..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 29 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE PENGASUH SETAN

matjenuh

 

Hak cipta dan copy right pada 
penerbit di bawah lindungan 
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Puncak Gunung Sindoro.
Malam berkabut. Langit kelam hanya dite-
rangi cahaya bulan sepotong. Angin dingin ber-
hembus berusaha mengusir kabut pekat yang 
menyelimuti puncak gunung penuh teka-teki ini.
Tak terasa malam makin menikam jauh. En-
tah kenapa suara binatang-binatang malam di 
puncak Gunung Sindoro terdengar makin riuh 
dan saling sambut. Itu pun masih ditingkahi oleh 
riuh rendah yang datangnya dari lautan pasir di 
puncak gunung. Makin lama suara itu makin ra-
mai, tak ubahnya seperti sebuah pasar. Namun 
anehnya, ternyata di puncak Gunung Sindoro tak 
ada keramaian apa-apa, kecuali kabut yang terus 
berarak-arakan.
Suara-suara apakah itu sesungguhnya?
Sulit untuk dapat dijawab. Dan itu memang 
sebuah rahasia gaib yang sampai sekarang belum 
juga terpecahkan. Menurut cerita dari mulut ke 
mulut penduduk kampung yang tinggal tak jauh 
dari Gunung Sindoro, suara-suara aneh itu ada-
lah para dedemit atau hantu penjaga yang sedang 
berpesta pora di puncak gunung. Namun ada juga 
satu kepercayaan kalau di puncak Gunung Sin-
doro memang terdapat sebuah pasar. Pasar Se-
tan!
Benarkah?
Sebelum kesimpangsiuran itu terjawab.... 
"Kuuukkk...!"

Sebuah suara dahsyat dan mengerikan men-
dadak menjegal.
Keriuhan itu pun terhenti seketika. Yang ada 
hanya suasana lengang seperti dicekam kenge-
rian. Bulan sepotong di angkasa pun merinding 
seolah tak berani menatap mayapada pekat.
Semua diam terpaku. Semua diam membisu.
Seekor burung hantu besar berwarna kuning 
tua diam terpekur di atas bongkahan batu besar. 
Sepasang matanya yang besar berwarna hitam 
nyalang memperhatikan keadaan sekitar, seolah 
ingin menunjukkan pada alam mayapada bahwa 
malam ini adalah miliknya.
"Kuuukkk...!" 
Dengan suara yang ingin membelah angka-
sa, burung hantu raksasa sebesar kambing itu 
meloncat dari terbang membubung tinggi. Kedua 
sayapnya yang besar bergerak-gerak gemulai 
mengitari puncak Gunung Sindoro. Tubuhnya te-
rus melesat cepat ke tengah puncak gunung, 
membentuk sebuah bayangan hitam di antara
pancaran redup sang rembulan.
"Kuuuukkk...!!!"
Sejenak burung hantu raksasa itu berputar-
putar di atas kawah mati puncak Gunung Sindo-
ro. Sepasang matanya yang besar nyalang terus 
menyorot ke dalam kawah. Terutama sekali pada 
sosok hitam yang tengah duduk bersila di pinggi-
ran kawah.
Seperti mendapati apa yang diinginkannya, 
sang burung meluncur turun ke arah sosok hitam 
itu. Pelan tanpa suara, kakinya mendarat di paha

kanan sosok yang ternyata seorang lelaki tua ren-
ta. Sulit sekali menaksir usia si kakek. Yang jelas, 
rambut si kakek berpakaian jubah hitam ini telah 
memutih. Demikian pula alis dan bulu matanya. 
Wajahnya mengerikan. Sepasang matanya yang 
cekung ke dalam terpejam rapat-rapat. Kedua bi-
birnya berwarna hitam. Kulitnya pun berwarna 
hitam legam. Di kedua pergelangan tangannya 
melingkar dua gelang akar bahar. Sebuah kalung 
berbandul tengkorak manusia berukuran kecil 
menggelantung dileher. 
"Kuuukkk...!!!"
Burung hantu raksasa itu mematuk-
matukkan patuknya yang berwarna kuning ke 
paha si tua yang tengah khusuk bersemadi ini.
"Ada apa, Meruya? Kenapa kau memban-
gunkan semadiku?" tegur lelaki tua itu kasar, be-
gitu membuka matanya perlahan-lahan. 
Burung hantu raksasa yang dipanggil Me-
ruya meloncat ke tanah. Lalu paruhnya dipatuk-
patukkan ke tanah, seolah-olah sedang mengata-
kan sesuatu.
"Kau ingin mengatakan sesuatu, Meruya?" 
tanya lelaki tua ini.
Burung hantu raksasa itu kembali mema-
tuk-matukkan kepalanya ke tanah disertai suara 
mendekur berkali-kali dan gerakan badan.
"Apa? Kau bilang muridku si Penguasa Alam 
tewas?" lonjak si tua renta ini kaget. "Siapa yang 
membunuh muridku, Meruya?"
Meruya menggerak-gerakkan kepalanya ke 
kanan kiri.

"Apa? Kau tidak tahu?! Bodoh! Dasar burung 
sialan. Kau tak pantas menjadi peliharaan si Pen-
gasuh Setan! Kau akan mendapat hukuman nan-
ti!"
Lelaki tua yang menyebut dirinya Pengasuh 
Setan itu kecewa bukan main. Namun tampaknya 
ia masih dapat menyimpan kekesalan hatinya. 
Meski demikian perasaan gelisahnya tetap tidak 
dapat disembunyikan. Mendadak kepalanya men-
dongak ke atas.
Memang, Pengasuh Setan adalah seorang to-
koh sesat yang jarang sekali menampakkan diri di 
dunia ramai. Di samping itu kesaktiannya pun 
nyaris tak tertandingi. Maka tak heran bila dia di-
anggap sebagai momok dunia persilatan dengan 
julukan yang cukup seram.
Dan entah mengapa sebagai tokoh sakti Pen-
gasuh Setan bisa gelisah sedemikian rupa. Malah 
kini sepasang matanya terus memperhatikan bu-
lan sepotong di atasnya. Beringas!
"Burung goblok! Sekali ini kau salah. Aku ti-
dak akan mengampunimu! Kau akan kubunuh 
saat ini juga! Sekarang, katakan! Apakah malam 
ini adalah malam Jumat Kliwon yang keempat pu-
luh?" maki Pengasuh Setan, makin kalap. Kata-
katanya sarat dengan ancaman. Kilatan sepasang 
matanya yang mencorong tajam menandakan ka-
lau ancamannya tidak main-main.
Meruya mengangguk-angguk, membuat Pen-
gasuh Setan kali ini merasa lega. Kilatan sepa-
sang matanya yang mencorong perlahan-lahan 
meredup.

"Hm...! Sekarang legalah sudah hatiku. Den-
gan berakhirnya semadiku ini, berarti aku telah 
dapat mengendalikan semua setan-setan peliha-
raanku. Bahkan aku dapat pula memanggil mere-
ka untuk membantuku dalam menguasai dunia 
persilatan!"" gumam Pengasuh Setan dalam hati. 
Senyumnya terkembang. Amat mengerikan.
"Kuuukkk! Kuuuukkk...!!!"
Burung hantu raksasa bernama Meruya 
mengkukuk berkali-kali. Kepalanya dan kedua 
sayapnya digerakkan ke sana kemari, seolah-olah 
ingin mengatakan sesuatu pada Pengasuh Setan.
"Hm...! Kau mau bilang apa lagi, Meruya? 
Oh...! Jadi kau sempat melihat jalannya perta-
rungan antara muridku dengan si pembunuh 
itu?" tebak Pengasuh Setan gembira.
Meruya menggerak-gerakkan kepalanya ke 
kanan kiri.
"Bukan! Jadi apa yang kau lihat, Meruya? 
Oh...! Kau hanya mendengar jeritan kematian 
muridku. Lalu, kau terbang berputar-putar di 
puncak Gunung Kembang sewaktu melihat seo-
rang pemuda berlari turun. Ya ya ya...! Aku men-
gerti kalau kau tak berani membangunkan tapa-
ku sebelum waktunya. Dan kau menunggu hing-
ga malam Jumat Kliwon yang keempat puluh ini. 
Tapi, siapa yang membunuh muridku, Meruya?" 
cecar Pengasuh Setan melengking pada akhir ka-
limat.
Burung hantu raksasa itu gelisah bukan 
main. Sebentar-sebentar kepalanya ke sana ke-
mari digerakkan.

"Kau tidak tahu? Kau hanya mengatakan 
yang membunuh muridku hanyalah seorang pe-
muda? Bodoh! Di penjuru bumi ini bukan hanya 
terdiri dari seorang pemuda saja! Dasar burung 
bodoh! Tak berguna!" 
Di akhir kalimatnya, Pengasuh Setan me-
layangkan telapak tangannya. Cepat sekali.
Plak! 
"Kuuukkk...!!!"
Burung hantu peliharaan Pengasuh Setan 
itu kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terja-
tuh ke dalam kawah begitu terkena tamparan ma-
jikannya. Namun dengan gerakan gesit Meruya 
segera berputar balik dan terbang tinggi di angka-
sa.
Pengasuh Setan sempat mengeluarkan ge-
raman. Entah kesal pada kebodohan burung per-
liharaannya, atau karena mendengar berita kema-
tian muridnya. Yang jelas, tubuhnya tahu-tahu 
sudah berkelebat cepat meninggalkan tempatnya 
bertapa. Gerakan kedua kakinya tampak seperti 
melenggang biasa. Namun hebatnya, dalam bebe-
rapa kelebatan saja sosok Pengasuh Setan telah 
menghilang di balik mulut kawah.
***
Seperti yang terdapat di puncaknya, hampa-
ran lautan pasir di puncak Gunung Sindoro me-
mang pantas disebut Segoro Pasir. Di mana-mana 
dipenuhi lautan pasir yang menggunduk dalam 
belaian angin malam.

Dari tempat inilah suara-suara aneh tanpa 
wujud itu berasal. Bahkan suara riuh rendah itu 
terdengar makin ramai dan aneh. Terkadang ter-
dengar lirih seperti tengah berbisik, terkadang 
melengking-lengking tinggi seperti tengah meri-
butkan sesuatu. Dan, ke sanalah Pengasuh Setan 
pergi!
"Diam! Siapa yang menyuruh kalian beri-
sik?!" bentak Pengasuh Setan, garang.
Lelaki tua ini berdiri berkacak pinggang di 
atas sebuah bongkahan batu besar. Sepasang 
matanya yang mencekung terus memperhatikan 
keadaan sekitar, seolah-olah tengah memarahi 
beberapa orang anak kecil yang nakal. 
Aneh! 
Mendadak suara riuh rendah di puncak Gu-
nung Sindoro terhenti. Demikian pula suara bina-
tang-binatang malam. Dan kini yang terdengar 
hanya desau angin malam saja yang menyapa 
lembut mayapada.
"Bagus! Kalian memang harus patuh terha-
dapku. Kalau tidak, tentu kalian akan kuhukum. 
Sekarang, lekas tunjukkan diri kalian!" lanjut 
Pengasuh Setan sarat ancaman. 
Entah ancaman atau hukuman apa yang 
akan diberikan Pengasuh Setan bila makhluk-
makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro itu membangkang perintahnya. Buktinya saja, 
entah dari mana datangnya satu persatu mak-
hluk-makhluk halus penghuni puncak Gunung 
Sindoro mulai menampakkan diri!
Kini yang terlihat sungguh pemandangan

ganjil sekaligus mengerikan. Wujud-wujud mak-
hluk halus itu begitu menyeramkan. Sebagian 
berwujud raksasa hitam dengan sepasang mata 
yang menyala dan taring-taring yang melengkung 
keluar. Sebagian lagi berwujud bocah kecil berpe-
rut buncit. Bahkan ada pula yang berwujud seo-
rang wanita cantik yang juga bertaring. Belum la-
gi wujud-wujud mengerikan lainnya yang juga 
makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro!
"Bagus, bagus! Aku senang sekali memiliki 
anak buah seperti kalian yang harus patuh pada-
ku. Akulah pengasuh kalian. Siapa membangkang 
berarti siap mendapat siksa di atas seribu siksa! 
Kalian paham?!"
Tak ada sahutan kecuali suara riuh rendah 
makhluk-makhluk penghuni puncak Gunung 
Sindoro saja. Mereka saling kasak-kusuk satu 
sama lainnya.
"Diam! Apa kalian tidak patuh lagi terhadap 
perintahku? Apa kalian ingin merasakan huku-
manku, heh?!" ancam Pengasuh Setan, garang. 
Sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam men-
gerikan terus memperhatikan anak buahnya
Seperti semula, makhluk-makhluk halus 
penghuni puncak Gunung Sindoro pun mendadak 
menghentikan kasak-kusuk mereka. Malah ada 
sebagian lainnya yang tidak berani membalas 
pandang mata lelaki tua renta di hadapannya.
"Sekarang, dengarkan! Buka telinga kalian 
lebar-lebar! Bila suatu saat aku membutuhkan 
tenaga, kalian harus membantuku! Kalian harus

menuruti perintahku. Akulah yang mengasuh ka-
lian! Akulah yang mendidik kalian! Maka tak ada 
bakti lain, kecuali harus membantuku untuk 
menguasai dunia persilatan! Kalian paham?!" lan-
jut si Pengasuh Setan.
Tetap tak ada sahutan. Namun para mak-
hluk halus penghuni puncak Gunung Sindoro itu 
tak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Mu-
lut mereka seolah terkunci rapat-rapat dengan 
kepala terus tertunduk.
"Bagus! Meski kalian tidak dapat bicara, na-
mun aku yakin akan ketaatan kalian. Sekarang 
aku ingin meninggalkan kalian untuk beberapa 
saat. Aku ingin mencari orang yang telah mem-
bunuh muridku, Penguasa Alam. Dan kuminta, 
kalian harus tetap menjaga puncak Gunung-
Sindoro dari jarahan siapa saja! Terutama sekali, 
kalian harus tetap menjaga Kitab Paguyuban Se-
tan yang belum sempat kupelajari! Awas! Jangan 
sampai kitab itu hilang! Kalau sampai kitab itu 
hilang, berarti kalian semua harus bertanggung 
jawab. Kalian semua harus mendapat hukuman! 
Biar lari sampai ke ujung langit, jangan dikira 
aku tak dapat menangkap kalian!" perintah Pen-
gasuh Setan sarat ancaman.
Habis mengeluarkan perintah, sejenak tokoh 
sesat dari puncak Gunung Sindoro itu menyapu 
pandangan ke arah pengikutnya. Lalu kepalanya 
mendongak. Sepasang matanya yang mencekung 
ke dalam bergerak-gerak mencari sesuatu di ang-
kasa. Sejenak kemudian ia melihat titik hitam ke-
cil yang bergerak-gerak di atas bukit kawah mati.

"Meruya! Ke sini kau!" teriaknya.
"Kuuukkkk...!!!"
Terdengar suara sahutan burung hantu di 
kejauhan sana. Selang beberapa saat burung pe-
liharaan Pengasuh Setan bernama Meruya itu 
terbang mendekat, dan hinggap dibongkahan ba-
tu besar tepat di depan majikannya.
"Meruya! Kau awasi anak-anak asuhanku itu 
baik-baik! Jangan sampai mereka lengah! Apalagi 
sampai ada seseorang yang mencuri Kitab Pa-
guyuban Setan! Kaulah yang pertama kali men-
dapat hukuman bila kitab itu hilang. Kau paham, 
Meruya?!"
"Kuuukkk...!!!"
"Bagus! Aku senang sekali mendengar ke-
sanggupanmu. Sekarang aku akan meninggalkan 
kalian. Jaga puncak Gunung Sindoro ini baik-
baik!"
Tak ada lagi kata-kata perintah yang melun-
cur dari bibir Pengasuh Setan. Karena sebelum 
gema suaranya lenyap, tokoh sesat dari puncak 
Gunung Sindoro itu telah berkelebat cepat menu-
runi puncak gunung. Dan hanya dalam beberapa 
kelebatan saja, sosoknya telah menghilang di ba-
lik kegelapan malam.
Begitu sosok Pengasuh Setan menghilang, 
suara-suara riuh rendah di puncak Gunung Sin-
doro kembali terdengar. Makin lama makin riuh. 
Dan entah siapa yang terlebih dahulu memulai, 
makhluk-makhluk haus itu mulai berjingkrak-
jingkrak, menari-nari. Seolah-olah mereka baru 
saja terbebas dari orang yang menguasainya selama

DUA

Tidak seperti biasanya, siang ini matahari te-
rasa garang memanggang apa saja yang ada di 
muka bumi. Tanah pecah berpetak-petak. Sawah 
sekarat. Angin kering berhembus kencang dari se-
latan, menerbangkan apa saja. Bahkan sampai 
rumah-rumah penduduk kampung.
Mengerikan!
Sudah tiga bulan ini alam memang tak lagi 
ramah. Pertanda apakah ini. Mungkinkah Tuhan 
telah murka dengan menimpakan petaka di muka 
bumi? Memang bisa jadi demikian bila hukum 
rimba berlaku di salah satu muka bumi. Siapa 
yang kuat, dia yang menang. Maka, makin sem-
purnalah kesengsaraan. Yang kaya makin tertawa 
yang miskin makin menjerit.
Orang miskin hanya bisa mengharap dan bi-
sa memohon. Walau sebenarnya mereka tak pan-
tas mendapat hukuman seperti ini. Sawah mere-
ka kering. Biji-biji padi tak berisi. Mengerikan!
Ibarat setitik nila, rusak air susu sebelanga. 
Satu yang berbuat tercela, maka semua yang me-
nanggung akibatnya. Tak terkecuali, petaka tetap 
berlalu di mana-mana. Tangis-tangis kelaparan 
dan jerit-jerit kematian tetap bergaung setiap 
saat!
Bagi seorang pemuda yang kini tengah me-
lenggang santai di pematang kering, siksa kelapa

ran yang mendera perutnya tak begitu mengusik 
hari-harinya.
Kakinya terus saja melangkah tanpa beban 
dan tanpa arah tujuan.
Wajah pemuda itu tampan. Tubuhnya kekar 
berotot. Rambutnya panjang tergerai di bahu. Pa-
kaiannya rompi dan celana bersisik warna putih 
keperakan. Senjata anak panahnya tampak ter-
sembul dari balik pinggang. Di pergelangan tan-
gannya melihat pula gelang akar bahar.
Sejenak pemuda tampan yang tak lain murid 
Eyang Begawan Kamasetyo itu menghentikan 
langkahnya di persimpangan pematang. Sepasang 
matanya memperhatikan keadaan sekitar dengan 
hati menangis. Di sana-sini tampak hanya ham-
paran sawah kering. Batang-batang padi yang 
menguning bertumpukan di pinggir-pinggir pema-
tang.
Tak jauh dari tumpukan jerami, tampak seo-
rang bocah lelaki terus merengek minta makan 
pada ibunya yang masih tergolong muda. Sang 
ibu berkali-kali menghiburnya. Namun bocah be-
rusia lima tahun itu seperti tak mau mengerti. Ia 
terus saja merengek dengan wajah memelas.
"Ibu, makan! Lapar. Aku lapar sekali...!" ren-
gek si bocah kecil.
Sang ibu muda yang sedang membereskan 
tumpukan jerami sejenak menatap anaknya den-
gan sinar mata trenyuh. Tak tahu apa yang harus 
diperbuatnya. Ubi atau singkong tak punya. Apa-
lagi nasi.
"Tahan sebentar, Nak! Nanti Ibu mintakan

ubi pada tetangga sebelah," bujuk ibu muda itu.
"Tapi aku lapar sekali, Bu. Aku ingin makan 
sekarang," desak si bocah.
Sang ibu menarik napasnya. Getir. Kalau be-
gitu, apa yang bisa dilakukan? Kini yang paling 
hanya bisa dilakukan adalah mengalihkan perha-
tian pada suaminya di tengah sawah. Seolah, ia 
ingin menumpahkan penderitaan anaknya pada 
sang suami, seorang lelaki berusia tiga puluh ta-
hun.
Sang suami yang mendengar rengekan 
anaknya hanya mengangkat bahu. Bibirnya me-
nyeringai kecut. Pancaran matanya sayu, seolah 
tak tega melihat penderitaan anaknya. Namun, ia 
tak bisa berbuat apa-apa kecuali meneruskan pe-
kerjaannya. Dikumpulkannya batang-batang padi 
yang berserakan dan ditumpuk di pinggir pema-
tang. Entah itu berguna buat dirinya, entah tidak.
"Ibu! Lapar. Bu....Lapar..."
Bocah kecil itu tak dapat meneruskan uca-
pannya. Mendadak perutnya dipegangi kuat-kuat. 
Kedua kakinya gemetaran.
Sang ibu kelabakan bukan main. Buru-buru 
dihampirinya si bocah di pinggir pematang sawah.
"Ah..., Anakku! Kasihan sekali kau! Tunggu 
sebentar, Nak! Ibu akan mencarikan ubi untuk-
mu," ujar ibu muda itu.
"Cepat, Bu. Aku lapar sekali"
"Iya, iya."
Tergopoh-gopoh sang ibu segera meninggal-
kan pematang sawah. Sementara sang suami 
hanya dapat memandangi kepergian istrinya den

gan hati trenyuh.
Sampai di sini, Soma tak tahan lagi. Tanpa 
sadar tangannya merogoh saku celana. Tapi 
sayang, ia tak punya uang sepeser pun. Soma 
meringis. Hatinya ngilu sekali tak dapat menolong 
keluarga petani itu.
"Kasihan sekali mereka. Seharusnya aku da-
pat menolong mereka. Tapi sayang, aku tak 
punya uang...," gumam hati Soma, kecut. 
Pemuda berjuluk Siluman Ular Putih ini 
menggaruk-garuk kepala. Bingung. Perutnya sen-
diri sudah melintir minta diisi. Sejak kemarin 
siang ia memang tak sempat makan, karena tidak 
ada makanan. Jangankan makan. Seteguk air 
pun belum menyentuh perutnya. Padahal, tenggo-
rokannya sudah kering.
***
Bencana kelaparan tahun ini benar-benar 
luar biasa. Tangis bocah kecil bergema di mana-
mana. Tak ada bahan makanan yang dapat dima-
kan untuk hari ini. Apalagi hari-hari esok. Bila 
ada yang memiliki bahan makanan, mereka tentu 
akan berpikir tujuh kali untuk memberikan pada 
orang yang membutuhkan. Bagaimana mungkin 
mereka dapat membagi-bagikan makanan kalau 
anak dan istrinya sendiri juga membutuhkan? Di 
sini akan lebih terasa, betapa berharganya sepo-
tong ubi.
Dengan tergopoh-gopoh sang ibu muda yang 
tadi ditangisi anaknya berlari-lari ke tengah desa.

Matanya jelalatan ke sana kemari mencari-cari te-
tangganya yang barangkali dapat memberi sepo-
tong ubi untuk pengganjal perut anaknya. Namun 
sayang, semua tetangganya pun kelaparan. Ka-
laupun ada yang punya sepotong makanan, tentu 
saja keluarga sendiri yang didahulukan. Kini wa-
nita muda itu hanya berdiri bingung di samping 
jalan desa. Tangannya tak henti-hentinya mere-
mas-remas pakaian.
Sang ibu muda itu mengeluh. Air matanya 
mulai merembes keluar. Ia sudah keluar masuk 
rumah tetangganya. Dan ibu muda itu hanya bisa 
menangis, menyesali musim kemarau yang ber-
kepanjangan. Menyesali lumbung padinya yang 
kosong. Menyesali tetangganya yang kikir.
Sejenak ibu muda itu tercenung. Tampak 
sekali kalau kakinya ragu-ragu dengan tatapan 
hampa ke arah simpang jalan desa. Di sana se-
buah kedai berdiri. Kakinya ingin segera melang-
kah ke sana. Namun, tak sepeser pun ia mempu-
nyai uang. Padahal anaknya tengah menunggu 
kedatangannya di pematang sawah. Terbayang 
olehnya, anaknya kini tengah melejang-lejang 
menahan lapar. Kalau dibiarkan, bukan mustahil 
anaknya akan mati.
Ibu muda itu menjerit lirih. Kedua telapak 
tangannya ditangkupkan ke muka. Air matanya 
bercucuran membasahi jari-jari tangan. Tampak 
sekali kalau hatinya makin dihinggapi keraguan. 
Bukan saja karena tak memiliki uang yang mem-
buat ragu-ragu melangkah. Melainkan pemilik 
kedai itu terkenal kikir. Bahkan berkali-kali pemilik kedai itu menggodanya walau ia sudah bersu-
ami. Itulah yang membuatnya ragu.
"Duh... Gusti! Mohon ampunan-Mu! Kenapa 
Kau timpakan bencana di desa kami? Kenapa Kau 
timpakan pula pada keluarga kami? Oh....."
Ibu muda itu menangis sesenggukan. Air 
matanya makin bercucuran membasahi jari-jari 
tangan. Namun mengingat penderitaan anaknya, 
mendadak tekadnya timbul kembali. Kepalanya-
segera tegak kembali. Wajahnya yang cantik tam-
pak demikian pias. Kedua bibirnya gemetaran. 
Sepasang matanya yang indah terus memperhati-
kan kedai dengan dada naik turun.
Ibu muda itu menggigit bibirnya kuat-kuat. 
Berusaha menekan perasaannya yang berkeca-
muk. Lalu dengan tergopoh-gopoh ibu muda itu 
melangkah menuju kedai. Dan kebetulan saat itu 
seorang lelaki berperut buncit tengah berada di 
depan kedai. Dialah si pemilik kedai.
"Tolonglah anakku, Sukiat! Tolonglah anak-
ku! Anakku kelaparan. Aku mohon padamu! Beri-
lah aku barang sepotong ubi untuk pengganjal 
perut anakku!" ratap ibu muda itu meledak-ledak, 
begitu berada dua tombak di depan pemilik kedai 
yang bernama Sukiat
Si pemilik kedai menoleh malas-malasan. 
Tapi begitu melihat wajah cantik si ibu muda, wa-
jahnya yang jelek berubah berbinar. Malah ma-
tanya berkali-kali melirik ke arah beberapa orang 
tamunya, takut tindakannya diketahui.
"Boleh, boleh! Tapi mana uangnya?" tanya 
Sukiat, berbasa-basi.

"Aku tidak punya uang, Sukiat. Tolonglah 
aku, Sukiat. Nanti aku rela mengerjakan apa saja 
yang kau perintahkan," ratap si ibu muda.
Kembali sepasang mata pemilik kedai itu 
berkilat-kilat penuh kegembiraan. Dengan otak 
ngeresnya, terus diperhatikannya tubuh ibu mu-
da itu. Terutama sekali pada belahan dada yang 
membusung indah.
"Benarkah? Kau mau melakukan apa saja 
yang kuperintahkan?" terabas lelaki pemilik kedai 
itu dengan jakun turun naik.
"I... iya. Tapi… tapi...."
"Jangan ragu-ragu, Marni!" potong Sukiat se-
raya melangkah mendekati. "Ambillah makanan 
yang paling enak di kedaiku ini untuk anakmu. 
Tapi nanti malam, kau harus datang kemari!"
Senyum penuh hasrat si lelaki tampak ter-
sungging di bibir.
"Aku.....Aku...," sahut ibu muda yang di-
panggil Marni, kelu. "To..., tolonglah. Jangan kau 
perintahkan aku seperti itu. Aku.... aku...."
"Apa? Kalau begitu, buat apa kau datang 
kemari, heh?! Lekas tinggalkan kedaiku!" hardik 
si pemilik kedai kasar. Sepasang matanya melotot 
penuh kemarahan.
"Tolonglah aku, Sukiat! Anakku kelaparan. 
Tolonglah aku. Tolong...!" ratap Marni memelas.
Sukiat kesal bukan main. Beberapa orang 
yang sedang asyik makan minum di kedai mulai 
terusik. Dan kini pemilik kedai itu gelisah sekali. 
Dengan kasar segera diusirnya Marni.
Marni menjerit-jerit, memelaskan. Tapi pemi

lik kedai itu sedikit pun tidak menaruh rasa iba. 
Dengan kasar didorongnya tubuh Marni hingga 
jatuh bergulingan. Pada saat inilah, mendadak....
"Ada apa ini, he?! Kenapa ribut-ribut?"
Terdengar bentakan galak dari seseorang, 
membuat Sukiat terhenyak.
***
Sepasang mata sembab Marni menukas pe-
nuh harap ke arah seorang pemuda yang berdiri 
di sisinya. Langsung dirangkulnya kedua kaki si 
pemuda.
"Marni! Memalukan sekali kau! Lekas, ting-
galkan kedaiku!" hardik Sukiat, gusar.
"Ada apa ini, he?! Kenapa kau kasar sekali 
pada perempuan ini, Paman?" bentak pemuda 
tampan berambut gondrong sebatas bahu. Pa-
kaiannya rompi dan celana bersisik warna putih 
keperakan. Melihat ciri-cirinya, siapa lagi pemuda 
tampan itu kalau bukan murid Eyang Begawan 
Kamasetyo.
"Dia selalu mengganggu kedaiku. Sebal aku? 
Jadi kuusir saja dia daripada tamu-tamu langga-
nanku kabur," kilah Sukiat. 
"Itu tidak benar, Tuan Muda. Aku tidak per-
nah mengganggu kedai ini. Aku hanya minta ba-
rang sepotong ubi untuk pengganjal perut anakku 
yang kelaparan," sergah Marni.
"Hm... begitu? Lalu, kenapa kau tidak mem-
berikan barang sepotong ubi pada perempuan ini, 
Paman? Apa hanya sepotong ubi yang diminta pe

rempuan ini membuat kedaimu rugi? Lekas, bua-
tkan tiga bungkus makanan yang paling enak di 
kedai untuk ibu muda ini!" perintah Soma.
Lagak si pemuda persis juragan kaya men-
dadak. Padahal untuk mengganjal perutnya sen-
diri hari ini saja ia belingsatan tidak karuan. Tadi 
diam-diam Soma memang mengikuti si ibu muda. 
Dan mereka mendengar suara-suara ribut baru-
lah murid Eyang Begawan Kamasetyo itu melang-
kah mendekati. Dan betapa kesalnya hatinya kala 
melihat pemilik kedai berlaku semena-mena ter-
hadap ibu muda yang dilihatnya di pematang sa-
wah tadi. 
Sebenarnya Soma gelisah sekali kalau-kalau 
pemilik kedai itu menanyakan uang. Namun un-
tungnya, pemilik kedai itu tidak menanyakannya.
"Baik, baik! Aku akan membuatkan tiga 
bungkus makanan yang paling, enak di kedaiku 
pada perempuan ini. Tapi kau sendiri mau makan 
apa, Tuan Muda?" tanya Sukiat.
"Hm…!" Entah kenapa Soma malah garuk-
garuk kepala. "Sama dengan ibu muda ini, Pa-
man."
"Baik. Silakan masuk, Tuan Muda!" sambut 
pemilik kedai itu sumringah. Namun sewaktu 
akan masuk, Soma menangkap kilatan kebencian 
pemilik kedai itu pada perempuan di hadapannya.
Soma tidak mempedulikannya. Segera di-
angkatnya bahu ibu muda itu. Dibawanya Marni 
ke dalam, dan didudukkan di sebuah kursi.
"Terima kasih, Tuan Muda. Kau baik sekali. 
Semoga Tuhan selalu memberkatimu," ucap Marni.
"Sudahlah! Jangan diteruskan! Tak adanya 
mengungkit pertolongan yang tak berarti ini. Se-
karang, duduk saja di tempatmu. Dan, tunggu 
manusia kikir itu selesai membungkuskan maka-
nanmu dan keluargamu," ujar Soma, halus.
"Terima kasih."
Selang beberapa saat, Sukiat telah keluar 
dengan tangan membawa tiga bungkusan nasi. 
Begitu tiba di dekatnya, Marni buru-buru men-
gambilnya. Setelah mengucapkan terima kasih 
sekali lagi pada Soma, perempuan itu pun segera 
berlalu.
Soma tersenyum senang. Diam-diam dapat 
dibayangkan betapa senangnya bocah kecil yang 
kelaparan itu melihat ibunya membawa nasi Ten-
tu saja suaminya akan heran. Tapi bila juga curi-
ga melihat istrinya membawa tiga bungkusan nasi 
yang hampir tiga bulan ini tak ditemukan.
Sembari menikmati makanan yang dihi-
dangkan laki-laki pemilik kedai, Soma sendiri di-
am-diam terus berpikir. Sepeser pun ia tidak 
punya uang. Bagaimana mungkin dapat mem-
bayar makanan yang telah dipesannya?
"Aku harus mencari akal! Orang kikir ini ha-
rus diberi pelajaran. Pada masa sulit seperti ini, 
teganya ia memperlakukan semena-mena terha-
dap perempuan itu. Padahal, yang diminta pe-
rempuan itu hanya meminta sepotong ubi. Men-
jengkelkan! Ingin rasanya aku merobek mulutnya 
yang lancang itu. Mudah saja melakukannya se-
benarnya. Tapi sayang, aku tak ingin melibatkan

perempuan itu. Tapi, bagaimana caranya? Inilah 
yang sulit...."
Soma terus terpekur di tempat duduknya. 
Makanan yang dihidangkan sudah amblas masuk 
ke dalam perut. Sekarang, gilirannya yang harus 
bertanggung jawab.
Mungkin karena saking lamanya si pemuda 
duduk ongkang-ongkang kaki di kedainya, berka-
li-kali pemilik kedai itu mondar-mandir di depan 
mejanya. Sebentar-sebentar matanya melirik ke 
arah Soma kalau-kalau akan segera membayar 
makanannya. Tapi sayang, Soma tidak mempedu-
likannya. Kakinya malah diangkat seenaknya. 
Terpaksa Sukiat kembali ke tempatnya semula.
Namun baru saja pemilik kedai itu melang-
kah, mendadak terdengar derap kaki-kaki kuda 
tengah menuju kedai. Seketika sepasang matanya 
membelalak lebar. Parasnya pias. Tanpa sadar ke-
ringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Celaka! Celaka dua belas! Mereka datang 
kemari!" kata Sukiat, kalang kabut ketika serom-
bongan orang berkuda memasuki halaman ke-
dainya.

TIGA


Soma sebenarnya tak ingin peduli. Namun 
ketika melihat enam orang berkuda itu turun dan 
melangkah menuju kedai, ingin tahunya terusik 
juga. Ingin dilihatnya apa yang akan dilakukan 
orang-orang itu.
Melihat tampang-tampang mereka, jelas ke-
enam orang berkuda ini tak bermaksud baik. Tapi 
Siluman Ular Putih masih ingin menanti kelanju-
tannya. Ia ingin tahu, siapa yang jadi dalang di 
balik semua ini. 
"Sebenarnya aku tidak tega. Tapi kelakuan 
pemilik kedai ini memang kelewatan. Teganya 
berbuat semena-mena pada perempuan tadi. Apa-
lagi pada masa-masa sulit seperti ini," gumam 
Soma dalam hati, masih di tempat duduknya.
"Sukiat! Kali ini tidak ada alasan lagi untuk 
tidak membayar upeti kepada Juragan Lanang! 
Kau harus membayar sepuluh kali lipat dari 
tunggakan bulan kemarin. Dan kau pun harus 
membayar upeti bulan ini sekarang juga!" bentak 
lelaki bertubuh tinggi kekar yang berdiri paling 
depan setelah memasuki kedai. Wajah dan da-
danya dipenuhi bulu lebat. Pakaiannya hitam 
dengan ikat kepala berwarna hitam juga. Agak-
nya, dialah pemimpin rombongan yang ternyata 
orang-orang suruhan Juragan Lanang.
"Ingat, Sukiat! Semuanya harus kau bayar 
sekarang juga! Kalau tidak, kedaimu ini akan ku-
bakar!" bentak lelaki berwajah codet menimpali.
Paras pemilik kedai itu kontan pucat. Seku-
jur tubuhnya gemetar. Keringat dingin mulai 
membanjiri tubuhnya. 
"Tapi... Tapi, bukankah peraturan yang dulu 
tidak demikian? Mengapa sekarang jadi sepuluh 
kali lipat? Apakah... Apak..."
Braaak...!!!
Kata-kata Sukiat terpenggal ketika pimpinan

anak buah Juragan Lanang itu menggebrak meja 
hingga hancur berantakan.
"Jangan banyak bacot! Juragan Lanang telah 
menentukan demikian. Lekas bayar seperti yang 
kusebutkan tadi!" bentaknya.
Sukiat makin kalut. Lebih kalut lagi ketika 
melihat beberapa orang tamu langganannya mulai 
kabur tanpa membayar. Yang masih berada di 
tempatnya hanyalah tinggal Soma seorang. Na-
mun, apakah pemuda itu akan kabur pula? 
"Aku... aku tidak punya uang sebanyak itu, 
Perbowo. Seperti yang kau lihat kedaiku baru saja 
ditinggalkan pembeli tanpa..."
Plakkk!
"Akh...!" 
Pemilik kedai itu tak mampu melanjutkan 
kata-katanya kecuali memekik kesakitan. Tubuh-
nya kontan terlempar dan menghantam dinding. 
Pipinya yang terkena tamparan pemimpin rom-
bongan yang bernama Perbowo pecah-pecah, 
mengeluarkan darah segar! 
"Alasan! Sekarang, lekas bayar kalau tidak 
ingin kedaimu ini kubakar!" ancam Perbowo. 
"Ba... baik."
Sukiat jadi gugup bukan main. Seluruh tu-
buhnya terasa lemas saat bangkit berdiri. Ingin 
rasanya ia menangis, namun tak kuasa. Terpaksa 
diturutinya kemauan pimpinan anak buah Jura-
gan Lanang. Langkahnya terseret saat menuju 
tempat penyimpanan uang. Diambilnya uang 
simpanannya di peti. Dihitung sebentar, lalu di-
masukkan ke kantong. Dan langkahnya kembali


terseret saat menghampiri para begundal itu.
Perbowo dan lima orang anak buahnya ter-
tawa bergelak saat menerima uang dari Sukiat.
"Kalau kau mau menurut, tentu aku dapat 
berlaku lembut padamu. Tapi karena kau sendiri 
yang cari penyakit, ya apa boleh buat!" kata Per-
bowo gembira.
Pemilik kedai itu memberengut kesal. Saking 
kesalnya, tak sepatah kata pun keluar dari bibir-
nya yang gemetaran. Hanya pandang matanya sa-
ja yang terus memperhatikan kantong kecil di 
tangan Perbowo. Jelas, hatinya tak iklas.
Sementara, Soma tak mungkin membiarkan 
penindasan berlangsung di depan mata. Walau, 
orang yang ditindas jelas orang kikir.
"Eh, Manusia Berbulu! Kok aku tak ditarik 
upeti?" celoteh murid Eyang Begawan Kamasetyo, 
tenang.
Perbowo dan lima bawahannya yang ber-
maksud meninggalkan kedai makan mendadak 
menghentikan langkahnya. Pandang mata mereka 
yang beringas langsung menghujam tajam ke 
arah Soma.
Siluman Ular Putih tersenyum-senyum. Ma-
lah enak sekali duduk ongkang-ongkang kaki se-
perti itu. Hal ini membuat Perbowo dan kelima 
anak buahnya jadi gusar.
"Kunyuk sinting! Apa kau bilang tadi, he?!" 
bentak Perbowo. 
Si pemuda tampan itu tetap tenang dengan 
senyum manis.
"Aku heran. Heran sekali. Kok masih ada sa

ja manusia berhati binatang. Apa barangkali du-
nia sudah terbalik? Kok bisa-bisanya memeras 
orang seenak perut sendiri. Di zaman paceklik be-
gini lagi. Hm hm...! Edan!" gerutu Soma kalem. 
Sejenak ia berdecak-decak seraya menggeleng-
geleng.
"Apa kau bilang, Kunyuk Sinting? Kau bilang 
kami manusia berhati binatang, he?!" bentak Per-
bowo, kontan bangkit amarahnya.
"Nah, kau sudah mengatakannya sendiri."
"Setan alas! Kunyuk sinting macam kau 
memang patut mendapat pelajaran!"
Perbowo langsung melangkah lebar ke arah 
Soma. Jari-jari tangannya sudah terkepal erat 
siap menghajar.
"Eh, tunggu!" 
Soma mengangkat tangan. Dan entah kena-
pa Perbowo menghentikan langkahnya. Padahal 
Soma langsung mengalihkan perhatian pada Su-
kiat.
"Eh, manusia tengik pemilik kedai! Enaknya 
diapakan manusia-manusia penolak bala ini? Apa 
tidak sebaiknya dijadikan pelengkap sayur asem-
mu?" oceh Soma seenak dengkul.
Perbowo menggeram penuh kemarahan. 
Ucapan Soma benar-benar sudah melampaui ba-
tas. Jelas harga dirinya merasa diinjak-injak bila 
dikatakan sebagai manusia-manusia penolak 
bala. Maka tanpa diperintah, kelima orang anak 
buahnya telah mengurung Siluman Ular Putih. 
Soma tetap tenang-tenang saja. Malah kaki 
sebelah diangkat seenaknya.

"Hey, Pemilik Kedai! Jawab dong, perta-
nyaanku! Ah, dasar pengecut! Kau pun tak ubah-
nya manusia-manusia penolak bala ini!" lanjut 
Soma. 
"Bajingan! Beraninya kau menghina kami 
demikian rupa? Apa kau tidak tahu tengah ber-
hadapan dengan siapa, he?!" bentak Perbowo, tak 
dapat lagi mengendalikan amarah. Jari-jari tan-
gannya yang sudah terkepal erat segera dihan-
tamkan ke wajah Soma. 
"Eh, apa telinga kalian sudah budek? Bu-
kankah kalian ini bangsanya manusia-manusia 
penolak bala? Kenapa kau sendiri malah jadi lu-
pa? Dasar manusia-manusia tak berguna!" celo-
teh Soma sambil mengibaskan tangannya.
Plak! 
"Aaah...!" 
Tampaknya, Siluman Ular Putih seperti 
mengusir seekor lalat yang mengganggu saja. 
Namun anehnya, seketika Perbowo menjerit kesa-
kitan. Buku-buku tangannya seperti menghantam 
tembok baja yang kuat bukan main!
Lelaki kekar itu gusar bukan main. Rasa sa-
kit yang menjalar buku-buku tangannya tak dihi-
raukan lagi. Segera dicabutnya golok di pinggang. 
Sedang tanpa diperintah, kelima orang anak 
buahnya pun segera mencabut golok pula. 
Sret! Sret!
"Eh, kalian ini mau apa mengeluarkan golok 
segala? Mau potong kambing? Justru kalianlah 
yang pantas jadi kambing!" ejek Soma memanas-
manasi.

Hati Perbowo yang sudah panas, makin ter-
bakar mendengar ejekan Soma kali ini. Tanpa ba-
nyak cakap, segera diterjangnya pemuda itu. 
Bahkan kelima anak buahnya pun tak mau ke-
tinggalan. Dengan golok di tangan mereka segera 
menyerang Soma dari segala arah.
Melihat berkelebatannya enam bilah golok 
menyerang dirinya, Siluman Ular Putih masih 
sempat-sempatnya tertawa menggoda. Sedikit 
pun hatinya tidak gentar menghadapi keroyokan 
anak buah Juragan Lanang. Dan dengan satu ge-
rakan cepat luar biasa, Soma bangkit dari du-
duknya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke sana 
kemari dengan bergerak menotok.
Tukkk! Tukkk!
Enam kali jari-jari tangan Soma bergerak, 
maka tubuh keenam orang anak buah Juragan 
Lanang pun kaku tak dapat digerakkan dengan 
mata terbelalak tak percaya. 
Ini benar-benar di luar dugaan mereka. 
Sungguh tak disangka kalau mereka yang sangat 
ditakuti di Dusun Karang Kobar ini hanya dapat 
dirobohkan oleh seorang pemuda dalam sekali 
gebrakan. Benar- benar sulit dipercaya!
Soma tersenyum-senyum senang begitu ber-
henti berkelebat.
"Nah, begitu juga boleh! Kan enak? Daripada 
ngamuk," goda Soma.
Perbowo dan kelima orang anak buahnya tak 
banyak tingkah lagi. Kini mereka tahu, pemuda 
gondrong itu adalah seorang pendekar sakti. Se-
bab hanya orang berkepandaian tinggi saja yang

mampu merobohkan mereka hanya dalam sekali 
gebrak.
"Kalian dengar! Buka telinga lebar-lebar! Apa 
mata kalian sudah buta, hingga tega-teganya 
memeras orang seenak perut?! Pikir! Jangan me-
longo saja! Sudah tahu banyak penduduk kam-
pung yang sekarat, eh kalian malah membuat 
ulah. Memalukan! Dasar manusia-manusia tak 
berotak!" omel Soma, lagaknya persis nenek-
nenek kehilangan sirih.
Soma berjalan mondar-mandir. Kedua tela-
pak tangannya disembunyikan di balik punggung. 
Dan bila perlu, telunjuk tangannya menuding ke 
arah Perbowo dan kelima antek-anteknya.
"Coba bayangkan! Kalau seandainya kalian 
yang diperas, apa akan begitu saja menyerahkan 
harta bendamu? Iya? Pikir! Mentang-mentang ka-
lian punya sedikit kepandaian, lantas mau meme-
ras orang seenak perut. Begitu? Hm...! Menyebal-
kan! Apa kalian pikir orang-orang yang diperas ti-
dak menderita? Goblok! Bisa saja aku membuat 
hidup kalian menderita seumur hidup. Biar ka-
lian dapat merasakan, betapa sedihnya orang 
menderita. Apa kalian mau kalau kedua tangan 
dan kaki kalian kubuntungi?"
"Tid... tidak!" sahut Perbowo, tergagap.
"Makanya jangan sok bertingkah tengik be-
gini!" tukas Siluman Ular Putih, sewot. "Sekarang 
aku mau tanya. Siapa yang menyuruh kalian me-
narik upeti?"
"Ju.... Juragan Lanang..,."
"Goblok! Kenapa tidak Juragan Wadon saja


sekalian?! Huh! Kalau sudah begini, apa kalian 
mau tobat?"
"I.... Iya, Tuan Pendekar. Sa.... Kami me-
nyesal...," ucap Perbowo mewakili teman-
temannya.
"Menyesal-menyesal! Kalau sudah kena ba-
tunya kalian bilang menyesal. Huh! Menyebalkan! 
Percuma saja bicara panjang lebar dengan manu-
sia-manusia pengecut macam kalian! Sudah sana 
pergi!"
Siluman Ular Putih mengibaskan tangan, la-
lu buru-buru menghampiri si pemilik kedai. Na-
mun karena tidak mendengar langkah-langkah 
kaki di belakang, mendadak badan Soma berba-
lik.
"Sudah sana pergi! Kenapa malah melotot!" 
usir Soma.
"Kami... kami masih tertotok...," jelas Perbo-
wo.
Soma jadi tersenyum geli sendiri. Hampir sa-
ja ia menepuk jidatnya. Namun mana sudi Silu-
man Ular Putih mengakui ketololannya begitu sa-
ja. Apalagi di hadapan Perbowo dan kelima orang 
anak buahnya.
"Dasar goblok! Masa' kalian yang mengaku 
anak buah Juragan Lanang tak mampu membe-
baskan totokanku! Memalukan!"
Soma bersungut-sungut. Kesal. Namun toh 
akhirnya kakinya melangkah juga mendekat. Dan 
saat pandang matanya membentur pada kantong-
kantong kecil di pinggang Perbowo, tanpa banyak 
pikir panjang lagi segera direnggutnya. Lalu dibebaskannya totokan di tubuh Perbowo dan kelima 
orang anak buahnya.
"Sudah, sana pergi!" usir Siluman Ular Putih, 
seenaknya.
"Tapi, kantong-kantong itu...," kata Perbowo, 
keberatan.
"Jangan banyak tanya! Lekas tinggalkan 
tempat ini! Toh, uang ini juga bukan milik kalian!"
Perbowo tak berani lagi membantah. Tanpa 
banyak cakap, diajaknya kelima orang bawahan-
nya untuk segera meninggalkan kedai makan.
Siluman Ular Putih kini tersenyum-senyum 
senang. Puas hatinya bisa mengerjai Perbowo dan 
kelima orang anak buahnya yang kini telah lari 
terbirit-birit meninggalkan kedai makan. Ia tadi 
memang pura-pura berlaku galak dan kasar. Se-
bab, orang-orang macam mereka memang patut 
diperlakukan demikian.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Tak disangka 
sama sekali Tuan adalah seorang pendekar sakti," 
ucap Sukiat, si pemilik kedai penuh hormat.
Melihat sikap lelaki pemilik kedai yang ber-
lebihan, Soma jadi kesal. Apalagi kalau teringat 
akan perbuatan semena-menanya terhadap pe-
rempuan muda tadi. Hatinya jadi muak.
"Sudah! Jangan banyak cincong! Kau pun 
sama-sama menyebalkannya dengan mereka!" 
hardik Soma, kembali pura-pura bersikap galak.
Sukiat kontan diam membisu. Kepalanya di-
tundukkan dalam-dalam.
Sementara Soma segera mengeluarkan isi 
kantong hasil pemerasan Perbowo dan kawan

kawan. Cukup banyak memang. Bahkan teramat 
banyak untuk membayar uang makannya dan ti-
ga nasi bungkus yang dibawa perempuan muda 
tadi.
"Ini semua untuk membayar makanku dan 
tiga nasi bungkus yang dibawa perempuan muda 
tadi. Sisanya, boleh kau ambil sendiri. Hitung-
hitung untuk mengganti kedaimu yang rusak aki-
bat ulah begundal-begundal itu!" ujar Soma se-
raya menyerahkan kantong di tangan kirinya ke 
tangan laki-laki pemilik kedai itu.
Kening Sukiat berkerut dalam. Kantong itu 
bukan lain adalah kantong miliknya yang tadi di-
berikan pada Perbowo. Berarti, ia tidak menda-
patkan bayaran sepeser pun. Ini benar-benar ce-
laka dua belas!
"Dan kantong yang satu ini, aku sendiri be-
lum tahu siapa yang punya. Daripada pusing, aku 
ingin agar kau membagi-bagikannya pada pendu-
duk kampung. Termasuk juga perempuan muda 
yang kau hina tadi. Ingat! Jangan sampai disunat! 
Kalau kau melanggar perintahku, akan kusunat 
juga!"
"Ba.... Baik," sahut laki-laki pemilik kedai, 
kelu.
Siluman Ular Putih segera menyerahkan 
kantong di tangan kanannya pada laki-laki pemi-
lik kedai. Tapi saat hendak berbalik....
"Aduuuh…! Ini rumah makan kok beranta-
kan begini! Apa barusan ada orang ngamuk?"
***
Kening Soma dan Sukiat berkerut penuh ke-
heranan. Di hadapan mereka kini berdiri seorang 
gadis cantik. Penampilannya amat menyolok. In-
ilah yang membuat mereka keheranan. Bagaima-
na tidak menyolok kalau gadis itu berpakaian 
dengan warna beraneka ragam. Merah, kuning, 
hijau dipadu jadi satu. Rambutnya dikuncir dua 
ke belakang. Juga dihiasi pita yang beraneka 
warna. Kedua telinganya dipasangi anting bundar 
besar. Benar aneh penampilan gadis itu.
Belum lagi logat bicara si gadis. Manja. Te-
ramat manja. Entah disengaja, atau memang be-
gitu logat bicaranya. Demikian juga sikapnya. Tak 
kalah manjanya dengan logat bicaranya. Sikapnya 
benar-benar menggemaskan bagi siapa saja yang 
melihat. Kenes, manja, sekaligus juga menawan.
Soma dan Sukiat-sampai melongo dibuatnya. 
Persis sapi ompong.
"Gadis centil...," tegur Soma asal bunyi. 
"Aduuuh..! Kenapa kalian jadi melongo? Ke-
napa pelayan jelek itu malah mengataiku gadis 
centil? Uhhh...! Menjengkelkan! Masa' rumah ma-
kan begini bagusnya kok punya pelayan jelek se-
perti itu. Rambutnya gondrong lagi!! Hey, Pelayan 
Jelek! Lekas ambilkan makanan yang paling enak 
di rumah makan ini!" kata si gadis, seenaknya.
Bukan main menggemaskannya cara bicara 
gadis satu ini. Sambil bicara, tangannya pun ber-
gerak-gerak ke sana kemari menawan. Kalau saja 
yang bicara sejenis perempuan nakal, sudah pasti 
akan menambah muak orang yang melihat. Na-
mun yang bicara adalah seorang gadis cantik.

Muda lagi! dan tampaknya dari golongan orang 
baik-baik. Hal ini justru makin menambah mena-
rik penampilannya. Hingga tak heran kalau murid 
Eyang Begawan Kamasetyo kian terpesona!
"Aduuuuh...! Siapa yang pelayan? Aku bu-
kan pelayan. Aku tamu rumah makan ini," sahut 
Soma, ikut-ikutan latah. Sewaktu bicara, ping-
gulnya digerak-gerakkan ke kanan kiri. Hingga 
bukannya menggemaskan, malah sebaliknya.
"Ah! Curang! Kau niru aku! Kau harus kuha-
jar! Biar tahu rasa!" 
Habis berkata, si gadis manja itu segera me-
lompat ke depan. Ringan sekali gerakannya, per-
sis seperti orang menari. Namun sewaktu tangan 
kanannya mengayun, baru Soma terperanjat! Ka-
rena sebelum tangan mungil gadis manja itu
mengenai sasaran, terlebih dahulu telah berke-
siur angin keras menyambar kulit tubuh.
"Ihhh...! Kenapa kau jadi uring-uringan be-
gini? Aku kan cuma niru sedikit. Masa' kau jadi 
galak seperti ini?" goda Soma sambil membuang 
tubuhnya ke samping kalau tidak ingin jadi sasa-
ran empuk tamparan tangan gadis manja itu. 
Brakk...! 
Akibatnya, dinding kedai makan itu jadi be-
rantakan begitu terkena sambaran angin pukulan 
si gadis manja.
"Pelayan jelek! Sekali lagi berani meniru-niru 
aku robek-robek mulutmu!" ancam si gadis man-
ja.
Si gadis gusar bukan main, karena tak me-
nyangka serangannya dapat dihindari pemuda

gondrong di hadapannya dengan begitu mudah. 
Hatinya tersinggung berat. Mulutnya memberen-
gut kesal. Dan tangannya pun ikut-ikutan mem-
berengut.
"Hiaaa...!" 
Dengan sekali menjejakkan kakinya ke ta-
nah, tubuh tinggi ramping gadis manja itu telah 
berkelebat cepat menyerang Siluman Ular Putih.
"Oh… hancur sudah kedaiku...," keluh lelaki 
pemilik kedai.
Semula Sukiat hanya melongo melihat pe-
nampilan gadis manja di hadapannya. Namun ki-
ni mendadak jadi gelisah sekali. Tentu saja lelaki 
ini tidak ingin kedai makannya jadi langganan 
ajang pertarungan.
"Tunggu! Kalian tidak boleh berkelahi di ke-
dai makanku! Bisa hancur kedai makanku gara-
gara kalian!"
"Orang tua jelek! Apa tadi kau bilang? Kau 
juga ikut-ikutan latah? Kau pun akan kuhajar, 
Orang Tua!" bentak gadis manja itu, seraya 
menghentikan serangannya dan langsung meno-
leh pada Sukiat.
"Ampun! Aku tidak sengaja, Nona! Tolong 
jangan berkelahi di sini! Kasihanilah aku. Kedai 
ini akan hancur berantakan kalau kalian terus 
berkelahi di sini!" ratap Sukiat memelaskan.
"Baik! Aku akan berhenti. Tapi pemuda ceri-
wis ini harus kutampar dulu mulutnya!"
"Ampun! Ampun! Aku tadi juga tidak sengaja 
kok. Aku hanya main-main. Kau jangan marah-
marah lagi, ya! Jangan menampar pipiku! Kasihanilah aku, Gadis!" ratap Soma pura-pura me-
melas.
Entah kenapa tiba-tiba gadis manja ini ma-
lah tertawa. Sikapnya pun jadi lembut, tidak me-
ledak-ledak seperti tadi.
Soma sampai melongo dibuatnya. Sungguh 
hatinya tak percaya kalau sikap gadis di hada-
pannya dapat berubah demikian cepatnya.
"Jadi... kau sudah memaafkanku, Gadis?" 
tanya Siluman Ular Putih, ragu-ragu.
Gadis manja itu tersenyum. Manis sekali. 
Dan jantung murid Eyang Begawan Kamasetyo 
itu pun seperti berloncat-loncatan.
"Tidak," sahut gadis itu masih dengan se-
nyum.
Soma masih ragu-ragu. Menilik sikapnya, 
hatinya yakin kalau gadis itu sudah memaafkan. 
Maka dibiarkannya saja saat gadis itu melenggak-
lenggok lemah gemulai mendekati dirinya. Na-
mun....
Plakkk! 
Soma sempat terkejut ketika tiba-tiba tangan 
gadis itu tahu-tahu telah menampar pipinya. Se-
benarnya mudah saja kalau si pemuda mau 
menghindar. Namun berhubung tidak ingin mem-
buat marah hati gadis itu, maka dibiarkannya sa-
ja. Semula dipikirnya, tamparan gadis itu tidak 
keras. Tapi justru Soma terpekik kaget. Pipinya 
terasa panas bukan main. Bahkan tubuhnya
sampai meliuk ke samping.
Gadis manja itu malah tersenyum. Manis se-
kali. Namun bagi Soma, tetap saja menjengkel

kan. 
"Hik hik hik...! Sudah kuduga, kau pasti be-
rilmu. Makanya kau kutampar sedikit keras. Tapi 
tidak apa-apa, kan? Aku tadi memang hanya in-
gin menjajal. Dan kenyataannya, kau memang 
hebat. Kau sanggup menerima tamparanku tanpa 
sedikit pun terluka," oceh si gadis seenak deng-
kul.
"Iya. Tapi sakit...!"
Gadis itu tertawa.
"Sudah, ah! Jangan cemberut terus dong! 
Yok, kuajak makan!"
Tanpa minta persetujuan dulu, tahu-tahu 
tangan si gadis telah melingkar di pinggang Soma, 
dan mengajaknya duduk di sebuah bangku. Si-
luman Ular Putih yang semula memberengut, 
mendadak jadi tersenyum cerah. Habis, siapa 
orang yang tidak senang dirangkul oleh gadis can-
tik?
"Nah.... Kalau akur begitu kan enak. Aku ja-
di senang melihatnya," cetus Sukiat sumringah. 
"Tapi ngomong-ngomong, kalian mau makan apa? 
Sayur lodeh atau...?"
"Lho? Itu kan sayur kesukaanku dan nenek!" 
sahut gadis itu tiba-tiba.
"Oh, ya? Kalau begitu, aku akan segera 
membuatkan sayur lodeh untuk kalian berdua," 
kata lelaki pemilik kedai, lalu segera masuk ke 
dapur.
Sebenarnya Soma ingin menolak ajakan ma-
kan gadis manja itu. Bukannya tidak mau. Tapi, 
perutnya sudah kenyang. Namun kalau menolak

berdua-duaan dengan gadis itu, berarti tolol. Dan 
kenyataannya, pemuda ini tidak ingin dikatakan 
tolol. Ia memilih berdua-duaan dengan gadis can-
tik di hadapannya.
"Ada apa? Kok senyum-senyum saja?" tanya 
gadis manja itu mengusik lamunan Soma.
Soma tersenyum.
"Aku senang sekali berduaan denganmu. 
Kau cantik. Berkepandaian tinggi lagi. Siapa pun 
juga pasti akan senang berduaan denganmu," sa-
hut Soma.
Gadis manja itu memejamkan matanya. Ke-
dua telapak tangannya ditelangkupkan di depan 
dada, seolah-olah meresapi apa yang dikatakan 
Soma barusan.
"Duh...! Betapa senangnya hatiku! Rupanya 
kau pintar merayu, ya? Apa kau selalu merayu 
setiap gadis yang kau temui?"
"Tidak tentu. Tapi begitu melihatmu, aku ja-
di senang sekali bergaul denganmu." 
"Boleh-boleh saja. Asal jangan menggauliku! 
Hik hik hik...!" tukas si gadis mulai kambuh pe-
nyakitnya.
Soma sendiri sampai memerah telinganya. 
Tak disangka gadis itu demikian berani.
"Boleh aku mengetahui nama dan julukan-
mu?" tanya Soma.
"Kau curang! Kau sendiri belum menye-
butkan namamu. Masa' aku disuruh menye-
butkan dulu!" tukas si gadis manja. Kepalanya di-
gerak-gerakkan demikian rupa dengan bibir ter-
sungging manis.

"Namaku Soma. Aku tidak memiliki julukan 
apa-apa. Kau?" jawab Soma.
"Aku Mawangi. Julukanku, hm...," gadis 
manja itu tak melanjutkan ucapannya. Entah ke-
napa, tiba-tiba pipinya merona merah. 
"Kenapa tidak diteruskan?!" kejar Soma.
"Aku malu. Kau pasti akan menertawakan 
julukanku."
"Tidak. Apa pun julukanmu, aku tidak akan 
menertawakanmu" 
"Benar?" 
"Benar."
"Hm.... Hm...!" Mawangi mengulum-ngulum 
bibirnya sebentar. "Mendiang... mendiang nenek-
ku menyuruhku memakai gelar, Put... Putri Man-
ja."
Hampir saja Soma tertawa tergelak kalau ti-
dak teringat janjinya pada gadis cantik di hada-
pannya. Tentu saja hal ini dapat terlihat Mawangi 
yang ternyata bergelar Putri Manja. Namun belum 
sempat gadis itu membuka suara, mendadak ter-
dengar derap beberapa ekor kuda.
"Celaka! Juragan Lanang beserta anak 
buahnya datang kemari!" teriak Sukiat kalang ka-
but.

EMPAT


Betapa pucat pasinya wajah Sukiat saat 
orang-orang itu telah turun dari kuda, langsung 
memasuki kedainya dengan langkah lebar-lebar.

Kedua tangannya kontan gemetar membuat pesa-
nan makanan Soma dan Putri Manja jatuh beran-
takan. Saking takutnya melihat siapa yang da-
tang, lelaki pemilik kedai itu sampai terkencing-
kencing di celana.
"Sukiat! Mana pendekar yang kau sewa un-
tuk menjebak kami, he?! Kunyuk sinting itukah?" 
tuding seorang lelaki tinggi besar berpakaian in-
dah dari sutera biru ke arah meja Soma dan Putri 
Manja.
"Aku... aku... tid... tid...," suara lelaki pemilik 
kedai itu tersendat-sendat.
"Benar, Juragan! Pemuda itulah yang disewa 
Sukiat!" sahut Perbowo, yang ternyata tobatnya di 
hadapan Siluman Ular Putih hanya tobat sambal.
Hidung bulat besar Juragan Lanang kem-
bang kempis. Sepasang matanya tajam memper-
hatikan Soma dan Putri Manja. Dalam keadaan 
marah seperti itu, parasnya jadi makin beringas 
mengerikan. Tubuhnya yang tinggi besar berge-
tar-getar.
Di belakang Juragan Lanang, tampak bebe-
rapa anak buahnya. Wajah mereka pun seram-
seram dengan tangan siap mencabut golok yang 
menggantung di pinggang. Dan bila diperintah-
kan, dengan tidak mengenal ampun mereka siap 
menebar maut demi menegakkan peraturan sang 
juragan.
"Ihhh...! Takut aku. Mereka kok seram-
seram, Soma? Ihhh,..! Ngeri aku! Suruh mereka 
pergi, Soma! Aku ngeri...!" desah Putri Manja.
Entah karena saking takutnya atau entah

pura-pura, tiba-tiba pegangan tangan Putri Manja 
makin erat di lengan Soma. Kedua bahunya dite-
kuk dalam-dalam. Kepalanya disembunyikan di 
dada bidang Soma, seolah-olah ingin meminta 
perlindungan. Namun sewaktu pandang matanya 
tertumbuk pada lelaki pemilik kedai, mendadak 
sikap takut si gadis lenyap!
"Eh, Soma! Lihat! Pemilik rumah makan ini 
kok pipis sembarangan. Ihhh...! Jorok!" tunjuknya 
ke arah Sukiat.
Siapa yang tidak akan tertawa melihat sikap 
Putri Manja yang amat aneh ini. Tadi berteriak-
teriak ketakutan, kini malah tertawa-tawa geli. 
Soma yang tidak sempat memperhatikan lelaki 
pemilik kedai, mau tidak mau juga ikut-ikutan 
tertawa.
"Ah...! Kau ini! Dalam keadaan tegang begini 
masih saja membuat ulah!" tegurnya lembut.
"Aku tidak membuat ulah, Soma. Orang tua 
itu jorok. Masa' sudah tua begitu masih ngompol? 
Kan lucu?" kata Putri Manja bersungut-sungut.
"Sukiat! Keterlaluan sekali kau! Beraninya 
mereka mengejek kami seperti itu, heh?!"
Juragan Lanang gusar bukan main. Ia men-
gira kalau kedua anak muda itu sedang mengejek 
mereka. Tanpa banyak cakap, segera dicabutnya 
golok di pinggang. Lalu kakinya melangkah lebar 
mendekati Sukiat.
"Aku... Aku...."
Bukan main gugupnya hati laki-laki pemilik 
kedai itu. Parasnya makin pias. Kedua lututnya 
goyah. Dan...

Brukkk!
"Nah...! Apa lagi yang dilakukan orang tua 
itu, Soma? Kok malah tiduran? Tadi ngompol. Se-
karang tiduran. Huh!" celoteh Putri Manja meng-
gemaskan, saat melihat si pemilik kedai ambruk 
tak sadarkan diri. Sepasang matanya yang tadi 
berkilat-kilat penuh ketakutan kini berganti jena-
ka bagai seorang bocah kecil.
Soma yang juga berwatak jenaka pun tak 
dapat menahan geli. Ia tertawa terbahak-bahak. 
Sementara tangan kanannya mengacak-acak 
rambut gadis manja di sampingnya.
Juragan Lanang menggeretakkan geraham-
nya penuh kemarahan. Ia tak bernafsu lagi men-
dekati lelaki pemilik kedai. Sepasang matanya 
yang mencorong tajam kini mengarah beringas ke 
arah Soma dan Putri Manja.
"Para pengawalku! Mari kita tangkap gadis 
itu! Kalau perlu si gondrong itu sekalian!" 
"Wah.... hati-hati, Putri. Jangan-jangan kita 
babak belur nanti…!" Soma pura-pura mengeluh.
"Ah..! Tak mungkin! Mereka tak bisa apa-
apa. Mereka hanya pintar menggorok babi. Lihat 
'Tarian Bidadari'-ku!"
Putri Manja cepat melompat bangun. Senja-
tanya yang berupa gunting besar di tangan kanan 
meliuk-liuk indah seirama gerakan tubuhnya. 
Langsung dihadangnya para pengeroyok.
Crakkk! Crakkk! 
Gunting di tangan Putri Manja terus mence-
car Juragan Lanang dan kesepuluh orang anak 
buahnya.


"Benar kan, Soma? Mereka hanya pintar 
berkoar. Padahal mereka tak becus berbuat apa-
apa. Memegang golok pun belum becus!" ejek si 
gadis sambil tertawa. 
Putri Manja terus memanas-manasi. Ting-
kahnya pun makin menggemaskan. Tubuhnya 
yang meliuk-liuk indah, terkadang bergerak lam-
ban. Terkadang pula bergerak cepat laksana kilat, 
hingga makin membuat Juragan Lanang dan ke-
sepuluh anak buahnya kewalahan. Untung saja 
Putri Manja tidak menurunkan tangan maut. Pa-
dahal kalau saja mau, bukan mustahil para pen-
geroyoknya itu sudah tewas menemui ajal.
"Soma...! Aku jadi ingin mencukur gundul 
rambut mereka. Bagaimana, Soma? Tidak apa-
apa, kan?" celoteh Putri Manja meminta pendapat 
Soma.
"Lakukanlah! Tapi jangan terlalu galak. Bisa-
bisa mereka tewas," kata Soma.
"Baik, baik. Aku memang tidak bermaksud 
menurunkan tangan maut. Aku hanya ingin 
main-main sebentar dengan manusia-manusia se-
ram ini." 
Soma tidak menyahut, tapi justru lebih se-
nang memperhatikan jurus-jurus yang dikerah-
kan Putri Manja sambil duduk ongkang-ongkang 
kaki. Namun walaupun sudah berpengalaman 
malang melintang di dunia persilatan, Siluman 
Ular Putih belum dapat mengenali jurus-jurus 
yang dikeluarkan si gadis. Sementara gunting ga-
dis itu kini telah berhasil memangkas rambut be-
berapa orang anak buah Juragan Lanang dengan

tawa cerianya. 
"Sudah, Putri! Jangan terus bermain-main! 
Orang-orang seram ini harus secepatnya menda-
pat hukuman!" ujar Soma tiba-tiba.
Dan tahu-tahu, tubuh Soma telah berkeleba-
tan cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga sulit 
diikuti pandang mata Juragan Lanang dan kese-
puluh orang anak buahnya.
Tuk! Tuk!
Putri-Manja samar-samar dapat menangkap 
sosok tubuh Siluman Ular Putih sudah bergerak 
cepat, menotok kaku tubuh Juragan Lanang dan 
kesepuluh anak buahnya.
"Ah.... Kau mengganggu kesenanganku saja, 
Soma! Kenapa mereka dilumpuhkan?" rajuk Putri 
Manja. Kedua bibirnya yang merah merekah 
memberengut. Sepasang matanya yang indah bak 
bintang kejora memandang Juragan Lanang dan 
kesepuluh orang anak buahnya, seperti tak puas. 
"Aku benci kau, Soma! Aku benci!" jerit Putri 
Manja. Kakinya dibanting-banting ke tanah. Dan 
belum sempat Soma mencegah, tahu-tahu Putri 
Manja telah berkelebat cepat meninggalkan kedai 
makan.
"Tunggu, Putri! Aku.... Aku...!" 
Soma tak meneruskan kalimatnya, karena 
gadis itu tak mungkin dapat dikejar. Apalagi ia 
harus secepatnya menyelesaikan urusan dengan 
Juragan Lanang berikut kesepuluh orang anak 
buahnya yang harus mendapat hukuman setim-
pal atas perbuatan mereka yang tega-teganya 
memeras penduduk kampung. Untuk itu Siluman

Ular Putih harus membangunkan lelaki pemilik 
kedai itu. Diguncang-guncangkannya tubuh Su-
kiat, namun tak juga siuman. Soma jadi kesal se-
kali. Sejenak matanya melirik ke atas meja tempat 
ia makan tadi. Pemuda itu bangkit, mengambil 
secangkir air. Lalu diguyurkannya air dalam 
cangkir ke wajah lelaki pemilik kedai. 
Pyarr...!
"Uft.... Eh...! Ada apa? Kenapa kau meng-
guyur ku?" teriak Sukiat gelagapan.
"Cepat bangun! Kau harus secepatnya mela-
porkan perbuatan Juragan Lanang dan kesepuluh 
orang anak buahnya itu pada kepala desa di sini. 
Atau, kalau perlu laporkan saja pada adipati! Me-
reka harus mendapat hukuman setimpal! Biar ti-
dak lagi mengganggu keamanan penduduk kam-
pung. Juga kau! Kuingatkan sekali lagi! Kalau 
kau masih kikir, apalagi enggan menolong orang 
yang sangat membutuhkan, aku tak akan segan-
segan lagi menggantungmu di tengah pasar! Biar 
semua tahu bahwa kau juga orang pengecut! 
Mengerti?" ujar Soma, tegas.
"Ya ya ya...! Aku mengerti!" sahut Sukiat, ke-
takutan.
"Kalau sudah mengerti, cepat bangun! Dan, 
laksanakan apa yang kuperintahkan!" 
"Baik"
Begitu beranjak bangkit, Sukiat sangat ter-
kejut melihat tubuh Juragan Lanang dan kesepu-
luh anak buahnya kaku tak dapat bergerak. Lela-
ki pemilik kedai itu tidak tahu, apa yang telah ter-
jadi pada mereka. Ia ingin bertanya pada Soma.

Namun sayang, pemuda itu sudah tak ada di 
tempatnya.
"Celaka! Benar-benar celaka! Sudah kedai 
porak-poranda tidak karuan, masih disuruh ke 
sana ke sini! Huh! Apes benar nasibku hari ini...!"
***
Soma terus berkelebat cepat ke arah Putri 
Manja tadi menghilang. Tidak tanggung-tanggung 
lagi segera dikerahkannya ilmu lari cepatnya 
'Menjangan Kencono.'. Hingga tak heran kalau da-
lam beberapa kelebatan saja sosok bayangannya 
telah jauh dari kedai makan.
Sambil terus berkelebat, mata Soma tak hen-
ti-hentinya memperhatikan keadaan sekitarnya.
Pemuda itu berharap gadis manja itu mau 
menemuinya. Namun sayang, ketika tiba di ham-
paran sawah kering, ia tidak menemukan siapa-
siapa. Yang terlihat hanya hamparan tanah kering 
yang retak-retak di sana sini.
Soma menggedumel. 
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini? Kena-
pa tadi aku mengganggu kesenangan gadis manja 
itu? Huh! Dasar sial! Juga goblok! Mau berteman 
gadis manja itu saja tidak terkabul. Malah ia ka-
bur. Sial! Sial!" 
Soma menggerutu tak karuan. Tak henti-
hentinya jidatnya ditepuk-tepuk sendiri, saking 
kesalnya.
"Terus terang aku sangat mencemaskan ke-
selamatannya. Tampaknya, ia belum berpengala

man. Sikapnya masih lugu. Mungkin baru saja 
turun gunung. Ah...! Aku harus secepatnya me-
nemukan gadis itu. Tapi, kenapa aku jadi mele-
dak-ledak begini? Apakah... apakah aku mencin-
tainya?" tanya hati murid Eyang Begawan Kama-
setyo. "Bodo, ah! Mau jatuh cinta kek, tidak kek! 
Peduli setan! Pokoknya aku harus segera bertemu 
gadis itu!"
Habis bersungut-sungut begitu Siluman Ular 
Putih segera berkelebat cepat ke barat. Sementara 
sembari terus berkelebat, pandang matanya terus 
jelalatan ke sana kemari.
Lama berputar-putar mencari Putri Manja, 
akhirnya Soma menghentikan langkahnya dengan 
hati kesal. Ia tetap tak menemukan gadis manja 
itu.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Gadis 
itu tak kutemukan. Ah...! Daripada bingung men-
cari gadis tengil itu mendingan pergi ke mana aku 
suka," gumam hati Soma.
Namun belum sempat Siluman Ular Putih 
melangkah, mendadak....
Wuutt...!
Bletakkk!
"Aaah...!"
Soma terpekik kaget ketika sebuah benda 
menghantam jidatnya. Kepalanya kontan berputar 
dengan tubuh limbung ke samping. Lalu....
Brukkk!
Soma jatuh berdebam di tanah. Apa yang 
terjadi?

LIMA

Belum begitu lama Siluman Ular Putih me-
ninggalkan kedai makan, seorang lelaki tua renta 
tengah berdiri tegak di halaman depan kedai milik 
Sukiat. Usianya sulit sekali ditafsirkan. Rambut-
nya memutih tergerai di bahu. Alis mata dan bulu 
mata juga berwarna putih. Tubuhnya kurus ker-
ing seolah tak bertenaga. Pakaiannya berwarna 
hitam kumal.
Siapakah sebenarnya kakek renta berwajah 
menyeramkan ini? Ia tak lain dari Pengasuh Se-
tan. Seorang tokoh sesat dari Gunung Sindoro 
yang ingin menuntut balas atas kematian murid-
nya yang berjuluk Penguasa Alam.
Setelah hampir sehari semalam melakukan 
perjalanan, penciuman Pengasuh Setan menang-
kap bau anyir yang sangat dikenalnya. Bau anyir 
darah si Penguasa Alam! Sungguh hebat bukan 
main penciuman tokoh sesat dari puncak Gunung 
Sindoro itu. Meski Penguasa Alam telah tewas be-
berapa pekan lalu, namun hidungnya masih 
mampu mencium darah muridnya! Darah yang 
barangkali masih melekat pada tubuh atau senja-
ta si pembunuh muridnya!
Untuk beberapa saat hidung Pengasuh Setan 
terus mengendus-endus. Sayangnya, angin ber-
hembus cukup kencang. Hal ini membuat hatinya 
kesal sekali.
"Keparat! Aku yakin kalau pembunuh mu-
ridku baru saja berada dari tempat ini. Tapi

sayang, angin berhembus cukup kencang hingga 
aku sulit melacak jejak pembunuh muridku. 
Hm...!" geram Pengasuh Setan dalam hati.
Lelaki tua sakti ini segera mendekati kedai 
makan. Hatinya yakin, pembunuh muridnya baru 
saja meninggalkan kedai makan. Untuk itu harus 
secepatnya diselidiki kalau tidak ingin kehilangan 
buruan.
Saat itu Sukiat masih terpana heran melihat 
tubuh Juragan Lanang beserta kesepuluh anak 
buahnya kaku tak dapat bergerak. Bagaimana 
mungkin tubuh mereka kaku tak dapat bergerak?
"Ih...! Jangan-jangan mereka terkena sihir 
pemuda sinting itu? Aku... aku harus secepatnya 
melaporkan Juragan Lanang pada Ki Lurah kalau 
tidak ingin kaku seperti mereka. Hih...!" kata Su-
kiat, bergidik.
Sukiat buru-buru berbalik. Dan baru saja 
hendak melangkah, di hadapannya kini telah ber-
diri Pengasuh Setan dengan sepasang mata men-
corong tajam.
"Si.... Siapa kau, Orang Tua?" tanya Sukiat, 
makin bergidik.
Kaku sekali lidah lelaki pemilik kedai itu ka-
la menegur Pengasuh Setan. Kedua kakinya pun 
sulit sekali digerakkan, seolah menancap di tem-
pat.
"Berani kau buka-mulut sebelum kutanya, 
he?!" desis Pengasuh Setan, garang. Selangkah 
demi selangkah kakinya mulai mendekati Sukiat.
Sukiat hanya mampu menggeleng-gelengkan 
kepala. Tanpa sadar kedua kakinya bergerak

mundur. Mungkin baru kali ini sajalah lelaki itu 
melihat sosok manusia yang demikian menye-
ramkan. Dalam hatinya ia mengira sosok lelaki 
tua renta di hadapannya adalah arwah gentayan-
gan yang sering mengganggu Dusun Karang Ko-
bar.
"Aku mencium bau darah muridku di tempat 
ini. Cepat katakan! Siapa di antara kalian yang te-
lah membunuh muridku? Jawab!" bentak Penga-
suh Setan.
"Iya, iya!" Sukiat gugup dan tersendat.
"Apa?" 
"Aku... aku tid... tidak tahu." 
"Apa? Kau tidak tahu?"
Sepasang mata Pengasuh Setan membelalak 
liar. Rahangnya bergemeletukkan membuat lelaki 
pemilik kedai makin ketakutan.
"Aku.... Aku tidak tahu. Sungguh aku tidak 
tahu siapa orang yang kau maksudkan."
"Bedebah! Manusia tak berguna. Aku jelas 
mencium bau muridku. Kau masih bilang tidak 
tahu, heh?!" cecar Pengasuh Setan. 
Pengasuh Setan mengendus-enduskan hi-
dung. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mengiku-
ti bau darah muridnya yang hanya dapat dicium 
oleh hidungnya. Sama sekali hatinya tak terusik 
oleh adanya Juragan Lanang dan kesepuluh anak 
buahnya yang berdiri kaku di tempat itu.
Kening Sukiat berkerut heran. Ia masih be-
lum mengerti yang dimaksudkan. Tanpa sadar 
hidungnya pun ikut-ikutan mengendus.
Tiba-tiba paras Pengasuh Setan menegang.

Bau darah muridnya jelas tercium hidungnya. 
Maka bak seekor anjing pelacak, kakinya mulai 
bergerak mengikuti arah bau anyir darah murid-
nya hingga keluar kedai, dan terus mengikutinya 
sampai kejauhan.
Sukiat hanya bisa melongo. Hampir saja ma-
lapetaka yang lebih besar akan menimpa ke-
dainya bila salah bertindak. Untung saja ia hanya 
diam. Dan sosok menakutkan Pengasuh Setan 
pun telah jauh meninggalkan kedai.
"Busyet! Manusia apa memedi sawah?! Kok 
seram amat. Hih…! Kukira aku harus segera me-
laporkan Juragan Lanang ini pada Ki Lurah. Tapi, 
bagaimana dengan Juragan Lanang dan kesepu-
luh orang anak buahnya ini? Ah...! Baiknya seka-
lian saja kulaporkan. Beres!" gumam Sukiat ma-
sih terpana membayangkan sosok Pengasuh Se-
tan yang amat menyeramkan. 
Sebelum meninggalkan kedai, sejenak sepa-
sang mata Sukiat yang sipit sempat memperhati-
kan tubuh Juragan Lanang dan kesepuluh anak 
buahnya yang masih tegak kaku di tempatnya. 
Lelaki ini tidak tahu, apa yang tengah menimpa 
orang-orang itu. Kepalanya hanya menggeleng-
geleng sebentar sebelum akhirnya meninggalkan 
kedai.
***
"Sukiat! Kau lari-lari seperti dikejar setan. 
Ada apa?"
Sukiat buru-buru menghentikan langkah ke

tika tiba di depan seorang lelaki tua yang me-
nyambutnya. Napasnya masih memburu. Seben-
tar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang. 
"Tenang, Sukiat! Ada apa? Apa anak buah 
Juragan Lanang membuat onar kedaimu?" ujar 
lelaki berusia enam puluh lima tahun yang diken-
al sebagai Ki Lurah. 
Sukiat menelan ludah. Ditatapnya wajah Ki 
Lurah yang gagah penuh kearifan. Entah kenapa 
rasa takut yang mendera hatinya mendadak ber-
kurang begitu berhadapan dengan lelaki gagah 
berpakaian surjan lengkap di hadapannya.
"Ki Lurah! Aku... aku mau lapor. Memang 
Juragan Lanang dan anak buahnya membuat 
onar di kedaiku. Tapi yang lebih penting, baru sa-
ja kedaiku kedatangan memedi sawah, Ki," lapor 
Sukiat.
"Ah...! Yang benar saja? Masa' ada memedi 
sawah mengganggu kedaimu? Jangan ngawur, 
Sukiat!" sergah Ki Lurah seraya mengumbar se-
nyum.
"Benar, Ki. Baru saja memedi sawah itu da-
tang ke kedaiku. Wajahnya menyeramkan sekali. 
Kalau bukan memedi sawah atau arwah gen-
tayangan, mana mungkin ada manusia demikian 
menyeramkan? Matanya merah. Wajahnya pucat 
mirip mayat. Hiyyy...! Pokoknya menyeramkan 
sekali! Apalagi, katanya ia mencium bau darah 
muridnya. Apa itu tidak menakutkan? Mana 
mungkin ia mampu mencium darah seseorang ka-
lau bukan setan?" papar Sukiat.
"Sudah, sudah! Bicaramu makin ngelantur

tidak karuan. Sebaiknya mari kita membicarakan 
tentang Juragan Lanang dan anak buahnya yang 
membuat onar di kedaimu itu. Sudah lama aku 
memang ingin meringkusnya. Apalagi sepak ter-
jangnya kali ini memang sudah keterlaluan. Hayo, 
sekarang tunjukkan di mana Juragan Lanang be-
rada! Aku ingin menangkapnya, Sukiat," tukas Ki 
Lurah, tak sabar.
"Me..., mereka ada di kedaiku. Aku... aku ti-
dak tahu apa yang terjadi. Tubuh Juragan La-
nang dan kesepuluh anak buahnya kaku tak da-
pat bergerak. Aneh! Benar-benar aneh! Baru kali 
ini aku melihat kejadian ganjil ini, Ki," sahut Su-
kiat bersemangat.
"Hm...! Tubuh Juragan Lanang dan anak 
buahnya kaku tak dapat bergerak?" gumam Ki 
Lurah seraya mengangguk-angguk.
"Benar, Ki."
"Pasti ada seorang pendekar sakti yang telah 
melumpuhkan mereka. Aku harus cepat menang-
kapnya...," gumam Ki Lurah nyaris tak terdengar.
"Apa? Kau tadi bilang apa, Ki?"
"Sudah, sudah! Sekarang cepat ikut aku!"
Dengan langkah lebar Ki Lurah keluar dari 
halaman rumah. Sedangkan Sukiat mengekor da-
ri belakang. Beberapa orang penduduk kampung
yang sedang berkumpul di depan rumah Ki Lurah 
segera diperintahkan untuk mengikuti.
Sukiat yang berjalan di samping Ki Lurah 
menegakkan dadanya gagah. Seolah-olah dirinya-
lah yang paling berjasa. Senyumnya pun dibuat 
penuh wibawa. Satu persatu, penduduk lain ke

luar dari rumah sepanjang jalan yang dilalui Ki 
Lurah dan Sukiat. Mereka juga ingin tahu, apa 
yang terjadi. Dari kasak-kusuk itu, mereka tahu 
kalau Juragan Lanang dan kesepuluh anak 
buahnya yang selama ini meresahkan, telah tak-
luk tak berdaya di kedai milik Sukiat.
Maka berbondong-bondong pula mereka 
mengikuti langkah Ki Lurah dan Sukiat. Diiringi 
sorak sorai para penduduk, Sukiat makin mene-
gakkan dadanya.
Sebentar kemudian, kini mereka tiba di de-
pan kedai. 
"Nah itulah orangnya. Dengan dibantu seo-
rang pendekar muda tadi, aku berhasil melum-
puhkan Juragan Lanang dan kesepuluh anak 
buahnya!" tunjuk Sukiat, bangga. Kakinya terus 
melangkah memasuki kedai.
Begitu tiba di dalam, Ki Lurah tidak meng-
gubris ucapan sok pahlawan yang dilontarkan 
Sukiat. Ia justru lebih tertarik melihat tubuh Ju-
ragan Lanang dan kesepuluh anak buahnya yang 
kaku tak dapat bergerak. Sekali lihat saja ia tahu 
kalau perbuatan itu hanya dilakukan oleh seo-
rang pendekar muda. Sama sekali bukan oleh 
Sukiat!
"Cepat, Ki! Seret manusia-manusia pembuat 
onar ini ke hadapan adipati! Aku muak sekali me-
lihat tampang-tampang mereka!" sungut Sukiat.
"Iya. Tanpa kau suruh pun aku akan mela-
kukannya, Sukiat. Diamlah di tempatmu!" ujar Ki 
Lurah agak jengkel melihat tingkah Sukiat yang 
berlebihan.

Sukiat terdiam. Namun matanya melotot le-
bar.
Ki Lurah tidak mempedulikan. Segera dipe-
rintahkannya beberapa orang penduduk kam-
pung untuk segera mengikat Juragan Lanang dan 
kesepuluh orang anak buahnya. Mereka pun se-
gera diseret untuk dibawa ke kadipaten. 
Ketika beberapa orang penduduk kampung 
mulai menarik Juragan Lanang dan kesepuluh 
anak buahnya keluar kedai, Sukiat malah kecewa 
berat. Bibirnya yang dower manyun beberapa jari.
"Kau juga boleh ikut, Sukiat. Kaulah sak-
sinya!" seru Ki Lurah.
"Yayaya...! Aku memang harus ikut. Aku bu-
kan saja sebagai saksi, melainkan juga yang me-
nangkap Juragan Lanang berikut anak buahnya!"

ENAM


Sesungguhnya apa yang terjadi terhadap 
Soma? Siapa yang telah membokongnya? Bukan-
kah pemuda itu berkepandaian tinggi? Lalu kena-
pa mudah sekali diperdayai?
Jawabnya hanya satu. Sudah pasti si pem-
bokong memiliki kepandaian yang jauh lebih ting-
gi daripada Siluman Ular Putih. Kalau tidak, mus-
tahil murid Eyang Begawan Kamasetyo dapat se-
mudah itu diperdayai!
Dasar nasib lagi sial. Sudah dibokong lawan, 
tulang ekor si pemuda pakai mencium batu lagi. 
Maka makin hebat saja Soma meringis kesakitan.

Kambing yang mau beranak saja masih kalah se-
ru dibanding seringaian Siluman Ular Putih.
"Babi buntung! Kambing congek! Seenak ji-
datnya saja membokong orang!" maki Soma ka-
lang kabut pada sosok yang tahu-tahu telah ber-
diri di depannya. Kedua telapak tangannya sibuk 
mengelus-elus pinggang. Namun sebentar kemu-
dian tangannya sudah mengelus-elus jidatnya 
yang berdenyut.
Sosok di hadapan Soma terkekeh senang. 
Dia adalah seorang lelaki tua tak bergigi. Bajunya 
berbentuk jubah kuning yang kedodoran sampai 
lutut. Kepalanya plontos. Hanya alis, bulu mata, 
dan jenggotnya yang memutih menandakan kalau 
usianya telah lanjut. Tubuhnya tinggi kurus. Se-
pasang matanya yang kelabu bersinar jenaka.
"Hehehe...! Baru kali ini kulihat ada pemuda 
setolol kau, Monyet Buduk. Apa begitu ya caranya 
mengejar-ngejar gadis? Memalukan! Tak tahu 
adat! Pemuda tolol macam kau memang patut di-
permainkan gadis cantik!" kata kakek ini terkekeh 
gembira. Ia tadi memang melihat Soma tengah 
mengejar-ngejar Putri Manja.
Soma terperangah. Bukan saja kesal dirinya 
dibokong, melainkan juga kesal mendengar eje-
kan lelaki tua aneh di hadapannya. Belum lagi 
melihat sikap si kakek yang tengik. Kalau menu-
rutkan perasaannya, ingin rasanya ia mendam-
prat. 
"Tidak ada hujan, tidak ada angin, kenapa 
kau menyerangku, Kek. Siapa kau sebenarnya?" 
kata Soma hati-hati.


"Jangan banyak tanya! Cepat bangun! Siapa 
sudi berkenalan denganmu!" semprot si kakek 
kasar.
"Sial! Seharusnya aku yang marah. Bukan 
dia!" gerutu Soma dalam hati. 
Siluman Ular Putih hanya bisa menggeleng-
geleng. Namun wajahnya tetap dipasang kalem.
"Baiklah kalau kau tidak mau menyebutkan 
namamu. Tapi setidak-tidaknya tolong jelaskan, 
mengapa kau menyerangku? Apa salahku, Kek?" 
tuntut Siluman Ular Putih, seraya melompat ban-
gun dengan mulut meringis. 
Tangan si pemuda mengebut-ngebut pakaian 
sebentar, lalu menatap orang tua di hadapannya. 
Cukup aneh penampilannya memang. Namun, 
Soma belum tahu siapa sebenarnya orang tua di 
hadapannya.
"Jangan melangkah! Tetap di tempatmu! Aku 
tak sudi mencium bau keringatmu!" ujar si kakek, 
saat Siluman Ular Putih hendak bergerak me-
langkah.
"Baik, baik!" sahut Soma, seraya menahan 
langkahnya.
"Nah begitu, Monyet Buduk. Tetap di tem-
patmu! Aku ingin memberimu hadiah."
"Apa yang ingin kau lakukan, Kek?"
"He he he...! Diam saja kau! Jangan banyak 
tanya! Seharusnya kau mengucapkan terima ka-
sih. Bukannya cerewet seperti ini. Jarang aku 
memberikan hadiah pada seseorang. Namun, kali 
ini kau beruntung."
Habis berkata, lelaki tua aneh itu segera me

rogoh saku jubahnya. Begitu tangan itu tercabut, 
Soma terkesiap. Apa yang diambil orang tua di 
hadapannya membuat keningnya berkerut. Di 
tangan si kakek tampak sebuah nampan kecil 
dengan beberapa cekungan seperti bentuk mai-
nan congklak dan sebuah kuas. Lalu tanpa 
menghiraukan keheranan Soma, tangan kanan-
nya yang memegang kuas segera mengaduk-aduk 
cekungan-cekungan kecil di dalam nampan.
Kening Soma makin berkerut heran. Kuas di 
tangan orang tua di hadapannya itulah yang tadi 
mencium jidatnya. Panjangnya hanya sejengkal 
dengan lingkaran tengah tak lebih dari setengah 
kuku. Tapi saat menghantam jidatnya tadi terasa 
bagai sebuah balok besar.
"Slompret! Sebenarnya siapa orang tua di ha-
dapanku ini? Apa yang ingin ia lakukan?"
Soma terus bertanya-tanya dalam hati. Ha-
tinya penasaran sekali, ingin tahu siapa kakek 
ompong di hadapannya itu?
"Bersiap-siaplah menerima hadiahku, Mo-
nyet Buduk! Sekarang cepat kau..."
"Maaf, Kek!" potong Soma dengan sangat 
menyesal, terpaksa aku tak dapat menerima ha-
diahmu."
"Apa? Kau menampik, Monyet Buduk?" sen-
tak si kakek ompong, gusar. Hidungnya yang pe-
sek kembang kempis. "Tidak bisa! Siapa pun juga 
tidak bisa menolak hadiah yang kuberikan. Tetap 
di tempatmu. Dan, jangan banyak tanya!"
Soma sebenarnya ingin membantah. Namun 
belum sempat membuka mulut, mendadak kuas

di tangan si kakek ompong yang telah berlumuran 
cat telah menyerang dirinya. Tentu saja Soma ti-
dak sudi tubuhnya dicorat-coret. Maka seketika 
Siluman Ular Putih segera berkelit ke samping.
"Bodoh! Tetap di tempatmu! Apa kau tak in-
gin menerima hadiahku, he?! Ingat! Seharusnya 
kau berterima kasih padaku, karena aku akan 
memberimu hadiah. Tapi kau malah bertingkah! 
Hayo, cepat tetap di tempatmu!" hardik si kakek 
ompong.
"Enak saja! Badan mau dicorat-coret kok 
disuruh berterima kasih. Beruntung lagi katanya. 
Huh!" dengus hati Siluman Ular Putih kesal.
"Kalau kau tetap bersikeras menolak ha-
diahku, terpaksa aku akan memaksamu, Monyet 
Buduk."
"Kau sungguh keterlaluan, Kek. Sudah me-
nyerang kepalaku, sekarang masih mau menco-
ret-coret tubuhku. Tentu saja aku menolak, Kek."
"Bagus! Mau tidak mau, aku tetap akan 
memberimu hadiah," tandas si kakek ompong se-
raya menyerang Siluman Ular Putih dengan kuas 
berlumur darah.
Kesabaran Siluman Ular Putih pun habis. Ia 
kini tidak lagi sekadar menggerutu, melainkan ju-
ga sudah mencari maki saat diserang begitu. Na-
mun anehnya kakek ompong itu hanya terkekeh 
senang. Sementara kuas di tangan kanannya te-
rus memburu tubuh Siluman Ular Putih yang 
hanya berusaha berkelit
''Sontoloyo! Siapakah sebenarnya kakek om-
pong ini? Kenapa ia bernafsu sekali memberiku

hadiah? Ah...! Ya, ampun! Dia... dia...!"
Mendadak Siluman Ular Putih memekik da-
lam hati. Kini ia teringat cerita gurunya, Eyang 
Begawan Kamasetyo sewaktu masih di puncak 
Gunung Bucu.
"Tunggu, Kek! Apakah kau yang bergelar Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding dari Goa Bedakah?" 
cegah Siluman Ular Putih, berharap agar Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding yang sebenarnya masih 
terhitung sahabat dekat eyangnya itu mau meng-
hentikan perbuatan sintingnya.
Kakek ompong yang ternyata bergelar Pelu-
kis Sinting Tanpa Tanding sempat menghentikan 
serangannya seraya terkekeh senang.
"He he he...! Meski kau telah mengenalku, 
bukan berarti aku harus mengurungkan membe-
rimu hadiah. Cepat diam di tempatmu!" ujar si 
kakek. 
Soma memang tetap diam di tempatnya, na-
mun kali ini malah menelangkupkan kedua tela-
pak tangannya di depan hidung penuh hormat.
"Terimalah hormatku, Kek! Aku yang bodoh 
ini adalah murid sekaligus cucu Eyang Begawan 
Kamasetyo dari puncak Gunung Bucu, Kek," ucap 
Soma.
"Hm...! Bagus! Dasar bodoh, tetap saja bo-
doh. Kau sudah mengakuinya sendiri. Apa kau 
pikir kalau aku tahu kau murid sekaligus cucu 
sahabatku, aku harus mengurungkan memberi-
mu hadiah?! Tidak! Dengan dalih apa pun, aku
akan tetap memberimu hadiah. Seperti tadi aku 
memanggil, aku akan memberimu hadiah lukisan

seekor monyet buduk di dadamu! Cepat tetap di 
tempatmu! Dan bila kali ini kau bertingkah, ter-
paksa aku harus melumuri sekujur tubuhmu 
dengan cat ini!"
Siluman Ular Putih menggaruk-garukkan 
kepalanya. Bingung. Sulit memang menghadapi 
kakek sinting itu. Dia yang biasanya bersikap ug-
al-ugalan, kini mati kutu dibuatnya.
"Jangan dong, Kek! Masa' kau tega melumuri 
tubuh cucumu sendiri dengan cat," rayu Soma.
"Tutup mulutmu, Monyet Buduk! Kau pikir 
aku luruh dengan rayuan gombalmu itu, he?!" 
hardik Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Tapi... tapi aku tidak mau tubuhku dicoreng 
moreng dengan catmu, Kek."
"Itu berarti aku harus memaksamu!" 
Memang percuma saja Siluman Ular Putih 
meladeni kakek sinting itu. Bagaimanapun berki-
lah, tetap saja si kakek mendesaknya.
"Hm... lebih baik kutinggalkan saja...." 
Habis menggumam begitu, Siluman Ular Pu-
tih berbalik dan berkelebat cepat.
"Hey...! Tunggu! Kau tidak boleh meninggal-
kan ku! Aku belum memberimu hadiah!" teriak si 
kakek.
Dengan sekali menghentakkan kaki ke ta-
nah, tahu-tahu tubuh tinggi kurus Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding telah berkelebat cepat menge-
jar Siluman Ular Putih. Dan hanya dalam bebera-
pa kali menghentakkan kaki, tokoh sakti itu telah 
berdiri tegak di hadapan Siluman Ular Putih. 
Bahkan bukan itu saja. Begitu berada di hadapan


murid Eyang Begawan Kamasetyo, kuas di tangan 
kanannya telah digerakkan. 
Wuttt...!
"Heit! Tidak kena!" ejek Soma cepat berkelit 
ke samping.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus membu-
ru. Bahkan gerakan kuas di tangan kanannya 
semakin cepat. Hal ini tentu saja membuat Silu-
man Ular Putih kewalahan dibuatnya. Berkali-kali 
tubuhnya harus berjumpalitan ke sana kemari 
menghindari serangan-serangan kuas Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Tapi sayang, berkali-kali 
pula tubuh Siluman Ular Putih tergores kuas mi-
lik lelaki tua aneh dari Goa Bedakah itu.
Srattt! Srattt! 
"Sial...!"
Siluman Ular Putih menggerutu kesal dari 
guratan-guratan kuas di tangan Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding, samar-samar kini mulai memben-
tuk kepala seekor monyet di dadanya.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang.
"Ah, tidak percuma rupanya aku. Lukisanku 
ternyata masih cukup lumayan. Kau sungguh be-
runtung, Monyet Buduk. Tapi, tunggu dulu. Ada 
beberapa bagian yang belum sempurna," kata si 
kakek ompong ini.
"Beruntung kepalamu!" umpat Soma, mem-
batin. "Badan dicoreng moreng begini, dibilang 
beruntung. Huh...! Dasar tua bangka sinting! Ku-
rang kerjaan!"
Siluman Ular Putih terus menyumpah sera

pah dalam hati. Tindakan Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding benar-benar sudah melampaui batas. 
Mana sudi bangkotan tua dari Goa Bedakah itu 
dibiarkan mempermainkan dirinya? Meski Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding adalah sahabat dekat 
eyangnya, namun Siluman Ular Putih tetap tidak 
dapat menerima tindakan yang merendahkan di-
rinya itu.
Kini Siluman Ular Putih tidak lagi hanya 
menghindar begitu melihat kuas di tangan Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding kembali memburu. Ia ha-
rus bertindak. Hadiah sinting dari tua bangka 
sinting itu harus dihentikan. Maka kini kedua 
tangannya mulai mengibas untuk memapak.
Plakkk! Plakkk!
Soma berhasil menangkis tangan Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding. Namun anehnya, tangan-
nya sendiri yang malah bergetar hebat. Tubuhnya 
terjajar beberapa langkah ke belakang. Kesempa-
tan inilah segera dimanfaatkan Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding. Sambil terkekeh-kekeh senang 
kembali kuas di tangannya bergerak cepat meng-
gores dada Siluman Ular Putih beberapa kali.
Srattt! Srattt!
Siluman Ular Putih terperangah. Matanya 
makin membelalak lebar saat melirik ke dada. 
Gambar seekor monyet kurus mulai terlihat nyata 
di dadanya. Hatinya geram bukan main. Kalau sa-
ja tua bangka di hadapannya bukan sahabat 
eyangnya, sudah pasti akan dibalasnya kekuran-
gajaran Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Sementara Pelukis Sinting Tanpa Tanding

malah makin terkekeh senang. Ujung kuas di 
tangan kanannya dituding-tudingkannya ke arah 
Siluman Ular Putih. 
"Ya ya ya...! Cukup bagus. Kukira kau me-
mang tak ubahnya seperti gambar lukisanku di 
dadamu, Monyet Buduk. Sekarang, kau boleh 
pergi! Eh, tunggu! Ada sesuatu yang ingin kuta-
nyakan Bocah. Apakah kau pernah melihat Pen-
gasuh Setan?" kata Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing tiba-tiba mengubah alur pembicaraan.
Siluman Ular Putih yang sedang mengkelap 
mana sudi menjawab pertanyaan Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding. Soma hanya menggerutu kesal, 
lalu menggeloyor pergi seenaknya.
"Monyet buduk! Kau tidak boleh meninggal-
kanku begitu saja. Kau harus menjawab perta-
nyaanku baru kau boleh pergi!" teriak Pelukis 
Sinting Tanpa. Tanding seraya berkelebat, meng-
hadang jalan Siluman Ular Putih. 
Soma melotot garang. Namun diam-diam ha-
tinya jadi heran. Buat apa bangkotan tua itu 
mencari Pengasuh Setan? Ia memang pernah 
mendengar tentang Pengasuh Setan dari Eyang 
Bromo. Dan baru sekarang disadari kalau Penga-
suh Setan adalah musuh besar Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding. (Untuk lebih jelasnya baca serial 
Siluman Ular Putih dalam episode : "Penguasa 
Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur").
"Meski tahu, belum tentu aku sudi menja-
wab pertanyaanmu, Kakek Ompong!" sahut Soma, 
seenaknya. 
"Apa? Kau tidak mau menunjukkan di mana

Pengasuh Setan berada, Monyet Buduk?!" sentak 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Kau sendiri yang punya keperluan. Buat 
apa tanya-tanya aku segala. Tadi kau bilang, aku 
bodoh. Kalau kau sendiri merasa lebih pintar, ke-
napa tidak kau tanyakan saja pada setan-setan 
gentayangan penghuni hutan ini. Siapa tahu me-
reka mau berbaik hati padamu!" 
"Ah...! Rupanya kau kecewa dengan hadiah-
ku, ya? Tapi kupikir, hadiahku tidak buruk. Ke-
napa kau tidak mau menunjukkan di mana Pen-
gasuh Setan berada, Monyet Buduk?!" kata si ka-
kek.
"Mau kecewa kek, tidak kek. Yang jelas, kau 
telah menggangguku. Karena kau masih terhitung 
sahabat dekat eyangku, maka kuampuni kelan-
canganmu ini. Tapi untuk menjawab perta-
nyaanmu, aku tak sudi! Dan lagi aku memang ti-
dak tahu di mana dia berada!" sahut Soma ketus.
Habis menyahut, tanpa banyak cakap murid 
Eyang Begawan Kamasetyo meninggalkan tempat 
itu. 
Kali ini Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya 
terpaku di tempatnya. Tak ada keinginan lagi un-
tuk mengejar murid Eyang. Begawan Kamasetyo. 
Yang dilakukannya hanya menggumam kecil, se-
belum akhirnya berkelebat cepat meninggalkan 
tempat itu.

TUJUH

Siang terasa cerah, angin bertiup kencang 
membuat debu-debu beterbangan. Berputar-putar 
ke mana saja arah angin membawa. Pohon-pohon 
pun berderak. Daun-daun berguguran. Beterban-
gan ke hamparan tanah di sekitarnya.
Dari sebelah timur Hutan Besiar Kembar 
seorang lelaki tua renta berpakaian hitam lusuh 
tengah berkelebat cepat ke arah putaran angin. 
Hidungnya yang pesek tak henti-hentinya men-
gendus-endus bak seekor anjing pelacak.
Sebentar-sebentar lelaki tua renta yang tak 
lain Pengasuh Setan memperlambat gerakan ka-
kinya dalam keadaan masih mengendus-endus. 
Seolah-olah ia tidak ingin kehilangan jejak bau 
anyir darah muridnya yang dari tadi terus diikuti. 
Namun begitu sampai di putaran angin, Pengasuh 
Setan menggeram penuh kemarahan. Mendadak, 
bau darah muridnya menghilang. 
Sejenak Pengasuh Setan ragu-ragu. Mung-
kinkah si pembunuh muridnya lari ke utara? 
Atau ia memang terkecoh oleh angin kencang 
yang berkesiur? Sebab bukan mustahil angin 
kencang itu bisa menyesatkan! 
Untuk beberapa saat, Pengasuh Setan hanya 
terpaku di tempatnya. Ia masih belum tahu apa 
yang akan diperbuat. Yang dilakukan kini hanya 
menatapi debu-debu dan daun-daun kering yang

beterbangan. Sementara hatinya sangat gelisah 
kalau tidak dapat menemukan pembunuh murid-
nya. Padahal, ia ingin sekali menuntut balas atas 
kematian muridnya. "Angin keparat! Bukannya 
membantuku, malah mengacaukanku. Aku kehi-
langan jejak bau darah muridku. Huh...!" dengus 
Pengasuh Setan penuh kemarahan. Hidung pe-
seknya kembali mengendus-endus. Namun, bau 
darah muridnya hanya tercium samar-samar. 
Bahkan bisa jadi ia malah akan terkecoh.
Tiba-tiba Pengasuh Setan mendongak. Langit 
amat cerah di atas sana. Gumpalan-gumpalan 
awan putih bergerak cepat ke utara. Tak seperti 
biasanya. Angin kali ini memang cukup kencang. 
Hal ini sudah biasa bila musim kemarau berke-
panjangan.
Pengasuh Setan tidak tertarik lagi memper-
hatikan sekitarnya. Perhatiannya kali ini kembali 
tersita oleh bau darah muridnya yang sempat 
menghilang. Bau di saat tiupan angin sedikit me-
reda, tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro ini 
dapat mencium bau darah muridnya. Tidak ke 
utara, melainkan ke barat. Berarti pelacaknya bi-
sa diteruskan.
"Jelas sekali kalau pembunuh muridku lari 
ke barat. Hm...! Untung saja aku belum bertin-
dak. Kalau tadi aku tidak sabar, sudah pasti akan 
terkecoh. Sial! Benar-benar sial. Hampir saja aku, 
terkecoh oleh tiupan angin," rutuk Pengasuh Se-
tan dalam hati.
Dan Pengasuh Setan memang tidak ingin lagi 
berlama-lama di tempat itu. Sekali menjejak tanah, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah ber-
kelebat cepat ke barat. Hidungnya yang pesek tak 
henti-hentinya mengendus mengikuti bau darah 
muridnya yang hanya tercium samar-samar. Na-
mun belum jauh melangkah, mendadak penden-
garannya yang tajam menangkap langkah-
langkah halus di belakangnya.
***
"Mungkin inilah yang dinamakan pucuk di-
cinta ulam tiba. Dicari-cari ke mana-mana, eh ti-
dak tahunya kutemukan di sini!"
"Kau...!"
Sepasang mata indah Putri Manja membela-
lak lebar ketika Siluman Ular Putih memergo-
kinya di sebuah sendang. Gadis ini benar-benar 
tidak ingin bertemu kembali dengan pemuda sint-
ing yang telah mengganggu kesenangannya se-
waktu di kedai makan milik Sukiat. Pertemuan-
nya kali ini benar-benar membuat hatinya meng-
kelap.
Bila Putri Manja merasa menyesal sekali atas 
pertemuan itu, tidak demikian halnya Soma. Pe-
muda ini dari tadi sudah kesal karena tidak me-
nemukan air untuk membasuh tubuhnya. Tapi 
mendadak ia jadi tersenyum senang saat mene-
mukan Putri Manja kembali di sendang Hutan 
Besiar Kembar.
"Ya, aku. Senangkah bertemu kembali den-
ganku?" tukas Soma gembira. Senyum manisnya 
mendadak diumbar lebar. Seolah dengan senyum

itu, ia ingin memikat kecantikan gadis di hada-
pannya.
"Pergi-pergi! Aku benci padamu! Aku tak in-
gin bertemu lagi dengan kau!" usir Putri Manja.
Saat itu, Putri Manja memang bermaksud 
mandi. Maka begitu melihat Soma telah berada di 
hadapannya, pakaiannya urung dibuka. Sedang 
Soma yang berada persis di hadapannya hanya 
bersiul-siul gembira. Ia tadi memang sempat me-
lihat belahan dada gadis manja di hadapannya. 
Maka tak heran kalau pandang matanya masih 
lekat pada dua bukit kembar itu. Walau si gadis 
cantik telah mengenakan pakaiannya kembali.
Putri Manja mendelik, gusar. Kesal sekali ha-
tinya diperhatikan seperti itu oleh mata Soma.
"Pergi? Cepat tinggalkan tempat ini! Aku tak
sudi lagi melihat tampangmu!" usir si gadis.
Soma meringis. Sungguh tidak disangka ka-
lau Putri Manja masih marah padanya.
"Kita kan teman. Apa kita tak bisa berbaikan 
lagi, Putri Manja?" bujuk Soma.
"Tidak. Aku benci padamu. Kau bukan te-
manku. Pergi!" usir si gadis, sekali lagi
"Oh..., begitu. Jadi kau mengusirku? Sejak 
kapan kau jadi pemilik sendang ini. Kulihat kau 
mau mandi. Aku juga. Aku mengusulkan bagai-
mana kalau kita mandi bersama?" goda Soma la-
gi.
"Cih! Tak tahu malu! Pemuda macam apa 
kau ini?! Diusir malah berkata jorok. Pergi! Pergi!"
Putri Manja gusar bukan main. Cepat dica-
butnya senjata andalan yang terselip di pinggang.

Lalu dengan kemarahan meluap, gunting di tan-
gannya telah menyerang Siluman Ular Putih.
Crik! Crikkk!
"Uts...!"
Soma berkelit ke samping. Sebenarnya kalau 
mau, mudah saja Putri Manja dilumpuhkannya. 
Tapi si pemuda tidak ingin melakukannya. Ia ti-
dak ingin Putri Manja membenci dirinya. Ma-
kanya, otaknya kini berputar mencari akal. 
"Ciaaat...!"
Crikkk! Crikkkk!
Tanpa ampun gunting di tangan Putri Manja 
terus memburu tubuh Siluman Ular Putih. Malah 
kali ini gadis itu tak segan-segan mengeluarkan 
jurus Tarian Bidadari setelah serangan perta-
manya tadi gagal. Tentu saja hal ini membuat Si-
luman Ular Putih kewalahan dan tak mungkin 
menghindar terus menerus. Bisa-bisa tubuhnya 
dijadikan serpihan daging oleh gunting Putri Man-
ja. Namun untuk balas menyerang, itu lebih tidak 
mungkin. Makanya meski sesulit apa pun Silu-
man Ular Putih terus berusaha menghindar.
"Tunggu, Putri! Ada ulat bulu di pundakmu! 
Hiy...! Aku takut. Aku.... Aku...," pekik Siluman 
Ular Putih, berdusta.
Akibatnya sungguh di luar dugaan. Putri 
Manja menghentikan serangannya dan langsung 
berteriak-teriak kalap. Ia berjingkrak-jingkrak ke-
takutan. Berkali-kali ujung gunting di tangannya 
digerakkan ke pundak berusaha mengusir ulat 
bulu yang menurut Soma menempel di pundak.
"Belum jatuh. Ulatnya masih menempel di

pundakmu. Malah sebentar lagi akan merayap ke 
tengkuk. Hiy! Ngeri. Aku takut. Sebaiknya aku 
cepat pergi dari tempat ini. Selamat tinggal!" kata 
Soma, terus menakut-nakuti.
"Soma...! To... tolong aku!" ratap Putri Manja, 
berteriak ketakutan. Wajahnya kian pucat pasi.
"Lho? Bukankah tadi kau mengusirku? Ke-
napa sekarang aku harus menolongmu? Aku ti-
dak mau. Aku juga takut dengan ulat bulu," goda 
Soma. Diam-diam Soma tersenyum senang meli-
hat siasatnya berjalan lancar.
"Soma...! Aku tidak lagi mengusirmu. Cepat 
ambil ulat bulu di pundakku!" pinta Putri Manja 
penuh harap.
Soma tetap jual mahal. Hatinya begitu se-
nang melihat kekalapan Putri Manja.
"Soma...! Cepat tolong aku, Soma. Aku ta-
kut...!" pinta Putri Manja memelas.
Lama-lama, Soma jadi kasihan. Kali ini Putri 
Manja benar-benar mulai menitikkan air mata. 
Tak mungkin gadis itu dibiarkan tersiksa lebih 
lama.
"Baik. Tapi ada syaratnya," kata Soma me-
nyanggupi
"Iya, iya. Syarat apa pun akan kupenuhi, as-
al yang bukan-bukan," sahut Putri Manja.
"Benar?"
"Benar. Cepat ambil ulat itu!" pekik Putri 
Manja tak sabar. 
"Baik."
Soma tersenyum gembira. Memang siasat 
itulah yang diinginkannya. Tanpa banyak cakap

segera didekatinya Putri Manja. Namun kini ma-
lah Soma yang jadi bingung sendiri. Karena me-
mang, di pundak Putri Manja tidak ada ulat bulu. 
Tadi itu hanya akalnya saja. Sekarang setelah 
disuruh mengambil ulat bulu di pundak Putri 
Manja, Soma jadi berpikir. Ia harus menemukan 
ulat bulu. Kalau tidak, bisa jadi Putri Manja ma-
kin kalap karena telah dibohongi. Ini berarti ma-
kin memperdalam kemarahan gadis manja itu.
"Kenapa diam saja? Cepat ambil, Soma!" te-
riak Putri Manja, melihat Soma hanya terpaku.
"Aku... Aku tid... tid… Eh, maksudku.... Aku 
takut, Putri. Ngeri! Aku tak berani mengambil,"
sahut Soma beralasan.
"Soma...!!!" pekik Putri Manja makin kalap.
"I... Iya. Aku.... Aku... bagaimana kalau 
kuambil pakai kayu saja?" kata Soma, gugup.
"Soma! Kau benar-benar menjengkelkan. Ce-
pat ambil ulat itu!" teriak Putri Manja. 
Tanpa peduli, Soma malah melompat ke se-
buah pohon. Dalam hatinya, ia harus cepat men-
dapatkan ulat bulu. Kalau tidak, bisa kapiran. 
Untungnya di saat Soma mendarat di sebuah po-
hon, tiba-tiba matanya melihat seekor ular bulu 
besar berwarna hitam mirip warna ranting pohon 
di depannya.
Soma bersorak kegirangan. Buru-buru dipa-
tahkannya ranting pohon itu lalu segera meloncat 
turun.
Di bawah, Putri Manja masih saja berteriak-
teriak kalap. Ia benar-benar takut pada ulat bulu. 
Sementara hatinya juga tak melihat Soma pun takut pada ulat bulu. Maka begitu melihat Soma tu-
run, Putri Manja pun segera menghampiri murid 
Eyang Begawan Kamasetyo.
Tanpa banyak cakap, Soma pura-pura 
menggerak-gerakkan ranting kayu di tangannya 
ke pundak Putri Manja. Lalu segera ditunjukkan-
nya ranting kayu di tangan kanannya ke arah Pu-
tri Manja.
Putri Manja memekik senang. Tanpa sadar 
segera dirangkulnya Soma.
Siluman Ular Putih tersenyum. Senang seka-
li mendapat pelukan hangat dari gadis manja itu.
"Cepat, Soma! Bunuh ulat itu. Aku takut.
Takut sekali!" rajuk Putri Manja, menggemaskan.
"Baik."
Soma segera menjentikkan jari-jarinya. Se-
kali saja. Akibatnya, tubuh ulat bulu itu telah 
mencelat jauh dengan tubuh hancur.
"Nah, sudah. Ulat bulu itu sudah mati. Seka-
rang tinggal giliranmu. Kau tidak boleh memben-
ciku. Kau harus patuh padaku. Kau harus jadi 
teman baikku. Kau harus...."
"Soma!" potong Putri Manja. "Cepat kau 
membelakangiku! Aku tak ingin kau melihatku."
"Lho? Jadi, kau masih membenciku?" Soma 
terperangah.
Putri Manja tersenyum. Manis sekali, mem-
buat Soma melongo. 
"Tidak. Aku tidak membencimu. Aku cuma 
mau mandi. Sejak tadi pagi aku belum mandi. 
Nah sekarang cepat belakangi aku!" seru Putri 
Manja.

"Tapi aku juga mau mandi. Bagaimana kalau 
kita mandi bersama," usul Soma.
"Enak saja! Cepat belakangi aku!"
"Ba... baik."
"Nah, begitu. Awas kalau kau coba-coba 
mengintip. Kupotong lehermu dengan guntingku 
ini!"
"Iya, iya. Cepat. kalau kau mau mandi. Aku 
juga panas. Sudah dua hari aku belum mandi.
"Pantas baumu mirip kerbau!" ledek Putri 
Manja, lalu disusul suara tawanya yang menggeli-
tik.
Soma hanya diam saja. Meski dalam hatinya 
menggerutu, namun toh menurut juga. Sedikit 
pun kepalanya tak berani dipalingkan ke bela-
kang. Selain tak berani, juga malu pada dirinya 
sendiri. 
Selang beberapa saat Soma baru mendengar 
suara tawa saat gadis manja itu tengah bermain 
air. Diam-diam pemuda itu jadi iri. Tubuhnya te-
rasa panas. Bukannya karena membayangkan so-
sok tubuh mulus di belakangnya, melainkan ka-
rena memang sudah kebelet sekali ingin mandi. 
"Cepat, Putri! Memangnya hanya kau saja 
yang ingin mandi?!" ujar Soma tak sabar. 
"Hik hik hik...! Enak sekali, Soma. Segar. 
Rasa-rasanya ingin sekali aku berlama-lama 
mandi. Awas, Soma! Kau tidak boleh mengin-
tipku. Aku masih ingin berenang sebentar" sahut 
Putri Manja seenaknya.
Soma manyun berat. Suara kecipak-kecipuk 
di belakangnya benar-benar menggoda hatinya.

Hatinya tak sabar lagi untuk berendam dalam air. 
Syukur bisa bersama-sama gadis manja itu. Na-
mun sialnya, gadis di belakangnya malah seperti 
menggoda.
"Cepat, Putri! Aku tidak sabar lagi. Kalau 
kau tidak mau cepat-cepat, terpaksa aku akan 
nekat menemanimu mandi," ancam Soma. 
"Jangan, Soma! Jangan!" teriak Putri Manja.
"Makanya cepat!" 
"Baik, baik." 
"Soma tersenyum. Senang sekali hatinya me-
lihat gadis itu ketakutan mendengar ancamannya. 
Namun bukan itu saja yang membuat hatinya se-
nang. Melainkan air di belakangnya.
***
"Ompong! Bagus kau datang menemuiku. 
Kali ini tak mungkin kau luput dari kematianmu!"
Dengan bentakan kasar, Pengasuh Setan 
menghentikan langkahnya dan berbalik. Sepa-
sang matanya yang cekung tampak berwarna me-
rah saga menatap lelaki tua berjubah kuning ke-
dodoran yang tak lain Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding. Dengusan napasnya memburu, pertanda 
tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro itu mu-
lai dipenuhi hawa membunuh. Hawa yang akan 
diwarnai pertumpahan darah!
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang. Sungguh tidak disangka ia akan bertemu 
musuh besarnya di tempat ini.
"Manusia bejat! Beruntung sekali aku berte
mu denganmu. Beruntung sekali karena sebentar 
lagi aku akan mengirim nyawa busukmu ke dasar 
neraka. Belum puas aku kalau belum melam-
piaskan sakit hatiku," sahut Pelukis Sinting Tan-
pa Tanding terkekeh senang.
Pengasuh Setan mendengus angkuh. Kilatan 
sepasang matanya yang berwarna merah saga 
semakin mengerikan. Seolah ia ingin menelan 
musuhnya hidup-hidup dalam kilatan matanya.
"Tak perlu banyak bacot! Kalau kau ingin 
melampiaskan sakit hatimu, majulah! Aku ingin 
melihat sampai di mana kehebatanmu," tantang 
Pengasuh Setan.
Pengasuh Setan mengangguk-angguk, mera-
sa yakin kalau tua bangka di hadapannya bukan-
lah pembunuh muridnya. Hidungnya sama sekali 
tidak mencium bau darah muridnya pada diri Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding. Yang tercium hanya 
bau keringat tua bangka di hadapannya. Apek!
"He he he...! Lagakmu dari dulu selalu pon-
gah, Pengasuh Setan. Aku benar-benar benci 
dengan lagakmu. Kau memang patut mampus di 
tanganku," kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Pengasuh Setan menggereng penuh kemara-
han. Hawa membunuh dalam dirinya makin ber-
kobar. Rahangnya mengembung, tak ubahnya se-
perti bisul yang siap pecah.
"Heaaaa...!"
Disertai bentakan membelah angkasa, Pen-
gasuh Setan meluruk ke arah musuh besarnya. 
Tanpa banyak cakap kedua telapak tangannya 
yang telah berubah jadi hitam legam segera dido

rongkan ke depan.
Wuuttt...!
"Uts...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding cepat melent-
ing ke atas, sehingga serangan dua larik sinar hi-
tam dari kedua telapak tangan Pengasuh Setan 
melesat di bawah kakinya.
Blarrr...! 
"Heh...?!"
Begitu mendarat, Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding terkesiap. Matanya terbelalak lebar saat 
melirik ke arah tempat kedua sinar hitam tadi 
menghantam. Sebuah batang pohon berukuran 
lima pelukan orang dewasa di belakang Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding kontan hancur berkeping-
keping. Pada bagian batang pohon yang terkena 
pukulan kontan menjadi abu.
"Pukulan 'Bara Setan'...!" desis Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding
Pengasuh Setan menggeretakkan geraham-
nya penuh kemarahan. Hawa membunuh dalam 
dirinya makin berkobar. Bahkan makin sulit di-
kendalikan!

DELAPAN


"Soma! Apakah kau tadi sudah mengirim be-
gundal-begundal itu ke kadipaten?" tanya Putri 
Manja mengusik kesenangan Soma di tengah 
sendang. 
"Begundal-begundal yang mana?" sahut 

ma tak senang.
Putri Manja memberengut. Tak senang men-
dengar jawaban Soma yang ketus.
"Juragan Lanang dan kesepuluh orang anak 
buahnya, Soma. Apakah kau sudah membawa 
mereka ke kadipaten?" seru Putri Manja kesal.
"Belum."
"Apa? Belum?" Sepasang mata indah milik 
Putri Manja kontan membelalak indah. Ia kecewa 
sekali atas jawaban Soma. 
"Kau sudah mendengar. Kenapa pakai tanya-
tanya segala?"
"Bodoh! Seharusnya kau mengirim mereka 
ke kadipaten. Tapi, mengapa kau malah dibiarkan 
berkeliaran. Kau ini bagaimana, sih?! Kerja begitu 
saja tidak becus!" semprot Putri Manja kasar.
Soma tidak mempedulikannya. Pemuda ini 
terus saja asyik berenang ke sana kemari mem-
biarkan Putri Manja uring-uringan di tepi sen-
dang.
"Soma...! Kau benar-benar menjengkelkan. 
Aku tak sudi berkawan lagi denganmu!" teriak Pu-
tri Manja.
Soma terkesiap, baru menyadari kebodohan-
nya. Namun mana kala kepalanya berpaling, So-
ma jadi menyesal Putri Manja kini sudah tidak 
berada di tempatnya. Buru-buru Soma keluar da-
ri sendang.
"Putri...! Tunggu! Kau jangan marah-marah 
begitu! Aku tadi sudah menyuruh laki-laki pemi-
lik kedai itu untuk membawa mereka ke kadipa-
ten," teriak Soma lantang, saat melihat Putri Manja melangkah menjauhi.
"Dasar bodoh. Bisa saja laki-laki mata keran-
jang itu? Kenapa kau suruh ia membawa Juragan 
Lanang dan para anak buahnya ke kadipaten? 
Benar-benar bodoh kau, Soma!" sahut Putri Man-
ja dari kejauhan.
"Putri...! Tunggu! Kau sendiri kenapa tadi 
meninggalkanku? Kau curang! Kau mau menang-
nya sendiri, Putri?" teriak Soma.
"Biar!"
Soma menggerutu kesal. Sebenarnya ia ingin 
menyusul Putri Manja, namun tak jadi. Bukannya 
tidak mau, tapi karena menyadari dirinya masih 
telanjang. Bila tidak ingin ditertawakan orang, 
maka pemuda ini harus kembali ke tempatnya 
semula dan mengenakan pakaiannya kembali
Dan meski dengan hati berat, terpaksa Soma 
mengenakan pakaiannya kembali. Sedang sosok 
tubuh Putri Manja tampak terus berkelebat cepat 
di kejauhan.
Soma mengeluh, tapi tak ada pilihan lain. 
***
Sepasang mata merah Pengasuh Setan berki-
lat-kilat penuh kemarahan setelah serangan per-
tamanya terhadap Pelukis Sinting Tanpa Tanding 
gagal. Bahkan amat mudahnya serangan itu di-
mentahkan musuh bebuyutannya.
Sifat angkuhnya jelas tidak bisa menerima 
kegagalan barusan. Ia yang merasa setingkat le-
bih tinggi dibanding. Pelukis Sinting Tanpa Tanding jelas tidak ingin kalah unjuk gigi. Apalagi Pen-
gasuh Setan yakin sekali dapat menundukkan 
musuh bebuyutannya.
"Bagus! Rupanya kau masih ingat pukulan-
ku. Berarti kau pun harus mengingat-ingat kalau 
pukulan 'Bara Setan' milikku akan segera mengi-
rim nyawa busukmu ke dasar neraka. Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini, Ompong!"
ancam Pengasuh Setan, congkak.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terke-
keh senang. Meski disadari betul kalau Pengasuh 
Setan bukanlah lawan enteng, namun sikapnya 
masih saja ayal-ayalan. Malah tindak tanduknya 
makin dibuat-buat.
"Kau memang hebat sekaligus juga congkak, 
Pengasuh Setan. Dulu kau boleh mempecundan-
giku. Tapi kali ini...," Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing sebentar berhenti berkata seraya memamer-
kan giginya yang ompong. Kuas di tangan kanan-
nya dikibas-kibaskan seenaknya. "Mungkin na-
sibku akan sedikit mujur. Kujamin kau akan ber-
susah payah menundukkanku. Tidak seperti yang 
kau bayangkan. Malah bisa jadi kau akan lari 
terbirit-birit meninggalkan tempat pertarungan 
begitu melihat cat-cat minyakku. Kau pasti telah 
siap kuberi hadiah. Kau mau minta gambar apa? 
Gambar anjing buduk? Atau, gambar ular belu-
dak sepertimu?"
Bukan main geramnya Pengasuh Setan 
mendengar ejekan Pelukis Sinting Tanpa Tanding. 
Rahangnya kini mengembung. Kedua pelipisnya 
bergerak-gerak pertanda tokoh sesat dari puncak

Gunung Sindoro itu tak dapat lagi mengendalikan 
amarahnya yang menggelegak.
"Keparat! Kau harus membayar mahal atas 
penghinaanmu ini, Ompong! Heaaa!" 
Dikawal teriakan nyaring, Pengasuh Setan 
segera menerjang ganas Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding. Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah hitam legam segera didorong ke depan. Se-
ketika tampak dua larik sinar hitam legam dari 
kedua telapak tangannya, mengancam lawan.
Wesss! Wesss!
"Hup!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tak mau sem-
brono. Sebagai tokoh silat tingkat tinggi, ia cukup 
tahu betapa hebatnya pukulan 'Bara Setan' milik 
Pengasuh Setan. Maka seketika tubuhnya mence-
lat tinggi ke udara. Sekali tubuhnya berputaran. 
Pada saat kepala di bawah, tubuhnya meluncur 
dahsyat membuka serangan balik. Ujung kuas di 
tangan kanannya segera diarahkan ke ubun-ubun 
kepala lawan. Sedang nampan kayu mirip berben-
tuk mainan congklak telah siap pula mengancam 
dada.
"Ah...!"
Pengasuh Setan terperangah kaget. Sungguh 
tidak disangka musuh bebuyutannya mampu me-
lancarkan serangan balik demikian cepat dan 
berbahaya. Untuk melindungi bagian yang amat 
mematikan, segera kedua telapak tangannya di-
angkat ke atas.
Dukkk! Dukkkk! 
Begitu dua tangan masing-masing berbentu

ran, kedua-duanya sama-sama tergetar. Tubuh 
Pengasuh Setan limbung ke samping. Sedang tu-
buh Pelukis Sinting Tanpa Tanding mental balik 
ke udara.
Pengasuh Setan menggeram penuh kemara-
han. Kedua lengannya terasa panas bukan main. 
Bukan itu saja. Pada saat ia kehilangan keseim-
bangan, mendadak Pelukis Sinting Tanpa Tanding 
yang telah mendarat kembali menyerang dengan 
kuas di tangan.
Srat! Srattt! 
Dada Pengasuh Setan yang sedikit terbuka 
tahu-tahu tergores kuas di tangan musuh besar-
nya, membentuk dua garis setengah melingkar 
menyerupai sebuah kepala. Entah kepala apa. 
Yang jelas Pengasuh Setan merasa gusar bukan 
main. Bahkan dadanya yang terkena goresan 
kuas tadi terasa mau jebol. Maka tanpa ampun, 
tubuhnya pun terjajar ke belakang!
"Bedebah! Demi iblis sesembahanku, kali ini 
aku benar-benar tak ingin melepaskan nyawa bu-
sukmu begitu saja. Kau harus modar di tangan-
ku!" dengus Pengasuh Setan menggereng penuh 
kemarahan.
Habis menggereng, tanpa banyak cakap lagi 
Pengasuh Setan segera menerjang Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding. Tidak tanggung-tanggung. Lang-
sung dikeluarkannya salah satu ajian andalan-
nya.
"Hm.... Aji ‘Tangkal Petir’...!" desis Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding, menyebut ajian yang dike-
luarkan Pengasuh Setan.

Dari raut wajahnya yang jenaka sedikit pun 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tidak merasa takut 
melihat musuh besarnya mengeluarkan aji
'Tangkal Petir'. Malah seketika dia membuat bebe-
rapa gerakan dengan kuasnya.
"Akan kutandingi dengan aji 'Cat Hati Suci'," 
gumamnya.
Begitu Pengasuh Setan menangkupkan ke-
dua telapak tangannya di depan dada, seketika 
tampak sekujur tubuhnya telah dipenuhi cahaya 
merah berpendar. Sementara kedua telapak tan-
gannya pun juga berwarna merah menyala. Lalu 
disertai teriakan keras kedua tangannya dihen-
takkan ke depan.
"Heaaa...!"
Wesss! Wesss!
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh. En-
tah karena musuh besarnya telah mengeluarkan 
ajian andalannya, entah karena tak sabar meng-
hadapi pertarungan besar ini. Yang jelas begitu 
melihat dua larik sinar merah menyala meluruk 
ke arahnya, buru-buru nampan kayu di tangan 
kirinya diangkat tinggi-tinggi.
Ketika cairan cat beraneka warna itu mendi-
dih di dalam nampan kayu berhamburan, dengan 
kekuatan tenaga dalam tinggi Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding meniupnya keras!
"Fhuhhh...!"
Werrr! Werrrr!
Besss!
Tak terdengar ledakan hebat ketika dua si-
nar merah milik Pengasuh Setan saling mendorong dengan hamburan cat milik Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding. Tubuh kedua tokoh tua dunia 
persilatan itu sama-sama tergetar hebat menan-
dakan kalau mereka sama-sama mengerahkan 
tenaga dalam tinggi. Namun mereka tetap ngotot 
untuk tetap bertahan. Sedikit pun mereka tidak 
mau mengalah. Bahkan kedua tokoh sakti dunia 
persilatan itu makin melipatgandakan tenaga da-
lam, hingga membuat gulungan-gulungan cat mi-
nyak Pelukis Sinting Tanpa Tanding tertahan di 
udara.
Tanpa dapat dicegah Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding mengeluarkan keringat dingin. Demikian 
juga Pengasuh Setan. Mereka pun sama-sama 
mengeluarkan keluhan kecil. Tubuh kedua orang 
itu pun makin bergetar hebat. Sebentar-sebentar 
Pengasuh Setan merasakan tubuhnya menggigil 
kedinginan. Sebentar kemudian gantian Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding yang merasakan tubuhnya 
seperti terbakar.
"Heaaa...!"
Begitu berhasil menambah kekuatan tenaga 
dalamnya, dengan kekuatan penuh mendadak Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding meniup keras. Aki-
batnya tubuh Pengasuh Setan limbung, kehilan-
gan keseimbangan. Bahkan bukan itu saja. Seca-
ra mendadak, gulungan-gulungan semburan cat 
minyak milik Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus 
merangsak dua larik sinar merah menyala dari 
kedua telapak tangannya. 
Blasss...!!!
"Aaaakh...!"

Pengasuh Setan meraung setinggi langit. 
Tanpa ampun gulungan cat minyak dari nampan 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding merangsak da-
danya, membentuk gambar seekor anjing buduk 
seperti yang dikatakan Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding tadi.
Bukan main geramnya hati tokoh sesat dari 
Gunung Sindoro itu melihat dirinya dapat dipe-
cundangi musuh besarnya. Bagian dadanya yang 
terkena hantaman semburan cat minyak Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding dingin luar biasa, seolah 
dingin membekukan jantungnya.
Tentu saja hal ini membuat Pengasuh Setan 
kalap. Tekadnya, serangan Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding harus dibalasnya. Tapi sayang baru Saja 
hendak membuat kuda-kudanya, samar-samar 
matanya melihat kuas di tangan Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding telah menyerang dadanya. Begitu 
cepatnya, sehingga ia tak mampu menghindar. 
Dan.... 
Srakkk! Srakkk!
"Aaakh...!"
Sekali lagi Pengasuh Setan meraung hebat. 
Tubuhnya seketika terpelanting ke belakang, dan 
jatuh berdebam. Bagian dadanya yang terkena 
goresan kuas terasa nyeri bukan main. Seolah-
olah, ingin mengoyak isi dadanya.
Sembari bertolak pinggang Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding terkekeh ujung kuas di tangan 
kanannya dituding-tudingkan ke arah Pengasuh 
Setan. Gayanya mirip benar nenek-nenek cerewet 
yang tengah memarahi cucunya

"Kubilang apa? Dasar bandel. Lebih baik bu-
nuh diri saja daripada tanganku kotor oleh darah 
busukmu. Hayo, lekas minta ampun padaku. Pas-
ti aku akan mengampuni. Tapi kalau kau masih 
bandel, pasti aku akan menjewer telingamu sam-
pai merah!" ancam Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing, galak. Tapi karena diucapkan sambil cen-
gengesan bukannya jadi tampak galak, malah se-
baliknya. 
"Heaaahh...!"
Pengasuh Setan menggeram murka. Dengan 
sekali loncat, tubuhnya kembali tegak di hadapan 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Kali ini, ia tidak 
langsung menyerang, melainkan memandangi 
musuh besarnya seksama. 
"Hebat! Rupanya kau sengaja menghilang 
dari dunia persilatan hanya untuk mencari ajian 
yang dapat melumpuhkan aji 'Tangkal Petir'-ku, 
Ompong. Tapi jangan bangga dulu. Aku belum 
kalah. Sekaranglah gantian aku mengalahkanmu. 
Bahkan aku bukan hanya ingin mengalahkanmu, 
tapi juga ingin mengirim nyawa busukmu ke da-
sar neraka dengan aji 'Panglipur Setan'! Bersiap-
siaplah menerima kematianmu, Ompong!" 
Makin renyah saja tawa terkekeh Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding. Namun diam-diam tokoh 
sakti dari Goa Bedakah ini gelisah sekali. Baru 
saja Pengasuh Setan mengerahkan aji 'Tangkal 
Petir' yang demikian hebat. Apalagi dengan aji 
'Panglipur Setan' yang tentu lebih hebat diband-
ing ajiannya yang pertama.
"Boleh saja kalau kau bisa, Pengasuh Setan.

Ayo, jangan mengancam saja! Buktikan! Dari tadi 
kau hanya pintar berkoar!" ejek Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding hanya sekadar menutupi rasa ge-
lisahnya. Hatinya khawatir kalau-kalau tidak 
mampu mengatasi aji 'Panglipur Setan' milik Pen-
gasuh Setan. Maka diam-diam tenaga dalamnya 
makin dilipatgandakan kalau-kalau ada seran-
gan-serangan yang tak terduga. Namun serangan 
yang ditunggu-tunggu tidak datang. Sementara 
Pengasuh Setan malah duduk bersila di hada-
pannya. Kedua telapak tangannya ditangkupkan 
di depan dada. Bibirnya berkemik-kemik dengan 
mata tertutup. Entah, apa yang akan dilakukan. 
Yang jelas, Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus 
berjaga-jaga.
Di saat tengah berjaga-jaga, mendadak tokoh 
sakti dari Goa Bedakah ini dikejutkan oleh bunyi-
bunyi aneh yang keluar dari mulut Pengasuh Se-
tan. Mula-mula bunyi gerengan itu hanya perla-
han. Selang beberapa saat, gerengannya jadi 
menghentak-hentak. Keras. Amat keras!
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terperanjat. 
Gendang telinganya terasa mau pecah. Buru-buru 
tenaga dalamnya dikerahkan ke telinga untuk 
melindungi gendang telinganya. Namun suara-
suara gerengan semakin menyerang luar biasa. 
Suara-suara gerengan itu terus menerobos gen-
dang telinga Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Iba-
rat tangan-tangan setan mengaduk-aduk ke da-
lam kubangan air!
"Celaka! Bisa modar kalau begini terus ca-
ranya. Aku harus bertindak. Aku tak mau mati

konyol seperti ini. Tapi, bagaimana?" gumam hati 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding gelisah.
Suara-suara gerengan Pengasuh Setan pun 
makin menghebat menghentak-hentak gendang 
telinga Pelukis Sinting Tanpa Tanding tanpa am-
pun. Akibatnya tubuh lelaki tua dari Goa Beda-
kah itu terguncang. Dari kedua lobang telinganya 
bahkan telah mengeluarkan darah segar!
"Sekaranglah saat kematianmu, Ompong! 
Heaa...!" 
Tiba-tiba tubuh Pengasuh Setan meloncat 
tinggi ke udara. Kedua telapak tangannya yang 
berisi aji 'Panglipur Setan' siap meremukkan 
ubun-ubun kepala lawan. 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terperangah. 
Tak mungkin serangan maut itu dipapak. Tubuh-
nya tengah limbung akibat serangan suara-suara 
dahsyat tadi. Apalagi perhatiannya terpusat pada 
gerengan-gerengan Pengasuh Setan yang men-
gandung tenaga dalam kuat luar biasa!
"Heaaa...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding berusaha 
berkelit sebisanya. Namun sayangnya, gerakan 
tubuhnya terlalu lamban. Maka tanpa ampun la-
gi....
Crakkk!
"Aaah...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding menggembor 
setinggi langit. Tubuhnya seketika terpental jauh 
ke belakang, berputar-putar sebentar, dan jatuh 
berdebam ke tanah. Untung saja serangan Penga-
suh Setan tidak mengenai ubun-ubun kepalanya.

Kalau luput sedikit saja, bukan mustahil kepala 
gundulnya hancur berkeping-keping!
Namun meski serangan Pengasuh Setan 
hanya mengenai pundak, hal ini tak urung mem-
buat Pelukis Sinting Tanpa Tanding meringis ke-
sakitan. Pundak yang terkena hantaman tadi te-
rasa ngilu bukan main. Dan..... 
"Hoeeeekh...!!!" 
Dan saking tidak tahannya, Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding kontan menyemburkan darah se-
gar kehitam-hitaman dari mulutnya.
Pengasuh Setan tertawa bergelak. Perlahan-
lahan didekatinya tubuh Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding yang ambruk di tanah. Pandang matanya 
mengerikan, siap merenggut nyawa musuh be-
buyutannya!

SEMBILAN


Saat ini keadaan Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding benar-benar sangat mencemaskan. Tu-
buhnya terluka parah. Pakaiannya compang-
camping tidak karuan. Banyak darah keluar dari 
mulut, lobang hidung, maupun lobang telinga.
Sementara Pengasuh Setan terbahak-bahak 
penuh kemenangan. Selangkah demi selangkah, 
terus didekatinya Pelukis Sinting Tanpa Tanding 
dengan tangan terkepal. Matanya-memancar ben-
gis.
Kalau sudah begini, apa yang bisa diperbuat 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding? Nyawanya sudah

di ujung tanduk. Sekali tangan Pengasuh Setan 
mengibas, bukan mustahil nyawa tokoh sakti dari 
Goa Bedakah itu akan minggat untuk selama-
lamanya!
Tentu saja Pelukis Sinting Tanpa Tanding ti-
dak menginginkannya. Meski nyawanya sudah di 
ujung tanduk, mana sudi ia menyerah begitu sa-
ja. Selembar nyawanya harus dipertahankan. Ha-
rus! Apa pun yang akan terjadi, ia harus berusa-
ha. Baginya, tak ada kata menyerah sebelum 
nyawanya melancong entah ke mana.
"Ha ha ha...! Sekarang kau bisa apa, Om-
pong? Beginikah caramu membalas sakit hati? 
Ayo, Ompong! Bangun! Tunjukkan sampai di ma-
na kehebatanmu!" ejek Pengasuh Setan.
"Manusia jadah! Kau kira.... Kau dapat 
membunuhku, he?! Tidak! Sama sekali tidak! Jika 
aku kalah, itu bukan berarti mati di tanganmu. 
Melainkan karena aku memang sudah muak me-
lihat tampang busukmu, tahu?" balas Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding, menyakitkan.
"Jahanam! Kau memang tidak patut dikasih 
ampun! Kau harus modar di tanganku!" dengus 
Pengasuh Setan penuh kemarahan.
Melihat Pengasuh Setan makin mendekat, 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding mulai mengatur 
siasat. Ia tak sudi mati konyol di tangan musuh 
besarnya tanpa sedikit pun berusaha melawan.
"Haaap...!"
Pengasuh Setan mengangkat kedua telapak 
tangannya, bermaksud meremukkan kepala Pelu-
kis Sinting Tanpa Tanding dari samping kanan kiri. Di saat kedua telapak tangannya bergerak....
"Hup...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding yang berusa-
ha mengumpulkan tenaga dalamnya cepat meng-
gulingkan tubuhnya ke belakang. Sembari bertin-
dak begitu, cat di tangan kirinya segera diham-
burkan ke depan.
"Ah...!"
Pengasuh Setan terpekik kaget, tidak me-
nyangka kalau Pelukis Sinting Tanpa Tanding 
masih mampu melancarkan serangan demikian 
mendadak sekaligus amat membahayakan. 
Namun sebagai seorang tokoh sakti dunia 
persilatan, sedikit pun ia tidak gugup
"Hup...!"
Begitu gulungan-gulungan cat minyak me-
luncur dengan kecepatan luar biasa, Pengasuh 
Setan segera menjatuhkan diri. Dan dengan satu 
perhitungan tepat, tahu-tahu kaki kanannya te-
lah menendang pantat Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding telak sekali.
Bukkk...!! 
"Auuhh...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding menggembor 
setinggi langit. Seketika tubuhnya terlempar jauh 
ke belakang, berguling-gulingan bak trenggiling. 
Dan ia baru berhenti saat menghantam batang 
pohon.
"Hoeeekh...!" 
Sekali lagi Pelukis Sinting Tanpa Tanding 
muntahkan darah segar. Parasnya tampak pucat 
pasi. Kedua bibirnya berkemik-kemik hebat, pertanda tengah menderita luka dalam amat parah. 
Belum lagi bagian pantatnya yang baru saja ter-
kena tendangan kaki Pengasuh Setan.
Lelaki tua dari Goa Bedakah ini meringis ke-
sakitan, seolah tak tahan dengan luka dalam tu-
buhnya. Lebih hebatnya lagi, sekujur tubuhnya 
terasa lemas tak bertenaga. Tendangan Pengasuh 
Setan barusan benar-benar dahsyat, membuat di-
rinya sulit sekali untuk berdiri!
"Ompong...! Kali ini tak mungkin kau lepas 
dari tangan mautku. Bersiap-siaplah kau mene-
rima kematianmu hari ini!" ancam Pengasuh Se-
tan. 
Pengasuh Setan menarik mundur kedua te-
lapak tangannya ke belakang yang telah berubah 
jadi merah menyala penuh aji 'Tangkal Petir'.
"Celaka! Tamatlah sudah riwayatku hari ini. 
Tak mungkin aku lepas dari tangan mautnya to-
koh edan dari puncak Gunung Sindoro ini. Ah...!"
Mata Pelukis Sinting Tanpa Tanding terbela-
lak lebar. Ia ingin menyambut kematiannya den-
gan mata terbuka. Kalau saja masih dapat meng-
gerakkan tubuhnya, sudah pasti ia tak sudi mati 
dengan cara itu. Malah kalau bisa mati dalam pe-
lukan seorang gadis!
"Ah...! Kenapa dalam keadaan terjepit begini, 
sempat-sempatnya aku berpikir ngeres?"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding mengutuk di-
rinya sendiri dalam hati. Memang bila dalam ba-
haya maut, tak ada pilihan lain, kecuali menghi-
bur diri sendiri. Ia malah membayangkan wajah 
seorang gadis! Edan! Apa yang diinginkan sebenarnya? 
"Hiaaa...!"
Disertai bentakan membelah angkasa, kedua 
telapak tangan Pengasuh Setan mendorong ke 
depan. Seketika tampak melesat dua larik sinar 
merah menyala dari kedua telapak tangannya, 
siap melabrak tubuh lawan.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding makin mem-
belalakkan matanya lebar. Dipandanginya dua la-
rik sinar merah yang siap merenggut nyawanya 
dengan senyum terkembang di bibir.
Wesss? Wesss! 
Namun sebelum dua sinar itu mengenai sa-
saran, mendadak serangkum angin dingin dari 
samping melesat ke arah pukulan aji 'Tangkal Pe-
tir' milik Pengasuh Setan. 
Blammm...!
Seketika bumi bergetar hebat. Ranting-
ranting pohon berderak dengan daun-daunnya 
yang hangus terkena sambaran dari beradunya 
dua kekuatan dahsyat barusan.
"Jahanam...! Siapa berani main gila dengan 
Pengasuh Setan, he?!" bentak Pengasuh Setan, 
geram bukan main. Tubuhnya sempat terjajar be-
berapa langkah ke belakang begitu pukulannya 
terpapak.
"Memalukan! Bisanya membunuh lawan 
yang sudah tak berdaya. Apa ini tidak memalu-
kan? Huh,..! Dasar manusia kampret dari puncak 
Gunung Sindoro tak berperasaan. Akulah yang 
tadi menghalangi niat busukmu!"
Terdengar suara cempreng, membuat Pengasuh Setan langsung berpaling.

SEPULUH

Sepasang mata merah Pengasuh Setan berki-
lat-kilat penuh kemarahan menatap seorang lela-
ki berpakaian aneh dua tombak di hadapannya. 
Bagaimana tidak aneh kalau kakek tua renta itu 
berpakaian seperti bocah berusia tua tahun. Ben-
tuk tubuhnya pun mirip benar dengan bentuk tu-
buh seorang bayi. Namun rambut, alis, dan bulu 
matanya berwarna putih. Hal itu jelas menunjuk-
kan kalau sosok di hadapan Pengasuh Setan ada-
lah seorang kakek.
Tubuh si kakek pun tak lebih dari setengah 
tombak. Kulitnya gembur berwarna putih bersih. 
Namun tatapan matanya jelas menyiratkan kalau 
ilmunya tak bisa dianggap remeh. Buktinya, aji 
'Tangkal Petir' milik Pengasuh Setan bisa dikan-
daskannya.
"Bayi Kawak...!" sebut Pengasuh Setan terke-
siap. Saking terkejutnya, tokoh sesat dari puncak 
Gunung Sindoro ini tanpa sadar mundur bebera-
pa langkah ke belakang. 
Namun tidak demikian halnya Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding. Begitu melihat, mulutnya 
langsung mengukir senyum. Kini ia tahu, siapa 
penolongnya. Dia adalah seorang tokoh aneh dari 
puncak Gunung Merapi. Dan seperti perawakan 
tubuhnya, sosok aneh itu memang tidak lain dari 
Bayi Kawak

"Ah...! Rupanya kau masih mengenaliku. 
Pengasuh Setan? Sungguh beruntung aku. Tapi 
kenapa kulihat perangaimu malah makin menye-
ramkan. Hiy...! Ngeri aku...!" ujar Bayi Kawak.
"Sobatku, Bayi Kawak. Tampang manusia 
edan satu ini memang menyeramkan. Aku ngeri 
melihatnya. Kukira, kau pun ngeri melihatnya, 
bukan?" timpal Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Betul. Aku ngeri sekali. Kok ada manusia 
seseram dia, ya? Apa, jangan-jangan manusia se-
ram itu jelmaannya iblis? Hiy...! Ngeri aku!" Bayi 
Kawak menciutkan kedua bahunya. Matanya 
membelalak liar seolah takut melihat sosok di ha-
dapannya.
"Benar. Dialah biangnya segala biang iblis. 
Apa kau berani melawannya?" tanya Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding.
"Berani. Aku berani. Meski aku ngeri melihat 
tampang seramnya, aku ingin sekali menghajar-
nya. Tapi, kulihat kau terluka. Coba kau minum 
obat pemunah racunku!" sahut Bayi Kawak.
Bayi Kawak segera merogoh saku baju 
bayinya. Lalu dengan tangan kiri, segera dilem-
parkannya obat itu ke arah Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding cepat me-
nangkapnya. Bentuk obat pemberian Bayi Kawak 
memang cukup aneh. Bulat bergerigi. Baunya 
pun cukup tajam menyengat. Sejenak hatinya ra-
gu-ragu. Saking baunya, tokoh sakti dari Goa Be-
dakah itu sampai memencet hidungnya. Namun, 
ton akhirnya obat itu ditelannya juga

"Jangan sok berlagak, Bayi Kawak! Nama be-
sarmu memang sudah cukup lama menggetarkan 
dunia persilatan. Tapi Pengasuh Setan sedikit 
pun tidak gentar menghadapimu. Malah hari ini 
juga, aku harus memenggal kepalamu. Karena 
kau telah lancing mencampuri urusanku!" ancam 
Pengasuh Setan, garang.
"Aku tahu! Terus terang aku pun sangat pe-
nasaran denganmu. Bahkan aku juga penasaran 
dengan sepak terjangmu!" sahut Bayi Kawak, 
mantap.
"Bagus! Kalau begitu, buat apa bersilat lidah. 
Aku tak sabar lagi untuk meremukkan batok ke-
palamu. Majulah, Bayi Kawak! Sekarang juga ku-
tentukan hari inilah hari kematianmu!"
"Aku tidak takut. Menghadapi iblis jejadian 
macammu, siapa takut? Hayo, serang aku!"
Bayi Kawak berkacak pinggang seenaknya. 
Sesekali matanya mengerjap-ngerjap nakal. Den-
gan begitu, ia menunggu datangnya serangan. 
Pengasuh Setan mendengus tak sabar. Ke-
dua pelipisnya bergerak-gerak. Gigi-gigi geraham-
nya bergemeletakkan, pertanda tak dapat men-
gendalikan amarahnya yang menggelegak. Apalagi 
ketika melihat sikap Bayi Kawak yang angin-
anginan. Maka tanpa banyak cakap…
"Heaaa...!!!"
Dikawal teriakan nyaring, tahu-tahu tubuh 
tinggi kurus Pengasuh Setan telah meluruk ke 
arah Bayi Kawak. Tidak tanggung-tanggung. 
Langsung dikeluarkannya aji "Tangkal Petir' saat 
kedua tangannya mendorong ke depan. Seketika,

tampak dua larik sinar merah menyala telah me-
lesat cepat menyerang Bayi Kawak.
Wesss! Wesss!!! 
"Hup!"
Bayi Kawak yang cukup tahu keampuhan aji 
'Tangkal Petir' tidak ingin mengadu tenaga dalam 
dengan Pengasuh Setan. Dengan loncatan manis 
ke udara dihindarinya serangan. Gerakan tubuh-
nya ringan sekali dengan kecepatanya sangat 
mengagumkan.
Braaakkk!!!
"Bangsaaattt...!" 
Pengasuh Setan menggeram penuh kemara-
han melihat pukulan aji 'Tangkal Petir'-nya nya-
sar menghantam batang pohon di belakang Bayi 
Kawak. Seketika itu pula batang pohon itu han-
gus terbakar!.
Pada saat tubuhnya masih melayang di uda-
ra, Bayi Kawak terkekeh senang. Matanya men-
gerjap-ngerjap nakal. Kemudian dengan satu ge-
rakan indah, tahu-tahu tangan-tangan mungilnya 
telah mengancam sepasang mata Pengasuh Setan 
dari udara!
"Heh?!"
Bukan main terkejutnya Pengasuh Setan 
melihat kedua bola matanya terancam serangan. 
Tentu saja ia tidak sudi. Maka sambil menggeram 
penuh kemarahan tubuhnya segera dilempar ke 
samping.
"Heaaa...! Heaaa...!"
Bayi Kawak terus mengejar. Tapi Pengasuh 
Setan juga terus berjumpalitan ke sana kemari.

Pada satu kesempatan tamparan tangan ka-
nan Bayi Kawak yang begitu cepat melesat me-
nyerang Pengasuh Setan yang baru saja berkelit 
menghindar. Begitu cepat datangnya, sehingga....
Plakkk!
Telak sekali tamparan Bayi Kawak menghan-
tam jidat Pengasuh Setan. Namun anehnya, seke-
tika itu pula sekujur tubuh tokoh hitam dari Gu-
nung Sindoro itu menyala merah. Lebih anehnya 
lagi, sedikit pun tidak mendapat luka. Pengasuh 
Setan hanya sempat kehilangan keseimbangan 
sebentar, lalu dengan kemarahan meluap dialir-
kannya tenaga dalam ke tangan setelah membuat 
beberapa gerakan tangan di depan dada.
Sejenak Bayi Kawak melongo di tempatnya, 
seolah tak percaya dengan hasil serangannya ba-
rusan. Namun begitu menyadari. kalau musuh-
nya adalah Pengasuh Setan yang memiliki aji 
'Tangkal Petir', baru maklumlah tokoh sakti dari 
puncak Gunung Merapi itu
Dan baru saja Bayi Kawak memasang kuda-
kudanya, Pengasuh Setan telah meluruk deras.
"Makanlah aji 'Tangkal Petir'-ku, Bayi Ka-
wak! Heaaa...!"
Dikawal teriakan keras menggelegar, Penga-
suh Setan mendorongkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar 
merah menyala dari kedua telapak tangannya, 
mengancam keselamatan Bayi Kawak.
Diam-diam tokoh yang berwajah seperti bayi 
ini mengeluh. Serangan Pengasuh Setan demikian 
dekatnya. Sulit rasanya untuk dihindari. Memang

tak ada pilihan lain. Terpaksa serangan Pengasuh 
Setan harus dipapak bila masih ingin melihat te-
rangnya sinar matahari esok hari.
"Heaaa...!!!"
Bayi Kawak menggembor keras. Kedua tela-
pak tangannya yang telah berubah kuning berki-
lauan segera dihantamkan ke depan. Seketika 
meluncur dua larik sinar kuning berkilauan dari 
kedua telapak tangannya yang disertai bau me-
nyesakkan bukan kepalang. Dan....
Blaaam...!!! 
Terdengar satu ledakan hebat di udara saat 
empat buah sinar berbeda beradu di satu titik. 
Bumi saat itu pula laksana diguncang prahara. 
Debu-debu beterbangan. Ranting-ranting pohon 
hangus terbakar. Asap merah dan asap kuning 
berkilauan mengepul di udara. 
Pada waktu terjadinya ledakan tadi, tubuh 
Bayi Kawak sendiri kontan terpental jauh ke be-
lakang. Begitu jatuh di tanah, parasnya pucat pa-
si, pertanda mengalami luka dalam lumayan. Itu 
bisa dilihat dari lelehan darah yang mengalir di 
sudut bibir.
Lain halnya yang dialami Pengasuh Setan. 
Meski tubuh tokoh sesat dari puncak Gunung 
Sindoro itu sempat terguncang hebat, namun ma-
sih dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. 
Hanya kedua kakinya saja yang melesak beberapa 
dim ke dalam tanah!
"Ha ha ha...! Tak kusangka hanya begini ke-
pandaianmu, Bayi Kawak! Percuma saja kau 
menghadapiku. Daripada tanganku kotor, lebih

baik bunuh diri saja," ejek Pengasuh Setan juma-
wa.
Terseok-seok Bayi Kawak mencoba bangun. 
Mulutnya meringis menahan luka dalam dada.
"Setan! Rupanya Pengasuh Setan, bukanlah 
gelar kosong belaka. Padahal tadi aku telah men-
gerahkan pukulan 'Sukma Bayi'. Tapi kenapa ma-
lah aku sendiri yang terluka?" rutuk Bayi Kawak 
dalam hati.
"Ha ha ha...! Hari ini aku akan berpesta po-
ra. Dua bangkotan tua yang menjadi sesepuh du-
nia persilatan sebentar lagi akan kubuat dendeng 
bakar!"
"Kuakui, nama besarmu bukanlah pepesan 
belaka, Pengasuh Setan. Tapi demi menegakkan 
kebenaran di muka bumi ini, aku Bayi Kawak 
akan mengadu nyawa denganmu. Untuk itu aku 
rela mati di tanganmu!" tandas Bayi Kawak, mulai 
nekat. 
Bayi Kawak kembali memasang kuda-kuda 
setelah berusaha mengumpulkan tenaga dalam-
nya. Tekadnya untuk mengadu nyawa dengan 
Pengasuh Setan benar-benar telah bulat. Maka 
begitu kedua telapak tangannya kembali berwar-
na kuning berkilauan, segera dilontarkannya ke 
depan. 
"Heaaa...!!!"
Pengasuh Setan tersenyum dingin. Dari ge-
brakan pertama tadi, jelas kekuatan Bayi Kawak 
telah bisa diukurnya. Namun ini bukan berarti 
menyepelekan. Disadari betul kalau pukulan 
'Sukma Bayi' milik Bayi Kawak cukup dahsyat.

Untuk itu tak segan-segan lagi aji 'Tangkal Petir' 
dikerahkan kembali dengan penambahan tenaga 
dalam tinggi.
"Bagus! Memang inilah yang kunanti, Bayi 
Kawak! Hayo, kita lihat siapa yang akan modar 
terlebih dahulu! Hea...!" 
Pengasuh Setan segera menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan. Maka seketika 
melesat dua larik sinar merah menyala dari kedua 
telapak tangannya, langsung melabrak sinar kun-
ing berkilauan dari kedua telapak tangan Bayi 
Kawak.
Blaaammm...!!
"Aaa...!"
Kali ini tubuh Bayi Kawak melayang jauh ke 
belakang disertai jeritan keras. Sebentar tubuh-
nya berputaran, lalu jatuh berdebam ke tanah. 
Melihat sang penolongnya terkapar tak ber-
daya. Pelukis Sinting Tanpa Tanding jadi tidak 
dapat menahan diri. Maka tanpa menghiraukan 
luka dalamnya yang belum sembuh benar, ia se-
gera bangkit dan memasang kuda-kuda.
"Bajingan...! Beraninya kau melukai sobatku, 
he?! Kau harus bayar mahal perbuatan itu, Pen-
gasuh Setan! Hea...!" 
Dikawal bentakan nyaring, Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding segera menerjang garang Penga-
suh Setan. Nampan cat di tangan kirinya segera 
dilemparkan ke atas dan ditiupnya kuat-kuat 
dengan tenaga dalam tinggi. Seketika percikan-
percikan cat yang berhamburan itu segera menye-
rang Pengasuh Setan hebat

Werrr! Werrr! 
Tanpa mengenal ampun sedikit pun Penga-
suh Setan segera menghentakkan kedua tangan-
nya, melepas aji 'Tangkal Petir'. Maka begitu dua 
tombak lagi percikan-percikan cat minyak Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding menghantam, dua larik si-
nar merah dari kedua telapak tangannya segera 
memapakinya. Akibatnya, percikan-percikan cat 
minyak itu terdesak ke belakang, balik menyerang 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Bukkk! Bukkk...!!!
Dua kali tubuh Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing terhantam dua larik sinar merah sekaligus 
percikan-percikan cat minyak sendiri. Tanpa 
mengeluarkan erangan sedikit pun tubuh tokoh 
sakti dari goa Bedakah itu kontan melayang jauh 
ke belakang, dan jatuh menimpa tubuh Bayi Ka-
wak yang hendak meloncat bangun. 
Bayi Kawak menggeram murka. Sebentar-se-
bentar kepalanya menoleh ke arah Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding, sebentar kemudian beralih pada 
Pengasuh Setan dengan sinar mata menyala. Na-
mun belum sempat tokoh sakti dari puncak Gu-
nung Merapi ini bertindak....
"Guru...! Apa yang terjadi disini? Siapa yang 
melukaimu seperti ini?"
Terdengar teriakan dari arah samping.
***
Perhatian Bayi Kawak terusik buru-buru ke-
palanya dipalingkan ke samping. Seketika kening

tokoh sakti dari puncak Gunung Merapi itu kon-
tan berkerut. Di hadapannya kini telah berdiri 
seorang gadis cantik, berpenampilan manja. Siapa 
lagi gadis itu kalau bukan Putri Manja.
"Mawangi muridku! Lekas tinggalkan tempat 
ini! Berbahaya!" seru Bayi Kawak, khawatir ter-
hadap gadis yang ternyata muridnya.
"Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan 
tempat ini. Kulihat Guru terluka. Pasti memedi 
sawah itu yang telah mencelakakan Guru. Aku 
harus menuntut balas," tolak Mawangi alias Putri 
Manja, tegas.
"Tidak, Mawangi. Kau bukan lawannya. Le-
kas tinggalkan tempat ini!" sergah sang guru.
"Kenapa kau menyuruhku pergi, Guru? Apa 
kau takut menghadapi memedi sawah ini? Kalau 
begitu, mari kita hajar dia ramai-ramai!"
"Betina cantik! Aku senang sekali melihat 
keberanianmu. Tidak seperti gurumu. Sungguh 
beruntung aku bertemu denganmu, Manis. Apa 
kau juga berani melayaniku? He he he...?" kata 
Pengasuh Setan, pongah.
Pengasuh Setan tersenyum-senyum senang. 
Sepasang matanya yang tajam tak henti-hentinya
menjilati lekuk-lekuk tubuh Putri Manja yang 
menggairahkan. Tanpa sadar ia jadi menelan lu-
dahnya sendiri.
"Melayani apa, Memedi Sawah? Apa kau in-
gin menantangku bertarung? Sudah pasti aku 
akan melayanimu. Apalagi, kau telah mencelaka-
kan guruku. Dan aku akan menuntut balas!" sa-
hut Putri Manja, ketus.

Pengasuh Setan tertawa bergelak
"Di samping kau pemberani, rupanya kau 
lugu juga, Manis. Hm...! Alangkah menyenang-
kannya bila kau mau suka rela melayaniku, Ma-
nis. Hayo, lekas tanggalkan pakaianmu!" ujar 
Pengasuh Setan keterlaluan.
"Apa?" Sepasang mata indah Putri Manja 
terbelalak lebar. "Jorok! Tua bangka jorok. Siapa 
sudi melayanimu?"
"Mundur, Putri! Kau bukanlah tandingan-
nya!"
Bayi Kawak yang sudah bisa bangkit berdiri 
menyingkirkan muridnya ke samping.
Putri Manja memberontak. Bahkan dengan 
kemarahan meluap, tubuhnya mencelat menye-
rang Pengasuh Setan. Tidak tanggung-tanggung, 
segera dikeluarkannya jurus 'Tarian Bidadari'.
"Hea! Hea...!!!"
Hebat bukan main serangan-serangan Putri 
Manja. Namun Pengasuh Setan hanya meliuk-
liukkan tubuhnya, menghindari serangan dengan 
mudah. Bahkan belum sempat Bayi Kawak ber-
tindak, tahu-tahu tangan Pengasuh Setan telah 
berkelebat cepat ke tubuh Putri Manja…
Tuk! Tuk! 
"Oh…!"
Disertai keluhan tertahan, tubuh Putri Man-
ja kaku tak dapat digerakkan lagi. Dua buah to-
tokan Pengasuh Setan di atas dua bukit kembar-
nya langsung membuat urat geraknya tak ber-
daya lagi.
"Ha ha ha...! Diamlah sebentar, Manis. Aku

akan membereskan gurumu sebentar."
Bayi Kawak geram bukan main. Wajahnya 
menegang penuh amarah. Ia bukannya tidak tahu 
apa yang diinginkan Pengasuh Setan. Dan hal in-
ilah yang membuat Bayi Kawak nekat.
"Berani kau sentuh muridku, aku benar-
benar akan mengadu nyawa denganmu, Manusia 
Setan!" teriak Bayi Kawak kalap.
"Dari tadi kau hanya bisa mengancam. Buk-
tikan kalau memang mampu mengalahkanku, 
Bayi Kawak!" ejek Pengasuh Setan.
Bayi Kawak tak lagi ingin menanggapi ejekan 
Pengasuh Setan. Amarahnya telah membuatnya 
kalap. Maka diiringi teriakan nyaring, segera di-
terjangnya Pengasuh Setan hebat. Kedua telapak 
tangannya yang sudah berwarna kuning berki-
lauan kembali dihantamkan ke depan.
Wuttt! Wuttt...!
Pengasuh Setan tertawa bergelak. Kali ini le-
laki sesat itu tidak membalas serangan, melain-
kan membuang tubuhnya ke samping. Sehingga, 
serangan Bayi Kawak hanya mengenai angin ko-
song.
Bayi Kawak tidak terima melihat serangan-
nya gagal. Dengan kemarahan membuncah kem-
bali diserangnya Pengasuh Setan. Tetapi karena 
luka dalamnya masih mendera, serangannya jadi 
lamban. Hal ini tentu saja bisa mudah dihindari 
Pengasuh Setan dengan menggeser tubuhnya ke 
samping.
"Percuma saja kau melawanku, Bayi Kawak! 
Tapi, baiklah. Aku tidak ingin membunuhmu terlebih dahulu. Aku ingin kau melihat apa yang 
akan kulakukan terhadap muridmu yang cantik 
itu. Tentu ini akan menyenangkan hatimu, bu-
kan?" ejek Pengasuh Setan.
Begitu habis kata-katanya, tahu-tahu Penga-
suh Setan berkelebat cepat luar biasa ke arah 
Bayi Kawak.
"Setan alas! Kenapa gerakanku jadi begini 
lamban? Ah...! Tak kusangka hari inilah hari ke-
hancuran ku. Sedang sobatku Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding tak mungkin kuharapkan ban-
tuannya. Ia sudah roboh di tangan Pengasuh Se-
tan. Entah pingsan, entah... ohh...!"
Sebelum umpatan dalam hati Bayi Kawak 
habis, jari-jari tangan Pengasuh Setan telah ber-
kelebat, menotok tubuhnya. 
"Nah! Diamlah kau di tempatmu, Bayi Ka-
wak! Lihat apa yang akan kulakukan terhadap. 
muridmu yang cantik ini!" ujar Pengasuh Setan, 
begitu menghentikan gerakannya.
Kini Pengasuh Setan bergerak mendekati Pu-
tri Manja dengan seringai di bibir. Lalu tanpa 
mengenal belas kasihan sedikit pun, tahu-tahu 
jari-jari tangannya telah merenggut pakaian Putri 
Manja. 
Brat! Bret!
Dua kali tangan Pengasuh Setan bergerak, 
dua kali pula pakaian Putri Manja robek menjadi 
dua bagian. Dan kini satu pemandangan indah 
terpampang jelas di depan matanya.
"Setan! Bunuh saja aku dan muridku, Kepa-
rat!"
Bayi Kawak berteriak-teriak kalap, namun 
Pengasuh Setan tidak mempedulikannya. Perha-
tiannya seolah tersihir melihat lekuk-lekuk tubuh 
Putri Manja yang tidak tertutup selembar benang 
pun. Dan tanpa sadar ia menelan ludahnya sendi-
ri melihat pemandangan indah di hadapannya.
"Bukan main...! Sungguh beruntung nasibku 
hari ini. Bertahun-tahun aku tak pernah melihat 
tubuh seindah ini. Dan hari ini pula aku akan 
menikmati tubuh yang amat menggiurkan ini se-
puas-puasnya," desah Pengasuh Setan tak kenta-
ra.
"Bedebah! Setan laknat! Lepaskan aku!"
Putri Manja menjerit-jerit, ngeri. Meski be-
lum tahu petaka apa yang akan dialami, namun 
naluri kewanitaannya mengatakan kalau dirinya 
sedang terancam bahaya.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Apa yang 
akan kau lakukan, Tua Bangka Keparat!"
Pengasuh Setan tersenyum senang.
"Tenanglah, Manis! Jangan menangis! Aku 
malah ingin membuatmu melayang jauh ke ang-
kasa."
"Ya ya ya...! Buat apa membawanya jauh ke 
angkasa, kalau di sini saja kau tidak becus!"
"Heh...?!"
Tiba-tiba terdengar suara sahutan. Bahkan 
begitu sahutan itu terhenti, mendadak Pengasuh 
Setan merasakan hawa dingin yang bukan kepa-
lang telah menyambar tubuhnya. Lebih dari itu, 
hidungnya pun mencium sesuatu yang sangat di-
kenalinya!

"Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" 
teriak Pengasuh Setan kalap sembari menggu-
lingkan tubuhnya ke samping.
"Ah...! Kau ini kenapa sih? Katanya ingin 
melancong ke angkasa? Tapi kenapa sekarang 
malah ingin membunuhku? Kenapa?"

SEBELAS


Pengasuh Setan tidak mempedulikan tubuh 
indah Putri Manja lagi. Hidungnya yang kecil te-
rus mengendus-endus bak anjing pelacak. Bau 
anyir darah muridnya itulah yang membuatnya 
tidak mempedulikan apa-apa lagi, kecuali pada 
sosok pemuda tampan mengenakan rompi dan ce-
lana bersisik keperakan. 
"Kau.... Kau pasti yang telah membunuh 
muridku!" tunjuk Pengasuh Setan pada pemuda 
yang tak lain Soma alias Siluman Ular Putih.
"Aha...? Benarkah? Kau ini bermimpi apa 
kurang waras? Tak ada angin tak ada hujan te-
ganya kau menuduhku begitu?" celoteh Soma 
seenaknya. Pandang matanya yang nakal sempat 
melirik tubuh polos Putri Manja. Tanpa sadar bi-
birnya menyeringai, lalu garuk-garuk kepala.
"Tutup mulutmu, Monyet Gondrong! Kau 
pasti yang telah membunuh muridku yang berju-
luk Penguasa Alam!" 
"O..., itu. Aku memang yang membunuhnya. 
Tapi kau ini siapa? Kenapa kau sewot mendengar

kematian manusia iblis itu? Apa kau ingin men-
gucapkan bela sungkawa? Kalau begitu, kau sa-
lah alamat. Aku bukan kerabat Penguasa Alam," 
sahut Soma, keterlaluan. 
"Keparat...! Kau jangan menjual lagak di ha-
dapanku, Monyet Gondrong! Apa kau tidak tahu 
tengah berhadapan dengan siapa, he?!" hardik 
Pengasuh Setan penuh ancaman.
"Sudah pasti aku tahu siapa kau ini? Kau 
adalah kawan dekat Penguasa Alam, bukan?"
"Aku gurunya!"
"Tidak masalah. Guru maupun kawan dekat 
tidak masalah bagiku. Lalu kau mau apa? Apa 
kau ingin menuntut balas atas tewasnya murid-
mu?" pancing Siluman Ular Putih.
"Sudah pasti!" sahut Pengasuh Setan man-
tap. 
"Kalau begitu kau salah alamat, Manusia 
Peot! Karena sebenarnya aku bukanlah yang 
membunuh muridmu."
"Apa? Kau mau mungkir? Kau tahu, aku te-
lah mencium bau darah muridku di bagian tu-
buhmu. Itu menandakan kalau kaulah yang 
membunuh muridku! Hayo, sekarang bersiaplah 
untuk modar!"
"Ah...! Kau ini tak sabar betul. Apa kau tidak 
ingin tahu ceritaku yang sebenarnya?"
"Aku tidak butuh segala bualan kosongmu. 
Jelas, kaulah yang telah membunuh muridku. 
Maka hari ini juga aku, Pengasuh Setan, akan 
menuntut balas atas tewasnya muridku!"
Siluman Ular Putih terperangah kaget ken

dati hanya sebentar. Sejurus kemudian senyum-
nya telah terkembang di bibir.
"Tidak butuh bualanku juga tak apa. Tapi 
yang jelas, sebenarnya aku bukan pembunuh 
muridmu," kilah Siluman Ular Putih.
"Lalu, siapa yang telah membunuh murid-
ku?!" teriak Pengasuh Setan penasaran. Hidung 
peseknya kembali kembang-kempis, mengendus-
endus bau anyir darah muridnya yang tercium 
makin nyata.
"Kau tentu ingin tahu siapa yang menyebab-
kan kematian murid tersayangmu, bukan? Dan 
kau pun tentu ingin menuntut balas, bukan? Ka-
lau begitu, bunuh saja Malaikat Maut! Karena di-
alah sebenarnya yang telah membunuh muridmu. 
Aku hanyalah perantara. Sebab Malaikat Maut 
malas mencabut nyawa manusia berhati iblis. Ja-
di, akulah wakilnya Malaikat Maut. Apa kau ma-
sih penasaran!"
"Bajingan...! Beraninya kau mempermainkan 
aku, Kunyuk Gondrong! Apa nyawamu rangkap, 
he?!" dengus Pengasuh Setan.
"Oh...! Sudah pasti nyawaku rangkap. Kalau 
tak percaya, sekarang dengarkan!"
Siluman Ular Putih menepuk-nepuk perut-
nya beberapa kali. Tapi sayang, 'nyawa rangkap' 
yang dimaksudkan belum keluar juga. Soma pe-
nasaran sekali, dan terus memaksakan diri men-
geluarkan 'nyawa rangkap'-nya. Saking penasa-
rannya, mukanya meringis mirip kambing minta 
kawin. Namun akhirnya....
Pessss! Pessss!

Nyawa rangkap Soma pun meletus dari pan-
tatnya. 
"Nah, apa kau dengar nyawa rangkapku, 
Manusia Peot? Tapi sayang, tampaknya nyawa 
rangkapku malu-malu. Mungkin sedih melihat 
tampangmu," kelakar Soma.
Bukan main geramnya hati Pengasuh Setan 
mendengar kelakaran pemuda gondrong di hada-
pannya. Sepasang matanya kontan menyala. Ra-
hangnya mengembung saking tidak tahan mena-
han gejolak amarahnya yang menggelegak. Lalu....
"Heaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, tahu-tahu tubuh 
Pengasuh Setan telah menerjang ganas Siluman 
Ular Putih. Tak tanggung-tanggung kedua telapak 
tangannya segera melontarkan aji ‘Tangkal Petir’.
Wesss! Wesss!
Seketika melesat dua larik sinar merah me-
nyala dari kedua telapak tangan Pengasuh Setan, 
siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih bersiul-siul seenaknya 
setelah mencabut keluar senjata pusakanya, 
Anak Panah Bercakra Kembar. Tapi senjata itu 
hanya ditimang-timangnya saja. Padahal, saat itu 
pukulan aji 'Tangkal Petir' siap meluluhlantakkan 
tubuhnya.
Melihat hal itu, sudah pasti Putri Manja, 
Bayi Kawak, dan juga Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding yang baru saja siuman sempat menahan 
napas. Jantung mereka berdebar-debar, tak tega 
melihat betapa sebentar lagi tubuh murid Eyang 
Begawan Kamasetyo itu akan hancur!

"Awas, Soma! Jangan gegabah!" teriak Putri 
Manja.
"Jangan khawatir, Putri! Manusia peot ini 
tak mungkin dapat membunuhku! Tenang saja 
kau di tempatmu, Putri! Lihat...!"
Habis berteriak, tiba-tiba Siluman Ular Putih 
menggulingkan tubuhnya ke samping. Gerakan 
tubuhnya cepat luar biasa sehingga sulit diikuti 
pandangan mata. Lalu seperti yang pernah dila-
kukan terhadap Penguasa Alam, tiba-tiba senjata 
anak panahnya dilemparkan. Namun lemparan-
nya kali ini tidaklah seperti biasanya, melainkan 
dilemparkan ke tanah terlebih dahulu, baru me-
nyerang Pengasuh Setan. 
"Ah...!" 
Pengasuh Setan terperangah kaget. Bukan-
nya saja kaget melihat serangannya dapat dimen-
tahkan dengan amat mudah, melainkan juga ka-
get melihat cara musuhnya menyerang. Sebab 
memang dengan cara itulah aji 'Tangkal Petir' da-
pat dilumpuhkan!
"Bedebah! Jadi dengan cara inikah kau 
membunuh muridku, Kunyuk Gondrong?! Jangan 
mimpi! Aku adalah Pengasuh Setan. Tak mungkin 
aku dapat dikalahkan dengan cara ini!" teriak 
Pengasuh Setan nyaring, langsung mengegoskan 
tubuhnya ke samping. Maka senjata anak panah 
itu pun terus melesat ke belakang. 
Pengasuh Setan tertawa senang sama sekali 
tidak disadari kalau tiba-tiba saja senjata anak 
panah Siluman Ular Putih telah berputar, dan 
kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa.


Baru ketika merasakan hawa dingin menyerang 
punggungnya, terperangahlah Pengasuh Setan. 
Dan....
Clep! 
"Aaakh...!"
Pengasuh Setan menggembor keras ketika 
senjata Anak Panah Bercakra Kembar menancap 
di dadanya. Namun seketika semburat cahaya 
merah memancar dari tubuhnya.
Siluman Ular Putih dan juga semua yang be-
rada di tempat ini membelajakkan matanya lebar. 
Hati mereka tegang menunggu datangnya ajalnya 
Pengasuh Setan. 
"Ha ha ha,..! Bocah bodoh. Sudah kubilang 
kau tak dapat mengalahkanku dengan cara ini! 
Dasar bodoh! Muridku boleh mati dengan cara 
ini. Tapi aku... ha ha ha...! Tak mungkin kau da-
pat membunuhku dengan cara ini!" tawa Penga-
suh Setan bergelak.
Siluman Ular Putih menggaruk-garuk kepa-
lanya. Bingung. 
"Slompret! Kenapa manusia peot ini tidak 
modar? Ilmu apakah yang telah dimiliki?" gumam 
Siluman Ular Putih dalam hati. 
"Bocah tolol! Jangan dikira aji 'Tangkal Petir' 
yang kumiliki sama dengan milik muridku, Bo-
cah! Kau keliru. Aji ‘Tangkal Petir’-ku kini sudah 
mendekati kesempurnaan. Kau tak mungkin da-
pat membunuhku, walau berbagai macam senjata 
tajam maupun pukulan mau menyerangku!" te-
riak Pengasuh Setan.
Pengasuh Setan menepuk-nepuk dadanya

bangga. Anak panah milik Siluman Ular Putih 
yang baru saja dicabut sejenak ditimang-
timangnya. Pandang matanya bersinar bengis. Se-
langkah demi selangkah, mulai didekatinya Silu-
man Ular Putih.
"Celaka! Tua bangka ini tidak mampus den-
gan cara yang pernah kulakukan terhadap mu-
ridnya. Bagaimana ini?" gerutu Siluman Ular Pu-
tih dalam hati.
Wajah si pemuda menegang. Baru kali ini 
hatinya merasakan ketegangan yang amat sangat. 
Padahal, sebagai pendekar yang malang melin-
tang dalam dunia persilatan, ia sudah sering 
menghadapi ketegangan. Namun kali ini entah 
mengapa hatinya tegang sekali. 
"Bocah gondrong! Jawab pertanyaanku! Kau 
pilih kematian dengan cara apa, he?!" bentak 
Pengasuh Setan.
Siluman Ular Putih bersiul-siul untuk men-
genyahkan ketegangan.
"Kau ini ada-ada saja, Manusia Peot! Tentu 
saja aku masih ingin hidup. Aku masih doyan 
tempe. Kau ini aneh-aneh saja!" tukas Siluman 
Ular Putih.
"Keparat! Kau memang memuakkan, Bocah. 
Baik. Yang jelas, kau tetap akan modar di tan-
ganku! Nah, makanlah senjata andalanmu ini!" 
dengus Pengasuh Setan seraya melemparkan sen-
jata Anak Panah Bercakra Kembar ke arah si em-
punya.
Wuttt...!
"Hup...!"

Siluman Ular Putih mengegoskan tubuhnya 
ke samping, membuat senjata anak panah itu te-
rus melesat cepat ke belakang. Namun pada saat 
itu, Pengasuh Setan juga menghentakkan kedua 
tangannya. Seketika dua sinar merah menyala 
melesat dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
"Heaaa...!" 
Tak ada pilihan lain. Begitu menegakkan tu-
buhnya Siluman Ular Putih menghentakkan ke-
dua telapak tangan melontarkan pukulan maut 
tenaga 'Inti Bumi'. Seketika dua larik sinar putih 
terang meluruk dari kedua telapak tangannya 
yang disertai berkesiurnya hawa dingin bukan 
kepalang. Dan...
Blaaam...!
Terdengar ledakan hebat di udara saat dua 
buah kekuatan dahsyat bertemu di satu titik. 
Bumi laksana diguncang prahara. Debu-debu 
membubung tinggi ke udara. Ranting-ranting po-
hon berderak. Sebagian hangus terbakar. Seba-
gian lainnya membeku terkena pengaruh ledakan 
yang disertai bunga api ke segala arah. 
Dan sewaktu terjadinya bentrokan, tanpa 
ampun tubuh Siluman Ular Putih terpental jauh 
ke belakang bak layangan putus benang. Dan 
saat murid Eyang Begawan Kamasetyo meloncat 
bangun, wajahnya terlihat pias. Bibirnya berke-
mik-kemik. Kedua telapak tangannya terasa pa-
nas bukan main, seolah ingin menghanguskan 
bagian dalam tubuhnya. 
Pengasuh Setan yang sempat menyurutkan

langkah beberapa langkah ke belakang lagi-lagi 
hanya mengumbar suara tawa. Sedikit pun tu-
buhnya tidak terluka akibat bentrokan tenaga da-
lam tadi. Malah dengan kekuatan tenaga dalam 
penuh kedua tangannya menghentak ke depan. 
"Hea...!!!" 
Wesss! Wesss!
Dua larik sinar merah menyala meluruk dari 
kedua telapak tangan Pengasuh Setan. Hebat! Le-
bih hebat daripada serangan-serangan sebelum-
nya.
Siluman Ular Putih mengeluh dalam hati. 
Dadanya terasa nyeri bukan main. Tak mungkin 
serangan Pengasuh Setan ditangkis kali ini.
Putri Manja, Bayi Kawak, dan juga Pelukis 
Sinting Tanpa Tanding jadi tegang dibuatnya. Me-
reka cukup tahu, betapa hebatnya serangan Pen-
gasuh Setan kali ini. Jangankan tubuh Siluman 
Ular Putih. Batu sebesar gajah pun akan hancur 
berantakan begitu terkena pukulan aji ‘Tangkal 
Petir'.
Tidak ada pilihan lain. Siluman Ular Putih 
memang harus memapaki serangan Pengasuh Se-
tan dengan pukulan tenaga 'Inti Bumi'. Begitu ke-
dua tangannya menghentak.... 
Blaaammm...!
Akibatnya tubuh Siluman Ular Putih terlem-
par jauh ke belakang sebelum akhirnya menghan-
tam batang pohon. 
Brakkk!!!
Batang pohon itu tumbang. Demikian pula 
Siluman Ular Putih. Begitu menghantam batang

pohon, tubuhnya kontan luruh ke tanah. Untung 
saja batang pohon itu tidak menimpa tubuhnya. 
Namun tetap saja luka dalamnya makin parah.
Pucat sudah wajah Soma. Tampak darah se-
gar membasahi sudut-sudut bibirnya, pertanda 
menderita luka dalam lumayan. Bahkan seisi da-
danya seolah terbakar. 
"Hm...! Kukira Sudah saatnya aku mengelu-
arkan aji ‘Titisan Siluman Ular Putih'. Mungkin 
dengan ajian ini aku dapat mengalahkannya...," 
desah Siluman Ular Putih dalam hati. 
Maka saat itu pula Siluman Ular Putih pun 
segera merapalkan mantra ajian 'Titisan Siluman 
Ular Putih'. Selang beberapa saat, tampak sekujur 
tubuhnya telah dipenuhi asap putih. Sehingga, 
sosok bayangan murid Eyang Begawan Kama-
setyo kini tidak kelihatan sama sekali. Dan saat 
asap putih yang menyelimuti tubuhnya hilang ter-
tiup angin.... 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Seketika terdengar suara raungan yang 
menggetarkan dada....
Sepasang mata merah Pengasuh Setan 
membelalak liar dengan kening berkerut. Namun 
tak lama senyum dinginnya tersungging di bibir.
"Hm...! Jadi kaukah yang bergelar Siluman 
Ular Putih? Pantas?" Pengasuh Setan mengang-
guk-angguk.
Putri Manja, Bayi Kawak, dan Pelukis Sinting 
Tanpa Tanding terkejut bukan main. Mereka tidak 
menyangka kalau pemuda gondrong itulah yang 
bergelar Siluman Ular Putih. Meski demikian hati

ketiga orang itu tetap saja ragu. Apakah Siluman 
Ular Putih dapat mengalahkan Pengasuh Setan?
"Ggggeerrr...!!!".
Sosok ular putih sebesar pohon kelapa itu 
mengibas-ngibaskan ekornya beberapa saat. Tar-
ing-taringnya yang runcing berkilauan tertimpa 
sinar matahari."
Melihat ular putih raksasa di hadapannya 
bersiap-siap menyerang, Pengasuh Setan memilih 
untuk menyerang terlebih dahulu. Begitu melon-
cat ke depan, kedua telapak tangannya yang ber-
warna merah menyala kembali melabrak tubuh 
Siluman Ular Putih
Bukkk! Bukkkk!
"Ggggeeerrr…!!!"
Tanpa ampun sosok tubuh Siluman Ular Pu-
tih terlempar ke belakang, langsung jatuh berde-
bam. Seketika debu-debu beterbangan menutupi 
sosok tubuh ular putih raksasa itu. 
Pengasuh Setan gembira bukan main. Dalam 
benaknya terbayang kalau tubuh ular putih rak-
sasa itu pasti sudah hancur berkeping-keping be-
gitu terkena pukulan aji 'Tangkal Petir'. Namun 
rupanya apa yang dibayangkan hanyalah tinggal 
bayangan. Begitu debu yang menyelimuti sirna 
tertiup angin, saat itu juga tampak sosok tubuh 
Siluman Ular Putih tengah bersiap-siap membalas 
serangan Pengasuh Setan. 
"Ggggeeerrr...!!"
Diiringi gerengan keras, tiba-tiba ular putih 
raksasa itu telah menerjang Pengasuh Setan he-
bat. Kecepatan geraknya pun sungguh mengagumkan. Sehingga, hal ini tak urung juga mem-
buat hati Pengasuh Setan terkesiap. Dan belum 
sempat Pengasuh Setan menghindar, tahu-tahu 
taring-taring runcing Siluman Ular Putih telah 
mengancam kepalanya!
Crakkk!
Mantap sekali taring-taring Siluman Ular Pu-
tih memangsa kepala Pengasuh Setan. Namun 
anehnya, kepala tokoh sesat dari Gunung Sindoro 
itu sedikit pun tidak terluka. Bahkan begitu tar-
ing-taring Siluman Ular Putih menghujan kepala, 
seketika sekujur tubuh Pengasuh Setan meman-
carkan cahaya merah menyala!
"Ggggeeerrr...!!!" 
Bersamaan itu pula, Siluman Ular Putih 
menggereng hebat. Taring-taringnya yang runcing 
seketika merasakan satu aliran dahsyat balik me-
nyerang dirinya!
Siluman Ular Putih meraung setinggi langit. 
Kini, ia tidak berani lagi menghujamkan taringnya 
ke kepala Pengasuh Setan. Namun bukan berarti 
harus melepaskan cengkeraman pada kepala la-
wannya. Dengan nekat ekor Siluman Ular Putih 
telah melibat tubuh Pengasuh Setan kuat-kuat.
Pengasuh Setan kewalahan bukan main. Na-
pasnya mulai terasa sesak. Tulang dalam tubuh-
nya terasa bergemeletakkan!
Siluman Ular Putih makin mempererat liba-
tannya pada tubuh Pengasuh Setan. Kini baru di-
ketahui kelemahan aji 'Tangkal Petir' milik lawan-
nya. Ternyata meski tubuh Pengasuh Setan kebal 
terhadap berbagai macam senjata tajam maupun

berbagai macam pukulan maut, namun ternyata 
tubuhnya tidak kebal terhadap libatan ekor Silu-
man Ular Putih.
Kini keadaan benar-benar berbalik. Perla-
han-lahan tubuh Pengasuh Setan terasa lemas. 
Sebenarnya, lelaki sesat ini ingin sekali mengelu-
arkan aji 'Panglipur Setan'. Namun sayang, na-
pasnya terasa sesak sehingga tak mungkin men-
gerahkan tenaga dalam begitu cepat. Mulutnya 
terkunci, tak dapat mengeluarkan gerengan-
gerengan gaibnya untuk balik menyerang Siluman 
Ujar Putih. Malah yang terjadi justru sebaliknya. 
Libatan ekor Siluman Ular Putih makin mengunci 
tubuhnya. 
"Kuuukkkk...!!!"
Pada saat yang genting bagi keselamatan 
Pengasuh Setan, mendadak meluncur satu 
bayangan hitam dari angkasa. Begitu cepat 
bayangan itu meluncur, bahkan langsung menye-
rang sepasang mata Siluman Ular Putih!
Siluman Ular Putih kaget bukan main. Tentu 
saja kedua matanya tidak sudi dijadikan sasaran 
empuk serangan bayangan hitam yang ternyata 
seekor burung hantu raksasa sebesar kambing, 
peliharaan Pengasuh Setan. 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Siluman Ular Putih menarik kepalanya ke 
belakang. Namun, burung hantu raksasa berna-
ma Meruya itu mencecar kedua bola mata Silu-
man Ular Putih. Hal ini tentu saja sangat mem-
buat gusar Siluman Ular Putih. Saking gusarnya 
libatan ekornya dari tubuh Pengasuh Setan segera dilepas.
Namun anehnya, begitu Siluman Ular Putih 
melepaskan tubuh Pengasuh Setan, burung han-
tu itu tidak lagi menyerang, melainkan segera 
menyambar tubuh majikannya dan membawanya 
terbang tinggi ke angkasa! 
"Ggggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih dan semua yang berada 
di tempat pertarungan menjadi kecewa melihat 
Pengasuh Setan dapat diselamatkan oleh burung 
peliharaannya. Untuk mengejarnya jelas tidak 
mungkin. Karena burung hantu raksasa itu telah 
terbang tinggi ke angkasa membawa tubuh maji-
kannya. Dengan hati dongkol, mereka hanya da-
pat memperhatikan sosok hitam tubuh burung 
hantu raksasa yang membawa Pengasuh Setan 
hilang di batas langit sebelah utara!
Siluman Ular Putih berkali-kali menggereng 
hebat, melampiaskan kekecewaannya. Namun se-
lang beberapa saat, sekujur tubuhnya telah dipe-
nuhi asap putih tipis. Sehingga sosoknya tidak 
kelihatan sama sekali. Dan saat asap putih itu 
sirna tertiup angin, maka yang tampak saat itu 
bukan lain sosok ular putih raksasa. Melainkan, 
sosok seorang pemuda tampan berpakaian rompi 
dan celana bersisik warna putih keperakan. Itu-
lah sosok murid Eyang Begawan Kamasetyo! 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding yang tak 
mendapat totokan dari Pengasuh Setan segera 
membebaskan totokan Bayi Kawak. Dan lelaki tua 
itu tak mungkin membebaskan totokan Pengasuh 
Setan di tubuh Putri Manja, karena itu tak mungkin dilakukannya. Sebab, keadaan tubuh bagian 
atas gadis itu masih tak tertutup oleh pakaian.
"Cepat kau bebaskan totokan muridmu, se-
belum perhatian pemuda itu tercurah pada tubuh 
indah itu," ujar Pelukis Sinting Tanpa Tanding, 
menunjuk Putri Manja.
Cepat Bayi Kawak menghampiri Putri Man-
ja. Setelah membebaskan totokan, segera dibena-
hinya pakaian Mawangi
"Soma...! Maafkan atas kelancanganku sela-
ma ini. Tak kusangka kau adalah Siluman Ular 
Putih yang sangat terkenal itu!" teriak Putri Manja 
setelah membenahi pakaiannya yang robek di dua 
tempat. Yang penting, bagian-bagian terlarang bi-
sa tertutup.
Soma hanya menoleh ke arah Putri Manja 
sebentar. Lalu perhatiannya tercurah ke angkasa, 
ke arah burung hantu yang membawa tubuh ma-
jikannya pergi tadi.
"Kau.... Kau tak mau memaafkanku, Soma?" 
kata gadis manja itu lagi sedih. Rasa malunya ka-
rena bagian tubuh indahnya sempat terlihat oleh 
pemuda itu berusaha dienyahkan.
"Menyesal sekali...!" gumam Soma lirih. Pan-
dangan matanya masih ditujukan ke angkasa. 
"Jadi... jadi kau menyesali perbuatanku, 
Soma? Kau tak mau memaafkanku?" rajuk Putri 
Manja. Kali ini si gadis benar-benar mulai tak da-
pat mengendalikan perasaannya. Nada bicaranya 
tadi pun memelaskan sekali. Ada cairan bening 
berpendar-pendar di kedua bola matanya.
"Menyesal sekali aku tak dapat membunuh

nya. Mestinya aku tadi tak boleh melepaskannya. 
Huh...! Brengsek! Baru kali ini aku ditipu men-
tah-mentah oleh seekor binatang!" rutuk Siluman 
Ular Putih, membanting-banting kakinya kesal. 
Entah kenapa, mendadak sepasang mata indah 
Putri Manja jadi berbinar-binar indah. Namun 
masih saja ada satu hal yang mengganjal hatinya. 
Yaitu, Soma belum memaafkan kelancangannya!
"Sudahlah, Anak Muda! Percuma saja kau 
menyesali yang sudah terjadi. Untuk beberapa 
saat, sekarang lupakan saja manusia iblis itu!" 
bujuk Pelukis Sinting Tanpa Tanding, tak lagi 
memanggil 'monyet buduk'.
"Dia pasti akan terus mencariku. Karena 
memang akulah yang membunuh muridnya," kata 
Soma.
"Ah...! Bukankah itu satu kesempatan bagus 
untuk membunuhnya, bukan?" sahut Bayi Ka-
wak.
"Betul. Tapi... tapi...," Soma ragu-ragu. Ha-
tinya masih belum puas dengan kemenangannya 
barusan. Bagaimanapun juga, Pengasuh Setan 
patut diperhitungkan. Tindakannya jelas tidak bo-
leh gegabah lagi bila nanti berhadapan dengan 
tokoh sesat itu.
"Tapi apa, Soma?" tanya Putri Manja.
Si gadis tampak ragu-ragu untuk mendekati 
Soma, dan hanya bisa diam di tempatnya. Namun 
sepasang matanya tak henti-hentinya terus mem-
perhatikan Soma penuh kagum.
"Ah... sudahlah! Tak ada gunanya kita mem-
bicarakan manusia iblis satu itu," ujar Soma seraya mengibaskan tangan. "Sekarang kau sendiri 
mau ke mana, Putri?"
"Aku... Aku tidak tahu. Aku hanya ingin kau 
memaafkan atas kelancanganku selama ini," ucap 
Putri Manja, gugup.
"Ah... sudahlah! Lupakan saja! Asal kau mau 
bersahabat denganku, pasti aku memaafkanmu," 
tukas Soma dengan senyum manis terkembang di 
bibir.
Putri Manja tersenyum simpul. Entah kena-
pa kali ini matanya tidak berani membalas pan-
dang mata Soma. Hatinya jadi tak karuan. Wajah 
tampan Soma terus mengubek-ubek lubuk ha-
tinya yang paling dalam. 
"Kau harus pulang ke puncak Gunung Me-
rapi, Putri! Kepandaianmu masih perlu ditambah. 
Aku belum mengizinkanmu pergi kalau belum 
mempelajari semua yang kuajarkan dengan baik," 
ujar Bayi Kawak tiba-tiba.
"Tidak, Guru. Aku tidak mau pulang ke pun-
cak Gunung Merapi. Aku masih ingin berpetua-
lang," tolak Putri Manja, berani. 
"Tapi...."
"Sobatku, Bayi Kawak!" potong Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding. "Apa matamu lamur? Sia-sia 
saja kau mencegah anak gadis yang sedang kas-
maran."
"Oh, ya? Tapi.... Tapi... baiklah! Kau kuizin-
kan berpetualang untuk beberapa saat. Tapi jan-
gan lama-lama, ya! Aku sendirian di puncak Gu-
nung Merapi," ingat Bayi Kawak akhirnya.
"Baik, Guru. Terima kasih atas pengertian

mu. Dan tentu aku akan segera pulang," sahut 
Putri Manja. 
"Baik. Kutunggu kau di puncak Gunung Me-
rapi, Putri," kata Bayi Kawak, lalu menoleh ke 
arah Pelukis Sinting Tanpa Tanding. "Ayo, Om-
pong! Ikut aku. Aku masih ingin ngobrol dengan-
mu!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terse-
nyum. Lelaki tua ini tahu benar, apa yang tengah
melanda hati dua anak muda di hadapannya. Un-
tuk itu segera diturutinya ajakan Bayi Kawak
"Selamat, Sobat!" ujar Pelukis Sinting Tanpa 
Tanding seraya mengerlingkan sebelah mata dan 
segera meninggalkan tempat itu.
Soma mengangkat bahu tak mengerti. Lalu 
entah kenapa tangannya telah menggaruk-garuk 
kepala. Saat itu, Putri Manja tengah tersenyum 
kepadanya. Entah senyum apa. Soma tidak tahu. 
Yang jelas, tampaknya Putri Manja mulai menyu-
kainya. Duh...! Gede rasa juga pendekar satu ini!

                       SELESAI

Segera terbit!! 
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:

PASUKAN KUMBANG NERAKA
 
Share:

0 comments:

Posting Komentar