(Seri Naga Geni ke 5)
DIBURU TOPENG REGES
Oleh W.H. Wibowo
Gambar kulit dan dalam: Arie
SATU
Bulan purnama semakin merayap lebih tinggi, se-
perti hendak menyaingi cahaya ratusan bintang yang
bertaburan di langit biru. Tak sepotong awan pun
yang tampak mengambang di langit, sehingga cahaya
yang terang-temarang langsung menerangi Jurang
Mati, di mana Mahesa Wulung tengah mati-matian
merayap di tebing jurang untuk mencapai mulut
sebuah goa di sebelah kanannya.
Selangkah demi selangkah, kakinya melangkah ke
samping, sementara kedua tangannya berpegang
pada tonjolan-tonjolan batu dari tebing jurang.
“Hmm, sepuluh langkah lagi, pastilah mulut gua
itu aku capai!” desis Mahesa Wulung sambil terus
merayap ke kanan.
Setelah mencapai lima langkah, Mahesa Wulung
berhenti sejenak. Peluh dingin mengucur dari lobang-
lobang kulitnya, apalagi ketika ia melirik ke bawah ke
dasar Jurang Mati. Satu lirikan saja cukup membuat
kepalanya terasa mengkap-mengkap seperti hendak
copot. Dirasanya satu tenaga aneh seperti hendak
menyedotnya jatuh ke dasar jurang. Maka cepat-ce-
pat ia mengerahkan segenap ilmunya ‘Tugu Wasesa’
yang sanggup melindungi dirinya dari segala getaran-
getaran dan benturan-benturan yang sehebat apa–
pun.
Sesaat kemudian ia dapat menguasai kembali
dirinya dari pengaruh sedotan dasar Jurang Mati.
Sementara itu beberapa buah batu kerikil yang
tersinggung oleh kakinya, bergelindingan jatuh ke
jurang, setelah lebih dulu membentur serta mener-
jang tebing curam dari Jurang Mati, dengan suara
gemelandang menggema, menimbulkan rasa ngeri di
hati kecil Mahesa Wulung.
Terbayanglah, seandainya ia benar-benar terjatuh
ke situ pastilah tubuhnya akan hancur luluh. Ter–
ingat kembali akan nasibnya yang malang itu, hati–
nya seolah-olah disayat oleh sembilu, pedih dan
ngeri. Ia telah terjatuh ke jurang ketika menghindari
serangan ilmu ‘Netra Dahana’ dari Ki Topang Reges
yang dahsyat itu. Untunglah ia tidak terbakar oleh
lidah api yang dipancarkan oleh mata Ki Topeng
Reges. Tetapi kekalahannya itu tidak begitu membe-
ratkan hatinya, sebab suatu ketika pastilah itu akan
dapat ditebusnya kembali.
Yang sangat disesalkan ialah kematian Empu Bas-
kara. Dengan kematian orang tua itu, yang seharus-
nya diselamatkan dari tangan-tangan kotor gerom-
bolan hitam, hampir seluruh tugasnya telah gagal
sama sekali. Suatu hal yang sangat memalukan bagi
seorang pendekar cabang atas seperti dirinya ini.
Satu-satunya harapan ialah dengan merebut kembali
catatan rahasia dari panah ‘Braja Kencar’ yang telah
dibawa kabur oleh si Rikma Rembyak, murid kinasih
dari Ki Topeng Reges.
Suatu perasaan baru terungkap dalam hatinya
yang kini bergelora karena kematian Empu Baskara.
“Yah, aku harus keluar dari tempat ini, untuk
membalaskan kematian Empu Baskara. Ke manapun
larinya Ki Topeng Reges dan Rikma Rembyak, mereka
akan aku kejar.”
Mahesa Wulung kemudian melanjutkan kembali
kerjanya. Sejengkal demi sejengkal ia terus merayap
ke arah mulut goa di sebelah kanannya.
“Hmm,” sebuah tarikan napas lega terdengar dari
hidung Mahesa Wulung, manakala mulut goa itu
telah dicapainya dengan selamat. Perlahan-lahan ia
mengamati goa itu dari luar. Tampaklah olehnya,
mulut goa itu penuh ditumbuhi oleh lumut liar
sedang bagian atasnya dipenuhi oleh benang laba-
laba yang bergantungan, bagaikan benang perak yang
gemerlapan ditimpa sinar purnama.
Yang agak mengherankan Mahesa Wulung ialah
bagian tengah dari ruangan goa itu. Seberkas sinar
purnama telah jatuh ke lantai, cukup menerangi tem-
pat itu dari luar goa.
“Entah dari mana sinar purnama itu masuk?
Mungkin dari lobang-lobang atas pada langit-langit
goa,” pikir Mahesa Wulung penuh rasa kagum dan
ingin tahu. “Baiklah, aku akan masuk ke dalam serta
menyelidikinya. Mudah-mudahan goa ini cukup
hangat untuk tempat beristirahat malam ini. Siapa
tahu mungkin besok aku dapat menemukan jalan
keluar dari Jurang Mati ini.”
Dengan hati-hati ia maju ke mulut goa. Tiba-tiba ia
terhenyak kaget, ketika hidungnya mencium bau
engas yang menyesakkan dada.
Syraat! dilolos pedangnya untuk menghadapi se–
tiap bahaya. Naluriahnya yang tajam telah mencium
adanya bahaya di sekitar tempat itu. Kembali ia
melangkahkan kakinya ke dalam mulut goa.
Cess! sebuah rasa dingin terasa menerkam teng-
kuknya, dan Mahesa Wulung pun bergerak cepat
dengan putaran pedangnya ke atas. Sebuah benda
terbabat putus dan melayang ke tanah.
“Ooh. Lumut-lumut liar!” desis Mahesa Wulung
seraya menatap ke atas. Ternyata lumut-lumut liar
tadi memang meneteskan air ke bawah dan beberapa
tetes air itu telah menjatuhi tengkuknya.
“Hmm, untunglah hanya air yang menetes ke
tengkukku, seandainya senjata? Aku harus lebih
hati-hati sekarang!”
Bersamaan dengan itu, ketika ia lebih jauh masuk
ke dalam mulut goa, satu jeritan yang memekakkan
telinga terdengar mengiringi beberapa bayangan yang
melesat keluar dari dalam goa. Benda-benda itu
terlalu rendah melayang dan satu-satunya jalan bagi
Mahesa Wulung ialah menghindarinya dengan ber-
tiarap di atas tanah. Bunyi berdesing serta kepak-
kepak sayap terdengar di atas kepalanya menimbul-
kan angin dingin yang menyapu tengkuknya. Mahesa
Wulung melirik ke atas dan terpaksa ia menjerit kecil.
“Kelelawar-kelelawar raksasa!” desis Mahesa
Wulung. “Tapi mereka telah keluar!”
Sejenak hatinya merasa aman, tetapi bau engas
menyesakkan itu masih terasa hebat. Malahan kini
terdengar pula bunyi bergetar setengah mencicit yang
sangat halus, namun terasa masuk ke relung-relung
telinga Mahesa Wulung, menimbulkan rasa nyeri
yang luar biasa hebatnya. Maka sekali lagi Mahesa
Wulung menyalurkan ilmunya, ‘Tugu Wasesa’.
Mendadak saja, belum lagi ia selesai menyalurkan
ilmunya, dari sebuah pohon besar pada dinding goa
itu terlihatlah dua bulatan sinar yang menyala merah
berkedip-kedip. Kemudian diiringi oleh satu jeritan
hebat, sebuah sinar putih gemerlapan menyambar ke
arah kepala Mahesa Wulung dengan kecepatan luar
biasa.
Tentu saja ia sangat terkejut disambar oleh benda
bersinar itu, maka secepat kilat ia berkelit ke sam-
ping untuk menghindar. Anehnya, benda panjang
itupun tetap mengikuti gerakannya dan tak ampun
lagi tubuhnya kena terlibat.
“Benang laba-laba,” desis Mahesa Wulung kaget
setengah mati.
Segera ia meloncat mundur ke tempat yang
diterangi oleh sinar purnama dari lobang-lobang
langit goa. Ia bermaksud meneliti benda yang melibat
tubuhnya itu dalam penerangan sinar purnama ini,
dan betapa herannya bila dugaannya tadi ternyata
tidak meleset. Benang putih yang panjang gemer-
lapan dan melibat dirinya itu, tidak lain adalah
benang laba-laba seperti yang telah dilihatnya pada
mulut goa ketika ia masuk ke dalam.
“Heh, ini memang betul-betul benang laba-laba.
Tetapi ini terlalu besar dan berukuran luar biasa,”
pikir Mahesa Wulung dengan cepat sambil memegang
benang laba-laba itu dengan tangan kiri, sementara
tangan kanannya menebaskan pedangnya pada
benda itu.
Bet! Pedang yang telah menebas benang laba-laba,
terpental kembali ke belakang dan benang itu masih
belum terputuskan. Sudah barang tentu Mahesa
Wulung tercengang-cengang melihat kejadian ini. Ia
pun sadar bahwa tebasan pedangnya tadi hanyalah
dengan kekuatan separo tenaga, karena dalam hati ia
berkeyakinan bahwa benang laba-laba itu tak akan
melebihi kekuatan seutas tali. Namun kenyataannya,
benang laba-laba tersebut lebih kuat dan punya daya
melekat seolah-olah dilumuri oleh getah perekat.
Dasar Mahesa Wulung bukan termasuk orang yang
mudah berputus asa, maka sekali lagi ia
menyabetkan pedangnya dengan kekuatan penuh
dan kini putuslah benang laba-laba itu dengan bunyi
mendesing.
Di luar dugaan, begitu benang laba-laba itu putus,
sebuah lagi menyambar ke tubuhnya sekaligus meli-
bat dengan kerasnya. Untuk kedua kalinya Mahesa
Wulung menebaskan pedangnya serta berhasil me-
motongnya. Tiba-tiba dua bulatan merah yang
berkedip-kedip itu bergerak mendekati dirinya.
Mahesa Wulung terus mengawasi ke arah lobang
dinding goa dan terutama kepada dua bulatan merah
yang bergerak perlahan-lahan ke arahnya. Mata
Mahesa Wulung rupanya sudah terbiasa dengan
keadaan gelap di dalam goa itu, maka terlihatlah satu
bayangan remang-remang yang berkaki delapan,
sangat mengerikan. Dan sejurus kemudian bayangan
itu tepat berada di bawah sinar purnama yang jatuh
ke lantai goa lewat lobang langit-langit.
Bukan main dahsyatnya! Baru kali ini selama
hidupnya ia menyaksikan satu pemandangan yang
sangat mengerikan, hingga kedua mata Mahesa
Wulung terbeliak menyaksikannya, seakan-akan tak
mau percaya dengan apa yang kini dihadapinya.
Benda yang kini berada di depannya kira-kira
sepuluh langkah itu tidak lain adalah laba-laba
raksasa, lengkap dengan kedelapan kakinya yang
ditumbuhi bulu-bulu kasar serta duri-duri tajam.
Kedua matanya yang menyala merah berkedip-kedip
itu tampak sangat ganas. Dengan desisan yang
menggetar, makhluk itu menatap ke arah Mahesa
Wulung.
Sesaat Mahesa Wulung terbungkam mulutnya,
seakan ia mau berteriak tapi tak satu kata pun yang
keluar lewat bibirnya.
Mula-mula ia mengira, kejadian ini hanya satu
impian buruk akibat kelelahan jiwanya. Namun
ketika ia menggigit bibirnya dan benar-benar terasa
sakit, jadi yakinlah ia bahwa laba-laba raksasa itu
bukanlah satu impian.
Bersamaan pulihnya kesadaran Mahesa Wulung
atas bahaya yang mengancam di depannya, menda-
dak laba-laba raksasa itu mencicit hebat disusul oleh
sambaran-sambaran benang perak lewat mulutnya
yang datang secara bertubi-tubi, hingga sebagian
besar tubuh Mahesa Wulung penuh dilengketi oleh
benang laba-laba. Untungnya tangan kanannya yang
menggenggam pedang itu sempat ditariknya ke
belakang tubuh. Kalau tidak, pastilah nasibnya akan
tak berbeda dengan tangan kirinya yang kini ter-
lengket pada tubuhnya oleh belitan benang laba-laba
itu.
Laba-laba raksasa itu sejenak berhenti melancar-
kan serangannya, sedang kedua mata ganasnya terus
mengawasi Mahesa Wulung yang tengah berusaha
melepaskan lilitan benang-benang yang melekat
dengan erat. Dengan sendirinya Mahesa Wulung tak
melepaskan kesempatan yang hanya sekejap itu.
Selagi binatang itu menghentikan serangannya,
cepat-cepat ia menebaskan serta memutar pedangnya
di tangan kanan dengan dilambari ilmu pedang
ajaran Ki Camar Seta yang bernama ‘Sigar Maruta’.
Maka akibatnya sangat menakjubkan. Dalam waktu
sekejap saja, mata pedang itu seperti berubah menja-
di puluhan, serta kemudian membabat semua benang
laba-laba yang bersimpang siur melilit tubuhnya.
Agaknya laba-laba raksasa itupun menyadari akan
kekuatan calon korbannya yang kini telah berhasil
membebaskan diri dari benang-benang mautnya! Ia
bergerak maju sambil mengeluarkan desisan yang
tinggi, sementara dua kaki depannya diangkat tinggi-
tinggi.
Mahesa Wulung tidak kurang waspadanya melihat
gerakan laba-laba itu. Apabila kedua kaki depan
laba-laba itu telah diangkat tinggi, pastilah ia akan
memulai serangannya. Ia pernah memperhatikan
cara menerkam seekor laba-laba terhadap seekor
lalat yang telah terjerat oleh benang-benang perang-
kapnya. Oleh sebab itu Mahesa Wulung bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Lawan yang kini harus dihadapinya adalah seekor
laba-laba raksasa setinggi manusia. Sungguh menge-
rikan bentuknya. Untunglah bahwa Mahesa Wulung
mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula,
sehingga dalam waktu yang singkat ia berhasil
menguasai keadaan. Seandainya Pandan Arum pada
waktu itu berada di situ, pastilah ia akan jatuh
pingsan melihat laba-laba raksasa itu.
Dibarengi oleh satu jerit lengkingan, laba-laba itu
menerkam Mahesa Wulung dengan gerakan yang
cepat. Namun betapa kecewanya si laba-laba.
Seandainya ia dapat berkata-kata, pastilah ia akan
mengutuk-ngutuk, ketika calon korbannya itu
melesat ke belakang beberapa langkah, sehingga
terkamannya hanya mendapat tempat kosong.
Mahesa Wulung ketika berloncatan mundur itu
mendapatkan ruangan goa yang semakin luas dengan
langit-langit yang lebih tinggi. Di sini pun terdapat
lobang-lobang pada langit-langit goa dan disinari oleh
berkas-berkas sinar purnama.
Laba-laba itu terus merayap mendekati Mahesa
Wulung dengan tenangnya, bagai seorang jagoan
yang sudah dapat memastikan kemenangan atas
lawannya. Kemudian dengan gesit dan ganas ia
menerkam kembali ke arah Mahesa Wulung.
“Jeaatt!” sebuah teriakan lantang terdengar ber-
samaan melesatnya tubuh Mahesa Wulung yang
menjejak tanah dengan melewati sebelah atas dari
tubuh laba-laba ke samping. Gerakan itu sangat
cepat dan sukar ditangkap oleh mata. Bahkan, dalam
gerakannya itu Mahesa Wulung sempat menyabetkan
pedangnya kepada kaki-kaki depan dari binatang itu.
Seketika binatang itu menjerit hebat ketika kaki
depannya terasa tersayat oleh benda tajam, diikuti
oleh cairan merah bening yang memancar dari luka-
luka itu.
Mahesa Wulung kini berdiri di arah samping kanan
dari laba-laba itu, siap menghadapi serangan
berikutnya. Yang agak mengejutkan ialah gerakan
laba-laba itu, setelah berhasil dilukai kaki depannya,
ia bertambah cepat dan ganas.
Ketika ia melihat manusia lawan itu berada di
samping tubuhnya, ia pun secepat kilat memutar
tubuhnya ke kiri menghadapi ke arah tubuh Mahesa
Wulung. Tiba-tiba dari mulutnya memancar benang
maut yang menyambar ke arah kaki Mahesa Wulung.
Saat itu, Mahesa Wulung sedikit agak lengah
sehingga tanpa berkutik kakinya kena terlibat oleh
belitan benang laba-laba itu. Maka seketika iapun
jatuh terjengkang ke belakang.
Untungnya saat itu ia masih memasang ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga benturan tubuhnya
ke tanah itu tidak begitu terasa hebat. Laba-laba itu
menjerit kecil, seolah-olah bersorak-sorak atas keme-
nangannya itu, kemudian dengan perlahan-lahan ia
menarik benangnya yang telah berhasil melibat kaki
Mahesa Wulung itu ke belakang. Sedangkan dari
mulutnya keluar air liur karena selera laparnya
sudah merangsang, ketika mencium bau tubuh
manusia.
Tubuh Mahesa Wulung terseret ke arah mulut
laba-laba raksasa yang telah menganga siap men-
caplok tubuhnya bulat-bulat. Sekilas Mahesa Wulung
seperti orang yang mimpi dan dilihatnya mulut serta
rahang laba-laba itu semakin dekat dan dekat.
Terlintas bayangan wajah sahabat-sahabatnya, lebih-
lebih Pandan Arum yang sangat dicintainya, yang
mungkin sebentar lagi akan tidak dijumpai kembali.
Namun ketika ia menyebut nama Tuhan Yang Maha
Kasih, seakan-akan pulihlah kembali kekuatan tu-
buhnya.
Hampir-hampir lupa bahwa selama itu ia masih
menggenggam pedang pada tangan kanannya.
Dengan satu gerakan yang hampir-hampir tak bisa
dipercaya, Mahesa Wulung membabat putus benang
laba-laba yang melibat kakinya, disusul tubuhnya
berjungkir balik ke belakang beberapa langkah.
Gerakan tersebut sangat cepat, hingga laba-laba itu
hanya sempat menerkam debu-debu serta kerikil
yang berhamburan ke udara.
Karuan saja laba-laba itu meraung-raung karena
untuk kesekian kalinya calon korbannya telah ber-
hasil lolos dari cengkeramannya. Kedelapan kakinya
serabutan memukul dinding-dinding goa hingga
keadaan dalam ruangan goa itu menjadi penuh debu.
Suara raungannya sangat hebat hingga memantul ke
segenap dinding-dinding goa, bahkan sampai pula ke
tebing Jurang Mati. Semua itu merupakan luapan
amarahnya terhadap manusia yang perkasa, yang
setiap kali berhasil lolos dari serangannya. Mahesa
Wulung agak bingung melihat laba-laba itu meng-
aduk-aduk debu. Ia yakin bahwa hal itu termasuk
siasat dari binatang tersebut dalam menghadapi
lawannya, seperti halnya seekor ikan gurita yang
menyemburkan cairan tintanya untuk membingung-
kan lawan-lawannya.
Pemandangan dalam goa itu nampak remang-
remang oleh debu yang mengambang di udara. Satu-
satunya yang masih tampak dari bentuk laba-laba itu
ialah kedua matanya yang menyala merah berkedip-
kedip, dan ini sudah cukup bagi Mahesa Wulung
untuk mengetahui letak kedudukan binatang itu.
Keheningan yang sejenak dipecahkan kembali oleh
jeritan bernada tinggi dan muncullah dari debu-debu
itu kaki laba-laba yang menerkam langsung ke arah
Mahesa Wulung. Saat ini pulalah yang dinanti-nant-
ikan olehnya, maka secepat itu pula Mahesa Wulung
memutar pedangnya memapaki terkaman kaki-kaki
binatang itu.
Craak!
Mahesa Wulung merasa kalau pedangnya telah
membentur sesuatu dan ternyata tiga benda yakni
ujung dari kaki laba-laba itu kena terbabat putus.
Cairan merah bening menyemprot ke tanah diiringi
raungan hebat, disusul oleh kaki-kaki binatang yang
lain menyambar dengan deras ke arah Mahesa
Wulung.
Dengan memiringkan tubuhnya ke samping,
Mahesa Wulung bermaksud menghindari serangan
itu. Sayang sekali, sebuah kaki dari laba-laba ini
berhasil membentur pundaknya, sehingga terasalah
sebagai runtuhan gunung meletus yang menimpanya.
Maka tubuhnyapun kemudian terasa terbanting ke
dinding goa dengan hebat. Untungnya saja, selama
bertempur menghadapi binatang itu, ia tak lupa sela-
lu memasang ilmu meringankan tubuh, dan benturan
itupun tak berakibat luar biasa, kecuali kepalanya
yang agak nanar sesaat.
Sebelum laba-laba raksasa itu mengulangi serang-
annya kembali, Mahesa Wulung lebih dulu menjejak-
kan kakinya ke tanah, kemudian melesat ke depan ke
atas laba-laba dengan putaran pedangnya.
Dalam saat yang sesingkat itu, pedangnya berpu-
tar laksana baling-baling yang berdesingan, kemu-
dian menyambar ke arah dua benda merah yang
berkedip-kedip ganas raungan yang terhebat keluar
dari mulut laba-laba itu, ketika olehnya terasa bahwa
kedua matanya terbacok oleh senjata tajam.
Belum lagi laba-laba itu selesai merasakan sa-
kitnya, Mahesa Wulung telah menerkam lehernya,
kemudian menikamkan pedangnya ke kepala laba-
laba. Tubuh binatang itu bergetar hebat dan tiba-tiba
dari luka tikaman pedang Mahesa Wulung, meman-
carlah sebuah asap hitam bergumpal yang menyem-
bur ke wajah Mahesa Wulung. Karena tak mengira
akan hal ini, Mahesa Wulung tak sempat meng-
hindar.
“Hah, racun hitam!” jerit Mahesa Wulung setengah
kaget, ketika asap hitam itu telah menyampok wajah-
nya.
Seketika kepalanya merasa pusing, dan pandang-
annya mendadak kabur. Bahkan tubuhnya merasa
lemah, apalagi ketika binatang itu membanting-bant-
ingkan tubuhnya ke tanah, Mahesa Wulung tak dapat
menguasai dirinya lagi. Tubuhnya terpelanting ke
tanah seketika.
Pandangan matanya yang masih cukup jelas itu
sempat menatap tubuh laba-laba yang bergeluyuran
sambil membentur-bentur dinding goa dengan me-
raung-raung Sesaat kemudian laba-laba itu rebah ketanah dengan bunyi berdebum.
Dalam saat yang sama pula Mahesa Wulung ber-
tambah pusing dan rebahlah kepalanya ke lantai goa,
tak sadarkan diri.
***
DUA
Desah angin subuh menyusuri tebing-tebing
Jurang Mati, mengusap membelai butiran-butiran
embun yang menempel pada batu tebing dan daun-
daun ilalang. Sedangkan sang purnama telah
merendah di ufuk barat berselimut leretan-leretan
mega putih sebening sutera menerawang, membuat
terpesona siapa saja yang menatapnya.
Sementara itu pula di cakrawala timur, bintang
panjer wengi memancarkan sinarnya yang terang
diiringi oleh saputan-saputan warna merah, sebagai
pertanda dari permulaan fajar yang menyingsing.
Kelelawar-kelelawar beterbangan kembali ke
sarangnya setelah semalam suntuk mengembara
mencari makannya. Angin pagi yang sejuk bertiup ke
tebing Jurang Mati, singgah ke relung-relung dan
setiap lipatan dari tebing jurang yang terjal dan
curam. Dan bilamana kesejukan angin pagi mengalir
ke dalam goa, di mana Mahesa Wulung tergeletak
pingsan itu, terasalah pemuda ini mengerdip-
kerdipkan matanya. Ternyata angin pagi yang sejuk
dan bersih itu telah masuk ke dalam paru-parunya
serta mencuci hawa racun laba-laba yang tersekap di
situ, sehingga pulihlah kembali kesadaran Mahesa
Wulung.
Perlahan-lahan ia mencoba duduk dan mengen-
dorkan segala urat-urat tubuhnya yang terasa tegang
dan kaku, akibat semua gerakan-gerakan yang telah
dikeluarkan ketika bertempur melawan laba-laba
raksasa.
Sambil bersila dan bersikap seperti orang berse-
medi, Mahesa Wulung mengatur tata pernafasannya.
Inilah ajaran Panembahan Tanah Putih dari Asem-
arang yang dipergunakan untuk mengusir pengaruh
jahat dari segala hawa racun yang telah merasuk ke
dalam tubuhnya.
Pengaruhnya ternyata cukup mengagumkan. Sela-
in tenaganya pulih, penglihatan serta dadanya terasa
bersih dan lapang, seperti mendapat tenaga baru.
Di sudut dinding goa, terlihatlah bangkai laba-laba
raksasa yang telah kaku seperti patung. Kalau ia
mengingat segala peristiwa yang baru saja lewat,
ketika melawan laba-laba raksasa itu, seperti hampir-
hampir tak mau percaya. Tak menyangka bahwa
dirinya mampu bertempur melawan binatang seganas
itu.
Mahesa Wulung kemudian berdiri serta mengakhiri
sikap semedinya.
“Hmm, mudah-mudahan aku berhasil menemukan
jalan keluar dari Jurang Mati dan goa ini.” Berpikir
Mahesa Wulung sambil berjalan menyelidiki keadaan
goa, yang dindingnya tampak licin serta lembab.
Sejengkal demi sejengkal ia menyelidiki segenap
ruangan goa itu. Memang ruangan yang tengah
sangat lebar dan langit-langitnya pun tinggi pula.
Beberapa lobang-lobang tembus tampak menghiasi
langit-langit goa dan dari sanalah cahaya pagi jatuh
ke lantai serta menerangi ruangan itu.
Dalam menyusuri dinding-dinding goa, Mahesa
Wulung tiba-tiba menemukan sebuah lobang pada
dinding goa yang tertutup oleh bongkah-bongkah
serta gundukan-gundukan batu sebesar kepala
kerbau, bahkan lebih daripada itu.
Dengan hati-hati ia mendekati lobang itu dan
untuk beberapa saat ia merenunginya.
“Hmm, lobang pada dinding ini seolah-olah
memang sengaja ditutup dengan timbunan-timbunan
batu besar. Kentara dari bentuk batu-batunya yang
masing-masing terlepas dan tidak ada hubungannya
dengan dinding goa.”
Bertambah merenungi serta menyelidiki lobang
dinding goa yang tersumbat itu, semakin timbul
keinginan untuk mengetahui rahasia apakah yang
tersembunyi di balik timbunan batu-batu tersebut.
Maka Mahesa Wulung pun semakin pula sibuk
menduga-duga. Mungkin lobang dinding itu adalah
jalan keluar dari Jurang Mati. Atau mungkin pula
berisi binatang yang lebih dahsyat lagi daripada laba-
laba raksasa yang telah mati di situ.
Tak lama kemudian, akhirnya Mahesa Wulung
mengambil satu kesimpulan bahwa dinding goa yang
tertutup oleh timbunan batu itu harus dibukanya,
betapapun jadinya nanti! Karena itu Mahesa Wulung
segera mengambil sikap kuda-kuda serta memusat-
kan segala kekuatan lahir batinnya. Tangan kanan-
nya mengepal dan ditekuk ke belakang sejajar telinga.
“Hyaat!”
Glaaar!
Benturan dahsyat terdengar memekakkan anak
telinga disusul runtuhnya bongkah-bongkah batu
yang bertimbun-timbun menutupi lobang dinding di
dalam goa itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali.
Batu-batu tersebut pecah berhamburan. Dan tam-
paklah kemudian sebuah lobang yang cukup luas
setelah debu-debu yang berkepulan mengendap ke
tanah.
Mahesa Wulung sangat terperanjat. Apa yang
diduganya semula ternyata memang benar. Di balik
lobang dinding itu terlihat sebuah ruangan lain yang
tidak kalah lebarnya dengan ruangan yang pertama.
Cepat-cepat Mahesa Wulung masuk ke ruangan itu.
Di ruang ini pun terdapat beberapa lobang-lobang
pada langit-langit goa, merupakan jalan masuk
berkas-berkas sinar matahari ke ruangan ini.
Dan kemudian, sekali lagi, apa yang dilihatnya
betul-betul membuat dadanya bergoncang hebat,
seolah-olah runtuhnya sebuah dinding batu.
Di ruangan kedua ini, tepat di tengah-tengahnya
terdapatlah sebuah kerangka manusia yang duduk
bersila dalam sikap bersemedi. Di depannya, di dekat
kakinya yang bersila itu terlihat sebuah kitab dengan
sampul berwarna hijau tua. Sedang di sampingnya
pula terlihat secarik kain bertuliskan dengan huruf-
huruf merah tua.
Perlahan-lahan didekatinya tengkorak itu. Diam-
diam di dalam hati, Mahesa Wulung menaruh iba dan
belas kasihan terhadap manusia yang bernasib ma-
lang, terkurung di dalam ruangan goa, hingga mati
tak terurus.
“Siapakah gerangan manusia yang bernasib
semalang ini?” bertanya Mahesa Wulung di dalam
hati. Dan ketika ia telah benar-benar dekat dengan
tengkorak itu, terlihatlah semuanya dengan jelas.
Tengkorak mengenakan sebuah pakaian yang telah
hancur, sedang pada jari manis tangan kanannya, ia
mengenakan sebuah cincin permata berwarna kuning
yang memancarkan sinar kuning berkedip-kedip
menakjubkan.
Tentu saja Mahesa Wulung tertarik melihat cincin
permata yang aneh itu, tapi ia tak berani berbuat
sesuatu. Selama hidupnya baru kali ini ia merasa
kagum menjumpai permata yang mengeluarkan sinar
berkedip-kedip. Namun dari kesemuanya itu, yang
paling menarik hatinya ialah lembaran kain yang
bertuliskan huruf-huruf, merupakan sebuah surat.
Maka dengan hati-hati diambilnya surat itu serta
diperiksanya.
“Ah, surat ini sudah terlalu lama dan usang.
Mungkin sudah berpuluh-puluh tahun usianya.
Untunglah tulisan ini masih cukup jelas,” desah
Mahesa Wulung sambil sekali lagi meneliti surat itu.
“Hmm, warna merah tua ini, kalau tidak keliru
tulisan ini dibuat dengan cairan darah! Sekarang
baiklah aku mulai membacanya.”
Berkas-berkas sinar matahari pagi yang jatuh dari
lobang langit-langit goa, telah membantu Mahesa
Wulung dalam membaca surat itu, dan ternyata surat
itu merupakan sebuah pesan:
“Kepada siapa saja yang menemukan surat saya
ini, saya selalu berdoa agar Andika adalah seorang
yang baik, berbudi luhur, seorang yang berjiwa
ksatria pembela kebenaran dan keadilan! Dengan
demikian maka Andika adalah satu-satunya pewaris
dari diriku dan kitabku ini. Tetapi jika Andika sudah
menjadi pewaris kitab itu, Andika mempunyai
kewajiban yang harus dilaksanakan, jika Andika
tidak ingin terkutuk olehnya. Andika, ketahuilah.
Kewajiban Andika adalah meneruskan tugasku. Yaitu
membinasakan seorang pendekar yang berilmu
hitam, seorang yang kejam dan bermata setan! Dialah
yang telah mengurungku di lobang dinding ini.
Ketahuilah aku bernama Landean Tunggal. Semula
dia adalah adik seperguruanku di Padepokan Gunung
Merapi. Kami berguru kepada Panembahan Jatiwana
sejak masa muda. Begitu eratnya persahabatan kami,
sehingga kami sudah seperti saudara sekandung
seibu sebapa.
Tetapi sayang, setelah bertahun-tahun lama ber-
guru kepada sang Panembahan, maka ternyatalah
bahwa kami mempunyai sifat yang berbeda, dan itu
semua telah diketahui oleh sang Panembahan.
Kami berdua telah digembleng oleh Panembahan
Jatiwana menjadi pendekar pilihan. Namun saudara
seperguruanku itu yang bernama Umpakan telah
berubah menjadi orang yang sombong karena kesak-
tiannya. Tidak jarang ia memamerkan kesaktiannya
kepada orang-orang agar mereka mau mengagumi
dan memujinya. Bahkan lebih daripada itu, sang
Panembahan sering menerima laporan dari orang-
orang, bahwa Umpakan sering menyakiti orang-orang
yang tidak mau tunduk kepadanya.
Hal tersebut sangat mengecewakan Panembahan
Jatiwana, sehingga beliau lebih menaruh kepercaya-
annya kepadaku daripada Umpakan. Maka beliau
telah mempercayakan kepadaku sebuah daripada
kitab-kitabnya yang berisi ilmu silat dan kesaktian
dari tingkat atas. Tentu saja hal ini menimbulkan iri
hati bagi Umpakan dan hal ini pun menjadi berlarut-
larut serta merupakan bibit persengketaan antara
Umpakan dengan diriku serta sang Panembahan
juga.
Demikianlah pada suatu ketika, Umpakan telah
bertengkar dengan sang Panembahan karena ia
menggugat, mengapa bukan dirinya yang diserahi
kitab itu. Dalam pertengkaran itu, aku pun berusaha
menengahi. Tetapi rupanya Umpakan telah menaruh
rasa dendam kepadaku, sampai-sampai maksud
baikku tadi menimbulkan salah paham baginya.
Peristiwa itu berkesudahan dengan satu pertengka-
ran dan perkelahian yang hebat, sesuatu yang tidak
seharusnya terjadi antara saudara seperguruan.
Dan akhirnya kebenaran selalu menang di atas
kejahatan. Begitu pula dengan si Umpakan, ia dapat
kukalahkan dalam perkelahian itu.
Umpakan membawa kekalahan itu, lalu mengem-
bara ke arah selatan, ke Laut Kidul dengan dendam-
nya kepadaku yang tak pernah kunjung padam.
Beberapa tahun kemudian aku, mendapat kabar
bahwa ia telah menggembleng dirinya di sana serta
bergaul dengan orang-orang dari golongan hitam.
Kesaktiannya menjadi lebih hebat, apalagi setelah ia
menemukan sebuah topeng yang telah rusak di tepi
pantai Laut Kidul. Topeng itu kemudian diperbaiki
serta dipakainya, dan semenjak itu ia bergelar Ki
Topeng Reges.
Ketika ia merasa bahwa dirinya cukup melebihi
kesaktianku, Ki Topeng Reges telah mencariku untuk
membalas dendam atas kekalahannya dahulu. Tetapi
sementara itu aku telah pindah ke Jepara tanpa
setahunya.
Tetapi akhirnya ia berhasil mengetahui tempat
tinggalku dan kemudian mencuri kitab itu. Perbua-
tannya yang kelewat batas ini telah menimbulkan
amarahku, hingga untuk kedua kalinya aku terpaksa
mengadu tenaga melawan Topeng Reges.
Kitab itu berhasil aku rebut dari tangannya,
namun betapa terkejutku bila beberapa halaman
terakhir yang memaparkan ilmu sakti Netra Dahana
telah terobek lepas dari buku itu. Ilmu itu membuat
seseorang mampu mengeluarkan pancaran api dari
matanya yang sanggup membakar segala sesuatu di
hadapannya. Dan cara-cara menghadapi ilmu sakti
Netra Dahana itu, terdapat pula pada halaman-
halaman kitab yang telah dirobek dan disimpannya.
Pada suatu hari ia berhasil mencegatku dan
terjadilah pertempuran hebat. Ki Topeng Reges dalam
waktu yang singkat telah berhasil mendalami ilmu
Netra Dahana yang dahsyat itu. Saya merasa menye-
sal bahwa selama ini, selama menyimpan kitab itu,
aku belum pernah mempelajari bagian-bagian ter-
akhir yang berisi ilmu Netra Dahana. Akibatnya, aku
tak dapat mengatasi kesaktian Ki Topeng Reges yang
mampu memancarkan lidah-lidah api dari kedua
matanya, sehingga akhirnya aku melarikan diri
dengan kitab itu, lalu bersembunyi di goa ini. Ki
Topeng Reges masih mengejarku sampai ke tempat
ini, dan menyuruhku untuk keluar dari lobang
dinding goa persembunyianku. Ia memaksa agar aku
menyerahkan kitab ini kepadanya, tetapi aku
bertekad lebih baik mati daripada menyerahkannya.
Permintaannya itu aku tolak mentah-mentah.
Karena kemarahannya itu ia telah menyumbat
lobang dinding ini dengan batu-batu besar yang ber-
bongkah-bongkah amat banyaknya. Begitulah aku
telah terkurung di lobang dinding dan mungkin aku
akan mati pada suatu ketika. Aku tak dapat lari dari
tempat ini, apalagi kalau Ki Topeng Reges telah me-
nempatkan laba-laba raksasa untuk menjaga lobang
dinding ini.
Aku selalu berdoa bahwa Andika yang menemukan
suratku ini, adalah seorang yang berbudi luhur.
Maka terimalah kitabku ini dan juga cincinku yang
bernama Galuh Punar. Ia akan menjaga Andika dari
pengaruh racun dan bisa yang jahat.
Nah, terimalah ini semua serta penuhilah kewa-
jiban Andika, seperti apa yang telah aku pesankan.”
Selesai membaca pesan itu dada Mahesa Wulung
bagai gunung yang mau meledak. Tidak mengira,
kalau orang yang mati terkurung di tempat ini adalah
perbuatan Ki Topeng Reges pula. Kekejaman serta
kejahatan yang tiada terkira besarnya.
Mahesa Wulung melipat surat tadi kembali, dan
segala pesan Landean Tunggal telah dipahaminya
betul-betul. Ia berjanji di dalam dirinya untuk melak-
sanakan pesan itu dengan sebaik-baiknya. Kalau
mengingat pergulatannya melawan laba-laba raksasa
itu, Mahesa Wulung mengucapkan syukur kepada
Tuhan, karena telah berhasil mengalahkan laba-laba
itu. Seandainya saja ia yang kalah, pastilah nasibnya
akan sama dengan Landean Tunggal yang mati di
tempat terpencil tanpa seorang pun yang mengeta-
huinya.
Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Wulung
menjangkau tulang tangan Landean yang mengena-
kan cincin permata Galuh Punar pada jari manisnya.
“Kerangka Landean tidak akan kubiarkan begini
saja. Ia harus dikubur secara layak sebagai seorang
pendekar yang berbudi luhur. Mudah-mudahan ar-
wahnya akan lebih tenang,” pikir Mahesa Wulung.
“Dan cincin ini akan kupelihara dengan baik, seperti
yang telah dipesankan oleh Landean.”
Sesudah cincin itu berhasil dilolos dari tulang jari
manis Landean, Mahesa Wulung menjadi kagum
bercampur bangga apabila mengingat khasiat Galuh
Punar. Tangan kanannya serasa bergetar memegang
cincin itu. Ia tak mengira sama sekali bahwa ia
kejatuhan untung dan rejeki yang tak ternilai
harganya, serta tak terbayar oleh sejumlah uang.
Ditambah lagi dengan kitab yang bersampul hijau tua
itu, Mahesa Wulung benar-benar bersyukur. Hatinya
berjingkrak ibarat anak kecil yang menerima kem-
bang gula kelapa dari orang tuanya yang penuh rasa
kasih sayang.
Setelah puas ia menikmati cincin Galuh Punar itu,
segera dipakainya ke dalam jari manis sebelah kanan.
Kemudian dicarinya tempat yang baik untuk mengu-
bur kerangka Landean di dalam goa itu juga.
Dengan mempergunakan pedangnya, ia menggali
lantai goa yang telah dipilihnya, setahap demi
setahap. Dan menjelang tengah hari, selesailah sudah
sebuah lobang pada lantai goa yang cukup dalam.
Kemudian Mahesa Wulung mengangkat kerangka itu
serta menguburnya ke dalam lobang tadi. Beberapa
saat Mahesa Wulung berdiam diri di depan kuburan
kerangka itu dan diam-diam di dalam hatinya
berkata, “Nah, Kisanak Landean. Kini beristirahatlah
Andika dengan tenang di tempat yang sesepi ini.
Percayalah, segala pesanmu akan kulaksanakan
dengan baik.”
Mahesa Wulung bangkit perlahan-lahan serta
memungut kitab hijau yang masih terhampar di
lantai goa. Ia segera meninggalkan ruangan itu untuk
kembali ke ruangan yang pertama.
Sementara itu bayangan sinar matahari semakin
condong ke timur, satu pertanda kalau hari makin
bertambah siang.
***
Sore itu Mahesa Wulung mengumpulkan ranting-
ranting dan dahan kayu yang kering, untuk dibuat
obor atau unggun di dalam goa. Sambil mencari dan
mengumpulkan kayu itu di mulut goa serta tebing-
tebing jurang yang curam, tak lupa juga ia meneliti
keadaan tebing itu. Namun sampai saat itu ia tak
menemukan jalan keluar dari jurang itu.
Maka iapun mengambil keputusan untuk semen-
tara tinggal di dalam goa itu serta mempelajari kitab
hijau peninggalan Landean Tunggal. Jika rasa haus
dan laparnya timbul, ia cukup menampung air yang
menetes dari dinding goa. Selain itu telur burung
serta jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam goa
cukup baik untuk sekedar pelepas laparnya. Tetapi ia
harus hati-hati memilih jamur itu. Jika tidak, pasti
akan termakan yang mengandung racun.
Mulai saat itu ia membuka kitab hijau serta
membacanya dari halaman pertama.
“Ooh!” satu desisan yang mengandung arti keka-
guman terluncur dari mulut Mahesa Wulung bila
diketahuinya bahwa sesungguhnya kitab hijau itu
termasuk kitab ilmu silat dan kedigdayaan yang
berusia sangat tua.
“Hmm, apa yang tertulis ini?!” ujarnya seraya
membaca halaman pertama dari kitab hijau. “Bagi
insan yang berjiwa ksatria, berbudi luhur serta welas-
asih terhadap sesamanya, maka ilmu ini kuberikan,
untuk memberantas kejahatan dan kebatilan demi
tegaknya kebenaran, keadilan serta kedamaian hidup
bebrayan di marcapada ini. Mangayu hayuning ba-
wana”.
Kata-kata yang mengandung harapan luhur itu
benar-benar meresap ke dalam kalbu Mahesa Wu-
lung, seperti mengalirnya udara segar yang mengalir
ke dalam dada dan paru-parunya.
Pada halaman kedua, dimulailah tulisan yang
berisi pelajaran serta ilmu kitab hijau lengkap dengan
gambar-gambar petunjuknya yang cukup rumit dan
sukar.
Meskipun demikian, dasar Mahesa Wulung mem-
punyai otak yang cemerlang, maka betapapun sukar-
nya ilmu itu akhirnya terpecahkan juga olehnya. Itu
semua berkat ketekunan serta pengalamannya yang
sudah banyak.
Hari demi hari dan minggu ke minggu tak terasa
olehnya dalam mempelajari kitab itu. Jika ia sudah
asyik mempelajari kitab itu, kadang-kadang sampai
terlupa akan rasa lapar dan dahaganya.
Pada bagian permulaan dari kitab itu, Mahesa Wu-
lung dengan mudah dapat mempelajari kesemuanya.
Tetapi bila menginjak pada bagian tengah, ia merasa
cukup bingung, sebab bukankah ia sendiri telah
mempelajari ilmu silat Panembahan Tanah Putih dari
Asemarang. Hingga dalam setiap geraknya kadang-
kadang saling mempengaruhi antara ilmu silat Pa-
nembahan Tanah Putih dengan ilmu silat kitab hijau
dari Landean Tunggal. Hal ini yang merepotkannya.
Kalau ilmu yang telah dipunyai berunsur pada
gerak pukulan maut serta kekuatan jasmani, maka
ilmu silat kitab hijau ini berunsur pada kelincahan
gerak yang hebat, di samping itu ia masih ingat
bahwa bagian terakhir dari kitab itu berisi ilmu Netra
Dahana yang telah dicuri oleh Ki Topeng Reges.
Begitulah, Mahesa Wulung terpaksa lebih teliti lagi
dengan ilmu kitab hijau. Ia berusaha menggabung-
kan antara ilmu Panembahan Tanah Putih dengan
ilmu kitab hijau yang kini tengah dipelajarinya.
Tempat itu begitu sepi dan tenang, tak terdengar
suara berisik ataupun jeritan kecuali bunyi gemericik
tenang dari air sungai yang mengalir di Jurang Mati,
jauh di bawah sana. Ketenangan dan kesepian tempat
itu telah membantunya dalam memperdalam ilmu-
nya. Ia telah bertekad, bahwa justru dalam kesepian,
ia akan mengisi hidupnya dengan suatu perjuangan
dan ketekunan mendalami ilmunya mati-matian.
Lebih-lebih bila mengingat, bahwa lawan yang bakal
dihadapinya itu adalah Ki Topeng Reges, satu pende-
kar sakti yang telah membuat geger dunia persilatan.
***
TIGA
Pada suatu pagi, di dalam ruangan goa itu beter-
banganlah kelelawar-kelelawar untuk mencari tem-
pat-tempat serta relung-relung yang gelap. Mereka
pada bersembunyi ketakutan karena mendengar deru
angin yang menyapu udara di dalam goa dengan
dahsyatnya bagaikan suara rajanya prahara.
Kelelawar-kelelawar itu mula-mula terkejut dan
merasa takut bila deru angin itu bakal menghempas-
kan serta menyapu mereka rontok ke tanah. Tetapi
mereka merasa lega setelah deru angin itu berasal
dari gerakan-gerakan Mahesa Wulung, salah satu
penghuni goa yang telah dikenal oleh mereka. Kini
kelelawar-kelelawar itu sibuk mengawasi tubuh
Mahesa Wulung yang tengah melatih diri dengan ilmu
silat kitab hijau.
Ternyatalah Mahesa Wulung dengan bersusah
payah berhasil sedikit demi sedikit menggabungkan
unsur-unsur gerak silat dari Panembahan Tanah
Putih dengan unsur-unsur gerak dari kitab hijau itu.
Gerakan ilmu silat dari Mahesa Wulung memang
menakjubkan sekali, hingga tak mengherankan kalau
kelelawar-kelelawar pun sampai turut mengagumi-
nya. Tubuhnya menjadi serupa burung branjangan,
melenting dan berputaran di udara dengan gesitnya.
Rasanya seakan-akan selembar daun kering, tubuh
Mahesa Wulung merasa ringan, mampu bergerak
tanpa menimbulkan bunyi kecuali desau angin yang
terdengar akibat kecepatan gerak tubuhnya.
Dasar-dasar jaya kawijayan dan kesaktian telah
berhasil diungkapkannya dari kitab hijau tersebut
dengan baik. Sejak dari huruf awal sampai huruf
terakhir dalam ilmu tata silat dan tata berkelahi telah
dihafalkannya. Rangkaian kata-kata itu ia wujudkan
ke dalam gerak, dan dari rangkaian gerak itu terben-
tuklah keseluruhan ilmu silat kitab hijau yang dipela-
jarinya.
Kesemuanya itu telah dicapai oleh Mahesa Wulung
dalam waktu yang singkat. Jika orang lain, pastilah
akan memakan waktu yang tidak kurang dari satu
tahun, atau mungkin pula sampai lebih dari satu
tahun.
Sekarang Mahesa Wulung dapat menggerakkan
tubuhnya lebih leluasa. Kalau dahulu, setiap gerakan
melesat dan melenting ke udara ia harus mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh, kini hal itu tidak perlu
lagi.
Jika ia ingin melesat ke udara atau kemana saja,
ia cukup menjejak tanah, maka tubuhnya akan mele-
sat dengan entengnya bagai selembar daun kering
yang terkena tiupan angin.
Saking asyiknya ia melatih ilmu silat kitab hijau
itu, tak terasa kalau matahari semakin bergeser ke
arah barat. Sejurus kemudian Mahesa Wulung ber-
henti menggembleng dirinya bila sinar matahari yang
jatuh ke ruangan goa itu telah condong ke barat.
Dari sekujur tubuhnya menetes-netes air keringat-
nya yang keluar dari lobang-lobang kulitnya. Badan-
nya terasa menjadi segar bagai disiram air embun.
Ketika mengingat-ingat jurus gerakan silat yang telah
dicapainya, ia tersentak kaget.
“Seratus sepuluh jurus!” guman Mahesa Wulung
setengah tak percaya. “Dan itu semua kukerjakan
tanpa menimbulkan rasa capai. Luar biasa. Oh,
sungguh beruntung aku dapat menemukan serta
mempelajari kitab ini. Dan secara tidak langsung aku
telah pula menjadi murid Landean Tunggal.”
Mahesa Wulung mengamat-amati tubuhnya yang
kelihatan agak susut, tetapi urat-urat darah serta
otot tubuhnya lebih nampak menjadi kukuh tak
ubahnya akar tumbuh-tumbuhan yang semakin
dalam merasuk ke dalam tanah, menjadikan batang
tubuhnya semakin tegak perkasa.
Bila terasa kerinduannya akan langit yang biru
bening, ia pun melangkah perlahan-lahan ke mulut
goa untuk menatap langit yang mahaluas tak bertepi.
“Langit yang cerah tak berawan hujan. Hmm, ini
sudah sampai mangsa ke sanga. Begitu lama aku
telah mendekam di dalam goa ini. Bagaimana dengan
sahabat-sahabatku di Demak? Pasti mereka akan
merasa kehilangan aku di saat ini.
Mudah-mudahan Adi Pandan Arum dan Jagayuda
dapat berhasil merebut catatan rahasia panah Braja
Kencar dari tangan Rikma Rembyak.
Kalau aku telah mempunyai kewajiban menghan-
curkan Ki Topeng Reges, maka terhadap si Rikma
Rembyak muridnya itu, aku pun tak akan tinggal
diam. Ia harus diselesaikan juga, sebab menyisakan
benih-benih kejahatan akan sangat berbahaya
akibatnya.”
Mahesa Wulung menatap tebing-tebing Jurang
Mati yang curam. Kalau semula ia merasa ngeri meli-
hat kecuraman itu, kini tidak lagi begitu. Malahan ia
merasa kagum melihat tebing-tebing curam itu. Batu-
batuan yang runcing dan berlekuk-lekuk bergemer
lapan ditimpa sinar matahari amat indahnya.
Di depan mulut gua itu Mahesa Wulung kembali
mengheningkan cipta untuk melatih lagi ilmu silat-
nya. Gerakan yang pertama hanya pelan-pelan saja
kemudian jurus kedua dimulai disusul jurus ketiga,
keempat dan selanjutnya dengan beruntun serta
bertambah cepat.
Dengan satu loncatan indah, ia melambung dan
mendarat ke tebing curam di atasnya. Tap! Kedua
kakinya seolah-olah melekat pada tebing itu dan
kembali ia melesat lagi serta berulang kali mendarat
dan melenting ke udara.
Sepintas lalu ia seperti dapat berjalan pada tebing
yang terjal dan tegak. Gerakannya sangat mirip kelin-
cahan seekor kelabang. Berulang kali Mahesa Wulung
melenting-lenting di antara tebing-tebing Jurang Mati
dengan enaknya tanpa merasa kuatir sedikit pun
akan terjatuh ke dasar jurang. Kalau dahulu ia
memandang tempat ini sebagai sarang maut, kini
menjadi lain lagi. Tempat itu baginya merupakan ge-
langgang pembajaan diri, tak ubahnya Kawah Can-
dradimuka tempat menggodok dan menggembleng
Raden Gatutkaca di masa-masa mudanya.
Selagi Mahesa Wulung tengah enak-enaknya
berloncatan di antara tebing-tebing Jurang Mati, di
puncak tebing di sebelah atas terdengarlah benturan-
benturan senjata yang beradu. Suara itu tak urung
tertangkap oleh telinga Mahesa Wulung yang tajam
biarpun ia tengah berloncatan kesana-kemari.
Seketika ia menatap ke atas ke ujung tebing
jurang, dari mana suara benturan senjata itu terde-
ngar. Satu pemandangan yang mengagetkan hati
membuat Mahesa Wulung menghentikan latihannya.
Di atas sana terlihat tiga bayangan manusia yang
bertempur mengerubuti satu bayangan manusia lain
yang bertubuh ramping. Keempatnya bertempur de-
ngan hebat diselingi dengan teriakan-teriakan perang
yang melenting tinggi di udara.
Menyaksikan pertempuran itu, mau tak mau
Mahesa Wulung menaruh kagum, terutama kepada
bayangan manusia yang bertubuh ramping. Meski-
pun ketiga lawannya berusaha memojokkan dirinya
ke arah jurang, tetapi senantiasa ia berhasil lolos dari
kepungan itu. Karuan saja ketiga lawannya terpaksa
menahan gerakan tubuhnya. Kalau tidak, salah-salah
mereka sendiri yang bakal tercampak ke Jurang Mati.
Tergoncang dada Mahesa Wulung melihat baya-
ngan manusia ramping itu. Pastilah ia seorang wani-
ta. Rambutnya yang panjang tergerai bila ia melesat
kesana-kemari dalam menghindari setiap serangan
ketiga lawannya.
“Hah, siapakah gerangan dia? Jangan-jangan Adi
Pandan Arum sendiri?” desah Mahesa Wulung ikut
kecemasan melihat pertempuran di tepi jurang itu.
“Baik, aku akan ke atas sana melihatnya. Aku tak
senang melihat pertempuran yang main keroyokan,
apalagi dia seorang wanita!” gumamnya seraya me-
lesat ke tebing di sebelah barat. Setelah itu ia berlon-
catan dari batu ke batu, menuju ke atas dengan
enaknya.
Sementara itu, pertempuran di tepi jurang
bertambah ramai. Ketiga pengepung gadis itu, yang
seorang bersenjata pedang, sedang yang dua orang
bersenjata tombak. Rupanya gerakan si gadis cukup
tangguh sehingga sampai saat itu mereka belum
berhasil mengalahkannya. Mereka karuan saja makin
beringas melihat serangan mereka selalu gagal. Si
gadis yang bersenjatakan tongkat kayu itu mampu
memutar senjatanya bagaikan baling-baling yang
selalu menutup dirinya dari setiap jangkauan senjata
ketiga musuhnya. Melihat tongkat kayu itu, hati
Mahesa Wulung mau tak mau merasa tertarik akan
gadis itu. Ia merasa pernah melihat cara permainan
tongkat kayu itu serta jurus-jurusnya sekaligus.
Tetapi siapakah yang telah pernah menggunakannya?
“Hmm, ya, ya. Aku ingat sekarang. Panembahan
Tanah Putih dari Asemarang dan Pendekar Rikma
Rembyak. Dua tokoh sakti yang selama ini menggu-
nakan tongkat kayu sebagai senjata,” pikir Mahesa
Wulung setengah berjingkrak. “Kalau begitu pasti
gadis itu ada hubungannya dengan salah satu tokoh
dari keduanya.”
Habis berpikir, Mahesa Wulung mempercepat lon-
catan-loncatannya ke atas menuju ke gelanggang
pertempuran dan sekaligus mempersiapkan diri. Di
luar dugaan, saat itu pula si gadis dalam keadaan
makin terdesak oleh serangan-serangan dari ketiga
pengepungnya.
Sebuah tebasan pedang berhasil dielakkannya
dengan loncatan ke udara, berbareng pula dua ujung
tombak lawannya yang lain siap menikam tubuhnya.
Tentu saja si gadis merasa terperanjat setengah mati
diserang seperti itu.
Maka dengan gerakan yang lincah ia secepat kilat
merubah gerakannya. Tubuhnya mendatar rata,
sehingga ketiga ujung senjata lawan hanya sempat
mengenai angin. Ternyata gerakan gadis ini dilaku-
kan secara tiba-tiba dan kurang sedikit cermat. Na-
mun itu bukan kesalahannya, sebab gerak naluriah
itu timbul demi keselamatan jiwanya yang terancam.
Akibat gerakannya yang menyerempet-nyerempet
bahaya itu, seketika keseimbangan tubuhnya hilang
dan gadis itu terhuyung ke arah Jurang Mati.
“Aahhh!” si gadis menjerit kecil ketika merasa bah-
wa tubuhnya terpelanting ke jurang, sedang ketiga
lawannya melihat gadis itu serentak terkekeh-kekeh
tertawa kesenangan.
“Ha, ha, ha, mati kowe!”
Tetapi mendadak ketawa mereka terbungkam se-
ketika bagaikan orong-orong terinjak, manakala dari
dalam jurang melesat bayangan tubuh manusia yang
secepat kilat menyambar pinggang si gadis, dan men-
daratkannya kembali di atas tanah.
Si gadis itu sendiri merasa terperanjat ketika
pinggangnya merasa disambar sebuah tangan yang
perkasa dan menyelamatkannya. Dengan cepat ia
menoleh ke samping dan mau tidak mau ia terpaksa
terpesona, bila orang yang menolongnya itu mempu-
nyai wajah yang tampan dan ramah serta seleret
kumis menghias bibirnya.
“Aah, siapakah Andika?” tanya si gadis.
“Tenanglah. Aku akan membelamu dari ketiga
orang itu,” jawab Mahesa Wulung dengan manis.
“Heei, siapa kamu!? Kurang ajar! Mengapa kamu
turut campur dengan urusan kami, keparat?!” teriak
orang yang berpedang mengayunkan senjatanya
penuh kesombongan ke arah Mahesa Wulung. “Rupa-
nya kamu ingin merasakan pedangku ini, he?! Wah,
minggirlah sebelum kebacut mengukur tenaga dengan
Dongkol!”
“Eh, kau melarangku turut campur dengan urusan
kalian? Rupanya kalian hanya berani bertempur
melawan seorang gadis, dan lagi kalian ternyata
golongan pengecut, sebab untuk melawan seorang
gadis saja, kalian masih mau mengeroyoknya!” ujar
Mahesa Wulung dengan tenangnya.
Bagai disambar geledek, telinga Dongkol serentak
merah membara demi mendengar ucapan Mahesa
Wulung. Selama hidupnya, baru kali inilah ia men-
dengar kata-kata dari mulut orang lain yang begitu
lancang berani merendahkan dirinya. Dongkol meng-
kerotkan giginya sambil merangsang Mahesa Wulung
dengan putaran pedangnya ke arah kepala lawannya.
Sampai saat itu Mahesa Wulung masih saja berdiri
tegak di samping si gadis, seolah-olah sebuah arca
batu yang menonton sebuah pameran permainan pe-
dang. Hal ini membuat Dongkol semakin takabur dan
dikiranya sang lawan terpesona melihat ilmu pedang-
nya. Maka tanpa menunda-nunda lagi Dongkol se-
cepat kilat menyerbu ke arah Mahesa Wulung.
Wessss! Pedang Dongkol telah membabat ke arah
kepala Mahesa Wulung, dengan kemantapan hati
yang bulat serta bayangan pikirannya, bahwa seben-
tar lagi kepala lawannya pasti akan terpenggal lalu
menggelundung ke tanah tanpa sesambat. Tetapi di
saat pedangnya hampir menyentuh leher lawannya,
ia terpaksa kaget, sebab Mahesa Wulung cuma meng-
geser kaki kanannya ke belakang serta memiringkan
kepalanya sedikit. Gerakan itu memang sederhana,
namun dilakukan dengan cepat hingga sukar diikuti
oleh pandangan mata yang lumrah.
Dongkol menjadi semakin mendongkol hatinya bila
pedangnya meleset dari sasarannya. Secepat kilat ia
mengulang serangannya kembali lebih hebat ke arah
Mahesa Wulung.
Sayang, untuk yang kedua dan ketiga kali pun
serangannya senantiasa gagal, sebab setiap kali mata
pedangnya sudah hampir mengenai sasarannya, seti-
ap kali juga Mahesa Wulung cuma menggeser-geser
sebelah kakinya saja. Hal ini terasa sebagai suatu
ejekan luar biasa bagi Dongkol.
Jika saja ia mengetahui bahwa lawan yang kini
dihadapinya itu telah menggembleng diri dengan
kitab hijau dari Landean Tunggal, pastilah ia tidak
akan sembarangan dengan dia. Dan memanglah, ka-
lau orang lain saja merasa kagum terhadap gerakan-
nya, Mahesa Wulung pun merasa kagum sendiri pula
untuk setiap gerakannya. Terasa badannya mampu
lebih cepat dan tangkas dalam menghindari se-
rangan-serangan lawannya.
“Keparat, kau punya ilmu siluman!” umpat si
Dongkol dengan marahnya.
Begitu selesai ucapannya. Dongkol mendadak me-
ringis setengah menjerit. Sebab tahu-tahu tangannya
yang memegang pedang telah kena tangkap oleh
tangan kanan Mahesa Wulung sekaligus menghim-
pitnya laksana sepasang tanggem baja yang tengah
mengunci.
“Hiyuuung aduh, duh! Hee, kalian berdua jangan
cuma ndomblong melihatku! Ayo cepat kau menye-
rangnya!” seru Dongkol sambil mencucurkan keringat
dinginnya.
“Hmm, kau tak perlu melolong-lolong minta tolong
kepada kedua koncomu. Baiknya kau saja kembali
kepada mereka! Haaet!!!” teriak Mahesa Wulung ber-
bareng tangannya menghentak ke samping.
Akibatnya tak ampun lagi, tubuh Dongkol terpe-
lanting deras ke arah kedua temannya yang bersen-
jata tombak dan di saat itu tengah bersiap-siap me-
nyerbu Mahesa Wulung.
Melihat kawannya melesat terpelanting ke arah
mereka, kedua orang itu menjadi geragapan seketika.
Betapa tidak? Mereka bersenjata tombak dengan
kedua ujungnya tertuju ke arah Mahesa Wulung,
sehingga sewaktu tubuh Dongkol melayang ke arah
mereka, maka terpaksalah kedua orang itu meng-
hindar jauh-jauh secepat kilat. Sedikit saja terlambat,
pastilah tubuh si Dongkol akan menghunjam tersate
pada tombak-tombak mereka.
Buuuk! Tubuh Dongkol terhempas ke tanah keras
sambil meringis mengerang-erang. Biar begitu, itu
masih terbilang untung kalau tubuhnya tidak remuk
redam, sebab sebenarnya dia pun termasuk golongan
jagoan, meskipun tingkat menengah saja.
“Setan alas! Kau menyombong kelewat batas di
depan hidungku! Sekarang terimalah permainan tom-
bak sepasang Jaya Yoga. Jebol dadamu kelakon!” seru
kedua orang itu, lalu menyerang dengan tikaman-
tikaman tombaknya yang penuh hawa maut.
Bagaikan gulungan-gulungan badai yang ganas,
kedua mata tombak tersebut melibat tubuh Mahesa
Wulung bertubi-tubi dan untuk inipun Mahesa Wu-
lung selalu dapat menghindarinya dengan berlonca-
tan kesana-kemari, kadang-kadang berjumpalitan di
udara, tak ubahnya gerakan seekor kelabang.
Pada suatu saat dilihatnya sebuah pertahanan
lawannya yang lemah, maka disertai gerakan manis,
ia menerkam kepada salah seorang lawannya. Kedua
tangannya laksana dua cakar burung garuda yang
mengembang, kemudian menangkap tangkai tombak
di sebelah ujungnya.
Tap!
Lawannya terpekik keheranan dengan hal itu, lalu
cepat-cepat memutar tangkai tombaknya agar tombak
itu dapat terlepas dari jari-jemari Mahesa Wulung. Di
luar dugaan Mahesa Wulung mengayunkan sisi
telapak tangannya ke atas tangkai tombak.
Kretak!
Berbareng bunyi berderak memekakkan telinga,
tangkai tombak itu patah disusul oleh gerakan
tangan Mahesa Wulung yang menangkap bahu serta
pergelangan tangan orang itu.
Kontan saja ia berteriak kepada temannya,
“Kakang Yoga, bantu!”
Mendengar teriakan Jaya yang kini bergulat
dengan lawannya, secepat angin ia menyerbu ke arah
Mahesa Wulung. Mata tombaknya yang berkilat siap
menjebol tubuh lawan dari samping! Tanpa dinyana
di saat mata tombaknya hampir menghujam lambung
kanan Mahesa Wulung, pendekar ini bergerak jauh
lebih cepat seraya menggeser tubuh Jaya ke samping
sebagai perisai.
“Haaaaghh!” teriakan pendek terlontar dari mulut
Jaya sewaktu mata tombak Yoga menghujam pung-
gungnya diiringi darah segar mancur kemana-mana.
Melihat tombaknya telah memakan korban ter-
hadap temannya sendiri, karuan saja Yoga terpekik
kaget setengah ketakutan. Tangkai tombak yang
sekarang menancap ke punggung Jaya buru-buru
dilepaskannya. Setelah itu ia melesat ke arah Mahesa
Wulung, sekaligus mengirim pukulan ke arah lawan-
nya.
Mahesa Wulung pun telah bersedia pula. Maka di
saat pukulan lawan meluncur ke arahnya, ia segera
memapakinya pula dengan kepalan tangan kanan-
nya.
Blaaag!
Pukulan tangan Yoga berbentur dengan kepalan
tangan Mahesa Wulung yang dirasanya seolah-olah
membentur dinding karang tebal.
“Aduh!” Yoga menjerit hebat sambil menarik
tangan kanannya kemudian dihembus-hembus de
ngan mulutnya, persis orang yang mau mendingin-
kan kopi panasnya.
Memanglah tangan Yoga terasa panas dan sakit.
Rasa ini cepat menjalar ke atas dan bila sampai ke
kepalanya, seketika pandangan matanya nanar, dan
berputaranlah semua benda-benda di depan mata-
nya. Sejurus kemudian tubuhnya terjengkang ke
tanah pingsan.
Di saat Mahesa Wulung telah merobohkan ketiga
lawannya, sebuah bayangan manusia melesat me-
ninggalkan tempat itu. Tentu saja Mahesa Wulung
terkejut karenanya. Cekatan ia memburu ke arah
bayangan itu. Si gadis! Ya, gadis yang telah ditolong
itu berlari ke arah utara, tanpa berkata apa-apa.
Apakah maksudnya?
Dalam beberapa saat setelah kira-kira mereka
berkejaran sejauh dua puluh tombak, gadis itu kena
ditangkap oleh Mahesa Wulung. Tetapi agak malang
pula rasanya bagi si pengejar. Kakinya kena terantuk
oleh akar pohon dan tak ampun lagi keduanya
seketika jatuh bergulingan ke arah mata air yang
jernih airnya. Untunglah pula bagi si gadis, karena
Mahesa Wulung selalu melindungi kepalanya ketika
bergulingan ke tanah, sehingga tidak sampai ia
terluka terbentur batu-batuan.
Ketika keduanya terhenti bergulingan, si gadis
yang tubuhnya menindihi si pendekar seketika ter-
sipu-sipu dan bangkit, lalu duduk di tanah di
samping Mahesa Wulung.
“Maaf aku telah menyusahkan Andika,” ujar si
gadis dengan melirik ke samping.
“Eh, tak apalah. Akulah yang seharusnya malah
meminta maaf, sebab Andika telah terjatuh karena
kurang hati-hatiku,” ujar Mahesa Wulung. “Tapi
mengapakah tadi Andika telah lari?!”
Si gadis tak segera menjawab, ia kelihatan cemas,
dan ini membikin hati Mahesa Wulung semakin ingin
mengetahui tentang diri si gadis.
“Sebenarnya aku tak mengingini seseorang terlibat
dalam urusanku. Apalagi kalau ia mendapat susah
karena aku.”
“Kalau aku bersedia menolong Andika, apakah
salahnya?” kata Mahesa Wulung ramah.
“Mmm, syukurlah kalau Anda berpikir demikian,”
ujar si gadis setengah tersenyum, membuat lesung
pada pipinya, menambah wajahnya yang manis itu
semakin menarik. “Sesudah berterima kasih kepada
Andika, perkenalkanlah diriku. Aku bernama Andini
Sari dari Pulau Mondoliko.”
“Aku Mahesa Wulung dari Demak,” kata Mahesa
Wulung. “Dan siapakah mereka itu?”
“Mungkin Anda terkejut kalau mendengar bahwa
sebenarnya orang-orang itu adalah sahabat-sahabat
ayahku sendiri,” kata Andini Sari.
“Tapi mengapa mereka berusaha membunuh An-
dika?” bertanya Mahesa Wulung. “Mungkin Andika
telah bersalah.”
“Ya, sebab aku telah lari meninggalkan ayahku
dari Pulau Mondoliko. Aku berselisih pendapat
dengan ayahku karena perbuatan-perbuatannya yang
tidak aku setujui, maka aku terpaksa lari dari-
padanya. Dan ketiga orang itu agaknya telah diperin-
tah oleh ayah untuk membunuhku atau menangkap-
ku hidup atau mati.”
“Oh, agaknya ayahmu termasuk bilangan orang
yang kejam dan berkemauan keras!” sela Mahesa
Wulung.
“Tepat! Andika tidak perlu heran dengan dia.
Bahkan akhir-akhir ini ia telah membunuh seorang
Empu terkenal dari Demak untuk merebut catatan
panah rahasianya yang bernama Braja Kencar!”
“Haaa? Jadi ayahmu yang membunuh Empu Bas-
kara dari Demak!? Kalau begitu kau adalah anak si
Rikma Rembyak!” tukas Mahesa Wulung geram.
“Heei, Andika telah mengenal nama ayahku?
Jangan-jangan Anda pun termasuk bilangan sahabat
ayah dan mau menangkap pula!”
“Persetan! Aku bukan sahabat ayahmu yang kejam
itu. Malah sebaliknya! Aku adalah musuh utama
pendekar gondrong itu,” Mahesa Wulung berkata
setengah jengkel, karena dikatakan sahabat si Rikma
Rembyak. “Ayahmu harus menebus dosa-dosanya
karena pembunuhan itu!”
“Terserah atas pendapatmu itu. Tapi ayah pernah
bilang bahwa ia berbuat itu untuk menolong Empu
Baskara agar lebih cepat mati. Dengan begitu ia
terbebas dari deritanya.”
“Oooh, agaknya Andika pun sependapat dengan
pendirian si Rikma Rembyak terhadap kematian Em-
pu Baskara?!” ujar Mahesa Wulung tajam.
“Cukup kata-kata Anda itu!” potong Andini Sari.
“Aku hanya mengatakan apa yang telah dikatakan
ayahku. Itu bukan berarti aku setuju dengan perbua-
tan-perbuatannya.”
“Ternyata Andika pandai berkata-kata pula.”
“Ya! Dan sama pula dengan kepandaianku untuk
bertempur melawan Anda!” Andini Sari menyindir.
“Tidak! Tidak! Aku tak bermaksud mengukur
tenaga melawan Andika,” ujar Mahesa Wulung seraya
memperlihatkan raut mukanya yang membayangkan
kecemasan. Hal ini tentu saja membuat Andini Sari
semakin jengkel.
“Lekas, bersiap-siaplah menghadapi seranganku
ini. Melawan atau tidak, kau akan merasakan keman-
tapan pukulanku!” Andini Sari berkata serta lang-
sung mengirimkan pukulan tangan kanannya menim-
bulkan suara berdesing.
“Heei, Andika tidak bermaksud sungguh-sungguh,
bukan?!” seru Mahesa Wulung kaget dan bersiaga. Ia
cepat-cepat menyalurkan ajarannya Tugu Wasesa.
Duuk!
Pukulan tangan Andini Sari bersarang ke dada
Mahesa Wulung dan terjadilah benturan cukup
keras. Mahesa Wulung tergetar sedikit ke belakang
dan ini membuat ia sibuk berpikir. Apakah gadis itu
memukul dengan kekuatan penuh atau hanya
dengan sebagian kecil tenaganya?
Sedang si gadis melihat lawannya tahan terhadap
pukulannya, tanpa banyak berpikir segera mengulang
serangannya kembali dengan satu pukulan deras
yang tak kalah hebat dengan pukulan pertama.
Untuk inipun Mahesa Wulung tak berusaha
mengelak, sebab ia juga mempunyai pikiran lain,
sampai di mana tenaga pukulan gadis ini?
Andini Sari terperanjat bila pukulannya yang
kedua pun tanpa membawa hasil. Dalam batin ia
terpaksa mengakui, bahwa lawannya ini mempunyai
ilmu yang lebih tinggi dari dirinya. Dan bila ia
menatap wajah Mahesa Wulung yang tersenyum-
senyum itu, hatinya jadi jengkel. Ia yakin dan merasa
dipermainkan oleh lawannya. Maka seketika wajah-
nya membara merah.
Bila sudah begitu, serentak bibirnya yang merah
basah itu tampak menjadi semakin merah membuat
hati Mahesa Wulung geragapan. “Andini Sari! Sudah!
Sudah! Hentikan pukulanmu. Aku terima kalah saja!”
“Tidak!” Andini Sari berseru. “Hiih, ini terimalah
lagi pukulanku!”
Kemudian pukulan ketiga pun mendarat di dada
Mahesa Wulung. Tetapi sekali lagi gadis ini terpesona
melihat sikap lawannya yang tak mau mengelak.
Hatinya menjadi bertambah jengkel separo kagum
terhadap Mahesa Wulung. Pukulan berikutnya me-
nyusul dan ketika lawannya masih saja tersenyum-
senyum, si gadis pun melayangkan pukulannya kem-
bali susul-menyusul dan lama-kelamaan bertambah
pelan dan semakin pelan, lalu gadis ini surut ke
belakang dari lawannya serta berpaling membelaka-
ngi Mahesa Wulung.
Mahesa Wulung masih belum tahu dengan sikap
Andini Sari. Mendadak saja telinganya menangkap
isakan-isakan tangis yang kecil dan ternyatalah gadis
itu menutupkan tangannya ke muka, menangis.
Mahesa Wulung bingung seketika mendengar
isakan-isakan Andini Sari, maka ia segera mendekati
gadis itu.
“Andini, Andini Sari, maaf aku telah membuatmu
sakit hati. Aku tak bermaksud demikian.”
Si gadis yang mendengar ucapan lembut penuh
perasaan tulus itu, hatinya agak terhibur. Lebih-lebih
ketika terasa tangan sang pendekar mengusap pun-
daknya. Sesaat keduanya diam membisu, terbenam
dalam angan-angannya sendiri-sendiri.
Sekonyong-konyong kesenyapan itu dipecahkan
oleh satu bayangan yang melesat dari semak-belukar
yang rimbun, membuat Mahesa Wulung dan Andini
Sari terkejut.
“Oooh, Kakang Mahesa Wulung!” seru bayangan
itu. “Syukur kau masih hidup, Kakang!”
Andini Sari yang mendekap Mahesa Wulung karena kagetnya, demikian melihat siapa bayangan yang
muncul di depan mereka itu, cepat-cepat melepaskan
dekapannya.
“Adi Pandan Arum!” seru Mahesa Wulung kaget
bercampur girang, karena gadis itu tiba-tiba muncul
di depannya.
Sedang Andini Sari melihat gadis yang baru datang
itu membuat hatinya sibuk berkata-kata sendiri, “Oh
gadis itu. Keduanya nampak telah akrab. Mungkin ia
adalah tunangan Pendekar Mahesa Wulung ini. Biar-
lah aku berlalu saja dari tempat ini!”
“Nah, selamatlah kalian berdua. Selamat tinggal
dan sampai berjumpa lagi!” ujar Andini Sari sambil
meloncat meninggalkan tempat itu. Gerakannya
sangat cepat dan sebentar saja tubuhnya lenyap di
sebelah utara di sebuah jalan rintisan kecil di balik
batu terjal yang menjulang tinggi.
“Andini Sari tunggu!” teriak Mahesa Wulung, tapi
gadis itu tak menggubrisnya.
“Siapakah dia, Kakang Wulung?” ujar Pandan
Arum. “Dan itu tubuh-tubuh yang menggeletak di
sana?”
“Gadis tadi adalah Andini Sari. Ia kutemukan
tengah bertempur melawan ketiga orang ini, Adi.
Demikianlah ia akhirnya kutolong dan ternyata
Andini Sari adalah puteri si Rikma Rembyak!”
“Haaa?! Putri pendekar gondrong itu? Hmmm,
cantik juga dia, ya, Kakang?” ujar Pandan Arum
sambil mencuri pandang ke arah Mahesa Wulung,
membikin pendekar ini trataban hatinya.
“Betul katamu itu, Adik. Tapi Pandan Arum pun
tak kalah dengan dia.”
“Ahh, Kakang Wulung ini. Sekarang aku ingin
mendengar lelakon Kakang, sampai dapat lolos dari
Jurang Mati ini?” pinta Pandan Arum.
“Baik akan kuceritakan lelakonku pada Adi. Nah
duduklah disini,” ujar Mahesa Wulung mempersilah-
kan Pandan Arum duduk di sebuah batu besar di
dekatnya.
Lalu berceritalah ia mulai terjatuh ke jurang
kemudian menemukan goa serta berkelahi melawan
laba-laba raksasa, sampai akhirnya ia menemukan
kitab milik Landean Tunggal. Kesemuanya itu di-
dengar oleh Pandan Arum dengan penuh perhatian,
seakan-akan ia sendiri turut serta di dalam peristiwa
itu. Wajahnya tampak tegang ketika mendengarkan
pertempuran Mahesa Wulung melawan laba-laba
raksasa, dan juga ia merasa kasihan mendengar
kisah tentang Landean Tunggal serta kematiannya.
“Demikianlah kisah lelakonku ini, Adi Pandan.
Untunglah aku membawa cambuk Naga Geni ini.
Kalau saja tidak, mungkin sekarang ini kita tak akan
berjumpa lagi,” kata Mahesa Wulung. “Dan sekarang
cobalah Adi Pandan berceritera tentang pengejaran
terhadap Rikma Rembyak. Dapatkah catatan panah
Braja Kencar itu berhasil engkau rebut daripadanya?”
“Ah, ketiwasan, Kakang Wulung! Pengejaran itu
gagal sama sekali. Jangankan merebut catatan,
sedang menyentuh tubuhnya saja tak berhasil. Rikma
Rembyak ternyata mempunyai ilmu lari yang hebat,
sehebat ilmu lari Sapi Angin,” Pandan Arum berhenti
sejenak berceritera sambil menarik napas panjang
seperti hendak mengatasi rasa kesalnya. “Pengejaran
terus berjalan, namun tiba-tiba Rikma Rembyak
menyabetkan tongkat kayunya ke belakang, sehingga
mengenai Kakang Jagayuda yang kemudian terjatuh
ke tanah. Begitulah, maka pengejaran itupun gagal
dan Kakang Jagayuda terluka ringan untuk beberapa
saat.”
“Hmmm, memang hebat si Rikma Rembyak,” de-
ngus Mahesa Wulung setengah mengepal-ngepalkan
tinjunya karena gemas.
“Sungguh berat penanggungan kita, Kakang. Aki-
bat dari kegagalan tugas kita itu, maka pimpinan
armada Demak telah mengambil satu keputusan,
bahwa kita harus merebut kembali catatan panah
rahasia Braja Kencar itu, dalam waktu tiga ratus
hari. Jika itupun gagal pula, maka pimpinan armada
Demak dengan sangat menyesal akan mencabut
kedudukan kita sebagai perwira dari armada Demak.”
“Haaa?! Memecat kita dari armada Demak?” ulang
Mahesa Wulung dengan terkejut, dan sejenak ia
berdiam diri merenungi ceritera Pandan Arum tadi.
“Hehh, waktu tiga ratus hari cukup banyak, tetapi
apakah cukup lamanya untuk membekuk Ki Topeng
Reges dan Rikma Rembyak? Jika sampai dipecat dari
keperwiraan armada Demak, ahh, betapa maluku. Di
mana mukaku ini harus kusembunyikan?”
Merenungi nasib dirinya yang begitu malang itu,
Mahesa Wulung merasakan satu pergolakan dalam
rongga dadanya. Jiwa ksatrianya menggelegak timbul
karena mendapat tantangan yang begitu berat. Sekali
lagi ia lebih dalam memikirkan tugasnya yang gagal.
“Adi Pandan, aku mengucapkan terima kasih atas
segala bantuan yang telah Adi berikan kepadaku,”
ujar Mahesa Wulung memecah kesunyian yang men-
cengkam. “Apakah Adik masih sanggup mendampi-
ngiku dalam tugas ini?”
Dalam beberapa saat Pandan Arum tidak segera
dapat mengucapkan sepatah kata pun, malahan ia
menundukkan kepalanya ke bawah. Kepalanya
dipenuhi oleh bayangan-bayangan akan peristiwa
masa yang lalu. Kalau saja ia tak dapat menekan
perasaannya, pastilah ia akan terisak-isak menangis.
Mungkinkah kegagalan tugas Mahesa Wulung itu
disebabkan oleh campur tangannya? Pertanyaan itu
berkali-kali timbul tanpa terjawab olehnya.
Akhirnya Pandan Arumpun berkata dengan nada
bergetar setelah sesaat bergulat dengan pikirannya
sendiri, “Kakang Mahesa Wulung, aku akan selalu
membantu Kakang dalam tugas yang seberat apapun.
Maka tugas ini akan kita selesaikan berdua. Bukan-
kah begitu, Kakang?”
“Yah, terima kasih Adi. Mudah-mudahan kali ini
bintang kita lebih cemerlang,” kata Mahesa Wulung
dengan lega.
“Kakang Wulung, aku kira lebih baik kita berang-
kat sekarang meninggalkan tempat ini,” sambung
Pandan Arum. “Ke timur ini ada sebuah jalan yang
melingkari kaki Gunung Muria sebelah timur. Dan
disana menurut Kakang Jagayuda terdapat sebuah
rumah tua di dekat reruntuhan bekas candi yang
didiami oleh Ki Topeng Reges.”
“Jadi di sanalah Ki Topeng Reges bercokol,” desis
Mahesa Wulung pendek. Ia lalu teringat akan tempat
itu, yang oleh orang-orang di kaki timur Gunung
Muria dianggap sebagai tempat hantu dan dedemit
bersarang. “Nah, sebelum berangkat, biarlah aku
turun ke goa di bawah sana untuk mengambil kitab
hijau peninggalan Landean Tunggal.”
“Silahkan, Kakang. Aku akan menunggumu di sini
saja,” kata Pandan Arum sambil tersenyum manis,
tertuju kepada Mahesa Wulung.
Belum lagi ia selesai tersenyum, tiba-tiba dilihat-
nya Mahesa Wulung meloncat ke tebing Jurang Mati
serta dengan enaknya berloncatan turun ke bawah
tak ubahnya gerak seekor belalang. Karuan saja
hatinya berdebar setengah kagum melihat gerakan
Mahesa Wulung yang hebat itu dan sebentar saja
bayangan tubuhnya telah lenyap di bawah sana, di
kegelapan dasar Jurang Mati.
***
Mahesa Wulung sebentar saja telah tiba di mulut
goa. Sejenak ditatapnya tempat itu dengan rasa haru,
mengingat bahwa di sinilah ia dapat menggembleng
dirinya lebih matang, daripada yang sudah-sudah.
Tempat ini sebentar lagi akan ditinggalkannya.
Meskipun ia tidak lama tinggal di goa itu, namun
hatinya tidak akan melupakan sepanjang hidupnya.
Kemudian dengan langkah yang mantap ia
memasuki goa itu, serta langsung menuju ke ruang
tengah, tempat ia berlatih serta mempelajari kitab
hijau Landean Tunggal sehari-hari.
Kitab itu terletak di atas sebuah batu cincin ber-
alaskan tikar anyaman kasar dari daun ilalang yang
dibuat oleh Mahesa Wulung sendiri. Sesudah Mahesa
Wulung mengeluarkan selembar sapu tangan ber-
warna kuning dari ikat pinggangnya, kitab tersebut
dipungutnya serta dibungkus dengan rapi dan
kemudian dimasukkan ke dalam bajunya.
Mahesa Wulung selanjutnya melangkah ke ruang
sebelahnya tempat ia menanam kerangka Landean
Tunggal. Sekali lagi ia menatap timbunan batu itu,
sedang dalam batin ia mengenang serta berdoa untuk
Landean Tunggal yang telah tiada. Sesudah itu ia
cepat-cepat berjalan keluar, sebab ia tidak ingin
membuat Pandan Arum terlalu lama menunggu di
atas.
Tiba-tiba di saat ia menginjak pintu ruangan itu,
didengarnya bunyi berdesir halus dari arah ruang
sebelahnya yang kegelapan. Biarpun bunyi itu hanya
lamat-lamat saja, tapi dapat ditangkap oleh telinga-
nya yang tajam! Mahesa Wulung buru-buru melekat
pada dinding goa.
Memang, di tempat gelap itu terlihat berkelebatnya
sesosok bayangan manusia yang amat cepat. Karuan
saja hati Mahesa Wulung berdesir hebat bukan main,
maka cepat-cepat ia merunduk dan mendekati
tempat itu. Tapi betapa kecewanya bila tiba di situ,
dilihatnya tak seorang pun tampak di tempat itu.
Mahesa Wulung tak sampai di situ saja penyelidi-
kannya, sebab ia yakin bahwa matanya telah benar-
benar menangkap gerakan tubuh manusia di sini.
Segera ia berjongkok serta meraba-raba lantai goa itu
dengan jari-jari tangannya. Sesaat kemudian ia
menggumam.
“Jah! Tak keliru lagi. Ini adalah jejak-jejak baru
dari kaki manusia. Tapi kemana dia berada?”
Selagi ia bertanya-tanya di dalam hatinya, tiba-tiba
saja ia dikejutkan oleh suara orang tertawa lunak.
Perlahan-lahan sekali suara itu, tetapi jelas dan dekat
di sekitarnya. Ketawa yang lunak itu membuat darah-
nya berdesir lebih hebat.
Berkat pemusatan inderanya yang sempurna, da-
patlah ia mengetahui sumber dari suara ketawa yang
lunak tadi kira-kira di arah belakangnya. Oleh sebab
itu ia cepat meloncat membalikkan diri serta bersiaga
penuh. Dan kemudian alangkah terkejutnya bila di
hadapannya berdiri sesosok tubuh manusia yang
berada di tempat kegelapan.
“Maaf Kisanak, kalau aku telah membuatmu
kaget,” terdengar suara lunak dari orang itu.
Mahesa Wulung tak segera menjawab, kecuali ia
mengawasi orang itu dengan seksama dari ujung jari
kakinya sampai ke ujung rambut kepalanya. Tubuh
orang itu mempunyai potongan yang tegap perkasa.
Sayangnya, wajahnya kurang jelas, karena ia berdiri
di tempat gelap.
“Kisanak, apa maksudmu datang kemari?” berta-
nya Mahesa Wulung setengah curiga.
“Aku tak sengaja datang ke tempat ini,” orang itu
berkata. “Dan tidak tahu bahwa Kisanak tinggal di
tempat ini. Maka Andika tak perlu gusar bila bertemu
aku di sini. Tak apa-apa. Aku adalah orang kabur
kanginan tak bernama. Nah, sekarang biarlah aku
berlalu dari tempat ini.”
“Tunggu dahulu! Kisanak harus menyebutkan
namamu dulu sebelum berlalu dari tempat ini,”
Mahesa Wulung berkata dengan mantap.
“Tidak! Aku sudah berkata kalau aku tanpa
nama,” desis orang itu. “Tak seorang pun berhak
memaksaku menuruti kehendaknya!”
“Hmmm, kalau bandel, akulah yang akan memak-
samu,” balas Mahesa Wulung membuat orang itu
menggeram, tapi kemudian orang tersebut tertawa
lunak.
“Heh, heh, heh, jangan coba menakut-nakuti aku.
Rupanya dengan gertak sambalmu itu, kau bermak-
sud menutupi kegentaranmu. Suaramu tadi gemetar,
Kisanak. Heh, heh, heh,” sekali lagi orang itu tertawa
lunak.
Bagi Mahesa Wulung, kata-kata orang itu terasa
sebagai sambaran petir di telinganya.
“Kurang ajar. Kau menghinaku kelewat batas,
Kisanak! Hanya saja aku ingin tahu apa kata-katamu
itu seimbang dengan tenaga serta keperwiraanmu?”
“Heh, heh, heh, apakah Andika bermaksud
menantangku?” ujar orang itu tenang-tenang.
“Menantang, sih tidak. Hanya ingin aku mencicipi
keperwiraanmu!” kata Mahesa Wulung.
“Bagus, bagus! Sekarang terimalah salam perkena-
lanku!” seru orang itu dengan menggeram mengirim-
kan pukulannya ke arah Mahesa Wulung.
Untungnya Mahesa Wulung cepat-cepat sudah ber-
tindak, begitu lawannya itu melancarkan serangan-
nya, begitu pula ia memiringkan tubuhnya menghin-
dar.
Wusss! Angin pukulan lawan berdesau nyaring.
Cukup bagi Mahesa Wulung untuk mengukur sampai
di mana kekuatan lawan.
Begitu ia berhasil menghindari serangan itu, ganti
Mahesa Wulunglah yang melancarkan pukulan dah-
syatnya.
“Hyaat!”
Namun alangkah terkejutnya, kalau lawannya itu
untuk menghindari serangannya telah membuat satu
gerakan yang membuatnya berdesir hati. Lawannya
tadi telah meloncat mundur sambil berjongkok,
sehingga dirinya terbebas sama sekali dari pukulan
tangan Mahesa Wulung.
Melihat lawannya lolos, ia tak tinggal diam. Segera
dikejarnya orang itu dengan serangannya yang bergu-
lung-gulung laksana ombak badai siap menghempas-
kan setiap perintang.
Demikianlah, maka keduanya tenggelam dalam
perkelahian hebat di ruangan goa yang cukup luas
itu. Terkadang keduanya sambar-menyambar di uda-
ra laksana dua ekor rajawali yang tengah berlaga dan
sebentar lagi berubah seperti dua ekor banteng yang
ketaton saling mengukur tenaga
Mahesa Wulung yang sekarang bukan Mahesa
Wulung yang dahulu. Berkat ilmu kitab hijau warisan
dari Landean Tunggal itu, telah membajakan dirinya
menjadi manusia yang kuat jasmani dan rohaninya.
Tubuhnya bergerak bagaikan bayangan yang melon-
cat kesana-kemari, ringan seringan daun kering serta
lincah dalam menghindari setiap serangan lawan.
Rupanya lawannya itupun bukanlah orang yang
sembarangan. Ia pun mampu bergerak selincah anak
kijang yang menari-nari keriangan di padang rumput
hijau. Bahkan sambil berloncatan kesana-kemari itu,
lawan Mahesa Wulung tak lupa mengeluarkan suara
ketawa yang lunak.
Pertempuran berjalan semakin seru, keduanya
belum ada tanda-tanda akan kekurangan tenaga.
Sesudah berjalan puluhan jurus, kedua pendekar itu
menghentikan pertempurannya sejenak. Keduanya
masing-masing mengatur nafasnya. Lawan Mahesa
Wulung rupa-rupanya ingin cepat-cepat menyelesai-
kan pertempuran ini, karena tiba-tiba saja ia meraba
hulu kerisnya dan menghunusnya sekali.
Mahesa Wulung pun tak tinggal diam, bila melihat
lawannya menghunus senjata. Maka cepat-cepat ia
melolos cambuknya dari ikat pinggang.
“Kiai Naga Geni!” desis lawan Mahesa Wulung serta
surut ke belakang menatapi cambuk pusaka yang
mengeluarkan sinar biru kehijauan.
“Hah, Kiai Sangkelat?!” seru Mahesa Wulung lirih
ketika keris di tangan lawan itu mengeluarkan sinar
buram seperti bara api.
Kedua pendekar itu sesaat termangu-mangu.
Masing-masing telah menggenggam senjata pusaka
yang ampuh. Meskipun Mahesa Wulung belum me-
ngenal siapa yang menjadi lawannya itu, tapi ia
sudah dapat menebak kalau orang itu juga orang dari
lingkungan istana Demak. Sebab keris Sangkelat
termasuk pula pusaka ampuh dari Demak. Keris itu
yang dibuat oleh Empu Supa dari Sedayu terkenal
ampuh luar biasa. Sedangkan orang itu yang melihat
pusaka cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung
juga merasa kagum rupanya dengan senjata lawan-
nya.
“Hmm, kita masing-masing memiliki pusaka-pusa-
ka dahsyat. Nah, aku usulkan kepada Kisanak agar
kita menyimpan kembali senjata kita masing-masing.
Marilah pertempuran ini kita lanjutkan tanpa meng-
gunakan senjata-senjata pusaka kita?!” terdengar
orang itu berkata dengan tenangnya sambil menya-
rungkan kembali kerisnya.
“Baik, aku pun sependapat!” Jawab Mahesa Wu-
lung serta mengikatkan kembali cambuk Naga Geni
ke ikat pinggangnya.
Setelah itu bergetarlah kembali udara goa itu oleh
pertempuran kedua pendekar gemblengan. Keduanya
terlibat dalam lingkaran pertempuran hebat. Batu-
batu kerikil serta debu berhamburan kesana-kemari
seperti diaduk oleh angin puyuh, sehingga perang
tanding itu merupakan perang tanding yang dahsyat.
Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Wulung melihat
lawannya mengambil sikap pukulan maut dengan
menekuk kaki kirinya ke depan. Oleh sebab itu iapun
tak akan tinggal diam begitu saja menghadapi aji
pukulan lawannya yang mungkin amat dahsyat.
Maka Mahesa Wulung pun mengerahkan segenap ke-
kuatan lahir batin yang disalurkan lewat sisi telapak
tangannya, untuk menurunkan aji pukulannya
‘Lebur Waja’.
Sejurus kemudian kedua pendekar itu saling
berloncatan menyerbu dan satu letupan menggelegar
memekakkan telinga terdengar memenuhi ruangan
goa, apabila kedua aji pukulan maut itu saling
berbenturan satu dengan yang lain.
Begitulah bila benturan itu terjadi, akibatnya
cukup hebat. Kedua pendekar itu masing-masing
terpental surut ke belakang beberapa langkah untuk
kemudian jatuh terduduk dengan tubuh yang lemas
bagai dilolosi otot dagingnya, sementara dada-dada
mereka terasa sesak bagai terhimpit oleh timbunan
bongkah-bongkah batu.
Keduanya saling mengamati dengan teliti, tapi
Mahesa Wulung masih belum mengenal dengan jelas
akan wajah lawannya, kecuali hanya remang-remang
saja. Sayang, kegelapan ruangan goa itulah yang
menghalang-halangi Mahesa Wulung untuk mengenal
wajah orang itu lebih lanjut. Namun dari pantulan-
pantulan sinar matahari di luar goa dapatlah Mahesa
Wulung mengenali perawakan lawan serta guratan-
guratan wajahnya yang menunjukkan ketampanan.
Hati Mahesa Wulung terpaksa bergetar ketika
merasakan kedahsyatan pukulan dari lawannya yang
berkekuatan luar biasa.
“Aji Lembu Sekilan!” desisnya gemetar.
Tapi lawannya itupun bergumam keheranan,
“Hmmm, aji Lebur Waja dari Asemarang yang cukup
sempurna! Untunglah aku mempunyai Lembu Seki-
lan. Kalau tidak, pastilah tubuhku terbakar hangus
atau remuk!”
Sesaat kedua orang itu terdiam seolah-olah tengah
merenung serta merasakan akibat benturannya dua
ilmu dahsyat. Masing-masing diam membisu tapi
sibuk pula mengatur pernafasannya yang sesak.
Selagi Mahesa Wulung masih mengatur pernafasan
serta melenyapkan rasa nyeri pada rongga dadanya,
tiba-tiba saja lawannya itu telah bangkit lebih dahulu
dari duduknya. Hal ini membuat Mahesa Wulung
terpaksa keheranan setengah kagum melihat daya
tahan lawannya yang begitu hebat.
Orang itu sambil berdiri masih tak ketinggalan
memperdengarkan ketawa lunaknya sambil berkata
pelan, “Heh, heh, heh, Andika cukup hebat mengua-
sai ilmu pukulan Lebur Waja. Terus terang aku
merasa kagum dan terimalah salamku. Aku yakin
Andika akan berhasil menyelesaikan tugas-tugas
Anda.”
“Terima kasih atas pujian Kisanak. Tapi kenyata-
annya Kisanak lebih hebat daripadaku. Aku pun
mengagumimu,” ujar Mahesa Wulung yang masih
duduk di lantai goa. “Tapi siapakah Kisanak dan
mengapakah Kisanak dapat mengenal ilmu pukulan
si Lebur Waja?”
“Heh, heh, heh, Andika tak perlu heran. Aku
memang suka mengembara dan muncul di tempat-
tempat yang tak terduga, seperti yang Andika saksi-
kan sekarang ini.” Terdengar kata-kata orang itu
halus dan ramah. “Biarlah untuk sementara Andika
tidak perlu mengenal namaku dulu. Lain kali pastilah
kita akan bertemu pula.”
Orang itu kemudian melangkah keluar dari ruang-
an itu dan berjalan ke arah relung-relung terowongan
goa yang lebih dalam dan gelap. Tapi kata-katanya
masih terdengar lagi oleh telinga Mahesa Wulung.
“Nah, selamat tinggal Andika. Sampai bertemu lain
waktu.”
“Terima kasih, Kisanak,” sahut Mahesa Wulung
pelan. Kembali ia menebak-nebak. Siapakah orang itu
yang begitu hebat mempunyai daya tahan serta
keperwiraan dengan tingkatan sempurna? Tiba-tiba
sebuah percikan pikiran timbul, jika ia mengingat
kembali aji pukulan Lembu Sekilan serta keris Sang-
kelat yang dipakai oleh lawannya.
“Hhhhh, apakah dia? Ooooh tak mungkin. Tapi
mungkin pula dia! Ya, jika tidak keliru dialah Mas
Karebet si Jaka Tingkir dari Demak. Hanya dialah
yang mempunyai ilmu serta pusaka itu dan hanya dia
pulalah yang sanggup meloncat mundur sambil
berjongkok.”
Bila dadanya sudah tidak merasa sakit serta nafas-
nya telah lancar kembali, Mahesa Wulung cepat-cepat
berdiri. Tampak olehnya tempat sekeliling yang
penuh batu-batu berserakan akibat pertempurannya
melawan pendekar tanpa nama itu.
Sesudah mengibas-kibaskan debu dari pakaian-
nya, ia segera melangkah keluar menuju ke arah
mulut goa tempat ia masuk semula. Dan dengan
sekali menggenjotkan kakinya ke tanah, Mahesa
Wulung segera berlentingan meloncat-loncat di tebing
jurang menuju ke atas.
Kedatangannya segera disambut oleh Pandan
Arum dengan wajah kecemasan.
“Ooh mengapa begitu lama mengambil kitab itu,
Kakang? Aku sudah sangat kuatir jangan-jangan
Kakang dicegat pula oleh laba-laba raksasa.”
Mendengar kata-kata Pandan Arum itu, ia cuma
tersenyum manis. Ia sengaja tidak akan menceri-
takan pertemuannya dengan pendekar asing itu.
“Tidak, Adi. Tak ada lagi laba-laba raksasa. Yang
ada sekarang cuma bunga pandan yang cantik di
hadapanku,” kelakar Mahesa Wulung.
Pandan Arum sedikit tersipu-sipu mendengar puji-
an dari mulut Mahesa Wulung.
“Idih, cantik mana dengan temanmu tadi, si Andini
Sari?”
Begitulah kalau sepasang muda taruna bersenda
gurau. Pengalaman-pengalaman pahit serta kesusah-
annya sesaat terhibur dan hilang dari benaknya.
Keduanya adalah pendekar-pendekar muda penuh
harapan di masa datang. Maka biarpun mereka
menghadapi bahaya yang sebesar apapun, mereka
akan senantiasa berhati besar menghadapinya.
Memang begitulah seharusnya manusia dalam meng-
hadapi persoalan yang besar dan rumit, yang boleh
jadi akan dijumpai dalam hidup atau kejadian sehari-
hari. Ia tak boleh berputus asa sebelum betul-betul
berjuang menghadapi persoalan itu. Dan yang
penting, manusia tak boleh lupa kepada Maha Pengu-
asa Alam, Allah Yang Maha Besar. Untuk setiap hari,
setiap tahun dan bahkan sepanjang kehidupan ma-
nusia, ia harus berjuang, bertawakal serta memohon
kepadaNya agar damai dan tenteramlah di dunia ini.
***
EMPAT
Malam telah merajai semesta alam dan kehidupan
siang telah berganti dengan kehidupan malam. Bunyi
daun yang bergesekan di kelebatan hutan lereng
Gunung Muria sangat menyeramkan bulu roma, tak
ubahnya suara rintihan setan-setan.
Di sebuah rumah tua di dekat reruntuhan sebuah
candi terlihatlah tiga orang duduk-duduk mengelilingi
sebuah dian minyak yang sebentar-sebentar apinya
bergoyang-goyang terkena angin.
“Nah, bagaimana dengan tugas kalian,” bertanya
seorang yang berwajah kaku seperti tengkorak hidup
dan berambut panjang.
“Telah berjalan sesuai dengan perintah, Kiai,”
jawab seorang yang berambut pendek dengan tiga
bundaran bekas luka di kepalanya.
“Dan sebentar lagi emas-emas itu pasti akan
pindah ke kantong kita, Kiai,” sela si orang ketiga
yang berhidung besar dan bergigi besar-besar.
“Hus, belum-belum sudah mimpi!” bentak si ram-
but pendek. “Kita lebih dulu harus berhadapan
dengan satu kelompok prajurit berkuda!”
“Jaramala dan Pelang Telu! Coba kau ceriterakan
selengkapnya apa-apa yang telah kalian kerjakan!”
potong orang berwajah hantu yang tidak lain adalah
Ki Topeng Reges. “Nah, Jaramala ceritakanlah!”
“Baik, Kiai. Mula-mula kami menyamar ke Demak
dan kami mulai menyelidiki tentang kiriman emas
itu. Dua hari lagi, sepasukan berkuda akan lewat
dengan membawa seperti uang emas serta perhiasan
dari Gresik. Setelah berhasil kami mengetahui hal itu,
kamipun segera pulang, Kiai,” Jaramala menyelesai-
kan ceriteranya dengan menundukkan kepala,
seolah-olah takut memandang wajah hantu gurunya.
“Hua, ha, ha, ha, bagus kowe! Pancen kalian
murid-murid yang setia dan pintar!” seru Topeng
Reges tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya ter-
guncang-guncang. Begitu kuat tenaga dalamnya
sampai-sampai genting-genting atap berderekan
sedang dian api di meja pendek itu menjadi keder
apinya. “Kalian boleh berangkat besok pagi dan bawa-
lah beberapa orang kawan yang perlu. Bunuh semua
prajurit Demak yang mengawalnya, kemudian ram-
pas emas itu.”
Ki Topeng Reges berhenti sejenak serta meman-
dangi kedua muridnya. “Emas itu akan kita gunakan
untuk menyusun kekuatan melawan Demak.”
“Kami sudah mengerti, Kiai. Dan emas itu pasti
akan pindah ke tangan kita segera!” sahut Pelang
Telu mantap. “Biar mereka rasakan sepak terjang
murid-murid Ki Topeng Reges dari Watu Semplak.”
“Hmmm, begitulah harapanku kepada kalian
berdua, sebab toh kalian juga yang akhirnya harus
meneruskan Perguruan Netra Dahana ini!” ujar Ki
Topang Reges. Kemudian ia berhenti sejenak mere-
nungi halaman yang terang-benderang bermandi
sinar bulan.
Dari kejauhan terdengar raungan anjing-anjing liar
yang mengumandang di lereng timur Gunung Muria.
Terkadang bersahut-sahutan dengan raungan dari
arah lain, sehingga keseraman hutan itu bertambah
tambah.
Suara binatang-binatang malam lainnya pun tak
kalah seramnya. Ocehan burung hantu serta gangsir
dan jengkerik atau sebentar-sebentar dering orong-
orong melengkapi irama keramaian malam purnama
itu.
“Dengarlah raungan serigala-serigala itu yang me-
nyambut sinar bulan purnama,” Ki Topeng Reges
berkata. “Sekarang marilah kita berlatih silat untuk
menghadapi tugas kalian besok pagi!”
“Baik, Kiai,” ujar Jaramala dan Pelang Telu berba-
reng. Kemudian ketiga orang itu melangkah keluar
menuju ke halaman rumah yang merupakan padang
alang-alang dikelilingi oleh pohon-pohon sawo dan
beringin berdaun lebat.
Bunyi dering orong-orong gangsir dan jengkerik
terbisu seketika bila di halaman itu telah dipenuhi
oleh sambaran-sambaran serta deru-deru pukulan
dari ketiga orang itu. Ketiganya bergerak dan ber-
tempur amat cepat hingga yang nampak hanyalah
bayangan-bayangan hitam yang saling berkelebatan
seperti hantu malam berebut mangsa, diseling oleh
jerit-jerit bersemangat dan pekikan-pekikan berlaga
menambah ketiganya makin seru mengadu tenaga.
“Heeaat!” teriak Pelang Telu menyabet Ki Topeng
Reges dengan sisi telapak tangannya yang sekeras
batu karang ke arah kepala Ki Topeng Reges.
Si wajah hantu merunduk sambil berseru lantang,
“Tidak kena! Hee, Pelang Telu, kau kurang cermat!
Lihat nih, pertahananmu lowong!”
Ki Topeng Reges yang memperingatkan Pelang Telu
itupun sambil mencablek muridnya dengan ujung jari
tangannya, namun hal itu terasa oleh Pelang Telu
bagai sengatan puluhan kalajengking yang nyeri sam
pai ke ujung ubun-ubun.
Sementara itu sebuah bayangan berkelebat menye-
rang si wajah hantu dengan tendangan melayang di
udara menyambar kepalanya. Ki Topeng Reges cukup
waspada dan menyambut tendangan itu dengan
kedua telapak tangannya menahan serangan.
Buuk!
Kaki Jaramala yang menyambar itu membentur
telapak tangan gurunya dan seketika ia terpelanting
ke belakang putar balik.
Untunglah ia termasuk murid pilihan dari Ki To-
peng Reges, pendekar hitam berwajah hantu. Maka
begitu ia terpelanting, segera ia mengerahkan tenaga
dalamnya dan mendarat di atas tanah dengan kedua
belah kakinya lebih dulu.
“Kau cukup baik!” teriak Ki Topeng Reges.
Jaramala dan Pelang Telu yang merasa gagal
serangannya, cepat-cepat bersiaga dan menyerang
berbareng ke arah Ki Topeng Rages dengan pukulan
tangannya dengan cepat.
“Hyaat!” Ki Topeng Reges berteriak dan tubuhnya
melesat ke udara, maka sebelum kedua pukulan itu
mengenai sasarannya, si sasaran telah menghindar
ke atas lebih dulu.
Kedua murid itu tidak putus asa, dengan cepat
mereka menyerang kembali ke arah gurunya selagi Ki
Topeng Reges masih mengambang di udara. Namun
betapa kagumnya mereka bila Ki Topeng Reges masih
bisa menghindar dengan melesat lebih tinggi lagi dan
tahu-tahu ia telah nongkrong di atas sebuah cabang
pohon beringin.
“Nah, sekarang hati-hatilah kalian!” seru Ki Topeng
Reges sambil melesat turun ke bawah dengan kedua
tangannya mengembang. Tubuhnya merupakan sinar
yang berkelebat dan tahu-tahu Jaramala dan Pelang
Telu terkena totokan jari-jari Ki Topeng Reges.
Keduanya seketika terjengkang ke tanah dengan
meringis menahan sakit.
“Hua, ha, ha, ha. Jangan kuatir, anak-anak. Nih,
kusembuhkan rasa sakitmu,” ujar sang guru sambil
mengurut punggung kedua muridnya dan keduanya
segera sembuh kembali.
Setelah memberi petunjuk-petunjuk, Ki Topeng
Reges dengan kedua muridnya itu kembali melanjut-
kan latihannya. Ketiganya bertempur kembali dengan
dahsyat, seolah-olah bukan latihan lagi, tetapi ber-
tempur sungguh-sungguh.
Latihan itu berjalan sampai tengah malam meng-
habiskan puluhan jurus. Kalau kedua muridnya itu
telah mengucurkan keringat dinginnya, Ki Topeng
Reges sendiri malah sebaliknya, ia nampak semakin
segar dan beringas.
Akhirnya setelah Ki Topeng Reges merasa puas
dengan kedua muridnya, maka latihan itupun disu-
dahi. Diam-diam si wajah hantu itu memuji kedua
muridnya dan yakinlah kalau Jaramala dan Pelang
Telu akan bisa menyelesaikan serta membereskan
sekelompok pasukan berkuda dari Demak serta
merebut emas itu.
Ketiganya masuk kembali ke dalam rumah dan Ki
Topeng Reges menuangkan sebuah belanga kecil ke
atas tiga pinggan tembikar. Sebuah cairan hijau
kecoklatan mengalir ke atas pinggan itu sampai
penuh.
“Nah, Jaramala dan Pelang Telu. Ayo kita minum
jamu ini agar badan kita segar kembali,” ujar Ki
Topeng Reges mempersilahkan kedua muridnya.
Ketiganya berbareng mengambil pinggan berisi
jamu itu. Ki Topeng Reges sambil mengangkat
pinggan itu, ia melangkah ke jendela dan setengah
menguakkan topengnya sedikit, ia meminum jamu
itu.
Perbuatan Ki Topeng Reges itu tidak begitu meng-
herankan bagi Jaramala dan Pelang Telu, sebab mes-
kipun mereka belum pernah mengenal wajah di balik
topeng seram itu, mereka sudah puas menjadi murid
Ki Topeng Reges. Bagi mereka tidak peduli seandai-
nya wajah asli gurunya itu tampan ataupun jelek.
Dan memang murid-murid Ki Topeng Reges itu tak
ada yang berani mencoba menatap wajah hantu gu-
runya.
Malam makin bertambah larut dan bulan lebih
jauh bergeser ke arah barat mendekati cakrawala,
seperti seorang putri yang berjalan kelelahan menuju
ke tempat peraduannya untuk melepaskan lelah.
“Kiai, apakah kami diperbolehkan tidur sekarang?”
kata Jaramala memecah keheningan.
“Eeeh, ya, ya, aku lupa. Baiklah, kalian boleh
beristirahat sekarang!” jawab Ki Topeng Reges.
Setelah sesaat kedua muridnya itu pergi, Ki Topeng
Reges melangkah ke kamarnya untuk beristirahat
pula. Matanya yang cekung tajam itu masih menatap
sebuah kotak kayu berukir di dekat balai-balai.
Sambil merebahkan diri, kotak kayu itu diraih
serta dibukanya dan tampaklah lembaran-lembaran
kertas serta sebuah lopian, kaca bulat yang biasa
digunakan untuk berkaca dan berhias.
“Hmmm, sayang sekali bahwa aku hanya sempat
memiliki beberapa lembar halaman kitab hijau milik
Landean Tunggal. Namun inipun sudah merupakan
puncak dari ilmu kitab hijau itu. Dengan hanya
beberapa lembar saja, terlahirlah ilmu Netra Dahana
yang dahsyat. Selama orang lain tak membaca hala-
man-halaman ini, tak seorang pun akan berhasil
mengalahkan aku,” Ki Topeng Reges berkata-kata
sendiri di dalam hatinya sambil membuka lembaran-
lembaran kertas itu serta lopian kaca yang diamat-
amatinya. “Dan kaca bulat ini yang nampaknya
sepele, sesungguhnya merupakan senjata ampuh,
tapi juga merupakan benda yang berbahaya bagi ilmu
Netra Dahana. Hhh, tak perlu ada yang kukuatirkan
memasuki kamarku ini. Bahkan murid-muridku pun
tidak berani, sebab kamar ini penuh rahasia serta
maut bagi setiap orang, kecuali aku sendiri Ki Topeng
Reges!”
Ki Topeng Reges kemudian kembali menyimpan
kedua benda yang amat berharga itu ke dalam peti
kayu berukir. Matanya terasa berat dan lelah. Kemu-
dian si wajah hantu itupun merebahkan dirinya ke
balai-balai.
Di luar, dua orang murid Ki Topeng Reges yang
lain tampak menjaga rumah itu. Mereka duduk-
duduk di halaman depan. Tapi sebetulnya merekapun
tak perlu takut sebab tempat itu terkenal sebagai
sarang setan dan demit, hingga tak seorang luarpun
berani menginjak Watu Semplak, pusat Perguruan
Netra Dahana di lereng timur Gunung Muria.
***
Burung-burung murai berkicau menyambut sinar
matahari pagi di sebuah jalan yang membujur di
selatan Gunung Muria. Sebuah jalan yang sering
dilalui oleh lalu lintas orang. Gerobak-gerobak sapi
dan pasukan-pasukan peronda dari Demak. Jalan itu
hampir membujur di sepanjang pantai utara Jawa,
sehingga hubungan antara Demak sampai ke barat,
daerah Cirebon, dan ke timur sampai bandar Gresik
menjadi sangat lancar.
Seiring tercampaknya sinar-sinar matahari pagi,
dari arah timur muncullah pasukan-pasukan ber-
kuda sebanyak satu kelompok. Yang terdepan dua
orang, berperawakan kekar memakai baju kutang tak
berlengan berikat kepala merah. Di belakangnya,
seorang berkuda menggandeng seekor kuda beban
bermuatan sebuah peti kayu dengan hiasan logam
berukir. Sedang di belakangnya lagi masih terdapat
enam orang berkuda bersenjata tombak.
“Adimas Aldaka, lihatlah di sebelah utara itu. Gu-
nung Muria bermandi sinar matahari. Dan puncak-
nya tampak jelas, seolah-olah terlalu dekat untuk
dicapai dengan tangan kita,” ujar seorang berkuda
paling depan kepada temannya di sebelah.
“Ah, kau ini ada-ada saja, Kangmas Gajah Sela,”
sahut teman di sebelahnya. “Sebagai pemimpin pasu-
kan ini, hal itu mungkin bisa kau lakukan. Tetapi
kalau saya hanya mampu memegang puncak gu-
nungan wayang kulit itu saja, Kangmas.”
Oleh jawaban temannya yang bernama Aldaka itu,
Gajah Sela serentak tertawa terkekeh-kekeh geli.
“Hi, hi, hi, kau punya bakat membanyol, Adimas
Aldaka. Pantaslah kalau Dimas menjadi anggota
dagelan dan pasti orang-orang akan kaku perutnya
mendengar leluconmu.”
Aldaka juga ikut tertawa, kemudian pula disusul
oleh ketujuh orang di belakangnya, ketika mereka
mendengar percakapan antara pemimpin pasukan
dan wakilnya.
Karena kelucuan Aldaka, perjalanan mereka
menjadi selalu segar, sehingga jarak yang melelahkan
dari Gresik menuju ke Demak terasa lebih dekat.
Pasukan berkuda itu terus menempuh perjalanan
menuju ke arah barat melewati jalan yang dinaungi
oleh pohon-pohon kenari dan munggur.
Meskipun dalam perjalanan itu Aldaka yang ber-
tubuh kekar tapi sedikit gemuk senantiasa membuat
suasana segar dengan dagelan-dagelannya, namun
matanya yang setajam elang itu selalu mengawasi
jalan di mukanya serta menembusi kelebatan semak
belukar di sekeliling jalan.
Demikian pula dengan si Gajah Sela yang ber-
tubuh tinggi dan kekar. Matanya yang bulat itupun
sibuk mengawasi jalan di mukanya. Sebagai pemim-
pin pasukan ia bertanggung jawab terhadap kesela-
matan anak buahnya dan juga terhadap barang yang
dikawalnya. Seperti uang emas dan perhiasan cukup
membuat orang akan ngiler untuk memilikinya, maka
untuk mengawalnya telah dipilih orang-orang yang
gagah berani. Mereka senantiasa patuh dan setia se-
hingga keamanan emas boleh ditanggung aman.
Tetapi jauh di sebelah barat sana, beberapa pasang
mata berkali-kali mengawasi ujung jalan di sebelah
timur dengan liarnya.
“Kakang Jaramala, apakah pasukan itu pasti lewat
disini hari ini?”
“Oh rupanya kau sudah tak sabar lagi, Adi Pelang
Telu. Tunggulah, mereka pasti akan lewat disini!” ter-
dengar jawaban Jaramala.
“Dengarlah angin yang bertiup ini. Kau dengar...
yah langkah-langkah kaki kuda dari arah timur?!” u-
jar Jaramala lagi dengan tenangnya, membuat Pelang
Telu terpaksa mengagumi ketajaman telinga sahabat-
nya.
“Kawan-kawan, bersiaplah dengan tugas kita!
Susunlah siasat yang telah kita rencanakan kemarin
dulu!” seru perintah Jaramala dan sebentar pula
berloncatanlah dari semak-semak sepuluh orang
yang berwajah ganas bersenjata pedang, golok dan
penggada serta panah tak ketinggalan pula.
“Nah, bersiap sekarang, lekas!” Sekali lagi Jara-
mala berseru dan sebentar pula mereka pada berlon-
catan kembali ke arah semak-semak di tepi jalan.
Hanya tiga orang yang masih tinggal di tengah
jalan tanpa senjata. Seorang di antaranya segera
menggeletak, sedang yang dua pura-pura berwajah
sedih sambil meratap-ratap. “Ooh, piye iki. Adikku
sakit payah. Aduh tak adakah orang yang menaruh
belas kasihan?”
“Bagus, bagus. Hua, ha, ha, ha. Kalian ternyata
pemain-pemain sandiwara yang ulung. Nah, teruslah
bersiap begitu sampai pasukan Demak itu tiba di
tempat ini!” seru Jaramala kegirangan sambil melon-
cat ke dalam semak-semak.
Suasana menjadi tegang serentak. Anak buah si
Jaramala yang bersembunyi di balik semak-semak itu
pada bergemuruh dadanya, seperti gemuruhnya de-
rap-derap kaki kuda dari arah timur yang berjalan
dengan enaknya tanpa sedikit pun tahu bahwa di
sebuah kelokan jalan di sebelah barat, bahaya yang
besar tengah mengintai dan menunggu mereka
dengan bayangan maut.
Tetapi dua orang yang berkuda paling depan itu
selalu mengawasi jalan di depannya dengan tajam.
“Adi Aldaka, kali ini kau harus hati-hati, Adi. Aku
dengar suara orang yang meratap di ujung jalan dari
arah barat,” Gajah Sela berbisik sambil mengangkat
tangan kanannya ke atas sebagai pertanda supaya
waspada kepada anak buahnya yang berada di
belakang. Mereka serentak bersiaga melihat isyarat
pemimpinnya.
“Betul dugaanmu, Kangmas Gajah Sela. Lihat di
sebelah sana!” ujar Aldaka seraya menunjukkan ta-
ngannya ke barat. “Tiga orang kelihatan berkerumun
di tengah jalan. Nampaknya seperti orang yang
kesusahan, Kangmas!”
“Betul Adimas Aldaka, tampaknya seperti orang
yang mendapat kesulitan!” bisik Gajah Sela. “Tetapi
jangan lekas percaya begitu saja, Dimas.”
“Eh, mengapa Kangmas?” ujar Aldaka heran men-
dengar kata-kata sahabatnya.
“Kadang-kadang apa yang kita lihat tidak seperti
apa yang kita duga,” jawab Gajah Sela. “Hatiku curi-
ga, Adik.”
“Maksud Kangmas?”
“Aku kurang percaya dengan mereka, Dimas. Lihat
saja dengan perawakan-perawakan mereka yang ke-
kar. Hal itu seperti tidak sesuai dengan apa yang
mereka kerjakan sekarang ini. Kalau saja temannya
itu sakit, bukankah mereka dapat menggendongnya
atau memikulnya?”
“Hmm, mungkin juga Kangmas, tapi apa yang
harus kita perbuat sekarang?” bertanya Aldaka.
“Kita jangan keburu mendekati mereka dulu. Biar
kita berhenti agak jauh, Dimas!” bisik Gajah Sela.
“Dan perintahkan anak-anak lebih waspada serta
siap dengan senjatanya!”
“Baik, Kangmas!” sahut Aldaka dan kemudian ia
cepat-cepat memberikan isyarat itu kepada ketujuh
prajurit di belakangnya.
Hal itu tentu saja membuat heran ketiga orang
yang berkerumun di tengah jalan serta orang-orang
lain termasuk Jaramala dan Pelang Telu yang ber-
sembunyi di balik semak-belukar. Siasat pencegatan
telah mereka atur rapi, tapi mengapa iring-iringan
pasukan Demak itu berhenti terlalu jauh? Mung-
kinkah mereka telah mengetahui rencana pencegatan
ini?
Dengus-dengus nafas mereka serta suara gemuruh
pada dada terasa mengalir lebih cepat. Sebenarnya
mereka telah tidak sabar untuk menunggu. Tetapi
Jaramala pemimpin mereka belum memberi perintah
menyerbu, sehingga mereka terpaksa masih tetap
mendekam di tempat persembunyian mereka masing-
masing dengan tangan-tangan yang gatal mengayun-
kan senjatanya.
Dan sementara ketiga orang yang bersandiwara di
tengah jalan itupun tampak kehilangan kesabaran-
nya. Mereka melihat pasukan Demak itu berhenti
terlalu jauh.
“Ooh, aduh. Tuan-tuan prajurit, mengapa Tuan-
tuan berhenti di situ. Apakah Tuan-tuan tidak
merasa iba melihat nasib kami ini?” terdengar salah
seorang berteriak sambil tangannya berserabutan
menunjuk ke arah temannya yang menggeletak di
tanah.
“Mengapa dengan kalian?” teriak Gajah Sela dari
kejauhan. “Apa yang telah terjadi?!”
“Tolonglah kami, Tuan. Adikku sakit payah dan
harus cepat-cepat kami bawa pulang ke rumah kami
di sebelah barat sana!”
“Tetapi mengapa tidak kalian angkat sendiri saja?
Bukankah tubuh-tubuh kalian cukup kuat untuk
membawanya?” Aldaka ikut menyahut pula.
“Badan kami sudah terlalu lelah, Tuan. Apakah
Tuan-tuan sebagai prajurit tidak menaruh belas kasi-
han kepada kami rakyat jelata yang tengah sengsara?
Bukankah Tuan-tuan sebenarnya juga bagian dari
rakyat dan harus melindungi rakyat.”
“Kalian memang benar! Kami juga berasal dari
rakyat dan pelindung rakyat. Tetapi rakyat yang
bagaimana, kalian harus tahu!” Seru Gajah Sela.
“Maaf Tuan-tuan. Kami tak mengerti pembicaraan
yang muluk-muluk.”
“Kami akan melindungi rakyat yang patuh dan
setia kepada negara! Sedang kalian aku sangsikan
akan kesetiaanmu kepada negara! Kepada Demak!”
Gajah Sela berteriak lebih keras sampai suaranya
mengumandang di sela-sela daun pepohonan di
sepanjang jalan itu.
“Heei, Tuan-tuan jangan sembarangan menuduh-
ku!” terdengar teriakan dari mereka. “Mengapa Tuan-
tuan dapat ngomong begitu?!”
Gajah Sela menggeram perlahan-lahan. “Kalian ja-
ngan coba-coba mengelabuhi kami dengan sandiwara
murahan itu. Berterus teranglah dan suruh temanmu
yang menggeletak, bangun dengan segera! Lekas!”
Alangkah terkejut ketiga orang itu, dan dasar
memang mereka sudah tidak sabar, maka orang yang
pura-pura menggeletak sakit di tengah jalan itupun
cepat-cepat bangkit berdiri, sambil bertolak pinggang
serta menggerundal tajam. “Persetan orang-orang
berkuda itu. Nantilah kulahap mentah-mentah
mereka!”
Melihat gertakannya berhasil, Gajah Sela tertawa
terbahak-bahak. Demikian pula dengan Aldaka yang
sering memandang sesuatu dengan rasa humor ikut
pula tertawa terkekeh-kekeh. “Ha, ha, ha, ada orang
sakit digertak kok bisa sembuh seketika. Memang
Kangmas Gajah Sela bisa menjadi dukun yang
ampuh?”
Prajurit-prajurit yang di belakang pun ikut tertawa
pula melihat kejadian itu.
“Nah, itu namanya orang baik-baik, suka berterus
terang. Dan sekarang kalau kalian memang laki-laki
sejati, ayo keluar semua dari semak belukar itu. Aku
dengar dengus-dengus nafas busukmu yang berbau
kejahatan dan ketamakan!” Gajah Sela sekali lagi
berteriak keras dan berbareng itu pula semua anak
buahnya telah bersiap siaga menghadapi segala
kemungkinan.
“Keparat! Kalian memang banyak mulut. Sekarang
terimalah hadiahmu!” terdengar teriakan lantang dari
mulut Jaramala, dan sejurus kemudian beberapa
anak panah telah melesat berluncuran dari busur
anak buahnya ke arah pasukan Demak.
Sungguh hebat serangan tiba-tiba itu, tetapi
prajurit-prajurit Demak tak merasa takut dengan
panah-panah yang beterbangan ke arah mereka.
Gajah Sela, Aldaka dan juga anak-anak buahnya
cepat bertindak. Kedua pemimpin yang berada di
depan itu segera melolos pedangnya dan diputarnya
dengan ketat melindungi tubuh mereka.
Tak! Tak! Trang!
Beberapa anak panah yang menyambar mereka
kena tersampok oleh tebasan pedangnya. Juga pra-
jurit-prajurit di belakang mereka sibuk menangkis
samberan anak-anak panah. Namun tiba-tiba ter-
dengar dua jeritan berbareng. Tiga orang prajurit
rebah di atas punggung kudanya dengan anak panah
yang menancap pada bahunya dan yang lain pada
pahanya.
Berbareng saat itu pula, kesepuluh orang anak
buah Jaramala telah berloncatan menyerang ke arah
prajurit-prajurit Demak yang telah kerepotan me-
nangkis hujan anak panah.
Sekonyong-konyong secara tiba-tiba tanpa
bersuara telah melesat sesosok tubuh manusia dari
arah utara jalan yang rimbun oleh semak-semak dan
kemudian tepat berdiri tegak di tengah jalan, sehing-
ga mau tidak mau anak buah Jaramala menghenti-
kan langkahnya karena terhadang oleh orang itu.
Orang asing itu mengenakan caping yang lusuh
oleh debu serta memegang tongkat kayu.
“Setan belang! Apa maksudmu berani menghadang
jalan ini!” teriak Jaramala sambil mendelik matanya.
“Hayo minggir ke tepi, lekas!”
“He, heh, heh, enak benar bentakanmu, sobat.
Bukan aku yang seharusnya minggir dari jalan ini,
tapi kau dan anak buahmulah yang harus minggat!
Tahu kau, sobat?!” ujar isi caping lusuh berdebu.
“Ooh, rupanya si caping bejat kepingin dijadikan
rempah-rempah, ya! Ayo anak-anak, jangan perduli-
kan orang ini! Bila menghalangi kita, cincang dia
lumat-lumat! Serbu!” teriak Jaramala dan seketika
merekapun menyerbu ke arah prajurit-prajurit
Demak.
Di saat itu pula si caping lusuh telah menggerak-
kan tongkat kayu, yang ternyata adalah sebilah
pedang yang berkilat oleh sinar matahari, kemudian
disabetkan setengah lingkaran dan seorang anak
buah Jaramala terpental bermandi darah.
“Eaaaah!”
Jerit serta teriakan berlaga segera memenuhi jalan
yang semula sepi lengang dan berlangsunglah per-
tempuran dahsyat. Tampaklah bahwa prajurit-praju-
rit Demak agak kerepotan juga menghadapi serangan
lawan yang lebih ganas dan haus darah.
Hal itu tak bisa dipungkiri mengingat tiga orang
temannya yang terkena anak panah telah jatuh dari
punggung kuda dan berkelojotan di tanah dengan
sesambat. Maka mereka sekarang tinggal enam orang
saja.
Gajah Sela dan Aldaka dengan gigih memutar
pedangnya dan menangkis setiap serangan lawan,
tetapi mereka menjadi terkejut apabila seorang pra-
juritnya telah rebah dari kudanya dengan dadanya
tertembus oleh pedang lawan sampai berlepotan
darah. Dan seorang anak buahnya yang lain telah
terluka pundaknya tapi masih terus gigih bertempur
melawan penyerang-penyerangnya. Suatu hal yang
membuat hati Gajah Sela makin terharu akan
keberanian dari prajurit-prajuritnya.
“Untunglah ada penolong yang datang. Orang ber-
caping itu memang hebat ilmu pedangnya,” berpikir
Gajah Sela penuh kagum. “Tapi siapakah dia?”
Gajah Sela terpaksa berjuang mati-matian mela-
wan Jaramala dan anak buahnya. Demikian pula
dengan Aldaka. Keduanya mengamuk ketika sebagian
prajurit-prajuritnya telah tak berdaya menghadapi
lawan. Kini mereka tinggal berempat melawan mu-
suhnya.
Matahari kian tinggi. Teriakan serta dentingan
senjata-senjata yang beradu telah mengumandang
dan sebagian terbawa oleh arus angin yang bertiup.
Ketika itu di sebelah barat laut tampaklah dua
orang yang berjalan menerobos hutan serta semak-
belukar dan ketika angin bertiup mengusap wajah-
wajah mereka.
Tiba-tiba yang terdepan menghentikan langkah-
nya. “Adik Pandan Arum, tunggu dulu! Aku mende-
ngar sayup-sayup teriakan orang serta bunyi senjata
beradu!”
“Dari arah mana, Kakang?” tanya si gadis yang
tidak lain adalah Pandan Arum.
“Dari sebelah tenggara, Adik,” kata Mahesa Wu-
lung sekali lagi sambil mempertajam telinganya. “Mari
kita datang ke sana, Adik. Siapa tahu kita dapat
memperoleh petunjuk-petunjuk yang berguna tentang
Ki Topeng Reges.”
“Baik, Kakang. Marilah!” ajak Pandan Arum dan
keduanya segera membelok ke arah tenggara menuju
sumber suara yang sangat menarik perhatian me-
reka.
Kedua pendekar sepasang itu dengan cepat berla-
rian meloncat-loncat dan menerobos kelebatan hutan
yang pekat. Sepintas lalu gerak mereka tak ubah dua
ekor kijang yang lagi berlomba lari, sangat lincah dan
cekatan. Semakin dekat suara-suara itu semakin
cepat mereka berlari dan hati mereka tambah ber-
debar-debar.
Mereka sibuk bertanya-tanya siapakah mereka itu
yang tengah berlaga. Sejurus kemudian keduanya
tiba di sebuah jalan yang lebar dan Mahesa Wulung
segera berhenti, lalu diikuti oleh Pandan Arum.
“Hah! Pasukan berkuda dari Demak dikeroyok oleh
perampok-perampok!” desis Mahesa Wulung dengan
kaget setengah geram.
“Diserang oleh perampok?!” seru Pandan Arum tak
kalah herannya.
“Tak keliru lagi, Adi. Nah, itu lihatlah sendiri di
sebelah timur jalan itu. Mereka tengah bertempur
dengan ramainya.”
“Ooh, lihat Kakang. Pasukan Demak sudah
sebagian tak berdaya. Tinggal empat orang lagi yang
masih bisa bertempur,” seru Pandan Arum dengan
cemas.
“Yah, kita harus membantunya cepat-cepat, Adik.
Tapi... eh siapa orang bercaping itu yang bertempur
di pihak Demak? Hmm, musuh keliwat banyak. Nah,
Adik Pandan Arum, tinggallah engkau disini. Biar aku
yang terjun ke dalam pertempuran itu!” ujar Mahesa
Wulung sambil mengeluarkan selembar sapu tangan
segitiga yang lebar berwarna biru laut berhiaskan
gambar makara kuning emas. “Mereka pasti akan
terkejut dengan kedatanganku ini!”
Mahesa Wulung lalu memakai kedok itu yang
menutup hidung dan mulutnya kemudian melolos
cambuk Naga Geni dari ikat pinggangnya.
“Hati-hati, Kakang,” bisik Pandan Arum mesra.
“Aku menunggumu disini.”
Dengan tersenyum Mahesa Wulung mengangguk
dan segera diputarnya cambuk Naga Geni di udara.
Dar! Dar! Dar! Tiga ledakan cambuk yang dahsyat
memekakkan telinga mengumandang di udara seke-
liling dan mereka yang tengah bertempur itu berhenti
seketika seperti terkena pukau sihir yang hebat.
Belum lagi mereka sadar akan asal-usul ledakan
itu, tahu-tahu sesosok bayangan berkelebat dari ba-
rat laut dengan memutar sebatang cambuk berkilat-
kilat kebiruan dan mendarat dengan enaknya di
dekat mereka tanpa menimbulkan suara.
“Barong Makara!” teriak mereka berbareng.
Kalau prajurit-prajurit Demak gembira melihat
kedatangan Pendekar Barong Makara yang dikenal
sebagai tokoh pembasmi golongan hitam, sebaliknya
dengan Jaramala dan anak buahnya, dalam batin
mereka mengumpat dengan perasaan cemas sebab
mereka pernah mendengar akan sepak terjang dan
kesaktian pendekar berkedok ini dari murid Ki
Topeng Reges yang bernama Rikma Rembyak.
Tapi mereka adalah anak buah Ki Topeng Reges
yang namanya juga ditakuti oleh setiap orang, hingga
mereka tak mau begitu saja memperlihatkan kelema-
han dirinya. Biarpun mereka cemas, tapi segera
berloncatan menyerbu ke arah Mahesa Wulung atau
si Barong Makara.
“Kawan-kawan! Ini ada mangsa baru yang meng-
antarkan nyawa. Ayo cincang dia ramai-ramai!” teriak
garang Jaramala memerintah anak buahnya yang
segera pula berbareng menyerang.
Mahesa Wulung tak merasa gentar menghadapi
empat orang lawan yang mengeroyok dirinya. Senjata-
senjata lawannya yang begitu ketat mengurung
dirinya terlihat sebagai lingkaran sinar yang bergu-
lungan menyerang sangat ganas.
Gajah Sela dan Aldaka sedikit merasa lega dengan
kedatangan Mahesa Wulung. Dengan begitu tekanan
serangan-serangan terhadap mereka sedikit berku-
rang. Dalam hati kecilnya, keduanya merasa kagum
terhadap pendekar ini. Mereka mengenal nama
Barong Makara sebagai tokoh pendekar laut dari
armada Demak dan baru kali inilah mereka sempat
berjumpa muka.
Gerakan Mahesa Wulung sungguh membikin kecut
hati para pengeroyoknya. Telah berkali-kali senjata-
senjata pedang mereka berkelebat menyambar tubuh
Mahesa Wulung, namun setiap kali mereka terkejut
apabila pedang-pedang mereka sama sekali tak me-
nyentuh lawannya. Dari gerakan-gerakan serta cara
membebaskan diri, tahulah mereka bahwa orang itu
sebenarnya orang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka Jaramala dengan anak
buahnya bertambah gelisah dan marah. Maksudnya
untuk merampok emas belum lagi berhasil, dan
sekarang mereka mendapat dua orang lawan yang tak
bisa diremehkan begitu saja.
Kedatangan orang bercaping dan disusul oleh
orang yang berkedok itu tidak mereka duga sama
sekali. Kalau semula mereka tahu, pastilah Ki Topeng
Reges akan ikut melakukan pekerjaannya dan orang-
orang itu pastilah akan dapat ditumpasnya dalam
saat yang pendek.
Jaramala makin memperketat serangannya dan
bersama anak buahnya ia sudah bertekad untuk
mengganyang orang berkedok yang telah mengham-
bat pekerjaan mereka. Ternyata orang berkedok yang
hanya bersenjata cambuk itupun memperhebat pula
putaran senjatanya.
Memang Mahesa Wulung atau Barong Makara
merasakan betapa para pengeroyoknya makin mem-
pergencar serangannya. Maka bila ia menambah
hebat gerakannya, perbandingan tingkat jurus-jurus
pertempuran mereka akan tetap sama, yaitu Mahesa
Wulung ada di tingkat lebih atas daripada Jaramala,
bahkan dapat selalu mengimbangi setiap serangan
yang membenturnya.
Yang pasti para pengeroyoknya makin gelisah,
apalagi mereka melihat cambuk lawannya bertambah
mendesing-desing bergulungan bagai ombak Laut
Kidul yang mampu memukul tebing-tebing karang
terjal dan sedikit demi sedikit akan merontokkannya.
Begitu pula dengan Jaramala dan anak buahnya.
Cambuk itu kemudian melecut dengan ledakan yang
memekakkan telinga dan tahu-tahu seorang anak
buah Jaramala terpental keluar dari lingkaran per-
tempuran serta terhuyung-huyung memegangi kepa-
lanya yang hangus bagai batu terbakar. Orang ini
kemudian rebah dan mati.
Melihat temannya seketika mati oleh sambaran
ujung cambuk itu, para pengeroyok Mahesa Wulung
terpekik kaget. Tak nyana mereka, bahwa cambuk
lawannya begitu hebat, mampu menghanguskan sa-
sarannya tak ubahnya sambaran sebuah halilintar.
Daar! Sekali lagi cambuk Naga Geni di tangan
Mahesa Wulung meledak dan seorang korban lagi
terpelanting di atas tanah, mati.
Sementara itu tak jauh dari Mahesa Wulung, si
pendekar bercaping kelihatan begitu enaknya melaya-
ni setiap orang lawannya. Pelang Telu yang ikut
mengeroyoknya, terpaksa berkali-kali menggerundal,
sebab setiap tebasan pedangnya dan juga tebasan-
tebasan golok anak buahnya selalu berhasil dihindari
oleh si caping lusuh.
Yang membikin jengkel Pelang Telu ialah serangan
dan ejekan orang bercaping ini. Setiap kali berhasil
menghindari serangan-serangan mereka, ia senan-
tiasa berkelakar.
“Hup, tebasanmu kurang mampu, sobat! Nah
boleh coba lagi sekarang! Mari! Yaaah, masih kurang
kena. Kalian masih harus bertekun lagi. Dan seka-
rang lihat, aku beri contohnya! Hyaat!”
Pendekar bercaping menebaskan pedangnya mene-
robos sambaran senjata-senjata mereka dengan bunyi
mendesau dan selanjutnya sebuah jeritan panjang
keluar dari mulut seorang anak buah Pelang Telu
yang menganga dengan gigi bertonjolan. Orang itu
hanya terluka panjang akibat sambaran ujung pe-
dang pendekar bercaping. Namun sesaat kemudian
luka kecil panjang yang nampak sepele tadi tiba-tiba
membuka, diiringi menyemburnya darah merah segar
dari dalam.
Belum sempat Pelang Telu dan anak buahnya
menolong kawannya tadi, tiba-tiba pedang orang
bercaping ini kembali beraksi.
“Nah, sobat-sobat baik! Ini contoh berikutnya!”
Kilat pedangnya kembali menebas dan korban kedua
roboh tak bernyawa.
Tetapi Pelang Telu serta anak buahnya bukan ter-
masuk orang-orang penakut, sebab mereka telah
digembleng oleh gurunya, Ki Topeng Reges. Mereka
menyadari bahwa dalam setiap pertempuran selalu
terjadi dua kemungkinan. Menang atau kalah, ter-
bunuh atau membunuh dan menghancurkan atau
dihancurkan oleh lawan. Maka mereka tetap merang-
sak kepada pendekar bercaping dengan putaran-pu-
taran golok dan pedang-pedang mereka.
Di sebelah lain, Gajah Sela dan Aldaka serta seo-
rang prajurit lagi sibuk melayani serangan-serangan
anak buah Jaramala. Mereka pun terlibat dalam
perang tanding yang cukup hebat.
Di tengah-tengah pertempuran yang berkecamuk
dahsyat, seorang prajurit berkuda yang bertugas
menggandeng kuda beban bermuatan emas, tampak
sedikit demi sedikit menjauhi titik pertempuran. Me-
mang dia telah diserahi tugas untuk menjaga kuda
beban itu sehingga apapun yang diperbuatnya ia tak
dapat dipersalahkan. Jika seandainya ia meninggal-
kan titik pertempuran tersebut, bukan berarti ia
seorang pengecut, apalagi ia telah meninggalkan
kawan-kawannya yang tengah bertempur.
Namun satu hal yang agak mengherankan, entah
sengaja atau tidak, bahwa para perampok-perampok
tadi, yakni Jaramala dan anak buahnya tak pernah
mengusik prajurit tadi yang menggandeng kuda ber-
muatan emas. Malahan mereka seolah-olah menghin-
darkan diri dari prajurit tadi serta membiarkannya
sendirian tanpa ada yang mengganggu.
Begitulah prajurit tadi terus menggeser ke arah
barat menjauhi titik pertempuran, dan bila dirasanya
telah cukup aman, ia segera memacu kudanya.
Melihat hal ini, Gajah Sela yang tengah bertempur
itu menjadi kaget dan heran. Sebagai pemimpin pasu-
kan ia tak pernah merasa memberi perintah untuk
membawa lari emas itu, sebab ia yakin kalau peram-
pok-perampok ini sebentar lagi bisa dikalahkan,
terutama dengan kedatangan kedua penolongnya.
Maka begitu ia melihat anak buahnya berpacu ke
arah barat, Gajah Sela segera berteriak keras-keras.
“Heei, Dangsapati! Berhenti! Mau lari kemana
kau?” Gajah Sela berteriak dengan perasaan penuh
tanda tanya.
Tapi ternyata prajurit itu tak menggubris teriakan-
nya, dan ia tetap melarikan kuda-kudanya ke arah
barat. Betapa jengkelnya Gajah Sela! Sebagai pemim-
pin pasukan, baru kali ini ada prajuritnya yang mau
berbuat sembrono serta berani menentang perintah-
nya. Akan dibawa kemana emas itu, ia tak tahu.
Sungguh mencemaskan hatinya atas tindakan si
Dangsapati yang nekat, tetapi lebih mengejutkan lagi
ialah lawannya bertempur yang tertawa terkekeh-
kekeh menyakitkan telinga.
“Heh, heh, heh, heh, heh, biarkan ia menyelamat-
kan emas itu. Tanggung aman. Jangan pedulikan dia.
Yang penting kau harus mati di ujung golokku ini!”
Mendengar perkataan lawannya, Gajah Sela terhe-
nyak kaget dan kemudian ia menggeram, “Keparat!
Kau anggap aku orang apa, heh?! Mari tunjukkan
permainan golokmu!”
Bersamaan rampungnya kata-kata Gajah Sela,
lawannya segera menyerang dengan putaran goloknya
secepat pusaran angin siap melanda dirinya. Untung
Gajah Sela selalu waspada, dan begitu serangan golok
lawan melibas dirinya, segera pula ia menebaskan
pedangnya secepat angin untuk memapaki serangan
lawan.
Craaang!
Bunyi benturan kedua senjata sangat nyaring
disertai percikan bunga-bunga api dan kedua-duanya
tergetar surut. Akibat dari benturan itupun sangat
hebat. Betapapun uletnya Gajah Sela namun ia ter-
paksa meringis ketika jari-jari tangan yang meng-
genggam pedang terasa nyeri, panas. Demikian pula
lawannya yang bersenjata golok tadi, selain tangan-
nya nyeri iapun terpental jatuh ke tanah bergulingan.
Gajah Sela tak mau melepaskan kesempatan baik
ini. Segera ia memburu lawannya yang tengah
bergulingan di tanah, dan kemudian mengirimkan
sebuah tebasan pedangnya.
Rupa-rupanya lawannya itupun termasuk orang
pilihan sebagai murid perguruan Netra Dahana dari
Watu Semplok. Maka ketika ia merasa angin tebasan
pedang Gajah Sela, cepat-cepat melentingkan dirinya
ke belakang beberapa langkah, hingga pedang Gajah
Sela hanya sempat membacok tanah dan rerum-
putan. Karuan saja ia menggeram jengkel.
“Heh, heh, heh, jangan mimpi terlalu pagi untuk
merobohkan Trebis dari perguruan Netra Dahana!”
terdengar lawan Gajah Sela menyambung.
“Setan! Jangan cepat besar kepala dengan lon-
catan-loncatan seburuk anjing kudisan. Sekarang
terimalah permainan puncak dari ilmu pedang ini,
Hyaat!” Gajah Sela menerjang dengan hebat ke arah
lawannya dengan sebuah tusukan yang menentukan.
Melihat hal itu, Trebispun segera bersiap-siap
dengan putaran goloknya.
Sementara itu, Dangsapati yang melarikan kuda ke
arah barat tidak mengira bahwa dari semak belukar,
sepasang mata sejernih air sendang tapi setajam
mata elang, telah mengawasi seluruh gerak-geriknya.
Dan kemudian Dangsapati dikejutkan oleh melesat-
nya satu bayangan berjumpalitan di udara dan men-
darat tepat di hadapannya, dari arah semak belukar!
Bayangan tadi ternyata seorang gadis yang kini
menghadang di tengah jalan, menyebabkan Dangsa-
pati terpaksa menghentikan kedua kudanya sambil
berteriak-teriak.
“Hee, bocah ayu, siapa kau! Dan apa maksudmu
menghadang di tengah jalan?”
“Hmmm, aku heran dengan kelakuanmu ini.
Meninggalkan kawan-kawan yang telah mati-matian
menyabung nyawa! Mau kau bawa kemana emas
itu?!” bentak si gadis yang tidak lain adalah Pandan
Arum.
“Persetan dengan kawan-kawanku. Mereka telah
punya urusan sendiri dengan orang-orang perampok
itu. Demikian pula aku punya urusan sendiri dengan
emas ini. Aku akan menyelamatkannya.”
“Haaa, menyelamatkan emas itu untuk kantongmu
sendiri? Aku agak curiga dengan kau! Lagak bicara-
mu seolah-olah menunjukkan kalau kau bukan seo-
rang prajurit seperti mereka itu.”
“Ooo, kau jangan suka bermulut usil! Apa yang
saya kerjakan ini adalah urusanku sendiri, tahu?!
Dan orang lain tak usah campur tangan! Hayo
minggir dari jalan ini dan biarkan aku lewat dengan
leluasa!” Dangsapati berteriak.
“Bukan aku yang menyingkir, tapi kaulah yang
harus turun dari kudamu itu!”
“Hem, sayang kalau aku terpaksa menggunakan
kekerasan untuk menyingkirkanmu, cah ayu! Ooh,
mungkin kau menghendaki beberapa buah mata
uang emas? Baik! Itu akan kuberikan asal kau
menepi dari tengah jalan.”
“Cukup dengan ocehanmu yang busuk itu! Nah,
sekarang turunlah dari kudamu serta menurutlah
untuk kubelenggu!”
Perkataan Pandan Arum itu terdengar oleh telinga
Dangsapati bagai sengatan halilintar, membuat ia
benar-benar kehilangan kesabaran!
“Bagus, kalau kau berkeras kepala serta ingin
menangkapku. Cobalah!” tantang Dangsapati sambil
menyiapkan tombaknya.
Demikian pula Pandan Arum cepat-cepat melolos
selendang jingga dari ikat pinggangnya.
“Heh, heh, heh, rupa-rupanya kamu ingin terbang
serta lolos dari ujung tombakku ini! Percuma. Selagi
aku masih cukup bersabar, menyerahlah!”
“Heh, tidak semudah itu kenyataannya! Lihatlah
permainan selendang Sabet Alun!”
Begitu selendang jingga Pandan Arum melenggok-
lenggok berputaran semakin kencang, Dangsapati
terpaksa menelan ludah kecemasan dan cepat-cepat
ia mendahului menyerang dengan hunjaman tombak
ke arah Pandan Arum.
Dalam saat yang sama, tiba-tiba sebuah kilatan
sinar merah mencegat ujung tombaknya dan lang-
sung melibatnya dengan keras seakan-akan sebuah
belalai dari gajah.
Dangsapati kaget ketika tahu-tahu selendang si
gadis yang disangkanya remeh ternyata telah melibat
tombaknya, kemudian terasalah bahwa gadis itu
menghentakkan selendang tadi sangat keras.
Kraak! Tombak Dangsapati patah menjadi dua dan
seketika semangatnya hilang lenyap melihat keheba-
tan senjata lawan. Dengan segera ia melepaskan
tangkai tombaknya yang patah, serta memacu kuda-
nya kabur meninggalkan Pandan Arum.
Tetapi sayang sekali, sebelum ia sempat melak-
sanakan niatnya terlalu jauh, sekonyong-konyong
ujung selendang Pandan Arum telah melecut dan
menyambar kepala kudanya. Terdengarlah suara
ledakan disusul kuda Dangsapati memekik tinggi dan
roboh bersama penunggangnya. Kepala kuda itu
retak dan bermandi darah, sedang Dangsapati sendiri
tertindih pahanya oleh badan kuda.
“Ha, ha, ha. Sekarang beristirahatlah di situ seben-
tar!” Seru Pandan Arum seraya mengikat kembali
selendang jingga ke pinggangnya.
Sementara itu, ketika Jaramala melihat kemung-
kinan yang kecil untuk memenangkan pertempuran,
cepat-cepat ia memberi isyarat pada teman-temannya
untuk menarik diri dari pertempuran. Sebuah suitan
nyaring keluar dari mulutnya dan dengan serentak
Jaramala, Pelang Telu, serta sisa-sisa anak buahnya
berloncatan secepat angin meninggalkan titik pertem-
puran, dan sebentar saja mereka telah lenyap di balik
semak-semak belukar seperti hantu.
Mahesa Wulung masih berdiri di dekat pendekar
bercaping ketika Jaramala dan anak buahnya kabur
meninggalkan mereka. Gajah Sela segera pula men-
datangi kedua penolongnya dan menyatakan terima
kasihnya.
“Kami mengucapkan terima kasih yang tak ter-
hingga atas bantuan yang telah Kisanak berikan,”
ujar Gajah Sela serta mengangguk hormat. “Kemu-
dian, alangkah bahagianya bila saja Tuan-tuan sudi
menyebutkan nama serta berkenalan dengan kami.”
Pendekar bercaping itupun mengangguk dan mele-
pas capingnya, kemudian mengangguk pula dengan
hormatnya.
“Ki Camar Seta!” desis Mahesa Wulung sambil
menurunkan kedoknya.
“Oooh, Anakmas Mahesa Wulung! Syukur kita
masih bertemu dalam keadaan sehat-sehat. Aku telah
mendapat laporan bahwa Anakmas telah terjatuh ke
Jurang Mati ketika bertempur melawan Ki Topeng
Reges. Apakah Anakmas sehat-sehat saja?”
“Terima kasih, Bapak. Aku baik-baik saja,” ujar
Mahesa Wulung dengan hormatnya.
Mendengar nama kedua pendekar itu, Gajah Sela
berseru kagum, “Oooh, jadi Tuan-tuanlah yang
bergelar Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung pendekar
Demak yang terkenal. Maaf, aku tak segera mengenal
Tuan-tuan berdua karena aku jarang berada di
Demak, dan kami berkedudukan di Gresik.”
Di sebelah timur, Aldaka sibuk menolong prajurit
yang terluka, dibantu oleh seorang anak buahnya. Di
saat-saat yang begitu dapatlah terbayangkan kega-
nasan anak buah Ki Topeng Reges.
Di tengah-tengah kesibukan itu, dari arah barat
muncullah si Pandan Arum menuntun seekor kuda
beban yang bermuatan emas dan di depannya berja-
lan sempoyongan Dangsapati dengan terbelenggu tali
sekujur tangan dan dadanya.
“Ooooh, mengapa dengan orang ini, Adik?” seru
Mahesa Wulung kaget. “Bukankah ia seorang dari-
pada anak buah Kakang Gajah Sela ini?”
“Betul, Kakang. Tapi dia juga kaki tangan dari Ki
Topeng Reges, dan untuk ini ia telah mengaku
sendiri.”
“Haa?!” seru Gajah Sela dan Mahesa Wulung kaget,
tetapi Ki Camar Seta berkata dengan tenangnya. “Me-
mang tidak keliru! Dangsapati adalah cecunguk Ki
Topeng Reges. Ia sengaja menyelundup pada kita!”
“Dari manakah Bapak tahu?” sela Pandan Arum
tak habis herannya.
“Hal itu telah diketahui oleh Nara Sandi di Demak
dan kemudian aku dikirim kemari untuk mencegah
bahaya yang mengancam pengiriman emas itu!”
Mendengar ini Mahesa Wulung teringat kembali
akan kesatuan Nara Sandi yang mempunyai tugas
menyelidiki dan meneliti segala sesuatu yang bersifat
rahasia untuk menjamin keamanan negara. Dan juga
sebagai Wira Tamtama Demak, ia pun banyak menge-
nal sebagian dari tokoh-tokoh Kesatuan Nara Sandi,
seperti Sandi Pradangga, Wira Sengkala dan lain-
lainnya.
“Dan aku pun ditugaskan untuk membantu dan
mencari Anakmas Mahesa Wulung dalam usahanya
merebut catatan rahasia panah Braja Kencar yang
telah dilarikan si Rikma Rembyak,” ujar Ki Camar
Seta melanjutkan.
Gajah Sela yang mendengar uraian itu tidak nyana
bahwa persoalan itu menjadi begitu rumit. Dalam
hati ia kagum terhadap ketrampilan Kesatuan Nara
Sandi yang dapat mengetahui akan penyelundupan
Dangsapati dalam tubuh pasukannya, namun dalam
hati kecilnyapun ia menyesal bahwa dirinya sampai
tidak mengetahui ada musuh di dalam selimut.
“Bapak Ki Camar Seta, apakah kami akan melan-
jutkan perjalanan ke Demak sekarang juga?” ber-
tanya Gajah Sela kepada orang tua itu.
“Begitulah sebaiknya. Memang, di sebelah barat
sana ada sebuah rumah tua yang biasa dipergunakan
oleh prajurit-prajurit Demak beristirahat dalam me
nempuh perjalanan ke timur. Nah, kita nanti malam
akan singgah di sana untuk bermalam dan nanti
akan kusuruh beberapa orang penduduk untuk
merawat dan mengobati luka-luka anak buahmu.
Kemudian besoknya kita menuju ke Demak.”
“Terima kasih, Bapak,” ujar Gajah Sela.
Demikianlah, tak lama kemudian mereka bersiap-
siap serta berjalan ke arah barat. Sinar matahari
sudah tidak begitu panas lagi sedang angin siang
bertiup kencang mengusap dedaunan yang berkilatan
oleh sinar matahari.
***
LIMA
Raungan anjing-anjing liar mengumandang dari
tebing dan lereng-lereng pegunungan menyelusuri
kaki bukit Gunung Muria sebelah timur dan kemu-
dian bergulungan campur aduk dengan desah angin
sore, seperti nyanyian dan rintihan setan-setan yang
gentayangan mencari mangsa.
Di sebuah rumah tua, di dekat reruntuhan sebuah
candi, tampaklah tiga orang yang duduk saling ber-
hadapan seperti patung-patung. Yang berkedok han-
tu itu tampak menatap kedua orang di hadapannya
dengan pandangan yang setajam pedang, hingga
keduanya menunduk makin dalam.
“Heemm, jadi kalian pulang dengan tangan kosong
tanpa hasil sedikit pun, setan alas!” geram Ki Topeng
Reges kelihatan jengkel.
“Ampun, Kiai. Sayang sekali mereka telah dibantu
oleh dua orang pendekar yang muncul secara tiba-
tiba, sehingga pekerjaan kita terpaksa gagal.”
“Kalian memang anak-anak tolol. Bukankah Dang-
sapati sudah saya selundupkan ke dalam pasukan
pengantar emas itu?!” ujar Ki Topeng Reges.
“Betul Kiai. Tapi...”
“Tapi bagaimana?” Ki Topeng Reges memotong
“Dangsapati kan murid terbaik di antara kalian? Ada
apa dengan dia?!”
“Anu, ah, ketiwasan, Kiai,” Jaramala makin kecut
hatinya.
“Ketiwasan, kau bilang?!” bentak si wajah hantu
garang dan sekaligus melayangkan tangannya ke
arah mulut Jaramala.
Plak!
“Hiyuung! Aduh, tobat Kiai. Ampun!” rintih Jara-
mala sambil menutup mulutnya dan sesaat kemudian
dari sela-sela jari-jemari yang menutup mulutnya itu
mengalir dan menetes cairan merah ke atas lantai.
Begitu Jaramala melihat jari-jarinya, ia kontan mera-
ung panjang! Hatinya seakan-akan lenyap terbawa
raungan anjing liar di luar sana, ketika diketahuinya
bahwa bibirnya telah tersobek oleh tamparan Ki
Topeng Reges yang hanya sekali itu, dan darah merah
telah melepoti jari-jari tangannya.
“Hih, kapokmu kapan, kowe!” bentak Ki Topeng
Reges pula. “Ayo, lekas katakan di mana sekarang
Dangsapati itu?!”
“Dia, dia telah ditangkap oleh mereka, Kiai,” ujar
Jaramala setengah merintih karena masih merasakan
bibirnya yang robek oleh tamparan gurunya.
“Tertangkap?! Si Dangsapati itu bisa kena tangkap
oleh pasukan Demak?!” raung Ki Topeng Reges
dengan marahnya, dan bola matanya menjadi liar se-
perti hendak menelan kedua murid yang ada di
hadapannya. “Kurang ajar! Ini pasti gara-gara keda-
tangan kedua orang itu!”
“Betul, Kiai. Memang itu akibat kedatangan kedua
pendekar yang kemudian menolong orang-orang De-
mak itu, hingga pekerjaan kita gagal. Semula Dangsa-
pati sudah berhasil melarikan emas itu, namun dapat
dirampas kembali oleh mereka,” kata Pelang Telu
menjelaskan.
“Keparat!” desis Ki Topeng Reges dengan geram
dan dari balik topengnya terdengar suara berkereot-
kereot karena giginya yang saling bergesekan saking
jengkelnya. “Pelang Telu, coba ceriterakan ciri-ciri
kedua orang itu!”
“Baik, Kiai. Yang seorang memakai caping dengan
senjata tongkat pedang, dan orang yang kedua ber-
kedok pada mulutnya serta membawa sebatang cam-
buk yang menyala biru kehijauan,” ujar Pelang Telu.
“Barong Makara atau Mahesa Wulung!” geram Ki
Topeng Reges. “Dia adalah musuh besar kita. Rupa-
nya dia masih bisa selamat ketika terjatuh ke Jurang
Mati oleh seranganku. Hemm, betul-betul pendekar
gemblengan dia!”
“Begitulah, Kiai,” ujar Pelang Telu menegaskan.
“Memang sebenarnya kami akui kalau kedua pende-
kar itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi daripada
kami. Sehingga kekalahan kami bisa dimaklumi.
Kalau kedua orang ini tidak muncul, pastilah seluruh
pasukan itu musnah dalam waktu yang sekejap
mata. Sebab pada gebrakan pertama saja, hanya
tinggal empat orang prajurit yang masih bisa berdiri
dan melawan kami.”
“Hmmm, kedua orang itu harus kuhukum, karena
telah lancang mencampuri urusanku!” gumam Ki
Topeng Reges. “Di mana mereka sekarang, sewaktu
kalian tinggalkan?!”
“Masih di kelokan jalan itu, Kiai. Dan sebagian
besar telah terluka berat oleh senjata-senjata kami.
Pastilah mereka tidak akan langsung menuju
Demak.”
“Ya, mereka pasti akan singgah untuk merawat
orang-orangnya,” sahut Ki Topeng Reges menyam-
bung ujar si Pelang Telu. “Dan aku tahu, di sepanjang
jalan menuju Demak, terdapat beberapa rumah yang
sering disinggahi oleh pasukan-pasukan Demak.”
“Tetapi, Kiai. Apakah tidak terlalu berbahaya men-
cari mereka di sana?” sela Pelang Telu.
“Goblok! Aku akan ke sana malam nanti, supaya
pekerjaan bisa lebih lancar dan sekali ini mereka
tidak akan lepas dari tanganku!” Ki Topeng Reges
menggeram lirih, sedang kedua jari-jari tangannya
saling mengepal. “Nah, kalian tinggal di sini. Biar aku
sendiri mencari mereka.”
“Kiai, bolehkah aku ikut membantu mencari me-
reka,” usul Pelang Telu kemudian.
“Tidak usah! Aku sanggup menemukan mereka.
Daerah itu aku kenal baik-baik, seperti aku mengenal
halaman rumah ini!” jawab Ki Topeng Reges dan
kemudian ia bangkit serta menuju ke kamarnya.
Sementara itu, Jaramala dan Pelang Telu saling
bergelut dengan pikiran sendiri. Mereka merenungi
kejadian-kejadian yang baru saja lewat, seolah-olah
tergambar kembali pertempuran di belokan jalan keti-
ka mencegat pasukan pengawal emas itu. Keduanya
yang mula-mula merasa bangga ketika merobohkan
beberapa orang prajurit Demak dari kudanya, secara
tiba-tiba menjadi cemas dengan kedatangan kedua
pendekar yang melabrak mereka.
Langkah-langkah yang berat terdengar keluar dari
kamar, dan lamunan kedua orang itu menjadi buyar.
Tampaklah Ki Topeng Reges telah menggenggam dua
buah senjata yang berujud belati panjang yang me-
ngeluarkan sinar membara.
“Kiai Brahmasakti!” desis Jaramala dan Pelang
Telu berbareng, begitu pandangan mata mereka
menatap pada dua buah belati yang tergenggam di
tangan gurunya. Keduanya merasa kalau bulu
romanya merinding. Keampuhan Brahmasakti telah
mereka ketahui sejak dahulu, tak ubahnya keam-
puhan pusaka-pusaka sakti lainnya yang telah me-
reka dengar dari Demak seperti keris Condong Cam-
pur, Sangkelat, Tombak Kiai Plered dan sebagainya.
Tetapi Brahmasakti yang ada di tangan gurunya
itu agak lain. Belati panjang itu selalu mengeluarkan
sinar membara yang berhawa panas dan kekuatan-
nya menyamai bisa seratus ekor ular berbisa, hingga
lawan yang kena tersinggung saja pasti akan mati
dalam waktu yang tidak lama. Orang biasa saja
seperti diri mereka berdua itu boleh dipastikan tidak
akan tahan lama memegang kedua pusaka itu,
apalagi menggunakannya dalam pertempuran. Kalau
mereka melihat bahwa gurunya membawa kedua
pusaka kembar itu pastilah bisa diduga kalau lawan
dan musuh-musuh yang harus dihadapi oleh Ki
Topeng Reges itu, termasuk orang-orang yang berilmu
tinggi. Sebab kalau hanya lawan biasa saja pastilah
gurunya tidak perlu membawa Kiai Brahmasakti.
Dengan pancaran api ilmu Netra Dahana gurunya,
cukuplah untuk membinasakan lawannya.
Tetapi kali ini tidak, gurunya telah menggenggam
pusaka ampuhnya.
“Kalian tunggu saja. Kedua orang penghalang itu
pasti akan termakan oleh senjata ini!” Ki Topeng
Reges setelah menimang-nimang kedua pusaka itu,
lalu menyimpannya ke dalam baju serta melangkah
ke halaman. “Nah, aku berangkat sekarang!”
“Baik, Kiai,” ujar Jaramala dan Pelang Telu ber-
bareng.
Mereka menatap gurunya yang masih melangkah
dengan tegap ke halaman dan sesaat kemudian Ki
Topeng Reges menjejak tanah dan tubuhnya melesat
ke arah selatan seperti bayang-bayang dan lenyap di
keremangan senja. Beberapa ekor kelelawar terkejut
karenanya dan mencicit-cicit terbang berhamburan.
***
Sang rembulan sebentar-sebentar terselubung oleh
awan putih yang berarak-arak mengalir di langit,
membuat sinar yang menerangi tempat itu sebentar
terang dan sebentar gelap. Di rumah itu yang letak-
nya tidak jauh dari tepi jalan yang menuju ke arah
Demak, tampaklah beberapa ekor kuda yang ditam-
batkan pada tonggak-tonggak kayu. Di ruangan
tengah rumah itu tampaklah Pandan Arum sibuk
mengobati serta membalut para prajurit-prajurit yang
terluka parah. Untunglah ia memiliki kepandaian
tentang ilmu pengobatan dan jamu-jamuan ajaran
dari bibinya, Nyi Sumekar, sehingga ia dengan
mudah dapat memberi perawatan terhadap mereka.
Namun hatinya tak urung merasa cemas juga
sebab dua di antara prajurit-prajurit yang terluka itu,
dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Keduanya
terlalu banyak kehilangan darah dan lukanya pun
terlalu dalam pula.
Biarpun begitu, Pandan Arum dan juga Ki Camar
Seta telah berusaha sedapat-dapatnya. Sementara
Pandan Arum, Gajah Sela, dan Aldaka berada di
ruang tengah, di halaman rumah di dekat pagar
bambu kelihatan Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung
bercakap-cakap dan di sebelah lain, seorang prajurit
berdiri dengan menggenggam tombaknya untuk men-
jaga rumah itu.
“Anakmas Mahesa Wulung, dengan tewasnya
Empu Baskara dan kabar kematian Angger yang
terjatuh ke jurang itu telah membuat geger kalangan
armada Demak dan lingkungan istana. Itulah sebab
nya kesatuan Nara Sandi telah mengirimku kemari
dan juga dari Wira Tamtama. Angger Mas Karebet
telah berkenan untuk pergi menyelidikinya. Ternyata
peristiwa ini didalangi oleh Ki Topeng Reges dan
muridnya si Rikma Rembyak.”
“Begitulah, Bapak. Ki Topeng Reges tidak bisa kita
anggap lawan yang ringan. Ilmu Netra Dahana yang
dikuasainya sangat berbahaya bagi kita. Aku telah
melihat sendiri betapa dua orang anak buah Jorangas
telah terbakar hangus kepalanya oleh sambaran api
Ki Topeng Rages yang memancar dan menjilat dari
kedua matanya.” Mahesa Wulung berhenti sejenak
menarik napas. “Dan ilmu itu hanya bisa dihadapi
dengan lembaran-lembaran kitab hijau yang disim-
pannya.”
“Ooo, kitab hijau milik Landean Tunggal yang telah
Angger ceriterakan kepadaku itu?” sambung Ki Ca-
mar Seta.
“Betul, Bapak,” jawab Mahesa Wulung.
“Hmmm, sulit juga hal ini. Pasti Ki Topeng Reges
menyimpan barang itu pada tempat yang tersem-
bunyi. Sebab barang itu juga merupakan bagian
daripada nyawa dan hidupnya,” ujar Ki Camar Seta
pula.
“Namun betapapun sukarnya aku harus mencari
lembaran-lembaran kitab itu, Bapak,” sambung Ma-
hesa Wulung.
“Ya, memang itulah satu-satunya jalan untuk me-
ngalahkannya,” sambung Ki Camar Seta membenar-
kan. “Mari, Anakmas, kita masuk ke dalam. Malam
makin bertambah larut.”
Kedua orang itu segera masuk ke dalam dan di
luar semakin sepi. Malam telah memeluk bumi. Gu-
nung Muria, Jepara, Demak, Kudus dan seluruh
permukaan bumi telah menjadi kelam. Demikian pula
rumah yang disinggahi oleh mereka menjadi sepi dan
kelam.
Di dalam, Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung ikut
pula membantu Pandan Arum dalam merawat pra-
jurit-prajurit yang terluka. Hati mereka pada terharu
memandangi tubuh-tubuh yang terbaring luka itu,
namun merekapun berbangga bahwa prajurit-prajurit
itu telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Apabila malam semakin larut, tiba-tiba terdengar
sebuah jerit nyaring. Pandan Arum tersentak kaget.
“Dengar Kakang Wulung, suara apakah itu?”
“Ah, itu hanya suara pekikan burung hantu,”
jawab Mahesa Wulung seraya memegang pundak
gadis itu supaya tenang.
Namun tiba-tiba terdengar pula sebuah jeritan
pendek, dan Pandan Arum melangkah ke pintu. “Biar
aku keluar sebentar, Kakang. Aku ingin mengetahui
burung hantunya.”
Pandan Arum yang tiba di ambang pintu melihat
keluar.
“Ah, sepi-sepi saja!” pikirnya.
Tetapi ketika ia melihat ke sudut rumah, dilihatnya
prajurit jaga telah menggeletak di tanah. Maka iapun
secepat kilat berlari ke arah itu dan segera memerik-
sa prajurit itu.
“Hah, pingsan?! Jalan darahnya tertotok!” desis
Pandan Arum setelah memeriksa tubuh prajurit itu.
Inilah yang hebat. Sebuah totokan jalan darah
biasanya hanya mampu melumpuhkan orang, tetapi
tidak sampai seperti itu.
Baru saja selesai memeriksa orang itu, telinga Pan-
dan Arum yang cukup tajam telah menangkap bunyi
gemerisik halus di atas genting. Cepat ia menjumput
batu kerikil dan melemparkannya ke genting sambil
berseru, “Hei, siapa itu yang di atas genting?!”
Berbareng dengan teriakan itu sesosok bayangan
berkelebat turun dari atas genting dengan ringannya
seperti selembar daun kering dan tepat berdiri
dengan kokoh di depannya. Betapa kaget dan ngeri-
nya bila ia menatap bayangan yang telah berdiri di
hadapan itu. Sebuah wajah yang kaku seperti hantu
menghiasi muka orang itu dan kemudian rasa kaget
serta takutnya meledak. Pandan Arum menjerit
hebat.
Si wajah hantu yang tidak lain adalah Ki Topeng
Reges tertawa seram melihat gadis cantik itu menjerit
ketakutan.
“Heh, heh, heh, tak mengira bahwa di tempat ini
kutemukan bunga yang cantik! Tetapi sayang, kalau
kau termasuk kawan si Mahesa Wulung, engkau pun
harus mati di tanganku, cah ayu!”
Ki Topeng Reges maju mendekati Pandan Arum.
Tapi gadis inipun melangkah mundur dengan rasa
kecemasan.
“Berhenti, setan! Akulah tandinganmu!”
Mendengar teriakan itu, Ki Topeng Reges cepat
berbalik dan sambil menggeram hebat iapun bersiaga
ke arah suara itu.
“Hmm, kaulah yang aku cari! Sekarang berjong-
koklah di hadapanku ini untuk menerima hukuman-
mu!” Ki Topeng Reges berkata sambil mengacungkan
tangannya ke depan ke arah muka Mahesa Wulung.
“Bagus, kalau kau ingin menghukumku, cobalah!
Aku bukan anak ingusan yang patut kau takut-
takuti,” ujar Mahesa Wulung sambil bersiap.
“Haaait,” Ki Topeng Reges secepat kilat meloncat
menerkam Mahesa Wulung dengan kedua tangannya
yang mengembang seperti cakar-cakar setan.
Ia ingin melumpuhkan Mahesa Wulung dengan
gebrakan pertama dan kemudian membunuhnya
sekali. Namun alangkah kagetnya ketika dengan
gerakan secepat angin, lawannya berhasil lolos dari
terkamannya. Yang lebih mengagetkan lagi ialah
jurus yang dipergunakan oleh Mahesa Wulung itu. Ia
merasa pernah mengenalnya. Inilah yang membuat Ki
Topeng Reges ragu sejenak dan ketika ia mengingat-
ingat jurus yang dipakai oleh Mahesa Wulung tadi,
hatinya berdesir seketika.
Ya, ia mengingat jurus itu yang dulu dipergunakan
oleh Landean Tunggal, sahabatnya yang telah diku-
burnya di Jurang Mati. Mungkinkah Mahesa Wulung
yang dulu terjatuh di Jurang Mati telah menemukan
kitab hijau milik Landean Tunggal? Pertanyaan itu
yang berkali-kali bergema dalam otaknya. Tiba-tiba
dilihatnya Mahesa Wulung melolos pedang!
“Persetan!” desis Ki Topeng Reges. “Meskipun ia
sakti, tapi ia tak akan tahan dengan ilmu Netra Da-
hana!”
Ki Topeng Reges segera mengerahkan ilmunya dan
sebentar saja bola matanya menjadi kemerahan dan
berbareng kedua tangannya mengembang ke depan,
dua jilatan lidah api telah memancar dari matanya
serta menyambar Mahesa Wulung.
Sekali lagi Mahesa Wulung melesat ke udara dan
keduanya bertempur hebat saling melibat tak ubah-
nya dua pusaran angin prahara. Pandan Arum yang
mengikuti pertempuran itu merasa ngeri juga hatinya
berdebar-debar.
Mahesa Wulung yang agaknya merasakan kesem-
pitan tempat itu yang penuh pepohonan, segera
melesat ke genting dan Ki Topeng Reges pun menge
jarnya.
Di saat keduanya saling bertempur di atas genting,
sebuah bayangan lain menyusul melesat ke atas
genting. Melihat ini Pandan Arum semakin tertarik
dengan pertempuran itu. Ia pun menggenjotkan
kakinya ke atas tanah kemudian melesat ke genting
pula dengan enaknya.
Begitu tiba di genting, Pandan Arum segera dapat
mengetahui bahwa bayangan tadi adalah Ki Camar
Seta. Pandan Arum tak tinggal diam, ia segera pula
bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Tandang dan olah Ki Topeng Reges benar-benar
dilihatnya seperti hantu, dengan kedua tangannya
yang sebentar siap menerkam lawan di samping
lidah-lidah api yang memancar dari kedua bola
matanya. Tetapi ia terpaksa bekerja lebih keras lagi,
sebab lawannya bukanlah anak ingusan yang mudah
ditakut-takuti, bahkan ia merasa kagum tetapi juga
mengumpat bila pendekar yang semuda itu telah
mampu menandinginya.
Tiba-tiba Ki Camar Seta mengepungnya.
“Keparat! Si Caping kumal juga ingin bermain-
main denganku. Ayo, mulailah! Jangan hanya berdua
atau bertiga. Meski kau tumplak seluruh bala prajurit-
mu, aku tak akan lari dari sini!” terdengar Ki Topeng
Reges sesumbar dengan suara yang menggeledek.
Sampai sejauh itu Pandan Arum hanya melihat
pertempuran tadi dengan hati berdetak. Ia merasa
kagum akan ilmu meringankan tubuh ketiga pen-
dekar tersebut, yang kini terlibat berpusaran seperti
angin dalam pertempurannya. Betapa jadinya kalau
mereka tidak mengerahkan ilmu tersebut? Pasti
genting-genting itu akan berserakan pecah rontok ke
bawah!
Pertempuran berjalan semakin dahsyat! Ki Topeng
Reges yang dikerubuti dua pendekar jagoan itu
tampak semakin ganas. Dalam hati ia telah bertekad
untuk membinasakan kedua lawannya itu, karena
mereka telah berani menggagalkan maksudnya untuk
merampok emas.
Maka dengan segenap ilmu yang dimilikinya serta
dilengkapi oleh kemarahan yang memuncak, kedua
lawannya tersebut sebentar kemudian telah dikurung
dengan ilmu ampuhnya, Netra Dahana. Lidah-lidah
api yang panas dan liar segera menjilat dan menyam-
bar-nyambar tubuh Mahesa Wulung dan Ki Camar
Seta. Untunglah keduanya cukup memiliki kelinca-
han, sehingga tubuh mereka sebentar-sebentar me-
lenting ke udara untuk menghindari sambaran-
sambaran lidah api.
Tiba-tiba sambil menggeram Ki Topeng Reges
menggerakkan kedua tangannya ke balik baju dan
sebentar kemudian kedua tangan itu telah menggeng-
gam Kiai Brahmasakti, pusaka yang berujud belati
panjang yang membara.
Melihat kedua senjata itu, Mahesa Wulung dan Ki
Camar Seta meloncat mundur dengan dada berdegup.
Ki Topeng Reges terkekeh karenanya. Dengan
bangga ia mengacungkan kedua pusaka itu. “He, he,
he, kalian kaget bukan? Inilah Kiai Brahmasakti yang
pernah menggegerkan dunia persilatan! Sebentar lagi
kalian akan merasakan kehebatannya. Nah,
bersiaplah buat kematianmu, setan!”
“Ki Topeng Reges!” seru Mahesa Wulung. “Jangan
menakut-nakuti. Kaulah yang harus menyerah di
hadapanku!”
Bukan main marahnya Ki Topeng Reges, maka
secepat kilat ia melesat ke atas dan menyerang Mahe
sa Wulung dengan kedua pusaka kembarnya, Kiai
Brahmasakti.
Mahesa Wulung terkejut mendapat serangan tiba-
tiba yang meluncur secepat angin. Segera ia memapa-
ki dengan pedangnya.
Trang!
Dua benturan senjata berbunyi nyaring menyeri-
kan telinga disusul bunga-bunga api berpijar ke
udara malam.
Mahesa Wulung tersentak kaget. Akibat dari ben-
turan kedua senjata itu, tangannya tiba-tiba merasa
panas, seakan-akan pedangnya telah dipanggang oleh
bara api yang bertimbun-timbun. Iapun meloncat
surut.
Di saat itu pula serangan Ki Topeng Reges
berikutnya dapat ditangkis oleh Ki Camar Seta
dengan putaran pedangnya. Namun Ki Camar Seta
pun seperti halnya Mahesa Wulung, ia merasakan
akibat benturan pedangnya dengan senjata Kiai
Brahmasakti di tangan Ki Topeng Reges. Sungguh-
sungguh mengejutkan. Cepat ia meloncat surut.
Melihat lawannya meloncat surut, Ki Topeng Reges
sekali lagi tertawa terkekeh-kekeh. “Heh, heh, heh,
kalian rasakan kehebatan senjataku ini bukan? Hayo,
kerahkan segenap ilmumu sebelum mati di ujung
senjataku ini.”
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta sadar akan
bahaya yang mengancam mereka semua. Mereka
berpikir keras mencari jalan yang baik dan tiba-tiba
Mahesa Wulung menjentik Ki Camar Seta. Keduanya
segera melesat turun ke tanah sambil menantang.
“Heei, Ki Topeng Reges, jika kau laki-laki sejati,
kejarlah kami. Mari kita teruskan permainan kita.”
Keduanya bermaksud memancing Ki Topeng Reges
agar menjauh dari rumah itu, hingga sahabat-saha-
bat mereka akan lebih aman.
Ki Topeng Reges segera melesat turun mengejar
kedua lawannya. Mereka berkejaran ke arah utara,
menerobos kelebatan hutan, melompati sungai-
sungai kecil, tak ubahnya tiga ayam alas saling
berkejaran. Sebentar kemudian ketiganya lenyap,
seperti ditelan kelebatan hutan lembah kaki Gunung
Muria.
Pandan Arum segera melesat turun dari atas gen-
ting dengan perasaan yang bercampur-baur, memi-
kirkan Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta yang
tengah lari, diburu oleh Ki Topeng Reges. Dalam hati
ia berdoa semoga keduanya dapat selamat dari ceng-
keraman si wajah hantu.
Tempat itu kembali menjadi sepi dan malam sema-
kin bertambah larut. Sang purnama yang bulat per-
lahan-lahan dan lambat bergeser ke arah cakrawala
barat.
***
Sampai di sinilah ceritera “Diburu Topeng Reges”
berakhir, dan segera akan datang mengunjungi Anda,
cerita berikutnya dari seri Naga Geni yang berjudul
“Munculnya Pendekar Bayangan”.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar