SATU
Matahari baru saja tersembul dari puncak gunung.
Cuaca cerah. Langit tak berawan. Di pagi itu seorang
gadis berjalan cepat menyusuri jalan setapak. Lang-
kahnya tergesa-gesa. Dia seorang gadis berpakaian se-
derhana. Namun dari gerak langkahnya dia bukan ga-
dis sembarangan. Setidak-tidaknya orang yang men-
gerti ilmu silat.
Mendadak terdengar suara orang di belakangnya.
“Wintari! Tunggu! Hai! Mengapa kau meninggalkan
ku?” diiringi teriakan itu tersembul sesosok tubuh di
tikungan jalan. Ternyata dia seorang laki-laki muda
berpakaian putih kumal. Mendengar teriakan itu si ga-
dis menoleh. Tapi justru dia melangkah lebih cepat.
“Hei! Wintari! Kau marah, ya? Tunggu dulu aku
mau bicara!” teriak orang dibelakangnya. Namun gadis
ini tak memperdulikan. Bahkan kini mempercepat
langkahnya dengan setengah berlari. Pemuda baju
kumal ini jadi garuk-garuk pantat. Setelah membetul-
kan celana gombrongnya yang kedodoran dia mengge-
rutu.
“Haiih! Apa salahku?”
Akan tetapi kejap selanjutnya tubuh pemuda ini
mencelat ke udara. Bukan main terkejutnya sang gadis
karena tahu-tahu pemuda itu telah berada di hada-
pannya. Dia hanya mendengar suara angin di atas ke-
pala, tahu-tahu si pemuda itu telah jejakkan kaki lima
enam langkah di hadapannya.
“Jangan halangi aku! aku benci kau! biarkan aku
pergi!” membentak si gadis dengan wajah cemberut.
“Eh, eh, mengapa nona manis? Tunggu dulu. Kita
bicara baik-baik. Jelaskan dulu mengapa kau tiba-tiba
marah padaku?” berkata pemuda itu.
“Huh! tak perlu!” sahut si gadis ketus.
“Minggir!” bentaknya. Tiba-tiba lengannya meluncur
untuk menghantam dada si pemuda.
Keruan saja pemuda ini jadi terkejut, karena jurus
pukulan gadis itu bukan main-main. Hantaman tenaga
dalam yang dilakukan dapat meremukkan isi dada.
Untuk mengelakkan diri terpaksa pemuda itu doyong-
kan tubuhnya ke samping. Akan tetapi gadis ini justru
menarik serangan.
Mendadak lengan kiri gadis itu meluncur. Serangan
kedua ini tak dapat dielakkan lagi karena pemuda itu
seperti tak menduga.
Buk!
Terdengar benturan keras diiringi suara mengaduh
pemuda itu. Tubuhnya terjengkang bergulingan.
“Ahh! kau... kau...”
Pemuda itu masih sempat bangkit. Dari mulutnya
menetes setitik darah. Tapi sedetik kemudian dia ro-
boh lagi setelah perdengarkan suara mengeluh.
Melihat kejadian itu bukannya si gadis bergirang
hati karena dia telah berhasil merobohkan orang yang
akan merintanginya. Tapi justru membuat dia terkejut.
Secara tak sadar dia telah mempergunakan ilmu puku-
lan dengan jurus mematikan. Dia mengetahui si pe-
muda berilmu tinggi. Tentu dapat berkelit dari seran-
gannya. Tapi di luar dugaan serangan itu justru men-
genai sasaran.
Gadis ini jadi berdiri menjublak kebingungan. Wa-
jahnya berubah pucat. Tiba-tiba dia berlari menubruk
ke arah pemuda itu, seraya berteriak kaget.
“Nanjar! Ah, kak Nanjar..! kau..kau... mengapa kau
tak mengelakkan seranganku?”
Diguncang-guncangkannya tubuh pemuda itu. Tapi
pemuda itu tak bergeming.
“Dia pingsan! Ah, pukulanku terlalu keras! Aku...
aku memang keterlaluan!” berkata dalam hati Wintari.
Namun dia cepat sadar. Diperiksanya dada pemuda
itu dengan membuka belahan baju bagian dada. Ter-
sentak Wintari melihat lukisan tato bergambar seekor
Naga melingkar.
“Ah, apakah dia si Dewa Linglung? si Pendekar Pe-
dang Mustika Naga Merah?” Terbelalak mata dara ini.
Melihat ada darah menetes disudut bibir pemuda itu
gadis ini tampak amat khawatir. Segera disalurkan te-
naga dalamnya untuk membantu jalan darah pemuda
itu agar menjadi lancar. Dia khawatir pukulan itu akan
menyumbat pernapasan si pemuda dan meremukkan
isi dadanya.
Lengannya ditempelkan ke dada. Segera dia salur-
kan hawa hangat dari telapak tangannya.
Akan tetapi sekian lama dia berusaha menyadarkan
pemuda itu, namun tak ada reaksi apa-apa. Bahkan
napas pemuda itu seperti berhenti. Tubuh pemuda itu
tak bergeming. Dalam kekhawatirannya dara ini jadi
kebingungan. Akhirnya dia menangis terisak-isak se-
raya memeluki tubuh pemuda itu.
“Kak Nanjar, oh... kak Nanjar..! aku berdosa telah
mencelakakan kau!” teriaknya histeris. Di guncang-
guncangkan dan dipeluki tubuh pemuda itu dengan air
mata mengalir deras membasahi dada bidang sang
pemuda.
Di saat gadis itu meratapi dan menyesali dirinya,
justru dia tak menyadari kalau lengan pemuda itu te-
lah memeluknya erat-erat. Selang beberapa saat baru-
lah dia sadar. Wintari merasai lengan hangat yang
agak kasar itu mengelus-elus punggungnya. Ketika dia
menatap ke arah wajah pemuda itu, ternyata si pemu-
da tengah cengar-cengir memandang padanya.
“Hahaha...jangan menangis nona manis. Tuhan be-
lum mengizinkan aku mati!” berkata Nanjar.
“Hah!? kau... kau cuma berpura-pura saja?” sentak
si gadis. Seketika wajahnya berubah merah dadu. Ti-
ba-tiba dia melompat bangkit. Wajahnya berubah cem-
berut dan mulutnya keluarkan makian.
“Ih! dasar laki-laki ceriwis! kau.. kau telah menipu-
ku!” Tanpa menunggu lebih lama lagi dia telah berlari
cepat tak menoleh lagi. Wajah gadis itu terasa panas.
Dadanya berdebaran. Rasa malu yang bukan buatan
terasa membuat wajahnya semakin panas. Wintari ber-
lari cepat. Sebentar kemudian telah tak kelihatan lagi.
“Hei!? Wintari..! tunggu!” Nanjar alias si Dewa Lin-
glung cepat bangkit untuk mengejar. Tapi dia segera
menahan langkahnya. Hatinya berkata.
“Ah, biarlah dia pergi. Toh suatu ketika tak mung-
kin kalau tak mencariku. Bukankah dia memerlukan
bantuanku untuk mencari jejak ayahnya yang diculik!”
Akan tetapi berfikir begitu, hati kecilnya berkata lain.
“Heh! tempat ini belum kukenal. Apa lagi dia seo-
rang gadis polos yang mudah dibodohi. Bagaimana ka-
lau sampai dia di jahati orang?” Memikir demikian,
Nanjar segera sambar buntalannya, dan kejap berikut-
nya dia telah berkelebat mengejar si gadis.
***
Bagaimana asal kejadian hingga Nanjar alias si De-
wa Linglung muncul di tempat itu dan berkenalan
dengan gadis manis bernama Wintari itu? Nanjar yang
selalu berkelana sepembawa kakinya dan tak pernah
mempunyai tempat kediaman tetap, suatu hari di bu-
lan Suro dia memasuki tapal batas sebuah desa. Desa
itu bernama desa Pring Gading.
Baru saja dia memasuki mulut desa telah terjadi
kegaduhan. Seorang gadis dalam keadaan pingsan di
kerumuni banyak orang. Segera Nanjar menyeruak
masuk untuk melihat lebih dekat. Akan tetapi baru sa-
ja dia mau bertanya pada salah seorang didekatnya,
mendadak seorang laki-laki kekar berpakaian bagus
membentak keras dan menyuruh mereka bubar. Laki-
laki itu mengatakan bahwa dia kakak gadis itu.
Tanpa menunggu lebih lama dia langsung memon-
dong dara itu. Penduduk yang tadinya mau memberi-
kan pertolongan tak dapat berbuat apa-apa. Bahkan
mereka bersyukur karena akhirnya keluarganya telah
menjumpai gadis itu di desa mereka.
Nanjar agak curiga dengan tindak-tanduk laki-laki
itu. Diam-diam dia menguntit laki-laki itu ternyata
membawa seekor kuda yang ditambatkan disudut ja-
lan desa. Sekali lompat dia telah berada dipunggung
binatang itu setelah sebelumnya dia melepaskan tam-
batannya. Gerakan melompat laki-laki itu dengan
membawa beban seorang gadis dalam pondongannya
cukup membuat Nanjar kagum. Jelas laki-laki itu be-
rilmu tinggi. Selanjutnya dengan cepat dia mengeprak
kuda untuk meninggalkan desa tersebut.
Nanjar menyelinap ke belakang pondok. Diam-diam
dia membuntuti laki-laki itu.
Ternyata laki-laki itu membawa sang gadis ke se-
buah rumah terpencil di dalam hutan. Bukan kepalang
terkejutnya Nanjar ketika mengintip, ternyata laki-laki
itu mau memperkosa sang gadis. Tanpa ayal lagi dia
bertindak saat itu juga. Sekali tendang pintu pondok
itu menjeblak terbuka. Kemarahan Nanjar tak terkata-
kan lagi. Tanpa ampun dia menghajar habis-habisan
laki-laki itu. Namun Nanjar tak membunuhnya. Sete-
lah puas menyiksa dia melepaskan laki-laki itu pergi.
Tubuh laki-laki itu babak belur dihajar Nanjar. Dengan
terseok-seok dia melarikan diri. Lalu menghilang diba-
lik rimbunnya hutan.
Nanjar terpaku menatap si gadis yang ternyata telah
sadar dari pingsannya. Terjadilah perkenalan. Gadis
itu memperkenalkan namanya. Ternyata dia bernama
Wintari.
***
DUA
Terkejut Nanjar ketika mendengar prihal gadis itu.
Ternyata dia telah beberapa hari mencari ayahnya
yang diculik orang. Ayah gadis itu bernama Jagareksa,
seorang guru silat di wilayah timur. Suatu hari ketika
ayahnya tengah beristirahat mendadak muncul serom-
bongan orang berkuda. Mereka mengatakan dari Kota-
raja, membawa perintah dari Raja untuk menangkap
ayahnya dengan tuduhan ayahnya telah menyusun
kekuatan untuk memberontak.
Tentu saja membuat Jagareksa marah. Orang-orang
berkuda itu tak sedikitpun mirip orang kerajaan. Dan
tuduhan itu hanya dibuat-buat. Jagareksa merasa di-
rinya telah difitnah. Karena dia pernah kedatangan
utusan Adipati yang meminang anak gadisnya untuk
dijadikan istrinya yang keempat. Pinangan itu ditolak
dengan halus. Akan tetapi utusan itu mengancam
bahwa penolakan itu akan membawa kesusahan pada
dirinya.
Jagareksa merasakan adanya hal yang tidak wajar.
Namun pertumpahan darah tak dapat terelakkan lagi.
Seluruh anak buahnya tewas menghadapi lima orang
berkuda itu. Sedangkan dirinya berhasil dilumpuhkan.
Jagareksa ditawan. Dengan tangan kaki terikat dia di-
naikkan ke atas kuda.
Kemudian dengan meninggalkan belasan mayat di
halaman padepokan, mereka lenyap dibalik bukit.
Kalau saja Sang ayah tak menotok tubuhnya serta
menyembunyikan dia dibalik tumpukan kayu tentu dia
sudah melompat keluar untuk menempur manusia-
manusia itu. Akan tetapi jangankan bergerak, bersuara
pun dia tak dapat, karena sang ayah telah menotok
pula urat suaranya. Dengan air mata berlinang dia me-
lihat murid-murid gurunya bergelimpangan tak ber-
nyawa. Serta melihat bagaimana sang ayah dikeroyok
lima orang yang kemudian berhasil melumpuhkannya.
Tak sampai setengah hari totokan itu punah. Winta-
ri menjerit histeris dan menangis terisak-isak meman-
dangi mayat-mayat kawan-kawannya yang bergelim-
pangan tak bernyawa. Dia berlari masuk ke kamarnya
untuk mempersiapkan senjata-senjatanya. Lalu me-
lompat keluar untuk mengejar rombongan berkuda ke
balik bukit.
Tujuan Wintari adalah ke Kota Raja. Dia yakin
ayahnya ditawan disana. Akan tetapi dia tak begitu ya-
kin yang menawan ayahnya adalah orang-orang kera-
jaan. Hal itu tentu ada hubungannya dengan pinangan
Adipati yang telah ditolak ayahnya. Dalam keraguan
dan antara lelah serta penatnya dalam menempuh per-
jalanan, dia tiba di desa Pring Gading. Akan tetapi ke-
tika tiba di tengah desa, mendadak kepalanya terasa
berkunang-kunang. Dia roboh pingsan. Demikianlah!
hingga muncul seorang laki-laki kekar berbaju bagus
yang mengaku kakaknya. Kemudian membawanya
pergi. Tak tahunya laki-laki itu memang sudah sejak
lama menguntit Wintari. Di saat keritis dimana dia
nyaris diperkosa laki-laki itu, muncullah Nanjar meno-
long dirinya...
Nanjar berkelebat cepat mengejar ke arah hutan.
Saat itu matahari sudah mulai meninggi.
“Haih! kemana perginya anak itu?” gerutu Nanjar.
Matanya jelalatan mencari-cari. Hampir setengah hari
dia mengubak isi hutan tapi tak menjumpai dara ma-
nis itu. Ternyata hutan itu seperti tak ada habisnya.
Terkejut Nanjar ketika sadar bahwa dia telah tersesat
dalam hutan misterius yang sukar untuk mencari ja-
lan keluar.
“Celaka! apakah ini yang namanya hutan Werid?”
pikir Nanjar. Dia memang pernah mendengar nama
hutan itu. Hutan yang aneh. Karena bila orang masuk
ke dalamnya akan sukar untuk keluar lagi.
“Kalau benar ini hutan Werid, tentu Wintari pun te-
lah tersesat seperti aku. Tapi mengapa aku tak men-
jumpainya?” pikir Nanjar tercenung. Dia duduk diba-
tang kayu menyeka keringat yang menetes di dahi.
“Haih! gara-gara perutku yang lapar, hingga dia
ngambek lalu membuat aku susah seperti ini!” gerutu
Nanjar memaki dirinya.
Teringat Nanjar ketika dalam mencari jejak orang-
orang berkuda yang menculik ayah Wintari, mereka
menginap di sebuah rumah tua yang tak berpenghuni.
Untuk menjaga kesopanan, Nanjar sengaja bermalam
di luar. Sementara Wintari mendapatkan sebuah ka-
mar yang cukup baik. Setelah dibersihkan dapat di-
pergunakan untuk tidur.
Menjelang tengah malam perut Nanjar melilit. Rasa
lapar menyerang perutnya berkeruyukan. Nanjar du-
duk sementara otaknya berfikir. Akhirnya dia memu-
tuskan untuk mencari desa terdekat guna mengisi pe-
rut. Dengan berindap-indap dia segera meninggalkan
rumah kuno itu, khawatir Wintari terbangun.
Nanjar tak menyadari kalau diam-diam Wintari te-
lah membuntuti. Ternyata Wintari tak dapat tidur da-
lam kamar pengap itu. Hatinya gelisah. Wajah ayahnya
yang lenyap diculik orang-orang berkuda itu selalu
terbayang dalam benaknya.
Secara kebetulan Nanjar mendapatkan sebuah ke-
dai yang masih buka setelah berhasil menemukan se-
buah desa yang agak cukup jauh dari tempat mereka
menginap. Sungguh di luar dugaan Nanjar kalau kedai
itu adalah tempat berkumpulnya wanita-wanita nakal
dan para hidung belang. Terdorong oleh perutnya yang
lapar, Nanjar tak ambil peduli. Terpaksa dia singgah
juga. Setelah memesan makanan dua orang wanita
mendekati. Mereka merayu Nanjar untuk berkencan.
Merah muka Nanjar. Dia telah berjanji tak akan
mengulangi kebodohan yang kedua kali. Walau wanita-
wanita itu cantik dan menggiurkan, Nanjar menolak
secara halus. Namun mana mereka mau diam sampai
di situ saja? Dengan terus merayu mereka membujuk
Nanjar untuk bermalam.
Terpaksa Nanjar pura-pura setuju dan memilih sa-
lah satu dari keduanya. Padahal dalam hati dia telah
mengatur rencana. Di dalam kamar Nanjar menotok
wanita itu, dan kabur keluar dari jendela. Semua itu
dilakukan karena dia melihat tiga orang yang tukang
pukul di tempat itu selalu mengawasi. Kalau dia meno-
lak bisa membuat keributan.
Sungguh tak diduga ternyata Wintari memperhati-
kan dari tempat persembunyiannya. Dengan muka pa-
nas dia kembali ke rumah kuno. Hatinya menjadi ma-
sygul dan membenci Nanjar yang dianggap seorang
pemuda hidung belang. Demikianlah, ketika pagi men-
jelang, dia mendapatkan Nanjar masih tidur mendeng-
kur di luar rumah kuno.
Entah rasa benci entah rasa cemburu di hati Winta-
ri. Yang jelas dia diam-diam angkat kaki tanpa sepen-
getahuan Nanjar. Ketika Nanjar terbangun dan sadar
bahwa Wintari telah angkat kaki dari tempat itu, sege-
ra dia menyusul. Namun gara-gara dia pura-pura
pingsan terkena pukulan sang gadis itu, Wintari marah
lagi. Hingga dia tersesat di dalam hutan Werid karena
mengejar dara itu...
***
TIGA
Apa yang dikhawatirkan Nanjar memang benar. Ka-
rena Wintari ternyata telah masuk dalam perangkap
dalam hutan Werid. Tujuh orang manusia bertopeng
telah bermunculan di saat gadis itu tersesat dan men-
cari jalan keluar dari hutan misterius itu. Belum sem-
pat dia berbuat sesuatu, dua orang telah berkelebat
melompat. Salah seorang menotok dengan gerakan ki-
lat. Robohlah Wintari. Dan kejap selanjutnya dia telah
berada dalam pondongan salah seorang dari tujuh
orang bertopeng itu.
Hutan Werid memang benar-benar misterius, kare-
na hanya penghuni hutan itu saja yang mengetahui ja-
lan-jalan rahasia. Dalam beberapa kejap saja ketujuh
manusia bertopeng itu telah lenyap tak ketahuan ke-
mana arahnya.
Sementara itu Nanjar yang termangu-mangu tak ta-
hu harus berbuat apa, tiba-tiba mendengar suara ter-
tawa dibelakangnya. Cepat dia balikkan tubuh untuk
melihat. Akan tetapi terkejut Nanjar karena tak melihat
apa-apa. Suara tertawa itu jelas suara tertawa wanita.
“Heh!? Apakah kau Wintari?” teriak Nanjar. Mulut-
nya berkata begitu tapi hatinya menduga lain. “Ra-
sanya tak mungkin kalau yang barusan tertawa itu
Wintari! Suara tertawa itu renyah dan begitu merdu
seperti aku pernah mendengarnya...” pikir Nanjar den-
gan tertegun.
“Gadis centil yang menggoda ku keluarlah! mengapa
kau tak berani unjukkan diri? Apakah kau tak punya
hidung atau tampangmu jelek sekali?” teriak Nanjar.
Matanya mengawasi ke setiap balik batang pohon.
Akan tetapi tetap saja tak ada yang muncul. Nanjar ja-
di kesal. Akhirnya dia mengancam.
“Baiklah! kalau kau tak mau keluar, ingin kulihat
apakah kau masih tetap mau bersembunyi atau mau
melarikan diri! Aku akan bertelanjang bulat!” berkata
Nanjar. Ancaman Nanjar benar-benar dibuktikan. Len-
gannya bergerak membuka tali ikat pinggangnya yang
sering kedodoran.
Pada saat itulah terdengar suara disusul berkele-
batnya sesosok tubuh melompat keluar dari balik se-
mak.
“Tunggu!”
Sesosok tubuh telah berdiri di hadapan Nanjar. Itu-
lah tubuh seorang gadis yang membuat Nanjar terpe-
rangah kaget.
“RANGGAWENI!” sentak Nanjar terkejut.
“Kak Nanjar! kau... sinting!” berkata gadis itu. Akan
tetapi cepat-cepat dia berpaling jengah, karena saat itu
celana Nanjar merosot separuh. Cepat-cepat Nanjar be-
tulkan celananya. Mulutnya tertawa girang.
“Eh, adik Ranggaweni! bagaimana kau sampai bera-
da di hutan ini? Kemana burung Rajawali mu si JA-
BUR?” tanya Nanjar seraya lompat menghampiri.
Ranggaweni adalah murid si Raja Pengemis yang telah
tewas di pulau misterius dalam pertarungan dengan si
Raja Siluman Naga. Nanjar masih ingat pada pesan
kakek itu di saat kematiannya, yaitu dia telah dipesan
oleh si Raja Pengemis untuk menjaga muridnya itu.
“Aku tak membawa burung Rajawali itu. Dia ku
tinggalkan, dan kusuruh menunggu di atas bukit!” sa-
hut Ranggaweni sambil menunjuk ke arah barat.
“Lalu bagaimana sampai kau berada di hutan?”
tanya Nanjar.
“Hm, seperti kau juga, kak Nanjar! Bukankah kau
tak menemukan jalan keluar dari hutan ini?” Rangga-
weni balik bertanya tanpa menjawab.
“Ya! aku tersesat! Hutan ini aneh! Aku mengejar
seorang gadis. Aku khawatir dia mendapat kesusahan,
karena dia gadis sebatang kara!” Ranggaweni kerutkan
keningnya.
“Siapa dia?” tanyanya dengan nada cemburu.
“Dia bernama Wintari!” sahut Nanjar, seraya kemu-
dian menceritakan secara singkat tentang dirinya.
Ranggaweni manggut-manggut.
“Hutan ini aneh! Apakah ini yang bernama hutan
Werid?” tanya Nanjar.
“Benar!” menyahut Ranggaweni. “Baiklah aku ceri-
takan bagaimana sampai aku berada di tempat ini dan
tersesat seperti kau tak dapat menemukan jalan ke-
luar!” lanjut Ranggaweni.
Gadis ini menghela napas. Setelah merenung seje-
nak, dia segera memulai pembicaraan.
“Kau pernah mendengar nama Iblis Gila Pembangkit
Arwah?” tanya Ranggaweni. Nanjar memijit keningnya.
“Rasanya tidak! Julukan itu seram benar, baru ini
aku mendengarnya!” sahut si Dewa Linglung.
“Nah! untuk itulah aku mencarinya ke hutan ini!
Karena hutan Werid ini adalah tempat tinggalnya. Un-
tuk menyelidiki hutan ini kurasa agak sulit, oleh sebab
itu Jabur kusuruh tunggu di atas bukit yang tak jauh
jaraknya dari hutan ini. Tahukah kau ada hal apakah
aku mencarinya?” tanya si gadis. Sepasang matanya
menatap Nanjar dan Nanjar melihat jelas ada setitik air
bening yang menggenang di kelopak matanya.
Nanjar menggeleng.
“Ceritakanlah! apakah iblis itu telah mengganggu-
mu?” sentak Nanjar. Nanjar amat mengkhawatirkan
ada kejadian apa-apa yang menimpanya.
“Lebih dari setahun aku tak pernah berhasil menca-
rimu, dan selama itu banyak peristiwa yang telah ter-
jadi!” berkata pelahan Ranggaweni. Dia berusaha me-
nahan jatuh air matanya. Nanjar membiarkan gadis itu
menahan perasaannya.
“Masih ingatkah kau pada seorang laki-laki pemilik
Pedang Inti Es?” Pertanyaan itu membuat Nanjar sege-
ra ingat laki-laki pendamping Ranggaweni. Ya, pada
laki-laki itulah Nanjar menaruhkan harapannya untuk
menjadi penggantinya menjaga gadis ini.
“Maksudmu... SOMA?” sentak Nanjar. “Ah, aku ba-
ru ingat! Kemana dia? Apakah kalian telah menjadi
suami istri?” tanya Nanjar.
“Suami istri? Huh! apakah kau kira aku mencin-
tainya?” menjawab Ranggaweni ketus. Akan tetapi dia
menghela napas.
“Dia memang mencintai ku! Orangnya gagah, juga
berkepandaian tinggi. Tapi hatiku... hatiku entah men-
gapa tak dapat menerima cintanya...”
Nanjar jadi membungkam dengan seribu satu ma-
cam pertanyaan dibenaknya. Ranggaweni berpaling
menatap ke arah hutan yang gelap. Nanjar melihat ma-
ta gadis itu mendelong menatap ke depan. Dia tak ta-
hu apa yang menjadi sebab gadis ini sukar menutur-
kan peristiwa yang dialami.
Kalau saja Nanjar punya perasaan peka, tentu da-
pat menerka isi hati sang gadis, karena di hati gadis
itu cuma ada satu nama yang selalu dirindukannya,
yaitu Nanjar!
“Sudahlah adik Ranggaweni, kau ceritakanlah men-
genai apa yang telah menimpa kalian! Dan kemanakah
Soma?” akhirnya Nanjar buka suara.
“Soma telah tewas enam bulan yang lalu!” sahut
Ranggaweni sendu.
“Hah!? siapa yang telah membunuhnya?” sentak
Nanjar terkejut.
“Kekasihnya sendiri?”
“Soma punya seorang kekasih?”
“Ya! dia bernama Sripandu! murid Ki Pamutih atau
si Iblis Gila Pembangkit Arwah!” sahut Ranggaweni
tanpa menoleh pada Nanjar.
“Jadi untuk itulah kau ke tempat ini?” tanya Nan-
jar.
“Benar! Aku harus menuntut balas kematiannya!”
Kali ini tampak tubuh Ranggaweni terguncang-
guncang. Ternyata dia menangis terisak-isak. Dara ini
tak dapat menahan kesedihannya.
“Sudahlah! aku akan membantumu mencari musuh
besarmu itu! Kukira kau tak terlalu harus bersedih ha-
ti. Bukankah kau tak mencintainya?” berkata Nanjar
seraya mendekati dan memegang pundaknya. Gadis
itu makin terisak-isak. Terpaksa Nanjar menunggu
sampai tangisnya reda.
“Justru aku merasa amat kehilangan, karena sete-
lah dia tiada baru kusadari kalau aku mencintainya..”
Akhirnya Ranggaweni berkata pelahan sambil menyeka
air matanya. Nanjar manggut-manggut. “Sudahlah,
orang yang sudah mati mengapa masih kau kenang?
Lebih baik kau pikirkan jalan keluar dari hutan ini!
Kukira tempat ini amat berbahaya! Keberanianmu
sungguh luar biasa berani menyatroni sarang si Iblis
Gila Pembangkit Arwah!”
“Hm, percuma aku jadi murid si Raja Pengemis!”
sahut Ranggaweni. “Eh! Dewa Linglung! Bukankah kau
memiliki ilmu “terbang”, mengapa tak kau pergunakan
untuk terbang keluar dari hutan ini?” tiba-tiba Rang-
gaweni berkata. Matanya menatap Nanjar dengan tan-
das, seperti tidak mengerti mengapa Nanjar tak mem-
pergunakan ilmunya yang hebat itu?
***
EMPAT
Akan tetapi belum sempat Nanjar menyahut, telah
terdengar suara tertawa berkakakan, diiringi menebar-
nya bau busuk yang amat luar biasa. Keduanya me-
lompat mundur. Lengan mereka secara tak sadar sal-
ing berpegangan erat.
Bukan kepalang terkejutnya mereka ketika tahu-
tahu entah dari mana telah bermunculan sosok-sosok
tubuh yang amat menyeramkan. Mulut keduanya
ternganga dengan mata membeliak. Karena yang ber-
munculan itu adalah mayat-mayat yang sudah rusak
tak keruan. Mayat-mayat hidup!
Tak terasa lengan Rangga Weni semakin erat men-
cekal bergelangan tangan Nanjar.
“Jangan takut! ini pasti perbuatan si Iblis Gila Pem-
bangkit Arwah!” berkata Nanjar. “Siapkan senjatamu!”
ujarnya para Ranggaweni. Tanpa berayal lagi gadis itu
segera loloskan pedangnya dibalik punggung. Hawa
dingin menggidikkan menebar. Itulah pedang Inti Es
yang telah dipergunakan Rangga Weni.
Nanjar melirik sekilas. Dia tahu pedang itu milik
Soma. Pedang yang pernah menghebohkan orang per-
silatan karena menginginkannya. Dia segera cabut ke-
luar Seruling berkepala Naga dari balik bajunya. Se-
mentara itu mayat-mayat hidup itu dengan suara
menggereng dihidung semakin mendekat mengurung
mereka. Bau busuk membuat Rangga Weni nyaris
mual mau muntah. Namun dia mencekal erat-erat hu-
lu pedangnya, dengan menahan napas.
Suara tertawa mengekeh terbahak-bahak kembali
berkumandang.
“Heheheh..hehe.. Dewa Linglung! Sudah lama aku
menantikan kedatanganmu! Kau telah masuk ke da-
lam hutan Werid, dan kau gadis cantik ternyata saha-
batnya. Hehehe... mana mungkin kubiarkan kalian
meloloskan diri lagi? walaupun kau punya ilmu ter-
bang sekalipun?” Suara itu terdengar di beberapa
arah. Akan tetapi tak nampak bayangan seorang ma-
nusiapun. Jelas Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pem-
bangkit Arwah mempergunakan ilmu suara berpindah
yang hebat.
“Iblis Gila Pembangkit Arwah! manusia pengecut!
mengapa kau tak menampakkan diri?” membentak
Nanjar. Namun bersamaan dengan itu mayat-mayat
hidup itu telah menerjangnya. Terpaksa Nanjar le-
paskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan
Rangga Weni. Seraya berteriak dia mengirim pukulan
ke arah depan.
“Awas, adik Weni! pergunakan pedangmu!” Pukulan
tenaga dalam Nanjar lolos, karena mayat-mayat hidup
itu bagaikan segumpal kapas berkelebatan melayang.
Bahkan pukulan itu seperti lewat saja menembus tu-
buh mereka yang menyerupai bayangan.
“Setan keparat!” memaki Nanjar. Terpaksa dia me-
lompat menghindari terjangan tiga mayat hidup. Ada-
pun Rangga Weni tak berayal lagi segera menebaskan
pedangnya. Sinar putih berkilat menimbulkan hawa
dingin. Mata pedang Inti Es menimbulkan belasan la-
rik sinar putih yang berkelebatan. Namun seperti juga
Nanjar tebasan pedang itu tak berarti apa-apa. Mayat-
mayat hidup itu seperti bayangan yang tak mampu
disentuh oleh ketajaman pedang sang gadis. Terpaksa
dara ini melompat beberapa kali menghindari terjan-
gan mayat-mayat hidup yang menyeramkan itu.
Baru saja kakinya menginjak tanah telah muncul
lagi mayat hidup dibelakangnya. Rangga Weni menjerit
karena terkejutnya. Pedangnya berkelebat menyambar.
Namun sama seperti tadi. Tabasan itu lewat menyam-
bar angin. Dalam tersentaknya dia menoleh pada Nan-
jar. Terlihat Nanjar sendiri seperti kebingungan meng-
hadapi serangan-serangan mayat-mayat hidup itu.
Napas Rangga Weni serasa sesak karena bau busuk
yang menyengat hidung, disamping nyalinya jadi ciut.
Karena rasa takut dan seram menghadapi mayat-
mayat hidup itu. Pada saat itulah terdengar suara ter-
tawa melengking tinggi. Kilatan warna pelangi berkele-
batan di udara, disusul munculnya bayangan sesosok
tubuh.
“Hihihi... permainan anak kecil mengapa siang-
siang kau tunjukkan di depan dua bocah ini, sobat Ki
Pamutih? Sungguh kau keterlaluan!”
Hebat akibat berkelebatnya sinar pelangi itu, karena
mayat-mayat hidup itu perdengarkan jeritan parau.
Tubuh-tubuh mereka lenyap. Sebagai gantinya di tem-
pat itu telah berdiri sesosok tubuh ramping. Dia seo-
rang nenek berambut putih. Kulit mukanya berkeriput.
Mengenakan jubah warna hijau.
Dewa Linglung dan Rangga Weni terperangah. Na-
mun cepat-cepat Nanjar menjura seraya menghatur-
kan terima kasih.
“Siapakah nenek? Ah, terima kasih atas pertolongan
anda!”
“Hihihik... tak usah banyak peradatan, anak muda.
Aku hanya memperingati kalian berdua. Sebaliknya
kalian cepat keluar dari hutan ini!” Selesai berkata
wanita tua itu kibaskan lengannya ke arah samping ki-
ri. Segelombang cahaya hijau meluncur.
Aneh! Hutan rimba itu seperti terkuak oleh cahaya
itu. Hingga nampak kini di jalan memanjang yang me-
nuju keluar dari hutan itu.
“Nenek! kau belum memperkenalkan siapa dirimu!”
berkata Nanjar.
“Aih! bocah bawel! Cepatlah kalian angkat kaki, se-
belum Nini GALUNGGUNG membiarkan kau mampus
dikerubuti mayat-mayat hidup!” Sebenarnya Nanjar
tak merasa jeri dengan makhluk-makhluk itu walau-
pun tadinya dia bekas seorang yang paling penakut
dengan setan. Justru dia ingin tahu tampang Ki Pamu-
tih si Iblis Gila Pembangkit Arwah, yang mengendali-
kan mayat-mayat hidup itu. Akan tetapi ketika melihat
pada Rangga Weni, gadis itu mengangguk memberi
isyarat untuk segera angkat kaki.
“Baiklah, nek. Terima kasih Nini Galunggung! Bu-
dimu takkan kulupakan!” Selesai berkata Nanjar me-
lompat menyambar buntalannya, dan kejap selanjut-
nya dia telah menggamit tangan Rangga Weni untuk
dibawa melompat pergi. Nenek keriput ini memperha-
tikan kedua anak muda itu yang berlari-lari menyusuri
jalan yang menembus hutan itu. Hingga kemudian tak
nampak lagi bayangan tubuhnya.
Barulah dia balikkan tubuh memandang ke puncak
pohon di sebelah selatan. Dia memang mengetahui
bahwa sesosok tubuh yang diduganya adalah si Iblis
Gila Pembangkit Arwah berdiri dicabang pohon itu.
Akan tetapi dia tak menampak bayangannya lagi. Ta-
hulah dia kalau si Iblis Gila Pembangkit Arwah telah
angkat kaki dari tempat itu. Terdengar nenek ini
menghela napas dan berkata menggumam.
“Hm, dendammu sedalam lautan Ki Pamutih! Tapi
bukan cara seperti itu kau melampiaskan dendammu!”
Selesai berkata nenek yang bergelar Nini Galunggung
itu perdengarkan tertawa melengking. Tubuhnya ber-
kelebat. Sekejap telah lenyap tak ketahuan kemana
perginya. Kesenyapan kembali merambah hutan Werid
yang misterius itu....
***
LIMA
Suara suitan menggema dari bawah puncak bukit di
pagi yang baru saja merekah itu. Cahaya mentari ma-
sih lemah bersinar. Raja siang itu baru muncul dari
peraduannya.
Seekor burung Rajawali raksasa tampak terbang
dari atas puncak bukit. Itulah burung peliharaan Nan-
jar yang bernama Jabur. Mendengar suara suitan itu,
sang Rajawali tampak seperti kegirangan. Dia terbang
melayang memutari bukit mencari-cari dari arah mana
suara suitan itu. Mulutnya tak hentinya mengeluarkan
suara mengiyak.
Tak lama dia mendengar lagi suara suitan yang le-
bih nyaring. Jabur palingkan kepalanya. Tampaknya
dia mengenali nada suara suitan itu. Kejap berikutnya
dia telah terbang menukik dengan cepat. Dan dapat
melihat dua orang dibawahnya. Itulah Nanjar dan
Rangga Weni yang tengah menantikan kedatangannya.
“Jabur! ah, kau makin gagah dan kuat saja!” teriak
Nanjar, ketika burung Rajawali raksasa itu hinggap di
atas batu dihadapannya. Sekejap Nanjar telah melom-
pat mendekati. Tak ayal langsung memeluk lehernya
seraya mengusap-usapnya dengan terharu dan kasih
sayang. Dia merasa amat rindu telah lebih setahun tak
pernah berjumpa. Burung Rajawali itupun mengiyak
pelahan. Sayapnya dikibas-kibaskan. Dia tampak gi-
rang sekali bertemu dengan majikannya yang lama.
Rangga Weni melompat mendekati. Dara ini cuma
tersenyum melihatnya. Diam-diam dia merasakan elu-
san tangan Nanjar pada leher burung itu seperti terasa
mengelus rambutnya. Dia menunduk dengan menghe-
la napas.
Diam-diam terasa hatinya menjadi sunyi. Mungkin
kah Nanjar mencintainya? Serasa jauh hatinya mene-
rawang. Saat itu pula dia teringat pada Soma. Air ma-
tanya pun kembali menitik. Namun cepat-cepat dia
menghapusnya. Rasa rendah diri dan malu menyelu-
bungi jiwa gadis ini khawatir Nanjar menolak cintanya.
Bukankah seorang pemuda gagah yang walaupun ber-
tampang tolol seperti Nanjar akan banyak gadis yang
menggilainya? Mana mungkin dia ada perhatian pada
dirinya? Mustahil kalau gadis bernama Wintari itu di-
am-diam adalah kekasihnya? Pikiran Rangga Weni jadi
kacau. Hatinya serasa remuk, karena orang yang men-
jadi pendampingnya selama ini telah tewas. Dia begitu
khawatir kalau menemui kegagalan cinta lagi.
Hal itulah yang membuat gadis ini menjadi patah
hati. Diam-diam dia melangkah mundur. Gerakannya
dibuat pelahan khawatir Nanjar mendengarnya. Diba-
lik batu bukit yang nonjol dia menyelinap. Kejap selan-
jutnya Rangga Weni telah berkelebat cepat meninggal-
kan tempat itu, setelah dia menggoreskan sebuah batu
runcing dibatu bukit.
Terkejut Nanjar ketika menyadari bahwa Rangga
Weni tak kelihatan berada dibelakangnya.
“He? kemana dia?” sentak Nanjar terkejut. Nanjar
berpaling kekanan-kekiri. Bahkan melompat ke atas
batu bukit yang agak tinggi. Tapi tak melihat adanya
sosok tubuh Rangga Weni.
“Hm, dasar gadis bengal! Pasti dia sembunyi lagi!”
gumam Nanjar tersenyum. Dewa Linglung garuk-garuk
kepalanya memikir. Cara apa lagi yang akan dia laku-
kan untuk membuat gadis itu muncul dari tempat per-
sembunyiannya? Cara seperti yang dia lakukan di da-
lam hutan itu rasanya tak berguna.
“Hm, cara ini kukira lebih baik!” berkata Nanjar da-
lam hati. Dia rogoh keluar seekor kelinci yang tadi ma-
lam ditangkapnya dalam perjalanan. Kelinci itu masih
hidup. Cuma dengan sedikit totokan telah membuat
binatang santapan itu tak berkutik.
“Jabur! Tentunya kau juga lapar? baiklah! aku akan
memanggang kelinci ini dulu. Nanti kita bersantap
mengisi perut!”
Nanjar mengumpulkan kayu-kayu kering. Lalu
membuat api unggun. Tak lama dia telah memanggang
kelinci muda itu setelah menyembelih dan menguli-
tinya. Sebentar saja bau panggang daging kelinci yang
sedap telah menebar dibawah bukit itu.
“Haha.. bau sedap ini mustahil tak mengundang
munculnya gadis bengal itu. Pasti dia keluar dari per-
sembunyiannya!” pikir Nanjar dalam hati.
Akan tetapi sampai daging panggang itu masak
Rangga Weni belum juga muncul. Nanjar mulai tak
enak perasaan hatinya. Selera makannya lenyap. Di-
lemparkannya panggang daging kelinci itu ke arah Ja-
bur yang langsung menangkap dengan paruhnya. Nan-
jar cuma memperhatikan Jabur yang menikmati san-
tapannya dan langsung menelannya.
“Jabur! mari kita cari Rangga Weni!” berkata Nanjar
seraya melompat ke punggung Jabur. Burung Rajawali
ini mengiyak pelahan. Tak lama dia kibas-kibaskan
sayapnya. Kejap selanjutnya dia telah terbang ke uda-
ra. Tak lama burung Rajawali raksasa itu telah me-
layang-layang memutari sekitar bukit. Nanjar yang be-
rada dipunggung burung raksasa itu pentang matanya
lebar-lebar mencari-cari kalau-kalau dibawahnya terli-
hat Rangga Weni. Akan tetapi sekian lama Nanjar
mencari tetap saja dia tak menampak orang yang dica-
rinya.
“Ah, kemana perginya dia? mengapa dia meninggal-
kan ku dengan diam-diam?” keluh Nanjar. Hatinya
bertanya-tanya sendiri.
“Perempuan memang aneh! isi hatinya sukar diter
ka!” gumamnya. Nanjar tepuk-tepuk leher binatang
itu. “Jabur! mari kita kesana!” Nanjar menunjuk ke
arah utara. Jabur mengangguk-angguk seperti men-
gerti. Tak lama dia terbang membelok lalu dengan ce-
pat melayang ke arah yang ditunjuk Nanjar.
***
Sepasang mata bening itu tampak berkaca-kaca
memperhatikan burung Rajawali itu yang terbang ce-
pat ke arah utara. Itulah sepasang mata dari seorang
dara jelita Rangga Weni. Gadis ini sembunyi dibalik
bongkah batu. Matanya menatap ke arah si Jabur
yang lenyap dibalik bukit. Gadis ini bangkit berdiri.
Terdengar dia menghela napas.
“Selamat tinggal kak Nanjar. Kukembalikan si Jabur
padamu! Biarkanlah aku pergi membawa diriku sendi-
ri. Agaknya kita memang tak berjodoh. Semoga Tuhan
selalu melindungimu...” bibir dara ini keluarkan suara
mendesis. Dan air bening pada kedua kelopak matanya
menetes turun membasahi pipinya.
Tak lama Rangga Weni balikkan tubuhnya lalu ber-
kelebat meninggalkan lembah itu. Kemanakah tujuan
Rangga Weni? Ternyata dia kembali ke arah semula,
yaitu menuju ke hutan Werid.
Dara cantik itu tak mengetahui kalau pada saat itu
sesosok tubuh telah menguntitnya. Dialah seorang la-
ki-laki berwajah tampan. Siapa laki-laki penguntit itu?
Dia tak lain dari si Pendekar Patah Hati.
Gerakan pemuda ini amat gesit. Ilmu larinya luar
biasa. Tampak sebentar saja dia sudah hampir menyu-
sul Rangga Weni. Tapi tiba-tiba dia memperlambat la-
rinya, karena Rangga Weni secara mendadak meng-
hentikan larinya. Mata gadis ini memandang ke depan.
Ternyata sesosok tubuh tertelungkup menghalangi jalan.
“Heh!? siapa orang itu? Orang tidur ataukah
mayat?” berdesis Rangga Weni. Pelahan dia mendekati.
Matanya menatap tajam-tajam memperhatikan orang
yang menelungkup itu. Barulah dia mengetahui kalau
orang itu masih hidup, karena mendengar suara deng-
kurnya.
“Gila! siang hari begini masih tidur. Tapi mengapa
dia memilih tidur di tengah jalan begini, mengganggu
orang lewat?” berkata Rangga Weni dalam hati.
“Sebaiknya aku lompati saja!” pikirnya. Tapi baru
saja dia bersiap untuk melompat mendadak orang itu
menggeliat lalu terlihat dia menguap.
“Huaaah! enak benar tidurku, sampai-sampai hari
sudah siang!” Ternyata dia seorang laki-laki setengah
tua berwajah jelek. Berambut gondrong tak terawat.
Bajunya bertambalan dan tampak kumal sekali.
***
ENAM
Orang itu mengucak-ucak matanya. Hidungnya
kembang-kempis seperti mengendus-endus bau sesua-
tu. Memang dia mengendus bau harum dari tubuh
seorang gadis. Tiba-tiba dia menoleh. Pandangan ma-
tanya beradu dengan tatapan dara cantik dihadapan-
nya.
“Eh. paman... harap kau memberi jalan. Aku num-
pang lewat!” berkata Rangga Weni. Kata-katanya ra-
mah. Sengaja dia tersenyum dan mengangguk. Rangga
Weni menduga laki-laki itu seorang pengemis biasa.
Sudah lumrah bagi seorang pengemis yang tidur se-
maunya, tak peduli diemper rumah atau di tengah jalan.
“Hehehe... silakan! silakan!” menyahut laki-laki itu
seraya menggeser pantatnya kesisi. Sementara ma-
tanya yang menatap Rangga Weni tampak membinar.
Bibirnya menyeringai menampakkan sebaris gigi yang
besar-besar dan tampak menguning.
Rangga Weni menahan napas. Perutnya serasa
mual rasanya mau muntah. Laki-laki pengemis itu
amat kotor dan menjijikkan.
“Terima kasih..!” ucap Rangga Weni, seraya bertin-
dak melangkah. Akan tetapi terkejut dara ini karena
kakinya serasa berat digerakkan seperti diberati beban
beratnya ratusan kati.
Tahulah dia kalau si pengemis itu bukan orang bi-
asa dan berniat mengganggunya. Namun sebagai mu-
rid si Raja Pengemis mana dia mau menyerah begitu
saja pada pengemis keroco yang kotor dan menjijikkan
itu? Dengan mengerahkan tenaga dalam dikedua kaki,
dia enjot tubuh untuk melompat.
Apa yang dilakukan berhasil. Akan tetapi diluar du-
gaan tahu-tahu tongkat si pengemis yang sejak tadi di-
cekalnya telah menyambar ke arah kaki. Rangga Weni
berteriak kaget. Namun dengan sebat lengannya berge-
rak menghantam ke arah tongkat. Gerakan menghan-
tam itu disertai suara bentakan keras. Akan tetapi be-
tapa terkejutnya gadis ini karena dia merasa satu te-
naga yang amat kuat telah membetot tubuhnya. Dalam
keadaan seperti itu dia tak bisa berbuat apa-apa. Seki-
las dia melihat laki-laki pengemis itu tertawa menye-
ringai. Sepasang lengannya terpentang siap menyangga
tubuhnya.
Sedetik lagi tubuh dara itu akan jatuh dalam deka-
pan si pengemis. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
jeritan parau. Tubuh si pengemis terjungkal roboh. Te-
naga sedotan itu lenyap. Bahkan tubuh Rangga Weni
seperti terdorong kebelakang. Dengan sebat dara ini
gunakan kelihaiannya untuk menahan keseimbangan
tubuhnya. Dan dengan gerakan melompat jungkir ba-
lik dia telah jejakkan kakinya ke tanah.
Terkejut Rangga Weni ketika sebuah bayangan ber-
kelebat disertai kata-kata.
“Bagus! Pengemis hina macam begitu tak patut
menjamah tubuhmu, nona!” Sekejap dia telah melihat
seorang laki-laki gagah telah berdiri dihadapannya. Ke-
tika menatap ke arah si pengemis, ternyata pengemis
itu telah rebah tak berkutik. Dikeningnya menancap
dua buah jarum berwarna hijau. Jelas dia tewas kare-
na jarum maut itu. Siapa lagi pembunuhnya kalau bu-
kan laki-laki dihadapannya itu?
“Siapa kau? mengapa kau membunuhnya?” sentak
Rangga Weni terkejut. Diam-diam dia memperhatikan
wajah orang.
“Hahaha... nyawa manusia tak berharga macam be-
gitu mengapa kau harus mempedulikan? Tak sampai
hatiku melihat kulitmu yang halus dijamah tangan-
tangan kotor manusia ini!” sahut laki-laki itu sambil
tertawa.
“Siapakah anda?” tanya Rangga Weni. Diam-diam
dia waspada pada orang ini. Jelas dia seorang laki-laki
yang kejam, walau diakuinya laki-laki itu berwajah
tampan.
“Aku... namaku Arya Pandan, tapi orang menjuluki
aku si PENDEKAR PATAH HATI!” Tentu saja gadis ini
tersentak. Tak terasa kakinya menindak selangkah ke-
belakang.
“Anda seorang pendekar? Hm, tak sepantasnya an-
da berbuat sekeji itu!” kata Rangga Weni.
Pemuda itu hanya tertawa mendengar kata-kata
Rangga Weni.
“Hahaha... nona benar! Akan tetapi apakah salah
kalau yang dibunuhnya adalah seorang manusia yang
telah banyak melakukan kejahatan memperkosa pulu-
han gadis dan membunuh belasan manusia?” Tentu
saja jawaban Arya Pandan membuat Rangga Weni me-
lengak.
“Sudahlah! mengapa mengurusi mayat manusia ko-
tor yang nyawanya sudah pindah ke Akhirat? Mau ke-
manakah tujuan anda, nona? Boleh aku tahu siapa
namamu?” Arya Pandan alias si Pendekar Patah Hati
beranjak melangkah mendekati.
Rangga Weni terpaksa menarik napas. Walau ba-
gaimanapun dia harus berterima kasih pada laki-laki
dihadapannya ini, karena telah menolongnya.
“Aku Rangga Weni. Tujuanku tak dapat kuse-
butkan!”
“Ah, tak apalah! Jalan ini menuju ke perbatasan Ko-
ta Raja. Kalau membelok ke kanan anda akan mema-
suki hutan yang bernama hutan Werid. Hutan itu amat
angker! Aku hanya menemanimu saja sampai persim-
pangan jalan itu. Gadis secantikmu melakukan perja-
lanan seorang diri amat besar bahayanya, apakah no-
na Rangga Weni bersedia kuantar?” berkata si Pende-
kar Patah Hati dengan sopan.
Rangga Weni jadi terdiam. Sejenak dia bingung un-
tuk menjawab. Diam-diam hatinya berkata. “Orang ini
telah menolongku. Dia berilmu tinggi. Apakah aku
akan menolak kebaikkannya?” Akhirnya dia mengang-
guk.
“Baiklah! tapi hanya sampai persimpangan jalan itu
saja. Selanjutnya silahkan anda mengambil jalan sen-
diri, dan tak usah memperdulikan aku!” berkata Rang-
ga Weni.
“Hahaha... baik! baik! Aku cuma mau mengantar
sampai persimpangan jalan itu!” sahut Arya Pandan.
Tak banyak berayal Rangga Weni segera teruskan
langkahnya dengan berlari cepat. Arya Pandan mengi-
kuti disamping gadis itu. Diam-diam Rangga Weni
mengakui kehebatan gerakan lari Arya Pandan.
“Aneh! mengapa dia bergelar si Pendekar Patah Ha-
ti?” dalam hati Rangga Weni bertanya-tanya. Namun
dara ini terus berlari. Sedikitpun dia tak lepas dari ke-
waspadaan, karena khawatir dicelakai orang kedua ka-
linya. Namun dalam beberapa saat dalam perjalanan
itu kecurigaannya hilang. Arya Pandan bersikap biasa-
biasa saja. Tak ada tanda-tanda dia seorang yang ber-
hati jahat. Diam-diam dia bersyukur dengan kemuncu-
lan pemuda ini yang telah menyelamatkan dirinya dari
bahaya.
Hatinya bergidik, bagaimana kalau sampai dia jatuh
ke tangan pengemis itu? Sukar dia membayangkannya.
Kira-kira semakanan nasi. Arya Pandan berkata.
“Kira-kira dua ratus langkah lagi kita akan sampai
dipersimpangan jalan dibatas wilayah Kota Raja. Nona
Rangga Weni akan kemana?” Pertanyaan Arya Pandan
membuat Rangga Weni sedikit terkejut. Karena dalam
berlari-lari itu pikiran Rangga Weni kosong.
Rangga Weni perlambat larinya. “Aku... aku akan
menuju ke hutan Werid!” jawabnya dengan mengatur
napas yang tersengal. Diam-diam dia kagum karena
Arya Pandan tampaknya tak merasa lelah sedikitpun.
“Nona Rangga Weni mau ke hutan Werid?” tanyanya
seperti tak percaya.
“Benar! Mengapa? apakah kau merasa aneh?” tanya
Rangga Weni.
“Cukup aneh! Tapi aku kagum dengan keberanian
anda!” menyahut Arya Pandan. Jawaban Arya Pandan
terputus, karena persimpangan jalan sudah didepan
mata.
“Nah! aku hanya mengantarmu sampai disini! sam-
pai jumpa, semoga tak terjadi apa-apa dengan dirimu,
nona Rangga Weni!” berkata si Pendekar Patah Hati.
Tubuh laki-laki itu berkelebat. Sekejap saja dia sudah
lenyap.
Rangga Weni terhenyak. Dia menghentikan larinya.
Begitu cepat Arya Pandan menghilang hingga dia tak
sempat lagi mengucapkan terima kasih. Namun Rang-
ga Weni segera berteriak keras-keras.
“Terima kasih atas budi baikmu, sobat Pendekar Pa-
tah Hati! Semoga Tuhan membalas kebaikanmu!”
Rangga Weni terpaku sejenak. Dia menatap ke arah
jalan yang menuju ke hutan Werid. Rasa seram menye-
linap dalam hatinya. Namun tekadnya bulat. Dia akan
mencari wanita bernama SRI PANDU murid si Iblis Gila
Pembangkit Arwah guna membalaskan dendam kema-
tian Soma!
Dia tak peduli apa yang akan terjadi. Walau dia
akan cuma tinggal namanya saja di dunia ini! Diman-
tapkannya hatinya. Dan dara ini jejakkan kakinya un-
tuk segera berlari cepat menuju ke arah hutan Werid.
***
TUJUH
Pendekar Patah Hati berlari cepat melalui jalan ter-
jal dengan memotong arah terdekat menuju ke hutan
Werid.
“Hahaha.. aku harus mendahului dia. Gadis semu-
lus itu sukar kudapatkan. Sungguh bodoh kalau dia
kubiarkan tanpa kusentuh!” menggumam Arya Pan-
dan. Mulutnya tertawa menyeringai. Dipercepat gera-
kan larinya. Sebentar kemudian dia telah tiba ditepi
hutan. Arya Pandan menyelinap masuk kebalik semak
rimbun. Apa yang dilakukannya ditempat itu.
Dia duduk bersila. Matanya terpejam. Bibirnya ko-
mat-kamit seperti tengah membaca mantera-mantera.
Tak lama dia membuka mata dan bangkit berdiri. Sete-
lah melihat kekiri dan kanan, dia keluar dari balik se-
mak. Wajah laki-laki ini tampak berubah kaku. Ma-
tanya memancarkan hawa yang menggidikkan bagi
yang melihat. Tampak dia rangkapkan lagi tangannya
ke atas dada. Bibirnya kembali berkemak-kemik mem-
baca mantera. Tak lama sepasang tangannya tergetar.
Tiba-tiba Arya Pandan gerakkan kedua belah tangan-
nya merentang. Hawa dingin mencekam meluncur dari
kedua telapak tangannya. Kedua tangannya kembali
menyatu.
“Nah! selesai!” mendesis mulut laki-laki ini. “Untuk
sementara dia takkan pergi jauh dari tempat ini. Se-
mentara aku segera menemui si Iblis Gila Pembangkit
Arwah untuk meminta petunjuknya. Kakek tolol itu
akan tetap menjadi penghuni kamar penjaranya sendi-
ri, sampai aku memutuskan untuk membunuhnya,
atau dia mati keracunan!”
Selesai menggumam, tubuh Arya Pandan berkelebat
masuk kedalam hutan dan lenyap terhalang rimbun-
nya pepohonan.
Siapakah sebenarnya ARYA PANDAN? Bagaimana
sampai dia dapat menguasai si Iblis Gila Pembangkit
Arwah? Marilah kita dengar peristiwa pada beberapa
bulan yang silam...
Asalnya peristiwa adalah ketika Ki Pamutih berta-
rung menghadapi puluhan orang-orang Kerajaan yang
akan menangkapnya. Secara kebetulan Arya Pandan
berada tak jauh dari tempat pertarungan itu. Laki-laki
yang bergelar si Pendekar Patah Hati itu bermata jeli,
dan diam-diam punya rencana panjang untuk perjala-
nan hidupnya. Dia melibatkan diri dalam pertarungan,
dan membantu Ki Pamutih yang bergelar menyeram
kan itu.
Rasa simpati Ki Pamutih akhirnya tertanam pada
Arya Pandan, hingga dia berkenan membawa pemuda
itu ketempat persembunyiannya, yaitu dihutan WE-
RID. Kehebatan Ki Pamutih walaupun bermata buta
sangat mengagumkan, karena dengan kepekaannya
dapat mengetahui jalan-jalan rahasia dihutan yang te-
lah dibangunnya selama bertahun-tahun itu. Bahkan
dia mempunyai belasan anak buah yang dipasang dan
diperintahkan menjaga disekitar hutan yang menjadi
tempat tinggalnya itu.
Rencana Arya Pandan menjadi kenyataan. Orang
tua itu kena di bujuk dengan tipu dayanya, hingga dia
diangkat menjadi murid. Arya Pandan diperkenalkan
pada seorang gadis yang menjadi anak angkatnya,
bernama SRI PANDU. Sripandu adalah seorang gadis
yang berparas cantik yang amat disayangi oleh Ki Pa-
mutih. Ternyata selama beberapa bulan menjadi murid
kakek itu. Arya Pandan berhasil merayu Sripandu,
hingga gadis itu menyerahkan dirinya bulat-bulat da-
lam pelukannya.
Selama enam bulan menjadi murid laki-laki tua itu,
tak sedikit Arya Pandan mewarisi ilmu-ilmu aneh si Ib-
lis Gila Pembangkit Arwah alias Ki Pamutih itu. Namun
benih yang tertanam dirahim Sripandu lambat laun
semakin membesar juga. Sripandu telah hamil tiga bu-
lan.... Hal itu akhirnya terdengar oleh Ki Pamutih. Se-
mula kakek itu marah besar pada Arya Pandan. Tapi
mengetahui Sripandu amat mencintainya, kemarahan-
nya menjadi buyar. Bahkan Ki Pamutih berniat menja-
dikan Arya Pandan pembantunya dalam mewujudkan
cita-citanya menumbangkan Kerajaan Telaga Mandiri.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Arya Pandan
untuk mempelajari ilmu-ilmu hitam Ki Pamutih. Se-
mua ilmu telah diturunkan pada Arya Pandan dalam
waktu singkat. Cuma ilmu pembangkit arwah saja
yang belum diwariskan. Bukan saja jalan-jalan rahasia
dihutan Werid itu saja, akan tetapi juga kamar penjara
bawah tanah yang dibangun Ki Pamutih telah diketa-
huinya.
Dengan kelicikannya Arya Pandan berhasil menjeb-
loskan Ki Pamutih dalam kamar penjaranya sendiri.
Semua itu karena Ki Pamutih tak mau menurunkan
ilmu pembangkit Arwah. Ancaman akan membunuh
Sripandu yang tengah mengandung membuat Ki Pa-
mutih menurunkan ilmunya.
Arya Pandan adalah seorang ahli racun. Dengan ra-
cun yang dibubuhkan pada minuman dia berhasil me-
lumpuhkan Ki Pamutih. Demikianlah. Ki Pamutih kini
dalam kekuasaan Arya Pandan. Kekuasaan dihutan
Werid mutlak ditangan Arya Pandan. Karena ketujuh
anak buah Ki Pamutih itupun telah tunduk pada pe-
rintahnya.
Tubuh Arya Pandan berkelebat masuk kedalam hu-
tan. Bagi orang biasa pasti akan terkurung dihutan itu
tanpa bisa keluar karena setiap jalan dan pepohonan
bentuk dan susunannya sama. Setiap tempat dan ja-
lan rahasia dikuasai oleh kekuatan ghaib dan ilmu se-
sat yang merubah pandangan mata seseorang yang
tersesat didalamnya.
Sukarlah diduga kalau dalam hutan Werid terdapat
sebuah istana kecil yang indah. Anehnya di sekeliling
istana itu adalah sebuah pemakaman. Inilah tempat
tinggal Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Ar-
wah. Istana ini takkan nampak oleh mata biasa. Kare-
na diselimuti oleh keghaiban. Akan tetapi bagi Arya
Pandan yang sudah hapal merapal mantera, akan mu-
dah menemukannya.
Ternyata Arya Pandan menuju ke istana ini. Cuma
dalam waktu sepeminuman teh dia tiba ditempat yang
ditujunya, yaitu sebuah kuburan besar. Didepan ku-
buran ini terdapat gapura serta sebuah patung singa.
“Haha..haha... Ki Pamutih! apakah kau masih hi-
dup?” Kepalanya dijulurkan kemulut patung singa
meneriakkan suara memanggil Ki Pamutih. Dibawah
patung singa itulah penjara bawah tanah yang menjadi
tempat penjara Ki Pamutih. Sejenak Arya Pandan me-
nunggu jawaban dengan menempelkan daun telin-
ganya ke mulut patung.
Akan tetapi dia tak mendengar suara sahutan Ki
Pamutih. Arya Pandan kerutkan keningnya. “Hm, apa-
kah dia memang benar-benar sudah mampus?” men-
desis laki-laki ini. Tiba-tiba lengannya bergerak memu-
tar kepala patung Singa. Terdengar suara berderak.
Lantai dibawah patung itu bergeser membuka. Tam-
paklah sebuah lubang dan tangga undakan yang me-
nuju kelorong bawah tanah.
Tak berayal lagi Arya Pandan segera memasuki lo-
rong. Didalam lorong remang-remang itu terdapat se-
buah ruangan kamar. Itulah penjara dibawah kuburan
besar, tempat memenjarakan Ki Pamutih. Dengan
mengungkit sebuah alat seperti tongkat yang menem-
pel didinding, tampak menganga.
Cahaya lampu remang-remang tampak dari dalam
ruangan tertutup itu. Lubang itu tak terlalu besar, tak
lebih dari sebesar kepalan tangan.
Melalui lubang itu Arya Pandan mengintip ke da-
lam. Terlihatlah sesosok tubuh dalam keadaan terbe-
lenggu tangan dan kakinya oleh rantai yang menempel
di dinding. Tubuh itu menyender di dinding ruangan
tak bergerak-gerak. Keadaannya sudah mirip dengan
tengkorak hidup. Tulang-tulang dadanya bertonjolan.
Jelaslah kalau kakek ini amat tersiksa dalam penjara
bawah tanah ini.
Rasa penasaran untuk melihat keadaan Ki Pamutih
membuat Arya Pandan membuka pintu besi penjara
itu. Sesaat dia telah melangkah masuk. Ketika meme-
riksa ternyata Ki Pamutih memang telah tewas. Racun
maut yang dicekokkan pada kakek ini cuma mengulur
umurnya tak lebih dari tujuh bulan.
Hal itu diluar dugaannya. Akan tetapi dia benar-
benar yakin setelah memeriksa kedua kali untuk
membuktikan bahwa Ki Pamutih benar-benar telah
mati. Dengan masygul Arya Pandan melangkah keluar.
Sebenarnya dia tak mengharapkan kematiannya begitu
cepat, karena dia masih memerlukannya untuk meng-
gapai cita-citanya.
Tiba-tiba dia merandek. Langkahnya terhenti, kare-
na mendadak dia begitu khawatir kalau Ki Pamutih te-
lah menipunya.
***
DELAPAN
Akan tetapi sudah terlambat. Mata mayat Ki Pamu-
tih tiba-tiba membuka. Lengannya bergerak, mengge-
tar. Tiba-tiba mulut Ki Pamutih keluarkan suara men-
desis. Lengannya menghantam punggung Arya Pandan
disertai bentakan keras.
“Mampuslah kau bocah durhaka!”
Angin panas menderu dibelakang punggung Arya
Pandan. Laki-laki ini terkesiap bukan main. Kecuri-
gaannya datang bersamaan dengan serangan menda-
dak yang diluar dugaan. Tentu saja membuat Arya
Pandan kaget setengah mati.
Namun dia masih berusaha menolong jiwanya. Begi-
tu merasai angin keras menderu dibelakang punggung,
tahulah dia kalau dia diserang. Detik itu juga dia gulingkan tubuhnya ke lantai dengan gerakan secepat ki-
lat.
Terdengar suara mengguruh. Tembok penjara itu
ambrol terkena pukulan tenaga dalam Ki Pamutih. Su-
ara gemuruh itu diselingi oleh teriakan Arya Pandan.
Tubuhnya terlempar membentur tembok. Bahu ka-
nan laki-laki ini sempat terserempet pukulan si Iblis
Gila Pembangkit Arwah.
Sakitnya bukan alang-kepalang. Saat itu Arya Pan-
dan terhuyung-huyung. Kepalanya serasa diberati be-
ban ribuan kati. Bahu sebelah kanannya menghitam
hangus. Sakitnya seperti orang dikuliti.
Namun dia sadar kalau dirinya dalam bahaya besar.
Dalam kepulan debu tampak bayangan sesosok tubuh
pemuda ini berkelebat keluar ruangan melalui rerun-
tuhan. Dengan menggelindingkan tubuh beberapa kali
dia berhasil keluar dari reruntuhan ruangan kamar
tahanan bawah tanah itu. Ketika muncul dari dalam
lubang rahasia, tubuhnya dalam keadaan terhuyung.
Arya Pandan kertak gigi menahan sakit. Detik itu
juga dia gerakkan tangannya merogoh saku baju. Se-
buah benda dilemparkan kedalam lubang rahasia itu
dimana Ki Pamutih masih berada didalamnya.
Bhlarrr!
Terdengarlah suara ledakan hebat. Kuburan besar
itu amblas menimbun ruang penjara bawah tanah itu.
Sedangkan Arya Pandan telah berkelebat melompat
jauh menghindari ledakan.
Laki-laki itu terhuyung memegangi bahu kanannya
dengan wajah menyeringai puas. Matanya menatap
pada kuburan tua yang telah amblas menimbun tubuh
Ki Pamutih.
“Keparat! Nyaris aku yang mampus! Kakek buta itu
sungguh luar biasa ilmunya, hingga dapat membuat
seolah-olah dia sudah tewas. Hahaha... kini kau benar
benar jadi penghuni tanah, Iblis Gila!”
Dengan hati mendongkol dan tubuh terhuyung-
huyung dia memasuki istana.
Akan tetapi rasa nyeri pada punggung dan dadanya
membuat dia cepat-cepat duduk bersila untuk menya-
lurkan hawa murni dari tenaga dalamnya mengurangi
rasa sakit. Lengannya menjumput dua butir obat pu-
lung, lalu cepat-cepat ditelannya. Tampak dari bibir
laki-laki ini menetes darah kental kehitaman, pertanda
dia terluka dalam cukup parah.
Saat itu tujuh sosok tubuh berpakaian hitam men-
genakan topeng warna hijau bermunculan.
Itulah tujuh anak buah Ki Pamutih yang telah tun-
duk padanya.
“Heh! kemana saja kalian!?” bentak Arya Pandan.
“Kami baru saja menawan seorang gadis! Menden-
gar suara ledakan kami cepat-cepat kemari khawatir
terjadi apa-apa di istana....” menyahut salah seorang.
“Hm, apakah kalian telah melihat kedatanganku?”
tanya Arya Pandan.
“Ya! kami melihat!” ketujuh orang itu sama men-
gangguk.
“Mana tawanan kalian? Apakah sudah kalian ma-
sukkan dalam kamar tawanan?”
“Sudah, Ketua...!” sahut salah seorang, dan yang
lainnya mengangguk.
“Bagus! Kembalilah jalankan tugasmu, aku dalam
keadaan terluka! Iblis tua Ki Pamutih Ketua lama ka-
lian sudah mampus terkubur dalam kamar penja-
ranya! Aku sudah tak membutuhkan dia lagi! Nah ka-
lian pergilah jalankan tugas!” Lengan Arya Pandan
mengibas.
Akan tetapi ketujuh orang itu tak beranjak pergi da-
ri situ. Mereka sama terdiam saling pandang sesama
kawannya.
Arya Pandan kerutkan keningnya.
“He? mengapa kalian tak cepat angkat kaki? Apa-
kah sudah tak menurut perintahku lagi?” bentaknya
keras.
Ketujuh orang itu sama menjura. Dan salah seorang
berkata.
“Kami sudah sepakat untuk mengundurkan diri!
Kami kira hari inilah yang paling tepat waktunya. Kami
takkan mencampuri urusan Ketua lagi!”
Tentu saja kata-kata itu membuat Arya Pandan ter-
tegun.
“Hm, aneh? Ada apa ini? Bukankah aku telah men-
janjikan pangkat dan kemewahan bila kelak di kemu-
dian hari aku berhasil merebut tahta kerajaan Telaga
Mandiri? Mengapa kalian kini tiba-tiba mau mengun-
durkan diri?”
Bertanya Arya Pandan dengan menatap ketujuh
orang dihadapannya.
“Kami....kami...kami berubah niat, dan tak mengha-
rapkan apa-apa lagi!” salah seorang menyahut dengan
suara tergagap. Jelas wajah dibalik topeng hijau itu
memucat.
“Jadi kalian tetap akan mengundurkan diri?” tanya
Arya Pandan.
“Benar!” sahut mereka serempak.
Sejurus Arya Pandan terdiam. Tapi segera buka su-
ara.
“Baik! aku mengizinkan kalian. Mulai hari ini kalian
bukan anggota ku lagi. Silahkan angkat kaki keluar
dari wilayah hutan Werid!”
Berkata Arya Pandan dengan suara dingin.
“Terima kasih, Ketua....! serempak mereka sama
menjura membungkukkan tubuh. Arya Pandan cuma
mengangguk dengan wajah sinis.
Ketujuh laki-laki bertopeng itu balikkan tubuh, dan
melangkah keluar istana.
Tak lama ketujuh laki-laki bertopeng itu telah ber-
kelebatan berlari menuju jalan rahasia yang menuju
keluar dari hutan Werid.
Arya Pandan keluarkan tertawa suara dingin. Tiba-
tiba dia membaca mantera. Sepasang telapak tangan-
nya bergerak menyatu.
Uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya.
Mendadak dia melompat keluar istana. Kedua lengan-
nya terjujur diputarkan ke arah pemakaman disekitar
istana itu. Bibirnya komat-kamit mengucapkan mante-
ra.
“Arwah-arwah gentayangan, cegat ketujuh orang
pembantuku itu! Jangan biarkan mereka keluar dari
hutan Werid ini. Kecuali kematian yang akan menjem-
putnya!”
Selesai berkata Arya Pandan masuk kedalam istana.
Sementara keadaan disekeliling istana terjadi keane-
han. Bayangan-bayangan putih bermunculan dari ma-
kam itu. Itulah bentuk-bentuk sosok tubuh yang me-
nyeramkan! Arwah-arwah gentayangan itu telah di-
kendalikan oleh Arya Pandan. Ya! dia memang telah
berhasil menguasai ilmu Pembangkit Arwah.
Dengan suara menggerang dihidung makhluk-
makhluk alam halus itu meluruk saling susul menge-
jar ke arah jalan yang dilalui ketujuh laki-laki berto-
peng tadi.
Cuaca mulai meremang. Sebentar lagi malam akan
tiba.
Suara-suara aneh membangunkan bulu roma ter-
dengar dari sekitar hutan Werid.
Suasana menyeramkan mengembara disenja tema-
ram yang penuh tragedi itu.
Sementara bau busuk menebar membuat perut se-
rasa mual.
Dari balik ruangan istana yang mulai nampak re-
mang itu terdengar suara tertawa Arya Pandan. Lapat-
lapat terdengar rintih dan keluhan seorang wanita ter-
bawa desahan angin malam....
***
SEMBILAN
Rangga Weni menggeliat.... Mulutnya keluar desisan
dan rintih tertahan. Sepasang matanya terpejam. Se-
kujur tubuhnya bermandikan peluh.
Sesaat dia meronta-ronta seperti sekarat. Tapi tak
lama dia terdiam lunglai.
Sekujur tulang-tulang tubuhnya serasa dilolosi.
Tenaganya seperti lenyap musnah. Dan dia mengge-
letak tak berdaya. Bau mayat tak sedap itu masih
mengitari hidungnya.
Pelahan.. dan pelahan dia menggerakkan kelopak
matanya. Pikirannya mulai jernih. Dia merasa terbar-
ing disatu pembaringan berkasur empuk. Ada bau ha-
rum kembang tercium dihidungnya. Agak melegakan
pernapasannya dari bau busuk yang mengganggu hi-
dung.
Akan tetapi dia belum berani membuka kelopak,
matanya. Yang terbayang dalam kilasan di benaknya
adalah peristiwa yang dialami.
Ketika dia memasuki wilayah hutan Werid, dia ter-
paku. Karena setiap dia melangkah pepohonan selalu
mengikutinya. Jantungnya berdegup keras saat itu.
Hawa seram mengembara dihatinya. Dia mulai ra-
gu. Matanya nanar melihat hal yang tidak wajar.
Dia mulai merasa takut. Bulu tengkuknya meremang.
Apakah dia akan membatalkan niatnya? Tulang-
tulang persendian sekujur tubuhnya serasa lemah se-
perti di lolosi. Dia tak mampu bangkit berdiri.
Lenyaplah kegagahannya untuk menyatroni Sripan-
du, murid si Iblis Gila Pembangkit Arwah.
Pada saat itu sekilas dia melihat munculnya bebe-
rapa sosok bayangan. Namun dia telah kehilangan ke-
kuatan untuk menjaga dirinya dari segala kemungki-
nan. Tahu-tahu dia merasa tengkuknya ditotok orang.
Dia roboh dengan keluarkan keluhan tertahan. Selan-
jutnya matanya nanar.
Dia tak tahu apa-apa lagi. Dia cuma merasa tubuh-
nya seperti terbang.
Itulah hal yang diingatnya. Tapi mengapa dia kini
dalam keadaan terbaring dipembaringan empuk? Apa-
kah yang telah terjadi dengan dirinya?
Dia seperti baru saja mengalami suatu mimpi bu-
ruk. Mimpi yang amat menakutkan sekali.
Kelopak mata Rangga Weni semakin cepat bergerak,
dia sudah tahan untuk membukanya.
Tersentak kaget ketika dia mendengar suara laki-
laki didekatnya.
Ketika Rangga Weni membuka kelopak matanya,
seketika dia jadi terperangah kaget. Dilihatnya sesosok
tubuh tegap berkeringat berdiri memandangnya.
Bibirnya tersenyum menyeringai. Sepasang mata
laki-laki itu memandang tajam seperti mau menguliti
tubuhnya.
Untuk kedua kalinya dia tersentak kaget. Kali ini
tiada alang-kepalang karena dia melihat keadaan tu-
buhnya yang tak tertutup sehelai benangpun.
Rangga Weni menjerit terkejut. Lengannya me-
nyambar kain selimut. Sekejap dia telah melompat ke-
sudut pembaringan.
“Hahaha.....jangan terkejut, adik manis! Inilah
ruangan kamarku. Indah bukan? Tak perlu khawatir,
kau tak akan hamil! Seandainya hamilpun kau bisa
menggugurkan kandunganmu!” berkata Arya Pandan
tertawa.
“Hah? keparat! Kau... kau telah...???”
“Hahaha.... sudahlah! tubuhmu toh tidak habis.
Kau sungguh cantik dan menggairahkan, nona Rangga
Weni! Aku benar-benar haha...ha...”
Kalau saja ada halilintar menggelegar dimalam itu
dia tak akan begitu terkejut. Akan tetapi menghadapi
kenyataan itu, Rangga Weni seperti mendengar ribuan
halilintar menggelegar ditelinganya. Kepalanya terasa
menjadi berat ribuan kati. Tiba-tiba dia menjerit seke-
ras-kerasnya.
Lalu tubuhnya terkulai roboh tak sadarkan diri.
Rangga Weni tak tahu apa-apa lagi. Bahkan untuk
kedua kalinya ketika Arya Panda menyeringai buas
menikmati tubuhnya dia tak lagi mengetahui.
Malam semakin kelam. Suara-suara menyeramkan
seperti melagukan irama setan terdengar di sekeliling
istana dalam hutan Werid yang angker itu.
Raja siang telah menampakkan diri diufuk timur.
Kira-kira sepenanak nasi, dari arah utara muncul
bayangan hitam melintas di atas bukit. Ternyata itu
adalah bayangan seekor burung rajawali raksasa.
Burung besar itu melayang tinggi dan merendah.
Segera tampaklah seorang pemuda duduk menung-
gang dipunggungnya.
Itulah burung Rajawali yang bernama Jabur. Siapa
lagi penunggangnya kalau bukan Nanjar mengawasi ke
arah depan dimana terbentang hutan rimba belantara.
“Itulah hutan Werid! Hayo cepat kita kesana, Ja-
bur!” berkata Nanjar seraya menepuk-nepuk leher bu-
rung peliharaannya.
Si Jabur mengerti. Dia terbang cepat ke arah yang
ditunjuk Nanjar. Sebentar kemudian dia telah memu-
tari hutan Werid.
“Jabur! terbanglah agak merendah!” perintah Nan-
jar. Burung raksasa itu menurut. Lima tombak dari
atas tanah, Nanjar tiba-tiba melompat turun.
Tubuhnya meletik indah. Lengannya terpentang.
Hebat! Kini si Dewa Linglunglah yang melakukan sikap
“terbang”. Dengan gerakan ringan dia turun dengan je-
jakkan kakinya ditanah berumput tebal.
Sementara itu si Jabur masih tetap berputar-putar.
Nanjar keluarkan suara suitan nyaring dari mulutnya
dua kali. Si Jabur seperti mengerti. Dia terbang men-
jauh. Melayang ke atas sebuah bukit kecil. Dipuncak
bukit itu dia mendarat.
Sementara itu Nanjar mulai pentangkan mata lebar-
lebar untuk memeriksa isi hutan itu.
“Aku harus menyelidiki seluruh rahasia hutan We-
rid! Kukira Rangga Weni pasti kemari. Bukankah dia
mau membalaskan sakit hati pada orang yang mem-
bunuh Soma?” berkata Nanjar dalam hati.
Sesaat kemudian Nanjar telah melompat dari tem-
pat itu. Dengan mengerahkan segenap kekuatan ba-
thin yang dimilikinya dia berusaha mencari jejak
Rangga Weni dan mencari tahu dimana letak sarang
utama Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Arwah.
Terkejut Nanjar ketika dia menjumpai tujuh sosok
tubuh berkaparan tak bernyawa. Ketujuh orang itu te-
was dengan leher terkoyak seperti terkena cengkraman
binatang buas.
“Ini pasti bukan perbuatan binatang buas. Akan te-
tapi akibat perbuatan si Iblis Gila Pembangkit Arwah!”
sentak Nanjar dengan terkejut.
Nanjar menyingkapkan kedok kain hijau pada se-
tiap mayat. Tampak masing-masing wajah dalam kea-
daan membiru. Dari lubang hidung, telinga dan mata
serta mulutnya tampak mengalirkan darah hitam yang
sudah kental.
Diam-diam Nanjar telah menghunus senjatanya Pe-
dang Mustika Naga Merah. Cahaya merah segera tam-
pak berkilauan disertai hawa dingin mencekam yang
keluar dari badan pedang mustika itu.
Aneh! Nanjar hampir tak percaya. Begitu dia men-
cabut pedang mustikanya, keadaan dalam hutan itu
berangsur-angsur berubah. Pohon-pohon yang rapat
membentuk barisan yang sama di sekeliling tempat itu
lenyap. Tampaklah samar-samar sebuah istana kecil
dikejauhan. Disekelilingnya penuh dengan kuburan.
Disana-sini banyak jalan-jalan kecil yang menuju
keperbagai arah.
“Aneh!? Mengapa terjadi perubahan seperti ini?” pi-
kir Nanjar dalam benak. Dia pernah tersesat di dalam
hutan itu. Bahkan sampai setengah hari memutari isi
hutan, tapi tak menjumpai adanya sebuah istana di
dalam hutan ini. Kini begitu dia mencabut pedang
mustika Naga Merah, semua yang dihadapannya men-
galami perubahan.
Tahulah dia kalau Pedang Mustika Naga Merah te-
lah melunturkan ilmu hitam yang menyesatkan untuk
mengelabuhi mata orang di dalam hutan Werid.
Melihat istana kecil yang berada di tengah pekubu-
ran itu, hati Nanjar tercekat untuk menyelidiki. Dia
yakin kalau itulah tempat tinggal Ki Pamutih.
Tak ayal dia sudah melompat ke arah istana itu.
Bagi si Dewa Linglung yang sudah kepalang nekat
untuk menyelidiki sampai tuntas tempat yang menjadi
tempat Iblis Gila Pembangkit Arwah, sudah tak mem-
pedulikan rasa takut lagi. Apa lagi pedang mustikanya
telah tergenggam di tangan. Bahkan telah dilihatnya
dengan mata-kepala sendiri akan kehebatan pedang
mustika itu.
Dengan berindap-indap dia memeriksa setiap ruan-
gan.
Kembali dia terperangah melihat tiga sosok mayat
terbujur dihadapannya. Kali ini mata Nanjar membe-
liak seperti mau keluar dari kelompaknya.
Apa yang dilihatnya adalah tiga mayat wanita, da-
lam keadaan tergantung ditiang penglari. Salah satu
dari tiga mayat itu adalah... Rangga Weni.
“Adik Rangga Weni!?” teriak Nanjar dengan suara
menggeletar.
Lidah Nanjar serasa kelu. Matanya mendelong me-
natap sosok mayat itu. Jelas mayat wanita itu adalah
mayat Rangga Weni. Dengan menjerit keras Nanjar en-
jot tubuhnya untuk melompat.
Des!
Pedang Mustika Naga Merah telah menyambar pu-
tus tali pengikat leher mayat wanita itu.
Sekejap tubuh wanita itu telah dalam pondongan-
nya.
“Rangga Weni! Rangga Weni! Siapa iblisnya yang te-
lah menganiaya dirimu? katakanlah! akan kucincang
dia sampai lumat!” berteriak-teriak Nanjar dengan wa-
jah merah padam. Hampir-hampir dia menangis se-
senggukan. Namun setitik air bening meluncur turun
dari sudut mata pemuda ini.
“Pembunuh terkutuk! Sungguh sadis perbuatan-
nya!” menggumam Nanjar sambil menggigit bibir.
Tiba-tiba dia menengadah ke atas. Dua mayat wani-
ta yang tergantung itu salah satunya dalam keadaan
perutnya menggembung.
Dapat dipastikan wanita itu dalam keadaan hamil.
Nanjar kertak gigi, tak dapat menahan perasaan ha-
tinya melihat kekejaman yang tiada berperikemanu-
siaan itu.
Tubuhnya melesat. Dan...des! des! Dia telah membabat putus tali pengikat leher mayat. Dengan gerakan
cepat dia telah menangkap kedua mayat itu.
Untuk selanjutnya dia kembali melompat turun.
Pelahan-lahan dia membaringkan kedua mayat wa-
nita itu.
“Kejam! sungguh kejam biadab!” memaki Nanjar
dengan wajah merah padam. Tiba-tiba Nanjar berteriak
keras-keras.
“Iblis Gila Pembangkit Arwah! manusia iblis telen-
gas! keluarlah kau! Aku akan lumatkan tubuhmu!”
Akan tetapi beberapa kali Nanjar berteriak-teriak,
tetap tak ada siapa-siapa yang muncul diri.
“Iblis edan Ki Pamutih! perbuatan terkutukmu akan
mendapat balasan setimpal! Keluarlah untuk meneri-
ma kematian!” kembali Nanjar berteriak.
Akan tetapi cuma suaranya sendiri yang terdengar
berpantulan.
“Heh! Apakah manusia iblis itu telah meninggalkan
tempat ini?” pikir Nanjar dalam hati. Sejenak dia me-
natap pada mayat Rangga Weni. Dileher jenazah itu
tertancap sebuah jarum hijau. Pada keliling luka dile-
hernya terdapat tanda kehitaman.
Serta-merta dia mencabut jarum maut yang telah
merenggut jiwa gadis ini.
Diperhatikan baik-baik senjata rahasia itu. Jarum
itu berbentuk segi tiga memanjang. Ujungnya agak ge-
peng membentuk seperti kipas.
“He? aku pernah melihat senjata rahasia macam
ini!” sentak Nanjar terkejut. Segera dia teringat akan
satu peristiwa di Kota Raja. Ketika dia pada beberapa
bulan yang lalu memasuki sebuah restoran yang cu-
kup ternama.
Di saat dia tengah bersantap dan memesan maka-
nan, seorang laki-laki gemuk duduk dibangku sebe-
lahnya pada meja disudut kiri restoran.
Laki-laki itu mengenakan topi tudung. Tampaknya
agak mencurigakan, karena dia bersantap dengan ter-
buru-buru.
Tapi Nanjar tak pedulikan urusan orang lain.
Mendadak muncul tiga orang perwira Kerajaan. Me-
reka adalah para perwira Kerajaan Telaga Mandiri.
Secara kebetulan entah memang sengaja. Ketiga
perwira Kerajaan itu mendapat tempat didepan meja
laki-laki gemuk bertudung itu.
Nanjar memperhatikan salah seorang dari ketiga
perwira kerajaan itu sering melirik pada si laki-laki
gemuk bertudung.
Tak lama si laki-laki gemuk bertudung selesai ber-
santap. Seperti tergesa-gesa dia membayar harga ma-
kanan. Lalu cepat berlalu dari restoran.
Dari sekilas pandangan saja, Nanjar telah mengeta-
hui kalau salah seorang laki-laki dari tiga perwira Ke-
rajaan itu memang tengah mengincar korban. Yaitu si
laki-laki gemuk bertudung itu. Karena mendadak, be-
gitu si laki-laki gemuk itu keluar, perwira kerajaan itu
mengatakan perutnya mulas.
Dia minta diri untuk kebelakang.
Nanjar yang ingin tahu cepat membayar harga ma-
kanan. Lalu keluar dari restoran. Dengan gerakan ce-
pat dia menyelinap untuk mencari jejak si laki-laki
gemuk tadi. Tampak oleh Nanjar laki-laki gemuk itu
berjalan cepat menuju arah selatan. Matanya yang jeli
segera dapat menangkap bayangan sosok tubuh perwi-
ra tadi yang permisi mau kebelakang.
Benar dugaan Nanjar, perwira itu membuntuti si la-
ki-laki gemuk.
Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu ditempat yang
sunyi yang dilewati laki-laki gemuk itu terdengar jeri-
tan parau tertahan. Nanjar memburu. Ketika dia tiba
ditempat itu si laki-laki gemuk telah tewas. Dilehernya
tertancap jarum hijau yang merenggut nyawanya.
Baru saja Nanjar mau membentak untuk mengejar
bayangan tubuh perwira kerajaan itu, mendadak se-
buah sinar rahasia kembali meluncur kearahnya.
Untung dia berlaku gesit. Dengan pura-pura terke-
na senjata rahasia, dia mengeluh lalu pura-pura ro-
boh. Senjata itu terselip disela kedua jarinya.
“Heh! mampus! siapapun tak berhak mencampuri
urusan orang-orang Kerajaan!” terdengar suara perwi-
ra kerajaan itu memaki. Nanjar menahan napas. Un-
tung perwira itu tak memeriksa dirinya mati atau hi-
dup. Dia terus berkelebat cepat kembali ke restoran.
“Hm, belum saatnya aku membekuknya. Aku tak
tahu persoalan. Apa kesalahan orang gemuk ini?” ber-
kata Nanjar dalam hati. Dengan cepat dia menyelinap
pergi setelah menyimpan jarum maut itu dilipatan ba-
junya.
Demikianlah kisah yang dingatnya. Dia telah me-
nyelidiki siapa adanya perwira Kerajaan itu. Ternyata
dia bernama ARYA PANDAN. Perwira kerajaan itu ter-
nyata masih ada pertalian saudara dengan Raja. Yaitu
keponakan Raja Kerajaan Telaga Mandiri. Siapa
adanya laki-laki gemuk itu? Dia adalah bekas seorang
pelayan yang dipecat dari keluarga Arya Pandan. Pe-
layan itu banyak tahu rahasia keluarga Arya Pandan
yang membenci Raja. Bahkan berambisi merebut tahta
Kerajaan. Kemunculan pelayanan itu direstoran ter-
nyata telah dikuntit oleh Arya Pandan yang menyamar
menjadi perwira biasa. Padahal dia adalah seorang ke-
pala Perwira Kerajaan. Demikianlah kesempatan itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya Pandan untuk
menghabisi nyawa pelayan gemuk itu demi membung-
kam mulut.
SEPULUH
Pada saat Nanjar tengah tercenung itu tiba-tiba ter-
dengar suara tertawa dibelakangnya.
Dengan gerakan kilat dia balikkan tubuh. Pedang-
nya siap dipergunakan. Akan tetapi dia terperangah,
karena sosok tubuh dihadapannya adalah seorang ne-
nek tua keriput berambut putih.
“Nini Galunggung!” sentaknya diantara girang dan
terkejut.
“Hihihi... nasib kalian memang buruk, karena mu-
sibah telah menimpa kalian. Gadismu itu mati muda,
karena ketelengasan manusia biadab yang mabuk ke-
kuasaan juga berwatak jahat. Akan tetapi kau salah
terka kalau orang yang membunuhnya adalah si Iblis
Gila Pembangkit Arwah Ki Pamutih. Karena dia sendiri
sudah menjadi makanan cacing tanah dibunuh manu-
sia telengas itu!”
“Siapakah maksudmu, Nini?” sentak Nanjar terke-
jut. Dia menatap pada wajah keriput yang telah meno-
longnya keluar dari hutan Werid beberapa hari yang la-
lu.
“Dialah orang yang bernama Arya Pandan! anak
angkat Patih Arya Bandura yang berambisi merebut
kekuasaan Kerajaan Telaga Mandiri. Keadaan dalam
kerajaan memang semrawut. Sebaiknya kita kaum
pendekar memang tak mencampuri urusan itu, karena
kita hanya rakyat biasa. Akan tetapi kejahatan manu-
sia yang melampaui batas tidaklah bisa kita biarkan
begitu saja!” ujar nenek ini dengan suara tandas na-
mun berwibawa.
“Benar, Nini...! aku sependapat denganmu!” Nanjar
membenarkan. Dalam hati diam-diam Nanjar berkata.
Jarum hijau ini memang milik Arya Pandan! Dugaanku
tidak meleset, tapi sungguh diluar dugaan kalau ma-
nusia itu mampu membunuh Ki Pamutih si Iblis Gila
Pembangkit Arwah!?
“Apakah Nini sudah memeriksa bahwa Arya Pandan
sudah angkat kaki dari tempat ini?” bertanya Nanjar.
“Ya! aku yakin! Tapi hutan Werid ini masih men-
gandung kekuatan ghaib dari ilmu hitam Arya Pan-
dan!” sahut Nini Galunggung.
“Heh? Jadi dia telah mewarisi ilmu si Iblis Gila itu?”
sentak Nanjar terkejut.
“Benar apa yang kau katakan! Sebaiknya kau sege-
ra semayamkan ketiga jenazah itu, dan segera tingga-
lan tempat ini. Aku akan berjaga-jaga selama kau be-
kerja!” berkata si nenek dengan serius.
“Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nini...!” sahut
Nanjar dengan girang. Tapi nada wajahnya masih me-
nampakkan kesedihan karena kematian Rangga Weni.
Ditatapnya wajah jelita gadis itu yang memucat. Seo-
lah-olah dara itu tidak mati, karena seperti tidur lelap.
“Adik Rangga Weni...! maafkan aku. Haih! aku tak
dapat menjagamu. Maafkan aku kakek Raja Penge-
mis...!” berkata Nanjar pelahan dengan hati sedih.
Tak berayal Nanjar segera pondong satu persatu ke-
tiga jenazah itu.
Salah seorang dari mayat itu adalah Sripandu. Se-
dang mayat gadis yang satu lagi Nanjar tak mengenal-
nya.
Selama menggali tanah untuk memakamkan ketiga
jenazah itu Nanjar teringat pada Wintari.
“Ah, dimana gerangan adanya gadis itu? apakah dia
telah pula menjadi korban biadab itu?” pikir Nanjar
dalam benak.
Tak lama selesailah Nanjar melakukan penguburan
ketiga jenazah itu.
Di depan makam Rangga Weni Nanjar tertunduk.
Lagi-lagi dia berkata perlahan dengan suara berat.
“Semoga Tuhan menerima arwahmu disisiNya.
Maafkan aku adik Rangga Weni. Ternyata Tuhan
menghendaki kita tidak berjodoh untuk menjadi pa-
sangan suami istri...”
Selesai berdo’a Nanjar bangkit berdiri. Dilihatnya
Nini Galunggung masih berdiri menatapnya. Seakan-
akan nenek itupun tampak bersedih dengan nasib tra-
gis ketiga gadis itu, terutama Rangga Weni.
“Kemana tujuan anda, Nini Galunggung? Apakah
anda punya pendapat manusia telengas itu akan kem-
bali kemari?” tanya Nanjar, seraya melangkah mende-
kati.
“Benar! Firasatku mengatakan dia masih akan
kembali kemari! Sebaiknya kita menunggu dia sampai
tiba saat kemunculannya!”
Baru saja Nini Galunggung selesai berkata telah
terdengar suara tertawa terbahak disusul berkelebat-
nya dua sosok tubuh.
Bukan main terkejutnya Nanjar karena sosok tubuh
itu memang Arya Pandan. Akan tetapi yang lebih
membuat dia terkejut adalah sosok tubuh yang men-
dampinginya. Dia seorang gadis berbaju putih, yang
tak lain dari Tari, si gadis yang telah kehilangan ayah-
nya.
Anehnya gadis itu menggandeng tangan Arya Pan-
dan erat-erat seperti layaknya dua orang kekasih yang
tak mau berpisah.
“Hahahaha.... Sungguh aku tak kecewa berhadapan
dengan seorang tokoh persilatan yang mempunyai na-
ma kesohor. Dewa Linglung! Tempo hari kau bisa lolos
dari tanganku karena pertolongan perempuan tua ge-
nit ini! Tapi hari ini jangan harap kau bisa meloloskan
diri dari kematian!”
“Tutup mulut kotormu, manusia telengas!” membentak Nanjar.
Dia sudah melompat mendekati Arya Pandan. Pe-
dang Naga Merah dilintangkan di atas dada.
“Hihihi....serahkan orang ini padaku, suamiku! Biar
aku yang mengirim nyawanya keliang Akhirat!” Tiba-
tiba Tari berkata dingin. Matanya menatap tajam pada
Nanjar.
“Tari!? bagaimana mungkin manusia iblis itu adalah
suamimu?” berkata Nanjar dengan heran. Nanjar meli-
hat ketidak wajaran pada diri gadis itu. Sementara itu
Arya Pandan tertawa gelak-gelak, matanya menatap
pada Nini Galunggung.
“Hahaha...bagus! Biar aku yang menghadapi nenek
peot ini!” berkata Arya Pandan.
“Hahaha... lebih baik kau buka kedok keriputmu,
nenek peot! Aku malas bertarung dengan orang yang
menyamar seperti itu. Kau pasti punya wajah cantik!
Ataukah kalau perlu aku yang akan menguliti kulit
mukamu?”
“Manusia kurang ajar!” membentak Nini Galung-
gung.
***
SEBELAS
Sebelah tangan Nini Galunggung terangkat. Me-
nyambarlah kilatan cahaya perak menghantam ke arah
dada Arya Pandan. Akan tetapi Arya Pandan telah siap
menghadapi. Dia gerakkan sepasang lengannya me-
lingkar. Uap hitam memapaki serangan itu.
Terdengar suara bagai obor amblas kedalam air.
Hebat kekuatan ilmu Menghalau Petir dari Arya Pan-
dan, membuat Nini Galunggung berseru kagum.
Tapi dia telah melompat untuk menerjang jurus
jurus pukulannya yang lebih bahaya. Arya Pandan
mengimbangi terjangan lawannya dengan gerakan silat
yang aneh. Karena terkadang tubuhnya lenyap, terka-
dang muncul dengan tubuh yang terpecah menjadi be-
lasan tubuh. Ilmu hitam Arya Pandan membuat Nini
Galunggung cukup sulit menyarangkan pukulannya.
Bahkan serangan-serangan balik dari Arya Pandan le-
bih dahsyat dan berbahaya.
Berkali-kali Nini Galunggung menyarangkan puku-
lannya, akan tetapi lawan selalu menggunakan ilmu
hitam untuk menghindar. Mulut Arya Pandan tampak
selalu berkemak-kemik membaca mantera-mantera.
Sementara itu Nanjar terpaksa menghadapi terjan-
gan Wintari dengan mengelakkan diri. Dengan mem-
pergunakan ilmu Kera dan Ular dengan mudah Nanjar
menghindar. Melihat demikian, Wintari gusar. Tiba-
tiba dia telah mencabut pedangnya. Terkejut Nanjar
karena itulah pedang Inti Es milik Rangga Weni.
Nanjar yang telah memasukkan pedang Mustika lagi
dalam menghadapi Wintari terpaksa harus hati-hati
menghadapi serangan Wintari yang mengandung
maut.
Selang dua puluh jurus, Nanjar mengatur siasat un-
tuk membuat roboh orang tanpa melukainya.
Dengan jurus Biawak Sakti Membongkar Bukit dia
mengubah serangan.
Sambaran pedang Inti Es telah diimbangi dengan
gerakan jurus Ilmu Bangau.
Pertarungan memang telah terpecah menjadi dua
tempat yang agak berjauhan. Nanjar memang sengaja
membuat tempat pertarungan menjadi terpisah.
Dia harus menyelamatkan Wintari dari pengaruh
kekuatan ilmu hitam Arya Pandan. Dia yakin gadis itu
kena pengaruh manusia iblis itu yang telah mewarisi
ilmu-ilmu Ki Pamutih.
Tiba-tiba Wintari menjerit, karena gerakan menotok
dari jurus Ilmu Bangau Nanjar berhasil mengenai sa-
saran.
“Wintari! sadarlah! kau kena pengaruh ilmu hitam
Arya Pandan. Kalau kau mau mengetahui siapa orang
yang telah membunuh ayahmu, dialah orangnya!” te-
riak Nanjar. Nanjar sengaja memancing dengan hal
yang tak diketahuinya sama sekali. Tujuannya adalah
untuk memulihkan pengaruh ilmu hitam yang mengu-
asai syaraf Wintari. Nanjar sendiri heran Mengapa
Wintari tampaknya telah berobah menjadi orang yang
tak wajar? Bahkan ilmu-ilmu silatnya berbeda dengan
yang biasa dimilikinya.
“Keparat!” terdengar bentakan keras. Tahu-tahu
sambaran sinar hijau membumbung ke arah Nanjar.
Itulah serangan Arya Pandan yang menyerang dengan
serangkum senjata rahasianya.
Whuuuk! Trrang!
Kibasan sinar merah membuyarkan rangkuman si-
nar hijau dari jarum-jarum maut yang mengandung
racun itu. Ternyata ditangan Nanjar telah tercekal pe-
dang Mustika Naga Merah.
Akan tetapi sambaran tombak pendek Arya Pandan
tak dapat ditangkis Nanjar, karena bersamaan dengan
itu pedang Wintari menyerang ke arah tenggorokan.
Buk!
Nanjar mengeluh. Tubuhnya jatuh terlempar bergu-
lingan. Dia berhasil mengelakkan serangan Wintari,
akan tetapi sambaran tombak Arya Pandan tak dapat
di elakkan. Untunglah pada detik itu Nanjar sempat
menangkis dengan buntalan kainnya.
Dengan pengerahan tenaga dalam, buntalan kain
itu menjadi sekeras batu.
Akan tetapi tak urung tubuh Nanjar terlempar. Dan
tak urung tombak Arya Pandan menembus buntalan
kain dan menancap dua inci dikulit dada pemuda itu.
Pada saat itu terdengar bentakan keras Nini Ga-
lunggung yang menghantamkan serangannya.
“Jangan curang!”
Sinar perak dan pelangi menyambar laksana kilat.
Namun lagi-lagi uap hitam telah menghalangi serangan
itu. Arya Pandan cuma membaca mantera dengan
menggerakkan tangannya, tahu-tahu muncul uap hi-
tam yang membentengi tubuhnya laksana dinding baja
yang tak dapat ditembus.
Bukan main terkejutnya Nanjar maupun Nini Ga-
lunggung, karena bersamaan dengan lenyapnya uap
hitam itu, tubuh Arya Pandan pun lenyap.
Saat itu juga Nanjar teringat pada Wintari. Dilihat-
nya gadis itu tengah terpaku menatap Nanjar. Sepa-
sang matanya tampak redup seperti menyesal telah
melakukan serangan yang nyaris membuat jiwa Nanjar
melayang.
“Adik Wintari...! syukurlah kau sadar! Aku akan
melindungimu!”
Nanjar melompat mendekat. Akan tetapi bukan ke-
palang terkejutnya si Dewa Linglung. Karena mengeta-
hui nyawa Wintari sudah melayang.
Tampak dileher gadis itu tertancap jarum hijau.
Gadis itu telah tewas dalam keadaan berdiri.
“Keparat! sungguh-sungguh biadab!” berteriak Nan-
jar dengan marah.
Dipeluknya tubuh gadis itu lalu dipondongnya.
Wajah Nanjar tampak merah padam karena gusar-
nya tiada terperikan.
“Arya Pandan! iblis keparat! mengapa kau bunuhi
gadis-gadis yang tak berdosa? Keluarlah! Ayo berta-
rung denganku secara kesatria! secara jantan! aku
akan melayani kau sampai seribu jurus, sampai titik
darahku yang penghabisan!” Nanjar berteriak-teriak
seraya melompat kesana-kemari. Sikapnya seperti
orang yang kurang waras.
Akan tetapi tak terdengar suara sahutan Arya Pan-
dan. Bahkan yang membuat mereka terkejut adalah,
tiba-tiba cuaca menjadi gelap.
Angin keras bersiutan. Saat itu juga terdengar sua-
ra riuh disekeliling mereka.
Tersentak kaget Nanjar maupun Nini Galunggung.
Apakah yang dilihatnya?
Makhluk-makhluk menyeramkan dari mayat-mayat
hidup telah bermunculan berpuluh-puluh banyaknya
mengurung mereka.
Yang lebih mengerikan adalah dari mayat-mayat hi-
dup itu ada yang wajahnya sudah rusak dan anggota
tubuhnya sudah tidak sempurna.
Melihatnya banyaknya makhluk-makhluk para ar-
wah itu tak mau membuat kaki Nanjar menyurut
mundur. Demikian juga halnya dengan Nini Galung-
gung.
Nini Galunggung melompat mendekati Nanjar.
“Setahuku pedangmu pedang Mustika. Mengapa tak
kau coba menggunakannya?” berbisik Nini Galung-
gung. Otak Nanjar mendadak menjadi terang. Dia se-
perti diingatkan. Senjata pedang Mustika Naga Merah
itu memang mengandung keghaiban. Siapa tahu dapat
mengusir makhluk-makhluk setan itu? pikir Nanjar.
Segera Nanjar pejamkan mata sejenak untuk me-
nyatukan kekuatan bathinnya dengan mengingat yang
Satu, yang Esa yaitu Tuhan Pencipta alam semesta.
Dengan mengharap pertolongan Dia jualah segala
kemukjizatan bisa terjadi.
Nanjar membuka matanya dengan keyakinan pe-
nuh. Tenaga dalamnya disalurkan kegagang pedang.
Dengan memuji nama Tuhan dia gerakkan pedang itu
melingkar. Tampak lengannya menggeletar.
Tiba-tiba cahaya merah memancar dari badan pe-
dang. Dalam gelap gulita itu seakan-akan ada seekor
Naga melingkar yang menjulurkan ekornya berwarna
merah menyala-nyala tengah berkelebatan.
Memang! Nanjar telah lepaskan jenazah Wintari
yang dipondongnya. Tubuhnya berkelebat. Dan dia
menerjang puluhan makhluk-makhluk para arwah itu
dengan penuh keyakinan.
Terdengarlah suara jeritan melengking disana-sini.
Setiap kilatan merah menyambar maka akan terdengar
jeritan kesakitan. Lalu sosok-sosok makhluk itu lenyap
menjadi gumpalan asap hitam.
Kilatan-kilatan cahaya merah berbentuk Naga itu
membuat Nini Galunggung berseru kagum.
“Hebat! Pedang Mustika Naga Merah sungguh senja-
ta yang luar biasa!”
Baru saja dia memuji, tiba-tiba terdengar suara
aneh seperti puluhan batu dan ratusan pasir yang ja-
tuh meluruk. Ketika dia menengadah. Terkejut nenek
ini bukan kepalang. Karena atap istana itu runtuh.
“Aiiiiih! celaka!” sentaknya terkejut. Namun secepat
kilat dia sudah menyambar jenazah Wintari dan me-
lompat keluar untuk menyelamatkan diri.
Nanjar sendiri terkejut, karena tahu-tahu istana itu
runtuh. Tiang-tiang dan temboknya luluh hancur se-
perti bubuk. Sementara kilatan petir tiba-tiba muncul
berkredepan.
“Ah?! apa yang telah terjadi?” sentaknya kaget. Se-
kilas dia melihat Nini Galunggung melompat dengan
memondong jenazah Wintari.
Diapun berkelebat menyusul... Sedetik kemudian
terdengarlah suara bergemuruh. Istana itu roboh am-
bruk, hancur luluh seperti disedot ke dalam bumi.
Dari kejauhan keduanya memandang dengan mata
tak berkedip dan mulut ternganga.
DUA BELAS
Berangsur-angsur cuaca menjadi terang benderang.
Aneh! keadaan tempat itu semua berubah. Tempat
itu menjadi sebuah tepat yang gersang. Semak belukar
dan pohon-pohon tua cuma ada beberapa gelintir. Se-
dangkan di tengah tegalan bekas tempat istana itu
berdiri ada sebuah arca yang sudah hancur. Bekas-
bekas reruntuhan istana itu tak menampak bekasnya
sedikitpun.
Di saat mereka tercengang keheranan itu mendadak
terdengar suara bentakan keras menggeledek.
“Dewa Linglung! kau telah menghancurkan sesem-
bahan ku! terimalah kematianmu!” Puluhan tombak
bagaikan bayangan menderu ke arah Nanjar.
Itulah ilmu Tombak Dewa Murka yang dimiliki Arya
Pandan. Pemuda itu muncul dengan kemarahan luar
biasa. Bukan saja Nanjar telah memusnahkan ilmu
Pembangkit Arwah, tapi juga membuat Arya Pandan
jadi putus asa. Jelas akan gagallah seluruh cita-
citanya. Musnah harapannya untuk menumbangkan
kekuasaan Kerajaan Telaga Mandiri dan menggantikan
menjadi Raja.
Kegelapan hati pemuda itu membuat dia menjadi
gelap mata. Kemarahannya tak terbendung. Di saat
semuanya menjadi berubah seperti wajarnya, dia me-
nerjang keluar dari tempat persembunyiannya untuk
menghabisi nyawa Nanjar.
Nyaris tubuh Nanjar terpanggang menjadi sate ka-
lau dia tak berlaku gesit. Dengan ilmu kera yang dimi-
likinya dia melompat-lompat menghindar.
“Keparat!” memaki Arya Pandan. Tangannya berge-
rak. Menderulah sinar hijau ke arah Nanjar yang baru
saja lolos dari serangan maut.
Ratusan jarum maut meluruk ke arah si Dewa Lin-
glung.
Dalam keadaan demikian itu Nanjar sungguh tak
menduga. Akan tetapi secara reflek dia gunakan pe-
dang mustikanya untuk menangkis. Gerakan memutar
pedang itu dibarengi dengan keyakinan. Aneh! Sinar
hijau dari ratusan jarum maut itu mendadak punah,
dan lenyap bagai terhisap masuk ke badan pedang.
Terperangah kaget Arya Pandan. Namun dia telah
lancarkan serangan lanjutan yang telah dipersiapkan.
Pukulan uap beracun yang jarang dipergunakan kalau
bukan untuk menghadapi lawan yang kuat, hari itu te-
lah dipergunakan.
Arya Pandan telah siap lebih dari tiga perempat te-
naga dalamnya pada kedua kepalan. Tampak uap un-
gu menghambur ke arah Nanjar, ketika dengan mem-
bentak keras dia layangkan pukulan mautnya.
Nini Galunggung yang sejak tadi mengikuti jalannya
pertarungan jadi terkejut. Dia mengetahui pukulan itu
amat berbahaya.
“Pukulan Racun Ungu!” sentaknya terkejut. Dia su-
dah mau berteriak untuk memperingatkan si Dewa
Linglung.
Akan tetapi pada saat itu secercah kilatan merah te-
lah terlebih dulu menyambar.
Terdengarlah suara jeritan melengking panjang. Tu-
buh Arya Pandan terhuyung-huyung. Matanya membe-
liak. Lidahnya terjulur. Ternyata dadanya telah ter-
tembus pedang Mustika Naga Merah yang secepat kilat
telah dilemparkan Nanjar.
Tak lama tubuh Arya Pandan roboh terjungkal.
Nyawanya melayang!
Ternganga Nini Galunggung melihat kejadian itu.
Namun diam-diam dia bersyukur atas terhindarnya
Nanjar dari maut.
Akan tetapi bukan main terkejutnya Nini Galung-
gung ketika mengetahui Nanjar dalam keadaan ter-
huyung-huyung, dan jatuh terkapar.
Tak ayal dia melompat memburu. Dilihatnya bibir
pemuda itu meneteskan darah. Matanya terpejam. Pa-
da dadanya yang bergambar tato Naga itu tampak
warna dan sedikit luka bekas tusukan tombak.
Wajah pemuda itu pucat pasi.
“Nanjar! ah, kau... kau terkena pukulan itu?” suara
Nini Galunggung mengandung isak. Suara itu tampak
terdengar lain seperti biasanya.
“Nanjar! kau tak boleh mati! aku tahu akibat puku-
lan itu! Tapi kau tak boleh mati begitu cepat!” berkata
Nini Galunggung dengan penuh kekhawatiran. Dan....
tiba-tiba.... Plas! Dia telah merenggut kulit wajahnya.
“Kau....kau Roro? Hah!? benarkah?” berkata Nanjar
dengan suara tergagap.
“Benar! benar sayang...! Aku Roro Centil! Maafkan
aku, karena sengaja aku melakukan penyamaran.
Rambutku sengaja ku semir putih! Hihihi... lucu bu-
kan? aku tampak seperti benar-benar telah tua!” me-
nyahut Roro.
Akan tetapi sambil tertawa air mata gadis pendekar
ini bercucuran.
Dia tahu kalau nyawa Nanjar tak akan tertolong la-
gi.
Benar saja! Tampak Nanjar berseru girang, akan te-
tapi langsung roboh lagi. Pingsan!
Apa yang terjadi? Nini Galunggung ternyata bukan
seorang nenek-nenek keriput.
Akan tetapi dia seorang gadis jelita yang berwajah
cantik rupawan.
“Nanjar! kau lihatlah siapa aku? Aku.... aku RORO!
Aku RORO! Kau dengarkah? aku RORO CENTIL!” te-
riak Nini Galunggung seraya mengguncang
guncangkan tubuh Nanjar.
Mendengar demikian mata Nanjar mendadak terbu-
ka. Hatinya tersentak. Bagaikan dipagut ular dia
bangkit duduk. Sepasang mata pemuda itu membela-
lak memandang wajah rupawan terpampang didepan
matanya.
Pucat seketika wajah Roro Centil.
“Celaka! dia tak boleh mati disini! aku harus meno-
longnya walau untuk memperlambat kematian!” sentak
Roro dalam hati.
Sekali sambar tubuh Nanjar telah berada dalam
pondongannya. Roro menoleh pada mayat Wintari se-
belum dia menindakkan kaki. Tangannya bergerak.
Sinar perak menyemburat menghantam tanah. Se-
ketika tanah menghambur menguruk tubuh jenazah
gadis malang itu.
Tak lama terdengar suara lengkingan panjang Roro
Centil. Tubuhnya berkelebat lenyap. Cuma terlihat se-
kilas bayangan hijau yang melesat keluar dari hutan
Werid yang gersang. Tempat itupun kembali senyap
mencekam....
Sebuah bayangan hitam tiba-tiba menyambar! Ter-
kejut Roro mengetahui yang menyambarnya adalah
seekor burung rajawali raksasa.
Dengan gesit dari perkasa Pantai Selatan itu me-
lompat menghindar.
“Jangan serang, Jabur!” teriak Nanjar tiba-tiba.
Tentu saja membuat Roro Centil terheran, karena
mendengar orang yang dipondongnya berteriak.
Tahu-tahu Nanjar melompat dari punggung Roro,
dan jejakkan kaki di atas batu. Mulutnya tertawa me-
nyeringai.
“Jabur! jangan kurang ajar! ayo, turun!” tiba-tiba
Nanjar berteriak ketika melihat rajawali raksasa itu
mau menyambar Roro lagi.
Si Jabur menukik melayang ke arah Nanjar lalu
hinggap didekat pemuda itu.
Roro Centil ternganga keheranan.
“Nanjar? kau...kau pemilik burung raksasa itu? Dan
kau tak kenapa-kenapa?” sentak Roro terkejut. Ma-
tanya membelalak menatap Nanjar.
“Hahaha... jangan khawatir, Roro! Tubuhku kebal
terhadap racun! Burung Rajawali ini memang peliha-
raanku! Ah, senang sekali berjumpa denganmu, Ro-
ro...!” berkata Nanjar seraya melompat mendekati dara
perkasa ini.
“Huuu, konyol!” gerutu Roro. Tiba-tiba wajah gadis
ini berubah merah, jengah. Tadi dia telah memeluki
dan menangisi nasibnya, ternyata pemuda ini hanya
pura-pura pingsan saja.
“Roro...! kuharap kau jangan pergi dulu. Aku...
aku... cin..cin.. ta padamu...” suara Nanjar terdengar
menggeletar.
“Gila! sinting!” memaki Roro dengan tersenyum. Ti-
ba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap.
Nanjar terkejut melihat gadis pendekar itu begitu
cepat lenyap dari pandangan matanya.
“Rorooo...!” teriak Nanjar.
Akan tetapi Roro benar-benar telah lenyap dari
tempat itu.
Nanjar berdiri menjublak dengan hati terasa sedih.
“Haih! aku sendiri tak mengetahui kenapa pukulan
beracun Arya Pandan tak mempan ditubuhku?” berka-
ta Nanjar dalam hati. Nanjar tak menyadari kalau ha-
wa racun itu telah tersedot oleh pedang mustikanya
yang meluncur ke arah Arya Pandan dan berbalik me-
newaskan manusia telengas itu.
Nanjar cabut pedang Mustika Naga Merah yang me-
nancap ditubuh Arya Pandan.
“Jabur! mari! aku akan naik ke punggungmu. Kita
tinggalkan hutan Werid!” berkata Nanjar seraya me-
lompat ke punggung burung Rajawali yang telah ter-
bang mendekat. Tak lama seekor burung Rajawali rak-
sasa terbang meninggalkan hutan Werid yang gersang.
Dewa Linglung terlihat di atas punggungnya tengah
memeluk leher binatang itu.
Di atas punggung Rajawali itu Nanjar baru teringat
pada sesuatu... “Haih! Pedang Inti Es itu entah berada
dimana? Kalau terkubur di istana hutan Werid yang
hancur itu alangkah sayangnya....?”
Namun Nanjar hanya bisa bernapas lega karena te-
lah melenyapkan seorang manusia durjana yang telah
membawa kematian pada seorang gadis yang sangat
dikasihinya, yaitu RANGGA WENI.
“Gadis malang.... agaknya kau tak berjodoh den-
ganku....” desis si Dewa Linglung dengan hati trenyuh.
TAMAT
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar