..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 23 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE IBLIS GILA PEMBANGKIT ARWAH

Iblis Gila Pembangkit Arwah


SATU

Matahari baru saja tersembul dari puncak gunung. 

Cuaca cerah. Langit tak berawan. Di pagi itu seorang 

gadis berjalan cepat menyusuri jalan setapak. Lang-

kahnya tergesa-gesa. Dia seorang gadis berpakaian se-

derhana. Namun dari gerak langkahnya dia bukan ga-

dis sembarangan. Setidak-tidaknya orang yang men-

gerti ilmu silat.

Mendadak terdengar suara orang di belakangnya.

“Wintari! Tunggu! Hai! Mengapa kau meninggalkan

ku?” diiringi teriakan itu tersembul sesosok tubuh di 

tikungan jalan. Ternyata dia seorang laki-laki muda 

berpakaian putih kumal. Mendengar teriakan itu si ga-

dis menoleh. Tapi justru dia melangkah lebih cepat.

“Hei! Wintari! Kau marah, ya? Tunggu dulu aku 

mau bicara!” teriak orang dibelakangnya. Namun gadis 

ini tak memperdulikan. Bahkan kini mempercepat 

langkahnya dengan setengah berlari. Pemuda baju 

kumal ini jadi garuk-garuk pantat. Setelah membetul-

kan celana gombrongnya yang kedodoran dia mengge-

rutu.

“Haiih! Apa salahku?”

Akan tetapi kejap selanjutnya tubuh pemuda ini 

mencelat ke udara. Bukan main terkejutnya sang gadis 

karena tahu-tahu pemuda itu telah berada di hada-

pannya. Dia hanya mendengar suara angin di atas ke-

pala, tahu-tahu si pemuda itu telah jejakkan kaki lima 

enam langkah di hadapannya.

“Jangan halangi aku! aku benci kau! biarkan aku 

pergi!” membentak si gadis dengan wajah cemberut.

“Eh, eh, mengapa nona manis? Tunggu dulu. Kita 

bicara baik-baik. Jelaskan dulu mengapa kau tiba-tiba 

marah padaku?” berkata pemuda itu.


“Huh! tak perlu!” sahut si gadis ketus.

“Minggir!” bentaknya. Tiba-tiba lengannya meluncur 

untuk menghantam dada si pemuda.

Keruan saja pemuda ini jadi terkejut, karena jurus 

pukulan gadis itu bukan main-main. Hantaman tenaga 

dalam yang dilakukan dapat meremukkan isi dada. 

Untuk mengelakkan diri terpaksa pemuda itu doyong-

kan tubuhnya ke samping. Akan tetapi gadis ini justru 

menarik serangan.

Mendadak lengan kiri gadis itu meluncur. Serangan 

kedua ini tak dapat dielakkan lagi karena pemuda itu 

seperti tak menduga.

Buk!

Terdengar benturan keras diiringi suara mengaduh 

pemuda itu. Tubuhnya terjengkang bergulingan.

“Ahh! kau... kau...”

Pemuda itu masih sempat bangkit. Dari mulutnya 

menetes setitik darah. Tapi sedetik kemudian dia ro-

boh lagi setelah perdengarkan suara mengeluh.

Melihat kejadian itu bukannya si gadis bergirang 

hati karena dia telah berhasil merobohkan orang yang 

akan merintanginya. Tapi justru membuat dia terkejut. 

Secara tak sadar dia telah mempergunakan ilmu puku-

lan dengan jurus mematikan. Dia mengetahui si pe-

muda berilmu tinggi. Tentu dapat berkelit dari seran-

gannya. Tapi di luar dugaan serangan itu justru men-

genai sasaran.

Gadis ini jadi berdiri menjublak kebingungan. Wa-

jahnya berubah pucat. Tiba-tiba dia berlari menubruk 

ke arah pemuda itu, seraya berteriak kaget.

“Nanjar! Ah, kak Nanjar..! kau..kau... mengapa kau 

tak mengelakkan seranganku?”

Diguncang-guncangkannya tubuh pemuda itu. Tapi 

pemuda itu tak bergeming.

“Dia pingsan! Ah, pukulanku terlalu keras! Aku...


aku memang keterlaluan!” berkata dalam hati Wintari.

Namun dia cepat sadar. Diperiksanya dada pemuda

itu dengan membuka belahan baju bagian dada. Ter-

sentak Wintari melihat lukisan tato bergambar seekor 

Naga melingkar.

“Ah, apakah dia si Dewa Linglung? si Pendekar Pe-

dang Mustika Naga Merah?” Terbelalak mata dara ini. 

Melihat ada darah menetes disudut bibir pemuda itu 

gadis ini tampak amat khawatir. Segera disalurkan te-

naga dalamnya untuk membantu jalan darah pemuda 

itu agar menjadi lancar. Dia khawatir pukulan itu akan 

menyumbat pernapasan si pemuda dan meremukkan 

isi dadanya.

Lengannya ditempelkan ke dada. Segera dia salur-

kan hawa hangat dari telapak tangannya.

Akan tetapi sekian lama dia berusaha menyadarkan 

pemuda itu, namun tak ada reaksi apa-apa. Bahkan 

napas pemuda itu seperti berhenti. Tubuh pemuda itu 

tak bergeming. Dalam kekhawatirannya dara ini jadi 

kebingungan. Akhirnya dia menangis terisak-isak se-

raya memeluki tubuh pemuda itu.

“Kak Nanjar, oh... kak Nanjar..! aku berdosa telah 

mencelakakan kau!” teriaknya histeris. Di guncang-

guncangkan dan dipeluki tubuh pemuda itu dengan air 

mata mengalir deras membasahi dada bidang sang 

pemuda.

Di saat gadis itu meratapi dan menyesali dirinya, 

justru dia tak menyadari kalau lengan pemuda itu te-

lah memeluknya erat-erat. Selang beberapa saat baru-

lah dia sadar. Wintari merasai lengan hangat yang 

agak kasar itu mengelus-elus punggungnya. Ketika dia 

menatap ke arah wajah pemuda itu, ternyata si pemu-

da tengah cengar-cengir memandang padanya.

“Hahaha...jangan menangis nona manis. Tuhan be-

lum mengizinkan aku mati!” berkata Nanjar.


“Hah!? kau... kau cuma berpura-pura saja?” sentak 

si gadis. Seketika wajahnya berubah merah dadu. Ti-

ba-tiba dia melompat bangkit. Wajahnya berubah cem-

berut dan mulutnya keluarkan makian.

“Ih! dasar laki-laki ceriwis! kau.. kau telah menipu-

ku!” Tanpa menunggu lebih lama lagi dia telah berlari 

cepat tak menoleh lagi. Wajah gadis itu terasa panas. 

Dadanya berdebaran. Rasa malu yang bukan buatan 

terasa membuat wajahnya semakin panas. Wintari ber-

lari cepat. Sebentar kemudian telah tak kelihatan lagi.

“Hei!? Wintari..! tunggu!” Nanjar alias si Dewa Lin-

glung cepat bangkit untuk mengejar. Tapi dia segera 

menahan langkahnya. Hatinya berkata.

“Ah, biarlah dia pergi. Toh suatu ketika tak mung-

kin kalau tak mencariku. Bukankah dia memerlukan 

bantuanku untuk mencari jejak ayahnya yang diculik!” 

Akan tetapi berfikir begitu, hati kecilnya berkata lain.

“Heh! tempat ini belum kukenal. Apa lagi dia seo-

rang gadis polos yang mudah dibodohi. Bagaimana ka-

lau sampai dia di jahati orang?” Memikir demikian, 

Nanjar segera sambar buntalannya, dan kejap berikut-

nya dia telah berkelebat mengejar si gadis.

***

Bagaimana asal kejadian hingga Nanjar alias si De-

wa Linglung muncul di tempat itu dan berkenalan 

dengan gadis manis bernama Wintari itu? Nanjar yang 

selalu berkelana sepembawa kakinya dan tak pernah 

mempunyai tempat kediaman tetap, suatu hari di bu-

lan Suro dia memasuki tapal batas sebuah desa. Desa 

itu bernama desa Pring Gading.

Baru saja dia memasuki mulut desa telah terjadi 

kegaduhan. Seorang gadis dalam keadaan pingsan di


kerumuni banyak orang. Segera Nanjar menyeruak 

masuk untuk melihat lebih dekat. Akan tetapi baru sa-

ja dia mau bertanya pada salah seorang didekatnya, 

mendadak seorang laki-laki kekar berpakaian bagus 

membentak keras dan menyuruh mereka bubar. Laki-

laki itu mengatakan bahwa dia kakak gadis itu.

Tanpa menunggu lebih lama dia langsung memon-

dong dara itu. Penduduk yang tadinya mau memberi-

kan pertolongan tak dapat berbuat apa-apa. Bahkan 

mereka bersyukur karena akhirnya keluarganya telah 

menjumpai gadis itu di desa mereka.

Nanjar agak curiga dengan tindak-tanduk laki-laki 

itu. Diam-diam dia menguntit laki-laki itu ternyata 

membawa seekor kuda yang ditambatkan disudut ja-

lan desa. Sekali lompat dia telah berada dipunggung 

binatang itu setelah sebelumnya dia melepaskan tam-

batannya. Gerakan melompat laki-laki itu dengan 

membawa beban seorang gadis dalam pondongannya 

cukup membuat Nanjar kagum. Jelas laki-laki itu be-

rilmu tinggi. Selanjutnya dengan cepat dia mengeprak 

kuda untuk meninggalkan desa tersebut.

Nanjar menyelinap ke belakang pondok. Diam-diam 

dia membuntuti laki-laki itu.

Ternyata laki-laki itu membawa sang gadis ke se-

buah rumah terpencil di dalam hutan. Bukan kepalang 

terkejutnya Nanjar ketika mengintip, ternyata laki-laki 

itu mau memperkosa sang gadis. Tanpa ayal lagi dia 

bertindak saat itu juga. Sekali tendang pintu pondok 

itu menjeblak terbuka. Kemarahan Nanjar tak terkata-

kan lagi. Tanpa ampun dia menghajar habis-habisan 

laki-laki itu. Namun Nanjar tak membunuhnya. Sete-

lah puas menyiksa dia melepaskan laki-laki itu pergi. 

Tubuh laki-laki itu babak belur dihajar Nanjar. Dengan 

terseok-seok dia melarikan diri. Lalu menghilang diba-

lik rimbunnya hutan.


Nanjar terpaku menatap si gadis yang ternyata telah 

sadar dari pingsannya. Terjadilah perkenalan. Gadis 

itu memperkenalkan namanya. Ternyata dia bernama 

Wintari.

***

DUA

Terkejut Nanjar ketika mendengar prihal gadis itu. 

Ternyata dia telah beberapa hari mencari ayahnya 

yang diculik orang. Ayah gadis itu bernama Jagareksa, 

seorang guru silat di wilayah timur. Suatu hari ketika 

ayahnya tengah beristirahat mendadak muncul serom-

bongan orang berkuda. Mereka mengatakan dari Kota-

raja, membawa perintah dari Raja untuk menangkap 

ayahnya dengan tuduhan ayahnya telah menyusun 

kekuatan untuk memberontak.

Tentu saja membuat Jagareksa marah. Orang-orang 

berkuda itu tak sedikitpun mirip orang kerajaan. Dan 

tuduhan itu hanya dibuat-buat. Jagareksa merasa di-

rinya telah difitnah. Karena dia pernah kedatangan 

utusan Adipati yang meminang anak gadisnya untuk 

dijadikan istrinya yang keempat. Pinangan itu ditolak 

dengan halus. Akan tetapi utusan itu mengancam 

bahwa penolakan itu akan membawa kesusahan pada 

dirinya.

Jagareksa merasakan adanya hal yang tidak wajar. 

Namun pertumpahan darah tak dapat terelakkan lagi. 

Seluruh anak buahnya tewas menghadapi lima orang 

berkuda itu. Sedangkan dirinya berhasil dilumpuhkan. 

Jagareksa ditawan. Dengan tangan kaki terikat dia di-

naikkan ke atas kuda.

Kemudian dengan meninggalkan belasan mayat di


halaman padepokan, mereka lenyap dibalik bukit.

Kalau saja Sang ayah tak menotok tubuhnya serta 

menyembunyikan dia dibalik tumpukan kayu tentu dia 

sudah melompat keluar untuk menempur manusia-

manusia itu. Akan tetapi jangankan bergerak, bersuara 

pun dia tak dapat, karena sang ayah telah menotok 

pula urat suaranya. Dengan air mata berlinang dia me-

lihat murid-murid gurunya bergelimpangan tak ber-

nyawa. Serta melihat bagaimana sang ayah dikeroyok 

lima orang yang kemudian berhasil melumpuhkannya.

Tak sampai setengah hari totokan itu punah. Winta-

ri menjerit histeris dan menangis terisak-isak meman-

dangi mayat-mayat kawan-kawannya yang bergelim-

pangan tak bernyawa. Dia berlari masuk ke kamarnya 

untuk mempersiapkan senjata-senjatanya. Lalu me-

lompat keluar untuk mengejar rombongan berkuda ke 

balik bukit.

Tujuan Wintari adalah ke Kota Raja. Dia yakin 

ayahnya ditawan disana. Akan tetapi dia tak begitu ya-

kin yang menawan ayahnya adalah orang-orang kera-

jaan. Hal itu tentu ada hubungannya dengan pinangan 

Adipati yang telah ditolak ayahnya. Dalam keraguan 

dan antara lelah serta penatnya dalam menempuh per-

jalanan, dia tiba di desa Pring Gading. Akan tetapi ke-

tika tiba di tengah desa, mendadak kepalanya terasa 

berkunang-kunang. Dia roboh pingsan. Demikianlah! 

hingga muncul seorang laki-laki kekar berbaju bagus 

yang mengaku kakaknya. Kemudian membawanya 

pergi. Tak tahunya laki-laki itu memang sudah sejak 

lama menguntit Wintari. Di saat keritis dimana dia 

nyaris diperkosa laki-laki itu, muncullah Nanjar meno-

long dirinya...

Nanjar berkelebat cepat mengejar ke arah hutan. 

Saat itu matahari sudah mulai meninggi.

“Haih! kemana perginya anak itu?” gerutu Nanjar.



Matanya jelalatan mencari-cari. Hampir setengah hari 

dia mengubak isi hutan tapi tak menjumpai dara ma-

nis itu. Ternyata hutan itu seperti tak ada habisnya. 

Terkejut Nanjar ketika sadar bahwa dia telah tersesat 

dalam hutan misterius yang sukar untuk mencari ja-

lan keluar.

“Celaka! apakah ini yang namanya hutan Werid?” 

pikir Nanjar. Dia memang pernah mendengar nama 

hutan itu. Hutan yang aneh. Karena bila orang masuk 

ke dalamnya akan sukar untuk keluar lagi.

“Kalau benar ini hutan Werid, tentu Wintari pun te-

lah tersesat seperti aku. Tapi mengapa aku tak men-

jumpainya?” pikir Nanjar tercenung. Dia duduk diba-

tang kayu menyeka keringat yang menetes di dahi.

“Haih! gara-gara perutku yang lapar, hingga dia 

ngambek lalu membuat aku susah seperti ini!” gerutu 

Nanjar memaki dirinya.

Teringat Nanjar ketika dalam mencari jejak orang-

orang berkuda yang menculik ayah Wintari, mereka 

menginap di sebuah rumah tua yang tak berpenghuni. 

Untuk menjaga kesopanan, Nanjar sengaja bermalam 

di luar. Sementara Wintari mendapatkan sebuah ka-

mar yang cukup baik. Setelah dibersihkan dapat di-

pergunakan untuk tidur.

Menjelang tengah malam perut Nanjar melilit. Rasa 

lapar menyerang perutnya berkeruyukan. Nanjar du-

duk sementara otaknya berfikir. Akhirnya dia memu-

tuskan untuk mencari desa terdekat guna mengisi pe-

rut. Dengan berindap-indap dia segera meninggalkan 

rumah kuno itu, khawatir Wintari terbangun.

Nanjar tak menyadari kalau diam-diam Wintari te-

lah membuntuti. Ternyata Wintari tak dapat tidur da-

lam kamar pengap itu. Hatinya gelisah. Wajah ayahnya 

yang lenyap diculik orang-orang berkuda itu selalu 

terbayang dalam benaknya.


Secara kebetulan Nanjar mendapatkan sebuah ke-

dai yang masih buka setelah berhasil menemukan se-

buah desa yang agak cukup jauh dari tempat mereka 

menginap. Sungguh di luar dugaan Nanjar kalau kedai 

itu adalah tempat berkumpulnya wanita-wanita nakal 

dan para hidung belang. Terdorong oleh perutnya yang 

lapar, Nanjar tak ambil peduli. Terpaksa dia singgah 

juga. Setelah memesan makanan dua orang wanita 

mendekati. Mereka merayu Nanjar untuk berkencan.

Merah muka Nanjar. Dia telah berjanji tak akan 

mengulangi kebodohan yang kedua kali. Walau wanita-

wanita itu cantik dan menggiurkan, Nanjar menolak 

secara halus. Namun mana mereka mau diam sampai 

di situ saja? Dengan terus merayu mereka membujuk 

Nanjar untuk bermalam.

Terpaksa Nanjar pura-pura setuju dan memilih sa-

lah satu dari keduanya. Padahal dalam hati dia telah 

mengatur rencana. Di dalam kamar Nanjar menotok 

wanita itu, dan kabur keluar dari jendela. Semua itu 

dilakukan karena dia melihat tiga orang yang tukang 

pukul di tempat itu selalu mengawasi. Kalau dia meno-

lak bisa membuat keributan.

Sungguh tak diduga ternyata Wintari memperhati-

kan dari tempat persembunyiannya. Dengan muka pa-

nas dia kembali ke rumah kuno. Hatinya menjadi ma-

sygul dan membenci Nanjar yang dianggap seorang 

pemuda hidung belang. Demikianlah, ketika pagi men-

jelang, dia mendapatkan Nanjar masih tidur mendeng-

kur di luar rumah kuno.

Entah rasa benci entah rasa cemburu di hati Winta-

ri. Yang jelas dia diam-diam angkat kaki tanpa sepen-

getahuan Nanjar. Ketika Nanjar terbangun dan sadar 

bahwa Wintari telah angkat kaki dari tempat itu, sege-

ra dia menyusul. Namun gara-gara dia pura-pura 

pingsan terkena pukulan sang gadis itu, Wintari marah


lagi. Hingga dia tersesat di dalam hutan Werid karena 

mengejar dara itu...

***

TIGA

Apa yang dikhawatirkan Nanjar memang benar. Ka-

rena Wintari ternyata telah masuk dalam perangkap 

dalam hutan Werid. Tujuh orang manusia bertopeng 

telah bermunculan di saat gadis itu tersesat dan men-

cari jalan keluar dari hutan misterius itu. Belum sem-

pat dia berbuat sesuatu, dua orang telah berkelebat 

melompat. Salah seorang menotok dengan gerakan ki-

lat. Robohlah Wintari. Dan kejap selanjutnya dia telah 

berada dalam pondongan salah seorang dari tujuh 

orang bertopeng itu.

Hutan Werid memang benar-benar misterius, kare-

na hanya penghuni hutan itu saja yang mengetahui ja-

lan-jalan rahasia. Dalam beberapa kejap saja ketujuh 

manusia bertopeng itu telah lenyap tak ketahuan ke-

mana arahnya.

Sementara itu Nanjar yang termangu-mangu tak ta-

hu harus berbuat apa, tiba-tiba mendengar suara ter-

tawa dibelakangnya. Cepat dia balikkan tubuh untuk 

melihat. Akan tetapi terkejut Nanjar karena tak melihat 

apa-apa. Suara tertawa itu jelas suara tertawa wanita.

“Heh!? Apakah kau Wintari?” teriak Nanjar. Mulut-

nya berkata begitu tapi hatinya menduga lain. “Ra-

sanya tak mungkin kalau yang barusan tertawa itu 

Wintari! Suara tertawa itu renyah dan begitu merdu 

seperti aku pernah mendengarnya...” pikir Nanjar den-

gan tertegun.

“Gadis centil yang menggoda ku keluarlah! mengapa



kau tak berani unjukkan diri? Apakah kau tak punya 

hidung atau tampangmu jelek sekali?” teriak Nanjar. 

Matanya mengawasi ke setiap balik batang pohon. 

Akan tetapi tetap saja tak ada yang muncul. Nanjar ja-

di kesal. Akhirnya dia mengancam.

“Baiklah! kalau kau tak mau keluar, ingin kulihat 

apakah kau masih tetap mau bersembunyi atau mau 

melarikan diri! Aku akan bertelanjang bulat!” berkata 

Nanjar. Ancaman Nanjar benar-benar dibuktikan. Len-

gannya bergerak membuka tali ikat pinggangnya yang 

sering kedodoran.

Pada saat itulah terdengar suara disusul berkele-

batnya sesosok tubuh melompat keluar dari balik se-

mak.

“Tunggu!”

Sesosok tubuh telah berdiri di hadapan Nanjar. Itu-

lah tubuh seorang gadis yang membuat Nanjar terpe-

rangah kaget.

“RANGGAWENI!” sentak Nanjar terkejut.

“Kak Nanjar! kau... sinting!” berkata gadis itu. Akan 

tetapi cepat-cepat dia berpaling jengah, karena saat itu 

celana Nanjar merosot separuh. Cepat-cepat Nanjar be-

tulkan celananya. Mulutnya tertawa girang.

“Eh, adik Ranggaweni! bagaimana kau sampai bera-

da di hutan ini? Kemana burung Rajawali mu si JA-

BUR?” tanya Nanjar seraya lompat menghampiri. 

Ranggaweni adalah murid si Raja Pengemis yang telah 

tewas di pulau misterius dalam pertarungan dengan si 

Raja Siluman Naga. Nanjar masih ingat pada pesan 

kakek itu di saat kematiannya, yaitu dia telah dipesan 

oleh si Raja Pengemis untuk menjaga muridnya itu.

“Aku tak membawa burung Rajawali itu. Dia ku 

tinggalkan, dan kusuruh menunggu di atas bukit!” sa-

hut Ranggaweni sambil menunjuk ke arah barat.

“Lalu bagaimana sampai kau berada di hutan?”


tanya Nanjar.

“Hm, seperti kau juga, kak Nanjar! Bukankah kau 

tak menemukan jalan keluar dari hutan ini?” Rangga-

weni balik bertanya tanpa menjawab.

“Ya! aku tersesat! Hutan ini aneh! Aku mengejar 

seorang gadis. Aku khawatir dia mendapat kesusahan, 

karena dia gadis sebatang kara!” Ranggaweni kerutkan 

keningnya.

“Siapa dia?” tanyanya dengan nada cemburu.

“Dia bernama Wintari!” sahut Nanjar, seraya kemu-

dian menceritakan secara singkat tentang dirinya. 

Ranggaweni manggut-manggut.

“Hutan ini aneh! Apakah ini yang bernama hutan 

Werid?” tanya Nanjar.

“Benar!” menyahut Ranggaweni. “Baiklah aku ceri-

takan bagaimana sampai aku berada di tempat ini dan 

tersesat seperti kau tak dapat menemukan jalan ke-

luar!” lanjut Ranggaweni.

Gadis ini menghela napas. Setelah merenung seje-

nak, dia segera memulai pembicaraan.

“Kau pernah mendengar nama Iblis Gila Pembangkit 

Arwah?” tanya Ranggaweni. Nanjar memijit keningnya.

“Rasanya tidak! Julukan itu seram benar, baru ini 

aku mendengarnya!” sahut si Dewa Linglung.

“Nah! untuk itulah aku mencarinya ke hutan ini! 

Karena hutan Werid ini adalah tempat tinggalnya. Un-

tuk menyelidiki hutan ini kurasa agak sulit, oleh sebab 

itu Jabur kusuruh tunggu di atas bukit yang tak jauh 

jaraknya dari hutan ini. Tahukah kau ada hal apakah 

aku mencarinya?” tanya si gadis. Sepasang matanya 

menatap Nanjar dan Nanjar melihat jelas ada setitik air 

bening yang menggenang di kelopak matanya.

Nanjar menggeleng.

“Ceritakanlah! apakah iblis itu telah mengganggu-

mu?” sentak Nanjar. Nanjar amat mengkhawatirkan



ada kejadian apa-apa yang menimpanya.

“Lebih dari setahun aku tak pernah berhasil menca-

rimu, dan selama itu banyak peristiwa yang telah ter-

jadi!” berkata pelahan Ranggaweni. Dia berusaha me-

nahan jatuh air matanya. Nanjar membiarkan gadis itu 

menahan perasaannya.

“Masih ingatkah kau pada seorang laki-laki pemilik 

Pedang Inti Es?” Pertanyaan itu membuat Nanjar sege-

ra ingat laki-laki pendamping Ranggaweni. Ya, pada 

laki-laki itulah Nanjar menaruhkan harapannya untuk 

menjadi penggantinya menjaga gadis ini.

“Maksudmu... SOMA?” sentak Nanjar. “Ah, aku ba-

ru ingat! Kemana dia? Apakah kalian telah menjadi 

suami istri?” tanya Nanjar.

“Suami istri? Huh! apakah kau kira aku mencin-

tainya?” menjawab Ranggaweni ketus. Akan tetapi dia 

menghela napas.

“Dia memang mencintai ku! Orangnya gagah, juga 

berkepandaian tinggi. Tapi hatiku... hatiku entah men-

gapa tak dapat menerima cintanya...”

Nanjar jadi membungkam dengan seribu satu ma-

cam pertanyaan dibenaknya. Ranggaweni berpaling 

menatap ke arah hutan yang gelap. Nanjar melihat ma-

ta gadis itu mendelong menatap ke depan. Dia tak ta-

hu apa yang menjadi sebab gadis ini sukar menutur-

kan peristiwa yang dialami.

Kalau saja Nanjar punya perasaan peka, tentu da-

pat menerka isi hati sang gadis, karena di hati gadis 

itu cuma ada satu nama yang selalu dirindukannya, 

yaitu Nanjar!

“Sudahlah adik Ranggaweni, kau ceritakanlah men-

genai apa yang telah menimpa kalian! Dan kemanakah 

Soma?” akhirnya Nanjar buka suara.

“Soma telah tewas enam bulan yang lalu!” sahut 

Ranggaweni sendu.


“Hah!? siapa yang telah membunuhnya?” sentak 

Nanjar terkejut.

“Kekasihnya sendiri?”

“Soma punya seorang kekasih?”

“Ya! dia bernama Sripandu! murid Ki Pamutih atau 

si Iblis Gila Pembangkit Arwah!” sahut Ranggaweni 

tanpa menoleh pada Nanjar.

“Jadi untuk itulah kau ke tempat ini?” tanya Nan-

jar.

“Benar! Aku harus menuntut balas kematiannya!” 

Kali ini tampak tubuh Ranggaweni terguncang-

guncang. Ternyata dia menangis terisak-isak. Dara ini 

tak dapat menahan kesedihannya.

“Sudahlah! aku akan membantumu mencari musuh 

besarmu itu! Kukira kau tak terlalu harus bersedih ha-

ti. Bukankah kau tak mencintainya?” berkata Nanjar 

seraya mendekati dan memegang pundaknya. Gadis 

itu makin terisak-isak. Terpaksa Nanjar menunggu 

sampai tangisnya reda.

“Justru aku merasa amat kehilangan, karena sete-

lah dia tiada baru kusadari kalau aku mencintainya..” 

Akhirnya Ranggaweni berkata pelahan sambil menyeka 

air matanya. Nanjar manggut-manggut. “Sudahlah, 

orang yang sudah mati mengapa masih kau kenang? 

Lebih baik kau pikirkan jalan keluar dari hutan ini! 

Kukira tempat ini amat berbahaya! Keberanianmu 

sungguh luar biasa berani menyatroni sarang si Iblis 

Gila Pembangkit Arwah!”

“Hm, percuma aku jadi murid si Raja Pengemis!” 

sahut Ranggaweni. “Eh! Dewa Linglung! Bukankah kau 

memiliki ilmu “terbang”, mengapa tak kau pergunakan 

untuk terbang keluar dari hutan ini?” tiba-tiba Rang-

gaweni berkata. Matanya menatap Nanjar dengan tan-

das, seperti tidak mengerti mengapa Nanjar tak mem-

pergunakan ilmunya yang hebat itu?


***

EMPAT

Akan tetapi belum sempat Nanjar menyahut, telah 

terdengar suara tertawa berkakakan, diiringi menebar-

nya bau busuk yang amat luar biasa. Keduanya me-

lompat mundur. Lengan mereka secara tak sadar sal-

ing berpegangan erat.

Bukan kepalang terkejutnya mereka ketika tahu-

tahu entah dari mana telah bermunculan sosok-sosok 

tubuh yang amat menyeramkan. Mulut keduanya 

ternganga dengan mata membeliak. Karena yang ber-

munculan itu adalah mayat-mayat yang sudah rusak 

tak keruan. Mayat-mayat hidup!

Tak terasa lengan Rangga Weni semakin erat men-

cekal bergelangan tangan Nanjar.

“Jangan takut! ini pasti perbuatan si Iblis Gila Pem-

bangkit Arwah!” berkata Nanjar. “Siapkan senjatamu!” 

ujarnya para Ranggaweni. Tanpa berayal lagi gadis itu 

segera loloskan pedangnya dibalik punggung. Hawa 

dingin menggidikkan menebar. Itulah pedang Inti Es 

yang telah dipergunakan Rangga Weni.

Nanjar melirik sekilas. Dia tahu pedang itu milik 

Soma. Pedang yang pernah menghebohkan orang per-

silatan karena menginginkannya. Dia segera cabut ke-

luar Seruling berkepala Naga dari balik bajunya. Se-

mentara itu mayat-mayat hidup itu dengan suara 

menggereng dihidung semakin mendekat mengurung 

mereka. Bau busuk membuat Rangga Weni nyaris 

mual mau muntah. Namun dia mencekal erat-erat hu-

lu pedangnya, dengan menahan napas.

Suara tertawa mengekeh terbahak-bahak kembali 

berkumandang.

“Heheheh..hehe.. Dewa Linglung! Sudah lama aku


menantikan kedatanganmu! Kau telah masuk ke da-

lam hutan Werid, dan kau gadis cantik ternyata saha-

batnya. Hehehe... mana mungkin kubiarkan kalian 

meloloskan diri lagi? walaupun kau punya ilmu ter-

bang sekalipun?” Suara itu terdengar di beberapa 

arah. Akan tetapi tak nampak bayangan seorang ma-

nusiapun. Jelas Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pem-

bangkit Arwah mempergunakan ilmu suara berpindah 

yang hebat.

“Iblis Gila Pembangkit Arwah! manusia pengecut! 

mengapa kau tak menampakkan diri?” membentak 

Nanjar. Namun bersamaan dengan itu mayat-mayat 

hidup itu telah menerjangnya. Terpaksa Nanjar le-

paskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan 

Rangga Weni. Seraya berteriak dia mengirim pukulan 

ke arah depan.

“Awas, adik Weni! pergunakan pedangmu!” Pukulan 

tenaga dalam Nanjar lolos, karena mayat-mayat hidup 

itu bagaikan segumpal kapas berkelebatan melayang. 

Bahkan pukulan itu seperti lewat saja menembus tu-

buh mereka yang menyerupai bayangan.

“Setan keparat!” memaki Nanjar. Terpaksa dia me-

lompat menghindari terjangan tiga mayat hidup. Ada-

pun Rangga Weni tak berayal lagi segera menebaskan 

pedangnya. Sinar putih berkilat menimbulkan hawa 

dingin. Mata pedang Inti Es menimbulkan belasan la-

rik sinar putih yang berkelebatan. Namun seperti juga 

Nanjar tebasan pedang itu tak berarti apa-apa. Mayat-

mayat hidup itu seperti bayangan yang tak mampu 

disentuh oleh ketajaman pedang sang gadis. Terpaksa 

dara ini melompat beberapa kali menghindari terjan-

gan mayat-mayat hidup yang menyeramkan itu.

Baru saja kakinya menginjak tanah telah muncul 

lagi mayat hidup dibelakangnya. Rangga Weni menjerit 

karena terkejutnya. Pedangnya berkelebat menyambar.


Namun sama seperti tadi. Tabasan itu lewat menyam-

bar angin. Dalam tersentaknya dia menoleh pada Nan-

jar. Terlihat Nanjar sendiri seperti kebingungan meng-

hadapi serangan-serangan mayat-mayat hidup itu.

Napas Rangga Weni serasa sesak karena bau busuk 

yang menyengat hidung, disamping nyalinya jadi ciut. 

Karena rasa takut dan seram menghadapi mayat-

mayat hidup itu. Pada saat itulah terdengar suara ter-

tawa melengking tinggi. Kilatan warna pelangi berkele-

batan di udara, disusul munculnya bayangan sesosok 

tubuh.

“Hihihi... permainan anak kecil mengapa siang-

siang kau tunjukkan di depan dua bocah ini, sobat Ki 

Pamutih? Sungguh kau keterlaluan!”

Hebat akibat berkelebatnya sinar pelangi itu, karena 

mayat-mayat hidup itu perdengarkan jeritan parau. 

Tubuh-tubuh mereka lenyap. Sebagai gantinya di tem-

pat itu telah berdiri sesosok tubuh ramping. Dia seo-

rang nenek berambut putih. Kulit mukanya berkeriput. 

Mengenakan jubah warna hijau.

Dewa Linglung dan Rangga Weni terperangah. Na-

mun cepat-cepat Nanjar menjura seraya menghatur-

kan terima kasih.

“Siapakah nenek? Ah, terima kasih atas pertolongan 

anda!”

“Hihihik... tak usah banyak peradatan, anak muda. 

Aku hanya memperingati kalian berdua. Sebaliknya 

kalian cepat keluar dari hutan ini!” Selesai berkata 

wanita tua itu kibaskan lengannya ke arah samping ki-

ri. Segelombang cahaya hijau meluncur.

Aneh! Hutan rimba itu seperti terkuak oleh cahaya 

itu. Hingga nampak kini di jalan memanjang yang me-

nuju keluar dari hutan itu.

“Nenek! kau belum memperkenalkan siapa dirimu!” 

berkata Nanjar.


“Aih! bocah bawel! Cepatlah kalian angkat kaki, se-

belum Nini GALUNGGUNG membiarkan kau mampus 

dikerubuti mayat-mayat hidup!” Sebenarnya Nanjar 

tak merasa jeri dengan makhluk-makhluk itu walau-

pun tadinya dia bekas seorang yang paling penakut 

dengan setan. Justru dia ingin tahu tampang Ki Pamu-

tih si Iblis Gila Pembangkit Arwah, yang mengendali-

kan mayat-mayat hidup itu. Akan tetapi ketika melihat 

pada Rangga Weni, gadis itu mengangguk memberi 

isyarat untuk segera angkat kaki.

“Baiklah, nek. Terima kasih Nini Galunggung! Bu-

dimu takkan kulupakan!” Selesai berkata Nanjar me-

lompat menyambar buntalannya, dan kejap selanjut-

nya dia telah menggamit tangan Rangga Weni untuk 

dibawa melompat pergi. Nenek keriput ini memperha-

tikan kedua anak muda itu yang berlari-lari menyusuri 

jalan yang menembus hutan itu. Hingga kemudian tak 

nampak lagi bayangan tubuhnya.

Barulah dia balikkan tubuh memandang ke puncak 

pohon di sebelah selatan. Dia memang mengetahui 

bahwa sesosok tubuh yang diduganya adalah si Iblis 

Gila Pembangkit Arwah berdiri dicabang pohon itu. 

Akan tetapi dia tak menampak bayangannya lagi. Ta-

hulah dia kalau si Iblis Gila Pembangkit Arwah telah 

angkat kaki dari tempat itu. Terdengar nenek ini 

menghela napas dan berkata menggumam.

“Hm, dendammu sedalam lautan Ki Pamutih! Tapi 

bukan cara seperti itu kau melampiaskan dendammu!” 

Selesai berkata nenek yang bergelar Nini Galunggung 

itu perdengarkan tertawa melengking. Tubuhnya ber-

kelebat. Sekejap telah lenyap tak ketahuan kemana 

perginya. Kesenyapan kembali merambah hutan Werid 

yang misterius itu....

***


LIMA

Suara suitan menggema dari bawah puncak bukit di 

pagi yang baru saja merekah itu. Cahaya mentari ma-

sih lemah bersinar. Raja siang itu baru muncul dari 

peraduannya.

Seekor burung Rajawali raksasa tampak terbang 

dari atas puncak bukit. Itulah burung peliharaan Nan-

jar yang bernama Jabur. Mendengar suara suitan itu, 

sang Rajawali tampak seperti kegirangan. Dia terbang 

melayang memutari bukit mencari-cari dari arah mana 

suara suitan itu. Mulutnya tak hentinya mengeluarkan 

suara mengiyak.

Tak lama dia mendengar lagi suara suitan yang le-

bih nyaring. Jabur palingkan kepalanya. Tampaknya 

dia mengenali nada suara suitan itu. Kejap berikutnya 

dia telah terbang menukik dengan cepat. Dan dapat 

melihat dua orang dibawahnya. Itulah Nanjar dan 

Rangga Weni yang tengah menantikan kedatangannya.

“Jabur! ah, kau makin gagah dan kuat saja!” teriak 

Nanjar, ketika burung Rajawali raksasa itu hinggap di

atas batu dihadapannya. Sekejap Nanjar telah melom-

pat mendekati. Tak ayal langsung memeluk lehernya 

seraya mengusap-usapnya dengan terharu dan kasih 

sayang. Dia merasa amat rindu telah lebih setahun tak 

pernah berjumpa. Burung Rajawali itupun mengiyak 

pelahan. Sayapnya dikibas-kibaskan. Dia tampak gi-

rang sekali bertemu dengan majikannya yang lama.

Rangga Weni melompat mendekati. Dara ini cuma 

tersenyum melihatnya. Diam-diam dia merasakan elu-

san tangan Nanjar pada leher burung itu seperti terasa 

mengelus rambutnya. Dia menunduk dengan menghe-

la napas.

Diam-diam terasa hatinya menjadi sunyi. Mungkin


kah Nanjar mencintainya? Serasa jauh hatinya mene-

rawang. Saat itu pula dia teringat pada Soma. Air ma-

tanya pun kembali menitik. Namun cepat-cepat dia 

menghapusnya. Rasa rendah diri dan malu menyelu-

bungi jiwa gadis ini khawatir Nanjar menolak cintanya. 

Bukankah seorang pemuda gagah yang walaupun ber-

tampang tolol seperti Nanjar akan banyak gadis yang 

menggilainya? Mana mungkin dia ada perhatian pada 

dirinya? Mustahil kalau gadis bernama Wintari itu di-

am-diam adalah kekasihnya? Pikiran Rangga Weni jadi 

kacau. Hatinya serasa remuk, karena orang yang men-

jadi pendampingnya selama ini telah tewas. Dia begitu 

khawatir kalau menemui kegagalan cinta lagi.

Hal itulah yang membuat gadis ini menjadi patah 

hati. Diam-diam dia melangkah mundur. Gerakannya 

dibuat pelahan khawatir Nanjar mendengarnya. Diba-

lik batu bukit yang nonjol dia menyelinap. Kejap selan-

jutnya Rangga Weni telah berkelebat cepat meninggal-

kan tempat itu, setelah dia menggoreskan sebuah batu 

runcing dibatu bukit.

Terkejut Nanjar ketika menyadari bahwa Rangga 

Weni tak kelihatan berada dibelakangnya.

“He? kemana dia?” sentak Nanjar terkejut. Nanjar 

berpaling kekanan-kekiri. Bahkan melompat ke atas

batu bukit yang agak tinggi. Tapi tak melihat adanya 

sosok tubuh Rangga Weni.

“Hm, dasar gadis bengal! Pasti dia sembunyi lagi!” 

gumam Nanjar tersenyum. Dewa Linglung garuk-garuk 

kepalanya memikir. Cara apa lagi yang akan dia laku-

kan untuk membuat gadis itu muncul dari tempat per-

sembunyiannya? Cara seperti yang dia lakukan di da-

lam hutan itu rasanya tak berguna.

“Hm, cara ini kukira lebih baik!” berkata Nanjar da-

lam hati. Dia rogoh keluar seekor kelinci yang tadi ma-

lam ditangkapnya dalam perjalanan. Kelinci itu masih


hidup. Cuma dengan sedikit totokan telah membuat 

binatang santapan itu tak berkutik.

“Jabur! Tentunya kau juga lapar? baiklah! aku akan 

memanggang kelinci ini dulu. Nanti kita bersantap 

mengisi perut!”

Nanjar mengumpulkan kayu-kayu kering. Lalu 

membuat api unggun. Tak lama dia telah memanggang 

kelinci muda itu setelah menyembelih dan menguli-

tinya. Sebentar saja bau panggang daging kelinci yang 

sedap telah menebar dibawah bukit itu.

“Haha.. bau sedap ini mustahil tak mengundang 

munculnya gadis bengal itu. Pasti dia keluar dari per-

sembunyiannya!” pikir Nanjar dalam hati.

Akan tetapi sampai daging panggang itu masak 

Rangga Weni belum juga muncul. Nanjar mulai tak 

enak perasaan hatinya. Selera makannya lenyap. Di-

lemparkannya panggang daging kelinci itu ke arah Ja-

bur yang langsung menangkap dengan paruhnya. Nan-

jar cuma memperhatikan Jabur yang menikmati san-

tapannya dan langsung menelannya.

“Jabur! mari kita cari Rangga Weni!” berkata Nanjar 

seraya melompat ke punggung Jabur. Burung Rajawali 

ini mengiyak pelahan. Tak lama dia kibas-kibaskan 

sayapnya. Kejap selanjutnya dia telah terbang ke uda-

ra. Tak lama burung Rajawali raksasa itu telah me-

layang-layang memutari sekitar bukit. Nanjar yang be-

rada dipunggung burung raksasa itu pentang matanya 

lebar-lebar mencari-cari kalau-kalau dibawahnya terli-

hat Rangga Weni. Akan tetapi sekian lama Nanjar 

mencari tetap saja dia tak menampak orang yang dica-

rinya.

“Ah, kemana perginya dia? mengapa dia meninggal-

kan ku dengan diam-diam?” keluh Nanjar. Hatinya 

bertanya-tanya sendiri.

“Perempuan memang aneh! isi hatinya sukar diter


ka!” gumamnya. Nanjar tepuk-tepuk leher binatang 

itu. “Jabur! mari kita kesana!” Nanjar menunjuk ke

arah utara. Jabur mengangguk-angguk seperti men-

gerti. Tak lama dia terbang membelok lalu dengan ce-

pat melayang ke arah yang ditunjuk Nanjar.

***

Sepasang mata bening itu tampak berkaca-kaca 

memperhatikan burung Rajawali itu yang terbang ce-

pat ke arah utara. Itulah sepasang mata dari seorang 

dara jelita Rangga Weni. Gadis ini sembunyi dibalik 

bongkah batu. Matanya menatap ke arah si Jabur 

yang lenyap dibalik bukit. Gadis ini bangkit berdiri. 

Terdengar dia menghela napas.

“Selamat tinggal kak Nanjar. Kukembalikan si Jabur 

padamu! Biarkanlah aku pergi membawa diriku sendi-

ri. Agaknya kita memang tak berjodoh. Semoga Tuhan 

selalu melindungimu...” bibir dara ini keluarkan suara 

mendesis. Dan air bening pada kedua kelopak matanya 

menetes turun membasahi pipinya.

Tak lama Rangga Weni balikkan tubuhnya lalu ber-

kelebat meninggalkan lembah itu. Kemanakah tujuan 

Rangga Weni? Ternyata dia kembali ke arah semula, 

yaitu menuju ke hutan Werid.

Dara cantik itu tak mengetahui kalau pada saat itu 

sesosok tubuh telah menguntitnya. Dialah seorang la-

ki-laki berwajah tampan. Siapa laki-laki penguntit itu? 

Dia tak lain dari si Pendekar Patah Hati.

Gerakan pemuda ini amat gesit. Ilmu larinya luar 

biasa. Tampak sebentar saja dia sudah hampir menyu-

sul Rangga Weni. Tapi tiba-tiba dia memperlambat la-

rinya, karena Rangga Weni secara mendadak meng-

hentikan larinya. Mata gadis ini memandang ke depan. 

Ternyata sesosok tubuh tertelungkup menghalangi jalan.

“Heh!? siapa orang itu? Orang tidur ataukah 

mayat?” berdesis Rangga Weni. Pelahan dia mendekati. 

Matanya menatap tajam-tajam memperhatikan orang 

yang menelungkup itu. Barulah dia mengetahui kalau 

orang itu masih hidup, karena mendengar suara deng-

kurnya.

“Gila! siang hari begini masih tidur. Tapi mengapa 

dia memilih tidur di tengah jalan begini, mengganggu 

orang lewat?” berkata Rangga Weni dalam hati.

“Sebaiknya aku lompati saja!” pikirnya. Tapi baru 

saja dia bersiap untuk melompat mendadak orang itu 

menggeliat lalu terlihat dia menguap.

“Huaaah! enak benar tidurku, sampai-sampai hari 

sudah siang!” Ternyata dia seorang laki-laki setengah 

tua berwajah jelek. Berambut gondrong tak terawat. 

Bajunya bertambalan dan tampak kumal sekali.

***

ENAM

Orang itu mengucak-ucak matanya. Hidungnya 

kembang-kempis seperti mengendus-endus bau sesua-

tu. Memang dia mengendus bau harum dari tubuh 

seorang gadis. Tiba-tiba dia menoleh. Pandangan ma-

tanya beradu dengan tatapan dara cantik dihadapan-

nya.

“Eh. paman... harap kau memberi jalan. Aku num-

pang lewat!” berkata Rangga Weni. Kata-katanya ra-

mah. Sengaja dia tersenyum dan mengangguk. Rangga 

Weni menduga laki-laki itu seorang pengemis biasa. 

Sudah lumrah bagi seorang pengemis yang tidur se-

maunya, tak peduli diemper rumah atau di tengah jalan.

“Hehehe... silakan! silakan!” menyahut laki-laki itu 

seraya menggeser pantatnya kesisi. Sementara ma-

tanya yang menatap Rangga Weni tampak membinar. 

Bibirnya menyeringai menampakkan sebaris gigi yang 

besar-besar dan tampak menguning.

Rangga Weni menahan napas. Perutnya serasa 

mual rasanya mau muntah. Laki-laki pengemis itu 

amat kotor dan menjijikkan.

“Terima kasih..!” ucap Rangga Weni, seraya bertin-

dak melangkah. Akan tetapi terkejut dara ini karena 

kakinya serasa berat digerakkan seperti diberati beban 

beratnya ratusan kati.

Tahulah dia kalau si pengemis itu bukan orang bi-

asa dan berniat mengganggunya. Namun sebagai mu-

rid si Raja Pengemis mana dia mau menyerah begitu 

saja pada pengemis keroco yang kotor dan menjijikkan 

itu? Dengan mengerahkan tenaga dalam dikedua kaki, 

dia enjot tubuh untuk melompat.

Apa yang dilakukan berhasil. Akan tetapi diluar du-

gaan tahu-tahu tongkat si pengemis yang sejak tadi di-

cekalnya telah menyambar ke arah kaki. Rangga Weni 

berteriak kaget. Namun dengan sebat lengannya berge-

rak menghantam ke arah tongkat. Gerakan menghan-

tam itu disertai suara bentakan keras. Akan tetapi be-

tapa terkejutnya gadis ini karena dia merasa satu te-

naga yang amat kuat telah membetot tubuhnya. Dalam 

keadaan seperti itu dia tak bisa berbuat apa-apa. Seki-

las dia melihat laki-laki pengemis itu tertawa menye-

ringai. Sepasang lengannya terpentang siap menyangga 

tubuhnya.

Sedetik lagi tubuh dara itu akan jatuh dalam deka-

pan si pengemis. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara 

jeritan parau. Tubuh si pengemis terjungkal roboh. Te-

naga sedotan itu lenyap. Bahkan tubuh Rangga Weni


seperti terdorong kebelakang. Dengan sebat dara ini 

gunakan kelihaiannya untuk menahan keseimbangan 

tubuhnya. Dan dengan gerakan melompat jungkir ba-

lik dia telah jejakkan kakinya ke tanah.

Terkejut Rangga Weni ketika sebuah bayangan ber-

kelebat disertai kata-kata. 

“Bagus! Pengemis hina macam begitu tak patut 

menjamah tubuhmu, nona!” Sekejap dia telah melihat 

seorang laki-laki gagah telah berdiri dihadapannya. Ke-

tika menatap ke arah si pengemis, ternyata pengemis 

itu telah rebah tak berkutik. Dikeningnya menancap 

dua buah jarum berwarna hijau. Jelas dia tewas kare-

na jarum maut itu. Siapa lagi pembunuhnya kalau bu-

kan laki-laki dihadapannya itu?

“Siapa kau? mengapa kau membunuhnya?” sentak 

Rangga Weni terkejut. Diam-diam dia memperhatikan 

wajah orang.

“Hahaha... nyawa manusia tak berharga macam be-

gitu mengapa kau harus mempedulikan? Tak sampai 

hatiku melihat kulitmu yang halus dijamah tangan-

tangan kotor manusia ini!” sahut laki-laki itu sambil 

tertawa.

“Siapakah anda?” tanya Rangga Weni. Diam-diam 

dia waspada pada orang ini. Jelas dia seorang laki-laki 

yang kejam, walau diakuinya laki-laki itu berwajah 

tampan.

“Aku... namaku Arya Pandan, tapi orang menjuluki 

aku si PENDEKAR PATAH HATI!” Tentu saja gadis ini 

tersentak. Tak terasa kakinya menindak selangkah ke-

belakang. 

“Anda seorang pendekar? Hm, tak sepantasnya an-

da berbuat sekeji itu!” kata Rangga Weni.

Pemuda itu hanya tertawa mendengar kata-kata 

Rangga Weni.

“Hahaha... nona benar! Akan tetapi apakah salah


kalau yang dibunuhnya adalah seorang manusia yang 

telah banyak melakukan kejahatan memperkosa pulu-

han gadis dan membunuh belasan manusia?” Tentu 

saja jawaban Arya Pandan membuat Rangga Weni me-

lengak.

“Sudahlah! mengapa mengurusi mayat manusia ko-

tor yang nyawanya sudah pindah ke Akhirat? Mau ke-

manakah tujuan anda, nona? Boleh aku tahu siapa 

namamu?” Arya Pandan alias si Pendekar Patah Hati 

beranjak melangkah mendekati.

Rangga Weni terpaksa menarik napas. Walau ba-

gaimanapun dia harus berterima kasih pada laki-laki 

dihadapannya ini, karena telah menolongnya.

“Aku Rangga Weni. Tujuanku tak dapat kuse-

butkan!”

“Ah, tak apalah! Jalan ini menuju ke perbatasan Ko-

ta Raja. Kalau membelok ke kanan anda akan mema-

suki hutan yang bernama hutan Werid. Hutan itu amat 

angker! Aku hanya menemanimu saja sampai persim-

pangan jalan itu. Gadis secantikmu melakukan perja-

lanan seorang diri amat besar bahayanya, apakah no-

na Rangga Weni bersedia kuantar?” berkata si Pende-

kar Patah Hati dengan sopan.

Rangga Weni jadi terdiam. Sejenak dia bingung un-

tuk menjawab. Diam-diam hatinya berkata. “Orang ini 

telah menolongku. Dia berilmu tinggi. Apakah aku 

akan menolak kebaikkannya?” Akhirnya dia mengang-

guk.

“Baiklah! tapi hanya sampai persimpangan jalan itu 

saja. Selanjutnya silahkan anda mengambil jalan sen-

diri, dan tak usah memperdulikan aku!” berkata Rang-

ga Weni.

“Hahaha... baik! baik! Aku cuma mau mengantar 

sampai persimpangan jalan itu!” sahut Arya Pandan. 

Tak banyak berayal Rangga Weni segera teruskan


langkahnya dengan berlari cepat. Arya Pandan mengi-

kuti disamping gadis itu. Diam-diam Rangga Weni 

mengakui kehebatan gerakan lari Arya Pandan.

“Aneh! mengapa dia bergelar si Pendekar Patah Ha-

ti?” dalam hati Rangga Weni bertanya-tanya. Namun 

dara ini terus berlari. Sedikitpun dia tak lepas dari ke-

waspadaan, karena khawatir dicelakai orang kedua ka-

linya. Namun dalam beberapa saat dalam perjalanan 

itu kecurigaannya hilang. Arya Pandan bersikap biasa-

biasa saja. Tak ada tanda-tanda dia seorang yang ber-

hati jahat. Diam-diam dia bersyukur dengan kemuncu-

lan pemuda ini yang telah menyelamatkan dirinya dari 

bahaya.

Hatinya bergidik, bagaimana kalau sampai dia jatuh 

ke tangan pengemis itu? Sukar dia membayangkannya.

Kira-kira semakanan nasi. Arya Pandan berkata.

“Kira-kira dua ratus langkah lagi kita akan sampai 

dipersimpangan jalan dibatas wilayah Kota Raja. Nona 

Rangga Weni akan kemana?” Pertanyaan Arya Pandan 

membuat Rangga Weni sedikit terkejut. Karena dalam 

berlari-lari itu pikiran Rangga Weni kosong.

Rangga Weni perlambat larinya. “Aku... aku akan 

menuju ke hutan Werid!” jawabnya dengan mengatur 

napas yang tersengal. Diam-diam dia kagum karena 

Arya Pandan tampaknya tak merasa lelah sedikitpun.

“Nona Rangga Weni mau ke hutan Werid?” tanyanya 

seperti tak percaya.

“Benar! Mengapa? apakah kau merasa aneh?” tanya 

Rangga Weni.

“Cukup aneh! Tapi aku kagum dengan keberanian 

anda!” menyahut Arya Pandan. Jawaban Arya Pandan 

terputus, karena persimpangan jalan sudah didepan 

mata.

“Nah! aku hanya mengantarmu sampai disini! sam-

pai jumpa, semoga tak terjadi apa-apa dengan dirimu,


nona Rangga Weni!” berkata si Pendekar Patah Hati. 

Tubuh laki-laki itu berkelebat. Sekejap saja dia sudah 

lenyap.

Rangga Weni terhenyak. Dia menghentikan larinya. 

Begitu cepat Arya Pandan menghilang hingga dia tak 

sempat lagi mengucapkan terima kasih. Namun Rang-

ga Weni segera berteriak keras-keras.

“Terima kasih atas budi baikmu, sobat Pendekar Pa-

tah Hati! Semoga Tuhan membalas kebaikanmu!”

Rangga Weni terpaku sejenak. Dia menatap ke arah 

jalan yang menuju ke hutan Werid. Rasa seram menye-

linap dalam hatinya. Namun tekadnya bulat. Dia akan 

mencari wanita bernama SRI PANDU murid si Iblis Gila 

Pembangkit Arwah guna membalaskan dendam kema-

tian Soma!

Dia tak peduli apa yang akan terjadi. Walau dia 

akan cuma tinggal namanya saja di dunia ini! Diman-

tapkannya hatinya. Dan dara ini jejakkan kakinya un-

tuk segera berlari cepat menuju ke arah hutan Werid.

***

TUJUH

Pendekar Patah Hati berlari cepat melalui jalan ter-

jal dengan memotong arah terdekat menuju ke hutan 

Werid.

“Hahaha.. aku harus mendahului dia. Gadis semu-

lus itu sukar kudapatkan. Sungguh bodoh kalau dia 

kubiarkan tanpa kusentuh!” menggumam Arya Pan-

dan. Mulutnya tertawa menyeringai. Dipercepat gera-

kan larinya. Sebentar kemudian dia telah tiba ditepi 

hutan. Arya Pandan menyelinap masuk kebalik semak 

rimbun. Apa yang dilakukannya ditempat itu.


Dia duduk bersila. Matanya terpejam. Bibirnya ko-

mat-kamit seperti tengah membaca mantera-mantera. 

Tak lama dia membuka mata dan bangkit berdiri. Sete-

lah melihat kekiri dan kanan, dia keluar dari balik se-

mak. Wajah laki-laki ini tampak berubah kaku. Ma-

tanya memancarkan hawa yang menggidikkan bagi 

yang melihat. Tampak dia rangkapkan lagi tangannya 

ke atas dada. Bibirnya kembali berkemak-kemik mem-

baca mantera. Tak lama sepasang tangannya tergetar. 

Tiba-tiba Arya Pandan gerakkan kedua belah tangan-

nya merentang. Hawa dingin mencekam meluncur dari 

kedua telapak tangannya. Kedua tangannya kembali 

menyatu.

“Nah! selesai!” mendesis mulut laki-laki ini. “Untuk 

sementara dia takkan pergi jauh dari tempat ini. Se-

mentara aku segera menemui si Iblis Gila Pembangkit 

Arwah untuk meminta petunjuknya. Kakek tolol itu 

akan tetap menjadi penghuni kamar penjaranya sendi-

ri, sampai aku memutuskan untuk membunuhnya, 

atau dia mati keracunan!”

Selesai menggumam, tubuh Arya Pandan berkelebat 

masuk kedalam hutan dan lenyap terhalang rimbun-

nya pepohonan.

Siapakah sebenarnya ARYA PANDAN? Bagaimana 

sampai dia dapat menguasai si Iblis Gila Pembangkit 

Arwah? Marilah kita dengar peristiwa pada beberapa 

bulan yang silam...

Asalnya peristiwa adalah ketika Ki Pamutih berta-

rung menghadapi puluhan orang-orang Kerajaan yang

akan menangkapnya. Secara kebetulan Arya Pandan 

berada tak jauh dari tempat pertarungan itu. Laki-laki 

yang bergelar si Pendekar Patah Hati itu bermata jeli, 

dan diam-diam punya rencana panjang untuk perjala-

nan hidupnya. Dia melibatkan diri dalam pertarungan, 

dan membantu Ki Pamutih yang bergelar menyeram


kan itu.

Rasa simpati Ki Pamutih akhirnya tertanam pada 

Arya Pandan, hingga dia berkenan membawa pemuda 

itu ketempat persembunyiannya, yaitu dihutan WE-

RID. Kehebatan Ki Pamutih walaupun bermata buta 

sangat mengagumkan, karena dengan kepekaannya 

dapat mengetahui jalan-jalan rahasia dihutan yang te-

lah dibangunnya selama bertahun-tahun itu. Bahkan 

dia mempunyai belasan anak buah yang dipasang dan 

diperintahkan menjaga disekitar hutan yang menjadi 

tempat tinggalnya itu.

Rencana Arya Pandan menjadi kenyataan. Orang 

tua itu kena di bujuk dengan tipu dayanya, hingga dia 

diangkat menjadi murid. Arya Pandan diperkenalkan 

pada seorang gadis yang menjadi anak angkatnya, 

bernama SRI PANDU. Sripandu adalah seorang gadis 

yang berparas cantik yang amat disayangi oleh Ki Pa-

mutih. Ternyata selama beberapa bulan menjadi murid 

kakek itu. Arya Pandan berhasil merayu Sripandu, 

hingga gadis itu menyerahkan dirinya bulat-bulat da-

lam pelukannya.

Selama enam bulan menjadi murid laki-laki tua itu,

tak sedikit Arya Pandan mewarisi ilmu-ilmu aneh si Ib-

lis Gila Pembangkit Arwah alias Ki Pamutih itu. Namun 

benih yang tertanam dirahim Sripandu lambat laun 

semakin membesar juga. Sripandu telah hamil tiga bu-

lan.... Hal itu akhirnya terdengar oleh Ki Pamutih. Se-

mula kakek itu marah besar pada Arya Pandan. Tapi 

mengetahui Sripandu amat mencintainya, kemarahan-

nya menjadi buyar. Bahkan Ki Pamutih berniat menja-

dikan Arya Pandan pembantunya dalam mewujudkan 

cita-citanya menumbangkan Kerajaan Telaga Mandiri.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Arya Pandan 

untuk mempelajari ilmu-ilmu hitam Ki Pamutih. Se-

mua ilmu telah diturunkan pada Arya Pandan dalam



waktu singkat. Cuma ilmu pembangkit arwah saja 

yang belum diwariskan. Bukan saja jalan-jalan rahasia 

dihutan Werid itu saja, akan tetapi juga kamar penjara 

bawah tanah yang dibangun Ki Pamutih telah diketa-

huinya.

Dengan kelicikannya Arya Pandan berhasil menjeb-

loskan Ki Pamutih dalam kamar penjaranya sendiri. 

Semua itu karena Ki Pamutih tak mau menurunkan 

ilmu pembangkit Arwah. Ancaman akan membunuh 

Sripandu yang tengah mengandung membuat Ki Pa-

mutih menurunkan ilmunya.

Arya Pandan adalah seorang ahli racun. Dengan ra-

cun yang dibubuhkan pada minuman dia berhasil me-

lumpuhkan Ki Pamutih. Demikianlah. Ki Pamutih kini 

dalam kekuasaan Arya Pandan. Kekuasaan dihutan 

Werid mutlak ditangan Arya Pandan. Karena ketujuh 

anak buah Ki Pamutih itupun telah tunduk pada pe-

rintahnya.

Tubuh Arya Pandan berkelebat masuk kedalam hu-

tan. Bagi orang biasa pasti akan terkurung dihutan itu 

tanpa bisa keluar karena setiap jalan dan pepohonan 

bentuk dan susunannya sama. Setiap tempat dan ja-

lan rahasia dikuasai oleh kekuatan ghaib dan ilmu se-

sat yang merubah pandangan mata seseorang yang 

tersesat didalamnya.

Sukarlah diduga kalau dalam hutan Werid terdapat 

sebuah istana kecil yang indah. Anehnya di sekeliling 

istana itu adalah sebuah pemakaman. Inilah tempat 

tinggal Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Ar-

wah. Istana ini takkan nampak oleh mata biasa. Kare-

na diselimuti oleh keghaiban. Akan tetapi bagi Arya 

Pandan yang sudah hapal merapal mantera, akan mu-

dah menemukannya.

Ternyata Arya Pandan menuju ke istana ini. Cuma 

dalam waktu sepeminuman teh dia tiba ditempat yang


ditujunya, yaitu sebuah kuburan besar. Didepan ku-

buran ini terdapat gapura serta sebuah patung singa.

“Haha..haha... Ki Pamutih! apakah kau masih hi-

dup?” Kepalanya dijulurkan kemulut patung singa 

meneriakkan suara memanggil Ki Pamutih. Dibawah 

patung singa itulah penjara bawah tanah yang menjadi 

tempat penjara Ki Pamutih. Sejenak Arya Pandan me-

nunggu jawaban dengan menempelkan daun telin-

ganya ke mulut patung.

Akan tetapi dia tak mendengar suara sahutan Ki 

Pamutih. Arya Pandan kerutkan keningnya. “Hm, apa-

kah dia memang benar-benar sudah mampus?” men-

desis laki-laki ini. Tiba-tiba lengannya bergerak memu-

tar kepala patung Singa. Terdengar suara berderak. 

Lantai dibawah patung itu bergeser membuka. Tam-

paklah sebuah lubang dan tangga undakan yang me-

nuju kelorong bawah tanah.

Tak berayal lagi Arya Pandan segera memasuki lo-

rong. Didalam lorong remang-remang itu terdapat se-

buah ruangan kamar. Itulah penjara dibawah kuburan 

besar, tempat memenjarakan Ki Pamutih. Dengan 

mengungkit sebuah alat seperti tongkat yang menem-

pel didinding, tampak menganga.

Cahaya lampu remang-remang tampak dari dalam 

ruangan tertutup itu. Lubang itu tak terlalu besar, tak 

lebih dari sebesar kepalan tangan.

Melalui lubang itu Arya Pandan mengintip ke da-

lam. Terlihatlah sesosok tubuh dalam keadaan terbe-

lenggu tangan dan kakinya oleh rantai yang menempel 

di dinding. Tubuh itu menyender di dinding ruangan 

tak bergerak-gerak. Keadaannya sudah mirip dengan 

tengkorak hidup. Tulang-tulang dadanya bertonjolan. 

Jelaslah kalau kakek ini amat tersiksa dalam penjara 

bawah tanah ini.

Rasa penasaran untuk melihat keadaan Ki Pamutih


membuat Arya Pandan membuka pintu besi penjara 

itu. Sesaat dia telah melangkah masuk. Ketika meme-

riksa ternyata Ki Pamutih memang telah tewas. Racun 

maut yang dicekokkan pada kakek ini cuma mengulur 

umurnya tak lebih dari tujuh bulan.

Hal itu diluar dugaannya. Akan tetapi dia benar-

benar yakin setelah memeriksa kedua kali untuk 

membuktikan bahwa Ki Pamutih benar-benar telah 

mati. Dengan masygul Arya Pandan melangkah keluar. 

Sebenarnya dia tak mengharapkan kematiannya begitu 

cepat, karena dia masih memerlukannya untuk meng-

gapai cita-citanya.

Tiba-tiba dia merandek. Langkahnya terhenti, kare-

na mendadak dia begitu khawatir kalau Ki Pamutih te-

lah menipunya.

***

DELAPAN

Akan tetapi sudah terlambat. Mata mayat Ki Pamu-

tih tiba-tiba membuka. Lengannya bergerak, mengge-

tar. Tiba-tiba mulut Ki Pamutih keluarkan suara men-

desis. Lengannya menghantam punggung Arya Pandan 

disertai bentakan keras.

“Mampuslah kau bocah durhaka!”

Angin panas menderu dibelakang punggung Arya 

Pandan. Laki-laki ini terkesiap bukan main. Kecuri-

gaannya datang bersamaan dengan serangan menda-

dak yang diluar dugaan. Tentu saja membuat Arya 

Pandan kaget setengah mati.

Namun dia masih berusaha menolong jiwanya. Begi-

tu merasai angin keras menderu dibelakang punggung, 

tahulah dia kalau dia diserang. Detik itu juga dia gulingkan tubuhnya ke lantai dengan gerakan secepat ki-

lat.

Terdengar suara mengguruh. Tembok penjara itu 

ambrol terkena pukulan tenaga dalam Ki Pamutih. Su-

ara gemuruh itu diselingi oleh teriakan Arya Pandan.

Tubuhnya terlempar membentur tembok. Bahu ka-

nan laki-laki ini sempat terserempet pukulan si Iblis 

Gila Pembangkit Arwah.

Sakitnya bukan alang-kepalang. Saat itu Arya Pan-

dan terhuyung-huyung. Kepalanya serasa diberati be-

ban ribuan kati. Bahu sebelah kanannya menghitam 

hangus. Sakitnya seperti orang dikuliti.

Namun dia sadar kalau dirinya dalam bahaya besar. 

Dalam kepulan debu tampak bayangan sesosok tubuh 

pemuda ini berkelebat keluar ruangan melalui rerun-

tuhan. Dengan menggelindingkan tubuh beberapa kali 

dia berhasil keluar dari reruntuhan ruangan kamar 

tahanan bawah tanah itu. Ketika muncul dari dalam 

lubang rahasia, tubuhnya dalam keadaan terhuyung.

Arya Pandan kertak gigi menahan sakit. Detik itu 

juga dia gerakkan tangannya merogoh saku baju. Se-

buah benda dilemparkan kedalam lubang rahasia itu 

dimana Ki Pamutih masih berada didalamnya.

Bhlarrr!

Terdengarlah suara ledakan hebat. Kuburan besar 

itu amblas menimbun ruang penjara bawah tanah itu. 

Sedangkan Arya Pandan telah berkelebat melompat 

jauh menghindari ledakan.

Laki-laki itu terhuyung memegangi bahu kanannya 

dengan wajah menyeringai puas. Matanya menatap 

pada kuburan tua yang telah amblas menimbun tubuh 

Ki Pamutih.

“Keparat! Nyaris aku yang mampus! Kakek buta itu 

sungguh luar biasa ilmunya, hingga dapat membuat 

seolah-olah dia sudah tewas. Hahaha... kini kau benar


benar jadi penghuni tanah, Iblis Gila!”

Dengan hati mendongkol dan tubuh terhuyung-

huyung dia memasuki istana.

Akan tetapi rasa nyeri pada punggung dan dadanya 

membuat dia cepat-cepat duduk bersila untuk menya-

lurkan hawa murni dari tenaga dalamnya mengurangi 

rasa sakit. Lengannya menjumput dua butir obat pu-

lung, lalu cepat-cepat ditelannya. Tampak dari bibir 

laki-laki ini menetes darah kental kehitaman, pertanda 

dia terluka dalam cukup parah.

Saat itu tujuh sosok tubuh berpakaian hitam men-

genakan topeng warna hijau bermunculan.

Itulah tujuh anak buah Ki Pamutih yang telah tun-

duk padanya.

“Heh! kemana saja kalian!?” bentak Arya Pandan.

“Kami baru saja menawan seorang gadis! Menden-

gar suara ledakan kami cepat-cepat kemari khawatir 

terjadi apa-apa di istana....” menyahut salah seorang.

“Hm, apakah kalian telah melihat kedatanganku?” 

tanya Arya Pandan.

“Ya! kami melihat!” ketujuh orang itu sama men-

gangguk.

“Mana tawanan kalian? Apakah sudah kalian ma-

sukkan dalam kamar tawanan?”

“Sudah, Ketua...!” sahut salah seorang, dan yang 

lainnya mengangguk.

“Bagus! Kembalilah jalankan tugasmu, aku dalam 

keadaan terluka! Iblis tua Ki Pamutih Ketua lama ka-

lian sudah mampus terkubur dalam kamar penja-

ranya! Aku sudah tak membutuhkan dia lagi! Nah ka-

lian pergilah jalankan tugas!” Lengan Arya Pandan 

mengibas.

Akan tetapi ketujuh orang itu tak beranjak pergi da-

ri situ. Mereka sama terdiam saling pandang sesama 

kawannya.


Arya Pandan kerutkan keningnya.

“He? mengapa kalian tak cepat angkat kaki? Apa-

kah sudah tak menurut perintahku lagi?” bentaknya 

keras.

Ketujuh orang itu sama menjura. Dan salah seorang 

berkata.

“Kami sudah sepakat untuk mengundurkan diri! 

Kami kira hari inilah yang paling tepat waktunya. Kami 

takkan mencampuri urusan Ketua lagi!”

Tentu saja kata-kata itu membuat Arya Pandan ter-

tegun.

“Hm, aneh? Ada apa ini? Bukankah aku telah men-

janjikan pangkat dan kemewahan bila kelak di kemu-

dian hari aku berhasil merebut tahta kerajaan Telaga 

Mandiri? Mengapa kalian kini tiba-tiba mau mengun-

durkan diri?”

Bertanya Arya Pandan dengan menatap ketujuh 

orang dihadapannya.

“Kami....kami...kami berubah niat, dan tak mengha-

rapkan apa-apa lagi!” salah seorang menyahut dengan 

suara tergagap. Jelas wajah dibalik topeng hijau itu 

memucat.

“Jadi kalian tetap akan mengundurkan diri?” tanya 

Arya Pandan.

“Benar!” sahut mereka serempak.

Sejurus Arya Pandan terdiam. Tapi segera buka su-

ara.

“Baik! aku mengizinkan kalian. Mulai hari ini kalian 

bukan anggota ku lagi. Silahkan angkat kaki keluar 

dari wilayah hutan Werid!”

Berkata Arya Pandan dengan suara dingin.

“Terima kasih, Ketua....! serempak mereka sama 

menjura membungkukkan tubuh. Arya Pandan cuma 

mengangguk dengan wajah sinis.

Ketujuh laki-laki bertopeng itu balikkan tubuh, dan


melangkah keluar istana.

Tak lama ketujuh laki-laki bertopeng itu telah ber-

kelebatan berlari menuju jalan rahasia yang menuju 

keluar dari hutan Werid.

Arya Pandan keluarkan tertawa suara dingin. Tiba-

tiba dia membaca mantera. Sepasang telapak tangan-

nya bergerak menyatu.

Uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya. 

Mendadak dia melompat keluar istana. Kedua lengan-

nya terjujur diputarkan ke arah pemakaman disekitar 

istana itu. Bibirnya komat-kamit mengucapkan mante-

ra.

“Arwah-arwah gentayangan, cegat ketujuh orang 

pembantuku itu! Jangan biarkan mereka keluar dari 

hutan Werid ini. Kecuali kematian yang akan menjem-

putnya!”

Selesai berkata Arya Pandan masuk kedalam istana. 

Sementara keadaan disekeliling istana terjadi keane-

han. Bayangan-bayangan putih bermunculan dari ma-

kam itu. Itulah bentuk-bentuk sosok tubuh yang me-

nyeramkan! Arwah-arwah gentayangan itu telah di-

kendalikan oleh Arya Pandan. Ya! dia memang telah 

berhasil menguasai ilmu Pembangkit Arwah.

Dengan suara menggerang dihidung makhluk-

makhluk alam halus itu meluruk saling susul menge-

jar ke arah jalan yang dilalui ketujuh laki-laki berto-

peng tadi.

Cuaca mulai meremang. Sebentar lagi malam akan 

tiba.

Suara-suara aneh membangunkan bulu roma ter-

dengar dari sekitar hutan Werid.

Suasana menyeramkan mengembara disenja tema-

ram yang penuh tragedi itu.

Sementara bau busuk menebar membuat perut se-

rasa mual.


Dari balik ruangan istana yang mulai nampak re-

mang itu terdengar suara tertawa Arya Pandan. Lapat-

lapat terdengar rintih dan keluhan seorang wanita ter-

bawa desahan angin malam....

***

SEMBILAN

Rangga Weni menggeliat.... Mulutnya keluar desisan 

dan rintih tertahan. Sepasang matanya terpejam. Se-

kujur tubuhnya bermandikan peluh.

Sesaat dia meronta-ronta seperti sekarat. Tapi tak 

lama dia terdiam lunglai.

Sekujur tulang-tulang tubuhnya serasa dilolosi.

Tenaganya seperti lenyap musnah. Dan dia mengge-

letak tak berdaya. Bau mayat tak sedap itu masih 

mengitari hidungnya.

Pelahan.. dan pelahan dia menggerakkan kelopak 

matanya. Pikirannya mulai jernih. Dia merasa terbar-

ing disatu pembaringan berkasur empuk. Ada bau ha-

rum kembang tercium dihidungnya. Agak melegakan 

pernapasannya dari bau busuk yang mengganggu hi-

dung.

Akan tetapi dia belum berani membuka kelopak, 

matanya. Yang terbayang dalam kilasan di benaknya 

adalah peristiwa yang dialami.

Ketika dia memasuki wilayah hutan Werid, dia ter-

paku. Karena setiap dia melangkah pepohonan selalu 

mengikutinya. Jantungnya berdegup keras saat itu.

Hawa seram mengembara dihatinya. Dia mulai ra-

gu. Matanya nanar melihat hal yang tidak wajar.

Dia mulai merasa takut. Bulu tengkuknya meremang.


Apakah dia akan membatalkan niatnya? Tulang-

tulang persendian sekujur tubuhnya serasa lemah se-

perti di lolosi. Dia tak mampu bangkit berdiri.

Lenyaplah kegagahannya untuk menyatroni Sripan-

du, murid si Iblis Gila Pembangkit Arwah.

Pada saat itu sekilas dia melihat munculnya bebe-

rapa sosok bayangan. Namun dia telah kehilangan ke-

kuatan untuk menjaga dirinya dari segala kemungki-

nan. Tahu-tahu dia merasa tengkuknya ditotok orang. 

Dia roboh dengan keluarkan keluhan tertahan. Selan-

jutnya matanya nanar.

Dia tak tahu apa-apa lagi. Dia cuma merasa tubuh-

nya seperti terbang.

Itulah hal yang diingatnya. Tapi mengapa dia kini 

dalam keadaan terbaring dipembaringan empuk? Apa-

kah yang telah terjadi dengan dirinya?

Dia seperti baru saja mengalami suatu mimpi bu-

ruk. Mimpi yang amat menakutkan sekali.

Kelopak mata Rangga Weni semakin cepat bergerak, 

dia sudah tahan untuk membukanya.

Tersentak kaget ketika dia mendengar suara laki-

laki didekatnya.

Ketika Rangga Weni membuka kelopak matanya, 

seketika dia jadi terperangah kaget. Dilihatnya sesosok 

tubuh tegap berkeringat berdiri memandangnya.

Bibirnya tersenyum menyeringai. Sepasang mata 

laki-laki itu memandang tajam seperti mau menguliti 

tubuhnya.

Untuk kedua kalinya dia tersentak kaget. Kali ini 

tiada alang-kepalang karena dia melihat keadaan tu-

buhnya yang tak tertutup sehelai benangpun.

Rangga Weni menjerit terkejut. Lengannya me-

nyambar kain selimut. Sekejap dia telah melompat ke-

sudut pembaringan.

“Hahaha.....jangan terkejut, adik manis! Inilah


ruangan kamarku. Indah bukan? Tak perlu khawatir, 

kau tak akan hamil! Seandainya hamilpun kau bisa 

menggugurkan kandunganmu!” berkata Arya Pandan 

tertawa.

“Hah? keparat! Kau... kau telah...???”

“Hahaha.... sudahlah! tubuhmu toh tidak habis. 

Kau sungguh cantik dan menggairahkan, nona Rangga 

Weni! Aku benar-benar haha...ha...”

Kalau saja ada halilintar menggelegar dimalam itu 

dia tak akan begitu terkejut. Akan tetapi menghadapi 

kenyataan itu, Rangga Weni seperti mendengar ribuan 

halilintar menggelegar ditelinganya. Kepalanya terasa 

menjadi berat ribuan kati. Tiba-tiba dia menjerit seke-

ras-kerasnya.

Lalu tubuhnya terkulai roboh tak sadarkan diri.

Rangga Weni tak tahu apa-apa lagi. Bahkan untuk 

kedua kalinya ketika Arya Panda menyeringai buas 

menikmati tubuhnya dia tak lagi mengetahui.

Malam semakin kelam. Suara-suara menyeramkan 

seperti melagukan irama setan terdengar di sekeliling 

istana dalam hutan Werid yang angker itu.

Raja siang telah menampakkan diri diufuk timur. 

Kira-kira sepenanak nasi, dari arah utara muncul 

bayangan hitam melintas di atas bukit. Ternyata itu 

adalah bayangan seekor burung rajawali raksasa.

Burung besar itu melayang tinggi dan merendah. 

Segera tampaklah seorang pemuda duduk menung-

gang dipunggungnya.

Itulah burung Rajawali yang bernama Jabur. Siapa 

lagi penunggangnya kalau bukan Nanjar mengawasi ke 

arah depan dimana terbentang hutan rimba belantara.

“Itulah hutan Werid! Hayo cepat kita kesana, Ja-

bur!” berkata Nanjar seraya menepuk-nepuk leher bu-

rung peliharaannya.

Si Jabur mengerti. Dia terbang cepat ke arah yang


ditunjuk Nanjar. Sebentar kemudian dia telah memu-

tari hutan Werid.

“Jabur! terbanglah agak merendah!” perintah Nan-

jar. Burung raksasa itu menurut. Lima tombak dari 

atas tanah, Nanjar tiba-tiba melompat turun.

Tubuhnya meletik indah. Lengannya terpentang. 

Hebat! Kini si Dewa Linglunglah yang melakukan sikap 

“terbang”. Dengan gerakan ringan dia turun dengan je-

jakkan kakinya ditanah berumput tebal.

Sementara itu si Jabur masih tetap berputar-putar. 

Nanjar keluarkan suara suitan nyaring dari mulutnya 

dua kali. Si Jabur seperti mengerti. Dia terbang men-

jauh. Melayang ke atas sebuah bukit kecil. Dipuncak 

bukit itu dia mendarat.

Sementara itu Nanjar mulai pentangkan mata lebar-

lebar untuk memeriksa isi hutan itu.

“Aku harus menyelidiki seluruh rahasia hutan We-

rid! Kukira Rangga Weni pasti kemari. Bukankah dia 

mau membalaskan sakit hati pada orang yang mem-

bunuh Soma?” berkata Nanjar dalam hati.

Sesaat kemudian Nanjar telah melompat dari tem-

pat itu. Dengan mengerahkan segenap kekuatan ba-

thin yang dimilikinya dia berusaha mencari jejak 

Rangga Weni dan mencari tahu dimana letak sarang 

utama Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Arwah.

Terkejut Nanjar ketika dia menjumpai tujuh sosok 

tubuh berkaparan tak bernyawa. Ketujuh orang itu te-

was dengan leher terkoyak seperti terkena cengkraman 

binatang buas.

“Ini pasti bukan perbuatan binatang buas. Akan te-

tapi akibat perbuatan si Iblis Gila Pembangkit Arwah!” 

sentak Nanjar dengan terkejut.

Nanjar menyingkapkan kedok kain hijau pada se-

tiap mayat. Tampak masing-masing wajah dalam kea-

daan membiru. Dari lubang hidung, telinga dan mata


serta mulutnya tampak mengalirkan darah hitam yang 

sudah kental.

Diam-diam Nanjar telah menghunus senjatanya Pe-

dang Mustika Naga Merah. Cahaya merah segera tam-

pak berkilauan disertai hawa dingin mencekam yang 

keluar dari badan pedang mustika itu.

Aneh! Nanjar hampir tak percaya. Begitu dia men-

cabut pedang mustikanya, keadaan dalam hutan itu 

berangsur-angsur berubah. Pohon-pohon yang rapat 

membentuk barisan yang sama di sekeliling tempat itu 

lenyap. Tampaklah samar-samar sebuah istana kecil 

dikejauhan. Disekelilingnya penuh dengan kuburan.

Disana-sini banyak jalan-jalan kecil yang menuju 

keperbagai arah.

“Aneh!? Mengapa terjadi perubahan seperti ini?” pi-

kir Nanjar dalam benak. Dia pernah tersesat di dalam

hutan itu. Bahkan sampai setengah hari memutari isi 

hutan, tapi tak menjumpai adanya sebuah istana di 

dalam hutan ini. Kini begitu dia mencabut pedang 

mustika Naga Merah, semua yang dihadapannya men-

galami perubahan.

Tahulah dia kalau Pedang Mustika Naga Merah te-

lah melunturkan ilmu hitam yang menyesatkan untuk 

mengelabuhi mata orang di dalam hutan Werid.

Melihat istana kecil yang berada di tengah pekubu-

ran itu, hati Nanjar tercekat untuk menyelidiki. Dia 

yakin kalau itulah tempat tinggal Ki Pamutih.

Tak ayal dia sudah melompat ke arah istana itu.

Bagi si Dewa Linglung yang sudah kepalang nekat 

untuk menyelidiki sampai tuntas tempat yang menjadi 

tempat Iblis Gila Pembangkit Arwah, sudah tak mem-

pedulikan rasa takut lagi. Apa lagi pedang mustikanya 

telah tergenggam di tangan. Bahkan telah dilihatnya 

dengan mata-kepala sendiri akan kehebatan pedang 

mustika itu.


Dengan berindap-indap dia memeriksa setiap ruan-

gan.

Kembali dia terperangah melihat tiga sosok mayat 

terbujur dihadapannya. Kali ini mata Nanjar membe-

liak seperti mau keluar dari kelompaknya.

Apa yang dilihatnya adalah tiga mayat wanita, da-

lam keadaan tergantung ditiang penglari. Salah satu 

dari tiga mayat itu adalah... Rangga Weni.

“Adik Rangga Weni!?” teriak Nanjar dengan suara 

menggeletar.

Lidah Nanjar serasa kelu. Matanya mendelong me-

natap sosok mayat itu. Jelas mayat wanita itu adalah 

mayat Rangga Weni. Dengan menjerit keras Nanjar en-

jot tubuhnya untuk melompat.

Des!

Pedang Mustika Naga Merah telah menyambar pu-

tus tali pengikat leher mayat wanita itu.

Sekejap tubuh wanita itu telah dalam pondongan-

nya.

“Rangga Weni! Rangga Weni! Siapa iblisnya yang te-

lah menganiaya dirimu? katakanlah! akan kucincang 

dia sampai lumat!” berteriak-teriak Nanjar dengan wa-

jah merah padam. Hampir-hampir dia menangis se-

senggukan. Namun setitik air bening meluncur turun 

dari sudut mata pemuda ini.

“Pembunuh terkutuk! Sungguh sadis perbuatan-

nya!” menggumam Nanjar sambil menggigit bibir.

Tiba-tiba dia menengadah ke atas. Dua mayat wani-

ta yang tergantung itu salah satunya dalam keadaan 

perutnya menggembung.

Dapat dipastikan wanita itu dalam keadaan hamil.

Nanjar kertak gigi, tak dapat menahan perasaan ha-

tinya melihat kekejaman yang tiada berperikemanu-

siaan itu.

Tubuhnya melesat. Dan...des! des! Dia telah membabat putus tali pengikat leher mayat. Dengan gerakan 

cepat dia telah menangkap kedua mayat itu.

Untuk selanjutnya dia kembali melompat turun.

Pelahan-lahan dia membaringkan kedua mayat wa-

nita itu.

“Kejam! sungguh kejam biadab!” memaki Nanjar 

dengan wajah merah padam. Tiba-tiba Nanjar berteriak 

keras-keras.

“Iblis Gila Pembangkit Arwah! manusia iblis telen-

gas! keluarlah kau! Aku akan lumatkan tubuhmu!”

Akan tetapi beberapa kali Nanjar berteriak-teriak, 

tetap tak ada siapa-siapa yang muncul diri.

“Iblis edan Ki Pamutih! perbuatan terkutukmu akan 

mendapat balasan setimpal! Keluarlah untuk meneri-

ma kematian!” kembali Nanjar berteriak.

Akan tetapi cuma suaranya sendiri yang terdengar 

berpantulan.

“Heh! Apakah manusia iblis itu telah meninggalkan 

tempat ini?” pikir Nanjar dalam hati. Sejenak dia me-

natap pada mayat Rangga Weni. Dileher jenazah itu 

tertancap sebuah jarum hijau. Pada keliling luka dile-

hernya terdapat tanda kehitaman.

Serta-merta dia mencabut jarum maut yang telah 

merenggut jiwa gadis ini.

Diperhatikan baik-baik senjata rahasia itu. Jarum 

itu berbentuk segi tiga memanjang. Ujungnya agak ge-

peng membentuk seperti kipas.

“He? aku pernah melihat senjata rahasia macam 

ini!” sentak Nanjar terkejut. Segera dia teringat akan 

satu peristiwa di Kota Raja. Ketika dia pada beberapa 

bulan yang lalu memasuki sebuah restoran yang cu-

kup ternama.

Di saat dia tengah bersantap dan memesan maka-

nan, seorang laki-laki gemuk duduk dibangku sebe-

lahnya pada meja disudut kiri restoran.


Laki-laki itu mengenakan topi tudung. Tampaknya 

agak mencurigakan, karena dia bersantap dengan ter-

buru-buru.

Tapi Nanjar tak pedulikan urusan orang lain.

Mendadak muncul tiga orang perwira Kerajaan. Me-

reka adalah para perwira Kerajaan Telaga Mandiri.

Secara kebetulan entah memang sengaja. Ketiga 

perwira Kerajaan itu mendapat tempat didepan meja 

laki-laki gemuk bertudung itu.

Nanjar memperhatikan salah seorang dari ketiga 

perwira kerajaan itu sering melirik pada si laki-laki 

gemuk bertudung.

Tak lama si laki-laki gemuk bertudung selesai ber-

santap. Seperti tergesa-gesa dia membayar harga ma-

kanan. Lalu cepat berlalu dari restoran.

Dari sekilas pandangan saja, Nanjar telah mengeta-

hui kalau salah seorang laki-laki dari tiga perwira Ke-

rajaan itu memang tengah mengincar korban. Yaitu si 

laki-laki gemuk bertudung itu. Karena mendadak, be-

gitu si laki-laki gemuk itu keluar, perwira kerajaan itu 

mengatakan perutnya mulas.

Dia minta diri untuk kebelakang.

Nanjar yang ingin tahu cepat membayar harga ma-

kanan. Lalu keluar dari restoran. Dengan gerakan ce-

pat dia menyelinap untuk mencari jejak si laki-laki 

gemuk tadi. Tampak oleh Nanjar laki-laki gemuk itu 

berjalan cepat menuju arah selatan. Matanya yang jeli 

segera dapat menangkap bayangan sosok tubuh perwi-

ra tadi yang permisi mau kebelakang.

Benar dugaan Nanjar, perwira itu membuntuti si la-

ki-laki gemuk.

Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu ditempat yang 

sunyi yang dilewati laki-laki gemuk itu terdengar jeri-

tan parau tertahan. Nanjar memburu. Ketika dia tiba 

ditempat itu si laki-laki gemuk telah tewas. Dilehernya


tertancap jarum hijau yang merenggut nyawanya.

Baru saja Nanjar mau membentak untuk mengejar 

bayangan tubuh perwira kerajaan itu, mendadak se-

buah sinar rahasia kembali meluncur kearahnya.

Untung dia berlaku gesit. Dengan pura-pura terke-

na senjata rahasia, dia mengeluh lalu pura-pura ro-

boh. Senjata itu terselip disela kedua jarinya.

“Heh! mampus! siapapun tak berhak mencampuri 

urusan orang-orang Kerajaan!” terdengar suara perwi-

ra kerajaan itu memaki. Nanjar menahan napas. Un-

tung perwira itu tak memeriksa dirinya mati atau hi-

dup. Dia terus berkelebat cepat kembali ke restoran.

“Hm, belum saatnya aku membekuknya. Aku tak 

tahu persoalan. Apa kesalahan orang gemuk ini?” ber-

kata Nanjar dalam hati. Dengan cepat dia menyelinap 

pergi setelah menyimpan jarum maut itu dilipatan ba-

junya.

Demikianlah kisah yang dingatnya. Dia telah me-

nyelidiki siapa adanya perwira Kerajaan itu. Ternyata 

dia bernama ARYA PANDAN. Perwira kerajaan itu ter-

nyata masih ada pertalian saudara dengan Raja. Yaitu 

keponakan Raja Kerajaan Telaga Mandiri. Siapa 

adanya laki-laki gemuk itu? Dia adalah bekas seorang 

pelayan yang dipecat dari keluarga Arya Pandan. Pe-

layan itu banyak tahu rahasia keluarga Arya Pandan 

yang membenci Raja. Bahkan berambisi merebut tahta 

Kerajaan. Kemunculan pelayanan itu direstoran ter-

nyata telah dikuntit oleh Arya Pandan yang menyamar 

menjadi perwira biasa. Padahal dia adalah seorang ke-

pala Perwira Kerajaan. Demikianlah kesempatan itu 

dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya Pandan untuk 

menghabisi nyawa pelayan gemuk itu demi membung-

kam mulut.


SEPULUH

Pada saat Nanjar tengah tercenung itu tiba-tiba ter-

dengar suara tertawa dibelakangnya.

Dengan gerakan kilat dia balikkan tubuh. Pedang-

nya siap dipergunakan. Akan tetapi dia terperangah, 

karena sosok tubuh dihadapannya adalah seorang ne-

nek tua keriput berambut putih.

“Nini Galunggung!” sentaknya diantara girang dan 

terkejut.

“Hihihi... nasib kalian memang buruk, karena mu-

sibah telah menimpa kalian. Gadismu itu mati muda, 

karena ketelengasan manusia biadab yang mabuk ke-

kuasaan juga berwatak jahat. Akan tetapi kau salah 

terka kalau orang yang membunuhnya adalah si Iblis 

Gila Pembangkit Arwah Ki Pamutih. Karena dia sendiri 

sudah menjadi makanan cacing tanah dibunuh manu-

sia telengas itu!”

“Siapakah maksudmu, Nini?” sentak Nanjar terke-

jut. Dia menatap pada wajah keriput yang telah meno-

longnya keluar dari hutan Werid beberapa hari yang la-

lu.

“Dialah orang yang bernama Arya Pandan! anak 

angkat Patih Arya Bandura yang berambisi merebut 

kekuasaan Kerajaan Telaga Mandiri. Keadaan dalam 

kerajaan memang semrawut. Sebaiknya kita kaum 

pendekar memang tak mencampuri urusan itu, karena 

kita hanya rakyat biasa. Akan tetapi kejahatan manu-

sia yang melampaui batas tidaklah bisa kita biarkan 

begitu saja!” ujar nenek ini dengan suara tandas na-

mun berwibawa.

“Benar, Nini...! aku sependapat denganmu!” Nanjar 

membenarkan. Dalam hati diam-diam Nanjar berkata. 

Jarum hijau ini memang milik Arya Pandan! Dugaanku


tidak meleset, tapi sungguh diluar dugaan kalau ma-

nusia itu mampu membunuh Ki Pamutih si Iblis Gila 

Pembangkit Arwah!?

“Apakah Nini sudah memeriksa bahwa Arya Pandan 

sudah angkat kaki dari tempat ini?” bertanya Nanjar.

“Ya! aku yakin! Tapi hutan Werid ini masih men-

gandung kekuatan ghaib dari ilmu hitam Arya Pan-

dan!” sahut Nini Galunggung.

“Heh? Jadi dia telah mewarisi ilmu si Iblis Gila itu?” 

sentak Nanjar terkejut.

“Benar apa yang kau katakan! Sebaiknya kau sege-

ra semayamkan ketiga jenazah itu, dan segera tingga-

lan tempat ini. Aku akan berjaga-jaga selama kau be-

kerja!” berkata si nenek dengan serius.

“Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nini...!” sahut

Nanjar dengan girang. Tapi nada wajahnya masih me-

nampakkan kesedihan karena kematian Rangga Weni. 

Ditatapnya wajah jelita gadis itu yang memucat. Seo-

lah-olah dara itu tidak mati, karena seperti tidur lelap.

“Adik Rangga Weni...! maafkan aku. Haih! aku tak

dapat menjagamu. Maafkan aku kakek Raja Penge-

mis...!” berkata Nanjar pelahan dengan hati sedih.

Tak berayal Nanjar segera pondong satu persatu ke-

tiga jenazah itu.

Salah seorang dari mayat itu adalah Sripandu. Se-

dang mayat gadis yang satu lagi Nanjar tak mengenal-

nya.

Selama menggali tanah untuk memakamkan ketiga 

jenazah itu Nanjar teringat pada Wintari.

“Ah, dimana gerangan adanya gadis itu? apakah dia 

telah pula menjadi korban biadab itu?” pikir Nanjar 

dalam benak.

Tak lama selesailah Nanjar melakukan penguburan 

ketiga jenazah itu.

Di depan makam Rangga Weni Nanjar tertunduk.


Lagi-lagi dia berkata perlahan dengan suara berat.

“Semoga Tuhan menerima arwahmu disisiNya. 

Maafkan aku adik Rangga Weni. Ternyata Tuhan 

menghendaki kita tidak berjodoh untuk menjadi pa-

sangan suami istri...”

Selesai berdo’a Nanjar bangkit berdiri. Dilihatnya 

Nini Galunggung masih berdiri menatapnya. Seakan-

akan nenek itupun tampak bersedih dengan nasib tra-

gis ketiga gadis itu, terutama Rangga Weni.

“Kemana tujuan anda, Nini Galunggung? Apakah 

anda punya pendapat manusia telengas itu akan kem-

bali kemari?” tanya Nanjar, seraya melangkah mende-

kati.

“Benar! Firasatku mengatakan dia masih akan 

kembali kemari! Sebaiknya kita menunggu dia sampai 

tiba saat kemunculannya!”

Baru saja Nini Galunggung selesai berkata telah 

terdengar suara tertawa terbahak disusul berkelebat-

nya dua sosok tubuh.

Bukan main terkejutnya Nanjar karena sosok tubuh 

itu memang Arya Pandan. Akan tetapi yang lebih 

membuat dia terkejut adalah sosok tubuh yang men-

dampinginya. Dia seorang gadis berbaju putih, yang 

tak lain dari Tari, si gadis yang telah kehilangan ayah-

nya.

Anehnya gadis itu menggandeng tangan Arya Pan-

dan erat-erat seperti layaknya dua orang kekasih yang 

tak mau berpisah.

“Hahahaha.... Sungguh aku tak kecewa berhadapan 

dengan seorang tokoh persilatan yang mempunyai na-

ma kesohor. Dewa Linglung! Tempo hari kau bisa lolos 

dari tanganku karena pertolongan perempuan tua ge-

nit ini! Tapi hari ini jangan harap kau bisa meloloskan 

diri dari kematian!”

“Tutup mulut kotormu, manusia telengas!” membentak Nanjar.

Dia sudah melompat mendekati Arya Pandan. Pe-

dang Naga Merah dilintangkan di atas dada.

“Hihihi....serahkan orang ini padaku, suamiku! Biar 

aku yang mengirim nyawanya keliang Akhirat!” Tiba-

tiba Tari berkata dingin. Matanya menatap tajam pada 

Nanjar.

“Tari!? bagaimana mungkin manusia iblis itu adalah 

suamimu?” berkata Nanjar dengan heran. Nanjar meli-

hat ketidak wajaran pada diri gadis itu. Sementara itu 

Arya Pandan tertawa gelak-gelak, matanya menatap 

pada Nini Galunggung.

“Hahaha...bagus! Biar aku yang menghadapi nenek 

peot ini!” berkata Arya Pandan.

“Hahaha... lebih baik kau buka kedok keriputmu, 

nenek peot! Aku malas bertarung dengan orang yang 

menyamar seperti itu. Kau pasti punya wajah cantik! 

Ataukah kalau perlu aku yang akan menguliti kulit 

mukamu?”

“Manusia kurang ajar!” membentak Nini Galung-

gung.

***

SEBELAS

Sebelah tangan Nini Galunggung terangkat. Me-

nyambarlah kilatan cahaya perak menghantam ke arah

dada Arya Pandan. Akan tetapi Arya Pandan telah siap 

menghadapi. Dia gerakkan sepasang lengannya me-

lingkar. Uap hitam memapaki serangan itu.

Terdengar suara bagai obor amblas kedalam air. 

Hebat kekuatan ilmu Menghalau Petir dari Arya Pan-

dan, membuat Nini Galunggung berseru kagum.

Tapi dia telah melompat untuk menerjang jurus


jurus pukulannya yang lebih bahaya. Arya Pandan 

mengimbangi terjangan lawannya dengan gerakan silat 

yang aneh. Karena terkadang tubuhnya lenyap, terka-

dang muncul dengan tubuh yang terpecah menjadi be-

lasan tubuh. Ilmu hitam Arya Pandan membuat Nini 

Galunggung cukup sulit menyarangkan pukulannya. 

Bahkan serangan-serangan balik dari Arya Pandan le-

bih dahsyat dan berbahaya.

Berkali-kali Nini Galunggung menyarangkan puku-

lannya, akan tetapi lawan selalu menggunakan ilmu 

hitam untuk menghindar. Mulut Arya Pandan tampak 

selalu berkemak-kemik membaca mantera-mantera.

Sementara itu Nanjar terpaksa menghadapi terjan-

gan Wintari dengan mengelakkan diri. Dengan mem-

pergunakan ilmu Kera dan Ular dengan mudah Nanjar 

menghindar. Melihat demikian, Wintari gusar. Tiba-

tiba dia telah mencabut pedangnya. Terkejut Nanjar 

karena itulah pedang Inti Es milik Rangga Weni.

Nanjar yang telah memasukkan pedang Mustika lagi 

dalam menghadapi Wintari terpaksa harus hati-hati 

menghadapi serangan Wintari yang mengandung 

maut.

Selang dua puluh jurus, Nanjar mengatur siasat un-

tuk membuat roboh orang tanpa melukainya.

Dengan jurus Biawak Sakti Membongkar Bukit dia 

mengubah serangan.

Sambaran pedang Inti Es telah diimbangi dengan 

gerakan jurus Ilmu Bangau.

Pertarungan memang telah terpecah menjadi dua 

tempat yang agak berjauhan. Nanjar memang sengaja 

membuat tempat pertarungan menjadi terpisah.

Dia harus menyelamatkan Wintari dari pengaruh 

kekuatan ilmu hitam Arya Pandan. Dia yakin gadis itu 

kena pengaruh manusia iblis itu yang telah mewarisi

ilmu-ilmu Ki Pamutih.


Tiba-tiba Wintari menjerit, karena gerakan menotok 

dari jurus Ilmu Bangau Nanjar berhasil mengenai sa-

saran.

“Wintari! sadarlah! kau kena pengaruh ilmu hitam 

Arya Pandan. Kalau kau mau mengetahui siapa orang 

yang telah membunuh ayahmu, dialah orangnya!” te-

riak Nanjar. Nanjar sengaja memancing dengan hal 

yang tak diketahuinya sama sekali. Tujuannya adalah 

untuk memulihkan pengaruh ilmu hitam yang mengu-

asai syaraf Wintari. Nanjar sendiri heran Mengapa 

Wintari tampaknya telah berobah menjadi orang yang 

tak wajar? Bahkan ilmu-ilmu silatnya berbeda dengan 

yang biasa dimilikinya.

“Keparat!” terdengar bentakan keras. Tahu-tahu 

sambaran sinar hijau membumbung ke arah Nanjar. 

Itulah serangan Arya Pandan yang menyerang dengan 

serangkum senjata rahasianya.

Whuuuk! Trrang!

Kibasan sinar merah membuyarkan rangkuman si-

nar hijau dari jarum-jarum maut yang mengandung 

racun itu. Ternyata ditangan Nanjar telah tercekal pe-

dang Mustika Naga Merah.

Akan tetapi sambaran tombak pendek Arya Pandan 

tak dapat ditangkis Nanjar, karena bersamaan dengan 

itu pedang Wintari menyerang ke arah tenggorokan.

Buk!

Nanjar mengeluh. Tubuhnya jatuh terlempar bergu-

lingan. Dia berhasil mengelakkan serangan Wintari, 

akan tetapi sambaran tombak Arya Pandan tak dapat 

di elakkan. Untunglah pada detik itu Nanjar sempat 

menangkis dengan buntalan kainnya.

Dengan pengerahan tenaga dalam, buntalan kain 

itu menjadi sekeras batu.

Akan tetapi tak urung tubuh Nanjar terlempar. Dan 

tak urung tombak Arya Pandan menembus buntalan


kain dan menancap dua inci dikulit dada pemuda itu.

Pada saat itu terdengar bentakan keras Nini Ga-

lunggung yang menghantamkan serangannya.

“Jangan curang!”

Sinar perak dan pelangi menyambar laksana kilat. 

Namun lagi-lagi uap hitam telah menghalangi serangan 

itu. Arya Pandan cuma membaca mantera dengan 

menggerakkan tangannya, tahu-tahu muncul uap hi-

tam yang membentengi tubuhnya laksana dinding baja 

yang tak dapat ditembus.

Bukan main terkejutnya Nanjar maupun Nini Ga-

lunggung, karena bersamaan dengan lenyapnya uap 

hitam itu, tubuh Arya Pandan pun lenyap.

Saat itu juga Nanjar teringat pada Wintari. Dilihat-

nya gadis itu tengah terpaku menatap Nanjar. Sepa-

sang matanya tampak redup seperti menyesal telah 

melakukan serangan yang nyaris membuat jiwa Nanjar 

melayang.

“Adik Wintari...! syukurlah kau sadar! Aku akan 

melindungimu!”

Nanjar melompat mendekat. Akan tetapi bukan ke-

palang terkejutnya si Dewa Linglung. Karena mengeta-

hui nyawa Wintari sudah melayang.

Tampak dileher gadis itu tertancap jarum hijau.

Gadis itu telah tewas dalam keadaan berdiri.

“Keparat! sungguh-sungguh biadab!” berteriak Nan-

jar dengan marah.

Dipeluknya tubuh gadis itu lalu dipondongnya.

Wajah Nanjar tampak merah padam karena gusar-

nya tiada terperikan.

“Arya Pandan! iblis keparat! mengapa kau bunuhi 

gadis-gadis yang tak berdosa? Keluarlah! Ayo berta-

rung denganku secara kesatria! secara jantan! aku 

akan melayani kau sampai seribu jurus, sampai titik 

darahku yang penghabisan!” Nanjar berteriak-teriak


seraya melompat kesana-kemari. Sikapnya seperti 

orang yang kurang waras.

Akan tetapi tak terdengar suara sahutan Arya Pan-

dan. Bahkan yang membuat mereka terkejut adalah, 

tiba-tiba cuaca menjadi gelap.

Angin keras bersiutan. Saat itu juga terdengar sua-

ra riuh disekeliling mereka.

Tersentak kaget Nanjar maupun Nini Galunggung. 

Apakah yang dilihatnya?

Makhluk-makhluk menyeramkan dari mayat-mayat 

hidup telah bermunculan berpuluh-puluh banyaknya 

mengurung mereka.

Yang lebih mengerikan adalah dari mayat-mayat hi-

dup itu ada yang wajahnya sudah rusak dan anggota 

tubuhnya sudah tidak sempurna.

Melihatnya banyaknya makhluk-makhluk para ar-

wah itu tak mau membuat kaki Nanjar menyurut 

mundur. Demikian juga halnya dengan Nini Galung-

gung.

Nini Galunggung melompat mendekati Nanjar.

“Setahuku pedangmu pedang Mustika. Mengapa tak 

kau coba menggunakannya?” berbisik Nini Galung-

gung. Otak Nanjar mendadak menjadi terang. Dia se-

perti diingatkan. Senjata pedang Mustika Naga Merah 

itu memang mengandung keghaiban. Siapa tahu dapat 

mengusir makhluk-makhluk setan itu? pikir Nanjar.

Segera Nanjar pejamkan mata sejenak untuk me-

nyatukan kekuatan bathinnya dengan mengingat yang 

Satu, yang Esa yaitu Tuhan Pencipta alam semesta.

Dengan mengharap pertolongan Dia jualah segala 

kemukjizatan bisa terjadi.

Nanjar membuka matanya dengan keyakinan pe-

nuh. Tenaga dalamnya disalurkan kegagang pedang. 

Dengan memuji nama Tuhan dia gerakkan pedang itu 

melingkar. Tampak lengannya menggeletar.


Tiba-tiba cahaya merah memancar dari badan pe-

dang. Dalam gelap gulita itu seakan-akan ada seekor 

Naga melingkar yang menjulurkan ekornya berwarna 

merah menyala-nyala tengah berkelebatan.

Memang! Nanjar telah lepaskan jenazah Wintari 

yang dipondongnya. Tubuhnya berkelebat. Dan dia 

menerjang puluhan makhluk-makhluk para arwah itu 

dengan penuh keyakinan.

Terdengarlah suara jeritan melengking disana-sini. 

Setiap kilatan merah menyambar maka akan terdengar 

jeritan kesakitan. Lalu sosok-sosok makhluk itu lenyap 

menjadi gumpalan asap hitam.

Kilatan-kilatan cahaya merah berbentuk Naga itu 

membuat Nini Galunggung berseru kagum.

“Hebat! Pedang Mustika Naga Merah sungguh senja-

ta yang luar biasa!”

Baru saja dia memuji, tiba-tiba terdengar suara 

aneh seperti puluhan batu dan ratusan pasir yang ja-

tuh meluruk. Ketika dia menengadah. Terkejut nenek 

ini bukan kepalang. Karena atap istana itu runtuh.

“Aiiiiih! celaka!” sentaknya terkejut. Namun secepat 

kilat dia sudah menyambar jenazah Wintari dan me-

lompat keluar untuk menyelamatkan diri.

Nanjar sendiri terkejut, karena tahu-tahu istana itu 

runtuh. Tiang-tiang dan temboknya luluh hancur se-

perti bubuk. Sementara kilatan petir tiba-tiba muncul 

berkredepan.

“Ah?! apa yang telah terjadi?” sentaknya kaget. Se-

kilas dia melihat Nini Galunggung melompat dengan 

memondong jenazah Wintari.

Diapun berkelebat menyusul... Sedetik kemudian 

terdengarlah suara bergemuruh. Istana itu roboh am-

bruk, hancur luluh seperti disedot ke dalam bumi.

Dari kejauhan keduanya memandang dengan mata 

tak berkedip dan mulut ternganga.


DUA BELAS

Berangsur-angsur cuaca menjadi terang benderang.

Aneh! keadaan tempat itu semua berubah. Tempat 

itu menjadi sebuah tepat yang gersang. Semak belukar 

dan pohon-pohon tua cuma ada beberapa gelintir. Se-

dangkan di tengah tegalan bekas tempat istana itu 

berdiri ada sebuah arca yang sudah hancur. Bekas-

bekas reruntuhan istana itu tak menampak bekasnya 

sedikitpun.

Di saat mereka tercengang keheranan itu mendadak 

terdengar suara bentakan keras menggeledek.

“Dewa Linglung! kau telah menghancurkan sesem-

bahan ku! terimalah kematianmu!” Puluhan tombak 

bagaikan bayangan menderu ke arah Nanjar.

Itulah ilmu Tombak Dewa Murka yang dimiliki Arya 

Pandan. Pemuda itu muncul dengan kemarahan luar 

biasa. Bukan saja Nanjar telah memusnahkan ilmu 

Pembangkit Arwah, tapi juga membuat Arya Pandan 

jadi putus asa. Jelas akan gagallah seluruh cita-

citanya. Musnah harapannya untuk menumbangkan 

kekuasaan Kerajaan Telaga Mandiri dan menggantikan 

menjadi Raja.

Kegelapan hati pemuda itu membuat dia menjadi 

gelap mata. Kemarahannya tak terbendung. Di saat

semuanya menjadi berubah seperti wajarnya, dia me-

nerjang keluar dari tempat persembunyiannya untuk

menghabisi nyawa Nanjar.

Nyaris tubuh Nanjar terpanggang menjadi sate ka-

lau dia tak berlaku gesit. Dengan ilmu kera yang dimi-

likinya dia melompat-lompat menghindar.

“Keparat!” memaki Arya Pandan. Tangannya berge-

rak. Menderulah sinar hijau ke arah Nanjar yang baru 

saja lolos dari serangan maut.


Ratusan jarum maut meluruk ke arah si Dewa Lin-

glung.

Dalam keadaan demikian itu Nanjar sungguh tak 

menduga. Akan tetapi secara reflek dia gunakan pe-

dang mustikanya untuk menangkis. Gerakan memutar 

pedang itu dibarengi dengan keyakinan. Aneh! Sinar 

hijau dari ratusan jarum maut itu mendadak punah, 

dan lenyap bagai terhisap masuk ke badan pedang.

Terperangah kaget Arya Pandan. Namun dia telah 

lancarkan serangan lanjutan yang telah dipersiapkan. 

Pukulan uap beracun yang jarang dipergunakan kalau 

bukan untuk menghadapi lawan yang kuat, hari itu te-

lah dipergunakan.

Arya Pandan telah siap lebih dari tiga perempat te-

naga dalamnya pada kedua kepalan. Tampak uap un-

gu menghambur ke arah Nanjar, ketika dengan mem-

bentak keras dia layangkan pukulan mautnya.

Nini Galunggung yang sejak tadi mengikuti jalannya 

pertarungan jadi terkejut. Dia mengetahui pukulan itu 

amat berbahaya.

“Pukulan Racun Ungu!” sentaknya terkejut. Dia su-

dah mau berteriak untuk memperingatkan si Dewa 

Linglung.

Akan tetapi pada saat itu secercah kilatan merah te-

lah terlebih dulu menyambar.

Terdengarlah suara jeritan melengking panjang. Tu-

buh Arya Pandan terhuyung-huyung. Matanya membe-

liak. Lidahnya terjulur. Ternyata dadanya telah ter-

tembus pedang Mustika Naga Merah yang secepat kilat 

telah dilemparkan Nanjar.

Tak lama tubuh Arya Pandan roboh terjungkal. 

Nyawanya melayang!

Ternganga Nini Galunggung melihat kejadian itu. 

Namun diam-diam dia bersyukur atas terhindarnya 

Nanjar dari maut.


Akan tetapi bukan main terkejutnya Nini Galung-

gung ketika mengetahui Nanjar dalam keadaan ter-

huyung-huyung, dan jatuh terkapar.

Tak ayal dia melompat memburu. Dilihatnya bibir 

pemuda itu meneteskan darah. Matanya terpejam. Pa-

da dadanya yang bergambar tato Naga itu tampak 

warna dan sedikit luka bekas tusukan tombak.

Wajah pemuda itu pucat pasi.

“Nanjar! ah, kau... kau terkena pukulan itu?” suara 

Nini Galunggung mengandung isak. Suara itu tampak 

terdengar lain seperti biasanya.

“Nanjar! kau tak boleh mati! aku tahu akibat puku-

lan itu! Tapi kau tak boleh mati begitu cepat!” berkata 

Nini Galunggung dengan penuh kekhawatiran. Dan.... 

tiba-tiba.... Plas! Dia telah merenggut kulit wajahnya.

“Kau....kau Roro? Hah!? benarkah?” berkata Nanjar 

dengan suara tergagap.

“Benar! benar sayang...! Aku Roro Centil! Maafkan 

aku, karena sengaja aku melakukan penyamaran. 

Rambutku sengaja ku semir putih! Hihihi... lucu bu-

kan? aku tampak seperti benar-benar telah tua!” me-

nyahut Roro.

Akan tetapi sambil tertawa air mata gadis pendekar 

ini bercucuran.

Dia tahu kalau nyawa Nanjar tak akan tertolong la-

gi.

Benar saja! Tampak Nanjar berseru girang, akan te-

tapi langsung roboh lagi. Pingsan!

Apa yang terjadi? Nini Galunggung ternyata bukan 

seorang nenek-nenek keriput.

Akan tetapi dia seorang gadis jelita yang berwajah 

cantik rupawan.

“Nanjar! kau lihatlah siapa aku? Aku.... aku RORO! 

Aku RORO! Kau dengarkah? aku RORO CENTIL!” te-

riak Nini Galunggung seraya mengguncang


guncangkan tubuh Nanjar.

Mendengar demikian mata Nanjar mendadak terbu-

ka. Hatinya tersentak. Bagaikan dipagut ular dia 

bangkit duduk. Sepasang mata pemuda itu membela-

lak memandang wajah rupawan terpampang didepan 

matanya.

Pucat seketika wajah Roro Centil.

“Celaka! dia tak boleh mati disini! aku harus meno-

longnya walau untuk memperlambat kematian!” sentak 

Roro dalam hati.

Sekali sambar tubuh Nanjar telah berada dalam 

pondongannya. Roro menoleh pada mayat Wintari se-

belum dia menindakkan kaki. Tangannya bergerak.

Sinar perak menyemburat menghantam tanah. Se-

ketika tanah menghambur menguruk tubuh jenazah 

gadis malang itu.

Tak lama terdengar suara lengkingan panjang Roro 

Centil. Tubuhnya berkelebat lenyap. Cuma terlihat se-

kilas bayangan hijau yang melesat keluar dari hutan 

Werid yang gersang. Tempat itupun kembali senyap 

mencekam....

Sebuah bayangan hitam tiba-tiba menyambar! Ter-

kejut Roro mengetahui yang menyambarnya adalah 

seekor burung rajawali raksasa.

Dengan gesit dari perkasa Pantai Selatan itu me-

lompat menghindar.

“Jangan serang, Jabur!” teriak Nanjar tiba-tiba.

Tentu saja membuat Roro Centil terheran, karena 

mendengar orang yang dipondongnya berteriak.

Tahu-tahu Nanjar melompat dari punggung Roro, 

dan jejakkan kaki di atas batu. Mulutnya tertawa me-

nyeringai.

“Jabur! jangan kurang ajar! ayo, turun!” tiba-tiba 

Nanjar berteriak ketika melihat rajawali raksasa itu 

mau menyambar Roro lagi.


Si Jabur menukik melayang ke arah Nanjar lalu 

hinggap didekat pemuda itu.

Roro Centil ternganga keheranan.

“Nanjar? kau...kau pemilik burung raksasa itu? Dan 

kau tak kenapa-kenapa?” sentak Roro terkejut. Ma-

tanya membelalak menatap Nanjar.

“Hahaha... jangan khawatir, Roro! Tubuhku kebal 

terhadap racun! Burung Rajawali ini memang peliha-

raanku! Ah, senang sekali berjumpa denganmu, Ro-

ro...!” berkata Nanjar seraya melompat mendekati dara 

perkasa ini.

“Huuu, konyol!” gerutu Roro. Tiba-tiba wajah gadis 

ini berubah merah, jengah. Tadi dia telah memeluki 

dan menangisi nasibnya, ternyata pemuda ini hanya 

pura-pura pingsan saja.

“Roro...! kuharap kau jangan pergi dulu. Aku... 

aku... cin..cin.. ta padamu...” suara Nanjar terdengar 

menggeletar.

“Gila! sinting!” memaki Roro dengan tersenyum. Ti-

ba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap.

Nanjar terkejut melihat gadis pendekar itu begitu 

cepat lenyap dari pandangan matanya.

“Rorooo...!” teriak Nanjar.

Akan tetapi Roro benar-benar telah lenyap dari 

tempat itu.

Nanjar berdiri menjublak dengan hati terasa sedih.

“Haih! aku sendiri tak mengetahui kenapa pukulan 

beracun Arya Pandan tak mempan ditubuhku?” berka-

ta Nanjar dalam hati. Nanjar tak menyadari kalau ha-

wa racun itu telah tersedot oleh pedang mustikanya 

yang meluncur ke arah Arya Pandan dan berbalik me-

newaskan manusia telengas itu.

Nanjar cabut pedang Mustika Naga Merah yang me-

nancap ditubuh Arya Pandan.

“Jabur! mari! aku akan naik ke punggungmu. Kita


tinggalkan hutan Werid!” berkata Nanjar seraya me-

lompat ke punggung burung Rajawali yang telah ter-

bang mendekat. Tak lama seekor burung Rajawali rak-

sasa terbang meninggalkan hutan Werid yang gersang. 

Dewa Linglung terlihat di atas punggungnya tengah 

memeluk leher binatang itu.

Di atas punggung Rajawali itu Nanjar baru teringat 

pada sesuatu... “Haih! Pedang Inti Es itu entah berada 

dimana? Kalau terkubur di istana hutan Werid yang 

hancur itu alangkah sayangnya....?”

Namun Nanjar hanya bisa bernapas lega karena te-

lah melenyapkan seorang manusia durjana yang telah 

membawa kematian pada seorang gadis yang sangat 

dikasihinya, yaitu RANGGA WENI.

“Gadis malang.... agaknya kau tak berjodoh den-

ganku....” desis si Dewa Linglung dengan hati trenyuh.



                           TAMAT


https://matjenuhkhairil.blogspot.com



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive