..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 22 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE AJI WISA DAHANA

Aji Wisa Dahana

 

Pengantar

Guna memudahkan para pembaca yang 

budiman untuk dapat mengikuti cerita ini secara 

baik, kiranya perlu diselami dulu peristiwa sebe-

lumnya.

Secara tak terduga Mahisa Singkir bersama 

Sarwiyah terjebak di lembah terasing dan menjadi 

tawanan Mpu Galuh. Karena Mahisa Singkir di-

paksa kawin dengan Ika Dewi dan Sarwiyah ka-

win dengan Rakit Cendana.

Kemudian kakak beradik (Rakit Cendana 

dan Ika Dewi) itu walaupun tidak berjanji lebih 

dahulu telah mencampur racun yang bisa me-

nimbulkan rangsang birahi. Akibatnya Mahisa 

Singkir yang tidak menyadari, lalu melakukan 

hubungan suami isteri dengan Ika Dewi. Tetapi 

sebaliknya bagi Sarwiyah beruntung, ia menyada-

ri perubahan dirinya setelah makan. Maka ketika 

Rakit Cendana akan berbuat tidak senonoh, da-

pat ia pukul dadanya dan roboh tewas.

Berbareng dengan saat tersebut, datanglah 

Julung Pujud dan Warigagung dan dapat meno-

long. Padahal Sarwiyah ini adalah calon isteri Wa-

rigagung, maka gadis ini gembira sekali.

Mahisa Singkir pun tertolong oleh Mpu 

Anusa Dwipa dan diajak lari meninggalkan lem-

bah terasing itu.


Dan ternyata lembah terasing itu sedang 

diserbu oleh pasukan Majapahit. Perang campuh 

terjadi dan kebakaran terjadi di sana sini. Pendu-

duk panik dan kebingungan.

Setelah dapat mereka selamatkan ini, Sar-

wiyah mereka ajak menjauhi lembah. Lalu di se-

buah hutan Julung Pujud bertanya, mengapa 

Sarwiyah di lembah terasing itu.

Sarwiyah menceritakan apa yang sudah 

terjadi Kakeknya (Si Tangan Iblis) telah tewas da-

lam tangan Gajah Mada, ketika berkelahi seorang 

lawan seorang. (Peristiwa itu dapat Anda ikuti da-

lam buku "Mencari Ayah Kandung".)

Mendengar penuturan ini Julung Pujud 

dan Warigagung kaget sekali. Mereka berjanji un-

tuk menuntut balas.

Lalu Sarwiyah menceritakan perjalanannya 

sekarang ini berteman dengan adik seperguruan-

nya bernama Mahisa Singkir, dalam usaha men-

cari Julung Pujud dan Warigagung untuk minta 

bantuan.

Mendengar penuturan Sarwiyah melaku-

kan perjalanan bersama seorang pemuda berbu-

lan lamanya, tiba-tiba saja Julung Pujud curiga 

dan meragukan kesucian Sarwiyah. Maka tiba-

tiba ia memerintahkan kepada muridnya, agar 

gadis ini ditangkap lalu ditelanjangi. Sebagai aki-

batnya Sarwiyah menjadi pingsan saking malu. 

(Baca buku berjudul "Jangan Kau Siksa Hatiku").

Julung Pujud melakukan perbuatan itu ti-

dak dengan maksud memalukan maupun meng


hina calon menantunya. Tetapi oleh kecurigaan-

nya, ia ingin memeriksa apakah Sarwiyah masih 

gadis suci atau sudah terjamah laki-laki. Tetapi 

caranya memeriksa sesuai dengan cara dia sendi-

ri. Mengerikan, dan membuat Warigagung sendiri 

merasa tidak tega, 

Namun setelah Julung Pujud mendapatkan 

bukti, Sarwiyah masih perawan suci, maka kakek 

ini menjadi gembira sekali, dan memuji Sarwiyah 

yang pandai menjaga diri dan pantas menjadi 

menantunya. Namun sebaliknya apabila terbukti 

gadis ini sudah tidak suci lagi, ia tidak segan un-

tuk membunuh saat itu juga.

Demikianlah yang terjadi dan telah diceri-

takan dalam buku berjudul "Jangan Kau Siksa 

Hatiku". Dan sekarang, marilah kita ikuti secara 

seksama buku berjudi"! "Aji Wisa Dahana" ini.

Dengan cekatan Warigagung segera memu-

tuskan tali-tali yang mengikat Sarwiyah. Adapun 

gadis ini terisak-isak, malu, tetapi juga merasa le-

ga sekali. Lega, bahwa Julung Pujud tidak ber-

maksud menghina. Dan lega bahwa selama ini di-

rinya pandai menjaga diri. Namun diam-diam ter-

getar hebat juga jantung gadis ini, jika teringat 

pengalamannya dalam kamar tahanan. Hampir 

saja dirinya celaka oleh pengaruh racun perang-

sang yang dicampurkan dalam makanannya oleh 

Rakit Cendana. Hanya berkat kekebalan tubuh


nya terhadap racun, membuat Rakit Cendana ti-

dak berhasil menjamah dirinya. Ngeri juga apabila 

teringat pengalamannya dalam kamar tahanan 

itu.

Sekarang setelah tali-tali yang mengikat 

tubuhnya lepas, dengan tubuh gemetaran ia 

mendeprok di tanah, dalam usahanya menyem-

bunyikan bagian tubuhnya yang rahasia.

Warigagung segera menolong dengan men-

gambilkan pakaian Sarwiyah. Kemudian ia meng-

hampiri gadis ini dengan langkah mundur. Agak-

nya pemuda ini tidak tega melihat calon isterinya 

bugil seperti itu.

- Pakailah!- katanya halus sambil membe-

rikan pakaian itu.

Sarwiyah melirik ke arah Warigagung dan 

Julung Pujud. Gadis ini menjadi lega, ketika me-

lihat guru dan murid itu tidak memandang di-

rinya. Perhatian mereka kembali tertarik kepada 

api yang berkobar di lembah dan juga terdengar 

pula sorak sorai yang gemuruh.

Dalam waktu singkat Sarwiyah sudah sele-

sai berpakaian. Gadis ini dadanya lapang. Namun 

terasa malu juga, jika teringat keadaannya tadi 

ketika sedang diuji oleh Julung Pujud. Ia tidak 

tahu, apa yang terjadi dengan dirinya ketika ping-

san. Namun diam-diam ia menduga pula, tentu 

guru dan murid itu tadi sudah menonton dirinya 

dengan mata melotot dan tak berkedip, karena di-

rinya terikat erat pada sebatang kayu dan terku-

lai.


Apabila menurutkan rasa malu dan pena-

sarannya, ingin sekali dirinya mengamuk. Tetapi 

apabila teringat akan tujuannya mencari guru 

dan murid ini, maka kemudian ia sadar tidak bo-

leh menurutkan kemarahan hati, dan sebaliknya 

malah harus berusaha membuat guru dan murid 

ini senang, agar bersedia membalaskan sakit ha-

tinya kepada Gajah Mada. 

Sarwiyah sudah melangkah menghampiri 

Warigagung dan Julung Pujud. Ia ikut pula me-

mandang ke arah lembah yang sudah menjadi 

lautan api. Diam-diam gadis ini teringat kepada 

Mahisa Singkir. Lalu di manakah pemuda yang 

diam-diam ia cintai itu sekarang?

Sarwiyah amat khawatir akan keselamatan 

Mahisa Singkir. Namun demikian manakah 

mungkin gadis ini berani menanyakan tentang 

pemuda itu? Gadis ini menjadi khawatir apabila 

Warigagung dan Julung Pujud menjadi curiga la-

gi. Khawatir apabila cemburu sekalipun sudah 

terbukti saat ini dirinya masih perawan suci. Te-

tapi apabila teringat akan apa yang dilakukan Ju-

lung Pujud tadi diam-diam Sarwiyah gemetaran 

tubuhnya. Sungguh aneh, mengapa mencari buk-

ti kesucian seorang gadis, harus menggunakan 

cara demikian?

Api di lembah itu masih terus berkobar. 

Langit di atasnya membara dan lembah itu seka-

rang menjadi lautan api. Jika teringat pengala-

mannya di lembah tadi, bagaimanapun ia bergidik 

ngeri. Entah apa yang dialami dalam kamar taha


nan itu, apabila dirinya tidak kebal racun?

- Biadab!- caci makinya dalam hati ia tuju-

kan kepada Rakit Cendana. - Terlalu! Bangsat 

Rakit Cendana! Engkau sekarang sudah mampus 

dan memetik buah perbuatanmu sendiri yang 

terkutuk. -

Akan tetapi tiba-tiba timbul rasa kekhawa-

tirannya. Sebab apabila Rakit Cendana menggu-

nakan racun untuk merobohkan dirinya, apakah 

tidak mungkin Mahisa Singkir mengalami nasib 

yang sama dengan dirinya? Dan apabila perem-

puan itu sudah menggunakan racun yang me-

rangsang itu, manakah mungkin Mahisa Singkir 

dapat bertahan lagi berhadapan dengan Ika Dewi?

Guna menahan gangguan hatinya ini kemudian ia 

menundukkan kepalanya. Ia tidak memandang ke 

arah lembah yang terbakar itu, malah kemudian 

ia menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput.

- Kau letih?- Warigagung bertanya.

- Benar.- Sarwiyah mengangguk.

- Setelah kita tiba di rumah, kau bisa me-

lepaskan lelah sesuka hatimu. Dan untuk men-

cukupi kebutuhanmu, biarlah aku yang akan me-

layanimu.-

- Heh heh hen heh!- Julung Pujud terke-

keh. - Engkau akan melayani kebutuhan calon is-

terimu? Lucu ..... lucu sekali.-

- Apanya yang lucu?- Warigagung kehera-

nan.

- Dimanapun, di dunia ini, sudah kodrat-

nya manusia perempuan yang harus melayani


kebutuhan laki-laki. Tetapi kau malah kebalikan-

nya, akan melayani kebutuhan calon isterimu!-

- Guru! Antara laki-laki dan perempuan 

mempunyai kedudukan yang sama, baik menurut 

kodrat sebagai manusia maupun dalam tata hi-

dup. Sebab mereka sama-sama membutuhkan 

dan sama-sama pula mengharapkan kebahagiaan 

hidup. Perempuan sebagai seorang isteri, harus 

memperoleh tempat yang wajar, harus mendapat 

penghargaan dari suami. Hanya laki-laki yang ti-

dak tahu diri saja, yang beranggapan kedudu-

kannya lebih tinggi daripada perempuan.-

Warigagung berhenti sejenak. Setelah me-

nelan ludah ia meneruskan.

- Guru! Sebaliknya, apabila perempuan 

yang semau gue, tidak dapat menghormati sua-

minya, suka menyeleweng, itupun perempuan ti-

dak tahu diri. Perempuan yang demikian mana-

kah mungkin dapat mendidik anak-anaknya seca-

ra baik dan menjaga ketenteraman rumah tang-

ganya?-

- Heh heh heh heh, engkau seperti burung 

beo belajar bicara,- Julung Pujud terkekeh. - Mari 

sekarang kita pergi. Hemm, pada fajar ini aku 

akan membalaskan sakit hati Si Tangan Iblis, ka-

kek Sarwiyah.-

- Ahhh.....guru akan ke Majapahit dan me-

nantang Gajah Mada untuk bertanding?- Wariga-

gung kaget berbareng heran. 

- Tak usah kita terlalu jauh pergi, Anakku. 

Hemm, tahukah engkau bahwa pasukan yang


menyerbu lembah ini merupakan pasukan Maja-

pahit?- 

- Ohhh, Guru akan membunuh mereka?-

- Mengapa tidak? Aku akan menghancur-

kan pasukan itu. Hanya satu atau dua orang saja 

yang akan aku beri hidup.-

- Untuk apa?-

- Agar orang itu dapat memberi laporan ke-

pada Gajah Mada. Dengan perantaraan orang itu 

aku akan menantang Gajah Mada berkelahi di 

puncak Gunung Tengger pada tiga bulan lagi. 

Berkelahi secara ksatrya, seorang lawan seorang.-

- Ahhh, Guru, manakah mungkin bisa ter-

jadi? Gajah Mada adalah Patih Mangkubumi Ma-

japahit. Seorang yang kedudukannya amat tinggi 

dan penting. Manakah mungkin mau datang seo-

rang diri? Dia tentu akan disertai oleh para pen-

gawal dalam jumlah banyak. Guru, murid menja-

di khawatir sekali.-

- Heh heh heh heh, apakah engkau seka-

rang menjadi seorang penakut, setelah bertemu 

dengan calon isterimu yang manis ini? Heh heh 

heh heh jika engkau khawatir keselamatanmu 

dan sayang pula akan calon isterimu, biarlah aku 

seorang diri yang akan menerjang ke sana.-

- Ihh, tidak!- Sarwiyah berseru. - Paman, 

aku takkan berdiam diri dan aku harus ikut ke 

sana.-

- Apakah sebabnya?-

- Kakekku akan penasaran apabila aku 

menjadi pengecut dan membiarkan Paman berha


dapan dengan bahaya. Apapun yang akan terjadi 

aku menyertai Paman dan menghadapi Gajah 

Mada!-

- Heh heh heh heh, bagus! Engkau calon 

menantuku yang terpuji. Hai Wiragagung. Apakah 

engkau tidak malu kepada calon isterimu sendi-

ri?-

- Guru, baiklah! Di sana Guru akan tahu 

apakah aku ini murid yang baik ataukah murid 

pengecut.-

Julung Pujud terbelalak, namun hanya se-

jenak dan kemudian ia terkekeh lagi. Katanya.

- Heh heh heh heh, apakah yang akan kau 

lakukan di sana?- 

-Jika Guru berhadapan dengan Gajah Ma-

da, apakah murid tidak dapat berhadapan dengan 

yang lain? Hemm, biarlah Guru tahu bahwa mu-

rid bukan penakut. Murid akan memilih salah 

seorang pembantu Gajah Mada yang paling sakti.-

- Jika engkau sampai tak mampu melawan, 

apakah jadinya?-

- Bukankah taruhannya hanyalah mati? 

Apabila toh murid tewas dalam perkelahian itu, 

bukankah murid akan mati dengan puas? Murid 

mati membela nama baik kakek mertua dan da-

lam usaha membalaskan sakit hati keluarga.-

- Ha ha ha ha, engkau jangan mengacau 

tak keruan.-

Warigagung melongo, tak tahu maksud gu-

runya.

- Hemm, Warigagung! Engkau sekarang


sudah mengerti, dirimu sekarang sudah lain den-

gan keadaanmu dua tahun lalu mau pun kema-

rin. Sekarang engkau sudah mempunyai calon is-

teri cantik jelita. Lalu bagaimanakah dengan Sar-

wiyah apabila kau tewas dalam perkelahian itu?-

Warigagung memalingkan mukanya me-

mandang Sarwiyah. Akan tetapi gadis ini menun-

dukkan kepala, sehingga tidak membalas pan-

dang mata calon suaminya. Warigagung menghela 

napas pendek, sekarang ia menjadi ragu sehingga 

tidak kuasa membuka mulut.

Tetapi apakah yang terjadi dengan Sar-

wiyah sekarang ini? Dalam dada gadis ini seka-

rang terjadilah pergulatan dan pertentangan batin 

yang hebat sekali.

Apabila mengingat kata-kata kakeknya 

yang ingin membalas dendam kepada Gajah Ma-

da, sesungguhnya hati gadis ini terharu berba-

reng bangga. Dan apabila Julung Pujud dan Wa-

rigagung sampai tewas dalam perkelahian itu, se-

harusnya dirinya sendiri harus pula berani men-

gorbankan nyawa.

Namun tiba-tiba dalam benak gadis ini ter-

bayang kembali wajah tampan Mahisa Singkir 

dan wataknya yang sabar dan sikapnya yang 

amat sopan. Dalam dada gadis ini tiba-tiba saja 

malah timbul harapannya, agar Warigagung tewas 

dalam perkelahian yang direncanakan itu. Sebab 

bagaimanapun dalam hatinya tidak sepercikpun 

api cinta kepada Warigagung. Ia setuju dipertu-

nangkan dengan pemuda ini tidak lain adalah


hanya menuruti kemauan kakeknya saja. Ternya-

ta sekalipun ia sudah berusaha mencintai Wari-

gagung, usahanya gagal. Api cinta itu tidak per-

nah menyala dan benih cinta itu tidak mau tum-

buh. Lebih lagi sekarang, setelah dadanya terisi 

oleh bibit cinta kepada Mahisa Singkir, harapan 

satu-satunya sekarang ini tidak lain hanya ingin 

hidup bersama, membentuk keluarga bahagia 

dengan Mahisa Singkir.

Sarwiyah tidak membuka mulut dan Wari-

gagung mengiakan. Kemudian dua orang muda 

ini mengikuti Julung Pujud meninggalkan tempat 

ini.

Dugaan Julung Pujud bahwa pasukan Ma-

japahit yang dipimpin Mpu Kepakisan belum jauh 

pergi memang tepat. Pasukan itu walaupun dalam 

waktu singkat sudah dapat melumpuhkan lawan, 

sehingga Mpu Galuh dan Hesti Pawana tewas, 

namun yang harus diurus memang amat banyak.

- Bagaimanakah Sarwiyah? Bagaimanakah 

perasaanmu, jika aku sampai tewas dalam perke-

lahian untuk membalaskan sakit hati kakekmu?-

Pertanyaan Warigagung ini membuat Sar-

wiyah terkesiap. Ia mengangkat mukanya, yang 

agak pucat.

Melihat wajah Sarwiyah yang pucat itu, Ju-

lung Pujud terkekeh gembira. Sebab kakek ini 

menduga, kepucatan wajah gadis ini karena rasa 

khawatir apabila calon suaminya sampai tewas. 

Demikian pula Warigagung, pemuda ini menduga 

sama.


Lebih lagi ketika melihat gadis ini tidak 

membuka mulut dan hanya mampu menggeleng. 

Dugaan guru dan murid ini semakin kuat, jelas 

gadis ini tidak menginginkan Warigagung sampai 

tewas.

- Sudah, sudah, Sarwiyah, engkau tak per-

lu khawatir dan sedih!- ujarnya dengan nada 

menghibur. - Semua ini baru merupakan rencana 

saja. Aku belum tahu, Gajah Mada sedia ataukah 

tidak melayani tantanganku. Hemm, sekarang 

marilah kita berangkat. Aku percaya, pasukan 

Majapahit itu belum jauh pergi.-

Pasukan itu lebih dahulu harus membakar 

semua jenazah yang tewas, baik pada pihak la-

wan maupun pihak sendiri. Disamping itu sesuai 

dengan perintah Gajah Mada, mereka yang me-

nyerah harus diperlakukan sebaik-baiknya dan 

dibawa ke Majapahit

Di antara tawanan yang jumlahnya amat 

banyak itu, sebagian besar terdiri atas wanita dan 

anak-anak. Para tawanan itu di sepanjang jalan 

selalu menangis akibat kesedihan hatinya, oleh 

tewasnya suami, ayah atau anaknya. Karena me-

nangis maka perjalanan menjadi lambat sekali. 

Beberapa orang prajurit yang bertugas menjaga 

para tawanan, mulai naik darah. Mereka kemu-

dian membentak-bentak dan ada pula yang tidak 

kuasa lagi menahan tangannya dan main pukul.

Untung hal ini cepat diketahui oleh Rangga 

Premana, putera Gajah Mada yang menyertai Mpu 

Kepakisan. Sekalipun sekarang ini Rangga Premana menderita luka pada pundaknya, namun 

pemuda ini tidak dapat tinggal diam. Ia cepat ber-

tindak sekalipun tanpa kekerasan, setelah men-

dengar laporan itu.

Rangga Premana yang semula mengendarai 

kuda berjajar dengan Mpu Kepakisan di bagian 

depan, pemuda ini menghentikan langkah ku-

danya untuk menunggu pasukan yang bergerak 

di belakang. Ia baru menggerakkan kendali ku-

danya lagi, setelah pasukan penjaga tawanan itu 

tiba di sampingnya. Dengan demikian pemuda ini 

sekarang dapat mengawasi langsung semua ta-

wanan. Rangga Premana cukup bijaksana. Ia ti-

dak menegur maupun marah kepada para praju-

rit, dan ia hanya berdiam diri dan mengikutinya. 

