..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 31 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE HANTU TANGAN API



Hantu Tangan Api


Hak cipta dan copy right pada 
penerbit di bawah lindungan 
undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Derap puluhan kaki kuda yang ditingkahi 
teriakan-teriakan keras terdengar riuh memecah 
kesunyian sore di sebuah kawasan hutan kecil. 
Debu-debu membubung tinggi di sepanjang jalan 
yang dilalui tak kurang dari dua puluh lelaki ka-
sar yang memacu kudanya kuat-kuat. Binatang-
binatang perkasa itu meringkik hebat. Sementara 
kaki-kakinya yang kokoh terus menghentak-
hentak permukaan tanah. Padahal, dari mulutnya 
telah menyemburkan cairan putih berbusa.
Tanpa mempedulikan keadaan kuda-
kudanya, mereka terus memacu kuat-kuat. Se-
hingga yang terlihat hanya bayangan hijau dari 
pakaian mereka yang serba hijau serta ikat kepala 
warna hijau.
Berada paling depan adalah seorang lelaki 
bertubuh tinggi besar berusia empat puluh tahun. 
Wajahnya bengis dengan sepasang mata menco-
rong berwarna merah menyala. Rambutnya yang 
gondrong sengaja dibiarkan tergerai di bahu. Pa-
kaiannya juga serba hijau terbuat dari sutera in-
dah serta ikat kepala juga berwarna hijau. Siapa 
lagi lelaki ini kalau bukan Setan Haus Darah, 
Pimpinan Laskar Hijau yang baru-baru ini mere-
sahkan tanah Jawa bagian tengah. Sebelah len-
gannya tampaknya mendekap tubuh seorang ga-
dis cantik yang direbahkan di atas pangkuannya.
Gadis itu masih berusia muda, berusia ki-
ra-kira tujuh belas tahun. Wajahnya cantik ber

bentuk bulat telur. Kulit tubuhnya yang putih 
bersih terbungkus pakaian indah yang juga ber-
warna hijau. Rambutnya yang hitam pekat dige-
lung ke atas, dihiasi untaian bunga melati. Se-
dang sepasang matanya yang dihiasi bulu-bulu 
lentik terus terpejam. Malah dari sudut-sudut bi-
birnya tampak mengalir darah segar pertanda 
tengah mengalami luka dalam.
Seperti yang dilakukan pimpinan mereka, 
beberapa anggota Laskar Hijau ini juga terus 
menggebah kudanya sambil memeluk tubuh seo-
rang gadis dengan menggunakan sebelah lengan-
nya. Gadis-gadis itu adalah penduduk Kampung 
Sumber Dalem yang berhasil diculik. Di samping 
gadis-gadis cantik, beberapa orang anggota Pasu-
kan Laskar Hijau lainnya pun juga membawa 
bungkusan-bungkusan besar hasil jarahan. (Un-
tuk lebih jelasnya silakan baca episode: "Setan 
Haus Darah").
Tiba di sebuah jalan setapak, Setan Haus 
Darah memperlambat lari kudanya. Tindakannya 
segera diikuti anak buahnya. Meski demikian, Se-
tan Haus Darah dan anak buahnya tetap waspa-
da, karena bisa jadi tiba-tiba musuh datang me-
nyerang.
"Ketua! Kita tak mungkin membiarkan ke-
jadian ini begitu saja! Kita harus menuntut balas. 
Siluman Ular Putih harus secepatnya dienyahkan 
dari muka bumi ini!" kata salah seorang anggota 
Pasukan Laskar Hijau penuh kegeraman, setelah 
menjajari langkah kuda Setan Haus Darah. Se-
perti pemimpinnya, ia juga memangku seorang

gadis yang tampak ketakutan. Wajahnya yang 
cantik berbentuk lonjong pucat pasi. Matanya je-
lalatan ke sana kemari memperhatikan laki-laki 
berperangai kasar yang terus mendekapnya erat-
erat. Namun dalam keadaan tertotok begitu tak 
mungkin si gadis bisa memberontak.
"Bagaimana, Ketua? Apa usulku tadi dapat 
diterima?" ulang lelaki bertampang bengis di 
samping Setan Haus Darah.
"Hhh...!" Setan Haus Darah mendesah, tak 
langsung menjawab. Rahangnya tampak men-
gembung dengan kedua pelipis bergerak-gerak. 
"Tentu saja aku tak dapat melupakan penghinaan 
ini, Surono! Siluman Ular Putih harus mampus di 
tanganku. Tapi, aku juga sadar. Pemuda keparat 
itu bukanlah pendekar sembarangan. Meski 
usianya masih muda, tapi ilmunya tinggi sekali. 
Buktinya aku sendiri tak mampu menghentikan
sepak terjangnya."
"Mungkin kita harus meminta bantuan Ki 
Banaspati, Ketua," usul salah seorang anggota 
Pasukan Laskar Hijau dari belakang, setelah 
mendengar percakapan itu.
"Hm....! Bagus. Aku memang sedang memi-
kirkannya. Tapi mungkinkah Guru Besar kita 
yang sudah lama mengasingkan diri dari dunia 
persilatan itu mau membantuku...?" ucap Setan 
Haus Darah seperti ditujukan pada dirinya sendi-
ri. Sepasang matanya yang bengis tampak mere-
dup. "Yah...! Kukira aku harus dapat membujuk 
Guru agar sudi membantuku...."
"Bagaimana, Ketua?" desak lelaki di samp

ing Setan Haus Darah yang dipanggil Surono.
"Yah...! Nanti akan kuusahakan," jawab Se-
tan Haus Darah seraya mendesah. "Yang penting 
sekarang kita harus sampai di tempat persembu-
nyian secepatnya. Ayo, kita tinggalkan tempat ini 
secepatnya!"
Begitu habis kata-katanya, Setan Haus Da-
rah segera menggebah tali kekang kuda tunggan-
gannya.
Kuda putih tunggangan Pemimpin Laskar 
Hijau seketika meringkik keras, lalu melaju cepat. 
Anak buahnya pun melakukan hal yang sama. 
Kuda mereka digebah cepat, meninggalkan debu-
debu yang beterbangan di belakang ditingkahi te-
riakan-teriakan nyaring.
Belum begitu jauh gerombolan Pasukan 
Laskar Hijau itu bergerak, mendadak....
"Hieeekh...!"
Setan Haus Darah terkejut bukan kepalang 
ketika tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik 
hebat dengan kedua kaki depan terangkat tinggi-
tinggi ke udara. Kalau saja lelaki kasar Pemimpin 
Laskar Hijau itu tak cepat bertindak, dengan me-
meluk leher kuda kuat-kuat bukan mustahil tu-
buhnya akan terlempar berikut gadis cantik da-
lam pangkuannya dan gadis cantik dalam pon-
dongannya tidak terlempar dari punggung kuda.
Karena kuda putih tunggangan Setan Haus 
Darah berhenti mendadak, mau tak mau bebera-
pa orang anak buahnya harus menarik tali ke-
kang membuat kuda-kuda mereka berubah jadi 
liar. Akibatnya, beberapa orang anak buah Setan

Haus Darah berpelantingan beserta gadis-gadis 
dalam pondongan.
"Bajingan! Siapa yang berani menghalangi 
jalanku, hah?!" bentak Setan Haus Darah begitu 
bisa menguasai keadaan dan melihat keadaan 
anak buahnya. Pandangan matanya langsung be-
redar ke segenap penjuru.
Tak ada sahutan. Apalagi menemukan ba-
tang hidung orang yang telah mengganggu perja-
lanan mereka. Namun samar-samar telinga Setan 
Haus Darah yang tajam mendengar suara tawa 
seseorang yang entah dari mana datangnya. Nada 
tawa itu terdengar amat melecehkan!
Tentu saja hal ini membuat Setan Haus 
Darah dan anak buahnya jadi menggeram murka. 
Kepala mereka celingukkan ke sana kemari men-
cari-cari di sekitar pohon-pohon yang tumbuh di 
situ. Namun tetap saja tak menemukan apa-apa, 
kecuali semilirnya angin sore itu. Dan yang makin 
membuat hati Setan Haus Darah makin gusar 
bercampur amarah, ternyata suara tawa itu ter-
dengar makin memekakkan gendang telinga.
Dengan perasaan kesal bukan main, Setan 
Haus Darah melompat turun dari kudanya sete-
lah meletakkan gadis dalam pelukannya di atas 
punggung kuda. Dia yakin, suara sumbang itulah 
yang telah menghadang jalannya. Entah menggu-
nakan ilmu apa, hingga menyebabkan kudanya 
berhenti mendadak dengan sikap liar penuh keta-
kutan. Menilik hal ini, jelas orang yang mengha-
dang memiliki kepandaian tinggi.
"Bajingan! Pengecut! Ayo, tampakkan ba

tang hidungmu kalau ingin merasakan bogem 
mentah Setan Haus Darah!" teriak Setan Haus 
Darah. Suaranya membahana memenuhi hutan 
itu.
"He he he...! Aku di sini, Biang Rampok! 
Mengapa marah-marah?"

DUA


Begitu Setan Haus Darah dan anak buah-
nya berbalik, di ranting pohon yang menjuntai ke 
jalan setapak telah duduk dengan enaknya seo-
rang lelaki tua berjubah hitam sampai lutut. Se-
buah topi hitam panjang bertengger di kepala. 
Begitu asyik ia ongkang-ongkang kaki, padahal 
ranting pohon itu kecil sekali. Tak lebih dari ibu 
jari manusia dewasa. Namun anehnya tidak me-
lengkung sedikit pun menahan berat badannya! 
Bisa dipastikan, lelaki tua ini memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang sudah sangat tinggi.
Perawakan tubuh si tua bau tanah itu 
memang kurus kering. Kelihatannya tubuhnya 
tak bertenaga dimakan usia. Wajahnya putih ber-
sih. Sepasang matanya kelabu dengan alis mata 
berwarna putih. Sedang jubah hitamnya yang ke-
dodoran tampak berkibar-kibar tertiup semilirnya 
angin sore.
"Bajingan! Tua bangka jelek! Siapa kau se-
benarnya?! Mengapa mengganggu perjalanan ka-
mi, hah?!" bentak Setan Haus Darah garang. Namun sebenarnya hatinya kagum juga melihat ke-
pandaian si kakek renta.
"He he he...! Kukatakan pada kalian pun, 
tak ada gunanya. Percuma! Sebab aku malas ber-
kenalan dengan perampok-perampok macam ka-
lian," leceh si kakek renta yang berpenampilan 
mirip seorang terpelajar pada masa itu. Kekehan-
nya membuat wajah Setan Haus Darah merah.
Geraham Pemimpin Laskar Hijau ini ber-
gemelutuk menahan marah. Sepasang matanya 
yang tajam berusaha mengukur kepandaian si 
kakek renta yang masih ongkang-ongkang kaki di 
tempatnya.
"Ketua! Siapa pun adanya tua bangka itu, 
sebaiknya beri pelajaran saja biar tahu rasa!" sela 
Surono, murka bukan main.
Pimpinan Pasukan Laskar Hijau itu tak 
menyabut. Keningnya kian berkerut-kerut beru-
saha menerka siapa sebenarnya tua bangka satu 
ini. Melihat ciri-cirinya, Setan Haus Darah mulai 
bisa menerka. Kepalanya manggut-manggut begi-
tu di benaknya tersirat sebuah nama....
"Pendidik Ulung! Di antara kita tak pernah 
silang sengketa. Tapi, kenapa hari ini kau meng-
hadang perjalanan kami?!" bentak Setan Haus 
Darah begitu mengenali siapa kakek di hadapan-
nya yang ternyata Pendidik Ulung.
Beberapa orang anak buah Setan Haus Da-
rah yang mendengar siapa tua bangka itu tiba-
tiba jadi ciut nyalinya. Kendati belum pernah me-
lihat secara langsung, namun nama Pendidik 
Ulung di dunia persilatan sudah begitu mengge

tarkan. Sepak terjangnya tak pernah kenal am-
pun pada tokoh-tokoh sesat. Maka tak heran ka-
lau kakek renta itu sangat ditakuti kaum golon-
gan sesat.
"Syukur kalau kau masih ingat, Biang 
Rampok. Tapi, patut dicatat. Meski kalian menge-
naliku, tetap saja aku akan membuat perhitungan 
dengan bajingan-bajingan kecil macam kalian. 
Baik ada silang sengketa secara langsung atau ti-
dak. Kalian paham? Untuk itulah aku mengha-
dang kalian!" sahut Pendidik Ulung, lugas.
"Setan alas! Kenapa jantungku jadi dag-
dig-dug begini? Padahal di belakang masih ada 
anak buahku. Hm...! Aku tak boleh gegabah. 
Meski ia seorang diri, aku harus tetap hati-
hati...," rutuk Setan Haus Darah dalam hati.
"Ketua! Bagaimana ini? Apakah kita harus 
cepat bertindak?" bisik Surono.
"Hm...! Lihat saja perkembangannya nanti! 
Aku memang malas berbentrokkan dengan tua 
bangka satu ini. Tapi, kalau terpaksa, apa boleh 
buat," kilah Setan Haus Darah, berbisik.
"Hey...! Kenapa kalian malah kasak kusuk? 
Pasti kalian sedang menjelekkan aku. Ya?! Seka-
rang kuminta, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Ju-
ga, harta benda yang kalian sikat!" perintah Pen-
didik Ulung berani.
Seketika, tokoh sakti dari Lembah Kalie-
rang ini segera melompat tinggi ke udara. Tubuh-
nya yang kurus kering membuat putaran bebera-
pa kali di udara, lalu mantap sekali sepasang ka-
kinya yang kurus menjejak tanah tanpa bersuara


sedikit pun!
Melihat gelagat yang tidak baik, beberapa 
orang anak buah Setan Haus Darah segera men-
gurung Pendidik Ulung walau belum ada perin-
tah. Golok-golok besar di tangan mereka langsung 
tercabut, menimbulkan kilauan akibat tertimpa 
sinar matahari yang memerah tembaga di ufuk 
barat.
Srattt! Srattt!
Pendidik Ulung terkekeh senang. Satu per-
satu dipandanginya anggota-anggota Pasukan 
Laskar Hijau.
"Cecurut-cecurut macam kalian masih juga 
berlagak! Kalau boleh kunasihati, baiknya me-
nyingkirlah! Aku tak ingin berurusan dengan ka-
lian. Tapi dengan Biang Rampok itulah!" tuding 
Pendidik Ulung ke arah Setan Haus Darah.
Setan Haus Darah mendengus gusar. Dari 
tadi amarahnya yang menggelegak memang beru-
saha ditahan, walaupun rasa gentar juga mengu-
sik hatinya. Namun manakala mendengar ejekan 
Pendidik Ulung, rasa takut itu pun sirna, berganti 
kenekatan.
"Bajingan! Meski nama besarmu cukup di-
perhitungkan di dunia persilatan, jangan dikira 
aku takut menghadapimu, Tua Bangka Keparat!" 
dengus Setan Haus Darah dengan gigi-gigi gera-
ham bergemeletukkan.
"Terserah kau mau ngomong apa, Biang 
Rampok! Pokoknya apa yang kuperintahkan ha-
rus dituruti. Lepaskan gadis-gadis itu berikut 
harta benda yang kalian sikat!" tandas Pendidik

Ulung.
"Jangan gegabah, Pendidik Ulung! Pantang 
menyerah bagi Setan Haus Darah sebelum kita 
saling bertukar jurus."
"Jadi? Kau menantangku, ya?" tukas Pen-
didik Ulung. "Bagus-bagus! Tanganku memang 
sudah gatal lama tak menghajar orang. Terutama 
sekali sejak kedua muridku yang murtad 
mengkhianatiku. Sekarang, saatnyalah aku 
menghajar manusia-manusia macam kalian! Se-
bab aku yakin, kelakuan kalian pun tak jauh ber-
beda dengan kedua orang muridku!" (Untuk men-
getahui siapa kedua orang murid Pendidik Ulung, 
silakan baca episode: "Persekutuan Maut").
"Lagakmu pongah sekali, Pendidik Ulung?! 
Apa kepandaianmu juga setara dengan lagakmu, 
mulut besarmu, hah?!"
"Sudahlah.... Jangan bertele-tele. Seka-
rang, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Kalau tidak, 
kalian akan kuhajar sampai terkencing-kencing!"
"Siapa peduli ancamanmu, Tua Bangka 
Keparat! Majulah kalau ingin nyawa busukmu 
melayang!" damprat Surono. Tangan kanan Setan 
Haus Darah yang berwatak berangasan.
"He he he...! Aku tidak mengancam. Aku 
hanya ingin memberi sedikit pelajaran. Nah, seka-
ranglah saatnya aku memberi pelajaran!"
Sebelum kata-katanya habis, Pendidik 
Ulung segera meluruk cepat. Jari-jari tangannya 
yang telah berubah jadi putih berkilauan berputa-
ran cepat, siap melontarkan totokan 'Jari Putih 
Dewa Langit'.

Wutt! Wuuuttt!
Bunyi gesekan udara karena jari-jari tan-
gan Pendidik Ulung bergerak-gerak begitu cepat 
membuat beberapa orang anggota Pasukan 
Laskar Hijau yang menjadi sasaran terlihat kocar-
kacir.
Werrr! Werrr!
Pendidik Ulung terus berkelebat, mengin-
car anak buah Setan Haus Darah yang terdekat. 
Gerakan hingga tubuhnya yang terbungkus baju 
jubah hitam makin di-percepat. Sementara jari-
jari tangannya pun tak luput mengancam tubuh 
para pengeroyoknya.
Tukkk! Tukkk!
"Aaahh...!"
Dua kali jari tangan kanan Pendidik Ulung 
bergerak cepat, seketika terdengar keluhan terta-
han dua orang anak buah Setan Haus Darah 
dengan tubuh kaku tak dapat digerakkan.
Serangan Pendidik Ulung tak berhenti 
sampai di situ saja. Begitu jubahnya berkelebat 
ke tempat lain, jari-jari tangannya pun kembali 
meminta korban. Maka saat itu pula terdengar 
pekik kesakitan dari para anak buah Setan Haus 
Darah yang saling susul. Tubuh mereka kontan 
kaku tak dapat bergerak lagi.
Melihat sepak terjang Pendidik Ulung yang 
tak dapat terbendung oleh para anak buahnya, 
Setan Haus Darah menggeram penuh kemarahan.
"Setan alas! Jangan dikira aku takut men-
dengar nama besarmu, Tua Bangka Keparat! 
Meski kesaktianmu setinggi langit, aku akan me

nantangmu bertarung habis-habisan!" teriak Se-
tan Haus Darah.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan merobek angkasa Setan 
Haus Darah meluruk deras, menyerang Pendidik 
Ulung.
"Bagus! Akhirnya kau mau turun tangan 
juga, Biang Rampok!" ejek Pendidik Ulung, kalem.
"Bajingan! Makanlah bogem mentahku, 
Tua Bangka Keparat!" geram Setan Haus Darah.
Kedua telapak tangan Pemimpin Laskar Hi-
jau yang terkepal erat segera melontarkan puku-
lan maut secara bertubi-tubi. Begitu kuatnya, 
sampai-sampai menimbul-kan berhawa panas.
Pendidik Ulung sejenak terkekeh senang. 
Lalu segera dimainkannya jurus andalannya 
'Tangan Maut Dewa Kayangan', sehingga kedua 
telapak tangannya kontan berwarna putih berki-
lauan sampai pangkal. Sejenak Pendidik Ulung 
merentang-rentangkan kedua tangannya bak 
sayap burung garuda. Lutut kanannya ditekuk ke 
atas dalam-dalam. 
"Hup...!"
Begitu melemparkan kaki kanannya ke be-
lakang, mendadak Pendidik Ulung menerjang ke 
depan menyambut serangan Setan Haus Darah. 
Kedua tangannya yang tadi direntangkan kini 
menyambar cepat laksana sepasang tangan dewa.
Wesss! Wesss!
Bukan main hebatnya terjangan kakek ren-
ta dari Lembah Kalierang ini. Gerakan tangan dan 
kakinya yang cepat luar biasa mampu menimbul

kan angin dingin berkesiutan yang menyambar-
nyambar. Ranting-ranting pohon kontan bergugu-
ran dengan warna berubah jadi hitam legam ter-
kena sambaran angin pukulannya.
Setan Haus Darah sempat terkesiap meli-
hat kelebatan lawan. Namun sedikit pun juga ha-
tinya tak gentar. Malah tenaga dalamnya makin 
ditambah ke dalam kedua telapak tangannya....
Plak! Plak!
"Aaah...!"
Setan Haus Darah memekik tertahan. Tu-
buhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. 
Kedua tangannya yang berbentrokan dengan tan-
gan Pendidik Ulung terasa nyeri bukan main. Itu 
pertanda tenaga dalamnya masih setingkat di ba-
wah Pendidik Ulung.
Di hadapannya, Pendidik Ulung terkekeh 
senang. Tubuhnya yang kurus kering tampak 
bergoyang-goyang dengan kaki melesak ke dalam 
tanah!
"Bagus! Tak sia-sia rupanya kau bergelar 
Setan Haus Darah. Ternyata kecongkakanmu ada 
sedikit buktinya juga. Tapi, sayang. Gelarmu 
sungguh tak cocok dengan sikap maupun peran-
gaimu. Hm...! Setan Haus Darah! Sungguh satu 
gelar indah yang sarat akan kecongkakan...," gu-
mam Pendidik Ulung lalu menggeleng-gelengkan 
kepala. Entah apa maksud gelengannya.
"Jahanam! Aku belum kalah, Tua Bangka 
Keparat! Lihat serangan!" dengus Setan Haus Da-
rah seraya membuat beberapa gerakan dengan 
kedua tangannya.

Selang beberapa saat kedua telapak tangan 
Setan Haus Darah kontan berubah jadi merah 
menyala hingga sampai pangkal siku. Sambil 
menjengekkan hidungnya sebentar, kedua telapak 
tangan ditarik ke belakang, lalu tiba-tiba disen-
takkan ke depan dengan tenaga dalam penuh.
"Hea!"
Bersama teriakan nyaringnya, dari kedua 
telapak tangan Setan Haus Darah meluncur dua 
gulungan bola api ke depan. Tak lama kemudian, 
mendadak dua gulungan bola api itu mengem-
bang, memancarkan hawa panas bukan kepalang!
Werrr! Werrr!
Melihat datangnya serangan dahsyat begi-
tu, kini giliran Pendidik Ulung yang terperanjat 
kaget. Seolah tak percaya, sejenak diperhatikan-
nya gulungan bola api yang hanya tinggal satu 
tombak dari tubuhnya. Tapi kemudian tiba-tiba 
kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan. 
"Heaaa...!"
Dikawal teriakan nyaring, saat itu pula me-
luruk dua larik sinar putih berkilauan dari kedua 
telapak tangan Pendidik Ulung yang diiringi ber-
kesiurnya hawa dingin bukan kepalang! Dan keti-
ka kedua sinar putih bertubrukan dengan kedua 
bola api itu....
Besss!
Tak ada satu ledakan hebat yang terjadi. 
Untuk sesaat dua gulungan sinar putih dan gu-
lungan bola api itu saling gulung bergulung, seo-
lah ingin saling meluluh-lantakan.
Di tempat masing-masing, tubuh Pendidik

Ulung dan Setan Haus Darah sama-sama bergetar 
hebat. Namun keduanya tak ada yang ingin men-
galah. Mereka sama-sama ngotot mempertahan-
kan kedudukan masing-masing. Bila salah satu 
ada yang lengah, berarti kematianlah yang akan 
merenggut.
Di saat Pendidik Ulung dan Setan Haus 
Darah makin meningkatkan tenaga dalam mas-
ing-masing, mendadak Surono dan puluhan ang-
gota Pasukan Laskar Hijau lainnya telah mener-
jang dengan golok di tangan. Tentu saja sasaran-
nya adalah Pendidik Ulung.
"Modar kau, Tua Bangka Keparat!" bentak 
Surono garang.
Pendidik Ulung terkesiap kaget. Puluhan 
mata golok yang berkilauan di tangan anggota Pa-
sukan Laskar Hijau tampak berseliweran menge-
rikan siap menghancurkan tubuhnya. Sedang 
saat itu, tak mungkin bagi Pendidik Ulung untuk 
membagi serangan. Tak ada pilihan lain, terpaksa 
tenaga dalamnya kian dilipatgandakan.
"Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, mendadak Pen-
didik Ulung menyentakkan kedua telapak tan-
gannya kuat-kuat ke depan. Seketika terdengar 
suara menggemuruh memenuhi tempat pertarun-
gan. Bumi saat itu pula berguncang keras. Se-
mentara kaki-kaki kedua tokoh itu saling bergeta-
ran.
"Aaakh...!"
Setan Haus Darah mendadak memekik he-
bat. Seketika tubuhnya terlempar jauh ke belakang, berputar-putar sebentar dan terbanting ke-
ras.
Bukkk!
Setan Haus Darah menggeram murka. 
Punggungnya yang membentur tanah terasa mau 
remuk. Di samping itu tampak kedua telapak 
tangannya melepuh akibat pukulannya yang 
membalik. Buru-buru diambilnya sebutir obat 
berwarna kuning dari kantong kecil yang mengge-
lantung di pinggang ditelannya.
Sementara akibat sentakan kuat Pendidik 
Ulung, udara di sekitarnya berubah jadi dingin. 
Bahkan akibat beradunya dua kekuatan sakti itu 
menciptakan angin keras, membuat ranting-
ranting pohon berderak. Daun-daun berguguran 
berubah jadi hitam legam. Sedang beberapa orang 
anak buah Setan Haus Darah yang saat itu ten-
gah melancarkan serangan maut ke tubuh Pendi-
dik Ulung kejap itu pula memekik menyayat. Ka-
rena tubuh mereka langsung tersambar pengaruh 
dua kekuatan dahsyat tadi.
Bukkk! Bukkk!
Puluhan anggota Pasukan Laskar Hijau 
tampak berpelantingan ke sana kemari dan ter-
banting keras dengan paras pucat pasi!
Tak jauh dari hadapan mereka, tampak tu-
buh Pendidik Ulung sendiri tengah terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Parasnya 
pucat pasi. Darah segar pun mengalir di sudut 
bibir! Buru-buru Pendidik Ulung menyeka dengan 
punggung tangan.
"Manusia-manusia curang! Licik! Rasakan

lah akibatnya!" dengus Pendidik Ulung sarat ke-
marahan.
Beberapa orang anggota Pasukan Laskar 
Hijau yang terkena kesiuran angin akibat bentro-
kan tenaga dalam tadi tampak tertatih-tatih beru-
saha melompat bangun. Sekujur tubuh mereka 
menggigil hebat. Kalau mereka ingin selamat ha-
rus segera mengerahkan tenaga dalam untuk be-
berapa saat agar hawa dingin yang menyerang 
sirna. Dan kenyataannya mereka memilih menye-
lamatkan selembar nyawa. Begitu duduk, mereka 
segera bersemadi.
Melihat apa yang telah menimpa anak 
buahnya, Setan Haus Darah jadi mata gelap. Har-
ga dirinya merasa terinjak-injak melihat puluhan 
anak buahnya celaka di tangan Pendidik Ulung. 
Dengan menggeram penuh kemarahan, buru-
buru Pemimpin Laskar Hijau itu melompat ban-
gun.
"Keparat! Kau celakakan semua anak bua-
hku! Demi Iblis, aku tak terima! Akan kuenyah-
kan kau saat ini juga! Terimalah kematianmu hari 
ini!" geram Setan Haus Darah, seraya memutar-
mutar kedua telapak tangannya.
Seketika, kedua telapak tangan tokoh sesat 
Pimpinan Pasukan Laskar Hijau berubah jadi me-
rah menyala hingga pangkal siku, pertanda telah 
mengerahkan tenaga dalamnya dengan kekuatan 
penuh.
"Pukulan 'Gemuruh Badai Api'...!" desis 
Pendidik Ulung dengan mata terbelalak lebar. Se-
tan Haus Darah tersenyum dingin.

"Syukur kalau kau sudah mengenali puku-
lan mautku. Berarti, kau tak akan menyesal di 
akhirat nanti!"
"Hm...! Kau pasti ada hubungannya dengan 
tua bangka yang bergelar Manusia Api."
"Dia guruku. Kau mulai gentar, bukan?" 
"Bagus! Kalau begitu, kau dan gurumu 
memang patut dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Jangan gegabah, Tua Bangka Keparat! Ju-
stru nyawamulah yang kini berada dalam geng-
gaman tanganku! Sekarang, rasakanlah pembala-
sanku!"
Tiba-tiba Setan Haus Darah menarik kedua 
telapak tangannya ke belakang. Lalu dikawal te-
riakan nyaring, kedua telapak tangan yang telah 
berubah jadi merah menyala itu segera disentak-
kan ke depan.
Werrr....
Seketika, terdengar suara badai yang 
menggemuruh memenuhi tempat pertarungan. Di 
samping itu, dari kedua telapak tangan Setan 
Haus Darah pun telah melesat lidah api yang ber-
kobar-kobar siap melabrak tubuh Pendidik Ulung.
Wesss! Wesss!
Pendidik Ulung bukannya tidak tahu akan 
datangnya bahaya maut. Meski tampak sikapnya 
seperti angin-anginan, sebenarnya tokoh sakti da-
ri Lembah Kalierang ini tengah mengerahkan ju-
rus pamungkasnya 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan'.
Kini, Pendidik Ulung pun menggurat-
guratkan telunjuk jari tangannya ke udara. Seke

tika, terdengar bunyi mencicit yang teramat me-
mekakkan telinga akibat guratan-guratan telun-
juknya. Di samping itu guratan kedua telunjuk 
jarinya pun agak aneh. Telunjuk jari kanan 
menggurat dari kanan ke kiri, sedangkan telunjuk 
jari kiri menggurat dari kiri ke kanan. Pada saat 
kedua telunjuk jari itu menyatu, saat itu pula 
memancarkan sinar putih berkilauan yang cepat 
melesat ke depan memapak kobaran api Setan 
Haus Darah.
Classs!
Laksana baja panas yang dicelupkan dalam 
air, sinar putih dari kedua telunjuk jari tangan 
Pendidik Ulung mampu mematahkan serangan 
Setan Haus Darah. Seketika, lidah api yang ber-
kobar-kobar ambyar, memporak-porandakan apa 
saja yang ada di tempat pertarungan!
Bersamaan dengan itu....
"Aaa...!"
Terdengar teriakan menyayat dari beberapa 
orang anak buah Setan Haus Darah yang tengah 
duduk bersemadi dan juga beberapa orang gadis 
hasil jarahan. Tubuh mereka terbakar hebat begi-
tu terkena sambaran lidah api dari kedua telapak 
tangan Setan Haus Darah.
Bukan main murkanya hati Setan Haus 
Darah melihat beberapa orang anak buahnya te-
was dengan cara amat mengerikan. Sedang saat 
itu parasnya pucat pasi akibat bentrokan tenaga 
dalam tadi. Dadanya terasa sesak. Pimpinan 
Laskar Hijau ini berusaha bertahan, namun do-
rongan dari dalam dada membuatnya mengeluh.

Hingga....
"Huahhh!"
Darah merah kehitaman kontan meluncur 
dari mulut Setan Haus Darah. Buru-buru Pimpi-
nan Pasukan Laskar Hijau itu menotok beberapa 
jalan darah di tubuhnya. Ketika dadanya sedikit 
lega, ia segera memberi aba-aba pada beberapa 
orang anak buahnya dengan siulan.
"Tunggulah pembalasanku, Tua Bangka 
Keparat!"
Setan Haus Darah terseok-seok meninggal-
kan tempat pertarungan menuju kuda tunggan-
gannya. Beberapa anak buahnya yang selamat 
segera mengikuti tindakannya, hendak mening-
galkan tempat pertarungan.
Pendidik Ulung yang sudah tahu gelagat 
segera bertindak. Seperti pertama kali tadi mem-
permainkan Setan Haus Darah, kedua telapak 
tangannya yang terentang ke depan segera ditarik 
ke belakang.
"Hieekh...!"
Laksana ada satu kekuatan gaib yang dah-
syat luar biasa, mendadak kuda tunggangan Se-
tan Haus Darah meringkik keras sambil melon-
jak-lonjak. Setan Haus Darah yang hendak me-
lompat ke punggung kudanya terpaksa mengge-
ram penuh kemarahan. Namun, ia tidak banyak 
bertingkah kali ini.
"Hup!"
Begitu melihat kuda tunggangannya jadi 
liar, kakinya segera menjejak tanah, melompat ke 
punggung kuda di sebelahnya.

"Hea! Hea!"
Begitu mendarat di atas punggung kuda, 
Setan Haus Darah segera menggebahnya. Bebe-
rapa orang anak buahnya yang sudah berada di 
atas punggung kuda segera menyusul.
Pendidik Ulung menggeleng-gelengkan ke-
pala.
"Kalau saja gadis-gadis itu tak perlu dis-
elamatkan, sudah pasti akan kupatahkan batang 
leher manusia biang rampok itu. Hm...! Tapi, 
memang baiknya aku mengurus gadis-gadis itu. 
Siapa tahu mereka masih da-pat terlolong...," gu-
mam Pendidik Ulung.
Meski telah mengambil keputusan seperti 
itu, ekor mata si tua ini terus mengikuti kepergian 
Setan Haus Darah dan anak buahnya. Saat so-
sok-sosok mereka mengecil tepat di lingkaran bola 
matahari yang menembaga di ufuk barat, Pendi-
dik Ulung mengalihkan perhatian pada gadis-
gadis itu.

TIGA


Pendidik Ulung sejenak masih terpaku di 
tempatnya. Dadanya terasa sesak akibat adu te-
naga dalam tadi. Segera diambilnya sebutir obat 
pulung berwarna putih dari saku jubah hitamnya. 
Sejenak diperhatikannya obat itu, lalu ditelan.
"Kalau saja banyak bertebaran tokoh sesat 
berkepandaian tinggi seperti manusia edan itu, 
bukan mustahil dunia persilatan akan kapiran.
Yahhh.... Untuk sementara aku dapat menghenti-
kan sepak terjangnya. Walau tidak sampai tuntas, 
namun sudah cukup memberi pelajaran pada me-
reka. Hm...," gumam Pendidik Ulung, kembali 
menggeleng-geleng.
Entah, apa yang tengah berkecamuk dalam 
benak kakek renta dari Lembah Kalierang itu. 
Yang jelas begitu melihat mayat yang berserakan 
di tempat pertarungan, buru-buru ditelitinya den-
gan seksama.
"Hm...! Tak kusangka akibat angin pukulan 
dari bentrokan tadi membuat anggota Pasukan 
Laskar Hijau ini menemui ajal. Juga, gadis-gadis
malang itu. Hm...!"
Pendidik Ulung kembali tercenung untuk 
beberapa saat. Menyaksikan puluhan mayat yang 
berserakan, tapi urung membuat tengkuknya 
bergidik.
"Sontoloyo! Kalau tahu mereka semua su-
dah tewas, buat apa aku melepaskan biang ram-
pok itu kabur bersama anak buahnya. Huh! Bikin 
jengkel hatiku saja!" rutuknya.
Pendidik Ulung menghentak-hentakkan 
kakinya kesal. Lalu si tua ini jalan mondar-
mandir sambil menyembunyikan tangan di balik 
pinggang.
"Oh, ya? Baiknya aku menguburkan mayat 
mereka terlebih dulu, baru kemudian mengejar 
bajingan-bajingan itu," pikir Pendidik Ulung tiba-
tiba.
Habis berpikir, Pendidik Ulung segera me-
raih sebuah dahan pohon yang berserakan di

tempat itu. Setelah daun-daunnya dibersihkan, 
batang pohon digunakan untuk membuat lobang 
besar. Sebagai tokoh berkepandaian tinggi tak be-
gitu sulit bagi Pendidik Ulung membuat lobang 
untuk menguburkan mayat-mayat Pasukan 
Laskar Hijau dan gadis-gadis itu. Dengan penge-
rahan tenaga dalam, sebentar saja sudah tercipta 
sebuah lobang besar. Dan dengan gerakan cepat 
pula, dimasukkannya mayat-mayat itu ke dalam 
lobang. Namun baru saja hendak menimbun lo-
bang tiba-tiba...
"Hoekhhh!"
Terdengar seseorang tengah muntah-
muntah tak jauh di belakang Pendidik Ulung. Bu-
ru-buru lelaki tua ini membalikkan badan. Ter-
nyata di dekat sebuah batang pohon tampak seo-
rang gadis cantik berpakaian serba hijau tengah 
merintih menahan sakit. Wajahnya yang cantik 
tampak pucat pasi. Darah segar yang mengalir di 
sudut bibir menandakan kalau gadis cantik itu 
tengah menderita luka dalam cukup parah.
"Siapakah gadis cantik itu?" gumam Pendi-
dik Ulung dengan kening berkerut. "Oh.... Dia tadi 
berada di atas punggung kuda Setan Haus Darah, 
lalu terlempar ketika kuda itu terkejut. Hm... me-
nilik pakaiannya, bisa jadi gadis itu juga anak 
buah Setan Haus Darah. Ah... baiknya kudekati 
saja...."
Si tua ini segera melangkah mendekati si 
gadis. Sikapnya tetap waspada, meski melihat ga-
dis itu menderita akibat luka dalamnya.
"Siapa kamu, Cah Ayu. Dan siapa pula

yang membuatmu begini?" tanya Pendidik Ulung 
sesampainya di dekat gadis cantik yang bukan 
lain Arum Sari. Saat terlempar dari kuda tadi, un-
tungnya pengaruh totokan Setan Haus Darah te-
lah punah. Sehingga ketika berada di udara, ia 
bisa mematahkan daya lontaran hingga tak sam-
pai membentur pohon yang kini disandarinya. 
Namun demikian, gadis itu tak bisa berdiri lama-
lama ketika merasakan dadanya kian sesak saja. 
Maka untuk itu ia mencoba mengobati dirinya 
sendiri di bawah pohon dengan jalan bersemadi.
Pendidik Ulung memperhatikan Arum Sari 
seksama. Terutama sekali pada pakaian hijau-
hijaunya yang sama persis dengan yang dikena-
kan anggota pasukan Laskar Hijau.
Arum Sari tidak langsung menjawab. Tan-
gannya kini mengurut dada sebentar seraya men-
gedarkan pandangan mata ke sekeliling. Begitu 
pandang matanya berbentrokan dengan mayat-
mayat anggota Pasukan Laskar Hijau dan bebera-
pa orang gadis di dalam lobang yang baru digali, 
matanya langsung membeliak lebar.
"Siapakah yang telah melakukan ini se-
mua?" Arum Sari malah balik bertanya.
Pendidik Ulung makin curiga.
"Aku. Memangnya kenapa?" jawabnya, 
tandas. 
"Lalu? Di manakah orang yang bergelar Se-
tan Haus Darah itu, Orang Tua?"
"Huh...!" Pendidik Ulung mendengus. "Jadi 
kau mencari manusia biang rampok itu? Kau 
mencari ketuamu yang pongah itu?"

Pendidik Ulung merasa yakin kalau gadis 
cantik di hadapannya adalah salah seorang ang-
gota Pasukan Laskar Hijau.
"Maksudmu…?"
"Jangan berpura-pura, Cah Ayu! Kau pasti 
salah seorang anak buah biang rampok yang ber-
gelar Setan Haus Darah!"
Arum Sari membelalak liar. 
"Jangan menuduh sembarangan, Orang 
Tua! Aku sama sekali tak ada hubungannya den-
gan mereka!" tukas Arum Sari tak senang.
"He he he...! Cah Ayu! Kau ingin mengela-
bui tua bangka macam aku ini, ya? Jangan dikira 
aku dapat dikibuli!"
"Orang tua! Aku bersungguh-sungguh. Ha-
rap jangan salah paham! Aku memang mencari 
Setan Haus Darah. Karena, manusia sesat itulah 
yang telah mencelakakanku hingga seperti ini. 
Mungkin juga teman-ku...."
Arum Sari mendadak menghentikan uca-
pannya. Sepasang matanya yang indah dengan 
bulu-bulu mata yang lentik kembali beredar ke 
sekeliling. Setelah tidak menemukan orang yang 
dimaksud, si gadis mendesah lirih.
"Hm...! Jangan-jangan Soma telah tewas di 
tangan Setan Haus Darah," gumam Arum Sari, 
nyaris tak kentara.
"Siapa yang kau maksudkan, Cah Ayu?" 
tanya Pendidik Ulung dengan mata ikut jelalatan 
ke sana kemari mengikuti pandangan gadis cantik 
di hadapannya. 
"Temanku," jawab Arum Sari.

"Siapa?"
"Soma."
"Maksudmu...? Siluman Ular Putih?" tebak 
Pendidik Ulung.
"Benar! Apa kau tadi melihatnya, Orang 
Tua?" tanya Arum Sari harap-harap cemas.
"Hm...! Tidak. Dari tadi aku tak melihat bo-
cah edan itu. Tapi, benarkah kau teman dari bo-
cah edan itu? Apa kau bukan anak buah Setan 
Haus Darah?"
"Orang tua! Harap jangan main-main! Aku 
terluka karena kelicikan Setan Haus Darah. Dan 
mungkin Siluman Ular Putih terluka pula...."
Kembali Arum Sari menelan kegelisahan 
dalam hati. Rasanya tak sanggup untuk menga-
takan kalau Siluman Ular Putih telah menemui 
ajal di tangan Setan Haus Darah. Saking cemas-
nya memikirkan keselamatan pemuda itu, tak 
henti-hentinya mulutnya menggumam.
"Ah...! Bodoh benar aku ini!" ujar Pendidik 
Ulung seraya menepuk jidatnya sendiri manakala 
melihat sekujur tubuh Arum Sari yang dipenuhi 
bintik-bintik merah.
"Ada apa, Orang Tua? Apakah kau melihat 
Siluman Ular Putih?" tanya Arum Sari, tak dapat 
menyembunyikan perasaannya.
Pendidik Ulung menggeleng.
"Ah...!" keluh Arum Sari sedih.
"Sudahlah! Jangan cemaskan pemuda 
edan itu! Aku yakin, ia dapat mengatasi Setan 
Haus Darah. Tapi kalau kau tak keberatan, seka-
rang izinkan aku mengobati lukamu! Kalau tak

salah, kau tentu terluka akibat pukulan 
'Gemuruh Badai Api' milik Setan Haus Darah."
"Benar, Orang Tua. Setan Haus Darahlah 
yang telah mencelakakanku. Tapi apa sekarang 
kau tak lagi mencurigaiku sebagai anak buah ba-
jingan itu?"
Pendidik Ulung menggeleng.
"Nah! Sekarang, kau boleh mengobati lu-
kaku, Orang Tua!" kata Arum Sari dengan napas 
sedikit tersengal. (Untuk mengetahui bagaimana 
Arum Sari sampai celaka di tangan Setan Haus 
Darah, baca episode sebelumnya: "Setan Haus 
Darah").
"Baik."
Pendidik Ulung mengisyaratkan agar Arum 
Sari berbalik. Tanpa sedikit pun curiga. Arum Sa-
ri segera berbalik membelakangi Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung bersila di belakang Arum 
Sari. Segera kedua telapak tangannya ditempel-
kan di punggung si gadis. Perlahan-lahan, gadis 
ini merasakan hawa dingin yang bukan kepalang 
dari kedua telapak tangan Pendidik Ulung di 
punggungnya sambil menggigit bibirnya kuat-
kuat, matanya dipejamkan. Hingga, hawa panas 
yang mengaduk-aduk isi dadanya perlahan mulai 
sirna.
"Nah, sekarang telanlah obat ini!"
Arum Sari kembali berbalik menghadap 
Pendidik Ulung. Matanya sempat melihat dua bu-
tir obat pulung berwarna putih di telapak tangan 
kakek renta penolongnya. Tanpa ragu-ragu sedikit 
pun, segera diambilnya dua butir obat putih itu

dan ditelannya.
Selang beberapa saat, Arum Sari merasa-
kan hawa segar memasuki rongga mulutnya, dis-
usul hawa dingin yang terus mendesak hawa pa-
nas yang mengaduk-aduk dalam tubuh. Kendati 
tubuhnya masih lemah, namun hatinya merasa 
lega. Kini ia hanya tinggal membutuhkan waktu 
untuk memulihkan tenaga dalamnya.
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali. 
Sebenarnya kalau boleh tahu, siapakah kau ini?" 
ucap Arum Sari seraya menelangkupkan kedua 
telapak tangan di depan hidung penuh hormat. 
Suaranya pun terdengar lembut menyentuh re-
lung hati.
Pendidik Ulung tersenyum. Samar-samar 
dipandanginya Arum Sari. Dan hatinya makin ya-
kin akan kejujuran di balik ucapan Arum Sari ta-
di. Namun si tua ini tetap tidak mempercayainya 
begitu saja. Sebab, Prameswara muridnya yang 
kedua juga selalu bertutur kata lembut seperti 
Arum Sari saat itu. Tapi betapa berangnya hati 
Pendidik Ulung, manakala mengetahui ternyata 
Prameswara yang bergelar Pelajar Agung malah 
mengkhianatinya! Itulah yang membuat hatinya 
harus bertindak hati-hati. (Untuk mengetahui 
pengkhianatan Prameswara, silakan ikuti episode: 
"Persekutuan Maut" dan "Lukisan Darah").
"Jangan terlalu diungkit-ungkit kebaikan 
yang tidak seberapa, Cah Ayu!" tegur Pendidik 
Ulung enggan mengatakan siapa dirinya.
"Kau keberatan mengatakan siapa dirimu, 
Orang Tua?" desak Arum Sari.

"Apalah artinya sebuah nama kalau tidak 
ditunjang perilaku yang baik. Apalah artinya tu-
tur kata lembut, kalau tidak ditunjang dengan ha-
ti bersih," sindir Pendidik Ulung.
Yang disindir malah tersenyum,
"Memang benar, Orang Tua. Meski aku be-
lum lama mengenyam pahit getirnya dunia persi-
latan, namun setidaknya aku sudah dapat mera-
sakan kalau yang kau katakan itu benar. Kukira, 
aku harus lebih berhati-hati untuk mengarungi 
dunia persilatan. Aku tak ingin terpedaya hanya 
karena tutur kata, maupun kelembutan seseo-
rang sebelum mengenal siapa orang itu sebenar-
nya," balas si gadis.
Pendidik Ulung jadi tak enak hati menda-
pat sindiran balik.
"Kau menyindirku, Cah Ayu?" 
"Tak ada gunanya aku menyindir seseo-
rang. Apalagi, orang itu telah sangat berjasa pa-
daku. Kenapa kau tanyakan hal ini, Orang Tua?"
Pendidik Ulung menelan ludahnya sendiri. 
"Siapa kau sebenarnya, Cah Ayu?"
"Aku hanyalah seorang gadis yatim piatu. 
Namaku Arum Sari."
"Satu nama yang indah. Tapi, benarkah 
kau yatim piatu?"
"Benar." Arum Sari mengangguk. 
"Hm...? Sekarang setelah luka dalammu 
sembuh, kau hendak ke mana lagi. Arum?"
"Sebenarnya tujuanku hanya satu. Setelah 
pembunuh kedua orang tuaku tewas di tangan 
Raja Penyihir, sekarang aku ingin sekali mencari

makam kedua orang tuaku. Apakah kau tahu, di 
mana makam kedua orang tuaku yang bergelar 
Sepasang Pendekar Garuda Emas, Orang Tua?" 
papar Arum Sari.
"Apa? Jadi.... Kau putri dari Sepasang Pen-
dekar Garuda Emas?" Pendidik Ulung kaget bu-
kan kepalang.
"Benar, Orang Tua. Kenapa kau demikian 
kaget?"
"Hhhm...!" Pendidik Ulung menghela napas 
sebentar. "Tak kusangka hari ini aku akan berte-
mu putri sahabatku."
"Apakah kau mengenal mendiang kedua 
orang tuaku, Orang Tua?" tanya Arum Sari gem-
bira.
"Bukan saja mengenal. Tapi, Sepasang 
Pendekar Garuda Emas adalah kawan akrabku. 
Jadi mulai hari ini, kau boleh memanggilku pa-
man. Paman Pendidik Ulung."
"Terima kasih. Or.... Eh, Paman Pendidik 
Ulung. Sekali lagi aku menghaturkan sembah un-
tukmu," ucap Arum Sari tak dapat mengendali-
kan perasaan gembira. Kemudian dengan penuh 
hormat kembali kedua telapak tangannya mene-
langkup di depan hidung.
"Sudahlah! Jangan terlalu berbasa-basi! 
Aku paling tak senang melihat orang terlalu ber-
basa basi. Yang penting adalah sikap dan hati 
bersih. Buat apa orang terlalu banyak berbasa 
basi, kalau ternyata berhati busuk? Kau paham 
maksudku. Arum Sari?"
"Paham, Paman. Tapi, apakah Paman tahu

di mana makam kedua orang tuaku?" 
"Hm...! Sayang sekali aku tidak tahu. Tapi 
menurut kabar angin yang kudengar selama ini, 
mayat Sepasang Pendekar Garuda Emas masih 
tergolek di dasar sebuah jurang di Gunung Sla-
met, setelah dilemparkan oleh Penghuni Kubur. 
Aku sendiri tak begitu yakin. Bukan aku tak pe-
duli dengan mayat sahabatku. Tapi ketika aku 
mencari di beberapa dasar jurang, tak kutemu-
kan. Entah berada di jurang yang mana kedua 
mayat sahabatku itu. Pokoknya, di Gunung Sla-
met."
"Oh...!" Arum Sari tercekat. Seketika pa-
rasnya yang cantik jadi kian pias. "Ja..., jadi 
mayat kedua orang tuaku masih berada di sebuah 
jurang di Gunung Slamet...?"
Pendidik Ulung mengangguk. Hatinya kini 
jadi tambah gelisah setelah tahu kalau Arum Sari 
adalah putri tunggalnya Sepasang Pendekar Ga-
ruda Emas.
"Sebenarnya aku tertarik sekali dengan ga-
dis ini untuk kujadikan murid. Tapi, aku harus 
berhati-hati. Aku harus menguji ketabahan ha-
tinya sebelum mengangkatnya sebagai murid. 
Aku tak ingin tertipu untuk yang ketiga kali," gu-
mam Pendidik Ulung dalam hati.
"Kenapa kau pandangi aku seperti itu, Pa-
man?" kata Arum Sari menyentak lamunan Pen-
didik Ulung yang masih menatapnya.
"Terus terang aku mulai tertarik untuk me-
latihmu. Arum. Tapi, sudahlah! Jangan terlalu 
kau risaukan. Sekarang, ayo ikut aku. Nanti ku

bantu kau menemukan makam kedua orang tu-
amu," ajak Pendidik Ulung.
"Baik, Paman."
Pendidik Ulung cepat melompat bangun, 
diikuti Arum Sari yang mulai dapat bergerak lelu-
asa. Namun disaat hendak meninggalkan tempat 
itu, tiba-tiba....
"Ehem...! Syukur. Akhirnya kau kutemu-
kan juga di sini, Arum."
Terdengar sebuah suara mengejutkan, se-
kaligus mcnggembirakan....

EMPAT


Pendidik Ulung terkesiap. Sebagai orang 
berkepandaian tinggi, telinganya tadi tak me-
nangkap suara sedikit pun kalau ternyata di tem-
pat itu telah berdiri seseorang tanpa diketahui. 
Untuk itulah buru-buru kepalanya cepat berpal-
ing ke arah datangnya suara.
Ternyata tak jauh di sampingnya telah ber-
diri seorang pemuda berambut gondrong tergerai 
di bahu. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih ke-
perakan. Wajahnya yang tampan berbentuk lon-
jong menyunggingkan senyum nakal sambil terus 
memondong satu sosok tubuh ramping.
Sambil melangkah mendekati Pendidik 
Ulung dan Arum Sari, pemuda tampan itu terse-
nyum manis. Sementara kepala gadis cantik yang

rambutnya digelung ke atas dengan hiasan mu-
tiara-mutiara indah berwarna biru itu terantuk-
antuk seiring langkah si pemuda. Tubuhnya yang 
padat sintal terbungkus pakaian indah terbuat 
dari sutera warna merah. Sedang parasnya yang 
cantik tampak demikian pucat pasi. Malah, ada 
darah kering yang masih membersit di sudut bi-
birnya.
"Siluman Ular Putih...!" sebut Pendidik 
Ulung, sedikit mendengus. "Ada keperluan apa 
sampai kau kemari, hah?!"
"Jangan galak-galak, Orang tua! Aku ke-
mari memang tidak ada keperluan denganmu. 
Semula aku memang bermaksud menolong te-
manku. Tapi, ternyata kau sudah mendahului. 
Terima kasih. Lain kali budimu pasti aku balas," 
sahut pemuda itu yang memang murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih.
Bagaimana Soma bisa sampai di tempat 
ini? Itu tak lain karena memang tekad Siluman 
Ular Putih yang harus mencari Arum Sari yang 
dibawa lari Setan Haus Darah dan pasukannya. 
Namun di tengah perjalanan si pemuda bertemu 
seorang gadis yang tengah kewalahan menghada-
pi Peramal Maut. Malah nyawa gadis itu nyaris te-
rancam kalau saja Siluman Ular Putih tidak cepat 
menolong.
Melihat luka dalam yang diderita, akhirnya 
Siluman Ular Putih memilih menyelamatkan nya-
wa si gadis daripada meladeni Peramal Maut yang 
ingin menuntut balas atas kekalahannya. (Untuk

mengetahui sakit hati Peramal Maut, baca epi-
sode: "Misteri Dewa Langit").
Siluman Ular Putih yang membawa gadis 
yang sebenarnya tak lain dari Yustika alias Ratu 
Adil ke tempat yang aman dari kejaran Peramal 
Maut, tanpa sengaja mendengar suara orang ber-
cakap-cakap. Ternyata begitu didekati, hatinya 
langsung bersorak gembira. Karena di situ ia me-
lihat Arum Sari tengah diobati oleh Pendidik 
Ulung.
Sementara itu Arum Sari diam memberen-
gut. Entah kenapa, hatinya jadi rusuh sekali begi-
tu melihat kedatangan Siluman Ular Putih. Bu-
kannya tidak senang melihat kemunculan si pe-
muda, melainkan risih melihat sosok gadis yang 
tengah dipondong. Harus diakui hatinya panas 
oleh api cemburu.
"Arum...! Apa kau tak senang melihat keda-
tanganku? Kenapa diam saja?" tanya Siluman 
Ular Putih heran.
Arum Sari malah menunduk dalam-dalam.
Melihat kegalauan Arum Sari, Pendidik 
Ulung malah terkekeh senang. Lelaki ini terus 
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan 
menyatu di belakang tubuhnya. Sesekali pula di-
perhatikannya wajah Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari, lalu kembali terkekeh.
"Ada apa ini? Tampaknya ada udang di ba-
lik batu. Hm...! Memang aneh kalau orang tengah 
kasmaran. Ck ck ck...!" goda Pendidik Ulung 
sambil menggeleng-geleng. "Bagaimana ini. Arum? 
Apa kau jadi pergi denganku?"

"Jadi, Paman," sahut Arum Sari seraya me-
langkah.
Si gadis memang tengah gusar sekali den-
gan sikap Siluman Ular Putih. Dan ia merasa tak 
ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu. Ha-
tinya terasa perih apalagi bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih atas permintaan ibunya 
yang bermaksud menjodohkan dengan dirinya.
"Tunggu, Arum!"
Siluman Ular Putih cepat menghadang 
langkah Arum Sari dan Pendidik Ulung. Namun 
gadis itu malah kian menyembunyikan wajahnya 
dalam-dalam.
"Ada apa. Arum? Kenapa kau tak menyukai 
kedatanganku?" cecar Siluman Ular Putih masih 
belum mengerti.
"Bocah tolol! Mana ada gadis yang suka 
melihat kekasihnya datang menemuinya bersama 
gadis lain!" tukas Pendidik Ulung.
Siluman Ular Putih tercenung. Ia kini tahu 
maksud ucapan Pendidik Ulung, namun belum 
tahu bagaimana harus bersikap. Pemuda itu 
hanya menggaruk-garuk kepala.
"Jangan hanya garuk-garuk kepala, Bocah 
Tolol! Sekarang cepat tentukan sikap!"
"Sikap apa yang kau maksudkan, Kek?"
"Huh...!" Pendidik Ulung membanting ka-
kinya kesal. "Sikap apa, ya? Aku sendiri kurang 
tahu. Mungkin kau harus cepat memilih."
"Paman! Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" 
ajak Arum Sari, seraya kembali melangkah. De-
mikian pula Pendidik Ulung.

"Eh, tunggu!" buru-buru Siluman Ular Pu-
tih menghadang langkah Arum Sari dan Pendidik 
Ulung.
"Ada apa lagi, Siluman Ular Putih?" tanya 
Pendidik Ulung.
"Arum...!" kata Siluman Ular Putih, sama 
sekali tak menghiraukan ucapan Pendidik Ulung. 
"Kau jangan salah paham, Arum!"
Arum Sari menggeleng lemah.
"Ah, sudahlah! Kenapa bertele-tele begini? 
Sekarang aku dan Arum mau pergi. Kalau kau 
memang mencintai Arum, baiknya setelah kau 
menyembuhkan luka dalam gadis dalam pondon-
ganmu. Ayo, Arum! Kita tinggalkan tempat ini!"
"Baik, Paman."
Pendidik Ulung segera meraih lengan Arum 
Sari, lalu cepat berkelebat meninggalkan tempat 
itu.
"Selamat tinggal, Bocah Tolol! Jangan lupa 
kuburkan mayat-mayat itu!" terdengar suara 
Pendidik Ulung di kejauhan sana.
Siluman Ular Putih menggumam tak jelas. 
Ketika pandang matanya tertumbuk pada mayat 
yang telah berada di dalam lobang, pemuda itu 
mengerti.
"Rupanya kakek itu telah menghajar Pasu-
kan Laskar Hijau. Tapi... hmm.... Kasihan sekali 
gadis-gadis yang telah menjadi mayat itu. Bisa ja-
di mereka penduduk kampung di sekitar sini yang 
menjadi jarahan Setan Haus Darah dan pasukan-
nya...."
Siluman Ular Putih mengedarkan pandan

gan matanya sejenak ke seputar tempat itu.
"Sialan! Rupanya tua bangka itu menyisa-
kan pekerjaan untukku. Tapi tak apa-apalah! 
Nanti setelah aku selesai menyembuhkan luka 
dalam gadis ini, baru aku akan menguburkan 
mayat-mayat mereka...," gumam Siluman Ular 
Putih akhirnya.
* * *
"Siapa kau?" Ratu Adil yang baru disem-
buhkan Soma cepat membuang tubuhnya ke 
samping, begitu siuman.
Siluman Ular Putih sengaja membiarkan-
nya. Malah bibirnya menyunggingkan senyum 
manis.
"Kau.... Kau, ah! Terima kasih. Kau pasti 
yang telah menyelamatkan nyawaku dari tangan 
Peramal Maut," ucap si gadis akhirnya mengerti 
juga.
"Syukur kalau akhirnya kau mengerti. Tapi 
ngomong-ngomong sebenarnya bukanlah aku 
yang menyelamatkan nyawamu. Melainkan, Dia," 
sergah Siluman Ular Putih sambil menuding ke 
atas.
"Maaf atas kecurigaanku tadi!"
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak basa-
basi! Baiknya ceritakan saja bagaimana kau sam-
pai bersilang sengketa dengan Peramal Maut!"
"Hm...!"
Gadis itu menggumam tak jelas. Di saat ia 
hendak melompat bangun, Siluman Ular Putih telah mengulurkan tangannya, bermaksud mem-
bantu bangun.
"Terima kasih," ucap si gadis segera meraih 
tangan Siluman Ular Putih dan beranjak bangun.
"Tapi sebelum kau cerita, bolehkah aku 
mengetahui namamu?" tanya Siluman Ular Putih.
"Aku Yustika. Kau sendiri siapa?"
"Aku Soma. Aku senang sekali dapat ber-
kenalan denganmu."
Gadis cantik yang memang Yustika berge-
lar Ratu Adil, murid tunggal Ratu Alit hanya ter-
senyum.
"Ayo, cerita! Kenapa malah senyum-
senyum?" bisik Siluman Ular Putih tak sabar.
Sekali lagi Yustika tersenyum.
"Sebenarnya, aku sedang mencari ayah 
kandungku, Soma. Tapi di tengah perjalanan aku 
melihat seorang kakek renta yang tengah beristi-
rahat di bawah sebuah pohon rindang. Aku lalu 
bertanya padanya barangkali mengenal ayahku. 
Tapi kakek itu malah meramalku. Tentu saja aku 
tak bisa mempercayai ramalannya begitu saja. 
Lantas, kakek itu marah dan bermaksud membu-
nuhku. Untung saja kau segera datang meno-
long," papar Yustika.
"Hm...! Ya ya ya...! Peramal Maut memang 
sering berlaku begitu. Siapa saja yang tak mau 
mempercayai ramalannya, pasti akan dibunuh," 
jelas Siluman Ular Putih membenarkan.
"Sekarang aku mau tanya padamu, Soma. 
Apa kau mengenal orang yang bernama Gendon 
Prakoso?" lanjut Ratu Adil.

"Diakah ayah kandungmu?" 
"Iya. Apakah kau mengenalnya?" 
Siluman Ular Putih menggeleng seraya 
menghela napas panjang. "Sayang sekali aku tak 
mengenalinya.... Tapi jangan khawatir! Sebagai 
sahabat, tentu aku akan membantu mencari ayah 
kandungmu. Tapi, yah...! Kalau kau tak kebera-
tan tentunya."
"Aku tak keberatan sama sekali. Malah se-
baliknya." 
"Bagus! Kalau begitu, ayo kita cari ayah 
kandungmu itu!" ajak Siluman Ular Putih.
"Tapi mayat-mayat itu? Apakah akan di-
biarkan begitu saja, Soma?" kata Ratu Adil men-
gingatkan.
"Oh...! Ya, ampun! Kenapa aku jadi pikun 
begini?" Siluman Ular Putih memukul kepalanya 
sendiri. "Tentu saja aku tak mungkin membiar-
kan mayat-mayat itu, Yustika. Kau tunggu saja di 
sini, ya. Biar aku yang menguburkan."
"Tapi, Soma."
"Sudahlah! Kau duduk saja. Daripada kau 
membantuku, lebih baik bersemadi saja dulu biar 
tenaga dalammu pulih!"
Yustika sebenarnya keberatan. Namun ka-
rena memang apa yang diucapkan Siluman Ular 
Putih benar, akhirnya hanya menurut.
"Mayat-mayat siapakah mereka itu. Soma?"
"Yang mengenakan pakaian hijau-hijau itu 
pasti mayat anak buah Setan Haus Darah. Se-
dang mayat gadis-gadis itu aku tidak tahu. 
Mungkin penduduk kampung di sekitar sini yang

menjadi jarahan Setan Haus Darah dan pasukan-
nya."
"Hm...!" Ratu Adil mengangguk-angguk. 
"Siapakah Setan Haus Darah dan pasukannya 
itu. Soma?"
"Mereka adalah rampok yang sering mem-
buat keresahan penduduk kampung di sekitar 
Pegunungan Perahu ini," sahut Soma seraya me-
langkah ke pinggir lobang.
Sekali lagi Ratu Adil hanya mengangguk-
angguk. Manakala pemuda berpakaian rompi dan 
celana bersisik warna putih keperakan mulai me-
nimbun tanah dengan ranting pohon, gadis itu 
segera duduk bersemadi.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Se-
sekali dinikmatinya kecantikan Ratu Adil, dengan 
ekor matanya.

LIMA


Ketika bumi mulai dikungkung kegelapan 
malam, satu rombongan berkuda yang semuanya 
mengenakan pakaian serba hijau tengah memacu 
tunggangannya memasuki kawasan perbukitan 
terjal bebatuan. Bila dilihat dari atas bukit yang 
lebih tinggi lagi, maka permukaan bukit yang kini 
dilalui oleh rombongan berkuda itu akan tampak 
memanjang seperti pedang. Maka tak heran kalau 
bukit itu dinamakan Bukit Pedang.
Derap kaki kuda yang ditunggangi orang-
orang berpakaian serba hijau itu terdengar men

gusik keheningan malam. Dari kilauan sinar rem-
bulan yang menggantung di angkasa tampak ka-
lau para penunggang kuda itu semuanya lelaki 
bertampang kasar.
Menilik pakaian yang dikenakan, jelas ka-
lau rombongan berkuda itu tak lain adalah Setan 
Haus Darah dan sisa-sisa anak buahnya. Mereka 
semua tergabung dalam Pasukan Laskar Hijau!
Jalan setapak menuju Bukit Pedang me-
mang cukup curam. Berkelok-kelok, diapit ju-
rang-jurang yang menganga lebar. Di sebuah ti-
kungan tajam Setan Haus Darah terus memacu 
cepat kudanya. Beberapa orang anak buahnya 
tampak agak ragu-ragu untuk memacu kuda 
masing-masing secepat itu. Namun mereka tak 
berani mengelak ketika sang Pemimpin memberi 
isyarat dengan tangan agar mereka memacu kuda 
lebih cepat lagi.
Dari cahaya bulan yang berkilauan jelas 
kalau jurang-jurang itu begitu mengerikan. Kalau 
saja lengah memacu kuda, bukan mustahil kema-
tianlah yang akan menghadang. Dengan melipat-
gandakan keberanian anggota Pasukan Laskar 
Hijau yang kini hanya tinggal dua belas orang itu 
menggebah cepat kuda mereka mengikuti Setan 
Haus Darah yang tampak terus melesat cepat 
tanpa mendapat kesulitan apa pun.
"Hea! Hea!"
Setelah memacu kuda menyusuri jalan se-
tapak berdebu, tak selang berapa lama Setan 
Haus Darah menarik tali kekang. Kaki-kaki kuda 
tunggangannya seketika menggeruk tanah di ja

lanan setapak, lalu kedua kaki depannya terang-
kat tinggi-tinggi ke udara disertai ringkikan keras. 
Debu-debu kontan mengepul menambah kepeka-
tan malam.
Tepat ketika kedua belas orang anak 
buahnya juga menghentikan kuda, Setan Haus 
Darah melompat turun. Wajahnya yang beringas 
terlihat demikian tegang. Napasnya memburu ter-
bakar amarah yang menggelegak dalam dada.
"Tunggu aku di sini!" perintah Setan Haus 
Darah dengan suara keras. 
"Baik, Ketua."
Setan Haus Darah mendengus gusar. Tari-
kan-tarikan dagunya menyiratkan hawa membu-
nuh. Lalu dengan langkah kasar, segera diting-
galkannya para anak buahnya menuju ke sebuah 
bukit karang. Tubuhnya berkelebat cepat, menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh.
Sesampainya di ujung jalan setapak yang 
menyimpang ke samping, Setan Haus Darah 
menghentikan kelebatannya. Kepalanya mendon-
gak ke atas, menatap se-buah bukit batu karang 
berdiri kokoh di hadapannya. Ia mengempos te-
naganya sebentar, lalu....
"Hup! Hup!"
Dengan mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tubuh 
tinggi besar Setan Haus Darah cepat berlompatan 
di antara tumpukan batu-batu terjal dan terus 
menuju atas. Sekilas, tubuhnya mirip capung 
raksasa yang tengah terbang membubung tinggi 
ke udara. Hanya seperlunya saja sepasang ka

kinya yang kokoh menjejak tanah, kemudian 
kembali melesat ke atas dengan kecepatan luar 
biasa!
"Hap!"
Dengan satu putaran tubuh, Setan Haus 
Darah mendarat tegak di mulut sebuah goa sele-
bar setengah tombak. Sejenak lelaki tinggi besar 
ini memicingkan mata, berusaha menembus ke-
pekatan goa yang tampak gelap dari luar. Lalu 
perlahan-lahan kakinya mulai melangkah masuk.
Semakin Setan Haus Darah bergerak ma-
suk, ternyata lorong goa itu makin lebar. Di salah 
sebuah kelok-an, lelaki ini membelok. Hingga ak-
hirnya, sampailah di sebuah ruangan yang cukup 
lebar berukuran lima kali enam tombak.
Ruangan ini hanya diterangi obor yang ter-
tancap di dinding-dinding. Sehingga, dinding-
dinding goa itu tampak seperti terbakar. Semua-
nya berwarna hitam kusam. Dan dari terangnya 
cahaya obor, tampak seorang kakek renta tengah 
bersemadi di atas sebuah batu putih pipih.
Rambut dan pakaian yang dikenakannya 
semuanya berwarna merah menyala!
"Guru! Murid datang menghadap," kata Se-
tan Haus Darah. Tubuhnya menjura, lalu bersim-
puh menghadap lelaki tua itu.
Tak ada sahutan. Hanya tiba-tiba saja batu 
putih pipih tempat si tua berpakaian merah ber-
tapa itu bergerak memutar dengan amat perla-
han-lahan! Hal ini saja sudah membuktikan ka-
lau tenaga dalam si kakek yang sebenarnya berge-
lar Hantu Tangan Api ini sudah mencapai tingkat

tinggi!
Begitu membalikkan badan, tampaklah be-
tapa mengerikannya wajah tirus di hadapan Se-
tan Haus Darah. Sepasang mata si tua yang ber-
nama asli Ki Banaspati itu melesak ke dalam, ter-
tutup tulang-tulang pipinya yang menonjol ke-
luar. Baik rambut, bulu mata, alis mata, serta 
jenggot yang panjang semuanya berwarna merah 
menyala!
"Ada apa kau datang menemuiku, Sing-
gih?" tanya Hantu Tangan Api langsung memang-
gil nama asli muridnya.
"Aku ingin membicarakan sesuatu pada-
mu. Guru," sahut Singgih alias Setan Haus Da-
rah.
"Apa?!" cecar Hantu Tangan Api tak sabar.
Setan Haus Darah sempat melengak kaget 
mendengar suara gurunya. Namun ia cepat dapat 
mengendalikan perasaan.
"Anu, Guru. Aku dan pasukan telah dika-
lahkan Pendidik Ulung, Guru."
"Pendidik Ulung?! Hm...! Jadi tua bangka 
dari Lembah Kalierang itu telah mempermalu-
kanmu, Singgih?" 
"Benar, Guru."
"Apakah kau sudah mengerahkan pukulan 
'Gemuruh Badai Api'?" tanya Hantu Tangan Api 
dengan suara parau.
"Sudah, Guru. Tapi, tua bangka itu benar-
benar lihai. Meskipun aku telah mengerahkan 
pukulan 'Gemuruh Badai Api', aku tetap tidak 
sanggup menghadapi sepak terjangnya."

"Bodoh!" bentak Hantu Tangan Api garang. 
Jari-jari tangannya yang mencengkeram batu pu-
lih pipih tempatnya bersemadi tampak kian men-
geras. Seketika, batu putih pipih itu hancur ber-
keping-keping dan mengepulkan asap tipis ber-
warna hitam!
Melihat kemurkaan gurunya, Setan Haus 
Darah sedikit pun tidak berani mengangkat wa-
jah. Kepalanya tertunduk terus menekuri lantai. 
Namun dia tahu, dari napas Ki Banaspati yang 
memburu jelas menandakan kalau gurunya ten-
gah diamuk hawa amarah.
"Singgih! Apa hanya tua bangka Pendidik 
Ulung saja yang telah mempermalukanmu, he?!"
"Bu.... Bukan, Guru."
"Jadi?" Hantu Tangan Api mengernyitkan 
dahinya. "Apakah masih ada orang yang mampu 
mengalahkan pukulan 'Gemuruh Badai Api' cip-
taanku, he?!"
"Be... benar, Guru. Malah orang yang men-
galahkanku kali ini masih berusia sangat muda. 
Namun anehnya, kepandaiannya telah tinggi," je-
las Singgih.
"Setan alas! Percuma aku mendidikmu ber-
tahun-tahun kalau menghadapi bocah bau ken-
cur saja tidak becus. Memalukan! Kau tewas 
maupun kalah di tangan Pendidik Ulung aku ma-
sih bisa maklum. Tapi dikalahkan oleh seorang 
pemuda kemarin sore? Huh...! Murid macam apa 
kau ini, Singgih!"
Bukan main marahnya Hantu Tangan Api 
mendengar laporan muridnya.

Sementara Setan Haus Darah duduk 
menggigil di tempatnya. Ia khawatir kalau-kalau 
gurunya akan menurunkan tangan maut seperti 
yang biasa dilakukannya terhadap tokoh-tokoh 
putih.
"Sekarang apa yang harus kau lakukan se-
telah dikalahkan banyak orang, he?! Apa kau in-
gin memperdalam ilmumu?"
"Tid.... Tidak, Guru. Aku.... Aku ingin Guru 
membantuku," ucap Setan Haus Darah agak gu-
gup. Hatinya merasa lega bukan main karena gu-
runya tidak menurunkan tangan maut. Meski 
demikian, hati Singgih masih merasa belum ten-
teram bila gurunya belum sudi membantu dirinya 
untuk memberantas musuh-musuhnya.
"Apa kau bilang? Kau ingin gurumu yang 
sudah tua bangka ini untuk turun tangan?!" sen-
tak Ki Banaspati.
Setan Haus Darah cepat memutar otaknya. 
Rencananya tidak boleh gagal. Yang jelas, ia ha-
rus dapat menyeret gurunya untuk turun dalam 
kancah dunia persilatan. Sekaligus memberantas 
musuh-musuhnya.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud demi-
kian. Tapi berhubung Pendidik Ulung selalu men-
jelek-jelekkan nama Guru, terpaksa hal ini harus 
kulaporkan. Di samping itu, malah Pendidik 
Ulung bermaksud menantang Guru. Apa murid 
bisa tinggal diam mendengar Guru dihina demi-
kian rupa?! Tentu saja tidak, Guru! Namun 
sayang, murid dapat dikalahkan Pendidik Ulung. 
Juga oleh Siluman Ular Putih."

"Keparat! Jadi Pendidik Ulung dan Siluman 
Ular Putih ingin menantang bertarung?"
"Benar, Guru."
"Bajingan! Kali ini aku memang terpaksa 
harus turun gunung. Akan kumusnahkan orang-
orang pongah yang kau sebut tadi. Sekarang tun-
jukkan, di mana mereka berada, Singgih?!"
"Tepatnya murid kurang tahu. Guru. Na-
mun murid yakin, Pendidik Ulung dan Siluman 
Ular Putih masih berkeliaran di sekitar Pegunun-
gan Perahu ini, Guru."
"Cukup! Bagiku semua keteranganmu su-
dah cukup, Singgih. Sekarang juga akan kucari 
Pendidik Ulung dan Siluman Ular Putih," sambar 
Hantu Tangan Api.
Belum juga gema suaranya lenyap, Ki Ba-
naspati segera menghentakkan kedua telapak 
tangannya ke bawah. Seketika, tubuhnya yang 
tinggi kurus langsung me-lenting melampaui Se-
tan Haus Darah yang masih duduk bersimpuh di 
tempatnya. Dan begitu menjejakkan kakinya ke 
tanah, sosok Hantu Tangan Api pun segera berke-
lebat, lalu menghilang di balik dinding-dinding 
goa.
Diam-diam Setan Haus Darah jadi gembira 
bukan main. Kini ia tak gentar lagi untuk kembali 
ke dunia persilatan. Dengan mendompleng nama 
besar gurunya, lelaki tinggi besar ini yakin akan 
banyak tokoh dunia persilatan yang kalang kabut. 
Lebih dari itu, tentu tenaga gurunya dapat diman-
faatkan untuk memberantas tokoh-tokoh putih 
yang memusuhinya.

"Hm...! Sekarang apa lagi yang mesti dita-
kutkan? Guruku Hantu Tangan Api telah turun 
tangan. Siapa pun juga yang akan menentangku 
akan kulibas!" gumam Setan Haus Darah seraya 
mengepalkan tinjunya erat-erat.

ENAM


Matahari siang terasa panas memanggang 
bumi. Daun-daun kering bercampur debu-debu 
beterbangan manakala angin kering berhembus 
kencang. Di sebuah pohon besar, beberapa bu-
rung jalak terdengar riuh saling bersahutan di-
tingkahi beberapa burung lain yang tengah riuh 
berkelahi sambil beterbangan ke sana kemari.
Di bawah pohon besar itu pula seorang 
pemuda gondrong berpakaian putih bersih yang 
ditutup jubah besar warna biru tengah terlelap. 
Suara-suara gaduh burung-burung jalak yang se-
dang bertengkar di atasnya sama sekali tidak 
mengganggu tidurnya. Hanya wajahnya yang ga-
gah saja tampak menegang. Entah mimpi apa 
pemuda berambut gondrong yang digelung ke 
atas itu.
Di saat si pemuda tengah menikmati sua-
sana siang dengan mimpinya, tiba-tiba saja....
Breng! Gombreng-gombreng! Kenyataan
memang menyakitkan. Apalah artinya cinta, kalau 
hanya akan menderita.

Breng! Gombreng-gombreng! Kekasih ada-
lah tambatan hati. Tapi ke mana aku harus men-
cari. Bila hati hanya dusta.
Dusta! Prol! Proolll!
Terdengar seseorang tengah membacakan 
sajak ditingkahi suara cempreng, membuat si 
pemuda yang tengah terlelap bersandar batang 
pohon itu terbangun. Burung-burung jalak yang 
tengah riuh berkicau sejenak berhenti dengan 
mata memandang ke bawah.
Di bawah sana, seorang kakek tua renta 
tengah berjalan santai dengan tongkat butut di 
tangan. Tubuhnya kurus kering terbalut jubah 
besar warna biru. Rambutnya awut-awutan tak 
terawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging.
Sesampainya di dekat pemuda berpakaian 
biru, entah kenapa tiba-tiba saja kakek renta itu 
menghentikan langkah. Hidungnya yang pesek te-
rus mengendus-endus. Lalu dengan pandang ma-
ta seksama diperhatikannya pemuda yang tengah 
duduk bersandar di batang pohon.
"Hm...! Aku mencium hawa kematian dari 
bau tubuhmu, Pemuda. Aku juga mencium kalau 
kau akan terlunta-lunta karena cinta. Katakan! 
Siapa namamu, Pemuda!" kata si kakek, langsung 
saja. Nada suaranya terdengar galak, seolah-olah 
ingin meyakinkan kalau apa yang diucapkan itu 
benar.
"Kau bertanya padaku, Orang Tua?" Pemu-
da berpakaian biru-biru itu balik bertanya.
"Aku tanya padamu, Setan!" bentak si ka

kek renta itu.
"Hm...! Ya yaya...! Aku.... Teguh Sayekti. 
Ada apa?" sahut pemuda berpakaian biru yang 
memang Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis. Si-
kapnya terheran-heran melihat sikap kasar kakek 
renta yang tentu saja tak lain dari Peramal Maut.
"Bagus! Kau harus ingat! Peramal Maut tak 
pernah luput meramal orang. Dan kau harus 
mengakuinya!" tegas Peramal Maut.
"Ya ya ya...! Aku memang sedang gelisah 
karena memikirkan seorang gadis, Orang Tua. 
Sudah tiga hari ini aku mencarinya. Namun, be-
lum juga kutemukan batang hidungnya. Apakah 
kau dapat membantuku?"
"Membantu apa? Maksudmu membantu 
untuk mendapat cinta gadis yang kau kejar-kejar 
itu?"
"Hm...! Boleh kalau kau bisa."
"Sayang. Aku hanya dapat memberitahumu 
kalau kau akan terlunta-lunta bila memikirkan 
gadis itu. Tapi bukan mustahil kau akan menda-
patkan cintanya."
"Jadi? Aku dapat memiliki gadis yang 
kuimpi-impikan itu, Orang Tua?" sambar Pembu-
nuh Iblis seraya melompat bangun dengan mata 
membuka lebar. Lenyap sudah rasa kantuknya.
"Benar. Tapi yang lebih penting, kau harus 
hati-hati. Sekali lengah kau akan celaka. Kau 
akan modar, Bocah."
"Terima kasih, Orang Tua! Aku pasti akan 
mengingat apa yang kau katakan barusan."
"Kau sudah tahu nasib apa yang akan me

nimpamu, bukan?" lanjut Peramal Maut tajam.
"Ya."
"Nah! Dengar, Bocah! Sekarang bayarlah 
apa yang telah kuramalkan tadi!" ujar Peramal 
Maut, menyodorkan telapak tangan kanan ke ha-
dapan Pembunuh Iblis.
"Tapi.... Tapi aku tak mempunyai uang, 
Orang Tua," sahut Pembunuh Iblis gelagapan.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya kau harus 
bayar. Mana ada ramalan cuma-cuma. Di mana-
mana juga harus bayar. Cepat, Bocah!" desak Pe-
ramal Maut.
"Aku.... Aku tidak mempunyai uang, Orang 
Tua," sahut Teguh Sayekti meyakinkan.
"Benar?"
"Benar."
"Bagus! Kalau begitu, nyawamulah sebagai 
bayarannya!" tukas Peramal Maut. Sepasang ma-
tanya yang melesak ke dalam mendadak jadi be-
ringas. Kaki kanannya pun sudah disurutkan ke 
belakang, membentuk kuda-kuda kokoh sambil 
memutar-mutar tongkat bututnya.
"Kau benar-benar ingin membunuhku, 
Orang Tua?" perangah Pembunuh Iblis, seolah tak 
percaya melihat perubahan sikap Peramal Maut.
"Ya!"
"Tapi...? Bukankah aku tak menyuruhmu 
meramalku?" tukas Pembunuh Iblis, berusaha 
menenangkan Peramal Maut.
"Ya. Tapi, bukan berarti kau tak harus 
membayar setelah mendengar ramalanku?"
"Hm...! Benar-benar aneh watak orang tua

ini. Belum pernah rasanya aku bertemu orang 
seaneh ini sejak turun ke dunia persilatan...," 
gumam Pembunuh Iblis dalam hati. Lalu bibirnya 
berdecak-decak penuh keheranan.
"Jangan berlagak, Bocah! Cepat cabut sen-
jatamu!" bentak Peramal Maut, garang.
Tanpa menunggu tanggapan Pembunuh Ib-
lis, tiba-tiba Peramal Maut telah menerjang serta-
merta tongkat di tangan kanannya diputar-putar 
sehingga menimbulkan angin menderu-deru.
Werrr! Werrr!
Tentu saja Pembunuh Iblis tak ingin tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan 
Peramal Maut. Tanpa banyak cakap segera pe-
dang yang menggantung di pinggang diloloskan 
keluar. Langsung dihadapinya serangan tongkat 
Peramal Maut.
Trang! Trang!
Terlihat bunga api berpijar saat tongkat di 
tangan kanan Peramal Maut berbenturan dengan 
pedang Pembunuh Iblis di udara. Keduanya sa-
ma-sama terjajar beberapa langkah ke belakang. 
Teguh Sayekti mengeluh dalam hati, merasakan 
tangan kanannya yang terasa kesemutan akibat 
bentrokan tadi. Hal ini saja sudah membuktikan 
kalau tenaga dalamnya masih kalah satu atau 
dua tingkat di banding Peramal Maut.
Meski demikian, bukan berarti Pembunuh 
Iblis harus menyerah begitu saja. Dengan meng-
gunakan jurus-jurus andalan, pedang di tangan 
kanannya segera diputar sedemikian rupa. Seke-
tika angin kencang kontan menderu-deru, hingga

membuat jubah Peramal Maut berkibar-kibar.
"Hm...! Bagus! Rupanya kau mempunyai 
ilmu pedang yang lumayan juga, Bocah. Tapi jan-
gan dikira ilmu tongkatku hanya pepesan kosong 
belaka! Majulah kalau ingin merasakan gebukan 
tongkatku!" ejek Peramal Maut.
"Heaaat...!"
Pembunuh Iblis yang merasa penasaran 
segera menerjang Peramal Maut. Pedang di tan-
gan kanannya sengaja diarahkan lurus ke dada 
lawan. Sedang telapak tangan kirinya yang telah 
berubah menjadi biru siap pula melontarkan pu-
kulan maut.
Bed! Bed!
Pedang di tangan Pembunuh Iblis terus 
bergerak cepat di antara gulungan tongkat di tan-
gan lawan. Namun Peramal Maut bukanlah tokoh 
kemarin sore. Dengan amat mudah si tua ini da-
pat membaca ke arah mana datangnya serangan. 
Setelah membuang tubuhnya ke samping, dengan 
satu gerakan cepat luar biasa tiba-tiba tongkat-
nya digerakkan dari atas ke bawah, bermaksud 
menggeprak kepala Pembunuh Iblis.
Werrr!
Pembunuh Iblis mendengus gusar. Begitu 
melihat datangnya serangan, tubuhnya ditarik ke 
belakang. Sementara pedangnya bergerak me-
nangkis tongkat di tangan Peramal Maut.
Prakk! Prakkk!
"Aakh...!"
Kembali tubuh Pembunuh Iblis terguncang 
keras dan terjajar kembali kebelakang. Tangan

kanannya pun terasa kesemutan. Untung saja 
pedangnya tak terlepas. Meski demikian tetap sa-
ja membuat hatinya terkejut. Lebih terkejut lagi 
manakala melihat Peramal Maut tiba-tiba melent-
ing ke atas. Di udara tangan kirinya menyentak 
ke arah lawan.
"Hea!"
Diiringi teriakan nyaring, seketika selarik 
sinar hitam legam meluruk dari telapak tangan 
kiri Peramal Maut, hendak melabrak tubuh Pem-
bunuh Iblis. Lebih hebatnya lagi ternyata selarik 
sinar hitam itu juga ditingkahi hawa panas yang 
bukan kepalang.
Menyadari kalau musuhnya telah menge-
luarkan ajian, tanpa banyak pikir Pembunuh Iblis 
segera mengerahkan tenaga dalamnya. Ketika ke-
dua kakinya membentuk kuda-kuda kokoh, tan-
gan kirinya saat itu pula menghentak. Maka dari 
telapak kirinya meluruk sinar biru, menyongsong 
sinar hitam milik Peramal Maut.
Wess! Wesss! 
Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat di udara. 
Bumi bergetar hebat laksana diguncang gempa. 
Sementara angin berkesiur akibat bentrokan dua 
tenaga dalam tinggi itu membuat ranting-ranting
pohon berderak dengan daun-daun berguguran 
hangus terbakar!
Peramal Maut terkekeh senang saat meli-
hat tubuh Pembunuh Iblis terhuyung-huyung be-
berapa langkah ke belakang sambil mendekap 
dadanya kuat-kuat. Parasnya pucat pasi. Darah

segar menyembur keluar, pertanda telah menga-
lami guncangan dalam dada.
"Serahkan nyawamu, Bocah!" ancam Pe-
ramal Maut garang.
Pembunuh Iblis tak menyahut. Geraham-
nya bergemelutuk penuh kemarahan.
"Bedebah! Ternyata tua bangka ini memiliki 
tenaga dalam yang hebat luar biasa! Kukira aku 
harus mengerahkan tenaga dalam hingga pun-
cak!" desis Pembunuh Iblis, buru-buru menyim-
pan pedangnya kembali ke dalam warangka.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebe-
lum ajalmu datang menjemput, Bocah!"
"Jangan gegabah, Orang Tua! Meski ke-
pandaianmu setinggi langit, tak kubiarkan harga 
diriku kau injak-injak," sahut Pembunuh Iblis, te-
gar.
Peramal Maut tertawa bergelak. Suaranya 
yang parau terdengar bergema di sudut-sudut 
lembah.
"Jagalah nyawamu, Bocah! Pukulan 'Gelap 
Ngampar'-ku akan mengantarmu menemui Raja 
Akhirat!" ejek Peramal Maut.
Pembunuh Iblis menggeletukkan geraham-
nya penuh kemarahan. Dilihatnya kedua telapak 
tangan Peramal Maut telah berubah jadi hitam le-
gam hingga pangkal siku. Kini Teguh Sayekti alias 
Pembunuh Iblis tak berani main-main, ia yakin 
pukulan 'Gelap Ngampar' yang akan dikeluarkan 
Peramal Maut mengandung kekuatan dahsyat 
luar biasa.
Kenyataannya, begitu Peramal Maut meng

hentakkan kedua tangannya ke depan, seketika 
melesat dua larik sinar hitam legam dari telapak 
tangan yang salah satunya masih menjepit tong-
kat, ditingkahi hawa panas bukan kepalang!
"Hm.... Mudah-mudahan dengan pukulan 
'Cahaya Kematian', aku dapat menangggulan-
ginya.... Heaaa...!"
Pembunuh Iblis menyambut serangan den-
gan pukulan andalan 'Cahaya Kematian'. Begitu 
kedua tangannya yang telah berubah biru terang 
sampai pangkal lengan menyentak, seketika itu 
pula meluruk dua larik sinar biru terang mela-
brak pukulan Peramal Maut! 
Bummm! Bummm!
Hebat bukan main ledakan yang terjadi kali 
ini. Seketika bumi berguncang keras. Ranting-
ranting pohon berderak. Bersamaan itu, Pembu-
nuh Iblis pun memekik keras. Tanpa ampun lagi 
tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Tubuhnya 
berputar-putar sebentar, sebelum akhirnya ter-
banting keras.
Sementara Peramal Maut tertawa bergelak. 
Walau tubuhnya sempat terhuyung-huyung bebe-
rapa langkah ke belakang akibat bentrokan tadi, 
namun masih jauh lebih baik dibanding keadaan 
Pembunuh Iblis.
"Huahhh!"
Darah merah kehitaman kontan meluncur 
dari mulut Pembunuh Iblis. Namun pemuda yang 
mengenakan jubah biru itu tetap mencoba berta-
han. Sembari mendekap dadanya kuat-kuat, di-
cobanya untuk melompat bangun. Namun

sayang, begitu kedua telapak kakinya menjejak 
tanah, keseimbangan tubuhnya hilang. Akibatnya 
pemuda ini kembali tersuruk jatuh.
Peramal Maut menjengekkan hidungnya. 
Melihat keadaan Pembunuh Iblis yang amat men-
genaskan lelaki tua bengis ini malah tertawa ber-
gelak. Nyawa manusia seolah hanya dianggap 
mainan yang menyenangkan.
"Sekaranglah saatnya kau menerima kema-
tian, Bocah!" desis Peramal Maut penuh lecehan.
Dengan serta-merta, kembali telapak tangan ki-
rinya menghentak ke depan.
Seketika kembali selarik sinar hitam legam 
melesat dari telapak tangan kiri Peramal Maut, 
siap mengganyang tubuh Pembunuh Iblis. Namun 
belum sempat sinar hitam itu mengenai sasaran, 
tiba-tiba sebuah bayangan putih keperakan ber-
kelebat cepat. Langsung disambarnya tubuh 
Pembunuh Iblis. 
Brakkk!
Batang pohon di belakang Pembunuh Iblis 
kontan tumbang begitu terkena pukulan Peramal 
Maut. Debu-debu kontan membubung tinggi, 
memenuhi tempat pertarungan.
"Bajingan! Siapa lagi yang ingin mengantar 
nyawa, hah?!"

TUJUH

Peramal Maut mengedarkan pandangan ke 
sekeliling sambil menggeram penuh kemarahan 
karena lawan yang hendak dijadikan sasaran le-
nyap. Sementara, ia belum tahu siapa orang yang 
menyelamatkan Pembunuh Iblis. Gulungan debu-
debu yang membubung tinggi memenuhi tempat 
pertarungan membuat pandangannya terhalang. 
Karena tak sabar lagi melihat orang yang telah 
menggagalkan maksudnya, segera ujung jubah-
nya dia kibaskan.
Werrr!
Angin kencang dari kebutan jubah Peramal 
Maut langsung membuat gulungan-gulungan de-
bu yang membubung itu sirna. Seketika itu pula, 
terlihat dua sosok tubuh berdiri tak jauh di hada-
pannya. Yang sebelah kanan, seorang pemuda 
gondrong berpakaian rompi dan celana bersisik 
warna putih keperakan. Sambil memondong tu-
buh Pembunuh Iblis, sosok berpakaian putih ke-
perakan yang tak lain Siluman Ular Putih terse-
nyum nakal.
Sedang di sebelah Siluman Ular Putih ada-
lah seorang gadis cantik berpakaian merah. Ram-
butnya digelung ke atas semakin mempercantik 
wajahnya, walaupun sedang mendengus marah. 
Wajahnya menampakkan kemuakan melihat ulah 
Peramal Maut yang dengan kejinya ingin membu-
nuh lawan tak berdaya.
"Kau memang biadab, Peramal Maut! Ma

nusia macam kau memang patut dilenyapkan dari 
muka bumi!" hardik si gadis, garang.
"Ratu Adil! Kalau kau tak terima, boleh se-
kalian maju menghadapiku. Kebetulan sekali 
tongkatku ini sudah lama tak menelan korban," 
sahut Peramal Maut, mengejek.
Gadis cantik berpakaian merah yang me-
mang Ratu Adil hanya menjengekkan hidungnya. 
Memang, Yustika alias Ratu Adil sendiri pun 
hampir celaka di tangan Peramal Maut. Untung 
saja Siluman Ular Putih waktu itu keburu datang 
menolong.
"Bagaimana, Soma? Apakah tua bangka ini 
patut dihajar?" tanya Ratu Adil, meminta persetu-
juan Siluman Ular Putih.
"Terserah! Tapi...."
"Jangan khawatir, Soma! Kalau tua bangka 
ini tidak curang, aku yakin belum tentu dapat 
merobohkanku," potong Ratu Adil, tegas.
"Hm...! Baiklah kalau memang itu maumu. 
Tapi, hati-hati! Tua bangka itu penuh tipu musli-
hat," ingat Soma.
"Aku tahu. Soma."
Peramal Maut mendengus bak kerbau mau 
disembelih. Hatinya kesal sekali mendengar pem-
bicaraan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil yang 
sangat melecehkannya.
"Majulah, Gadis keparat! Kali ini kau tak 
mungkin lolos dari tangan mautku!" bentak Pe-
ramal Maut.
Ratu Adil tersenyum dingin. Selangkah 
demi selangkah kakinya maju mendekati Peramal

Maut.
"Bagus! Rupanya kau sudah tak sabar 
menjemput ajalmu! Sekaranglah saatnya kau 
modar di tanganku!"
"Jangan pongah, Peramal Maut! Ajal seseo-
rang bukan terletak di tangan manusia, tapi di 
tangan Yang Maha Kuasa. Dialah yang menguasai 
nyawa seseorang."
"Jangan berkhotbah di hadapanku, Bocah 
Kemarin Sore! Aku jadi tak sabar lagi untuk me-
robek-robek mulutmu!" dengus Peramal Maut, 
langsung menerjang.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Peramal 
Maut segera mengerahkan pukulan andalannya 
'Gelap Ngampar'. Maka begitu kedua telapak tan-
gannya dihentakkan ke depan, dua larik sinar hi-
tam segera melesat cepat siap meluluh-lantakkan 
tubuh Ratu Adil.
Wesss! Wesss!
Ratu Adil sejenak menggeleng-gelengkan 
kepalanya. Dan saat merasakan hawa panas mu-
lai menyentuh kulit tubuhnya, dikerahkannya te-
naga dalam penuh. Langsung kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan, memapak serangan 
Peramal Maut.
Blammm! Blammm!"
Terdengar dua kali ledakan hebat disertai 
bunga api menyebar ke segala arah. Seketika 
udara panas memenuhi tempat pertarungan. An-
gin berkesiur akibat bentrokan dua tenaga dalam 
tingkat tinggi itu ternyata mampu membuat po-
hon-pohon di sekitar tempat pertarungan menger


ing layu!
Sementara tubuh Peramal Maut tampak 
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan pa-
ras pucat pasi. Darah segar membersit dari sudut 
bibirnya sambil menggeram penuh kemarahan, 
buru-buru lelaki tua itu menyekanya dengan 
punggung tangan.
Di hadapannya, tubuh Ratu Adil pun sem-
pat terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Akibat bentrokan tenaga dalam tadi kedua 
tangannya terasa panas bukan main. Ratu Adil 
segera menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak 
tangan hingga hawa panas yang menyerang ber-
kurang. Dadanya pun sempat terguncang, walau-
pun hanya sesaat. 
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar tak in-
gin mengampunimu, Gadis Gendeng! Kau harus 
modar di tanganku!"
Kini, Peramal Maut menekuk lututnya da-
lam-dalam. Sedang tongkat di tangan kanannya 
telah diselipkan di punggung. Dan ketika kedua 
telapak tangan lelaki tua itu telah berubah men-
jadi kelabu hingga pangkal siku, Ratu Adil jadi 
terkesiap kaget.
"Awas, Yustika! Tua bangka itu hendak me-
lontarkan 'Gada Akhirat'!" teriak Siluman Ular Pu-
tih mengingatkan dari luar tempat pertarungan.
Soma yang tengah sibuk mengobati luka 
dalam Pembunuh Iblis, diam-diam tak mengalih-
kan perhatiannya pada jalannya pertarungan. 
Dan pemuda itu pun siap membantu Ratu Adil bi-
la terjadi hal yang tak di-inginkan.

"Aku tahu. Soma," sahut si gadis.
"Tapi bagaimanapun juga kau harus tetap 
hati-hati!"
"Terima kasih atas peringatanmu, Soma."
Yustika kembali menghadapi Peramal 
Maut. Namun diam-diam telah dipersiapkannya 
pukulan andalan 'Cakar Samudera' yang merupa-
kan warisan terakhir gurunya di Nusa Kamban-
gan. Maka begitu tenaga dalamnya dikerahkan, 
seketika kesepuluh kuku-kuku jari tangannya te-
lah berubah menjadi biru!
Peramal Maut yang sudah kalap malah 
kian menggeram murka. Begitu kedua telapak 
tangannya dihentakkan ke depan, saat itu pula 
meluruk dua gulungan sinar kuning terang.
Wesss! Wesss!
Ratu Adil sama sekali tidak tersurut mun-
dur. Begitu melihat datangnya serangan, kesepu-
luh jari tangannya segera diguratkan ke udara. 
Maka dari jari-jari tangannya melesat sinar-sinar 
biru, langsung memapak pukulan Peramal Maut. 
Class! Class!
Sejenak, dua gulungan sinar kuning terang 
tertahan di udara oleh sinar-sinar biru. Sementa-
ra tubuh tokoh sesat dari Gunung Kembang itu 
bergetar hebat. Kedua kakinya melesak ke dalam 
tanah! Namun Peramal Maut tetap tak ingin kalah 
dalam adu tenaga dalam. Sambil menggeletukkan 
gerahamnya kuat-kuat, tenaga dalamnya makin 
dilipatgandakan ke telapak tangan.
"Hea!"
Tiba-tiba Ratu Adil memekik keras. Bersa

maan dengan itu, kesepuluh jari-jari tangannya 
disentakkan ke depan. Akibatnya sepuluh larik 
sinar biru dari jari-jari tangannya terus mendesak 
gulungan sinar kuning milik Peramal Maut. La-
lu....
Class! Class!
Bukkk! Bukkk!
"Aughhh...."
Tanpa ampun Peramal Maut kontan menje-
rit setinggi langit begitu sinar biru dari jari-jari 
tangan Ratu Adil menembus pertahanannya dan 
menghantam dada. Seketika tubuhnya yang tinggi 
kurus terbanting keras dengan paras pias! Tam-
pak tubuh kurus keringnya hanya menggeliat-
geliat sebentar, lalu tidak bergerak-gerak sama 
sekali.
Ratu Adil sejenak termangu di tempatnya. 
Ketika melihat tubuh Peramal Maut benar-benar 
tak dapat bergerak lagi, selangkah demi selang-
kah si gadis pun mulai mendekati.
"Akhirnya kau tewas juga, Peramal Maut. 
Manusia seperti kau memang tidak patut berke-
liaran di muka bumi ini," desis Ratu Adil.
Meski demikian Ratu Adil tetap waspada, 
karena tak ingin terkecoh untuk kedua kali. Ma-
ka, diam-diam pun telah dikerahkannya pukulan 
'Cakar Naga Samudera'.
Kira-kira tinggal berjarak satu tombak....
"Heh...?!"
Mendadak Ratu Adil memekik kaget ketika 
tiba-tiba Peramal Maut bergulingan sambil meng-
hentakkan kedua telapak tangannya. Tanpa dapat

dicegah, dua gulungan sinar kuning terang melu-
ruk dari kedua telapak tangannya siap meluluh-
lantakkan tubuh Ratu Adil!
Wesss! Wesss!
Ratu Adil yang untungnya telah bersiap se-
gera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga Samude-
ra'. Namun belum sempat murid Ratu Alit ini ber-
tindak....
Wesss! 
Blarr!
Tiba-tiba telah melesat pula dua sinar pu-
tih yang disusul oleh dua ledakan hebat di udara. 
Dengan demikian kandaslah serangan licik Pe-
ramal Maut.
Pada saat yang hampir bersamaan, Peram-
al Maut meraung setinggi langit dengan tubuh 
bergeser jauh ke belakang. Namun dengan sisa-
sisa kekuatannya, ia melompat bangun. Saat itu 
juga tubuhnya segera berkelebat meninggalkan 
tempat itu walaupun tampak terhuyung-huyung.
Yustika yang tubuhnya sempat terlempar 
ke samping akibat bentrokan pukulan tadi, 
menggeram penuh kemarahan. Hampir saja ia ce-
laka di tangan Peramal Maut untuk yang kedua 
kali. Gadis ini hendak mengejar, tapi tubuh Pe-
ramal Maut telah begitu jauh.
"Soma! Terima kasih! Lagi-lagi kaulah yang 
menolongku," ucap Ratu Adil.
Siluman Ular Putih tidak menyahut. Ma-
tanya masih terpaku ke arah kepergian Peramal 
Maut. Soma bukannya tak ingin mengejar. Hanya 
rasa kasihannya terhadap Pembunuh Iblis-lah

yang membuat niatnya diurungkan.
"Benar-benar licik, Tua Bangka itu! Untung 
saja aku segera bertindak," gumam Siluman Ular 
Putih.
"Yah...! Kau benar. Soma. Tua bangka itu 
memang licik," timpal Ratu Adil membenarkan.
"Hoekh!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
dikagetkan suara orang yang tengah muntah-
muntah. Buru-buru mereka berpaling, dan men-
dekati Pembunuh Iblis yang tengah muntah-
muntah.
"Bagaimana keadaanmu, Kawan?" tanya 
Siluman Ular Putih begitu berada di samping 
Pembunuh Iblis.
Pembunuh Iblis yang baru saja siuman se-
jenak membelalakkan matanya heran saat meli-
hat Siluman Ular Putih telah berada di hadapan-
nya.
"Ah...! Lagi-lagi kau yang menyelamatkan-
ku, Soma. Aku jadi malu," desah Pembunuh Iblis 
dengan napas masih tersengal.
"Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Yang 
penting kau selamat. Bukankah kita segolongan? 
Kenapa mesti sungkan?"
"Aku mengerti, Soma," kata Pembunuh Ib-
lis.
Teguh Sayekti berusaha bangun. Dan den-
gan sigap Siluman Ular Putih segera memban-
tunya.
"Oh, ya? Siapakah temanmu itu, Soma?" 
bisik Pembunuh Iblis lirih di telinga Siluman Ular

Putih. Entah mengapa setiap matanya melirik Ra-
tu Adil, dadanya bergemuruh. Bahkan tiba-tiba 
timbul rasa kerinduan mendalam. Ada getaran 
aneh yang menguasai dadanya.
"Yustika."
"Ooo...! Senang sekali aku bertemu den-
ganmu, Yustika. Perkenalkanlah.... Aku Teguh 
Sayekti," kata Pembunuh Iblis, bergetar suaranya. 
Apalagi ketika kembali menatap Yustika, wajah 
gadis itu mengingatkannya pada wajah seseorang. 
Tapi pemuda itu lupa, siapa.
Yustika alias Ratu Adil hanya mengangguk.
"Bagaimana? Apa lukamu sudah mendin-
gan?" tanya Soma, memecah keheningan.
"Sudah agak lumayan. Soma. Paling tinggal 
memulihkan tenaga dalamku saja. Tapi ngomong-
ngomong, sekarang kau hendak ke mana lagi?" 
tanya Pembunuh Iblis ingin tahu.
"Aku ingin mengejar Setan Haus Darah dan 
pasukannya," jawab Soma.
Pembunuh Iblis tersenyum. Sebenarnya, 
pemuda itu ingin berlama-lama lagi dengan Yus-
tika. Teguh Sayekti ingin ngobrol lebih banyak la-
gi. Tapi hatinya merasa sungkan terhadap Soma.
"Ayo, Yustika kita melanjutkan perjalanan," 
ajak Soma.
"Ayo," sahut Ratu Adil, lalu menatap Teguh 
Sayekti sebentar. "Selamat tinggal, Kawan!"
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil segera 
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya 
dalam beberapa kelebatan saja sosok mereka te-
lah menghilang di balik kerimbunan hutan depan

sana.
"Hm...! Siluman Ular Putih benar-benar be-
runtung. Ia selalu dikerubungi gadis-gadis can-
tik... Tapi gadis yang bersama Siluman Ular Putih 
barusan..., ah. Mungkinkah ia adikku...? Atau 
hanya perasaanku saja? Kalau bukan, kenapa 
wajahnya mirip dengan mendiang ibu...?"

DELAPAN


Peramal Maut memperlambat kelebatan-
nya. Kini ia melangkah biasa namun terlihat gon-
tai akibat luka dalam yang parah. Sementara ke-
dua tangannya terus mendekap dada kuat-kuat. 
Terus ditelusurinya jalan di pinggiran sebuah de-
sa yang berbatasan dengan hamparan sawah.
"Keparat! Entah, sudah berapa kali Silu-
man Ular Putih mencampuri urusanku! Hm...! 
Sampai kapan pun aku tak mungkin dapat melu-
pakan dendamku padanya...! Tunggulah pemba-
lasanku, Siluman Ular Putih!" maki Peramal Maut 
dalam hati.
Kali ini, lelaki tua itu tak kuat lagi mena-
han langkah. Akibat luka dalamnya yang parah 
membuat tubuhnya tersuruk jatuh. Dengan su-
sah payah, ia menggeser tubuhnya ke arah seba-
tang pohon. Begitu tubuhnya disandarkan, na-
pasnya memburu. Dadanya terasa mau pecah. 
Tapi Peramal Maut berusaha bertahan.
"Edan! Tak kusangka Ratu Adil pun memi-
liki pukulan demikian dahsyat! Andai saja Siluman Ular Putih tidak membantu, aku yakin nya-
wa gadis itu sudah berada dalam genggaman tan-
ganku.... Huk huk huk...!"
Peramal Maut terbatuk-batuk. Pada saat 
itu ia merasakan dari mulut dan hidungnya men-
galir darah segar. Buru-buru diambilnya butiran-
butiran biru dari kantung kecil yang menggan-
tung di pinggang. Tanpa ragu ditelannya butir-
butir biru yang memang berupa obat pulung. Per-
lahan-lahan hawa dingin akibat obat itu mulai 
menjalar ke tenggorokannya. Dan hawa dingin itu 
terus menerabas ke dalam perutnya.
"Untung saja aku membawa persediaan
obat. Kalau tidak, barangkali aku sudah tidak 
kuat...," gumam Peramal Maut. "Yah...! Kukira 
aku harus menyembuhkan luka dalamku terlebih 
dulu. Masalah menuntut balas terhadap Siluman 
Ular Putih, bisa ditunda untuk beberapa saat...."
Habis berpikir begitu, perlahan-lahan Pe-
ramal Maut beringsut. Dan dengan susah payah, 
akhirnya ia dapat duduk bersila. Lelaki tua ini be-
rusaha menenangkan pikirannya sebentar, lalu 
mulai mengalur jalan napasnya. Tak selang bera-
pa lama, tokoh sesat dari puncak Gunung Kem-
bang ini pun sudah tenggelam dalam semadinya.
Saat itu, bulan bulat penuh tampak tengah 
membanggakan sinar putih keperakannya pada 
jutaan bintang di angkasa. Suara jangrik di pema-
tang sawah terdengar riuh mengusik ketenangan 
malam. Keadaan ini tentu saja membuat Peramal 
Maut merasa nyaman untuk menyembuhkan luka 
dalamnya. Tarikan-tarikan napasnya pun mulai

teratur. Tidak memburu seperti tadi. Demikian 
juga dadanya. Setelah melakukan semadi untuk 
beberapa saat, tubuhnya pun terasa segar.
Malam kian beranjak. Bumi pun kian dite-
rangi cahaya putih keperakan sang dewi malam. 
Peramal Maut tak mau peduli. Meski luka dalam-
nya berangsur-angsur sembuh, tapi ia masih 
tenggelam dalam semadinya. Kedua kelopak ma-
tanya terpejam dengan telapak tangan memegang 
lutut.
Di puncak semadinya, mendadak hidung 
Peramal Maut mencium bau busuk yang bukan 
kepalang. Bahkan hampir membuat lelaki tua ini 
muntah dengan perut mual.
"Setan! Bau busuk apa ini? Kenapa demi-
kian menusuk hidung...?" gerutu Peramal Maut.
Terpaksa lelaki tua ini menghentikan se-
madinya. Kelopak matanya membuka. Meski be-
lum sembuh benar, namun sudah terasa mendin-
gan. Luka dalamnya sudah tidak begitu meng-
ganggunya. Menyadari hal ini, diam-diam Peramal 
Maut tersenyum senang.
Namun manakala bau busuk itu kian me-
nusuk hidung, tak urung juga Peramal Maut jadi 
kesal bukan main. Sambil mengendus-endus hi-
dungnya, kepalanya bergerak ke samping. Namun 
betapa terkejut hatinya, begitu kepalanya berpal-
ing. Ternyata tak jauh darinya telah berdiri seso-
sok tubuh tinggi kurus.
Sosok itu seorang kakek renta. Sepintas, 
tubuhnya tak bertenaga. Tubuhnya yang kurus 
kering terbalut pakaian warna merah menyala.

Rambut, bulu mata, alis mata, dan juga jenggot-
nya yang panjang juga berwarna merah menyala! 
Wajahnya tirus kemerah-merahan dengan sepa-
sang mata melesak ke dalam tertutup tulang-
tulang pipi yang bertonjolan.
"Hantu Tangan Api...!" desis Peramal Maut 
penuh keterkejutan.
Sosok kakek renta yang memang Ki Ba-
naspati alias Hantu Tangan Api hanya mendengus 
kasar. Sepasang matanya yang mencorong meng-
hujam tajam ke arah Peramal Maut.
Buru-buru Peramal Maut melompat ban-
gun. Gerakannya kali ini terlihat agak ringan. Hal 
ini saja sudah menandakan kalau luka dalamnya 
mulai berangsur sembuh. Meski demikian, sikap-
nya tak berani gegabah. Ia tahu, siapa Hantu 
Tangan Api. Seorang tokoh sesat papan atas yang 
amat diperhitungkan di kalangan tokoh putih 
maupun tokoh golongan hitam. Dialah momoknya 
dunia persilatan yang konon sudah lama menga-
singkan diri.
"Pasti ada satu urusan yang amat penting 
hingga Hantu Tangan Api sampai keluar dari 
tempatnya bertapa...," gumam Peramal Maut.
"Peramal Maut! Apakah kau melihat Pendi-
dik Ulung dan orang yang bergelar Siluman Ular 
Putih?" tanya Hantu Tangan Api langsung. Na-
danya tetap garang, sarat ancaman. Sebagai to-
koh persilatan, Ki Banaspati pun pernah menden-
gar nama Siluman Ular Putih, walaupun belum 
melihat orangnya.
"Hm...! Jadi tua bangka satu ini sedang

mencari Siluman Ular Putih dan Pendidik Ulung? 
Hm...! Kebetulan sekali. Kukira aku dapat me-
manfaatkan tenaga tua bangka ini demi memba-
las dendamku...," Peramal Maut menggumam da-
lam hati.
Sejenak Peramal Maut manggut-manggut, 
lalu menatap Ki Banaspati. Matanya tampak ber-
binar-binar.
"Oh...! Jadi kau sedang mencari mereka, 
Hantu Tangan Api? Kebetulan sekali. Aku me-
mang sedang mencari Pendidik Ulung. Tapi...."
"Jangan banyak bertele-tele, Peramal Maut! 
Cepat katakan di mana Pendidik Ulung dan Silu-
man Ular Putih!" potong Ki Banaspati, tak sabar.
"Baik. Akan kukatakan terus terang. Aku 
memang belum bertemu Pendidik Ulung. Tapi ba-
ru saja aku bertarung dengan Siluman Ular Pu-
tih," urai Peramal Maut agak gugup. Ngeri juga 
hatinya kalau sampai berbentrokan dengan Ki 
Banaspati.
"Bagus! Di mana sekarang Siluman Ular 
Putih, Peramal Maut?" cecar Hantu Tangan Api.
"Hm...! Mungkin ia masih mengobati te-
mannya yang terluka di hutan sebelah sana!" je-
las Peramal Maut seraya menuding telunjuk ke 
arah gerumbulan hutan di sebelah timur.
"Bagus! Kalau begitu aku akan segera ke 
sana," kata Hantu Tangan Api seraya berbalik.
"Tunggu, Hantu Tangan Api!" cegah Peram-
al Maut menahan langkah tokoh sesat dari Bukit 
Pedang itu.
"Ada apa lagi, Peramal Maut?"

Ki Banaspati berbalik gusar. Pandang ma-
tanya yang, mencorong tajam, jelas memancarkan 
satu hawa kematian yang hanya dapat ditebus 
dengan darah.
"Jangan gegabah, Hantu Tangan Api! Meski 
kepandaianmu setinggi langit, namun kali ini aku 
mencium hawa kematian dari dalam tubuhmu. 
Bau busuk dari tubuhmu itulah yang menanda-
kan kau harus lebih berhati-hati. Kalau tidak, 
kau bisa celaka!" ingat Peramal Maut, merasa 
gatal kalau tidak meramal orang.
"Apa kau bilang? Aku akan celaka di tan-
gan Pendidik Ulung atau pemuda bau kencur ber-
gelar Siluman Ular Putih?!" sentak Hantu Tangan 
Api. Bukan main gusarnya dipandang remeh de-
mikian rupa.
"Jangan salah paham, Hantu Tangan Api! 
Aku hanya mengingatkan. Dan satu lagi yang pa-
tut kau ingat! Ramalanku tak pernah meleset. Be-
runtung sebenarnya kau bertemu denganku. Apa-
lagi, aku tidak menuntut upah darimu," kilah Pe-
ramal Maut.
"Setan alas! Berani benar kau meminta 
upah?! Apa kau sudah bosan dengan nyawa di 
ragamu, hah?!"
"Bukan itu maksudku, Hantu Tangan Api," 
elak Peramal Maut. Merasa kecut juga hatinya 
melihat kegarangan Ki Banaspati.
"Lalu? Kenapa kau demikian lancang bera-
ni menahan langkahku, he?!" bentak Hantu Tan-
gan Api.
Selangkah demi selangkah Ki Banaspati

mendekati Peramal Maut. Dan hati lelaki tua jago 
meramal itu makin kecut saja. Walau tidak se-
dang menderita luka dalam, belum tentu ia sang-
gup menghadapi sepak terjang Hantu Tangan Api. 
Maka tak heran kalau Peramal Maut tak ingin ca-
ri perkara. Malah kalau bisa ingin memanfaatkan 
tenaganya.
"Hantu Tangan Api! Kau adalah seorang 
tokoh papan atas dunia persilatan. Namun ru-
panya, kau pun tetap harus berhati-hati. Mata 
batinku mengatakan, kau akan celaka kalau tak 
berhati-hati. Untuk itulah aku menahan lang-
kahmu!" jelas Peramal Maut, berusaha melunak-
kan hati Ki Banaspati.
"Setan! Bagaimanapun juga, kau dan ra-
malanmu tetap saja memandang remeh padaku, 
Peramal Maut! Makanlah bogem mentahku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Hantu 
Tangan Api telah menerjang Peramal Maut den-
gan ganas. Tubuhnya yang tinggi kurus berkele-
bat cepat laksana kilat. Sedang kedua telapak 
tangannya yang terkepal segera mengirimkan jo-
tosan mengerikan.
Wutt! Wuttt!
Sebelum serangan-serangan tokoh sesat 
dari Bukit Pedang itu sempat mengenai sasaran, 
terlebih dahulu Peramal Maut merasakan angin 
kencang disertai hawa panas menampar-nampar 
kulit tubuh!
Tentu saja Peramal Maut tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Meski hatinya berat, 
demi keselamatannya terpaksa segera dikerah

kannya pukulan 'Gelap Ngampar'. Dan begitu ke-
dua telapak tangannya berubah jadi hitam legam, 
segera dipapaknya pukulan Hantu Tangan Api.
Blammm! Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat di udara ke-
tika dua tenaga dalam tingkat tinggi itu beradu di 
udara. Bumi berguncang hebat seperti terjadi 
gempa. Berkesiurannya hawa panas akibat ben-
trokan bahkan mampu membuat tempat perta-
rungan dipenuhi hawa panas!
Sementara bersamaan bentrokan tadi, ter-
dengar satu pekik menyayat disusul terpentalnya 
sosok tubuh Peramal Maut. Sejenak tubuhnya 
berputaran, lalu terbanting keras di tanah.
Bukkk!
Peramal Maut megap-megap. Dadanya 
yang baru saja sembuh dari luka dalam terasa se-
sak bukan main. Parasnya pun pucat pasi! Meski 
demikian, lelaki ini tetap berusaha bertahan. Per-
lahan-lahan ia mencoba bangkit. Namun sayang, 
tubuhnya kembali luruh di tanah.
Hantu Tangan Api tertawa bergelak mena-
tap keadaan Peramal Maut. Sepasang matanya 
yang mencorong jelas memancarkan hawa mem-
bunuh.
"Celaka! Jangan-jangan tua bangka ini 
memang menghendaki nyawaku?" desis Peramal 
Maut, kecut. "Hm...! Sial benar nasibku belakan-
gan ini. Sudah dipermalukan Siluman Ular Putih 
dua kali, masih pula harus berbentrokan dengan 
Hantu Tangan Api."
Di depan sana, tampak Ki Banaspati mulai

melangkah mendekati Peramal Maut. Kedua tela-
pak tangannya telah berubah merah menyala 
hingga pangkal siku. Sekali saja kedua telapak 
tangannya dihentakkan ke depan, mustahil bagi 
Peramal Maut dapat lolos dari tangan maut tokoh 
sesaat dari Bukit Pedang itu.
"Ha ha ha...! Rasakanlah, Peramal Maut! 
Manusia culas macam kau memang tak patut 
menikmati indahnya dunia ini. Sikat saja tua 
bangka culas itu, Kakek Merah!"
Tiba-tiba terdengar satu suara yang amat 
dikenali Peramal Maut. Bersamaan dengan itu, 
Peramal Maut melihat dua sosok bayangan berke-
lebat cepat mendekati tempat itu.
"Setan alas! Siapa lagi manusia-manusia 
pencari mati ini, hah?!"

SEMBILAN


Sepasang mata merah menyala Hantu Tan-
gan Api kian bergerak-gerak beringas. Tak jauh di 
hadapannya kini telah berdiri dua sosok tubuh. 
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berambut gondrong dengan pakaian rompi 
dan celana bersisik warna putih keperakan. Se-
dang di sebelahnya adalah seorang gadis cantik 
berpakaian indah warna merah. Rambutnya yang 
hitam panjang digelung ke atas dihiasi mutiara-
mutiara indah warna biru.
"Hantu Tangan Api! Rupanya, apa yang

kau katakan benar. Mereka memang manusia-
manusia pencari mati. Dan kalau kau tahu siapa 
mereka, kau tentu akan terkejut. Terutama sekali, 
pemuda edan itu!" kata Peramal Maut seraya me-
nuding ke arah dua anak muda itu.
"Jangan mempermainkan aku, Peramal 
Maut! Siapa dua bocah ingusan tak tahu diri itu?" 
bentak Ki Banaspati.
"Ha ha ha,..!" Peramal Maut malah tertawa. 
Lalu dengan susah payah ia melompat bangun.
"Katakan siapa dua bocah itu, Peramal 
Maut!" bentak Hantu Tangan Api. Kali ini hawa 
amarah yang menggelegak dalam dada benar-
benar tak dapat lagi dikendalikan.
"Ketahuilah, Hantu Tangan Api. Manusia-
manusia pencari mati itu adalah Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil."
"Hah?! Siluman Ular Putih?" tokoh sesat 
dari Bukit Pedang itu terperangah, seolah tak 
percaya dengan pendengarannya.
"Benar. Kunyuk gondrong itulah yang ber-
gelar Siluman Ular Putih!"
"Hhh...!"
Hantu Tangan Api mendengus gusar. Sepa-
sang mata bengisnya mencorong ke arah Ratu 
Adil dan Siluman Ular Putih.
"Benarkah kau yang bergelar Siluman Ular 
Putih, Bocah?" lanjut Hantu Tangan Api tetap 
dengan suara garang.
"Harap jangan menelan mentah-mentah 
apa yang dikatakan Peramal Maut, Kakek Merah! 
Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang

menyebabkan kau mencari-cari Siluman Ular Pu-
tih?" ujar Siluman Ular Putih santai. Sedikit pun 
tidak menyiratkan kesan gentar dari raut wajah-
nya yang selalu menyunggingkan senyum.
"Jangan terlalu banyak menjual lagak, Bo-
cah! Katakan! Benarkah kau yang bergelar Silu-
man Ular Putih?!" tanya Hantu Tangan Api minta 
ketegasan.
"Hantu Tangan Api! Dia itulah yang berge-
lar Siluman Ular Putih!" sela Peramal Maut.
Siluman Ular Putih hanya mengumbar se-
nyum. Namun tidak demikian dengan Ki Banas-
pati. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi kalau pe-
muda gondrong di hadapannya adalah orang yang 
bergelar Siluman Ular Putih. Apalagi manakala 
melihat ciri-ciri pemuda gondrong di hadapannya.
"Hm...! Bagus! Kalau begitu kau memang 
datang mengantar nyawa, Siluman Ular Putih! Ke-
tahuilah! Sekarang aku datang memenuhi tan-
tanganmu!" dengus Ki Banaspati.
"Hey...! Siapa yang menantangmu berta-
rung, Kakek Merah? Aku merasa tidak pernah 
menantangmu bertarung. Ah...! Kau ini ada-ada 
saja! Mengenalmu saja baru kali ini. Bagaimana 
aku bisa menantangmu bertarung? Yang benar 
saja, ah?" tukas Soma, kalem.
"Keparat! Kau jangan banyak tingkah, Si-
luman Ular Putih! Mustahil aku keluar dari tem-
pat bertapa kalau tak mendengar tantanganmu 
dan Pendidik Ulung!" dengus Hantu Tangan Api 
lagi.
"Siapa? Siapa yang menyebarkan fitnah itu,

Kakek Merah? Apakah tua bangka Peramal Maut 
itu? Eh...! Di manakah tua bangka itu?"
Siluman Ular Putih langsung celingukkan 
ke sana kemari, namun tak menemukan Peramal 
Maut di tempat itu. Demikian pula Yustika. Aki-
bat perhatian mereka tercurah pada Hantu Tan-
gan Api, sehingga ketika Peramal Maut pergi di-
am-diam tak seorang pun yang tahu.
"Sontoloyo! Pasti tua bangka itu yang men-
jadi biang keroknya!" gerutu Siluman Ular Putih.
"Jangan libatkan Peramal Maut, Siluman 
Ular Putih. Tua bangka itu tidak tahu apa-apa!" 
kata Hantu Tangan Api.
"Jadi? Peramal Maut bukan yang menye-
barkan fitnah ini? Lalu, siapa orangnya, Kakek 
Merah?"
"Ini bukan fitnah, Bocah Goblok! Muridku 
tak mungkin berani dusta padaku," sergah Ki Ba-
naspati.
"Oh...! Jadi muridmu yang menyebarkan 
fitnah ini? Siapakah murid brengsekmu itu, Ka-
kek Merah?"
"Setan Haus Darah!" sebut Hantu Tangan 
Api, tandas. "Tapi, ingat! Ini bukan fitnah. Kau 
jangan mungkir, Siluman Ular Putih! Majulah ka-
lau kau ingin menantangku bertarung!"
Siluman Ular Putih mana sudi menuruti 
perintah lelaki tua berbaju merah itu. Kepalanya 
malah menoleh ke arah Ratu Adil.
"Bagaimana ini, Yustika!" tanya Siluman 
Ular Pulih, minta pendapat.
"Kukira, memang Setan Haus Darahlah

yang telah menyebarkan fitnah ini. Habis, siapa 
lagi kalau bukan dia!" sungut Ratu Adil.
"Hm...! Bisa jadi. Mungkin ia merasa den-
dam padaku, lalu menyeret gurunya dengan me-
nebar fitnah," duga Siluman Ular Putih. Kemu-
dian perhatiannya beralih pada Hantu Tangan 
api. "Dengar, Kakek Merah! Buka telingamu lebar-
lebar! Aku sama sekali tidak pernah menantang-
mu bertarung. Kau paham? Mungkin karena ulah 
muridmu hingga kau keluar dari tempatmu ber-
tapa. Harap jangan salah paham, Kakek Merah!"
"Hm...!" Bukan main gusarnya hati Hantu 
Tangan Api. Ia tidak tahu mana yang benar. Yang 
jelas, amarahnya saat itu benar-benar sudah 
mencapai ubun-ubun kepala.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau aku 
sudah turun dari tempatku bertapa, berarti harus 
ada nyawa yang harus kurenggut!" geram Ki Ba-
naspati penuh kemarahan.
"Yah...! Kenapa urusannya jadi begini, Yus-
tika? Bagaimana ini?" ujar Siluman Ular Putih, la-
lu menggaruk-garuk kepala.
"Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini. 
Soma!" cetus Ratu Adil mengusulkan.
"Ah, ya? Kau benar, Yustika. Daripada me-
ladeni Kakek Merah itu, lebih baik memang me-
ninggalkan tempat ini. Ayo!"
Siluman Ular Putih buru-buru menggan-
deng lengan Ratu Adil. Namun belum sempat me-
reka melangkah, tahu-tahu Hantu Tangan Api te-
lah melompat melewati kepala kedua orang anak 
muda itu. Dan mantap sekali kakinya mendarat

di hadapan Siluman Ular Putih dan Yustika se-
jauh empat tombak.
"Boleh saja kalian berdua meninggalkan 
tempat ini. Asal, tinggalkan kepala kalian di sini!" 
bentak Hantu Tangan Api, sarat ancaman.
"Wah...! Mana bisa begitu, Kakek Merah."
"Bisa tidak bisa, kalian berdua harus mod-
ar di tanganku!" putus Hantu Tangan Api, lang-
sung menerjang Siluman Ular Putih dan Ratu 
Adil.
Kedua telapak tangan Ki Banaspati yang 
telah berubah jadi merah menyala hingga sampai 
pangkal siku segera menghantam ke depan, 
membuat dua larik sinar merah menyala melesat 
cepat, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih 
dan Ratu Adil.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terperan-
gah. Mereka kontan merasakan hawa panas bu-
kan main, sebelum serangan-serangan tokoh se-
sat dari Bukit Pedang itu mengenai sasaran. 
Wesss! Wesss!
Menyadari adanya ancaman berbahaya, Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil segera melempar-
kan tubuh ke samping. Sehingga, dua larik sinar 
merah menyala dari kedua telapak tangan Hantu 
Tangan Api terus menerabas ke belakang. Dan....
Brakkk!
Batang pohon sebesar tiga lingkaran tan-
gan manusia dewasa di belakang Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil yang menjadi sasaran seketi-
ka memperdengarkan bunyi berderak. Kemudian 
disusul suara bergemuruh, sebelum akhirnya

tumbang!
Blammm!
Tanah debu berpasir kontan membubung 
tinggi memenuhi tempat pertarungan. Ki Banas-
pati yang merasa geram sekali melihat serangan-
nya dapat dihindari dengan begitu mudah, kem-
bali menerjang Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
ganas. Kedua telapak tangannya yang berwarna 
merah menyala kembali menghentak ke depan.
Wesss! Wesss!
Srang!
Ratu Adil cepat menarik keluar pedang pu-
sakanya yang menggelantung di pinggang. Tu-
buhnya segera melenting tinggi ke udara meng-
hindari sinar merah milik Ki Banaspati. Setelah 
membuat putaran beberapa kali, dengan jurus 
'Pedang Menembus Bulan' tubuhnya meluruk 
dengan kecepatan luar biasa. Dan tiba-tiba, mata 
pedangnya telah mengancam ubun-ubun kepala 
Hantu Tangan Api.
Sedang Siluman Ular Putih sendiri pun ru-
panya tak mau ketinggalan. Begitu melihat seran-
gan datang, murid Eyang Begawan Kamasetyo se-
gera mengeluarkan jurus 'Terjangan Maut Ular 
Putih' andalannya. Tubuhnya cepat melompat ke 
atas, lalu meluruk dengan kedua telapak tangan 
telah membentuk dua kepala ular. Dan dengan 
mengandalkan patukan-patukan kedua telapak 
tangannya, langsung diserangnya Hantu Tangan 
Api. Hebat bukan main kecepatan serangan Silu-
man Ular Putih. Ratu Adil yang menyerang lebih 
dulu bahkan sempat tersusul.

Tukkk! Tukkk!
Dua kali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih telak mengenai iga kiri Hantu Tangan Api. 
Namun hebatnya, tubuh lelaki tua itu hanya 
sempat terjajar ke samping tanpa sedikit menge-
luarkan suara pekikan. Bahkan pada saat demi-
kian, Ki Banaspati segera menghentakkan ka-
kinya ke tanah. Seketika tubuhnya yang tinggi 
kurus langsung melenting tinggi ke udara. Kedua 
telapak tangannya yang makin merah menyala 
langsung menghentak.
Serangan Ratu Adil yang di mata Hantu 
Tangan Api terlihat lambat jadi terkesiap kaget. 
Sungguh sama sekali tidak disangka kalau seran-
gannya malah didahului Hantu Tangan Api. Pa-
dahal untuk merubah arah serangan, jelas tidak 
mungkin.
"Awas, Yustika!" teriak Siluman Ular Putih 
dari bawah.
Menyadari bahaya maut mengancam, Ratu 
Adil segera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga 
Samudera' yang menjadi andalan gurunya di Nu-
sa Kambangan. Maka saat itu juga, jari-jari tan-
gannya berubah menjadi biru begitu tenaga da-
lamnya tersalur. Dan setelah memindahkan pe-
dang ke tangan kiri....
"Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Ratu Adil cepat 
mengguratkan jari-jari tangan kanan ke udara. 
Seketika, meluruk lima larik sinar biru dari jari-
jari tangan kanannya memapak sinar-sinar merah 
yang dilepaskan Ki Banaspati.

Classs! Classs! '
Lima larik sinar biru dari jari-jari tangan 
Ratu Adil langsung berbenturan dengan sinar-
sinar merah Hantu Tangan Api. Saat itu juga 
tempat pertarungan jadi terang benderang. Se-
mentara tubuh Ratu Adil pun yang masih di uda-
ra kontan terlempar jauh ke belakang.
Bukkk!
Ratu Adil mengeluh tertahan begitu tu-
buhnya menghantam tanah. Parasnya pucat pas-
ti. Kedua bibirnya bergetar-getar hebat menahan 
guncangan dalam dada!
"Kau tidak apa-apa, Yustika?" tanya Silu-
man Ular Putih cemas bukan main begitu berada 
di dekat Ratu Adil.
Ratu Adil hanya tersenyum getir seraya 
menggeleng perlahan.
"Tapi, kau terluka dalam, Yustika?" tukas 
Siluman Ular Putih tak puas melihat Ratu Adil 
berusaha tegar di hadapannya. Padahal ia tahu, 
akibat bentrokan tenaga dalam tadi telah menga-
duk-aduk isi dada si gadis.
"Cepat telan obat ini!" ujar Siluman Ular 
Putih sambil mengeluarkan butiran kuning dari 
kantung kecil yang menggelantung di pinggang.
Ratu Adil cepat menerimanya dan langsung 
menelan. Perlahan-lahan hawa dingin mulai men-
jalari tenggorokan dan terus menerabas ke dalam 
perutnya.
"Bersemadilah, Yustika! Biar luka dalammu 
tidak bertambah parah," kata Siluman Ular Putih.
Lagi-lagi Ratu Adil hanya menggeleng per


lahan. Malah dengan sigap segera melompat ban-
gun.
"Yustika! Kau masih terluka!" cegah Silu-
man Ular Putih, cemas bukan main.
"Tak apa-apa, Soma. Ayo, kita balas seran-
gan Kakek Merah itu!" ajak Ratu Adil.
Siluman Ular Putih sebenarnya tidak rela 
melihat Ratu Adil terlalu memaksakan diri. Na-
mun untuk mencegah jelas tidak mungkin. Gadis 
itu telah dirasuki hawa amarah. Sehingga terlihat 
ingin sekali membalas kekalahannya tadi.
Di hadapan mereka, tak henti-hentinya 
Hantu Tangan Api terus mengumbar tawa. Kali ini 
hatinya puas sekali melihat hasil serangannya ta-
di. Hanya dalam sekali gebrakan saja, gadis la-
wannya dapat dirobohkan. Namun manakala me-
lihat Ratu Adil dan Siluman Ular Putih telah ber-
diri di tempatnya kembali, lelaki tua bengis itu ja-
di menggeram murka.
"Bagus! Aku memang sudah tidak sabar la-
gi untuk mengirim nyawa kalian menemui malai-
kat maut! Majulah!" tangan Hantu Tangan Api 
bernada mengejek.
"Meski belum tahu duduk perkara yang se-
benarnya sampai kau menginginkan nyawa kami, 
terpaksa kami harus membela diri, Kakek Merah," 
desis Siluman Ular Putih.
"Jangan banyak bacot, Bocah Tolol! Tahu 
duduk persoalannya ataupun tidak, kalau Hantu 
Tangan Api sudah berkehendak, siapa pun tidak 
dapat menghalangiku. Dan sekarang, aku men-
ginginkan nyawa kalian. Maka kalian berdua pun

harus modar di tanganku!"
Belum lenyap gema suaranya, Hantu Tan-
gan Api tiba-tiba menekuk lututnya sedemikian 
rupa. Sementara kedua telapak tangannya yang 
masih merah menyala tiba-tiba kembali menyen-
tak ke depan. Seketika itu juga meluncur dua gu-
lungan bola api ke depan ke arah Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil.
Werrr! Werrr!
Begitu melihat datangnya serangan, Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil segera bertindak. 
Serta-merta, mereka segera menghentakkan ke-
dua telapak tangan ke depan. Masing-masing 
dengan pukulan andalan, untuk memapak seran-
gan. Seketika sinar merah dan sinar putih mele-
sat, membentur bola-bola api yang dikeluarkan Ki 
Banaspati.
Besss!
Aneh! Ternyata tidak terdengar bunyi leda-
kan sedikit pun akibat pertemuan pukulan-
pukulan andalan yang terjadi. Namun akibatnya, 
tanah di sekitar tempat pertarungan mendadak 
bergetar hebat. Sementara tubuh Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil pun tampak bergetar. Apalagi 
manakala gulungan dua bola api dari kedua tela-
pak tangan Hantu Tangan Api mulai mengem-
bang, menjadi lidah api yang menjulur-julur ke 
tubuh mereka. 
"Ah...!"
Bukan main kagetnya hati kedua anak 
muda itu. Mereka tidak menyangka kalau seran-
gan-serangan Hantu Tangan Api demikian hebat.

Meski telah mengerahkan tenaga dalam penuh, 
tetap saja tubuh mereka tersurut beberapa lang-
kah ke belakang. Dan....
"Hea!"
Bersama teriakannya Hantu Tangan Api 
menyentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Akibatnya tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil kontan terpelanting.
Bukk! Bukkk!
Tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
jatuh saling tumpang tindih. Dan si pemuda men-
jadi kaget bukan main manakala melihat tubuh 
Ratu Adil mendadak jadi lemas tak dapat dige-
rakkan lagi. Bukan main cemasnya hati murid 
Eyang Begawan Kamasetyo itu.
"Yustika!"
Siluman Ular Putih memekik kalap. Buru-
buru ditelitinya urat nadi di pergelangan tangan 
Ratu Adil. Ternyata Soma masih merasakan geta-
ran pada nadi si gadis. Dan pemuda itu pun bisa 
menghela napas lega. Ternyata Ratu Adil hanya 
pingsan. Meski demikian, Siluman Ular Putih te-
tap tak dapat menerima kenyataan itu. Setelah 
menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratu Adil 
segera pemuda ini melompat bangun. 
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar ingin men-
gadu nyawa denganmu, Kakek Merah!" dengus Silu-
man Ular Putih, gusar bukan main.
Hantu Tangan Api hanya tertawa bergelak. Se-
telah tawanya habis, kembali kedua telapak tangannya 
disentakkan ke depan.

SEPULUH

Dua gulungan bola api dari kedua telapak 
tangan Hantu Tangan Api kembali bergulung-
gulung mengerikan siap meluluhlantakan tubuh 
Siluman Ular Putih. Ketika bergesekan dengan 
udara terdengar suara bergemuruh mengandung 
hawa panas luar biasa!
"Hm...! Rupanya kau benar-benar mengin-
ginkan kematianku, Kakek Merah. Sayang sekali. 
Kukira, kau tak semudah itu untuk merobohkan-
ku," desis Siluman Ular Putih saking tak tahan 
menahan amarah.
Siluman Ular Putih merasa sekarang saat-
nya untuk mengerahkan pukulan andalan 
'Tenaga Inti Bumi'. Maka begitu kedua telapak 
tangannya berubah putih terang hingga pangkal 
siku, segera dihentakkan ke depan. Seketika me-
luruk dua larik sinar putih terang langsung me-
mapak bola-bola api.
Wesss! Wesss!
Blammm!
Terdengar ledakan hebat ketika dua tenaga 
dalam tingkat tinggi itu beradu di udara. Tanah di 
sekitar tempat pertarungan membuncah dan ber-
hamburan tinggi di udara. Angin berkesiur akibat 
bentrokan tadi membuat daun-daun di sekitarnya 
hangus terbakar!
Pada saat terjadinya bentrokan, tubuh 
Hantu Tangan Api dan Siluman Ular Putih pun 
sama-sama terpental ke belakang dengan paras

pias. Namun, Ki Banaspati segera dapat mengata-
si keseimbangan tubuhnya walaupun dengan wa-
jah kaget.
"Setan alas! Rupanya kau masih terhitung 
murid tua bangka dari Gunung Bucu itu, Bocah!" 
dengus Hantu Tangan Api.
"Harap jangan membawa-bawa nama 
eyangku, Kakek Merah! Kau tak pantas menyebut 
eyangku!" ejek Siluman Ular Putih seraya membe-
sut darah yang membasahi bibir dengan pung-
gung tangan.
Setelah melirik sebentar punggung tangan-
nya yang bernoda darah, Siluman Ular Putih se-
gera melompat bangun. Sayang, tubuh murid 
Eyang Begawan Kamasetyo agak limbung akibat 
bentrokan tadi. Namun, pemuda ini berusaha te-
gar. Malah kini bersiap-siap menggabungkan ke-
dua pukulan andalan eyangnya di Gunung Bucu.
Setelah membuat gerakan, tangan kanan 
Siluman Ular Putih jadi merah menyala. Sedang 
tangan kirinya telah berubah menjadi putih te-
rang penuh 'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti 
Api'!
"Hebat! Tak kusangka kau yang masih se-
muda ini sudah mampu menggabungkan pukulan 
'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti Api'. Benar-
benar hebat! Aku patut mengagumimu, Bocah. 
Tapi sayang, kekagumanku hanya berakhir sam-
pai di sini. Karena sebentar lagi, kau akan modar 
di tanganku!"
Siluman Ular Putih sedikit pun tak meng-
gubris ucapan Hantu Tangan Api. Hawa amarah

yang telah memenuhi dada membuatnya tak sa-
bar lagi untuk segera melontarkan pukulan anda-
lan.
"Sekaranglah saatnya kau menerima kema-
tianmu, Bocah! Hea!"
Di akhir bentakannya, tiba-tiba tokoh sesat 
dari Bukit Pedang itu segera mengerahkan tenaga 
dalamnya untuk melepas pukulan pamungkas 
yang bernama pukulan 'Gemuruh Badai Api'. Dan 
begitu kedua telapak tangannya telah berubah ja-
di merah terang, segera disentakkan ke depan. 
Saat itu juga lidah api yang berkobar-kobar me-
luncur dari kedua telapak tangannya disertai an-
gin kencang berkesiur yang menggemuruh!
Werrr! Werrr!
Benar-benar mengerikan lidah api yang 
berkobar-kobar dari kedua telapak tangan Hantu 
Tangan Api. Hawa panas yang ditimbulkannya 
pun amat luar biasa. Sehingga sebelum seran-
gannya mengenai sasaran, terlebih dahulu terasa 
hawa panas yang membakar kulit tubuh.
"Edan! Benar-benar satu pukulan maut 
yang amat mematikan. Hm...! Sungguh dunia 
persilatan bisa berantakan bila sepak terjang to-
koh sesat ini tak dapat dihentikan. Yah...! Seka-
ranglah saatnya aku mencoba menghentikan se-
pak terjangnya," kata batin Siluman Ular Putih.
Tanpa banyak buang waktu, Siluman Ular 
Putih pun segera menghentakkan kedua telapak 
tangannya ke depan, membuat dua larik sinar 
merah dan putih meluncur cepat laksana kilat.
Besss!

Tak ada ledakan yang berarti akibat ben-
trokan dua tenaga dalam barusan. Namun hebat-
nya, tubuh Siluman Ular Putih tampak goyah. 
Kedua kakinya pun melesak ke dalam tanah. 
Bahkan geraham si pemuda sampai bergemelutuk 
saat berusaha menahan laju serangan Hantu 
Tangan Api. Saat itu juga tenaga dalamnya dili-
patgandakan dengan kedua telapak tangan men-
dorong ke depan. Namun, celakanya malah kedua 
kakinya makin terperosok ke dalam tanah. Dan.... 
"Aughhh...!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menjerit ke-
ras. Tanpa ampun tubuhnya terpental jauh ke be-
lakang dan terbanting keras.
Bukkk!
Siluman Ular Putih menggereng penuh ke-
marahan. Seisi dadanya seolah-olah diaduk-aduk 
hawa panas akibat pukulan Hantu Tangan Api. 
Sementara kedua telapak tangannya pun mele-
puh!
"Edan! Kenapa jadi begini? Hm...! Kukira 
sudah saatnya aku harus mengeluarkan ajian 
'Titisan Siluman Ular Putih'...," gumam Siluman 
Ular Putih gusar.
Siluman Ular Putih cepat beringsut dan se-
gera duduk bersila. Kedua telapak tangannya di-
rangkapkan di depan dada. Sementara kedua bi-
birnya mulai bergerak-gerak membacakan mantra 
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'.
Tepat ketika mantra ajian 'Titisan Siluman 
Ular Putih' selesai dibacakan, saat itu juga tubuh 
Soma telah dipenuhi asap putih tipis. Dan kini

sosoknya yang kekar hilang terbungkus asap pu-
tih bergulung-gulung.
Di tempatnya Hantu Tangan Api tercekat 
untuk beberapa saat. Namun lelaki tua sesat ini 
masih belum bertindak, kecuali hanya terus 
memperhatikan ilmu yang akan dikeluarkan Si-
luman Ular Putih.
Ternyata setelah asap putih yang menyeli-
muti tubuh Siluman Ular Putih itu hilang tertiup 
angin....
"Ggggeeerrr...!!!"
* * *
Bukan main terkejutnya Hantu Tangan Api 
begitu melihat perubahan wujud musuh mu-
danya. Seketika sepasang matanya yang menco-
rong membelalak liar. Betapa di hadapannya kini 
pemuda gondrong tadi telah menjelma menjadi 
sosok seekor ular putih raksasa dengan taring-
taring yang runcing!
"Hm...! Jadi?! Inikah ilmu yang kau bang-
ga-banggakan itu, Siluman Ular Putih?"
Ular putih raksasa sebesar pohon kelapa 
itu hanya menggereng penuh kemarahan. Suara 
gerengannya yang berat terdengar menggema di 
segenap penjuru. Ekornya, tak henti-hentinya 
mengibas-ngibas ke sana kemari.
Bummm! Bummm!
Bumi kontan bergetar hebat begitu terkena 
kibasan-kibasan ekor Siluman Ular Putih. Tanah 
berpasir di sekitar tempat pertarungan pun kon

tan membuncah ke sana kemari.
"Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih mulai bersiap-siap me-
nerjang Hantu Tangan Api. Ekornya yang besar 
sedikit ditekuk ke samping. Sedang taring-
taringnya yang berkilauan tertimpa sinar rembu-
lan tampak demikian mengerikan, seolah tak sa-
bar untuk mengganyang tubuh musuhnya.
"Siluman Ular Putih! Meski kau telah men-
jelma jadi ular putih raksasa, jangan dikira aku 
tak dapat merobohkanmu! Hayo, majulah! Akan 
kulihat, sampai di mana kehebatanmu!" tantang 
tokoh sesat dari Bukit Pedang itu pongah. Seolah 
ia yakin dapat merobohkan ular putih raksasa di 
hadapannya dalam sekali gebrakan.
"Gggeeerrr!"
Ular Putih raksasa itu mengibas-ngibaskan 
ekornya kasar. Dan dengan satu sentakan, sosok 
panjangnya telah menerjang hebat Hantu Tangan 
Api! 
Wesss!
Justru Ki Banaspati tertawa pongah meli-
hat ular putih raksasa itu mulai bertindak. Tapi 
ketika serangan Siluman Ular Putih hanya tinggal 
beberapa depa lagi, tubuhnya cepat berkelit se-
raya mengirimkan satu jotosan keras yang tak 
dapat dicegah lagi.
Bukk! Bukkk!
Dua kali bogem mentah Hantu Tangan Api 
mendarat telak di tubuh Siluman Ular Putih. Aki-
batnya tubuh ular putih raksasa itu terlempar 
jauh ke samping diiringi teriakan keras, amat

memekakkan telinga!
"Ggggeeerrr!"
Hantu Tangan Api mencelos kaget melihat 
kenyataan bahwa tubuh ular putih raksasa itu 
tak mengalami cedera sedikit pun. Jangankan ter-
luka. Lecet pun tidak! Melihat kenyataan ini, ha-
tinya jadi menggeram murka.
"Bangsat! Rupanya kau kebal juga terha-
dap pukulanku, Ular Putih Jejadian!"
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan 
ekornya liar. Sepasang matanya yang mencorong 
seolah ingin melumat tubuh lawannya.
"Majulah! Jangan dikira aku tak sanggup 
meladenimu!" tantang Hantu Tangan Api diam-
diam kembali mengerahkan pukulan andalan.
Ular putih raksasa itu tampak demikian 
marah begitu melihat kedua telapak tangan Han-
tu Tangan Api telah berubah jadi merah menyala 
hingga ke pangkal. Hal ini saja sudah membukti-
kan kalau tokoh sesat dari Bukit Pedang ini be-
nar-benar telah mengerahkan kekuatan tenaga 
dalam secara penuh.
"Gggeeerrr...!"
Tiba-tiba ular putih raksasa itu kembali 
menerjang hebat. Hantu Tangan Api. Taring-
taringnya yang runcing pun kembali mengancam 
lawan. Namun tokoh sesat dari Bukit Pedang ini 
tak gentar sedikit pun. Dengan menjengekkan hi-
dungnya, tiba-tiba telapak tangannya kembali di-
hantamkan ke depan.
Werrr! Werrr!

Seketika dua gulungan bola api dari kedua 
telapak tangan Hantu Tangan Api melesat cepat 
ke depan, memapak tubuh ular putih raksasa
yang masih melayang di udara.
"Gggeeerrr! Gggeeerrr!"
Ular putih raksasa itu menggereng hebat. 
Tubuhnya yang panjang jatuh ke tanah, langsung 
oleng ke sana kemari. Sedang dua gulungan bola 
api dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api 
tak henti-hentinya menyerang ular putih raksasa 
itu.
"Mampuslah kau, Ular Jejadian!"
Ular putih raksasa itu terus menggeliat. 
Namun hebatnya, sosoknya yang panjang memu-
tih sama sekali tidak terpengaruh oleh gulungan 
bola api yang mengurung.
Dan melihat kenyataan itu, hati Hantu 
Tangan Api jadi gusar bukan main. Lebih gusar 
lagi manakala tiba-tiba ekor ular putih raksasa 
itu tahu-tahu telah meluruk mengancam tubuh-
nya.
"Setan alas!" geram Hantu Tangan Api 
jengkel bukan main. Namun untuk menghindar ia 
sudah terlambat. Akibatnya....
Bukkk!
Tanpa ampun lagi tubuh kurus kering itu 
pun telah jadi sasaran empuk kibasan ekor ular 
putih raksasa jelmaan murid Eyang Begawan 
Kamasetyo.
Diiringi raungan setinggi langit, tubuh 
Hantu Tangan Api kontan terlempar jauh ke bela-
kang dan terbanting keras dengan wajah pias.

Punggungnya yang terkena kibasan terasa mau 
remuk. Untung saja tadi tenaga dalamnya telah 
dikerahkan hingga tidak mengalami cedera berar-
ti.
"Bangsat! Akan kubalas kibasan ekormu 
tadi, Ular Putih Keparat! Akan kuhancurkan tu-
buhmu hingga berkeping-keping!" geram Hantu 
Tangan Api murka.
Tanpa banyak basa-basi lagi Hantu Tangan 
Api segera melompat bangun. Darah segar yang 
mengalir di sudut bibir segera dibesut dengan 
menggunakan punggung tangannya.
"Kali ini kau tak mungkin lolos dari tangan 
mautku, Ular Putih Keparat! Makanlah pukulan 
'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Hantu Tangan 
Api kembali menerjang ular putih raksasa itu ga-
nas. Kedua telapak tangannya yang kian berubah 
merah menyala segera disentakkan ke arah ular 
putih raksasa itu. Saat itu juga meluruk dua li-
dah api yang berkobar-kobar dari kedua telapak 
tangannya, langsung melabrak tubuh Siluman 
Ular Putih tanpa ampun!
"Gggeeerrr! Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. So-
soknya yang panjang memutih oleng ke sana ke-
mari. Sedang lidah api yang berkobar-kobar dari 
kedua telapak tangan Hantu Tangan Api terus 
membakar sekujur tubuhnya tanpa ampun.
Lelaki tua kurus kering itu sendiri pun tak 
sudi mengendurkan serangannya. Dengan menge-
rahkan segenap tenaga dalamnya, kobaran api

yang membakar sekujur tubuh Siluman Ular Pu-
tih pun makin mengerikan!
"Ggggeeerrr...!"
Bukan main hebatnya geliatan-geliatan tu-
buh Siluman Ular Putih. Tak henti-hentinya 
ekornya dikibaskan ke sana kemari, seolah-olah 
tak tahan dengan kobaran api yang memanggang 
tubuhnya.
"Ha ha ha...! Hari inilah nama besarmu 
akan tamat, Siluman Ular Putih!" Hantu Tangan 
Api tertawa pongah.
Siluman Ular Putih kewalahan. Tampak 
sekali kalau ular pulih raksasa itu sudah tak ta-
han lagi dengan lidah api yang berkobar-kobar 
membakar tubuhnya.
"Ggggeeerrr...!!!"
Saking tidak tahan dengan kobaran api 
yang memanggang tubuhnya, Siluman Ular Putih 
menggereng hebat. Suaranya yang kasar dan be-
rat seolah-olah tengah menanggung derita maha 
hebat! Ini lebih terbukti manakala tiba-tiba seku-
jur tubuhnya telah dipenuhi asap putih tipis 
hingga tidak kelihatan sama sekali.
Sejenak Hantu Tangan Api tertegun di 
tempatnya. Lalu lelaki ini kembali tertawa berge-
lak sambil menunggu apa yang akan dilakukan 
Siluman Ular Putih.
"Ha ha ha...! Kcluarkanlah semua kepan-
daianmu, Siluman Ular Putih! Kau toh tetap akan 
tewas di tanganku!" ejek Hantu Tangan Api terta-
wa bergelak. Kini tangannya diturunkan kembali, 
membuat lidah api yang berkobar-kobar pun sirna.
Sementara itu asap putih yang menyelimuti 
sekujur tubuh ular putih raksasa itu pun mulai 
sirna. Samar-samar dari gulungan-gulungan asap 
putih itu, terlihat kalau sesosok tubuh pemuda 
berpakaian rompi dan celana bersisik itu tengah 
duduk bersila dengan paras pias! Darah segar 
pun tampak keluar dari lobang hidung dan lobang 
telinga, pertanda menderita luka dalam parah.
"Celaka! Rupanya memang sudah nasibku 
harus modar di tangan Hantu Tangan Api...," de-
sis Siluman Ular Putih gelisah bukan main. Seku-
jur tubuhnya terasa lemah. Sulit sekali untuk 
mengerahkan tenaga dalam.
"Ha ha ha...! Daripada kau menderita se-
perti itu, lebih baik lekas kukirim menemui ma-
laikat maut, Bocah! Selamat tinggal!" ejek Hantu 
Tangan Api.
Begitu habis kata-katanya, tokoh sesat dari 
Bukit Pedang ini kembali menghentakkan kedua 
telapak tangan ke depan, membuat dua larik si-
nar merah menyala meluncur, siap menghantam 
tubuh Siluman Ular Putih.
Namun belum sempat dua larik sinar me-
rah itu mencapai sasaran, mendadak berkelebat 
sesosok bayangan hitam, langsung menyambar 
tubuh Siluman Ular Putih. Dan dengan kecepatan 
mengagumkan meninggalkannya tempat itu.
"Bajingan! Siapa lagi yang berani main gila 
dengan Hantu Tangan Api, hah?!" bentak Hantu 
Tangan Api gusar bukan main.
Tapi sayang, sosok bayangan hitam itu te

lah berkelebat di kejauhan sana. Lebih dari itu, 
ternyata sosok tubuh Ratu Adil yang tadi tergele-
tak di luar tempat pertarungan pun sudah tak be-
rada di tempatnya lagi!
"Setan alas! Berani benar mempermainkan 
Hantu Tangan Api seperti ini!"
Saking tak kuatnya amarah yang memba-
kar dada. Hantu Tangan Api membanting kakinya 
keras. Seketika, tanah tempat bekas berpijaknya 
terbongkar! Tanah berpasir di tempat itu pun 
kontan membubung tinggi di udara, membuat 
suasana di tempat itu jadi gelap pekat. Dan saat 
debu-debu yang membubung tinggi itu sirna ter-
tiup angin, ternyata sosok Hantu Tangan Api te-
lah meninggalkan tempat itu!

SEBELAS


Sosok bayangan hitam-hitam yang melari-
kan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terus ber-
kelebat cepat menembus kegelapan malam. Meski 
sambil memanggul dua sosok tubuh, sosok 
bayangan hitam itu ternyata mampu berkelebat 
cepat tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Hal 
ini jelas membuktikan kalau ilmu meringankan 
tubuhnya benar-benar sudah mencapai tingkat 
tinggi!
Srakkk! Srakkk!
Sesampainya di kawasan sebuah hutan ke-
cil, mendadak sosok bayangan hitam ini meng-
hentikan langkahnya. Untuk sesaat, ia masih tegak di tempatnya tanpa berbuat sesuatu. Hanya 
kedua bola matanya saja yang bergerak-gerak 
mengawasi keadaan sekitarnya dengan seksama.
"Hm...! Kukira tak ada orang yang sedang 
mengawasiku. Juga, tua bangka itu. Sebaiknya 
aku cepat masuk," gumam sosok bayangan itu 
dalam hati.
Dengan langkah hati-hati, sosok bayangan 
itu menyibak semak belukar yang ternyata di ba-
liknya terdapat sebuah mulut goa. Tanpa ragu-
ragu sosok bayangan itu segera membawa Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil masuk ke dalam 
goa.
"Siapa?! Apakah kau yang datang, Paman?" 
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan.
Sosok bayangan hitam itu tidak menyahut, 
kecuali hanya batuk-batuk kecil. Kakinya terus 
melangkah lebar memasuki goa. Dalam goa itu 
memang tidak begitu lebar. Luasnya kira-kira 
empat kali lima tombak. Namun di dalamnya ter-
dapat dua lorong kecil yang memisahkan ruang-
ruang di sebelahnya.
"Siapa yang kau bawa itu Paman?" tanya 
suara halus dengan kepala menyembul dari balik 
lorong goa. Ternyata suara itu datang dari mulut 
seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian 
serba hijau dengan rambut digelung ke atas. Hia-
san-hiasan bunga melati tampak menyemaraki 
rambutnya.
Sosok bayangan hitam itu tetap tidak me-
nyahut. Ia hanya mengisyaratkan gadis itu agar 
masuk. Gadis itu menurut, segera melangkah

masuk. Baru kemudian, disusul sosok bayangan 
itu.
Dalam sebuah ruangan berukuran empat 
kali lima tombak, sosok bayangan hitam itu sege-
ra meletakkan tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil ke tumpukan jerami. Sekali lihat saja, ia 
tahu kalau kedua anak muda itu tengah menderi-
ta luka dalam amat hebat.
"Siluman Ular Putih...!" desis gadis cantik 
itu begitu mengenali sosok pemuda berpakaian 
putih keperakan yang tengah tergeletak tak ber-
daya ditumpukan jerami.
"Ya! Dia memang Siluman Ular Putih. Tadi 
sewaktu kita tidur, tiba-tiba aku mendengar sua-
ra orang tengah bertarung. Lalu diam-diam, aku 
menyelinap keluar untuk melihat. Namun betapa 
terkejutnya saat melihat Siluman Ular Putih ten-
gah bertarung melawan Hantu Tangan Api. Hm...! 
Tak kusangka tua bangka itu kembali gentayan-
gan di dunia persilatan. Untung saja aku segera 
bertindak. Kalau tidak, bukan mustahil Siluman 
Ular Putih dan teman-temannya ini sudah tewas 
di tangan Hantu Tangan Api."
"Siapa sebenarnya Hantu Tangan Api itu, 
Paman?" tanya gadis itu penasaran sekali. Kalau 
Siluman Ular Putih sampai dapat dikalahkan, 
tentu Hantu Tangan Api memiliki kesaktian yang 
tinggi. Begitu pikir si gadis dalam hati.
"Dia adalah salah seorang tokoh sesat yang 
sangat ditakuti di dunia persilatan. Arum. Kesak-
tiannya sangat tinggi. Jarang sekali yang mampu 
menandingi sepak terjangnya. Aku sendiri mung

kin tak mampu menghentikannya. Untuk itulah 
aku lebih baik memilih menghindar dan menye-
lamatkan kedua orang anak muda itu," jelas so-
sok bayangan berpakaian hitam-hitam yang ter-
nyata seorang kakek renta.
"Paman Pendidik Ulung! Sedemikian he-
batnyakah kesaktian Hantu Tangan Api hingga 
membuat Paman tampak ketakutan?" tanya gadis 
itu yang ternyata Arum Sari, heran.
"Harus kuakui, ilmu Paman masih seting-
kat di bawah Hantu Tangan Api. Untuk itulah 
Paman memilih menyelamatkan Siluman Ular Pu-
tih dan kawannya daripada meladeni Hantu Tan-
gan Api," jelas si tua yang ternyata Pendidik 
Ulung.
"Hm...! Tapi, buk...."
"Sudahlah, Arum! Sekarang kau duduk sa-
ja di situ. Paman akan menyembuhkan luka da-
lam kedua anak muda itu!" potong Pendidik 
Ulung cepat. 
"Baik, Paman."
Pendidik Ulung segera mendekati tubuh Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil. Dalam pandan-
gan matanya, ia tahu kalau kedua anak muda itu 
sama-sama menderita luka dalam parah.
Tanpa banyak cakap, Pendidik Ulung sege-
ra membalikkan tubuh Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil. Lalu ia sendiri duduk bersila di tengah 
tubuh kedua anak muda itu. Telapak tangan ka-
nannya segera ditempelkan ke punggung Siluman 
Ular Putih. Sedang telapak tangan kiri segera di-
tempelkan ke punggung Ratu Adil. Sejurus ke

mudian, mulailah tenaga dalamnya disalurkan ke 
tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil.
Selama Pendidik Ulung sibuk mengobati Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil, entah kenapa 
hati Arum Sari jadi rusuh bukan main. Sebentar-
sebentar, matanya memandang ke arah Siluman 
Ular Putih. Namun sebentar kemudian, tatapan-
nya beralih pada Ratu Adil.
"Ah...! Pantas saja Soma lebih mencintai 
gadis itu dibanding aku. Harus kuakui, gadis itu 
memang cantik. Mungkin masih lebih cantik dia 
dibanding aku. Tapi.... Tapi...."
Arum Sari tidak melanjutkan perasaan ha-
tinya yang sedang gundah. Ia hanya menggigit bi-
birnya kuat-kuat, seolah-olah ada kegalauan di 
balik wajahnya yang cantik. Gadis ini sedih sekali 
bila mengingat penolakan Siluman Ular Putih atas 
permintaan ibunya beberapa hari lalu. Kalau saja 
Soma tak menolak permintaan ibunya, ahh...! 
Arum Sari tak sanggup membayangkan betapa 
bahagianya bila dapat sehidup semati bersama Si-
luman Ular Putih. Tapi sayang, pemuda itu ter-
nyata tak memenuhi permintaan ibunya. Juga, 
tak memenuhi keinginan hatinya.
Arum Sari mengeluh tertahan. Tanpa sadar 
matanya jadi merembang bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih.
"Aku heran? Benarkah aku kalah cantik 
dengan gadis cantik itu?" gumam Arum Sari kian 
dipermainkan perasaan.
"Ah...!" keluh Arum Sari tiba-tiba.
Saking tidak kuatnya menahan gejolak da

lam hatinya, hampir saja Arum Sari menjerit. Un-
tung saja ia masih bisa mengendalikan perasaan-
nya. Kini matanya lekat memperhatikan Pendidik 
Ulung yang tengah sibuk mengobati Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil. Dari pandang matanya, jelas 
ia seperti dililit perasaan cemas kalau-kalau Si-
luman Ular Putih maupun Pendidik Ulung tahu 
apa yang meresahkan hatinya. Namun akhirnya 
Arum Sari menghela napas panjang.
"Tenang-tenang! Mereka tak mungkin 
mendengar apa yang tengah bergolak dalam hati-
ku," desah hati Arum Sari menenangkan dirinya 
sambil mengelus-elus dada.
Saat itu tampak tubuh Siluman Ular Putih 
mulai bergerak-gerak. Selang beberapa saat, ter-
dengar Ratu Adil pun mengeluh. Kemudian seper-
ti tersentak kaget, Siluman Ular Putih dan Ratu 
Adil pun buru-buru berbalik.
"Jangan khawatir! Kalian berada di tempat 
aman," ujar Pendidik Ulung.
Kini paras kakek renta itu tampak demi-
kian pias, saking banyaknya mengeluarkan tena-
ga dalam. Di samping itu, tubuh Pendidik Ulung 
pun tampak gemetaran. Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil yang melihat keadaan Pendidik Ulung 
jadi terharu sekali.
"Ah...! Ternyata kau yang telah menyela-
matkan nyawaku, Pendidik Ulung. Aku tak tahu, 
bagaimana harus membalas budimu...," ujar Si-
luman Ular Putih, buru-buru menelangkupkan 
kedua telapak tangan ke depan hidung penuh 
hormat.

"Budimu sungguh besar, Orang Tua. Tak 
mungkin aku mampu membalas budimu yang be-
sar ini," kata Ratu Adil. Dengan penuh hormat 
gadis ini pun segera menelangkupkan kedua tela-
pak tangan di depan hidung.
"Sudahlah! Kita adalah orang-orang satu 
golongan, kenapa kalian banyak peradatan?" te-
gur Pendidik Ulung. "Sekarang, baiknya coba ber-
semadi biar luka dalam kalian cepat sembuh!"
"Baik, Orang Tua," sahut Ratu Adil penuh 
hormat. Namun manakala melihat Arum Sari 
tampak diam membisu di tempatnya, gadis itu ja-
di merasa tak enak bila tidak menegurnya. "Nona 
pun tentunya telah menanam budi padaku. Teri-
ma kasih, Nona. Kalau boleh tahu, siapakah na-
ma Nona? Aku, Yustika yang rendah ini mohon 
berkenalan. Barangkali, lain waktu aku dapat 
membalas budi Nona yang besar ini."
"Siapa yang menolongmu? Aku tidak meno-
longmu! Jadi, kenapa kau harus mengucapkan 
terima kasih?!" sahut Arum Sari, terdengar ketus.
"Arum! Kau tak boleh berlaku kasar!" tegur 
Pendidik Ulung.
"Benar, Arum. Ada apa sih? Sejak kita tu-
run dari Gunung Bucu, kulihat sikapmu makin 
aneh? Kau sering marah-marah walau tak ada 
sebab pasti," tegur Siluman Ular Putih pula.
Arum Sari memandang gusar ke arah Pen-
didik Ulung dan Siluman Ular Putih. Lalu dengan 
bibir memberengut, tiba-tiba gadis itu ngeloyor 
meninggalkan tempat ini.
"Kau mau ke mana, Arum?" tanya Siluman

Ular Putih.
"Sudahlah! Jangan hiraukan dia! Lebih 
baik bersemadi saja biar luka dalammu cepat 
sembuh!"
"Hm...! Baiklah," ujar Siluman Ular Putih 
akhirnya.
Saat melihat Ratu Adil sudah tenggelam 
dalam semadinya. Soma segera memusatkan piki-
rannya dan bersemadi.
* * *
Keesokan harinya, Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil tengah duduk bersimpuh di hadapan 
Pendidik Ulung. Keadaan mereka kini sedikit mu-
lai pulih setelah hampir semalam bersemadi. Wa-
lau belum sembuh benar, namun mereka kini su-
dah merasa lega karena dapat mengerahkan te-
naga dalam lagi.
"Kukira, sudah saatnya kami melanjutkan 
perjalanan, Orang Tua," kata Siluman Ular Putih, 
mulai membuka percakapan.
"Kenapa buru-buru benar? Bukankah luka 
dalam kalian belum sembuh?" tanya Pendidik 
Ulung dengan kening berkerut.
"Memang belum, Orang Tua. Tapi kami kan 
bisa menyembuhkan sambil jalan."
"Yah...! Kalau memang itu sudah menjadi 
kehendak kalian, aku pun tak dapat lagi mena-
han. Cuma kalau boleh tahu, sebenarnya kalian 
mau ke mana? Apakah kalian ingin kembali me-
nyatroni Hantu Tangan Api dan Setan Haus Darah?"
"Betul, Orang Tua. Tapi, di samping itu 
kami pun sebenarnya sedang mencari seseorang." 
Siluman Ular Putih yang menjawab.
"Siapa?"
Siluman Ular Putih tidak menjawab. Ma-
tanya malah mengerdip ke arah Ratu Adil.
"Gendon Prakoso, Orang Tua. Apakah kau 
pernah bertemu atau mengenal orang yang ber-
nama Gendon Prakoso?" tanya Ratu Adil.
"Hm…!" kening Pendidik Ulung berkerut 
dalam. "Rasa-rasanya aku belum pernah men-
dengar nama itu. Siapakah orang yang bernama 
Gendon Prakoso itu, Gadis?"
"Dia... ayah kandungku, Orang Tua."
"Oh...!" Pendidik Ulung mengangguk-
angguk. "Sayang sekali aku tak mengenalnya. Ta-
pi, aku pasti akan membantumu untuk mencari-
kan orang tuamu, Gadis."
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali."
"Orang tua! Di mana Arum Sari? Kenapa 
aku tak melihatnya?" tanya Siluman Ular Putih.
"Hm...! Dia sedang latihan di luar."
"Oh, ya? Kalau begitu, kami sekalian pa-
mit, Orang Tua," lanjut Siluman Ular Putih.
"Pergilah!" Pendidik Ulung menganggukkan 
kepalanya.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil sejenak 
menelangkup kedua telapak tangan ke depan hi-
dung. Lalu kedua anak muda itu segera melang-
kah meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di luar goa, Siluman Ular Pu

tih dan Ratu Adil memang melihat Arum Sari ten-
gah berlatih silat. Namun begitu melihat kemun-
culan Soma bersama Ratu Adil latihannya segera 
dihentikan.
"Arum...! Kami akan melanjutkan perjala-
nan kembali. Terima kasih atas semua kebaikan-
mu," ucap Siluman Ular Putih berpamitan.
"Kau akan meninggalkanku, Soma?"
Arum Sari mendadak membelalakkan ma-
tanya lebar.
"Iya."
"Dengan gadis itu?" tuding Arum Sari ke 
arah Ratu Adil.
"lya. Kenapa?"
"Ah...!" Arum Sari membantingkan kakinya 
kesal. "Jadi? Kau tak ingin lagi membantuku 
mencari makam kedua orang tuaku, Soma?"
"Ah...! Bukan begitu maksudku, Arum. Ta-
pi...."
Melihat gelagat yang kurang menyenang-
kan, Ratu Adil yang memang berwatak halus se-
gera tahu diri.
"Aku pergi, Soma," pamit Ratu Adil, tanpa 
pikir panjang lagi. 
Habis berkata begitu, Ratu Adil pun segera 
berkelebat cepat meninggalkan Soma dan Arum 
Sari. Hanya dalam beberapa kelebatan saja so-
soknya telah berada di kejauhan sana.
"Tunggu, Yustika!"
Siluman Ular Putih hendak berkelebat 
bermaksud menyusul Ratu Adil. Namun sebelum 
bergerak, tiba-tiba Arum Sari telah menghadang

langkahnya. 
"Jadi? Kau lebih mencintai gadis itu. So-
ma?" tanya Arum Sari, tak dapat lagi menyembu-
nyikan keresahan dalam hatinya.
"Aku.... Aku.... Ah...! Kenapa kau tanyakan 
ini, Arum? Aku tidak mencintai siapa-siapa kecu-
ali ibu dan eyangku," jawab Siluman Ular Putih, 
gelagapan.
"Jadi?" mata Arum Sari kian membeliak le-
bar. "Kau.... Kau memang pemuda tak tahu diri, 
Soma. Kau.... Kau sekarang boleh pilih...."
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini?" 
tanya Siluman Ular Putih gelisah bukan main. 
Belum pernah seumur hidupnya segelisah itu. 
"Kau terlalu memaksa, Arum. Baik. Untuk me-
nentukan sikapku, sekarang aku tidak mau ting-
gal di sini. Juga, tidak mau menyusul ke mana 
Yustika pergi. Aku akan meneruskan perjalanan 
ke utara."
Saat itu juga Siluman Ular Putih segera 
berkelebat meninggalkan tempat ini. Seperti yang 
diucapkannya, pemuda itu memang berkelebat 
menuju utara.
Entah kenapa, hati Arum Sari malah ber-
tambah gusar. Terus diperhatikannya sosok Si-
luman Ular Putih hingga menghilang di balik ke-
rimbunan hutan depan sana. Lalu dengan lang-
kah gontai, Arum Sari pun kembali masuk ke dalam goa.

                               SELESAI

Segera menyusul:
WARISAN AGUNG




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar