..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 21 Januari 2025

SATRIA LONCENG DEWA EPISODE MERINGKIK DI LEMBAH HANTU

MERINGKIK DI LEMBAH HANTU

 

Memandang ke depan kaget Ki Joran Dhamakaru

jadi bertambah -tambah. Sepasang mata mendelik

terbeliak. Di depan sana berdiri satu sosok berpakaian 

putih.

“Binatang atau manusia atau mahluk jejadian...?.

Tubuh manusia, bicara seperti manusia tapi kepala

dan kaki seperti kuda. Berbulu putih..astaga!

Mahluk aneh itu telah mencabut tombak Naga

Sungkem dari tanah..."

"Kembalikan tombakku!" Teriak Ki Joran Dhamakaru.

Mahluk di antara dua batang pohon tertawa. Suara

tawanya aneh. Antara suara tawa manusia dan

ringkikan kuda!

"Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu

berarti dia telah menyerahkan segala-galanya padu

penguasa lembah. Termasuk nyawanya! Apa lagi

cuma sebatang tombak butut begini! Ha....ha..ha..!"


1.

 MAHLUK ANEH MELINTAS DI MALAM DINGIN

 Desa Gentasari yang terletak di pedataran subur di 

sisi utara Kali Oyo masih tenggelam dalam kegelapan 

malam serta udara luar biasa dingin karena sore sebe-

lumnya hujan turun sangat tebal. Kesunyian yang 

menyelimuti desa dipecah oleh suara roda gerobak 

ditarik seekor kuda coklat besar. Walau kuda penarik 

gerobak sudah lari kencang seperti dikejar hantu di 

jalan yang becek namun pemuda yang menjadi sais 

masih saja terus menghujani punggung binatang itu 

dengan cemeti di tangan kiri sementara tangan kanan

memegang tali les kuda kencang-kencang.

 Dari kejauhan gerobak tampak seperti kosong,

tidak ada barang tidak ada penumpang. Namun di

lantai gerobak saat itu terkapar dua sosok mayat

Keduanya laki-laki berusia muda. Kepala dan tubuh

mereka utuh, tidak tampak ada bekas luka atau

pukulan, juga tidak ada noda darah. Namun sepasang

mata mereka kelihatan membeliak besar seperti mau

berlompatan dari rongganya. Agaknya sebelum

menemui ajal kedua orang Ini telah melihat sesuatu

yang sangat menakutkanl

 Di depan sebuah rumah besar berpekarangan

luas, sais hentikan gerobak. Sebelum dia melompat

turun, pintu depan rumah besar terbuka lebar. 

Seorang lelaki berpakaian serba hitam keluar, 

mendatangi dengan cepat. Walau wajah garang 

berkumis tebal dan berjanggut lebat namun air 

mukanya tampak letih karena kurang tidur sejak dua 

malam yang lalu.

 Wanadhaya pemuda sais gerobak melompat

turun. Sebelum dftanya dia sudah jatuhkan diri di

hadapan lelaki yang barusan keluar dari rumah. Walau


suara terbata-bata karena nafas mengengah, dia cepat

berkata.

 "Bapak Kepala Desa, KI Joran Dhamakara, saya....

saya berhasil menemukan mereka. Tapi" Si pemuda 

tidak meneruskan ucapan. Dia berpaling ke arah 

gerobak.

 KI Joran Dhamakara yang adalah Kepala Desa

Gentasari segera menghampiri gerobak. Memandang

ke dalam dan melihat dua mayat pemuda yang

tergeletak di lantai gerobak wajah kuyunya berubah

tegang membesi. Setelah menarik nafas dalam dia

berucap perlahan.

 "Dewa Bathara Agung.... Aku sudah menduga

 Kepala Desa Ini ulurkan tangan, singkap baju

yang dikenakan dua pemuda yang telah menjadi

mayat. Pada masing-masing dada mayat dia melihat

jelas tanda kebiru-biruan berbentuk ladam atau tapal

kuda.

 "Kematian dua pemuda ini sama dengan dua

pemuda terdahulu. Ada tanda ladam kuda di

dada....Apakah benar-benar seekor kuda yang telah

membunuh mereka? Akalku tidak bisa menerima...

Tapi banyak orang mengatakan mendengar suara itu. 

Suara ringkik kuda...."

 "KI Joran, apa yang harus kita lakukan...? “bertanya 

Wanadhaya.

 "Bangunkan tetangga. Jenasah dua pemuda ini

harus diurus malam Ini juga. Paling lambat pada fajar

menyingsing keduanya bisa diperabukan. Jangan lupa

memberi tahu kejadian Ini pada kedua orang tua

mereka."

 Wanadhaya segera hendak beranjak dari tempat

itu. Namun bahunya dipegang oleh Kepala Desa.

 "Wanadhaya, dua pemuda sahabatmu ini,

apakah mayatnya kau temukan di tempat yang sama

dengan dua mayat yang ditemukan penduduk

sebelumnya?"


"Benar sekail KI Joran "

 "Benar sekali apa?"

 "Sa...saya menemukan mereka tak jauh dari

Lembah Hantu...."

 "Lembah Hantu" Ki Joran Dhamakara

berucap perlahan. "Bagaimana lembah itu tiba-tiba

saja di beri nama Lembah Hantu. Ada berita tersebar

kalau di situ kini ada penghuni seorang sakti yang

konon siap menurunkan ilmu kepandaian kepada siapa 

saja yang bisa menemuinya, terutama para pemuda. 

Anehnya hampir setiap malam dari arah lembah 

terdengar suara kuda meringkik. Para pemuda 

pemberani mendatangi lembah untuk mendapatkan 

ilmu kesaktian. Yang mereka dapatkan justru 

kematianl Sembilan pemuda pergi ke lembah. Hanya 

empat yang kembali. Itulah dalam keadaan mati. Lalu 

kemana mereka yang berlima..."

 Kepala Desa berpaling pada Wanadhaya, pemuda 

yang tegak di sampingnya.

 "Sebelum kau pergi, siapkan kudaku...."

 "Bapak Kepala Desa mau pergi kemana?" tanya 

Wanadhaya.

 "Sudah empat penduduk desa menemui ajal. Lima 

orang tidak diketahui nasib keadaannya. Apakah aku 

hanya akan berpangku tangan? Saatnya aku 

melakukan sesuatu."

 "Maksud Ki Joran. mau pergi ke Lembah Hantu..."

 "Apapun namanya aku harus pergi ke sana.

Siapkan saja kudaku. Jangan banyak tanya lagil"

jawab Kepala Desa Gentasarl lalu masuk ke dalam 

rumah.

 Ketika Wanadhaya kembali ke halaman depan 

membawa seekor kuda hitam besar. KI Joran sudah

menunggu. Kini dia mengenakan pakaian ringkas

warna kelabu. Sebilah keris bersarung perak terselip

di pinggang. Di tangan kanan Kepala Desa Ini

memegang sebatang tombak yang ujung lancipnya


dilapis perak murni. Dalam kegelapan malam ujung

tombak tampak memancarkan cahaya terang. Pada

bagian bawah mata tombak memancarkan cahaya

terang. Pada bagian bawah mata tombak terdapat

ukiran berbentuk naga bergelung. Inilah salah satu

senjata sakti milik KI Joran Dhamakara yang konon

bernama Naga Sungkem. DI leher Kepala Desa

tergantung sebuah kalung kain hitam tebal berbentuk

empat persegi.

 "KI Joran...." berkata Wanadhaya. "Kalau KiJoran 

hendak ke Lembah Hantu, sebaiknya jangan

sendirian.."

 "Kau hendak menemaniku?" tanya Kepala Desa.

 Wajah si pemuda langsung pucat Dia susun

sepuluh jati di atas kepala seraya berkata. "Kalau

disuruh ke sana lagi, saya minta ampun. Tapi saya

bisa memanggil beberapa orang teman untuk

menemani Ki Joran:.."

 "Tidak ada gunanya." Kata Kepala Desa pula.

"Dengar baik-baik. Kalau sampai tengah hari besok 

aku tidak kembali ke desa Ini, berarti aku sudah 

menemui ajal. Cari mayatku di dalam lembah...."

 Ucapan Kepala Desa terputus. Tiba-tiba terdengar

suara meringkik disertai derap kaki kuda mendatangi.

KI Joran Dhamakara dan Wanadhaya terkejut.

Keduanya segera palingkan kepala. Cepat sekali.

hanya sekilas dan itupun nyaris menyerupai bayang-

bayang, di hadapan mereka bergemuruh lewat mahluk

aneh. Dalam sekejapan mata mahluk itu telah lenyap.

 Wanadhaya usap tengkuknya yang terasa dingin.

Ki Joran masih kelihatan tenang walau dadanya

berdebarkencang.

 "Ki..Ki Joran....Mahluk apa yang barusan lewat...?" 

bertanya Wanadhaya sementara mata masih menatap 

tak berkesip ke arah lenyapnya mahluk-mahluk 

bayangan tadi, kuduk masih merinding.

 "Tak dapat dipastikan. Aku hanya meliha

sekilas. Jumlah mereka mungkin lebih dari sepuluh.

Hantu lembah atau mahluk jejadian apa. Kalau benar-

benar kuda mengapa tubuh mereka tegak seperti

manusia Kalau manusia mengapa berkepala dan

meringkik seperti kuda."

 Wanadhaya memandang ke tanah lalu berkata.

 "Aneh...mengapa di tanah tidak ada bekas jejak

kaki mereka? Padahal tanah dalam keadaan becek.

Tadi jelas sekali terdengar suara kaki seperti tapal

kuda mendera tanah yang mereka lewati..."

 "Ini keanehan yang harus aku selidiki," sahut

Kepala Desa. "Yang disebut Lembah Hantu jauh dari

sini. Jika mahluk-mahluk Itu sudah gentayangan

sampai ke sini berarti mereka mencari sesuatu. Berarti

bahaya sudah semakin meluas mengancam penduduk. 

Wanadhaya, lakukan tugas yang aku berikan 

padamu..." Lalu tanpa bicara lebih banyak KI Joran 

Dhamakara melompat ke atas punggung kuda. Sesaat 

kemudian sosok Kepala Desa Qentasari ini bersama 

kuda tunggangannya sudah lenyap ditelan kegelapan.


2.

MAHLUK "TUMAN KEKU”

 Kawasan sepanjang utara Kail Oyo merupakan 

daerah subur. Di sana terdapat beberapa buah lembah 

dengan kemiringan sangat cukup tajam, nyaris 

membentuk jurang lebar hingga tidak ada penduduk 

yang mau bercocok tanam disitu. Salah satu lembah 

yang paling besar terletak di bagian tengah di utara 

Dlingo, sekitar selengah hari perjalanan dari Desa 

Gentasari. Inilah yang oleh penduduk sekitar 

kawasan Itu disebut-sebut sebagai Lembah Hantu. Di 

masa lalu masih ada penduduk yang melintas atau 

turun ke dalam lembah Namun sejak diketahui adanya 

peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di tempat itu, 

kini tidak seorangpun berani mendekat Konon pada 

malam hari sering terdengar suara ringkikan kuda 

Selain itu pada slang hari, kerap kali terlihat 

serombongan mahluk aneh berkelebat cepat, keluar 

atau masuk ke dalam lalu lenyap begitu saja dengan 

meninggalkan suara derap kaki kuda di kejauhan.

 Karena tahu jalan memintas dan memacu kuda

sekencang yang bisa dilakukannya, jauh sebelum

sang surya terbit di timur Ki Joran Dhamakara telah

sampai di bibir lembah sebelah selatan. Dalam

kegelapan yang masih menghitam dia nyaris tidak

melihat apa-apa selain deretan pepohonan serta

semak belukar lebat Namun Kepala Desa yang

memiliki Ilmu kesaktian cukup tinggi ini selagi di atas

punggung kuda sudah mampu merasakan bahwa di

sekitar lembah ada sesuatu. Sesuatu yang bernyawa

dan bernafas seperti dirinya. Banyak sekali. Tetapi

belum tentu bisa dikatakan sebagai manusia.

 Setelah merapal doa keselamatan, menggosokkan 

jimat kain hitam di atas kening dan memegang tombak 

Naga Sungkem erat-erat di tangan kanan, KI Joran


Dhamakara memandang sekali lagi berkeliling. Gelap, 

sunyi dan dingin.

 Perlahan-lahan Kepala Desa Gentasari ini tundukkan 

kepala, mulut didekatkan ke kuda hitam

tunggangannya lalu berbisik.

 "Bayu Ireng, meringkiklah tiga kali. Jika kita

mendapat sahutan berarti lembah ini memang ada

penghuninya...." Selesai mengeluarkan ucapan Ki

Joran Dhamakara usap tengkuk kuda hitam dengan

tangan kiri sambil merapal mantera. Lalu dengan

tangan yang sama dia menepuk pinggul binatang Itu.

 "Sekarang Bayul Meringkiklah!"

 Mendengar ucapan sang majikan serta tepukan

pada pinggul, seolah mengerti apa yang diperintahkan

kuda hitam besar itu lalu dongakkan kepala dan

meringkik tiga kali berturut-turut.

 Tidak menunggu lama tiba-tiba dari dasar lembah 

sebelah timur terdengar sahutan ringkik kuda, hanya 

dua kali. Suara ringkikan ke tiga mendadak lenyap 

seolah mahluk yang meringkik dicekik atau ditabas 

batang lehernyal

 "Arah timur. Kira-kira dua ratus tombak dari sini...

Bayul Cepatl"

 Kuda hitam kibaskan ekor lalu berputar dan lari

dengan sebat ke arah timur.

 DI DASAR lembah sebelah timur dari atas

sebatang pohon besar melesat turun seorang

berpakaian putih. Gerakan luar biasa enteng, pakaian

yang diterpa angin tidak mengeluarkan suara. Begitu

juga ketika dua kakinya menginjak tanah. Dua kaki

ini, Ternyata bukan berbentuk kaki manusia.

melainkan merupakan kaki kuda lengkap dengan

ladam besinya, berbulu putih, dan di sebelah atas,

mulai dari pangkal leher orang ini memiliki kepala


menyerupai kuda berbulu putih. Yang hebatnya, di

tangan kanan mahluk bertubuh manusia kepala dan

kaki kuda ini memegang sebilah golok besar

berlumuran darah.

 Setelah lari cukup jauh orang Ini sampai dihadapan 

dua pohon besar. Dia langsung menyelinap diantara 

dua batang pohon. Golok berdarah diselipkan ke 

pinggang. Tangan kiri kanan memegang pohon lalu 

menekan. Terdengar suara siuran angin halus.

Tanah yang diinjak sepasang kaki kuda orang itu

bergerak turun. Sesaat kemudian mahluk bertubuh

manusia berkaki dan berkepala kuda lenyap seperti

ditelan bumi.

 Tak selang berapa lama, jauh di dasar lembah

yang oleh penduduk disebut sebagal Lembah Hantu

mahluk berpakaian putih berkepala kuda berbulu

coklat tadi sampai ke sebuah pedataran luas. Di sini

terlihat satu pemandangan hebat! Lima puluh sosok

manusia berkepala dan berkaki kuda berbulu putih

tegak lurus dalam dua barisan memanjang. Tidak

satupun yang bergerak atau bersuara, bahkan

sepasang mata menatap lurus ke depan, tidak

berkedip barang satu kallpunl Namun ketika orang

berpakaian putih muncul di ujung pedataran sebelah

barat dan melangkah cepat melewati mereka, ke lima

puluh manusia berkepala kuda Ini serentak sama-

sama tundukkan kepala. Setelah orang tadi lewat baru

mahluk-mahluk itu kembali luruskan kepala masing-

masing seperti dia.

 Sampai di ujung pedataran sebelah timur orang

berkepala kuda putih berlutut lalu bersujud dan

menyentuhkan kening tiga kali ke tanah. Pada kail ke

tiga kening tetap ditempel di tanah dan baru bangkit

berdiri ketika ada kilauan cahaya tiga warna 

memancar dari dalam tanah.

 “Kanjeng Panglima, saya Abdika Brathama datang 

membawa berita buruk..


Cahaya tiga warna bergerak ke kiri dan ke kanan.

Lalu ada suara gema jawaban, datang dari dalam

tanah.

 "Abdika Brathama, ceritakan berita buruk apa

yang kau bawa"

 "Ada penyusup memasuki Lembah Hantu dari

arah selatan. Dia berhasil memancing keberadaan kita

dengan menyuruh kudanya meringkik. Ringkikan telah

dibalas oleh Ceti Kanwa, kuda coklat pengiring

saya...."

 "Ceti Kanwa berasal dari orang berkepandaian

cukup tinggi. Tidak mungkin dia bisa terpengaruh

suara dari luar...."

 "Saya kira ada orang berkepandaian lebih tinggi

dari Ceti Kanwa menerapkan Ilmu kesaktian. Besar

kemungkinan dia adalah pemilik kuda yang meringkik

di lembah arah selatan. Ceti Kanwa mungkin tidak

sengaja balas meringkik karena menyangka kawan

sendiri..."

 "Sengaja atau tidak sengaja kesalahan telah terjadi. 

Orang luar telah mengetahui keberadaan kita.

Tindakan apa yang telah kau lakukan Abdika

Brathama?" Suara di dalam tanah bertanya dan

cahaya tiga warna berkilau lebih terang.

 "Saya telah menjagal kepala Ceti Kanwa hingga

putusl" Menjawab mahluk berkepala kuda putih yang

menyebut diri Abdika Brathama.

 "Bagusi Setiap kesalahan ada hukumnya. Siapa yang 

salah wajib dihukum. Tapi Ingin bukti! Tunjukkan

buktil"

 Abdika Brathama cabut golok besar yang terselip

di pinggang. Golok yang masih berlumuran darah itu

diletakkan di tanah. Sesaat kemudian cahaya tiga

warna kembali bergerak dan dari dalam tanah

terdengar suara.

 "Abdika Brathama, golok berdarah tidak

membuktikan apa-apa. Perlihatkan padaku secara


gaib apa yang telah kau lakukan. Jika kau berdusta

maka golok itu akan kupakai memenggal kepalamul

Aku punya tanggung Jawab besar yang harus aku

berikan pada Junjunganl"

 "Mohon izinmu kanjeng Panglima," kata Abdika

Brathama.

 Setelah membungkuk dalam-dalam lalu manusia

berkepala dan berkaki kuda berbulu putih Ini membuat

gerakan-gerakan silat. Gerakannya luar biasa enteng

dan cepat Dua kaki yang dilapisi ladam besi sama

sekali tidak mengeluarkan suara walau berulang kali

menghentak tanah pedataran hingga debu mengepul.

Setelah tiga jurus berlalu dia berhenti, menarik nafas

dalam. Bersamaan dengan melepas nafas dia

bentangkan dua tangan ke sisi kiri dan kanan.

 Saat itu juga muncul asap kelabu, bergelung

keluar dari tanah. Asap ini berlahan-lahan berubah

membentuk sosok seekor kepala kuda berwarna

coklat, bersambung dengan tubuh manusia berjubah

hitam yang kemudian berakhir pada sepasang kaki

berupa kaki kuda lengkap dengan tapal besi. Inilah

Ceti Kanwa. mahluk seperti Abdi Brathama, tubuh

manusia tapi kepala dan kaki berujud kuda. Selama

Ini Ceti Kanwa selalu menyertai kemana Abdika

Brathama pergi.

 DI saat yang bersamaan, muncul pula kepulan

asap kedua berwarna putih yang kemudian berbentuk

ujud sosok Abdika Brathama.

 Di kejauhan terdengar ringkikan kuda tiga kali.

Mendengar suara ringkikan ini Ceti Kanwa, manusia

kuda berbulu coklat dongakkan kepala, siap

membalas ringkikan.

 Sosok asap Abdika Brathama berteriak memberi

ingat

 "Ceti Kanwal Jangan dibalas ringkikan itul"

 Tapi terlambat.

 Dari tenggorokan Ceti Kanwa telah melesat keluar


dua kail ringkikan. Ketika dia hendak meringkik yang

ke tiga kali, sosok gaib Abdika Brathama segera

mencabut golok besar dan langsung membabat putus

leher Ceti Kanwa.

 Abdika Brathama yang tegak di pedataran, mainkan 

kembali tiga jurus Ilmu silat aneh. Perlahan-lahan 

kepulan asap lenyap. Sosok Ceti Kanwa dan Abdika

Brathama ikut sirna.

 "Kanjeng Panglima, begitulah kira-kira kejadian-

nya," kata Abdika Brathama.

 "Bagusi Aku sudah melihat kenyataan. Aku sudah 

melihat buktil" Suara dari alam tanah berucap.

 "Terima kasih Kanjeng Panglima mempercayai

saya..."

 "Tapi menerima bukti dan melihat kenyataan

belum berarti aku mempercayai dirimu. Ada yang

Ingin aku tanyakan. Setelah semua Ini terjadi apa 

yang akan kau lakukan?"

 Abdi Brathama terdiam sesaat baru menjawab.

 "Saya mengerti maksud Kanjeng Panglima. Saya

akan menghadap penyusup itu sebelum dia mene-

mukan tempat ini dan membunuhnya. Kecuali

Kanjeng Panglima berkehendak lain...."

 "Si penyusup, apakah kau mengenal siapa dia

adanya?" tanya suara dari dalam tanah sementara

cahaya tiga warna kembali bergerak-gerak.

 "Saya mengenal sekail Kanjeng Panglima.

Namanya Joran Dhamakara. Dia Kepala Desa

Gentasari...."

 "Apakah dia memiliki ilmu kepandaian dan

kesaktian?"

 "Setahu saya ilmu silatnya cukup tinggi.

Kesaktiannya lumayan. Selain itu dia membekal tiga

benda bertuah..."

 "Ceritakan padaku mengenai tiga benda bertuah

itu"

 "Yang pertama sebuah jimat, dibungkus kain


hitam persegi empat dikalung di leher. Benda kedua,

sebilah keris bersarung perak. Yang ketiga sebatang

tombak bermata perak murni bernama Naga Sung-

kem."

 "Apakah Kepala Desa Itu berasal dari selatan atau

utara?"

 "Selama puluhan tahun dia tinggal di wilayah

selatan. Hubungannya dengan Kerajaan di utara tidak

terialu dekat.."

 "Kalau begitu orang tersebut Jangan dibunuh.

Kita akan memasukkannya ke dalam jajaran Balaten-

tara Mataram Baru. Jimat di dalam kain dan keris

berurung perak tidak ada manfaatnya, harus kau

musnahkan. Tapi tombak Naga Sungkem harus kau

rampas dan serahkan padaku sebelum sang surya

mencapai titik tertingginya, hari inil"

 "Ucapan Kanjeng Panglima saya dengar. Perintah 

segera saya jalankan! Satu hal perlu saya beritahukan. 

Ki Joran Dhamakara memiliki seekor kuda hitam 

bernama Bayu Ireng..."

 "Aku tahu maksudmu. Jadikan dia mahluk Tuman 

Keku. Satukan sang kuda dan majikannya!"

(Tuman Keku = Tubuh Manusia Kepala dan Kaki Kuda)

 "Akan saya laksanakan Kanjeng Panglima.

Namun saya ada satu pertanyaan. Apakah dia akan

diberi kemampuan bicara atau bisu seribu bahasa

seperti Tuman Keku yang lain-lainnya?"

 "Berikan dia kemampuan bicara. Tapi dia hanya

bisa bicara jika kita tanya dan perintah. Lain dari Itu

dia tetap mahluk bisu seribu bahasa."

 "Terima kasih Kanjeng Panglima, Perintah akan

segera saya laksanakan."

 Abdika Brathama lalu bersujud dan sentuhkan

kening tiga kali ke tanah. Saat itu juga cahaya tiga

warna lenyap dari pemandangan. Pembantu Utama

mahluk yang disebut Kanjeng Panglima Ini ambil

golok yang tergeletak di tanah lalu cepat-cepat

tinggalkan tempat itu.


3.

 KERAJAAN MATARAM BARU

 HANYA beberapa saat setelah Abdika Brathama 

meninggalkan pedataran rahasia di bawah dasar 

Lembah hantu tiba-tiba terdengar suara deburan 

ombak serta tiupan angin kencang. Lima puluh mahluk 

berkepala dan berkaki kuda yang ada di pendataran 

langsung berlutut lalu bersujud di tanah.

 Di satu tempat dari mana tadi suara Kanjeng 

Panglima keluar dari tanah terdengar suara berat 

menggema yang menggetarkan tanah pedataran. 

Maka terjadilah pembicaraan antara dua mahluk yang 

tidak kelihatan ujud masing-masing. Sesekali ada 

cahaya tiga wama merah, biru dan hitam memancar 

dari dalam tanah.

 "Panglima Pawang Sela, aku perintahkan agar

kau segera datang ke tempatku...."

 "Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru. saya

mendengar suaramu. Saya menghaturkan sembah dan

sujud dan saya akan segera menghadap Junjungan

saat ini juga...."

 "Aku punya firasat kita belum tentu akan berhasil

mendapatkan dua bayi begitu mereka dilahirkan

secara gaib. Berarti kita hanya punya waktu enam

purnama lagi sebelum dua bayi mencapai usia tujuh

bulan. Mereka bukan bayi-bayi biasa. Pada usia tujuh

bulan keduanya akan sama dengan anak seusia tujuh

tahun. Sebelum hal itu terjadi, kau harus sudah

mendapatkan tujuh puluh satu Tuman Keku. Jumlah

yang disyaratkan untuk melakukan serangan pertama

ke utara Dua bayi itu harus dibunuh. Kalau tidak usaha

selanjutnya untuk meruntuhkan Kerajaan Mataram 

dan mendirikan Mataram baru akan mengalami lebih

banyak kendala dan kesulitan. Kau dengar kata-kataku

Panglima Pawang Sela...?


"Saya dengar Junjungan."

 "Kau mengerti?!"

 "Saya mengerti Junjungan Yang dengan segala

hormat saya sebut sebagai Sri Maharaja Ke Delapan."

 "Baik. aku tunggu kedatanganmu di lapis ketiga

dasar Lembah Hantu."

 Terdengar kembali suara deru ombak dan tiupan 

angin kencang. Lalu lenyap dan sepi. Lima puluh 

manusia berkepala dan berkaki kuda yang ada di 

pedataran secara bersamaan berdiri kembali.

 KI JORAN Dhamakara hentikan kuda di lereng

lembah yang terjal lalu melompat turun. '

 "Bayu Ireng...." kata Kepala Desa Gentasari ini

sambil mengusap tengkuk kuda hitam. "Menuruni

lembah terjal dan licin akan sangat sulit bagimu. Aku

akan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Kau

kembalilah ke desa. Tak usah menunggu...."

 Kuda hitam menjilati tangan majikannya tapi

sampai Ki Joran Dhamakara beranjak pergi binatang

Ini masih tetap berdiri di tempat itu. Kuda yang sangat

setia pada majikannya itu kemudian ternyata tanpa

diketahui Ki Joran Dhamakara diam-diam mengikuti

dari belakang.

 Mencapai dasar lembah Kepala Desa berhenti

sejenak. Saat itu mulai terang-terang tanah karena tak

lama lagi fajar akan segera menyingsing. Sambil

memegang jimat di tangan kiri dan tombak Naga

Sungkem di tangan kanan lelaki Itu berkata.

 "Naga Sungkem, aku merasakan ada mahluk lain

di sekitar sini. Beri petunjuk padaku..."

 Ki Joran Dhamakara memandang berkeliling,

memperhatikan ke atas pohon-pohon besar di

sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa. Tiba-tiba 

tombak sakti di tangan bergetar. Mata tombak yang 

terbuat dari perak mumi mengeluarkan cahaya 

berpijar. Tanpa dapat dicegah tombak itu terlepas dari


tangan Kepala Desa lalu melesat sejauh tiga puluh 

langkah untuk kemudian menancap di tanah antara 

dua batang pohon besar.

 "Bagus, tombak Naga Sungkem berhasil

menemukan arah sumber suara ringkikan kuda tadi.

Dewa Agung, tolong saya menemukan sumber

malapetaka. Beri saya kekuatan untuk menumpas

semua angkara murka di Bhumi Mataram ini" Ki Joran

Dhamakara memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa.

Dengan cepat Kepala Desa Gentasari Ini kemudian

berlari ke arah dua pohon dimana tombak sakti Naga

Sungkem menancap di tanah, tiba-tiba ada satu

bayangan putih melesat disertai suara orang berseru

memerintah.

 "Joran Dhamakaral Cukup langkahmu sampai di

situl Berhentil Jangan berani bergerak sebelum aku

memberi ijin"

 Dalam keterkejutan dan juga ada rasa jengkel,

Kepala Desa Gentasari hentikan langkah. Memandang

ke depan, ke arah celah dua pohon besar kaget orang

Ini jadi bertambah-tambah. Di depan sana berdiri satu

sosok berpakaian putih. Sepasang mata KI Joran

mendelik terbeliak.

 "Binatang atau manusia atau mahluk jejadian...?

membatin Ki Joran Dhamakara. "Tubuh manusia,

bicara seperti manusia tapi kepala dan kaki seperti

kuda. Berbulu putih... Astagal Mahluk aneh ini telah

mencabut tombak Naga Sungkem dari tanah. Seperti

dia Ingin menguasai senjata sakti itu I"

 Tidak peduli peringatan orang KI Joran

Dhamakara melangkah maju sambil berteriak.

 "Kembalikan tombakku!"

 Mahluk diantara celah dua pohon tertawa. Suara

tawanya aneh. Antara tawa manusia dan ringkikan

halus kuda.

 "Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu,


berarti dia telah menyerahkan segala-galanya pada

penguasa Lembah Hantui Termasuk nyawanya.

Apalagi Cuma sebatang tombak butut begini.

Ha..ha...hal"

 "Kurang ajar, siapa penguasa Lembah Hantu?

Katakan padakul Jangan berani menghina senjata

pusaka milikku. Mahluk salah bentuk. Kau sendiri

siapa? "

 "Namaku Abdika Brathama. Aku mewakili

Penguasa Lembah Hantu. Dan aku tidak akan

mengembalikan tombak ini padamu."

 "Mahluk salah kaprah! Kau pasti mahluk kutukan

Dewal Mewakili Penguasa Lembah Hantu katamu!

puah!" Ki Joran meludah ke tanah. "Bagiku kau tidak

lebih dari seorang penyamun bertopeng dan berkaki

palsu! Topeng kuda kaki kuda!"

 Abdika Brathama tertawa tergelak-gelak.

 'Tanggalkan topeng keparat itu atau topeng akan

aku buat melesat menjadi satu dengan batok kepala

dan wajahmu!"

 "Joran Dhamakara, Kepala Desa Gentasari. Aku

sudah tahu. Aku sudah mengukur sampai dimana

ilmu kepandaian dan kesaktianmul Berserah dirilah

secara pasrah maka kau akan aku beri kedudukan

cukup tinggi sebagai anggota Pasukan Kerajaan

Mataram Baru yang ke lima puluh satu...."

 "Mahluk celaka Ini tahu seluk beluk diriku..."

ucap Ki Joran Dhamakara dalam hati.

 "Joran Dhamakara, kebetulan sekali kuda hitam

tungganganmu bernama Bayu Irong menyusul ke sini

hingga aku tidak susah-susah mencari pasangan

dirimu..."

 Kepala Desa Gentasari itu terkejut Menoleh ke

 belakang dia melihat Bayu Ireng, kuda yang

 ditinggalkannya di lereng lembah sudah berada di

 tempat itu. Bintang ini tampak gelisah. Ekor dikipas

 tiada henti sementara kepala tidak bisa diam, selalu


bergerak ke kiri atau ke kanan, sesekali menyusup ke 

bawah atau mendongak ke atas.

 "Sesuatu akan terjadi. Ada bahaya besar 

mengancam. Bukan cuma diriku, tapi juga kuda ini.

Bayu Ireng berusaha memberi tahu padaku dengan

semua gerakannya Itu..."

 "Abdika Brathama, slapapun kau adanya. setan

atau mahluk jejadian. Kau mengaku mewakili

Penguasa Lembah Hantu. Berarti kau bertanggung

jawab atae kematian empat pemuda desa serta

lenyapnya lima pemuda lainnya!"

 "Kau Kepala Desa yang baik. Tahu berapa jumlah 

warga yang mati dan yang lenyapl Ditambah dengan 

ilmu kepandaian yang kau miliki, serta tombak Naga 

Sungkem yang kini menjadi milikku maka kau

memang pantas dijadikan anggota utama Pasukan

Kerajaan Mataram Baru..."

 "Persetan dengan segala ucapanmu! Kembalikan

tombak itu atau kau akan..."

 "Joran Dhamakara, kau inginkan tombak Ini?

Jika kau memang keliwat memaksa ambillah!"

 Mahluk Tuman Keku Abdika Brathama ulurkan 

tombak Naga Sungkem. KI Joran tidak segera

mengambil karena melihat mata tombak berkilau

mengeluarkan sinar berpijar pertanda orang telah

mengalirkan tenaga dalam ke senjata sakti itu. Dan

benar saja Tiba-tiba mahluk berkepala kuda putih itu

membuat gerakan menusuk ke arah dada Begitu yang

diserang mengelak melesat serangan susulan berupa

gebukan ke arah kepala.

 "Traaangg."

 Terdengar suara berdentrangan ketika tombak

menghantam batok kepala Ki Joran Dhamakara.

Abdika Brathama terkejut Dia menggebuk sekail lagi

dengan mengerahkan tambahan tanaga dalam.

Kembali terdengar suara berdentrang. Walau kail Ini

Ki Joran tampak terhuyung-huyung namun kepala


sama sekali tidak cidera. Dalam kejutnya Abdika

Brathama menjadi penasaran. Tongkat sakti digebuk-

kan ke kepala Kepala Desa itu bertubi-tubi hingga

mengeluarkan suara berdentrangan berulang kali.

Kepala tetap tidak cidera karena Ki Joran Dhamakara

memang memiliki ilmu kebal di bagian kepala yang

disebut Wesi Wulung. Namun hantaman yang

berulang kali membuat Kepala Desa itu tersenyum

pening berputar-putar.

 Dalam keadaan seperti itu Ki Joran tarik kalung

jimat hitam di leher. Sambil meniup jimat yang

menimbulkan buncaran asap hitam dengan gerakan

kilat dia cabut keris di pinggang lalu dilemparkan ke

arah mahluk kepala kuda yang menggebukinya. Kena

menancap telak di dada kanan Abdika Brathama. Tidak

ada jerit kesakitan, tidak ada darah mengucur. Ketika

keris menancap di dada mahluk Tuman Keku ini

kelihatan ada cahaya tiga warna menerangi dadanya.

 Sambil menyeringai Abdika Brathama cabut keris 

yang menancap di dada kanan lalu dibanting hingga

amblas masuk ke dalam tanah. Bersamaan dengan itu 

dia membuat gerakan kilat. Tombak Naga Sungkem 

bergerak seperti hendak dihunjamkan ke ulu hati Ki 

Joran Dhamakara. Namun begitu lawan membuat 

gerakan mengelak Abdika Brathama miringkan tubuh 

ke kiri lalu sambil keluarkan suara meringkik kaki 

kanan melesat ka depan.

 “Dukkl"

 Kaki kanan berladam besi menghantam dada kiri 

KI Joran Dhamakara dengan telak hingga kepala desa 

itu terpental, jatuh meneler tang tak berkutik, 

sepasang mata terbeliak. Mulut menganga 

menggenang darah yang kemudian perlahan-lahan 

meleleh ke pipi. Orang lain yang terkena tendangan 

Tuman Keku Ini pasti menemui ajal saat itu juga, 

seperti yang kejadian dengan empat pemuda desa 

sebelumnya.


Melihat majikannya roboh Bayu Ireng kuda milik KI 

Joran Dhamakara meringkik keras. Dua kaki diangkat 

tinggi-tinggi dan ditendangkan ke arah Abdika 

Brathama

 Tendangan kaki kiri mengenai angin. Tendangan 

kaki kanan sebelah depan menghantam batang pohon 

hingga hancur berkeping-keping lalu tumbang dengan 

suara bergemuruh.

 "Binatang jahanaml Kau memang pantas ikut 

majikanmu!" teriak Abdika Brathama lalu tombak Naga 

Sungkem ditusukkannya ke dada Bayu Ireng 

Didahului suara ringkikan keras kuda hitam besar ini 

tersungkur ke tanah, tergelimpang di samping tubu Ki 

Joran Dhamakara tapi majikannya tidak segera

menemui ajal.

 Abdika Brathama tancapkan tombak Naga Sungkem 

ke tanah. Lalu berdiri lurus dengan dua kaki

terkembang. Sepasang tangan membuat gerakan-

gerakan silat aneh hingga memancarkan cahaya tiga

warna. Tangan kiri kemudian didorongkan ke arah

kuda hitam Bayu Ireng sedang tangan kanan 

diarahkan ke sosok Ki Joran Dhamakara. Saat Itu juga 

tubuh kuda dan majikannya mengeluarkan letupan 

keras disertai kepulan asap kelabu. Ketika asap kelabu 

sirna Bayu Ireng dan Ki Joran Dhamakara tak ada lagi 

di tempat Itu. Yang kelihatan terbujur di tanah adalah

sosok manusia berpakaian hitam, memiliki kepala dan

kaki kuda berbulu hitam. Kuda dan majikannya telah

berubah menjadi mahluk Tuman Keku.

 "Joran Dhamakara. kau sudah menjadi anggota

ke lima puluh aatu Pasukan Kerajaan Mataram Baru.

Berdirilah dan meringkik satu kali tanda kau setia

kepada Kerajaan dan Junjungan Sri Maharaja Ke

Delapanl"

 Sosok Tuman Keku yang tergeletak di tanah,

gabungan antara tubuh manusia dan tubuh kuda

menggeliat lalu melompat bangkit Begitu berdiri

mahluk ini dongakkan kepala dan meringkik satu kali.


4.

 MAYAT GEDE KABAYANA LENYAP

 DALAM serial sebelumnya berjudul "Dewi Tangan Je-

rangkong" diriwayatkan ketika hampir celaka di 

tangan orang bermuka anjing yang mengaku bernama 

Dharma Soma, Liris Pramawari alias Dewi Tangan 

Jerangkong diselamatkan oleh Sri Sikaparwathi dan 

kura-kura saktinya. Si nenek meminta Dewi

Tangan Jerangkong untuk tidak membunuh manusia

berkepala anjing itu karena ingin lebih dulu menguras 

keterangan. Si nenek sangat curiga kalau orang ini 

mempunyai sangkut paut dengan semua kejadian 

belakangan ini. Termasuk rahasia Sumur Api serta 

cahaya tiga warna. Namun hanya sedikit keterangan 

yang bisa didapat Karena sewaktu dipaksa 

menerangkan siapa yang dimaksudkannya dengan Sri 

Maharaja Ke Delapan manusia aneh Ini memukul 

kepalanya sendiri dengan dua tangan hingga hancur 

dan tewas saat itu juga.

 Marah dan penasaran Dewi Tangan Jerangkong 

lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih 

berwarna biru milik manusia kepala anjing yang sejak 

tadi dipegangnya, tiga senjata maut masuk amblas ke 

dalam tubuh orang yang sudah tak bernyawa itu. 

Tubuh meletup keras terkutung-kutung. Cahaya tiga 

warna mencuat ke langit, lenyap dari pemandangan.

 "Cahaya merah, biru dan hitam..." ucap Sri

Sikaparwathi. "Kecurigaanku pada manusia berkepala

anjing ini ternyata tidak keliru. Aku pernah melihat

sebelumnya. Selain luar biasa sakti, aku punya

dugaan ada satu rahasia dibalik tiga cahaya inil

Ada pemilik yang sekaligus menjadi pengendali.

Mahluk yang pernah menggandakan diriku? Manusia


kepala anjing ini jelas dia merupakan kaki tangan 

orang sakti dibalik semua kejadian. Dia begitu 

ketakutan dan tidak mau membuka rahasia siapa 

adanya Sri Maharaja Ke Delapan. Dia lebih memilih 

mati bunuh diril"

 "Nenek berpakaian Jingga, aku yang telah kau 

tolong menghanturkan banyak terima kasih. 

Sementara aku masih berusaha berbuat kebajikan, kau 

telah mendahului. Semoga Hyang Bathara Dewa 

memberi pahala berlipat ganda padamu."

 Sri Sikaparwathi berpaling ke arah Dewi Tangan

Jerangkong yang saat itu telah berdiri di sampingnya

sambil membungkuk dalam. Si gadis kemudian

menatap ke atas kepala si nenek dimana bertengger

Cahyo Kumolo. kura-kura sakti hijau bermata merah.

Mulutnya tersenyum lalu berucap.

 "Sahabat bertubuh hijau bermata merah, aku

tahu kau juga tadi menolongku dengan semburan

cahaya merah dari dua matamu. Aku berterima

kasih..."

 Kura-kura di atas kepala nenek menggerak-

kan kepala sedikit lalu keluarkan suara mendesis

halus.

 Kemudian Dewi Tangan Jerangkong yang

sebenarnya bernama Liris Pramawari berkata

lagi.

 "Mengenal cahaya tiga warna, saya pernah bertemu 

dengan seorang pemuda. Namanya sebayang 

Kaligantha. Menurut pemuda itu dia memiliki sebuah 

jimat, menjadi satu dengan tubuhnya. Namun jimat Itu 

kemudian dirampas orang dengan cara menjebol 

dadanya. Katanya, Jimat itu memiliki cahaya merah, 

biru dan hitam..."

 "Gadis berwajah cantik. Kalau begitu ceritamu,

aku, mungkin juga beberapa orang pandai di Bhumi

Mataram ini merasa perlu menemui dan mencari

pemuda itu untuk ditanyai..." Ucapan nenek men


dadak terputus ketika tak sengaja pandangannya

membentur tangan kanan gadis di hadapannya

dimana sebatas pergelangan tangan kebawah yaitu

sampai ke ujung jari hanya merupakan tulang tanpa

kulit tanpa daging. Dia melirik ke tangan kiri, ternyata

keadaannya juga sama. "Maafkan, aku tidak ber-

maksud..."

 "Tidak apa Nek, keadaan saya memang seperti

Ini..."

 Sri Sikaparwathi sebenarnya hendak bertanya

apa yang terjadi hingga dua tangan si gadis

berkeadaan seperti itu. Apakah cacat sejak lahir atau

ada penyebab yang lain. Namun merasa tidak enak

maka nenek Ini mengalihkan pembicaraan.

 "Sebelumnya aku melihatmu berteriak di tepi

jurang. Lalu kau terjun ke dalam jurang dalam dan

gelap. Namun kemudian ada dua orang bertubuh

hitam keluar dari jurang besar bekas ledakan Sumur

Api. Salah seorang diantaranya memanggul sosok

perempuan. Kau kulihat melesat keluar dari jurang,

mengejar kedua orang hitam itu. Aku mengikutimu

dari belakang. Namun kemudian aku temui kau tengah

bertarung dengan manusia berkepala anjing itu. Apa

yang telah terjadi? Siapa dua orang yang melesat

keluar dan dalam jurang?"

 "Sebenarnya saya bermaksud mencari seorang

teman bersama dua pengikutnya yang masuk ke dalam

jurang. Tapi setengah jalan saya justru melihat ada

dua orang lelaki kembar hitam melesat keluar dari

dalam jurang yang gelap. Masing-masing mem-

boyong seorang bayi. Lalu yang satunya juga

memanggul seorang perempuan. Saya membatalkan

niat mencari teman tadi lalu mengejar dua orang

kembar hitam. Tapi sebelum berhasil tahu-tahu

muncul mahluk kepala anjing itu. Rupanya dia yang

berada di sebelah depan juga tengah berusaha

mengejar dua orang lelaki kembar hitam. Hanya saja,


karena saya mengacaukan jalan pikirannya maka dia

 terpesat dan justru lari ke arah saya..." ,

 "Aku yakin manusia kepala anjing Itu mengejar

 dua manusia hitam untuk merampas bayi..."

 membatin Sri Sikaparwathi. Lalu dia menatap wajah

 Liris Pramawari. "Kau mampu mengacaukan jalan

 pikiran orang hingga berbalik ke arahmu. Semuda

 ini tapi ilmu kesaktianmu tinggi sekali. Gadis cantik

 berkerudung putih, kalau aku boleh tahu dirimu,

 siapakah kau adanya? Siapa gurumu? Mengapa

 mementingkan mengejar orang yang melarikan dua

 bayi dari pada mencari teman sendiri?"

 Liris Pramawari menyesal telah terlepas bicara

 mengenal Ilmu mengacaukan jalan pikiran orang itu.

 Dia sama sekali tidak ada niat untuk menyombongkan

 diri. Dia bicara tadi polos-polos saja. Karena walau

 Ilmunya tinggi dan jalan pikirannya jernih namun

 sebagai gadis muda usia dia tetap saja mempunyai

 sifat lugu.

 "Menurut Nenek, apakah tidak aneh kalau ada

 dua bayi keluar dari dalam jurang dalam dan gelap.

 Diboyong dua lelaki kembar. Malah yang satunya

 membawa seorang perempuan muda?"

 "Kau yakin yang dibawa dua orang itu benar-

benar bayi?" tanya Sri Sikaparwathi."

 "Saya mendengar suara tangisan mereka Nek,"

jawab Dewi Tangan Jerangkong.

 SI nenek merenung sejenak. Tadi dia juga memang 

mendengar suara tangisan dua bayi itu. Dia lalu 

teringat pada Gading Bersurat serta cerita yang 

berkembang di kalangan para tokoh di Bhumi

Mataram. Walau dia hanya mengetahui sebagian

tulisan sedikit cerita namun hatinya berdetak. "Dua

orang bayi. Jangan-jangan anak perawan pilihan Para

Dewa itu benar-benar telah melahirkan." Si nenek

memandang pada mayat orang berkepala anjing.


"Setiap ada kejadian aneh atau terjadi pembunuhan,

cahaya tiga warna selalu muncul. Apakah....Sri

Maharaja Ke Delapan. Siapa adanya insan itu? Apakah

dia benar-benar ada?"

 "Nek...?"

 Sri Sikaparwathi tersentak dari renungannya lalu

cepat-cepat tersenyum.

 "Anak gadis, kau belum menerangkan siapa dirimu."

 "Maafkan saya Nek. Keadaan membuat saya tidak

bisa menerangkan siapa saya..."

 "Paling tidak kau pasti punya nama,"

 "Seorang sahabat belum lama ini memberikan

nama bagus untukku. Dewi. Lalu aku menambahkan

Tangan Jerangkong. Kau boleh memanggilku Dewi

Tangan Jerangkong."

 Sri S ikaparwathi tertawa.

 "Sahabat yang kau cari ke dalam jurang itu,

apakah dia seorang pemuda aneh berkepala Bunga

Bangkai disertai dua pengiringnya. Yang satu

membawa tambur yang satunya lagi membekai

seruling?" bertanya si nenek.

 "Ah, kau sudah tahu rupanya, apakah kau juga

mengenalnya Nak? Atau mungkin kau mencarinya

karena satu silang sengketa?" 

 Mahluk aneh itu pamah menyelamatkan Cahyo

Kumolo, kura-kura dia atas kepalaku. Sebelum ada

ledakan di tempat ini dia berada di sekitar sini. Aku

Ingin menemuinya untuk menyampaikan rasa terima

kasih... Tapi rasanya maksud itu belum akan

kesampaian. Dia terlanjur pergi. Sementara aku harus

melakukan sesuatu. Ada seorang sahabat yang tewas.

Aku menduga pembunuhnya adalah mahluk kepala

anjing Ini. Dia menyerang secara pengecut dengan

senjata rahasia yang tadi kau hantamkan ke tubuhnya.

Aku harus mengurus jenazah sahabat itu..."

 "Kau seorang sahabat yang baik. Aku juga selalu

Ingin berbuat kebajikan Nek. Apakah aku boleh


membantumu?"

 Sri Sikaparwathi melirik ke arah dua tangan Liris

Pramawari lalu sambil tersenyum dia gelengkan

kepala.

 "Terima kasih. Kau juga sahabat yang baik. Aku

suka padamu. Semoga kita bisa bertemu lagi..."

Selesai berucap si nenek segera berkelebat pergi.

kembali ke tempat dimana jenazah Gede Kabayana

tergeletak. Tapi ketika si nenek sampai di tempat itu,

heran dan kejutnya bukan alang kepalang. Ternyata

jenazah itu tidak ada lagi di sana.

 "Aku meninggalkan jenazah tidak terlalu lama.

Bagaimana bisa lenyap? Siapa yang mencuri....?" Sri

Sikaparwathi memandang berkeliling. "Mencuri

kataku..." Si nenek tertawa sendiri. "Perlu apa ada

orang mencuri jenazah?"

 Tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Disusul

suara derap kaki yang riuh sekali. Memandang 

berkeliling Sri sikaparwathi tidak melihat seekor

kudapun. kura-kura hijau di atas kepala si nenek

keluarkan suara mendesis panjang. Lalu binatang

sakti bernama Cahyo Kumolo ini melesat ke arah 

kanan. Namun tak lama kemudian prakk! Tubuhnya 

kura-kura hijau itu terbalik terpental disertai suara

menguik panjang.

 Si nenek cepat menyambut! tubuh binatang

peliharaannya Itu.

 "Apa yang terjadi Kumolo?!" tanya si nenek sambil 

mengusap dan memeriksa punggung binatang itu ada 

tanda berbentuk ladam kuda. "Jahat sekali. Cahyo, ada 

mahluk yang menghantammu?"

 Kura-kura hijau kedipkan sepasang mata merah

lalu mendesis perlahan. Sambil terus mengusap

punggung Cahyo Kumolo Sri Sikaparwathi kerahkan

tenaga dalam dan hawa sakti hingga akhirnya tanda

berbentuk tapal kuda di punggung kura-kura hijau itu

lenyap.


HANYA beberapa ketika saja setelah si nenek

yang membawa kura-kura hijau di atas kepalanya itu

lenyap, tiba-tiba Dewi Tangan Jerangkong merasakan

dua telapak kakinya yang dialas kasut kulit dijalari

hawa dingin, gadis ini memandang berkeliling.

 "Ada apa inf? Mengapa tiba-tiba tanah menjadi

dingin. Dua kakiku seolah berubah menjadi esl Udara

sekitar sini juga berubah dingini aku mulai meng-.

gigil..." Ketika si gadis memperhatikan ke dua

kakinya, kejutnya bukan alang kepalang. Dua kaki 

yang berkasut itu kini telah diselimuti benda putih 

yang mengepulkan asap tipis putfh.

 "Salju?l Bagaimana mungkin?!" ucap Liris

Pramawari. "Dewa Agung, apakah Kau hendak

menjatuhkan hukuman lagi atas diriku?"


5.

RESI GARIPASTHIKA

 Untuk menolak hawa dingin yang luar biasa itu 

Dewi Tangan Jerangkong alirkan hawa sakti ke seluruh 

tubuh. Perlahan-lahan dia mulai merasa badannya 

hangat kembali dan lapisan putih di kedua kaki leleh 

menghilang.

 "Wahai Roh Agung, apakah kau ada di sekitar sini?" 

Liris Pramawari keluarkan ucapan sambil memandang 

berkeliling.

 Tak ada jawaban. Tidak ada suara mendesah 

ataupun tiupan angin. Berarti ini bukan pekerjaan

Para Dewa.

 "Aku harus menyelidik. Mungkin ada orang hendak 

mencelakai diriku dengan ilmu aneh. Kalau kehendak 

alam tidak mungkin terjadi seperti ini. Tapi aku harus 

menyelidik bagaimana" Dalam herannya Liris 

Pramawari ingat pada Pangeran Bunga Bangkai

Nalapraya dan dua pengiring aneh.

 "Mana yang harus aku pilih, menyelidik atau

mencari Pangeran itu?"

 Setelah bimbang sesaat si gadis akhirnya

memutuskan untuk kembali ke jurang di bekas Sumur

Api, mencari Pangeran Bunga Bangkai dan dua

pengiringnya.

 Belum sempat kakinya bergerak melangkah

tiba-tiba tempat di sekitarnya telah diselimuti

kabut tipis. DI arah kanan, di dalam kabut tipis

dan malam gelap, bergerak ke arahnya melangkah

berjubah putih. Rambut, serta kumis yang bersatu

dengan janggut berwarna putih, melambai-lambai

ditiup angin malam. Di tangan kanan orang tua

ini memegang sebatang tongkat yang tertutup

lapisan putih. Setiap hembusan nafas yang keluar

dari hidung kakek ini menimbulkan uap putih. Uap


yang sama juga tampak keluar dari sepasang

matanya. Bedanya uap yang keluar dari hidung

membawa hawa hangat sedang yang membersit

dari sepasang mata menebar hawa dingin.

 "Kakek berjubah putih...." Ucap Liris Pramawari.

"Aku yakin dia tidak kesasar berada di tempat ini.

Apakah dia barusan yang mengerjai diriku, mengirim

hawa luar biasa dingin?" Liris Pramawari terus

memperhatikan lalu kembali membatin. Kali ini

disertai perasaan heran. "Aneh. orang tua berjubah

putih itu sejak tadi melangkah ke arahku. Tapi

mengapa tidak sampai-sampai?"

 Dalam ketidakmengertiannya, si gadis kini yang

bertindak, bergerak melangkah ka arah si orang tua,

Dia merasa tambah aneh karena setelah menggerak-

kan kaki melangkah berulang kali, tetap saja dia tidak

mampu mendekati. Antara dia dan si kakek tetap

berpaut dalam Jarak sekitar tiga tombak.

 "Bertongkat putih, mata dan hidung mengeluarkan 

uap. Apakah aku berhadapan dengan Roh Agung?” 

Begitu Liris Pramawari Jadi mengingat Roh Agung 

kembali.

 "Orang tua." Akhirnya Liris Pramawari alias Dewi

Tangan Jerangkong berseru menyapa. "Kau siapa?

Kau berjalan ke arahku. Aku melangkah ke jurusanmu! 

Mengapa kita tidak bisa saling mendekat?!"

 Orang yang ditanya tidak menjawab, hanya ,

layangkan senyum dan lambaian tangan kiri. Justru 

saat itu tiba-tiba terdengar dua suara tawa bergelak.

Lalu seorang berucap lantang.

 "Mana ada orang maupun setan di Bhumi Mataram 

Ini yang sanggup menembus Ilmu Kabut Pembatas 

Raga Ha...ha...hal"

 Bersamaan dengan gema suara tawa, dua sosok 

berjubah hitam berkelebat muncul menghadap 

langkah orang tua berjubah putih. Dua orang ini 

ternyata seorang kakek dan seorang nenek berjubah


hitam yang sama-sama berkepala botak dan memiliki 

daun telinga menjulai panjang hampir menyentuh 

bahu. Kalau si nenek tidak memakai anting-anting 

bulat besar akan sulit membedakan mana yang lelaki 

mana yang perempuan di antara kedua orang Ini.

 Melihat kemunculan kakek nenek aneh Liris

Pramawari membatin dalam hati. "Dua orang tua 

botak itu rupanya memiliki Ilmu kesaktian tinggi. 

Mereka mampu mendekati kakek jubah putih. Ilmu 

Kabut Pembatas Raga. Mereka rupanya yang punya

pekerjaan hingga si kakek dan aku tidak bisa

melangkah saling mendekat, berjalan tidak sampai-

sampai..."

 "Resi Garipasthika! Sampai seratus tahun kau

melangkah, kau tak akan pernah mampu melanjutkan

perjalanan. Apa lagi bermimpi mendapatkan dua bayi

itu. Hik...hik...hik. Nyawamu sudah ada dalam

genggaman kami!" Si nenek berteriak lalu tertawa

cekikikan.

 "Dua bayi. Perempuan tua itu menyebut-nyebut

dua bayi." Liris Pramawari terkejut mendengar ucapan

nenek kepala botak.

 Kakek berjubah putih yang dipanggil dengan nama 

Resi Garipasthika tampak tenang-tenang saja. Dia 

dongakkan kepala lalu meniupkan nafas panjang

dari mulut Saat itu juga di udara kelihatan uap putih

bergelung seperti ular melesat ke langit

 "Aku mendengar suara tapi tidak melihat orang

yang bicara. Sayang sekali....Malang nasib diriku.

Mengapa aku harus menderita seperti Ini." Orang tua

berjubah putih keluarkan ucapan. Suaranya lembut

Habis bicara dia terbatuk-batuk beberapa kali. Ketika

batuk, dari mulutnya keluar empat gumpalan putih

seperti bola salju, berjatuhan ke tanah. Ketika melihat

gumpalan-gumpalan putih Itu menggelinding ke arah

mereka, dua kakek nenek botak berteriak marah lalu

cepat melompat ke udara. Empat gumpalan putih


melesat di bawah dua kaki mereka. Tiga gumpalan

menderu ke tempat kosong yang keempat

menyambar ke arah kaki kanan Liris Pramawari.

 "Bukk! Byaarrl"

 Gumpatan putih hancur bertebaran.

 Liris Pramawari berjingkrak jingkrak menjerit

keras kesakitan. Kaki kanannya yang kena hantaman 

gumpalan putih terangkat ke atas membuat dirinya 

hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di tanah.

 "Celaka. Putus kakiku!" Gadis itu berteriak lalu

singsingkan pakaian putihnya di sebelah bawah untuk

melihat kaki kanannya. Tenyata kaki itu masih utuh.

Liris Pramawari cepat berdiri, memandang jengkel

ke arah Resi Garipasthika si kakek jubah putih malah

tertawa terkekeh-kekeh!

 Kakek nenek kepala botak berpaling ke arah Liris

Pramawari. Si kakek membentak.

 "Kau siapa?! Kau tidak punya urusan di tempat

ini. Lekas pergi atau kami berdua akan membuatmu

amblas ke dalam tanah!"

 Masih kesal karena kesakitan. Liris Pramawari

menyahuti bentakan orang. "Antara kita memang tidak

ada urusan. Jika kau punya urusan dengan kakek

berjubah putih itu mengapa tidak menyelesaikan lebih

dulu? Malah membawa-bawa dan mempersalahkan

diriku!"

 Mendengar ucapan si gadis nenek kepala botak

kini yang membentak.

 "Wajahmu cantik! Tapi mulutmu kurang ajari Apa

kau tidak kenal siapa kami berdua?! Pergilah sebelum

aku gebuki"

 Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri.

 "Kakek nenek, terima kasih atas pujian sekaligus

hinaan. Kalian manusia apa? Aku tidak punya pikiran

kalau kalian adalah orang-orang Jahat. Tapi mengapa

menghadang orang di malam buta?l Hanya bangsa

begal yang berkelakuan seperti Itu!


"Benar-benar gadis kurang ajar...." Kakek botak

mendamprat

 "Kami bukan begal! Kami muncul hanya untuk

mengambil nyawa kakek jubah putih itul"

 "Ah, kalian ini rupanya semacam utusan pencabut 

nyawa. Tapi aku tidak yakin para Dewa yang mengutus 

kalian. Dewa tidak berkenan akan segala macam 

perbuatan seperti itu. Membunuh seorang Resi. ooh 

Hyang Jagat Batara Dewa. Pasti dosanya berat sekali. 

Seperti memikul gunung di atas bahu... Malam-malam 

begini orang tua seperti kalian seharusnya berada di 

tempat tidur."

 Mendengar ucapan Liris Pramawari si nenek botak 

menggelegak amarahnya. Dia melompat ke hadapan 

Liris Pramawari. Tangan kanan yang dipentang begitu 

rupa. Lima jari tangan pancarkan sinar kuning yang 

serta merta melesat ke arah kening dan empat bagian 

tubuh si gadis. Liris berusaha menghindar tapi 

terlambat Saat itu juga Liris Pramawari tidak bisa 

bergerak maupun bersuara.

 "Kau tunggu di sini. Selesai kami membantai

kakek jubah putih Itu. kami akan menentukan

nasibmu! Apakah akan kami kubur hidup-hidup di

dalam tanah atau tubuhmu akan kami buat cerai berai

di udaral"

 "Jangan ganggu gadis itul Dia keponakanku!"

Resi Garipasthika tiba-tiba berseru. Lalu mulutnya

meniup. Selarik cahaya putih berbentuk kipas terbuka

menerpa ke arah Liris Pramawari. Begitu cahaya putih

menyentuh wajah dan tubuhnya, Liris Pramawari serta

merta kembali mampu bergerak dan mengeluarkan

suara. Dia segera mendatangi nenek kepala botak

yang tadi membuatnya lumpuh dengan lima sinar

kuning. Namun langkahnya tertahan ketika mendengar

ucapan kakek jubah putih.

 "Keponakanku. Tetap di tempatmu!" Lalu Resi

bermata putih berpaling ke arah dua kakek nenek


botak. "Jika kalian berdua ingin menghabisiku, habisi

dulu gadis itu. Aku mau lihat apa kalian mampu."

 Mendengar ucapan kakek jubah putih Liris

Pramawari jadi terkesiap, keluarkan seruan tertahan.

 "Kek. Enak saja kau bicara! Aku..."

 "Sssttti Sudah, kalau kau mau berbakti pada aku

pamanmu hadapi saja ke dua orang Itu!" Resi

Garipastika menyahuti sambil palangkan jari telunjuk

tangan kiri dia atas bibir.

 Melihat Liris Pramawari bebas dari kelumpuhan, si 

nenek kepala botak kembali hendak membungkam 

gadis itu. Namun sampai berkali-kali dia menghujani 

Liris Pramawari dengan lima sinar kuning yang 

memancar dari tangan kanan, kali ini ilmu kesaktian 

yang dimilikinya tidak mampu lagi melumpuhkan 

gadis Itu. SI nenek mendelik, berpaling ke arah kakek 

berjubah putih.

"Kurang ajar. Resi Itu pasti telah melindungi si

gadis dengan cahaya putih tadi "

 Di seberang sana kakek jubah putih tertawa

perlahan.

 "Aku hanya meminjam Ilmu Kabut Pembatas

Raga milik kalian dan aku berterima kasih."

 Kejut kakek nenek kepala botak bukan alang

kepalang. Keduanya saling pandang lalu sama-sama 

membalikkan badan. Sambil berteriak mereka 

menghambur serangan ke arah kakek Jubah putih. 

Melihat hai Ini Liris Pramawari yang merasa sudah 

ditolong orang serta merta berkelebat memotong 

gerakan kakek nenek kepala botak.

 Resi Garipasthika tertawa senang. "Bagusi Kau

baru keponakanku yang hebatl Jika kau bisa

menyentuh ubun-ubun dua mahluk botak itu maka

kau akan menggembosi mereka seperti bisul pecah

tertusuk duri. Ha.. .ha.. .hal"

 Mendengar ucapan kakek Jubah putih, sepasang

kakek nenek botak jadi terkejut dan berubah wajah


masing-masing. SI nenek berbisik.

 "Tua bangka jahanam itu memberi tahu kelemahan 

kita. Kurang ajar, bagaimana dia bisa tahu. Lekas 

keluarkan destar pelindung!"

 Dua kakek nenek botak kemudian keluarkan

sebuah destar hitam menyerupai belangkon lalu cepat

mengenakan di kepala hingga kepala botak mereka

kini terlindung.

 Melihat hal Ini Resi Garipasthika kembali tertawa

bergetok. Begitu mulutnya meniup dua kali. destar di

atas kepala kakek nenek botak mental Jauh ke udara.

Kedua orang ini berteriak kelabakan dan juga marah.

Ketika di depan sana Liris Pramawari bergerak

mendatang] cepat-cepat mereka letakkan telapak

tangan kiri di atas kepala, melindungi ubun-ubun. Lalu

tidak menunggu lebih lama keduanya mendahului

menyerang si gadis.


6.

 SI MATA SALJU

 MESKIPUN hanya menggunakan tangan kanan 

untuk menyerang lawan, namun gempuran sepasang 

kakek nenek botak jurus demi jurus membuat Liris

Pramawari mulai terdesak. Untung saja gadis ini 

memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi yang

diwariskan ayahnya. (Baca riwayat bagaimana Liris 

Pramawari mendapatkan ilmu kesaktian dari ayahnya 

dalam serial sebelumnya berjudul "Dewi Tangan 

Jerangkong") Namun demikian, setelah ditekan habis-

habisan, dalam jurus ke enam belas satu pukulan 

nenek botak berhasil menyusup dan mendarat keras di 

pertengahan dada Liris Pramawari, membuatnya 

terpental, jatuh terjengkang di tanah. Di sela bibir 

tampak lelehan darah pertanda dia terluka di sebelah 

dalam.

 Resi Garipasthika yang melihat kejadian ini tampak 

tenang-tenang saja, malah mengulum senyum sambil 

pencet-pencet hidung. Liris sendiri saja heran. Walau 

digebuk keras dan sampai mengeluarkan darah dari 

mulut tapi anehnya dia sama sekali tidak merasa sakit. 

Ini adalah akibat perlindungan Ilmu bernama Kabut 

Pembatas Raga milik sepasang kakek nenek botak 

yang dipinjam Resi Garipasthika yang dimasukkan ke 

dalam tubuh si gadis.

 Belum sempat berdiri, selagi masih terheran-heran 

dan tergeletak di tanah, kakek kepala botak telah

menyerbu dan arahkan tendangan kaki kanan ke

kepala Liris Pramawari. Saat itulah gadis ini merasa

telinga kanannya bergetar. Ada tiupan angin dingin.

Bersamaan dengan Itu dia mendengar suara seperti

orang berbisik di telinganya.

 "Keponakanku, Ingat jurus Menabas Tiang


Meruntuh Atap. Pergunakan salah satu kakimu

menendang kaki kiri lawan. Kuda-kudanya akan

ambruk. Bila lawan tersungkur melintang, Itulah

kesempatan balas menyerang. Pilih sasaran

pantangan. Kepala botaknya. Kau gadis hebat. Kau

pasti mampu melakukan! Sekarang!

 Mendengar suara yang diketahuinya pasti bisikan

si kakek jubah putih Liris Pramawari cepat gerakan

kaki kiri, menendang ke arah tulang kering kaki kiri

kakek botak yang berpijak di tanah sewaktu

melancarkan serangan. Jurus serangan yang

dilakukan gadis tangan jerangkong Ini yaitu Menebas

Tiang Meruntuh Atap adalah salah satu jurus serangan

ilmu silat yang dimiliki ayahnya. Apa yang dibisikkan

Resi Garipasthika menjadi kenyataan.

 "Bukk”

 Liris Pramawari tidak merasa apa-apa begitu

kakinya menghantam tulang kering kaki kiri lawan.

Si kakek botak sendiri menjerit keras. Tubuhnya

tersungkur ke depan, kepala lebih dulu dan mengarah

ke tempat Liris Pramawari berada. Itulah bagian jurus

bernama Menabas Tiang. Tidak tunggu lebih lama

gadis Ini segera pukulkan tangan kanan ke kepala

botak si kakek. Dan Inilah jurus kelanjutan bernama

Meruntuh Atap.

 Pukulan keras mengandung tenaga dalam tinggi

yang dilancarkan Liris Pramawari sanggup membuat

rengkah kepala seekor gajah. Apa lagi kepala botak

si kakek berdaun telinga menjulai panjang ini, pasti

akan hancur mengerikan. Namun Itu tidak terjadi.

 "Desssl"

 Di kepala botak hanya muncul sebuah lobang

kecil mengeluarkan asap disertai lelehan darah. SI

kakek menjerit keras sambil dua tangan pegangi

kepala. Temannya si nenek Ikut menjerit lalu

melompat merangkul si kakek. Satu hai aneh terjadi

pada diri kakek ini. Seperti ucapan Resi Garipasthika


tadi keadaan kakek botak itu tidak beda dengan bisul

yang gembos tertusuk duri. Kepalanya menciut

mengecil sementara darah kehitaman terus mengucur

menutupi wajah. Setelah kepala menyusui tubuh jadi

mengecil dan berubah pendek.

 SI nenek yang merangkul tubuh si kakek

menggerung keras ketika tahu kalau si kakek sudah

tidak bernyawa lagi. Dia baringkan tubuh temannya

itu di tanah lalu menghambur ke arah Liris Pramawari.

Seperti orang kemasukan setan dia menyerang sambil

berteriak-teriak. Dua kali pukulannya mendarat di 

tubuh Liris Pramawari. ditambah satu tendangan di 

daerah pinggul. Walau hantaman lawan sempat 

membuatnya tergelimpang jatuh namun seperti tadi 

waktu dijotos dadanya dia sama sekali tidak merasa 

sakit

 "Nek, hentikan seranganmu. Lebih baik kau

 mengurus mayat kakek itu dan pergi dari sini..."

 Berseru Liris Pramawari.

 "Gadis kurang ajari Kau membunuh sahabatkul

 Sekarang enak saja menyuruh aku pergil Aku baru

 akan pergi setelah mencincang tubuhmu!"

 Si nenek mendongak ke langit lalu berteriak keras.

 Tangan kanan dipentang di atas kepala. Tiba-tiba ada

 satu cahaya berkilau dan tahu-tahu di tangan kanan

 itu telah tergenggam sebilah golok besar berbentuk

 segi empat. Anehnya golok ini berujud samar, antara

 terlihat dan tidak dan mendatangkan rasa angker bagi

 siapa saja yang memandangnya. Di rimba persilatan

 Bhumi Mataram golok aneh ini dikenai dengan nama

 Empat Mulut Penghirup Darah. Sesuai namanya pada

 badan golok yang samar terdapat empat buah lobang

 berwarna hitam. Siapa saja musuh yang kena

ditambas, ditusuk atau dibacok senjata ini maka

empat buah lobang di badan golok akan menghirup

darah di tubuhnya hingga korban akan kehabisan

darah dan dengan mudah menjadi bulan-bulanan

serangan hingga akhirnya menemui ajal secara

mengerikan.

 Golok aneh samar itu menebar bau amis busuk.

Konon itu adalah bau amis busuknya darah dari

sekian banyak korban yang telah menjadi korban! Kata

orang yang mengetahui sehabis menghirup darah

korban maka golok itu akan bertambah keangkeran

sekaligus kesaktiannya.

 "Aku mendengar suara, aku mencium bau. Golok

Empat Mulut Penghirup Darah," ucap Resi 

Garipasthika sambil menatap ke langit malam.

 "Bathara Agungi Apakah Ilmu kabut Membatas Raga 

pinjaman masih bisa melindungi keponakanku dari 

golok itu?"

 Tidak menunggu lebih lama si nenek langsung 

menyerbu. Golok menderu, keluarkan suara menguing 

diserta sambaran empat asap hitam yang mengepul 

dari empat buah lobang.

 Asap hitam membuat pandangan Liris Pramawari 

terhalang. Suara menguing menyebabkan telinganya

mendenging hingga tidak mampu mendengar suara

gerakan lawan. Dalam keadaan seperti itu si nenek 

kirimkan dua kali babatan dan satu kali bacokan. Liris 

Pramawari cepat melompat mundur namun tak urung 

salah satu babatan golok sempat menyambar pundak 

kiri hingga pakaian putihnya robek besar. Untung kulit 

bahunya tidak sampai tergores luka. Kalau hal itu 

menjadi maka akan ada sebagian darahnya yang

dihirup golok.

 Mendengar suara robekan pakaian kakek jubah 

putih menjadi sangat kawatir. Dia cepat berseru 

menegur si nenek.

 "Sudah tua masih suka main-main senjata tajam.

Apa tidak takut terluka sendiri?"

 Nenek botak mana perduli. Serangannya

menghambur laksana hujan membuat Liris Pramawari

terpekik berulang kali. Kembali baju pulihnya kena



disambar ujung golok. Kali Ini di bagian perut.

 Ketika satu bacokan kilat menyambar dari atas

kiri ke arah kepalanya. Liris Pramawari cepat berkelit

selamatkan diri. Malang, kaki kirinya tersandung pada

sosok mayat kakek botak hingga tak mampu lagi dia

terhuyung jatuh ke arah datangnya bacokan golok.

 Sesaat lagi kepala gadis cantik dari Kadiri Itu

akan terbelah tiba-tiba satu benda putih disertai

tebaran hawa luar biasa dingin di udara dan kraak. Si

nenek botak menjerit keras. Lengan kanannya patah

terkena pukulan tongkat Resi Garipasthika. Golok

besar yang tadi digenggam terpental lepas. Dengan

cepat dia melompat ke udara untuk menyambar

senjata sakti berbentuk samar Itu. Namun satu

hantaman mendera dadanya hingga tubuhnya

mencelat dan terguling di tanah. Ketika dia berusaha

bangkit dilihatnya Golok Empat Mulut Penghirup

Darah berada di bawah Injakan kaki kiri Resi

Garipasthika.

 "Keponakanku sudah menyuruhmu pergi secara

baik-baik. Mengapa kau masih nekat mau mem-

bunuhnya? Apakah seumur sisa hidupmu kau akan

terus berbuat kejahatan dan tidak pernah bertobat

minta ampun pada para Dewa? Apakah kematian

sahabatmu tidak cukup memberi peringatan 

padamu?!"

 "Resi Garipasthika, mahluk berjubah putih

berpenampilan suci. Kau belum tentu lebih baik dari

diriku dan sahabatku yang telah dibunuh gadis

terkutuk inil Kembalikan Golok Empat Mulut

 Penghirup Darah padakul"

 "Senjata ini bukan milikmu. Bukankah kau

mencurinya dari seorang Resi yang bertapa di puncak 

Mahameru yang kemudian kau bunuh secara keji?l"

 "Kalau begitu aku lebih baik mengadu nyawa

denganmul" Teriak si nenek. Lalu begitu berdiri dia

melompat ke arah Resi Garipasthika. Dari sepuluh


ujung Jarinya menyembur keluar sepuluh larik sinar

 hitam. Sekejapan kemudian sepuluh larik sinar hitam

 itu telah menggulung melibat sekujur tubuh Resi

 Garipasthika.

 Si nenek tertawa mengekeh.

 "Rasakanl Sekarang terima kematianmul"

 Resi Garipasthika sesaat terkesiap. "Jaring

 Sepuluh Gurita Hitam," ucapnya dalam hati ketika

 menyadari apa yang terjadi dengan dirinya.

 Sementara itu melihat lawan sudah tidak berdaya

 laksana kilat si nenek hantamkan satu jotosan ke

 batok kepala Resi Garipasthika.

 "Hancur kepalamu!" Teriak si nenek.

 Yang diserang hanya menatap tenang dengan

 sepasang mata putih mengeluarkan uap dingin. Tiba-

 tiba mulut sang resi berteriak.

 "Pindah!"

 "Rrrtrrttt"

 Sepuluh larik sinar hitam yang melibat sekujur

 tubuh Resi Garipasthika secara aneh terlepas lalu

 dengan cepat melesat ke arah si nenek. Di lain kejap

 tubuh si nenek kini yang terlibat dan digulung sepuluh

 larik sinar hitam itu hingga dia berteriak-teriak marah

dan berusaha melepaskan diri dari ilmu kesaktian

miliknya yang mencelakai dirinya sendiri. Sambil

melangkah mundur menjauhi kakek jubah putih dia

mengeluarkan kutuk serapah.

 "Resi jahanaml Aku bersumpah beralas bumi

beratap langit! Aku akan datang lagi mencari dan

membunuhmu!"

 Resi Garipasthi ka geleng-gelengkan kepala. 

 "Ilmumu banyak. Semua hebat-hebat. Sayang

mengapa dipergunakan untuk kejahatan? Sekarang

biar aku membantumu agar bisa lebih cepat pergi dari

sini."

 Sang Resi kebutkan tongkat bertapis benda putih

di tangan kiri ke udara. Hawa sangat dingin menebar.


Angin bertiup kencang. SI nenek menggigil. Sang

Resi kebutkan lagi tongkatnya satu kali. Saat Itu juga

seperti diterbangkan angin puyuh nenek kepala botak

melayang ke udara daan lenyap dalam kegelapan.

 Resi Garipasthika menarik nafas lega namun

kemudian pandangannya membentur sosok jenasah

kakek botak yang telah menciut.

 "Kau pergi susul temanmu!" Ucap sang Resi.

Sekali dia menyapukan tongkat berlapis benda putih

dingin maka mayat kakek botak melesat ke udara dan

menghilang di arah lenyapnya si nenek. Perlahan-

lahan kakek berjubah putih ini memutar tubuh,

berpaling ke arah Liris Pramawari. Jarak mereka

hanya terpisah dua langkah hingga si gadis dapat

melihat jelas wajah orang tua itu dan membuatnya

jadi tercekat.

 Tidak percaya Liris Pramawari kembangkan

telapak tangan kanan lalu digoyang-goyang di depan

wajah si kakek. Sepasang mata berwarna putih dan

mengepulkan uap dingin Itu sama sekali tidak

bergerak.

 "Kek. saya tidak percayai Apa benar yang saya

lihat Ini? Dua matamu buta?l"

 Resi Garipasthika tersenyum.

 "Dewa menakdirkan aku memiliki sepasang mata

berupa gumpalan salju..."

 "Gumpalan salju...." Liris melirik ke arah tongkat

si kakek. Benda putih yang menggumpal melapisi

tongkat itu ternyata juga adalah salju. "Bagaimana

bisa begitu?"

 "Ketika aku berusia tujuh tahun, seorang Brahmana 

membawa aku ke Gunung Himalaya jauh di negeri 

India sana. Aku melakukan tapa di puncak gunung itu 

selama sepuluh tahun lebih. Ketika tapaku selesai dan 

aku memperoleh berbagai macam ilmu kesaktian, 

ternyata sepasang mataku menjadi buta, berubah 

menjadi gumpalan salju. Benda apa saja yang aku


pegang bisa berubah menjadi es atau berlapis salju. 

Seperti tongkat kayu Ini.Walau aku buta namun Yang 

Maha Kuasa juga berlaku adil, memberikan berkah 

hingga aku bisa melihat dengan apa yang disebut 

Indera ke enam ditambah satu mata hati." Sambil 

berkata kakek berjubah putih ini letakkan

telapak tangan kanannya di atas dada.

 "Kek, apa benar kau seorang Resi?" tanya Liris

Pramawari.

 "Menurut penglihatanmu apakah aku seperti

seorang begal atau juru sihir?"

 "Mungkin dua-duanyal" jawab Liris Pramawari.

 Si gadis cantik dan si kakek kemudian sama-sama 

tertawa gelak-gelak.

 "Aku bernama Garipasthika. Tapi orang lebih

suka menyebutku dengan panggilan Si Mata Salju..."

 "Ilmu kesaktianmu luar biasa. Membuat saya

sangat kagum. Waktu kau melindungi diri saya dengan

Ilmu pinjaman milik si nenek Itu, saya tidak merasa

sakit walau kena jotos telak di bagian dada. Tapi

mengapa ada darah yang menyembur dari mulut

saya? Apakah saya benar-benar tidak terluka di

dalam?"

 SI kakek tersenyum. Lalu dia memandang

berkeliling. Setelah yakin tidak ada orang lain di

tempat itu maka diapun berkata.

 "Darah yang keluar dari mulutmu sebenarnya

adalah darah haid. Coba kau hitung, bukankah saat

Ini sudah saatnya kau datang bulan...?"

 "Hueekkk"

 Liris Pramawari keluarkan suara seperti orang

muntah. Perutnya terasa mual. Setelah meludah

berulang kali dan mengusap wajahnya yang men-

dadak dingin keringatan, dia berkata.

 "Kau bicara melanturl Mana ada perempuan haid

dari mulut Ibu saya saja tidak tahu kapan saya akan

haid...."


SI kakek bermata salju tertawa.

 "Sudahlah, aku tadi cuma menjelaskan. Kau mau

percaya atau tidak suka-suka kau saja. Kalau nanti

kau ternyata tidak haid, berarti apa yang aku jelaskan

bukan ucapan melantur..."

 Diam-diam Liris Pramawari menghitung-hitung

dalam hati. Apa yang dikatakan sang Resi memang

benar. Hari ini seharusnya memang dia sudah

mendapat haid. Tapi bagaimana mungkin?

 "Kek. apakah untuk selanjutnya aku akan haid

seperti Ini lagi? Keluar dari mulut?"

 Resi Garipasthika tersenyum.

 "Tentu saja tidak...."

 "Lalu apakah ilmu kebal yang kau pinjamkan milik 

nenek Itu saat Ini masih melekat di tubuh saya?"

 SI orang tua menggeleng.

 "Sesuatu, apa saja yang kita pinjam, harus

dikembalikan pada pemiliknya. Sekalipun si pemilik

adalah orang jahat. Ilmu kesaktian Itu sudah kembali

pada nenek tadi. Jadi mulai sekarang kau harus

berhati-hati lagi."

 "Kek. saya..."

 "Sudah. Sekarang Jangan bicara dulu. Ada

sesuatu yang harus segera aku lakukan."

 Resi Garipasthika memandang ke bawah. Saat

itu dia masih menginjak Golok Empat Mulut

Penghirup Darah. Mulutnya merapal panjang hingga

mengeluarkan uap putih dingin. Hawa sakti dan

tenaga dalam dialirkan ke kaki kiri. Kaki diangkat lalu

diinjakkan kembali ke badan golok seraya berucap.

 "Perlihatkan ujudmu yang sebenarnya!"

 Golok di bawah kaki si kakek pancarkan cahaya

putih. Begitu cahaya lenyap golok besar yang tadi

tampak samar kini terlihat nyata dan utuh.

 "Mana sarungmu!"

 Resi Garipasthika kembali merapal lalu mengangkat 

kaki kiri untuk kemudian diinjakkan lagi ke badan


golok. Seperti tadi muncul cahaya putih lalu lenyap. 

Aneh. Golok di bawah kaki yang tadi telanjang kini 

kelihatan sudah terbungkus sarung, terbuat dari

Gading. Si kakek membungkuk mengambil Golok

Empat Mulut Penghirup Darah lalu diserahkan pada

Liris Pramawari.

 "Anak gadis keponakanku, ambil dan simpan

senjata mustika sakti ini. Kau memiliki kewajiban

untuk nanti membawanya ke puncak Gunung

Mahameru, menyerahkan pada pewarisnya."

 Liris Pramawari ternganga lalu cepat-cepat

melangkah mundur.


7.

 MENDUKUNG SANG RESI

 SEPASANG mata salju yang mengepulkan uap

 dingin Resi Garipasthika menatap ke arah Liris Pra-

mawari.

 "Ada apa keponakanku?" Untuk kesekian kalinya 

Resi ini menyebut si gadis sebagai kepo-

nakannya. "Apakah kau tidak mau menolongku?"

 "Bukan tidak mau menolong. Tapi saya belum 

pernah ke Gunung Mahameru. Saya tidak

pula kenal dengan pewaris golok sakti itu." Jawab Liris 

Pramawari.

 "Para Dewa akan membimbingmu ke puncak

Mahameru dan mempertemukanmu dengan pewaris

yang berhak memiliki golok sakti itu Perihal kapan

kau akan pergi ke sana dan menyerahkan itu terserah

pada kehendak Para Dewa. Bukankah yang disebut

langkah dan pertemuan itu adalah kehendak dan 

hanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa?"

 "Tapi Kek..."

 "Sudah, aku titipkan senjata Ini padamu."

 SI kakek gerakkan tangan yang memegang golok

bersarung gading. Tahu-tahu senjata Itu lenyap dari

pegangannya. Ketika Liris Pramawari meraba ke

belakang tubuh, ternyata pedang Itu telah tersisip di 

balik punggung pakaian putihnya, hanya gagangnya

yang tersembul. Gadis itu terpaksa menyerah.

 Resi Garipasthika tersenyum.

 "Bagus, berbuat sedikit kebajikan hari Ini, besok

sedikit lagi, lusa ditambah sedikit lagi, lama-lama

bukankah akan menjadi segunung kebajikan...."

 Ucapan sang Resi membuat Liris Pramawari

terkejut

 "Hyang Jagat Bathara Dewa! Bagaimana aku

sampai terlupa kalau aku masih punya sekian banyak


Ebook by Tiraikasih ( Kang Zusi ), Scan by Syaugy_ar

49

kewajiban?" Ucap orang tua ini....

 Tidak sengaja sepasang mata Liris Pramawari

memperhatikan tangan kanannya.

 "Sang Hyang Jagat Bathara!" SI gadis kembali

mengucap. Tiga ujung jari tangan kanan yang

sebelumnya dipatahkan sendiri untuk menghindari

racun senjata rahasia yang dilemparkan manusia

berkepala anjing saat itu telah berada dalam keadaan

utuh meski tetap dalam bentuk tanpa kulit tanpa

daging.

 "Apakah hari ini aku telah berbuat kebajikan?"

Liris bertanya pada diri sendiri sambil menatap Resi

Garipasthika.

 "Kek, kau...kau tahu apa tentang diri saya?"

 "Aku sudah berulang kali menyebut dirimu

sebagai keponakan. Kalau kau keponakanku masakan

aku tidak tahu menahu tentang dirimu?"

 "Jujur saja Kek. Saya bukan keponakanmu

benaran 'kan?"

 Sang resi tertawa mengekeh hingga uap putih

dingin keluar mengepul-ngepul dari mulutnya. "Benar

atau bohong apa perlu dipersoalkan? Sekarang

apakah kau tidak Ingin tahu siapa dua kakek botak

yang hendak membunuhmu tadi?"

 "Tentu saja Kek. Saya juga ingin tahu mengapa

mereka sebelumnya menghadang dan hendak

membunuhmu."

 "Sepasang kakek nenek botak itu adalah orang-

orang dari selatan tapi lebih banyak gentayangan di

kawasan utara, di Bhumi Mataram. Mereka mengaku

diri sebagai Dewa Dewi Penjuru Angin. Nama yang

terlalu berat dan sangat tidak pantas karena menebar

kejahatan, mengalirkan darah dan membegal nyawa

orang tidak berdosa. Yang lelaki bernama Durangga,

si nenek yang tadi kabur bernama Arvpadi. Mereka

selalu berduaan kemana-mana dan menjalani hidup

sebagai suami istri tanpa perkawinan yang  syah


Mereka jahat dan mesum"

 "Lalu mengapa mereka hendak membunuhmu Kek?"

 "Aku dalam perjalanan mencari seorang bayi.

Mereka berusaha menghalangi aku mendapatkan bayi

itu. Untuk itu tidak ada cara lain. Mereka harus

membunuhku!"

 Ucapan Resi Garipasthika membuat Liris Pramawari 

terkejut

 "Seorang bayi atau dua orang bayi Kek?" SI gadis

 bertanya ingin memastikan.

 Orang tua buta yang berjuluk SI Mata Salju

tertawa.

 "Kau sudah tahu ceritanya. Aku hanya butuh satu

 saja diantara dua bayi. Kalau aku mengambil kedua-

 duanya bukankah terlalu serakah? Ketahuilah Para

 Dewa paling tidak suka pada orang yang serakah"

 "Kek, kalau keponakanmu Ini boleh tahu, mengapa 

kau menginginkan bayi itu? Bukankah itu berarti kau 

hendak melakukan penculikan? Itu lebih jahat dari 

keserakahan."

 Sepasang alis putih Resi Garipasthika naik ke atas. 

Sesaat kakek ini terdiam. Lalu setengah mengulum 

senyum orang tua ini berkata.

 "Mengambil barang orang lain untuk maksud jahat 

memang adalah kejahatan. Tapi mengambil barang 

orang lain untuk kebaikan mana bisa dikatakan 

kejahatan. Demikian juga dengan maksudku 

mengambil bayi itu. Kalau aku mengandung niat jahat 

kau boleh mengatakan aku menculiknya. Tapi karena 

aku punya maksud baik menyelamatkannya dan kalau 

Dewa mengizinkan aku punya niat memberikan 

sesuatu untuk pegangan hidup padanya. Maka 

perbuatanku itu namanya bukan penculikan.

 Liris Pramawari tertawa.

 “Terserah padamu Kek, kau mau menyebut apa

 nama perbuatanmu itu. Aku tidak mau ikut campur

 urusanmu..."


"Bagaimana mungkin. Kau justru sudah terlibat!"

Jawab Resi Garipasthika pula.

 "Maaf Kek, aku pernah membaca dalam sebuah

Kitab Agama. Disitu ada kalimat yang berbunyi begini.

Manusia dilarang mengambil barang kepunyaan orang

lain...."

 "Kalimat itu betul. Tapi aku mengambil bayi itu

bukan dengan maksud untuk memilikinya. Justru

untuk melindunginya, sekaligus berbakti pada

Kerajaan Bhumi Mataram..."

 "Kek, apakah kau ini penjelmaan Roh Agung...'.'

 Resi Garipasthika tertawa mengekeh. Setelah

mengusap wajah dia berkata.

 "Keponakanku, kau sudah tahu sebagian cerita

Kalau begitu sekarang bantu aku mencari bayi itu.

Kita berjalan ke arah timur. Aku harap kau mau

menggendongku di punggungmu."

 "Apa Kek?" Kejut Liris Pramawari.

 "Apakah kau tidak ingin berbuat kebajikan lagi?"

 "Tentu saja mau Kek. Tapi menggendongmu di

punggungku, membawamu ke mana-mana dalam

perjalanan yang bisa satu hari bisa satu minggu

mungkin bulan berbulan-bulan, saya mohon maaf

Kek."

 "Aku tahu diri. Tua bangka jelek begini siapa

yang mau mendukung. Eh, kalau aku ini seorang

pemuda gagah apakah kau mau menggendongku?"

 "Tetap saja tidak Kek. Kecuali kau adalah ibu

saya, maka apapun yang kau katakan pasti saya

lakukan."

 "Begitu?" Ujar SI Mata Salju sambil menatap

dengan sepasang mata putihnya ke arah Liris

Pramawari. "Kalau begitu maka kau akan menggen-

dong ibumu..." Tiba-tiba tubuh tang Resi dipijari

cahaya putih.

 Liris Pramawari terpekik.

 "Tidak mungkinl" teriak gadis Ini.


Di hadapannya kini seorang perempuan, yang

dari sosok serta raut wajahnya adalah sangat

menyerupai Suri Dhuranl, ibunya yang mati dibunuh

Sangga Wikerthi. (Baca serial sebelumnya berjudul

"Dewi Tangan Jerangkong")

 "Ibu...?

 "Anakku, apakah kau kini bersedia menggendong

diriku?"

 Perempuan di hadapan Liris Pramawari keluar-

kan ucapan. Dan suara perempuan Ini ternyata juga

sama dengan suara sang ibu yang telah tiada itul

 Liris Pramawari jatuhkan diri di hadapan sosok

sang ibu.

 "Anakku, aku tidak menyuruh kau berlutut Aku

memintanya agar kau mau menggendongku."

 "Ibu, saya akan menggendongmu kemana yang

kau inginkan. Sekalipun sampai ke ujung dunia..."

 "Anakku, ketulusan hati serta budi baktimu

merupakan satu kebajikan, bagaimanapun kecilnya.

Berdirilah, aku bukan bayi cengeng yang ingin

digendong kemana-mana. Aku hanya ingin menguji

dirimu..."

 Saat itu juga sosok perempuan menyerupai ibu

Liris Pramawari lenyap dan berubah kembali ke

bentuk dan sosok Resi Garipasthika.

 "Ibu...Kakek, siapapun kau adanya saya tidak

akan mengingkari janji. Saya tidak akan berdiri

sebelum kau naik ke punggung saya..."

 Keponakan nakal. Baik, sekedar untuk menye-

nangkan dirimu aku akan naik ke punggungmu."

 Si kakek lalu naik ke punggung Liris Pramawari.

Gadis ini bangkit berdiri lalu mulai melangkah

membawa kakek yang digendong di atas punggung.

Baru menindak tiga langkah Liris berhenti Dia merasa

heran.

 "Keponnkanku, baru beberapa langkah berjalan

kau sudah berhenti. Apa kau keletihan? Apakah


tubuhku seberat gunung?"

 Tidak Kek. Justru saya tidak merasa apa-apa.

Tubuhmu seringan kapas...." Jawab Liris Pramawari.

Gadis ini sapukan tangan kiri ke belakang ke arah

bahu kakek yang digendongnya Dia tidak merasa apa-

apa selain menyentuh udara malam yang dingin. Dia

berpaling kebelakang. Bathara Agungi Sosok Resi

Garipasthika tidak ada lagi di atas punggungnya!


8.

 PETUNJUK DI DALAM JURANG

 FAJAR telah menyingsing. Dasar Jurang dimana 

Pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya berada 

kini mulai terang. Kemanapun mata memandang

segala sesuatunya tampak Jelas.

 Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya duduk di atas 

satu bongkahan batu besar sambil memangku dan 

mengusap Ragil Abang, kucing milik Ratu Dhika 

Gelang Gelang. Dia memandang sekeliling dasar 

Jurang yang luas.

 "Hampir setengah malaman kita berada di sini.

Sekarang fajar telah menyingsing. Semua kelihatan

jelas di dasar jurang luas Ini. Tapi kita tidak

menemukan apa-apa..." Yang berkata adalah si

gemuk pendek Si Tambur Bopeng.

 "Pangeran, apa yang harus kita lakukan.

sekarang?" bertanya Si Suling Burik. Sampai saat itu

kedua orang tersebut masih setia ikut mendampingi

Pangeran Bunga Bangkai.

 Kelopak bunga bangkai yang menjadi kepala

Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu bergerak-

gerak. "Dua sahabat, kita memang belum menemukan

apa-apa yang menjadi petunjuk. Tapi aku yakin dasar

jurang yang terjadi di bekas Sumur Api ini pernah

menjadi tempat tinggal kediaman istriku. Aku1 bisa

mencium harum melati bau tubuhnya yang tertinggal

di tempat Ini. Pertanda dia pernah berada di sekitar

sini. Tapi aneh, mengapa tidak ada apa-apa di sini?

Jangankan benda hidup, benda matipun tidak

kelihatan. Mana bangunan bagus yang dulu aku

pernah tinggal bersamanya selama tujuh malam?

Mana taman indah penuh bunga mekar menebar bau

wangi serta pedataran berumput hijau segar yang


pernah kulihat Semua sirna. Mana istriku, mana dua

bayi itu. Agaknya Para Dewa belum mengizinkan aku

bertemu dengan mereka. Karena diriku belum bersih

dan belum keluar dari hukum kutukan..." Sang

Pangeran terdiam sesaat Terdengar desah tarikan

nafasnya berulang kali. Kemudian dia ingat sesuatu.

"Dua sahabatku, ketika kita melayang turun ke dalam

jurang aku mendengar suara angin berdesau. Namun

sekarang aku menduga suara yang kudengar

sebenarnya adalah suara tangisan bayi. Apakah kalian

berdua mendengar suara itu?"

 "Kami memang mendengar. Pangeran. Namun

seperti Pangeran saat itu kami tidak punya dugaan

apa-apa. Suara gemuruh angin mengacaukan

pendengaran kami..." Menjawab SI Suling Burik.

 "Pangeran, kalau kau mengizinkan, kami berdua

akan mengeluarkan apa yang mungkin terkubur di

bawah lapisan dasar jurang ini." Berkata Si Tambur

Bopeng, lelaki gemuk pendek yang mukanya bopeng

dan membawa tambur yang diikat di pinggang, di

gantung di atas perut

 "Benar Pangeran, siapa tahu dengan kehendak

Para Dewa kita menemukan benda-benda yang bisa

memberi petunjuk." Kata Si Suling Burik menyam-

bung kata-kata Si Tambur Bopeng.

 "Lakukan opa yang bisa kalian perbuat. Tapi hati-

hati, jangan sampai kesalahan tangan yang menye-

babkan aku semakin jauh dari istri dan anak-anakku.

Mudah-mudahan Para Dewa menolong kita," kata

Pangeran Bunga Bangkai menyetujui pendapat kedua

pengiringnya.

 Maka Si Tambur Bopeng mulai menabuh tambur.

Si Suling Burik segera meniup seruling peraknya.

Dasar jurang dan dinding yang mengeliling bergetar

hebat Di beberapa bagian tampak tanah menjadi retak.

Lalu terdengar suara bergemuruh ketika sebagian

demi sebagian dasar jurang itu melesat berhamburan


ke atas. Namun sebegitu jauh yang bermentalan ke

udara hanyalah bongkahan tanah dan bebatuan.

 Tiba-tiba Ragil Abang si kucing merah besar

mengeong keras.

 Kepala Bunga Bangkai sang Pangeran mendongak 

ke atas.

 “Tahan!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Sekali

bergerak sambii mengepit kucing merah di ketiak kiri

tubuhnya melesat tiga tombak ke udara Di lain kejap

tangan kanannya dengan cepat menangkap sebuah

benda berlumuran lumpur yang melayang di udara.

Setelah turun kembali ke dasar jurang, Pangeran

Bunga Bangkai cepat membersihkan lumpur yang

melekat Ternyata benda itu adalah sebuah piala kecil

berkilat terbuat dari perak. Sambil memperlihatkan

piala itu pada kedua pengiringnya Pangeran Bunga

Bangkai berkata. Suaranya tersendat haru.

 "Setiap aku datang selama tujuh malam berturut-

turut, istriku selalu menyediakan minuman sejuk

berupa embun murni di dalam piala perak ini. Jelas

sekali dia memang pernah ada di sini. Di dasar Sumur

Api ini. Tapi dimana dia sekarang gerangan. Wahai

istriku. Bahkan namamupun aku tidak pernah tahu..."

 Pangeran Bunga Bangkai mencium piala berulang 

kali. Kuncup hijau di kepalanya bergerak-gerak, bunga 

kuning berbintik coklat bergetar lalu dipenuhi titik-

titik air seolah tetesan air mata. Mahluk malang ini 

kembali duduk di atas bongkahan batu besar. Dia ingat 

pada gadis berpakaian dan berkerudung putih yang 

ditemuinya sebelum masuk ke dalam jurang.

 "Gadis bertangan jerangkong itu. Wajahnya sangat 

mirip dengan istriku. Suaranya juga sangat sama..."

 "Pangeran." berkata Si Tambur Bopeng. "Kalau

tidak keliru kami mengingat, bukankah dulu Pangeran

pernah bercerita kalau Pangeran tidak pernah

mendengar suara istri Pangeran karena setiap dia

bicara dari mulutnya tidak keluar suara apa-apa"


"Kau benar sahabatku," jawab Pangeran Bunga

Bangkai. "Tapi aku mendengar bukan dengan dua

telingaku. Aku mendengar dengan telinga hatiku. Aku

mendengar jernih suaranya walau tidak jelas

mendengar apa yang diucapkan. Itu saiah satu berkah

dari Para Dewa walau Mereka telah memberikan

kutukan padaku..."

 "Dewa penuh rakhmat, penuh keadilan..."Ucap

Si Suling Burik.

 "Pangeran, kau ingat perempuan gemuk pemilik

kucing merah ini yang bernama Ratu Dhika Gelang

Gelang?" Bertanya Si Suling Burik.

 "Aku ingat. Ada apa dalam pikiranmu sahabatku?"

 "Aku punya dugaan dia ada sangkut paut dengan

istri Pangeran serta dua bayi itu..."

 "Bagaimana kau bisa menduga begitu?" Kembali 

Pangeran Bunga Bangkai bertanya.

 "Pada malam kedatangan kita ke Sumur Api,

kalau tidak ada sangkut paut, dia tidak akan berada

di sekitar Sumur Api. Lalu tubuhnya amblas ke dalam

tanah. Ada satu mahluk sakti yang membawanya. Dia

meninggalkan kucingnya begitu saja. Kami berdua

tahu satu tempat yang tidak boleh diinjak oleh

binatang hidup apapun. Ratu Dhlka Gelang Gelang

pasti dibawa ke tempat itu. Jika kita bisa menemui

mungkin dia dapat memberi tahu keberadaan istri

Pangeran serta dua bayi."

 Pangeran Bunga Bangkai bangkit berdiri.

 "Apa nama tempat itu. Dimana letaknya?" Sang

Pangeran bertanya.

 "Candi Miring. Terletak di bukit gersang..."

 Pangeran Bunga Bangkai gerakkan kepalanya ke

arah atas jurang.

 "Kita akan pergi ke sana. Tapi tidak saat ini. Aku

akan melakukan samadi pendek. Mungkin bisa

membantu menjajagi dimana beradanya Istriku. Kita

akan tetap berada di sini menunggu sampai matahari


tenggelam dan malam kembali datang."

 "Kalau begitu, sementara Pangeran berada di

sini, kami akan naik ke atas berjaga-jaga. Pada saat

sang surya tenggelam kami akan turun kembali ke

sini..."

 "Pergilah, aku merasa lebih tenteram berada di

dasar jurang Ini," jawab pangeran Bunga Bangkai.

 KETIKA akhirnya matahari tenggelam di ufuk

barat dan dua pengiring Pangeran Bunga Bangkai

turun ke dasar jurang kembali, mereka melihat sang

Pangeran duduk bersila di atas bongkahan batu.

Kucing merah Ragil abang duduk di tanah di samping

batu. Di atas batu di hadapan Pangeran Bunga Bangkai

terletak piala perak. Di balik pakaiannya Pangeran

mengeluarkan secarik kain berwarna merah muda.

Potongan kain Ini adalah sebagian dari sapu tangan

merah yang dirobek oleh Ananthawuri dan diberikan

pada Pangeran Bunga Bangkai pada malam terakhir

sebelum mereka berpisah.

 Pada saat cahaya sang surya lenyap dan jurang

diselimuti kegelapan Pangeran Bunga Bangkai mulai

melakukan samadi.

 Menjelang tengah malam ketika samar-samar

 dalam semadinya Pangeran melihat satu bayangan

 bangunan, piala di atas batu bergetar keras. Tiba-tiba

 dari atas jurang melesat masuk tiga larik cahaya.

 Merah, biru dan hitam.

 Tiga cahaya menyambar piala perak hingga

 hancur berkeping-keping. Namun anehnya potongan

 sapu tangan merah muda yang ada di dalam piala

sama sekal! tidak rusak sedikitpun. Sapu tangan ini

 melayang ke udara setinggi satu tombak lalu jatuh

 kembali di haribaan Pangeran Bunga Bangkai.

 Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik berteriak

 keras lalu sama-sama melesat ke atas jurang. Tambur


ditabuh suling ditiup. Sampai di atas jurang mereka 

tidak menemukan apa-apa.

 "Tidak ada siapa-siapa di atas sini. Serangan

cahaya tiga warna itu pasti dikirim dari tempat jauh..." 

Berkata Si Tambur Bopeng.

 Si Suling Burik menyahuti. "Kita sudah baberapa 

kali melihat cahaya tiga warna Ini. Cepat kembali ke 

dasar jurang. Aku kawatir..."

 Ketika kedua orang itu sampai di dasar jurang 

kembali, mereka melihat Pangeran Bunga Bangkai tak 

kurang suatu apa. masih duduk bersila sambil 

meletakkan lipatan sapu tangan merah muda di atas

dadanya.

 "Pangeran, agaknya ada orang yang tidak ingin

kau berhasil menjajagi dimana keberadaan istri dan

anakmu." Berkata Si Tambur Bopeng.

 "Kalau ada orang jahat, mengapa ia tidak langsung 

membunuh diriku?" Ucap Pangeran Bunga Bangkai.

 "Mungkin hal Ini sengaja dilakukan. Orang jahat

itu bisa melakukan banyak hal jika Pangeran masih

hidup. Dia hanya berusaha memutus jalan agar

Pangeran tidak sampai menemui istri dan dua bayi.

Mungkin hal itu dilakukan hanya untuk sementara.

satu saat dia tetap akan mencelakai Pangeran..." Yang

menjawab adalah Si Suling Burik.

 "lalu mengapa hanya piala yang hancur, padahal

sapu tangan merah muda ada di dalam piala." Kata

pangeran Bunga Bangkai pula.

 "Saya punya dugaan, piala itu bukan milik

langsung Istri Pangeran. Sementara sapu tangan

adalah milik istri Pangeran. Sapu tangan mendapat

perlindungan Para Dewa sedang piala perak tidak..."

 "Sahabatku Tambur Bopeng, ucapanmu mungkin 

betul, tapi mengapa pengendali cahaya tiga warna

juga tidak membunuhmu dan Suling Burik?"

 Untuk beberapa lamanya dasar jurang yang gelap

itu diselimuti kesunyian. Tidak ada yang bicara.


"Suling Burik," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai 

memecah kesunyian. "Turut apa yang kau kataken 

tadi, jika orang jahat itu sengaja membiarkan aku 

hidup, berarti dia juga ingin kalian berdua tetap

hidup. Untuk sementara, tapi untuk maksud apa?"

 Suling Burik dan Si Tambur Bopeng saling pandang. 

Entah mengapa bulu tengkuk kedua orang ini tiba-tiba 

jadi merinding.

 Mendadak di atas jurang sana terdengar suara kuda 

meringkik menyusui suara derap kaki kuda banyak 

sekail, lalu lenyap dan sepi kembali.

 "Kuda meringkik di malam buta. Semakin banyak

 keanehan di tempat ini..." Berucap Si Suling Burik

 sambil mendongak menatap ke atas jurang.

 "Dua sahabatku, kita harus segera meninggalkan

 tempat ini."

 "Kita mau pergi kemana, Pangeran?" tanya Si

 Tambur Bopeng.

 "Sebelum cahaya tiga warna muncul meng-

hancurkan piala, aku sempat mendapat petunjuk Yang 

Maha kuasa. Dalam samadlku aku sempat melihat 

samar bangunan candi. Berdiri agak miring..."

 "Candi Miring" seru SI Suling Burik.

 "Berarti istri Pangeran ada di candi itu" Kata SI

 Tambur Bopeng.

 "Mungkin juga dua anakku." Ujar Pangeran

 Bunga Bangkai. Lalu dia berlutut di tanah sambil

 tampungkan dua tangan. "Para Dewa, betapapun

 besarnya hukumanMu padaku, namun aku percaya

 kau akan tetap melindungi diriku, istriku dan dua

 anakku. Wahai Para Dewa, aku mohon, pertemukan

 diriku dengan mereka..."

 Ragil Abang si kucing merah mengeong lalu

 melompat ke atas bahu Pangeran Bunga Bangkai. Si

 Tambur Bopeng dan Si Suling Burik siap melangkah

 mencari tempat yang baik untuk menjejak dan

 melompat ke atas. Mereka merasa menginjak sesuatu.


Ketika Si Tambur Bopeng memandang ke bawah

 ternyata saat itu kaki kirinya menginjak sebatang

tongkat kayu. Di Sebelahnya Si Suling Burik tengah

 memperhatikan kaki kanannya, melihat ada sebuah

 kitab dibawah telapak kakinya. Dia berseru kaget dan

cepat-cepat mengangkat kaki lalu mengambil kitab.

Sambil menjunjung kitab di atas kepala mulutnya

berucap berulang kali.

 "Wahai Para Dewa. Mohon ampun dan maaf Mu. 

Aku tidak tahu kalau tadi menginjak Kitab Weda..."

 "Sahabat berdua, ada apa? Pangeran Bunga

Bangkai bertanya. Ketika dia melihat benda yang ada

di tangan dua sahabatnya itu terkejutlah sang

Pangeran. "Tongkat kayu dan Kitab Suci Weda...Aku

pernah melihat benda-benda ini di dalam kamar

istriku. Jelas sekali, ini petunjuk dari Dewa bahwa

istriku dan juga dua bayi itu sebelumnya memang

ada di sini. Di dasar Sumur Api."

 Pangeran Bunga Bangkai bersihkan tanah yang

melekat di tongkat dan kitab. Lalu dia menyerahkan

kitab pada Tambur Bopeng dan tongkat kayu pada

Suling Burik.

 "Kalian berdua, simpan tongkat dan kitab itu

baik-baik. Sekarang saatnya kita meninggalkan

tempat ini."

 Seperti diriwayatkan dalam serial pertama

berjudul "Perawan Sumur Api", tongkat dan Kitab

Weda itu adalah milik orang tua bernama Dhana

Padmasutra yang menemui Ananthawuri di halaman

Candi Loro Jonggrang. Orang tua ini kemudian

menemui ajal di tangan Setunggul Langit, anak buah

Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau sendiri anak

buah Arwah Ketua yang khianat dan kemudian

dihukum oleh Arwah Ketua dengan menjadikan

dirinya sebagal ganjalan dinding selatan Candi

Miring.

 Tak lama kemudian ke tiga orang itu melesat

keluar dari dalam jurang, sayup-sayup terdengar

suara ngeongan Ragll Abang si kucing merah

peliharaan ratu Ohlka Gelang Gelang yang saat itu

mendekam di pundak kiri Pangeran Bunga Bang


9.

 TENUNG ARWAH DI HUTAN JATI

 DALAM gelapnya malam candi besar yang berdiri 

miring di bukit gersang dan disaput kabut nampak 

angker. Candi yang memiliki beberapa menara Ini 

konon dibangun oleh Raja Kedua Kerajaan Mataram 

Kuna yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Sejak 

didirikan candi ini tidak pernah dipergunakan, tidak

pernah didatangi orang apa lagi ada yang mendiami. 

Dari mulut ke mulut tersebar cerita bahwa candi yang 

kemudian diberi nama Candi Miring itu dihuni oleh 

berbagai mahluk halus dari alam arwah. Bilamana ada 

mahluk yang bernama manusia berani datang ke 

tempat itu maka pastilah dia seorang yang memiliki 

ilmu kesaktian sangat tinggi. Yang tidak takut pada 

segala macam mahluk halus penghuni candi, malah 

bisa berhubungan dengan mahluk-mahluk halus itu.

 Ketika di kejauhan terdengar suara raungan anjing 

hutan, di langit di atas Candi Miring melesat satu 

benda hitam yang kemudian melayang turun dan 

berubah menjadi seekor Burung Hantu jejadian 

berwarna hitam legam. Binatang ini hinggap di 

puncak salah satu menara candi. Setelah 

mengepakkan sayap, sosoknya berubah menjadi ujud 

seorang pemuda berpakaian hitam yang keseluruhan 

tubuh berwarna hitam termasuk kedua matanya.

 "Kanjeng Arwah Ketua, saya Arwah Hitam

Pengawai Malam, datang untuk membawa kabar.

Saya melihat tiga orang menyusup di hutan jati

ke arah pedataran yang ditumbuhi alang-alang.

Tanda-tanda menunjukkan mereka hendak menuju

ke Candi Miring. Mohon petunjukmu apa yang

harus saya lakukan."

 Sebagai jawaban terdengar suara mengorok

panjang disertai hembusan angin yang memerihkan


kulit dan mata.

 "Arwah Hitam Pengawai Malam. Kau selalu

datang membawa ketololan di masa lalu. Sebelum

datang ke tempat ini apa kau sudah menyelidik siapa

ketiga orang itu? Mana bisa aku membuat keputusan

kalau kabar yang kau berikan tidak lengkapi Kalau

kau masih tolol seperti yang sudah-sudah mungkin

kau lebih berguna aku jadikan ganjalan dinding candi

di sebelah selatan, menemani Arwah Muka Hijaui"

 Kulit hitam wajah Arwah Hitam Pengawal Malam

sekilas berubah kelabu. Sambil tundukkan kepala

bungkukkan badan dia berkata.

 "Kanjeng Arwah Ketua, saya mohon maaf dan

ampunmu. Saya sudah coba menyelidik. Namun salah

seorang dari mereka tubuhnya mengeluarkan bau

busuk yang sangat santar hingga ketika saya coba

menyelidik yang terlihat hanya ujud samar karena

kepala saya menjadi pusing dan pandangan mata

menjadi nanar...."

 "Kalau begitu, sebelum malam berganti siang

bunuh ke tiganya."

 "Baik Kanjeng Arwah Ketua. Perintah Kanjeng

akan saya lakukan..."

 "Tunggu." Tibe-tiba ada seseorang berkelebat

yang menimbulkan angin kencang disertai suara

perempuan berseru. "Rakanda Arwah Ketua, jangan

bunuh ke tiga orang itu. Aku yakin mereka adalah

orang-orang yang bersahabat dengan diriku. Paling

tidak pernah menolongku ketika Sumur Api diserbu

sembilan tokoh rimba persilatan..."

 "Radinda Ratu! Kalau kenal ke tiga orang itu

mengapa tidak menerangkan siapa mereka secara

jelas biar aku membuat pertimbangan mau diapakan

ketiganya!"

 Mahluk bernama Arwah Ketua yang menjadi

penguasa dan penghuni Candi Miring keluarkan suara

menggembor pertanda kesal. Mengenai siapa adanya


Arwah Ketua dan riwayat candi angker itu harap baca

riwayatnya dalam serial sebelumnya berjudul "Candi

Miring"

 "Rakanda mereka adalah mahluk bernama Pangeran 

Bunga Bangkai bersama dua sahabatnya yaitu orang 

sakti bernama Tambur Bopeng dan Suling Burik..." 

Ratu Dhika Gelang-Geiang yang ada bersama Arwah 

Ketua memberi tahu.

 "Ah...mereka rupanya. Bukankah aku pernah

memberi tugas padamu untuk mengawasi Si Tambur

Bopeng dan Si Suling Burik?"

 "Benar rakanda Arwah Ketua. Ternyata mereka

bukan orang jahat dan kini bersahabat serta menjadi

pengiring Pangeran Bunga dari Kerajaan

Tarumanegara itu..."

 "Hemmm..." Arwah Ketua keluarkan suara

menggumam. "Mungkin mereka bukan orang jahat.

Tapi maksud mereka menuju tempat ini bukan lain

untuk mencari Ananthawuri bersama dua bayinya!"

 "Hal itu tidak dapat dipungkiri lagi Rakanda

Arwah Ketua. Karena kalau Rakanda sudah tahu siapa

mereka mohon mereka bertiga jangan dibunuh."

 "Baiklah, memenuhi pintamu aku tidak akan

membunuh mereka. Tapi cukup memendam ketiganya

selama delapan purnama di dalam tanah. Kau tahu

apa akibatnya kalau Pangeran itu berhasil menemui

istri dan dua putera sebelum waktu yang ditetapkan

Para Dewa."

 "Terima kasih Rakanda Arwah Ketua. Aku mengerti. 

Tapi rasanya, memendam mereka selama delapan 

purnama di dalam tanah bagiku masih terasa sangat 

tidak adil. Padahal belum ketahuan apakah mereka 

berniat baik atau jahat.."

 "Radinda Ratu, kau ingin melihat Para Dewa

murka karena apa yang telah Mereka rencanakan sejak

bertahun-tahun lalu akan jadi berentakan? Lebih dari

Itu kau Ingin menyaksikan Bhumi Mataram dilanda


kehancuran karena dua putra terbaik yang diharapkan

akan menjadi kesatria pamungkas kejahatan di masa

depan akan menjadi dua manusia tidak berguna atau

terbunuh sebelum dewasa dan sempat berbakti pada

Kerajaan?"

 "Rakanda Arwah Ketua, aku memang tidak berpikir 

sampai sejauh itu. Karena terkadang aku punya 

pikiran, berprasangka buruk pada orang lain 

merupakan satu dosa yang tersembunyi yang kelak 

akan muncul di kemudian hari pada saat hari 

perhitungan di alam baka." Jawab Ratu Dhika Gelang 

Gelang yang telah dibawa secara paksa oleh Arwah 

Ketua sebelum Sumur Api meledak.

 "Radinda, kita saat ini masih hidup di alam nyata. 

Perlu memperhitungkan segala sesuatunya dengan 

sangat hati-hati karena apa yang kita perbuat akan 

kembali menjadi tanggung jawab di pundak kita 

masing-masing. Aku tahu, kurasa kau juga tahu, 

begitu banyak bangsa manusia juga mahluk gaib yang 

suka mencuci tangan dari segala tanggung jawab."

 Ratu Dhika Gelang-Gelang terdiam beberapa

lamanya.

 "Apakah pembicaraan ini sudah selesai sampai

di sini Radinda Ratu? Atau ada yang masih hendak

kau sampaikan?' bertanya Arwah Ketua.

 "Kalau boleh, bukankah Rakanda memiliki ilmu

tenung arwah yang disebut Melangkah Ke Depan.

Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke Belakang,

Arwah Tiba DI Depan. Melangkah Ke Samping Arwah

Berputar Di Tengah Tengah. Menurut hematku,

Rakanda cukup menerapkan ilmu itu pada mereka.

Sekarang mereka masih berada di hutan jati. Itu 

tempat yang paling baik untuk menurunkan Tenung 

Arwah sebelum mereka mencapai pedataran alang-

alang. Aku Juga teringat pada Ragil Abang. Kucing 

merah peliharaanku itu pasti ada bersama Pangeran 

dari Kerajaan Tarumanegara itu. Aku kawatir terjadi


apa-apa dengan dirinya walau sang Pangeran suka

padanya dan Ragil Abang bersikap penurut dan jinak

pada mahluk berkepala Bunga Bangkai itu."

 "Radinda Ratu, kau tahu salah satu pantangan

besar di candi inil Tidak ada binatang sungguhan yang

boleh menjejakkan kakinya di dalam candi. Bahkan

binatang sungguhan melintas di halaman candi saja

sudah merupakan larangan besar!"

 "Aku tahu Rakanda. Aku tidak akan membawa Ragil 

Abang ke sini. Aku hanya mohon seperti yang tadi 

kupinta..." Jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula.

 "Radinda Ratu, kalau bukan kau yang meminta

mana mungkin aku mengabulkan. Tapi jika terjadi

apa-apa kau tetap akan memikul tanggung jawab

penuh..."

 "Rakanda, jika terjadi apa-apa aku bersedia

dijadikan ganjalan dinding candi sebelah selatan. Asal

saja aku tidak ditelentangkan di bawah tubuh Arwah

Muka Hijau. Hik..hik..hik."

 "Cara bicara dan sikapmu masih tidak berubah

 dari dulu. Radinda Ratu Dhika Gelang Gelang, pergi

 bersama Arwah Hitam Pengawal Malam. Terapkan

 segera ilmu penyesat itu. Jangan lupa memberi tahu

 pada Arwah Putih Pengawal Siang. Jika pekerjaanmu

 sudah selesai lekas kembali menemuiku. Dua orang

 bayi dan ibunya sudah berada di Candi Miring. Pada

 hari pertama bulan ke tujuh dia harus di bawa keluar

 candi agar bersentuhan dengan cahaya sang surya.

 Sejak itu pula menjadi tugasmu untuk menjaganya

 sampai turun petunjuk Dewa apa yang harus kita

 lakukan kemudian terhadap dua anak itu. Aku sudah

 menyiapkan daerah berbukit-bukit rendah di selatan

 candi, satu daerah subur sejuk, ada taman bunga dan

 kebun buah yang luas untuk tempat kedua anak itu

 bermain. Lengkap dengan sebuah air terjun dan 

telaga

 kecil. Seluruh tempat itu sampai ke candi akan


kupagari dengan Ilmu Seribu Arwah Menutup Langit

 Memagar Bumi. Sehingga tidak ada satu orangpun

 mampu memasukinya...."

 "Rakanda Arwah Ketua, aku mengucapkan terima

 kasih. Aku dan Arwah Hitam Pengawal Malam mohon

diri sekarang juga..."

 KICAU burung mulai memecah kesunyian. Di

kejauhan sudah beberapa kali terdengar suara kokok

ayam. Perlahan-lahan langit di sebelah timur berubah

terang tanda fajar mulai menyingsing. Di dalam hutan

jati Pangeran Bunga Bangkai hentikan langkah,

palingkan kepala anehnya kearah dua pengiring.

 "Setengah malaman lebih kita berjalan. Sampai

matahari tersembul dan malam berganti siangi Adalah

aneh kalau kita masih juga berada di dalam rimba

belantara hutan jati inil Dua sahabat kalau ucapanku

keliru harap kau memberi tahui"

 Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik

memandang ke atas, ke arah ujung dedaunan pohon-

pohon yang ada di sekitar mereka.

 "Pangeran, ucapanmu tidak keliru. Aku melihat

ada bayangan sinar Jingga di pinggir dedaunan di

atas pohon. Itu adalah wama kesukaan para lelembut

Agaknya mahluk halus itu yang telah dipergunakan

oleh orang pandai untuk menurunkan tenung di dalam

hutan ini. Aku kawatir kita telah terjebak dalam satu

kekuatan gaib yang membuat kita hanya mampu

berputar-putar di dalam rimba belantara hutan jati ini.

Tidak mampu keluar sampai seratus tahun sekalipun!

Kecuali kita mengetahui kunci penembus kekuatan

gaib itu atau ada orang dari luar yang menolong. Tapi

siapa orang saktinya yang mampu mengeluarkan kita.

Sekali dia masuk ke dalam hutan ini maka dia akan

ikut terjebak bersama kita."

 "Meong..


Tiba-tiba Ragil abang yang ada di pundak kiri

Pangeran Bunga Bangkai mengeong keras lalu

melompat ke cabang pohon yang ada di dekat tempat

ketiga orang itu berdiri. "Kucing itu, apakah dia juga

ikut terjebak dan tak bisa keluar dari rimba belantara

ini?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.

 Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tidak segera 

memberi jawab melainkan sama-sama saling pandang. 

Lalu Si Tambur Bopeng angkat dua tangannya yang 

memegang penabuh. Tapi sampai ditabuh berulang 

kali, tambur yang berada di atas perutnya sama sekali 

tidak mengeluarkan suara.

 Si Suling Burik dalam herannya cepat-cepat meniup 

sulingnya. Tapi sampai mengedan-edan dan mukanya 

menjadi merah, suling itu tidak mengeluarkan bunyi.

 "Sahabat berdua, kita menghadapi satu kekuatan

luar biasa hebat Mendekati kekuatan Para Dewa," kata

Pangeran Bunga Bangkai pula. "Kalian belum

menjawab pertanyaanku tadi. Apakah Ragil Abang

juga terjebak seperti kita? Berada dalam kekuasaan

gaib itu?"

 "Bilamana kekuatan gaib itu datang dari penguasa 

Candi Miring yang hendak kita datangi, rasanya kucing 

merah itu tidak akan terpengaruh. Binatang 

sungguhan merupakan pantangan bagi Candi Miring..."

 Mendengar ucapan SI Tambur Bopeng, Pangeran

Bunga Bangkai lambaikan tangannya ke arah kucing

merah di cabang pohon.

 "Ragil Abang, kemarilah..."

 Kucing merah mengeong perlahan lalu melompat ke 

pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai.

 "Sahabatku..." kata sang Pangeran sambil

mengusap tengkuk Ragil Abang. "Keluarlah dari

rimba belantara ini. Berjalan ke arah selatan hutan.

Cari pertolongan. Berlakulah hati-hati. Jangan sampai

tersesat dan berada di dekat Candi Miring. Apakah kau 

mengerti ucapanku, sahabat?"


Ragil Abang menjilat tangan Pangeran Bunga

 Bangkai. Setelah mengeong lembut dia melompat

 turun, menyelinap ke balik deretan pohon jati dan

 akhirnya lenyap dari pemandangan.

 "Pangeran, kami menyesal telah membawamu

 ke dalam keadaan seperti ini." Berkata Si Suling Burik.

 Pangeran Bunga Bangkai keluarkan suara tertawa.

 "Kita sama-sama satu nasib. Aku justru 

mengawatirkan kalian. Aku punya firasat paling cepat 

kita akan terkurung di hutan ini selama tujuh bulan. 

Aku bisa bertahan hidup tanpa makan. Bagaimana 

dengan kalian berdua. Apakah di hutan jati Ini ada 

pohon berbuah yang bisa dimakan?"

 "Bhumi Mataram bertanah subur. Di tanah gersang 

sekalipun Yang Maha Kuasa menyediakan makanan 

bagi siapa saja yang menjadi mahluk hidup..." Berkata 

SI Tambur Bopeng.

 "Kalau ini memang sudah suratan takdir Yang Maha 

Kuasa, kita manusia bisa berbuat apa? Mari kita 

mencari tempat yang baik. Kita akan melakukan tapa

tiga ratus hari. Mudah-mudahan Para Dewa akan 

menolong kita keluar dari hutan ini..." Wajah dan

suara Si Suling Burik terdengar tabah. Dia memeluk 

bahu sahabatnya Si Tambur Bopeng lalu melangkah ke 

arah timur hutan. Pangeran Bunga Bangkai mengikuti 

dari belakang. Di tengah jalan dia meminta Kitab Weda 

yang tadi diserahkan pada Si Tambur Bopeng. Sambil 

berjalan sang Pangeran membaca kitab itu mulai dari 

halaman pertama. Suara lafalnya ataupun mulut 

berucap perlahan namun menimbulkan gema halus di 

dalam hutan jati.


10.

 MAHLUK DI BALIK TIRAI

 MALAM dingin gelap gulita. Hujan turun lebat 

sekail. Diantara suara deru angin dan gemertsik

daun pepohonan yang saling bergeser sayup-sayup 

terdengar suara kepakan sayap. Tak lama kemudian 

tampak sebuah benda hitam melayang terbang di 

udara. Benda itu ternyata adalah seekor Burung Hantu 

yang kemudian melayang turun lalu menjejak tanah di 

antara dua batang pohon besar di dasar lembah.

 Di dasar tanah yang disebut lapisan Ke Tiga di 

Lembah Hantu, Panglima Pawang Sela masuk ke dalam 

satu lorong batu sunyi dan redup. Didalam lorong Itu 

terdapat tujuh lapis tirai tebal berlainan warna. 

Panglima Pawang Sela hanya berani menyibak sampai 

di tirai yang ke empat yaitu tirai berwarna Jingga. Kini 

dia berdiri di hadapan tirai ke lima berwarna biru. Dia 

tidak berani menyibak tirai ini karena Itulah batas 

dimana dia boleh berada di dalam lorong batu. Untuk 

beberapa lama dia berdiri diam sambil merapal 

sesuatu lalu perlahan-lahan lelaki separuh baya 

bertubuh tinggi kekar dan mengenakan Jubah serta 

destar kuning ini berlutut di lantai seraya mulut 

berucap.

 "Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, yang juga 

saya sebut Si Maharaja Ke Delapan, mahluk arwah 

alam gaib yang kita tunggu sudah datang. Saya mohon 

izin untuk membawanya menghadap Junjungan..."

 Dari balik tirai ke tujuh yang berwarna merah,

terpisah dua tirai dari tempat Pawang Sala berdiri saat

itu, keluar suara jawaban.

 "Panglima Pawang Sela. Sebelum kau membawa 

mahluk itu ke hadapanku, ada beberapa hal yang

perlu kutanyakan dan harus mendapat jawaban saat


Ini juga..."

 "Junjungan, saya menunggu pertanyaan," kata 

Panglima Pawang Sela sambil bangkit berdiri.

 "Pertama, sudah berapa jumlah Tuman Keku yang 

berhasil kau dapatkan sampat saat ini?"

 "Saya Ingat sekail Junjungan. Jumlah sudah

mencapai enam puluh tiga. Saya masih menbutuhkan

delapan orang lagi..."

 "Jumlah tujuh puluh satu harus kau penuhi tujuh 

hari sebelum hari yang telah aku tentukan!"

 "Saya sanggup dan yakin akan berhasil 

mendapatkan Jumlah itu sesuai dengan perintah

Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru."

 "Pertanyaan kedua. Berapa jumlah mahluk

berkepala anjing Tuman Kean yang sudah kau dapat?"

(Tuman Kean = Tubuh manusia Kepala Anjing)

 "Saya tidak Ingat pasti Junjungan. Harap maafkan. 

Tapi Jumlahnya pasti sudah melebihi seratus.

 "Sekarang pertanyaan ke tiga. Apakah kau telah

berhasil berhubungan dengan Arwah Muka Hijau yang

saat ini masih terpendam di dinding selatan Candi

Miring, dibuat sebagai ganjalan?!"

 "Mohon maafmu Junjungan. Hal itu belum dapat 

saya lakukan karena masih menunggu petunjuk dari 

mahluk gaib yang berada di dalam lembah sana. Yaitu 

tentang apa saja yang harus dilakukan agar bisa 

melakukan bicara Jarak jauh dengan dia tanpa 

diketahui penghuni Candi Miring termasuk Arwah 

Ketua. Lalu bagaimana cara untuk membebaskannya 

dari ganjalan candi." Jawab Panglima Pawang Sela.

 "Tapi yang paling penting," kata sang Junjungan 

pula. "Mencari tahu bagaimana melumpuhkan Arwah 

Ketua dan kaki tangannyal Sehingga ketika kita 

bergerak Arwah Ketua dan semua penghuni Candi 

Miring tidak berdaya melakukan upaya apapun."

 "Baik Junjungan. Hal itu akan saya lakukan."

 "Pertanyaan ke empat. Apakah kau suda


menghubungi Wakil Kepala Balatentara Kerajaan

Bhumi Mataram untuk membantu menggembosi

pasukan Kerajaan dari dalam pada saat hari

penyerbuan kita nanti?"

 "Saya sudah menghubungi, tapi orang bernama

Jenggal Kantanu Itu tidak bisa dibujuk, tidak mempan

disogok. Saya bahkan membawanya ke sebuah

pondok. Disitu saya telah mempersiapkan seorang

perawan desa. Tapi dia tetap menolak. Dia tidak mau

berkhianat pada Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah

Saladu, Raja yang memerintah di Bhumi Mataram saat

Ini. Padahal sesuai pesan Junjungan saya memberi

tahu dia bakal menduduki jabatan sebagai Kepala

Pasukan bilamana Kerajaan Mataram Baru berdiri

nanti. Ketika saya memaksa dia menunjukkan gelagat

seperti hendak membunuh saya. Tapi itu tidak

dilakukannya mungkin mengingat saya adalah kakak

iparnya."

 "Manusia bodohi" rutuk orang dibalik tirai merah

yang dipanggil Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru.

"Lalu apa yang telah kau lakukan terhadap manusia

satu ltu?"

 "Saya telah membunuhnya Junjungan. Kotaraja 

sampai geger selama tujuh hari. Beberapa orang 

ditangkap. Kepala Balatentara Kerajaan dicurigai dan 

diawasi gerak-geriknya. Orang-orang Mataram sampai 

saat Ini tidak mampu menjajagi jejak saya. Junjungan, 

apakah Junjungan ingin saya memberikan bukti 

dengan memperlihatkan apa yang terjadi secara gaib

seperti halnya sewaktu saya menyuruh Abdika

Brathama sehabis dia membunuh Ceti Kanwa?"

 "Tidak perlu. Aku cukup percaya padamu. Sekarang 

pertanyaan ke lima. Apakah Abdika Brathama saat ini 

masih berada di Kotaraja memata-matai keadaan?"

 "Benar Junjungan Dia akan tetap berada di sana

sampai saat-saat terakhir menjelang kita memasuki

Kotaraja.


"Pertanyaan keenam. Bagaimana dengan seribu

anggota pasukan yang berada di Lembah Hantu

sebelah barat..."

 "Mereka tetap bersiaga sambil terus melakukan

latihan perang-parangan."

 Yang disebut Junjungan Sri Maharaja Mataram

Baru yang berada di balik tirai tebal wama merah

agaknya cukup puas dengan semua jawaban Panglima

Pawang Sela. Maka diapun berkata.

 "Bagus. Sekarang kau boleh membawa masuk orang 

di luar sana. Ingat dia hanya bisa masuk sampai di 

depan tirai ke tiga, tirai kelabu. Jangan lupa

menyumpalkan Batu Baramundu ke dalam rongga

matanya Lakukan itu sebelum dia masuk ke dalam

lapisan ke tiga dasar lembah."

 "Perintah Junjungan segera saya lakukan. Saya

akan kembali sebelum hitungan ke seratusl"

 "Satu hal harus kau yakini, Panglima Pawang Sela."

 "Gerangan apakah itu Junjungan?"

 "Kau harus yakin, mahluk yang akan kau bawa

ke hadapanku itu adalah benar-benar Arwah Hitam

Pengawal Malam. Bukan mahluk tipuan yang bisa

mencelakakan kita! Kau tahu Arwah Ketua adalah

mahluk seribu ilmu seribu akal!"

 "Saya berani menjamin Junjungan. Mahluk yang

akan saya bawa ke tempat ini adalah benar-benar

Arwah Hitam Pengawal Malam. Saya mohon pergi

sekarang."

 "Tunggu dulu!"

 "Ada hal lain yang Junjungan hendak katakan?"

tanya Panglima Pawang Seia sambil berhenti

memutar tubuh lalu menatap tirai biru di hadapannya

 "Jika nanti aku puas dengan semua apa yang telah 

dilakukan mahluk bernama Arwah Hitam Pengawal 

Malam itu, hadiahkan dia seorang gadis desa..."

 "Maaf Junjungan. Mahluk itu tidak suka pada

perempuan. Dia hanya menggauli lelaki sesama


jenis."

 "Apa? Ha ha . ha" Sang Junjungan tertawa

tergelak. "Kalau begitu kau tahu apa yang harus kau

lakukan. Di desa Kaltwungu ada banyak bocah remaja.

Pilihkan seorang untuknyal Ha...ha...ha. Orang-orang

lelaki Mataram! Kalian ini serba aneh. Para Dewa telah

menyediakan perempuan untuk menjadi pasangan

kalian bersenang-senang! Mengapa mau menggauli

bangsa laki-laki yang hanya punya satu lobang di

bawah perutnya dan itupun berbau busuk? Ha...ha...

hal Satu pertanda kalian menyimpang dari jalan hidup

yang benar. Para Dewa akan mengutuk kalian!

Kerajaan Bhumi Mataram memang sudah saatnya

dihancur luluhkanl Ha...ha...hal Panglima, lakukan

apa yang aku perintahkan!"

 "Akan saya lakukan Junjungan."

 Panglima Pawang Sela membungkuk di hadapan

tirai biru lalu sekali dia menggerakkan kaki, tubuhnya

melesat ke atas dan lenyap dari pemandangan.

 Suara tawa dari balik tirai merah masih menggema, 

membuat tujuh tirai di dalam bergoyang melambai-

lambai.


11.

 ARWAH YANG KHIANAT

 BURUNG hantu yang mendekam di antara dua 

pohon besar menyalangkan sepasang mata hitamnya 

lebih besar ketika Panglima Pawang Sela muncul

kembali di tempat itu.

 "Junjungan Sri Maharaja Kerajaan Mataram Baru 

bersedia menerimamu. Sekarang perlihatkan ujudmu 

yang sebenarnya!"

 Burung Hantu kepakkan kedua sayapnya. Saat itu 

juga tubuhnya berubah menjadi sosok seorang 

pemuda mengenakan pakaian hitam. Seperti pakaian, 

kulit di tubuh pemuda ini termasuk wajah dan 

sepasang mata berwarna hitam legam.

 "Jadi kau yang bernama Arwah Hitam pangawal

Malam?"

 Si pemuda membungkuk lalu anggukkan kepala.

 Panglima Pawang Sela letakkan tangan kanannya

di atas ubun-ubun kepala. Ketika tangan diturunkan,

di tangan itu kini terlihat dua buah benda bulat merah

menyala mengepulkan asap serta hawa panas.

 "Arwah Hitam Pengawal Malam, maju satu langkah. 

Dekatkan wajahmu ke arahku!"

 Pemuda berpakaian hitam melirik pada dua benda 

menyala di tangan kanan orang yang berdiri di 

hadapannya. Wajahnya yang hitam legam berubah

kelabu.

 "Bara menyala..." ucap si pemuda dalam hati dan 

dada berdebar. "Panglima Pawang Sela, kau hendak 

melakukan apa?" Si pamuda bertanya dengan suara 

agak tercekat

 "Tidak ada pertanyaan. Aku akan berkata sekali

lagi dan itu untuk yang terakhir kali. Maju satu 

langkahi Dekatkan wajahmu ke arahku!"

 Walau merasa bimbang perlahan-lahan si pemuda


rundukkan kepala sedikit lalu di dekatkan ke arah 

Panglima Pawang Sela. Dess...dessl Secepat kilat 

Pawang Sela susupkan dua bara menyala ke dalam 

rongga mata kiri kanan Arwah Hitam Pengawal

Malam. Asap merah mengepul. Dua bara menyala

melesak masuk ke dalam rongga mata. Namun

anehnya Arwah Hitam Pengawal Malam tidak

merasakan panas atau sakit Selain itu kedua matanya

tetap bisa melihat seperti biasa. Dua bara menyala

sama sekali tidak menutup pemandangannya.

Pemuda dari alam gaib ini merasa lega sedikit

 "Arwah Hitam Pangawal Malam, saat ini bara

menyala di dalam dua rongga matamu memang tidak

menimbulkan rasa sakit Tapi jika nanti kau melakukan

hal-hal yang tidak berkenan pada Junjungan kami,

menipu dan memberi keterangan palsu maka dua bara

menyala itu akan menjadi panas, membuat kepalamu

leleh lalu sekujur tubuhmu akan meledak berkeping-

keping."

 "Aku sudah bertindak sejauh ini. Jika kau dan

Junjungan tidak percaya lebih baik urusan antara kita

hanya sampai di sini sajal" Pemuda berpakaian dan

bermuka hitam rupanya merasa tidak senang.

 Panglima Pawang Sela menyeringai.

 "Kau pandai menggertak," ucapnya. "Jika itu kau

lakukan padaku, aku akan memaafkan. Tapi Jika kau

berani bersikap seperti itu terhadap Junjungan, kau

akan dirubah menjadi debu. Tidak berguna di atas

dunia, tidak berguna di alam gaib" Selesai keluarkan

ucapan Panglima Pawang Sela ulurkan tangan kiri

menyambar lengan kanan si pemuda. Sesaat

kemudian sosok kedua orang itu amblas dan lenyap

masuk ke dalam tanah antara dua pohon besar di

dasar Lembah Hantu.


SESUAI perintah Junjungan, Panglima Pawang

Sela membawa Arwah Hitam Pengawal Malam

memasuki lorong batu dan berhenti di depan tirai

berwarna kelabu yang merupakan Tirai Ketiga.

 Panglima memberi isyarat pada pemuda berkulit

hitam itu agar mengikuti apa yang dilakukannya yaitu

membungkuk di depan tirai.

 "Panglima," tiba-tiba Arwah Hitam Pengawal

Malam berbisik. "Aku tidak melihat Junjungan yang

kau katakan itu. Mengapa kita memberi penghormatan

pada tirai kelabu. Apakah tirai ini..."

 'Tutup mulutmu!" Bentak Pawang Sela. "Jangan

berani membuka mulut kalau tidak ada yang bertanya

atau menyuruh! Atau kau ingin dua bara rmmyala di

dalam matamu itu segera kujadikan panas?!"

 "Harap maafkan aku Panglima. Aku hanya

gugup...." Jawab si pemuda.

 Panglima Pawang Sela membungkuk sekali lagi.

 "Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, saya

sudah berada di hadapan Tirai Kelabu. Di sebelah saya

berdiri Arwah Hitam Pengawal Malam."

 Tujuh tirai di dalam lorong batu bergoyang

melambai-lambai seolah ditiup angin. Sesaat

kemudian terdengar suara di ujung lorong, dari arah

belakang Tirai Merah.

 "Pemuda berkulit hitam, kami mengenalmu

sebagai Arwah Hitam Pengawal Malam. Aku tahu dari

Panglima kau telah membantu kami sejak beberapa

lama belakangan ini. Aku merasa puas dengan apa

yang telah kau kerjakan. Itu sebabnya aku meminta

Panglima membawamu ke sini. Ceritakan siapa dirimu

yang nyala dan yang gaib. Beritahu siapa dirimu

adanya, apa kedudukanmu di Candi Miring."

 "Junjungan, seperti yang kau saksikan ujud

nyata saya adalah seperti Ini. Saya adalah mahluk

alam gaib yang bisa berubah menjadi seekor Burung

Hantu hitam. Di Candi Miring saya dipercayai menjadi


salah seorang pembantu utama Arwah Ketua..."

 "Sebagai pembantu utama kau pasti banyak

mengetahui keadaan di Candi Miring. Apakah Arwah

Muka Hijau masih berada di sana, dijadikan ganjalan

dinding candi?"

 "Benar sekail Junjungan. Arwah Muka Hijau

sampai saat ini tidak beranjak dari tempatnya di dasar

dinding selatan Candi Miring."

 "Aku akan membebaskannya. Kau tahu bagaimana 

caranya menghubungi mahluk itu melalui ilmu bicara 

jarak jauh tanpa ada seorangpun penghuni Candi 

Miring bisa mendengar?"

 "Lemparkan dua ekor kodok mati di arah dinding

selatan candi. Tiga malam kemudian Arwah Muka

Hijau akan mampu mendengar suara yang dikirim dari

jarak jauh kepadanya. Sebaliknya ia juga bisa bicara

memberikan jawaban."

 "Bagus. Aku minta kau yang mencari dua kodok

mati lalu melemparkan ke dinding candi. Sanggup?!"

 "Sanggup Junjungan..." jawab Arwah Hitam

Pengawal Malam.

 "Jika sudah kau lakukan beri tahu Panglima."

 "Baik Junjungan."

 "Aku kehilangan jejak seorang perawan desa

bernama Ananthawuri bersama dua bayi yang baru

dilahirkannya. Menurut apa yang aku ketahui, ibu dan

dua anaknya itu lenyap di sekitar halaman depan

Candi Miring. Katakan apa yang kau ketahui..."

Sebenarnya orang yang bicara dibalik tirai merah

maupun Panglima Pawang Sela sudah tahu keber-

adaan Ananthawuri dan dua bayinya di dalam Candi

Miring. Namun sang Junjungan ingin menguji.

 "Perawan desa bernama Ananthawuri dan dua

bayinya saat ini memang berada di dalam Candi

Miring. Dibawah perlindungan Arwah Ketua. Mereka

diselamatkan oleh Arwah Kembar dari dasar

reruntuhan Sumur Api. Arwah Kembar sendiri


menemui kematian tak jauh dari Candi Miring..."

 "Orang suruhanku yang membunuh mereka."

Berkata sang Junjungan. Arwah Hitam terkejut tapi

diam saja. Sang Junjungan kemudian bertanya.

"Selain Arwah Ketua, siapa saja yang berada di Candi

Miring?"

 "Seorang perempuan bernama Ratu Dhika

Gelang Gelang. Dia masih memiliki garis darah

dengan Raja Bhumi Mataram Sri Maharaja Rakal

Pikatan Dyah Saladu. Dia ditugasi menjaga dua bayi

slang dan malam."

 Dibaiik tirai sang Junjungan mendengus lalu

tertawa pendek. "Ketika diberi tugas menjaga Sumur

Api dia tidak mampu. Sekarang ditugasi menjaga dua

bayi..Ha..hal Panglima aku melihat kita bisa lolos dari

lobang jarum. Kita punya kesempatan membunuh dua

bayi jika memang perempuan gemuk berkerincing

emas yang menjaga merekat"

 "Junjungan, bagaimana kalau tugas membunuh

dua bayi kita serahkan pada pemuda ini?" Panglima

Pawang Sela mengajukan usul.

 Sebelum Junjungan menjawab, Arwah Hitam

Pengawal Malam mendahului.

 "Maaf Junjungan, saya tahu kemampuan saya.

Tingkat ilmu kepandaian saya tidak memungkinkan

untuk melakukan hal itu. Ratu Dhika Gelang Gelang

terlalu sakti. Belum lagi Arwah Ketua. Lalu masih ada

Arwah Putih Pengawal Siang serta Arwah Gelap

Gulita.."

 "Aku tahu perempuan itu. Dia memang merupakan 

salah satu ganjalan. Orang-orangku telah berusaha

membunuh kekasihnya, seorang pemuda bernama

Sebayang Kaligantha. Tapi Para Dewa menolong

menyelamatkan dirinya. Perempuan dan kekasihnya

itu bisa kita urus kemudian. Arwah Hitam, kau tahu

rahasia menembus masuk ke dalam Candi Miring?"

Bertanya Panglima Pawang Sela.


"Saya tahu Junjungan. Tapi jika saya mengatakan 

maka lidah saya akan terpotong dan saya tidak akan 

mampu lagi bicara untuk selama-lamanya."

 Panglima Pawang Sela menyeringai. Sang

Junjungan keluarkan suara tertawa lalu berkata.

 "Arwah Hitam Pengawal Malam. Kau berada di

tempat yang aman dibawah perlindungan Panglima

dan diriku. Katakan rahasia menembus masuk ke

dalam Candi Miring."

 Arwah Hitam tidak segera menjawab.

 "Kau mau menerangkan atau tidak?" Panglima

menegur. Suaranya menyatakan kegusaran melihat

sikap Arwah Hitam yang hanya diam saja.

 Akhirnya pemuda berkulit hitam itu membuka

mulut


12.

 LIDAH YANG TERPOTONG

 SAMBIL memegang tengkuknya yang mendadak 

dingin, pemuda berkulit hitam legam itu berkata.

 "Diperlukan mayat seorang gadis, seorang anak

perawan berusia antara empat belas dan dua puluh 

satu tahun. Yang meninggal paling lama tiga hari dan 

jenazahnya dikubur bukan dibakar. Mayat digali dari 

makamnya lalu dikuburkan lagi pada satu tempat arah 

utara Candi Miring, sejarak paling dekat lima ratus 

tombak. Kaki mayat harus menghadap candi. Orang 

yang hendak masuk kedalam Candi harus membawa 

dua kepalan tanah kuburan. Satu kepalan berasal dari 

kubur lama dan satu kepal lagi dari kubur baru..."

 "Itu saja? Tanya sang Junjungan.

 "Betul Junjungan. Itu saja..."

 "Kau tahu bagaimana caranya menyekap Arwah

Ketua agar tidak bisa keluar dari dalam candi?" Sang

Junjungan kemudian bertanya. Sementara Panglima

menatap lekat-lekat ke wajah hitam pemuda di

hadapannya.

 "Maaf Junjungan, saya tidak mengetahuinya..."

 "Lalu apa kau tahu kelemahan Arwah Ketua?"

kembali sang Junjungan yang juga disebut Sri

Maharaja Mataram Baru atau Sri Maharaja Ke

Delapan ajukan pertanyaan sementara Panglima

Pawang Sela menatap lekat-lekat kewajah pemuda

berkulit hitam itu.

 "Setahu saya Arwah Ketua tidak boleh terkena

tetesan embun murni yang menempel di dedaunan.

Tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya

jika sampai ada tetesan embun menyentuh tu-

buhnya..."

 "Hemmm... Itu sebabnya dia sengaja tinggal di

Candi Miring yang terletak di bukit gersang. Bukit


tanpa pohon tanpa daun..." Berkata Panglima Pawang

Sela.

 "Kau betul Panglima. Sekarang kita sudah tahu

kelemahannya, kita bisa memancing dirinya berada

di satu kawasan rimbun pepohonan, sewaktu embun

masih melekat di dedaunan..."

 "Berarti kita sebaiknya melancarkan serangan

pada saat dinihari. Ketika embun masih banyak

melekat di dedaunan. Jika arwah Ketua berani

muncul..."

 "Kau cerdik. Tapi aku punya satu rencana baru.

Aku lebih suka membentuk serombongan pasukan

yang sengaja membawa ranting pepohonan yang

memiliki daun penuh dengan tetesan embun. Jika

Arwah Ketua muncul di kancah pertempuran pasukan

pembawa embun ini yang akan menghadangnya. Hal

ini akan kita bicarakan lagi... Sekarang aku akan

meminta sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam

melakukan satu hal lagi..."

 "Saya siap Junjungan," menyahuti Arwah Hitam.

 "Kau harus membunuh Arwah Putih Pengawal 

Siang. Mahluk satu itu bisa menjadi biang racun 

mengacaukan semua rencana-kita. Kau sanggup?!"

 "Sanggup Junjungan."

 "Bagus. Sekarang aku mengucapkan selamat

jalan padamu. Semua janji hadiah harta maupun

jabatan yang telah disampaikan Panglima Pawang

Sela akan kupenuhi setelah Kerajaan Bhumi Mataram

kita hancurkan. Saat ini, sekeluar dari Lembah Hantu,

Panglima akan membawamu ke satu tempat untuk

bersenang-senang..."

 "Terima kasih Junjungan. Saya mohon diri."

Arwah Hitam Pengawal Malam membungkuk di depan

Tirai Kelabu lalu mengikuti Panglima Pawang Sela

yang telah memberi isyarat padanya untuk segera

meninggalkan lorong


KETIKA muncul dari dalam tanah dan sampai di

antara dua pohon besar di dasar Lembah Hantu tiba-

tiba Arwah Hitam Pengawal Malam merasa ada cairan

hangat dan asin di dalam mulutnya. Bersamaan

dengan itu perutnya terasa mual.

 "Hek... hekk..."

 Arwah Hitam semburkan cairan yang ada di

mulutnya. Yang keluar ternyata darah kental. Dan

bukan hanya darah tapi juga sekerat benda merah.

Ketika diperhatikan oleh Panglima Pawang Sela

merindinglah bulu kuduknya. Benda itu ternyata

potongan lidah. Kutukan dari candi Miring telah jatuh

atas diri Arwah Hitam Pengawal Malam karena

pengkhianatannya.

 Arwah Hitam Pengawal Malam meraung keras.

Dia tidak peduli lagi rencana Panglima Pawang Sela

yang hendak mengajaknya ke Desa Kaliwungu.

Bahkan tanpa menanggalkan bara merah yang masih

menempel di dalam rongga matanya dia menghambur

tinggalkan tempat itu.

 Panglima Pawang Sela cepat menghadang. Dia

korek dua Batu Baramundu yang ada di dalam rongga

mata si pemuda seraya berkata.

 "Bagaimanapun keadaanmu, tugas yang di-

perintahkan oleh Junjungan harus tetap kau lak-

sanakan. Kalau tidak nasibmu akan lebih me-

ngerikan dari yang kau alami sekarangl Kau

dengar?."

 "Hak..huk....hak..hukl" Arwah Hitam hanya bisa

keluarkan suara seperti itu sambil angguk-anggukkan

kepala berulang kali.

 SATU hari setelah Arwah Hitam Pengawal Malam

menghadap sang Junjungan di dasar lapisan ke tiga

Lembah Hantu, desa Jamburewo dilanda kegegeran


Wudhania, anak gadis berusia enam belas tahun puteri

seorang petani lenyap dari rumahnya. Penduduk

beramai-ramai melakukan pencarian. Setelah dua hari

mencari mereka belum berhasil menemukan si gadis.

Namun di dekat sebuah telaga dangkal berair kotor

ditemukan sebuah kuburan dalam keadaan terbuka.

Tanah kuburan masih gembur dan merah pertanda

kuburan itu masih baru. Agaknya siapapun yang

dikubur di tempat ini mayatnya telah digali dan

dikeluarkan. Mungkinkah itu mayat Wudhania, anak

gadis desa Jamburewo yang lenyap tidak tentu

rimbanya?

 Hanya beberapa hari setelah ditemukan kuburan 

kosong. Arwah Ketua di Candi Miring menerima 

laporan dari pembantu utamanya Arwah Gelap Gulita 

kalau Arwah Putih Pengawal Siang ditemukan telah 

jadi mayat di kaki bukit gersang. Mayat itu kemudian 

berubah menjadi bangkai seekor kadal putih, sesuai

dengan ujud aslinya.

 "Saya juga ingin memberi tahu wahai Arwah Ketua. 

Sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam sudah 

beberapa hari tidak kelihatan. Saya kawatir sesuatu 

telah terjadi dengan dirinya.'

 Arwah Ketua keluarkan suara mengorok.

 "Arwah Gelap Gulita. Aku minta kau menyelidiki

semua perkara kejadian ini sampai tuntas. Aku hanya

memberikan waktu tiga hari padamu. Kita harus

bertindak cepat Aku punya firasat sejak Sumur Api

meledak serangkaian peristiwa aneh yang terjadi akan

membawa kepada satu malapetaka yang lebih besar.

Aku perintahkan juga padamu untuk menyelidiki dari

luar hutan jati, apa Pangeran Bunga Bangkai dan dua

pengiringnya masih berada di sana. Aku tidak yakin

ada kekuatan bisa membuat mereka lolos. Tapi Yang

Maha Kuasa bisa berbuat sekehendakNya. Aku tidak

boleh menyombongkan diri dengan Ilmu kesaktian

yang aku miliki yaitu ilmu Tenung Arwah. Di atAs


langit masih ada langit..."

 "Perintah Arwah Ketua segera aku laksanakan."

 "Aku mencium bau yang tidak enak diarah selatan 

candi. Selidiki ke arah itu lebih dulu."

 "Segera saya lakukan," kata Arwah Gelap Gulita.

 "Sebelum pergi harap kau sirap keberadaan candi 

ini."

 "Baik Arwah Ketua."

 Setelah membungkuk Arwah Gelap Gulita berkelebat 

keluar dari Candi Miring. Sejarak seratus tombak di 

timur candi dia mencari tempat ketinggian. Di sini dia 

tegak rangkapkan dua tangan di depan dada kaki 

terkembang, mata terpejam. Setelah sepasang 

telinganya tidak lagi mendengar suara tiupan angin, 

perlahan-lahan Arwah Gelap Gulita angkat ke dua 

tangan ke udara. Telapak diarahkan ke Candi Miring. 

Secara aneh candi angker itu beberapa saat kemudian 

mulai tampak samar dan akhirnya

lenyap sama sekail dari pemandangan seolah telah

bersatu dengan udara yang dibungkus oleh kegelapan

malam.



13.

 MAYAT BICARA

 SEPERTI yang dikatakan sang Junjungan, ketika 

menyelidik ke kawasan selatan Candi Miring, Arwah

Gelap Gulita yang berujud seorang kakek bersorban 

dan berjubah hitam mencium bau busuk. Saat itu di 

pertengahan hari dan sang surya memancarkan sinar 

terik.

 "Kalau ini bukan bangkai binatang, tidak bisa lain 

pasti bangkai manusia Bangkai manusia konon lebih 

busuk dari bangkai binatang...'

 Sejauh lebih dari lima ratus tombak Arwah Gelap 

Gulita dari candi, di satu telaga kecil yang airnya 

sudah lama mengering Arwah Gelap Gulita melihat 

banyak orang kerkerumun mengelilingi sebuah lobang. 

Tak jauh dari situ beberapa orang tengah membuat 

usungan dari bambu. Mendekat ke tepi lobang 

pembantu utama sang Junjungan ini melihat ada tiga 

orang lelaki di dalam lobang tengah menggotong 

sesosok mayat yang ditutupi sehelai kain panjang. 

Mayat inilah yang menebar bau luar biasa busuk. 

Arwah Gelap Gulita membentak.

 "Manusia-manusia kurang ajari Beraninya kalian

mengubur mayat di kawasan Candi Miring"

 Semua orang di tempat itu termasuk tiga yang

di dalam lobang tersentak kaget. Mengira yang

muncul adalah seorang Resi, salah seorang yang

berdiri di tepi lobang agak takut-takut berkata.

 "Resi, kami bukan hendak mengubur mayat Tapi

justru mau mengeluarkan mayat dari dalam lobang."

 "Siapa yang mati? Bagaimana bisa ada kuburan

di tempat ini? Kalian siapa?l" Bentak Arwah Gelap

Gulita

 Orang yang tadi bicara kembali menjawab.

 "Kami penduduk Desa Jamburewo. Seorang anak


perawan bernama penduduk desa hilang. Dua hari

lalu kami menemukan sebuah makam kosong tak jauh

dari desa. Kelihatannya ada jenazah pernah dikubur

di situ lalu dibongkar dikeluarkan. Kami curiga

jangan-jangan anak perawan yang hilang itu telah

menemui kematian dan pernah dikubur di situ. Kami

berbagi menjadi tiga rombongan dan meneruska

melakukan pencarian. Di tempat ini, di dalam lobai.g

kami menemui jenazah anak perawan itu, baru

setengah tertimbun. Kami tengah berusaha

mengeluarkan dan mau mengusungnya kembali ke

desa sewaktu Resi datang..."

 Dalam kejutnya mendengar keterangan orang

desa. Arwah Gelap Gulita ingat satu hal. Dalam hati

dia membatin. "Dikubur, lalu belum tiga hari jenazah

lenyap. Gadis ini agaknya sengaja dibunuh untuk

memenuhi satu tirakat Jangan-jangan ada seseorang

yang mengetahui..." Kakek ini tidak meneruskan apa

yang ada dalam hati dan pikirannya.

 "Aku akan membantu kalian mengeluarkan jenazah 

dari dalam lobang. Kalian bertiga menyingkirlah..."

 Tiga orang di dalam lobang walau merasa heran

namun meletakkan jenazah kembali ke dasar lobang.

Begitu ketiganya keluar dari dalam lobang Arwah

Gelap Gulita letakkan tangan kanan di atas lobang

hingga bergetar dan memancarkan cahaya putih

redup. Semua orang yang ada di tempat itu

tercengang kaget ketika melihat jenazah yang ada di

dalam lobang perlahan-lahan naik ke atas, melayang

sebentar di udara lalu turun dan rebah di atas usungan

bambu yang baru saja selesai dibuat.

 Arwah Gelap Gulita dekati usungan bambu. Kain

panjang di bagian kepala disingkap hingga dia dapat

melihat wajah dan bagian dada jenazah. Di leher

tampak tanda kebiru-biruan.

 "Bekas cekikan. Aku dapat memastikan tulang

leher gadis ini remuk sampai ke pangkal. Ganas sekali


Siapa yang begitu tega melakukan...?" Kata Arwah

Gelap Gulita dalam hati. Saat itu dia melihat jenazah

masih mengenakan pakaian. Sambil menutup kain

kembali pembantu utama Arwah Ketua ini bertanya.

 "Siapa nama gadis malang ini?"

 "Wudhania." Seorang menjawab memberi tahu.

 Arwah Gelap Gulita kemudian susupkan dua

tangannya ke bagian kaki jenazah. Brett! Kakek ini

robek ujung pakaian yang masih melekat di tubuh

jenazah. Robekan pakaian di simpan di balik jubah

Lalu pada semua orang yang ada di situ kakek ini

berkata.

 "Kalian boleh mengusung jenazah. Bawa kembali ke 

desa Jamburewo. Para Dewa akan memberkati kalian 

karena telah berbuat kebajikan."

 Selesai berkata Arwah Gelap segera berkelebat

tinggalkan tempat itu. Untuk beberapa lama orang-

orang Desa Jamburewo masih tegak tercengang-

cengang di tempat itu. Sampai akhirnya ada

seseorang yang berkata.

 "Jangan-jangan orang tua tadi bukan seorang

Resi. Tapi mahluk halus penghuni Candi Miring."

 "Kurasa kau benar. Kalau tidak mengapa tadi dia

kelihatan marah. Kita dituduh mengubur mayat di

kawasan Candi Miring."

 "Teman-teman, sebaiknya kita segera mengusung 

jenazah dan tinggalkan tempat ini." Seorang lain 

berkata Empat orang segera memanggul usungan. Tak 

lama kemudian setelah semua orang Desa Jamburewo 

pergi tempat itu tenggelam dalam kesunyian bahkan 

suara anginpun tidak terdengar.

 Namun sesaat kemudian dari balik serumpunan

semak belukar terdengar suara perempuan bicara

 "Cahyo Kumolo, kau menyaksikan semua apa

yang barusan terjadi?"

 Sebagai sahutan ada suara mendesis pendek

 "Aku yakin kakek tadi bukan seorang Resi. Adalah


aneh mengapa dia sengaja merobek dan membawa

potongan pakaian Jenazah. Aku melihat tadi dia

berkelebat lenyap ke arah utara. Bukankah di situ 

letak Candi Miring yang dihuni mahluk halus bernama

Arwah Ketua bersama pengikut-pengikutnya?"

 Kembali terdengar suara mendesis.

 "Aku ingin sekali menyelidik ke Candi Miring.

Tapi tidak mudah bagi kita bisa masuk kesana.

Mendekat saja sulit." Sambil mengusap punggung

kura-kura hijau di atas kepalanya, orang yang bicara

yang bukan lain adalah Sri Sikaparwathi berkata lagi.

"Entah mengapa aku ingin menduga-duga. Apakah

ada kaitan Candi Miring dengan Sumur Api? Lalu

mengapa orang yang kita cari Pangeran Bunga Bang-

kai dan dua sahabatnya lenyap begitu saja. Cahyo,

menurutmu apa mungkin Arwah Ketua di Candi Miring

adalah mahluknya yang menjadi pengendali cahaya

tiga warna yang selama ini kerap muncul. Dan setiap

muncul ada kejadian orang yang menemui ajal..."

 Kali ini tidak terdengar jawaban suara mendesis.

 KETIKA Arwah Ketua mendengar keterangan yang 

disampaikan Arwah Gelap Gulita mengenal jenazah 

anak perawan di selatan Candi Miring, penguasa Candi 

Miring ini langsung meminta robekan pakaian jenazah 

yang dibawa Arwah Gelap Gulita.

 "Sang surya tak lama lagi akan tenggelam. Malam 

ini juga aku akan melakukan Samadi Menghimbau Jiwa 

Kehidupan. Kau harus menemaniku. Kita akan 

mendapat kejelasan apa yang sebenarnya terjadi."

 Malam harinya, di salah satu menara candi Arwah

Ketua dan Arwah Gelap Gulita duduk berhadap-

hadapan. DI lantai, di atas sehelai daun kering yang

dipotong berbentuk segi enam, terietak robekan

pakaian jenazah Wudhania. Langit di atas candi


tampak gelap, bulan sabit dan bintang tidak satupun

yang kelihatan. Hampir setengah malam kedua mahluk 

penghuni candi itu melakukan samadi tiba-tiba daun 

alas robekan pakaian jenazah memancarkan cahaya 

biru lalu perlahan-lahan bergerak naik ke atas.

Sekira setinggi manusia berdiri robekan kain berhenti

lalu tampak sosok samar terbungkus cahaya biru.

 "Jenazah anak perawan bernama Wudhania

unjukkan ujudmu. Roh di alam gaib masuklah ke

dalam jenazah. Aku Arwah Ketua penguasa Candi

Miring membutuhkan pertolongan. Berupa jawaban

dari beberapa pertanyaan... Para Dewa di Swargaloka,

Izinkan dan bantu kami berdua mengetahui 

kebenaran. Demi keselamatan ibu dan dua bayi 

pilihanMu yang ada di candi ini. Jiwa Kehidupan, 

datanglah."

 Sesaat setelah Arwah Ketua berucap dan menara

candi diselimuti kesunyian, sosok samar terbungkus

cahaya biru perlahan-lahan bergerak mundur ke sudut

menara. Sementara bergerak ujudnya berubah

menjadi jelas. Ternyata dia adalah sosok seorang anak

gadis berusia sekitar enam belas tahun. Sebagian

wajah, tubuh dan pakaiannya diselubungi tanah

kuburan. Di leher ada tanda biru. Sesekali kepala

mayat hidup ini terkulai ke samping. Sepasang mata

yang membeliak besar menatap tidak pernah berkedip

ke arah Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita. Air muka

menunjukkan rasa takut yang amat sangat

 "Jiwa kehidupan, tamu yang datang dari alam

barzah. Rohmu berada di tempat yang aman. Buang

jauh-jauh rasa takutmu."

 Dua mata yang menatap mendelik perlahan-lahan

mengecil sayu dan mengedip.

 "Anak gadis, apakah betul kau bernama Wudhania? 

Gadis berasal dari Desa Jamburewo?" Arwah Ketua 

mulai bertanya.

 Mahluk di sudut menara perlahan-lahan meng


angguk lalu kepalanya terkulai ke kiri. Dari mulutnya

keluar suara seperti orang tercekik. Arwah Ketua

melirik pada Arwah Gelap Gulita lalu kembali

mengajukan pertanyaan.

 "Apakah benar kau masih perawan? Belum

pernah berhubungan badan dengan laki-laki?"

 Kepala jenazah hidup yang terkulai bergerak

lurus lalu mengangguk. Setelah itu kembali terkulai.

Kali ini ke samping kanan.

 "Ceritakan padaku apa yang terjadi dengan

dirimu... Bicaralah!"

 Menunggu cukup lama mahluk yang ditanya baru

menjawab. Suaranya seolah datang dari sumur yang

dalam dan sesekali tersendat tercekik.

 "Ada orang datang ke rumah. Dia mencekik leherku. 

Aku mati. Mayatku dibawa pergi. Dikubur di satu 

tempat. Satu hari kemudian kuburku dibongkar..."

 "Siapa yang membongkar?" tanya Arwah Gelap

Gulita.

 "Orang yang sama yang sebelumnya 

menguburku..."

 "Lalu apa yang terjadi?" Arwah Ketua yang

 bertanya.

 "Aku dibawa seperti terbang. Lalu dikuburkan

 lagi di satu tempat. Aku tidak tahu apa yang terjadi.

 Aku ditinggal begitu saja di dalam kubur. Tanah kubur

 tidak ditimbun. Lalu orang itu pergi..."

 "Jiwa kehidupan. Tamu yang datang dari alam

 barzah. Ingat baik-baik, sebelum pergi apakah orang

 Itu melakukan sesuatu..."

 "Dia pergi begitu saja. Tidak mengambil sesuatu

 dariku..."

 "Harap kau mau mengingat lagi. Orang itu

 mungkin tidak mengambil apa-apa dari dirimu. Tapi

 mungkin sekali sebelum pergi dia melakukan

 sesuatu..."

 "Aku mengingat...aku mengingat..." Kepala


jenazah hidup itu terkulai ke belakang.

 "Kau pasti bisa mengingat. Kau mampu mengingat 

Kau mampu mengingat Katakan apa yang dilakukan 

orang itu sebelum pergil" Arwah Ketua mendesak.

 "Dia membungkuk ke samping tubuhku. Dia

aku ingat. Dia menggumpal tanah. Sekitar sebesar

tinju..."

 Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita saling

berpandangan. Wajah dua mahluk alam gaib ini sama-

sama berubah. Satu kilatan cahaya api muncul di mata

Arwah Ketua. Lalu Arwah Ketua kembali bertanya.

 "Berapa buah gumpalan tanah yang dibuat

orang itu?"

 "Aku ingat..aku ingat Dua buah. Yah, dua buah.

Dia memegang satu di tangan kiri, satu di tangan

kanan lalu pergi begitu saja..."

 "Kau tahu siapa orang itu? Pemah melihatnya

sebelumnya?"

 “Tldak...tidak..."

 "Kau bisa mengatakan bagaimana rupanya, keadaan 

tubuhnya serta pakaian yang dikenakannya?'

 "Orang itu tidak mengenakan pakaian. Aku

tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan.

Mukanya polos licin. Tidak punya hidung, tidak

punya mata, tidak ada mulut. Telinga juga tidak

punya..."

 "Jahanam bergundal licik" menyumpah Arwah

Ketua. Dari mulutnya menyembur suara mengorok

keras. Setelah amarahnya reda dia laiu bertanya.

"Tamu jauh dari alam barzah. Apa lagi yang kau

ingat?"

 "Muka licin orang Itu memiliki tiga warna...."

 Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita tersentak.

 "Apa?" tanya Arwah Gelap Gulita. "Ulangi

ucapanmu!"

 "Orang bermuka polos licin itu wajahnya

berwarna. Ada tiga warna..."


"Kau ingat warna apa saja?!" tanya Arwah Ketua

menahan tegang bercampur marah.

 "Merah, biru dan hitam..."

 "Kurang ajari Mahluk yang sama lagi." Rutuk

Arwah Ketua.

 "Hekk....!"

 Jenazah hidup di sudut menara keluarkan suara

tercekik. Mata mendelik. Lidah terjulur.

 "Waktu kita habis..." kata Arwah Ketua. Dia cepat

angkat tangan kanannya sambil berucap. "Mahluk

kehidupan, tamu yang datang dan jauh. Terima kasih

kau telah membantuku. Selamat jalan. Semoga kau

kembali ke alammu penuh ketentraman. Semoga Para

Dewa akan memberikan tempat paling indah di alam

baka."

 Sosok jenazah Wudhania berubah samar

berselimut cahaya kebiruan. Sedikit demi sedikit

sosoknya lenyap, berubah menjadi robekan pakaian

lalu melayang dan kembali ke tempatnya semula di

atas daun kering di lantai candi.

 "Arwah Gelap Gulita. Kita menghadapi bahaya

Besar. Ada mahluk yang akan menembus ke dalam

Candi Miring."

 "Arwah Ketua, saya sulit mempercayai. Bagaimana 

orang luar bisa mengetahui rahasia..."

 "Ada yang berkhianat diantara kalian para

pembantukul Aku pasti akan menemukan siapa

mahluknyal"

 "Mereka pasti mengincar dua bayi." Berkata

Arwah Gelap Gulita.

 Arwah Ketua mengangguk. Kemudian sambil

sepasang mata bergerak berputar dia berkata. "Aku

merasa lantai candi bergetar!" Ucap Arwah Ketua

sambil mendongak ke langit hitam di atas candi. "Aku

juga mendengar auara desau aneh angin. Dari

samping selatan candi. Arwah Gelap Gulita, aku akan


melihat dua bayi dan ibunya serta Ratu Dhika Gelang

Gelang. Kau cepat menyelidik ke dinding selatan

candi'

 Dua mahluk gaib penghuni Candi Miring itu

sesaat kemudian lenyap dari pemandangan.


14.

 ARWAH GANJALAN CANDI LENYAP!

 LAKSANA tiupan angin Arwah Gelap Gulita

berkelebat ke bagian atas dinding candi sebelah

selatan. Dari sini dia memperhatikan ke bawah. Sunyi

dan gelap. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Satu-

satunya benda yang tampak di kejauhan adalah 

sebatang pohon yang telah meranggas kering,

miring ke kanan siap menunggu tumbang.

 Arwah Gelap Gulita memperhatikan sekali lagi. Kali 

Ini sambil mengerahkan hawa sakti ke kepala. Tiba-

tiba mahluk ini tersentak.

 "Aku merasa pasti. Sangat pasti..."

 Secepat kilat Arwah Gelap Gulita yang 

berperawakan tinggi besar dan memiliki rambut

berjingkrak seperti kawat lurus Ini melayang turun ke

tanah. Begitu menginjak tanah dua kakinya yang tidak

berkasut terasa panas. Matanya mendelik ke arah dua

benda yang tergeletak di tanah, hanya beberapa

jengkal dari dinding selatan candi.

 "Bangkai kodok. Hyang Jagat Bathara Dewa. Apa

yang terjadi?" Arwah Gelap Gulita berteriak.

"Bagaimana mungkin. Aku sudah menutupi kawasan

candi dengan Ilmu Gelap Di Langit Gelap Di Bumi.

Kembali dia alirkan hawa sakti, kali Ini disertai tenaga

dalam ke kepala lalu dua mata menatap tajam

kebagian dasar candi. Untuk kedua kalinya pembantu

utama Arwah Ketua ini tersentak kaget, tidak

menunggu lebih lama lagi dia segera merapal aji

mengirim suara dari jarak jauh.

 "Arwah Ketua, kita mengalami malapetaka besar."

 "Kau menemukan apa?!" Cuara bertanya Arwah

Ketua mengiang di telinga Arwah Gelap Gulita.

 "Arwah Muka Hijau yang selama Ini jadi ganjalan


candi tidak ada lagi di dasar dinding sebelah selatan!"

 "Berarti ada dua bangkai kodok di sekitar situ?l"

 "Betul sekali Arwah Ketuai Saya telah menemukan."

 'Terapkan ilmu Arwah Memantek Roh. Aku akan

segera ke sana. Kita akan segera menemukan siapa

pelakunya!"

 Arwah Gelap Gulita segera luruskan dua Jari ta-

ngan kiri kanan. Diarahkan pada dua bangkai kodok

yang tergeletak di tanah. Dua larik sinar hitam men-

deru. Dua bangkai kodok amblas masuk ke dalam

tanah.

 Saat itu juga tiba-tiba mengumbar suara tawa

bergelak di halaman selatan candi. "Penghuni Candi

Miringi Kalian bertindak terlambat. datanglah ke

halaman selatan candi! Kalian akan melihat ketololan

kalian sendiri! pada saat kalian berada di halaman,

aku Arwah Muka Hijau sudah sampai seribu tombak

jauhnya dari Candi Miring! Kalian boleh mengeluarkan

seribu ilmu Arwah Memantek Roh. Aku mau lihat apa

kalian bisa membuat aku amblas setengah badan ke

dalam tanah?! Ha..ha..ha.

 "Arwah Muka Hijau! Kau boleh tertawa sepuasmu! 

Arwah Ketua akan menjebol ubun-ubunmu. Menyedot 

darahmul Balas berteriak Arwah Gelap Gulita.

 Tiba-tiba satu cahaya hijau pekat membentuk

puluhan benda berupa pisau besar bermata dua

menderu dari balik dinding candi. Menyambar ke arah -

Arwah Gelap Gulita.

 KETIKA Arwah Ketua sampai di halaman samping 

candi bagian selatan kejutnya bukan kepalang. Di sini 

dia menemukan Arwah Gelap Gulita terkapar di tanah. 

Sekujur tubuh dalam keadaan tercabik-cabik dan 

berwarna hijau. Memperhatikan ke bagian bawah 

dinding candi, Arwah Ketua tidak melihat apa-apa



Kosong. Sosok Arwah Muka Hijau yang selama ini ada 

disana dijadikan ganjalan dinding miring lenyap tak 

berbekas!

 "Melihat tubuh mayat berwarna hijau, Ini adalah

pekerjaan keji Arwah Muka Hijau. tapi Arwah Muka

Hijau belum punya kemampuan untuk mengalahkan

apa lagi membunuh Arwah Gelap Gulita secara cepat

pasti ada satu kekuatan dari luar yang membantu, 

kalau tidak mana mungkin dia lolos deii himpitan 

dinding candi" Arwah Ketua keluarkan suara mengorok 

keras dan panjang. "Mahluk keji terkutuk Arwah Muka 

Hijau kau tidak akan bisa lari Aku akan mengejarmu

sekalipun sampai di neraka ke tujuh." Teriak Arwah

Ketua.

 PADA saat dua bangkai kodok amblas ke dalam

tanah akibat hantaman dua larik sinar hitam yang

dilepas Arwah Gelap gulita. Arwah Muka Hijau yang

lolos dari himpitan dinding selatan candi Miring telah

berada di daerah selatan. Sesuai bisikan yang

didengarnya dia harus pergi ke sebuah tempat di barat

Pleret dimana terdapat sebuah candi kecil yang pada

bagian atas gapura depannya ada ukiran batu berupa

burung besar mengembangkan sayap.

 "Duduk di tangga candi, sampai ada seseorang

datang menjemputmu. Sebelum orang itu datang kau

akan terlebih dulu melihat cahaya tiga warna keluar

dari dalam tanah."

 Sebelum pagi datang, selagi malam gelap masih

dipagut udara dingin dan kesunyian, tidak sulit bagi

Arwah Muka Hijau yang aslinya bernama Cendadaluh

mencari candi yang dimaksudkan dalam bisikan. Maka

dlapun mendudukkan diri di tangga depan candi,

menunggu orang yang akci menjemputnya.

(Mengenal riwayat Arwah Muka Hijau dapat dibaca

daiam serial sebelumnya berjudul "Arwah Candi


Miring")

 Wajah mahluk berjubah hijau ini angker

mengerikan, dia tidak memiliki mata. hidung dan

mulut maupun telinga, pada bagian itu hanya terdapat

sayatan tipis dijahit benang hitam kasar, selain itu di

wajah dan beberapa bagian tubuhnya terdapat banyak

bekas luka yaitu akibat pertarungan dengan Ratu

Dhika Gelang Gelang hingga terkurung dalam Bubu

Ikan Berbisa. Namun kemudian senjata aneh

perangkap berbentuk ikan ini mencelakai Arwah Muka

Hijau sendiri (Baca serial pertama berjudul "Perawan

Sumur Api") ,

 Tidak lama duduk menunggu di tangga candi,

dari arah timur tiba-tiba Arwah Muka Hijau melihat

ada bayangan samar putih sosok menyerupai manusia

mendatanginya. Sosok samar yang merupakan

seorang tua agak membungkuk mengenakan pakaian

selempang kain putih, berambut, janggut dan

berkumis putih Ini sampai dan berhenti di hadapan

Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau menduga-duga

tapi hatinya merasa bimbang.

 "Mahluk yang akan menjemputku." Pikir Arwah

Muka Hijau. "Tapi mengapa tidak sesuai bisikan.

Mengapa tidak ada sinar cahaya tiga warna keluar dari

dalam tanah?" Sepasang mata yang berupa sayatan

garis dijahit benang hitam bergerak-gerak memper-

hatikan. Hatinya mulai merasa tidak enak dan curiga.

 "Mahluk gaib, kau siapa? Jika kau bukan mahluk

yang menjemput diriku lekas menyingkir pergi dari

sini."

 "Aku memang bukan Ingin menjemputmu, aku

datang sesuai kehendak Para Dewa. Jika kau mau

bertobat dan minta ampun pada penguasa Candi

Miring, maka kau akan diselamatkan dari kematian

kedua serta hukuman diganjal seratus tahun di bawah

dinding candi..." Sosok samar di hadapan Arwah

Muka Hijau menjawab. Suaranya Jelas suara orang


yang sudah berusia lanjut

 Tentu saja Arwah Muka Hijau jadi terkejut

mendengar ucapan mahluk samar itu. Dia membentak

keras.

 "Pergi dari sini. Atau aku akan mengirim dirimu

kembali ke alam roh. dan kau tidak akan bisa keluar

lagi untuk selama-lamanya..."

 "Jangan mengancamku. Aku datang bermaksud

baik untuk menyelamatkan dirimu. Walau di dalam

tubuh tua Ini sebenarnya ada dendam terhadap

dirimu..."

 Arwah Muka Hijau dengan cepat bangkit berdiri.

tangan kanan diangkat ke atas, telapak yang telah

berubah menjadi hitam diarahkan pada mahluk samar

di hadapannya.

 "Ah..." mahluk samar menghela nafas panjang.

"Ilmu Serat Arang. Dengan ilmu ini dulu anak buahmu

yang bernama Setunggul Langit membunuhku!"

 Arwah Muka Hijau terkesiap kaget. Mata

dibesarkan agar bisa melihat lebih jelas.

 "Jadi...jadi kau adalah Dhana Padmasutral"

 "Betul sekali, dulu kita saling bermusuhan.

Puluhan tahun. Tapi setelah berada di alam roh.

bagiku semua permusuhan itu habis sudch, malah

sekarang aku Ingin menolongmu. Bertobat pada Yang 

Maha Kuasa dan minta ampun pada Arwah Ketua. 

Maka kau akan diselamatkan dari malapetaka!"

 "Dhana Padmasutra! Aku tidak perlu 

pertolonganmu! Aku juga tidak merasa perlu untuk

bertobat. Semua apa yang terjadi adalah karena 

hukum sebab akibat!"

 Saat Itu juga tiba-tiba menggelegar suara tawa

 bergelak.

 "Arwah Muka Hijau. Dosa kejahatan mu setinggi

 langit sedalam kerak bumi! Kau masih bicara

 sombong takabur! Mana ada pengampunan bagimu!

 Malam ini kau bahkan telah membunuh seorang


pembantuku di Candi Miring!"

 "Wussss!"

 Satu gelombang angin luar biasa kencang 

menyambar hingga sosok Arwah Muka Hijau yang 

berdiri di tangga candi tergontai-gontai sementara 

sosok samar Dhana Padmasutra bergerak naik ke 

udara sambil keluarkan suara.

 "Sayang sekali....sayang sekali! Kau lebih suka 

menemui ajal kedua kali dalam kesesatan dari pada 

mendapat pengampunan! Gendadaluh. jika takdir 

Yang Maha Kuasa sudah menentukan memang tidak

satu manusiapun bisa mengelak diri. Termasuk kau."

Sosok samar Dhana Padmasutra lenyap.

 Tiba-tiba ada satu mahluk besar luar biasa 

melayang turun menjejak tanah. Candi kecil dan tanah

sekitarnya bergetar keras. Beberapa bagian atas candi

yang memang sudah lapuk runtuh ke tanah. Sesaat

kemudian di tempat itu berdiri satu sosok besar

memiliki tinggi sampai tiga kali candi. Mengenakan

jubah biru yang dadanya tidak dikancing. Berkepala

botak dengan satu tanduk tunggal yang

memancarkan cahaya merah, sepasang mata besar

menjorok keluar rongga. Hampir keseluruhan mata

berwarna putih karena bola matanya hanya 

merupakan satu titik hitam kecil. Dari mulut mahluk ini 

keluar suara menggembor. Tiupan nafasnya 

memerihkan kulit dan mata. Inilah Arwah Ketua dari 

Candi Miring. Jika dia muncul dalam ujud begini rupa, 

itulah satu pertanda bahwa dia berada dlpuncak 

kemarahan dan hanya kematian mahluk lain yang 

dibencinya yang mampu menyurutkan amarahnya.


                    TAMAT


Kerajaan Bhumi Mataram dalam bahaya. Sementara

dua bayi yang diharapkan menjadi kesatria

pamungkas belum mencapai usia tujuh bulan dan


keselamatannya nyawa mereka juga sangat terancam.

 Mampukah pangeran Bunga Bangkai dan dua

sahabatnya keluar dari dalam tenung di hutan jati?

Siapa sebenarnya pengendali dibelakang layar yang

ingin menghancurkan Bhumi Mataram dan

bermaksud membunuh dua bayi? Ikuti cerita

selanjutnya berjudul:


SRI MAHARAJA KE DELAPAN

























Share:

0 comments:

Posting Komentar