..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 14 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE DAGELAN SETAN

Dagelan setan

 

1


Hari pasaran jatuh pada hari ini. Seperti telah 

berlangsung selama ratusan tahun, malam pasaran di 

Desa Wetan akan banyak menyedot pengunjung. 

Maklum, di samping digelar panggung hiburan di 

alun-alun, juga para pedagang dari berbagai penjuru 

akan menggelar pula dagangan masing-masing. 

Malam seperti itu biasanya menjadi kesempatan bagi 

para penduduk untuk membeli barang-barang murah. 

Dari panci sampai terasi. Dari sandal bakiak sampai 

pewangi ketiak. Bagaimana tidak murah, kalau setiap 

pedagang bersaing mencuri minat para pembeli? 

Sejak matahari terlelap dalam buaiannya di ufuk 

barat, alun-alun sudah seperti satu-satunya bunga 

mekar dirubungi segerombolan lebah haus madu. 

Sendiri-sendiri atau bergerombol, para penduduk 

sekitar Desa Wetan datang dengan harapan sama. 

Tak muda. Tak tua. Tak lelaki, tak wanita. Semuanya 

bersama-sama memadati tempat tersebut. Dan kalau 

ada seorang kakek jompo tak ingat mati, tentu juga 

ingin datang dengan senyum berseri. Biarpun tak 

punya gigi! 

Syukur, langit cukup ramah. Tak ada ancaman dari 

gerombolan awan kelabu pekat. Tak ada. Bentangan 

langit tampak polos. Namun sesekali diusap oleh 

sapuan-sapuan awan halus. Sementara bulan di atas 

sana, menjadi penghias utama keriangan malam 

pesta rakyat itu. 

Utara, selatan, barat, dan timur sisi alun-alun 

menjadi ajang tarung para pedagang dalam bersilat

lidah untuk berebut pembeli. Meja-meja sesak 

dagangan berjejer tak begitu teratur. Ada juga 

pedagang yang tak ingin repot-repot. Cukup dengan 

alas tikar pandan lebar untuk memajang dagangan. 

Suara mereka tak kalah nyaring dengan pekikan 

kawanan manyar laut. Belum selesai teriakan di sini, 

sudah menyambung teriakan di sana. Suasana jadi 

hingar-bingar. Karena terlalu bersemangatnya, se-

orang pedagang malah sempat terbatuk-batuk. 

Bahkan sampai terkencing di celana, karena tersedak 

suaranya sendiri. Dagangannya jadi bau pesing! 

"Ayo, ayo! Jangan ragu-ragu memilih! Jangan ragu 

membeli. Dagangan ini memang agak bau. Tapi, itu 

karena dagangan ini berasal dari luar negeri yang 

dibawa bersama ikan mentah di dalam kapal dagang 

dari negeri antah berantah!" kelit pedagang itu, asal 

cuap. 

Dasar penipu! 

Untuk menarik perhatian, seorang pedagang yang 

lain pakai mencak-mencak. Kakinya menendang kiri 

dan kanan. Saking semangatnya.... 

Bret! 

Celananya kontan robek di bagian yang terlarang. 

Dengan wajah merah dia langsung menutup bagian 

yang robek dengan kedua tangan sambil cengar-

cengir. 

Tepat di tengah kesimpangsiuran, panggung besar 

dari susunan bambu kuning telah berdiri. Lampu-

lampu minyak di pinggirannya tak kalahterang di-

banding lampu-lampu milik para pedagang. Seperti-

nya, sinar terang lampu minyak panggung hendak 

menyombong pada temaram cahaya purnama. 

Ketika pengunjung kian membludak, ketika ke-

bisingan makin merangkak, ketika waktu terus merayap mendekati pekatnya malam, acara di atas 

panggung pun dimulai. 

Tampak panggung dinaiki seorang penghulu desa 

yang memberikan sambutan membosankan. Suara-

nya parau, tak mengundang selera siapa pun. Basa-

basinya terlalu banyak. Dengan enaknya dia meng-

obral banyak janji pada rakyat yang sering dibodohi. 

Khususnya, sewaktu lelaki itu mendukung pemilihan 

kepala desa tahun lalu. 

"Saudara-saudara yang aku cintai, penduduk desa 

yang kuhormati, betapa gembiranya hari ini karena 

menyaksikan kegembiraan saudara sekalian...." 

Dan seterusnya..., dan seterusnya.... Semuanya 

lebih banyak bumbu pepesan kosong! 

Sewaktu para pengunjung mulai menggerutu, baru-

lah acara hiburan dimulai. Hiburan pertama diisi 

penyanyi-penyanyi kampung yang akrab dipanggil 

'sinden', diiringi tetabuhan gamelan. Lagu-lagu ber-

irama kedaerahan dilambungkan. Rakyat ikut me-

lambung. Memang! Lantunan suara seorang sinden 

pun ternyata lebih diharapkan, ketimbang gembar-

gembor sesepuh desa bermuka dua. 

Penduduk bertempik-sorak pekat sekali, sewaktu 

rombongan kesenian daerah turun dari panggung. 

Mereka puas. Tapi belum cukup puas buat me-

ninggalkan alun-alun. Apalagi malam belum terlalu 

larut, dan masih ada dua acara lagi. Satu hiburan 

dagelan. Dan puncaknya, pagelaran wayang sampai 

pagi! 

Plok...! Plok...! Plok...! 

"Suit..., suit...!" 

"Dagelannya yang lucu! Kalau tak lucu, mending 

jadi tukang sunat saja!" teriak para penonton. 

"Ayo, Kang! Buat supaya kita lupa dengan ke

susahan! Kalau bisa, sampean aku jodohkan sama 

mbahku!" 

Demikian sambutan penduduk sewaktu seorang 

lelaki pendagel daerah naik ke panggung. Wajahnya 

terlihat tolol sekali. Malah anak kambing tak punya 

otak pun masih kalah bodoh. Dan itu saja sudah 

membuat pengunjung terbahak-bahak. Apalagi se-

waktu lelaki itu menaik-naikkan kumis tanggungnya 

yang kurang pupuk. 

"Saudara-saudara.... Anu, maaf. Hamba mau men-

dagel. Tolong jangan ditertawakan, ya.... Anu, hamba 

masih kikuk. Kalau ditertawakan, hamba nanti tak 

bisa mendagel...," mulai si pendagel. Tetap dengan 

tampang bloonnya yang kelewat mengenaskan. 

"Hua-hua-ha!" 

Penonton menyambut. 

"Anu.... Mohon maaf kalau ada kata yang salah. 

terus terang saja, hamba baru jadi pendagel. Hamba 

hanya meneruskan kepandaian bapak hamba juga 

yang jadi pendagel. Bapak hamba itu nerusin 

kakeknya. Kakek saya itu sudah tua.... Eh, anu... 

pendagel juga maksud saya." 

"Hua-ha-ha!" 

"Hua-ha-ha! Lucu juga sampean! Sialan!" 

Terus dan terus pendagel bertampang tolol itu 

bercuap-cuap. Setiap kali kalimatnya terhenti, tawa 

gelak penduduk pecah. 

Beberapa saat berselang, masuk lagi lelaki pen-

dagel lain, kira-kira berusia tiga puluh tahun. Yang 

satu ini berwajah tak kalah mengenaskan dibanding 

yang pertama. Hanya saja, dia mengenakan se-

macam polesan hitam arang di sekujur wajahnya itu. 

Di atas mata, dibuat garis putih seperti alis yang 

melengkung berkepanjangan, dan mengeriting pada

ujungnya. 

Baru dua langkah dari anak tangga panggung, 

lelaki celemongan itu tersandung palang lampu 

minyak. Dia kontan jatuh berdebam sampai panggung 

bersuara laksana beduk. 

Penonton kontan terpingkal-pingkal. 

Sementara si pendagel yang baru masuk melilit-lilit 

di lantai panggung, karena keningnya mencium 

bambu. 

"Sampean siapa?" tanya pendagel pertama. 

"Sampean brengsek! Masa' kawan jatuh malah 

ditanya begitu?! Biar disambar geledek pelan-pelan 

baru tahu rasa!" umpat pendagel yang baru saja 

terjatuh. Ditepuk-tepuknya pakaian serba hitamnya 

yang kedodoran. Bibirnya yang dipoles semerah bibir 

janda genit meringis berkepanjangan. 

"Ah! Aku tak kenal sampean? Sampean jangan 

main-main. Nanti kupanggilkan keamanan, lho!" 

"Lho? Wong keamanannya sudah aku sogok, kok! 

Kantongnya kusisipkan uang.... Ditambah, bambu 

panjang ke perutnya. He-he-he. Namanya juga 

disogok!" 

"Hua-ha-ha!" 

Tontonan sepertinya menjadi lebih meriah. 

Dagelan yang dipertontonkan makin seru. Pengunjung 

tak henti tergelak-gelak. Sementara, si pendagel 

pertama sesungguhnya bukanlah sedang mendagel. 

Dia sungguh-sungguh waktu menanyakan rekan tak 

dikenalnya. Matanya berkilat, gusar campur bingung. 

Tapi, tak satu mata penonton pun yang menangkap 

kejadian ini. 

"Paijo! Paijo! Sampean bagaimana sih, jadi 

pemimpin dagelan! Masa' ada orang naik panggung 

sampean diem saja?!" seru si pendagel pertama, di

antara riuh-rendah suara penonton. Teriakannya 

ditujuan pada kawannya di belakang panggung. 

Tak ada jawaban. Tentu saja itu membuatnya 

penasaran. 

"Paijo! Aku tahu telinga sampean setengah budek! 

Tapi sampean dengar teriakanku, toh?!" teriak si 

pendagel berwajah tolol itu lagi, sengit. 

Pendagel berwajah coreng-moreng mendekatinya. 

"Ssst..., sssttt! Sampean jangan begitu.... Damai 

saja, damai...." 

Kegusaran si pendagel pertama memuncak sudah. 

Mendadak, didorongnya lelaki itu dengan kasar. Dan 

dia segera turun memanggil keamanan. 

Sementara lelaki yang didorong terjatuh kembali. 

Pantatnya terantuk ujung panggung, membuat 

matanya mendelik sebesar mata buto ijo. 

Ledakan tawa penonton terpancing kembali. 

Mereka masih mengira kalau kejadian barusan 

adalah satu babak dagelan. Sayang, mereka tak 

menyadari sedikit pun kalau satu adegan kematian di 

panggung akan segera dimulai.... 

"Sampean brengsek! Sampean brengsek apa tidak, 

sih?!" maki pendagel berwajah coreng-moreng seraya 

bangkit. "Jangan tinggal aku sendirian di panggung! 

Aku bisa mati berdiri! Kalau aku mati berdiri, bagai-

mana nanti menguburnya?!" 

Tiba-tiba lelaki berwajah coreng-moreng ini me-

narik pendagel berwajah tolol keras-keras. Sampai-

sampai, pendagel itu terlempar ke tengah panggung 

kembali. Cara terlemparnya di mata penonton seperti 

wajar-wajar saja. Bahkan kembali mengundang tawa. 

Sampai pendagel berwajah coreng-moreng men-

dekati, tubuh lelaki itu belum juga bangkit. 

"Sampean bagaimana, toh? Mau mendagel, apa

mau tidur? Kalau mau tidur, kenapa tak mengajak 

bini sekalian?" 

Dijemputnya tangan lelaki yang tergeletak itu, 

masih di dalam kepungan gelak tawa penonton. 

Begitu tangan tadi ditarik untuk membangunkan, 

ketika itu juga gelak tawa berganti teriakan dan 

pekikan kengerian! 

Apa yang terjadi? 

Ternyata, tubuh pendagel pertama sudah tak utuh 

lagi! Bagian-bagian tubuhnya menjadi rapuh. 

Buktinya, tangannya terlepas ketika ditarik 

pendagel coreng-moreng.... 

"Wah! Sampean tak tahu terima kasih. Aku sudah 

mau menolong berdiri, sampean malah ngasih 

tangan. He-he-he...!" celoteh pendagel berwajah 

coreng-moreng. Bibirnya memperlihatkan senyum 

samar, yang berkesan begitu bengis! 

"Apa-apaan ini!" 

Tiba-tiba seorang keamanan desa bertubuh kekar 

dan berkumis baplang melompat ke atas panggung. 

Tangan kanannya sudah menghunus golok besar. 

"He-he-he.... Sampean linglung? Ini kan hanya 

dagelan...," kilah pendagel coreng-moreng sambil 

melambai-lambaikan potongan tangan yang di-

pegangnya. 

Darah dari potongan tangan itu tampak masih 

menetes-netes ke permukaan panggung. 

"Dia bukan anggota dagelan kami, Kang!" jerit 

seorang perempuan di tengah-tengah penonton. 

"Kalau begitu, siapa kau sebenarnya?!" tanya 

centeng tadi, lantang dengan sikap siaga penuh. 

Wajahnya sendiri tak bisa menyembunyikan ke-

ngerian melihat bagaimana mayat di atas panggung 

seperti terpotong-potong.

"Hie-he-he! Kau mau tahu siapa aku sebelum 

tubuhmu pun kubuat seperti lelaki itu? Aku adalah 

Pendagel Setan! Dengar aku? Pendagel Setan! Hei, 

dunia persilatan! Kalian dengar aku?! Akulah 

Pendagel Setan yang akan siap membuat nyali kalian 

semua menciut!" 

***


2


"Kau benar-benar manusia biadab!" 

Bersama makian kalap, centeng alun-alun ber-

kumis baplang itu melabrak lelaki asing yang 

menyebut dirinya Pendagel Setan. Satu sebutan yang 

bukan saja aneh, tapi juga ganjil! 

Golok di tangan keamanan itu menebas deras 

bagian dada Pendagel Setan. Tentunya dia sudah 

benar-benar mata gelap, menyadari kebiadaban 

orang di depannya. Sebenarnya, centeng itu pun juga 

merasa ngeri di dasar hatinya. Dari hasil tindakannya 

pada korban saja, sudah bisa dilihat bagaimana 

dalamnya kesaktian Pendagel Setan. Ilmu silatnya 

mungkin hanya seujung jari dibanding Pendagel 

Setan. Hanya karena nyalinya besar, maka dengan 

nekat centeng alun-alun itu melabrak juga dengan 

golok bergerak membabat. 

Wuk! Srat! 

"Heh?!" 

Centeng alun-alun menjadi terperanjat sekaligus 

gembira. Sulit dipercaya kalau golok yang diayunkan 

ternyata mengenai sasaran. Matanya jelas-jelas 

menyaksikan baju hitam Pendagel Setan tersayat. 

Setelah terhuyung sejenak, tubuh Pendagel Setan 

ambruk. 

Si centeng terdiam dengan napas memburu. 

Dadanya turun naik tak teratur. Sedang matanya 

menatap tanpa kedip ke tubuh lawan yang ter-

telungkup. 

"Benarkah aku telah berhasil merobohkannya?"

tanya hati si centeng bimbang. 

Untuk memastikan, lelaki kekar ini melirik mata 

goloknya. Tak ada darah! Kejap itu juga, disadarinya 

permainan licik lawan. 

Sayang kesadarannya terlambat. Karena.... 

"He-he-he..,." 

Wrrr! 

Tubuh yang semula tergeletak diam di depan 

centeng itu tiba-tiba memperdengarkan tawa meng-

gidikkan, disusul gerakkan meluncur di atas 

permukaan panggung. Bagai gerak menerjang seekor 

ular lapar, tubuh Pendagel Setan tiba di dekat 

sasaran. Lalu.... 

Crep! 

Cengkeraman kilat tangan Pendagel Setan tahu-

tahu telah 'mencuri' benda berharga di selangkangan 

si centeng! Untuk sebuah serangan, sasaran di 

daerah itu akan menjadi serangan mematikan. 

Apalagi, Pendagel Setan melakukannya dengan cara 

telengas. Seketika 'benda simpanan' centeng itu 

tercerabut dari tempatnya! 

Crot...! 

"Aaa...!" 

Darah cepat membanjiri celana bagian 

selangkangan centeng malang itu. Untuk beberapa 

saat tubuhnya mengejang kuat dengan tangan 

mendekap erat bagian terluka. Kelopak matanya 

membeliak. Mulutnya membuka, seperti hendak 

menggugurkan erangan kematian yang terkunci di 

tenggorokan. 

Setelah itu, centeng yang berani mati ini ambruk 

menemani korban sebelumnya di permukaan 

panggung. 

Sementara, Pendagel Setan hanya terkekeh

panjang, menyaksikan hasil kerjanya. Raut wajahnya 

bengis diperlihatkan berkawal kilatan kebiadaban di 

kedua biji matanya. 

Melihat kejadian itu, penduduk makin berubah 

kalang-kabut. Jeritan dan pekik bertumbukan, saling 

tindih, saling penggal. Gerombolan orang yang 

sebelumnya memadat cukup teratur, kini serabutan 

kian kemari seperti gerombolan semut terusik tangan 

jahil. 

Yang mampu lari dalam kekacauan, akan segera 

mencari jalan keluar. Tak peduli apakah akan 

menginjak tubuh-tubuh yang terjatuh atau tidak. 

Beberapa wanita bergelimpangan pingsan. Tubuh 

mereka nenjadi sasaran empuk jejakan kaki-kaki liar. 

Kegemparan memuncak begitu kekacauan me-

rembet pada tempat-tempat para pedagang meng-

gelar dagangan. Lampu-lampu minyak terlanggar, lalu 

membakar. Api pun lahir, membakar apa-apa yang 

bisa dibakar. Temaram langit malam pun disaput 

jilatan warna merah. 

"Kebakaraaan!" 

"Tolong! Tolong.... Jempolku hilang!" 

"Copet! Copeeet! Manusia kutu kupret tidak tahu 

adat! Kalau mau nyopet jangan lagi kacau begini!" 

Dan serentetan kekacauan berlanjut.... Di antara 

semua itu, menerabas teriakan lantang berisi 

tantangan! 

"Pendekar Slebor! Dengarlah tantanganku! Dunia 

persilatan boleh kau buat terkagum pada kehebatan-

mu. Tapi tidak denganku. Suatu saat nanti, akan kita 

buktikan siapa sesungguhnya manusia terhebat di 

'panggung gila' ini!" 

***

Pagi baru saja lahir. Dimulai sapuan cahaya merah 

saganya di cakrawala belahan timur, matahari mulai 

merambah naik. Satwa menyambutnya dengan suka 

cita, bertolakbelakang dengan keadaan di alun-alun 

Desa Wetan. Di sana, asap tipis masih mengambang 

lambat menodai udara. Kebakaran semalam tinggal 

sisa. Puing-puing arang berserakan masih mengepul-

kan asap tipis. Delapan mayat berserakan di sekitar 

panggung yang telah porak-poranda. 

Seorang wanita berkebaya merah muda terisak-

isak di tengah-tengah kehancuran itu. Dengan 

selendangnya yang sudah terkena hitam arang di 

sana-sini, tubuhnya bersimpuh di dekat serakan 

mayat. Wajahnya sebenarnya cukup ayu. Hanya 

karena kejadian semalam, membuat wajahnya agak 

tak karuan. 

"Ada apa, Neng?" 

Terdengar sapaan halus, seramah hawa pagi. 

Wanita itu menghentikan tangisnya. Kepalanya 

menoleh. Tampak sosok gagah berotot berdiri di 

sampingnya. Wajahnya tampan. Dari wajah itu pula 

perempuan ini bisa menemukan keramahan. Terlebih 

dengan sebaris senyum yang sanggup menjerat hati 

banyak dara. Pakaiannya tak bisa dibilang resik. 

Berwarna hijau pupus, dan terlihat tak begitu terurus. 

"Kakang siapa?" tanya perempuan ini dengan 

suara tersendat-sendat. 

"Aku hanya seorang pengelana, Neng," jawab 

pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak 

catur tersampir di bahunya, menyembunyikan jati diri 

sesungguhnya. "Sudikah kau menerangkan apa yang 

sesungguhnya terjadi di tempat ini?" 

Mendapati pertanyaan pemuda berpakaian hijau

ini, si wanita berkebaya malah menyambung tangis-

nya yang sudah kekeringan air mata. Sepertinya, 

tangis sebelumnya belum dituntaskan. 

"Tujuh mayat ini adalah teman-teman serom-

bonganku yang mestinya manggung semalam. Satu 

orang lagi, mayat keamanan desa. Bagaimana aku 

tidak sedih? Mereka itu kawan senasib se-

penanggungan. Mereka sudah seperti saudara...." 

tutur wanita ini. 

"Sudahlah, Neng. Relakan mereka." hibur pemuda 

itu. "Kenapa mereka sebenarnya, Neng?" 

Pemuda itu bertanya lagi, karena jawaban 

perempuan yang ditanya tidak cukup jelas baginya. 

"Mereka dibunuh, Kang...." 

"Siapa yang melakukannya?" 

"Aku tidak tahu. Lelaki bajingan itu tahu-tahu saja 

datang dengan menyamar menjadi satu anggota 

rombongan dagelan kami. Dia mengaku sebagai 

Pendagel Setan...." 

"Pendagel Setan?" bisik pemuda tampan ini 

mengulangi. Di telinganya nama itu begitu asing dan 

aneh. 

"Setelah membunuh, dia mengancam orang-orang 

persilatan, Kang. Apa Kakang orang persilatan?" 

lanjut perempuan itu lagi. 

"Kenapa, Neng?" 

"Kalau Kakang orang persilatan, sebaiknya hati-

hati terhadap orang itu." 

Anggota rombongan dagelan yang tersisa itu 

berhenti sejenak. Dia seperti mengingat sesuatu. 

"Dan kalau Kakang bertemu..., Pendekar Slebor, 

bilang pula padanya agar hati-hati," lanjut peremuan 

itu lagi. 

Pemuda berpakaian hijau menjadi tertarik pada

kalimat terakhir wanita di sampingnya. Terlihat jelas 

dari perubahan raut wajahnya. 

"Kudengar, lelaki iblis itu sempat mengancam 

Pendekar Slebor. Katanya, dia akan menantang 

Pendekar Slebor. Apa Kakang kenal Pendekar 

Slebor?" 

Pemuda ini tidak menyahut, tidak juga meng-

gerakkan kepala sebagai jawaban. Bukannya karena 

tak ingin menanggapi pertanyaan perempuan anggota 

rombongan dagelan itu. Tapi dalam pikirannya saat 

itu hanya ada satu kecamuk yang mengusik. Sampai 

semuanya dituntaskan oleh.... 

"Pendekar Sleeebooorrr! Oiii, apa itu kau?!" 

Terdengar teriakan mengguntur dari seseorang di 

kejauhan. Pemuda yang dipanggil dan tak lain 

Pendekar Slebor sendiri, cepat menoleh ke asal 

panggilan bernada serampangan tadi. Wajahnya 

berubah asam, demi menyaksikan siapa yang sedang 

berlari serabutan menuju tempatnya. 

Orang itu adalah lelaki besar bertelanjang dada. Di 

seluruh tubuh hingga wajahnya ditumbuhi bulu-bulu 

kasar panjang. Dengan berlari sambil melompat-

lompati puing-puing, orang yang datang itu sudah 

seperti biang kera dari hutan. 

"Kiamat.... Kenapa orang gila seperti dia mesti 

bertemu aku lagi," rutuk Pendekar Slebor. 

Wanita di dekat Andika langsung memekik melihat 

kehadiran lelaki seram itu. Dalam benaknya, ter-

gambar seekor gorila besar tersasar yang bisa saja 

mengoyak-ngoyaknya dengan cakarnya yang setajam 

mata pisau. 

"Tenang, Neng. Dia tidak apa-apa. Sudah jinak," 

ujar Andika, setengah memaki lelaki yang dimaksud. 

Siapa lelaki tinggi besar dipenuhi bulu di mana

mana itu? Andika mengenalnya sebagai Lelaki 

Berbulu Hitam, tokoh tua sakti yang malang 

melintang lebih dahulu beberapa puluh tahun 

dibanding Andika sendiri. Hanya karena awet muda 

saja, lelaki itu tidak seperti tokoh-tokoh seangkatan-

nya. 

(Untuk mengetahui lebih jelas tentang tokoh satu 

ini, bacalah episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan 

"Pengadilan Perut Bumi"!). 

Lelaki Berbulu Hitam adalah salah satu tokoh 

sinting jajaran atas yang berperangai kasar. 

Kemarahannya mudah terpancing, seperti mudahnya 

minyak terbakar api. Dunia persilatan sulit menentu-

kan dari golongan mana asalnya. Hitam tidak, putih 

pun bukan. Dia hanya bertarung mengikuti ke-

marahan. Tapi kalau sudah bertemu anak muda 

buyut Pendekar Lembah Kutukan, sikapnya secara 

mengherankan bisa berubah sama sekali. 

"Aooo, kita bertemu kembali, Tuan Penolong," seru 

Lelaki Berbulu Hitam seraya menubruk Andika. 

Langsung dipeluknya Andika keras-keras, lalu meng-

guncang-guncangkannya. 

"Berhenti!" bentak Andika. Isi perutnya bisa keluar 

semua kalau terus diurak-urak seperti ini. 

Lelaki Berbulu Hitam tidak peduli. Mungkin hatinya 

terlalu girang bertemu Tuan Penolong yang bisa 

menolong menghilangkan sifat pemarahnya, sesuai 

wangsit yang dulu didapat. 

"Sudah! Sudah!" Pendekar Slebor mulai berteriak-

teriak kalap. 

Bagaimana Andika tidak mengkelap? Sudah 

pelukan manusia setengah serigala itu kerasnya 

seperti jepitan bukit karang, baunya pun lebih 

menyengat daripada seratus ekor bandot!

Karena tak juga dilepas, Andika jadi tak sabar lagi. 

Daripada muntah, lebih baik diberinya teman lama-

nya yang sinting itu sedikit bogem. 

Begh! 

Tinju Andika yang sengaja disalurkan tenaga sakti 

segera memangsa perut Lelaki Berbulu Hitam. Biji 

mata lelaki itu membeliak seketika. Bibirnya meringis 

lebar-lebar. Sebentar kemudian.... 

"Khoeeekkh!" 

Isi perut Lelaki Berbulu Hitam termuntahkan 

semua.... Untung Andika cepat menghindar. Kalau 

tidak, tahu sendiri. 

"Tuan Penolong! Apa kau melihat seorang jelek di 

sekitar tempat ini?" tanya Lelaki Berbulu Hitam 

beberapa saat kemudian. 

"Siapa yang kau maksud?" tanya Andika. 

"Orang jelek, ya jelek." 

"Yang kumaksud namanya!" 

"Aku tidak tahu. Hanya wajahnya saja yang kuingat. 

Hitam berlumur arang. Wajah jelek itu benar-benar 

membuatku sebal. Ingin kucopot wajah orang itu!" 

jelas Lelaki Berbulu Hitam dengan gigi-giginya 

bergemeletuk menahan geram. 

"Ya dialah orangnya, Kang!" sambut wanita 

anggota rombongan dagelan itu tiba-tiba. "Orang ber-

ciri-ciri seperti itulah yang telah melakukan pem-

bantaian semua ini!" 

Andika tercenung. Menurut cerita wanita di dekat-

nya, namanya disebut-sebut oleh bajingan itu. Dan 

jika bajingan itu masih di sekitar tempat ini, ke-

mungkinan besar dirinya sedang diawasi. 

"Hebat," bisik Andika samar. "Seberapa tinggi ilmu 

kesaktiannya, hingga aku tidak menyadari sedang 

diawasi?"



3


Tindakan Pendagel Setan di Desa Wetan sebenarnya 

merupakan kelanjutan dari sepak terjangnya yang keji 

selama sepekan ini. Sejak kemunculan pertamanya, 

lelaki aneh itu terus mencuri nyawa demi nyawa. Tak 

peduli, apakah korbannya adalah orang persilatan 

atau bukan. Bahkan tega-teganya dia menjatuhkan 

tangan pada seorang bocah tak berdosa sekalipun! 

Dalam sepekan saja, sudah lebih dari lima belas 

orang kehilangan nyawa. Sembilan di antaranya mati 

dalam keadaan serupa seperti nasib naas yang 

menimpa pendagel di Desa Wetan. Tubuh mereka 

menjadi amat rapuh. Sampai usikan seekor gagak 

pun dapat dengan mudah mencabut bagian-bagian 

tubuh mereka! Sedangkan sisanya, mati dengan cara 

tak kalah aneh. Mayat mereka mengejang dengan 

tangan mendekap perut. Sebenarnya, hal itu tidak 

aneh. Yang aneh justru wajah-wajah mereka mem-

perlihatkan kalau saat menemui ajal mereka sedang 

tertawa. 

Sulit dipahami, apa mau tokoh sesat yang men-

dadak saja melambung namanya karena kebiadaban-

nya. Di samping karena belum pernah dikenal dunia 

persilatan sebelumnya. Juga karena kesimpang-

siurannya dalam menelan korban. 

Lalu, anggapan pun merebak. Banyak kalangan 

persilatan menganggap Pendagel Setan tak lebih dari 

orang sinting yang haus darah. Dia tak bisa disebut 

sebagai orang golongan hitam. Apalagi, golongan 

putih.

Tak sedikit tokoh hitam sendiri menjadi muak 

mendengar sepak terjang Pendagel Setan. Bagi 

sebagian golongan hitam, membunuh seorang bocah 

tak berdaya, tak lebih dari tindakan meludahi kepala 

sendiri. Harga diri mereka akan dicemooh oleh 

selaksa bibir warga persilatan. 

Namun, Pendagel Setan justru sebaliknya. Dengan 

kesan penuh kebanggaan, sehabis membunuh, 

ditinggalkannya tanda berupa boneka kayu berwajah 

hitam, tepat di atas tubuh mayat si bocah yang 

tertimpa kemalangan. 

Waktu terus melaju menyiduk hari demi hari. 

Tiga pekan setelah kejadian di Desa Wetan, terjadi 

keributan antara beberapa bocah hijau di sebentang 

persawahan kering. Ada empat bocah lelaki berlarian 

di pematang. Anak yang terdepan membawa lari 

sesuatu di tangannya. Sementara tiga yang lainnya 

ngotot mengejar, hendak merebutnya. 

Perebutan benda di tangan bocah di depan rupa-

nya sudah berlangsung cukup lama dan seru. 

Keadaan mereka semua sudah tak karuan. Badan 

mereka yang bertelanjang dada sudah dilumuri 

lumpur coklat. Rambut mereka kotor dan basah. 

"Oi, Pitak! Kasih boneka itu padaku! Kalau kau 

terus lari, nanti akan kutambah pitakmu jadi dua 

belas!" teriak salah seorang bocah terbesar, bernada 

dongkol. 

"Kalau mau boneka ini, tangkap aku! Dasar gede 

bohong! Bisanya cuma makan!" balas anak yang 

dikejar seraya melompati lubang di pematang dengan 

kelincahan seekor menjangan. 

Kejar-kejaran berlangsung sengit. Anak yang di-

buru rupanya jauh lebih gesit dan lincah dibanding 

para pengejarnya. Padahal untuk ukuran tubuh, anak

itu jauh lebih kecil dari yang lain. 

Kejar-kejaran tiba di atas desa. Kalau saja tak 

menabrak seorang wanita yang menghadang larinya, 

tentu anak hitam dekil si pembawa boneka itu sudah 

menghilang dari para pemburunya. 

"Waduh! Maaf, Kak!" ucap si bocah, merasa 

bersalah karena telah menabrak. 

Yang ditabrak adalah seorang wanita berpakaian 

pendekar. Wajahnya tak cantik. Tapi memendarkan 

kesan ayu jika diperhatikan. Tanpa pupur atau 

tambalan di wajah. Pakaiannya cenderung seder-

hana. Warnanya hitam dari atas hingga ke bawah. 

"Kenapa kau lari-lari tak karuan, Adik Kecil?" tanya 

wanita berpakaian pendekar seraya menyibak rambut 

panjangnya yang menutupi wajah. 

"Itu, Kak. Ada anak-anak brengsek mau merebut 

boneka yang kudapat," lapor bocah dekil ini. 

Sambil berkata, kepala bocah ini terus menoleh ke 

belakang. Sinar matanya sebentar-sebentar terlihat 

takut. Sebentar kemudian, terlihat memelas. Tentu 

saja bocah cerdik itu hendak memancing rasa 

kasihan orang yang baru ditemuinya. 

"Kakak seorang pendekar, bukan?" tanya bocah ini 

kemudian. 

Wanita berpakaian hitam mengangguk. 

"Kalau begitu, tolong aku, ya?" 

Wanita itu mengangguk lagi. 

"Memangnya kau kenapa, Adik Kecil?" 

Bibir si bocah memancung. Dengan bibir itu pula, 

ditunjuknya anak-anak yang mengejarnya. Mereka 

sudah tampak pula di kejauhan. 

"Itu...! Mereka mau merebut bonekaku ini, Kak!" 

lapor bocah pitak ini kelimpungan. 

Beberapa saat, bocah ini sudah berlari mengitari

tubuh si pendekar wanita. Dari kanan ke kiri, dari kiri 

ke kanan. Seolah-olah, kawanan bocah yang menge-

jarnya sudah sampai di dekatnya. 

Sementara itu anak-anak yang mengejar makin 

dekat. Dan ini membuat si bocah dekil kian 

kelimpungan. Sampai akhirnya, dia tak bisa lagi 

menahan kakinya, hendak lari kembali. 

"Tunggu dulu!" cegah pendekar wanita. Dicekalnya 

pergelangan tangan anak itu. Sengaja ditahannya, 

karena tertarik pada boneka di tangan si bocah. 

Bentuk boneka itu mengingatkannya pada desas-

desus yang belakangan terdengar santer. 

"Lepaskan aku, Kak! Mereka mau menjadikan aku 

perkedel!" teriak si Bocah. 

"Biar kulihat boneka itu dulu," ujar pendekar 

wanita berpakaian hitam ini. 

Mata si bocah mendelik. 

"Apa?! Jadi kakak mau boneka ini juga?!" 

"Aku mesti melihatnya. Hanya melihat apa tidak 

boleh. Nanti akan kukembalikan," bujuk pendekar 

wanita ini. 

"Nih, ambil saja sekalian!" tukas si bocah sengit. 

Bocah ini segera menyodorkan boneka di tangan-

nya kasar-kasar. Setelah itu, dia buron. Apa lagi yang 

mau diperbuatnya kalau kawanan anak-anak yang 

mengejar sudah demikian dekat? 

"Pendekar kok masih senang boneka! Pendekar 

apa itu?!" maki bocah itu di kejauhan. 

Sementara para bocah pengejar sudah melewat 

pendekar wanita itu setelah sebelumnya berhenti 

sebentar untuk melihat boneka yang diperebutkan. 

Sepeninggalan anak-anak kampung tadi, si 

pendekar wanita mengamati baik-baik boneka di 

tangannya."Jelas. Ini memang boneka yang digemparkan 

orang persilatan. Ini pasti milik Pendagel Setan," 

gumam wanita ini. 

Sebentar kemudian, kepalanya menoleh ke arah 

bocah kecil tadi menghilang, seraya menghentak 

napas. 

"Sayang..., aku tak sempat menanyakan di mana 

boneka maut ini ditemukan," desah wanita ini, 

menyesali. 

Setahu wanita ini, boneka itu adalah tanda khusus 

Pendagel Setan pada korban kebiadabannya. 

"Tentu Pendagel Setan telah kembali bertindak keji 

di sekitar sini. Manusia busuk itu!" geram pendekar 

itu. 

Lalu. Wanita ini pun berpikir untuk mencari tahu. 

Akan diperiksanya daerah sekitar. Dia yakin, mayat 

korban Pendagel Setan masih ada. Entah di mana. 

Bahkan ada kemungkinan juga Pendagel Setan pun 

masih berkeliaran. 

"Rasanya ingin sekali aku memecahkan tempurung 

kepala manusia busuk itu!" 

Baru saja kakinya hendak melangkah, mendadak 

saja naluri kependekaran wanita ini menangkap 

ketidakberesan. Tubuhnya menegang. Seluruh 

kemampuan inderanya segera dikerahkan. Sekarang 

perasaannya makin jelas menangkap adanya ketidak-

beresan. Telinganya menangkap desir halus dari arah 

utara yang begitu cepat, berkekuatan, serta lurus 

sepanjang jalan setapak menuju dirinya. 

Segera pendekar wanita ini bersiaga. 

Sekejap kemudian, matanya menangkap gerakan 

cepat sosok seseorang. Tidak bisa dipastikan, wanita 

atau lelaki. Gerakanya begitu cepat, hingga matanya 

sulit memperhatikan bentuk tubuh serta wajah orang

yang baru datang. 

Wanita itu sendiri sempat terkejut, menyaksikan 

kecepatan yang mengagumkan di depan matanya. 

Untuk ukuran dirinya, gerakan itu sudah jauh 

beberapa tingkat di atasnya. Karena itu tubuhnya 

makin menegang. Hatinya merasa yakin, bahaya yang 

akan dihadapinya mungkin bisa membuang nyawa ke 

neraka! 

Sampai.... 

"Minggir! Minggir! Jangan halangi jalanku! Ter-

dengar teriakan mengguntur orang yang sedang 

berlari deras di depan. 

Wush! 

Begitu sampai, si pendekar wanita sepenuh tenaga 

melenting ke udara seraya berputaran tiga kali. Dan 

tindakannya ternyata cukup untuk menghindari ter-

jangan sosok tadi. 

Begitu menjejakkan kakinya di tanah, wanita ini 

menjadi heran. Ternyata orang yang melesat tadi 

tidak melakukan serangan lanjutan. Sosok ber-

kecepatan tinggi itu malah terus memaju geraknya. 

Sepertinya, keberadaan si pendekar wanita cuma 

dianggap kentut! 

"Hei, berhenti kau!" hardik si pendekar wanita. 

"Jidatmu empuk!" balas orang tadi, lebih sengit. 

Meski belum yakin bisa menandingi ilmu me-

ringankan tubuh orang tadi, si pendekar wanita 

memutuskan untuk mengejar. Namun belum sempat 

kakinya digerakkan, sudah terdengar lagi desir yang 

sama dari arah yang sama pula. 

Wanita ini cepat berbalik. Dan persis seperti tadi, 

tampak pula sesosok tubuh bergerak demikian cepat. 

Tak kalah gesit dan tak kalah mengagumkan. Bahkan 

tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh yang

tinggi. 

Sekali lagi, si pendekar wanita dipaksa terperanjat 

tak alang-kepalang. Siapa lagi ini? Kenapa jalan ini 

tiba-tiba disantroni orang-orang kelas atas dunia 

persilatan? Tanpa bisa berpikir lebih jauh, dia harus 

menyelamatkan diri dari labrakan orang brengsek ini. 

Seperti cara menghindar sebelumnya, pendekar 

wanita berpakaian hitam-hitam itu melenting ke 

udara tinggi-tinggi. Segenap kekuatan harus dikerah-

kan, karena kecepatan yang harus dihindari begitu 

dahsyat. 

"Bagus! Lompat yang tinggi! Aku mau lewat!" seru 

orang tadi, enteng. Suaranya seperti seorang 

pemuda. Sedang gaya seruannya terlalu acuh. 

"Berhenti!" teriak wanita ini, begitu mendarat. 

Si pendekar wanita berusaha menahan. Tapi, 

teriakannya dianggap angin lalu saja oleh orang tadi. 

Siapa yang tak gusar dibegitukan? Maka, wanita ini 

tak ingin membiarkan orang tak tahu adat tadi lewat 

begitu saja, seperti orang sebelumnya. 

Tahu kalau orang yang dikejar tak mungkin di-

bekuk dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh 

tanggung-tanggung, wanita ayu itu langsung meng-

empos seluruh kemampuan lari cepatnya sampai 

puncak. 

Beberapa saat, si pendekar wanita ini memang 

masih mampu menguntit. Namun selang sekian saat 

berikutnya, dia sudah keteter jauh. Buruannya lari 

bagai setan kesiangan. Maka sebentar saja, buruan-

nya sudah lenyap di batas hutan kecil. 

"Kunyuk dekil! Brengsek!" 

Sumpah serapah terlempar dari mulut mungil 

pendekar wanita ini. Siapa sebenarnya dua orang 

penuh teka-teki tadi? Apa hubungannya dengan

Pendagel Setan yang dicurigai si pendekar wanita 

telah menyatroni daerah itu? 

***

4


Di pinggir sebentang sungai dangkal berair jernih dua 

sosok tubuh menghentikan larinya begitu sampai di 

tempat itu. Yang pertama tiba, langsung saja me-

lompat ke batu besar di tengah-tengah sungai. Belum 

dua puluh tarikan napas celana buluknya sudah 

dilorotkan sambil tergesa-gesa jongkok. Lalu bau tak 

sedap pun mencemari udara. 

Sementara yang tiba belakangan mulutnya tak 

henti-hentinya menggerutu. Dengan agak terengah-

engah di tepian sungai, dikutukinya habis-habisan 

orang yang kini begitu khusuk membuang limbah 

perutnya! 

Memang kedua orang itulah yang telah 

menyerobot jalan pendekar wanita berpakaian hitam-

hitam tadi. Siapa mereka? Tak lain tak bukan, 

Pendekar Slebor dan Lelaki Berbulu Hitam. 

"Biar mati disambar geledek nyasar kau!" rutuk 

Andika, dongkol bukan main. 

Sewaktu mereka berjalan bersama tadi, tiba-tiba 

saja si tua bangka awet muda itu lari kelimpungan 

sepenuh tenaga. Andika tentu saja terkejut. Dikiranya, 

ada bahaya yang ditangkap naluri Lelaki Berbulu 

Hitam. Karena setahu Andika, si tua tak waras itu 

memang memiliki naluri tajam. Bukankah dia 

memang setengah serigala? 

Andika pun mengejar. 

Kejar-kejaran berlangsung seru, tanpa juntrungan. 

Lelaki Berbulu Hitam berlari seperti hendak mampus 

di tengah jalan. Andika tentu saja makin ke

bingungan. Makanya dia tak kalah ngotot menguntit 

manusia batu itu. 

Untuk mengejar tokoh sekelas Lelaki Berbulu 

Hitam, bukan kerja mudah buat Andika. Biarpun 

dirinya telah dibekali ilmu warisan Pendekar Lembah 

Kutukan yang kecepatannya begitu menghebohkan. 

Asal tahu saja, Lelaki Berbulu Hitam adalah tokoh 

bangkotan yang telah lebih dahulu malang melintang 

di tengah dunia persilatan puluhan tahun silam. Dia 

adalah salah satu dedengkot yang sulit dicari 

tandingannya. Kalaupun perawakan dan wajahnya 

tak menjadi keriput atau keropos, itu karena 

pengaruh campuran darah serigala dan manusia 

dalam dirinya. Bahkan kalau Andika bertarung 

dengannya, belum tentu dapat menang. 

Jika kini tokoh pemberang itu seperti kerbau 

dicocok hidungnya terhadap pendekar muda dari 

Lembah Kutukan, penyebabnya karena muslihat 

tokoh seangkatannya, Raja Penyamar. 

Raja Penyamar telah memberikan wangsit palsu 

kepada Lelaki Berbulu Hitam. Dalam wangsitnya, 

disebutkan bahwa hanya Pendekar Slebor yang bisa 

menolong Lelaki Berbulu Hitam dalam mengenyahkan 

sifat pemberangnya yang kelewatan. 

(Untuk mengetahui cerita itu, bacalah episode: 

Pengadilan Perut Bumi") 

Bahkan Andika tak mempedulikan si pendekar 

wanita yang sedang melintasi jalan tadi. Padahal, 

matanya sempat berbinar-binar sewaktu menemukan 

betapa ayunya gadis itu. 

Lalu setelah kejar-kejaran gila itu berujung di tepi 

sungai, kedongkolan Andika pun meletus. Yang 

semula dikira keadaan genting, ternyata hanya 

keadaan 'darurat' buat perut sial Lelaki Berbulu

Hitam. 

Apa tidak keterlaluan? 

Belum puas Andika menumpahkan kedongkolan-

nya, mendadak terdengar teriakan sengit seorang 

wanita melabrak angkasa. Telinga pemuda dari 

Lembah Kutukan mendengarnya. Sementara Lelaki 

Berbulu Hitam di tengah sungai sampai menahan 

kembali 'sesuatu' yang hendak keluar, karena begitu 

terkejut. 

Selanjutnya, ketajaman telinga Pendekar Slebor 

menangkap pula suara-suara yang selama ini sudah 

begitu dikenalnya. Semacam kericuhan dalam 

sebuah pertarungan. 

"Apa yang terjadi?" tanya Andika, pada diri sendiri. 

Sementara itu, pendengarannya dipusatkan untuk 

menentukan arah kericuhan barusan. 

Begitu bisa ditentukan, Andika tak menunggu lama 

lagi segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh-

nya digenjot. 

"Hei, jangan tinggalkan aku!" teriak Lelaki Berbulu 

Hitam. "Tuan Penolong! Sudikah Tuan bersabar 

sebentar sampai aku menuntaskan 'kewajibanku' ini!" 

"Sisakan saja buat besok!" 

*** 

Begitu sampai, Andika melihat seorang wanita 

berpakaian hitam sedang bertempur dengan orang 

berpakaian aneh. Wajah dipenuhi coreng-moreng. 

Belakangan, nama dan sepak terjangnya meng-

gemparkan dunia persilatan. Dialah Pendagel Setan! 

Wanita ini tampak begitu bernafsu menghambur-

kan serangan pada Pendagel Setan. Tampaknya 

kekejian tokoh aneh yang didengar selama ini, telah

membuat hasratnya menggebu untuk mengenyah-

kannya. 

Segenap jurus telah dikerahkan wanita berpakaian 

berwarna hitam itu. Namun hingga saat itu, tak ada 

satu pun serangannya membawa hasil. Rupanya si 

pendekar wanita itu telah salah duga. Karena 

memang, Pendagel Setan bukan tokoh sesat 

sembarangan. Bahkan Pendekar Slebor sendiri pun 

belum tentu memiliki kesempatan untuk mengalah-

kannya. 

"Ciaaah!" 

Satu tusukan jari berkuku panjang milik pendekar 

wanita berpakaian hitam mencoba merobek teng-

gorokan Pendagel Setan lewat jurus puncaknya yang 

diberi nama 'Amukan Macan Hitam Betina'. Setiap 

sambaran kuku tangannya, bisa berarti kematian. 

Jangankan kulit manusia. Bahkan kayu paling keras 

di jagad ini pun bisa dicaciknya dengan mudah. 

Menghadapi serangan liar ini, Pendagel Setan tak 

tampak kelimpungan. Santai saja kepalanya me-

lengos. Sepertinya, dia tak bergerak. Tapi hasilnya 

ternyata bisa mementahkan sambaran kuku ke 

kerongkongannya. 

Wukh! 

Luputnya serangan tadi membuat pendekar wanita 

yang baru saja turun ke dunia persilatan menyusuli-

nya dengan cabikan tangan yang lain. Ulu hati 

Pendagel Setan hendak dikoyak dari arah samping. 

Untuk serangan berikutnya, entah kenapa 

Pendagel Setan tak tampak berniat menghindar. Dia 

hanya menanti. Sekejap kemudian, cakar wanita itu 

pun sampai. 

Blep! 

Terdengar suara lembut yang nyaris tersamar

dengan hempasan napas Pendagel Setan, tepat 

ketika cakaran pendekar wanita itu mendarat. 

Di kejauhan Andika tak mempercayai kenyataan 

itu. Kalau serangan pertama yang tak kalah hebat 

dapat dimentahkan begitu gampang, tak mungkin 

serangan berikutnya dapat mudah sekali menemui 

sasaran. Ada sesuatu yang ganjil. Begitu pikir Andika 

Meski tangan kiri pendekar wanita itu tampak ter-

sangkut di perut Pendagel Setan. 

Ketajaman pengamatan Pendekar Slebor memang 

beralasan. Buktinya di kancah pertarungan sana, 

Pendagel Setan melontarkan tawa keangkuhannya. 

Wajah coreng-morengnya menengadah ke langit, se-

akan mengejek malaikat maut yang gagal men-

jemputnya. 

Apa yang sesungguhnya terjadi? 

Dengan kemahirannya memainkan otot, dengan 

menakjubkan Pendagel Setan telah menjepit kuku 

wanita itu di lipatan perutnya! Sungguh satu tindakan 

yang teramat sulit, sekaligus berjudi dengan nyawa 

sendiri. Bagaimana tidak sulit dan berbahaya? Sebab 

kalau saja salah perhitungan dalam meredam 

sambaran tenaga cakar tadi, tak ayal lagi kulit 

perutnya akan terkoyak! Bahkan isinya akan ambrol 

keluar. 

Kalau Andika sebelumnya curiga, wanita itu justru 

sebaliknya. Saat ini dia sudah yakin kalau tengah 

melangkah pada satu kemenangan. Dalam per-

kiraannya, tentu cakar tangannya telah merejam 

dalam-lalam ke perut lawan. Dan kini siap mem-

bedolnya. 

Sewaktu hendak melakukan hentakan ke sisi perut 

Pendagel Setan. Pendekar wanita ini dipaksa 

menyadari perhitungannya yang luput.

"Hiii!" 

Berawal lengkingan seperti erang macan betina, 

pendekar wanita itu berusaha melepaskan jepitan 

perut lawan. 

Gagal. 

Dua-tiga kali dicobanya lagi. Hasilnya, tetap nihil. 

Malah jari-jari kukunya terasa seperti hendak ter-

lepas. Pedih bukan main. 

Menyaksikan ketidakberdayaan lawan, Pendagel 

Setan melepas tawa kembali. Ocehannya pun 

mengalir. Suaranya cempreng. Menyakitkan untuk 

didengar siapa pun. 

"Percuma kau terus mencoba menarik kukumu. 

Nanti malah yang lain keluar dari bagian belakang-

mu!" oceh Pendagel Setan. Ucapannya seperti hendak 

mendagel. Sayang, yang terdengar justru nada meng-

gidikkan. 

"Jangan harap kau bisa membunuh Macan Hitam 

Betina?!" bentak wanita yang menyebut dirinya 

Macan Hitam Betina. 

Cepat sekali satu kaki wanita ini bergerak 

menyapu ke atas. Gerakan yang dilakukannya benar-

benar mempesona. Kakinya menebas ke atas, 

melewati tangannya yang terjepit. Bagian selang-

kangannya seperti tak memiliki tulang. Begitu lentur 

bergerak. Bahkan dengan lentur, dicobanya mem-

beset kening Pendagel Setan dengan kuku jarinya. 

Padahal, tubuh laki-laki itu jauh lebih tinggi darinya. 

Tap! 

Sewaktu Pendagel Setan menangkap kakinya 

Macan Hitam Betina membuat satu gerakan lentur 

kembali. Sebelah kakinya yang lain menyapu pulang 

ke atas. Gerakan ini pun tak mudah dilakukan. 

Karena, kaki yang digunakan untuk menyapu harus

pula dijadikan jejakan, sekaligus untuk melompat. 

Usaha wanita itu kali ini berhasil membuat 

Pendagel Setan agak kelimpungan. Dua serangan 

kaki tak terduga, membuatnya harus membuang 

tubuh ke belakang. 

Sebelah tangan Macan Hitam Betina memang 

terbebas. Tapi akibatnya, pendekar wanita pemberani 

ini harus membayarnya dengan kehilangan empat 

kuku jarinya yang telah tertarik paksa, karena kulit 

perut lawan masih menjepitnya. 

"Aaakh!" 

Begitu merasakan sakit pada tangannya, Macan 

Hitam Betina mengeluh tertahan. Darah menetes dari 

keempat kuku jarinya. Perihnya sudah pasti tak 

terkira. Menahan siksaan rasa sakit. Wajah ayunya 

sampai menjadi memucat. Sementara, matanya me-

merah dan agak tergenang. 

"Kenapa, Cah Ayu? Kau tak bisa lagi menggaruk 

dengan jari kirimu?" cemooh Pendagel Setan, diiringi 

seringai memuakkan di pandangan Macan Hitam 

Betina. 

Dan dengan gaya padat ejekan, Pendagel Setan 

mengumpulkan kuku-kuku wanita ini yang masih 

terjepit di kulit perutnya. 

"Kau membutuhkan ini?" tanya Pendagel Setan. 

"Chih! Manusia tengik!" maki wanita ini penuh 

gejolak kemurkaan. 

Macan Hitam Betina meludah kasar. 

"Karena aku tak memerlukannya," lanjut Pendagel 

Setan. "Nih, ambil kembali!" 

Wush! 

Pendagel Setan seketika melemparkan potongan 

kuku tadi ke arah pemiliknya. Derasnya luncuran 

kuku demikian sulit terukur. Sampai-sampai, mata

Macan Hitam Betina tak dapat menangkap gerakan-

nya. 

Tanpa mau menanggung akibatnya, Macan Hitam 

Betina mengerahkan seluruh kemampuan ilmu me-

ringankan tubuhnya untuk menghindari hujaman 

kuku-kukunya sendiri. Seketika tubuh sintalnya me-

lenting ke udara seraya berputar seperti seekor 

manyar yang pamer dengan gerakan lincahnya. 

Namun siapa sangka wanita ini telah terkecoh? 

Tak heran Macan Hitam Betina menyangka kalau 

lawan ternyata sama sekali belum melempar kuku-

kuku di tangannya. Gerakan melempar tadi dibuat 

Pendagel Setan hanya untuk menipu. Jadi, kalau tadi 

mata Macan Hitam Betina tak menangkap gerak laju 

kuku-kukunya, itu bukan karena kecepatan yang 

demikian tinggi! Tapi karena Pendagel Setan belum 

melepas kuku-kuku itu. 

Saat diudara seperti itu, Macan Hitam Betina bisa 

dibilang mati. Di lain pihak, Pendagel Setan meng-

anggapnya sebagai peluang emas. Maka dengan licik, 

dilemparnya kuku-kuku yang masih ditangannya. Kali 

ini memang benar-benar dilakukan! 

Wush! Srrr! 

Tampaknya, si pendekar wanita perkasa akan 

mengalami nasib mengenaskan, terhujam kukunya 

sendiri! Senjata makan tuan? 

***

5


Mati memang selamanya tidak ditentukan manusia. 

Kalaupun keadaan mungkin sudah tak memungkin-

kan seorang bisa hidup, dengan keputusan Penguasa 

Semesta, hal itu tak akan terjadi. 

Tak! Tak! 

Pada saat-saat genting, mendadak serbuan empat 

potongan kuku yang mengancam nyawa Macan Hitam 

Betina tersapu sesuatu di udara. Maka laju menggila 

dari kuku-kuku itu kontan terjegal. Kekuatan pem-

bunuh yang terkandung di dalamnya saat itu pula 

terpedaya. Penyebabnya hanya oleh empat butir 

kerikil kecil yang mendadak meluncur penuh 

kekuatan, tepat memapas laju gerak semua kuku! 

Seketika, kuku-kuku itu berserakan di tanah. 

Jelas, ada orang yang ikut campur tangan dalam 

serangan itu. Namun tak sulit untuk mengira, 

perbuatan siapa itu. Ya, hasil kerajinan tangan 

Pendekar Slebor! 

"Bukankah tak jantan jika seorang lelaki harus 

bersikap telengas pada lawan yang sudah tak 

berdaya? Apalagi lawannya seorang wanita...," kata 

Pendekar Slebor, sok berlagak bagai seorang 

bijaksana. 

Andika keluar dari persembunyian, tak jauh di 

belakang calon lawannya. 

Terdengar decak pemuda urakan ini kemudian. 

"Kalau kau baru saja melakukan itu, aku jadi 

sangsi apakah kau masih memiliki kejantanan. Ufh, 

maaf! Aku tak bermaksud mengatakan kalau kau

sudah tak memiliki...." 

Andika terkekeh memenggal kata-katanya 

sebentar. 

"Tak memiliki 'gagak' simpanan lagi!" tambah 

Pendekar Slebor pedas sekali, berteriak menirukan 

suara gagak. 

"Akhirnya kau keluar juga dari lubang per-

sembunyianmu...," kata Pendagel Setan, tanpa 

menoleh. 

Andika mengangkat kening. 

Bagaimana tokoh sesat ini bisa mengetahui 

kehadirannya secara jelas? Hati pendekar muda itu 

langsung bertanya heran. Padahal setahu dia, selama 

bertarung dengan Macan Hitam Betina, tak sekalipun 

Pendagel Setan memperhatikan tempat persembunyi-

annya. 

"Sialan! Apa di belakang kepalanya dia memiliki biji 

mata simpanan!" rutuk Andika. "Boleh juga orang 

ini...." 

"Dari tadi aku menunggumu untuk ambil bagian 

dalam dolanan ini. Sayang sekali, sekarang seleraku 

susut sudah," kata tokoh aneh ini, enteng. 

Andika merasa calon lawannya hendak menyingkir. 

Dugaan Pendekar Slebor terbukti. Tanpa sempat 

membiarkan Andika melakukan apa-apa, bahkan 

untuk satu tarikan napas pun, tangan tokoh bertabiat 

ganjil itu bergerak cepat. Dikeluarkannya sesuatu dari 

balik baju. Lalu.... 

Buhs! 

Tepat ketika tangan Pendagel Setan menghempas 

mengembangkan kepulan asap kelabu pekat, 

menyelimuti seluruh tubuhnya beberapa saat. 

Menghilangnya kabut kelabu secara perlahan, diikuti 

pula oleh lenyapnya tubuh Pendagel Setan!

"Kunyuk buduk atau tengik!" maki Andika jengkel 

sekali. 

"Belum waktunya kita bertemu, Pendekar Slebor. 

Memang aku ingin sekali menggelitiki perutmu atau 

mencabuti bulu-bulumu. Tapi, aku harus bersabar. 

Karena aku telah mempersiapkan tempat istimewa 

untuk kencan kita. O, ya.... Jangan lupa bawa bunga! 

He-he-he!" 

Tak lama berselang, telinga pemuda sakti dari 

Lembah Kutukan itu menerima kiriman suara dari 

kejauhan. Bisikannya begitu halus, seolah-olah 

terdengar langsung dari lubang telinga Pendekar 

Slebor. Hebatnya, yang mendengarnya hanya Andika. 

Tentu saja itu dilakukan dengan keahlian mengirim 

suara yang tinggi. 

Andika mendengus. Muak sekali tantangan itu 

terdengar. 

Sepeninggal Pendagel Setan, Andika mendekati 

Macan Hitam Betina yang masih berkutat menahan 

pedih luar biasa di ujung jari-jari kirinya. Di samping 

ingin tahu siapa sesungguhnya si ayu itu, anak muda 

mata bongsang ini ingin juga mendekatinya. Bukan-

kah pada kesempatan sebelumnya dia hanya sempat 

melewati perempuan berwajah sejuk itu? Kalau 

sekarang ada kesempatan buat jadi pahlawan, 

tunggu apa lagi? Begitu pikir pendekar urakan ini. 

Kucing mana mau menyia-nyiakan daging empuk! 

"Biar aku bantu, Nona...," kata Andika, me-

nawarkan jasa. 

"Siapa kau?" Wanita ayu itu malah bertanya. 

Tatapannya memendam bara kecurigaan. 

"Aku? Ah, Nona cukup memanggilku Andika," sahut 

Andika, lugas. 

"Julukanmu! Aku ingin tahu julukanmu!" bentak

Macan Hitam Betina galak. 

Andika tak menyangka wanita berwajah sejuk 

seperti dia, ternyata ketusnya seperti setan 

perempuan. 

"Biarkan aku menolongmu dulu...." 

"Tak perlu!" 

Andika menggaruk-garuk jidat, menggaruk-garuk 

pantat, dan menggaruk-garuk hidung. Mulutnya 

cengengesan serba salah. Kalau biji matanya bisa 

digaruk, tentu sudah digaruknya pula. 

"Jangan cengengesan seperti itu! Kau sudah 

melakukan kesalahan, tahu?!" hardik Macan Hitam 

Betina. Sepasang bola matanya membesar, meng-

gemaskan. 

"Aku melakukan kesalahan? Kesalahan apa?" 

tukas Andika. 

"Gara-gara kau, manusia busuk itu pergi! Padahal 

aku sudah akan membuat remuk batok kepalanya!" 

tuding Macan Hitam Betina, sengit. 

"Ah! Yang kutahu, kepala kaulah yang hampir 

bocor," tukas Andika. 

Di samping ketus, ternyata perempuan ini juga 

sedikit tinggi hati. Tapi Andika senang. Rasanya sifat 

ugal-ugalannya menjadi gatal kalau bertemu makhluk 

betina seperti ini. 

"Bicara sekali lagi seperti itu, kepalamu akan 

menjadi ganti kepala manusia busuk itu!" dengus 

Macan Hitam Betina. 

"Jangan," sergah Andika. "Rugilah aku kalau begitu. 

Kau tahu sendiri, kepalaku jauh lebih bagus daripada 

kepala si tengik tadi. Lihat! Betapa tampannya aku. 

Sedangkan orang itu, ah! Monyet jelek saja mungkin 

masih kalah jelek!" 

Andika sengaja melantur. Biasa, sifat urakannya

yang pernah terbentuk sebagai bocah gelandangan 

kotapraja dulu mulai kambuh. 

"Kau memang minta dihajar, heh!" 

"Salah! Yang betul, aku ingin sekali minta di...." 

Andika memonyongkan bibir. Matanya dipejamkan. 

Dasar buaya! 

"Lelaki bajingan!" 

Setumpuk kekesalan yang menggelayuti teng-

gorokan, diwujudkan Macan Hitam Betina dengan 

meraih batu sekepalan tangan di dekat kakinya. Lalu 

langsung dilemparnya wajah Pendekar Slebor. 

Didasari rasa gemas, lemparannya pun bukan 

sembarangan. Disalurkannya setengah tenaga dalam 

tingkat ke sekian. Dia berharap, moncong pemuda di 

depannya remuk! 

Wukh! 

Batu meluncur deras menuju sasaran. Arahnya 

begitu tepat menuju bibir Andika yang masih saja 

memancung hebat. Dan pemuda urakan itu 

tampaknya seperti tak mengindahkan bahaya yang 

bisa membuat bibirnya cacat. Dia masih monyong. 

Matanya masih terpejam. Apa maunya pemuda 

urakan satu ini? Apa dia sudah bosan memiliki wajah 

tampan? 

Tepat ketika batu itu sudah tinggal sejengkal lagi 

dari bibirnya. Andika melengos. Walhasil, batu itu 

meluncur terus ke belakang. Jauh ke belakang. 

Sampai.... 

Bletak! 

"Wiaaauuu!" 

Terdengar teriakan seseorang. Suaranya meng-

gelegar seperti salakan binatang buas dari pojok 

bumi. Itu pun kalau bumi ini ada pojoknya. 

"Sshiaapaaa yang berani-berani membuat jidatku

bengkak seperti ini!" 

Lelaki Berbulu Hitam tahu-tahu muncul di sana 

dengan mendekap jidat. Bibirnya meringis-ringis 

parah. Sementara matanya mendelik-delik liar, 

sepertinya siap menelan siapa saja yang berada di 

dekatnya! 

Demi melihat wujud mengerikan orang yang baru 

muncul. Macan Hitam Betina nyaris memekik. Untung 

mulutnya cepat ditutup. Selama turun ke dunia 

persilatan beberapa purnama lalu, belum pernah 

ditemukannya manusia seseram ini. Saking terkejut-

nya, rasa pedih di ujung jari kirinya terlupakan. 

Berbulu hitam. Taring di mulutnya. Tinggi besar. Kalau 

bukan raja dari segala raja monyet, barangkali orang 

ini setan penunggu keramat yang keluar siang bolong! 

Begitu pikir si pendekar wanita. 

"Siapa?" ulang Lelaki Berbulu Hitam. Suara laki-laki 

ini makin menggelegar, sanggup menggetarkan nyali 

siapa pun. Pendekar Slebor sendiri jadi sempat ngeri 

juga. Manusia tak waras satu ini tak akan 

memandang siapa-siapa, kalau sudah berang. Andika 

hanya takut ubun-ubunnya digeragot! 

"Oh! Rupanya ada Tuan Penolong juga di sini." 

Kalimat lelaki berdarah setengah serigala itu 

berubah melunak, mendapati Pendekar Slebor. Biar-

pun tampak dipaksakan, bibirnya masih berusaha 

tersenyum. Akhirnya, yang muncul malah raut wajah 

orang telat buang hajat. 

"Apa Tuan Penolong tahu, siapa yang telah 

melempar batu sembarangan?" tanya Lelaki berbulu 

Hitam. 

Andika meringis. 

"Memangnya akan kau apakan orang itu?" tukas 

Andika.

Lelaki Berbulu Hitam memperlihatkan taringnya. 

"Akan kukunyah dagingnya! Grrr!" 

Melihat itu, maka tubuh Macan Hitam Betina pun 

menciut. 

Andika melirik. Dia senang sekali menyaksikan si 

ayu itu mengkeret seperti karet terjemur. Permainan 

usilnya pun diperpanjang. 

"Kalau aku jadi kau, Pak Tua. Bukan saja akan 

kukunyah daging orang itu! Bahkan akan kujemur 

dagingnya untuk persediaan makan selama satu 

bulan!" kata Andika memanas-manasi. 

"Betul. Tuan Penolong! Akan kujemur dagingnya! 

Grrr!" 

Macan Hitam Betina makin menciut. Biarpun 

menganggap dirinya sebagai pendekar, namun jiwa 

kewanitaannya tetap tak bisa dilenyapkan sama 

sekali. Kalau dia, berani menghadapi Pendagel Setan, 

semata-mata karena kesombongannya yang kelewat. 

Macan Hitam Betina menganggap ilmu yang dimiliki 

sudah hebat. Padahal, dia tergolong hijau di dunia 

persilatan. Masih belum kenyang makan asam 

garam. Jadi, tak heran kalau sikapnya begitu. 

Memang baru seumur hidup dilihatnya orang se-

mengerikan itu. 

Wajah ayu Macan Hitam Betina jadi memucat. 

Kalau Andika terus mengompori Lelaki Berbulu Hitam, 

sebentar saja tentu wanita ini akan pingsan. 

"Jadi, siapa yang telah melempar batu itu. Tuan 

Penolong?" desak Lelaki Berbulu Hitam, tak sabar. 

Andika melirik lagi Macan Hitam Betina. 

Perempuan itu kian memucat. 

"Ah! Barangkali batu itu hanya terbawa angin. Pak 

Tua...," kata Pendekar Slebor kemudian, melegakan 

hati si wanita ayu di dekatnya.

Lelaki Berbulu Hitam menggerutu. Sekarang ke-

berangannya tak bisa ditumpahkan pada siapa-siapa. 

Pada angin pun percuma. Bagaimana bisa melabrak 

angin? 

Kemarahan yang tertahan itu berakibat buruk buat 

diri laki-laki berdarah serigala ini. Perutnya jadi 

demikian mulas melilit-lilit. Sebentar saja, dia sudah 

berlari kembali ke arah kedatangannya. 

"Mau ke mana, Pak Tua?!" teriak Andika. 

"Sungai!" 

"Dasar otak bekas! Mana ada batu sekepal tangan 

terbawa angin sepoi-sepoi seperti ini." gumam Andika. 

cengengesan. 

***

6


Ada sebuah tempat rahasia yang tersembunyi dari 

jangkauan orang-orang persilatan. Tempat yang bisa 

dibilang kelewat mengerikan bagi siapa saja. Bahkan 

untuk seorang pemberani sekali pun! 

Di sana, menghampar luas sebuah padang kering. 

Bahkan terlalu kering. Rumput liar yang biasa 

sanggup bertahan hidup di tanah gersang, tak 

mampu bertahan di tempat tersebut. Dataran yang 

lowong. Gundul seperti gurun. Tanahnya berwarna 

hitam, terlihat rapuh ketika diterjang angin. 

Sementara beberapa batang pepohonan yang 

masih berdiri hanya tinggal batang-batang kering. 

Cabang dan rantingnya gundul meranggas, seperti 

gapaian tangan-tangan makhluk dari alam lain. Di 

atas cabang-cabangnya, berhimpun ratusan burung 

pemakan bangkai yang bertengger berjajar, seperti 

serdadu kematian menanti perang. Warna hitam 

mereka seperti menggantikan daun. 

Di atas sana, langit diselubungi mega kelam. 

Bukan. Gumpalan-gumpalan yang tak beranjak itu 

bukanlah awan. Itu tak lebih dari kabut beracun yang 

telah mengungkung tempat ini selama ratusan tahun. 

Sari pati tanah langka di bawahnya, telah mengikat 

secara aneh gumpalan-gumpalan kabut beracun itu. 

Dari tahun ke tahun. 

Hanya burung-burung pemakan bangkai di atas 

cabang-cabang kering yang tetap bertahan hidup, 

seakan-akan menjadi penghuni tetap. Jumlah mereka 

begitu banyak, mendirikan bulu roma. Mereka

memang telah beranak-pinak. Kadang mereka pergi 

bergerombol keluar jika harus mencari mayat untuk 

santapan! 

Di samping mereka, ada manusia yang juga dapat 

bertahan hidup. Kini, dia berdiri memandangi hasil 

kerjanya, membangun panggung dari susunan ke-

rangka tulang manusia! 

Orang itu tak lain dari Pendagel Setan. 

Kerangka terakhir telah ditancapkan ke tanah, 

sebagai bagian terakhir dari panggung ganjil meng-

gidikkan yang dibangun selama sekian pekan. Di 

salah satu sudut panggung, dia berdiri berkacak 

pinggang. Dipandanginya panggung hasil karyanya 

dengan kepuasan pekat di mata. 

"Semuanya sudah siap. Tempatku membuktikan 

diri selaku penguasa rimba persilatan telah ku-

bangun! Tinggal tunggu tamu kehormatanku, 

Pendekar Slebor! He-he-he, Pendekar Slebor! Dia aka 

tiba di sini pada hari yang kurencanakan untuk 

mengantar nyawa! Ya, mengantar nyawa!" kata 

Pendagel Setan sesumbar. 

Kembali Pendagel Setan memandangi bentangan 

tonggak-tonggak tulang manusia berbentuk pang-

gung. Cukup lama, hingga hatinya yang keji merasa 

puas. 

"Padang Mega Racun! Kau akan menjadi saksi 

untukku. Menjadi saksi terbunuhnya pendekar muda 

besar tanah Jawa di tanganku. Pada saatnya nanti!" 

pekik Pendagel Setan ke segenap penjuru dataran 

kerontang di sekelilingnya. 

Burung-burung pemakan bangkai di ranting-ranting 

pohon kering menyambutinya dengan koakan ramai, 

bersama suara kepakan sayap riuh. 

Ringan, kaki Pendagel Setan menjejaki tonggak

tonggak tulang manusia. Satu demi satu, menuju 

tengah-tengah panggung ganjil yang dibangunnya. 

Setibanya di sana, lelaki itu berdiri untuk beberapa 

tarikan napas. 

Selanjutnya, kedua tangan lelaki ini bergerak 

lamban seirama setiap hembusan napasnya. Selang 

berikutnya, sepasang tangan kerempengnya meng-

hasilkan suara berkecipak. Terdengar seperti per-

mukaan air yang dimainkan. Dari gerakan lamban, 

tangan itu terus bergerak kian cepat. Cepat dan terus 

bertambah cepat. 

Pada saatnya, gerak tangan itu membentuk 

bayangan sayap seekor burung raksasa. Angin besar 

itu terlahir, berputar-putar liar di sekeliling arah gerak 

kedua tangan tersebut. 

Dua pusaran angin dengan arah berbeda ter-

bentuk sudah. Pusarannya terus meninggi, meng-

gapai kabut pekat beracun. Seperti memiliki ke-

kuatan, pusaran angin ciptaan itu menarik inti racun 

dari kabut di atas sana, menuju sepasang tangan 

lelaki ganjil itu. Semuanya terserap perlahan, seakan 

air terhisap tanah. 

Tak lama, tangan Pendagel Setan pun berubah 

warna. Warnanya kini seperti kabut pekat di atas. 

Kelabu dan terus makin kelabu. Lalu... 

"Khhh!" 

Drrrttt! 

Dari kebutan sepasang tangan yang terus bergerak 

itu, meluncur deras hawa kasap mata menuju satu 

sasaran. 

Trash! Zhhh! 

Seketika kawanan burung pemakan bangkai se-

batang pohon beterbangan kacau seperti baru 

digebah angin ribut. Dan memang, pohon kering

besar itu telah menjadi sasarannya. Sebentar batang 

kokoh pohon tersebut bergetar seperti baru saja ada 

gempa. Begitu angin melewatinya, seluruh kulit pohon 

itu terkelupas bersamaan! Tak hanya itu. Serat-serat 

kayu bagian dalamnya pun turut bertebaran. 

"Lihatlah, kawan-kawanku!" seru Pendagel Setan 

pada seluruh burung pemakan bangkai yang setia, 

memperhatikan gerak-geriknya. "Dengan sempurna-

nya tenaga 'Kepak Racun Pemakan Bangkai'-ku, 

tubuh Pendekar Slebor akan kubuat bernasib sama 

dengan pohon itu!" 

Lagi-lagi binatang-binatang menjijikkan di atas 

sana menyambuti seruan Pendagel Setan dengan 

koakan serta kepakan sayap yang ramai. 

"Nah! Kini, tibalah kalian menjalankan tugas!" 

Pendagel Setan melanjutkan seruannya pada 

seluruh burung pemakan bangkai di sana. 

Dari tengah-tengah panggung ganjil miliknya, 

tubuh kerempeng itu melompat ringan jauh ke depan. 

Lalu manis sekali dia hinggap kembali sekitar lima 

belas tombak dari tempat semula. Di sana, tepat di 

bawah kakinya, sudah tersedia tumpukan gulungan-

gulungan kecil tanah berwarna hitam. 

Plokk! 

Pendagel Setan bertepuk tangan sekali. 

Tampaknya, tepukan itu amat berarti bagi 

kawanan burung di atas ranting-ranting pepohonan 

kering. Satu persatu binatang-binatang itu terbang 

menuju ke arah Pendagel Setan. Ketika tiba, tangan 

Pendagel Setan menjemput satu gulungan tanah 

hitam, lalu melemparkannya kepada burung tadi. 

Saat itu juga burung itu mencengkeram tanah 

hitam, dan segera terbang ke angkasa, meninggalkan 

Padang Mega Racun. Satu persatu begitu. Sampai

seluruhnya menghilang di balik kabut kelabu pekat. 

*** 

"Hei, jangan pergi!" 

Andika mengurungkan langkahnya. Kepalanya 

menoleh ke arah Macan Hitam Betina dengan 

tatapan gemas. 

"Tadi kau menolak niat baikku menolongmu. 

Sekarang, ketika aku mau pergi, kau malah menahan-

ku! Jadi apa maumu sebenarnya heh?!" tanya Andika, 

sewot. 

"Aku mau kau mengatakan siapa dirimu se-

sungguhnya!" tandas Macan Hitam Betina. 

Memang, sejak Andika keluar dari persembunyian 

tadi, wanita itu masih saja ngotot ingin mengetahui 

julukannya. 

"Yang pasti, aku bukan siluman pasar burung. 

Atau, tengkulak kebun singkong. Atau, monyet lupa 

diri...." 

"Diam!" 

"Atau kecoak jompo...," kata Andika seraya me-

lanjutkan langkah santai. 

"Diam!" 

"Atau..., perempuan brengsek seperti kau!" Andika 

berbalik lagi dengan mata melotot. 

Dongkol setengah mampus dia diperlakukan 

seperti anak tiri seperti itu. 

"Kau benar-benar mau tahu siapa aku?!" hardik 

Pendekar Slebor keras-keras, sampai otot-otot di 

lehernya seperti hendak meletus. 

"Katakan kalau kau tak ingin mampus di tangan-

ku!" teriak Macan Hitam Betina, tak kalah keras. 

"Aku....""Tuan Muda!" 

Mendadak seseorang menjegal niat Andika. Dari 

arah tenggara, datang tergopoh-gopoh petani tua. 

Tubuhnya masih berlumur lumpur sawah. Masih 

basah. Besar kemungkinan, dia baru saja meninggal-

kan pekerjaannya. Menilik parasnya, orang itu 

tampaknya sedang dicekam ketakutan. 

"Apa Tuan Muda seorang pendekar?" susul petani 

tua itu tergesa. 

Tahu keadaan mendesak, Andika tak ingin ber-

lama-lama lagi. Dianggukinya pertanyaan si bapak 

petani cepat. 

"Ada apa, Orang Tua?" tanya Andika. 

"Di desa..., di Desa Wetan...." 

"Perlahan-lahan, Orang Tua. Biar aku bisa jelas 

mengerti keadaannya." 

"Ah! Aku sulit menjelaskannya, Tuan Muda. 

Sebaiknya Tuan Muda ikut aku segera," pinta si 

petani tua mendesak. 

"Baik!" sahut Andika mengangguk mantap. 

Petani tua ini cepat beranjak. Dan Andika meng-

ikuti dari belakang. 

"Tunggu! Aku ikut!" ujar Macan Hitam Betina 

belakang Andika. 

*** 

Andika, Macan Hitam Betina, dan si petani tua tiba 

di pinggir desa yang dimaksud. Di pematang sawah 

yang tergelar megah sepanjang tepi desa, mereka 

berdiri menatap langit. Petani tua telah menunjukkan 

sesuatu pada Andika clan Macan Hitam Betina. 

"Ah! Bukankah itu hanya awan mendung saja. 

Orang Tua?" kata Andika, menyaksikan gerombolan

gerombolan kecil awan kelabu berarak terpisah 

angkasa. "Tapi, tunggu...." 

Andika langsung menajamkan pandangan. 

"Memang aneh," bisik Pendekar Slebor kemudian. 

"Benar, Tuan Muda. Gumpalan-gumpalan awan 

kelabu itu selalu mengikuti ke mana kawanan burung-

burung pemakan bangkai melayang." 

"Benar, Orang Tua," dukung Andika. "Lalu, kenapa 

keanehan itu membuat kau merasa harus mem-

beritahukan aku, Orang Tua?" 

"Karena sekitar lima belas tahun silam di Desa 

Wetan ini terjadi hal yang sama," papar si petani tua. 

"Dan apa Tuan Muda ingin tahu kejadian selanjut-

nya?" 

Andika mengangguk. Sementara Macan Hitam 

Betina di sisinya menampakkan wajah sungguh-

sungguh, menanti kelanjutan cerita petani tua itu. 

"Puluhan warga desa mati dalam satu hari!" 

"Apa sebabnya, Orang Tua?" selak Matan Hitam 

Betina. Mulut ketusnya rupanya tak bisa ditahan lagi. 

"Arakan-arakan awan yang mengikuti kawanan 

burung pemakan bangkai itu ternyata mengandung 

racun mengerikan! Begitu tiba di atas desa kami, 

kabut itu menurunkan semacam embun tipis ke 

segenap penjuru desa. Siapa saja yang menghirup, 

akan mati di tempat. Keadaan seluruh korban begitu 

menggidikkan.... Tuan-tuan Muda mau tahu, apa yang 

terjadi?" 

"Mau, mau!" terjang Macan Hitam Betina bernafsu. 

"Mereka mati dengan tubuh menjadi rapuh! Ihhh! 

Bayangkan saja, tubuh mereka bahkan dengan 

mudah dipreteli kawanan burung-burung pemakan 

bangkai. Sepertinya daging dan tulang mereka telah 

berubah selunak lumut!" papar orang tua ini.

Andika bergidik. Terlebih perempuan di sebelah-

nya. 

"Kebetulan waktu itu ada beberapa pendekar yang 

singgah di desa kami. Mereka berusaha mencari 

tahu, apakah semua itu hanya kejadian alam biasa. 

Atau, perbuatan seseorang. Sebelum tahu apa yang 

sesungguhnya tengah berlangsung, mereka semua 

ditemukan tewas di tengah sawah," lanjut orang tu ini. 

Lelaki berkulit gesang itu berhenti sebentar. 

Tampaknya dia pun nyaris tak bisa menguasai rasa 

ngeri yang melata liar dalam dirinya 

"Salah seorang yang sekarat sempat member-

tahukan pada kami, bahwa kejadian itu adalah 

perbuatan seorang wanita yang terusir dari desa. 

Sayang, sebelum semuanya jadi jelas, ajal men-

jemputnya...." 

Andika menatap kembali langit di atas sana. Laju 

gumpalan-gumpalan kabut kelabu di atas sana kian 

dekat ke arah Desa Wetan, bersama meluncurnya 

kawanan burung pemakan bangkai tepat di bawah 

gumpalan-gumpalan kabut. Matanya menyempit. 

Kerutan tegang terlihat. 

Kalau Andika memperhatikan keadaan para 

korban dalam cerita bapak tua tadi, didapatinya ada 

kemiripan dengan korban perbuatan Pendagel Setan 

beberapa waktu sebelumnya. Tapi, kenapa pendekar 

sekarat dalam cerita si petani tua justru mengatakan 

bahwa kejadian itu didalangi seorang wanita? Lalu 

apa kaitannya dengan peristiwa kini? Apa pula 

kaitannya dengan Pendagel Setan? Andika belum 

bisa menemukan titik terang dalam masalah ini. 

Semuanya masih samar baginya. 

"Begini saja, Orang Tua. Sebaiknya ccpatlah pergi 

ke desa. Ingatkan mereka untuk segera mengungsi

ke tempat yang lebih aman. Sementara itu, aku akan 

mencoba semampuku menghalangi gumpalan-

gumpalan kabut beracun itu, kalau bisa akan kucoba 

menyingkirkannya...," ujar Andika mantap. 

"Bagaimana denganku?" tukas pendekar wanita di 

dekatnya. 

"Kau? Sebaiknya cepat mencari kain gombal, lalu 

sumpal mulutmu!" 

Andika memang masih menyimpan kejengkelan-

nya pada Macan Hitam Betina. 

***

7


"Koakk! Koakk!" 

Angkasa dicemari teriakan-teriakan memekakkan 

kawanan burung pemakan bangkai. Berjumlah 

ratusan. Mereka telah tiba di atas desa yang dituju. 

Desa yang lima belas tahun lalu telah menjadi 

korban, kini hendak dimangsa kembali! 

Seperti cerita bapak petani tua, saksi hidup 

kejadian terdahulu, kawanan burung pemakan 

bangkai itu akan menggiring gumpalan-gumpalan 

kabut beracun menuju atas desa. Di beberapa sudut 

desa, beberapa ekor burung melepaskan gulungan 

tanah sehitam jelaga dari cakarnya. Gulungan tanah 

sebesar kepalan tangan itu meluncur jatuh, siap 

menebar bencana. Demikian pula kejadian di 

beberapa sudut lain. 

Sesungguhnya, bukan gulungan tanah hitam itu 

yang mengancam nyawa penduduk. Melainkan, awan 

pekat kelabu di atasnya. Seperti diketahui, gulungan-

gulungan tanah itu berasal dari Padang Mega Racun 

yang memang jenis tanah langka. Dan tanah itu 

memiliki daya tarik kuat ke bawah, terhadap 

gumpalan-gumpalan kabut yang mengandung racun 

tertentu. 

Seperti daya pada besi sembrani yang bisa 

menarik besi lain. 

Maka, jika gumpalan-gumpalan tanah itu dijatuh-

kan di tempat tertentu akan ada gumpalan-gumpalan 

kabut beracun di angkasa! Kabut beracun itulah yang 

telah membantai puluhan bahkan ratusan warga

Desa Wetan ini, lima belas tahun silam! Dan kali ini, 

gumpalan-gumpalan kabut racun itu pun siap 

menebar maut. 

Di atas sana, para makhluk yang telah andil meng-

giring kabut tersebut melayang-layang tiada henti. 

Mereka terbang dalam gerak bergairah menebar 

kematian. Bukankah mereka hanya menunggu 

beberapa saat untuk mendapatkan limpahan 

makanan lezat bagi mereka yang berupa bangkai-

bangkai manusia! 

Benarkah mereka akan segera merayakan pesta 

besar? Tidak! Sebelum mereka tiba, nyatanya pen-

duduk desa telah berhasil diungsikan secepatnya, 

atas pemberitahuan petani tua tadi. Desa kini 

menjadi melompong. Suasana senyap meraja. Jalan-

jalan lengang. Yang jelas, desa itu berubah menjadi 

desa mati tak berpenghuni. 

Senja datang perlahan. Ketika itu, bobot kabut 

kelabu pekat yang menggelantung di angkasa men-

jadi lebih berat. Lambat tapi pasti, gumpalan-

gumpalan itu merayap turun dari angkasa, menjamah 

hampir segenap bagian desa. Jalan-jalan menjadi 

ladang kabut. Begitu juga pekarangan-pekarangan 

rumah penduduk, kebun-kebun, atau petak-petak 

tempat bermain para bocah. 

Binatang-binatang ternak yang tak sempat dibawa 

mengungsi mengalami nasib naas saat itu juga. 

Mereka bergelimpangan di sana sini, dalam lautan 

kabut yang menggerayang lamban namun me-

matikan. 

Tak lebih dari empat tarikan, kabut beracun tadi 

telah berhasil melempar keluar nyawa binatang-

binatang ternak malang dari jasadnya. Ayam, 

kambing. bahkan seekor kerbau jantan kekar sekali

pun. Lalu, bagaimana bila manusia? 

Kalau hanya sampai di sana. mungkin tak terlalu 

menggidikkan. Namun daya kerja racun yang dibawa 

kabut tadi rupanya tak berhenti sampai di situ saja. 

Setelah tubuh binatang-binatang mangsanya ber-

gelimpangan, secara lambat kekenyalan daging serta 

kekerasan tulangnya mulai digerogoti. Tak lama, 

daging dan tulang bangkai-bangkai itu menjadi 

demikian rapuh. Begitu rapuh, sampai tiupan angin 

sepoi-sepoi pun mampu menerbangkan bulu-bulu 

mereka. Atau lebih mengerikan lagi, dapat membuat 

kulit terkelupas! 

Lebih mengerikan dari itu, ternyata kejadian itu 

berlangsung ketika korban sedang sekarat. Artinya, 

mereka akan begitu tersiksa luar biasa, saat bagian 

demi bagian tubuh terlepas dan terkelupas! 

Itulah kedahsyatan racun dari Padang Mega 

Racun, tempat Pendagel Setan menyempurnakan 

ilmunya, sekaligus tempat nanti Pendekar Slebor 

akan ditantang mengadu jiwa! Itu berarti, sebentuk 

tantangan amat berat akan dihadapi pendekar muda 

dari tanah Jawa itu. Sebab, di samping kesaktian 

lawan yang belum lagi dapat diukur, racun di padang 

tersembunyi itu pun akan menyambutnya.... 

Sementara itu, sesosok tubuh tak dikenal me-

masuki wilayah desa maut tadi. Langkahnya lambat. 

Dan amat ringan. Bahkan gerak kabut pun masih 

kalah ringan. Cahaya senja yang sekarat dan tebalnya 

kabut, membuat perawakan orang itu jadi tidak begitu 

jelas. Yang pasti, dia bukanlah Pendagel Setan. 

Sosok itu terus berjalan lurus. Sekilas ekor jubah 

panjang hitamnya melambai lamban mengikuti irama 

lagkahnya. Rambutnya sepanjang bahu. Sulit untuk 

menentukan, apa warnanya.

Tiba di tengah-tengah desa, sosok itu meng-

hentikan langkah. Ditatapnya bangkai-bangkai 

binatang tanpa gerak. Lama dia begitu, sampai 

akhirnya memutuskan untuk melanjutkan langkah. 

Siapa orang itu? 

Lalu, ke mana Andika? Bukankah anak muda itu 

sebelumnya berniat akan menghadang gerak 

gumpalan kabut? Ternyata, dia tak berhasil. Jadi, apa 

yang telah terjadi? 

Senja makin tua digerogoti waktu. Hari mulai 

meredup. Matahari kian terpuruk. 

"Tuan Penolong! Hoi, Tuan Penolong! Kemana 

kau?!" 

Lelaki Berbulu Hitam memangil-manggil Andika. 

Manusia berdarah setengah serigala itu tampak 

berjalan celingukan di tempat Andika dan Macan 

Hitam Betina sebelumnya. 

Mulas di perutnya sudah dapat dienyahkan. Di 

samping karena 'persediaan'nya sudah terkuras, juga 

karena keberangannya menguap. Padahal, kepalanya 

masih benjut sebesar telur angsa. 

"Ah! Ke mana dia? Kenapa aku ditinggal begitu 

rupa!" 

Taring Lelaki Berbulu Hitam menyembul. Sifat 

berangasannya pasti bakal mencelat lagi, kalau 

bukan Andika yang sedang dicarinya. 

"Tuan Penolong! Di mana kau? Beritahu aku! Apa 

kau dongkol padaku?! Aku janji tak akan buang hajat 

lagi sepanjang hayat, supaya Tuan tidak dongkol lagi 

padaku!" 

Alis lembut Lelaki Berbulu Hitam terungkit. 

Sambil memegangi pantatnya, mulutnya meringis 

kecut. Laki-laki kekar berbulu ini berpikir, bila tidak 

buang hajat sepanjang hayat, apa nanti tidak

sengsara? 

"Eh! Maksudku bukan itu, Tuan Penolong! 

Maksudku, aku janji tak akan pernah lagi buang hajat 

di sungai!" ralat Lelaki Berbulu Hitam terburu-buru, 

seolah takut sumpah sebelumnya jadi telanjur. 

"Maaf, Kisanak!" 

Mendadak terdengar teguran dari belakang. Lelaki 

Berbulu Hitam menoleh. Tampak di depannya lelaki 

tua telah berdiri di belakangnya. Usianya tujuh 

puluhan. Berjubah hitam pudar yang tampaknya tak 

kalah tua dengan pemiliknya. Tubuhnya tak terbilang 

renta, jika dibanding usianya. Kumisnya putih tipis tak 

terawat, seputih rambutnya yang memanjang hingga 

bahu. Orang tua itulah yang tampak di desa korban 

keganasan racun di Padang Mega Racun. 

Tahu kalau bukan Andika yang menegurnya, acuh 

saja Lelaki Berbulu Hitam meneruskan langkahnya. 

"Maaf, Kisanak. Bisakah kau berhenti sejenak? 

Aku ingin sedikit bertanya padamu," tegur orang tua 

itu kembali. 

"Aku sedang mencari seseorang!" sahut Lelaki 

Berbulu Hitam, ketus dan sambil lalu. 

"Tapi, bukankah tak rugi bila sedikit menolongku, 

Kisanak," usik orang tua itu kembali. Nada ramah 

ucapannya masih terjaga. 

"Aku tak peduli," tandas Lelaki Berbulu Hitam. 

Orang tua itu menyusul. Langkah Lelaki Berbulu 

Hitam dijajarinya dengan ringan. 

"Maaf sekali lagi, Kisanak. Aku ingin bertanya 

untuk keadaan yang begitu mendesak. Ini 

menyangkut keadaan genting yang bisa merenggut 

korban nyawa," lanjut orang tua itu tak menyerah. 

Lelaki Berbulu Hitam menggeram. Dipenggalnya 

langkah kakinya. Dengan mata membesar, ditatapnya

orang tua tadi. 

"Apa kau tak dengar perkataanku tadi. Aku bilang, 

aku tak peduli. Yang aku peduli, aku mesti 

menemukan Tuan Penolongku!" tegas Lelaki Berbulu 

Hitam. 

Orang tua berjubah hitam itu mengangkat tangan. 

Bibirnya tersenyum ramah, sekaligus sejuk. 

"Baik..., baik.... Begini saja, Kisanak. Kalau kau 

sudi menjawab pertanyaanku, maka aku akan mem-

bantu mencarikan orang yang kau cari. Bagaimana?" 

Lelaki menyeramkan berdarah serigala yang di-

tawari malah menatap tajam. Parasnya seperti seekor 

serigala lapar hendak menelan mangsa hidup-hidup. 

Memang susah berurusan dengan orang semacam 

dia. Kalau maunya hitam, ya mesti hitam. Tak bisa 

putih. Apalagi loreng! 

"Kau pikir aku butuh pertolonganmu?! Grrr!" 

Geraman Lelaki Berbulu Hitam pun meluncur. 

Orang tua berjubah hitam tetap tenang. Dia hanya 

mengangkat bahu. 

"Baiklah. Aku akan bertanya pada orang lain saja 

kalau begitu." 

"Bagus, grrr...." 

"Aku mohon pamit," hatur si orang tua. 

"Tidak bagus!" bentak Lelaki Berbulu Hitam, 

memaksa orang tua tadi mengurungkan niatnya. 

"Apa maksudmu?" 

"Kepalamu harus kukepruk dulu!" 

Bibir keriput orang tua berjubah hitam mem-

perlihatkan senyum samar. 

"Kenapa kau hendak mengeprukku? Bukankah 

aku tak berbuat salah?" 

"Siapa bilang?! Kau telah memancing ke-

beranganku! Kau tahu, apa artinya itu?"

Si orang tua mengangkat bahu. 

"Kalau kau tak kuhajar, itu artinya bakal membuat 

perutku mulas lagi." 

Sekali lagi kening orang tua berjubah hitam 

dipaksa berkernyit. Apa hubungannya perut mulas 

dengan semua ini? 

"Dan kalau perutku mulas, aku harus buang hajat 

lagi," susul Lelaki Berbulu Hitam. 

Si orang tua mulai merasa orang berpenampilan 

seram ini sudah tak waras. Ucapannya makin ngalor 

ngidul tak karuan. 

"Kalau aku buang hajat lagi, berarti Tuan Penolong 

akan makin dongkol padaku. Dan kalau Tua Penolong 

dongkol padaku, aku tak akan diizinkan bertemu lagi 

dengannya. Dan kalau tak diizinkan bertemu lagi 

dengannya, aku bakal tak sembuh. Dan kalau aku tak 

sembuh...." 

"Baik..., baik!" 

Cerocos yang tak sempat diselingi tarikan napas 

itu cepat-cepat dihentikan si orang tua. Masalahnya 

dia merasa jadi ikut sinting kalau terus menyimak 

ucapan ngelantur yang tak dimengerti itu. 

"Kalau aku punya salah, aku minta maaf," lanjut 

orang tua itu. 

"Grrr! Tak bisa begitu!" 

Wukh! 

Tahu-tahu saja, tangan setebal badan ular sanca 

hutan Lelaki Berbulu Hitam ngeloyor deras ke kepala 

si orang tua. Jaraknya cukup jauh. Namun, orang tua 

berjubah hitam dibuat terkesiap mendapati angin 

pukulan berkekuatan hebat dihasilkan gerakan 

tangan Lelaki Berbulu Hitam. 

Si orang tua cepat menangkis. Dia tahu, apa 

akibatnya kalau pelipisnya sampai terhajar tinju besar

Lelaki Berbulu Hitam. 

Plak! 

Tangan mereka berbenturan. Si orang tua ter-

dorong beberapa tindak ke belakang. Sungguh tak 

dikira kalau tenaga lawan jauh lebih kuat dari 

perkiraannya. Pergelangan tangannya pun terasa ber-

denyut-denyut. 

"Kau tak boleh menangkis! Jangan buat aku 

berang!" dengus Lelaki Berbulu Hitam. 

"Bagaimana aku tak menangkis kalau pelipisku 

bakal remuk oleh kepalanmu?" sanggah si orang tua. 

"Kalau begitu, kita berkelahi! Berkelahi!" 

Memangnya tadi itu apa? Rutuk orang tua ber-

jubah hitam dalam hati. 

Wesss! 

Satu terjangan seekor serigala dilakukan Lelaki 

Berbulu Hitam. Wajar saja gerakan itu sering dilaku-

kan tanpa sadar kalau sedang marah, mengingat dia 

dibesarkan oleh sepasang serigala hutan besar. Dan 

kuku panjang hitamnya pun menebas udara, menuju 

dada. 

Si orang tua tak mau membuat kesalahan kedua. 

Dia masih belum yakin telah dapat mengukur tingkat 

kekuatan lawan. Karena itu, tak dipapakinya 

sambaran tangan, namun hanya menyampingkan 

badan. 

Sambaran yang berhasil dimentahkan makin 

menyuburkan keberangan Lelaki Berbulu Hitam. 

Kakinya segera membuat tendangan kasar melingkar. 

Orang tua berjubah hitam memanfaatkan ruang 

kosong di bawah kaki lawan. Tubuhnya cepat 

merunduk. Merasa dirinya terancam, dia pun merasa 

harus melakukan serangan balasan. Punggung 

tangannya dikibaskan ke selangkangan Lelaki

Berbulu Hitam amat cepat. 

Cletat! 

"Whiaaauuu!" 

Tak alang kepalang, Lelaki Berbulu Hitam me-

mekik nyaring. Dua bola rahasia di balik celananya 

kontan perih berdenyut-denyut. Perutnya sampai 

dibuat mual. Sikap meremehkan lawan yang tampil 

renta di matanya membuatnya ceroboh. 

Tubuh bongsor Lelaki Berbulu Hitam melintir-lintir 

serabutan. Tangannya mendekap 'mesra-mesra' milik-

nya yang paling berharga di seantero jagi raya! 

"Akan kumamah dagingmu, Jompo Keparat!" maki 

Lelaki Berbulu Hitam di antara erangan dan geraman. 

"Ada apa ini?!" 

Suasana panas pemicu pertarungan besar men-

dadak dipadamkan oleh sebuah teguran. Lelaki bulu 

Hitam mengurungkan niat hendak menerkam 

tengkuk orang tua berjubah hitam dengan taringnya, 

meski 'kelereng' kesayangannya masih sakit sampai 

ulu hati, meski keberangannya sudah naik sampai 

ubun-ubun, bahkan meski dunia sedang kiamat, dia 

memang harus menghentikan serangan. Soalnya, 

yang telah berdiri tidak jauh dari situ bukan orang 

sembarangan baginya. Dia ternyata Andika, anak 

muda yang dikira bisa mengenyahkan sifat pem-

berangnya. 

"Ke mana saja kau, Pak Tua Bulu? Aku 

kelimpungan mencarimu kian kemari! Apa kau tak 

tahu aku membutuhkan pertolonganmu?!" sembur 

Andika sewot. 

Sewaktu mengatakan pada petani tua hendak 

menahan gerak burung-burung penggiring kabut 

beracun, Pendekar Slebor berpikir untuk meminta 

bantuan Lelaki Berbulu Hitam. Sesepuh sakti seperti

dia, biarpun kurang waras, agaknya masih bisa 

diandalkan bantuannya. Tapi sewaktu kembali ke 

tepian sungai, Lelaki Berbulu Hitam sudah raib. Yang 

menjengkelkan, Andika malah hanya menemukan 

bau busuk sekawanan dedemit! 

"Tuan Penolong dari mana saja?!" sambut Lelaki 

Berbulu Hitam. 

Semestinya wajah penuh bulu itu memperlihatkan 

raut gembira. Karena suasana sedang panas. 

Wajahnya malah seperti hendak memusuhi Andika. 

"Sudah kubilang tadi, aku mencari-carimu, Pak Tua 

Bulu. Aku butuh pertolonganmu!" sahut Andika. 

"Tidak usah, Tuan Penolong...." 

"Tak usah apa?!" sentak Andika, naik darah. "Ini 

persoalan nyawa banyak penduduk desa!" 

"Bukan itu, Tuan Penolong." 

"Jadi apa?!" 

"Tak usah memanggilku 'Pak Tua Bulu'. 

Kedengarannya terlalu jelek. Kedengarannya mirip-

mirip 'ulat bulu', atau mirip...." 

"Ah! Siapa yang peduli," gerutu Andika. "Ayo, 

sebaiknya cepat ikut aku!" 

"Tak usah tergesa, Andika," sapa orang tua ber-

jubah hitam. Mengherankan! Ternyata dia mengenali 

pendekar muda dari Lembah Kutukan! 

Andika menoleh. Sejak tiba tadi, dia kurang 

memperhatikan siapa lawan Lelaki Berbulu Hitam. 

Pendekar Slebor terlalu digerecoki kedongkolan pada 

manusia kelebihan bulu itu. Di samping itu, hari 

memang sudah semakin senja. Kegelapan mulai 

merambah. 

"Apa aku tak salah lihat?" gumam Andika. 

Dengan terpana, Andika menatap orang tua tadi. 

Wajah itu pernah dikenalnya. Bukan hanya kenal.Bahkan Andika pernah begitu dekat. Seperti dekatnya 

seorang cucu pada sang eyang. 

"Ki Patigeni?" bisik Andika tak yakin. 

Orang tua yang dipanggil Ki Patigeni membuka 

lebar-lebar kedua tangannya. 

"Kau kira siapa? Apa aku mirip hantu salah jalan?" 

gurau orang tua ini enteng. 

Kontan saja Andika memburu. Didekapnya orang 

tua itu padat kerinduan. Dia seperti bertemu orang 

yang dianggapnya sudah tak akan pernah lagi 

dijumpai. Sementara Ki Patigeni menyambutnya 

dengan pelukan tak kalah hangat. Sesaat mereka 

saling mengguncang-guncangkan badan seraya ter-

bahak-bahak ramai. 

Ki Patigeni adalah salah seorang rekan seper-

juangan Andika. Dia yang membantu Andika dalam 

kejadian beberapa tahun silam, ketika dunia per-

silatan digegerkan oleh kemunculan Ratu Racun. 

(Baca kisahnya dalam episode: "Geger Ratu 

Racun"). 

"Ceritakan tentang kabarmu, Ki!" pinta Andika 

meletup-letup. 

Sesaat Pendekar Slebor jadi terlupa dengan 

kejadian di desa. Bagaimana dia tidak begitu? Sebab 

selama ini Andika tahu kalau Ki Patigeni telah mati 

terkena salah satu racun ganas Ratu Racun. Kalau 

sekarang bertemu, betapa mengejutkan baginya. 

"Tuan Penolong," sela Lelaki Berbulu Hitam. 

Andika mengira manusia langka satu itu ingin 

diperkenalkan dengan Ki Patigeni. 

"O, iya, Ki. Perkenalkan ini..." 

"Bukan itu, Tuan Penolong," potong Lelaki Berbulu 

Hitam. "Aku hanya mau tanya, bolehkah aku pergi ke 

sungai lagi?" pinta Lelaki Berbulu Hitam memelas.

Gara-gara tak jadi mengepruk batok kepala Ki 

Patigeni, perutnya jadi ngadat lagi! 

***

8


Malam tak lagi gulita. Api unggun membubung, 

membentuk tarian aneh membunuh gelap di tempat 

Andika bertemu Ki Patigeni. Kedua orang itu kini 

sedang hangat bercakap-cakap. Sementara Lelaki 

Berbulu Hitam sudah sejak lepas senja tadi 

bersemadi di semak-semak. 

Di balik batu besar sekitar tujuh delapan tombak 

ke selatan, seorang wanita mengintip. Dia adalah 

Macan Hitam Betina. Sewaktu di pinggir desa siang 

tadi. Andika meninggalkannya pergi begitu saja. 

Pendekar wanita ketus itu berusaha menguntit. Tapi, 

jangan harap Andika bisa dikejar dengan mudah. 

Tentu saja, karena di dunia persilatan ilmu meringan-

kan tubuh Pendekar Slebor masih berada dalam 

jajaran atas. Sementara, Macan Hitam Betina cuma 

seorang pendekar wanita tergolong bau kencur. 

Di samping kedigdayaannya masih tanggung. 

Pengalamannya pun masih seujung kuku. 

Andai tahu siapa yang dikejarnya saat itu, tidak 

akan mau Macan Hitam Betina melakukan pekerjaan 

bodoh itu. Setelah kehilangan jejak dan be-putar-

putar tak menentu hingga malam hari. Pendekar 

Slebor baru bisa ditemukannya lagi. Dan api unggun 

telah menolongnya sampai di tempat itu. 

Macan Hitam Betina segera menguping per-

cakapan Andika dan Ki Patigeni. Dua lelaki bertaut 

usia itu sedang membincangkan kenangan lama 

mereka, saat berurusan dengan Ratu Racun. 

Mereka membicarakan segalanya. Termasuk, tipu

muslihat Ki Patigeni. Andika pernah dikecohnya 

dengan berpura-pura mati. Seperti Pendekar Lembah 

Kutukan buyut Andika pernah pula mengecoh anak 

muda itu di Lembah Kutukan (Baca episode: 

"Dendam dan Asmara") Orang tua itu melakukannya, 

karena berharap Andika kian memendam tekad untuk 

menumpas Ratu Racun. Tipuannya demikian 

sempurna. Bahkan Andika sendiri yang mengubur-

kannya waktu itu. 

"Ah! Tanpa kau berpura-pura mati pun, aku tetap 

memiliki tekat sebulat telur monyet dalam menumpas 

setiap kebatilan! Ha-ha-ha!" tukas Andika, bergurau 

pada Ki Patigeni. 

"Tapi aku jadi tak habis pikir, kenapa Pendekar 

Slebor yang digembar-gemborkan berotak seencer 

bubur bayi, masih bisa kutipu. Bukankah kau tahu, 

aku pernah mengalahkan guru Ratu Racun? Kalau 

begitu, mestinya kau berpikir aku tak akan begitu 

mudah ditamatkan oleh racun muridnya?" cemooh Ki 

Patigeni. Seperti dulu, dia suka mencemooh Andika 

sambil bergurau. 

"Apa?! Jadi kau ini Pendekar Slebor yang meng-

gemparkan itu?!" 

Mendadak saja terdengar seruan kaget dari balik 

batu. Ketika Pendekar Slebor dan Ki Patigeni 

menoleh, tampak Macan Hitam Betina keluar dari 

persembunyiannya. Sejak Andika berkumpul dengan 

Ki Patigeni dan Lelaki Berbulu Hitam, dia terus 

menguntit. Wanita sok tahu itu curiga dengan 

mereka. 

"Kau lagi...," gerutu Andika. "Kenapa tak enyah saja 

jauh-jauh dari tempat ini?" 

Wanita ayu itu mendekati Andika dengan sinar 

mata berbinar-binar. Bertolak-belakang sekali dengan

sebelumnya. Wajahnya pun kini berhias senyum 

malu-malu. Mekar seperti bunga. 

"Aku rasanya harus minta maaf padamu...," kata 

Macan Hitam Betina di depan Andika. Sikapnya serba 

salah. Telapak tangannya terus digosok-gosokkan. 

Sewaktu bicara, pandangannya tak berani bertemu 

dengan pandangan Andika. 

"Aku tak mengerti maksudmu?" tukas Andika. 

"Maksudku, aku minta maaf. Kemarin aku telah 

begitu lancang," ucap Macan Hitam Betina, menjelas-

kan. 

"Siapa bilang kau lancang? Kau cuma brengsek, 

ketus, angkuh, dan sok tahu!" 

"Ah! Jangan begitu..., Pendekar Slebor. Kemarin 

kita cuma salah paham. Kalau tahu kau ternyata 

pendekar besar, tak akan aku berbicara 

sembarangan…" 

Andika mencibir. Jelek sekali. 

*** 

Siang terik. 

Empat orang memasuki desa siang itu. Sepi 

mengungkung. Tak seorang penduduk pun yang 

berani pulang. Mereka masih cemas dengan kabut 

beracun maut yang masih mengepung desa. 

Tak seperti kemarin senja, kabut kelabu sudah tak 

bergentayangan lagi. Panggangan panas matahari 

telah menyebabkan bobot kabut menjadi ringan. 

Semuanya perlahan-lahan menguap ke angkasa, ber-

kumpul kembali membentuk gumpalan-gumpalan 

mirip awan mendung. Dan jika hari menjadi senja, 

ancaman maut kabut tersebut siap turun kembali 

mengepung setiap sudut desa.

Kemari sore, ketika Andika hendak mengajak 

menyelidik desa, Ki Patigeni mencegahnya. Pada 

Andika dikatakan, bahwa sampai saat itu tak ada 

korban manusia. Dan pemuda ini tak perlu khawatir. 

Di samping itu, Ki Patigeni punya rencana lain. Sebab 

itu, mereka pun menghabiskan malam dengan mem-

buat api unggun di tempat yang sama, untuk 

menunggu siang tiba. 

Pendekar Slebor, Lelaki Berbulu Hitam, Ki Patigeni, 

serta Macan Hitam Betina yang belakangan mengaku 

bernama asli Cempaka, memutuskan untuk me-

masuki desa. Ki Patigeni yang banyak tahu tentang 

racun, mengatakan bahwa pada siang terik seperti 

saat itu, mereka bisa memasuki desa. 

Sesuai petunjuk Ki Patigeni pula, mereka mulai 

menyingkirkan seluruh gulungan-gulungan tanah 

hitam sebesar kepalan tangan yang memenuhi 

beberapa wilayah desa. 

Tak mudah mereka melakukan pekerjaan seperti 

itu. Karena, mereka harus memindahkan seluruh 

benda penyebab mengambangnya kabut racun di 

atas desa ke tempat yang dianggap aman. Satu-

satunya tempat sementara yang jarang diinjak 

penduduk desa hanya hutan lebat di sebelah 

tenggara desa. Namun jaraknya hampir seperempat 

hari untuk sampai ke sana. 

Dengan sedikit memutar otak encernya, Andika 

mendapat jalan yang dapat mempermudah mem-

percpat pekerjaan itu. Dengan peti-peti kayu bekas 

tempat telur yang didapat dari sebuah gudang milik 

penduduk, mereka menghanyutkan seluruh gulungan 

tanah langka itu. Kebetulan, sungai yang sempat 

dicemari 'limbah' milik Lelaki Berbulu Hitam 

memotong hutan sebelah tenggara. Agar tak terus

terbawa arus, Andika meminta Macan Hitam Betina 

untuk menunggu seluruh peti di dalam hutan. Wanita 

itu pula yang akan mengumpulkan seluruh gulungan 

tanah ke tempat teraman. 

Ketika sebagian demi sebagian gulungan tanah 

dihanyutkan, maka sebagian demi sebagian kabut 

kelabu di angkasa pun bergerak mengikuti arah arus 

sungai. 

Dengan disingkirkannya seluruh gulungan tanah ke 

dalam hutan, maka desa pun menjadi terbebas dari 

ancaman kabut racun. 

*** 

Cempaka alias si Macan Hitam Betina meng-

hempas napas keras-keras. Disapunya peluh yang 

membanjiri dahi. Letih pun menggelayuti sekujur 

tubuhnya. Dia pun terduduk di rerumputan hutan. 

Tugas dari Andika baru saja diselesaikan. Gumpalan-

gumpalan tanah dari Padang Mega Racun telah 

terkumpul di sebuah lubang bekas jebakan binatang. 

Kalau dipikir-pikir, sampai semua monyet jadi 

botak pun Cempaka tak akan sudi diperintah 

seenaknya seperti itu. Selaku seorang yang meng-

anggap dirinya pendekar, harga dirinya seperti di-

guyur lumpur hitam. Masa' dirinya diperintah 

melakukan pekerjaan kasar seperti kuli batu? 

Memindahkan peti-peti dari sungai, mengangkutnya, 

lalu mengumpulkannya pada lubang. 

Berhubung yang memintanya Andika, anak muda 

yang namanya melambung sebagai Pendekar Slebor, 

Cempaka malah merasa mendapat kehormatan. 

Bagi wanita itu, Pendekar Slebor seperti sosok 

seorang pahlawan pujaan. Sebelum turun ke dunia

persilatan, Cempaka memang sudah banyak dengar 

bagaimana sepak terjang pemuda itu. Bagaimana 

kekuatan kharismanya. Termasuk, ketampanannya, 

tentu. Karena begitu sering mendengar berita-berita 

luar biasa tentang Pendekar Slebor, lama kelamaan 

hatinya jadi kesemsem. Dia sering berkhayal bisa 

bertemu pemuda sakti itu. Atau lebih keterlaluan lagi, 

dia membayangkan dirinya berjalan bergandengan 

mesra dengan Andika. Atau bahkan, memimpikan 

menjadi kekasihnya. 

Kalau sekarang seluruh impian Macan Hitam 

Betina terwujud, apa itu bukan kejutan? Apa itu tidak 

membuatnya mau melakukan pekerjaan-pekerjaan 

yang dianggap tak pantas bagi seorang pendekar 

wanita seperti dia? 

Cempaka membayangkan wajah Andika. Ketam-

panan anak muda itu benar-benar menggetarkan 

perasaan. Kekaguman wanita ini bertambah bila 

melihat mata setajam elang milik Andika. 

"Andai aku benar-benar menjadi kekasihnya...," 

bisik wanita ini lamat. 

Tanpa sadar, perempuan ayu itu memainkan 

ujung-ujung rambutnya. Tak bedanya tingkah gadis 

desa yang sedang dilanda kasmaran. Sewaktu 

matanya tertumbuk pada luka di jari-jari tangan 

kirinya, dia jadi menyesal kenapa kemarin malah 

menolak pertolongan pemuda tampan itu. Bukankah 

sungguh membirukan perasaannya jika Andika 

memegang jemarinya yang terluka, lalu mengobatinya 

penuh kelembutan? Khayalan dalam benaknya makin 

liar saja. Sampai.... 

"Kita bertemu lagi, Nona Ayu!" 

Cempaka terlonjak ketika tiba-tiba terdengar 

teguran kasar. Sejurus kepalanya menoleh ke arah

suara. Tampak seseorang yang telah menyebabkan 

jari-jemari lentiknya menjadi rusak. Pendagel Setan! 

"Kau rupanya, Manusia Keparat! Aku memang 

berharap dapat bertemu kembali denganmu dan 

mencopot kepala jelekmu dari badan!" desis Macan 

Hitam Betina. 

Sifat wanita ini memang sok hebat. Biarpun 

kemarin sudah hampir mampus di tangan Pendagel 

Setan, tetap saja seolah-olah bisa mengalahkan lelaki 

sesat itu. 

Pendagel Setan terkekeh. Lama-kelamaan dia ter-

pingkal-pingkal. Sampai kedua tangannya mendekap 

perut. Tak ada yang bisa ditertawakan siapapun pada 

saat itu. Tapi baginya, tetap ada sesuatu yang lucu. 

"Sinting!" maki Macan Hitam Betina dengan wajah 

mematang. 

"Kau mengira akan bisa mengenyahkanku. 

Sementara, kemarin saja kau sudah nyaris mampus 

di tanganku. Untung saja Pendekar Slebor segera 

menolongmu!" ejek Pendagel Setan. 

"Kau ingin membuktikannya sekarang?" 

"Membuktikan apa, Nona Ayu yang kehilangan 

kuku?" 

"Bahwa aku dapat menumpasmu! Manusia macam 

kau memang semestinya cepat-cepat mati!" 

Pendagel Setan terkekeh lagi. Terbahak lagi. Juga 

mendekap perutnya lagi. Jelas saja sikapnya lebih 

cepat memancing kegusaran Macan Hitam Betina 

yang merasa dilecehkan. 

"Manusia keparat! Haiii!" 

Cempaka pun seketika menerjang Pendagel Setan. 

Dari jarak enam tombak, dia melompat tinggi dengan 

sebelah kaki siap menghantam dada Pendagel Setan 

di depan.

Wukh! 

Hanya angin yang menjadi sasaran tendangan 

terbang Macan Hitam Betina, karena tubuh Pendagel 

Setan lebih cepat berjumpalitan ke belakang. 

Tangannya dijadikan tumpuan untuk membalikkan 

badan kembali. 

Dengan kalap, Cempaka melanjutkan serangan. 

Begitu kakinya tiba kembali di tanah, punggung 

tangan kanannya dibabatkan ke kepala. Seperti 

serangan sebelumnya, usahanya kali ini pun penuh 

tenaga. Tampaknya, perempuan itu benar-benar ber-

nafsu hendak menghabisi Pendagel Setan secepat-

nya. Mungkin baginya lebih cepat melenyapkan tokoh 

aneh dari muka bumi, akan lebih baik. 

Seperti sedang bermain kucing-kucingan, Pendagel 

Setan sekali lagi berjumpalitan ke belakang. Tahu 

kalau tokoh aneh ini butuh tempat berpijak belakang. 

Macan Hitam Betina melompat lebih jauh mencoba 

lebih dahulu tiba di tempat Pendagel Setan akan 

berpijak. Kalau tiba lebih dahulu kesempatannya 

akan lebih besar untuk bisa menyarangkan serangan 

pada lawan yang belum siap. Begitu pikirnya. 

Tep! 

Memang, Macan Hitam Betina bisa menyusul 

jumpalitan lawan. Kakinya menjejak lebih dahulu, 

setelah melenting dan berputar di udara. Apakah itu 

berarti pula dia bisa memanfaatkan kelemahan 

lawan? 

Ternyata, tidak juga, Cempaka terlalu percaya 

pada kemampuan dirinya. Sementara sejauh itu, dia 

tak sungguh-sungguh tahu orang macam apa yang 

dihadapi. 

Sewaktu Macan Hitam Betina mencoba mencabik 

wajah lawan dengan jari kanan dari arah bawah,

dengan lincah Pendagel Setan membuat pijakan 

cepat. Dan dengan cepat pula tubuhnya terlempar 

kembali ke tempat sebelumnya. 

Tindakan itu bukan sekadar untuk menyelamatkan 

wajahnya dari sambaran cakar Cempaka. Namun 

sekaligus juga mengirimkan tendangan dengan dua 

kaki ke rusuk. 

Desss...! 

"Aaakh...!" 

Berbareng bunyi sambaran tangannya. Cempaka 

merasa uluhatinya bagai dihantam gelondongan 

pohon. Mual teramat sangat. Bahkan untuk beberapa 

saat, dia tak bisa menarik napas. Begitu jaringan 

pernapasannya bisa menarik udara, pandangannya 

langsung berkunang-kunang. 

Pendagel Setan rupanya benar-benar mau bermain 

kucing-kucingan dahulu. Buktinya, serangannya tak 

segera dilancarkan pada saat dia bisa melakukannya. 

Sengaja dibiarkan Macan Hitam Betina menikmati 

rasa mualnya. 

"Bagaimana? Apakah kau tadi belum sarapan? 

Mestinya kau sudah memuntahkan semua isi perut. 

Apa pendekar muda tampan itu terlalu kikir untuk 

membelikanmu sarapan? He-he-he!" cemooh 

Pendagel Setan memuakkan. 

Cempaka menggoyang-goyangkan kepala be-

berapa kali. Rambutnya jadi kacau. Sebagian 

menutupi wajahnya yang berkeringat. Pucat. Perutnya 

masih terasa mual. Dia ingin muntah. Sewaktu men-

dengar perkataan tokoh menyebalkan ini, keinginan 

itu sekuatnya ditahan. 

Dengan tubuh agak membungkuk memegangi 

perut, pendekar wanita beradat keras itu meludah 

tanah.

"Kurasa, kau adalah lelaki yang semasa kecilnya 

tak pernah mendapatkan perhatian orang lain! 

Tingkahmu terlalu tengik! Kau pikir, orang akan 

tertawa menyaksikan dagelan busukmu?!" desis 

Cempaka. 

"Setidaknya, aku bisa tertawa. Aku bisa mener-

tawai kesaktian mereka, aku bisa menertawai 

hilangnya nyawa mereka!" sahut Pendagel Setan, 

menggidikkan. 

"Ya! Kau memang sudah tak waras!" 

"Ya! Yang penting, aku bisa tertawa! Ha-ha-ha!" 

"Kubunuh kau!" 

Dengan gejolak semangat tarung yang semakin 

payah, perempuan ayu yang menjuluki diri Macan 

Hitam Betina itu menerkam Pendagel Setan. 

Dorongan kemurkaan yang sejak awal menguasai 

membuat gerakannya tak terarah. Kalau gerakannya 

yang semula teratur saja belum tentu bisa sekadar 

membuat lawan kelimpungan, apalagi dengan 

keadaan begitu? 

Namun apa memang wanita itu benar-benar 

sedang dikuasai kemurkaannya? Ternyata, tidak 

begitu. Cempaka tergolong dara berotak jernih. Dia 

sering mengagumi kecerdikan Andika karena 

memang memiliki kelebihan dalam hal itu. Dan salah 

satu impiannya bila berjumpa Andika adalah 

mengadu kecerdikan! 

Dengan begitu, tentu Cempaka tahu kalau lawan 

bukan tanding ilmu kedigdayaannya. Jalan satu-

satunya yang terbaik adalah meloloskan diri. Setelah 

itu, memberitahukan Andika. Berhadapan dengan 

pemuda itu, Pendagel Setan pasti akan ketemu 

batunya. 

Jadi, apa rencana yang ada di benak Macan Hitam

Betina saat itu? 

Saat mendekap perut tadi, diam-diam Cempaka 

mengeluarkan serbuk pupur yang digunakan untuk 

merawat kulit wajah ayunya. Di depan muka Pendagel 

Setan, seketika ditaburkannya serbuk pupur itu 

sekuat tenaga. 

Wrrr! 

Saat itu juga, mata Pendagel Setan terlabrak 

'senjata rahasia' si perempuan yang rupanya 

senantiasa berusaha menjaga keayuannya. Perih 

dirasa. Tangannya serabutan mendekap kedua mata. 

Saat itulah Cempaka langsung mempergunakan 

kesempatan untuk melepas tendangan putarnya. 

Wuk! 

Tendangan pertama berhasil dihindari Pendagel 

Setan hanya dengan mendengar bunyinya. Namu 

tendangan kedua yang menyusul cepat di belakang 

tak bisa lagi dihindari tanpa melihat. Dan.... 

Begkh! 

"Ugkh...!" 

Sekarang uluhati Pendagel Setan bisa menikmati 

rasa mual tak terkira. Paling tidak, sebagai bayaran 

atas tendangannya pada perut Macan Hitam Betina 

barusan. 

Saat Pandagel Setan bergulingan di tanah 

menahan pedih di mata serta mual di perutnya, 

Macan Hitam Betina langsung menggenjot tubuh. 

Ditinggalkannya tempat itu dengan senyum cukup 

puas. 

"Kau pun boleh memuntahkan seluruh isi perutmu 

sekarang manusia busuk!" ejek Cempaka di 

kejauhan. 

Sesaat setelah Macan Hitam Betina pergi, 

Pendagel Setan bangkit dengan segenap kemurkaan.

Tubuhnya pun digenjot pula, mengejar perempuan 

tadi. 

"Kau akan merasakan akibat dari perbuatanmu 

tadi. Nona Ayu! Kau akan tahu nanti!" ancam lelaki 

ini. 

***

9


"Ke mana Cempaka? Kenapa dia belum juga tiba?" 

Andika mulai khawatir pada keadaan perempuan 

itu. Hari sudah menjelang senja, namun Cempaka 

belum juga tiba. 

Seluruh desa telah bersih dari tanah pembawa 

kabut maut. Sebetulnya, akan sangat menyulitkan 

mencari gulungan-gulungan sebesar kepalan yang 

tersebar di beberapa sudut desa. Untunglah ada 

seseorang yang bisa diandalkan untuk itu.... Lelaki 

Berbulu Hitam. 

Manusia setengah serigala itu memang memiliki 

kelebihan dalam penciumannya. Seperti seekor 

anjing pelacak, dia dapat mengendusi tempat-tempat 

jatuhnya tanah itu. Meskipun, ada di lubang tikus! 

Kebetulan pula, tanah dari Padang Mega Racun itu 

menghasilkan bau yang khas. Anyir seperti bangkai 

binatang laut. 

Sudah hampir sepertiga hari mereka menunggu 

kedatangan Cempaka di balai desa. Sementara orang 

yang ditunggu belum juga muncul. 

"Mungkin sebentar lagi," hibur Ki Patigeni, men-

coba menenangkan Andika. 

Lelaki tua itu duduk mengangkat kaki di salah satu 

kursi bambu di pinggiran balai desa. Sementara 

Lelaki Berbulu Hitam seperti kemarin malam, me-

lakukan semadinya di sebelah gapura. 

Sebenarnya, Ki Patigeni pun khawatir terhadap 

keselamatan dara itu. Yang diketahuinya dari Andika, 

Cempaka belum lama memasuki keganasan dunia

persilatan. Tapi, akan lebih bijaksana jika segala 

sesuatu dilakukan dengan tenang. Begitu per-

timbangan Ki Patigeni. 

Andika berjalan mondar-mandir. Wajahnya ketat, 

menampakkan kekhawatiran. 

"Mestinya dia telah sampai dan melaporkan 

semuanya pada kita," kata pemuda itu lagi. 

"Ya, mestinya begitu," timpal Ki Patigeni. 

Andika menghentikan langkahnya tiba-tiba. Di-

lepaskannya pandangan jauh ke atas sana, ke arah 

hutan tempat pembuangan gulungan-gulungan tanah 

hitam. Wajahnya berubah cepat. Sinar matanya ter-

lihat begitu tegang. 

"Ada apa, Andika?" tanya Ki Patigeni. 

"Cepat ikut aku, Ki!" ajak Andika. 

Tanpa ingin menanyakan tujuan mereka, Ki 

Patigeni mengikuti Andika. Orang tua itu percaya 

penuh pada Andika, karena memang sudah kenal 

baik. Seluruh pertimbangannya terkadang tak bisa 

diremehkan begitu saja. 

Mereka berlari cepat mengerahkan ilmu me-

ringankan tubuh. Tak begitu lama, mereka tiba di 

bukit batas desa. Dari bukit itu, Andika menunjukkan 

sesuatu pada Ki Patigeni. 

"Lihatlah, Ki...," ujar pemuda ini seraya menunjuk 

jauh-jauh ke ubun-ubun hutan sebelah tenggara. 

"Tuhan...! Tampaknya kita telah salah perhitungan, 

Andika," desah Ki Patigeni. 

Orang tua ini melihat gumpalan-gumpalan kabut 

beracun kini menggelantung di atas hutan sebelah 

tenggara desa. 

"Gumpalan-gumpalan kabut itu amat dikenali oleh 

pemiliknya, bukan? Dan dari kejauhan itu bisa dilihat 

mudah. Artinya...."

"Artinya, kecurigaan Pendagel Setan dapat ter-

pancing," sela Ki Patigeni. "Kemungkinan besar dia 

akan mendatangi tempat itu. Dan...." 

"Dan Cempaka pasti dalam bahaya. Dia tak akan 

sanggup menghadapi kesaktian manusia laknat itu!" 

rutuk Andika ikut-ikutan menyelak, "Sebaiknya kita 

cepat ke sana, Ki!" 

Mereka beranjak lagi. Dengan mengerahkan 

seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang 

dimiliki. 

*** 

Cempaka tiba di desa yang saat ini masih sepi. 

Biarpun sudah cukup aman dari kabut beracun, 

penduduk masih belum berani kembali. Setelah 

mencari-cari beberapa lama, barulah dia menemukan 

Lelaki Berbulu Hitam di balai desa. 

"Mana Kang Andika, Orang Tua?" tanya wanita itu 

pada Lelaki Berbulu Hitam yang masih khusuk 

bersemadi. 

Tak ada sahutan. Lelaki Berbulu Hitam tetap tak 

bergeming. Kepalanya menopang ke tanah. Sedang-

kan kakinya menjulur lurus ke atas. Sementara, 

kedua tangannya menyangga di kedua sisi untuk 

menjaga keseimbangan. 

"Kang Andika di mana?" ulang Cempaka, lebih 

keras. 

"Aku sedang bersemadi. Aku tak mendengar 

ucapanmu," jawab Lelaki Berbulu Hitam, akhirnya. 

Matanya tetap terpejam, tanpa merubah sikap tubuh-

nya. 

"Aku tahu kau sedang bersemadi, Orang Tua. Tapi 

aku harus bertemu Kang Andika secepatnya," tegas

Cempaka. 

Lelaki Berbulu Hitam tak menyahuti lagi. Keadaan-

nya seperti mayat. Tentu saja hal ini membuat Macan 

Hitam Betina jadi demikian dongkol. Padahal, 

keadaannya sedang dalam bahaya besar, karena 

Pendagel Setan masih memburunya. Sebentar lagi, 

tentu manusia sesat itu akan sampai juga. Tapi, 

manusia jelek satu ini malah menganggapnya 

nyamuk pengganggu semadi. 

"Sialan...," maki Cempaka, menggerutu. 

Sebal bukan main wanita ini. Dengan sedikit usil, 

hendak didepaknya satu tangan penyanggah 

keseimbangan tubuh Lelaki Berbulu Hitam. 

"Hih!" 

Sapuan kaki pendekar wanita yang masih hijau di 

dunia persilatan itu tak menghasilkan apa-apa. 

Jangankan bisa menjatuhkan tubuh terbalik si 

manusia setengah serigala. Menyentuh tangannya 

saja, tidak. Karena, Lelaki Berbulu Hitam cepat 

mengangkat tangannya. 

Cempaka makin sebal. Dia masih punya 

kesempatan mengusili Lelaki Berbulu Hitam cepat 

terjaga dari semadi anehnya. Satu tangan lain yang 

masih menyangga tubuh Lelaki Berbulu Hitam akan 

disapunya juga. Siapa tahu, kali ini berhasil. 

Wukh! 

Macan Hitam Betina gagal lagi. Seperti tadi, Lelaki 

Berbulu Hitam lebih cepat mengangkat tangannya. 

Sekarang tubuhnya terbalik tanpa topangan tangan 

satu pun. Kedua tangannya sudah bersidekap di 

depan dada. Hanya kepalanya saja yang jadi 

penyanggah ke lantai balai desa. 

Keliru kalau Macan Hitam Betina menganggap 

remeh manusia satu itu. Sejauh ini, Cempaka

memang belum tahu secara jelas, siapa Lelaki 

Berbulu Hitam sesungguhnya. Jangankan kedigayaan. 

Usianya saja sudah bertaut terlalu jauh. Seperti 

jauhnya mata kaki dengan mata kepala. Andika yang 

memiliki kesaktian tangguh saja, masih berpikir 

bolak-balik untuk berurusan dengan manusia 

setengah serigala itu! 

Dua kali gagal, menyebabkan Cempaka makin 

sebal saja melihat Lelaki Berbulu Hitam. Tenaga 

dalamnya cepat dikerahkan. Akan dihentaknya tubuh 

terbalik itu dengan sepenuh tenaga. Biar terjengkang 

sekalian. Demikian pikir Cempaka lagi. 

Deb! 

Begitu tenaga dorongan wanita itu meluruk deras 

ke sepasang kaki, Lelaki Berbulu Hitam tiba-tiba 

mencelat. 

Duk! Duk! Duk! 

Sinting! Manusia kurang waras itu melompat-

lompat dengan kepalanya! 

"Ada apa ini! Kenapa kau berani-beraninya 

mengusik semadi Lelaki Berbulu Hitam?! Apa sudah 

bosan hidup?!" bentak Lelaki Berbulu Hitam meledak-

ledak, sesudah membalikkan tubuh. 

"Maaf, Orang Tua. Aku terpaksa melakukannya. 

Aku ingin bertanya padamu, di mana Kang Andika?" 

ucap Cempaka, bergegas. Hatinya ngeri juga melihat 

wajah berang menakutkan lelaki yang berdiri di 

depannya. 

"Siapa Andika?!" 

"Siapa Andika?" gumam Cempaka terheran-heran. 

Masa' kawan sendiri dia tidak tahu? 

"Andika," ulang Cempaka menegaskan. Barangkali 

saja laki-laki ini salah dengar. 

"Aku dengar kau bilang Andika! Tapi, siapa

Andika?!" bentak Lelaki Berbulu Hitam berkoar lagi. 

Cara bicaranya seperti sedang terjadi gempa bumi di 

tempat itu. 

"Andika.... Masa' kau tidak tahu, Orang Tua? 

Pemuda yang sering kau panggil Tuan Penolong?" 

"Ooo, Tuan Penolong?" 

Nada bicara Lelaki Berbulu Hitam melandai. Kalau 

sudah dengar nama itu, dia jadi mesti ngotot 

menahan keberangannya. 

"Ya, betul! Ke mana dia?!" gegas Cempaka. 

Waktunya makin mendesak. 

"Aku tak tahu. Aku sedang bersemadi ketika dia di 

sini bersama si kerempeng jelek itu." 

Cempaka mendesah. Semakin tipis harapannya 

untuk bisa lolos dari tangan Pendagel Setan. Dia 

percaya dan yakin, hanya Andika yang bisa meng-

hadapi manusia sesat itu. 

"Ah! Rupanya kau di sini, Nona Ayu!" 

Kekhawatiran perempuan itu terbukti sudah. 

Pendagel Setan kini benar-benar muncul di gerbang 

balai desa!" 

"Jangan mengira kau bisa lolos dengan mudah 

dariku, Nona Ayu," kata Pendagel Setan seraya 

melangkah perlahan, mendekati Macan Hitam Betina. 

"Siapa?" tanya Lelaki Berbulu Hitam pada 

Cempaka, sambil melirik Pendagel Setan. 

Perempuan cerdik ini cepat memutar otaknya. Dan 

secepat itu pula didapatnya. 

"Dia musuh Tuan Penolong, Orang Tua!" tunjuk 

Cempaka penuh keyakinan, supaya mendapat 

bantuan lelaki berperawakan menyeramkan di dekat-

nya. 

"Bagus! Sejak kemarin aku memang ingin sekali 

meremukkan batok kepala seseorang. Tapi, selalu

gagal...," sambut Lelaki Berbulu Hitam, melegakan 

Macan Hitam Betina. 

"He-he-he! Kau pikir dirimu siapa, Orang Jelek?" 

leceh Pendagel Setan. 

Sama seperti Macan Hitam Betina, lelaki itu pun 

tak begitu jelas mengenal Lelaki Berbulu Hitam. 

Dalam hal ini, dia telah melakukan kesalahan besar. 

Yakni telah mengusik naga tua yang lama tak mem-

buat kegemparan semenjak masa jayanya puluhan 

tahun silam! 

Lelaki Berbulu Hitam maju dengan langkah yang 

menggetarkan balai desa. Kalau taringnya sudah 

diperlihatkan, berarti siap mengepruk batok kepala 

seseorang dengan kepalan sebesar kelapa! 

"Sebaiknya kita menghadapi berdua, Orang Tua...," 

aju Macan Hitam Betina. 

Cempaka menganggap Lelaki Berbulu Hitam 

termasuk bukan tandingan Pendagel Setan. Kalau 

dihadapi berdua, mungkin mereka masih punya 

sedikit kesempatan untuk mengalahkan. 

Lelaki Berbulu Hitam melirik dengan bola mata 

mendeliki perempuan ayu itu. 

"Kau hendak menghinaku anak perawan bau 

kencur?!" hardik lelaki keturunan serigala ini 

menggelegar. "Kau pikir aku tak sanggup mengorek 

isi kepala si muka arang ini dengan tanganku 

sendiri?! Grrr...." 

Cempaka mengangkat bahu. Kalau maunya begitu, 

mau bilang apa? 

"Kau tak menyesal kalau seluruh bulumu kubuat 

rontok?!" ledek Pendagel Setan, pongah. 

Lelaki Berbulu Hitam sudah tak mau banyak bacot 

lagi. Dia juga tak mau berkelahi seperti anak kemarin 

sore. Apalagi sampai bertukar jurus segala macam.

Kalau mau menentukan siapa yang unggul, mesti 

langsung adu kesaktian! 

Dreg! 

Tanah balai desa kembali bergemuruh manakala 

Lelaki Berbulu Hitam membuat kuda-kuda dengan 

menghentak kakinya. Kedua kakinya setengah mem-

bentang, dan agak tertekuk ke dalam. Tangannya 

membuka ke depan dengan telapak mengepal kuat-

kuat. Begitu membuat gerakan ke atas seraya 

memalangkan pergelangan tangan, tercipta bunyi 

gemeretak tulangnya, disusul lolongan dari mulut 

Lelaki Berbulu Hitam yang bagai serigala di tengah 

malam buta. 

Debh! 

Sekelebat tangan Lelaki Berbulu Hitam meng-

hentak ke depan. Saat itu juga menderu angin 

pukulan tajam berdesing, mirip suara lempengan baja 

yang disabetkan ke udara. 

"Swing!" 

"Uts!" 

Kalau saja Pendagel Setan tak cepat-cepat 

membuang tubuh jauh-jauh ke atas, tak disangsikan 

lagi kepalanya akan terbelah dua. Dan otaknya akan 

benar-benar terkuras dari tempurungnya! 

Lompatan yang disertai tenaga dalam tingkat tinggi 

membuat tubuh Pendagel Setan meluncur deras. 

Atap balai desa jebol seketika. Di atas wuwungan, 

lelaki sesat itu kini berdiri dengan wajah pias. 

Pendagel Setan benar-benar dibuat terkesiap oleh 

serangan Lelaki Berbulu Hitam barusan. Belum lagi 

terkena angin serangan itu. Mendengar bunyinya 

saja, telinganya sudah begitu pedih. 

Namun, bukan itu yang membuat Pendagel Setan 

terkesiap. Masalahnya dia pernah mendengar

selentingan pukulan khas itu. Pukulan yang hanya 

dimiliki satu-satunya tokoh kawakan kelas atas yang 

malang melintang puluhan tahun silam. Tokoh yang 

bisa dibilang salah seorang sesepuh dunia persilatan. 

"Tinju Raja Serigala!" desis Pendagel Setan. Lelaki 

sesat ini yakin sekali dengan dugaannya. Dari cara 

Leaki Berbulu Hitam membuat kuda-kuda, suara 

pukulannya, juga lolongan tadi, amat cocok dengan 

gambaran selentingan yang didengarnya. 

Mata lelaki itu menyipit ketat. Wajahnya 

menegang. 

"Keparat! Kalau begitu, aku telah berhadapan 

dengan Lelaki Berbulu Hitam!" rutuk Pendagel Setan. 

"Kenapa bangkotan itu belum mati juga? Kata Nyai 

Wangkil, dia berusia tua. Tapi kenapa seperti baru 

berusia empat puluhan? Apa guru salah? 

Seruntun pertanyaan bergeliat di benak Pendagel 

Setan. 

Brask! 

Tanpa sempat mendapat jawaban dari pertanyaan-

pertanyaannya, Pendagel Setan dipaksa bersiap 

kembali. Lawan bertubuh tinggi besar berbulu lebat 

itu telah menyusulnya menerobos atap balai desa. 

Wuwungan bertebaran ke mana-mana, mengiringi 

munculnya Lelaki Berbulu Hitam. 

Mereka kini saling berhadapan. Lelaki Berbulu 

Hitam terus menggeram-geram. Kuda-kudanya tak 

berubah seperti sebelumnya. 

"Menurut guruku, kau pasti Lelaki Berbulu Hitam, 

tokoh tua yang menggemparkan dunia persilatan 

puluhan tahun silam itu," duga Pendagel Setan. 

"Kau pikir sedang berhadapan dengan siapa, kah?! 

Dengan kutu busuk?!" 

"Bagus! Dengan begitu, aku bisa membuktikan

pada dunia persilatan bahwa akulah yang pantas 

menjadi raja di raja dunia persilatan! Aku akan 

mengenyahkanmu, Lelaki Berbulu Hitam! Seperti aku 

akan menundukkan Pendekar Slebor! He-he-he!" kata 

Pendagel Setan, sesumbar. 

"Siapa Pendekar Slebor?!" bentak Lelaki Berbulu 

Hitam, tak mengerti. 

***

10


Pendekar Slebor dan Ki Patigeni tak menemukan 

Cempaka di tempat yang dituju. Padahal, di tempat 

inilah dara ayu itu bisa ditemukan. Tempat pem-

buangan tanah langka dan aneh itu sepi-sepi saja. 

Keadaannya kacau balau. Sewaktu mereka 

memeriksa, Andika menemukan bekas serbuk pupur 

Cempaka. 

"Sepertinya, baru saja terjadi pertarungan di 

tempat ini, Ki," nilai Andika. 

"Benar. Aku pun berpendapat begitu," dukung Ki 

Patigeni. "Tapi, kenapa tak ada darah? Hanya terlihat 

sedikit kacau di tempat ini...." 

"Ya! Karena tak ada yang terluka dalam 

pertarungan itu." 

"Maksudmu?" 

Andika menyodorkan tangannya. Di ujung jari 

telunjuknya ada bekas serbuk pupur. 

"Ini pupur wanita, Ki. Tertabur di sekitar tempat 

itu." 

Andika pun lantas menunjuk tempat Pendagel 

Setan berdiri sebelumnya. 

"Kalau pupur ini berhamburan tak disengaja, 

kenapa hanya tersebar di sekitar situ saja?" sambur 

Andika. 

"Artinya?" 

"Aku yakin, Cempaka berhasil melarikan diri 

dengan siasat serbuk pupur ini," duga Andika yakin. 

Ki Patigeni mengangguk-angguk. "Ya-ya. Aku 

mengerti sekarang," gumam orang ini

Sementara itu benak Ki Patigeni memuji ke-

enceran otak si anak muda urakan ini. Sejenak dia 

jadi teringat ketika bekerja sama dengan Pendekar 

Slebor dalam memecahkan teka-teki Ratu Racun. 

Andika pun dapat membuat dugaan yang cemerlang 

seperti sekarang. 

"Masalahnya sekarang, ke mana Cempaka me-

larikan diri? Lalu, apakah dia bisa meloloskan diri dari 

kejaran Pendagel Setan?" tanya Andika bimbang 

serta cemas. 

"Apa tidak mungkin dia kembali ke desa, Andika?" 

tanya Ki Patigeni. 

"Kembali ke desa?" 

"Mungkin dia merasa butuh pertolongan. Bukan-

kah dia tahu kalau kau adalah pendekar muda besar 

itu?" 

Andika meringis. Sempat-sempatnya dia begitu. 

"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke sana, Ki!" 

"Kau, bukan kita," tukas Ki Patigeni. 

"Maksudmu, Ki?" tanya Andika heran. 

"Aku harus berusaha mencari dia di sekitar hutan 

ini. Hanya untuk menjaga kemungkinan kalau gadis 

itu belum kembali ke desa," tandas Ki Patigeni. 

Sekarang giliran Andika memuji kecemerlangan 

otak Ki Patigeni dalam hati. 

*** 

Sementara itu, sabung keunggulan antara 

Pendagel Setan melawan Lelaki Berbulu Hitam me-

masuki keadaan panas. Menghadapi lelaki keturunan 

serigala itu, Pendagel Setan baru kena batunya. 

Tokoh bangkotan itu memang bukan sembarang 

lawan buatnya. Meskipun Pendagel Setan memiliki

kehebatan menggemparkan belakangan ini, namun 

masih tergolong orang baru dalam dunia persilatan. 

'Tinju Raja Serigala' milik Lelaki Berbulu Hitam tak 

henti-hentinya berdesing, mengepung lelaki sesat tak 

berbelas itu dari segala sudut. Lesatan tenaga dalam 

pukulan Lelaki Berbulu Hitam begitu cepat, membuat 

Pendagel Setan benar-benar kelimpungan kian 

kemari. 

Memang, pada masa jayanya dulu, Lelaki Berbulu 

Hitam amat kesohor dengan kecepatan geraknya 

yang selincah dan segesit serigala. Tokoh-tokoh 

seangkatan yang menjadi saingannya seperti 

Pendengar Dungu (Pernah bertemu di episode : 

"Manusia Dari Pusat Bumi") hanya memiliki kelebihan 

pada tenaga dalamnya. Bukan kecepatannya. 

Swing! 

Masih melenting-lenting ringan dari wuwungan ke 

wuwungan lain. Lelaki Berbulu Hitam terus ber-

semangat menggempur Pendagel Setan dengan 

seruntun tinju jarak jauhnya. Setiap kali melesat dari 

sasaran, pasti ada yang jadi korban. Kalau tidak 

pepohonan terbelah menjadi dua seperti baru saja 

dihantam kapak raksasa, bisa juga ubun-ubun rumah 

oran lain. Untung saja, saat itu keadaan desa kosong 

melompong. Kalau penduduk masih ada di sana, apa 

jadinya? 

Dan setiap kali Pendagel Setan berhasil mengelak 

dari tinju berhawa maut, setiap kali pula kulitnya 

terasa pedih. Padahal, jarak elakan yang diambilnya 

sudah cukup jauh dari angin 'Tinju Raja Serigala'. 

Kalau saja wajah lelaki tak berbelas itu tidak 

dicorengmorengkan, tentu paras keterkejutannya 

sudah nampak jelas. 

Di bawah mereka, Cempaka, si pendekar wanita

sok hebat ini tertegun-tegun menyaksikan per-

tarungan di atas. Dia dipaksa berdecak berkali-kali. 

Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini 

menyaksikan pertarungan yang demikian memukau. 

Sungguh tak disangka, manusia menyeramkan 

yang nampaknya hanya punya adat besar itu ternyata 

memiliki kesaktian yang sanggup membuat Pendagel 

Setan kelimpungan. Dan Cempaka semakin kagum 

dalam hati. Menyesal dia sudah mengusilinya. Kalau 

tidak, bisa saja dia meminta orang tua bertampang 

dedemit itu mengajarinya beberapa ilmu simpanan. 

Deb-deb! 

"Grrhhh!" 

Sadar dirinya berada dalam keadaan tidak 

menguntungkan kalau terus terdesak. Pendagel 

Setan mulai berusaha mengimbangi serangan liar 

Lelaki Berbulu Hitam. Sambil melenting indah ke atap 

lain, dia lepasnya pukulan jarak jauh di udara. 

Bagi Lelaki Berbulu Hitam, serangan awal 

Pendagel Setan tidak berarti apa-apa. Dia mudah 

sekali bisa mementahkannya. Bahkan dengan cara 

memapak telak-telak dengan telapak tangan berkuku 

panjangnya! 

Des! 

"Grhh.... Ha-ha!" Lelaki Berbulu Hitam tertawa 

menyaksikannya. 

Pamer kekuatan dia! 

Tapi apa dengan begitu, Pendagel Setan akan 

mudah dipecundangi? Benarkah? 

Pertanyaan Lelaki Berbulu Hitam tak mendapatkan 

jawaban memuaskan. Sebaliknya. Pendagel Setan 

justru tengah mempersiapkan serangan maut ber-

bahaya. Ilmu simpanan yang telah berhasil di-

sempurnakan saat di Padang Mega Racun akan diuji


coba pada Pendekar Slebor. 

Dalam beberapa tarikan napas, sepasang tanga 

lelaki sesat itu membuat gerakan teratur, bertenaga 

dan cepat. Setiap perubahan tangannya, me-

ninggalkan bentuk bayangan seperti kepak sayap 

seekor burung raksasa. 

Werrr...! 

Pada saatnya, pusaran angin besar tercipta pada 

ujung sepasang tangan Pendagel Setan. Angin yang 

membentuk puting beliung, merangsak angkasa 

membabibuta. 

Sebenarnya, ilmu itu kurang sempurna jika di-

kerahkan di luar Padang Naga Racun. Inti racun yang 

semestinya bisa diserap melalui angin puting beliung, 

tak akan terjadi di tempat lain. Namun bukan berarti 

bahaya pukulan andalan Pendagel Setan ini akan 

berkurang. 

Menyaksikan gerakan khas yang dilakukan 

Pendagel Setan, wajah Cempaka di bawah sana 

mendadak berubah. Garis-garis kekhawatiran men-

jalar cepat. Di mulutnya mendesis tak kentara di 

antara gemuruh amukan puting beliung ciptaan 

Pendagel Setan. 

"Heaaa...!" 

Manakala Pendagel Setan melontarkan segenap 

kekuatan tenaga pukulan pamungkasnya, tanpa 

dapat dimengerti Cempaka melenting mendekati dua 

lelaki di atas wuwungan. 

"Pak Tua, menyingkir!" seru Cempaka pada Lelaki 

Berbulu Hitam di udara. 

Lelaki Berbulu Hitam terperangah. Pada saat yang 

sama, Pendagel Setan telah melepas pukulannya. 

Wush! 

Meskipun otak Lelaki Berbulu Hitam sering tak

sehat, tapi dalam keadaan seperti itu, nalurinya bisa 

merasakan bahaya yang siap menelan bulat-bulat 

Cempaka. 

Tanpa memikirkan akibatnya, Lelaki Berbulu Hitam 

menyergap tubuh Cempaka. 

Dash! 

Namun usaha itu ternyata mesti dibayar dengan 

mahal. Punggung berotot Lelaki Berbulu Hitam 

langsung menjadi santapan empuk pukulan 

pamungkas lawan! 

Cempaka selamat. Namun Lelaki Berbulu Hitam 

tidak. Dia terlempar amat jauh. Begitu tiba di tanah, 

tubuhnya mengejang, lalu terkulai. 

Mengapa Cempaka melakukan tindakan bodoh 

tadi? 

*** 

Begitu matahari tenggelam sebagian, Andika 

sampai di Desa Wetan. Balai desa yang semula 

ditinggalkan dalam keadaan utuh, kini sudah porak-

poranda tak karuan. Bangunan itu seolah baru saja 

disapu angin puting beliung. Potongan-potongan atap 

rumbia berserakan di mana-mana. Kayu-kayu dinding 

bangunan pun sebagian telah luruh. 

"Sialan! Dedemit buduk mana yang baru saja 

mengamuk!" rutuk Andika. 

Bergegas Andika berlari memasuki balai desa. 

Sama seperti keadaan di luar bangunan, bagian 

dalamnya pun sudah tak karuan lagi. Di dalam sana, 

tubuh Lelaki Berbulu Hitam ditemukan tengah ter-

golek. 

"Pak Tua Bulu! Kau tak apa-apa?!" tanya Pendekar 

Slebor, tercekat.

Andika mendekat. Lelaki Berbulu Hitam dilihatnya 

bergemik. 

"Oh, Tuan Penolong.... Kukira siapa," sambut Lelaki 

Berbulu Hitam payah. 

Sudut bibir lelaki keturunan serigala ini masih 

dialiri darah. Dia berusaha bangkit. Karena masih 

lemah, dia terjatuh lagi. Andika pun membantu 

menopangnya. 

"Apa yang telah terjadi?" tanya Andika. 

"Orang bermuka arang, Tuan Penolong. Dia datang 

ke sini tanpa izin. Lalu menantangku berkelahi tanpa 

izin pula. Sial! Dasar manusia sial! Ukh-ukh!" 

"Pendagel Setan?" gumam Andika. "Bagaimana 

bisa orang itu mengalahkan Lelaki Berbulu Hitam 

yang kesaktiannya masih sulit dicari tandingan hingga 

sekarang?" Andika kian dibuat penasaran. Kalau 

begitu, seberapa tinggi tingkat kesaktiannya? 

"Kenapa orang itu bisa ke sini?" 

"Orang yang mana?!" Lelaki Berbulu Hitam malah 

balik bertanya. 

"Yang mana lagi, Pak Tua Bulu. Bukankah kau tadi 

sedang membicarakan orang bermuka arang?!" tukas 

Andika, agak jengkel juga. 

"O, itu. Kukira Tuan Penolong menanyakan 

perempuan bau kencur itu...," tutur Lelaki Berbulu 

Hitam terseok-seok. 

"Siapa maksudmu?" 

"Tuan Penolong ini bagaimana? Aku harus jawab 

yang mana dulu? Pertanyaan pertama tadi atau yang 

kedua?!" tukas Lelaki Berbulu Hitam. Biar sudah 

payah, sifat berangnya masih juga tak soak. 

Andika maklum. 

"Ceritakan semuanya!" ujar Andika, mengambil 

jalan singkat. Biar jadi tak bertele-tele lagi.

Lelaki Berbulu Hitam pun menceritakan sejelas-

jelasnya tentang kejadian belum lama. Juga tentang 

kedatangan Macan Hitam Betina yang disebutnya 

perawan bau kencur. Kemudian tak ketinggalan 

laporan pertarungannya dengan Pendagel Setan. 

"Sekarang ke mana wanita itu?" tanya Andika 

cepat sebelum Lelaki Berbulu Hitam menamatkan 

cerita yang seperti tak mau tamat-tamat itu. 

"Wanita yang mana?" 

Lagi-lagi Lelaki Berbulu Hitam bertanya tanpa 

juntrungan. 

"Perawan bau kencur itu," jelas Andika. 

"O. Dia...." 

"Ke mana dia?!" bentak Andika. 

"Diboyong," jawab manusia setengah serigala itu, 

singkat. 

"Oleh Pendagel Setan?" 

"Siapa Pendagel Setan?" 

"Biang kunyuk!" maki Andika dalam hati. 

Manusia berbadan bongsor satu ini sepertinya 

hanya kenal orang dari sebutan yang diberikan oleh 

bacotnya sendiri. 

"Lelaki bermuka arang itu!" tegas Andika untuk 

kesekian kali menegaskan. 

"O, iya!" 

"Ke mana?!" ' 

Lelaki Berbulu Hitam menggeleng. Andika berang. 

Dihantamnya lantai balai desa. "Kalau terjadi apa-apa 

pada perempuan itu, kau akan kukuliti, manusia 

busuk keparat!" geram Andika digebah kemurkaan. 

Betapa Andika tahu kalau Pendagel Setan tak 

akan mempersoalkan siapa yang dibunuhnya, meski 

seorang pendekar wanita tak punya nama sekali pun. 

Lebih dari itu, dia bahkan tega membunuh bocah tak

berdosa! 

"Siapa manusia busuk?!" sela Lelaki Berbulu 

Hitam. 

Setelah itu laki-laki ini terjeringkang kembali, 

ketika Andika menotok jalan darahnya. 

Mata Pendekar Slebor kini tertumbuk pada tulisan 

buruk di potongan dinding balai desa. Tulisan itu 

rupanya berisi tantangan dari Pendagel Setan. 

Andika mendekati. Lalu dibacanya tulisan itu. 

O-hooo, Pendekar Slebor! 

Tentu kau terkejut mendapati kenyataan yang 

baru saja kau saksikan, bukan? Jangan terkejut. 

Siapa tahu kau berpenyakit jantung dan mati 

karenanya. He-he-he! 

O, iya. Aku pinjam dulu kawan barumu yang ayu 

ini. Kau boleh mengambilnya pada akhir pekan ini. 

Tempatnya di Padang Mega Racun. Kalau kau 

terlambat mengambilnya, jangan salahkan kalau 

perempuan itu.... He-he-he! 

Kau belum tahu tempat itu, bukan? Jangan 

bingung atau ragu. Kau bisa mengikuti burung-

burungku yang akan datang menjadi petunjuk 

jalanmu pada hari pertemuan kita. Kuharap 

pertemuan itu berlangsung dengan mesra! 

Pendagel Setan 

"Mesra, tai kucing!" 

Andika menghajar dinding kayu yang bertuliskan 

pesan yang digurat oleh tangan Pendagel Setan. 

Kalau sebelumnya tantangan hanya bersifat desas-

desus mulut ke mulut, kini Andika mendapatkan

kepastian tantangan manusia sesat tak berhati itu. 

"Bagus! Aku memang ingin sekali menghancurkan 

wajah jelekmu itu!" geram si anak muda dari Lembah 

Kutukan, sambil menghantam telapak tangan dengan 

tinju sendiri. 

*** 

Padang Mega Racun terus dikepung kabut kelabu 

pekat mengandung racun ganas. Di tengah-tengah 

padang kering-kerontang itu, terlihat panggung ganjil 

di kejauhan yang dibangun khusus untuk satu 

pertarungan maut antara Pendagel Setan dengan 

Pendekar Slebor. 

Ancaman besar akan dihadapi si anak muda sakti, 

Pendekar Slebor. Pertama, karena racun yang 

menyelimuti seluruh kawasan Padang Mega Racun 

telah siap merejamnya begitu Andika mulai mengirup 

udara di sana. Kedua, kesaktian penantanghya 

ternyata berada pada tingkat tokoh kelas atas dunia 

persilatan. Sebagaimana tingginya, berum pernah 

diketahui Andika. Karena selama ini Pendagel Setan 

tak pernah sekali pun bertarung dengan Pendekar 

Slebor. 

Yang hanya diketahui Andika, Pendagel Setan 

nyatanya sanggup mempecundahgi Lelaki,Berbulu 

Hitam. Setidaknya, kedigdayaan sang penantang 

sekelas dengan Lelaki Berbulu Hitam! 

Di samping itu, Pendekar Slebor sama sekali tak 

mengenal seluk-beluk Padang Mega Racun, daerah 

yang bagi lawannya adalah tempat tinggal dan 

tempatnya menyempurnakan kesaktian. 

Namun lepas dari semua itu, Andika adalah 

Andika. Kekuatan tekadnya sudah menjadi sifat yang

tak bisa dihadang. Kalau dia merasa harus datang ke 

satu tempat untuk satu kewajiban, maka bagaimana 

pun bahayanya, akan disatroninya juga. 

Dan ketika burung-burung pemakan bangkai milik 

Pendagel Setan mulai terlihat di awang-awang 

sebelah utara desa, Andika pun mengikutinya. Men-

jelang perjalanan setengah hari, barulah anak muda 

itu sampai di gerbang Padang Mega Racun. 

Dari gapura masuk yang tersusun dari batok-batok 

tengkorak manusia setinggi sepuluh kaki, Andika 

merasa seperti hendak memasuki alam lain yang 

begitu asing. Sepanjang mata memandang melalui 

gerbang itu yang terlihat berupa kabut kelabu 

bergulung-gulung, hamparan tanah hitam kering, 

pepohonan kerontang merangas. burung-burung 

pemakan bangkai, serta susunan tulang manusia 

yang membentuk panggung kematian! 

Beberapa puluh langkah dari gerbang, udara 

tempat ini sudah dikuasai racun dan racun. Dan 

Andika amat menyadarinya. Lalu, bagaimana dia bisa 

masuk tanpa menjadi santapan racun ganas Padang 

Mega Racun? 

Sebelum berangkat ke tempat itu, Andika sempat 

bertemu Ki Patigeni. Dari orang tua yang mengenal 

banyak racun, Pendekar Slebor dibekali sebutir obat 

pulung pemusnah racun kabut Padang Mega Racun. 

Hanya sebuah. Itu pun hanya bertahan sepertiga hari. 

Jika Andika berada lebih lama dari waktu yang 

ditetapkan, maka akan mati! Sayangnya, obat pulung 

itu pun tinggal satu-satunya milik Ki Patigeni setelah 

dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun. 

Di kejauhan sana, tepatnya di atas panggung 

tulang-belulang manusia, Pendagel Setan telah berdiri 

dengan sikap menantang. Bibirnya tak lekang dari

senyum pongah. 

"Ayo, Pendekar Slebor! Masuklah ke tempatku! 

Kudengar kau memiliki nyali yang begitu besar dalam 

menghadapi setiap tantangan maut! Apa kau akan 

berdiri saja di situ sampai menjadi uzur?!" tantangan 

Pendagel Setan membahana. 

Andika berusaha sekuat tenaga untuk tetap 

tenang. Kemarahannya yang menggelegak-gelegak 

dikendalikannya. Dia sudah cukup mengambil 

pelajaran dalam petualangan-petualangan mautnya, 

untuk tidak mengundang maut dengan bertindak 

mata gelap. 

Perlahan dikeluarkannya obat pulung dari Ki 

Patigeni. Digenggamnya kuat-kuat sesaat, lalu 

ditelannya. Kini, dia siap menghadapi Pendagel Setan 

dengan taruhan nyawa. 

Langkah-langkah mantap pun dibuat Andika. 

Sedikit demi sedikit, jarak antara pemuda itu dengan 

sang lawan kian dekat. Sampai akhirnya, Pendekar 

Slebor berdiri di sisi panggung ganjil milik Pendagel 

Setan calon lawan tandingnya. 

"Ayo naiklah! Kenapa kau masih menunggu?!" 

Andika tak ingin banyak cakap. Tubuhnya cepat 

melenting ringan, lalu hinggap di salah satu tonggak 

tulang. 

"Kita mulai?" tanya Andika datar. 

Pendagel Setan menyeringai. 

"Kenapa tidak?" 

Mereka pun bersiap. Sama-sama membuat kuda-

kuda. Sama-sama menyiapkan jurus pembuka. 

Pada jarak sekitar tiga tombak, dua lelaki jantan 

itu berhadapan penuh ketegangan. Andika tak bisa 

lagi main-main dengan calon lawannya. Kalau Lelaki 

Berbulu Hitam dikalahkan, berarti jurus-jurus atau

kekuatan tenaga dalam tingkat awal miliknya sudah 

tidak bisa lagi diharapkan. 

Itu sebabnya Pendekar Slebor langsung mengerah-

kan tenaga sakti warisan buyutnya, Pendekar Lembah 

Kutukan pada tingkat keenam dari sembilan tingkat 

yang dimilikinya. 

Jurus-jurusnya pun adalah hasil ciptaannya yang 

dulu pernah diandalkan untuk menyelamatkan diri 

dari terjangan hujan petir di Lembah Kutukan. Jurus 

yang dapat membentuk benteng cahaya putih di 

sekujur tubuhnya, akibat pengerahan tenaga dalam 

pada tingkat puncak. 

"Hiaaa!" 

Berbareng teriakan menggetarkan seluruh Padang 

Mega Racun, Pendekar Slebor meluruk ke arah 

Pendagel Setan. Jurus mengubak hujanan petir 

memagari dirinya, sekaligus mengancam lawan dari 

segenap penjuru. 

Deb! Deb! 

Dua tinju beruntun hendak disarangkan pendekar 

muda dari tanah Jawa itu ke arah kepala dan dada 

Pendagel Setan. Tinju beruntun mematikan, yang 

mungkin dapat melumatkan karang paling keras yang 

pernah ada di bumi! 

Namun Pendagel Setan memiliki ketajaman peng-

lihatan untuk mengetahui arah pukulan Pendekar 

Slebor. Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah 

memapakinya. Hanya saja dia harus tepat meng-

empos tenaga dalam ke sepasang tangannya. Sebab, 

kesalahan pernitungan bisa berakibat maut! Apalagi 

pukulan bertenaga dalam pendekar muda dari 

Lembah Kutukan sudah bukan cerita kosong lagi. 

Bahkan sejak buyutnya sendiri, Pendekar Lembah 

Kutukan yang menjadi cerita rakyat, pukulan itu telah

begitu ditakuti. 

Das! Das! 

Perhitungan Pendagel Setan kali ini tak jauh 

meleset. Pengerahan tenaga tangkisan di kedua 

tangannya nyatanya cukup untuk menahan tinju 

Pendekar Slebor agar tak meredamkan kepala serta 

dadanya. Namun begitu, bukanlah berarti luput dari 

akibatnya. 

Deras juga tubuh Pendagel Setan terdorong ke 

belakang. Runcingnya tonggak-tonggak tulang-

belulang pembentuk panggung akan merejamnya 

kalau sedikit saja keseimbangannya hilang. 

Beruntung, seluruh petak-petak tulang telah 

disusunnya demikian rupa. Seluruh sela bangunan 

ganjil itu diketahuinya betul, hingga dia pun tahu di 

mana harus berpijak. 

Tep! 

Ringan sekali kaki Pendagel Setan menjejak ujung 

paling barat tonggak tulang. Sebentar tubuhnya 

limbung, selanjutnya bisa menguasai keseimbangan 

lagi. 

"Hebat! Hebat!" puji Pendagel Setan, nampak lebih 

mirip sebagai ejekan. 

Andika hanya mencibir. Jurus-jurus kembangan 

'Mengubak Hujanan Petir' masih dikerahkannya. 

Perlahan, tubuh kekar pemuda itu mulai diselubungi 

sinar putih keperakan, seperti kabut bercahaya. 

Dimulai dari sekujur tangannya yang terus bergerak 

hingga membentuk bayangan ganda. Menyusul, 

sepasang kakinya. Hingga akhirnya, seluruh badan 

pemuda itu benar-benar diselimuti kekuatan sakti 

tenaga warisan Pendekar Lembah Kutukan! 

"Saatnya kau akan mampus, manusia tak berhati!" 

desis Andika sarat ancaman.

"Hiaaa!" 

Berikutnya, sosok pemuda sakti itu bagai 

menjelma menjadi bayangan liar. Tubuh Pendekar 

Slebor terus meluruk secepat kilat menuju Pendagel 

Setan di ujung panggung ganjil. 

Sebelumnya, Pendagel Setan pun telah mem-

persiapkan ilmu pamungkasnya yang baru saja di-

sempurnakan. Pukulan yang sanggup menyerap inti 

racun dalam kabut kelabu di atas sana. 

Saat sosok Pendekar Slebor berkelebat, tangan 

Pendagel Setan tak kalah cepat mengepak bagai 

irama sayap burung pemakan bangkai. Angin raksasa 

dari kedua tangannya menyeret segenap racun 

dahsyat gulungan kabut racun. 

Dan.... 

Dash! 

Terjadi benturan. Amat keras! Sehingga mampu 

membuat seluruh batang pepohonan kering menjadi 

retak terkena getarannya. 

Seketika gerombolan burung pemakan bangkai 

berhamburan ke udara. Sebagian terbang dengan 

limbung penuh luka. Namun lebih banyak mati 

seketika, dengan tubuh hancur berserpih! 

Usai adu tenaga itu, dua sosok tergeletak tanpa 

gerak. Satu tubuh Pendekar Slebor, yang lain tubuh 

Pendagel Setan. 

Siapa yang menemui ajal? 

Sulit menentukan bila menilik keadaan mereka. 

Pakaian keduanya terkoyak-koyak. Sebagian kulit pun 

begitu. Darah hitam kental mengalir lamban dari 

seluruh pori-pori keduanya. 

Lama keadaan itu berlangsung. 

Menilik keadaan Pendagel Setan, ternyata lebih 

parah. Kedua tangannya hancur dengan dada

terkoyak. Sementara dada Pendekar Slebor masih 

turun naik, walaupun begitu lalu Andika pingsan. 

Padahal dia harus segera meninggalkan Padang 

Mega Racun secepatnya. Pengaruh obat pulung 

penawar yang diberikan Ki Patigeni beberapa saat 

lagi akan punah. 

Menjelang saat-saat segenap kekuatan racun 

menerobos tubuh Pendekar Slebor yang hampir 

kehilangan pemunah, mendadak sepasang tangan 

halus meraih tubuhnya. Diangkatnya tubuh Andika, 

lalu dipapahnya. 

Orang itu adalah Cempaka. 

Penuh teka-teki, perempuan yang tak terlihat 

seperti baru saja menjadi tawanan itu berkata samar. 

"Kakak seperguruanku itu memang lebih baik mati, 

Kang Andika. Dia terlalu serakah dalam menyem-

purnakan ilmu, sehingga telah membuatnya 

kehilangan akal sehat. Lupa segalanya.... Aku semula 

memang sudah yakin kalau Pendagel Setan adalah 

kakak seperguruanku sendiri yang tak lain Kaladewa, 

walaupun wajahnya dicoreng-moreng yang membuat 

aku sedikit pangling. Hm..., jadi dia memakai julukan 

Pendagel Setan. 

Siapa sesungguhnya Cempaka? 

Pendekar berpengamatan jeli macam Pendekar 

Slebor sekalipun. akan terperangah jika tahu kalau 

Cempaka ternyata adik seperguruan Pendagel Setan! 

Sejak lelaki sesat itu berhasil menyempurnakan 

ilmunya, otaknya jadi tak waras. Kalau sedang 

dilanda kegilaan, Pendagel Setan tak bisa lagi mem-

bedakan apa-apa. Tidak kebenaran. Tak pula 

kebatilan. Bahkan adik seperguruannya sendiri ter-

lupakan. Apalagi mengenali. 

Cempaka waktu berusia sepuluh tahun juga murid

Nyai Wangkil selain Kaladewa yang berusia lima belas 

tahun. Nyai Wangkil sendiri adalah tokoh hitam yang 

lima belas tahun lain menyebar petaka di Desa 

Wetan. Perbuatannya, persis dengan apa yang di-

lakukan Pendagel Setan. 

Begitu tumbuh menjadi seorang gadis, agaknya 

pikiran jernih Cempaka terbuka, bahwa gurunya 

ternyata adalah tokoh sesat. Ini benar-benar bertolak 

belakang dengan jiwanya. 

Pada usia tujuh belas tahun, Cempaka melarikan 

diri dari Nyai Wangkil. Gadis itu lantas berguru di 

Blambangan pada seorang tokoh alirah putih. Baru 

begitu menginjak dewasa, dia turun ke dunia 

persilatan, sampai akhirnya tanpa diduga bertemu 

Kaladewa yang berjuluk Pendagel Setan. 

Dari gerak silat Kaladewa, Cempaka ingat betul itu 

adalah jurus-jurus yang diturunkan Nyai Wangkil. 

Sampai akhirnya Cempaka semakin yakin, setelah 

melihat sepak terjang Kaladewa terhadap penduduk 

Desa Wetan. Suatu tindakan yang sama persis 

dengan apa yang diperbuat Nyai Wangkil lima belas 

tahun yang lalu. Apalagi, kemudian Kaladewa 

membawanya ke Padang Mega Racun, tempatnya 

waktu kecil. 

Sejak kecil, Cempaka sudah meminum semacam 

ramuan yang membuatnya dengan leluasa memasuki 

Padang Mega Racun. Itu sebabnya, ketika dia diculik 

Pendagel Setan, keadaannya biasa-biasa saja. 

Untungnya juga, Pendagel Setan lupa kalau yang 

diculik adalah adik seperguruannya sendiri. 

Nyai Wangkil pun pernah bercerita, kalau terlalu 

banyak ilmu yang diserap, akan menyebabkan orang 

jadi edan. Cempaka ingat betul. Maka dia semakin 

takut berguru pada Nyai Wangkil.

Cempaka terus melangkah, keluar dari Padang 

Mega Racun. Ada satu kebanggaan dalam dirinya, 

bisa menyelamatkan Andika. Paling tidak pemuda 

urakan ini nanti tak akan menganggap sok tahu lagi. 


                        SELESAI 


Serial Pendekar Slebor selanjutnya : 

SENGKETA DI GUNUNG MERBABU




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive