"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 15 Desember 2024

SENGSARA MEMBAWA NIKMAT



SENGSARA MEMBAWA NIKMAT

 1. Bermain Sepak Raga 

WAKTU asar sudah tiba. Amat cerah hari petang itu. Langit 

tidak berawan, hening jernih sangat bagusnya. Matahari 

bersinar dengan terang, suatu pun tak ada yang mengalanginya. 

Lereng bukit dan puncak pohon-pohonan bagai disepuh rupa-

nya. Tetapi lembah dan tempat yang kerendahan buram 

cahayanya. Demikianlah pula sebuah kampung yang terletak 

pada sebuah lembah, tidak jauh dari Bukittinggi. 

Dalam sebuah surau, di tepi sungai yang melalui kampung 

itu, kedengaran orang berkasidah. Suaranya amat merdu, turun 

naik dengan beraturan. Apa-lagi karena suara itu dirintangi 

bunyi air sungai yang mengalir, makin enak dan sedap pada 

pendengaran. Seakan-akan dari dalam sungai suara itu 

datangnya. Hilang-hilang timbul, antara ada dengan tiada. 

"Akan menjadi orang laratkah engkau nanti, Midun?" ujar 

seseorang dari halaman surau sambil naik. "Bukankah berlagu 

itu mengibakan hati dan menjauhkan perasaan? Akhir kelaknya 

badan jauh jua karenanya." 

"Tidak, Maun," jawab orang yang dipanggilkan Midun itu, 

seraya meletakkan tali yang dipintalnya, "saya berkasidah 

hanya perintang-rintang duduk. Tidak masuk hati, melainkan 

untuk memetahkan lidah dalam bahasa itu saja. Dari manakah 

engkau?" 

"Dari pasar. Tidakkah engkau tahu, bahwa petang ini diada-

kan permainan sepak raga? Mari kita ke pasar, kabarnya sekali 

ini amat ramai di sana, sebab banyak orang datang dari 

kampung lain!" 

"Sudah banyakkah orang di pasar engkau tinggalkan tadi?" 

"Banyak juga jenang pun sudah datang. Waktu saya tinggal-

kan, orang sedang membersihkan medan." 

"Si Kacak, kemenakan Tuanku Laras, sudah datangkah?" 

"Belum, saya rasa tentu dia datang juga, sebab dia suka 

pula akan permainan sepak raga." 

Midun menarik napas. Maka ia pun berkata pula, katanya, 

"Ah, tak usah saya pergi, Maun. Biarlah saya di surau saja 

menyudahkan memintal tali ini akan dibuat tangguk." 

"Apakah sebabnya engkau menarik napas? Bermusuhankah 

engkau dengan dia?" ujar Maun dengan herannya. 

"Tidak, kawan. Tapi kalau saya datang ke sana, boleh jadi


mendatangkan yang kurang baik." 

"Sungguh, ajaib. Bermusuh tidak, tapi boleh jadi 

mendatangkan yang tidak baik. Apa pula artinya itu?" 

"Begini! Maun! Waktu berdua belas di masjid tempo hari, 

bukankah engkau duduk dekat saya?" 

"Benar." 

"Nah, adakah engkau melihat bagaimana pemandangan 

Kacak kepada saya?" 

"Tidak." 

"Masa kenduri itu kita duduk pada deretan yang di tengah. 

Kacak pada deret yang kedua. Engkau sendiri melihat ketika 

orang kampung meletakkan hidangan di hadapan kita. Ber-

timbun-timbun, hingga hampir sama tinggi dengan duduk kita. 

Ada yang meletakkan nasi, cukup dengan lauk-pauknya pada 

sebuah talam. Ada pula yang meletakkan penganan dan lain-

lain sebagainya, menurut kesukaan orang yang hendak ber-

sedekah. Tetapi kepada Kacak tidak seberapa, tak cukup 

sepertiga yang kepada kita itu." 

"Hal itu sudah sepatutnya, Midun. Pertama, engkau seorang 

alim. Kedua, engkau disukai dan dikasihi orang kampung ini. 

Oleh Kacak hanya derajatnya jadi kemenakan Tuanku Laras 

saja yang dimegahkannya. Tentang tingkah laku dan perangai-

nya tidak ada yang akan diharap. Memang dia kurang disukai 

orang di seluruh kampung ini." 

"Sebab itulah, maka suram saja mukanya melihat hidangan 

di muka kita. Ketika ia melayangkan pemandangannya kepada 

saya, nyata benar terbayang pada muka Kacak kebenciannya. 

Cemburu dan jijik agaknya dia kepada saya." 

"Suka hatinyalah. Bukankah hal itu kemauan orang 

kampung. Apa pula yang menyakitkan hatinya kepadamu?" 

"Benar katamu, suka hatinyalah. Tapi harus engkau ingat 

pula sebaliknya. Kita ini hanya orang kebanyakan saja, tapi dia 

orang bangsawan tinggi dan kemenakan raja kita di kampung 

ini. Tidakkah hal itu boleh mendatangkan bahaya?" 

"Mendatangkan bahaya? Bahaya apa pulakah yang akan tiba 

karena itu? Segalanya akan menjadi pikiran kepadamu. Apa 

gunanya dihiraukan, sudahlah. Marilah kita pergi bersama-

sama!" 

"Patut juga kita pikirkan, mana yang rasanya boleh men-

datangkan yang kurang baik kepada diri. Tetapi kalau engkau 

keras juga hendak membawa saya, baiklah."


"Ah, belum tumbuh sudah engkau siangi. Terlampau arif diri 

binasa, kurang arif badan celaka. Engkau rupanya terlalu arif 

benar dalam hal ini. Lekaslah, tidak lama lagi permainan akan 

dimulai orang." 

Maka kelihatanlah dua orang sahabat berjalan menuju arah 

ke pasar di kampung itu. Midun ialah seorang muda yang baru 

berumur lebih kurang 20 tahun. Ia telah menjadi guru tua di 

surau. Pakaiannya yang bersih dan sederhana rupanya itu 

menunjukkan bahwa ia seorang yang suci dan baik hati. 

Parasnya baik, badannya kuat, bagus, dan sehat. Tiada lama 

berjalan mereka keduapun sampailah ke pasar. Didapatinya 

orang sudah banyak dan permainan sepak raga tidak lama lagi 

akan dimulai. 

Adapun pasar di kampung itu terletak di tepi jalan besar. 

Pada seberang jalan di muka pasar, berderet beberapa buah 

rumah dan lepau nasi. Di belakang rumah-rumah itu mengalir 

sebuah sungai, Pasar itu diramaikan hanya sekali sepekan, yaitu 

tiap-tiap hari Jumat. Itu pun ramainya hanya hingga tengah 

hari saja. Oleh sebab itu, segala dangau-dangau diangkat 

orang. Tetapi dangau-dangau yang sebelah ke tepi pasar dibiar-

kan tertegak. Gunanya ialah untuk orang musafir atau siapa 

saja yang suka bermalam di situ, atau untuk berlindung dari-

pada panas akan melepaskan lelah dalam perjalanan dan lain-

lain sebagainya. Lain. daripada hari Jumat, pasar itu diper-

gunakan orang juga untuk bermain sepak raga, rapat negeri, 

dan lain-lain. 

Ketika Midun kelihatan oleh beberapa orang muda di pasar 

itu, mereka itu pun datanglah mendapatkannya. Mereka itu 

semuanya amat bergirang hati melihat Midun. Begitu pula 

ketika ia bersalam dengan orang-orang tua yang duduk ber-

kelompok-kelompok di situ, nyata terbayang pada muka orang-

orang itu kesenangan hatinya. 

Apakah sebabnya demikian? 

Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di 

kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan 

santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap di-

dengar; tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik 

hati, penyayang dan pengasih, jarang orang yang sebaik dia 

hatinya. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam 

segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras; apa yang di-

maksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah


pula padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang 

berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang 

hatinya, hilang sedih hati olehnya. Karena itu, tua muda, kecil 

besar di kampung itu kasih dan sayang kepada Midun. Hampir 

semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya 

tergantung di bibir orang banyak, dan budi pekertinya diambil 

orang jadi teladan. 

Orang sudah banyak di pasar, di sana-sini kelihatan orang 

duduk berkelompok-kelompok. Orang yang akan menonton per-

mainan sepak raga pun sudah banyak pula datang. Anak-anak 

sudah berlarian ke sana kemari, mencari tempat yang baik 

untuk menonton. Ada pula di antara mereka itu yang bermain-

main, misalnya berkucing-kucing, berkuda-kuda dan lain-lain, 

menanti permainan dimulai. Segala orang di pasar itu rupanya 

gelisah, tidak senang diam. Sebentarsebentar melihat ke jalan 

besar, sebagai ada yang dinantikannya. 

Tidak berapa lama antaranya, kelihatan seorang muda 

datang menuju ke pasar itu. Ia bercelana batik, berbaju Cina 

yang berkerawang pada saku dan punggungnya. Kopiahnya 

sutera selalu, berterompah dan bersarung kain Bugis. Sungguh, 

tampan dan alap benar kelihatannya dari jauh. la berjalan 

dengan gagah dan kocaknya, apalagi diiringkan oleh beberapa 

orang pengiringnya. 

"Itu dia Engku Muda Kacak sudah datang," kata Maun kepada 

kawan-kawannya. 

Mendengar perkataan Maun, orang yang duduk ber-

kelompok-kelompok itu berdiri. Setelah Kacak sampai ke pasar, 

semuanya datang bersalam kepadanya. Sungguhpun Kacak 

masih berumur 21 tahun lebih, tetapi segala orang di pasar itu, 

baik tua ataupun muda, sangat hormat kepadanya dan dengan 

sopan bersalam dengan dia. Tetapi mereka ber-salam tidak se-

bagai kepada Midun, melainkan kebalikannya. Mereka itu 

semuanya seolah-olah terpaksa, sebab ada yang ditakutkannya. 

Sudah padan benar nama itu dilekatkan kepadanya, karena 

bersesuaian dengan tingkah lakunya. la tinggi hati, sombong, 

dan congkak. Matanya juling, kemerah-merahan warnanya. 

Alisnya terjorok ke muka, hidungnya panjang dan bungkuk. Hal 

itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang busuk hati. Di 

kampung itu ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya. 

Perkataannya kasar, selalu menyakitkan hati. Adat sopan 

santun sedikit pun tak ada pada Kacak. Ke mana-mana berjalan


selalu ia pakai pengiring. Bahkan di dalam pemerintahan ia pun 

campur pula, agaknya lebih dar'r mamaknya. Sungguhpun 

demikian, seorang pun tak ada yang berani menegurnya, karena 

orang takut kepada Tuanku Laras. Kacak pun seolah-olah tahu 

pula siapa dia: karena itu ia selalu menggagahkan diri di 

kampung itu. 

"Sudah sepetang ini hari, belum jugakah jenang datang ke 

medan?" ujar Kacak dengan agak keras, sambil melayangkan 

pemandangannya, seakan-akan mencari seseorang dalam orang 

banyak yang datang bersalaman kepadanya itu. 

"Sudah, Engku Muda;" ujar Maun dengan sopan. "Itu beliau di 

dalam lepau nasi sedang bercakap-cakap. Agaknya beliau 

menantikan kedatangan Engku Muda saja lagi." 

"Katakanlah saya sudah datang!" ujar Kacak pula dengan 

pongahnya. "Sudah hampir terbenam matahari gila membual 

juga." 

Tidak lama antaranya, keluarlah seorang yang agak tua dan 

bertubuh tegap dari dalam sebuah lepau nasi. Orang itu ialah 

jenang permainan sepak raga. Baru saja dilihatnya Kacak, 

segera ia datang mendapatkannya. Sambil bersalam jenang 

berkata, katanya, "Sudah 

lama Engku Muda datang?". 

"Lama juga," jawab Kacak dengan muka masam. "Apakah 

sebabnya tidak dimulai juga bermain sepak raga? Akan 

dinantikan terbenamnya matahari dulu, maka dimulai?" 

"Ah, kami sudah dari tadi datang," ujar jenang dengan 

hormat, "hanya menantikan Engku Muda saja lagi." 

"Mengapa tidak dimulai saja dulu? Sungguh, jika tak ada 

saya rupanya takkan jadi permainan ini." 

Segala penonton sudah duduk pada tempatnya masing-

masing, yang telah disediakan oleh pengurus medan itu 

sebelum bermain. Maka jenang pun pergilah bersalam kepada 

beberapa orang penonton yang terpandang, yang maksudnya 

tidak saja memberi selamat datang, tetapi seolah-olah 

meminta izin juga, bahwa permainan akan dimulai. 

"Rupanya banyak juga orang datang dari jorong lain hendak 

bermain hari ini," ujar seorang penghulu ketika bersalam 

dengan jenang. 

"Benar, Datuk," ujar jenang. "Sungguh, luar biasa ramainya 

sekali ini." 

Setelah jenang masuk ke tengah medan, maka segala


pemain pun datanglah bersalam dengan hormatnya, akan 

mengenalkan diri masing-masing. Kemudian segala pemain 

berdiri berkeliling, membuat sebuah bundaran di medan itu. 

Jenang yang berdiri di tengah medan, lalu melihat berkeliling, 

memperhatikan pemain yang berdiri di medan itu. 

"Engku Muda Kacak!" kata jenang sekonyong-konyong, "Per-

mainan akan kita mulai." 

Perkataan jenang yang demikian itu sudah cukup untuk 

menjadi sindiran kepada pemain, agar segera memperbaiki ke-

salahannya. Kacak kemalu-maluan, tetapi apa hendak dikata-

kan, karena di medan itu jenang lebih berkuasa daripada dia. 

Dengan muka merah dan menggigit bibir karena malu dapat 

teguran jenang, Kacak melihat ke kiri-ke kanan, ke muka dan 

ke belakang, lalu memperbaiki tegaknya. Segala pemain yang 

lain insaf pula akan arti sindiran itu, lalu mereka mem-

perhatikan betul tidaknya tempat ia berdiri. Syukurlah hanya 

Kacak seorang yang tidak sempurna tegaknya di medan itu. 

Sesudahnya jenang memperbahasakan tamu, yaitu mem-

berikan raga supaya disepakkan lebih dulu, permainan pun di-

mulailah. Jenang menyepak raga, lalu berkata, "Bagian Engku 

Muda Kacak!" 

Maka Kacak pun bersiap menanti raga. Dengan tangkas, raga 

itu disepaknya tinggi ke atas, lalu berkata, "Bagianmu, Midun!" 

Midun bersiap serta memandang ke arah suara itu datang. 

Nyata kepadanya, bahwa yang berseru itu Kacak. Dengan tidak 

menanti anak raga, lalu Midun mempertubi-tubikan sepaknya 

sampai sepuluh kali. Sudah itu disepakkannya pula ke arah 

Kacak, lalu berkata, "Sambutlah kembali, Engku Muda!" 

Kacak melihat hal Midun dengan kepandaiannya itu tidak 

bersenang hati. Ia berkata dalam hatinya, "Berapa kepandaian-

mu, saya lebih lagi dari engkau." 

Ketika raga tinggi melambung, ia memandang ke atas serta 

menganjur langkah ke belakang. Maksudnya akan mencari 

alamat, dan hendak melompat sambil menyepak raga, tetapi 

celaka! Ketika ia akan menyepak; kakinya yang sebelah kiri 

tergelincir, lalu Kacak... bab, jatuh terenyak. Segala yang 

main, baik pun si penonton semuanya tersenyum sambil 

membuang muka. Mereka itu seakan-akan menahan tertawa-

nya. Oleh karena itu, tak ada ubahnya sebagai orang sakit gigi 

tertawa. Sebabnya, ialah karena orang segan dan takut kepada 

kemenakan Tuanku Laras itu. Waktu Kacak terduduk, dan


warna mukanya itu pucat menahan sakit, seorang daripada 

mereka yang main itu bernama Kadirun berkata, katanya, 

"Cempedak hutan!" 

Adapun Kadirun itu ialah teman Midun semasa kecil. Ia amat 

pandai membuat orang tertawa. Tak ada ubahnya sebagai alan-

alan (badut) pada komidi. Jangankan mendengar perkataannya, 

melihat rupanya saja pun orang sudah hendak tertawa. Kadirun 

adalah seorang muda yang sabar. Biarpun bagaimana juga 

diolok-olokkan orang, ia tertawa saja. Meskipun orang marah 

kepadanya, tetapi manakala berhadapan dengan dia, tak dapat 

tiada tertawa. Memang sudah menjadi sifat padanya tabiat itu 

sejak kecil. Hampir semua orang di kampung itu sudah 

mengetahui perangai Kadirun yang demikian. 

Kawan-kawan Kadirun waktu masih kanak-kanak dahulu, 

lebih kurang ada sepuluh orang yang hadir di sana. Mereka itu 

mengerti apa maksud Kadirun berkata begitu. Semuanya 

terkenang akan kejadian semasa mereka masih kecil itu, ketika 

menggembalakan kerbau di hutan. Karena itu tidak tertahan 

lagi perut mereka itu hendak tertawa. Kesudahannya lepas jua, 

mereka tertawa gelak-gelak mengenangkan perbuatan masa 

dahulu. 

Kacak bertambah pucat mukanya karena malu. Apalagi 

dalam permainan itu, ia dialahkan Midun. Tubuhnya berasa 

sakit terjatuh. Pada pikiran Kacak orang tertawa itu 

mengejekkannya. Sekonyong-konyong merah padam mukanya. 

Darahnya mendidih, sebab marah. Maka diturutnya Kadirun 

akan menanyakan, apa maksud perkataan "cempedak hutan" 

itu. Kadirun anak muda yang sabar itu menjawab katanya, 

"Tanyakan kepada Midun apa maksudnya, Engku Muda!" 

Mendengar perkataan itu, Kacak makin meradang. Hatinya 

bertambah panas, lebih-lebih mendengar nama orang yang 

dikatakan Kadirun itu, orang yang tidak disukainya. Sejak 

kenduri di masjid, hatinya sudah mulai benci kepada Midun. 

Dengan tidak berkata-kata lagi, lalu diturutnya Midun. 

Ketika ia sampai di hadapan Midun, kebetulan Midun sedang 

tersenyum. Pada pikiran Kacak menertawakannya. Ia tidak ber-

tanya lagi, terus ditinjunya. Midun mengelak, ia tak kena. 

Kacak menyerang berturut-turut, tetapi Midun selalu mengelak 

diri, sambil undur ke belakang. Kesudahannya Midun tersesak 

ke balai-balai dangau, lalu bertalian. Kacak menyerbukan diri 

dengan deras. Midun melompat dan mengelak ke kiri. Karena


deras datang, tangannya tertumbuk ke tonggak dangau. 

Tonggak dangau itu rebah, Kacak terdorong ke dalam, diimpit 

oleh atap dangau itu. Orang tertawa karena geli melihat kepala 

Kacak tersembul pada atap rumbia. Jenang lalu melompat akan 

melerai perkelahian itu. Makin disabarkan, makin keras Kacak 

hendak menyerang. Midun sabar saja, sedikit pun tak ada 

terbayang hati marah pada mukanya. 

Setelah Kacak disabarkan, Midun disuruh orang menerang-

kan apa arti kata "cempedak hutan" yang dikatakan Kadirun itu. 

Midun mencari Kadirun dengan matanya di dalam orang banyak, 

akan menyuruh menerangkan arti perkataan itu. Tetapi ketika 

perkelahian terjadi, Kadirun sudah melarikan diri karena 

ketakutan. 

Midun berkata, katanya, "Kawan-kawan saya tertawa itu 

sekali-kali tidak menertawakan Engku Muda Kacak. Tentu saja 

mereka itu tidak berani menertawakannya. Mereka tertawa 

karena mengenangkan perangainya semasa kanak-kanak. 

Dahulu waktu kami kecil-kecil, pergi menggembalakan kerbau 

ke hutan. Sampai dalam hutan, kami duduk saja di atas 

punggung kerbau masing-masing. Sambil memberi makan 

kerbau kami bernyanyi dan bersenda gurau sesuka-suka hati. 

Karena pekerjaan itu tidak berfaedah, melainkan menghabiskan 

hari saja, saya ajak kawan-kawan mufakat di bawah sepohon 

kayu yang rindang. Saya katakan kepadanya, daripada ber-

nyanyi, lebih baik kita mencari hasil di hutan itu. Kawan-kawan 

tidak mau, karena mereka takut kerbaunya diserang binatang 

buas. Maka saya terangkanlah kepada mereka itu bagaimana 

cerita ayah saya tentang keinginan kerbau menjaga diri dalam 

hutan. Saya katakan juga, manakala kerbau diserang harimau 

misalnya, tidaklah akan terjaga, sebab kita semuanya masih 

kanak-kanak. 

Mendengar saya mengatakan 'harimau', apalagi di dalam 

hutan, kawan-kawan saya ketakutan. Mereka melarang saya 

menyebut nama itu sekali lagi. Jika saya hendak menyebut 

juga, disuruhnya panggilkan saja 'inyi!' Perkataan kawan-kawan 

saya itu saya bantah pula. Sedangkan nama Allah disebut orang, 

istimewa nama binatang. Apalagi binatang itu tidak akan 

mengerti perkataan orang. 

Dalam pada saya bercerita itu, tiba-tiba kedengaran bunyi 

sebagai barang jatuh dua kali. Bunyi itu kedengaran tidak jauh 

daripada kami. Kawan-kawan saya terkejut dan kecut hatinya.


Pada persangkaan mereka, tak dapat tiada harimau yang 

melompat. Mereka itu duduk berdesak-desak, masing-masing 

hendak ke tengah akan melindungi diri. Berimpit-impit tidak 

bertentu lagu. Kelihatan tak ada ubahnya sebagai onggokan 

kecil. Seorang pun tak ada yang berani mengeluarkan per-

kataan, karena lidahnya sudah kaku dan mulut terkatup. Saya 

pun sudah tersepit di tengah-tengah, hampir tidak dapat 

bernapas lagi. Dengan segera saya terangkan, bahwa hal itu tak 

usah ditakutkan sebelum diperiksa dahulu. Lalu sayapun pergi-

lah ke arah bunyi itu datang, akan melihat apa yang menyebab-

kan bunyi itu. 

Amboi, bunyi yang kami takutkan itu, kiranya 'cempedak 

hutan' yang baru jatuh. Ketika itu timbullah pikiran saya 

hendak memperolok-olokkan kawan-kawan. Saya ambil kedua 

cempedak itu, lalu saya berjalan perlahan-lahan ke tempat 

kawan-kawan saya. Setelah dekat, saya lemparkan kedua 

cempedak itu, sambil berseru, 'Koyak, makan cempedak hutan!' 

Mereka itu berjeritan dan bersiap hendak lari. Tetapi kaki 

mereka itu tak dapat lagi diangkatnya, sebab sudah kaku 

karena ketakutan. Sekonyong-konyong Maun berseru, katanya, 

'Jangan lari, kawan, cempedak hutan kiranya.' 

Sudah itu berbagai-bagailah senda gurau untuk menghilang-

kan ketakutan kami. Lebih-lebih Kadirun yang membuat ulah 

ini, selalu kami perolok-olokan dengan cempedak hutan itu. 

Sakit-sakit perut kami tertawa melihat tingkah lakunya yang 

amat menggelikan hati itu. 

Demikianlah kisah kami dengan cempedak hutan masa kami 

kecil-kecil itu. Jadi nyatalah kepada Engku Muda Kacak ataupun 

sanak-saudara yang lain, bahwa kami tidak menertawakan 

Engku Muda, melainkan tertawa mengenangkan perangai 

dahulu jua." 

Segala orang yang mendengarkan cerita itu jangankan diam, 

semakin jadi tertawanya. Amat geli hati orang mendengar 

cerita Midun itu. Kacak mendengar orang makin bernyala-nyala. 

Rasakan hendak ditelannya Midun ketika itu. Pada pikirannya, 

jangankan Midun mendiamkan tertawa orang, tetapi seakan-

akan mencari-cari perkataan akan menggelikan hati, supaya 

orang makin jadi tertawa. Tetapi apa hendak dikatakan, ia 

terpaksa berjalan dari tempat itu karena malu. Akan berkelahi 

sekali lagi, tentu tidak dibiarkan orang. Dengan pemandangan 

yang amat tajam kepada Midun, Kacak pun pulanglah ke


rumahnya. 

Permainan sepak raga dihentikan, karena hari sudah jauh 

petang. Maka orang di pasar itu pun pulanglah ke rumahnya 

masing-masing. Midun pulang pula ke surau. Sepanjang jalan 

tampaktampak olehnya pemandangan Kacak yang amat dalam 

pengertiannya itu. Hatinya berdebar-debar, khawatir kalau-

kalau hal itu menjadikan tidak baik kepadanya. Tetapi 

kemudian timbul pula pikirannya, dan berkata dalam hati, "Ah, 

tidak berutang tak membayar, tidak berpiutang tak menerima, 

masakan saya akan dimusuhinya. Karena perangai Kadirun saya 

akan dimusuhinya, tidak boleh jadi. Lagi pula masakan perkara 

yang sekecil itu akan menjadikan dendam kepada Kacak."


2. Senjata Hidup 

TIDAK lama antaranya, perkelahian Kacak dengan Midun sudah 

tersiar ke seluruh kampung. Di lepau-lepau nasi dan pada tiap-

tiap rumah, orang memperkatakan perkelahian itu saja. 

Percakapan itu hanyak pula yang dilebih-lebihi orang. Yang 

sejengkal sudah menjadi sehasta. Dari seorang makin 

bertambah-tambah jua. Ada yang mengatakan, Kacak amat 

payah dalam perkelahian itu, sehingga minta-minta air. Ada 

pula yang berkata, Midun minta ampun, sebab takut kepada 

Tuanku Laras, mamak si Kacak. Berbagai-bagailah perkataan 

orang, ada yang begini, ada pula yang begitu, semau-maunya 

saja, akan mempertahankan orang yang disukai dan 

dikasihinya. 

Anak-anak lebih-lebih lagi. Mereka itu berlari-lari pulang 

akan memberitahukan apa yang telah terjadi di pasar hari itu. 

Baru saja sampai di rumah, dengan terengah-engah karena 

lelah berlari, ia menceritakan perkelahian itu kepada ibu dan 

adiknya. Ada pula yang menjadikan pertengkaran dan per-

kelahian kepada mereka itu, ketika mempercakapkan hal itu 

dengan teman-temannya. Sebabnya, ialah karena anak-anak 

murid Midun mengaji mengatakan, gurunya yang menang. 

Tetapi yang bukan murid mengatakan Kacak yang berani. Belum 

lagi terbenam matahari, mereka itu sudah datang ke surau. Di 

halaman surau mereka itu duduk berkelompok-kelompok 

mempercakapkan keberanian gurunya. Kadang-kadang kecek-

nya itu disertai pula dengan langkah kaki dan gerak tangan, 

meniru-niru bagaimana perkelahian itu terjadi. 

Tetapi orang yang berdiri sama tengah dan melihat dengan 

matanya sendiri perkelahian itu, memuji kesabaran hati Midun. 

Begitu pula ketangkasannya mengelakkan serangan Kacak, 

sangat mengherankan hati orang. Mereka itu semuanya 

menyangka, tak dapat tiada Midun ahli silat, kalau tidak 

masakan sepandai itu benar ia mengalahkan serangan Kacak. 

Tetapi di antara orang banyak yang melihat perselisihan Kacak 

dengan Midun di pasar itu, ada pula yang amat heran 

memikirkan kejadian itu. Apalagi melihat kemarahan hati 

Kacak dan caranya menyerang Midun, menakjubkan hati orang. 

Pada pikiran mereka itu, masakan sesuatu sebab yang sedikit


saja, menimbulkan amarah Kacak yang hampir tak ada 

hingganya. Tentu saja hal itu ada ekornya, kalau tidak takkan 

mungkin demikian benar kegusaran hati Kacak kepada Midun. 

Memang sebenarnyalah pikiran orang yang demikian itu. 

Sejak waktu masih kanak-kanak, sebelum mamak Kacak men-

jadi Tuanku Laras, Midun dan Kacak sudah bermusuhan. Ketika 

mereka masih kecil-kecil, acap kali terjadi pertengkaran, 

karena berlainan kemauan. Hampir setiap bulan ada-ada saja 

yang menyebabkan hingga mereka itu keduanya terpaksa 

berkelahi, mengadu kekuatan masing-masing. Tetapi setelah 

muda remaja dan telah berpikiran, maka keduanya sama-sama 

menarik diri. Apalagi sejak mamak Kacak sudah menjadi 

Tuanku Laras, Midun telah menjauhkan diri daripada Kacak, 

dan ia sudah segan saja kepada kemenakan raja di kampung 

itu. 

Sekonyong-konyong ketika berdua belas di masjid, Kacak 

sudah mulai benci kepada Midun. Kebencian itu lama-kelamaan 

berangsur-angsur menjadikan dendam. Tidak saja karena waktu 

berdua belas itu Kacak menaruh sakit hati kepada Midun, tetapi 

ada pula beberapa sebab yang lain yang tidak menyenangkan 

hatinya. Pertama, Midun dikasihi orang kampung, dia tidak, 

padahal ia kemenakan kandung Tuanku Laras. Kedua, Kacak 

mendengar kabar angin, bahwa Midun sudah mendapat 

keputusan silat daripada Haji Abbas, tetapi dia sendiri minta 

belajar, tidak diterima oleh Haji Abbas. Ketiga, dalam segala 

hal kalau ada permufakatan pemuda-pemuda, Midun selalu 

dijadikan ketua, tetapi dia disisihkan orang saja. Pendeknya, di 

dalam pergaulan di kampung itu, Kacak terpencil hidupnya, 

seakan-akan sengaja ia disisihkan orang. 

Oleh karena itu pada pikiran Kacak, tak dapat tiada 

sekaliannya itu perbuatan Midun semata-mata. Sesungguhnya, 

jika tidak dipisahkan orang dalam perkelahian di pasar itu, 

memang ia hendak menewaskan Midun benar-benar. Kebencian 

dalam hatinya sudah mulai berkobar. Dan lagi karena 

mendengar kabar Midun pandai bersiIat, dan dia sudah paham 

pula dalam ilmu starlak, menimbulkan keinginan pula 

kepadanya hendak mencobakan ketangkasannya kepada Midun. 

Sebermula akan si Midun itu, ialah anak seorang peladang 

biasa saja. Sungguhpun ayah Midun orang peladang, tetapi 

pemandangannya sudah luas dan pengetahuannya pun dalam. 

Sudah banyak negeri yang ditempuhnya, dan telah jauh rantau


dijalaninya semasa muda. Oleh sebab lama hidup banyak 

dirasai, jauh berjalan banyak dilihat, maka orang tua itu 

dapatlah memperbandingkan mana yang baik dan mana yang 

buruk. Tahu dan mengertilah Pak Midun bagaimana caranya 

yang baik menjalankan hidup dalam pergaulan bersama. 

Dengan pengetahuannya yang demikian itu, dididiknyalah 

anaknya Midun dengan hemat cermat, agar menjadi seorang 

yang berbahagia kelak. 

Setelah Midun akil balig, timbullah dalam pikiran Pak Midun 

hendak menyerahkan anaknya itu belajar silat. Ia amat ingin 

supaya Midun menjadi seorang yang tangkas dan cekatan. Pak 

Midun merasa, bahwa silat itu berguna benar untuk membela 

diri dalam bahaya dan perkelahian. Lain daripada itu, amat 

besar faedah silat itu untuk kesehatan badan. Karena Pak 

Midun sendiri dahulu seorang pandai silat, insaf benarlah ia 

bagaimana kebaikan pergerakan badan itu untuk menjaga 

kesehatan tubuh. 

Ketika Pak Midun dahulu hendak menyerahkan anaknya, 

dicarinyalah seorang guru yang telah termasyhur kepandaian-

nya dalam ilmu silat. Maka demikian, menurut pikiran Pak 

Midun, jika tanggung-tanggung kepandaian guru itu, lebih baik 

tak usah lagi anaknya belajar silat. Seorang pun tak ada yang 

tampak oleh Pak Midun, guru yang bersesuaian dengan 

pikirannya di negeri itu. Lain daripada Haji Abbas, guru Midun 

mengaji dan saudara sebapak dengan dia, tak ada yang ber-

kenan pada pikirannya. Tetapi sayang, sudah dua tiga kali 

maksudnya itu dikatakannya, selalu ditolak saja oleh Haji 

Abbas. Haji Abbas memberi nasihat: supaya Midun diserahkan 

kepada Pendekar Sutan, adik kandungnya sendiri. Dikatakan-

nya, bahwa sudah tua tidak kuat lagi. Dan kepandaiannya 

bersilat pun boleh dikatakan hampir bersamaan dengan 

Pendekar Sutan. 

Maka diserahkanlah Midun belajar silat oleh ayahnya kepada 

Pendekar Sutan. Karena Pak Midun seorang yang tabu dan alif, 

tiadalah ditinggalkannya syarat-syarat aturan berguru, meski-

pun tempat anaknya berguru itu adik sebapak dia. Pendekar 

Sutan dipersinggah (dibawa, dijamu) oleh Pak Midun dengan 

murid-muridnya ke rumahnya. Sesudah makan-minum, maka 

diketengahkannyalah oleh Pak Midun syarat-syarat berguru ilmu 

silat, sebagaimana yang sudah dilazimkan orang di Minang-

kabau. Syarat berguru silat itu ialah: beras sesukat, kain putih


sekabung, besi sekerat (pisau sebuah), uang serupiah, penjahit 

(jarum) tujuh, dan sirih pinang selengkapnya. 

Segala barang-barang itu sebenarnya kiasan saja semuanya. 

Arti dan wujudnya: 

Beras sesukat, gunanya akan dimakan guru, selama meng-

ajari anak muda yang hendak belajar itu; seolah-olah me-

ngatakan: perlukanlah mengajarnya, janganlah dilalaikan sebab 

hendak mencari penghidupan lain. 

Kain putih sekabung, "alas tobat" namanya; maksudnya 

dengan segala putih hati dan tulus anak muda itu menerima 

pengajaran; samalah dengan kain itu putih dan bersih hati anak 

muda itu menerima barang apa yang diajarkan guru. Ia akan 

menurut suruh dan menghentikan tegah. Dan lagi mujur tak 

boleh diraih, malang tak boleh ditolak, kalau sekiranya ia kena 

pisau atau apa saja sedang belajar, kain itulah akan kafannya 

kalau ia mati. 

Besi sekerat (pisau sebuah) itu maksudnya, seperti senjata 

itulah tajamnya pengajaran yang diterimanya dan lagi 

janganlah ia dikenai senjata, apabila telah tamat 

pengajarannya. 

Uang serupiah, ialah untuk pembeli tembakau yang diisap 

guru waktu melepaskan lelah dalam mengajar anak muda itu, 

hampir searti juga dengan beras sesukat tadi. 

Penjahit tujuh, artinya sepekan tujuh hari; hendaklah guru 

itu tcrus mengajarnya, dengan pengajaran yang tajam seperti 

jarum itu. Dan meski tujuh macamnya mara bahaya yang 

tajam-tajam menimpa dia, mudah-mudahan terelakkan oleh-

nya, berkat pengajaran guru itu. Pengajaran guru itu menjadi 

darah daging hendaknya kepadanya, jangan ada yang meng-

halangi, terus saja seperti jarum yang dijahitkan. 

Sirih pinang selengkapnya, artinya ialah akan dikunyah guru, 

waktu ia menghentikan lelah tiap-tiap sesudah mengajar anak 

muda itu, dan lagi sirih pinang itu telah menjadi adat yang 

biasa di tanah Minangkabau. 

Setelah beberapa lamanya Midun belajar silat kepada 

Pendekar Sutan, maka tamatlah. Sungguhpun demikian Pak 

Midun belum lagi bersenang hati. Pada pikirannya kepandaian 

Midun bersilat itu belum lagi mencukupi. Yang dikehendaki Pak 

Midun: belajar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas. 

Artinya silat Midun seboleh-bolehnya haruslah berkesudahan 

atau mendapat keputusan daripada seorang ahli silat yang


sudah termasyhur. Oleh sebab itu, ingin benar ia hendak 

menyuruh menambah pengajaran Midun kepada Haji Abbas. 

Di dalam ilmu silat, memang Haji Abbas sudah termasyhur 

semana-mana di seluruh tanah Minangkabau. Sebelum ia pergi 

ke Mekkah, amat banyak muridnya bersilat. Di antara muridnya 

itu kebanyakan orang datang dari negeri lain. Tidak sedikit 

guru-guru silat yang datang mencoba ketangkasan Haji Abbas 

bersilat, semuanya kalah dan mengaku bahwa silat Haji Abbas 

sukar didapat, mahal dicari di tanah Minangkabau. Karena 

keahliannya di dalam ilmu silat itu, kendatipun ia tidur 

nyenyak, jika dilempar dengan puntung apiapi saja, tak dapat 

tiada barang itu dapat ditangkapnya. 

Tidak hal yang demikian itu saja yang memasyhurkan nama 

Haji Abbas perkara silat, tetapi ada lagi beberapa hal yang lain. 

Semasa muda, ketika Haji Abbas dan Pak Midun berdagang 

menjajah tanah Minangkabau, tidak sedikit cobaan yang telah 

dirasainya. Acap kali ia disamun orang di tengah perjalanan, 

diperkelahikan orang beramai-ramai. Tapi karena ketangkasan-

nya, segala bahaya itu dapat dielakkan Haji Abbas. Lebih-lebih 

lagi yang makin menambah harum nama Haji Abbas, ketika ia 

disamun orang Baduwi antara Jeddah dan Mekkah waktu dalam 

perjalanan ke Tanah Suci. Lebih dari sepuluh orang, orang 

Baduwi yang memakai senjata tajam hendak merampoknya; 

dengan berteman hanya tiga orang saja dapat ditewaskannya. 

Sungguhpun berteman boleh dikatakan Haji Abbas seoranglah 

yang berkelahi dengan Baduwi itu. Tak dibiarkannya sedikit jua 

segala Baduwi itu menyerang kawannya. 

Dalam ilmu akhirat pun Haji Abbas adalah seorang ulama 

besar. Memang sudah menjadi sifat pada Haji Abbas, jika 

menuntut sesuatu ilmu berpantang patah di tengah. Sebelum 

diketahuinya sampai ke urat-uratnya, belumlah ia bersenang 

hati. Muridnya mengaji amat banyak. Baik anak-anak, baik pun 

orang tua, semuanya ke surau Haji Abbas belajar agama. Tidak 

orang kampung itu saja, bahkan banyak orang yang datang dari 

negeri lain belajar mengaji kepada Haji Abbas. Oleh karena 

Haji Abbas adalah seorang tua, yang lubuk akal gudang bicara, 

laut pikiran tambunan budi, maka ia pun dimalui dan ditakuti 

orang di kampung itu. 

Keadaan yang demikian itu diketahui Pak Midun belaka. 

Itulah tali sebabnya maka besar benar keinginannya hendak 

menambah pengajaran Midun bersilat kepada Haji Abbas.


Karena Haji Abbas selalu menolak permintaan Pak Midun, 

dengan tipu muslihat dapat juga diikhtiarkannya Midun belajar 

silat dengan dia. 

Demikianlah ikhtiar Pak Midun: 

Mula-mula Pak Midun bermufakat dengan Pendekar Sutan. 

Dikatakanlah kepada Pendekar Sutan, bahwa ia hendak menipu 

Haji Abbas. Sebabnya ialah karena Midun ingin hendak men-

dapat sesuatu dari Haji Abbas, tetapi selalu ditolaknya saja. 

Maka diceritakannyalah oleh Pak Midun bagaimana tipu yang 

hendak disuruh lakukannya kepada Midun. 

"Biarlah, Pendekar Sutan!" ujar Pak Midun, "bukankah silat 

Midun sekarang sudah boleh dibawa ke tengah. Tidak akan 

gampang lagi orang dapat mengenalnya. Meskipun dua-tiga 

orang mempersama-samakan dia, belum tentu lagi ia akan 

roboh. Oleh sebab itu, ketika Haji Abbas sedang tidur nyenyak 

di surau, kita suruh lempar oleh Midun dengan ranting kayu. 

Manakala Haji Abbas terkejut dan menangkap ranting kayu itu, 

saat itulah Midun harus menyerang Haji Abbas." 

"Saya pun sesuai dengan pikiran Pak Midun itu!" jawab 

Pendekar Sutan. "Tetapi hal ini tidak boleh kita permudah saja. 

Boleh jadi Midun dapat dikenalnya, karena Haji Abbas guru 

besar dan sudah termasyhur silatnya. Sungguh, sebenarnya saya 

agak khawatir memikirkannya." 

"Tak usah dikhawatirkan. Hal itu pun sudah saya pikirkan 

dalam-dalam. Tentu tidak akan kita biarkan Midun seorang diri 

saja. Kita harus serta pula menemaninya, akan mengamat-

amati kalau-kalau ada bahaya. Tetapi hendaklah kita 

bersembunyi melihat kejadian itu." 

"Kalau demikian, baiklah," kata Pendekar Sutan pula sambil 

tersenyum. "Saya pun ingin benar hendak melihat ketangkasan 

Haji Abbas, sebab dari dahulu saya hendak belajar kepadanya, 

selalu ditolaknya pula, hingga terpaksa saya berjalan kian 

kemari mencari guru silat." 

Pada suatu hari, sesudah sembahyang lohor, kelihatanlah 

Pak Midun, Pendekar Sutan dan Midun di surau Haji Abbas. Pak 

Midun dan Pendekar Sutan bersembunyi di surau kecil di 

sebelah. Waktu itu Haji Abbas sedang tidur nyenyak di mihrab, 

karena sudah larut malam pulang dari mendoa semalam. Midun 

pun bersiaplah, lalu melempar Haji Abbas dengan ranting kayu. 

Haji Abbas terkejut dan menangkap ranting kayu itu. Ketika itu 

Midun melompat dan dengan tangkas diserangnya Haji Abbas.


Maka terjadilah pada ketika itu... ya, perkelahian bapak 

dengan anak. Tangkap-menangkap, empas-mengempaskan, tak 

ubahnya sebagai orang yang berkelahi benar-benar. 

Setelah beberapa lamanya dengan hal yang demikian itu, 

sekonyong-konyong Midun terempas agak jauh. Jika orang lain 

yang tak pandai bersilat terempas demikian itu, tak dapat tiada 

pecah kepalanya. Tetapi karena Midun pandai silat pula, tak 

ada ubahnya sebagai kucing diempaskan saja. Ketika Haji Abbas 

bersiap akan menanti serangan, tampak olehnya Midun. Haji 

Abbas menggosok matanya, seolah-olah ia tidak percaya 

kepada matanya. Ia sebagai orang bermimpi, dan amat heran 

karena kejadian itu. Setelah beberapa lamanya, nyatalah 

kepadanya bahwa sebenarnyalah Midun yang menyerang dia. 

"Sudah bertukarkah pikiranmu, Midun?" ujar Haji Abbas tiba-

tiba dengan marah. "Hendak membunuh bapakmukah engkau?" 

"Tidak, Bapak!" jatvab Midun dengan ketakutan. "Pikiran 

saya masih sehat; ayah dan Bapak Pendekar ada di surau kecil 

di sebelah." 

"O, jadi mereka itukah yang menyuruh engkau melakukan 

pekerjaan ini?" kata Haji Abbas pula dengan sangat marah. "Apa 

maksudnya berbuat demikian ini? Bosankah ia kepadamu atau 

bencikah kepadaku, supaya kita salah seorang binasa? Panggil 

dia, suruh datang keduanya kemari! Terlalu, sungguh terlalu!" 

Tidak lama antaranya Pak Midun dan Pendekar Sutan 

naiklah ke surau. Baru saja ia sampai, Haji Abbas berkata 

dengan marahnya, "Perbuatan apa ini yang Pak Midun suruhkan 

kepada anak saya? Apakah dendam kamu kedua yang tidak 

lepas, maka menyuruh lakukan perbuatan ini kepada Midun? 

Sungguh terlalu!" 

"Janganlah terburu nafsu saja Haji marah," ujar Pak Midun 

dengan agak ketakutan. "Kejadian ini ialah karena kesalahan 

Haji sendiri." 

"Kesalahan saya?" jawab Haji Abbas dengan heran. "Apa pula 

sebabnya saya yang Pak Midun salahkan? Bukankah perbuatan 

Pak Midun ini sia-sia benar?" 

Ketika itu tampaklah kepada Pak Midun, marah Haji Abbas 

sudah agak surut. Pak Midun berkata sambil bersenda-gurau, 

"Selalu saya diusik anak Haji, supaya ia dapat menambah 

kepandaiannya dengan Haji. Beberapa kali saya disuruhnya 

mengatakan kepada Haji, karena ia ingin benar hendak men-

dapat sesuatu tentang ilmu silat daripada Haji. Tetapi tiap-tiap


permintaannya itu saya sampaikan, selalu saja Haji tolak. 

Kesudahannya terjadilah yang demikian ini. Sekarang kami yang 

Haji salahkan. Haji katakan, apa dendam kami yang tak lepas. 

Kalau Haji ingin hendak mencoba, berdirilah! Memang saya 

sudah ingin hendak bersilat dengan Haji!" 

Pak Midun berdiri, lalu mengendangkan tangan dan 

melangkahan kaki. Sambil menari ia berkata pula dengan 

tertawa, katanya, "Bangunlah, Haji, mengapa duduk juga? Ah, 

jadi muda lagi perasaan saya…" 

Melihat kelakuan Pak Midun yang jenaka itu, marah Haji 

Abbas pun surutlah. Hatinya tenang bagai semula, dan tertawa 

karena geli hatinya. Pak Midun duduk kembali, lalu 

bermufakatlah ketiga bapak Midun itu. Maka dikabulkanlah oleh 

Haji Abbas permintaan Midun hendak belajar dengan dia. 

Haji Abbas mengajar Midun amat berlainan dengan 

Pendekar Sutan. Midun diajar Haji Abbas tidak pada suatu 

tempat atau sasaran. Melainkan, tiap-tiap pulang dari mendoa 

atau pulang dari berjalan-jaIan, pada tempat yang sunyi, Midun 

sekonyong-konyong diserang oleh Haji Abbas. Maka bersilatlah 

mereka itu di sana beberapa lamanya. Demikianlah diperbuat 

Haji Abbas ada enam bulan, lamanya. Setelah itu barulah Midun 

diberi keputusan silat oleh Haji Abbas. 

Pertama, Midun dibawa Haji Abbas bersilat pada sebidang 

tanah yang jendul dan berbonggol. Di situ sama-sama berikhtiar 

mereka akan mengenai masing-masing. Maksud Haji Abbas 

membawa Midun bersilat pada tanah yang demikian, ialah 

supaya kukuh ia berdiri, jangan tangkas pada tanah yang datar 

saja. 

Kedua, atas papan, misalnya di rumah yang berlantaikan 

papan. Bersilat di tempat itu sekali-kali tidak boleh berbunyi 

langkah kaki. Sekalipun terempas, hendaklah sebagai kucing 

diempaskan saja, tidak keras bunyinya dan tidak boleh 

tertelentang. 

Ketiga, bersilat di dalam bencah atau pada sebidang tanah 

yang sudah dilicinkan. Midun tidak boleh jatuh, tetapi harus 

menangkis serangan guru. 

Keempat, pada sebidang tanah yang diberi bergaris 

bundaran. Midun harus bersilat dengan guru tidak boleh 

melewati garis, tetapi guru berusaha, supaya Midun melewati 

garis itu.


Kelima, bersilat di dalam gelap dan hendaklah dapat 

mengalahkan serangan orang yang memakai senjata tajam. 

Bagian yang kelima inilah yang sukar. Bagi Midun belum 

sempurna benar dapatnya. Sebabnya, karena pada bagian ini, 

haruslah tahu lebih dahulu gerak, angin, dan rasa. Hal itu tidak 

dipelajari, melainkan timbul sendiri, setelah beberapa lamanya 

pandai bersilat. 

Mengingat keadaan yang demikian itulah maka Pak Midun 

amat terkejut dan khawatir mendengar kabar perkelahian 

anaknya dengan Kacak. Dalam hatinya amat marah kepada 

anaknya, karena yang dilawan Midun berkelahi itu kemenakan 

Tuanku Laras. Tetapi setelah mendengar kabar dari Maun, yang 

kebetulan lalu di muka rumahnya hendak ke surau, agak senang 

hatinya. Sungguhpun demikian, sebelum bertemu dengan Midun 

belum senang benar hatinya. Pak Midun ingin hendak men-

dengar kabar itu daripada anaknya sendiri. Rasakan dicabutnya 

hari menanti waktu magrib habis, karena waktu itu anaknya 

pulang makan. Tegak resah, duduk pun gelisah, sebentar-

sebentar ia melihat ke jendela, kalau-kalau Midun datang. 

"Maun, suruh pulang anak-anak itu semua!" kata Haji Abbas. 

"Katakan kepada mereka itu, malam ini tidak mengaji. Malam 

besok saja suruh datang. Saya dengan Midun akan pergi mendoa 

malam ini. Engkau tinggal di surau dan kalau ada orang 

menanyakan kami, katakan kami pergi mendoa ke rumah Pakih 

Sutan." 

Sesudah sembahyang magrib, Haji Abbas dan Midun turunlah 

dari surau. Sebelum pergi mendoa, lebih dahulu mereka itu 

singgah ke rumah Pak Midun. Setelah sudah minum dan 

mengisap rokok sebatang seorang, Haji Abbas pun berkata, 

katanya, "Betulkah tadi engkau berkelahi dengan Kacak? Belum 

cukup sebulan engkau tamat bersifat sudah berkelahi. Itu pun 

yang engkau lawan bukan sembarang orang pula." 

"Tidak, Bapak, tapi sudah umpama berkelahi juga namanya; 

bukan saya yang salah, melainkan dia," jawab Midun dengan 

ragu-ragu, sebab ia sendiri merasa tidak ada berkelahi. Akan 

dikatakannya berkelahi, ia tidak ada meninju Kacak, melainkan 

Kacak yang menyerang dia. 

"Ganjil benar jawabmu! Apa maksudmu mengatakan 

umpama berkelahi itu?" 

Midun melihat kedua bapaknya itu sebagai tidak bersenang 

hati mendengar jawabnya. Tampak dan nyata kepadanya pada


muka mereka itu kekhawatiran atas kejadian hari itu. Maka 

Midun menerangkan dengan panjang lebar asal mula per-

selisihannya dengan Kacak waktu bermain sepak raga. Satu pun 

tak ada yang dilampauinya, diterangkannya sejelas-jelasnya. 

Mendengar perkataan Midun, legalah hati kedua bapaknya itu. 

Apalagi keterangan itu, bersesuaian dengan berita orang 

kepada mereka, yang melihat sendiri kejadian petang itu. 

Tidak lama kemudian Haji Abbas berkata pula, katanya, 

"Meskipun engkau tidak bersalah, tapi percayalah engkau, 

bahwa kejadian petang ini tidak membaikkan kepada namamu. 

Biarpun tidak salahmu, tapi kata orang keduanya salah. Tak 

mau bertepuk sebelah tangan. Yang akan datang saya harap 

jangan hendaknya terjadi pula macam ini sekali lagi. Saya tidak 

sudi melihat orang suka berkelahi. Kebanyakan saya lihat anak-

anak muda sebagai engkau ini, kalau sudah berilmu sedikit 

amat sombong dan congkak. Tidak berpucuk di atas enau lagi. 

Pikirnya, tak ada yang lebih daripada dia. Lebih-lebih kalau ia 

pandai bersilat. Dicari-carinya selisih supaya ia berkelahi, 

hendak memperlihatkan kecekatannya. Salah-salah sedikit 

hendak berkelahi saja. Begitulah yang kebanyakan saya lihat. 

Padamu kami harap jangan ada tabiat yang demikian. Hal 

itu semata-mata mencelakakan diri sendiri. Tidak ada yang 

selamat, binasa juga akhir kelaknya. Daripada sahabat kenalan 

kita pun terjatuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian 

runduk. Begitulah yang kami sukai dalam pergaulan bersama. 

Satu pun tak ada faedahnya memegahkan diri, hendak mem-

perlihatkan pandai begini, tahu begitu. Asal tidak akan 

merusakkan kesopanan diri, dalam percakapan atau tingkah 

laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan 

waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yang mendatangkan 

keselamatan dan keuntungan dirimu. 

Berani karena benar, takut karena salah. Akuilah kesalahan 

itu, jika sebenarnya bersalah. Tetapi perlihatkan keberanian, 

akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasanya lekas naik 

darah. Hal itu seboleh-bolehnya ditahan. Dalam segala hal 

hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, 

haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bilamana perlu 

janganlah undur barang setapak jua pun; itulah tandanya 

bahwa kita seorang laki-laki. Begitu pula halnya dengan hawa 

nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerap kali 

menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak


pandai mengemudikan hawa nafsu, alamat badan akan binasa. 

Jika diturutkan hawa nafsu, mau ia sampai ke langit yang 

kedelapan—jika ada langit yang kedelapan. Oleh karena itu, 

biasakan diri memandang ke bawah, jangan selalu ke atas. 

Hendaklah pandai-pandai me-megang kendali hawa nafsu, 

supaya selamat diri hidup di dunia ini. Pikir itu pelita hati. 

Karena itu pekerjaan yang hendak dilakukan, pikirkan dalam-

dalam, timbang dahulu buruk baiknya. 

Lihat-lihat kawan seiring, kata orang. Dalam pergaulan 

hidup hendaknya ingat-ingat. Jauhi segala percederaan. 

Bercampur dengan orang alim. Tak dapat tiada kita alim pula. 

Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab 

itu pandai-pandai mencari sahabat kenalan. Jangan dengan 

sembarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang 

membinasakan kita. Daripada bersahabat dengan seribu orang 

bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai. 

Nah, saya katakan terus terang kepadamu! Engkau adalah 

seorang anak muda yang cekatan. Budi pekertimu baik. Dalam 

segala hal engkau rajin dan pandai. Selama ini belum pernah 

engkau mengecewakan hati kami. Segala pekerjaanmu boleh 

dikatakan selalu menyenangkan hati kami. Tidak kami saja 

yang memuji engkau, bahkan orang kampung ini pun sangat 

memuji perangaimu. Oleh karena itu, peliharakanlah namamu 

yang baik selama ini. Pengetahuanmu untuk dunia dan akhirat 

sudah memadai. Tentu engkau lolah dapat memahamkan mana 

yang baik dan mana yang buruk wkianlah nasihat saya. 

Midun tepekur mendengar nasihat Haji Abbas itu. Diper-

hatikannya dengan sungguh-sungguh. Satu pun tak ada yang 

dilupakannya. Masuk benar-benar nasihat itu ke dalam hati 

Midun. Kemudian Midun berkata, katanya, "Saya minta terima 

kasih banyak-banyak akan nasihat Bapak itu. Selama hayat 

dikandung badan takkan saya lupa-lupakan. Segala pengajaran 

Bapak, setitik menjadi laut, sekepal menjadi gununglah bagi 

saya hendaknya. Mudah-mudahan segala nasihat Bapak itu men-

jadi darah daging saya." 

"Nasihat bapakmu itu sebenarnya," ujar Pak Midun pula, 

ingatlah dirimu yang akan datang. Siapa tahu karena Kacak tak 

dapat mengenai engkau, perkara itu menimbulkan sakit hati 

kepadanya. Bukankah hal itu boleh mendatangkan yang tidak 

baik. Insaflah engkau, pikirkan siapa kita dan siapa orang itu." 

Setelah itu maka Haji Abbas dan Midun pergilah mendoa.


3. Dimusuhi 

SUDAH umum pada orang kampung itu, manakala ada 

pekerjaan berat, suka bertolong-tolongan. Pekerjaan yang 

dilakukan dengan upah hampir tak ada. Apalagi di dalam 

bahaya, misalnya kebakaran, mereka itu tidak sayang kepada 

dirinya untuk menolong orang sekampung. Tidak di kampung itu 

saja, melainkan di seluruh tanah Minangkabau, boleh 

disebutkan sudah turun-temurun pada anak negeri, suka 

bertolong-tolongan itu. Misalnya di dalam hal ke sawah, 

mendirikan rumah, dan lain-lain pekerjaan yang berat. 

Musim menyabit sudah hampir datang. Ketika itu tidak lama 

lagi hari akan puasa. Setiap hari tidak putus-putusnya bendi 

membawa orang dari Bukittinggi, berhenti di pasar kampung 

itu. Mereka itu baru pulang, karena sudah beberapa tahun 

lamanya berdagang mencari penghidupan di negeri orang. 

Karena itu hampir setiap hari orang ramai di pasar. Banyak 

orang menanti kaum keluarganya yang baru datang. Tiap-tiap 

bendi kelihatan dari jauh, hati mereka itu harap-harap cemas, 

kalau-kalau di atas bendi itu sanak, mamak, adiknya, dan lain-

lain. 

Dalam beberapa hari saja kampung itu sudah ramai, karena 

orang yang pulang merantau itu. Lain tidak yang dipercakapkan 

orang, hal orang yang baru pulang saja. Begitu pula yang 

datang, menceritakan penanggungannya masing-masing, selama 

bercerai dengan kaum keluarganya. Bahkan menceritakan 

keadaan negeri tempatnya berdagang itu, tidak pula dilupakan-

nya. Tidak lama kemudian kedengaranlah si A yang pulang dari 

negeri Anu, sudah membeli sawah untuk adik dan ibunya. Si B 

yang pulang dari negeri Anu pula, sudah membuatkan rumah 

untuk familinya dan lain-lain. Bermacam-macam kedengaran, 

banyak di antara mereka itu yang melekatkan uang pen-

cahariannya kepada barang yang baik bakal hari tuanya kelak. 

Hal itu sangat menarik hati kepada orang yang tinggal di 

kampung, ingin hendak pergi merantau pula. Tetapi ada pula 

yang miskin dan melarat pulang masa itu. Malahan ada yang 

inembawa penyakit dari negeri orang. Mereka yang demikian 

itu, tentu saja karena ceroboh dan boros di negeri orang. Tidak 

hendak memikirkan hari tua, hidup boros dan banyak pelesir


memuaskan hawa nafsunya. 

Pada suatu malam Pak Midun berkata kepada anaknya, 

"Midun! beritahukanlah kepada kawan-kawanmu, bahwa hari 

Ahad yang akan datang ini kita akan mengirik padi di sawah. 

Begitu pula kepada Pendekar Sutan dengan murid-muridnya. 

Orang lain yang engkau rasa patut dipanggil, panggillah! Sekali 

ini biarlah kita memotong kambing untuk penjamu orang yang 

datang mengirik ke sawah kita. Saya rasa takkan berapa 

bedanya menyembelih kambing dengan membeli daging di 

pasar." 

"Engkau pula, Polam," kata Pak Midun sambil berpaling 

kepada istrinya, "katakanlah kepada kaum keluarga, bahwa kita 

akan mengirik padi hari Ahad itu. Ipar besan yang patut diberi 

tahu, orang sekampung yang akan dipanggil untuk mengirai dan 

mengangin padi dan orang-orang yang akan menolong kerja 

dapur. Hal itu semuanya pekerjaanmu." 

Ibu dan anak itu menganggukkan kepala, membenarkan per-

kataan suami dan bapaknya. Kemudian Midun berkata, "Karena 

kita akan memotong kambing, tidak baikkah jika kita ramaikan 

kerja itu dengan puput, salung, dan pencak sekadarnya, Ayah?" 

"Hal itu lebih baik engkau mufakati dengan mamakmu, 

Datuk Paduka Raja. Saya telah memberitahukan kepadanya, 

hanya akan mengirik padi hari Ahad saja. Jika sepakat dengan 

mamakmu, apa salahnya, lebih baik lagi." 

"Baiklah, Ayah! Sekarang juga saya cari beliau. Sudah itu 

saya pergi kepada Bapak Pendekar Sutan." 

Hari Ahad pagi-pagi, Midun sudah memikul tongkat pengirik 

padi ke sawah. Sampai di sawah iapun menebas tunggul batang 

padi untuk orang mengirik. Setelah itu dibuatnya pula sebuah 

dataran untuk orang bermain pencak, berpuput-salung, dan 

sebagainya. Maka dikembangkannyalah tikar tempat orang 

mengirik. Sudah itu diturunkannya seonggok demi seonggok 

padi itu daripada timbunannya. 

Tidak lama antaranya kelihatanlah orang datang ke sawah 

orang tua Midun. Berduyun-duyun, sebondong-sebondong amat 

banyaknya. Segala orang itu dengan tertib sopan diterima oleh 

Midun beserta bapaknya, lalu dipersilakannya duduk dahulu ke 

tikar yang telah disediakan untuk penerima tamu. Dengan 

hormat, Midun meletakkan cerana tempat sirih di muka orang 

banyak. Rokok yang sudah disediakannya untuk itu, tidak pula 

dilupakannya.


Setelah beberapa lama mereka itu bercakap-cakap ini dan 

itu, maka dimulailah mengirik padi. Midun kerjanya hanyalah 

mengambil padi yang sudah diirik orang. Perempuan-

perempuan sibuk mengirai jerami yang sudah diirik. Amat 

ramai orang di sawah Midun. Sorak dan senda gurau orang-

orang muda tidak ketinggalan. Tertawa dan cumbu tidak 

kurang. Suka dan bersenang hati benar rupanya orang mengirik 

padi di sawah Midun yang baik hati itu. Bunyi hentam orang 

mengirik akan menyatakan, bahwa padi yang diiriknya sudah 

habis, sebagai orang menumbuk padi. Belum tinggi matahari 

naik, selesailah diirik padi setimbunan besar itu. 

Sesudah itu maka segala orang itu dipersilakan oleh Midun 

duduk menghentikan lelah ke medan tempat orang memencak. 

Sudah makan minum, lalu dimulai pula membunyikan salung 

dan puput yang disertai dengan nyanyi. Amat merdu bunyinya. 

Kemudian orang berandai, bermencak, menari piring, dan 

sebagainya. Sementara itu, orang-orang perempuan mengangin 

padi jua, sambil menonton. Demikianlah halnya, hingga padi itu 

selesai diirik dan diangin orang. Setelah padi itu dimasukkan ke 

sumpit, permainan berhenti. Peralatan kecil itu pindah ke 

rumah. Waktu mereka itu akan pulang ke rumah Pak Midun, 

pada bahunya masing-masing terletak sesumpit padi yang akan 

dibawa ke lumbung. Sepanjang jalan, mereka itu bersalung dan 

berpuput jua, sambil bersenda gurau dengan riuhnya. 

Tidak jauh dari sawah orang tua Midun, ada pula, sawah 

istri Kacak. Luas kedua sawah itu hampir sama. Kebetulan pada 

sawah istri Kacak, hari itu pula orang mengirik padi. Tetapi ke 

sawah istrinya tidak berapa orang datang. Yang datang itu pun 

kebanyakan masuk bilangan keluarganya juga. Kendatipun ada 

beberapa orang lain, nyata pada muka orang itu, bahwa 

mereka hanya memandang karena sawah istri kemenakan 

Tuanku Laras saja. Mengirik ke sawah istri Kacak itu adalah 

pada pikirnya sebagai menjalankan rodi. Di sawahnya tidak 

kedengaran orang bersorak, apalagi bersuka-sukaan. Mereka itu 

bekerja dengan muka muram saja kelihatannya. Oleh orang 

bekerja kurang bersenang hati dan tidak seberapa pula, tidak 

dapat disudahkan mengirik pada hari itu. Terpaksa harus 

disambung pula pada keesokan harinya. 

Melihat orang ramai di sawah Midun, Kacak sangat iri hati. 

Bencinya kepada Midun semakin berkobar. Apalagi mendengar 

sorak dan senda gurau orang di sawah Midun, amat sakit hati


Kacak. Hatinya sangat panas, hingga menimbulkan maksud 

jahat. Maka Kacak berkata dalam hatinya, "Jika dibiarkan, 

akhirnya Midun mau menjadi raja di kampung ini. Kian sehari 

kian bertambah juga temannya dan orang pun makin banyak 

yang suka kepadanya. Orang kampung tua muda, laki-laki 

perempuan kasih sayang kepadanya. Malahan dia dihormati dan 

dimalui orang pula. Hampir sama hormat orang kepada 

mamakku Tuanku Laras dengan kepada Midun. Padahal ia 

adalah seorang anak peladang biasa saja. 

Saya seorang kemenakan Tuanku Laras lagi bangsawan di 

kampung ini, tidak demikian dihormati orang. Kenalan saya 

tidak seberapa. Orang kampung hampir tak ada yang suka 

kepada saya. Hal itu nyata, kalau orang bertemu di jalan 

dengan saya. Seakan-akan dicarinya akal supaya ia dapat meng-

hindarkan diri. Sekarang nyatalah kepadaku bahwa Midunlah 

rupanya yang menyebabkan hal itu. Karena dialah maka orang 

kampung benci kepadaku. Lihatlah buktinya, ke sawahnya amat 

banyak orang datang, tetapi ke sawah istriku tidak seberapa. 

Mulai dari sekarang ia kupandang musuhku. 

Sayang saya tidak dapat mengenainya dalam perkelahian 

tempo hari, karena orang banyak. Jika dapat, sebelum muntah 

darah, tidaklah saya hentikan. Saya tanggung, kalau hanya 

macam si Midun itu, sekali saja saya masuki dengan starlakku, 

membuih air liurnya ke luar. Pedih hatiku tidak dapat saya 

mengenainya jika tidak tewas ia olehku, saya berguru starlak 

sekali lagi. 

Biarlah! Tidak akan terlampau waktunya. Pada suatu masa, 

tentu akan dapat juga saya membalasnya sakit hati saya 

kepadanya. Ingatingat engkau, MidunP Tak dapat tiada engkau 

rasai juga bekas tanganku ini, biarpun engkau sudah mendapat 

pelajaran dari Haji Abbas. Kita adu nanti silatmu itu dengan 

starlakku. Lagi pula tidakkah engkau ketahui bahwa di sini 

kemenakan Tuanku Laras, boleh bersutan di mata, berada di 

hati? Tidakkah engkau insaf, bahwa di sini kemenakan raja di 

kampung ini, boleh merajalela berbuat sekehendak hati? Aha, 

rupanya dia mau tahu siapa saya." 

Sejak hari itu Kacak sangat benci kepada Midun. la sudah 

berjanji dengan dirinya, akan mengajar Midun pada suatu 

waktu. Makin sehari makin bertambah bencinya. Bila bertemu 

dengan Midun di jalan, meskipun ditegurnya tidak disahuti 

Kacak. Adakalanya ia meludah-ludah, akan menunjukkan benci


dan jijiknya kepada Midun. Kacak selalu mencari-cari jalan, 

supaya ia dapat berkelahi dengan Midun. Dengan kiasan itu 

Midun maklum atas kebencian Kacak kepadanya. Tetapi ia amat 

heran, apa sebabnya Kacak jadi begitu kepadanya. Padahal ia 

merasa belum bersalah kepada kemenakan Tuanku Laras itu. 

Dalam perkelahian waktu bermain sepak raga pun, ia tidak ada 

mengenai Kacak. Dan lagi hal itu bukan karenanya, melainkan 

tersebab oleh Kadirun. Kemudian timbul pula pikiran Midun, 

boleh jadi Kacak meludah-ludah itu tidak disengajanya. Oleh 

sebab itu tidak dihiraukan amat oleh Midun. Tidak sedikit jua 

masuk pada pikirannya, bahwa Kacak akan memusuhinya.


4. Membalas Dendam 

PADA suatu hari, pasar di kampung itu sangat ramai. Dari 

segala tempat banyak orang datang. Ada yang berbelanja, ada 

pula yang menjual hasil tanamannya. Saudagar-saudagar kecil 

banyak pula datang dari Bukittinggi ke pasar itu. Mereka pergi 

menjual kain-kain dan ada pula yang membeli hasil tanah. 

Tidak heran pekan seramai itu, karena tak lama lagi hari akan 

puasa. Pekan sedang ramai, orang wdang sibuk berjual-beli, 

sekonyong-konyong kedengaran teriak orang mengatakan, 

"Awas, Pak Inuh lepas! Pak Inuh lepas! Dia membawa pisau!" 

Orang di pasar berlarian ke sana kemari. Mereka lari me-

nyembunyikan diri, karena takut kepada Pak Inuh. Yang 

berkedai meninggalkan kedainya, yang berbelanja meninggal-

kan barang yang telah dibelinya. Sangat sibuk di pasar ketika 

itu. Berkacau-balau tidak berketentuan lagi. 

Adapun Pak Inuh itu, ialah seorang kampung di sana, 

keluarga Tuanku Laras. Ia sudah berumur lebih dari 45 tahun. 

Semasa muda, Pak Inuh seorang yang gagah berani. Lain 

daripada Haji Abbas, seorang pun tak ada yang diseganinya 

masa itu. Orang kampung segan dan takut kepadanya. Ketika 

Tuanku Laras menjadi Penghulu Kepala di kampung itu, timbul 

perusuhan. Waktu itu boleh dikatakan Pak Inuhlah yang 

mengamankan negeri. Dengan tidak meminta bantuan kepada 

pemerintah, diamankan Pak Inuh kampung itu kembali. 

Apakah sebabnya orang takut Pak Inuh datang ke pasar itu? 

Pak Inuh sekarang sudah bertukar pikiran. Ia sudah menjadi 

gila. Sudah empat tahun sampai kepada masa itu pikirannya tak 

sempurna lagi. Dalam empat tahun itu Pak Inuh tidak dibiarkan 

keluar lagi oleh Tuanku Laras. Jika dilepaskan selalu meng-

ganggu orang. Maka oleh Tuanku Laras dibuatkan sebuah rumah 

untuk tempat Pak Inuh tinggal. Entah apa sebabnya hari itu ia 

dapat melepaskan diri. Hal itu terjadi sudah yang kedua 

kalinya. jika datang ke pasar ia merajalela saja. Barang-barang 

orang diperserak-serakkannya. Disepakkannya ke sana kemari, 

orang di pasar diburunya sambil berteriak-teriak. Jika dapat 

orang olehnya, dipukul dan diterjangkannya. 

Sekarang Pak Inuh datang ke pasar membawa pisau. Hal itu


lebih menakutkan lagi. Seorang pun tak ada yang berani 

mendekati, apalagi akan menangkap, karena Pak Inuh berpisau, 

lagi seorang yang berani. Meskipun ada yang akan menangkap, 

takut kepada Tuanku Laras. Maka dibiarkan orang saja ia 

mengacau di tengah pasar itu. Jika tidak Tuanku Laras sendiri, 

sukarlah akan menangkapnya. Tetapi Tuanku Laras tak ada 

beliau pergi ke Bukittinggi. Pak Inuh makin ganas lakunya di 

tengah pasar. Sungguh amat sedih hati melihat kejadian itu. 

Laki-laki perempuan tunggang-langgang melarikan diri. Anak-

anak banyak yang terinjak, karena terjatuh. Di sana sini 

kedengaran jerit orang, mengaduh karena sakit sebab terantuk 

atau jatuh. Lebih-lebih lagi melihat perempuan-perempuan 

yang sedang mendukung anak. Anak dipangku, beban dijunjung 

sambil melarikan diri jua. 

Midun ketika itu ada pula di pasar. Dia sedang duduk di 

dalam sebuah lepau nasi. Kejadian itu nyata kelihatan olehnya. 

Midun hampir-hampir tak dapat menahan hatinya. Amat sedih 

hatinya melihat perempuan-perempuan berlarian ke sana-

kemari. Pikirnya, "Akan diberitahukan kepada Tuanku Laras, 

beliau pergi ke Bukittinggi. Tentu saja Pak Inuh merusakkan 

orang di pasar ini. Pada tangannya ada sebuah pisau. Takkan 

satu bangkai terhantar karena dia. Hal ini tidak boleh dibiarkan 

saja." 

Ketika Midun melihat seorang perempuan diinjak-injak oleh 

Pak Inuh, ia pun melompat ke tengah pasar mengejar Pak Inuh. 

Baru saja Pak Inuh melihat Midun, ia berkata, "Heh, anak kecil, 

ini dia makanan pisauku!" 

Sambil melompat lalu diamuknya Midun. Midun sedikit pun 

tidak berubah warna mukanya. Kedatangan Pak Inuh dinantinya 

dengan sabar. Segala orang yang melihat keadaan itu sangat 

ngeri. Lebih-lebih perempuan-perempuan, berteriak menyuruh 

Midun lari, karena cemas dan takut. Dengan tangkas Midun 

menyambut pisau itu. Dalam sesaat saja pisau Pak Inuh dapat 

diambilnya. Pisau itu segera dilemparkan Midun jauh-jauh, dan 

disuruhnya pungut kepada orang. Pak Inuh sangat marah, lalu 

menyerang Midun sekuat-kuatnya. Dengan mudah dapat ia 

menjatuhkan Pak Inuh, lalu ditangkapnya. Bagaimana pun Pak 

Inuh hendak melepaskan diri, tidak dapat. Midun berkata, 

"Sabarlah, Mamak, takkan terlepaskan tangkapanku ini oleh 

Mamak." 

Maka Midun menyuruh mengambil tali untuk pengikat Pak


Inuh. Setelah sudah diikat, lalu ditipunya. Dibawanya ke lepau 

nasi, diberikannya makan. Luka pada kening Pak Inuh karena 

terjerumus, dibebat Midun. Kemudian diantarkannya pulang ke 

rumah famili Pak Inuh. 

Sehari-hari dan itu Midun saja yang dipercakapkan orang. 

Tua muda, kecil besar, laki-laki perempuan di pasar memuji 

keberanian dan ketangkasan Midun menangkap Pak Inuh. Ketiga 

bapak Midun amat heran mendengar kabar itu. Mereka ketiga 

maklum bagaimana keberanian dan pendekar Pak Inuh. 

Perbuatan Midun itu dipuji oleh mereka ketiga. Hanya mereka 

itu khawatir, kalau-kalau famili Tuanku Laras tak bersenang 

hati, karena Pak Inuh luka. Tetapi ketiganya percaya pula, 

kalau Tuanku Laras berpikir panjang, hal itu tidak akan 

menimbulkan amarah, melainkan menyenangkan hati beliau. 

Bukankah perbuatan Midun menjaga keamanan dan keselamat-

an negeri. 

Kacak ada pula mendengar kabar itu. Waktu hal itu terjadi, 

ia ada di kantor Tuanku Laras. Dengan segera ia berlari akan 

melihat Pak Inuh. Didapatinya Midun tak ada lagi. Pak Inuh, 

yakni jalan mamak kepada Kacak, telah ada di rumah. Tatkala 

Kacak melihat Pak Inuh luka pada keningnya, lalu ia bertanya 

kepada seseorang, bagaimana Midun menangkap mamaknya. 

Orang itu menceritakan bagaimana penglihatannya ketika 

Midun menangkap Pak Inuh. 

"Jika tak ada Midun," ujar orang itu, "barangkali banyak 

bangkai terhantar di tengah pasar. Untung, pisau yang di 

tangan Pak Inuh lekas dapat diambil Midun." 

"Apakah sebabnya, maka Pak Inuh sampai luka ini?" ujar 

Kacak dengan marah. 

Jawab orang itu, "Karena tersungkur waktu Midun me-

nyalahkan tikaman Pak Inuh." 

Kacak jangankan memuji Midun mendengar perkataan itu, 

makin sakit hatinya. Ia sangat marah karena Midun berani 

melukai famili Tuanku Laras. 

"Sekarang nyata, bahwa Midun musuhku," kata Kacak dalam 

hatinya. "Sudah engkau lukai mamakku, engkau bebat. Maksud-

mu tentu supaya kami jangan marah. Kurang ajar sungguh! 

Hati-hati engkau, besok dapat bagian daripadaku. Bila Tuanku 

Laras pulang dari Bukittinggi, kuceritakan hal itu kepadanya. 

Anak si peladang jahanam, berani melukai famili raja di 

kampung ini?!"


Pada keesokan harinya pagi-pagi datanglah dubalang Tuanku 

Laras, memanggil Midun ke rumah orang tuanya. Midun 

didapatinya sedang makan. Dubalang berkata, "Midun, Tuanku 

Laras memanggil engkau sekarang juga!" 

"Baiklah, Mamak, saya sudah dulu makan," jawab Midun. 

"Berhenti makan! Beliau menyuruh lekas datang!" ujar dubalang 

dengan hardiknya. , 

Dengan tergopoh-gopoh Midun mencuci tangan, lalu 

berangkat ke kantor Tuanku Laras. 

"Tunggu," kata dubalang pula, "engkau mesti dibelenggu, 

karena begitu perintah saya terima." 

"Apakah kesalahan saya, maka dibelenggu macam seorang 

perampok, Mamak!" kata Midun. 

"Saya tidak tahu, di sana nanti jawab," ujar dubalang. 

Midun amat heran, apa sebabnya ia dibelenggu itu. Pikiran-

nya berkacau, karena ia tidak tahu akan kesalahannya. Dengan 

tangan dibelenggu, ia diiringkan dubalang melalui pasar. Sangat 

malu Midun, tak ada ubahnya sebagai seorang yang bersalah 

besar. Tetapi apa hendak dibuat, terpaksa mesti menurut. Ber-

macam-macam timbul pikirannya sepanjang jalan ke kantor 

Tuanku Laras. Kemudian maklum juga ia, bahwa yang 

menyebabkan ia dipanggil itu, tak dapat tiada perkara Pak Inuh 

kemarin. Karena lain daripada itu Midun merasa dirinya tidak 

bersalah. Maka tetaplah pikirannya, bahwa ia difitnahkan 

orang. Mengerti pula ia masa itu, apa sebabnya ia dibelenggu 

dan dikerasi. Tentu Pak Inuh luka itu diambilnya jadi senjata 

untuk memfitnahkan. Ketika itu terbayang kepada Midun orang 

yang empunya perbuatan itu. Maka terkenanglah ia akan 

pemandangan Kacak yang berarti dahulu. 

"Tidak mengapa," kata Midun dalam hatinya. "Asal Tuanku 

Laras sudi mendengar keterangan saya, tentu beliau insaf, 

bahwa saya berbuat baik. Dan pasti beliau akan memuji saya, 

karena pekerjaan saya itu menjaga keamanan negeri." 

Midun berbesar hati, lalu berjalan dengan senangnya. Tidak 

terasa Iagi oleh Midun tangannya dibelenggu, sebab 

pekerjaannya kemarin itu baik semata-mata. Orang di pasar 

heran melihat Midun dibelenggu. Mereka takjub melihat Midun 

sebagai pencuri tertangkap, padahal ia seorang alim dan ber-

budi. Seorang bertanya kepada seorang, akan hal Midun dibawa 

dubalang itu. Ada satu-dua orang berkata bahwa Midun di-

panggil, berhubung dengan penangkapan Pak Inuh kemarin.


tetapi perkataan itu disangkal orang pula mengatakan, bahasa 

hal itu tidak boleh jadi, karena perbuatan Midun kemarin 

mendatangkan kebaikan. Kalau karena perkara Pak Inuh tentu 

ia tidak dibelenggu. Bermacam-macam persangkaan orang 

tentang Midun dibelenggu itu. Karena itu banyak orang yang 

mengiringkannya ke kantor Tuanku Laras, ingin tahu apa 

sebabnya Midun dipanggil itu. 

Ayah bunda Midun amat gusar melihat kedatangan dubalang 

dan anaknya dibelenggu itu. Lebih-lebih ibu Midun, hampir ia 

berteriak menangis, karena amat sedih hatinya melihat anak 

kesayangannya itu dibelenggu sebagai seorang perampok baru 

tertangkap. Untunglah Pak Midun lekas menyabarkannya, dan 

menerangkan apa sebabnya Midun dipanggil itu. Pak Midun 

mengerti apa yang dipanggilkan Tuanku Laras kepada anaknya. 

Lain tidak tentang perkara Pak Inuh ditangkap Midun kemarin 

itu. Tetapi ia amat heran, karena anaknya dibelenggu dengan 

kekerasan. Dengan tergesa-gesa Pak Midun makan. Setelah itu 

ia pun pergi ke kantor Tuanku Laras mendengarkan perkara 

anaknya. Di jalan Pak Midun sebagai orang bingung saja, 

pikirannya melayang entah ke mana. Jika ia ditegur orang 

hendak bertanyakan hal anaknya, seolah-olah tidak terdengar 

olehnya, karena kepalanya penuh dengan pikiran. 

Waktu Midun hampir sampai di kantor, dari jauh sudah ke-

lihatan olehnya Tuanku Laras berdiri di beranda kantor. Setelah 

dekat Midun tidak berani melihat muka Tuanku Laras, karena 

dilihatnya Tuanku Laras sebagai orang hendak marah. Dengan 

suara menggelegar sebab menahan marah, Tuanku Laras ber-

kata, "Awak yang bernama Midun?" 

"Hamba, Tuanku," jawab Midun. 

"Masuk ke dalam," kata Tuanku Laras dengan hardiknya. 

Setelah Midun masuk ke dalam, orang lain disuruh pergi. 

Maka Tuanku Laras bertanya pula dengan marahnya, "Berani 

benar rupanya awak memukul orang gila, sampai luka-luka. Apa 

yang awak sakitkan hati kepada Pak Inuh yang tak sempurna 

akal itu? Kurang ajar betul awak, ya kerbau!" 

"Bukannya demikian, Tuanku!" jawab Midun. Lalu dicerita-

kanlah oleh Midun dari bermula sampai penghabisan kejadian 

kemarin itu. Tetapi Tuanku Laras sedikit pun tidak meng-

indahkan perkataan Midun. Jangankan Tuanku Laras reda 

marahnya, melainkan bertambah-tambah. Midun menundukkan 

kepala saja, karena Tuanku Laras memaki dia dengan tidak


berhenti-henti. 

Setelah puas Tuanku Laras berkata, maka Midun menjawab 

pula dengan sabar, katanya, "Luka Pak Inuh itu karena beliau 

jatuh sendiri. Sekali-kali tidak hamba yang melukai beliau, 

Tuanku. Jika tidak ada hamba kemarin, entah berapa bangkai 

bergulingan, karena beliau memegang senjata. Jika Tuanku 

kurang percaya atas keterangan hamba itu, cobalah Tuanku 

tanyakan kepada orang lain. Tetapi jika hamba bersalah ber-

buat demikian, ampunilah kiranya hamba, Tuanku." 

Mendengar perkataan itu, adalah agak kurang marah Tuanku 

Laras sedikit. Tetapi karena pengaduan Kacak termasuk benar 

ke dalam hatinya, lalu ia berkata, "Sebetulnya awak mesti 

diproses perbal dan dibawa ke Bukittinggi* (ke kantor Tuan Assistent 

Resident Fort de Kock). Tetapi sekali ini saya maafkan. Sebagai 

ajaran supaya jangan terbiasa, awak dapat hukuman enam 

hari. Awak mesti mengadakan rumput kuda empat rajut sehari. 

Sudah menyabit rumput, awak bekerja di kantor ini dan jaga 

malam." 

Midun berdiam diri saja mendengar putusan itu. Ia tak 

berani menjawab lagi, sebab dilihatnya Tuanku Laras marah. 

Waktu ia akan ke luar kantor, lalu ia berkata, "Bolehkah hari ini 

hamba jalani hukuman itu, Tuanku?" 

"Ya, boleh, hari ini mulai, " ujar Tuanku Laras dengan 

sungutnya. 

Midun segera ke luar, lalu diceritakannya kepada ayahnya, 

apa sebab ia dipanggil, dan hukuman yang diterimanya. 

Mendengar putusan itu, lapang juga dada Pak Midun, karena 

anaknya tidak masuk proses perbal dan tidak dibawa ke 

Bukittinggi. Maka Pak Midun herkata, "Terimalah dengan sabar, 

Midun! Asal di kampung ini, apa pun juga macam hukuman 

tidak mengapa. Besar hati saya engkau tidak dibawa ke 

Bukittinggi. Tetapi tidak patut engkau menerima hukuman, 

karena engkau tidak bersalah. Engkau berbuat pekerjaan baik, 

tetapi hukuman yang diterima; apa boleh buat. Bukankah 

Tuanku Laras raja kita dapat menghitamputihkan negeri ini." 

Midun berdiam diri saja mendengar kata ayahnya. Tetapi 

orang yang mengiringkannya bersungut-sungut semuanya men-

dengar putusan itu. Midun terus pulang mengambil sabit dan 

rajut rumput. Sampai di pasar, banyak orang mengerumuninya, 

akan bertanyakan perkaranya dipanggil itu. Midun menerang-

kan, bahwa ia dihukum enam hari karena menangkap dan


melukai Pak Inuh. Dan hal itu menurut pikiran Midun sudah 

patut, sebab ia melukai orang. Tetapi segala orang yang 

mendengar menggigit bibir, karena pada pikiran mereka itu, 

tak patut Midun dihukum. Mereka itu berkata dalam hati, 

"Tidak adil! Untung luka sedikit, sebetulnya harus dibunuh 

serigala itu. Kalau tak ada Midun, barangkali banjir darah di 

pasar kemarin. Kurang timbangan, tentu beliau mendengar 

asutan orang." 

Banyak orang kampung itu yang suka menggantikan 

hukuman Midun. Ada pula yang mau menyabit rumput sepuluh 

rajut sehari dan menjaga kantor siang-malam, asal Midun 

dilepaskan. Tetapi permintaan mereka itu sama sekali ditolak 

oleh Midun. Katanya, "Siapa yang berutang dialah yang mem-

bayar, dan siapa yang bersalah dia menerima hukuman. Saya 

yang bersalah, saudara-saudara yang akan dihukum, itu 

mustahil. Biarlah saya dihukum, tak usah ditolong. Atas 

keikhlasan hati sanak-saudara itu, saya ucapkan terima kasih 

banyak-banyak." 

Sesudah Midun menyabit rumput, lalu bekerja lain pula. 

Membersihkan kandang kuda, mencabut rumput di halaman 

kantor. Habis sebuah, sebuah lagi dengan tidak berhenti-

hentinya. Segala pekerjaan itu dimandori oleh Kacak. Ada-ada 

saja yang disuruhkan Kacak. Sehari-harian itu Midun tak meng-

hentikan tangan. Untuk membuat rokok saja, hampir tak 

sempat. Jika Midun berhenti sebentar karena lelah, Kacak 

sudah menghardik, ditambah pula dengan perkataan yang 

sangat kasar. Mengambil air mandi dan mencuci kakus, Midun 

juga disuruhnya. Pada malam hari Midun tak dapat sedikit juga 

menutup mata sampai-sampai pagi. Tiap-tiap jam Kacak datang 

memeriksa Midun berjaga atau tidaknya. 

Demikianlah penanggungan Midun dari sehari ke sehari. 

Dengan sabar dan tulus, hal itu dideritanya. Apa saja yang 

disuruhkan Kacak, diturut Midun dengan ikhlas. Berbagai-bagai 

siksaan Kacak kepada Midun, hingga pekerjaan yang berat, yang 

tak patut dikerjakan Midun disuruhnya kerjakan. Siang bekerja 

keras, malam tak dapat tidur. Hampir Midun tidak kuat lagi 

bekerja. Dalam tiga hari saja, Midun tak tegap dan subur itu 

sudah agak kurus dan pucat. 

Orang di kampung itu sangat kasihan melihat Midun telah 

jauh kurusnya. Apalagi ibu Midun, selalu menangis bila melihat 

rupa Midun yang sudah berubah itu. Tetapi pada Midun hal itu


tidak menjadi apa-apa. Ia, selalu memohonkan rahmat Tuhan, 

agar kekuatannya bertambah, sampai kepada hukumannya 

habis dijalaninya. Dipohonkannya pula, moga-moga hati Kacak 

disabarkan Allah daripada menganiaya sesama makhluk. Bila 

ibunya menangis melihat dia, Midun berkata, "Sabarlah, Ibu, 

jangan menangis juga. Ini baru siksaan dunia yang hamba rasai, 

di akhirat nanti entah lebih daripada ini penanggungan kita. 

Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Jadi apa 

yang terjadi atas diri kita tak boleh disesali, karena perbuatan 

itu sama halnya dengan mengumpat Tuhan jua. Oleh karena 

itu, senangkanlah hati Ibu, takkan apa-apa. Tuhan ada beserta 

hamba. Hamba pucat dan kurus ini, karena baru bekerja berat. 

Hal ini bukankah baik untuk pelajaran hidup, Ibu!" 

Pada hari yang kelima Midun hampir-hampir tak berdaya 

lagi. Ketika ia membawa rumput ke kandang kuda, lalu jatuh 

tersungkur. Kacak melompat, lalu berkata sambil memukul, 

"Inilah balasan engkau melukai mamakku. Rasai olehmu 

sekarang! Jangan pura-pura jatuh, bangun apa tidak!?" 

Par! Pukulan Kacak tiba di.punggung Midun. Midun hampir 

gelap pemandangannya. Kalau tidak lekas ia menyabarkan 

hatinya, tak dapat tiada sabitnya masuk perut Kacak. Dengan 

perlahan-lahan ia bangun, lalu berkata, "Janganlah terlalu 

amat menyiksa saya, Engku Muda! Kesalahan saya tidak 

seberapa, tidak berpadanan dengan siksaan yang saya 

tanggung. Saya lihat Engku Muda seperti membalaskan dendam. 

Apakah dosa saya kepada Engku Muda? Terangkanlah, kalau 

nyata saya bersalah, apa pun juga hukuman yang Engku 

jatuhkan, saya terima." 

"Memang engkau musuhku, jahanam!" ujar Kacak dengan 

bengis. "Engkaulah yang mengasut orang benci kepadaku. 

Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!" 

Dengan marah amat sangat Midun dipukul, ditinju dan di-

terajangkan oleh Kacak. Dibalaskannya sakit hatinya yang 

selama ini. Untunglah hal itu lekas dilihat Tuanku Laras dari 

beranda kantor. Tuanku Laras segera memisahkan, dan 

berkata, "Hendak membunuh orang engkau, Kacak?" 

Mendengar suara itu, baru Kacak berhenti daripada 

memukul Midun. Jika tak ada Tuanku Laras, entah apa jadinya. 

Boleh jadi Midun membalas, boleh jadi pula Midun binasa, 

sebab sudah tidak berdaya lagi. 

Pada keesokan harinya, Midun jatuh sakit. Hari itu ia tidak


kuat lagi menyabit rumput. Pagi-pagi benar Pak Midun telah 

pergi menggantikan anaknya menyabit rumput. Belum lagi 

matahari terbit, rumput empat rajut itu telah diantarkannya ke 

kandang kuda. Kemudian ia pergi kepada Tuanku Laras 

menerangkan, bahwa anaknya sakit keras. Ia memohonkan 

hukuman yang tinggal sehari itu, dia saja menjalankannya. Baru 

saja Tuanku Laras akan menjawab, Haji Abbas datang pula ke 

kantor itu. Atas nama guru dan bapak Midun, ia memintakan 

ampun muridnya. Apalagi Midun ketika itu di dalam sakit. 

Maka Tuanku Laras berkata, katanya, "Karena permintaan 

Haji, saya ampuni Midun. Tetapi saya harap anak itu diajar 

sedikit, jangan sampai begitu kurang ajar. Terlalu, ya, sungguh 

terlalu, melukai orang gila. Orang yang tak sempurna akal, 

tentu tidak mengerti apa-apa. Kalau dilawan, tentu kita jadi 

gila juga." 

Haji Abbas dan Pak Midun diam saja mendengar perkataan 

itu. Kemudian mereka bermohon diri dan meminta terima kasih 

atas ampunan yang dilimpahkan kepada Midun itu. Di jalan 

sampai pulang, keduanya tidak bercakap-cakap sepatah jua 

pun. Mereka tahu bahwa perkataan Tuanku Laras itu 

kepadanyalah tujuannya. Karena itu amat pedih hati mereka, 

padahal anaknya tidak bersalah. Tetapi apa hendak dikatakan, 

mereka bertentangan dengan raja di kampung itu. Setelah 

sampai di rumah, lama mereka itu duduk berpandang-

pandangan. Haji Abbas amat sedih hatinya melihat Midun yang 

telah kurus dan pucat itu. Dengan tak diketahui, air mata Haji 

Abbas telah berleleran di pipinya. Tidak lama antaranya, Haji 

Abbas berkata, "Apamukah yang sakit, Nak? Apakah sebabnya 

maka engkau sakit ini?" 

Dengan perlahan-lahan Midun menjawab,"... Bapak...! 

Karena bekerja terlalu berat. Kalau saya tahu akan begini, mau 

saya dibawa ke Bukittinggi daripada dihukum di sini. Kacak 

rupanya musuh dalam selimut bagiku. Entah apa dibencikan-

nya, tiadalah saya tahu. Malah seperti orang melepaskan sakit 

hati ia rupanya. Tetapi saya belum merasa bersalah kepada 

Kacak. Tak boleh jadi karena saya melukai Pak Inuh, Kacak 

menyiksa saya. Seakan-akan sudah lama ia menaruh dendam 

kepada saya. Biarlah, Bapak, karena tiap-tiap sesuatu itu 

dengan kehendak Tuhan. Siksaan kepada saya itu saya serahkan 

kepada Yang Mahakuasa. Penyakit saya ini tidaklah 

membahayakan. Selama sakit akan sembuh, selama susah akan


senang." 

Lama Haji Abbas termenung memikirkan perkataan Midun 

itu. Kemudian ia berkata kepada Pak Midun, katanya, "Anak 

kita dikasihi orang di kampung ini; tetapi Kacak dibenci orang, 

karena tingkah lakunya tidak senonoh. Tidak ada ubahnya 

sebagai anak yang tidak bertunjuk berajari. Karena angkaranya, 

orang lain ini binatang saja pada pemandangannya. Boleh jadi 

ia sakit hati, karena Midun banyak sahabat kenalannya. Siapa 

tahu Midun dihukum ini, barangkali karena perbuatan Kacak. 

Tetapi itu menurut persangkaan saya saja. Tentu dengan 

gampang saja ia melepaskan dendam, sebab ada Tuanku Laras 

yang akan dipanggakkannya* (Dimegahkannya)." 

"Benar perkataan Bapak itu," ujar Midun pula. "Saya rasa 

begitulah. Waktu berdua belas di masjid dahulu, sudah salah 

juga penglihatannya kepada saya. Ketika ia melihat hidangan 

bertimbun-timbun di hadapan saya, tampak kebenciannya 

kepada saya. Begitu pula ketika ia salah menyabut raga yang 

saya berikan kepadanya, saya hendak ditinjunya. Dan dalam 

mengirik baru-baru ini, makin nyata juga iri hatinya itu. Sejak 

itu saya tegur dia tidak menyahut lagi. Bila melihat saya ia 

meludah-ludah dan muram saja mukanya." 

"Boleh jadi," kata Pak Midun, "dubalang Lingkik ada 

mengatakan, bahwa Kacak benci benar melihat orang banyak di 

sawah Midun. Lebih-lebih melihat orang di sawah itu bergurau 

senda, marah ia rupanya." 

"Nah, sebab itu ingatlah engkau yang akan datang, Midun!" 

ujar Haji Abbas. "Dia itu kemenakan raja kita. Tiba di perut 

dikempiskannya, tiba di mata dipejamkannya. Insaflah engkau 

akan perbuatanmu yang sudah itu. Sama sekali orang memuji 

perbuatanmu, tetapi hasilnya engkau dapat hukuman." 

Ada kira-kira sebulan, baru Midun sembuh daripada sakit. 

Badannya segar, kembali bagai semula. Sejak itu Midun tidak 

kerap kali lagi ke pasar. Jika tidak perlu benar, tidaklah ia 

pergi. Sedangkan rokok, ibunya saja yang membelikan dia di 

pasar. Malam mengaji, siang ke huma, demikianlah kerja Midun 

setiap hari. Pulang dari huma, ia mengerjakan pekerjaan 

tangan. Sekali-sekali ia menolong adiknya menggembalakan 

ternak.


5. Berkelahi 

SEKALI peristiwa pada suatu petang Midun pergi ke sungai 

hendak mandi. Tidak jauh ke sebelah hulu, tepian mandi 

perempuan. Pada masa itu amat banyak orang mandi, baik di 

tepian perempuan, baik pun di tepian laki-laki. Mereka mandi 

sambil bersenda gurau. Ada yang berketimbung sambil tertawa 

gelak-gelak. Bermacam-macam tingkahnya, menurut kesukaan 

masing-masing. Sekonyong-konyong datanglah air besar dari 

hulu. Sangat deras air mengalir, karena hujan lebar di mudik. 

Batu yang besar-besar, pohon-pohon kayu dan lain-lain banyak 

dihanyutkan air. Mereka yang mandi pada kedua tepian itu 

berlompatan ke darat. Sangat ketakutan mereka itu rupanya. 

Masing-masing menolong diri sendiri-sendiri. Ada yang jauh 

juga dibawa air, tetapi dapat melepaskan diri. Tetapi yang 

mandi jauh ke tengah, apalagi tak pandai berenang, tak dapat 

tiada binasalah. Sibuk orang di tepian, ada yang memekik 

sebab ngeri, ada pula yang berteriak menyuruh kawan segera 

ke darat. Bunyi air yang deras itu sangat menakutkan. Tiba-tiba 

kedengaran teriak orang mengatakan, "Tolong, tolong! Katijah 

hanyut! Katijah hanyut!" 

Tidak lama kelihatan rambut seorang perempuan di dalam 

air. Timbul-tenggelam dibawa air. Midun ketika itu ada pula di 

sana, tetapi ia sudah mandi dan hendak berangkat pulang. 

Banyak orang lari ke hilir akan menolong yang hanyut itu. 

Segala orang di pasar berlarian, dahulu-mendahului akan me-

lihat atau menolong yang hanyut. Mereka tanya-bertanya siapa 

yang hanyut itu. Katijah, yaitu nama perempuan yang hanyut 

itu, ialah istri Kacak yang baru dua bulan dikawininya. Banyak 

sungguh orang berdiri di tepi sungai. Orang itu semuanya hanya 

kadar melihat yang hanyut saja. Seorang pun tak ada yang 

berani menolong. Mereka takut dirinya akan binasa, sebab air 

terlalu deras. Di dalam orang banyak itu Midun serta pula 

melihat. Kasihan benar ia melihat jiwa perempuan yang ter-

ancam itu. Karena dilihatnya tidak seorang juga yang hendak 

menolong. Midun bersiap, hendak terjun. Pakaiannya 

ditanggalkannya, hingga tinggal celana pendek saja lagi. 

Dengan tidak berpikir lagi, Midun lari ke hilir dan melompat ke 

dalam sungai. Amat sukar ia akan mencapai perempuan itu,


karena air makin deras. Kayu-kayu besar yang hanyut sangat 

mengalangi Midun akan mencapai Katijah. Setelah ia dekat 

kepada perempuan yang hendak ditolongnya itu, terpaksa pula 

Midun menyelam, karena beberapa alangan. Dengan susah 

payah dapat juga ditangkapnya pinggang Katijah, lalu ber-

hanyut-hanyut ke hilir sambil menepi sungai. Dengan cara 

demikian dapatlah Midun mencapai daratan. Sampai di darat 

dipegangnya kaki perempuan itu lalu dipertunggangnya* (Kaki ke 

atas kepala ke bawah), agar keluar air yang terminum oleh 

perempuan itu. Katijah sudah pingsan, tidak tahu akan diri lagi. 

Kain di badan tak ada, telanjang bulat. 

Maka datanglah orang berlari-lari membawa kain untuk 

Katijah. Bersama itu pula Kacak dengan dua orang kawannya. 

Di belakang itu orang banyak yang ingin melihat kejadian itu, 

bagaimana kesudahannya. Midun berusaha sedapat-dapatnya 

supaya Katijah yang pingsan itu siuman akan dirinya. Setelah 

orang banyak datang, maka Katijah diserahkan oleh Midun 

kepada perempuan, supaya dibela dan diberi pakaian. Kacak 

masam saja mukanya melihat Midun. Jangankan minta terima 

kasih, melainkan panas hatinya kepada Midun. Benar, sepatut-

nya ia minta syukur istrinya telah ditolong. Tetapi apakah 

sebabnya maka si Midun, orang yang sangat dibencinya itu pula 

yang menolongnya. Lebih panas lagi hatinya ketika diketahui-

nya istrinya itu dalam bertelanjang pula. Maka tidak tertahan 

panas hatinya lagi, lalu iapun berkata, "Midun, adakah dihalal-

kan dalam agama bahwa orang laki-laki itu boleh menyentuh 

kulit perempuan orang lain?" 

Orang banyak sangat heran dan amat sakit hatinya men-

dengar perkataan Kacak itu. Jangankan ia minta terima kasih 

atas kebaktian Midun, malahan perkataannya sangat melukai 

hati orang. Midun sendiri takjub dan tercengang, karena tidak 

disangkanya perkataan macam itu akan keluar dari mulut 

Kacak. Maka Midun menjawab, katanya, "Engku Muda, saya 

menolong karena Allah. Jika Engku Muda hendak bertanyakan 

terlarang atau tidaknya dalam agama, memang hal itu 

tersuruh, tak ada larangannya. Jika tidak ada saya, barangkali 

istri Engku berkubur di dalam sungai ini." 

"Kurang ajar, berani engkau berkata begitu kepadaku?" ujar 

Kacak dengan marah. "Engkau kira saya ini patung saja, tidak 

tahu menolong istri dalam bahaya? Lancang benar mulutnya 

menghinakan daku, seorang kemenakan Tuanku Laras, di muka


khalayak sebanyak ini. Hendak engkau rasai pulakah tanganku 

sekali lagi?" 

"Saya maklum Engku Muda kemenakan Tuanku Laras," ujar 

Midun dengan sabar. "Saya pun tidak menghinakan Engku Muda, 

karena perkataan saya itu sebenar-benarnya. Tadi setelah saya 

lihat tidak seorang jua yang akan menolong, saya terus saja 

terjun ke air akan membela istri Engku. Saya harap janganlah 

Engku terlalu benar mengatakan orang 'kurang ajar' sebelum 

dipikirkan lebih dahulu." 

"Jika benar engkau saya katakan kurang ajar, apa 

pikiranmu, anjing!" ujar Kacak dengan sangat marah. "Akan 

saya sembahkah engkau hendaknya, binatang!" 

Kacak melompat hendak menyerang Midun, tetapi ditahan 

orang, lalu disabarkan. Makin disabarkan, makin jadi, diper-

kitar-kitarkannya orang yang memegang dia. Orang banyak 

berkerumun melihat pertengkaran Kacak dengan Midun. Midun 

tidak dapat lagi menahan hati. Apalagi mendengar perkataan 

"binatang" dan "anjing" itu di muka orang banyak. Ada juga ia 

hendak menyabarkan hatinya, tetapi tiada dapat. Maka ia pun 

berkata, "Lepaskanlah, Saudara-saudara, tak usah disabarkan 

lagi! Sanak saudara sekalianlah yang akan menjadi saksiku 

kelak, bahwa saya dalam hal ini tidak bersalah. Terlalu benar, 

sementang kemenakan Tuanku Laras. Datangilah Kacak, 

lepaskan dendammu! Menanti atau mendatang?" 

Orang banyak rupanya menanti perkataan Midun saja lagi. 

Memang orang sangat benci kepada Kacak yang sombong itu. 

Mereka telah berjanji dengan dirinya masing-masing, apa pun 

akan terjadi lamun ia tetap akan menjadi saksi Midun kelak. 

Kacak segera dilepaskan orang dan melapangkan tempat untuk 

berkelahi. Dalam perkelahian itu, sekali pun tidak dapat Kacak 

mengenai Midun. Tiap-tiap Kacak menyerang selalu jatuh ter-

sungkur. Kacak hanya berani membabi buta saja, mukanya 

berlumur darah. Midun sekali pun tidak mengenai Kacak. Kacak 

tersungkur karena deras datang yang selalu dielakkan Midun. 

Sedapat-dapatnya Midun menahan hatinya akan melekatkan 

tangan kepada Kacak. Kacak payah, akan lari malu, orang satu 

pun tiada yang menolong. Akan minta ampun lebih malu lagi, 

namanya anak laki-laki. Ia hampir tidak bergaya lagi. Maka 

katanya, "Tolonglah saya, kawan! jasamu tidak akan saya lupa-

kan. Engkau biarkan sajakah saya seorang?" 

Teman Kacak yang dua orang tadi maju ke tengah, lalu


berkata, "Ini dia lawanmu Midun, tahanlah!" 

Maun melompat lalu berkata, "Satu lawan satu. Engkau 

berdua. Sama menolong teman, di sini juga begitu." 

"Engkau jangan campur, Maun!" ujar Midun. "Biarkan saya 

sendiri, biarpun sepuluh orang. Kalau saya kena atau mati baru 

engkau tuntutkan balas. Adat laki-laki berpanjang minta 

tolong. Cobakanlah beranimu!" 

Maun mengundurkan diri mendengar perkataan sahabatnya 

itu. Ia tiada berani membantah, sebab Maun sudah tahu sejak 

dari kecil akan tabiat Midun. Midun sekarang melepas 

kekuatannya. Dalam sesaat saja kedua orang itu jatuh. Mereka 

kedua tak dapat bangun lagi karena tepat benar kenanya. 

Melihat hal itu, Kacak melompat menyerang dengan pisau. 

Kacak terjatuh pula, tidak dapat bangun lagi. Ketika ia men-

coba hendak bangkit pula, dubalang Lingkik datang dan 

menangkap pisau di tangan Kacak, lalu berkata, "Sabar, Engku 

Muda, malu kita kepada orang." 

Dubalang Lingkik datang itu bersama dengan Penghulu 

Kepala. Midun, Kacak, dan dua orang temannya dibawa ke 

kantor Tuanku Laras. Kacak dipapah orang sebab sudah payah 

dan kesakitan, dan mukanya sudah bersimbah darah. Orang 

banyak yang melihat perkelahian itu dibawa semuanya sebagai 

saksi. Di muka Tuanku Laras, dubalang Lingkik menerangkan 

dengan sebenarnya. Dikatakannya, bahwa pisau itu ditangkap-

nya di tangan Kacak. Dan dikatakannya pula Kacak melawan 

Midun tiga orang dengan temannya. Kemudian Midun dan Kacak 

ditanyai pula oleh Tuanku Laras. Saksi-saksi dipanggil 

semuanya, lalu ditanyai. Dengan berani, mereka itu 

menerangkan dari awal sampai ke akhir peristiwa itu. Meskipun 

Kacak kemenakan Tuanku Laras, tetapi semua berpihak kepada 

Midun. Setelah sudah pemeriksaan itu, Midun disuruh pulang. 

begitu pula segala saksi-saksi semuanya pulang. Tuanku Laras 

mengatakan, bahwa bila nanti dipanggil mesti datang 

sekaliannya. 

Tuanku Laras berkata kepada Penghulu Kepala, katanya, 

"Perkara ini saya pulangkan kepada Penghulu Kepala dan 

kerapatan penghulu. Kurang pantas dan tidak laik rupanya, 

kalau saya yang memeriksa. Sungguhpun demikian, Penghulu 

Kepala tentu maklum." 

"Baiklah Tuanku; " jawab Penghulu Kepala. "Insya Allah akan 

saya periksa dengan sepatutnya, hingga menyenangkan hati


Tuanku." 

Tiga hari kemudian daripada itu, Midun dipanggil Penghulu 

hepala. Kacak dan saksi-saksi pun dipanggil semua. Pak Midun, 

Haji Abbas, dan Pendekar Sutan pergi pula akan mendengarkan 

putusan itu. Orang banyak pula datang akan mendengarkan. 

Perkara Midun itu diperiksa oleh kerapatan di kampung itu, 

yang dikepalai oleh Penghulu Kepala sebagai ketuanya. Mula-

mula Midun ditanya, setelah itu Kacak. Kemudian segala saksi-

saksi yang hadir dalam perkelahian itu. Setelah diperbincang-

kan panjang lebar, maka perkara itu diputuskan oleh Penghulu 

Kepala. Midun harus ronda kampung setiap malam, lamanya 

enam hari. Midun dipersalahkan membalas dendam kepada 

Kacak, karena kedua orang itu telah lama bercedera. 

Setelah perkara itu diputuskan, Haji Abbas pun berdatang 

kata, katanya, "Penghulu Kepala dan kerapatan yang hadir! 

Karena perkara ini sudah diputuskan, saya sebagai guru dan 

bapak Midun, mohon bicara sepatah kata. Saya amat bersenang 

hati atas putusan itu, karena Midun membela jiwa seorang 

perempuan, sekarang ia dihukum harus ronda malam enam 

hari. Hukuman yang diputuskan itu memang seadil-adilnya dan 

telah pada tempatnya pula. Saya mengucapkan banyak-banyak 

terima kasih kepada Kerapatan dan kepada Penghulu Kepala." 

Kerapatan itu diam, seorang pun tak ada yang menjawab 

perkataan Haji Abbas yang amat dalam artinya itu. Mereka 

berpandang-pandangan seorang akan seorang, tetapi tak ada 

yang berani menjawab. Demikianlah halnya sampai kerapatan 

itu disudahi dan orang pulang semua. Sampai di rumah Midun, 

Haji Abbas berkata, "Pak Midun, orang rupanya hendak 

mencelakakan anak kita. Kita yang tua harus ingat-ingat dalam 

hal ini. Hal ini tidak boleh kita permudah-mudah saja lagi. 

Orang lain sudah campur dalam perkara Midun dengan Kacak. 

Asal kita ikhtiarkan, kalau akan binasa juga apa boleh buat. 

Maklumlah Pak Midun?" ' 

"Saya kurang mengerti akan ujud perkataan Haji itu," jawab 

Pak Midun dengan heran. 

"Sudah setua ini Pak Midun, belum tahu juga akan ujud 

putusan itu," ujar Haji Abbas. "Kilat beliung sudah ke kaki, kilat 

cermin sudah ke muka. Anak kita masa ini dalam bahaya. Kita 

harus beringat-ingat benar." 

"Bahaya apa pula yang akan datang kepada Midun," jawab 

Pak Midun. "Bukankah perkaranya sudah diputuskan?"


Dengan perlahan-lahan Haji Abbas berkata, "Rapat itu tidak 

dapat menghukum Midun dengan hukuman yang lebih berat, 

karena saksi semua berpihak dan mempertahankan Midun. 

Sebab itu Midun disuruh ronda malam saja. Di dalam Midun 

ronda itu, tentu orang dapat mencelakakan Midun, supaya ia 

mendapat hukuman yang berat, mengerti Pak Midun?" 

"Amboi!" kata Pak Midun sambil menarik napas. Ia insaf dan 

tahu sekarang, bahwa Midun dalam bahaya. 

"Pendekar Sutan," kata Haji Abbas pula. "Dalam enam 

malam ini hendaklah engkau dengan murid-muridmu dan 

temanmu semua menemani Midun ronda malam di kampung ini. 

Hati-hati engkau jangan orang dapat membinasakan anak kita. 

Saya harap dalam enam hari ini jangan ada terjadi apa-apa di 

kampung." 

"Kamu, Midun," kata Haji Abbas menghadapkan 

perkataannya kepada Midun. "Kalau ada temanmu yang sehati 

dengan engkau, bawalah ia akan kawan pergi ronda. Saya 

sendiri dengan ayahmu akan menolong engkau sedapat-

dapatnya." 

Setelah mereka itu berteguh-teguh janji, maka pulanglah ke 

rumah masing-masing. Midun pun pergi mencari kawan, akan 

teman pergi ronda. Pendekar Sutan dengan teman dan 

muridnya 20 orang dan Midun dengan kawan-kawannya ada pula 

12 orang. Mereka itu mufakat, bagaimana harus menjalankan 

ronda itu, dan menetapkan tanda-tanda kalau ada sesuatu 

bahaya bertemu. Setelah sudah, mereka itu semuanya mulailah 

menjalankan ronda. 

Lima malam telah lalu adalah selamat saja, tidak kurang 

suatu apa-apa. Ketiga bapak Midun dengan temannya, ingat 

benar menjaga keselamatan di kampung itu dalam lima malam 

yang sudah. Midun sendiri sebagai ketua dari kawan-kawannya, 

membagi-bagi ronda itu berempat-berempat. Sekarang tinggal 

lagi malam yang penghabisan. Mereka sekarang harus ingat-

ingat benar, karena ia merasa bahwa malam itu seakan-akan 

ada bahaya yang akan datang. Midun mengatur dengan baik, 

bagaimana harus melakukan ronda malam itu. 

Demikian pula Pendekar Sutan dengan anak muridnya. 

Midun dan Maun malam itu tidak bercerai. Keduanya lengkap 

dengan senjata, mana yang perlu. 

Kira-kira pukul tiga malam, Midun ronda melalui rumah istri 

Kacak. Tiba-tiba Midun berhenti karena mendengar sesuatu


bunyi di rumah Kacak. Midun terkenang akan nasihat bapaknya, 

bagaimana melihat orang dalam malam yang gelap. Maka ia pun 

merebahkan diri dan menangkup, lalu melihat arah ke rumah 

Kacak. Di halaman rumah kelihatan oleh Midun sesuatu sosok 

tubuh; dan ada pula seorang sedang membuka pintu rumah. 

Tak jauh di halaman tampak pula seorang lagi. Dengan 

perlahan-lahan Midun berkata kepada Maun, "Maling. Pergilah 

panggil Bapak Pendekar dan kawan-kawan, supaya dapat kita 

mengepung. Masih ada waktu, dia baru mulai membuka pintu. 

Ingatlah, segala pekerjaan ini harus dilakukan dengan perlahan-

lahan benar, supaya kita jangan diketahuinya." 

Dengan tidak menyahut sepatah jua, Maun pergilah. Tidak 

lama antaranya datanglah Pendekar Sutan dengan Maun. 

Pekerjaan itu dilakukan dengan diam-diam dan hati-hati benar. 

Midun bertanya dengan berbisik, "Sudahkah siap, Bapak?" 

"Sudah," ujar Pendekar Sutan. "Pada keliling rumah ini, agak 

jauh sedikit, orang sudah bersiap. Sudah saya perintahkan me-

ngepung rumah, takkan dapat maling melarikan diri. Mereka itu 

hanya menanti perintah kita saja. Sudah saya katakan 

kepadanya, siapa yang lari, pukul saja." 

Dengan sabar, Midun dan kawan-kawannya menantikan 

maling itu ke luar, supaya dapat tanda buktinya apabila di-

tangkap. Sudah dimufakati, bahwa yang akan menyerang ialah 

Midun dan Pendekar Sutan. Maun siap akan membela, manakala 

di antara mereka kedua ada yang kena dalam perkelahian itu. 

Ada sejam kemudian, keluarlah maling itu, sambil memikul 

barang curiannya. Ketika hendak turun janjang, kakinya 

tergelincir, lalu ia jatuh, pukulan Midun tiba di kepalanya. 

Dengan segera maling itu bangun sambil mencabut pisau 

hendak membalas. Tetapi Midun segera mendahului, memukul, 

dengan gada sekali lagi. Pukulan itu tepat kena pada kening 

maling itu, lalu terjatuh tidak bergerak lagi. Ketika itu Maun 

telah ada pada sisinya, lalu berkata, "Biarkanlah orang ini saya 

ikat dengan tali. Yang seorang lagi dapat saya pukul, tetapi 

karena kurang tepat, masih kuat ia melarikan diri. Pergilah 

tolong Mamak Pendekar, beliau sudah bergumul dengan maling 

itu. Nyata kedengaran pada saya, bahwa orang itu belum ter-

tangkap." 

Dengan tidak berkata sepatah jua, Midun melompat pergi 

mendapatkan Pendekar Sutan. Didapatinya maling itu sudah 

pingsan terhantar di tanah. Pendekar Sutan kena pisau pada


pangkal lengannya. Untung tidak berat lukanya. 

"Dalam luka Bapak?" ujar Midun dengan cemas. 

"Tidak," jawab Pendekar Sutan. "Waktu saya menangkapnya, 

kaki saya terperosok ke dalam lubang tempat orang memeram 

pisang. Ketika itulah saya kena ditikamnya. Untung dapat juga 

saya menangkis, kalau tidak tentu tepat kena saya, dan hanya 

bangkai yang akan engkau dapati di sini. Engkau bagaimana?" 

"Selamat," ujar Midun," orang itu sudah diikat Maun. Marilah 

kita ikat pula orang ini." 

"Yang satu lagi ke mana?" ujar Pendekar Sutan. Bukankah 

engkau mengatakan mereka tiga orang banyaknya?" 

"Biarlah, Bapak," kata Midun pula. "Asal yang dua ini dapat, 

'sudahlah. Tentu ia sudah melarikan diri. Ia ada juga kena 

dipukul oleh Maun. Besok tak dapat tiada yang lari itu akan 

tertangkap juga, asal yang dua ini dipaksa menyuruh 

menunjukkan temannya yang seorang itu. Sungguhpun 

demikian, boleh jadi ia sudah ditangkap kawan-kawan." 

Haji Abbas, karena suraunya berdekatan dengan rumah istri 

Kacak, mendengar perkelahian itu, memang Haji Abbas tidak 

tidur semalam-malaman itu, mendengar kalau-kalau ada yang 

terjadi atau orang memanggil dia. Ia segera turun dengan 

melalui jendela surau. Tiba-tiba terasa olehnya seakan-akan 

ada orang yang hendak bertumbuk dengan dia. Dengan tidak 

berpikir lagi. Haji Abbas memainkan kakinya, orang itu 

berteriak, "Saya Kacak, mengapa dipukul, aduh...!" 

Mendengar suara itu, Haji Abbas menghilang di dalam gelap. 

Akan kedua maling itu sudah diikat, lalu diiringkan mereka 

beramai-ramai ke rumah Penghulu Kepala. Barang-barang 

curian itu dibawa Maun semuanya. Maklumlah anak muda-

muda, tentu mereka tak kurang melekatkan tangan kepada 

maling itu, hingga sampai ke rumah Penghulu Kepala. Ketika itu 

hari sudah lewat pukul empat pagi. Karena Penghulu Kepala di 

rumah istrinya yang seorang lagi, lalu dibawa kedua maling itu 

ke rumah Tuanku Laras. 

Biasanya pada tiap-tiap kampung yang di bawah 

pemerintahan Tuanku Laras itu, diadakan orang tongtong. 

Tongtong itu digantungkan pada tiap-tiap rumah jaga, dan 

dijagai oleh dua orang sekurang-kurangnya. Manakala ada 

bahaya, baru tongtong itu boleh dibunyikan, misalnya 

kebakaran, kemalingan, dan lain-lain yang semacam itu. Pada 

tiap-tiap bahaya, berlain-lainan cara orang membunyikannya.


Yang lazim, jika kebakaran terus-menerus saja bunyi tongtong 

itu. Kalau kemalingan, lain lagi macam bunyinya. Pada malam 

kemalingan di rumah Kacak itu, amat sibuk bunyi tongtong. 

Bersahut-sahutan kampung yang sebuah dengan kampung lain, 

akan memberitahukan bahwa ada bahaya. Mendengar bunyi 

tongtong itu, orang maklum sudah, bahaya apa yang terjadi. 

Masa itu mana yang berani, berlompatan turun ke halaman 

dengan senjatanya. Mereka itu terus lari ke rumah jaga 

menanyakan di mana kemalingan. Tetapi si penakut mem-

perbaiki selimutnya, ada pula yang bangun memeriksa pintu, 

dan ada pula yang duduk saja ketakutan di dalam rumahnya. 

Demikian pula halnya Tuanku Laras. Ketika ia mendengar 

bunyi tongtong itu, ia terkejut lalu bangun. Tuanku Laras amat 

heran mendengar bunyi tongtong, karena sudah hampir 5 tahun 

sampai waktu itu, belum pernah ada bahaya yang terjadi di 

kampung itu, pada pikirannya, "Tak dapat tiada ada orang 

maling menjarah dari negeri lain ke kampung ini. Atau boleh 

jadi... Tetapi mengapa Penghulu Kepala pulang ke rumah 

istrinya di kampung lain?" 

Maka ia pun segera memakai baju malam, diambilnya 

terkul. Ia terjun ke halaman, diiringkan oleh dua orang 

dubalang. Tiada jauh Tuanku Laras berjalan, sudah kelihatan 

olehnya suluh berpuluh-puluh buah. Di muka tampak dua orang 

yang sudah terikat, dan di belakang amat banyak orang 

mengiringkannya. Mereka itu semua menuju ke rumah Tuanku 

Laras. Dengan segera seorang dubalang disuruh Tuanku Laras 

membawa maling itu ke kantornya. 

Kedua maling itu tidak dapat ditanyai malam itu, karena 

berlumur darah dan letih. Baru saja sampai di beranda kantor 

mereka pingsan tidak sadarkan diri lagi. Tiap-tiap orang 

sepanjang jalan mengirimkan sepak terjang kepada maling itu. 

Orang banyak itu disuruh pulang oleh Tuanku Laras semua. 

Pendekar Sutan, Maun, dan Midun dipanggil ke dalam oleh 

Tuanku Laras. 

"Di mana kamu tangkap maling ini?" ujar Tuanku Laras. 

Midun lalu menerangkan bahwa kemalingan itu di rumah 

Engku Muda Kacak. Segala tanda bukti diperlihatkannya semua. 

Kemudian diceritakannya, bagaimana caranya menangkap 

maling itu sejak dari bermula sampai tertangkap. Pendekar 

Sutan luka tidak dikatakan Midun. Mendengar cerita Midun, 

Tuanku Laras mengangguk-anggukkan kepala saja. Tetapi pada


mukanya nyata ada sesuatu yang terpikir dalam hatinya. 

Setelah habis Midun bercerita, Tuanku Laras bertanya, "Kacak 

ada di rumah istrinya?" 

"Tidak, Tuanku!" jawab Midun. "Menurut keterangan 

istrinya, ia pulang ke rumah istrinya yang lain. Tetapi ke rumah 

istri beliau yang mana, tidaklah hamba tahu." 

Baru saja habis Midun berkata, Penghulu Kepala datang 

dengan terengah-engah. Rupanya Penghulu Kepala berlari dari 

rumah istrinya di kampung lain, karena mendengar bunyi 

tongtong. Setelah Iepas lelahnya, maka Tuanku Laras dibawa 

Penghulu Kepala bercakap ke dalam sebuah bilik kantor itu. 

Kira-kira setengah jam, baru keduanya keluar dengan muka 

masam. Maka Tuanku Laras berkata, "Midun! Karena kedua 

orang maling ini masih pingsan, belum boleh ditanyai, kamu 

boleh pulang saja dahulu. Nanti bilamana saya panggil, 

hendaklah segera engkau datang." ' 

"Baiklah, Tuanku, kami mohon minta izin," ujar Midun 

dengan hormatnya. 

Sampai di rumah, Midun menceritakan kepada ayah 

bundanya kejadian pada malam itu. Ibu bapak Midun berbesar 

hati dan meminta syukur kepada Tuhan seru sekalian alam, 

karena anaknya Ada selamat saja, terhindar daripada bahaya. 

Tetapi dalam hati Midun timbul suatu perasaan yang ganjil, 

ketika ia mengenangkan perkataan Tuanku Laras menanyakan 

Kacak dan ketika Penghulu Kepala membawa Tuanku Laras 

bercakap ke dalam bilik. Sebab itu ia ingin hendak mengetahui 

bagaimana kesudahan pemeriksaan perkara itu. Pak Midun 

mengangguk-anggukkan kepala saja. Ia telah maklum seluk-

beluk perbuatan orang hendak mencelakakan anaknya. Apalagi 

kabar yang dikatakan Haji Abbas dengan rahasia kepadanya, 

tentang kejadian malam itu, makin meneguhkan kepercayaan-

nya. Ngeri Pak Midun memikirkan, jika anaknya dapat bahaya 

pula. 

Tetapi senang pula hatinya, karena hal yang sangat 

mengerikan itu sekarang sudah terlepas. 

Ketika Midun, ayah bunda, dan adik-adiknya sudah makan 

pagi itu, kedengaran orang batuk di halaman. Orang yang batuk 

itu ialah Haji Abbas; ia naik ke rumah. Setelah Haji Abbas 

duduk, kopi dan penganan pun dihidangkan oleh ibu Midun. 

Tidak lama kemudian Haji Abbas berkata, "Maklumlah Pak 

Midun sekarang, apa ujud orang menghukum Midun enam hari


itu?" 

Sedang Pak Midun mengangguk-anggukkan kepala, me-

nyatakan kebenaran perkataan Haji Abbas, Pendekar Sutan dan 

Maun naik pula ke rumah. Baru saja Pendekar Sutan duduk, 

Haji Abbas berkata sambil tersenyum dan menyindir, "Midun, 

saya dengar kabar bapakmu kena tikam semalam. Hampir saja 

kita berkabung hari ini. Waktu saya mendengar kabar itu, saya 

menyangka tentu Midun terburai perutnya kena pisau. Sedang 

bapaknya yang sudah termasyhur pendekar lagi kena, bahkan 

pula anaknya. Kiranya terbalik, anak selamat tetapi bapak... 

Ah, sungguh tak ada pendekar yang tidak bulus." 

"Benar," ujar Pak Midun pula sambil tersenyum menyela per-

kataan Haji Abbas akan mengganggu Pendekar Sutan. "Agaknya 

langkah Pendekar Sutan sumbang malam tadi. Yang patut 

langkah maju, mundur ke belakang. Dan boleh jadi juga 

terlampau tinggi membuang tangan, ketika itu pisau bersarang 

ke rusuk Pendekar Sutan." 

Seisi rumah riuh tertawa, tetapi Pendekar Sutan merah 

mukanya mendengar sindiran mereka berdua. Ia pun berkata, 

"Mengatakan saja memang gampang. Jika Haji atau Pak Midun 

sebagai saya semalam, barangkali berbunyi cacing gelang-

gelang di perut ketakutan, setidak-tidaknya putih tapak 

melarikan diri. Sebabnya, pertama orang yang bertentangan 

dengan saya itu tidak sembarang orang, saya kenal benar akan 

dia. Kedua, kaki saya terperosok masuk lubang, dalam pada itu 

tikaman bertubi-tubi pula datangnya. Ketiga, hari gelap amat 

sangat, sedikit saja salah menangkis, celaka diri. 

Keempat, pikiran tak pula senang, memikirkan anak sedang 

berkelahi. Biarpun Midun pendekar, begitu pula Maun, kedua-

nya masih muda-muda, belum tahu tipu muslihat perkelahian. 

Lagi pula maling itu siap dengan alat senjatanya, tetapi kita 

tidak demikian benar." 

Mendengar perkataan Pendekar Sutan, mereka keduanya 

berdiam diri, lalu Haji Abbas berkata, "Berbahaya juga kalau 

begitu? Cobalah ceritakan, supaya kami dengar. Siapa dan 

bagaimana orang yang berkelahi dengan Pendekar itu." 

"Untung dia dengan saya bertentangan," ujar Pendekar 

Sutan memulai ceritanya. "Orang itu ialah Ma Atang, seorang 

perampok, penyamun, pemaling, ya, seorang pembatak yang 

amat jahat. Nama Ma Atang telah dikenali orang di mana-mana 

sebab kejahatannya. Keberaniannya dan ketangkasan Ma Atang


pun sudah termasyhur. Ia sudah tiga kali dibuang menjadi orang 

rantai. Ketiga kali pembuangannya itu ialah perkara pem-

bunuhan dan perampokan di Palembayan dahulu. Sungguhpun 

demikian, perangainya yang jahat itu tidak juga berubah. 

Macam-macam kata orang tentang keberanian Ma Atang. Ada 

yang mengatakan ia kebal, tidak luput oleh senjata. Ada yang 

mengatakan, kepandaiannya bersilat sebagai terbang di udara. 

Bahkan ada pula orang yang mengatakan, bahwa ia tahu 

halimunan. Hati siapa takkan kecut, siapa yang takkan gentar 

berhadapan dengan orang macam itu. Apalagi hatinya hati 

binatang, tidak menaruh kasih mesra kepada sesamanya 

manusia. Asal akan beroleh uang, apa saja mau ia 

mengerjakannya. Nyawa orang dipandangnya sebagai nyawa 

ayam saja. Untung juga saya mengetahui Ma Atang itu setelah 

hadir di kantor Tuanku Laras. Jika sebelum itu saya mengetahui 

Ma Atang, boleh jadi bergoyang iman saya, dan saya binasa 

olehnya. 

Semalam, ketika saya mendekati akan memukul kepala Ma 

Atang itu, terinjak olehku ranting kayu. Bunyi itu didengarnya, 

lalu ia berbalik. Saat itu saya pergunakan, saya gada mukanya. 

Dengan tangkas ia mengelak, dicabutnya pisau dari pinggang-

nya. Hal itu tampak terbayang kepadaku. Saya tangkis pisau 

itu, lalu kami pun bergumul. Dalam perkelahian itu saya selalu 

maju dan merapatkan diri, sebab ia berpisau dan hari gelap. 

Sedikit pun tak saya beri kesempatan ia menikam. Ma Atang 

dapat saya tangkap, dan saya empaskan ke pohon kayu. 

Jangankan ia terempas, melainkan seakanakan tak menjejak 

tanah ia rupanya. Sebagai kilat cepat Mak Atang berbalik 

menikam saya. Ketika saya menyalahkan tikaman itu, kaki saya 

terperosok masuk lubang pemeram pisang... pangkal lengan 

saya pun kena. Waktu itu belum terasa apa-apa oleh saya kena 

pisau. Saya tarik kaki saya kuat-kuat, lalu saya menidurkan diri, 

tetapi siap menanti. Dengan muslihat itu, pada pikiran Ma 

Atang tepat saja kena tikamannya. Dengan amuk sambil lari, 

diulangnya menikam saya sekali lagi. Masa itulah ia dapat saya 

kenai; tepat benar kaki saya mengenai...—maaf, ibu Midun—

kemaluannya. Ia pun jatuh pingsan, Midun sudah datang 

mengikatnya." 

Segala isi rumah ngeri mendengar cerita Pendekar Sutan. 

Lebih-lebih ibu Midun, sebentar-sebentar ia menjerit. Maklum-

lah seisi rumah itu sekarang, bagaimana keadaan Pendekar


Sutan malam itu. Sebab itu Haji Abbas dan Pak Midun tidak lagi 

memperolok-olokkan adiknya. Kemudian Haji Abbas bertanya 

pula, "Engkau bagaimana pula lagi dengan musuhmu, Midun?" 

"Bagi saya mudah saja, Bapak," ujar Midun. "Ketika Bapak 

Pendekar dan Maun datang, kami mufakat lalu berbagi-bagi. 

Yang di jalan bagian Maun, yang di pintu gapura bagian Bapak 

Pendekar Sutan, dan yang masuk rumah bagian saya. Maun 

kami larang menyerang, supaya dapat menolong kami, kalau 

ada yang kena. Sungguhpun demikian ia selalu siap. Saya tahu, 

bahwa jarak maling itu dengan temannya berjauhan. Saya pun 

merangkak ke tangga, di pintu tempat ia masuk. Karena anak 

tangga itu betung, dengan mudah saya buka anaknya sebuah. 

Saya pun berdiam diri dekat tangga itu menantikan dia turun. 

Tidak lama, maling itu turun sambil memikul barang curiannya. 

Waktu ia turun semata anak tangga, kakinya tergelincir, jatuh 

ke bawah. Ketika itulah saya gada kepalanya sekuat-kuat 

tenaga saya. Saya sangka tentu ia terus pingsan. Tetapi tidak, 

ia bergerak lagi hendak menyerang saya. Saya pukul lagi 

mukanya, ia pun pingsan tak sadarkan dirinya." 

Setelah tamat pula cerita Midun, Haji Abbas bertanya pula, 

"Engkau bagaimana pula dengan musuhmu, Maun?" 

"Saya tidak menyerang, melainkan berdiam diri saja dekat 

jalan," ujar Maun. "Waktu saya mendengar Mamak Pendekar 

Sutan berkelahi, tiba-tiba saya bertumbuk dengan seseorang 

yang rupanya hendak melarikan diri. Dengan segera saya pukul 

akan dia. Entah kepala, entah punggungnya yang kena, saya 

tidak tahu. 

Tetapi dia terus juga lari. Kalau saya kejar tentu dapat, 

tetapi saya tidak menepati janji. Lagi pula saya takut akan 

digada teman-teman yang sudah berkeliling mengepung rumah 

itu. Saya segera mendapatkan Midun, dan dia saya suruh 

menolong Mamak Pendekar. Maling yang dipukul Midun itu lalu 

saya ikat." 

Haji Abbas mengangguk-anggukkan kepala, terkenang 

kepada Kacak yang mengaduh kena kakinya semalam itu. 

Menurut pikiran Haji Abbas, tak dapat tiada orang yang lari 

dipukul Maun dan yang kena sepaknya itu, ialah Kacak. Setelah 

adik-adik Midun disuruh pergi bermain, lalu Haji Abbas berkata, 

"Midun dan Maun, cerita bapakmu tadi banyak yang patut 

engkau ambil jadi teladan. Demikianlah hendaknya muslihat 

jika berkelahi dengan orang yang memegang pisau. Dalam


perkelahian yang tidak memakai pisau pun, ada juga tipunya. 

Misalnya mengumpan orang dengan pura-pura menyumbangkan 

langkah. Tetapi manakala dalam perkelahian banyak, artinya 

engkau seorang dipersama-samakan orang, jangan sekali-kali 

maju. Hendaklah engkau selalu mengundurkan diri, sambil 

menangkis serangan orang. Dan kalau dapat, carilah tempat 

vang tiga persegi, yang dinamakan orang: kandang sudut. Di 

tempat itu, sukarlah orang mengenai kita." 

Maka Haji Abbas menerangkan dengan panjang lebar, bagai-

mana tipu muslihat dalam perkelahian kepada Midun dan Maun. 

Untuk menjadi misal, Haji Abbas menceritakan keadaannya 

dengan Pak Midun semasa muda. Kemudian Haji Abbas me-

nyambung perkataannya, "Rupanya waktu Ma Atang berkelahi 

dengan Pendekar Sutan, nyata bahwa Ma Atang hendak 

membunuh lawannya benar. Jika saya tidak salah tampa, tak 

dapat tiada Pendekar Sutan disangkanya Midun. Orang yang 

dipukul Maun itu, pada hemat saya tentu Kacak. Sudah dapat 

pukulan dari Maun, dapat bagian pula dari saya. Tetapi Kacak 

sekali-kali tidak tahu, bahwa sayalah yang bertemu dengan dia. 

Ingatlah, hal ini harus dirahasiakan benar-benar. Cukuplah kita 

yang enam orang ini saja mengetahuinya. Perkara Midun ini 

rupanya sudah dicampuri orang tua-tua. Sebab itu jika kurang 

hati-hati, tentu kita celaka. Kita ini hanya orang biasa saja, 

tetapi Kacak kemenakan Tuanku Laras. Yang akan datang, 

hendaklah engkau ingat-ingat benar dalam hal apa juapun, 

Midun. Ingat sebelum kena, hemat sebelum habis, jerat serupa 

dengan jerami." 

"Baiklah, Bapak," ujar Midun. "Hingga ini ke atas saya akan 

berhati-hati benar. Dalam pada itu jika sudah saya ikhtiarkan, 

tetapi datang juga bencana atas diri saya, apa boleh buat, 

Bapak." 

Dari sehari ke sehari Midun menanti panggilan tidak juga 

datang. Habis hari berganti pekan, habis pekan berganti bulan, 

Midun tidak juga dipanggil akan diperiksa tentang maling yang 

ditangkapnya itu. Ada yang mengatakan, bahwa maling itu 

sudah dikirim ke Bukittinggi. Setengahnya pula berkata, 

"Sungguh amat ajaib perkara ini. Semalam kemalingan di rumah 

istri Kacak, besoknya Kacak jatuh sakit. Padahal Kacak tidak 

ada di rumah istrinya malam kemalingan itu. Dan lagi perkara 

itu didiamkan saja, seolah-olah ada berudang di balik batu. 

Jangan-jangan pencurian itu ada bertali dengan sesuatu hal


yang muskil, yang tidak diketahui orang." 

Demikianlah perkara itu: terapung tak hanyut, terendam 

tak basah, hingga sampai Kacak sembuh, Midun belum juga 

terpanggi


6. Pasar Malam

MATAHARI telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi, 

meninggalkan cahaya yang merah kuning laksana emas baru 

disepuh dipinggir langit di pihak barat. Burung-burung be-

terbangan pulang ke sarangnya. Dengan tergesa-gesa sambil 

berkotek memanggil anak, inasuklah ayam ke dalam kandang, 

karena hari telah samar muka. Cengkerik mulai berbunyi ber-

sahut-sahutan, menyatakan bahwa hari sudah senjakala. Ketika 

itu sunyi senyap, seorang pun tak ada kelihatan orang di jalan. 

Di jembatan pada sebuah kampung, kelihatan tiga orang duduk 

berjuntai. Mereka duduk seakan-akan ada suatu rahasia yang 

dimufakatkannya, yang tidak boleh sedikit juga didengar orang 

lain. Sambil melihat ke sana kemari, kalau-kalau ,ida orang lalu 

lintas, mereka itu mulai bercakap-cakap. 

"Sebulan lagi ada pacuan kuda dan pasar malam di 

Bukittinggi," kata seorang di antara mereka itu yang tidak lain 

dari Kacak memulai percakapannya. "Saat itulah yang sebaik-

baiknya bagi kita akan membalaskan dendamku selama ini 

kepada Midun. Tak dapat tiada tentu Midun pergi pula melihat 

keramaian itu. Orang kampung telah tahu semua, bahwa saya 

bermusuh dengan dia. Jadi kalau dia saya binasakan di sini, 

malu awak kepada orang. Tentu orang kampung syak wasangka 

kepada saya saja, kalau ada apa-apa kejadian atas diri Midun. 

Lagi pula ia tak pernah keluar, hingga sukar akan rnengenalnya. 

Oleh sebab itu telah bulat pikiran saya, bahwa hanya di 

Bukittinggilah dapat membinasakannya. Bagaimanakah pikiran 

Lenggang? Sukakah Lenggang menolong saya dalam hal ini? Budi 

dan cerih Lenggang itu, insya Allah takkan saya lupakan. Bila 

yang dimaksud sampai, saya berjanji akan memberi sesuatu 

yang menyenangkan hati Lenggang." 

"Cita-cita Engku Muda itu mudah-mudahan sampai," jawab 

Lenggang, sambil melihat keliling, takut kalau-kalau ada orang 

mendengar. "Kami berdua berjanji menolong Engku Muda 

sedapat-dapatnya. Jika tak sampai yang dimaksud, tidaklah 

kami kembali pulang. Tidak lalu dendang di darat kami layer-

kan, tak dapat dengan yang lahir, dengan batin kami per-

dayakan. Sebab itu apa yang kami kerjakan di Bukittinggi, 

sekali-kali jangan Engku Muda campuri, supaya Engku jangan


terbawa-bawa. Biarkanlah kami berdua, dan dengar saja oleh 

Engku Muda bagaimana kejadiannya. Ada dua jalan yang harus 

kami kerjakan. Tetapi... maklumlah, Engku Muda, tentu dengan 

biaya. Lain daripada itu ingatlah, Engku-Muda, rahasia ini 

hanya kita bertiga saja hendaknya yang tahu. Pandai-pandai 

Engku Muda menyimpan, sebab hal ini tidak dapat dipermudah, 

karena perkara jiwa." 

"Seharusnya saya yang akan berkata begitu," ujar Kacak 

sambil mengeluarkan uang kertas Rp 25,- dari koceknya, lalu 

diberikannya kepada Lenggang. "Bukankah Tuan-tuan membela 

saya, masakan saya bukakan rahasia ini. Biar apa pun akan 

terjadi atas diri Lenggang kedua, jangan sekali-kali nama saya 

disebut-sebut. Saya ucapkan, moga-moga yang dimaksud 

sampai, karena bukan main sakit hatiku kepada Midun, anak si 

peladang jahanam itu. Jika dia sudah luput dari dunia ini, 

barulah senang hati saya. Sekarang baik kita bercerai-cerai 

dulu, karena kalau terlalu lama bercakap-cakap, jangan-jangan 

dilihat orang." 

Setelah ketiganya berteguh-teguhan janji bahwa rahasia itu 

akan dibawa mati, maka mereka pun pulang ke rumah masing-

masing. Lenggang dengan temannya sangat bersuka hati 

mendapat uang itu. Gelak mereka terbahak-bahak, 

lenggangnya makin jadi, tak ubah sebagai namanya pula. 

Bahaya apa yang akan menimpa mereka kelak, sedikit pun tidak 

dipedulikan Lenggang. Memang Lenggang sudah biasa menerima 

upah semacam itu. Pekerjaan itu sudah biasa dilakukannya. 

Sudah banyak ia menganiaya orang, satu pun tak ada orang 

yang tahu. Pandai benar ia menyimpan rahasia dan melakukan 

penganiayaan itu. Jika ada yang menaruh dendam kepada 

seseorang, dengan uang seringgit atau lima rupiah saja, telah 

dapat Lenggang disuruh akan membinasakan orang itu. 

Pekerjaan itu dipandangnya mudah saja, karena sudah biasa. 

Akan membinasakan Midun itu, tidak usah ia berpikir panjang, 

karena hal itu gampang saja pada pikirannya. Hanya yang 

dipikirkan Lenggang, tentu ia mendapat upah amat banyak dari 

Kacak, jika yang dimaksudnya sampai. Kacak seorang kaya, 

sedangkan bagi permintaan yang pertama diberinya Rp 25,- 

padahal belum apa-apa lagi. Akan mengambil jiwa Midun, 

seorang yang boleh dikatakan masih kanak-kanak, tak usah di-

hiraukannya. 

Dua pekan lagi akan diadakan pacuan kuda di Bukittinggi.


Tetapi sekali ini pacuan kuda itu akan diramaikan dengan pasar 

malam lebih dahulu. Kabar pasar malam di Bukittinggi itu sudah 

tersiar ke mana-mana di tanah Minangkabau. Hal itu sudah 

menjadi buah tutur orang. Di mana-mana orang mempercakap-

kannya, karena pasar malam baru sekali itu akan diadakan di 

Bukittinggi. Demikian pula Midun, yang pada masa itu sedang 

duduk-duduk di surau menanti waktu asar bersama Maun, pasar 

malam itulah yang selalu diperbincangkan. 

"Ah, alangkah ramainya keramaian di kota sekali ini, Maun," 

kata Midun memulai percakapan itu. "Kabarnya 'alat'* (Maksudnya 

pacuan kuda) sekali ini akan sangat ramai sekali, sebab disertai 

dengan pasar malam. Di dalam pasar malam itu, orang mem-

pertunjukkan berbagai-bagai kerajinan, ternak, hasil tanah, 

dan lain-lain sebagainya. Segala pertunjukan itu, mana yang 

bagus diberi hadiah. Permainan-permainan tentu tidak pula 

kurang. Tak inginkah Maun pergi ke Bukittinggi? Saya berhajat 

benar hendak melihat keramaian sekali ini. Kepada ayah saya 

sudah minta izin. Tetapi hati beliau agak berat melepas saya, 

berhubung dengan Kacak yang selalu mengintai hendak 

menerkam mangsanya. Sungguhpun demikian, beliau izinkan 

juga, asal saya ingat-ingat menjaga diri." 

"Memang saya ingin pergi ke Bukittinggi," ujar Maun, "Sejak 

kecil belum pernah saya melihat pasar malam. Bagi saya tak 

ada alangan apa-apa. Perkara Kacak yang engkau katakan itu, 

saya juga merasa khawatir. Ia selalu mengintai-intai, Midun! 

Kepada saya sendiri, kalau bertemu agak lain pandangnya, 

tetapi tidak saya pedulikan. Kemarin, waktu kita pergi 

sembahyang Jumat, ada kita berjumpa dengan seorang yang 

belum pernah bertemu, apalagi dikenal. Orang itu saya lihat 

memandang kepada kita dengan tajam. Sudah kenalkah engKau 

kepada orang itu? Bukankah engkau ada ditegurnya?" 

"Tidak, sekali-kali tidak, saya heran karena saya ditegurnya 

dengan sopan benar, padahal ia belum saya kenali. Saya rasa 

tentu ia tidak orang jahat, sebab ada juga sembahyang. Tetapi 

waktu kita bertemu dengan dia kemarin, darah saya berdebar. 

Entah apa sebabnya tidaklah saya tahu. Malam tadi tak senang 

sedikit juga hati saya. Ada saya tanyakan kepada Bapak 

Pendekar akan orang itu. Bapak Pendekar menerangkan, bahwa 

orang itu bukanlah orang kampung sini. Tetapi beliau kenal 

namanya dipanggilkan orang Lenggang. Dahulu memang dia 

seorang jahat, pemaling dan pencuri. Kedatangannya kemari


tidak beliau ketahui. Beliau katakan pula, bahwa Lenggang itu 

acap kali kelihatan pergi ke rumah famili Tuanku Laras. Karena 

itu, menurut tilikan beliau, Lenggang tentu sudah. baik 

sekarang, apalagi telah sembahyang. Kalau tidak, tentu ia tidak 

berani menampakkan diri ke rumah Tuanku Laras. Sungguhpun 

demikian, beliau suruh saya hati-hati juga menjaga diri, jangan 

lengah sedikit juga. Musuh dalam selimut, kata beliau." 

"Perasaan saya pun begitu, Midun. Lain perasaan saya waktu 

melihat orang itu kemarin. Untung beliau telah maklum. Saya 

sudah berniat juga hendak mengatakannya kepadamu. Sudah 

jauh kita diamat-amatinya juga ngeri saya melihat rupanya, 

bengis dan menakutkan sungguh. Ingat-ingat, Midun! Kita harus 

hati-hati, supaya jangan binasa." 

"Yang sejengkal itu tak mau jadi sedepa, kawan! Tak usah 

kita hawatirkan benar hal itu. Syak wasangka dan cemburu 

yang berlebih-lebihan merusakkan pikiran dan membinasakan 

diri. Jika nasib kita akan dapat malapetaka, apa boleh buat. 

Bukankah tiap-tiap sesuatu dengan takdir Tuhan." 

"Jadi rupanya Midun menanti takdir saja, dan bila takdir itu 

datang, sudahlah." 

"Sebenarnya, kawan! Tetapi engkau jangan pula salah 

pengertian. Bukan maksud saya berserah diri saja sebab takdir, 

sekalikili tidak. Kita dijadikan Tuhan dan diberi pikiran 

secukupnya. Dengan pikiran itulah kita menimbang mana yang 

baik untuk keselamatan diri kita. Bukankah segala dua dijadi-

kan Allah? Pilihlah dengan pikiran itu mana yang akan dikerja-

kan. Kita wajib mengusahakan diri agar terhindar dari bencana 

dunia ini. Bilamana ikhtiar sudah dijalankan, dan kita dapat 

malapetaka juga, itulah yang dnamakan nasib. Dan kalau kita 

sekarang sekonyong-konyong kena tombak misalnya, padahal 

tidak disengaja, itulah yang dikatakan orang takdir. Mengerti-

kah engkau, Maun? Jadi tentu saja kita harus horhati-hati. Jika 

dapat dihindarkan, baik kita hindarkan, supaya jangan dapat 

bahaya. Tetapi bila tersesak padang ke rimba, terhentak ruas 

ke buku, apa boleh buat, wajib kita membela diri." 

"Sekarang mengerti saya maksudmu itu. Nah, bilakah kita 

berangkat? Tak perlukah kita membawa apa-apa untuk dijual di 

kota akan belanja selama di sana?" 

"Tiga hari pasar malam akan dimulai, kita berangkat dari 

sini." 

"Uang simpananku ada Rp 25,-. Kamu adakah menyimpan


uang?" 

"Ada, saya rasa hanya sebanyak uang simpananmu pula 

agaknya." 

"Mari kita perniagakan uang itu! Saya dengar kabar, lada 

dan telur amat mahal sekarang di Bukittinggi. Untungnya itulah 

untuk belanja. Lain daripada itu kita tolong pula menjualkan 

lada ibu." 

Pada tepi jalan di pasar kampung itu kelihatan lada, ayam, 

dan lain-lain sebagainya. Dua orang muda memuat barang-

barang itu ke dalam pedati. Setelah selesai, Midun dan Maun 

pun bersalam dengan ayah-bunda masing-masing, yang ketika 

itu ada pula di sana menolong memuat barang itu ke dalam 

pedati. Mereka kedua minta izin, lalu bersiap akan berangkat. 

Ketika Midun bersalam minta maaf kepada ibunya, lama benar 

tangannya maka dilepaskan ibunya. Amat berat hati ibu itu 

melepas anaknya ke Bukittinggi. Sungguhpun Bukittinggi tidak 

berapa jauh dari kampungnya, tetapi tak ubah hal ibu Midun 

sebagai seorang yang hendak melepas anaknya berjalan jauh. 

Amat lain perasaannya, takut kalau-kalau anaknya dapat 

bahaya. Rasa-rasa tampak kepada ibu itu bahaya yang akan 

menimpa anaknya, karena Midun dimusuhi orang. Tetapi ia 

terpaksa harus melepas Midun, anak yang sangat dikasihinya 

itu. 

Maka berangkatlah Midun dan Maun menumpang pedati yang 

membawa barang-barangnya itu. Dari kampungnya ke 

Bukittinggi adalah semalam perjalanan dengan pedati. Ia 

berangkat pada petang hari Jumat. Pagi-pagi hari Sabtu, 

sebelum matahari terbit, sudah sampai di Bukittinggi. Di dalam 

perjalanan keduanya adalah selamat saja. ` 

Belum tinggi matahari terbit, barang-barang yang dibawa-

nya diborong oleh orang Cina dengan harga Rp 160,-. Setelah 

itu keduanya pergi makan ke sebuah lepau nasi dan menghitung 

laba masing-masing. Barang yang berpokok Rp 50,- dijual Rp 

100,- dan beruntung Rp 50,-. Penjualan lain kepunyaan ibunya 

Rp 60,- ' disimpan mereka uangnya. Setelah dipotong biaya, 

lalu dibaginya dua keuntungan itu, yaitu Rp 20,-, seorang. 

Sesudah makan, Midun berkata, "Sungguh bukan sedikit untung 

kita, Maun! Patutlah Datuk Palindih lekas benar kayanya. Belum 

lama ia jadi saudagar, sudah banyak ia membeli sawah. Uang 

yang diperniagakannya pun tidak sedikit, karena berpuluh 

pedati ia membawa barang-barang yang telah dibelinya.


Maukah Maun berniaga pula nanti?" 

"Baik, saya pun amat suka berniaga," jawab Maun. "Jika 

pandai menjalankan perniagaan, memang lekas benar naiknya. 

Tapi jatuhnya mudah pula. Lihatlah Baginda Sutan itu! Dari 

sekaya-kayanya, jatuh jadi semiskin-miskinnya. Sekarang 

pikirannya tidak sempurna lagi." 

"Benar katamu itu. Karena Baginda Sutan sangat tamak akan 

uang dan sangat kikir pula, ia dihukum Tuhan. Boleh jadi ia 

berniaga terlampau banyak mengambil untung, lalu dimurkai 

Allah. Kekikirannya jangan dikata lagi. Bajunya baju hitam yang 

sudah berkilat lehernya, karena tidak bercuci. Baunya pun 

tidak terperikan busuknya. Uang seduit dibalik-baliknya dulu 

baru dibelanjakan." 

Maka mereka pun menanyakan kepada orang lepau itu, agar 

mereka kedua diizinkan bermalam di sana selama ada 

keramaian. Bagi orang lepau itu, karena dilihatnya Midun dan 

Maun orang baik-baik, tiadalah menjadi halangan mereka kedua 

menumpang di lepau itu. Setelah itu Midun dan Maun berjalan 

akan melihat-lihat keramaian "pasar malam". Pada kiri kanan 

jalan dekat lepau itu sampai ke pintu gerbang dihiasi dengan 

pelbagai sulur-suluran dan hunga-bungaan. Bergelung-gelung 

amat indah-indah rupanya. Pada tiap-tiap rumah sepanjang 

jalan, berkibaran bendera si tiga warna. Dari jauh sudah 

kelihatan pintu gerbang pasar malam itu. Tinggi di atas 

puncaknya terpancang bendera Belanda yang amat besar, 

berombak-ombak ditiup angin. Tonggak pintu gerbang itu dililit 

dengan kain yang berwarna-warna. Pelbagai bunga-bungaan 

bersusun amat beraturan, menyedapkan pemandangan. 

Midun dan Maun sampai di pintu gerbang itu. Dengan heran 

inereka melihat keindahannya. Agak ke sebelah dalam sedikit 

ada sebuah rumah yang amat kukuh, bangun rumah itu tak 

ubah dengan balairung sari buatan orang Minangkabau zaman 

dahulu. 

Sungguh tertarik hati melihat bangun rumah itu. Atapnya 

dari ijuk, berdinding papan berukir. Di tengah-tengah balai itu 

ada sebuah pintu masuk yang amat besar. Jika orang hendak 

melihat pasar malam, harus melalui pintu balai itu. Di atas 

pintu agak sebelah atas, ada kepala kerbau yang bertanduk. 

Kepala kerbau itu ialah menjadi suatu tanda kebesaran orang 

Minangkabau. 

Konon kabarnya, menurut cerita orang: pada zaman dahulu


kala orang Jawa datang ke Minangkabau akan menyerang negeri 

itu. Melihat kedatangan orang Jawa yang sangat banyak itu, 

orang Minangkabau khawatir, takut akan kalah perang. Oleh 

sebab itu, dicarinya akal akan menghindarkan bahaya itu. Maka 

dikirimnya seorang utusan oleh raja Minangkabau kepada 

panglima perang orang Jawa itu membawa kabar, mengatakan: 

bahwa jika berperang tentu akan mengorbankan jiwa manusia 

saja. Oleh karena itu, dimintanya berperang itu dihabisi dengan 

jalan mengadu kerbau saja. Manakala kerbau orang Minang-

kabau kalah, negeri itu akan diserahkan kepada orang Jawa. 

Tetapi kalau menang, segala kapal-kapal dengan muatannya 

harus diserahkan kepada orang Minangkabau. Permintaan itu 

dikabulkan oleh orang Jawa dengan segala suka hati. Maka 

dicarinya seekor kerbau yang amat besar. Tetapi orang 

Minangkabau mencari seekor anak kerbau yang sudah tiga hari 

tidak diberinya menyusu. Pada moncong anak kerbau itu 

diberinya berminang yang amat tajam. Setelah datang hari 

yang ditentukan hadirlah rakyat kedua kerajaan itu. Ketika 

orang Jawa melihat anak kerbau orang Minangkabau, mereka 

tertawa dengan riangnya. Pasti kepada mereka itu, bahwa ia 

akan menang. Tetapi setelah kedua kerbau itu dilepaskan ke 

tengah gelanggang, anak kerbau itu pun berlari-lari kepada 

kerbau besar orang Jawa itu, hendak menyusu... sehingga perut 

kerbau itu tembus oleh minang yang lekat di moncongnya. 

Kerbau orang Jawa itu mati, maka menanglah kerbau orang 

Minangkabau itu. Demikianlah ceritanya. Benar tidaknya cerita 

itu, wallahu alam. 

Balai itu dihiasi dengan amat bagus dan indahnya. Di atas 

balai itu kelihatan beberapa orang engku-engku berdiri. 

Ketika Midun tercengang-cengang memperhatikan pintu 

gerbang itu, tampak olehnya huruf yang dibuat dengan air mas. 

Huruf itu terletak pada tengah-tengah gaba-gaba. Sedang 

Midun melihat-lihat, datang seorang dekat padanya. Midun 

menyangka tentu anak itu murid sekolah, lalu bertanya, 

"Buyung, apakah bunyi bacaan yang tertulis pada gaba-gaba 

itu?" 

Anak itu pun berkata, katanya, "Pasar Malam." 

Midun meminta terima kasih kepada anak itu, kemudian 

berkata kepada Maun. "Jika orang hendak masuk ke dalam 

rupanya membayar. Mari kita beli pula yang seperti dibawa 

orang itu, kita masuk ke dalam!"


Sesudah membeli karcis, lalu keduanya masuk. Belum lagi 

sampai ke tengah, mereka amat heran melihat kebagusan pasar 

malam itu. Pondok-pondok berdiri dengan amat teratur. Los-los 

pasar dihiasi dengan bermacam-macam bunga. Midun pergi 

melihat-lihat keadaan di pasar itu. Mula-mula dilihatnya pada 

sebuah pondok seorang perempuan menenun kain. Midun 

sangat heran melihat bagaimana cekatannya perempuan itu 

bertenun. Setelah lama diperhatikan, ia pun meneruskan per-

jalanannya pula melihat yang lain-lain, misalnya, cara 

menanam tumbuh-tumbuhan yang subur, pemeliharaan ternak 

yang baik dan lain-lain sebagainya. Segala yang dilihat Midun di 

dalam pasar malam itu, diperhatikannya sungguhsungguh. 

Setelah petang hari, baru mereka pulang ke lepau nasi. Ketika 

ia melalui sebuah los dekat pintu keluar, kedengaran olehnya 

orang berseru-seru, katanya, "Lihatlah peruntungan, Saudara-

saudara! Baik atau tidaknya nasib kelak, dapat dinyatakan 

dengan mengangkat batu ini!" 

Midun dan Maun tertarik benar hatinya hendak melihat, lalu 

mereka pergi ke tempat itu. Midun melihat sebuah batu yang 

besar bertepikan suasa. Batu itu telah tua benar rupanya. 

Agaknya sudah berabad-abad umurnya. Tidak jauh daripada itu 

ada pula terletak sebuah pedupaan (perasapan). Bertimbun 

kemenyan yang ditaruhkan orang di sana. Maka bertanyalah 

Midun kepada orang yang berseru itu, katanya, "Batu apa ini, 

Mamak? Bagaimanakah, maka kita dapat menentukan nasib 

kelak dengan batu ini?" 

"Batu ini ialah batu keramat, pusaka dari Raja Pagaruyung 

yang telah berabad-abad lamanya," jawab orang itu. "Jika 

orang muda dapat mengangkat batu ini sampai ke atas kepala, 

tandanya orang muda akan berbahagia kelak. Tetapi bila tidak 

dapat, boleh saya pastikan, bahwa nasib orang muda tidak baik 

akhir kelaknya. Dan barang siapa yang tidak percaya akan 

perkataan saya, tentu ia dikutuki batu keramat ini." 

Midun dan Maun amat takjub mendengar perkataan orang 

itu. Karena ia seorang alim pula, bersalahan sungguh pendapat 

orang ini dengan ilmu pengetahuannya. Pikirnya, "Ini tentu 

suatu tipu untuk pengisi kantung saja. Mengapakah hal yang 

semacam ini kalau dibiarkan saja oleh pemerintah? Bukankah 

hal ini bersalahan dengan ilmu pengetahuan dan agama? Orang 

ini barangkali tidak beragama, karena batu disangkanya dapat 

menentukan buruk baik untung orang."


Berkacau-balau pikiran Midun tentang batu yang dikatakan 

keramat itu. Tetapi ia tidak berani mengeluarkan perasaannya, 

karena takut kepada orang banyak yang mengelilinginya. Tiba-

tiba datang seorang, lalu membakar kemenyan sebesar ibu jari 

pada pedupaan. Ketika ia membakar kemenyan, lalu memohon-

kan rahmat kepada hatu itu, moga-moga baik nasibnya kelak. 

Kemudian ia memasukkan uang sebenggol ke dalam tabung 

yang sudah tersedia. Sambil memperbaiki sikap dan membaca 

bismillah, maka diangkatnyalah batu itu perlahan-lahan, sebab 

takut akan ketulahan. Telah mengalir peluh di badan orang itu, 

jangankan terangkat bergerak pun tidak batu itu. Dengan 

bersedih hati dan muka yang suram, berjalanlah ia, tidak 

menoleh-noleh ke belakang. 

Midun berbisik kepada Maun, "Bersedih hati benar rupanya 

orang itu, karena batu ini tidak terangkat olehnya. Kepercaya-

annya penuh, bahwa batu keramat. Tentu saja tidak terangkat 

olehnya batu sebesar ini, karena ia sudah tua. Sungguh kasihan 

dan boleh jadi ia menyesali hidupnya dan sesalan itu boleh 

menimbulkan pikiran, hendak membinasakan diri, karena 

sangkanya, daripada hidup sengsara kelak, lebih baik mati 

sekarang. Berbahaya benar, tidak patut hal ini dibiarkan." 

Maun menarik napas, lalu berkata perlahan-lahan, 

"Sungguh, amat banyak orang sesat, karena kebodohan dan 

kepercayaan yang bukan-bukan. Janganlah kita bicarakan juga 

hal ini. Jika terdengar oleh yang punya dan oleh orang-orang 

yang mempercayainya keramat batu ini, boleh jadi kita binasa." 

"Baiklah, maukah Maun mengangkat batu ini? Saya ingin 

hendak mengangkat berapa beratnya, sebab sudah tiga orang 

tak ada yang kuat. Sungguhpun tidak percaya, kita pura-pura 

saja seperti orang itu." 

Maka Midun membakar kemenyan, kemudian memasukkan 

uang lima sen ke tabung. Setelah itu diangkatnya batu yang 

dikatakan keramat itu. Oleh Midun, seorang muda yang sehat 

dan kuat, dengan mudah saja batu itu diangkatnya. Segala 

orang yang melihat amat heran, lalu berkata, "Anak muda yang 

berbahagia." 

Benci benar Midun mendengar perkataan itu, hampir-hampir 

tak dapat ia menahan hati. Tiba-tiba telanjur juga, lalu 

berkata, "Tuhan yang dapat menentukan berbahagia atau 

tidaknya untung nasib seseorang, tetapi batu ini ...." 

Midun dan Maun segera berjalan pulang ke lepau nasi,


karena ketika hendak berkata lagi, dilihatnya muka yang punya 

batu berubah sekonyong-konyong. Sepanjang jalan mereka 

sepatah pun tidak bercakap, karena memikirkan batu yang 

bertepikan suasa itu. Sudah makan, baru mereka mem-

percakapkan penglihatannya sehari itu. Tetapi yang menarik 

hati mereka benar, ialah memperkatakan batu yang keramat 

itu saja. 

Pada malam hari Midun dan Maun pergi pula ke pasar 

malam. Sesampai di pintu masuk, takjub sungguh Midun 

melihat pintu gerbang pasar malam itu. Gaba-gaba diterangi 

dengan berpuluhpuluh lampu, melukiskan ukuran yang amat 

indah-indah. Balai dihiasi dengan lampu yang berwarna-warna. 

Huruf-huruf pada gaba-gaba dan di gonjong balai, seakan-akan 

terbuat daripada lampu laiknya. Dengan segera Midun membeli 

karcis, lalu masuk ke dalam. Midun dan Maun berjalan tidak 

seperti siang tadi, melainkan diperhatikannya isi tiap-tiap 

pondok di pasar itu. Banyak penglihatan Midun yang berfaedah 

untuk penghidupannya kelak. Misalnya pekerjaan tangan, cara 

memelihara ternak, keadaan bibit tanaman yang bagus, 

contoh-contoh barang perniagaan, dan lain-lain. 

Demikianlah pekerjaan mereka itu dua hari lamanya. Pada 

hari yang kelima, pagi-pagi, Midun dan Maun pergi ke pasar. 

Mereka herbelanja membeli ini dan itu, karena hendak terus 

pulang setelah melihat pacuan kuda lusanya. Tengah hari 

kembalilah mereka ke Iopau. Segala barang-barang yang dibeli, 

dipertaruhkannya kepada orang lepau itu. Setelah itu Midun 

duduk hendak makan, tetapi Maun masih di luar membeli 

rokok. Baru saja Midun duduk, Maun berseru dari luar katanya, 

"Midun! Midun! Lihatlah, apa ini?" 

Midun melompat lari ke luar, hendak melihat yang diseur-

kan kawannya itu. Di jalan kelihatan beberapa engku-engku 

dan tuan-tuan diarak dengan musik militer. Tiba-tiba Midun 

terkejut, karena di dalam orang banyak itu kelihatan olehnya 

Kacak. Dengan segera ditariknya tangan Maun, lalu dibawanya 

masuk ke dalam lepau. 

Dengan perlahan-lahan Midun berkata, "Maun! Adakah 

engkau melihat Kacak di antara orang banyak itu?" 

"Tidak," jawab Maun dengan cemasnya. "Adakah engkau 

melihat dia?" 

"Ada, rupanya ia ada pula datang kemari. Ketika saya me-

lihatnya tadi, ia memandang ke sana kemari, seakan-akan ada


yang dicarinya di antara orang banyak itu. Entah siapa yang 

dicarinya dengan matanya itu tidaklah saya ketahui. Saya amat 

heran karena ketika saya menampaknya tadi, darah saya ber-

debar. Yang biasa tidaklah demikian benar hal saya bilamana 

melihat Kacak. Boleh jadi kita di sini diintip orang, Maun! Siapa 

tahu dengan tidak disangka-sangka kita dapat bahaya kelak. 

Sebab itu haruslah kita ingat-ingat selama di sini." 

"Tidak kelihatankah engkau kepadanya tadi? Tetapi saya 

rasa takkan berani Kacak berbuat apa-apa kepada kita di dalam 

peralatan besar ini. Nyata kepada saya ketakutannya ber-

tentangan dengan engkau, waktu perkelahian di tepi sungai 

dahulu. Sedangkan di kampung demikian keadaannya, apalagi 

di sini. Siapa yang akan dipanggakkannya di sini? Karena itu 

tidak boleh jadi ia akan menyerang kita. Sungguhpun demikian, 

kita harus berhati-hati juga." 

"Saya tidak kelihatan olehnya. Tetapi jika tak ada yang di-

carinya, masakan seliar itu benar matanya. Saya pun maklum, 

bahwa dia tida k akan berani menyerang kita di sini. Tetapi 

karena dia orang kaya, tentu bermacam-macam jalan dapat 

dilakukannya akan membinasa. kan kita. Biarlah, asal kita 

ingat-ingat saja." 

Sesudah makan mereka pun berjalan-jalan ke pasar, 

melihat perarakan anak-anak sekolah dan lain-lain: Malam hari 

Midun tidak keluar, melainkan tinggal di lepau nasi saja. Lain 

benar perasaannya sejak melihat Kacak hari itu. Besoknya 

ketika pacuan kuda dimulai, mereka itu tidak pergi melihat, 

melainkan tinggal di lepau saja. Hanya pada hari yang kedua 

saja mereka hendak pergi sebentar. Sudah itu maksudnya 

hendak terus pulang ke kampung.


7. Di Pacuan Kuda. 

PAGI-PAGI benar Midun dan Maun sudah bangun. Setelah mandi 

mereka kedua pergi sembahyang kepada sebuah surau yang 

tidak herapa jauh dari lepau nasi tempatnya menumpang itu. 

Sudah sembahyang subuh, mereka pun berkemas membungkus 

dan mengikat barang-barang yang telah dibelinya. Setelah 

selesai, ditaruhnya dalam sebuah bilik lepau itu. Ketika mereka 

itu hendak minum pagi, dilihatnya hari sudah agak tinggi. Maun 

berkata, katanya, "Ah, hari sudah pukul tujuh agaknya, Midun! 

Boleh jadi kita terlambat. Saya rasa lebih baik kita makan di 

pacuan kuda saja nanti. Jika kita minum pula dahulu, tentu 

kita tidak dapat lagi melihat orang berpacu book* (Artinya merebut 

piala/beker). Sekalipun kita tidak minum, agaknya terlambat juga 

sampai ke sana. Marilah kita naik bendi saja ke pacuan kuda. 

Pacu boko kabarnya mulai pukul delapan betul." 

"Benar katamu, mari kita naik bendi saja," kata Midun. 

"Tetapi kabarnya sewa bendi sangat mahal sekarang. Lebih 

tiga kali lipat daripada sewa yang biasa. Lagi pula tidakkah 

jauh amat, karena kita pergi ke perhentian bendi dahulu?" 

"Tidak, kita tawar dahulu berapa sewanya. Dari sini tidak 

berapa jauh ke perhentian bendi. Mudah-mudahan sebelum kita 

sampai ke sana, bertemu dengan bendi yang mencari muatan." 

Keduanya berjalanlah menuju tempat perhentian bendi. 

Sampai di sana, lalu ditanyakan Midun berapa sewa bendi ke 

gelanggang pacuan kuda. Kusir bendi menjawab pendek saja, 

bahwa sewa bendi tidak kurang dari f1,- seorang ke pacuan. 

Jadi dua orang f2,-. Maun amat heran mendengar jawab kusir 

bendi meminta sewa semahal itu. Padahal antara Bukittinggi 

dengan pacuan kuda hanya sepal lebih sedikit. Maka Maun 

berkata dengan sungutnya, "Uang dua rupiah itu pada pikiran 

kusir murah saja, Midun! Memang lidahnya tidak bertulang, 

mudah saja ia menyebutkannya. Marilah kita berjalan kaki saja. 

Tidak cukup setengah jam kita sudah sampai. Hari baru pukul 

tujuh." 

Baru saja Midun berbalik hendak berjalan, tiba-tiba tampak-

lah olehnya seseorang melintas jalan. Darah Midun tersirap 

melihat orang itu, karena rasa-rasa sudah bertemu dengan dia. 

Setelah dipikirkannya di mana orang itu bertemu dengan dia,


baru Midun maklum Dengan suara gagap ia berkata, "Maun! 

Lenggang yang bertemu dengan kita pulang dari sembahyang 

Jumat di kampung tempo hari ada pula kemari. Itu dia di 

seberang jalan. Lihatlah, tajam benar pandangannya kepada 

kita. Saya amat heran, sudah dua kali saya bertemu dengan 

dia, selalu darah saya saja yang tersirap. Pertemuan yang 

kedua ini, tidak darah saya saja yang tersirap, tetapi tegak pula 

bulu kuduk saya rasanya. Bukankah ajaib itu?" 

Maun, yang memang sejak dahulu tidak senang hatinya 

melihat dan mendengar nama Lenggang itu, terperanjat pula, 

lalu berhenti berjalan akan melihat orang itu. Sambil berpaling 

pula hendak berjalan ia berkata, "Hati-hati, Midun, tidak 

darahmu saja yang tersirap, tetapi urat kuduk saya mendenyut 

melihat Lenggang itu. Jangan kita bercerai-cerai barang 

setapak jua pun. Tertelentang sama terminum air, tertangkup 

sama termakan tanah, menyuruk sama bungkuk, melompat 

sama patah, musuhmu musuh saya. Saya selalu bersedia akan 

membelamu, biar bagaimana juga. Jika ada apa-apa yang ter-

jadi, jangan engkau larang-larang lagi, sebagai ketika engkau 

berkelahi dengan Kacak dahulu. Saya tahu apa yang akan saya 

perbuat, untuk keselamatan diri kita berdua. Jangan lagi kita 

lama-lama di pacuan. Asal sudah kita melihat pacu boko, kita 

terus pulang saja. Tidak perlukah kita membawa pisau, Midun?" 

"Nasihatmu itu saya pegang benar-benar. Kita tidak boleh 

lengah dan alpa sedikit juga sampai-sampai pulang ke 

kampung. Tentang membawa pisau itu tidak usah lagi. Tulang 

delapan kerat yang dijadikan Tuhan ini sajalah kita per-

gunakan. Banyak bahayanya kita berpisau daripada tidak 

berpisau. Jika tikus seekor penggada seratus, artinya dia 

banyak kita berdua, kita buat saja langkah seribu, daripada 

mengamuk atau menikam orang. 

Tentang kesetiaan hatimu itu kepada saya, saya ucapkan 

terima kasih banyak-banyak. Tetapi sebenarnya dalam hal ini 

engkau tidak campur sedikit jua. Jika misalnya bahaya datang 

tiba-tiba—tetapi janganlah hendaknya— saya tidak suka engkau 

terbawa-bawa pula sebab saya. Tak beban batu digalas, kata 

orang. Tentu saja engkau teraniaya, karena hendak menolong 

seorang teman. Tetapi melihat pengakuan dan keyakinanmu 

kepada saya, tak dapat saya menolak perkataanmu itu. 

Kebersihan dan keikhlasan hati engkau itu, saya hargakan 

sungguh-sungguh. Kebanyakan orang bersahabat ialah akan


lawan tertawa saja, tetapi lawan menangis sukar dicari. 

Bagimu rupanya tidaklah demikian. Saya telah engkau sangka 

seperti saudara kandung seibu seayah, tidak berubah dari mulut 

sampai ke hati. Badan saja yang dua, tetapi nyawa umpama 

satu." 

"Kawanku Midun! Sejak kecil kita tidak bercerai setapak 

juapun. Selama itu saya rasa, belum pernah saya menumangkan 

engkau. Bagi saya engkau tidak saya pandang orang lain lagi, 

melainkan telah seperti saudara kandung. Jika engkau susah, 

saya akan lebih berdukacita, dan jika engkau tertawa, saya pun 

lebih bersuka hati. Sudahlah, tidak guna kita perbincangkan 

lagi. Apa guna dipikirkan, bukanlah kita sekarang dalam 

peralatan? Waktu ini kita harus bersuka-suka. Yang segantang 

tidakkan mau jadi sesukat. Asal kita ingat saja menjaga diri, 

sudahlah! 

Benar juga katamu itu, dengan bermacam-macam akal 

tentu ia dapat berlaku akan membinasakan kita. Oleh sebab itu 

untuk menjaga keselamatan kita, jangan kita berjalan seperti 

yang sudah-sudah lagi. Mulai sekarang kita ubah, lebih baik kita 

berjalan beriring-iring. Engkau di muka, saya di belakang. Saya 

perlu menjaga engkau, karena engkaulah yang dimusuhi orang, 

saya tidak. Kalau kita berjalan bersisi-sisi atau engkau di 

belakang, tentu gampang orang membinasakan kita. Siapa 

tahu, engkau diserang orang dengan tiba-tiba dari belakang. 

Manakala saya di belakang, tentu boleh saya memberi ingat 

kalau ada apa-apa. Saya tidak akan lengah dan selalu menjaga 

dengan ingat-ingat." 

"Terima kasih banyak-banyak, Maun! Sebetulnyalah pikiran-

mu itu. Bila kita selalu dalam hati-hati, tetapi bahaya jua yang 

dapat, sudah suratan badan kita yang celaka dan tidak menjadi 

sesalan lagi." 

Dengan tidak diketahui mereka kedua, maka sampailah ke 

pacuan kuda. Sepanjahg jalan yang dilaluinya itu berkibaran 

bendera pada kiri-kanan jalan. Pada pintu masuk pacuan kuda, 

ada pula sebuah gaba-gaba yang amat indah-indah, dihiasi 

dengan pelbagai bunga-bungaan. Sekeliling pacuan itu penuh 

dengan berbagai-bagai bendera. Sebuah daripada bangsal-

bangsal di pacuan itu, amat kukuh buatannya. Bangsal itu ialah 

tempat engku-engku dan tuan-tuan melihat kuda berpacu. 

Amat permai dan cantik bangsal yang sebuah itu, karena dihiasi 

dengan bunga-bungaan yang amat bagus. Pada puncaknya


berkibar bendera yang bercorak tiga. 

Ada pun pacuan itu dikelilingi oleh bukit. Tiap-tiap bukit itu 

berpuluh-puluh pondok didirikan orang. Pondok-pondok itu 

ialah tempat orang berjual nasi, juadah, dan lain-lain 

sebagainya. Penuh sesak orang di bukit itu, berkelompok-

kelompok sangat banyaknya. Hampir dari seluruh tanah 

Minangkabau, amat banyak datang melihat pacuan kuda itu. 

Sebabnya ialah karena pacuan itu kepunyaan anak negeri, dan 

kuda yang dipacu, kuda negeri pula. Pada hari itu orang dua 

kali sebanyak kemarinnya. Berdesak-desak orang mencari 

tempat akan melihat perlombaan kuda. Hal itu lain tidak 

karena orang hendak melihat pacu boko, yang sangat disukai 

orang. 

Pacu boko itu akan merebut priys yang dinamakan 

"Minangkabau Beker". Siapa yang menang tidak saja ia mem-

peroleh piala, tetapi menerima hadiah uang yang banyak pula. 

Sebab itu, kuda yang dipacu tidak sedikit. Tiap-tiap luhak di 

Minangkabau, diambil dua ekor kuda yang terkencang. Ketika 

itu hanya empat belas ekor kuda sekali lepas. Dengan melihat 

pakaian anak pacuannya, tahulah orang dari luhak mana-mana 

kuda itu datangnya. Ketika itu ada pula kuda yang datang dari 

Padang Hilir*(Negeri-negeri sebelah pesisir dinamai Padang Hilir, sebelah ke 

Gunung Padang Darat). 

Midun dan Maun mencari tempat yang baik, agar dapat me-

lindungkan diri dari bahaya. Setelah dapat, mereka berdirilah 

di sana. Sungguhpun tempat itu amat baik, Maun selalu ingat-

ingat jua. Tidak lama kemudian, kuda dilepas orang. Gemuruh 

bunyi sorak orang sekeliling pacuan itu. Ada yang menyerukan, 

"Agam, Agam," dan ada pula "Payakumbuh, Payakumbuh," yaitu 

masing-masing menyerukan luhaknya. Rasakan hendak belah 

bumi rupanya. Tidak bersorak saja, musik militer pun selalu 

berbunyi selama kuda itu berlari. Tiap-tiap orang gelisah dan 

tidak bersenang hati, manakala melihat kuda dari luhaknya 

kalah. Tetapi yang menang, orang luhaknya rasa hendak 

terbang karena kegirangan hati. Mereka melompat-lompat, 

tertawanya berderai-derai dan perkataannya seperti 

merendang kacang sebab sukanya. Setelah sudah berpacu, 

nyata yang menang masa itu kuda dari luhak Agam. Maka orang 

dari luhak itu berlarian ke tengah gelanggang pacuan, berarak, 

dan bersorak-sorak menunjukkan suka hatinya. Musik militer 

pun turun, lalu kuda yang menang itu diarak sekeliling pacuan.


Orang di gelanggang itu herkacau-balau tidak bertentu lagi. 

Midun dan Maun tidak berani keIuar dari tempatnya, melainkan 

ia melihat saja dari jauh. Setelah sudah orang mengarak kuda 

barulah tenang kembali. Midun berkata kepada Maun, "Maksud 

kita sudah sampai, perut sudah lapar, mari kita pergi makan. 

Sesudah makan, kita ambil barang-barang kita, terus pulang." 

"Di lepau nasi manakah yang baik kita makan?" jawab Maun. 

"Mari kita makan ke puncak bukit itu! Di sana tentu senang 

kita makan dan tidak terganggu." 

Maka keduanya pun naik ke puncak bukit, mencari lepau 

nasi yang agak baik. Pada kiri kanan tempat yang dilalui 

mereka itu orang duduk berkelompok-kelompok. Di muka 

mereka terbentang sehelai tikar dan sebuah piring dengan dadu 

dan tutupnya. Berpuluh-puluh uang terletak di muka mereka 

itu. Demikianlah halnya tiap-tiap kelompok orang itu. Di sini 

kelihatan orang main dadu, di sana dadu kuncang, dan lain-

lain. Segala macam judi ada di situ. Berbagai-baga akal mereka 

mencari uang. Tidak main dadu saja, bertaruh kuda pun banyak 

pula. Midun tidak lama memperhatikan orang main dadu itu, 

melainkan ia terus berjalan ke puncak bukit. Setelah didapat 

lepau nasi yang berkenan kepadanya, maka makanlah ia di situ. 

Sesudah makan, lalu turun pula ke bawah, hendak pergi ke 

tempatnya menumpang mengambil barang-barangnya. Belum 

jauh berjalan, dilihatnya beberapa orang opas berjalan keliling 

tempat orang main itu. Opas itu melemparkan ringgit ke tikar 

dadu, kemudian dikembalikan orang ringgit itu dengan sebuah 

rupiah akan tambahnya. Sedang Midun memikirkan hal itu, 

Maun yang berdiri di belakangnya melihat seseorang bergerak 

dekatnya, kemudian terbayang pada matanya sebuah pisau 

yang menuju rusuk Midun. Sebagai kilat Maun melompat 

menangkap pisau itu, sambil berseru, "Awas, Midun!" ' 

Midun berbalik, dilihatnya Maun telah berkelahi, lawannya 

memegang sebuah pisau. Ketika Midun hendak melompat 

menolong Maun, tiba-tiba ia diserang orang pula dengan pisau. 

Orang itu ialah Lenggang yang dilihatnya pada perhentian bendi 

tadi pagi. Midun lalu menangkis serangan, sambil mengundur-

kan diri ke arah Maun berkelahi. Setelah dekat, Midun berkata, 

"Lepaskan, jaga di belakang saya!" 

Suara itu terdengar oleh Maun, lalu ia melompat ke 

belakang Midun. Maun sekarang hanya menjaga kalau-kalau ada 

serangan dari kiri-kanan saja. Kedua orang itu Midun sendiri


yang melawan. Bukan main tangkas Midun menyambut dan 

mengalahkan tikam lawannya. Tidak lama pisau yang seorang 

terpelanting kena sepak Midun. Tinggal lagi Lenggang yang 

berpisau. Midun dan Maun selalu mengundurkan diri ke 

belakang. Kemudian ia tertumbuk pada dinding sebuah lepau 

nasi. Di sana mereka kedua dapat tempat untuk bertahan. 

Orang makin banyak menyerang Midun, karena teman Lenggang 

selalu berteriak, mengatakan, "Pancacak*(Pencuri, dalam orang 

ramai)!" 

Karena itu orang menyangka Midun seorang pencuri. Dari 

kiri kananin dan dari muka musuh datang; amat sibuk tidak 

tentu lawan kawan. Orang banyak itu tidak dipedulikan Midun 

amat, melainkan yang sangat dijaganya Lenggang. Bagi orang 

banyak itu lain tidak ilmu, sepak terjang saja. Tetapi Lenggang 

sengaja hendak membunuh dia. Tidak lain yang kedengaran 

masa itu, hanya bunyi sepak terajang, pukulan dan tinju orang 

saja. Huru-hara benar di bukit sebuah itu. Anak-anak amat 

banyak terinjak oleh orang yang melarikan diri. Perempuan-

perempuan yang berpakaian bagus-bagus, tunggang-Ianggang 

jatuh ke bawah sebab dilanda orang yang berkelahi. Jerit, 

tangis, dan teriak orang mengatakan "bunuh dan amuk", tidak 

pula kurang. Polisi bekerja keras memadamkan perkelahian itu. 

Meskipun dengan pedang bercabut menghentikan perkelahian 

itu, tidak dipedulikan orang. Malahan polisi sendiri ada yang 

berguling-guling jatuh ke bawah kena kaki orang. Setelah 

datang serdadu selusin dan membunyikan bedil serentak, baru-

lah peperangan kecil itu aman kembali. Jika tidak lekas 

serdadu datang, entah berapa gerangan bangkai terhantar. 

Ketika bedil berbunyi, kebetulan dekat Midun ada seorang 

yang terhantar di tanah. Tiba-tiba ia telah dipegang Tuan 

Kemendur dari rusuk, yang pada ketika itu datang bersama-

sama dengan serdadu akan memadamkan perkelahian. Midun 

ditangkap karena bajunya berlumur darah. Maun ditangkap 

juga, sebab ia berdiri dekat seorang vang terhantar di tanah. 

Orang yang terhantar itu terus dibawa ke rumah sakit. Orang 

itu ialah Lenggang. Ia pingsan karena perutnya kena amuk oleh 

pisaunya sendiri. Tetapi lukanya tidaklah berat benar. Pada 

lengan Lenggang ada sebuah pisau yang berlumur darah. Teman 

Lenggang melenyapkan diri di dalam orang banyak itu. Orang 

lain yang serta dalam perkelahian karena melepaskan dendam 

atau mempertahankan diri, ketika bedil meletus berlarian


menyembunyikan badan. 

Midun dan Maun dibawa oleh seorang opas. Ketika mereka 

itu sampai pada perhentian bendi di gelanggang pacuan kuda, 

bertemu dengan Pendekar Sutan. Melihat Midun dan Maun 

diiringkan opas, Pendekar Sutan sangat terkejut. Maka ia pun 

bertanyakan hal itu kepada Midun. Midun menceritakan per-

kelahiannya dengan Lenggang. Setelah sudah, Midun berkata, 

katanya, "Hal ini janganlah Bapak beri tahukan dahulu kepada 

orang di kampung. Manakala di dalam sepuluh hari ini tak ada 

seorang jua di antara kami yang pulang, barulah Bapak 

ceritakan hal kami ini." 

"Baiklah!" jawab Pendekar Sutan dengan cemasnya, karena 

ia maklum dari mana asalnya maka terjadi perkelahian itu. 

"Syukurlah, engkau kedua tidak binasa. Saya belum akan 

pulang, karena saya hendak menantikan kabarnya. Jika dalam 

sepekan ini perkara ini belum juga diperiksa, baru saya pulang 

ke kampung. Engkau kedua jangan khawatir, karena sipir dan 

beberapa tukang kunci* (Opas Penjara) penjara berkenalan 

dengan saya. Biarlah, besok saya temui dia ke penjara akan 

mempertaruhkan engkau, supaya jangan diganggu orang di 

dalam penjara." 

Midun dan Maun terus dibawa ke penjara. Mereka kedua di-

tahan di sana, sementara perkaranya belum diputuskan. Empat 

hari sesudah peralatan, Midun dan Maun mulai diperiksa oleh 

jaksa. Dalam pemeriksaan yang pertama itu, nyata bahwa Maun 

tidak campur apa-apa. Oleh jaksa Maun diizinkan pulang, tetapi 

manakala dipanggil harus datang sebagai saksi. Maka Maun 

pulanglah bersama Pendekar Sutan yang sengaja menanti 

kabarnya.


8. Menjalani Hukuman 

SETELAH dua bulan lebih kemudian daripada itu, Maun ter-

panggil datang ke Bukittinggi. Maka iapun datanglah bersama-

sama dengan Pak Midun, Haji Abbas, dan Pendekar Sutan yang 

hendak mendengar keputusan perkara itu. 

Tiga hari berturut-turut Landraad memeriksa perkara itu 

dengan hemat. Pada hari yang keempat, baru dijatuhkan 

hukuman masing-masing. Midun dihukum enam bulan. Sebab 

menjalankan hukuman. Hukuman itu dijalankannya tidak di 

Bukittinggi, melainkan di Padang. Lenggang dihukum setahun 

penjara dan dibuang ke Bangkahulu. Ia disalahkan mengamuk, 

karena pisaunya berlumur darah. 

Setelah Midun keluar dari kantor Landraad, diceritakannya-

lah kepada ketiga bapaknya, bahwa ia dihukum ke Padang 

lamanya empat bulan. Dan dikatakannya pula besoknya ia mesti 

berangkat menjalankan hukuman itu. Midun meminta dengan 

sangat kepada ketiga bapaknya itu menyuruh pulang hari itu 

juga, jangan ia diantarkan ke stasiun besoknya. Permintaan itu 

dikabulkan oleh mereka itu. Pak Midun berkata dengan air mata 

berlinang-linang, katanya, "Baik-baik engkau di negeri orang, 

Midun! Ingat-ingat menjaga diri! Engkau anak laki-laki, sebab 

itu beranikanlah hatimu. Mudah-mudahan janganlah hendaknya 

kurang suatu apa engkau menjalankan hukuman. Jika engkau 

sudah bebas, lekas pulang. Segala nasihat kami yang sudah-

sudah, pegang erat-erat, genggam teguh-teguh." 

Baru sekian perkataan Pak Midun, air matanya sudah ber-

cucuran. Ia tidak dapat lagi meneruskan perkataannya, karena 

amat sedih hatinya bercerai dengan anaknya yang sangat 

dikasihinya itu. Sambil bersalam dengan Midun, lalu didekapnya 

anaknya. Ia pun berjalan dengan tidak menengok-nengok lagi 

ke belakang ke lepau tempat ia menumpang. Demikian pula 

Haji Abbas dan Pendekar Sutan, hanya sepatah-dua patah saja 

menasihati Midun. Setelah bermaaf-maafan, mereka itu ber-

jalan dengan sedih yang amat sangat. 

Hancur luluh hati Midun ketika ditinggalkan ketiga bapaknya 

itu. Tetapi dengan kuat ia menahan hati, supaya air matanya 

jangan keluar. Ketika Maun bersalam akan meminta maaf 

kepadanya, iapun berkata, katanya, "Saudaraku Maun! Sekarang


kita akan bercerai. Nyawa di dalam tangan Allah, tidak tentu 

besok atau lusa diambil yang punya. Siapa tahu perceraian kita 

ini entah untuk selama-lamanya. Tetapi mudah-mudahan 

janganlah hendaknya terjadi demikian. Lekas jua kita diper-

temukan Tuhan kembali." 

Suara Midun tertahan karena menahan sedih. Air matanya 

bercucuran, seolah-olah tidak sanggup ia bercerai dengan 

sahabatnya yang akrab sejak dari kecil itu. Kemudian Midun 

menyambung perkataannya pula, katanya, "Sejak kecil kita 

bergaul, belum pernah engkau mengecewakan hatiku. Dalam 

segala hal hidup bertolong-tolongan, tidak pernah berselisih 

paham, melainkan sepakat saja. Hanya saya yang banyak 

berutang budi kepadamu. Perbuatanku selama ini terhadap 

kepadamu, belum ada yang menyenangkan hati engkau. Saya 

ulang sekali lagi akan menyatakan terima kasih saya tentang 

perkelahian di pacuan kuda itu. Jika engkau tidak menangkap 

pisau teman Lenggang, barangkali jiwaku melayang, karena 

saya ditikamnya dari belakang. Untung engkau selalu ingat dan 

dapat menangkis. Jadi adalah seakan-akan jiwaku yang 

seharusnya telah bercerai dengan badanku, engkau pulangkan 

kembali. 

Lain daripada itu, Maun! Ibu bapakmu ialah ibu bapak saya. 

Thu bapakku saya harap engkau sangka ibu bapakmu pula. 

Bagaimana engkau mengasihi ibu bapakmu, begitu pula hendak-

nya kepada orang tuaku. Engkaulah yang akan mengulang-

ulangi beliau selama saya jauh dari kampung. Jangan engkau 

perubahkan, buatlah seperti di rumahmu sendiri di rumah ibu 

bapakku. Sekianlah petaruh saya kepadamu kembali. Sambut-

lah salamku dan maafkanlah saya, Saudara!" 

Maun tidak dapat menjawab perkataan sahabatnya itu, 

karena sudah didahului oleh air mata yang tak dapat ditahan-

nya lagi. Ia menangis, hatinya remuk dan sedih amat sangat. 

Setelah beberapa lamanya mereka itu bertangis-tangisan, ber-

katalah Maun dengan putus-putus suaranya, "Saya membela 

sanakku, tidak usah engkau meminta terima kasih pula. 

Kesalahanmu tidak ada kepadaku. Jika tidak memikirkan ibu 

bapak kita di kampung, tentu saya sama-sama terhukum 

dengan engkau. Bukankah mudah saja saya menjalankan jawab 

waktu ditanyai hakim, supaya dapat dihukum. Selamat jalan, 

Saudara, beranikanlah hatimu!" 

Maun mengambil tangan Midun, kemudian dilekaskannya,


lalu berjalan lekas-lekas mengikuti Pak Midun ke lepau nasi 

tempat mereka itu menumpang. Dengan tidak menoleh-noleh 

ke belakang, ia berjalan terhuyung-huyung, karena sedih hati-

nya. Hari itu juga keempatnya terus pulang ke kampung. 

Mereka itu berjalan kaki saja, sambil memperbincangkan hal 

Midun. Tetapi Pak Midun sepanjang jalan tidak berkata sepatah 

juga pun. Hancur luluh hatinya mengenangkan perceraian 

dengan anak kesayangannya itu. Amat sakit hatinya memikirkan 

apa dan siapa yang menyebabkan perceraian dengan anaknya 

itu. Demikianlah hal mereka itu sampai pulang. 

Hal Midun dihukum itu tersiar di kampungnya. Segala orang 

di kampung itu amat bersedih hati kehilangan Midun, seorang 

anak muda yang baik hati dan sangat dicintai oleh segala orang 

di kampungnya. Banyak orang di kampung itu yang menyangka 

bahwa Midun dihukum itu tak dapat tiada bertali dengan si 

Kacak musuhnya. Sejak itu orang di kampung itu semakin benci 

kepada kemenakan Tuanku Laras itu. Melihat mukanya saja 

orang amat jijik, dan kalau bertemu sedapat-dapatnya 

dihindarkannya. Tetapi Kacak mendengar kabar itu sangat 

bergirang hati. Orang yang dibencinya tak ada lagi. Kalau ia 

bercakap-cakap dengan kawannya, selalu ia berjujat tentang 

perangai Midun. Dikatakannya bahwa Midun seorang-orang 

jahat, kalau tidak masakan dihukum. Tetapi di dalam hati 

Kacak merasa berang dan kesal, karena Midun tidak sampai 

tewas nyawanya dalam perkelahian di gelanggang pacuan kuda 

itu. 

Midun sangat bersedih hati, karena ia akan meninggalkan 

negerinya. Makin remuk redam lagi hati Midun, karena ia tidak 

dapat menemui bunda dan adik-adiknya yang sangat dikasihinya 

itu lebih dahulu. Sepanjang jalan ke penjara pikirannya tidak 

bertentu saja. Sebentar begini, sebentar pula begitu 

mengenangkan nasibnya yang malang itu. Kadang-kadang besar 

dan suka hati Midun dihukum, karena ia dapat menghindarkan 

musuhnya yang berbahaya itu. Jika ia di kampung juga, boleh 

jadi hidupnya lebih celaka lagi. Bermusuh dengan seorang kaya, 

keluarga orang berpangkat dan bangsawan tinggi pula, tentu 

saja mudah ia binasa. Asal Midun lengah sedikit saja, tentu 

Kacak dapat menerkam mangsanya. Sebelum Midun lenyap di 

dunia ini, tidaklah Kacak akan bersenang hati. Makin dikenang 

makin jauh, makin dipikirkan makin susah. Dengan pikiran 

demikian itu, lain tidak hasilnya sedih dan pilu, padahal


nasibnya takkan berubah, tetap begitu juga. Maka Midun pun 

membulatkan pikirannya, lalu berkata di dalam hatinya, "Ah, 

sudahlah, memang adat laki-laki sudah demikian. Tiap-tiap 

celaka ada gunanya. Tidak guna saya sesalkan, karena hal ini 

kemauan Tuhan dan kehendak Allah jua." 

Pagi-pagi waktu Midun akan berangkat, ia memohonkan per-

lindungan Tuhan, hubaya-hubaya selamat dalam hidup yang 

akan dijalaninya itu. Ketika itu hari masih gelap, kabut amat 

tebal. Angin tak ada, burung-burung seekor pun tidak 

kedengaran berbunyi, seolah-olah bersedih hati pula akan 

bercerai dengan Midun. Fajar mulai menyingsing di sebelah 

timur, tetapi amat suram, cahaya. Maka turunlah hujan rintik-

rintik, angin berembus sepoi-sepoi basa. Segalanya itu seakan-

akan berdukacita melepas orang muda yang amat baik hati itu, 

yang barangkali entah lama lagi akan dapat menjejak tanah 

airnya kembali. Tidak lama datanglah seorang opas, Gempa 

Alam namanya, yang akan mengantarkan Midun ke Padang hari 

itu. Baru saja opas itu datang, Midun berkata, "Apa kabar, 

Mamak? Sekarang saya berangkat ke Padang?" 

"Ya, kita sekarang berangkat, sudah siapkah Midun?" ujar 

Gempa Alam, sebagai orang yang telah kenal kepadanya, 

"kereta api berangkat pukul tujuh, sekarang sudah setengah 

tujuh lewat." 

"Sudah, Mamak," jawab Midun dengan pendek. 

"Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga. 

Sebetulnya Midun harus saya belenggu, karena begitu perintah 

saya terima. Tapi sudah tiga hari Midun saya kenali, saya 

jemput dan saya antarkan waktu perkara, nyata kepada saya 

bahwa Midun seorang yang baik. Saya percaya Midun tidak akan 

melarikan diri. Oleh sebab itu tadi sudah saya pohonkan kepada 

sipir, supaya engkau jangan dibelenggu ke Padang. Karena saya 

berani menjamin atau menanggung bahasa Midun tidak akan 

lari, permintaan saya itu dikabulkan oleh sipir." 

"Mamak bukankah sudah tahu bagaimana duduknya 

perkaranya. Tentang akan melarikan diri itu, janganlah Mamak 

khawatirkan. Sedikit pun tidak ada kenang-kenangan saya 

dalam hal itu. Apa yang seolah digerakkan Tuhan atas diri saya, 

harus dan wajib saya terima dengan segala suka hati. 

Kemurahan Mamak itu, asal tidak akan merusakkan kepada 

pekerjaan Mamak, saya ucapkan terima kasih banyak-banyak." 

"Midun, jika saya menaruh khawatir kepadamu, dengan


tidak bertanya-tanya lagi belenggu ini sudah saya lekatkan di 

tangan Midun. Tetapi karena saya sudah maklum siapa dan 

bagaimana engkau, saya pohonkan supaya jangan dibelenggu. 

Marilah kita berangkat!" 

Maka kelihatanlah Midun dengan seorang opas menuju ke 

stasiun. Midun kelihatan sabar saja, sedikit pun tidak ada tanda 

ia dalam bersedih hati. Kendatipun pikiran Midun sudah tetap, 

tidak lagi akan mengenang-ngenangkan nasibnya, tetapi ketika 

lonceng tiga berbunyi, lain benar perasaannya. Pikiran Midun 

melayang kepada ayah bunda dan adik-adiknya. Tampak-

tampak dalam pikiran Midun segala sahabat kenalannya di 

kampung. Pada perasaannya ia meninggalkan kampung 4 bulan 

itu, tak ubah sebagai seorang yang tidak akan balik-balik lagi 

atau pergi meranto bertahun-tahun. Demikianlah kesedihan 

yang selalu menggoda Midun, hingga dengan tidak diketahui 

sudah dua buah halte kereta api terlampau. 

Melihat muka Midun muram sebagai orang bersedih ha I i 

Gempa Alam belas kasihan kepadanya. Akan menghalangkan 

duka Midun, maka Gempa Alam berkata, "Midun, sekalipun saya 

sudah maklum duduk perkara yang menghukum engkau ini, 

ingin juga saya hendak mendengar dari mulutmu sendiri, 

bagaimana asal mulanya perkara Midun berkelahi di pacuan 

kuda, dan apa yang menyebabkannya. Cobalah ceritakan 

kepada saya dari bermula sampai kita naik kereta api sekarang 

ini." 

"Saya dihukum ini tidak utang yang dibayar, dan tidak 

piutang yang diterima, " ujar Midun memulai perkataannya. 

"Saya adalah seorang yang teraniaya, Mamak. Dengarlah saya 

ceritakan dari bermula sampai tamat. Setelah habis cerita 

saya, akan nyata kepada Mamak, bahwa saya teraniaya. Cerita 

saya ini tidak saya lebihi dan tidak pula dikurangi, melainkan 

sebagaimana yang terjadi atas diri saya saja." 

Maka Midun pun bercerita kepada Gempa Alam, mulai dari 

ia berdua belas di masjid, sampai ia dihukum itu. Satu pun tak 

ada yang dilampaui Midun, habis semua diceritakannya. Karena 

asyik mendengar cerita itu, dengan tidak diketahuinya kereta 

api sudah sampai di halte Kandangempat, lewat Padang 

panjang. Baru saja Midun tamat bercerita, Gempa Alam meng-

angguk-anggukkan kepala, sambil menarik napas panjang. 

Kemudian ia berkata, "Ceritamu itu hampir bersamaan benar 

dengan nasib saya semasa muda. Hanya saja pada per


mulaannya yang agak berlainan sedikit. Sebab tidak tahan 

hidup di kampung, sudah 15 tahun lamanya saya meninggalkan 

negeri. Dalam 15 tahun itu belum pernah sekali jua saya men-

jejak kampung tempat kelahiran saya. Amat banyak pe-

nanggungan saya selama itu, macam-macam pekerjaan yang 

telah saya kerjakan untuk mengisi perut sesuap pagi, sesuap 

petang. 

Sekarang sebagai engkau lihat sendiri, saya telah menjadi 

komandan opas. Akan pulang ke kampung, takut... ya akan 

dapat malapetaka pula, sebab yang memusuhi saya itu masih 

memegang jabatannya." 

"Mamak, kalau saya tidak salah umur Mamak sudah lebih 40 

tahun," ujar Midun. "Selama Mamak hidup, tentu telah banyak 

negeri yang Mamak lihat, dan sudah jauh rantau yang Mamak 

jelang. Saya rasa tidak sedikit pengetahuan Mamak bertambah. 

Tetapi saya, Mamak, umur baru setahun jagung, darah baru 

setampuk pinang, pomandangan belum jauh, pendengaran 

belum banyak, pengetahuan belum seberapa. Bahkan 

meninggalkan kampung barulah sekali ini. Sebab itu saya ber-

harap, sudilah kiranya Mamak menceritakan hal Mamak itu. 

Mudah-mudahan dalam cerita Mamak itu ada yang berguna 

akan jadi teladan. Dengan cerita Mamak itu, tentu dapat saya 

membandingkan, bagaimana saya harus menjalankan peng-

hidupan saya kelak." 

"Baik, dengarkanlah!" ujar Gempa Alam. "Dahulu waktu saya 

masih muda, pekerjaan saya berniaga kecil saja di pasar. 

Dengan jalan demikian, dapat saya uang untuk pokok berniaga 

yang agak besar. Dengan rajin dan sungguh serta hemat, saya 

menjalankan periliagaan. Dalam dua tahun saja saya mendapat 

untung yang bukan sedikit jumlahnya. Uang itu dapat saya 

pergunakan untuk mengganti pondok orang tua saya dan pem-

beli sawah. Saya telah menjadi saudagar, dan nama saya di 

kampung sudah harum pula. Sungguhpun uang saya belum 

seberapa, tetapi karena sudah sanggup mengganti rumah orang 

tua dan membeli sawah, pada pikiran orang, saya sudah kaya 

raya. 

O ya, saya lupa, Midun! Ketika saya berniaga berkecil-kecil 

itu, umur saya sudah 16 tahun. Waktu itu saya sudah beristri. 

Sayang istri saya itu tidak lama umurnya. Belum cukup setahun 

saya bergaul dengan dia, ia sudah meninggalkan dunia. la me-

ninggal itu karena kelulusan* (Beranak-muda, belum cukup bulannya),


dan kata setengah orang sebabnya, karena ia terlampau muda 

kawin dengan saya. Perkataan orang itu boleh jadi benar, 

karena waktu ia kawin, paling tinggi umurnya 13 tahun. Sejak 

itu saya tidak mau kawin lagi. Saya beristri itu ialah karena 

terpaksa saja. Tidak boleh saya mengatakan tidak mau, melain-

kan mesti terima. Biarpun bagaimana saya mengatakan: saya 

belum hendak kawin, tetapi mamak saya memaksa juga. Maka 

demikian belum ada dalam pikiran saya hendak kawin, karena 

ibu bapak saya orang miskin. Saya perlu membela ibu bapak 

dan adik-adik saya dulu. Jika tidak saya tolong, tentu sengsara 

penghidupan kami. 

Nah, setelah istri saya meninggal, saya berusaha, sehingga 

mencukupi untuk dimakan petang pagi, sebagai sudah saya 

katakan tadi. Saya pun terus juga berniaga menjual barang-

barang hutan. Dengan permintaan kaum famili, saya mesti pula 

kawin sekali lagi. 'Patah tumbuh, bilang berganti,' katanya, 'jika 

tidak diganti malu kepada orang sekampung.' Permintaan itu 

saya terima, karena penghidupan saya telah mencukupi. Maka 

saya dikawinkan dengan seorang janda Tuanku Laras di negeri 

saya. Amat banyak janda Tuanku Laras itu, Midun! Yang saya 

ketahui masa itu, ada 15 orang. Padahal waktu itu ia baru 3 

tahun diangkat menjadi Tuanku Laras. Jika sudah 20 tahun ia 

memegang pangkatnya itu, entah berapa agaknya janda Tuanku 

Laras itu. Ada yang karena diminta orang, ada pula yang karena 

maunya sendiri. Manakala perempuan itu sudah beranak 

seorang atau sudah bosan ia memakainya, lalu diceraikannya 

saja. Tidak karena itu saja, kadang-kadang baru sebulan ia 

kawin sudah talak, sebab ia hendak kawin lagi. Sebabnya, ialah 

karena menurut agama hanya boleh beristri 4 orang. Jadi yang 

empat orang itu selalu berganti tiap-tiap tahun. Jika boleh 

beristri sampai 20 orang, barangkali hal itu akan terjadi pada 

Tuanku Laras di negeri saya itu. Apa yang akan disusahkannya, 

membelanjai tidak, membelikan pakaian istri pun tidak pula. 

Dan Tuanku Laras itu, jika pulang kepada salah seorang istri-

nya, disembah-sembah, dijunjung-junjung, sangat dihormati 

oleh famili si perempuan itu. Yang tidak ada diadakan, dan 

yang kurang dicukupkan, asal hati Tuanku Laras itu jangan ter-

singgung. 

Segala janda Tuanku Laras itu, jarang yang bersuami lagi, 

Midun! Orang takut akan ketulahan menggantikan istri rajanya. 

Oleh sebab itu, kebanyakan janda Tuanku Laras itu janda


sampai tua, jarang yang bersuami lagi. Sebulan sudah kawin, 

saya dipanggil berjaga ke kantor Tuanku Laras. Ketika itu 

urusan perniagaan saya banyak benar. Sebab yang biasa boleh 

diupahkan berjaga itu saya upahkan saja. Tetapi Tuanku Laras 

tidak menerima, melainkan harus saya jalani sendiri. Berjaga 

itu ialah sebagai berodi juga maksudnya. Tetapi menjaga 

kantor itu, mengerjakan segala keperluan Tuanku Laras saja. 

Apa yang disuruhkannya mesti diturut. Pendeknya kita jadi 

budak benar-benar; lamanya seminggu. Ah, tak usah saya 

sebutkan lagi apa yang dikerjakan di sana, Midun! Engkau 

sendiri bukankah telah merasai sakitnya. Itu pun bagimu belum 

seberapa. Bagi saya, Allah yang akan tahu, tidak kerja lagi yang 

dikerjakan, tak ubah sebagai budak belian saya diperbuatnya. 

Bukan main azab yang saya terima masa itu; ngeri saya 

mengenangkannya. Tidak dari Tuanku Laras saja, lebih-lebih 

lagi dari familinya. Karena tidak tertahan, lebih dari azab api 

neraka rasanya, saya pun gelap mata. Saya... mengamuk, 

Midun! Seorang dari pada kemenakan Tuanku Laras itu saya 

tikam, untung tidak mati. Dan saya dihukum ke Padang, 

lamanya setahun. Tahukah Midun, apa sebab saya dibuatnya 

demikian?" 

"Tahu, Mamak," ujar Midun, "tentu saja karena Mamak 

berani menggantikan janda Tuanku Laras itu." 

"Benar demikian," ujar Gempa Alam pula, lalu meneruskan 

ceritanya. "Ini neraka yang kedua lagi, Midun! Engkau tentu 

akan merasai pula nanti. Di dalam penjara, tidak sedikit pula 

cobaan yang diterima. Siapa berani, siapa di atas. Jika kita 

berani, adalah agak disegani orang sedikit. Tetapi siksaan 

tidaklah kurang karena itu. Sedikit-sedikit kaki tiba di rusuk. 

Terlambat sedikit saja, kepala kena gada. Jika berbuat 

kesalahan, kita dipukul dengan rotan. Tidak ubahnya mereka 

sebagai memukul anjing saja. Tidak penjaga penjara saja yang 

mengazab kita, tetapi sama-sama orang hukuman pun begitu 

pula. Ada kalanya kita diadu pegawai penjara sebagai ayam. 

Sungguh, bengis dan ganas benar penjaga-penjaga penjara itu. 

Tidak sedikit jua berhati kasih mesra kepada sesama makhluk. 

Sudah berpancaran tahi orang, air ludah membuih keluar kena 

sepak terajang, tidak dipedulikan mereka, melainkan terus saja 

disiksanya. Sungguhpun demikian, janganlah Midun gusar. Boleh 

jadi sekarang, segala perbuatan yang bengis itu tidak ada lagi. 

Kalau ada sekalipun Midun jangan khawatir, beranikan hati


tetapkan iman, insya Allah selamat. Apalagi Midun saya lihat 

seorang anak muda yang tangkas, takkan mudah diperbuat 

orang semau-maunya saja. Sekali lagi saya katakan, beranikan 

hatimu, jangan takut menentang bahaya apa pun jua. Tunjuk-

kan tanda engkau laki-laki, bila perlu." 

Gempa Alam terkenang waktu ia di penjara dahulu. Amat 

sedih hatinya melihat Midun, anak muda yang remaja itu akan 

menanggung sengsara sebagai dia dahulu pula. Gempa Alam 

mengetahui, bahwa sampai masa itu di dalam penjara di 

Padang masih dijalankan orang keganasan yang demikian lebih-

lebih lagi kepada orang hukuman yang datang dari sebelah 

Darat. Hanya ia mengatakan "barangkali sekarang tidak lagi" 

kepada Midun, untuk menyenangkan hati Midun saja. Dengan 

tidak diketahui, air mata Gempa Alam berlinang memikirkan 

Midun, seorang anak yang baik hati dan berbudi pekerti itu. 

Hampir-hampir keluar dari mulut Gempa Alam perkataan, 

"Lebih baik lari saja, Midun!" Sedang Gempa Alam berpikir-

pikir, Midun berkata, katanya, "Atas nasihat Mamak, saya 

ucapkan banyak-banyak terima kasih. Jangan Mamak khawatir 

melihat saya. Saya maklum bahwa Mamak bersedih hati, lain 

tidak karena kasihan kepada saya akan masuk penjara, dan 

akan merasai seperti yang telah Mamak tanggungkan dahulu. 

Tentang diri saya tidak usah Mamak cemaskan, barangkali saya 

tidak akan demikian benar diperbuat orang. Tuhan ada bersama 

kita, tentu saja ia akan melindungi yang tidak bersalah. Jika 

telah tumbuh baru kita siangi, sebab itu tidak ada gunanya hal 

itu kita pikirkan sekarang." 

Baru habis Midun berkata, kedengaran condecteur berseru, 

"Padang; karcis!" 

Mereka kedua sudah hampir di stasiun Padang. Tidak lama 

kereta berhenti. 

"Di sini kita turun, Mamak?-" ujar Midun. 

"Tidak," jawab Gempa Alam, "kita turun di Pulau Air. Kalau 

di sini kita turun, jauh lagi ke penjara. Tetapi dari stasiun 

Pulau Air hanya kira-kira 10 menit perjalanan." 

Setelah sampai di stasiun Pulau Air, mereka keduapun 

turunlah. Sebelum pergi ke penjara, Gempa Alam mengajak 

Midun pergi makan ke lepau nasi. Sudah makan, Gempa Alam 

berkata, "Sekarang engkau terpaksa dibelenggu. Jika tidak, 

boleh jadi saya celaka. Tentu saja saya dipandang sipir lalai, 

atau mengabaikan pekerjaan."


"Baik, Mamak," ujar Midun, "karena saya, jangan hendaknya 

terbawa-bawa Mamak pula." 

Midun dibelenggu oleh Gempa Alam. Ketika rumah penjara 

itu kelihatan oleh Gempa Alam, darahnya berdebar. Midun 

tersirap pula darahnya melihat rumah itu, tetapi lekas ia meng-

hibur hati, sambil berkata, "Inikah penjara itu Mamak? Pantas 

Mamak katakan neraka No. 2, karena hebat sungguh rupanya." 

Gempa Alam tidak menyahut, sambil berjalan pikirannya 

entah ke mana. Sampai di penjara, Gempa Alam memberikan 

surat kepada sipir. Setelah selesai, ia bersalam dengan Midun 

akan memberi selamat tinggal. Kemudian Gempa Alam pun 

pergi. Sepanjang jalan tampak-tampak oleh Gempa Alam 

bahaya apa yang akan menimpa Midun dalam penjara. 

"Sambut, si pengamuk datang dari Darat," demikianlah seru 

sipir kepada tukang kunci yang tengah berdiri di pintu rumah 

penjara itu. 

Midun mengerti apa maksud perkataan itu, karena 

dilihatnya sipir itu berkata keras dan gagah. Sebab itu Midun 

berlaku ingat-ingat, lalu masuk ke dalam. 

"Ha, ha! Belum lagi tumbuh rambut di ubun-ubunmu, sudah 

berani mengamuk," kata tukang kunci dengan bengis sambil 

mengejekkan. "Berani sungguh ...." Pap, Midun melompat 

mengelakkan sepak yang sekonyong-konyong datangnya itu. 

"Benar, tangkas, nanti kita coba," ujar tukang kunci pula 

dengan bengis, sebab Midun berani mengelakkan sepaknya. 

"Ayoh, masuk ke dalam kamar ini, tukar pakaian, dan uangmu 

mari sini semua!" 

Sesudah belenggunya dibuka tukang kunci, dengan segera 

Midun mengambil uang dalam saku baju, banyaknya Rp 15,- lalu 

diberikannya kepada tukang kunci itu. Pakaiannya ditukar 

dengan pakaian orang hukuman. Setelah itu Midun menurutkan 

tukang kunci dari belakang. Sampai di muka kamar, tukang 

kunci berkata pula, "Masuk, binatang! Lekas, anjing!" 

Mendengar perkataan itu tak dapat yang akan dikatakan 

Midun, karena sangat pedih hatinya. Tetapi ia terpaksa berdiam 

diri saja, lalu masuk ke dalam kamar itu. Setelah kamar 

dikuncikan, maka tukang kunci itu berjalan, lalu berkata, "Hati-

hati engkau, berani mengelakkan kaki saya." 

Midun dimasukkan ke dalam kamar sempit berdinding batu. 

Dekat pintu masuk ada sebuah jendela kecil yang berterali 

besi. Di dalam kamar itu ada sebuah bangku tempat duduk.


Midun berkata dalam hatinya, "Aduhai, tak ubah saya sebagai 

perampok baru ditangkap. Bagaimanakah akan tidur di dalam 

kamar sebesar ini? Akan duduk sajakah saya siang malam di 

sini? Akan dipengapakannyakah saya, maka disuruhnya hati-

hati?" 

Berkacau-balau pikiran Midun waktu itu. Tidak tentu apa 

yang akan dibuatnya, karena ia belum mengerti apa maksud 

orang atas dirinya. Dengan hal begitu, tiba-tiba terdengar pula 

suara orang, "Keluar!" 

Biarpun tidak disuruh, ketika pintu terbuka Midun hendak 

keluar juga, karena sangat panas dan pelak di dalam kamar itu. 

Tidak saja panas, tetapi napasnya berasa sesak sebab bau 

busuk. Sampai di luar dilihatnya berpuluh orang hukuman 

bertinggung berjajar. Dengan tolakan yang amat keras, Midun 

disuruh pula bertinggung bersama orang-orang hukuman itu. 

Setelah disebutkan sipir nama masing-masing, lalu semuanya 

disuruh berdiri mengambil perkakas. Ketika Midun hendak 

berdiri pula, datang seorang hukuman melandanya dari 

belakang, hampir saja ia tersungkur. Karena Midun tahu bahwa 

ia dilanda itu dengan sengaja, ia pun berkatalah, "Lihat orang 

sedikit, Mamak, kita sama-sama orang hukuman, tidak baik 

begitu!" 

Midun tidak tahu bahwa orang tempat ia berkata itu, 

seorang yang telah masyhur karena keberaniannya. Sebelum 

kamar itu terbuka, orang itu sudah disuruh oleh sipir akan 

mencobanya. Maka ia pun berkata dengan geramnya, "Hai, anak 

kecil, berani engkau berkata begitu kepadaku?" 

Belum habis ia berkata, orang itu melompat sambil 

menerjang lalu menangkap Midun hendak dihempaskannya. 

Midun menyambut dan mengelak badan, sambil merendahkan 

diri ia melompat ke tempat yang lapang. Orang hukuman yang 

banyak lalu menepi akan melihat perkelahian itu. Orang itu 

menyerang pula sekali lagi, menumbuk dan menyepak dengan 

sekaligus. Midun merendah, menyebelah diri menangkis, lalu 

membuang langkah arah ke kiri. Orang itu tertumbuk ke 

tonggak lampu, karena deras datangnya. Sudah dua kali ia 

hendak mengenai Midun, tetapi sia-sia. Mukanya merah karena 

marah, sebab Midun masih anak muda dan dia sudah 

termasyhur berani. Sambil tertawa, sipir berkata, "Cobalah, 

Ganjil, sekarang engkau sudah bertemu dengan lawanmu. 

Sungguhpun anak muda, tetapi lada padi, cabe rawit, kata


orang Betawi." 

Midun maklum, bahwa ia diadu orang. Nyata kepadanya si 

Ganjil itu disuruh sipir. Ia ragu-ragu, karena terpikir olehnya 

orang itu sudah agak tua, dan karena tersuruh oleh kepala 

penjara. Tetapi melihat si Ganjil itu sungguh-sungguh hendak 

membinasakan dia, terpaksa ia mesti melawan untuk 

memelihara akan diri. Timbul pula pikiran Midun, bahwa ia 

sama-sama orang hukuman, dan perlu pula memperlihatkan 

lelaki-lakiannya sedikit. Sebab itu Midun bersiap menanti 

serangan, seraya berkata, "Rupanya kita diadu sebagai ayam, 

apa boleh buat, datangilah!" 

Si Ganjil mengendangkan tangan ke muka dan dengan lekas 

ia menyerang, sebab marahnya amat sangat. Dengan membabi 

buta ia mendesak Midun. Midun selalu menyalahkan serangan 

Ganjil, satu pun tidak ada yang mengena. Kemudian Midun 

berkata, "Tahan pula balasan dari saya, Mamak." 

Dengan tangkas Midun menangkis serangan Ganjil, lalu 

mengelik seakan-akan merebahkan diri. Kemudian sebagai kilat 

kaki Midun... pap, Ganjil tertelentang tidak, bergerak lagi, 

karena tepat benar kenanya. Segala orang hukuman itu 

tercengang dan amat heran melihat ketangkasan Midun 

berkelahi. Sipir dan segala tukang kunci takjub, karena belum 

pernah mereka melihat anak muda yang setangkas itu. Sambil 

berjalan, sipir berkata, "Tunggu sampai besok, boleh ia rasai." 

Ganjil dipapah orang ke kamarnya, dan Midun disuruh 

masuk ke dalam sebuah kamar lain, tetapi tidak kamar yang 

mula-mula tadi. Kamar itu agak lapang, di dalamnya ada 

sebuah pangkin, yang luas dengan tikar. Sampai di kamar itu, 

Midun menarik napas lalu berkata sendirinya, "Ya Allah, 

peliharakan apalah kiranya hambaMu ini. Telah engkau 

lepaskan saya dari bahaya yang pertama, begitulah pula 

seterusnya hendaknya. Sedih hatiku melihat si Ganjil saya 

kenai, tetapi apa boleh buat karena terpaksa. Kalau begini, 

tentu bermacam-macam siksaan yang akan saya terima..." 

Petang hari itu Midun tidak diganggu-ganggu orang. Kira-kira 

pukul lima, diantarkan orang nasi. Melihat nasi dengan lauknya 

itu, hampir Midun muntah. Nasinya kotor dan merah kehitam-

hitaman. Di atas nasi itu ada sepotong daging setengah masak 

dan garam sedikit. Baru saja Midun menggigit daging itu, ia 

telah muntah. Daging itu tidak masak dan masih berbau. Tetapi 

karena perut Midun sudah meminta hendak makan, dimakannya


juga nasi itu dengan garam, sekalipun kersik dalamnya hampir 

sama banyak dengan nasinya. Setelah hari malam, Midun 

tinggal seorang diri di dalam kamar itu. Lampu tidak ada, sebab 

itu ia bergelap-gelap saja. Tetapi tiadalah gelap benar, karena 

ada juga cahaya lampu dari luar melalui antara terali besi. 

Malam itu Midun tak dapat tidur sekejap jua pun, karena 

hatinya tidak senang sedikit jua. Perkelahian hari itu tak dapat 

dilupakan Midun. 

"Musuhku sudah bertambah seorang lagi; " pikir Midun. "Tak 

dapat tiada, Ganjil dendam kepadaku. Jika saya lengah, tentu 

binasa. Saya harus ingat-ingat dalam hal apa juapun. Ah, 

sungguh malang benar saya ini. Di kampung badan tidak 

senang, di sini makin susah lagi." 

Setelah lonceng berbunyi dua kali, barulah Midun dapat 

menutupkan matanya. Bermacam-macam mimpi yang meng-

goda Midun malam itu. Sebentar-sebentar ia terbangun. Kira-

kira pukul lima, kedengaran pintu kamarnya dibuka orang. 

Midun segera duduk, takut kalau-kalau musuh yang datang. 

"Keluar, ambil ransum!" ujar tukang kunci yang menerima 

dia kemarin juga. 

Midun keluar, lalu berbaris dengan orang-orang hukuman. 

Maka Midun mencari Ganjil dengan matanya, musuhnya 

kemarin di dalam orang hukuman yang banyak itu. Tetapi biar 

bagaimana ia mencari, Ganjil tidak juga kelihatan. Maka 

senanglah hatinya, karena pada pikiran Midun, tentu kakinya 

kemarin memberi bekas, mati tidak boleh jadi. Atau boleh jadi 

Ganjil dipisahkan, sebab belum semua orang hukuman yang 

keluar. Midun membawa piring lalu pergi mengambil ransum. 

Bukan main ganas tukang-tukang kunci itu. Mereka itu main 

tempeleng, sepak, dan terajang saja kepada orang hukuman. 

Terlambat sedikit atau kurang beratur berjalan, par, 

tempelengnya telah tiba. Pendeknya, asal bersalah sedikit, 

dengan tidak ampun lagi, kaki tiba di rusuk. Midun sendiri 

dapat bagian pula, ketika ia terlambat mengambil piring 

makan. Tidak ubah sebagai binatang segala orang hukuman itu 

dibuat oleh pegawai penjara. Makin mengaduh makin disiksa, 

jika melawan makin celaka lagi. Sudah meminta-minta ampun 

orang kepadanya, tidak hendak berhenti mereka melekatkan 

tangan. Midun amat belas kasihan melihat orang-orang 

hukuman itu. Tetapi apa hendak dibuat, sedang nasibnya 

sendiri belum tentu pula.

Sudah makan, segala orang hukuman itu tersinggung dan 

berjajar pula. Nama masing-masing dipanggil sipir, dan harus 

menyahut ".iya" bila sampai kepada namanya. Di sini pun tidak 

sedikit pula orang hukuman kena terajang, hingga tersungkur 

sampai mencium tanah. Manakala terlambat menyahut atau 

tidak terdengar namanya dipanggil, pukulan sudah tiba di 

pinggang. Kemudian segala orang itu diperiksa badannya. Tiba-

tiba kedapatan seorang hukuman menaruh uang 5 sen dan 

rokok di dalam saku baju. Karena hal itu terlarang di dalam 

penjara, orang itu lalu ditarik oleh tukang kunci. Setelah itu ia 

diikatkan kepada sebuah tonggak, dan dibuka bajunya. Seorang 

tukang kunci yang lain memegang sebuah rotan, lalu 

membelasah orang hukuman itu pada punggungnya. Sampai ke 

langit hijau agaknya orang hukuman itu memekik karena 

kesakitan, tidak sedikit jua diacuhkan tukang kunci itu. Se-

sudah dipukul, orang hukuman itu jatuh pingsan, tidak sadarkan 

dirinya lagi. Midun tidak sanggup melihat penganiayaan yang 

sangat ngeri itu. Entah hagaimana gerangan punggung orang itu 

sesudah dipukul... 

"Midun bekerja dengan mandor Saman!" ujar sipir setelah 

habis nama orang hukuman itu disebutkan semuanya. 

Seorang yang bermisai panjang datang menghampiri, sambil 

memegang telinga Midun, ia berkata, "Ha, ha, anak ini yang 

mengalahkan Ganjil kemarin, Engku?" katanya kepada sipir. 

"Hati-hati engkau bekerja dengan saya, mengerti!" ujarnya pula 

menghadap kepada Midun. 

Midun diam saja, telinganya amat sakit ditarik mandor itu. 

Jika dia tidak mandor, tentu Midun melawan agaknya. Mula-

mula Midun disuruh mandor itu membongkar tahi di kakus. 

Midun enggan mengerjakannya, tetapi karena ancaman, 

dikerjakannya juga pekerjaan itu. Sehari-harian itu Midun 

bekerja paksa. Tak sedikit jua ia dapat berhenti melepaskan 

lelah. Asal saja ia berhenti sebentar, mandor itu sudah meng-

hardik. Diancamnya Midun dengan perkataan, manakala tidak 

bekerja, hukumannya akan ditambah. Hanya waktu makan saja 

ia dapat berhenti. Pekerjaan yang dikerjakan Midun sehari itu 

pekerjaan berat dan hina pula. Seakan-akan sengaja orang ia 

kerja paksa sehari itu. Petang hari Midun amat letih. Ketika 

orang hukuman itu berbaris pula, Midun hampir tidak kuat 

berjalan lagi. Sedang ia bertinggung, tiba-tiba datang seorang-

orang yang besar tinggi kepadanya, lalu berkata, "Hai anjing,


berani engkau menggantikan tempat duduk saya? Ayoh, pergi!" 

Mendengar perkataan orang itu, telinga Midun merah. 

Sekalipun badannya sangat lesu, mendengar kata anjing itu 

kembali kekuatannya, karena sakit hatinya. Orang itu berkata 

dengan bahasa lain, sebab itu nyata kepadanya, bahwa orang 

itu bukan orang Minangkabau. Apalagi orang itu sama-sama 

orang hukuman dengan dia dan bukan bangsanya, makin ber-

tambah marah dan sakit hati Midun. Midun menjawab dengan 

lantang suara, "Jangan begitu kasar, di sini tempat orang 

hukuman." Dengan tidak menjawab lagi orang itu melompati 

Midun, yang pada waktu itu masih bertinggung jua. Biarpun 

Midun sudah letih, tetapi tidaklah kurang kekuatannya 

menangkis serangan orang itu. Dia tidak mempermain-mainkan 

musuh seperti dengan Ganjil kemarin. Setelah orang itu jatuh, 

datang pula seorang lagi. Yang seorang tadi bangun lagi, lalu 

berdua-duakannya melawan Midun. Kemudian jatuh pula sekali 

lagi, tidak bangun kembali. Tetapi sudah datang pula kawannya 

akan menggantikan. Sungguhpun demikian, Midun setapak tidak 

undur. Tiga lawan satu, bukan main riuhnya dalam penjara itu.


9. Pertolongan dan Kalung Berlian 

ALKISAH maka tersebutlah perkataan bahwa di dalam penjara 

itu adalah bermacam-macam bangsa orang hukuman. Mereka 

itu tidak ada yang kurang hukumannya dari setahun. Demikian-

lah, di antara orang hukuman yang banyak itu ada seorang 

Bugis, yang dapat hukuman seumur hidup. Namanya Turigi, 

umurnya lebih kurang 50 tahun. Turigi adalah seorang yang 

baik, sabar, dan ramah-tamah. Amat dalam ilmunya, dan 

banyak pengetahuannya orang tua itu. Dalam hal agama Turigi 

alim pula. Konon kabarnya ia seorang bangsawan di negerinya, 

dan menjadi penasihat dan dukun. Tetapi kalau ia marah, tak 

ada yang berani bertentangan dengan Turigi. Agaknya entah 

karena ia dibuang selama hidup itu gerangan. Jika Turigi marah 

tidak membilang lawan dan tidak takut kepada siapa pun jua. 

Segala orang hukuman itu takut kepada Turigi. Bukan karena 

beraninya saja ia ditakuti orang, tetapi terutama ialah karena 

sudah orang tua; kedua, dalam pengetahuannya; dan ketiga, 

amat baik budi pekertinya. Sipir penjara itu sendiri segan 

kepada Turigi, apalagi tukang kuncinya. Sebab itu Turigi di 

dalam penjara tidak ada yang berani memerintahi, dan ia 

bekerja sesuka-suka hatinya saja. Sekalipun Turigi orang 

hukuman, tapi keadaannya di penjara tidak ubah seperti di 

rumahnya sendiri, bahkan lebih agaknya. Makannya dilainkan, 

diberi tempat tidur yang baik, dan lain-lainnya. Pendeknya, 

segala keperluan Turigi dicukupkan. 

Ketika Midun berkelahi dengan Ganjil kemarin, Turigi ada 

pula melihat. Senang benar hati Turigi melihat orang muda 

yang tangkas dan berani itu. Menurut ilmu firasatnya, Midun 

seorang anak yang amat baik tingkah laku dan tertib sopannya. 

Sebab itu ia amat heran, dan berkata dalam hati, "Apakah 

sebabnya orang yang sebaik itu dapat hukuman? Kesalahan 

apakah yang telah diperbuatnya? Kasihan, biarlah besok atau 

lusa tentu saya ketahui juga kesalahan orang muda itu maka 

dihukum. Ingin benar saya hendak berkenalan dengan dia." 

Pada keesokan harinya dilihat Turigi, Midun bekerja paksa. 

Hampir-hampir tidak terderita oleh Midun pekerjaan yang di 

kerjakannya itu. Apalagi melihat Midun mengerjakan pekerjaan 

yang amat hina, timbul kasihan Turigi. Tampak nyata oleh


Turigi, Midun hampir tidak kuat lagi menahan siksaan pegawai 

penjara. Melihat hal itu, Turigi menarik napas, akan melarang 

tidak berani, karena dia sendiri orang hukuman pula. Tetapi 

melihat Midun sudah payah bekerja sehari itu sekarang 

dipersama-samakan orang pula, Turigi tak dapat lagi menahan 

hati. 

Pada pikiran Turigi, "Perbuatan itu tidak pantas, dan tidak 

boleh dibiarkan. Seorang anak muda sesudah disiksa, disuruh 

perkelahikan pula oleh tiga orang." 

Dengan tidak berkata sepatah kata jua, Turigi melompat ke 

tengah perkelahian itu. Ia berkata dengan geram, "Berhenti 

berkelahi! Jika tidak, biar siapa saja saya patahkan batang 

lehernya. Tidak adil!" 

Mendengar perkataan itu, segala orang hukuman menepi. 

Sipir dan tukang kunci undur, karena melihat Turigi sangat 

marah. Dari ketiga orang yang mempersama-samakan itu, dua 

sudah jatuh dikenai Midun. Yang seorang lagi, ketika men-

dengar suara Turigi, melompat lari. Orang itu sudah berniat 

juga hendak lari, karena selalu kena saja tiap-tiap mendatangi 

Midun. Maka ia melawan juga, hanyalah karena malu. Untung 

benar ia, Turigi datang memisahkan perkelahian itu. Midun 

tidak lari, ia tegak berdiri di.tengah medan perkelahian itu. 

Amat heran ia melihat orang itu. Midun tidak mengerti, apa 

sebabnya orang habis lari dan sipir, tukang kunci undur ke 

belakang mendengar perkataannya. 

"Siapakah orang ini?" kata Midun dalam hatinya. "Malaikat-

kah atau manusiakah yang hendak menolong saya dalam bahaya 

ini? Atau bapakku Haji Abbaskah yang terbang kemari hendak 

menolong anaknya? Amboi, jika datang seorang lagi menyerang 

saya, tak dapat tiada nyawaku melayang. Untung ... ia datang 

menolongku." 

Sedang pikiran Midun melayang-layang dan ragu-ragu 

melihat orang tua itu, Turigi menghampiri Midun, lalu berkata, 

"Apa anakkukah yang kena? Bapak lihat pucat benar!" Men-

dengar perkataan itu semangat Midun rasa terbang. Pada 

pikirannya, pasti bapaknyalah vang datang membela dia. 

Pemandangan Midun tidak terang akan melihat benar-benar 

rupa orang itu. Pertama hari sudah samar muka, kedua ia 

sangat payah. Midun terduduk karena sangat lelah, lalu 

berkata, "Tidak, Pak, hanya badan saya yang letih." 

Turigi segera memangku Midun, lalu dibawanya ke


kamarnya. Midun pingsan, tiada tahu lagi akan dirinya. Dengan 

perlahan ia ditidurkan Turigi di atas tempat tidur. Setengah 

jam kemudian daripada itu, Midun mulai sadar. Ketika ia mem-

bukakan mata, terlihat kepadanya cahaya terang. Ia meraba-

aba, terasa olehnya bahwa ia tidur di atas kasur. Midun 

menggerakkan kepala akan melihat sekeliling kamar itu. Tiba-

tiba tampak kepadanya seorang tua sedang sembahyang. 

"Hai, bermimpikah aku ini?" pikir Midun dalam hatinya. "Di 

manakah saya sekarang? Siapakah yang membawa saya kemari?" 

Midun menggosok mata, seolah-olah tidak percaya kepada 

matanya. Biar bagaimana juga Midun menggosok mata, tetapi 

pemandangannya tetap demikian juga, tiada berubah. Dengan 

segera Midun bangun, lalu duduk. Dilihatnya orang tua itu 

sudah sembahyang. Maka Midun pun berkatalah, "Di manakah 

saya ini, Bapak?" 

Turigi menyahut, katanya, "Di penjara, tetapi sama juga 

dengan di rumah sendiri, bukan? Sudah baik benarkah, Anak?" 

"Sudah, Bapak," ujar Midun. "Siapakah Bapak dan mengapa 

Bapak di sini?" 

"Bapak ini orang hukuman, sama juga dengan Anak," ujar 

Turigi. "Tetapi bapak dihukum selama hidup. Bapak bukan 

orang sini, negeri bapak di Bugis. Sudah sepuluh tahun dengan 

sekarang, bapak dibuang kemari. Sebab itu bapak pandai 

berbahasa orang sini. Nama Anak siapa dan orang mana? 

Apakah kesalahan Anak, maka sampai kemari?" 

Midun baru insaf, di mana dia dan dengan siapa ia 

berhadapan. Tahulah ia, bahwa orang tua itulah yang memisah-

kan perkelahian tadi. Midun berkata pula katanya, "Nama saya 

Midun, negeri saya di Bukittinggi. Sebabnya saya kemari, sekali-

kali tidaklah kesalahan saya, Bapak." 

Maka Midun menceritakan hal ihwalnya kepada Turigi sejak 

bermula sampai ia dimasukkan ke dalam penjara itu. Setelah 

tamat Midun bercerita, Turigi mengangguk-anggukkan kepala. 

Ia sangat belas kasihan kepada Midun, karena masih muda 

sudah menderita siksa dan malapetaka yang demikian. Tiba-

tiba Midun berkata pula, katanya, "Saya amat heran, Bapak! 

Ada pulakah hukuman selama hidup? Apakah kesalahan Bapak, 

maka dapat hukuman yang amat berat itu?" 

"Bapak dihukum selama hidup, ialah karena terdakwa mem-

bunuh Kepala Negeri, ketika terjadi perusuhan di negeri bapak 

dua belas tahun yang sudah!" ujar Turigi. "Sebelum bapak


dihukum, pekerjaan bapak jadi dukun dan menjadi ketua 

kampung. Apa boleh buat Midun, karena sudah nasib bapak 

demikian. Hanya sekian lama cerita bapak kepada Midun. Tak 

ada gunanya bapak ceritakan panjang-panjang hal bapak, 

karena menyedihkan hati saja, padahal nasib bapak akan tetap 

begini juga. Di sini bapak sudah sepuluh tahun lebih. Selama di 

dalam penjara ini telah banyak bapak melihat kejadian-

kejadian yang menyedihkan. Siksaan dan ancaman pegawai-

pegawai penjara di sini sungguh terlalu. Mereka berbuat 

sekehendak hatinya saja kepada orang hukuman. Tidak ubah 

sebagai binatang orang hukuman itu dibuatnya. Dirotan, 

ditendang, ditinju, disegalamacamkannya saja. Orang hukuman 

yang keluar dari sini agaknya jarang yang selamat hidupnya. 

Sebab itu bapak harap kepada Midun, ingat-ingat menjaga diri. 

Jangan Anak lengah semenit jua. Bapak bersenang hati sungguh 

melihat Midun. Bapak percaya, takkan dapat orang berbuat 

semau-maunya saja kepadamu. Ganjil, yang berkelahi dengan 

Midun kemarin, adalah seorang hukuman yang sangat berani. 

Semua orang hukuman di sini takut kepada Ganjil. Kepada 

bapak seorang ia agak segan sedikit. Tetapi Midun gampang 

saja menjatuhkan Ganjil. Lebih-lebih ketika bapak melihat 

perkelahian Midun tadi, sungguh heran benar hati bapak. Bapak 

rasa tidak akan berani lagi orang mengganggu Midun, karena 

sudah dilihat mereka sendiri dengan mata kepalanya bagaimana 

ketangkasan Midun. Hanya yang bapak takutkan, Midun ditikam 

orang dari belakang dengan tiba-tiba. Karena itu, hati-hatilah 

menjaga diri yang akan datang." 

"Nasihat Bapak itu saya junjung tinggi," ujar Midun. "Tentu 

saya akan lebih ingat, karena musuh saya satu dua orang lagi di 

penjara ini. Dan saya mengucapkan terima kasih banyak-banyak 

atas pertolongan Bapak tadi. Jika Bapak tidak datang memisah-

kan perkelahian itu, boleh jadi saya tewas karena tidak satu-

dua orang yang menyerang saya. Apalagi dari pagi sampai 

petang saya selalu bekerja paksa." 

Sejak terjadi perkelahian itu, Midun sudah agak senang 

bekerja sedikit. Sekalipun berat, tetapi tidak mengerjakan 

pekerjaan yang hina lagi. Sebab sudah biasa dari sehari kemari, 

tidak lagi terasa berat oleh Midun. Orang hukuman seorang pun 

tak ada pula yang berani mengganggunya. Biar bagaimana jua 

pegawai penjara mengasut akan berkelahi dengan Midun, 

mereka tidak mau. Apalagi Midun dengan Turigi sudah seperti


anak dengan bapak, makin menambah takut orang kepada 

Midun. Setiap petang Midun datang kepada Turigi belajar ilmu 

obat-obatan dan lain-lain yang berguna kepadanya kelak. 

Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari. 

Pada suatu hari, kira-kira pukul sebelas lewat, Midun duduk-

duduk dengan Turigi, karena sudah hampir waktu makan. Tiba-

tiba kelihatan oleh Midun seseorang dibelenggu masuk penjara. 

Darah Midun tersiap pula, karena orang itu ialah Lenggang yang 

akan dikirim ke negeri tempatnya menjalankan hukuman. 

Menanti kapal mesti Lenggang bermalam di penjara. Ia terus 

dimasukkan tukang kunci ke dalam sebuah kamar. Midun tidak 

kelihatan olehnya waktu masuk ke dalam. Ketika Lenggang 

dibawa tukang kunci, Midun berkata kepada Turigi, "Bapak! 

Itulah orang yang hendak membinasakan saya di pacuan kuda 

Bukittinggi dahulu. Rupanya baru sekarang ia dikirim ke negeri 

tempatnya dibuang." 

Ketika Turigi melihat Lenggang itu, timbul pikirannya 

hendak bertanya, bagaimana pikiran Midun terhadap kepada 

musuh yang hampir menewaskan nyawanya itu. Turigi berkata, 

katanya, "Midun, orang itu barangkali ada seminggu di sini 

menanti kapal. Jika engkau hendak membalaskan sakit hatimu, 

sekaranglah waktunya. Maukah engkau, boleh bapak katakan 

kepada tukang kunci?" 

"Kasihan, Bapak, jika begitu tentu dia jatuh ditimpa tangga, 

dalam basah kehujanan pula," ujar Midun. "Sungguhpun ia 

seorang jahat, tetapi sekarang tentu ia menyesal atas per-

buatannya itu. Ia bukan musuh saya, melainkan karena makan 

upah. Sebab tamak akan uang, mau ia membunuh orang. 

Sekarang ia tentu menyesal amat sangat, dibuang sekian lama 

ke negeri lain, meninggalkan negeri tumpah darahnya. Jika 

saya hendak membalas tentu boleh, tetapi tak ada angan-angan 

saya macam itu. Cukuplah sudah ia menerima hukuman atas 

kesalahannya karena loba akan uang, tidak usah ditambah lagi." 

Turigi terdiam diri mendengar perkataan Midun. Dalam 

hatinya ia amat memuji pikiran Midun yang mulia itu. Sudah 

hampir sebulan Turigi bergaul dengan dia nyata kepadanya, 

bahwa Midun, biarpun masih anak muda, amat baik dan lanjut 

pikirannya. Sedang Turigi berpikir-pikir itu, datang tukang 

kunci kepada Midun, mengatakan ada opas dari Bukittinggi 

hendak bertemu sebentar dengan dia. Midun maklum, tak 

dapat tiada Gempa Alam yang hendak bertemu itu. Ia segera


keluar mendapatkan Gempa Alam. 

"Saya kira engkau telah mati, Midun, kiranya tidak kurang 

suatu apa," ujar Gempa Alam. "Adakah selamat saja engkau di 

sini?" 

"Berkat doa Mamak, insya Allah adalah baik saja, " ujar 

Midun. Karena Midun hanya diizinkan sebentar saja boleh ber-

temu, dengan ringkas saja ia menceritakan penanggungannya 

selama di dalam penjara Padang itu. Gempa Alam memuji dan 

bersenang hati melihat Midun selamat. Kemudian diceritakan 

Gempa Alam sesalan Lenggang telah menganiaya Midun. 

Setelah itu Gempa Alam bersalam memberi selamat tinggal. 

Keesokan harinya pagi-pagi, sedang Midun menyapu di 

dalam penjara, dilihatnya Lenggang sudah berkelahi dengan 

Ganjil. Midun berhenti menyapu, karena ingin hendak melihat 

Lenggang berkelahi, seorang yang sudah masyhur jahat itu. 

Dalam perkelahian itu Lenggang amat payah. Tiap-tiap 

Lenggang mendatangi Ganjil, selalu ia jatuh. Sungguhpun 

demikian, Lenggang tak ubah seperti orang kebal. Setelah ia 

jatuh, bangun dan menyerang pula. Demikianlah berturut-turut 

beberapa kali. Ketika itu nyata kepada Midun, bahwa Ganjil 

seorang yang tangkas, dan patut terbilang berani di penjara 

itu. Melihat Lenggang jatuh dan tidak bergerak lagi kena kaki 

Ganjil, Midun amat kasihan. Biarpun Lenggang musuhnya, 

tetapi dapat ia menahin hati. Midun segera melompat, lalu 

berkata, "Ini dia yang lawanmu, Ganjil! Mari kita ulang sekali 

lagi, sebab tempo hari belum sam-sama puas hati kita!" 

Ganjil menganjur langkah surut, sambil memandang kepada 

tukang kunci yang melihat perkelahian itu dari jauh. Setelah itu 

dengan tidak berkata sepatah jua, Ganjil berjalan. Ia tidak 

berani lagi bertentangan dengan Midun, sebab sudah dirasainya 

bekas kaki orang muda itu bulan yang lalu. Midun dengan 

segera mengambil tangan Lenggang, lalu dibimbingnya ke 

kamar. Lenggang amat malu melihat muka Midun. Dengan 

memberanikan diri, maka iapun meminta maaf akan segala 

kesalahannya kepada Midun. Setelah ia meminta terima kasih 

atas pertolongan Midun kepadanya, maka diceritakannyalah 

sejak bermula sampai kesudahan akan halnya diupah oleh 

Kacak hendak membunuh Midun dahulu itu. Bahkan Midun 

diberinya pula nasihat, supaya jangan pulang ke kampung, 

karena Kacak sangat benci kepadanya. 

Mendengar cerita Lenggang itu, Midun baru insaf benar


benar, bahwa Kacak itu sudah menjadi musuh besar kepadanya, 

hingga hendak menewaskan jiwa orang. 

Setelah dua bulan lebih Midun menjalankan hukuman, ia 

disuruh bekerja di luar. Dalam pekerjaan itu dimandori oleh 

Saman yang bengis itu juga. Tetapi mandor Saman tidak berani 

memukuli Midun, sebab ia sudah melihat keberanian anak muda 

itu berkelahi. Lagi ia takut kepada Turigi, yang sangat 

mengasihi Midun itu. Sungguhpun demikian, Midun selalu dapat 

ancaman jua. Ia disuruh mandor Saman bekerja paksa. Bila 

Midun lalai sedikit saja atau berhenti sebentar, ia sudah 

menghardik dan mengatakan, "Midun lalai, nanti aku adukan 

kepada sipir, supaya bertambah hukumanmu." Dengan hal yang 

demikian Midun tiap-tiap hari bekerja keras, berhujan berpanas 

dengan tidak berhenti-hentinya. Kadang-kadang timbul pikiran 

Midun hendak melawan, tetapi ia takut hukumannya akan 

bertambah. Sedang hari yang telah dua bulan lebih itu, seraso 

dua abad kepada Midun. Rasakan ditariknya hari supaya sampai 

4 bulan, supaya lekas ia bertemu dengan ibu bapak, adik, dan 

kawan-kawannya. 

Tidak sanggup Midun melihat beberapa hal yang sangat 

menyedihkan dalam penjara jahanam itu. Ngeri dan tegak bulu 

romanya melihat penganiayaan yang dilakukan oleh pegawai 

penjaga kepada orang-orang hukuman. 

Sebulan Midun bekerja menyapu jalan di kota Padang. Mula-

mula ia menyapu di Kampung Jawa. Kemudian dipindahkan pula 

ke Muara, pada jalan di tepi laut. Di sana Midun agak senang 

sedikit, sebab jalan-jalan di situ tidak kotor benar, karena 

sunyi dan jarang orang lalu lintas. Tetapi meskipun senang ia 

bekerja, hatinya bertambah sedih. Memang laut lepas itu 

jauhlah pikiran Midun daii timbullah beberapa kenang-

kenangan dalam hatinya. Apalagi pagi-pagi matahari yang baru 

terbit, tersembul dari muka air, menyinari segala alam jagat 

ini, amat memilukan hatinya. Perahu pengail yang dilamun-

lamun ombak di tengah lautan dan gelombang turun naik ber-

alun dan sabung-menyabung, seakan-akan memanggil Midun 

akan membawanya ke seberang lautan. 

Sekali peristiwa hari amat cerah, langit pun hijau laksana 

tabir wilis tampaknya. Panas terik amat sangat, hingga orang 

tidak ada yang tahan tinggal di dalam rumah. Baik laki-laki, 

baik pun perempuan banyak keluar dari rumah akan mendingin-

kan badan. Orang yang tinggal dekat-dekat Muara itu banyak


datang ke tepi laut, berlindung sambil bermain di bawah 

pohon-pohon. Sungguh senang dan sejuk berlindung di bawah 

pohon kayu waktu hari panas. Apalagi jika diembus angin timur 

yang datang dari laut dengan lunak lembut. Segala orang 

hukuman sudah berhenti menyapu, karena waktu makan sudah 

datang. Setelah matahari turun dan panas kurang teriknya, 

mereka yang berlindung itu kembali ke rumahnya masing-

masing. Midun dan orang hukuman yang lain mulai pula 

menyapu. Ketika Midun menyapu di bawah sebatang pohon 

kenari, kelihatan olehnya sebuah kalung berlian terletak di atas 

urat kayu yang tersembul ke atas. Barang itu segera diambil-

nya, lalu dimasukkannya ke dalam saku bajunya. Ia berniat 

hendak mengembalikan barang itu kepada yang punya. Tetapi 

timbul pula pikiran lain dalam hati Midun. Melihat berlian itu, 

bolak-balik pikirannya akan mengembalikannya. Sedang Midun 

termenung mengenangkan barang itu, lalu ia berkata dalam 

hatinya, "Kalau saya tidak salah, yang duduk di sini tadi, ada 

seorang perempuan cantik. Melihat kepada tampan perempuan 

itu, rupanya ia anak gadis. Benarlah dia dan saya kenal tempat 

tinggalnya ketika saya menyapu jalan di muka gedung itu. 

Rumah gadis itu gedung yang amat indah. Orang Belandakah 

gadis itu? Tetapi jika saya jual barang ini, tentu banyak juga 

saya beroleh uang dan berapakah gerangan harganya? Seratus 

rupiah tentu dapat. Boleh aku pakai jadi pokok berniaga, bila 

hukumanku habis. Tetapi, ah, rupanya pikiran saya sesat. Apa 

gunanya saya beragama, jika takkan pandai menahan hati 

kepada pekerjaan yang salah. Hak milik orang harus saya 

kembalikan. Lagi pula orang hukuman mempunyai barang 

macam ini, tentu mudah orang mempeduli saya mencuri. 

Mudah-mudahan karena dia orang kaya, kalau saya menanam 

budi ada juga baiknya kelak." 

Midun melihat kian kemari, sebagai ada yang dicarinya. 

Setelah diketahuinya mandor Saman pergi ke Kampung Jawa, 

Midun segera berjalan ke gedung tempat gadis itu tinggal. 

Sampai di pintu gapura, Midun disalak anjing. Tidak lama 

keluar seorang perempuan, amat pucat dan kurus rupanya. 

Payah benar perempuan itu berjalan, agaknya dalam sakit atau 

baru sembuh dari sakit. Perempuan itn dipimpin oleh seorang 

gadis yang amat cantik, yaitu gadis yang dilihat Midun di bawah 

pohon kenari tadi. Ketika kedua perempuan itu melihat orang 

hukuman, mereka itu terkejut ketakutan. Dengan gagap,


perempuan pucat itu berkata, "Masuklah, apa kabar?" 

"Bukan orang Belanda kiranya orang ini!" pikir Midun dalam 

hatinya. Ia maklum bahwa perempuan itu dalam ketakutan 

melihat dia seorang hukuman. Midun berkata sambil masuk 

pekarangan rumah, katanya, "Kabar baik, orang kaya. Meskipun 

saya orang hukuman, tak usah orang kaya khawatir, karena 

saya membawa kabar baik. Kalau saya tidak salah, Unikah yang 

datang ke Muara tadi dan berlindung di bawah pohon kenari?" 

"Benar," ujar gadis itu dengan heran bercampur takut, 

karena ia tidak mengerti apa maksud pertanyaan orang 

hukuman itu kepadanya. 

"Adakah Uni ketinggalan apa-apa di bawah pohon itu ketika 

hendak kembali?" ujar Midun sambil memandang gadis itu 

dengan sopan. 

Gadis itu meraba lehernya, lalu lari ke dalam seolah-olah 

ada yang dicarinya. Tidak lama ia kembali, mukanya pucat, lalu 

berkata, "Ibu, kalung berlian hamba tidak ada lagi. Sudah 

hamba cari di lemari dan di bawah bantal tidak bertemu. Tadi 

rasanya hamba pakai bermain-main ke Muara. Waktu balik ke 

rumah, entah masih hamba pakai entah tidak, hamba tidak 

ingat. Adakah Ibu melihatnya?" 

"Tidak," ujar perempuan itu dengan cemas, ibu dari gadis 

itu agaknya. "Ketika kau pulang tadi, tidak memakai kalung 

saya lihat. Aduhai, cukuplah rasanya saya makan hati dan 

menahan sedih selama bercerai dengan bapakmu, tetapi 

sekarang ada-ada pula yang terjadi. Tak dapat tiada, jika 

bapak tirimu tahu hal ini, alamat tidak baik jadinya. Sedangkan 

perkara kecil saja boleh menjadikan sengketa di rumah ini, 

apalagi kehilangan kalung berlian yang semahal itu harganya." 

Ketika Midun melihat ibu dan anak itu dalam kecemasan, ia 

pun berkata sambil mengeluarkan kalung itu dari saku bajunya, 

katanya, "Janganlah Orang kaya dan Uni cemas, sebab saya ada 

mendapat kalung itu. Inikah kalung itu, Uni?" 

Midun lalu memberikan kalung itu kepada gadis itu. Serta 

gadis lalu melihat, diambilnya kalung itu dan segera dikenali-

nya; lalu ia pun berteriak, melompat-lompat karena riang 

seraya berkata, "Betul, inilah kalung saya. Terima kasih, Udo. 

Terima kasih banyak-banyak. Untung Udo yang mendapatkan-

nya, jika orang lain barangkali tidak akan dikembalikannya." 

Gadis itu memandang kepada ibunya, sebagai ada yang 

hendak dikatakannya. Ibu itu rupanya mengerti apa maksud


anaknya. Maka ia pun berkata kepada Midun, "Masuklah dulu, 

orang muda!" 

"Tak usah lagi, Orang kaya," ujar Midun. "Saya orang 

hukuman, tidak boleh lama-lama di sini. Saya mohon permisi 

hendak balik ke tempat saya bekerja." 

Sambil mengeluarkan uang kertas lima rupiah, ibu gadis itu 

berkata, "Jika orang muda tidak mau masuk, baiklah. Sebagai 

tanda kami bergirang hati mendapat barang itu kembali dan 

tanda terima kasih saya, saya harap uang yang sedikit ini orang 

muda terimalah dengan suka hati." 

Perempuan itu memberikan uang kepada Midun. Tetapi 

Midun tidak mau menerimanya, lalu berkata, "Terima kasih 

banyak! Saya harap Orang kaya jangan gusar, karena saya 

belum pernah menerima uang hadiah macam ini. Saya wajib 

mengembalikan barang ini kepada yang punya, karena bukan 

hak saya. Dan saya tidak mengharapkan sesuatu dari perbuatan 

saya itu. Yang saya lakukan ini adalah menurut agama dan 

kemauan Tuhan, karena itu saya harap janganlah orang kaya 

memberi saya hadiah." 

Biar bagaimana jua mereka itu keduanya menyuruh meng-

ambi uang itu, Midun selalu menolak. Setelah itu ia pun 

kembali ke tempatnya bekerja, lalu menyapu pula. Sedang 

menyapu jalan, Midun terkenang akan perkataan perempuan 

itu kepada anaknya. Maka ia berkata dalam hatinya, "Sungguh 

ajaib dunia ini. Apakah sebabnya perempuan itu makan hati? 

Apakah yang disedihkannya? Ia tinggal dalam sebuah gedung 

yang indah di tepi jalan besar. Kehendaknya boleh, pintanya 

berlaku, sebab uang banyak di peti. Berjongos dan berkoki, 

beranak seorang permainan mata. Keinginan apakah lagi yang 

dikehendakinya dengan hidup cara demikian? Sungguh heran, 

siapa yang akan menyangka orang yang sesenang itu ada 

menanggung kesedihan? Benarlah ada juga seperti kata 

pepatah: ayam bertelur dalam padi mati kelaparan, itik 

berenang dalam air mad kehausan." 

Dalam berpikir-pikir hari sudah petang, lalu Midun kembali 

ke perkara. Malam itu ia amat bersenang hati, karena meskipun 

dia orang hukuman, dapat juga berbuat pahala. Tampak-

tampak dalam pikiran Midun wajah gadis itu bergirang hati 

setelah barangnya dikembalikan. 

"Orang manakah gadis itu? Siapakah bapak tirinya? Sungguh 

cantik dan elok rupanya, sukar didapat, mahal dicari."


Pertanyaan itu timbul sekonyong-konyong dalam pikiran 

Midun. Kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya sampai pagi. 

Hukuman Midun sudah hampir habis. Menurut hematnya 

tingga115 hari lagi. Rasakan dibelanya hari yang 15 hari itu, 

karena ingin hendak pulang menemui keluarganya. Makin dekat 

hari ia akan dilepaskan, makin rajin Midun bekerja. Kemauan 

mandor Saman diturutnya belaka, biar apa saja yang disuruh-

kannya. Midun amat sabar, dan harapan jangan hendaknya ter-

jadi apa-apa sampai ia bebas. Tengah hari ketika Midun hendak 

pergi mengambil ransum, tibatiba datang seorang perempuan 

tua kepadanya, lalu berkata, "Ibu Halimah menyuruh meng-

antarkan nasi untuk orang muda." 

"Halimah?" ujar Midun dengan heran, "Siapa Halimah itu, 

Nek? Saya belum ada berkenalan di sini. Barangkali nenek 

salah, bukan saya yang dimaksud ibu Halimah itu agaknya." 

Orang tua itu bingung, karena tidak tentu akan jawabnya. Ia 

hanya disuruh orang mengantarkan nasi kepada Midun, diantar-

kannya. Bagaimana seluk-beluk ibu Halimah dengan Midun, 

sedikit pun ia tidak tahu. Sebab itu ia melihat ke sana kemari, 

seakan-akan Ada yang dicari orang tua itu. 

"Ibu saya menyuruh mengantarkan nasi untuk Udo," ujar 

Halimah, sambil keluar dari balik pohon kenari, sebab 

dilihatnya nenek itu dalam keragu-raguan akan menjawab 

pertanyaan Midun. 

"O, Uni gerangan yang bernama Halimah!" ujar Midun 

dengan hormat. "Maaf, Uni, karena saya belum tahu nama Uni, 

saya katakan tadi kepada nenek ini, bahwa saya belum ber-

kenalan seorang jua di sini. Mengapakah ibu Uni menyuruh 

mengantarkan nasi benar untuk saya, orang hukuman ini? Saya 

harap jangan Uni berkecil hati, karena saya tidak sanggup 

menerima pembawaan ini. Terima kasih banyak, sudilah 

kiranya Uni membawa nasi ini pulang kembali!" 

"Benar,h sayalah yang bernama Halimah," ujar gadis yang 

kehilangan kalung kemarin itu. "Ibu meminta benar dengan 

sangat, supaya Udo suka memakan nasi ini. Saya harap 

janganlah Udo bertangguh seperti, kemarin pula!" 

"Tidak, Uni, sekali-kali tidak," ujar Midun pula. "Saya meng-

ucapkan terima kasih banyak saja atas kemurahan Uni dan ibu 

itu. Takut saya akan terbiasa, sebab orang hukuman hanya 

makan nasi dengan garam. Bawalah balik pulang!" 

"Saya sudah payah memasak, tetapi Udo tidak mau pula me


makan," ujar Halimah sebagai orang beriba hati dan merayu. 

"Perkataan Udo mengenai hati saya. Tidak baik begitu, Udo! 

Jika Udo tak hendak memakan nasi ini, buangkan sajalah ke 

laut itu! Ikan di laut barangkali ada yang suka memakannya." 

"Marilah kita pulang, Nenek!" ujar Halimah pula kepada 

orang tua itu. "Sebentar lagi kita ambil rantang ini kemari." 

Halimah dan nenek itu pulang. Midun tinggal seorang diri 

dengan rantang terletak di hadapannya. Ia duduk sebagai orang 

teringa-inga. Perkataan Halimah sebagai bunyi buluh perindu 

masuk ke telinganya. Merdu sungguh, entah di mana perasaan 

Midun ketika itu. Akan menolak permintaan Halimah sekali lagi, 

ia rasa tak sanggup. Lagi pula Halimah sudah bergulut saja 

pulang, sesudah habis berkata tadi. 

"Ah, kalau saya .... Tidak boleh jadi, tak dapat tiada 

sebagai si pungguk merindukah bulan. Dan mustahil makanan 

enggang akan tertelan oleh pipit," demikianlah pikir Midun 

dalam hatinya. 

Ketika Midun hendak membuka rantang, tiba-tiba bahunya '' 

ditarik orang dari belakang dengan kuat. Sambil menghardik, 

orang itu berkata, "Eh, binatang, engkau tidak tahu, orang 

hukuman sekalikali tidak boleh bercakap dengan orang preman? 

Berani sungguh, itu siapa? Ingat! Hukumanmu boleh bertambah 

lagi!" 

Mendengar perkataan itu, Midun rasa disambar petir, sebab 

terkejut. Kerongkongannya tersumbat, napasnya turun naik me-

nahan hati, ketika dilihatnya mandor Saman yang menarik dia. 

Hampir tidak dapat Midun menahan marahnya mendengar 

cerita yang amat keji itu. Lama baru Midun dapat menjawab 

perkataan mandor Saman itu. Maka ia pun berkata, "Jangan 

terlampau penaik darah, Mamak! Marah gampang, semua orang 

dapat berbuat demikian. Tanyakan dulu sebab-sebabnya, 

kemudian kalau nyata saya bersalah, biar sepuluh tahun lagi 

hukuman saya bertambah, apa boleh buat. Bukan saya yang 

membawa orang itu bercakap, melainkan dia yang datang 

kepada saya." 

Mandor Saman undur ke belakang mendengar perkataan 

Midun yang lunak, tetapi pedas itu. Biasanya bila ia melihat 

orang hukuman berbuat salah tidak ditanyainya lagi, melainkan 

pukulan saja yang tiba di punggung. Tetapi kepada Midun, 

mandor Saman agak gentar, karena sudah dilihatnya ketangkas-

an anak muda itu. Maka katanya, "Ya, siapa, ini apa? Dan jalan


apa kepadamu orang itu?" Midun menerangkan dengan pendek, 

apa yang telah terjadi maka ia mengenali anak gadis itu, lalu 

berkata sambil membuka rantang, katanya, "Maafkanlah saya, 

Mamak! Bukankah selera Mamak juga yang akan puas. Bagi saya 

lebih-lebihnya saja jadilah. Kita tidak usah berjerih payah lagi 

mengambil ransum ke penjara." 

Melihat goreng ayam, semur, sambal petai, dan lain-lain 

itu, mandor Saman lekas-lekas menelan air liurnya yang hendak 

berleleran. Sudah 10 tahun dia menjalani hukuman, dan karena 

dipercayai sipir sampai diangkat menjadi mandor, lamun 

makanannya sama juga dengan orang hukuman yang lain. 

Tetapi melihat nasi dengan lauk-pauknya itu, lekum mandor 

Saman turun-naik, hampir makanan itu dirampasnya. Maka ia 

berkata dengan pendek, "Baiklah, asal setiap hari begini. 

Tetapi saya menyesal kalung itu engkau kembalikan. Bodoh 

benar, jika dijual betapa baiknya...." 

Bukan main mandor Saman mencaruk nasi dengan lauknya. 

Hampir tidak dikunyah, terus masuk perutnya. Setelah kenyang 

ia pergi. Midun mengangguk-anggukkan kepala saja melihat 

mandor Saman yang tamak itu. Bagiannya tinggal sedikit lagi, 

tetapi tidak pula dimakannya. Midun merasa malu jika isi 

rantang itu habis sama sekali. Mengetahui nama anak gadis itu 

saja lebih mengenyangkan daripada makan nasi pada perasaan 

Midun. Maka rantang itu disusunnya baik-baik. Ketika orang 

hukuman akan pergi mengambil ransum, ia meminta tolong saja 

kepada temannya menyuruh bungkus ransum bagiannya. 

Tengah hari Halimah kembali pula dengan nenek akan 

mengambil rantang. Masa itu Midun masih duduk-duduk, karena 

waktu kerja belum tiba. Baru saja Halimah dekat, Midun 

berkata, "Terima kasih, Uni! Bersusah payah benar rupanya Uni 

memasak, tidak ubah sebagai makanan engku-engku. Segala isi 

rantang ini sudah hampir habis oleh saya. Maklumlah, Uni, tiap-

tiap orang suka kepada yang enak, apalagi yang belum 

dirasainya. Tolonglah sampaikan salam saya kepada ibu Uni, 

dan terima kasih saya atas kemurahan beliau kepada anak 

dagang yang daif ini." 

"Terima kasih kembali, " ujar Halimah. "Janganlah mem-

balikkan hujan ke langit itu, Udo! Sementara saya orang 

dagang, jangan terlampau benar menyindir. Udo nyata kepada 

saya orang sini, tetapi saya orang jauh-jauh di seberang laut." 

"Sebenarnya, Uni, sekali-kali saya tidak menyindir!" ujar


Midun dengan heran. "Negeri saya di Bukittinggi, saya dihukum 

kemari. Uni siapa dan orang mana?" 

"Bukittinggi itu bukankah sudah Padang juga namanya," ujar 

Halimah. "Tetapi kami orang dari tanah Jawa, dagang larat 

yang sudah 10 tahun dibawa untungnya kemari. Jika tidak 

beralangan kepada Udo, sudilah Udo menerangkan apa 

sebabnya Udo dihukum ini? Ibu pun heran, karena Udo 

berlainan dengan orang hukuman yang biasa beliau lihat." 

"Benar, sungguhpun Bukittinggi Padang juga, tetapi bukan-

kah saya sudah meninggalkan kaum keluarga." 

Midun menerangkan dengan pendek halnya sampai dihukum 

ke Padang itu. Ketika Midun hendak bertanyakan asal dan siapa 

bapak tiri Halimah, mandor Saman berkata pula, "Midun, ayoh 

kerja, waktu sudah habis." 

Hingga itu percakapan mereka terhenti. Halimah dan nenek 

itu pulang ke rumahnya. Halimah tahu sudah nama anak muda 

itu, ketika mandor Saman memanggil namanya. Demikianlah 

hal Midun, setiap hari diantari nasi oleh Halimah ke Muara. 

Halimah hanya tiga kali datang, sebab sakit ibunya semakin 

keras. Ia perlu menjaga ibunya, sebab itu nenek itu saja yang 

pergi ke Muara mengantarkan nasi. Tetapi yang memakan nasi 

itu boleh dikatakan mandor Saman saja. Yang dimakan Midun 

hanya sisa-sisa mandor Saman. Kadang-kadang timbul pikiran 

Midun hendak melawan, karena tingkah laku mandor Saman 

yang tidak senonoh itu. Tetapi mengingat hukumannya yang 

hanya tinggal beberapa hari lagi, terpaksa ia sabar dan 

menurut kemauan mandor itu saja. 

Setelah sepekan lamanya, Midun tidak diantari Halimah nasi 

lagi. Nenek itu pun tidak pula datang-datang ke Muara. Hal itu 

pada pikiran Midun tidak menjadikan apa-apa, karena tentu 

tidak boleh jadi ia akan terus-menerus saja diantari orang nasi. 

Sungguhpun demikian hatinya tidak senang karena kabar tidak 

beripa pun tidak. Berdebar hatinya ketika terkenang olehnya 

bahwa ibu Halimah dalam sakit-sakit. Oleh sebab itu pada 

suatu pagi Midun lalu pada jalan di muka rumah Halimah. la 

ingin hendak mengetahui keadaan mereka itu. Setelah sampai 

di muka rumah, dilihatnya pintu tertutup, seorang pun tidak 

ada kelihatan. Ketika seorang babu keluar dari gedung sebelah 

rumah itu, Midun bertanya, "Uni, bolehkah saya bertanya 

sedikit? Gedung ini mengapa bertutup saja? Ke manakah orang 

di gedung ini? Pindah rumahkah dan atau tidak di sini lagi?"


"Yang tinggal di gedung ini Nyai Asmanah, baru tiga hari ini 

meninggal dunia," ujar babu itu. "Anaknya Halimah kemarin ada 

juga saya lihat, tetapi pagi ini, ketika saya hendak menumpang 

mandi, tidak ada lagi." 

Babu itu masuk, sebab dipanggil induk semangnya ke dalam. 

Midun sebagai terpaku di muka jalan itu. Ia amat kasihan me-

ngenangkan gadis itu ditinggalkan ibunya di negeri orang pula. 

Ketika babu menyebutkan Nyai Asmanah, Midun maklum bahwa 

bapak tiri Halimah itu orang putih, tidak sebangsa dengan dia. 

"Ah, apakah jadinya gadis itu? Kemanakah dia? Kasihan!" 

Demikianlah timbul pertanyaan dalam pikiran Midun. Dengan 

tidak disangka-sangka ia telah sampai ke tempatnya bekerja 

setiap hari. Dalam pekerjaan, pikiran Midun kepada anak gadis 

yang baru kematian ibu saja. Biar bagaimana jua pun ia 

menghilangkan, tetapi seakan-akan tampak-tampak oleh Midun 

penanggungan Halimah. 

Tengah hari ia duduk di bawah pohon kayu yang rindang 

sambil merenung ke laut lepas. Sekonyong-konyong bahunya 

diraba orang dari belakang. Midun melihat kiranya nenek itu 

suruh-suruhan Halimah. Ketika ia hendak bertanya, nenek itu 

meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, lalu memberikan sepucuk 

surat. Kemudian ia berjalan dengan tergopoh-gopoh sebagai 

ketakutan. 

Melihat tingkah nenek yang ganjil itu, Midun amat heran 

dan bingung. Ia tidak mengerti sedikit jua akan perbuatan 

nenek yang demikian itu. Surat itu segera dibukanya, tetapi 

Midun tidak pandai membaca, karena bertulis dengan huruf 

Belanda. Hatinya ingin benar mengetahui isi surat itu, tetapi 

apa daya badan tidak bersekolah. Amat sakit hati Midun, 

karena ia terpaksa menyimpan surat itu, menanti orang yang 

akan menolong membacakannya. Ketika pulang ke penjara, ia 

berjalan memencil di belakang. Tiba-tiba kelihatan olehnya 

seorang anak sedang membaca buku sepanjang jalan. Midun 

lalu menghampirinya, serta ditegurnya, "Buyung, bolehkah saya 

meminta tolong sedikit? Tadi saya ada menerima sepucuk surat. 

Sukakah Buyung menolong membacakannya sebentar, supaya 

kuketahui isinya? Saya tidak pandai membaca tulisan macam 

ini." 

Midun mengunjukkan surat, lalu diambil anak itu. Demikian-

lah bunyinya:


Udo Midun! 

Tolong, Udo, saya di dalam bahaya. Saya harap dengan 

sungguh, Udo datang mengambil saya ke rumah No. 12 di 

Pondok. Jika Udo datang ke sana, hendaklah antara pukul 11 

dan 12 malam. Nenek akan menantikan Udo di rumah itu. 

Kasihanilah saya; kalau Udo tidak datang saya binasa. 

Wassalam saya, 

 H.


10. Lepas dari Hukuman 

SETELAH dibacanya, surat itu dikembalikan anak itu. Maka 

Midun meminta terima kasih kepada anak itu, lalu berjalan 

pula. Ia maklum, bahwa surat itu dari Halimah. Hati Midun 

bertambah kabut, pikirannya makin kusut mendengar bunyi 

surat itu. Amat kasihan ia mengenangkan Halimah. Sampai di 

penjara, pikirannya sudah tetap akan menolong gadis itu 

sedapat-dapatnya. Tetapi bagaimana akan menolong, karena ia 

masih dalam hukuman? Sampai di kamarnya, Midun meng-

hitung-hitung hari, bila ia akan dilepaskan. Dalam pada itu 

datang seorang tukang kunci memanggil, lalu ia dibawanya 

kepada sipir. Hati Midun mulai tidak senang pula, karena sudah 

4 bulan ia dihukum, belum pernah dipanggil sipir. Sampai di 

kantor, sipir berkata, "Midun, tadi saya dapat perintah, bahwa 

engkau sudah bebas dari hukuman. Besok pagi engkau dapat 

surat dari saya, supaya perai ongkos kereta api untuk pulang ke 

kampungmu." 

Mendengar perkataan itu hampir tidak dapat Midun men-

jawab, karena sangat girang hatinya mendengar kabar itu. Ia 

bergirang hati bukannya karena hendak pulang ke kampung, 

melainkan berhubung dengan surat Halimah. Tetapi kegirangan 

hatinya itu tidak lama, karena sipir menyuruh dia pulang ke 

kampung. Cemas hatinya memikirkan hal itu, takut kalau-kalau 

dipaksa sipir mesti pulang juga. Hati Midun memang agak malas 

pulang, mengingat permusuhannya dengan Kacak. 

Tentu saja kalau ia pulang Kacak tidak bersenang hati, dan 

mencari ikhtiar supaya ia binasa juga. Midun berkata dengan 

lemah lembut sambil memohon permintaan, katanya, "Jika ada 

kemurahan Engku kepada saya, harap Engku mengizinkan saya 

tinggal di sini. Saya tidak hendak pulang, biarlah saya mencari 

penghidupan di kota ini saja. Dan kalau tak ada keberatan 

kepada Engku, saya bermaksud hendak keluar sekarang." 

"Tidak boleh, karena orang hukuman yang sudah bebas 

mesti pulang kembali ke kampungnya." 

"Atas rahim dan belas kasihan Engku kepada saya, sudi 

apalah kiranya Engku mengabulkan permintaan saya itu. Saya 

takut pulang, karena saya dimusuhi orang berpangkat di negeri 

saya. Yang menghukum saya kemari pun, sebab orang itulah.


Oleh sebab itu, saya berniat hendak tinggal di Padang ini saja 

mencari pekerjaan." 

Karena Midun meminta dengan sungguh-sungguh dan dengan 

suara lemah lembut, maka timbul juga kasihan sipir kepadanya. 

Ia pun berkata, katanya, "Sebetulnya hal ini tidak boleh. Tetapi 

sebab engkau sangat meminta, biarlah saya kabulkan. Jika 

engkau bebas sekarang, di mana engkau akan tinggal? Bukankah 

engkau tidak berkenalan di sini dan hari pun sudah petang 

pula." 

"Di rumah Pak Karto, tempat Engku menyuruh mengantar-

kan cucian kepada saya tiap pekan. Orang itu suka menerima 

saya tinggal di rumahnya. Dan ia pun mau pula menerima saya 

bekerja dengan dia." 

"Baiklah, tunggu sebentar, saya buat sebuah surat kepada 

Penghulu Kampung Ganting. Besok pagi-pagi hendaklah engkau 

berikan surat saya kepadanya, supaya engkau jangan ber-

alangan tinggal di sini." 

Midun bebas, lalu ia pergi menukar pakaian. Uangnya yang 

f15,- dahulu diberikan tukang kunci kembali kepadanya. Sudah 

itu ia pergi kepada sipir mengambil surat yang dijanjikan 

kepadanya itu. Kemudian ia pergi kepada Turigi akan meminta 

maaf dan memberi selamat tinggal. Setelah Midun dinasihati 

Turigi, mereka kedua bertangis-tangisan, tak ubahnya sebagai 

seorang bapak dengan anaknya yang bercerai takkan bertemu 

lagi. Setelah itu Midun bersalam dengan kawannya sama orang 

hukuman, lalu terus berjalan ke luar penjara. 

Midun terlepas dari neraka dunia. Ia berjalan ke Ganting 

akan menemui tukang menatu Pak Karto. Memang Midun sudah 

berjanji dengan Pak Karto, manakala lepas dari hukuman akan 

bekerja menjadi tukang cucinya. 

Sepanjang jalan pikiran Midun kepada Halimah saja, maka 

ia pun berkata dalam hatinya, "Bahaya apakah yang menimpa 

Halimah? Jika saya tidak tolong, kasihan gadis itu. Akan tetapi 

bila saya tolong, boleh jadi hidup saya celaka pula. Saya belum 

tahu seluk beluk perkaranya dan dalam bahaya apa dia 

sekarang. Lagi pula dia seorang gadis, saya bujang, bukankah 

ini pekerjaan sia-sia saja. Ya, serba salah. Tetapi lebih baik 

saya bertanya kepada Pak Karto, bagaimana pikirannya tentang 

Halimah itu. Perlukah ditolong atau tidak?" 

Pikiran Midun bolak-balik saja, hingga sampai ke muka 

rumah Pak Karto. Didapatinya Pak Karto sedang makan, lalu


Midun dipersilakan orang tua itu makan bersama-sama. Sudah 

makan hari baru pukul 8 malam. Mereka itu bercakap-cakap 

menceritakan ini dan itu. Setelah beberapa lamanya, Midun 

lalu menceritakan hal Halimah dan surat yang diterimanya itu. 

Mendengar cerita Midun, apalagi gadis itu berasal dari tanah 

Jawa, sebangsa dengan dia, Pak Karto sangat belas kasihan. 

Pak Karto sepakat menyuruh Midun membela Halimah, sebab 

gadis itu sebatang kara saja di kota Padang. la tidak lupa 

menasihati Midun, supaya pekerjaan itu dilakukan dengan 

diam-diam, jangan hendaknya orang tahu. Bahaya yang boleh 

menimpa Midun diingatkannya pula oleh Pak Karto. Midun 

disuruhnya hati-hati melakukan pekerjaan itu, sebab Halimah 

seorang gadis. Kira-kira pukul 10 malam, Midun berangkat dari 

rumah Pak Karto akan menepati apa yang dikatakan dalam 

surat itu. 

Karena hari baru pukul 10, pergilah ia berjalan-jalan ke 

kampung Jawa akan melihat keadaan kota itu pada malam hari. 

Setelah lewat pukul 11, Midun berjalan menuju arah ke 

Pondok. Hari gelap amat sangat, jalan sunyi pula. Karena 

pakaian Midun disuruh ganti oleh Pak Karto dengan pakaian 

yang segala hitam, maka ia tiada lekas bertemu oleh nenek 

suruhan Halimah yang telah menantikannya. Midun sangat 

berhati-hati dan selalu ingat melalui jalan itu. Tiba-tiba 

kedengaran olehnya orang memanggil namanya. Maka ia pun 

berhenti, lalu berjalan ke arah suara itu. 

"Engkau ini Midun?" ujar orang itu dengan suara gemetar, 

sebagai orang ketakutan. "Saya ini nenek, turutkanlah saya dari 

belakang." 

Midun sebagai jawi ditarik talinya menurutkan nenek itu 

dari belakang. Entah ke mana ia dibawa nenek itu, tidaklah 

diketahuinya, karena hari amat gelap. Hanya yang diketahui-

nya, ia dua kali menyuruki pagar dan menempuh jalan yang 

bersemak-semak. Sekonyong-konyong tertumbuk pada sebuah 

dinding rumah. 

"Neeeek?" bunyi suara perlahan-lahan dari jendela rumah. 

"Ada Udo Midun? Sambutlah barang-barang ini!" 

"Ada, ini dia bersama nenek," ujar nenek itu perlahan-

lahan. "Midun, tolonglah sambut Halimah dari jendela." 

Midun lalu mengambil pinggang Halimah, dipangkunya ke 

bawah. Sampai di bawah, Halimah berkata, "Ingat-ingat, Udo! 

Boleh jadi Udo dipukul orang. Bawalah saya ke mana Udo sukai,


tapi jangan dapat hendaknya kita dicari orang." 

Midun yang dalam kebingung-bingungan dan tidak mengerti 

suatu apa perkara itu, lalu menjawab, "Ke mana Uni akan saya 

bawa, karena saya belum berkenalan di sini. Lain daripada ke 

Ganting, tak ada lagi rumah lain. Maukah Uni ke sana?" 

"Baiklah, asal saya terhindar dari rumah ini, " ujar Halimah 

dengan berbisik. 

Mereka itu berjalan perlahan-lahan, takut akan diketahui 

orang. Tangan Halimah dipegang oleh Midun, lalu dipimpinnya 

ke jalan besar. Ketika hampir sampai di jalan besar, Midun 

menyuruh Halimah dan nenek berundung-rundung dengan kain, 

supaya mukanya jangan dilihat orang. Dan Midun membenam-

kan kopiahnya dalam-dalam menutupi telinganya, supaya 

jangan nyata mukanya kelihatan. Sampai di jalan, kebetulan 

lalu sebuah bendi. Bendi itu ditahan oleh Midun, mereka ketiga 

lalu naik ke atas bendi itu. 

"Ke Alanglawas," ujar Midun kepada kusir bendi itu. 

Di atas bendi seorang pun tak ada yang berani berkata se-

patah kata jua pun. Mereka itu di dalam ketakutan, takut akan 

dilihat orang lalu lintas di jalan. Ketika bendi itu sampai di 

Alanglawas, Midun berkata, katanya, "Berhenti di sini, Mamak!" 

Mereka itu pun turun dari atas bendi. Belum jauh berjalan, 

Halimah berkata, "Mengapa kita di sini turun? Tadi Udo 

mengatakan ke Ganting." 

"Ya, dari sini kita berjalan kaki saja. Bukankah tidak berapa 

jauh dari sini ke Ganting? Maka kita turun di sini, supaya jangan 

diketahui kusir bendi tadi ke mana tujuan kita." 

Setelah sampai di muka rumah Pak Karto, Midun berseru 

perlahan-lahan menyuruh membukakan pintu. Baru sekali saja 

ia berseru, pintu sudah terbuka. Memang Pak Karto tidak tidur, 

karena menanti-nanti kedatangan Midun. Setelah naik ke 

rumah, barulah nyata kepada Midun wajah Halimah yang sangat 

pucat dan kurus itu. Midun tidak berani bertanya, karena ia 

tahu bahwa Halimah masih di dalam ketakutan. 

"Udo Midun!" ujar Halimah, setelah kurang takutnya. "Saya 

mengucapkan terima kasih atas pertolongan Udo kepada saya, 

anak dagang yang telah dirundung malang ini. Saya berharap, 

jika Udo ada belas kasihan kepada saya, tolonglah saya 

antarkan ke Betawi, kepada bapak saya di Bogor. Jika di sini 

juga, tak dapat tiada hidup saya celaka." 

"Janganlah Uni khawatir, saya siap akan menolong Uni bila


mana perlu," ujar Midun. "Permintaan Uni itu insya Allah akan 

saya kabulkan. Sungguhpun demikian, cobalah ceritakan hal 

Uni, supaya dapat kami ketahui. Lagi pula jika Uni ceritakan, 

dapat kami memikirkan jalan mana yang harus kami turut untuk 

menjaga keselamatan diri Uni. Sebabnya maka saya ingin tahu, 

pekerjaan saya ini sangat sia-sia, karena Uni seorang anak 

gadis." 

"Sebab hati saya masih di dalam gusar, tak dapat saya men-

ceritakan hal saya ini dengan panjang lebar," ujar Halimah. 

"Oleh sebab itu Udo dan Bapak tanyakan sajalah kepada nenek 

ini. Nenek dapat menerangkan hal saya, sejak dari bermula 

sampai kepada kesudahannya." 

Pak Karto pun bertanyalah kepada nenek itu tentang hal 

gadis itu. Maka nenek itu menerangkan dengan pendek sekadar 

yang perlu saja, yaitu hal Halimah akan diperkosa oleh bapak 

tiri dan orang Tionghoa yang mula-mula pura-pura hendak 

menolong gadis itu. 

Setelah sudah nenek itu bercerita, Pak Karto berkata, 

"Midun, hal itu memang sulit. Jika kurang ingat, kita boleh pula 

terbawa-bawa dalam perkara ini. Bahkan boleh jadi diri kita 

celaka karenanya. Oleh sebab itu hendaklah kita bekerja 

dengan diam-diam benar, seorang pun jangan orang tahu. 

Biarlah sekarang juga nenek ini saya antarkan ke rumahnya." 

"Jangan, Bapak," ujar Midun, "kalau nenek bertemu di jalan 

dengan orang yang dikenalinya, tentu kurang baik jadinya. Tak 

dapat tiada orang akan heran melihat Bapak berjalan bersama-

sama dengan nenek. Apalagi rumah Bapak diketahui orang di 

Padang ini. Biarlah saya saja mengantarkan nenek ke 

rumahnya." 

"Benar juga kata Midun itu!" ujar Pak Karto pula. "Pergilah 

engkau antarkan nenek sekarang juga. Lekas balik!" 

Sesudah Halimah bermaaf-maafan dengan nenek itu, maka 

Midun pergilah mengantarkan nenek itu ke rumahnya. Di tengah 

jalan, Midun berkata kepada nenek itu, bahwa hal itu jangan 

sekali-kali dibukakan kepada seorang juga. Setelah sampai di 

muka rumah nenek itu, Midun memberikan uang f5,- 

kepadanya. Nenek itu pun berjanji, biar nyawanya akan 

melayang, tidaklah ia akan membukakan hal itu. 

Tidak lama antaranya, Midun sudah kembali dari meng-

antarkan nenek itu. Halimah disuruh mereka itu bersembunyi 

dalam bilik Pak Karto. Baik siang atau pun malam, Halimah


mesti tinggal di dalam bilik saja untuk sementara. 

Semalam-malaman Midun dan Pak Karto mufakat tentang 

diri Halimah. Sudah padat hatinya hendak mengantarkan 

Halimah ke Bogor. Karena hari sudah jauh larut malam, mereka 

pergi tidur. 

Halimah tidur dengan istri Pak Karto. Midun tak dapat tidur, 

sebab pikirannya berkacau saja. Kemudian Midun berkata 

dalam hatinya, "Jika saya pulang, tentu hidup saya makin 

berbahaya lagi. Sekarang telah ada jalan bagi saya akan 

menghindarkan kampung. Bahkan saya pergi ini, akan menolong 

seorang anak gadis. Apa boleh buat, biarlah, besok saya tulis 

surat kepada ayah di kampung." 

Pagi-pagi benar Midun sudah bangun, lalu pergi mandi. 

Sudah mandi ia menulis surat ke kampung, ditulisnya dengan 

huruf Arab, demikian bunyinya, 

Padang, 12 Januari 19.. 

Ayah bundaku yang mulia, ampunilah kiranya anakanda! 

Sekarang anakanda sudah bebas dari hukuman dengan selamat. 

Menurut hemat anakanda, jika anakanda pulang, tak dapat 

tiada akan binasa juga oleh musuh anakanda yang bekerja 

dengan diam-diam itu. Sebab itu agar terhindar daripada 

malapetaka itu, Ayah bunda izinkan apakah kiranya anakanda 

membawa untung nasib anakanda barang ke mana. Nanti 

manakala hati musuh anakanda itu sudah lega dan dendamnya 

sudah agak dingin, tentu dengan segera jua anakanda pulang. 

Bukankah setinggi-tinggi terbang bangau, surutnya ke kubangan 

juga, Ayah! 

Ayah bunda yang tercinta! Nyawa di dalam tangan Allah, 

tidak tentu besok atau lusa diambil oleh yang punya. Karena itu 

anakanda berharap dengan sepenuh-penuh pengharapan, 

sudilah kiranya Ayah bunda merelakan jerih lelah Ayah bunda 

kepada anakanda sejak anakanda dilahirkan. Baikpun segala 

kesalahan anakanda, yang bakal memberati anakanda di akhirat 

nanti, Ayah bunda maafkan pula hendaknya. 

Sekianlah isi surat ini, dan dengan surat ini pula anakanda 

mengucapkan selamat tinggal kepada Ayah bunda, karena 

anakanda akan berlayar ke tanah Jawa. Kepada Bapak Haji 

Abbas dan Bapak Pendekar Sutan tolong Ayahanda sampaikan 

sembah sujud anakanda. Dan wassalam anakanda kepada Maun, 

sahabat anakanda yang tercinta itu. Jangan hendaknya Ayah


bunda perubahkan Maun dengan anakanda, karena dialah yang 

akan menggantikan anakanda selama anakanda jauh dari negeri 

tumpah darah anakanda. 

Peluk cium anakanda kepada adik-adik! 

Sembah sujud anakanda, 

MIDUN 

Setelah sudah surat itu dibuatnya, lalu ia minta tolong 

kepada Halimah membuatkan alamatnya. Sudah memasukkan 

surat, pergilah Midun mengantarkan surat yang diberikan sipir 

itu untuk Penghulu Kampung Ganting. Setelah Penghulu 

Kampung itu membaca surat sipir, diceritakannyalah Midun 

sebagai anak buahnya di kampung itu. Midun bekerjalah 

sebagai tukang cuci Pak Karto. 

Pada malam hari, Midun berkata, katanya, "Pak Karto, 

bagaimana akal saya akan mengantarkan Halimah ke negerinya? 

Jika ditahan lama-lama di sini, tentu diketahui orang juga." 

"Benar katamu itu, sehari ini sudah saya pikirkan benar-

benar hal ini;" ujar Pak Karto. "Midun dan Halimah mesti ada 

surat pas. Kalau tidak, tentu ia tidak dapat berlayar ke Jawa." 

Mendengar perkataan Pak Karto demikian itu, Midun ter-

peranjat amat sangat. Dalam pikirannya tak ada terbayang-

bayang perkara surat pas itu. Maka ia pun berkata, "Jika tidak 

memakai surat pas, tidakkah boleh berlayar, Bapak?" 

"Tidak boleh! Jika berlayar juga, ditangkap polisi." Midun 

termenung, pikirannya berkacau memikirkan hal itu. Tentu saja 

tidak dapat meminta surat pas untuk Halimah, jika dimintakan 

surat pasnya, tak dapat tiada halnya diketahui orang. Padahal 

ia sengaja menyembunyikan gadis itu. Darah Midun tidak 

senang, takut dan khawatir silih berganti dalam hatinya. Dalam 

pada ia termenung-menung itu, Pak Karto berkata pula, 

katanya, "Jangan engkau susahkan hal itu, Midun. Sayalah yang 

akan berikhtiar mencarikan surat pas untuk engkau dan 

Halimah. Engkau tidak sebangsa dengannya, mau menentang 

bahaya untuk menolong Halimah. Apalagi saya sebangsa dengan 

gadis itu. Tentu saja sedapat-dapatnya akan saya tolong pula 

mengusahakan surat pas itu. Sabarlah engkau dalam tiga empat 

hari ini. Barangkali saya dapat mengusahakannya. Banyak orang 

yang akan menolong saya di sini, sebab saya banyak ber-

kenalan. Penghulu Kampung di sini pun berkenalan baik dengan


saya. Sebab itu biarlah saya pikirkan dahulu, bagaimana jalan 

yang baik mencari surat pas. Seboleh-bolehnya nama Halimah 

jangan tersebut-sebut." 

"Terima kasih, Bapak!" jawab Midun. "Bagi saya, gelap per-

kara surat pas itu. Sebab itu saya harap Bapaklah yang akan 

menolong perkara itu." 

Sepekan kemudian daripada itu, pada malam hari Pak Karto 

pulang dari berjalan. Sampai di rumah, ia pun berkata kepada 

Midun, katanya, "Ini surat pas dua buah sudah dapat saya 

ikhtiarkan. Besok pergilah Midun tanyakan ke kantor K.P.M., 

bila kapal berangkat ke Betawi." 

Midun dan Halimah sangat berbesar hati mendapat surat pas 

itu. Mereka kedua minta terima kasih akan pertolongan Pak 

Karto. Midun lalu bertanya, katanya, "Bagaimana Bapak dapat 

memperoleh surat pas ini?" 

"Hal itu tak usah Midun tanyakan, karena kedua surat pas ini 

dengan jalan rahasia makanya saya peroleh. Asal kamu kedua 

terlepas, sudahlah." 

Midun tidak berani bertanya lagi. Dalam hatinya ia meminta 

syukur kepada Tuhan, karena kedua surat pas itu dengan 

mudah dapat diikhtiarkan oleh Pak Karto. 

Keesokan harinya Midun pergi menanyakan bila kapal 

berangkat ke Betawi. Ketika ia akan pergi, Halimah mem-

berikan sehelai uang kertas f 50,-, lalu berkata, "Bawalah uang 

ini, Udo! Siapa tahu barangkali ada kapal yang akan berangkat 

ke Betawi. Jika ada, belilah tiket kapal sekali." 

Sambil menerima uang itu, Midun berkata, "Maklumlah Uni, 

saya baru lepas dari hukuman. Sebab itu uang ini saya terima 

saja." Halimah tersenyum sambil memalingkan mukanya. 

Midunpun pergi menanyakan kapal. Setelah ditanyakannya, 

kebetulan besoknya ada kapal yang akan berangkat ke Betawi. 

Dengan segera Midun membeIi dua buah tiket kapal, lalu pulang 

ke Ganting. 

Pada keesokan harinya Midun dan Halimah bermaaf-maafan 

dengan Pak Karto laki istri. Setelah itu mereka berangkat ke 

Teluk Bayur. 

Dengan tiada kurang suatu apa, mereka itu selamat naik 

kapal. Tidak lama menanti, kapal pun bertolak meninggalkan 

pelabuhan Teluk Bayur. Penumpang di kapal itu menyangka 

Midun dan Halimah dua laki istri. Sebab itu seorang pun tak ada 

yang menghiraukannya.


11. Meninggalkan Tanah Air 

DI ATAS kapal, berlainan pula keadaan Midun dengan waktu ia 

berangkat dari Bukittinggi ke Padang dahulu. Ia berdiri di 

geladak kipal, memandang air yang berbuih di buritan kapal. 

Sekali-kali Midun melayangkan pemandangannya ke bukit 

barisan Pulau Sumatra, yang makin lama makin kecil juga 

kelihatannya. Perasaannya jauh, jauh entah di mana ketika itu. 

Amat sedih hati Midun meninggalkan kampung halamannya yang 

sangat dicintainya itu. Tampak terbayang dalam pikirannya ibu 

bapak, adik, dan kawan-kawannya semua di kampung. Tampak-

tampak oleh Midun, bagaimana kesedihan ibu dan adiknya, 

setelah menerima suratnya itu. Rasa-rasa terdengar olehnya, 

tangis ibunya menerima kabar itu. Bertambah hancur lagi hati 

Midun, mengenangkan nasibnya yang celaka itu. Pada pikiran-

nya, nasibnya sangat buruk, berlainan dengan nasib kebanyakan 

manusia ini. Dengan tidak diketahuinya air mata-nya jatuh 

berderai, karena makin dipikirkannya, semakin remuk hatinya. 

Dalam Midun termenung-menung itu, Halimah datang meng-

hampiri, katanya, "Menyesalkah Udo menolong saya yang celaka 

ini, Udo? Apakah yang Udo renungkan? Sedihkah hati Udo 

meninggalkan kampung, bercerai dengan ibu bapak, adik, dan 

kaum keluarga Udo? Ah, kasihan, karena Halimah, Udo jadi 

bersedih hati rupanya." 

"Tidak, Uni," ujar Midun sambil berpaling akan menghilang-

kan dukanya. "Sungguhpun tidak karena Uni, memang saya 

tidak akan pulang juga ke kampung. Saya sudah berjanji 

dengan diri saya, jikalau saya lepas dari hukuman, akan tinggal 

mencari penghidupan di Padang. Kalau tak dapat di Padang, di 

mana pun jua, asal dapat mencari rezeki untuk sesuap pagi dan 

sesuap petang. 

Sekarang ada jalan kepada saya untuk meninggalkan 

kampung yang lebih baik lagi. Apa pula yang akan saya 

sesalkan. Jika saya akan bersedih hati ataupun menyesal, tentu 

saja Uni tidak saya antarkan. Bukankah sudah saya katakan, 

bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan 

ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut, jika menurut 

rasa Uni perlu saya ke sana. Hanya saya termenung itu 

memikirkan nasib saya jua. O ya, hampir saya lupa, Uni! Uang


Uni masih ada lebihnya f 25,-. Ambillah uang ini nanti boleh 

jadi saya lupa mengembalikan." 

"Saya harap Udo janganlah memanggil uni juga kepada 

saya," ujar Halimah dengan senyumnya. "Jika kedengaran 

kepada orang lain, tentu janggal, dan boleh menimbulkan 

pikiran yang salah. Sebab itu panggilkan sajalah 'adik'. Sudilah 

Udo beradikkan saya? Tentang uang itu, biarlah pada Udo. Ini 

ada lagi, simpanlah oleh Udo semua. Kalau saya yang 

menyimpan, boleh jadi hilang, apalagi kita di dalam kapal." 

Perkataan Halimah itu terbenar pula dalam pikiran Midun, 

karena boleh jadi jika didengar orang menimbulkan salah 

tampa. Demikian pula nyata kepada Midun, bahwa Halimah 

percaya sungguh kepadanya. Maka ia pun berkata dengan 

hormat sambil bergurau, katanya, "Tidakkah hina nama Uni 

berkakakkan saya? Percayakah Halimah mempertaruhkan uang 

kepada orang hukuman. Bagi saya tidak ada halangan, sekali 

dikatakan, seribu kali menerima syukur." 

"Sejak saya kenal kepada Udo, Udo selalu merendahkan diri 

dan amat pandai menjentik jantung saya," ujar Halimah. 

"Biarlah yang sudah itu, tetapi sekarang saya tidak suka lagi 

mendengar perkataan yang demikian. Jangankan senang hati 

saya mendengarnya, malahan makin mengiris jantung saya. Hal 

itu menunjukkan, bahwa saya masih Udo sangka seperti orang 

lain. Masakan saya tidak percaya kepada Udo, sedang badan 

dan nyawa saya sudah saya serahkan, konon pula uang." 

Mendengar perkataan "nyawa dan badan" itu, hati anak 

muda yang alim dan saleh itu berdebar jua. Kaku lidah Midun 

akan berkata, karena harap-harap cemas. Untung ia lekas 

dapat menahan hati, lalu berkata, "Jika demikian permintaan 

Adik, baiklah. Sekarang sebagai seoran kakak dengan adiknya, 

si kakak itu harus mengetahui hal adiknya. Perkataan ibu Adik 

dahulu yang mengatakan 'cukuplah saya makan hati dan 

menahan sedih' selalu menjadi kenang-kenangan kepada saya 

sampai kini. Dan perkataan Adik 'dirundung malang' itu 

menyebabkan saya amat heran dan tidak mengerti sedikit juga. 

Sebabnya ialah karena saya lihat hidup Adik tinggal di gedung 

besar dan beruang banyak. Cobalah Adik ceritakan kepada saya 

sejak bermula sampai kita di kapal ini." 

"Baik, dengarkanlah, Udo, " ujar Halimah, lalu memandang 

kepada Midun dengan tajam. "Saya bercerita ialah menurut 

keterangan ibu dan mana yang saya ketahui. Adapun negeri


saya di Bogor, jauhnya dari Betawi hampir sebagai Padang 

dengan Padang Panjang. Bapak saya orang Bogor juga, bernama 

Raden Soemintadireja. Beliau bekerja pada sebuah kantor 

Gubernemen di sana. Kini entah masih di situ juga ayah 

bekerja, entah tidak, tidaklah saya tahu. Sejak beliau bercerai 

dengan ibu, belum pernah kami dapat surat dari ayah. 

Meninggal dunia tidak mungkin, sebab tentu ada kabar dari 

keluarga saya. Sampai kini saya masih ingat bagaimana kasih 

sayang ayah kepada saya semasa kecil. Beliau sangat memanja-

kan saya, tidak ubah sebagai menatang minyak penuh. Baik 

pulang atau pergi ke kantor, tidak lupa ayah mencium sambil 

memangku saya. Makan selamanya berdua. Apabila saya 

menangis, ayah tiba dahulu. Permintaan saya, satu pun tak ada 

yang tidak beliau kabulkan. Jika tidur selalu dininabobokkan; 

nyamuk seekor beliau buru. Kerap kali kami bermain di 

pekarangan, bergurau dan berkejar-kejaran akan menyukakan 

hati. Pada petang hari kami berjalan-jalan di kota Bogor. 

Pulangnya saya sudah mendukung makanan. Permainan, missal-

nya popi-popi, tidak lupa beliau belikan untuk saya. Karena 

masa itu anak beliau baru saya seorang, adalah keadaan saya 

jerat semata, obat jerih pelerai demam kepada ayah. Hari 

Minggu ayah libur bekerja. Maka kami pergi—kadang-kadang ibu 

serta pula—berjalan-jalan ke Kebun Raya, akan menyenang-

nyenangkan hati. 

Adapun Kebun Raja itu, ialah kepunyaan T.B. Gubernur 

Jenderal yang memerintah negeri ini. Sungguh amat bagus 

taman itu. Segala pohon-pohonan ada di sana. Bunga-bungaan 

tidak pula kurang amat cantik dan harum baunya. Segala 

macam warna bunga ada belaka di taman itu. Jalannya turun 

naik bersimpang siur amat bersih. Pada tepi jalan itu ditaruh 

beberapa bangku tempat untuk orang berhenti melepaskan 

lelah. Dekat istana ada pula sebuah telaga yang dihiasi dengan 

berbagai-bagai bunga air. Amat indah-indah rupanya. Di 

tengah-tengah taman itu ada air mancur, memancar tinggi ke 

atas dengan permainya. Pada keliling air mancur itu diperbuat 

jalan dan ditaruh beberapa bangku tempat duduk. Ah, tak 

ubahnya seperti di surga dunia kita rasanya duduk di sana,. 

Udo! Mudah-mudahan selamat saja pelayaran kita, tentu Udo 

dapat juga melihat taman yang indah itu." 

Halimah berhenti bercakap, karena pikirannya melayang 

kepada penghidupannya semasa anak-anak.


Ia terkenang akan tempat kelahirannya yang sudah sepuluh 

tahun ditinggalkannya itu. Midun sebagai orang bermimpi men-

dengar berita Halimah. Matanya tidak berasak dari bibir yang 

merah jambu itu. Apalagi melihat pipi Halimah yang sebentar-

sebentar memperlihatkan lesung pipit karena senyumnya, 

jantung Midun bunyi orang memukul di dadanya. Imannya 

berkocak, karena pemandangan Halimah yang lunak lembut itu. 

Melihat kulit yang kuning langsat itu, Midun hampir didaya iblis. 

Ia terkenang akan sebuah pantun: 

Kayu rukam jangan diketam, 

kemuning tua dikerat-kerat. 

Jika hitam, banyak yang hitam, 

yang kuning jua membawa larat.

"Sungguh saya jadi larat," Midun berkata dalam hatinya "Jika 

tidak karena anak gadis ini, tidaklah saya menyeberang laut." 

"Aduhai…" 

Untung lekas ia menahan hati, ketika hendak mengeluarkan 

perkataan, "Ah, alangkah senangnya jika kita berdua saja duduk 

pada bangku di dalam taman itu, Adikku!" 

Midun segera insaf akan diri dan mengetahui siapa dia dan 

siapa pula Halimah. Api asmara yang sedang berkobar di 

hatinya itu seperti disiram dengan air layaknya. Hati Midun 

kembali bagai semula. 

"Lain daripada itu, kami pergi pula ke museum* (Museum 

Zoologi di Bogor), yaitu sebuah gedung tempat menyimpan segala 

macam binatang dan burung," ujar Halimah meneruskan 

ceritanya. "Burung apa saja dan macam-macam binatang, baik 

pun yang melata ada di sana. Segalanya itu sudah mati, tetapi 

kalau dilibat selintas lalu, sebagai hidup jua. Amat indah-indah 

dan bagus nian rupanya, Udo! O, sudah jauh kita terpisah dari 

ujud yang akan adinda ceritakan. Maaf, Udo, saya bermimpi 

gila mabuk kenang-kenangan." 

"Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh 

terjadi," ujar Midun tiba-tiba. "Susahnya yang sebagai si 

pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas." 

Midun menyesal, karena perkataan itu tidak sengaja ter-

hambur saja dari mulutnya. 

Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu. 

"Di manakah Midun yang saleh itu? Apakah arti perkataan yang 

demikian? Senonoh dan layakkah itu? Tidakkah melanggar


kesopanan hidup pergaulan? Pantaskah seorang yang telah 

mengaku kakak kepadanya mendengar perkataan macam itu?" 

Berbagai-bagai pertanyaan timbul dalam pikiran Midun. Malu 

benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa dan ... 

pula. 

"Apa boleh buat," kata Midun sendirinya. "Kata telanjur 

emas padahannya!" 

Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun 

yang amat dalam pengertiannya itu. Ia memalingkan muka 

kemalu-maluan. Dalam hati Halimah, "Rupanya bertepuk tidak 

mau sebelah tangan." 

Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi benar pikiran 

Udo itu. Tiap-tiap sesuatu dengan padannya. Biar bagaimana 

pipit itil akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang dicita 

datang, yang dimaksud sampai." 

Siiir, jantung Midun bekerja lebih keras lagi memompa 

darah ke seluruh batang tubuhnya mendengar jawab Halimah 

itu. Hatinya mundur maju tidak tentu lagi. Muka Halimah 

ditatapnya, tetapi ini tidak dapat berkata-kata. Pikiran Midun 

berkacau, suka dan girang silih berganti. 

Dalam pada itu Halimah berkata pula, katanya, 

"Demikianlah kasih sayang ayah kepada saya. Hal itu tidak pula 

dapat disesalkan, karena anak beliau baru saja seorang. 

Rupanya saya bagi ayah, buah hati pengarang jantung, 

timbangan nyawa, semangat badan. Sangat benar beliau 

memanjakan saya. Manakala saya demam sedikit saja sudah 

cemas, tidak tentu lagi yang akan beliau kerjakan. Saya selalu 

dalam pangkuan beliau, dinyanyikan hilir mudik sepanjang 

rumah. Kepada ibu, ayah sangat pula sayang dan cinta. Tidak 

pernah saya mendengar beliau bertengkar, apalagi berkelahi. 

Mereka itu keduanya selalu hidup damai. Tidak pernah ber-

selisih, melainkan sepakat dalam segala hal. Karena itu kami 

selalu hidup dalam suka dan riang. Satu pun tak ada yang 

mengganggu, senang sungguh masa itu. 

Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali naik, sekali turun, tiap-

tiap kesenangan mesti ada kesusahan. Ayah saya itu di Bogor 

masuk orang bangsawan, sebab itu bergelar Raden. Orang yang 

dipanggilkan Raden di tanah Jawa, biasanya orang bangsawan. 

Ayah terpaksa kawin seorang lagi. Beliau terpaksa menerima, 

karena perempuan itu anak bapak kecil ayah sendiri. Tidak 

dapat ayah mengatakan 'tidak mau', karena yang membelanjai


beliau sejak kecil dan yang menyerahkan sekolah bapak kecil 

ayah itulah. Beliau dibesarkan di rumah istri bapak kecil beliau, 

karena sejak kecil ayah sudah yatim piatu. Sebab itu ayah 

terpaksa mesti menerima. Ibu ada mengatakan, bahwa ada 

ayah meminta pertimbangan ibu saya, bagaimana yang akan 

baiknya. Ibu pun tidak dapat berkata apa-apa, terpaksa pula 

mengizinkan ayah beristri seorang lagi. Kepada ibu hal itu tidak 

menjadi alangan, asal kesenangan beliau tidak terganggu, dan 

keadaan rumah tangga tetap sebagaimana biasa. 

Maka ayah pun beristri sudah. Sungguhpun ayah sudah ber-

istri, tetapi keadaan kami tidak berubah. Hanya waktu siang 

ayah hilang sebentar-sebentar, tetapi malam beliau tetap juga 

di rumah ibu. Kupanya ayah tidak sanggup bercerai dengan saya 

malam hari, karena saya acap kali sedang tidur memanggil 

'papa'. Dengan tidak d isangka-sangka, tiga bulan sesudah itu, 

keadaan di rumah berubah. Masa itu saya sudah bersekolah. 

Pada suatu hari, ketika saya pulang dari sekolah, saya dapati 

ibu sedang menangis. Menurut keterangan ibu, sebabnya karena 

ayah marah-marah dengan tidak keruan. Ayah pulang sudah 

mulai berganti hari. Tiap-tiap beliau pulang, selalu bermuram 

durja. Saya sudah kurang beliau pedulikan. Sebab sedikit saja, 

beliau sudah marah-marah. Hidup kami tidak berketentuan 

lagi, ibu tak pernah bermata kering. Kesudahannya ayah tidak 

pulangpulang lagi, dan belanja sudah berkurang-kurang. Jika 

beliau pulang sekali-sekali, jangankan menegur saya, malahan 

muka masam yang saya terima. Karena takut, saya tidak pula 

berani mendekati beliau. Ibu terpaksa mencari untuk men-

cukupkan belanja hari-hari. Saya pun berhenti sekolah, pergi 

menurutkan ibu bekal ini dan itu untuk dimakan. Jika tidak 

begitu tentu kami mati kelaparan, sebab kami orang miskin. 

Belanja dari ayah tidak dapat diharap lagi. Sekali sebulan pun 

beliau jarang menemui kami. Entah apa sebabnya ayah jadi 

demikian, ibu sendiri sangat heran, karena tidak ada sebab 

karenanya. Keadaan kami sudah kocar-kacir, dan terpaksa 

pindah ke pondok-pondok, menyewa rumah yang berharga f 

1,50,-. Akan lari ke rumah famili, tidak ada yang kandung. 

Meskipun ada famili jauh, mereka itu pun miskin pula. Tidak 

lama kemudian, ibu diceraikan ayah. Ibu dan saya hidup jatuh 

melarat. Ibu hampir tidak dapat menanggungkan kesengsaraan 

itu. Beruang sesen pun tidak, makan pagi, tidak petang. Malu 

sangat pula, tidak terlihat lagi muka orang di Bogor. Karena


tidak tertahan, ibu membulatkan pikiran, lalu menjual barang-

barang yang ada. Maka kami pun melarik.m diri ke Betawi. 

Umur saya masa itu sudah 8 tahun. Bagaimana penghidupan 

kami mula datang di Betawi, Allah yang akan tahu. Maklumlah, 

Udo, walaupun dekat, kami belum pernah sekali jua ke negeri 

itu." 

Halimah terhenti berkata, karena air matanya jatuh 

berlinang ke pipinya. Pikirannya melayang kepada peng-

hidupannya masa dahulu. Ia terkenangkan ibunya yang sangat 

dikasihinya, tinggal seorang diri di negeri orang, jauh terpisah 

dari tanah air, kaum famili semua. Tampak terbayang oleh 

Halimah, ketika ibunya akin meninggal dunia memberi nasihat 

dengan suara putus-putus. Maka ia pun menangis tersedu-sedu, 

karena amat sedih mengenangkan nasibnya yang malang itu. 

Melihat hal itu, Midun amat belas kasihan. Ia bersedih hati 

pula mendengar cerita itu. Sambil membujuk Halimah, Midun 

berkata, "Tidak ada gunanya disedihkan lagi, Halimah! Hal itu 

sudah terjadi dan sudah lalu, tidak usah dipikirkan jua. Memang 

demikianlah kehendak Tuhan dan kemauan alam. Tidak boleh 

kita menyesali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda 

kandung. Kata Adik tadi, 'hidup ini sebagai roda'. Mudah-

mudahan hingga ini ke atas, senang sentosalah hidup Adik." 

Halimah menghapus air matanya dengan saputangan. 

Kemudian ia pun berkata pula meneruskan ceritanya, "Sampai 

di Betawi, uang ibu tinggal f1,- lagi. Tiga hari ibu mencari 

pekerjaan ke sana kemari, tidak juga dapat. Hanya uang yang 

serupiah itulah yang kami sedang-sedangkan. Supaya jangan 

lekas habis, kami tidak makan nasi, melainkan ubi, singkong, 

kata orang Betawi. Dalam tiga hari itu kami menumpang di 

pondok-pondok orang. Kami tidur di tanah, di atas tikar yang 

sudah buruk. Karena pagi-pagi ibu mencuci baju anak orang 

pondok itu, ada juga saya diberinya nasi dengan garam. Pada 

hari yang keempat ibu pergi pula mencari pekerjaan. 

Saya selalu beliau bawa, setapak pun tidak beliau ceraikan. 

Hari itu kami tidak beruang sesen jua. Sampai tengah hari, ibu 

tidak juga dapat pekerjaan. Hampir semua rumah orang 

Belanda kami jalani, tetapi tidak ada yang mencari babu, koki, 

dan lain-lain. Panas amat terik, haus dan lapar tak dapat 

ditahankan. Ibu membawa saya kepada sebuah sumur bor, 

diambilnya air dengan tangan, lalu diminumkannya kepada 

saya. Kemudian kami berhenti di tepi jalan, berlindung di


bawah sepohon kayu yang rindang akan melepaskan lelah. 

Sambil memandang saya, ibu menangis amat sedih. Muka ibu 

saya lihat sangat pucat, agaknya menahan lapar. Saya pun 

begitu pula, sebab pagi itu satu pun tak ada yang masuk perut. 

Karena lelah dan letih, saya pun tertidur di bawah pohon kayu 

itu. Entah berapa lamanya saya tertidur, tidaklah saya tahu. 

Ketika saya terbangun, saya lihat ibu sedang menangis. Ibu 

mengajak berjalan pula akan mencari pekerjaan. Tetapi saya 

hampir tak dapat berjalan, karena sangat lapar. Sungguhpun 

demikian kami berjalan jua dengan perlahan-lahan. 

Tiba-tiba saya melihat sebuah uang tali di tepi jalan, ibu 

rupanya melihat uang itu pula. Dengan segera ibu mengambil 

uang itu. Girang benar hati kami mendapat uang tali yang 

sebuah itu. Lima sen dibelikan kepada ubi. Untuk saya beliau 

beli nasi dengan sayur lima sen pula. Lebihnya disimpari untuk 

malam.. Sudah makan badan kami agak segar, lalu meneruskan 

perjalanan mencari kerja. Tidak jauh kami berjalan, bertemu 

dengan seorang babu sedang mendukung anak. Ibu bertanya 

kalau-kalau ada tuan-tuan yang mencari babu, koki, dan lain-

lain. Untung benar jawab babu itu mengatakan ada seorang 

tuan mencari babu kamar. Maka kami dibawanya kepada 

sebuah gedung, yang tidak berapa jauhnya dari situ, ibu pun 

bekerjalah di sana, di rumah orang Belanda. 

Adapun tuan tempat ibu bekerja itu, beranak seorang 

perempuan yang telah berumur 4 tahun. Ibu menjadi babu 

kamar, saya menjadi babu noni anaknya. Gaji ibu f 15,- dan 

saya f 5,-. Kami bekerja dapat makan dan tinggal dt sana. Tiap-

tiap bulan ibu selalu menyimpan separuh dari gaji kami, takut 

kalau-kalau ditimpa kesusahan pula sekali lagi. Setelah enam 

bulan kami bekerja, maka tuan itu pun pindah kerja ke Padang. 

Di Padang ia menjadi kepala pada sebuah kantor Maskapai. 

Tuan dan nyonya mengajak kami ikut bersama-sama. 

Dijanjikannya, jika ibu mau pergi, akan ditambah gaji, begitu 

pula saya. Kendatipun gaji tidak bertambah, ibu memang 

hendak ikut juga. Maka demikian, karena ibu tidak suka lagi 

tinggal di tanah Jawa. Waktu akan berangkat, ibu berkirim 

surat ke Bogor, memberitahukan bahwa kami akan berlayar ke 

Padang. Alamat kalau hendak berkirim surat pun kami sebutkan 

di dalam surat itu. Maka kami pun berlayarlah. 

Di Padang, kami bekerja sebagaimana biasa. Dengan 

permintaan ibu kepada tuan, sebab saya masih berumur 8


tahun lebih, maka saya diizinkan meneruskan sekolah. Lima 

tahun kemudian saya tamat sekolah. Selama itu penghidupan 

kami senang saja, tidak kurang suatu apa. Uang simpanan kami 

sudah ada f 500,-. Uang itu kami simpan di Padangsche 

Spaarbank. Setelah setahun saya berhenti sekolah, tuan dapat 

perlop. Ia dengan anak-anaknya akan pulang ke negeri Belanda. 

Karena mereka itu akan singgah ke Betawi dulu, maka ibu 

diajaknya pulang. Kata tuan, di mana kamu saya ambil, saya 

antarkan pula pulang kembali ke situ. Tetapi ibu tidak mau ke 

Betawi lagi, beliau hendak tinggal di Padang saja menunggu 

tuan balik. Maka kami dua beranak tinggallah di Padang. Ibu 

pindah kerja ke gedung lain, tetapi tidak tinggal di sana. Kami 

pun menyewa sebuah rumah yang berharga f 5,- sebulan. 

Waktu itu saya sudah gadis tanggung. Ibu berniat hendak 

membeli rumah yang kami sewa itu. Pada suatu hari, ibu pergi 

kepada yang punya rumah, akan menanyakan kalau-kalau ia 

mau menjual rumahnya. Kebetulan orang yang punya rumah 

hendak menjual rumahnya karena ia hendak bermenantu. 

Besok pagi ia pun datang dengan suaminya akan memutuskan 

penjualan rumah itu. Selesai surat-menyurat ibu berjanji 

bahwa uang beli rumah itu besoknya akan diberikan di muka 

saksi. Setelah itu kami pergi ke kantor bank mengambil uang 

sebanyak beli rumah, yaitu f 300,-. 

Malam itu terjadi suatu hal yang ngeri, Udo! Sungguh ngeri, 

sehingga hampir jiwa saya melayang karenanya. Tengah malam 

sedang kami tidur nyenyak, saya terkejut karena bunyi derak 

pintu yang ditolakkan orang. Sekonyong-konyong saya, melihat 

seorang besar tinggi berbaju hitam. Saya diancamnya kalau 

memekik akan dibunuhnya. Orang itu melompat ke jendela 

melarikan diri. Ibu terbangun pula, lalu meraba uang di bawah 

bantal. Apa yang akan dicari, uang sudah hilang dicuri maling. 

Ketika itu ibu dan saya memekik meminta tolong. Tetapi sudah 

terlambat, karena maling sudah jauh melenyapkan diri. 

Rumah itu tidak jadi dibeli, keadaan kami tidak ber-

ketentuan lagi. Roda penghidupan kami sudah mulai turun pula. 

Tiga hari sesudah kemalingan, ibu jatuh sakit. Makin sehari 

penyakit beliau makin hebat. Bermacam-macam obat yang 

dimakannya, jangankan sembuh melainkan makin jadi. Uang 

yang masih tinggal di bank, sudah berangsur habis pembeli obat 

dan untuk belanja. Akan bekerja saja tidak dapat, karena tak 

ada yang akan membela ibu di rumah. Tiga bulan ibu tidak


turun tanah, baru mulai sembuh. Tetapi badan beliau lemah 

saja. Uang hampir habis, hanya tinggal beberapa rupiah saja 

lagi. 

Di sebelah rumah kami ada tinggal seorang Belanda per-

anakan. Ia hidup membujang dan bekerja pada sebuah kantor 

di Padang. Ketika ibu sakit, kerap kali dia datang ke rumah. 

Amat baik dan penyantun benar ia kepada kami. Banyak kali 

ibu diberinya uang, dibelikannya obat dan kadang-kadang di-

suruhnya antarkan makanan oleh babunya. Adakalanya ibuku 

ditanyanya, apa yang enak dimakan ibu. Tiap-tiap pulang 

bekerja, acap kali ibu dibawakannya makanan dari toko. 

Bahkan ia serta pula menyelenggarakan ibu dalam sakit itu. 

Sungguh amat baik benar budi bahasa orang Belanda itu. Tak 

dapat dikatakan bagaimana besarnya terima kasih kepadanya, 

karena uang kami telah habis dan pertolongannya datang. 

Setelah ibu segar dan sehat benar, dinyatakannya maksudnya, 

bahwa ia hendak memelihara ibu. Bermacam-macam bujukan-

nya agar ibu suka meluluskan permintaannya yang sungguh-

sungguh itu. Pandai benar ia berkata-kata manis bagai tengguli. 

Barang siapa yang mendengar perkataannya, tak dapat tiada 

akan lembut hatinya. Bukankah perkataan yang lemah lembut 

itu anak kunci hati segala manusia. Apalagi ibu terkenang pula 

akan pantun yang demikian bunyinya. 

Pisang emas bawa berlayar 

masak sebiji di atas peti. 

Utang emas boleh dibayar 

Utang budi dibawa mati. 

Pulau Pandan jauh di tengah, 

di balik Pulau Angsa Dua. 

Hancur badan dikandung tanah 

budi baik terkenang jua." 

Midun kena sindir, tepat benar kenanya. Perjalanan darah-

nya, sekonyong-konyong berubah. Hatinya kembang kempis, 

darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata. 

"Mengingat keadaan kami masa itu dan mengingat budinya 

selama ibu sakit, terpaksa ibu mengabulkan permintaannya 

itu," ujar Halimah sambil tersenyum, karena ia melihat per-

ubahan muka Midun tiba-tiba itu. "Maka orang Belanda


peranakan itupun menjadi bapak tiri sayalah. Kami hidup 

senang, tak ada yang akan disusahkan lagi. Bahkan pula tempat 

tinggal kami sebagai sudah Udo lihat gedung besar. Kepada 

ibu sangat sayang bapak tiri saya itu, kepada saya apalagi, 

lebih dari patut. Kira-kira setahun sesudah itu datang pula per-

ubahan. Saya dengar ibu sudah acap kali berkelahi dengan 

bapak tiri saya itu. Ia selalu marah-marah saja di rumah. 

Aduhai, ganas benar kiranya dia, main sepak terjang saja. 

Beberapa kali saya tanyakan kepada ibu, apa sebab bapak tiri 

marah-marah itu, ibu tidak mengatakan. Hanya beliau berkata, 

'Jagalah dirimu, Halimah!' Tetapi saya amat heran, sungguhpun 

kepada ibu ia selalu marah, kepada saya makin sayang dia. Apa 

saja yang saya minta, selalu dikabulkannya. Dengan hal yang 

demikian, kesudahannya ibu jatuh sakit. 

Tak ubahnya sebagai orang merana, makin sehari makin 

sengsara hadan beliau. Udo pun bukankah sudah mem-

persaksikan hal itu lengan mata sendiri? Obat apa yang tidak 

beliau makan, tetapi semuanya sia-sia saja. Ajal ibu hampir 

datang, sakit beliau sudah ayah benar. 

Ketika ibu akan meninggal, bapak tiri saya sedang di kantor. 

Beliau melarang keras, jangan ada orang pergi memberitahukan 

hal itu. Saya selalu duduk dekat ibu. Beliau pun berkata dengan 

suara putus-putus, katanya, 'Anakku, Halimah! Ketahuilah 

olehmu, bahwa penyakit saya ini takkan dapat diobati lagi. 

Penyakit saya ini bukanlah sakit badan, melainkan penyakit hati 

yang sudah 10 tahun saya tanggungkan. Hancur luluh hati saya 

mengenangkan perceraianku dengan ayahmu. Dengan jalan me-

ninggalkan negeri itu, saya sangka kesedihan hati saya itu akan 

berobat dan dapat dihilang-kan. Kiranya tidaklah demikian, 

bahkan bertambah pula dengan makan hati berulam jantung. 

Bermacam-macam penanggungan yang telah kita rasai, di-

sebabkan untuk nasib kita yang celaka jua. Tidak di dalam hal 

penghidupan saja, godaan pun tidak sedikit pula. Tetapi 

sekaliannya itu saya terima dengan sabar dan tulus ikhlas. 

Sekarang tak dapat lagi saya menanggungkan, dan boleh jadi 

saya tewas olehnya. 

Baru sekian ibu berkata, napas beliau turun naik amat 

cepatnya. Sakit ibu bertambah payah. Matanya terkatup, kaki 

beliau amat dingin. Saya amat cemas melihat wajahnya yang 

sangat pucat itu. Tidak lama beliau membukakan mata pula. 

Sambil menarik napas panjang, ibu meneruskan perkataannya,

'Jika tidak mengingat budi orang dan memikirkan engkau, 

tidaklah saya mau sebagai perempuan dukana ini. Bukankah 

saya sudah melakukan perbuatan yang di luar agama. Apa boleh 

buat, Halimah! Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak 

berguna. Tetapi yang lebih menyakitkan hati saya, kita tertipu. 

Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu, 

rupanya berudang di balik batu. Dia bukanlah mencintai saya, 

melainkan Halimahlah yang dimaksudnya. Hatinya tertarik 

kepadamu, karena itu dicarinya jalan dengan mengambil saya 

jadi nyainya. Dengan jalan itu, pada pikirannya, burung sudah 

di tangan, tidakkan ke mana terbang lagi. Saya disiksanya 

setiap hari, tetapi engkau selalu disayanginya. 

Aduhai, cukuplah saya seorang yang telah mencemarkan 

diri, tetapi kamu saya harap jangan pula begitu hendaknya. 

Ambillah keadaan saya ini akan jadi cermin perbandingan, dan 

sekaii-kali jangan dapat engkau diperbuatnya sesuka-sukanya. 

Halimah telah remaja, sudah dapat menimbang buruk dan baik. 

Engkau sudah besar, sebab itu jagalah dirimu, jangan sampai 

seperti saya yang keparat ini. Biarpun di negeri orang, saya 

tidaklah khawatir meninggalkan engkau. Bukankah engkau 

sudah banyak berkenalan di sini, pohonkanlah pertolongannya 

dan pergilah kepada ayahmu. Midun, orang hukuman itu, 

menurut hemat saya ia amat baik. Lagi pula menurut katanya 

kepadamu tempo hari, tidak lama lagi hukumannya akan habis. 

Ia bebas. Mintalah pertolongannya. Tentu ia akan suka 

menolongmu setiap waktu. Sampaikanlah salam saya kepada 

ayahmu, katakan bahwa saya meminta maaf lahir dan batin, 

demikian pula kalau ada kesalahannya saya maafkan. Selamat 

tinggal, Halimah, jaga diri baik-baik...!' 

Ibu meninggal dunia, saya menangis amat sangat, tidak tahu 

lagi akan diri. Entah berapa lamanya saya pingsan, tidaklah 

saya tahu. Setelah saya sadarkan diri, orang sudah banyak. 

Bapak tiri saya itu sudah datang dari kantor. Melihat kepada 

roman mukanya tidak sedikit juga ia berdukacita. Amat sakit 

hati saya, ketika ia mendekati saya akan membujuk saya. Hari 

itu juga ibu dikuburkan dengan selamat. Saya pergi ke 

pekuburan mengantarkan beliau. Petang hari pulang dari 

pekuburan, saya terus ke kamar, lalu saya kunci pintu dari 

dalam. Maka saya pun menangis mengenangkan badan. Saya 

tinggal seorang diri, jauh dari kaum keluarga saya dan tanah air 

saya. Dengan tidak makan dan minum saya pun tertidur sampai


pada keesokan harinya. Orang pun tak ada yang berani 

mengusik saya, tahu ia agaknya bahwa saya dalam bersedih 

hati amat sangat." 

Halimah berhenti berkata karena menahan air matanya yang 

hendak jatuh, mengenangkan waktu ibunya meninggal dunia 

itu. 

Setelah itu ia pun berkata pula, katanya, "Pada keesokan 

harinya, bapak tiri saya tidak bekerja. Sehari itu ia membujuk 

saya, supaya jangan memikirkan ibuku yang telah meninggal. 

'Ibu sudah terseberang,' katanya. 'Dirimulah lagi yang akan 

dipikirkan, Sayang! Apa gunanya dikenangkan juga, akan hidup 

dia kembali tidak boleh jadi. Senangkanlah hatimu, mudah-

mudahan kita hidup berdua dalam bahagia. Mari kita berjalan-

jalan merintang-rintang hari rusuh.' 

Mendengar perkataan itu, jangankan hati senang, melainkan 

sebagai tercocok duri jantung saya. Hampir saja keluar 

perkataan, 'Kalau tidak karena engkau, ibuku tidak akan mati.' 

Untung lekas saya menahan hati. Saya berdiam diri saja seperti 

patung, mendengar kata-katanya itu. Sebab ibu baru saja 

meninggal, maka saya turut saja kemauan bapak tiri saya itu. 

Hari itu saya dibawanya pesiar di seluruh kota Padang. Sesudah 

pesiar, pergi berbiduk-biduk ke Muara. Penat pula berbiduk, 

pergi ke Gunung Padang berjalan-jalan. Sehari-harian itu kami 

tidak pulang. Bapak tiri saya itu amat suka dan riang benar 

kelihatannya. Ia biasa saja, jangankan berdukacita, melainkan 

makin banyak gurau sendanya. Saya sudah maklum apa 

maksudnya maka ia berbuat demikian itu. Tetapi karena ibu 

saya baru meninggal, tentu belum berani ia menyatakan 

niatnya itu. Setelah hari malam, kami pulang kembali ke 

rumah. Heran, jongos dan koki yang biasa ada di rumah, kami 

dapati tidak ada. Hanya yang ada nenek seorang di rumah. 

Waktu saya masuk kamar, bapak tiri saya masuk pula, katanya 

ada barang yang hendak diambilnya di kamar saya itu. Dengan 

cepat ia mengunci pintu, lalu berkata, 'Halimah! Sudah 4 tahun 

saya menahan hati, sekaranglah baru dapat saya lepaskan. 

Sesungguhnya saya tidak mencintai ibumu, melainkan engkau 

sendirilah, Adikku! Maka ibumu saya pelihara, hanya karena 

saya takut Halimah akan diambil orang lain. Sejak engkau 

bersekolah, sudah timbul keinginan saya hendak hidup berdua 

dengan engkau. Sekarang ibumu sudah meninggal, saya harap 

engkau kabulkan permintaan saya. Sukakah Halimah bersuami


kan saya? Baik secara Islam atau cara Kristen saya turut. 

Bahkan jika Halimah kehendaki saya masuk orang Islam, pun 

saya suka.' 

Baru sehari ibu saya meninggal, belum kering air mata saya, 

sudah demikian katanya. Amat sakit hati saya mendengar per-

kataannya itu. Dengan marah amat sangat, saya memaki-maki 

dia dengan perkataan yang keji-keji. Segala perkataan yang 

tidak senonoh, saya keluarkan. Macam-macam perkataan saya 

mengata-ngatai dia. Mukanya merah, urat keningnya mem-

bengkak mendengar perkataan saya yang pedas itu. Dengan 

marah ia berkata, 'Saya sudah banyak rugi. Malam ini juga 

mesti engkau kabulkan permintaan saya. Jika engkau tidak 

mau, saya tembak.' 

Saya tidak sedikit juga gentar mendengar gertak itu. Pada 

pikiran saya, daripada hidup macam ini, lebih baik mati ber-

sama ibu. Maka saya pun berkata dengan lantang, 'Jika Tuan 

tidak keluar dari kamar ini, saya memekik meminta tolong. 

Kalau Tuan mau menembak saya, tembak sajalah!' . 

Dengan perkataan itu rupanya ia undur, lalu keluar sambil 

merengut. Saya segera mengunci pintu dari dalam. Semalam-

malaman itu saya tidak tidur. Tidak satu-dua yang mengacau 

pikiran saya. Takut saya pun ada pula, kalau-kalau pintu 

didupaknya. Setelah hari siang, kedengaran nenek memanggil. 

Ketika dinyatakannya bahwa tuan sudah pergi, baru saya berani 

membuka pintu. Dengan ringkas saya ceritakan kepada nenek, 

hal saya semalam itu. Rupanya nenek ada pula mendengar 

perkelahian kami—yang saya ceritakan ini, sudah diceritakan 

nenek di rumah Pak Karto tempo hari. Tetapi supaya lebih 

terang, biarlah saya ulang sekali lagi.-Saya mengajak nenek 

segera lari dari rumah itu. Maka saya pun berkemas mana yang 

perlu dibawa saja. Sudah itu saya tulis surat kepada bapak tiri 

saya. Saya katakan dalam surat itu, bahwa dengan kereta pagi 

saya berangkat ke Sawahlunto. Dan keperluan saya ke sana 

ialah akan menemui famili saya yang sudah 6 tahun 

meninggalkan kampung. Setelah sebulan di Sawahlunto, saya 

kembali ke Padang. Isi surat itu sebenarnya bohong belaka. 

Kemudian kunci rumah saya tinggalkan kepada jongos, lalu 

kami naik bendi. Di tengah jalan saya bertemu dengan seorang 

Tionghoa. Menurut keterangan nenek, orang itu induk 

semangnya dahulu. Ia adalah seorang yang amat baik hati dan 

kaya raya.

Nenek ditegurnya, dan ditanyakannya hendak ke mana 

kami. Dengan beriba-iba nenek menerangkan hal saya. Belas 

kasihan ia rupanya mendengar cerita nenek, lalu saya diajaknya 

pergi dengan dia. Ia menanggung, bahwa di rumahnya tidak 

akan terjadi apa-apa. Nenek menanggung pula, bahasa di sana 

ada aman sementara menanti kapal ke Betawi. Saya menurut 

saja, asal nenek tidak bercerai dengan saya. Maka kami pun 

berbendilah ke Pondok, rumah No. 12. 

Aduhai, Udo! Pada pikiran saya sebenarnya akan senang 

tinggal di situ. Kiranya saya pergi ke rumahnya itu masuk jerat 

semata-mata; dan tidaklah salah rasanya bila dikatakan, hal 

saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke 

dalam mulut buaya. Semalam-malaman itu saya dirayu dan 

dibujuknya; agar suka mengikut dia. Dijanjikannya, bahwa saya 

akan dipeliharanya baik-baik. Dan dikatakannya pula, sejak 

saya datang dengan bapak tiri saya ke tokonya, ia telah 

menaruh cinta kepada saya. Supaya jangan terjadi apa-apa, 

pura-pura saya mau menerima permintaan itu. Saya katakan, 

'Burung dalam sangkar tidak akan ke mana. Sebab itu sabarlah 

Baba dulu sampai duka nestapa saya agak hilang, karena 

sekarang saya sedang berkabung kematian ibu.' Senang benar 

hati orang Tionghoa itu mendengar jawab saya. Setelah ia 

pergi, dengan segera saya tulis surat kepada Udo memohonkan 

pertolongan. Itulah surat yang diantarkan nenek kepada Udo 

itu. 

Demikianlah penanggungan kami sejak ibu bercerai dengan 

ayah sampai pada waktu ini. Sekarang tentu Udo sudah 

maklum, apa arti perkataan ibu yang mengatakan: 'menahan 

sedih dan makan hati itu'. Begitu pula arti perkataan saya, 

'dirundung malang', Udo!" 

Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita 

Halimah yang menyedihkan hati itu. Setelah habis Halimah 

bercerita sepatah pun ia tidak berkata-kata. Midun bermenung 

saja, sebagai ada yang dipikirkannya. Amat kasihan ia kepada 

gadis yang malu itu. Dalam pada itu, Halimah berkata, "Hari 

sudah malam kiranya Udo! Karena asyik bercerita, tahu-tahu 

sudah gelap saja. Malam tadi, saya rasa Udo tidak tidur. Saya 

pun demikian pula. Tidak mengantukkah Udo?" 

"Tidak, Halimah!" ujar Midun. "Saya sudah biasa ber-

tanggang* (Tidak tidur semalam-malaman) . Adik nyata kurang tidur, 

sebab muka adik amat pucat saya lihat. Sebab itu tidurlah


sesenang-senangnya." 

"Benar, Udo!" ujar Halimah. "Memang sejak ibu sakit payah 

sampai kini saya tidak tidur amat. Tetapi jika saya tidur, Udo 

jangan tidur pula, sebab di kapal banyak juga pencuri. Biarlah 

kita berganti-ganti tidur, ya, Udo?" 

"Siapa pula pencuri di kapal ini?" ujar Midun dengan heran. 

"Tidak saja sama-sama penumpang, kelasi pun ada juga," 

ujar Halimah. "Dahulu waktu kami berlayar ke Padang, ada 

seorang saudagar kehilangan uang lebih f 200,-. Lain daripada 

itu, waktu kami sampai di Bangkahulu, seorang perempuan 

beranak kehilangan gelang emas seharga f 150,- lebih. Waktu 

akan tidur gelang itu ditaruhnya di bawah bantal. Kasihan kami 

melihiat perempuan itu menangis. Biar bagaimana pun kami 

menolong, mencarikan, tidak bertemu." 

"Baiklah," ujar Midun, "insya Allah tidak akan apa-apa, 

tidurlah Adik!" 

Belum lama Halimah meletakkan kepala ke bantal, ia pun 

tertidur amat nyenyaknya. Midun duduk seorang diri 

memikirkan cerita gadis itu. Kemudian ia memandang muka 

Halimah, lalu berkata dalam hatinya. "Sungguh cantik gadis ini, 

tidak ada cacat celanya. Hati siapa takkan gila, iman siapa 

takkan bergoyang memandang yang seelok ini. Kalau alang 

kepalang iman mungkin sesat olehnya. Tingkah lakunya pun 

bersamaan pula dengan rupanya. Kulitnya kuning langsat, 

perawakannya sederhana besarnya, kecil tidak besar pun tidak, 

gemuk bukan kurus pun bukan, sedang manis dipandang mata. 

Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan 

penuh. Matanya laksana bintang timur bersanding dua, dan 

hidungnya bagai dasun tunggal. Pipinya seperti pauh dilayang, 

bibirnya limau seulas, mulutnya delima merekah, yang tersedia 

untuk memperlihatkan senyum-senyum simpul, sehingga 

kelihatan lesung-lesung pipit, yang seolah-olah menambah 

kemolekannya jua." 

Midun mengambil kain, lalu menyelimuti betis Halimah yang 

terbuka itu perlahan-lahan. Pikiran Midun berubah-ubah, 

sebentar begini, sebentar begitu. Kadang-kadang melihat muka 

gadis itu terkenang ia akan adiknya Juriah. Halimah dipandang-

nya sebagai adik kandungnya sendiri. Sebentar lagi sesat, dan 

berharap kalau Halimah jadi istrinya, amat beruntung hidupnya 

di dunia ini. Perkataan Halimah "pipit sama pipit" dan "maksud 

sampai" itu tak hendak hilang dalam pikiran Midun. Tidak lama


timbul pula pikiran lain, lalu ia berkata pula dalam hatinya, 

"Penanggungan saya belum lagi sepersepuluh penanggungan ibu 

Halimah. Sedangkan perempuan demikian berani dan sabarnya 

merasai cobaan Tuhan, apalagi saya seorang laki-laki." 

Pada keesokan harinya, setelah jauh lewat Bangkahulu, 

Midun bertanya pula kepada Halimah, katanya, "Sungguh sedih 

ceritanya Adik kemarin. Tetapi ada pula yang menimbulkan 

pertanyaan dalam hati saya. Setelah ibu bercerai dengan ayah 

Halimah, apakah sebabnya beliau tidak bersuami lagi? Jika 

sesudah bercerai segera bersuami, saya rasa tidaklah akan 

demikian benar penanggungan ibu dan Adik." 

"Saya pun amat heran," ujar Halimah. "Sejak saya berakal, 

berulang-ulang saya menyuruh beliau bersuami, tetapi ibu 

selalu menggelengkan kepalanya. Ibu menerangkan, bahwa 

cukuplah beliau menanggung kesedihan yang hampir tidak ter-

perikan itu. Jika beliau bersuami pula, dan timbul lagi sesuatu 

hal yang menyedihkan, ia tak dapat tiada nyawa tentangannya. 

Kiranya perkataan beliau itu benar jua. Sekarang tentu Udo 

sudah maklum, apa sebabnya yang menyebabkan ibu meninggal 

dunia. Lagi pula ibu sangat cinta kepada ayah, sebab itu tidak 

sampai hati beliau akan mengganti ayah dengan orang lain. Jika 

tidak karena budi dan keadaan kami yang sangat susah, 

istimewa di negeri orang, tidaklah ibu akan mau dipelihara 

orang Belanda peranakan itu." 

"Sungguh pandai ibu Adinda menahan hati," ujar Midun. 

"Jika orang lain berhal demikian itu, boleh jadi menimbulkan 

pikiran yang kurang baik di dalam hatinya. Hati siapa takkan 

sakit, awak di dalam berkasih-kasihan diganggu orang. Rupanya 

ibu Adik maklum apa yang menyebabkan perceraian itu. Bagi 

saya sendiri pun sudah terbayang hal itu." 

"Dapatkah Udo menerangkannya?" ujar Halimah. "Saya kerap 

kali menanyakan kepada ibu, tetapi selalu beliau sembunyikan 

dan tidak mau menerangkan sebab perceraian itu." 

"Percayalah Halimah," ujar Midun, "sekalipun waktu ayah 

akan beristri diizinkan oleh ibu Adik, tetapi di hati beliau 

sendiri tidaklah menerima dan tidak izin ayah Adik beristri itu. 

Benar perempuan amat pandai menahan hati. Apakah Adik 

mendengar cerita anak Nabi Muhammad saw?" 

"Tidak, Udo, bagaimanakah ceritanya?" ujar Halimah. 

"Pada suatu hari suami Fatimah itu memanggil istrinya," ujar 

Midun. "Setelah istrinya datang, maka Saidina 'Ali, demikianlah


nama suaminya itu, meminta izin akan beristri. Dengan rela 

hati dan tersenyum manis diizinkan Fatimah suaminya itu 

beristri seorang lagi. Tetapi telur mentah yang ketika itu 

dipegang Fatimah di tangannya, sekonyong-konyong telah 

masak. Demikianlah pandainya Fatimah menahan hati. 

Sungguhpun di luar manis, tetapi di dalam sudah remuk dan 

badannya panas sebagai api, hingga telur masak di tangannya. 

Lebih bertambah sedih lagi, karena ibu Adik mengetahui, 

bahwa perceraian ibu dan ayah tidak kasih sayang lagi kepada 

Adik, ialah disebabkan perbuatan orang. Saya berani bertaruh, 

tak dapat tiada ayah Adik sudah kena guna-guna. Tidak di 

negeri Adik saja hal itu terjadi, tetapi di negeri saya pun 

banyak pula yang demikian. Tidak sedikit korban yang 

disebabkan guna-guna jahanam itu. Orang yang berkasih-

kasihan laki istri putus cerai-berai. Dan adakalanya menjadikan 

maut kepada kami. Inilah bahaya yang terutama bagi orang 

yang suka beristri dua, tiga, sampai empat orang. Masing-

masing si istri itu berlomba-lomba, agar dia sendiri hendaknya 

dikasihi suaminya. Karena itu timbul dalam hati mereka 

bermacammacam pikiran jahat. Si A misalnya, pergi kepada 

dukun B memintakan guna-guna untuk suaminya. Si B 

mengetahui bahwa si A perlu meminta obat itu kepadanya. 

Nah, di sana lalulah jarum B akan membujuk uang A untuk 

pengisi kantungnya. Dengan beberapa tipu muslihat B, uang A 

tercurah kepadanya. A yang sangat percaya kepada dukun B, 

tidak kayu janjang dikeping, tidak emas bungkal diasah, tidak 

air talang dipancung. Belanja yang diberikan suami, dijadikan 

untuk keperluan itu. Bahkan kain di badan dijual atau digadai-

kan untuk itu, supaya suami kasih dan sayang kepadanya 

seorang. Kesudahannya arang habis besi binasa, uang habis 

badan celaka. Maksud tak sampai, badan diceraikan suami. 

Sebabnya: karena urusan rumah tangga, makanan dan pakaian 

suami dan lain-lain, tentu tidak berketentuan lagi. Jika syarat-

syarat bersuami tidak dipakaikan, tak dapat tiada laki-laki itu 

memisahkan dirinya. 

Menurut pendengaran saya, guna-guna itu terjadi dari 

benda yang kotor-kotor. Misalnya tahi orang dan kotoran kuku 

dan lainlain sebagainya. Hal itu makin celaka lagi, kalau 

makanan itu tidak bersetuju dengan perut suami. Karena 

kotornya, boleh jadi mendatangkan penyakit. Akhirnya si suami 

itu seperti sirih kerkap tumbuh di batu, mati enggan hidup tak


mau, merana. Lebih berbahaya lagi kalau dukun B itu 

bermusuhan dengan suaminya. Dengan gampang saja ia dapat 

memberikan racun atau lain-lain. Manakala dendamnya lepas 

karena musuhnya lenyap dari dunia ini, tentu si B akan 

bersenang hati. Padahal si A sekali-kali tidak mengetahui, 

sebab kepercayaannya penuh kepada dukun B itu. Hal ini sudah 

terjadi pada salah seorang istri mamak saya. Tidak putus-

putusnya ia menyesali hidupnya karena perbuatannya itu. 

Orang pun takut memperistri dia lagi. Maka tinggallah ia 

menjadi perempuan balu, hidup terpencil dengan tiga orang 

anak yang masilI kecil-kecil pula. 

Jika maksud A itu sampai, tentu ia bersenang hati. Tetapi 

istri suami yang lain teraniaya pula karena perbuatannya itu. 

Istri yang diceraikan suami itu tentu menanggung sedih. Tidak 

saja bersedih hati, hidupnya pun kocar-kacir, apalagi kalau 

sudah beranak-anak. Lihatlah sebagai ibu Adik, sedangkan baru 

beranak seorang demikian jadinya. Malu tumbuh, sedih pun 

datang, hingga berlarat-larat ke negeri orang membawakan 

untung nasib diri." 

Midun berhenti berkata, karena waktu makan sudah datang. 

Maka ia pun pergi mengambil nasi, lalu makan bersama-sama 

dengan Halimah. Di dalam makan itu, Halimah baru maklum 

akan mengenangkan segala perbuatan perempuan yang sekali-

kali tidak bersetuju dengan pikirannya. Setelah sudah makan, 

Midun menyambung perkataannya, katanya, "Sungguhpun 

demikian, perbuatan perempuan kepada suaminya tidak pula 

dapat disalahkan. Jika ia melakukan perbuatan itu tiada pula 

disesalkan. Hanya iman yang kurang pada perempuan itu. Tidak 

seperti Fatimah yang saya ceritakan tadi. Tetapi sukar dicari, 

mahal didapat perempuan yang berhati begitu. Apa yang 

takkan terkerjakan, jika ia dipermadukan. Apalagi yang lebih 

sakit daripada itu. Coba kalau hal itu terjadi sebaliknya, 

artinya si lakilaki dipermadukan perempuan. Barangkali ... ya, 

entah apa yang akan terjadi. Sedangkan dilihat orang saja 

istrinya, rasanya hendak diulurnya hidup-hidup orang itu, 

apalagi dipermadukan." 

Di sini Midun berhenti berkata-kata sebentar, karena ia 

teringat akan nasibnya sendiri. Bukankah terjadinya per-

kelahiannya dengan Kacak di tepi sungai, karena cemburuan, 

dan... sehingga Kacak lupa akan pertolongannya atas Katijah? 

Kemudian ia berkata pula, ujarnya, "Hal ini memang tidak


bersesuaian sedikit jua dengan pikiran saya. Benar agama 

mengizinkan beristri dari satu sampai empat, tetapi jika ditilik 

dalam-dalam, tidak gampang saja mengerjakannya. Menurut 

pikiran saya, banyak syarat-syaratnya yang amat sulit. Dalam 

seribu sukar seorang yang akan dapat melakukannya. Saya rasa 

tidak seorang jua yang akan dapat berlaku adil, seadil-adilnya 

kepada keempat istrinya itu; karena demikianlah kehendak 

agama. Bahkan yang banyak saya lihat, perempuan itu 

dipandangnya sebagai suatu barang untuk pemuaskan hawa 

nafsunya saja. Sungguh sedih hati memikirkan nasib perempuan 

yang diperbuat suami semau-maunya itu. Tidak berhati 

berjantung, tidak menaruh belas kasihan kepada teman 

sehidup. Tak ada ubahnya dengan laki-laki gangsang, beranak 

satu dibuang, kawin lagi. 

Demikianlah terus-menerus. Entah bagaimana nasib 

perempuan itu ditinggalkannya, tidak dipedulikannya. Jangan-

kan memikirkan nasib perempuan itu setelah ditalakkan, se-

dangkan masih dalam tangannya belanja berkurang-kurang. 

Sekianlah cerita saya; bagi Adik janganlah terjadi demikian 

dan jangan pula mendapat suami seperti saya katakan itu 

kelak. Saya berharap, moga-moga Adik bersuamikan seorang 

laki-laki yang sebenarnya laki-laki. Dapat hendaknya Adik suami 

istri hidup sandar-menyandar sebagai aur dengan tebing. Di 

dalam segala hal sepakat dan sesuai, percaya-mempercayai 

seorang dengan yang lain. Sakit susah sama ditangguhkan, 

senang suka sama dirasai. Dan dalam pergaulan selalu berkasih-

kasihan dan beramah-ramahan hendaknya. Dengan hal itu tak 

dapat tiada kekallah suami istri. Tidaklah bercerai hidup, 

melainkan bercerai tembilang." 

Midun menatap muka Halimah, seakan-akan mengajuk 

bagaimana pikiran gadis itu tentang perkataannya yang 

penghabisan itu. Nyata kepadanya pada muka Halimah, 

terbayang hati suka dan riang, seolah-olah seseorang mendapat 

suatu barang yang tidak ternilai harganya. Halimah tidak 

berkata sepatah jua pun. Kemudian sebagai terpaksa, ia pun 

berkata juga dengan kemalu-maluan, katanya, "Mudah-

mudahan dapatlah sebagai yang Udo cita-citakan itu. Jika 

untung, ikan di laut asam di gunung, lamun akan bertemu 

takkan dapat disangkal. Sungguhpun demikian, hanya 

bergantung kepada nasib jua, Udo!" 

Setelah habis perkataan Halimah, maka ia memandang


kepada Midun dengan manis, tetapi mengandung pengharapan. 

Kemudian dengan senyum yang amat dalam pengertiannya, 

Halimah pura-pura melayangkan pemandangannya ke laut 

lepas, melihat ombak Tanjung Cina yang segunung-gunung 

tingginya itu. Midun maklum akan arti perkataan dan 

pemandangan Halimah. Rasa di awing-awang perasaannya 

ketika itu. Napasnya surut lalu semakin cepat, sebentar pula 

lambat. Kemudian Midun menarik napas, sebagai orang yang 

hendak memutuskan kenang-kenangannya. 

Dengan tidak kurang suatu apa, kedua mereka pun sampai-

lah ke Tanjung Priok, di pelabuhan kota Betawi. Midun dan 

Halimali turun dari kapal, lalu terus ke stasiun. Karena hari 

masih pagi dan kebetulan ada kereta api ke Bogor, maka 

Halimah pun membeli karcis, terus ke negerinya.


12. Tertipu

HARI amat panas, angin berembus lunak lembut. Ketika itu 

tengah hari tepat, sedang buntar bayang-bayang. Burung-

burung beterbangan dari pohon ke pohon sambil bersiul-siul 

dan berbunyi dengan suka dan riangnya. Ada pula yang 

melompat-lompat di atas rumput mencari tempat yang 

kelindungan, akan melepaskan lelah pulang dan mencari 

mangsanya. Pada sebuah bangku dekat sebuah telaga Kebun 

Raya di Bogor, duduk seorang muda. Itulah Midun yang sedang 

melihat angsa dua sekawan hilir mudik di telaga. Amat ber-

lainan keadaannya dengan burung-burung di kebun itu. Ia 

duduk tidak bergerak, memandang air yang amat jernih dengan 

tenangnya. Sungguhpun matanya terbuka, tetapi pikiran Midun 

melayang entah ke mana. Entah apa yang terjadi pada 

sekelilingnya, tiadalah diketahui Midun. Ia bermenung, seakan-

akan ada suatu masalah yang sulit dipikirkannya. Lebih sejam 

Midun dengan hal demikian itu, ia pun menarik napas panjang, 

sebagai memutuskan pikirannya. Kemudian ia berkata dalam 

hatinya, "Sudah hampir sebulan saya di sini, makan tidur saja 

sepanjang hari. Akan tinggal menetap saja di sini, apakah yang 

akan dapat saya kerjakan, karena di negeri orang. Akan pergi, 

berat hatiku meninggalkan Halimah, dan ia sendiri beserta 

ayahnya menahani saya pula. Menurut hemat saya, mengingat 

pergaulan kami yang sudah-sudah, jika saya katakan apa yang 

tercantum di hati saya kepada Halimah, tak dapat tiada enggan 

ia menolak, dan tentu diterimanya. Hal itu nyata benar kepada 

saya, ketika kami berjalan-jalan berdua saja di kebun ini. Tidak 

saya saja yang sangat bercintakan dia, tetapi Halimah kalau 

tidakkan lebih, samalah agaknya dengan saya pula. Bukankah 

ketika kami duduk di sini, Halimah ada berkata, 'Udo, alangkah 

bagusnya angsa dua sekawan itu berenang kian kemari dengan 

senangnya, tidak ada yang disusahkannya?' Ketika kami duduk 

di bangku dekat sungai sebelah sana, ia berkata pula, 'Aduhai, 

Udo! Tampak-tampak oleh saya negeri Padang dan kuburan ibu. 

Tahun mana musim pabila, dan dengan jalan apakah lagi maka 

tercapai oleh saya negeri yang sangat saya cintai itu?' 

Nah, apa lagi, sungguhpun kawat yang dibentuk, ikan di 

tebat yang dituju. Bukankah hanya tinggal pada saya saja lagi.


Tetapi, tetapi, kalau saya nyatakan pula perasaan saya dan 

diterimanya, apakah yang akan kami makan kelak, karena saya 

tidak ada berpencarian. Ah, sudahlah, rezeki elang tak dapat 

oleh musang. Jika jodohku tiadakan ke mana, saya perlu men-

cari penghidupan dulu. Bukankah pangkal kesenangan itu uang? 

Jika ada uang, yang dimaksud sampai dan yang dicita datang. 

Tetapi kalau tidak ada uang ... celakalah hidup." 

Midun berdiri lalu berjalan menuju Kampung Empang 

tempat ayah Halimah tinggal. Pikirannya sudah putus hendak 

meninggalkan negeri itu. Segala perasaannya kepada Halimah, 

disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya. Nanti jika sudah 

datang waktunya, baru ia berani membukakannya. Hampir 

sampai ke rumah, dari jauh sudah kelihatan olehnya Halimah 

berdiri di tepi jalan di muka rumahnya. Setelah dekat, Halimah 

berkata, "Ke mana, Udo? Sudah lama saya menanti belum juga 

pulang? Saya sangka Udo sudah sesat, atau ditipu Werak* 

(Werner, orang yang mencari-cari kuli kontrak untuk onderneming dan 

tambang) supaya Udo suka jadi kontrak." Halimah berkata itu 

dengan senyum dan bersenda gurau. Maka Midun berkata pula, 

katanya, "Asal orang di sini menipu saya, apa boleh buat. 

Sengaja menyeberang kemari, memang akan ditipu orang, 

tetapi sampai kini belum juga ada orang yang hendak menipu." 

Kedua mereka naik ke rumah. Hidangan sudah tersedia, lalu 

mereka itu makan bersama-sama. Setelah sudah makan, ibu tiri 

dan ayah Halimah, Midun dan Halimah duduk ke beranda muka. 

Tidak lama antaranya, Midunpun berkatalah, "Bapak! Yang saya 

maksud dari Padang akan mengantarkan Halimah kemari, sudah 

sampai dan selamat tidak kurang suatu apa. Sudah hampir 

sebulan saya di sini, hilir mudik tidak keruan saja. Sekarang 

biarlah saya mencarikan untung nasib saya barang ke mana. 

Akan begini saja sepanjang hari, tentu tidak boleh jadi. Tidak 

saja janggal pada pemandangan orang keadaan saya ini, tetapi 

bersalahan pula. Saya berjalan tidak jauh, melainkan di tanah 

Jawa ini juga. 

Akan pulang sekali-kali tidak, karena alangan yang sudah 

saya ceritakan kepada Bapak. Sebab itu saya harap Bapak 

izinkanlah saya pergi dari sini. Mudah-mudahan kelak, jika ada 

hayat dikandung badan, kita bertemu pula." 

Muka Halimah pucat mendengar perkataan Midun yang 

sekonyong-konyong itu datangnya. Sudah sebulan di Bogor tak 

ada disebut-sebut Midun kepadanya tentang hal itu. Setiba-tiba


ia hendak pergi saja. Halimah berpikir kalau-kalau ada 

perkataannya yang salah, atau ada yang tidak menyenangkan 

hati Midun di rumah itu. Biar bagaimanapun jua ia berpikir, 

satu pun tak ada teringat kepadanya. Dalam pada itu, bapak 

Halimah berkata, katanya, "Bagi bapak, kalau boleh, Anak 

tinggal di sini saja. Anak, bapak pandang tidak sebagai orang 

lain lagi, melainkan sudah sama dengan Halimah. Ada sama kita 

makan, tidak sama ditahan. Lagi pula Halimah tentu akan 

canggung Anak tinggalkan, sebab Anak sudah disangkanya ... 

tidak sebagai orang lain lagi." 

"Benar kata Bapak itu," ujar Midun, "tetapi akan begini 

sajakah selamanya? Syukur kalau Bapak masih mencari, tetapi 

jika Bapak tidak kuat lagi, bagaimana? Sebab itu saya berharap 

benar-benar, Bapak izinkan juga saya pergi hendaknya. Tentang 

Halimah, saya rasa tentu dia akan mengizinkan, sebab saya ber-

jalan ini dengan maksud baik, lagi tidak jauh. Besok seboleh-

bolehnya dengan kereta api pagi saya berangkat ke Betawi." 

Walau bagaimana juga ketiga beranak itu menahaninya, 

tetapi Midun keras jua hendak pergi. Oleh sebab itu maka 

diizinkanlah oleh mereka, tetapi jangan jauh dari Bogor, dan 

berharap bertemu jua kelak. Midun berjanji pula, bahwa ia 

tidak akan jauh, dan bila akan kembali ke Padang, tentu ia 

menemui mereka itu lebih dahulu. 

Pada malam itu Midun membuat sepucuk surat untuk 

Halimah, yang akan diberikannya. Jika dikatakan dengan mulut 

tidak akan terkeluarkan, apalagi di muka bapak Halimah. Surat 

itu ditulisnya dengan tulisan cara surau saja. Demikian 

bunyinya: 

Bogor, 20 Februari 19.. 

Adikku Halimah! 

Sungguhpun Adinda sudah mengaku kakak kepada kakanda, 

tetapi perasaan sudah sama-sama dimaklumi. Pada ruangan 

mata Adinda, nyata kepada kakanda apa yang tersimpan dalam 

dada Adinda. Tetapi kakanda berlipat ganda daripada itu. 

Harapan kakanda besar, cita-cita kakanda tinggi terhadap 

kepadamu, Adikku! Kakanda minta dengan sangat, harapan 

kakanda yang mulia dan suci bersih itu, janganlah kiranya 

Adinda putuskan. Jika Adinda abaikan, nyawa kakanda


tentangannya. Sebab itu sudilah kiranya Adinda mengikat erat, 

menyimpai teguh untuk sementara waktu. Kepergian kakanda 

ini tersebab Adinda dan keperluan kita berdua. 

Peluk cium kakanda, 

MIDUN 

Setelah sudah surat itu dilipatnya, lalu dimasukkannya ke 

saku bajunya. Maka Midun pun tidurlah dengan nyenyaknya, 

sebab pikirannya sudah tetap. Pagi-pagi benar ia sudah bangun. 

Sudah minum pagi mereka pun pergilah bersama-sama 

mengantarkan Midun. Baru saja sampai di stasiun, Halimah 

pergi membeli karcis ke Betawi. Kemudian karcis itu diberikan-

nya kepada Midun. Karena Midun merasai selain daripada karcis 

ada pula sebuah surat, maka waktu itu Midun segera pula 

mengambil surat yang dibuatnya semalam, lalu diberikannya 

kepada Halimah. Hal itu seorang pun tak ada yang melihat, 

karena bapak ibu dan famili yang lain sudah masuk ke dalam 

stasiun. 

Kereta sudah datang, maka mereka itu pun bersalam-

salaman. Yang pergi meminta maaf dan memberi selamat 

tinggal, yang tinggal begitu pula, lalu memberi selamat jalan. 

Ketika Midun bersalam dengan Halimah, tangan mereka 

gemetar, s.ama-sama tak hendak melepaskan. Sesaat kemudian 

Midun berkata, "Halimah, jangan saya dilupakan!" 

Midun melepaskan tangan Halimah, lalu melompat naik 

kereta. Sampai kereta api berangkat, ia tidak memperlihatkan 

mukanya ke jendela kereta. Amat sedih hatinya bercerai 

dengan kekasihnya itu. Tetapi apa hendak dikatakan, karena ia 

terpaksa meninggalkan gadis yang dicintainya itu. Halimah pun 

lebih-lebih lagi, sekuat-kuatnya ditahannya kesedihan hatinya, 

karena takut akan diketahui ayahnya, ibu tiri, dan familinya. 

Sungguhpun demikian mukanya sangat pucat, air matanya 

berlinang-linang dan ia sebagai terpaku di muka stasiun itu. 

Sampai kereta api hilang dari matanya, baru ia pulang. Itu pun 

kalau tidak ditarik adiknya, tidaklah ia sadarkan dirinya. 

Setelah kereta api berangkat, Midun segera mengambil 

surat Halimah dari sakunya. Untung surat itu bertulis dengan 

tulisan Arab. Dalam surat itu dilampirkannya sehelai uang 

kertas f 50,-. Surat itu demikian bunyinya:


Bogor, 20 Februari 19 .... 

Paduka Kakanda yang tercinta! Dengan hormat! 

Setelah jauh tengah malam, baru adinda maklum apa 

maksud Kakanda meninggalkan adinda. Sekarang insaflah 

adinda akan ujud perkataan Kakanda kepada ayah yang 

mengatakan "maksud baik" kemarin. Dan adinda mengerti pula, 

apa sebabnya Kakanda menyimpan rahasia hati Kakanda selama 

ini terhadap kepada adinda. Pergilah Kakanda, pergilah! Lamun 

Halimah tidakkan ke mana. Adinda akan setia dari dunia lalu ke 

akhirat kepada Kakanda. Sebab itu janganlah Kakanda sia-

siakan pengharapan adinda, anak piatu ini. Adinda siap akan 

menyerahkan nyawa dan badan adinda, bilamana saja Kakanda 

kehendaki. 

Bersama ini adinda sertakan uang sedikit untuk belanja di 

jalan. Harap Kakanda terima dengan segala suci hati. Selamat 

jalan! 

Peluk cium adinda, 

HALIMAH 

Surat ini dimasukkan Midun kembali ke sakunya perlahan-

lahan. Pikirannya melayang kepada pergaulannya kelak, 

manakala ia sudah menjadi suami istri dengan Halimah. 

Kemudian teringat pula oleh Midun akan perjalanannya itu. la 

belum pernah ke Betawi, hanya melihat kota itu dari atas 

kereta api saja. Ke manakah ia akan pergi, karena seorang pun 

belum ada yang kenal kepadanya di Betawi? 

Dalam Midun berpikir-pikir demikian itu, sambil melihat ke 

luar dari jendela kereta api, kedengaran olehnya suara orang, 

katanya, "Assalamu'alaikum!" 

Midun melihat lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam!" Seorang 

Arab bersalam dengan Midun, lalu duduk dekatnya, karena di 

situ ada tempat terluang. Setelah orang Arab itu duduk, ia 

berkata pula, "Bang hendak ke mana?" 

"Hendak ke Betawi!" jawab Midun dengan hormatnya. "Kalau 

saya tidak salah, Bang tinggal di Empang, betul?" 

"Betul, Tuan juga acap kali saya lihat lalu lintas pada jalan 

di muka rumah tempat saya tinggal. Tuan tinggal di Empang 

jugakah?" 

"Tidak. Saya cuma menumpang saja di situ, di rumah 

saudara saya. Sudah dua bulan lamanya sampai sekarang.


Rumah tempat tinggal saya di Betawi. Saya di Bogor, sebab ada 

urusan perniagaan." 

"Kalau begitu, berniagakah Tuan di Betawi?" 

"Ya, betul. Maksud Bang ke Betawi apa pula? Abang orang 

berniaga seperti saya juga?" 

Mendengar pertanyaan itu, Midun berbesar hati. Dari tadi ia 

memikirkan, ke mana ia akan pergi setelah sampai di Betawi. 

Sekarang ia sudah berkenalan dengan seorang yang tinggal di 

Betawi. Kata Midun dalam hatinya. 

"Sekaranglah yang sebaik-baiknya akan menceritakan hal 

saya terus terang kepada orang Arab ini. Biarlah saya katakan 

saja apa maksud saya ke Betawi. Mudah-mudahan karena ia 

seorang Arab, berasal dari Tanah Suci, sudi ia menolong saya. 

Ah, kalau ia suka mengajar saya berniaga, alangkah baiknya. 

Maka Midun berkata, katanya, "Saya ini bukan saudagar, Tuan! 

Saya baru datang ke tanah Jawa ini. Sampai sekarang baru 

sebulan saya di sini. Maksud saya ke Betawi ini, hendak mencari 

penghidupan. Saya amat ingin hendak menjadi orang berniaga. 

Sudikah Tuan mengajar saya berniaga?" 

"Jadi Abang orang mana?" 

"Saya orang Padang." 

"Belum pernahkah Abang ke Betawi?" 

"Tidak pernah sekali juga. Dari Padang saya terus saja ke 

Bogor." 

"Baiklah. Kalau Bang suka, dengan karena Allah saya suka 

menolong dan mengajar Abang berniaga." 

"Terima kasih banyak, Tuan! Asal Tuan suka mengajar saya 

berniaga, sekalipun akan Tuan jadikan orang suruh-suruhan 

dulu, saya terima dengan segala suka hati." 

"Baiklah. Nanti kalau kereta sudah sampai di Betawi, ikutlah 

ke rumah saya! Nama Bang siapa?" 

"Nama saya Midun. Saya harap karena Tuan sekarang sudah 

saya pandang sebagai induk semang saya, jangan lagi Tuan 

memanggil 'abang' kepada saya. Sebut sajalah nama saja!" 

"Baiklah. Begitu pula sebaliknya, sebab Midun sudah 

mengaku induk semang kepada saya, tentu Midun harus pula 

mengetahui nama saya. Saya bernama Syekh Abdullah al-

Hadramut. Sekarang saya mau bertanya sedikit, tapi saya harap 

jangan gusar. Waktu Midun datang ke Bogor tempo hari, saya 

lihat bersama istri. Tentu saja istri Midun itu orang Padang 

pula, sebab Midun belum pernah kemari. Apakah sebabnya


ditinggalkan di rumah orang Sunda di Bogor? Di manakah Midun 

berkenalan dengan dia?" 

Lama Midun berpikir akan menjawab pertanyaan orang Arab 

itu. Akan dikatakannya bukan istrinya, memang gadis itu bakal 

istrinya juga. 

"Ah, lebih baik dikatakan istri saya saja," kata Midun dalam 

hatinya. Maka katanya, "Istri saya itu orang sini, dan kawin 

dengan saya waktu di Padang dahulu. Tempatnya menumpang 

di Empang itu, rumah orang tuanya sendiri. Jadi sementara 

saya mencari pekerjaan, saya suruh ia tinggal bersama orang 

tuanya dahulu." 

"Oooo, begitu!" 

Setelah sampai di stasiun Betawi, Midun pergilah bersama 

Syekli Abdullah al-Hadramut, ke rumahnya di Kampung 

Pekojan. Maka tinggallah Midun bersama-sama, dengan dia di 

rumahnya. Ada sebulan lamanya Midun berjalan hilir mudik saja 

menurutkan Arab itu berniaga. Dengan hal demikian, ia telah 

mengetahui jalan-jalan di kota Betawi. Bahasa negeri itu pun 

sudah mahir pula kepadanya. Begitu pula tentang hal berniaga, 

ia sudah agak paham. Maka Midu n pun mulailah berniaga. Uang 

yang f 50,- yang diberikan Halimah diambilnya akan jadi pokok. 

Syekh Abdullah al-Hadramut memberikan kain seharga f 100,- 

kepadanya. Maka ia pun berkata kepada Midun, katanya, "Harga 

kain ini f 100,-. Jadi kita berpokok f 50,- seorang. Kalau 

beruntung, kita bagi tiga. Sepertiga untuk saya dan dua per tiga 

keuntungan bagimu. Sukakah engkau dengan aturan begitu?" 

Karena Midun sangat percaya kepada orang Arab, ia pun 

menganggukkan kepala saja. Dan menurut aturan berniaga, 

memang sudah sepatutnya. Tetapi dalam pada itu Syekh 

Abdullah sudah mengambil keuntungan lebih dulu daripada 

harga kain itu. Penipuan itu sekali-kali Midun tidak mengetahui. 

Bahkan akan menyelidiki benar tidaknya harga kain sekian tidak 

pula terpikir di hatinya, karena kepercayaannya penuh kepada 

orang Arab itu. 

Enam bulan Midun berjaja, pada suatu malam ia berkata 

kepada Syekh Abdullah, katanya, "Tuan, rupanya agak kurang 

cepat menjual kain di kota ini. Dalam sehari hanya laku lima-

enam helai saja. Tidak baikkah kalau saya pergi ke negeri yang 

dekat-dekat di sini, misalnya ke Tangerang, Kebayoran, dan 

lain-lain?" 

"Kalau begitu Midun belum pandai berniaga," ujar Syekh


Abdullah. "Mari saya tunjuki jalannya, supaya lekas tebal. 

Memang jika dijual tunai, susah melakukannya di sini. Sebab itu 

lebih baik Midun perutangkan di kampung-kampung. Bayaran-

nya pungut tiap-tiap hari Sabtu, sebab kebanyakan orang sini 

gajian satu kali seminggu. Jika diutangkan, taruh harga kain itu 

lebih mahal, menurut beberapa ia berani mengangsur tiap-tiap 

minggu, Misalnya kalau harga 13,20,-. Jadi tiap-tiap minggu ia 

harus membayar f 0,40,-. Bukankah dengan jalan itu kita 

beruntung besar? Kesusahannya tidak ada, sebab Midun ber-

jalan juga tiap-tiap hari." 

Perkataan itu tidak sesuai sedikit jua dengan pikiran Midun. 

Pada pikirannya perbuatan itu jahat, sebab terlampau me-

makan benak orang. Meskipun dia yang sudah-sudah menurut 

saja apa yang dikatakan induk semangnya, tetapi sekali ini 

pengajaran itu tidak sedikit jua sesuai dengan kemauannya. 

Midun termenung saja mendengar perkataan Syekh Abdullah 

yang demikian itu. Akan diteruskannya jua menjajakan kain ke 

kampung, pasti tidak akan laku. Tiba-tiba timbul pikiran lain 

dalam hati Midun, lalu ia berkata katanya, "Sekarang lebih baik 

saya jangan menjajakan kain lagi, Tuan! Saya ingin hendak 

berkedai di pasar, di tepi-tepi jalan. Biarlah saya beli saja di 

toko. Tetapi pokok saya sekarang, tentu tidak mencukupi. 

Sudikah Tuan meminjami saya uang barang f 100,-? Jika Tuan 

pinjami lagi saya uang f 100,- jumlah uang Tuan pada saya 

dengan yang dahulu f 150,-. Sekarang baiklah kita hitung laba 

rugi selama saya menjajakan kain." 

"Itu lebih baik lagi," ujar Syekh Abdullah, "supaya Midun 

dapat belajar sendiri mengemudikan perniagaan. Saya pun 

lebih suka, kalau saya tidak campur. Dan saya suka memberi 

uang pinjaman, tetapi Midun tahu sendiri, tentu saya 

mengambil untung sedikit." 

"Tentu saja, Tuan!" ujar Midun. "Dalam hal itu saya ada 

timbangan bagaimana yang patut, karena uang Tuan saya 

pakai." 

Setelah selesai mereka itu membagi keuntungan penjualan 

kain yang sudah, maka Syekh Abdullah al-Hadramut menulis 

sepucuk surat utang. Surat utang itu disuruhnya tanda tangani 

oleh Midun. Dengan tidak berpikir lagi, ia menandatangani 

surat itu dengan tulisan Arab, lalu uang itu diambilnya. Ia 

berjanji, bahwa uang itu dalam 8 bulan akan dikembalikannya. 

Dengan senang hati Midun pergi, karena ia tidak lagi berjalan


kian kemari di seluruh kota Betawi. Ia memuji-muji kebaikan 

Syekh Abdullah al-Hadramut, karena mempercayai dia me-

minjamkan uang f 150,- itu. Dalam hatinya ia berjanji, 

manakala beruntung, akan dibelikannya barang sesuatu untuk 

istri Syekh Abdullah. Maka Midun berjalan mencari rumah 

tempat membayar makan. Ia mencari rumah yang agak dekat 

Pasar Senen, sebab ia bermaksud di sana akan membuka kedai. 

Setelah didapatnya rumnh tempat tinggal di Kampung Kwitang, 

lalu Midun pergi membeli barang. Pada keesokan harinya, ia 

pun mulai berkedai di Pasar Senen. Setelah sudah berkedai 

segala kain itu dibawa oleh seorang kuli pulang ke rumahnya. 

Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari. 

Adapun akan Syekh Abdullah al-Hadramut, sekali seminggu 

datang juga ke kedai Midun. Belum cukup sebulan Midun ber-

kedai. pada suatu hari ia disuruh datang oleh induk semangnya 

ke Pekojan. Pada malam yang dijanjikan itu, Midun datanglah 

ke rumah induk semangnya. Setelah sudah makan minum, maka 

Syekh Abdullah berkata, "Adakah baik jalannya selama engkau 

berkedai, Midun?" 

"Baik juga, Tuan!" ujar Midun. "Sekurang-kurangnya dalam 

sehari terjual seharga f 50,-. Kadang-kadang dicapainya sampai 

f 75,-." 

"Baik benar kalau begitu. Tidak lama lagi hari akan puasa. 

Tidak perlukah Midun menambah pokok lagi?" 

"Jika Tuan percaya dan sudi meminjami saya, terima kasih 

banyak, Tuan! Memang dengan pokok sebanyak sekarang tak 

dapat saya mencukupi kehendak orang. Ada yang meminta kain 

ini, kain itu, tetapi tidak ada saya taruh. Sedangkan sekarang 

demikian keadaannya, apalagi kalau sedikit hari lagi." 

"Baiklah, ini saya tambah f 100,- lagi untuk pokok. Tetapi 

supaya terang berapa uang saya kepada Midun, tentu engkau 

harus menekan surat utang pula." 

"Tentu saja, Tuan! Jika tidak demikian, tidak terang, 

berapa uang Tuan pada saya." 

Midun menekan surat utang pula sehelai lagi. Uang 

diterimanya f 100,-. Jadi jumlah utang Midun sudah f 250,- 

dengan yang f 150,dahulu itu. 

Maka berniagalah Midun dengan sungguh-sungguh hati. 

Karena ia tidak banyak mengambil untung tiap-tiap helai kain, 

amat banyak orang membeli kain kepadanya. Pada pikiran 

Midun, biar sedikit untung, tetapi banyak laku. Dengan hal


demikian, ada kira-kira empat bulan Midun berniaga. 

Pada suatu malam, Midun menghitung berapa keuntungan-

nya selama berkedai kain. Dengan tidak disangka-sangkanya, 

dengan pokok lebih kurang f 300,-, ia mendapat keuntungan 

bersih hampir f 200,-. Midun lalu berkata dalam hatinya, "Lain 

daripada barang, uang kontan sekarang ada pada saya f 350,-. 

Supaya saya jangan bersangkut paut juga pada induk semang 

saya, lebih baik besok saya bayar uangnya sama sekali. Setelah 

itu saya berikan uang untuk istrinya f 50,-, atau saya belikan 

barang yang harga sekian itu. Sudah itu saya berniaga dengan 

pokok saya sendiri. Insya Allah, jika Tuhan menurunkan 

rahmatnya sebagai yang sudah-sudah jua, barangkali dalam 2 

atau 3 bulan lagi sampai apa yang saya citacitakan dengan 

Halimah. Ah, alangkah senangnya kami berniaga berdua! 

Aduhai…" 

Pada keesokan harinya Midun tidak berkedai. Ia pergi ke 

rumah induk semangnya ke Pekojan. Dari jauh Midun sudah 

tersenyum, ketika Syekh Abdullah melihatnya dari beranda 

muka rumahnya. Setelah sampai, Midun dan induk semangnya 

bercakap-cakaplah tentang perkara perniagaan. Sesudah minum 

kopi, Midun berkata, "Jika tidak ada Tuan, tidaklah saya jadi 

begini. Tuanlah yang mengajar saya berniaga. Meskipun saya 

belum pandai benar berniaga, tetapi memadailah ajaran Tuan 

selama ini untuk berniaga-niaga kecil. Buktinya, dalam empat 

bulan saja saya jalankan, sudah beruntung lebih kurang f,200,-. 

Oleh sebab itu, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih 

kepada Tuan, karena Tuan telah membukakan mata saya dari 

pada yang gelap kepada yang terang. 

Jika ada izin Tuan, saya bermaksud_ hendak tegak sendiri. 

Artinya, iztang saya yang f 250,- kepada Tuan itu akan saya 

bayar sekarang. Dan saya mulai berniaga pula dengan pokok 

saya sendiri. Menurut aturan, sebab uang Tuan sudah sekian 

lama saya pakai, tentu tidak akan saya lupakan. Maka 

demikian, akan selamanya saya Tuan tolong, tentu tidak 

mungkin. Bila masanya lagi saya akan berdiri sendiri. Sebab itu 

Tuan izinkanlah kiranya saya, biarlah saya cobacoba pula 

berniaga sendiri. Sungguhpun begitu, saya harap Tuan ulang-

ulangi juga saya ke kedai saya. Siapa tahu, jika ada hal apaapa 

yang menimpa diri saya, sebab malang dan mujur tidak 

bercerai, hanya Tuanlah yang saya harap akan menolong saya 

di Betawi ini. Tak ada yang lain harapan saya, melainkan Tuan."


"Jika Midun mau berniaga dengan pokok sendiri, bagi saya 

tidak ada alangan," ujar Syekh Abdullah. "Itu lebih bagus lagi, 

dan saya pun mau menolong Midun bilamana perlu. Sekarang 

kalau Midun hendak membayar utang Midun kepada saya, 

bayarlah!" 

Dengan segera Midun mengeluarkan uang dari saku bajunya 

sebelah dalam, lalu dihitungnya f 250,-, sebanyak yang 

diberikan Syekh Abdullah kepadanya. Pada pikirannya, setelah 

uang itu diterima induk semangnya, ia akan pergi ke belakang, 

kepada istri Syekh Abdullah memberikan uang f 50,- lagi atau 

dibelikannya barang menurut kehendak istri induk semangnya 

itu. 

Setelah uang itu dihitung Syekh Abdullah al-Hadramut, ia 

pun berkata, "Mana lagi, Midun? Ini belum cukup." 

"Yang lain maksud saya akan saya belikan barang untuk istri 

Tuan!" ujar Midun. 

"Ah, itu tidak perlu. Biarlah saya sendiri membelikan dia. 

Kemarikanlah uang itu! Berapa?" 

"Kalau begitu, baiklah!" ujar Midun dengan heran, sebab 

pada pikirannya, kalau uang diberikan, samalah halnya dengan 

bunga uang. Hal itu terlarang menurut agama. Maka Midun 

mengeluarkan uang pula f 50,- lalu berkata pula, "Hanya 

sebeginilah maksud saya hendak memberikan kepada istri Tuan, 

sebab uang Tuan telah sekian lama saya pakai. Uang ini akan 

saya berikan kepada beliau, melainkan sebagai hadiah saya, 

karena saya sudah beruntung berniaga. Tetapi Tuan meminta 

uang ini. Jika Tuan terima uang ini, tidaklah sebagai bunga 

uang namanya? Bukankah hal itu terlarang dalam agama kita? 

Lupakah Tuan akan itu?" 

"Apa? Bunga uang?" ujar Syekh Abdullah al-Hadramut. "Ini 

bukan perkara bunga. Uang yang f 250,- ini belum cukup. Midun 

mesti bayar sebanyak yang ditulis dalam kedua surat utang 

Midun; jumlahnya semua f 500,-." 

Terperanjat sungguh Midun mendengar perkataan Syekh 

Abdullah itu. la tahu uang yang dipinjamnya, cuma f 250,- tiba-

tiba sekarang jadi f 500,-. Maka ia pun berkata dengan cemas-

nya, katanya, "Berapa, Tuan? f 500,-? Mengapa jadi f 500,-, 

padahal saya terima uang dari Tuan cuma f 250,-?" 

"Ya, f 500,-!" ujar Syekh Abdullah pula. "Midun mesti bayar 

f 500,- sekarang, sebab sekian ditulis dalam surat utang." 

Muka Midun jadi merah menahan marah, karena ia maklum,


bahwa ia sudah tertipu. Amat sakit hatinya kepada orang Arab 

itu. Ia tidak dapat lagi menahan hati, karena sangat panas 

hatinya. Ketakutannya hilang, kehormatannya kepada orang 

Arab lenyap sama sekali. Maka ia pun berkata, katanya, 

"Selama ini saya takut dan hormat betul kepada Tuan. Pada 

pikiran saya Tuan seorang yang suci, sebab berasal dari tanah 

Arab. Apalagi Tuan sudah syekh, saya percaya sungguh. 

Rupanya persangkaan saya itu salah. Kalau begitu, Tuan 

seorang penipu besar, sama halnya dengan lintah darat yang 

dikutuki Tuhan. Rupanya saya sudah Tuan jerat. Apakah 

maksud Tuan dengan uang yang f 250,- lagi itu? Akan jadi 

bunganyakah? 

Tidakkah Tuan tahu, bahwa menurut agama Islam terlarang 

memperbungakan uang? Bukankah memakan riba dengan cara 

demikian itu? Sungguh tidak saya sangka hal ini terjadi pada 

orang Arab." 

"Diam, engkau jangan berkata begitu sekali lagi," kata Syekh 

Abdullah dengan marah. "Jangan terlalu kurang ajar kepada 

saya. 

Saya amat baik kepadamu, tetapi dengan ini engkau balas. 

Jika engkau berani berkata sekali lagi, nanti saya adukan. 

Engkau boleh saya bawa perkara, supaya engkau tahu bahwa 

saya seorang baik." 

"Macam Tuan ini, orang pemakan riba, seorang baik?" ujar 

Midun dengan sengit. "Orang gila agaknya orang yang 

menyangka demikian itu. Tuan hendak membawa saya perkara? 

Ke langit Tuan adukan, saya tidak takut perkara dengan orang 

macam ini. Saya berdiri atas kebenaran, ke mana pun jua saya 

mau perkara." 

Midun segera mengambil uangnya yang f 300,- itu kembali, 

lalu dimasukkannya ke dalam saku bajunya. Sambil berjalan 

keluar rumah itu, ia pun berkata pula, katanya, "Tak ada 

gunanya kita berbalah jua, adukanlah ke mana Tuan suka! Saya 

tidak hendak membayar utang saya, sebelum perkara." 

Sepanjang jalan pikiran Midun berkacau saja. Hatinya amat 

panas, karena tertipu pula. Midun tidak mengerti apa sebabnya 

Arab itu berbuat demikian kepadanya. Lagi pula ia amat heran, 

sebab seorang Arab seberani itu menipu orang. Maka kata 

Midun dalam hatinya, "Sungguh ajaib, sepuluh kali ajaib, 

karena hal ini terjadi pada seorang Arab dan syekh pula. Siapa 

yang akan menyangka, orang yang demikian itu suka memakan


riba. Benar ajaib dunia ini, jika kurang awas, binasa diri. Pada 

pikiran saya, orang Arab ini baik belaka, apalagi yang sudah 

syekh. Kiranya ada pula yang lebih jahat dan lebih busuk lagi 

tabiatnya. Bahkan tidak bermalu pula; senang saja ia 

mengatakan uang f 250,- jadi f 500,- bermuka-muka. (Ia tidak 

tahu bahwa dalam surat yang kedua f 300,-. Itulah 

kemalangannya tidak tahu di mata surat.) Lain daripada saya, 

tentu banyak lagi agaknya orang yang sudah terjerat macam 

saya ini. Amat panas hatiku mengenangkan penipuan yang 

sangat halus dan menyakitkan hati itu. Biarlah, saya tidak akan 

membayar utang itu. Hendak diapakannya saya. Meskipun ia 

mengadu, saya tidakkan takut." 

Demikianlah pikiran Midun, sebentar begini, sebentar 

begitu. Dengan tidak disangka-sangkanya, ia telah sampai di 

rumah tempatnya membayar makan. Sampai di rumahnya, 

segala barang-barangnya yang masih tinggal dibawanya ke 

Pasar Senen, lalu dijualnya semua kepada kawan-kawannya 

yang sama berniaga dengan dia. Uang itu, yang jumlahnya 

semua lebih f 500,- disimpannya dalam saku bajunya, sedikit 

pun tak bercerai dengan dia. Ia tidak berkedai lagi, melainkan 

bersenang-senangkan diri saja. Jika ditanyakan orang, apa 

sebab Midun tidak berkedai lagi, jawabnya, hendak bersenang-

senangkan diri dulu barang satu atau dua bulan.


13. Memperebutkan Pusaka. 

"CING, picing, piiiicing," bunyi murai, waktu senjakala di atas 

sepohon kayu di belakang rumah orang tua Midun. Kemudian 

kedengaran pula bunyi burung serak di dalam parak dekat 

rumah. Menurut kepercayaan, manakala ada orang sakit 

kedengaran bunyi demikian, alamat ada yang tidak baik akan 

datang. Karena Pak Midun masa itu dalam sakit payah, darah 

anak istrinya tersirap mendengar bunyi itu. Juriah memandang 

kepada ibunya dengan sayu, lalu menyelimuti bapaknya. Ibunya 

segera meminumkan obat sambil mengusap dahi suaminya. 

Manjau yang baru saja menutup pintu kandang ayam, 

melompat ke rumah mendekati ayahnya. Ibu dan kedua anak 

itu dalam kecemasan amat sangat. Tegak resah, duduk gelisah, 

sedikit pun tidak senang diam. Sebentar-sebentar si istri 

memandang kepada suaminya, si anak melihat kepada bapak-

nya. Mereka itu percaya sungguh kepada tahayul, hanya Manjau 

yang agak kurang, sebab sudah hersekolah. 

Adapun Pak Midun, sejak menerima surat anaknya dari 

Padang, selalu dalam bersusah hati. Sungguhpun Maun datang 

juga kepadanya tiap-tiap hari, tetapi lamun anaknya yang 

sulung itu tidaklah dapat dilupakan orang tua itu. Berbagai 

ikhtiar Maun, agar kenangkenangan Pak Midun lenyap kepada 

Midun, tetapi sia-sia belaka. Kedatangan Maun jangankan 

menyenangkan hatinya, bahkan makin menambah dalam susah 

hatinya. Asal ia menampak Maun, Midun sudah terbayang di 

matanya. Ia sendiri ada juga berusaha supaya Midun dapat 

dilupakannya, tetapi sia-sia saja. Hancur luluh hati Pak Midun 

bilamana melihat teman Midun di kampung itu. Keadaannya 

tak ubahnya sebagai orang yang kurang sempurna akal, sejak 

ditinggalkan anaknya yang sangat dikasihinya itu. Pekerjaan 

Pak Midun pun tidak berketentuan lagi. Kerap kali ia 

bermenung kemudian menengadah, seakan-akan memasukkan 

air mata yang hendak jatuh kembali, yang disukainya pergi ke 

tepi sungai, duduk seorang diri sambil memandangi air hilir. 

Pikirannya seperti air itu pula, berhanyut-hanyut entah ke 

mana. Tidak seorang-dua yang memberi nasihat, agar Midun 

dilupakannya, tetapi sia-sia saja. Lebih-lebih Haji Abbas dan 

Pendekar Sutan, acapkali datang menasihati Pak Midun. 

Mendengar keterangan Haji Abbas, ia berjanji tidak akan


mengenang-ngenangkan Midun lagi. Dia sendiri ada mengatakan 

kepada Haji Abbas, "Memang anak laki-laki sudah demikian. 

Anak kita hanya dari umur 13 tahun ke bawah. Lewat daripada 

itu bukan anak kita lagi. Dan lagi bukankah tidak Midun seorang 

saja anak saya. Masih ada dua orang lagi yang akan 

menggantikannya." 

Tetapi setelah Haji Abbas pergi, pikirannya kepada Midun 

timbul pula kembali. Rupanya Pak Midun bersedih hati bukan 

karena Midun meninggalkannya pergi merantau ke negeri 

orang, melainkan hal yang menyebabkan perceraian itulah yang 

sangat melukai hatinya. Apalagi Kacak musuh Midun, masa itu 

sudah menjadi Penghulu Kepala. Maka semakin putuslah 

harapannya akan bertemu dengan Midun. 

Demikianlah hal Pak Midun habis hari berganti pekan, habis 

pekan berganti bulan. Ia selalu bercintakan Midun, sedikit pun 

tidak hendak luput dari pikirannya. Badan Pak Midun makin 

lama makin bertambah kurus. Kesudahannya ia pun jatuh sakit. 

Berbagai-bagai obat yang telah dimakannya, jangankan 

menyembuhkan, melainkan penyakitnya bertambah dalam. 

Anak istri Pak Midun berusaha sedapat-dapatnya, mudah-

mudahan penyakit itu sembuh, tetapi sia-sia saja. Sungguhpun 

demikian, ibu dan anak itu belum putus harapannya. Mereka 

membela dengan sungguh-sungguh hati, karena mereka itu tahu 

bahwa orang tua itulah tempatnya bergantung. 

Sebulan Pak Midun sakit, datanglah famili Pak Midun men-

jemput si sakit akan dibawanya ke rumah saudaranya. Didapati 

mereka mamak Manjau yang menjadi penghulu kaumnya ada 

pula di situ. Setelah sudah makan minum, maka kemenakan Pak 

Midun yang bergelar Sutan Menindih berkata kepada mamak 

Manjau katanya, "Mamak! Kedatangan saya kemari, ialah 

menurut adat kebiasaan yang sudah kita pakaikan jua. Karena 

mamak saya sakit, kami bermaksud hendak membawa beliau ke 

rumah kami. Sebab itu saya harap Mamak dan Ibu sudi 

mengizinkan." 

"Memang kedatangan Sutan ini sudah menurut adat," ujar 

Datuk Paduka Raja. "Sungguhpun demikian, karena sakit Pak 

Midun saya lihat masih berat, tidakkah dapat ditangguhkan dulu 

sampai sakit beliau ringan sedikit?" 

"Sudah sebulan beliau sakit di sini, rasanya sudah patut 

kami jemput. Jika lebih lama lagi beliau di sini, tentu pada 

pemandangan orang, kami sebagai tidak mengacuhkan mamak


kami." 

"Benar kata Sutan itu. Bagi saya atau pun ibu Juriah tentu 

tidak ada alangannya. Kami tidak kuasa menahannya, karena 

sudah menjadi adat kebiasaan kepada kita begitu. Tetapi coba-

lah Sutan tanyakan dulu kepada Pak Midun, adakah kurang sakit 

beliau dan sanggupkah berjalan?" 

"Hal itu tidaklah akan menjadi alangan, Mamak. Jika beliau 

tidak dapat berjalan, biarlah kami tandu bersama-sama dengan 

kursi." 

Maka Sutan Menindih masuk ke bilik tempat Pak Midun 

sakit, lalu berkata-katanya, "Saya datang kemari akan men-

jemput Mamak. Dapatkah Mamak berjalan atau kami tandu ber-

sama-sama?" 

Pak Midun yang sudah kurus kering dan pucat itu membuka 

matanya perlahan-lahan. Ia melihat orang yang berkata 

kepadanya, lalu berkata, "Engkau Midun, anakku?" 

"Bukan Mamak, saya Sutan Menindih," ujar Sutan Menindih. 

"Kami datang kemari akan menjemput Mamak." 

"Tidak sampai hati kami melepaskan Mamak Sutan," ujar ibu 

Juriah dengan sedih. "Lihatlah, badannya sudah tinggal kulit 

pembalut tulang. Rupanya pucat sebagai kain putih. Ia selalu 

mengigau menyebut Midun saja. Jangankan berjalan, meng-

gerakkan badan ia pun tidak dapat." 

"Biarlah kami papah perlahan-lahan ke tandu dan kami pikul 

lambat-lambat," ujar Sutan Menindih pula. 

Pak Midun melihat sekali lagi. Setelah nyata kepadanya 

bahwa kemenakannya yang berkata itu, maka katanya 

perlahan-lahan, "Saya tak dapat berjalan, tak dapat bergerak, 

seluruh tubuh saya sakit. Sebab itu saya jangan dibawa, saya 

tidak suka." 

"Kalau begitu Mamak hendak memberi malu kami," ujar 

Sutan Menindih. "Tentu kami dibodohkan dan dihinakan orang, 

sebab Mamak kami biarkan sakit di sini." 

Pak Midun menutupkan matanya sebagai menahan sakit. 

Napasnya turun naik amat deras, mukanya makin bertambah 

pucat. Juriah segera merasai kaki ayahnya. Sambil meminum-

kan obat, ia pun berkata, "Ibu, ayah pingsan!" 

Segala isi rumah itu cemas mendengar perkataan Juriah. 

Lebih-lebih ibu Juriah, sangat terkejut mendengar perkataan 

anaknya. Dengan segera ia mendekati, lalu meraba-raba badan 

Pak Midun. Orang tua itu tidak berdaya lagi. Jika tidak dirasai


dadanya, tak dapat tiada orang menyangka ia sudah mati. 

Sudah dua kali ia selap dengan itu; tetapi yang sekali ini payah 

benar. Orang di rumah itu semuanya berdiam diri, seorang pun 

tak ada yang berani bergerak, apa pula berkata-kata. Setengah 

jam kemudian, Pak Midun membukakan mata pula, lalu ber-

kata, "Jika sekiranya akan memberi malu orang Tanjung saya di 

sini, bawalah! Tetapi ibu Juriah mesti mengikut, karena dia 

perlu membela saya." 

Maka dibuat oranglah sebuah tandu daripada kursi. Setelah 

selesai, Pak Midun diangkat bersama-sama ke tandu itu. Maka 

diusung oranglah ia perlahan-lahan menuju rumah familinya. 

Ibu Juriah dan Manjau pergi pula mengiringkan tandu itu. Yang 

tinggal di rumah hanya Juriah dengan mamaknya. Tidak lama 

orang itu pergi, Juriah berkata kepada mamaknya, katanya, 

"Mamak! Apakah sebabnya Sutan Menindih tadi mengatakan 

'memberi malu kalau ayah sakit di sini?" 

"Kau rupanya belum mengerti," ujar Datuk Paduka Raja, 

"dengarlah saya terangkan! Adapun ayahmu itu, menurut kata 

adat, 'abu di atas tunggul' di rumah kita. Artinya, bila ditiup 

angin ia terbang. Ayahmu adalah orang semenda bagi kaum 

kita. Jadi ia famili karena perkawinan ibu dan ayahmu. Jikalau 

kita tidak suka kepadanya atau kebalikannya, boleh pergi 

sembarang waktu. Oleh sebab itu, ayahmu adalah sebagai 

orang menumpang di rumah ini. Boleh diusir dan dia pun boleh 

pergi bilamana ia suka. Karena itu tentu Sutan Menindih 

mengatakan 'memberi malu', mamaknya suka di rumah 

penumpangan." 

"Tetapi bukankah ayah sakit di rumah anak kandung beliau? 

Kamilah yang menyelenggarakan beliau dalam sakit. Lain 

perkara kalau kami orang lain, sudah patut ia berkata begitu." 

"Dalam hal ini Juriah tidak disebut-sebut," ujar Datuk 

Paduka Raja yang agak tersentak oleh pertanyaan kemenakan-

nya. "Pertanyaanmu itu memang sulit. Menurut kata adat, 'adat 

bersendi syara', syara' bersendi adat.' Artinya, syara' dan adat 

kita sandar menyandar atau sejalan. Jika menurut syara', 

anaklah yang diutamakan, tetapi menurut adat, 'kemenakan'. 

Jadi hal itu nyatalah sudah berlawanan. Oleh sebab itu, saya 

sendiri ragu-ragu, entah mana yang benar kedua perkataan itu. 

Perasaan saya itu sudah saya perbincangkan dengan beberapa 

penghulu di sini. Banyak mereka yang mengatakan, bahwa anak 

dengan bapak, menurut adat, tak ada pertaliannya. Sebab


orang semenda itu adalah sebagai orang diselang dari suatu 

kaum kepada kaum yang lain. Sebab itu kemenakan pulang 

kepada mamaknya, tidak kepada bapaknya. Tetapi menurut 

pikiran saya tidaklah demikian. Pada hemat saya, anak itu 

pulang kepada bapaknya. Artinya bapaknyalah yang harus 

menyelenggarakan anaknya. Begitu pula si anak wajib membela 

bapak bilamana perlu. Anak itulah yang lebih dekat kepada 

bapak daripada kemenakan. 

Manakala sudah demikian, sudah sesuai dengan kata adat: 

adat bersendi syara' dan syara' bersendi adat. Banyak lagi hal 

lain yang bersalah-salahan orang memakainya. Mereka melaku-

kan adat itu banyak sesat, agaknya karena salah pengertian 

jua. Bahkan saya sendiri pun banyak yang kurang paham, sebab 

kurang selidik." 

Ketika Datuk Paduka Raja akan meneruskan perkataannya 

pula, tiba-tiba Manjau berseru di halaman sambil menangis, 

katanya, "Juriah, ayah sudah meninggal!" 

Juriah terkejut, lalu menangis amat sedihnya. Ia melompat 

hendak pergi melihat ayahnya, tetapi lekas dipegang mamak-

nya. Datuk Paduka Raja mengucap, katanya, "Inna lillahi wa 

inna ilaihi raji'un. Tidakkah sampai ayahmu ke rumah? Juriah, 

jangan menangis juga! Nanti kita sama-sama pergi." 

"Tidak," ujar Manjau, "Ketika orang memikul tandu naik ke 

rumah, anak tangga patah. Orang itu terjatuh, ayah pun jatuh 

pula. Untung lekas saya sambut. Sungguhpun demikian, sampai 

di rumah ayah pingsan pula. Tidak lama beliau membukakan 

mata, lalu memanggil ibu dekat kepada beliau. Entah apa yang 

beliau katakan tidaklah saya tahu, sebab ayah berkata berbisik. 

Sudah itu ayah menarik napas ... lalu meninggal." 

"Jika sekiranya Pak Midun tidak dibawa, boleh jadi ia 

sembuh kembali," kata Datuk Paduka Raja sendirinya. 

"Sekarang apa jadinya, karena takut malu jadi lebih malu lagi. 

Tentu pada persangkaan orang Pak Midun tidak mati seajalnya, 

melainkan mati jatuh. Jangan-jangan disangka orang sengaja 

dijatuhkan. Sungguh kasihan Pak Midun, boleh jadi juga ia mati 

beragan, karena ditinggalkan anaknya Midun. Tentu mereka itu 

semua menyesali perbuatannya. Tetapi apa hendak dikatakan: 

sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna." 

Pada hari itu juga Pak Midun dikuburkan dengan selamat-

nya. Tujuh hari lamanya orang mengaji dan makan minum di 

rumah famili Pak Midun. Waktu meniga hari dan menujuh hari


diadakan kenduri besar, mendoakan supaya arwah Pak Midun 

dilapangkan Allah di dalam kubur. Tidak sedikit uang habis 

untuk penyelamatkan si mati itu. Oleh famili Pak Midun, tak 

kayu jenjang dikeping, yang tidak ada, diadakan. Dua tumpak 

sawah tergadai untuk memenuhi keperluan itu. Ibu Juriah 

dalam tujuh hari itu bekerja keras di rumah iparnya. Tidak 

sedikit jua ia menghentikan tangan, karena jamu tidak ber-

keputusan dan selalu makan minum. Setelah sudah menujuh 

hari, barulah ibu Juriah dan anaknya pulang. 

Sehari sesudah menujuh hari, Sutan Menindih dan beberapa 

orang saudaranya datang ke rumah Ibu Juriah. Setelah sudah 

makan minum, dan setelah dianjurkannya dengan perkataan 

yang panjang lebar, Sutan Menindih berkata, "Ibu, saya harap 

Ibu jangan gusar dan jangan pula berkecil hati. Kedatangan 

kami kemari ini, ialah menurut sepanjang adat, yaitu akan 

mengambil harta peninggalan mamak kami." 

"Benar, Sutan," ujar ibu Juriah, "tetapi apalah peninggalan 

mamak Sutan. Uang tak ada, hanya pakaiannyalah yang ada." 

"Ah, rupanya Ibu bersembunyi di balik lalang sehelai. Yang 

terang saja hak kami, sawah dan huma. Bukankah itu mamak 

saya yang membeli dan peninggalan beliau?" 

Mendengar perkataan itu ibu Juriah sangat terkejut. Lebih-

lebih Manjau, merah mukanya karena menahan marah. Maka 

ibu Juriah berkata pula, katanya, "Itu jangan Sutan sebut-

sebut, sebab pencaharian kami berdua. Berdikit-dikit kami 

menyimpan uang; setelah agak banyak kami belikan tanah 

untuk kami usahakan. Pendeknya, yang Sutan sebutkan itu 

usaha kami berdua, yang sudah kami untukkan bagi anak kami. 

Pak Midun sendiri sudah mengatakan waktu ia hidup, bahwa 

segala pencahariannya diuntukkannya kepada anak-anaknya." 

"Biar bagaimana juapun keterangan Ibu, kami maklum 

bahwa tanah itu pusaka mamak kami. Kami berhak mengambil 

bilamana kami sukai. Jadilah, jika benar sudah diuntukkan 

mamak kami bagi anaknya, mana keterangannya?" 

"Keterangan tentu tidak ada," ujar ibu Juriah sebagai 

kehilangan akal. 

"Sekarang begini saja, Ibu! Kalau kita bertengkar juga, ke-

sudahannya menjadikan perselisihan. Faedahnya tidak ada, 

melainkan kita beranak bapak putus-putus. Sebab itu Ibu ber-

tanyalah kepada Mamak Datuk Paduka Raja. Ibu terangkanlah 

kepada beliau kedatangan kami kemari. Kami berhak meng


ambil harta pusaka mamak kami bilamana saja. Kalau Ibu ber-

keras juga, tentu kami terpaksa minta tolong kepada Penghulu 

Kepala yang memerintah kampung ini. Sekianlah, kami hendak 

pulang dulu." 

Baru saja habis Sutan Menindih berkata, kedengaran orang 

batuk di halaman. Orang itu ialah Datuk Paduka Raja. Setelah 

naik ke rumah, ia pun berkata, katanya, "Sudah lama Sutan 

datang?" 

"Lama juga, Mamak," ujar Sutan Menindih. "Dari mana 

Mamak tadi?" 

"Dari pasar, sudah rapat dengan Tuan Kemendur." 

"O, ya, saya lihat tadi pagi banyak benar penghulu-penghulu 

ke pasar." 

Demikianlah percakapan mereka itu, hingga habis rokok 

sebatang seorang. Juriah meletakkan kopi dan penganan untuk 

mamaknya dan jamu itu. Sesudah minum kopi, Sutan Menindih 

pun berkata, katanya, "Mamak! Sebenarnya kedatangan kami 

ini, ada sesuatu hajat yang besar jua. Tadi sudah saya bicara-

kan juga dengan ibu, tetapi belum lagi putus percakapan kami. 

Sekarang kebetulan Mamak datang, jadi lebih baik lagi. Biarlah 

saya ulang sekali lagi, apa maksud saya datang kemari ini." 

"Baik, Sutan, katakanlah apa yang terasa di hati, terkalang 

di mata, supaya sama kita dengar!" 

"Kedatangan saya kemari, ialah menurut adat yang sudah 

dilazimkan jua. Karena mamak saya Pak Midun sudah meninggal 

dunia, saya sebagai seorang kemenakan dari beliau, tentu 

menuntut hak kami. Sebab itu haraplah saya, Mamak izinkan 

dan tunjukkan mana-mana yang harus saya ambil harta 

peninggalan mamak saya." 

"Benar kata Sutan itu. Memang kedatangan Sutan sudah 

menurut adat sebab pusaka turun kepada kemenakan. Tentu 

saja Sutan kemari ini sudah seizin Datuk Raja Bendahara 

mamak Sutan, akan menuntut hak Sutan itu. Benarkah 

demikian?" 

"Betul, Mamak! Memang sudah sepakat dengan beliau. Jika 

tidak seizin beliau, tentu saya tidak berani kemari. Mamak 

Datuk Raja Bendahara sudah menerangkan kepada saya, mana-

mana pusaka peninggalan mamak saya. Oleh sebab itu Mamak 

izinkanlah saya mengambil harta pusaka saya itu." 

"Baiklah, Sutan! Hak milik Sutan itu tidak akan ke mana. 

Tapi saya harap Sutan jangan terburu nafsu benar. Saya minta


kepada Sutan, hal ini jangan mendatangkan yang kurang baik 

antara kedua pihak. Sebab itu baiklah kita bicarakan dengan 

tenang, supaya selamat kesudahannya." 

"Baik Mamak! Tapi saya rasa tentu tidak akan demikian 

jadinya, sebab yang saya ketengahkan ini, menurut adat di 

Minangkabau ini." 

"Benar, benar, Sutan! Jadilah, menurut pemandangan Sutan 

apaapakah peninggalan Mamak Sutan itu?" 

"Hal ini tentu Mamak sudah maklum, yaitu tanah, misalnya 

huma dan tanah peruntahan ini serta sawah." 

"Ini betul, tapi Sutan jangan pula lupa, bahwa menurut yang 

saya ketahui, segala tanah yang dibeli Pak Midun, ialah 

pencahariannya dua laki istri. Lagi pula tadi Sutan mengatakan, 

hendak mengambil rumah ini. Jadi rumahnya bagaimana? Akan 

Sutan suruh angkatkah kepada kami?" ujar Datuk Paduka Raja 

agak gusar, sebab mendengar perkataan Sutan Menindih itu. 

"Itu pulang maklum kepada Mamak. Bagi saya, mana yang 

hak saya tentu saya ambil. Mamak mengatakan pencaharian 

berdua. Itu kata Mamak, kata saya tentu tidak begitu. Bagi 

kami ada alasan, bahwa segala tanah itu kami yang punya." 

"Kalau begitu tentu mendatangkan yang kurang baik, Sutan!" 

kata Datuk Paduka Raja dengan sabar pula. "Saya harap dalam 

hal ini hendaklah sebagai menghela rambut dalam tepung. 

Rambut jangan putus, tepung jangan terserak. Artinya Sutan 

beranak bapak jangan berputus-putus karena itu. Jika Sutan 

sekeras itu benar hendak mengambil hak milik Sutan, bersalah-

salahan dengan beberapa peribahasa orang kita, yang 

menunjukkan kasih sayang kaum Sutan kepada anaknya. 

Bukankah ada menurut kata peribahasa, misalnya: Ba' lalo' di 

rumah baki* (Sebagai tidur di rumah saudara ayah yang perempuan, 

maksudnya enak dan bebas, sehingga tidak sadar hari telah tinggi, karena 

senangnya tidur. Jadi tak dapat tiada anak di rumah bako itu amat dimanjakan 

dan disenangkan oleh saudara-saudara ayahnya yang perempuan) dan anak 

berpisau tajam, bako badagieng taba* (Anak berpisau tajam, saudara 

ayah yang perempuan berdaging tebal. Artinya: anak bebas mengambil apa 

yang dikehendakinya atas harta benda bakonya. Jadi anak itu sebebas-

bebasnya: boleh berbuat semau-maunya asal tidak melanggar tertib sopan 

santun di dalam pergaulan umum)

Nah, menilik arti kedua peribahasa itu, sampai hatikah 

Sutan menyuruh mengangkat rumah ini kepada Juriah dan 

Maninjau? Akan Sutan usirkah mereka itu berumah tangga di 

tanah ini? Di manakah lagi tinggalnya sifat'bako' yang pemurah


kepada anak, seperti yang 

' dinyatakan oleh kedua peribahasa itu? Cobalah Sutan 

renungkan dan pikirkan dalam-dalam hal ini.-Sepatutnya, 

setelah Pak Midun meninggal, Sutan dengan famili Sutan 

menaruh belas kasihan sedikit kepada anaknya. Tetapi sekarang 

demikian, tentu mereka itu: sudah jatuh ditimpa tangga pula." 

Mendengar keterangan Datuk Paduka Raja, terbenar pula 

pada hati Sutan Menindih. Lama ia termenung memikirkan 

perkataan mamak Juriah itu. Tetapi karena ia diasut orang, ia 

pun berkata, "Sungguhpun demikian, saya terpaksa meminta 

hak saya juga, Mamak!" 

"Sekarang beginilah, Sutan! Biarlah hal ini saya bicarakan 

dengan mamak Sutan, Datuk Raja Bendahara. Sebab itu 

pulanglah Sutan dahulu! Dalam sepekan ini, tentu akan 

mendengar bagaimana putusannya." . 

"Jika demikian baiklah, Mamak bicarakanlah dengan mamak 

saya. Saya mohon pulang dulu, Mamak!" 

"Baiklah! Lebih baik kami sama-sama penghulu 

menyelesaikan perkara ini." 

Sepeninggal Sutan Menindih, Datuk Paduka Raja tidak ber-

senang hati atas kedatangan kemenakan Pak Midun itu. 

Menurut pikirannya, ibu Juriah dengan anak-anaknya ada 

berhak juga menerima pusaka itu. Karena pusaka itu tidak 

sedikit harganya, ia berjanji dengan dirinya akan 

menyelesaikan perkara itu selekaslekasnya. Maka Datuk Paduka 

Raja berkata dalam hatinya, "Kalau dilalai-lalaikan boleh 

mendatangkan bahaya. Sekalipun rugi mengadakan rapat adat 

untuk menimbang hal ini, apa boleh buat. Jika saya tidak 

bersenang hati mendengar putusan rapat adat, biar saya 

jadikan perkara. Bilamana sudah putusan pemerintah saya 

kalah, sudah puas hati saya. Di sana nanti tentu hitam 

putihnya." 

Maka ia pun pergi mendapatkan Datuk Raja Bendahara, 

penghulu; kaum Sutan Menindih, akan memperbincangkan hal 

itu. Setelah putus mufakat kedua penghulu itu, seminggu 

kemudian diadakanlah rapat adat. Rapat itu dikepalai oleh 

Datuk Seri Maharaja, karena dalam hal adat dialah pucuk bulat, 

urat tunggang di negeri itu. Di antara segala penghulu, bangsa 

kaum Datuk Seri Maharaja itu sama tinggi dengan bangsa kaum 

Tuanku Laras, di bawahnya baru Datuk Paduka Raja. Ada 30 

orang penghulu yang ternama rapat hari itu. Sesudah minum


makan, rapat adat pun dimulai. Maka Datuk Maharaja berkata, 

katanya, "Datuk Paduka Raja! Kami sudah hadir semua, 

ketengahkanlah apa yang terasa di hati, terkalang di mata 

maka Datuk mengadakan rapat ini, supaya boleh kami per-

timbangkan!" 

Datuk Paduka Raja lalu menerangkan duduknya pusaka yang 

ditinggalkan Pak Midun. Bagaimana penghidupan Pak Midun laki 

istri sejak mulai kawin diceritakannya dengan panjang lebar. 

Kemudian diterangkannya pula pendakwaan orang Tanjung 

hendak merebut pusaka itu. 

Setelah berkata pula, katanya, "Penghulu seadat, Tuanku 

('alim) sekitab. Datuk sendiri sudah maklum, bahwa di Alam 

Minangkabau ini pusaka turun kepada kemenakan. Bukannya 

dia, melainkan Datuk sendiri rupanya yang mendakwa, padahal 

Datuk sudah mengetahui. Sungguh heran, saya kurang mengerti 

dalam hal ini. Orang Tanjung itu sekali-kali tidak merebut, 

melainkan mereka berhak mengambil pusaka kaumnya yang 

telah meninggal." 

"Benar kata Datuk itu," ujar Datuk Paduka Raja. "Tetapi 

lupakah Datuk akan kata adat: Harta pembawaan pulang, harta 

tepatan tinggal, harta suarang (pencaharian) dibagi? Dan 

sebuah lagi menurut kata adat: adat bersendi syara' dan syara' 

bersendi adat? 

Menilik kedua kata adat itu, nyatalah bahwa anak Pak Midun 

berhak pula menerima pusaka bapaknya itu. Harta itu ialah 

harta pencahariannya dua laki istri, sebab itu harus dibagi. 

Saya tahu benar bagaimana penghidupan mereka itu sejak 

mulai kawin. Menurut pengetahuan saya, sesen pun tak ada Pak 

Midun membawa harta orang Tanjung. Dan menurut kata adat 

yang saya sebutkan, kemudian tadi, mesti pusaka itu diberikan 

kepada anaknya. Jika tidak, tentu tidak sendi-menyendi lagi 

adat dengan syara'. Sekianlah permohonan saya. Saya berharap 

segala perkataan saya itu, moga-moga menjadi pertimbangan 

hendaknya kepada kerapatan yang hadir." 

Kerapatan itu tenang, masing-masing memikirkan masalah 

itu. Termasuk pada pikiran mereka akan kebenaran perkataan 

Datuk Paduka Raja. Dalam pada itu berkatalah Datuk Raja 

Bendahara, katanya, "Kata adat menurut yang Datuk katakan 

itu, memang sebenarnya. Penghulu tidaklah akan lupa sekalian 

itu, sebab sudah pakaiannya. Seseorang penghulu jika lupa atau 

tidak tahu selukbeluk adat, tentu sia-sia ia dijadikan penghulu.


Bagi saya, sebagai seorang famili dari Pak Midun, mengetahui 

bahwa harta Pak Midun itu masuk harta pembawaan, sekali-kali 

tidak harta suarang. Keterangan saya itu dikuatkan oleh 

beberapa orang saksi. Bilamana perlu, boleh saya unjukkan 

saksi itu, bahwa harta pusaka Pak Midun itu hak milik orang 

Tanjung." 

Maka kerapatan itu pun ramailah membicarakan bagaimana 

duduk pusaka itu dan ke mana jatuhnya. Ada kira-kira dua jam 

kerapatan itu menimbang, dan mengeluarkan buah pikiran 

masingmasing. Melihat kepada keadaan rapat itu, nyata ada 

berudang di balik batu yang datangnya dari seseorang yang 

berkuasa di kampung itu. Begitu pula mengingat penjawaban 

saksi-saksi yang kurang terang itu untuk mempertahankan 

keterangan Datuk Raja Bendahara, tampak nyata bahwa saksi-

saksi itu dicari dan diupah. Kesudahannya maka diputuskan 

bahwa pusaka itu dijatuhkan kepada kemenakan Pak Midun. 

Setelah itu rapat adat lalu ditutup, dan orang pulang ke 

rumahnya masing-masing. 

Sungguhpun rapat adat di negeri itu sudah memutuskan 

demikian, tetapi Datuk Paduka Raja belum lagi bersenang hati. 

Maka ia pun membawa perkara itu kepada Hakim Pemerintah. 

Dimintanya kepada Tuanku Laras, supaya perkara itu dibawa ke 

Bukittinggi, baik pihak anak, baik pun kemenakan sama-sama 

memakai pokrol. 

Beberapa hari perkara itu ditimbang di Landraad, 

kesudahannya menang juga di kemenakan. Tetapi kemenakan 

itu hanya menerima kurang dari seperempat pusaka itu lagi, 

sebab sudah habis untuk pembayar ongkos pokrol. 

Ibu Juriah dengan anak-anaknya terpaksa memindahkan 

rumahnya ke tanah kaumnya sendiri. Dua bulan kemudian 

daripada itu, Ibu Juriah terkenang akan pesan Pak Midun waktu 

akan meninggal dunia. Maka disuruhnyalah familinya ke rumah 

orang tua Maun akan menanyakan kalau-kalau Maun mau 

beristri. Pesan Pak Midun yang mengatakan bahwa Juriah harus 

dipersuamikan dengan Maun, dikatakannya pula. Hal itu pun 

disampaikan ibu Maun kepada anaknya. Maun dengan segala 

suka hati menerima permintaan ibu Juriah. Tidak saja 

mengingat persahabatannya dengan Midun, tetapi ia sendiri 

memang sudah lama bercintakan Juriah. Hati Maun sangat 

tertarik melihat rupa dan tingkah laku Juriah yang hampir 

bersamaan dengan Midun, sahabatnya yang karib itu. Seminggu


kemudian, maka perkawinan itu dilangsungkan dengan selamat-

nya. Maka Maun dan Juriah menjadi suami istri, hidup berkasih-

kasihan setiap hari. 

Manjau kerjanya hilir mudik saja di kampung tiap-tiap hari. 

Akan bekerja, tidak ada pekerjaan yang akan dikerjakannya. 

Hatinya tidak senang lagi tinggal di kampung itu. Amat sedih ia 

memikirkan peninggalan bapaknya diambil orang sama sekali. 

Usikan Penghulu Kepala Kacak pun hampir-hampir tidak ter-

tahan lagi olehnya. Maka diputuskannya pikirannya, lalu ia 

pergi meninggalkan kampung, berjalan ke negeri orang mem-

bawa untung nasibnya.


14. Bahagia 

SEBERMULA rupanya perkataan Syekh Abdullah al-Hadramut 

"hendak mengadukan" Midun itu tiadalah gertaknya saja. Tiada 

berapa lama antaranya Midun sudah terpanggil ke muka 

pengadilan. Bagaimana juga Midun menerangkan bahwa 

uangnya tidak sebanyak itu yang tertulis di atas surat utang itu, 

hakim tidak dapat membenarkannya, sebab tidak ada saksi atau 

buktinya. Hakim menjatuhkan hukuman, ia mesti membayar 

utang yang f 500,- itu, tambah ongkos-ongkos perkara kira-kira 

f 35,-. 

Beberapa lamanya sesudah putusan itu, Syekh Abdullah 

datang mendapatkan Midun. Ditagihnya dengan lemah lembut. 

Tetapi Midun, karena ia sudah tertipu itu sudah menetapkan 

niatnya tidak akan membayar utangnya itu. Dia tidak tahu 

betapa kekuatan acceptatie itu. Dia belum mendengar, bahwa 

orang yang berutang itu, boleh ditahan di dalam penjara. 

Dalam pada itu Syekh Abdullah tidak putus-putusnya membujuk 

Midun. Demi dilihatnya Midun tidak mau membayar, dan pada 

sangkanya Midun tidak sanggup membayar, ketika itulah 

hendak disampaikannya cita-citanya yang selama ini di-

kandungnya. 

Kalau dapat Midun mengusahakan Halimah, yang disangka-

kan oleh Syekh Abdullah istri Midun menjadi istri Syekh 

Abdullah, maka segala uang Midun akan dilunaskannya. Men-

dengar perkataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah 

Midun, lalu orang Arab itu diusirnya sebagai anjing. Orang Arab 

itu pun pergilah dengan mengandung niat yang jahat akan 

melepaskan sakit hatinya. 

Tidak berapa lamanya sesudah itu, datanglah deurwaarder 

dengan polisi mengambil Midun, mengantarkannya ke penjara. 

Walaupun Midun tidak mengerti betul, apa sebabnya ia 

dipenjarakan, perintah itu terpaksa juga diturutnya. Setelah 

beberapa lamanya Midun dipenjarakan, datanglah pula orang 

Arab itu membujuknya, tetapi itu pun tidak berhasil juga. 

Sudah dua-tiga kali ia datang membujuk Midun ke penjara, 

dengan halus budi bahasanya, tetapi dibalas Midun dengan maki 

dan nista jua. Ia mau terkurung selama hidupnya, asal jangan 

karena dia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang


itu. Akhirnya Syekh Abdullah datang sendiri mendapatkan 

perempuan yang sangat diharapkannya itu. Setelah dibujuknya 

dengan lemah lembut, tetapi tiada berhasil juga, maka 

akhirnya digertaknya, bahwa Midun sekarang di bawah kekuasa-

annya dan terpenjara di bui Glodok. 

"Selama Midun tidak sanggup membayar utangnya kepada 

saya," kata orang Arab itu, "dia akan saya tahan juga dalam 

penjara itu, dan Neng boleh menantikan laki yang dirindukan 

itu sampai tumbuh uban di kepala Neng. Tetapi sebaliknya, 

jikalau Neng mau mengabulkan permintaanku itu, segera ia 

kukeluarkan dari bui." 

Mendengar perkataan yang demikian, Halimah pun marah, 

dan Arab itu diusirnya. Tetapi sepeninggal orang Arab itu, 

sangatlah susah hatinya memikirkan Midun terpenjara itu. Maka 

dibuatnyalah mufakat dengan ayahnya akan membayar utang 

Midun itu. Segala barang perhiasannya dijualnya untuk me-

lepaskan kekasihnya dari penjara. Maka pergilah ia ke Betawi 

dengan bapaknya, tetapi sebab Midun sendiri ada mempunyai 

uang f 500,- tidak seberapa ia menambah untuk membayar 

utang itu. 

Mulanya Midun tak mau sedikit juga membayar.utangnya 

itu. Tetapi setelah dimufakati dengan panjang lebar dan 

setelah mendengarkan bujukan Halimah, diturutnya jugalah 

kehendak kekasihnya. Tetapi permintaan Halimah dan ayahnya 

supaya ia pergi bersama-sama ke Bogor, tidak diperkenan-

kannya. Sebabnya ialah karena dia hendak mencari peng-

hidupan yang lebih sempurna di Betawi. 

Selama Midun dalam penjara itu, ada seorang hukuman 

bekas orang yang bersekolah juga, yang mengajarkan menulis 

dan membaca dan menceritakan berbagai-bagai ilmu 

pengetahuan, sehingga banyaklah tokok tambahnya 

pengetahuan Midun selama dalam penjara itu. Orang itu Mas 

Sumarto namanya. Ketika ia akan meninggalkan bui itu, maka 

ditemuinyalah orang itu. Sesudah mengucapkan terima kasih 

atas nasihat-nasihat dan kesudian Mas Sumarto mengajarnya 

menulis dan membaca selama dalam bui, Midun memberi 

selamat tinggal kepada gurunya itu. 

Ia berjalan ke luar bui, lalu naik trem yang hendak ke 

Kramat. Sudah dua bulan ia di dalam bui, tak ada ubahnya 

sebagai burung di dalam sangkar. Sekarang dapat pula ia 

melepaskan pemandangannya kian kemari, melihat-lihat kota


Betawi yang indah itu. Amat lega hati Midun masa itu, dadanya 

lapang, pikirannya senang. Sampai di Kramat ia pergi ke 

Kwitang, ke rumah tempatnya membayar makan dahulu. Induk 

semangnya heran melihat kedatangannya itu, karena dengan 

tidak berkata sepatah jua Midun pergi, sekarang tiba-tiba 

datang pula kembali. Setelah mereka itu duduk lalu diceritakan 

Midun nasibnya selama meninggalkan rumah itu. Mendengar 

ceritanya itu, mereka belas kasihan dan menasihati Midun, 

menyuruh ingat-ingat menjaga diri yang akan datang. Maka ia 

pun tinggal pula di sana membayar makan. 

Pada petang hari Midun pergi berjalan-jalan. Sampai di 

Pasar Senen, ia bertemu dengan Salekan, temannya sama-sama 

berkedai dahulu. 

"Ke mana engkau, Midun?" ujar Salekan. "Sudah lama saya 

tidak melihat engkau." 

"Ah, saya pergi bertapa dua bulan ke Glodok," ujar Midun. 

"Bertapa bagaimana? Ceritakanlah kepada saya yang 

sebenar-benarnya saja, Midun." 

"Baik, engkau tidak berkedai hari ini?" 

"Tidak, sudah dua hari dengan sekarang. Saya hendak tempo 

dulu barang seminggu ini, karena ada urusan sedikit." 

"Kalau begitu, marilah kita ke Pasar Baru! Saya ingin hendak 

makan nasi goreng, sebab sudah dua bulan tidak mengecap 

makanan itu. Nanti di jalan saya ceritakan pertapaan saya yang 

dua bulan itu kepadamu." 

"Baiklah." 

Sepanjang jalan diceritakanlah oleh Midun, bagaimana 

halnya yang dua bulan itu. Dalam mereka asyik bercerita, tiba-

tiba kedengaran olehnya orang berseru, "Awas, serdadu 

mengamuk! Lekas lari!" 

Midun terkejut, lalu melihat ke sana kemari. Waktu itu ia 

sudah sampai dekat pintu masuk ke Pasar Baru. Temannya, 

Salekan, baru saja mendengar suara orang menyuruh lari, ia 

sudah membuat langkah seribu. Sekonyong-konyong kelihatan 

oleh Midun seorang serdadu memegang sebuah pisau yang 

datangnya dari arah Kemayoran. Mana yang dapat, apalagi 

orang yang mengalangi, terus saja diamuknya. Serdadu itu 

terus juga lari mengejar seorang sinyo yang baru berumur 12 

atau 13 tahun. Sinyo itu sudah payah, napasnya turun naik, 

agaknya sudah lama ia dikejar serdadu itu. Hampir saja ia 

dapat kena tikam, karena tidak jauh lagi antaranya. Midun


tidak berpikir lagi, seraya berkata, "Jangan lari, Sinyo, berdiri 

saja di belakang saya!" 

Baru saja sinyo itu mendengar suara Midun, ia berhenti. 

Memang ia hampir tak kuat lagi berlari, sebab sudah payah. 

Sambil terengah-engah, sinyo itu pun berkata, "Tolong saya, 

Bang, dia hendak menikam saya." 

Setelah dekat, Midun melompat menangkap pisau serdadu 

itu. Maka kedua mereka itu pun berkelahi, di tengah jalan itu. 

Setelah pisau serdadu itu dapat oleh Midun, lalu dilempar-

kannya, seraya berkata, katanya, "Ambil pisau itu, Sinyo!" 

Ketika pisau itu tak ada lagi, serdadu itu pun menyerang 

Midun dengan garangnya. Tetapi dengan mudah Midun dapat 

menyalahkan serangannya. Midun melepaskan kekuatannya 

pula. Tidak lama antaranya, ia pun dapat menangkap serdadu 

itu: Midun berkata pula, "Sinyo, coba ambil ikat pinggang saya 

pengikatnya!" 

"Ini ada ikat pinggang saya, Bang," ujar sinyo sambil mem-

berikan ikat pinggangnya. Sekaliannya terjadi dalam beberapa 

saat saja. 

Setelah serdadu itu diikat Midun, maka opas pun ber-

lompatan akan menangkapnya. Ketika ia akan dibawa ke kantor 

Commissaris, sinyo berkata, "Tak usah dibawa ke sana. Ikut 

saya saja!" 

Maka serdadu itu pun dibawa oleh sinyo itu kepada sebuah 

gedung yang tidak berapa jauhnya dari sana, diiringkan oleh 

orang banyak yang berkerumun sesudah si pengamuk itu 

tertangkap. Setelah sampai, sinyo terus saja masuk ke dalam. 

Kemudian ia ke luar bersama dengan seorang tuan. 

Adapun tuan itu ialah Hoofdcommissaris, bapak sinyo yang 

ditolong Midun itu. Di muka bapak dan ibunya, diterangkanlah 

oleh sinyo itu bagaimana halnya dengan serdadu yang 

mengamuk itu. Nyonya Hoofdcommissaris menjerit mendengar 

cerita anaknya yang sangat ngeri itu. Tetapi ia bergirang hati, 

karena anaknya terlepas dari bahaya. Demikian pula 

Hoofdcommissaris, amat senang hatinya kepada Midun yang 

menolong anaknya itu. Hoofdcommissaris menelpon, dan tidak 

lama antaranya datanglah beberapa orang politie-opziener 

akan membawa serdadu yang mengamuk itu. 

"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih karena 

keberanianmu menolong anak saya di dalam bahaya," ujar 

Hoofdcommissaris kepada Midun.


"Terima kasih kembali, Tuan!" jawab Midun dengan hormat-

nya. 

"Siapa namamu?" 

"Nama saya Midun." 

"Negerimu di mana?" 

"Negeri saya di Padang." 

"Apa kerjamu di sini?" 

"Tidak bekerja, Tuan!" Maka Midun pun menceritakan nasib-

nya kepada Hoofdcommissaris, sejak mulai sampai ke Betawi. 

Mendengar cerita Midun, tuan dan nyonya itu amat belas 

kasihan. Kemudian Hoofdcommissaris berkata pula, "Kamu 

pandai menulis?" 

"Pandai, Tuan." 

"Baiklah. Besok kamu datang ke kantor saya pukul 8 betul, 

ya!" 

"Baik, Tuan." 

"Sekarang kamu boleh pulang. Jangan lupa, besok mesti 

datang di kantor saya." 

"Ya, Tuan." 

Midun keluar dari gedung itu. Orang banyak yang ber-

kerumun melihat Midun, mengiringkannya dari belakang. Ber-

bagai-bagailah pertanyaan orang kepadanya. Midun amat malu 

diiringkan orang banyak, lalu ia naik bendi ke Pasar Baru. 

Sampai di situ terus masuk ke kedai orang menjual nasi goreng. 

Di tempat itu lain tidak yang didengar Midun, percakapan orang 

tentang serdadu mengamuk itu saja. Tetapi Midun berdiam diri 

saja; sesudah makan nasi goreng, ia naik bendi pulang ke 

Kwitang. 

Di atas bendi Midun berkata dalam hatinya, "Apa pulakah 

yang akan terjadi atas diri saya besok pagi? Celaka pulakah 

yang akan datang, sebab saya menangkap serdadu? Tak boleh 

jadi, serdadu itu tak ada yang bercela badannya oleh saya. Lagi 

pula mendengar perkataan Hoofdcommissaris, tak mungkin saya 

akan dihukum karena itu. Tak dapat tiada, sinyo anaknya itu 

tidak akan membiarkan saya, karena saya menolongnya." 

Sampai di Kwitang, induk semangnya bertanya pula tentang 

orang mengamuk di Pasar Baru, kalau-kalau Midun mendengar 

kabar itu. Tetapi Midun menerangkan pura-pura tidak tahu 

saja, karena ia ke Meester, katanya. 

Pada keesokan harinya pagi-pagi Midun sudah bangun. 

Sesudah sembahyang dan minum kopi, maka ia pun berpakaian.


Kira-kira pukul 7 Midun berangkat dari rumahnya menuju ke 

kantor Hoofdcommissaris. Baru saja ia sampai, datang seorang 

politieopziener mendekatinya. 

"Kamu yang bernama Midun?" kata politie-opziener. "Saya, 

Tuan!" ujar Midun. 

Midun dibawa masuk ke dalam sebuah kamar yang terasing 

letaknya di kantor itu. Tiba-tiba kelihatan oleh Midun, tuan 

yang menyuruhnya datang kemarin itu. 

"Tabik, Midun, ada baik?" kata Hoofdcommissaris. 

"Baik juga, Tuan," ujar.Midun dengan sopannya. 

"Kemarin kamu katakan, kamu tidak bekerja. Mau kamu 

bekerja di sini?" 

"Kalau Tuan mau menerima saya, dengan segala suka hati 

saya terima." 

"Baiklah. Sekarang boleh Midun mulai bekerja." 

Setelah Hoofdcommissaris bercakap beberapa lamanya di 

telepon, Midun dibawa ke dalam sebuah kamar besar. Di situ 

dilihatnya amat banyak orang bekerja. Maka Midun pun mulai-

lah bekerja sebagai juru tulis di kantor Hoofdcommissaris. 

Dengan rajin dan sungguh Midun bekerja di kantor itu. Di 

dalam dua bulan saja, sudah kelihatan kecakapannya bekerja. 

Ia selalu hati-hati dan hemat dalam pekerjaannya. Tidak lama 

Midun disuruh mengambil pekerjaan mata-mata. Sebabnya 

ialah karena masa itu amat banyak penggelapan candu. 

Di dalam pekerjaan itu pun Midun sangat pandai. Tidak 

sedikit ia dapat menangkap candu gelap. Pandai benar ia men-

jelmakan diri akan mengintip orang membawa candu gelap itu. 

Bermacam-macam ikhtiar dijalankannya. Kadang-kadang waktu 

kapal masuk pelabuhan, ia menjadi kuli, turut mengangkat 

barang dari anggar ke stasiun. Bahkan kuli-kuli itu dapat pula 

dipikatnya dengan menjanjikan persen, manakala dapat 

menunjukkan orang yang membawa candu gelap. Ada yang di-

tangkap Midun candu itu di perut perempuan orang Tionghoa 

yang pura-pura hamil. Padahal sebenarnya candu gelap yang 

dibalutnya dengan kain di perutnya itu. Ada pula yang 

ditangkapnya dalam perban kaki orang, yang pura-pura sakit 

kaki. Pendeknya, di dalam hal yang sulit-sulit, yang tak 

mungkin pada perasaan orang candu itu ditaruhnya di sana, 

dapat ditangkap Midun. 

Enam bulan Midun bekerja, nyatalah kepada orang di atas 

akan kecakapannya dalam pekerjaannya. Maka ia pun diangkat


menjadi menteri polisi di Tanjung Priok. Seiring dengan 

keangkatannya itu, ia mendapat anugerah pula dari pemerintah 

beberapa ribu rupiah. Uang itu ialah persen dari candu yang 

sudah ditangkapnya. Berlinang-linang air mata Midun sebab 

suka, waktu menerima uang sekian itu. Tidak disangka-

sangkanya ia akan mendapat uang sebanyak itu. Segala uang itu 

dimasukkannya ke bank. 

Karena suka dan girang amat sangat mendapat uang dan 

menerima angkatan itu, Midun segera menulis surat ke Bogor 

kepada ayah Halimah. Maka dinyatakannya hasratnya yang 

selama ini dikandungnya. Midun takut Halimah yang sangat 

dikasihinya itu akan dapat bencana. Sebab itu hendak 

disegerakannya supaya ia menjadi suami istri dengan gadis itu. 

Demikian bunyi surat Midun kepada Halimah: 

Weltevreden, 9 Desember 19.. 

Kekasihku Halimah! 

Berkat doa Adinda yang makbul jua, kakanda sekarang 

sudah menjadi menteri polisi di Tanjung Priok. Oleh sebab itu, 

saat inilah yang sebaik-baiknya untuk melangsungkan cita-cita 

kita yang selama irii. Bersamaan dengan surat ini ada kakanda 

kirim surat kepada bapak, yang isinya menyatakan hasrat 

kakanda itu. Di dalam surat itu kakanda sertakan pula uang 

banyaknya f 400,- untuk belanja perkawinan kita. 

Pada tangga115 Desember ini kakanda perlop, lamanya 14 

hari. Waktu itulah kakanda dating kemari. Untuk keperluan 

Adinda, kakanda bawa bersama kakanda nanti. Bagaimana 

permufakatan bapak dan Halimah, kakanda menurut. Sehingga 

inilah dulu, nanti seminggu lagi sambungannya. 

Peluk cium kakanda, 

MIDUN 

Midun dapat perlop, lamanya 14 hari. Beserta dengan 

beberapa orang kawan dari Betawi, ia pun berangkatlah ke 

Bogor. Sampai di Bogor, didapatinya ayah Halimah sudah siap. 

Di muka rumah sudah terdiri sebuah dangau-dangau besar, 

dihiasi dengan bagusnya. Orang sedang sibuk bekerja,


mengerjakan ini itu mana yang perlu. Rupanya perkawinan itu 

akan dilangsungkan ayah Halimah dengan peralatan yang agak 

besar, sebab hanyalah Halimah anaknya yang perempuan. 

Kedatangan Midun diterima ayah Halimah dengan segala 

suka hati. Maka Midun pun menceritakan halnya sejak keluar 

dari bui sampai menjadi menteri polisi di hadapan Halimah, 

ayahnya dan beberapa orang lain famili mereka itu. Segala 

yang mendengar cerita Midun itu amat bergirang hati. Lebih-

lebih Halimah, karena bakal suaminya sudah menjadi ambtenar 

pula. 

Tiga hari kemudian, perkawinan Midun dan Halimah di-

langsungkan. Dua hari dua malam diadakan peralatan, sangat 

ramai, karena banyak sahabat kenalan ayah Halimah hadir 

dalam peralatan itu. Begitu pula sahabat kenalan Midun banyak 

datang dari Betawi. 

Dengan tidak kurang suatu apa, selesailah peralatan itu. 

Setelah seminggu Midun tinggal bersama mertuanya, ia pun 

berangkat ke Betawi. Ayah, ibu tiri, dan beberapa orang famili 

Halimah turut ... mengantarkannya ke Tanjung Priok: Midun 

memang sudah siap dengan sebuah rumah yang sederhana, 

cukup dengan perkakasnya, bakal mereka itu tinggal dua laki 

istri. Maka tinggallah mereka suami istri di rumah itu, hidup 

selalu dalam berkasih-kasihan, seia sekata dan turut-menurut 

dalam segala hal. Demikianlah pergaulan mereka itu dari sehari 

ke sehari. 

Midun sudah bekerja sebagai menteri polisi. Namanya 

termasyhur di Tanjung Priok. Baik kuli baik pun tidak, amat 

segan dan takut kepada menteri polisi Midun. Polisi orang 

Melayu atau pun Belanda segan pula kepadanya. Sebabnya ialah 

ketika terjadi perkelahian beberapa orang kelasi kapal yang 

memperebutkan perempuan durjana. Tidak ubah sebagai 

perang kecil waktu terjadi perjuangan itu. Perkelahian yang 

asal mulanya dua orang kelasi yang berlainan-lainan kapal 

tempatnya bekerja, menjadi ramai sebab mereka memper-

tahankan teman masing-masing. Polisi tak dapat lagi me-

misahkan, sebab sangat sibuknya. Segala orang yang mem-

punyai toko menutup tokonya karena ketakutan. Yang berkedai 

mengemasi kedainya, lalu mencari tempat persembunyian. 

Amat banyak orang berlarian ke sana kemari menjauhi per-

kelahian itu. Huru-hara, tidak berketentuan lagi. Tidak sedikit 

polisi baik pun kelasi yang luka. Jika tidak ada Midun, entah


berapa agaknya bangkai terhantar, sebab mereka itu sudah 

memakai senjata tajam dalam perjuangan itu. Menteri polisi 

Midunlah yang terutama berusaha memadamkan perkelahian 

yang hebat itu. Oleh karena itu ia sangat terpuji oleh orang di 

atas dalam pekerjaannya. 

Belum cukup enam bulan Midun di Tanjung Priok, ia 

menerima surat pindah ke Weltevreden. Menerima surat pindah 

itu, Midun bersukacita. Di Tanjung Priok hampir ia tak dapat 

menidurkan badan. Ada-ada saja yang mesti diuruskannya, baik 

siang atau pun malam. Kadang-kadang lewat tengah malam 

orang memanggil dia, karena ada sesuatu yang terjadi dan 

perlu diselesaikan. Tiga hari kemudian daripada itu, Midun 

suami istri berangkat ke Weltevreden. Maka ia. pun bekerjalah 

dengan rajinnya di Weltevreden. 

Sekali peristiwa Midun dipanggil Hoofdcommissaris datang 

ke kantornya. Sampai di kantor, Hoofdcommissaris pun 

berkata, "Midun, sekarang kamu mesti berlayar." 

"Ke mana, Tuan?" ujar Midun dengan hormatnya. 

"Kami dengar kabar ada penggelapan candu yang sangat 

besar. Pusat penggelapan itu di Medan, dan ada pertaliannya di 

Jawa ini. Sebab itu kamu mesti berangkat minggu di muka ini 

ke Medan, akan menyelidiki benar tidaknya kabar itu. Saya 

harap, pekerjaanmu di sana memberi hasil yang baik. Nah, 

selesaikanlah mana yang perlu, dan berangkatlah minggu di 

muka ini!" 

"Baik, Tuan!" lalu Midun pulang ke rumahnya. 

Setelah perintah itu dikabarkan Midun kepada istrinya, 

maka ia pun berkirim surat ke Bogor menyuruh datang 

mentuanya ke Betawi. Masa itu mentua Midun sudah pensiun. 

Dua hari kemudian, datanglah mentuanya laki istri. Midun 

mengabarkan bahwa ia tiga hari lagi berangkat ke Medan. 

Dimintanya, selama ia di Medan, supaya mentuanya menemani 

Halimah. 

Setelah mustaid barang-barang yang perlu dibawa Midun, ia 

pun berangkatlah ke Medan. Waktu ia akan berangkat, tidak 

dibiarkannya seorang jua mengantarkannya ke kapal. Midun ke 

Medan menjelma sebagai seorang saudagar. Sebab itu, ia 

menumpang di atas geladak kapal saja. 

Sampai di Medan, dengan ditemani oleh seorang mata-

mata, Midun pun bekerjalah menyelidiki kabar penggelapan 

candu yang besar itu. Ada sebulan ia menyelidiki kabar itu


dengan rajinnya. Bermacam-macam ikhtiar dijalankan Midun. 

Kemudian nyatalah, bahwa kabar itu bohong belaka. Menurut 

pendapatnya, kabar itu hanya dibuat-buat orang saja, untuk 

menjalankan maksudnya di tempat lain. Dua hari lagi akan 

berangkat ke Betawi, Midun memakai seperti biasa. 

la pun pergilah berjalan-jalan dengan temannya itu 

melihat-lihat keindahan kota Medan. Setelah hari malam, terus 

menonton komidi gambar. Ketika akan pulang lalu diajak oleh 

temannya minum-minum kepada sebuah hotel. Baru saja 

duduk, datang seorang jongos membawa buku tulis. 

"Minum apa, Engku?" ujar Ahmad, temannya itu. 

"Apa saja yang Engku sukai," jawab Midun. 

Ketika Ahmad menuliskan nama minuman yang akan 

diminta, Midun memandang kepada jongos yang berdiri di 

belakang kawannya itu. Tiba-tiba ia terperanjat, karena 

dilihatnya jongos itu serupa benar dengan adiknya Manjau. 

Hatinya tertarik, lalu diperhatikannya tingkah laku jongos hotel 

yang seorang itu. Midun amat heran karena jongos itu sebentar 

menyeringai, sebentar pula duduk, seolah-olah menahan sakit. 

Perjalanannya pun tidak sebagai biasa, melainkan agak lambat. 

Maka Midun berkata dalam hatinya, "Tidak boleh jadi Manjau 

akan sampai kemari. Tentu saja ia tidak diizinkan ibu dan ayah 

meninggalkan kampung, karena saya sudah pergi. Lagi pula 

tidak akan sampai hatinya meninggalkan orang tua, yang telah 

bersedih hati kehilangan anaknya yang sulung itu. Ah, agaknya 

pemandangan saya yang salah, tidak sedikit orang yang serupa 

di atas dunia ini. Tetapi apakah sebabnya dia selalu me-

mandang saya? Dan apakah sebabnya jongos itu selalu me-

nyeringai dan sebentar-sebentar duduk? Tidak lain tentu karena 

korban perempuan-perempuan dukana yang berkeliaran seluruh 

kota ini agaknya. 

Di dalam Midun termenung memikirkan jongos hotel itu, 

tiba-tiba Ahmad kawannya itu berkata, katanya, "Mengapakah 

Engku termenung saja dari tadi saya lihat? Apakah yang Engku 

menungkan?" 

"Tidak apa-apa," ujar Midun menghilangkan pikirannya, 

sambil memperbaiki duduknya. "Pikiran saya melayang ke tanah 

Jawa." 

"Di sini pun tidak kurang kepelesiran seperti di tanah Jawa, 

bahkan lebih agaknya. Lihatlah ke jendela tingkat hotel ini. Di 

tanah Jawa tidakkan lebih, samalah dengan di sini agaknya."


"Benar, sama dengan di sini. Sungguh berbahaya benar 

perempuan-perempuan jahat itu. Tidak sedikit orang yang 

telah menjadi korban penyakit itu. Di Betawi lebih-lebih lagi 

yang buta, buta juga, anggotanya pun banyak yang rusak. 

Sungguh berbahaya benar penyakit jahanam itu." 

"Sebenarnyalah perkataan Engku itu. Di sini pun begitu pula. 

Bahkan banyak hotel di sini dipergunakan untuk itu saja. 

Dipelihara di situ perempuan-perempuan dukana itu, untuk 

pemuaskan hawa nafsu orang yang baru datang atau yang ada 

di negeri ini. Seolah-olah sengaja rupanya orang memper-

kembang biak penyakit keparat itu." 

"Benar, kalau begitu sama keadaannya dengan Betawi. Hal 

ini tidak boleh sekali-kali dibiarkan. Patut benar pemerintah 

berikhtiar, supaya musna kupu-kupu malam yang berkeliaran di 

kota-kota di tanah Hindia ini." 

Adapun jongos hotel itu terkejut pula ketika melihat muka 

Midun. Ia amat heran karena orang itu selalu memandang 

kepadanya. Pada pemandangannya tidak ubah sebagai saudara-

nya Midun. Dengan darah berdebar-debar, jongos itu berkata 

dalam hatinya, "Dari tadi saya diperhatikan orang itu. Rupanya 

bersamaan benar dengan saudara saya Midun. Nyata kepada 

saya, bahwa sebenarnyalah dia kakak saya. Tetapi tidak boleh 

ia segagah ini. Temannya memanggilkan dia "Engku". Tentu ia 

seorang berpangkat. Mustahil, sedang menulis pun Midun tidak 

pandai dan tidak pula bersekolah. Lagi pula ia dihukum ke 

Padang, masakan orang hukuman menjadi orang berpangkat. 

Agaknya orang itu serupa dengan Midun. Menurut suratnya ke 

kampung dahulu, ia pergi ke tanah Jawa. Suatu hal yang tidak 

boleh jadi ia di sini." 

Kira-kira pukul sebelas malam, Midun membayar beli 

minuman. Maka ia pun pulanglah ke rumah tempatnya 

menumpang. Sampai di rumah hati Midun tidak senang sedikit 

jua. Jongos hotel itu tidak hendak hilang dalam pikirannya. 

Kemudian diputuskannya pikirannya hendak kembali ke hotel 

itu, akan menanyakan siapa dan orang mana jongos hotel itu. 

Sampai di sana, lalu dipanggilnya jongos itu. Maka ia dibawa 

Midun kepada suatu tempat yang terpisah. Midun berkata, 

katanya, "Saya harap kamu jangan gusar, karena saya hendak 

bertanya sedikit." 

"Baiklah, Engku," ujar jongos itu dengan hormatnya. 

"Kamu orang mana?"


"Saya orang Minangkabau, Engku." 

"Di mana negerimu di Minangkabau?" 

"Di Bukittinggi." 

"Namamu siapa?" 

"Nama saya Manjau." 

Mendengar nama itu hati Midun hampir tidak tertahan lagi. 

Ketika itu sudah nyata kepadanya, bahwa orang yang bercakap 

dengan dia itu, adiknyalah. Tetapi dengan sekuat-kuatnya ia 

menahan hati, lalu meneruskan pertanyaannya, katanya, 

"Adakah engkau bersaudara?" 

"Ada, Engku." 

"Siapa namanya?" 

"Midun." 

"Manjau, adikku kiranya ini," ujar Midun sambil melompat 

memeluk Manjau. 

Kedua mereka itu bertangis-tangisan, karena pertemuan 

yang tidak disangka-sangkanya itu. Tidak lama mereka itu insaf 

akan diri. Midun meneruskan pertanyaannya pula, katanya, 

"Sudah lamakah engkau di sini? Ayah bunda dan adikku di mana? 

Diizinkan mereka itukah engkau merantau kemari? Adakah ia 

sehat-sehat saja sampai sekarang?" 

Manjau menceritakan dengan panjang lebar penyakit ayah-

nya waktu akan meninggal dunia dan perkara pusaka yang di-

ambil oleh kemanakan ayahnya. Begitu pula perkawinan Juriah 

dengan Maun, pesan ayahnya waktu akan berpulang. Dengan 

tidak diketahuinya, air mata Midun berlinang-linang, karena 

amat sedih hatinya mengenangkan kematian ayahnya yang 

dicintainya itu. Maka ia pun berkata, "Ayah sudah meninggal, 

apa pula yang engkau turut kemari! Tentu ibu canggung engkau 

tinggalkan, suami mati, anak dua orang sudah hilang." 

"Saya pergi sudah seizin beliau. Akan tinggal juga saya di 

kampung tak ada pekerjaan saya, sebab harta kita sudah habis 

sama sekali. Usikan Penghulu Kepala Kacak tidak pula ter-

tanggung oleh saya. Tidak ada berselang sepekan saya sudah di-

suruhnya pula berodi, jaga, ronda malam, dan lain-lain. Karena 

itu saya mufakat dengan Maun. la sendiri mengizinkan juga 

saya pergi. Kata Maun, "Pergilah, Manjau, mudah-mudahan 

engkau bertemu dengan Midun. Saya sendiri pun akan me-

ninggalkan kampung ini pula, sebab saya tidak senang diam 

oleh si Kacak musuh kami dahulu. Biarkanlah ibu dan Juriah 

tinggal. Sayalah yang akan menjaga keselamatan ibu. Ke mana


saya pergi, tentu beliau saya bawa." 

Maka saya pun pergilah ke Bukittinggi. Mula-mula saya 

bekerja menjadi jongos kepada seorang Belanda. Belum lama 

saya bekerja, diajak oleh induk semang saya itu kemari. 

Tiga bulan saya bekerja dengan dia, induk semang saya itu 

pun perlop ke negeri Belanda. Saya tinggal seorang diri, lalu 

mencari pekerjaan lain. Dengan seorang kawan bernama 

Sabirin, orang Minangkabau juga, kami pergi meminta 

pekerjaan kepada sebuah onderneming yang jauhnya lebih 

kurang 30 pal dari sini. Kami dapat pekerjaan pada 

onderneming itu. Saya jadi juru tulis kontrak dan teman saya 

itu jadi mandor. Habis tahun kami dapat perlop 14 hari dan 

ekstra gaji 3 bulan. 

Sebab kami biasa tinggal di hutan, maka kami pergi kemari. 

Di sini pelesir menyenang-nyenangkan hati, akan melepaskan 

lelah bekerja terus setahun itu. Ke pelesiran itu rupanya 

menjadi sesalan kepada saya sekarang. Teman saya Sabirin itu 

meninggal dunia baru sebulan. Sebabnya ialah karena 

mendapat penyakit ... perempuan. 

Ia mendapat penyakit yang nomor satu. Saya untunglah 

dapat yang enteng. Sudah dua bulan sampai sekarang saya 

menanggung penyakit itu. Akan kembali ke onderneming sudah 

malu, dan rasanya saya tidak kuat lagi bekerja. Maka saya 

carilah pekerjaan yang ringan di sini, yaitu menjadi jongos 

hotel. Demikianlah hal saya selama Kakak tinggalkan." 

Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita 

adiknya itu. Maka Manjau disuruhnya berhenti bekerja di hotel 

itu. Setelah itu dibawanyalah ke rumah tempatnya me-

numpang. Sampai di rumah, sesudah Midun berganti pakaian, 

maka ia menceritakan nasibnya kepada Manjau sejak me-

ninggalkan kampung. Tetapi yang diceritakannya, hanyalah 

mana yang patut didengarkan adiknya saja. Ketika sampai 

kepada menceritakan halnya digoda perempuanperempuan di 

Betawi, di situ diperpanjang oleh Midun. Ditanyakannya kepada 

Manjau bagaimana keimanannya dalam hal itu. Begitu pula 

tentang pergaulan hidup dan caranya berteman dengan orang. 

Mendengarkan cerita Midun yang amat panjang itu, Manjau 

insaf benar-benar akan dirinya. la menekur dan menyesal amat 

sangat perbuatannya yang sudah-sudah. Lebih-lebih ketika 

Midun menceritakan bahaya penyakit perempuan itu, maka 

Manjau pucat sebagai orang ketakutan.


Menteri polisi Midun berangkat pula kembali ke Betawi. 

Manjau dibawanya bersama-sama. Dengan selamat Midun 

sampai ke Betawi. Maka Midun menceritakan hal pertemuannya 

dengan adiknya itu. 

Setelah mendengar keterangan Midun, orang di rumah itu 

pun girang hatinya. 

Tiga bulan Manjau berulang ke rumah sakit, barulah sembuh 

benar penyakitnya. Tetapi setelah sembuh ia harus memakai 

tesmak, karena pemandangannya sudah kurang terang. Manjau 

tidak dibiarkan Midun bekerja, melainkan bersenang-senangkan 

diri saja di rumah. Sekali-sekali jika Midun membawa pekerjaan 

pulang, ditolongnya bekerja di rumah. Kemudian Manjau 

dimasukkan Midun bekerja di kantor Roofdcommissaris.


15. Pertemuan

SEKALI peristiwa pada suatu petang. Midun dengan istrinya 

duduk-duduk di beranda muka rumahnya makan-makan angin. 

Sedang ia minum-minum teh, tiba-tiba berlarilah anaknya dari 

dalam. Anak itu sudah berumur tiga tahun lebih. Ia membawa 

sebuah surat kabar mingguan pada tangannya. Maka anak itu 

pun berkata, "Papa, apa ini?" 

Anak itu menunjuk sebuah gambar pada surat berkala itu. 

Midun melihat, lalu diperhatikannya gambar itu. Kemudian ia 

berkata, "Ini gambar negeri bapak. Anak mau pergi ke Padang?" 

"Mau," jawab anaknya, yang barangkali kurang mengerti 

benar akan perkataan bapaknya. 

"Coba lihat!" ujar Halimah meminta gambar itu. "Gambar itu 

ialah gambar ngarai atau 'Karbauwengat' di Bukittinggi benar. 

Kalau saya tidak salah, hanya 10 menit perjalanan." 

Midun terkenang akan negerinya. Tampak-tampak olehnya 

jalan-jalan di kampungnya. Ia bermenung, pikirannya melayang 

ke kampung. Tiba-tiba terbayang ibu dan adiknya Juriah, yang 

sangat dikasihinya itu. Setelah beberapa lamanya dengan hal 

demikian itu, Midun berkata kepada istrinya, "Halimah! Jika 

saya tidak salah, ketika kita berjalan-jalan di Kebun Raya 

dahulu, kau ada berkata, 'Tahun mana musim pabila dan 

dengan jalan apakah lagi, maka dapat saya melihat negeri 

Padang yang saya cintai itu'. Perkataanmu itu, sebenarnyalah 

atau untuk bersenda gurau saja?" 

Midun tersenyum, ia terkenang akan halnya masa dahulu, 

waktu berjalan-jalan dengan Halimah di Kebun Raya. Halimah 

kemalu-maluan. Sambil tersenyum, ia pun berkata, "Apakah 

sebabnya sekarang Udo menanyakan hal itu? Belumkah tampak 

oleh Udo, bahwa perkataan saya itu sebenarnya?" 

"Bagaimana pula akan tampak, karena kita sudah hampir 6 

tahun di sini saja." 

"Sudah sebesar ini si Basri anak kita, belumlah tampak oleh 

Udo, bahwa perkataan saya itu sungguh-sungguh?" 

"O, jadi yang kau maksud 'negeri Padang' dahulu itu si Midun 

kiranya." Midun tersenyum pula. Kemudian ia berkata lagi, 

katanya, "Perkataan saya ini sebetul-betulnya, Halimah. Sudah 

hampir 6 tahun saya di sini, ingin benar saya hendak menemui


ibu dan adik saya Juriah. Cukuplah ayah meninggal dunia 

karena bercintakan saya, tetapi janganlah hendaknya terjadi 

pula sekali lagi pada ibu hal yang demikian itu." 

"Menurut pikiran Udo, bagaimana yang akan baiknya?" 

"Pikiran saya, jika sepakat dengan Halimah, saya bermaksud 

hendak memasukkan rekes meminta pindah ke negeri saya. 

Sukakah kau, jika kita kembali pula ke Padang?" 

"Menurut hemat saya, hal itu tidak perlu Udo tanyakan lagi 

kepada saya. Jika saya akan dua hati juga kepada Udo, tidaklah 

saya bersuamikan Udo. Jangankan ke Padang. Ke laut api 

sekalipun saya turutkan, jika Udo mau membawa saya, anak 

yatim ini. Lain tidak hanya Udolah bagi saya, ketika panas 

tempat berlindung, waktu hujan tempat berteduh." 

"Saya sudah maklum tentang hatimu. Bukankah baik juga 

kita mufakat apa yang harus kita kerjakan. Kalau demikian, 

baiklah. Besok saya hendak menghadap Hoofdcommissaris, akan 

memohonkan permintaan, mudah-mudahan dikabulkannya dan 

dapat pertolongan pula daripadanya." 

Pada keesokan harinya pagi-pagi Midun pergilah ke kantor 

Hoofdcommissaris. Dari jauh Midun sudah dipanggil Hoofd-

commissaris, karena waktu ia akan masuk kantor, sudah 

kelihatan kepadanya. Senang benar hati tuan itu bertemu 

dengan dia, karena tidak saja Midun sudah bertanam budi 

kepadanya, dalam pekerjaan pun cakap dan terpuji pula. 

"Apa kabar, Midun?" ujar Hoofdcommissaris. "Ada baik saja 

dalam pekerjaan?" 

"Baik, Tuan," ujar Midun dengan hormat, "tidak kurang suatu 

apa." 

"Sekarang apa maksudmu datang kemari?" 

"Jika tak ada alangan pada Tuan; saya ada hendak 

memohonkan permintaan sedikit." 

"Boleh, katakanlah apa yang hendak kamu minta itu!" 

"Sudah hampir enam tahun saya di sini, ingin benar saya 

hendak menemui ibu dan adik-adik saya. Entah masih hidup 

juga mereka itu sekarang entah tidak. Oleh sebab itu jika izin 

Tuan, saya hendak memohonkan, bagaimana baiknya agar cita-

cita saya itu sampai." 

"Jadi Midun ingin bekerja di negeri sendiri?" 

"Saya, Tuan. Tetapi kalau tak ada alangan pada Tuan dan 

dengan pertolongan Tuan jua." 

"Baiklah. Buatlah rekes kepada Residen Padang. Sesudah


kamu buat, berikan kepada saya. Nanti saya sendiri mengirim-

kan ke Padang." 

"Terima kasih banyak, Tuan," ujar Midun dengan girang. 

Dengan petunjuk beberapa orang pegawai kantor itu, maka 

dibuatlah oleh Midun rekes kepada Residen Padang memohon-

kan suatu pekerjaan di Sumatra Barat. Setelah sudah, lalu 

diberikannya kepada Hoofdcommissaris. Kemudian ia pergi 

menjalankan pekerjaannya seperti biasa. 

Sepuluh hari kemudian daripada itu, pagi-pagi, ketika Midun 

mengenakan pakaian di rumahnya, kedengaran olehnya di muka 

orang mengatakan "Pos". Halimah segera keluar. Tidak lama ia 

kembali, lalu berkata, "Telegram, Udo." 

Setelah ditekan Midun surat tanda penerimaan telegram itu, 

diletakkannya di atas meja. Sesudah berpakaian, dengan darah 

berdebar-debar dan harap-harap cemas, lalu dibukanya 

telegram itu. Tiba-tiba ia terperanjat, karena di dalam 

telegram itu tersebut, bahwa Midun diangkat jadi assisten 

demang di negerinya sendiri, dan mesti selekas-lekasnya 

berangkat. 

Tidak dapat dikatakan bagaimana kegirangan hati Midun 

masa itu. Diciumnya anaknya beberapa kali akan menunjukkan 

sukacitanya. Halimah jangan dikatakan lagi. Amat girang 

hatinya karena suaminya menjadi assisten demang. 

Dengan suka dan girang, Midun berangkat ke kantor 

Hoofdcommissaris. Sampai di sana, ia terus saja masuk ke 

kamar Hoofdcommissaris, sambil memegang surat kawat di 

tangannya. 

Midun berkata dengan gagap, diunjukkannya telegram itu 

katanya, "Saya diangkat jadi assisten demang di negeri saya, 

Tuan!" 

Hoofdcommissaris membaca telegram itu. Setelah dibaca-

nya, ia pun berkata dengan girang, "Selamat, selamat, Midun! 

Yang kamu cita-citakan sudah dapat. Keangkatanmu ini tentu 

menyenangkan hatimu, karena kamu dipindahkan ke negerimu 

sendiri." 

Hoofdcommissaris itu berdiri, lalu ditepuk-tepuknya bahu 

Midun. Maka ia pun berkata pula, katanya, "Pemandanganmu 

sudah luas, pengetahuanmu pun sudah dalam. Sebab itu 

pandai-pandai memerintah dan memajukan negerimu. Saya 

harap kamu hati-hati dalam pekerjaan, jangan kami dapat malu 

karena kamu. Jika kamu rajin bekerja,tidak lama tentu kamu


diangkat jadi demang. Pergilah sekarang juga menghadap Tuan 

Residen, memberitahukan keangkatanmu ini. Dialah yang ter-

utama mengenalkan kamu dalam hal ini. Balik dari sana kemari 

lagi. Nanti saya buat sepucuk surat untuk tuan Residen Padang. 

Kamu harus berangkat dengan lekas ke Padang." 

Midun tidak dapat menjawab perkataan Hoofdcommissaris 

lagi, karena disuruh pergi. Dengan menganggukkan kepala saja, 

Midun terus pergi menghadap Tuan Residen, akan mengucapkan 

terima kasih atas usulnya itu. 

Sepekan kemudian daripada itu, Midun dua laki istri dan 

Manjau berangkatlah ke Padang. Dengan selamat dan tidak 

kurang suatu apa, ia pun sampailah di Pelabuhan Teluk Bayur. 

Setelah diantarkannya istrinya ke rumah salah seorang kenalan-

nya di sana, Midun terus menghadap Tuan Residen akan mem-

berikan surat dari Hoofdcommissaris Betawi. Surat itu dibaca 

Tuan Residen, dan sambil memberi selamat, Midun dinasihati-

nya dengan panjang lebar. 

Setelah itu ia kembali pulang ke tempatnya menumpang. 

Midun dengan istrinya pergi mengunjungi kubur ibu Halimah. 

Sudah itu ia pergi mendapatkan Pak Karto ke Ganting. Amat 

girang hati Pak Karto bertemu dengan Midun. Apalagi setelah 

mendengar kabar, bahwa Midun sudah menjadi assisten 

demang, ia sangat bersukacita. Maka ditinggalkan Midun uang 

f 100,- untuk Pak Karto. Disuruhnya ganti kubur ibu Halimah 

dengan batu, lebihnya untuk Pak Karto. 

Pada keesokan harinya pagi-pagi, Midun berangkat ke 

Bukittinggi. Maka sampailah mereka itu dengan selamat di 

negeri tumpah darahnya. Midun pergi menghadap Tuan Assisten 

Residen, akan memberitahukan bahwa ia sudah datang dan 

memohonkan perlop barang sebulan, karena ia sudah 6 tahun 

tidak pulang ke negerinya. Permintaannya itu dikabulkan oleh 

Assisten Residen. 

Adapun di kampung Midun pada hari itu Tuan Kemendur 

mengadakan rapat besar. Sudah 3 bulan lamanya kampung 

Midun dengan daerahnya diwakili oleh demang lain memerintah 

di situ, sebab belum datang gantinya. Rapat hari itu ialah rapat 

besar, akan menentukan penghulu-penghulu, mana yang harus 

diberi bersurat dan mana yang tidak. Oleh sebab itu, segala 

penghulu kepala dan penghulu-penghulu yang ternama hadir 

belaka, membicarakan bagaimana caranya pengatur hal itu. 

Rapat hampir habis, yaitu kira-kira pukul 11, Midun laki istri


dan Manjau sampai di kampungnya dengan selamat. Didapati-

nya orang sedang rapat di pasar di kampungnya dan Tuan 

Kemendur ada pula di sana. Maka Midun pun pergilah menemui 

Tuan Kemendur. Setelah beberapa lamanya Midun bercakap 

dengan Tuan Kemendur, Tuan Kemendur memberitahukan pada 

kerapatan, bahwa Midunlah yang akan menjadi assisten demang 

di negeri itu. Sesudah itu Midun menerangkan pula dengan 

pandak, atas kepindahannya dari Betawi ke negerinya sendiri. 

Datuk Paduka Raja, mamak Midun yang masa itu ada pula 

hadir dalam rapat itu, melompat karena girang mendengar 

kabar Midun menjadi assisten demang. Dengan suka amat 

sangat ia pun pergi mendapatkan kemenakannya. Baru saja 

Midun melihat mamaknya, dengan segera ia menjabat tangan 

Datuk Paduka Raja. Keduanya berpandang-pandangan, air 

matanya berlinang-linang, karena pertemuan yang sangat 

menyenangkan hati itu. Segala penghulu kepala dan penghulu-

penghulu bersalam kepada Midun dengan hormatnya. 

Bagaimana pulalah halnya dengan Penghulu Kepala Kacak? 

Dengan malu dan takut, ia datang juga bersalam kepada Midun. 

Itu pun sudah kemudian sekali, yakni setelah orang-orang habis 

bersalam dengan Midun. Midun sangat hormat dan merendah-

kan diri kepada Kacak. Dirasanya tangan Kacak gemetar ber-

salam dengan dia. Sedang bersalam, Midun berkata, "Senang 

benar hati saya melihat Engku sudah menjadi penghulu kepala. 

Karena Engku sahabat saya yang sangat akrab masa dahulu, 

tentu saja kita akan dapat bekerja bersamasama memajukan 

negeri kita. Sebab itu saya harap, moga-moga pergaulan kita 

sekarang mendatangkan kebaikan kepada negeri ini." 

Kacak ketakutan, warna mukanya pucat seperti kain putih. 

Sepatah pun ia tidak berani menjawab perkataan Midun itu. 

Segala penghulu-penghulu dan penghulu kepala yang lain amat 

heran, karena Midun sangat hormat dan merendahkan diri 

kepada Penghulu Kepala Kacak. Apalagi melihat muka Kacak 

yang pucat itu, semakin takjub orang memandanginya. Tetapi 

penghulupenghulu yang mengetahui hal Kacak dan Midun masa 

dahulu, mengangguk-anggukkan kepala saja, karena mereka 

maklum akan sindiran assisten demang yang demikian itu. 

Rapat itu disudahi sebab sudah habis. Midun suami istri dan 

Manjau serta mamaknya terus ke rumah familinya. Di jalan 

dikabarkan Datuk Paduka Raja, bahwa ibu Midun baru sepekan 

di rumah. Ia pergi ke Bonjol menurutkan Maun bekerja.


Sebabnya Maun ke Bonjol, diterangkan Datuk Paduka Raja, 

bahwa Maun selalu diganggu Penghulu Kepala Kacak di 

kampung. Kepulangan ibunya itu hanya karena hari akan hari 

raya saja. 

Baru saja Midun naik ke rumah, sudah tampak kepadanya 

ibunya, Juriah, dan sahabatnya-sekarang telah menjadi iparnya 

duduk di tengah rumah. Mereka itu berlompatan melihat Midun 

dan Manjau. Tak ubahnya sebagai orang kematian di rumah itu. 

Mereka itu empat beranak berpeluk-pelukan dan bertangis-

tangisan amat sangat. Lebih-lebih Midun dan Maun dua orang 

sahabat yang sangat akrab dahulu. Tidak insaf, kedua mereka 

itu lagi, bahasa ia sudah beripar besan. Sama-sama tidak mau 

melepaskan pelukan masing-masing. Halimah sendiri turut pula 

menangis melihat pertemuan suaminya itu. Ada setengah jam 

lamanya, barulah tenang pula di rumah itu. Tidak berapa lama 

antaranya, Midun berkata, "Inilah menantu Ibu, namanya 

Halimah. Dan ini cucu Ibu, namanya Basri." 

Ibu Midun baru insaf akan diri, bahwa beserta Midun ada 

pula menantu dan cucunya. Halimah segera mendapatkan 

mentuanya lalu menyembah. Ibu Midun mendekap menantunya 

itu. 

Kemudian diambilnya cucunya, dipangku dan diciumnya be-

berapa kali. Maka Halimah diperkenalkan Midun dengan seisi 

rumah, dan diterangkannya jalari apa kepadanya orang itu 

masingmasing. Ratap tangis mulanya tadi, bertukar dengan 

girang dan suka. Tertawa pun tidak pula kurang. Masing-masing 

menceritakan halnya sejak bercerai. Ibu Midun bercerita sambil 

menangis karena sedih atas kematian Pak Midun. Maka Midun 

pun berkata, katanya, "Janganlah Ibu kenangkan juga hal yang 

sudah-sudah itu. Harta dunia dapat kita cari. Sekarang kami 

sudah pulang, senangkanlah hati Ibu." 

Kabar Midun menjadi assisten demang di negerinya itu, 

sebentar saja sudah tersiar ke seluruh kampung itu. Amat 

banyak teman sejawat Midun dahulu datang mengunjunginya. 

Haji Abbas dan Pendekar Sutan datang pula ke rumah. Sehari-

harian itu tidak ubahnya sebagai orang beralat di rumah gedang 

itu. Hanya famili ayah Midun saja yang tidak datang. Agaknya 

mereka itu malu dan takut menemui Midun, karena 

perbuatannya yang sudah-sudah itu. 

Pada keesokan harinya, Midun mufakat dengan Datuk 

Paduka Raja dan Maun, akan membuat rumah dari batu untuk


Juriah. Begitu pula akan membeli sawah untuk ibunya dua 

beranak. Lain daripada itu, Midun hendak membuat gedung 

pula untuk tempat tinggalnya dengan anak istrinya. Sesudah 

permufakatan itu, Datuk Paduka Raja berkata, "Sudah hampir 

50 tahun umur saya, tak sanggup lagi saya memegang gelar 

pusaka nenek moyang kita. Tidak kuat lagi rasanya saya 

memegang jabatan ini, sampai kepada 'mati bertongkat budi'. 

Oleh sebab itu saya hendak 'hidup berkerelaan' dengan Midun. 

Midun sekarang sudah menjadi assisten demang, jadi sudah 

layaknya pula memegang gelar itu. Bahkan sudah pada 

tempatnya benar-benar." 

"Bagaimana pikiran Mamak, saya menurut," ujar Midun. 

"Tapi mufakatlah Mamak dahulu dengan kaum keluarga kita, 

karena gelar itu pusaka kita bersama." 

"Hal itu sudah mestinya. Saya rasa tentu tidak akan seorang 

jua kaum kita yang akan membantahnya." 

Sepekan kemudian daripada itu, Midun dijadikan penghulu, 

bergelar Datuk Paduka Raja. Oleh sebab itu Midun mengadakan 

peralatan yang sangat besarnya. Disembelihnya beberapa ekor 

jawi dan kerbau untuk peralatan itu. Peralatan itu diramaikan 

dengan tari, pencak, gung, telempong, dan sebagainya, segala 

permainan anak negeri ada belaka. Sungguh alamat ramai, dari 

mana-mana orang datang. Dari bukit orang menurun, dari lurah 

orang mendaki yang buta datang berbimbing yang lumpuh 

datang berdukung, yang patah datang bertongkat. Tuan Luhak 

dan Tuan Kemendur pun datang pula mengunjungi peralatan 

itu. Begitu pula assisten demang dan demang banyak yang 

datang ke peralatan itu. 

Setelah selesai peralatan itu, Datuk Paduka Raja pun me-

merintahlah di negerinya. Dengan sungguh hati ia bekerja 

memajukan negeri. Karena anak negeri amat suka diperintahi 

D,atuk Paduka Raja, makin sehari negeri anak makin maju. 

Apalagi karena assisten demang itu sudah luas pemandangannya 

dan banyak pengetahuannya, bermacam-macam ikhtiarnya 

untuk memajukan negeri. 

Demikianlah hal Midun gelar Datuk Paduka Raja, seorang 

yang amat baik budi pekertinya itu. Dengan sabar dan tulus 

ikhlas diterimanya segala cobaan atau bahaya. Biarpun apa jua 

yang terjadi atas dirinya. Midun tidak pernah berputus asa, 

karena ia maklum, bahwa tiap-tiap celaka itu ada gunanya atau 

kesengsaraan itu kerap kali membawa nikmat. Imannya teguh


dan tidak pernah hilang akal, kendatipun silih berganti bencana 

yang datang kepadanya. Karena pengharapannya yang tidak 

putus-putus itu, selalu ia mengikhtiarkan diri akan memperbaiki 

nasibnya. 

Adapun penghulu kepala musuh Datuk Paduka Raja yang 

sangat bengis dahulu itu, sejak pertemuan di pasar waktu 

assisten demang baru datang, sudah melarikan diri entah ke 

mana. Rupanya ia takut dan malu kepada Datuk Paduka Raja, 

musuhnya dahulu. Dan boleh jadi juga sebab yang lain maka ia 

melenyapkan diri itu. Hal itu segera diberitahukan Datuk 

Kemendur. Maka Tuan Kemendur bersama dengan juru tulisnya 

datang dari Bukittinggi akan memeriksa buku-buku dan keadaan 

beberapa uang kas negeri. Setelah diperiksa, kedapatan ada 

beberapa rupiah uang belasting yang tidak disetornya. Kacak 

dicari, didakwa menggelapkan uang belasting. Sebulan 

kemudian daripada itu, Kacak dapat ditangkap orang di 

Lubuksikaping. Dengan tangan dibelenggu, ia pun dibawa polisi 

ke Bukittinggi terus dimasukkan ke penjara. Enam bulan 

sesudah itu, perkara Kacak diperiksa. Karena terang ia 

bersalah, maka Kacak dihukum 2 tahun dan dibuang ke Padang. 



                               SELESAI


SENGSARA MEMBAWA NIKMAT





Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar