Pengantar
Guna memudahkan para pembaca yang
budiman untuk dapat mengikuti cerita ini secara
baik, kiranya perlu diselami dulu peristiwa sebe-
lumnya.
Secara tak terduga Mahisa Singkir bersama
Sarwiyah terjebak di lembah terasing dan menjadi
tawanan Mpu Galuh. Karena Mahisa Singkir di-
paksa kawin dengan Ika Dewi dan Sarwiyah ka-
win dengan Rakit Cendana.
Kemudian kakak beradik (Rakit Cendana
dan Ika Dewi) itu walaupun tidak berjanji lebih
dahulu telah mencampur racun yang bisa me-
nimbulkan rangsang birahi. Akibatnya Mahisa
Singkir yang tidak menyadari, lalu melakukan
hubungan suami isteri dengan Ika Dewi. Tetapi
sebaliknya bagi Sarwiyah beruntung, ia menyada-
ri perubahan dirinya setelah makan. Maka ketika
Rakit Cendana akan berbuat tidak senonoh, da-
pat ia pukul dadanya dan roboh tewas.
Berbareng dengan saat tersebut, datanglah
Julung Pujud dan Warigagung dan dapat meno-
long. Padahal Sarwiyah ini adalah calon isteri Wa-
rigagung, maka gadis ini gembira sekali.
Mahisa Singkir pun tertolong oleh Mpu
Anusa Dwipa dan diajak lari meninggalkan lem-
bah terasing itu.
Dan ternyata lembah terasing itu sedang
diserbu oleh pasukan Majapahit. Perang campuh
terjadi dan kebakaran terjadi di sana sini. Pendu-
duk panik dan kebingungan.
Setelah dapat mereka selamatkan ini, Sar-
wiyah mereka ajak menjauhi lembah. Lalu di se-
buah hutan Julung Pujud bertanya, mengapa
Sarwiyah di lembah terasing itu.
Sarwiyah menceritakan apa yang sudah
terjadi Kakeknya (Si Tangan Iblis) telah tewas da-
lam tangan Gajah Mada, ketika berkelahi seorang
lawan seorang. (Peristiwa itu dapat Anda ikuti da-
lam buku "Mencari Ayah Kandung".)
Mendengar penuturan ini Julung Pujud
dan Warigagung kaget sekali. Mereka berjanji un-
tuk menuntut balas.
Lalu Sarwiyah menceritakan perjalanannya
sekarang ini berteman dengan adik seperguruan-
nya bernama Mahisa Singkir, dalam usaha men-
cari Julung Pujud dan Warigagung untuk minta
bantuan.
Mendengar penuturan Sarwiyah melaku-
kan perjalanan bersama seorang pemuda berbu-
lan lamanya, tiba-tiba saja Julung Pujud curiga
dan meragukan kesucian Sarwiyah. Maka tiba-
tiba ia memerintahkan kepada muridnya, agar
gadis ini ditangkap lalu ditelanjangi. Sebagai aki-
batnya Sarwiyah menjadi pingsan saking malu.
(Baca buku berjudul "Jangan Kau Siksa Hatiku").
Julung Pujud melakukan perbuatan itu ti-
dak dengan maksud memalukan maupun meng
hina calon menantunya. Tetapi oleh kecurigaan-
nya, ia ingin memeriksa apakah Sarwiyah masih
gadis suci atau sudah terjamah laki-laki. Tetapi
caranya memeriksa sesuai dengan cara dia sendi-
ri. Mengerikan, dan membuat Warigagung sendiri
merasa tidak tega,
Namun setelah Julung Pujud mendapatkan
bukti, Sarwiyah masih perawan suci, maka kakek
ini menjadi gembira sekali, dan memuji Sarwiyah
yang pandai menjaga diri dan pantas menjadi
menantunya. Namun sebaliknya apabila terbukti
gadis ini sudah tidak suci lagi, ia tidak segan un-
tuk membunuh saat itu juga.
Demikianlah yang terjadi dan telah diceri-
takan dalam buku berjudul "Jangan Kau Siksa
Hatiku". Dan sekarang, marilah kita ikuti secara
seksama buku berjudi"! "Aji Wisa Dahana" ini.
Dengan cekatan Warigagung segera memu-
tuskan tali-tali yang mengikat Sarwiyah. Adapun
gadis ini terisak-isak, malu, tetapi juga merasa le-
ga sekali. Lega, bahwa Julung Pujud tidak ber-
maksud menghina. Dan lega bahwa selama ini di-
rinya pandai menjaga diri. Namun diam-diam ter-
getar hebat juga jantung gadis ini, jika teringat
pengalamannya dalam kamar tahanan. Hampir
saja dirinya celaka oleh pengaruh racun perang-
sang yang dicampurkan dalam makanannya oleh
Rakit Cendana. Hanya berkat kekebalan tubuh
nya terhadap racun, membuat Rakit Cendana ti-
dak berhasil menjamah dirinya. Ngeri juga apabila
teringat pengalamannya dalam kamar tahanan
itu.
Sekarang setelah tali-tali yang mengikat
tubuhnya lepas, dengan tubuh gemetaran ia
mendeprok di tanah, dalam usahanya menyem-
bunyikan bagian tubuhnya yang rahasia.
Warigagung segera menolong dengan men-
gambilkan pakaian Sarwiyah. Kemudian ia meng-
hampiri gadis ini dengan langkah mundur. Agak-
nya pemuda ini tidak tega melihat calon isterinya
bugil seperti itu.
- Pakailah!- katanya halus sambil membe-
rikan pakaian itu.
Sarwiyah melirik ke arah Warigagung dan
Julung Pujud. Gadis ini menjadi lega, ketika me-
lihat guru dan murid itu tidak memandang di-
rinya. Perhatian mereka kembali tertarik kepada
api yang berkobar di lembah dan juga terdengar
pula sorak sorai yang gemuruh.
Dalam waktu singkat Sarwiyah sudah sele-
sai berpakaian. Gadis ini dadanya lapang. Namun
terasa malu juga, jika teringat keadaannya tadi
ketika sedang diuji oleh Julung Pujud. Ia tidak
tahu, apa yang terjadi dengan dirinya ketika ping-
san. Namun diam-diam ia menduga pula, tentu
guru dan murid itu tadi sudah menonton dirinya
dengan mata melotot dan tak berkedip, karena di-
rinya terikat erat pada sebatang kayu dan terku-
lai.
Apabila menurutkan rasa malu dan pena-
sarannya, ingin sekali dirinya mengamuk. Tetapi
apabila teringat akan tujuannya mencari guru
dan murid ini, maka kemudian ia sadar tidak bo-
leh menurutkan kemarahan hati, dan sebaliknya
malah harus berusaha membuat guru dan murid
ini senang, agar bersedia membalaskan sakit ha-
tinya kepada Gajah Mada.
Sarwiyah sudah melangkah menghampiri
Warigagung dan Julung Pujud. Ia ikut pula me-
mandang ke arah lembah yang sudah menjadi
lautan api. Diam-diam gadis ini teringat kepada
Mahisa Singkir. Lalu di manakah pemuda yang
diam-diam ia cintai itu sekarang?
Sarwiyah amat khawatir akan keselamatan
Mahisa Singkir. Namun demikian manakah
mungkin gadis ini berani menanyakan tentang
pemuda itu? Gadis ini menjadi khawatir apabila
Warigagung dan Julung Pujud menjadi curiga la-
gi. Khawatir apabila cemburu sekalipun sudah
terbukti saat ini dirinya masih perawan suci. Te-
tapi apabila teringat akan apa yang dilakukan Ju-
lung Pujud tadi diam-diam Sarwiyah gemetaran
tubuhnya. Sungguh aneh, mengapa mencari buk-
ti kesucian seorang gadis, harus menggunakan
cara demikian?
Api di lembah itu masih terus berkobar.
Langit di atasnya membara dan lembah itu seka-
rang menjadi lautan api. Jika teringat pengala-
mannya di lembah tadi, bagaimanapun ia bergidik
ngeri. Entah apa yang dialami dalam kamar taha
nan itu, apabila dirinya tidak kebal racun?
- Biadab!- caci makinya dalam hati ia tuju-
kan kepada Rakit Cendana. - Terlalu! Bangsat
Rakit Cendana! Engkau sekarang sudah mampus
dan memetik buah perbuatanmu sendiri yang
terkutuk. -
Akan tetapi tiba-tiba timbul rasa kekhawa-
tirannya. Sebab apabila Rakit Cendana menggu-
nakan racun untuk merobohkan dirinya, apakah
tidak mungkin Mahisa Singkir mengalami nasib
yang sama dengan dirinya? Dan apabila perem-
puan itu sudah menggunakan racun yang me-
rangsang itu, manakah mungkin Mahisa Singkir
dapat bertahan lagi berhadapan dengan Ika Dewi?
Guna menahan gangguan hatinya ini kemudian ia
menundukkan kepalanya. Ia tidak memandang ke
arah lembah yang terbakar itu, malah kemudian
ia menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput.
- Kau letih?- Warigagung bertanya.
- Benar.- Sarwiyah mengangguk.
- Setelah kita tiba di rumah, kau bisa me-
lepaskan lelah sesuka hatimu. Dan untuk men-
cukupi kebutuhanmu, biarlah aku yang akan me-
layanimu.-
- Heh heh hen heh!- Julung Pujud terke-
keh. - Engkau akan melayani kebutuhan calon is-
terimu? Lucu ..... lucu sekali.-
- Apanya yang lucu?- Warigagung kehera-
nan.
- Dimanapun, di dunia ini, sudah kodrat-
nya manusia perempuan yang harus melayani
kebutuhan laki-laki. Tetapi kau malah kebalikan-
nya, akan melayani kebutuhan calon isterimu!-
- Guru! Antara laki-laki dan perempuan
mempunyai kedudukan yang sama, baik menurut
kodrat sebagai manusia maupun dalam tata hi-
dup. Sebab mereka sama-sama membutuhkan
dan sama-sama pula mengharapkan kebahagiaan
hidup. Perempuan sebagai seorang isteri, harus
memperoleh tempat yang wajar, harus mendapat
penghargaan dari suami. Hanya laki-laki yang ti-
dak tahu diri saja, yang beranggapan kedudu-
kannya lebih tinggi daripada perempuan.-
Warigagung berhenti sejenak. Setelah me-
nelan ludah ia meneruskan.
- Guru! Sebaliknya, apabila perempuan
yang semau gue, tidak dapat menghormati sua-
minya, suka menyeleweng, itupun perempuan ti-
dak tahu diri. Perempuan yang demikian mana-
kah mungkin dapat mendidik anak-anaknya seca-
ra baik dan menjaga ketenteraman rumah tang-
ganya?-
- Heh heh heh heh, engkau seperti burung
beo belajar bicara,- Julung Pujud terkekeh. - Mari
sekarang kita pergi. Hemm, pada fajar ini aku
akan membalaskan sakit hati Si Tangan Iblis, ka-
kek Sarwiyah.-
- Ahhh.....guru akan ke Majapahit dan me-
nantang Gajah Mada untuk bertanding?- Wariga-
gung kaget berbareng heran.
- Tak usah kita terlalu jauh pergi, Anakku.
Hemm, tahukah engkau bahwa pasukan yang
menyerbu lembah ini merupakan pasukan Maja-
pahit?-
- Ohhh, Guru akan membunuh mereka?-
- Mengapa tidak? Aku akan menghancur-
kan pasukan itu. Hanya satu atau dua orang saja
yang akan aku beri hidup.-
- Untuk apa?-
- Agar orang itu dapat memberi laporan ke-
pada Gajah Mada. Dengan perantaraan orang itu
aku akan menantang Gajah Mada berkelahi di
puncak Gunung Tengger pada tiga bulan lagi.
Berkelahi secara ksatrya, seorang lawan seorang.-
- Ahhh, Guru, manakah mungkin bisa ter-
jadi? Gajah Mada adalah Patih Mangkubumi Ma-
japahit. Seorang yang kedudukannya amat tinggi
dan penting. Manakah mungkin mau datang seo-
rang diri? Dia tentu akan disertai oleh para pen-
gawal dalam jumlah banyak. Guru, murid menja-
di khawatir sekali.-
- Heh heh heh heh, apakah engkau seka-
rang menjadi seorang penakut, setelah bertemu
dengan calon isterimu yang manis ini? Heh heh
heh heh jika engkau khawatir keselamatanmu
dan sayang pula akan calon isterimu, biarlah aku
seorang diri yang akan menerjang ke sana.-
- Ihh, tidak!- Sarwiyah berseru. - Paman,
aku takkan berdiam diri dan aku harus ikut ke
sana.-
- Apakah sebabnya?-
- Kakekku akan penasaran apabila aku
menjadi pengecut dan membiarkan Paman berha
dapan dengan bahaya. Apapun yang akan terjadi
aku menyertai Paman dan menghadapi Gajah
Mada!-
- Heh heh heh heh, bagus! Engkau calon
menantuku yang terpuji. Hai Wiragagung. Apakah
engkau tidak malu kepada calon isterimu sendi-
ri?-
- Guru, baiklah! Di sana Guru akan tahu
apakah aku ini murid yang baik ataukah murid
pengecut.-
Julung Pujud terbelalak, namun hanya se-
jenak dan kemudian ia terkekeh lagi. Katanya.
- Heh heh heh heh, apakah yang akan kau
lakukan di sana?-
-Jika Guru berhadapan dengan Gajah Ma-
da, apakah murid tidak dapat berhadapan dengan
yang lain? Hemm, biarlah Guru tahu bahwa mu-
rid bukan penakut. Murid akan memilih salah
seorang pembantu Gajah Mada yang paling sakti.-
- Jika engkau sampai tak mampu melawan,
apakah jadinya?-
- Bukankah taruhannya hanyalah mati?
Apabila toh murid tewas dalam perkelahian itu,
bukankah murid akan mati dengan puas? Murid
mati membela nama baik kakek mertua dan da-
lam usaha membalaskan sakit hati keluarga.-
- Ha ha ha ha, engkau jangan mengacau
tak keruan.-
Warigagung melongo, tak tahu maksud gu-
runya.
- Hemm, Warigagung! Engkau sekarang
sudah mengerti, dirimu sekarang sudah lain den-
gan keadaanmu dua tahun lalu mau pun kema-
rin. Sekarang engkau sudah mempunyai calon is-
teri cantik jelita. Lalu bagaimanakah dengan Sar-
wiyah apabila kau tewas dalam perkelahian itu?-
Warigagung memalingkan mukanya me-
mandang Sarwiyah. Akan tetapi gadis ini menun-
dukkan kepala, sehingga tidak membalas pan-
dang mata calon suaminya. Warigagung menghela
napas pendek, sekarang ia menjadi ragu sehingga
tidak kuasa membuka mulut.
Tetapi apakah yang terjadi dengan Sar-
wiyah sekarang ini? Dalam dada gadis ini seka-
rang terjadilah pergulatan dan pertentangan batin
yang hebat sekali.
Apabila mengingat kata-kata kakeknya
yang ingin membalas dendam kepada Gajah Ma-
da, sesungguhnya hati gadis ini terharu berba-
reng bangga. Dan apabila Julung Pujud dan Wa-
rigagung sampai tewas dalam perkelahian itu, se-
harusnya dirinya sendiri harus pula berani men-
gorbankan nyawa.
Namun tiba-tiba dalam benak gadis ini ter-
bayang kembali wajah tampan Mahisa Singkir
dan wataknya yang sabar dan sikapnya yang
amat sopan. Dalam dada gadis ini tiba-tiba saja
malah timbul harapannya, agar Warigagung tewas
dalam perkelahian yang direncanakan itu. Sebab
bagaimanapun dalam hatinya tidak sepercikpun
api cinta kepada Warigagung. Ia setuju dipertu-
nangkan dengan pemuda ini tidak lain adalah
hanya menuruti kemauan kakeknya saja. Ternya-
ta sekalipun ia sudah berusaha mencintai Wari-
gagung, usahanya gagal. Api cinta itu tidak per-
nah menyala dan benih cinta itu tidak mau tum-
buh. Lebih lagi sekarang, setelah dadanya terisi
oleh bibit cinta kepada Mahisa Singkir, harapan
satu-satunya sekarang ini tidak lain hanya ingin
hidup bersama, membentuk keluarga bahagia
dengan Mahisa Singkir.
Sarwiyah tidak membuka mulut dan Wari-
gagung mengiakan. Kemudian dua orang muda
ini mengikuti Julung Pujud meninggalkan tempat
ini.
Dugaan Julung Pujud bahwa pasukan Ma-
japahit yang dipimpin Mpu Kepakisan belum jauh
pergi memang tepat. Pasukan itu walaupun dalam
waktu singkat sudah dapat melumpuhkan lawan,
sehingga Mpu Galuh dan Hesti Pawana tewas,
namun yang harus diurus memang amat banyak.
- Bagaimanakah Sarwiyah? Bagaimanakah
perasaanmu, jika aku sampai tewas dalam perke-
lahian untuk membalaskan sakit hati kakekmu?-
Pertanyaan Warigagung ini membuat Sar-
wiyah terkesiap. Ia mengangkat mukanya, yang
agak pucat.
Melihat wajah Sarwiyah yang pucat itu, Ju-
lung Pujud terkekeh gembira. Sebab kakek ini
menduga, kepucatan wajah gadis ini karena rasa
khawatir apabila calon suaminya sampai tewas.
Demikian pula Warigagung, pemuda ini menduga
sama.
Lebih lagi ketika melihat gadis ini tidak
membuka mulut dan hanya mampu menggeleng.
Dugaan guru dan murid ini semakin kuat, jelas
gadis ini tidak menginginkan Warigagung sampai
tewas.
- Sudah, sudah, Sarwiyah, engkau tak per-
lu khawatir dan sedih!- ujarnya dengan nada
menghibur. - Semua ini baru merupakan rencana
saja. Aku belum tahu, Gajah Mada sedia ataukah
tidak melayani tantanganku. Hemm, sekarang
marilah kita berangkat. Aku percaya, pasukan
Majapahit itu belum jauh pergi.-
Pasukan itu lebih dahulu harus membakar
semua jenazah yang tewas, baik pada pihak la-
wan maupun pihak sendiri. Disamping itu sesuai
dengan perintah Gajah Mada, mereka yang me-
nyerah harus diperlakukan sebaik-baiknya dan
dibawa ke Majapahit
Di antara tawanan yang jumlahnya amat
banyak itu, sebagian besar terdiri atas wanita dan
anak-anak. Para tawanan itu di sepanjang jalan
selalu menangis akibat kesedihan hatinya, oleh
tewasnya suami, ayah atau anaknya. Karena me-
nangis maka perjalanan menjadi lambat sekali.
Beberapa orang prajurit yang bertugas menjaga
para tawanan, mulai naik darah. Mereka kemu-
dian membentak-bentak dan ada pula yang tidak
kuasa lagi menahan tangannya dan main pukul.
Untung hal ini cepat diketahui oleh Rangga
Premana, putera Gajah Mada yang menyertai Mpu
Kepakisan. Sekalipun sekarang ini Rangga Premana menderita luka pada pundaknya, namun
pemuda ini tidak dapat tinggal diam. Ia cepat ber-
tindak sekalipun tanpa kekerasan, setelah men-
dengar laporan itu.
Rangga Premana yang semula mengendarai
kuda berjajar dengan Mpu Kepakisan di bagian
depan, pemuda ini menghentikan langkah ku-
danya untuk menunggu pasukan yang bergerak
di belakang. Ia baru menggerakkan kendali ku-
danya lagi, setelah pasukan penjaga tawanan itu
tiba di sampingnya. Dengan demikian pemuda ini
sekarang dapat mengawasi langsung semua ta-
wanan. Rangga Premana cukup bijaksana. Ia ti-
dak menegur maupun marah kepada para praju-
rit, dan ia hanya berdiam diri dan mengikutinya.
Sekalipun demikian, pengaruhnya amat besar.
Para prajurit tawanan itu sekarang tidak berani
main pukul dan galak lagi.
Waktu sudah fajar. Pasukan yang bergerak
menuju Majapahit itu baru tiba di Rambipuji.
Mendadak pasukan itu berhenti dan Rangga Pre-
mana yang dibelakang keheranan.
Pada saat itu seorang lurah prajurit berla-
rian menghampiri Rangga Premana. Setelah
memberi hormat, lurah prajurit ini melapor, per-
jalanan terhenti. Di depan telah menghadang seo-
rang kakek kerdil yang rambutnya awut-awutan
tidak keruan.
Rangga Premana kaget. Ia kemudian berbi-
sik dan menugaskan lurah prajurit itu supaya
mengawasi para tawanan. Kemudian ia menggerakkan kudanya ke depan. Dan ternyata laporan
itu benar belaka, ia melihat Mpu Kepakisan su-
dah berdiri berhadapan dengan kakek kerdil yang
tertawa terkekeh-kekeh.
- Heh heh heh heh, siapakah engkau kakek
tua?- tanya kakek kerdil ini yang bukan lain Ju-
lung Pujud.
Mpu Kepakisan memandang tajam kepada
Julung Pujud. Timbul perasaan heran dalam hati
kakek ini, apakah sebabnya Julung Pujud berani
menghadang pasukannya? Orang yang waras
ataukah gila? Namun sebagai kakek yang berjiwa
besar, ia menjawab juga.
- Aku yang disebut orang dengan nama
Mpu Kepakisan. Siapakah engkau dan apa mak-
sudmu menghadang perjalanan kami?-
Julung Pujud mengerutkan alisnya yang
sudah putih mendengar nama Mpu Kepakisan. Ia
memang sudah pernah mendengar nama ini, dan
terkenal sebagai tokoh sakti mandraguna, yang
menjadi sahabat Gajah Mada.
Namun demikian Julung Pujud tidak men-
jadi gentar. Kakek ini malah ketawa terkekeh-
kekeh.
- Heh heh heh heh, sungguh beruntung
pagi ini aku dapat berhadapan dengan tokoh sakti
bernama harum. Ha ha ha ha, kau ingin tahu
namaku? Baik! Aku inilah yang disebut orang
dengan nama Julung Pujud, orang Belambangan.-
- Kau.....kau.....Julung Pujud?- Mpu Kepa-
kisan kaget.
Nama Julung Pujud justru amat terkenal,
semenjak puluhan tahun lalu. Hanya sayang se-
kali tokoh sakti ini memilih jalan sesat, dan tidak
segan-segan mengganas kepada orang yang sama
sekali tidak berdosa. Julung Pujud melakukan
kekejaman dan membunuh orang justru untuk
hiburan dan kesenangan.
- Heh heh heh heh, kau kaget?- ejek Ju-
lung Pujud.
- Hemm, apakah maksudmu menghadang
kami?-
- Maksudku sudah jelas. Kenapa masih ju-
ga bertanya? Aku sengaja menghadang perjala-
nanmu pagi ini bukan lain karena aku tertarik.
Pasukan yang banyak jumlahnya ini dan bergerak
waktu fajar pula, pulang dari mana?-
Julung Pujud sengaja bertanya dan pura-
pura tidak tahu. Tetapi Mpu Kepakisan yang se-
karang ini berkedudukan sebagai panglima, ber-
sikap hati-hati. Ia belum tahu maksud Julung Pu-
jud yang sebenarnya. Kalau berbuat baik adalah
syukur, tetapi kalau jahat tidak boleh sembaran-
gan.
- Hemm,- dengus Mpu Kepakisan dingin. -
Perjalanan kami pada pagi ini tidak ada sangkut
pautnya dengan kau. Maka maafkanlah aku tidak
dapat memberi keterangan.-
Julung Pujud berjingkrakan saking amat
marah. Ia mendelik dan tiba-tiba rambutnya yang
awut-awutan itu berdiri seperti sapu lidi dan ke-
mudian bentaknya menggeledek.
Jahanam! Setan Alas! Aku bertanya baik-
baik, jawabanmu menyebabkan orang marah.
Huh! Apakah sangkamu aku tidak tahu, kau baru
saja pulang menumpas sarang Mpu Galuh?-
Mpu Kepakisan kaget sekali mendengar ini.
Tetapi ia malah semakin hati-hati bersikap.
Karena ia cepat dapat menduga kakek ker-
dil ini tentu salah seorang sahabat Mpu Galuh,
dan agaknya kakek ini menghadang ingin membe-
la Mpu Galuh.
- Hemm, kalau sudah menghadang, apa-
kah maksudmu ?-
- Heh heh heh heh, maksudku jelas. Aku
tahu pasukan ini pasukan Majapahit. Dan aku
tahu pula, apa yang kau lakukan ini sesuai perin-
tah jahanam busuk Gajah Mada!-
- Bangsat! Tutup mulutmu yang busuk!-
teriak Rangga Premana yang menjadi marah, ke-
tika mendengar kakek kerdil itu berani mencaci
maki ayahnya.
Julung Pujud mendelik ke arah Rangga
Premana. Bentaknya.
- Hai orang muda yang lancang mulut. Sia-
pakah engkau ini?-
- Hemm, dengarkanlah baik-baik. Namaku
Rangga Premana, dan aku putra Maha Patih Ga-
jah Mada –
- Kau, kau anak Gajah Mada? Heh heh heh
heh, sungguh kebetulan sekali. Engkau harus ku-
tangkap hidup-hidup!-
Belum juga lenyap suara Julung Pujud,
kakek kerdil ini sudah melesat ke arah Rangga
Premana. Gerakannya sungguh cepat. Dan kare-
na tubuhnya memang kerdil, maka tubuhnya
hampir tidak tampak.
Rangga Premana terkesiap. Ia sudah me-
loncat turun dari kuda dan secepat kilat meng-
hunus pedang. Sring......
Seleret sinar panjang dan warna ungu me-
nyambar. Inilah pedang pusaka Tunggul Naga.
Pedang pusaka milik Gajah Mada yang dipinjam-
kan anaknya supaya dalam tugasnya lebih man-
tap. Namun demikian sejak Rangga Premana ber-
tugas menyertai Mpu Kepakisan ini ia belum per-
nah menghunus pedang pusaka itu. Ketika me-
nyerbu ke sarang Mpu Galuh, ia hanya menggu-
nakan pedang biasa. Kenapa? Ia patuh pesan
ayahnya, tidak boleh sembarangan menggunakan
pedang pusaka itu kalau tidak terancam oleh ba-
haya.
Tetapi sekarang ini ia sadar berhadapan
dengan bahaya. Maka tidak ragu-ragu lagi sudah
mencabut pedang pusaka Tunggul Naga itu.
Plakkk!.......
Benturan tenaga terdengar cukup keras
dan Rangga Premana terbelalak. Ternyata Mpu
Kepakisan sudah bertindak tangkas ketika meli-
hat Julung Pujud menerjang ke arah Rangga
Premana. Kakek sakti itu tidak mau tinggal diam
dan sudah melompat menyambut pukulan kakek
kerdil itu.
Akibat dua orang kakek ini turun ke bumi
dan terhuyung ke belakang beberapa langkah.
Kemudian dua orang kakek ini berdiri saling
mendelik. Agak lama mereka tukar pandang se-
perti sedang menaksir.
- Heh heh heh heh, bagus!- Julung Pujud
terkekeh. - Agaknya engkau cukup alot. Sudah
lama sekali aku tidak pernah bertemu tanding, ha
ha ha ha. Pertemuan kita sekarang ini sungguh
menggembirakan hatiku!-
Mpu Kepakisan hanya berdiam diri dan
hanya sepasang matanya tak berkedip, siap siaga
menghadapi segala kemungkinan.
Rangga Pramana yang sudah bersiap diri
dengan pedang pusaka, cepat memerintahkan pa-
sukan untuk mundur. Kemudian membentuk ba-
risan bentuknya seperti payung agung. Semua itu
bukan lain guna menjaga segala kemungkinan,
apabila kakek kerdil ini tidak sendirian.
- Hai Mpu Kepakisan! Agaknya engkau
menjadi besar hati berhasil menghancurkan sa-
rang Mpu Galuh. Heh heh heh heh, engkau jan-
gan mimpi. Engkau takkan dapat pulang ke Ma-
japahit dalam keadaan masih bernyawa.-
- Jangan membuka mulut sembarangan!-
bentak Mpu Kepakisan. - Apakah maksudmu se-
benarnya? Apakah engkau sekarang ini membela
pemberontak itu dan sengaja memusuhi Majapa-
hit?-
- Heh heh heh heh, antara aku dan Mpu
Galuh tidak ada hubungan sama sekali. Aku ada-
lah aku, bukan pembela Majapahit dan bukan
pula pemberontak. Akan tetapi aku mempunyai
persoalan pribadi dengan Gajah Mada. Heh heh
heh heh, engkau dan seluruh pasukan harus
mampus pada pagi ini.-
- Uh sombongnya! Mari kita coba saja, sia-
pakah yang harus roboh dan mampus!-
Mpu Kepakisan melangkah maju perlahan,
ke arah kiri. Di pihak lain Julung Pujud juga ber-
gerak maju ke arah kiri. Langkah dua orang ka-
kek sakti ini perlahan saja, tetapi sekalipun de-
mikian merupakan langkah yang teratur. Be-
danya, kalau lingkaran dari langkah yang dibuat
oleh Mpu Kepakisan tidak begitu lebar, lingkaran
yang dibuat Julung Pujud lebar.
Untuk beberapa saat lamanya dua orang
kakek ini terus berputaran, seakan dua ekor
ayam jantan yang siap berlaga, saling menaksir
dan saling mencari kesempatan baik guna mener-
jang.
Mpu Kepakisan sadar kakek kerdil yang ia
hadapi sekarang ini bukan tokoh sembarangan,
tetapi tokoh jahat, licik dan penuh tipu muslihat.
Mpu Kepakisan belum lupa terjadinya peristiwa
yang menggemparkan belasan tahun lalu. Tidak
sedikit jumlahnya orang tewas dalam tangan ka-
kek kerdil ini.
Keganasan kakek ini baru kemudian sirap,
setelah Mpu Anusa Dwipa turun tangan. Julung
Pujud dihajar babak belur, dan selanjutnya kakek
ini menghilang tanpa kabar. Sekarang dengan
munculnya Julung Pujud, diam-diam Mpu Kepakisan khawatir juga kalau kekacauan akan timbul
lagi oleh keganasan Julung Pujud.
Dalam kedudukannya sebagai salah seo-
rang pejuang dan membela kepentingan Majapa-
hit, maka merupakan kewajibannya pula untuk
memberantas siapapun yang berbuat jahat.
Tiba-tiba Julung Pujud sudah menggeram
sambil meloncat tinggi, dan dua tangannya berge-
rak ke depan.
Plak!..... plak!
Benturan telapak tangan dua orang sakti
ini di udara terdengar amat nyaring. Dua tubuh
orang sakti itu terpental ke belakang lagi bebera-
pa langkah. Mereka kemudian berdiri tegak saling
berhadapan dalam jarak kira-kira empat depa.
Dua pasang mata saling mendelik, tetapi tampak
napas dua orang tua ini agak sesak, dada mereka
kembang kempis.
Apa yang sudah terjadi memang diluar ta-
hu orang yang melihat. Benturan telapak tangan
ini merupakan benturan yang tidak main-main,
tetapi benturan tenaga sakti tingkat tinggi yang
hebat sekali. Benturan yang dilambari tenaga ini
akibatnya hebat. Isi dada masing-masing tergun-
cang hebat dan sesak.
Ternyata dalam mengukur tenaga tadi, an-
tara Mpu Kepakisan dengan Julung Pujud dalam
keadaan seimbang. Sadar bertemu dengan tand-
ing, masing-masing bertindak lebih hati-hati. Ma-
ka setelah sesak dadanya hilang, Julung Pujud
sudah menerjang maju lagi dengan pukulan dan
cengkeram.
Memang bukan sembarang pukulan, kare-
na pukulan ini mengandung racun, yang disebut
ilmu pukulan Wisa Dahana atau Aji Wisa Dahana.
Baik sambaran angin maupun akibat dari puku-
lan ini akan menyebabkan lawan keracunan dan
panas seperti terbakar.
Sesungguhnya memang Aji Wisa Dahana
yang amat beracun itu, yang selalu dibanggakan
dan mengangkat namanya di tempat cukup tinggi
sebagai tokoh sakti. Disamping itu sekarang ini
Julung Pujud ingin pula agar dapat mengalahkan
Mpu Kepakisan dalam waktu singkat. Dan ia sa-
dar pula, apabila berhasil merobohkan kakek ini,
ia masih harus berhadapan dengan para prajurit
yang banyak jumlahnya dan tidak gampang men-
gatasi.
Disamping semua ini iapun sadar sekarang
ini Warigagung hadir. Ia sudah amat kenal watak
Warigagung yang setia dan patuh kepada guru.
Kalau melihat dirinya dikeroyok orang atau roboh
di tangan Mpu Kepakisan, bocah itu takkan dapat
dicegah lagi, tentu mengamuk. Dan jika sampai
terjadi demikian, keselamatan murid tunggalnya
itu terancam.
Pertimbangan-pertimbangan ini menye-
babkan Julung Pujud langsung menggunakan Aji
Wisa Dahana yang beracun itu, menghadapi Mpu
Kepakisan. Maksud yang terutama agar dapat
mengalahkan lawan dalam waktu singkat. Tetapi
sungguh sayang, yang ia hadapi sekarang ini seorang tokoh sakti sahabat Gajah Mada yang sakti.
Maka perkelahian secara ksatrya sekarang ini
berlangsung cepat dan sengit,
Saking cepatnya dua kakek ini bergerak,
menyebabkan pandang mata mereka menjadi ka-
bur dan kepala mereka menjadi pening. Jangan
lagi para prajurit itu sanggup mengikuti apa yang
terjadi. Malah Rangga Premana yang telah cukup
tinggi ilmu kesaktiaannya, masih tidak sanggup
untuk mengikuti perkelahian sengit itu.
Tanpa terasa matahari sudah bersinar. Se-
bagian dari pasukan itu, saking lelah dan men-
gantuk, telah tertidur di tempat dalam sikap du-
duk atau berdiri bersandar pada batang pohon.
Para tawanan wanita dan anak-anak pun,
yang semula pada menangis, mendapat kesempa-
tan melepaskan lelah dan tidur di tanah dan re-
rumputan.
Hanya Rangga Premana dan beberapa per-
wira prajurit Majapahit saja yang masih kuasa
bertahan, sekalipun terasa amat lelah dan men-
gantuk.
Perkelahian antara Julung Pujud dengan
Mpu Kepakisan telah berlangsung hampir seten-
gah hari. Tetapi ternyata dua orang itu masih te-
tap tangguh.
Diam-diam Julung Pujud heran sekali me-
lihat kegagahan Mpu Kepakisan. Pukulan-
pukulannya yang mengandung racun hebat, teta-
pi seperti tidak berdaya terhadap kakek itu. Dan
herannya pula mengapa tenaga lawan tidak juga
berkurang dan serangannya tetap hebat dan ber-
bahaya.
Kenyataan yang tidak terduga ini menye-
babkan Julung Pujud harus berpikir dan berpikir
lagi. Munculnya matahari bumi, bagaimanapun
akan memberikan keuntungan pihak lawan dan
dirinya rugi. Apabila secara pengecut Mpu Kepa-
kisan memerintahkan para prajurit itu menge-
royok. Walaupun dirinya dapat membunuh pulu-
han orang, tidak urung keselamatannya sendiri
sulit ia pertahankan.
Sing.....sing.....wir.....wir......
Beberapa sinar hitam tiba-tiba saja me-
nyambar dari tangan kiri Julung Pujud ke arah
Mpu Kepakisan. Sambaran sinar hitam ini menge-
jutkan kakek itu. Karena itu ia cepat melenting
tinggi di udara sambil mengebutkan telapak tan-
gan kiri dan kanan secara bergantian. Angin yang
dahsyat menyambar ke bawah hingga sinar hitam
itu semuanya telah runtuh ke tanah.
- Kurang ajar! Lambat sedikit, nyawaku
tentu melayang!- desisnya setelah berdiri di bumi,
sambil memandang Julung Pujud yang berlarian
seperti terbang, meninggalkan tempat perkela-
hian.
- Apakah sebabnya tidak Kakek kejar?-
tanya Rangga Premana sambil menghampiri Mpu
Kepakisan.
- Hemm, tak ada gunanya!- sahut Mpu Ke-
pakisan sambil menghela napas lega.
Akan tetapi tiba-tiba kakek ini tubuhnya
limbung, terhuyung dan kemudian jatuh terdu-
duk. Dan kakek ini kemudian bersila di tanah
sambil memejamkan mata.
- Kakek.....kau.....kau terluka!- tanya pe-
muda ini dengan gugup dan kaget.
Mpu Kepakisan tidak menyahut. Orang tua
ini hanya mengangkat tangan kirinya, memberi
isyarat agar pemuda itu tidak mengganggu dirinya
lagi. Melihat isyarat itu Rangga Premana segera
mundur dan tidak berani mengganggu lagi.
Tak lama kemudian Mpu Kepakisan sudah
membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Ketika
melihat Rangga Premana masih berdiri tidak jauh
dari tempatnya duduk dan masih memegang pe-
dang terhunus.
Mpu Kepakisan tersenyum, katanya halus.
- Sarungkan pedangmu! Bahaya sudah le-
wat!-
- Apakah Kakek terluka?- tanya Rangga
Premana sambil menyarungkan pedangnya.
- Hemm, tidak!- sahut kakek ini sambil ter-
senyum. - Akan tetapi pengaruh dari pukulan Ju-
lung Pujud yang beracun itu amat berbahaya. Ji-
ka tidak dapat kuusir, akan dapat menimbulkan
bahaya bagi diriku.-
Rangga Premana terbelalak. Kemudian ia
bertanya.
- Apakah yang Kakek maksudkan pukulan
beracun itu?-
- Hemm, Julung Pujud mempunyai nama
harum sejak puluhan tahun lalu, karena memiliki
ilmu pukulan beracun dan berbahaya bagi lawan.
Apabila lawan telah menghirup cukup banyak
hawa beracun dari sambaran pukulannya, orang
itu bisa tewas. –
Rangga Premana mengangguk-anggukkan
kepala dan diam-diam bergidik. Betapa ba-
hayanya pukulan yang mengandung racun itu.
- Begitu jarum beracun yang digunakan
sebagai senjata rahasia itu, siapapun yang terluka
oleh jarum itu, sulit ditolong lagi jiwanya.- Mpu
Kepakisan menambahkan. - Hemm, aku tidak da-
pat membayangkan apa yang akan terjadi kalau
saja dia tadi menghamburkan jarumnya yang be-
racun itu ke arah prajurit. –
Rangga Premana menghela napas pendek.
Ia mengerti ucapan Mpu Kepakisan. Memang sulit
sekali ia duga, bagaimanakah akibat dari jarum
yang beracun itu, kalau dipergunakan menyerang
para prajurit. Tentu akan segera jatuh korban pu-
luhan orang. Sekalipun demikian ia merasa lega
pula bahwa Julung Pujud sudah melarikan diri,
sebelum menimbulkan korban.
- Hem, aku tahu maksud Julung Pujud
menghadang rombongan kita ini,- ujar Mpu Ke-
pakisan lagi. - Aku hanya mengerti amat sedikit,
bahwa Julung Pujud menyinggung nama ayahmu.
Persoalan apakah yang menyebabkan Julung Pu-
jud membenci ayahmu?-
- Kalau Ayah banyak dimusuhi orang me-
mang tidak mengherankan.- Rangga Premana
menyahut. - Bukankah tidak sedikit orang yang
menjadi iri akan kedudukan Ayah yang terlalu
tinggi di Majapahit? Kakek, semua orang tahu
bahwa Ayah bukan keturunan bangsawan. Seja-
rah yang belum lama berlalu telah mencatat, ten-
tang terjadinya pemberontakan Dharmaputra.
Pada waktu itu kedudukan Ayah baru sebagai
Bekel Bhayangkara. Jelas bahwa di antara ketu-
runan bangsawan Majapahit selalu dilanda perpe-
cahan, akibat saling berebut kedudukan. –
Rangga Premana berhenti dan sejenak ke-
mudian lanjutnya.
- Dan kiranya Kakek tidak akan menutup
mata, sikap Ayah yang demikian keras dalam me-
nunaikan tugas. Tidak peduli siapapun apabila
salah harus memperoleh hukuman setimpal. Ten-
tu saja sikap Ayah yang keras dalam usaha mem-
bawa Majapahit ke puncak kejayaan ini, menim-
bulkan rasa tidak senang di hati mereka yang
memang sudah iri hati. Kakek, agaknya peristiwa
ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Bu-
kanlah peristiwa pribadi antara Ayah dengan
orang bernama Julung Pujud itu.-
Mpu Kepakisan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya. - Ya! Orang besar yang jujur
dan bijaksana serta mengabdikan diri secara jujur
untuk kepentingan masyarakat dan negara, bi-
asanya malah banyak orang memusuhi. Hal itu
tidak lain, terdorong rasa dengki dan iri hati.
Keinginan untuk memperoleh kedudukan setinggi
itu dengan memfitnah apabila memang perlu.-
Mpu Kepakisan menebarkan pandang ma
tanya ke arah pasukan dan ia melihat sebagian
besar dari mereka tertidur di tempatnya. Melihat
ini ia menghela napas dan terharu. Ia mengerti
dan sadar, mereka kepayahan. Maka ia biarkan
pasukan ini untuk sementara istirahat.
- Rangga,- katanya lagi. - Perintahkan ke-
pada semua perwira, pasukan kita perlu istirahat
di tempat ini juga guna melepaskan lelah.-
Rangga Premana melaksanakan pula perin-
tah panglima ini. Dan ternyata kebijaksanaan
Mpu Kepakisan ini disambut oleh seluruh pasu-
kan dengan sorak sorai gembira. Mereka yang ti-
dak bertugas jaga segera berebut untuk tidur
maupun mengaso, memilih tempat di bawah po-
hon rindang maupun tempat yang rumputnya
tebal.
Julung Pujud yang penasaran berlarian ce-
pat seperti terbang.
- Guru! Guru!- Warigagung berteriak me-
manggil, kemudian bersama Sarwiyah memburu.
Tetapi Julung Pujud tidak segera menghen-
tikan larinya, tetapi mengurangi, hingga dua
orang muda ini dapat mengejar. Kemudian tiga
orang ini berlarian terus tanpa membuka mulut.
Warigagung mengerti, gurunya sedang gelisah,
karena usahanya mengalahkan Mpu Kepakisan
tidak berhasil. Sebaliknya Sarwiyah berdiam diri
karena memang takut bicara.
Setelah cukup jauh berlarian dan kemu-
dian masuk ke dalam hutan barulah Julung Pu-
jud mau berhenti, dan kemudian kakek kerdil ini
membantingkan pantatnya di atas sebuah batu.
- Hemm,- Julung Pujud menghela napas.-
Ternyata Mpu Kepakisan memang cukup atos!-
- Ohhh .....jadi dia itu tadi yang bernama
Mpu Kepakisan?- Warigagung menatap gurunya
dan keheranan.
Pemuda ini sudah cukup kenal sampai di
manakah kesaktian gurunya dan banyak kali pu-
la menyaksikan, setiap berkelahi kebanyakan la-
wanlah yang akan roboh tak bernyawa atau ber-
tekuk lutut. Tetapi apakah sebabnya kali ini gu-
runya malah melarikan diri?
- Apakah Paman kalah?- Sarwiyah membe-
ranikan diri bertanya sambil memandang kakek
itu.
-Apa? Kalah?! Siapakah yang kalah?!- ben-
tak Julung Pujud sambil mendelik kurang se-
nang.
Sarwiyah yang halus perasaannya menjadi
ketakutan lalu menundukkan kepalanya. Melihat
ini Warigagung menjadi iba, kemudian berkata.
- Guru! Kalau Guru tidak kalah, apakah
sebabnya lari?-
- Huh! Siapakah yang lari?- bentak Julung
Pujud. - Aku tidak lari dan juga tidak kalah. Ta-
hu? Aku memang menghentikan perkelahian itu,
sebelum salah seorang roboh mampus!-
- Apakah sebabnya?-
- Hemm, mengapa sebabnya engkau seka-
rang tambah tolol? Huh, kalau saja siang tadi ti-
dak segera datang, aku akan masih terus berkelahi. Huh! Kau harus tahu Mpu Kepakisan tidak
sendirian. Engkau harus pandai mengenal gela-
gat, sebab prajurit itu bisa dia perintahkan men-
gurung dan mengeroyok aku. Dan mungkin bisa
pula mereka perintahkan agar menghujani den-
gan anak panah. Apakah itu tidak berbahaya?
Itulah sebabnya aku tadi lebih baik lari, semua
itu untuk menghindarkan hal-hal yang tidak aku
harapkan.-
- Ahhhh.....- tiba-tiba saja Sarwiyah menge-
luh.
- Kau ada apa?- tanya kakek kerdil ini.
- Tidak apa-apa, paman - sahut Sarwiyah
sekenanya.
Tetapi sebenarnya, timbul rasa kecewa da-
lam hati gadis ini. Apabila baru berhadapan den-
gan pembantu Gajah Mada saja sudah tidak
mampu mengalahkannya, manakah mungkin ka-
kek ini mampu menghadapi Gajah Mada? Dan
manakah mungkin sakit hati keluarganya dapat
terbalas?
Melihat perubahan wajah gadis ini, tiba-
tiba saja Julung Pujud terkekeh. Katanya kemu-
dian.
- Hemm, Wiyah! Engkau jangan menjadi
khawatir dan salah sangka. Apa yang sudah ter-
jadi tadi bukannya aku kalah. Akan tetapi aku
menggunakan otakku untuk berpikir, agar tidak
sampai mati konyol. Siapakah yang akan mende-
rita rugi? Tidak urung engkau sendiri. Karena itu
sekarang, mari sebaiknya kita pulang dahulu.
Engkau dan Gagung harus segera kawin. Di sana,
engkau akan aku didik, aku gembleng agar eng-
kau menjadi wanita perkasa. Dan yang kelak ke-
mudian hari akan berguna dalam membalas sakit
hati keluargamu, sebab engkau maupun suami-
mu akan menjadi pembantuku yang bisa aku per-
caya,-
Sarwiyah menjadi sedih mendengar ajakan
ini dan untuk segera kawin dengan Warigagung.
Tiba-tiba saja terbayanglah kembali dalam be-
naknya, pemuda tampan Mahisa Singkir. Pemuda
yang amat ia cintai itu sekarang bagaimanakah
nasibnya? Sekalipun pemuda itu belum pernah
mengucapkan janji setianya, namun ia sudah me-
rasa pasti bahwa pemuda itu mencintai dirinya.
Kalau mendengar dirinya sudah kawin dengan
Warigagung, apakah pemuda itu tidak merana?
Akan tetapi sebaliknya tidak mungkin ia
dapat menolak kehendak Julung Pujud ini. Ia su-
dah kalah janji dan hal itu justru sudah mempe-
roleh restu kakeknya. Untung juga Sarwiyah se-
gera memperoleh alasan, katanya.
-Paman, memang sudah seharusnya aku
dan Kakang Warigagung segera kawin. Tapi.....-
- Tetapi apa? Apakah engkau mau berk-
hianat?-Julung Pujud mendelik.
- Paman .....ohh..... dengarlah dahulu ...... -
kata gadis ini. - Yang aku maksudkan, apakah
pada saat aku kawin, Mbakyu Sarindah tidak per-
lu hadir?-
- Ohh, heh heh heh heh, tentu. Kakakmu
perempuan itu memang harus hadir, sekalipun
mbakyumu malah belum kawin. Ahh, aku malah
mempunyai pikiran baru.-
- Pikiran baru tentang apa, Guru?- Wariga-
gung heran.
- Betapa baiknya apabila Sarwiyah dan Sa-
rindah dapat rukun dan bersatupadu. Dengan
begitu pembantuku untuk membalaskan sakit ha-
ti keluargamu kepada Gajah Mada, bukan hanya
dua orang, tetapi malah tiga orang.-
-Tentu saja Paman. Selamanya aku dengan
Mbakyu selalu rukun dan bersatupadu. Aku dan
Mbakyu Sarindah bisa disebut satu hati.-
- Betul, heh heh heh heh. Kalau benar be-
gitu, engkau dan mbakyumu. harus bersedia
membuktikan. Maka sebaiknya engkau maupun
mbakyumu kawin saja dengan Gagung.-
- Ahhh.....!- Warigagung dan Sarwiyah ber-
seru tertahan hampir berbareng saking kaget.
- Tidak Guru!- bantah Warigagung. - Murid
cukup seorang isteri saja.-
- Goblok kau Gagung! Mempunyai isteri le-
bih seorang justru lebih enak, heh heh heh heh.-
Julung Pujud terkekeh. Agaknya kakek ini
menjadi senang sekali mendapat pikiran seperti
itu.
Sebaliknya Sarwiyah menjadi pucat wajah-
nya. Gadis ini sama sekali tidak menduga apabila
Julung Pujud mempunyai maksud seperti ini.
- Tidak Guru, tidak! Kasihan Adik Sar-
wiyah!- bantah pemuda ini.
Apakah sebabnya kasihan?! Kalau me-
mang Sarwiyah dan Sarindah suka, tentu saja le-
bih baik heh heh heh heh. Dengan demikian aku
akan lebih mantap lagi dalam usahaku untuk
membalaskan sakit hati Si Tangan Iblis.-
Julung Pujud memandang Sarwiyah. Ke-
mudian ia bertanya.
- Hai Sarwiyah! Bagaimanakah pendapat-
mu? Apakah engkau tidak setuju dimadu dengan
mbakyumu sendiri ?-
- Hal itu terserah kepada Paman dan
Mbakyu Sarindah. Apabila Mbakyu Sarindah se-
tuju, manakah aku dapat menolak? Karena itu,
sebaiknya Paman bicara langsung dengan
Mbakyu.-
Jawaban Sarwiyah ini mempunyai alasan
yang cukup kuat. Ia kenal baik akan watak mba-
kyunya yang keras hati. Ia yakin mbakyunya tak
mungkin setuju dengan maksud kakek ini. Dis-
amping itu, ia juga yakin, mbakyunya yang cantik
jelita itu, manakah sudi menjadi isteri Wariga-
gung? Sedangkan dirinya sendiripun, apabila ti-
dak kalah janji dengan kakeknya, lebih suka me-
milih Mahisa Singkir.
- Heh heh heh heh ha ha ha ha, bagus!-
Julung Pujud gembira sekali mendengar jawaban
ini. - Aku sendiri yang akan bicara dengan dia.
Marilah sekarang kita pergi ke Tosari.-
- Guru.....-
- Ada apa lagi? Huh, laki-laki seperti kau
ini, laki-laki apa? –
Guru, murid kasihan kepada Adik Sar-
wiyah apabila aku harus mempunyai dua isteri.-
- Apakah alasanmu?- Julung Pujud mende-
lik.
- Guru! Murid mempunyai pendapat begini.
Adalah tidak adil apabila seorang laki-laki beriste-
ri dua orang.-
- Apakah sebabnya tidak adil? Laki-laki
punya dua atau tiga isteri sudah jamak. Tetapi
sebaliknya, tidak lumrah apabila seorang perem-
puan mempunyai dua atau tiga orang suami. Heh
heh heh heh.-
- Guru! Murid mempunyai pendapat tidak
adil, karena cinta itu tidak bisa dibagi-bagi. Pa-
dahal kalau murid mempunyai dua isteri, bagai-
manakah mungkin murid dapat membagi cinta
itu? Apakah ini adil? Kalau isteri memberikan cin-
tanya kepada suami secara utuh, tidak dibagi-
bagi, mengapa suami harus membagi-bagi cinta?
–
- Sudah, sudah! Aku tidak mau berbanta-
han. Kawin dengan dua perempuan sekaligus,
dan ka-kak-adik pula.-
Warigagung tidak berani membuka mulut
lagi, sekalipun hati tidak setuju. Pemuda ini su-
dah kenal watak gurunya yang tidak dapat ia
bantah kehendaknya. Ia melirik ke arah Sar-
wiyah. Dan ia melihat wajah gadis ini menjadi pu-
cat dan tampak kecewa sekali. Namun demikian
ia tidak berani berkata apa-apa, dan hanya me-
nundukkan kepalanya
Hayo, sekarang kita berangkat ke Tosari!-
ajak Julung Pujud mantap.
Perintah ini tidak mungkin dapat mereka
bantah pula. Warigagung dan Sarwiyah segera
pula bangkit, mengikuti langkah Julung Pujud.
Untuk singkatnya cerita, mereka sudah ti-
ba di Tosari. Akan tetapi betapa kecewa tiga orang
ini ketika tidak dapat ketemu dengan Sarindah.
Rumah Si Tangan Iblis sudah kosong. Malah su-
dah banyak yang rusak dan halaman yang semu-
la bersih itu sekarang sudah ditumbuhi rumput
liar. Diam-diam Sarwiyah sedih melihat rumah ini
yang sekarang kosong dan rusak.
Tentu saja mereka tidak dapat menemukan
Sarindah, yang sekarang jiwanya sudah tergang-
gu. Sebabnya tidak lain karena selalu menggeng-
gam laki-laki tampan yang sudah menjadi sua-
minya, bernama Dewa Asmara. Entah ke mana
sekarang Sarindah pergi, dan entah pula di mana
dia berada.
Tetapi yang jelas Sarindah seorang gadis
yang keras hati dan bernasib malang. (Baca:
RAHASIA DEWA ASMARA, oleh pengarang dan
penerbit yang sama. Anda akan dapat menjenguk
gadis malang bernama Sarindah ini, dan tahu pu-
la sebabnya Sarindah sampai mendapat gangguan
jiwa).
Gajah Mada disamping berkedudukan se-
bagai Mahapatih (Patih Mangkubumi) Majapahit,
juga merangkap kedudukan Rajajaksa. Dialah
yang mengawasi pelaksanaan Undang-Undang
Raja. Sedangkan sebagai Aspada, Gajah Mada ha-
rus menyusun suatu rencana penuntutan leng-
kap dalam soal-soal sengketa yang penting. Jadi
Patih Mangkubumi Majapahit yang bernama Ga-
jah Mada ini tidak saja menjalankan aturan Un-
dang-Undang Negara, tetapi juga menjaga supaya
aturan itu berjalan dengan baik. Dan kalau perlu
menuntut segala pelanggaran yang terjadi.
Gajah Mada seorang yang berpengalaman
luas dalam urusan negara. Ia memperoleh penga-
ruh luas bukan karena keturunan bangsawan,
bukan karena keturunan ksatriya, akan tetapi
oleh kecakapan dan keberaniannya.
Selama mengabdikan diri di Majapahit, ia
memulai dari kedudukan yang paling bawah dan
berkat ketekunannya dapat mencapai puncak ke-
kuasaannya, sebagai Mahapatih Majapahit. Mula-
mula Gajah Mada mengabdikan diri di Majapahit
sebagai pesuruh. Kemudian ia menjadi prajurit
Bhayangkara. Kemudian naik tingkat menjadi
Bekel Jayanegara ia diangkat menjadi Patih Dha-
ha.
Akan tetapi semua itu tidak mungkin bisa
terjadi, apabila Gajah Mada tidak memiliki kese-
tiaan dan semangat pengabdiannya yang diberi-
kan kepada Majapahit. Jadi, kedudukan Gajah
Mada yang mencapai puncak tertinggi itu bukan-
lah datang dengan sendirinya, tetapi oleh jerih
payahnya sendiri.
Namun sudah lumrah yang terjadi di dunia
ini, kemudian timbul perasaan orang yang menjadi iri hati dan dengki, jika melihat orang lain
mencapai puncak kejayaan. Lebih pula Gajah
Mada bukan keturunan bangsawan Majapahit.
Maka sering kali pula Gajah Mada menghadapi
ancaman bahaya, baik yang terang-terangan
maupun gelap-gelapan. Ia mempunyai banyak
musuh gelap sekalipun ia tidak sadar dimusuhi
orang.
Sekalipun demikian berkat kebijaksanaan-
nya, berkat kewaspadaannya, semua usaha orang
yang akan berbuat jahat selalu dapat digagalkan,
baik oleh Gajah Mada sendiri maupun oleh pem-
bantu-pembantunya yang setia.
Disamping itu berkat kecakapan dan kese-
tiaan pembantu-pembantunya ini, maka sekali-
pun yang berkuasa di Majapahit seorang raja wa-
kil, Tribhuwanattunggadewi Jayawishnu-
warddhani, Gajah Mada dapat mengendalikan
keamanan Majapahit dengan baik.
Dan pagi ini dengan wajah berseri-seri, Ga-
jah Mada menerima kedatangan Mpu Kepakisan
di rumah tempat tinggalnya. Hadir pula Laksa-
mana Nala, Rangga Premana dan Adityawarman.
- Terima kasih atas bantuanmu, Paman
Mpu Kepakisan. Ahh, kalau saja engkau tidak ce-
pat memberi laporan dan cepat bertindak pula,
mungkin sisa-sisa pemberontak Sadeng itu akan
bisa menjadi bibit penyakit yang membahayakan
Majapahit!- Demikianlah ucapan Gajah Mada
dengan halus, setelah mendengar laporan Mpu
Kepakisan, sisa-sisa pemberontakan Sadeng sudah berhasil ditumpas.
Akan tetapi Mpu Kepakisan adalah seorang
pendeta yang tentu saja selalu jujur, dijauhkan
dari hal-hal yang dusta dan kurang patut. Sahut-
nya kemudian.
- Bukan saya yang berjasa dalam masalah
ini.-
- Ahh, kalau bukan, lalu siapakah?- Gajah
Mada kaget, demikian pula Nala maupun Aditya-
warman.
- Apabila tidak ada petunjuk dari Mpu
Anusa Dwipa manakah mungkin saya bisa tahu?-
- Ahhh..... Mpu Anusa Dwipa?-
- Benar, Ayah,- Rangga Premana ikut ber-
bicara. - Memang atas petunjuk orang tua itu,
Kakek Kepakisan tahu tentang sisa pemberontak
Sadeng. Disamping itu tanpa adanya petunjuk pe-
ta dari Mpu Anusa Dwipa pula, kiranya sulit kita
menerobos masuk ke lembah yang penuh jebakan
dan jalan rahasia itu.-
- Ahh, menarik sekali! Ceritakanlah Rang-
ga, aku ingin sekali mendengar situasi lembah
itu!- ujar Adityawarman.
- Ceritakanlah yang jelas, Rangga,- pinta
Mpu Kepakisan pula sambil mengeluarkan peta
pemberian Mpu Anusa Dwipa.
Tiga orang pimpinan Majapahit itu menjadi
amat tertarik kepada peta yang dibentangkan di
atas meja. Adapun Rangga Premana segera mene-
rangkan segala sesuatunya dengan perlahan teta-
pi jelas sekali.
Bukan main!- Mpu Nala menggeleng-
gelengkan kepalanya, kagum sekali. Demikian pu-
la Gajah Mada maupun Adityawarman.
Mereka menjadi kagum atas kepandaian
Mpu Galuh yang memilih lembah itu dan dia
lengkapi dengan jebakan-jebakan pintu rahasia di
bawah tanah. Demikian rapi dan tentu penggara-
pannya membutuhkan waktu yang lama dan te-
naga yang banyak jumlahnya pula. Sebab, mem-
buat lorong di bawah tanah jauh lebih sulit di-
banding membuat jalan di atas tanah
- Benar-benar hebat dan cerdik,- puji Ga-
jah Mada. - Tetapi aku justru lebih tertarik kehe-
batan dan kecerdikan Mpu Anusa Dwipa. Lalu da-
ri manakah orang tua itu memperoleh pengeta-
huan keadaan lembah itu, kemudian bisa dia tu-
angkan dalam peta yang jelas dan terperinci se-
perti itu? Bukan saja pengetahuannya tentang je-
bakan, tetapi juga tahu semua pintu rahasia. –
Untuk beberapa jenak lamanya mereka ti-
dak ada yang membuka mulut. Pertanyaan Gajah
mada ini memang tidak mudah dijawab, kecuali
oleh yang berkepentingan sendiri, ialah Mpu Anu-
sa Dwipa.
- Entahlah, saya sendiri tidak tahu dari
mana Mpu Anusa Dwipa memperoleh peta ini.
Saya bertemu dengan dia di pinggang Gunung Ke-
lud dan bertemu tidak sengaja!- jawab Mpu Kepa-
kisan. - Ohh, ya, dan secara tidak sengaja pula,
aku bertemu dengan gadis jelita murid Ki ageng
Tunjung Biru.....
Ahhhh .....!- Mpu Nala kaget. - Katakan-
lah, di mana bocah itu sekarang?-
Mpu Kepakisan dan Rangga Premana he-
ran mendengar pertanyaan Mpu Nala yang begitu
besar perhatiannya kepada bocah perempuan itu.
- Lekas katakanlah, di mana bocah itu?
Dan apakah dia membawa pedang pusaka ber-
nama Tunggul Wulung?- desak Nala.
- Ahh, benar! Mengapa Bendara tahu?-
Mpu Kepakisan heran.
Sebenarnya Gajah Mada sendiri kaget, te-
tapi juga gembira mendengar pemberitahuan itu.
Sebab, Gajah Mada segera dapat menduga, tentu
bocah itu Dewi Sritanjung, putri Mpu Nala yang
sudah lama mereka cari.
- Paman Kepakisan!- ujar Gajah Mada ha-
lus. - Agar engkau tidak menjadi bingung meng-
hadapi pertanyaan Adimas Nala, maka sedikitnya
dengarlah dahulu ceritaku.-
Tetapi sebelum memulai ceritanya, Gajah
Mada menatap Nala dan bertanya.
- Adimas Nala, sekarang ini yang hadir ha-
nyalah terbatas dan bisa aku katakan keluarga
sendiri. Bolehkah aku menceritakan hal-ihwal bo-
cah itu?-
- Silakan!- sahut Nala. - Aku percaya Bapa
Pendeta akan bersedia merahasiakan peristiwa
ini.-
- Ahhh ada apakah?- Mpu Kepakisan kehe-
ranan.
Rangga Premana tidak membuka mulut. Ia
memandang mereka yang hadir bergantian den-
gan pandang mata bertanya-tanya. Adapun Adi-
tyawarman yang sudah mengetahui perihal ini,
hanya berdiam diri.
Gajah Mada segera menceritakan tentang
peristiwa yang sudah belasan tahun berlalu. Keti-
ka secara tidak sengaja, Mpu Nala kawin dengan
salah seorang puteri Ra Kuti, seorang anggota
Dharma putra yang memberontak dan telah ter-
bunuh mati. Peristiwa itu memang tidak terduga
sama sekali, sebab Mpu Nala mengira, isterinya
seorang gadis desa.
Dari perkawinan ini hamillah si isteri dan
Mpu Nala gembira sekali. Kemudian pada suatu
ketika inginlah Mpu Nala memboyong isteri ini ke
Kota Majapahit dan maksudnya ini pun mendapat
persetujuan isterinya.
Namun sebelum ketentuan waktu boyong
ini mereka laksanakan, tiba-tiba Mpu Nala tahu,
isterinya itu sebenarnya puteri Ra Kuti. Pemberi-
tahuan dari ibu angkat isterinya ini mengejutkan
Mpu Nala, sehingga pada malam harinya Mpu Na-
la pergi ke Majapahit tanpa pengetahuan siapa-
pun. Masalahnya, Mpu Nala merasa kecewa seka-
li, sudah kawin dengan gadis anak pemberontak.
Akibat penderitaan yang berat, maka ke-
mudian isteri setia ini meninggal dunia pada saat
melahirkan anaknya. Bayi yang lahir itu kemu-
dian dibuang ke sungai oleh para tetangga, yang
akhirnya dirawat oleh Ki ageng Tunjung Biru. Da-
lam asuhan Ki ageng Tunjung Biru ini, anak tersebut diberi nama Dewi Sritanjung, dan menjadi
seorang gadis jelita dan berilmu tinggi. (Baca: Bu-
ku berjudul JASA SUSU HARIMAU, oleh penga-
rang dan penerbit yang sama).
Pada saat Sritanjung mendapat pendidikan
dan asuhan Ki ageng Tunjung Biru ini, Mpu Nala
sudah cukup lama berusaha mencari anaknya
yang hilang itu, namun belum pernah terkabul
harapannya. Baru kemudian harapannya ini bisa
terkabul dan diketahui Dewi Sritanjung adalah
puterinya yang hilang, setelah bocah ini oleh Ki
ageng Tunjung Biru disuruh pergi ke Kota Maja-
pahit, dan kemudian diboyong ke rumah Mpu Na-
la. (Agar para Pembaca yang budiman bisa men-
getahui lebih jelas peristiwa ini, bacalah buku :
MENCARI AYAH KANDUNG).
Akan tetapi pada malam harinya kemudian
bocah ini melarikan diri dari rumah tanpa pamit,
seperti telah kita ceritakan di dalam buku berju-
dul: TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA.
Mendengar penuturan ini Mpu Kepakisan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Apabila ia tahu
sebelumnya, tentu ia berusaha mengajak bocah
itu pergi bersama ke Majapahit.
- Ahhh.....kalau saja aku tahu, tentu dia
sudah kuajak kemari, - ujar Mpu Kepakisan ber-
nada menyesal. - Sayang sekali, hemm, aku tidak
tahu lagi di manakah sekarang bocah itu.-
- Pergi ke manakah dia?- desak Nala dan
hatinya tegang.
- Maafkanlah saya, Bendara, sungguh aku
tidak tahu ke mana dia, sebab terjadi peristiwa
yang kemudian menyusul.-
- Peristiwa apakah?-
Mpu Kepakisan kemudian menceritakan
tentang terjadinya peristiwa menyusul, terbu-
kanya sebuah lubang pintu jebakan, dan semen-
jak itu dia lenyap.-
Kiranya para Pembaca yang budiman akan
lebih asyik apabila berkenan membaca pula buku
berjudul: TERKURUNG DI PERUT GUNUNG, oleh
pengarang dan penerbit yang sama.
- Aduhhh.....anakku.....anakku ..... engkau
mati masuk perangkap? Aduhh.....aku lah yang
berdosa.....-
Mpu Nala menutupi mukanya dengan dua
telapak tangan dan Adityawarman cepat menghi-
bur.
- Belum tentu dia celaka, kenapa engkau
sudah menjadi khawatir? Sudahlah, sebaiknya
persoalan anakmu ini serahkan saja atas kehen-
dak dan perlindungan Dewata Agung (Tuhan).-
- Saya juga tidak yakin apabila celaka!-
Rangga Premana ikut pula menghibur, tetapi juga
amat terharu. - Lebih-lebih lagi, Mpu Anusa Dwi-
pa sudah menyanggupkan diri untuk menca-
rinya.-
- Ahhh.....tetapi dia anak yang malang. Dia
kasihan sekali karena tidak sempat mengenal
ibunya sendiri.....- ujar Mpu Nala penuh rasa ses-
al.
- Paman Kepakisan,- kata Gajah Mada.
Aku mohon pertolonganmu. Sudilah Paman me-
nugaskan beberapa orang cucumu (muridmu)
ikut serta mencari bocah itu. Cirinya mudah se-
kali. Apabila ada seorang gadis memiliki pedang
pusaka yang bersinar biru, jelas pedang itu pe-
dang pusaka Tunggul Wulung dan itu pula dia.
Maka bujuklah agar bocah itu suka datang ke Ko-
ta Majapahit dan bawalah kemari.-
- Baiklah! Akan saya usahakan.-
Untuk beberapa saat lamanya keadaan
hening, tidak seorangpun membuka mulut. Agak-
nya mereka seperti terpengaruh oleh kekhawati-
ran Mpu Nala.
Guna mengalihkan suasana yang kurang
menyenangkan ini kemudian Gajah Mada mema-
lingkan mukanya kepada Adityawarman.
- Bendara Adityawarman, saya mohon
khabar tentang Bali. Tidaklah mengherankan
apabila Gajah Mada menyebut Adityawarman
dengan sebutan "bendara" sekalipun kedudukan
Gajah Mada di Majapahit demikian tinggi. Hal ini
bukan saja oleh kebiasaan lama, semenjak Gajah
Mada masih berpangkat rendah, memang sudah
menjadi sahabat Adityawarman. Akan tetapi dis-
amping itu juga pengaruh dari keadaan Gajah
Mada sendiri yang merasa bukan keturunan Ma-
japahit, dan juga karena ia memang berjiwa seo-
rang pemimpin yang rendah hati. Dan oleh penga-
ruh sikap Gajah Mada terhadap Dharmaputra
yang demikian menghargai mereka itu, maka se-
baliknya para Dharmaputra Majapahit juga
menghargai Gajah Mada.
- Ahhh, apakah tentang Tatagalapura Ger-
hastadara itu?- tanya Adityawarman.
- Benar.-
- Sudah saya perintahkan untuk membuat
dan sudah selesai pula. Ya, mudah-mudahan
dengan berdirinya pura itu, maka orang-orang
yang berkuasa di Bali mengerti maksud baik Ma-
japahit.-
- Benar. Harapan kita memang demikian,-
Gajah Mada mengangguk-angguk tampak puas.
Perlu kita ketahui, bahwa semenjak Maja-
pahit berdiri, hubungannya dengan Bali terputus.
Bali merasa bukan wilayah Majapahit dan Bali
merasa merdeka di atas rumahnya sendiri. Hal ini
tentu saja menjadi perhatian penuh bagi Gajah
Mada yang bercita-cita mempersatukan Nusanta-
ra dan bercita-cita demi kejayaan Majapahit.
Guna menarik perhatian Bali, bahwa Maja-
pahit ingin menyelenggarakan hubungan baik,
maka atas prakarsa Gajah Mada, didirikanlah pu-
ra itu, dan bernama Tatagatapura Gerhastadara.
Mendengar itu Mpu Nala bangkit seman-
gatnya, tergugah jiwa kesatrianya sehingga ia ter-
lupa kepada urusan keluarga.
- Tetapi bagaimanakah apabila Bali tetap
membangkang?- tanyanya sambil menatap Gajah
Mada dan Aditywarman bergantian.
- Apabila Bali memang bandel, untuk apa
tidak kita hancurkan?- sahut Adityawarman pe-
nuh semangat pula.
Gajah Mada bersenyum. Diam-diam ia
bangga sekali terhadap keperwiraan dua orang
pemimpin ini. Katanya kemudian.
- Benar! Apabila Bali memang bandel, me-
mang tidak ada jalan lain lagi, kecuali kita guna-
kan kekerasan. Akan tetapi selama masih bisa ki-
ta usahakan dengan jalan damai, bukankah itu
lebih baik?-
Ciri-ciri kebesaran Gajah Mada memang
seperti itu. Dalam mencapai cita-cita mempersa-
tukan seluruh Nusantara, apabila memang bisa
tercapai akan ia gunakan jalan halus dan damai.
Akan tetapi sebaliknya apabila jalan damai itu
sampai gagal, Gajah Mada akan menggunakan
kekerasan. Menggunakan kekuasaan pasukan
dan perang.
- Paman Kepakisan,- kata Gajah Mada ke-
mudian. - Apakah tidak ada hal-hal yang engkau
sampaikan, sehubungan dengan tugasmu?-
- Memang ada yang perlu saya sampaikan,
ialah tentang terjadinya peristiwa yang menarik
perhatian saya, sehubungan dengan adanya usa-
ha pencegatan pasukan yang dilakukan oleh Ju-
lung Pujud.-
- Siapakah Julung Pujud itu,- Adityawar-
man nampak heran, tetapi juga tertarik.
- Bendara, Julung Pujud adalah seorang
tokoh sakti yang sesat- Gajah Mada menjelaskan.
- Telah belasan tahun lamanya, tokoh itu tidak
pernah muncul. Ahh, menarik sekali, apabila to-
koh itu demikian muncul sudah berani menghadang pasukanmu.-
- Benar! Memang amat menarik. Akan teta-
pi disamping itu juga membuat saya tak habis pi-
kir. Sebab dari ucapannya jelas sekali, maksud
penghadangan itu ada hubungannya dengan
Nakmas Gajah Mada.-
- Ahhh, ada hubungan dengan diriku? Ten-
tang apa saja?- Gajah Mada tidak kaget, hanya
tertarik perhatiannya saja. Karena bagi tokoh ini
yang sudah terbiasa dimusuhi orang, sudah men-
jadi kebal apabila ada orang yang berusaha me-
musuhinya.
- Pada saat menghadang pasukan itu.....-
- Nanti dulu!- sela Mpu Nala. - Berapakah
jumlah kawan dia yang ikut menghadang?-
- Waktu itu saya tidak melihat yang lain,
kecuali Julung Pujud seorang saja.-
- Ahhh.....bukan main! Seorang diri berani
menghadang rombongan pasukan dalam jumlah
banyak. Sungguh menarik!-
- Benar! Memang itulah hebatnya Julung
Pujud. Dia seorang pemberani. Maka sekalipun
hanya seorang diri, tidak mengherankan pula
apabila berani menghadang kami. Akan tetapi
disamping keberaniannya, dia juga terkenal seba-
gai seorang pengecut, licik, dan penuh tipumusli-
hat.- Gajah Mada berusaha memberi penjelasan.
Dan Mpu Kepakisan segera menambah pu-
la, - Ya! Watak Julung Pujud memang demikian.
Hal itu terbukti setelah merasa tidak mampu
mempertahankan diri saya, dia kemudian melari
kan diri. Namun demikian sebelum melarikan di-
ri, diapun berusaha membunuh saya dengan ja-
rum beracun yang selalu dia banggakan keampu-
hannya.-
Mpu Kepakisan berhenti. Sejenak kemu-
dian ia meneruskan.
- Tetapi terus terang bila dia tidak segera
melarikan diri, mungkin saja saya celaka.....-
- Apakah sebabnya?- Adityawarman kaget.
Demikian pula yang lain kecuali Rangga Premana
yang telah tahu.
- Karena Julung Pujud mempunyai ilmu
pukulan yang beracun. Dari sambaran tangannya
menyebarkan racun yang dapat merobohkan la-
wan. Apabila hanya dalam waktu singkat, kiranya
saya masih bisa menahan pengaruh dari hawa
beracun itu. Akan tetapi apabila waktunya cukup
lama, memang amat berbahaya. Seperti yang su-
dah terjadi dengan diri saya, setelah berkelahi
hampir setengah hari, begitu dia pergi saya harus
lekas-lekas mengatur pernapasan.......
- Apakah sebabnya!- Mpu Nala bertanya.
- Semua itu guna mengusir pengaruh dari
pukulan beracun itu.....-
- Ahhh, berbahaya juga!- Adityawarman
menggumam.
- Benar! Julung Pujud memang amat ber-
bahaya!- Gajah Mada membenarkan pendapat itu.
- Dan saya masih ingat pada peristiwa belasan
tahun yang lalu, pada waktu Julung Pujud mela-
kukan keganasannya membasmi orang-orang tidak berdosa. Setelah Mpu Anusa Dwipa turun
tangan, baru Julung Pujud kapok lalu menyem-
bunyikan diri.-
- Lalu, apakah maksud Julung Pujud
menghadang pasukan itu?- tanya Mpu Nala.
- Seperti yang tadi sudah saya kemukakan,
katanya untuk memusuhi Nakmas Gajah Mada.
Tentang apakah alasannya, saya sendiri kurang
jelas.-
- Hemm, bagiku takkan kaget apabila ada
orang yang memusuhi diriku,- ujarnya dengan bi-
bir menyungging senyum. - Tetapi justru banyak
orang memusuhi diriku ini, menimbulkan gairah
dan semangatku untuk mencurahkan seluruh
perhatianku demi kejayaan Majapahit. –
- Namun persoalan ini tidak cukup kita ab-
aikan demikian saja.- Adityawarman memberikan
pendapatnya. - Sebab, kedudukan Patih Mangku-
bumi Majapahit merupakan kunci jaya dan han-
curnya Negara Majapahit kita.-
-Benar! Bendara Warman benar! Menurut
pendapat saya, Nakmas Gajah Mada harus lebih
waspada dan hati-hati. Sebab siapa tahu apabila
ada orang ketiga yang berdiri di belakang Julung
Pujud? Lebih berbahaya lagi apabila orang ketiga
itu justru merupakan orang dalam.- Mpu Kepaki-
san mendukung.
- Pendapat Bapa Pendeta beralasan.- Mpu
Nala menjadi tertarik. - Siapa tahu apabila masih
ada satu atau dua orang Dharmaputra yang tidak
puas?
Adityawarman pun menduga seperti itu.
Maka katanya kemudian.
- Ya! Dugaan demikian memang tidak ber-
bantah. Seperti kita ketahui dan diakui pula oleh
Paman Gajah Mada, di antara Dharmaputra me-
mang terdapat perasaan tidak puas, sehubungan
dengan pengangkatan Paman Gajah Mada sebagai
Patih Mangkubumi Majapahit. Alasannya ialah,
Paman Gajah Mada bukan keturunan bangsawan.
Hem. tetapi semua itu menurut pendapatku tidak
beralasan. Dengan kata lain, hanya merupakan
alasan yang mereka cari-cari. Bagi saya, tidaklah
tepat apabila kedudukan itu harus diukur dari
keturunan.-
Ia berhenti lalu membasahi bibirnya. Seje-
nak kemudian baru ia meneruskan. - Lebih-lebih
kedudukan Patih Mangkubumi Majapahit. Wa-
laupun bukan keturunan bangsawan, apabila ca-
kap dan mampu tidak ada halangannya. Dan se-
baliknya, walaupun keturunan bangsawan akan
tetapi apabila tidak cakap, tentu saja saya memi-
lih yang pertama.-
Adityawarman berhenti lagi sejenak. Sete-
lah menghela napas ia meneruskan.
- Timbul pikiran saya, untuk bisa menang-
kap Julung Pujud dalam keadaan masih hidup
atau mati. Syukur apabila bisa kita tangkap hi-
dup-hidup, dari mulut orang itu kemudian kita
akan memperoleh keterangan-keterangan yang
berharga, dan kiranya cita-cita ini baru terlaksa-
na, kalamana kita memperoleh bantuan Mpu
Anusa Dwipa. Ehhh, Bapa Pendeta Kepakisan,
mungkinkah Bapa Pendeta bisa membujuk Mpu
Anusa Dwipa menangkap Julung Pujud?-
Mpu Kepakisan menghela napas pajang. Ia
tidak segera memberikan jawabannya. Karena ia
cukup kenal akan watak Mpu Anusa Dwipa yang
aneh bin ajaib itu dan yang lain dari yang lain.
Kalau saja Mpu Anusa Dwipa itu seorang yang gi-
la terhadap pangkat dan kedudukan, kekayaan
ataupun harta benda, adalah gampang sekali
mempengaruhi kakek itu dengan macam-macam
usaha dan janji.
Akan tetapi Mpu Anusa Dwipa bukan
orang macam itu. Bukan seorang yang gila terha-
dap pangkat, kedudukan, harta benda ataupun
kekayaan. Dia tidak membutuhkan apa-apa! Ka-
kek itu hidup bagai burung tanpa sarang. Dia be-
bas beterbangan ke manapun dia suka. Kadang-
kala tanpa diminta dia sudah mengulurkan tan-
gan memberi pertolongan kepada orang. Akan te-
tapi kadang-kadang pula, dia tidak peduli walau-
pun tahu orang dalam kesulitan. Juga walaupun
Mpu Anusa Dwipa telah mengetahui jelas terha-
dap watak seseorang dan jelas orang itu jahat,
namun kalau perlu dia bersedia pula memberi
pertolongan maupun sekedar ilmu kesaktian.
Sesudah berpikir sejenak lamanya, baru
Mpu Kepakisan memberi jawaban.
- Hemm, saya kurang yakin dan sulit pula
untuk dapat menduga, bagaimana tanggapannya
apabila saya mengajukan persoalan itu. Dia seorang yang aneh! Dia hidup tidak membutuhkan
apa-apa, jadi sulitlah orang dapat mempengaruhi
maupun menarik perhatian dia. Akan tetapi seka-
lipun demikian saya akan berusaha juga menco-
ba, dan juga untuk merundingkan soal ini kepada
dia. Hemm, hanya saja ......
- Nampaknya Bapa Pendeta ragu. Katakan-
lah!- Adityawarman mendesak.
- Bendara, untuk mencari kakek gendut itu
tidak gampang, Sebab dia tidak mempunyai tem-
pat tinggal yang tetap. Dia bagai burung tanpa sa-
rang.-
- Ada cara untuk mengundang dia.- Mpu
Nala mengemukakan pendapatnya.
- Dengan jalan apa?- Gajah Mada tertarik.
- Maklumat Raja Majapahit, guna mengun-
dang Mpu Anusa Dwipa datang ke Majapahit.-
- Ha ha ha ha,- Gajah Mada ketawa. -
Orang-orang sakti seperti Mpu Anusa Dwipa dan
yang lain manakah mau tunduk kepada segala
maklumat Raja Majapahit? Mereka tidak merasa
terikat oleh sesuatu tugas kewajiban bagi negara.
Mereka merasa hidup bebas tiada yang dapat
mengganggu gugat.-
- Ahhh, itu pendapat dan pendirian yang
tidak benar.- Adityawarman menyahut cepat. -
Sebab setiap warga negara atau rakyat dalam su-
atu negara, dibebani kewajiban untuk melakukan
sesuatu bagi kepentingan negara.-
- Benar! Akan tetapi sebaliknya, Bendara
juga harus mengerti terhadap kenyataan yang terjadi dalam dunia orang-orang seperti Mpu Anusa
Dwipa itu.- Gajah Mada menerangkan. - Kita su-
dah berpayah-payah mengatur dengan Undang-
Undang dan Maklumat, guna ketenteraman tata
kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Me-
reka yang salah harus mendapatkan hukuman
yang setimpal dengan kesalahannya. Tetapi ba-
gaimanakah kenyataan yang terjadi dalam ling-
kungan kehidupan mereka? Mereka tidak peduli
kepada segala macam peraturan negara itu. Dan
mereka saling bunuh secara liar.-
Gajah Mada berhenti, memandang yang
hadir mencari kesan. Sejenak kemudian ia mene-
ruskan.
- Sesungguhnya sedih juga hati saya ini
apabila memikirkan masalah mereka itu. Akan te-
tapi sampai sekarang saya belum juga berhasil
menemukan obat yang mujarab guna menyem-
buhkan penyakit mereka itu.-
Untuk beberapa saat lamanya mereka ber-
diam diri. Mereka semua justru sudah mengenal
apa yang terjadi dalam dunia orang-orang sakti.
Sejak zaman dahulu, usaha telah dirintis dan di-
lakukan guna mengubah cara hidup mereka. Na-
mun terbukti, segala usaha itu selalu berhadapan
dengan kegagalan. Apabila penguasa sampai
menggunakan kekerasan, akibat yang timbul ada-
lah malah di luar harapan dan di luar dugaan.
Mereka kemudian malah menuduh para penguasa
sudah bertindak sewenang-wenang. Dan hal ini
apabila sampai ditunggangi oleh pihak-pihak yang
sengaja menimbulkan kekacauan, terjadilah pem-
berontakan. Terjadilah perebutan kekuasaan.
Akibatnya malah tidak menyenangkan dan malah
tidak menyenangkan dan merugikan para kawula
di negara itu sendiri.
- Hemm, sekarang kita usahakan saja den-
gan mempercayakan Paman Kepakisan!- Gajah
Mada memecah sunyi. - Paman Kepakisan justru
mempunyai sejumlah cucu atau murid. Aku per-
caya dengan bantuan mereka itu, bantuan Mpu
Anusa Dwipa bagi Majapahit bisa kita harapkan.-
Mereka kemudian setuju justru memang
tidak menemukan cara yang lebih tepat. Mereka
kemudian bubaran.
Tetapi Mpu Nala yang masih ingin bicara
tentang anaknya, masih merasa belum puas ter-
hadap keterangan Mpu Kepakisan yang ia rasa-
kan terlalu singkat itu. Maka ia banyak minta
penjelasan, lebih-lebih mengingat sampai seka-
rang ini, puteranya yang bernama Surya Lelana
dan mencari mencari Dewi Sritanjung, belum juga
pulang kembali ke Majapahit
Ke manakah sesungguhnya Surya Lelana
pergi? Marilah sekarang kita ikuti perjalanan pe-
muda itu, semenjak meninggalkan Kota Majapa-
hit.
Surya Lelana, yang sudah menguasai Aji
Sepi Angin itu berlarian cepat sekali dalam usa-
hanya mengejar Dewi Sritanjung. Saking gelisah
dan tergesa, pemuda ini berlarian cepat sekali.
Kemudian ketika pagi tiba, ia telah tiba di wilayah
pegunungan Kendeng.
Pada pagi itu Surya Lelana melepaskan le-
lah dengan duduk di atas sebuah batu. Ia meng-
hela napas berkali-kali, sambil menggumamkan
nama adiknya. Ia menjadi bingung! Ia tak tahu ke
mana harus menuju guna mencari adiknya yang
pergi.
- Dewi ..... ohh Dewi, ke manakah engkau?
Ayah menjadi bingung dan akupun bingung. Dewi
.....kembalilah ......
Saking terlalu memikirkan nasib adiknya,
ia menjadi lupa terhadap perut yang lapar dan
mata yang mengantuk. Setelah tenaga ia rasakan
pulih kembali, pemuda ini lalu meneruskan usa-
hanya mencari adiknya, menuju ke selatan. Ia
menduga tentu adiknya pulang ke tempat tinggal
gurunya, Ki ageng Tunjung Biru yang letaknya
pada pertemuan dua sungai, Lengkong dan Bran-
tas.
Perjalanan ia percepat dan gembiralah hati
pemuda ini ketika melihat perahu kecil yang da-
hulu ia tinggalkan, masih tetap tertambat di tepi
sungai. Perbedaannya hanyalah perahu itu seka-
rang telah penuh oleh lumpur dan hampir ter-
pendam. Maka untuk bisa ia pergunakan menye-
berang, Surya Lelana harus bekerja keras lebih
dahulu.
Wajah pemuda itu berseri, ketika perahu
sudah bersih. Perahu segera ia pakai menyebe-
rangi sungai Lengkong. Setelah menambatkan pe-
rahu kecil itu ditempat terlindung, bergegaslah
pemuda ini menuju pondok Ki ageng Tunjung Bi-
ru. Tetapi belum jauh ia menerobos hutan itu,
terdengarlah suara harimau yang mengaum.
Pemuda ini berdebar hatinya. Namun ia se-
gera teringat kepada dua ekor harimau muda pia-
raan Ki ageng Tunjung Biru yang bernama Tum-
pak dan Manis. Ia pernah mendapatkan pelajaran
mengenai dua ekor harimau tersebut dari Dewi
Sritanjung. Maka setelah ia memperhatikan asal
suara mengaum tadi, ia cepat memanggil.
- Tumpak! Manis! Datanglah kemari!-
Panggilannya cukup nyaring sehingga suara itu
terdengar dari tempat jauh. Bagaimanapun pe-
muda ini berdebar, timbul kekhawatirannya kalau
harimau itu sudah tidak mengenal dirinya lagi.
Tak lama kemudian muncullah dua ekor
harimau yang besar. Surya Lelana terbelalak ka-
get dan diam-diam sudah mempersiapkan senja-
tanya, khawatir apabila dua ekor harimau tutul
yang besar itu bukan Tumpak dan Manis, da
memusuhi dirinya. Sekalipun demikian Surya Le-
lana kemudian bersuara nguk..... nguk..... seperti
yang sudah diajarkan adiknya. Dan sesudah itu
ia berteriak.
- Tumpak, Manis, apakah engkau lupa ke-
padaku?-
Dua ekor harimau yang sekarang sudah
menjadi besar itu, yang semula bersikap garang,
mendadak mendekam dan bersuara seperti yang
telah ia suarakan. Dua ekor harimau tutul itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan merupakan jawaban masih kenal.
Surya Lelana memberanikan diri maju dan
mengulurkan tangan kanan. Uluran tangan itu
kemudian dibalas oleh Tumpak dan Manis den-
gan menggosok-gosokkan kepala ke lengan dan
telapak tangan. Melihat sikap ini Surya Lelana
terharu, kemudian memeluk dua ekor harimau
itu bergantian.
- Marilah kita menghadap majikanmu!- ka-
tanya halus.
Dua ekor harimau tutul itu bersuara nguk
nguk, beberapa kali. Lalu Tumpak menggosokkan
tubuhnya ke paha Surya Lelana. Sesudah itu ia
mendekam di depannya seperti memberitahukan
Surya Lelana menunggang di punggungnya. Pe-
muda ini tersenyum, tanpa rewel lagi naik ke
punggung harimau itu dan tanpa perintah lagi
harimau itu melompat, lalu berlarian cepat sekali.
Tidak lama kemudian tibalah pemuda ini di
depan pondok Ki ageng Tunjung Biru. Sesudah ia
turun dari punggung harimau pemuda ini lang-
sung menuju depan pintu.
- Masuklah, Surya. –
Terdengar suara halus dari dalam pondok,
sebelum Surya Lelana sempat membuka mulut.
- Terima kasih, Uwa Guru,- sahut Surya
Lelana. Setelah memberi hormat, pemuda ini me-
langkah masuk.
Akan tetapi pemuda ini melengak kehera-
nan, sesudah tiba di dalam pondok. Ia tidak me-
nemukan Ki ageng Tunjung Biru. Namun mengapa sebabnya ia tadi mendengar dengan jelas sua-
ranya?
Pada saat Surya Lelana termangu-mangu
heran ini, tiba-tiba terdengar lagi suara yang ha-
lus.
- Duduklah! Kenapa engkau tampak geli-
sah?-
Surya Lelana terperanjat dan cepat-cepat
menjatuhkan diri duduk. Lalu ia menengadahkan
kepalanya dan memandang ke atas. Mulut pemu-
da ini melongo kagum, ketika ia melihat apa yang
dilakukan oleh Ki ageng Tunjung Biru. Kakek
yang sekarang sudah tampak tua renta itu, ter-
nyata sedang duduk bersila, dua tangannya ber-
sedekap di depan dada dan sepasang mata yang
tajam berwibawa menatap dirinya.
Yang membuat pemuda ini heran justru Ki
ageng Tunjung Biru bukan duduk di atas balai-
balai melainkan duduk bersila di atas tali yang
kecil, melintang di atas penglari pondok. Apa yang
tampak dan apa yang ia lihat ini memberikan
bukti, sampai di manakah tingkat ketinggian ilmu
kakek ini dalam bidang meringankan tubuh. Wa-
laupun duduk bersila di atas tali yang kecil, tidak
bergerak sedikitpun, seakan sedang duduk di atas
tikar yang dikembangkan di tempat rata.
- Uwa,- katanya dengan suara menggeletar.
- Apakah Diajeng Sritanjung tidak pulang kema-
ri?-
- Bukankah adikmu pergi ke Majapahit un-
tuk bertemu dengan ayahmu?- Ki ageng Tunjung
Biru tidak menjawab pertanyaan Surya Lelana,
malah bertanya.
- Benar, Uwa, dan sudah bertemu pula
dengan Ayah. Tetapi sekarang dia pergi lagi tanpa
pamit ..-
- Hemm, sudah aku duga sejak lama,- ujar
kakek ini dan tidak menunjukkan rasa kaget se-
dikitpun.
Surya Lelana heran. - Apakah sebabnya
Uwa sudah menduga?-
- Hemm, manusia hidup di dunia ini tak-
kan bisa lepas dari takdir, Anakku. Agaknya me-
mang sudah begitulah nasib adikmu. Dia lahir
dari isteri ayahmu yang lain. Bisa dimengerti apa-
bila dalam keluargamu terdapat pula orang yang
menerima kehadirannya secara tidak rela. Aki-
batnya adikmu menjadi kecewa, kemudian mela-
rikan diri.-
Diam-diam Surya Lelana kagum. Ia segera
menceritakan apa yang sudah terjadi di Majapa-
hit. Dan sekarang dirinya sedang berusaha men-
cari adiknya itu.
- Adikmu memang cukup cerdik. Dia agak-
nya tahu, orang akan segera menyusul kemari
untuk mencari. Itulah sebabnya dia malah pergi
menurutkan kehendak hatinya yang kecewa dan
tidak mau pulang kemari. Hemm, apa harus dika-
ta, justru manusia ini tiada artinya sama sekali
jika dibandingkan dengan Kuasa Dewata Agung
(Tuhan). Itu sudah merupakan garis yang takkan
dapati diubah oleh manusia. –
Akan tetapi Uwa, baik saya maupun ayah
menjadi bingung. Saya dan ayah berusaha men-
gejar dan mencari, namun dia seperti lenyap.-
Ki ageng Tunjung Biru mengusap-usap
jenggotnya yang putih dan panjang. Kemudian
katanya.
- Apa yang kau katakan bingung itu karena
tidak tahu jalan dan arah. Apa yang kau kecewa
dan sedih itu karena kehendak dan keinginan
orang tidak tercapai. Itu lumrah dan itu pula pe-
kerjaan manusia hidup di dunia ini yang takkan
dapat dihindari. Manusia akan selalu bergelut
dengan suka duka, kecewa dan lega, marah dan
ketawa, serta lapar maupun kenyang. Sebaliknya
adikmu tidak perlu engkau cari. Sekarang pulan-
glah ke Majapahit dan aku percaya, apabila dia
belum mati, kelak kemudian hari akan timbul
sendiri.-
- Uwa Guru, sulit sekali untuk dapat bersi-
kap seperti itu. –
- Tak ada yang disebut sulit, jika manusia
benar-benar menyadari hidupnya ini sebagai
mahluk Dewata Agung (Tuhan), yang ringkih dan
harus percaya terhadap kekuasaan Dia.-
- Tetapi bukankah manusia wajib berusaha
dan berihtiar?-
- Benar! Namun dalam usahamu mencari
adikmu di atas bumi yang luas ini, bagaimana bi-
sa bertemu apabila belum merupakan kehendak
Dewata Yang Agung? Maka apabila kemudian hari
adikmu datang kemari, sudah tentu aku akan berusaha membujuk dan mempengaruhi agar sele-
kasnya pulang ke Majapahit dan bertemu dengan
ayahmu. –
- Apakah tidak mungkin Uwa memberi pe-
tunjuk kepada saya, guna mempermudah usaha
saya mencari dia?-
- Heh heh heh heh, manakah mungkin aku
bisa tahu? Jika kau ingin memperoleh petunjuk
dariku, tiada lain yang dapat aku katakan, pulan-
glah dan tunggulah di rumah. Kepergianmu men-
cari dia hanya akan sia-sia belaka dan tidak
mungkin bisa bertemu.-
Tetapi Surya Lelana tak mau percaya ter-
hadap ucapan Ki ageng Tunjung Biru. Pendeknya
ia bertekad untuk mencari terus sampai ketemu.
Perjalanan ini malah merupakan sarana bagi di-
rinya memperoleh pengalaman yang berharga.
Akhirnya Surya Lelana tidak telaten terlalu
lama di tempat ini. Ia kemudian minta diri dan
ternyata orang tua itupun tidak mencegah.
Surya Lelana meninggalkan pondok bobrok
ini dengan hati yang masygul dan amat kecewa.
Semula ia berharap Dewi Sritanjung pulang ke
pondok gurunya. Namun ternyata dugaannya ke-
liru, gurunya sendiri tidak tahu di mana dia bera-
da.
Dalam perjalanan menuju sungai ini, ia ti-
dak bertemu lagi dengan dua ekor harimau tutul
yang jinak itu. Pemuda ini bergegas, dan baru ia
merasa lega setelah ia berhasil menyeberangi
sungai. Pendeknya ia takkan pulang kembali ke
Majapahit, dan akan berkelana sambil mencari
adiknya itu.
Tetapi perut yang terasa amat lapar sekali,
menimbulkan rasa melilit-lilit dalam perut. Mata-
hari sudah mulai bergeser di bagian barat. Karena
itu ia kemudian berusaha mendapatkan maka-
nan, baik buah-buahan maupun binatang kecil.
Akhirnya setelah ia bersusah payah mengintai
beberapa lama, ia mendapatkan seekor ayam hu-
tan gemuk sebagai hasil sambitannya. Kemudian
pemuda ini sibuk dengan daging ayam hutan
yang gurih ini.
Tetapi celakanya pula, setelah perut men-
jadi kenyang, mata yang sudah mengantuk itu ti-
dak dapat ia ajak damai lagi. Maka guna mengo-
bati rasa kantuk dan lelahnya itu tiada jalan lain
kecuali harus mencari tempat aman guna tidur.
Surya Lelana geragapan dan terbangun,
ketika ufuk timur sudah membara. Malam sudah
hampir pagi. Sekarang rasa kantuk, letih dan
pegal sudah hilang, dan tenaganya pulih kembali.
Melakukan perjalanan jauh di pagi hari ju-
stru tidak cepat lelah. Oleh sebab itu setelah
mencuci muka ia sudah melangkah cepat menuju
ke selatan.
Tanpa terasa tibalah pemuda ini di ping-
gang Gunung Wilis. Pada saat pemuda ini sedang
mencari binatang buruan guna mengisi perutnya
yang lapar, mendadak ia kaget oleh bentakan
orang yang keras.
- Hai jahanam! Siapakah engkau berani
berkeliaran di tempat ini?-
Surya Lelana terbelalak. Tahu-tahu di de-
pannya sekarang telah berdiri seorang kakek. Pa-
da tangan kirinya terjinjing keranjang kecil dari
bambu dan dalam keranjang tersebut tampak be-
berapa macam daun dan jamur.
Mata kakek itu mengamati Surya Lelana
penuh selidik dan curiga.
Sedang Surya Lelana memandang kakek
itu dengan pandang mata keheranan. Ia sekarang
ini melangkah menurutkan langkah kakinya dan
mendaki pinggang Wilis ini. Tetapi kenapa tiba-
tiba ada seorang yang membentak dan menjadi
marah seperti ini? Lalu apakah kesalahannya?
Tetapi belum juga pemuda ini sempat men-
jawab bentakan orang itu, tiba-tiba ia mendengar
suara orang berteriak.
- Guru! Ha ha ha ha, murid mendapatkan
jamur yang aneh. -
Tak lama kemudian tampak seorang pe-
muda tanggung berlarian cepat menghampiri ka-
kek itu. Katanya lagi.
-Inilah Guru, jamur aneh itu!-
Kakek ini menerima jamur yang bentuknya
seperti telor burung, tetapi warnanya merah se-
perti darah. Dengan mata membelalak sebentar,
kakek ini kemudian berkata.
- Heh heh heh heh, inilah jamur yang se-
dang kucari!-
Pemuda ini menyeringai gembira. Namun
tiba-tiba ia mendelik ke arah Surya Lelana. Ia
menatap gurunya sebentar, lalu berkata
- Guru! Siapakah orang ini?-
- Hai bocah! Apakah telingamu tuli? Men-
gapa sebabnya engkau tidak mau menjawab per-
tanyaanku?- hardik kakek itu dengan galak dan
sikap tidak senang.
Apabila kakek itu tampak tidak senang, le-
bih-lebih Surya Lelana juga tidak senang. Maka
kemudian jawabnya.
- Hemm, aku tidak tuli! Huh, tetapi uca-
panmu tadi terlalu kasar dan menghina orang.
Sudah semestinyakah seorang tua yang minta
kau hargai, menyebut orang dengan sebutan ja-
hanam?-
- Uah, sombongnya orang ini, Guru. Beri-
lah kesempatan murid menghajar orang kuranga-
jar ini!- kata pemuda itu dengan nada penuh ke-
marahan dan nafsu.
- Heh heh heh heh,- kakek itu terkekeh. -
Bocah yang tidak tahu tingginya gunung dan da-
lamnya lautan, berani membuka mulut semba-
rangan di depanku? Hayo, jawablah pertanyaan-
ku. Apakah maksudmu berkeliaran di tempat ter-
larang ini?-
- Tempat terlarang?- pemuda ini tercen-
gang.
- Siapakah yang melarang dan manakah
tanda larangan itu? Aku datang ke tempat ini
menurutkan langkah kakiku. Siapa yang bisa me-
larang? Engkaupun bukan pemilik gunung ini.
Mengapa bisa melarang orang lain mendekati Gunung Wilis ini?-
- Tutup mulutmu yang busuk!- bentak pe-
muda itu sambil berkacak pinggang, matanya
mendelik.
- Apakah engkau memang sudah bosan hi-
dup, berani kurangajar di depan Guruku dan di
depanku? Huh, dengar baik-baik. Aku bernama
Sentiko! Sedang Guruku ini bernama Giri Samo-
dra, seorang tokoh sakti tanpa tanding. Tahu?
Hayo lekas engkau berlutut dan mohon ampun
atau tidak?-
Surya Lelana tidak kaget karena memang
belum pernah mendengar nama guru dan murid
ini. Oleh karena itu ia menyahut dingin.
- Hemm, aku tidak bersalah kepada siapa-
pun.-
- Guru! Bocah ini terlalu sombong! Berilah
kesempatan kepada murid untuk menghajarnya
sekarang juga. Huh, siapa tahu dia berkeliaran di
sini memang bermaksud untuk mencuri jamur
dan daun obat?-
- Hem, baiklah! Hitung-hitung bisa kau
pergunakan selingan melatih diri. Agar dengan
perkelahian sungguh-sungguh ini, engkau men-
dapat tambahan pengalaman yang berharga.-
- Ha ha ha ha, terima kasih, Guru!- seru
pemuda yang bernama Sentiko ini dengan gembi-
ra. Kemudian bentaknya penuh ejekan dan hi-
naan. - Hai bocah sombong yang kurus kurang
gizi. Apabila engkau tadi bersikap baik, aku mau-
pun Guru tidak akan menjadi marah dan mungkin Guruku yang baik hati ini malah sudi membe-
ri sebungkus nasi. Ha ha ha ha, aku tahu engkau
tentu pencuri jamur dan daun obat itu. Maka hari
ini engkau takkan dapat lolos lagi dan mampus
dalam tangan ku.-
Kakek bertubuh tinggi besar dan bernama
Giri Samodra itu terkekeh senang mendengar
ucapan muridnya yang pandai menghina dan me-
rendahkan orang itu. Ia juga merasa bangga bah-
wa muridnya bersikap gagah di hadapan orang.
Sedangkan kata-kata yang diucapkan oleh Senti-
ko, menurut penilaiannya, muridnya memang ha-
rus bersikap seperti itu. Ia tidak merasa sama se-
kali bahwa ucapan muridnya itu terlalu menghina
orang.
Betapa marah Surya Lelana menghadapi
guru dan murid yang sikapnya liar seperti ini. Se-
bab tanpa meneliti dan tanpa bukti apapun, su-
dah menuduh orang seenak perutnya sendiri, se-
bagai pencuri jamur dan daun obat.
- Huh, guru dan murid yang liar tanpa atu-
ran. Menuduh orang seenak perutnya sendiri
tanpa bukti. Siapakah yang mau mencari jamur
dan obat yang tidak ada harganya itu?- jawab
Surya Lelana, penasaran.
- Apa? Bedebah busuk bermulut lancang.
Siapa bilang jamur tidak berharga? Huh, jamur
obat ini ada dua kegunaan. Untuk ramuan racun
dan ramuan obat.....-
- Sentiko! Tidak perlu berpanjang mulut,
seranglah dia!- bentak gurunya.
Baik, Guru!- sahutnya singkat.
Lalu tanpa membuka mulut lagi, pemuda
ini menerjang ke arah Surya Lelana. Gerakannya
cukup cepat dan sambaran anginnyapun cukup
kuat. Namun Surya Lelana tidak menjadi gentar
dan sekalipun tidak ingin berkelahi, ia terpaksa
melayani juga.
Giri Samodra sudah mengundurkan diri,
sekarang berdiri di pinggir sambil menonton. Ka-
kek ini tampak demikian percaya akan ketanggu-
han muridnya. Murid tunggal yang kelak kemu-
dian hari menjadi tumpuan harapannya, dapat
mewarisi seluruh ilmunya.
Siapakah guru dan murid ini? Bagi yang
sudah membaca buku berjudul SI TANGAN IBLIS
kiranya masih ingat, dua nama Umbaran, ialah:
Giri Samodra dan Sentiko. Kakek ini adalah seo-
rang pelarian dari Majapahit, dan sebelum mela-
rikan diri namanya Umbaran, salah seorang
Dharmaputra Majapahit yang tidak senang den-
gan Gajah Mada.
Adapun muridnya ini adalah cucu Si Tan-
gan Iblis, dank arena bocah ini pergi meninggal-
kan rumah tanpa pamit menyebabkan keluarga
kebingungan. Karena bocah sekecil Sentiko ini
pergi dengan maksud akan memusuhi Gajah Ma-
da. Oleh karena itu Si Tangan Iblis kebingungan
dan khawatir sekali, maka lewat para murid, Si
Tangan Iblis memerintahkan agar mencari Senti-
ko.
Antara guru dan murid ini memang mem
punyai pendirian dan cita-cita yang sama. Dengan
jalan apapun harus dapat membunuh Gajah Ma-
da.
Giri Samudra tertarik kepada Sentiko dan
kemudian mengangkatnya sebagai murid, karena
terpengaruh oleh bakat dan ketabahannya. Maka
walaupun belum dua tahun mendapat bimbingan
dan gemblengan Giri Samudra, bocah ini sudah
maju pesat baik dalam ilmu kesaktian maupun
ilmu ketabiban.
- Bagus, heh he heh heh heh! – Sentiko
memuji sambil terkekeh gembira ketika terjan-
gannya dengan gampang dihindari lawan.
Pemuda yang baru meningkat dewasa ini
kembali menerjang dan melancarkan pukulan-
pukulan berbahaya.
Sebenarnya Surya Lelana tidak mempunyai
selera berkelahi dengan siapapun. Dan tujuannya
pergi sekarang ini tidak lain guna menemukan
adiknya. Maka sambil berloncatan menghindar
tanpa membalas, ia berteriak.
- Hai, hentikan! Tahan dulu! Aku tidak
mau berkelahi, kenapa kau memaksa orang?-
- Cerewet!- bentak Sentiko sambil memu-
kul dada dengan tangan kanan dan mencengke-
ram pundak dengan tangan kiri.
Cengkeraman tangan kiri ini setiap waktu
bisa berubah menjadi pukulan berbahaya, se-
dangkan kakipun siap sedia melancarkan seran-
gan dari bawah. Terusnya.
- Kau pencuri jamur obat. Jika bandel dan
tidak mau menyerah, huh, engkau harus mam-
pus dalam tanganku.-
Mendengar dirinya tetap dituduh sebagai
pencuri jamur itu, Surya Lelana menjadi marah.
Ia tidak mau berbantahan lagi, sebab bagaimana-
pun dirinya akan tetap dituduh sebagai seorang
pencuri. Sungguh terlalu! Maka apapun yang ter-
jadi dirinya harus dapat mengalahkan pemuda
sombong dan main tuduh ini.
Dan sekalipun ia sadar tidak mungkin da-
pat menang melawan kakek itu, ia akan membela
kehormatan dan kebenaran, kalau perlu malah
dengan pertaruhan nyawa. Ia bersedia mati! Oleh
sebab itu sesudah mengalah tiga gebrakan, ia
mulai melakukan serangan balasan.
Perkelahian cepat menjadi sengit. Lebih lagi
serangan-serangan Sentiko demikian ganas. Se-
rangan yang selalu memilih bagian tubuh yang
mematikan. Maka Surya Lelana tidak berani sem-
brono lagi dan mengimbangi pukulan-
pukulannya.
Giri Samodra mengamati perkelahian itu
dengan alis berkerut. Diam-diam kakek ini kagum
dibuatnya, melihat kecepatan gerak Surya Lelana.
Disamping gerak-geriknya yang mantap, matang
dan setiap pukulannya bertenaga kuat. Sebagai
seorang tokoh sakti yang berpandangan tajam, ia
sudah dapat menduga apa yang akan terjadi. Dan
jika ia membiarkan terus, jelas sekali muridnya
sendiri yang akan kalah.
Giri Samodra masih berdiam diri dan me
nonton penuh perhatian. Ia baru akan bertindak
apabila keadaan memaksa dan muridnya dalam
bahaya.
Namun tiba-tiba kakek ini terbelalak. Ka-
kek ini kemudian mengejap-ngejapkan matanya
seperti tidak percaya akan pandang matanya sen-
diri. Hanya sekejap saja dan tiba-tiba terdengar-
lah bentakan nyaring.
- Sentiko! Mundur!-
Sentiko mendengar jelas perintah gurunya
ini. Tetapi pemuda ini tidak segera tunduk kepada
perintah itu. Sebab ia menjadi penasaran, tidak
cepat dapat mengalahkan lawan, dan sebaliknya
ia tidak merasa kewalahan dan juga belum kalah.
Lalu mengapa gurunya sudah memerintahkan
agar dirinya mundur? Karena penasaran ia malah
menyerang lebih dahsyat ke arah lawan. Maksud-
nya untuk mempercepat guna mendapat keme-
nangan.
Wut.....wut.........-Ahhhh........!
Pemuda bandel ini tiba-tiba berteriak ter-
tahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang bebe-
rapa langkah. Demikian pula Surya Lelana ter-
huyung ke belakang beberapa langkah tanpa
mampu menahan diri, terdorong oleh kibasan
tangan Giri Samodra yang bertenaga dahsyat, dan
kakek itu sendiri sekarang telah berdiri di depan-
nya.
- Hemm, siapapun adanya aku tidak ada
hubungannya dengan engkau!- bentaknya dengan
ketus dan nadanya dingin.
Sebenarnya tidak biasa bagi Surya Lelana
untuk bersikap seperti ini kepada seorang tua. Ia
seorang pemuda yang telah terdidik semenjak ke-
cil dalam hal tata kesopanan. Sebagai seorang
muda ia pandai sekali menempatkan diri apabila
berhadapan dengan orang tua.
Adapun sebabnya ia bersikap dingin dan
seangkuh itu, bukan lain hatinya tersinggung dan
penasaran oleh sikap guru dan murid ini yang se-
cara membabi buta telah menuduh dirinya seba-
gai "pencuri". Semudah itukah orang menuduh
dirinya sebagai pencuri, tanpa mengingat bukti-
bukti?
- Huh! Engkau seorang pemuda yang ku-
rangajar, dan tidak pandai menghormati orang
tua!-
Surya Lelana mendelik marah. Balasnya,
- Tergantung kepada orang tua itu sendiri,
penghargaan orang muda diberikan.-
Giri Samodra terbelalak. - Apa katamu?-
- Huh, aku berkata, seorang muda tentu
saja akan menempatkan diri sebagai seorang mu-
da, kalamana orang yang lebih tua pandai me-
nempatkan diri.- sahut Surya Lelana tanpa gentar
sedikitpun, dan membalas menatap tajam kepada
kakek itu.
Sejenak kemudian pemuda ini meneruskan
dalam usaha membela diri.
- Engkau dan muridmu tanpa alasan dan
bukti telah menuduh aku seenak perutmu sendi-
ri, sebagai seorang pencuri. Huh! Untuk apakah
aku mencuri jamur dan daun-daunan itu? Wa-
laupun jamur dan daun itu kau pandang amat
berguna, tetapi bagi aku tiada harganya sama se-
kali. Sebab aku tidak tahu kegunaan jamur mau-
pun daun yang kau sebut obat itu.-
- Heh heh heh heh, jika engkau tidak men-
gandung maksud semacam itu, lalu apakah mak-
sudmu mendaki gunung ini?-
- Aku sedang melakukan perjalanan jauh.
Siapakah yang dapat melarang aku lewat gunung
ini? Huh, engkau bukan pemilik gunung ini. Apa-
kah hak engkau melarang orang lain?-
- Uah, mulutmu terlalu lancang dan mem-
buka mulut sembarangan di depanku. Hayo kata-
kanlah terus terang. Apakah hubunganmu den-
gan Gajah Mada?-
Surya Lelana terbelalak kaget mendengar
pertanyaan ini. Apakah sebabnya kakek ini secara
tepat dapat menduga seperti itu? Apakah kakek
ini seorang waskita yang telah tahu lebih dahulu,
sebelum orang menerangkan? Untung sekali
Surya Lelana bukan pemuda bodoh, sahutnya te-
gas.
- Kenalpun belum, apakah sebabnya eng-
kau menduga seperti itu?-
- Heh heh heh heh, seekor tikus kecil bera-
ni membohong di depan Giri Samodra?- Giri Sa-
modra mendelik marah. - Gerak tata kelahi yang
kau pergunakan itu, jelas ilmu tangan kosong
yang bernama Hastha Marga. Ilmu tata kelahi
tangan kosong itu dibanggakan oleh Gajah Mada.
Hayo, mengaku punya hubungan atau tidak?-
Surya Lelana terkesiap mendengar ucapan
Giri Samodra yang tepat ini. Sebab, apa yang ia
pergunakan berkelahi tadi memang ilmu tata ke-
lahi yang bernama Hastha Marga Manila (delapan
penjuru angin) ajaran Gajah Mada. Kalau kakek
ini sudah mengenal ilmu tata kelahi yang ia per-
gunakan, jelas kakek ini sudah amat luas penga-
laman. Atau setidak-tidaknya kakek ini pernah
kenal, atau pernah berkelahi melawan Gajah Ma-
da, gurunya.
Sebagai seorang pemuda cerdik, tentu saja
Surya Lelana tak mau mengaku adanya hubun-
gan antara dirinya dengan Gajah Mada. Ia cukup
menyadari, Gajah Mada yang bijaksana dan keras
dalam menjalankan pemerintahan Majapahit itu,
banyak dimusuhi dan dibenci orang.
Bagi dirinya sendiri, nyawanya yang hanya
selembar tidak ada harganya. Dan yang ia khawa-
tirkan bukan keselamatan sendiri, tetapi malah
Gajah Mada. Sebab, siapa tahu kalau kakek ini
kemudian menggunakan dirinya untuk maksud-
maksud tertentu yang akan merugikan Gajah
Mada? Dan mungkin malah menggunakan dirinya
sebagai sandera untuk memeras dan memaksa
Gajah Mada dengan maksud tertentu yang jahat.
- Ha ha ha ha,- tiba-tiba saja Surya Lelana
tertawa terkekeh, sehingga Giri Samodra terbela-
lak heran.
Surya Lelana memang sengaja ketawa be-
kakakan, guna mengurangi rasa tegang dalam
dadanya.
- Hai orang tua! Engkau jangan mimpi di
siang bolong. Kenal pun tidak, mengapa sebabnya
engkau menanyakan orang yang berkedudukan-
nya amat tinggi di Majapahit itu? Dan kalau toh
aku mempunyai hubungan dekat dengan dia,
atau katakanlah salah seorang muridnya, mana-
kah mungkin aku mendapat kesempatan berke-
liaran pergi sesuka hatiku sendiri seperti ini? Seo-
rang murid Gajah Mada tentunya memikul tugas
kewajiban yang tidak enteng di Majapahit.-
Untuk sejenak kakek ini melongo. Namun
demikian kakek ini juga tak gampang mau per-
caya. Jelas ia tadi melihat pemuda di depannya
ini, berkelahi menggunakan ilmu tata kelahi Has-
tha Marga Maruta, yang sudah ia kenal ketika di-
rinya berkelahi melawan Gajah Mada. Adalah
mustahil pemuda ini menggunakan ilmu tersebut,
tidak mempunyai hubungan apapun dengan Ga-
jah Mada.
-Setan cilik, engkau berani berdusta kepa-
daku? Huh, tidak ada gunanya kau berdusta ke-
pada Giri Samudra. Huh, engkau tentu mempu-
nyai hubungan dengan Gajah Mada –
-Hai Setan gede! – balas pemuda ini sambil
mendelik, tampak tidak gentar sedikitpun. –Ilmu
tata kelahi yang dikenal oleh manusia di dunia
ini, tentu saja ada kalanya hampir bersamaan.
Kenapa kau menjadi heran? Pendeknya engkau
boleh percaya dan boleh tidak percaya. Aku tidak
kenal dengan Gajah Mada itu, apapula mempu
nyai hubungan. Sudahlah, pendeknya apakah
maksudmu hai orangtua? –
Surya Lelana sengaja memancing Giri Sa-
mudra dengan kata-kata ketus menghina. Bukan
lain maksudnya agar Giri samudra tidak terus
mendesak tentang hubungannya dengan Gajah
Mada.
Ternyata pancingan Surya Lelana ini ber-
hasil juga. Kakek itu mendelik dengan mata me-
rah. Bentaknya menggeledek.
-Kurang ajar! Setan kecil yang sombong
dan ketus! Engkau mau minta ampun atau tidak
kepadaku? Huh, jahanam orang jembel yang hina
dan tak kenal kesopanan. Huh, jahanam orang
jembel yang hina dan tak kenal kesopanan. Sang-
kamu aku ini orang apa, hee!-
- Huh, kau sendiri orang jembel yang hina
dan terkutuk. Buktinya kau berkeliaran di Wilis
ini!-
Giri Samodra berjingkrak saking marah.
Matanya menyala dan kumisnya berdiri seperti
sapu lidi. Bentaknya lebih keras, suaranya ter-
dengar seperti guntur dan kuasa menggetarkan
jantung.
- Bangsat hina! Dengarlah dan buka ma-
tamu lebar-lebar hai orang hina! Aku adalah Um-
baran, salah seorang Dharmaputra Majapahit,
putera Pangeran Jayawangsa. Huh huh, engkau
jangan membuka mulut sembarangan di depan-
ku. Tahu?-
Mendengar disebutnya nama Umbaran se
bagai putera Pangeran Jayawangsa ini, Surya Le-
lana terbelalak. Tentu saja pemuda ini sebagai
putra Mpu Nala, sudah pernah pula mendengar
nama itu. Ialah nama seorang Dharmaputra yang
ketika itu berpihak kepada Kuti dan Semi dan
memberontak kepada Raja Jayanegara. Ternyata
Umbaran ini sekarang masih hidup dan bersunyi-
sunyi di gunung ini, hanya hidup bersama seo-
rang muridnya.
- Heh heh heh heh,- Umbaran terkekeh
mengejek. - Engkau kaget! Nah, sesudah engkau
mendengar dan mengerti aku ini Umbaran, putera
Pangeran Jayawangsa, hayo, segeralah berlutut di
depanku dan mohon ampun!-
Akan tetapi justru oleh pengakuan Umba-
ran ini. Surya Lelana menjadi lebih hati-hati lagi.
Kakek ini bukan saja benci kepada Gajah Mada,
tetapi juga tentu benci kepada ayahnya, Mpu Na-
la. Kakek ini merupakan orang yang berbahaya
bagi Majapahit dan para pemegang kekuasaan
negara Majapahit.
Surya Lelana terkekeh mengejek. Katanya
kemudian.
- Heh heh heh heh, lucu.....lucu! Siapakah
yang mau percaya, ada anak seorang pangeran
Majapahit, seorang Dharmaputra Majapahit, ber-
sedia hidup bersunyi di sini? Heh heh heh heh,
kalau toh benar ada seorang putera pangeran
yang hidup sengsara seperti engkau ini, kiranya
adalah anak pangeran yang berdosa. Karena eng-
kau takut kepada akibat perbuatanmu sendiri
yang terkutuk, lalu melarikan diri, mencari sela-
mat!-
Betapa marah Giri Samodra mendengar
ucapan pemuda ini. Lebih-lebih ucapan pemuda
ini tepat sekali, justru dirinya memang sudah
berbuat dosa. Berbuat salah terhadap kerajaan,
sehingga dirinya terpaksa melarikan diri dan ber-
sunyi-sunyi di gunung ini. Saking marahnya, ti-
ba-tiba saja tangan Giri Samodra bergerak dan
memukul ke arah pohon yang tumbuh tegak di
sampingnya.
Brakkk.....krakkkk.....bummm.....!
Tangan Giri Samodra tidak menyentuh ba-
tang pohon itu. Tetapi akibat dari pukulan itu he-
bat sekali. Hanya tersambar oleh angin pukulan
saja, pohon sebesar paha orang dewasa itu telah
patah di tengah dan roboh.
Diam-diam Surya Lelana kaget. Jelas sekali
tenaga kakek ini hebat bukan main. Ia tidak boleh
semberono menghadapi kakek ini, jika masih in-
gin hidup.
- Huh huh lihat baik-baik! Batang pohon
itu roboh sekali ku pukul. Huh, kepalamu akan
kuremukkan jika kau lancang mulut. Hayo, lekas
berlutut dan mohon ampun atau tidak?-
Sekarang Surya Lelana harus mengguna-
kan kecerdasan otaknya menghadapi kakek ini.
Maka katanya kemudian.
- Paman, aku tidak bersalah sedikitpun
terhadap engkau. Mengapa sebabnya engkau in-
gin memaksa aku supaya minta ampun dan ber
lutut di depanmu?-
- Setan cilik! Setan alas! Engkau masih ju-
ga berusaha mungkir?! Huh, akui sajalah dan
jangan berusaha mungkir?! Huh, engkau datang
di tempat ini secara mencurigakan. Huh, mau
apakah jika engkau memang tidak bermaksud
mencuri jamur dan daun obat? Huh, akui sajalah
dan jangan mungkir!-
Surya Lelana penasaran sekali. Bantahnya
keras.
- Engkau selalu menuduh aku mencuri ja-
mur dan daun obat. Huh, aku tidak mencuri! Aku
lewat di sini dalam perjalananku mencari adikku.
Engkau boleh percaya dan boleh tidak percaya.
Pendeknya, aku tidak sudi harus minta ampun
dan berlutut di depanmu, karena aku tidak bersa-
lah!-
- Setan cilik yang keras kepala! Engkau
memiliki ilmu tata kelahi yang mirip dengan ilmu
tata kelahi Gajah Mada, namun engkau tidak juga
mau mengaku. Dan sekarang engkau pun mung-
kir, tidak mau mengaku akan mencuri jamur dan
daun obat itu. Huh huh, baiklah! Setan cilik yang
keras kepala seperti kau ini, memang sepantas-
nya aku bunuh!-
- Setan gede!- teriak Surya Lelana semakin
tambah marah. - Sangkamu semudah ucapanmu
membunuh aku? Huh, marilah kita coba.-
Karena tak ada jalan lagi untuk menghin-
darkan diri dari ancaman Giri Samodra, pemuda
ini menjadi nekad. Ia memang sadar, bukan lawan kakek penghuni Gunung Wilis ini dan yang
mengaku masih seorang Dharmaputra Majapahit,
bernama Umbaran. Akan tetapi sebaliknya mana-
kah mungkin ia mau dihina dan dibunuh tanpa
memberi perlawanan? Apapun yang terjadi, ia
bertekad untuk melawan. Mati, kalah dalam ber-
kelahi bagaimanapun masih lebih terhormat dan
lebih berharga, dibanding dengan mati tanpa per-
lawanan sama sekali.
Disamping itu sadar dirinya bukan tandin-
gan Giri Samodra, ia tidak berani sembrono da-
lam melawan dan harus bersenjata.
Sring.....seleret sinar yang panjang men-
cuat ke atas. Sebatang pedang yang tajam dan
putih telah teracung di depan muka pemuda ini.
Dan kemudian sepasang matanya menatap tajam
kepada Giri Samodra tak berkedip. Pendeknya
pemuda ini telah dalam keadaan siap siaga
menghadapi segala kemungkinan.
- Bagus, heh heh heh heh!- kata Giri Sa-
modra sambil terkekeh. - Engkau mengajak ber-
main-main dengan kakekmu? Mari engkau berpe-
dang dan aku layani dengan tangan kosong. Ka-
lau dalam lima jurus aku tidak dapat merebut
pedangmu, heh heh heh heh, anggap saja kakek-
mu ini kalah. –
- Benarkah katamu?- pemuda ini menyam-
but gembira.
Lima jurus tidak lama. Apabila dirinya cu-
kup berhati-hati dalam melawan, tidak mungkin
pedangnya dapat direbut orang.
Pada kenyataannya memang Surya Lelana
bukan pemuda sembarangan. Disamping mempe-
roleh gemblengan dari ayahnya sendiri, Mpu Nala,
iapun mendapat gemblengan Gajah Mada. Dan
itulah sebabnya ia merupakan murid Gajah Mada
pula.
Di ibu kota Majapahit, Mpu Nala terkenal
sebagai ahli pedang tanpa tanding. Kecepatan ge-
rak pedangnya, orang sulit menduga sehingga ti-
dak sedikit tokoh sakti yang mengagumi ilmu pe-
dangnya. Surya Lelana mewarisi ilmu pedang
ayahnya yang hebat itu. Ilmu pedang yang ber-
nama Thathit Leliweran, dan sesuai dengan na-
manya, maka kecepatan pedang tersebut seperti
thathit menyambar-nyambar
Justru ia menguasai dua macam ilmu, dari
ayahnya dan dari Gajah Mada itu, menyebabkan
ketika bertanding dengan Dewi Sritanjung, secara
kebetulan Surya Lelana menggunakan tata kelahi
dari ayahnya, sehingga ilmu mereka berdua tiada
kemiripannya. Untuk ini agar jelas, silakan Pem-
baca yang budiman membaca buku berjudul
JASA AIR SUSU HARIMAU.
Pemuda ini justru mempunyai sarana da-
lam ilmu pedang itu. Sarana kecepatannya berge-
rak sehingga dirinya mendapat julukan Si Tapak
Angin. Disamping itu ia juga mewarisi ilmu pe-
dang dari Gajah Mada, bernama Samodra Kine-
bur.
Sekarang dua macam ilmu pedang yang
hebat itu, telah berhasil ia kuasai dengan baik,
sekalipun belum sempurna. Akan tetapi antara
dua macam ilmu pedang tersebut memang sama
cepatnya, disamping rapat pertahanannya. Ter-
bangunlah semangat pemuda ini, penuh rasa per-
caya, dirinya akan dapat bertahan sebaik-baiknya
dalam lima jurus. Ia akan memilih bagian-bagian
yang paling hebat dari dua macam ilmu pedang
itu.
Giri Samodra menatap Surya Lelana penuh
perhatian. Lalu perintahnya.
- Hayo, cepat seranglah!-
Siut..... wut..... Tanpa membuka mulut
Surya Lelana sudah menerjang maju dan melan-
carkan serangannya. Surya Lelana memulai se-
rangannya menggunakan ilmu pedang ajaran
ayahnya. Ilmu pedang bernama Thathit Leliweran,
langsung memilih jurus yang ketujuh, pedangnya
menyambar leher.
Giri Samodra terkekeh. Kakek ini tidak
bergerak dan hanya mengangkat tangan kiri men-
gibas disusul oleh gerakan tangan kanan yang
langsung mencengkeram batang pedang.
- Ahhhh - Giri Samodra berseru kaget
sambil mengebutkan telapak tangan kanan dan
melompat ke samping.
Kakek ini memang benar-benar kaget ka-
rena sama sekali tidak pernah ia duga, pedang
Surya Lelana hampir saja berhasil membabat
pundaknya. Benar-benar merupakan gerak ilmu
pedang yang aneh, tetapi amat berbahaya.
Serangan Surya Lelana tadi disebut Kem
bang Elok Mawa Wisa (Bunga Indah Beracun).
Babatan ke arah leher hanya pancingan. Maka
ketika tangan kakek ini tadi mengebut, pedang ini
melenceng juga sebagai akibat kibasan angin
yang kuat. Tetapi pedang yang menyeleweng itu
gerakannya diteruskan membabat pundak dari
bawah.
Sekali serang hampir berhasil ini menye-
babkan Surya Lelana lebih mantap dan berse-
mangat. Ia tidak memberi waktu untuk bernapas.
Maka ia menyusuli serangan ilmu pedang yang
sama, menggunakan jurus yang ke sebelas dan
diteruskan dengan jurus yang ke tigabelas. Kece-
patan gerak serangan yang kedua lebih cepat dan
berbahaya dibanding dengan yang pertama. Dan
bagian yang ketigabelaspun merupakan serangan
yang tidak kurang berbahayanya.
Akan tetapi Giri Samodra seorang kakek
sakti mandraguna, cerdik dan luas pengalaman.
Serangan pertama yang hampir mencelakai di-
rinya tadi menyadarkannya, pemuda ini mempu-
nyai kecepatan bergerak yang bukan main. Maka
begitu serangan kedua dan ketiga menyusul, Giri
Samodra telah dapat mengatasi. Tetapi bagaima-
napun pula, diam-diam kakek ini kagum juga
oleh kecepatan gerak pemuda ini.
Sebaliknya Surya Lelana menjadi penasa-
ran, tiga kali serangannya tidak berhasil menyen-
tuh tubuh lawan. Malah sedikit saja lambat gera-
kannya, pedangnya tentu sudah berhasil direbut
oleh lawan.
Sekarang tinggal dua jurus lagi. Apabila
kakek ini tidak berhasil merebut pedangnya, be-
rarti kakek ini tidak akan mengganggu gugat di-
rinya lagi. Untuk itu ia menggunakan ilmu pe-
dang ajaran Gajah Mada yang bernama Samodra
Kinebur. Sebab, ilmu pedang ini disamping mem-
punyai ciri kecepatan gerak dan serangannya, ju-
ga memiliki pertahanan yang amat kuat. Dengan
demikian tidaklah mudah bagi orang untuk dapat
merebut senjatanya.
Sringsiuttt.....- Ahhhh .....!
Lagi-lagi terdengar seruan tertahan dari
mulut kakek itu.
Seruan tertahan dari mulut kakek ini me-
nimbulkan kakek ini kaget berbareng kagum oleh
serangan pedangnya yang berbahaya.
Akan tetapi dugaan pemuda ini keliru. Pe-
muda ini menjadi lupa, ilmu pedangnya itu mem-
buka kedoknya sendiri yang mempunyai hubun-
gan dengan Gajah Mada. Kalau tadi begitu meli-
hat ilmu tangan kosong yang ia pergunakan su-
dah bisa menduga hubungannya dengan Gajah
Mada, apalagi sekarang. Kalau tadi Giri Samodra
sudah terlupa soal ini, sekarang teringat kembali.
- Kau ..... kau murid Gajah Mada!- bentak
Samodra dengan mata mendelik menyinarkan api
kemarahan. - Huh! Kubunuh kau! Kubunuh kau!-
Surya Lelana kaget setengah mati. Seka-
rang ia baru sadar kesembronoan ya sendiri, telah
menggunakan ilmu pedang Samodra Kinebur. Ka-
lau tadi ketika dirinya menggunakan ilmu tangan
kosong saja kakek ini dapat mengenal, maka se-
karang malah dapat menetapkan sebagai murid
Gajah Mada.
Akan tetapi sekalipun benar dirinya salah
seorang murid Gajah Mada, sudah tentu Surya
Lelana takkan mau mengaku. Bukan karena si-
kapnya ini merupakan sikap yang pengecut. Sa-
ma sekali bukan! Tetapi malah dalam usaha
menghindarkan hal-hal yang tidak ia harapkan,
dan juga jangan merugikan nama baik Gajah Ma-
da.
- Hei! Jangan menuduh secara ngawur!-
bentak Surya Lelana sengit. - Aku tidak mempu-
nyai hubungan apapun dengan Gajah Mada. –
- Heh heh heh heh, jika engkau bukan mu-
rid Gajah Mada. Katakan bahwa Gajah Mada seo-
rang terkutuk dan tidak tahu malu!-
- Apa? Beliau adalah Patih Mangkubumi
Majapahit. Beliau seorang mahapatih yang mem-
peroleh kepercayaan penuh memerintah Majapa-
hit. Benarkah seorang kawula bersikap kurang-
ajar seperti ini? Huh, aku bukanlah kawula Maja-
pahit yang membabi buta. Aku tahu Gajah Mada
bukanlah terkutuk dan tidak tahu malu seperti
tuduhanmu itu.-
- Guru! Jika dia tidak berani mencaci maki
Gajah Mada, berarti dia benar-benar mempunyai
hubungan. Dan tentu dia datang ke tempat ini
mempunyai maksud tidak baik!- teriak Sentiko.
Bagi pemuda ini, setiap nama Gajah Mada
disebut-sebut, justru membangkitkan semangat
dan api dendam. Cerita kakeknya yang bernama
Si Tangan Iblis itu, amat mengesan di dalam lu-
buk hati pemuda ini. Menurut pikirannya baik
ayah maupun ibunya, semua meninggal akibat
dibunuh Gajah Mada dan Nala. Dendam ini tak-
kan mungkin dapat terhapus, sebelum dirinya
dapat membalas dendam.
Rasa dendam dan kebenciannya kepada
Gajah Mada maupun kepada Nala itu, makin ber-
tambah lagi setelah Sentiko menjadi murid Giri
Samodra. Sebab kakek yang pada waktu mu-
danya bernama Umbaran ini, membenci setengah
mati kepada Gajah Mada, seorang bukan keturu-
nan bangsawan yang mempunyai kedudukan
amat tinggi di Majapahit. Maka pada setiap ke-
sempatan kakek ini selalu melancarkan tuah
bahwa Gajah Mada seorang yang jahat.
Dan sekarang, baik Giri Samodra maupun
Sentiko menekan kepada Surya Lelana, supaya
pemuda ini mencaci maki Gajah Mada guna
membuktikan tiada hubungan sama sekali. Tetapi
sebaliknya apabila Surya Lelana menolak, terbuk-
tilah memang benar, hubungan ini tidak bisa di-
pungkiri.
Pada zaman cerita ini terjadi, hubungan
antara guru dengan murid memang amat mengi-
kat. Sebab, kedudukan guru bukan saja hanya
melulu sebagai guru, tetapi juga sebagai ayah,
dan lebih dari itu juga mempunyai wewenang
yang amat luas. Guru mempunyai hak mengikat
dan hak istimewa terhadap muridnya. Dan itulah
sebabnya, maka sering pula terjadi, seorang guru
menghukum muridnya sendiri dengan hukuman
mati, kalau murid itu dianggap dosanya dan kesa-
lahannya tidak dapat diampuni lagi.
Oleh ikatan batin yang demikian kuat an-
tara murid dan guru ini, maka seorang murid
yang baik dan pandai menghormati guru, tak
mungkin bersedia mencela gurunya, apalagi men-
caci maki dan merugikan nama baik guru. Dan
sekalipun berhadapan dengan maut, seorang mu-
rid yang setia dan baik akan memilih mati terbu-
nuh daripada harus berkhianat.
- Hai setan gede!- teriak Surya Lelana den-
gan mata menyala merah, sedangkan pedangnya
itu melintang di depan dada. - Apabila engkau
menyuruh aku mencaci maki engkau sebagai ma-
nusia busuk, jahanam, setan alas.....-
Wut wut.........
Surya Lelana terpaksa harus melompat
menghindarkan diri, dan ucapan yang belum se-
lesai itu tak sempat ia ucapkan. Serangan Giri
Samodra hebat sekali. Walaupun dirinya sudah
menggunakan kecepatannya bergerak untuk
menghindar, namun dadanya masih terasa sesak
oleh sambaran angin pukulan kakek ini.
Baru sambaran angin pukulannya saja su-
dah kuasa membuat dadanya sesak. Betapa hebat
akibat pukulan kakek ini, apabila sampai berhasil
menyentuh tubuhnya. Tentu sedikitnya tulang
tubuhnya akan ada yang remuk dan salah-salah
nyawanya malah melayang. Akan tetapi tentu saja
pemuda ini tidak gentar sedikitpun. Ia justru le-
bih suka mati daripada harus mengaku dirinya
salah seorang murid Gajah Mada.
- Hiyaaaat .....!- teriak Surya Lelana dalam
usahanya menambah semangat dan keberanian-
nya. Ia sudah membuka serangan untuk memba-
las serangan Giri Samodra, dan menerjang maju
dengan pedangnya. Ia langsung menggunakan il-
mu pedang ajaran Gajah Mada, memilih bagian ke
delapan, yang kemudian ia rangkai dengan bagian
ke delapan belas. Bagian ini justru merupakan
bagian yang paling hebat dan aneh gerakannya,
apabila dipergunakan untuk menyerang. Tetapi
sebaliknya, juga membutuhkan tenaga yang lipat
dibandingkan dengan bagian lain.
Sayang sekali Surya Lelana tidak ingat, se-
dikit banyak Giri Samodra sudah mengenal ilmu
pedang itu. Sebagai seorang yang pernah berkela-
hi dengan Gajah Mada, dan menaruh dendam pu-
la, sudah tentu selalu berusaha untuk mencoba
mempelajari dan menyelidiki ilmu musuh be-
buyutannya itu. Sebab dengan berhasilnya mem-
pelajari, menyelidiki dan memecahkan raha-
sianya, pada saat membutuhkan, kegunaannya
besar sekali.
Kakek ini ketawa mengejek. Ia melompat ke
samping sambil mengibas dengan tangan kiri dan
tangan kanan bergantian. Angin yang amat kuat
menyambar dari telapak tangan, kuasa membuat
pedang itu menyeleweng hingga dada Surya Lela-
na terasa semakin sesak juga.
Namun demikian Surya Lelana yang sudah
bertekad lebih baik mati itu, sama sekali tidak
gentar. Pedangnya yang menyeleweng ia teruskan
gerakannya.
Plakkk......- Aduhhh ........!-
Pekik tertahan tidak kuasa ia tahan lagi,
meluncur dari mulut pemuda itu. Sebab samba-
ran pedangnya yang dahsyat tadi ditahan oleh
kebutan telapak tangan kanan kakek itu. Dan
pada saat dirinya kaget, tahu-tahu pedangnya
sudah terpukul oleh telapak tangan kiri kakek ini,
sehingga tidak kuasa ia pertahankan lagi, dan
terbang cukup jauh. Lepasnya pedang dari tangan
ini masih ditambah dengan lengannya menjadi
lumpuh tidak kuasa ia gerakkan lagi.
Sekalipun demikian pemuda ini tidak juga
gampang menyerah. Walaupun pedangnya sudah
terbang dan lengan kanan lumpuh mendadak,
namun pemuda ini secepat kilat sudah menggu-
nakan tangan kiri mencabut keris. Senjata yang
hanya pendek itu secepat kilat sudah menyambar
dan menyerang.
- Ahhhhh........! - Giri Samodra kaget.
Ia sudah berusaha menyelamatkan diri da-
ri sambaran keris itu. Namun sungguh sayang
sekali tikaman Surya Lelana tadi memang tidak
terduga sama sekali. Maka keris itu masih berha-
sil menyerempet lengannya, sehingga tiba-tiba sa-
ja darah merah memercik keluar dari lengan yang
terluka,
Sesungguhnya luka goresan oleh mata ke
ris ini hanya kecil saja. Tetapi karena mata keris
itu dilumuri oleh warangan (racun), maka luka itu
terasa perih dan panas. Rasa sakit ini tentu saja
menyebabkan Giri Samodra menjadi marah bu-
kan main. Matanya mendelik dan menyala. Ben-
taknya.
- Bangsat! Engkau memang harus mam-
pus!- Setelah membentak, angin yang dahsyat
sudah mendahului menyambar ke arah pemuda
itu sekalipun pukulan belum datang. Surya Lela-
na tidak takut dan memaksa diri. Dada yang tera-
sa sesak ia pertahankan dan keris pada tangan
membalas serangan itu tanpa kenal takut.
Akan tetapi walaupun Surya Lelana pan-
tang menyerah dan masih tetap melawan mati-
matian, ia terus terdesak dan berkali-kali tubuh-
nya terlempar mundur oleh sambaran angin yang
kuat sekali.
Diam-diam Giri Samodra kagum juga oleh
kebandelan pemuda ini. Sebab sekalipun jelas ti-
dak berdaya melawan dirinya, namun bocah ini
masih tetap juga melawan dan pantang menye-
rah. Diam-diam timbul pula perasaan sayang, ka-
lau pemuda pemberani dan pantang mundur se-
perti ini harus mati dalam tangannya. Namun ka-
rena sudah merasa pasti pemuda ini mempunyai
hubungan dekat dengan Gajah Mada, maka ke-
bencian dan rasa dendamnya kepada musuh be-
buyutan ini masih mendesak segala pertimbangan
yang lain.
Keadaan Surya Lelana sekarang ini me
mang sudah payah. Tenaganya sudah hampir ha-
bis dan seluruh bagian tubuhnya terasa sakit-
sakit dan serasa tulang-tulangnya remuk, sekali-
pun hanya tersambar oleh angin pukulan.
Akan tetapi Surya Lelana sudah bertekad
mati. Ia takkan menyerah sebelum nyawa me-
layang. Maka sambil menguatkan hati dan men-
gerahkan sisa-sisa tenaganya, pemuda ini terus
berusaha membela diri.
Pada saat keadaan Surya Lelana dalam ba-
haya maut ini tiba-tiba terdengarlah teriakan Sen-
tiko yang amat nyaring.
- Guru.....! Guru.....! Aduh ..... tolonggg.....!
Giri Samodra kaget dan cepat menghenti-
kan desakannya sambil memalingkan mukanya
ke arah Sentiko. Kakek ini terbelalak kaget berba-
reng keheranan, ketika melihat Sentiko sudah ti-
dak berdaya lagi, dua lengannya ditekuk ke bela-
kang punggung oleh makhluk yang menyeram-
kan. Makhluk ini seluruh tubuhnya penuh oleh
bulu panjang warna merah, bentuk muka mirip
dengan kera, tetapi tinggi dan besarnya hampir
seperti manusia.
- Orang utan .....!- desis kakek ini dengan
wajah pucat.
- Guru, tolongggg.....!- teriak Sentiko yang
kesakitan.
Pemuda ini tidak kuasa memberontak dan
lengannya yang ditekuk ke belakang, tulangnya
sudah seperti patah dan amat sakit
- Lepaskan dia!- bentak Giri Samodra sam
bil melompat dan sekarang telah berdiri tidak
jauh dengan Sentiko, yang telah ditawan oleh
orang utan.
- Lepaskan aku..... teriak Sentiko.
Tetapi orang utan yang membelenggu tan-
gan Sentiko ini tidak juga mau melepaskan.
Hanya bedanya, kalau tadi orang utan itu membe-
lenggu dengan tangan kanan dan kiri, sekarang
yang dipergunakan cukup dengan tangan kanan,
kemudian tangan kiri menuding-nuding sambil
bersuara nguik-nguik yang sukar diketahui mak-
sudnya. Mungkin sekali orang utan itu mengajak
bicara dengan bahasanya sendiri, yang tidak difa-
hami oleh Giri Samodra maupun Sentiko.
- Engkau bilang apa?- tanya kakek ini
sambil memperhatikan orang utan yang menud-
ing-nuding itu.
Tangan orang utan itu sejak tadi memang
menuding-nuding dan bersuara nguik-nguik. Se-
tiap sudah menuding Surya Lelana, orang utan
itu kemudian menuding dirinya sendiri. Tetapi
sebaliknya, sesudah menuding Sentiko, kemudian
menuding ke arah Giri Samodra, diikuti oleh ge-
rakan jari tangan yang dibuka dan dikibas-
kibaskan beberapa kali.
Pada mulanya Giri Samodra memang tidak
faham apakah maksud orang utan itu. Tetapi se-
telah berkali-kali gerakan itu diulang-ulang pada
akhirnya kakek ini dapat menduga maksud orang
utan itu, diulang-ulang.
Giri Samodra melihat Sentiko meringis me
nahan sakit, sedangkan matanya sudah berubah
Merah. Dan ketika ia mengalihkan pandang ma-
tanya ke Surya Lelana, kakek ini menyeringai.
Sebab pemuda itu sekarang sudah roboh tak ber-
gerak di tanah. Entah sudah mati atau pingsan
kehabisan tenaga.
Kakek ini mulai dapat menduga maksud
orang utan ini. Agaknya menuntut kepada di-
rinya, bersedia melepaskan Sentiko asal saja
mendapat ganti pemuda yang roboh tak berkutik
itu.
Bagi Giri Samodra pemuda yang sekarang
roboh tidak berkutik itu memang tidak ada gu-
nanya. Sebaliknya Sentiko adalah muridnya, dan
sebagai murid tunggal pula, yang amat ia ha-
rapkan menjadi pewaris semua ilmunya. Dan
yang kemudian hari akan dapat ia jadikan pem-
bantu membalas dendam kepada Gajah Mada,
apabila sudah tiba saatnya.
Sekarang dengan memperhatikan gerak-
gerik dan suara orang utan itu, kakek ini dapat
menduga bahwa binatang ini mengajak damai
dan menukarkan Sentiko dengan pemuda yang
roboh itu.
- Heh heh heh heh, engkau mengajak tu-
kar-menukar? Lepaskan muridku dan bawalah
dia. Huh, terlalu lama di sini, pemuda itu hanya
akan membuat aku muak saja.-
Entah tahu arti ucapan Giri Samodra atau
tidak. Yang jelas, tiba-tiba saja orang utan. itu
melepaskan tangan Sentiko. Kemudian melompat
ke arah Surya Lelana yang menggeletak tidak
berkutik. Gerakan melompat dan menyambar tu-
buh Surya Lelana ini sungguh cepat. Dan tubuh-
nya yang besar itu ternyata tidak mengurangi ke-
gesitannya bergerak.
Diam-diam Giri Samodra merasa kagum,
lalu ia menduga kiranya orang utan itu bukanlah
binatang liar seperti yang lain. Kemungkinan
orang utang ini merupakan binatang piaraan seo-
rang sakti mandraguna.
Setelah menyambar tubuh Surya Lelana,
orang utan itu sudah berlarian cepat sekali dan
dalam waktu singkat tidak tampak bayangannya
lagi.
Melihat kepergian orang utan bersama pe-
muda pencuri jamur itu, Sentiko kaget. Katanya.
- Guru! Mengapa sebabnya Guru membiar-
kan orang utan itu pergi sambil membawa si pen-
curi jamur obat? Ahhh.....kalau rahasia tempat ini
ketahuan orang lain, kita yang akan menderita
rugi sendiri!-
Giri Samodra mendelik. Hardiknya garang
sekali.
- Sentiko! Hati-hati sedikit jika engkau
membuka mulut!-
- Guru, apakah kesalahan murid?-
- Huh! Kau masih juga bertanya? Tolol!
Apakah sangkamu engkau masih hidup tanpa
persyaratan tukar-menukar tadi?-
- Tukar menukar?- pemuda ini keheranan.
- Tolol kau! Sangkamu, engkau lepas dari
tangan orang utan itu tanpa syarat? Dengarlah
hai tolol, orang utan tadi menggunakan isyarat
tangan, bersedia membebaskan engkau, asalkan
saja ditukar dengan pemuda tadi dan aku setuju.
Itulah sebabnya aku tadi membiarkan orang utan
pergi sambil membawa dia.-
- Ahhh, Guru, janji dengan mulut gampang
untuk kita pungkiri. Guru, silakan menuduh aku
tolol. Akan tetapi apabila Guru tadi menggunakan
kesempatan menyerang orang utan tadi sesudah
membebaskan murid, bukankah hal ini akan
memberi keuntungan kepada kita? Murid percaya
Guru takkan kesulitan membunuh orang utan
tadi. Dengan demikian, si pencuri jamur takkan
dapat lolos dari tangan kita.-
Mendengar alasan ini diam-diam kakek ini
menyesal juga. Mengapa ia tadi tidak mengguna-
kan kesempatan menyerang orang utan itu, pada
saat Sentiko sudah lepas?
Akan tetapi kedudukannya justru sebagai
guru. Sekalipun alasan muridnya ini benar, ma-
nakah mungkin ia mau disalahkan? Oleh sebab
itu kemudian ia memerintah.
- Sudahlah! Sekarang kumpulkan semua
jamur obat itu ke dalam keranjang. Dan marilah
kita secepatnya pulang ke rumah.-
Sentiko tidak membantah, sekalipun ha-
tinya kecewa sekali. Ia segera mengumpulkan ja-
mur hasil usahanya mencari, dipersatukan den-
gan daun obat, dalam satu keranjang. Sesudah
itu ia menjinjing keranjang bambu ini, mengikuti
langkah gurunya menuju ke tempat tinggal gu-
runya.
Akan tetapi baru beberapa langkah mereka
berjalan, mendadak mereka berhenti. Guru dan
murid ini mendengar suara perempuan yang
nyaring, memanggil-manggil nama seseorang.
- Kakang ...... Kakang Dewa Asmara ....!
Kakang.....suamiku..... ahh, di mana engkau.....?
Guru dan murid ini bertatap pandang.
Agaknya timbul rasa heran dalam dada, siapakah
perempuan itu? Dan mengapa pula memanggil
nama Dewa Asmara?
- Ahhh.....perempuan itu agaknya diting-
galkan suami yang tercinta. Huh, mari kita cepat
pulang. Untuk apakah kita mengurusi orang
lain?- ajak Giri Samodra sambil melangkah pergi.
- Guru..... kasihani dia .....!- ujar Sentiko.
- Guru..... kalau benar dia ditinggalkan
oleh suaminya yang tercinta ..... murid wajib un-
tuk memberikan bantuannya.-
Tiba-tiba sepasang mata Giri Samodra
mendelik, lain membentak garang.
- Sentiko! Apakah engkau sekarang sudah
berani membantah gurumu? Huh, murid macam
apa kau ini! Bukankah aku selalu memberi nasi-
hati agar engkau jangan memikirkan perempuan
sebelum engkau berhasil menguasai seluruh il-
muku? Huh! Tetapi mengapa mendengar suara
perempuan saja, sekarang kau sudah memperha-
tikan dan kebingungan? Siapa tahu sekalipun su-
aranya merdu, tetapi wajah perempuan itu jelek
sekali? Hayo, kita lekas pulang. Dan sekali lagi
aku melarang keras engkau memikirkan perem-
puan. Huh, jika engkau berani melanggar, dan
engkau berani main perempuan, lebih baik eng-
kau mampus saja.-
- Guru.....ohhh, mengapakah sebabnya
Guru cepat menjadi marah dan salah mengerti ?-
Sentiko yang melihat sinar mata gurunya
yang marah, hatinya tergetar hebat dan takut. Te-
tapi entah mengapa sebabnya, suara perempuan
itu amat menarik perhatiannya. Suara perempuan
itu seperti mempunyai pengaruh dan daya tarik
yang hebat terhadap dirinya, sehingga mau tidak
mau harus memperhatikan.
- Apa? Salah mengerti?- hardik gurunya.
- Benar! Guru salah mengerti.- Sentiko
menjawab tanpa rasa takut. - Dalam hati murid
merasa kasihan, apabila perempuan itu benar-
benar telah ditinggalkan oleh suaminya.-
Pada saat itu, suara perempuan yang mer-
du dan nyaring, semakin terdengar nyaring dan
dekat sekali.
- Kakang.....! Kakang Dewa Asmara! Di
manakah engkau? Aku......aku ..... isterimu, men-
gapa tanpa pamit kau sudah meninggalkan diri-
ku? Hi hi hik .....hu hu huuuuu ...... apakah eng-
kau tidak kasihan kepada isterimu......yang rin-
du?-
Maafkan Pembaca, sampai di sini terhenti
cerita ini, dan terpaksa Anda ikuti cerita baru ber-
judul : PENIPU LICIK DAN TERKUTUK. Cerita
yang tentu akan lebih menarik, dan Anda pasti
tak mau meletakkan buku ini sebelum selesai
membaca. Sebagai petikan dari isi buku tersebut,
antara lain seperti ini:
..... Sarindah merasakan hawa dingin me-
rayapi sekujur tubuhnya. Ketika membuka mata,
perempuan ini kaget dan terbelalak, karena men-
dapatkan dirinya dalam keadaan tanpa busana
sama sekali. Lebih kaget lagi ketika pandang ma-
tanya tertumbuk kepada seorang laki-laki yang
tidur di sampingnya.
Saking kaget, main dan penasaran, gadis
ini menjadi lupa kepada keadaannya sendiri yang
masih bugil. Tangan kanan bergerak memukul
kepala laki-laki itu yang tampaknya masih tidur
pulas.
Plakkk!.....
- Aihhh ....!-
Seruan tertahan meluncur dari mulut Sa-
rindah, kemudian tubuh mulus tanpa busana itu
terjengkang ke belakang.
- Heh heh heh heh, apakah sebabnya eng-
kau memukul aku, isteriku yang manis? Menga-
pakah sebabnya engkau memukul suamimu sen-
diri, yang selalu memanjakan dan membahagia-
kan engkau?- kata laki-laki itu sambil cepat-cepat
menyambar pakaiannya sendiri.
Nyatalah sekarang laki-laki ini sudah lebih
dahulu bangun, namun masih malas dan pura-
pura tidur. Maka ketika pukulan Sarindah me-
nyambar, dengan tangkas laki-laki ini sudah berhasil menangkis dengan baik.
Sarindah juga cepat pula menyambar kain
panjangnya, lalu ia pakai menutup tubuh. Kain
panjang itu hanya ia talikan ujungnya, menutup
sampai di atas payudara. Mata Sarindah menyala
merah, menatap laki-laki itu tidak berkedip. Ia
berdiri tegak dalam keadaan siap siaga mengha-
dapi segala kemungkinan ............
........ - Laki-laki ceriwis!- hardik Sarindah
sambil mendelik. - Sudahlah! Engkau jangan
mengganggu aku lagi. Huh, aku tidak tahu pe-
rempuan yang kau maksud itu!-
Sentiko terbelalak kaget mendengar jawa-
ban ini. Sungguh aneh mengapakah sebabnya
mbakyunya ini bertanya seperti ini? Benarkah
mbakyunya ini sudah lupa kepada dirinya?
- Mbakyu ..... apakah sebabnya kau lu-
pa.....?
- Huh huh, jangan cerewet! Aku hidup di
dunia ini hanya mempunyai Kakang Dewa Asma-
ra seorang, suamiku! Dan tidak mempunyai yang
lain, apalagi adik.- Sarindah membentak sambil
melompat. - Hai tua bangka! Engkau berani
mengganggu suamiku? Huh, kurangajar. Kubu-
nuh kau!- ..........
..........- Bangsat! Lepaskan aku!- caci maki
Sarindah semakin keras. - Huh, tak tahu malu,
ditolak perempuan masih juga berusaha membu-
juk. Ohhh ..... Kakang Dewa Asmara, tolonglah
aku. Pukullah laki-laki ini biar mampus, agar ti-
dak mengganggu aku lagi!
Sarindah berusaha mati-matian untuk da-
pat melepaskan diri dari sekapan itu. Tetapi cela-
kanya laki-laki yang menyekap dari belakang itu
semakin kuat.
Mulut Sarindah mencaci maki kalang ka-
but. Akan tetapi laki-laki ini tidak peduli.
Mendadak gadis ini menggunakan kakinya
untuk mengait ke belakang. Akibatnya laki-laki
ini kehilangan keseimbangan tubuhnya, dan ja-
tuh terguling. Akan tetapi karena sekapannya
kuat sekali, Sarindah pun ikut roboh terguling
dan kemudian terjadilah pergumulan................
Siapakah gadis bernama Sarindah yang se-
dang sial ini? Perlu kita jelaskan. Bahwa Sarindah
ini kakak perempuan Sarwiyah dan Sentiko, me-
rupakan tiga bersaudara cucu dari Si Tangan Ib-
lis. Sarindah menjadi terganggu jiwanya, sebagai
akibat pengaruh Aji Netra Luyub dari Kakek Ma-
drim, pada saat gadis ini minta kepada kakek itu
agar membunuh Gajah Mada dengan tenung.
Oleh pengaruh Aji Netra Luyub itu, ia me-
rasa telah menjadi isteri Dewa Asmara. Karena
merasa sudah menjadi isteri Dewa Asmara ini,
maka gadis ini mencari terus dalam usaha me-
nemukannya. Justru dalam pengembaraannya
mencari Dewa Asmara ini, Sarindah berhadapan
dengan berbagai peristiwa kelabu dan menyedih-
kan.
Bagi Anda yang ingin tahu tentang Kakek
Madrim dengan Aji Netra Luyubnya ini, silakan
membaca buku berjudul : TERSIKSA SEPERTI DI
NERAKA dan RAHASIA DEWA ASMARA.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar