempias hujan. Sudah
beberapa saat dipandanginya sekujur
tubuh pemuda Truna ketika pemuda itu
tenggelam dalam kekhusukannya
bersemadi. Dada bidangnya yang turun
naik perlahan diguliri oleh titik-
titik air hujan. Juga lehernya yang
kokoh, juga otot-otot pinggangnya.
Juga....
Semua itu membakar birahinya.
mengangkat gairahnya ke ubun-ubun,
mendidihkannya.
Pemuda Truna menggeleng.
"Aku bisa mengatasinya dengan
sedikit bersemadi... katanya lagi.
"Kenapa Nyai tak melakukannya juga
agar dapat mengusir dingin?"
Jonggrang menggeleng. Mata sayu
menantang yang berhias bulu mata hitam
lentiknya terus merayapi wajah basah
pemuda tampak di dekatnya.
"Kenapa?" Truna tak memiliki
prasangka apa-apa. Sama sekali tak
terbetik dalam benaknya pikiran macam-
macam. Karenanya dia jadi tak paham
kenapa kakak seperguruannya tak
mencoba mengatur peredaran hawa murni
sementara perempuan itu bisa
melakukannya.
"Kenapa?" Jonggrang mengulang
pertanyaan Truna dengan nada
mengundang. Mendesah, mendesis basah.
Dari tempatnya, dia pun bersingsut.
Geraknya melata, seperti seekor ular
betina yang mengundang pejantannya. Di
dekatinya Truna. Napasnya terpacu,
terpicu gairah liar dalam dirinya.
"Apakah tak sebaiknya kita
melakukan sesuatu yang mudah dan
menyenangkan untuk kita berdua?"
lanjut Jonggrang sambil melayapkan
tangannya ke dada bidang Truna,
melatainya, menikmatinya.
"Maksud, Nyai?" Truna tetap tak
paham. Namun, sebagai seorang pemuda,
tak urung darahnya berdesir cepat
menerima sapuan-sapuan telapak tangan
lembut bergeletar.
"Kau tak tahu maksudku?" Mata
Jonggrang menerkam penuh ke manik mata
Truna, memamahnya bulat-bulat. Ber-
sitnya seperti mengerang-erang menga-
lunkan undangan.
Tangan Jonggrang makin tak
terkendali. Melayap, melata, kesegenap
dada basah Truna. Bahkan dengus
napasnya terasa menghangatkan leher
kokoh Truna.
Truna kian diamuk gejolak yang
memberontak kuat di dasar dirinya.
Dadanya berdentam, membuat tangan
Jonggrang seperti merasakan sambutan
menggairahkan.
"Apakah kau tak ingin....?”
Kalimat Jonggrang terputus ketika
dengan tiba-tiba Truna bangkit
mendadak. Pemuda gagah itu mulai sadar
tujuan Jonggrang sebenarnya. Dia bukan
tak memiliki keinginan itu, dia bukan
seorang pemuda tanpa gairah. Namun,
dia teringat pada pesan gurunya. Kalau
dia malah menyambuti undangan
Jonggrang, bukankah sama artinya pagar
makan tanaman? Apakah dengan begitu
dia masih bisa disebut manusia?
Ataukah seekor anjing pemangsa domba
yang semestinya dilindungi?
Di bawah limpahan hujan yang
membasahi kuyup-kuyup tubuhnya, Truna
menatap Jonggrang dengan sinar mata
tak percaya.
"Kenapa, Truna? Kenapa?" desis
Jonggrang di antara deru angin dan
luruhan hujan. "Apakah kau takut Guru
mengetahui perbuatan kita? Atau aku
tak cukup menarik buatmu?"
Jonggrang ikut bangkit.
Di tengah gempuran hujan, ke-
duanya berdiri berhadapan. Basah
pakaian mereka. Dingin menjalari
kulit. Namun gejolak dalam diri
Jonggrang tak berubah. Tetap mendidih.
Pakaiannya yang basah menyebabkan
lekuk-lekuk sempurna tubuhnya memben-
tuk nyata. Ada sembulan putih, halus,
dan padat dari belahan pakaian di
dadanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku,
Truna, Apakah aku tak cukup menarik
buatmu?" ulang Jonggrang, makin samar.
Makin dikaburkan desis dan desah,
mencoba menjamah tungku darah muda
Truna.
Truna masih terpaku tanpa geming.
Matanya masih menatap tak percaya.
Jonggrang tak berhenti sampai di
situ. Dalam gerak lambat gemulai di
antara butir-butir air hujan, tangan-
nya membuka belahan pakaian di bagian
dadanya. Sembulan putih, padat, sekal
itu makin nampak sempurna di mata pria
mana pun. Begitupun di mata Truna.
Lalu Jonggrang mengeluh di
hadapan Truna, menggeliatkan leher
jenjang putih dan basahnya. Melenguh
lagi. Mendesahkan panggilan yang sulit
didengarkan. Namun, begitu mudah untuk
diterjemahkan.
"Ayo, Truna...." Dan tangan
lentik basahnya menjemput leher kokoh
Truna.
"Tidak!!!" sentak Truna keras-
keras. Dia berontak dari seluruh
tenung birahi yang terpancar keluar
dari sekujur tubuh Jonggrang. Dia
berkutat dan berhasil melawan. Dia
bukan anjing, atau semacam pagar
pemangsa tanaman! Ditinggalkannya
tempat itu segera, menembus lebatnya
hujan.
Tinggal Jonggrang yang memekik-
mekik memanggil Truna.
* * *
Setelah peristiwa itu, Truna tak
bertemu dengan Jonggrang kembali. Pagi
harinya, ketika hujan reda dan
matahari menyapa, Truna mencoba
kembali ke tempat teirakhir. Jonggrang
sudah tak ada lagi di sana.
Timbul penyesalan dalam diri
Truna. Menyesal harus pergi mening-
galkan Jonggrang, kakak seperguruannya
yang diamanatkan Sang Pertapa Tua un-
tuk dijaganya. Namun, tak sekalipun
dia menyesali penolakannya atas ajakan
Jonggrang.
Sejak hari itu, dengan rasa
tanggung jawab yang tak luntur sedikit
pun, dicarinya Jonggrang.
Setengah tahun mencari, si kakak
seperguruan tak kunjung ditemukan.
Sampai akhirnya, Truna berhasil
bertemu kembali dengan Jonggrang di
sebuah desa. Dia bersama seorang
pendeta yang sebaya dengannya.
Mula-mula Truna bersyukur. Menu-
rut penilaiannya, tentu Jonggrang
dapat berubah setelah kenal dengan
pendeta. Tentu nilai-nilai rohaniah
dapat menenteram gairah birahinya yang
demikian binal.
Karena itu, Truna memutuskan
untuk mengawasi kakak seperguruannya
dari jauh saja.
Kenyataan berujar lain. Setelah
diawasi sekian lama, barulah terbuka
kedok si pendeta muda. Ternyata
pendeta muda itu adalah seorang tokoh
sesat dari kalangan pendeta. Pakai-
annya saja seorang pendeta, namun
tabiatnya tak lebih mulia dari hewan.
Dia mengetahui nilai-nilai kebajikan
seperti mengenal setiap jarinya, namun
seluruh pehgetahuan keagamaan di
kepalanya cuma dijadikan modal untuk
mencari pengaruh dalam masyarakat.
Bersama Jonggrang, keduanya
melakukan beberapa kebatilan tersamar.
Jonggrang mula-mula diumpankan kepada
beberapa pejabat kerajaan. Setelah
itu, Sang Pendeta Muka Dua datang
memberi ancaman pada si pejabat korban
mereka agar mau memberi apa-apa yang
mereka minta. Jika tidak, maka Sang
Pendeta Muka Dua akan melaporkan
kemesumannya bersama Jonggrang kepada
raja.
Hal itu terus berlanjut berkali-
kali.
Truna tak tahan lagi. Sebagai
seorang yang dididik dengan nilai-
nilai keksatriaan, dia tak bisa
mendiamkan begitu rupa perbuatan kakak
seperguruannya bersama Sang Pendeta
Muka Dua. Suatu hari, Truna pun
memutuskan untuk mencegah berlanjutnya
perbuatan mereka.
Ketika itulah, terjadi perta-
rungan hebat antara Truna dan Sang
Pendeta Muka Dua. Tak ada yang unggul
ataupun kalah. Keduanya sama-sama
mengalami luka parah.
Sisa cinta Jonggrang yang masih
mengendap dalam dirinya terhadap Truna
menyebabkan dia mencoba membawa Truna
kembali ke Pegunungan Sewu.
Beberapa lama kemudian, atas
perawatan Sang Pertapa Tua, Truna
berhasil disembuhkan. Truna. kini
berhutang budi pada Jonggrang yang
telah membawanya kembali pada guru
mereka, sehingga dia berhasil dise-
lamatkan. Karenanya, dia tak sampai
hati untuk melaporkan segala tabiat
buruk Jonggrang selama turun gunung.
Untuk mencegah sifat tercela
Jonggrang yang demikian liar, Truna
malah bersedia berkorban. Dengan jiwa
seorang lelaki sejati, dimintanya Sang
Pertapa Tua untuk menikahi mereka
berdua.
Keduanya menikah. Untuk beberapa
tahun, mereka kembali ke dunia persi-
latan. Sebab, ilmu yang telah mereka
dapatkan harus diamalkan. Selama be-
berapa tahun itulah, sepasang suami-
istri muda itu dikenal dengan julukan
Dewa-Dewi dari Pegunungan Sewu.
Namun, setan memang tak pernah
berhenti berjuang untuk menyesatkan
manusia. Penyakit lama Jonggrang
kambuh lagi ketika untuk kedua kalinya
dia bertemu dengan Sang Pendeta Muka
Dua. Dia lari bersama lelaki bejat
itu.
Cukup sudah bagi Truna untuk
menutup-nutupi perbuatan Jonggrang
pada guru mereka. Truna memutuskan
untuk pulang ke Pegunungan Sewu dan
melaporkan segalanya pada Sang Pertapa
Tua.
Tentu saja gurunya menjadi pri-
hatin. Juga gusar. Prihatin karena
biar bagaimanapun, dia menyayangi
Jonggrang seperti putrinya sendiri.
Gusar karena Jonggrang telah berkhi-
anat pada satu ikatan suci pernikahan.
Maka, dengan berat hati Sang
Pertapa Tua memutuskan untuk menghukum
Jonggrang. Truna diperintah untuk
membawanya kembali.
Truna kembali.
Dunia persilatan tanah Jawa saat
itu digemparkan oleh perbuatan sepa-
sang lelaki-wanita bertopeng yang
melakukan penculikan-penculikan terha-
dap beberapa perjaka tampan dan gadis
cantik.
Selidik punya selidik, Truna
akhirnya mengetahui kalau kedua
pengacau itu adalah Jonggrang dan
pasangan bejatnya. Mereka menculik
untuk memuaskan birahi liar keduanya.
Suatu kali, Truna berhasil
memergoki mereka. Dengan hormat, Truna
meminta Jonggrang kembali ke Pegu-
nungan Sewu untuk memenuhi panggilan
guru mereka. Tahu, dirinya bakal
dihukum, Jonggrang malah hendak mela-
rikan diri. Truna terpaksa menahan.
Sampai pecahlah perkelahian.
Dibantu Sang Pendeta Muka Dua,
Jonggrang menggempur Truna. Truna
dapat dikalahkan, Sebagian tubuhnya
lumpuh akibat kekejaman dua lawannya.
Sang pendekar muda kemudian menyepi
untuk beberapa lama, guna memulihkan
keadaannya dan menyempurnakan ilmu
olah kanuragan. Dia bersumpah tak akan
kembali ke Pegunungan Sewu sebelum
berhasil membawa Jonggrang.
Pada saat yang sama, Jonggrang
pun memperdalam kesaktian bersama
pasangannya.
Pasangan perempuan itu di hari
belakangan dikenal dengan julukan
Iblis Dari Neraka. Siapa lagi kalau
bukan Ki Ageng Sulut?
* * *
10
ALAM tiba. Setelah siang itu
Satria dan Tresnasari mendapat
kehormatan untuk bertemu langsung
dengan Raden Patah, Raja Demak
penguasa sebagian tanah Jawa, Satria
dan Tresnasari dipersilahkan untuk
menginap dikeraton. Perjumpaannya
dengan Raden Patah sebenarnya ber-
kaitan dengan peristiwa penumpasan
Laskar Lawa Merah waktu lalu. Sang
Raja Demak ingin sekali bertemu dengan
Satria muda yang sering.kali disebut-
sebut oleh patihnya, Bagaspati. Dia
merasa wajib menyampaikan penghargaan
langsung pada si pendekar muda atas
jasanya membantu pemberantasan Laskar
Lawa Merah.
Sewaktu Raden Patah mengungkap
rasa terima kasihnya pada Satria di
ruang kebesaran, pemuda lugu itu cuma
cengar-cengir tak habis-habisnya. Tak
peduli giginya menjadi kering. Raden
Patah dengan tulus pun memberikan
pujian pada si pendekar muda. Katanya.
negeri ini membutuhkan satria-satria
muda. Para pendekar yang tak hanya
bermodal keberanian, namun juga
memiliki jiwa luhur, penjunjung nilai-
nilai yang ditetapkan Illahi. Lagi-
lagi Satria cengar-cengir lugu. Dalam
hati, Satria merasa tak pantas
mendapat pujian dari orang besar dan
mulia seperti Raden Patah yang sudah
berusia cukup lanjut. Kalau mengingat
bagaimana masa-masa muda gemilang
pendiri Kerajaan Demak itu yang sering
didengarnya dari cerita-cerita
masyarakat, Satria merasa tak berarti
apa-apa.
Pernah Satria mendengar, masa
muda Raden Patah sudah diisi dengan
perjuangan tak kunjung padam. Tak
kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan
sampai kini, di usianya yang sudah
cukup tua. Bukan karena dalam dirinya
masih mengalir darah raja-raja
Majapahit. Melainkan karena keluhuran
budi pekertinya dalam godokan pemuka-
pemuka masyarakat yang tak diragukan
pula keluhuran jiwanya.
Membayangkan masa muda Raden
Patah; membuat dorongan semangat dalam
diri Satria untuk mengikuti jejaknya.
Malam sudah cukup larut. Satria
diberi kamar di dekat ruang pasang-
rahan. Tresnasari mendapat kamar
tersendiri, berseberangan dengan tem
pat Satria.
Lirih, terdengar senandung
jangkrik. Mendayu, bertiup bayu malam.
Keraton terpaku hening. Suasana
hening.
Satu-dua punggawa tampak hilir
mudik di beberapa tempat. Lengkap
persenjataan masing-masing. Seluruh
keraton diterangi oleh lampu-lampu
minyak yang ditempatkan di beberapa
tempat. Malam terus berlanjut.
Diawal dini hari, satu bayangan
berkelindan ringan tanpa suara di atas
wuwungan keraton. Geraknya nyaris
tanpa suara. Seolah seekor semut pun
tak mati terkena pijakannya. Bergerak
terus dia menuju tempat peristirahatan
raja. Tanpa satu prajurit pun
mengendusi kehadirannya.
Dikamarnya, Satria direjam kege-
lisahan. Sulit sekali dipejamkan
matanya. Meskipun dia sudah berusaha
berbaring di atas ranjang beraroma
harum setanggi.
Berkali-kali dicobanya merebahkan
diri. Matanya memang bisa dipejamkan.
Namun, sama sekali tak bisa terpulas.
Ada getar-getar halus yang terus
mengusiknya. Semacam firasat yang
belum lagi jelas.
Satria pun akhirnya hanya bisa
mondar-mandir di sisi pembaringan.
Angin melayap masuk lamat-lamat
dari kisi-kisi di atas jendela. Saat
itu, entah kenapa ada dbrongan dalam
dirinya untuk menguak mulut jendela.
Tanpa niat apa pun, Satria membuka
jendela. Setidaknya, nanti dia bisa
sedikit menikmati udara malam yang
segar bersahabat di luar, pikirnya.
Jendela terkuak.
Kala yang sama, secara kebetulan
matanya menangkap kelebatan bayangan
di atas wuwungan, dalam kegelapan
langit malam. Pakaian hitam-hitam yang
dikenakan membuat orang itu nyaris
tersamar kegelapan.
Mata Satria tak bisa begitu saja
diperdaya. Ketajamannya telah terlatih
sekian lama dalam tempaan yang berat
selama merenangi Lautan Selatan di
sekitar Pulau Dedemit. Kegelapan goa
tempat kediaman Ki Kusumo waktu itu
pun telah membuatnya terbiasa bergerak
di tempat gelap atau melatih
penglihatannya dalam kegelapan (Untuk
lebih jelasnya, ikuti kisah Satria
Gendeng : "Geger Pesisir Jawa')!
Satria yakin orang berpakaian
hitam-hitam itu bermaksud buruk. Kalau
menilik arah bergeraknya, tentu
sasarannya adalah Raden Patah
langsung.
"Apa maunya orang ini," desis
Satria halus.
Jiwa kependekarannya terbakar.
Cepat, dilompatinya jendela Dari mulut
jendela, tubuhnya langsung mencelat.
Mula-mula ke arah dinding kayu yang
berhadapan dengan jendela. Kakinya
menghentak sekali ke permukaan
dinding. Lalu Satria mencelat ke arah
beriawanan, langsung menuju wuwungan.
Satu rangkai gerak yang selalu
dilatihnya saat Dongdongka uring-
uringan meminta minum air kelapa (Baca
dalam episode: Kail Naga Samudera")!
Seorang prajurit yang kebetulan
melewati sisi kamarnya bahkan tak
menyadari kalau Satria baru saja
melintas di sisinya. Dia malah asyik
menyenandungkan tembang lamat-lamat.
Di atas wuwungan yang bersebe-
rangan dengan si penyusup gelap,
Satria terus mengintai. Hasil godokan
Dongdongka dan Ki Kusumo terhadap
kemampuan peringan tubuhnya selama ini
telah membuahkan hasil sempurna.
Untuk menghindar agar penyusup
gelap tadi tak melihatnya. Satria
berusaha mengatur jarak.
Penyusup gelap sampai tepatdi
atas wuwungan ruang peristirahatan
raja. Tak dilanjutkannya gerak.
Artinya, dugaan Satria tak meleset.
Makin besar kemungkinan penyusup gelap
itu hendak mengincar Raden Patah.
Sebelum semuanya jadi serba
terlambat, Satria berpikir untuk
mendahului saja.
"Hei!" hardiknya sangar. Sengaja
dia berdiri tegak tanpa mengendap
endap lagi.
Penyusup gelap tersentak sejenak.
Dia menoleh sigap ke arah hardikan
berasal. Sinar lampu minyak dari taman
sari menyapu. Kalau saja orang itu tak
mengenakan kain hitam penutup wajah,
tentu Satria bisa langsung menyaksikan
parasnya.
Mengetahui dirinya telah ter-
tangkap basah, si penyusup gelap.
berusaha melarikan diri. Satria tak
mungkin mendiamkannya. Dia harus
menangkapnya. Setidaknya untuk mengo-
rek keterangan.
"Haaaa!"
Satria melompat disertai penge-
rahan tenaga dalam penuh dan segenap
peringan tubuhnya. Bentangan jarak
antara tempatnya dan tempat si penyu-
sup yang terbilang jauh terpangkas
lompatannya. Sekelebatan dia bagai
kelelawar terbang di kegelapan
wuwungan.
Jleg!
Tepat di depan si penyusup,
Satria hinggap menghadang.
"Heaah!"
Sring!
Entah bagaimana caranya. tangan
penyusup gelap sudah menggenggam keris
panjang. Dibabatkannya ujung keris
langsung ke leher Satria.
Udara tergores tajam.
Leher Satria terancam.
Tertusuk atau tergorok.
"Hih!"
Satria meninggikan telapak
tangannya, membentuk benteng. Sulit
menangkis sambaran senjata lawan yang
membentuk gerakan miring setengah
lingkaran. Dibutuhkan ketajaman seekor
elang untuk raenempatkan tangkisan.
Salah-salah, tangan Satria tertembus
keris, atau tersayat ujungnya!
Plak!
Tepat di kepalan tangan lawan.
telapak tangan Satria berhasil
memapak.
Lawan menyusulkan sabetan. Keris-
nya menggores udara malam lagi,
membalikkan arah putaran sedikit lebih
ke bawah. Perut Satria sasarannya.
Wess!
Satria kali ini membiarkan saja.
Benar-benar membiarkan. Seakan dengan
sengaja hendak ditadahinya sambaran
ujung keris dengan perutnya.
Jarak menipis. Dan ancaman
membesar.
Lawan menyangka kerisnya akan
segera bersarang telak di perut si
pendekar belia. Satria Gendeng.
Sekedip mata lagi, isi perut pemuda
tangguh akan segera bobol keluar.
Kecele!
Karena tanpa terduga-duga otot
perut Satria mengempis. Tanpa sedikit
pun menggerakkan badan. Dan ujung
keris lawan hanya terlewat seujung
kuku. Satu perhitungan yang luar biasa
jeli, tajam dan berisiko amat fatal!
Justru dengan begitu, Satria
langsung dapat memetik keuntungan
lawan yang semula mengira sudah
mendapatkan posisi di atas angin
menjadi lengah. Tangan Satria menyen-
tak cepat dari dua sudut berbeda.
Wess!
Degh!
"Aah!"
Tubuh lawan terdorong. Di atas
wuwungan, dia terjengkang. Sebagian
gentingnya hancur. Kalau saja
rangkanya tak cukup kuat, tentu tubuh
penyusup gelap akan menjebol masuk ke
dalam ruang istirahat raja.
"Berdirilah!" gertak Satria
sambil menaikkan sudut bibirnya,
mencemooh lawan. Jari telunjuknya
diacungkan dan digerak-gerakkan seper-
ti geliatan seekor cacing kepanasan.
Si penyusup menggeram. Hanya
dengan satu sentakan otot perut dan
pinggang, dia bangkit.
Jarak antara keduanya kini cukup
renggang.
Sementara itu, keributan di atas
wuwungan telah mengundang seluruh
punggawa pengawal keraton berhamburan
keluar di sekitar tempat kejadian.
Mereka menyaksikan dua sosok
sedang berdiri dalam kuda-kuda masing
masing. Raden Patah sendiri sudah
keluar dengan wajah yang tetap memper-
lihatkan ketenangan luar biasa.
Wajahnya seolah permukaan danau yang
membeku.
Si penyusup gelap, tampak meng-
gerak-gerakkan kedua tangannya. Sese-
kali terdengar hempasan-hempasan
napasnya. Diacungkannya keris tinggi
tinggi ke udara. Lalu....
"Heaaa!"
Zzzz!
Keris di tangannya memancarkan
cahaya merah!
Si penyusup gelap membuat gerakan
menyabet searah dengan tempat berdiri
Satria.
Wezzz!
Serangkum cahaya merah terjulur
memanjang, meluruk langsung dan hendak
menanduk Satria Gendeng.
Satria terperangah. Dalam keter-
kejutan luar biasa itu, tak ada
tindakan yang bisa dilakukannya. Namun
kekuatan terpendam dalam dirinya
akibat pengaruh zat dasar samudera dan
ramuan Pulau Dedemit justru bergolak
amat cepat. Lebih cepat dari desir
darahnya sendiri. Bahkart lebih cepat
dari terjangan cahaya merah lawan.
"Haaakh!"
Lolongan menggidikkan menggempur
angkasa malam. Melejit langsung dari
tenggorokan si pendekar muda, manakala
tubuhnya tertanduk cahaya merah tadi.
Getaran hebat terjadi. , Genting
hancur. Kepingannya seperti berlom-
patan riuh.
Dan tubuh penyusup gelap turut
tergetar.
"Huaaah"
Belum lagi ujung lolongan Satria
tercapai, lolongan dari kerongkongan
lawannya menyusul. Beberapa saat
kemudian....
Blar!
Cahaya merah membersit lebar,
mengembang.
Lelaki berpakaian hitam-hitam
terpental deras ke belakang. Sentakan
amat kuat membuat kain penutup
wajahnya saat itu juga terlepas.
Dia jatuh bergulingan deras ke
bawah, di antara keping-keping genting
keraton.
Lalu bumi menyambutnya. Telen-
tang, tubuhnya terengah-engah. Darah
membasahi sudut bibirnya. Saat itulah
Satria dipaksa terperanjat menyaksikan
wajah penyusup gelap itu.
"Kang Bagaspati????"
* * *
Kenapa dengan Bagaspati ini? Apa
benar dia ingin mengincar Raja Demak?
Benar apa tidak? Lalu, ada urusan apa
si nenek jelek, peyot, bau (hidup
lagi!) Nini Jonggrang dengan Dong-
dongka? Bagaimana kalau dia tahu
muridnya yang diperintah untuk mem-
bunuh Satria, eh malah bermasyuk-
masyuk dengan pemuda itu?
Ikuti kelanjutannya dalam
episode:
“Perempuan Pengumpul
Bangkai”
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar