Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
TANJUNG Karangbolong.
Senja saat itu. Angin bertiup seperti hari-
hari biasa, menjarahi pantai. Matahari membang-
gakan warna kuning lembayung nya. Juga seperti
hari-hari biasa. Daun nyiur di mana-mana berge-
rak-gerak beranggukan bagai terkantuk-kantuk.
Alam ramah. Semuanya nampak sumringah. Ti-
dak untuk dua lelaki tua yang baru saja menyulut
satu perkelahian besar.
"Heaaa!!!"
Teriakan salah seorang di antaranya meng-
gugurkan kedamaian, mencerabut keramahan
alam dari mahligainya. Berkawal teriakan itu, se-
bentuk angin pukulan menderu ke arah lelaki tua
lain. Berhawa panas. Berbentuk memanjang. Di
sekelilingnya berpusingan asap berwarna keme-
rahan. Menjulur deras seolah naga api.
Wurr!
Pihak yang diserang adalah kakek berusia
tujuh puluhan jika dilihat dari perawakan mau-
pun wajahnya. Berpakaian hitam-hitam longgar.
Berikat pinggang dari kulit buaya. Kepalanya di-
ikat kain hitam, merangkum rambut putih seba-
tas bahu. Di atas bibirnya tumbuh kumis yang
juga berwarna pucat. Lebat. Bertolak belakang
dengan alisnya yang tumbuh jarang.
Bahu kanan orang tua itu membopong seo-
rang perempuan berpakaian ungu. Terlalu sulit
wajahnya dikenali karena posisi tubuhnya yang
tertelungkup lemas di punggung pembopongnya.
Rambutnya menjuntai-juntai. Keadaannya amat
lemah. Begitupun tarikan napasnya. Hampir tak
kentara. Bukan berarti dia sudah tak bernyawa
Pihak lain, yang baru saja melepas seran-
gan pukulan jarak jauh berhawa panas adalah
seorang kakek kurus kering. Berjubah hitam pen-
dek sebatas paha. Berjenggot dan berambut tak
kalah putih dengan lawannya. Tumbuh amat pan-
jang. Jenggotnya bahkan tumbuh sampai menca-
pai lutut. Wajahnya dipenuhi kerut-merut. Kulit
pipi bagian bawahnya malah sampai bergelantun-
gan. Siapa mereka berdua?
Andai ada segelintir orang persilatan yang
menyaksikan ketegangan yang terus memuncak
antara kedua orang tua itu, tentu mereka akan
segera menyingkir. Buat mereka, itu jalan terbaik.
Sebab, dua orang itu adalah sepasang tokoh ka-
langan atas dunia persilatan yang tak hanya dis-
egani, tapi juga memiliki kesaktian sulit tertan-
dingi. Ibarat penghuni hutan, mereka adalah raja
diraja singa. Berurusan dengan mereka tak akan
menjamin keunggulan. Untuk Iblis Dari Neraka,
bahkan bisa berarti mengundang tangan kema-
tian dengan sengaja!
Kakek yang membopong wanita menyan-
dang julukan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Siapa
lagi tokoh tua yang memiliki gelar itu kecuali si
tua Ki Kusumo?
Sementara penyerangnya, yang siap men
jadi seterunya dalam kancah pertarungan besar
itu menyandang julukan sangar: Iblis Dari Nera-
ka. Sangar melebihi perawakannya sendiri yang
begitu kurus. Ki Kusumo memanggilnya Ki Ageng
Sulut. Tokoh sakti mandraguna dari dunia hitam
yang telah memburunya sekian lama (Untuk
mengetahui awal kejadiannya, bacalah episode
sebelumnya : "Geger Pesisir Jawa"}!
Serbuan serangan pembuka dari Ki Ageng
Sulut atas diri Ki Kusumo tidak cukup berarti
buat orang tua ahli segala macam jenis obat dan
seni penyembuhan itu. Meskipun dia dibebani tu-
buh seorang perempuan di bahunya.
Pukulan jarak jauh Ki Ageng Sulut datang.
Bagai menundukkan maut.
Ki Kusumo tak membiarkan tubuhnya ter-
panggang hawa panas pukulan tersebut. Tak di-
hadapinya dengan pukulan peredam. Untuk per-
tarungan awal, hanya akan membuang tenaga se-
cara sia-sia melakukan hal demikian. Karenanya
orang tua itu hanya berusaha mengelak.
Tak ada teriakan pertanda kesukaran, tu-
buh Ki Kusumo melenting ringan ke atas. Amat
ringan. Tak terlihat kakinya melakukan hentakan.
Dia seperti melayang lurus begitu saja. Seperti
terlontarkan oleh tenaga dorongan hebat dari da-
sar bumi. Cukup mencengangkan. Terutama ka-
rena lesatan tegak lurus tubuh Ki Kusumo sang-
gup mencapai ketinggian sampai sepuluh tombak!
Lalu tubuhnya menukik kembali ketika an-
gin pukulan berhawa panas lawan telah lewat.
Disebut menukik pun tak terlalu tepat. Karena Ki
Kusumo melayang turun seperti mengendarai an-
gin. Perlahan-lahan bagai sehelai bulu.
Bagi Ki Kusumo tindakan itu tak lebih dari
sekadar usaha menyelamatkan diri. Bagi lawan-
nya, tindakan tadi seperti hendak memamerkan
satu kelihaian. Penghinaan bagi KI Ageng Sulut.
Dari seorang yang berusia di bawahnya. Tak cu-
ma itu, pamor dan kebesaran julukan Iblis Dari
Neraka pun jauh lebih lama menggegerkan di ta-
nah Jawa. Pun di dunia persilatan. Jauh sekian
tahun mendahului Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Keparat! Kau jangan pamer kelihaian pe-
ringan tubuhmu padaku, Kusumo!" maki Ki
Ageng Sulut
"Kenapa kau berpikir begitu, Ki Ageng Su-
lut?" sambut Ki Kusumo, si Tabib Sakti Pulau
Dedemit, sesampainya kembali di tanah.
"Apa kau pikir karena aku tak sebanding
dengan kedigdayaanmu yang mendirikan bulu
kuduk?" tambah Ki Kusumo, mencoba memanc-
ing kegusaran lawan kian dalam.
Bukan ucapan pedas memerahkan telinga
tadi yang justru menampar harga diri si tua ku-
rus kering, manusia keji tak berhati itu. Yang le-
bih menghinakan bagi dirinya adalah cara Ki Ku-
sumo melepas kekehnya di akhir perkataan baru-
san.
Kekeh itu dalam benak Ki Ageng Sulut seo-
lah ditujukan untuk seekor anak kera. Bukankah
dengan begitu, Ki Kusumo hanya menganggapnya
seekor anak kera? Itu keterlaluan, geram Ki Ageng
Sulut.
"Jangan kau mencoba menipu diri, Kusu-
mo. Kenyataannya, aku memang lebih digdaya
darimu!" pangkas Ki Ageng Sulut, memastikan
keberadaan nama besarnya.
"Kau ingin mengatakan kau lebih sakti da-
riku?"
"Tentu! Ya, aku lebih sakti darimu. Jauh
lebih sakti. Karena aku adalah Iblis Dari Neraka!"
"He he he! Tapi kenapa Iblis Dari Neraka
yang sakti mandraguna membutuhkan pertolon-
ganku?"
"Keparat! Jaga mulutmu Kusumo!"
"Ya... ya.... Aku memang harus menjaga
mulutku. Tentunya kau tak ingin mendengar
aibmu, bukan? Bahwa seorang sakti mandraguna
yang memiliki nama besar seperti kau datang ke
sini untuk meminta pertolonganku. Lalu kalau
aku tak bersedia, jangan-jangan kau memohon-
mohon padaku. Dengan penuh memelas, ten-
tunya!"
"Kau memang keparat, Kusumo! Heaa!!"
Kegusaran Ki Ageng Sulut menjadikan ala-
san baginya untuk melancarkan serangan beri-
kutnya.
Tidak dengan pukulan jarak jauh berhawa
panas yang sanggup membakar udara seperti se-
belumnya. Kali ini dia mempergunakan tepukan-
tepukan telapak tangan. Dari caranya melakukan
serangan tampak sekali kalau kakek kurus kering
sakti satu ini hendak melampiaskan kegusaran.
Hendak dijadikannya lawan sebagai sasaran ter-
jangan. Setidak-tidaknya menganggap Ki Kusumo
sebagai sebatang pohon pisang yang akan demi-
kian mudah dikepruk remuk dengan telapak tan-
gannya!
Plok plok plok plok!
Dari tempatnya berdiri, cukup jauh dari
tempat lawan, kaki Ki Ageng Sulut bergerak cepat
menuju Ki Kusumo. Langkah-langkahnya pendek.
Namun amat bertenaga. Nyalang. Tapi juga tera-
tur. Kekuatannya kentara sekali dari suara ber-
debam yang tercipta.
Berbarengan dengan setiap hentakan lang-
kahnya, kedua telapak tangannya ditepukkan lu-
rus ke depan. Bunyinya santer. Memekakkan te-
linga. Sekaligus menggetarkan udara dan nyali.
Sepertinya kedua lengan tokoh tua bangka itu te-
lah berubah wujud menjadi dua bilah batang lo-
gam keras yang setiap saat akan meremukkan
lawan.
Jarak makin menyempit.
Ki Ageng Sulut makin dekat. Padat anca-
man. Wajahnya berkobar-kobar dengan kemara-
han teramat besar.
"Tepukan Iblis Kematian...," bisik Ki Ku-
sumo, cukup tahu jurus apa yang sedang dilan-
carkan lawan ke arahnya. Satu jurus yang sudah
dianggap sebagai jawaranya jurus-jurus dunia
persilatan. Hanya dimiliki oleh Ki Ageng Sulut
semata. Tak ada orang lain!
Mematikan bukan karena lawan terkena
tepukan itu. Melainkan ketika lawan tersambar
angin yang dihasilkan tepukannya. Jangankan
tubuh manusia, sebongkah pecahan benteng ke-
raton pun dapat dihancurkannya hanya dengan
sekali tepukan. Untuk melepas angin tepukan
mautnya, si pemilik membutuhkan jarak sedikit-
nya satu tombak. Lebih jauh dari itu, tenaga an-
gin tepukan bahkan tak bisa membinasakan see-
kor lalat. Dengan alasan itulah, Ki Ageng Sulut
berusaha untuk mempersempit jarak.
Sungguh jurus yang aneh. Sulit pula di-
mengerti. Namun bagi Ki Kusumo, tak terlalu
aneh atau pun sulit dimengerti. Dia dapat mem-
baca bahwa lawan sengaja membatasi jarak jang-
kau tenaga dalamnya. Dengan cara itu, kekuatan
tenaga pukulan jarak jauhnya dapat dipadatkan
sedemikian rupa. Seperti memadatkan timbunan
mesiu agar dapat menciptakan kekuatan ledakan
yang hebat!
Lepas dari itu, bukan berarti Ki Kusumo
memandang remeh serangan lawan. Bahkan, dia
menyadari benar posisinya. Ancaman yang serupa
dengan patukan moncong seekor naga sedang
mengarah ke dirinya! Jelas berbahaya!
Ki Ageng Sulut rupanya tahu benar bagai-
mana memanfaatkan keadaan lawan. Ki Kusumo
saat itu sedang membopong seorang wanita. Nyai
Cemarawangi. Akan teramat sulit baginya jika di-
paksa untuk melakukan pertarungan jarak dekat.
Segala kerepotan akan menyudutkannya menjadi
pihak terdesak. Terutama karena dia harus ber-
hati-hati agar wanita di bahunya tidak menjadi
sasaran serangan lawan.
Boleh pula dia berkoar bahwa kesaktian-
nya berada jauh di atas lawan. Boleh saja Iblis
Dari Neraka menyanjung dirinya sebagai tokoh
yang lebih banyak makan asam garam ketimbang
Ki Kusumo. Namun, tak sedikit pun kepastian
bahwa Ki Kusumo adalah seorang tokoh yang
mentah.
Maksud Ki Ageng Sulut pun terbaca oleh Ki
Kusumo.
Untuk tidak menempatkan posisinya men-
jadi sulit, Ki Kusumo cepat mengambil tindakan.
Sebelum lawan benar-benar sampai pada jarak
serangan mautnya, dengan gesit Ki Kusumo me-
lompat jauh-jauh ke belakang. Hinggap di bawah
batang pohon kelapa, meletakkan tubuh Nyai
Cemarawangi di atas pasir, lalu sesegera nya
menggenjot tubuh kembali. Langsung dihadang-
nya laju lawan di tengah jalan dengan satu ter-
kaman seperti seekor kucing liar yang siap men-
cabik lawan dengan keempat kakinya.
"Heaaa!!!"
Ki Ageng Sulut dipaksa terperanjat. Tentu
saja, karena dia tak pernah menyangka lawannya
akan melakukan tindakan seperti itu. Dikiranya,
Ki Kusumo justru akan menanti. Menanti sampai
'Tepukan Iblis Kematian' menanduknya. Setelah
itu baru dia berkelit.
Nyatanya kini, tabib sakti itu malah senga
ja mempercepat sempitnya jarak. Semuanya di
luar perhitungan Ki Ageng Sulut. Padahal, kakek
bengis itu sudah memperhitungkan pada langkah
ke berapa dia akan melepas 'Tepukan Iblis Kema-
tian'-nya!
Wukh!
Tanpa membiarkan lawan mengatur posi-
sinya agar dapat melepas 'Tepukan Iblis Kema-
tian', kaki Ki Kusumo sudah lebih dahulu mem-
babat menyamping. Kepala lawan hendak dilon-
tarkannya dari leher!
"Keparat!"
Ki Ageng Sulut memaki. Memaki saja tidak
cukup untuk menyelamatkan kepalanya. Dia ha-
rus pula berjumpalitan ke depan. Tubuhnya ber-
gelundung beberapa kali. Sengaja mengambil ja-
rak agar dia dapat mengatur serangan berikut-
nya.
Ki Kusumo tidak memberi kesempatan. Di-
burunya lagi arah gerak lawan. Sekedipan mata,
kakinya menjejak pasir. Kedip berikutnya dia su-
dah memutar tubuh lurus di udara, mengejar la-
wan. Tangannya kali ini membuat berpuluh-
puluh patukan deras di udara. Menuju Ki Ageng
Sulut.
Deb deb deb deb!
Ki Ageng Sulut cepat bangkit. Matanya me-
nyipit sepersekian kejap sebelum terjangan lawan
tiba. Mulutnya sempat melepas desisan.
"Mencuri Bunga Karang!"
Itulah nama jurus yang kini diperlihatkan
Ki Kusumo. Satu jurus yang tak kalah hebat dari
'Tepukan Iblis Kematian'. Bukan cuma pamor,
namun benar-benar kehebatannya. Jurus itu pun
hanya dimiliki oleh Ki Kusumo. Satu jurus ber-
hawa kematian yang diciptakannya di Pulau De-
demit.
Jurus yang mengandalkan patukan jari be-
racun yang lebih mirip dengan gaya seseorang
menyambar bunga karang dari permukaan laut.
Satu patukan bisa berarti seratus racun memati-
kan. Karena patukan jurus 'Mencuri Bunga Ka-
rang' memang mengandalkan tenaga dalam yang
dibaurkan dengan serbuk di sekujur jari tangan
Ki Kusumo. Racun tersebut amat halus, nyaris
tak kentara oleh pandangan.
Sekali lawan terpagut, maka jari tangan Ki
Kusumo akan menjepit kulitnya. Dalam sekeleba-
tan, jari tangan Ki Kusumo akan mencerabut ku-
lit itu, sekaligus membiarkan racun di jarinya
mengalir melalui luka menganga di bagian tubuh
lawan! Tak kalah berbahaya dengan 'Tepukan Ib-
lis Kematian'. Jelas!
Namun jurus itu hanya dipergunakan oleh
Ki Kusumo sewaktu-waktu. Kesannya kejam. Dia
sendiri memang tak suka. Kecuali jika harus
menghadapi orang semacam Iblis Dari Neraka, dia
tak akan ragu-ragu mempergunakannya. Tak
akan!
Deb!
Satu patukan merangsak leher Ki Ageng
Sulut. Sudah terlampau dekat untuk bisa menghindar. Mau tak mau kakek bengis itu menyam-
butnya. Ditekuknya kedua tangan dalam-dalam.
Dibuatnya satu tepukan yang akan menahan pa-
tukan jari lawan. Jika perlu, meremukkannya.
Plok!
Tepat ketika telapak tangan Ki Ageng Sulut
melakukan tumbukan, jari tangan lawan amat
gesit tertarik kembali ke belakang. Lebih cepat
dari kelitan kepala seekor ular sendok. Berselang
amat cepat, tangan Ki Kusumo yang lain mema-
tuk ke wajah lawan.
"Keparat!" maki Ki Ageng Sulut, merasa
hampir dikecohkan lawan. Untung saja ketangka-
san lehernya mampu dapat menyelamatkan wa-
jahnya dari pagutan maut jari tangan lawan. Dia
menggeleng amat cepat ke samping. Tak urung,
pipinya merasakan pedih tersambar angin patu-
kan Ki Kusumo.
Tepat keputusan Ki Kusumo untuk men-
gimbangi serangan lawan dengan 'Mencuri Bunga
Karang'. Karena jurus ini pun mengandalkan se-
rangan pada jarak dekat. Bahkan bisa amat de-
kat. Menyebabkan lawan sulit mengatur jarak un-
tuk melepas 'Tepukan Iblis Kematian'-nya.
Sebelum Ki Kusumo mencecarnya lebih de-
ras seperti serbuan hujan, Ki Ageng Sulut memu-
tuskan untuk mengubah taktik tarungnya. Tidak
bisa dia mengimbangi serangan lawan hanya den-
gan 'Tepukan Iblis Kematian'. Ibarat tak imbang-
nya kelincahan seekor ular dengan beruang be-
sar. Meskipun tenaga beruang jauh lebih tangguh
dari seekor ular sekalipun. Namun, bisa sang ular
akan mematikan si beruang kalau dia kalah cepat
menempatkan serangan.
Ki Ageng Sulut melompat jauh-jauh. Dia
berdiri dengan mata memerah. Seranglah, desis-
nya dalam hati pada Ki Kusumo. Karena ketika
terjangan lawan datang nanti, dia akan menyam-
butnya dengan satu jurus amat berbahaya yang
terlalu menakutkan untuk kalangan persilatan di
seluruh penjuru mata angin!
DUA
PETAKA sedang melanda Kadipaten Pan-
dan. Kegegeran besar yang terjadi karena ulah ge-
rombolan perampok: Laskar Lawa Merah. Dirga-
sura pemimpinnya. Lelaki berjuluk Tangan Seribu
Dewa, tokoh dunia persilatan golongan hitam
yang kian hari kian menebarkan ketakutan. Teru-
tama di sekitar Pesisir Selatan tanah Jawa.
Kadipaten Pandan adalah satu dari dua wi-
layah yang terakhir menjadi mangsa empuk
Laskar Lawa Merah. Satu daerah lain adalah Ka-
dipaten Ayah. Dengan rencana yang matang, Dir-
gasura mencuri-curi kesempatan melakukan ge-
rakan gila-gilaan saat patroli pasukan Demak be-
lum terlihat di dua kadipaten tersebut.
Ketika kekacauan terjangkit, ketika rumah-
rumah penduduk dilalap jago merah yang sengaja
disulut oleh anak buah Dirgasura, ketika penduduk berteriak-teriak ketakutan, ketika darah me-
reka tertumpah memboreh wajah bumi, ketika
harta benda dikuras, ketika itulah gerombolah
Laskar Lawa Merah diusik oleh kedatangan dua
muda-mudi.
Mereka Satria dan Mayangseruni.
Satria yang dianggap mempunyai hutang
nyawa terhadap kematian salah seorang anggota
Laskar Lawa Merah di Kadipaten Ayah akhirnya
harus berurusan langsung dengan Dirgasura. Be-
gitupun Mayangseruni, gadis yang semula dikira
Tresnasari.
Pada satu saat, ketika Satria siap meng-
hantamkan dua sikunya ke telinga Dirgasura ber-
sama kemarahan yang meledak-ledak, satu anak
panah beracun milik seorang anak buah Dirgasu-
ra menembus punggungnya. Pemuda tanggung
itu jatuh dari bahu Dirgasura (Lihat kembali epi-
sode sebelumnya: "Geger Pesisir Jawa')!
Saat itu, Satria tersungkur jatuh. Sebagai
lelaki yang sering mendapat sebutan manusia se-
tengah raksasa, tinggi Dirgasura hampir dua kali
orang biasa. Jatuh dari atas tubuhnya membuat
Satria amat keras meninju tanah.
Persoalan gawatnya bukan di sana. Me-
lainkan pada anak panah yang menancap di
punggungnya.
Ketika terjatuh, posisi Satria amat memba-
hayakan.
Dia jatuh ke belakang. Menyebabkan anak
panah yang menancap di punggungnya tertekan
masuk lebih kuat menembus tubuhnya. Mengeri-
kan!
Sampai hampir seluruh bagian anak panah
itu menembus keluar dari bagian dada pemuda
tanggung itu. Batangnya berboreh darah. Dia ter-
kulai setelah terlebih dahulu tubuhnya mengge-
liat mengenaskan beberapa saat.
Pemandangan mengenaskan itulah yang
membuat hati Mayangseruni begitu miris. Pilu
menyaksikan keadaan kawan muda barunya yang
belum lagi sempat diketahui namanya. Geram,
terlampau geram menelan kelaliman kelewat ba-
tas telah terjadi lagi di depan matanya. Gadis ayu
itu dibakar kemurkaan. Menggelegak bagai lahar!
"Kau akan membayar nyawanya dengan
nyawamu, Manusia Terkutuk!!" pekik Mayangse-
runi, menumpahkan panas membakar dalam di-
rinya dalam kutukan.
Pedangnya digerakkan nyalang.
Wukh wukh!
"Haiih!!"
Diserbunya Dirgasura kalap. Sepasang
senjata di kedua belah tangannya diputar bersi-
langan dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya. Ke-
cepatannya membuat putaran kedua pedang
membentuk tameng samar yang aneh.
Satu tombak di dekat Dirgasura, pedang di
tangan kiri Mayangseruni menyabet deras ke leh-
er lawan.
Dirgasura berkelit mudah. Kepalanya
menggeleng ke sisi.
Mayangseruni menyusupkan tusukan ke
arah gelengan kepala lawan. Kekalapannya sema-
kin menjadi. Wajahnya beringas. Keayuan nya
nyaris terselubungi pancar keberingasannya.
Dalam serangan berbahaya gadis itu, mu-
lut Dirgasura sempat-sempatnya memperdengar-
kan tawa.
Seraya tergelak pendek dia menggerakkan
lehernya satu putaran, seolah seekor ular yang
mencoba merembeti pedang lawan. Satu perbua-
tan yang mengundang bahaya bagi dirinya sendi-
ri. Bisa saja dia tersayat sisi pedang lawan. Na-
mun itu tak terjadi sama sekali. Itulah maksud-
nya. Dengan begitu, dia hendak mengejek lawan
mudanya. Mendorongnya semakin terjerembab
dalam kekalapan.
Mayangseruni merasa dipermainkan.
"Bajingan!"
Jarak tarung yang diperdekat oleh Dirgasu-
ra, tak memungkinkan gadis itu untuk melancar-
kan gempuran pedang. Kakinya membuat sa-
puan, terseret di atas tanah. Hendak dibabatnya
kuda-kuda lawan. Jika keseimbangan lawan teru-
sik sedikit saja, maka dengan mudah mata pe-
dangnya akan menyayat kulit tenggorokan Dirga-
sura yang sengaja melingkari pedang Mayangse-
runi dengan leher betonnya.
Gelak Dirgasura terlontar lagi. Dia tahu
benar maksud Mayangseruni. Hanya dengan
mengangkat kaki bergantian amat cepat, dia ber-
hasil mementahkan sapuan kaki Mayangseruni.
Si pendekar wanita muda makin terpe-
rangkap dalam kekalapannya. Serangan diper-
gencar. Namun tidak berarti lebih terarah. Kema-
rahan dalam dirinya telah membuatnya tak begitu
memperhatikan siasat serangan. Jurus-jurusnya
jadi kacau membabi-buta.
Dirgasura, si Tangan Seribu Dewa, men-
ganggap dirinya mendapatkan boneka kecil yang
bisa dijadikan mainannya. Dijadikan bulan-
bulanan yang mengasyikkan.
Empat tusukan beruntun hendak dis-
arangkan Mayangseruni di empat bagian memati-
kan tubuh Dirgasura. Si Tangan Seribu Dewa
memperlihatkan kebolehannya yang menyebab-
kan orang-orang persilatan menjulukinya demi-
kian. Tangannya yang terkenal cepat bagai milik
seribu Dewa, bergerak laksana bayangan.
Tring tring tring tring!
Hanya dengan sebelah tangan, empat tu-
sukan sengit beruntun pedang Mayangseruni di-
jentikinya. Setiap kali terkena jentikan jari Dirga-
sura, pedang Mayangseruni tergetar. Tangannya
dilanda rasa nyeri. Pergelangannya lemas. Hampir
saja dia melepaskan begitu saja kedua senja-
tanya.
Sementara Dirgasura memperlihatkan ke-
pongahannya dengan mengangsurkan sebelah
tangan yang lain di belakang punggungnya.
Mayangseruni tersurut mundur. Jentikan jari la-
wan terakhir membuat tangan kanannya terasa
lumpuh sejenak.
"Kenapa mundur, Anak Manis?" ledek Dir-
gasura beriring senyum sinisnya yang teramat
memuakkan di mata Mayangseruni. "Apa kau tak
mau bermain-main lagi?" sambung si lelaki seten-
gah raksasa ini.
Sia-sia banyak mulut dengan manusia he-
wan seperti dia, gusar Mayangseruni dalam hati.
Lagi pula, kemarahannya tak memberinya kesem-
patan untuk itu.
Dengan sekali dengusan, pendekar wanita
berusia muda itu mempersiapkan kembali jurus
pedangnya. Pedangnya disilangkan di depan wa-
jah. Membentuk gaya gunting besar.
"Hiaaa!!"
Dengan tiba-tiba, diterkamnya lawan.
Mayangseruni terbang lurus seperti sebatang
tombak. Di tengah jalan, tubuhnya berputar. Se-
pasang pedang yang bersilangan menjadi ujung
serangan mematikan. Bagai mata pelobang bumi
yang berputar.
Bagi Dirgasura, serangan lawan tak lebih
dari kesempatan untuk membuktikan bagaimana
pamor kecepatan tangannya. Kecepatan Tangan
Seribu Dewa!
Begitu putaran pedang bersilangan yang
kekuatannya berpusat pada putaran tubuh
Mayangseruni di udara hendak mencabik-cabik
tubuhnya. Dirgasura membuat tamparan-
tamparan secepat bayangan dengan sebelah tan-
gan. Seolah lelaki setengah raksasa itu sedang
menghalau serbuan seribu lebah!
Luar biasa!
Mengagumkan!
Terutama bagi para antek-antek Dirgasura.
Bagaimana tidak? Karena hanya mengandalkan
kuku-kuku di ujung jarinya. Dirgasura memapaki
pusingan pedang bersilangan lawan. Hanya den-
gan kuku-kuku di ujung jarinya! Pengerahan te-
naga dalam ke ujung jari-jemarinya menyebabkan
putaran pedang Mayangseruni tertahan seketika.
Lebih mencengangkan lagi, putaran tubuh
pendekar wanita muda itu pun terjegal. Tubuhnya
tersentak. Kemudian menukik jatuh. Bersamaan
dengan itu, sepasang tangan Dirgasura melaku-
kan pagutan pada ujung pedang lawan dengan ja-
ri telunjuk dan ibu jari.
Krep!
Mayangseruni dipaksa terkesiap. Bahaya
besar baginya. Pada saat tubuhnya menukik se-
perti itu, akan sangat sulit baginya untuk mem-
buat kuda-kuda baru. Lawan setiap saat bisa
mengayun kaki, menyambut tukikan tubuhnya.
Kekhawatiran Mayangseruni menjadi bera-
lasan.
Dirgasura benar-benar melakukan sambu-
tan berbahaya dengan dongketan kaki lurus ke
atas.
Mayangseruni memekik kecil. Dia tahu
tendangan yang mengarah lawan ke ulu hatinya
akan berakibat fatal!
Maut siap menyambut. Dalam beberapa
kedip mata lagi.
Mayangseruni tak sempat berbuat lain, ke-
cuali pasrah.
Bletak!
"Aaaah!"
Raungan tinggi berat terdengar berdebam
di udara. Bukan dari mulut mungil Mayangseru-
ni. Melainkan dari kerongkongan si manusia se-
tengah raksasa.
Apa yang terjadi?
Pada saat kaki Dirgasura mendongkel te-
lak-telak ulu hati Mayangseruni, mendadak saja
berseliweran angin pukulan tak berwujud. Kaki
Dirgasura terhantam. Sekaligus menyelamatkan
ulu hati Mayangseruni dari ancaman kaki itu.
Entah siapa yang telah berulah. Belum je-
las bagi siapa pun. Yang pasti, Dirgasura merasa-
kan sakit sampai ke ubun-ubun. Dapat dinilai da-
ri suara raungannya. Rasa sakit yang juga me-
maksa si Tangan Seribu Dewa melepaskan pagu-
tan jarinya pada sepasang pedang lawan.
Belum cukup sampai di situ, satu samba-
ran deras merangsak kembali. Dada Dirgasura
menjadi sasaran empuk.
Dash!
Sang pemimpin gerombolan begal yang di-
takuti terjajar kuat ke belakang. Tak sempat ber-
teriak, karena jalan pernapasannya menyempit
seketika. Hanya parasnya saja yang berubah
membiru kala itu juga.
"Tak sepantasnya kau bertengkar dengan
bocah baru besar seperti dia, Kunyuk Bongsor!"
sembur seseorang tiba-tiba. Belum tampak wu-
judnya. Namun suaranya sudah berada di mana-
mana. Menggaung seperti sahutan guntur di ke-
jauhan. Meninju gendang telinga.
Seluruh anggota Laskar Lawa Merah men-
cari-cari ke segenap penjuru. Siapa manusia yang
telah berani mengacau tindakan serangan pe-
mimpin gerombolan begal yang begitu ditakuti di
sepanjang Pesisir Selatan tanah Jawa?
Niscaya mereka tak akan punya nyali un-
tuk memperdengarkan pertanyaan macam itu jika
tahu siapa si pengacau sesungguhnya.
Siapa dia? Seorang sesepuh di antara sese-
puh dunia persilatan. Si tokoh yang dianggap se-
tengah siluman. Manusia bangkotan yang merin-
dukan mati tapi tak kunjung kesampaian....
"Panembahan Dongdongka...," desis Dirga-
sura, ketika pandangannya yang mengabur me-
nyaksikan seorang kakek bungkuk kurus kering
berkepala botak melayang menuju kancah keribu-
tan! Bertengger angker di atas pelepah daun kela-
pa sambil memukul-mukuli kepala klimisnya
dengan bambu kuning di tangan.
Sebagian besar kalangan persilatan per-
caya, kalau dedengkot itu sudah memukul-
mukuli kepala sendiri berarti dia sedang marah
besar. Akan ada nyawa yang melayang di tangan-
nya. Hampir dapat dipastikan!
Dongdongka, si Dedengkot Sinting Kepala
Gundul telah tiba. Apa jadinya nanti?
TIGA
JAUH dari kerusuhan di Kadipaten Pan-
dan, seorang gadis mungil yang baru menginjak
remaja berjalan gontai. Tanpa tujuan. Tak ada
gairah. Terseret setiap langkahnya, pada jalan se-
tapak berkerikil kecil yang membelah lembah be-
rumput nan luas.
Seorang gadis yang sebenarnya berwajah
menawan jika tak dirundung kesedihan. Beram-
but hitam panjang dibuntut kuda. Berpakaian si-
lat warna merah hati. Di ikat pinggangnya terselip
sepasang belati.
Lembah dikepung oleh barisan pegunun-
gan. Dingin kesannya. Dengan warna kelabu ke-
hitaman di kejauhan. Di tepi lembah yang berba-
tuan, pegunungan, pepohonan randu tumbuh ja-
rang. Kabut sudah semenjak tadi merayapi sege-
nap penjuru. Senja memang makin lelah. Cahaya
makin terengah. Sebentar lagi malam. Sisa kun-
ing matahari hanya cukup untuk menerangi ja-
lan.
Inikah akhir hidup? Tanyanya mendesah
lirih dalam hati. Biarpun dunia tak menampak-
kan tanda-tanda akan segera kiamat, namun bagi
gadis itu rasanya hidup telah terputus.
Saksikanlah keruh wajahnya. Bagai men-
dung kelabu. Binar yang mestinya hadir dalam
pandangan mata gadis remaja sebayanya tak ada
lagi semenjak dia mengetahui tentang suatu yang
amat memukul hatinya. Ibunda tercintanya akan
segera mati. Direnggut penyakit tak terobati, yang
sejak lama mendekam dalam tubuhnya. Seperti
seonggok racun yang perlahan tapi pasti meracu-
ni dari dalam. Dan pada waktunya membunuh-
nya tanpa ampun.
Dia adalah Tresnasari. Bocah perempuan
remaja kawan dekat Satria. Dara yang untuk per-
tama kalinya menyiram hati pemuda tanggung itu
dengan guyuran cinta pertama. Menyejukkan.
Namun juga menyakitkan ketika terjadi perpisa-
han.
Sejak mengetahui Ki Kusumo, Tabib Sakti
Pulau Dedemit, ternyata tak bisa menyembuhkan
penyakit Nyai Cemarawangi, Ibunya tercinta,
Tresnasari pergi dari Tanjung Karangbolong. Me-
ninggalkan sepotong hati gamang oleh rasa kehi-
langan milik Satria (Baca episode sebelumnya :
"Geger Pesisir Jawa")!
Tresnasari terus berjalan.
Melangkah terus. Dalam kebisuan dan ke-
sepian benaknya sendiri. Dia tak tahu keluh apa
lagi yang hendak diperdengarkan hatinya. Lelah
sudah. Biar hatinya sunyi.
Jangkrik mulai berderik. Satwa malam lain
mulai pula menyenandungkan suara masing-
masing. Semuanya terdengar sengau di telinga
Tresnasari. Semuanya pun terdengar lirih.
Dia terus berjalan.
Siapa pun tak bisa menghiburnya. Apa pun
tak mampu menghiburnya. Walaupun dirinya
sendiri. Kehancuran semata yang menggeluti se-
genap rasanya.
Dia terus berjalan.
Tresnasari akhirnya sampai di ujung jalan
setapak. Tanpa sadar, langkahnya telah menggi-
ringnya tiba di tepi jurang terjal. Gelap mulai
menjadi kelam. Malam telah benar-benar hadir.
Matanya menatap lusuh ke bawah. Ke ke-
gelapan jurang yang segelap asanya. Di sana, tak
ada sebetik cahaya pun. Di sana senyap. Laksana
kesenyapan yang kini menguasainya. Dingin.
Menggidikkan. Memanggil-manggilnya.
"Nyai...," desah Tresnasari, nyaris tak ken-
tara. "Tak ada lagi gunanya aku hidup kalau Nyai
nantinya akan mati. Aku tak bisa berpikir lagi apa
yang harus aku lakukan jika Nyai tiada...."
Lalu menyembul samar bisikan halus dari
dasar hatinya. Bisikan yang menghasut agar dia
mengakhiri saja seluruh kesah ini. Mengakhiri.
Kegelapan jurang di bawah sana pun seperti me-
nyeruak bisikan serupa. Perlahan, tapi gencar.
Makin gencar dan makin menghasut.
Tresnasari terisak. Ditutupnya wajah den-
gan kedua telapak tangan. Beberapa saat ba-
hunya terguncang-guncang kecil diberondong ke-
pedihan serta kesedihan.
Lalu tubuhnya gontai. Pada saatnya, dia
sempoyongan ke depan. Mulut jurang dalam pun
menyambutnya!
Sepi kembali di sana.
Dingin mengendap-endap.
* * *
"Blang kunyuk macam apa kau, tega-
teganya berbuat sesial ini pada bocah-bocah baru
besar!" maki Dedengkot Sinting Kepala Gundul
setibanya di atas tanah. Kepalanya makin gencar
saja diketuk-ketuk dengan batang bambu kuning.
Tanpa sadar, seluruh anggota gerombolan
Laskar Lawa Merah tersurut mundur beberapa
tindak. Ketakutan membayangi benak mereka.
Termasuk Dirgasura sendiri. Lelaki setengah rak-
sasa itu mundur dengan memegangi dada. Mu-
lutnya terbasuh darah segar. Mulutnya terkekang
rapat. Apa yang hendak dikatakannya pada kakek
yang kesaktiannya tak tertandingi? Bagaimana
pula dia berkata sementara dadanya demikian se-
sak? Jangan lagi berkata, sekadar menarik napas
saja sudah teramat sulit.
Dongdongka mendelik-delik. Kaki sekurus
batang kayu keringnya melangkah dari pelepah
kelapa. Didekatinya tubuh tak bergerak Satria.
Seraya melangkah bersungut-sungut, mulutnya
menggerutu.
"Kalau kudapati bocah gendeng ini sudah
tak punya nyawa, kalian tahu sendiri!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul sampai
di dekat Satria. Kalau melihat letak anak panah
yang menembus tubuhnya, Dongdongka tahu
nyawa anak itu tidak terancam. Batang anak pa-
nah hanya meleset sedikit dari jantungnya. Paru-
parunya pun luput. Kalau terluka parah bisa ju
ga. Tapi tidak akan menyebabkan kematian.
"Hei bocah gendeng, apa kau sudah mati?!"
tanyanya.
Ditendangnya pantat pemuda tanggung itu.
Satria tetap tak bergerak.
Dongdongka mengernyit. Kelopak matanya
membesar memperhatikan bagaimana sekujur
kulit bocah yang ditaksirnya untuk dijadikan mu-
rid telah membiru. Penasaran dia merundukkan
tubuh lebih dekat. Dada anak itu juga tak berge-
rak. Tak ada naik-turun napasnya. Sedikit pun.
Dia masih kurang yakin juga. Dipukul-
pukulkannya ujung bambu kuning ke batok kepa-
la Satria.
"Yah, jangan-jangan mati juga bocah gen-
deng ini" gumamnya.
Tak ingin terus dipermainkan keraguan-
nya, Dongdongka mendekatkan jari tangannya ke
urat nadi di leher pemuda tanggung itu. Dong-
dongka lega. Masih terasa denyutnya. Tapi, otak
sinting sang sesepuh sinting ini rupanya tak bisa
menyia-nyiakan kesempatan baik untuk melaku-
kan satu kesintingan.
"Kalian telah membunuhnya! Kalian telah
membunuhnya, tahu! Mampus, anak gendeng ini
telah mampus!" teriak Dedengkot Sinting Kepala
Gundul kelabakan, seperti kerasukan setan pus-
ing satu kelurahan.
Anak buah Dirgasura makin tersurut
mundur. Ketakutan mereka makin menjadi-jadi.
Kiamat.. kiamat, bisik hati masing-masing, ciut.
Kalau sudah begitu, rasanya mereka sudah tak
punya harapan mendapat kesempatan hidup.
Sewaktu Dedengkot Sinting Kepala Gundul
bangkit dan membalikkan tubuh dengan mata
mencorong semerah-merahnya, beberapa anak
buah Dirgasura yang bernyali tanggung mulai ra-
jin menelan ludah.
"Ini keterlaluan! Keterlaluan, tahu! Tahu-
kah kalian kalau bocah ini akan kujadikan mu-
rid? Kalian itu sial, tahu?!" sumpah serapah
Dongdongka melantun. Saking marahnya, tangan
orang tua kelewat uzur itu menggerak-gerakkan
batang bambu tak sadar. Bambu memperdengar-
kan dengung menyeramkan. Ujungnya nyaris tak
kentara karena begitu hebatnya getaran. Bahkan
udara di sekitarnya mulai memanas, hingga men-
gepulkan asap tipis.
Tambah rajin saja beberapa anak buah
Dirgasura menelan ludah.
"Sekarang...," mulai Dongdongka lagi. Da-
danya yang mirip papan penggilasan naik turun
tak beraturan. Sejenak kalimatnya disunat. Dia
diam. Diedarkannya pandangan sebengis-
bengisnya kepada setiap anggota Laskar Lawa
Merah.
"Yang telah memanah bocah ini... tunjuk
tangan!" mulainya kembali dengan bentakan
menggeledek pada dua kata terakhir.
Seorang anak buah Dirgasura saat itu juga
tersentak tak alang kepalang. Biji matanya men-
delik. Mulutnya menganga. Napasnya tergagap.
Sebentar kemudian, dia ambruk dengan mata
masih mendelik ketakutan. Usut punya usut, ru-
panya dia yang telah melepas anak panah bera-
cun ke tubuh Satria.
Heran, bisa-bisanya Dirgasura punya anak
buah macam dia?
"Ayo tunjuk tangan!!" sentak Dongdongka
lebih keras. Masalahnya, tak satu pun anggota
Laskar Lawa Merah mengangkat tangannya. Bu-
kan karena takut mengaku. Apalagi malu-malu
kucing. Cuma, di antara mereka memang tidak
ada yang telah memanah Satria. Pelakunya sudah
ngejoprak lebih dulu.
Dan siapa nyana, kalau Tangan Seribu
Dewa, pemimpin gerombolan paling bengis di se-
panjang Pesisir Selatan tanah Jawa nyatanya tak
bisa berbuat apa-apa menghadapi sesepuh edan
dunia persilatan di tanah Jawa itu?
"Tak ada yang mau tunjuk tangan juga?!"
tandas Dongdongka kehilangan kesabaran. "Kalau
begitu, kalian semua akan merasakan akibatnya!"
ancamnya.
Dongdongka baru hendak mengamuk, Dir-
gasura akhirnya angkat bicara.
"Tunggu Panembahan.... Maafkan kami ka-
rena telah lancang. Kami tidak tahu kalau bocah
itu hendak kau jadikan murid...."
Dongdongka mendengus.
"Kalau tak tahu, makanya tanya!" sem-
protnya. "Jadi kau ketua gerombolan kentut ini?"
katanya lagi.
Dirgasura tak bisa banyak macam meng-
hadapi Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dia
memaksakan diri menjura dengan dada yang ma-
sih nyeri. Keangkuhannya terdepak entah ke ma-
na. Hilanglah pamornya selaku pemimpin gerom-
bolan perampok bengis seperti kentut tertiup...
raja kentut!
"Benar Panembahan...."
"Siapa kau?!"" susul Dongdongka. Dia tak
mengenal Dirgasura. Padahal namanya sudah
demikian santer mengobrak-abriknya penduduk
Pesisir Selatan tanah Jawa.
"Aku Dirgasura, Panembahan."
"Dirgasura Laksonosurya...."
"Maksudku, julukanmu!"
Dirgasura ragu. Untuk apa menyebutkan
julukannya? Sebesar-besarnya julukan Tangan
Seribu Dewa, tak akan sebanding dengan kebesa-
ran si sesepuh sinting ini. Laksana kentut den-
gan... raja kentut!
"Sebut!"
"Tangan Seribu Dewa...."
Mata Dongdongka menyipit mendengar ju-
lukan yang disebutkan Dirgasura. Dirgasura sen-
diri agak waswas. Jangan-jangan sang sesepuh
pernah mencarinya karena satu urusan.
"Ah, aku tak kenal! Julukan jelek macam
apa itu.... 'Jangan Ribut Dewa'?" ketus Dong-
dongka akhirnya. Salah dengar rupanya dia. Da-
sar tua bangka, ya tua bangka juga. Telinganya
kadang-kadang mabok!
Setelah itu, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul tergelak-gelak seru. Sendirian saja. Me-
mangnya mau mengajak siapa?
"Sudah, menyingkir kalian!" bentaknya ak-
hirnya.
Dirgasura tak mengerti, Ketuanya saja bin-
gung, apalagi anak buahnya.
"Kalian tuli?! Sana kalian menyingkir, sebe-
lum aku berubah pikiran!" ulang Dongdongka.
Dirgasura menyingkir ragu. Dia melangkah
waswas, takut-takut Dedengkot Sinting Kepala
Gundul melakukan tindakan untuk menghukum-
nya. Nyatanya, sampai mereka cukup jauh meng-
hela kuda, Dongdongka tak mengejar mereka.
Atau melakukan tindakan apa pun terhadap me-
reka.
Tua bangka itu memang sulit dimengerti
"Kau juga menyingkir!" bentak Dongdongka
pada Mayangseruni, sepeninggal Laskar Lawa Me-
rah. Si pendekar muda belia itu sendiri saat itu
hendak mendekati tubuh Satria.
"Tapi dia kawanku, Kek," kilah Mayangse-
runi. Dia tidak begitu mengenal siapa sesungguh-
nya tokoh tua edan di dekatnya itu.
"Mau kawan kek, mau kekasihmu kek,
mau suamimu kek, mau kakekmu kek, pokoknya
kau menyingkir!"
"Tapi kau akan menolongnya, bukan?" Se-
waktu berkata, wajah Mayangseruni tampak me-
melas.
"Tidak, dia akan kulempar ke kandang
buaya! Ya, jelas saja. Bukankah aku sudah bilang
tadi kalau bocah gendeng ini akan kujadikan mu-
ridku..." sungut Dongdongka. Dihampirinya Sa-
tria. Diangkatnya tubuh pemuda tanggung itu
dengan sebelah tangan. Caranya seperti sedang
mengangkat seikat kayu kering. Padahal tubuh
kakek uzur itu jauh tak meyakinkan untuk bisa
mengangkat se ember air sekalipun. Ditelung-
kupkannya Satria di bahunya.
Lalu dia pun beranjak. Santai saja lang-
kahnya. Sebelum jauh dia menoleh pada Mayang-
seruni yang melepas kepergiannya.
"Aku pinjam dulu kekasihmu ini ya, Cah
Ayu. Kapan-kapan kukembalikan. Utuh!" bisiknya
dengan sebaris senyum kekurangan gigi.
Dasar sinting!
Wajah Mayangseruni memerah. Tak jelas,
apakah Dongdongka tahu atau tidak. Lelaki tua
itu sudah berkelebat hilang dari tempatnya semu-
la.
EMPAT
DONGDONGKA membawa Satria ke satu
tempat. Bukan tempat kediamannya. Seperti tak
tahu saja tabiat kakek aneh itu. Di mana pun, se-
lama masih di kolong langit bisa dikatakan tem-
patnya. Kalau perlu di kolong ranjang pengantin
baru sekalipun. Orang-orang saja banyak yang
melihat dia di beberapa tempat yang sebenarnya
tidak layak untuk manusia. Satria sendiri pernah
menemuinya sedang bertapa di dalam lumpur.
Julukannya saja sudah Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Segila-gilanya manusia waras, pasti dia
orangnya.
Satria dibawanya ke tempat Ki Kusumo.
Memang bukan tempat aneh seperti biasanya si
manusia langka itu 'bersemayam'. Pasalnya,
Dongdongka membutuhkan pertolongan Ki Ku-
sumo untuk menawarkan racun yang sudah te-
lanjur mengaduk-aduk tubuh bagian dalam Sa-
tria.
Soal kesaktian, Dongdongka nomor wahid
di tanah Jawa ini. Hampir-hampir tak ada satu
orang pesaing pun. Kalau bicara soal obat-
mengobati, dia buta sama sekali. Jangankan soal
menangani racun ganas, mengobati panu saja ba-
rangkali tak tahu. Tanjung Karangbolong tentu
saja ditujunya. Tanpa membutuhkan waktu lama,
Dedengkot Sinting Kepala Gundul akhirnya tiba
di tujuan. Setibanya di sana, ditemukannya gu-
buk Ki Kusumo sudah musnah terbakar. Cuma
tersisa puing-puing arang menghitam. Asap tipis
mengambang lamat ke udara. Sejenak melayang
lalu pupus diterabas angin pantai.
"Weh, dedemit mana yang habis menga-
muk?" perangah Dongdongka. "Ke mana pula si
Kusumo?" gumamnya.
Masih dengan membopong Satria di ba-
hunya, kakek jelek itu mencari-cari KI Kusumo.
Di gubuk yang sudah menjadi tumpukan arang
jelas tak ada. Bodoh sekali kalau dia mencari ke
sana. Maka dicarinya si Tabib Sakti Pulau Dede-
mit ke sekitar tempat itu.
Sekian lama mencari, Ki Kusumo tak kun-
jung ditemukan.
"Ke mana keropos satu ini," gerutu Dong-
dongka, jengket juga.
Mungkin dia pergi agak jauh, pikirnya.
Agar dapat melihat lebih jelas ke tempat yang
agak jauh, diputuskannya untuk naik ke puncak
pohon kelapa.
"Hup!"
Ringan saja, Dongdongka menggenjot tu-
buh. Dia melenting ke satu batang pohon kelapa.
Kakinya menjejak sekali, lalu tubuhnya melenting
lebih tinggi ke pohon kelapa di sebelahnya. Di po-
hon kedua dia menjejak, menggenjot tubuh lebih
tinggi, kemudian mencelat ke pohon kelapa per-
tama kembali. Begitu seterusnya. Sampai dia tiba
di pucuk salah satu pohon.
Di pucuk kelapa berupa bakal daun me-
runcing yang sebenarnya tak cukup kuat untuk
menahan bobot seberat buah kelapa sekalipun,
Dongdongka mulai berteriak-teriak memanggil-
manggil Ki Kusumo.
"Moooo!! Moooo!!! Moooo!!!"
Tiga kali berteriak 'mooo', dia mulai sadar
kalau dirinya malah mirip sapi kelaparan. Usaha
sia-sia, pikirnya. Tak tahu ke mana si tabib jelek
itu, sumpah serapahnya membatin. Pasti ada ke-
jadian yang tak terduga menyebabkan dia me
ninggalkan gubuknya. Dalam keadaan hangus
pula.
Dongdongka turun. Diletakkannya tubuh
Satria di atas pelepah daun kepala. Ditelitinya lagi
denyut nadi di leher pemuda tanggung yang kian
membiru itu.
"Waduh!"
Dongdongka terperanjat bukan main. Ter-
nyata denyut nadi Satria sudah tak terasa lagi.
Benar-benar tak terasa. Biarpun Dongdongka su-
dah menekan jarinya kuat-kuat atau membiar-
kannya lama-lama. Baru dia sadar, sewaktu mele-
takkan Satria, tubuh pemuda tanggung itu terasa
sudah agak mengejang. Dedengkot Sinting Kepala
Gundul meraba telapak tangan pemuda tanggung
itu. Dingin.
Wajah tua bangka itu murung seketika. Sa-
tu-satunya kesimpulan: Satria telah mati! Dong-
dongka lalu berjongkok di sisi tubuh terbaring Sa-
tria. Bertopang dagu pula.
"Cah Gendeng.... Cah Gendeng.... Sial se-
kali nasibmu. Kusumo si tabib jelek itu mestinya
ada di sini saat kubutuhkan untuk menawarkan
racun di tubuhmu. Tapi dia tidak ada. Gubuknya
saja sudah gosong...," ocehnya ngelantur seorang
diri. Kepalanya menggeleng-geleng seperti orang
linglung.
"Kalau aku, jelas tidak bisa berbuat apa-
apa. Urusan racun dan segala tai kucing macam
itu, mana aku tahu.... Ah, sial benar nasibmu.
Padahal, aku yang sudah kelewat 'ngebet' kepingin mati saja, belum juga terkabulkan. E, kau
yang masih hijau dengan mulus melangkahiku.
Betapa kurang ajarnya kau, eh betapa sialnya na-
sibmu...."
Sedang sendu-sendunya Dedengkot Sinting
Kepala Gundul menyesali nasib Satria (nasibnya
juga yang sulit mati, barangkali), matanya ter-
tumbuk pada seonggok tubuh. Tergeletak cukup
jauh dari tempatnya.
"Nah, itu siapa?"
Dongdongka buru-buru bangkit. Harapan-
nya timbul. Siapa tahu itu Kusumo yang sedang
istirahat setelah kecapaian membakar gubuknya
sendiri, pikirnya ngaco. Kalau benar, siapa tahu
juga nyawa calon muridnya bisa diselamatkan.
Tabib sehebat Kusumo tentu tahu mana orang
yang benar-benar telah mampus, dan mana yang
belum, harapnya lagi.
Sewaktu makin dekat, tua bangka itu ma-
lah kecewa. Orang itu nyatanya bukan Ki Kusu-
mo. Melainkan Nyai Cemarawangi. Tergeletak me-
nyedihkan nyaris mendekati bibir pantai. Di ba-
gian dada atasnya terdapat bekas luka menghan-
gus.
Dongdongka meneliti sejenak.
"Iblis Dari Neraka. Kenapa tua bangka jelek
itu membunuh perempuan ini...," bisiknya, sete-
lah mengetahui jenis pukulan yang bersarang di
dada Nyai Cemarawangi.
Ya, perempuan itu telah menemui ajal. Bu-
kan karena penyakit tak tersembuhkan. Melain
kan karena terkena serangan nyasar Ki Ageng Su-
lut alias Iblis Dari Neraka ketika sedang berta-
rung sengit dengan Ki Kusumo.
Siapa yang bisa menduga cara kematian
menjemput seseorang?
Lalu bagaimana dengan nasib Ki Kusumo?
* * *
Daerah terakhir Tresnasari terlihat berada
di sekitar kaki Gunung Sumbing, sudah demikian
jauh dari Tanjung Karangbolong. Sejak mening-
galkan gubuk Ki Kusumo, Tresnasari terus mela-
rikan kudanya. Berhenti sejenak membiarkan ku-
danya beristirahat dan makan, lalu pergi lagi. Dia
sendiri hampir-hampir tak ingin menyentuh ma-
kanan. Tak ada selera lagi. Paling hanya minum
beberapa teguk air jika haus begitu mencekik leh-
er.
Berhari-hari berkuda dalam keadaan keku-
rangan makan seperti itu tentu saja merongrong
ketahanan tubuhnya sendiri. Gadis muda itu me-
lemah dan semakin melemah. Sewaktu tiba di se-
kitar kaki Gunung Sumbing, Tresnasari terjatuh
lemas dari atas kudanya. Untuk beberapa saat
dia tak sadarkan diri.
Ketika hujan gerimis turun, dia tersadar.
Kuda tunggangannya sudah tak ditemukan lagi.
Tresnasari melanjutkan perjalanan tanpa
tujuan. Tak peduli apakah tubuhnya masih begitu
lemas. Tak peduli harus berjalan terseok-seok
lunglai. Sampai akhirnya dia tiba di bibir jurang
yang menelannya.
Saat itu tubuhnya meluncur deras menuju
kegelapan jurang. Sulit menduga dasar jurang,
mengingat wilayah sekitar Gunung Sumbing ter-
golong daerah tertinggi di tanah Jawa bagian Ten-
gah. Banyak lekukan-lekukan alam dalam mem-
bentuk jurang berbatu-batu.
Bukan keputusan untuk melakukan bu-
nuh diri menyebabkan dia jatuh. Keputusasaan
memang telah begitu pekat dalam benaknya. Na-
mun, sama sekali belum cukup untuk membuat-
nya melakukan tindakan bodoh seperti itu.
Kalaupun dia akhirnya tergelincir masuk
jurang, penyebabnya karena tubuhnya sudah
demikian lemah. Kesanggupan tubuhnya sampai
pada batas yang tak bisa lagi dipertahankan nya.
Sewaktu berdiri di bibir jurang, matanya menda-
dak berkunang-kunang. Kepalanya memberat.
Pandangan menjadi gelap, segelap dasar jurang.
Ketika itulah Tresnasari tergelincir.
Tresnasari meluncur terus. Kesadarannya
timbul-tenggelam. Di dasar jurang, apa yang akan
menyambut tubuhnya? Batu-batu berukuran le-
bih besar dari kerbau?
Lamat-lamat, ketika kesadarannya mulai
mengapung, Tresnasari merasakan tubuhnya
menghantam sesuatu di dasar jurang. Bukan se-
suatu yang keras. Bukan batu cadas besar. Bu-
kan semak atau pepohonan. Sesuatu yang lain,
yang telah menyelamatkannya dari kematian.
Meski begitu, tak urung dia merasakan ada tu-
lang di pangkal lengannya patah. Rasa sakit luar
biasa menyergap.
Selebihnya kegelapan dan keheningan. Ka-
rena Tresnasari tak sadarkan diri.
Waktu berlalu.
Pagi hari menjelang. Matahari menghan-
gatkan wajah bumi. Namun kekuasaan sinarnya
tidak sanggup mencapai dasar jurang tempat
Tresnasari terjatuh. Mulut jurang terlalu sempit
dengan bagian bawah semakin melebar. Tak
mungkin bagi sinar matahari untuk menerobos
langsung sampai ke dasarnya. Hanya pantulan-
pantulan sinar dari mulut jurang saja yang bisa
memberi sedikit penerangan.
Di dasar jurang, kabut pekat masih meng-
gumpal-gumpal seolah enggan enyah. Dingin me-
raja.
Tresnasari tersadar. Keluh perlahannya
terdengar. Perlahan gadis muda itu menggerak-
kan badan. Kepalanya diangkat agak berat.
Setelah beberapa saat, baru dia dapat
mengingat-ingat kejadian apa yang telah menim-
panya.
"Apakah aku telah mati?" tanyanya ragu.
Karena sepanjang ingatannya dia telah masuk ju-
rang cukup dalam. Satu keajaiban seandainya dia
tidak mati.
Gadis itu mencoba mengamati sekitarnya.
Pandangannya masih kabur. Meski begitu sudah
cukup untuk memperhatikan mulut jurang di
atas sana. Juga tebing tanah berbatu yang nyaris
tegak. Beberapa pohon tampak tumbuh di tebing,
seakan tangan-tangan makhluk dasar bumi yang
menjulur keluar.
Tresnasari bergidik sendiri. Rasa dingin
menggigit menyebabkan bulu kuduknya mere-
mang demikian hebat.
"Aneh," bisiknya. "Aku benar-benar masih
hidup...."
Dicobanya bangkit. Baru saja dia berusaha
menggerakkan tubuh lebih jauh, mulutnya men-
geluh. Tulang pangkal lengan di bahunya terasa
demikian sakit. Pasti ada yang patah. Sambil
mendekap bahu yang direjam nyeri, Tresnasari
meneruskan niat. Sebelum dia benar-benar berdi-
ri, dia dikejutkan oleh sesuatu selama ini ditum-
panginya.
"Apa ini?" tanyanya heran, mengurungkan
niat untuk bangkit.
Kabut tebal kira-kira setinggi lutut di dasar
jurang menyulitkannya mencari tahu. Penasaran.
Tresnasari mempergunakan tangannya untuk me-
raba-raba. Mendadak dia tersentak bangkit. Wa-
jahnya berubah memucat. Parasnya dilanda garis
keterkejutan yang berbaur dengan ketakutan.
"Mayat...," bisiknya, mendesis.
Dia yakin benar pada rabaan tangannya.
Bahwa yang selama ini ditumpanginya adalah tu-
buh manusia mati. Dan begitu kabut sedikit me-
nyingkir, Tresnasari dibuat lebih terperanjat, Ter-
nyata di tempatnya jatuh tidak hanya ada satu
mayat. Melainkan lebih dari sepuluh mayat lelaki!
Semuanya saling tumpang-tindih. Keadaan
mayat-mayat itu mengerikan. Seluruhnya telah
kehilangan Kepala!
Rupanya, tumpukan bangkai tanpa kepala
itulah yang telah menyelamatkan nyawanya. Dia
terjatuh di atasnya hingga nyawanya tak harus
terlempar.
Tresnasari tersurut mundur beberapa tin-
dak. Sampai tebing menghadangnya.
"Perbuatan biadab siapa ini?" desisnya ber-
gidik.
Jawaban dari pertanyaan yang sesungguh-
nya ungkapan kengerian itu adalah sebentang
tawa terkikik. Melengking. Meninggi. Mencelat-
celat dari sisi-sisi tebing.
"Hi hi hi hi!"
Tawa seorang wanita tua. Mendirikan bulu
roma.
Menyusul kemudian kelebatan cepat bagai
sosok hantu dari satu sudut gelap jurang. Bayan-
gan itu berhenti di atas sebuah batu paling besar
berbentuk mirip tengkorak kepala manusia beru-
kuran dua ekor banteng.
"Sss... siapa kau?!" tanya Tresnasari. Na-
danya tercekat. Kalaupun ada keberanian yang
mengalir dalam diri gadis berjiwa pendekar itu,
tak urung dia digebah ketakutan. Ini bukan satu
pengalaman yang terbiasa dihadapi seperti berta-
rung dengan seorang lelaki beringas. Di luar itu,
Tresnasari merasa sedang berhadapan dengan si
luman perempuan. Pengalaman seperti itu tak
pernah dialaminya. Itu yang menyebabkan keta-
kutannya terjangkit.
"Hi hi hi!"
Jawaban pertanyaan Tresnasari sekali lagi
disambut dengan kikik mendenging.
Napas si gadis muda memburu. Ditatapnya
sosok bayangan yang berdiri dalam kungkungan
kegelapan. "Kuharap, kau mau mengatakan pa-
daku, siapa kau sebenarnya?" ulang Tresnasari,
memberanikan diri.
"Lucu!" sentak wanita tua yang belum lagi
menampakkan rupanya. "Pada saat aku sedang
merindukan murid, tiba-tiba saja ada bocah pe-
rempuan jatuh dari langit! Hi Hi Hi!" lengkingnya
jauh lebih meninggi dari sebelumnya, seakan dia
mendapat kegembiraan tak alang kepalang.
"Apa maksudmu?"
"Apa maksudku?" Suara si nenek terdengar
meraung. Ada nada mengancam. Ada hawa me-
nakutkan.
Dari atas batu tempatnya berdiri, si nenek
melangkah. Melangkah, dan melangkah. Sampai
pantulan cahaya pagi dari bibir jurang menerangi
wajahnya,
Mata Tresnasari dibuat membelalak me-
nyaksikan wajah perempuan tua menggidikkan
itu. Dua bola matanya besar. Biji matanya berurat
kemerahan. Sekeliling matanya berwarna biru.
Wajah perempuan itu dipenuhi keriput bercam-
pur kudis berlendir. Bibirnya pucat berkerut. Tak
terlihat kalau wajah nenek itu dialiri darah.
Pakaian yang dikenakannya sudah tak lagi
menunjukkan kewajaran seorang manusia. Men-
genakan baju dari bahan yang biasa dipakai un-
tuk kain kafan. Sudah tercabik-cabik parah. Ko-
tor. Juga menebar bau bangkai menyengat.
"Kau pikir bisa menolak dari ketentuanku!"
geram si nenek. Ditatapnya bulat-bulat Tresnasari
dengan sudut mata.
"Ak... aku tak mengerti maksudmu, Nek...,"
kata Tresrnasari terbata. Langkahnya makin ter-
surut di sepanjang sisi tebing. Sementara si ne-
nek terus mendekatinya. Perlahan. Selangkah
demi selangkah.
Tanpa mengacuhkan ucapan si gadis yang
ketakutan, nenek buruk rupa itu menengadah ke
bibir jurang. Borok di lehernya tertarik, menye-
babkan lendir nanah keluar. Menjijikkan! Lalu
terdengar teriakannya. Lebih mirip dengking pan-
jang binatang malam.
"Aku dapat murid!!! Hi hi hi!"
LIMA
KALAU dipikir-pikir, hidup memang serba
sulit diperkirakan. Selalu saja keadaan yang akan
datang ibarat mata dadu. Dilemparkan dengan
harapan, namun belum tentu jatuh dengan mata
dadu yang dikehendaki. Kadang semuanya begitu
mulus seperti jalan tak berkelok. Seolah selalu sa
ja terbuka mata dadu yang dikehendaki.
Lalu, tiba-tiba bisa saja berubah sama se-
kali. Menjadikan segala kejadian menjadi sulit
dimengerti.
Satu misal, Dongdongka. Sungsang-
sungbel dia berusaha agar Satria bisa jadi murid-
nya. Namun belakangan, si pemuda tanggung
malah modar dibantai racun. Seperti telah dike-
tahui, Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah
yakin seyakin-yakinnya bahwa Satria telah me-
nemui ajal. Selama hampir setengah harian,
orang tua bertabiat aneh itu tak beranjak dari sisi
tubuh Satria. Berjongkok saja seperti orang yang
terlalu khusuk buang hajat. Sementara itu, mu-
lutnya terus ngoceh tanpa juntrungan tentang ke-
sialan nasib si pemuda tanggung.
Setelah puas, baru terpikir olehnya untuk
segera mengubur tubuh si pemuda malang. Lan-
tas, melayap ke mana saja pikirannya untuk me-
lakukan hal itu selama setengah harian? Sedang-
kan jenazah Nyai Cemarawangi pun dibiarkan
terbengkalai.
Mulailah Dongdongka menggali tanah ber-
pasir yang agak jauh dari bibir pantai. Hanya
dengan menggunakan bambu kuning sebesar jari,
dia menggali tanah. Caranya? Soal cara, dia tak
begitu tahu cara lebih sopan ketimbang penggali
kubur. Namun bicara soal kecepatan, ternyata dia
jauh lebih cepat menggali dari seribu satu peng-
gali kubur mana pun.
Pertama-tama, bambu kuning ditancapkan
di atas tanah seperti menusukkan batang lidi ke
dalam tepung. Kemudian ujung bambu yang ma-
sih berada di luar mulai diputar-putarnya.
Wrrrr!
Saat itu juga tanah berhamburan. Lobang
di bagian bambu yang menancap semakin lama
semakin membesar, membesar, dan membesar.
Tak sampai sepeminum teh, sudah tercipta lo-
bang besar. Di luar rencana, ukuran lobang ma-
lah kebesaran. Setidak-tidaknya cukup untuk
mengubur dua ekor kerbau hamil!
"Gara-gara terlalu enak melobangi..." gu-
mamnya sambil meringis membayangkan 'lobang'
yang lain. Ini manusia memang sinting. Katanya
sudah kebelet mau mati, tapi pikirannya tetap sa-
ja mesum!
Lobang selesai. Tubuh Satria pun diang-
katnya. Tak perlu dikafani, pikir Dongdongka.
Hanya merepotkan dia saja. Sudah bagus dia
mau menguburkan! Kalau tak ada pikiran segila
itu di otaknya, mana mungkin dia punya julukan
Dedengkot 'Sinting' Kepala Gundul?
"Nan, beristirahatlah dengan santai...," ka-
tanya, memberi ucapan terakhir pada Satria. La-
lu....
Bruk!
Dilemparkan begitu saja tubuh Satria ke
dalam lobang. Mulai ditimbuninya tubuh Satria
dengan tanah. Baru seperempat lobang tertimbu-
ni, matanya menyipit mendadak. Dia melihat tim-
bunan tanah bergerak-gerak. Seperti ada sesuatu
yang beringsut perlahan di dalamnya.
"Gila, daerah apa ini? Cacing-cacingnya
kenapa begitu tak sabaran. Aku belum lagi selesai
menimbun tanah...," gerutu Dongdongka.
Kakek aneh itu acuh lagi. Diteruskannya
menimbuni tanah dengan kakinya. Baru satu-dua
tarikan napas, timbunan tanah bergerak lagi.
Rasa penasarannya terpancing juga. Ke-
dongkolan pun mulai pula merayap. Mau diberi
pelajaran cacing-cacing ini barangkali, rutuknya
dalam hati. Dongdongka pun berjongkok. Pokok-
nya, kalau sedikit saja terlihat ubun-ubun seekor
cacing, akan langsung dipentungnya dengan
bambu kuning. Memangnya cacing punya ubun-
ubun apa?
Sewaktu makin dekat memperhatikan tim-
bunan tanah, mendadak saja ada sesuatu mene-
robos keluar. Kontan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul terlonjak. Tinggi, tinggi sekali.... Di udara
mulut peotnya melepas teriakan kaget diselingi
sumpah serapah.
Namun ketika menyaksikan benda apa
yang menerobos keluar, mulutnya langsung beru-
bah haluan. Semula memaki-maki, kini malah
tersenyum lebar disertai teriakan gembira. Sebab
yang dilihatnya adalah tangan Satria. Disusul ke-
pala dan dada pemuda tanggung itu keluar dari
timbunan tanah!
Tiba di tanah, Dongdongka bersorak-sorak.
Dia berteriak-teriak lebih gila dari orang gila di
pojok bumi mana pun. Dia melonjak-lonjak. Dia
berjinjit-jinjit.
"Kau hidup kembali, Cah Gendeeeeeeeng!"
serunya panjaaaaang!
Satria yang masih duduk dengan setengah
tubuh tertimbun tanah menatap tua bangka itu
terlolong-lolong. Memangnya sejak kapan aku ma-
ti? Bisik hatinya keheranan. Sebab yang diingat
terakhir kali, dia sedang bertarung dengan Dirga-
sura. Lalu ada sesuatu yang menembus pung-
gungnya. Setelah itu dia tak sadarkan diri.
Kulit pemuda tanggung itu sudah tak lagi
membiru. Tampaknya, racun yang mengendap
dalam tubuhnya telah musnah sama sekali. Tentu
bukan satu hal yang cukup ajaib jika hal itu ter-
jadi. Karena selama ini dia telah meminum Ra-
muan Pulau Dedemit racikan Ki Kusumo. Ra-
muan yang membuatnya kebal terhadap segala
jenis racun paling ganas.
Selain itu, bekas luka yang menembus
punggung hingga ke dadanya sudah mengering
sama sekali. Bahkan sudah tampak memulih.
Benar-benar ramuan ampuh yang diberikan KI
Kusumo selama ini!
Sewaktu Dongdongka menyangka Satria
mati, jaringan badan pemuda tanggung itu sendiri
sedang melakukan perlawanan keras terhadap
racun ganas. Akibat langsung yang ditimbulkan
adalah berhentinya denyut nadi beberapa saat.
Untung saja si manusia uzur bertingkah
tengik tak buru-buru menguburnya. Kalau tidak,
Satria akan benar-benar mampus. Dijamin!
"Apa yang telah terjadi padaku, Kakek
Gundul?" tanya Satria. Beringsut dia bangkit dari
timbunan tanah. Matanya menatapi sekitar lo-
bang, padat kesan keheranan.
"Apa yang terjadi?! Hua ha ha! Kau mati,
tahu! Dan tahu-tahu kau hidup lagi. Ini baru se-
ru, baru seru!"
"Aku sama sekali tak mengerti?"
"Kau pikir aku juga mengerti?" perangah
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Jadi apa yang sebenarnya terjadi padaku?"
Satria dibuat makin penasaran. Dia keluar dari
lobang. Berjalan gontai ke dekat Dongdongka, Se-
batang pohon kelapa rebah didudukinya.
"Kau ingat, kalau kau sedang terlibat per-
kelahian sengit dengan manusia bongsor jelek di
Kadipaten Pandan, kan?"
Satria mengangguk.
"Nah, ketika kau sudah hampir membuat
mampus manusia bongsor jelek itu, tahu-tahu
ada panah menembus punggungmu... cep! Siapa
lagi kalau bukan anak buah si manusia bongsor
jelek yang melakukan itu padamu! Kau tahu,
anak panah itu beracun...." Mulut Dongdongka
memonyong. "Racun guuuaaaanas! Wih, ngeri
aku!"
Satria mengangguk-angguk pelan.
"O, jadi karena itu aku tak sadarkan diri?"
gumamnya.
"Bukan cuma tak sadarkan diri, tahu! Kau
malah mati. Mampus, tahu?!" pelotot Dongdong
ka, ngotot.
"Tapi, aku kok masih hidup?"
"Bukan masih hidup, tahu! Yang benar,
kau telah hidup kembali...."
"... tahu?!" serobot Satria, kesal dengan
ekor kalimat Dedengkot Sinting Kepala Gundul
yang membosankan.
Dongdongka manyun.
"Lalu bagaimana dengan nasib gadis itu?"
susul Satria. Yang dimaksud tentu Mayangseruni.
"Gadis yang mana?"
"Gadis yang ikut bertarung denganku me-
lawan Dirgasura."
"Dirgasura siapa?"
"Manusia bongsor jelek itu."
"O, si 'Jangan Ribut Dewa' itu bernama
Dirgasura ya...."
"Jadi ke mana gadis itu?"
"Gadis itu? Gadis yang pakai dua pedang
itu, kan?"
"Iya...." Lama-lama, bisa terkena serangan
darah tinggi juga Satria.
"Dia sudah kusuruh pergi," tukas Dong-
dongka, enteng saja.
"Kenapa kau suruh pergi, Kakek Gundul?"
protes Satria. Dia masih punya satu urusan pent-
ing dengan Mayangseruni. Kuat dugaannya kalau
Mayangseruni masih ada hubungan dengan Tres-
nasari. Bukankah waktu itu dia menanyakan pa-
da Satria seorang gadis yang mirip dengannya?
"Karena dia tak ada urusan denganku. Ja
dinya kusuruh pergi saja."
"Tapi, aku punya urusan dengannya."
"Mana aku tahu. Kau tidak pernah bilang
padaku. Makanya, kalau mau mati ingat-ingat
untuk meninggalkan pesan. Mentang-mentang
kau keenakan mati waktu itu...." Dongdongka ini
'ngelindur' atau masih sadar? Dianggapnya mati
itu semacam tamasya apa? Lagi pula, siapa yang
mati?
Satria menggeleng-gelengkan kepala. Pus-
ing tujuh keliling kepalanya menghadapi manusia
bertabiat sinting satu ini.
"Ah, sudahlah...," tepis Satria akhirnya.
Harapannya cuma bisa bertemu kembali satu hari
dengan Mayangseruni.
Satria mengedarkan pandangan.
"Eh, bukankah aku di tempat Ki Kusumo?"
tanya Satria kemudian.
"Ho-oh!"
"Kenapa dengan gubuknya?"
"Kusumo kekurangan kayu bakar, barang-
kali."
Percuma menanggapi sahutan seenak udel
Dongdongka. Satria mengedarkan pandangan la-
gi. Dia merasa ada yang tak beres. Pasti telah ter-
jadi sesuatu di tempat itu, duganya yakin. Dike-
temukannya jenazah Nyai Cemarawangi.
"Nyai...," sentak Satria, setengah berteriak.
Diburunya jenazah perempuan setengah baya
malang itu.
"Apa yang terjadi dengannya, Kakek Gun
dul?!" teriak Satria, ketika tiba di dekat jenazah
Nyai Cemarawangi yang mengenaskan keadaan-
nya.
"Jadi dia Nyaimu, ya?"
"Apa yang terjadi?!!" raung Satria. Kegalau-
annya mendapati Nyai Cemarawangi mati menge-
naskan seperti itu menyebabkan dia tak bisa
menguasai diri.
"Hey, bukan aku yang membunuhnya?" ki-
lah Dongdongka.
"Siapa?!" dengus Satria. Matanya memerah.
Wajahnya terbakar. Kegeraman menanjak demi-
kian cepat ke ubun-ubunnya.
"Kau jangan melotot seperti itu padaku, ta-
hu?!" omel Dongdongka, merasa 'kena getahnya'.
Satria berlari gusar memburu ke arah De-
dengkot Sinting Kepala Gundul.
"Siapa yang telah membunuhnya?!" teriak-
nya serak. Nyaris saja kerah jubah si tua bangka
dicengkeramnya.
"Sabar, sabar. Kau jangan seperti cacing
kebakaran jenggot, eh kakek kepanasan, eh cac-
ing kakek jenggot, eh cacing kepanasan jenggot-
nya terbakar, eh cacing jenggot terbakar kakek...
aduh, susah amat aku ngomong kalau kau sewot
begini!" (Maksud si tua bangka itu sebenarnya;
seperti cacing kepanasan. Atau; seperti kakek ke-
bakaran jenggot)!
Napas Satria mendengus-dengus. Dadanya
terlonjak-lonjak.
"Aku sudah memeriksa luka di tubuh pe
rempuan itu. Aku mengenal pukulan itu. Biasa
orang sebangkotan aku tak mengenal banyak je-
nis pukulan? Kan keterlaluan?"
"Siapa pembunuhnyaaaa!!" bentak Satria,
kalap.
"Iya! Iya! Busyet kau keterlaluan sekali,
Cah Gendeng! Pembunuhnya si kakek jelek :
Ageng Sulut... tahu?!"
"Dia akan membayar nyawa Nyai!!" pekik
Satria meninggi, mencelat ke angkasa.
"Aku juga berpikir begitu, Cah Gendeng.
Tapi kau tak akan sanggup melawannya hua ha
ha!"
"Aku tak peduli!"
"Jangan begitu. Setidaknya, kau harus
menjadi muridku dulu. Benar, kan?"
Satria melangkah gusar. Mondar-mandir di
depan si kakek bertabiat sinting. Sampai kepala
klimisnya harus menoleh ke kanan dan ke kiri
seperti seekor kakak tua.
"Kau mau menjadi muridku, kan?" tanya
Dongdongka, penuh harap.
Satria tidak berniat menyahut. Yang berke-
camuk dalam benaknya saat itu cuma kemara-
han. Menggelegak. Bergejolak
"Maulah...," rayu Dongdongka.
Satria malah makin cepat mondar-mandir.
Menghamburkan pasir pantai dengan langkah-
langkah berat gusarnya.
Terus mengikuti gerakan Satria, lama-lama
Dedengkot Sinting Kepala Gundul Jadi pusing
sendiri. Hidungnya kembang-kempis. Aku jadi
mau marah juga nih, gerutunya tak kentara. Ak-
hirnya....
"Mau, tahu!!" bentak Dongdongka, sewot.
* * *
Dalam beberapa hari belakangan, Satria di-
rundung kemurungan. Kerjanya hanya duduk
melamun di dekat puing-puing arang gubuk Ki
Kusumo. Dedengkot Sinting Kepala Gundul masih
bersamanya. Tak ada hal lain yang ingin dilaku-
kan pemuda tanggung itu, kecuali merenung. Dan
tak ada hal lain yang ingin dilakukan Dongdong-
ka, kecuali terus merayu-rayu Satria agar mau
menjadi muridnya.
Kepergian Tresnasari beberapa waktu lalu
sudah begitu memukul batinnya. Benih cinta per-
tamanya seperti dibawa lari dengan kepergian
tanpa pesan gadis ayu itu. Belum lagi Tresnasari
diketemukan, Nyai Cemarawangi menemui ajal
dengan cara amat menyedihkan. Dua kali batin
Satria tertinju. Dua kali dia kehilangan. Jiwanya
dipenuhi lebam.
Bagi Satria, Nyai Cemarawangi sudah begi-
tu dekat dengan dirinya. Perhatian yang dicurah-
kan Nyai Cemarawangi pada dirinya layaknya
seorang Ibu terhadap anak. Ketulusannya meng-
guyur hati Satria, memberinya kesejukan. Kebai-
kannya ibarat lampu penerang ditengah kegela-
pan. Ya, pada saat Satria merasa kesepian karena
tak pernah tahu menahu banyak perihal tentang
diri dan asal-usulnya, Nyai Cemarawangi datang
menawarkan kasih seorang ibu.
Lantas, bagaimana Satria tidak merasa ke-
hilangan?
Walaupun sebenarnya pemuda tanggung
itu amat tahu kalau Nyai Cemarawangi cepat atau
lambat akan menemui ajal juga. Penyakit mema-
tokkan usianya. Tuhan berkehendak begitu. Tapi,
Satria tak akan sudi menerima cara kematian
yang dialami oleh Nyai Cemarawangi. Kalau saja
tak ada manusia keji yang merenggut nyawanya,
tentu perempuan welas-asih itu masih bisa me-
nikmati hari. Setidaknya dia masih bisa menik-
mati harapan untuk bisa sembuh.
Sesak terasa dada Satria.
Sekarang, ke mana pula Ki Kusumo? Ke-
luhnya membeban. Seperti juga Tresnasari dan
Nyai Cemarawangi, kakek itu pun termasuk orang
yang sudah telanjur dekat dengan Satria. Kesala-
hannya tak jujur pada Satria tentang penyakit
Nyai Cemarawangi, bukanlah hal yang tak ter-
maafkan. Pemuda tanggung berhati sebening
permukaan pualam dan sekokoh baja itu yakin,
Ki Kusumo memiliki alasan sendiri. Satria bahkan
telah memaafkannya. Kalau ingat kebaikan Ki
Kusumo selama ini, dia jadi kian diombang-
ambing rasa kehilangan.
Lamat-lamat Satria terkenang kembali se-
luruh pintalan hari-harinya bersama Tresnasari,
Nyai Cemarawangi, dan Ki Kusumo. Hari-hari
yang penuh tantangan, namun juga kegembiraan.
Hari-hari yang berat, tapi sekaligus sarat kebaha-
giaan.
Sampai semuanya direnggut darinya. Di-
rampas. Dileburkan....
Satria gusar. Ada dendam. Sulit untuk me-
nunjukan dendam itu pada siapa, Pada Tuhan?
Tak mungkin. Apa pun yang dikehendaki-Nya,
adalah kebaikan bagi setiap manusia. Satu-
satunya orang yang bisa disalahkan adalah Ki
Ageng Sulut Iblis Dari Neraka!
"KI Ageng Sulut...," bisik Satria. Nadanya
diayun dendam.
Di belakangnya, Dongdongka tiba.
"Ayolah, Cah Gendeng. Kau mestinya mau
menjadi muridku. Bukankah kau ingin membalas
perbuatan Ageng Sulut sialan terhadap Nyaimu?"
rayu Dongdongka, suatu kali. Dia sudah kehabi-
san akal menghadapi kemurungan Satria yang
menjadi-jadi.
"Dia bukan Nyaiku, Kek. Tapi, dia orang
yang begitu ku sayangi tiga tahun terakhir ini..."
desah Satria.
"Aku tidak peduli. Mau Nyaimu atau bu-
kan, yang penting kau mau menjadi muridku!"
Satria mendadak bangkit. Dia berbalik. Di-
tatapnya mata tua Dongdongka. Ada sepercik ba-
ra terbakar dalam pandangannya.
"Jadi, hanya itu yang kau pedulikan?" sin-
dir Satria terseret. "Kau hanya peduli aku bisa
menjadi muridmu dan menurunkan kesaktianmu
yang hebat itu? Kau hanya ingin dirimu senang!"
Lalu ditinggalkannya Dedengkot Sinting
Kepala Gundul dengan langkah terbanting.
Kesewotan Dongdongka terpancing. Ter-
bungkuk-bungkuk, diikutinya langkah Satria.
"Kau jangan bertingkah tengik seperti itu,
Cah Gendeng! Kau pikir kau ini siapa, hah?! Tak
ada seorang pun yang berani menampikku, tak
ada yang punya nyali meremehkanku, apalagi
sampai membentakku!!"
Satria tak peduli.
"Kau memang bocah gendeng tak tahu di-
untung! Ratusan pendekar tanah Jawa telah ku-
tolak mentah-mentah. Padahal mereka hanya
memohon agar aku sudi menurunkan pada mere-
ka satu-dua kesaktian! Kau tahu itu?! Kau dengar
itu?!"
Satria tetap jalan. Malah langkahnya diper-
cepat.
Dongdongka terus mengikuti. Wajahnya
makin porak-poranda karena merasa dijadikan
bulan-bulanan tingkah bocah bau kencur!
"Berhenti, Cah Gendeng! Kau harus men-
dengarkan perkataanku! Kalau tidak...."
"Kalau tidak apa?!" mendadak Satria ber-
balik. Ditantangnya tatapan membelalak-belalak
Dongdongka.
"Kalau tidak... kalau tidak...." Dongdongka
kehabisan kata-kata. Pemuda sial, rutuknya da-
lam hati. Kenapa selalu saja tatapan mata tajam-
nya membuat aku sulit bicara.
"Kalau tidak, kau akan membunuhku se-
mena-mena seperti Ki Ageng Sulut membunuh
Nyai Cemarawangi?!" gempur Satria, makin me-
nyudutkan Dongdongka.
"Huh!"
Didahului dengusan, Satria berjalan kem-
bali.
"Aku tak akan melakukan itu, Cah Gen-
deng! Aku bukan Ageng Sulut jelek itu! Dia itu ke-
jam, aku tidak. Mungkin sedikit-sedikit... mak-
sudku, biarpun aku sinting, tapi masih punya ra-
sa kemanusiaan. Hey, Cah Gendeng!"
Satria terus mengayuh langkahnya, me-
ninggalkan Dongdongka yang berdiri tanpa berani
mengikuti. Tapi mulutnya terus saja mencerocos.
Ketika Satria menghilang dari pandangan
"Cah Gendeng, Cah Gendeng! Kau tak bisa
berbuat begitu padaku. Tak bisa. Kau harus me-
nolong aku. Hu... hu hu huuuuu!"
Sang sesepuh sinting para sepuh dunia
persilatan menjatuhkan dirinya ke atas pasir.
Dengan tertelungkup seperti bocah kecil, dia me-
nangis sesegukan.
* * *
Sore harinya Satria baru kembali. Setengah
harian itu, dia menguapkan segala kegundahan-
nya dengan berjalan menyusuri pantai Karangbo-
long. Menikmati pemandangan laut dan angin se-
gar, membuat pikirannya jadi agak jernih.
Sampai di dekat puing-puing gubuk, Satria
dibuat terheran-heran dengan perbuatan Dong-
dongka. Orang tua yang selalu bertingkah sinting
itu sedang tertelungkup. Bahunya bergonjang-
gonjang. Kegilaan macam apa lagi yang sedang di-
lakukannya? Tanya hati Satria.
Satria mendekat.
Kian dekat, telinganya makin jelas men-
dengar sesegukan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul.
Astaga, dia menangis! Perangah Satria. Ce-
pat-cepat dihampirinya Dongdongka. Diangkatnya
bahu kurus kakek sakti itu perlahan. Sesinting-
sintingnya orang tua itu, Satria tak akan tega
membiarkannya terombang-ambing dalam kese-
dihan.
"Kenapa kau menangis, Kek?" tanya Satria.
Suaranya tak sepedas sebelumnya. Sekarang ter-
dengar lembut, bersahabat. Juga penuh kasih.
Dongdongka buru-buru menyapu air ma-
tanya. Dengan air mata masih menggenang di ke-
lopak mata bawahnya ditatapnya Satria nanap.
"Aku sedih karena kau tak sudi menjadi
muridku...," ucapnya perlahan.
"Apa?" Satria tersentak. Satria terhenyak.
Tak disangkanya kalau kepiluan si orang tua ter-
nyata bermuasal dari dirinya. Dari penolakannya
menjadi murid Dongdongka. Pemuda tanggung itu
terduduk lunglai. Betapa berdosanya dia telah
membuat orang tua menjadi sesedih itu.
Satria bisu. Diam seribu bahasa. Wajahnya
tertunduk. Pandangannya terjatuh ke butiran pa-
sir. Tak kuasa lagi ditatapnya mata Dongdongka.
"Kau tahu, Cah. Aku sudah demikian
muak dengan dunia ini. Usiaku sudah terlalu
uzur. Telah terlalu lama aku hidup. Sampai aku
bosan dengan segala kebusukan manusia. Bosan
dengan kemunafikan, bosan dengan keculasan,
bosan dengan kebiadaban, bosan dengan segala
tipu daya mereka..." tutur Dongdongka terbata.
Satu-satu. Pada saat itu, seperti hilang menguap
segala kesintingannya selama ini. Pada saat itu
pula, tak ada kesan sebersit pun kalau dia adalah
seorang sesepuh dunia persilatan tanah Jawa
yang demikian disegani dan ditakuti. Semuanya
pupus, dihisap oleh gelombang lara dalam di-
rinya.
"Sudah lama aku memimpikan dapat me-
ninggalkan dunia. Aku begitu ingin mati. Tapi se-
genap kesaktianku menyebabkan aku menjadi su-
lit untuk begitu. Rasanya aku akan semakin lama
dijejali kebusukan dunia ini jika kesaktianku ma-
sih tetap kumiliki...," sambung Dongdongka.
"Karena itu aku harus mencari seorang
murid. Murid yang dapat kuberikan seluruh ke-
saktianku. Dengan kuserahkan segala kesaktian-
ku, aku akan menemui ajal dengan tenang. Na-
mun, aku tidak bisa sembarangan menurunkan
ilmuku. Kau tahu, semakin banyak saja manusia
yang sulit dipercaya di dunia ini. Seringkali ama-
nat dikhianati hanya karena keinginan kecil."
Dongdongka menghentikan penuturannya
beberapa saat. Dihelanya napas berat. Seakan se-
dang mengangkat beban yang demikian berat dari
dadanya.
"Lalu aku bertemu kau. Beberapa lama ku-
perhatikan kau. Sampai akhirnya aku tahu, aku
yakin kalau kaulah yang pantas untuk menerima
amanat ku. Kau orang yang pantas untuk menja-
di muridku, Cah...."
Wajah Dongdongka terjatuh.
"Sayang, kau tak sudi menjadi murid tua
bangka macam aku," desahnya, terdengar lirih.
"Padahal, kau bocah baik. Kau berhati mulia. Kau
pantas menjadi seorang pendekar besar yang me-
nerima kesaktianku...."
"Cukup, Kek," tahan Satria. Dia tak kuasa
mendengarkan penuturan yang mengiris-ngiris
perasaannya.
Keduanya terdiam. Beberapa lama.
"Baiklah. Aku bersedia menjadi murid-
mu...," ucap Satria, akhirnya.
Dongdongka menatap dengan sinar mata
tak percaya. Genangan air mata di kelopak mata
bagian bawahnya semakin mengembang. Senyum
tuanya mekar, berbareng dengan jatuhnya bulir
bening dari kedua mata berkerutnya.
Dan dipeluknya si pemuda tanggung kuat-
kuat.
Angin mempermainkan nyiur. Ombak
memperdengarkan debur. Senja pun luruh di ba-
tas waktu. Semuanya menyaksikan. Bukankah
ketulusan hati membuat segalanya menjadi begi
tu damai?
ENAM
PERTARUNGAN antara Ki Kusumo dengan
Ki Ageng Sulut telah merambat terlalu jauh dari
tempat semula. Keduanya kini tampak di batas
utara Karangbolong.
Terhitung sudah puluhan jurus telah berla-
lu. Pertarungan mereka tetap saja sengit. Alot.
Tanpa ada tanda-tanda akan segera berakhir. Ke-
duanya memang sama-sama tangguh. Kesaktian
masing-masing tak diragukan. Sementara waktu
telah menelan perkelahian mereka cukup lama.
Sudah hampir satu hari penuh.
Bertarung dalam waktu demikian lama ten-
tu akan banyak menyita tenaga. Apalagi bagi dua
lelaki berusia senja seperti mereka. Namun, sekali
lagi nama besar Tabib Sakti Pulau Dedemit dan
Iblis Dari Neraka bukanlah sekadar omong ko-
song. Perkelahian yang sengit menguras tenaga
itu nyatanya tak membuat keduanya kehilangan
kegarangan.
Sementara itu, baik Ki Kusumo ataupun Ki
Ageng Sulut sudah sama-sama mengalami luka.
Tak bisa dibilang remeh. Menilik sudut bibir dan
hidung mereka yang mengeluarkan darah, seti-
daknya telah bersarang luka dalam cukup parah.
Itu pun tetap tak mengurangi keampuhan pertu-
karan serangan keduanya.
Mereka benar-benar tangguh, perkasa se-
perti dua ekor naga jantan tua.
Melampaui seratus jurus, mulai tampak
kedigdayaan Ki Ageng Sulut dalam penguasaan
kesaktian. Perlahan tapi pasti, Ki Ageng Sulut me-
rayap mengungguli lawannya. Pada saatnya, dia
sudah berada di atas angin. Tak percuma dia se-
sumbar sebelumnya pada Ki Kusumo.
Jurus demi jurus mengalir bagai amukan
air bah.
Tenaga dalam berbentrokan.
Kegesitan dan kecepatan saling memburu.
Teriakan tarung memenggal satu sama
lain.
Keduanya tetap bagai naga tua!
Sampai suatu ketika....
"Hiaaa!!!"
Dash!
Dari medan laga yang terlihat seperti pu-
singan angin puting beliung, tubuh Ki Kusumo
terlempar. Deras. Keras. Mulutnya menyembur-
kan darah segar. Selang meluncur lebih dari se-
puluh tombak ke belakang, punggung Ki Kusumo
menghantam telak-telak bukit karang besar.
Kakek perkasa itu jatuh melorot. Dia kehi-
langan taji tarungnya.
Di sana, Ki Ageng Sulut berdiri menyerin-
gai. Matanya mencemooh tegas-tegas ke arah la-
wannya. Di sudut bibirnya merembes darah. Na-
mun dia tahu, lukanya tak separah lawan. Masih
bisa dia berdiri gagah. Masih sanggup dia menggempur hingga seratus jurus lagi. Sedangkan la-
wannya kini?
"Sekarang kau baru menyadari siapa aku
sesungguhnya, bukan?! Ageng Sulut, Iblis Dari
Neraka. Raja diraja kesaktian. Momok dunia per-
silatan!" sesumbar Ki Ageng Sulut, congkak. Se-
lama berkata, ditepuknya dada.
Ki Kusumo berupaya bangkit. Dadanya se-
sak. Seperti ada beton sebesar banteng menin-
dihnya. Napasnya terseret. Tangannya mendekap
dada. Baru sempat menggerakkan tulang pung-
gungnya, darah sudah termuntah lagi dari mu-
lutnya.
"Terkutuk kau Ki Ageng Sulut!" sumpah Ki
Kusumo, nyaris tak kentara.
Ki Ageng Sulut tertawa. Suaranya tidak se-
perti orang tertawa. Terdengar lebih mirip dengk-
ing keledai gusar. Dia mendengar jelas serapah
lawannya. Biarpun jaraknya cukup jauh dan di-
ucapkan samar oleh Ki Kusumo.
"Kau sudah tak bisa lagi melawanku, Ku-
sumo. Kenapa tak mengaku kalah saja?!" cemooh
Ki Ageng Sulut tak puas.
"Aku memang terluka parah. Namun tak
berarti aku akan menyerah padamu!" tandas Ki
Kusumo mendesis datar.
"Tak menyerah? Tak menyerah?" Ki Ageng
Sulut tertawa lagi. Suara tawa yang memuakkan
di telinga siapa pun. "Kau akan segera mampus,
Kusumo. Sebaiknya kau sadari itu. Aku akan
memberimu kesempatan untuk hidup, bahkan
untuk seratus tahun lagi. Syaratnya, kau ha-
rus...."
"Tidak!" terabas Ki Kusumo tegas.
"Keparat!"
"Jangan kau mengira aku akan sudi meno-
longmu menyembuhkan penyakitmu. Terkutuklah
kau Ki Ageng Sulut. Semoga penyakitmu meron-
grongmu selama hidup!"
Rahang Ki Ageng Sulut mengeras. Kejang.
Tegang. Terdengar gemeletuk dalam.
"Kau keras kepala! Aku bersumpah, kau
akan menyesal...."
"Kau ingin membunuhku? Lakukan, Iblis
Dari Neraka terkutuk! Lakukan!" tantang Ki Ku-
sumo. Dia berusaha mengangkat dada. Sekali la-
gi, darah termuntah keluar dari mulutnya.
Tangan Ki Ageng Sulut mengeras, menyu-
sul rahangnya. Akan dibunuhnya Ki Kusumo. Di-
bunuhnya! Kepala lelaki tua itu akan diremukkan
dengan satu pukulan jarak jauh. Dia bersumpah!
Namun, itu tak mungkin dilakukan. Ki Ageng Su-
lut menyadari benar, Ki Kusumo memegang kartu
yang menentukan.
"Kenapa kau terdiam? Bukankah kau begi-
tu ingin membunuhku?" ledek Ki Kusumo.
Tidak mungkin Ki Ageng Sulut membu-
nuhnya! Tak mungkin!
Ki Kusumo berusaha tertawa. Sulit. Mena-
rik napas pun sudah demikian susah payah. Baik
dirinya maupun lawan, sama-sama tahu kalau di-
rinya dibunuh maka tak ada lagi yang bisa menyembuhkan penyakit Ki Ageng Sulut. Tak seo-
rang pun. Kalaupun ada, maka tabib itu berada
amat jauh dari tanah Jawa. Mungkin di negeri
Tiongkok. Tapi itu pun tak menjamin dengan mu-
dah ditemukan. Lagi pula, penyakit Ki Ageng Su-
lut mempunyai pantangan. Dia tak boleh terkena
air laut di bagian kulit mana pun. Karenanya tak
ada alasan baginya untuk mengambil resiko me-
nyeberangi samudera. Tepatnya, dia tak cukup
berani melakukan itu!
Sedang di tanah Jawa ini, hanya Ki Kusu-
mo satu-satunya tabib yang dapat diandalkan un-
tuk menyembuhkan penyakit Ki Ageng Sulut.
Si Iblis Dari Neraka tersudut. Kendati posi-
sinya berada di atas saat itu.
Penyakit apa yang diderita tokoh sesat ini?
Penyakit menjijikkan yang telah merongrongnya
selama berpuluh tahun. Di dadanya tumbuh se-
macam jamur yang membusukkan kulitnya. Mu-
la-mula hanya terdapat di satu bagian kecil dada
kanannya. Makin hari, jamur itu tumbuh makin
membesar. Melebar. Kulitnya memerah, lalu mu-
lai membusuk. Dari kulit, jamur itu merambat
membusukkan dagingnya!
Selang beberapa puluh tahun, penyakit
menjijikkan itu telah memakan seluruh dada Ki
Ageng Sulut. Sekujur dada kakek bengis itu kini
hanya dipenuhi daging busuk berwarna merah
kehitaman. Berlendir dan selalu mengeluarkan
nanah. Anehnya, tak ada sedikit pun bau mene-
bar darinya!
Ketika mengetahui ada seorang tabib yang
dipercaya kalangan Kerajaan Majapahit beberapa
puluh tahun lalu, Ki Ageng Sulut berusaha segera
menemuinya.
Pertama kali bertemu, Ki Ageng Sulut da-
tang layaknya orang baik-baik. Bahkan dia dapat
meyakinkan Ki Kusumo hingga mau menjadi seo-
rang teman dekat baginya. Mereka makin dekat.
Dan Ki Kusumo pun menyanggupi dapat me-
nyembuhkan penyakitnya itu.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak. Sewaktu Ki Kusumo tahu sepak terjang
calon pasiennya di dunia persilatan, dia mengu-
rungkan niat mengobati.
Tentu saja Ki Ageng Sulut menjadi gusar.
Kesaktiannya yang sudah menjadi momok mena-
kutkan saat itu, hendak dimanfaatkan untuk
memaksa si Tabib Sakti. Kala yang sama, Ki Ku-
sumo telah menyepi ke Pulau Dedemit.
Ki Ageng Sulut hendak menyatroninya.
Sayang, bentangan laut menyurutkan tekadnya.
Hatinya kecut membayangkan tubuhnya akan
dengan cepat membusuk ketika terpercik air laut.
Bertahun-tahun Ki Ageng Sulut mengintai
kemunculan Ki Kusumo ke tanah Jawa setiap li-
ma tahun sekali. Namun selama itu, tak pernah
sekali pun dia sanggup melacaknya. Apalagi me-
nemukannya. Kini, setelah berusaha sekian ta-
hun akhirnya ditemukan pula tabib sakti itu.
Sebenarnya, Ki Ageng Sulut tak perlu me-
maksa Ki Kusumo untuk merawatnya sekian lama. Ketika pertama kali tabib kesohor bukan saja
di seantero tanah Jawa namun sampai ke negeri
seberang itu menyanggupi akan mengobati pe-
nyakit Ki Ageng Sulut, dia pernah menjelaskan
obatnya.
"Penyakitmu akan bisa disembuhkan den-
gan rendaman ekor pari pelangi. Satu makhluk
laut yang hanya pernah hidup di Laut Jawa dua
ratus tahun lalu," kata Ki Kusumo waktu itu.
"Apakah kau memilikinya?" tanya Ki Ageng
Sulut
Ki Kusumo mengangguk.
"Bagus!"
Karena tak mempunyai prasangka apa pun
terhadap calon pasiennya, kecuali rasa persaha-
batan, Ki Kusumo mengungkapkan lagi. "Sayang,
aku telah menyatukannya menjadi satu bagian
senjata pusaka, Kail Naga Samudera!"
Begitu pernah diungkapkan Ki Kusumo
pada Ki Ageng Sulut. Jadi, si Iblis Dari Neraka
hanya perlu memaksa Ki Kusumo berbicara men-
genai tempat penyimpanan senjata pusaka Kail
Naga Samudera.
"Katakan padaku di mana kau sembunyi-
kan Kail Naga Samudera, Kusumo!" tekan Ki
Ageng Sulut
"Aku tahu pada akhirnya kau akan menun-
tut benda itu!"
"Jangan banyak cincong! Katakan saja di
mana benda itu!"
"Kau memang bodoh, Ki Ageng Sulut! Ke
napa kau pikir aku akan memberikan Kail Naga
Samudera padamu?!"
"Bedebah keparat!"
"Dan kebodohanmu itu pun telah menye-
babkan kau membuang tenaga sia-sia bertarung
denganku. Kau tahu bukan, aku tetap tak akan
memberikan Kail Naga Samudera padamu!"
"Semestinya kau memang kubunuh, Ku-
sumo!"
"Di situlah kebodohanmu yang lain. Kau
sebenarnya pun tahu, kalau kau membunuhku
kau tak akan mendapatkan Kail Naga Samudera
selamanya! Dan membusuklah tubuhmu perla-
han-lahan sampai ajal menjelang..."
Ki Ageng Sulut mendengus-dengus. Tanpa
diduga oleh Ki Kusumo, manusia sesat keji itu
berkata, "Kau salah menduga tentang diriku, Ku-
sumo. Kalau kenyataannya kau tak akan membe-
rikan Kail Naga Samudera padaku, maka sama
saja bagiku untuk membunuhmu atau tidak
membunuhmu! Lagi pula, aku akan lebih puas
mati membusuk setelah kau kubuat mampus!"
Sadarlah Ki Kusumo kini bahwa dirinya
terlalu mudah menduga Ki Ageng Sulut. Semes-
tinya, orang tua itu menyadari kalau manusia
macam Ki Ageng Sulut sering sulit diduga tabiat-
nya.
Sang tabib sakti menegang.
Nyawanya dirasa sudah sampai di tenggo-
rokan.
Terutama ketika Ki Ageng Sulut mengang
kat tinggi-tinggi kedua tangannya....
* * *
Perubahan memang tak terelakkan. Hu-
kum alam telah berbicara. Tak ada satu pun di
semesta ini yang tetap. Dari satu kejapan mata ke
kejapan selanjutnya, selalu berubah. Tak bumi.
Tak langit. Tak usia.
Kalau kemarin-kemarin Satria begitu ngo-
tot menolak tawaran Ki Kusumo dan Dedengkot
Sinting Kepala Gundul untuk menjadi muridnya
tiba-tiba saja ini hari dia telah resmi menjadi seo-
rang murid. Perubahan telah terjadi. Siapa yang
sanggup menahannya?
Hari ini, di pantai Tanjung Karangbolong
dua lelaki bertaut usia amat jauh terlihat berdiri
menghadap Samudera Hindia. Mereka adalah Sa-
tria. Bersama si tua bangka bertabiat sinting,
Dongdongka. Terhitung mulai hari ini, pelajaran
untuk si pemuda tanggung dimulai.
Setelah berdiri mengheningkan cipta, me-
makukan karsa dan rasa untuk beberapa lama,
Dongdongka mulai bergerak. Kakinya melangkah
mantap di atas pasir.
"Untuk menjadi muridku, pertama-tama
kau harus belajar menjadi 'sinting'," katanya me-
mulai.
Satria merengut. Pelajaran sinting macam
apa ini? Ditatapnya sang guru dengan pandangan
memprotes. Mulutnya baru hendak melancarkan
pertanyaan. Dongdongka sudah keburu men-
gangkat tangan, mengacungkan dua jarinya.
"Yang kedua, jangan dulu banyak tanya!"
Satria bungkam. Guru tetap guru. Kalau
dia sudah bertekad untuk belajar dari orang tua
itu, sesinting-sintingnya Dongdongka, peraturan-
nya harus dilaksanakan. Biasanya, di sanalah le-
tak keberhasilan seorang murid.
"Kenapa kau harus belajar 'sinting'?!" De-
dengkot Sinting Kepala Gundul mengajukan per-
tanyaan.
Satria tak tahu jawabannya. Tapi mulutnya
tetap gatal hendak mengajukan protes. Belum-
belum, si tua bangka yang terus berjalan mengi-
tarinya mulai berkicau lagi. "Asal kau tahu. Di
dunia ini, sudah banyak orang 'sakit'. Kau tahu
maksudnya? Banyak orang yang sebenarnya ter-
serang penyakit jiwa. Satu contoh, ketamakan itu
sebenarnya pun penyakit jiwa. Orang berjiwa se-
hat, tak mungkin melepaskan begitu saja keingi-
nan tamaknya. Apalagi? Banyak! Kebanyakan
timbul dari sifat-sifat tercela yang meruyak dari
benak lalu berwujud dalam perilaku....
Satria pusing mendengarkan khotbah
Dongdongka. Sebenarnya dia hendak menurun-
kan ilmu bela diri atau sedang belajar ilmu kudu?
Kudu menjadi sinting seperti orang tua itu?
"Kapan belajar ilmu bela dirinya, Kek?"
"Kubilang jangan banyak tanya! Kau telah
melanggar peraturan kedua. Hukumannya, kau
harus melompat-lompat di tempat dengan gaya
seekor kodok bunting!"
Satria mendelik.
"Laksanakan!" bentak Dongdongka.
Terpaksa Satria mulai melompat-lompat.
"Yang tinggi!" seru Dongdongka.
"Harus berapa kali aku melompat, Kek?!"
tanya Satria.
"Kau melanggar lagi peraturan kedua!"
Satria mendelik lagi. Hukuman 'lompat ko-
dok bunting' saja belum lagi selesai. Sudah ada
lagi pelanggaran baru menurut gurunya. Bagai-
mana ini?
"Sebagai hukuman pelanggaran kedua, kau
harus melompat sambil menyuarakan suara ko-
dok!"
Mak?!
Satria terperangah dalam hati. Untuk
memprotes dia tak punya nyali. Takut Dongdong-
ka menambahkan hukuman untuknya. Ini benar-
benar pelajaran menjadi orang sinting, pikirnya.
Satria melompat-lompat. Tinggi. Napasnya
sudah terengah-engah. Belum lagi dia harus me-
nirukan suara kodok.
"Krok.... Hhhh.... Krok.... HHhhh!"
"Yang keras!"
"Krrrooookkk!!! Hhhhh.... Krrooookkk"
"Cah Bagus!"
Selagi Satria menjadi 'kodok bunting',
Dongdongka meneruskan khotbahnya. "Jadi
sampai di mana penjelasanku tadi? O, iya. Karena
banyak orang di dunia ini sudah terserang penya
kit jiwa. Maka, anggaplah sudah banyak orang
'sinting' berkeliaran di muka bumi ini. Memang
tak seperti 'sinting'nya orang sinting. Kau menger-
ti maksudku?"
"Kroookh!!"
"Maksudku, kesintingan mereka sudah ti-
dak disadari lagi karena sudah dianggap perbua-
tan biasa. Nah, agar kita tidak jadi ikut 'sakit', ki-
ta harus belajar mengetahui sifat-sifat apa saja
yang bisa menjadikan jiwa kita 'sakit'. Untuk
mengetahui dalamnya lautan, tentunya kita harus
menyelam. Untuk mengetahui apakah kita terma-
suk orang 'sakit' atau bukan, aku memutuskan
untuk bertingkah seperti orang 'sakit'! Kau men-
gerti maksudku?!"
"Krrokkh!!"
"Ya, anggaplah kau mengerti. Meski sebe-
narnya, aku sendiri tak mengerti.... Jadi, peratu-
ran pertama itu harus kau laksanakan selama
menjadi muridku! Belajarlah menjadi orang
'sinting'!"
Pelajaran pertama selesai untuk hari itu.
Dongdongka pergi begitu saja meninggalkan Sa-
tria. Muridnya sendiri jatuh telentang kecapaian
di atas pasir. Mulutnya terengah-engah. Karena
keseringan menyuarakan suara kodok, dengusan
napasnya pun tanpa sadar memperdengarkan su-
ara kodok.
"Krrooohhhhh! Hos-hoshos!"
Kalau hari ini Satria menjadi 'kodok bunt-
ing', jangan-jangan besok disuruh menjadi kerbau
bunting?! Mana tahan!
TUJUH
MAYANGSERUNI sedang duduk menikmati
senja menua di atas sebuah bukit ketika di bawah
sana datang segerombolan penunggang kuda dari
arah barat. Debu mengepul dilatar belakangi pe-
mandangan matahari merah jingga yang setengah
menyembul di pelipis bumi. Penunggang kuda
paling depan, membawa panji merah bergambar
tengkorak. Tak sulit menduga siapa mereka.
Hanya satu gerombolan yang membawa panji ber-
lambang demikian. Laskar Lawa Merah. Tak salah
lagi!
"Mau apa mereka kembali?" tanya Mayang-
seruni seraya bangkit.
Laskar Lawa Merah di bawah sana melari-
kan kuda tunggangan dengan cara menggila. Ada
sepuluh lelaki berperawakan dan penampilan ka-
sar memacu kuda seperti kesetanan. Keliru
Mayangseruni mengira mereka hanya kembali.
Sebenarnya mereka sedang dikejar oleh sepasu-
kan tentara Kerajaan Demak.
Selang beberapa saat kemudian, sudah
tampak kepulan debu yang jauh lebih tinggi ke
angkasa. Asalnya dari gerak laju pasukan berku-
da Kerajaan Demak. Jumlah mereka lebih dari ti-
ga puluh orang. Tentu saja itu menciutkan nyali
sepuluh anggota Laskar Lawa Merah yang entah
kenapa terpisah dari pasukan induknya itu.
Pertanda bahwa Pasukan khusus Kerajaan
Demak yang ditugaskan untuk menangani ge-
rombolan perampok Laskar Lawa Merah telah
mulai memasuki wilayah tersebut.
Saat Mayangseruni memperhatikan kejar-
kejaran di kejauhan sana, tanpa disadari seseo-
rang sudah berdiri di belakangnya.
"Kau harus bertanggung jawab terhadap
nyawa seluruh anak buahku seandainya pasukan
Demak berhasil menumpas mereka, Nona!"
Mayangseruni terperanjat. Cepat dia berba-
lik. Ditemukannya Dirgasura. Berdiri dengan ke-
san mengancam, serta siap menggempur.
"Apa maksudmu?" kesiap Mayangseruni.
"Jangan berpura-pura lagi padaku, Nona.
Kau kira mataku sudah buta? Kau adalah mata-
mata Demak! Kau datang lebih dahulu ke sini un-
tuk menyelidiki gerakan kami. Setelah kami ma-
suk, kau kirimkan berita kepada pasukan Demak.
Kau membuat perangkap yang cukup bagus un-
tuk kami!" tuding Dirgasura.
"Jangan asal menuduh!"
"Sia-sia kau hendak mengelabui aku. Aku
sudah terbiasa dengan siasat. Aku sudah menga-
lami banyak persoalan, Nona. Bahkan sampai ta-
nah seberang. Bodoh sekali kalau aku tak bisa
mengendusi siasat macam ini!"
"Kau telah keliru menilaiku, Kisanak!"
"Keliru? Bagaimana dengan kalung ini?!"
Dirgasura mengangkat tangan kanan, memperlihatkan satu kalung perak berlambang Kerajaan
Demak dengan baris aksara Arab.
Wajah Mayangseruni berubah. Tampak je-
las keterkejutannya. Langsung dirabanya dada.
Kalung yang selama ini dikenakan sudah tak ada
lagi di sana. Kalung miliknya telah berpindah
tangan. Tentu Dirgasura telah merampasnya tan-
pa disadari oleh gadis ayu itu ketika dia terlibat
pertarungan dengan si kepala begal.
"Kau masih mau mungkir?" Dirgasura me-
nyudutkan.
Mayangseruni merasa jati dirinya telah ter-
buka. Dia tak mungkin mengelak lagi. Percuma
untuk menyangkal. Dirgasura dengan amat cerdik
membuat gadis tanggung itu mengaku secara tak
langsung dengan memperlihatkan kalung milik-
nya.
"Aku memang berasal dari Demak...,"
akunya.
"Bagus!"
"Tapi aku bukan mata-mata seperti kata-
mu!"
"Ha ha ha ha!"
Dirgasura melangkah beberapa tindak,
mempersempit jarak dengan Mayangseruni. Pan-
dangannya menombak tajam ke wajah gadis itu,
menebarkan ketegangan.
"Kau mau aku percaya?" desis Dirgasura.
Mimik wajahnya memperlihatkan ancaman. Juga
gerak-geriknya.
Bahaya menjelang, pikir Mayangseruni. Dia
harus bersiaga terhadap segala kemungkinan.
Maka, diloloskannya sepasang pedang dari wa-
rangka di punggungnya. Cepat pula dipasangnya
kuda-kuda. Dengan Dirgasura di hadapannya, itu
bisa berarti ancaman yang lebih berbahaya dari
tiga ekor harimau lapar. Mayangseruni menyadari
hal itu.
Srang!
"Ha ha ha ha!" gelak Dirgasura. Tak tahu
apa yang dianggapnya lucu.
"Jangan paksa aku, Dirgasura!" ancam
Mayangseruni. Perlahan langkahnya tersurut
mundur, menjaga jarak. Semakin sempit jaraknya
dengan Dirgasura, akan memberi semakin ke-
sempatan besar bagi lelaki setengah raksasa itu
melakukan serangan mendadak.
"Sudah kukatakan, aku bukan mata-mata
Demak!" serunya kembali, mencoba meyakinkan
Dirgasura.
Usaha sia-sia. Naga-naganya, Dirgasura ju-
stru lebih percaya pada kecurigaannya sendiri.
Akan sia-sia pula bagi Mayangseruni untuk men-
gemukakan tujuan sebenarnya dia datang ke dae-
rah itu.
Jalan satu-satunya adalah meloloskan diri.
Artinya, dia harus bertarung kembali dengan ke-
pala perampok paling ditakuti di Pesisir Selatan
Jawa.
Pilihannya kini, menyerang atau diserang
terlebih dahulu.
Mayangseruni memutuskan menyerang le
bih dahulu.
"Heaaa!!"
* * *
Waktu beringsut. Tanpa disiasati, waktu
justru terasa melesat terlampau cepat. Banyak
orang tak menyadari, sampai mereka menemukan
usia mereka telah sedikit tersisa.
Empat bulan terlewati.
Pantai Tanjung Karangbolong.
Satria sudah memasuki purnama keempat
masa bergurunya dengan Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul. Ketika itu, dia terlihat sedang mela-
tih jurus-jurus yang telah diturunkan padanya.
Pemuda itu cepat menangkap. Jurus-jurus awal
milik sang sesepuh dunia persilatan tanah Jawa
yang sebenarnya sulit dapat 'ditelan'nya hanya
dalam tempo demikian singkat. Untuk jurus-jurus
awal saja, seorang pendekar yang sudah berbekal
cukup ilmu olah kanuragan membutuhkan waktu
setengah tahun.
Tak percuma Dongdongka mengangkatnya
menjadi murid. Tak salah pula lelaki tua bertabiat
sinting itu memilihnya. Bukan cuma punya ba-
kat. Dia pun memiliki kecerdasan dalam menang-
kap seluruh pelajaran. Namun kunci utamanya
adalah kekuatan hatinya. Dia tak pantang putus
asa. Tak pernah berdamai dengan kata menyerah.
Semangatnya adalah api yang tak padam meski
disiram guyuran hujan. Kemauannya adalah lahar yang terus menggelegak. Dalam dirinya terta-
nam nilai-nilai luhur. Budi pekerti yang menga-
kar, kehalusan perasaan yang menghujam, keari-
fan yang dalam, keperkasaan yang menjulang.
Satria memang calon seorang 'Satria' sejati!
Hari ini, dia diperintah untuk memperaga-
kan seluruh jurus yang telah didapat. Dia berge-
rak cepat dan teratur. Terkadang melambat seper-
ti jompo. Terkadang gemulai seperti penari.
Di lain saat, jurus-jurusnya berubah
menggebu. Pukulannya menderu. Tendangannya
membabi buta, beruntun laksana gempuran petir.
Setiap kali dia bergerak, terdengar suara cukup
keras. Pertanda setiap gerakannya mengandung
tenaga kuat.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Wa-
jahnya mematang. Digarang sinar matahari. Juga
karena aliran darah yang terpacu liar.
Di tengah-tengah jurus, pemuda itu me-
lompat-lompat, berjingkat-jingkat. Tangannya
menampar-nampar kening sendiri. Wajahnya be-
rubah. Dari garang tanpa senyum, kini mengum-
bar cengengesan sejadi-jadinya. Kakinya menen-
dang tak karuan ke sana kemari. Satu tangan
yang lain meliuk-liuk seperti mengikuti irama la-
gu yang tak terdengar.
"Haa-haa! He he he!"
Terlempar teriakan disertai kekeh renyah-
nya.
Dongdongka duduk memperhatikannya di
atas sebatang lidi sepanjang tiga jengkal, tak ter
lihat kalau satu ujung lidi menancap di pasir.
Bahkan hanya tampak menyentuh permukaannya
saja.
Plok Plok Plok!
Tua bangka itu bertepuk tangan menyaksi-
kan muridnya memainkan kegilaan di tengah-
tengah jurus-jurus yang diperagakan. Mulutnya
berteriak-teriak riuh rendah, menandingi suara
gemuruh ombak yang siap berjuang mendaki
pantai.
"Aku suka bagian itu! Aku suka sekali! Ha
ha ha!"
Satria makin terlihat gendeng. Dia berjum-
palitan ke sana kemari. Tubuhnya pun dipenuhi
pasir. Disusul dengan gerakan menandak nga-
wur.
Pada bagian ini, pemuda itu seolah sedang
bermain-main. Namun di balik itu, sebenarnya
terkandung kehebatan tersendiri. Orang yang
menyaksikannya akan menganggap lelucon ten-
gik. Namun bagi tokoh persilatan bermata jeli
akan berpendapat lain. Mereka akan menemukan
kekuatan tersembunyi di balik setiap gerakan ka-
caunya, atau kecerdikan, atau kecepatan, atau
kegesitan tak terduga, atau bahaya maut! Seper-
ti....
"Hieeeee-heeee!"
Prak prak prak!
Gerakan lemah gemulai sebelah tangan Sa-
tria menampar beruntun satu batang pohon kela-
pa. Kelihatannya seperti tidak sengaja. Akibat
yang ditimbulkannya cukup mencengangkan. Ba-
tang pohon kelapa itu menjadi tercabik setengah
bagian. Menurun berturut-turut dalam jarak yang
nyaris sama!
Dongdongka bertepuk tangan lagi. Lebih
riuh. Lebih bersemangat.
"Jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan'-
mu sudah cukup matang, Satria! Bagus-bagus-
bagus!"
Satria menjura. Menutup jurus 'Dedengkot
Gendeng Kegirangan'. Dadanya masih turun naik.
Sebaliknya, wajahnya masih memancarkan se-
mangat. Bahkan sepertinya dia belum cukup
puas, kendati gurunya sudah cukup banyak me-
muji.
"Apa ada jurus baru yang hendak kau
ajarkan padaku, Kek?" tanya Satria.
Dongdongka menggeleng-gelengkan kepala.
Muridnya satu ini benar-benar membuatnya ke-
walahan. Menurut perkiraan Dongdongka, Satria
tak akan bisa mencapai jurus 'Dedengkot Gen-
deng Kegirangan' setidaknya sampai dua-tiga
purnama mendatang. Sekarang, belum-belum dia
sudah minta nambah!
"Kunyuk kecil! Kenapa kau tidak bisa sedi-
kit bersabar, Cah Gendeng!" rutuk Dongdongka.
Dari atas lidi, tubuhnya mencelat kecil. Dia berdi-
ri bertolak pinggang.
"Segala hal yang baik harus disegerakan,
Kek. Bukan begitu?" kilah Satria.
"Ndas mu!"
Satria terkekeh. Dihampirinya sang guru.
"Apakah 'kesintingan'ku dalam jurus tadi sudah
cukup sempurna, Kek?" tanyanya lagi. Ingin tahu
penilaian gurunya lebih banyak.
Dongdongka mencibir. "Bagaimana, ya..."
Satria menunggu.
"Tampaknya, kau malah lebih 'sinting' dari
aku! Hua-ha-ha ha!"
Keduanya lalu beranjak meninggalkan pan-
tai. Latihan hari itu selesai. Mereka akan beristi-
rahat sejenak di gubuk Ki Kusumo yang telah di-
bangun kembali oleh keduanya.
"Sebentar!" tahan Dongdongka, baru saja
beberapa tindak mereka melangkah.
Mata kelabu Dedengkot Sinting Kepala
Gundul melirik ke atas. Pada buah kelapa muda
di satu pohon. Buahnya lebat, mengundang sele-
ra.
"Aku haus. Tentu segar kalau kita minum
air kelapa setelah latihan seperti ini. Setuju pada
pendapatku bukan?"
"Setuju!" seru Satria.
"Nah, sebagai murid, tentu kau mau sedikit
menyenangkan gurumu, bukan?"
"Maksudnya?"
"Maksudku, kau yang naik memetik kela-
pa, Tolol!"
Wajah Satria langsung kecut. Soal letih ha-
bis latihan sebenarnya tak menjadi soal. Cuma,
sepanjang pengetahuannya gurunya itu akan
sangat mudah kalau cuma menginginkan buah
kelapa muda. Tak perlu memanjat, dia tinggal
menjentikkan kerikil dengan tenaga dalam. Tentu
kelapa akan berjatuhan. Kenapa harus aku juga
disuruh memetik? Gerutunya dalam hati.
Tapi dilaksanakannya juga perintah sang
guru. Dihampirinya satu pohon. Satria mulai
memanjat. Baru tiga-empat tombak dia meman-
jat, tahu-tahu....
Wush! Bugh!
"Wadau!"
Satria jatuh berdebam. Pantatnya meninju
pasir telak. Sakitnya sampai ke ulu hati. Bahkan
ke jempol kaki. Guru ahli 'kesintingan'nya telah
melepas pukulan jarak jauh ringan. Menyebabkan
pemuda tanggung itu terjatuh.
"Aku tidak menyuruhmu memanjat seperti
kunyuk kurang makan, Cah Gendeng!!" teriak
Dongdongka sengit.
"Tapi tadi Kakek menyuruhku memetik ke-
lapa, bukan?"
"Iya, tapi tidak dengan cara seperti itu!"
Satria menggaruk-garuk kepala. Bingung
juga dia. Disuruh memetik buah kelapa, tapi dila-
rang memanjat. Jadi harus bagaimana. Memeloto-
tinya sampai buah kelapa berjatuhan sendiri? Ah,
itu sih bukan 'sinting' pura-pura lagi. itu sinting
benaran!
"Jangan cuma garuk-garuk kepala seperti
itu! Bangun!" hardik Dongdongka.
Satria bangkit. Tangannya mengurut-urut
pantat yang masih terasa pegal berdenyut.
"Jadi caranya bagaimana, Kek?" tanya Sa-
tria terdengar memelas. Dia meringis-ringis. Bu-
kan karena pegal di sekitar pantatnya. Melainkan
karena tak tahu cara yang dimaui gurunya.
"Pikirkan sendiri! Pokoknya, sore nanti aku
harus sudah meminum air kelapa muda! Awas,
kalau ketahuan kau masih berusaha memanjat!"
ancam si tua bangka.
Seenaknya, Dongdongka lalu ngeloyor per-
gi.
Tinggal Satria garuk-garuk kepala tak gat-
al. Sendiri. Dia diberondong kebingungan. Apa
maunya kakek satu ini? Pikirnya keras.
Pikir! Perintah benaknya, mengingat perka-
taan sang guru. Satria pun berkutat memikirkan.
Berdiri salah, maka dia duduk. Duduk pun salah,
maka dia berdiri lagi. Duduk lagi, berdiri lagi.
Duduk lagi, berdiri lagi. Belum juga dia dapat
mencari cara yang lain agar dapat memetik kelapa
tanpa harus memanjat.
Pakai galah? Bisik hatinya. Mau cari bam-
boo panjang di mana? Di sepanjang pantai ini, tak
ada pohon bambu. Atau dilempari saja dengan
batu? Masa iya kelapa muda yang berserat alot
dapat jatuh hanya karana dilempari?
"Brengsek..." rutuk Satria, dongkol sendiri.
Akhirnya terpikir lagi olehnya sesuatu. Bu-
kankah gurunya dapat dengan mudah menjentik
kerikil kecil untuk menjatuhkan buah kelapa
dengan menyalurkan sedikit tenaga dalam?
Lalu, kenapa harus memerintah muridnya?
Tentu ada maksud di balik itu. Sudah pasti ini
berhubungan dengan pelajaran olah kanuragan
yang telah didapat. Pasti kakek itu hendak men-
gujiku, duga Satria yakin.
Sadar dirinya cuma sedang diuji, Satria
pun mulai mengingat-ingat kembali seluruh pela-
jaran olah kanuragan yang telah didapatnya.
"Aku dapat!" pekik pemuda tanggung ber-
kemauan keras itu akhirnya.
Dia ingat sekarang, pada satu bagian jurus
Dedengkot Gendeng Kegirangan ada penekanan
kekuatan di bagian kaki. Beberapa minggu terak-
hir gurunya memerintah dia untuk melatih kedua
kakinya dengan cara menyeret beban seberat se-
tengah anak kerbau sambil berlari di atas pasir.
Sudah hampir sepuluh pekan setiap hari
hal itu dilakukan. Tentu sekarang sudah terlihat
hasilnya. Cuma saja, sampai saat itu Satria be-
lum menyadari. Untuk mengetahuinya, tentu dia
harus menguji sendiri.
Aku harus mencoba apakah otot-otot kaki-
ku sudah cukup kuat, pikir Satria.
Lalu, dicarinya dua pohon kelapa yang
tumbuh berdampingan yang jaraknya tak begitu
jauh. Setelah sekian lama dicari, akhirnya dite-
mukan juga. Jarak antara keduanya cukup lebar.
Sekitar tiga-empat depa.
Satria pun mulai mempersiapkan diri. Mu-
la-mula, dipusatkan segenap karsa dan rasanya
sejenak. Setelah sampai pada titik kekhusukan
tertentu, dia mencoba menghimpun tenaga di sekujur otot kakinya.
Pada saatnya....
"Hhhh...."
Diiringi hempasan napas, Satria berlari
kuat. Tiba di satu batang pohon, kakinya menje-
jak dan dihentakkan kuat-kuat. Tubuhnya pun
terlempar. Otot kakinya yang terlatih selama ini,
baik selama mengarungi lautan menuju Pulau
Dedemit atau selama berlari dengan beban, mem-
buat hentakan itu demikian bertenaga. Tubuhnya
terlempar. Mencelat seperti seekor bajing ke arah
pohon di sebelahnya.
Ketajaman mata dan ketepatan perhitun-
gannya yang terlatih dalam menghadapi karang di
sekitar Pulau Dedemit membantunya untuk me-
nempatkan dengan tepat pijakan berikutnya pada
batang pohon kelapa.
Begitu kakinya menjejak dan dihentakkan,
tubuhnya mencelat lagi ke pohon kelapa sebelah-
nya. Lebih tinggi dari sebelumnya. Begitu sete-
rusnya, hingga akhirnya dia tiba di satu puncak
pohon kelapa.
"Berhasil!!! Aku berhasiiilll!!!" teriak Satria
kegirangan di atas pohon kelapa.
Dari dalam gubuk, diam-diam Dongdongka
memperhatikan pemuda tanggung itu dengan si-
nar mata terkagum-kagum. Dia bangga punya
murid seperti Satria. Tampaknya aku dan Kusu-
mo telah cukup berhasil mendidiknya, bisik ha-
tinya.
"Kakek aku berhasiiill!!" teriak Satria tidak
puas.
Dongdongka keluar. Pura-pura tidak tahu
dia.
"Mana kelapanya?" bentaknya dari bawah.
Satria melongo seketika. Baru sadar, dia
telah sampai di puncak pohon kelapa mandul!
DELAPAN
MENJELANG tengah malam. Ada debur
ombak. Tiada letih sepanjang waktu, di sepanjang
garis berliku pantai Tanjung Karangbolong. Ada
kedamaian ditawarkan. Bintang-gemintang di
langit. Angin menuai bisiknya.
"Saaaatriaaaa!!!"
Pemuda tanggung yang dipanggil terlonjak
kaget. Dia terjaga dari tidurnya. Matanya menger-
jap-erjap. Sayu karena masih mengantuk. Kalau
tak salah, tadi dalam mimpi dia bertemu bidadari.
Sialnya, kenapa suara bidadari itu begitu cem-
preng seperti kaleng rombeng?
"Satriaaaa!"
E, bujubuneng! Rupanya suara itu bukan
teriakan bidadari cantik dalam mimpinya. Telinga
Satria hafal benar dengan suara panggilan me-
nyakitkan telinga seperti itu. Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, Siapa lagi?
Satria tergopoh-gopoh keluar gubuk. Lang-
kahnya sempoyongan.
"Ada apa, Kek?" tanyanya masih dengan
mata mengerjap-erjap dan wajah kalang kabut.
"Ke sini kau!" perintah Dongdongka. Orang
tua aneh itu sedang duduk mencekung sendiri
menghadap laut. Hampir setiap malam dia mela-
kukan itu. Mungkin sedang merenungi perjalanan
hidup yang telah demikian lelah. Satria meng-
hampiri.
Sebelum sampai, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul memperlihatkan sesuatu di tangannya.
Tanpa berbalik, membiarkan punggung bungkuk-
nya menghadap Satria.
"Kau dapat dari mana benda ini?" ta-
nyanya.
Malam gelap. Cahaya bulan sabit samar-
samar. Satria memperjelas pandangan. Sesuatu
di tangan gurunya adalah benda yang pernah di-
temukannya tanpa sengaja di Pulau Dedemit.
Benda berbentuk bambu kuning sepanjang satu
jengkal. Di ujungnya terdapat hiasan kepala naga
berwarna emas. Di ujung lain berbentuk ekor na-
ga berwarna sama.
(Untuk mengetahui lebih jelas, baca kem-
bali episode sebelumnya : "Geger Pesisir Jawa")!
"O, itu,..," desah Satria sambil menguap le-
bar-lebar.
"Cepat jawab!"
"Aku menemukannya di Pulau Dedemit!"
"Sudah kuduga...."
"Sudah itu saja, Kek? Aku masih ngan-
tuk...."
"Belum! Duduk kau!"
Dalam hati Satria mengeluh. Bidadari da-
lam mimpinya pasti sudah pergi jauh entah ke
mana. Syukur-syukur masih menantinya di ko-
long balai
"Aku ingin bicara padamu tentang benda
ini," ucap Dongdongka. Nada suaranya mendatar.
Tak setinggi sebelumnya.
"Ho-oh... ho-oh...," sahut Satria, dibarengi
kuapan lebar tambahan. Matanya sebentar-
sebentar terpejam. Sebentar terbuka. Angin laut
yang sepoi-sepoi basah memperparah kantuknya.
Bletak!
Matanya kontan mendelik. Jidatnya baru
saja dijitak Dongdongka.
"Buka matamu lebar. Pasang telinga baik-
baik...."
Satria meringis-ringis sambil mengurut ji-
dat. "Iya, Kek...," sungutnya.
"Aku menemukan benda ini di bawah ba-
laimu. Pasti kau yang telah meletakkannya di sa-
na. Kau tahu benda apa ini?" susul Dongdongka
kemudian.
Pemuda tanggung di sisinya menggeleng.
"Barangkali cangklong...."
"Jangan menjawab sebelum kusuruh!"
Tadi ditanya! Gerutu Satria dalam hati.
"Benda ini adalah benda pusaka, tahu?!"
Waduh, mulai lagi penyakit lama gurunya.
Kata 'tahu' di akhir kalimat itu benar-benar me-
nyebalkan! Kenapa dia senang sekali menyebut
'tahu'.... Eh, apa katanya tadi? Satria tercekat.
Kasak-kusuk hatinya tersunat.
"Benda pusaka?" perangahnya. Mulutnya
menganga.
Dongdongka mengangguk.
"Orang terakhir yang memiliki ini adalah
Kusumo."
"Ki Kusumo? Jadi benda pusaka itu milik
Ki Kusumo. Waduh, sungguh aku tak tahu kalau
benda itu milik Ki Kusumo, Kek. Aku justru men-
ganggap benda itu cuma kerajinan tangan bi-
asa...," Satria gelagapan. Takut disalahkan.
Dongdongka tak berkata apa-apa. Ditarik-
nya ekor naga pada ujung benda itu.
Srrt!
Lalu batang yang semula pendek kini me-
manjang. Ada bagian-bagian yang rupanya dapat
ditekan masuk ke dalam. Selain itu, logam ber-
bentuk ekor naga dihubungkan pula oleh ekor pa-
ri kering. Warnanya aneh. Seperti warna pelangi.
Dongdongka berdiri. Dihampirinya bibir
pantai. Di batas pasir di mana ombak tak bisa la-
gi mendaki, dia berhenti. Berdiri diam beberapa
saat. Tak lama berselang, tangannya mulai meng-
gerak-gerakkan benda yang telah berubah seperti
kail di tangannya.
Wuk wuk wuk!
Mata kail logam berbentuk ekor naga ber-
putar, memperdengarkan suara keras menggidik-
kan. Makin lama, suaranya makin santer. Tak se-
perti bergaung. Lebih tepat dikatakan bergemu
ruh.
Satria beringsut mundur. Wajahnya keta-
kutan.
Disangkanya Dongdongka akan mencam-
buknya karena telah lancang membawa benda
pusaka milik Ki Kusumo. Pemuda tanggung itu
makin kecut menyaksikan ekor pari yang berpu-
tar membersitkan warna-warni pelangi di kegela-
pan malam! Berpendar melingkar selebar wuwun-
gan gubuk!
Dan ketika Dongdongka melecutkan benda
di tangannya ke arah ombak.
Cletarr! Wrrr!
Ada cahaya pelangi terbersit dari ujung
kail. Menuju ombak besar dan menerkamnya. Ka-
la itu juga, ombak terpecah. Terbentuk sibakan
memanjang sesaat, membuat dasar pantai terli-
hat!
Mata Satria tak berkedip menyaksikan itu.
Mulutnya menganga lebar-lebar. Kantuknya ter-
bang entah ke mana.
"Kau lihat itu?" tanya Dongdongka tanpa
berbalik atau menoleh.
Si pemuda tanggung yang ditanya cuma
mengangguk-angguk seperti orang tolol.
"Aku hanya mengerahkan sedikit tenaga
dalamku. Hanya sedikit. Namun benda pusaka ini
telah sanggup membelah ombak! Ada kekuatan
sakti yang terkandung di dalamnya.... Benda se-
perti ini tidak boleh jatuh ke tangan orang sesat.
Harus ada pewaris yang tepat untuk menerima
amanat benda ini."
"Kekuatan sakti?" ulang Satria latah.
Dongdongka menghampiri Satria. Orang
tua itu menepuk bahu si pemuda tanggung.
"Benda ini jadi milikmu...," ucapnya datar.
Satria bagai disambar geledek.
"Kusumo telah mewasiatkan padaku bahwa
benda pusaka ini akan jadi milikmu. Jauh hari
setelah kami bersepakat untuk mengangkatmu
menjadi murid kami. Dia memang telah yakin kau
akan menemukan Kail Naga Samudera ini di tem-
pat rahasianya."
Terus saja pemuda tanggung itu melongo.
"Tapi, kau baru siap mendapatkan benda pusaka
ini jika kau sudah selesai berguru denganku!"
* * *
Satria hari itu sedang berjalan di sekitar
hutan perbatasan Pandan-Kutowinangun. Gu-
runya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyu-
ruhnya untuk berburu rusa. Dia hendak makan
enak, makan besar, begitu kata Dongdongka. Tak
mau makan daging kelinci atau ayam hutan yang
lebih mudah didapatkan. Dia cuma mau makan
daging rusa panggang! Kakek tua itu seperti pe-
rempuan sedang ngidam saja!
Ada seekor rusa gemuk sedang asyik ma-
kan semak.
Satria tersenyum. Buruannya menanti. Di-
persiapkannya anak panah. Cukup hanya dengan
sekali bidik, akan didapatkannya rusa jantan ge-
muk itu. Akan dibawanya pulang ke gubuk, biar
gurunya merasa senang, pikirnya.
Agar tak meleset, Satria mengendap-endap
lebih dekat.
Sialnya, dia menginjak ranting kering.
Krak!
Rusa itu pun lari.
"Brengsek!" rutuk Satria. Sekarang, dia ha-
rus mencari lagi buruan yang lain. Tak putus se-
mangat, pemuda tanggung itu meneruskan per-
buruan.
Rejeki memang tak kemana-mana kalau
berjodoh. Rusa yang sebelumnya dilihat ternyata
tak beranjak terlalu jauh dari tempat semula.
Kembali Satria mempersiapkan anak panah. Bu-
sur direntangkan dengan mantap. Jaraknya su-
dah cukup bagus. Mata tajamnya pun sebelah
menyipit, melakukan bidikan.
Wukh!
Busur melepas anak panah. Anak panah
melesat. Dan tepat mengenai si rusa jantan.
Ketika didekati, ternyata ada dua anak pa-
nah telah menembus tubuh hewan itu. Satu milik
Satria. Menancap di sisi kiri rusuknya. Yang lain
entah milik siapa. Menancap di rusuk kanan.
Tak lama berselang keluar pemilik anak
panah.
Seorang prajurit pasukan Demak yang per-
nah mengajari Satria beberapa jurus dasar kepra-
juritan.
"Hey, bukankah kau Satria?!"
"Kang Punggawa?!" seru Satria, mengenali
lelaki itu. "Anak panah ini milik Kakang?" ta-
nyanya kemudian.
Si prajurit mengangguk.
"Jadi bagaimana dengan rusa ini?" tanya
Satria. Dia tak merasa berhak memiliki rusa itu
sendiri.
"Sudahlah. Aku bisa mendapatkan rusa
yang lain. Lagi pula bukan cuma aku yang ditu-
gaskan memburu rusa. Kami butuh beberapa
ekor untuk persediaan makanan pasukan."
"Jadi tugas pasukan Demak menumpas ge-
rombolan begal itu belum juga berhasil?"
Prajurit itu menggeleng. Wajahnya berusa-
ha menyembunyikan kekecewaan.
"Sebenarnya, kami telah berhasil menge-
pung mereka. Namun ada satu hal yang membuat
kami tak bisa berkutik...."
Lalu prajurit itu pun bercerita tentang ke-
jadian beberapa pekan lalu.
Pasukan Demak di bawah pimpinan Sena
Bagaspati waktu itu berhasil mengepung posisi
Laskar Lawa Merah di hutan perbatasan Pandan -
Kutowinangun. Setelah memergoki beberapa
orang anggota Laskar Lawa Merah tanpa sengaja,
pasukan Demak berhasil menemukan pasukan
induk Laskar Lawa Merah.
Hal itu pun berkat siasat cerdik Bagaspati.
Ketika sepuluh anggota begal sedang diburu pa-
sukannya, sengaja Bagaspati memerintahkan se
luruh pasukan untuk menghentikan pengejaran.
Hanya dirinya saja yang melanjutkan pen-
gejaran. Dengan begitu tujuannya berubah men-
jadi pengintaian. Dan memang itu yang diingin-
kan Bagaspati. Dia memang merasa harus men-
gambil alih sendiri tanggung jawab pengintaian
berbahaya tersebut. Sementara tanggung-jawab
memimpin pasukan diserahkan kepada wakilnya.
Dengan cara itu, sepuluh anggota begal
Laskar Lawa Merah menyangka telah lolos dari
kejaran. Sementara dengan diam-diam, Bagaspati
terus menguntit mereka. Bagaspati yakin, suatu
saat, mereka akan membawanya langsung ke pa-
sukan induk di bawah pimpinan gerombolan Dir-
gasura.
Siasat tersebut berhasil membawanya ke
posisi pasukan induk Laskar Lawa Merah di seki-
tar tempat yang dikepung kini. Bagaspati kembali
secepatnya ke pasukannya. Lalu dengan satu ge-
rakan kilat, pasukannya mengepung posisi ge-
rombolan Laskar Lawa Merah.
Dirgasura ketika itu marah besar menda-
pati ke sepuluh anak buahnya menggabungkan
diri. Selaku seorang pimpinan gerombolan begal
yang banyak menelan asam garam peperangan di
beberapa medan, tentu saja dia mengkhawatirkan
penggabungan mereka malah akan menuntun pa-
sukan Demak ke posisi pasukan induknya. Kalau
tak memikirkan kekuatannya akan berkurang un-
tuk menghadapi pasukan Demak, akan dibunuh-
nya kesepuluh anak buah yang ceroboh itu.
Kekhawatirannya terbukti. Sayang, tak ada
tindakan lain dapat dilakukan. Karena sudah ter-
lambat. Pasukan Demak sudah lebih cepat men-
gepung. Namun, Dirgasura adalah seorang ahli
siasat. Sebelum semua itu terjadi, dia telah mem-
perhitungkan kemungkinan tersebut. Satu
'tameng rahasia' telah dipersiapkan. Akan diper-
gunakannya jika keadaan telah begitu mendesak.
Mayangserunilah 'tameng rahasia' itu! Pe-
rempuan muda ayu itu berhasil diringkusnya ke-
tika ke sepuluh anak buahnya terpergok pasukan
Demak.
"Jadi, kami terpaksa mundur teratur ketika
Dirgasura busuk itu mengancam sanderanya.
Perbuatan busuk yang dulu pernah pula dilaku-
kan ketika terjadi pembantaian pasukan kami di
Kadipaten Ketawang.... (Bacalah episode pertama
: "Tabib Sakti Pulau Dedemit")!" Prajurit Demak
yang bertemu dengan Satria mengakhiri ceri-
tanya.
Satria tentu saja tak jelas mengenai sande-
ra perempuan Dirgasura. Sebab lelaki di depan-
nya hanya menceritakan tentang secara gam-
blang. Tanpa menjelaskan rinci siapa perempuan
yang disandera.
"Kakang tahu siapa wanita itu?" tanya Sa-
tria.
"Itulah!" tukas prajurit Demak itu. "Di
samping karena kami tak mungkin memperta-
ruhkan nyawanya, ternyata gadis itu adalah seo-
rang putri Patih Kerajaan Demak!"
"Namanya?" susul Satria. Entah bagaimana
perasaannya mendadak jadi tak enak. Ada sema-
cam firasat bahwa sandera perempuan Dirgasura
dikenalnya. Karenanya dia jadi begitu penasaran.
"Aku pernah mendengar namanya. Seben-
tar...." Prajurit tadi mengingat-ingat. "O, iya!
Mayangseruni."
Tersentaklah Satria bagai disengat puluhan
kalajengking.
"Perempuan sebaya saya, Kang?"
"Iya. Kok tahu?"
"Rambutnya diekor kuda?"
"Iya-iya!"
"Wajahnya ayu, berbaju kuning, bercelana
pangsi merah hati?!"
"Iyaaa! Eh, kau kenal dia, ya?"
"Kacau-balau!!"
"Kacau-balau?! Siapa yang kacau-balau?!"
"Dia itu kawanku, Kang!"
"Kawanmu?!"
"Kalau begitu, Kakang sekarang beri tahu
saya di mana Laskar Lawa Merah berada seka-
rang!"
"Memangnya?"
"Aku akan ke sana. Mau menyelamatkan
Mayangseruni!"
Kening prajurit tadi berkerut. Alisnya ber-
taut. "Kau jangan bergurau?!"
"Ah, Kakang Ini!"
"Ah, kau ini!"
"Sungguh Kang, aku tak bergurau!"
SEMBILAN
SENJA, menjelang malam. Satria mengen-
dap-endap masuk gubuk. Rusa hasil buruannya
diletakkan begitu saja di depan pintu. Kalau sebe-
lumnya dia berniat pulang sambil berteriak-teriak
membanggakan rusa jantan gemuk hasil berburu
kepada gurunya, kini niat itu telah berubah ta-
jam. Dia malah tak ingin kepulangannya diketa-
hui sedikit pun.
Sebelum masuk, dia sempat mengintip dari
celah gubuk. Gubuk sepi. Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul tidak ada. Barangkali sedang tepe-
kur di tepi pantai seperti malam-malam biasa.
Dongdongka tak ada. Artinya kesempatan
besar bagi Satria untuk memulai rencananya.
Rencana yang tercetus begitu saja ketika dia
mendengar penuturan prajurit Demak bahwa
Mayangseruni telah disandera Laskar Lawa Me-
rah.
Di dalam gubuk, Satria mulai mencari-cari.
Ditengoknya kolong balai. Benda yang dicari tak
ada di sana. Ditengoknya pula tempat lain. Tak
ada juga. Semakin lama mencari, pemuda itu mu-
lai kesal. Dia mulai mengobrak-abrlk isi gubuk.
Balai diterbalikkannya. Kaki balai dari bambu di-
telitinya. Siapa tahu benda yang dicari ada di da-
lamnya. Tak ada juga. Napas Satria sudah turun-
naik. Karena kesal.
Bukan karena kecapaian mencari. Seluruh
isi gubuk sudah dibongkar-bongkarnya. Balai su-
dah. Tempayan sudah. Tak ada juga. Dia diam
sebentar. Matanya melayap ke mana-mana, men-
duga-duga di mana lagi tempat yang paling me-
mungkinkan untuk mencari benda yang di-
mauinya.
Di atap? Kepalanya menggeleng. Sulit me-
nyembunyikan sesuatu di atap gubuk yang tak
berlangit-langit.
Dipendam di bawah lantai tanah gubuk?
Satria menggeleng lagi. Gurunya bukan sejenis
makhluk yang suka melakukan pekerjaan menyu-
litkan. Lagi pula tak ada tanda-tanda kalau tanah
di dalam gubuk pernah digali.
Lantas di mana?
Mendadak pintu berderit. Satria menyang-
ka Dongdongka telah kembali. Brengsek kalau
begitu. Dia belum lagi menemukan benda yang
dicari. Kalau kakek itu sudah pulang, dia tak bisa
lagi meneruskan pencarian.
Tak ada yang masuk juga. Rupanya tadi
hanya hembusan angin menggerakkan pintu dari
bilik bambu. Saat itulah, mata si pemuda tang-
gung melihat kerangka di sisi pintu. Kerangka itu
terbuat dari bambu bulan sebesar pergelangan
tangan. Dan ruas bambunya di bagian atas tak
terlalu dalam. Cukup untuk menyembunyikan
benda yang dicarinya.
Bibir Satria menyeringai jelek. Pasti Kakek
Dongdongka menyimpannya di sana! Duganya
yakin. Bagi Satria, pikiran orang tua macam Dedengkot Sinting Kepala Gundul mudah sekali di-
duga, meskipun saktinya seperti siluman pen-
gangguran. Padahal orang lain malah bisa dibuat
pusing tujuh kali tujuh keliling!
Dengan keyakinan luber, Satria buru-buru
memeriksa kerangka pintu. Tepat sekali perki-
raannya! Benda yang dicari-carinya memang dis-
embunyikan di sana oleh Dongdongka. Kali Naga
Samudera.
Satria memang tak main-main ketika ber-
kata akan menolong Mayangseruni di sarang
Laskar Lawa Merah. Kail Naga Samudera dirasa
amat dibutuhkan untuk menghadapi mereka.
Mau bilang apa lagi. Pemuda tanggung satu itu
kerapkali bertindak agak gendeng. Bahkan jauh
hari sebelum berguru pada Dedengkot Sinting.
Paling tidak, begitulah anggapan prajurit Demak
yang bertemu dengan Satria di hutan siang tadi.
Baru saja Satria hendak beranjak, terden-
gar siulan sember, menyenandungkan lagu tak je-
las. Tak lama, terdengar seruan serak Dongdong-
ka.
"Makan besaaarr! Satriaaa! Rupanya kau
berhasil mendapatkan rusa jantan besar. Gemuk
lagi. Kau benar-benar murid berbakti!"
Satria merutuk dalam hati sejadi-jadinya.
Rencananya bisa gagal dengan kepulangan kakek
aneh itu. Cepat-cepat disembunyikan Kail Naga
Samudera di balik punggungnya. Dan mumpung
si tua itu belum masuk ke dalam, dia harus men-
gambil tindakan cepat. Keluar dari jendela belakang.
Berjingkat-jingkat Satria menuju jendela.
Dinaiki nya jendela.
Sewaktu berhasil naik dan hendak turun....
"Ngomong-ngomong, kau berniat minggat atau
apa?"
Dongdongka sudah berdiri bersandar di bi-
lik sisi jendela. Alis matanya terungkit-ungkit.
Kacau balau! Gerutu. Satria dalam hati.
Dia meringis. Terus dia berusaha cengengesan.
Tanpa sedikit pun mimik meyakinkan.
"He he he...."
Dedengkot Sinting Kepala Gundul ber 'he
he he' juga.
"Aku iseng tak ada kerjaan Kek. Jadi, ku-
panjat saja jendela. He he he...."
"Kok bisa begitu, ya? He he he...," ledek
Dongdongka dengan paras yang menyebalkan.
"Berikan Kail Naga Samudera itu padaku!" ben-
taknya. "Cepuuuuaaat!"
Bersungut-sungut, Satria turun dari jende-
la gubuk.
"Tapi aku membutuhkan pusaka ini,
Kek...," rajuknya.
"Ah, tai kucing! Kau belum membutuhkan
benda itu sampai kau benar-benar telah mewa-
riskan seluruh kesaktianku!" tumpas Dongdong-
ka.
Wajah pemuda tanggung itu cemberut.
Asam sekali.
"Ayo serahkan!" paksa Dongdongka. Tan
gannya menjulur ke depan. Jarinya bergerak-
gerak meminta.
"Baiklah," tandas Satria. Tahu-tahu timbul
akal kancilnya. Diserahkan Kail Naga Samudera
seperti tak punya masalah apa-apa. Setelah itu,
dia ngeloyor pergi.
"Mau ke mana kau?!"
"Entahlah!"
"Minggat?!"
"Iya, minggat!"
Wajah Dongdongka berubah pucat. Ming-
gat? Ancaman paling menyeramkan bagi tua
bangka itu.
"Bagaimana dengan panggang rusa kita?"
dicobanya merayu Satria.
"Silakan Kakek menghabiskan sendiri...."
Dongdongka garuk-garuk kepala.
"Bag... bagaimana dengan pelajaran olah
kanuraganmu, Cah Gendeng?"
"Aku tidak mau lagi!"
Meringislah bibir peyot Dongdongka. Itu
sebenarnya hal yang paling ditakuti Dongdongka.
Buru-buru dikuntitnya langkah si pemuda tang-
gung. Di belakang pemuda itu, Dongdongka ber-
tanya lagi.
"Memangnya kenapa?"
"Karena aku mau berhenti!"
"Iya, tapi kenapa?"
"Entahlah...."
"O, kau ingin benda ini, kan?"
Satria menghentikan langkahnya. Diam
diam dia tersenyum di depan Dongdongka. Kakek
itu tak tahu senyum kancilnya. Meski tak meli-
hat, Satria yakin Kakek Dongdongka sedang me-
nyodorkan Kali Naga Samudera di belakangnya.
"Ya," jawab Satria mantap sambil memba-
likkan tubuh cepat.
Tapi dia kecele. Matanya melotot. Sebab
yang disodorkan Dongdongka adalah... buntut ru-
sa jantan!
"Kau ingin benda ini?" ulang Dongdongka.
Dia terkekeh.
"Aku berhenti jadi murid mu!" ketus Satria
sambil membalikkan badan kembali. Dia melan-
jutkan langkah gusar.
"Baik-baik. Kail Naga Samudera boleh kau
pegang. Asal kau memberitahu apa tujuanmu?"
Dongdongka akhirnya menyerah.
"Kalau kau tetap mau aku menjadi murid-
mu, kau harus menyerahkan Kail Naga Samudera
itu padaku tanpa banyak tanya. Tanpa syarat."
Dongdongka manyun. Sebenarnya yang
murid itu Satria atau dia? Sebal juga punya mu-
rid satu ini. Suka membuat pegal perasaan.
Sayang Satria cuma satu-satunya murid pilihan-
nya. Kalau tidak, sudah dicekiknya sejak dulu!
"Nih...."
Pasrah, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
menyerahkan Kail Naga Samudera pada murid-
nya.
Satria meneruskan langkah tergesa setelah
menerima Kail Naga Samudera. Wajahnya cerah.
Seperti ular kadut baru menelan seekor tikus sa-
wah.
"Katanya kau tak pergi kalau kuberikan
benda itu?" protes Dongdongka, tak mengerti.
Satria menoleh dengan senyumnya.
"Aku ada sedikit urusan, Kek. Aku janji
akan kembali. Aku cuma meminjam benda ini se-
bentar saja. Nanti juga kukembalikan," katanya,
berubah sopan.
Dongdongka cuma bisa mengangkat bahu.
"Terserah kaulah...," gumamnya pasrah. Satria
pergi. Pakai melambaikan tangan pula! Bikin
Dongdongka makin sebel saja.
* * *
Menjelang tengah malam.
Setelah kepergian Satria, Dongdongka
mendapat tamu tak terduga-duga. Seorang yang
sudah dikenalnya datang. Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul tidak merasa senang menerimanya.
Bukan karena bermusuhan. Melainkan karena
orang itu adalah Ki Kusumo yang keadaannya
sangat menyedihkan. Bahkan bisa disebut men-
gerikan.
Ki Kusumo datang menyeret-nyeret diri di
pasir. Kedua belah kakinya sudah tak ada! Ku-
tung di batas lutut. Luka-luka yang dideritannya
terlalu parah. Darah tercecer sepanjang seretan
tubuhnya di pasir pantai. Sudah banyak darah
yang telah mengalir keluar. Nyawanya di ambang
maut.
Hanya keteguhan hatinya yang membuat
dia masih sanggup mencapai tempat itu.
Ki Ageng Sulut, yang lebih dikenal dengan
julukan sangar sebagai Iblis Dari Neraka, telah
mengutungi kakinya. Sewaktu datuk sesat itu
menanyakan perihal Kail Naga Samudera pada Ki
Kusumo, dia tak mendapat jawaban sedikit pun.
Kegusarannya meletus menjadi tindakan biadab.
Dia memaksa Ki Kusumo bicara dengan mengan-
cam akan memotong bagian tubuhnya.
Karena sang tabib kenamaan yang sudah
tak berdaya tak juga mau berbicara, maka anca-
man itu pun dilaksanakan. Dengan sabetan
'Tangan Baja Merah'-nya, Ki Ageng Sulut memba-
bat satu kaki Ki Kusumo. Saat menguasai kea-
daan sepenuhnya seperti itu, dengan amat mudah
Ki Ageng Sulut melakukan tindakan keji terhadap
Ki Kusumo.
Sekali lagi Ki Ageng Sulut menurunkan an-
caman. Ki Kusumo harus bicara. Jika tidak, sebe-
lah kakinya yang lain akan menyusul.
Jawaban Ki Kusumo cuma senyum menan-
tang.
Dan sebelah kakinya pun menjadi korban
berikutnya. Sekali ini bukan karena Ki Ageng Su-
lut ingin membuktikan ancamannya. Melainkan
dia dibuat amat murka oleh kekeraskepalaan Ki
Kusumo. Dalam hati kerasnya, bergaung-gaung
keinginan untuk membunuh saja Ki Kusumo.
Namun dia tak bisa melakukannya. Sebab dia ta-
hu benar, jika Ki Kusumo dibunuh, maka kesempatannya untuk mendapatkan pemunah penya-
kitnya akan hilang.
Yakin kalau Ki Kusumo tetap tak akan bi-
cara, akhirnya Ki Ageng Sulut meninggalkan la-
wannya begitu saja. Toh, suatu hari dia bisa me-
laksanakan siasat lain. Meskipun untuk itu dia
harus sedikit lebih lama menderita penyakit men-
jijikkannya.
"Kusumo, kenapa dengan dirimu?!" seru
Dongdongka. Bukan main terperanjatnya sesepuh
itu menyaksikan keadaan Ki Kusumo.
Terengah-engah, terputus-putus, juga ter-
sendat-sendat seolah berkutat mempertahankan
nyawa di ujung tenggorokan, Ki Kusumo membi-
sikkan sesuatu pada Dongdongka.
"Kk.... Kail Naga Samudera. Ki Ageng Sulut
datang untuk mengincarnya...."
Tak sempat menambah satu kata pun pada
kalimatnya, Ki Kusumo sudah jatuh tak sadarkan
diri.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terhe-
nyak.
Bahaya besar sedang mengincar Satria.
Pada saat yang sama, nyawa Ki Kusumo pun da-
lam keadaan terancam. Jika tidak segera ditolong,
tabib ternama itu akan segera mati dan tanah
Jawa akan kehilangan dirinya.
Siapa yang harus didahulukan?
SEPULUH
SATRIA benar-benar tiba di markas terak-
hir Laskar Lawa Merah malam itu. Dia mengen-
dap-endap di antara semak-semak, mencari-cari
tempat di mana Mayangseruni ditahan.
Sebenarnya prajurit Demak yang dite-
muinya di hutan waktu itu tidak memberitahukan
padanya lokasi terakhir gerombolan perampok.
Dianggapnya, Satria hanya main-main. Lagi pula
urusan itu adalah wewenang kerajaan, terlalu be-
sar untuk dibicarakan pada seorang bocah baru
besar seperti Satria. Terutama posisi terakhir
Laskar Lawa Merah.
Satria memang tak tergolong pemuda tang-
gung berhati cebol. Dia tak menyerah untuk men-
cari tahu. Diputarnya otak. Didapatnya akal. Di-
am-diam disatroninya pasukan Demak. Caranya
dengan menguntit prajurit Demak yang dite-
muinya.
Di barak sementara pasukan Demak, Sa-
tria menguping setiap pembicaraan prajurit De-
mak. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka
menyebut-nyebut nama tempat di mana Laskar
Lawa Merah terakhir dikepung.
Kembali ke Satria. Sudah cukup lama pe-
muda tanggung itu mengintai markas darurat
Laskar Lawa Merah. Mayangseruni belum terlihat
juga. Hanya ada anggota begal. Sebagian sedang
duduk tertawa-tawa sambil menenggak arak di
seputar api unggun besar. Sebagian lain tertidur
di bawah pohon. Lainnya berjaga-jaga. Jumlah
mereka tak kurang dari empat puluh orang! Bah-
kan mungkin lebih!
Dirgasura tak tampak di antara mereka.
Besar kemungkinan lelaki setengah raksasa ber-
darah dingin itu menempati tenda kulit satu-
satunya yang berdiri di sana. Dari celah-celah
tenda, menyelinap lamat-lamat cahaya lentera.
Kalau di mana-mana tak ada, besar ke-
mungkinan pula Mayangseruni berada di tempat
yang sama. Tentu Dirgasura merasa harus men-
jaga langsung gadis itu di dalam tendanya, pikir
Satria.
"Atau...." Satria mendesis. Terpikir olehnya
lelaki laknat itu melakukan perbuatan tak seno-
noh pada Mayangseruni. Kalau itu sempat terjadi,
Satria bersumpah akan membunuh Dirgasura
meski nyawanya harus ditukar dengan nyawa
pemimpin gerombolan itu!
Satria harus memastikan apakah Mayang-
seruni tidak kenapa-napa. Dia begitu khawatir
terhadap keselamatannya. Sepertinya dia men-
ganggap Mayangseruni sebagai Tresnasari saja.
Perlahan-lahan, dia mengendap sangat hati-hati.
Dalam jarak lima tombak dari tenda, Satria
berhenti. Dia tak ingin mengambil resiko. Jika
benar Dirgasura berada dalam tenda, maka ge-
rak-geriknya akan diketahui oleh telinganya. Pen-
dengarannya tentu sudah amat terlatih. Terlalu
dekat Satria mengintai, akan semakin besar kemungkinan Dirgasura mengetahui keberadaan-
nya.
Angin bertiup. Menyingkap kerai penutup
tenda. Saat itulah Satria mempunyai kesempatan
untuk mencuri pandangan ke dalam tenda. Ke-
nyataannya, Mayangseruni memang berada di da-
lam tenda. Begitu Juga Dirgasura.
Anehnya, kenapa Mayangseruni tampak
sedang berbincang-bincang akrab dengan Dirga-
sura? Satria yakin dirinya tak salah lihat. Kerai
cukup lama terkuak angin. Cukup waktu baginya
untuk mencuri-curi pandangan dengan jelas. Dia
tak mungkin salah lihat!
"Tak mungkin...," bisik Satria amat perla-
han, tak percaya pada pandangannya sendiri.
Namun sekali lagi, matanya memang tak salah li-
hat.
Kini, menyeruak keraguan dalam dirinya.
Tentang siapa sesungguhnya Mayangseruni. Apa
mungkin Mayangseruni adalah anggota gerombo-
lan Laskar Lawa Merah. Mungkinkah dia mata
dan telinga Dirgasura di luar sana? Kalau me-
mang begitu, masih adakah alasannya menyela-
matkan Mayangseruni?
Keraguan makin menggumpal-gumpal.
Tanpa sadar, Satria tersurut mundur aki-
bat keterkejutannya sendiri. Di belakangnya, se-
batang ranting kering tergeletak. Benda itu terin-
jak tak sengaja.
Krak!
"Hoi, siapa itu?!" terdengar teriakan Dirga
sura dari dalam tenda. Sangar. Bergemuruh. Sa-
tria tercekat.
Sebelum sempat dia menyadari keadaan-
nya, satu deru santer terdengar dari arah samp-
ing. Satria melempar pandangan siaga. Disaksi-
kannya ada mata tombak menuju dirinya. Deras.
"Haih!"
Berkawal satu teriakan, pemuda itu berge-
rak refleks membuang tubuh ke depan. Tombak
luput memangsa dirinya dan menancap di satu
batang pohon. Satria sendiri bergulingan seben-
tar. Ketika bangkit kembali dengan pancangan
kuda-kuda, anak buah Dirgasura sudah menge-
pungnya dengan senjata lengkap. Posisinya be-
nar-benar terjepit. Dia melompat ke arah yang ke-
liru, semata hanya mengikuti dorongan nalurinya
saja. Namun itu malah menempatkan dirinya te-
pat di depan tenda Dirgasura.
Jaringan otot Satria mengeras.
Saraf-sarafnya berdenyut, menggiring kete-
gangan. Memuncak.
Kerai tenda tersingkap oleh terjangan se-
seorang dari dalam. Dirgasura keluar dengan wa-
jah garangnya.
Tak ada waktu lagi untuk menunggu, desis
hati Satria. Pilihannya: mendahului atau didahu-
lui!
Maka, diloloskannya Kail Naga Samudera
dari balik bajunya.
Srttt!
Benda kecil itu memanjang ketika disentak.
Detik berikutnya, Satria mengayunkan mata kail
berbentuk ekor naga ke arah Dirgasura.
Wuk!
Meski dalam keadaan tidak siap, Dirgasura
sanggup menghindari sambaran mata logam ta-
jam yang hendak mengoyak tenggorokannya. Dia
hanya mundur satu tindak. Disusul dengan ter-
kaman ke depan. Satu hentakan tangan ke tanah
dilakukan. Tubuhnya berjumpalitan sekali di
udara dan hinggap dengan kuda-kuda kokoh.
Dirgasura berdiri di depan Satria. Dengan
segala kebengisannya.
"Kau lagi...," desisnya geram, menemukan
Satria.
Satria panik. Biar bagaimanapun dia tetap
pemuda tanggung hijau. Tak banyak pengalaman
tarung dimilikinya. Kepanikan itu mendorongnya
untuk melakukan serangan susulan yang mem-
babi buta.
Wukh wukh wukh!
Kali Naga Samudera diputarnya bagai kese-
tanan. Tenaga sakti berkat perbauran Ramuan
Pulau Dedemit dengan zat langka dasar samudera
yang mengendap dalam dirinya pun terpancar ke-
luar. Tersalur deras ke tangannya, lalu menye-
ruak ke dalam Kail Naga Samudera.
Malam kala itu juga menjadi terang bende-
rang. Warna pelangi menebar dalam jarak satu-
dua tombak. Mengepung tubuh si pemuda tang-
gung. Kala yang sama, beberapa anak buah Dir-
gasura memekik nyaris berbarengan.
Lalu tubuh-tubuh berjatuhan. Ada yang
kehilangan kepala. Ada yang terpotong setengah
badan. Ada yang terbelah dadanya....
Dirgasura sempat menyelamatkan diri den-
gan membuang tubuh sekuat-kuatnya ke bela-
kang. Tak urung kulit perutnya tersayat oleh an-
gin putaran Kail Naga Samudera. Sepertinya, an-
gin putaran senjata pusaka di tangan pemuda
tanggung itu telah menjelma menjadi mata pe-
dang kasat mata!
Ketika sanggup menempatkan diri cukup
jauh dari ancaman maut senjata si pemuda tang-
gung, mata Dirgasura dibuat tak berkedip me-
nyadari benda apa yang berada di tangan lawan
berusia hijaunya.
"Kail Naga Samudera...," desis Dirgasura
terseret, bergetaran. Berdesir hatinya bukan ka-
rena kehebatan si pemuda tanggung, melainkan
karena kebesaran kabar burung tentang Kail Na-
ga Samudera. Yang menggetarkan. Yang menci-
utkan nyali!
Di lain pihak, Satria sendiri dibuat terpe-
rangah-perangah sendiri. Bagaimana mungkin dia
melakukan semua itu? Bagaimana mungkin lima-
enam orang begal menemui ajal seketika dengan
cara yang demikian menggidikkan di tangannya?
Hanya karena kepanikan makin menguasai
dirinya, dia tak bisa lagi mempersoalkan semua
itu. Yang ada dalam benaknya saat itu cuma ge-
muruh nyalang.
Seluruh anak buah Dirgasura memburu ke
arahnya. Dengan senjata masing-masing! Satria
makin kesetanan!
"Dedengkot Gendeng Kegirangan!" serunya
memberi api pada keberaniannya sendiri.
Lalu mengalirlah dalam setiap geraknya ju-
rus-jurus awal milik sesepuh di antara sepuh du-
nia persilatan tanah Jawa : Dedengot Sinting Ta-
nah Jawa.
Satria berpusing sebentar, seakan hendak
membuat kepalanya menjadi pusing sendiri. Keti-
ka putaran liarnya terhenti, wajahnya telah beru-
bah sama sekali. Dari kesan bergaris ketakutan,
kini memperlihatkan kemahagirangan tak teru-
kur. Mimiknya telah menjelma menjadi lekuk wa-
jah orang-orang sinting.
Sekali lagi, dalam keadaan terdesak seperti
itu Satria mengalami ketangguhan tiba-tiba seca-
ra mencengangkan. Jurus-jurus 'Dedengkot Gen-
deng Kegirangan' seperti telah menjadi bagian da-
rah dan dagingnya.
"Hua-hua-ha-hai!"
Menyusul gerakan amat ngawur diperli-
hatkannya. Sebentar dia mencak-mencak. Seben-
tar kemudian dia berjingkat-jingkat, melompat-
lompat, meraung-raung. Setiap pergantian gerak,
berguguran satu demi satu anak buah Dirgasura.
Mati dalam keadaan tak kalah mengerikan dari
korban Satria sebelumnya.
Satria tergelak-gelak. Dia benar-benar ba-
gai telah kerasukan dedemit sinting Alas Roban!
Di tangannya, Kail Naga Samudera bagai
moncong kematian yang setiap saat mematuk
nyawa. Satu demi satu. Padahal 'Dedengkot Gen-
deng Kegirangan' adalah jurus-jurus tangan ko-
song. Namun entah bagaimana Satria mampu be-
gitu saja membuatnya menjadi serangkai gerak
mematikan dengan Kail Naga Samudera di tan-
gannya.
Dirgasura sekali lagi tak berkedip. Lamat-
lamat, dikenalinya jurus-jurus itu. Jurus-jurus
yang tak pernah dimiliki satu pun tokoh persila-
tan tanah Jawa, kecuali Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Lalu kenapa tiba-tiba seorang bocah hi-
jau memilikinya? Bahkan menurut pengamatan-
nya sendiri, jurus-jurus itu telah berkembang dari
bentuk awalnya.
Keterperangahan Dirgasura tak sempat
berlangsung lama. Karena Satria mendadak ber-
gulingan di tanah. Sambil memekik seperti orang
mabuk, sebelah kakinya menanduk ke depan dari
bawah. Perut Dirgasura terancam bobol!
Gerakan amat cepat dan tiba-tiba si pemu-
da tanggung membuat Dirgasura tak sempat lagi
menghindar. Dia hanya bisa melakukan tangki-
san dengan sepasang pergelangan tangannya.
Dakh
"Aahhhk!"
Tubuh Dirgasura terjengkang ke belakang.
Dia sungguh tak menyangka betapa dahysat te-
naga tendangan bocah itu. Tangannya terasa nye-
ri luar biasa. Kalau dia tak menyalurkan tenaga
dalam ke pergelangannya, tentu tulangnya telah
remuk! Padahal jelas-jelas tubuh lawan jauh lebih
kecil dibanding dirinya yang dua kali lebih besar
dari orang dewasa biasa.
Dirgasura cepat menyentak otot perutnya.
Bangkit dengan gaya sentakan seekor ulat jambu.
Sebelum kuda-kudanya kokoh, lawan kecilnya te-
lah menerjang kembali.
Ganas.
Meledak-ledak.
Satria telah menjelma menjadi Dewa Kema-
tian Kecil. Penebar maut berpendar warna pelan-
gi!
Terkaman Satria datang. Seperti ancaman
seekor kucing liar di udara terhadap seekor ular.
Tangannya hendak melakukan tamparan berun-
tun. Seperti ketika dia melakukannya pada ba-
tang pohon kelapa dalam latihan. Wajah, leher,
dan dada Dirgasura sasarannya.
Dirgasura sekali lagi tak punya kesempa-
tan untuk menghindar. Tamparan pertama me-
mang sempat diluputkan. Kepalanya menggeleng
cepat ke sisi. Tamparan kedua yang mengarah ke
lehernya terpaksa harus dipapaki dengan tangan
kanan.
Prak!
Punggung tangan Dirgasura remuk! Dia
menjerit tertahan.
Tamparan ketiga Satria menyusul.
Dirgasura tahu, dadanya akan segera re-
muk seperti tulang punggung tangan kanannya.
Namun bodoh sekali kalau dibiarkan itu terjadi.
Dia memilih untuk menangkis sekali lagi tampa-
ran lawan dengan tangan kirinya. Dengan resiko
akan mengalami keadaan serupa seperti tangan
kanan.
Prak!
"Wuaa!"
Sekali lagi terdengar suara tulang remuk.
Giliran punggung tangan kiri Dirgasura.
Satria seperti tak puas dengan hasil seran-
gannya.
Dia memekik. Entah kegirangan. Entah pe-
kikan kemenangan. Entah. Yang jelas sorot ma-
tanya begitu mengerikan dalam pandangan la-
wan. Meski sudut bibirnya terus memperlihatkan
cengiran sinting.
Hanya dengan satu sentakan kaki yang
sudah terlatih dalam membelah samudera dan
berlari dengan beban di pantai, dia melompat me-
lampaui kepala Dirgasura. Dengan kedua tangan
terluka parah, tak mungkin lagi bagi Dirgasura
untuk menyerang ke bagian atas.
Dirgasura hanya bisa mengikuti gerakan
kilat Satria dengan pandangan seperti orang ter-
cekik. Kejap berikutnya, lehernya benar-benar
terkena cekikan.
Satria telah melibatkan tali Kail Naga Sa-
mudera yang terbuat dari ekor Pari Pelangi ke
leher lawan. Dan satu hentakan penuh dilakukan,
mengandung tenaga sakti meledak-ledak di seku-
jur saraf tangannya.
Sekejapan saja, sepasang bola mata Dirga
sura mendelik penuh. Wajahnya bagai diterjang
gelegak darahnya sendiri. Merah. Sematang men-
tari di ujung samudera. Lidahnya menjulur ke-
luar. Dia meregang-regang. Kedua tangannya tak
kuasa lagi untuk melepaskan jeratan Kail Naga
Samudera di lehernya.
Terlepas erangan tercekik.
Nyawa Dirgasura merayap menuju pintu
kematian. Tubuhnya perlahan-lahan merambat
turun, tersimpuh dan akhirnya jatuh, saat Satria
mengendorkan jeratan Kail Naga Samudera.
Dirgasura tertelungkup tanpa nyawa. Dari
dalam tenda, terdengar pekikan seorang wanita.
"Ayaaah!!"
SELESAI
Segera terbit! Serial Satria Gendeng
dalam episode :
IBLIS DARI NERAKA
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar