PETAKA CINTA BERDARAH
Oleh Fahri A.
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode 003 :
Petaka Cinta Berdarah
128 Hal.; 12 x 18 Cm
SATU
Wajah Wirapati memerah. Tetapi
dia diam saja. Kalau saja tidak ada
yang dipikirkannya sejak tadi, sudah
diserangnya Pratiwi itu. Diam-diam dia
berpikir akan kedatangan Madewa
Gumilang ke tempat ini. Dia kuatir,
selagi dia bertanding dengan dewi
cabul ini, Madewa Gumilang datang.
Sudah jelas dia akan menderita
kekalahan, karena tenaganya akan habis
dipakai untuk menandingi Pratiwi.
Lebih baik dia mengajak berdamai saja
dewi cabul itu. Atau kalau bisa biar
mereka bersekutu untuk menghadapi
Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan
Sukma.
Maka dia pun mulai membaik-baikan
Pratiwi dengan harapan dapat mengorek
keterangan mengenai munculnya kembali
Selendang Merah Itu.
"Aku tidak pengecut, Pratiwi.
Tapi kupikir, kita belum pernah
bermusuhan. Belum pernah sekali pun
berbuat salah. Sekarang, mendadak saja
kita saling menyerang penuh kebencian.
Ini benar-benar tidak ada gunanya."
"Hmm, apa maumu sebenarnya,
Wirapati?"
"Ha... ha... kau bolehlah membawa
gadis itu. Aku pun tidak membu-
tuhkannya. Aku hanya menyekap dia
untuk memancing datangnya musuh
besarku, orang yang telah membunuh
kedua orang seperguruanku."
"Siapa dia?" tanya Pratiwi yang
mulai tertarik dengan cerita Wirapati.
"Madewa Gumilang," sahut Wirapati
dengan penuh kebencian.
"Siapa?" Pratiwi terkejut.
"Madewa Gumilang?!"
"Ha... ha..agaknya kau terkejut
mendengar nama itu, Dewi cabul. Apa
kau punya permasalahan dengan orang
yang bernama Madewa Gumilang?"
Pratiwi terdiam. Rupanya kau
berada di sini, Madewa, geramnya dalam
hati. Memang, sebenarnya Pratiwi hen-
dak mencari Madewa, orang yang telah
menyebabkan putusnya lengan kirinya.
Walaupun memutuskannya adalah Bipar-
sena, tetapi Pratiwi tetap menyalahkan
Madewa Gumilang. Pemuda yang menjadi
gara-gara dengan tersiarnya kabar
tentang pusaka Dewa Matahari (baca :
Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Sejak menderita kekalahan dari
Biparsena, Pratiwi langsung bersem-
bunyi dengan lengan yang buntung.
Sebenarnya dia tidak marah dengan
Madewa, tetapi pemuda itu membiarkan
dia semalaman suntuk tergeletak kedi-
nginan tanpa dipindahkan ke tempat
yang aman. Juga pemuda itu meninggal-
kannya begitu saja. Pratiwi geram
kalau ingat akan Madewa. Selama
setahun itu pula Pratiwi bersembunyi
di puncak gunung Halimun. Dan secara
kebetulan, di dasar bawah gunung itu,
dia menemukan sebuah Kitab kuno yang
berisikan ilmu silat. Dan kebetulan
lagi, kalau ilmu itu hanya bisa
dimainkan dengan sebelah tangan. Bagi
yang bertangan lengkap, mau tak mau
harus membuntungi tangan itu jika
ingin menguasai ilmu yang terdapat di
kitab kuno itu.
Dengan penuh semangat Pratiwi
mempelajari semua isinya. Gerakannya
semakin hari ,semakin hebat. Setahun
genap, tamatlah si Dewi cabul dalam
mempelajari ilmu silat yang sangat
ampuh, yang diketahui Pratiwi bernama
ilmu silat yang mengandalkan
kelincahan tubuh dan gerakan sebelah
tangan.
Setelah menguasai ilmu itu,
keinginan Pratiwi untuk mencari Madewa
semakin menggebu-gebu. Suatu siang dia
pun berangkat. Selama perjalanannya,
kebiasaannya sejak dulu muncul kembali
kalau melihat pemuda-pemuda tampan.
Sudah setahun dia berusaha
mematikan nafsu birahi demi menguasai
ilmu yang terdapat dalam kitab kuno
itu, kini nafsu itu bangkit Kembali.
Hampir di setiap tempat Pratiwi
menjerat setiap pemuda yang berkenan
di hatinya untuk diajak bermain cinta
sekaligus menyempurnakan ilmu
selendang merahnya. Dengan menge-
luarkan ilmu pengharum tubuhnya, tidak
sulit bagi Pratiwi untuk mengajak
pemuda-pemuda memenuhi nafsu birahi-
nya. Semua bertekuk lutut. Dan seperti
kebiasaan dewi cabul itu, jika si
pemuda menolak, maka mautlah sebagai
gantinya!
Suatu hari, sampailah dia ke
tanah genting ini. Jarak yang sangat
jauh sekali. Pratiwi beristirahat
untuk melepas lelah. Belum lagi
matanya terpejam, dia mendengar teri-
akan seorang gadis, yang ketakutan.
Pratiwi langsung mencari sumber teri-
akan itu. Dan akhirnya dia mengetahui
apa yang akan terjadi di dalam goa,
Wirapati hendak menodai Nindia!
Dan Wirapati telah menyebut-
nyebut nama Madewa Gumilang, pemuda
yang disebutnya musuh besarnya,
kemarahan dan dendam Pratiwi semakin
naik. Maka tanpa ragu-ragu lagi, dia
menjawab pertanyaan Wirapati, "Yah...
pemuda itu punya hutang yang belum
terbayar!"
Wirapati tergelak. "Rupanya kau
mendendam juga pada pemuda bangsat
itu! Nah, mengapa kita tidak bekerja
sama saja untuk menundukkannya? Pemuda
setan itu kurasa semakin hebat saja.
Dulu pun dia dengan mudah membunuh.
dua saudara seperguruanku! Dengan ada
kita, maksudku, dua orang yang saling
bersatu, pasti akan mudah untuk
mengalahkan pemuda itu."
Pratiwi terdiam. Perlahan matanya
melirik lengan kirinya yang buntung
akibat sabetan pedang Siluman Mata Air
yang telah hangus pedang itu akibat
sabetan Biparsena.
Tiba-tiba kepalanya menegak. Ia
menatap Wirapati dengan tegas.
Wirapati hanya tenang-tenang saja.
"Tidak, masalah ini tetap menjadi
urusanku! Aku tidak mau kau
mencampurinya! Biar kuselesaikan den-
damku ini pada Madewa Gumilang!
Sekarang, apa maumu Wirapati?"
Wirapati sudah menduga kalau itu
jawabannya. Dia hanya mengangkat kedua
bahunya.
"Baiklah, masalah itu memang
harus diselesaikan sendiri-sendiri.
Aku pun tidak ingin bermusuhan
denganmu. Dan masalah gadis itu,
terserah padamu."
"Maksudmu?"
"Kau bawa silahkan, tidak kau
bawa silahkan."
Pratiwi belum tahu siapa
sebenarnya gadis ini, seketika dia
bertanya, "Sebenarnya, ada maksud apa
kau menawan gadis ini?"
"Ha... ha... akhirnya pertanyaan
itu datang juga. Dengar Pratiwi, gadis
ini adalah putri seorang hartawan yang
telah ditolong oleh Madewa dalam suatu
perampokan. Dan sekarang aku
menawannya. Jelas, untuk memancing
kedatangan Madewa ke tanah genting
ini. Kalau Madewa tidak datang, aku
akan menghina gadis ini habis-habisan,
sebelum kubunuh. Dan kepalanya akan
kubawa ke rumah Hartawan itu sebagai
rasa kesalku!" Wirapati tergelak lagi.
Nindia menjerit kecil. Menge-
rikan! Ini semua bermula dari Madewa
Gumilang. Wanita berlengan buntung itu
pun agaknya mendendam pada Madewa.
Diam-diam dia menyesal, Madewa telah
menolong keluarganya!
Pratiwi manggut-manggut. Jalan
pikiran yang bagus. Kalau begitu dia
harus membawa gadis ini. Dia pun
membutuhkannya untuk memancing Madewa.
"Baik! Wirapati, aku akan membawa
gadis ini. Jika Madewa datang,
katakan, kalau dia kutunggu di puncak
gunung Halimun! Jangan sampai dia
tidak datang! Katakan juga, kuberi dia
waktu lima bulan sejak hari ini!"
Pratiwi lalu menghampiri Nindia.
la tersenyum seraya mengulurkan
tangannya.
"Ayo gadis manis, sekarang kau
harus ikut aku."
Nindia hanya mengangguk saja. Dia
pun merasa lebih baik ikut wanita itu
daripada disekap Wirapati yang
kemungkinan besar akan merenggut
kehormatannya. Buru-buru dia mengena
kan pakaiannya yang sobek-sobek akibat
ulah Wirapati.
Sebelum pergi Pratiwi berkata
pada Wirapati, "Katakan yang jujur
pada Madewa, aku menunggu!"
Wirapati mengangguk sambil ter-
gelak. Pratiwi mengandeng lengan
Nindia. Tapi belum sampai mereka ke
pintu goa, terdengar desingan beruntun
dari belakang.
"Awasss!" desis Pratiwi seraya
mendorong tubuh Nindia lalu dia
sendiri bersalto dua kali. Dengan
sigap dia berbalik. Wirapati tergelak-
gelak.
"Bangsat keji!" desis Pratiwi
geram. Untung dia masih mendengar akan
adanya angin kecil dari belakang.
Rupanya Wirapati diam-diam melemparkan
jarum-jarum berbisanya.
"Tidak mudah kau membawa gadis
itu begitu saja, Pratiwi!"
"Apa maksudmu? Kau sudah menga-
takan semauku untuk membawanya atau
tidak."
"Masih juga tidak mengerti....
Aku yang mendapatkannya dengan susah
payah, kau semudah itu membawanya.
Tidak, aku akan mempertahankannya
sampai Madewa datang menjemputnya."
geram Wirapati yang jengkel serangan
gelapnya luput.
"Bangsat!!" Pratiwi menggerakkan
tangan kanannya. Mendadak Wirapati
merasakan dorongan angin yang besar
datang dari depan. Dia cepat berkelit.
Dan dorongan angin itu menerjang
dinding goa hingga hancur berantakan.
Wirapati agak kecut juga melihat
serangan itu. Tanpa menggerakkan
tubuhnya Pratiwi mampu mengirim
pukulan jarak jauh. Sekarang Pratiwi
yang tergelak. "Hik... hik... jangan
kaget kau, Bangsat curang! Itulah yang
dinamakan pukulan Angin Menghalau
Hujan! Ilmu yang kudapat dari Kitab
kuno di dasar gunung Halimun!"
"Bah! Keluarkan semua ilmumu,
Pratiwi! Kita akan bertarung sampai
mati!" bentak Wirapati seraya menye-
rang dengan pukulan lurus. Tangan yang
mengepal itu mengeluarkan asap.
Pratiwi agak kaget melihatnya. Tapi
dia cepat memapaki dengan pukulan
Angin Menghalau Hujan.
Tanpa menggerakan tubuhnya pula
dia mengirimkan pukulan jarak jauh
itu. Wirapati menggeram jengkel seraya
bersalto. Masih melayang di atas dia
menyerang kembali. Suasana dalam goa
itu sangat gaduh sekali. Nindia hanya
terpaku tanpa ada pikiran untuk
melarikan diri. Dia menekap kupingnya
dengan kedua tangannya untuk menutupi
suara yang bising itu.
"Lihat serangan, Pratiwi! Ini
yang dinamakan Naga Menguak Langit!"
Lalu Wirapati menerjang dengan gerakan
tangan yang cepat sekali. Terasa di
kulit Pratiwi dorongan angin yang
hebat. Gerakan Naga Menguak Langit
begitu dahsyat, sambung menyambung.
Jurus Pratiwi dihalaunya dengan sekali
pukul. Tetapi Pratiwi cepat bangkit
kembali. Dia menggunakan jurus Angin
Menggoda Hujan. Mendadak saja tubuhnya
bergoyang dengan hangat. Lirikannya
pun menggoda.
Wirapati tergagap. la menghen-
tikan serangannya. Jurus yang aneh.
Jurus yang penuh godaan. la memper-
hatikan Pratiwi menggerakan seluruh
tubuhnya, mengundang gairah sekali.
Pinggulnya yang besar berlenggak-
lenggok penuh pesona. Dadanya yang
montok bergoyang terayun-ayun. Membuat
Wirapati menelan ludahnya.
Itulah jurus baru andalan
Pratiwi. Yang membuat orang melihatnya
terpana penuh gairah. Jurus yang aneh
dan memgerikan. Karena yang tidak
waspada akan mampus dengan sekali
pukul. Begitu pula dengan Wirapati. Ia
terpaku penuh gairah. Sedangkan
Pratiwi semakin genit bergoyang. Hanya
tinggal dua tindak lagi jaraknya
berdiri dengan Wirapati. Dan tiba-tiba
dengan teriakan keras, Pratiwi
menerjang dengan tangan lurus ke
depan. Wirapati terkejut. Tak ada
waktu untuk menangkis. Sebisa-bisanya
dia berguling kesamping, tapi tak
urung bahunya terkena pukulan Pratiwi.
Wirapati merasakan bahunya di-
timpa godam yang sangat berat sekali.
Dia terhuyung jatuh, Pratiwi terbahak.
"Rasakan itu, Bangsat curang!"
"Kau... kau yang curang, Pratiwi,"
geram Wirapati marah dan kesakitan.
"Hik... hik... Jadi orang jangan
mata keranjang. Itulah akibatnya.
Wirapati, saat ini aku tidak telengas
menurunkan tangan mautku padamu,
mengingat kau akan menghadapi musuhmu
yang juga musuhku, biarlah tanda di
bahumu kenangan dariku! ingat
Wirapati, katakan pada Madewa kalau
aku menunggu kedatangannya di puncak
gunung Halimun!" Pratiwi lalu mengham-
piri Nindia yang pucat wajahnya. "Ayo
gadis manis, kau ikut denganku! Kita
tinggalkan si Bangsat curang itu di
sini!"
Nindia memegang tangan Pratiwi.
Begitu terpegang, dia merasakan
tubuhnya terbang. Si Selendang Merah
telah membawanya lari dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang hebat.
Di dalam goa, Wirapati mengumpat!
"Bangsat kau Pratiwi, kalau kau bukan
mencari musuhku juga, sudah kukejar ke
mana pun kau pergi!!"
Nindia tidak banyak tanya dalam
perjalanan. Dia merasa telah cukup
baginya mengenal wanita cantik
berlengan buntung ini. Tadi dia
mendengar wanita ini bernama Pratiwi,
alias Dewi cabul. Atau julukannya yang
menakutkan si Selendang Merah.
Tadi dia kaget sekali karena
merasakan tubuhnya terbang. Dia
menjerit tertahan karena terkejut.
Tetapi lama kelamaan terbiasa. Diam-
diam Nindia ingin berguru pada wanita
cantik ini.
Pratiwi tidak langsung membawa
Nindia ke puncak gunung Halimun. Dia
mengajaknya mampir di sebuah desa yang
bernama Jati Beringin. Sebuah desa
yang indah dan tentram.
Ki Lurah Lanangneweng adalah
seorang lurah yang mampu dan baik
dalam memimpin desanya. Ki Lurah juga
seorang pesilat yang lumayan ilmunya.
Karena lurahnya mempunyai ilmu silat,
masyarakat di desa itu merasa aman
dari gangguan orang-orang jahat. Sebab
Ki Lurah Lanangwenang mampu menangani
semua itu.
Hari ini Ki Lurah Lanangneweng
sedang kedatangan tamu. Seorang laki-
laki yang memakai ikat kepala putih
dan bertato telapak tangan di tengah-
tengahnya ada seekor naga. Ki Lurah
tahu siapa orang ini. Salah satu
anggota dari Telapak Naga, yang
katanya kini menguasai desa tetangga.
Tetapi sebagai seorang lurah dan orang
yang berilmu, Ki Lurah tenang-tenang
saja. Dia menyambut baik kedatangan
orang itu.
Anggota Telapak Naga yang bernama
Caturseta mengusap-usap kedua tangan-
nya. Dan sesekali meraba tato di
dadanya. Yang dimaksudkan untuk
menakut-nakuti lurah Jati Beringin
itu.
Tetapi sedikit pun Ki Lurah
tenang saja. Dia mendehem setelah
mendengar penuturan Caturseta.
"Hmmm, maaf Saudara. Saya sebagai
lurah di sini, merasa berkewajiban
melindungi rakyat di sini. Jadi saya
harap, Saudara maklum, kalau jawaban
saya ini tidak berkenan di hati
Saudara."
"Hhh, Ki Lurah!" suara Caturseta
berwibawa. "Janganlah kita bersilat
lidah, cepat katakan apa jawabanmu
itu."
"Hanya satu Saudara, saya tidak
mungkin bisa memenuhi permintaan
Saudara itu."
Wajah Caturseta memerah.
"Jadi...."
"Ya, saya sudah katakan, harap
Saudara maklum."
Mendengar suara yang tenang itu
naik darah Caturseta. "Ki Lurah, aku
sudah katakan, kalau kau menolak,
berarti kau berani menentang
Perkumpulan Telapak Naga!"
"Bukan maksudku menantang,
Saudara. Perkumpulan Telapak Naga te
lah terdengar kesaktiannya, karena
pimpinan mereka yang bernama
Krampelaksa adalah seorang tokoh yang
sakti. Juga gelar yang dimilikinya pun
membuat orang menjadi jeri, Naga Putih
Peminum Tuak! Tapi Saudara... di sini
saya sebagai lurah, punya kewajiban,
yang mana menginginkan desa ini makmur
dan tentram, tanpa gangguan apa-apa.
Lalu tahu-tahu Saudara datang, dengan
menyampaikan berita yang mengerikan.
Harus menyediakan seorang perawan
murni yang dipersembahkan untuk Naga
Putih Peminum Tuak, setiap malam
Jum'at! Nah, mana mungkin saya bisa
menerima permintaan itu, Saudara? Saya
tidak ingin..."
"Tutup bacotmu, Ki Lurah!" geram
Caturseta marah. "Kau benar-benar
berani membangkang! Sudah kuminta
secara baik-baik tapi kau tak
mengindahkannya. Baik, perkumpulan
Telapak Naga akan menculik perawan
murni setiap malam Jum’at! Camkan itu,
Ki Lurah!"
Setelah berkata demikian,
Caturseta bangkit mohon diri. Tapi
Lanangneweng menahannya, "Tunggu,
Saudara!"
Caturseta berbalik dan mendengus.
"Mau apa?!"
"Aku akan mempertahankan desa ini
dari gangguan Perkumpulan Telapak
Naga. Boleh kau melakukannya, tapi
ingat, kami tidak akan tinggal diam!"
Kata-kata itu terdengar menghina
sekali bagi telinga Caturseta. Benar-
benar minta mampus orang ini. Maka
sambil berseru keras, dia langsung
menyerang dengan pukulan lurus kemuka.
Ki Lurah Lanangneweng memang bukan
lurah sembarangan. Dia cepat berkelit
kesamping dan kakinya menyambar
pinggang Caturseta.
"Des!"
Seharusnya Caturseta jatuh ter-
guling terkena tendangan yang keras
itu. Tapi dia hanya goyang sedikit.
Lalu loncat menerkam. Tangan kanannya
membuka, jari-jarinya merapat satu
sama lain. Inilah ilmu Telapak Naga
yang dimiliki oleh semua anggota
perkumpulan Telapak Naga.
Naga Putih Peminum Tuak tidak
tanggung-tanggung menurunkan ilmunya.
Itu merupakan pamungkas dari ilmu
perkumpulan Telapak Naga. Ilmu yang
mengerikan!
"Hati-hati, Ki Lurah!!" sambil
memperingatkan Caturseta menyerang.
Sambaran angin yang datang dari
telapak tangannya membuat Ki Lurah
Lanangneweng kaget juga. Cepat dia
berkelit. Tapi gerakan ilmu telapak
naga begitu cepat. Maka tak ampun
lagi, bagian belakang dari Lanang-
neweng terkena pukulan itu.
"Des!"
Akibatnya sungguh mengerikan.
Punggung Lanangneweng berasap. Dan
terceplaklah di kepulan itu telapak
berwarna hitam. Kalau ilmu itu
Krampelaksa yang melakukannya, orang
yang terkena bisa langsung mampus
dengan tubuh hangus!
Caturseta terbahak. "Ha... ha...
apa yang akan kau pertahankan, Ki
Lurah? Ilmumu tak ada sejari dari
ilmuku!" Lalu dia melompat dan
menghilang, sementara tawanya masih
menggema.
Dengan menahan sakit yang amat
sangat, Ki Lurah berlari ke dalam
rumahnya. Istrinya yang sedang menyu-
sui anaknya terkejut melihat telapak
hitam di punggung suaminya.
"Kakang Lanang! Kenapa punggung-
mu?!" jeritnya setelah meletakkan
bayinya yang sedang tidur.
"Ambil, ambil... air, Nyai!
Basahi tubuhku," kata Lanangneweng
terbata.
Istrinya, Nyai Sekar, menuruti
perintah suaminya. Seketika Lanang-
neweng merasakan sejuk di tubuhnya.
Tetapi begitu air kering, kembali
dirasakannya perih yang sakit sekali.
"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya
Nyai Sekar cemas.
"Orang Telapak Naga menyerangku."
"Siapa?"
"Tamu yang datang tadi...."
"Oh! Ke... kenapa dia menye-
rangmu? Begitu tega sekali... oh...
punggungmu hitam, Kakang."
"Tidak apa Nyai, sebentar juga
sembuh.... Orang tadi bernama
Caturseta... dia salah seorang anggota
dari perkumpulan Telapak Naga...."
"Lalu...."
"Dia minta padaku... agar
menyerahkan setiap malam Jum'at...."
"Menyerahkan apa, Kakang?"
Lanangneweng terdiam. Lalu, "Dia
minta... seorang perawan murni... yang
akan dipersembahkan untuk Naga Putih
Peminum Tuak...."
"Oh, Tuhan...." Nyai Sekar
menekap wajahnya. "Permintaan yang
mengerikan!"
"Yah... itulah sebabnya aku
menolak, lalu orang tadi menyerangku
dengan pukulan Telapak Naga."
"Lalu... apa yang akan kau
perbuat, Kakang?"
"Aku tidak tahu... yang pasti aku
akan berusaha mengagalkan setiap aksi
penculikan mereka...."
Tiba-tiba Nyai Sekar menjerit
tertahan. Ki Lurah Lanangneweng kaget.
"Ada apa, Nyai?"
"Nanti... nanti malam Jum'at,
Kakang...."
"Oh!" Ki Lurah tersentak. Ia
bangkit dengan cepat. "Aku harus
memberitahu penduduk Nyai, agar mereka
berhati-hati!" Lalu tanpa menghiraukan
rasa sakitnya, Ki Lurah berlari ke
luar rumah.
Istrinya hanya menangis terguguk
di ranjang. Kehidupan yang sulit
rupanya mulai merambati keluarganya.
Yah, sejak Perkumpulan Telapak Naga
mulai mendatangkan aksinya pada
mereka.
***
DUA
Orang-orang terkejut ketika Ki
Lurah berseru-seru di tanah lapang
itu. Serentak mereka berduyun-duyun ke
sana, ingin tahu apa sebabnya.
Mungkin ini penting sekali,
karena Ki Lurah sendiri yang meneriak-
kannya.
Tak berapa lama kemudian, alun-
alun itu telah penuh sesak. Hampir
semua penduduk menghadirinya.
Ki Lurah Lanangneweng berdiri di
tengah-tengah mereka dengan sikap
serba cepat.
Dia berseru, "Wahai kawan-kawan
semua, ternyata desa kita ini tidak
bisa bertahan lama dalam ketentraman
dan kedamaiannya! Karena sebentar lagi
bencana yang terburuk akan datang pada
kita!"
Serentak terdengar gumaman ramai.
Dan sahutan.
"Ki Lurah, apa maksudmu?"
"Bahaya apa yang datang pada
kami, Ki Lurah?"
"Bukankah desa kita selalu
tentram dan tak pernah ada keributan?"
"Cepat terangkan pada kami!"
"Sabar, sabar, Kawan-kawan! Aku
akan menerangkan semuanya pada kalian,
karena ini bencana yang terburuk yang
akan menimpa kita!
Belum lima belas menit yang lalu,
seorang yang mengaku bernama Caturseta
datang ke rumahku. Ketahuilah, dia
adalah salah seorang dari Perkumpulan
Telapak Naga yang kita tahu mereka
adalah orang-orang yang kejam!
Yang datang hanya untuk
menyebarkan teror bagi kita semua!
Maksud kedatangan Caturseta itu
adalah, agar aku mau menyediakan
seorang perawan murni yang berada di
sini untuk ketua mereka yang bernama
Krampelaksar
Permintaan yang gila-gilaan dan
jauh di bawah moral! Menyediakan
seorang perawan murni untuk
dipersembahkan kepada pemimpin mereka,
adalah gila jika kita mau memenuhi
permintaan itu!
Jelas-jelas aku menolak. Aku
tidak mau mengorbankan setiap wargaku
untuknya. Dan akhirnya kami berkelahi.
Rupanya ilmuku jauh berbeda di bawah
ilmu Caturseta. Dan ini sebagai
kenang-kenangan dari orang itu!"
Ki Lurah Lanangneweng membalikkan
badan. Terlihat pukulan hitam di
punggungnya. Orang-orang berseru
tertahan.
"Telapak Naga!" seruan itu
terdengar panik di antara seruan
tertahan orang banyak. Yang berseru
itu adalah seorang perempuan cantik
berlengan buntung.
Wanita yang berdiri di sampingnya
menoleh. Lalu bertanya, "Apakah
Telapak Naga itu, Kak?"
"Telapak Naga adalah nama jenis
pukulan yang berbahaya, yang sekaligus
dipakai untuk nama perkumpulan. Aku
telah lama mendengar akan adanya
perkumpulan baru yang sesat itu."
Dari depan terdengar lagi suara
Ki Lurah Lanangneweng, "Kawan-kawan,
orang dari perkumpulan Telapak Naga
itu marah besar padaku! Setelah
melumpuhkan aku, dia mengancam, akan
menculik seorang perawan murni setiap
malam Jum'at. Dan ancaman itu berlaku
untuk detik ini!"
Kembali seruan tertahan ter-
dengar. Dan gadis-gadis yang masih
perawan semua mendadak berwajah pucat.
Mereka ngeri akan menjadi sasaran
penculikan itu dan diserahkan pada
ketua perkumpulan sesat itu. Dan
paniklah mereka semua, ketika ingat
ini adalah malam Jum'at, di mana aksi
penculikan yang pertama akan
berlangsung.
Semua menjerit-jerit ketakutan,
Beberapa orang Ibu merangkul anak
perawannya erat-erat seolah aksi
penculikan itu sudah terlaksana
Ki Lurah Lanangneweng menenangkan
penduduknya. Setelah tenang, dia
melanjutkan perkataannya lagi, "Kawan-
kawan, sekarang maksudku untuk
mengumpulkan kalian adalah, agar kita
bersatu untuk melawan penculik-
penculik itu! Dengan kekuatan yang
banyak, kemungkinan besar aksi
penculikan itu berhasil digagalkan!"
Semua mendukung usul itu. Tapi
ada juga yang mengusulkan agar melapor
pada raja. Agar raja yang menangani
masalah itu. Tetapi Ki Lurah
Lanangneweng menolak, dengan alasan,
"Selagi kita mampu melawan, kita tidak
perlu meminta bantuan raja dulu!"
"Tapi desa kita ini bisa
merupakan neraka yang mengerikan bagi
setiap anak gadis, Ki Lurah!" teriak
salah seorang.
"Memang, tapi kita harus berusaha
menghilangkan mimpi buruk itu! Kita
harus bersatu, Saudara-saudara! Kita
harus saling membantu menghalau setiap
serangan yang datang!"
Dan mulai saat itulah, setiap
kepala keluarga dan pemuda-pemuda
mempersiapkan senjata dirumahnya. Juga
memeriksa semua kunci jendela dan
pintu. Bahkan ada yang memasang
jebakan berupa lubang tanah yang
ditutupi alang-alang.
Gadis manis yang duduk di warung
nasi itu pun nampak ketakutan. Kata-
kata lurah tadi telah membuatnya
ngeri. Tetapi wanita cantik yang duduk
di sebelahnya kelihatan tenang-tenang
saja. Sedikit pun tidak menampakkan
ketakutan. Malah setetes keringatnya
pun tak jatuh.
Gadis muda itu melirik yang duduk
di sebelahnya, yang masih asyik
menikmati kue-kue yang dijual di
warung nasi itu. Sebentar lagi malam
akan tiba. Kini mereka akan menginap
di mana, sementara bayangan penculikan
terus saja menghantuinya.
"Kakak Pratiwi," gadis muda itu
meluncurkan kata.
Wanita cantik yang masih asyik
itu menoleh. Ia tersenyum melihat
wajah gadis manis itu pucat.
"Jangan takut adik Nindia.
Biarlah penculikan itu dilakukan, asal
kita tidak diganggu."
"Tapi... aku takut, Kak."
"Hik... hik... selama aku berada
di sisimu, tak perlu kau takuti. Ayo
makanlah...."
"Saya sudah kenyang," gadis muda
yang tak lain Nindia itu menunduk.
Tiba-tiba dia berkata lagi, "Sebaiknya
kita pergi saja dari tempat ini. Aku
sudah mengantuk, Kak. Kita bisa cari
penginapan sekarang."
"Kita akan menginap di sini,
Nindia."
Nindia terkejut. Juga Bapak tua
yang punya warung itu. Wah, bisa
gawat. Dia tadi sudah beruntung tidak
punya anak gadis lagi, tapi sekarang
kedua wanita cantik ini akan menginap
di sini. Bisa berabe. Buru-buru dia
berkata, "Saudari yang terhormat,
sebaiknya saudari ikuti saja kata-kata
adik saudari. Adik saudari benar,
lebih baik lekas mencari penginapan
sebelum aksi penculikan itu datang."
"Ah, Bapak tua. Bilang saja kami
tidak boleh menginap di sini." Pratiwi
tersenyum manis.
Bapak tua itu tersipu. Tapi dia
harus menjelaskan, "Bukan maksudku
melarang kalian berdua menginap di
sini. Tidak. Jika ancaman penculikan
anak perawan itu tidak ada, sebulan
pun kalian menginap di sini tak apa
tanpa bayar. Tapi sekarang, biar pun
kalian berani bayar mahal permalam,
saya tetap tidak mengizinkan.
Maklumlah saudari, saya takut kalau
ancaman penculikan itu terjadi pada
diri kalian berdua...."
Pratiwi hanya terkikik "Malah
saya berharap akan diculik, Pak. Saya
ingin kenal dengan Krampelaksa yang
gelarnya mengejutkan orang."
Wajah Bapak Tua itu kaget bukan
kepalang. Benar-benar gadis edan yang
satu ini. Mengharapkan bertemu dengan
Krampelaksa. Huh!
Orang mendengar namanya saja
sudah ciut nyalinya, apalagi bertemu!
Dan bukan hanya bertemu, akan
dijadikan santapan malam Naga Putih
Peminum Tuak itu! Mengerikan!
Bapak tua itu rupanya tidak mau
lagi bercakap-cakap dengan gadis edan
itu. Makanya dia langsung membereskan
semua dagangannya.
Lalu berkata, "Maaf, warung ini
akan tutup."
Pratiwi tidak membantah. Dia
hanya tertawa saja. Setelah membayar,
dia mengajak Nindia mencari tempat
penginapan. Nindia merapatkan tubuhnya
pada tubuh Pratiwi ketika melangkah,
Apalagi malam sudah datang. Keadaan
desa itu sunyi sekali, lain dari
biasanya. Dan jam tujuh ini, gardu-
gardu ronda sudah penuh dengan
penjaga. Yang biasanya hanya lima
orang, kali ini di setiap gardu ada
lima belas orang lengkap dengan
senjata, keris, tombak, golok dan
lain-lain.
Mereka menemukan penginapan yang
tak begitu besar. Harganya pun murah.
Pemilik penginapan itu agak ragu-ragu
mengizinkan mereka menginap. Dia
rupanya juga tak ingin terlibat
kesulitan. Kamar yang telah penuh itu
hampir semuanya diisi oleh laki-laki.
Juga ada wanita tapi yang telah
bersuami dan punya anak.
Sekarang kedua gadis cantik itu
ingin menginap di tempatnya. Tak ada
jalan lain selain mengizinkan, apalagi
mereka berjanji hanya satu malam
menginap dan besok akan melanjutkan
perjalanan.
"Huh! Semua seakan dibayangi oleh
ketakutan!" gerutu Pratiwi ketika
merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia
menggerutu panjang-pendek. Sementara
Nindia hanya mendengarkan saja.
Pratiwi berkata lagi, "Pokoknya,
tengah malam nanti, aku akan keluar!"
Nindia tersentak, "Kemana, Kak?"
"Aku ingin tahu markas Perkum-
pulan Telapak Naga itu!"
Nindia ingin membantah, tapi dia
tidak berani. Wanita cantik itu seakan
yakin akan kemampuannya untuk membela
diri. Maka Nindia mendiamkan saja. Ia
juga merebahkan tubuhnya di ranjang.
Ketika merebahkan tubuhnya itulah
Nindia teringat akan rumahnya. Ibunya.
Ayahnya. Juga ketika penculikan yang
dilakukan Wirapati atas dirinya. Dan
nyaris dia diperkosa, Ingatan itulah
yang membuat Nindia ketakutan ketika
mendengar keterangan Ki Lurah
Lanangneweng di alun-alun tadi siang!
Dia menghela nafas panjang.
Diliriknya Pratiwi yang tengah
memainkan selendang merahnya. Selama
berada di sisi wanita cantik berlengan
buntung itu, Nindia merasa kese-
lamatannya terjamin!
Tak berapa lama kemudian, matanya
pun terpejam.
***
TIGA
Tepat tengah malam, Pratiwi
bangkit. Duduk di ranjangnya. Sejak
tadi dia memang tidak tidur. Walaupun
matanya terpejam. Pendengarannya tetap
bekerja. Mendengar apa yang sedang
atau akan terjadi di luar sana. Tetapi
sejak tadi tidak terdengar apa-apa,
hanya kantongan di gardu-gardu ronda,
yang menandakan orang-orang desa itu
sedang bersiaga penuh.
Tak jauh dari ranjangnya, ter-
dengar dengkur yang lembut dan
beraturan. Nindia yang keletihan sejak
pagi tertidur pulas. Pratiwi bangkit
berdiri. Memperhatikan wajah cantik
Nindia. Gadis yang benar-benar cantik,
yang membuat orang memandangnya dan
tak mau lepas dari obyek yang
mengasyikkan itu.
Sedikit pun tak ada noda yang
membuat cacat wajah itu, selain kerut
keletihan. Besok pun hilang kalau
letihnya sudah hilang.
Wanita cantik ini, sayang kalau
sampai dimakan oleh Wirapati, desis
Pratiwi dalam hati. Merasa beruntung
karena dia datang sebelum Wirapati
melakukan aksinya.
Tetapi dewi cabul itu tetap orang
sesat. Kegemarannya menghisap sari
perjaka pria membuatnya terkenal
sebagai orang sesat berwajah cantik.
Kali ini pun pikiran jelek
melintas di benaknya. Ia tersenyum
sendiri. Sejak tadi yang dipikirkan
hanya mengenai Krampelaksa, ketua
perkumpulan Telapak Naga dan ancaman
penculikan perawan untuknya!
Pratiwi yakin, gadis yang tidur
di hadapannya ini seorang perawan
murni. Dan diam-diam Pratiwi ingin
menyerahkan Nindia untuk naga tua itu.
Pasti Naga tua itu akan
menerimanya dengan tangan terbuka.
Bagaikan anjing diberi sekerat daging.
Biar bagaimana pun, Pratiwi tahu,
kalau saat ini Nindia sedang dicari
oleh Madewa Gumilang, pemuda yang
telah membuatnya mendendam! Dengan
diserahkannya Nindia kepada Krampe-
laksa, Pratiwi yakin, Krampelaksa akan
takluk akan perintahnya.
Dan kekuasaan Perkumpulan Telapak
Naga akan jatuh ke tangannya. Karena
di saat Krampelaksa menggeluti tubuh
Nindia, Pratiwi akan menghajarnya
sampai minta ampun!
Dan merebut kekuasaan dari tangan
Krampelaksa. Dan dia akan meme-
rintahkan Krampelaksa dan anak buahnya
untuk membunuh Madewa Gumilang.
Pekerjaan yang ringan dan mudah.
Pratiwi terkekeh sendiri. Itulah
rencana yang membayang di benak si
Selendang Merah. Rencana yang keji dan
menakutkan.
Diam-diam dia tersenyum, menge-
rikan. Matanya nanar membayangkan
keberhasilan rencananya. Dia akan
menangkap dan menyiksa Madewa Gumilang
sampai menjerit-jerit.
Pratiwi menghampiri Nindia yang
sedang tertidur pulas. Ia memper-
hatikan seluruh tubuh gadis itu.
Benar-benar indah dan menantang.
Tiba-tiba tangannya bekerja
dengan cepat. Menotok dua kali. Satu
menotok urat di punggung Nindia dan
satu menotok urat suara di lehernya.
Dengan cepat dia menelanjangi
gadis itu. Tidak puas hanya
memperhatikan bagian luar tubuh gadis
itu saja.
Terlihatlah suatu pemandangan
yang indah dan penuh pesona. Setiap
pria pasti akan mencair liurnya, dan
langsung menggeluti tubuh indah itu.
Bentuk tubuh yang bagus, tanpa
cacat sedikit pun. Semua masih murni.
Tidak puas hanya menatap, Pratiwi
meraba seluruh tubuh Nindia. Halus.
Mulus. Pratiwi sendiri bergetar
merabanya.
Suatu santapan yang lezat untuk
Krampelaksa. Pasti Naga tua itu tidak
akan menolak disuguhkan hidangan yang
lezat ini.
Pratiwi kembali membetulkan
pakaian Nindia dan melepaskan kedua
totokannya.
Nindia yang masih tertidur pulas
tidak tahu soal itu! Juga tidak tahu
apa yang dipikirkan dan dikerjakan
Pratiwi atas dirinya nanti.
Pratiwi kembali ke tempat
tidurnya. Membayangkan lagi kemenangan
yang ada di tangannya. Dia akan
mencincang Madewa Gumilang, pemuda
yang telah membuat sengsara bagi
dirinya.
Dengan bantuan Krampelaksa, Pra-
tiwi merasa kekuatannya bertambah.
"Aaaaaah! Tolooooong!" tiba-tiba
terdengar jeritan itu. Menyentak dan
membangunkan keheningan malam.
Pratiwi bergerak cepat. Dia
melompat keluar melalui jendela dan
segera mencari sumber suara itu. Tidak
jauh darinya, para peronda sudah
berpencar mencari pula. Pratiwi juga
melihat, kalau Ki Lurah Lanangneweng
berada di salah satu pencari itu!
Benar-benar kesiagaan yang sigap!
"Saudara, saudara! Kita berpen-
car!" seru Ki Lurah Lanangneweng.
"Suara jeritan itu terdengar dari
rumah Tapadwipa! cepat, jangan sampai
terlambat!!"
Mereka berjumlah dua puluh orang.
Dan empat orang masing-masing menjaga
di lima penjuru. Mengelilingi rumah
itu.
Di dalam sang pemilik rumah sudah
tergeletak bermandikan darah tak
bernyawa, begitu pula dengan istrinya!
Tapi jeritan itu terdengar parau dari
dalam kamar, suara Murni, anak semata
wayang Tapadwipa. Tapi kemudian
terdiam. Rupanya si penculik telah
menotok urat suara dan urat kejang
sang gadis.
Penculik itu berpakaian hitam-
hitam. Ia sudah tahu kalau dirinya
dikepung. Namun dia nampak tenang-
tenang saja. Tidak gelisah. Dengan
santai dia memanggul tubuh Murni yang
terdiam kaku, lalu keluar melalui
pintu depan!
Serentak para pengurung. Mendeka-
tinya. Orang itu terkekeh dengan tawa
yang menakutkan.
Ki Lurah Lanangneweng maju dan
berseru geram, "Bangsat biadab!
Kembalikan gadis itu pada kami!"
Orang itu terus terkekeh. Tiba-
tiba dia menghentikan kekehannya. Dan
bersuara tajam, "Ki Lurah, tadi siang
sudah kuperingatkan padamu, kalau aksi
penculikan anak perawan di desa ini
akan dilakukan oleh Perkumpulan
Telapak Naga!"
Secara tak langsung Ki Lurah
Lanangneweng sudah bisa menebak siapa
penculik itu.
Dia membentak, "Caturseta!
Kembalikan gadis itu pada kami,
kataku! Jangan sampai kami melumat
habis tubuhmu!"
Caturseta terkekeh lagi. "Apa kau
tak salah omong, Ki Lurah?"
"Setaaannn! Kawan-kawan, habisi
bangsat itu!" seru Ki Lurah sambil
maju menyerang dengan goloknya.
Serentak yang lain berbuat yang sama.
Berpuluh senjata tajam melayang
mengarah pada tubuh Caturseta.
Tetapi orang itu hanya terkekeh.
Masih terkekeh pula dia membentak dan
"wuutt!" tubuhnya sudah melompat dan
berdiri di wuwungan rumah Tapadwipa.
Senjata-senjata yang menyerang itu tak
menemui sasarannya. Orang-orang meng-
geram antara jengkel dan kagum.
Tawa menggema lagi dari atas
wuwungan Itu.
"Ha... ha... Ki Lurah Lanang-
neweng! Aksi Perkumpulan Telapak Naga
tidak main-main. Ini buktinya!
Sekarang aku permisi.... Kalau kalian
tidak puas... tunggu kedatangan aksi
kamu selanjutnya... malam Jum'at
mendatang! Ha... ha...!"
Lalu sosok bayangan hitam itu
melayang dan menghilang. Beberapa
orang mencoba mengejar namun sia-sia.
Bayangan itu seperti hilang begitu
saja lenyap. Seolah menembus ke dasar
bumi.
Ki Lurah Lanangneweng menggeram
jengkel. Marahnya tidak ketulungan.
Aksi penculikan didepan matanya, tidak
mampu dielakkan.
Omongan orang-orang Telapak Naga
benar-benar terbukti.
Beberapa orang pengejar kembali
dengan tangan hampa. Dan melapor,
"Kami tidak melihat apa-apa, Pak
Kepala! Juga tidak mendengar apa-apa
sedikit pun! Orang itu bagaikan iblis
yang bisa menghilang!"
Ki Lurah menghela nafas, jengkel.
"Mereka benar-benar luar biasa."
"Ya, Pak Kepala. Orang satu saja
kita tidak mampu menangkapnya, apalagi
dengan yang lainnya."
"Kita harus segera bertindak."
"Ya!!" sahut yang lain serempak.
"Yah... kita harus segera
bertindak. Kita tidak bisa mendiamkan
aksi begini terus menerus. Kita harus
berani berbuat hal yang penuh resiko.
Kita harus berani menyerang ke desa
sebarang, menghadapi langsung Perkum-
pulan Telapak Naga. Tapi...."
"Tapi apa, Pak Kepala? Usul itu
kami dukung dengan sepenuh hati, demi
membela kebenaran dan keadilan!"
"Ya, kami rela mengorbankan nyawa
untuk desa ini! Untuk anak-anak
perawan yang tak berdosa!"
"Ya, kami akan membela! Iya,
tidak kawan-kawan?"
Yang lain bersorak setuju. Orang-
orang yang gagah berani, demi
kebenaran dan keadilan.
Ki Lurah tersenyum melihat
semangat mereka. Tetapi apa mereka
mampu menghadapi Perkumpulan Telapak
Naga yang dipimpin oleh tokoh sesat
yang sakti?
Sedangkan tadi, melawan satu
orang saja mereka tidak berdaya.
Belum lagi yang lain?
Pak Lurah geram. Mengapa harus
ada orang-orang sesat itu di muka bumi
ini. Tetapi untuk keadilan dia pun
rela mengorbankan nyawa.
Penuh keyakinan Pak Lurah
mengangguk. Bersorak dengan disambut
oleh yang lain penuh semangat. Mereka
akan berjuang semampu mereka!
"Baik! Kita atur rencana, lalu
kita serang markas mereka! Kita gempur
mereka sampai titik darah penghabisan!
Dan sekarang, kembali kalian menjaga!"
Orang-orang yang rela berkorban.
Dengan semangat dan sorak gemuruh
mereka kembali ke pos mereka.
Ki Lurah mengajak beberapa orang
untuk mengurus jenazah Tapadwipa dan
istrinya.
***
EMPAT
Desa tetangga yang menjadi markas
Perkumpulan Telapak Naga bernama
Babakan Ngarai. Desa yang dulunya
tentram dan damai.
Udara yang sejuk selalu membuat
penduduk Babakan Ngarai bekerja dengan
giat.
Tetapi sejak orang-orang Telapak
Naga berdatangan ke desa itu, Babakan
Ngarai seperti mereka. Orang-orang itu
mengacau dan mengobrak-abrik seisi
desa itu.
Bahkan kalau ada nama yang lebih
pedih daripada neraka, pasti itu lebih
tepat.
Memang ketika datang, orang-orang
Telapak Naga tidak membuat onar.
Mereka menunjukkan sikap sebagai tamu
yang baik. Lurah Babakan Ngarai yang
bernama Ringkihsamin, menyambut
kedatangan mereka dengan baik.
Namun tinggal namun. Nasib
Ringkihsamin tak ubahnya dengan Ki
Lurah Lanangneweng. Tetapi lebih naas
nasib Ringkihsamin.
Dia ditemukan mati terbunuh
dengan tubuh hancur. Dan di dada dan
perutnya ada gambar cap lima jari.
Tentunya bekas pukulan orang Telapak
Naga.
Jadilah Babakan Ngarai desa yang
mengerikan.
Bagaimana tidak? Pajak dinaikkan
dengan seenaknya. Ongkos hidup susah.
Dan kadang masih dirampok dan
dipukuli. Orang-orang laki yang kuat
dan gagah, diharuskan menjadi anggota
Telapak Naga. Yang tua dan tak mampu
mereka bunuh dengan sadis, di hadapan
anak dan istrinya.
Yang lebih menyeramkan sudah
tentu nasib kaum wanitanya. Tak
perduli gadis, perawan, wanita yang
bersuami, ataupun yang sudah lanjut,
kalau mereka suka, ditariknya wanita
itu kesemak-semak. Dan digilir
beramai-ramai sampai pingsan!
Nasib yang menyedihkan.
Maka tak jarang gadis-gadis
banyak yang bunuh diri sebelum atau
sesudah diperkosa.
Walaupun yang sedikit berani,
bisa bermanis muka dan dengan sukarela
menjadi selir salah seorang dari
anggota perkumpulan itu atau dari
ketuanya.
Tapi yang menghargai harkat
kewanitaan? Mereka lebih rela mati
daripada diinjak-injak kehormatannya.
Dan bisa ditebak, lambat laun
kaum wanita didesa itu berkurang.
Itulah sebabnya, Perkumpulan Telapak
Naga beralih mencari wanita ke desa
sebarang! Sasarannya desa Jati-
beringin! Yang terkenal akan
kecantikan dan kemolekan mojangnya.
Dan Krampelaksa sudah mengirim
utusannya Untuk berbicara dengan Ki
Lurah Lanangneweng yang jelas-jelas
menolak permintaan itu.
Bayangan hitam itu berkelebatan
dengan cepat. Di pundak orang itu
tubuh seorang gadis terkulai lemah.
Dialah Caturseta yang memakai ilmu
larinya untuk menghindari kejaran
orang-orang Jatiberingin.
Tugas hampir dijalankan dengan
baik.
Orang-orang itu tidak ada yang
sanggup mengejarnya. Namun tanpa
disadarinya, sejak tadi ada yang
membuntuti. Seorang wanita cantik
berlengan buntung.
Gerak dan langkahnya kelihatan
lebih hebat daripada Caturseta. Dialah
Pratiwi yang lihai.
Di depan rumah yang megah,
Pratiwi berdiri. Dua orang penjaga di
sana tidak banyak. Begitu mengenali
Caturseta. Mereka membuka pintu.
Caturseta langsung? masuk dan
menuju ke ruang tengah, di mana
ketuanya menunggu dengan tidak sabar.
Dan matanya langsung melotot penuh
birahi melihat kerja Caturseta yang
membawa hasil.
Ia bangkit dan tertawa nyaring.
Bertepuk.
Memberi tanda agar Caturseta
meletakkan 'buruan' itu.
Caturseta menurunkan gadis itu
dalam posisi terlentang, hingga
ketuanya bisa melihat kecantikan wajah
dan kemontokan tubuh gadis itu, yang
nyata tercetak oleh pakaian tipis yang
dikenakannya.
Krampelaksa menjilat-jilat bibir-
nya.
Matanya berkilat-kilat.
"Ha... ha... kerja yang bagus,
Caturseta!" puji sang ketua. "Sebagai
imbalannya, kau boleh ambil gadis ini
besok, setelah aku pakai... ha...
ha...!"
Caturseta membungkuk hormat,
gembira. Sejak tadi dia sudah panas
dingin memanggul dan memeluk tubuh
gadis itu. Kalau saja dia tidak ingat
akan ketuanya, sudah digarapnya lebih
dulu perawan cantik itu.
Tapi jika ketahuan dia yang
menggarap, bisa mampus tergantung
besoknya!
Namun keinginan itu akan
terpenuhi besok.
Ketuanya akan memberikan gadis
itu kepadanya. Biar bekas tidak
mengapa, baru satu kali pakai.
Apalagi dia sering menikmati
tubuh wanita yang sudah berulang kali
dipakai teman-temannya!
Besok, besok dia akan terbang ke
sorga!
Gembira Caturseta membayangkan
itu. Dia buru-buru berpamitan.
"Terima kasih, Ketua! Saya mohon
diri!" kata Caturseta seraya undur ke
belakang. Ia melangkah ke samping dari
bagian gedung itu.
Di pojok dekat taman sana, dia
tinggal. Rumah mungil yang indah dan
dirasakan Caturseta bagai sorga
dunianya. Sorga yang indah. Di sana
sudah ada dua wanita cantik yang
menunggu. Itu wanita desa Babakan
Ngarai, yang diambilnya sebagai wanita
simpanannya.
Begitu sampai, dia memanggil
kedua wanita itu yang langsung
terburu-buru menghampirinya. Ia
mencowel kedua pipi wanita itu. Dan
mencubitnya dengan gemas.
"Kalian semakin cantik saja! Ayo
kita main-main sejenak!"
Kedua wanita itu terdiam. Siksaan
yang amat pedih yang merasa rasakan
setiap kali melayani Caturseta. Namun
menolak berarti maut, dan keduanya
belum mau mati. Tak ada jalan lain.
Dengan menahan air matanya agar tidak
jatuh, Kedua wanita itu melayani
Caturseta yang terkekeh-kekeh ke
enakan.
Yah... tirani benar-benar telah
menjajah desa Babakan Ngarai. Desa
yang diimpikan sebagai desa yang damai
dan sentosa, sekarang bagaikan suatu
wabah penyakit menular, yang ditakuti
setiap orang.
Di dalam ruangan yang megah,
Krampelaksa sedang memperhatikan gadis
yang terlentang itulah Murni yang baru
tersadar dari pingsannya terbelalak
kaget. Di mana dia berada? Dan siapa
orang ini?
Dia ingin bergerak, tapi tubuhnya
terasa kaku. Dia ingin berteriak, tapi
suaranya bagaikan menghilang.
Krampelaksa tertawa pelan. Lalu
membungkuk. Tangannya membelai dada
Murni yang montok yang hanya bisa
mendelik dengan marah.
"Ha... ha... jangan galak-galak,
Nona. Sebentar lagi kau akan kuajak
bersenang-senang. Hmm, aku sudah tidak
sabar ingin menikmati kehangatan
tubuhmu." Sehabis berkata begitu
Krampelaksa membawa Murni ke kamarnya.
Gadis itu ingin meronta, tapi tetap
tak bisa.
Dibaringkannya tubuh Murni di
ranjang. Lalu dia sendiri membuka
bajunya. Dengan gerakan cepat
Krampelaksa melepaskan totokan di urat
leher dan punggung. Ketika mulut Murni
terbuka dengan mengeluarkan tenaga
dalam sedikit!
Krampelaksa melempar pil ke mulut
Murni yang langsung tertelan.
Murni tersedak. Dia bangkit dan
berseru marah, "Bangsat rendah,
kembalikan aku kerumahku"
Krampelaksa hanya tertawa. Gadis
itu akan membentaknya lagi. Tapi tiba-
tiba Murni merasakan hawa panas di
tubuhnya. Dan kepalanya agak pening.
Rupanya pil yang ditelan Murni tadi
adalah pil perangsang dosis tinggi.
Gajah pun akan terangsang diberikan
pil itu.
Tubuh Murni menyentak-nyentak.
Nafsu birahinya naik. Keinginannya
yang satu itu mendadak begitu
menggebu. Krampelaksa terbahak. Dia
tidak membuang waktu lagi. Langsung
diterkamnya tubuh gadis itu!
Rupanya tanpa setahu Krampelaksa,
perbuatannya itu ada yang mengintai
dari atas genting. Si Selendang merah,
yang kini menahan nafas melihat adegan
yang mengasyikkan di bawah sana.
Dia tadi terkejut, tidak menyang-
ka siapa sebenarnya orang yang bernama
Krampelaksa yang berjuluk Naga Putih
Peminum Tuak. Disangkanya orang itu
hanyalah seorang tua yang jelek dan
kerap kali minum tuak. Tapi ini tidak.
Orang Itu seorang pemuda yang tampan
dan gagah, juga tidak meminum tuak.
Malah kalau dilihat dengan seksama,
orang itu lebih muda dari Caturseta!
Dan Pratiwi yakin, gelar peminum
tuak itu bukan arti yang sebenarnya.
Tapi sebagai orang pemetik bunga!
Melihat ketampanan dan kegagahan
Krampelaksa, menitik air liur Pratiwi.
Dia menginginkan pula pemuda itu.
Tidak perduli bukan perjaka lagi, tapi
dia ingin! Maka dia menunggu sampai
pemuda itu selesai menggarap korban-
nya.
Hampir satu jam barulah
'pertarungan' itu selesai. Pratiwi
langsung mendobrak genting dan turun
ke bawah. Krampelaksa yang masih ngos-
ngosan terkejut. Dia menyambar cela-
nanya. Tapi begitu dilihatnya yang
datang seorang wanita cantik dia
tersenyum. Santai saja dia memakai
celananya.
"Ada apa gerangan Nona malam-
malam begini datang kemari?"
Pratiwi tersenyum memikat. Ia
melangkah dengan genit. "Aku ingin
seperti gadis itu...."
Krampelaksa terkejut, tapi
kemudian tersenyum. Ia membuka kedua
tangannya lebar-lebar menyambut
Pratiwi dalam pelukannya. Dasar kedua-
duanya manusia sesat, manusia yang tak
bisa menahan nafsu. Di dalam kamar itu
terulang lagi kemaksiatan yang hina!
Perbuatan jijik yang dilakukan
oleh budak-budak nafsu! Nafsu memang
membuat orang lupa daratan, apapun
akan dilakukan untuk memuaskan nafsu
itu. Orang yang sudah dikuasai nafsu
begitu berbahaya. Itulah sebabnya,
orang disuruh belajar bersabar.
Maksudnya agar bisa mengekang nafsu
apa pun juga!
Setelah perbuatan hina itu
selesai, Pratiwi mulai dengan
rencananya. Untuk menjerumuskan Nindia
dalam pelukan Krampelaksa! Jelas saja
Krampelaksa girang bukan main. Ini
suatu suguhan yang bagus! Lagipula,
dia pun masih bisa menikmati tubuh
Pratiwi yang hangat, yang sudah lihai
dalam urusan begituan.
Pratiwi bangkit. Menggeliatkan
tubuhnya yang pegal. Lalu berpaling
pada Krampelaksa.
"Tapi aku punya syarat untuk
itu!"
Krampelaksa hanya tertawa. "Ha...
ha... akan kupenuhi semua permintaan-
mu, Manis...."
Pratiwi tersenyum. Rupanya
pimpinan Perkumpulan Telapak Naga
sudah hampir bisa dikuasainya. Lalu
dia berkata, "Aku minta, kau harus
tunduk pada perintahku!"
Sedetik Krampelaksa terkejut.
Tapi di detik lain dia kembali
tertawa.
"Baik, baik, apa pun yang kau
perintahkan, akan kulakukan...."
"Hik... hik... bagus. Aku suka
padamu, Krampel. Sekarang dengarkan
aku... aku punya dendam pada seorang
yang bernama Madewa Gumilang. Dendamku
itu akan kulaksanakan dipuncak Halimun
beberapa bulan yang akan datang.
Ketahuilah, Krampel... pemuda itu
punya kesaktian yang hebat... dia
murid tunggal Ki Rengsersari alias
Pendekar Ular Sakti...."
"Apa? Pendekar Ular Sakti?!"
Krampelaksa agak terkejut mendengar-
nya. Dulu gurunya pernah bercerita
tentang kehebatan Pendekar Ular Sakti,
tapi kemudian diketahui kalau orang
sakti itu sudah mampus. Tapi kemudian
Krampelaksa tertawa. "Aku tidak takut
pada muridnya...."
Pratiwi tersenyum genit. "Aku
sudah duga itu. Dan kamu tahu apa
keinginanku...."
"Tak perlu kuatir, Manis. Aku
akan membantumu menghadapi pemuda itu.
Belum tentu dia mampu menandingi ilmu
Telapak Nagaku yang lihai."
Pratiwi terkikik penuh hasutan.
Dia merasa rencananya sudah matang.
Sekarang harus segera kembali sebelum
Nindia terbangun dan matahari terbit.
Dia mencium dulu Krampelaksa
sebelum pergi. "Aku akan membawa gadis
itu padamu Jum'at yang akan datang!"
Lalu "wutt!" Pratiwi melesat dan
menghilang bagai bayangan. Tapi harum
tubuhnya yang membuat orang bisa mabuk
birahi tercium di hidung Krampelaksa.
Itulah Ilmu Pengharum Tubuh yang
dipunyai si dewi cabul alias Selendang
Merah.
***
LIMA
Deburan ombak yang keras
terdengar beberapa kali. Suasana
daerah itu sunyi dan menyeramkan.
Tetapi dari kejauhan terlihat dua
bayangan berkelebat dengan cepat dan
ringannya. Seakan berlomba adu
kecepatan berlari.
Kedua pemuda itu berwajah tampan.
Hanya yang satu lebih besar dan tegap
dan yang satunya lagi lebih kecil,
tapi jelas kalau keduanya punya ilmu
silat yang tinggi.
Kedua orang itu berhenti sambil
menatap derasnya ombak yang ber-
kejaran.
"Di mana tanah genting itu,
Saudara Madewa?" tanya yang bertubuh
kecil yang kita ketahui adalah sahabat
baru Madewa Gumilang yang bernama Adi
Permana atau Camar Walet Putih Dari
Utara!
"Aku pun tidak tahu tempatnya,"
sahut pemuda yang berdiri di
sampingnya sambil memandang berkeli
ling. Madewa memang hendak mencari
tanah genting di mana putri dari
Abindamanyu ditawan oleh Wirapati.
Madewa sudah menceritakan semua itu
pada sahabat barunya.
Tadi Madewa menolak sahabat
barunya itu ikut ke tanah genting yang
berada di sebelah timur laut selatan.
Dia pikir ini urusan pribadinya dengan
Wirapati setahun yang lalu. Tapi
sahabat barunya itu tetap ingin ikut.
Dengan seperti anak perempuan sahabat
barunya itu ngambek!
Akhirnya tak ada pilihan lain,
Madewa mengajaknya. Sahabat barunya
itu sebenarnya tengah melakukan suatu
tugas, di mana hendak melacak pembunuh
ayahnya!
Tiba-tiba Madewa ingat, tanah
genting itu berada di sebelah timur.
Dia cepat mengajak sahabat barunya itu
ke sana. Dengan mempergunakan ilmu
lari, keduanya saling kejar mengejar.
Tetapi tetap jarak mereka berbarengan,
tak ada yang kalah dan menang. Namun
dalam hati Madewa merasa, ilmu larinya
masih berada jauh di atas ilmu lari
Adi Permana. Sementara Adi Permana
merasa, kalau sahabat barunya itu
hanya mengeluarkan setengah dari ilmu
larinya!
Tak kurang dari setengah jam,
keduanya tiba di tanah genting.
Suasana di sini lebih mencekam. Sunyi.
Dan pohon-pohon besar yang tumbuh
membuat bulu kuduk meremang
melihatnya. Diam-diam Madewa heran
melihat Adi Permana. Sebagai orang
yang lama berdiam di gunung, kenapa
nampak pucat melihat keadaan daerah
ini. Seolah dia belum pengalaman
menginjakkan kakinya ke tempat semacam
ini!
Tetapi Madewa tidak lagi
mempersoalkan hal itu, karena suara
yang menyeramkan terdengar dari atas.
Begitu menakutkan! Lagi-lagi Madewa
melihat teman barunya itu seperti
ketakutan. Wajahnya memucat. Padahal
Madewa yakin, kalau ilmu silat yang
dimiliki temannya itu tinggi!
Madewa memperhatikan sekeliling-
nya.
"Wirapati, cepat kau tampakan
batang hidungmu, karena aku tidak
sabar untuk membunuhmu!" bentak Madewa
dengan disertai tenaga dalam dan
terlihat kalau suaranya menggema
sampai ke pantai laut selatan.
Tetapi bentakannya hanya disambut
oleh tawa mengejek Wirapati yang
menunggu sejak lama.
"Bangsat! Cepat kamu keluar!!"
"He... he... pemuda tolol,
teriak-teriak tak ada gunanya!"
terdengar bentakan itu. Sekarang ilmu
arah belakang. Madewa cepat berbalik.
Nyalimu sungguh besar, Pemuda tolol!
Ketahuilah, sekarang adalah hari
kematianmu karena ulahmu yang membunuh
kedua saudara seperguruanku! Keduanya
akan merasa aman kalau kau sudah
mampus di tanganku!!"
"Cepat kau keluar! Aku... pun
sudah tak sabar ingin menghajarmu!"
"He... he...!" Tiba-tiba Madewa
merasakan angin dahsyat dari belakang.
Pukulan jarak jauh yang berbahaya. Dia
membentak. Sambil menubruk temannya
yang terbengong, dia berguling
berkelit. Pukulan itu luput menimpa
pohon yang langsung tumbang.
"Bangsat keji! Kau berani berbuat
curang, Cepat keluar!" geram Madewa
seraya bangkit Adi permana pun berbuat
demikian. Kali ini dia bersiaga.
Bahkan dia mencabut sepasang pedangnya
dengan sigap!
"He... he... kalau kau tidak
ingin mati konyol cepat serang aku,
Madewa... sebelum serangan gelap yang
lain datang...."
"Bangsat!" Madewa mendengus.
Tetapi sejurus kemudian dia berdiam.
Berkonsentrasi Rupanya dia tengah
mengeluarkan ilmu andalan pemberian
gurunya, ilmu pandangan menembus
sukma. Penglihatannya dapat menembus
jarak yang jauh dan gunung sekali pun.
Maka di detik lain terlihatlah di
matanya, kalau Wirapati tengah
ongkang-ongkang kaki di atap pohon
sebelah kanan darinya. Lalu melompat
berpindah. Sesekali dia berada
gelayutan di pohon sebelah kiri Adi
Permana.
Tiba-tiba Madewa membentak. Dan
"Ciaaat!"
Tubuhnya menerjang ke atas dengan
cepat. Wirapati terkejut. Dia langsung
berkelit dengan jalan bersalto dan
hinggap ke bawah. Madewa pun berbuat
yang sama. Dan kini keduanya
berhadapan dengan gagah. Wirapati
mendengus jengkel. Ternyata pemuda itu
tahu permainannya di atas pohon dan
kini tertawa mengejek melihatnya pias.
"He... he... Wirapati, Wirapati!
Sekali pun kau bersembunyi di dasar
bumi, aku akan tahu tempatmu...!"
Madewa mengejek. Tapi tawanya tahu-
tahu terhenti. Dia membentak,
"Sekarang, dl mana kau sembunyikan
putri Nindia! Cepat berikan padaku
Wirapati... kalau kau tak mau tubuhmu
lumat kuhancurkan!"
Itu bukan gertakan sambal,
Wirapati pun tahu hal itu. Tapi
percuma kalau dia takut. Dia sudah
mempunyai ilmu yang diandalkannya
sekarang. Lagipula, Nindia dibawa
pergi oleh Pratiwi. Biar dia berpura-
pura Nindia berada di dalam. Dia harus
membunuh dulu pemuda setan Ini.
Misalnya dia kalah, biarlah dia mati
menyusul saudara seperguruannya, yang
penting dia sudah membalaskan
dendammu. Dan lagi masih ada dewi
cabul yang mendendam juga. Nanti dia
akan memberitahu di bawa siapa Nindia
dan ditunggu di mana pemuda itu oleh
Pratiwi.
Sekarang, dia harus berpura-pura
Nindia ada padanya!
"Kau pikir kau mampu
mengalahkanku, Pemuda edan! Jangan
mimpi di siang bolong! Demi langit dan
bumi, hari ini adalah hari
kematianmu!"
"Jangan banyak bacot, di mana
Nindia kau sembunyikan!"
"Dia tidak kurang apa-apa, bocah!
Hanya kau boleh tahu, sampai besok kau
tidak menolongnya, gadis itu sudah
akan mati, karena sudah kuberi racun
yang sangat ganas namun menghisap
korbannya secara perlahan," sahut
Wirapati berbohong agar Madewa keli-
hatan beringas. Dan benar, pemuda itu
langsung menyerangnya demi jurus ular
mematuk katak.
Gerakannya cepat dan tangannya
meliuk mirip ular. Tapi Wirapati cepat
berkelit lalu memapakinya dengan ilmu
yang dimilikinya.
Tempat itu sekarang menjadi
ramai. Dua orang jago yang bertarung
laksana seribu ekor gajah yang
mengamuk di tempat itu.
Adi Pernama hanya menyaksikan
saja. Diana diam dia ngeri melihat
pertarungan yang berbahaya itu. Tapi
detik kemudian, dia mempersiapkan
kedua pedangnya. Dia harus membantu
Madewa Gumilang membunuh orang jelek
itu. Apalagi tadi nyawanya sudah
diselamatkan pemuda itu dari serangan
gelap Wirapati!
Maka sambil menjerit dia masuk ke
arena pertarungan. Kedua pedangnya
berkelebat dengan cepat. Dan menyambar
tempat-tempat yang berbahaya di tubuh
Wirapati. Wirapati menjerit kaget. Dia
menghindar sambil mencabut pedangnya.
"Bangsat cilik, kau berani-
beraninya mencampuri urusanku!"
"Masa bodoh! Kau pun tadi hendak
merenggut nyawaku! Saudara Madewa,
izinkan aku untuk membalas sakit
hatiku karena ulahnya tadi!!"
Tetapi Madewa menggeleng, lalu
berkata tegas, "Saudara, kau tidak
perlu ikut campur! Ini urusan kami
berdua, sebaiknya kau minggir saja."
"He... he... betul, betul,...
nanti kalau dia sudah mampus, kau baru
maju, bocah cilik!" ejek Wirapati
sambil meloncat setindak. Dan
memainkan jurus pedangnya.
Tetapi Adi Pernama tidak mau
mundur. Dia tetap jengkel akibat ulah
Wirapati tadi. Tanpa menghiraukan
seruan Madewa, dia menyerang Wirapati!
Perbuatannya nekat sekali, karena dia
masuk ke gulungan pedang Wirapati!
"Saudara!" jerit Madewa.
Tapi terlambat. Pedang di tangan
Adi Permana sudah menyambar kepala
Wirapati. Namun Wirapati cepat
menangkis. Dan gerakannya sukar
ditebak, ilmu pedangnya aneh. Dia
ganti menyambar pergelangan kaki Adi
Permana, lalu menepis bahu pemuda itu
yang langsung menekap bahunya yang
berdarah karena tak sempat berkelit!
Madewa memburu. "Saudara, sudah
kukatakan tadi, kau tidak perlu ikut
campur urusan ini. Sebaiknya kau
beristirahat!"
Adi Permana mengangguk. Sepasang
pedangnya dimasukkan lagi kesarungnya.
Dia merasa ilmunya tak berguna sekali.
Percuma dia pergi dari perguruan untuk
mencari pembunuh ayahnya kalau hanya
sekali gebrak dia sudah kalah.
Setelah yakin Adi Permana mau
menuruti sarannya, Madewa berbalik
pada Wirapati.
"Kita teruskan permainan ini,
Wirapati!"
"He... he... mau cepat-cepat
mampus rupanya. Baik!" Wirapati
menerjang dengan jeritan hebat.
Pedangnya menyambar ke sana kemari.
Madewa dengan mengandalkan kelincahan
dan ilmu peringan tubuhnya, berkelit
menghindar sambaran pedang itu. Diam-
diam dia merasa heran. Wirapati salah
seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda
memiliki ilmu pedang yang sangat aneh.
Setahu Madewa dulu Wirapati bergelar
pukulan tangan geledek yang hanya
mengandalkan pukulan saja. Tetapi kini
dia memiliki ilmu pedang yang aneh.
Madewa tidak tahu, kalau Wirapati
tengah mengeluarkan ilmu pedangnya
yang baru, yang bernama ilmu pedang
Membelah Mega!
Madewa sudah merasakan betapa
hebatnya ilmu pedang itu. Dia
membentak dan bersalto keluar dari
lingkaran pedang itu.
Dia mendecak, "Ilmu pedang yang
luar biasa!"
Wirapati terkekeh. "Kau jeri
melihat kelihaianku sekarang, Madewa?
Sudah kukatakan, kau akan mampus hari
ini! Tahan serangan!!"
Wirapati kembali melancarkan
serangannya. Pedangnya berkelebat
dengan hebat. Madewa berkali-kali
berkelit dan tidak diberi kesempatan
untuk membalas. Jurus Ular Meloloskan
Diri dan ditambah dengan kelincahannya
membuat Madewa luput dari serangan
yang hebat itu.
Wirapati berteriak dengan hebat.
Kembali angin yang ditimbulkan oleh
pedang itu bersiuran dengan hebat.
Madewa tetap berkelit dan
berjumpalitan. Tiba-tiba terdengar
seruan, "Saudara! Pakai pedangku!!" !
Sambil bersalto Madewa menangkap
sepasang pedang yang dilempar oleh Adi
Permana.
"Tep!"
Pedang berhasil disambarnya, tapi
belum lagi dia menjejakkan kakinya ke
tanah, pedang Wirapati sudah
menyambar. Tak ada jalan lain. Dengan
sebisanya Madewa menangkis.
"Des!!"
"Traangg!"
Benturan kedua pedang itu
menimbulkan pijar yang amat terang.
Keduanya terhuyung. Dari mulut Madewa
keluar cairan darah. Sedangkan
Wirapati kembali berdiri dengan cepat
tanpa cidera sedikit pun!
Jelas Wirapati yang menang. Sebab
Madewa tengah bersalto di atas,
seluruh tenaga dalamnya hanya dipakai
untuk kekuatan saltonya, tidak untuk
menangkis. Dan begitu serangan
Wirapati dengan sepenuh tenaga
dalamnya datang, Madewa kewalahan.
Wirapati tertawa mengejek.
"Ha... ha... inikah murid
Pendekar Ular Sakti yang hebat itu?
Bah, nol besar! Madewa... detik ini
nyawamu harus melayang!" Wirapati
menengadah ke langit-langit yang
megah, saksikanlah, hari ini aku akan
membunuh orang yang bernama Madewa
Gumilang!"
Wirapati sudah bersiap. Adi
Permana berseru, "Awas, Madewa!!"
Madewa bangkit dengan memper-
siapkan pedangnya. Kali ini dia
menghindar jalan darah di pergelangan
tangan Wirapati, agar pedang yang
dipegangnya terlepas. Maka begitu
Wirapati menerjang, dia cepat mem-
babatkan pedangnya ke pergelangan
tangan Wirapati.
Wirapati terkejut. Dia menggeser
tangannya ke kanan. Dari samping dia
membalas. Tetapi belum lagi gerakannya
sampai, dia sudah menyodok perut
Madewa dengan pedangnya! Madewa
sekarang yang terkejut. Keanehan dan
keampuhan ilmu pedang itu membuatnya
bingung. Dia menghindar dengan cepat.
Tapi satu sontekan kaki pada lututnya
membuat dia terhuyung.
Dan Wirapati sudah mengejar
dengan pedangnya. Tak ada kesempatan
bagi Madewa untuk mengelak. Menangkis
pun sudah tak ada waktu lagi. Ujung
pedang itu sudah mengancamnya.
Namun tiba-tiba keanehan terjadi.
Tubuh Wirapati mental sebelum maksud-
nya tercapai. Dan jatuh muntah darah!
Madewa menghela nafas panjang.
Keanehan itu terjadi lagi. Kehebatan
ilmu yang didapatnya ketika secara tak
sengaja menghisap air dari rumput
kelangkamaksa, yang membuatnya bisa
membalikkan serangan lawan jika sudah
terdesak betul. Ilmu itu tidak bisa
digunakan sembarangan. Dalam keadaan
menang dia pun tidak bisa
menggunakannya. Dan memang Madewa
tidak tahu cara mengeluarkannya!
Adi Permana terkejut. Tadi dia
sudah membayangkan kalau sahabat
barunya akan mampus di ujung pedang
Wirapati, tapi kini terlihat kawannya
tegak dengan sempurna. Adi sudah
bermaksud hendak menolongnya tadi.
Wirapati menggeram hebat.
"Setan! Dulu pun kau mengalahkan
kami dengan ilmu setanmu itu, tapi
sekarang sambutlah, Pukulan Naga
Menguak Langit!"
Sesudah itu Wirapati menggerang
hebat. Tangannya meregang. Dan dari
dua kepalannya terlihat asap merah
berkepulan. Menandakan inti dari ilmu
itu sudah sampai di dua kepalannya.
Madewa merasa, kali ini dia harus
menggunakan pula Pukulan Bayangan
Sukma warisan gurunya yang hebat itu.
Dia pun berkonsentrasi. Dan kedua
tangannya menggeluarkan asap putih.
Kini keduanya sudah berhadapan.
Masing-masing menatap lawannya dengan
nafsu ingin membunuh! Dan Wirapati
sudah mengerang dengan hebat. Dia
menyerbu. Madewa pun tak mau kalah.
Dia berbuat hal yang sama.
Memapakinya!
Jeritan Adi Permana terdengar.
Dan terdengar gelegar dari tempat itu.
Kedua jotosan yang penuh tenaga sakti
beradu.
"Duaarr!"
Keduanya kembali terhuyung. Tapi
kali ini berbalik. Yang muntah
darah... Wirapati, sedangkan Madewa
tetap biasa walau nafasnya ngos-
ngosan!
Kejadian yang mendebarkan!
Wirapati diam-diam mengeluh. Ilmu
Pukulan Naga Menguak Langit, yang
dipelajarinya selama setahun, ternyata
belum mampu juga menandingi ilmu
Pukulan Bayangan Sukma! Merasa sudah
tak mampu lagi, Wirapati menjadi
nekat. Biar bagaimana pun dia harus
bisa membunuh pemuda ini, paling tidak
memberi kenangan yang tak terlupa
selama hidupnya!
Sambil menggeram hebat dia
melompat menerjang dengan segenap ilmu
saktinya itu. Madewa pun kembali
memapaki. Dan kembali pula benturan
dua buah tenaga sakti terjadi. Kali
ini benar-benar mematikan. Madewa
jatuh terhuyung dan muntah darah.
Sementara Wirapati jatuh dalam keadaan
sekarat. Tubuhnya terasa sakit sekali
menyentak-nyentak aliran darahnya!
Benar-benar tidak ada harapan
untuk membunuh pemuda berpakaian
putih-putih itu. Tapi dia teringat,
masih ada Pratiwi yang bisa membunuh
pemuda itu.
Dengan sisa tenaganya yang lemah,
Wirapati berkata tersendat, "Pe..
pemuda gila... kau... tak akan
menemukan.. gadis itu di sini....
Dia... dia... dibawa Pratiwi si
Selendang Merah.... Dan kau... ditung-
gu di puncak gunung Halimun...tiga
bulan men... datang... aku... ohhh!"
Tamatlah nasib Tiga Dewa
Penunggang Kuda. Adi Permana berlari
memburu Madewa. Dia pun masih terluka,
namun dia cepat menubruk pemuda itu.
Dan memberikannya sebuah pil putih.
Madewa cepat menelannya. Badannya
terasa agak mendingan. Adi Permana
sendiri pun sudah menelan pil itu.
"Bagaimana keadaanmu, Saudara?"
"Ah... agak baikan. Terima kasih
Adi, atas pilnya." Adi Permana
membantu Madewa bangkit. Madewa
berkata lagi, "Kita harus mencari desa
yang terdekat.... Untuk menunggu saat
tiga bulan mendatang...."
Sambil membimbing Madewa
melangkah, Adi Permana bertanya, "Aku
tidak tahu siapa Pratiwi si Selendang
Merah itu?"
Madewa mengeluh. Masih ada
persoalan lagi rupanya. Pratiwi, dewi
cabul yang menjadi musuhnya sejak
dulu. Ada persoalan apa lagi
dengannya? Lagi Madewa mengeluh. Telah
lama dia bertekad hendak mencari
ayahnya... namun kembali masalah ini
membuat perjalanannya terhambat (baca:
Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Keduanya terus melangkah. Begitu
senja turun, keduanya tiba di desa
Babakan Ngarai!
"Ya, aku yakin! Dia putraku! Aku
yakin!" terdengar seruan itu. Dan yang
berseru muncul dari balik semak.
Dan terdengar makian, "Bah!
Ingat, Karto... sekian lama kau tidak
menjumpai anak itu! Bagaimana mungkin
kau bisa mengenali anak itu!"
"Diam kau, Pandan! Ini urusanku!
Naluri kebapakanku menyatakan dia
anakku!"
Pandan Ningsih mendengus. Lalu
terdiam. Hatinya galau. Betapa harunya
dia mendengar kata-kata itu. Naluri
kebapakan.
Dia tidak mempunyai naluri macam
itu. Tak sekali pun naluri keibuan.
Untuk menutupi rasa harunya itu dia
membentak, "Kau mau apa lagi?"
"Aku akan terus mengikuti pemuda
itu dengan kawannya! Anakku sungguh
luar biasa. Dia mampu mengalahkan
orang sakti tadi!"
"Bah!"
"Kau jangan melecehkan anakku,
Pandan!"
"Jelas saja dia menang. Karena
ada bantuan temannya."
"Tapi anakku lebih sakti!"
"Tidak. Teman anakmu yang sakti.
Dia mampu membunuh perlawanan orang
yang bernama Wirapati itu!"
Kartonggolo menjadi panas.
"Kau pun belum tentu menang
melawan anakku, Pandan!"
Pandan Ningsih terbahak.
"Anakmu? Ha-ha-ha... ingat
Karto... anak ini laki-laki. Biar
bagaimana pandainya ilmu anakmu, dia
pasti akan bertekuk lutut di kakiku"
"Setan! Kau hendak mempengaruhi
anakku pula?"
"Tidak. Aku sudah cukup puas
dengan ayahnya."
"Hhh!" Kartonggolo mendengus.
Sejak tadi dia dengan istrinya
memperhatikan orang-orang itu
bertanding. Kartonggolo berdebar keras
melihat betapa gagahnya anak itu
menghentikan serangan lawannya.
Ya, dia yakin. Salah seorang dari
mereka itu anaknya. Yang lebih kecil
dan berkumis tipis itu anaknya!
Dia yakin.
Tompel besar di tangan kiri anak
itu sudah merupakan tanda yang berarti
buatnya.
Dia akan tetap mencari dan
mengikutinya
"Pandan, lebih baik kau pulang.
Aku bisa menyelesaikan urusanku ini
sendiri."
"Tidak!" Pandan Ningsih
menggeleng tegas Lalu merajuk,
"Karto... kita sudah sama-sana tua....
Masa kau tidak mengizinkan aku ikut?
Aku kan istrimu...."
"Tapi kau hendak membunuh
anakku."
Mendadak Pandan Ningsih mengang-
guk, tegas. "Ya!"
"Nah, lebih baik kau pulang."
"Tidak, anak itu akan merebut
kasih sayangmu dariku! Aku tidak
perduli dia anakmu atau bukan. Aku
harus membunuhnya! Aku tidak mau kau
membagi kasih sayangmu padanya."
Kartonggolo mendengus jengkel.
"Betapapun menyebalkan aku. Karena aku
sayang kamu."
"Bah!" Kartonggolo mengambil
tongkatnya. Lalu melangkah.
Pandan Ningsih menyusul, "Aku
ikut, Karto!"
Kartonggolo diam saja. Terus
melangkah. Begitu pula dengan
istrinya. Dia mengikuti dengan senyum.
Tertawa sambil bernyanyi-nyanyi.
Tingkahnya cepat berubah. Memang,
Pandan Ningsih akhir-akhir ini cepat
berubah. Kadang marah. Kadang
tersenyum. Kadang merajuk. Pokoknya
memusingkan Kartonggolo.
Tetapi Pandan Ningsih istrinya.
Dia tidak boleh meninggalkannya begitu
saja. Biar bagaimana pun dia istrinya
yang tersayang, walau bukan ibunya
Madewa.
Oh, bagaimana dengan nasibnya
Warsih sekarang?
***
ENAM
Sudah tiga kali Nindia memergoki
Pratiwi keluar malam. Dan dia tidak
tahu apa kebutuhan Pratiwi di malam
itu. Dia hanya pura-pura tidur kalau
Pratiwi bangun dan meloncat dari
jendela.
Malam ini pun demikian. Nindia
sengaja tidak tidur, namun matanya
terpejam agar disangka tidur oleh
wanita berlengan buntung itu. Tepat
tengah malam, Pratiwi bangkit.
Memeriksa sebentar pada gadis itu,
lalu meloncat keluar melalui jendela.
Begitu Pratiwi menghilang, Nindia
cepat melompat. Dia jadi penasaran
sekali melihat tingkah si dewi cabul.
Dengan keinginan yang bulat dia
mengikuti ke mana Pratiwi pergi. Namun
dia bukanlah seorang wanita yang ahli
silat. Dia tidak punya ilmu lari
cepat. Dia hanya seorang wanita yang
anggun, lembut dan menggemari sastra.
Maka baru beberapa detik saja, dia
sudah kehilangan jejak. Pratiwi sudah
menghilang entah ke mana.
Saat itu Nindia menyesali tidak
bisa bermain silat! Dengan lesu dia
kembali kekamarnya. Kembali direbah-
kannya tubuhnya di ranjang. Dia
merenung memikirkan tingkah aneh kawan
barunya itu. Benar-benar aneh. Apa
tidak mungkin... Pratiwi menyelidiki
kasus penculikan di malam Jum'at yang
lalu? Ah, apa mau dia sebenarnya.
Waktu itu dia saja berkata biar saja
itu bukan urusannya. Jadi tidak
mungkin dia menyelidiki tentang
penculikan itu.
Sementara itu apa yang diduga
Nindia sebenarnya benar. Tapi tidak
sepenuhnya, karena Pratiwi sudah asyik
dalam rangkulan Krampelaksa, yang tak
perduli akan gadis yang dijanjikan
Pratiwi.
Dia pun sudah senang Pratiwi mau
melayaninya. Dan dia benar-benar sudah
mabuk kepayang. Pratiwi memang wanita
cabul yang hebat dengan ilmu pengharum
tubuhnya siapa pun akan terlena. Tak
kecuali ketua Perkumpulan Telapak Naga
ini. Apa pun yang diminta Pratiwi akan
dilakukannya!
Pratiwi gembira karena ketua ini
sudah dalam genggamannya. Dengan
dibantu olehnya, mungkin dia bisa
mengalahkan musuhnya yang menimbulkan
dendam kesumat yang dalam. Madewa
Gumilang, ajalmu tak lama lagi....
Setelah bicara sebentar mengenai
masalah dendamnya dengan Krampelaksa,
Pratiwi pun kembali ke penginapan,
yang pemiliknya telah dia paksa dan
ancam untuk mengizinkannya menginap
selama dua minggu tanpa bayar!
Nindia yang masih belum tidur
langsung memejamkan matanya begitu
Pratiwi datang. Pratiwi langsung
tertidur tanpa curiga pada Nindia yang
mengetahui perbuatannya.
Keesokkan harinya seperti biasa
Nindia bangun. Dia tak bertanya
tentang tingkah aneh Pratiwi. Seperti
biasa dia mandi. Sehabis mandi itulah
dia mendengar bentakan kasar dari
salah sebuah kamar, "Hei, Bangsat tua!
Kalau kau beritahu soal ini pada gadis
di kamarku itu, kubunuh kau!!"
Nindia yakin itu suara si
Selendang Merah. Tapi bukankah wanita
itu masih tidur tadi? Buru-buru dia
melesat ke kamarnya. Pratiwi sudah
tidak ada di ranjangnya! Rupanya dia
bangun ketika Nindia mandi. Lalu apa
maksud Pratiwi membentak demikian? Dan
siapa yang bentaknya?
Tahu-tahu pikiran jelek melintas
di benak Nindia! Pratiwi hendak
menjerumuskannya untuk dijadikan
santapan Krampelaksa. Biar bagaimana
pun juga, dia baru mengenal Pratiwi,
yang disangkanya dewa penolong.
Berpikiran jelek begitu, Nindia
langsung melarikan diri. Dia berlari
sekuat tenaga, menghindari si
Selendang Merah. Dan tanpa sadar dia
berlari di mana Krampelaksa berdiam
dengan anak buahnya!
Pratiwi keluar dari kamar itu
dengan jengkel. Rupanya kepergiannya
setiap malam diketahui oleh pemilik
penginapan itu. Pratiwi menjadi marah,
dia kuatir rencananya akan tercium
oleh Nindia. Makanya dia cepat
mengancam dan memberi hajaran pada
pemilik penginapan itu!
Lalu dia menyelinap kembali ke
kamarnya. Disangkanya Nindia belum
selesai mandi. Dia berpura-pura tidur
kembali. Namun ditunggu sampai sekian
lama, gadis itu tidak muncul-muncul.
Dia cepat menyusul ke kamar mandi.
Kamar mandi kosong.
Di mana gadis itu?
Seorang pengawal penginapan
melihat Pratiwi tengah mencari
sesuatu, dia menegur, "Mencari apa,
Den Putri?"
"Oh. Memang lihat gadis yang
selalu bersamaku?"
"O... yang cantik itu. Lihat."
"Di mana, Mang?" tanya Pratiwi
memburu.
"Tadi dia berlari ke arah barat.
Nggak tahu dia mau apa. Tapi kayaknya,
dia seperti kabur...."
"Hah? Kabur?" tanya banyak tanya
lagi, Pratiwi langsung melesat ke arah
barat. Dia tidak mau rencananya gagal.
Sementara itu siang sudah beralih
ke sore. Nindia melangkah dengan
letih. Tubuhnya dirasakan sakit semua.
Terutama pergelangan kakinya. Tanpa
diketahuinya, dia sudah memasuki
daerah perbatasan tempat kekuasaan
Perkumpulan Telapak Naga!
Terus Nindia melangkah. Dia
yakin, Pratiwi akan mengejarnya.
Makanya dia tidak ingin beristirahat.
Dia paksakannya kakinya untuk
melangkah.
Tiba-tiba terdengar derap langkah
kuda dari belakang. Nindia terkejut.
Apalagi ketika dilihatnya empat orang
berwajah seram yang menaiki kuda itu.
Buru-buru dia bersembunyi, tetapi
kakinya tersangkut batang kayu.
"Aduh!"
Jeritannya malah mengundang minta
para penunggang kuda. Mereka
menghampirinya yang berusaha bangun
namun tak kuasa. Dia sudah sangat
lebih sekali.
Orang-orang itu mengurungnya.
Wajah mereka mendadak berseri. Mata
mereka seperti melotot melihat siapa
yang terjatuh itu. Santapan nikmat di
sore hari!
Salah seorang turun. Meneliti.
Nindia yang sudah lemah sekali hanya
pasrah pada nasib, berontak pun dia
tidak akan mampu. Dia hanya bisa
berdoa agar orang-orang ini berlaku
baik. Namun doanya tak terkabul. Orang
yang turun tadi berseru gembira pada
teman-temannya.
"Hei, seekor kelinci manis di
tengah hutan! Ha... ha... rezeki
nomplok buat kita, Kawan-kawan!"
Kawan-kawannya yang berwajah
seram pula berlompatan turun. Dan
tertawa.
"Ha... ha... Nyaligluduk! Seret
saja wanita ini, biar kita santap
sekarang juga!" seru yang memakai baju
loreng dengan senjata cakar besi yang
terselip di pinggangnya. Dia juga
memakai penutup kepala loreng. Dia
bernama Macanrenggi. Yang dipanggil
itu tertawa terbahak. Perutnya yang
buncit terguncang oleh tawanya. Dia
yang bernama Nyaligluduk. Orangnya
pendek dan bersenjatakan kapak bermata
dua.
"Ha... ha... bagus, bagus. Untuk
apa disia-siakan! Ayo, bawa dia,
Renggalawu! Kita santap beramai-
ramai!"
Orang-orang buas itu terbahak.
Dan menyeret tubuh Nindia ke semak-
semak! Gadis itu berusaha meronta.
Namun tenaganya dirasakan percuma
untuk melawan orang-orang itu. Apalagi
yang bernama Suryapurnama dan berjuluk
si Toya Maut, menotok tubuh Nindia
hingga dia terbaring kaku.
Suara tawa orang-orang sesat itu
menggema di tempat sunyi. Mereka
benar-benar manusia buas, yang tak
kenal kasihan pada mangsanya. Pada
yang lemah yang menjerit minta belas
kasihan. Apalagi Nindia, nasibnya
benar-benar mengerikan. Dia berniat
akan membunuh diri dengan jalan
menggigit lidahnya sampai putus. Namun
lagi-Iagi si Toya Maut meluncurkan
tangannya, menotok urat di leher
Nindia hingga dia tak bisa
menggerakkan mulutnya.
Nasib yang mengerikan itu sudah
di ambang pintu. Nyaligluduk dan
Macanrenggi sudah membuka pakaiannya
sampai terbahak. Sementara Renggalawu
dan Si Toya Maut melucuti pakaian
gadis malang itu.
"Breet!"
"Breet!"
Sekarang tak ada sehelai benang
pun yang menutupi bagian tubuh gadis
itu. Tubuh yang telanjang bulat dan
putih mulus, membuat nafsu mereka
semakin naik.
Macanrenggi langsung menerkam
mangsanya dengan buas.
"Perbuatan keji!!" terdengar
bentakan itu dari atas dan yang
membentak meluncur ke bawah. Menendang
Macanrenggi yang hampir melaksanakan
niatnya.
"Duk!"
Tubuh pendek bulat itu berguling
dan mengaduh kesakitan. Orang yang
baru datang itu membuka bajunya. Dan
menutupi tubuh telanjang Nindia sambil
memejamkan mata.
Perbuatannya itu membangkitkan
kemarahan orang-orang buas itu.
Macanrenggi bangkit dengan geram.
"Pemuda bangsat! Cepat menyingkir
dari sini sebelum kubunuh kau!"
Pemuda itu hanya tertawa.
Wajahnya yang tampan dengan kumis yang
tipis membuatnya terlihat cantik saat
tertawa itu.
"Ha... ha... manusia-manusia
terkutuk macam kalian, harus dibasmi
dari muka bumi ini!"
"Setan!" geram Nyaligluduk.
"Sebutkan namamu, sebelum kami
membunuhmu!"
"Namaku tak perlu kalian ketahui.
Sekarang... kalianlah yang harus
memperkenalkan nama...."
"Hhh! Kau dengarlah, kami ini
tangan kanan ketua Perkumpulan Telapak
Naga!" kata Nyaligluduk dengan pongah-
nya. Disangkanya pemuda itu akan
ketakutan mendengar perkumpulan
Telapak Naga disebut.
Tapi pemuda itu lagi-lagi hanya
tertawa. "Telapak Naga kentut busuk!
Jadi kalianlah orangnya yang telah
membuat keonaran di desa ini dan...
mengganggu ketentraman desa se-
berang...."
"Ha... ha... itulah kami. Cepat
kau bersujud dan minta maaf... agar
kami mengampuni nyawa anjingmu...."
Pemuda itu tersenyum. "Justru
nyawa kalian yang akan kucabut. Hmm,
bersiaplah. Hari ini kalian berkenalan
dengan Walet Putih dari Utara!
"Bangsat!" Nyaligluduk menggeram
marah Dia mencabut senjatanya kapak
bermata dua. Begitu pula dengan yang
lain. Mereka mencabut senjata masing-
masing.
Dan dengan teriakan hebat,
keempatnya menerjang maju! Gerakan
mereka buas, keji dan mematikan.
Tetapi Walet Putih nampak tenang saja.
Begitu mereka mendekat. Tiba-tiba dia
melenting ke atas dengan lihainya.
Melihat serangan mereka gagal.
Kembali dengan jeritan buas mereka
serentak menyerang. Lagi-lagi Walet
Putih memperlihatkan kelincahannya.
Dan kali ini dia mencabut sepasang
pedang di punggungnya.
"Bagus, bagus! Majulah kalian
semua, hari ini... nyawa busuk kalian
akan melayang...!" Nyaligluduk
menerjang dengan bernafsu Jurusnya
lebih hebat dari yang tadi. Kapak
bermata duanya menyambar- wajah Walet
Putih. Tetapi dengan gerakan cepat
Walet Putih memapak
Serangan kapak itu. Pedangnya
yang satu menangkis, sedangkan yang
satunya lagi menyodok perut
Nyaligluduk.
Nyaligluduk menjerit kaget. Ia
melompat ke samping.
"Bangsat!!"
"Ha... ha... orang-orang
Perkumpulan Telapak Naga, hari ini
kalian akan mampus di tanganku!"
Melihat temannya terdesak,
Macanrenggi maju dengan cepat.
Sambaran cakar besinya begitu dahsyat,
menimbulkan angin yang amat kuat.
Tetapi Walet Putih kembali memper-
hatikan kelincahannya. Dia menghindar
kesana-kesini dengan sekali-sekali
menusukkan pedangnya.
Renggalawu maju dengan pukulan
tangan kosongnya. Dan si Toya Maut
menyambarkan pukulan-pukulan jurus
toyanya.
Tetapi sampai sejauh itu Walet
Putih belum berhasil mereka lumpuhkan.
Malah tiba-tiba, Renggalawu yang
menyerang dengan berani, mengaduh dan
ambruk dengan luka yang besar di
perutnya.
"Renggalawu!" jerit teman-teman-
nya kaget.
Walet Putih hanya tertawa pelan.
"Itulah akibatnya bagi orang-
orang Perkumpulan Telapak Naga!"
"Bangsat!" Nyaligluduk menggeram
marah. "Kau telah membunuh teman kami,
rasakan pembalasanku, pemuda bangsat!"
Kembali mereka bertarung dengan
hebat. Namun pemuda itu benar-benar
lincah. Tiga buah senjata lawannya
sekali pun belum berhasil menyentuh
tubuhnya. Sampai dua puluh jurus
berlangsung, pemuda itu tetap mampu
bertahan.
Tiba-tiba Macanrenggi bersalto ke
belakang dan berseru, "Cepat bentuk
barisan empat penjuru!"
Kedua temannya cepat mendekat dan
merapat. Mereka menutup jalan longgar
yang merupakan kelemahan mereka,
karena Renggalawu tidak ada. Jurus
empat penjuru hanya bisa dimainkan
oleh empat orang. Tetapi tiga orang
pun tak mengurangi kehebatan ilmu itu.
"Ha... ha... kau salah, macan
jelek! Itu bukan jurus empat penjuru!
Tapi empat penjuru kehilangan satu!"
Diejek demikian, Macanrenggi
menggeram hebat. Dan serentak mereka
menyerang. Benar-benar jurus yang
hebat. Mereka menyerang dengan
bergantian. Satu menyerang, dua
melindungi. Begitu seterusnya, hingga
nafas dan tenaga mereka masih
terhimpun sedangkan si Walet Putih
nampak mulai kewalahan. Dia terdesak
hebat.
Cakar besi Macanrenggi mengenai
bahunya. Bahu itu berdarah. Tetapi
serangan itu terus di lancarkan hingga
Walet Putih tak bisa menghindar dan
beristirahat.
Tiba-tiba Walet Putih menjerit
keras dan menerjang. Nekat menerobos
serangan lawan. Keinginannya cuma
satu, harus melumpuhkan orang yang
menutupi kelonggaran yang lain. Maka
dia pun nekat, terobosnya orang-orang
itu. Toya Maut yang kali ini menutupi
kelonggaran, agak terkejut, karena
tahu-tahu pedang ditangan pemuda itu
menyambar kepalanya. Dan bersalto
dengan manisnya.
"Setan! Dia tahu kelemahan ilmu
ini!"
"Jangan dirubah!" seru Macan-
renggi. "Dia sudah kewalahan nampak-
nya! Merapat! Tutupi kelonggaran!"
Ketika Walet Putih menyerang
tempat yang kosong lagi, mereka
berguling dengan serentak. Dan senjata
masing-masing menyambar ke atas,
menyambar tubuh Walet Putih yang
bersalto dengan manisnya. Tetapi tak
satu pun senjata itu yang mengenai.
Malah tiba-tiba Nyaligluduk menjerit.
"Auuuh!"
Lalu ambruk kelojotan. Dan mati
dengan tubuh kehitaman. Di lehernya
terdapat semacam jarum berbisa.
"Keji!" jerit Macanrenggi pada
Walet Putih yang tersenyum sambil
memegang sebuah sumpit.
"Ha... ha... kalianlah orang-
orang Perkumpulan Telapak Naga yang
keji! Yang selalu membuat onar dan
kerusakan! Kali ini nyawa anjing
kalian kuampuni! Kalian laporkan semua
ini pada pemimpin kalian! Katakan
Walet Putih dari Utara akan mengobrak-
abrikan Perkumpulan Telapak Naga!"
"Tidak! Kau harus mati di
tanganku, Walet jelek!" seru
Macanrenggi marah. Dia menyerang. Dan
"suittt!" tubuhnya ambruk termakan
sumpit beracun dari si Walet Putih!
"Ha... ha... kau Toya buntung!
Cepat pergi, atau... nyawamu ingin
kucabut juga?!"
Toya Maut jadi bimbang. Tetapi
akhirnya dia memutuskan untuk melapor
dan akan menuntut balas kematian tiga
orang temannya. Dengan sigap dia
meloncat kudanya. Dan ngibrit dengan
bergegas!
Walet Putih terbahak-bahak
melihat anggota Perkumpulan Telapak
Naga itu tunggang-langgang. Tiba-tiba
dia ingat, akan gadis yang nyaris
diperkosa perampok-perampok itu. Cepat
dia membebaskan kedua totokan di tubuh
gadis itu. Lalu berpaling ke depan
ketika gadis itu memakai pakaiannya.
Nindia mendehem malu-malu.
"Aem... eh...."
Walet Putih atau' yang kita kenal
sebagai sahabat baru dari Madewa
Gumilang menoleh. Gadis itu sudah
selesai memakai baju. Dan alangkah
cantiknya. Wajah yang masih tegang dan
beberapa butir keringat yang masih
berjatuhan, menambah cahaya di wajah
gadis itu.
"Su... sudah, Nona?" Walet Putih
gugup.
Nindia nunduk malu-malu. Apalagi
wajah tampan tadi sempat melihat
tubuhnya dalam keadaan telanjang
bulat. Ia menunduk. Wajahnya semburat
merah. Justru Walet Putih yang semakin
gugup.
"Eh... aku... kau... mau ke mana,
Nona?"
Nindia menggeleng pelan.
"Kau... kau tidak bisukan?"
"Tidak," sahut Nindia pelan. Lalu
mengangkat wajahnya. "Aku... tidak
tahu mau ke mana... dan terima kasih
atas pertolonganmu Saudara."
"Ah, pertolongan yang kecil
saja...." Walet Putih atau Adi Permana
merendah. "Kau tidak tahu mau ke
mana?"
Nindia mengangguk pelan. Lalu
menceritakan dari mana dia berasal dan
mengapa dia sampai di tempat ini.
Walet Putih yang mendengar penuturan
itu agak kaget. Kalau memang gadis itu
jujur, pasti dia yang tengah dicari
Madewa Gumilang.
Berpikiran begitu Adi Permana
bertanya, "Nona kenal dengan Madewa
Gumilang?"
"Oh!" Nindia terkejut. Nama yang
tak asing lagi. "Saya kenal dia
Saudara. Saudara mengenalnya?"
Entah kenapa Walet Putih
mengangguk pelan. Bersuara pelan pula,
"Yah... saya kenal."
"Di mana Kang Madewa sekarang
Saudara?"
"Kita akan menemuinya."
Walet Putih mengajak Nindia ke
penginapannya. Dia tadi hendak membeli
makanan. Ketika dia mendengar jeritan
itulah dia datang membantu, lupa
membeli makanan. Juga dia lupa ketika
mengantarkan Nindia ke penginapannya.
Tentu saja Madewa terkejut
melihat Nindia. Dia berseru, "Nona
Nindia!"
Nindia berlari memeluk. Dan
menangis di bahu Madewa. Diam-diam
Walet Putih menghela nafas panjang.
"Ke mana saja selama ini kau,
Nona?"
"Kang Madewa... aku tak tahu apa
yang terjadi. Kejadian-kejadian itu
membuatku takut. Untung...." Nindia
menoleh Adi Permana, "ada Saudara
itu.... Dia telah menolongku dari
cengkeraman orang-orang Perkumpulan
Telapak Naga...."
"Mengapa kau bisa sampai
terlibat?"
Nindia menceritakan kembali apa
yang telah diceritakannya pada Adi
Permana. Madewa Gumilang kelihatan
manggut-manggut. Jadi kali ini masih
ada musuh besarnya, Pratiwi alias
Selendang Merah. Dia harus
menyelesaikan persoalan lama ini. Juga
masalah baru akan keselamatan desa
Jatiberingin yang tengah dilanda aksi
penculikan oleh Perkumpulan Telapak
Naga.
Madewa menoleh pada Adi Permana.
"Saudara Adi... ada baiknya kita
bereskan masalah desa Babakan Ngarai
ini, lalu desa Jatiberingin dari
orang-orang Telapak Naga."
Adi Permana hanya mengangguk. Dia
iri melihat Nindia memeluk Madewa!
"Baik Saudara... sebagai seorang
sahabat... saya akan membantu sekuat
tenaga."
Madewa menepuk bahu sahabatnya.
"Saudara Adi... kalau kau tidak ikut
denganku... mustahil aku bisa menemui
Nona Nindia sekarang."
"Ah... Saudara. Itu hanya
kebetulan saja. Lagipula... tidak
begitu susah untuk mengalahkan
begundal-begundal itu," sahut Adi
Permana merendah.
Madewa tersenyum, mengucapkan
terima kasih sekali lagi. Nindia pun
tersenyum. Dia terkesan oleh ucapan
Adi Permana itu. Ucapan seorang
kesatria yang sejati. Yang selalu
merendah.
Ia berpaling lagi pada Madewa.
Perasaan rindunya akan dilampiaskan
sekarang. Ia mempererat rangkulannya
pada pemuda itu. Pemuda yang telah
membuatnya jatuh cinta sejak pemuda
Itu menolong keluarganya dari
perampokan.
Diam-diam Adi Permana berpaling.
Entah kenapa dia mendadak cemburu.
Dan diam-diam pula meninggalkan
keduanya.
Malam tiba. Madewa menunggu
sampai esok hari dengan bertanya-tanya
pada Nindia. Gadis itu menceritakan
pengalamannya selama disekap Wirapati.
Pengalaman yang mengerikan.
Keesokan harinya, mereka segera
menemui lurah Babakan Ngarai, yang
mula-mula ketakutan menyambut mereka,
namun setelah Madewa bilang mereka
akan menolong desa Babakan Ngarai dari
kekejaman Perkumpulan Telapak Naga,
barulah lurah baru yang bernama
Wiryokentono itu mempersilahkan mereka
masuk.
Sebenarnya Wiryokentono tidak mau
diangkat menggantikan lurah yang lama,
Ringkihsamin. Namun orang-orang
Telapak Naga memaksanya.
Dan dia ditindak habis-habisan
oleh mereka. Harus menjalankan desa
sesuai perintah mereka.
Ki Lurah Wiryokentono berbisik,
agar mereka berbicara pelan, karena
kuatir terdengar oleh penjaga-penjaga
itu.
Madewa meminta petunjuk, di mana
kiranya kediaman ketua Perkumpulan
Telapak Naga.
Ki Lurah Wiryokentono menyahut
dalam bisikan, "Sebelah timur dari
desa Babakan Ngarai, dekat Hutan
Waringin."
"Hutan Waringin?"
"Ya, Saudara pendekar. Ikuti saja
sungai Cidangkelok... tepat di hilir
berbeloklah ke kanan. Tak jauh dari
sana hutan Waringin berada..."
Mereka berbincang-bincang lagi.
Pelayan Ki Lurah Wiryokentono keluar
membawakan hidangan.
"Hanya ada ini Saudara-saudara.
silahkan."
"Ini sudah cukup, Ki."
"Lagipula, ini sudah merepotkan,"
sambung Adi Permana.
Mereka menikmati hidangan itu
sambil meneruskan percakapan. Pelayan
itu keluar lagi. Ia meletakkan baki di
dapur dengan hati-hati. Tiba-tiba dia
menyelinap ke luar. Berlari agak jauh
dari rumah Ki Lurah Wiryokentono. Di
tempat yang agak sunyi, pelayan itu
mengambil kudanya. Dan memacu dengan
cepat menuju hutan Waringin.
Ki Lurah Wiryokentono tidak tahu,
kalau pelayan itu adalah mata-mata
Krampelaksa!
Mereka masih meneruskan
percakapan tanpa curiga.
***
TUJUH
Krampelaksa tengah marah-marah
kepada Toya Maut, setelah mendengar
laporannya. Wajahnya kesal. Matanya
melotot. Ia menggebrak meja hingga
patah berantakan! Mendengus berulang-
ulang.
"Bodoh! Hanya dengan bocah
ingusan saja kau tak mampu
menghadapinya! Bodoh! Benar-benar
bodoh! Kalian tak berguna menjadi
pengawalku!"
Toya Maut menunduk. Mendengarkan
saja. "Mana kedua temanmu?"
Didengarnya lagi Krampelaksa bertanya.
Toya Maut mengangkat wajahnya,
takut-takut. Takut-takut pula menatap
mata ketuanya.
"Mereka... mereka...."
"Apa mereka, Bodoh?!"
"Mereka mati ketua."
Krampelaksa sampai terbelalak
kaget. Lalu duduk lagi setelah bisa
menenangkan dadanya. Namun kegusa-
rannya belum surut sedikit pun.
"Bodoh! Kalian bertiga tidak
mampu mengalahkan bocah itu! Bahkan
mengorbankan dua nyawa! Hhhh, siapa
nama pemuda itu?"
"Walet Putih dari Utara gelarnya,
Ketua," sahut Toya Maut sambil
menunduk hormat.
Krampelaksa menggeram. Ia
mengingat-ingat gelar itu. Hmm, baru
sekarang dia mendengarnya. Gelar yang
tidak menggetarkan, namun mampu
mencabut nyawa dua pengawalnya!
"Sekarang juga, kau harus cari
bocah itu! Hidup atau mati, kau harus
mampu menghadapkan nya kepadaku! Ingat
Surya kalau kau gagal... nyawamu
taruhannya."
Toya Maut alias Suryapurnama,
mengangguk. Ia hendak beranjak
meninggalkan tempat itu. Tetapi
terdengar seruan dari arah pintu,
"Tahan!"
Semua menoleh ke arah sana.
Pelayan Ki Lurah Wiryokentono masuk
dengan tergopoh-gopoh. Dia adalah
orang Krampelaksa yang sengaja
ditugaskan untuk memata-matai Ki
Lurah. Dan saat ini, sang mata-mata
membawa kabar yang bagus.
Krampelaksa mendengus, "Ada apa,
Suryo? Pelayan itu berlutut dan
membungkuk hormat, "Maafkan hamba
ketua. Ada sesuatu yang hendak hamba
sampaikan. Ini laporan penting ketua."
Krampelaksa duduk di samping
Pratiwi yang sejak tadi tiba dan
membicarakan persoalan larinya korban
untuk Krampelaksa. Tetapi mendengar
penuturan Toya Maut tadi, dia bisa
menduga siapa wanita yang ditolong
Walet Putih dari Utara. Pasti Nindia.
Hmm, aku akan mencari gadis itu dan
membunuh pemuda penolongnya, gumam
Pratiwi dalam hati.
Terdengar suara Suryo, "Ketua,
tadi Ki Lurah Wiryokentono kedatangan
tamu.... Dan saya mendengar, mereka
akan membantu Ki Lurah menghadapi
ketua...."
"Hmm... sudah hebat Ki Tua itu.
Siapa nama orang-orang itu, Suryo?"
"Hamba kurang jelas mendengarnya.
Tetapi kalau tidak salah, mereka
bernama... Madewa Gumilang... Adi
Permana dan Nindia...."
Dua seruan terdengar. Satu dari
Krampelaksa yang berseru mengejek.
Nama-nama itu tidak membuatnya gentar.
Satu seruan lagi dari Pratiwi yang
terkejut. Madewa Gumilang dan Nindia,
nama yang tak asing lagi baginya.
Ia menoleh pada Krampelaksa.
"Saudara Krampel... rupanya
musuhku sudah sampai pula di desa
ini... Madewa Gumilang, kau sudah
mendengarnya bukan? Ada baiknya kita
segera menyambut kedatangannya... Dan
aku tidak perlu menunggu kedatangannya
di puncak gunung Halimun!"
Krampelaksa terbahak.
"Ha... ha... kau tidak perlu
takut, Manis. Orang-orang itu akan
kita musnahkan. Biar kuhadapi orang-
orang itu sendiri."
Pratiwi tersenyum, walau sangsi
apakah ketua Perkumpulan Telapak Naga
ini mampu membunuh Madewa Gumilang?
Murid tunggal Ki Rengsersari tidak
boleh sembarangan dianggap enteng.
"Dia murid Ki Rengsersari,
Krampel...."
Kali ini Krampelaksa menoleh.
Kaget. Wajahnya jelas menampakkan
kekagetannya. Murid Ki Rengsersari?
Pendekar tua yang bergelar Pendekar
Ular Sakti?
Pratiwi tahu, kalau Krampelaksa
gentar juga. Tetapi dia diam saja,
malah berkata, "Aku tahu kau mampu
membunuhnya Krampel. Lakukanlah itu
untukku...."
Krampelaksa terbahak. "Jangan
kuatir, Pratiwi. Hmm, Suryo...
laporanmu kali ini bagus. Kembalilah
kau ke rumah Ki Lurah Wiryokentono!
Pelayan, berikan Suryo beberapa keping
emas dan pakaian bagus!"
Wajah Suryo berseri-seri. Ia
mengikuti pelayan yang disuruh
Krampelaksa itu. Sementara si Toya
Maut masih menunggu perintah selan-
jutnya.
Mendengar penuturan Suryo tadi,
Krampelaksa merubah perintahnya. Ia
berkata, "Surya purnama, kali ini kau
kuperintahkan, untuk menghadang
perjalanan tiga manusia edan itu
kemari! KAU BUNUH mereka untukku!"
Suryapurnama alias si Toya Maut
membungkuk hormat. Lalu undur ke
belakang. Di luar dia membawa beberapa
orang pengawal yang tangguh dan gagah.
Lalu mulai menjaga dan menghadang,
sekaligus... membunuh tiga manusia
yang ingin memberontak itu.
Sementara itu dalam Pratiwi
berkata pada Krampelaksa, "Krampel,
musuhku rupanya sudah berada di sini.
Kuminta kita harus menyiapkan
segalanya, karena kedatangan mereka
bersama seorang pemuda yang tangguh.
Aku menduga dialah yang berjuluk Walet
Putih dari utara!"
"Ha... ha... Selendang Merah..,
rupanya kau takut menghadapi orang-
orang itu? Hmm... tapi baiklah... demi
kau demi manisku. Kita akan bunuh
ketiga manusia edan itu!!"
Sudah dua hari Suryopurnama alias
si Toya Maut menjaga, tapi ketiga
orang yang ditunggunya itu belum
muncul-muncul juga. Jengkel dia
menendang batu ke sungai Cidangkelok.
"Byur!!"
Percikan air itu mengenai orang-
orang yang berada di perahu kecil.
Tetapi orang-orang itu diam saja,
karena mereka kenal si Toya Maut,
orang kejam dari Perkumpulan Telapak
Naga. Mereka lewat saja tanpa menoleh.
"Hei, kalian! Cepat kemari!"
bentakan itu terdengar keras, dan
membuat kakek tua yang mendayung itu
tersentak. Ia menghentikan perahunya.
Dan takut-takut memandang ke
Suryapurnama.
"Tuan memanggil... saya?"
tanyanya dengan suara menggigil.
"Ya! Cepat sini, Kakek keriput!"
"Saya... harus cepat pergi...
menghantar penumpang saya ke desa
seberang!"
Mendengar kakek itu berani
bicara, wajah Suryapurnama memerah
marah.
"Aku tak butuh penumpangmu! Aku
butuh kau! Cepat berikan bayaran dari
penumpangmu...."
Wajah kakek itu semakin pucat.
Ketakutan. "Oh... Tuan... jangan...
jangan ambil uang ini. Ini... untuk
anak dan istri saya...."
"Bangsat! Kau berani melawan
rupanya?!"
"Buk... bukan maksudku...."
"Setan”, si Toya Maut mengangkat
tangannya. Dan 'Siiing.'" beberapa
jarum mautnya melayang ke arah kakek
tua itu. Kakek itu gelagapan. Dan
tubuhnya ambruk ke sungai.
Si Toya Maut terbahak-bahak. Juga
anak buahnya. Di dalam, penumpang
perahu itu hanya terdiam. Mereka tak
mau ambil pusing dan masalah. Daripada
mampus lebih baik didiamkan saja.
Perahu itu terus melaju didorong
arus pelan sungai. Juga mayat si kakek
tua yang mengambang, terbawa arus
sampai ke hilir....
Sesudah jauh dari orang-orang
itu, tiba-tiba kakek yang telah
menjadi mayat meloncat dengan ringan
ke perahu! Gerakannya baik dan mantap.
Orang-orang yang berada di dalam pun
keluar.
"Ha... ha... rencanamu berhasil
Saudara Madewa. ..." salah seorang
penumpang itu tertawa.
Kakek tua yang basah kuyup
tersenyum. "Jangan dibuka samaran
kalian. Mungkin kita harus menyamar
terus sampai ke hutan Waringin...."
Orang-orang itu ternyata Madewa
Gumilang, Adi Permana dan Nindia yang
berdandan laki-laki. Mereka terus
melaju dengan perahu mengikuti arus
air.
Sampai di hilir mereka melompat
dengan sigap. Madewa menggendong
Nindia dan 'Hap!" ringan sekali dia
bersalto sampai di tepian. Nindia
memekik pelan ketika kepalanya berada
di bawah.
"Kita sudah memasuki hutan
Waringin," desis Madewa.
Mereka lalu melangkah dengan
hati-hati. Samaran tidak mereka buka.
Bagai layaknya penduduk di sekitar
hutan Waringin ketiganya melangkah.
Hutan itu benar-benar mengerikan.
Nindia sampai memegang tangan Madewa
dengan erat dan agak mendekapnya ke
dada. Sementara Adi Permana menghela
nafas panjang. Tetapi diacuhkan saja
pemandangan itu. Dia melangkah dengan
mantap. Menahan gemuruh dadanya yang
cemburu.
Belum ada dua puluh langkah
mereka berjalan terdengar bentakan
keras dari atas pohon, "Berhenti!"
Lalu disusul dengan munculnya beberapa
orang berwajah seram. Ada yang
meloncat turun dari atas pohon, ada
yang bermunculan dari semak. Mereka
mengurung tiga orang pendatang itu
dengan senjata di tangan.
Salah seorang yang berwajah codet
maju selangkah dan membentak, "Kalian
siapa? Dan mau ke mana?!"
Madewa yang menyamar sebagai
kakek tua terbatuk, "Maaf... huk...
huk... kami pejalan kaki yang ingin
beristirahat... Tuan. Kami... dari
jauh... huk... huk...."
"Hmm," Si Codet mendongak
congkak. "Nama kalian siapa, hah?"
"Saya... Ronggosewu.... Ini kedua
anak saya, Mardian dan Seta...."
"Hei, Kakek Tua... ketahuilah
olehmu... tempat ini terlarang untuk
orang-orang selain anggota Perkumpulan
Telapak Naga.... Jadi maaf saja, kalau
kalian tidak bisa beristirahat di
sini... kecuali...." Orang bercodet
itu mengerling kawan-kawannya penuh
arti. "Kalian memiliki uang yang
banyak dan menyerahkannya pada
kami...."
Teman-temannya tertawa-tawa
setuju.
"Oh... ka... kalau uang... kami
ada Tuan...,"
Madewa yang menyamar sebagai
kakek tua itu merogoh-rogoh tas
bututnya. Adi Permana memperhatikan
gerak-geriknya. Dan dia melihat Madewa
membuat bogem tiga kali, tanda mereka
harus menyerang.
Dan tiba-tiba terdengar bentakan
Madewa, "Serang!" Dan des-des-des!
Tiga orang tergeletak kaku tertotok
jalan darahnya.
Teman-teman orang bercodet itu
terkejut. Tetapi tak sempat berbuat
apa-apa, karena mereka sudah
terjengkang kelojotan dan mampus
termakan sepasang pedang Adi Permana.
Tak seorang pun yang sadar akan
kecepatan pedang Adi Permana. Mereka
hanyalah penjaga-penjaga Telapak Naga
yang sok bermulut besar.
Dan menemui ajalnya begitu cepat!
Adi Permana mendengus, "Hhh! Omong
besar saja!!"
Nindia yang memekik tadi, agak
tenang sekarang. Madewa berbisik,
perjalanan ini berbahaya. Kau harus
tabah Nindia. Dan tahan perasaanmu
jika melihat pembunuhan.
Lalu berseru, "Ayo kita
tinggalkan tempat ini, sebelum yang
lain datang!"
Serentak mereka berlari dan
menghindar jauh-jauh dari tempat itu.
Tetapi langkah mereka menuntun mereka
sendiri ke neraka maut, di mana lima
belas tombak di depan mereka, berdiri
berpuluh-puluh penjaga lengkap dengan
senjata.
Dan di antara orang-orang itu,
berdiri Krampelaksa dan... Pratiwi!
***
DELAPAN
Ketiganya tersentak kaget. Seren-
tak Madewa melindungi Nindia. Tetapi
sikapnya tetap tenang, tetapi seperti
penyamarannya sebagai kakek tua.
Dengan hati-hati dia berjalan ke
depan, dua temannya mengikuti pula
dengan tenang. Hanya Nindia yang agak
gemetar. Dia menggigit bibirnya agar
tidak tegang. Tapi bentakan keras itu
mau tak mau menghentikan langkah kaki
mereka.
"Kalian tetap disana!" suara itu
menggelegar keras, diiringi tenaga
dalam yang agak lumayan. Krampelaksa
bertolak pinggang.
Mereka berhenti.
"Ada apa Tuan?" tanya Madewa
dalam penyamarannya.
"Jangan berpura-pura kalian!
Penyamaran tak mutu kalian telah
terbongkar! Cepat buka penyamaran
kalian!!"
Madewa tetap berpura-pura.
"Penyamaran apa, Tuan?"
"Bangsat hina!" Tiba-tiba
Krampelaksa mengibaskan tangannya.
Selarik sinar putih menghantam ke arah
kepala Madewa. Sigap Madewa merunduk
tapi tak urung rambut palsunya terkena
sambaran itu. Terurailah rambut
aslinya!
Krampelaksa terbahak. "Ha...
ha... penyamaran orang-orang edan!
Cepat kalian berlutut, sebelum kucabut
nyawa kalian!"
Merasa penyamarannya itu tak ada
gunanya lagi, Madewa membuka semua
pemyamarannya. Ia mencabut kumis dan
jenggot putihnya. Lalu membetulkan
tubuhnya yang tadi membungkuk dan
melangkah tersaruk-saruk, kali ini
tegak dan gagah.
Adi Permana pun berbuat demikian.
Dia mencabut kumisnya yang tebal
hingga tampaklah kumisnya yang tipis.
Nindia tidak membuka samarannya, ia
tetap berdandan seorang laki-laki.
Madewa mendengus, "Krampelaksa..
kau memang seorang ketua yang hebat!
Penyamaran kami ini kau ketahui! Tapi
kau perlu ketahui, kalau kedatangan
kami ini untuk mencabut nyawa sesatmu.
Dan juga kau... Pratiwi! Tak perlu
pertentangan kita selesaikan di puncak
gunung Halimun, karena nyawamu akan
kucabut hari ini juga!"
Pratiwi mengikik. "Hik... hik...
pemuda ganteng. Kaupikir mampu
mengalahkanku... mimpi burukmu akan
berakhir hari ini... pemuda gagah...."
"Pratiwi! Apakah masalah Pedang
Pusaka Dewa Matahari yang membuatmu
masih mendendam padaku?"
"Hik... hik... persoalan itu
telah selesai, Bocah. Ketahuilah...
dendamku ini karena kau meninggalkanku
setelah lenganku dibuat buntung oleh
Bayangan Hitam atau Biparsena...."
"Itu dendammu pada Biparsena,
bukan padaku!"
"Hik... hik... bocah.... Karena
kelakuanmu yang meninggalkanku itulah
yang membuatku marah...."
"Pratiwi, masalah ringan itu kau
buat menjadi besar. Lengan itu aku
yang menolong!"
"Salahmu sendiri... hik...
hik...bocah... kalau kau mau
melayaniku semalam saja... kuhapus
semua masalah kita," kata Pratiwi
tanpa malu-malu.
Wajah Madewa memerah antara marah
dan malu, Ia melirik kedua temannya.
Wajah Nindia memerah pula karena
ketakutan dan malu mendengar ucapan
Pratiwi. Dan Madewa terkejut melihat
wajah Adi Permana pucat, kelihatan
pias wajahnya yang nampak kaget.
Tetapi Madewa tidak bisa berpikir
lebih lama, karena Krampelaksa sudah
berseru, "Kurung mereka bertiga!!"
Serentak pengawal-pengawalnya
mengurung, dengan senjata tombak
terhunus. Madewa bersiap. Ia agak
bersyukur melihat Adi Permana bersiap
pula dengan sepasang pedang kembar.
Bahkan terlihat dia memberikan sebuah
keris pada Nindia agar gadis itu bisa
menjaga diri.
Madewa berseru, "Krampelaksa,
jangan kau korbankannya nyawa-nyawa
anak buahmu ini! Aku tidak membutuhkan
nyawa mereka! Cepat kau maju dan
kau... Pratiwi, cepat sebelum marahku
menjadi naik!"
Krampelaksa dan Pratiwi hanya
tertawa. Lalu terdengar Krampelaksa
bertepuk tiga kali. Dan serentak para
pengepung itu meloncat menerjang
menusukkan tombak mereka. Madewa dan
Adi Permana saling melindungi Nindia.
Mereka membabat dan membasmi serangan
yang datang. Dengan jurus Ular
Meloloskan Diri Madewa menghindar dan
membalas dengan jurus Ular Mematuk
Katak. Sementara Adi Permana mengamuk
dengan sepasang pedangnya.
Terdengar jeritan dan percikan
darah di sana-sini. Suasana tempat itu
seperti jadi neraka, karena dengan
mudahnya nyawa melayang!"
Dalam waktu yang cukup singkat
pengurung itu sudah menjadi porak-
poranda dan kewalahan. Hampir dua
puluh orang yang mati kena pukul
Madewa dan sabetan pedang Adi Permana.
Melihat anak buahnya tak mampu
menandingi kedua pemuda itu,
Krampelaksa menghentikan serangan anak
buahnya. Ia menepuk bahu Caturseta
yang langsung bersalto untuk hinggap
di depan Madewa dan kedua temannya
berdiri.
Madewa tersenyum melihat tingkah
sombong Caturseta. Ia pun beranjak ke
depan setelah berbisik pada Adi
Permana agar menjaga Nindia.
"Silahkan...."
Mendengar kata itu Caturseta
langsung melancarkan serangannya. Keji
dan dahsyat. Serangan yang cepat dan
susul menyusul. Tetapi Madewa bukanlah
anak kemarin sore. Ular Meloloskan
Diri berguna sekali saat ini.
Dan ketika melihat suatu lowongan
yang kosong, Madewa tak mau menyia-
nyiakan kesempatan itu. Tangannya
menjotos pinggang Caturseta yang
ambruk kelojotan.
Terdengar dua pekikan kaget.
"Hebat dan kejam!" suara dari
Krampelaksa.
"Pukulan Bayangan sukma!" jerit
Pratiwi kaget.
Madewa berdiri tegak. Tidak
menyerang Caturseta yang kelojotan
tapi kemudian mati dengan pinggang
serasa patah dan detak jantung
berhenti saat pukulan itu mengenai
pinggangnya.
Rupanya Madewa sudah tidak mau
main-main lagi, jurus andalannya yang
sangat dahsyat dikeluarkan pada
tingkat tinggi! Pukulan dahsyat, tanpa
terlihat gerakan tapi mampu mencabut
nyawa sang lawan!
Tiba-tiba terdengar seruan keras
dari arah belakang. Si Toya Maut
datang dengan toyanya yang terayun ke
arah Adi Permana. Dia yang sudah dua
hari menjaga tapi tidak bertemu dengan
orang-orang itu menjadi jengkel dan
hendak kembali ke perkumpulan. Barang-
kali saja tiga orang yang dicarinya
sudah datang dengan jalan menyelinap.
Lebih baik dia membantu di sana
daripada menjaga tak kunjung selesai.
Dan begitu kakinya tiba dilihatnya
Madewa tengah merubuhkan Caturseta,
kawan akrabnya! Dan kemarahannya
bangkit. Dengan beringas dia menerjang
dengan toyanya ke arah Adi Permana dan
Nindia yang terkagum melihat pukulan
sakti Madewa.
"Awaassss!" Madewa berseru seraya
menubruk tubuh kedua kawannya hingga
terguling. Wuitt! Toya Maut itu
melewati kepala ketiganya. Tetapi toya
itu terus mencecar dengan hebat.
Hingga ketiganya agak kewalahan,
terutama Madewa dan Adi Permana,
karena harus melindungi Nindia!
Tetapi tiba-tiba Adi Permana
melenting dengan indahnya ke atas. Dan
pedangnya menghunus ke dada Surya-
purnama dengan cepat! Reflek Surya-
purnama menghentikan serangannya,
menangkis pedang itu dengan tangkisan
toyanya.
"Trang... trang.... des!"
Kedua senjata itu menimbulkan
bunyi yang ramai. Dan tangan kanan Adi
Permana menyambar dada Suryapurnama
hingga terjatuh.
Adi Permana melenting lagi dan
bersalto dua kali dengan pedang
kembali terhunus. Tapi tiba-tiba dia
menghentikan serangannya dan "Trang...
cringg... criiing...!"
Pedangnya menangkis senjata
rahasia yang dilemparkan Krampelaksa!
"Setan! Curang!" maki Adi Permana
ketika hinggap di tanah.
Krampelaksa terbahak. la mengi-
baskan tangannya pada Suryapurnama
untuk menghentikan serangan.
"Baik, kita tak perlu berbasa-
basi lagi! Sekarang hadapi aku, Pemuda
cantik!"
"Bangsat busuk! Majulah Akan
kucabut nyawa anjingmu!"
Memerah wajah Krampelaksa. Dengan
geram dia menerjang dengan tangan dan
kaki ke arah Adi Permana. Pemuda itu
cepat mengibaskan pedangnya. "Wuiit!
Wuuut!"
Gerakan pedang itu cepat dan
aneh. Krampelaksa balas menyerang
dengan gesit pula. Si Selendang Merah
yang dari tadi diam saja, mulai
menguraikan selendangnya.
Sambil menjerit keras dia memain-
kan selendangnya. Angin selendang yang
disertai tenaga dalam terdengar
bising. Dan tiba-tiba ujung selendang
itu menyambar ke arah Adi Permana yang
tengah menahan serangan Krampelaksa.
"Pengecut curang!"Ujung selendang
itu berada dengan sebatang ranting
yang dilemparkan Madewa Gumilang.
Pemuda itu pun menerjunkan diri di
arena pertarungan. Dua pasang pertem-
puran yang dahsyat terjadi di hutan
Waringin. Pengawal-pengawal Krampe-
laksa yang tersisa mundur agak
menjauh. Begitu pula dengan Surya-
purnama, dia pun mundur.
Nindia sendiri tetap bersiap-siap
dengan keris yang diberikan Adi
Permana.
Di arena pertarungan, perkelahian
itu semakin dahsyat. Masing-masing
mengeluarkan jurus-jurus silat mereka
yang ampuh. Krampelaksa sudah
mengeluarkan jurus andalannya, Telapak
Naga!
Adi Permana tetap melayani dengan
jurus pedangnya. Namun tanpa diduga,
pukulan sakti Krampelaksa mengenai
ujung pedangnya.
"Tap!"
Pedang itu terasa bergetar. Dan
panas telapak tangan Adi Permana. Dia
melepaskan pedang itu sambil
menyabetkan pedangnya yang satu lagi.
Tapi lagi-lagi dia melepaskannya,
karena pedang itu pun berhasil ditepak
Krampelaksa yang tertawa-tawa.
Adi Permana menjadi geram. Tiba-
tiba dia mengerakkan tangannya. Kali
ini dia mengeluarkan jurus tangan
kosongnya. "Wutt!" tangannya mendadak
terlihat banyak. Rupanya Adi Permana
juga mempunyai jurus silat yang hebat.
Gerakannya penuh tenaga.
Tetapi Krampelaksa malah tertawa-
tawa,
"Keluarkan semua ilmumu, bocah
Telapak Naga akan mengakhiri per-
mainanmu itu!"
Kembali Krampelaksa menyerang.
Tangannya berubah menjadi hitam,
menandakan inti. ilmunya sudah
menyerap. Untunglah Adi Permana bisa
menghindari dengan baik, jurus walet
putihnya untuk menghindar dipergunakan
habis-habisan. Sedikit saja dia gagal,
bisa hangus termakan telapak tangan
itu.
Walaupun begitu, Adi Permana
masih bisa membalas juga. Tangannya
yang berkembang menjadi banyak sempat
mampir di bahu Krampelaksa, yang
membuat orang itu semakin geram.
Sementara itu Selendang Merah
agak kewalahan menghadapi Madewa
Gumilang. Berkali-kali selendang
merahnya mengenai tempat yang kosong.
Jurus Ular Meloloskan Diri benar-benar
hebat.
Bahkan Madewa sempat pula memukul
bahu Pratiwi dengan jurus Ular Mematuk
Katak.
Pratiwi terhuyung. Pukulan itu
membuatnya pusing sejenak. Tapi
kemudian dia menerjang lagi. Ia
memperpadukan jurus Selendang merahnya
dengan pukulan tangan kosong. Walaupun
dimainkan dengan satu tangan, gera-
kannya sungguh hebat. Jurus Angin
Membelah Badai dengan Jurus Angin
Menghalau Hujan, membuat Madewa
kewalahan. Bahunya terkena sambaran
selendang merah Pratiwi yang
membuatnya terhuyung karena sambaran
angin keras menerpa dadanya.
"Des!"
Lagi Madewa terhuyung. Adi
Permana terpekik kaget melihat sahabat
barunya terhuyung, apalagi Pratiwi
sudah menyerang lagi. Tanpa
menghiraukan keselamatannya, dia
bersalto dan menghalau serangan
Pratiwi.
"Des! Duk! Duk!"
Dua buah pukulan penuh tenaga
beradu. Tetapi tenaga Pratiwi lebih
kuat. Adi Permana terhuyung ke
belakang. Kepalanya terasa pening dan
dadanya sesak.
Pukulan Pratiwi benar-benar
mantap.
Madewa memburu, agar Adi Permana
tidak terjatuh.
"Terima kasih, Adi."
"Awas...."
Seruan pelan Adi Permana
menyadarkan Madewa, kalau bahaya masih
siap mengancam keselamatan mereka.
Dengan cepat dia menghindar sambil
membopong tubuh Adi Permana.
Di tempat yang agak jauh dia
berkata, "Pulihkan tenagamu Adi...
biar aku yang menghadapi mereka."
Lalu Madewa masuk kembali ke
arena pertempuran. Pratiwi dan
Krapelaksa terbahak. Hanya segitu saja
perlawanan mereka?
Pratiwi menggerakan tangannya.
Beberapa jarum rahasianya berterbangan
ke arah Madewa. Madewa bersalto ke
depan seraya menyerang dengan pukulan
bayangan sukmanya.
Krampelaksa menghindar bersamaan
dengan Pratiwi yang langsung berguling
ke samping. Madewa mencecar Pratiwi.
Tetapi dewi cabul itu tetap bukan
orang sembarangan. Walaupun lengannya
buntung, dia masih mampu bertahan.
Bahkan membalas dengan ayunan telak
selendang merahnya.
"Duk!" Madewa terhuyung. Dadanya
digedor oleh ujung selendang merah
Pratiwi yang berubah menjadi tombak.
Pratiwi lebih beruntung, karena
jaraknya jauh dengan Madewa.
Krampelaksa langsung mengembang
kan jari-jarinya. Sambil menjerit
pukulan telapak naga siap menyambar
Madewa. Tetapi gagal, Adi Permana
sudah menyambar tubuhnya, membuat
Krampelaksa urung menyerang Madewa.
Dia ganti menyerang Adi Permana.
Rupanya pemuda itu sudah kelelahan.
Dia hampir termakan oleh telapak naga
Krampelaksa kalau saja dia tidak cepat
memungut dan mengibaskan pedangnya ke
leher lawannya.
"Hiaaat!"
Krampelaksa merunduk dan bersalto
ke ke belakang. Tertawa melihat wajah
pemuda itu pucat. "Ha... ha... lebih
baik kau pulang saja kerumahmu. Atau
menyerah di telapak kakiku! Ha...
ha...!"
Madewa yang dua kali ditolong
oleh Adi Permana cepat duduk bersila,
Menahan emosi marahnya Dan
dikeluarkannya seruling naga yang
terselip dia tidak ada jalan lain, dia
harus menggunakan kembali seruling
ini. Pratiwi dan Krampelaksa terbahak.
"Senjata apa lagi yang kau pakai,
Madewa?!" ejek Pratiwi sambil
terkekeh.
Madewa tak perduli dengan ejekan
itu. Dia berpaling pada Adi Permana.
Tahu-tahu Adi Permana mendengar suara
Madewa di telinganya, "Kau buat
pingsan Nindia Adi, cepat! Lalu kau
duduk dan kerahkan tenaga dalammu!
Cepat kerjakan perintahku! Cepat,
Adi!"
Adi Permana kebingungan. Apa
maksud Madewa, tetapi terdengar lagi
bentakan di telinganya, "Cepat! Adi,
lakukan perintahku! Sebelum orang-
orang itu menyerang! Ini kesempatan
yang bagus, selagi mereka masih
terbuai oleh kemenangan! Adi...
lakukanlah...."
Adi Permana tak banyak tanya lagi. Dia
yakin akan sahabat barunya itu. Sambil
bersalto ke belakang, dia memukul
tengkuk Nindia yang tersentak dan
terkulai pingsan. Lalu dia sendiri
duduk bersila dan menghimpun tenaga
dalamnya, seperti yang diperintahkan
oleh Madewa.
Orang-orang itu terbelalak tak
mengerti. Pratiwi dan Krampelaksa
berpandangan. Dan serentak menyerang.
Saat itulah Madewa meniup serulingnya!
Suara seruling itu lembut dan
mendayu-dayu. Namun membuat Pratiwi
dan Krampelaksa terguling, serangannya
gagal. Dan suara seruling itu
mengejar, seperti menyentak-nyentak di
telinga mereka. Sakit sekali
dirasakan. Keduanya tak melanjutkan
serangan, malah duduk bersila untuk
menahan suara seruling itu dengan
tenaga dalam masing-masing.
Suara seruling itu sungguh hebat
akibatnya.
Pengawal-pengawal yang punya
tenaga dalam sedikit, langsung pada
kelojotan. Mampus dengan telinga
berdarah. Yang menengah masih mampu
bertahan. Tetapi segera menyusul yang
lain, dalam keadaan yang sama.
Serangan tersembunyi itu sungguh
hebat. Kedua orang itu bergetar
menahan bunyi yang bising di telinga
mereka. Sementara Adi Permana sudah
bergoyang hebat tubuhnya. Dari
mulutnya keluar darah kental....
Madewa meningkatkan permainan
serulingnya. Ia menambah tenaga
dalamnya. Dan penyentak. Semakin
garang dan bising suara seruling itu.
"Aaaaah!" seruan itu terdengar
berbarengan dari mulut Krampelaksa dan
Adi Permana. Keduanya jatuh
bergeletak, dengan mulut dan telinga
berdarah, namun masih mampu bertahan.
Sekuat tenaga agar ajal tidak
menjemput mereka hari ini. Namun
Krampelaksa menemui ajalnya hari itu
juga, karena dia masih dalam keadaan
emosi.
Pratiwi pun keadaannya sudah
goyah. Dia sudah memerah habis tenaga
dalamnya. Dan tak kuasa lagi
membendung serangan seruling sakti
itu.
Dia pun terhuyung ke belakang.
Ambruk.
Dengan bibir dan telinga berdarah
pula.
Melihat lawan-lawannya semua
ambruk,. Madewa menghentikan meniup
serulingnya. Lawan-lawannya sudah
tidak mampu bertahan. Memang sebuah
seruling sakti. Dan dia berpikir,
kalau tidak dihentikan, Adi Permana
bisa mati terkena serangan seruling
itu.
Dengan bergegas dia memeriksa
tubuh Adi Permana. Didudukannya pemuda
itu. Dia pun bersila di belakangnya.
Ditekannya kedua telapak tangannya di
punggung-pemuda itu.
Ketika dia akan mengalirkan
tenaga dalamnya, mendadak dia
terguling. Sebuah serangan bersarang
di punggungnya. Madewa bangkit dengan
sigap.
Seorang wanita cantik dan seorang
jembel tua telah berdiri di
hadapannya. Madewa mengenal jembel tua
itu, jembel yang pernah di tolong oleh
Adi Permana.
"Ada apa dengan kalian?" Wanita
cantik itu terkekeh. Jembel tua itu
membentak, "Kau pemuda jahat! Kau
telah melukai anakku ini! Aku akan
mengadu jiwa denganmu!"
Madewa terkejut. Adi Permana
anaknya jembel tua itu?
"Kalau anakku ini sampai menemui
ajalnya, aku bersumpah akan
membunuhmu!" seru jembel tua itu
seraya memeriksa tubuh Adi Permana
yang terkulai. Ia menangis tersedu-
sedu. "Hu...hu... anakku... mengapa
sampai begini, Nak? Sekian tahun kita
berpisah, tapi setelah bertemu,
suasananya begini. Kau akan berangkat
meninggalkanku." Jembel tua menangis
lagi. Tetapi mendadak dia mengangkat
wajahnya "Kau?" bentaknya pada Madewa.
"Kau telah menyebabkan kematian
anakku! Kau harus kubunuh! Kau harus
kubunuh!"
Madewa mundur selangkah. Apa-
apaan ini? Ia tidak mengerti akan
semua ini. Dan jembel tua itu seperti
menghalanginya mendekati Permana.
Padahal dia harus segera ditolong,
kalau tidak, sahabat barunya itu bisa
mati.
"Jembel tua... kalau benar dia
anakmu biarkanlah aku untuk
mengobatinya" bujuk Ma dewa.
"Tidak! Kau ingin membunuh
anakku!"
"Anakmu harus segera diobati."
"Tidak! Aku tidak mau anakku
diobati oleh orang jahat macam kau!
Kau ingin membunuh anakku!!"
Madewa menjadi serba salah.
Posisinya terjepit. Dia harus bisa
menyelamatkan nyawa Adi Permana.
Tetapi bagaimana? Dia harus
menyingkirkan jembel tua ini. Dan juga
wanita cantik itu.
Tetapi sebelum Madewa bergerak,
jembel tua itu berseru, "Pandan!
Tolong aku... kau bunuh pemuda itu.
Tolong pandan... bunuh pemuda itu!"
Wanita cantik itu hanya terkekeh.
Ia beranjak mendekati Madewa dengan
genit. Tatapannya manja dan mesra
sekali. Mendadak Madewa merasakan
sesuatu menyentak-nyentak tubuhnya.
Nafsu birahinya bangkit karena
tatapan wanita itu. Hei, Madewa
merasakan ada sesuatu yang tak wajar
terhadap dirinya.
Ini pasti buat-buatan, bukan
nafsu birahi alami dari dalam dirinya.
Dia menghalau serangan diam-diam itu
dengan membalas menatap kedua mata
wanita itu.
Wanita itu tetap tersenyum-
senyum. Tetapi mendadak dia mengaduh.
Mengusap kedua matanya yang dirasakan
perih.
Benar dugaan Madewa, mata wanita
itu mengandung hipnotis yang
membuatnya dimabuk birahi.
"Sialan!" gerutu wanita itu. Lalu
dia menyerang Madewa. Gerakannya cepat
dan tangkas. Dua buah pukulan dan
kakinya menyerang secara serentak.
Gerakan yang aneh, tetapi mantap.
Madewa memapaki dengan jalan
menerjang pula. Dua buah tenaga
beradu. Madewa terkejut. Tenaga dalam
lawannya tidak boleh dianggap ringan.
Walaupun tidak membuatnya ter-
huyung, tetapi jari-jarinya terasa
kesemutan.
Wanita itu pun merasakan demi-
kian. Tetapi dia agak parah. Dadanya
terasa sesak.
Tiba-tiba dia menjerit keras. Dan
menyerang dengan kecepatan yang luar
biasa. Lagi-lagi Madewa memapaki,
tidak menggunakan pukulan andalannya.
Madewa hanya memakai jurus Tembok
Menghalau Badai. Dia berpikir, wanita
ini dan jembel tua yang masih
menangis, hanya orang-orang yang salah
paham.
Lagi dua buah pukulan beradu.
Kali ini wanita itu terhuyung. Dan
ambruk.
"Pandan Ningsih!" jerit si jembel
tua sambil memburu. Ia merangkul
wanita itu. "Kau tidak apa-apa,
Pandan? Kau tidak apa-apa, bukan?"
Wanita itu tersenyum, walau dari
mulutnya mengeluarkan darah.
"Aku tidak apa-apa, Karto. Aku
akan membunuh pemuda itu untukmu.
Pemuda itu yang menyebabkan anakmu
hampir mati, bukan?"
Jembel tua itu manggut dengan
terburu-buru.
Wanita cantik itu tersenyum. "Kau
tolonglah anakmu, Karto. Biar pemuda
itu aku yang menghadapi...."
Wanita cantik itu bangkit dan
siap menerjang Madewa lagi.
"Tahan!" seru Madewa buru-buru,
mengingat nyawa Adi Permana dalam
bahaya. "Kita sudahi dulu pertempuran
ini, semua ini tidak berguna.
Karena ini hanya salah paham.
Pemuda itu kawan seperjalananku.
Dia baru saja kena serangan seruling
naga. aku harus segera menolongnya,
kalau tidak akan segera mati Sekarang,
perkenankan aku untuk menolongnya.
Kalau aku memang berniat membunuhnya,
kalian boleh membunuhku nanti. Aku
tidak akan melawan."
"Tidak!" seru jembel tua. "Aku
tidak mengizinkan anakku disentuh oleh
kau! Kau jahat Kau hendak membunuh
anakku! Tidak perlu mempengaruhiku,
dengan mengatakan anakku ini kawan
seperjalananmu!"
Tiba-tiba wanita cantik itu
menoleh. "Karto, aku rasa benar.
Pemuda ini kawan seperjalanan anakmu,
Bukankah kita melihatnya bertanding di
tanah genting beberapa minggu yang
lalu? Kau masih ingat, Karto?" |
Jembel tua itu terdiam beberapa
saat. Tiba-tiba dia mengangguk dan
tertawa-tawa.
"He... he... benar, benar kau,
Pandan. Aku ingat sekarang, pemuda ini
yang bertarung dengan orang yang
bernama Wirapati di tanah genting
waktu itu. Ya, ya, aku ingat. Aku
ingat."
Madewa kaget juga mendengarnya.
Berarti kedua orang ini telah lama
membuntutinya. Tetapi mendengar
penuturan barusan, dia agak gembira,
Karena ada kesempatan untuk menolong
temannya itu, yang tak tahunya anak
dari jembel tua.
"Benar, aku yang bertarung di
tanah genting waktu itu. Dan anakmu,
adalah sahabatku yang membantuku.
Bagaimana sekarang, aku diperbolehkan
untuk mengobatinya?"
"Ya, ya?" si Jembel tua
menyingkir. Seolah memberi jalan.
Madewa buru-buru menghampiri Adi
Permana. Nafasnya tinggal satu-satu.
Wajahnya pucat sekali. Dan lemah
tubuhnya. Kembali Madewa mendudukkan
pemuda itu. Dan dia bersila. Di
tekannya kedua telapak tangannya di
punggung. Dan dialirinya tenaga
dalamnya.
Si jembel tua dan wanita cantik
itu hanya memperhatikan tanpa berbuat
apa-apa.
Pengobatan itu berlangsung agak
lama. Peluh sudah bermandi tubuh
Madewa dan Adi Permana.
"Huak!" Adi Permana muntah darah.
Bertanda darah kotor sudah ada yang
keluar. Tahan sedikit, Adi...."
Madewa mengalirkan hampir separuh
tenaga dalamnya. Ia rela melakukan
itu, walau tubuhnya sudah terasa
lemah. Adi Permana sudah dua kali
menolongnya dari kematian.
Menotok beberapa jalan darah dan
melonggarkan pernafasan Adi Permana.
Lalu tangannya bergerak cepat. Merobek
pakaian depan Adi Permana.
Dan bukan main terkejutnya dia,
ketika tangannya langsung menyentuh
dua buah gundukan halus yang lembut!
"Oh....."
Madewa menarik tangannya kembali.
Dan cepat menutup dada Adi Permana.
Ternyata sahabatnya ini seorang wanita
yang menyamar! Jelas dia kaget, karena
tangannya menempel pada buah dada
wanita itu. Madewa tidak jadi
menyalurkan tenaga dalamnya.
Wajahnya mendadak memerah.
Bukan dia saja yang kaget, tetapi
si jembel tua itu juga. Ia terbelalak.
Tak percaya mendekati Adi Permana. Dan
dengan seenaknya dia menyingkap
pakaian Adi Permana, seolah tak
percaya melihat buah dada wanita itu.
"Oh, dia bukan, dia bukan
anakku!" serunya tiba-tiba. Membuat
Madewa dan wanita cantik itu terkejut.
"Benar dia bukan anakmu, Karto?"
tanya wanita cantik itu.
"Bukan, bukan! Anakku laki-laki!
Bukan dia! Dia perempuan! Dia punya
buah dada!!" jembel tua itu menjerit-
jerit pilu. Dan menangis terguguk.
"Hu... hu... ke mana lagi harus kucari
anakku...."
Wanita cantik itu memeriksa tubuh
Adi Permana. Benar, dia bukan laki-
laki, dia seorang wanita. Wanita itu
menghampiri dan membujuk jembel tua.
"Jangan menangis, Karto. Kita
cari lagi anakmu itu...."
"Hu... hu... aku sedih, aku
sedih, Pandan. Dia ternyata bukan
anakku... hu... hu... anakku...."
"Sudahlah, kita akan mencarinya
lagi".
"Kau tidak perlu ikut, kau akan
membunuh anakku"
Wanita cantik itu menggeleng.
"Tidak, aku tidak akan membunuh
anakmu. Aku pasti akan menyayangi
anakmu. Seperti aku menyayangimu..."
Jembel tua itu terdiam. Menatap
wanita cantik itu tak percaya.
"Benar?"
Wanita cantik itu mengangguk.
Jembel tua itu memeluknya.
Sementara itu Adi Permana muntah
lagi. Madewa menghela nafas. Dia harus
segera menolong sahabatnya lagi. Tak
perduli siapa sahabatnya ini. Laki
atau wanita.
Sambil memejamkan matanya, Madewa
membuka pakaian sahabatnya itu. Dan
tangannya menyentuh kembali gundukan
halus yang lembut. Hati-hati dia
menyalurkan tenaganya lagi. Kali ini
matanya tetap terpejam.
Dan terdengar sahabatnya itu
bernafas normal kembali. Setelah
selesai, Madewa buru-buru menutup
pakaian itu.
Mata sahabatnya perlahan-lahan
terbuka dan terbelalak melihat Madewa
telah mengancingi pakaiannya.
"Oh! Kau! Plak! Plak!!"
Dua buah tamparan mampir di pipi
Madewa. "Kau... kau... aaahh...."
Madewa cepat menunduk. "Maafkan
aku, Saudari... sungguh mati aku tidak
bermaksud buruk... aku hanya ingin
menolongmu."
"Tapi... tapi kau melihat...
kehormatanku...suara Adi Permana
menghilang berganti suara wanita yang
tersendat antara marah dan malu.
Wajahnya memerah.
Madewa tetap menunduk. "Maafkan
aku... aku tidak bermaksud kotor
terhadapmu, Saudari. Aku tidak
menyangka kau seorang wanita Aku tetap
menyangka kau sahabat baruku yang
bernama Adi Permana.
Lukamu parah. Aku masih tetap
menyangka kau seorang laki-laki....
Dan... aku... aku...."
Madewa menunduk dengan wajah
memerah.
Wanita itu menunduk pula. Isaknya
terdengar perlahan. Kehormatannya
dilihat oleh pemuda ini. Betapa
malunya. Betapa marahnya. Tetapi pe-
muda ini bermaksud hendak menolongnya.
Terdengar suara dari arah sam-
ping, "Benar Karto, dia seorang
wanita."
"Ya, ya... dia bukan anakku. Dia,
bukan anakku. Anakku seorang laki-
laki, yang pasti telah tumbuh remaja.
Aku tahu Pandan, anakku pasti tumbuh
dengan gagahnya. Dia akan menjadi
orang yang perkasa...."
"Kalau begitu, ayo kita
pergi...."
"Ya, ya! Kita pergi. Kau tidak
akan membunuh anakku kan jika ber-
temu?"
"Tidak! Aku akan menganggapnya
sebagai anakku sendiri"
"Ya, ya, anakku sendiri. Dan aku
ayah kandungnya. Oh, Madewa..,."
Madewa serentak menoleh. Disang
kanya jembel tua itu, memanggil
dirinya. Tetapi dia tengah meratap dan
menatap langit. bukan, dia bukan
memanggilnya.
Mendadak dada Madewa berdebar.
Debar keras. Orang itu memanggil
anaknya? Madewa? Laki-laki? Tumbuh
perkasa. Bergetar tubuh Madewa. Siapa
orang tua itu?
"Jembel tua!" panggil Madewa pada
keduanya yang akan beranjak.
Kedua orang tua itu berhenti.
Jembel tua itu tertawa pelan.
"He... he... maaf, maafkan aku
anak muda. Benar dia sahabatmu. Dia
bukan anakku. Anakku laki-laki. Bukan
dia, bukan dia." .
"Jembel tua...."
"He. he... aku tahu maksudmu, kau
masih marah bukan? Maaf, maafkan
aku....."
"Bukan itu!"
"Lalu apa, anak muda?"
"Siapa nama anakmu, Jembel tua?"
"Oh, dia? Kau pernah bertemu? Di
mana?, dimana? Cepat katakan padaku,
di mana dia berada sekarang?"
"Aku tidak tahu dia di mana.
Tetapi siapa nama anakmu itu?"
"He... he... nama yang bagus,
Madewa Gumilang. Kau pernah mendengar
nama itu? Pernah?"
Madewa tersentak. Mirip dengan
namanya. Hati-hati dia menatap jembel
tua itu. Diingat-ingatnya kejadian 15
tahun yang lalu. Dia hanya ingat, dia
dan ibunya meninggalkan rumah. Dan
ibunya baru bercerita, tentang semua
yang telah menyebabkan mereka pergi.
"Apakah nama ibu anakmu Warsih
Inten?" tanyanya hati-hati.
"He... he... kau mengenai ibu
anakku, rupanya. Ya, ya. Dia istriku.
Tolong beritahu aku anak muda, di mana
dia berada sekarang?"
Madewa terdiam. Lemas seluruh
tubuhnya. Ini pasti ayahnya. Pasti.
Ayah yang dirinduinya. Yang sudah lama
tak bertemu dengannya.
Mendadak dia menjatuhkan diri di
depan jembel itu.
"Ayah!"
Jembel itu heran. Juga wanita
yang mendampinginya.
"Apa maksudmu Anak muda?" Madewa
mendongak.
"Ayah.,, akulah anakmu... anakmu
ayah..."
"Kau?"
"Ya, aku anakmu. Yang telah 15
tahun tidak pernah bertemu. Aku Madewa
Gumilang, Ayah."
"Hhh! Mana mungkin? Kalau begitu,
siapa namaku, hah?"
"Ayah, aku anakmu. aku tahu
namamu. Kau... bernama... Kartonggolo
ayah, dan Warsih Inten ibuku...."
Jembel tua itu tersentak. Inikah
anaknya? Mendadak dia menubruk Madewa.
Menyingkapkan pakaian di lengan kanan
Madewa.
Tompel besar yang menjadikan
tanda kelahiran Madewa, ada di lengan
kanan pemuda itu!
Ya, dia anaknya. Anaknya yang 15
tahun telah hilang. Jembel tua itu
memeluk Madewa dengan erat. Kedua ayah
beranak itu berpelukan dengan terharu.
Pandan Ningsih menghapus air
matanya.
Adi Permana yang diketahui
sebagai wanita menahan rasa haru pula.
"Ayah... aku rindu padamu...."
Kartonggolo menangis tersedu-
sedu. Ia menciumi sekujur tubuh
anaknya. Dia rindu pula. Lalu, lalu di
mana istrinya? Di mana Warsih Inten?
"Madewa... di mana, di mana
ibumu?"
Wajah Madewa berubah menjadi
mendung. Ia menggeleng, pelan.
"Ibu sudah lama meninggal, Ayah.
Dia bunuh diri ketika akan diperkosa
oleh orang-orang jahat...."
"Oh, Gusti. Betapa besar dosaku
kepadanya."
"Sudahlah, Ayah. Kita sudah
bertemu." Madewa berdiri. Menatap
Pandan Ningsih. Pandan Ningsih risih
ditatap demikian. Disangkanya anak itu
akan marah padanya, pada orang yang
menyebabkan semuanya menjadi
berantakan. Tetapi,
"Bu..."
Pandan Ningsih tersentak.
Pemuda itu memanggilnya Ibu? Ibu.
Ibu. Ibu. Oh, Dewa... betapa
bahagianya... Pandan Ningsih tanpa
ragu lagi memeluk Madewa.
Suasana haru.
Kartonggolo tersenyum. Putranya
sedikit pun tidak menampakkan dendam
pada Pandan Ningsih.
Tiba-tiba, "Awaaaass!" terdengar
suara Adi Permana memekik.
Pratiwi tengah bangkit dengan
susah payah dan melancarkan serangan
dengan sisa tenaganya yang terakhir.
Dia ingin pemuda itu mati bersamanya.
Maka dia nekat berjibaku. Saat Madewa
tengah membelakanginya.
Pratiwi memekik panjang dan
menerjang. Bersamaan dengan itu,
Kartongolo melompat, menghalau
serangan Pratiwi pada anaknya.
Dan "Des! Aaaah!"
Keduanya ambruk.
Pratiwi mati dengan sisa
tenaganya terakhir. Kartonggolo ambruk
tergeletak penuh darah.
"Aayaaaaah...! jerit Madewa
kaget. Ia memburu. Ayahnya terkulai
lemah penuh darah.
"Ayah... ayah... mengapa kau
lakukan itu?"
Kartonggolo tersenyum walau
kesakitan. Istrinya memburu pula. Juga
Adi Permana.
"Karto...." rintih Pandan Ningsih
pilu. Tak kuasa melihat suaminya penuh
luka.
Tetapi Kartonggolo tersenyum.
"Madewa... aku puas, bisa berbuat
kebaikan kepadamu, di akhir...
hidupmu.... Selama ini... aku telah
menyia-nyiakanmu... aku... aku... akan
segera menyusul ibumu... Madewa...
juga... jagalah d... dirimu... ah...."
Rintihan panjang mengakhiri hidup
Kartonggolo. Tubuh itu terkulai di
pangkuan Madewa.
Melihat suaminya meninggal,
Pandan Ningsih menjerit-jerit. Ia
mengambil sebilah pedang yang
berserakan. Tanpa sempat dicegah, dia
sudah menusukkan pedang itu ke
dadanya.
"Aku akan menyusulmu, Karto!"
Dan tubuh itu ambruk pula penuh
darah.
"Ibu!"
Tetapi Pandan Ningsih sudah mati.
Suasana sepi. Hening. Angin pun
seolah tak mau berdesir. Madewa
menatap kedua orang tuanya yang telah
menjadi mayat. Tak sadar air matanya
menitik.
Baru sekarang dia bertemu dengan
ayahnya.
Dan baru beberapa menit pula
harus meninggalkan semuanya. Pertemuan
tadi seolah menambah kedukaan saja.
"Ayah... ibu... damailah kalian
di sisi Tuhan..." Madewa memejamkan
matanya. Air matanya merembes ke luar,
mengalir di pipinya.
"Madewa...."
Madewa menoleh. Adi Permana. Dia
tersenyum.
"Semua sudah berakhir, Saudari...
Maafkan aku...."
"Tidak ada yang perlu di-
maafkan...." Gadis itu mengusap
matanya. Mengangkat wajahnya. Dia
tersenyum. Dan menggeleng perlahan.
"Aku berbela sungkawa atas kematian
orang tuamu," katanya pelan.
"Terima kasih, Saudari.... Hanya
sekejap kami dipertemukan Tuhan...." |
"Sudahlah, biarlah yang lalu
berlalu..."
Madewa tersenyum, getir.
"Aku minta maaf atas
kelancanganku tadi. Sungguh Saudari
aku tidak tahu kau seorang wanita..."
"Tidak apa, aku tidak marah..."
"Sungguh?"
Gadis itu mengangguk, agak sedih.
Ia menatap Madewa. "Kau tidak
mengenali ku, Madewa..."
Suara gadis itu bagai
menyentaknya. Madewa mengingat. Yah,
sudah lama sebenarnya ia ingat itu.
Gerakan-gerakan silat si gadis seperti
pernah dilihatnya. Permainan sepasang
pedang kembar, jurus pukulan seribu
dan keris yang diberikan kepada
Nindia, seperti pernah dialaminya
dulu.
Tiba-tiba Madewa menghela nafas
panjang. Terharu dia menatap gadis
itu.
"Kau... kau... Ratih Ningrum?"
tanyanya ragu-ragu.
Mata gadis itu berkaca-kaca.
Tiba-tiba ia merangkul Madewa dengan
erat.
"Madewa kekasihku... aku... Ratih
Ningrum kekasihmu dulu...."
Madewa balas merangkul.
"Oh, Gusti... kita dipertemukan
juga akhirnya, walau dalam keadaan
begini..."
Gadis itu memang Ratih Ningrum.
Seperti yang disarankan oleh ketiga
gurunya sebelum dia berangkat, dia
menyamar sebagai laki-laki dan mengaku
bernama Adi Permana.
Dia memeluk kekasihnya dengan air
mata menitik. Pencarian dan
penyamarannya telah berakhir.
Madewa mendengar gadis itu
mendesah. Ia, mengangkat wajahnya.
Diciumnya bibir gadis itu dengan rasa
rindu yang membara. Tetapi mendadak
Ratih Ningrum melepaskan bibirnya.^
"Madewa... ada hubungan apa kau
dengan... Nindia?" tanyanya tersendat.
Sudan lama dia memendam cemburu yang
amat sangat melihat gadis itu selalu
bergayutan di lengan kekasihnya.
Ditahannya perasaan cemburunya
waktu itu. Dan sekarang dia harus
menumpahkannya.
Madewa tersenyum. Kekasihnya
cemburu.
"Dia hanya putri seorang kaya
yang bernama Abindamanyu. Aku hanya
disuruh menyelamatkannya dari tangan
Wirapati, yang telah kita bunuh
bersama-sama. Dan kau tak perlu.
cemburu, aku tidak punya hubungan apa-
apa dengannya. Aku hanya menganggap
dia adik. Dan seorang putri orang kaya
yang harus kuselamatkan."
"Ratih... kini kau seorang gadis
yang pandai bersilat. Pasti tiga
pengawal sakti itu telah menurunkan
ilmunya padamu..."
Ratih Ningrum mengangguk. Dan
bercerita tentang kepergiannya. Selain
ingin mencari pemuda itu, dia juga
ingin mencari pembunuh ayahnya.
Madewa tersentak. Biparsena...
dia mati tanganku, desahnya dalam
hati. Apakah aku harus mengatakan
semua ini? Ah, pasti gadis itu marah
sekali. Tetapi dia harus mengatakan
semua itu.
Dan gadis itu terbelalak
mendengar pengakuannya. Serentak ia
melepaskan rangkulannya dan berlari.
Matanya nyalang.
"Kau?!" serunya marah.
"Tenang dulu, Ratih... mari
kujelaskan...." Perlahan Madewa menje-
laskan semuanya. Dan terlihat kekasih-
nya menunduk menangis. Kemarahannya
mereda. Madewa merangkulnya. "Kita
sama sama kehilangan kasih sayang dari
ayah, Ratih? Tapi kau mengerti bukan?
Aku terpaksa membunuh ayahmu, karena
dia adalah orang sesat yang harus
dimusnahkan? Kau mengerti, Ratih?"
Ratih Ningrum mengangguk-angguk
dalam dekapannya kekasihnya. Madewa
menghela nafas lega.
Tanpa mereka sadari Nindia sudah
tersadar dari pingsannya. Ia terkejut
melihat Madewa merangkul seorang
gadis. Tetapi herannya, gadis itu
berkumis tipis. Oh, dia pasti Adi
Permana, yang ternyata seorang
gadis....
Dan berada dalam dekapan Madewa,
pemuda yang dicintainya....
Hati Nindia terkoyak melihat
kenyataan itu. Keduanya jelas saling
mencintai. Tinggal dia yang sendiri.
Pandangannya nanar dan terluka. Dia
tidak mungkin dapat meraih cinta
pemuda itu. Biarlah Madewa bahagia
dengan gadisnya.
Tanpa menimbulkan suara, Nindia
meninggalkan tempat itu dengan diam-
diam. Dan sepasang kekasih itu
terkejut, ketika tidak menemui Nindia
di tempatnya.
Sayup-sayup terdengar suara dari
kejauhan, "Madewa sayang... kudoakan
kau berbahagia dengan gadis itu...."
"Nindia," desis Madewa pelan,
pada angin.
Madewa akan mengejar, tetapi
Ratih Ningrum menatapnya. Tatapan
gadis itu penuh sinar cemburu. Madewa
menjadi serba salah. Dia mencintai
gadis ini, yang selalu dirinduinya.
Biarlah Nindia mencari jalannya.
Ia menghela nafas, dan
menguburkan mayat ayah dan ibu
tirinya. Setelah itu mengajak Ratih
Ningrum meninggalkan tempat itu.
Tak lama mereka pergi, Ki Lurah
Lanangneweng dan anak buahnya datang.
Mereka terkejut melihat mayat-mayat
itu. Dan bersorak gembira ketika
mengetahui bahwa mereka adalah orang-
orang Perkumpulan Telapak Naga! Orang-
orang yang mereka benci!
***
SEMBILAN
Di rumah besar itu, sedang
terjadi rapat. Nampaknya sangat
penting, karena di luar rumah itu
beberapa orang siaga menjaga, lengkap
dengan senjata.
Juga di tempat penjuru rumah itu.
Rapat berjalan dengan baik, tidak
terjadi bantahan-bantahan yang bisa
menimbulkan pertempuran darah.
Rapat dipimpin oleh seorang laki-
laki tua berjubah putih. Ia memakai
angkin berwarna biru. Wajahnya
menampakkan kebengisan yang luar
biasa. Di tangannya terpegang sebuah
tongkat berkepala ular. Orang-orang
rimba persilatan memberinya gelar:
Datuk Sakti Berjubah Putih.
Rapat berbentuk empat persegi
panjang. Di barisan sebelah kiri,
duduk tiga orang laki-laki berkepala
gundul Masing-masing memegangi sebuah
rantai dan di ujung rantai itu
terdapat sebuah bandul berduri..
Mereka menamakan diri Tiga Malaikat
Berantai Emas.
Dihadapan mereka duduk seorang
wanita dan dua orang laki-laki yang
jauh berbeda usianya. Wanita itu
berwajah cantik. Dan senyumnya begitu
menghanyutkan. Lirikan matanya, bisa
membuat orang mabuk kepayang. Dia
bernama Roro Antika. Tetapi orang-
orang rimba persilatan menjulukinya
Dewi Maut. Karena setiap kali kepruk,
orang bisa mati seketika. Dan Roro
Antika tidak akan melepaskan musuhnya
sebelum menemui ajal.
Bahkan dia pernah menyiksa salah
seorang musuhnya dengan ribuan ekor
semut.
Laki-laki yang duduk di sebelah
kirinya, adalah seorang laki-laki
muda. Berperawakan tampan dan ganteng.
Usianya paling tidak 27 tahun. Sejak
tadi dia selalu berkipas. Dan kipasnya
itu mengeluarkan aroma yang sangat
harum. Dia menamakan dirinya Pendekar
Kipas Sakti.
Dan di sebelah kirinya duduk
seorang laki-laki tua bertubuh pendek
dan gemuk. Kalau dilihat lebih tua
dari Datuk Sakti Berjubah Putih. Orang
itu hanya tenang-tenang saja. Bahkan
kelihatan mengantuk. Dia lebih banyak
memejamkan matanya daripada
mendengarkan jalannya rapat itu. Namun
walaupun nampak selalu mengantuk,
pendengaran kakek itu sungguh luar
biasa. Dia bisa mendengar suara
sekecil apa pun. Dan dia dijuluki Dewa
Tua Pengantuk. Mereka adalah orang-
orang dari golongan putih.
Kali ini rupanya rapat itu
mengenai munculnya seorang wanita
sakti yang berjuluk Dewi Cantik
Penyebar Maut. Dengan beberapa orang
anak buahnya, dewi itu telah
menyebarkan maut yang sangat mencekam.
Mereka membuat kerusakan dan
keonaran di setiap desa. Merampok.
Membunuh. Bahkan menculik beberapa
orang bayi entah mereka apakan, karena
orang tidak ada yang tahu di mana
tempat Dewi Iblis itu beserta murid-
muridnya berada.
Dan sebagai orang dari golongan
putih orang-orang yang berkumpul itu
merasa berkewajiban untuk menolong
yang lemah dengan berusaha mengusir
mereka.
Datuk Sakti Berjubah Putih
mengangkat wajahnya.
"Yah... kita harus Bersatu
menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut,
yang konon ilmu kesaktiannya sampai
sekarang belum ada yang menandingi."
Terdengar suara dengusan bernada
mengejek. Dengusan itu keluar dari
mulut Roro Antika atau si Dewi Maut.
Dia merasa kesal karena Datuk Sakti
Berjubah Putih begitu mengagungkan
nama Dewi Cantik Penyebar Maut. Bahkan
menyuruh mereka bersatu!
Bah! Dia sendiri mampu membunuh
dewi sesat itu.
"Lucu! Kau begitu ketakutan
sekali, Kakek!" ejeknya langsung pada
Datuk Sakti. "Biar kalau bertemu
nanti, aku yang akan menghajar dewi
sesat itu. Berani-beraninya dia muncul
membuat onar. Dia belum tahu luasnya
lautan tingginya langit!"
"Aku bukannya ketakutan, Dewi.
Tetapi dengan bersatu, tenaga kita
lebih banyak dan kuat. Mungkin,
menghadapi anak buahnya saja, mm belum
tentu sanggup," kata kakek itu
bijaksana.
"Hhh! Kau ketakutan, Kakek! Di
mana nama besarmu ini? menghadapi
keroco-keroco itu kau begitu pucat?"
Sekian dulu sampai disini, kisah
selanjutnya dapat anda ikuti dalam :
"Dewi cantik Penyebar Maut"
S E L E S A I
0 comments:
Posting Komentar