SATU
Siang itu Matahari seperti enggan keluar dari tem-
pat persembunyiannya dibalik mega kelabu. Cuaca tak
begitu cerah. Akan tetapi tak ada tanda-tanda bakal
turun hujan. Dari kejauhan tampak berdiri megah se-
buah gunung yang menjulang tinggi. Bagian puncak-
nya tertutup lapisan awan dan kabut. Itulah Gunung
BROMO.
Di keteduhan cuaca dan lembabnya udara siang itu
ternyata telah berlangsung upacara pernikahan yang
dilakukan secara sederhana sekali, yaitu di puncak
gunung Bromo yang sunyi mencekam. Agak jauh dari
kawah yang senantiasa bergolak di lereng puncak gu-
nung itu tampak sebuah rumah batu beratap ilalang.
Seorang kakek tua renta berjubah putih lusuh tampak
duduk menghadap keluar dengan bersila di atas tikar
pandan. Di hadapannya dua orang remaja seorang ga-
dis dan seorang pemuda duduk bersimpuh dengan
menundukkan kepala.
Di dekat kedua remaja itu duduk pula seorang laki-
laki tua berkepala botak tanpa rambut, tampaknya dia
seorang pendeta. Dan di belakang sepasang remaja itu
duduk mengantuk seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar bertelanjang dada.
Kakek tua renta berjubah putih lusuh itu adalah
yang bernama Ki DWIPA MORGHANA, seorang laki-laki
tua yang berilmu tinggi. Di dunia persilatan kakek ini
dikenal dengan gelar si Kelana dari Gunung Himalaya.
Puluhan tahun silam nama gelarnya pernah membuat
gempar kaum rimba persilatan karena ketinggian ilmu
serta sepak terjang manusia dari wilayah India ini. En-
tah sejak kapan dia bercokol di puncak gunung Bromo
dan mempunyai tiga orang murid. Nyatanya ketiga mu
ridnya itu telah berguru hampir enam tahun.
“Nah, muridku AYU RUMPI dan PANDALA...! kini
kalian telah resmi menjadi suami isteri!” berkata Ki
Dwipa Morghana dengan menarik napas lega selesai
upacara pernikahan kedua remaja muridnya itu.
“Kuharap kalian dapat hidup rukun dan saling me-
nyayangi. Jagalah baik-baik nama perguruan, dan
berbuatlah kebajikan. Semoga Tuhan yang Maha Kua-
sa merestui mu...!” demikian Ki Dwipa Morghana me-
nutup wejangannya. Dan berakhirlah upacara itu. Ayu
Rumpi dan Pandala saling tatap, tapi cepat-cepat Ayu
Rumpi menunduk tanpa secuil senyum pun terukir di
bibirnya. Pandala mengangkat muka memandang pada
gurunya.
“Guru...! seperti telah kami rencanakan, selesai
pernikahan kami segera akan turun gunung. Kami
mohon do’a restumu, guru...!”
Sejenak Ki Dwipa Morghana tercenung. Lengannya
bergerak mengelus jenggotnya yang panjang menjun-
tai.
“Sebenarnya aku menginginkan kalian menetap di
puncak gunung Bromo ini...! Tapi, aku tak dapat mela-
rang jika kalian akan turun gunung. Aku sendiri telah
mengambil keputusan untuk segera kembali ke Pun-
cak Himalaya”
“Lalu siapa yang akan tetap tinggal di puncak Bro-
mo ini?” kata Pandala. Laki-laki bertubuh tinggi besar
bagai raksasa yang duduk di belakang Ayu Rumpi dan
Pandala walaupun matanya terpejam dan tidur men-
dengkur, tapi telinganya mendengar semua percaka-
pan itu. Dia menggeliat dan tanpa membuka matanya
segera menyahut.
“Biarlah aku yang menunggu puncak Bromo!”
Pandala dan Ayu Rumpi menoleh. “Apakah kau tak
ingin turun gunung, KEBO GAWUK?” bertanya Ki Dwi
pa Morghana.
“Tidak, guru! Di puncak Bromo ini tenang penuh
kedamaian. Tidak seperti di bawah sana yang ramai,
tapi penuh kemelut! Disini aku bisa tidur pulas tanpa
ada yang mengganggu...!”
Mendengar jawaban muridnya itu Ki Dwipa Mor-
ghana tertawa gelak-gelak, lalu ujarnya. “Aku tak me-
maksakan kehendak murid-muridku. Asalkan kalian
tetap memegang teguh tujuan perguruan kita, yaitu
berpihak pada kebenaran!”
“Tapi, guru...!” menukas Pandala. “KEBO GAWUK
kerjanya hanya tidur, percuma saja dia mempelajari
ilmu-ilmu kedigjayaan....”
“Apakah tidur itu suatu hal yang melanggar aturan
perguruan? Guru telah memberi ijin padaku, mengapa
kakang Pandala usil dengan kesenangan orang? Silah-
kan kalian turun gunung. Biarlah aku yang menetap di
puncak Bromo ini...” sahut Kebo Gawuk tanpa mem-
buka matanya.
“Ya, aku telah memberi ijin. Biarlah dia berbuat apa
yang dia sukai. Bilakah kalian akan berangkat?” tanya
Ki Dwipa Morghana seraya menatap pada Pandala dan
Ayu Rumpi.
“Sekarang juga, guru...!” sahut Ayu Rumpi setelah
sesaat menatap Pandala. Pandala mengangguk. “Be-
nar, guru. Kami akan turun gunung sekarang juga!” Ki
Dwipa Morghana mengangguk.
“Baiklah! Persiapkan apa yang akan kalian bawa.
Aku merestui mu berdua!”
“Terima kasih, Guru...!” sahut kedua remaja ini
hampir berbareng. Kemudian bangkit berdiri dan be-
ranjak masuk ke bilik mereka. Tak lama keduanya ke-
luar lagi setelah mengemaskan pakaian tak lupa me-
nyisipkan senjata mereka ke balik baju di pinggang.
Kemudian keduanya mohon diri.
“Ya, berangkatlah, semoga Tuhan selalu melindungi
kalian!” berkata kakek itu. Pandala dan Ayu Rumpi tak
menunggu lebih lama lagi, segera beranjak keluar dari
pondok itu. Dan dengan cepat segera berkelebat me-
lompat menuruni lereng Bromo. Ki Dwipa Morghana
menatapnya hingga sosok kedua muridnya lenyap...
“Kebo Gawuk! tugasmu adalah mengantarkan ba-
pak pendeta ini sampai ke rumahnya!” berkata Ki Dwi-
pa Morghana. Kebo Gawuk membuka matanya.
“Baik, guru...!”
“Terima kasih atas budi kebaikanmu, pak pendeta.
Semoga Tuhan membalasnya...” Ki Dwipa Morghana
menjura pada si pendeta yang telah bangkit berdiri da-
ri duduknya.
“Tak ada yang amat ku senangi selain perbuatan
baik. Semoga Tuhan selalu melindungimu” sahut si
pendeta dengan tersenyum.
Pendeta tua yang diminta pertolongan oleh Dwipa
Morghana itu pun mohon diri. Kemudian dengan dian-
tar oleh Kebo Gawuk segera menuruni lereng Bromo.
Ki Dwipa Morghana mengantarnya sampai ke pintu
pondok. Kakek tua ini memandangi kepergian mereka
hingga tak kelihatan lagi. Sesaat lamanya Ki Dwipa
Morghana tercenung di pintu pondok. Pelahan terden-
gar suara helaan nafasnya. Dan dia berkata lirih.
“Akupun akan segera pergi meninggalkan puncak
Bromo ini...”
Kakek ini memasuki ruangan pondoknya di mana
lebih dari lima tahun dia telah menggembleng ketiga
muridnya.
Kakek yang arif ini terpaksa menikahkan kedua
orang muridnya karena melihat adanya tanda-tanda
dan sering dia memergoki kedua muridnya itu diam-
diam sama-sama telah jatuh hati. Untuk menghindari
hal-hal yang tak diinginkan, dia memanggil Pandala
dan Ayu Rumpi dan menanyakan sejelas-jelasnya.
Di hadapan sang guru kedua murid itu tak dapat
menyangkal dan mengakui dengan jujur bahwa mere-
ka sama-sama menyinta. Akhirnya Ki Dwipa Morghana
turun gunung untuk mencari seorang pendeta guna
meresmikan kedua muridnya itu menjadi pasangan
suami-istri.
***
Matahari semakin condong ke bawah gunung. Si-
narnya tetap redup bahkan mulai berkurang. Ki Dwipa
Morghana tak menunggu sampai muridnya kembali
dari mengantar sang pendeta. Karena dia telah memu-
tuskan untuk segera berangkat meninggalkan puncak
gunung Bromo. Kembali ke India.
Beberapa saat kemudian Ki Dwipa Morghana telah
berdiri di luar pondok. Sejenak memandang ke sekitar
puncak Bromo. Namun tak lama segera dia memutar
tubuh. Dan detik selanjutnya yang terlihat adalah
bayangan putih yang berkelebat cepat sekali. Tahu-
tahu sosok tubuh Ki Dwipa Morghana alias si Pengela-
na dari gunung Himalaya itu telah lenyap.
***
DUA
Dua tahun kemudian sejak peristiwa itu, empat so-
sok tubuh berkelebat cepat mendaki lereng Bromo. Da-
ri gerakan-gerakan keempat orang itu dapat diketahui
kalau mereka adalah empat orang yang berkepandaian
tinggi. Entah siapa gerangan mereka dan ada kepen-
tingan apa mendaki gunung Bromo sepagi itu?
Ternyata mereka adalah empat laki-laki berpakaian
serba hitam. Usia mereka hampir rata-rata sekitar tiga
puluhan tahun. Gerakan-gerakan mereka mendaki
amat gesit, bagaikan gerakan empat ekor kijang. Kira-
kira dua kali penanak nasi, keempat orang baju kun-
ing itu telah sampai di puncak Bromo.
“Itu pesanggrahannya!!” berkata seorang yang ber-
tubuh tinggi kurus. Lengannya menunjuk ke arah sisi
kawah.
“Mari kita kesana!” Segera keempat laki-laki baju
kuning itu berlompatan mendekati pondok satu-
satunya yang terpencil di puncak Bromo itu.
Tiba di depan pesanggrahan tua itu si laki-laki ber-
tubuh tinggi kurus mengangkat kedua tangannya
memberi isyarat agar berhenti. Matanya menatap ke
arah pintu pondok yang terbuka.
“Sobat penghuni puncak Bromo, kami Empat Iblis
Clurit Hitam datang mau menemuimu!” si laki-laki
jangkung pentang suara. Kemudian mereka menunggu
jawaban. Keadaan sunyi mencekam seperti tiada tan-
da-tanda pondok tua itu berpenghuni. Setelah menanti
beberapa saat, agaknya si jangkung mulai tak sabar.
Kembali dia berteriak. “Hai, penghuni puncak Bromo!
Kami datang membawa sepucuk surat dari saudara
seperguruanmu, PANDALA!”
Terdengar suara berat dan parau seperti suara
orang yang baru bangun dari tidur. “Hoaaeeem...! Su-
rat dari PANDALA?”
Suara itu membuat terkejut ke empat orang ini, ka-
rena suara tersebut bukan datang dari arah pondok.
Tapi dari dalam kawah Bromo. Tak ayal keempatnya
segera berlompatan ke arah sisi kawah gunung itu.
Tampak sesosok tubuh tinggi besar mirip raksasa
duduk di atas sebuah batu besar menyandarkan
punggungnya di lereng kawah. Dibawahnya adalah la-
har panas yang mendidih dan mengepulkan asap se
perti kabut.
Keempat orang ini hampir-hampir tak percaya pada
penglihatannya. Jangankan untuk berada di tengah
kawah yang sedemikian panasnya, berdiri di tepi pun-
cak kawah saja hawa panas telah membuat mereka
tersurut mundur. Akan tetapi laki-laki itu tampak
enak-enakan tidur di atas batu di pertengahan kawah,
membuat empat pasang mata laki-laki ini jadi terbela-
lak heran juga takjub.
“Hi, kalian Empat Iblis Clurit Hitam bacakan saja-
lah apa isi surat dari Pandala itu...!” kata Kebo Gawuk
tanpa membuka matanya.
Keempat laki-laki baju kuning ini saling pandang
dengan kawannya. Tapi si jangkung kurus ini segera
memberi isyarat pada salah seorang kawannya.
“Pindo, kau bacalah surat itu!”
Laki-laki bertubuh agak pendek namun kekar yang
bernama Pindo itu segera keluarkan secarik kertas
kain dari balik bajunya. Kemudian membuka lembaran
kertas kain itu. Akan tetapi baru saja Pindo mau
membaca, tiba-tiba bersyiur angin keras yang mem-
buat terlepas kertas kain itu dari tangannya.
Pindo melompat untuk menyambar dengan sebat.
Akan tetapi kertas itu makin membumbung dan me-
layang jatuh ke dalam kawah.
Pucat seketika wajah keempat orang ini. Dilihatnya
Kebo Gawuk masih enak-enak tidur seperti tak menge-
tahui apa yang barusan terjadi. Kertas surat itu terus
melayang dan lenyap masuk ke dalam kawah.
Si laki-laki jangkung menunjukkan wajah berang.
Dia tahu si manusia raksasa itulah yang telah menye-
babkan terlepasnya kertas surat itu. Kekuatan angin
biasa tak mungkin bisa menerbangkan benda itu. Apa
lagi datangnya syiuran angin dari dalam kawah. “Kebo
Gawuk! mengapa kau lakukan hal ini?” teriaknya ke
ras. “Kami jauh-jauh datang kemari untuk menyam-
paikan surat itu, mengapa kau menjatuhkannya ke da-
lam kawah?”
“Hehehe... sebaiknya kalian terangkan saja apa
maksud si Pandala! Kukira kalian telah mengetahui
apa isinya!” menyahut Kebo Gawuk dengan menyengir
lalu membuka matanya.
“Hm, baiklah!” sahut si jangkung yang bernama Ra-
kenca. Walau hatinya agak mendongkol, tapi Rakenca
segera angkat bicara.
“Adipati PANDALA menitahkan kau untuk turun
gunung dan menghadapnya. Kami akan mengantar
kau ke tempat beliau!”
“Si Pandala telah menjadi Adipati?” sentak Kebo
Gawuk dengan mata membelalak.
“Sudah hampir satu tahun Raden Pandala menjabat
sebagai Adipati Bangil!” menjelaskan Rakenca.
“Apakah maksudnya menyuruhku menghadap?”
tanya Kebo Gawuk.
“Haha... Kebo Gawuk! Apakah kau akan tetap men-
jadi penghuni puncak Bromo menunggui lahar yang
tak ada gunanya? Kehidupan senang dan pangkat
tinggi telah disediakan untukmu. Raden Pandala san-
gat membutuhkan tenagamu!”
Sejenak Kebo Gawuk tercenung. Matanya menatap
kepulan asap lahar. Bibirnya bergumam. “Kehidupan
senang? Pangkat tinggi? Hm, aku tak tertarik dengan
semua itu!”
“Kebo Gawuk! alangkah bodohnya kau jika menolak
tawaran itu! Raden Pandala telah berbaik hati memba-
gi kesenangan, dan masih tak melupakan pada sauda-
ra seperguruannya. Kalau di dunia ini ada orang yang
tak ingin kehidupan senang itulah kau!” berkata Ra-
kenca.
“Heh! aku sudah cukup senang berada di puncak
Bromo ini. Katakan pada si Pandala bahwa aku meno-
lak tawarannya! Nah! segera kalian angkat kaki dari
sini!” Selesai berkata lengan Kebo Gawuk mengibas.
Angin panas menggebu menyambar ke arah empat la-
ki-laki ini. Terkesiap si Empat Iblis Clurit Hitam. Den-
gan sebat mereka berlompatan menghindar.
Sesaat keempatnya saling pandang. Sungguh mere-
ka tiada mengira akan penolakan Kebo Gawuk. Akhir-
nya Rakenca memberi isyarat untuk segera meninggal-
kan tempat itu. Tak lama si Empat Iblis Clurit Hitam
telah berkelebatan menuruni lereng Bromo. Mereka
kembali dengan hati kecewa dan masygul karena tak
berhasil membawa si penghuni puncak Bromo turun
gunung.
Sementara itu di Kadipaten, Raden Pandala sang
Adipati Bangil tampak baru saja keluar dari dalam
pendopo gedung kadipaten. Tampaknya dia akan be-
pergian, karena seekor kuda telah disiapkan oleh seo-
rang prajurit di halaman gedung. Melihat kemunculan
Raden Pandala, prajurit itu dengan membungkukkan
tubuh segera menyurut mundur.
Raden Pandala menepuk-nepuk kuda tunggangan-
nya yang berbulu putih berkilat-kilat. Kuda putih itu
perdengarkan suara meringkik pelahan lalu menden-
gus-dengus mencium lengan laki-laki ini. Raden Pan-
dala tersenyum seraya mengelus-elus kepala kuda ke-
sayangannya. Kemudian dia melompat ke punggung
binatang itu.
“Tutup pintu gapura, dan tak seorangpun tetamu
yang dibolehkan masuk!” berkata sang Adipati seraya
menoleh pada si prajurit. “Katakan aku sedang keluar!
Mungkin nanti sore aku baru kembali!”
“Dawuh, Gusti! Perintah segera akan hamba laksa-
nakan!” menyahut prajurit itu dengan membungkuk.
Raden Pandala tanpa berkata apa-apa lagi terus men
geprak kudanya dan membedal keluar meninggalkan
gedung Kadipaten.
Prajurit ini bergegas menghampiri dua penjaga pin-
tu gerbang. Setelah bercakap-cakap sejenak, kedua
prajurit itu segera menutup pintu gerbang gedung Ka-
dipaten dan menguncinya dengan palang pintu.
“Akan kemanakah Kanjeng Gusti Adipati?” tanya
salah seorang prajurit penjaga pintu gerbang pada pra-
jurit tadi.
“Entahlah! beliau tak berkata apa-apa padaku...!”
sahut prajurit ini yang menjadi orang kepercayaan Ra-
den Pandala. Lalu ketiganyapun bercakap-cakap.
***
TIGA
Raden Pandala memacu kuda tunggangannya den-
gan cepat menuju ke arah selatan. Akan tetapi dia tak
melewati jalan yang biasa dipergunakan orang.
Melainkan mengambil jalan dengan melintasi hutan
lebat.
Entah kemana tujuan Raden Pandala, tampaknya
dia akan menemui seseorang yang bersangkutan den-
gan urusan pribadinya.
Setelah melintasi hutan kemudian kuda membelok
ke arah sisi bukit.
Melalui jalanan yang terjal dan berkelok-kelok se-
penanak nasi kemudian Raden Pandala telah tiba di
satu tempat yang di kiri kanannya penuh dengan po-
hon jati. Di ujung jalan yang dilaluinya terdapat jalan
yang membelok ke kanan. Tapi Raden Pandala tak me-
nuruti jalanan itu. Melainkan menerobos jalan setapak
ke arah semak belukar. Ternyata dibalik belukar itu
terdapat sebuah sungai.
Suara air menyibak mencabik keheningan tatkala
kaki-kaki kuda Raden Pandala melintasi sungai berair
dangkal itu. Keadaan di hutan kecil itu tampak begitu
lengang. Baru saja Raden Pandala sampai ke daratan,
beberapa sosok tubuh bermunculan dari balik semak.
“Oh, kiranya Gusti Raden Pandala...!” berkata salah
seorang dari laki-laki berbaju warna gelap itu. Lalu
menjura diikuti kawan-kawannya.
“Selamat datang, Raden!” sapa laki-laki yang baru-
san berkata.
“Hm,... apakah Gusti mu ada dikediamannya?”
tanya Raden Pandala.
“Kebetulan. Hari ini beliau ada di rumah!” sahut la-
ki-laki itu. “Mari Raden! kami jalan terlebih dahulu”
Enam laki-laki itu dengan gerakan cepat segera
mendahului berkelebatan dengan gerakan gesit. Per-
tanda mereka rata-rata memiliki ilmu-ilmu silat.
“Haih! AYU RUMPI...! Entah sampai kapan kau te-
tap bertahan pada pendirianmu? Bagaimana kalau
sampai semua usaha dan jerih payah ku tak berhasil?”
menggumam Raden Pandala.
Lalu menyusul keenam laki-laki tadi dengan lang-
kah kuda yang dijalankan pelahan.
Sebuah rumah yang berbentuk pesanggrahan tak
seberapa besar, tampak berada di tempat agak keting-
gian. Dikelilingi rumpun bambu. Sekitar tempat itu
bersih seperti memang dijaga kerapiannya. Ketika
langkah kaki kuda Raden Pandala semakin mendekat
ke arah pondok itu, dari dalam pintu pondok muncul
sesosok tubuh wanita berpakaian warna kuning. Kepa-
lanya terbungkus selendang warna hitam yang menu-
tupi sebagian wajahnya.
Sejenak Raden Pandala tertegun memandang, dan
menghentikan langkah kudanya. “Ayu Rumpi...!” Suara
Raden Pandala memecah kesunyian.
“Hm! Silahkan masuk Adipati Bangil!” Hanya itu
yang diucapkan wanita berkerudung hitam ini. Kemu-
dian tubuhnya kembali menyelinap masuk ke dalam
pondok. Raden Pandala melompat turun dari kudanya.
Lalu menuntunnya ke sisi pondok dan mengikatkan
tali kendali pada sebatang pohon yang tumbuh di situ.
Sejenak sebelum melangkah masuk, Raden Pandala
memutar pandangan, seperti mencari keenam laki-laki
tadi. Tapi entah kemana lenyapnya enam laki-laki itu
seperti pada waktu-waktu dia berkunjung ke tempat
itu, tak sepotong batang-batang hidungpun yang keli-
hatan.
Lambat-lambat Raden Pandala melangkahkan kaki
memasuki pondok pesanggrahan itu...
“Silahkan duduk Raden Pandala!” suara Ayu Rumpi
memagut kelengangan. Gadis berkerudung ini tetap
tak menampakkan keseluruhan wajahnya yang seba-
gian tertutup kerudung hitamnya. Dia telah duduk di
ujung tikar pandan dengan sorotan mata tajam mena-
tap Raden Pandala.
Raden Pandala masih tetap berdiri menatapnya.
Gurat-gurat wajahnya menampakkan ketuaan. Karena
selama ini Pandala telah bekerja keras. Kerja keras
yang dilakukan demi terwujudnya harapan yang
menggebu didadanya.
Semua itu demi wanita yang berada di hadapannya.
Yaitu AYU RUMPI istrinya.
“Hm! Untuk keempat kalinya kau datang kemari
menemuiku semenjak kau diangkat menjadi Adipati
Bangil. Apakah kau masih tetap akan membujuk ku,
Pandala?” Ayu Rumpi membuka percakapan.
Pandala henyakkan pantatnya ke tikar. Lalu terden-
gar dia menghela napas.
“Ayu Rumpi! kita sudah menjadi suami istri. Bahkan aku masih ingat ketika kita menikah di hadapan
seorang pendeta tua puncak Bromo...” berkata Panda-
la.
“Ya! akupun masih ingat!” menukas Ayu Rumpi.
“Tetapi masih ingat pulakah kau pada syarat yang ku
ajukan sebelum pernikahan? Aku akan bersatu pada-
mu sebagaimana lazimnya suami istri, akan tetapi bila
kau telah berhasil merebut kekuasaan Kerajaan!” desis
wanita ini dengan mata menyorot tajam menatap Pan-
dala.
“Kau baru berhasil menjabat sebagai seorang Adipa-
ti. Masih jauh dengan apa yang aku harapkan!” sam-
bung Ayu Rumpi.
“Apakah jabatan itu tidak cukup untuk kita bersa-
tu, Ayu...?”
Ayu Rumpi menggeleng. “Jangan coba-coba kau me-
rayu ku lagi, Pandala! Sekali putih tetap putih, sekali
hitam tetaplah hitam! Kau masih punya waktu satu
tahun lagi sesuai dengan waktu yang aku janjikan!
Berhasil tidaknya hal itu tergantung dengan nasibmu!”
Pandala tercenung beberapa saat. Lagi-lagi dia
menghela napas seperti melepaskan beban berat yang
menindih dadanya.
“Sungguh tak kusangka kau telah menjerumuskan
aku pada perbuatan rendah! Perbuatan kotor yang tak
sesuai dengan cita-cita guru kita!” berkata parau Ra-
den Pandala.
“Menjerumuskan mu?” desis Ayu Rumpi. Tampak
wajahnya berubah merah. Sepasang alisnya terjungkat
naik. Dari sepasang matanya yang membinar itu dapat
diketahui kalau Ayu Rumpi tersinggung marah.
“Ya! kau telah menjerumuskan aku dengan syarat
gila itu!” bentak Pandala yang tak dapat menahan pe-
rasaan marahnya. Sebaliknya Ayu Rumpi malah terta-
wa geli, membuat mata Raden Pandala membelalak.
“Hihihi... sungguh tak kusangka calon suamiku ter-
nyata seorang yang berotak dungu! Hihihi... benar-
benar lucu dan amat menggelikan!”
“Tutup mulutmu, Ayu! Aku suamimu! bukan calon!”
Bentakan Pandala membuat Ayu Rumpi berhenti
tertawa. Wajahnya berubah merah lagi. Matanya me-
natap Pandala dengan pandangan dingin.
“Heh! tanpa adanya syarat yang bersedia kau penu-
hi itu aku memang mutlak istrimu! Apakah kau mau
mengingkari janjimu dengan dalih pernikahan itu? Pa-
da dasarnya memang benar! Tapi kenyataannya adalah
tidak demikian...!”
Jawaban Ayu Rumpi membuat sang Adipati Bangil
ini membungkam mulut tanpa dapat berkata sepatah-
pun. “Kau... kau memang keras kepala, Ayu...! Tak ada
sedikitpun kebijaksanaan bersemayam di hatimu!”
Hanya kata-kata itu yang diucapkan. Tapi itupun di-
ucapkannya dalam hati.
“Kukira tak ada lagi yang harus kita bicarakan.
Nah, segeralah kau tinggalkan tempat ini! Maafkan ka-
lau kata-kataku terlalu tajam. Bukan maksudku
menghinamu, tetapi semua itu agar dapat kau menger-
ti. Aku masih tetap menunggumu dengan setia sampai
usaha dan perjuangan mu berhasil! Ya! satu tahun la-
gi! Pergunakanlah waktu itu sebaik-baiknya, Pandala!
Kau dapat menyusun kekuatan untuk segera melaku-
kan pemberontakan. Membunuh Raja dan merebut
kekuasaan!”
Raden Pandala tak menyahut. Dia bangkit berdiri
dengan wajah kaku membesi. Pintu kamar dihantam-
nya hingga hancur berkepingan. Agaknya Pandala te-
lah melepaskan kekesalan hatinya karena lagi-lagi dia
menemui jalan buntu untuk mengajak istrinya bersatu
dan tinggal di kadipaten.
Tanpa memperdulikan enam laki-laki anak buah
Ayu Rumpi yang tahu-tahu bermunculan di halaman
pesanggrahan, Pandala menghampiri kudanya. Dua
orang melompat masuk ke pesanggrahan. Agaknya me-
reka telah mendengar suara bergedubrakan dan
mengkhawatirkan keselamatan majikannya. Tapi Ayu
Rumpi telah muncul di pintu pesanggrahan. Kedua la-
ki-laki itu menarik napas lega.
“Biarkan dia pergi!” berkata gadis ini, ketika melihat
empat laki-laki anak buahnya bersikap mengurung
Raden Pandala.
Tanpa membuang waktu Raden Pandala segera me-
lompat ke punggung kudanya. Lalu membedalnya me-
ninggalkan tempat itu. Ayu Rumpi dan keenam anak
buahnya mengawasi sampai kuda putih itu lenyap.
***
EMPAT
Sepeninggal Adipati Bangil, Ayu Rumpi berkemas
mengganti pakaiannya dengan pakaian persilatan. Ke-
rudung hitam yang tadi digunakan untuk menutupi
wajahnya dibelitkan di pinggang. Kemudian keluar dari
dalam pondok pesanggrahan.
“Perbaikilah pintu kamarku! Aku akan pergi agak
lama. Mungkin satu pekan. Ingat pesanku. Kalian tak
kuperbolehkan meninggalkan tempat ini. Jaga tempat
ini jangan sampai orang luar mengetahui tempat raha-
sia kita!” Keenam anak buah wanita ini mengangguk.
“Siap ketua! Jangan khawatir! kami akan menjaga
tempat ini sebaik-baiknya. Dan pintu kamar yang ru-
sak itu pasti sudah selesai kami perbaiki bila ketua
kembali nanti!”
Ayu Rumpi tersenyum dan mengangguk. “Bagus!
Nah! aku berangkat!”
Selesai berkata murid Ki Dwipa Morghana ini berke-
lebat pergi meninggalkan tempat tersembunyi itu.
Cepat sekali gerakan gadis ini. Dalam beberapa saat
saja dia telah berada di sisi bukit. Dia berhenti sejenak
untuk menatapkan matanya ke beberapa arah. Seperti
khawatir ada orang lain yang menguntitnya.
Ayu Rumpi perdengarkan suara tertawa kecil seraya
menggumam.
“Tampaknya Pandala merubah niatnya semula. Dia
marah karena aku tetap pada pendirianku! Tapi aku
belum yakin, apakah dia membatalkan niatnya untuk
memberontak? Karena kudengar dia telah mulai
menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan tokoh-
tokoh aliran hitam seperti si Empat Iblis Clurit Hitam
dan lain-lain.
“Hihihi... akan kulihat, apakah dia mempunyai ke-
mampuan?”gumamnya lagi. “Hm, aku harus menemui
“dia”! aku sudah terlalu rindu padanya...” berkata Ayu
Rumpi dalam hati.
Kemudian dengan gerakan bagai burung walet, lin-
cah sekali gadis itu berkelebat meninggalkan sisi bukit.
Seorang laki-laki kira-kira berumur tiga puluh lima
tahun lebih tampak duduk di atas sebuah batu di le-
reng gunung. Pemandangan di tempat itu amat me-
nyenangkan dan menyejukkan hati. Tenang, sunyi dan
tampak penuh kedamaian. Apalagi saat itu terdengar
suara seruling bernada lembut mendayu-dayu meng-
gugah perasaan ditingkah oleh suara air terjun yang
lapat-lapat terdengar di kejauhan.
Suara seruling itu berasal dari benda yang ditiup
laki-laki ini. Bentuk seruling itu agak aneh, karena
hanya mempunyai empat buah lubang. Dan laki-laki
ini meniupnya dengan sebelah tangan. Empat anak ja-
rinya bergerak lincah menutup dan membuka empat
buah lubang itu, sedangkan ibu jari tangannya berada
di bagian bawah benda yang ditiupnya. Walau nadanya
agak aneh, tapi mengalunkan suara lembut yang ke-
dengarannya amat syahdu.
Laki-laki setengah umur ini walau kelihatan agak
tua, tapi memiliki wajah tampan dan gagah. Rambut-
nya ikal. Panjangnya hampir sebatas bahu. Selintas
dapat dilihat bahwa laki-laki ini memiliki wajah yang
penuh dengan cambang bauk lebat. Tapi agaknya dia
selalu mencukurnya, tapi justru membuat laki-laki ini
lebih muda dan tampan.
Tiba-tiba nada serulingnya terhenti. Sepasang ma-
tanya yang tadi terpejam, kini terbuka. Kepalanya di-
miringkan sedikit seperti ada suara yang mencuriga-
kan yang telah didengarnya. Tiba-tiba tubuhnya men-
celat ke udara. Dan lenyap ditelan rimbunnya pepoho-
nan. Dari gerakan melayang itu dapat diketahui bahwa
dia seorang laki-laki yang cuma memiliki sebelah len-
gan...
Sesosok tubuh melompat keluar dari balik semak.
Ternyata si laki-laki peniup seruling aneh itu telah
mengetahui adanya seseorang yang bersembunyi di
sekitar tempat itu. Siapa gerangan orang ini? Kiranya
tak lain dari Ayu Rumpi.
“Ah...! mengapa dia selalu menghentikan suara se-
rulingnya dan melenyapkan diri setiap aku datang?
Aku belum puas memandangi wajahnya....”
Berkata Ayu Rumpi dalam hati. Tampak gadis ini
seperti kecewa.
“Dia pasti mengetahui kedatanganku. Ya! dia pasti
telah mengetahui...! Dan aku yakin laki-laki itu adalah
“dia”...!” menggumam Ayu Rumpi. Tiga kali sudah Ayu
Rumpi datang ke tempat ini. Dan setiap kali dia sem-
bunyi di tempat itu untuk mendengarkan suara alu-
nan seruling laki-laki itu serta memperhatikan wajah
nya. Entah apa yang telah membuat gadis ini seperti
tergila-gila pada sang peniup seruling. Akan tetapi dia
tak berani terang-terangan berhadapan muka atau
menghampiri. Ternyata suatu peristiwa masa silam te-
lah tersimpan kuat di lubuk hati Ayu Rumpi. Peristiwa
yang amat sukar dilupakan! Peristiwa apakah itu?
Dimana-mana perang memang suatu hal yang amat
dibenci! Karena perang pulalah hingga dia harus kehi-
langan segala-galanya, pada masa perebutan kekua-
saan, rakyat banyak yang menjadi korban. Diantara
korban peperangan itu keluarga Ayu Rumpi termasuk
salah satu dari sekian banyak korban perang. Orang
tuanya mati terbunuh. Desa terbakar musnah! Dan dia
hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Ayu Rumpi
pada waktu itu baru berusia kira-kira empat belas ta-
hun.
Dalam keadaan sengsara Ayu Rumpi berhasil lolos
dari tangan-tangan jahat yang mau menjamahnya. Da-
lam keadaan sengsara menahan lapar juga tidur yang
tiada menentu dia berjumpa dengan seorang laki-laki
yang juga korban dari keganasan perang. Seorang pe-
muda tanggung yang bernama PANDALA.
Merekapun segera bersahabat. Tapi dimana-mana
bahaya selalu mengancam.
Pandala yang diharapkan dapat menjaganya, ter-
nyata berjiwa pengecut. Disamping tak memiliki ilmu
kepandaian juga tak mempunyai nyali besar. Hingga
dia cuma bisa melarikan diri ketika tiga orang peram-
pok jahat tergiur pada kecantikan wajah Ayu Rumpi
yang masih berusia belasan tahun dan boleh dikata-
kan seorang gadis kecil.
Untunglah pada saat itu muncul seseorang yang te-
lah menolongnya. Dan menghajar ketiga manusia dur-
jana itu. Ayu Rumpi masih ingat. Ketika itu si tiga ma-
nusia jahat tersebut telah dibuntungi masing-masing
sebelah lengannya. Dan dia ingat benar, si penolong-
nya itupun cuma berlengan satu.
Tak terkirakan rasa terimakasih Ayu Rumpi pada
sang penolong. Ayu Rumpi dan Pandala dibawa ke
tempat kediamannya. Itulah tempat di lereng gunung
yang sunyi dan berpemandangan indah. Ayu Rumpi
dan Pandala memohon pada laki-laki itu untuk dijadi-
kan muridnya. Tapi dia menolak, namun menjanjikan
akan membawa mereka kepada seorang kakek sakti di
puncak gunung Bromo.
Pandala tampak gembira, tapi Ayu Rumpi seperti
enggan berpisah dengan laki-laki penolongnya yang
disebutnya dengan panggilan Paman JOKO. Suatu pe-
rasaan aneh telah tersimpan di hati sanubari Ayu
Rumpi. Perasaan aneh itu adalah seperti perasaan
yang dimiliki seorang gadis remaja. Hal yang belum se-
suai dengan usia Ayu Rumpi pada waktu itu.
Akan tetapi memang tidaklah aneh bagi orang-orang
desa pada masa itu. Usia sedemikian bagi seorang ga-
dis desa sudah dapat dikatakan cukup dewasa...
Rasa terimakasih atas pertolongan sang Paman Jo-
ko pada dirinya telah menimbulkan rasa simpati yang
amat dalam di hati Ayu Rumpi. Dan rasa simpati itu
ternyata menimbulkan benih-benih cinta di hati si ga-
dis cilik. Walaupun dia cuma mengenal cinta itu seba-
gai rasa kasih sayang, tanpa embel-embel lain. Dia me-
rasa kasihan pada sang paman Joko yang hidup sendi-
ri dan wajahnya selalu tampak murung. Itulah sebab-
nya dia enggan dan tak mau berpisah. Karena ingin
membalas budi dengan apa yang bisa dilakukannya.
Namun paman Joko bersikeras untuk membawanya
ke puncak Bromo. Terpaksa Ayu Rumpi harus menu-
ruti keinginan paman Joko untuk menetap dan bergu-
ru dengan kakek sakti itu. Perpisahan itu diiringi de-
raian air mata di pipi sang gadis kecil.
“Paman Joko, setelah selesai berguru, aku akan
mencarimu. Apakah kau masih akan tinggal di lereng
gunung itu?”
“Haih, anak manis...! sudahlah! Kalau Tuhan men-
gizinkan tentu kita dapat bertemu lagi. Kau belajarlah
yang rajin. Dan tak usah memikirkan apa-apa...” sahut
paman Joko dengan tertawa dan membelai rambutnya.
Demikianlah kisah yang dialami Ayu Rumpi. Lebih
dari lima tahun dia berguru, tak disangka-sangka di-
am-diam Pandala telah lama jatuh hati pada dirinya.
Dengan berbagai cara, Pandala membujuk dan merayu
untuk meruntuhkan hati Ayu Rumpi. Pergaulan sela-
ma lima tahun lebih itu agak melupakan ingatan Ayu
Rumpi pada sang paman Joko.
Di luar kesadaran mereka telah mengadakan hu-
bungan seperti suami-istri.
“Aku kan menikahi mu, Ayu...! sudahlah! Hapuslah
air matamu...” kata Pandala menghibur gadis saudara
seperguruannya itu.
Ayu Rumpi menjawab ketus, seraya menyeka air
matanya.
“Baik! aku bersedia menjadi istrimu! Tapi aku tak
mau bersuamikan seorang pengecut seperti perbua-
tanmu dahulu!” saat itu dia teringat akan kepengecu-
tan Pandala pada masa lima tahun yang silam. Men-
gingat masa lalu itu, Ayu Rumpi teringat pula pada
Paman Joko yang telah menolongnya. Tak kuat mena-
han perasaan hatinya yang hancur, gadis ini menangis
terisak-isak.
“Sudahlah, Ayu...! maafkan aku! Tentu aku tak se-
pengecut dahulu. Bukankah kini aku telah dewasa?
Dan aku telah pula memiliki ilmu kepandaian!” hibur
Pandala. Ayu Rumpi menatap Pandala tajam-tajam.
Tangisnya mendadak berhenti.
“Hem, sanggupkah kau untuk membuktikannya?”
“Aku akan membuktikannya kelak!” jawab Pandala
tegas.
“Bagus! Nah! buktikanlah nanti setelah kita turun
gunung! Aku menginginkan kau merebut kekuasaan
Kerajaan! Aku dendam pada orang-orang kerajaan. Ga-
ra-gara mereka aku harus kehilangan kedua orang tu-
aku!”
Walau hatinya tersentak, tapi Pandala tersenyum
seraya menepuk dada.
“Baik! aku akan membuktikannya! kau lihatlah saja
nanti, Ayu...!” Akan tetapi dalam hatinya dia berkata.
“Haha... itu soal nanti! Yang penting aku telah menda-
patkan segala-galanya dari dirimu...”
Demikianlah, awal dari persengketaannya dengan
Pandala. Hingga walaupun mereka telah diresmikan
menjadi suami istri di puncak Bromo, pada kenya-
taannya mereka hidup terpisah selama dua tahun.
Pandala dengan kepandaiannya memutar lidah,
disamping memiliki kecerdasan juga ilmu yang tinggi
berhasil menjadi seorang kepala prajurit di Kota Raja.
Suatu hal yang amat kebetulan, Adipati Bangil yang
bernama Kertosono wafat. Karena tak ada yang meng-
gantikan, Raja yang telah mengetahui kecerdasan Pan-
dala juga ketinggian ilmunya merasa pemuda itu dapat
dipercaya dan diandalkan untuk menjadi pengganti
Adipati Kertosono.
Begitulah! Akhirnya Pandala diangkat menjadi Adi-
pati Bangil. Dan nama Pandala pun dibubuhi embel-
embel di depannya yaitu Raden Pandala.
Adapun Ayu Rumpi entah bagaimana caranya, dia
telah menjadi seorang ketua dari enam orang anak
buah yang sebenarnya adalah kaum perampok yang
telah dikalahkan. Yang akhirnya menganggap Ayu
Rumpi sebagai ketua mereka.
LIMA
Ya! aku yakin dia Paman JOKO! Walaupun kini wa-
jahnya bersih tanpa brewok, tapi aku masih mengena-
li. Ah, tanpa kumis dan brewok lebat itu justru paman
Joko tampak lebih muda dan tampan...” gumam Ayu
Rumpi. “Aneh! Apakah aku telah jatuh cinta padanya?”
berkata Ayu Rumpi dalam hati. Dan seketika wajahnya
berubah merah dan terasa panas. Tubuhnya tergetar
dan terasa lemas persendiannya.
Ayu Rumpi memang tak dapat mendustai dirinya
sendiri bahwa dia telah jatuh hati pada sang Paman
Joko sejak pertama kali dia berjumpa.
“Sedang menanti siapakah anda, nona...?”
Mendadak satu teguran halus terdengar di bela-
kangnya membuat dia terkejut dan secepat kilat balik-
kan tubuh. Sepasang mata dara ini membelalak ham-
pir tak percaya. Ternyata sang paman Joko itu telah
berdiri di tempat itu. Wajah yang gagah itu menatap-
nya tajam-tajam dan seulas senyum tampak di kedua
sudut bibirnya.
“Pa... paman JOKO...! Oh, benarkah kau... kau pa-
man Joko?” sentaknya dengan suara tergagap mengge-
letar.
“Haih! sudah kuduga, kau pasti Ayu Rumpi si gadis
cilik yang manis dari puncak Bromo!” berkata laki-laki
ini dengan berseru kagum. “Haha... aku sungguh tak
menyangka. Sudah tiga kali kau mengintai aku di tem-
pat ini di saat aku meniup seruling. Benar apa yang
kau katakan, anak manis! aku memang paman Joko!
hahaha...”
Membelalak mata Ayu Rumpi. Dan seketika itu ju-
ga... “Paman JOKO...!” teriak Ayu Rumpi tersendat.
Dan detik itu juga dia telah melompat seraya memeluk
sang “paman” ini dengan kegembiraan meluap-luap.
Siapakah sebenarnya paman Joko ini? Nama sebe-
narnya adalah JOKO SANGIT (Tokoh ini muncul pada
kisah serial: Roro Centil, yang pernah dijuluki si Ninja
Edan Lengan Tunggal).
Peristiwa kemelut asmara dengan sang pendekar
wanita Pantai Selatan, membuat Joko Sangit seperti
mengasihkan diri dan tak pernah muncul di dunia
rimba hijau, sejak lima tahun yang lalu.
Joko Sangit tak dapat mengelak dari pelukan gadis
itu, karena dia tahu Ayu Rumpi tengah mencurahkan
kegembiraannya.
“Paman Joko, ternyata Tuhan mengizinkan kita un-
tuk bertemu lagi...” bisik Ayu Rumpi dengan terharu
penuh kegembiraan.
“Ya, ya! kita memang harus bersyukur karena ma-
sih diberi umur panjang!” sahut Joko Sangit seraya
mengusap-usap punggung gadis itu. Tapi diam-diam
Joko Sangit secara pelahan mendorong tubuh gadis itu
agar melepaskan pelukannya. Terasa darahnya berde-
sir karena Ayu Rumpi bukan lagi gadis kecil, akan te-
tapi seorang gadis yang sudah dewasa.
“Paman Joko...! aku... aku tak akan meninggalkan
kau lagi, paman...” berkata Ayu Rumpi setelah mele-
paskan pelukannya. Dalam mengucap demikian jelas
kedengaran suara Ayu Rumpi tergetar. Air matanya
tampak menggenang di kedua pelupuk mata.
“Hei? mengapa?” Joko Sangit terheran mendengar
kata-kata gadis itu.
“Guru telah kembali ke puncak Himalaya. Pandala
telah berada di Kota Raja menjadi seorang Adipati di
sana. Dan Kebo Gawuk menetap di puncak bromo.”
sahut Ayu Rumpi. “Aku hidup seorang diri! Sebatang
kara! Aku telah berhutang budi sedalam lautan pada-
mu. Biarlah aku menemani paman Joko, agar paman
tak selalu murung. Kau akan menerimaku, bukan?”
Joko Sangit jadi garuk-garuk kepala tidak gatal
mendengar kata-kata Ayu Rumpi. Tapi mau tak mau
dia tertawa berderai.
“Hahaha... kalau sekedar menemani aku tak kebe-
ratan, tapi kau sudah bukan gadis kecil lagi, Ayu
Rumpi...! Dan bulan dimuka mungkin aku akan me-
ninggalkan wilayah ini”
“Oh!? paman Joko mau kemana?” sentak Ayu Rum-
pi terkejut.
“Haha... aku akan ke utara, dan terus ke utara.
Mungkin sampai menemui lautan es yang tak pernah
dikunjungi manusia...” sahut Joko Sangit sambil ter-
tawa. Akan tetapi jelas suara tertawanya mengandung
kepiluan. Tampaknya dia sengaja menutupi dengan
wajah cerah.
“Aku akan ikut, paman Joko!” berkata gadis ini.
“Ha? tempat itu amat jauh sekali!”
“Tak perduli! walaupun sampai ke dasar bumi, aku
tak mau berpisah denganmu, paman Joko...” sahut
Ayu Rumpi dengan menatap dalam-dalam Joko Sangit.
“Kau..?” tertegun Koko Sangit hampir tak percaya
pada pendengarannya. Tapi kemudian laki-laki yang
juga dijuluki si Pendekar Lengan Tunggal ini segera
berkata. “Eh, anak manis! ingin kulihat ilmu kepan-
daianmu selama kau belajar di puncak Bromo. Hayo,
segera tunjukkan padaku. Tentu kau telah memiliki
jurus-jurus pukulan yang hebat!”
“Hem, tentu saja akan kutunjukkan, paman
sayang...!” seru Ayu Rumpi dengan gembira.
“Bagus! Nah, coba kau serang aku!”
“Menyerangmu?” Ayu Rumpi naikkan alisnya.
“Ya! mengapa? apakah kau khawatir aku terluka?”
tanya Joko Sangit. Ayu Rumpi tersenyum.
“Tidak! Aku yakin ilmumu jauh berada di atas ke
pandaianku!” sahut si gadis seraya memasang kuda-
kuda. Selanjutnya.... “Maaf, paman!”
Seraya berkata Ayu Rumpi segera menyerang den-
gan jurus pukulannya.
Hantaman pukulan Ayu Rumpi ternyata menghan-
tarkan hawa panas.
Pukulan itu diarahkan ke dada. Akan tetapi tiba-
tiba dibelokkan ke tempat kosong, karena Joko Sangit
tak bereaksi untuk menangkis atau menghindar.
“Haha... seranglah sungguh-sungguh, nona manis!”
berkata Joko Sangit. Tentu saja wajah Ayu Rumpi ber-
semu merah. Dia memang agak ragu untuk menyerang
sungguh-sungguh. Hatinya merasa tak tega bila dia
berbuat kurang ajar menyerangnya. Ayu Rumpi cepat
merobah posisi, dan tak ayal lagi langsung menyerang
dengan jurus-jurus pukulan warisan Ki Dwipa Morg-
hana. Diam-diam Joko Sangit terkejut melihat seran-
gan-serangan berbahaya dara itu. Tapi dengan segera
dia membendung pertahanan dengan gerakan seperti
orang mabuk. Ternyata tiga serangan beruntun gadis
itu dengan mudah dapat dihindarkan.
“Jurus yang hebat!” puji Joko Sangit.
“Jurus menghindar mirip orang mabuk mu juga he-
bat, paman!”
Tiba-tiba Joko Sangit mendadak berkelebat ke ha-
dapan gadis itu. Ujung lengan bajunya meluncur ke
arah pinggang Ayu Rumpi. “Awas! jaga seranganku!”
teriak Joko Sangit. Terkejut Ayu Rumpi. Namun di de-
tik itu dia buang tubuhnya ke samping. Tapi justru
sambaran angin keras meluncur berbareng dengan
meluncurnya ujung lengan baju Joko Sangit yang ba-
gai bermata mengejar sasaran.
Hebat gerakan menghindar dara itu. Di saat yang
kritis karena serangan-serangan gencar Joko Sangit,
tiba-tiba dengan gerakan lincah Ayu Rumpi menotol
tanah dengan ujung kakinya. Detik itu juga tiba-tiba
tubuhnya meletik ke udara. Loloslah sambaran puku-
lan dan serangan ujung lengan baju Joko Sangit yang
telah siap menggubat pinggangnya.
Dengan dua kali bersalto di udara, Ayu Rumpi me-
luncur turun dua tombak di hadapan Joko Sangit.
Tampak kedua lengan dara itu mengembang hingga
mirip burung alap-alap raksasa yang hinggap di tanah.
“Haha... hebat! hebat! Jurus apakah yang kau gu-
nakan itu, Ayu Rumpi?” memuji Joko Sangit dengan
kagum.
“Itulah jurus Menggunting Mega menghindar Ba-
dai!” seru gadis itu.
“Nama jurus yang bagus sekali! Kukira cukuplah,
Ayu Rumpi!” ujar Joko Sangit. Selesai berkata tiba-tiba
Joko Sangit balikkan tubuh dan berkelebat lenyap dari
hadapan gadis itu.
“Paman Joko...!?” sentak dara ini terkesiap. “Jangan
tinggalkan aku!” Selanjutnya dengan berteriak cemas
Ayu Rumpi melompat mengejar ke arah lenyapnya
bayangan tubuh Joko Sangit. Tiba-tiba...
“Kena!” Terkejut gadis ini tiada alang-kepalang ka-
rena tahu-tahu tubuhnya telah disambar oleh sebuah
lengan yang memeluk pinggangnya. Karena saat itu dia
dalam keadaan melompat, tentu saja tak ampun dua
tubuh yang saling beradu itu sama-sama jatuh bergu-
lingan.
Ketika berhenti berguling betapa terkejutnya dara
itu karena yang memeluk pinggangnya tak lain dari
sang “paman”.
“Paman Joko...” bergetar suara Ayu Rumpi. Sepa-
sang matanya membulat menatap Joko Sangit dengan
pandangan membinar-binar. Ternyata Joko Sangit
sendiri juga tengah menatapnya dengan tatapan aneh.
“Ayu Rumpi...! katakanlah! apakah maksudmu se
benarnya dengan ucapanmu itu?” tanya Joko Sangit
tanpa melepaskan pelukannya.
“Paman Joko...! aku... aku mencintaimu...” desah
Ayu Rumpi dengan suara menggetar. Telinga Joko
Sangit bergerak-gerak. Pandangan matanya kian
membinar. Benarkan apa yang telah didengarnya? Se-
lama lebih dari lima tahun dia telah menutup diri dile-
reng gunung sunyi.
Api cintanya pada Roro Centil sang Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan telah padam. Selama itu hatinya
membeku, bahkan hampir mati!
Kini tiba-tiba muncul seorang gadis muda belia
yang baru meningkat dewasa. Seorang gadis yang den-
gan tulus tanpa kebutaan telah menyatakan cinta ter-
hadap dirinya. Sungguh hampir tak masuk diakal. Dia
merasa telah cukup tua. Perbedaan usia dengan gadis
ini jaraknya hampir separuh dari usianya.
Kejujuran dan ketulusan hati Ayu Rumpi dapat ter-
baca melalui pandangan matanya. Tegakah dia meno-
lak dan mengecewakan gadis itu? gairah hidupnya se-
perti bangkit lagi. Kekecewaan yang dalam yang telah
membekukan hatinya terhadap wanita kembali men-
cair.
“Ayu Rumpi...! kau... kau sungguh-sungguh?” uca-
pannya tersendat parau.
Gadis itu mengangguk. Selanjutnya bagai digerak-
kan oleh kekuatan gaib yang tak mampu mereka me-
nolaknya, Joko Sangit mendekap dara itu erat-erat.
Ayu Rumpi balas memeluk. Dan, dua bibirpun menya-
tu saling kecup.
Lama... lama mereka tenggelam dalam alunan ge-
lombang cinta yang menghanyutkan. Ayu Rumpi se-
perti merasakan tubuhnya melayang di atas awan nan
putih lembut. Begitu menyejukkan. Begitu damai dan
tenteram.
Namun akhirnya mereka tersadar dari kegelapan
yang nyaris membawa mereka kian hanyut oleh arus
gelombang asmara. Joko Sangit melepaskan dekapan-
nya. Lalu bangkit berdiri. Ayu Rumpi seperti tersadar
dari mimpi indah yang membawa sukmanya melayang-
layang.
Diapun bangkit berdiri. Dirapikannya rambutnya
dengan seribu satu perasaan bahagia membaur di lu-
buk hati.
Sesaat kemudian dengan bergandengan tangan ke-
duanya tampak meninggalkan tempat itu. Diiringi desi-
ran angin pegunungan yang menyibak dedaunan...
***
ENAM
Raden Pandala memacu kudanya bagai dikejar se-
tan. Hatinya benar-benar kecewa pada sikap dan pen-
dirian Ayu Rumpi. Peperangan berkecamuk di hatinya.
Dia merasa telah berhutang budi pada Mapatih Kunco-
ro yang telah membantunya hingga dia berhasil men-
duduki jabatan Adipati. Patutkah dia berkhianat? Dia
memang telah mulai menyusun kekuatan rahasia un-
tuk melakukan pemberontakan. Akan tetapi Raden
Pandala mulai ragu-ragu untuk meneruskan niatnya.
Peperangan akan berkobar lagi. Dan korban-korban
akan banyak berjatuhan.
“Tidak! aku tak boleh meneruskan “perjuangan”
edan ini! Orang tuaku tewas terbunuh karena korban
peperangan. Haruskah aku memunculkan perang baru
lagi yang akan membuat banyak orang menderita? Ra-
kyat dalam keadaan aman sentosa. Perang yang dahu-
lu adalah pertikaian antara dua orang bersaudara yang
merebutkan kekuasaan yang sah. Akan tetapi akibat-
nya rakyat yang harus menjadi korban!” Raden Panda-
la memberhentikan kudanya. Dia termangu-mangu
memandang hamparan hutan luas. Hutan itu telah di-
rencanakan Mapatih Kuncoro untuk ditebas. Akan di-
jadikan ladang pertanian demi kemakmuran dan kese-
jahteraan rakyat. Haruskah dia menggagalkan cita-cita
yang mulia itu? Haruskah dia menggagalkan harapan
rakyat?
“Tidak! aku harus menghentikan rencana pembe-
rontakan ini. Aku tak akan mengorbankan rakyat
hanya karena seorang perempuan!” Raden Pandala
mengambil kepastian. Wajahnya tampak jernih, “ya!
aku tak akan merobah lagi keputusanku. Persetan
dengan Ayu Rumpi!” gumamnya dengan menggertak
gigi. Lalu menjalankan kudanya lambat-lambat.
“Aku harus bertindak cepat membubarkan orang-
orang rahasiaku sebelum hal ini diketahui Mapatih
Kuncoro dan bocor ke telinga orang-orang Kerajaan!”
berkata dalam hati Raden Pandala.
“Bagaimana kalau salah seorang dari mereka mem-
bocorkan rahasiaku?”
Wajah Raden Pandala tampak berubah tegang.
Kembali dia menghentikan kudanya. Tampaknya dia
tengah berpikir keras. Hal itu tidak main-main.
Karena dapat menyeret dirinya ke tiang gantungan!
“Tak ada jalan lain! terpaksa aku harus mele-
nyapkan mereka!” desis sang Adipati ini. Tampaknya
Raden Pandala telah mendapat keputusan untuk
menggunakan caranya sendiri untuk menutup rahasia.
Segera dia memacu kudanya untuk segera kembali ke
Kadipaten.
Baru saja kuda tunggangannya melintasi hutan le-
bat, mendadak beberapa sosok tubuh muncul dari
arah lereng bukit. Raden Pandala hentikan kudanya
menatap ke arah mereka.
“Raden...! ah, kebetulan kami menjumpai mu di
tempat ini!” teriak salah seorang yang sekejap kemu-
dian telah tiba dihadapannya. Ternyata mereka tak
lain dari si Empat Iblis Clurit Hitam. Diam-diam hati
Pandala amat girang melihat kemunculan empat orang
ini, karena mereka adalah salah satu kelompok orang
rahasianya.
“Ya! sungguh kebetulan sekali!” sahut Pandala se-
raya melompat turun dari punggung si Putih. Empat
Iblis Clurit hitam ini ditugaskan untuk mengajak Kebo
Gawuk saudara seperguruannya turun gunung. Tu-
juannya adalah akan mengangkat dia menjadi seorang
Kepala Prajurit kadipaten. Disamping itu Pandala san-
gat membutuhkan tenaganya untuk mencapai cita-cita
merebut kekuasaan kelak. Dia sudah menduga bahwa
watak Kebo Gawuk yang keras akan sukar untuk dibu-
juk. Hingga tidak tak heran kalau si Empat Iblis Clurit
Hitam kembali tanpa si penunggu puncak Bromo itu.
Tapi dia pura-pura mengerutkan keningnya.
“Hem, kalian kembali cuma berempat. Mana adik
seperguruanku?” tanyanya. Rakenca menjura seraya
berkata. “Sayang sekali, Raden! Kebo Gawuk menolak
untuk turun gunung. Kami sudah berusaha membu-
juk, tapi tampaknya pendiriannya tak dapat digoyah-
kan. Bahkan surat dari Raden telah diterbangkan ke
dalam kawah!” Raden Pandala tercenung sejenak men-
dengar laporan Rakenca. Kemudian menghela napas.
“Yah, sudahlah! aku tak dapat memaksa orang yang
tidak mau!” berkata Raden Pandala.
“Bagaimana kalau hamba saja yang menggantikan,
Raden Adipati?” Rakenca memberanikan diri berkata.
“Hamba akan bekerja sebaik-baiknya agar segera ter-
capai cita-cita raden. Dengan menjabat sebagai kepala
Prajurit, hamba akan mudah bergerak dan menyelun
dup ke Istana...!” sambung Rakenca.
“Bagus! usulmu baik sekali, Rakenca! ah, mengapa
kau baru mengatakannya sekarang?” berkata Raden
Pandala dengan tersenyum seraya menghampiri. Lalu
menepuk-nepuk pundak Rakenca.
“Apakah usul hamba diterima, Raden?” tanya Ra-
kenca dengan hati berdebar.
“Haha... sebenarnya aku memang berniat mengang-
katmu. Aku sudah dapat menduga Kebo Gawuk pasti
menolak tawaranku itu! sahut Pandala.
“Jadi hamba diterima? Oh, terima kasih! terima ka-
sih, Raden!” terbungkuk-bungkuk Rakenca menjura.
Hatinya girang bukan main mendengar kata-kata sang
Adipati. Dengan masih menyimpan senyum, raden
Pandala mengangguk-angguk. Mendadak... ya! menda-
dak sekali! Tiba-tiba lengan Raden Pandala meraba hu-
lu kerisnya yang disisipkan di pinggangnya. Dan sece-
pat kilat dihunjamkan ke dada Rakenca diiringi benta-
kan keras. “Baik! kau jadilah kepala prajurit di Akhi-
rat!”
Darah menyembur ketika keris raden Pandala dis-
entakkan. Membeliak mata Rakenca. Wajahnya menye-
ringai kesakitan. Akan tetapi cuma beberapa kejap.
Dengan diiringi suara erangan sekarat. Tubuh Ra-
kenca roboh terjungkal.
Tiga dari Empat Iblis clurit Hitam terkejut bukan
kepalang. Mereka terperangah dengan mata membela-
lak seperti tidak percaya pada penglihatannya.
Pada detik itu tahu-tahu Pandala telah berkelebat
ke arah mereka seraya membentak. “Kalian pun harus
dilenyapkan!”
Cahaya kilatan keris berwarna kuning membelah
udara. Satu jeritan kembali terdengar, dibarengi den-
gan robohnya sesosok tubuh salah seorang dari mere-
ka yang tak sempat menyelamatkan diri lagi karena
keris Pandala telah mengoyak lehernya.
Dua orang ini melompat mundur dengan wajah pu-
cat pias. Secepat kilat mereka telah mencabut senjata
Clurit Hitamnya.
“Heh! kalian tak akan dapat meloloskan diri dari
maut!” membentak Pandala dengan wajah membesi
menatap dua orang ini.
“Apa salah kami? Mengapa kau... kau bertindak se-
perti ini?” tergagap Pindo dengan mata membeliak se-
perti melihat setan.
Pandala tertawa menyeringai. “Aku telah mengga-
galkan rencana kita semula untuk memberontak! Ka-
rena khawatir kalian membuka mulut yang bisa mem-
bahayakan diriku, terpaksa aku harus melenyapkan
orang-orang rahasiaku, termasuk kalian!” sambung
Pandala.
“Keparat! kaulah yang harus dilenyapkan!” meng-
gembor marah laki-laki bernama Pindo ini. Serentak
kedua anggota dari Empat Iblis Clurit Hitam ini mener-
jang Pandala. Serangan kedua orang ini yang masing-
masing menggunakan sepasang clurit tak dapat diang-
gap main-main. Karena sekali Pandala berlaku ayal,
jiwanya akan melayang, atau setidak-tidaknya kulitnya
akan tersayat.
Akan tetapi yang dihadapi bukan orang sembaran-
gan. Karena Pandala adalah murid seorang kakek sakti
yang berilmu amat tinggi, yaitu Ki Dwipa Morghana
alias si Pengelana dari puncak Himalaya. Dengan sebat
Pandala menghindar dari serangan-serangan ganas
itu. Kedua Iblis Clurit Hitam sudah maklum akan ke-
hebatan ilmu kedigjayaan lawannya. Segera mereka
merobah serangan dengan menggunakan ilmu-ilmu
andalan mereka. Serangan-serangan dahsyat segera
mengurung Pandala. Empat bayangan clurit hitam sal-
ing susul membayangi Pandala kemana dia bergerak.
“Terus cecar dia, Maruksa! jangan beri kesempatan
pada manusia keparat ini!” teriak Pindo. Semakin gen-
carlah serangan-serangan kedua Iblis Clurit Hitam
mencecar nyawa Pandala. Karena kalau mereka tak
dapat membunuhnya, justru merekalah yang akan di-
habisi nyawanya oleh Adipati itu. Tampaknya Pandala
agak terdesak. Berkali-kali kerisnya berbenturan den-
gan senjata kedua lawannya. Akan tetapi sepasang
senjata Maruksa dan Pindo tak terlepas dari tangan
mereka.
Enam belas jurus telah lewat. Tiba-tiba Pandala
membentak keras.
“Cukuplah aku mengulur waktu memperpanjang
umur kalian!”
Ternyata Pandala cuma berpura-pura terdesak. Ka-
rena diam-diam dia telah memperhitungkan saat di-
mana dia akan menghabisi nyawa kedua lawannya. Ti-
ba-tiba.... Whuk! Whuk! Sepasang lengan Pandala
menghantam ke depan. Serangan kilat itu membuat
terkejut dua orang ini. Dia tak menyangka dengan ge-
rakan lawan melompat ke belakang melampaui tubuh
mereka, Pandala akan menyerang dengan mendadak.
Justru mereka baru saja membalikkan tubuh.
Sambaran angin panas bagaikan uap lahar tak da-
pat mereka hindari. Detik itu juga kedua Iblis Clurit
Hitam itu perdengarkan jeritan menyayat hati. Tubuh
mereka terlempar bergulingan. Senjata-senjata mereka
terlempar ke udara. Tanpa sempat sekarat lagi kedua-
nya telah melepaskan nyawa seketika itu juga. Tampak
baju mereka pada bagian dada hangus terbakar. Kulit
dada mereka mengelupas dan bau sangit merambah
udara. Ternyata isi dada merekapun turut hangus! Ra-
den Pandala gerakkan sebelah lengannya untuk men-
jumput keris yang terselip di kedua baris giginya. Lalu
memasukkan kembali ke dalam serangkanya di pinggang.
“Hm, selesailah sebagian dari tugasku!” gumam
Pandala. Sejenak dia memperhatikan mayat ke empat
laki-laki itu yang berkaparan. Pandala segera menyeret
satu persatu mayat-mayat itu dan dilemparkannya da-
lam semak belukar. Kemudian dengan bergegas Panda-
la menghampiri kudanya. Beberapa saat kemudian
kuda putih yang ditunggangi Adipati Bangil telah
membedal cepat meninggalkan tempat itu....
***
TUJUH
Dua hari kemudian di wilayah sebelah barat Kota
Raja melintas serombongan pasukan Kerajaan. Ternya-
ta mereka iring-iringan yang membawa tandu, dikawal
oleh dua puluh orang prajurit yang dipimpin oleh seo-
rang Tumenggung yang mengendarai seekor kuda ber-
warna hitam.
Ketika melintasi sisi sebuah hutan mendadak ber-
munculan beberapa sosok tubuh menghadang. Tentu
saja membuat pasukan Kerajaan ini tersentak kaget.
Nyatalah kalau yang menghadang itu adalah para beg-
al. Dua orang berbaju kuning dan belasan orang lain-
nya mengenakan pakaian warna hitam. Tampang-
tampang mereka tak lewat sedap dipandang mata.
“Hahaha... kalian boleh lewat terus. Akan tetapi
tinggalkan tandu itu disini!” berkata salah seorang
dengan mengumbar tawa berkakakan.
“Kurang ajar! siapa kalian?” bentak Tumenggung ini
dengan wajah sebentar pucat sebentar merah padam.
“Hm, kau tentunya Tumenggung Kandilaga!” kata si
baju kuning yang bertubuh jangkung, berwajah lancip
dengan kumis ceriwis. Laki-laki ini sebelah kakinya
disambung dengan besi runcing untuk pengganti ka-
kinya yang buntung.
“Aku memang Tumenggung Kandilaga yang tengah
mengawal Ndoro Ayu permaisuri Sultan Sepuh!” sahut
laki-laki berusia empat puluhan tahun ini dengan sua-
ra santar. “Kalian sungguh kurang ajar berani mem-
begal di siang bolong!”
Si baju kuning ini melirik ke arah tandu dengan se-
nyum menyeringai. Lalu menoleh pada kawannya yang
berbaju kuning pula, tapi berikat kepala merah. Sesaat
keduanya sama-sama tertawa terbahak-bahak.
Empat prajurit penggotong tandu letakkan tan-
dunya ke tanah. Lalu mencabut senjata siap mengha-
dapi segala kemungkinan. Dua puluh orang prajurit
lainnya tak berlaku ayal, segera berlompatan menjaga
di sekitar tandu. Dari dalam tandu sebuah kepala ter-
sembul. Sebuah wajah cantik dari seorang wanita mu-
da memandang keluar dengan wajah pucat pias.
“Oh!? apakah yang terjadi?” sentak wanita permai-
suri Sultan Sepuh. “Tenanglah Ndoro Ayu! Pembegal-
pembegal tengik tak tahu adat ini segera akan kami
ringkus!” berkata Tumenggung Kandilaga.
“Hahaha... rejeki besar bagi kita, kawan-kawan.
Dengan kita menawan permaisuri Sultan Sepuh, tentu
tak sedikit tebusan yang bakal kita terima!” berkata si
baju kuning dengan tertawa menyeringai.
“Keparat! kalian harus dibuat mampus!” bentak
Tumenggung Kandilaga, seraya memberi aba-aba un-
tuk menerjang.
Puluhan prajurit Kerajaan serta-merta meluruk ke
arah pengepung dari para begal itu. Dan sekejap saja
terjadilah pertempuran seru. Suara bentakan dan be-
radunya senjata-senjata tajam membisingkan anak te-
linga. Suasana sunyi di sisi hutan itu sekejap saja te
lah berubah ramai dan menjadi kancah pertarungan
adu jiwa.
Dua laki-laki baju kuning itu melompat ke hadapan
Tumenggung Kandilaga.
“Kau tengah berhadapan dengan Dua Setan dari
Utara, Tumenggung Kandilaga! Haha... sebaiknya kau
serahkan saja Ndoro Ayu-mu kepada kami. Kau tak-
kan sampai kehilangan nyawamu!” berkata laki-laki
ini. Dia bernama Sosro Kemplu dan yang satu lagi ada-
lah adiknya yang bernama Kunto.
“Edan! kau kira aku sebangsa pengecut?” bentak
Tumenggung ini seraya melompat dari punggung kuda.
Sret! dia telah mencabut klewang panjangnya.
“Haha.. adikku! kau hadapi Tumenggung tolol ini.
Biar aku yang merampas perempuan istana itu!” ujar
Sosro Kemplu dengan tertawa lebar. Kemudian melom-
pat ke arah tandu. Empat orang prajurit menghadang,
dan langsung menerjangnya dengan tusukan tombak.
Akan tetapi sekali dia menggerakkan tangannya,
keempat prajurit itu menjerit ngeri. Dan terjungkal ro-
boh ketika empat buah benda kecil bersinar kuning
meluncur dari kibasan tangan Sosro Kemplu. Nyatalah
si Iblis dari Utara ini telah menggunakan senjata raha-
sia untuk menyerang keempat prajurit itu.
Sementara itu prajurit lainnya tengah bertarung
dengan belasan orang yang rata-rata berkepandaian
tinggi. Lima orang prajurit sudah terjungkal roboh
mandi darah. Belasan orang itu terus merangsak para
prajurit dengan serangan-serangan ganas.
Beberapa prajurit yang melihat Sosro Kemplu men-
dekati tandu segera menerjang beringas. Walau mereka
telah melihat empat kawannya roboh tak bernyawa,
akan tetapi agaknya semangat bertempur mereka amat
luar biasa. Mereka adalah prajurit-prajurit yang berani
mati demi tugas yang dibebankan dipundak mereka.
“Heh! kalian mencari mati!” bentak Sosro Kemplu den-
gan mendengus.
Laki-laki baju kuning ini tak sempat menggunakan
senjata rahasianya karena tiga ujung tombak telah me-
luncur untuk memanggang tubuhnya. Dengan gerakan
gesit dia melompat menghindari tusukan. Ujung ka-
kinya hinggap di mata tombak lawan. Gerakan Sosro
Kemplu cepat sekali. Di detik itu kedua lengannya
menghantam ke bawah. Prak! Prak! Dua prajurit tanpa
sempat berteriak lagi terjungkal roboh dengan batok
kepala hancur.
Tentu saja membuat prajurit yang satu ini terperan-
gah kaget. Sebelum dia bertindak lebih lanjut, samba-
ran angin keras telah menyambar dadanya. Prajurit ini
rasakan dadanya bagai dihantam palu godam. Dengan
jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh. Tulang da-
danya ambrol terkena pukulan Sosro Kemplu yang be-
risi tenaga dalam dahsyat.
Sementara itu Tumenggung Kandilaga tengah berta-
rung dengan seru melawan Kunto. Adik seperguruan
Sosro Kemplu inipun bukan lawan yang enteng, kare-
na sekejapan saja Tumenggung Kandilaga telah terde-
sak hebat. Senjata klewang panjangnya hampir-hampir
tak sempat dipergunakan. Karena Kunto terus mence-
carnya dengan hantaman-hantaman ganas!
Suatu ketika Tumenggung ini tak dapat lagi mem-
pertahankan diri dari gempuran lawan. Senjata kle-
wangnya terlepas, ketika mempergunakan menangkis
pukulan lawan yang hanya menggunakan tangan ko-
song. Tapi sebelah tangan Kunto ternyata lengan palsu
yang terbuat dari besi.
Buk! hantaman berikutnya membuat Tumenggung
ini terjungkal bergulingan. Pucat pias wajah laki-laki
abdi Kerajaan ini. Dadanya serasa remuk dan sakitnya
bukan alang kepalang. Untunglah dia mengenakan ba
ju lapis dari besi tipis dibalik bajunya. Akan tetapi te-
tap saja membuat Tumenggung ini mengerang kesak-
tian.
Sementara itu dilihatnya para prajurit telah banyak
yang tewas. Cuma tinggal kurang lebih sebelas orang.
Keadaan amat mengkhawatirkan, karena keselamatan
permaisuri Sultan Sepuh terancam. Pada saat itulah
tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar.
“Begal-begal keparat! hentikan pembantaian kalian!”
Bentakan yang menggetarkan tanah itu membuat
begal terkesiap, termasuk si Dua Iblis dari Utara. Se-
rentak mereka melompat mundur. Sesosok tubuh ting-
gi besar bagaikan raksasa layaknya tahu-tahu telah
muncul di tempat itu. Membelalak mata Kunto dan So-
sro Kemplu.
“Heh! siapa kamu manusia raksasa?” bentak Sosro
Kemplu.
Orang ini tiada lain dari Kebo Gawuk. Entah bagai-
mana manusia penunggu puncak Bromo ini tahu-tahu
telah turun gunung. Padahal Empat Iblis Clurit Hitam
tak berhasil membujuknya untuk meninggalkan pun-
cak Bromo. Mendengar dirinya disebut manusia raksa-
sa, Kebo Gawuk tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha.. haha... kau para begal picisan ingin men-
getahui diriku? Akulah yang bergelar Raksasa Gunung
Bromo!” berkata Kebo Gawuk. Sosro Kemplu dan Kun-
to krenyitkan keningnya mendengar gelar yang baru
didengarnya itu. “Raksasa Gunung Bromo?” sentak
Sosro Kemplu dengan melangkah mundur.
“Di puncak Bromo kudengar bersemayam seorang
kakek kosen yang bernama Ki Dwipa Morghana? Apa-
kah kau muridnya?” tanyanya.
“Benar! Syukurlah kalau kau sudah mengetahui!”
sahut Kebo Gawuk.
“Heh! orang bodoh! kau mencampuri urusan yang
akan menyulitkan saudara seperguruanmu sendiri!”
berkata Sosro Kemplu.
“Menyulitkan saudara seperguruanku sendiri? Apa
maksudmu?”
“Karena apa yang kami lakukan ini adalah...” belum
sempat Sosro Kemplu meneruskan kata-katanya, tiba-
tiba laki-laki ini menjerit ngeri dan roboh terjungkal
dengan dada hangus terbakar. Tentu saja hal itu
membuat semua yang berada di tempat itu jadi terke-
jut. Tahu-tahu sesosok tubuh mengenakan pakaian hi-
tam telah muncul di tempat itu. Sosok tubuh ini mem-
bungkus wajahnya dengan topeng yang hanya me-
nyembulkan sepasang matanya saja.
Kunto memburu ke arah saudara seperguruannya.
Ketika memeriksa ternyata nyawa Sosro Kemplu telah
melayang. Melihat keadaan tak menguntungkan, Kun-
to berkelebat melarikan diri. Hal itu segera diikuti ka-
wan-kawannya. Namun jerit-jerit mengerikan segera
terdengar. Empat orang dari para begal itu terjungkal
roboh dengan punggung hangus!
“Siapa kau sebenarnya?” bentak Kunto. Sepasang
lengannya siap melancarkan serangan.
“Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawa-
mu!” sahut si manusia bertopeng dengan suara dingin.
“Keparat!” teriak Kunto seraya silangkan lengannya.
Lalu.. Whuk! Whuk! Dua pukulan tenaga dalam dilan-
carkan sekaligus. Brak! sebatang pohon tumbang ter-
kena angin pukulannya yang dahsyat. Akan tetapi se-
rangan itu lolos. Karena dengan mudah si manusia
bertopeng telah menghindarkan diri.
Beberapa senjata rahasia meluruk bagai hujan ke
arah si orang bertopeng. Dengan gesit lawannya yang
misterius ini kibaskan lengannya menghantam buyar
senjata-senjata maut itu. Pertarungan berlalu bebera-
pa jurus. Tampaknya kehebatan lawan Kunto berada
dua tingkat di atas kepandaiannya. Ketika dua puku-
lan beradu, Kunto menjerit keras. Tubuhnya terlempar
beberapa tombak.
Kebo Gawuk terpaku ditempatnya dengan benak
penuh pertanyaan. “Siapakah orang bertopeng ini?”
berkata dia dalam hati. Kunto mengerang parau me-
megangi dadanya yang terasa remuk akibat beradunya
tenaga dalam. Di saat itu selarik sinar ungu telah me-
nyambar lagi. Menjerit si Iblis dari Utara ini. Dan ro-
boh tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang ke
Akhirat.
Sementara itu Kebo Gawuk telah dapat mene-
waskan tiga pembegal. Dua orang diantara mereka
berhasil lolos. Si Raksasa Gunung Bromo ini sengaja
tak mengejar. “Yang dua itu biarlah hidup. Mudah-
mudahan mereka dapat insyaf dan menjadi orang
baik-baik!” gumam Kebo Gawuk. Lalu balikkan tubuh
untuk kembali ke tempat para prajurit tadi.
Langkahnya terhenti karena tiba-tiba si orang ber-
topeng muncul di hadapannya. “Hm, kau sudah ber-
hasil membereskannya?” berkata orang ini dengan ma-
ta berkilat menatap Kebo Gawuk.
“Tiga orang itu telah mampus. Tapi yang dua mela-
rikan diri!”
“Mengapa kau tak mengejarnya? Penjahat-penjahat
itu harus ditumpas sampai keakar-akarnya!” berkata si
orang bertopeng dengan suara dingin.
Mendelik mata Kebo Gawuk. “Heh! aku sengaja
membiarkan mereka hidup, siapa tahu mereka dapat
sadar kembali menjadi orang baik-baik! Kalau kau
mau membunuhnya kejarlah sendiri!” berkata Kebo
Gawuk dengan ketus. Dia merasa diperintah orang
bertopeng itu. Hal ini amat menyinggung perasaannya.
Tertegun si manusia bertopeng ini. Tampaknya dia
maklum akan adat orang tinggi besar ini. Segera dia
alihkan pembicaraan.
“Baiklah, tak mengapa. Tapi sebaiknya kau tak
usah menemui orang-orang kerajaan itu!”
“Apa perdulimu pula dengan urusanku? Menemui
atau tidak bukan urusanmu!” sahut Kebo Gawuk se-
makin ketus. Diam-diam dia memperhatikan perawa-
kan dan mengira-ngira wajah di balik topeng hitam itu.
Laki-laki ini tampak jadi serba salah. Saat itu Kebo
Gawuk telah berkata.
“Eh, kau membungkus wajahmu dengan kain hitam
itu apakah tampangmu jelek? Mengapa kau tak te-
rang-terangan saja?”
“Aku...” si orang bertopeng tak meneruskan kata-
katanya. Karena detik itu juga dia telah gerakkan len-
gannya secepat kilat ke arah leher Kebo Gawuk. Se-
rangan mendadak itu tak diduga sama sekali oleh Ke-
bo Gawuk. Ditambah dia belum banyak pengalaman
karena hampir selama dua tahun dia mengeram di
puncak gunung Bromo.
Dengan mengeluh pendek dia roboh terguling... Se-
kali lagi si orang bertopeng ulurkan lengannya. Dan
Kebo Gawuk tak berkutik lagi dalam keadaan tertotok
tubuhnya berikut pula urat suaranya. Itulah ilmu to-
tok yang amat lihai. Hingga Kebo Gawuk cuma bisa
melototkan mata dengan dada serasa meledak karena
marah.
“Bagus! kau hanya akan merintangi aku saja, Kebo
Gawuk!” berdesis si orang bertopeng. Lalu berkelebat
lenyap dari pandangan mata si manusia raksasa dari
gunung Bromo.
***
DELAPAN
Matahari tepat berada di atas kepala ketika siang
itu seorang pemuda berpakaian gombrong menyan-
dang buntalan di punggung melewati sebuah sisi hu-
tan dengan bersiul-siul kecil. Pemuda berambut ikal
gondrong ini merasa seperti orang yang paling senang
di dunia. Karena dia seperti tak memusingkan urusan
hidup. Terkadang dia melangkah seenaknya. Terka-
dang pula dia melompat-lompat bagai seekor kera. Se-
mentara mulutnya tak hentinya bersiul. Siapa adanya
pemuda ini tiada lain adalah Nanjar si Dewa Linglung.
Tiba-tiba dia berhenti bersiul. Hidungnya mengen-
dus-endus. Rupanya Nanjar mencium sesuatu yang
berbau busuk.
“He? bau apakah ini? sungguh tak sedap!” gerutu
Nanjar seraya putar pandangannya ke beberapa arah.
Dia mulai melangkah menurutkan penciumannya. Bau
busuk semakin santar. Terpaksa dia menutup hidung.
Ketika menyibak semak belukar hampir saja dia ter-
loncat karena terperanjatnya. Beberapa sosok mayat
bertumpukan disemak-semak dalam keadaan membu-
suk. “Ha!? mayat-mayat siapakah ini?” sentaknya se-
raya menyurut mundur. Matanya membelalak melihat
mayat-mayat yang sudah dimakan ulat dan dikerumu-
ni lalat itu.
Ketika melangkah ke belakang, kakinya menginjak
sebuah benda. Cepat dia menjumputnya. Ternyata se-
buah Clurit dari besi hitam.
“Hm! ini pasti salah satu senjata milik mayat-mayat
itu. pikir Nanjar. “Apakah mayat-mayat ini adalah
mayat-mayat si Empat Iblis Clurit Hitam?” sentak Nan-
jar menerka.
Dengan sebelah lengan masih menutupi hidung,
Nanjar membolak-balik senjata Clurit itu. Tampaknya
dia merasa yakin bahwa keempat mayat itu adalah
mayat si Empat Iblis Clurit Hitam.
Dilemparkannya Clurit itu ke balik semak. Lalu
berkelebat pergi dari tempat yang berbau busuk itu.
“Hm, tentu di tempat itu telah terjadi pertarungan
yang menewaskan empat manusia tokoh hitam itu...”
pikir Nanjar. Dia meneruskan langkahnya menembus
hutan. “Entah siapa orangnya yang telah bentrok den-
gan keempat orang itu! Huh! perduli apa dengan kema-
tian mereka? toh mereka hanya orang-orang jahat.
Pantaslah kalau mampus dibunuh orang. Kudengar di
wilayah barat empat orang itu banyak membuat onar
dengan berbagai kejahatan!” Akhirnya Nanjar melupa-
kan keempat mayat yang ditemuinya di tengah jalan
itu.
Beberapa saat antaranya dengan melompat-lompat
dari dahan ke dahan tak ubahnya bagai seekor kera,
Nanjar terus menembus hutan lebat itu. Dan baru
berhenti ketika tiba di sebuah lereng gunung.
Suara air terjun di kejauhan terdengar mengguruh.
Nanjar berdiri merenung beberapa saat. Di matanya
terbayang air jernih yang mengalir diantara batu-batu.
“Ah, kalau mandi di tempat itu tentu akan segar tu-
buhku! Udara begini panas! Selesai mandi aku akan
tidur. Menjelang sore bangun tidur baru aku pergi cari
makanan untuk mengisi perut...” kata Nanjar dalam
hati.
Setelah mengambil keputusan segera dia berkelebat
dari tempat itu.
Suara gemuruh air terjun semakin santar. Dari ba-
lik semak yang rapat di depannya sudah terlihat air
jernih yang mengalir gemericik.
Baru saja dia akan menuruni jalan menuju ke arah
sungai itu mendadak Nanjar hentikan langkahnya dan
menahan napas. Karena saat itu terdengar suara ter-
tawa cekikikan dari arah sungai. Suara seorang pe-
rempuan yang ditimbal oleh suara laki-laki.
“Ah, ada yang sedang mandi rupanya...”
Nanjar urungkan niatnya. Karena diam-diam dia
berniat untuk mengetahui siapa adanya mereka yang
tengah mandi dan bergurau itu.
Dari balik rumpun yang rapat Nanjar mengintip.
Pemandangan di depan matanya membuat dia se-
makin menahan napas... Karena tampak seorang gadis
dalam keadaan telanjang bulat tengah saling bergurau
bermain air dengan seorang laki-laki yang cuma berdiri
di tepi sungai. Laki-laki itu usianya sekitar tiga puluh
lima tahun. Dia berdiri memeluk pundaknya seperti
enggan untuk terjun ke air. Tapi gadis itu dengan ter-
tawa mengikik menyembur-nyemburkan air ke arah-
nya.
“Hayo buka celana mu! Hihihi... mengapa berdiri sa-
ja? Airnya sejuk!” teriak si gadis. Walau gadis itu me-
rendam tubuhnya sampai sebatas dada, tapi bayangan
tubuhnya yang polos tak dapat tidak terlihat dari atas
air.
Mata Nanjar semakin membulat. Sebagai seorang
pemuda mana hal semacam itu di lewatkan begitu sa-
ja? Apa lagi gadis itu berparas cantik dan bertubuh pu-
tih serta mempunyai bentuk tubuh yang bagus.
Karena terus menerus disembur dengan air terpak-
sa laki-laki itu melompat terjun ke dalam sungai tanpa
membuka celananya lagi. Cuma bajunya saja yang se-
jak tadi telah dibukanya.
Gadis itu tampak girang sekali. Merekapun bersen-
da gurau dengan berkejar-kejaran. Pemandangan itu
mengingatkan Nanjar pada sepasang sejoli yang tengah
memadu kasih. “Entah laki-laki itu suaminya ataukah
hanya kawannya saja?” pikir Nanjar.
Suara cekikikan gadis itu berhenti ketika lengan si
laki-laki berhasil menangkap pinggang si dara cantik.
Tampaknya gadis itu tak berusaha meronta. Dua pa-
sang mata mereka saling tatap. Hati Nanjar semakin
berdebar. Matanya semakin membulat tak berkedip.
“Ah...” Nanjar cepat-cepat memalingkan muka keti-
ka kedua insan berlainan jenis itu saling kecup.
Sementara tubuh mereka saling peluk dengan erat.
Tubuh sang gadis menggeliat-geliat dalam dekapan la-
ki-laki itu. Sementara lawan jenisnya tampak semakin
bersemangat. Kejap berikutnya si laki-laki telah me-
mondong tubuh polos gadis itu ke balik batu besar.
Entah apa yang dilakukan. Karena yang tampak
kemudian hanya dua pasang kaki mereka saja yang
kelihatan bergerak-gerak diantara sela-sela batu.
Dia mengenali siapa adanya laki-laki tersebut yaitu
si Pendekar Lengan Tunggal Joko Sangit. Tapi siapa
adanya gadis itu Nanjar tak mengetahui.
“Sialan...!” maki Nanjar dalam hati. “Edan!” ma-
kinya lagi. “Tapi salahku sendiri mengapa mengintip
orang sedang bercintaan?” gerutunya.
Lalu tanpa menoleh ke belakang lagi Nanjar berke-
lebat dari tempat itu...
“Hah!? lagi-lagi mayat!” sentak Nanjar terperanjat.
Karena dihadapannya terlihat berkaparan mayat-
mayat. Kali ini Nanjar benar-benar terkejut karena
mayat-mayat yang bergelimpangan itu adalah mayat
para prajurit Kerajaan. Akan tetapi membaur pula di-
antara mayat-mayat itu beberapa sosok mayat orang
biasa. Diantara bangkai manusia yang berserakan itu
terlihat sebuah tandu yang tergelimpang. Nanjar ter-
sentak seraya melompat menghampiri.
Benaknya berpikir keras untuk menduga apa yang
telah terjadi.
Sesosok mayat yang berpakaian berbeda dari mayat
prajurit Kerajaan dihampiri Nanjar. Ternyata itulah
mayat Tumenggung Kandilaga. Tak jauh didekatnya
seekor kuda tergelimpang dengan kepala remuk. Tak
berapa jauh dari mayat Tumenggung itu terkapar pula
mayat Sosro Kemplu salah seorang dari si Dua Iblis
dari Utara.
“Apakah yang telah terjadi?” pikir Nanjar dengan
kerutkan kening.
“Agaknya telah terjadi pertarungan di tempat ini
yang meminta korban kedua belah pihak!” kata Nanjar
dalam hati. “Tapi tandu itu kosong! Dugaanku tak
mungkin tandu itu berisi barang berharga karena dida-
lamnya ada tempat duduk. Setidak-tidaknya para pra-
jurit ini tengah mengawal seorang putri atau mungkin
juga seorang permaisuri Raja. Karena tandu kebanya-
kan digunakan untuk membawa perempuan lemah!”
Satu hal yang membuat Nanjar agak memperhati-
kan adalah luka bekas pukulan yang telah menghan-
guskan isi dada. Diantaranya mayat orang Kerajaan
yang diperkirakan Nanjar adalah seorang Kepala Pra-
jurit. Dan mayat si laki-laki baju kuning.
“Akan kuperiksa lagi sekitar tempat ini! apakah ma-
sih ada mayat-mayat lainnya?” desis Nanjar dengan
wajah keruh. Lalu berkelebat ke beberapa arah. Benar
saja, dia menjumpai mayat seorang laki-laki yang juga
berbaju kuning. Kematiannya dengan keadaan yang
sama. Yaitu dengan dada berikut isinya hangus!
“Hm, pukulan tenaga dalam yang hebat! Entah sia-
pa manusianya yang melakukan!” gumam Nanjar ter-
tegun. Tiba-tiba telinganya mendengar suara aneh se-
perti orang mengeluh. Tersentak si Dewa Linglung.
Dengan memasang pendengaran Nanjar mencari tahu
dari arah mana suara itu.
Ketika dia melompat ke balik semak, tersentak Nan-
jar ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar dalam
keadaan terkapar. Nafasnya kembang kempis dapat di-
lihat jelas dari perutnya yang bergerak-gerak.
Siapa adanya orang tinggi besar ini tiada lain dari si
Raksasa Gunung Bromo, alias kebo Gawuk yang dalam
keadaan tertotok.
Sepintas saja Nanjar sudah mengetahui keadaan
orang itu. Segera dia berjongkok dan membebaskan to-
tokan itu. Begitu merasai dirinya bebas dari pengaruh
totokan, Kebo Gawuk melompat bangun.
“Oh, oh...! terima kasih atas pertolonganmu, sobat!”
Kebo Gawuk menatap orang di hadapannya. Nanjar
tersenyum. “Siapakah kau dan apa yang telah terjadi?”
tanya Nanjar seraya melompat berdiri.
“Aku...aku... orang-orang menyebutku si Raksasa
Gunung Bromo!” sahut Kebo Gawuk tanpa menye-
butkan namanya. “Si orang bertopeng hitam itu telah
menotok ku! Setan keparat! kemana perginya kunyuk
itu?” Kebo Gawuk melompat berdiri, kepalanya dipa-
lingkan ke beberapa arah, sementara matanya memu-
tari sekitar tempat itu mencari-cari si manusia berto-
peng. Tentu saja orang yang dicarinya telah tak berada
di tempat itu.
“Siapakah kau, sobat?” tanya Kebo Gawuk dengan
menatap tajam pada Nanjar.
“Namaku Nanjar! Secara tak sengaja aku lewat di
tempat ini! Aku melihat banyak sekali mayat-mayat
dari orang kerajaan juga beberapa mayat lain. Kemu-
dian aku menjumpai kau di tempat ini. Apakah sebe-
narnya yang telah terjadi?” bertanya si Dewa Linglung.
Kebo Gawuk merenung sejenak seperti memulihkan
ingatannya. Lalu segera menceritakan apa yang telah
terjadi dan dialaminya. “Entah siapa orang bertopeng
hitam itu. Tapi aku seperti mengenali suaranya...” ber-
kata Kebo Gawuk mengakhiri ceritanya.
“Apakah kau mengetahui apa isi tandu yang dibawa
laskar Kerajaan itu?” tanya Nanjar.
“Ya! tandu itu berisi seorang perempuan, yaitu per-
maisuri Sultan Sepuh!” sahut Kebo Gawuk. “Walau
aku tak melihatnya, tapi dari pembicaraan orang Kera-
jaan itu dengan si Dua Iblis dari Utara serta konco-
konconya aku mengetahui siapa adanya orang yang
berada di dalam tandu...”
“Tepat dugaanku!” sahut Nanjar.
“He? kau melihat disana ada tandu?” tanya Kebo
Gawuk tiba-tiba.
“Ya! sebuah tandu yang terbalik dan kosong!” sahut
Dewa Linglung.
Kebo Gawuk tak menunggu jawaban Nanjar lebih
lanjut. Dia telah melompat dari tempatnya berdiri.
“Aku akan melihatnya!” teriak Kebo Gawuk.
Nanjar mengikuti di belakang laki-laki “raksasa” itu.
Diam-diam Nanjar memuji kagum melihat gerakan si
Raksasa Gunung Bromo walaupun bertubuh berat dan
tinggi besar tapi gerakannya begitu ringan. Pertanda
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Ta-
pi siapakah si orang bertopeng itu yang dapat mempe-
cundanginya? pikir Nanjar. Dia mulai menerka bahwa
luka-luka pada mayat dua orang berbaju kuning yang
menurut si Raksasa Gunung Bromo adalah si dua Iblis
dari utara serta seorang abdi Kerajaan yang dianggap
Nanjar adalah seorang Kepala Prajurit, adalah si orang
bertopeng itu yang membunuhnya.
Membelalakkan mata Kebo Gawuk melihat di antara
mayat-mayat yang berserakan itu terdapat mayat Tu-
menggung Kandilaga. Padahal dia mengetahui Tu-
menggung itu dalam keadaan selamat. Dan masih ber-
sisa pula kira-kira sebelas orang prajurit Kerajaan dari
dua puluh orang yang mengawal tandu.
“Ini pasti perbuatan si orang bertopeng!” sentak Ke-
bo Gawuk dengan mata mendelik dan gigi gemeretuk
karena gusarnya. “Heh! mengapa dia membunuhi
orang-orang Kerajaan? Padahal tadinya dia justru me-
nolong mereka dari tangan para begal-begal itu!” ber-
kata si Raksasa Gunung Bromo.
Nanjar beranjak mendekati. “Akupun menduga dia
yang telah membunuh orang ini yang kusangka seo-
rang Kepala prajurit! Kiranya seorang Tumenggung...”
“Apakah kau mengenali pukulan semacam ini?”
tanya Nanjar menyambung kata-katanya. “Kulihat dua
mayat yang mengenakan baju kuning yang kau kata-
kan adalah si Dua Iblis dari Utara, telah mengalami
pukulan yang sama seperti ini”
“Heh! inilah jurus pukulan Candrageni!” terkejut
Kebo Gawuk hampir melompat karena terkejutnya.
“jadi.... jadi... si manusia bertopeng itu adalah...”
WHUUUK!
Angin panas menggebubu tiba-tiba menghantam ke
arah mereka. Nanjar terperanjat. Pendengarannya yang
peka ternyata telah dapat menangkap gerakan kaki se-
seorang yang mendekati. Diam-diam Nanjar telah ber-
sikap waspada.
Ketika merasai sambaran angin panas yang ganas
ke arah punggung, dengan kecepatan kilat Nanjar
mendorong tubuh Kebo Gawuk disertai teriakan.
“Awas! serangan gelap!” Sementara dia sendiri segera
berkelebat menghindarkan diri dengan melompat ke
samping.
BLANG!
Tanah menyemburat hangus! Tubuh si Raksasa
Gunung Bromo terhuyung beberapa tombak. Jenazah
Tumenggung Kandilaga turut terlempar dengan men-
gerikan karena tak ubahnya bagai potongan arang
yang berserpihan.
Akan tetapi Kebo Gawuk selamat dari maut. Demi-
kian pula Nanjar.
“Iblis keji! pengecut licik!” bentak Nanjar seraya me-
lompat ke arah samping. WHUUT! lengannya meng-
hantam melontarkan pukulan dahsyat. Hawa dingin
menebar. Sesosok bayangan cepat sekali telah berkele-
bat dari semak belukar yang hancur bagai diamuk
prahara angin salju!
“Iblis pengecut! jangan lari!” kembali Nanjar mem-
bentak keras.
Tubuhnya melesat mengejar bayangan sosok tubuh
itu.
Jarak sosok tubuh di depan Nanjar cuma kira-kira
empat atau lima tombak. Segera dia mengetahui kalau
sosok tubuh itu mengenakan pakaian serba hitam.
Bahkan kepala dan wajahnya terbungkus kain hitam.
Akan tetapi cuma beberapa kejap saja. Karena tiba-
tiba lengan orang itu mengibas ke belakang. Menyam-
barlah uap berwarna ungu ke arahnya.
Dengan sebat Nanjar kibaskan lengannya untuk
menampar buyar uap itu.
Akan tetapi dia telah kehilangan jejak. Manusia
misterius itu lenyap tak ketahuan kemana arahnya.
Nanjar tak berani bertindak gegabah karena jelas
orang itu memiliki ilmu yang amat tinggi. Terpaksa dia
urungkan niatnya untuk mengejar. Kebo Gawuk mun-
cul dengan napas memburu.
“Kemana iblis pengecut itu?” teriaknya.
“Dia sudah kabur!” sahut Nanjar.
“Setan keparat! dia pasti si orang bertopeng!” berka-
ta Kebo Gawuk.
“Dan dugaanku takkan meleset. Dia pasti si PAN-
DALA! pantas dia menutupi mukanya dengan topeng!
Tapi mengapa dia mau membunuhku?” gerutu si Rak-
sasa Gunung Bromo.
“Pandala? Siapakah orang yang kau maksudkan
itu?”
Kebo Gawuk tak segera menjawab, tapi terdengar
dia menghela napas.
“Nanti akan kuceritakan padamu. Marilah kita ting-
galkan tempat ini. Salah-salah kita yang dituduh
membunuhi orang-orang Kerajaan!” kata Kebo Gawuk
Nanjar mengangguk. Kemudian keduanya bergegas
meninggalkan sisi hutan itu.
Dari keterangan Kebo Gawuk, Nanjar mengetahui
kalau Pandala adalah seorang Adipati yang bergelar
Raden Pandala. Dan masih saudara seperguruan laki-
laki tinggi besar itu. Kebo Gawuk menceritakan juga
tentang saudara perguruannya yang lain yaitu berna-
ma Ayu Rumpi yang telah diperistrikan Pandala.
Dengan petunjuk berharga itu si Dewa Linglung
mau tak mau harus turut campur dengan peristiwa
tersebut. Karena hal itu menyangkut soal kejahatan.
Disamping dia ingin mengetahui apa sebenarnya diba-
lik ketelengasan Pandala? Mengapa Adipati itu mem-
bunuh orang-orang Kerajaan? Bahkan mau mele-
nyapkan saudara seperguruannya sendiri!
Kebo Gawuk telah bertekad akan menumpas siapa-
pun yang bertindak jahat, tak perduli orang itu adalah
saudara seperguruannya sendiri.
“Sungguh tak kusangka Pandala akan menempuh
jalan sesat! Apakah yang diinginkan dengan semua
itu? Bukankah dia telah hidup senang dengan jabatan
sebagai Adipati seperti yang kudengar dari Empat Iblis
Clurit Hitam?” berkata dalam hati si Raksasa Gunung
Bromo. Kebo Gawuk merasa ada sesuatu hal yang tak
wajar. Keempat orang yang menamakan dirinya Empat
Iblis Clurit Hitam itu jelas empat tokoh golongan hi-
tam. Tak mungkin seorang Adipati akan berhubungan
dengan empat orang penjahat. Anehnya empat manu-
sia itu telah tewas seperti yang diceritakan Nanjar.
Termangu-mangu Kebo Gawuk dengan pertanyaan
memenuhi benaknya.
***
SEMBILAN
BRAK!
Pandala menghantam meja diruangan kamarnya
hingga papan kayu jati itu hancur berkepingan. “Kepa-
rat! urusan jadi semakin kacau!” berdesis sang Adipati
Bangil ini. “Aku tak dapat berdiam lebih lama di ge-
dung kadipaten ini! Semua ini gara-gara Ayu Rumpi si
perempuan keparat itu!”
Pandala hempaskan tubuhnya ke pembaringannya
yang besar. Pikirannya kusut.
“Heh! terpaksa aku menghabisi nyawa Tumenggung
Kandilaga dan para pengawalnya. Akan tetapi tak
sampai hati aku membunuh Ndoro Ayu permaisuri
Sultan Sepuh... “ gumamnya pelahan. Di ruang ma-
tanya terbayang peristiwa tadi siang yang telah dilaku-
kannya, di saat dia membunuh Tumenggung Kandilaga
dan menghabisi nyawa para prajurit pengawal tandu
setelah menotok Kebo Gawuk hingga tak berdaya. Ke-
mudian dengan cepat dia menekap mulut sang per-
maisuri yang menjerit ketakutan. Dan membawanya
berkelebat pergi dari tempat itu.
Permaisuri Sultan Sepuh yang bernama Pujayanti
itu disembunyikan di suatu tempat rahasia.
Kemudian dengan bergegas dia kembali ke Kadipa-
ten. Untuk menghindari berjumpa dengan orang-orang
Kerajaan dia mengambil jalan memutar. Akan tetapi ti-
ba-tiba Pandala teringat pada Kebo Gawuk yang telah
ditotoknya. Khawatir saudara seperguruannya itu da-
pat membocorkan rahasia, Pandala mengambil kepu-
tusan untuk membunuhnya sekalian.
Sayang niatnya tak terlaksana, karena Kebo Gawuk
telah dibebaskan si Dewa Linglung. Jurus maut yang
bernama Candrageni digunakan untuk menghabisi
nyawa Nanjar dan Kebo Gawuk. Tapi serangan itu lu-
put. Terpaksa dia menyingkirkan diri, karena diketa-
huinya pemuda yang telah menolong Kebo Gawuk itu
berilmu tinggi.
Hal itulah yang membuat pikirannya menjadi resah.
“Siapakah laki-laki kumal bertampang bodoh yang
menolong Kebo Gawuk itu?” desis Pandala seraya me-
lompat berdiri. Agak lama dia merenung. Tapi segera
mengambil keputusan. “Tak ada jalan selain aku sege-
ra angkat kaki dari tempat ini. Cepat atau lambat kha-
bar tewasnya Tumenggung Kandilanga dan para praju-
ritnya serta lenyapnya permaisuri akan terdengar ke
telinga orang-orang istana!”
Berpikir demikian tak berayal lagi segera Pandala
bergegas mengenakan pakaian hitamnya. Tak lupa
membungkus wajahnya dengan topeng yang telah be-
berapa kali dia pergunakan. Kemudian membuntal peti
uang dan seperangkat perhiasan. Dengan melalui jalan
rahasia yang menembus ke belakang gedung kadipa-
ten, Pandala lenyap di kegelapan malam...
Tanpa diketahuinya sesosok tubuh yang bersem-
bunyi dibalik rumpun di belakang gedung telah mem-
buntutinya.
Ternyata Nanjar adanya. Dia baru saja berniat men-
cari jalan untuk memasuki gedung Kadipaten itu mela-
lui jalan belakang, setelah bersusah payah mencari
dimana adanya gedung Kadipaten Adipati Bangil itu.
“Bagus! Orang yang kucari justru muncul sendiri.
Hm, mau kemanakah dia?” berkata Nanjar dalam hati
seraya berkelebat dengan gerakan hati-hati agar tak
menimbulkan suara, menyusul si manusia bertopeng.
Dan terus menguntitnya.
***
Di Istana, Sultan Sepuh tampak mondar-mandir di
ruang pendopo dengan wajah cemas. Rombongan pra-
jurit Kerajaan di bawah pimpinan Tumenggung Kandi-
laga yang mengawal permaisurinya hingga malam tiba
belum juga muncul. Seharusnya sore tadi telah tiba di
istana.
Usul Mapatih Kuncoro untuk mengirim sepasukan
prajurit menyusul rombongan yang terlambat itu dite-
rima. Segera dia mengutus Senopati Bayurana dengan
membawa tiga puluh orang prajurit. Dikhawatirkan
ada terjadi apa-apa di tengah perjalanan.
“Ya, Tuhan...! Semoga tak terjadi apa-apa dengan
permaisuri ku...”
Menggumam Sultan Sepuh. Kemudian beranjak
masuk ke ruangan dalam, tapi kemudian keluar lagi.
Matanya menatap keluar pagar Istana. Tak sabar ra-
sanya dia menunggu kemunculan sang permaisuri
atau setidak-tidaknya berita secepatnya mengenai
keadaan istrinya Pujayanti. Agak menyesal dia membe-
ri izin pada sang permaisurinya untuk mengunjungi
kedua orang tuanya di Telo Sari. Padahal dia dapat
mengutus orang agar besannya itu datang saja ke Is-
tana.
Tapi dia juga menyesali dirinya karena selalu me-
nunda-nunda keinginan sang permaisuri untuk mem-
buatkan sebuah gedung di dekat Istana, untuk tempat
tinggal besannya. Hal itu ditundanya karena pada
saat-saat ini dia sedang sibuk memikirkan langkah-
langkah baru demi memajukan rakyat agar kemakmu-
ran benar-benar dapat tercapai dan dirasakan oleh se-
genap rakyat.
Pada saat itulah terdengar derap kaki kuda mema-
suki halaman Istana. Dua orang perwira Kerajaan me
lompat dari punggung kuda. Lalu bergegas mengham-
piri pintu Istana. Sultan Sepuh setengah melompat
berlari menyongsong.
“Cepat katakan! Berita apa yang kalian bawa? Ba-
gaimana dengan Ndoro Ayu Pujayanti permaisuri ku?
Kemana gerangan Tumenggung Kandilaga?”
Sultan Sepuh memberondong kedua perwira kera-
jaan itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Dengan agak
gugup salah seorang segera melapor.
“Ampun Kanjeng Gusti Sultan! telah ditemukan oleh
gusti Senopati, para prajurit pengawal Ndoro Ayu Per-
maisuri dalam keadaan tak bernyawa. Semua prajurit
tewas termasuk Tumenggung Kandilaga!”
“Hah!? apa katamu?” sentak Sultan Sepuh terpe-
ranjat. “Lalu... lalu bagaimana dengan istriku?”
“Tandu dalam keadaan kosong. Tak dijumpai tanda-
tanda adanya jenazah Gusti Ndoro Ayu Permaisuri.
Saat ini Gusti Senopati dan para prajurit tengah mela-
caknya.”
Pucatlah seketika wajah Sultan Sepuh.
“Tumenggung Kandilaga dan para prajuritnya te-
was? Tandu kosong? Dan istriku... istriku lenyap? Oh,
Tuhan...” Kalau tak cepat dua perwira itu menahan
tubuhnya, tentu Sultan Sepuh sudah jatuh menggelo-
so karena begitu terkejutnya mendengar berita itu.
Mapatih Kuncoro muncul. Dia segera memburu ke
arah Sultan Sepuh.
“Tenang Kanjeng Gusti Sultan! Hamba telah mengi-
rim sepasukan prajurit untuk membantu mencari jejak
gusti Ayu Permaisuri...” hiburnya. Kemudian mema-
pahnya menuju ruangan dalam istana. Beberapa em-
ban segera menyongsong untuk bantu memayang.
Keadaan di dalam istana jadi sibuk. Para emban itu
memapah Sultan Sepuh ke dalam kamarnya...
Sementara itu Senopati Bayurana dan prajuritnya
terus melakukan pencarian. Melacak sekitar hutan un-
tuk mencari jejak sang Permaisuri. Ketika muncul pa-
sukan yang dibawa oleh Tumenggung Suromangun
atas perintah Mapatih Kuncoro, keadaan sekitar wi-
layah hutan itu semakin ramai. Puluhan obor yang te-
lah dipasang membuat cuaca berubah menjadi terang
benderang.
Akan tetapi pelacakan mereka sia-sia. Tak ada tan-
da-tanda atau ditemukannya mayat permaisuri Sultan
Sepuh. Senopati Bayurana segera memerintahkan un-
tuk segera menghentikan pencarian itu.
“Cukuplah para tamtama! Pencarian akan dite-
ruskan besok pagi!” teriak Senopati tua ini. Para praju-
ritpun segera menghentikan pelacakan itu.
“Semua berkumpul! Dan bersiap-siap untuk kemba-
li ke Istana!” teriak Senopati memberi aba-aba. Tu-
menggung Suromangun turut berteriak-teriak meni-
tahkan untuk segera menghentikan pekerjaan mereka.
Tak lama rombongan para prajurit Kerajaan itu se-
gera berbaris dan meninggalkan tempat itu...
***
SEPULUH
“Paman Joko....! kau tunggulah aku disini. Aku
hanya akan mengambil sesuatu di tempat Kediaman-
ku. Setelah itu kita segera berangkat ke utara...”
Ayu Rumpi memeluk kekasihnya Joko Sangit alias
si Pendekar Lengan Tunggal dengan penuh perasaan.
Pagi itu begitu cerah. Matahari bersinar terang tanpa
segumpal awanpun yang menghalangi.
“Dan, kita tak akan berpisah lagi...” sambung Joko
Sangit.
“Sungguhkah kata-katamu, paman Joko Sangit...?”
Laki-laki berlengan tunggal itu mengangguk. “Aku
telah mendapatkan seorang gadis cantik yang telah
membangkitkan gairah hidupku, mengapa aku harus
membohongimu, adik manis?” Tak ada kebahagiaan
yang begitu besar dirasakan seorang gadis bila dipuji
dirinya cantik. Ayu Rumpi mendekap laki-laki itu kuat-
kuat serasa tak akan dilepaskan lagi.
“Oh, paman Joko...” desisnya penuh kebahagiaan.
Namun segera Ayu Rumpi melepaskan pelukannya.
“Nah, paman Joko. Tunggulah disini. Sebentar aku
akan kembali lagi...” Selesai berkata, Ayu Rumpi balik-
kan tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu dengan
gerakan cepat.
Joko Sangit menatap bayangan sosok tubuh gadis
itu hingga lenyap.
Terdengar laki-laki ini menghela napas, seraya
menggumam.
“Haih! Dunia memang aneh. Sesuatu yang diha-
rapkan terkadang tak menjadi kenyataan. Akan tetapi
apa yang tak diharapkan justru terjadi...”
Alangkah terkejutnya Ayu Rumpi ketika memasuki
halaman pondok tempat kediamannya mendapatkan
enam sosok tubuh anak buahnya telah berkaparan
menjadi mayat. Niatnya kembali kemari adalah untuk
mengambil sebuah kotak kecil berisi perhiasan yang
akan di bawahnya. Sekalian membubarkan anak
buahnya karena dia akan pergi jauh tak kembali lagi.
Akan tetapi keenam laki-laki anak buahnya itu telah
tewas.
“Oh, siapakah yang melakukan perbuatan ini?” sen-
taknya terkejut. Ketika memeriksa ke dalam pondok,
Ayu Rumpi mendapatkan sesosok tubuh wanita muda
tergolek di pembaringan dalam keadaan menangis tan-
pa mengeluarkan suara. Wanita muda itu mengenakan
pakaian keraton.
“Siapakah kau?” tanya Ayu Rumpi seraya melompat
menghampiri. Akan tetapi wanita itu tak mampu bica-
ra, selain matanya saja yang membelalak penuh air
mata. Tahulah Ayu Rumpi kalau wanita muda itu da-
lam keadaan tertotok.
Tak berlaku ayal segera Ayu Rumpi membebaskan
wanita muda itu dari pengaruh totokan. Melihat di-
rinya terbebas, wanita muda itu merangkul Ayu Rumpi
dengan terisak-isak menangis. Sebagai seorang wanita
yang juga mempunyai perasaan yang sama, mau tak
mau tersentuh juga hati Ayu Rumpi.
Dia balas memeluk wanita itu dan menghiburnya
dengan kata-kata ramah.
“Sudahlah, kau sudah selamat. Hentikan tangismu,
kakak...! Ceritakanlah apa yang telah terjadi dan siapa
yang membawamu ke tempat ini? Dan kau ini siapa-
kah?” tanya Ayu Rumpi ketika tangis wanita muda itu
agak mereda.
“Terima kasih sebelumnya atas pertolonganmu,
adik...! Sesuatu telah terjadi dan menimpa diriku...”
berkata wanita muda itu, kemudian segera menutur-
kan peristiwa yang dialaminya.
“Jadi kau... kau gusti Kanjeng Permaisuri Sultan
Sepuh?” sentak Ayu Rumpi terperanjat. Seketika wa-
jahnya berubah pucat. Wanita muda itu mengangguk.
Wajah Ayu Rumpi sebentar merah sebentar pucat. Ha-
tinya tergetar dengan lutut terasa dilolosi tulang-
tulangnya. “Orang bertopeng itu pasti PANDALA! Pas-
ti!” sentaknya dalam hati. “Dia telah memulai pembe-
rontakannya. Oh, apa yang harus kulakukan? Semua
ini karena diriku! Akulah yang menghembuskan asap
pemberontakan padanya! Tapi aku cuma berniat mem-
permain dia dengan persyaratan itu! Aku memben-
cinya! Aku dendam padanya. Karena dia telah mereng
gut kesucian ku...”
Ayu Rumpi merasakan kepalanya menjadi berat.
Dia melangkah terhuyung ke tepi jendela. Jantungnya
serasa berhenti berdenyut. Dia sungguh tak menyang-
ka kalau Pandala benar-benar membuktikan ucapan-
nya seperti yang di ucapkan di puncak Gunung Bromo.
“Tidak! aku sungguh-sungguh tak mengharapkan
hal itu. Bahkan aku mengira dia tak akan punya kebe-
ranian. Mungkin juga dia akan tewas terlebih dulu se-
belum hal yang memang tak kuharapkan itu terlaksa-
na! Bahkan... AKU sendiri yang akan membunuhnya!”
***
SEBELAS
Tiba-tiba Ayu Rumpi balikkan tubuhnya dan mena-
tap pada sang Permaisuri Sultan Sepuh. Wajahnya
semakin pucat. Nafasnya tersengal-sengal. Tiba-tiba
Ayu Rumpi jatuhkan dirinya untuk berlutut di hada-
pan wanita itu seraya berkata dengan suara terisak.
“Gusti Permaisuri...oh, maafkanlah hamba yang tak
mengetahui dengan siapa hamba berhadapan. Dan
hamba telah berbuat lancang di hadapan Gusti Per-
maisuri...” Melihat Ayu Rumpi berlutut dihadapannya,
cepat-cepat wanita muda permaisuri Sultan Sepuh
membangunkan.
“Sudahlah, adik. Jangan terlalu banyak peradatan.
Aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu...!”
ujar Dewi Wijayanti.
Pada saat itulah terdengar suara ringkik kuda di-
iringi derap kaki-kaki kuda mendatangi ke arah pon-
dok. Hati Ayu Rumpi tersentak. Dia telah melompat
berdiri. Sekejap saja dia telah mengetahui siapa yang
datang.
“Pandala!” sentaknya dalam hati. Ayu Rumpi tiba-
tiba telah melompat keluar dari pondok pesanggrahan
itu.
Si penunggang kuda putih itu ternyata si laki-laki
bertopeng. Tapi Ayu Rumpi telah mengetahui kalau
orang itu adalah Pandala. Kemunculan Ayu Rumpi
agak membuat Pandala terkejut. Kalau saja tak men-
genakan topeng akan terlihat parasnya yang berubah.
“Perempuan keparat! Pucuk di cinta ulam tiba!”
bentak Pandala. “Bagus! Aku memang menginginkan
kemunculanmu. Karena saat ini juga aku segera akan
mengirim nyawamu ke Neraka!”
“Membunuhku?” Ayu Rumpi kerenyitkan kening-
nya. “Hm, apakah aku tak salah dengar?” tanya Ayu
Rumpi.
“Ya! Karena aku sudah tak memerlukan kau lagi!
Aku telah mendapatkan seorang perempuan pengganti
mu yang akan kujadikan istriku!”
“Hm, kau akan membawa kabur Gusti Permaisuri
Sultan Sepuh?”
“Tepat katamu! Aku telah terlanjur jadi buronan Ke-
rajaan! Semua ini karena gara-gara ulah mu dengan
persyaratan gila itu!” menyahut Pandala dengan suara
dingin.
“Persyaratan gila?” tukas Ayu Rumpi. “Hihihi... kita
memang orang-orang gila, Pandala! Karena hawa naf-
sumu yang gila itu hingga aku harus menyerahkan ke-
sucian ku padamu! Karena kegilaan mu itu aku ter-
paksa harus menikah dengan seorang yang tak kucin-
tai! Tahukah kau Pandala? Aku telah mencintai seseo-
rang yang tak dapat kusebutkan namanya. Dan aku
telah bersumpah untuk mencarinya setelah aku turun
gunung. Kesucian ku hanya akan kuberikan padanya!”
Berkata Ayu Rumpi dengan tersenyum pahit. Lalu
sambungnya.
“Tapi karena nafsu gilamu, aku telah ternoda! Mus-
nah sudah harapanku! Semua itulah yang menyebab-
kan aku mengajukan persyaratan gila, dan aku me-
mang akan membuatmu gila karena kau berkeyakinan
kau tak akan berhasil memenuhi keinginanku yang se-
sungguhnya tak kuharapkan. Karena aku mengha-
rapkan kematianmu sebagai penebus kegilaan mu!”
Sampai disini Ayu Rumpi menghentikan kata-katanya.
Dia menghela napas sejenak. Lalu sambungnya, kare-
na melihat Pandala cuma terpaku mematung seperti
tak mampu menggerakkan bibirnya.
“Sebenarnya aku mau menyudahi urusan dendam
itu! Lebih dari dua tahun kita hidup secara terpisah.
Hal itu sudah cukup untuk membebaskan aku dari
ikatan suami-istri. Bahkan aku telah cukup terhibur
karena aku telah menemukan orang yang kucintai.
Aku telah cukup merasa berbahagia dan melupakan
dendam ku padamu! Tapi sayang....! aku tak dapat
berdiam diri dengan apa yang akan kau lakukan! Aku
harus melindungi Gusti Permaisuri dari keinginan gi-
lamu!”
Selesai berkata Ayu Rumpi gerakkan lengannya
mencabut senjata pedang pendek yang terselip di ping-
gangnya. “Dan terpaksa aku harus mempertahankan
nyawaku karena kau mau membunuhku!” sambung
Ayu Rumpi dengan senyum sinis. Pandala tertawa ta-
war. Lalu melompat turun dari punggung kuda.
“Siapakah orang yang kau cintai itu, Ayu...?” tanya
Pandala dengan suara dingin.
“Tak perlu kau mengetahui! Dia kini tengah me-
nungguku. Karena aku segera akan pergi jauh ke uta-
ra!”
Tampaknya Pandala belum membuat reaksi untuk
segera bertarung. Dia menghela napas seperti mengha
lau sesuatu yang mengganjal didadanya. Matanya me-
natap tajam Ayu Rumpi. Kemudian menengadah me-
natap langit, dan berkata datar.
“Pergilah kau temui kekasihmu itu, Ayu...! Pergilah!
Capailah kebahagiaan yang telah kau dapatkan itu!
Aku tak akan membunuhmu...” ujarnya pelahan.
Terhenyak Ayu Rumpi. Tapi segera dia menyambar-
nya dengan kata-kata tajam. “Hem, kau menyuruh aku
pergi agar tak ada yang menghalangimu membawa ka-
bur Gusti Permaisuri, bukan? Heh! jangan harap niat-
mu akan terlaksana!”
“Aku akan mengembalikannya ke Istana!” sahut
Pandala lirih. Kata-kata Pandala cukup membuat Ayu
Rumpi tertegun. Tapi gadis ini segera membentak.
“Aku tak percaya kata-katamu Pandala! Jangan co-
ba-coba kau mengelabui ku.”
“Kau harus percaya!” teriak Pandala menegur. Tiba-
tiba lengan Pandala bergerak mendorong ke depan.
Angin keras bersyiur membuat tubuh Ayu Rumpi ter-
huyung. Di detik itu juga Pandala telah berkelebat me-
lompat ke arah pintu pondok.
Akan tetapi terjadilah sesuatu yang tak terduga, ka-
rena tiba-tiba tubuh Pandala terlempar bergulingan di-
iringi teriakan menyayat hati.
Membelalak mata Ayu Rumpi melihat sesosok tu-
buh melompat keluar dari dalam pondok pesanggra-
han memburu ke arah Pandala yang terguling-guling di
tanah.
Siapa adanya orang itu tiada lain dari Kebo Gawuk.
TAMAT
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar