..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 31 Januari 2025

NAGA GENI EPISODE DI BURU TOPENG REGES

Di Buru Topeng Reges

 

(Seri Naga Geni ke 5)
DIBURU TOPENG REGES
Oleh W.H. Wibowo
Gambar kulit dan dalam: Arie

SATU

Bulan purnama semakin merayap lebih tinggi, se-
perti hendak menyaingi cahaya ratusan bintang yang 
bertaburan di langit biru. Tak sepotong awan pun 
yang tampak mengambang di langit, sehingga cahaya 
yang terang-temarang langsung menerangi Jurang 
Mati, di mana Mahesa Wulung tengah mati-matian 
merayap di tebing jurang untuk mencapai mulut 
sebuah goa di sebelah kanannya.
Selangkah demi selangkah, kakinya melangkah ke 
samping, sementara kedua tangannya berpegang 
pada tonjolan-tonjolan batu dari tebing jurang.
“Hmm, sepuluh langkah lagi, pastilah mulut gua 
itu aku capai!” desis Mahesa Wulung sambil terus 
merayap ke kanan.
Setelah mencapai lima langkah, Mahesa Wulung 
berhenti sejenak. Peluh dingin mengucur dari lobang-
lobang kulitnya, apalagi ketika ia melirik ke bawah ke 
dasar Jurang Mati. Satu lirikan saja cukup membuat 
kepalanya terasa mengkap-mengkap seperti hendak 
copot. Dirasanya satu tenaga aneh seperti hendak 
menyedotnya jatuh ke dasar jurang. Maka cepat-ce-
pat ia mengerahkan segenap ilmunya ‘Tugu Wasesa’ 
yang sanggup melindungi dirinya dari segala getaran-
getaran dan benturan-benturan yang sehebat apa–
pun.
Sesaat kemudian ia dapat menguasai kembali

dirinya dari pengaruh sedotan dasar Jurang Mati. 
Sementara itu beberapa buah batu kerikil yang 
tersinggung oleh kakinya, bergelindingan jatuh ke 
jurang, setelah lebih dulu membentur serta mener-
jang tebing curam dari Jurang Mati, dengan suara 
gemelandang menggema, menimbulkan rasa ngeri di 
hati kecil Mahesa Wulung.
Terbayanglah, seandainya ia benar-benar terjatuh 
ke situ pastilah tubuhnya akan hancur luluh. Ter–
ingat kembali akan nasibnya yang malang itu, hati–
nya seolah-olah disayat oleh sembilu, pedih dan 
ngeri. Ia telah terjatuh ke jurang ketika menghindari 
serangan ilmu ‘Netra Dahana’ dari Ki Topang Reges 
yang dahsyat itu. Untunglah ia tidak terbakar oleh 
lidah api yang dipancarkan oleh mata Ki Topeng 
Reges. Tetapi kekalahannya itu tidak begitu membe-
ratkan hatinya, sebab suatu ketika pastilah itu akan 
dapat ditebusnya kembali.
Yang sangat disesalkan ialah kematian Empu Bas-
kara. Dengan kematian orang tua itu, yang seharus-
nya diselamatkan dari tangan-tangan kotor gerom-
bolan hitam, hampir seluruh tugasnya telah gagal 
sama sekali. Suatu hal yang sangat memalukan bagi 
seorang pendekar cabang atas seperti dirinya ini. 
Satu-satunya harapan ialah dengan merebut kembali 
catatan rahasia dari panah ‘Braja Kencar’ yang telah 
dibawa kabur oleh si Rikma Rembyak, murid kinasih 
dari Ki Topeng Reges.
Suatu perasaan baru terungkap dalam hatinya 
yang kini bergelora karena kematian Empu Baskara.
“Yah, aku harus keluar dari tempat ini, untuk 
membalaskan kematian Empu Baskara. Ke manapun 
larinya Ki Topeng Reges dan Rikma Rembyak, mereka 
akan aku kejar.”

Mahesa Wulung kemudian melanjutkan kembali 
kerjanya. Sejengkal demi sejengkal ia terus merayap 
ke arah mulut goa di sebelah kanannya.
“Hmm,” sebuah tarikan napas lega terdengar dari 
hidung Mahesa Wulung, manakala mulut goa itu 
telah dicapainya dengan selamat. Perlahan-lahan ia 
mengamati goa itu dari luar. Tampaklah olehnya, 
mulut goa itu penuh ditumbuhi oleh lumut liar 
sedang bagian atasnya dipenuhi oleh benang laba-
laba yang bergantungan, bagaikan benang perak yang 
gemerlapan ditimpa sinar purnama.
Yang agak mengherankan Mahesa Wulung ialah 
bagian tengah dari ruangan goa itu. Seberkas sinar 
purnama telah jatuh ke lantai, cukup menerangi tem-
pat itu dari luar goa.
“Entah dari mana sinar purnama itu masuk? 
Mungkin dari lobang-lobang atas pada langit-langit 
goa,” pikir Mahesa Wulung penuh rasa kagum dan 
ingin tahu. “Baiklah, aku akan masuk ke dalam serta 
menyelidikinya. Mudah-mudahan goa ini cukup 
hangat untuk tempat beristirahat malam ini. Siapa 
tahu mungkin besok aku dapat menemukan jalan 
keluar dari Jurang Mati ini.”
Dengan hati-hati ia maju ke mulut goa. Tiba-tiba ia 
terhenyak kaget, ketika hidungnya mencium bau 
engas yang menyesakkan dada.
Syraat! dilolos pedangnya untuk menghadapi se–
tiap bahaya. Naluriahnya yang tajam telah mencium 
adanya bahaya di sekitar tempat itu. Kembali ia 
melangkahkan kakinya ke dalam mulut goa.
Cess! sebuah rasa dingin terasa menerkam teng-
kuknya, dan Mahesa Wulung pun bergerak cepat 
dengan putaran pedangnya ke atas. Sebuah benda 
terbabat putus dan melayang ke tanah.

“Ooh. Lumut-lumut liar!” desis Mahesa Wulung 
seraya menatap ke atas. Ternyata lumut-lumut liar 
tadi memang meneteskan air ke bawah dan beberapa 
tetes air itu telah menjatuhi tengkuknya.
“Hmm, untunglah hanya air yang menetes ke 
tengkukku, seandainya senjata? Aku harus lebih 
hati-hati sekarang!”
Bersamaan dengan itu, ketika ia lebih jauh masuk 
ke dalam mulut goa, satu jeritan yang memekakkan 
telinga terdengar mengiringi beberapa bayangan yang 
melesat keluar dari dalam goa. Benda-benda itu 
terlalu rendah melayang dan satu-satunya jalan bagi 
Mahesa Wulung ialah menghindarinya dengan ber-
tiarap di atas tanah. Bunyi berdesing serta kepak-
kepak sayap terdengar di atas kepalanya menimbul-
kan angin dingin yang menyapu tengkuknya. Mahesa 
Wulung melirik ke atas dan terpaksa ia menjerit kecil.
“Kelelawar-kelelawar raksasa!” desis Mahesa 
Wulung. “Tapi mereka telah keluar!”
Sejenak hatinya merasa aman, tetapi bau engas 
menyesakkan itu masih terasa hebat. Malahan kini 
terdengar pula bunyi bergetar setengah mencicit yang 
sangat halus, namun terasa masuk ke relung-relung 
telinga Mahesa Wulung, menimbulkan rasa nyeri 
yang luar biasa hebatnya. Maka sekali lagi Mahesa 
Wulung menyalurkan ilmunya, ‘Tugu Wasesa’.
Mendadak saja, belum lagi ia selesai menyalurkan 
ilmunya, dari sebuah pohon besar pada dinding goa 
itu terlihatlah dua bulatan sinar yang menyala merah 
berkedip-kedip. Kemudian diiringi oleh satu jeritan 
hebat, sebuah sinar putih gemerlapan menyambar ke 
arah kepala Mahesa Wulung dengan kecepatan luar 
biasa.
Tentu saja ia sangat terkejut disambar oleh benda

bersinar itu, maka secepat kilat ia berkelit ke sam-
ping untuk menghindar. Anehnya, benda panjang 
itupun tetap mengikuti gerakannya dan tak ampun 
lagi tubuhnya kena terlibat.
“Benang laba-laba,” desis Mahesa Wulung kaget 
setengah mati.
Segera ia meloncat mundur ke tempat yang 
diterangi oleh sinar purnama dari lobang-lobang 
langit goa. Ia bermaksud meneliti benda yang melibat 
tubuhnya itu dalam penerangan sinar purnama ini, 
dan betapa herannya bila dugaannya tadi ternyata 
tidak meleset. Benang putih yang panjang gemer-
lapan dan melibat dirinya itu, tidak lain adalah 
benang laba-laba seperti yang telah dilihatnya pada 
mulut goa ketika ia masuk ke dalam.
“Heh, ini memang betul-betul benang laba-laba. 
Tetapi ini terlalu besar dan berukuran luar biasa,” 
pikir Mahesa Wulung dengan cepat sambil memegang 
benang laba-laba itu dengan tangan kiri, sementara 
tangan kanannya menebaskan pedangnya pada 
benda itu.
Bet! Pedang yang telah menebas benang laba-laba, 
terpental kembali ke belakang dan benang itu masih 
belum terputuskan. Sudah barang tentu Mahesa 
Wulung tercengang-cengang melihat kejadian ini. Ia 
pun sadar bahwa tebasan pedangnya tadi hanyalah 
dengan kekuatan separo tenaga, karena dalam hati ia 
berkeyakinan bahwa benang laba-laba itu tak akan 
melebihi kekuatan seutas tali. Namun kenyataannya, 
benang laba-laba tersebut lebih kuat dan punya daya 
melekat seolah-olah dilumuri oleh getah perekat.
Dasar Mahesa Wulung bukan termasuk orang yang 
mudah berputus asa, maka sekali lagi ia 
menyabetkan pedangnya dengan kekuatan penuh

dan kini putuslah benang laba-laba itu dengan bunyi 
mendesing.
Di luar dugaan, begitu benang laba-laba itu putus, 
sebuah lagi menyambar ke tubuhnya sekaligus meli-
bat dengan kerasnya. Untuk kedua kalinya Mahesa 
Wulung menebaskan pedangnya serta berhasil me-
motongnya. Tiba-tiba dua bulatan merah yang 
berkedip-kedip itu bergerak mendekati dirinya.
Mahesa Wulung terus mengawasi ke arah lobang 
dinding goa dan terutama kepada dua bulatan merah 
yang bergerak perlahan-lahan ke arahnya. Mata 
Mahesa Wulung rupanya sudah terbiasa dengan 
keadaan gelap di dalam goa itu, maka terlihatlah satu 
bayangan remang-remang yang berkaki delapan, 
sangat mengerikan. Dan sejurus kemudian bayangan 
itu tepat berada di bawah sinar purnama yang jatuh 
ke lantai goa lewat lobang langit-langit.
Bukan main dahsyatnya! Baru kali ini selama 
hidupnya ia menyaksikan satu pemandangan yang 
sangat mengerikan, hingga kedua mata Mahesa 
Wulung terbeliak menyaksikannya, seakan-akan tak 
mau percaya dengan apa yang kini dihadapinya. 
Benda yang kini berada di depannya kira-kira 
sepuluh langkah itu tidak lain adalah laba-laba 
raksasa, lengkap dengan kedelapan kakinya yang 
ditumbuhi bulu-bulu kasar serta duri-duri tajam. 
Kedua matanya yang menyala merah berkedip-kedip 
itu tampak sangat ganas. Dengan desisan yang 
menggetar, makhluk itu menatap ke arah Mahesa 
Wulung.
Sesaat Mahesa Wulung terbungkam mulutnya, 
seakan ia mau berteriak tapi tak satu kata pun yang 
keluar lewat bibirnya.
Mula-mula ia mengira, kejadian ini hanya satu

impian buruk akibat kelelahan jiwanya. Namun 
ketika ia menggigit bibirnya dan benar-benar terasa 
sakit, jadi yakinlah ia bahwa laba-laba raksasa itu 
bukanlah satu impian.
Bersamaan pulihnya kesadaran Mahesa Wulung 
atas bahaya yang mengancam di depannya, menda-
dak laba-laba raksasa itu mencicit hebat disusul oleh 
sambaran-sambaran benang perak lewat mulutnya 
yang datang secara bertubi-tubi, hingga sebagian 
besar tubuh Mahesa Wulung penuh dilengketi oleh 
benang laba-laba. Untungnya tangan kanannya yang 
menggenggam pedang itu sempat ditariknya ke 
belakang tubuh. Kalau tidak, pastilah nasibnya akan 
tak berbeda dengan tangan kirinya yang kini ter-
lengket pada tubuhnya oleh belitan benang laba-laba 
itu.
Laba-laba raksasa itu sejenak berhenti melancar-
kan serangannya, sedang kedua mata ganasnya terus 
mengawasi Mahesa Wulung yang tengah berusaha 
melepaskan lilitan benang-benang yang melekat 
dengan erat. Dengan sendirinya Mahesa Wulung tak 
melepaskan kesempatan yang hanya sekejap itu. 
Selagi binatang itu menghentikan serangannya, 
cepat-cepat ia menebaskan serta memutar pedangnya 
di tangan kanan dengan dilambari ilmu pedang 
ajaran Ki Camar Seta yang bernama ‘Sigar Maruta’. 
Maka akibatnya sangat menakjubkan. Dalam waktu 
sekejap saja, mata pedang itu seperti berubah menja-
di puluhan, serta kemudian membabat semua benang 
laba-laba yang bersimpang siur melilit tubuhnya.
Agaknya laba-laba raksasa itupun menyadari akan 
kekuatan calon korbannya yang kini telah berhasil 
membebaskan diri dari benang-benang mautnya! Ia 
bergerak maju sambil mengeluarkan desisan yang

tinggi, sementara dua kaki depannya diangkat tinggi-
tinggi.
Mahesa Wulung tidak kurang waspadanya melihat 
gerakan laba-laba itu. Apabila kedua kaki depan 
laba-laba itu telah diangkat tinggi, pastilah ia akan 
memulai serangannya. Ia pernah memperhatikan 
cara menerkam seekor laba-laba terhadap seekor 
lalat yang telah terjerat oleh benang-benang perang-
kapnya. Oleh sebab itu Mahesa Wulung bersiap-siap 
menghadapi setiap kemungkinan.
Lawan yang kini harus dihadapinya adalah seekor 
laba-laba raksasa setinggi manusia. Sungguh menge-
rikan bentuknya. Untunglah bahwa Mahesa Wulung 
mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula, 
sehingga dalam waktu yang singkat ia berhasil 
menguasai keadaan. Seandainya Pandan Arum pada 
waktu itu berada di situ, pastilah ia akan jatuh 
pingsan melihat laba-laba raksasa itu.
Dibarengi oleh satu jerit lengkingan, laba-laba itu 
menerkam Mahesa Wulung dengan gerakan yang 
cepat. Namun betapa kecewanya si laba-laba. 
Seandainya ia dapat berkata-kata, pastilah ia akan 
mengutuk-ngutuk, ketika calon korbannya itu 
melesat ke belakang beberapa langkah, sehingga 
terkamannya hanya mendapat tempat kosong.
Mahesa Wulung ketika berloncatan mundur itu 
mendapatkan ruangan goa yang semakin luas dengan 
langit-langit yang lebih tinggi. Di sini pun terdapat 
lobang-lobang pada langit-langit goa dan disinari oleh 
berkas-berkas sinar purnama.
Laba-laba itu terus merayap mendekati Mahesa 
Wulung dengan tenangnya, bagai seorang jagoan 
yang sudah dapat memastikan kemenangan atas 
lawannya. Kemudian dengan gesit dan ganas ia

menerkam kembali ke arah Mahesa Wulung.
“Jeaatt!” sebuah teriakan lantang terdengar ber-
samaan melesatnya tubuh Mahesa Wulung yang 
menjejak tanah dengan melewati sebelah atas dari 
tubuh laba-laba ke samping. Gerakan itu sangat 
cepat dan sukar ditangkap oleh mata. Bahkan, dalam 
gerakannya itu Mahesa Wulung sempat menyabetkan 
pedangnya kepada kaki-kaki depan dari binatang itu.
Seketika binatang itu menjerit hebat ketika kaki 
depannya terasa tersayat oleh benda tajam, diikuti 
oleh cairan merah bening yang memancar dari luka-
luka itu.
Mahesa Wulung kini berdiri di arah samping kanan 
dari laba-laba itu, siap menghadapi serangan 
berikutnya. Yang agak mengejutkan ialah gerakan 
laba-laba itu, setelah berhasil dilukai kaki depannya, 
ia bertambah cepat dan ganas.
Ketika ia melihat manusia lawan itu berada di 
samping tubuhnya, ia pun secepat kilat memutar 
tubuhnya ke kiri menghadapi ke arah tubuh Mahesa 
Wulung. Tiba-tiba dari mulutnya memancar benang 
maut yang menyambar ke arah kaki Mahesa Wulung. 
Saat itu, Mahesa Wulung sedikit agak lengah 
sehingga tanpa berkutik kakinya kena terlibat oleh 
belitan benang laba-laba itu. Maka seketika iapun 
jatuh terjengkang ke belakang.
Untungnya saat itu ia masih memasang ilmu 
meringankan tubuhnya, sehingga benturan tubuhnya 
ke tanah itu tidak begitu terasa hebat. Laba-laba itu 
menjerit kecil, seolah-olah bersorak-sorak atas keme-
nangannya itu, kemudian dengan perlahan-lahan ia 
menarik benangnya yang telah berhasil melibat kaki 
Mahesa Wulung itu ke belakang. Sedangkan dari 
mulutnya keluar air liur karena selera laparnya

sudah merangsang, ketika mencium bau tubuh 
manusia.
Tubuh Mahesa Wulung terseret ke arah mulut 
laba-laba raksasa yang telah menganga siap men-
caplok tubuhnya bulat-bulat. Sekilas Mahesa Wulung 
seperti orang yang mimpi dan dilihatnya mulut serta 
rahang laba-laba itu semakin dekat dan dekat. 
Terlintas bayangan wajah sahabat-sahabatnya, lebih-
lebih Pandan Arum yang sangat dicintainya, yang 
mungkin sebentar lagi akan tidak dijumpai kembali. 
Namun ketika ia menyebut nama Tuhan Yang Maha 
Kasih, seakan-akan pulihlah kembali kekuatan tu-
buhnya.
Hampir-hampir lupa bahwa selama itu ia masih 
menggenggam pedang pada tangan kanannya. 
Dengan satu gerakan yang hampir-hampir tak bisa 
dipercaya, Mahesa Wulung membabat putus benang 
laba-laba yang melibat kakinya, disusul tubuhnya 
berjungkir balik ke belakang beberapa langkah. 
Gerakan tersebut sangat cepat, hingga laba-laba itu 
hanya sempat menerkam debu-debu serta kerikil 
yang berhamburan ke udara.
Karuan saja laba-laba itu meraung-raung karena 
untuk kesekian kalinya calon korbannya telah ber-
hasil lolos dari cengkeramannya. Kedelapan kakinya 
serabutan memukul dinding-dinding goa hingga 
keadaan dalam ruangan goa itu menjadi penuh debu. 
Suara raungannya sangat hebat hingga memantul ke 
segenap dinding-dinding goa, bahkan sampai pula ke 
tebing Jurang Mati. Semua itu merupakan luapan
amarahnya terhadap manusia yang perkasa, yang 
setiap kali berhasil lolos dari serangannya. Mahesa 
Wulung agak bingung melihat laba-laba itu meng-
aduk-aduk debu. Ia yakin bahwa hal itu termasuk


siasat dari binatang tersebut dalam menghadapi 
lawannya, seperti halnya seekor ikan gurita yang 
menyemburkan cairan tintanya untuk membingung-
kan lawan-lawannya.
Pemandangan dalam goa itu nampak remang-
remang oleh debu yang mengambang di udara. Satu-
satunya yang masih tampak dari bentuk laba-laba itu 
ialah kedua matanya yang menyala merah berkedip-
kedip, dan ini sudah cukup bagi Mahesa Wulung 
untuk mengetahui letak kedudukan binatang itu.
Keheningan yang sejenak dipecahkan kembali oleh 
jeritan bernada tinggi dan muncullah dari debu-debu 
itu kaki laba-laba yang menerkam langsung ke arah 
Mahesa Wulung. Saat ini pulalah yang dinanti-nant-
ikan olehnya, maka secepat itu pula Mahesa Wulung 
memutar pedangnya memapaki terkaman kaki-kaki 
binatang itu.
Craak!
Mahesa Wulung merasa kalau pedangnya telah 
membentur sesuatu dan ternyata tiga benda yakni 
ujung dari kaki laba-laba itu kena terbabat putus. 
Cairan merah bening menyemprot ke tanah diiringi 
raungan hebat, disusul oleh kaki-kaki binatang yang 
lain menyambar dengan deras ke arah Mahesa 
Wulung.
Dengan memiringkan tubuhnya ke samping, 
Mahesa Wulung bermaksud menghindari serangan 
itu. Sayang sekali, sebuah kaki dari laba-laba ini 
berhasil membentur pundaknya, sehingga terasalah 
sebagai runtuhan gunung meletus yang menimpanya. 
Maka tubuhnyapun kemudian terasa terbanting ke 
dinding goa dengan hebat. Untungnya saja, selama 
bertempur menghadapi binatang itu, ia tak lupa sela-
lu memasang ilmu meringankan tubuh, dan benturan

itupun tak berakibat luar biasa, kecuali kepalanya 
yang agak nanar sesaat.
Sebelum laba-laba raksasa itu mengulangi serang-
annya kembali, Mahesa Wulung lebih dulu menjejak-
kan kakinya ke tanah, kemudian melesat ke depan ke 
atas laba-laba dengan putaran pedangnya.
Dalam saat yang sesingkat itu, pedangnya berpu-
tar laksana baling-baling yang berdesingan, kemu-
dian menyambar ke arah dua benda merah yang 
berkedip-kedip ganas raungan yang terhebat keluar 
dari mulut laba-laba itu, ketika olehnya terasa bahwa 
kedua matanya terbacok oleh senjata tajam.
Belum lagi laba-laba itu selesai merasakan sa-
kitnya, Mahesa Wulung telah menerkam lehernya, 
kemudian menikamkan pedangnya ke kepala laba-
laba. Tubuh binatang itu bergetar hebat dan tiba-tiba 
dari luka tikaman pedang Mahesa Wulung, meman-
carlah sebuah asap hitam bergumpal yang menyem-
bur ke wajah Mahesa Wulung. Karena tak mengira 
akan hal ini, Mahesa Wulung tak sempat meng-
hindar.
“Hah, racun hitam!” jerit Mahesa Wulung setengah 
kaget, ketika asap hitam itu telah menyampok wajah-
nya.
Seketika kepalanya merasa pusing, dan pandang-
annya mendadak kabur. Bahkan tubuhnya merasa 
lemah, apalagi ketika binatang itu membanting-bant-
ingkan tubuhnya ke tanah, Mahesa Wulung tak dapat 
menguasai dirinya lagi. Tubuhnya terpelanting ke 
tanah seketika.
Pandangan matanya yang masih cukup jelas itu 
sempat menatap tubuh laba-laba yang bergeluyuran
sambil membentur-bentur dinding goa dengan me-
raung-raung Sesaat kemudian laba-laba itu rebah ketanah dengan bunyi berdebum.
Dalam saat yang sama pula Mahesa Wulung ber-
tambah pusing dan rebahlah kepalanya ke lantai goa, 
tak sadarkan diri.
***

DUA

Desah angin subuh menyusuri tebing-tebing 
Jurang Mati, mengusap membelai butiran-butiran 
embun yang menempel pada batu tebing dan daun-
daun ilalang. Sedangkan sang purnama telah 
merendah di ufuk barat berselimut leretan-leretan 
mega putih sebening sutera menerawang, membuat 
terpesona siapa saja yang menatapnya.
Sementara itu pula di cakrawala timur, bintang 
panjer wengi memancarkan sinarnya yang terang 
diiringi oleh saputan-saputan warna merah, sebagai 
pertanda dari permulaan fajar yang menyingsing.
Kelelawar-kelelawar beterbangan kembali ke 
sarangnya setelah semalam suntuk mengembara 
mencari makannya. Angin pagi yang sejuk bertiup ke 
tebing Jurang Mati, singgah ke relung-relung dan 
setiap lipatan dari tebing jurang yang terjal dan 
curam. Dan bilamana kesejukan angin pagi mengalir 
ke dalam goa, di mana Mahesa Wulung tergeletak 
pingsan itu, terasalah pemuda ini mengerdip-
kerdipkan matanya. Ternyata angin pagi yang sejuk 
dan bersih itu telah masuk ke dalam paru-parunya 
serta mencuci hawa racun laba-laba yang tersekap di 
situ, sehingga pulihlah kembali kesadaran Mahesa 
Wulung.
Perlahan-lahan ia mencoba duduk dan mengen-
dorkan segala urat-urat tubuhnya yang terasa tegang

dan kaku, akibat semua gerakan-gerakan yang telah 
dikeluarkan ketika bertempur melawan laba-laba 
raksasa.
Sambil bersila dan bersikap seperti orang berse-
medi, Mahesa Wulung mengatur tata pernafasannya. 
Inilah ajaran Panembahan Tanah Putih dari Asem-
arang yang dipergunakan untuk mengusir pengaruh 
jahat dari segala hawa racun yang telah merasuk ke 
dalam tubuhnya.
Pengaruhnya ternyata cukup mengagumkan. Sela-
in tenaganya pulih, penglihatan serta dadanya terasa 
bersih dan lapang, seperti mendapat tenaga baru.
Di sudut dinding goa, terlihatlah bangkai laba-laba 
raksasa yang telah kaku seperti patung. Kalau ia 
mengingat segala peristiwa yang baru saja lewat, 
ketika melawan laba-laba raksasa itu, seperti hampir-
hampir tak mau percaya. Tak menyangka bahwa 
dirinya mampu bertempur melawan binatang seganas 
itu.
Mahesa Wulung kemudian berdiri serta mengakhiri 
sikap semedinya.
“Hmm, mudah-mudahan aku berhasil menemukan 
jalan keluar dari Jurang Mati dan goa ini.” Berpikir 
Mahesa Wulung sambil berjalan menyelidiki keadaan 
goa, yang dindingnya tampak licin serta lembab.
Sejengkal demi sejengkal ia menyelidiki segenap 
ruangan goa itu. Memang ruangan yang tengah 
sangat lebar dan langit-langitnya pun tinggi pula. 
Beberapa lobang-lobang tembus tampak menghiasi 
langit-langit goa dan dari sanalah cahaya pagi jatuh 
ke lantai serta menerangi ruangan itu.
Dalam menyusuri dinding-dinding goa, Mahesa 
Wulung tiba-tiba menemukan sebuah lobang pada 
dinding goa yang tertutup oleh bongkah-bongkah

serta gundukan-gundukan batu sebesar kepala 
kerbau, bahkan lebih daripada itu.
Dengan hati-hati ia mendekati lobang itu dan 
untuk beberapa saat ia merenunginya.
“Hmm, lobang pada dinding ini seolah-olah 
memang sengaja ditutup dengan timbunan-timbunan 
batu besar. Kentara dari bentuk batu-batunya yang 
masing-masing terlepas dan tidak ada hubungannya 
dengan dinding goa.”
Bertambah merenungi serta menyelidiki lobang 
dinding goa yang tersumbat itu, semakin timbul 
keinginan untuk mengetahui rahasia apakah yang 
tersembunyi di balik timbunan batu-batu tersebut.
Maka Mahesa Wulung pun semakin pula sibuk 
menduga-duga. Mungkin lobang dinding itu adalah 
jalan keluar dari Jurang Mati. Atau mungkin pula 
berisi binatang yang lebih dahsyat lagi daripada laba-
laba raksasa yang telah mati di situ.
Tak lama kemudian, akhirnya Mahesa Wulung 
mengambil satu kesimpulan bahwa dinding goa yang 
tertutup oleh timbunan batu itu harus dibukanya, 
betapapun jadinya nanti! Karena itu Mahesa Wulung 
segera mengambil sikap kuda-kuda serta memusat-
kan segala kekuatan lahir batinnya. Tangan kanan-
nya mengepal dan ditekuk ke belakang sejajar telinga.
“Hyaat!”
Glaaar!
Benturan dahsyat terdengar memekakkan anak 
telinga disusul runtuhnya bongkah-bongkah batu 
yang bertimbun-timbun menutupi lobang dinding di 
dalam goa itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali. 
Batu-batu tersebut pecah berhamburan. Dan tam-
paklah kemudian sebuah lobang yang cukup luas 
setelah debu-debu yang berkepulan mengendap ke

tanah.
Mahesa Wulung sangat terperanjat. Apa yang 
diduganya semula ternyata memang benar. Di balik 
lobang dinding itu terlihat sebuah ruangan lain yang 
tidak kalah lebarnya dengan ruangan yang pertama. 
Cepat-cepat Mahesa Wulung masuk ke ruangan itu. 
Di ruang ini pun terdapat beberapa lobang-lobang 
pada langit-langit goa, merupakan jalan masuk 
berkas-berkas sinar matahari ke ruangan ini.
Dan kemudian, sekali lagi, apa yang dilihatnya 
betul-betul membuat dadanya bergoncang hebat, 
seolah-olah runtuhnya sebuah dinding batu.
Di ruangan kedua ini, tepat di tengah-tengahnya 
terdapatlah sebuah kerangka manusia yang duduk 
bersila dalam sikap bersemedi. Di depannya, di dekat 
kakinya yang bersila itu terlihat sebuah kitab dengan 
sampul berwarna hijau tua. Sedang di sampingnya 
pula terlihat secarik kain bertuliskan dengan huruf-
huruf merah tua.
Perlahan-lahan didekatinya tengkorak itu. Diam-
diam di dalam hati, Mahesa Wulung menaruh iba dan 
belas kasihan terhadap manusia yang bernasib ma-
lang, terkurung di dalam ruangan goa, hingga mati 
tak terurus.
“Siapakah gerangan manusia yang bernasib 
semalang ini?” bertanya Mahesa Wulung di dalam 
hati. Dan ketika ia telah benar-benar dekat dengan 
tengkorak itu, terlihatlah semuanya dengan jelas. 
Tengkorak mengenakan sebuah pakaian yang telah 
hancur, sedang pada jari manis tangan kanannya, ia 
mengenakan sebuah cincin permata berwarna kuning 
yang memancarkan sinar kuning berkedip-kedip 
menakjubkan.
Tentu saja Mahesa Wulung tertarik melihat cincin

permata yang aneh itu, tapi ia tak berani berbuat 
sesuatu. Selama hidupnya baru kali ini ia merasa 
kagum menjumpai permata yang mengeluarkan sinar 
berkedip-kedip. Namun dari kesemuanya itu, yang 
paling menarik hatinya ialah lembaran kain yang 
bertuliskan huruf-huruf, merupakan sebuah surat. 
Maka dengan hati-hati diambilnya surat itu serta 
diperiksanya.
“Ah, surat ini sudah terlalu lama dan usang. 
Mungkin sudah berpuluh-puluh tahun usianya. 
Untunglah tulisan ini masih cukup jelas,” desah 
Mahesa Wulung sambil sekali lagi meneliti surat itu. 
“Hmm, warna merah tua ini, kalau tidak keliru 
tulisan ini dibuat dengan cairan darah! Sekarang 
baiklah aku mulai membacanya.”
Berkas-berkas sinar matahari pagi yang jatuh dari 
lobang langit-langit goa, telah membantu Mahesa 
Wulung dalam membaca surat itu, dan ternyata surat 
itu merupakan sebuah pesan:
“Kepada siapa saja yang menemukan surat saya 
ini, saya selalu berdoa agar Andika adalah seorang 
yang baik, berbudi luhur, seorang yang berjiwa 
ksatria pembela kebenaran dan keadilan! Dengan 
demikian maka Andika adalah satu-satunya pewaris 
dari diriku dan kitabku ini. Tetapi jika Andika sudah 
menjadi pewaris kitab itu, Andika mempunyai 
kewajiban yang harus dilaksanakan, jika Andika 
tidak ingin terkutuk olehnya. Andika, ketahuilah. 
Kewajiban Andika adalah meneruskan tugasku. Yaitu 
membinasakan seorang pendekar yang berilmu 
hitam, seorang yang kejam dan bermata setan! Dialah 
yang telah mengurungku di lobang dinding ini. 
Ketahuilah aku bernama Landean Tunggal. Semula

dia adalah adik seperguruanku di Padepokan Gunung 
Merapi. Kami berguru kepada Panembahan Jatiwana 
sejak masa muda. Begitu eratnya persahabatan kami, 
sehingga kami sudah seperti saudara sekandung 
seibu sebapa.
Tetapi sayang, setelah bertahun-tahun lama ber-
guru kepada sang Panembahan, maka ternyatalah 
bahwa kami mempunyai sifat yang berbeda, dan itu 
semua telah diketahui oleh sang Panembahan.
Kami berdua telah digembleng oleh Panembahan 
Jatiwana menjadi pendekar pilihan. Namun saudara 
seperguruanku itu yang bernama Umpakan telah 
berubah menjadi orang yang sombong karena kesak-
tiannya. Tidak jarang ia memamerkan kesaktiannya 
kepada orang-orang agar mereka mau mengagumi 
dan memujinya. Bahkan lebih daripada itu, sang 
Panembahan sering menerima laporan dari orang-
orang, bahwa Umpakan sering menyakiti orang-orang 
yang tidak mau tunduk kepadanya.
Hal tersebut sangat mengecewakan Panembahan 
Jatiwana, sehingga beliau lebih menaruh kepercaya-
annya kepadaku daripada Umpakan. Maka beliau 
telah mempercayakan kepadaku sebuah daripada 
kitab-kitabnya yang berisi ilmu silat dan kesaktian 
dari tingkat atas. Tentu saja hal ini menimbulkan iri 
hati bagi Umpakan dan hal ini pun menjadi berlarut-
larut serta merupakan bibit persengketaan antara 
Umpakan dengan diriku serta sang Panembahan 
juga.
Demikianlah pada suatu ketika, Umpakan telah 
bertengkar dengan sang Panembahan karena ia 
menggugat, mengapa bukan dirinya yang diserahi 
kitab itu. Dalam pertengkaran itu, aku pun berusaha 
menengahi. Tetapi rupanya Umpakan telah menaruh

rasa dendam kepadaku, sampai-sampai maksud 
baikku tadi menimbulkan salah paham baginya. 
Peristiwa itu berkesudahan dengan satu pertengka-
ran dan perkelahian yang hebat, sesuatu yang tidak 
seharusnya terjadi antara saudara seperguruan.
Dan akhirnya kebenaran selalu menang di atas 
kejahatan. Begitu pula dengan si Umpakan, ia dapat 
kukalahkan dalam perkelahian itu.
Umpakan membawa kekalahan itu, lalu mengem-
bara ke arah selatan, ke Laut Kidul dengan dendam-
nya kepadaku yang tak pernah kunjung padam.
Beberapa tahun kemudian aku, mendapat kabar 
bahwa ia telah menggembleng dirinya di sana serta 
bergaul dengan orang-orang dari golongan hitam. 
Kesaktiannya menjadi lebih hebat, apalagi setelah ia 
menemukan sebuah topeng yang telah rusak di tepi 
pantai Laut Kidul. Topeng itu kemudian diperbaiki 
serta dipakainya, dan semenjak itu ia bergelar Ki 
Topeng Reges.
Ketika ia merasa bahwa dirinya cukup melebihi 
kesaktianku, Ki Topeng Reges telah mencariku untuk 
membalas dendam atas kekalahannya dahulu. Tetapi 
sementara itu aku telah pindah ke Jepara tanpa 
setahunya.
Tetapi akhirnya ia berhasil mengetahui tempat 
tinggalku dan kemudian mencuri kitab itu. Perbua-
tannya yang kelewat batas ini telah menimbulkan 
amarahku, hingga untuk kedua kalinya aku terpaksa 
mengadu tenaga melawan Topeng Reges.
Kitab itu berhasil aku rebut dari tangannya, 
namun betapa terkejutku bila beberapa halaman 
terakhir yang memaparkan ilmu sakti Netra Dahana 
telah terobek lepas dari buku itu. Ilmu itu membuat 
seseorang mampu mengeluarkan pancaran api dari

matanya yang sanggup membakar segala sesuatu di 
hadapannya. Dan cara-cara menghadapi ilmu sakti 
Netra Dahana itu, terdapat pula pada halaman-
halaman kitab yang telah dirobek dan disimpannya.
Pada suatu hari ia berhasil mencegatku dan 
terjadilah pertempuran hebat. Ki Topeng Reges dalam 
waktu yang singkat telah berhasil mendalami ilmu 
Netra Dahana yang dahsyat itu. Saya merasa menye-
sal bahwa selama ini, selama menyimpan kitab itu, 
aku belum pernah mempelajari bagian-bagian ter-
akhir yang berisi ilmu Netra Dahana. Akibatnya, aku 
tak dapat mengatasi kesaktian Ki Topeng Reges yang 
mampu memancarkan lidah-lidah api dari kedua 
matanya, sehingga akhirnya aku melarikan diri 
dengan kitab itu, lalu bersembunyi di goa ini. Ki 
Topeng Reges masih mengejarku sampai ke tempat 
ini, dan menyuruhku untuk keluar dari lobang 
dinding goa persembunyianku. Ia memaksa agar aku 
menyerahkan kitab ini kepadanya, tetapi aku 
bertekad lebih baik mati daripada menyerahkannya. 
Permintaannya itu aku tolak mentah-mentah.
Karena kemarahannya itu ia telah menyumbat
lobang dinding ini dengan batu-batu besar yang ber-
bongkah-bongkah amat banyaknya. Begitulah aku 
telah terkurung di lobang dinding dan mungkin aku 
akan mati pada suatu ketika. Aku tak dapat lari dari 
tempat ini, apalagi kalau Ki Topeng Reges telah me-
nempatkan laba-laba raksasa untuk menjaga lobang 
dinding ini.
Aku selalu berdoa bahwa Andika yang menemukan 
suratku ini, adalah seorang yang berbudi luhur. 
Maka terimalah kitabku ini dan juga cincinku yang 
bernama Galuh Punar. Ia akan menjaga Andika dari 
pengaruh racun dan bisa yang jahat.

Nah, terimalah ini semua serta penuhilah kewa-
jiban Andika, seperti apa yang telah aku pesankan.”
Selesai membaca pesan itu dada Mahesa Wulung 
bagai gunung yang mau meledak. Tidak mengira, 
kalau orang yang mati terkurung di tempat ini adalah 
perbuatan Ki Topeng Reges pula. Kekejaman serta 
kejahatan yang tiada terkira besarnya.
Mahesa Wulung melipat surat tadi kembali, dan 
segala pesan Landean Tunggal telah dipahaminya 
betul-betul. Ia berjanji di dalam dirinya untuk melak-
sanakan pesan itu dengan sebaik-baiknya. Kalau 
mengingat pergulatannya melawan laba-laba raksasa 
itu, Mahesa Wulung mengucapkan syukur kepada 
Tuhan, karena telah berhasil mengalahkan laba-laba 
itu. Seandainya saja ia yang kalah, pastilah nasibnya 
akan sama dengan Landean Tunggal yang mati di 
tempat terpencil tanpa seorang pun yang mengeta-
huinya.
Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Wulung 
menjangkau tulang tangan Landean yang mengena-
kan cincin permata Galuh Punar pada jari manisnya.
“Kerangka Landean tidak akan kubiarkan begini 
saja. Ia harus dikubur secara layak sebagai seorang 
pendekar yang berbudi luhur. Mudah-mudahan ar-
wahnya akan lebih tenang,” pikir Mahesa Wulung. 
“Dan cincin ini akan kupelihara dengan baik, seperti 
yang telah dipesankan oleh Landean.”
Sesudah cincin itu berhasil dilolos dari tulang jari 
manis Landean, Mahesa Wulung menjadi kagum 
bercampur bangga apabila mengingat khasiat Galuh 
Punar. Tangan kanannya serasa bergetar memegang 
cincin itu. Ia tak mengira sama sekali bahwa ia 
kejatuhan untung dan rejeki yang tak ternilai

harganya, serta tak terbayar oleh sejumlah uang. 
Ditambah lagi dengan kitab yang bersampul hijau tua 
itu, Mahesa Wulung benar-benar bersyukur. Hatinya 
berjingkrak ibarat anak kecil yang menerima kem-
bang gula kelapa dari orang tuanya yang penuh rasa 
kasih sayang.
Setelah puas ia menikmati cincin Galuh Punar itu, 
segera dipakainya ke dalam jari manis sebelah kanan. 
Kemudian dicarinya tempat yang baik untuk mengu-
bur kerangka Landean di dalam goa itu juga.
Dengan mempergunakan pedangnya, ia menggali 
lantai goa yang telah dipilihnya, setahap demi 
setahap. Dan menjelang tengah hari, selesailah sudah 
sebuah lobang pada lantai goa yang cukup dalam. 
Kemudian Mahesa Wulung mengangkat kerangka itu 
serta menguburnya ke dalam lobang tadi. Beberapa 
saat Mahesa Wulung berdiam diri di depan kuburan 
kerangka itu dan diam-diam di dalam hatinya 
berkata, “Nah, Kisanak Landean. Kini beristirahatlah 
Andika dengan tenang di tempat yang sesepi ini. 
Percayalah, segala pesanmu akan kulaksanakan 
dengan baik.”
Mahesa Wulung bangkit perlahan-lahan serta 
memungut kitab hijau yang masih terhampar di 
lantai goa. Ia segera meninggalkan ruangan itu untuk 
kembali ke ruangan yang pertama.
Sementara itu bayangan sinar matahari semakin 
condong ke timur, satu pertanda kalau hari makin 
bertambah siang.
***
Sore itu Mahesa Wulung mengumpulkan ranting-
ranting dan dahan kayu yang kering, untuk dibuat 
obor atau unggun di dalam goa. Sambil mencari dan

mengumpulkan kayu itu di mulut goa serta tebing-
tebing jurang yang curam, tak lupa juga ia meneliti 
keadaan tebing itu. Namun sampai saat itu ia tak 
menemukan jalan keluar dari jurang itu.
Maka iapun mengambil keputusan untuk semen-
tara tinggal di dalam goa itu serta mempelajari kitab 
hijau peninggalan Landean Tunggal. Jika rasa haus 
dan laparnya timbul, ia cukup menampung air yang 
menetes dari dinding goa. Selain itu telur burung 
serta jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam goa 
cukup baik untuk sekedar pelepas laparnya. Tetapi ia 
harus hati-hati memilih jamur itu. Jika tidak, pasti 
akan termakan yang mengandung racun.
Mulai saat itu ia membuka kitab hijau serta 
membacanya dari halaman pertama.
“Ooh!” satu desisan yang mengandung arti keka-
guman terluncur dari mulut Mahesa Wulung bila 
diketahuinya bahwa sesungguhnya kitab hijau itu 
termasuk kitab ilmu silat dan kedigdayaan yang 
berusia sangat tua.
“Hmm, apa yang tertulis ini?!” ujarnya seraya 
membaca halaman pertama dari kitab hijau. “Bagi 
insan yang berjiwa ksatria, berbudi luhur serta welas-
asih terhadap sesamanya, maka ilmu ini kuberikan, 
untuk memberantas kejahatan dan kebatilan demi 
tegaknya kebenaran, keadilan serta kedamaian hidup 
bebrayan di marcapada ini. Mangayu hayuning ba-
wana”.
Kata-kata yang mengandung harapan luhur itu 
benar-benar meresap ke dalam kalbu Mahesa Wu-
lung, seperti mengalirnya udara segar yang mengalir 
ke dalam dada dan paru-parunya.
Pada halaman kedua, dimulailah tulisan yang 
berisi pelajaran serta ilmu kitab hijau lengkap dengan

gambar-gambar petunjuknya yang cukup rumit dan 
sukar.
Meskipun demikian, dasar Mahesa Wulung mem-
punyai otak yang cemerlang, maka betapapun sukar-
nya ilmu itu akhirnya terpecahkan juga olehnya. Itu 
semua berkat ketekunan serta pengalamannya yang 
sudah banyak.
Hari demi hari dan minggu ke minggu tak terasa 
olehnya dalam mempelajari kitab itu. Jika ia sudah 
asyik mempelajari kitab itu, kadang-kadang sampai 
terlupa akan rasa lapar dan dahaganya.
Pada bagian permulaan dari kitab itu, Mahesa Wu-
lung dengan mudah dapat mempelajari kesemuanya. 
Tetapi bila menginjak pada bagian tengah, ia merasa 
cukup bingung, sebab bukankah ia sendiri telah 
mempelajari ilmu silat Panembahan Tanah Putih dari 
Asemarang. Hingga dalam setiap geraknya kadang-
kadang saling mempengaruhi antara ilmu silat Pa-
nembahan Tanah Putih dengan ilmu silat kitab hijau 
dari Landean Tunggal. Hal ini yang merepotkannya.
Kalau ilmu yang telah dipunyai berunsur pada 
gerak pukulan maut serta kekuatan jasmani, maka 
ilmu silat kitab hijau ini berunsur pada kelincahan 
gerak yang hebat, di samping itu ia masih ingat 
bahwa bagian terakhir dari kitab itu berisi ilmu Netra 
Dahana yang telah dicuri oleh Ki Topeng Reges.
Begitulah, Mahesa Wulung terpaksa lebih teliti lagi 
dengan ilmu kitab hijau. Ia berusaha menggabung-
kan antara ilmu Panembahan Tanah Putih dengan 
ilmu kitab hijau yang kini tengah dipelajarinya.
Tempat itu begitu sepi dan tenang, tak terdengar 
suara berisik ataupun jeritan kecuali bunyi gemericik 
tenang dari air sungai yang mengalir di Jurang Mati, 
jauh di bawah sana. Ketenangan dan kesepian tempat

itu telah membantunya dalam memperdalam ilmu-
nya. Ia telah bertekad, bahwa justru dalam kesepian, 
ia akan mengisi hidupnya dengan suatu perjuangan 
dan ketekunan mendalami ilmunya mati-matian. 
Lebih-lebih bila mengingat, bahwa lawan yang bakal 
dihadapinya itu adalah Ki Topeng Reges, satu pende-
kar sakti yang telah membuat geger dunia persilatan.
***

TIGA

Pada suatu pagi, di dalam ruangan goa itu beter-
banganlah kelelawar-kelelawar untuk mencari tem-
pat-tempat serta relung-relung yang gelap. Mereka 
pada bersembunyi ketakutan karena mendengar deru 
angin yang menyapu udara di dalam goa dengan 
dahsyatnya bagaikan suara rajanya prahara.
Kelelawar-kelelawar itu mula-mula terkejut dan 
merasa takut bila deru angin itu bakal menghempas-
kan serta menyapu mereka rontok ke tanah. Tetapi 
mereka merasa lega setelah deru angin itu berasal 
dari gerakan-gerakan Mahesa Wulung, salah satu 
penghuni goa yang telah dikenal oleh mereka. Kini 
kelelawar-kelelawar itu sibuk mengawasi tubuh 
Mahesa Wulung yang tengah melatih diri dengan ilmu 
silat kitab hijau.
Ternyatalah Mahesa Wulung dengan bersusah 
payah berhasil sedikit demi sedikit menggabungkan 
unsur-unsur gerak silat dari Panembahan Tanah 
Putih dengan unsur-unsur gerak dari kitab hijau itu.
Gerakan ilmu silat dari Mahesa Wulung memang 
menakjubkan sekali, hingga tak mengherankan kalau 
kelelawar-kelelawar pun sampai turut mengagumi-
nya. Tubuhnya menjadi serupa burung branjangan, 
melenting dan berputaran di udara dengan gesitnya. 
Rasanya seakan-akan selembar daun kering, tubuh 
Mahesa Wulung merasa ringan, mampu bergerak

tanpa menimbulkan bunyi kecuali desau angin yang 
terdengar akibat kecepatan gerak tubuhnya.
Dasar-dasar jaya kawijayan dan kesaktian telah 
berhasil diungkapkannya dari kitab hijau tersebut 
dengan baik. Sejak dari huruf awal sampai huruf 
terakhir dalam ilmu tata silat dan tata berkelahi telah 
dihafalkannya. Rangkaian kata-kata itu ia wujudkan 
ke dalam gerak, dan dari rangkaian gerak itu terben-
tuklah keseluruhan ilmu silat kitab hijau yang dipela-
jarinya.
Kesemuanya itu telah dicapai oleh Mahesa Wulung 
dalam waktu yang singkat. Jika orang lain, pastilah 
akan memakan waktu yang tidak kurang dari satu 
tahun, atau mungkin pula sampai lebih dari satu 
tahun.
Sekarang Mahesa Wulung dapat menggerakkan 
tubuhnya lebih leluasa. Kalau dahulu, setiap gerakan 
melesat dan melenting ke udara ia harus mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh, kini hal itu tidak perlu 
lagi.
Jika ia ingin melesat ke udara atau kemana saja, 
ia cukup menjejak tanah, maka tubuhnya akan mele-
sat dengan entengnya bagai selembar daun kering 
yang terkena tiupan angin.
Saking asyiknya ia melatih ilmu silat kitab hijau 
itu, tak terasa kalau matahari semakin bergeser ke 
arah barat. Sejurus kemudian Mahesa Wulung ber-
henti menggembleng dirinya bila sinar matahari yang 
jatuh ke ruangan goa itu telah condong ke barat.
Dari sekujur tubuhnya menetes-netes air keringat-
nya yang keluar dari lobang-lobang kulitnya. Badan-
nya terasa menjadi segar bagai disiram air embun. 
Ketika mengingat-ingat jurus gerakan silat yang telah 
dicapainya, ia tersentak kaget.

“Seratus sepuluh jurus!” guman Mahesa Wulung 
setengah tak percaya. “Dan itu semua kukerjakan 
tanpa menimbulkan rasa capai. Luar biasa. Oh, 
sungguh beruntung aku dapat menemukan serta 
mempelajari kitab ini. Dan secara tidak langsung aku 
telah pula menjadi murid Landean Tunggal.”
Mahesa Wulung mengamat-amati tubuhnya yang 
kelihatan agak susut, tetapi urat-urat darah serta 
otot tubuhnya lebih nampak menjadi kukuh tak 
ubahnya akar tumbuh-tumbuhan yang semakin 
dalam merasuk ke dalam tanah, menjadikan batang 
tubuhnya semakin tegak perkasa.
Bila terasa kerinduannya akan langit yang biru 
bening, ia pun melangkah perlahan-lahan ke mulut 
goa untuk menatap langit yang mahaluas tak bertepi.
“Langit yang cerah tak berawan hujan. Hmm, ini 
sudah sampai mangsa ke sanga. Begitu lama aku 
telah mendekam di dalam goa ini. Bagaimana dengan 
sahabat-sahabatku di Demak? Pasti mereka akan 
merasa kehilangan aku di saat ini.
Mudah-mudahan Adi Pandan Arum dan Jagayuda 
dapat berhasil merebut catatan rahasia panah Braja 
Kencar dari tangan Rikma Rembyak.
Kalau aku telah mempunyai kewajiban menghan-
curkan Ki Topeng Reges, maka terhadap si Rikma 
Rembyak muridnya itu, aku pun tak akan tinggal 
diam. Ia harus diselesaikan juga, sebab menyisakan 
benih-benih kejahatan akan sangat berbahaya 
akibatnya.”
Mahesa Wulung menatap tebing-tebing Jurang 
Mati yang curam. Kalau semula ia merasa ngeri meli-
hat kecuraman itu, kini tidak lagi begitu. Malahan ia 
merasa kagum melihat tebing-tebing curam itu. Batu-
batuan yang runcing dan berlekuk-lekuk bergemer

lapan ditimpa sinar matahari amat indahnya.
Di depan mulut gua itu Mahesa Wulung kembali 
mengheningkan cipta untuk melatih lagi ilmu silat-
nya. Gerakan yang pertama hanya pelan-pelan saja 
kemudian jurus kedua dimulai disusul jurus ketiga, 
keempat dan selanjutnya dengan beruntun serta 
bertambah cepat.
Dengan satu loncatan indah, ia melambung dan 
mendarat ke tebing curam di atasnya. Tap! Kedua 
kakinya seolah-olah melekat pada tebing itu dan 
kembali ia melesat lagi serta berulang kali mendarat 
dan melenting ke udara.
Sepintas lalu ia seperti dapat berjalan pada tebing 
yang terjal dan tegak. Gerakannya sangat mirip kelin-
cahan seekor kelabang. Berulang kali Mahesa Wulung 
melenting-lenting di antara tebing-tebing Jurang Mati 
dengan enaknya tanpa merasa kuatir sedikit pun
akan terjatuh ke dasar jurang. Kalau dahulu ia 
memandang tempat ini sebagai sarang maut, kini 
menjadi lain lagi. Tempat itu baginya merupakan ge-
langgang pembajaan diri, tak ubahnya Kawah Can-
dradimuka tempat menggodok dan menggembleng 
Raden Gatutkaca di masa-masa mudanya.
Selagi Mahesa Wulung tengah enak-enaknya 
berloncatan di antara tebing-tebing Jurang Mati, di 
puncak tebing di sebelah atas terdengarlah benturan-
benturan senjata yang beradu. Suara itu tak urung 
tertangkap oleh telinga Mahesa Wulung yang tajam 
biarpun ia tengah berloncatan kesana-kemari.
Seketika ia menatap ke atas ke ujung tebing 
jurang, dari mana suara benturan senjata itu terde-
ngar. Satu pemandangan yang mengagetkan hati 
membuat Mahesa Wulung menghentikan latihannya. 
Di atas sana terlihat tiga bayangan manusia yang

bertempur mengerubuti satu bayangan manusia lain 
yang bertubuh ramping. Keempatnya bertempur de-
ngan hebat diselingi dengan teriakan-teriakan perang 
yang melenting tinggi di udara.
Menyaksikan pertempuran itu, mau tak mau 
Mahesa Wulung menaruh kagum, terutama kepada 
bayangan manusia yang bertubuh ramping. Meski-
pun ketiga lawannya berusaha memojokkan dirinya 
ke arah jurang, tetapi senantiasa ia berhasil lolos dari 
kepungan itu. Karuan saja ketiga lawannya terpaksa 
menahan gerakan tubuhnya. Kalau tidak, salah-salah 
mereka sendiri yang bakal tercampak ke Jurang Mati.
Tergoncang dada Mahesa Wulung melihat baya-
ngan manusia ramping itu. Pastilah ia seorang wani-
ta. Rambutnya yang panjang tergerai bila ia melesat 
kesana-kemari dalam menghindari setiap serangan 
ketiga lawannya.
“Hah, siapakah gerangan dia? Jangan-jangan Adi 
Pandan Arum sendiri?” desah Mahesa Wulung ikut 
kecemasan melihat pertempuran di tepi jurang itu.
“Baik, aku akan ke atas sana melihatnya. Aku tak 
senang melihat pertempuran yang main keroyokan, 
apalagi dia seorang wanita!” gumamnya seraya me-
lesat ke tebing di sebelah barat. Setelah itu ia berlon-
catan dari batu ke batu, menuju ke atas dengan 
enaknya.
Sementara itu, pertempuran di tepi jurang 
bertambah ramai. Ketiga pengepung gadis itu, yang 
seorang bersenjata pedang, sedang yang dua orang 
bersenjata tombak. Rupanya gerakan si gadis cukup 
tangguh sehingga sampai saat itu mereka belum 
berhasil mengalahkannya. Mereka karuan saja makin 
beringas melihat serangan mereka selalu gagal. Si 
gadis yang bersenjatakan tongkat kayu itu mampu

memutar senjatanya bagaikan baling-baling yang 
selalu menutup dirinya dari setiap jangkauan senjata 
ketiga musuhnya. Melihat tongkat kayu itu, hati 
Mahesa Wulung mau tak mau merasa tertarik akan 
gadis itu. Ia merasa pernah melihat cara permainan 
tongkat kayu itu serta jurus-jurusnya sekaligus. 
Tetapi siapakah yang telah pernah menggunakannya?
“Hmm, ya, ya. Aku ingat sekarang. Panembahan 
Tanah Putih dari Asemarang dan Pendekar Rikma 
Rembyak. Dua tokoh sakti yang selama ini menggu-
nakan tongkat kayu sebagai senjata,” pikir Mahesa 
Wulung setengah berjingkrak. “Kalau begitu pasti 
gadis itu ada hubungannya dengan salah satu tokoh 
dari keduanya.”
Habis berpikir, Mahesa Wulung mempercepat lon-
catan-loncatannya ke atas menuju ke gelanggang 
pertempuran dan sekaligus mempersiapkan diri. Di 
luar dugaan, saat itu pula si gadis dalam keadaan 
makin terdesak oleh serangan-serangan dari ketiga 
pengepungnya.
Sebuah tebasan pedang berhasil dielakkannya 
dengan loncatan ke udara, berbareng pula dua ujung 
tombak lawannya yang lain siap menikam tubuhnya. 
Tentu saja si gadis merasa terperanjat setengah mati 
diserang seperti itu.
Maka dengan gerakan yang lincah ia secepat kilat 
merubah gerakannya. Tubuhnya mendatar rata, 
sehingga ketiga ujung senjata lawan hanya sempat 
mengenai angin. Ternyata gerakan gadis ini dilaku-
kan secara tiba-tiba dan kurang sedikit cermat. Na-
mun itu bukan kesalahannya, sebab gerak naluriah 
itu timbul demi keselamatan jiwanya yang terancam. 
Akibat gerakannya yang menyerempet-nyerempet 
bahaya itu, seketika keseimbangan tubuhnya hilang

dan gadis itu terhuyung ke arah Jurang Mati.
“Aahhh!” si gadis menjerit kecil ketika merasa bah-
wa tubuhnya terpelanting ke jurang, sedang ketiga 
lawannya melihat gadis itu serentak terkekeh-kekeh 
tertawa kesenangan.
“Ha, ha, ha, mati kowe!”
Tetapi mendadak ketawa mereka terbungkam se-
ketika bagaikan orong-orong terinjak, manakala dari 
dalam jurang melesat bayangan tubuh manusia yang 
secepat kilat menyambar pinggang si gadis, dan men-
daratkannya kembali di atas tanah.
Si gadis itu sendiri merasa terperanjat ketika 
pinggangnya merasa disambar sebuah tangan yang 
perkasa dan menyelamatkannya. Dengan cepat ia 
menoleh ke samping dan mau tidak mau ia terpaksa 
terpesona, bila orang yang menolongnya itu mempu-
nyai wajah yang tampan dan ramah serta seleret 
kumis menghias bibirnya.
“Aah, siapakah Andika?” tanya si gadis.
“Tenanglah. Aku akan membelamu dari ketiga 
orang itu,” jawab Mahesa Wulung dengan manis.
“Heei, siapa kamu!? Kurang ajar! Mengapa kamu 
turut campur dengan urusan kami, keparat?!” teriak 
orang yang berpedang mengayunkan senjatanya 
penuh kesombongan ke arah Mahesa Wulung. “Rupa-
nya kamu ingin merasakan pedangku ini, he?! Wah, 
minggirlah sebelum kebacut mengukur tenaga dengan 
Dongkol!”
“Eh, kau melarangku turut campur dengan urusan 
kalian? Rupanya kalian hanya berani bertempur 
melawan seorang gadis, dan lagi kalian ternyata 
golongan pengecut, sebab untuk melawan seorang 
gadis saja, kalian masih mau mengeroyoknya!” ujar 
Mahesa Wulung dengan tenangnya.

Bagai disambar geledek, telinga Dongkol serentak 
merah membara demi mendengar ucapan Mahesa 
Wulung. Selama hidupnya, baru kali inilah ia men-
dengar kata-kata dari mulut orang lain yang begitu 
lancang berani merendahkan dirinya. Dongkol meng-
kerotkan giginya sambil merangsang Mahesa Wulung 
dengan putaran pedangnya ke arah kepala lawannya.
Sampai saat itu Mahesa Wulung masih saja berdiri 
tegak di samping si gadis, seolah-olah sebuah arca 
batu yang menonton sebuah pameran permainan pe-
dang. Hal ini membuat Dongkol semakin takabur dan 
dikiranya sang lawan terpesona melihat ilmu pedang-
nya. Maka tanpa menunda-nunda lagi Dongkol se-
cepat kilat menyerbu ke arah Mahesa Wulung.
Wessss! Pedang Dongkol telah membabat ke arah 
kepala Mahesa Wulung, dengan kemantapan hati 
yang bulat serta bayangan pikirannya, bahwa seben-
tar lagi kepala lawannya pasti akan terpenggal lalu 
menggelundung ke tanah tanpa sesambat. Tetapi di 
saat pedangnya hampir menyentuh leher lawannya, 
ia terpaksa kaget, sebab Mahesa Wulung cuma meng-
geser kaki kanannya ke belakang serta memiringkan 
kepalanya sedikit. Gerakan itu memang sederhana, 
namun dilakukan dengan cepat hingga sukar diikuti 
oleh pandangan mata yang lumrah.
Dongkol menjadi semakin mendongkol hatinya bila 
pedangnya meleset dari sasarannya. Secepat kilat ia 
mengulang serangannya kembali lebih hebat ke arah 
Mahesa Wulung.
Sayang, untuk yang kedua dan ketiga kali pun 
serangannya senantiasa gagal, sebab setiap kali mata 
pedangnya sudah hampir mengenai sasarannya, seti-
ap kali juga Mahesa Wulung cuma menggeser-geser 
sebelah kakinya saja. Hal ini terasa sebagai suatu

ejekan luar biasa bagi Dongkol.
Jika saja ia mengetahui bahwa lawan yang kini 
dihadapinya itu telah menggembleng diri dengan 
kitab hijau dari Landean Tunggal, pastilah ia tidak 
akan sembarangan dengan dia. Dan memanglah, ka-
lau orang lain saja merasa kagum terhadap gerakan-
nya, Mahesa Wulung pun merasa kagum sendiri pula 
untuk setiap gerakannya. Terasa badannya mampu 
lebih cepat dan tangkas dalam menghindari se-
rangan-serangan lawannya.
“Keparat, kau punya ilmu siluman!” umpat si 
Dongkol dengan marahnya.
Begitu selesai ucapannya. Dongkol mendadak me-
ringis setengah menjerit. Sebab tahu-tahu tangannya 
yang memegang pedang telah kena tangkap oleh 
tangan kanan Mahesa Wulung sekaligus menghim-
pitnya laksana sepasang tanggem baja yang tengah 
mengunci.
“Hiyuuung aduh, duh! Hee, kalian berdua jangan 
cuma ndomblong melihatku! Ayo cepat kau menye-
rangnya!” seru Dongkol sambil mencucurkan keringat 
dinginnya.
“Hmm, kau tak perlu melolong-lolong minta tolong 
kepada kedua koncomu. Baiknya kau saja kembali 
kepada mereka! Haaet!!!” teriak Mahesa Wulung ber-
bareng tangannya menghentak ke samping.
Akibatnya tak ampun lagi, tubuh Dongkol terpe-
lanting deras ke arah kedua temannya yang bersen-
jata tombak dan di saat itu tengah bersiap-siap me-
nyerbu Mahesa Wulung.
Melihat kawannya melesat terpelanting ke arah 
mereka, kedua orang itu menjadi geragapan seketika. 
Betapa tidak? Mereka bersenjata tombak dengan 
kedua ujungnya tertuju ke arah Mahesa Wulung,

sehingga sewaktu tubuh Dongkol melayang ke arah 
mereka, maka terpaksalah kedua orang itu meng-
hindar jauh-jauh secepat kilat. Sedikit saja terlambat, 
pastilah tubuh si Dongkol akan menghunjam tersate 
pada tombak-tombak mereka.
Buuuk! Tubuh Dongkol terhempas ke tanah keras 
sambil meringis mengerang-erang. Biar begitu, itu 
masih terbilang untung kalau tubuhnya tidak remuk 
redam, sebab sebenarnya dia pun termasuk golongan 
jagoan, meskipun tingkat menengah saja.
“Setan alas! Kau menyombong kelewat batas di 
depan hidungku! Sekarang terimalah permainan tom-
bak sepasang Jaya Yoga. Jebol dadamu kelakon!” seru 
kedua orang itu, lalu menyerang dengan tikaman-
tikaman tombaknya yang penuh hawa maut.
Bagaikan gulungan-gulungan badai yang ganas, 
kedua mata tombak tersebut melibat tubuh Mahesa 
Wulung bertubi-tubi dan untuk inipun Mahesa Wu-
lung selalu dapat menghindarinya dengan berlonca-
tan kesana-kemari, kadang-kadang berjumpalitan di 
udara, tak ubahnya gerakan seekor kelabang.
Pada suatu saat dilihatnya sebuah pertahanan 
lawannya yang lemah, maka disertai gerakan manis, 
ia menerkam kepada salah seorang lawannya. Kedua 
tangannya laksana dua cakar burung garuda yang 
mengembang, kemudian menangkap tangkai tombak 
di sebelah ujungnya.
Tap!
Lawannya terpekik keheranan dengan hal itu, lalu 
cepat-cepat memutar tangkai tombaknya agar tombak 
itu dapat terlepas dari jari-jemari Mahesa Wulung. Di 
luar dugaan Mahesa Wulung mengayunkan sisi 
telapak tangannya ke atas tangkai tombak.
Kretak!

Berbareng bunyi berderak memekakkan telinga, 
tangkai tombak itu patah disusul oleh gerakan 
tangan Mahesa Wulung yang menangkap bahu serta 
pergelangan tangan orang itu.
Kontan saja ia berteriak kepada temannya, 
“Kakang Yoga, bantu!”
Mendengar teriakan Jaya yang kini bergulat
dengan lawannya, secepat angin ia menyerbu ke arah 
Mahesa Wulung. Mata tombaknya yang berkilat siap 
menjebol tubuh lawan dari samping! Tanpa dinyana 
di saat mata tombaknya hampir menghujam lambung 
kanan Mahesa Wulung, pendekar ini bergerak jauh 
lebih cepat seraya menggeser tubuh Jaya ke samping 
sebagai perisai.
“Haaaaghh!” teriakan pendek terlontar dari mulut 
Jaya sewaktu mata tombak Yoga menghujam pung-
gungnya diiringi darah segar mancur kemana-mana.
Melihat tombaknya telah memakan korban ter-
hadap temannya sendiri, karuan saja Yoga terpekik 
kaget setengah ketakutan. Tangkai tombak yang 
sekarang menancap ke punggung Jaya buru-buru 
dilepaskannya. Setelah itu ia melesat ke arah Mahesa 
Wulung, sekaligus mengirim pukulan ke arah lawan-
nya.
Mahesa Wulung pun telah bersedia pula. Maka di 
saat pukulan lawan meluncur ke arahnya, ia segera 
memapakinya pula dengan kepalan tangan kanan-
nya.
Blaaag!
Pukulan tangan Yoga berbentur dengan kepalan 
tangan Mahesa Wulung yang dirasanya seolah-olah 
membentur dinding karang tebal.
“Aduh!” Yoga menjerit hebat sambil menarik 
tangan kanannya kemudian dihembus-hembus de

ngan mulutnya, persis orang yang mau mendingin-
kan kopi panasnya.
Memanglah tangan Yoga terasa panas dan sakit. 
Rasa ini cepat menjalar ke atas dan bila sampai ke 
kepalanya, seketika pandangan matanya nanar, dan 
berputaranlah semua benda-benda di depan mata-
nya. Sejurus kemudian tubuhnya terjengkang ke 
tanah pingsan.
Di saat Mahesa Wulung telah merobohkan ketiga 
lawannya, sebuah bayangan manusia melesat me-
ninggalkan tempat itu. Tentu saja Mahesa Wulung 
terkejut karenanya. Cekatan ia memburu ke arah 
bayangan itu. Si gadis! Ya, gadis yang telah ditolong 
itu berlari ke arah utara, tanpa berkata apa-apa. 
Apakah maksudnya?
Dalam beberapa saat setelah kira-kira mereka 
berkejaran sejauh dua puluh tombak, gadis itu kena 
ditangkap oleh Mahesa Wulung. Tetapi agak malang 
pula rasanya bagi si pengejar. Kakinya kena terantuk 
oleh akar pohon dan tak ampun lagi keduanya 
seketika jatuh bergulingan ke arah mata air yang 
jernih airnya. Untunglah pula bagi si gadis, karena 
Mahesa Wulung selalu melindungi kepalanya ketika 
bergulingan ke tanah, sehingga tidak sampai ia 
terluka terbentur batu-batuan.
Ketika keduanya terhenti bergulingan, si gadis 
yang tubuhnya menindihi si pendekar seketika ter-
sipu-sipu dan bangkit, lalu duduk di tanah di 
samping Mahesa Wulung.
“Maaf aku telah menyusahkan Andika,” ujar si 
gadis dengan melirik ke samping.
“Eh, tak apalah. Akulah yang seharusnya malah 
meminta maaf, sebab Andika telah terjatuh karena 
kurang hati-hatiku,” ujar Mahesa Wulung. “Tapi

mengapakah tadi Andika telah lari?!”
Si gadis tak segera menjawab, ia kelihatan cemas, 
dan ini membikin hati Mahesa Wulung semakin ingin 
mengetahui tentang diri si gadis.
“Sebenarnya aku tak mengingini seseorang terlibat 
dalam urusanku. Apalagi kalau ia mendapat susah 
karena aku.”
“Kalau aku bersedia menolong Andika, apakah 
salahnya?” kata Mahesa Wulung ramah.
“Mmm, syukurlah kalau Anda berpikir demikian,” 
ujar si gadis setengah tersenyum, membuat lesung 
pada pipinya, menambah wajahnya yang manis itu 
semakin menarik. “Sesudah berterima kasih kepada 
Andika, perkenalkanlah diriku. Aku bernama Andini 
Sari dari Pulau Mondoliko.”
“Aku Mahesa Wulung dari Demak,” kata Mahesa 
Wulung. “Dan siapakah mereka itu?”
“Mungkin Anda terkejut kalau mendengar bahwa 
sebenarnya orang-orang itu adalah sahabat-sahabat 
ayahku sendiri,” kata Andini Sari.
“Tapi mengapa mereka berusaha membunuh An-
dika?” bertanya Mahesa Wulung. “Mungkin Andika 
telah bersalah.”
“Ya, sebab aku telah lari meninggalkan ayahku 
dari Pulau Mondoliko. Aku berselisih pendapat 
dengan ayahku karena perbuatan-perbuatannya yang 
tidak aku setujui, maka aku terpaksa lari dari-
padanya. Dan ketiga orang itu agaknya telah diperin-
tah oleh ayah untuk membunuhku atau menangkap-
ku hidup atau mati.”
“Oh, agaknya ayahmu termasuk bilangan orang 
yang kejam dan berkemauan keras!” sela Mahesa 
Wulung.
“Tepat! Andika tidak perlu heran dengan dia.

Bahkan akhir-akhir ini ia telah membunuh seorang 
Empu terkenal dari Demak untuk merebut catatan 
panah rahasianya yang bernama Braja Kencar!”
“Haaa? Jadi ayahmu yang membunuh Empu Bas-
kara dari Demak!? Kalau begitu kau adalah anak si 
Rikma Rembyak!” tukas Mahesa Wulung geram.
“Heei, Andika telah mengenal nama ayahku? 
Jangan-jangan Anda pun termasuk bilangan sahabat 
ayah dan mau menangkap pula!”
“Persetan! Aku bukan sahabat ayahmu yang kejam 
itu. Malah sebaliknya! Aku adalah musuh utama 
pendekar gondrong itu,” Mahesa Wulung berkata 
setengah jengkel, karena dikatakan sahabat si Rikma 
Rembyak. “Ayahmu harus menebus dosa-dosanya 
karena pembunuhan itu!”
“Terserah atas pendapatmu itu. Tapi ayah pernah 
bilang bahwa ia berbuat itu untuk menolong Empu 
Baskara agar lebih cepat mati. Dengan begitu ia 
terbebas dari deritanya.”
“Oooh, agaknya Andika pun sependapat dengan
pendirian si Rikma Rembyak terhadap kematian Em-
pu Baskara?!” ujar Mahesa Wulung tajam.
“Cukup kata-kata Anda itu!” potong Andini Sari. 
“Aku hanya mengatakan apa yang telah dikatakan 
ayahku. Itu bukan berarti aku setuju dengan perbua-
tan-perbuatannya.”
“Ternyata Andika pandai berkata-kata pula.”
“Ya! Dan sama pula dengan kepandaianku untuk 
bertempur melawan Anda!” Andini Sari menyindir.
“Tidak! Tidak! Aku tak bermaksud mengukur 
tenaga melawan Andika,” ujar Mahesa Wulung seraya 
memperlihatkan raut mukanya yang membayangkan 
kecemasan. Hal ini tentu saja membuat Andini Sari 
semakin jengkel.

“Lekas, bersiap-siaplah menghadapi seranganku 
ini. Melawan atau tidak, kau akan merasakan keman-
tapan pukulanku!” Andini Sari berkata serta lang-
sung mengirimkan pukulan tangan kanannya menim-
bulkan suara berdesing.
“Heei, Andika tidak bermaksud sungguh-sungguh, 
bukan?!” seru Mahesa Wulung kaget dan bersiaga. Ia 
cepat-cepat menyalurkan ajarannya Tugu Wasesa.
Duuk!
Pukulan tangan Andini Sari bersarang ke dada 
Mahesa Wulung dan terjadilah benturan cukup 
keras. Mahesa Wulung tergetar sedikit ke belakang 
dan ini membuat ia sibuk berpikir. Apakah gadis itu 
memukul dengan kekuatan penuh atau hanya 
dengan sebagian kecil tenaganya?
Sedang si gadis melihat lawannya tahan terhadap 
pukulannya, tanpa banyak berpikir segera mengulang 
serangannya kembali dengan satu pukulan deras 
yang tak kalah hebat dengan pukulan pertama.
Untuk inipun Mahesa Wulung tak berusaha 
mengelak, sebab ia juga mempunyai pikiran lain, 
sampai di mana tenaga pukulan gadis ini?
Andini Sari terperanjat bila pukulannya yang 
kedua pun tanpa membawa hasil. Dalam batin ia 
terpaksa mengakui, bahwa lawannya ini mempunyai 
ilmu yang lebih tinggi dari dirinya. Dan bila ia 
menatap wajah Mahesa Wulung yang tersenyum-
senyum itu, hatinya jadi jengkel. Ia yakin dan merasa 
dipermainkan oleh lawannya. Maka seketika wajah-
nya membara merah.
Bila sudah begitu, serentak bibirnya yang merah 
basah itu tampak menjadi semakin merah membuat 
hati Mahesa Wulung geragapan. “Andini Sari! Sudah! 
Sudah! Hentikan pukulanmu. Aku terima kalah saja!”

“Tidak!” Andini Sari berseru. “Hiih, ini terimalah 
lagi pukulanku!”
Kemudian pukulan ketiga pun mendarat di dada 
Mahesa Wulung. Tetapi sekali lagi gadis ini terpesona 
melihat sikap lawannya yang tak mau mengelak. 
Hatinya menjadi bertambah jengkel separo kagum 
terhadap Mahesa Wulung. Pukulan berikutnya me-
nyusul dan ketika lawannya masih saja tersenyum-
senyum, si gadis pun melayangkan pukulannya kem-
bali susul-menyusul dan lama-kelamaan bertambah 
pelan dan semakin pelan, lalu gadis ini surut ke 
belakang dari lawannya serta berpaling membelaka-
ngi Mahesa Wulung.
Mahesa Wulung masih belum tahu dengan sikap 
Andini Sari. Mendadak saja telinganya menangkap 
isakan-isakan tangis yang kecil dan ternyatalah gadis 
itu menutupkan tangannya ke muka, menangis.
Mahesa Wulung bingung seketika mendengar 
isakan-isakan Andini Sari, maka ia segera mendekati 
gadis itu.
“Andini, Andini Sari, maaf aku telah membuatmu 
sakit hati. Aku tak bermaksud demikian.”
Si gadis yang mendengar ucapan lembut penuh 
perasaan tulus itu, hatinya agak terhibur. Lebih-lebih 
ketika terasa tangan sang pendekar mengusap pun-
daknya. Sesaat keduanya diam membisu, terbenam 
dalam angan-angannya sendiri-sendiri.
Sekonyong-konyong kesenyapan itu dipecahkan 
oleh satu bayangan yang melesat dari semak-belukar 
yang rimbun, membuat Mahesa Wulung dan Andini 
Sari terkejut.
“Oooh, Kakang Mahesa Wulung!” seru bayangan 
itu. “Syukur kau masih hidup, Kakang!”
Andini Sari yang mendekap Mahesa Wulung karena kagetnya, demikian melihat siapa bayangan yang 
muncul di depan mereka itu, cepat-cepat melepaskan 
dekapannya.
“Adi Pandan Arum!” seru Mahesa Wulung kaget 
bercampur girang, karena gadis itu tiba-tiba muncul 
di depannya.
Sedang Andini Sari melihat gadis yang baru datang 
itu membuat hatinya sibuk berkata-kata sendiri, “Oh 
gadis itu. Keduanya nampak telah akrab. Mungkin ia 
adalah tunangan Pendekar Mahesa Wulung ini. Biar-
lah aku berlalu saja dari tempat ini!”
“Nah, selamatlah kalian berdua. Selamat tinggal 
dan sampai berjumpa lagi!” ujar Andini Sari sambil 
meloncat meninggalkan tempat itu. Gerakannya 
sangat cepat dan sebentar saja tubuhnya lenyap di 
sebelah utara di sebuah jalan rintisan kecil di balik 
batu terjal yang menjulang tinggi.
“Andini Sari tunggu!” teriak Mahesa Wulung, tapi 
gadis itu tak menggubrisnya.
“Siapakah dia, Kakang Wulung?” ujar Pandan 
Arum. “Dan itu tubuh-tubuh yang menggeletak di 
sana?”
“Gadis tadi adalah Andini Sari. Ia kutemukan 
tengah bertempur melawan ketiga orang ini, Adi. 
Demikianlah ia akhirnya kutolong dan ternyata 
Andini Sari adalah puteri si Rikma Rembyak!”
“Haaa?! Putri pendekar gondrong itu? Hmmm, 
cantik juga dia, ya, Kakang?” ujar Pandan Arum 
sambil mencuri pandang ke arah Mahesa Wulung, 
membikin pendekar ini trataban hatinya.
“Betul katamu itu, Adik. Tapi Pandan Arum pun 
tak kalah dengan dia.”
“Ahh, Kakang Wulung ini. Sekarang aku ingin 
mendengar lelakon Kakang, sampai dapat lolos dari

Jurang Mati ini?” pinta Pandan Arum.
“Baik akan kuceritakan lelakonku pada Adi. Nah 
duduklah disini,” ujar Mahesa Wulung mempersilah-
kan Pandan Arum duduk di sebuah batu besar di 
dekatnya.
Lalu berceritalah ia mulai terjatuh ke jurang 
kemudian menemukan goa serta berkelahi melawan 
laba-laba raksasa, sampai akhirnya ia menemukan 
kitab milik Landean Tunggal. Kesemuanya itu di-
dengar oleh Pandan Arum dengan penuh perhatian, 
seakan-akan ia sendiri turut serta di dalam peristiwa 
itu. Wajahnya tampak tegang ketika mendengarkan 
pertempuran Mahesa Wulung melawan laba-laba 
raksasa, dan juga ia merasa kasihan mendengar 
kisah tentang Landean Tunggal serta kematiannya.
“Demikianlah kisah lelakonku ini, Adi Pandan. 
Untunglah aku membawa cambuk Naga Geni ini. 
Kalau saja tidak, mungkin sekarang ini kita tak akan 
berjumpa lagi,” kata Mahesa Wulung. “Dan sekarang 
cobalah Adi Pandan berceritera tentang pengejaran 
terhadap Rikma Rembyak. Dapatkah catatan panah 
Braja Kencar itu berhasil engkau rebut daripadanya?”
“Ah, ketiwasan, Kakang Wulung! Pengejaran itu 
gagal sama sekali. Jangankan merebut catatan, 
sedang menyentuh tubuhnya saja tak berhasil. Rikma 
Rembyak ternyata mempunyai ilmu lari yang hebat, 
sehebat ilmu lari Sapi Angin,” Pandan Arum berhenti 
sejenak berceritera sambil menarik napas panjang 
seperti hendak mengatasi rasa kesalnya. “Pengejaran 
terus berjalan, namun tiba-tiba Rikma Rembyak 
menyabetkan tongkat kayunya ke belakang, sehingga 
mengenai Kakang Jagayuda yang kemudian terjatuh 
ke tanah. Begitulah, maka pengejaran itupun gagal 
dan Kakang Jagayuda terluka ringan untuk beberapa

saat.”
“Hmmm, memang hebat si Rikma Rembyak,” de-
ngus Mahesa Wulung setengah mengepal-ngepalkan 
tinjunya karena gemas.
“Sungguh berat penanggungan kita, Kakang. Aki-
bat dari kegagalan tugas kita itu, maka pimpinan 
armada Demak telah mengambil satu keputusan, 
bahwa kita harus merebut kembali catatan panah 
rahasia Braja Kencar itu, dalam waktu tiga ratus 
hari. Jika itupun gagal pula, maka pimpinan armada 
Demak dengan sangat menyesal akan mencabut 
kedudukan kita sebagai perwira dari armada Demak.”
“Haaa?! Memecat kita dari armada Demak?” ulang 
Mahesa Wulung dengan terkejut, dan sejenak ia 
berdiam diri merenungi ceritera Pandan Arum tadi. 
“Hehh, waktu tiga ratus hari cukup banyak, tetapi 
apakah cukup lamanya untuk membekuk Ki Topeng 
Reges dan Rikma Rembyak? Jika sampai dipecat dari 
keperwiraan armada Demak, ahh, betapa maluku. Di 
mana mukaku ini harus kusembunyikan?”
Merenungi nasib dirinya yang begitu malang itu, 
Mahesa Wulung merasakan satu pergolakan dalam 
rongga dadanya. Jiwa ksatrianya menggelegak timbul 
karena mendapat tantangan yang begitu berat. Sekali 
lagi ia lebih dalam memikirkan tugasnya yang gagal.
“Adi Pandan, aku mengucapkan terima kasih atas 
segala bantuan yang telah Adi berikan kepadaku,” 
ujar Mahesa Wulung memecah kesunyian yang men-
cengkam. “Apakah Adik masih sanggup mendampi-
ngiku dalam tugas ini?”
Dalam beberapa saat Pandan Arum tidak segera 
dapat mengucapkan sepatah kata pun, malahan ia 
menundukkan kepalanya ke bawah. Kepalanya 
dipenuhi oleh bayangan-bayangan akan peristiwa

masa yang lalu. Kalau saja ia tak dapat menekan 
perasaannya, pastilah ia akan terisak-isak menangis. 
Mungkinkah kegagalan tugas Mahesa Wulung itu 
disebabkan oleh campur tangannya? Pertanyaan itu 
berkali-kali timbul tanpa terjawab olehnya.
Akhirnya Pandan Arumpun berkata dengan nada 
bergetar setelah sesaat bergulat dengan pikirannya 
sendiri, “Kakang Mahesa Wulung, aku akan selalu 
membantu Kakang dalam tugas yang seberat apapun. 
Maka tugas ini akan kita selesaikan berdua. Bukan-
kah begitu, Kakang?”
“Yah, terima kasih Adi. Mudah-mudahan kali ini 
bintang kita lebih cemerlang,” kata Mahesa Wulung 
dengan lega.
“Kakang Wulung, aku kira lebih baik kita berang-
kat sekarang meninggalkan tempat ini,” sambung 
Pandan Arum. “Ke timur ini ada sebuah jalan yang 
melingkari kaki Gunung Muria sebelah timur. Dan 
disana menurut Kakang Jagayuda terdapat sebuah 
rumah tua di dekat reruntuhan bekas candi yang 
didiami oleh Ki Topeng Reges.”
“Jadi di sanalah Ki Topeng Reges bercokol,” desis 
Mahesa Wulung pendek. Ia lalu teringat akan tempat 
itu, yang oleh orang-orang di kaki timur Gunung 
Muria dianggap sebagai tempat hantu dan dedemit 
bersarang. “Nah, sebelum berangkat, biarlah aku 
turun ke goa di bawah sana untuk mengambil kitab 
hijau peninggalan Landean Tunggal.”
“Silahkan, Kakang. Aku akan menunggumu di sini 
saja,” kata Pandan Arum sambil tersenyum manis, 
tertuju kepada Mahesa Wulung.
Belum lagi ia selesai tersenyum, tiba-tiba dilihat-
nya Mahesa Wulung meloncat ke tebing Jurang Mati 
serta dengan enaknya berloncatan turun ke bawah

tak ubahnya gerak seekor belalang. Karuan saja 
hatinya berdebar setengah kagum melihat gerakan 
Mahesa Wulung yang hebat itu dan sebentar saja 
bayangan tubuhnya telah lenyap di bawah sana, di 
kegelapan dasar Jurang Mati.
***
Mahesa Wulung sebentar saja telah tiba di mulut 
goa. Sejenak ditatapnya tempat itu dengan rasa haru, 
mengingat bahwa di sinilah ia dapat menggembleng 
dirinya lebih matang, daripada yang sudah-sudah.
Tempat ini sebentar lagi akan ditinggalkannya. 
Meskipun ia tidak lama tinggal di goa itu, namun 
hatinya tidak akan melupakan sepanjang hidupnya.
Kemudian dengan langkah yang mantap ia 
memasuki goa itu, serta langsung menuju ke ruang 
tengah, tempat ia berlatih serta mempelajari kitab 
hijau Landean Tunggal sehari-hari.
Kitab itu terletak di atas sebuah batu cincin ber-
alaskan tikar anyaman kasar dari daun ilalang yang 
dibuat oleh Mahesa Wulung sendiri. Sesudah Mahesa 
Wulung mengeluarkan selembar sapu tangan ber-
warna kuning dari ikat pinggangnya, kitab tersebut 
dipungutnya serta dibungkus dengan rapi dan 
kemudian dimasukkan ke dalam bajunya.
Mahesa Wulung selanjutnya melangkah ke ruang 
sebelahnya tempat ia menanam kerangka Landean 
Tunggal. Sekali lagi ia menatap timbunan batu itu, 
sedang dalam batin ia mengenang serta berdoa untuk 
Landean Tunggal yang telah tiada. Sesudah itu ia 
cepat-cepat berjalan keluar, sebab ia tidak ingin 
membuat Pandan Arum terlalu lama menunggu di 
atas.
Tiba-tiba di saat ia menginjak pintu ruangan itu,

didengarnya bunyi berdesir halus dari arah ruang 
sebelahnya yang kegelapan. Biarpun bunyi itu hanya 
lamat-lamat saja, tapi dapat ditangkap oleh telinga-
nya yang tajam! Mahesa Wulung buru-buru melekat 
pada dinding goa.
Memang, di tempat gelap itu terlihat berkelebatnya 
sesosok bayangan manusia yang amat cepat. Karuan 
saja hati Mahesa Wulung berdesir hebat bukan main, 
maka cepat-cepat ia merunduk dan mendekati 
tempat itu. Tapi betapa kecewanya bila tiba di situ, 
dilihatnya tak seorang pun tampak di tempat itu.
Mahesa Wulung tak sampai di situ saja penyelidi-
kannya, sebab ia yakin bahwa matanya telah benar-
benar menangkap gerakan tubuh manusia di sini. 
Segera ia berjongkok serta meraba-raba lantai goa itu 
dengan jari-jari tangannya. Sesaat kemudian ia 
menggumam.
“Jah! Tak keliru lagi. Ini adalah jejak-jejak baru 
dari kaki manusia. Tapi kemana dia berada?”
Selagi ia bertanya-tanya di dalam hatinya, tiba-tiba 
saja ia dikejutkan oleh suara orang tertawa lunak. 
Perlahan-lahan sekali suara itu, tetapi jelas dan dekat 
di sekitarnya. Ketawa yang lunak itu membuat darah-
nya berdesir lebih hebat.
Berkat pemusatan inderanya yang sempurna, da-
patlah ia mengetahui sumber dari suara ketawa yang 
lunak tadi kira-kira di arah belakangnya. Oleh sebab 
itu ia cepat meloncat membalikkan diri serta bersiaga 
penuh. Dan kemudian alangkah terkejutnya bila di 
hadapannya berdiri sesosok tubuh manusia yang 
berada di tempat kegelapan.
“Maaf Kisanak, kalau aku telah membuatmu 
kaget,” terdengar suara lunak dari orang itu.
Mahesa Wulung tak segera menjawab, kecuali ia

mengawasi orang itu dengan seksama dari ujung jari 
kakinya sampai ke ujung rambut kepalanya. Tubuh 
orang itu mempunyai potongan yang tegap perkasa. 
Sayangnya, wajahnya kurang jelas, karena ia berdiri 
di tempat gelap.
“Kisanak, apa maksudmu datang kemari?” berta-
nya Mahesa Wulung setengah curiga.
“Aku tak sengaja datang ke tempat ini,” orang itu 
berkata. “Dan tidak tahu bahwa Kisanak tinggal di 
tempat ini. Maka Andika tak perlu gusar bila bertemu 
aku di sini. Tak apa-apa. Aku adalah orang kabur 
kanginan tak bernama. Nah, sekarang biarlah aku 
berlalu dari tempat ini.”
“Tunggu dahulu! Kisanak harus menyebutkan 
namamu dulu sebelum berlalu dari tempat ini,” 
Mahesa Wulung berkata dengan mantap.
“Tidak! Aku sudah berkata kalau aku tanpa 
nama,” desis orang itu. “Tak seorang pun berhak 
memaksaku menuruti kehendaknya!”
“Hmmm, kalau bandel, akulah yang akan memak-
samu,” balas Mahesa Wulung membuat orang itu 
menggeram, tapi kemudian orang tersebut tertawa 
lunak.
“Heh, heh, heh, jangan coba menakut-nakuti aku. 
Rupanya dengan gertak sambalmu itu, kau bermak-
sud menutupi kegentaranmu. Suaramu tadi gemetar, 
Kisanak. Heh, heh, heh,” sekali lagi orang itu tertawa 
lunak.
Bagi Mahesa Wulung, kata-kata orang itu terasa 
sebagai sambaran petir di telinganya.
“Kurang ajar. Kau menghinaku kelewat batas, 
Kisanak! Hanya saja aku ingin tahu apa kata-katamu 
itu seimbang dengan tenaga serta keperwiraanmu?”
“Heh, heh, heh, apakah Andika bermaksud

menantangku?” ujar orang itu tenang-tenang.
“Menantang, sih tidak. Hanya ingin aku mencicipi 
keperwiraanmu!” kata Mahesa Wulung.
“Bagus, bagus! Sekarang terimalah salam perkena-
lanku!” seru orang itu dengan menggeram mengirim-
kan pukulannya ke arah Mahesa Wulung.
Untungnya Mahesa Wulung cepat-cepat sudah ber-
tindak, begitu lawannya itu melancarkan serangan-
nya, begitu pula ia memiringkan tubuhnya menghin-
dar.
Wusss! Angin pukulan lawan berdesau nyaring. 
Cukup bagi Mahesa Wulung untuk mengukur sampai 
di mana kekuatan lawan.
Begitu ia berhasil menghindari serangan itu, ganti 
Mahesa Wulunglah yang melancarkan pukulan dah-
syatnya.
“Hyaat!”
Namun alangkah terkejutnya, kalau lawannya itu 
untuk menghindari serangannya telah membuat satu 
gerakan yang membuatnya berdesir hati. Lawannya 
tadi telah meloncat mundur sambil berjongkok, 
sehingga dirinya terbebas sama sekali dari pukulan 
tangan Mahesa Wulung.
Melihat lawannya lolos, ia tak tinggal diam. Segera 
dikejarnya orang itu dengan serangannya yang bergu-
lung-gulung laksana ombak badai siap menghempas-
kan setiap perintang.
Demikianlah, maka keduanya tenggelam dalam 
perkelahian hebat di ruangan goa yang cukup luas 
itu. Terkadang keduanya sambar-menyambar di uda-
ra laksana dua ekor rajawali yang tengah berlaga dan 
sebentar lagi berubah seperti dua ekor banteng yang 
ketaton saling mengukur tenaga
Mahesa Wulung yang sekarang bukan Mahesa

Wulung yang dahulu. Berkat ilmu kitab hijau warisan 
dari Landean Tunggal itu, telah membajakan dirinya
menjadi manusia yang kuat jasmani dan rohaninya. 
Tubuhnya bergerak bagaikan bayangan yang melon-
cat kesana-kemari, ringan seringan daun kering serta 
lincah dalam menghindari setiap serangan lawan.
Rupanya lawannya itupun bukanlah orang yang 
sembarangan. Ia pun mampu bergerak selincah anak 
kijang yang menari-nari keriangan di padang rumput 
hijau. Bahkan sambil berloncatan kesana-kemari itu, 
lawan Mahesa Wulung tak lupa mengeluarkan suara 
ketawa yang lunak.
Pertempuran berjalan semakin seru, keduanya 
belum ada tanda-tanda akan kekurangan tenaga. 
Sesudah berjalan puluhan jurus, kedua pendekar itu 
menghentikan pertempurannya sejenak. Keduanya 
masing-masing mengatur nafasnya. Lawan Mahesa 
Wulung rupa-rupanya ingin cepat-cepat menyelesai-
kan pertempuran ini, karena tiba-tiba saja ia meraba 
hulu kerisnya dan menghunusnya sekali.
Mahesa Wulung pun tak tinggal diam, bila melihat 
lawannya menghunus senjata. Maka cepat-cepat ia 
melolos cambuknya dari ikat pinggang.
“Kiai Naga Geni!” desis lawan Mahesa Wulung serta 
surut ke belakang menatapi cambuk pusaka yang 
mengeluarkan sinar biru kehijauan.
“Hah, Kiai Sangkelat?!” seru Mahesa Wulung lirih 
ketika keris di tangan lawan itu mengeluarkan sinar 
buram seperti bara api.
Kedua pendekar itu sesaat termangu-mangu. 
Masing-masing telah menggenggam senjata pusaka 
yang ampuh. Meskipun Mahesa Wulung belum me-
ngenal siapa yang menjadi lawannya itu, tapi ia 
sudah dapat menebak kalau orang itu juga orang dari

lingkungan istana Demak. Sebab keris Sangkelat 
termasuk pula pusaka ampuh dari Demak. Keris itu 
yang dibuat oleh Empu Supa dari Sedayu terkenal 
ampuh luar biasa. Sedangkan orang itu yang melihat 
pusaka cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung 
juga merasa kagum rupanya dengan senjata lawan-
nya.
“Hmm, kita masing-masing memiliki pusaka-pusa-
ka dahsyat. Nah, aku usulkan kepada Kisanak agar 
kita menyimpan kembali senjata kita masing-masing. 
Marilah pertempuran ini kita lanjutkan tanpa meng-
gunakan senjata-senjata pusaka kita?!” terdengar 
orang itu berkata dengan tenangnya sambil menya-
rungkan kembali kerisnya.
“Baik, aku pun sependapat!” Jawab Mahesa Wu-
lung serta mengikatkan kembali cambuk Naga Geni 
ke ikat pinggangnya.
Setelah itu bergetarlah kembali udara goa itu oleh 
pertempuran kedua pendekar gemblengan. Keduanya 
terlibat dalam lingkaran pertempuran hebat. Batu-
batu kerikil serta debu berhamburan kesana-kemari 
seperti diaduk oleh angin puyuh, sehingga perang 
tanding itu merupakan perang tanding yang dahsyat. 
Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Wulung melihat 
lawannya mengambil sikap pukulan maut dengan 
menekuk kaki kirinya ke depan. Oleh sebab itu iapun 
tak akan tinggal diam begitu saja menghadapi aji 
pukulan lawannya yang mungkin amat dahsyat. 
Maka Mahesa Wulung pun mengerahkan segenap ke-
kuatan lahir batin yang disalurkan lewat sisi telapak 
tangannya, untuk menurunkan aji pukulannya 
‘Lebur Waja’.
Sejurus kemudian kedua pendekar itu saling 
berloncatan menyerbu dan satu letupan menggelegar

memekakkan telinga terdengar memenuhi ruangan 
goa, apabila kedua aji pukulan maut itu saling 
berbenturan satu dengan yang lain.
Begitulah bila benturan itu terjadi, akibatnya 
cukup hebat. Kedua pendekar itu masing-masing 
terpental surut ke belakang beberapa langkah untuk 
kemudian jatuh terduduk dengan tubuh yang lemas 
bagai dilolosi otot dagingnya, sementara dada-dada 
mereka terasa sesak bagai terhimpit oleh timbunan 
bongkah-bongkah batu.
Keduanya saling mengamati dengan teliti, tapi 
Mahesa Wulung masih belum mengenal dengan jelas 
akan wajah lawannya, kecuali hanya remang-remang 
saja. Sayang, kegelapan ruangan goa itulah yang 
menghalang-halangi Mahesa Wulung untuk mengenal 
wajah orang itu lebih lanjut. Namun dari pantulan-
pantulan sinar matahari di luar goa dapatlah Mahesa 
Wulung mengenali perawakan lawan serta guratan-
guratan wajahnya yang menunjukkan ketampanan.
Hati Mahesa Wulung terpaksa bergetar ketika 
merasakan kedahsyatan pukulan dari lawannya yang 
berkekuatan luar biasa.
“Aji Lembu Sekilan!” desisnya gemetar.
Tapi lawannya itupun bergumam keheranan, 
“Hmmm, aji Lebur Waja dari Asemarang yang cukup 
sempurna! Untunglah aku mempunyai Lembu Seki-
lan. Kalau tidak, pastilah tubuhku terbakar hangus 
atau remuk!”
Sesaat kedua orang itu terdiam seolah-olah tengah 
merenung serta merasakan akibat benturannya dua 
ilmu dahsyat. Masing-masing diam membisu tapi 
sibuk pula mengatur pernafasannya yang sesak.
Selagi Mahesa Wulung masih mengatur pernafasan 
serta melenyapkan rasa nyeri pada rongga dadanya,

tiba-tiba saja lawannya itu telah bangkit lebih dahulu 
dari duduknya. Hal ini membuat Mahesa Wulung 
terpaksa keheranan setengah kagum melihat daya 
tahan lawannya yang begitu hebat.
Orang itu sambil berdiri masih tak ketinggalan 
memperdengarkan ketawa lunaknya sambil berkata 
pelan, “Heh, heh, heh, Andika cukup hebat mengua-
sai ilmu pukulan Lebur Waja. Terus terang aku 
merasa kagum dan terimalah salamku. Aku yakin 
Andika akan berhasil menyelesaikan tugas-tugas 
Anda.”
“Terima kasih atas pujian Kisanak. Tapi kenyata-
annya Kisanak lebih hebat daripadaku. Aku pun 
mengagumimu,” ujar Mahesa Wulung yang masih
duduk di lantai goa. “Tapi siapakah Kisanak dan 
mengapakah Kisanak dapat mengenal ilmu pukulan 
si Lebur Waja?”
“Heh, heh, heh, Andika tak perlu heran. Aku 
memang suka mengembara dan muncul di tempat-
tempat yang tak terduga, seperti yang Andika saksi-
kan sekarang ini.” Terdengar kata-kata orang itu 
halus dan ramah. “Biarlah untuk sementara Andika 
tidak perlu mengenal namaku dulu. Lain kali pastilah 
kita akan bertemu pula.”
Orang itu kemudian melangkah keluar dari ruang-
an itu dan berjalan ke arah relung-relung terowongan 
goa yang lebih dalam dan gelap. Tapi kata-katanya 
masih terdengar lagi oleh telinga Mahesa Wulung.
“Nah, selamat tinggal Andika. Sampai bertemu lain 
waktu.”
“Terima kasih, Kisanak,” sahut Mahesa Wulung 
pelan. Kembali ia menebak-nebak. Siapakah orang itu 
yang begitu hebat mempunyai daya tahan serta 
keperwiraan dengan tingkatan sempurna? Tiba-tiba

sebuah percikan pikiran timbul, jika ia mengingat 
kembali aji pukulan Lembu Sekilan serta keris Sang-
kelat yang dipakai oleh lawannya.
“Hhhhh, apakah dia? Ooooh tak mungkin. Tapi 
mungkin pula dia! Ya, jika tidak keliru dialah Mas 
Karebet si Jaka Tingkir dari Demak. Hanya dialah 
yang mempunyai ilmu serta pusaka itu dan hanya dia 
pulalah yang sanggup meloncat mundur sambil 
berjongkok.”
Bila dadanya sudah tidak merasa sakit serta nafas-
nya telah lancar kembali, Mahesa Wulung cepat-cepat 
berdiri. Tampak olehnya tempat sekeliling yang 
penuh batu-batu berserakan akibat pertempurannya 
melawan pendekar tanpa nama itu.
Sesudah mengibas-kibaskan debu dari pakaian-
nya, ia segera melangkah keluar menuju ke arah 
mulut goa tempat ia masuk semula. Dan dengan 
sekali menggenjotkan kakinya ke tanah, Mahesa 
Wulung segera berlentingan meloncat-loncat di tebing 
jurang menuju ke atas.
Kedatangannya segera disambut oleh Pandan 
Arum dengan wajah kecemasan.
“Ooh mengapa begitu lama mengambil kitab itu, 
Kakang? Aku sudah sangat kuatir jangan-jangan 
Kakang dicegat pula oleh laba-laba raksasa.”
Mendengar kata-kata Pandan Arum itu, ia cuma 
tersenyum manis. Ia sengaja tidak akan menceri-
takan pertemuannya dengan pendekar asing itu.
“Tidak, Adi. Tak ada lagi laba-laba raksasa. Yang 
ada sekarang cuma bunga pandan yang cantik di 
hadapanku,” kelakar Mahesa Wulung.
Pandan Arum sedikit tersipu-sipu mendengar puji-
an dari mulut Mahesa Wulung.
“Idih, cantik mana dengan temanmu tadi, si Andini

Sari?”
Begitulah kalau sepasang muda taruna bersenda 
gurau. Pengalaman-pengalaman pahit serta kesusah-
annya sesaat terhibur dan hilang dari benaknya. 
Keduanya adalah pendekar-pendekar muda penuh 
harapan di masa datang. Maka biarpun mereka 
menghadapi bahaya yang sebesar apapun, mereka 
akan senantiasa berhati besar menghadapinya. 
Memang begitulah seharusnya manusia dalam meng-
hadapi persoalan yang besar dan rumit, yang boleh 
jadi akan dijumpai dalam hidup atau kejadian sehari-
hari. Ia tak boleh berputus asa sebelum betul-betul 
berjuang menghadapi persoalan itu. Dan yang 
penting, manusia tak boleh lupa kepada Maha Pengu-
asa Alam, Allah Yang Maha Besar. Untuk setiap hari, 
setiap tahun dan bahkan sepanjang kehidupan ma-
nusia, ia harus berjuang, bertawakal serta memohon 
kepadaNya agar damai dan tenteramlah di dunia ini.
***

EMPAT

Malam telah merajai semesta alam dan kehidupan 
siang telah berganti dengan kehidupan malam. Bunyi 
daun yang bergesekan di kelebatan hutan lereng 
Gunung Muria sangat menyeramkan bulu roma, tak 
ubahnya suara rintihan setan-setan.
Di sebuah rumah tua di dekat reruntuhan sebuah 
candi terlihatlah tiga orang duduk-duduk mengelilingi 
sebuah dian minyak yang sebentar-sebentar apinya 
bergoyang-goyang terkena angin.
“Nah, bagaimana dengan tugas kalian,” bertanya 
seorang yang berwajah kaku seperti tengkorak hidup 
dan berambut panjang.
“Telah berjalan sesuai dengan perintah, Kiai,” 
jawab seorang yang berambut pendek dengan tiga 
bundaran bekas luka di kepalanya.
“Dan sebentar lagi emas-emas itu pasti akan 
pindah ke kantong kita, Kiai,” sela si orang ketiga 
yang berhidung besar dan bergigi besar-besar.
“Hus, belum-belum sudah mimpi!” bentak si ram-
but pendek. “Kita lebih dulu harus berhadapan 
dengan satu kelompok prajurit berkuda!”
“Jaramala dan Pelang Telu! Coba kau ceriterakan 
selengkapnya apa-apa yang telah kalian kerjakan!” 
potong orang berwajah hantu yang tidak lain adalah 
Ki Topeng Reges. “Nah, Jaramala ceritakanlah!”
“Baik, Kiai. Mula-mula kami menyamar ke Demak

dan kami mulai menyelidiki tentang kiriman emas 
itu. Dua hari lagi, sepasukan berkuda akan lewat 
dengan membawa seperti uang emas serta perhiasan 
dari Gresik. Setelah berhasil kami mengetahui hal itu, 
kamipun segera pulang, Kiai,” Jaramala menyelesai-
kan ceriteranya dengan menundukkan kepala, 
seolah-olah takut memandang wajah hantu gurunya.
“Hua, ha, ha, ha, bagus kowe! Pancen kalian 
murid-murid yang setia dan pintar!” seru Topeng 
Reges tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya ter-
guncang-guncang. Begitu kuat tenaga dalamnya 
sampai-sampai genting-genting atap berderekan 
sedang dian api di meja pendek itu menjadi keder 
apinya. “Kalian boleh berangkat besok pagi dan bawa-
lah beberapa orang kawan yang perlu. Bunuh semua 
prajurit Demak yang mengawalnya, kemudian ram-
pas emas itu.”
Ki Topeng Reges berhenti sejenak serta meman-
dangi kedua muridnya. “Emas itu akan kita gunakan 
untuk menyusun kekuatan melawan Demak.”
“Kami sudah mengerti, Kiai. Dan emas itu pasti 
akan pindah ke tangan kita segera!” sahut Pelang 
Telu mantap. “Biar mereka rasakan sepak terjang 
murid-murid Ki Topeng Reges dari Watu Semplak.”
“Hmmm, begitulah harapanku kepada kalian 
berdua, sebab toh kalian juga yang akhirnya harus 
meneruskan Perguruan Netra Dahana ini!” ujar Ki 
Topang Reges. Kemudian ia berhenti sejenak mere-
nungi halaman yang terang-benderang bermandi 
sinar bulan.
Dari kejauhan terdengar raungan anjing-anjing liar 
yang mengumandang di lereng timur Gunung Muria. 
Terkadang bersahut-sahutan dengan raungan dari 
arah lain, sehingga keseraman hutan itu bertambah

tambah.
Suara binatang-binatang malam lainnya pun tak 
kalah seramnya. Ocehan burung hantu serta gangsir 
dan jengkerik atau sebentar-sebentar dering orong-
orong melengkapi irama keramaian malam purnama 
itu.
“Dengarlah raungan serigala-serigala itu yang me-
nyambut sinar bulan purnama,” Ki Topeng Reges 
berkata. “Sekarang marilah kita berlatih silat untuk 
menghadapi tugas kalian besok pagi!”
“Baik, Kiai,” ujar Jaramala dan Pelang Telu berba-
reng. Kemudian ketiga orang itu melangkah keluar 
menuju ke halaman rumah yang merupakan padang 
alang-alang dikelilingi oleh pohon-pohon sawo dan 
beringin berdaun lebat.
Bunyi dering orong-orong gangsir dan jengkerik 
terbisu seketika bila di halaman itu telah dipenuhi 
oleh sambaran-sambaran serta deru-deru pukulan 
dari ketiga orang itu. Ketiganya bergerak dan ber-
tempur amat cepat hingga yang nampak hanyalah 
bayangan-bayangan hitam yang saling berkelebatan 
seperti hantu malam berebut mangsa, diseling oleh 
jerit-jerit bersemangat dan pekikan-pekikan berlaga 
menambah ketiganya makin seru mengadu tenaga.
“Heeaat!” teriak Pelang Telu menyabet Ki Topeng 
Reges dengan sisi telapak tangannya yang sekeras 
batu karang ke arah kepala Ki Topeng Reges.
Si wajah hantu merunduk sambil berseru lantang, 
“Tidak kena! Hee, Pelang Telu, kau kurang cermat! 
Lihat nih, pertahananmu lowong!”
Ki Topeng Reges yang memperingatkan Pelang Telu 
itupun sambil mencablek muridnya dengan ujung jari 
tangannya, namun hal itu terasa oleh Pelang Telu 
bagai sengatan puluhan kalajengking yang nyeri sam

pai ke ujung ubun-ubun.
Sementara itu sebuah bayangan berkelebat menye-
rang si wajah hantu dengan tendangan melayang di 
udara menyambar kepalanya. Ki Topeng Reges cukup 
waspada dan menyambut tendangan itu dengan 
kedua telapak tangannya menahan serangan.
Buuk!
Kaki Jaramala yang menyambar itu membentur 
telapak tangan gurunya dan seketika ia terpelanting 
ke belakang putar balik.
Untunglah ia termasuk murid pilihan dari Ki To-
peng Reges, pendekar hitam berwajah hantu. Maka 
begitu ia terpelanting, segera ia mengerahkan tenaga 
dalamnya dan mendarat di atas tanah dengan kedua 
belah kakinya lebih dulu.
“Kau cukup baik!” teriak Ki Topeng Reges.
Jaramala dan Pelang Telu yang merasa gagal 
serangannya, cepat-cepat bersiaga dan menyerang 
berbareng ke arah Ki Topeng Rages dengan pukulan 
tangannya dengan cepat.
“Hyaat!” Ki Topeng Reges berteriak dan tubuhnya 
melesat ke udara, maka sebelum kedua pukulan itu 
mengenai sasarannya, si sasaran telah menghindar 
ke atas lebih dulu.
Kedua murid itu tidak putus asa, dengan cepat 
mereka menyerang kembali ke arah gurunya selagi Ki 
Topeng Reges masih mengambang di udara. Namun 
betapa kagumnya mereka bila Ki Topeng Reges masih 
bisa menghindar dengan melesat lebih tinggi lagi dan 
tahu-tahu ia telah nongkrong di atas sebuah cabang 
pohon beringin.
“Nah, sekarang hati-hatilah kalian!” seru Ki Topeng 
Reges sambil melesat turun ke bawah dengan kedua 
tangannya mengembang. Tubuhnya merupakan sinar

yang berkelebat dan tahu-tahu Jaramala dan Pelang 
Telu terkena totokan jari-jari Ki Topeng Reges. 
Keduanya seketika terjengkang ke tanah dengan 
meringis menahan sakit.
“Hua, ha, ha, ha. Jangan kuatir, anak-anak. Nih, 
kusembuhkan rasa sakitmu,” ujar sang guru sambil 
mengurut punggung kedua muridnya dan keduanya 
segera sembuh kembali.
Setelah memberi petunjuk-petunjuk, Ki Topeng 
Reges dengan kedua muridnya itu kembali melanjut-
kan latihannya. Ketiganya bertempur kembali dengan 
dahsyat, seolah-olah bukan latihan lagi, tetapi ber-
tempur sungguh-sungguh.
Latihan itu berjalan sampai tengah malam meng-
habiskan puluhan jurus. Kalau kedua muridnya itu 
telah mengucurkan keringat dinginnya, Ki Topeng 
Reges sendiri malah sebaliknya, ia nampak semakin 
segar dan beringas.
Akhirnya setelah Ki Topeng Reges merasa puas 
dengan kedua muridnya, maka latihan itupun disu-
dahi. Diam-diam si wajah hantu itu memuji kedua 
muridnya dan yakinlah kalau Jaramala dan Pelang 
Telu akan bisa menyelesaikan serta membereskan 
sekelompok pasukan berkuda dari Demak serta 
merebut emas itu.
Ketiganya masuk kembali ke dalam rumah dan Ki 
Topeng Reges menuangkan sebuah belanga kecil ke 
atas tiga pinggan tembikar. Sebuah cairan hijau 
kecoklatan mengalir ke atas pinggan itu sampai 
penuh.
“Nah, Jaramala dan Pelang Telu. Ayo kita minum 
jamu ini agar badan kita segar kembali,” ujar Ki 
Topeng Reges mempersilahkan kedua muridnya.
Ketiganya berbareng mengambil pinggan berisi

jamu itu. Ki Topeng Reges sambil mengangkat 
pinggan itu, ia melangkah ke jendela dan setengah 
menguakkan topengnya sedikit, ia meminum jamu 
itu.
Perbuatan Ki Topeng Reges itu tidak begitu meng-
herankan bagi Jaramala dan Pelang Telu, sebab mes-
kipun mereka belum pernah mengenal wajah di balik 
topeng seram itu, mereka sudah puas menjadi murid 
Ki Topeng Reges. Bagi mereka tidak peduli seandai-
nya wajah asli gurunya itu tampan ataupun jelek. 
Dan memang murid-murid Ki Topeng Reges itu tak 
ada yang berani mencoba menatap wajah hantu gu-
runya.
Malam makin bertambah larut dan bulan lebih 
jauh bergeser ke arah barat mendekati cakrawala, 
seperti seorang putri yang berjalan kelelahan menuju 
ke tempat peraduannya untuk melepaskan lelah.
“Kiai, apakah kami diperbolehkan tidur sekarang?” 
kata Jaramala memecah keheningan.
“Eeeh, ya, ya, aku lupa. Baiklah, kalian boleh 
beristirahat sekarang!” jawab Ki Topeng Reges.
Setelah sesaat kedua muridnya itu pergi, Ki Topeng 
Reges melangkah ke kamarnya untuk beristirahat 
pula. Matanya yang cekung tajam itu masih menatap 
sebuah kotak kayu berukir di dekat balai-balai.
Sambil merebahkan diri, kotak kayu itu diraih 
serta dibukanya dan tampaklah lembaran-lembaran 
kertas serta sebuah lopian, kaca bulat yang biasa 
digunakan untuk berkaca dan berhias.
“Hmmm, sayang sekali bahwa aku hanya sempat 
memiliki beberapa lembar halaman kitab hijau milik 
Landean Tunggal. Namun inipun sudah merupakan 
puncak dari ilmu kitab hijau itu. Dengan hanya 
beberapa lembar saja, terlahirlah ilmu Netra Dahana

yang dahsyat. Selama orang lain tak membaca hala-
man-halaman ini, tak seorang pun akan berhasil 
mengalahkan aku,” Ki Topeng Reges berkata-kata 
sendiri di dalam hatinya sambil membuka lembaran-
lembaran kertas itu serta lopian kaca yang diamat-
amatinya. “Dan kaca bulat ini yang nampaknya 
sepele, sesungguhnya merupakan senjata ampuh, 
tapi juga merupakan benda yang berbahaya bagi ilmu 
Netra Dahana. Hhh, tak perlu ada yang kukuatirkan 
memasuki kamarku ini. Bahkan murid-muridku pun 
tidak berani, sebab kamar ini penuh rahasia serta 
maut bagi setiap orang, kecuali aku sendiri Ki Topeng 
Reges!”
Ki Topeng Reges kemudian kembali menyimpan 
kedua benda yang amat berharga itu ke dalam peti 
kayu berukir. Matanya terasa berat dan lelah. Kemu-
dian si wajah hantu itupun merebahkan dirinya ke 
balai-balai.
Di luar, dua orang murid Ki Topeng Reges yang 
lain tampak menjaga rumah itu. Mereka duduk-
duduk di halaman depan. Tapi sebetulnya merekapun 
tak perlu takut sebab tempat itu terkenal sebagai 
sarang setan dan demit, hingga tak seorang luarpun 
berani menginjak Watu Semplak, pusat Perguruan 
Netra Dahana di lereng timur Gunung Muria.
***
Burung-burung murai berkicau menyambut sinar 
matahari pagi di sebuah jalan yang membujur di 
selatan Gunung Muria. Sebuah jalan yang sering 
dilalui oleh lalu lintas orang. Gerobak-gerobak sapi 
dan pasukan-pasukan peronda dari Demak. Jalan itu 
hampir membujur di sepanjang pantai utara Jawa, 
sehingga hubungan antara Demak sampai ke barat,

daerah Cirebon, dan ke timur sampai bandar Gresik 
menjadi sangat lancar.
Seiring tercampaknya sinar-sinar matahari pagi, 
dari arah timur muncullah pasukan-pasukan ber-
kuda sebanyak satu kelompok. Yang terdepan dua 
orang, berperawakan kekar memakai baju kutang tak 
berlengan berikat kepala merah. Di belakangnya, 
seorang berkuda menggandeng seekor kuda beban 
bermuatan sebuah peti kayu dengan hiasan logam 
berukir. Sedang di belakangnya lagi masih terdapat 
enam orang berkuda bersenjata tombak.
“Adimas Aldaka, lihatlah di sebelah utara itu. Gu-
nung Muria bermandi sinar matahari. Dan puncak-
nya tampak jelas, seolah-olah terlalu dekat untuk 
dicapai dengan tangan kita,” ujar seorang berkuda 
paling depan kepada temannya di sebelah.
“Ah, kau ini ada-ada saja, Kangmas Gajah Sela,” 
sahut teman di sebelahnya. “Sebagai pemimpin pasu-
kan ini, hal itu mungkin bisa kau lakukan. Tetapi 
kalau saya hanya mampu memegang puncak gu-
nungan wayang kulit itu saja, Kangmas.”
Oleh jawaban temannya yang bernama Aldaka itu, 
Gajah Sela serentak tertawa terkekeh-kekeh geli.
“Hi, hi, hi, kau punya bakat membanyol, Adimas 
Aldaka. Pantaslah kalau Dimas menjadi anggota 
dagelan dan pasti orang-orang akan kaku perutnya 
mendengar leluconmu.”
Aldaka juga ikut tertawa, kemudian pula disusul 
oleh ketujuh orang di belakangnya, ketika mereka 
mendengar percakapan antara pemimpin pasukan 
dan wakilnya.
Karena kelucuan Aldaka, perjalanan mereka 
menjadi selalu segar, sehingga jarak yang melelahkan 
dari Gresik menuju ke Demak terasa lebih dekat.

Pasukan berkuda itu terus menempuh perjalanan 
menuju ke arah barat melewati jalan yang dinaungi 
oleh pohon-pohon kenari dan munggur.
Meskipun dalam perjalanan itu Aldaka yang ber-
tubuh kekar tapi sedikit gemuk senantiasa membuat 
suasana segar dengan dagelan-dagelannya, namun 
matanya yang setajam elang itu selalu mengawasi 
jalan di mukanya serta menembusi kelebatan semak 
belukar di sekeliling jalan.
Demikian pula dengan si Gajah Sela yang ber-
tubuh tinggi dan kekar. Matanya yang bulat itupun 
sibuk mengawasi jalan di mukanya. Sebagai pemim-
pin pasukan ia bertanggung jawab terhadap kesela-
matan anak buahnya dan juga terhadap barang yang 
dikawalnya. Seperti uang emas dan perhiasan cukup 
membuat orang akan ngiler untuk memilikinya, maka 
untuk mengawalnya telah dipilih orang-orang yang 
gagah berani. Mereka senantiasa patuh dan setia se-
hingga keamanan emas boleh ditanggung aman.
Tetapi jauh di sebelah barat sana, beberapa pasang 
mata berkali-kali mengawasi ujung jalan di sebelah 
timur dengan liarnya.
“Kakang Jaramala, apakah pasukan itu pasti lewat 
disini hari ini?”
“Oh rupanya kau sudah tak sabar lagi, Adi Pelang 
Telu. Tunggulah, mereka pasti akan lewat disini!” ter-
dengar jawaban Jaramala.
“Dengarlah angin yang bertiup ini. Kau dengar... 
yah langkah-langkah kaki kuda dari arah timur?!” u-
jar Jaramala lagi dengan tenangnya, membuat Pelang 
Telu terpaksa mengagumi ketajaman telinga sahabat-
nya.
“Kawan-kawan, bersiaplah dengan tugas kita! 
Susunlah siasat yang telah kita rencanakan kemarin

dulu!” seru perintah Jaramala dan sebentar pula 
berloncatanlah dari semak-semak sepuluh orang 
yang berwajah ganas bersenjata pedang, golok dan 
penggada serta panah tak ketinggalan pula.
“Nah, bersiap sekarang, lekas!” Sekali lagi Jara-
mala berseru dan sebentar pula mereka pada berlon-
catan kembali ke arah semak-semak di tepi jalan.
Hanya tiga orang yang masih tinggal di tengah 
jalan tanpa senjata. Seorang di antaranya segera 
menggeletak, sedang yang dua pura-pura berwajah 
sedih sambil meratap-ratap. “Ooh, piye iki. Adikku 
sakit payah. Aduh tak adakah orang yang menaruh 
belas kasihan?”
“Bagus, bagus. Hua, ha, ha, ha. Kalian ternyata 
pemain-pemain sandiwara yang ulung. Nah, teruslah 
bersiap begitu sampai pasukan Demak itu tiba di 
tempat ini!” seru Jaramala kegirangan sambil melon-
cat ke dalam semak-semak.
Suasana menjadi tegang serentak. Anak buah si 
Jaramala yang bersembunyi di balik semak-semak itu 
pada bergemuruh dadanya, seperti gemuruhnya de-
rap-derap kaki kuda dari arah timur yang berjalan 
dengan enaknya tanpa sedikit pun tahu bahwa di 
sebuah kelokan jalan di sebelah barat, bahaya yang 
besar tengah mengintai dan menunggu mereka 
dengan bayangan maut.
Tetapi dua orang yang berkuda paling depan itu 
selalu mengawasi jalan di depannya dengan tajam.
“Adi Aldaka, kali ini kau harus hati-hati, Adi. Aku 
dengar suara orang yang meratap di ujung jalan dari 
arah barat,” Gajah Sela berbisik sambil mengangkat 
tangan kanannya ke atas sebagai pertanda supaya 
waspada kepada anak buahnya yang berada di 
belakang. Mereka serentak bersiaga melihat isyarat

pemimpinnya.
“Betul dugaanmu, Kangmas Gajah Sela. Lihat di 
sebelah sana!” ujar Aldaka seraya menunjukkan ta-
ngannya ke barat. “Tiga orang kelihatan berkerumun 
di tengah jalan. Nampaknya seperti orang yang 
kesusahan, Kangmas!”
“Betul Adimas Aldaka, tampaknya seperti orang 
yang mendapat kesulitan!” bisik Gajah Sela. “Tetapi 
jangan lekas percaya begitu saja, Dimas.”
“Eh, mengapa Kangmas?” ujar Aldaka heran men-
dengar kata-kata sahabatnya.
“Kadang-kadang apa yang kita lihat tidak seperti 
apa yang kita duga,” jawab Gajah Sela. “Hatiku curi-
ga, Adik.”
“Maksud Kangmas?”
“Aku kurang percaya dengan mereka, Dimas. Lihat 
saja dengan perawakan-perawakan mereka yang ke-
kar. Hal itu seperti tidak sesuai dengan apa yang 
mereka kerjakan sekarang ini. Kalau saja temannya 
itu sakit, bukankah mereka dapat menggendongnya 
atau memikulnya?”
“Hmm, mungkin juga Kangmas, tapi apa yang 
harus kita perbuat sekarang?” bertanya Aldaka.
“Kita jangan keburu mendekati mereka dulu. Biar 
kita berhenti agak jauh, Dimas!” bisik Gajah Sela. 
“Dan perintahkan anak-anak lebih waspada serta 
siap dengan senjatanya!”
“Baik, Kangmas!” sahut Aldaka dan kemudian ia 
cepat-cepat memberikan isyarat itu kepada ketujuh 
prajurit di belakangnya.
Hal itu tentu saja membuat heran ketiga orang 
yang berkerumun di tengah jalan serta orang-orang 
lain termasuk Jaramala dan Pelang Telu yang ber-
sembunyi di balik semak-belukar. Siasat pencegatan

telah mereka atur rapi, tapi mengapa iring-iringan 
pasukan Demak itu berhenti terlalu jauh? Mung-
kinkah mereka telah mengetahui rencana pencegatan 
ini?
Dengus-dengus nafas mereka serta suara gemuruh 
pada dada terasa mengalir lebih cepat. Sebenarnya 
mereka telah tidak sabar untuk menunggu. Tetapi 
Jaramala pemimpin mereka belum memberi perintah 
menyerbu, sehingga mereka terpaksa masih tetap 
mendekam di tempat persembunyian mereka masing-
masing dengan tangan-tangan yang gatal mengayun-
kan senjatanya.
Dan sementara ketiga orang yang bersandiwara di 
tengah jalan itupun tampak kehilangan kesabaran-
nya. Mereka melihat pasukan Demak itu berhenti 
terlalu jauh.
“Ooh, aduh. Tuan-tuan prajurit, mengapa Tuan-
tuan berhenti di situ. Apakah Tuan-tuan tidak 
merasa iba melihat nasib kami ini?” terdengar salah 
seorang berteriak sambil tangannya berserabutan 
menunjuk ke arah temannya yang menggeletak di 
tanah.
“Mengapa dengan kalian?” teriak Gajah Sela dari 
kejauhan. “Apa yang telah terjadi?!”
“Tolonglah kami, Tuan. Adikku sakit payah dan 
harus cepat-cepat kami bawa pulang ke rumah kami 
di sebelah barat sana!”
“Tetapi mengapa tidak kalian angkat sendiri saja? 
Bukankah tubuh-tubuh kalian cukup kuat untuk 
membawanya?” Aldaka ikut menyahut pula.
“Badan kami sudah terlalu lelah, Tuan. Apakah 
Tuan-tuan sebagai prajurit tidak menaruh belas kasi-
han kepada kami rakyat jelata yang tengah sengsara? 
Bukankah Tuan-tuan sebenarnya juga bagian dari

rakyat dan harus melindungi rakyat.”
“Kalian memang benar! Kami juga berasal dari 
rakyat dan pelindung rakyat. Tetapi rakyat yang 
bagaimana, kalian harus tahu!” Seru Gajah Sela.
“Maaf Tuan-tuan. Kami tak mengerti pembicaraan 
yang muluk-muluk.”
“Kami akan melindungi rakyat yang patuh dan 
setia kepada negara! Sedang kalian aku sangsikan 
akan kesetiaanmu kepada negara! Kepada Demak!” 
Gajah Sela berteriak lebih keras sampai suaranya 
mengumandang di sela-sela daun pepohonan di 
sepanjang jalan itu.
“Heei, Tuan-tuan jangan sembarangan menuduh-
ku!” terdengar teriakan dari mereka. “Mengapa Tuan-
tuan dapat ngomong begitu?!”
Gajah Sela menggeram perlahan-lahan. “Kalian ja-
ngan coba-coba mengelabuhi kami dengan sandiwara 
murahan itu. Berterus teranglah dan suruh temanmu 
yang menggeletak, bangun dengan segera! Lekas!”
Alangkah terkejut ketiga orang itu, dan dasar 
memang mereka sudah tidak sabar, maka orang yang 
pura-pura menggeletak sakit di tengah jalan itupun 
cepat-cepat bangkit berdiri, sambil bertolak pinggang 
serta menggerundal tajam. “Persetan orang-orang 
berkuda itu. Nantilah kulahap mentah-mentah 
mereka!”
Melihat gertakannya berhasil, Gajah Sela tertawa 
terbahak-bahak. Demikian pula dengan Aldaka yang 
sering memandang sesuatu dengan rasa humor ikut 
pula tertawa terkekeh-kekeh. “Ha, ha, ha, ada orang 
sakit digertak kok bisa sembuh seketika. Memang 
Kangmas Gajah Sela bisa menjadi dukun yang 
ampuh?”
Prajurit-prajurit yang di belakang pun ikut tertawa

pula melihat kejadian itu.
“Nah, itu namanya orang baik-baik, suka berterus 
terang. Dan sekarang kalau kalian memang laki-laki 
sejati, ayo keluar semua dari semak belukar itu. Aku 
dengar dengus-dengus nafas busukmu yang berbau 
kejahatan dan ketamakan!” Gajah Sela sekali lagi 
berteriak keras dan berbareng itu pula semua anak 
buahnya telah bersiap siaga menghadapi segala 
kemungkinan.
“Keparat! Kalian memang banyak mulut. Sekarang 
terimalah hadiahmu!” terdengar teriakan lantang dari 
mulut Jaramala, dan sejurus kemudian beberapa 
anak panah telah melesat berluncuran dari busur 
anak buahnya ke arah pasukan Demak.
Sungguh hebat serangan tiba-tiba itu, tetapi 
prajurit-prajurit Demak tak merasa takut dengan 
panah-panah yang beterbangan ke arah mereka.
Gajah Sela, Aldaka dan juga anak-anak buahnya 
cepat bertindak. Kedua pemimpin yang berada di 
depan itu segera melolos pedangnya dan diputarnya 
dengan ketat melindungi tubuh mereka.
Tak! Tak! Trang!
Beberapa anak panah yang menyambar mereka 
kena tersampok oleh tebasan pedangnya. Juga pra-
jurit-prajurit di belakang mereka sibuk menangkis 
samberan anak-anak panah. Namun tiba-tiba ter-
dengar dua jeritan berbareng. Tiga orang prajurit 
rebah di atas punggung kudanya dengan anak panah 
yang menancap pada bahunya dan yang lain pada 
pahanya.
Berbareng saat itu pula, kesepuluh orang anak 
buah Jaramala telah berloncatan menyerang ke arah 
prajurit-prajurit Demak yang telah kerepotan me-
nangkis hujan anak panah.

Sekonyong-konyong secara tiba-tiba tanpa 
bersuara telah melesat sesosok tubuh manusia dari 
arah utara jalan yang rimbun oleh semak-semak dan 
kemudian tepat berdiri tegak di tengah jalan, sehing-
ga mau tidak mau anak buah Jaramala menghenti-
kan langkahnya karena terhadang oleh orang itu.
Orang asing itu mengenakan caping yang lusuh 
oleh debu serta memegang tongkat kayu.
“Setan belang! Apa maksudmu berani menghadang 
jalan ini!” teriak Jaramala sambil mendelik matanya. 
“Hayo minggir ke tepi, lekas!”
“He, heh, heh, enak benar bentakanmu, sobat. 
Bukan aku yang seharusnya minggir dari jalan ini, 
tapi kau dan anak buahmulah yang harus minggat! 
Tahu kau, sobat?!” ujar isi caping lusuh berdebu.
“Ooh, rupanya si caping bejat kepingin dijadikan 
rempah-rempah, ya! Ayo anak-anak, jangan perduli-
kan orang ini! Bila menghalangi kita, cincang dia 
lumat-lumat! Serbu!” teriak Jaramala dan seketika 
merekapun menyerbu ke arah prajurit-prajurit 
Demak.
Di saat itu pula si caping lusuh telah menggerak-
kan tongkat kayu, yang ternyata adalah sebilah 
pedang yang berkilat oleh sinar matahari, kemudian 
disabetkan setengah lingkaran dan seorang anak 
buah Jaramala terpental bermandi darah.
“Eaaaah!”
Jerit serta teriakan berlaga segera memenuhi jalan 
yang semula sepi lengang dan berlangsunglah per-
tempuran dahsyat. Tampaklah bahwa prajurit-praju-
rit Demak agak kerepotan juga menghadapi serangan 
lawan yang lebih ganas dan haus darah.
Hal itu tak bisa dipungkiri mengingat tiga orang 
temannya yang terkena anak panah telah jatuh dari

punggung kuda dan berkelojotan di tanah dengan 
sesambat. Maka mereka sekarang tinggal enam orang 
saja.
Gajah Sela dan Aldaka dengan gigih memutar 
pedangnya dan menangkis setiap serangan lawan, 
tetapi mereka menjadi terkejut apabila seorang pra-
juritnya telah rebah dari kudanya dengan dadanya 
tertembus oleh pedang lawan sampai berlepotan 
darah. Dan seorang anak buahnya yang lain telah 
terluka pundaknya tapi masih terus gigih bertempur 
melawan penyerang-penyerangnya. Suatu hal yang 
membuat hati Gajah Sela makin terharu akan 
keberanian dari prajurit-prajuritnya.
“Untunglah ada penolong yang datang. Orang ber-
caping itu memang hebat ilmu pedangnya,” berpikir 
Gajah Sela penuh kagum. “Tapi siapakah dia?”
Gajah Sela terpaksa berjuang mati-matian mela-
wan Jaramala dan anak buahnya. Demikian pula 
dengan Aldaka. Keduanya mengamuk ketika sebagian 
prajurit-prajuritnya telah tak berdaya menghadapi 
lawan. Kini mereka tinggal berempat melawan mu-
suhnya.
Matahari kian tinggi. Teriakan serta dentingan 
senjata-senjata yang beradu telah mengumandang 
dan sebagian terbawa oleh arus angin yang bertiup.
Ketika itu di sebelah barat laut tampaklah dua 
orang yang berjalan menerobos hutan serta semak-
belukar dan ketika angin bertiup mengusap wajah-
wajah mereka.
Tiba-tiba yang terdepan menghentikan langkah-
nya. “Adik Pandan Arum, tunggu dulu! Aku mende-
ngar sayup-sayup teriakan orang serta bunyi senjata 
beradu!”
“Dari arah mana, Kakang?” tanya si gadis yang

tidak lain adalah Pandan Arum.
“Dari sebelah tenggara, Adik,” kata Mahesa Wu-
lung sekali lagi sambil mempertajam telinganya. “Mari 
kita datang ke sana, Adik. Siapa tahu kita dapat 
memperoleh petunjuk-petunjuk yang berguna tentang 
Ki Topeng Reges.”
“Baik, Kakang. Marilah!” ajak Pandan Arum dan 
keduanya segera membelok ke arah tenggara menuju 
sumber suara yang sangat menarik perhatian me-
reka.
Kedua pendekar sepasang itu dengan cepat berla-
rian meloncat-loncat dan menerobos kelebatan hutan 
yang pekat. Sepintas lalu gerak mereka tak ubah dua 
ekor kijang yang lagi berlomba lari, sangat lincah dan 
cekatan. Semakin dekat suara-suara itu semakin 
cepat mereka berlari dan hati mereka tambah ber-
debar-debar.
Mereka sibuk bertanya-tanya siapakah mereka itu 
yang tengah berlaga. Sejurus kemudian keduanya 
tiba di sebuah jalan yang lebar dan Mahesa Wulung 
segera berhenti, lalu diikuti oleh Pandan Arum.
“Hah! Pasukan berkuda dari Demak dikeroyok oleh 
perampok-perampok!” desis Mahesa Wulung dengan 
kaget setengah geram.
“Diserang oleh perampok?!” seru Pandan Arum tak 
kalah herannya.
“Tak keliru lagi, Adi. Nah, itu lihatlah sendiri di 
sebelah timur jalan itu. Mereka tengah bertempur 
dengan ramainya.”
“Ooh, lihat Kakang. Pasukan Demak sudah 
sebagian tak berdaya. Tinggal empat orang lagi yang 
masih bisa bertempur,” seru Pandan Arum dengan 
cemas.
“Yah, kita harus membantunya cepat-cepat, Adik.

Tapi... eh siapa orang bercaping itu yang bertempur 
di pihak Demak? Hmm, musuh keliwat banyak. Nah, 
Adik Pandan Arum, tinggallah engkau disini. Biar aku 
yang terjun ke dalam pertempuran itu!” ujar Mahesa 
Wulung sambil mengeluarkan selembar sapu tangan 
segitiga yang lebar berwarna biru laut berhiaskan 
gambar makara kuning emas. “Mereka pasti akan 
terkejut dengan kedatanganku ini!”
Mahesa Wulung lalu memakai kedok itu yang 
menutup hidung dan mulutnya kemudian melolos 
cambuk Naga Geni dari ikat pinggangnya.
“Hati-hati, Kakang,” bisik Pandan Arum mesra. 
“Aku menunggumu disini.”
Dengan tersenyum Mahesa Wulung mengangguk 
dan segera diputarnya cambuk Naga Geni di udara.
Dar! Dar! Dar! Tiga ledakan cambuk yang dahsyat 
memekakkan telinga mengumandang di udara seke-
liling dan mereka yang tengah bertempur itu berhenti 
seketika seperti terkena pukau sihir yang hebat.
Belum lagi mereka sadar akan asal-usul ledakan 
itu, tahu-tahu sesosok bayangan berkelebat dari ba-
rat laut dengan memutar sebatang cambuk berkilat-
kilat kebiruan dan mendarat dengan enaknya di 
dekat mereka tanpa menimbulkan suara.
“Barong Makara!” teriak mereka berbareng.
Kalau prajurit-prajurit Demak gembira melihat 
kedatangan Pendekar Barong Makara yang dikenal 
sebagai tokoh pembasmi golongan hitam, sebaliknya 
dengan Jaramala dan anak buahnya, dalam batin 
mereka mengumpat dengan perasaan cemas sebab 
mereka pernah mendengar akan sepak terjang dan 
kesaktian pendekar berkedok ini dari murid Ki 
Topeng Reges yang bernama Rikma Rembyak.
Tapi mereka adalah anak buah Ki Topeng Reges

yang namanya juga ditakuti oleh setiap orang, hingga 
mereka tak mau begitu saja memperlihatkan kelema-
han dirinya. Biarpun mereka cemas, tapi segera 
berloncatan menyerbu ke arah Mahesa Wulung atau 
si Barong Makara.
“Kawan-kawan! Ini ada mangsa baru yang meng-
antarkan nyawa. Ayo cincang dia ramai-ramai!” teriak 
garang Jaramala memerintah anak buahnya yang 
segera pula berbareng menyerang.
Mahesa Wulung tak merasa gentar menghadapi 
empat orang lawan yang mengeroyok dirinya. Senjata-
senjata lawannya yang begitu ketat mengurung 
dirinya terlihat sebagai lingkaran sinar yang bergu-
lungan menyerang sangat ganas.
Gajah Sela dan Aldaka sedikit merasa lega dengan 
kedatangan Mahesa Wulung. Dengan begitu tekanan 
serangan-serangan terhadap mereka sedikit berku-
rang. Dalam hati kecilnya, keduanya merasa kagum 
terhadap pendekar ini. Mereka mengenal nama 
Barong Makara sebagai tokoh pendekar laut dari 
armada Demak dan baru kali inilah mereka sempat 
berjumpa muka.
Gerakan Mahesa Wulung sungguh membikin kecut 
hati para pengeroyoknya. Telah berkali-kali senjata-
senjata pedang mereka berkelebat menyambar tubuh 
Mahesa Wulung, namun setiap kali mereka terkejut 
apabila pedang-pedang mereka sama sekali tak me-
nyentuh lawannya. Dari gerakan-gerakan serta cara 
membebaskan diri, tahulah mereka bahwa orang itu 
sebenarnya orang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka Jaramala dengan anak
buahnya bertambah gelisah dan marah. Maksudnya 
untuk merampok emas belum lagi berhasil, dan 
sekarang mereka mendapat dua orang lawan yang tak

bisa diremehkan begitu saja.
Kedatangan orang bercaping dan disusul oleh 
orang yang berkedok itu tidak mereka duga sama 
sekali. Kalau semula mereka tahu, pastilah Ki Topeng 
Reges akan ikut melakukan pekerjaannya dan orang-
orang itu pastilah akan dapat ditumpasnya dalam 
saat yang pendek.
Jaramala makin memperketat serangannya dan 
bersama anak buahnya ia sudah bertekad untuk 
mengganyang orang berkedok yang telah mengham-
bat pekerjaan mereka. Ternyata orang berkedok yang 
hanya bersenjata cambuk itupun memperhebat pula 
putaran senjatanya.
Memang Mahesa Wulung atau Barong Makara 
merasakan betapa para pengeroyoknya makin mem-
pergencar serangannya. Maka bila ia menambah 
hebat gerakannya, perbandingan tingkat jurus-jurus 
pertempuran mereka akan tetap sama, yaitu Mahesa 
Wulung ada di tingkat lebih atas daripada Jaramala, 
bahkan dapat selalu mengimbangi setiap serangan 
yang membenturnya.
Yang pasti para pengeroyoknya makin gelisah, 
apalagi mereka melihat cambuk lawannya bertambah 
mendesing-desing bergulungan bagai ombak Laut 
Kidul yang mampu memukul tebing-tebing karang 
terjal dan sedikit demi sedikit akan merontokkannya.
Begitu pula dengan Jaramala dan anak buahnya. 
Cambuk itu kemudian melecut dengan ledakan yang 
memekakkan telinga dan tahu-tahu seorang anak 
buah Jaramala terpental keluar dari lingkaran per-
tempuran serta terhuyung-huyung memegangi kepa-
lanya yang hangus bagai batu terbakar. Orang ini 
kemudian rebah dan mati.
Melihat temannya seketika mati oleh sambaran

ujung cambuk itu, para pengeroyok Mahesa Wulung 
terpekik kaget. Tak nyana mereka, bahwa cambuk 
lawannya begitu hebat, mampu menghanguskan sa-
sarannya tak ubahnya sambaran sebuah halilintar.
Daar! Sekali lagi cambuk Naga Geni di tangan 
Mahesa Wulung meledak dan seorang korban lagi 
terpelanting di atas tanah, mati.
Sementara itu tak jauh dari Mahesa Wulung, si 
pendekar bercaping kelihatan begitu enaknya melaya-
ni setiap orang lawannya. Pelang Telu yang ikut 
mengeroyoknya, terpaksa berkali-kali menggerundal, 
sebab setiap tebasan pedangnya dan juga tebasan-
tebasan golok anak buahnya selalu berhasil dihindari 
oleh si caping lusuh.
Yang membikin jengkel Pelang Telu ialah serangan 
dan ejekan orang bercaping ini. Setiap kali berhasil 
menghindari serangan-serangan mereka, ia senan-
tiasa berkelakar.
“Hup, tebasanmu kurang mampu, sobat! Nah 
boleh coba lagi sekarang! Mari! Yaaah, masih kurang 
kena. Kalian masih harus bertekun lagi. Dan seka-
rang lihat, aku beri contohnya! Hyaat!”
Pendekar bercaping menebaskan pedangnya mene-
robos sambaran senjata-senjata mereka dengan bunyi 
mendesau dan selanjutnya sebuah jeritan panjang 
keluar dari mulut seorang anak buah Pelang Telu 
yang menganga dengan gigi bertonjolan. Orang itu 
hanya terluka panjang akibat sambaran ujung pe-
dang pendekar bercaping. Namun sesaat kemudian 
luka kecil panjang yang nampak sepele tadi tiba-tiba 
membuka, diiringi menyemburnya darah merah segar 
dari dalam.
Belum sempat Pelang Telu dan anak buahnya 
menolong kawannya tadi, tiba-tiba pedang orang

bercaping ini kembali beraksi.
“Nah, sobat-sobat baik! Ini contoh berikutnya!” 
Kilat pedangnya kembali menebas dan korban kedua 
roboh tak bernyawa.
Tetapi Pelang Telu serta anak buahnya bukan ter-
masuk orang-orang penakut, sebab mereka telah 
digembleng oleh gurunya, Ki Topeng Reges. Mereka 
menyadari bahwa dalam setiap pertempuran selalu 
terjadi dua kemungkinan. Menang atau kalah, ter-
bunuh atau membunuh dan menghancurkan atau 
dihancurkan oleh lawan. Maka mereka tetap merang-
sak kepada pendekar bercaping dengan putaran-pu-
taran golok dan pedang-pedang mereka.
Di sebelah lain, Gajah Sela dan Aldaka serta seo-
rang prajurit lagi sibuk melayani serangan-serangan 
anak buah Jaramala. Mereka pun terlibat dalam 
perang tanding yang cukup hebat.
Di tengah-tengah pertempuran yang berkecamuk 
dahsyat, seorang prajurit berkuda yang bertugas 
menggandeng kuda beban bermuatan emas, tampak 
sedikit demi sedikit menjauhi titik pertempuran. Me-
mang dia telah diserahi tugas untuk menjaga kuda 
beban itu sehingga apapun yang diperbuatnya ia tak 
dapat dipersalahkan. Jika seandainya ia meninggal-
kan titik pertempuran tersebut, bukan berarti ia 
seorang pengecut, apalagi ia telah meninggalkan 
kawan-kawannya yang tengah bertempur.
Namun satu hal yang agak mengherankan, entah 
sengaja atau tidak, bahwa para perampok-perampok 
tadi, yakni Jaramala dan anak buahnya tak pernah 
mengusik prajurit tadi yang menggandeng kuda ber-
muatan emas. Malahan mereka seolah-olah menghin-
darkan diri dari prajurit tadi serta membiarkannya 
sendirian tanpa ada yang mengganggu.

Begitulah prajurit tadi terus menggeser ke arah 
barat menjauhi titik pertempuran, dan bila dirasanya 
telah cukup aman, ia segera memacu kudanya.
Melihat hal ini, Gajah Sela yang tengah bertempur 
itu menjadi kaget dan heran. Sebagai pemimpin pasu-
kan ia tak pernah merasa memberi perintah untuk 
membawa lari emas itu, sebab ia yakin kalau peram-
pok-perampok ini sebentar lagi bisa dikalahkan, 
terutama dengan kedatangan kedua penolongnya. 
Maka begitu ia melihat anak buahnya berpacu ke 
arah barat, Gajah Sela segera berteriak keras-keras.
“Heei, Dangsapati! Berhenti! Mau lari kemana 
kau?” Gajah Sela berteriak dengan perasaan penuh 
tanda tanya.
Tapi ternyata prajurit itu tak menggubris teriakan-
nya, dan ia tetap melarikan kuda-kudanya ke arah 
barat. Betapa jengkelnya Gajah Sela! Sebagai pemim-
pin pasukan, baru kali ini ada prajuritnya yang mau 
berbuat sembrono serta berani menentang perintah-
nya. Akan dibawa kemana emas itu, ia tak tahu.
Sungguh mencemaskan hatinya atas tindakan si 
Dangsapati yang nekat, tetapi lebih mengejutkan lagi 
ialah lawannya bertempur yang tertawa terkekeh-
kekeh menyakitkan telinga.
“Heh, heh, heh, heh, heh, biarkan ia menyelamat-
kan emas itu. Tanggung aman. Jangan pedulikan dia. 
Yang penting kau harus mati di ujung golokku ini!”
Mendengar perkataan lawannya, Gajah Sela terhe-
nyak kaget dan kemudian ia menggeram, “Keparat! 
Kau anggap aku orang apa, heh?! Mari tunjukkan 
permainan golokmu!”
Bersamaan rampungnya kata-kata Gajah Sela, 
lawannya segera menyerang dengan putaran goloknya 
secepat pusaran angin siap melanda dirinya. Untung

Gajah Sela selalu waspada, dan begitu serangan golok 
lawan melibas dirinya, segera pula ia menebaskan 
pedangnya secepat angin untuk memapaki serangan 
lawan.
Craaang!
Bunyi benturan kedua senjata sangat nyaring 
disertai percikan bunga-bunga api dan kedua-duanya 
tergetar surut. Akibat dari benturan itupun sangat 
hebat. Betapapun uletnya Gajah Sela namun ia ter-
paksa meringis ketika jari-jari tangan yang meng-
genggam pedang terasa nyeri, panas. Demikian pula 
lawannya yang bersenjata golok tadi, selain tangan-
nya nyeri iapun terpental jatuh ke tanah bergulingan.
Gajah Sela tak mau melepaskan kesempatan baik 
ini. Segera ia memburu lawannya yang tengah 
bergulingan di tanah, dan kemudian mengirimkan 
sebuah tebasan pedangnya.
Rupa-rupanya lawannya itupun termasuk orang 
pilihan sebagai murid perguruan Netra Dahana dari 
Watu Semplok. Maka ketika ia merasa angin tebasan 
pedang Gajah Sela, cepat-cepat melentingkan dirinya 
ke belakang beberapa langkah, hingga pedang Gajah 
Sela hanya sempat membacok tanah dan rerum-
putan. Karuan saja ia menggeram jengkel.
“Heh, heh, heh, jangan mimpi terlalu pagi untuk 
merobohkan Trebis dari perguruan Netra Dahana!” 
terdengar lawan Gajah Sela menyambung.
“Setan! Jangan cepat besar kepala dengan lon-
catan-loncatan seburuk anjing kudisan. Sekarang 
terimalah permainan puncak dari ilmu pedang ini, 
Hyaat!” Gajah Sela menerjang dengan hebat ke arah 
lawannya dengan sebuah tusukan yang menentukan.
Melihat hal itu, Trebispun segera bersiap-siap 
dengan putaran goloknya.

Sementara itu, Dangsapati yang melarikan kuda ke 
arah barat tidak mengira bahwa dari semak belukar, 
sepasang mata sejernih air sendang tapi setajam 
mata elang, telah mengawasi seluruh gerak-geriknya. 
Dan kemudian Dangsapati dikejutkan oleh melesat-
nya satu bayangan berjumpalitan di udara dan men-
darat tepat di hadapannya, dari arah semak belukar!
Bayangan tadi ternyata seorang gadis yang kini 
menghadang di tengah jalan, menyebabkan Dangsa-
pati terpaksa menghentikan kedua kudanya sambil 
berteriak-teriak.
“Hee, bocah ayu, siapa kau! Dan apa maksudmu 
menghadang di tengah jalan?”
“Hmmm, aku heran dengan kelakuanmu ini. 
Meninggalkan kawan-kawan yang telah mati-matian
menyabung nyawa! Mau kau bawa kemana emas 
itu?!” bentak si gadis yang tidak lain adalah Pandan 
Arum.
“Persetan dengan kawan-kawanku. Mereka telah 
punya urusan sendiri dengan orang-orang perampok 
itu. Demikian pula aku punya urusan sendiri dengan 
emas ini. Aku akan menyelamatkannya.”
“Haaa, menyelamatkan emas itu untuk kantongmu 
sendiri? Aku agak curiga dengan kau! Lagak bicara-
mu seolah-olah menunjukkan kalau kau bukan seo-
rang prajurit seperti mereka itu.”
“Ooo, kau jangan suka bermulut usil! Apa yang 
saya kerjakan ini adalah urusanku sendiri, tahu?! 
Dan orang lain tak usah campur tangan! Hayo 
minggir dari jalan ini dan biarkan aku lewat dengan 
leluasa!” Dangsapati berteriak.
“Bukan aku yang menyingkir, tapi kaulah yang 
harus turun dari kudamu itu!”
“Hem, sayang kalau aku terpaksa menggunakan

kekerasan untuk menyingkirkanmu, cah ayu! Ooh, 
mungkin kau menghendaki beberapa buah mata 
uang emas? Baik! Itu akan kuberikan asal kau 
menepi dari tengah jalan.”
“Cukup dengan ocehanmu yang busuk itu! Nah, 
sekarang turunlah dari kudamu serta menurutlah 
untuk kubelenggu!”
Perkataan Pandan Arum itu terdengar oleh telinga 
Dangsapati bagai sengatan halilintar, membuat ia 
benar-benar kehilangan kesabaran!
“Bagus, kalau kau berkeras kepala serta ingin 
menangkapku. Cobalah!” tantang Dangsapati sambil 
menyiapkan tombaknya.
Demikian pula Pandan Arum cepat-cepat melolos 
selendang jingga dari ikat pinggangnya.
“Heh, heh, heh, rupa-rupanya kamu ingin terbang 
serta lolos dari ujung tombakku ini! Percuma. Selagi 
aku masih cukup bersabar, menyerahlah!”
“Heh, tidak semudah itu kenyataannya! Lihatlah 
permainan selendang Sabet Alun!”
Begitu selendang jingga Pandan Arum melenggok-
lenggok berputaran semakin kencang, Dangsapati 
terpaksa menelan ludah kecemasan dan cepat-cepat 
ia mendahului menyerang dengan hunjaman tombak 
ke arah Pandan Arum.
Dalam saat yang sama, tiba-tiba sebuah kilatan 
sinar merah mencegat ujung tombaknya dan lang-
sung melibatnya dengan keras seakan-akan sebuah 
belalai dari gajah.
Dangsapati kaget ketika tahu-tahu selendang si 
gadis yang disangkanya remeh ternyata telah melibat 
tombaknya, kemudian terasalah bahwa gadis itu 
menghentakkan selendang tadi sangat keras.
Kraak! Tombak Dangsapati patah menjadi dua dan

seketika semangatnya hilang lenyap melihat keheba-
tan senjata lawan. Dengan segera ia melepaskan 
tangkai tombaknya yang patah, serta memacu kuda-
nya kabur meninggalkan Pandan Arum.
Tetapi sayang sekali, sebelum ia sempat melak-
sanakan niatnya terlalu jauh, sekonyong-konyong 
ujung selendang Pandan Arum telah melecut dan
menyambar kepala kudanya. Terdengarlah suara 
ledakan disusul kuda Dangsapati memekik tinggi dan 
roboh bersama penunggangnya. Kepala kuda itu 
retak dan bermandi darah, sedang Dangsapati sendiri 
tertindih pahanya oleh badan kuda.
“Ha, ha, ha. Sekarang beristirahatlah di situ seben-
tar!” Seru Pandan Arum seraya mengikat kembali 
selendang jingga ke pinggangnya.
Sementara itu, ketika Jaramala melihat kemung-
kinan yang kecil untuk memenangkan pertempuran, 
cepat-cepat ia memberi isyarat pada teman-temannya 
untuk menarik diri dari pertempuran. Sebuah suitan 
nyaring keluar dari mulutnya dan dengan serentak 
Jaramala, Pelang Telu, serta sisa-sisa anak buahnya 
berloncatan secepat angin meninggalkan titik pertem-
puran, dan sebentar saja mereka telah lenyap di balik 
semak-semak belukar seperti hantu.
Mahesa Wulung masih berdiri di dekat pendekar 
bercaping ketika Jaramala dan anak buahnya kabur 
meninggalkan mereka. Gajah Sela segera pula men-
datangi kedua penolongnya dan menyatakan terima 
kasihnya.
“Kami mengucapkan terima kasih yang tak ter-
hingga atas bantuan yang telah Kisanak berikan,” 
ujar Gajah Sela serta mengangguk hormat. “Kemu-
dian, alangkah bahagianya bila saja Tuan-tuan sudi 
menyebutkan nama serta berkenalan dengan kami.”

Pendekar bercaping itupun mengangguk dan mele-
pas capingnya, kemudian mengangguk pula dengan 
hormatnya.
“Ki Camar Seta!” desis Mahesa Wulung sambil 
menurunkan kedoknya.
“Oooh, Anakmas Mahesa Wulung! Syukur kita 
masih bertemu dalam keadaan sehat-sehat. Aku telah 
mendapat laporan bahwa Anakmas telah terjatuh ke 
Jurang Mati ketika bertempur melawan Ki Topeng 
Reges. Apakah Anakmas sehat-sehat saja?”
“Terima kasih, Bapak. Aku baik-baik saja,” ujar 
Mahesa Wulung dengan hormatnya.
Mendengar nama kedua pendekar itu, Gajah Sela 
berseru kagum, “Oooh, jadi Tuan-tuanlah yang 
bergelar Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung pendekar 
Demak yang terkenal. Maaf, aku tak segera mengenal 
Tuan-tuan berdua karena aku jarang berada di 
Demak, dan kami berkedudukan di Gresik.”
Di sebelah timur, Aldaka sibuk menolong prajurit 
yang terluka, dibantu oleh seorang anak buahnya. Di 
saat-saat yang begitu dapatlah terbayangkan kega-
nasan anak buah Ki Topeng Reges.
Di tengah-tengah kesibukan itu, dari arah barat 
muncullah si Pandan Arum menuntun seekor kuda 
beban yang bermuatan emas dan di depannya berja-
lan sempoyongan Dangsapati dengan terbelenggu tali 
sekujur tangan dan dadanya.
“Ooooh, mengapa dengan orang ini, Adik?” seru 
Mahesa Wulung kaget. “Bukankah ia seorang dari-
pada anak buah Kakang Gajah Sela ini?”
“Betul, Kakang. Tapi dia juga kaki tangan dari Ki 
Topeng Reges, dan untuk ini ia telah mengaku 
sendiri.”
“Haa?!” seru Gajah Sela dan Mahesa Wulung kaget,

tetapi Ki Camar Seta berkata dengan tenangnya. “Me-
mang tidak keliru! Dangsapati adalah cecunguk Ki 
Topeng Reges. Ia sengaja menyelundup pada kita!”
“Dari manakah Bapak tahu?” sela Pandan Arum 
tak habis herannya.
“Hal itu telah diketahui oleh Nara Sandi di Demak 
dan kemudian aku dikirim kemari untuk mencegah 
bahaya yang mengancam pengiriman emas itu!”
Mendengar ini Mahesa Wulung teringat kembali 
akan kesatuan Nara Sandi yang mempunyai tugas 
menyelidiki dan meneliti segala sesuatu yang bersifat 
rahasia untuk menjamin keamanan negara. Dan juga 
sebagai Wira Tamtama Demak, ia pun banyak menge-
nal sebagian dari tokoh-tokoh Kesatuan Nara Sandi, 
seperti Sandi Pradangga, Wira Sengkala dan lain-
lainnya.
“Dan aku pun ditugaskan untuk membantu dan 
mencari Anakmas Mahesa Wulung dalam usahanya 
merebut catatan rahasia panah Braja Kencar yang 
telah dilarikan si Rikma Rembyak,” ujar Ki Camar 
Seta melanjutkan.
Gajah Sela yang mendengar uraian itu tidak nyana 
bahwa persoalan itu menjadi begitu rumit. Dalam 
hati ia kagum terhadap ketrampilan Kesatuan Nara 
Sandi yang dapat mengetahui akan penyelundupan 
Dangsapati dalam tubuh pasukannya, namun dalam 
hati kecilnyapun ia menyesal bahwa dirinya sampai 
tidak mengetahui ada musuh di dalam selimut.
“Bapak Ki Camar Seta, apakah kami akan melan-
jutkan perjalanan ke Demak sekarang juga?” ber-
tanya Gajah Sela kepada orang tua itu.
“Begitulah sebaiknya. Memang, di sebelah barat 
sana ada sebuah rumah tua yang biasa dipergunakan 
oleh prajurit-prajurit Demak beristirahat dalam me

nempuh perjalanan ke timur. Nah, kita nanti malam 
akan singgah di sana untuk bermalam dan nanti 
akan kusuruh beberapa orang penduduk untuk 
merawat dan mengobati luka-luka anak buahmu. 
Kemudian besoknya kita menuju ke Demak.”
“Terima kasih, Bapak,” ujar Gajah Sela.
Demikianlah, tak lama kemudian mereka bersiap-
siap serta berjalan ke arah barat. Sinar matahari 
sudah tidak begitu panas lagi sedang angin siang 
bertiup kencang mengusap dedaunan yang berkilatan 
oleh sinar matahari.
***


LIMA

Raungan anjing-anjing liar mengumandang dari 
tebing dan lereng-lereng pegunungan menyelusuri 
kaki bukit Gunung Muria sebelah timur dan kemu-
dian bergulungan campur aduk dengan desah angin 
sore, seperti nyanyian dan rintihan setan-setan yang 
gentayangan mencari mangsa.
Di sebuah rumah tua, di dekat reruntuhan sebuah 
candi, tampaklah tiga orang yang duduk saling ber-
hadapan seperti patung-patung. Yang berkedok han-
tu itu tampak menatap kedua orang di hadapannya 
dengan pandangan yang setajam pedang, hingga 
keduanya menunduk makin dalam.
“Heemm, jadi kalian pulang dengan tangan kosong 
tanpa hasil sedikit pun, setan alas!” geram Ki Topeng 
Reges kelihatan jengkel.
“Ampun, Kiai. Sayang sekali mereka telah dibantu 
oleh dua orang pendekar yang muncul secara tiba-
tiba, sehingga pekerjaan kita terpaksa gagal.”
“Kalian memang anak-anak tolol. Bukankah Dang-
sapati sudah saya selundupkan ke dalam pasukan 
pengantar emas itu?!” ujar Ki Topeng Reges.
“Betul Kiai. Tapi...”
“Tapi bagaimana?” Ki Topeng Reges memotong 
“Dangsapati kan murid terbaik di antara kalian? Ada 
apa dengan dia?!”
“Anu, ah, ketiwasan, Kiai,” Jaramala makin kecut

hatinya.
“Ketiwasan, kau bilang?!” bentak si wajah hantu 
garang dan sekaligus melayangkan tangannya ke 
arah mulut Jaramala.
Plak!
“Hiyuung! Aduh, tobat Kiai. Ampun!” rintih Jara-
mala sambil menutup mulutnya dan sesaat kemudian 
dari sela-sela jari-jemari yang menutup mulutnya itu 
mengalir dan menetes cairan merah ke atas lantai. 
Begitu Jaramala melihat jari-jarinya, ia kontan mera-
ung panjang! Hatinya seakan-akan lenyap terbawa 
raungan anjing liar di luar sana, ketika diketahuinya 
bahwa bibirnya telah tersobek oleh tamparan Ki 
Topeng Reges yang hanya sekali itu, dan darah merah 
telah melepoti jari-jari tangannya.
“Hih, kapokmu kapan, kowe!” bentak Ki Topeng 
Reges pula. “Ayo, lekas katakan di mana sekarang 
Dangsapati itu?!”
“Dia, dia telah ditangkap oleh mereka, Kiai,” ujar 
Jaramala setengah merintih karena masih merasakan 
bibirnya yang robek oleh tamparan gurunya.
“Tertangkap?! Si Dangsapati itu bisa kena tangkap 
oleh pasukan Demak?!” raung Ki Topeng Reges 
dengan marahnya, dan bola matanya menjadi liar se-
perti hendak menelan kedua murid yang ada di 
hadapannya. “Kurang ajar! Ini pasti gara-gara keda-
tangan kedua orang itu!”
“Betul, Kiai. Memang itu akibat kedatangan kedua 
pendekar yang kemudian menolong orang-orang De-
mak itu, hingga pekerjaan kita gagal. Semula Dangsa-
pati sudah berhasil melarikan emas itu, namun dapat
dirampas kembali oleh mereka,” kata Pelang Telu 
menjelaskan.
“Keparat!” desis Ki Topeng Reges dengan geram

dan dari balik topengnya terdengar suara berkereot-
kereot karena giginya yang saling bergesekan saking 
jengkelnya. “Pelang Telu, coba ceriterakan ciri-ciri 
kedua orang itu!”
“Baik, Kiai. Yang seorang memakai caping dengan 
senjata tongkat pedang, dan orang yang kedua ber-
kedok pada mulutnya serta membawa sebatang cam-
buk yang menyala biru kehijauan,” ujar Pelang Telu.
“Barong Makara atau Mahesa Wulung!” geram Ki 
Topeng Reges. “Dia adalah musuh besar kita. Rupa-
nya dia masih bisa selamat ketika terjatuh ke Jurang 
Mati oleh seranganku. Hemm, betul-betul pendekar 
gemblengan dia!”
“Begitulah, Kiai,” ujar Pelang Telu menegaskan. 
“Memang sebenarnya kami akui kalau kedua pende-
kar itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi daripada 
kami. Sehingga kekalahan kami bisa dimaklumi. 
Kalau kedua orang ini tidak muncul, pastilah seluruh 
pasukan itu musnah dalam waktu yang sekejap 
mata. Sebab pada gebrakan pertama saja, hanya
tinggal empat orang prajurit yang masih bisa berdiri 
dan melawan kami.”
“Hmmm, kedua orang itu harus kuhukum, karena 
telah lancang mencampuri urusanku!” gumam Ki 
Topeng Reges. “Di mana mereka sekarang, sewaktu 
kalian tinggalkan?!”
“Masih di kelokan jalan itu, Kiai. Dan sebagian 
besar telah terluka berat oleh senjata-senjata kami. 
Pastilah mereka tidak akan langsung menuju 
Demak.”
“Ya, mereka pasti akan singgah untuk merawat 
orang-orangnya,” sahut Ki Topeng Reges menyam-
bung ujar si Pelang Telu. “Dan aku tahu, di sepanjang 
jalan menuju Demak, terdapat beberapa rumah yang

sering disinggahi oleh pasukan-pasukan Demak.”
“Tetapi, Kiai. Apakah tidak terlalu berbahaya men-
cari mereka di sana?” sela Pelang Telu.
“Goblok! Aku akan ke sana malam nanti, supaya 
pekerjaan bisa lebih lancar dan sekali ini mereka 
tidak akan lepas dari tanganku!” Ki Topeng Reges 
menggeram lirih, sedang kedua jari-jari tangannya 
saling mengepal. “Nah, kalian tinggal di sini. Biar aku 
sendiri mencari mereka.”
“Kiai, bolehkah aku ikut membantu mencari me-
reka,” usul Pelang Telu kemudian.
“Tidak usah! Aku sanggup menemukan mereka. 
Daerah itu aku kenal baik-baik, seperti aku mengenal 
halaman rumah ini!” jawab Ki Topeng Reges dan 
kemudian ia bangkit serta menuju ke kamarnya.
Sementara itu, Jaramala dan Pelang Telu saling 
bergelut dengan pikiran sendiri. Mereka merenungi 
kejadian-kejadian yang baru saja lewat, seolah-olah 
tergambar kembali pertempuran di belokan jalan keti-
ka mencegat pasukan pengawal emas itu. Keduanya 
yang mula-mula merasa bangga ketika merobohkan 
beberapa orang prajurit Demak dari kudanya, secara 
tiba-tiba menjadi cemas dengan kedatangan kedua 
pendekar yang melabrak mereka.
Langkah-langkah yang berat terdengar keluar dari 
kamar, dan lamunan kedua orang itu menjadi buyar. 
Tampaklah Ki Topeng Reges telah menggenggam dua 
buah senjata yang berujud belati panjang yang me-
ngeluarkan sinar membara.
“Kiai Brahmasakti!” desis Jaramala dan Pelang 
Telu berbareng, begitu pandangan mata mereka 
menatap pada dua buah belati yang tergenggam di 
tangan gurunya. Keduanya merasa kalau bulu 
romanya merinding. Keampuhan Brahmasakti telah

mereka ketahui sejak dahulu, tak ubahnya keam-
puhan pusaka-pusaka sakti lainnya yang telah me-
reka dengar dari Demak seperti keris Condong Cam-
pur, Sangkelat, Tombak Kiai Plered dan sebagainya.
Tetapi Brahmasakti yang ada di tangan gurunya 
itu agak lain. Belati panjang itu selalu mengeluarkan 
sinar membara yang berhawa panas dan kekuatan-
nya menyamai bisa seratus ekor ular berbisa, hingga 
lawan yang kena tersinggung saja pasti akan mati 
dalam waktu yang tidak lama. Orang biasa saja 
seperti diri mereka berdua itu boleh dipastikan tidak 
akan tahan lama memegang kedua pusaka itu, 
apalagi menggunakannya dalam pertempuran. Kalau 
mereka melihat bahwa gurunya membawa kedua 
pusaka kembar itu pastilah bisa diduga kalau lawan 
dan musuh-musuh yang harus dihadapi oleh Ki 
Topeng Reges itu, termasuk orang-orang yang berilmu 
tinggi. Sebab kalau hanya lawan biasa saja pastilah 
gurunya tidak perlu membawa Kiai Brahmasakti. 
Dengan pancaran api ilmu Netra Dahana gurunya, 
cukuplah untuk membinasakan lawannya.
Tetapi kali ini tidak, gurunya telah menggenggam 
pusaka ampuhnya.
“Kalian tunggu saja. Kedua orang penghalang itu 
pasti akan termakan oleh senjata ini!” Ki Topeng 
Reges setelah menimang-nimang kedua pusaka itu, 
lalu menyimpannya ke dalam baju serta melangkah 
ke halaman. “Nah, aku berangkat sekarang!”
“Baik, Kiai,” ujar Jaramala dan Pelang Telu ber-
bareng.
Mereka menatap gurunya yang masih melangkah 
dengan tegap ke halaman dan sesaat kemudian Ki 
Topeng Reges menjejak tanah dan tubuhnya melesat 
ke arah selatan seperti bayang-bayang dan lenyap di

keremangan senja. Beberapa ekor kelelawar terkejut 
karenanya dan mencicit-cicit terbang berhamburan.
***
Sang rembulan sebentar-sebentar terselubung oleh 
awan putih yang berarak-arak mengalir di langit, 
membuat sinar yang menerangi tempat itu sebentar 
terang dan sebentar gelap. Di rumah itu yang letak-
nya tidak jauh dari tepi jalan yang menuju ke arah 
Demak, tampaklah beberapa ekor kuda yang ditam-
batkan pada tonggak-tonggak kayu. Di ruangan 
tengah rumah itu tampaklah Pandan Arum sibuk 
mengobati serta membalut para prajurit-prajurit yang 
terluka parah. Untunglah ia memiliki kepandaian 
tentang ilmu pengobatan dan jamu-jamuan ajaran 
dari bibinya, Nyi Sumekar, sehingga ia dengan 
mudah dapat memberi perawatan terhadap mereka.
Namun hatinya tak urung merasa cemas juga 
sebab dua di antara prajurit-prajurit yang terluka itu, 
dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Keduanya 
terlalu banyak kehilangan darah dan lukanya pun 
terlalu dalam pula.
Biarpun begitu, Pandan Arum dan juga Ki Camar 
Seta telah berusaha sedapat-dapatnya. Sementara 
Pandan Arum, Gajah Sela, dan Aldaka berada di 
ruang tengah, di halaman rumah di dekat pagar 
bambu kelihatan Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung 
bercakap-cakap dan di sebelah lain, seorang prajurit 
berdiri dengan menggenggam tombaknya untuk men-
jaga rumah itu.
“Anakmas Mahesa Wulung, dengan tewasnya 
Empu Baskara dan kabar kematian Angger yang 
terjatuh ke jurang itu telah membuat geger kalangan 
armada Demak dan lingkungan istana. Itulah sebab

nya kesatuan Nara Sandi telah mengirimku kemari 
dan juga dari Wira Tamtama. Angger Mas Karebet 
telah berkenan untuk pergi menyelidikinya. Ternyata 
peristiwa ini didalangi oleh Ki Topeng Reges dan 
muridnya si Rikma Rembyak.”
“Begitulah, Bapak. Ki Topeng Reges tidak bisa kita 
anggap lawan yang ringan. Ilmu Netra Dahana yang 
dikuasainya sangat berbahaya bagi kita. Aku telah 
melihat sendiri betapa dua orang anak buah Jorangas 
telah terbakar hangus kepalanya oleh sambaran api 
Ki Topeng Rages yang memancar dan menjilat dari 
kedua matanya.” Mahesa Wulung berhenti sejenak 
menarik napas. “Dan ilmu itu hanya bisa dihadapi 
dengan lembaran-lembaran kitab hijau yang disim-
pannya.”
“Ooo, kitab hijau milik Landean Tunggal yang telah 
Angger ceriterakan kepadaku itu?” sambung Ki Ca-
mar Seta.
“Betul, Bapak,” jawab Mahesa Wulung.
“Hmmm, sulit juga hal ini. Pasti Ki Topeng Reges 
menyimpan barang itu pada tempat yang tersem-
bunyi. Sebab barang itu juga merupakan bagian 
daripada nyawa dan hidupnya,” ujar Ki Camar Seta 
pula.
“Namun betapapun sukarnya aku harus mencari 
lembaran-lembaran kitab itu, Bapak,” sambung Ma-
hesa Wulung.
“Ya, memang itulah satu-satunya jalan untuk me-
ngalahkannya,” sambung Ki Camar Seta membenar-
kan. “Mari, Anakmas, kita masuk ke dalam. Malam 
makin bertambah larut.”
Kedua orang itu segera masuk ke dalam dan di 
luar semakin sepi. Malam telah memeluk bumi. Gu-
nung Muria, Jepara, Demak, Kudus dan seluruh

permukaan bumi telah menjadi kelam. Demikian pula 
rumah yang disinggahi oleh mereka menjadi sepi dan 
kelam.
Di dalam, Ki Camar Seta dan Mahesa Wulung ikut 
pula membantu Pandan Arum dalam merawat pra-
jurit-prajurit yang terluka. Hati mereka pada terharu 
memandangi tubuh-tubuh yang terbaring luka itu, 
namun merekapun berbangga bahwa prajurit-prajurit 
itu telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Apabila malam semakin larut, tiba-tiba terdengar 
sebuah jerit nyaring. Pandan Arum tersentak kaget. 
“Dengar Kakang Wulung, suara apakah itu?”
“Ah, itu hanya suara pekikan burung hantu,” 
jawab Mahesa Wulung seraya memegang pundak 
gadis itu supaya tenang.
Namun tiba-tiba terdengar pula sebuah jeritan 
pendek, dan Pandan Arum melangkah ke pintu. “Biar 
aku keluar sebentar, Kakang. Aku ingin mengetahui 
burung hantunya.”
Pandan Arum yang tiba di ambang pintu melihat 
keluar.
“Ah, sepi-sepi saja!” pikirnya.
Tetapi ketika ia melihat ke sudut rumah, dilihatnya 
prajurit jaga telah menggeletak di tanah. Maka iapun 
secepat kilat berlari ke arah itu dan segera memerik-
sa prajurit itu.
“Hah, pingsan?! Jalan darahnya tertotok!” desis 
Pandan Arum setelah memeriksa tubuh prajurit itu.
Inilah yang hebat. Sebuah totokan jalan darah 
biasanya hanya mampu melumpuhkan orang, tetapi 
tidak sampai seperti itu.
Baru saja selesai memeriksa orang itu, telinga Pan-
dan Arum yang cukup tajam telah menangkap bunyi 
gemerisik halus di atas genting. Cepat ia menjumput

batu kerikil dan melemparkannya ke genting sambil 
berseru, “Hei, siapa itu yang di atas genting?!”
Berbareng dengan teriakan itu sesosok bayangan 
berkelebat turun dari atas genting dengan ringannya 
seperti selembar daun kering dan tepat berdiri 
dengan kokoh di depannya. Betapa kaget dan ngeri-
nya bila ia menatap bayangan yang telah berdiri di 
hadapan itu. Sebuah wajah yang kaku seperti hantu 
menghiasi muka orang itu dan kemudian rasa kaget 
serta takutnya meledak. Pandan Arum menjerit 
hebat.
Si wajah hantu yang tidak lain adalah Ki Topeng 
Reges tertawa seram melihat gadis cantik itu menjerit 
ketakutan.
“Heh, heh, heh, tak mengira bahwa di tempat ini 
kutemukan bunga yang cantik! Tetapi sayang, kalau 
kau termasuk kawan si Mahesa Wulung, engkau pun 
harus mati di tanganku, cah ayu!”
Ki Topeng Reges maju mendekati Pandan Arum. 
Tapi gadis inipun melangkah mundur dengan rasa 
kecemasan.
“Berhenti, setan! Akulah tandinganmu!”
Mendengar teriakan itu, Ki Topeng Reges cepat 
berbalik dan sambil menggeram hebat iapun bersiaga 
ke arah suara itu.
“Hmm, kaulah yang aku cari! Sekarang berjong-
koklah di hadapanku ini untuk menerima hukuman-
mu!” Ki Topeng Reges berkata sambil mengacungkan 
tangannya ke depan ke arah muka Mahesa Wulung.
“Bagus, kalau kau ingin menghukumku, cobalah! 
Aku bukan anak ingusan yang patut kau takut-
takuti,” ujar Mahesa Wulung sambil bersiap.
“Haaait,” Ki Topeng Reges secepat kilat meloncat 
menerkam Mahesa Wulung dengan kedua tangannya

yang mengembang seperti cakar-cakar setan.
Ia ingin melumpuhkan Mahesa Wulung dengan 
gebrakan pertama dan kemudian membunuhnya 
sekali. Namun alangkah kagetnya ketika dengan 
gerakan secepat angin, lawannya berhasil lolos dari 
terkamannya. Yang lebih mengagetkan lagi ialah 
jurus yang dipergunakan oleh Mahesa Wulung itu. Ia 
merasa pernah mengenalnya. Inilah yang membuat Ki 
Topeng Reges ragu sejenak dan ketika ia mengingat-
ingat jurus yang dipakai oleh Mahesa Wulung tadi, 
hatinya berdesir seketika.
Ya, ia mengingat jurus itu yang dulu dipergunakan 
oleh Landean Tunggal, sahabatnya yang telah diku-
burnya di Jurang Mati. Mungkinkah Mahesa Wulung 
yang dulu terjatuh di Jurang Mati telah menemukan 
kitab hijau milik Landean Tunggal? Pertanyaan itu 
yang berkali-kali bergema dalam otaknya. Tiba-tiba 
dilihatnya Mahesa Wulung melolos pedang!
“Persetan!” desis Ki Topeng Reges. “Meskipun ia 
sakti, tapi ia tak akan tahan dengan ilmu Netra Da-
hana!”
Ki Topeng Reges segera mengerahkan ilmunya dan 
sebentar saja bola matanya menjadi kemerahan dan 
berbareng kedua tangannya mengembang ke depan, 
dua jilatan lidah api telah memancar dari matanya 
serta menyambar Mahesa Wulung.
Sekali lagi Mahesa Wulung melesat ke udara dan 
keduanya bertempur hebat saling melibat tak ubah-
nya dua pusaran angin prahara. Pandan Arum yang 
mengikuti pertempuran itu merasa ngeri juga hatinya 
berdebar-debar.
Mahesa Wulung yang agaknya merasakan kesem-
pitan tempat itu yang penuh pepohonan, segera 
melesat ke genting dan Ki Topeng Reges pun menge

jarnya.
Di saat keduanya saling bertempur di atas genting, 
sebuah bayangan lain menyusul melesat ke atas 
genting. Melihat ini Pandan Arum semakin tertarik 
dengan pertempuran itu. Ia pun menggenjotkan 
kakinya ke atas tanah kemudian melesat ke genting 
pula dengan enaknya.
Begitu tiba di genting, Pandan Arum segera dapat 
mengetahui bahwa bayangan tadi adalah Ki Camar 
Seta. Pandan Arum tak tinggal diam, ia segera pula 
bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan. 
Tandang dan olah Ki Topeng Reges benar-benar 
dilihatnya seperti hantu, dengan kedua tangannya 
yang sebentar siap menerkam lawan di samping 
lidah-lidah api yang memancar dari kedua bola 
matanya. Tetapi ia terpaksa bekerja lebih keras lagi, 
sebab lawannya bukanlah anak ingusan yang mudah 
ditakut-takuti, bahkan ia merasa kagum tetapi juga 
mengumpat bila pendekar yang semuda itu telah 
mampu menandinginya.
Tiba-tiba Ki Camar Seta mengepungnya.
“Keparat! Si Caping kumal juga ingin bermain-
main denganku. Ayo, mulailah! Jangan hanya berdua 
atau bertiga. Meski kau tumplak seluruh bala prajurit-
mu, aku tak akan lari dari sini!” terdengar Ki Topeng 
Reges sesumbar dengan suara yang menggeledek.
Sampai sejauh itu Pandan Arum hanya melihat 
pertempuran tadi dengan hati berdetak. Ia merasa 
kagum akan ilmu meringankan tubuh ketiga pen-
dekar tersebut, yang kini terlibat berpusaran seperti 
angin dalam pertempurannya. Betapa jadinya kalau 
mereka tidak mengerahkan ilmu tersebut? Pasti 
genting-genting itu akan berserakan pecah rontok ke 
bawah!

Pertempuran berjalan semakin dahsyat! Ki Topeng 
Reges yang dikerubuti dua pendekar jagoan itu 
tampak semakin ganas. Dalam hati ia telah bertekad 
untuk membinasakan kedua lawannya itu, karena 
mereka telah berani menggagalkan maksudnya untuk 
merampok emas.
Maka dengan segenap ilmu yang dimilikinya serta 
dilengkapi oleh kemarahan yang memuncak, kedua 
lawannya tersebut sebentar kemudian telah dikurung 
dengan ilmu ampuhnya, Netra Dahana. Lidah-lidah 
api yang panas dan liar segera menjilat dan menyam-
bar-nyambar tubuh Mahesa Wulung dan Ki Camar 
Seta. Untunglah keduanya cukup memiliki kelinca-
han, sehingga tubuh mereka sebentar-sebentar me-
lenting ke udara untuk menghindari sambaran-
sambaran lidah api.
Tiba-tiba sambil menggeram Ki Topeng Reges 
menggerakkan kedua tangannya ke balik baju dan 
sebentar kemudian kedua tangan itu telah menggeng-
gam Kiai Brahmasakti, pusaka yang berujud belati 
panjang yang membara.
Melihat kedua senjata itu, Mahesa Wulung dan Ki 
Camar Seta meloncat mundur dengan dada berdegup.
Ki Topeng Reges terkekeh karenanya. Dengan 
bangga ia mengacungkan kedua pusaka itu. “He, he, 
he, kalian kaget bukan? Inilah Kiai Brahmasakti yang 
pernah menggegerkan dunia persilatan! Sebentar lagi 
kalian akan merasakan kehebatannya. Nah, 
bersiaplah buat kematianmu, setan!”
“Ki Topeng Reges!” seru Mahesa Wulung. “Jangan 
menakut-nakuti. Kaulah yang harus menyerah di 
hadapanku!”
Bukan main marahnya Ki Topeng Reges, maka 
secepat kilat ia melesat ke atas dan menyerang Mahe

sa Wulung dengan kedua pusaka kembarnya, Kiai 
Brahmasakti.
Mahesa Wulung terkejut mendapat serangan tiba-
tiba yang meluncur secepat angin. Segera ia memapa-
ki dengan pedangnya.
Trang!
Dua benturan senjata berbunyi nyaring menyeri-
kan telinga disusul bunga-bunga api berpijar ke 
udara malam.
Mahesa Wulung tersentak kaget. Akibat dari ben-
turan kedua senjata itu, tangannya tiba-tiba merasa 
panas, seakan-akan pedangnya telah dipanggang oleh 
bara api yang bertimbun-timbun. Iapun meloncat 
surut.
Di saat itu pula serangan Ki Topeng Reges 
berikutnya dapat ditangkis oleh Ki Camar Seta 
dengan putaran pedangnya. Namun Ki Camar Seta 
pun seperti halnya Mahesa Wulung, ia merasakan 
akibat benturan pedangnya dengan senjata Kiai 
Brahmasakti di tangan Ki Topeng Reges. Sungguh-
sungguh mengejutkan. Cepat ia meloncat surut.
Melihat lawannya meloncat surut, Ki Topeng Reges 
sekali lagi tertawa terkekeh-kekeh. “Heh, heh, heh, 
kalian rasakan kehebatan senjataku ini bukan? Hayo, 
kerahkan segenap ilmumu sebelum mati di ujung 
senjataku ini.”
Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta sadar akan 
bahaya yang mengancam mereka semua. Mereka 
berpikir keras mencari jalan yang baik dan tiba-tiba 
Mahesa Wulung menjentik Ki Camar Seta. Keduanya 
segera melesat turun ke tanah sambil menantang.
“Heei, Ki Topeng Reges, jika kau laki-laki sejati, 
kejarlah kami. Mari kita teruskan permainan kita.”
Keduanya bermaksud memancing Ki Topeng Reges

agar menjauh dari rumah itu, hingga sahabat-saha-
bat mereka akan lebih aman.
Ki Topeng Reges segera melesat turun mengejar 
kedua lawannya. Mereka berkejaran ke arah utara, 
menerobos kelebatan hutan, melompati sungai-
sungai kecil, tak ubahnya tiga ayam alas saling 
berkejaran. Sebentar kemudian ketiganya lenyap, 
seperti ditelan kelebatan hutan lembah kaki Gunung 
Muria.
Pandan Arum segera melesat turun dari atas gen-
ting dengan perasaan yang bercampur-baur, memi-
kirkan Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta yang 
tengah lari, diburu oleh Ki Topeng Reges. Dalam hati 
ia berdoa semoga keduanya dapat selamat dari ceng-
keraman si wajah hantu.
Tempat itu kembali menjadi sepi dan malam sema-
kin bertambah larut. Sang purnama yang bulat per-
lahan-lahan dan lambat bergeser ke arah cakrawala 
barat.
***
Sampai di sinilah ceritera “Diburu Topeng Reges” 
berakhir, dan segera akan datang mengunjungi Anda, 
cerita berikutnya dari seri Naga Geni yang berjudul 
“Munculnya Pendekar Bayangan”.


                               TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar