..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 30 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE TITISAN ALAM KEGELAPAN

Titisan Alam Kegelapan

 

Hak cipta dan copy right pada 
penerbit di bawah lindungan 
undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Malam Jumat Kliwon.
Malam yang dianggap amat keramat. Apa 
pun yang terjadi di malam itu selalu dihubungkan 
dengan sesuatu yang berbau takhayul. Namun 
saat ini, malam Jumat Kliwon bagai ditaburi ca-
haya putih keperakan. Bulan bulat penuh bersi-
nar purnama di angkasa. Langit cerah. Berjuta 
bintang saling membanggakan sinarnya yang pu-
tih keperakan di angkasa. Begitu tenteram, mem-
perlihatkan keindahan alam yang amat hakiki.
Sementara di sebuah lembah berumput 
bagai permadani hijau menghampar di luar Hutan 
Seruni, empat lelaki tengah duduk bersila menge-
lilingi sebuah api unggun kecil. Mereka sama-
sama membisu, seolah terperangkap oleh kebun-
tuan pikiran masing-masing. Pandangan mata 
mereka kosong dengan wajah tegang. Sesekali 
terdengar pula keluhan mereka.
Menilik raut wajah yang sudah sama-sama 
memiliki keriput, jelas keempat lelaki itu sudah 
berusia amat lanjut. Kenyataan itu makin diper-
kuat bila melihat rambut mereka yang panjang 
tergerai di bahu yang sudah berwarna putih kela-
bu. Demikian juga alis mata, bulu mata, dan 
jenggotnya. Tubuh mereka rata-rata kurus kering 
bak orang kelaparan, terbungkus pakaian ber-
warna merah darah.
Wajah-wajah mereka yang keriput, ternyata


cukup menggidikkan juga, karena terlihat pucat 
pasi bagai wajah mayat hidup. Sedikit pun tak
terbersit sinar keceriaan. Tegang. Seram. Bengis.
"Menyebalkan! Hanya penantian sia-sia...!" 
keluh lelaki tua yang kedua kakinya buntung 
hingga pangkal paha.
Mendengar keluhan salah seorang dari me-
reka, ketiga orang kakek itu hanya terdiam tanpa 
memalingkan kepala. Namun bukan berarti mere-
ka tak ikut terbawa perasaan. Malah paras mere-
ka makin tegang.
Siapakah sebenarnya keempat kakek tua 
berpakaian merah darah ini? Apa pula yang me-
reka tunggu? Kenapa mereka terlihat gelisah?
Cukup sulit untuk mengetahui, apa yang 
mereka tunggu. Namun yang jelas wajah mereka 
kian menegang. Wajah-wajah yang sebenarnya 
sudah tak asing lagi bagi dunia persilatan. Tokoh 
mana yang tak mengenal empat orang tua peng-
huni Hutan Seruni yang dikenal sebagai Empat 
Iblis Merah.
Yang tadi membuka suara dikenal sebagai 
Iblis Buntung. Dijuluki demikian, karena kedua 
kakinya buntung. Di sampingnya adalah seorang 
kakek yang memiliki dua bola mata berwarna pu-
tih. Julukannya, Iblis Buta. Sedang di hadapan 
mereka dua kakek berjuluk Iblis Tuli dan Iblis 
Gagu.
"Keparat! Kenapa aku tak dapat merasakan 
sesuatu? Sudah berkali-kali kita berkumpul di 
tempat ini, tapi mana hasilnya?" dengus Iblis Bu

ta, kali ini tak tahan dengan gejolak hatinya.
"Uh... Aah... huuh...!"
Iblis Gagu menggerak-gerakkan tangannya 
ke sana kemari sebagai isyarat untuk berbicara. 
Wajahnya yang bengis tampak mengerikan. Sepa-
sang matanya yang mencorong tajam berkilat 
mengiriskan.
Ketiga orang kakek di hadapan Iblis Gagu 
memahami apa yang dimaksud kawannya. Kelu-
han-keluhan dari bibir mereka pun tak dapat ter-
bendung, menemukan kesia-siaan di tempat ini.
"Setan! Rasanya tak ada gunanya mene-
ruskan niat kita!" geram Iblis Tuli, tak dapat 
mengendalikan amarahnya lagi.
"Yah..! Padahal kita sudah empat puluh 
malam Jumat Kliwon ini menunggu di sini. Ta-
pi...."
Jeglaaarrr!
Suara geraman Iblis Buntung kontan ter-
berangus oleh ledakan guntur yang mendadak 
disertai kilat menyambar-nyambar ganas. Aneh 
memang. Bagaimana mungkin ada kilat menyam-
bar pada saat malam terang bulan seperti ini? 
Apalagi, tak segumpal awan pun menggantung di 
angkasa. Inikah isyarat alam yang mereka nanti-
kan?
Bisa jadi!
Buktinya paras keempat lelaki tua itu yang 
semula tegang bukan main, menjadi sedikit cerah. 
Sebentar mereka memperhatikan angkasa raya,
sebentar kemudian sudah saling berpandangan.

"Hm...! Rupanya Dewa Kegelapan masih 
merestui keinginan kita," gumam Iblis Buntung, 
ceria.
"Yah...! Mungkin kau benar, Buntung. De-
wa Kegelapan masih merestui keinginan kita. Ta-
pi, sekarang di mana kita harus mencari bayi 
itu...?" tukas Iblis Buta. 
"Aaah, uuh...!"
Iblis Bisu menjawab dengan bahasa isyarat 
tangan. Dari raut wajahnya jelas menyiratkan 
keingintahuan yang luar biasa. Tak henti-
hentinya tangannya bergerak-gerak ke sana ke-
mari.
"Yah...! Kita memang harus secepatnya 
mencari bayi itu. Kukira bayi yang kita maksud-
kan tak jauh dari sini. Baiknya, mari kita cari se-
cepat mungkin!" timpal Iblis Tuli.
"Baik."
Keempat lelaki tua itu segera meloncat 
bangun seraya saling berpandangan sebentar. Ib-
lis Tuli menunjuk-nunjukkan tangannya ke sana 
kemari. Ke timur, barat, dan utara.
Ketiga orang lelaki tua itu tahu maksud Ib-
lis Tuli. Maka mereka segera berkelebat ke arah 
yang ditunjuk Iblis Tuli. Sedang Iblis Tuli sendiri 
segera berkelebat ke selatan.
Dalam beberapa kelebatan saja empat to-
koh berjuluk Empat Iblis Merah itu telah melesat 
meninggalkan tempat masing-masing. Kini alam 
kembali dikungkung sepi. Bulan purnama di atas 
sana seolah diam terpaku, menyaksikan tingkah

polah sosok-sosok manusia di bawah sana.
* * *
Pada saat petir menyambar tadi, di sebuah 
dusun terpencil bernama Mlandi yang tak jauh 
dari Hutan Seruni, seorang perempuan muda me-
rasakan perutnya mulas sekali di atas dipan gu-
buknya. Padahal kandungannya baru berusia tu-
juh bulan. Namun hentakan-hentakan jabang 
bayi di dalam perutnya seolah meronta minta ke
luar.
Sang suami yang duduk di samping is-
trinya jadi heran setengah mati. Menurut perhi-
tungannya jelas anak yang dikandung istrinya be-
lum saatnya lahir. Tentu saja hal ini membuatnya 
bingung. Dipandanginya wajah istrinya yang ber-
simbah keringat, tak mengerti.
"Kenapa kau hanya pandangi aku saja, 
Kang?" tanya sang istri, mengerang menahan sa-
kit.
"Kau.... Kau kenapa?" sang suami balik 
bertanya dengan suara tergagap.
"Aku.... Aku.... Ah...! Cepat panggil dukun 
bayi, Kang! Sepertinya aku mau melahirkan," je-
las sang istri dengan napas terengah-engah.
"Astaga! Benarkah kau ingin melahirkan?! 
Bukankah kandunganmu baru berumur tujuh 
bulan? Mustahil kau mau melahirkan, Istriku! 
Malam Jumat Kliwon lagi...."
"Kang...! Cepat panggil dukun bayi kemari!"

seru sang istri tak mempedulikan gerutuan sang 
suami.
Tanpa membantah lagi, lelaki berusia tiga 
puluh tahun itu keluar rumah, menuju rumah 
dukun bayi yang hanya beberapa puluh tombak 
dari rumahnya. Sementara istrinya terus saja di-
banjiri keringat seraya mengelus-elus perutnya di 
atas dipan.
Malam terus berlanjut. Sementara dukun 
bayi yang sangat diharapkan kehadirannya belum 
juga menampakkan batang hidungnya. Tak henti-
hentinya wanita berusia sekitar dua puluh lima 
tahun itu mengerang. Desakan-desakan dalam 
perut membuatnya merasa kewalahan sekali. Pa-
rasnya pias dibanjiri keringat. Tangannya tak 
henti-hentinya mengelus-elus perut. Dengan cara 
itu sepertinya ia ingin sekali mengenyahkan rasa 
sakit yang menusuk-nusuk....
Pada puncaknya ketika dorongan dalam 
perut kian kuat, perempuan muda itu menjerit 
sejadinya. Bingung dan takut bercampur menjadi 
satu. Untung saja pada saat yang menegangkan 
ini, suaminya yang diharapkan pulang bersama 
dukun bayi.
"Heran...? Belum saatnya kok sudah bera-
sa! Malam Jumat Kliwon lagi...," gumam si dukun 
bayi, seorang perempuan tua berambut putih se-
raya menggeleng-gelengkan kepala.
"Cepat tolong istriku, Nek!" pinta lelaki si 
calon ayah itu,
"Iya iya...," sahut si dukun bayi pendek.

Meski wajahnya sarat keheranan, tak 
mungkin si dukun bayi membiarkan perempuan 
muda itu berjuang melahirkan seorang diri.
* * *
"Berikan bayi itu padaku, Nek!" pita si pe-
rempuan muda yang baru saja melahirkan den-
gan mata berbinar.
Si dukun bayi menyerahkan bayi merah 
yang telah dibersihkan. Namun bersamaan den-
gan itu.... 
Brakkk!
Mata si dukun bayi dan suam-istri itu kon-
tan membeliak lebar ketika pintu terbongkar, ka-
rena didorong dari luar. Di hadapan mereka kini 
telah berdiri seorang kakek renta berpakaian ser-
ba merah darah. Wajahnya amat mengerikan. Pu-
cat pasi mirip wajah mayat hidup. Lebih mengeri-
kan lagi, ternyata kedua bola matanya berwarna 
putih. Benar-benar mengerikan! Membuat ketiga 
pasang mata dalam rumah itu makin membelalak 
liar!
"Si.... Siapa kau?! Mengapa mengganggu 
kami?!" bentak si dukun bayi tergagap cemas. Da-
lam benaknya saat itu sosok mengerikan di hada-
pannya adalah makhluk halus yang sering meng-
ganggu penduduk kampung. Mengingat itu, rasa 
takutnya makin kuat mencengkeram hati. Demi-
kian juga suami-istri muda itu. Malah saking ta-
kutnya, paras mereka makin pucat pasi.

"Ja.... Jangan ganggu kami! Lekas... Lekas 
tinggalkan rumahku ini!" usir ibu muda itu keta-
kutan.
Sosok menakutkan yang baru muncul te-
tap diam membisu. Kepalanya bergerak-gerak ke 
sana kemari, sementara hidung besarnya men-
gendus-endus. Bau bayi itulah yang membuat le-
laki tua berpakaian merah darah yang tak lain Ib-
lis Buta bisa sampai ke rumah ini.
"Aku butuh bayi itu...! Aku butuh bayi itu! 
Lekas serahkan bayi itu padaku!" ujar Iblis Buta, 
membentak!
"Tidaaak...!!!" pekik perempuan muda itu 
makin menyayat hati.
Melihat istrinya terpekik memelaskan, sang 
suami langsung meloncat ke depan. Seolah den-
gan berbuat begitu ingin melindungi istrinya, wa-
laupun nyawa taruhannya.
"Kuminta dengan baik-baik. Lekas tinggal-
kan tempat ini!" bentak lelaki muda itu, garang.
Iblis Buta mendengus.
"Percuma saja kalian menyuruhku pergi. 
Aku tetap menginginkan bayi itu! Cepat berikan 
bayi itu!" bentak Iblis Buta tak sabar.
Lelaki ayah si jabang bayi jadi nekat. Ia 
maju selangkah seraya merentangkan kedua tan-
gannya menghadang langkah Iblis Buta
Iblis Buta mengeretakkan gerahamnya. 
Wajahnya yang pucat pasi kini tampak kian men-
gerikan. Tubuhnya sempat gemetar saking nge-
rinya melihat raut wajah di hadapannya.

Dan Iblis Buta tak ingin membuang waktu 
lebih lama. Sekali tangannya bergerak, tiba-tiba 
telah menampar pelipis lelaki itu.
Prakkk!
Kontan saja tubuh ayah si jabang bayi ter-
banting ke samping, langsung menghantam dind-
ing kamar dengan kepala pecah. Darah segar ber-
hamburan di sana-sini. Tak ada gerakan lagi di 
tubuhnya.
Melihat suaminya tewas, ibu si jabang bayi 
menjerit sejadinya. Bayi dalam pelukannya dipe-
gangnya erat-erat.
"Ya, Tuhan...! Kau telah membunuh sua-
miku...!"
"Bukan hanya suamimu! Tapi juga kau dan 
bangkotan tua itu!" tuding Iblis Buta ke arah si 
dukun bayi.
Begitu kata-katanya habis, tangan-tangan 
maut Iblis Buta pun kembali bergerak amat cepat. 
Maka seketika....
Prak! Prak!
"Aaaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar dua kali teriakan kematian si 
dukun bayi dan perempuan muda itu. Mereka te-
was dengan cara amat mengenaskan. Kepala pe-
cah dengan darah segar kontan membanjiri lan-
tai.
Sebelum bayi itu jatuh ke lantai, Iblis Buta 
cepat menyambarnya. Dan kini tubuh merah bayi 
itu pun telah berada dalam pelukannya.

DUA

Bumi berputar sebagaimana lazimnya. 
Mengarungi angkasa raya atas kehendak Yang 
Maha Kuasa. Tak terasa, telah dua puluh tahun 
waktu berjalan. Sejak Empat Iblis Merah menda-
patkan seorang bayi atas jerih payah Iblis Buta.
Sementara itu di sebuah lembah kaki Gu-
nung Tidar, dua orang menyambut pagi ini den-
gan cara tersendiri. Tak ada kata-kata indah teru-
cap dari bibir mereka. Apalagi senyum. Padahal 
suasana pagi itu cukup nyaman untuk dinikmati. 
Angin bertiup semilir. Langit cerah tak terpoles 
awan hitam. Sungguh menyuguhkan satu pe-
mandangan indah yang patut dinikmati. 
Tapi dua lelaki yang berbeda usia amat 
jauh itu malah bertarung sengit. Entah bertarung 
untuk memperebutkan apa. Yang jelas mereka 
saling serang dengan hebatnya. Inikah cara mere-
ka menyambut datang pagi?
Kalau saja alam dapat bicara, sudah pasti 
akan mencaci maki kedua orang itu. Tapi, tam-
paknya percuma saja. Sebab, kedua orang itu 
pasti tak mempedulikannya. Malah pertarungan 
mereka makin sengit. Tapi beberapa jurus kemu-
dian, salah seorang dari petarung malah melem-
par tubuhnya ke belakang untuk mengambil ja-
rak. Sedangkan orang yang satu lagi tak berusaha 
meneruskan pertarungan.
"Bagus-bagus! Kau memang muridku yang


sangat berbakat!" kekeh orang yang baru saja me-
lemparkan tubuhnya jauh ke belakang. Ia adalah 
seorang lelaki yang berusia sudah amat lanjut. 
Tubuhnya tinggi kurus dibalut pakaian tambal-
tambalan mirip pengemis. Rambutnya yang awut-
awutan dibiarkan tergerai tertiup angin. Sepasang 
matanya yang bersinar jenaka tak henti-hentinya 
memandangi lawannya, seorang pemuda tampan 
di hadapannya penuh kagum seraya mengetuk-
ngetukkan tongkat di tangan kanan.
Dipandangi seperti itu, si pemuda tampan 
malah bersungut-sungut kesal. Sungguh hatinya 
amat sebal melihat tingkah kakek renta itu. Bah-
kan bibir si pemuda tampan jadi manyum berat.
"Enak saja kau panggil aku murid! Kau 
kan sudah berjanji?!" sungut pemuda itu habis-
habisan.
Kalau saja tak sedang uring-uringan, sebe-
narnya cukup meyakinkan juga tampang pemuda 
satu ini. Wajahnya berbentuk lonjong. Potongan 
tubuhnya yang berkulit putih terlihat tinggi ke-
kar. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai 
di bahu. Sementara pakaian yang dikenakan be-
rupa rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan, membuat penampilannya begitu meyakin-
kan.
Siapa lagi pemuda tampan yang memiliki 
ciri-ciri seperti itu kalau bukan Siluman Ular Pu-
tih? Sedang kakek renta berpakaian tambal-
tambalan mirip pengemis sudah pasti Raja Penyi-
hir!

Meski mendapat jawaban ketus dari Silu-
man Ular Putih, Raja Penyihir tetap mencoba ber-
sikap tenang. Hanya gigi-gigi gerahamnya saja 
yang bergerut-gerut pertanda merasa kesal juga 
terhadap pemuda tampan di hadapannya. Namun 
manakala teringat bahwa ia sendiri yang membu-
juk Siluman Ular Putih untuk mempelajari il-
munya, Raja Penyihir mau tak mau harus sadar. 
Dulu, memang dialah yang mengejar-ngejar pe-
muda itu untuk mempelajari ilmunya. Sekarang 
juga demikian. Jadi Raja Penyihir memang sudah 
kebal menghadapi ulah Siluman Ular Putih. (Un-
tuk lebih jelasnya silakan ikuti episode: "Manusia 
Rambut Merah" dan "Maling Tanpa Bayangan").
"Itu lagi yang kau ucapkan! Itu lagi! Apa ti-
dak ada kata-kata enak selain kata-kata tadi, 
he?!" bentak Raja Penyihir galak. Gusar juga ha-
tinya.
"Habis kau sendiri yang mulai, sih!" tukas 
Siluman Ular Putih.
"Mulai-mulai...! Kau selalu membuatku gu-
sar, Bocah! Sudah kuajari banyak ilmu, bukan-
nya berterima kasih malah ngomel."
"Yah...! Begitu saja sewot. Payah...!" cibir 
Soma mendadak jadi tak tega melihat perubahan 
wajah Raja Penyihir.
"Siapa yang tak sewot kalau kau meleceh-
kanku terus!" Raja Penyihir melotot.
"Ya ya ya...! Aku tahu perasaanmu, Kek."
"Sudah jangan banyak omong! Sekarang 
cepat peragakan pukulan 'Tangan Gaib Penindih

Setan' yang kuajarkan!" sambar Raja Penyihir, 
memerintah.
"Baik!"
Soma mengangguk mantap, lalu menge-
darkan pandangan mencari sasaran yang tepat. 
Pohon besar di belakangnyalah yang akan dijadi-
kan sasarannya.
"Uffh...!"
Soma menghela napas panjang setelah 
memutar tubuhnya. Perlahan-lahan tenaga da-
lamnya dialirkan ke kedua telapak tangan, se-
hingga kontan berubah jadi putih berkilauan 
hingga pangkal lengan.
"Hea...!"
Berbareng teriakannya. Soma segera 
menghantamkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Saat itu pula, melesat dua gulungan asap 
putih tebal dari kedua telapak tangannya. Berge-
rak perlahan, membungkus pohon besar di hada-
pannya. Lalu....
Kretakkk! Kretakkk!
Terdengar ranting-ranting pohon bergeme-
letakkan. Asap putih tebal itu masih terus mem-
bungkus batang pohon, namun lama kelamaan 
gulungannya memendek dan hilang sama sekali. 
Pada saat asap putih dari kedua telapak tangan 
Siluman Ular Putih menghilang, batang pohon itu 
telah luruh ke tanah jadi setumpuk kotoran me-
ranggas!
Plok! Plokkk!
Raja Penyihir bertepuk tangan. Hatinya

puas sekali melihat hasil ilmu yang diturunkan 
pada Siluman Ular Putih. Sungguh tak disangka 
kalau bocah sinting di hadapannya mampu men-
guasai pukulan 'Tangan Gaib Penindih Setan' se-
cepat itu.
"Hebat! Kau memang amat berbakat, Bo-
cah!" puji Raja Penyihir habis-habisan. Mau tak 
mau, rasa kagumnya jadi berlebihan. "Tak per-
cuma rupanya aku menurunkan ilmu-ilmu ting-
kat tinggi padamu, Bocah."
"Tentu. Asal kau tidak macam-macam, 
Kek," sahut Soma, seenak jidatnya.
"Apa? Justru kaulah yang macam-macam! 
Mana ada sih, orang sudah diajarkan ilmu tak 
mau memanggil guru!" sembur Raja Penyihir, bak 
api tersiram minyak.
"Sebenarnya bukan begitu maksudku, 
Kek," kilah Soma.
"Buktinya? Kau tetap tak mau memanggil-
ku guru?" perangah Raja Penyihir, gusar.
"Tentu saja aku mau. Dan tentu pula, ada 
syaratnya," sahut Siluman Ular Putih sekenanya.
"Kau mau mempermainkan aku, Bocah?"
"Ah...! Kau ini cepat marah benar, sih?" tu-
kas Siluman Ular Putih. "Dengar, Kek! Jangankan 
kau, Eyang Begawan Kamasetyo sendiri, tidak 
berpesan agar aku jangan mengumbar nama 
Eyang di sembarang tempat! Lagi pula, meski aku 
muridnya, aku tetap memanggilnya Eyang. Jadi, 
kau pun akan kupanggil Kakek!"
"Kau...!" Raja Penyihir tak dapat melan

jutkan ucapannya saking gusarnya.
"Yah...! Kalau Kakek masih penasaran, ke-
napa tidak minta izin saja pada eyangku di Gu-
nung Bucu?"
"Tua bangka Kamasetyo itu pasti mengizin-
kan kau memanggilku guru," sambar Raja Penyi-
hir, sok tahu.
"Itu kan kalau Kakek yang ngomong. Tapi 
kalau eyangku, belum tentu," jawab Soma mema-
nas-manasi
"Kau dan tua bangka itu memang sama sa-
ja. Baik! Sebelum aku pergi ke Gunung Bucu, aku 
harus membuatmu babak belur dulu!" geram Raja 
Penyihir, jengkel.
Saat itu pula Raja Penyihir memutar tong-
kat hitam di tangan kanannya sehingga mener-
bitkan angin menderu-deru di udara, mengancam 
tubuh Siluman Ular Putih.
Sudah pasti Soma tidak sudi tubuhnya di-
jadikan sasaran empuk kemarahan Raja Penyihir. 
Tanpa banyak pikir panjang tubuhnya segera di-
buang ke samping. Tapi gulungan tongkat hitam 
di tangan Raja Penyihir terus mengejarnya tanpa 
ampun.
"Sabar, Kek! Sabar! Tak baik orang tua se-
perti kau marah-marah terus!" teriak Siluman 
Ular Putih, sambil terus menghindar dari kejaran 
tongkat hitam Di tangan Raja Penyihir.
Namun Raja Penyihir mana mau menurut 
begitu saja. Malah serangan-serangan tongkat hi-
tamnya makin gencar saja mendesak Siluman

Ular Putih.
Mau tidak mau Siluman Ular Putih jadi 
kewalahan juga. Meski telah berusaha menghin-
dar, namun tak urung tubuhnya babak belur juga 
terkena hajaran tongkat di tangan Raja Penyihir.
Sudah pasti Siluman Ular Putih jadi sewot 
berat. Mau membalas, jelas tidak mungkin. Dari-
pada merana diserang habis-habisan oleh Raja 
Penyihir, mending kabur saja. Begitu, pikir Silu-
man Ular Putih.
Tapi jalan keluar untuk kabur tak ada. Ke 
mana saja Siluman Ular Putih bergerak, selalu sa-
ja tongkat hitam di tangan Raja Penyihir datang 
menghadang. Soma jadi kewalahan. Terpaksa ia 
harus menggunakan akalnya yang cerdik.
"Tunggu, Kek! Itu eyangku datang!" ujar Si-
luman Ular Putih sambil menudingkan telunjuk 
jarinya ke batang pohon di belakang Raja Penyi-
hir. Diam-diam, Siluman Ular Putih mengerahkan 
kekuatan sihirnya.
Tanpa banyak punya prasangka apa-apa. 
Raja Penyihir segera memalingkan kepala ke be-
lakang. Benar. Ternyata di hadapan Raja Penyihir 
telah berdiri seorang kakek yang sebaya dengan-
nya, berpakaian putih bersih. Itulah sosok Eyang 
Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu!
"Kau... kkk...!"
Raja Penyihir sejenak terperangah. Namun 
cepat menyadari kebodohannya. Sekali lihat saja 
ia tahu kalau telah dikerjai Siluman Ular Putih 
dengan ilmu sihir yang pernah diajarkannya. Ter

nyata sosok Eyang Begawan Kamasetyo hanyalah 
sebatang pohon!
Bukan main geramnya hati Raja Penyihir 
saat itu. Dan ini benar-benar senjata makan tuan. 
Jelas ia tak sudi dikerjai pemuda kemarin sore itu 
sedemikian rupa. Namun mana kala kepalanya 
berpaling ke belakang, ternyata bocah edan itu 
sudah tak ada di tempatnya.
"Bocah edan! Beraninya kau mengerjaiku. 
Raja Penyihir, he?! Awas kalau kutemukan nanti. 
Akan kukurung selama berbulan-bulan!" umpat 
Raja Penyihir geram bukan main.
Sekali menjejakkan kakinya ke tanah, ta-
hu-tahu tubuh tinggi kurus Raja Penyihir telah 
berkelebat di kejauhan sana. Sambil berkelebat, 
tak henti-henti mulutnya mencaci maki Siluman 
Ular Putih.
* * *
Empat orang lelaki tua yang sama-sama 
berpakaian merah darah memperhatikan ke satu 
arah. Lalu mereka berdecak kagum, menyiratkan 
kepuasan.
Di hadapan lelaki tua yang tak lain Empat 
Iblis Merah dari Hutan Seruni, tampak seorang 
pemuda gagah tengah giat berlatih silat. Potongan 
tubuhnya yang tinggi besar jelas menandakan ka-
lau pemuda berambut gondrong awut-awutan itu 
sering berlatih keras. Dari matanya yang menco-
rong tajam menandakan kalau tenaga dalamnya

amat dahsyat. Buktinya saja dari setiap gerakan 
tangan dan kakinya selalu berkesiur angin ken-
cang berhawa dingin yang bukan kepalang. Di 
samping itu gerakan tangan dan kakinya cepat 
luar biasa, mengandung serangan-serangan me-
matikan!
Sambil duduk bersila, Empat Iblis Merah 
sesekali memberi perintah, lalu disusul dengan 
mata berbinar-binar. Ini semua jelas menandakan 
kalau mereka merasa puas dengan hasil yang di-
capai si pemuda.
"Coba mainkan jurus 'Tangan Merah', Bo-
cah!" perintah Iblis Buntung. 
"Baik, Guru."
Si pemuda segera merubah jurusnya. Begi-
tu tenaga dalamnya dikerahkan, maka kedua te-
lapak tangannya telah berwarna merah darah. 
Hawa anyir dari setiap sambaran tangannya jelas 
menandakan kalau serangan-serangan pemuda 
itu mengandung hawa racun keji.
"Hup...!"
Untuk membuktikan kehebatan jurus 
'Tangan Merah', mendadak tubuh tinggi kekar si 
pemuda melenting tinggi ke udara. Gerakan-
gerakan tangan dan kakinya yang cepat luar bi-
asa, terarah pada sebatang pohon di hadapannya 
yang menjadi sasaran.
Crak! Crakkk!
Dalam waktu yang amat singkat, ranting-
ranting pohon itu telah gundul terkena tamparan 
dan tendangan-tendangan kaki si pemuda. Lebih

hebatnya lagi, dari potongan-potongan ranting 
kontan berwarna merah darah! Termasuk, batan-
gan pohon yang tersisa. Bahkan begitu si pemuda 
mendarat di tanah, batang pohon itu luruh ke ta-
nah menjadi tumpukan abu berwarna merah da-
rah!
Bukan main!
Memang jurus yang diperagakan si pemuda 
amat membahayakan. Sebuah perpaduan jurus 
antara gerak tangan dan kaki yang digabungkan 
tenaga dalam tingkat tinggi. Kiranya dunia persi-
latan bakal guncang bila si pemuda didikan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni ini akan mem-
buat onar di dunia persilatan. Bisa jadi! Lantas, 
siapakah yang dapat menandingi kehebatannya?!
"Tak percuma rupanya kami mendidikmu 
bertahun-tahun, Bocah. Kau bakal merajai dunia 
persilatan!" puji Iblis Buta. Meski kedua bola ma-
tanya yang berwarna putih tak mampu melihat 
apa yang dilakukan muridnya tadi, namun dari 
angin berkesiuran tadi dapat dirasakan akan ke-
hebatan jurus ‘Tangan Merah’ yang diperagakan 
si murid.
"Tunggu! Kau jangan bangga dulu menden-
gar pujian kami, Bocah. Coba sekarang tunjuk-
kan pada kami pukulan 'Darah Iblis' yang kami 
ajarkan! Kalau kau tak becus atau mengecewakan 
kami, hukuman berat akan kami berikan kepa-
damu!" perintah Iblis Tuli, garang!
Begitu mendengar perintah Iblis Tuli yang 
sarat ancaman, mendadak paras si pemuda jadi

tegang. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Ra-
hangnya mengeras. Jelas sekali kalau harga di-
rinya merasa tertantang. Maka meski hatinya pa-
nas, namun kehebatannya harus dibuktikan.
Tanpa menyahuti ucapan gurunya, pemu-
da itu segera berbalik ke belakang. Sepasang ma-
tanya berkilat-kilat mengerikan terus mencorong 
tajam mencari sasaran. Dilihatnya ada sebongkah 
batu sebesar kerbau.
Pemuda itu mendengus. Kedua telapak
tangannya yang terkepal erat berkerotokan, sea-
kan tak sabar melaksanakan perintah gurunya. 
Namun, si pemuda tidak langsung melaksanakan 
perintah Iblis Tuli. Dadanya yang membusung di-
angkatnya dalam-dalam. Perlahan-lahan tenaga 
dalamnya dikerahkan, membuat kedua telapak 
tangannya berubah jadi hitam legam sampai ke 
pangkal.
Selangkah demi selangkah, pemuda itu 
mendekati bongkahan batu. Sejenak diperhati-
kannya bongkahan batu itu seksama. Tanpa kata. 
Hanya telapak tangan kanannya saja yang diang-
kat tinggi-tinggi. Dan....
Pluk!
Sekali tepuk, bongkahan batu sebesar ker-
bau itu kontan hancur berkeping-keping. Dari se-
tiap kepingannya mengeluarkan uap hitam legam! 
Bukan main! Padahal, tadi si pemuda itu hanya 
menggerakkan tangannya biasa saja. Namun ha-
silnya, sungguh luar biasa!
Mau tidak mau Empat Iblis Merah dari Hu

tan Seruni itu jadi terperangah. Sepasang mata 
mereka membelalak lebar, seolah tak percaya. La-
lu, entah siapa yang terlebih dulu mulai, mereka 
telah mengumbar tawa.
"Bagus! Bagus! Aku yakin dengan keheba-
tanmu sekarang, kau bakal jadi rajanya dunia 
persilatan. Kaulah momoknya dunia persilatan, 
Bocah!" puji Iblis Buntung di antara suara ta-
wanya yang bergelak.
Si pemuda memalingkan kepala perlahan. 
Sejenak dipandanginya keempat orang gurunya. 
Angkuh. Selangkah demi selangkah ia berjalan 
mendekati. Tanpa senyum ataupun kata-kata 
bernada terima kasih, mendengar pujian keempat 
orang gurunya. Malah kini ia berdiri tegak di ha-
dapan keempat gurunya! Pongah sekali lagaknya!
"Dengar, Bocah! Buka telingamu lebar-
lebar! Bertahun-tahun kami telah mendidikmu 
susah payah. Sekarang, tibalah saatnya aku me-
nagih budi," kata Iblis Buntung. Nada suaranya 
garang, sarat ancaman.
"Katakan saja! Perintah apa yang harus ku-
lakukan. Guru!" sahut si pemuda, pongah.
"Sebelum kau menjadi rajanya dunia persi-
latan. Apakah kau pernah dengar julukan Silu-
man Ular Putih?" lanjut Iblis Buntung.
"Tidak. Apakah aku harus melenyapkannya 
juga?" sahut si pemuda tetap bernada pongah.
"Benar! Kau harus melenyapkan Siluman 
Ular Putih. Pendekar muda itu harus kau le-
nyapkan!" timpal Iblis Buta.

"Apa pun perintah Guru berempat, pasti 
akan kulaksanakan. Dan aku tidak akan pernah 
mengecewakan Guru!" tandas si pemuda.
"Bagus! Memang itulah yang ingin kami 
dengar!"
"Hukbukhuk...!"
Sementara Iblis Bisu menggerak-gerakkan 
kedua tangannya ke sana kemari. Mulutnya tak 
henti-hentinya berucap demikian. Entah apa ar-
tinya. Namun ketiga orang saudara seperguruan-
nya sudah pasti tahu apa maksudnya.
"Ya ya ya...! Kukira berdasarkan kesepaka-
tan kita, mulai hari ini kau harus memakai gelar, 
yakni Dewa Kegelapan! Karena kau memang ter-
lahir berkat izin Dewa Kegelapan!" kata Iblis Tuli.
"Camkan itu, Bocah! Mulai hari ini kau ha-
rus memakai gelar Dewa Kegelapan!" tandas Iblis 
Buta.
"Baik. Tentu aku akan memakai gelar itu."
"Nah...! Sekarang sebelum meninggalkan 
tempat ini, kau harus minta izin terlebih dulu pa-
da kakek seperguruan kami yang tertua!" ujar Ib-
lis Buntung lagi.
"Siapakah Uwak Guru yang Guru mak-
sud?" tanya si pemuda yang kini bergelar Dewa 
Kegelapan, tak mengerti.
"Jangan banyak tanya! Ikuti saja kami!" 
bentak Iblis Buntung.
Habis membentak, Iblis Buntung tiba-tiba 
menghentakkan kedua telapak tangannya ke ta-
nah. Seketika, tubuhnya yang tanpa kaki cepat

melenting tinggi ke udara, lalu berkelebat cepat 
ke suatu tempat. Gerakannya segera diikuti keti-
ga orang adik seperguruannya.
Mau tak mau Dewa Kegelapan pun menyu-
sul keempat orang gurunya. Hanya dengan sekali 
menjejak tanah, sosoknya telah dapat menyusul 
keempat gurunya.
* * *
Ternyata tempat yang dimaksudkan Empat 
Iblis Merah dari Hutan Seruni itu jauh dari perki-
raan Dewa Kegelapan. Semula dikira, ia akan di-
ajak ke sebuah goa, lembah, atau tempat lain. 
Namun ternyata, justru diajak ke sebuah kubu-
ran!
"Aku sungguh tak tahu, apa maksud Guru 
membawaku kemari," gumam Dewa Kegelapan 
dalam hati.
Melihat keempat orang gurunya segera ber-
simpuh di atas makam yang dimaksudkan, Dewa 
Kegelapan masih tetap berdiri di tempatnya. Rasa 
herannya membuat keningnya berkerut berulang 
kali.
"Bocah! Kenapa kau tidak segera berlutut? 
Cepat beri hormat pada Uwak Guru!" bentak Iblis 
Buntung.
"Baik."
Meski hatinya diliputi sejuta tanda tanya, 
perlahan-lahan Dewa Kegelapan pun segera du-
duk bersimpuh di samping Iblis Buntung. Ma

tanya nyalang memperhatikan gundukan tanah di 
hadapannya. Bibirnya berkemik-kemik, namun 
tak sepatah kata pun terucap.
"Bocah! Apa yang kau perbuat di sini, he?! 
Aku bukan menyuruhmu berdoa. Kakak sepergu-
ruanku itu masih hidup. Ia sedang bertapa dalam 
kuburan ini. Dengan menaburkan kembang dan 
menyiramkan air kendi ini ke atas makamnya, 
maka kesaktian Kakang Penghuni Kubur akan 
bertambah hebat. Lekas beri hormat!" bentak Iblis 
Buntung, garang.
Sepasang mata Dewa Kegelapan sempat 
berkilat-kilat penuh kemarahan. Namun tak di-
pungkiri hatinya terkejut mendengar kalau uwak 
gurunya bertapa di dalam makam. Sejenak di-
pandanginya Iblis Buntung seksama.
Iblis Buntung menggedikkan kepalanya, 
memberi isyarat pada Dewa Kegelapan.
"Uwak Guru...! Aku, Dewa Kegelapan da-
tang memberi hormat padaku. Mohon sudilah kau 
mengizinkan kepergianku!" ucap Dewa Kegelapan, 
kaku.
Mendadak tanpa diduga sama sekali, gun-
dukan tanah di hadapan Dewa Kegelapan berge-
tar. Dan tidak lama, gundukan tanah itu tenang 
seperti semula.
"Kau tahu, Uwak Gurumu merestui keper-
gianmu. Jadi setelah ini, kau harus segera melak-
sanakan perintah kami. Kau harus dapat mengu-
asai dunia persilatan, sekaligus dapat mele-
nyapkan Siluman Ular Putih! Paham?!" tegas Iblis

Buntung lagi.
"Tentu. Kalau Guru mengizinkan, sekarang 
juga aku akan berangkat dan mencari orang ber-
gelar Siluman Ular Putih!" geram Dewa Kegela-
pan, saking jengkelnya.
"Tunggu! Kau tak boleh pergi sebelum aca-
ra ini selesai!" bentak Iblis Buta.
"Baik. Kalau Guru berempat menginginkan 
aku menemani!" sahut Dewa Kegelapan, ketus.
Iblis Buta mengangguk.
Iblis Buntung yang memimpin upacara se-
gera mengambil kembang yang telah dipersiapkan 
dari balik pakaian. Sedang Iblis Buta segera me-
nyerahkan kendi berisi air pada Iblis Buntung. 
Untuk beberapa saat, Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni tetap diam di tempat masing-masing. 
Mata mereka tajam memandangi gundukan tanah 
di hadapannya.
"Terimalah kembang dan air kehidupan ini, 
Kakang Penghuni Kubur. Meski tidak melihat 
kami, tapi kami yakin kau pasti senang menerima 
sesaji ini. Terimalah, Kang!" ucap Iblis Buntung li-
rih.
Habis berucap, Iblis Buntung segera me-
nuang kendi berisi air ke gundukan tanah di ha-
dapannya. Lalu ditebarkannya kembang di per-
mukaan gundukan tanah. Setelah selesai, kendi 
dan sisa kembang diserahkan pada adik-adik se-
perguruannya. Dan mereka melakukan seperti 
yang telah diperbuat Iblis Buntung.
Terakhir, dengan tangan gemetar, Dewa

Kegelapan pun melakukan seperti apa yang dila-
kukan keempat orang gurunya. Sikapnya tidak 
begitu khusuk seperti Empat Iblis Merah. Namun 
itu sudah cukup. Kini saatnyalah bagi Dewa Ke-
gelapan menunaikan tugas dari keempat orang 
gurunya. Namun Dewa Kegelapan tidak bergegas 
meninggalkan tempat itu. Ada satu pertanyaan 
yang selama ini mengusik hatinya.
"Guru...! Ada satu hal yang ingin kutanya-
kan pada kalian berempat. Aku tak ingin pergi 
sebelum kalian menjawab," kata Dewa Kegelapan.
"Boleh. Apa?" sahut Iblis Buntung tak se-
nang.
"Aku ingin mengetahui kedua orangtua ku. 
Di manakah mereka. Guru?"
"Apa?! Kau... menanyakan itu?!" sentak Ib-
lis Buntung.
"Iya. Kenapa Guru tampak terkejut?" tukas 
Dewa Kegelapan.
"Huh...!" Iblis Buntung mendengus jengkel. 
"Yang jelas, kedua orangtua mu sudah lama ma-
ti."
"Si.... Siapa yang membunuhnya, Guru?" 
Dewa Kegelapan terperangah kaget. Wajahnya 
pun kontan murung.
"Aku tidak tahu, Muridku."
"Mustahil! Pasti kalian berempat tahu, sia-
pa pembunuh kedua orangtua ku!"
"Kau keras kepala, Bocah. Kalau tak per-
caya, selidiki saja sendiri!" tukas Iblis Buntung 
kesal.

Dewa Kegelapan menggeram penuh kema-
rahan. Tanpa banyak cakap, segera ditinggalkan-
nya tempat ini. Namun diam-diam ia tetap akan 
menyelidiki siapa pembunuh kedua orang tuanya.


TIGA..

"Tuolooong...! Ada orang gila ngamuk. Tuo-
looooong...!!!"
Siluman Ular Putih terus berlari lintang 
pungkang. Kepalanya sesekali dipalingkan ke be-
lakang, kalau-kalau Raja Penyihir masih mengejar 
di belakangnya. Melihat tak ada yang mengejar, 
larinya pun dihentikan. Namun mendadak....
Srattt!
"Aaahh!"
Siluman Ular Putih memekik keras ketika 
kakinya seperti tersambar sesuatu. Tanpa ampun 
tubuhnya tersentak ke atas. Ketika disadari, ter-
nyata kakinya terjerat tali hingga tubuhnya 
menggantung di sebuah dahan pohon.
"Duuuh...! Percuma saja aku punya mata 
kaki kalau tak dapat melihat ada jebakan. 
Huh...!" gerutu Soma, kesal. Di saat tangannya 
hendak memutuskan tali yang mengikat perge-
langan kakinya, samar-samar matanya melihat 
sesosok tubuh ramping menghampiri.
"Bodoh! Kenapa kau yang masuk ke dalam 
jeratanku? Dasar pemuda tak tahu aturan!" geru-
tu sosok ramping itu ketus.

Soma kontan menghentikan gerutuannya 
melihat sosok di bawahnya cukup menawan. So-
sok seorang gadis cantik berpakaian ringkas war-
na hijau. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit 
putih bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur. Pas 
sekali dengan rambutnya yang digelung ke atas 
dihiasi untaian bunga melati.
Cukup mengagumkan kecantikan gadis sa-
tu ini memang. Namun berhubung Siluman Ular 
Putih melihatnya dalam keadaan terbalik, jadi wa-
jar saja kalau sosok gadis cantik di bawahnya be-
rubah jadi sosok hijau mengerikan. Bukannya se-
bagai gadis cantik, melainkan dalam pandang ma-
tanya tidak ubahnya seperti kuntilanak!
"Ayo, turun! Kenapa malah enak-enakan di 
situ?!" hardik si gadis cantik, kesal.
"Siapa yang enak-enakan tergantung begi-
ni? Aku sendiri mau memutuskan tali ini, tapi 
kau malah datang!" sungut Siluman Ular Putih.
"Eh...! Jangan kau putuskan tali jebakan-
ku itu! Kau.... Kau.... Ah...! Mengganggu kesenan-
ganku saja. Bagaimana aku dapat menangkap 
kambing liar kalau kau putuskan tali jebakanku!" 
omel si gadis cantik.
"Apa? Kau bilang aku kambing?" perangah 
Siluman Ular Putih merasa tersindir.
"Akil tidak mengatakan kau kambing. Tapi 
kau sendiri yang mengatakannya," sahut si gadis 
cepat.
"Yah...! Kalau begitu sama saja. Kalau ti-
dak, mana mungkin ada orang menangkap kambing dengan cara seperti ini?"
"Kau malah mengguruiku! Sudah terang 
salah, pakai menggurui lagi! Pemuda macam apa 
kau ini, he?! Cepat turun dari tali jebakanku. 
Dan, pasang lagi seperti semula!"
"Eh...! Bukannya nolong, malah ngomel!" 
sahut Siluman Ular Putih tak kalah sengit.
"Arum! Arum Sari! Ada apa? Kenapa kau 
marah-marah di situ? Apa kau sudah menda-
patkan babi?"
Mendadak terdengar suara teguran seseo-
rang. Belum hilang gaung suara teguran barusan 
di samping gadis berpakaian hijau yang ternyata 
bernama Arum Sari itu telah berdiri seorang ne-
nek berkulit keriput. Tubuhnya kurus kering, mi-
rip cacing. Saking kurusnya, nenek renta beram-
but putih panjang itu seolah tak berdaya berdiri 
di atas kaki. Tubuh kurus keringnya malah seper-
ti meliuk-liuk tertiup angin. Pakaiannya yang juga 
berwarna hijau-hijau berkibar-kibar. Untung saja 
tongkat panjang di tangannya mampu menahan 
tubuhnya.
"Guru...! Seperti yang Guru lihat, murid be-
lum mendapat kambing. Pemuda inilah yang 
membuat kambing-kambing itu kabur. Eh...! Se-
karang ia malah enak-enakan di dalam tali jeba-
kan," lapor Arum Sari berlebihan.
Siluman Ular Putih yang saat itu tengah 
terpana melihat perempuan tua renta di bawah-
nya tak mendengar apa yang dilaporkan Arum 
Sari barusan. Dalam pandang matanya yang terbalik, sosok renta di bawahnya tampak demikian 
mengerikan. Betapa perempuan tua itu tak ubah-
nya biangnya kuntilanak.
"Hii...! Bi.... Biang kuntilanak...!" desis Si-
luman Ular Putih seraya memejamkan mata.
"Bocah tengil! Apa kau bilang tadi?" bentak 
perempuan tua itu galak.
Terpaksa Siluman Ular Putih harus mem-
buka matanya kembali dan langsung dikerjap-
kerjapkannya berulang-ulang. Makin parah saja 
sosok nenek renta itu dalam pandang matanya.
"He he he.... Bisa jadi kau kuntilanak yang 
muncul di siang bolong?" gumam Siluman Ular 
Putih. 
"Bocah tak tahu adat! Mulutmu patut diha-
jar!" Terdengar lengkingan cempreng si nenek saat 
mendamprat. Bahkan tiba-tiba tongkat hitam di 
tangannya bergerak cepat ke arah mulut Siluman 
Ular Putih. Tapi mana mungkin bocah sinting itu 
sudi mendapat sarapan tongkat. Dengan sekuat 
tenaga cepat dihindarinya datangnya serangan. 
Namun karena masih menggelantung di tali, tu-
buhnya hanya bergeser sedikit. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk!
Dua kali tubuh Siluman Ular Putih jadi sa-
saran empuk serangan tongkat si nenek. Seketika 
tubuhnya berputar-putar kencang di atas tali.
Sementara si nenek malah terkekeh senang 
memandangi tubuh Siluman Ular Putih yang ber-
putar. Tongkat hitam di tangan kanannya lantas 
menggerak-gerakkan tubuh Siluman Ular Putih

ke sana kemari hingga makin cepat berputar 
sambil berbuat demikian, tak henti-hentinya si 
nenek terkekeh senang.
Maka wajar saja kalau Siluman Ular Putih 
ganti yang mengomel panjang lebar. Sementara, si 
nenek mana peduli dengan omelan? Bahkan ke-
kehannya terdengar makin menyakitkan telinga si 
pemuda.
"Celaka! Enak benar tubuhku dijadikan ba-
rang mainan. Peduli setan! Aku harus memu-
tuskan tali jebakan itu!" umpat Siluman Ular Pu-
tih dalam hati.
Saat itu juga tangan Siluman Ular Putih 
segera membabat tali jebakan. Namun baru saja
menggerakkan tangan, tiba-tiba tongkat di tangan 
si nenek datang menghadang.
Takk!
"Adaouwww!!!" pekik Soma sejadinya.
Tangan Soma yang terkena hantaman 
tongkat terasa berdenyut. Sementara putaran tu-
buhnya di atas tali jebakan makin kencang. Kare-
na, tak henti-hentinya tongkat di tangan si nenek 
memutar tubuhnya.
"Ampun, Nenek Jelek! Ampuuun! Hentikan, 
Nek!" ratap Siluman Ular Putih akhirnya, meme-
las. 
"Apa kau bilang, Bocah?" 
"Hentikan dong. Nek. Pusing kepalaku!"
"Bukan itu. Kau tadi tidak bilang itu."
"Ya, ampun! Aku.... Aku...."
Saat itu juga otak Siluman Ular Putih be

kerja cepat. Ia tahu maksud nenek jelek di ba-
wahnya.
"Anu, Nek. Tadi kubilang kau nenek cantik. 
Cuaaantik sekali. Asli! Seperti bidadari turun dari 
langit," puji Siluman Ular Putih habis-habisan.
Si nenek jelek itu terkekeh senang. Lebih 
senang ketimbang bermain ayunan dengan tubuh 
Siluman Ular Putih.
"Ya ya ya...! Kau benar, Bocah. Aku me-
mang masih cantik. Cuaaantik sekali. Iya kan, 
Muridku?" teriak si nenek, berbunga-bunga.
Ditodong pertanyaan gurunya, mau tak 
mau si gadis berpakaian hijau pun menjawab.
"I.... Iya, Guru."
"Nah...! Kau dengar, Bocah. Muridku saja 
bilang kalau Nenek Rambut Putih masih cantik, 
kan?" lanjut si nenek jelek pada Siluman Ular Pu-
tih.
Untuk memperlancar siasatnya, tak ada je-
leknya Siluman Ular Putih harus memuji nenek 
jelek berjuluk Nenek Rambut Putih itu.
"Tentu, Nek. Malah aku yakin, sewaktu 
muda dulu kau pasti lebih cantik ketimbang mu-
ridmu! Tapi lepaskan tali yang menjerat kakiku 
dong!" rajuk Soma akhirnya.
"Yayaya...! Tapi benarkah apa yang kau 
ucapkan barusan? Aku lebih cantik dibanding 
muridku?" tanya Nenek Rambut Putih seraya 
membelalakkan matanya lebar.
"Sudah pasti. Kenapa kau ragu-ragu? Tapi 
talinya dong. Nek. Lekas diputus! Aku pusing,

nih!" rajuk Soma lagi,
Kali ini rupanya siasat Siluman Ular Putih 
berjalan lancar. Maka sambil melonjak-lonjak ke-
girangan, tongkat hitam di tangan nenek jelek itu
pun menyambar putus tali jebakan yang mengi-
kat pergelangan kaki Siluman Ular Putih.
Tasss!
Begitu tali jebakan itu putus oleh samba-
ran tongkat Nenek Rambut Putih, Siluman Ular 
Putih cepat berjungkir balik. Dengan sigap kedua 
kakinya siap menjejak tanah. Namun baru saja 
menjejak, keseimbangan tubuhnya hilang. Tu-
buhnya limbung ke samping, menabrak tubuh 
Arum Sari!
"Kau.... Kau sengaja mencari kesempatan, 
ya! Main tubruk saja!" hardik Arum Sari.
Soma tidak peduli. Ia justru lebih peduli 
melihat beribu kunang-kunang bermain di pelu-
puk matanya. Sambil cengar-cengir, ia mencoba 
mengusir kunang-kunang di depan mata dengan 
menggerak-gerakkan kepalanya ke sana kemari. 
Sehingga, akhirnya rasa berkunang-kunang di 
matanya hilang dengan sendirinya.
"Kau tega sekali mempermainkan tubuhku 
di tali jebakan. Nek? Memangnya tubuhku ini ba-
rang mainan?" sungut Siluman Ular Putih begitu 
dapat mengendalikan keadaan.
"Yah...! Salah sendiri, kenapa kau masuk 
ke dalam jebakan? Sudah tahu itu jebakan, ke-
napa kau mau masuk?" sahut Nenek Rambut Pu-
tih enteng.

Mau tak mau Siluman Ular Putih manyun 
berat. Mana ada sih orang sengaja masuk jeba-
kan. Dasar nenek gila! Seenak perutnya saja 
ngomong! Soma menggerutu dalam hati.
"Sekarang duduklah! Aku ingin bicara!" ka-
ta Nenek Rambut Putih lagaknya dibuat-buat 
sungguh-sungguh. "Kau juga. Arum!"
"Kau sudah mulai main perintah, Nek?" ba-
lik Siluman Ular Putih.
"Kalau ya, kau mau apa?" tukas si nenek 
jelek, galak.
"Ya...! Tidak apa-apa...," sahut Soma seke-
nanya.
Nenek Rambut Putih mengetukkan tong-
katnya, menyuruh Siluman Ular Putih diam.
"Dengar, Arum! Ketahuilah! Bukankah kau 
ingin mengetahui siapa yang telah membunuh 
kedua orangtua mu, bukan?" cerocos Nenek 
Rambut Putih.
"Iya, Nek. Bahkan aku tidak hanya ingin 
sekadar tahu, tapi ingin menuntut balas!" sahut 
Arum Sari bersemangat.
"Bagus! Itu baru muridku namanya. Seka-
rang, ketahuilah! Sebenarnya yang telah membu-
nuh kedua orangtua mu adalah bangkotan tua 
yang bergelar Penghuni Kubur!" jelas si nenek, 
tandas.
"Penghuni Kubur? Jadi, kedua orangtua ku
tewas di tangan Penghuni Kubur?" tanya Arum 
Sari dengan kening berkerut.
"Yah...!" sahut Nenek Rambut Putih sing

kat. Nenek Rambut Putih lantas menceritakan ke-
jadian tujuh belas tahun lalu. Betapa Sepasang 
Pendekar Garuda Emas, sahabat Nenek Rambut 
Putih menemui ajal di tangan Penghuni Kubur se-
cara mengenaskan. Tubuhnya cerai berai, jadi 
santapan anjing-anjing liar hingga tandas!
Arum Sari dan Siluman Ular Putih sama-
sama terpekur mendengar cerita Nenek Rambut 
Putih. Sedikit pun mereka tak berani memotong 
cerita.
"Sebenarnya, Sepasang Pendekar Garuda 
Emas dari puncak Gunung Merbabu bisa saja 
mengalahkan Penghuni Kubur, musuh bebuyu-
tannya itu. Namun dengan kelicikannya, ibumu 
dapat diperdayai oleh racun yang disebarkan 
Penghuni Kubur. Begitu ibumu berada di bawah 
ancamannya, Penghuni Kubur memaksa ayahmu 
menyerah. Singkat cerita demi melindungi nyawa 
ibumu, ayahmu menyerah. Tapi betapa culasnya 
bangkotan tua satu itu. Karena setelah ayahmu 
menyerah, tetap saja kedua orangtua mu dibu-
nuhnya. Benar-benar keparat manusia satu itu! 
Berkali-kali aku mencarinya, tapi sampai seka-
rang belum pernah kutemukan. Sial. Benar-benar 
sial. Dan apakah kau tahu, kenapa kau bisa jadi 
muridku. Arum?" tanya Nenek Rambut Putih.
"Tentu saja aku tidak tahu. Nek." 
"Hm...!"
Nenek Rambut Putih mengeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Sepasang matanya 
yang kelabu berkilat-kilat penuh kemarahan bila

teringat kejadian tujuh belas tahun lalu.
"Tahukah kau, ternyata setelah kedua 
orangtua mu dibunuh, bangkotan tua itu pun in-
gin membunuhmu! Kebetulan sekali aku keburu 
datang. Namun sayang aku pun terdesak oleh se-
rangannya. Maka tak ada pilihan lain, demi me-
nyelamatkan nyawamu yang kuharapkan bisa 
menuntut balas, aku pun kabur. Sampai di sini 
apa kau sudah paham. Arum?"
Nenek Rambut Putih memandang tajam 
murid semata wayangnya.
"Tahu, Nek. Kau tentu membawaku ke Hu-
tan Wringin Anom ini dan membesarkanku."
"Bagus. Rupanya kau punya otak cerdik 
juga. Sekarang semua kejadian tujuh belas tahun 
lalu telah kuceritakan. Dan kau pun sudah tahu, 
siapa pembunuh kedua orangtua mu. Sekarang, 
terserah. Mau kau apakan bangkotan tua Peng-
huni Kubur itu. Tapi, hati-hati. Dia lihai sekali."
"Tentu, Guru. Aku pasti akan berhati-hati. 
Sekarang izinkanlah aku menuntut balas!"
Nenek Rambut Putih tak mempedulikan 
permintaan muridnya. Dan kini tatapannya di-
alihkan pada Siluman Ular Putih.
"Hey, Bocah Edan! Kau dengarkan apa 
yang kuceritakan barusan?"
"Eh eh eh...! I.... Iya, Nek. Aku dengar," sa-
hut Siluman Ular Putih tergagap.
"Nah...! Kalau sudah tahu, sekarang jawab 
pertanyaanku dengan jujur. Bukankah kau yang 
bergelar Siluman Ular Putih?"

"Da... dari mana kau tahu gelarku. Nek?" 
tanya Siluman Ular Putih tak habis pikir.
"Sudahlah! Itu tak penting. Yang pasti kau 
Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini meng-
gemparkan dunia persilatan, kan?"
"Ah...! Kau terlalu memuji. Nek." 
"Diam! Aku belum selesai bicara!" bentak 
Nenek Rambut Putih.
"Iyalah. Aku akan diam." 
Nenek Rambut Putih mengetuk-ngetukkan 
tongkatnya. Matanya yang kelabu kini tak lagi 
memandang Siluman Ular Putih, melainkan me-
mandangi muridnya seksama.
"Arum! Benar kau ingin menuntut balas?" 
tanya Nenek Rambut Putih ingin meyakinkan.
"Tentu, Guru. Kenapa Guru tanyakan ini?" 
Nenek Rambut Putih mengangguk-anggukkan ke-
pala.
"Dengarlah, Muridku! Kau boleh menuntut 
balas pada Penghuni Kubur, tapi dengan satu 
syarat. Ingat! Kau tak boleh melanggar syaratku!" 
ujar Nenek Rambut Putih seraya menggerak-
gerakkan telunjuk jarinya.
"Baik, Guru. Sekarang katakan apa syarat 
itu, Guru!" tanya Arum Sari, tak sabar.
"Karena kau belum mampu menghadapi si 
Penghuni Kubur, maka kau harus patuh dan 
mengikuti ke mana saja bocah edan itu pergi!" ka-
ta Nenek Rambut Putih seraya menuding ke arah 
Siluman Ular Putih.
"Apa?"

Siluman Ular Putih dan Arum Sari sama-
sama terpekik kaget. Siluman Ular Putih tidak 
menyangka kalau dirinya akan dijadikan pengaw-
al pribadi Arum Sari. Demikian juga Arum Sari 
sendiri. Ia benar-benar tak mengerti maksud gu-
runya. Kenapa justru bocah edan itu yang dis-
uruh menemaninya?
"Tapi, Guru. Kenapa mesti pemuda tak ta-
hu aturan itu yang kau pilih. Guru!" tuding Arum 
Sari, sengit.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum-
senyum saja. Tapi hatinya memang sempat terke-
jut mendapat tugas berat dari Nenek Rambut Pu-
tih yang baru dikenalnya. Namun manakala te-
ringat siapa yang akan dikawal, mau tidak mau 
hatinya jadi senang juga. Lelaki mana yang tidak 
senang menjadi pengawal pribadi seorang gadis 
cantik seperti Arum Sari? Senyumnya pun makin 
meriah tersungging di bibir.
Sudah pasti Arum Sari jadi rajin manyun.
"Brengsek kau! Kau yang enak, aku yang 
sengsara tahu!" hardik Arum Sari, kesal.
"Sudahlah, Muridku! Aku tak mungkin sa-
lah. Kujamin pemuda itu tak akan macam-
macam. Di samping itu, kepandaiannya pun ku-
kira cukup kalau hanya untuk menjadi penga-
walmu," kata Nenek Rambut Putih mendinginkan 
hati Arum Sari.
"Tapi, Guru...!"
"Sudahlah! Aku yakin, bocah edan itu tak 
berani macam-macam. Kalau misalnya berani

pun, tak mungkin gurumu tinggal diam. Seka-
rang, pergilah! Tak usah kau hiraukan bocah 
edan itu!"
Arum Sari menggigit bibirnya. Kesal. Ba-
gaimana mungkin ia dapat melakukan perjalanan 
bersama pemuda sinting yang baru saja dikenal.
"Ingat, Bocah Edan! Kutitipkan muridku 
padamu! Sekali kau berani macam-macam, maka 
nyawamulah taruhannya!" pesan Nenek Rambut 
Putih sarat ancaman.
"Oooo...! Pasti-pasti. Aku adalah pemegang 
amanat yang baik. Tak mungkin aku mengecewa-
kanmu. Nek."
"Sudahlah! Jangan banyak omong. Cepat 
sana pergi!"
"Nah...! Gurumu sudah mengizinkan. 
Arum. Ayo, kita berangkat!" ajak Soma sok akrab.
Arum Sari melotot gusar. Ingin rasanya ia 
menampar pemuda sinting itu. Namun manakala 
pandang matanya berbentrokan dengan Nenek 
Rambut Putih, mendadak keinginannya sirna. 
Tunduk di bawah pandang mata gurunya. Lalu 
diiringi pandang mata gurunya, dengan sangat 
terpaksa sekali Arum San mau juga mengikuti pe-
rintah.

EMPAT


"Ke mana bocah edan itu minggat, he? 
Awas kalau kena nanti! Akan kukemplang kepalanya sampai peang!"
Mata Raja Penyihir jelalatan ke sana kema-
ri. Kedua bibirnya yang hitam tak henti-hentinya 
mengomel. Namun tetap saja sosok yang dicari 
tak ditemukan. Sosok Siluman Ular Putih.
Namun lelaki tua bangkotan itu tak putus 
asa. Sejenak langkahnya berhenti di pinggiran se-
buah tebing. Dari ketinggian tebing matanya 
kembali jelalatan ke sana kemari. Tapi tetap saja 
sosok Siluman Ular Putih tak ditemukan. Tak 
puas dengan hasil pencariannya, mendadak Raja 
Penyihir menghentakkan kakinya kasar.
"Hea...!"
Berbareng teriakannya, seketika tubuh 
tinggi kurus Raja Penyihir melenting tinggi ke 
udara, lalu melesat ke sebuah pohon. Ringan se-
kali gerakan kedua kakinya. Buktinya saja saat 
kedua kakinya hinggap, tidak menimbulkan suara 
sedikit pun. Ini jelas menandakan kalau ilmu me-
ringankan tubuhnya benar-benar sudah menca-
pai tingkat tinggi. Apalagi kedua kakinya ternyata 
hinggap di ranting pohon kecil yang besarnya tak 
lebih dari jari kelingking manusia dewasa!
"Sontoloyo! Benar-benar sontoloyo! Tak ku-
sangka bocah edan itu lenyap begitu saja! Hm...! 
Masa' aku harus dipaksa menemui bangkotan tua 
Kamasetyo di Gunung Bucu hanya untuk minta 
izin agar bocah edan itu memanggilku guru. 
Edan! Benar-benar edan bocah tengil satu itu! 
Awas kalau kutemukan nanti, ya!" geram Raja 
Penyihir sarat ancaman.

Meski amarahnya sudah mencapai ubun-
ubun kepala. Raja Penyihir masih tetap nangkring 
di atas ranting. Matanya terus jelalatan memper-
hatikan lembah hijau di hadapannya seksama. 
Lagi-lagi tak ditemukannya setitik bayangan pun 
di kejauhan sana.
Raja Penyihir mendengus gusar. Habis su-
dah kesabarannya. Sebagai sasaran kemarahan-
nya, tongkat hitam di tangan kanannya diayun-
kan keras ke belakang.
Prakkk!
Raja Penyihir tersentak kaget. Ranting po-
hon tempatnya hingga kontan patah. Maka tanpa 
ampun tubuhnya meluncur deras ke bawah. Na-
mun lelaki tua bangkotan itu tak kehilangan akal. 
Di saat tubuhnya melayang ke mulut jurang, ce-
pat dibuatnya gerakan indah di udara. Kini kedua 
kakinya mendarat mulus di tepi jurang.
Begitu menyadari betapa dalamnya jurang-
di bawah, paras Raja Penyihir kontan pucat. 
Hampir saja ia celaka karena keteledorannya. 
Namun mana mau ia menertawakan kebodohan-
nya sendiri?
"Edan! Benar-benar edan! Ini semua gara-
gara bocah tengil itu!" geram Raja Penyihir, me-
lampiaskannya pada Siluman Ular Putih.
Namun sejurus kemudian Raja Penyihir 
manggut-manggut.
"Baiklah. Mungkin belum saatnya aku ber-
temu kembali dengan bocah tengil itu. Dan 
mungkin juga, ucapan bocah tengil itu benar. Aku

harus mengunjungi tua bangka Kamasetyo di 
Gunung Bucu terlebih dulu biar tidak sial terus!" 
lanjut Raja Penyihir menenangkan hatinya.
Setelah mantap dengan keputusannya. Ra-
ja Penyihir segera menutulkan kakinya ke tanah. 
Sekali berbuat demikian, tahu-tahu sosoknya te-
lah melesat jauh di depan sana. Tujuannya jelas, 
menemui Eyang Begawan Kamasetyo di puncak 
Gunung Bucu.
* * *
Sepeninggal Siluman Ular Putih dan Arum 
Sari, hati Nenek Rambut Putih jadi tak karuan. 
Sepasang matanya yang kelabu mau tak mau ha-
rus menitikkan air mata. Sedih. Jangan tanya la-
gi. Ia yang selalu bersama muridnya kini terpaksa 
harus berpisah. Dan hatinya tak mampu meng-
hadapi perpisahan. Makanya walau bayangan se-
pasang muda-mudi itu telah menghilang di tikun-
gan depan sana, hatinya masih saja terharu.
"Oh...! Belum pernah aku merasakan sese-
dih ini, Arum. Mungkin benar orang bilang kalau 
perpisahan itu menyedihkan. Padahal ini hanya 
perpisahan kecil. Tapi kenapa aku jadi nelangsa 
seperti ini...."
Tak henti-hentinya dua bibir keriput itu 
berkemik-kemik melukiskan kesedihan hati. Se-
pasang matanya yang kelabu pun mulai bersim-
bah air mata. Nenek Rambut Putih memang sen-
gaja membiarkan perasaannya terombang

ambing. Membiarkan apa saja yang membuat ha-
tinya nelangsa. Karena memang hanya dengan 
cara itulah ia dapat menghadapi perpisahan, wa-
lau dengan hati berat. Tapi karena Nenek Rambut 
Putih ingin muridnya mereguk pengalaman seba-
gai seorang pendekar di dunia persilatan tanpa 
campur tangannya, terpaksa ia harus mengua-
tkan hatinya.
Nenek Rambut Putih menghela napas. Se-
sak. Terasa amat menyesakkan dada. Kedua bi-
birnya yang keriput pun kembali berkemik.
"Untung ada Siluman Ular Putih. Aku ya-
kin, pendekar muda satu itu dapat melindungi 
muridku. Yah...! Mudah-mudahan saja demi-
kian...," gumam Nenek Rambut Putih menenang-
kan batinnya.
"Apa? Kau.... Kau bilang apa? Kau.... Kau 
menyebut-nyebut Siluman Ular Putih? Di mana 
sekarang bocah edan itu, Nenek Keriput?"
Mendadak terdengar sahutan seseorang 
dari belakang.
Nenek Rambut Putih tersentak kaget. Bu-
ru-buru kepalanya berpaling ke belakang. Kilatan 
sepasang matanya yang tajam pun kian liar ma-
nakala melihat sesosok lelaki tua dengan pakaian 
tambal-tambalan telah berdiri di belakangnya.
"Kau...?" pekik Nenek Rambut Putih kaget.
Bukan saja si nenek kaget mendengar sa-
hutan tadi, melainkan juga kaget karena tahu-
tahu di situ telah berdiri seorang lelaki tua yang 
kehadirannya tanpa diketahuinya sama sekali.

Mengingat ini, Nenek Rambut Putih sadar kalau 
lelaki tua bangka itu memiliki kepandaian tinggi. 
Namun dorongan perasaannya yang sedang 
'gonjang-ganjing' membuatnya lupa diri.
"Bangkotan tua? Mau apa kau mengganggu 
ketenanganku, he?!" hardik Nenek Rambut Putih 
tak suka, seraya berbalik menghadap lelaki tua 
itu.
"Haram jadah! Justru akulah yang patut 
bertanya. Bukan kau! Di mana muridku Siluman 
Ular Putih, he?! Tadi kudengar kau menyebut-
nyebut bocah edan itu," hardik Raja Penyihir tak 
kalah sengit.
"Hm...!" Nenek Rambut Putih melengos se-
kenanya. Bibirnya dipencongkan ke samping. 
Membuat wajahnya makin jelek saja.
Raja Penyihir menahan geram dalam hati.
"Nenek Rambut Putih! Di mana sekarang 
Siluman Ular Putih berada?" tanya Raja Penyihir 
yang rupanya telah mengenal perempuan tua itu. 
Meski diucapkan dengan nada lembut, namun 
karena ada rasa dongkol, membuat suara Raja 
Penyihir mirip lenguhan. Lenguhan kerbau bunt-
ing yang mau dipotong.
"Aku tidak tahu, tahu?!" bentak Nenek 
Rambut Putih galak.
"Apa? Kau tidak tahu?" Mata Raja Penyihir 
membelalak lebar. "Mustahil! Tadi kau menyebut-
nyebutnya. Sekarang, kau bilang tidak tahu. Apa 
tubuhmu yang kerempeng minta digebuk, he?!" 
ancam Raja Penyihir seraya mengangkat tongkat

hitam di tangan kanannya tinggi-tinggi.
"Siapa takut pada Raja Penyihir? Gebuklah 
aku kalau nyawamu tak ingin melayang!" bentak 
Nenek Rambut Putih tak kalah galak. Tongkat di 
tangan kanannya pun siap melancarkan serangan 
maut.
Raja Penyihir mengeretakkan gerahamnya. 
Dongkol. Perlahan-lahan tongkatnya yang sudah 
diangkat tinggi-tinggi diturunkan.
"Jadi? Kau tidak tahu di mana perginya Si-
luman Ular Putih, Nenek Keriput?" tanya Raja Pe-
nyihir lirih.
"Tidak." 
"Tapi...."
"Bocah sinting itu pergi dengan muridku," 
potong si nenek.
"Kenapa?" cecar Raja Penyihir. 
"Aku yang menyuruh. Sudah cukup?"
"Kau mengusirnya?"
"Jangan banyak tanya! Aku tak punya wak-
tu meladeni tua bangka macammu!" hardik Nenek 
Rambut Putih menukas.
"Keterlaluan!" geram Raja Penyihir. Entah 
pada siapa. Entah ditujukan pada nenek keriput 
di hadapannya, entah pada Siluman Ular Putih.
"Hey, Tua Bangka Jelek! Kenapa tidak ce-
pat enyah dari hadapanku?! Apa yang kau mau, 
he?!" bentak Nenek Rambut Putih seraya bertolak 
pinggang. Lucu sekali gayanya. Bukannya keliha-
tan garang. Malah sebaliknya. Mirip orang-
orangan sawah tertiup angin.

"Hm...! Siapa yang mau denganmu, Nenek 
Jelek? Kucing buduk pun malas mendekati bang-
kai hidup macam kau!" ejek Raja Penyihir.
"Apa? Berani kau menghinaku demikian 
rupa?" sentak si nenek.
Makin menggelikan saja Nenek Rambut Pu-
tih ini saat berkacak pinggang. Tongkat hitam di 
tangan kanannya diacung-acungkan ke depan. 
Sepasang matanya yang kelabu seolah mau loncat 
keluar.
"Hm...! Kalau saja aku tak ada keperluan 
lain, sudah pasti kukemplang jidatmu, Nenek Je-
lek!"
Nenek Rambut Putih gusar bukan main, 
karena berkali-kali dikatakan nenek jelek. Jelas 
penghinaan besar ini tidak diterimanya. Baginya, 
penghinaan itu tak ubahnya seperti mengorek aib 
yang selama ini ditutupinya. Namun manakala 
ingin menggerakkan tongkatnya, tahu-tahu Raja 
Penyihir telah berkelebat cepat hanya dalam seka-
li menghentakkan kaki ke tanah.
Pantas sudah bagi Nenek Rambut Putih 
untuk uring-uringan. Ia pun tak mau kalah unjuk 
gigi. Sekali menjejakkan kaki ke tanah, sosoknya 
yang kurus kering pun telah berkelebat cepat 
mengejar Raja Penyihir.
Namun, rupanya usaha Nenek Rambut Pu-
tih hanya menemui kesia-siaan belaka. Ternyata 
ilmu meringankan tubuhnya kalah jauh diband-
ing Raja Penyihir. Dalam waktu yang tidak lama, 
sosok Raja Penyihir telah menghilang di kejauhan

sana.
Mau tidak mau Nenek Rambut Putih harus 
menghentikan langkah. Matanya terus meman-
dang ke arah Raja Penyihir menghilang tadi pe-
nuh kagum.
"Edan! Makin hebat saja tua bangka satu 
itu!" kata Nenek Rambut Putih.
"Siapa dia?"
Mendadak terdengar sahutan seseorang 
dari belakang. Buru-buru Nenek Rambut Putih 
berbalik. Tahu-tahu di hadapannya telah berdiri 
seorang pemuda gagah dengan jubah besar warna 
hitam menutupi tubuhnya yang tinggi kekar. Na-
mun karena sepasang matanya yang mencorong 
beringas, wajah gagah di hadapan Nenek Rambut 
Putih jadi menggidikkan. Rambutnya awut-
awutan tak karuan. Tarikan-tarikan dagunya je-
las menyiratkan watak keji. Sedikit pun tak ada 
senyum persahabatan dari kedua bibirnya yang 
tegang.
Menilik ciri-cirinya di atas, sudah pasti 
pemuda beringas berjubah tak lain dari Dewa Ke-
gelapan, murid Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi. Rupanya dalam pencariannya untuk mene-
mukan Siluman Ular Putih, tanpa sengaja ia telah 
sampai di tempat ini.
"Siapa kau, Bocah? Beraninya kau mengu-
sik ketenanganku?!" bentak Nenek Rambut Putih 
tak senang.
"Justru aku yang patut bertanya, Tua 
Bangka Keparat! Siapa orang yang kau cari?" balas Dewa Kegelapan.
"Bocah ingusan macam kau, tak patut 
mengetahui urusanku! Enyahlah sekarang dari 
hadapanku!"
"Hm...!" Dewa Kegelapan menarik hidung-
nya. Meremehkan. Lagaknya pongah sekali, 
membuat Nenek Rambut Putih kian menggelegak.
"Sekali lagi kuperingatkan, cepat enyah da-
ri hadapanku kalau tak ingin nyawamu me-
layang!" ancam Nenek Rambut Putih.
"Tua bangka tak tahu diri! Beraninya kau 
berkata lancang di hadapan Dewa Kegelapan? Apa 
kau tak tahu hukuman apa sebagai tebusannya? 
Nyawamulah tebusannya!" desis si pemuda, din-
gin.
"Hm...! Hanya bocah pongah. Gelarnya pun 
pongah. Dewa Kegelapan. Cih...! Tak ada gunanya 
bicara dengan bocah pongah macam kau. Melain-
kan tongkatkulah yang ingin mengajakmu bicara! 
Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba tubuh 
tinggi kurus Nenek Rambut Putih telah berkelebat 
cepat menerjang. Untuk sekadar memberi perin-
gatan, sengaja jurus andalannya tak dikeluarkan. 
Namun bukan berarti serangannya tak berba-
haya. Tongkatnya yang mengarah ke ulu hati De-
wa Kegelapan pun mengandung serangan hebat. 
Belum lagi pukulan tangan kirinya.
Melihat Nenek Rambut Putih telah menda-
hului, tanpa banyak membuang waktu Dewa Ke-
gelapan segera mengeluarkan jurus andalan,

'Tangan Merah'. Seketika kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah jadi merah darah hingga 
pangkal lengan cepat mengibas setelah menarik 
tubuhnya ke samping.
Srat! Srattt!
"Uts!"
Nenek Rambut Putih terkesiap kaget. Bu-
kan saja kaget serangannya dapat dielakkan den-
gan mudah, melainkan adanya serangan balik 
yang begitu hebatnya. Dan satu hal lagi yang 
membuat hatinya mengkeret, rasa-rasanya ia 
mengenal jurus yang tengah dikeluarkan Dewa 
Kegelapan.
"Tunggu!"
Nenek Rambut Putih cepat membuang tu-
buhnya jauh ke belakang untuk membuat jarak. 
Tongkat di tangan kanannya disilangkan di depan 
dada.
"Kalau tak salah lihat, kau tentu murid sa-
lah seorang dari Empat Iblis Merah dari Hutan 
Seruni!" tebak si nenek.
"Bukan hanya seorang. Tapi mereka semu-
alah guruku!" dengus Dewa Kegelapan. Tiba-tiba 
pemuda ini jadi ingin mengorek keterangan ten-
tang siapa pembunuh kedua orangtuanya. "Aku 
punya beberapa pertanyaan yang harus kau ja-
wab, Nenek Jelek. Berhubung kau mengenal sia-
pa guruku, tentu kau pun tahu siapa kedua 
orangtua ku, dan siapa yang telah membunuh 
mereka?!"
"Hm...! Rupanya ia murid Empat Iblis Me

rah," gumam Nenek Rambut Putih mengangguk-
anggukkan kepala. "Sayang sekali, kau tentu 
mendapat didikan tak baik oleh keempat orang 
gurumu...."
"Jangan banyak omong, Nenek Jelek! Ja-
wab pertanyaanku!"
"Sebenarnya aku kasihan padamu. Secara 
langsung maupun tidak, sebenarnya kau telah 
menjadi korban nafsu keempat orang gurumu. 
Aku yakin itu. Konon, Empat Iblis Merah selalu 
mencari seorang murid yang dilahirkan pada ma-
lam Jumat Kliwon, seperti kau tentunya."
"Hm.... Jadi keempat orang guruku tahu 
tentang kedua orangtua ku?"
"Yah, bahkan mereka pun tahu siapa pem-
bunuh kedua orangtua mu."
"Siapa?" cecar Dewa Kegelapan.
"Siapa lagi kalau bukan keempat orang gu-
rumu sendiri!" sahut si nenek kalem.
"Bedebah! Jangan sembarangan membacot, 
Nenek Jelek!"
Nenek Rambut Putih menjebikkan bibir.
Dewa Kegelapan kesal bukan main. Ia me-
rasa dipermainkan Nenek Rambut Putih. Tanpa 
banyak cakap, segera diterjangnya si nenek.
Mengingat siapa yang menjadi lawannya, 
Nenek Rambut Putih jadi tak segan-segan lagi 
mengeluarkan jurus andalan. Tongkatnya yang 
diberi nama Selaksa Badai diputar-putar cepat 
laksana gasing. Dari setiap putarannya berkesiur 
angin kencang laksana badai prahara!

Dewa Kegelapan tertawa bergelak. Tampak 
sekali kalau pemuda ini sangat memandang re-
meh lawannya.

LIMA


"Jalannya jangan cepat-cepat dong! Seperti 
orang mau kondangan saja!" oceh Siluman Ular 
Putih kesal juga diperlakukan mirip patung.
Arum Sari diam memberengut. Hatinya 
pun terbakar mendengar ocehan pemuda gon-
drong di sampingnya.
"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Arum 
Sari.
"Ah...! Masa' kau lupa, sih? Kan gurumu 
sendiri yang menyuruh?" tukas Soma tak mau ka-
lah.
"Aku tak senang dengan tugas yang diberi-
kan Guru padamu. Baiknya, tinggalkan saja aku! 
Toh, di antara kau dan guruku tak ada hubungan 
apa-apa?"
"Aku memang bukannya apa-apanya gu-
rumu. Kenal pun baru tadi. Mungkin hanya kare-
na rejeki nemplok eh... rejeki nomplok saja."
"Rejeki nomplok apa?"
"Yah...!" Siluman Ular Putih tersenyum 
nakal. Untuk lebih meyakinkan tangannya pun 
garuk-garuk kepala.
"Jangan mempermainkanku! Jawab perta-
nyaanku! Rejeki nomplok apa?" desak Arum Sari.
"Yah...! Rejekilah pokoknya. Masa' melaku-
kan perjalanan bersama seorang gadis cantik bu-
kan rejeki nomplok namanya? Lalu, apa kalau 
bukan rejeki?" Soma malah balik bertanya.
Arum Sari memberengut. Bibirnya membe-
rengut. Sedang Siluman Ular Putih malah terse-
nyum-senyum senang.
"Sudah dong! Jangan cemberut saja! Apa 
enaknya sih jalan-jalan kok sambil memberen-
gut?" celoteh Soma menggoda.
"Aku lebih senang kalau kau mau diam...," 
ujar Arum Sari.
"Baiklah aku akan diam. Tapi kita tetap 
akan sama-sama, kan?" kata Soma cerewet.
Arum Sari membalikkan badannya kesal. 
Sempat dilihatnya Siluman Ular Putih tengah ter-
senyum ke arahnya. Si gadis kini menggeleng-
gelengkan kepala. Tanpa banyak cakap ia pun se-
gera berlari sekencang mungkin, meninggalkan 
Soma seorang diri.
Siluman Ular Putih malah tertawa senang. 
Sambil berkelebat cepat mengejar Arum Sari, mu-
lutnya malah menyanyi seenak dengkulnya
Breng gombreng-gombreng 
Kejar daku-kejar daku 
Engkau kutangkap 
Breng gombreng-gombreng....
* * *

Pertarungan besar antara Nenek Rambut 
Putih dengan Dewa Kegelapan tampaknya akan 
tergelar. Mereka telah sama-sama siap mengelua-
rkan jurus andalan masing-masing. Satu sama 
lain tidak ada yang ingin mendapat malu.
Nenek Rambut Putih yang bermaksud 
menghajar pemuda pongah di hadapannya, seolah 
tak sabar untuk segera membuka serangan. De-
mikian juga halnya Dewa Kegelapan. Amarahnya 
kontan menggelegak begitu melihat tongkat di 
tangan Nenek Rambut Putih mampu mengelua-
rkan badai prahara menyambar-nyambar kulit.
"Chiaaat...!"
Diiringi teriakan keras, serangan Nenek 
Rambut Putih datang. Tongkat hitam di tangan 
kanannya menderu-deru hebat, membentuk gu-
lungan hitam siap mengancam tubuh Dewa Kege-
lapan dari delapan penjuru. Sedang telapak tan-
gan kirinya yang berwarna putih siap pula melon-
tarkan pukulan maut.
Bettt...!
Tongkat Nenek Rambut Putih berkelebat 
cepat menyodok ulu hati Dewa Kegelapan. Gera-
kannya cepat luar biasa. Bahkan sebelum ujung 
tongkat mengenal sasaran, terlebih dahulu berke-
siur angin dingin mendahului!
Dewa Kegelapan mengeretakkan geraham-
nya kuat-kuat. Kedua telapak tangannya yang 
berwarna merah darah bersiap-siap mengancam 
balik tubuh Nenek Rambut Putih.
"Uts...!"

Dan sedikit lagi serangan mengenai sasa-
ran, Dewa Kegelapan yang hanya bersenjata tan-
gan kosong segera menggeser tubuhnya sedikit ke
samping. Pada saat serangan tongkat mengenai 
angin kosong, tiba-tiba telapak tangan kanannya 
menyelinap ke dalam gulungan hitam tongkat Ne-
nek Rambut Putih. Namun pada saat yang sama, 
tangan kiri si nenek juga tengah mencari sasaran. 
Dan....
Bukkk!
Bret! Bret!
Nenek Rambut Putih dan Dewa Kegelapan 
sama-sama terpekik ketika serangan satu sama 
lain mendarat pada sasaran. Nenek Rambut Putih 
yang dadanya terkena hantaman telapak tangan 
kanan Dewa Kegelapan kontan terjajar dan ter-
huyung. Namun sebagai tokoh sakti yang sudah 
cukup mengenal pahit getirnya dunia persilatan, 
semuanya bisa cepat diatasi.
Sementara amarah Dewa Kegelapan kian 
tersulut. Sungguh tak disangka nenek renta di 
hadapannya mampu menyarangkan pukulan ber-
tenaga dalam tinggi, begitu serangan pertamanya 
gagal.
Kendati begitu rasa kesal Dewa Kegelapan 
sedikit terobati. Di hadapannya, Nenek Rambut 
Putih tengah mengurut dadanya yang tadi terkena 
hantaman tangannya. Dan Dewa Kegelapan tahu 
si nenek itu tengah menderita luka dalam. Itu bi-
sa dilihat dari wajahnya yang pucat.
Dewa Kegelapan tak ingin menyia-nyiakan

kesempatan. Dengan garangnya diterjangnya Ne-
nek Rambut Putih yang masih mengurut-urut da-
da. Telapak tangan kanannya diarahkan ke dada. 
Sedang telapak tangan kirinya siap meremukkan 
kepala.
"Tua bangka keparat! Terimalah kema-
tianmu hari ini! Heaa...!"
Hebat bukan main serangan Dewa Kegela-
pan kali ini. Sebelum serangan-serangan itu men-
genai sasaran, hawa dingin bukan main telah 
menyambar-nyambar kulit.
Nenek Rambut Putih mengeluh tertahan.
"Setan! Tak kusangka pemuda pongah ini 
memiliki tenaga dalam hebat!" geram Nenek Ram-
but Putih dalam hati.
Sebelum serangan itu berubah jadi mala 
petaka, Nenek Rambut Putih segera merunduk 
seraya memutar tubuhnya ke samping. Bersa-
maan dengan itu, tongkat di tangan kanannya 
ikut berputar, langsung menghadang serangan 
Dewa Kegelapan.
Bett...!
"Ah...!"
Dewa Kegelapan terperangah kaget. Kalau 
serangannya diteruskan, sudah pasti kepalanya 
akan terkena hantaman tongkat. Padahal, si ne-
nek telah menderita luka dalam. Tapi dari samba-
ran tongkatnya masih terasa angin panas yang 
sudah pasti berisi tenaga dalam. Tidak ada pili-
han lain terpaksa serangannya harus ditarik 
mundur.

"Setan! Rupanya kau punya otak juga, Ne-
nek Keriput! Tapi, jangan bangga dulu. Kau kira 
aku tak dapat mengirim nyawa busukmu ke da-
sar neraka, he?! Makanlah bogem mentahku! 
Hea...!"
Saat itu pula Dewa Kegelapan melontarkan 
serangan bertubi-tubi dan tak terduga-duga sama 
sekali. Akibatnya, Nenek Rambut Putih jadi kewa-
lahan bukan main. Ia segera berusaha menghin-
dari serangan yang terus berdatangan.
Demi menyelamatkan selembar nyawanya, 
terpaksa Nenek Rambut Putih harus berjumpali-
tan ke sana kemari. Entah sudah berapa kali ia 
harus bertindak demikian. 
"Uts! Uts!"
Tanpa ampun serangan-serangan Dewa 
Kegelapan terus mendesak Nenek Rambut Putih. 
Bila ada peluang sedikit saja, Dewa Kegelapan tak 
akan pernah menyia-nyiakannya. Dan mendadak 
saja, tangan Dewa Kegelapan menelusup ke per-
tahanan Nenek Rambut Putih. Begitu cepat gera-
kannya, membuat si nenek terperangah. 
"Ah...!"
Tak diduga-duga sama sekali, bogem men-
tah Dewa Kegelapan tahu-tahu siap menghancur-
kan kepala. Demi menyelamatkan selembar nya-
wa, mau tak mau Nenek Rambut Putih harus 
memutar tongkat di tangan kanan. 
Bett!
Prakkk!
Tongkat di tangan Nenek Rambut Putih

kontan hancur begitu terkena hantaman tangan 
Dewa Kegelapan. Hal itu makin membuat paras 
Nenek Rambut Putih pucat. Padahal tadi tenaga 
dalamnya telah dikerahkan dengan kekuatan pe-
nuh. Tapi, tongkat hitamnya tetap saja tidak 
mampu menahan serangan Dewa Kegelapan. Ma-
lah serangan susulan Dewa Kegelapan yang beru-
pa tamparan kali ini jauh lebih berbahaya daripa-
da serangannya.
Tak pelak, Nenek Rambut Putih jadi kecut 
nyalinya. Sulit rasanya menghindari tamparan 
tangan Dewa Kegelapan. Apalagi dalam jarak yang 
demikian dekat. Yang terlihat hanya kelebatan 
tangan Dewa Kegelapan, sebelum akhirnya.... 
Plak! Plakkk!
Dua kali tangan Dewa Kegelapan bergerak, 
maka dua kali pula kepala Nenek Rambut Putih 
terlempar ke samping kanan kiri. Seketika, pe-
rempuan tua itu kehilangan keseimbangan, se-
hingga tubuhnya limbung. Kepalanya yang terke-
na tamparan Dewa Kegelapan terasa mau pecah. 
Bahkan darah segar pun kontan menyembur ke-
luar dari mulut. 
"Hooekhhhh!" 
Dewa Kegelapan tertawa bergelak.
"Kinilah saatnya kau modar di tanganku, 
Nenek Keriput!" ejek Dewa Kegelapan, bengis. Ke-
dua telapak tangannya kini telah berubah jadi hi-
tam legam.
"Pukulan 'Darah Iblis'...!" desis Nenek 
Rambut Putih penuh keterkejutan.

Hati si nenek makin mengkeret. Namun 
bukan berarti harus pasrah saja menerima maut. 
Kedua telapak tangannya yang telah berubah pu-
tih pun siap pula memapak dengan aji 'Gada Bu-
mi'.
"Bagus! Rupanya kau mengenal juga puku-
lanku ini. Berarti kau tak akan mati penasaran!"
Dewa Kegelapan menarik kedua telapak 
tangannya ke belakang. Menilik kedua pelipisnya 
yang bergerak dan otot-otot lehernya yang mem-
besar, jelas kalau murid Empat Iblis Merah dari 
Hutan Seruni itu telah mengerahkan tenaga da-
lam dengan kekuatan penuh. 
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Dewa 
Kegelapan mendorongkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar hi-
tam legam dari kedua telapak tangannya. Pada 
saat yang sama Nenek Rambut Putih menghen-
takkan kedua tangannya, memapak serangan.
Wesss! Wesss! 
Blaaammm!!!
Terdengar satu ledakan hebat ketika dua 
kekuatan beradu di satu titik. Bumi berguncang 
hebat laksana diamuk badai prahara. Angin aki-
bat bentrokan dua tenaga dalam barusan mem-
buat ranting-ranting pohon hangus terbakar!
Diiringi pekik menyayat hati, Nenek Ram-
but Putih kontan terlempar jauh ke belakang. Tu-
buhnya berputar-putar sebentar, lalu jatuh ber-
debam menghantam tanah.

"Ohh...!"
Nenek Rambut Putih mengeluh hebat. Ke-
dua telapak tangannya terasa terbakar. Sedang 
seisi dadanya terasa mau jebol. Perlahan darah 
merah menetes dari mulut, lobang hidung, dan 
lobang telinga!
"Tua bangka macam kau memang sudah 
selayaknya modar! Kau tak pantas lagi malang 
melintang di dunia persilatan! Mulai hari ini, aku-
lah yang akan menguasai dunia persilatan! Kau 
dengar, Nenek Keriput? Kau harus mengakui ka-
lau aku rajanya dunia persilatan!" kata Dewa Ke-
gelapan di antara tawanya yang bergelak.
"Cih...! Siapa sudi mengakui bocah pongah 
macam kau?! Jangankan untuk menjadi raja di 
rajanya dunia persilatan, membunuhku pun kau 
belum tentu becus!" dengus si nenek seraya beru-
saha merayap bangkit!
"Apa?" sentak Dewa Kegelapan dengan ma-
ta membelalak lebar. "Baik. Kalau begitu, me-
mang sudah saatnya aku menghabisi nyawa bu-
sukmu!"
Seketika pemuda ini segera mengerahkan 
pukulan 'Darah Iblis'-nya kembali. Maka tak pe-
lak lagi kedua telapak tangan Dewa Kegelapan 
kembali berubah hitam legam. 
"Boleh saja kau membunuhku. Tapi, ma-
kanlah dulu senjata-senjata rahasiaku! Hea...!"
Sambil melenting bangkit, si nenek mengi-
baskan tangannya dengan kekuatan tenaga dalam 
penuh. Saat itu pula melesat dua buah benda ke

cil berwarna hitam sebesar telur puyuh.
Sudah pasti Dewa Kegelapan tak ingin tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan senjata ra-
hasia Nenek Rambut Putih. Maka tanpa pikir 
panjang, tangan kanannya segera digerakkan dua 
kali. Dan... 
Blammm! Blammm!
Terdengar dua kali ledakan di udara, diser-
tai mengepulnya asap hitam tebal bergulung-
gulung memenuhi pertarungan.
Dewa Kegelapan gusar bukan main. Sekali 
jubahnya dikebutkan, lenyaplah gulungan-
gulungan hitam itu. Namun bersamaan dengan
itu, sosok Nenek Rambut Putih telah lenyap dari 
tempat ini.
"Setan alas! Beraninya kau mempermain-
kan Dewa Kegelapan seperti ini, Nenek Keriput!"
Dewa Kegelapan menggeram penuh kema-
rahan. Hawa membunuh dalam dirinya yang ter-
berangus membuat hatinya murka bukan main. 
Dan sekali menjejakkan kaki ke tanah, tubuhnya 
telah berkelebat jauh. 

ENAM


"Kena kau!"
Siluman Ular Putih tersenyum-senyum se-
nang di hadapan Arum Sari. Baginya mudah saja 
untuk mengejar Arum Sari. Dengan ilmu lari ce-
pat 'Menjangan Kencono' Arum Sari mudah sekali

dilewatinya.
Arum Sari menggeleng-gelengkan kepala. 
Namun... diam-diam dalam hatinya amat menga-
gumi ilmu meringankan tubuh Siluman Ular Pu-
tih. Tidak disangka sama sekali kalau kunyuk 
gondrong satu itu memiliki ilmu meringankan tu-
buh amat tinggi. Bisa jadi ilmu kanuragannya 
pun tinggi. Kalau tidak, mustahil Nenek Rambut 
Putih sampai hati membiarkan muridnya mela-
kukan perjalanan bersama kunyuk gondrong ini!
"Kau...! Sudah kubilang jangan mengejar. 
Kenapa malah menyusul?" tanya Arum Sari.
"Amanat! Aku hanya menjalankan amanat!" 
sergah Siluman Ular Putih. Sengaja suaranya di-
buat wibawa. Namun karena masih ada sisa se-
nyum di bibir, tampangnya malah mirip orang ku-
rang waras.
"Hmh...!"
Arum Sari menghela napas kesal. Kening-
nya berkerut-kerut mencari jalan, bagaimana ca-
ranya lepas dari kuntitan Siluman Ular Putih. Se-
bab ia yakin pemuda ini tak mungkin akan men-
gabaikan perintah gurunya. Dan rasanya tak ada 
pilihan lain kecuali harus menggunakan akal bu-
lus. Ia harus dapat mengakali Siluman Ular Putih.
Berpikir sampai di situ Arum Sari jadi ter-
senyum cerah. Tentu saja melihat perubahan si-
kap Arum Sari yang tiba-tiba membuat Soma me-
longo seperti kambing minta kawin.
"Nah...! Begitu dong. Senyum. Kan enak ke-
lihatannya. Tidak cemberut saja seperti nenek

nenek telat buang hajat saja," celoteh Soma tak 
dapat menutupi perasaan senangnya.
"Eh...! Sebenarnya namanya siapa, sih?" 
tanya Arum Sari, sengaja merubah nada bica-
ranya selembut mungkin. Namun, diam-diam 
otaknya terus bekerja keras bagaimana caranya 
mengakali Siluman Ular Putih.
"Ah...! Sayang benar. Rupanya kau belum 
tahu namaku, ya? Namaku Soma. Kau Arum Sari, 
kan? Aku tahu namamu dari gurumu tadi," sahut 
Siluman Ular Putih, ketolol-tololan. Senyumnya 
sengaja diumbar ke sana kemari. Yah... siapa ta-
hu gadis cantik ini mulai kecantol, pikirnya.
"Oooo...! Jadi namamu Soma, ya? Bagus 
juga. Eh, Soma! Kau mau menolong aku tidak?" 
lanjut si gadis.
"Pasti. Kenapa kau menanyakannya. 
Arum?" balas Siluman Ular Putih masih belum 
menangkap akal bulusnya Arum Sari.
"Aku ingin sekali makan buah salak. Tadi, 
di sana kulihat banyak sekali tumbuh pohon sa-
lak. Tolong dong ambilkan aku beberapa buah sa-
ja. Soma!" pinta Arum Sari merajuk. Tangannya 
menunjuk ke gerumbulan hutan di belakang.
Soma tersenyum. Akalnya yang cerdik jelas 
tak mungkin dapat diakali dengan cara kampun-
gan seperti itu.
"Hii...! Enak benar menyuruhku mengambil 
buah salak. Di saat aku pergi, kujamin gadis ini 
pun sudah kabur. Tak usah, ya?" kata Soma kes-
al, namun cuma dalam hati.

"Eh..., Soma! Kau dengar aku tidak, sih? 
Kenapa melongo saja?" sentak Arum Sari.
Soma pura-pura kaget.
"Ya, ampun! Kau ini bagaimana, sih? To-
long ambilkan aku buah salak! Tuh di sana!"
"Baik, Tuan Putri," sahut Soma seraya 
membungkuk badan. Namun meski menyanggu-
pi, namun Soma hanya berpura-pura. Padahal ia 
justru ingin mengecoh balik.
"Cepat dong ambil!" rajuk Arum Sari man-
ja. Sikapnya pun sengaja dibuat sekenes mung-
kin. 
"Ba...." 
Gusrakkk!
Baru saja Siluman Ular Putih hendak me-
nyahut, mendadak dikejutkan oleh bunyi semak 
belukar yang ditimpa badan seseorang dengan 
kasar sekali. 
"Nah, Iho? Apa itu?"
Kontan saja niat untuk balik mengerjai 
Arum Sari dalam diri Siluman Ular Putih terbe-
rangus, dan berganti rasa heran. Sejenak kedua 
anak muda itu saling berpandangan. Siluman 
Ular Putih yang lebih peka pendengarannya buru-
buru melompat ke balik semak belukar yang di-
curigai.
"Nenek jelek...?!" 
* * *
Wajah cantik Arum Sari kontan menegang.

Panggilan Siluman Ular Putih itu entah kenapa 
membuat hatinya risau sekali. Tanpa banyak pi-
kir panjang lagi, segera ia melompat menghampiri 
Siluman Ular Putih.
"Guruuu...!!!" pekik Arum Sari.
Hati si gadis benar-benar nelangsa mana-
kala melihat sosok tua yang tak lain gurunya da-
lam keadaan luka parah di pangkuan Siluman 
Ular Putih. Wajahnya pucat pasi. Banyak darah 
membanjiri wajahnya yang keriput.
Arum Sari menangis sesenggukkan semba-
ri mengguncang-guncangkan tubuh gurunya.
Siluman Ular Putih membiarkan saja gadis 
cantik itu puas dengan tangisnya. Ia hanya beru-
saha, keras agar Nenek Rambut Putih lekas si-
uman. Maka ditotoknya tubuh nenek renta itu be-
rulang-ulang hingga akhirnya perlahan-lahan ter-
dengar erangannya. 
"Eghhh...!"
Dengan susah payah Nenek Rambut Putih 
berusaha membuka kedua kelopak matanya.
"Guru! Siapa yang melakukan ini semua?" 
jerit Arum Sari, tak sabar mendengar pengakuan 
gurunya.
"De.... Dewa Kegelapan...," kata Nenek 
Rambut Putih, tersendat.
"Dewa Kegelapan? Siapa itu, Guru?"
"Mur.... Murid Emp.... Empat Iblis Merah 
dar...."
Nenek Rambut Putih tak dapat lagi mene-
ruskan ucapannya. Kepalanya keburu rebah di
atas pangkuan Siluman Ular Putih. Tubuhnya te-
lah dingin, tidak bergerak-gerak lagi.
"Guruuu...!!!" pekik Arum Sari sejadinya. 
Tangisnya makin sulit dikendalikan.
"Sudahlah! Jangan tangisi gurumu! Percu-
ma. Gurumu sudah meninggal!" kata Soma lirih.
Arum Sari lak mempedulikan ucapan So-
ma. Sambil terus mengguncang-guncangkan tu-
buh Nenek Rambut Putih, si gadis menangis me-
raung-raung.
Soma hanya terdiam. Memang tak ada cara 
lain kecuali membiarkan tangis Arum Sari terku-
ras habis. Meski demikian, pemuda ini merasa 
sedih sekali. Dalam hatinya menduga-duga, siapa 
manusia keji yang telah menewaskan Nenek 
Rambut Putih.
"Dewa Kegelapan...! Murid Empat Iblis Me-
rah? Sayang sekali Nenek Rambut Putih keburu 
menemui ajal," gumam Siluman Ular Putih dalam 
hati.
"Aku tidak akan membiarkan guruku tewas 
di depan mataku. Aku harus menuntut balas se-
karang juga!" desis si gadis.
Arum Sari bangkit seraya memukul-
mukulkan tinjunya penuh kemarahan. Raut wa-
jahnya yang bersimbah air mata menegang. Kila-
tan-kilatan matanya terlihat beringas.
"Aku tahu. Kita memang harus menuntut 
balas. Tapi bukanlah sebaiknya kita kuburkan 
dulu jenazah gurumu ini?" sahut Siluman Ular 
Putih enteng.

"Huh...!"
Arum Sari menggedikkan bahunya. Tak se-
patah kata pun terucap dari kedua bibirnya yang 
bergetar. Namun manakala Siluman Ular Putih 
bersiap menguburkan jenazah si nenek, tangis 
Arum Sari pun reda. Bergegas gadis ini memban-
tu Siluman Ular Putih menguburkan jenazah Ne-
nek Rambut Putih.

TUJUH


Satu sosok bayangan berkelebat cepat se-
kali laksana terbang, memasuki Hutan Kenjeran. 
Sosoknya yang tinggi kekar dibalut jubah besar 
warna hitam. Rambutnya gondrong awut-awutan 
tak terawat dengan sepasang mata mencorong. 
Beringas. Siapa lagi sosok satu ini kalau bukan 
Datuk Kegelapan!
Sesampainya di tengah hutan, mendadak 
Dewa Kegelapan menghentikan kelebatannya. Ma-
tanya seketika jalang memperhatikan sekitar. Ta-
di jelas matanya sempat menangkap sosok lain 
yang juga berkelebat. Tapi, cepat sekali sosok tadi 
lenyap.
Dewa Kegelapan mengerahkan ilmu pem-
beda gerak dan suara. Dari suara-suara yang 
berhasil dipilah-pilah, pemuda ini mendengar be-
berapa desah napas. Dari sini Dewa Kegelapan 
yakin, di sekitar tempatnya berpijak banyak mata 
tengah memperhatikannya. Tak begitu jauh.

Mungkin bersembunyi di semak-semak, di ba-
tang-batang pohon, atau malah bisa jadi ada yang 
bersembunyi di atas ranting pohon.
Werrr! Werrr!
Namun belum sempat Dewa Kegelapan ber-
tindak lebih lanjut, mendadak terdengar angin 
berkesiur ke arahnya. Sedikit pemuda ini melirik. 
Tampak berpuluh-puluh senjata rahasia menye-
rang dirinya.
Dewa Kegelapan menarik hidungnya, diser-
tai dengus. Dan sekali menggerakkan tangan, pu-
luhan senjata rahasia yang ternyata gerigi-gerigi 
berwarna hitam itu berhamburan ke tanah.
"Bangsat! Manusia-manusia tak tahu diri! 
Tunjukkan diri kalian kalau ingin modar di tan-
gan Dewa Kegelapan!" hardik Dewa Kegelapan pe-
nuh kemarahan. Sepasang matanya yang berin-
gas nyalang memperhatikan sekitar.
Tak ada jawaban. 
"Setan alas! Jangan dikira aku tak dapat 
memaksa kalian keluar, Bangsat!" bentak Dewa 
Kegelapan menggelegar.
Belum juga gema bentakannya lenyap, De-
wa Kegelapan segera mendorongkan kedua tela-
pak tangannya ke depan. Seketika melesat dua la-
rik sinar legam dari kedua telapak tangannya ke 
arah batang pohon. Dan.... 
Brakkk!
Batang pohon sebesar dua lingkaran tan-
gan manusia dewasa kontan bergoyang-goyang 
yang disusul suara bergemuruh, sebelum akhir

nya tumbang. Batang dan ranting daunnya tam-
pak hangus terbakar!
"Hebat! Rupanya kau punya sedikit kepan-
daian! Pantas kau berani pentang bacot seperti 
itu!"
Mendadak dari semak-semak belukar tak 
jauh dari batang pohon yang tumbang muncul 
seorang lelaki tinggi besar terbungkus jubah kun-
ing, diikuti puluhan sosok lainnya. Begitu berada 
sepuluh tombak di hadapan Dewa Kegelapan, le-
laki berjubah kuning itu memerintahkan dua pu-
luh orang yang mengikutinya untuk segera men-
gurung Dewa Kegelapan.
Dewa Kegelapan mendengus angkuh. Sedi-
kit pun ia tidak takut menghadapi lelaki berjubah 
kuning yang ternyata membawahi dua puluh 
orang yang mengurungnya.
Sosok lelaki berjubah kuning itu tertawa 
bergelak. Tubuhnya yang tinggi besar bak raksasa 
berguncang-guncang. Rambutnya panjang terge-
rai di bahu. Parasnya yang kasar jelas menanda-
kan kalau wataknya kasar. Matanya besar. Hi-
dungnya besar. Wajah penuh cambang dan bre-
wok.
"Lagakmu tengik sekali, Bocah! Berani be-
nar kau mengantar nyawa seorang diri kemari?! 
Apa kau tak tahu tengah berhadapan dengan sia-
pa, he?!" bentak lelaki berjubah kuning yang me-
rapunya perangai kasar itu, garang.
"Bacotmu sungguh tajam, Bangsat! Tapi
apa bacotmu bisa dibuktikan?" sahut Dewa Kegelapan, kaku.
"Ha ha ha...! Seumur hidup baru kali ini 
Gembong Kenjeran melihat bocah sepongah kau! 
Apa kau punya nyawa rangkap hingga berani 
mengantar nyawa kemari, he?" ejek lelaki yang 
mengaku berjuluk Gembong Kenjeran.
"Hm...! Jadi, kaukah yang bergelar Gem-
bong Kenjeran? Kebetulan sekali. Kedatanganku 
kemari bukan untuk mengantar nyawa. Melain-
kan, untuk memperingatkan kau beserta anak 
buahmu. Kalau kalian menentang maksudku, be-
rarti akan menyesal. Kalian semua akan modar di 
tanganku jika tidak mau tunduk di bawah perin-
tahku!" desis Dewa Kegelapan, penuh tekanan.
"Jangan mimpi! Bocah kemarin sore ma-
cam kau tak pantas memerintah Gembong Kenje-
ran. Apalagi, harus sampai tunduk di bawah ke-
kuasaanmu. Puih!" Gembong Kenjeran meludah, 
kesal. "Anak-anak! Hajar bocah pongah itu!"
Srattt! Srattt!
Pedang-pedang di tangan anak buah Gem-
bong Kenjeran langsung terlolos dari warang-
kanya di pinggang. Namun kilatan-kilatan mata 
pedang yang mengerikan sedikit pun tidak mem-
buat kecut nyali Dewa Kegelapan. Malah dengan 
pongah murid Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi itu mengumbar tawa meremehkan.
"Cecurut-cecurut comberan tak tahu diri! 
Majulah kalian kalau ingin merasakan kehebatan 
Dewa Kegelapan. Bila perlu, pimpinanmu sekalian 
suruh maju!" tantang Dewa Kegelapan, jumawa.

Gembong Kenjeran yang berdiri di luar ke-
pungan hanya mengeretakkan gerahamnya penuh 
kemarahan. Hampir saja diterjangnya Dewa Kege-
lapan kalau para anak buahnya lebih dulu berge-
rak menyerang Dewa Kegelapan. Kini Gembong 
Kenjeran hanya menonton jalannya pertarungan.
"Kalian semua akan menyesal telah berani 
kurang ajar terhadap Dewa Kegelapan. Sekarang 
rasakanlah akibatnya!"
Dewa Kegelapan menggembor penuh kema-
rahan. Dan saat itu pun, tiba-tiba tubuhnya ber-
kelebat cepat luar biasa sehingga sulit diikuti 
pandang mata. Sementara kedua telapak tangan-
nya telah berubah merah darah sampai pangkal. 
Maka tanpa ampun kedua tangannya bergerak 
cepat ke sana kemari menampar satu persatu ke-
pala anak buah Gembong Kenjeran.
Prakkk! Prakkk!
"Aaa...!"
Dua kali tangan Dewa Kegelapan mengibas, 
maka dua kali pula terdengar teriakan menyayat, 
disusul robohnya dua sosok tubuh yang langsung 
tak bergerak-gerak lagi. Kepala mereka pecah, 
membuyarkan isinya.
Melihat kenyataan ini, para anak buah
Gembong Kenjeran bergerak mundur. Nyali mere-
ka mendadak lenyap entah ke mana.
"Lihat! Apa mata kalian buta? Apa kalian 
ingin modar seperti mereka? Hayo, maju! Siapa 
yang masih penasaran!" tantang Dewa Kegelapan, 
sejenak menghentikan serangan.

Dewa Kegelapan berkacak pinggang di ha-
dapan para anak buah Gembong Kenjeran yang 
masih ragu-ragu untuk melanjutkan serangan. 
Sepasang matanya yang beringas menatap tajam 
satu persatu para pengepungnya.
Sementara melihat kenyataan ini, Gembong 
Kenjeran jadi geram bukan main. Tadi memang 
sempat dilihatnya betapa dengan mudahnya De-
wa Kegelapan menurunkan tangan maut pada 
dua orang anak buahnya. Jelas lelaki berjubah 
kuning ini tak dapat terima keadaan itu. Lebih 
jengkelnya lagi manakala melihat para anak 
buahnya hanya terpaku di tempatnya.
"Anak-anak! Kenapa melongo saja? Cepat 
hajar bocah pongah itu!" perintah Gembong Ken-
jeran, berteriak kalap.
Sejenak anak buah Gembong Kenjeran itu 
hanya saling berpandangan. Tampak sekali kalau 
mereka ragu-ragu. Namun bila teringat akan ke-
kejaman Gembong Kenjeran, mau tidak mau pe-
rintah pimpinan harus dituruti. Walaupun, harus 
nyemplung ke dalam kobaran api sekalipun!
"Bodoh! Dasar cecurut-cecurut comberan! 
Kalau saja aku mau, apa kalian pikir masih dapat 
menjual lagak seperti ini, he?!" dengus Dewa Ke-
gelapan.
Tak ada jawaban dari mulut para anak 
buah Gembong Kenjeran. Yang ada hanya kilatan-
kilatan mata pedang, mereka kembali menyerang 
Dewa Kegelapan. 
"Huh...!"

Dewa Kegelapan mendengus. Habis sudah 
kesabarannya. Tak ada pilihan lain. Para anak, 
buah Gembong Kenjeran memang harus dihajar-
nya.
"Keparat! Jangankan menghadapi cecurut-
cecurut macam kalian! Menghadapi biangnya se-
tan pun aku tak takut. Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tubuh Dewa 
Kegelapan kembali berkelebat. Kali ini kecepatan-
nya luar biasa, melebihi kelebatannya yang per-
tama. Demikian juga tamparan dan hantaman 
hantaman tangannya.
Para anak buah Gembong Kenjeran terpe-
ranjat. Belum sempat berpikir apa yang akan di-
perbuat, tahu-tahu tamparan dan hantaman tan-
gan Dewa Kegelapan telah mendarat.
Plakkk! Plakkk!
"Aaa...!"
Seketika tubuh anak buah Gembong Ken-
jeran berpelantingan ke sana ke mari begitu ter-
hantam tamparan dan jotosan tangan Dewa Kege-
lapan.
Tidak sampai di situ saja serangan Dewa 
Kegelapan. Tubuhnya terus berkelebat, mengha-
jar sisa-sisa anak buah Gembong Kenjeran yang 
masih berdiri.
Prak! Prak! 
"Aaa...!"
Tanpa ampun pula sisa anak buah Gem-
bong Kenjeran roboh ke tanah tanpa dapat ban-
gun lagi dengan kepala pecah dan dada jebol.

Mengkelap hati Gembong Kenjeran melihat 
para anak buahnya dibantai Dewa Kegelapan 
dengan mudahnya. Maka disertai teriakan keras 
bak harimau terluka, tubuhnya segera meluruk 
ke tempat pertarungan.
"Minggir kalian semua!" bentak Gembong 
Kenjeran, garang.
Beberapa sisa anak buah Gembong Kenje-
ran segera menarik diri dari tempat pertarungan. 
Sepatah kata pun mereka tak berani membantah.
"Bagus! Kenapa tidak dari saja kau turun 
tangan?" ejek Dewa Kegelapan, begitu Gembong 
Kenjeran mendarat di depannya sejarak setengah 
tombak.
"Bajingan! Jangan menyesal kalau kali ini 
terpaksa aku harus mencabut nyawa basukmu, 
Bocah!" dengus Gembong Kenjeran penuh kema-
rahan.
Diam-diam lelaki berjubah kuning ini men-
galirkan tenaga dalamnya, membuat kedua tela-
pak tangannya berubah jadi kuning hingga ke 
pangkal. Rasanya, ia sudah tak sabar lagi untuk 
menghabisi nyawa Dewa Kegelapan. Maka tanpa 
banyak cakap, kedua telapak tangannya segera 
didorongkan ke depan.
''Makanlah aji 'Palu Godam'-ku!"
* * *
Upacara pemakaman jenazah Nenek Ram-
but Putih telah usai. Arum Sari masih tak ber

geming dari tempatnya, berlutut di sisi makam 
gurunya. Tangisnya tak kunjung reda.
"Dewa Kegelapan...!" desis Arum Sari.
Teringat nama itu, paras cantik gadis ini 
kontan menegang. Kilatan-kilatan sepasang ma-
tanya yang indah kini tampak beringas.
"Demi Tuhan aku akan membalaskan sakit 
hatimu. Guru...!" lanjutnya dengan tangan ter-
kepal kuat-kuat.
Siluman Ular Putih yang duduk di samping 
si gadis tak tega untuk menggoda. Pemuda ini di-
am saja di tempatnya sambil sesekali matanya 
melirik seraut wajah cantik di sampingnya.
"Kini tibalah saatnya aku membalaskan 
sakit hatimu, Guru. Ke mana pun Dewa Kegela-
pan pergi, pasti akan kukejar. Biar sampai ke da-
sar neraka sekalipun!"
Habis mendesis begitu, Arum Sari melom-
pat bangun. Disusutnya air mata sebentar. Lalu 
tanpa menghiraukan Siluman Ular Putih sedikit 
pun tubuhnya segera berkelebat cepat dari tem-
pat ini.
"Hey, tunggu! Kau mau ke mana. Arum?" 
teriak Soma, kaget. Tak menyangka kalau gadis 
itu akan meninggalkannya begitu saja.
Arum Sari yang tengah diamuk amarah tak 
mempedulikan Siluman Ular Putih. Malah lang-
kahnya makin dipercepat meninggalkan Soma.
Mau tak mau Soma harus melompat ban-
gun untuk mengejar. Sekali kakinya menjejak ta-
nah, tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu

telah berkelebat cepat mengejar Arum Sari. Begitu 
cepat lesatannya, sehingga sebentar saja telah 
berhasil menyusul si gadis.
"Tunggu dulu, Arum! Kau tak boleh me-
ninggalkanku begitu saja! Ingat pesan gurumu!" 
teriak Siluman Ular Putih, tahu-tahu telah meng-
hadang langkah murid Nenek Rambut Putih.
"Minggir! Aku tak butuh kau! Aku bisa cari 
sendiri orang yang telah mencelakakan guru 
maupun orang yang telah membunuh kedua 
orangtua ku!" sambar Arum Sari kalap. Pedang-
nya pun telah lolos dari warangkanya.
"Kau akan membunuhku?" kata Siluman 
Ular Putih dengan mata membelalak lebar. "Aku 
tak percaya. Kau yang demikian lembut mau 
membunuhku?"
"Minggir, Soma! Aku tak main-main! Beri 
aku jalan!" kata Arum Sari membalas.
Mana mau Soma diperintah begitu saja. 
Bagaimanapun juga dia merasa bertanggung ja-
wab atas keselamatan Arum Sari.
"Aku tidak akan mengizinkanmu pergi seo-
rang diri!" tandas Siluman Ular Putih.
Arum Sari tersenyum hambar. Saat itu ha-
tinya benar-benar nelangsa. Satu-satunya orang 
yang menjadi tambatan hatinya telah tewas di 
tangan Dewa Kegelapan.
"Aku tidak butuh bantuanmu...," desis 
Arum Sari seraya bergeser ke kiri. Lalu tubuhnya 
kembali berkelebat meninggalkan Siluman Ular 
Putih.

Siluman Ular Putih segera berkelebat pula, 
mengejar Arum Sari. Namun kali ini Soma punya 
pertimbangan lain. Maka segera lesatannya diper-
lambat.
"Hm...! Aku tak boleh membiarkan gadis 
itu dalam bahaya. Baiknya kuikuti saja dari ke-
jauhan...," putus Soma.

DELAPAN


Pertarungan besar tak dapat terhindari la-
gi. Gembong Kenjeran yang menggunakan aji 
'Palu Godam' di tangan kiri telah menyerang Dewa 
Kegelapan hebat. Itu pun masih diiringi sabetan 
rantai baja di tangan kanannya.
Wesss!
Sring! Sring!
Dewa Kegelapan kini tak berani main-main 
lagi. Dari sambaran rantai baja yang menimbul-
kan angin berkesiur tajam, ia tahu kalau tokoh 
dari Hutan Kenjeran itu memiliki tenaga dalam 
tinggi. Maka begitu melihat datangnya serangan, 
tubuhnya segera dilemparkan ke samping. Untuk 
sementara serangan-serangan Gembong Kenjeran 
pun hanya mengenai angin kosong.
Gembong Kenjeran menggeram murka. 
Sungguh tak disangka serangan-serangannya da-
pat dihindari lawan dengan begitu mudah. Maka 
diiringi teriakannya yang nyaring, serangannya 
pun makin diperhebat. Putaran-putaran rantai

bajanya pun makin mengiriskan. Saking cepat-
nya, membuat rantai baja itu berubah jadi gulun-
gan hitam yang siap mengancam tubuh Dewa Ke-
gelapan kapan saja. Belum lagi hantaman tangan 
kirinya yang setiap waktu bisa saja merenggut 
nyawa. 
Serrr! Serrr!
Namun ringan saja Dewa Kegelapan me-
lemparkan tubuhnya ke sana kemari menghindari 
serangan. Dan setelah beberapa jurus berlang-
sung, barulah Dewa Kegelapan melompat jauh 
mengambil jarak. Kedua telapak tangannya kini 
telah memerah hingga ke pangkal siku, pertanda 
mulai mengeluarkan jurus andalan 'Tangan Me-
rah'.
"Bangsat tua! Apakah kau tetap tidak mau 
mengakui kekuasaanku dan tunduk di bawah pe-
rintahku?" kata Dewa Kegelapan sebelum melepas 
serangan balasan. Sengaja ia memberi kesempa-
tan pada lawan untuk berpikir.
"Puahhh! Siapa sudi tunduk dan takluk di 
bawah kekuasaanmu? Justru kaulah yang harus 
mengakui kekuasaanku!" sambar Gembong Ken-
jeran penuh kemarahan.
"Bagus! Kalau begitu, kau akan kupaksa 
untuk mengakui kekuasaanku!" geram Dewa Ke-
gelapan.
"Lakukan saja kalau kau becus!" tantang 
Gembong Kenjeran, nekat.
"Baik."
Kini Dewa Kegelapan menyilangkan tan


gannya di depan dada. Kedua kakinya yang kokoh 
menggeser perlahan-lahan mendekati lawan. 
Tampaknya gerakan tangan dan kakinya biasa sa-
ja. Seolah tidak bertenaga.
"Heh...?!"
Namun betapa terkejutnya Gembong Ken-
jeran manakala dari gerakan lambat tangan dan 
kaki Dewa Kegelapan mampu mengeluarkan an-
gin dingin yang bukan kepalang. Belum hilang 
terkejutnya, tiba-tiba gerakan tangan dan kaki 
Dewa Kegelapan pun berubah jadi cepat luar bi-
asa. Bahkan tiba-tiba menerjang tubuh Gembong 
Kenjeran.
"Ah...!"
Paras Gembong Kenjeran kontan berubah 
pucat ketika tiba-tiba kedua telapak tangan Dewa 
Kegelapan yang berwarna merah darah siap men-
gancam bagian-bagian tubuhnya yang memati-
kan. Tangan kanan menghujam dari atas ke ba-
wah siap meremukkan batok kepala. Sedangkan 
tangan kiri yang membentuk cakar siap pula 
membetot keluar jantungnya.
"Heatt...!"
Wutt...!
Tak ada pilihan lain. Gembong Kenjeran
segera memutar rantai baja di tangan kanan ke 
atas untuk menangkis serangan tangan kanan 
Dewa Kegelapan. Sedang serangan tangan kiri la-
wan segera ditangkis dengan tangan kiri.
Tasss!
"Aahh...!"

Lagi-lagi Gembong Kenjeran terpekik kaget. 
Rantai baja di tangan kanannya kontan hancur 
begitu berbentrokan dengan tangan Dewa Kegela-
pan. Tubuhnya sendiri pun limbung ke samping 
karena tenaga dalamnya masih kalah jauh di-
banding Dewa Kegelapan. 
"Heaaa!"
Pada saat tubuh Gembong Kenjeran lim-
bung mendadak Dewa Kegelapan melepas ten-
dangan ke dada. Dan....
Bukkk! Bukkk!
"Ughh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan kiri De-
wa Kegelapan menghajar dada Gembong Kenje-
ran. Tanpa ampun tubuh lelaki berjubah kuning 
itu terpental jauh ke belakang. Dadanya yang ter-
kena tendangan terasa mau jebol!
Begitu mencium tanah, Gembong Kenjeran 
tak tahan lagi. Dari mulutnya kontan menyem-
burkan darah segar.
"Hoeeekh...!!!"
Kini, sadarlah Gembong Kenjeran kalau 
musuh mudanya ternyata memiliki kepandaian di 
atasnya. Namun mana mau tokoh dari Hutan 
Kenjeran itu menyerah begitu saja. Sekali men-
gempos semangatnya, lelaki berjubah kuning itu 
pun kembali tegak di hadapan Dewa Kegelapan.
"Bagaimana? Apa kau masih keras kepala 
tak mau mengakui kekuasaanku?" ejek Dewa Ke-
gelapan, dingin.
"Aku belum kalah! Langkahi dulu mayatku

baru aku mengakui kekuasaanmu!" sahut Gem-
bong Kenjeran, mengkelap.
"Bangsat tua tak tahu diri! Kau memang 
patut kuhajar!"
"Lakukanlah!"
Gembong Kenjeran membuang sisa-sisa 
rantai baja di tangan. Kini ia siap menantang 
maut. Kedua telapak tangannya yang telah beru-
bah jadi kuning hingga ke pangkal menandakan 
kalau aji 'Palu Godam' siap dilontarkan dengan 
tenaga dalam penuh.
Sementara Dewa Kegelapan pun tak ingin 
bertindak setengah-setengah lagi. Segera dis-
iapkannya pukulan 'Darah Iblis', membuat kedua 
telapak tangannya berubah jadi hitam legam!
"Pukulan 'Darah Iblis'...!" desis Gembong 
Kenjeran penuh keterkejutan begitu mengenali 
ajian yang hendak dikerahkan Dewa Kegelapan.
Dewa Kegelapan tertawa bergelak. Lagak-
nya pongah sekali melihat musuhnya mengenali 
pukulan mautnya.
"Bangsat! Kau pasti murid salah seorang 
dari Empat Iblis Merah!"
"Bukan hanya seorang. Tapi mereka be-
rempatlah yang menjadi guruku!" sahut Dewa Ke-
gelapan, bangga.
"Hm...! Pantas saja bocah pongah ini memi-
liki kepandaian tinggi...," desis Gembong Kenjeran 
dalam hati.
"Bagaimana? Apakah sekarang kau mau 
mengakui kekuasaanku setelah tahu kalau aku

murid dari Empat Iblis Merah?" kata Dewa Kege-
lapan.
"Biar kau murid Empat Iblis Neraka sekali-
pun, aku tak sudi mengakui kekuasaanmu!"
"Bagus! Berarti kau memang harus kupak-
sa untuk mengakui kekuasaanku!" geram Dewa 
Kegelapan.
Gembong Kenjeran mengeretakkan gera-
hamnya kuat-kuat. Jari-jari tangannya yang ter-
kembang keras jelas menandakan kalau puncak 
kemarahannya telah mencapai ubun-ubun. Ia tak 
sabar lagi untuk segera mengadu nyawa dengan 
musuh mudanya.
"Bocah pongah! Makanlah aji 'Palu Godam'-
ku! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring, Gembong Kenje-
ran segera mendorongkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar 
kuning dari kedua telapak tangannya ke arah 
Dewa Kegelapan.
Wesss! Wesss!
Dewa Kegelapan tak mau kalah unjuk gigi. 
Tanpa banyak cakap segera dipapakinya ajian la-
wan dengan pukulan 'Darah Iblis'. Maka seketika 
itu pula....
Blarrr!
"Aaaah...!"
Gembong Kenjeran menjerit setinggi langit. 
Tanpa ampun tubuhnya terlempar jauh ke bela-
kang, berputar-putar sebentar dan jatuh berde-
bam ke tanah.

"Hoeeekh...!!!"
Dewa Kegelapan tertawa bergelak menyak-
sikan tubuh Gembong Kenjeran melejang-lejang 
hebat. Selangkah demi selangkah didekatinya tu-
buh Gembong Kenjeran yang merayap hendak 
bangkit.
Dalam hati, ia memuji daya tahan tubuh 
Gembong Kenjeran. Padahal bila orang biasa pasti 
telah hancur tubuhnya terkena ajiannya.
"Apa kau belum juga mau mengakui keku-
asaanku, Gembong Kenjeran?" desis Dewa Kege-
lapan seraya menginjak leher Gembong Kenjeran 
tanpa belas kasihan.
Gembong Kenjeran tcrengah-engah. Leher-
nya seperti terinjak palu godam yang beratnya ri-
buan kati.
"Ba... baik. Mulai hari ini aku dan anak 
buahku akan tunduk dan takluk di bawah keku-
asaanmu..," rintih Gembong Kenjeran akhirnya 
mengakui keunggulan Dewa Kegelapan
Tapi sebenarnya Gembong Kenjeran mem-
punyai watak licik. Jelas ia tak sudi mati sia-sia 
seperti itu. Kalaupun sekarang mau mengakui 
kekuasaan Dewa Kegelapan, itu hanya karena 
siasatnya saja. Toh, lain kali ia bertekad akan me-
lepaskan diri dari kekuasaan Dewa Kegelapan. 
Kalau perlu membalas penghinaan ini.
"Bagus! Senang sekali aku mendengar ke-
saggupanmu, Gembong Kenjeran. Sekarang juga 
kau adalah bawahanku. Hutan Kenjeran ini pun 
jadi kekuasaanku! Ha ha ha...!"

Dewa Kegelapan mengangkat kakinya dari 
leher Gembong Kenjeran seraya mendongak. La-
gaknya pongah sekali, seolah ingin menantang 
makhluk penghuni angkasa raya.
"Aku ingin bertanya padamu, Gembong 
Kenjeran," kata Dewa Kegelapan tiba-tiba. Tata-
pannya kini beralih pada sosok laki-laki berjubah 
kuning di bawahnya. Dingin sekali. "Sebenarnya 
aku pun sedang mencari pembunuh kedua orang-
tua ku. Menurut keterangan Nenek Rambut Pu-
tih, justru keempat orang gurukulah yang telah 
membunuh kedua orangtua ku."
"Ya... itu memang bisa jadi...," sahut Gem-
bong Kenjeran, terengah-engah.
"Apa maksudmu, Gembong Kenjeran?"
"Begini...," Gembong Kenjeran menelan lu-
dah. "Konon, Empat Iblis Merah itu paling senang 
mempunyai murid yang terlahir pada malam Ju-
mat Kliwon. Dan seperti biasanya, mereka selalu 
membunuh kedua orangtua si jabang bayi yang 
bakal jadi murid mereka kelak."
"Dari mana kau tahu semua ini, Gembong 
Kenjeran?" tanya Dewa Kegelapan.
"Itulah desas-desus yang sempat kudengar 
selama aku malang melintang di dunia persila-
tan."
"Hm...." Dewa Kegelapan mengeretakkan
gerahamnya. "Tak kusangka kalau gurukulah 
yang telah membunuh kedua orangtua ku. Meski 
sebagai murid tentu aku akan menuntut balas. 
Tunggulah pembalasanku. Setelah urusanku
dengan Siluman Ular Putih selesai, pasti aku 
akan membuat perhitungan dengan mereka...."

SEMBILAN


Di bawah guyuran terik sinar matahari 
siang itu. Arum Sari terus berkelebat cepat, tanpa 
arah tujuan pasti. Hanya isak tangisnya saja yang 
sesekali terdengar.
"Dewa Kegelapan...!" desisnya, lirih sambil 
berkelebat.
Kini gadis itu menghentikan langkah di 
bawah rindangnya sebuah pohon. Wajahnya yang 
cantik telah penuh air mata. Sejenak sepasang 
mata indahnya beralih jauh ke depan sana. Se-
pertinya dengan cara itu ia ingin sekali mencari 
jawaban atas rasa gundahnya dalam hati.
Namun sayang gadis ini tak menemukan 
jawabannya. Dihelanya napas berulang-ulang. 
Sementara dendam kesumat yang membakar ha-
tinya terasa lebih panas dibanding teriknya sinar 
matahari. Tapi justru saat ini ia terperangkap da-
lam kebingungan. Sulit sekali rasanya menentu-
kan pilihan. Apalagi, tak satu pun musuh-musuh 
besarnya yang telah dikenal, kecuali julukan me-
reka saja. Dewa Kegelapan dan Penghuni Kubur!
"Manakah yang harus kudahulukan? Dewa 
Kegelapan atau Penghuni Kubur? Keduanya me-
mang harus mampus di tanganku. Tapi... di mana 
aku harus mencari mereka? Ah...!"

Arum Sari mengeluh. Raut wajahnya keli-
hatan kian menegang. Dadanya yang membusung 
bergerak turun naik.
"Tak ada pilihan lain. Aku harus terus 
mencari tahu tentang mereka! Yah...! Kukira me-
mang cara itulah yang terbaik!" desah Arum Sari 
memantapkan niatnya dalam hati.
Kini, perlahan-lahan Arum Sari kembali 
melangkah walau hatinya masih diliputi kebin-
gungan. Tapi yang jelas, ia harus meneruskan 
perjalanan. Ke mana saja. Pokoknya, harus me-
nemukan tempat persembunyiannya Dewa Kege-
lapan dan Penghuni Kubur.
Namun baru saja murid Nenek Rambut Pu-
tih ini melangkah beberapa tindak, mendadak 
pendengarannya yang tajam menangkap langkah-
langkah halus di sekitarnya yang dipenuhi semak 
belukar. Seraya menghentikan langkahnya, tanpa 
sadar Arum Sari telah memegang gagang pedang 
yang menggelantung di pinggang.
"Rupanya kita mendapat rejeki besar, Ka-
wan. Cepat tangkap gadis itu!"
Mendadak terdengar suara teriakan yang 
disusul berlompatannya beberapa sosok bayan-
gan berpakaian hitam-hitam dari semak belukar 
di sekitarnya. Jumlah mereka yang tak kurang 
dari dua belas orang langsung mengepung murid 
Nenek Rambut Putih.
"Mau apa kalian menghadangku, he?!" ben-
tak Arum Sari.
"Mau apa? He he he...! Dia tanya kita mau

apa, Kang Rupaksa? Apa kau tahu jawabannya?" 
sahut salah seorang lelaki berpakaian hitam yang 
berdiri paling depan.
"Jawabannya, cepat tangkap gadis itu, Bo-
nang!" sahut lelaki yang dipanggil Rupaksa. Di-
alah yang tadi memberi aba-aba.
"Baik. Memang itulah yang kuinginkan, 
Kang Rupaksa. Sudah lama kita tak pernah men-
cium bau wangi tubuh seorang gadis. Ayo, Te-
man-teman! Tangkap gadis itu!" teriak lelaki ber-
pakaian hitam yang dipanggil Bonang seraya 
mengibaskan tangannya ke depan.
Sekarang Arum Sari tahu. Kiranya ia tak 
perlu berbasa basi. Kedua belas lelaki berperangai 
kasar itu jelas bermaksud tidak baik. Maka segera 
pedangnya dicabut keluar.
Srangngng!
"Majulah kalau kalian ingin merasakan ta-
jamnya pedangku!" bentak Arum Sari.
Pedang di tangan kanan si gadis terpegang 
erat-erat. Matanya terus memperhatikan gerak-
gerik kedua belas lelaki kasar di hadapannya. Je-
las, mereka memang bermaksud jahat terhadap 
dirinya. Meski belum berpengalaman, namun dari 
gelagat Arum Sari jadi tahu kalau kedua belas la-
ki-laki kasar itu memang menginginkannya.
"Hati-hati! Jangan sampai gadis itu terluka, 
Kawan! Nanti kita sendiri yang rugi!" teriak lelaki 
lain memperingatkan.
"Jangan khawatir!" sahut mereka serem-
pak.

"Ayolah, Manis! Baiknya menyerah saja. 
Mustahil kami akan memperlakukanmu kasar!"
"Cih...! Lebih baik mati di tangan kalian da-
ripada menyerahkan diri!" sahut Arum Sari, ke-
tus.
"Wah wah...! Galak juga rupanya gadis can-
tik satu ini, Kawan. Mudah-mudahan saja di ran-
jang pun galak!"
Kedua belas lelaki berpakaian hitam itu 
mulai bergerak dengan hanya tangan kosong saja. 
Dengan cara itu, mereka bermaksud tak ingin me-
lukai calon korbannya. Dan begitu si calon kor-
ban dapat ditangkap dengan mudah, serempak 
mereka akan menggarapnya.
"Hea...!"
Arum Sari tersenyum dingin. Pedang di 
tangan kanannya pun segera diputar sedemikian 
rupa. 
Wutt! Wutt!
Tanpa terduga. Arum Sari melenting 
menghindar begitu para pengeroyok menerjang-
nya. Setelah berputaran sebentar tubuhnya melu-
ruk turun dengan kaki mengarah ke salah satu 
pengeroyok.
Desss!
"Aahh...!"
Kedua belas orang pengeroyok Arum Sari 
terkesima kaget. Sungguh tak disangka kalau si 
gadis dapat menghindar serangan dengan demi-
kian mudah. Bahkan salah seorang dari mereka 
roboh, tak dapat bangun lagi begitu terkena han

taman kaki Arum Sari.
Sring! Sring!
Melihat salah seorang terluka, para penge-
royok Arum Sari tak segan-segan lagi mencabut 
keluar pedang mereka. Sejenak mereka memutar 
pedang sebelum akhirnya kembali menerjang he-
bat Arum Sari.
Trang! Trang!
Mudah saja bagi Arum Sari menghadapi 
keroyokan itu dengan mengibaskan pedangnya. 
Malah kalau mau, bukan mustahil nyawa para 
pengeroyok melayang saat itu juga terkena sam-
baran pedangnya. Namun, gadis ini tak sampai 
hati melukai para pengeroyoknya. Apalagi sampai 
membunuh. Meskipun mereka jelas bermaksud 
jahat. Arum Sari tetap tidak mau menurunkan 
tangan maut. Ia hanya sekadar memberi peringa-
tan dengan tamparan dan tendangan-tendangan. 
Sedang pedang di tangan kanannya hanya digu-
nakan untuk menangkis serangan pedang!
Desss! Desss!
Dua kali kaki Arum Sari bergerak, maka 
dua orang pengeroyoknya roboh tak dapat ban-
gun lagi. Keadaan ini tentu saja membuat kecut 
nyali para pengeroyok. Mereka tak ingin terhina 
dengan dikalahkan oleh seorang gadis kemarin 
sore. Berpikir sampai di sini, para pengeroyok 
kembali menerjang murid Nenek Rambut Putih 
itu. 
"Hea...! Hea...!"
Arum Laras tak mau kepalang tanggung.

Melihat para pengeroyoknya makin nekat, hatinya 
jadi kesal. Dengan pengerahan tenaga dalam se-
dikit tamparan-tamparan dan tendangan-
tendangan kembali menemui sasaran.
Plak!
Desss! Desss!
Seperti yang lain, sisa-sisa pengeroyok mu-
rid Nenek Rambut Putih itu kembali berpelantin-
gan ke sana kemari. Untung saja Arum Sari tidak 
bermaksud keji, kecuali hanya sekadar memberi 
peringatan.
"Bodoh! Menangkap seorang gadis saja ti-
dak becus! Minggir!"
Mendadak terdengar bentakan yang dis-
usul kelebatannya sesosok bayangan kuning. Ta-
hu-tahu sosok itu telah berdiri di hadapan Arum 
Sari.
Mau tidak mau kening Arum Sari berkerut, 
heran. Di hadapannya kini telah berdiri sesosok 
lelaki bertubuh tinggi besar terbalut jubah besar 
warna kuning. Rambutnya gondrong awut-awutan 
tak terawat. Perangainya pun lebih bengis diband-
ing kedua belas orang pengeroyok yang pertama.
"Kaukah pimpinan cecunguk-cecunguk 
itu?!" tanya Arum Sari, seraya menudingkan te-
lunjuk ke arah para pengeroyok yang roboh tak 
dapat bangun lagi. Pingsan.
"Benar! Karena kau telah melukai anak 
buahku, maka kau patut mendapat hukuman! 
Tapi berhubung kau seorang gadis, maka aku 
akan memberi hukuman lain!" bentak sosok tinggi

besar yang tak lain Gembong Kenjeran. Sambil 
berkata begitu, matanya menjilati lekuk-lekuk tu-
buh gadis cantik di hadapannya penuh nafsu.
"Cih...! Anak buah dan ketuanya sama sa-
ja! Sama-sama berperangai bobrok!" geram Arum 
Sari, penuh kemarahan.
"Ha ha ha...! Sudah tahu kami berperangai 
bobrok, kenapa kau sampai nyasar ke Hutan Ken-
jeran ini?" tukas Gembong Kenjeran.
"Jadi, kaukah yang bergelar Gembong Ken-
jeran?" tebak Arum Sari.
"Dari mana kau tahu gelarku, Cah Ayu?"
"Tak perlu kau tahu. Yang jelas, siapa lagi 
orang berperangai busuk yang tinggal di Hutan 
Kenjeran kalau bukan Gembong Kenjeran?"
"Terserah kau mau bilang apa! Yang jelas, 
nasibmu hari ini ada di tanganku!"
Tak ada gunanya Arum Sari banyak bicara. 
Sudah jelas ia nyasar ke tempat salah. Dan sama 
sekali tak disangka kalau tempat ini di bawah ke-
kuasaan Gembong Kenjeran.
* * *
Siluman Ular Putih celingukkan ke sana 
kemari. Di ujung hutan ini, pemuda ini tak me-
nemukan sosok Arum Sari yang diikuti.
"Ke mana gadis tengil satu itu? Kenapa ti-
ba-tiba saja menghilang?"
Soma menempelak jidatnya sendiri saking 
kesalnya. Bingung mencari gadis yang diikuti,

akhirnya Soma hanya garuk-garuk kepala. Mung-
kin dengan cara itulah ia akan menemukan jalan 
untuk mencari Arum Sari.
"Gila! Sampai mataku pegal begini, belum 
juga aku menemukan gadis tengil itu. Kenapa dia 
sampai meninggalkanku? Apa ngilu melihat tam-
pang gantengku? Hm.... Eh, apa itu...?"
Soma mendadak menggerak-gerakkan ke-
palanya mirip orang ayan. Kupingnya pun sampai 
bergerak-gerak, mencari sumber suara. Yah...! 
Samar-samar telinganya memang mendengar den-
tingan senjata tajam beradu. Tapi samar-samar 
sekali. Kalau tidak, mustahil kepalanya sampai 
seperti itu.
"Ah...! Bisa jadi yang sedang bertarung itu 
Arum Sari!" gumam Soma akhirnya.
Saat itu juga. Soma menjejakkan kakinya. 
Dan seketika sosoknya yang tinggi kekar telah 
berkelebat jauh, dan menghilang di tikungan de-
pan sana.

SEPULUH


Sepasang mata garang Gembong Kenjeran 
bergerak-gerak liar. Membayangkan pemandan-
gan indah di hadapannya, jakunnya jadi turun 
naik. Lekuk-lekuk indah tubuh Arum Laras-lah 
terus menyeret pikirannya ke lembah kegairahan.
"Edan! Tubuh gadis ini benar-benar men-
gundang. Sayang sekali kalau dilewatkan begitu
saja!" gumam Gembong Kenjeran. Napasnya pun 
mulai tak teratur. "Sudah puas memaki, Cah 
Ayu? Kalau sudah, ayo ikut aku! Akan kutunjuk-
kan padamu, bagaimana caranya menikmati hi-
dup. Ayo! He he he...!"
Gembong Kenjeran tersenyum-senyum, ta-
pi lebih mirip seringai serigala yang melihat anak 
domba.
"Tua bangka bermulut kotor! Siapa sudi 
ikut denganmu?! Cih...!" maki Arum Sari, geram 
bukan main direndahkan oleh Gembong Kenjeran 
seperti itu.
Mata si gadis melotot liar. Untuk menjaga-
jaga kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, 
genggaman pedang di tangan kanannya makin di-
pererat.
"Bagus! Kalau begitu aku harus memak-
samu, Cah Ayu!" ancam Gembong Kenjeran.
"Lakukanlah kalau kau sanggup!" tantang 
murid Nenek Rambut Putih saking kesalnya.
"Baik."
Disertai senyum menjijikkan, selangkah 
demi selangkah Gembong Kenjeran mendekat. 
Kedua tangannya terkembang lebar. Dan ketika 
tinggal beberapa langkah di hadapan Arum Sari, 
mendadak tubuhnya berkelebat cepat. Jari-jari 
tangannya yang terkembang bergerak mencengke-
ram Arum Sari.
Werrr!
"Uts...!"
Namun rupanya tidak sia-sia Arum Sari

menjadi murid Nenek Rambut Putih. Begitu meli-
hat datangnya serangan, tubuhnya bergeser sedi-
kit ke kiri. Lalu cepat disambutnya jari-jari tan-
gan Gembong Kenjeran dengan babatan pedang.
Beett!
Sudah pasti Gembong Kenjeran harus me-
narik mundur serangannya kalau tak ingin jari-
jari tangannya terbabat sambaran pedang. Dan 
begitu tangannya ditarik mundur, dengan satu 
perhitungan cermat tiba-tiba tangannya bergerak 
kembali menghantam pergelangan tangan Arum 
Sari yang memegang pedang.
Plakkk!
Arum Sari terpekik kaget. Pedang di tan-
gannya mental entah ke mana. Namun gadis ini 
tak sempat mencari pedangnya karena pikirannya 
lebih tercurah pada tangannya yang terasa berge-
tar. Apalagi, saat itu serangan Gembong Kenjeran 
kembali mengancam dirinya.
"Bangsat! Akan kubalas penghinaanmu, 
Tua Bangka Keparat!"
Sambil mengumpat Arum Sari cepat me-
lemparkan tubuhnya ke belakang untuk mem-
buat jarak. Dengan cara itu ia ingin sekali menga-
jak Gembong Kenjeran mengadu kekuatan tenaga 
dalam.
"Ha ha ha...! Kenapa galak-galak amat, Cah 
Ayu? Baiknya turuti saja kemauanku!" tawa 
Gembong Kenjeran, amat menyakitkan hati.
"Tua bangka keparat! Aku akan mengadu 
jiwa denganmu!" dengus Arum Sari tak dapat lagi

mengendalikan amarah.
Saat itu pula si gadis mengerahkan tenaga 
dalamnya, membuat kedua telapak tangannya be-
rubah jadi putih. "Makanlah aji 'Gada Bumi'-ku! 
Heaa...!"
Disertai teriakan membelah udara, si gadis 
cepat menghantamkan kedua telapak tangannya 
ke depan. Seketika melesat dua larik sinar putih 
berkilauan ke arah Gembong Kenjeran. 
Wesss! Wesss!
Gembong Kenjeran tak mau kalah. Segera 
dikerahkannya aji 'Palu Godam'. Namun sayang-
nya baru saja tenaga dalamnya dikerahkan, tiba-
tiba saja dadanya terasa nyeri bukan main akibat 
luka dalamnya yang belum sembuh benar sewak-
tu bertarung dengan Dewa Kegelapan.
"Heh?!"
Gembong Kenjeran terperangah kaget. Se-
ketika parasnya jadi pucat pasi. Untuk menghin-
dar jelas sudah terlambat. Akibatnya.... 
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali dua larik sinar putih berki-
lauan dari kedua telapak tangan Arum Sari 
menghajar dada Gembong Kenjeran. Tanpa am-
pun lelaki berjubah kuning melolong setinggi lan-
git. Bak layangan putus benang, tubuhnya lang-
sung terlempar jauh ke belakang dan terbanting 
keras!
Gembong Kenjeran mengeluh tertahan 
sambil berusaha bangkit. Dadanya yang terkena 
hantaman aji 'Gada Bumi' terasa mau jebol. Rahangnya mengembung, lalu menyemburkan da-
rah segar. Saat itu pula tubuh luruh kembali ke 
tanah tak dapat bangun lagi. Beberapa orang 
anak buah Gembong Kenjeran buru-buru men-
gangkatnya ke tempat yang aman.
Arum Sari tak begitu mempedulikan. Ama-
rahnya yang menggelegak membuatnya tak ingin 
berlama-lama di tempat itu. Namun baru saja 
hendak melaksanakan niatnya, tiba-tiba.....
Plok! Plok! Plok!
"Benar-benar mengagumkan. Tak kusang-
ka seorang gadis cantik seperti kau mampu me-
robohkan Gembong Kenjeran yang lihai hanya se-
kali gebrak. Ckekek...!"
Arum Sari tersentak ketika tahu-tahu tak 
jauh dari tempat pertarungan kini telah berdiri 
seorang pemuda berjubah hitam. Mendengar uca-
pan pemuda itu, sebenarnya gadis ini pun merasa 
heran, kenapa Gembong Kenjeran tak memapak 
pukulannya. Ia tadi hanya sempat melihat lawan-
nya kesakitan sebelum tubuhnya terpental terke-
na aji 'Gada Bumi'. Gadis ini menduga, pasti 
Gembong Kenjeran telah terluka dalam sebelum-
nya. Kalau tidak mustahil membiarkan tubuhnya 
terkena pukulan.
"Siapa kau?" bentak Arum Sari pada pe-
muda di depannya.
* * *
Pada saat yang sama Siluman Ular Putih

telah tiba pula di tempat sekitar pertarungan. Ke-
tika melihat Arum Sari tengah bersitegang dengan 
seorang pemuda, dengan sangat hati-hati Silu-
man Ular Putih bersembunyi di balik kerimbunan 
semak. Tentu saja Soma bersiap-siap membantu 
kalau gadis cantik itu membutuhkan pertolon-
gannya.
Memang Soma sengaja tidak langsung tu-
run tangan. Ia ingin melihat apa yang terjadi ke-
mudian. Dengan rencananya itu pula, Siluman 
Ular Putih bermaksud melunakkan hati Arum Sa-
ri.
"Hm...! Tampaknya pemuda berjubah hi-
tam itu memiliki tenaga dalam luar biasa. Hanya 
orang-orang yang memiliki tenaga dalam tingkat 
tinggi saja yang memiliki mata mencorong seperti 
itu. Tampaknya, kali ini Arum Sari tengah dalam 
bahaya besar...," gumam Siluman Ular Putih, 
nyaris tak kentara.
Pemuda gagah berjubah hitam yang me-
mang Dewa Kegelapan tak langsung menjawab 
bentakan Arum Sari. Ia justru malah tertarik 
dengan apa yang tertangkap telinganya sekarang. 
Jelas sekali tadi telinganya mendengar langkah-
langkah halus tak jauh dari tempat pertarungan.
"Hm...! Tampaknya ada pesilat tanggung 
bersembunyi di sekitar sini. Kebetulan sekali. Ka-
lau ia tak mau keluar, terpaksa aku harus me-
mancingnya. Kalau dia tokoh putih, pasti akan 
keluar!" pikir Dewa Kegelapan.
"Monyet buduk! Kau pasti tak ubahnya

orang macam Gembong Kenjeran dan anak buah-
nya! Mau apa kau kemari, he?!" bentak Arum Sa-
ri, garang. Kalau saja gadis ini tahu siapa pemuda 
gagah di hadapannya, sudah pasti akan menye-
rangnya hebat. Tak perlu pakai basa basi seperti 
itu.
"Aku memang menginginkanmu, Gadis. 
Wajahmu cantik. Tubuhmu pun amat menggiur-
kan. Bodoh kalau aku sampai tak mengingin-
kanmu!" jawab Dewa Kegelapan.
"Cih...! Jadi benar? Kau tak ubahnya den-
gan mereka! Kau sama-sama bejat!"
"Terserah kau mau ngomong apa! Yang je-
las, aku sangat menginginkanmu! Kau dengar itu, 
Gadis?"
"Setan alas! Mulutmu terlalu lancang! Kau 
memang patut diberi pelajaran!"
"Kau tak perlu memberiku pelajaran. Ju-
stru, Dewa Kegelapan-lah yang akan memberi pe-
lajaran di ranjang."
"Apa?! Jadi, kaukah manusia yang bergelar 
Dewa Kegelapan?!" sentak Arum Sari, kaget bu-
kan main. Tak disangka kalau pemuda di hada-
pannya ternyata yang tengah dicari.
"Kalau memang iya, kau mau apa?" tan-
tang Dewa Kegelapan, kalem.
"Bagus! Kalau begitu, bersiap-siaplah me-
nerima kematian! Arwah guruku Nenek Rambut 
Putih telah menantimu di pintu neraka!" desis 
Arum Sari, tak dapat lagi mengendalikan amarah.
"Oooo...! Jadi kau murid Nenek Rambut

Putih itu?"
"Jangan banyak bacot! Manusia keji ma-
cam kau memang patut enyah dari muka bumi!" 
"Lakukanlah kalau kau mampu!" 
"Baik."
Arum Sari mengeretakkan gerahamnya pe-
nuh kemarahan. Dendamnya yang sudah menca-
pai ubun-ubun membuatnya gelap mata. Dan 
dengan sekali jejak, tubuhnya telah berkelebat 
cepat menerjang Dewa Kegelapan. Tak tanggung-
tanggung, kontan dikeluarkannya jurus andalan 
'Tongkat Selaksa Badai'. Meski sebenarnya jurus 
itu harus dilakukan dengan sebatang tongkat, 
namun bagi Arum Sari jurusnya itu sama dah-
syatnya bila dengan pedang. Buktinya, pedangnya 
segera bergulung-gulung cepat laksana badai 
prahara.
Werrr! Werrr!
Dewa Kegelapan tertawa bergelak. Nadanya 
meremehkan. Padahal, jubahnya berkibar-kibar 
terkena kesiuran angin dari sambaran pedang di 
tangan Arum Sari.
"Benar juga. Rupanya kau memang murid 
nenek keriput itu. Tapi tetap saja percuma. Kau 
tetap saja akan tunduk di tanganku!" dengus De-
wa Kegelapan, angkuh.
Pada saat setengah tombak lagi serangan 
lawan mendekat, Dewa Kegelapan segera berkele-
bat cepat luar biasa, sehingga sulit diikuti pan-
dang mata. Sambil berkelit menghindar, jari-jari 
tangannya yang terkembang tiba-tiba menyusup

di antara gulungan pedang di tangan Arum Sari. 
Dan....
Bret! Bret!
"Aauuwww...!"
Arum Sari memekik kaget seraya melompat 
ke belakang. Dua kali tangan Dewa Kegelapan 
mengayun, membuat pakaian Arum Sari seketika 
terkuak lebar menampakkan lekuk-lekuk tubuh-
nya yang menantang. Bahkan jari-jari tangan pe-
muda itu sempat pula menowel sepasang payuda-
ra si gadis.
"Demi Tuhan, aku akan mengadu nyawa 
denganmu, Monyet Buduk!" lengking Arum Sari 
penuh kemarahan. Sebentar-sebentar tangannya 
harus meraih pakaiannya yang terkuak, menam-
pakkan sebagian tubuhnya yang menggiurkan.
Di hadapannya, Dewa Kegelapan tertawa 
bergelak. Sebagian robekan pakaian Arum Sari 
sempat diputar-putarkan di atas kepala, sebelum 
akhirnya dilemparkan.
"Boleh saja kita mengadu nyawa. Asal, kita 
sudah bermain cinta terlebih dulu," ejek Dewa 
Kegelapan.
Geram, jengkel, marah, dan malu bercam-
pur aduk dalam dada Arum Sari. Apalagi, menya-
dari dirinya tak mampu berbuat banyak terhadap 
musuh besarnya. Malah kini pakaiannya robek 
memanjang, membuatnya sulit untuk bergerak.
Ingin rasanya Arum Sari menangis saat itu 
juga. Mau bergerak begini, salah. Begitu, salah. 
Namun, dendamnya harus dituntaskan.

Akhirnya, gadis ini nekat. Maka tanpa 
mempedulikan pakaiannya yang robek segera di-
kerahkannya aji 'Gada Bumi'. Sekali hantamkan 
tangannya ke depan, seketika meluruk dua larik 
sinar kuning berkilauan dari kedua telapak tan-
gannya.
Wesss! Wesss!
Melihat datangnya serangan, Dewa Kegela-
pan sempat mengumbar tawa sebentar. Dan agar 
tak melukai tubuh gadis cantik di hadapannya, 
Dewa Kegelapan memapak dengan mengerahkan 
sebagian tenaga dalamnya.
Blammm!!!
Hasilnya, justru Arum Sari yang memekik 
tertahan. Tubuhnya tanpa ampun lagi terbanting 
keras. Seketika parasnya pucat pasi. Darah segar 
tampak mengalir dari sudut-sudut bibir, pertanda 
murid Nenek Rambut Putih itu menderita luka 
dalam lumayan.
"Tamatlah sudah riwayatku hari ini," desis 
Arum Sari sambil meringis kesakitan.
"Sekarang kau bisa apa, he?! Mau tidak 
mau kau harus patuh terhadap Dewa Kegelapan!"
Selangkah demi selangkah, Dewa Kegela-
pan mendekati Arum Sari. Sambil melangkah, di-
am-diam kewaspadaannya terus dipasang. Karena 
bisa jadi orang yang tengah bersembunyi melan-
carkan serangan dadakan. Namun rupanya apa 
yang ditunggu belum juga muncul.
Dewa Kegelapan jadi kesal sekali. Kini 
saatnyalah ia memancing orang yang bersembunyi di semak belukar keluar.
Sementara itu. Arum Sari mengeluh dalam 
hati. Sulit sekali rasanya menentukan sikap saat 
itu. Tak ada jalan keluar sama sekali. Padahal, 
langkah Dewa Kegelapan kian mendekatinya. Dan 
sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, gadis ini 
mencoba menyeret tubuhnya ke belakang.
"Bajingan! Berani menyentuh tubuh gadis 
itu, berarti nyawa taruhannya!"
Mendadak terdengar bentakan garang yang 
diiringi berkesiurnya angin dingin bukan kepa-
lang menyerang Dewa Kegelapan dari samping. 
Untung saja pemuda berjubah hitam itu telah 
siap siaga. Saat itu pula tubuhnya dilempar ke 
samping. Maka serangan itu hanya mengenai an-
gin kosong.
"Sudah kuduga, kau pasti akan keluar ju-
ga!" desis Dewa Kegelapan.
Sosok berpakaian putih keperakan meng-
gumam tak jelas. Hanya raut wajahnya saja yang 
menunjukkan keheranan, sambil asyik garuk-
garuk kepala!

SEBELAS


"Siluman Ular Putih...!" pekik Arum Sari 
tak dapat menyembunyikan perasaan gembira.
"Yah...! Aku...? Ada apa? Bukankah kau 
tak lagi butuh perlindunganku?" tukas Siluman 
Ular Putih bernada dingin. Pemuda ini pura-pura

tersinggung aras sikap murid Nenek Rambut Pu-
tih.
"Kau.... Kau...?" Arum Sari membelalakkan 
matanya lebar.
"Jangan khawatir, Arum! Aku tidak sung-
guhan, kok. Aku hanya main-main. Mana tega sih 
aku membiarkan kau diganyang manusia iblis 
itu!" ujar Siluman Ular Putih seraya menudingkan 
telunjuk jarinya ke arah Dewa Kegelapan.
"Puahhh! Jadi, kaukah yang bergelar Silu-
man Ular Putih, Bocah Edan?!" bentak Dewa Ke-
gelapan.
"Kalau iya, kau mau apa? Mengajak beran-
tem? Ayo! Aku layani. Lagi pula, aku ingin sekali 
membalas sakit hati gadis itu. Boleh kan. Arum?" 
Siluman Ular Putih memalingkan kepalanya ke 
arah Arum Sari.
Arum Sari yang tengah sibuk membenahi 
pakaiannya yang robek memanjang hanya men-
gangguk. "Nah...! Kau lihat sendiri, kan? Teman-
ku setuju. Berarti, sudah saatnya pulalah aku 
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka," celo-
teh Siluman Ular Putih kalem.
"Kunyuk sinting! Kau akan menyesal atas 
kelancanganmu ini! Jangan dikira aku tak mam-
pu membunuhmu, he?!" bentak Dewa Kegelapan 
tak dapat mengendalikan amarahnya lagi.
Belum juga gaung bentakannya lenyap, 
Dewa Kegelapan segera menerjang Siluman Ular 
Putih garang. Tak tanggung-tanggung murid Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni itu langsung

mengerahkan jurus andalan Tangan Merah', 
membuat kedua telapak tangannya berwarna me-
rah darah hingga sampai ke pangkal siku.
Werrr! Werrr!
Hebat bukan main serangan murid Empat 
Iblis Merah dari Hutan Seruni ini begitu kedua 
tangannya bergerak mencari sasaran. Sebelum 
serangan-serangan itu tiba, terlebih dahulu ber-
kesiur angin dingin yang mengiriskan.
Melihat datangnya serangan, Siluman Ular 
Putih segera membuka jurus 'Terjangan Maut Si-
luman Ular Putih'. Murid Eyang Begawan Kama-
setyo segera bergerak menghindar. Tubuhnya me-
liuk-liuk di antara serangan-serangan Dewa Kege-
lapan sambil melancarkan serangan balik dengan 
kepalan tangan yang membentuk kepala ular.
Tukkk! Tukkk! 
Dua kali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih menyusup, maka dua kali pula dada Dewa Ke-
gelapan terkena patukan.
Dewa Kegelapan menggembor penuh kema-
rahan dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke 
belakang. Sedang bagian dadanya yang terkena 
patukan terasa nyeri bukan main!
"Itu sedikit hadiah kecil untuk temanku 
yang cantik karena kau berani bersikap kurang 
ajar! Sekarang aku ingin membalaskan sakit hari 
gurunya. Bersiap-siaplah menerima hadiah dari-
ku, Kawan! Bagian tubuhmu yang mana yang 
akan kau sumbangkan?" ejek Soma mulai kam-
buh penyakitnya.

"Kunyuk sinting! Demi Iblis aku akan 
membunuhmu!" geram Dewa Kegelapan penuh 
kemarahan.
"Sudahlah! Jangan banyak omong! Bagian 
tubuhmu yang mana yang akan kau sumbang-
kan? Kepalamu saja, ya?" lanjut Siluman Ular Pu-
tih.
Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular 
Putih segera berkelebat cepat menyerang Dewa 
Kegelapan. Kedua telapak tangannya yang mem-
bentuk kepala ular terus menderu-deru, mengu-
rung pertahanan Dewa Kegelapan. Hingga akhir-
nya....
Tukkk! Tukkk!
Dua kali Soma berhasil mematuk kepala 
Dewa Kegelapan. Namun pada saat yang sama 
bogem mentah Dewa Kegelapan meluncur cepat 
ke dada.
Dess!
"Aaah...!"
Telak sekali dada murid Eyang Begawan 
Kamasetyo mendapat hantaman yang tak terdu-
ga-duga.
Siluman Ular Putih dan Dewa Kegelapan 
sama-sama menjerit tertahan dengan tubuh sa-
ma-sama terjajar ke belakang. Tapi Dewa Kegela-
pan yang sudah tak sabar lagi untuk mengakhiri 
pertarungan segera mengerahkan pukulan 'Darah 
Iblis', membuat kedua telapak tangannya berubah 
jadi hitam legam hingga ke pangkal.
"Oooo...! Rupanya kau mulai main-main

dengan pukulan maut, ya? Boleh. Aku selalu siap 
melayanimu!" ejek Siluman Ular Putih, memanas-
manasi.
Dewa Kegelapan hanya mengeretakkan ge-
rahamnya. Tak sepatah kata pun terucap dari ke-
dua bibirnya yang bergetar, saking tak kuatnya 
menahan gelegak amarah.
"Heaaa...!"
Dan disertai teriakan keras serta tenaga 
dalam penuh Dewa Kegelapan segera menghan-
tamkan kedua telapak tangannya ke depan. Seke-
tika meluruk dua larik sinar hitam legam dari ke-
dua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih tak mau kalah. Maka 
begitu teringat dengan pukulan 'Tangan Gaib Pe-
nindih Setan' yang baru saja dipelajarinya dari 
Raja Penyihir, pemuda ini ingin menjajalnya. Saat 
itu pula kedua telapak tangannya segera dihan-
tamkan ke depan. Seketika tampak dua gulungan 
asap hitam tebal meluncur dari kedua telapak 
tangannya.
Besss!
Tak ada bunyi ledakan yang berarti saat 
dua kekuatan itu beradu. Namun, mendadak 
bumi laksana diguncang badai prahara. Tubuh 
Dewa Kegelapan dan Siluman Ular Putih sama-
sama terpental jauh ke belakang, pertanda kekua-
tan tenaga dalam mereka berimbang!
Dewa Kegelapan menggeram murka men-
dapati kenyataan yang terasa merendahkan harga

dirinya sebagai murid Empat Iblis Merah. Maka 
dengan kemarahan meluap, kembali diterjangnya 
Siluman Ular Putih, jauh lebih hebat dari seran-
gannya yang pertama.
Siluman Ular Putih tersentak kaget. Bu-
kannya kaget melihat serangan Dewa Kegelapan, 
melainkan kaget begitu menyadari bahwa yang 
semula menyerang telapak tangannya kini menja-
lar ke dalam tubuh. Bukan main bingungnya hati
murid Eyang Begawan Kamasetyo saat itu. Apala-
gi serangan Dewa Kegelapan pun siap mengga-
nyang tubuhnya.
"Soma! Awas...!!!" pekik Arum Sari dengan 
wajah sepucat kapas.
Terlambat.
Desss!
Telak sekali dua larik sinar hitam legam 
dari kedua telapak tangan Dewa Kegelapan 
menghajar dada Siluman Ular Putih. Tanpa am-
pun lagi, tubuhnya terlempar jauh ke belakang, 
berputar-putar sebentar dan terbanting keras!
Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan. Parasnya pias. Dari sudut-sudut bibir-
nya mengalir darah segar, pertanda telah mende-
rita luka dalam.
"Edan! Tampaknya dadaku keracunan. 
Hm...! Kukira, tak ada pilihan lain. Aku harus se-
gera mengeluarkan ajian 'Titisan Siluman Ular 
Putih' kalau nyawa tak ingin melayang...."
Berpikir sampai di sini, Siluman Ular Putih 
segera memejamkan mata. Kedua bibirnya berkemik-kemik membaca mantra ajian 'Titisan Si-
luman Ular Putih'. Maka seketika itu juga tubuh-
nya telah dipenuhi asap putih tipis, hingga so-
soknya tidak kelihatan sama sekali.
Ketika asap yang menyelimuti sekujur tu-
buh Siluman Ular Putih sirna tertiup angin, maka 
saat itu juga....
"Ggggeccrrr...!!!"
* * *
"Si.... Siluman Ular Putih...!"
Dewa Kegelapan mendesis kaget. Gembong 
Kenjeran yang baru saja siuman serta puluhan 
anak buahnya sama-sama memekik kaget. Mata 
mereka membeliak lebar, seolah tak percaya me-
lihat sosok ular putih raksasa sebesar pohon ke-
lapa dengan taring-taringnya yang runcing! 
"Ah...! Jadi, benar! Ternyata kau memang 
Siluman Ular Putih, Kunyuk Gondrong. Meski 
kau dapat menjelma jadi ular naga sekalipun, 
jangan dikira aku tak dapat membunuhmu! Ma-
kanlah pukulan 'Darah Iblis'-ku! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring. Dewa Kegelapan 
memilih menyerang terlebih dahulu. Begitu kedua 
tangannya menghentak, dua larik sinar hitam le-
gam meluncur kembali dari kedua telapak tan-
gannya mengancam tubuh Siluman Ular Putih 
yang kini telah menjelma menjadi ular putih rak-
sasa.
Desss! Desss!

Sosok ular putih raksasa itu menggereng 
penuh kemarahan saat kedua sinar hitam itu 
menghantam telak. Tubuhnya yang panjang ber-
warna putih kontan terlempar jauh ke samping. 
Sejenak Siluman Ular Putih menggeliat-geliat. La-
lu dengan taring-taringnya yang runcing, tiba-tiba 
sosoknya telah menerjang garang Dewa Kegela-
pan.
"Heh...?!"
Dewa Kegelapan terperangah kaget. Sepa-
sang matanya yang mencorong membelalak lebar, 
seolah tak percaya melihat sosok ular raksasa la-
wannya sedikit pun tidak terluka akibat pukulan 
mautnya tadi.
Sungguh sulit dimengerti. Saking heran-
nya, Dewa Kegelapan sampai-sampai menggeleng-
geleng. Namun saat lawan anehnya ganti menye-
rang, tak ada pilihan lain lagi kecuali kembali me-
lontarkan pukulan maut.
Wesss! Wesss!
Meski kebal terhadap berbagai macam sen-
jata tajam maupun pukulan maut, rupanya kali 
ini ular putih raksasa itu tak ingin jadi bulan-
bulanan serangan-serangan Dewa Kegelapan. Be-
gitu melihat luncuran dua larik sinar hitam le-
gam, dengan cerdik ular kepalanya menunduk 
sedikit ke bawah. Sehingga serangan itu hanya 
menerabas angin kosong. Lalu pada saat yang te-
pat ekornya mengibas laksana kilat. Dan....
Desss!
Dewa Kegelapan meraung keras saat ekor

Siluman Ular Putih menghantam tubuhnya hing-
ga terlempar jauh ke samping dan menghantam 
batang pohon.
"Bajingaaan...!!!"
Dewa Kegelapan menggeram murka. Tu-
buhnya yang terkena hantaman ekor Siluman 
Ular Putih terasa mau remuk. Namun ia mencoba 
bertahan. Sejenak dihelanya napas berulang-
ulang, lalu kembali meloncat bangun
"Gerrrr...!"
Sialnya, saat itu ekor ular putih raksasa itu 
kembali menerjang. Sebisanya, Dewa Kegelapan 
berusaha berkelit ke samping. Namun sayang, ge-
rakannya lamban. Maka tanpa ampun tubuhnya 
langsung terlilit ekor Siluman Ular Putih!
"Ah...!"
Dewa Kegelapan memekik keras. Sekuat 
tenaga dicobanya untuk menahan kepala ular 
raksasa itu yang bergerak ke arahnya dengan tar-
ing-taring runcing siap mengganyang tubuhnya.
"Hih!"
Untuk beberapa saat, Dewa Kegelapan ma-
sih mampu bertahan. Namun lama kelamaan pe-
muda berjubah hitam ini kewalahan juga. Belum
lagi libatan ular raksasa putih di tubuhnya yang 
makin kuat saja.
Bukan main gelisahnya Dewa Kegelapan 
saat itu. Matanya kontan nyalang. Perlahan-lahan 
pegangan tangannya di leher ular raksasa itu 
mengendur. Sulit rasanya bagi pemuda berjubah 
hitam ini untuk menyelamatkan nyawanya saat

itu. Hingga....
Crokkk!
Tanpa ampun, taring-taring runcing Silu-
man Ular Pulih mengganyang tubuh Dewa Kege-
lapan.
Dewa Kegelapan meraung sejadinya. Darah 
segar kontan berhamburan membasahi tubuh. 
Namun pemuda ini tak putus asa. Dengan sekuat 
tenaga terus dicobanya mencengkeram kepala 
ular putih raksasa itu berulang-ulang. Namun te-
tap saja tidak mendapatkan hasil. Malah libatan 
dan gigitan taring-taring runcing Siluman Ular 
Putih makin hebat mencengkeram tubuhnya.
Kresss! Kresss!
"Aaa...!"
Terdengar tulang-belulang Dewa Kegelapan 
remuk. Jerit kesakitan Dewa Kegelapan pun 
menggema merobek angkasa. Namun seperti tak 
mau peduli dengan jeritan yang terdengar, taring-
taring runcing siluman Ular Pulih terus mengga-
nyang tubuh Dewa Kegelapan. 
"Gggeeeerrr...!"
Siluman Ular Pulih mengombang-
ambingkan tubuh lawannya ke sana kemari. Tar-
ing-taringnya yang tajam telah berlumuran darah 
merah. Tanpa mempedulikan apa pun, terus di-
permainkannya tubuh Dewa Kegelapan.
"Soma! Jangan kau bunuh! Aku telah ber-
janji di depan makam guruku untuk membunuh 
manusia itu dengan tanganku sendiri!" teriak 
Arum Sari, tiba-tiba.

"Gggeeerrr!"
Sepasang mata merah saga ular putih rak-
sasa itu sejenak menatap tajam Arum Sari. Se-
mentara tubuh Dewa Kegelapan yang lemas sese-
kali terlihat menggeliat-geliat.
"Soma! Lekas lemparkan manusia iblis itu 
kemari!" teriak Arum Sari lagi. 
"Ggggeeerrr! Ggggeeerrr!" 
Mendengar gerengan ular putih raksasa 
itu, tanpa sadar Arum Sari menyurutkan langkah 
ke belakang. Hatinya khawatir juga kalau-kalau 
Siluman Ular Putih malah akan menyerangnya. 
Apalagi sepasang mata merah saga ular putih 
raksasa itu terlihat demikian mengerikan.
"Cepat, Soma! Lemparkan Dewa Kegelapan 
kemari! Kau tak berhak membunuhnya!" teriakan 
Arum Sari, menguatkan tekadnya.
"Ggggeeerrr!"
Rupanya kali ini Siluman Ular Putih mau 
juga menuruti perintah Arum Sari. Maka setelah 
puas mempermainkan tubuh Dewa Kegelapan, 
kepalanya segera digerakkan keras-keras. Dile-
paskannya taring-taringnya yang menghujam di 
tubuh Dewa Kegelapan.
Werrr!
Saat itu pula tubuh Dewa Kegelapan ter-
lempar dari taring-taring ular putih raksasa itu. 
Sebelum tubuh berlumur darah itu tiba di tanah. 
Arum Sari cepat menyambutnya dengan samba-
ran pedang. Dendamnya ingin dilampiskannya 
saat itu juga. Dan....

Crakkk!
Tak ada keluhan keluar dari mulut Dewa 
Kegelapan. Tubuhnya kontan terpisah begitu ter-
kena sambaran pedang di tangan Arum Sari. So-
soknya yang tanpa kepala tertelan semak belukar. 
Sedang kepalanya menggelinding entah ke mana.
Arum Sari berdiri gemetaran di tempatnya. 
Sepasang matanya yang tajam menatap sosok tu-
buh Dewa Kegelapan penuh kebencian. Lalu en-
tah kenapa, tiba-tiba saja gadis cantik itu menan-
gis.
"Guru...!"
"Lho? Kok, malah menangis? Katanya mau 
membunuh Dewa Kegelapan dengan tangan sen-
diri. Tapi kok malah menangis. Kalau tahu kau 
jadi sedih begini, harusnya tadi aku tak menye-
rahkan Dewa Kegelapan padamu...."
Arum Sari buru-buru menyusut air ma-
tanya saat mendengar suara bernada menggerutu 
dari belakang.
"Kenapa? Kok, malah sedih?" tanya Soma 
yang telah kembali berwujud manusia seraya me-
rengkuh bahu Arum Sari lembut.
"Aku.... Aku terharu. Aku tak menyangka 
dapat membunuh orang yang telah menewaskan 
guruku," kata Arum Sari, terisak memelas.
"Sudahlah! Yang penting kau sudah dapat 
membunuh Dewa Kegelapan," hibur Siluman Ular 
Putih.
"Tapi... terus terang aku tak puas. Kare-
na.... Karena.... Ah...!"

Sulit sekali rasanya Arum Sari mengung-
kapkan perasaan hatinya.
"Karena apa lagi?"
Arum Sari tak menyahut. Pedang di tangan 
kanannya yang masih berlumuran darah tampak 
bergetar-getar.
"Sudahlah! Jangan sedih! Aku mau mengu-
rus cecunguk-cecunguk penghuni Hutan Kenje-
ran ini," hibur Siluman Ular Putih.
Dan Soma pun segera menghampiri anak 
buah Gembong Kenjeran yang tampak masih ter-
pesona melihat jalannya pertarungan aneh tadi.
"Mana pimpinan kalian?" bentak Soma ga-
lak.
Beberapa orang anak buah Gembong Ken-
jeran segera celingukkan ke sana kemari mencari 
pimpinan mereka. Namun, mereka tak menemu-
kan Gembong Kenjeran berada di sini.
"Tadi.... Tadi dia masih ada di sini, Tuan 
Pendekar," sahut salah seorang anak buah Gem-
bong Kenjeran, gemetaran.
"Hm...! Apakah salah seorang di antara ka-
lian ada yang menyembunyikan?" tanya Siluman 
Ular Putih. Lagi-lagi nada suaranya dibuat galak.
"Tid.... Tidak, Tuan Pendekar. Dari tadi 
kami berada di sini. Kami tak ke mana-mana, 
Tuan Pendekar."
"Hm...!" Siluman Ular Putih menggumam 
tak jelas. Tampak sekali hatinya kecewa tak dapat 
menemukan Gembong Kenjeran. "Sudahlah! Se-
karang aku minta kesanggupan kalian. Kalian ta

hu, kenapa aku tak membunuh atau menghukum 
kalian?"
"Tidak, Tuan Pendekar."
"Nah, dengar! Karena aku masih menghor-
mati kalian sebagai manusia. Untuk itu, kalian 
pun harus berbuat seperti manusia. Awas! Kalau 
sampai aku tahu kalian kembali bergelimangan di 
jalan sesat, jangan dikira aku tak dapat menghu-
kum kalian. Mengerti?"
"Me.... Mengerti, Tuan Pendekar."
"Nah, sekarang kalian boleh pergi! Eh, 
tunggu'" cegah Siluman Ular Putih buru-buru 
manakala teringat akan mayat Dewa Kegelapan.
"Ada apa lagi, Tuan Pendekar?"
"Kalian boleh meninggalkan tempat ini 
dengan satu syarat! Kuburkan mayat Dewa Kege-
lapan terlebih dulu. Lalu, baru kalian boleh per-
gi!" perintah Siluman Ular Putih.
"Baik, Tuan Pendekar."
Siluman Ular Putih mengangguk-angguk, 
wibawa. Dan begitu melihat para anak buah 
Gembong Kenjeran mulai menggali tanah, Silu-
man Ular Putih menghampiri Arum Sari yang ma-
sih menangis sesenggukkan.
"Arum! Sekarang apa rencanamu? Apa kau 
masih ingin mencari orang yang telah membunuh 
kedua orangtua mu?" tanya Soma.
Arum Sari mendongak.
Melihat wajah si gadis, Siluman Ular Putih 
jadi trenyuh. Dilihatnya seraut wajah cantik di 
hadapannya pucat pasi. Sisa-sisa air mata masih

tampak membasahi kedua pipinya yang berkulit 
putih bersih.
Arum Sari tak menyahut. Kepalanya hanya 
mengangguk seraya menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Apa sekarang aku boleh menjadi penga-
walmu untuk menemani perjalananmu mencari 
Penghuni Kubur?" tanya Soma. 
Sekali lagi Arum Sari mengangguk. Silu-
man Ular Pulih jadi tersenyum sumringah. "Kalau 
begitu, jangan menangis terus, dong! Ayo, hapus 
air matamu!" ujar Soma dengan senyum manis 
terkembang di bibir.
Arum Sari menurut. Tanpa banyak mem-
bantah, segera dihapusnya sisa-sisa air matanya.
"Nah...! Begitu dong! Kan enak kelihatan-
nya. Kau jadi kelihatan semakin cantik," puji mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo, mulai mengelua-
rkan rayuan gombal.
Arum Sari tersenyum. Manis sekali, meski 
senyum itu samar-samar.
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan!" ajak So-
ma.
Arum Sari tak menyahut. Namun ketika 
tangan Siluman Ular Putih merengkuh bahunya, 
gadis ini pun pasrah saja. Malah dengan man-
janya, kepalanya mulai berani direbahkan di dada 
Siluman Ular Putih sembari terus berjalan....


                              SELESAI

Segera terbit:
TAPAK MERAH DARAH







 


Share:

0 comments:

Posting Komentar