Sekalipun demikian, pengaruhnya amat besar. 

Para prajurit tawanan itu sekarang tidak berani 

main pukul dan galak lagi.

Waktu sudah fajar. Pasukan yang bergerak 

menuju Majapahit itu baru tiba di Rambipuji. 

Mendadak pasukan itu berhenti dan Rangga Pre-

mana yang dibelakang keheranan.

Pada saat itu seorang lurah prajurit berla-

rian menghampiri Rangga Premana. Setelah 

memberi hormat, lurah prajurit ini melapor, per-

jalanan terhenti. Di depan telah menghadang seo-

rang kakek kerdil yang rambutnya awut-awutan 

tidak keruan.

Rangga Premana kaget. Ia kemudian berbi-

sik dan menugaskan lurah prajurit itu supaya 

mengawasi para tawanan. Kemudian ia menggerakkan kudanya ke depan. Dan ternyata laporan 

itu benar belaka, ia melihat Mpu Kepakisan su-

dah berdiri berhadapan dengan kakek kerdil yang 

tertawa terkekeh-kekeh.

- Heh heh heh heh, siapakah engkau kakek 

tua?- tanya kakek kerdil ini yang bukan lain Ju-

lung Pujud.

Mpu Kepakisan memandang tajam kepada 

Julung Pujud. Timbul perasaan heran dalam hati 

kakek ini, apakah sebabnya Julung Pujud berani 

menghadang pasukannya? Orang yang waras 

ataukah gila? Namun sebagai kakek yang berjiwa 

besar, ia menjawab juga.

- Aku yang disebut orang dengan nama 

Mpu Kepakisan. Siapakah engkau dan apa mak-

sudmu menghadang perjalanan kami?-

Julung Pujud mengerutkan alisnya yang 

sudah putih mendengar nama Mpu Kepakisan. Ia 

memang sudah pernah mendengar nama ini, dan 

terkenal sebagai tokoh sakti mandraguna, yang 

menjadi sahabat Gajah Mada.

Namun demikian Julung Pujud tidak men-

jadi gentar. Kakek ini malah ketawa terkekeh-

kekeh.

- Heh heh heh heh, sungguh beruntung 

pagi ini aku dapat berhadapan dengan tokoh sakti 

bernama harum. Ha ha ha ha, kau ingin tahu 

namaku? Baik! Aku inilah yang disebut orang 

dengan nama Julung Pujud, orang Belambangan.-

- Kau.....kau.....Julung Pujud?- Mpu Kepa-

kisan kaget.


Nama Julung Pujud justru amat terkenal, 

semenjak puluhan tahun lalu. Hanya sayang se-

kali tokoh sakti ini memilih jalan sesat, dan tidak 

segan-segan mengganas kepada orang yang sama 

sekali tidak berdosa. Julung Pujud melakukan 

kekejaman dan membunuh orang justru untuk 

hiburan dan kesenangan.

- Heh heh heh heh, kau kaget?- ejek Ju-

lung Pujud.

- Hemm, apakah maksudmu menghadang 

kami?-

- Maksudku sudah jelas. Kenapa masih ju-

ga bertanya? Aku sengaja menghadang perjala-

nanmu pagi ini bukan lain karena aku tertarik. 

Pasukan yang banyak jumlahnya ini dan bergerak 

waktu fajar pula, pulang dari mana?-

Julung Pujud sengaja bertanya dan pura-

pura tidak tahu. Tetapi Mpu Kepakisan yang se-

karang ini berkedudukan sebagai panglima, ber-

sikap hati-hati. Ia belum tahu maksud Julung Pu-

jud yang sebenarnya. Kalau berbuat baik adalah 

syukur, tetapi kalau jahat tidak boleh sembaran-

gan.

- Hemm,- dengus Mpu Kepakisan dingin. -

Perjalanan kami pada pagi ini tidak ada sangkut 

pautnya dengan kau. Maka maafkanlah aku tidak 

dapat memberi keterangan.-

Julung Pujud berjingkrakan saking amat 

marah. Ia mendelik dan tiba-tiba rambutnya yang 

awut-awutan itu berdiri seperti sapu lidi dan ke-

mudian bentaknya menggeledek.


Jahanam! Setan Alas! Aku bertanya baik-

baik, jawabanmu menyebabkan orang marah. 

Huh! Apakah sangkamu aku tidak tahu, kau baru 

saja pulang menumpas sarang Mpu Galuh?-

Mpu Kepakisan kaget sekali mendengar ini. 

Tetapi ia malah semakin hati-hati bersikap.

Karena ia cepat dapat menduga kakek ker-

dil ini tentu salah seorang sahabat Mpu Galuh, 

dan agaknya kakek ini menghadang ingin membe-

la Mpu Galuh.

- Hemm, kalau sudah menghadang, apa-

kah maksudmu ?-

- Heh heh heh heh, maksudku jelas. Aku 

tahu pasukan ini pasukan Majapahit. Dan aku 

tahu pula, apa yang kau lakukan ini sesuai perin-

tah jahanam busuk Gajah Mada!-

- Bangsat! Tutup mulutmu yang busuk!-

teriak Rangga Premana yang menjadi marah, ke-

tika mendengar kakek kerdil itu berani mencaci 

maki ayahnya.

Julung Pujud mendelik ke arah Rangga 

Premana. Bentaknya.

- Hai orang muda yang lancang mulut. Sia-

pakah engkau ini?-

- Hemm, dengarkanlah baik-baik. Namaku 

Rangga Premana, dan aku putra Maha Patih Ga-

jah Mada –

- Kau, kau anak Gajah Mada? Heh heh heh 

heh, sungguh kebetulan sekali. Engkau harus ku-

tangkap hidup-hidup!-

Belum juga lenyap suara Julung Pujud,


kakek kerdil ini sudah melesat ke arah Rangga 

Premana. Gerakannya sungguh cepat. Dan kare-

na tubuhnya memang kerdil, maka tubuhnya 

hampir tidak tampak.

Rangga Premana terkesiap. Ia sudah me-

loncat turun dari kuda dan secepat kilat meng-

hunus pedang. Sring......

Seleret sinar panjang dan warna ungu me-

nyambar. Inilah pedang pusaka Tunggul Naga. 

Pedang pusaka milik Gajah Mada yang dipinjam-

kan anaknya supaya dalam tugasnya lebih man-

tap. Namun demikian sejak Rangga Premana ber-

tugas menyertai Mpu Kepakisan ini ia belum per-

nah menghunus pedang pusaka itu. Ketika me-

nyerbu ke sarang Mpu Galuh, ia hanya menggu-

nakan pedang biasa. Kenapa? Ia patuh pesan 

ayahnya, tidak boleh sembarangan menggunakan 

pedang pusaka itu kalau tidak terancam oleh ba-

haya.

Tetapi sekarang ini ia sadar berhadapan 

dengan bahaya. Maka tidak ragu-ragu lagi sudah 

mencabut pedang pusaka Tunggul Naga itu.

Plakkk!.......

Benturan tenaga terdengar cukup keras 

dan Rangga Premana terbelalak. Ternyata Mpu 

Kepakisan sudah bertindak tangkas ketika meli-

hat Julung Pujud menerjang ke arah Rangga 

Premana. Kakek sakti itu tidak mau tinggal diam 

dan sudah melompat menyambut pukulan kakek 

kerdil itu.

Akibat dua orang kakek ini turun ke bumi


dan terhuyung ke belakang beberapa langkah. 

Kemudian dua orang kakek ini berdiri saling 

mendelik. Agak lama mereka tukar pandang se-

perti sedang menaksir.

- Heh heh heh heh, bagus!- Julung Pujud 

terkekeh. - Agaknya engkau cukup alot. Sudah 

lama sekali aku tidak pernah bertemu tanding, ha 

ha ha ha. Pertemuan kita sekarang ini sungguh 

menggembirakan hatiku!-

Mpu Kepakisan hanya berdiam diri dan 

hanya sepasang matanya tak berkedip, siap siaga 

menghadapi segala kemungkinan.

Rangga Pramana yang sudah bersiap diri 

dengan pedang pusaka, cepat memerintahkan pa-

sukan untuk mundur. Kemudian membentuk ba-

risan bentuknya seperti payung agung. Semua itu 

bukan lain guna menjaga segala kemungkinan, 

apabila kakek kerdil ini tidak sendirian.

- Hai Mpu Kepakisan! Agaknya engkau 

menjadi besar hati berhasil menghancurkan sa-

rang Mpu Galuh. Heh heh heh heh, engkau jan-

gan mimpi. Engkau takkan dapat pulang ke Ma-

japahit dalam keadaan masih bernyawa.-

- Jangan membuka mulut sembarangan!-

bentak Mpu Kepakisan. - Apakah maksudmu se-

benarnya? Apakah engkau sekarang ini membela 

pemberontak itu dan sengaja memusuhi Majapa-

hit?-

- Heh heh heh heh, antara aku dan Mpu 

Galuh tidak ada hubungan sama sekali. Aku ada-

lah aku, bukan pembela Majapahit dan bukan


pula pemberontak. Akan tetapi aku mempunyai 

persoalan pribadi dengan Gajah Mada. Heh heh 

heh heh, engkau dan seluruh pasukan harus 

mampus pada pagi ini.-

- Uh sombongnya! Mari kita coba saja, sia-

pakah yang harus roboh dan mampus!-

Mpu Kepakisan melangkah maju perlahan, 

ke arah kiri. Di pihak lain Julung Pujud juga ber-

gerak maju ke arah kiri. Langkah dua orang ka-

kek sakti ini perlahan saja, tetapi sekalipun de-

mikian merupakan langkah yang teratur. Be-

danya, kalau lingkaran dari langkah yang dibuat 

oleh Mpu Kepakisan tidak begitu lebar, lingkaran 

yang dibuat Julung Pujud lebar.

Untuk beberapa saat lamanya dua orang 

kakek ini terus berputaran, seakan dua ekor 

ayam jantan yang siap berlaga, saling menaksir 

dan saling mencari kesempatan baik guna mener-

jang.

Mpu Kepakisan sadar kakek kerdil yang ia 

hadapi sekarang ini bukan tokoh sembarangan, 

tetapi tokoh jahat, licik dan penuh tipu muslihat. 

Mpu Kepakisan belum lupa terjadinya peristiwa 

yang menggemparkan belasan tahun lalu. Tidak 

sedikit jumlahnya orang tewas dalam tangan ka-

kek kerdil ini.

Keganasan kakek ini baru kemudian sirap, 

setelah Mpu Anusa Dwipa turun tangan. Julung 

Pujud dihajar babak belur, dan selanjutnya kakek 

ini menghilang tanpa kabar. Sekarang dengan 

munculnya Julung Pujud, diam-diam Mpu Kepakisan khawatir juga kalau kekacauan akan timbul 

lagi oleh keganasan Julung Pujud.

Dalam kedudukannya sebagai salah seo-

rang pejuang dan membela kepentingan Majapa-

hit, maka merupakan kewajibannya pula untuk 

memberantas siapapun yang berbuat jahat.

Tiba-tiba Julung Pujud sudah menggeram 

sambil meloncat tinggi, dan dua tangannya berge-

rak ke depan.

Plak!..... plak!

Benturan telapak tangan dua orang sakti 

ini di udara terdengar amat nyaring. Dua tubuh 

orang sakti itu terpental ke belakang lagi bebera-

pa langkah. Mereka kemudian berdiri tegak saling 

berhadapan dalam jarak kira-kira empat depa. 

Dua pasang mata saling mendelik, tetapi tampak 

napas dua orang tua ini agak sesak, dada mereka 

kembang kempis.

Apa yang sudah terjadi memang diluar ta-

hu orang yang melihat. Benturan telapak tangan 

ini merupakan benturan yang tidak main-main, 

tetapi benturan tenaga sakti tingkat tinggi yang 

hebat sekali. Benturan yang dilambari tenaga ini 

akibatnya hebat. Isi dada masing-masing tergun-

cang hebat dan sesak.

Ternyata dalam mengukur tenaga tadi, an-

tara Mpu Kepakisan dengan Julung Pujud dalam 

keadaan seimbang. Sadar bertemu dengan tand-

ing, masing-masing bertindak lebih hati-hati. Ma-

ka setelah sesak dadanya hilang, Julung Pujud 

sudah menerjang maju lagi dengan pukulan dan


cengkeram.

Memang bukan sembarang pukulan, kare-

na pukulan ini mengandung racun, yang disebut 

ilmu pukulan Wisa Dahana atau Aji Wisa Dahana. 

Baik sambaran angin maupun akibat dari puku-

lan ini akan menyebabkan lawan keracunan dan 

panas seperti terbakar.

Sesungguhnya memang Aji Wisa Dahana

yang amat beracun itu, yang selalu dibanggakan 

dan mengangkat namanya di tempat cukup tinggi 

sebagai tokoh sakti. Disamping itu sekarang ini 

Julung Pujud ingin pula agar dapat mengalahkan 

Mpu Kepakisan dalam waktu singkat. Dan ia sa-

dar pula, apabila berhasil merobohkan kakek ini, 

ia masih harus berhadapan dengan para prajurit 

yang banyak jumlahnya dan tidak gampang men-

gatasi.

Disamping semua ini iapun sadar sekarang 

ini Warigagung hadir. Ia sudah amat kenal watak 

Warigagung yang setia dan patuh kepada guru. 

Kalau melihat dirinya dikeroyok orang atau roboh 

di tangan Mpu Kepakisan, bocah itu takkan dapat 

dicegah lagi, tentu mengamuk. Dan jika sampai 

terjadi demikian, keselamatan murid tunggalnya 

itu terancam.

Pertimbangan-pertimbangan ini menye-

babkan Julung Pujud langsung menggunakan Aji 

Wisa Dahana yang beracun itu, menghadapi Mpu 

Kepakisan. Maksud yang terutama agar dapat 

mengalahkan lawan dalam waktu singkat. Tetapi 

sungguh sayang, yang ia hadapi sekarang ini seorang tokoh sakti sahabat Gajah Mada yang sakti. 

Maka perkelahian secara ksatrya sekarang ini 

berlangsung cepat dan sengit,

Saking cepatnya dua kakek ini bergerak, 

menyebabkan pandang mata mereka menjadi ka-

bur dan kepala mereka menjadi pening. Jangan 

lagi para prajurit itu sanggup mengikuti apa yang 

terjadi. Malah Rangga Premana yang telah cukup 

tinggi ilmu kesaktiaannya, masih tidak sanggup 

untuk mengikuti perkelahian sengit itu.

Tanpa terasa matahari sudah bersinar. Se-

bagian dari pasukan itu, saking lelah dan men-

gantuk, telah tertidur di tempat dalam sikap du-

duk atau berdiri bersandar pada batang pohon.

Para tawanan wanita dan anak-anak pun, 

yang semula pada menangis, mendapat kesempa-

tan melepaskan lelah dan tidur di tanah dan re-

rumputan.

Hanya Rangga Premana dan beberapa per-

wira prajurit Majapahit saja yang masih kuasa 

bertahan, sekalipun terasa amat lelah dan men-

gantuk.

Perkelahian antara Julung Pujud dengan 

Mpu Kepakisan telah berlangsung hampir seten-

gah hari. Tetapi ternyata dua orang itu masih te-

tap tangguh.

Diam-diam Julung Pujud heran sekali me-

lihat kegagahan Mpu Kepakisan. Pukulan-

pukulannya yang mengandung racun hebat, teta-

pi seperti tidak berdaya terhadap kakek itu. Dan 

herannya pula mengapa tenaga lawan tidak juga


berkurang dan serangannya tetap hebat dan ber-

bahaya.

Kenyataan yang tidak terduga ini menye-

babkan Julung Pujud harus berpikir dan berpikir 

lagi. Munculnya matahari bumi, bagaimanapun 

akan memberikan keuntungan pihak lawan dan 

dirinya rugi. Apabila secara pengecut Mpu Kepa-

kisan memerintahkan para prajurit itu menge-

royok. Walaupun dirinya dapat membunuh pulu-

han orang, tidak urung keselamatannya sendiri 

sulit ia pertahankan.

Sing.....sing.....wir.....wir......

Beberapa sinar hitam tiba-tiba saja me-

nyambar dari tangan kiri Julung Pujud ke arah 

Mpu Kepakisan. Sambaran sinar hitam ini menge-

jutkan kakek itu. Karena itu ia cepat melenting 

tinggi di udara sambil mengebutkan telapak tan-

gan kiri dan kanan secara bergantian. Angin yang 

dahsyat menyambar ke bawah hingga sinar hitam 

itu semuanya telah runtuh ke tanah.

- Kurang ajar! Lambat sedikit, nyawaku 

tentu melayang!- desisnya setelah berdiri di bumi, 

sambil memandang Julung Pujud yang berlarian 

seperti terbang, meninggalkan tempat perkela-

hian.

- Apakah sebabnya tidak Kakek kejar?-

tanya Rangga Premana sambil menghampiri Mpu 

Kepakisan.

- Hemm, tak ada gunanya!- sahut Mpu Ke-

pakisan sambil menghela napas lega.

Akan tetapi tiba-tiba kakek ini tubuhnya


limbung, terhuyung dan kemudian jatuh terdu-

duk. Dan kakek ini kemudian bersila di tanah 

sambil memejamkan mata.

- Kakek.....kau.....kau terluka!- tanya pe-

muda ini dengan gugup dan kaget.

Mpu Kepakisan tidak menyahut. Orang tua 

ini hanya mengangkat tangan kirinya, memberi 

isyarat agar pemuda itu tidak mengganggu dirinya 

lagi. Melihat isyarat itu Rangga Premana segera 

mundur dan tidak berani mengganggu lagi.

Tak lama kemudian Mpu Kepakisan sudah 

membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Ketika 

melihat Rangga Premana masih berdiri tidak jauh 

dari tempatnya duduk dan masih memegang pe-

dang terhunus.

Mpu Kepakisan tersenyum, katanya halus.

- Sarungkan pedangmu! Bahaya sudah le-

wat!-

- Apakah Kakek terluka?- tanya Rangga 

Premana sambil menyarungkan pedangnya.

- Hemm, tidak!- sahut kakek ini sambil ter-

senyum. - Akan tetapi pengaruh dari pukulan Ju-

lung Pujud yang beracun itu amat berbahaya. Ji-

ka tidak dapat kuusir, akan dapat menimbulkan 

bahaya bagi diriku.-

Rangga Premana terbelalak. Kemudian ia 

bertanya.

- Apakah yang Kakek maksudkan pukulan 

beracun itu?-

- Hemm, Julung Pujud mempunyai nama 

harum sejak puluhan tahun lalu, karena memiliki


ilmu pukulan beracun dan berbahaya bagi lawan. 

Apabila lawan telah menghirup cukup banyak 

hawa beracun dari sambaran pukulannya, orang 

itu bisa tewas. –

Rangga Premana mengangguk-anggukkan 

kepala dan diam-diam bergidik. Betapa ba-

hayanya pukulan yang mengandung racun itu.

- Begitu jarum beracun yang digunakan 

sebagai senjata rahasia itu, siapapun yang terluka 

oleh jarum itu, sulit ditolong lagi jiwanya.- Mpu 

Kepakisan menambahkan. - Hemm, aku tidak da-

pat membayangkan apa yang akan terjadi kalau 

saja dia tadi menghamburkan jarumnya yang be-

racun itu ke arah prajurit. –

Rangga Premana menghela napas pendek. 

Ia mengerti ucapan Mpu Kepakisan. Memang sulit 

sekali ia duga, bagaimanakah akibat dari jarum 

yang beracun itu, kalau dipergunakan menyerang 

para prajurit. Tentu akan segera jatuh korban pu-

luhan orang. Sekalipun demikian ia merasa lega 

pula bahwa Julung Pujud sudah melarikan diri, 

sebelum menimbulkan korban.

- Hem, aku tahu maksud Julung Pujud 

menghadang rombongan kita ini,- ujar Mpu Ke-

pakisan lagi. - Aku hanya mengerti amat sedikit, 

bahwa Julung Pujud menyinggung nama ayahmu. 

Persoalan apakah yang menyebabkan Julung Pu-

jud membenci ayahmu?-

- Kalau Ayah banyak dimusuhi orang me-

mang tidak mengherankan.- Rangga Premana 

menyahut. - Bukankah tidak sedikit orang yang



menjadi iri akan kedudukan Ayah yang terlalu 

tinggi di Majapahit? Kakek, semua orang tahu 

bahwa Ayah bukan keturunan bangsawan. Seja-

rah yang belum lama berlalu telah mencatat, ten-

tang terjadinya pemberontakan Dharmaputra. 

Pada waktu itu kedudukan Ayah baru sebagai 

Bekel Bhayangkara. Jelas bahwa di antara ketu-

runan bangsawan Majapahit selalu dilanda perpe-

cahan, akibat saling berebut kedudukan. –

Rangga Premana berhenti dan sejenak ke-

mudian lanjutnya.

- Dan kiranya Kakek tidak akan menutup 

mata, sikap Ayah yang demikian keras dalam me-

nunaikan tugas. Tidak peduli siapapun apabila 

salah harus memperoleh hukuman setimpal. Ten-

tu saja sikap Ayah yang keras dalam usaha mem-

bawa Majapahit ke puncak kejayaan ini, menim-

bulkan rasa tidak senang di hati mereka yang 

memang sudah iri hati. Kakek, agaknya peristiwa 

ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Bu-

kanlah peristiwa pribadi antara Ayah dengan 

orang bernama Julung Pujud itu.-

Mpu Kepakisan mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Katanya. - Ya! Orang besar yang jujur 

dan bijaksana serta mengabdikan diri secara jujur 

untuk kepentingan masyarakat dan negara, bi-

asanya malah banyak orang memusuhi. Hal itu 

tidak lain, terdorong rasa dengki dan iri hati. 

Keinginan untuk memperoleh kedudukan setinggi 

itu dengan memfitnah apabila memang perlu.-

Mpu Kepakisan menebarkan pandang ma


tanya ke arah pasukan dan ia melihat sebagian 

besar dari mereka tertidur di tempatnya. Melihat 

ini ia menghela napas dan terharu. Ia mengerti 

dan sadar, mereka kepayahan. Maka ia biarkan 

pasukan ini untuk sementara istirahat.

- Rangga,- katanya lagi. - Perintahkan ke-

pada semua perwira, pasukan kita perlu istirahat 

di tempat ini juga guna melepaskan lelah.-

Rangga Premana melaksanakan pula perin-

tah panglima ini. Dan ternyata kebijaksanaan 

Mpu Kepakisan ini disambut oleh seluruh pasu-

kan dengan sorak sorai gembira. Mereka yang ti-

dak bertugas jaga segera berebut untuk tidur 

maupun mengaso, memilih tempat di bawah po-

hon rindang maupun tempat yang rumputnya 

tebal.

Julung Pujud yang penasaran berlarian ce-

pat seperti terbang.

- Guru! Guru!- Warigagung berteriak me-

manggil, kemudian bersama Sarwiyah memburu.

Tetapi Julung Pujud tidak segera menghen-

tikan larinya, tetapi mengurangi, hingga dua 

orang muda ini dapat mengejar. Kemudian tiga 

orang ini berlarian terus tanpa membuka mulut. 

Warigagung mengerti, gurunya sedang gelisah, 

karena usahanya mengalahkan Mpu Kepakisan 

tidak berhasil. Sebaliknya Sarwiyah berdiam diri 

karena memang takut bicara.

Setelah cukup jauh berlarian dan kemu-

dian masuk ke dalam hutan barulah Julung Pu-

jud mau berhenti, dan kemudian kakek kerdil ini


membantingkan pantatnya di atas sebuah batu.

- Hemm,- Julung Pujud menghela napas.-

Ternyata Mpu Kepakisan memang cukup atos!-

- Ohhh .....jadi dia itu tadi yang bernama 

Mpu Kepakisan?- Warigagung menatap gurunya 

dan keheranan. 

Pemuda ini sudah cukup kenal sampai di 

manakah kesaktian gurunya dan banyak kali pu-

la menyaksikan, setiap berkelahi kebanyakan la-

wanlah yang akan roboh tak bernyawa atau ber-

tekuk lutut. Tetapi apakah sebabnya kali ini gu-

runya malah melarikan diri?

- Apakah Paman kalah?- Sarwiyah membe-

ranikan diri bertanya sambil memandang kakek 

itu.

-Apa? Kalah?! Siapakah yang kalah?!- ben-

tak Julung Pujud sambil mendelik kurang se-

nang.

Sarwiyah yang halus perasaannya menjadi 

ketakutan lalu menundukkan kepalanya. Melihat 

ini Warigagung menjadi iba, kemudian berkata.

- Guru! Kalau Guru tidak kalah, apakah 

sebabnya lari?-

- Huh! Siapakah yang lari?- bentak Julung 

Pujud. - Aku tidak lari dan juga tidak kalah. Ta-

hu? Aku memang menghentikan perkelahian itu, 

sebelum salah seorang roboh mampus!-

- Apakah sebabnya?-

- Hemm, mengapa sebabnya engkau seka-

rang tambah tolol? Huh, kalau saja siang tadi ti-

dak segera datang, aku akan masih terus berkelahi. Huh! Kau harus tahu Mpu Kepakisan tidak 

sendirian. Engkau harus pandai mengenal gela-

gat, sebab prajurit itu bisa dia perintahkan men-

gurung dan mengeroyok aku. Dan mungkin bisa 

pula mereka perintahkan agar menghujani den-

gan anak panah. Apakah itu tidak berbahaya? 

Itulah sebabnya aku tadi lebih baik lari, semua 

itu untuk menghindarkan hal-hal yang tidak aku 

harapkan.-

- Ahhhh.....- tiba-tiba saja Sarwiyah menge-

luh.

- Kau ada apa?- tanya kakek kerdil ini.

- Tidak apa-apa, paman - sahut Sarwiyah 

sekenanya.

Tetapi sebenarnya, timbul rasa kecewa da-

lam hati gadis ini. Apabila baru berhadapan den-

gan pembantu Gajah Mada saja sudah tidak 

mampu mengalahkannya, manakah mungkin ka-

kek ini mampu menghadapi Gajah Mada? Dan 

manakah mungkin sakit hati keluarganya dapat 

terbalas?

Melihat perubahan wajah gadis ini, tiba-

tiba saja Julung Pujud terkekeh. Katanya kemu-

dian.

- Hemm, Wiyah! Engkau jangan menjadi 

khawatir dan salah sangka. Apa yang sudah ter-

jadi tadi bukannya aku kalah. Akan tetapi aku 

menggunakan otakku untuk berpikir, agar tidak 

sampai mati konyol. Siapakah yang akan mende-

rita rugi? Tidak urung engkau sendiri. Karena itu 

sekarang, mari sebaiknya kita pulang dahulu.



Engkau dan Gagung harus segera kawin. Di sana, 

engkau akan aku didik, aku gembleng agar eng-

kau menjadi wanita perkasa. Dan yang kelak ke-

mudian hari akan berguna dalam membalas sakit 

hati keluargamu, sebab engkau maupun suami-

mu akan menjadi pembantuku yang bisa aku per-

caya,-

Sarwiyah menjadi sedih mendengar ajakan 

ini dan untuk segera kawin dengan Warigagung. 

Tiba-tiba saja terbayanglah kembali dalam be-

naknya, pemuda tampan Mahisa Singkir. Pemuda 

yang amat ia cintai itu sekarang bagaimanakah 

nasibnya? Sekalipun pemuda itu belum pernah 

mengucapkan janji setianya, namun ia sudah me-

rasa pasti bahwa pemuda itu mencintai dirinya. 

Kalau mendengar dirinya sudah kawin dengan 

Warigagung, apakah pemuda itu tidak merana?

Akan tetapi sebaliknya tidak mungkin ia 

dapat menolak kehendak Julung Pujud ini. Ia su-

dah kalah janji dan hal itu justru sudah mempe-

roleh restu kakeknya. Untung juga Sarwiyah se-

gera memperoleh alasan, katanya.

-Paman, memang sudah seharusnya aku 

dan Kakang Warigagung segera kawin. Tapi.....-

- Tetapi apa? Apakah engkau mau berk-

hianat?-Julung Pujud mendelik.

- Paman .....ohh..... dengarlah dahulu ...... -

kata gadis ini. - Yang aku maksudkan, apakah 

pada saat aku kawin, Mbakyu Sarindah tidak per-

lu hadir?-

- Ohh, heh heh heh heh, tentu. Kakakmu


perempuan itu memang harus hadir, sekalipun 

mbakyumu malah belum kawin. Ahh, aku malah 

mempunyai pikiran baru.-

- Pikiran baru tentang apa, Guru?- Wariga-

gung heran. 

- Betapa baiknya apabila Sarwiyah dan Sa-

rindah dapat rukun dan bersatupadu. Dengan 

begitu pembantuku untuk membalaskan sakit ha-

ti keluargamu kepada Gajah Mada, bukan hanya 

dua orang, tetapi malah tiga orang.-

-Tentu saja Paman. Selamanya aku dengan 

Mbakyu selalu rukun dan bersatupadu. Aku dan 

Mbakyu Sarindah bisa disebut satu hati.-

- Betul, heh heh heh heh. Kalau benar be-

gitu, engkau dan mbakyumu. harus bersedia 

membuktikan. Maka sebaiknya engkau maupun 

mbakyumu kawin saja dengan Gagung.-

- Ahhh.....!- Warigagung dan Sarwiyah ber-

seru tertahan hampir berbareng saking kaget.

- Tidak Guru!- bantah Warigagung. - Murid 

cukup seorang isteri saja.-

- Goblok kau Gagung! Mempunyai isteri le-

bih seorang justru lebih enak, heh heh heh heh.-

Julung Pujud terkekeh. Agaknya kakek ini 

menjadi senang sekali mendapat pikiran seperti 

itu.

Sebaliknya Sarwiyah menjadi pucat wajah-

nya. Gadis ini sama sekali tidak menduga apabila 

Julung Pujud mempunyai maksud seperti ini.

- Tidak Guru, tidak! Kasihan Adik Sar-

wiyah!- bantah pemuda ini.


Apakah sebabnya kasihan?! Kalau me-

mang Sarwiyah dan Sarindah suka, tentu saja le-

bih baik heh heh heh heh. Dengan demikian aku 

akan lebih mantap lagi dalam usahaku untuk 

membalaskan sakit hati Si Tangan Iblis.-

Julung Pujud memandang Sarwiyah. Ke-

mudian ia bertanya.

- Hai Sarwiyah! Bagaimanakah pendapat-

mu? Apakah engkau tidak setuju dimadu dengan 

mbakyumu sendiri ?-

- Hal itu terserah kepada Paman dan 

Mbakyu Sarindah. Apabila Mbakyu Sarindah se-

tuju, manakah aku dapat menolak? Karena itu, 

sebaiknya Paman bicara langsung dengan 

Mbakyu.-

Jawaban Sarwiyah ini mempunyai alasan 

yang cukup kuat. Ia kenal baik akan watak mba-

kyunya yang keras hati. Ia yakin mbakyunya tak 

mungkin setuju dengan maksud kakek ini. Dis-

amping itu, ia juga yakin, mbakyunya yang cantik 

jelita itu, manakah sudi menjadi isteri Wariga-

gung? Sedangkan dirinya sendiripun, apabila ti-

dak kalah janji dengan kakeknya, lebih suka me-

milih Mahisa Singkir. 

- Heh heh heh heh ha ha ha ha, bagus!-

Julung Pujud gembira sekali mendengar jawaban 

ini. - Aku sendiri yang akan bicara dengan dia. 

Marilah sekarang kita pergi ke Tosari.-

- Guru.....-

- Ada apa lagi? Huh, laki-laki seperti kau 

ini, laki-laki apa? –


Guru, murid kasihan kepada Adik Sar-

wiyah apabila aku harus mempunyai dua isteri.-

- Apakah alasanmu?- Julung Pujud mende-

lik.

- Guru! Murid mempunyai pendapat begini. 

Adalah tidak adil apabila seorang laki-laki beriste-

ri dua orang.-

- Apakah sebabnya tidak adil? Laki-laki 

punya dua atau tiga isteri sudah jamak. Tetapi 

sebaliknya, tidak lumrah apabila seorang perem-

puan mempunyai dua atau tiga orang suami. Heh 

heh heh heh.-

- Guru! Murid mempunyai pendapat tidak 

adil, karena cinta itu tidak bisa dibagi-bagi. Pa-

dahal kalau murid mempunyai dua isteri, bagai-

manakah mungkin murid dapat membagi cinta 

itu? Apakah ini adil? Kalau isteri memberikan cin-

tanya kepada suami secara utuh, tidak dibagi-

bagi, mengapa suami harus membagi-bagi cinta? 

- Sudah, sudah! Aku tidak mau berbanta-

han. Kawin dengan dua perempuan sekaligus, 

dan ka-kak-adik pula.-

Warigagung tidak berani membuka mulut 

lagi, sekalipun hati tidak setuju. Pemuda ini su-

dah kenal watak gurunya yang tidak dapat ia 

bantah kehendaknya. Ia melirik ke arah Sar-

wiyah. Dan ia melihat wajah gadis ini menjadi pu-

cat dan tampak kecewa sekali. Namun demikian 

ia tidak berani berkata apa-apa, dan hanya me-

nundukkan kepalanya


Hayo, sekarang kita berangkat ke Tosari!-

ajak Julung Pujud mantap.

Perintah ini tidak mungkin dapat mereka 

bantah pula. Warigagung dan Sarwiyah segera 

pula bangkit, mengikuti langkah Julung Pujud.

Untuk singkatnya cerita, mereka sudah ti-

ba di Tosari. Akan tetapi betapa kecewa tiga orang 

ini ketika tidak dapat ketemu dengan Sarindah. 

Rumah Si Tangan Iblis sudah kosong. Malah su-

dah banyak yang rusak dan halaman yang semu-

la bersih itu sekarang sudah ditumbuhi rumput 

liar. Diam-diam Sarwiyah sedih melihat rumah ini 

yang sekarang kosong dan rusak.

Tentu saja mereka tidak dapat menemukan 

Sarindah, yang sekarang jiwanya sudah tergang-

gu. Sebabnya tidak lain karena selalu menggeng-

gam laki-laki tampan yang sudah menjadi sua-

minya, bernama Dewa Asmara. Entah ke mana 

sekarang Sarindah pergi, dan entah pula di mana 

dia berada.

Tetapi yang jelas Sarindah seorang gadis 

yang keras hati dan bernasib malang. (Baca: 

RAHASIA DEWA ASMARA, oleh pengarang dan 

penerbit yang sama. Anda akan dapat menjenguk 

gadis malang bernama Sarindah ini, dan tahu pu-

la sebabnya Sarindah sampai mendapat gangguan 

jiwa).

Gajah Mada disamping berkedudukan se-

bagai Mahapatih (Patih Mangkubumi) Majapahit, 

juga merangkap kedudukan Rajajaksa. Dialah 

yang mengawasi pelaksanaan Undang-Undang


Raja. Sedangkan sebagai Aspada, Gajah Mada ha-

rus menyusun suatu rencana penuntutan leng-

kap dalam soal-soal sengketa yang penting. Jadi 

Patih Mangkubumi Majapahit yang bernama Ga-

jah Mada ini tidak saja menjalankan aturan Un-

dang-Undang Negara, tetapi juga menjaga supaya 

aturan itu berjalan dengan baik. Dan kalau perlu 

menuntut segala pelanggaran yang terjadi.

Gajah Mada seorang yang berpengalaman 

luas dalam urusan negara. Ia memperoleh penga-

ruh luas bukan karena keturunan bangsawan, 

bukan karena keturunan ksatriya, akan tetapi 

oleh kecakapan dan keberaniannya.

Selama mengabdikan diri di Majapahit, ia 

memulai dari kedudukan yang paling bawah dan 

berkat ketekunannya dapat mencapai puncak ke-

kuasaannya, sebagai Mahapatih Majapahit. Mula-

mula Gajah Mada mengabdikan diri di Majapahit 

sebagai pesuruh. Kemudian ia menjadi prajurit 

Bhayangkara. Kemudian naik tingkat menjadi 

Bekel Jayanegara ia diangkat menjadi Patih Dha-

ha.

Akan tetapi semua itu tidak mungkin bisa 

terjadi, apabila Gajah Mada tidak memiliki kese-

tiaan dan semangat pengabdiannya yang diberi-

kan kepada Majapahit. Jadi, kedudukan Gajah 

Mada yang mencapai puncak tertinggi itu bukan-

lah datang dengan sendirinya, tetapi oleh jerih 

payahnya sendiri.

Namun sudah lumrah yang terjadi di dunia 

ini, kemudian timbul perasaan orang yang menjadi iri hati dan dengki, jika melihat orang lain 

mencapai puncak kejayaan. Lebih pula Gajah 

Mada bukan keturunan bangsawan Majapahit. 

Maka sering kali pula Gajah Mada menghadapi 

ancaman bahaya, baik yang terang-terangan 

maupun gelap-gelapan. Ia mempunyai banyak 

musuh gelap sekalipun ia tidak sadar dimusuhi 

orang.

Sekalipun demikian berkat kebijaksanaan-

nya, berkat kewaspadaannya, semua usaha orang 

yang akan berbuat jahat selalu dapat digagalkan, 

baik oleh Gajah Mada sendiri maupun oleh pem-

bantu-pembantunya yang setia.

Disamping itu berkat kecakapan dan kese-

tiaan pembantu-pembantunya ini, maka sekali-

pun yang berkuasa di Majapahit seorang raja wa-

kil, Tribhuwanattunggadewi Jayawishnu-

warddhani, Gajah Mada dapat mengendalikan 

keamanan Majapahit dengan baik.

Dan pagi ini dengan wajah berseri-seri, Ga-

jah Mada menerima kedatangan Mpu Kepakisan 

di rumah tempat tinggalnya. Hadir pula Laksa-

mana Nala, Rangga Premana dan Adityawarman.

- Terima kasih atas bantuanmu, Paman 

Mpu Kepakisan. Ahh, kalau saja engkau tidak ce-

pat memberi laporan dan cepat bertindak pula, 

mungkin sisa-sisa pemberontak Sadeng itu akan 

bisa menjadi bibit penyakit yang membahayakan 

Majapahit!- Demikianlah ucapan Gajah Mada 

dengan halus, setelah mendengar laporan Mpu 

Kepakisan, sisa-sisa pemberontakan Sadeng sudah berhasil ditumpas.

Akan tetapi Mpu Kepakisan adalah seorang 

pendeta yang tentu saja selalu jujur, dijauhkan 

dari hal-hal yang dusta dan kurang patut. Sahut-

nya kemudian.

- Bukan saya yang berjasa dalam masalah 

ini.-

- Ahh, kalau bukan, lalu siapakah?- Gajah 

Mada kaget, demikian pula Nala maupun Aditya-

warman.

- Apabila tidak ada petunjuk dari Mpu 

Anusa Dwipa manakah mungkin saya bisa tahu?-

- Ahhh..... Mpu Anusa Dwipa?-

- Benar, Ayah,- Rangga Premana ikut ber-

bicara. - Memang atas petunjuk orang tua itu, 

Kakek Kepakisan tahu tentang sisa pemberontak 

Sadeng. Disamping itu tanpa adanya petunjuk pe-

ta dari Mpu Anusa Dwipa pula, kiranya sulit kita 

menerobos masuk ke lembah yang penuh jebakan 

dan jalan rahasia itu.-

- Ahh, menarik sekali! Ceritakanlah Rang-

ga, aku ingin sekali mendengar situasi lembah 

itu!- ujar Adityawarman.

- Ceritakanlah yang jelas, Rangga,- pinta 

Mpu Kepakisan pula sambil mengeluarkan peta 

pemberian Mpu Anusa Dwipa.

Tiga orang pimpinan Majapahit itu menjadi 

amat tertarik kepada peta yang dibentangkan di 

atas meja. Adapun Rangga Premana segera mene-

rangkan segala sesuatunya dengan perlahan teta-

pi jelas sekali.


Bukan main!- Mpu Nala menggeleng-

gelengkan kepalanya, kagum sekali. Demikian pu-

la Gajah Mada maupun Adityawarman.

Mereka menjadi kagum atas kepandaian 

Mpu Galuh yang memilih lembah itu dan dia 

lengkapi dengan jebakan-jebakan pintu rahasia di 

bawah tanah. Demikian rapi dan tentu penggara-

pannya membutuhkan waktu yang lama dan te-

naga yang banyak jumlahnya pula. Sebab, mem-

buat lorong di bawah tanah jauh lebih sulit di-

banding membuat jalan di atas tanah

- Benar-benar hebat dan cerdik,- puji Ga-

jah Mada. - Tetapi aku justru lebih tertarik kehe-

batan dan kecerdikan Mpu Anusa Dwipa. Lalu da-

ri manakah orang tua itu memperoleh pengeta-

huan keadaan lembah itu, kemudian bisa dia tu-

angkan dalam peta yang jelas dan terperinci se-

perti itu? Bukan saja pengetahuannya tentang je-

bakan, tetapi juga tahu semua pintu rahasia. –

Untuk beberapa jenak lamanya mereka ti-

dak ada yang membuka mulut. Pertanyaan Gajah 

mada ini memang tidak mudah dijawab, kecuali 

oleh yang berkepentingan sendiri, ialah Mpu Anu-

sa Dwipa. 

- Entahlah, saya sendiri tidak tahu dari 

mana Mpu Anusa Dwipa memperoleh peta ini. 

Saya bertemu dengan dia di pinggang Gunung Ke-

lud dan bertemu tidak sengaja!- jawab Mpu Kepa-

kisan. - Ohh, ya, dan secara tidak sengaja pula, 

aku bertemu dengan gadis jelita murid Ki ageng 

Tunjung Biru.....


Ahhhh .....!- Mpu Nala kaget. - Katakan-

lah, di mana bocah itu sekarang?-

Mpu Kepakisan dan Rangga Premana he-

ran mendengar pertanyaan Mpu Nala yang begitu 

besar perhatiannya kepada bocah perempuan itu.

- Lekas katakanlah, di mana bocah itu? 

Dan apakah dia membawa pedang pusaka ber-

nama Tunggul Wulung?- desak Nala.

- Ahh, benar! Mengapa Bendara tahu?-

Mpu Kepakisan heran.

Sebenarnya Gajah Mada sendiri kaget, te-

tapi juga gembira mendengar pemberitahuan itu. 

Sebab, Gajah Mada segera dapat menduga, tentu 

bocah itu Dewi Sritanjung, putri Mpu Nala yang 

sudah lama mereka cari.

- Paman Kepakisan!- ujar Gajah Mada ha-

lus. - Agar engkau tidak menjadi bingung meng-

hadapi pertanyaan Adimas Nala, maka sedikitnya 

dengarlah dahulu ceritaku.-

Tetapi sebelum memulai ceritanya, Gajah 

Mada menatap Nala dan bertanya.

- Adimas Nala, sekarang ini yang hadir ha-

nyalah terbatas dan bisa aku katakan keluarga 

sendiri. Bolehkah aku menceritakan hal-ihwal bo-

cah itu?-

- Silakan!- sahut Nala. - Aku percaya Bapa 

Pendeta akan bersedia merahasiakan peristiwa 

ini.-

- Ahhh ada apakah?- Mpu Kepakisan kehe-

ranan.

Rangga Premana tidak membuka mulut. Ia


memandang mereka yang hadir bergantian den-

gan pandang mata bertanya-tanya. Adapun Adi-

tyawarman yang sudah mengetahui perihal ini, 

hanya berdiam diri.

Gajah Mada segera menceritakan tentang 

peristiwa yang sudah belasan tahun berlalu. Keti-

ka secara tidak sengaja, Mpu Nala kawin dengan 

salah seorang puteri Ra Kuti, seorang anggota 

Dharma putra yang memberontak dan telah ter-

bunuh mati. Peristiwa itu memang tidak terduga 

sama sekali, sebab Mpu Nala mengira, isterinya 

seorang gadis desa.

Dari perkawinan ini hamillah si isteri dan 

Mpu Nala gembira sekali. Kemudian pada suatu 

ketika inginlah Mpu Nala memboyong isteri ini ke 

Kota Majapahit dan maksudnya ini pun mendapat 

persetujuan isterinya.

Namun sebelum ketentuan waktu boyong 

ini mereka laksanakan, tiba-tiba Mpu Nala tahu, 

isterinya itu sebenarnya puteri Ra Kuti. Pemberi-

tahuan dari ibu angkat isterinya ini mengejutkan 

Mpu Nala, sehingga pada malam harinya Mpu Na-

la pergi ke Majapahit tanpa pengetahuan siapa-

pun. Masalahnya, Mpu Nala merasa kecewa seka-

li, sudah kawin dengan gadis anak pemberontak.

Akibat penderitaan yang berat, maka ke-

mudian isteri setia ini meninggal dunia pada saat 

melahirkan anaknya. Bayi yang lahir itu kemu-

dian dibuang ke sungai oleh para tetangga, yang 

akhirnya dirawat oleh Ki ageng Tunjung Biru. Da-

lam asuhan Ki ageng Tunjung Biru ini, anak tersebut diberi nama Dewi Sritanjung, dan menjadi 

seorang gadis jelita dan berilmu tinggi. (Baca: Bu-

ku berjudul JASA SUSU HARIMAU, oleh penga-

rang dan penerbit yang sama).

Pada saat Sritanjung mendapat pendidikan 

dan asuhan Ki ageng Tunjung Biru ini, Mpu Nala 

sudah cukup lama berusaha mencari anaknya 

yang hilang itu, namun belum pernah terkabul 

harapannya. Baru kemudian harapannya ini bisa 

terkabul dan diketahui Dewi Sritanjung adalah 

puterinya yang hilang, setelah bocah ini oleh Ki 

ageng Tunjung Biru disuruh pergi ke Kota Maja-

pahit, dan kemudian diboyong ke rumah Mpu Na-

la. (Agar para Pembaca yang budiman bisa men-

getahui lebih jelas peristiwa ini, bacalah buku : 

MENCARI AYAH KANDUNG).

Akan tetapi pada malam harinya kemudian 

bocah ini melarikan diri dari rumah tanpa pamit, 

seperti telah kita ceritakan di dalam buku berju-

dul: TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA.

Mendengar penuturan ini Mpu Kepakisan 

menggeleng-gelengkan kepalanya. Apabila ia tahu 

sebelumnya, tentu ia berusaha mengajak bocah 

itu pergi bersama ke Majapahit.

- Ahhh.....kalau saja aku tahu, tentu dia 

sudah kuajak kemari, - ujar Mpu Kepakisan ber-

nada menyesal. - Sayang sekali, hemm, aku tidak 

tahu lagi di manakah sekarang bocah itu.-

- Pergi ke manakah dia?- desak Nala dan 

hatinya tegang.

- Maafkanlah saya, Bendara, sungguh aku


tidak tahu ke mana dia, sebab terjadi peristiwa 

yang kemudian menyusul.-

- Peristiwa apakah?-

Mpu Kepakisan kemudian menceritakan 

tentang terjadinya peristiwa menyusul, terbu-

kanya sebuah lubang pintu jebakan, dan semen-

jak itu dia lenyap.-

Kiranya para Pembaca yang budiman akan 

lebih asyik apabila berkenan membaca pula buku 

berjudul: TERKURUNG DI PERUT GUNUNG, oleh 

pengarang dan penerbit yang sama.

- Aduhhh.....anakku.....anakku ..... engkau 

mati masuk perangkap? Aduhh.....aku lah yang 

berdosa.....-

Mpu Nala menutupi mukanya dengan dua 

telapak tangan dan Adityawarman cepat menghi-

bur.

- Belum tentu dia celaka, kenapa engkau 

sudah menjadi khawatir? Sudahlah, sebaiknya 

persoalan anakmu ini serahkan saja atas kehen-

dak dan perlindungan Dewata Agung (Tuhan).-

- Saya juga tidak yakin apabila celaka!-

Rangga Premana ikut pula menghibur, tetapi juga 

amat terharu. - Lebih-lebih lagi, Mpu Anusa Dwi-

pa sudah menyanggupkan diri untuk menca-

rinya.-

- Ahhh.....tetapi dia anak yang malang. Dia 

kasihan sekali karena tidak sempat mengenal 

ibunya sendiri.....- ujar Mpu Nala penuh rasa ses-

al.

- Paman Kepakisan,- kata Gajah Mada.


Aku mohon pertolonganmu. Sudilah Paman me-

nugaskan beberapa orang cucumu (muridmu) 

ikut serta mencari bocah itu. Cirinya mudah se-

kali. Apabila ada seorang gadis memiliki pedang 

pusaka yang bersinar biru, jelas pedang itu pe-

dang pusaka Tunggul Wulung dan itu pula dia. 

Maka bujuklah agar bocah itu suka datang ke Ko-

ta Majapahit dan bawalah kemari.-

- Baiklah! Akan saya usahakan.-

Untuk beberapa saat lamanya keadaan 

hening, tidak seorangpun membuka mulut. Agak-

nya mereka seperti terpengaruh oleh kekhawati-

ran Mpu Nala.

Guna mengalihkan suasana yang kurang 

menyenangkan ini kemudian Gajah Mada mema-

lingkan mukanya kepada Adityawarman.

- Bendara Adityawarman, saya mohon 

khabar tentang Bali. Tidaklah mengherankan 

apabila Gajah Mada menyebut Adityawarman 

dengan sebutan "bendara" sekalipun kedudukan 

Gajah Mada di Majapahit demikian tinggi. Hal ini 

bukan saja oleh kebiasaan lama, semenjak Gajah 

Mada masih berpangkat rendah, memang sudah 

menjadi sahabat Adityawarman. Akan tetapi dis-

amping itu juga pengaruh dari keadaan Gajah 

Mada sendiri yang merasa bukan keturunan Ma-

japahit, dan juga karena ia memang berjiwa seo-

rang pemimpin yang rendah hati. Dan oleh penga-

ruh sikap Gajah Mada terhadap Dharmaputra 

yang demikian menghargai mereka itu, maka se-

baliknya para Dharmaputra Majapahit juga


menghargai Gajah Mada.

- Ahhh, apakah tentang Tatagalapura Ger-

hastadara itu?- tanya Adityawarman.

- Benar.-

- Sudah saya perintahkan untuk membuat 

dan sudah selesai pula. Ya, mudah-mudahan 

dengan berdirinya pura itu, maka orang-orang 

yang berkuasa di Bali mengerti maksud baik Ma-

japahit.-

- Benar. Harapan kita memang demikian,-

Gajah Mada mengangguk-angguk tampak puas.

Perlu kita ketahui, bahwa semenjak Maja-

pahit berdiri, hubungannya dengan Bali terputus. 

Bali merasa bukan wilayah Majapahit dan Bali 

merasa merdeka di atas rumahnya sendiri. Hal ini 

tentu saja menjadi perhatian penuh bagi Gajah 

Mada yang bercita-cita mempersatukan Nusanta-

ra dan bercita-cita demi kejayaan Majapahit.

Guna menarik perhatian Bali, bahwa Maja-

pahit ingin menyelenggarakan hubungan baik, 

maka atas prakarsa Gajah Mada, didirikanlah pu-

ra itu, dan bernama Tatagatapura Gerhastadara.

Mendengar itu Mpu Nala bangkit seman-

gatnya, tergugah jiwa kesatrianya sehingga ia ter-

lupa kepada urusan keluarga.

- Tetapi bagaimanakah apabila Bali tetap 

membangkang?- tanyanya sambil menatap Gajah 

Mada dan Aditywarman bergantian.

- Apabila Bali memang bandel, untuk apa 

tidak kita hancurkan?- sahut Adityawarman pe-

nuh semangat pula.


Gajah Mada bersenyum. Diam-diam ia 

bangga sekali terhadap keperwiraan dua orang 

pemimpin ini. Katanya kemudian.

- Benar! Apabila Bali memang bandel, me-

mang tidak ada jalan lain lagi, kecuali kita guna-

kan kekerasan. Akan tetapi selama masih bisa ki-

ta usahakan dengan jalan damai, bukankah itu 

lebih baik?-

Ciri-ciri kebesaran Gajah Mada memang 

seperti itu. Dalam mencapai cita-cita mempersa-

tukan seluruh Nusantara, apabila memang bisa 

tercapai akan ia gunakan jalan halus dan damai. 

Akan tetapi sebaliknya apabila jalan damai itu 

sampai gagal, Gajah Mada akan menggunakan 

kekerasan. Menggunakan kekuasaan pasukan 

dan perang.

- Paman Kepakisan,- kata Gajah Mada ke-

mudian. - Apakah tidak ada hal-hal yang engkau 

sampaikan, sehubungan dengan tugasmu?-

- Memang ada yang perlu saya sampaikan, 

ialah tentang terjadinya peristiwa yang menarik 

perhatian saya, sehubungan dengan adanya usa-

ha pencegatan pasukan yang dilakukan oleh Ju-

lung Pujud.-

- Siapakah Julung Pujud itu,- Adityawar-

man nampak heran, tetapi juga tertarik.

- Bendara, Julung Pujud adalah seorang 

tokoh sakti yang sesat- Gajah Mada menjelaskan. 

- Telah belasan tahun lamanya, tokoh itu tidak 

pernah muncul. Ahh, menarik sekali, apabila to-

koh itu demikian muncul sudah berani menghadang pasukanmu.-

- Benar! Memang amat menarik. Akan teta-

pi disamping itu juga membuat saya tak habis pi-

kir. Sebab dari ucapannya jelas sekali, maksud 

penghadangan itu ada hubungannya dengan 

Nakmas Gajah Mada.-

- Ahhh, ada hubungan dengan diriku? Ten-

tang apa saja?- Gajah Mada tidak kaget, hanya 

tertarik perhatiannya saja. Karena bagi tokoh ini 

yang sudah terbiasa dimusuhi orang, sudah men-

jadi kebal apabila ada orang yang berusaha me-

musuhinya.

- Pada saat menghadang pasukan itu.....-

- Nanti dulu!- sela Mpu Nala. - Berapakah 

jumlah kawan dia yang ikut menghadang?-

- Waktu itu saya tidak melihat yang lain, 

kecuali Julung Pujud seorang saja.-

- Ahhh.....bukan main! Seorang diri berani 

menghadang rombongan pasukan dalam jumlah 

banyak. Sungguh menarik!-

- Benar! Memang itulah hebatnya Julung 

Pujud. Dia seorang pemberani. Maka sekalipun 

hanya seorang diri, tidak mengherankan pula 

apabila berani menghadang kami. Akan tetapi 

disamping keberaniannya, dia juga terkenal seba-

gai seorang pengecut, licik, dan penuh tipumusli-

hat.- Gajah Mada berusaha memberi penjelasan.

Dan Mpu Kepakisan segera menambah pu-

la, - Ya! Watak Julung Pujud memang demikian. 

Hal itu terbukti setelah merasa tidak mampu 

mempertahankan diri saya, dia kemudian melari


kan diri. Namun demikian sebelum melarikan di-

ri, diapun berusaha membunuh saya dengan ja-

rum beracun yang selalu dia banggakan keampu-

hannya.-

Mpu Kepakisan berhenti. Sejenak kemu-

dian ia meneruskan.

- Tetapi terus terang bila dia tidak segera 

melarikan diri, mungkin saja saya celaka.....-

- Apakah sebabnya?- Adityawarman kaget. 

Demikian pula yang lain kecuali Rangga Premana 

yang telah tahu.

- Karena Julung Pujud mempunyai ilmu 

pukulan yang beracun. Dari sambaran tangannya 

menyebarkan racun yang dapat merobohkan la-

wan. Apabila hanya dalam waktu singkat, kiranya 

saya masih bisa menahan pengaruh dari hawa 

beracun itu. Akan tetapi apabila waktunya cukup 

lama, memang amat berbahaya. Seperti yang su-

dah terjadi dengan diri saya, setelah berkelahi 

hampir setengah hari, begitu dia pergi saya harus 

lekas-lekas mengatur pernapasan.......

- Apakah sebabnya!- Mpu Nala bertanya.

- Semua itu guna mengusir pengaruh dari 

pukulan beracun itu.....-

- Ahhh, berbahaya juga!- Adityawarman 

menggumam.

- Benar! Julung Pujud memang amat ber-

bahaya!- Gajah Mada membenarkan pendapat itu. 

- Dan saya masih ingat pada peristiwa belasan 

tahun yang lalu, pada waktu Julung Pujud mela-

kukan keganasannya membasmi orang-orang tidak berdosa. Setelah Mpu Anusa Dwipa turun 

tangan, baru Julung Pujud kapok lalu menyem-

bunyikan diri.-

- Lalu, apakah maksud Julung Pujud 

menghadang pasukan itu?- tanya Mpu Nala.

- Seperti yang tadi sudah saya kemukakan, 

katanya untuk memusuhi Nakmas Gajah Mada. 

Tentang apakah alasannya, saya sendiri kurang 

jelas.-

- Hemm, bagiku takkan kaget apabila ada 

orang yang memusuhi diriku,- ujarnya dengan bi-

bir menyungging senyum. - Tetapi justru banyak 

orang memusuhi diriku ini, menimbulkan gairah 

dan semangatku untuk mencurahkan seluruh 

perhatianku demi kejayaan Majapahit. –

- Namun persoalan ini tidak cukup kita ab-

aikan demikian saja.- Adityawarman memberikan 

pendapatnya. - Sebab, kedudukan Patih Mangku-

bumi Majapahit merupakan kunci jaya dan han-

curnya Negara Majapahit kita.-

-Benar! Bendara Warman benar! Menurut 

pendapat saya, Nakmas Gajah Mada harus lebih 

waspada dan hati-hati. Sebab siapa tahu apabila 

ada orang ketiga yang berdiri di belakang Julung 

Pujud? Lebih berbahaya lagi apabila orang ketiga 

itu justru merupakan orang dalam.- Mpu Kepaki-

san mendukung.

- Pendapat Bapa Pendeta beralasan.- Mpu 

Nala menjadi tertarik. - Siapa tahu apabila masih 

ada satu atau dua orang Dharmaputra yang tidak 

puas?


Adityawarman pun menduga seperti itu. 

Maka katanya kemudian.

- Ya! Dugaan demikian memang tidak ber-

bantah. Seperti kita ketahui dan diakui pula oleh 

Paman Gajah Mada, di antara Dharmaputra me-

mang terdapat perasaan tidak puas, sehubungan 

dengan pengangkatan Paman Gajah Mada sebagai 

Patih Mangkubumi Majapahit. Alasannya ialah, 

Paman Gajah Mada bukan keturunan bangsawan. 

Hem. tetapi semua itu menurut pendapatku tidak 

beralasan. Dengan kata lain, hanya merupakan 

alasan yang mereka cari-cari. Bagi saya, tidaklah 

tepat apabila kedudukan itu harus diukur dari 

keturunan.-

Ia berhenti lalu membasahi bibirnya. Seje-

nak kemudian baru ia meneruskan. - Lebih-lebih 

kedudukan Patih Mangkubumi Majapahit. Wa-

laupun bukan keturunan bangsawan, apabila ca-

kap dan mampu tidak ada halangannya. Dan se-

baliknya, walaupun keturunan bangsawan akan 

tetapi apabila tidak cakap, tentu saja saya memi-

lih yang pertama.-

Adityawarman berhenti lagi sejenak. Sete-

lah menghela napas ia meneruskan.

- Timbul pikiran saya, untuk bisa menang-

kap Julung Pujud dalam keadaan masih hidup 

atau mati. Syukur apabila bisa kita tangkap hi-

dup-hidup, dari mulut orang itu kemudian kita 

akan memperoleh keterangan-keterangan yang 

berharga, dan kiranya cita-cita ini baru terlaksa-

na, kalamana kita memperoleh bantuan Mpu


Anusa Dwipa. Ehhh, Bapa Pendeta Kepakisan, 

mungkinkah Bapa Pendeta bisa membujuk Mpu 

Anusa Dwipa menangkap Julung Pujud?-

Mpu Kepakisan menghela napas pajang. Ia 

tidak segera memberikan jawabannya. Karena ia 

cukup kenal akan watak Mpu Anusa Dwipa yang 

aneh bin ajaib itu dan yang lain dari yang lain. 

Kalau saja Mpu Anusa Dwipa itu seorang yang gi-

la terhadap pangkat dan kedudukan, kekayaan 

ataupun harta benda, adalah gampang sekali 

mempengaruhi kakek itu dengan macam-macam 

usaha dan janji.

Akan tetapi Mpu Anusa Dwipa bukan 

orang macam itu. Bukan seorang yang gila terha-

dap pangkat, kedudukan, harta benda ataupun 

kekayaan. Dia tidak membutuhkan apa-apa! Ka-

kek itu hidup bagai burung tanpa sarang. Dia be-

bas beterbangan ke manapun dia suka. Kadang-

kala tanpa diminta dia sudah mengulurkan tan-

gan memberi pertolongan kepada orang. Akan te-

tapi kadang-kadang pula, dia tidak peduli walau-

pun tahu orang dalam kesulitan. Juga walaupun 

Mpu Anusa Dwipa telah mengetahui jelas terha-

dap watak seseorang dan jelas orang itu jahat, 

namun kalau perlu dia bersedia pula memberi 

pertolongan maupun sekedar ilmu kesaktian.

Sesudah berpikir sejenak lamanya, baru 

Mpu Kepakisan memberi jawaban.

- Hemm, saya kurang yakin dan sulit pula 

untuk dapat menduga, bagaimana tanggapannya 

apabila saya mengajukan persoalan itu. Dia seorang yang aneh! Dia hidup tidak membutuhkan 

apa-apa, jadi sulitlah orang dapat mempengaruhi 

maupun menarik perhatian dia. Akan tetapi seka-

lipun demikian saya akan berusaha juga menco-

ba, dan juga untuk merundingkan soal ini kepada 

dia. Hemm, hanya saja ......

- Nampaknya Bapa Pendeta ragu. Katakan-

lah!- Adityawarman mendesak.

- Bendara, untuk mencari kakek gendut itu 

tidak gampang, Sebab dia tidak mempunyai tem-

pat tinggal yang tetap. Dia bagai burung tanpa sa-

rang.-

- Ada cara untuk mengundang dia.- Mpu 

Nala mengemukakan pendapatnya.

- Dengan jalan apa?- Gajah Mada tertarik.

- Maklumat Raja Majapahit, guna mengun-

dang Mpu Anusa Dwipa datang ke Majapahit.-

- Ha ha ha ha,- Gajah Mada ketawa. -

Orang-orang sakti seperti Mpu Anusa Dwipa dan 

yang lain manakah mau tunduk kepada segala 

maklumat Raja Majapahit? Mereka tidak merasa 

terikat oleh sesuatu tugas kewajiban bagi negara. 

Mereka merasa hidup bebas tiada yang dapat 

mengganggu gugat.-

- Ahhh, itu pendapat dan pendirian yang 

tidak benar.- Adityawarman menyahut cepat. -

Sebab setiap warga negara atau rakyat dalam su-

atu negara, dibebani kewajiban untuk melakukan

sesuatu bagi kepentingan negara.-

- Benar! Akan tetapi sebaliknya, Bendara 

juga harus mengerti terhadap kenyataan yang terjadi dalam dunia orang-orang seperti Mpu Anusa 

Dwipa itu.- Gajah Mada menerangkan. - Kita su-

dah berpayah-payah mengatur dengan Undang-

Undang dan Maklumat, guna ketenteraman tata 

kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Me-

reka yang salah harus mendapatkan hukuman 

yang setimpal dengan kesalahannya. Tetapi ba-

gaimanakah kenyataan yang terjadi dalam ling-

kungan kehidupan mereka? Mereka tidak peduli 

kepada segala macam peraturan negara itu. Dan 

mereka saling bunuh secara liar.-

Gajah Mada berhenti, memandang yang 

hadir mencari kesan. Sejenak kemudian ia mene-

ruskan.

- Sesungguhnya sedih juga hati saya ini 

apabila memikirkan masalah mereka itu. Akan te-

tapi sampai sekarang saya belum juga berhasil 

menemukan obat yang mujarab guna menyem-

buhkan penyakit mereka itu.-

Untuk beberapa saat lamanya mereka ber-

diam diri. Mereka semua justru sudah mengenal 

apa yang terjadi dalam dunia orang-orang sakti. 

Sejak zaman dahulu, usaha telah dirintis dan di-

lakukan guna mengubah cara hidup mereka. Na-

mun terbukti, segala usaha itu selalu berhadapan 

dengan kegagalan. Apabila penguasa sampai 

menggunakan kekerasan, akibat yang timbul ada-

lah malah di luar harapan dan di luar dugaan. 

Mereka kemudian malah menuduh para penguasa 

sudah bertindak sewenang-wenang. Dan hal ini 

apabila sampai ditunggangi oleh pihak-pihak yang


sengaja menimbulkan kekacauan, terjadilah pem-

berontakan. Terjadilah perebutan kekuasaan. 

Akibatnya malah tidak menyenangkan dan malah 

tidak menyenangkan dan merugikan para kawula 

di negara itu sendiri.

- Hemm, sekarang kita usahakan saja den-

gan mempercayakan Paman Kepakisan!- Gajah 

Mada memecah sunyi. - Paman Kepakisan justru 

mempunyai sejumlah cucu atau murid. Aku per-

caya dengan bantuan mereka itu, bantuan Mpu 

Anusa Dwipa bagi Majapahit bisa kita harapkan.-

Mereka kemudian setuju justru memang 

tidak menemukan cara yang lebih tepat. Mereka 

kemudian bubaran.

Tetapi Mpu Nala yang masih ingin bicara 

tentang anaknya, masih merasa belum puas ter-

hadap keterangan Mpu Kepakisan yang ia rasa-

kan terlalu singkat itu. Maka ia banyak minta 

penjelasan, lebih-lebih mengingat sampai seka-

rang ini, puteranya yang bernama Surya Lelana 

dan mencari mencari Dewi Sritanjung, belum juga 

pulang kembali ke Majapahit

Ke manakah sesungguhnya Surya Lelana 

pergi? Marilah sekarang kita ikuti perjalanan pe-

muda itu, semenjak meninggalkan Kota Majapa-

hit.

Surya Lelana, yang sudah menguasai Aji 

Sepi Angin itu berlarian cepat sekali dalam usa-

hanya mengejar Dewi Sritanjung. Saking gelisah 

dan tergesa, pemuda ini berlarian cepat sekali. 

Kemudian ketika pagi tiba, ia telah tiba di wilayah


pegunungan Kendeng.

Pada pagi itu Surya Lelana melepaskan le-

lah dengan duduk di atas sebuah batu. Ia meng-

hela napas berkali-kali, sambil menggumamkan 

nama adiknya. Ia menjadi bingung! Ia tak tahu ke 

mana harus menuju guna mencari adiknya yang 

pergi.

- Dewi ..... ohh Dewi, ke manakah engkau? 

Ayah menjadi bingung dan akupun bingung. Dewi 

.....kembalilah ......

Saking terlalu memikirkan nasib adiknya, 

ia menjadi lupa terhadap perut yang lapar dan 

mata yang mengantuk. Setelah tenaga ia rasakan 

pulih kembali, pemuda ini lalu meneruskan usa-

hanya mencari adiknya, menuju ke selatan. Ia 

menduga tentu adiknya pulang ke tempat tinggal 

gurunya, Ki ageng Tunjung Biru yang letaknya 

pada pertemuan dua sungai, Lengkong dan Bran-

tas.

Perjalanan ia percepat dan gembiralah hati 

pemuda ini ketika melihat perahu kecil yang da-

hulu ia tinggalkan, masih tetap tertambat di tepi 

sungai. Perbedaannya hanyalah perahu itu seka-

rang telah penuh oleh lumpur dan hampir ter-

pendam. Maka untuk bisa ia pergunakan menye-

berang, Surya Lelana harus bekerja keras lebih 

dahulu.

Wajah pemuda itu berseri, ketika perahu 

sudah bersih. Perahu segera ia pakai menyebe-

rangi sungai Lengkong. Setelah menambatkan pe-

rahu kecil itu ditempat terlindung, bergegaslah


pemuda ini menuju pondok Ki ageng Tunjung Bi-

ru. Tetapi belum jauh ia menerobos hutan itu, 

terdengarlah suara harimau yang mengaum.

Pemuda ini berdebar hatinya. Namun ia se-

gera teringat kepada dua ekor harimau muda pia-

raan Ki ageng Tunjung Biru yang bernama Tum-

pak dan Manis. Ia pernah mendapatkan pelajaran 

mengenai dua ekor harimau tersebut dari Dewi 

Sritanjung. Maka setelah ia memperhatikan asal 

suara mengaum tadi, ia cepat memanggil.

- Tumpak! Manis! Datanglah kemari!-

Panggilannya cukup nyaring sehingga suara itu 

terdengar dari tempat jauh. Bagaimanapun pe-

muda ini berdebar, timbul kekhawatirannya kalau 

harimau itu sudah tidak mengenal dirinya lagi.

Tak lama kemudian muncullah dua ekor 

harimau yang besar. Surya Lelana terbelalak ka-

get dan diam-diam sudah mempersiapkan senja-

tanya, khawatir apabila dua ekor harimau tutul 

yang besar itu bukan Tumpak dan Manis, da 

memusuhi dirinya. Sekalipun demikian Surya Le-

lana kemudian bersuara nguk..... nguk..... seperti 

yang sudah diajarkan adiknya. Dan sesudah itu 

ia berteriak.

- Tumpak, Manis, apakah engkau lupa ke-

padaku?-

Dua ekor harimau yang sekarang sudah 

menjadi besar itu, yang semula bersikap garang, 

mendadak mendekam dan bersuara seperti yang 

telah ia suarakan. Dua ekor harimau tutul itu 

mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan merupakan jawaban masih kenal.

Surya Lelana memberanikan diri maju dan 

mengulurkan tangan kanan. Uluran tangan itu 

kemudian dibalas oleh Tumpak dan Manis den-

gan menggosok-gosokkan kepala ke lengan dan 

telapak tangan. Melihat sikap ini Surya Lelana 

terharu, kemudian memeluk dua ekor harimau 

itu bergantian.

- Marilah kita menghadap majikanmu!- ka-

tanya halus.

Dua ekor harimau tutul itu bersuara nguk 

nguk, beberapa kali. Lalu Tumpak menggosokkan 

tubuhnya ke paha Surya Lelana. Sesudah itu ia 

mendekam di depannya seperti memberitahukan 

Surya Lelana menunggang di punggungnya. Pe-

muda ini tersenyum, tanpa rewel lagi naik ke 

punggung harimau itu dan tanpa perintah lagi 

harimau itu melompat, lalu berlarian cepat sekali.

Tidak lama kemudian tibalah pemuda ini di 

depan pondok Ki ageng Tunjung Biru. Sesudah ia 

turun dari punggung harimau pemuda ini lang-

sung menuju depan pintu.

- Masuklah, Surya. –

Terdengar suara halus dari dalam pondok, 

sebelum Surya Lelana sempat membuka mulut.

- Terima kasih, Uwa Guru,- sahut Surya 

Lelana. Setelah memberi hormat, pemuda ini me-

langkah masuk.

Akan tetapi pemuda ini melengak kehera-

nan, sesudah tiba di dalam pondok. Ia tidak me-

nemukan Ki ageng Tunjung Biru. Namun mengapa sebabnya ia tadi mendengar dengan jelas sua-

ranya?

Pada saat Surya Lelana termangu-mangu 

heran ini, tiba-tiba terdengar lagi suara yang ha-

lus.

- Duduklah! Kenapa engkau tampak geli-

sah?-

Surya Lelana terperanjat dan cepat-cepat 

menjatuhkan diri duduk. Lalu ia menengadahkan 

kepalanya dan memandang ke atas. Mulut pemu-

da ini melongo kagum, ketika ia melihat apa yang 

dilakukan oleh Ki ageng Tunjung Biru. Kakek 

yang sekarang sudah tampak tua renta itu, ter-

nyata sedang duduk bersila, dua tangannya ber-

sedekap di depan dada dan sepasang mata yang 

tajam berwibawa menatap dirinya.

Yang membuat pemuda ini heran justru Ki 

ageng Tunjung Biru bukan duduk di atas balai-

balai melainkan duduk bersila di atas tali yang 

kecil, melintang di atas penglari pondok. Apa yang 

tampak dan apa yang ia lihat ini memberikan 

bukti, sampai di manakah tingkat ketinggian ilmu 

kakek ini dalam bidang meringankan tubuh. Wa-

laupun duduk bersila di atas tali yang kecil, tidak 

bergerak sedikitpun, seakan sedang duduk di atas

tikar yang dikembangkan di tempat rata.

- Uwa,- katanya dengan suara menggeletar. 

- Apakah Diajeng Sritanjung tidak pulang kema-

ri?-

- Bukankah adikmu pergi ke Majapahit un-

tuk bertemu dengan ayahmu?- Ki ageng Tunjung

Biru tidak menjawab pertanyaan Surya Lelana, 

malah bertanya.

- Benar, Uwa, dan sudah bertemu pula 

dengan Ayah. Tetapi sekarang dia pergi lagi tanpa 

pamit ..-

- Hemm, sudah aku duga sejak lama,- ujar 

kakek ini dan tidak menunjukkan rasa kaget se-

dikitpun.

Surya Lelana heran. - Apakah sebabnya 

Uwa sudah menduga?-

- Hemm, manusia hidup di dunia ini tak-

kan bisa lepas dari takdir, Anakku. Agaknya me-

mang sudah begitulah nasib adikmu. Dia lahir 

dari isteri ayahmu yang lain. Bisa dimengerti apa-

bila dalam keluargamu terdapat pula orang yang 

menerima kehadirannya secara tidak rela. Aki-

batnya adikmu menjadi kecewa, kemudian mela-

rikan diri.-

Diam-diam Surya Lelana kagum. Ia segera 

menceritakan apa yang sudah terjadi di Majapa-

hit. Dan sekarang dirinya sedang berusaha men-

cari adiknya itu.

- Adikmu memang cukup cerdik. Dia agak-

nya tahu, orang akan segera menyusul kemari 

untuk mencari. Itulah sebabnya dia malah pergi 

menurutkan kehendak hatinya yang kecewa dan 

tidak mau pulang kemari. Hemm, apa harus dika-

ta, justru manusia ini tiada artinya sama sekali 

jika dibandingkan dengan Kuasa Dewata Agung 

(Tuhan). Itu sudah merupakan garis yang takkan 

dapati diubah oleh manusia. –


Akan tetapi Uwa, baik saya maupun ayah 

menjadi bingung. Saya dan ayah berusaha men-

gejar dan mencari, namun dia seperti lenyap.-

Ki ageng Tunjung Biru mengusap-usap 

jenggotnya yang putih dan panjang. Kemudian 

katanya.

- Apa yang kau katakan bingung itu karena 

tidak tahu jalan dan arah. Apa yang kau kecewa 

dan sedih itu karena kehendak dan keinginan 

orang tidak tercapai. Itu lumrah dan itu pula pe-

kerjaan manusia hidup di dunia ini yang takkan 

dapat dihindari. Manusia akan selalu bergelut 

dengan suka duka, kecewa dan lega, marah dan 

ketawa, serta lapar maupun kenyang. Sebaliknya 

adikmu tidak perlu engkau cari. Sekarang pulan-

glah ke Majapahit dan aku percaya, apabila dia 

belum mati, kelak kemudian hari akan timbul 

sendiri.-

- Uwa Guru, sulit sekali untuk dapat bersi-

kap seperti itu. –

- Tak ada yang disebut sulit, jika manusia 

benar-benar menyadari hidupnya ini sebagai 

mahluk Dewata Agung (Tuhan), yang ringkih dan 

harus percaya terhadap kekuasaan Dia.-

- Tetapi bukankah manusia wajib berusaha 

dan berihtiar?-

- Benar! Namun dalam usahamu mencari 

adikmu di atas bumi yang luas ini, bagaimana bi-

sa bertemu apabila belum merupakan kehendak 

Dewata Yang Agung? Maka apabila kemudian hari 

adikmu datang kemari, sudah tentu aku akan berusaha membujuk dan mempengaruhi agar sele-

kasnya pulang ke Majapahit dan bertemu dengan 

ayahmu. –

- Apakah tidak mungkin Uwa memberi pe-

tunjuk kepada saya, guna mempermudah usaha 

saya mencari dia?-

- Heh heh heh heh, manakah mungkin aku 

bisa tahu? Jika kau ingin memperoleh petunjuk 

dariku, tiada lain yang dapat aku katakan, pulan-

glah dan tunggulah di rumah. Kepergianmu men-

cari dia hanya akan sia-sia belaka dan tidak 

mungkin bisa bertemu.-

Tetapi Surya Lelana tak mau percaya ter-

hadap ucapan Ki ageng Tunjung Biru. Pendeknya 

ia bertekad untuk mencari terus sampai ketemu. 

Perjalanan ini malah merupakan sarana bagi di-

rinya memperoleh pengalaman yang berharga.

Akhirnya Surya Lelana tidak telaten terlalu 

lama di tempat ini. Ia kemudian minta diri dan 

ternyata orang tua itupun tidak mencegah.

Surya Lelana meninggalkan pondok bobrok 

ini dengan hati yang masygul dan amat kecewa. 

Semula ia berharap Dewi Sritanjung pulang ke 

pondok gurunya. Namun ternyata dugaannya ke-

liru, gurunya sendiri tidak tahu di mana dia bera-

da.

Dalam perjalanan menuju sungai ini, ia ti-

dak bertemu lagi dengan dua ekor harimau tutul 

yang jinak itu. Pemuda ini bergegas, dan baru ia 

merasa lega setelah ia berhasil menyeberangi 

sungai. Pendeknya ia takkan pulang kembali ke


Majapahit, dan akan berkelana sambil mencari 

adiknya itu.

Tetapi perut yang terasa amat lapar sekali, 

menimbulkan rasa melilit-lilit dalam perut. Mata-

hari sudah mulai bergeser di bagian barat. Karena 

itu ia kemudian berusaha mendapatkan maka-

nan, baik buah-buahan maupun binatang kecil. 

Akhirnya setelah ia bersusah payah mengintai 

beberapa lama, ia mendapatkan seekor ayam hu-

tan gemuk sebagai hasil sambitannya. Kemudian 

pemuda ini sibuk dengan daging ayam hutan 

yang gurih ini.

Tetapi celakanya pula, setelah perut men-

jadi kenyang, mata yang sudah mengantuk itu ti-

dak dapat ia ajak damai lagi. Maka guna mengo-

bati rasa kantuk dan lelahnya itu tiada jalan lain 

kecuali harus mencari tempat aman guna tidur.

Surya Lelana geragapan dan terbangun, 

ketika ufuk timur sudah membara. Malam sudah 

hampir pagi. Sekarang rasa kantuk, letih dan 

pegal sudah hilang, dan tenaganya pulih kembali.

Melakukan perjalanan jauh di pagi hari ju-

stru tidak cepat lelah. Oleh sebab itu setelah 

mencuci muka ia sudah melangkah cepat menuju 

ke selatan.

Tanpa terasa tibalah pemuda ini di ping-

gang Gunung Wilis. Pada saat pemuda ini sedang 

mencari binatang buruan guna mengisi perutnya 

yang lapar, mendadak ia kaget oleh bentakan 

orang yang keras.

- Hai jahanam! Siapakah engkau berani


berkeliaran di tempat ini?-

Surya Lelana terbelalak. Tahu-tahu di de-

pannya sekarang telah berdiri seorang kakek. Pa-

da tangan kirinya terjinjing keranjang kecil dari 

bambu dan dalam keranjang tersebut tampak be-

berapa macam daun dan jamur.

Mata kakek itu mengamati Surya Lelana 

penuh selidik dan curiga.

Sedang Surya Lelana memandang kakek 

itu dengan pandang mata keheranan. Ia sekarang 

ini melangkah menurutkan langkah kakinya dan 

mendaki pinggang Wilis ini. Tetapi kenapa tiba-

tiba ada seorang yang membentak dan menjadi 

marah seperti ini? Lalu apakah kesalahannya?

Tetapi belum juga pemuda ini sempat men-

jawab bentakan orang itu, tiba-tiba ia mendengar 

suara orang berteriak.

- Guru! Ha ha ha ha, murid mendapatkan 

jamur yang aneh. -

Tak lama kemudian tampak seorang pe-

muda tanggung berlarian cepat menghampiri ka-

kek itu. Katanya lagi.

-Inilah Guru, jamur aneh itu!-

Kakek ini menerima jamur yang bentuknya 

seperti telor burung, tetapi warnanya merah se-

perti darah. Dengan mata membelalak sebentar, 

kakek ini kemudian berkata.

- Heh heh heh heh, inilah jamur yang se-

dang kucari!-

Pemuda ini menyeringai gembira. Namun 

tiba-tiba ia mendelik ke arah Surya Lelana. Ia


menatap gurunya sebentar, lalu berkata

- Guru! Siapakah orang ini?-

- Hai bocah! Apakah telingamu tuli? Men-

gapa sebabnya engkau tidak mau menjawab per-

tanyaanku?- hardik kakek itu dengan galak dan 

sikap tidak senang.

Apabila kakek itu tampak tidak senang, le-

bih-lebih Surya Lelana juga tidak senang. Maka 

kemudian jawabnya.

- Hemm, aku tidak tuli! Huh, tetapi uca-

panmu tadi terlalu kasar dan menghina orang. 

Sudah semestinyakah seorang tua yang minta 

kau hargai, menyebut orang dengan sebutan ja-

hanam?-

- Uah, sombongnya orang ini, Guru. Beri-

lah kesempatan murid menghajar orang kuranga-

jar ini!- kata pemuda itu dengan nada penuh ke-

marahan dan nafsu.

- Heh heh heh heh,- kakek itu terkekeh. -

Bocah yang tidak tahu tingginya gunung dan da-

lamnya lautan, berani membuka mulut semba-

rangan di depanku? Hayo, jawablah pertanyaan-

ku. Apakah maksudmu berkeliaran di tempat ter-

larang ini?-

- Tempat terlarang?- pemuda ini tercen-

gang.

- Siapakah yang melarang dan manakah 

tanda larangan itu? Aku datang ke tempat ini 

menurutkan langkah kakiku. Siapa yang bisa me-

larang? Engkaupun bukan pemilik gunung ini. 

Mengapa bisa melarang orang lain mendekati Gunung Wilis ini?-

- Tutup mulutmu yang busuk!- bentak pe-

muda itu sambil berkacak pinggang, matanya 

mendelik.

- Apakah engkau memang sudah bosan hi-

dup, berani kurangajar di depan Guruku dan di 

depanku? Huh, dengar baik-baik. Aku bernama 

Sentiko! Sedang Guruku ini bernama Giri Samo-

dra, seorang tokoh sakti tanpa tanding. Tahu? 

Hayo lekas engkau berlutut dan mohon ampun 

atau tidak?-

Surya Lelana tidak kaget karena memang 

belum pernah mendengar nama guru dan murid 

ini. Oleh karena itu ia menyahut dingin.

- Hemm, aku tidak bersalah kepada siapa-

pun.-

- Guru! Bocah ini terlalu sombong! Berilah 

kesempatan kepada murid untuk menghajarnya 

sekarang juga. Huh, siapa tahu dia berkeliaran di 

sini memang bermaksud untuk mencuri jamur 

dan daun obat?-

- Hem, baiklah! Hitung-hitung bisa kau 

pergunakan selingan melatih diri. Agar dengan 

perkelahian sungguh-sungguh ini, engkau men-

dapat tambahan pengalaman yang berharga.-

- Ha ha ha ha, terima kasih, Guru!- seru 

pemuda yang bernama Sentiko ini dengan gembi-

ra. Kemudian bentaknya penuh ejekan dan hi-

naan. - Hai bocah sombong yang kurus kurang 

gizi. Apabila engkau tadi bersikap baik, aku mau-

pun Guru tidak akan menjadi marah dan mungkin Guruku yang baik hati ini malah sudi membe-

ri sebungkus nasi. Ha ha ha ha, aku tahu engkau 

tentu pencuri jamur dan daun obat itu. Maka hari 

ini engkau takkan dapat lolos lagi dan mampus 

dalam tangan ku.-

Kakek bertubuh tinggi besar dan bernama 

Giri Samodra itu terkekeh senang mendengar 

ucapan muridnya yang pandai menghina dan me-

rendahkan orang itu. Ia juga merasa bangga bah-

wa muridnya bersikap gagah di hadapan orang. 

Sedangkan kata-kata yang diucapkan oleh Senti-

ko, menurut penilaiannya, muridnya memang ha-

rus bersikap seperti itu. Ia tidak merasa sama se-

kali bahwa ucapan muridnya itu terlalu menghina 

orang.

Betapa marah Surya Lelana menghadapi 

guru dan murid yang sikapnya liar seperti ini. Se-

bab tanpa meneliti dan tanpa bukti apapun, su-

dah menuduh orang seenak perutnya sendiri, se-

bagai pencuri jamur dan daun obat.

- Huh, guru dan murid yang liar tanpa atu-

ran. Menuduh orang seenak perutnya sendiri 

tanpa bukti. Siapakah yang mau mencari jamur 

dan obat yang tidak ada harganya itu?- jawab 

Surya Lelana, penasaran.

- Apa? Bedebah busuk bermulut lancang. 

Siapa bilang jamur tidak berharga? Huh, jamur 

obat ini ada dua kegunaan. Untuk ramuan racun 

dan ramuan obat.....-

- Sentiko! Tidak perlu berpanjang mulut, 

seranglah dia!- bentak gurunya.


Baik, Guru!- sahutnya singkat.

Lalu tanpa membuka mulut lagi, pemuda 

ini menerjang ke arah Surya Lelana. Gerakannya 

cukup cepat dan sambaran anginnyapun cukup 

kuat. Namun Surya Lelana tidak menjadi gentar 

dan sekalipun tidak ingin berkelahi, ia terpaksa 

melayani juga.

Giri Samodra sudah mengundurkan diri, 

sekarang berdiri di pinggir sambil menonton. Ka-

kek ini tampak demikian percaya akan ketanggu-

han muridnya. Murid tunggal yang kelak kemu-

dian hari menjadi tumpuan harapannya, dapat 

mewarisi seluruh ilmunya. 

Siapakah guru dan murid ini? Bagi yang 

sudah membaca buku berjudul SI TANGAN IBLIS 

kiranya masih ingat, dua nama Umbaran, ialah: 

Giri Samodra dan Sentiko. Kakek ini adalah seo-

rang pelarian dari Majapahit, dan sebelum mela-

rikan diri namanya Umbaran, salah seorang 

Dharmaputra Majapahit yang tidak senang den-

gan Gajah Mada.

Adapun muridnya ini adalah cucu Si Tan-

gan Iblis, dank arena bocah ini pergi meninggal-

kan rumah tanpa pamit menyebabkan keluarga 

kebingungan. Karena bocah sekecil Sentiko ini 

pergi dengan maksud akan memusuhi Gajah Ma-

da. Oleh karena itu Si Tangan Iblis kebingungan 

dan khawatir sekali, maka lewat para murid, Si 

Tangan Iblis memerintahkan agar mencari Senti-

ko.

Antara guru dan murid ini memang mem


punyai pendirian dan cita-cita yang sama. Dengan 

jalan apapun harus dapat membunuh Gajah Ma-

da.

Giri Samudra tertarik kepada Sentiko dan 

kemudian mengangkatnya sebagai murid, karena 

terpengaruh oleh bakat dan ketabahannya. Maka 

walaupun belum dua tahun mendapat bimbingan 

dan gemblengan Giri Samudra, bocah ini sudah 

maju pesat baik dalam ilmu kesaktian maupun 

ilmu ketabiban.

- Bagus, heh he heh heh heh! – Sentiko 

memuji sambil terkekeh gembira ketika terjan-

gannya dengan gampang dihindari lawan.

Pemuda yang baru meningkat dewasa ini 

kembali menerjang dan melancarkan pukulan-

pukulan berbahaya.

Sebenarnya Surya Lelana tidak mempunyai 

selera berkelahi dengan siapapun. Dan tujuannya 

pergi sekarang ini tidak lain guna menemukan 

adiknya. Maka sambil berloncatan menghindar 

tanpa membalas, ia berteriak.

- Hai, hentikan! Tahan dulu! Aku tidak 

mau berkelahi, kenapa kau memaksa orang?-

- Cerewet!- bentak Sentiko sambil memu-

kul dada dengan tangan kanan dan mencengke-

ram pundak dengan tangan kiri.

Cengkeraman tangan kiri ini setiap waktu 

bisa berubah menjadi pukulan berbahaya, se-

dangkan kakipun siap sedia melancarkan seran-

gan dari bawah. Terusnya.

- Kau pencuri jamur obat. Jika bandel dan


tidak mau menyerah, huh, engkau harus mam-

pus dalam tanganku.-

Mendengar dirinya tetap dituduh sebagai 

pencuri jamur itu, Surya Lelana menjadi marah. 

Ia tidak mau berbantahan lagi, sebab bagaimana-

pun dirinya akan tetap dituduh sebagai seorang 

pencuri. Sungguh terlalu! Maka apapun yang ter-

jadi dirinya harus dapat mengalahkan pemuda 

sombong dan main tuduh ini. 

Dan sekalipun ia sadar tidak mungkin da-

pat menang melawan kakek itu, ia akan membela 

kehormatan dan kebenaran, kalau perlu malah 

dengan pertaruhan nyawa. Ia bersedia mati! Oleh 

sebab itu sesudah mengalah tiga gebrakan, ia 

mulai melakukan serangan balasan.

Perkelahian cepat menjadi sengit. Lebih lagi 

serangan-serangan Sentiko demikian ganas. Se-

rangan yang selalu memilih bagian tubuh yang 

mematikan. Maka Surya Lelana tidak berani sem-

brono lagi dan mengimbangi pukulan-

pukulannya.

Giri Samodra mengamati perkelahian itu 

dengan alis berkerut. Diam-diam kakek ini kagum 

dibuatnya, melihat kecepatan gerak Surya Lelana. 

Disamping gerak-geriknya yang mantap, matang 

dan setiap pukulannya bertenaga kuat. Sebagai 

seorang tokoh sakti yang berpandangan tajam, ia 

sudah dapat menduga apa yang akan terjadi. Dan 

jika ia membiarkan terus, jelas sekali muridnya 

sendiri yang akan kalah.

Giri Samodra masih berdiam diri dan me


nonton penuh perhatian. Ia baru akan bertindak 

apabila keadaan memaksa dan muridnya dalam 

bahaya.

Namun tiba-tiba kakek ini terbelalak. Ka-

kek ini kemudian mengejap-ngejapkan matanya 

seperti tidak percaya akan pandang matanya sen-

diri. Hanya sekejap saja dan tiba-tiba terdengar-

lah bentakan nyaring.

- Sentiko! Mundur!-

Sentiko mendengar jelas perintah gurunya 

ini. Tetapi pemuda ini tidak segera tunduk kepada 

perintah itu. Sebab ia menjadi penasaran, tidak 

cepat dapat mengalahkan lawan, dan sebaliknya 

ia tidak merasa kewalahan dan juga belum kalah. 

Lalu mengapa gurunya sudah memerintahkan 

agar dirinya mundur? Karena penasaran ia malah 

menyerang lebih dahsyat ke arah lawan. Maksud-

nya untuk mempercepat guna mendapat keme-

nangan.

Wut.....wut.........-Ahhhh........!

Pemuda bandel ini tiba-tiba berteriak ter-

tahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang bebe-

rapa langkah. Demikian pula Surya Lelana ter-

huyung ke belakang beberapa langkah tanpa 

mampu menahan diri, terdorong oleh kibasan 

tangan Giri Samodra yang bertenaga dahsyat, dan 

kakek itu sendiri sekarang telah berdiri di depan-

nya.

- Hemm, siapapun adanya aku tidak ada 

hubungannya dengan engkau!- bentaknya dengan 

ketus dan nadanya dingin.


Sebenarnya tidak biasa bagi Surya Lelana 

untuk bersikap seperti ini kepada seorang tua. Ia 

seorang pemuda yang telah terdidik semenjak ke-

cil dalam hal tata kesopanan. Sebagai seorang 

muda ia pandai sekali menempatkan diri apabila 

berhadapan dengan orang tua.

Adapun sebabnya ia bersikap dingin dan 

seangkuh itu, bukan lain hatinya tersinggung dan 

penasaran oleh sikap guru dan murid ini yang se-

cara membabi buta telah menuduh dirinya seba-

gai "pencuri". Semudah itukah orang menuduh 

dirinya sebagai pencuri, tanpa mengingat bukti-

bukti?

- Huh! Engkau seorang pemuda yang ku-

rangajar, dan tidak pandai menghormati orang 

tua!-

Surya Lelana mendelik marah. Balasnya,

- Tergantung kepada orang tua itu sendiri, 

penghargaan orang muda diberikan.-

Giri Samodra terbelalak. - Apa katamu?-

- Huh, aku berkata, seorang muda tentu 

saja akan menempatkan diri sebagai seorang mu-

da, kalamana orang yang lebih tua pandai me-

nempatkan diri.- sahut Surya Lelana tanpa gentar 

sedikitpun, dan membalas menatap tajam kepada 

kakek itu.

Sejenak kemudian pemuda ini meneruskan 

dalam usaha membela diri.

- Engkau dan muridmu tanpa alasan dan 

bukti telah menuduh aku seenak perutmu sendi-

ri, sebagai seorang pencuri. Huh! Untuk apakah


aku mencuri jamur dan daun-daunan itu? Wa-

laupun jamur dan daun itu kau pandang amat 

berguna, tetapi bagi aku tiada harganya sama se-

kali. Sebab aku tidak tahu kegunaan jamur mau-

pun daun yang kau sebut obat itu.-

- Heh heh heh heh, jika engkau tidak men-

gandung maksud semacam itu, lalu apakah mak-

sudmu mendaki gunung ini?-

- Aku sedang melakukan perjalanan jauh. 

Siapakah yang dapat melarang aku lewat gunung 

ini? Huh, engkau bukan pemilik gunung ini. Apa-

kah hak engkau melarang orang lain?-

- Uah, mulutmu terlalu lancang dan mem-

buka mulut sembarangan di depanku. Hayo kata-

kanlah terus terang. Apakah hubunganmu den-

gan Gajah Mada?-

Surya Lelana terbelalak kaget mendengar 

pertanyaan ini. Apakah sebabnya kakek ini secara 

tepat dapat menduga seperti itu? Apakah kakek 

ini seorang waskita yang telah tahu lebih dahulu, 

sebelum orang menerangkan? Untung sekali 

Surya Lelana bukan pemuda bodoh, sahutnya te-

gas.

- Kenalpun belum, apakah sebabnya eng-

kau menduga seperti itu?-

- Heh heh heh heh, seekor tikus kecil bera-

ni membohong di depan Giri Samodra?- Giri Sa-

modra mendelik marah. - Gerak tata kelahi yang 

kau pergunakan itu, jelas ilmu tangan kosong 

yang bernama Hastha Marga. Ilmu tata kelahi 

tangan kosong itu dibanggakan oleh Gajah Mada.


Hayo, mengaku punya hubungan atau tidak?-

Surya Lelana terkesiap mendengar ucapan 

Giri Samodra yang tepat ini. Sebab, apa yang ia 

pergunakan berkelahi tadi memang ilmu tata ke-

lahi yang bernama Hastha Marga Manila (delapan 

penjuru angin) ajaran Gajah Mada. Kalau kakek 

ini sudah mengenal ilmu tata kelahi yang ia per-

gunakan, jelas kakek ini sudah amat luas penga-

laman. Atau setidak-tidaknya kakek ini pernah 

kenal, atau pernah berkelahi melawan Gajah Ma-

da, gurunya.

Sebagai seorang pemuda cerdik, tentu saja 

Surya Lelana tak mau mengaku adanya hubun-

gan antara dirinya dengan Gajah Mada. Ia cukup 

menyadari, Gajah Mada yang bijaksana dan keras 

dalam menjalankan pemerintahan Majapahit itu, 

banyak dimusuhi dan dibenci orang.

Bagi dirinya sendiri, nyawanya yang hanya 

selembar tidak ada harganya. Dan yang ia khawa-

tirkan bukan keselamatan sendiri, tetapi malah 

Gajah Mada. Sebab, siapa tahu kalau kakek ini 

kemudian menggunakan dirinya untuk maksud-

maksud tertentu yang akan merugikan Gajah 

Mada? Dan mungkin malah menggunakan dirinya 

sebagai sandera untuk memeras dan memaksa 

Gajah Mada dengan maksud tertentu yang jahat.

- Ha ha ha ha,- tiba-tiba saja Surya Lelana 

tertawa terkekeh, sehingga Giri Samodra terbela-

lak heran.

Surya Lelana memang sengaja ketawa be-

kakakan, guna mengurangi rasa tegang dalam

dadanya.

- Hai orang tua! Engkau jangan mimpi di 

siang bolong. Kenal pun tidak, mengapa sebabnya 

engkau menanyakan orang yang berkedudukan-

nya amat tinggi di Majapahit itu? Dan kalau toh 

aku mempunyai hubungan dekat dengan dia, 

atau katakanlah salah seorang muridnya, mana-

kah mungkin aku mendapat kesempatan berke-

liaran pergi sesuka hatiku sendiri seperti ini? Seo-

rang murid Gajah Mada tentunya memikul tugas 

kewajiban yang tidak enteng di Majapahit.-

Untuk sejenak kakek ini melongo. Namun 

demikian kakek ini juga tak gampang mau per-

caya. Jelas ia tadi melihat pemuda di depannya 

ini, berkelahi menggunakan ilmu tata kelahi Has-

tha Marga Maruta, yang sudah ia kenal ketika di-

rinya berkelahi melawan Gajah Mada. Adalah 

mustahil pemuda ini menggunakan ilmu tersebut, 

tidak mempunyai hubungan apapun dengan Ga-

jah Mada.

-Setan cilik, engkau berani berdusta kepa-

daku? Huh, tidak ada gunanya kau berdusta ke-

pada Giri Samudra. Huh, engkau tentu mempu-

nyai hubungan dengan Gajah Mada –

-Hai Setan gede! – balas pemuda ini sambil 

mendelik, tampak tidak gentar sedikitpun. –Ilmu 

tata kelahi yang dikenal oleh manusia di dunia 

ini, tentu saja ada kalanya hampir bersamaan. 

Kenapa kau menjadi heran? Pendeknya engkau 

boleh percaya dan boleh tidak percaya. Aku tidak 

kenal dengan Gajah Mada itu, apapula mempu


nyai hubungan. Sudahlah, pendeknya apakah 

maksudmu hai orangtua? –

Surya Lelana sengaja memancing Giri Sa-

mudra dengan kata-kata ketus menghina. Bukan 

lain maksudnya agar Giri samudra tidak terus 

mendesak tentang hubungannya dengan Gajah 

Mada.

Ternyata pancingan Surya Lelana ini ber-

hasil juga. Kakek itu mendelik dengan mata me-

rah. Bentaknya menggeledek.

-Kurang ajar! Setan kecil yang sombong 

dan ketus! Engkau mau minta ampun atau tidak 

kepadaku? Huh, jahanam orang jembel yang hina 

dan tak kenal kesopanan. Huh, jahanam orang 

jembel yang hina dan tak kenal kesopanan. Sang-

kamu aku ini orang apa, hee!-

- Huh, kau sendiri orang jembel yang hina 

dan terkutuk. Buktinya kau berkeliaran di Wilis 

ini!-

Giri Samodra berjingkrak saking marah. 

Matanya menyala dan kumisnya berdiri seperti 

sapu lidi. Bentaknya lebih keras, suaranya ter-

dengar seperti guntur dan kuasa menggetarkan 

jantung.

- Bangsat hina! Dengarlah dan buka ma-

tamu lebar-lebar hai orang hina! Aku adalah Um-

baran, salah seorang Dharmaputra Majapahit, 

putera Pangeran Jayawangsa. Huh huh, engkau 

jangan membuka mulut sembarangan di depan-

ku. Tahu?-

Mendengar disebutnya nama Umbaran se


bagai putera Pangeran Jayawangsa ini, Surya Le-

lana terbelalak. Tentu saja pemuda ini sebagai 

putra Mpu Nala, sudah pernah pula mendengar 

nama itu. Ialah nama seorang Dharmaputra yang 

ketika itu berpihak kepada Kuti dan Semi dan 

memberontak kepada Raja Jayanegara. Ternyata 

Umbaran ini sekarang masih hidup dan bersunyi-

sunyi di gunung ini, hanya hidup bersama seo-

rang muridnya.

- Heh heh heh heh,- Umbaran terkekeh 

mengejek. - Engkau kaget! Nah, sesudah engkau 

mendengar dan mengerti aku ini Umbaran, putera 

Pangeran Jayawangsa, hayo, segeralah berlutut di 

depanku dan mohon ampun!-

Akan tetapi justru oleh pengakuan Umba-

ran ini. Surya Lelana menjadi lebih hati-hati lagi. 

Kakek ini bukan saja benci kepada Gajah Mada, 

tetapi juga tentu benci kepada ayahnya, Mpu Na-

la. Kakek ini merupakan orang yang berbahaya 

bagi Majapahit dan para pemegang kekuasaan 

negara Majapahit.

Surya Lelana terkekeh mengejek. Katanya 

kemudian.

- Heh heh heh heh, lucu.....lucu! Siapakah 

yang mau percaya, ada anak seorang pangeran 

Majapahit, seorang Dharmaputra Majapahit, ber-

sedia hidup bersunyi di sini? Heh heh heh heh, 

kalau toh benar ada seorang putera pangeran 

yang hidup sengsara seperti engkau ini, kiranya 

adalah anak pangeran yang berdosa. Karena eng-

kau takut kepada akibat perbuatanmu sendiri


yang terkutuk, lalu melarikan diri, mencari sela-

mat!-

Betapa marah Giri Samodra mendengar 

ucapan pemuda ini. Lebih-lebih ucapan pemuda 

ini tepat sekali, justru dirinya memang sudah 

berbuat dosa. Berbuat salah terhadap kerajaan, 

sehingga dirinya terpaksa melarikan diri dan ber-

sunyi-sunyi di gunung ini. Saking marahnya, ti-

ba-tiba saja tangan Giri Samodra bergerak dan 

memukul ke arah pohon yang tumbuh tegak di 

sampingnya.

Brakkk.....krakkkk.....bummm.....!

Tangan Giri Samodra tidak menyentuh ba-

tang pohon itu. Tetapi akibat dari pukulan itu he-

bat sekali. Hanya tersambar oleh angin pukulan 

saja, pohon sebesar paha orang dewasa itu telah 

patah di tengah dan roboh.

Diam-diam Surya Lelana kaget. Jelas sekali 

tenaga kakek ini hebat bukan main. Ia tidak boleh 

semberono menghadapi kakek ini, jika masih in-

gin hidup.

- Huh huh lihat baik-baik! Batang pohon 

itu roboh sekali ku pukul. Huh, kepalamu akan 

kuremukkan jika kau lancang mulut. Hayo, lekas 

berlutut dan mohon ampun atau tidak?-

Sekarang Surya Lelana harus mengguna-

kan kecerdasan otaknya menghadapi kakek ini. 

Maka katanya kemudian.

- Paman, aku tidak bersalah sedikitpun 

terhadap engkau. Mengapa sebabnya engkau in-

gin memaksa aku supaya minta ampun dan ber


lutut di depanmu?-

- Setan cilik! Setan alas! Engkau masih ju-

ga berusaha mungkir?! Huh, akui sajalah dan 

jangan berusaha mungkir?! Huh, engkau datang 

di tempat ini secara mencurigakan. Huh, mau 

apakah jika engkau memang tidak bermaksud 

mencuri jamur dan daun obat? Huh, akui sajalah 

dan jangan mungkir!-

Surya Lelana penasaran sekali. Bantahnya

keras.

- Engkau selalu menuduh aku mencuri ja-

mur dan daun obat. Huh, aku tidak mencuri! Aku 

lewat di sini dalam perjalananku mencari adikku. 

Engkau boleh percaya dan boleh tidak percaya. 

Pendeknya, aku tidak sudi harus minta ampun 

dan berlutut di depanmu, karena aku tidak bersa-

lah!-

- Setan cilik yang keras kepala! Engkau 

memiliki ilmu tata kelahi yang mirip dengan ilmu 

tata kelahi Gajah Mada, namun engkau tidak juga 

mau mengaku. Dan sekarang engkau pun mung-

kir, tidak mau mengaku akan mencuri jamur dan 

daun obat itu. Huh huh, baiklah! Setan cilik yang 

keras kepala seperti kau ini, memang sepantas-

nya aku bunuh!-

- Setan gede!- teriak Surya Lelana semakin 

tambah marah. - Sangkamu semudah ucapanmu 

membunuh aku? Huh, marilah kita coba.-

Karena tak ada jalan lagi untuk menghin-

darkan diri dari ancaman Giri Samodra, pemuda 

ini menjadi nekad. Ia memang sadar, bukan lawan kakek penghuni Gunung Wilis ini dan yang 

mengaku masih seorang Dharmaputra Majapahit, 

bernama Umbaran. Akan tetapi sebaliknya mana-

kah mungkin ia mau dihina dan dibunuh tanpa 

memberi perlawanan? Apapun yang terjadi, ia 

bertekad untuk melawan. Mati, kalah dalam ber-

kelahi bagaimanapun masih lebih terhormat dan 

lebih berharga, dibanding dengan mati tanpa per-

lawanan sama sekali.

Disamping itu sadar dirinya bukan tandin-

gan Giri Samodra, ia tidak berani sembrono da-

lam melawan dan harus bersenjata.

Sring.....seleret sinar yang panjang men-

cuat ke atas. Sebatang pedang yang tajam dan 

putih telah teracung di depan muka pemuda ini. 

Dan kemudian sepasang matanya menatap tajam 

kepada Giri Samodra tak berkedip. Pendeknya 

pemuda ini telah dalam keadaan siap siaga 

menghadapi segala kemungkinan.

- Bagus, heh heh heh heh!- kata Giri Sa-

modra sambil terkekeh. - Engkau mengajak ber-

main-main dengan kakekmu? Mari engkau berpe-

dang dan aku layani dengan tangan kosong. Ka-

lau dalam lima jurus aku tidak dapat merebut 

pedangmu, heh heh heh heh, anggap saja kakek-

mu ini kalah. –

- Benarkah katamu?- pemuda ini menyam-

but gembira.

Lima jurus tidak lama. Apabila dirinya cu-

kup berhati-hati dalam melawan, tidak mungkin 

pedangnya dapat direbut orang.


Pada kenyataannya memang Surya Lelana 

bukan pemuda sembarangan. Disamping mempe-

roleh gemblengan dari ayahnya sendiri, Mpu Nala, 

iapun mendapat gemblengan Gajah Mada. Dan 

itulah sebabnya ia merupakan murid Gajah Mada 

pula.

Di ibu kota Majapahit, Mpu Nala terkenal 

sebagai ahli pedang tanpa tanding. Kecepatan ge-

rak pedangnya, orang sulit menduga sehingga ti-

dak sedikit tokoh sakti yang mengagumi ilmu pe-

dangnya. Surya Lelana mewarisi ilmu pedang 

ayahnya yang hebat itu. Ilmu pedang yang ber-

nama Thathit Leliweran, dan sesuai dengan na-

manya, maka kecepatan pedang tersebut seperti 

thathit menyambar-nyambar

Justru ia menguasai dua macam ilmu, dari 

ayahnya dan dari Gajah Mada itu, menyebabkan 

ketika bertanding dengan Dewi Sritanjung, secara 

kebetulan Surya Lelana menggunakan tata kelahi 

dari ayahnya, sehingga ilmu mereka berdua tiada 

kemiripannya. Untuk ini agar jelas, silakan Pem-

baca yang budiman membaca buku berjudul 

JASA AIR SUSU HARIMAU.

Pemuda ini justru mempunyai sarana da-

lam ilmu pedang itu. Sarana kecepatannya berge-

rak sehingga dirinya mendapat julukan Si Tapak 

Angin. Disamping itu ia juga mewarisi ilmu pe-

dang dari Gajah Mada, bernama Samodra Kine-

bur.

Sekarang dua macam ilmu pedang yang 

hebat itu, telah berhasil ia kuasai dengan baik,


sekalipun belum sempurna. Akan tetapi antara 

dua macam ilmu pedang tersebut memang sama 

cepatnya, disamping rapat pertahanannya. Ter-

bangunlah semangat pemuda ini, penuh rasa per-

caya, dirinya akan dapat bertahan sebaik-baiknya 

dalam lima jurus. Ia akan memilih bagian-bagian 

yang paling hebat dari dua macam ilmu pedang 

itu.

Giri Samodra menatap Surya Lelana penuh 

perhatian. Lalu perintahnya.

- Hayo, cepat seranglah!-

Siut..... wut..... Tanpa membuka mulut 

Surya Lelana sudah menerjang maju dan melan-

carkan serangannya. Surya Lelana memulai se-

rangannya menggunakan ilmu pedang ajaran 

ayahnya. Ilmu pedang bernama Thathit Leliweran, 

langsung memilih jurus yang ketujuh, pedangnya 

menyambar leher.

Giri Samodra terkekeh. Kakek ini tidak 

bergerak dan hanya mengangkat tangan kiri men-

gibas disusul oleh gerakan tangan kanan yang 

langsung mencengkeram batang pedang.

- Ahhhh - Giri Samodra berseru kaget 

sambil mengebutkan telapak tangan kanan dan 

melompat ke samping.

Kakek ini memang benar-benar kaget ka-

rena sama sekali tidak pernah ia duga, pedang 

Surya Lelana hampir saja berhasil membabat 

pundaknya. Benar-benar merupakan gerak ilmu 

pedang yang aneh, tetapi amat berbahaya.

Serangan Surya Lelana tadi disebut Kem


bang Elok Mawa Wisa (Bunga Indah Beracun). 

Babatan ke arah leher hanya pancingan. Maka 

ketika tangan kakek ini tadi mengebut, pedang ini 

melenceng juga sebagai akibat kibasan angin 

yang kuat. Tetapi pedang yang menyeleweng itu 

gerakannya diteruskan membabat pundak dari 

bawah.

Sekali serang hampir berhasil ini menye-

babkan Surya Lelana lebih mantap dan berse-

mangat. Ia tidak memberi waktu untuk bernapas. 

Maka ia menyusuli serangan ilmu pedang yang 

sama, menggunakan jurus yang ke sebelas dan 

diteruskan dengan jurus yang ke tigabelas. Kece-

patan gerak serangan yang kedua lebih cepat dan 

berbahaya dibanding dengan yang pertama. Dan 

bagian yang ketigabelaspun merupakan serangan 

yang tidak kurang berbahayanya.

Akan tetapi Giri Samodra seorang kakek 

sakti mandraguna, cerdik dan luas pengalaman. 

Serangan pertama yang hampir mencelakai di-

rinya tadi menyadarkannya, pemuda ini mempu-

nyai kecepatan bergerak yang bukan main. Maka 

begitu serangan kedua dan ketiga menyusul, Giri 

Samodra telah dapat mengatasi. Tetapi bagaima-

napun pula, diam-diam kakek ini kagum juga 

oleh kecepatan gerak pemuda ini.

Sebaliknya Surya Lelana menjadi penasa-

ran, tiga kali serangannya tidak berhasil menyen-

tuh tubuh lawan. Malah sedikit saja lambat gera-

kannya, pedangnya tentu sudah berhasil direbut 

oleh lawan.


Sekarang tinggal dua jurus lagi. Apabila 

kakek ini tidak berhasil merebut pedangnya, be-

rarti kakek ini tidak akan mengganggu gugat di-

rinya lagi. Untuk itu ia menggunakan ilmu pe-

dang ajaran Gajah Mada yang bernama Samodra 

Kinebur. Sebab, ilmu pedang ini disamping mem-

punyai ciri kecepatan gerak dan serangannya, ju-

ga memiliki pertahanan yang amat kuat. Dengan 

demikian tidaklah mudah bagi orang untuk dapat 

merebut senjatanya.

Sringsiuttt.....- Ahhhh .....!

Lagi-lagi terdengar seruan tertahan dari 

mulut kakek itu.

Seruan tertahan dari mulut kakek ini me-

nimbulkan kakek ini kaget berbareng kagum oleh 

serangan pedangnya yang berbahaya.

Akan tetapi dugaan pemuda ini keliru. Pe-

muda ini menjadi lupa, ilmu pedangnya itu mem-

buka kedoknya sendiri yang mempunyai hubun-

gan dengan Gajah Mada. Kalau tadi begitu meli-

hat ilmu tangan kosong yang ia pergunakan su-

dah bisa menduga hubungannya dengan Gajah 

Mada, apalagi sekarang. Kalau tadi Giri Samodra 

sudah terlupa soal ini, sekarang teringat kembali.

- Kau ..... kau murid Gajah Mada!- bentak 

Samodra dengan mata mendelik menyinarkan api 

kemarahan. - Huh! Kubunuh kau! Kubunuh kau!-

Surya Lelana kaget setengah mati. Seka-

rang ia baru sadar kesembronoan ya sendiri, telah 

menggunakan ilmu pedang Samodra Kinebur. Ka-

lau tadi ketika dirinya menggunakan ilmu tangan


kosong saja kakek ini dapat mengenal, maka se-

karang malah dapat menetapkan sebagai murid 

Gajah Mada.

Akan tetapi sekalipun benar dirinya salah 

seorang murid Gajah Mada, sudah tentu Surya 

Lelana takkan mau mengaku. Bukan karena si-

kapnya ini merupakan sikap yang pengecut. Sa-

ma sekali bukan! Tetapi malah dalam usaha 

menghindarkan hal-hal yang tidak ia harapkan, 

dan juga jangan merugikan nama baik Gajah Ma-

da.

- Hei! Jangan menuduh secara ngawur!-

bentak Surya Lelana sengit. - Aku tidak mempu-

nyai hubungan apapun dengan Gajah Mada. –

- Heh heh heh heh, jika engkau bukan mu-

rid Gajah Mada. Katakan bahwa Gajah Mada seo-

rang terkutuk dan tidak tahu malu!-

- Apa? Beliau adalah Patih Mangkubumi 

Majapahit. Beliau seorang mahapatih yang mem-

peroleh kepercayaan penuh memerintah Majapa-

hit. Benarkah seorang kawula bersikap kurang-

ajar seperti ini? Huh, aku bukanlah kawula Maja-

pahit yang membabi buta. Aku tahu Gajah Mada 

bukanlah terkutuk dan tidak tahu malu seperti 

tuduhanmu itu.-

- Guru! Jika dia tidak berani mencaci maki 

Gajah Mada, berarti dia benar-benar mempunyai 

hubungan. Dan tentu dia datang ke tempat ini 

mempunyai maksud tidak baik!- teriak Sentiko.

Bagi pemuda ini, setiap nama Gajah Mada 

disebut-sebut, justru membangkitkan semangat


dan api dendam. Cerita kakeknya yang bernama 

Si Tangan Iblis itu, amat mengesan di dalam lu-

buk hati pemuda ini. Menurut pikirannya baik 

ayah maupun ibunya, semua meninggal akibat 

dibunuh Gajah Mada dan Nala. Dendam ini tak-

kan mungkin dapat terhapus, sebelum dirinya 

dapat membalas dendam.

Rasa dendam dan kebenciannya kepada 

Gajah Mada maupun kepada Nala itu, makin ber-

tambah lagi setelah Sentiko menjadi murid Giri 

Samodra. Sebab kakek yang pada waktu mu-

danya bernama Umbaran ini, membenci setengah 

mati kepada Gajah Mada, seorang bukan keturu-

nan bangsawan yang mempunyai kedudukan 

amat tinggi di Majapahit. Maka pada setiap ke-

sempatan kakek ini selalu melancarkan tuah 

bahwa Gajah Mada seorang yang jahat.

Dan sekarang, baik Giri Samodra maupun 

Sentiko menekan kepada Surya Lelana, supaya 

pemuda ini mencaci maki Gajah Mada guna 

membuktikan tiada hubungan sama sekali. Tetapi 

sebaliknya apabila Surya Lelana menolak, terbuk-

tilah memang benar, hubungan ini tidak bisa di-

pungkiri.

Pada zaman cerita ini terjadi, hubungan 

antara guru dengan murid memang amat mengi-

kat. Sebab, kedudukan guru bukan saja hanya 

melulu sebagai guru, tetapi juga sebagai ayah, 

dan lebih dari itu juga mempunyai wewenang 

yang amat luas. Guru mempunyai hak mengikat 

dan hak istimewa terhadap muridnya. Dan itulah


sebabnya, maka sering pula terjadi, seorang guru 

menghukum muridnya sendiri dengan hukuman 

mati, kalau murid itu dianggap dosanya dan kesa-

lahannya tidak dapat diampuni lagi.

Oleh ikatan batin yang demikian kuat an-

tara murid dan guru ini, maka seorang murid 

yang baik dan pandai menghormati guru, tak 

mungkin bersedia mencela gurunya, apalagi men-

caci maki dan merugikan nama baik guru. Dan 

sekalipun berhadapan dengan maut, seorang mu-

rid yang setia dan baik akan memilih mati terbu-

nuh daripada harus berkhianat.

- Hai setan gede!- teriak Surya Lelana den-

gan mata menyala merah, sedangkan pedangnya 

itu melintang di depan dada. - Apabila engkau 

menyuruh aku mencaci maki engkau sebagai ma-

nusia busuk, jahanam, setan alas.....-

Wut wut.........

Surya Lelana terpaksa harus melompat 

menghindarkan diri, dan ucapan yang belum se-

lesai itu tak sempat ia ucapkan. Serangan Giri 

Samodra hebat sekali. Walaupun dirinya sudah 

menggunakan kecepatannya bergerak untuk 

menghindar, namun dadanya masih terasa sesak 

oleh sambaran angin pukulan kakek ini.

Baru sambaran angin pukulannya saja su-

dah kuasa membuat dadanya sesak. Betapa hebat 

akibat pukulan kakek ini, apabila sampai berhasil 

menyentuh tubuhnya. Tentu sedikitnya tulang 

tubuhnya akan ada yang remuk dan salah-salah 

nyawanya malah melayang. Akan tetapi tentu saja


pemuda ini tidak gentar sedikitpun. Ia justru le-

bih suka mati daripada harus mengaku dirinya 

salah seorang murid Gajah Mada.

- Hiyaaaat .....!- teriak Surya Lelana dalam 

usahanya menambah semangat dan keberanian-

nya. Ia sudah membuka serangan untuk memba-

las serangan Giri Samodra, dan menerjang maju 

dengan pedangnya. Ia langsung menggunakan il-

mu pedang ajaran Gajah Mada, memilih bagian ke 

delapan, yang kemudian ia rangkai dengan bagian 

ke delapan belas. Bagian ini justru merupakan 

bagian yang paling hebat dan aneh gerakannya, 

apabila dipergunakan untuk menyerang. Tetapi 

sebaliknya, juga membutuhkan tenaga yang lipat 

dibandingkan dengan bagian lain.

Sayang sekali Surya Lelana tidak ingat, se-

dikit banyak Giri Samodra sudah mengenal ilmu 

pedang itu. Sebagai seorang yang pernah berkela-

hi dengan Gajah Mada, dan menaruh dendam pu-

la, sudah tentu selalu berusaha untuk mencoba 

mempelajari dan menyelidiki ilmu musuh be-

buyutannya itu. Sebab dengan berhasilnya mem-

pelajari, menyelidiki dan memecahkan raha-

sianya, pada saat membutuhkan, kegunaannya 

besar sekali.

Kakek ini ketawa mengejek. Ia melompat ke 

samping sambil mengibas dengan tangan kiri dan 

tangan kanan bergantian. Angin yang amat kuat 

menyambar dari telapak tangan, kuasa membuat 

pedang itu menyeleweng hingga dada Surya Lela-

na terasa semakin sesak juga.


Namun demikian Surya Lelana yang sudah 

bertekad lebih baik mati itu, sama sekali tidak 

gentar. Pedangnya yang menyeleweng ia teruskan 

gerakannya.

Plakkk......- Aduhhh ........!-

Pekik tertahan tidak kuasa ia tahan lagi,

meluncur dari mulut pemuda itu. Sebab samba-

ran pedangnya yang dahsyat tadi ditahan oleh 

kebutan telapak tangan kanan kakek itu. Dan 

pada saat dirinya kaget, tahu-tahu pedangnya 

sudah terpukul oleh telapak tangan kiri kakek ini, 

sehingga tidak kuasa ia pertahankan lagi, dan 

terbang cukup jauh. Lepasnya pedang dari tangan 

ini masih ditambah dengan lengannya menjadi 

lumpuh tidak kuasa ia gerakkan lagi.

Sekalipun demikian pemuda ini tidak juga 

gampang menyerah. Walaupun pedangnya sudah 

terbang dan lengan kanan lumpuh mendadak, 

namun pemuda ini secepat kilat sudah menggu-

nakan tangan kiri mencabut keris. Senjata yang 

hanya pendek itu secepat kilat sudah menyambar 

dan menyerang.

- Ahhhhh........! - Giri Samodra kaget.

Ia sudah berusaha menyelamatkan diri da-

ri sambaran keris itu. Namun sungguh sayang 

sekali tikaman Surya Lelana tadi memang tidak 

terduga sama sekali. Maka keris itu masih berha-

sil menyerempet lengannya, sehingga tiba-tiba sa-

ja darah merah memercik keluar dari lengan yang 

terluka,

Sesungguhnya luka goresan oleh mata ke


ris ini hanya kecil saja. Tetapi karena mata keris 

itu dilumuri oleh warangan (racun), maka luka itu 

terasa perih dan panas. Rasa sakit ini tentu saja 

menyebabkan Giri Samodra menjadi marah bu-

kan main. Matanya mendelik dan menyala. Ben-

taknya.

- Bangsat! Engkau memang harus mam-

pus!- Setelah membentak, angin yang dahsyat 

sudah mendahului menyambar ke arah pemuda 

itu sekalipun pukulan belum datang. Surya Lela-

na tidak takut dan memaksa diri. Dada yang tera-

sa sesak ia pertahankan dan keris pada tangan 

membalas serangan itu tanpa kenal takut.

Akan tetapi walaupun Surya Lelana pan-

tang menyerah dan masih tetap melawan mati-

matian, ia terus terdesak dan berkali-kali tubuh-

nya terlempar mundur oleh sambaran angin yang 

kuat sekali.

Diam-diam Giri Samodra kagum juga oleh 

kebandelan pemuda ini. Sebab sekalipun jelas ti-

dak berdaya melawan dirinya, namun bocah ini 

masih tetap juga melawan dan pantang menye-

rah. Diam-diam timbul pula perasaan sayang, ka-

lau pemuda pemberani dan pantang mundur se-

perti ini harus mati dalam tangannya. Namun ka-

rena sudah merasa pasti pemuda ini mempunyai 

hubungan dekat dengan Gajah Mada, maka ke-

bencian dan rasa dendamnya kepada musuh be-

buyutan ini masih mendesak segala pertimbangan 

yang lain.

Keadaan Surya Lelana sekarang ini me


mang sudah payah. Tenaganya sudah hampir ha-

bis dan seluruh bagian tubuhnya terasa sakit-

sakit dan serasa tulang-tulangnya remuk, sekali-

pun hanya tersambar oleh angin pukulan. 

Akan tetapi Surya Lelana sudah bertekad 

mati. Ia takkan menyerah sebelum nyawa me-

layang. Maka sambil menguatkan hati dan men-

gerahkan sisa-sisa tenaganya, pemuda ini terus 

berusaha membela diri.

Pada saat keadaan Surya Lelana dalam ba-

haya maut ini tiba-tiba terdengarlah teriakan Sen-

tiko yang amat nyaring.

- Guru.....! Guru.....! Aduh ..... tolonggg.....!

Giri Samodra kaget dan cepat menghenti-

kan desakannya sambil memalingkan mukanya 

ke arah Sentiko. Kakek ini terbelalak kaget berba-

reng keheranan, ketika melihat Sentiko sudah ti-

dak berdaya lagi, dua lengannya ditekuk ke bela-

kang punggung oleh makhluk yang menyeram-

kan. Makhluk ini seluruh tubuhnya penuh oleh 

bulu panjang warna merah, bentuk muka mirip 

dengan kera, tetapi tinggi dan besarnya hampir 

seperti manusia.

- Orang utan .....!- desis kakek ini dengan 

wajah pucat.

- Guru, tolongggg.....!- teriak Sentiko yang 

kesakitan.

Pemuda ini tidak kuasa memberontak dan 

lengannya yang ditekuk ke belakang, tulangnya 

sudah seperti patah dan amat sakit

- Lepaskan dia!- bentak Giri Samodra sam


bil melompat dan sekarang telah berdiri tidak 

jauh dengan Sentiko, yang telah ditawan oleh 

orang utan.

- Lepaskan aku..... teriak Sentiko.

Tetapi orang utan yang membelenggu tan-

gan Sentiko ini tidak juga mau melepaskan. 

Hanya bedanya, kalau tadi orang utan itu membe-

lenggu dengan tangan kanan dan kiri, sekarang 

yang dipergunakan cukup dengan tangan kanan, 

kemudian tangan kiri menuding-nuding sambil 

bersuara nguik-nguik yang sukar diketahui mak-

sudnya. Mungkin sekali orang utan itu mengajak 

bicara dengan bahasanya sendiri, yang tidak difa-

hami oleh Giri Samodra maupun Sentiko.

- Engkau bilang apa?- tanya kakek ini 

sambil memperhatikan orang utan yang menud-

ing-nuding itu.

Tangan orang utan itu sejak tadi memang 

menuding-nuding dan bersuara nguik-nguik. Se-

tiap sudah menuding Surya Lelana, orang utan 

itu kemudian menuding dirinya sendiri. Tetapi 

sebaliknya, sesudah menuding Sentiko, kemudian 

menuding ke arah Giri Samodra, diikuti oleh ge-

rakan jari tangan yang dibuka dan dikibas-

kibaskan beberapa kali.

Pada mulanya Giri Samodra memang tidak 

faham apakah maksud orang utan itu. Tetapi se-

telah berkali-kali gerakan itu diulang-ulang pada 

akhirnya kakek ini dapat menduga maksud orang 

utan itu, diulang-ulang. 

Giri Samodra melihat Sentiko meringis me


nahan sakit, sedangkan matanya sudah berubah 

Merah. Dan ketika ia mengalihkan pandang ma-

tanya ke Surya Lelana, kakek ini menyeringai. 

Sebab pemuda itu sekarang sudah roboh tak ber-

gerak di tanah. Entah sudah mati atau pingsan 

kehabisan tenaga. 

Kakek ini mulai dapat menduga maksud 

orang utan ini. Agaknya menuntut kepada di-

rinya, bersedia melepaskan Sentiko asal saja 

mendapat ganti pemuda yang roboh tak berkutik 

itu.

Bagi Giri Samodra pemuda yang sekarang 

roboh tidak berkutik itu memang tidak ada gu-

nanya. Sebaliknya Sentiko adalah muridnya, dan 

sebagai murid tunggal pula, yang amat ia ha-

rapkan menjadi pewaris semua ilmunya. Dan 

yang kemudian hari akan dapat ia jadikan pem-

bantu membalas dendam kepada Gajah Mada, 

apabila sudah tiba saatnya.

Sekarang dengan memperhatikan gerak-

gerik dan suara orang utan itu, kakek ini dapat 

menduga bahwa binatang ini mengajak damai 

dan menukarkan Sentiko dengan pemuda yang 

roboh itu.

- Heh heh heh heh, engkau mengajak tu-

kar-menukar? Lepaskan muridku dan bawalah 

dia. Huh, terlalu lama di sini, pemuda itu hanya 

akan membuat aku muak saja.-

Entah tahu arti ucapan Giri Samodra atau 

tidak. Yang jelas, tiba-tiba saja orang utan. itu 

melepaskan tangan Sentiko. Kemudian melompat


ke arah Surya Lelana yang menggeletak tidak 

berkutik. Gerakan melompat dan menyambar tu-

buh Surya Lelana ini sungguh cepat. Dan tubuh-

nya yang besar itu ternyata tidak mengurangi ke-

gesitannya bergerak.

Diam-diam Giri Samodra merasa kagum, 

lalu ia menduga kiranya orang utan itu bukanlah 

binatang liar seperti yang lain. Kemungkinan 

orang utang ini merupakan binatang piaraan seo-

rang sakti mandraguna.

Setelah menyambar tubuh Surya Lelana, 

orang utan itu sudah berlarian cepat sekali dan 

dalam waktu singkat tidak tampak bayangannya 

lagi.

Melihat kepergian orang utan bersama pe-

muda pencuri jamur itu, Sentiko kaget. Katanya.

- Guru! Mengapa sebabnya Guru membiar-

kan orang utan itu pergi sambil membawa si pen-

curi jamur obat? Ahhh.....kalau rahasia tempat ini 

ketahuan orang lain, kita yang akan menderita 

rugi sendiri!-

Giri Samodra mendelik. Hardiknya garang 

sekali.

- Sentiko! Hati-hati sedikit jika engkau 

membuka mulut!-

- Guru, apakah kesalahan murid?-

- Huh! Kau masih juga bertanya? Tolol! 

Apakah sangkamu engkau masih hidup tanpa 

persyaratan tukar-menukar tadi?-

- Tukar menukar?- pemuda ini keheranan.

- Tolol kau! Sangkamu, engkau lepas dari


tangan orang utan itu tanpa syarat? Dengarlah 

hai tolol, orang utan tadi menggunakan isyarat 

tangan, bersedia membebaskan engkau, asalkan 

saja ditukar dengan pemuda tadi dan aku setuju. 

Itulah sebabnya aku tadi membiarkan orang utan 

pergi sambil membawa dia.-

- Ahhh, Guru, janji dengan mulut gampang 

untuk kita pungkiri. Guru, silakan menuduh aku 

tolol. Akan tetapi apabila Guru tadi menggunakan 

kesempatan menyerang orang utan tadi sesudah 

membebaskan murid, bukankah hal ini akan 

memberi keuntungan kepada kita? Murid percaya 

Guru takkan kesulitan membunuh orang utan 

tadi. Dengan demikian, si pencuri jamur takkan 

dapat lolos dari tangan kita.-

Mendengar alasan ini diam-diam kakek ini 

menyesal juga. Mengapa ia tadi tidak mengguna-

kan kesempatan menyerang orang utan itu, pada 

saat Sentiko sudah lepas?

Akan tetapi kedudukannya justru sebagai 

guru. Sekalipun alasan muridnya ini benar, ma-

nakah mungkin ia mau disalahkan? Oleh sebab 

itu kemudian ia memerintah.

- Sudahlah! Sekarang kumpulkan semua 

jamur obat itu ke dalam keranjang. Dan marilah 

kita secepatnya pulang ke rumah.-

Sentiko tidak membantah, sekalipun ha-

tinya kecewa sekali. Ia segera mengumpulkan ja-

mur hasil usahanya mencari, dipersatukan den-

gan daun obat, dalam satu keranjang. Sesudah 

itu ia menjinjing keranjang bambu ini, mengikuti


langkah gurunya menuju ke tempat tinggal gu-

runya.

Akan tetapi baru beberapa langkah mereka 

berjalan, mendadak mereka berhenti. Guru dan 

murid ini mendengar suara perempuan yang 

nyaring, memanggil-manggil nama seseorang.

- Kakang ...... Kakang Dewa Asmara ....! 

Kakang.....suamiku..... ahh, di mana engkau.....?

Guru dan murid ini bertatap pandang. 

Agaknya timbul rasa heran dalam dada, siapakah 

perempuan itu? Dan mengapa pula memanggil 

nama Dewa Asmara?

- Ahhh.....perempuan itu agaknya diting-

galkan suami yang tercinta. Huh, mari kita cepat 

pulang. Untuk apakah kita mengurusi orang 

lain?- ajak Giri Samodra sambil melangkah pergi.

- Guru..... kasihani dia .....!- ujar Sentiko.

- Guru..... kalau benar dia ditinggalkan 

oleh suaminya yang tercinta ..... murid wajib un-

tuk memberikan bantuannya.-

Tiba-tiba sepasang mata Giri Samodra 

mendelik, lain membentak garang.

- Sentiko! Apakah engkau sekarang sudah 

berani membantah gurumu? Huh, murid macam 

apa kau ini! Bukankah aku selalu memberi nasi-

hati agar engkau jangan memikirkan perempuan 

sebelum engkau berhasil menguasai seluruh il-

muku? Huh! Tetapi mengapa mendengar suara 

perempuan saja, sekarang kau sudah memperha-

tikan dan kebingungan? Siapa tahu sekalipun su-

aranya merdu, tetapi wajah perempuan itu jelek


sekali? Hayo, kita lekas pulang. Dan sekali lagi 

aku melarang keras engkau memikirkan perem-

puan. Huh, jika engkau berani melanggar, dan 

engkau berani main perempuan, lebih baik eng-

kau mampus saja.-

- Guru.....ohhh, mengapakah sebabnya 

Guru cepat menjadi marah dan salah mengerti ?-

Sentiko yang melihat sinar mata gurunya 

yang marah, hatinya tergetar hebat dan takut. Te-

tapi entah mengapa sebabnya, suara perempuan 

itu amat menarik perhatiannya. Suara perempuan 

itu seperti mempunyai pengaruh dan daya tarik 

yang hebat terhadap dirinya, sehingga mau tidak 

mau harus memperhatikan.

- Apa? Salah mengerti?- hardik gurunya.

- Benar! Guru salah mengerti.- Sentiko 

menjawab tanpa rasa takut. - Dalam hati murid 

merasa kasihan, apabila perempuan itu benar-

benar telah ditinggalkan oleh suaminya.-

Pada saat itu, suara perempuan yang mer-

du dan nyaring, semakin terdengar nyaring dan 

dekat sekali.

- Kakang.....! Kakang Dewa Asmara! Di 

manakah engkau? Aku......aku ..... isterimu, men-

gapa tanpa pamit kau sudah meninggalkan diri-

ku? Hi hi hik .....hu hu huuuuu ...... apakah eng-

kau tidak kasihan kepada isterimu......yang rin-

du?-

Maafkan Pembaca, sampai di sini terhenti 

cerita ini, dan terpaksa Anda ikuti cerita baru ber-

judul : PENIPU LICIK DAN TERKUTUK. Cerita


yang tentu akan lebih menarik, dan Anda pasti 

tak mau meletakkan buku ini sebelum selesai 

membaca. Sebagai petikan dari isi buku tersebut, 

antara lain seperti ini:

..... Sarindah merasakan hawa dingin me-

rayapi sekujur tubuhnya. Ketika membuka mata, 

perempuan ini kaget dan terbelalak, karena men-

dapatkan dirinya dalam keadaan tanpa busana 

sama sekali. Lebih kaget lagi ketika pandang ma-

tanya tertumbuk kepada seorang laki-laki yang 

tidur di sampingnya.

Saking kaget, main dan penasaran, gadis 

ini menjadi lupa kepada keadaannya sendiri yang 

masih bugil. Tangan kanan bergerak memukul 

kepala laki-laki itu yang tampaknya masih tidur 

pulas.

Plakkk!.....

- Aihhh ....!-

Seruan tertahan meluncur dari mulut Sa-

rindah, kemudian tubuh mulus tanpa busana itu 

terjengkang ke belakang.

- Heh heh heh heh, apakah sebabnya eng-

kau memukul aku, isteriku yang manis? Menga-

pakah sebabnya engkau memukul suamimu sen-

diri, yang selalu memanjakan dan membahagia-

kan engkau?- kata laki-laki itu sambil cepat-cepat 

menyambar pakaiannya sendiri.

Nyatalah sekarang laki-laki ini sudah lebih 

dahulu bangun, namun masih malas dan pura-

pura tidur. Maka ketika pukulan Sarindah me-

nyambar, dengan tangkas laki-laki ini sudah berhasil menangkis dengan baik.

Sarindah juga cepat pula menyambar kain 

panjangnya, lalu ia pakai menutup tubuh. Kain 

panjang itu hanya ia talikan ujungnya, menutup 

sampai di atas payudara. Mata Sarindah menyala 

merah, menatap laki-laki itu tidak berkedip. Ia 

berdiri tegak dalam keadaan siap siaga mengha-

dapi segala kemungkinan ............

........ - Laki-laki ceriwis!- hardik Sarindah 

sambil mendelik. - Sudahlah! Engkau jangan 

mengganggu aku lagi. Huh, aku tidak tahu pe-

rempuan yang kau maksud itu!-

Sentiko terbelalak kaget mendengar jawa-

ban ini. Sungguh aneh mengapakah sebabnya 

mbakyunya ini bertanya seperti ini? Benarkah 

mbakyunya ini sudah lupa kepada dirinya?

- Mbakyu ..... apakah sebabnya kau lu-

pa.....?

- Huh huh, jangan cerewet! Aku hidup di 

dunia ini hanya mempunyai Kakang Dewa Asma-

ra seorang, suamiku! Dan tidak mempunyai yang 

lain, apalagi adik.- Sarindah membentak sambil 

melompat. - Hai tua bangka! Engkau berani 

mengganggu suamiku? Huh, kurangajar. Kubu-

nuh kau!- ..........

..........- Bangsat! Lepaskan aku!- caci maki 

Sarindah semakin keras. - Huh, tak tahu malu, 

ditolak perempuan masih juga berusaha membu-

juk. Ohhh ..... Kakang Dewa Asmara, tolonglah 

aku. Pukullah laki-laki ini biar mampus, agar ti-

dak mengganggu aku lagi!


Sarindah berusaha mati-matian untuk da-

pat melepaskan diri dari sekapan itu. Tetapi cela-

kanya laki-laki yang menyekap dari belakang itu 

semakin kuat.

Mulut Sarindah mencaci maki kalang ka-

but. Akan tetapi laki-laki ini tidak peduli.

Mendadak gadis ini menggunakan kakinya 

untuk mengait ke belakang. Akibatnya laki-laki 

ini kehilangan keseimbangan tubuhnya, dan ja-

tuh terguling. Akan tetapi karena sekapannya 

kuat sekali, Sarindah pun ikut roboh terguling 

dan kemudian terjadilah pergumulan................

Siapakah gadis bernama Sarindah yang se-

dang sial ini? Perlu kita jelaskan. Bahwa Sarindah 

ini kakak perempuan Sarwiyah dan Sentiko, me-

rupakan tiga bersaudara cucu dari Si Tangan Ib-

lis. Sarindah menjadi terganggu jiwanya, sebagai 

akibat pengaruh Aji Netra Luyub dari Kakek Ma-

drim, pada saat gadis ini minta kepada kakek itu 

agar membunuh Gajah Mada dengan tenung.

Oleh pengaruh Aji Netra Luyub itu, ia me-

rasa telah menjadi isteri Dewa Asmara. Karena 

merasa sudah menjadi isteri Dewa Asmara ini, 

maka gadis ini mencari terus dalam usaha me-

nemukannya. Justru dalam pengembaraannya 

mencari Dewa Asmara ini, Sarindah berhadapan 

dengan berbagai peristiwa kelabu dan menyedih-

kan.


Bagi Anda yang ingin tahu tentang Kakek 

Madrim dengan Aji Netra Luyubnya ini, silakan 

membaca buku berjudul : TERSIKSA SEPERTI DI 

NERAKA dan RAHASIA DEWA ASMARA.



                           SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar