..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 15 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE PETAKA CINTA BERDARAH

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE PETAKA CINTA BERDARAH

 PETAKA CINTA BERDARAH

Oleh Fahri A.

Hak cipta dan Copy Right

Pada Penerbit

Dibawah Lindungan Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma

Dalam Episode 003 :

Petaka Cinta Berdarah

128 Hal.; 12 x 18 Cm



SATU


Wajah Wirapati memerah. Tetapi

dia diam saja. Kalau saja tidak ada 

yang dipikirkannya sejak tadi, sudah 

diserangnya Pratiwi itu. Diam-diam dia 

berpikir akan kedatangan Madewa 

Gumilang ke tempat ini. Dia kuatir, 

selagi dia bertanding dengan dewi 

cabul ini, Madewa Gumilang datang. 

Sudah jelas dia akan menderita 

kekalahan, karena tenaganya akan habis 

dipakai untuk menandingi Pratiwi. 

Lebih baik dia mengajak berdamai saja 

dewi cabul itu. Atau kalau bisa biar 

mereka bersekutu untuk menghadapi 

Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan 

Sukma.

Maka dia pun mulai membaik-baikan 

Pratiwi dengan harapan dapat mengorek 

keterangan mengenai munculnya kembali 

Selendang Merah Itu.

"Aku tidak pengecut, Pratiwi. 

Tapi kupikir, kita belum pernah 

bermusuhan. Belum pernah sekali pun 

berbuat salah. Sekarang, mendadak saja 

kita saling menyerang penuh kebencian. 

Ini benar-benar tidak ada gunanya."

"Hmm, apa maumu sebenarnya, 

Wirapati?"

"Ha... ha... kau bolehlah membawa 

gadis itu. Aku pun tidak membu-

tuhkannya. Aku hanya menyekap dia


untuk memancing datangnya musuh 

besarku, orang yang telah membunuh 

kedua orang seperguruanku."

"Siapa dia?" tanya Pratiwi yang 

mulai tertarik dengan cerita Wirapati.

"Madewa Gumilang," sahut Wirapati 

dengan penuh kebencian.

"Siapa?" Pratiwi terkejut. 

"Madewa Gumilang?!" 

"Ha... ha..agaknya kau terkejut 

mendengar nama itu, Dewi cabul. Apa 

kau punya permasalahan dengan orang 

yang bernama Madewa Gumilang?" 

Pratiwi terdiam. Rupanya kau 

berada di sini, Madewa, geramnya dalam

hati. Memang, sebenarnya Pratiwi hen-

dak mencari Madewa, orang yang telah 

menyebabkan putusnya lengan kirinya. 

Walaupun memutuskannya adalah Bipar-

sena, tetapi Pratiwi tetap menyalahkan 

Madewa Gumilang. Pemuda yang menjadi 

gara-gara dengan tersiarnya kabar 

tentang pusaka Dewa Matahari (baca : 

Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Sejak menderita kekalahan dari 

Biparsena, Pratiwi langsung bersem-

bunyi dengan lengan yang buntung. 

Sebenarnya dia tidak marah dengan 

Madewa, tetapi pemuda itu membiarkan 

dia semalaman suntuk tergeletak kedi-

nginan tanpa dipindahkan ke tempat 

yang aman. Juga pemuda itu meninggal-

kannya begitu saja. Pratiwi geram

kalau ingat akan Madewa. Selama


setahun itu pula Pratiwi bersembunyi 

di puncak gunung Halimun. Dan secara 

kebetulan, di dasar bawah gunung itu, 

dia menemukan sebuah Kitab kuno yang

berisikan ilmu silat. Dan kebetulan 

lagi, kalau ilmu itu hanya bisa 

dimainkan dengan sebelah tangan. Bagi 

yang bertangan lengkap, mau tak mau 

harus membuntungi tangan itu jika 

ingin menguasai ilmu yang terdapat di 

kitab kuno itu.

Dengan penuh semangat Pratiwi 

mempelajari semua isinya. Gerakannya 

semakin hari ,semakin hebat. Setahun 

genap, tamatlah si Dewi cabul dalam 

mempelajari ilmu silat yang sangat 

ampuh, yang diketahui Pratiwi bernama 

ilmu silat yang mengandalkan 

kelincahan tubuh dan gerakan sebelah 

tangan.

Setelah menguasai ilmu itu, 

keinginan Pratiwi untuk mencari Madewa 

semakin menggebu-gebu. Suatu siang dia 

pun berangkat. Selama perjalanannya, 

kebiasaannya sejak dulu muncul kembali 

kalau melihat pemuda-pemuda tampan.

Sudah setahun dia berusaha 

mematikan nafsu birahi demi menguasai 

ilmu yang terdapat dalam kitab kuno 

itu, kini nafsu itu bangkit Kembali. 

Hampir di setiap tempat Pratiwi 

menjerat setiap pemuda yang berkenan 

di hatinya untuk diajak bermain cinta 

sekaligus menyempurnakan ilmu


selendang merahnya. Dengan menge-

luarkan ilmu pengharum tubuhnya, tidak 

sulit bagi Pratiwi untuk mengajak 

pemuda-pemuda memenuhi nafsu birahi-

nya. Semua bertekuk lutut. Dan seperti 

kebiasaan dewi cabul itu, jika si 

pemuda menolak, maka mautlah sebagai 

gantinya!

Suatu hari, sampailah dia ke 

tanah genting ini. Jarak yang sangat 

jauh sekali. Pratiwi beristirahat 

untuk melepas lelah. Belum lagi 

matanya terpejam, dia mendengar teri-

akan seorang gadis, yang ketakutan. 

Pratiwi langsung mencari sumber teri-

akan itu. Dan akhirnya dia mengetahui 

apa yang akan terjadi di dalam goa, 

Wirapati hendak menodai Nindia!

Dan Wirapati telah menyebut-

nyebut nama Madewa Gumilang, pemuda 

yang disebutnya musuh besarnya, 

kemarahan dan dendam Pratiwi semakin 

naik. Maka tanpa ragu-ragu lagi, dia 

menjawab pertanyaan Wirapati, "Yah... 

pemuda itu punya hutang yang belum 

terbayar!"

Wirapati tergelak. "Rupanya kau 

mendendam juga pada pemuda bangsat 

itu! Nah, mengapa kita tidak bekerja

sama saja untuk menundukkannya? Pemuda 

setan itu kurasa semakin hebat saja. 

Dulu pun dia dengan mudah membunuh. 

dua saudara seperguruanku! Dengan ada 

kita, maksudku, dua orang yang saling


bersatu, pasti akan mudah untuk 

mengalahkan pemuda itu."

Pratiwi terdiam. Perlahan matanya 

melirik lengan kirinya yang buntung 

akibat sabetan pedang Siluman Mata Air 

yang telah hangus pedang itu akibat 

sabetan Biparsena.

Tiba-tiba kepalanya menegak. Ia 

menatap Wirapati dengan tegas. 

Wirapati hanya tenang-tenang saja.

"Tidak, masalah ini tetap menjadi 

urusanku! Aku tidak mau kau 

mencampurinya! Biar kuselesaikan den-

damku ini pada Madewa Gumilang! 

Sekarang, apa maumu Wirapati?"

Wirapati sudah menduga kalau itu 

jawabannya. Dia hanya mengangkat kedua 

bahunya.

"Baiklah, masalah itu memang 

harus diselesaikan sendiri-sendiri. 

Aku pun tidak ingin bermusuhan 

denganmu. Dan masalah gadis itu, 

terserah padamu." 

"Maksudmu?"

"Kau bawa silahkan, tidak kau 

bawa silahkan."

Pratiwi belum tahu siapa 

sebenarnya gadis ini, seketika dia 

bertanya, "Sebenarnya, ada maksud apa 

kau menawan gadis ini?"

"Ha... ha... akhirnya pertanyaan 

itu datang juga. Dengar Pratiwi, gadis 

ini adalah putri seorang hartawan yang 

telah ditolong oleh Madewa dalam suatu


perampokan. Dan sekarang aku 

menawannya. Jelas, untuk memancing 

kedatangan Madewa ke tanah genting 

ini. Kalau Madewa tidak datang, aku 

akan menghina gadis ini habis-habisan, 

sebelum kubunuh. Dan kepalanya akan 

kubawa ke rumah Hartawan itu sebagai 

rasa kesalku!" Wirapati tergelak lagi.

Nindia menjerit kecil. Menge-

rikan! Ini semua bermula dari Madewa 

Gumilang. Wanita berlengan buntung itu 

pun agaknya mendendam pada Madewa. 

Diam-diam dia menyesal, Madewa telah 

menolong keluarganya!

Pratiwi manggut-manggut. Jalan 

pikiran yang bagus. Kalau begitu dia 

harus membawa gadis ini. Dia pun 

membutuhkannya untuk memancing Madewa.

"Baik! Wirapati, aku akan membawa 

gadis ini. Jika Madewa datang, 

katakan, kalau dia kutunggu di puncak 

gunung Halimun! Jangan sampai dia 

tidak datang! Katakan juga, kuberi dia 

waktu lima bulan sejak hari ini!"

Pratiwi lalu menghampiri Nindia. 

la tersenyum seraya mengulurkan 

tangannya.

"Ayo gadis manis, sekarang kau 

harus ikut aku."

Nindia hanya mengangguk saja. Dia 

pun merasa lebih baik ikut wanita itu 

daripada disekap Wirapati yang 

kemungkinan besar akan merenggut 

kehormatannya. Buru-buru dia mengena


kan pakaiannya yang sobek-sobek akibat 

ulah Wirapati.

Sebelum pergi Pratiwi berkata 

pada Wirapati, "Katakan yang jujur 

pada Madewa, aku menunggu!"

Wirapati mengangguk sambil ter-

gelak. Pratiwi mengandeng lengan 

Nindia. Tapi belum sampai mereka ke 

pintu goa, terdengar desingan beruntun 

dari belakang.

"Awasss!" desis Pratiwi seraya 

mendorong tubuh Nindia lalu dia 

sendiri bersalto dua kali. Dengan 

sigap dia berbalik. Wirapati tergelak-

gelak.

"Bangsat keji!" desis Pratiwi 

geram. Untung dia masih mendengar akan 

adanya angin kecil dari belakang. 

Rupanya Wirapati diam-diam melemparkan 

jarum-jarum berbisanya.

"Tidak mudah kau membawa gadis 

itu begitu saja, Pratiwi!"

"Apa maksudmu? Kau sudah menga-

takan semauku untuk membawanya atau 

tidak."

"Masih juga tidak mengerti.... 

Aku yang mendapatkannya dengan susah 

payah, kau semudah itu membawanya. 

Tidak, aku akan mempertahankannya 

sampai Madewa datang menjemputnya." 

geram Wirapati yang jengkel serangan 

gelapnya luput.

"Bangsat!!" Pratiwi menggerakkan

tangan kanannya. Mendadak Wirapati


merasakan dorongan angin yang besar 

datang dari depan. Dia cepat berkelit. 

Dan dorongan angin itu menerjang 

dinding goa hingga hancur berantakan.

Wirapati agak kecut juga melihat 

serangan itu. Tanpa menggerakkan

tubuhnya Pratiwi mampu mengirim 

pukulan jarak jauh. Sekarang Pratiwi 

yang tergelak. "Hik... hik... jangan 

kaget kau, Bangsat curang! Itulah yang 

dinamakan pukulan Angin Menghalau 

Hujan! Ilmu yang kudapat dari Kitab

kuno di dasar gunung Halimun!"

"Bah! Keluarkan semua ilmumu, 

Pratiwi! Kita akan bertarung sampai 

mati!" bentak Wirapati seraya menye-

rang dengan pukulan lurus. Tangan yang 

mengepal itu mengeluarkan asap. 

Pratiwi agak kaget melihatnya. Tapi

dia cepat memapaki dengan pukulan 

Angin Menghalau Hujan.

Tanpa menggerakan tubuhnya pula 

dia mengirimkan pukulan jarak jauh 

itu. Wirapati menggeram jengkel seraya 

bersalto. Masih melayang di atas dia 

menyerang kembali. Suasana dalam goa 

itu sangat gaduh sekali. Nindia hanya 

terpaku tanpa ada pikiran untuk 

melarikan diri. Dia menekap kupingnya 

dengan kedua tangannya untuk menutupi 

suara yang bising itu.

"Lihat serangan, Pratiwi! Ini 

yang dinamakan Naga Menguak Langit!" 

Lalu Wirapati menerjang dengan gerakan


tangan yang cepat sekali. Terasa di 

kulit Pratiwi dorongan angin yang 

hebat. Gerakan Naga Menguak Langit 

begitu dahsyat, sambung menyambung. 

Jurus Pratiwi dihalaunya dengan sekali 

pukul. Tetapi Pratiwi cepat bangkit 

kembali. Dia menggunakan jurus Angin 

Menggoda Hujan. Mendadak saja tubuhnya 

bergoyang dengan hangat. Lirikannya 

pun menggoda.

Wirapati tergagap. la menghen-

tikan serangannya. Jurus yang aneh. 

Jurus yang penuh godaan. la memper-

hatikan Pratiwi menggerakan seluruh 

tubuhnya, mengundang gairah sekali. 

Pinggulnya yang besar berlenggak-

lenggok penuh pesona. Dadanya yang 

montok bergoyang terayun-ayun. Membuat 

Wirapati menelan ludahnya.

Itulah jurus baru andalan 

Pratiwi. Yang membuat orang melihatnya 

terpana penuh gairah. Jurus yang aneh 

dan memgerikan. Karena yang tidak 

waspada akan mampus dengan sekali 

pukul. Begitu pula dengan Wirapati. Ia 

terpaku penuh gairah. Sedangkan 

Pratiwi semakin genit bergoyang. Hanya 

tinggal dua tindak lagi jaraknya 

berdiri dengan Wirapati. Dan tiba-tiba 

dengan teriakan keras, Pratiwi 

menerjang dengan tangan lurus ke 

depan. Wirapati terkejut. Tak ada 

waktu untuk menangkis. Sebisa-bisanya 

dia berguling kesamping, tapi tak


urung bahunya terkena pukulan Pratiwi.

Wirapati merasakan bahunya di-

timpa godam yang sangat berat sekali. 

Dia terhuyung jatuh, Pratiwi terbahak.

"Rasakan itu, Bangsat curang!" 

"Kau... kau yang curang, Pratiwi," 

geram Wirapati marah dan kesakitan.

"Hik... hik... Jadi orang jangan 

mata keranjang. Itulah akibatnya. 

Wirapati, saat ini aku tidak telengas 

menurunkan tangan mautku padamu, 

mengingat kau akan menghadapi musuhmu 

yang juga musuhku, biarlah tanda di 

bahumu kenangan dariku! ingat 

Wirapati, katakan pada Madewa kalau 

aku menunggu kedatangannya di puncak 

gunung Halimun!" Pratiwi lalu mengham-

piri Nindia yang pucat wajahnya. "Ayo 

gadis manis, kau ikut denganku! Kita 

tinggalkan si Bangsat curang itu di 

sini!"

Nindia memegang tangan Pratiwi. 

Begitu terpegang, dia merasakan 

tubuhnya terbang. Si Selendang Merah 

telah membawanya lari dengan ilmu 

meringankan tubuhnya yang hebat.

Di dalam goa, Wirapati mengumpat! 

"Bangsat kau Pratiwi, kalau kau bukan 

mencari musuhku juga, sudah kukejar ke 

mana pun kau pergi!!"

Nindia tidak banyak tanya dalam 

perjalanan. Dia merasa telah cukup 

baginya mengenal wanita cantik

berlengan buntung ini. Tadi dia


mendengar wanita ini bernama Pratiwi, 

alias Dewi cabul. Atau julukannya yang 

menakutkan si Selendang Merah.

Tadi dia kaget sekali karena 

merasakan tubuhnya terbang. Dia 

menjerit tertahan karena terkejut. 

Tetapi lama kelamaan terbiasa. Diam-

diam Nindia ingin berguru pada wanita 

cantik ini.

Pratiwi tidak langsung membawa 

Nindia ke puncak gunung Halimun. Dia 

mengajaknya mampir di sebuah desa yang 

bernama Jati Beringin. Sebuah desa 

yang indah dan tentram.

Ki Lurah Lanangneweng adalah 

seorang lurah yang mampu dan baik 

dalam memimpin desanya. Ki Lurah juga 

seorang pesilat yang lumayan ilmunya. 

Karena lurahnya mempunyai ilmu silat, 

masyarakat di desa itu merasa aman 

dari gangguan orang-orang jahat. Sebab 

Ki Lurah Lanangwenang mampu menangani 

semua itu.

Hari ini Ki Lurah Lanangneweng 

sedang kedatangan tamu. Seorang laki-

laki yang memakai ikat kepala putih 

dan bertato telapak tangan di tengah-

tengahnya ada seekor naga. Ki Lurah 

tahu siapa orang ini. Salah satu 

anggota dari Telapak Naga, yang 

katanya kini menguasai desa tetangga. 

Tetapi sebagai seorang lurah dan orang 

yang berilmu, Ki Lurah tenang-tenang 

saja. Dia menyambut baik kedatangan


orang itu.

Anggota Telapak Naga yang bernama 

Caturseta mengusap-usap kedua tangan-

nya. Dan sesekali meraba tato di 

dadanya. Yang dimaksudkan untuk 

menakut-nakuti lurah Jati Beringin

itu.

Tetapi sedikit pun Ki Lurah 

tenang saja. Dia mendehem setelah 

mendengar penuturan Caturseta.

"Hmmm, maaf Saudara. Saya sebagai 

lurah di sini, merasa berkewajiban 

melindungi rakyat di sini. Jadi saya 

harap, Saudara maklum, kalau jawaban 

saya ini tidak berkenan di hati 

Saudara."

"Hhh, Ki Lurah!" suara Caturseta 

berwibawa. "Janganlah kita bersilat 

lidah, cepat katakan apa jawabanmu 

itu."

"Hanya satu Saudara, saya tidak 

mungkin bisa memenuhi permintaan 

Saudara itu."

Wajah Caturseta memerah. 

"Jadi...."

"Ya, saya sudah katakan, harap 

Saudara maklum."

Mendengar suara yang tenang itu 

naik darah Caturseta. "Ki Lurah, aku 

sudah katakan, kalau kau menolak, 

berarti kau berani menentang 

Perkumpulan Telapak Naga!"

"Bukan maksudku menantang, 

Saudara. Perkumpulan Telapak Naga te


lah terdengar kesaktiannya, karena 

pimpinan mereka yang bernama 

Krampelaksa adalah seorang tokoh yang 

sakti. Juga gelar yang dimilikinya pun 

membuat orang menjadi jeri, Naga Putih 

Peminum Tuak! Tapi Saudara... di sini 

saya sebagai lurah, punya kewajiban, 

yang mana menginginkan desa ini makmur 

dan tentram, tanpa gangguan apa-apa. 

Lalu tahu-tahu Saudara datang, dengan 

menyampaikan berita yang mengerikan.

Harus menyediakan seorang perawan 

murni yang dipersembahkan untuk Naga 

Putih Peminum Tuak, setiap malam 

Jum'at! Nah, mana mungkin saya bisa 

menerima permintaan itu, Saudara? Saya 

tidak ingin..." 

"Tutup bacotmu, Ki Lurah!" geram 

Caturseta marah. "Kau benar-benar 

berani membangkang! Sudah kuminta 

secara baik-baik tapi kau tak 

mengindahkannya. Baik, perkumpulan 

Telapak Naga akan menculik perawan 

murni setiap malam Jum’at! Camkan itu, 

Ki Lurah!"

Setelah berkata demikian, 

Caturseta bangkit mohon diri. Tapi 

Lanangneweng menahannya, "Tunggu, 

Saudara!" 

Caturseta berbalik dan mendengus. 

"Mau apa?!" 

"Aku akan mempertahankan desa ini 

dari gangguan Perkumpulan Telapak 

Naga. Boleh kau melakukannya, tapi


ingat, kami tidak akan tinggal diam!"

Kata-kata itu terdengar menghina 

sekali bagi telinga Caturseta. Benar-

benar minta mampus orang ini. Maka 

sambil berseru keras, dia langsung 

menyerang dengan pukulan lurus kemuka. 

Ki Lurah Lanangneweng memang bukan 

lurah sembarangan. Dia cepat berkelit 

kesamping dan kakinya menyambar 

pinggang Caturseta.

"Des!"

Seharusnya Caturseta jatuh ter-

guling terkena tendangan yang keras 

itu. Tapi dia hanya goyang sedikit. 

Lalu loncat menerkam. Tangan kanannya 

membuka, jari-jarinya merapat satu 

sama lain. Inilah ilmu Telapak Naga 

yang dimiliki oleh semua anggota 

perkumpulan Telapak Naga.

Naga Putih Peminum Tuak tidak 

tanggung-tanggung menurunkan ilmunya. 

Itu merupakan pamungkas dari ilmu 

perkumpulan Telapak Naga. Ilmu yang 

mengerikan!

"Hati-hati, Ki Lurah!!" sambil 

memperingatkan Caturseta menyerang. 

Sambaran angin yang datang dari 

telapak tangannya membuat Ki Lurah 

Lanangneweng kaget juga. Cepat dia 

berkelit. Tapi gerakan ilmu telapak 

naga begitu cepat. Maka tak ampun 

lagi, bagian belakang dari Lanang-

neweng terkena pukulan itu.

"Des!"


Akibatnya sungguh mengerikan. 

Punggung Lanangneweng berasap. Dan 

terceplaklah di kepulan itu telapak 

berwarna hitam. Kalau ilmu itu 

Krampelaksa yang melakukannya, orang 

yang terkena bisa langsung mampus 

dengan tubuh hangus!

Caturseta terbahak. "Ha... ha... 

apa yang akan kau pertahankan, Ki 

Lurah? Ilmumu tak ada sejari dari 

ilmuku!" Lalu dia melompat dan 

menghilang, sementara tawanya masih 

menggema.

Dengan menahan sakit yang amat 

sangat, Ki Lurah berlari ke dalam 

rumahnya. Istrinya yang sedang menyu-

sui anaknya terkejut melihat telapak 

hitam di punggung suaminya.

"Kakang Lanang! Kenapa punggung-

mu?!" jeritnya setelah meletakkan 

bayinya yang sedang tidur.

"Ambil, ambil... air, Nyai! 

Basahi tubuhku," kata Lanangneweng 

terbata.

Istrinya, Nyai Sekar, menuruti 

perintah suaminya. Seketika Lanang-

neweng merasakan sejuk di tubuhnya. 

Tetapi begitu air kering, kembali 

dirasakannya perih yang sakit sekali.

"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya 

Nyai Sekar cemas.

"Orang Telapak Naga menyerangku."

"Siapa?"

"Tamu yang datang tadi...."


"Oh! Ke... kenapa dia menye-

rangmu? Begitu tega sekali... oh... 

punggungmu hitam, Kakang."

"Tidak apa Nyai, sebentar juga 

sembuh.... Orang tadi bernama 

Caturseta... dia salah seorang anggota 

dari perkumpulan Telapak Naga...."

"Lalu...."

"Dia minta padaku... agar 

menyerahkan setiap malam Jum'at...."

"Menyerahkan apa, Kakang?"

Lanangneweng terdiam. Lalu, "Dia 

minta... seorang perawan murni... yang 

akan dipersembahkan untuk Naga Putih 

Peminum Tuak...."

"Oh, Tuhan...." Nyai Sekar 

menekap wajahnya. "Permintaan yang 

mengerikan!"

"Yah... itulah sebabnya aku 

menolak, lalu orang tadi menyerangku 

dengan pukulan Telapak Naga."

"Lalu... apa yang akan kau 

perbuat, Kakang?"

"Aku tidak tahu... yang pasti aku 

akan berusaha mengagalkan setiap aksi 

penculikan mereka...."

Tiba-tiba Nyai Sekar menjerit 

tertahan. Ki Lurah Lanangneweng kaget. 

"Ada apa, Nyai?"

"Nanti... nanti malam Jum'at, 

Kakang...."

"Oh!" Ki Lurah tersentak. Ia 

bangkit dengan cepat. "Aku harus 

memberitahu penduduk Nyai, agar mereka


berhati-hati!" Lalu tanpa menghiraukan 

rasa sakitnya, Ki Lurah berlari ke 

luar rumah.

Istrinya hanya menangis terguguk 

di ranjang. Kehidupan yang sulit 

rupanya mulai merambati keluarganya. 

Yah, sejak Perkumpulan Telapak Naga 

mulai mendatangkan aksinya pada 

mereka.

***

DUA



Orang-orang terkejut ketika Ki 

Lurah berseru-seru di tanah lapang 

itu. Serentak mereka berduyun-duyun ke 

sana, ingin tahu apa sebabnya.

Mungkin ini penting sekali, 

karena Ki Lurah sendiri yang meneriak-

kannya.

Tak berapa lama kemudian, alun-

alun itu telah penuh sesak. Hampir 

semua penduduk menghadirinya.

Ki Lurah Lanangneweng berdiri di 

tengah-tengah mereka dengan sikap 

serba cepat.

Dia berseru, "Wahai kawan-kawan 

semua, ternyata desa kita ini tidak 

bisa bertahan lama dalam ketentraman 

dan kedamaiannya! Karena sebentar lagi 

bencana yang terburuk akan datang pada 

kita!"

Serentak terdengar gumaman ramai.

Dan sahutan.

"Ki Lurah, apa maksudmu?"

"Bahaya apa yang datang pada 

kami, Ki Lurah?"

"Bukankah desa kita selalu 

tentram dan tak pernah ada keributan?"

"Cepat terangkan pada kami!"

"Sabar, sabar, Kawan-kawan! Aku 

akan menerangkan semuanya pada kalian, 

karena ini bencana yang terburuk yang 

akan menimpa kita!

Belum lima belas menit yang lalu, 

seorang yang mengaku bernama Caturseta 

datang ke rumahku. Ketahuilah, dia 

adalah salah seorang dari Perkumpulan

Telapak Naga yang kita tahu mereka 

adalah orang-orang yang kejam!

Yang datang hanya untuk 

menyebarkan teror bagi kita semua!

Maksud kedatangan Caturseta itu 

adalah, agar aku mau menyediakan 

seorang perawan murni yang berada di 

sini untuk ketua mereka yang bernama 

Krampelaksar

Permintaan yang gila-gilaan dan 

jauh di bawah moral! Menyediakan 

seorang perawan murni untuk 

dipersembahkan kepada pemimpin mereka, 

adalah gila jika kita mau memenuhi 

permintaan itu!

Jelas-jelas aku menolak. Aku 

tidak mau mengorbankan setiap wargaku 

untuknya. Dan akhirnya kami berkelahi. 

Rupanya ilmuku jauh berbeda di bawah


ilmu Caturseta. Dan ini sebagai 

kenang-kenangan dari orang itu!"

Ki Lurah Lanangneweng membalikkan 

badan. Terlihat pukulan hitam di 

punggungnya. Orang-orang berseru 

tertahan.

"Telapak Naga!" seruan itu 

terdengar panik di antara seruan 

tertahan orang banyak. Yang berseru 

itu adalah seorang perempuan cantik 

berlengan buntung.

Wanita yang berdiri di sampingnya 

menoleh. Lalu bertanya, "Apakah 

Telapak Naga itu, Kak?"

"Telapak Naga adalah nama jenis 

pukulan yang berbahaya, yang sekaligus 

dipakai untuk nama perkumpulan. Aku 

telah lama mendengar akan adanya 

perkumpulan baru yang sesat itu."

Dari depan terdengar lagi suara 

Ki Lurah Lanangneweng, "Kawan-kawan, 

orang dari perkumpulan Telapak Naga 

itu marah besar padaku! Setelah 

melumpuhkan aku, dia mengancam, akan 

menculik seorang perawan murni setiap 

malam Jum'at. Dan ancaman itu berlaku 

untuk detik ini!"

Kembali seruan tertahan ter-

dengar. Dan gadis-gadis yang masih 

perawan semua mendadak berwajah pucat. 

Mereka ngeri akan menjadi sasaran 

penculikan itu dan diserahkan pada 

ketua perkumpulan sesat itu. Dan 

paniklah mereka semua, ketika ingat


ini adalah malam Jum'at, di mana aksi 

penculikan yang pertama akan 

berlangsung.

Semua menjerit-jerit ketakutan, 

Beberapa orang Ibu merangkul anak 

perawannya erat-erat seolah aksi 

penculikan itu sudah terlaksana

Ki Lurah Lanangneweng menenangkan 

penduduknya. Setelah tenang, dia 

melanjutkan perkataannya lagi, "Kawan-

kawan, sekarang maksudku untuk 

mengumpulkan kalian adalah, agar kita 

bersatu untuk melawan penculik-

penculik itu! Dengan kekuatan yang 

banyak, kemungkinan besar aksi 

penculikan itu berhasil digagalkan!"

Semua mendukung usul itu. Tapi 

ada juga yang mengusulkan agar melapor 

pada raja. Agar raja yang menangani 

masalah itu. Tetapi Ki Lurah 

Lanangneweng menolak, dengan alasan, 

"Selagi kita mampu melawan, kita tidak 

perlu meminta bantuan raja dulu!"

"Tapi desa kita ini bisa 

merupakan neraka yang mengerikan bagi 

setiap anak gadis, Ki Lurah!" teriak 

salah seorang.

"Memang, tapi kita harus berusaha 

menghilangkan mimpi buruk itu! Kita 

harus bersatu, Saudara-saudara! Kita 

harus saling membantu menghalau setiap

serangan yang datang!"

Dan mulai saat itulah, setiap 

kepala keluarga dan pemuda-pemuda


mempersiapkan senjata dirumahnya. Juga 

memeriksa semua kunci jendela dan 

pintu. Bahkan ada yang memasang 

jebakan berupa lubang tanah yang 

ditutupi alang-alang.

Gadis manis yang duduk di warung 

nasi itu pun nampak ketakutan. Kata-

kata lurah tadi telah membuatnya 

ngeri. Tetapi wanita cantik yang duduk 

di sebelahnya kelihatan tenang-tenang 

saja. Sedikit pun tidak menampakkan 

ketakutan. Malah setetes keringatnya 

pun tak jatuh.

Gadis muda itu melirik yang duduk 

di sebelahnya, yang masih asyik 

menikmati kue-kue yang dijual di 

warung nasi itu. Sebentar lagi malam 

akan tiba. Kini mereka akan menginap 

di mana, sementara bayangan penculikan 

terus saja menghantuinya.

"Kakak Pratiwi," gadis muda itu 

meluncurkan kata. 

Wanita cantik yang masih asyik 

itu menoleh. Ia tersenyum melihat 

wajah gadis manis itu pucat.

"Jangan takut adik Nindia. 

Biarlah penculikan itu dilakukan, asal 

kita tidak diganggu."

"Tapi... aku takut, Kak."

"Hik... hik... selama aku berada 

di sisimu, tak perlu kau takuti. Ayo 

makanlah...."

"Saya sudah kenyang," gadis muda 

yang tak lain Nindia itu menunduk.


Tiba-tiba dia berkata lagi, "Sebaiknya 

kita pergi saja dari tempat ini. Aku 

sudah mengantuk, Kak. Kita bisa cari 

penginapan sekarang."

"Kita akan menginap di sini, 

Nindia."

Nindia terkejut. Juga Bapak tua 

yang punya warung itu. Wah, bisa 

gawat. Dia tadi sudah beruntung tidak 

punya anak gadis lagi, tapi sekarang 

kedua wanita cantik ini akan menginap 

di sini. Bisa berabe. Buru-buru dia 

berkata, "Saudari yang terhormat, 

sebaiknya saudari ikuti saja kata-kata 

adik saudari. Adik saudari benar, 

lebih baik lekas mencari penginapan 

sebelum aksi penculikan itu datang."

"Ah, Bapak tua. Bilang saja kami 

tidak boleh menginap di sini." Pratiwi 

tersenyum manis.

Bapak tua itu tersipu. Tapi dia 

harus menjelaskan, "Bukan maksudku 

melarang kalian berdua menginap di 

sini. Tidak. Jika ancaman penculikan 

anak perawan itu tidak ada, sebulan 

pun kalian menginap di sini tak apa 

tanpa bayar. Tapi sekarang, biar pun 

kalian berani bayar mahal permalam, 

saya tetap tidak mengizinkan. 

Maklumlah saudari, saya takut kalau 

ancaman penculikan itu terjadi pada 

diri kalian berdua...."

Pratiwi hanya terkikik "Malah 

saya berharap akan diculik, Pak. Saya


ingin kenal dengan Krampelaksa yang 

gelarnya mengejutkan orang."

Wajah Bapak Tua itu kaget bukan 

kepalang. Benar-benar gadis edan yang 

satu ini. Mengharapkan bertemu dengan 

Krampelaksa. Huh!

Orang mendengar namanya saja 

sudah ciut nyalinya, apalagi bertemu! 

Dan bukan hanya bertemu, akan 

dijadikan santapan malam Naga Putih 

Peminum Tuak itu! Mengerikan!

Bapak tua itu rupanya tidak mau 

lagi bercakap-cakap dengan gadis edan 

itu. Makanya dia langsung membereskan 

semua dagangannya.

Lalu berkata, "Maaf, warung ini 

akan tutup."

Pratiwi tidak membantah. Dia 

hanya tertawa saja. Setelah membayar, 

dia mengajak Nindia mencari tempat 

penginapan. Nindia merapatkan tubuhnya 

pada tubuh Pratiwi ketika melangkah, 

Apalagi malam sudah datang. Keadaan 

desa itu sunyi sekali, lain dari 

biasanya. Dan jam tujuh ini, gardu-

gardu ronda sudah penuh dengan 

penjaga. Yang biasanya hanya lima 

orang, kali ini di setiap gardu ada 

lima belas orang lengkap dengan 

senjata, keris, tombak, golok dan 

lain-lain. 

Mereka menemukan penginapan yang 

tak begitu besar. Harganya pun murah. 

Pemilik penginapan itu agak ragu-ragu


mengizinkan mereka menginap. Dia 

rupanya juga tak ingin terlibat 

kesulitan. Kamar yang telah penuh itu 

hampir semuanya diisi oleh laki-laki. 

Juga ada wanita tapi yang telah 

bersuami dan punya anak.

Sekarang kedua gadis cantik itu 

ingin menginap di tempatnya. Tak ada 

jalan lain selain mengizinkan, apalagi 

mereka berjanji hanya satu malam 

menginap dan besok akan melanjutkan 

perjalanan.

"Huh! Semua seakan dibayangi oleh 

ketakutan!" gerutu Pratiwi ketika

merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia 

menggerutu panjang-pendek. Sementara 

Nindia hanya mendengarkan saja. 

Pratiwi berkata lagi, "Pokoknya, 

tengah malam nanti, aku akan keluar!"

Nindia tersentak, "Kemana, Kak?"

"Aku ingin tahu markas Perkum-

pulan Telapak Naga itu!"

Nindia ingin membantah, tapi dia 

tidak berani. Wanita cantik itu seakan 

yakin akan kemampuannya untuk membela 

diri. Maka Nindia mendiamkan saja. Ia 

juga merebahkan tubuhnya di ranjang.

Ketika merebahkan tubuhnya itulah 

Nindia teringat akan rumahnya. Ibunya. 

Ayahnya. Juga ketika penculikan yang 

dilakukan Wirapati atas dirinya. Dan 

nyaris dia diperkosa, Ingatan itulah 

yang membuat Nindia ketakutan ketika 

mendengar keterangan Ki Lurah

Lanangneweng di alun-alun tadi siang!

Dia menghela nafas panjang. 

Diliriknya Pratiwi yang tengah 

memainkan selendang merahnya. Selama 

berada di sisi wanita cantik berlengan 

buntung itu, Nindia merasa kese-

lamatannya terjamin!

Tak berapa lama kemudian, matanya 

pun terpejam.

***

TIGA



Tepat tengah malam, Pratiwi 

bangkit. Duduk di ranjangnya. Sejak 

tadi dia memang tidak tidur. Walaupun 

matanya terpejam. Pendengarannya tetap 

bekerja. Mendengar apa yang sedang 

atau akan terjadi di luar sana. Tetapi 

sejak tadi tidak terdengar apa-apa, 

hanya kantongan di gardu-gardu ronda, 

yang menandakan orang-orang desa itu 

sedang bersiaga penuh.

Tak jauh dari ranjangnya, ter-

dengar dengkur yang lembut dan 

beraturan. Nindia yang keletihan sejak 

pagi tertidur pulas. Pratiwi bangkit 

berdiri. Memperhatikan wajah cantik 

Nindia. Gadis yang benar-benar cantik, 

yang membuat orang memandangnya dan 

tak mau lepas dari obyek yang 

mengasyikkan itu.

Sedikit pun tak ada noda yang

membuat cacat wajah itu, selain kerut 

keletihan. Besok pun hilang kalau 

letihnya sudah hilang.

Wanita cantik ini, sayang kalau 

sampai dimakan oleh Wirapati, desis 

Pratiwi dalam hati. Merasa beruntung 

karena dia datang sebelum Wirapati 

melakukan aksinya.

Tetapi dewi cabul itu tetap orang 

sesat. Kegemarannya menghisap sari 

perjaka pria membuatnya terkenal 

sebagai orang sesat berwajah cantik.

Kali ini pun pikiran jelek 

melintas di benaknya. Ia tersenyum 

sendiri. Sejak tadi yang dipikirkan 

hanya mengenai Krampelaksa, ketua 

perkumpulan Telapak Naga dan ancaman 

penculikan perawan untuknya!

Pratiwi yakin, gadis yang tidur 

di hadapannya ini seorang perawan 

murni. Dan diam-diam Pratiwi ingin 

menyerahkan Nindia untuk naga tua itu.

Pasti Naga tua itu akan 

menerimanya dengan tangan terbuka. 

Bagaikan anjing diberi sekerat daging.

Biar bagaimana pun, Pratiwi tahu, 

kalau saat ini Nindia sedang dicari 

oleh Madewa Gumilang, pemuda yang 

telah membuatnya mendendam! Dengan 

diserahkannya Nindia kepada Krampe-

laksa, Pratiwi yakin, Krampelaksa akan 

takluk akan perintahnya.

Dan kekuasaan Perkumpulan Telapak 

Naga akan jatuh ke tangannya. Karena


di saat Krampelaksa menggeluti tubuh 

Nindia, Pratiwi akan menghajarnya 

sampai minta ampun!

Dan merebut kekuasaan dari tangan 

Krampelaksa. Dan dia akan meme-

rintahkan Krampelaksa dan anak buahnya 

untuk membunuh Madewa Gumilang.

Pekerjaan yang ringan dan mudah. 

Pratiwi terkekeh sendiri. Itulah 

rencana yang membayang di benak si 

Selendang Merah. Rencana yang keji dan 

menakutkan.

Diam-diam dia tersenyum, menge-

rikan. Matanya nanar membayangkan 

keberhasilan rencananya. Dia akan 

menangkap dan menyiksa Madewa Gumilang 

sampai menjerit-jerit.

Pratiwi menghampiri Nindia yang 

sedang tertidur pulas. Ia memper-

hatikan seluruh tubuh gadis itu. 

Benar-benar indah dan menantang.

Tiba-tiba tangannya bekerja 

dengan cepat. Menotok dua kali. Satu 

menotok urat di punggung Nindia dan 

satu menotok urat suara di lehernya.

Dengan cepat dia menelanjangi 

gadis itu. Tidak puas hanya 

memperhatikan bagian luar tubuh gadis 

itu saja.

Terlihatlah suatu pemandangan 

yang indah dan penuh pesona. Setiap 

pria pasti akan mencair liurnya, dan 

langsung menggeluti tubuh indah itu.

Bentuk tubuh yang bagus, tanpa

cacat sedikit pun. Semua masih murni. 

Tidak puas hanya menatap, Pratiwi 

meraba seluruh tubuh Nindia. Halus. 

Mulus. Pratiwi sendiri bergetar 

merabanya.

Suatu santapan yang lezat untuk 

Krampelaksa. Pasti Naga tua itu tidak 

akan menolak disuguhkan hidangan yang 

lezat ini.

Pratiwi kembali membetulkan 

pakaian Nindia dan melepaskan kedua 

totokannya.

Nindia yang masih tertidur pulas 

tidak tahu soal itu! Juga tidak tahu 

apa yang dipikirkan dan dikerjakan 

Pratiwi atas dirinya nanti.

Pratiwi kembali ke tempat 

tidurnya. Membayangkan lagi kemenangan 

yang ada di tangannya. Dia akan 

mencincang Madewa Gumilang, pemuda 

yang telah membuat sengsara bagi 

dirinya.

Dengan bantuan Krampelaksa, Pra-

tiwi merasa kekuatannya bertambah.

"Aaaaaah! Tolooooong!" tiba-tiba 

terdengar jeritan itu. Menyentak dan 

membangunkan keheningan malam.

Pratiwi bergerak cepat. Dia 

melompat keluar melalui jendela dan 

segera mencari sumber suara itu. Tidak 

jauh darinya, para peronda sudah 

berpencar mencari pula. Pratiwi juga 

melihat, kalau Ki Lurah Lanangneweng 

berada di salah satu pencari itu!


Benar-benar kesiagaan yang sigap!

"Saudara, saudara! Kita berpen-

car!" seru Ki Lurah Lanangneweng. 

"Suara jeritan itu terdengar dari 

rumah Tapadwipa! cepat, jangan sampai 

terlambat!!"

Mereka berjumlah dua puluh orang. 

Dan empat orang masing-masing menjaga 

di lima penjuru. Mengelilingi rumah 

itu.

Di dalam sang pemilik rumah sudah 

tergeletak bermandikan darah tak 

bernyawa, begitu pula dengan istrinya! 

Tapi jeritan itu terdengar parau dari 

dalam kamar, suara Murni, anak semata 

wayang Tapadwipa. Tapi kemudian 

terdiam. Rupanya si penculik telah 

menotok urat suara dan urat kejang 

sang gadis.

Penculik itu berpakaian hitam-

hitam. Ia sudah tahu kalau dirinya 

dikepung. Namun dia nampak tenang-

tenang saja. Tidak gelisah. Dengan 

santai dia memanggul tubuh Murni yang 

terdiam kaku, lalu keluar melalui 

pintu depan!

Serentak para pengurung. Mendeka-

tinya. Orang itu terkekeh dengan tawa 

yang menakutkan.

Ki Lurah Lanangneweng maju dan 

berseru geram, "Bangsat biadab! 

Kembalikan gadis itu pada kami!"

Orang itu terus terkekeh. Tiba-

tiba dia menghentikan kekehannya. Dan


bersuara tajam, "Ki Lurah, tadi siang 

sudah kuperingatkan padamu, kalau aksi 

penculikan anak perawan di desa ini 

akan dilakukan oleh Perkumpulan 

Telapak Naga!"

Secara tak langsung Ki Lurah 

Lanangneweng sudah bisa menebak siapa 

penculik itu.

Dia membentak, "Caturseta! 

Kembalikan gadis itu pada kami, 

kataku! Jangan sampai kami melumat 

habis tubuhmu!"

Caturseta terkekeh lagi. "Apa kau 

tak salah omong, Ki Lurah?"

"Setaaannn! Kawan-kawan, habisi 

bangsat itu!" seru Ki Lurah sambil 

maju menyerang dengan goloknya. 

Serentak yang lain berbuat yang sama. 

Berpuluh senjata tajam melayang 

mengarah pada tubuh Caturseta.

Tetapi orang itu hanya terkekeh. 

Masih terkekeh pula dia membentak dan 

"wuutt!" tubuhnya sudah melompat dan 

berdiri di wuwungan rumah Tapadwipa. 

Senjata-senjata yang menyerang itu tak 

menemui sasarannya. Orang-orang meng-

geram antara jengkel dan kagum.

Tawa menggema lagi dari atas 

wuwungan Itu.

"Ha... ha... Ki Lurah Lanang-

neweng! Aksi Perkumpulan Telapak Naga 

tidak main-main. Ini buktinya! 

Sekarang aku permisi.... Kalau kalian 

tidak puas... tunggu kedatangan aksi


kamu selanjutnya... malam Jum'at 

mendatang! Ha... ha...!"

Lalu sosok bayangan hitam itu 

melayang dan menghilang. Beberapa 

orang mencoba mengejar namun sia-sia. 

Bayangan itu seperti hilang begitu 

saja lenyap. Seolah menembus ke dasar 

bumi.

Ki Lurah Lanangneweng menggeram 

jengkel. Marahnya tidak ketulungan. 

Aksi penculikan didepan matanya, tidak 

mampu dielakkan.

Omongan orang-orang Telapak Naga 

benar-benar terbukti.

Beberapa orang pengejar kembali 

dengan tangan hampa. Dan melapor, 

"Kami tidak melihat apa-apa, Pak 

Kepala! Juga tidak mendengar apa-apa 

sedikit pun! Orang itu bagaikan iblis 

yang bisa menghilang!"

Ki Lurah menghela nafas, jengkel. 

"Mereka benar-benar luar biasa."

"Ya, Pak Kepala. Orang satu saja 

kita tidak mampu menangkapnya, apalagi 

dengan yang lainnya."

"Kita harus segera bertindak."

"Ya!!" sahut yang lain serempak.

"Yah... kita harus segera 

bertindak. Kita tidak bisa mendiamkan 

aksi begini terus menerus. Kita harus 

berani berbuat hal yang penuh resiko. 

Kita harus berani menyerang ke desa 

sebarang, menghadapi langsung Perkum-

pulan Telapak Naga. Tapi...."


"Tapi apa, Pak Kepala? Usul itu 

kami dukung dengan sepenuh hati, demi 

membela kebenaran dan keadilan!"

"Ya, kami rela mengorbankan nyawa 

untuk desa ini! Untuk anak-anak 

perawan yang tak berdosa!"

"Ya, kami akan membela! Iya, 

tidak kawan-kawan?"

Yang lain bersorak setuju. Orang-

orang yang gagah berani, demi 

kebenaran dan keadilan.

Ki Lurah tersenyum melihat 

semangat mereka. Tetapi apa mereka 

mampu menghadapi Perkumpulan Telapak 

Naga yang dipimpin oleh tokoh sesat 

yang sakti?

Sedangkan tadi, melawan satu 

orang saja mereka tidak berdaya.

Belum lagi yang lain?

Pak Lurah geram. Mengapa harus 

ada orang-orang sesat itu di muka bumi 

ini. Tetapi untuk keadilan dia pun 

rela mengorbankan nyawa.

Penuh keyakinan Pak Lurah 

mengangguk. Bersorak dengan disambut 

oleh yang lain penuh semangat. Mereka 

akan berjuang semampu mereka!

"Baik! Kita atur rencana, lalu 

kita serang markas mereka! Kita gempur 

mereka sampai titik darah penghabisan! 

Dan sekarang, kembali kalian menjaga!"

Orang-orang yang rela berkorban. 

Dengan semangat dan sorak gemuruh 

mereka kembali ke pos mereka.


Ki Lurah mengajak beberapa orang 

untuk mengurus jenazah Tapadwipa dan 

istrinya.

***

EMPAT



Desa tetangga yang menjadi markas 

Perkumpulan Telapak Naga bernama 

Babakan Ngarai. Desa yang dulunya 

tentram dan damai.

Udara yang sejuk selalu membuat 

penduduk Babakan Ngarai bekerja dengan 

giat.

Tetapi sejak orang-orang Telapak 

Naga berdatangan ke desa itu, Babakan 

Ngarai seperti mereka. Orang-orang itu 

mengacau dan mengobrak-abrik seisi 

desa itu.

Bahkan kalau ada nama yang lebih 

pedih daripada neraka, pasti itu lebih 

tepat.

Memang ketika datang, orang-orang 

Telapak Naga tidak membuat onar. 

Mereka menunjukkan sikap sebagai tamu 

yang baik. Lurah Babakan Ngarai yang 

bernama Ringkihsamin, menyambut 

kedatangan mereka dengan baik.

Namun tinggal namun. Nasib 

Ringkihsamin tak ubahnya dengan Ki 

Lurah Lanangneweng. Tetapi lebih naas 

nasib Ringkihsamin.

Dia ditemukan mati terbunuh

dengan tubuh hancur. Dan di dada dan 

perutnya ada gambar cap lima jari. 

Tentunya bekas pukulan orang Telapak 

Naga.

Jadilah Babakan Ngarai desa yang 

mengerikan.

Bagaimana tidak? Pajak dinaikkan 

dengan seenaknya. Ongkos hidup susah. 

Dan kadang masih dirampok dan 

dipukuli. Orang-orang laki yang kuat 

dan gagah, diharuskan menjadi anggota 

Telapak Naga. Yang tua dan tak mampu

mereka bunuh dengan sadis, di hadapan 

anak dan istrinya.

Yang lebih menyeramkan sudah 

tentu nasib kaum wanitanya. Tak 

perduli gadis, perawan, wanita yang 

bersuami, ataupun yang sudah lanjut, 

kalau mereka suka, ditariknya wanita 

itu kesemak-semak. Dan digilir 

beramai-ramai sampai pingsan!

Nasib yang menyedihkan.

Maka tak jarang gadis-gadis 

banyak yang bunuh diri sebelum atau 

sesudah diperkosa.

Walaupun yang sedikit berani, 

bisa bermanis muka dan dengan sukarela 

menjadi selir salah seorang dari 

anggota perkumpulan itu atau dari 

ketuanya.

Tapi yang menghargai harkat 

kewanitaan? Mereka lebih rela mati 

daripada diinjak-injak kehormatannya.

Dan bisa ditebak, lambat laun

kaum wanita didesa itu berkurang. 

Itulah sebabnya, Perkumpulan Telapak 

Naga beralih mencari wanita ke desa 

sebarang! Sasarannya desa Jati-

beringin! Yang terkenal akan 

kecantikan dan kemolekan mojangnya.

Dan Krampelaksa sudah mengirim 

utusannya Untuk berbicara dengan Ki 

Lurah Lanangneweng yang jelas-jelas 

menolak permintaan itu.

Bayangan hitam itu berkelebatan 

dengan cepat. Di pundak orang itu 

tubuh seorang gadis terkulai lemah. 

Dialah Caturseta yang memakai ilmu 

larinya untuk menghindari kejaran 

orang-orang Jatiberingin.

Tugas hampir dijalankan dengan 

baik.

Orang-orang itu tidak ada yang 

sanggup mengejarnya. Namun tanpa 

disadarinya, sejak tadi ada yang 

membuntuti. Seorang wanita cantik 

berlengan buntung.

Gerak dan langkahnya kelihatan 

lebih hebat daripada Caturseta. Dialah 

Pratiwi yang lihai.

Di depan rumah yang megah, 

Pratiwi berdiri. Dua orang penjaga di 

sana tidak banyak. Begitu mengenali 

Caturseta. Mereka membuka pintu.

Caturseta langsung? masuk dan 

menuju ke ruang tengah, di mana 

ketuanya menunggu dengan tidak sabar. 

Dan matanya langsung melotot penuh


birahi melihat kerja Caturseta yang 

membawa hasil.

Ia bangkit dan tertawa nyaring.

Bertepuk.

Memberi tanda agar Caturseta 

meletakkan 'buruan' itu.

Caturseta menurunkan gadis itu 

dalam posisi terlentang, hingga 

ketuanya bisa melihat kecantikan wajah 

dan kemontokan tubuh gadis itu, yang 

nyata tercetak oleh pakaian tipis yang

dikenakannya.

Krampelaksa menjilat-jilat bibir-

nya.

Matanya berkilat-kilat.

"Ha... ha... kerja yang bagus, 

Caturseta!" puji sang ketua. "Sebagai 

imbalannya, kau boleh ambil gadis ini 

besok, setelah aku pakai... ha... 

ha...!"

Caturseta membungkuk hormat, 

gembira. Sejak tadi dia sudah panas 

dingin memanggul dan memeluk tubuh 

gadis itu. Kalau saja dia tidak ingat 

akan ketuanya, sudah digarapnya lebih 

dulu perawan cantik itu.

Tapi jika ketahuan dia yang 

menggarap, bisa mampus tergantung 

besoknya!

Namun keinginan itu akan 

terpenuhi besok.

Ketuanya akan memberikan gadis 

itu kepadanya. Biar bekas tidak 

mengapa, baru satu kali pakai.

Apalagi dia sering menikmati 

tubuh wanita yang sudah berulang kali 

dipakai teman-temannya!

Besok, besok dia akan terbang ke 

sorga!

Gembira Caturseta membayangkan 

itu. Dia buru-buru berpamitan.

"Terima kasih, Ketua! Saya mohon 

diri!" kata Caturseta seraya undur ke 

belakang. Ia melangkah ke samping dari 

bagian gedung itu.

Di pojok dekat taman sana, dia 

tinggal. Rumah mungil yang indah dan 

dirasakan Caturseta bagai sorga 

dunianya. Sorga yang indah. Di sana 

sudah ada dua wanita cantik yang 

menunggu. Itu wanita desa Babakan 

Ngarai, yang diambilnya sebagai wanita 

simpanannya.

Begitu sampai, dia memanggil 

kedua wanita itu yang langsung 

terburu-buru menghampirinya. Ia 

mencowel kedua pipi wanita itu. Dan 

mencubitnya dengan gemas.

"Kalian semakin cantik saja! Ayo 

kita main-main sejenak!"

Kedua wanita itu terdiam. Siksaan 

yang amat pedih yang merasa rasakan 

setiap kali melayani Caturseta. Namun 

menolak berarti maut, dan keduanya 

belum mau mati. Tak ada jalan lain. 

Dengan menahan air matanya agar tidak 

jatuh, Kedua wanita itu melayani 

Caturseta yang terkekeh-kekeh ke

enakan.

Yah... tirani benar-benar telah 

menjajah desa Babakan Ngarai. Desa 

yang diimpikan sebagai desa yang damai 

dan sentosa, sekarang bagaikan suatu 

wabah penyakit menular, yang ditakuti

setiap orang.

Di dalam ruangan yang megah, 

Krampelaksa sedang memperhatikan gadis 

yang terlentang itulah Murni yang baru 

tersadar dari pingsannya terbelalak 

kaget. Di mana dia berada? Dan siapa

orang ini?

Dia ingin bergerak, tapi tubuhnya 

terasa kaku. Dia ingin berteriak, tapi 

suaranya bagaikan menghilang.

Krampelaksa tertawa pelan. Lalu 

membungkuk. Tangannya membelai dada 

Murni yang montok yang hanya bisa 

mendelik dengan marah.

"Ha... ha... jangan galak-galak, 

Nona. Sebentar lagi kau akan kuajak 

bersenang-senang. Hmm, aku sudah tidak 

sabar ingin menikmati kehangatan 

tubuhmu." Sehabis berkata begitu

Krampelaksa membawa Murni ke kamarnya. 

Gadis itu ingin meronta, tapi tetap 

tak bisa.

Dibaringkannya tubuh Murni di 

ranjang. Lalu dia sendiri membuka 

bajunya. Dengan gerakan cepat 

Krampelaksa melepaskan totokan di urat

leher dan punggung. Ketika mulut Murni 

terbuka dengan mengeluarkan tenaga

dalam sedikit!

Krampelaksa melempar pil ke mulut 

Murni yang langsung tertelan.

Murni tersedak. Dia bangkit dan 

berseru marah, "Bangsat rendah, 

kembalikan aku kerumahku"

Krampelaksa hanya tertawa. Gadis 

itu akan membentaknya lagi. Tapi tiba-

tiba Murni merasakan hawa panas di 

tubuhnya. Dan kepalanya agak pening. 

Rupanya pil yang ditelan Murni tadi 

adalah pil perangsang dosis tinggi. 

Gajah pun akan terangsang diberikan 

pil itu.

Tubuh Murni menyentak-nyentak. 

Nafsu birahinya naik. Keinginannya 

yang satu itu mendadak begitu 

menggebu. Krampelaksa terbahak. Dia 

tidak membuang waktu lagi. Langsung 

diterkamnya tubuh gadis itu!

Rupanya tanpa setahu Krampelaksa, 

perbuatannya itu ada yang mengintai 

dari atas genting. Si Selendang merah, 

yang kini menahan nafas melihat adegan 

yang mengasyikkan di bawah sana.

Dia tadi terkejut, tidak menyang-

ka siapa sebenarnya orang yang bernama 

Krampelaksa yang berjuluk Naga Putih 

Peminum Tuak. Disangkanya orang itu 

hanyalah seorang tua yang jelek dan 

kerap kali minum tuak. Tapi ini tidak. 

Orang Itu seorang pemuda yang tampan 

dan gagah, juga tidak meminum tuak. 

Malah kalau dilihat dengan seksama,

orang itu lebih muda dari Caturseta!

Dan Pratiwi yakin, gelar peminum 

tuak itu bukan arti yang sebenarnya. 

Tapi sebagai orang pemetik bunga!

Melihat ketampanan dan kegagahan 

Krampelaksa, menitik air liur Pratiwi. 

Dia menginginkan pula pemuda itu. 

Tidak perduli bukan perjaka lagi, tapi 

dia ingin! Maka dia menunggu sampai 

pemuda itu selesai menggarap korban-

nya. 

Hampir satu jam barulah 

'pertarungan' itu selesai. Pratiwi 

langsung mendobrak genting dan turun 

ke bawah. Krampelaksa yang masih ngos-

ngosan terkejut. Dia menyambar cela-

nanya. Tapi begitu dilihatnya yang 

datang seorang wanita cantik dia 

tersenyum. Santai saja dia memakai 

celananya.

"Ada apa gerangan Nona malam-

malam begini datang kemari?"

Pratiwi tersenyum memikat. Ia 

melangkah dengan genit. "Aku ingin 

seperti gadis itu...."

Krampelaksa terkejut, tapi 

kemudian tersenyum. Ia membuka kedua 

tangannya lebar-lebar menyambut 

Pratiwi dalam pelukannya. Dasar kedua-

duanya manusia sesat, manusia yang tak 

bisa menahan nafsu. Di dalam kamar itu 

terulang lagi kemaksiatan yang hina!

Perbuatan jijik yang dilakukan 

oleh budak-budak nafsu! Nafsu memang


membuat orang lupa daratan, apapun 

akan dilakukan untuk memuaskan nafsu 

itu. Orang yang sudah dikuasai nafsu 

begitu berbahaya. Itulah sebabnya, 

orang disuruh belajar bersabar. 

Maksudnya agar bisa mengekang nafsu 

apa pun juga!

Setelah perbuatan hina itu 

selesai, Pratiwi mulai dengan 

rencananya. Untuk menjerumuskan Nindia 

dalam pelukan Krampelaksa! Jelas saja 

Krampelaksa girang bukan main. Ini 

suatu suguhan yang bagus! Lagipula, 

dia pun masih bisa menikmati tubuh 

Pratiwi yang hangat, yang sudah lihai

dalam urusan begituan.

Pratiwi bangkit. Menggeliatkan 

tubuhnya yang pegal. Lalu berpaling 

pada Krampelaksa.

"Tapi aku punya syarat untuk 

itu!" 

Krampelaksa hanya tertawa. "Ha... 

ha... akan kupenuhi semua permintaan-

mu, Manis...."

Pratiwi tersenyum. Rupanya 

pimpinan Perkumpulan Telapak Naga 

sudah hampir bisa dikuasainya. Lalu 

dia berkata, "Aku minta, kau harus 

tunduk pada perintahku!"

Sedetik Krampelaksa terkejut. 

Tapi di detik lain dia kembali 

tertawa.

"Baik, baik, apa pun yang kau 

perintahkan, akan kulakukan...."

"Hik... hik... bagus. Aku suka 

padamu, Krampel. Sekarang dengarkan 

aku... aku punya dendam pada seorang 

yang bernama Madewa Gumilang. Dendamku 

itu akan kulaksanakan dipuncak Halimun 

beberapa bulan yang akan datang. 

Ketahuilah, Krampel... pemuda itu 

punya kesaktian yang hebat... dia 

murid tunggal Ki Rengsersari alias 

Pendekar Ular Sakti...."

"Apa? Pendekar Ular Sakti?!" 

Krampelaksa agak terkejut mendengar-

nya. Dulu gurunya pernah bercerita 

tentang kehebatan Pendekar Ular Sakti, 

tapi kemudian diketahui kalau orang 

sakti itu sudah mampus. Tapi kemudian 

Krampelaksa tertawa. "Aku tidak takut 

pada muridnya...."

Pratiwi tersenyum genit. "Aku 

sudah duga itu. Dan kamu tahu apa 

keinginanku...."

"Tak perlu kuatir, Manis. Aku 

akan membantumu menghadapi pemuda itu. 

Belum tentu dia mampu menandingi ilmu 

Telapak Nagaku yang lihai."

Pratiwi terkikik penuh hasutan. 

Dia merasa rencananya sudah matang. 

Sekarang harus segera kembali sebelum 

Nindia terbangun dan matahari terbit.

Dia mencium dulu Krampelaksa 

sebelum pergi. "Aku akan membawa gadis 

itu padamu Jum'at yang akan datang!" 

Lalu "wutt!" Pratiwi melesat dan 

menghilang bagai bayangan. Tapi harum


tubuhnya yang membuat orang bisa mabuk 

birahi tercium di hidung Krampelaksa. 

Itulah Ilmu Pengharum Tubuh yang 

dipunyai si dewi cabul alias Selendang 

Merah. 

***

LIMA



Deburan ombak yang keras 

terdengar beberapa kali. Suasana 

daerah itu sunyi dan menyeramkan. 

Tetapi dari kejauhan terlihat dua 

bayangan berkelebat dengan cepat dan 

ringannya. Seakan berlomba adu 

kecepatan berlari.

Kedua pemuda itu berwajah tampan. 

Hanya yang satu lebih besar dan tegap 

dan yang satunya lagi lebih kecil, 

tapi jelas kalau keduanya punya ilmu 

silat yang tinggi.

Kedua orang itu berhenti sambil 

menatap derasnya ombak yang ber-

kejaran.

"Di mana tanah genting itu, 

Saudara Madewa?" tanya yang bertubuh 

kecil yang kita ketahui adalah sahabat 

baru Madewa Gumilang yang bernama Adi 

Permana atau Camar Walet Putih Dari 

Utara!

"Aku pun tidak tahu tempatnya," 

sahut pemuda yang berdiri di 

sampingnya sambil memandang berkeli

ling. Madewa memang hendak mencari 

tanah genting di mana putri dari 

Abindamanyu ditawan oleh Wirapati. 

Madewa sudah menceritakan semua itu 

pada sahabat barunya.

Tadi Madewa menolak sahabat 

barunya itu ikut ke tanah genting yang 

berada di sebelah timur laut selatan. 

Dia pikir ini urusan pribadinya dengan 

Wirapati setahun yang lalu. Tapi 

sahabat barunya itu tetap ingin ikut. 

Dengan seperti anak perempuan sahabat 

barunya itu ngambek!

Akhirnya tak ada pilihan lain, 

Madewa mengajaknya. Sahabat barunya 

itu sebenarnya tengah melakukan suatu 

tugas, di mana hendak melacak pembunuh 

ayahnya!

Tiba-tiba Madewa ingat, tanah 

genting itu berada di sebelah timur. 

Dia cepat mengajak sahabat barunya itu 

ke sana. Dengan mempergunakan ilmu

lari, keduanya saling kejar mengejar. 

Tetapi tetap jarak mereka berbarengan,

tak ada yang kalah dan menang. Namun 

dalam hati Madewa merasa, ilmu larinya 

masih berada jauh di atas ilmu lari 

Adi Permana. Sementara Adi Permana 

merasa, kalau sahabat barunya itu

hanya mengeluarkan setengah dari ilmu 

larinya! 

Tak kurang dari setengah jam, 

keduanya tiba di tanah genting. 

Suasana di sini lebih mencekam. Sunyi.


Dan pohon-pohon besar yang tumbuh 

membuat bulu kuduk meremang 

melihatnya. Diam-diam Madewa heran 

melihat Adi Permana. Sebagai orang 

yang lama berdiam di gunung, kenapa 

nampak pucat melihat keadaan daerah

ini. Seolah dia belum pengalaman

menginjakkan kakinya ke tempat semacam 

ini!

Tetapi Madewa tidak lagi 

mempersoalkan hal itu, karena suara 

yang menyeramkan terdengar dari atas. 

Begitu menakutkan! Lagi-lagi Madewa 

melihat teman barunya itu seperti 

ketakutan. Wajahnya memucat. Padahal 

Madewa yakin, kalau ilmu silat yang 

dimiliki temannya itu tinggi!

Madewa memperhatikan sekeliling-

nya.

"Wirapati, cepat kau tampakan 

batang hidungmu, karena aku tidak 

sabar untuk membunuhmu!" bentak Madewa 

dengan disertai tenaga dalam dan 

terlihat kalau suaranya menggema

sampai ke pantai laut selatan.

Tetapi bentakannya hanya disambut 

oleh tawa mengejek Wirapati yang 

menunggu sejak lama.

"Bangsat! Cepat kamu keluar!!"

"He... he... pemuda tolol, 

teriak-teriak tak ada gunanya!" 

terdengar bentakan itu. Sekarang ilmu

arah belakang. Madewa cepat berbalik. 

Nyalimu sungguh besar, Pemuda tolol!

Ketahuilah, sekarang adalah hari 

kematianmu karena ulahmu yang membunuh 

kedua saudara seperguruanku! Keduanya 

akan merasa aman kalau kau sudah 

mampus di tanganku!!"

"Cepat kau keluar! Aku... pun 

sudah tak sabar ingin menghajarmu!"

"He... he...!" Tiba-tiba Madewa 

merasakan angin dahsyat dari belakang. 

Pukulan jarak jauh yang berbahaya. Dia 

membentak. Sambil menubruk temannya 

yang terbengong, dia berguling

berkelit. Pukulan itu luput menimpa 

pohon yang langsung tumbang.

"Bangsat keji! Kau berani berbuat 

curang, Cepat keluar!" geram Madewa 

seraya bangkit Adi permana pun berbuat 

demikian. Kali ini dia bersiaga. 

Bahkan dia mencabut sepasang pedangnya 

dengan sigap!

"He... he... kalau kau tidak 

ingin mati konyol cepat serang aku, 

Madewa... sebelum serangan gelap yang 

lain datang...."

"Bangsat!" Madewa mendengus. 

Tetapi sejurus kemudian dia berdiam. 

Berkonsentrasi Rupanya dia tengah 

mengeluarkan ilmu andalan pemberian 

gurunya, ilmu pandangan menembus

sukma. Penglihatannya dapat menembus 

jarak yang jauh dan gunung sekali pun. 

Maka di detik lain terlihatlah di 

matanya, kalau Wirapati tengah

ongkang-ongkang kaki di atap pohon


sebelah kanan darinya. Lalu melompat 

berpindah. Sesekali dia berada 

gelayutan di pohon sebelah kiri Adi 

Permana.

Tiba-tiba Madewa membentak. Dan 

"Ciaaat!"

Tubuhnya menerjang ke atas dengan 

cepat. Wirapati terkejut. Dia langsung 

berkelit dengan jalan bersalto dan 

hinggap ke bawah. Madewa pun berbuat 

yang sama. Dan kini keduanya 

berhadapan dengan gagah. Wirapati 

mendengus jengkel. Ternyata pemuda itu 

tahu permainannya di atas pohon dan 

kini tertawa mengejek melihatnya pias.

"He... he... Wirapati, Wirapati! 

Sekali pun kau bersembunyi di dasar 

bumi, aku akan tahu tempatmu...!" 

Madewa mengejek. Tapi tawanya tahu-

tahu terhenti. Dia membentak, 

"Sekarang, dl mana kau sembunyikan 

putri Nindia! Cepat berikan padaku 

Wirapati... kalau kau tak mau tubuhmu 

lumat kuhancurkan!"

Itu bukan gertakan sambal, 

Wirapati pun tahu hal itu. Tapi 

percuma kalau dia takut. Dia sudah 

mempunyai ilmu yang diandalkannya 

sekarang. Lagipula, Nindia dibawa 

pergi oleh Pratiwi. Biar dia berpura-

pura Nindia berada di dalam. Dia harus 

membunuh dulu pemuda setan Ini. 

Misalnya dia kalah, biarlah dia mati 

menyusul saudara seperguruannya, yang


penting dia sudah membalaskan 

dendammu. Dan lagi masih ada dewi 

cabul yang mendendam juga. Nanti dia 

akan memberitahu di bawa siapa Nindia 

dan ditunggu di mana pemuda itu oleh 

Pratiwi.

Sekarang, dia harus berpura-pura 

Nindia ada padanya!

"Kau pikir kau mampu 

mengalahkanku, Pemuda edan! Jangan 

mimpi di siang bolong! Demi langit dan 

bumi, hari ini adalah hari 

kematianmu!"

"Jangan banyak bacot, di mana 

Nindia kau sembunyikan!"

"Dia tidak kurang apa-apa, bocah! 

Hanya kau boleh tahu, sampai besok kau 

tidak menolongnya, gadis itu sudah 

akan mati, karena sudah kuberi racun 

yang sangat ganas namun menghisap

korbannya secara perlahan," sahut 

Wirapati berbohong agar Madewa keli-

hatan beringas. Dan benar, pemuda itu 

langsung menyerangnya demi jurus ular 

mematuk katak.

Gerakannya cepat dan tangannya 

meliuk mirip ular. Tapi Wirapati cepat 

berkelit lalu memapakinya dengan ilmu 

yang dimilikinya.

Tempat itu sekarang menjadi 

ramai. Dua orang jago yang bertarung 

laksana seribu ekor gajah yang 

mengamuk di tempat itu.

Adi Pernama hanya menyaksikan


saja. Diana diam dia ngeri melihat 

pertarungan yang berbahaya itu. Tapi 

detik kemudian, dia mempersiapkan 

kedua pedangnya. Dia harus membantu

Madewa Gumilang membunuh orang jelek 

itu. Apalagi tadi nyawanya sudah 

diselamatkan pemuda itu dari serangan 

gelap Wirapati!

Maka sambil menjerit dia masuk ke 

arena pertarungan. Kedua pedangnya 

berkelebat dengan cepat. Dan menyambar 

tempat-tempat yang berbahaya di tubuh

Wirapati. Wirapati menjerit kaget. Dia 

menghindar sambil mencabut pedangnya.

"Bangsat cilik, kau berani-

beraninya mencampuri urusanku!"

"Masa bodoh! Kau pun tadi hendak 

merenggut nyawaku! Saudara Madewa, 

izinkan aku untuk membalas sakit 

hatiku karena ulahnya tadi!!"

Tetapi Madewa menggeleng, lalu 

berkata tegas, "Saudara, kau tidak 

perlu ikut campur! Ini urusan kami 

berdua, sebaiknya kau minggir saja."

"He... he... betul, betul,... 

nanti kalau dia sudah mampus, kau baru 

maju, bocah cilik!" ejek Wirapati 

sambil meloncat setindak. Dan 

memainkan jurus pedangnya.

Tetapi Adi Pernama tidak mau 

mundur. Dia tetap jengkel akibat ulah 

Wirapati tadi. Tanpa menghiraukan 

seruan Madewa, dia menyerang Wirapati! 

Perbuatannya nekat sekali, karena dia


masuk ke gulungan pedang Wirapati!

"Saudara!" jerit Madewa.

Tapi terlambat. Pedang di tangan 

Adi Permana sudah menyambar kepala 

Wirapati. Namun Wirapati cepat 

menangkis. Dan gerakannya sukar 

ditebak, ilmu pedangnya aneh. Dia 

ganti menyambar pergelangan kaki Adi 

Permana, lalu menepis bahu pemuda itu 

yang langsung menekap bahunya yang

berdarah karena tak sempat berkelit!

Madewa memburu. "Saudara, sudah 

kukatakan tadi, kau tidak perlu ikut 

campur urusan ini. Sebaiknya kau 

beristirahat!"

Adi Permana mengangguk. Sepasang 

pedangnya dimasukkan lagi kesarungnya. 

Dia merasa ilmunya tak berguna sekali. 

Percuma dia pergi dari perguruan untuk 

mencari pembunuh ayahnya kalau hanya 

sekali gebrak dia sudah kalah. 

Setelah yakin Adi Permana mau 

menuruti sarannya, Madewa berbalik 

pada Wirapati.

"Kita teruskan permainan ini, 

Wirapati!"

"He... he... mau cepat-cepat 

mampus rupanya. Baik!" Wirapati 

menerjang dengan jeritan hebat. 

Pedangnya menyambar ke sana kemari. 

Madewa dengan mengandalkan kelincahan 

dan ilmu peringan tubuhnya, berkelit 

menghindar sambaran pedang itu. Diam-

diam dia merasa heran. Wirapati salah


seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda 

memiliki ilmu pedang yang sangat aneh. 

Setahu Madewa dulu Wirapati bergelar 

pukulan tangan geledek yang hanya 

mengandalkan pukulan saja. Tetapi kini 

dia memiliki ilmu pedang yang aneh. 

Madewa tidak tahu, kalau Wirapati 

tengah mengeluarkan ilmu pedangnya 

yang baru, yang bernama ilmu pedang 

Membelah Mega!

Madewa sudah merasakan betapa 

hebatnya ilmu pedang itu. Dia 

membentak dan bersalto keluar dari 

lingkaran pedang itu.

Dia mendecak, "Ilmu pedang yang 

luar biasa!"

Wirapati terkekeh. "Kau jeri 

melihat kelihaianku sekarang, Madewa? 

Sudah kukatakan, kau akan mampus hari 

ini! Tahan serangan!!"

Wirapati kembali melancarkan 

serangannya. Pedangnya berkelebat 

dengan hebat. Madewa berkali-kali 

berkelit dan tidak diberi kesempatan 

untuk membalas. Jurus Ular Meloloskan 

Diri dan ditambah dengan kelincahannya 

membuat Madewa luput dari serangan 

yang hebat itu.

Wirapati berteriak dengan hebat. 

Kembali angin yang ditimbulkan oleh 

pedang itu bersiuran dengan hebat. 

Madewa tetap berkelit dan 

berjumpalitan. Tiba-tiba terdengar 

seruan, "Saudara! Pakai pedangku!!" !


Sambil bersalto Madewa menangkap 

sepasang pedang yang dilempar oleh Adi 

Permana.

"Tep!"

Pedang berhasil disambarnya, tapi 

belum lagi dia menjejakkan kakinya ke 

tanah, pedang Wirapati sudah 

menyambar. Tak ada jalan lain. Dengan 

sebisanya Madewa menangkis.

"Des!!"

"Traangg!"

Benturan kedua pedang itu 

menimbulkan pijar yang amat terang. 

Keduanya terhuyung. Dari mulut Madewa 

keluar cairan darah. Sedangkan 

Wirapati kembali berdiri dengan cepat 

tanpa cidera sedikit pun! 

Jelas Wirapati yang menang. Sebab 

Madewa tengah bersalto di atas, 

seluruh tenaga dalamnya hanya dipakai 

untuk kekuatan saltonya, tidak untuk 

menangkis. Dan begitu serangan 

Wirapati dengan sepenuh tenaga 

dalamnya datang, Madewa kewalahan.

Wirapati tertawa mengejek.

"Ha... ha... inikah murid 

Pendekar Ular Sakti yang hebat itu? 

Bah, nol besar! Madewa... detik ini 

nyawamu harus melayang!" Wirapati 

menengadah ke langit-langit yang 

megah, saksikanlah, hari ini aku akan 

membunuh orang yang bernama Madewa 

Gumilang!"

Wirapati sudah bersiap. Adi


Permana berseru, "Awas, Madewa!!"

Madewa bangkit dengan memper-

siapkan pedangnya. Kali ini dia 

menghindar jalan darah di pergelangan 

tangan Wirapati, agar pedang yang 

dipegangnya terlepas. Maka begitu 

Wirapati menerjang, dia cepat mem-

babatkan pedangnya ke pergelangan 

tangan Wirapati.

Wirapati terkejut. Dia menggeser 

tangannya ke kanan. Dari samping dia 

membalas. Tetapi belum lagi gerakannya 

sampai, dia sudah menyodok perut 

Madewa dengan pedangnya! Madewa 

sekarang yang terkejut. Keanehan dan 

keampuhan ilmu pedang itu membuatnya 

bingung. Dia menghindar dengan cepat. 

Tapi satu sontekan kaki pada lututnya 

membuat dia terhuyung.

Dan Wirapati sudah mengejar 

dengan pedangnya. Tak ada kesempatan 

bagi Madewa untuk mengelak. Menangkis 

pun sudah tak ada waktu lagi. Ujung 

pedang itu sudah mengancamnya.

Namun tiba-tiba keanehan terjadi. 

Tubuh Wirapati mental sebelum maksud-

nya tercapai. Dan jatuh muntah darah!

Madewa menghela nafas panjang. 

Keanehan itu terjadi lagi. Kehebatan 

ilmu yang didapatnya ketika secara tak 

sengaja menghisap air dari rumput 

kelangkamaksa, yang membuatnya bisa 

membalikkan serangan lawan jika sudah 

terdesak betul. Ilmu itu tidak bisa


digunakan sembarangan. Dalam keadaan

menang dia pun tidak bisa 

menggunakannya. Dan memang Madewa 

tidak tahu cara mengeluarkannya!

Adi Permana terkejut. Tadi dia 

sudah membayangkan kalau sahabat 

barunya akan mampus di ujung pedang 

Wirapati, tapi kini terlihat kawannya

tegak dengan sempurna. Adi sudah 

bermaksud hendak menolongnya tadi.

Wirapati menggeram hebat.

"Setan! Dulu pun kau mengalahkan 

kami dengan ilmu setanmu itu, tapi 

sekarang sambutlah, Pukulan Naga 

Menguak Langit!"

Sesudah itu Wirapati menggerang 

hebat. Tangannya meregang. Dan dari 

dua kepalannya terlihat asap merah 

berkepulan. Menandakan inti dari ilmu 

itu sudah sampai di dua kepalannya.

Madewa merasa, kali ini dia harus 

menggunakan pula Pukulan Bayangan 

Sukma warisan gurunya yang hebat itu. 

Dia pun berkonsentrasi. Dan kedua 

tangannya menggeluarkan asap putih.

Kini keduanya sudah berhadapan. 

Masing-masing menatap lawannya dengan 

nafsu ingin membunuh! Dan Wirapati 

sudah mengerang dengan hebat. Dia 

menyerbu. Madewa pun tak mau kalah. 

Dia berbuat hal yang sama. 

Memapakinya!

Jeritan Adi Permana terdengar. 

Dan terdengar gelegar dari tempat itu.


Kedua jotosan yang penuh tenaga sakti 

beradu. 

"Duaarr!"

Keduanya kembali terhuyung. Tapi 

kali ini berbalik. Yang muntah 

darah... Wirapati, sedangkan Madewa 

tetap biasa walau nafasnya ngos-

ngosan!

Kejadian yang mendebarkan!

Wirapati diam-diam mengeluh. Ilmu 

Pukulan Naga Menguak Langit, yang 

dipelajarinya selama setahun, ternyata 

belum mampu juga menandingi ilmu 

Pukulan Bayangan Sukma! Merasa sudah 

tak mampu lagi, Wirapati menjadi 

nekat. Biar bagaimana pun dia harus 

bisa membunuh pemuda ini, paling tidak 

memberi kenangan yang tak terlupa 

selama hidupnya!

Sambil menggeram hebat dia 

melompat menerjang dengan segenap ilmu 

saktinya itu. Madewa pun kembali 

memapaki. Dan kembali pula benturan 

dua buah tenaga sakti terjadi. Kali 

ini benar-benar mematikan. Madewa 

jatuh terhuyung dan muntah darah. 

Sementara Wirapati jatuh dalam keadaan 

sekarat. Tubuhnya terasa sakit sekali 

menyentak-nyentak aliran darahnya! 

Benar-benar tidak ada harapan

untuk membunuh pemuda berpakaian 

putih-putih itu. Tapi dia teringat, 

masih ada Pratiwi yang bisa membunuh 

pemuda itu.


Dengan sisa tenaganya yang lemah, 

Wirapati berkata tersendat, "Pe.. 

pemuda gila... kau... tak akan 

menemukan.. gadis itu di sini.... 

Dia... dia... dibawa Pratiwi si 

Selendang Merah.... Dan kau... ditung-

gu di puncak gunung Halimun...tiga 

bulan men... datang... aku... ohhh!"

Tamatlah nasib Tiga Dewa 

Penunggang Kuda. Adi Permana berlari 

memburu Madewa. Dia pun masih terluka, 

namun dia cepat menubruk pemuda itu. 

Dan memberikannya sebuah pil putih. 

Madewa cepat menelannya. Badannya 

terasa agak mendingan. Adi Permana 

sendiri pun sudah menelan pil itu.

"Bagaimana keadaanmu, Saudara?"

"Ah... agak baikan. Terima kasih 

Adi, atas pilnya." Adi Permana 

membantu Madewa bangkit. Madewa 

berkata lagi, "Kita harus mencari desa 

yang terdekat.... Untuk menunggu saat 

tiga bulan mendatang...."

Sambil membimbing Madewa 

melangkah, Adi Permana bertanya, "Aku 

tidak tahu siapa Pratiwi si Selendang 

Merah itu?" 

Madewa mengeluh. Masih ada 

persoalan lagi rupanya. Pratiwi, dewi 

cabul yang menjadi musuhnya sejak 

dulu. Ada persoalan apa lagi 

dengannya? Lagi Madewa mengeluh. Telah 

lama dia bertekad hendak mencari 

ayahnya... namun kembali masalah ini


membuat perjalanannya terhambat (baca: 

Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Keduanya terus melangkah. Begitu 

senja turun, keduanya tiba di desa 

Babakan Ngarai!

"Ya, aku yakin! Dia putraku! Aku 

yakin!" terdengar seruan itu. Dan yang 

berseru muncul dari balik semak.

Dan terdengar makian, "Bah! 

Ingat, Karto... sekian lama kau tidak 

menjumpai anak itu! Bagaimana mungkin 

kau bisa mengenali anak itu!"

"Diam kau, Pandan! Ini urusanku! 

Naluri kebapakanku menyatakan dia 

anakku!"

Pandan Ningsih mendengus. Lalu 

terdiam. Hatinya galau. Betapa harunya 

dia mendengar kata-kata itu. Naluri 

kebapakan.

Dia tidak mempunyai naluri macam 

itu. Tak sekali pun naluri keibuan.

Untuk menutupi rasa harunya itu dia 

membentak, "Kau mau apa lagi?"

"Aku akan terus mengikuti pemuda 

itu dengan kawannya! Anakku sungguh 

luar biasa. Dia mampu mengalahkan 

orang sakti tadi!"

"Bah!"

"Kau jangan melecehkan anakku, 

Pandan!"

"Jelas saja dia menang. Karena 

ada bantuan temannya."

"Tapi anakku lebih sakti!"

"Tidak. Teman anakmu yang sakti.


Dia mampu membunuh perlawanan orang 

yang bernama Wirapati itu!"

Kartonggolo menjadi panas.

"Kau pun belum tentu menang 

melawan anakku, Pandan!"

Pandan Ningsih terbahak.

"Anakmu? Ha-ha-ha... ingat 

Karto... anak ini laki-laki. Biar 

bagaimana pandainya ilmu anakmu, dia 

pasti akan bertekuk lutut di kakiku"

"Setan! Kau hendak mempengaruhi 

anakku pula?"

"Tidak. Aku sudah cukup puas 

dengan ayahnya."

"Hhh!" Kartonggolo mendengus. 

Sejak tadi dia dengan istrinya 

memperhatikan orang-orang itu 

bertanding. Kartonggolo berdebar keras 

melihat betapa gagahnya anak itu

menghentikan serangan lawannya.

Ya, dia yakin. Salah seorang dari 

mereka itu anaknya. Yang lebih kecil 

dan berkumis tipis itu anaknya!

Dia yakin.

Tompel besar di tangan kiri anak 

itu sudah merupakan tanda yang berarti 

buatnya.

Dia akan tetap mencari dan 

mengikutinya

"Pandan, lebih baik kau pulang. 

Aku bisa menyelesaikan urusanku ini 

sendiri."

"Tidak!" Pandan Ningsih 

menggeleng tegas Lalu merajuk,


"Karto... kita sudah sama-sana tua.... 

Masa kau tidak mengizinkan aku ikut? 

Aku kan istrimu...."

"Tapi kau hendak membunuh 

anakku."

Mendadak Pandan Ningsih mengang-

guk, tegas. "Ya!"

"Nah, lebih baik kau pulang."

"Tidak, anak itu akan merebut 

kasih sayangmu dariku! Aku tidak 

perduli dia anakmu atau bukan. Aku 

harus membunuhnya! Aku tidak mau kau 

membagi kasih sayangmu padanya."

Kartonggolo mendengus jengkel.

"Betapapun menyebalkan aku. Karena aku 

sayang kamu."

"Bah!" Kartonggolo mengambil 

tongkatnya. Lalu melangkah.

Pandan Ningsih menyusul, "Aku 

ikut, Karto!"

Kartonggolo diam saja. Terus 

melangkah. Begitu pula dengan

istrinya. Dia mengikuti dengan senyum. 

Tertawa sambil bernyanyi-nyanyi.

Tingkahnya cepat berubah. Memang, 

Pandan Ningsih akhir-akhir ini cepat 

berubah. Kadang marah. Kadang

tersenyum. Kadang merajuk. Pokoknya 

memusingkan Kartonggolo.

Tetapi Pandan Ningsih istrinya. 

Dia tidak boleh meninggalkannya begitu 

saja. Biar bagaimana pun dia istrinya 

yang tersayang, walau bukan ibunya 

Madewa.

Oh, bagaimana dengan nasibnya 

Warsih sekarang?

***

ENAM



Sudah tiga kali Nindia memergoki 

Pratiwi keluar malam. Dan dia tidak 

tahu apa kebutuhan Pratiwi di malam 

itu. Dia hanya pura-pura tidur kalau 

Pratiwi bangun dan meloncat dari 

jendela.

Malam ini pun demikian. Nindia 

sengaja tidak tidur, namun matanya 

terpejam agar disangka tidur oleh 

wanita berlengan buntung itu. Tepat 

tengah malam, Pratiwi bangkit. 

Memeriksa sebentar pada gadis itu, 

lalu meloncat keluar melalui jendela.

Begitu Pratiwi menghilang, Nindia 

cepat melompat. Dia jadi penasaran 

sekali melihat tingkah si dewi cabul. 

Dengan keinginan yang bulat dia 

mengikuti ke mana Pratiwi pergi. Namun 

dia bukanlah seorang wanita yang ahli 

silat. Dia tidak punya ilmu lari

cepat. Dia hanya seorang wanita yang 

anggun, lembut dan menggemari sastra. 

Maka baru beberapa detik saja, dia 

sudah kehilangan jejak. Pratiwi sudah 

menghilang entah ke mana.

Saat itu Nindia menyesali tidak 

bisa bermain silat! Dengan lesu dia

kembali kekamarnya. Kembali direbah-

kannya tubuhnya di ranjang. Dia 

merenung memikirkan tingkah aneh kawan 

barunya itu. Benar-benar aneh. Apa 

tidak mungkin... Pratiwi menyelidiki

kasus penculikan di malam Jum'at yang 

lalu? Ah, apa mau dia sebenarnya. 

Waktu itu dia saja berkata biar saja 

itu bukan urusannya. Jadi tidak 

mungkin dia menyelidiki tentang 

penculikan itu.

Sementara itu apa yang diduga 

Nindia sebenarnya benar. Tapi tidak 

sepenuhnya, karena Pratiwi sudah asyik 

dalam rangkulan Krampelaksa, yang tak 

perduli akan gadis yang dijanjikan 

Pratiwi.

Dia pun sudah senang Pratiwi mau 

melayaninya. Dan dia benar-benar sudah 

mabuk kepayang. Pratiwi memang wanita 

cabul yang hebat dengan ilmu pengharum 

tubuhnya siapa pun akan terlena. Tak 

kecuali ketua Perkumpulan Telapak Naga 

ini. Apa pun yang diminta Pratiwi akan 

dilakukannya!

Pratiwi gembira karena ketua ini 

sudah dalam genggamannya. Dengan 

dibantu olehnya, mungkin dia bisa 

mengalahkan musuhnya yang menimbulkan 

dendam kesumat yang dalam. Madewa 

Gumilang, ajalmu tak lama lagi....

Setelah bicara sebentar mengenai 

masalah dendamnya dengan Krampelaksa, 

Pratiwi pun kembali ke penginapan,

yang pemiliknya telah dia paksa dan 

ancam untuk mengizinkannya menginap 

selama dua minggu tanpa bayar!

Nindia yang masih belum tidur 

langsung memejamkan matanya begitu 

Pratiwi datang. Pratiwi langsung 

tertidur tanpa curiga pada Nindia yang 

mengetahui perbuatannya.

Keesokkan harinya seperti biasa 

Nindia bangun. Dia tak bertanya 

tentang tingkah aneh Pratiwi. Seperti 

biasa dia mandi. Sehabis mandi itulah 

dia mendengar bentakan kasar dari 

salah sebuah kamar, "Hei, Bangsat tua! 

Kalau kau beritahu soal ini pada gadis 

di kamarku itu, kubunuh kau!!"

Nindia yakin itu suara si 

Selendang Merah. Tapi bukankah wanita 

itu masih tidur tadi? Buru-buru dia 

melesat ke kamarnya. Pratiwi sudah 

tidak ada di ranjangnya! Rupanya dia 

bangun ketika Nindia mandi. Lalu apa 

maksud Pratiwi membentak demikian? Dan 

siapa yang bentaknya? 

Tahu-tahu pikiran jelek melintas 

di benak Nindia! Pratiwi hendak 

menjerumuskannya untuk dijadikan 

santapan Krampelaksa. Biar bagaimana 

pun juga, dia baru mengenal Pratiwi, 

yang disangkanya dewa penolong. 

Berpikiran jelek begitu, Nindia 

langsung melarikan diri. Dia berlari 

sekuat tenaga, menghindari si 

Selendang Merah. Dan tanpa sadar dia

berlari di mana Krampelaksa berdiam 

dengan anak buahnya!

Pratiwi keluar dari kamar itu 

dengan jengkel. Rupanya kepergiannya 

setiap malam diketahui oleh pemilik 

penginapan itu. Pratiwi menjadi marah, 

dia kuatir rencananya akan tercium 

oleh Nindia. Makanya dia cepat 

mengancam dan memberi hajaran pada 

pemilik penginapan itu!

Lalu dia menyelinap kembali ke 

kamarnya. Disangkanya Nindia belum 

selesai mandi. Dia berpura-pura tidur 

kembali. Namun ditunggu sampai sekian 

lama, gadis itu tidak muncul-muncul. 

Dia cepat menyusul ke kamar mandi. 

Kamar mandi kosong.

Di mana gadis itu?

Seorang pengawal penginapan 

melihat Pratiwi tengah mencari 

sesuatu, dia menegur, "Mencari apa, 

Den Putri?"

"Oh. Memang lihat gadis yang 

selalu bersamaku?"

"O... yang cantik itu. Lihat."

"Di mana, Mang?" tanya Pratiwi 

memburu.

"Tadi dia berlari ke arah barat. 

Nggak tahu dia mau apa. Tapi kayaknya, 

dia seperti kabur...."

"Hah? Kabur?" tanya banyak tanya 

lagi, Pratiwi langsung melesat ke arah 

barat. Dia tidak mau rencananya gagal.

Sementara itu siang sudah beralih


ke sore. Nindia melangkah dengan 

letih. Tubuhnya dirasakan sakit semua. 

Terutama pergelangan kakinya. Tanpa 

diketahuinya, dia sudah memasuki 

daerah perbatasan tempat kekuasaan 

Perkumpulan Telapak Naga!

Terus Nindia melangkah. Dia 

yakin, Pratiwi akan mengejarnya. 

Makanya dia tidak ingin beristirahat. 

Dia paksakannya kakinya untuk 

melangkah.

Tiba-tiba terdengar derap langkah 

kuda dari belakang. Nindia terkejut. 

Apalagi ketika dilihatnya empat orang 

berwajah seram yang menaiki kuda itu. 

Buru-buru dia bersembunyi, tetapi 

kakinya tersangkut batang kayu.

"Aduh!"

Jeritannya malah mengundang minta 

para penunggang kuda. Mereka 

menghampirinya yang berusaha bangun 

namun tak kuasa. Dia sudah sangat 

lebih sekali.

Orang-orang itu mengurungnya. 

Wajah mereka mendadak berseri. Mata 

mereka seperti melotot melihat siapa 

yang terjatuh itu. Santapan nikmat di 

sore hari! 

Salah seorang turun. Meneliti. 

Nindia yang sudah lemah sekali hanya 

pasrah pada nasib, berontak pun dia 

tidak akan mampu. Dia hanya bisa 

berdoa agar orang-orang ini berlaku 

baik. Namun doanya tak terkabul. Orang


yang turun tadi berseru gembira pada 

teman-temannya.

"Hei, seekor kelinci manis di 

tengah hutan! Ha... ha... rezeki 

nomplok buat kita, Kawan-kawan!"

Kawan-kawannya yang berwajah 

seram pula berlompatan turun. Dan 

tertawa.

"Ha... ha... Nyaligluduk! Seret 

saja wanita ini, biar kita santap 

sekarang juga!" seru yang memakai baju 

loreng dengan senjata cakar besi yang

terselip di pinggangnya. Dia juga 

memakai penutup kepala loreng. Dia 

bernama Macanrenggi. Yang dipanggil 

itu tertawa terbahak. Perutnya yang 

buncit terguncang oleh tawanya. Dia 

yang bernama Nyaligluduk. Orangnya 

pendek dan bersenjatakan kapak bermata 

dua.

"Ha... ha... bagus, bagus. Untuk 

apa disia-siakan! Ayo, bawa dia, 

Renggalawu! Kita santap beramai-

ramai!"

Orang-orang buas itu terbahak. 

Dan menyeret tubuh Nindia ke semak-

semak! Gadis itu berusaha meronta. 

Namun tenaganya dirasakan percuma 

untuk melawan orang-orang itu. Apalagi 

yang bernama Suryapurnama dan berjuluk 

si Toya Maut, menotok tubuh Nindia 

hingga dia terbaring kaku. 

Suara tawa orang-orang sesat itu 

menggema di tempat sunyi. Mereka


benar-benar manusia buas, yang tak 

kenal kasihan pada mangsanya. Pada 

yang lemah yang menjerit minta belas 

kasihan. Apalagi Nindia, nasibnya 

benar-benar mengerikan. Dia berniat 

akan membunuh diri dengan jalan 

menggigit lidahnya sampai putus. Namun 

lagi-Iagi si Toya Maut meluncurkan 

tangannya, menotok urat di leher 

Nindia hingga dia tak bisa 

menggerakkan mulutnya.

Nasib yang mengerikan itu sudah 

di ambang pintu. Nyaligluduk dan 

Macanrenggi sudah membuka pakaiannya 

sampai terbahak. Sementara Renggalawu 

dan Si Toya Maut melucuti pakaian 

gadis malang itu.

"Breet!"

"Breet!"

Sekarang tak ada sehelai benang 

pun yang menutupi bagian tubuh gadis 

itu. Tubuh yang telanjang bulat dan 

putih mulus, membuat nafsu mereka 

semakin naik.

Macanrenggi langsung menerkam 

mangsanya dengan buas.

"Perbuatan keji!!" terdengar 

bentakan itu dari atas dan yang 

membentak meluncur ke bawah. Menendang 

Macanrenggi yang hampir melaksanakan 

niatnya. 

"Duk!"

Tubuh pendek bulat itu berguling 

dan mengaduh kesakitan. Orang yang


baru datang itu membuka bajunya. Dan 

menutupi tubuh telanjang Nindia sambil 

memejamkan mata.

Perbuatannya itu membangkitkan 

kemarahan orang-orang buas itu. 

Macanrenggi bangkit dengan geram.

"Pemuda bangsat! Cepat menyingkir 

dari sini sebelum kubunuh kau!"

Pemuda itu hanya tertawa. 

Wajahnya yang tampan dengan kumis yang 

tipis membuatnya terlihat cantik saat 

tertawa itu.

"Ha... ha... manusia-manusia 

terkutuk macam kalian, harus dibasmi 

dari muka bumi ini!"

"Setan!" geram Nyaligluduk. 

"Sebutkan namamu, sebelum kami 

membunuhmu!"

"Namaku tak perlu kalian ketahui. 

Sekarang... kalianlah yang harus 

memperkenalkan nama...." 

"Hhh! Kau dengarlah, kami ini 

tangan kanan ketua Perkumpulan Telapak 

Naga!" kata Nyaligluduk dengan pongah-

nya. Disangkanya pemuda itu akan 

ketakutan mendengar perkumpulan 

Telapak Naga disebut.

Tapi pemuda itu lagi-lagi hanya 

tertawa. "Telapak Naga kentut busuk! 

Jadi kalianlah orangnya yang telah 

membuat keonaran di desa ini dan... 

mengganggu ketentraman desa se-

berang...."

"Ha... ha... itulah kami. Cepat


kau bersujud dan minta maaf... agar 

kami mengampuni nyawa anjingmu...."

Pemuda itu tersenyum. "Justru 

nyawa kalian yang akan kucabut. Hmm, 

bersiaplah. Hari ini kalian berkenalan 

dengan Walet Putih dari Utara!

"Bangsat!" Nyaligluduk menggeram 

marah Dia mencabut senjatanya kapak 

bermata dua. Begitu pula dengan yang 

lain. Mereka mencabut senjata masing-

masing.

Dan dengan teriakan hebat, 

keempatnya menerjang maju! Gerakan 

mereka buas, keji dan mematikan. 

Tetapi Walet Putih nampak tenang saja. 

Begitu mereka mendekat. Tiba-tiba dia 

melenting ke atas dengan lihainya.

Melihat serangan mereka gagal. 

Kembali dengan jeritan buas mereka 

serentak menyerang. Lagi-lagi Walet

Putih memperlihatkan kelincahannya. 

Dan kali ini dia mencabut sepasang 

pedang di punggungnya.

"Bagus, bagus! Majulah kalian 

semua, hari ini... nyawa busuk kalian 

akan melayang...!" Nyaligluduk 

menerjang dengan bernafsu Jurusnya 

lebih hebat dari yang tadi. Kapak 

bermata duanya menyambar- wajah Walet 

Putih. Tetapi dengan gerakan cepat 

Walet Putih memapak

Serangan kapak itu. Pedangnya 

yang satu menangkis, sedangkan yang 

satunya lagi menyodok perut


Nyaligluduk.

Nyaligluduk menjerit kaget. Ia 

melompat ke samping.

"Bangsat!!"

"Ha... ha... orang-orang 

Perkumpulan Telapak Naga, hari ini 

kalian akan mampus di tanganku!"

Melihat temannya terdesak, 

Macanrenggi maju dengan cepat. 

Sambaran cakar besinya begitu dahsyat, 

menimbulkan angin yang amat kuat. 

Tetapi Walet Putih kembali memper-

hatikan kelincahannya. Dia menghindar 

kesana-kesini dengan sekali-sekali 

menusukkan pedangnya.

Renggalawu maju dengan pukulan 

tangan kosongnya. Dan si Toya Maut 

menyambarkan pukulan-pukulan jurus 

toyanya.

Tetapi sampai sejauh itu Walet 

Putih belum berhasil mereka lumpuhkan. 

Malah tiba-tiba, Renggalawu yang 

menyerang dengan berani, mengaduh dan 

ambruk dengan luka yang besar di 

perutnya.

"Renggalawu!" jerit teman-teman-

nya kaget.

Walet Putih hanya tertawa pelan.

"Itulah akibatnya bagi orang-

orang Perkumpulan Telapak Naga!"

"Bangsat!" Nyaligluduk menggeram 

marah. "Kau telah membunuh teman kami, 

rasakan pembalasanku, pemuda bangsat!"

Kembali mereka bertarung dengan


hebat. Namun pemuda itu benar-benar 

lincah. Tiga buah senjata lawannya 

sekali pun belum berhasil menyentuh 

tubuhnya. Sampai dua puluh jurus 

berlangsung, pemuda itu tetap mampu 

bertahan.

Tiba-tiba Macanrenggi bersalto ke 

belakang dan berseru, "Cepat bentuk

barisan empat penjuru!"

Kedua temannya cepat mendekat dan 

merapat. Mereka menutup jalan longgar 

yang merupakan kelemahan mereka, 

karena Renggalawu tidak ada. Jurus 

empat penjuru hanya bisa dimainkan 

oleh empat orang. Tetapi tiga orang 

pun tak mengurangi kehebatan ilmu itu.

"Ha... ha... kau salah, macan 

jelek! Itu bukan jurus empat penjuru! 

Tapi empat penjuru kehilangan satu!"

Diejek demikian, Macanrenggi 

menggeram hebat. Dan serentak mereka 

menyerang. Benar-benar jurus yang 

hebat. Mereka menyerang dengan 

bergantian. Satu menyerang, dua 

melindungi. Begitu seterusnya, hingga 

nafas dan tenaga mereka masih 

terhimpun sedangkan si Walet Putih 

nampak mulai kewalahan. Dia terdesak 

hebat.

Cakar besi Macanrenggi mengenai 

bahunya. Bahu itu berdarah. Tetapi 

serangan itu terus di lancarkan hingga 

Walet Putih tak bisa menghindar dan 

beristirahat.


Tiba-tiba Walet Putih menjerit 

keras dan menerjang. Nekat menerobos 

serangan lawan. Keinginannya cuma 

satu, harus melumpuhkan orang yang 

menutupi kelonggaran yang lain. Maka 

dia pun nekat, terobosnya orang-orang 

itu. Toya Maut yang kali ini menutupi 

kelonggaran, agak terkejut, karena 

tahu-tahu pedang ditangan pemuda itu 

menyambar kepalanya. Dan bersalto 

dengan manisnya.

"Setan! Dia tahu kelemahan ilmu 

ini!"

"Jangan dirubah!" seru Macan-

renggi. "Dia sudah kewalahan nampak-

nya! Merapat! Tutupi kelonggaran!"

Ketika Walet Putih menyerang 

tempat yang kosong lagi, mereka 

berguling dengan serentak. Dan senjata 

masing-masing menyambar ke atas, 

menyambar tubuh Walet Putih yang 

bersalto dengan manisnya. Tetapi tak 

satu pun senjata itu yang mengenai. 

Malah tiba-tiba Nyaligluduk menjerit.

"Auuuh!"

Lalu ambruk kelojotan. Dan mati 

dengan tubuh kehitaman. Di lehernya 

terdapat semacam jarum berbisa.

"Keji!" jerit Macanrenggi pada 

Walet Putih yang tersenyum sambil 

memegang sebuah sumpit.

"Ha... ha... kalianlah orang-

orang Perkumpulan Telapak Naga yang 

keji! Yang selalu membuat onar dan


kerusakan! Kali ini nyawa anjing 

kalian kuampuni! Kalian laporkan semua 

ini pada pemimpin kalian! Katakan 

Walet Putih dari Utara akan mengobrak-

abrikan Perkumpulan Telapak Naga!"

"Tidak! Kau harus mati di 

tanganku, Walet jelek!" seru 

Macanrenggi marah. Dia menyerang. Dan 

"suittt!" tubuhnya ambruk termakan 

sumpit beracun dari si Walet Putih!

"Ha... ha... kau Toya buntung! 

Cepat pergi, atau... nyawamu ingin 

kucabut juga?!"

Toya Maut jadi bimbang. Tetapi 

akhirnya dia memutuskan untuk melapor 

dan akan menuntut balas kematian tiga 

orang temannya. Dengan sigap dia 

meloncat kudanya. Dan ngibrit dengan

bergegas!

Walet Putih terbahak-bahak 

melihat anggota Perkumpulan Telapak 

Naga itu tunggang-langgang. Tiba-tiba 

dia ingat, akan gadis yang nyaris

diperkosa perampok-perampok itu. Cepat 

dia membebaskan kedua totokan di tubuh 

gadis itu. Lalu berpaling ke depan 

ketika gadis itu memakai pakaiannya.

Nindia mendehem malu-malu.

"Aem... eh...."

Walet Putih atau' yang kita kenal 

sebagai sahabat baru dari Madewa 

Gumilang menoleh. Gadis itu sudah 

selesai memakai baju. Dan alangkah 

cantiknya. Wajah yang masih tegang dan


beberapa butir keringat yang masih 

berjatuhan, menambah cahaya di wajah 

gadis itu.

"Su... sudah, Nona?" Walet Putih 

gugup.

Nindia nunduk malu-malu. Apalagi 

wajah tampan tadi sempat melihat 

tubuhnya dalam keadaan telanjang

bulat. Ia menunduk. Wajahnya semburat 

merah. Justru Walet Putih yang semakin 

gugup.

"Eh... aku... kau... mau ke mana, 

Nona?"

Nindia menggeleng pelan.

"Kau... kau tidak bisukan?"

"Tidak," sahut Nindia pelan. Lalu 

mengangkat wajahnya. "Aku... tidak 

tahu mau ke mana... dan terima kasih 

atas pertolonganmu Saudara."

"Ah, pertolongan yang kecil 

saja...." Walet Putih atau Adi Permana 

merendah. "Kau tidak tahu mau ke 

mana?"

Nindia mengangguk pelan. Lalu 

menceritakan dari mana dia berasal dan 

mengapa dia sampai di tempat ini. 

Walet Putih yang mendengar penuturan 

itu agak kaget. Kalau memang gadis itu 

jujur, pasti dia yang tengah dicari 

Madewa Gumilang. 

Berpikiran begitu Adi Permana 

bertanya, "Nona kenal dengan Madewa 

Gumilang?"

"Oh!" Nindia terkejut. Nama yang


tak asing lagi. "Saya kenal dia 

Saudara. Saudara mengenalnya?"

Entah kenapa Walet Putih 

mengangguk pelan. Bersuara pelan pula, 

"Yah... saya kenal."

"Di mana Kang Madewa sekarang 

Saudara?"

"Kita akan menemuinya."

Walet Putih mengajak Nindia ke 

penginapannya. Dia tadi hendak membeli 

makanan. Ketika dia mendengar jeritan

itulah dia datang membantu, lupa 

membeli makanan. Juga dia lupa ketika 

mengantarkan Nindia ke penginapannya.

Tentu saja Madewa terkejut 

melihat Nindia. Dia berseru, "Nona 

Nindia!"

Nindia berlari memeluk. Dan 

menangis di bahu Madewa. Diam-diam 

Walet Putih menghela nafas panjang.

"Ke mana saja selama ini kau, 

Nona?"

"Kang Madewa... aku tak tahu apa 

yang terjadi. Kejadian-kejadian itu 

membuatku takut. Untung...." Nindia 

menoleh Adi Permana, "ada Saudara 

itu.... Dia telah menolongku dari 

cengkeraman orang-orang Perkumpulan 

Telapak Naga...."

"Mengapa kau bisa sampai 

terlibat?"

Nindia menceritakan kembali apa 

yang telah diceritakannya pada Adi 

Permana. Madewa Gumilang kelihatan


manggut-manggut. Jadi kali ini masih 

ada musuh besarnya, Pratiwi alias 

Selendang Merah. Dia harus

menyelesaikan persoalan lama ini. Juga 

masalah baru akan keselamatan desa 

Jatiberingin yang tengah dilanda aksi 

penculikan oleh Perkumpulan Telapak 

Naga.

Madewa menoleh pada Adi Permana.

"Saudara Adi... ada baiknya kita 

bereskan masalah desa Babakan Ngarai 

ini, lalu desa Jatiberingin dari 

orang-orang Telapak Naga."

Adi Permana hanya mengangguk. Dia 

iri melihat Nindia memeluk Madewa!

"Baik Saudara... sebagai seorang 

sahabat... saya akan membantu sekuat 

tenaga."

Madewa menepuk bahu sahabatnya. 

"Saudara Adi... kalau kau tidak ikut 

denganku... mustahil aku bisa menemui 

Nona Nindia sekarang."

"Ah... Saudara. Itu hanya 

kebetulan saja. Lagipula... tidak 

begitu susah untuk mengalahkan 

begundal-begundal itu," sahut Adi 

Permana merendah.

Madewa tersenyum, mengucapkan 

terima kasih sekali lagi. Nindia pun 

tersenyum. Dia terkesan oleh ucapan 

Adi Permana itu. Ucapan seorang 

kesatria yang sejati. Yang selalu 

merendah.

Ia berpaling lagi pada Madewa.


Perasaan rindunya akan dilampiaskan 

sekarang. Ia mempererat rangkulannya 

pada pemuda itu. Pemuda yang telah 

membuatnya jatuh cinta sejak pemuda 

Itu menolong keluarganya dari 

perampokan.

Diam-diam Adi Permana berpaling. 

Entah kenapa dia mendadak cemburu.

Dan diam-diam pula meninggalkan 

keduanya.

Malam tiba. Madewa menunggu 

sampai esok hari dengan bertanya-tanya 

pada Nindia. Gadis itu menceritakan 

pengalamannya selama disekap Wirapati. 

Pengalaman yang mengerikan.

Keesokan harinya, mereka segera 

menemui lurah Babakan Ngarai, yang 

mula-mula ketakutan menyambut mereka, 

namun setelah Madewa bilang mereka 

akan menolong desa Babakan Ngarai dari 

kekejaman Perkumpulan Telapak Naga, 

barulah lurah baru yang bernama 

Wiryokentono itu mempersilahkan mereka 

masuk.

Sebenarnya Wiryokentono tidak mau 

diangkat menggantikan lurah yang lama, 

Ringkihsamin. Namun orang-orang 

Telapak Naga memaksanya.

Dan dia ditindak habis-habisan 

oleh mereka. Harus menjalankan desa 

sesuai perintah mereka.

Ki Lurah Wiryokentono berbisik, 

agar mereka berbicara pelan, karena 

kuatir terdengar oleh penjaga-penjaga


itu. 

Madewa meminta petunjuk, di mana 

kiranya kediaman ketua Perkumpulan 

Telapak Naga.

Ki Lurah Wiryokentono menyahut 

dalam bisikan, "Sebelah timur dari 

desa Babakan Ngarai, dekat Hutan 

Waringin."

"Hutan Waringin?"

"Ya, Saudara pendekar. Ikuti saja 

sungai Cidangkelok... tepat di hilir 

berbeloklah ke kanan. Tak jauh dari 

sana hutan Waringin berada..."

Mereka berbincang-bincang lagi. 

Pelayan Ki Lurah Wiryokentono keluar 

membawakan hidangan.

"Hanya ada ini Saudara-saudara.

silahkan."

"Ini sudah cukup, Ki."

"Lagipula, ini sudah merepotkan," 

sambung Adi Permana.

Mereka menikmati hidangan itu 

sambil meneruskan percakapan. Pelayan 

itu keluar lagi. Ia meletakkan baki di 

dapur dengan hati-hati. Tiba-tiba dia 

menyelinap ke luar. Berlari agak jauh 

dari rumah Ki Lurah Wiryokentono. Di 

tempat yang agak sunyi, pelayan itu 

mengambil kudanya. Dan memacu dengan 

cepat menuju hutan Waringin.

Ki Lurah Wiryokentono tidak tahu, 

kalau pelayan itu adalah mata-mata 

Krampelaksa!

Mereka masih meneruskan


percakapan tanpa curiga.

***

TUJUH



Krampelaksa tengah marah-marah 

kepada Toya Maut, setelah mendengar 

laporannya. Wajahnya kesal. Matanya 

melotot. Ia menggebrak meja hingga 

patah berantakan! Mendengus berulang-

ulang.

"Bodoh! Hanya dengan bocah 

ingusan saja kau tak mampu 

menghadapinya! Bodoh! Benar-benar 

bodoh! Kalian tak berguna menjadi 

pengawalku!"

Toya Maut menunduk. Mendengarkan 

saja. "Mana kedua temanmu?" 

Didengarnya lagi Krampelaksa bertanya.

Toya Maut mengangkat wajahnya, 

takut-takut. Takut-takut pula menatap 

mata ketuanya.

"Mereka... mereka...."

"Apa mereka, Bodoh?!"

"Mereka mati ketua."

Krampelaksa sampai terbelalak 

kaget. Lalu duduk lagi setelah bisa 

menenangkan dadanya. Namun kegusa-

rannya belum surut sedikit pun.

"Bodoh! Kalian bertiga tidak 

mampu mengalahkan bocah itu! Bahkan 

mengorbankan dua nyawa! Hhhh, siapa 

nama pemuda itu?"

"Walet Putih dari Utara gelarnya, 

Ketua," sahut Toya Maut sambil 

menunduk hormat.

Krampelaksa menggeram. Ia 

mengingat-ingat gelar itu. Hmm, baru 

sekarang dia mendengarnya. Gelar yang 

tidak menggetarkan, namun mampu 

mencabut nyawa dua pengawalnya!

"Sekarang juga, kau harus cari 

bocah itu! Hidup atau mati, kau harus 

mampu menghadapkan nya kepadaku! Ingat 

Surya kalau kau gagal... nyawamu 

taruhannya."

Toya Maut alias Suryapurnama, 

mengangguk. Ia hendak beranjak

meninggalkan tempat itu. Tetapi 

terdengar seruan dari arah pintu, 

"Tahan!"

Semua menoleh ke arah sana. 

Pelayan Ki Lurah Wiryokentono masuk 

dengan tergopoh-gopoh. Dia adalah 

orang Krampelaksa yang sengaja 

ditugaskan untuk memata-matai Ki 

Lurah. Dan saat ini, sang mata-mata 

membawa kabar yang bagus.

Krampelaksa mendengus, "Ada apa, 

Suryo? Pelayan itu berlutut dan 

membungkuk hormat, "Maafkan hamba 

ketua. Ada sesuatu yang hendak hamba

sampaikan. Ini laporan penting ketua."

Krampelaksa duduk di samping 

Pratiwi yang sejak tadi tiba dan 

membicarakan persoalan larinya korban 

untuk Krampelaksa. Tetapi mendengar


penuturan Toya Maut tadi, dia bisa 

menduga siapa wanita yang ditolong 

Walet Putih dari Utara. Pasti Nindia. 

Hmm, aku akan mencari gadis itu dan 

membunuh pemuda penolongnya, gumam 

Pratiwi dalam hati.

Terdengar suara Suryo, "Ketua, 

tadi Ki Lurah Wiryokentono kedatangan 

tamu.... Dan saya mendengar, mereka 

akan membantu Ki Lurah menghadapi 

ketua...."

"Hmm... sudah hebat Ki Tua itu. 

Siapa nama orang-orang itu, Suryo?"

"Hamba kurang jelas mendengarnya. 

Tetapi kalau tidak salah, mereka 

bernama... Madewa Gumilang... Adi 

Permana dan Nindia...."

Dua seruan terdengar. Satu dari 

Krampelaksa yang berseru mengejek. 

Nama-nama itu tidak membuatnya gentar. 

Satu seruan lagi dari Pratiwi yang 

terkejut. Madewa Gumilang dan Nindia, 

nama yang tak asing lagi baginya.

Ia menoleh pada Krampelaksa.

"Saudara Krampel... rupanya 

musuhku sudah sampai pula di desa 

ini... Madewa Gumilang, kau sudah 

mendengarnya bukan? Ada baiknya kita 

segera menyambut kedatangannya... Dan 

aku tidak perlu menunggu kedatangannya 

di puncak gunung Halimun!"

Krampelaksa terbahak.

"Ha... ha... kau tidak perlu 

takut, Manis. Orang-orang itu akan


kita musnahkan. Biar kuhadapi orang-

orang itu sendiri."

Pratiwi tersenyum, walau sangsi 

apakah ketua Perkumpulan Telapak Naga 

ini mampu membunuh Madewa Gumilang? 

Murid tunggal Ki Rengsersari tidak 

boleh sembarangan dianggap enteng.

"Dia murid Ki Rengsersari, 

Krampel...."

Kali ini Krampelaksa menoleh. 

Kaget. Wajahnya jelas menampakkan 

kekagetannya. Murid Ki Rengsersari? 

Pendekar tua yang bergelar Pendekar 

Ular Sakti?

Pratiwi tahu, kalau Krampelaksa 

gentar juga. Tetapi dia diam saja, 

malah berkata, "Aku tahu kau mampu 

membunuhnya Krampel. Lakukanlah itu 

untukku...." 

Krampelaksa terbahak. "Jangan 

kuatir, Pratiwi. Hmm, Suryo... 

laporanmu kali ini bagus. Kembalilah 

kau ke rumah Ki Lurah Wiryokentono! 

Pelayan, berikan Suryo beberapa keping 

emas dan pakaian bagus!"

Wajah Suryo berseri-seri. Ia 

mengikuti pelayan yang disuruh 

Krampelaksa itu. Sementara si Toya 

Maut masih menunggu perintah selan-

jutnya.

Mendengar penuturan Suryo tadi, 

Krampelaksa merubah perintahnya. Ia 

berkata, "Surya purnama, kali ini kau 

kuperintahkan, untuk menghadang


perjalanan tiga manusia edan itu 

kemari! KAU BUNUH mereka untukku!"

Suryapurnama alias si Toya Maut 

membungkuk hormat. Lalu undur ke 

belakang. Di luar dia membawa beberapa 

orang pengawal yang tangguh dan gagah. 

Lalu mulai menjaga dan menghadang, 

sekaligus... membunuh tiga manusia

yang ingin memberontak itu.

Sementara itu dalam Pratiwi 

berkata pada Krampelaksa, "Krampel, 

musuhku rupanya sudah berada di sini. 

Kuminta kita harus menyiapkan 

segalanya, karena kedatangan mereka 

bersama seorang pemuda yang tangguh. 

Aku menduga dialah yang berjuluk Walet 

Putih dari utara!" 

"Ha... ha... Selendang Merah.., 

rupanya kau takut menghadapi orang-

orang itu? Hmm... tapi baiklah... demi 

kau demi manisku. Kita akan bunuh 

ketiga manusia edan itu!!"

Sudah dua hari Suryopurnama alias

si Toya Maut menjaga, tapi ketiga 

orang yang ditunggunya itu belum 

muncul-muncul juga. Jengkel dia 

menendang batu ke sungai Cidangkelok.

"Byur!!"

Percikan air itu mengenai orang-

orang yang berada di perahu kecil. 

Tetapi orang-orang itu diam saja, 

karena mereka kenal si Toya Maut, 

orang kejam dari Perkumpulan Telapak 

Naga. Mereka lewat saja tanpa menoleh.


"Hei, kalian! Cepat kemari!" 

bentakan itu terdengar keras, dan 

membuat kakek tua yang mendayung itu 

tersentak. Ia menghentikan perahunya. 

Dan takut-takut memandang ke 

Suryapurnama.

"Tuan memanggil... saya?" 

tanyanya dengan suara menggigil.

"Ya! Cepat sini, Kakek keriput!"

"Saya... harus cepat pergi... 

menghantar penumpang saya ke desa 

seberang!"

Mendengar kakek itu berani 

bicara, wajah Suryapurnama memerah 

marah.

"Aku tak butuh penumpangmu! Aku 

butuh kau! Cepat berikan bayaran dari 

penumpangmu...."

Wajah kakek itu semakin pucat. 

Ketakutan. "Oh... Tuan... jangan... 

jangan ambil uang ini. Ini... untuk 

anak dan istri saya...."

"Bangsat! Kau berani melawan 

rupanya?!"

"Buk... bukan maksudku...."

"Setan”, si Toya Maut mengangkat 

tangannya. Dan 'Siiing.'" beberapa 

jarum mautnya melayang ke arah kakek 

tua itu. Kakek itu gelagapan. Dan 

tubuhnya ambruk ke sungai.

Si Toya Maut terbahak-bahak. Juga 

anak buahnya. Di dalam, penumpang 

perahu itu hanya terdiam. Mereka tak 

mau ambil pusing dan masalah. Daripada


mampus lebih baik didiamkan saja.

Perahu itu terus melaju didorong 

arus pelan sungai. Juga mayat si kakek 

tua yang mengambang, terbawa arus 

sampai ke hilir....

Sesudah jauh dari orang-orang 

itu, tiba-tiba kakek yang telah 

menjadi mayat meloncat dengan ringan 

ke perahu! Gerakannya baik dan mantap. 

Orang-orang yang berada di dalam pun 

keluar.

"Ha... ha... rencanamu berhasil 

Saudara Madewa. ..." salah seorang 

penumpang itu tertawa.

Kakek tua yang basah kuyup 

tersenyum. "Jangan dibuka samaran 

kalian. Mungkin kita harus menyamar 

terus sampai ke hutan Waringin...."

Orang-orang itu ternyata Madewa 

Gumilang, Adi Permana dan Nindia yang 

berdandan laki-laki. Mereka terus 

melaju dengan perahu mengikuti arus 

air.

Sampai di hilir mereka melompat 

dengan sigap. Madewa menggendong 

Nindia dan 'Hap!" ringan sekali dia

bersalto sampai di tepian. Nindia 

memekik pelan ketika kepalanya berada 

di bawah.

"Kita sudah memasuki hutan 

Waringin," desis Madewa.

Mereka lalu melangkah dengan 

hati-hati. Samaran tidak mereka buka. 

Bagai layaknya penduduk di sekitar


hutan Waringin ketiganya melangkah.

Hutan itu benar-benar mengerikan. 

Nindia sampai memegang tangan Madewa 

dengan erat dan agak mendekapnya ke 

dada. Sementara Adi Permana menghela 

nafas panjang. Tetapi diacuhkan saja 

pemandangan itu. Dia melangkah dengan 

mantap. Menahan gemuruh dadanya yang 

cemburu.

Belum ada dua puluh langkah 

mereka berjalan terdengar bentakan 

keras dari atas pohon, "Berhenti!" 

Lalu disusul dengan munculnya beberapa 

orang berwajah seram. Ada yang 

meloncat turun dari atas pohon, ada 

yang bermunculan dari semak. Mereka 

mengurung tiga orang pendatang itu 

dengan senjata di tangan.

Salah seorang yang berwajah codet 

maju selangkah dan membentak, "Kalian 

siapa? Dan mau ke mana?!"

Madewa yang menyamar sebagai 

kakek tua terbatuk, "Maaf... huk... 

huk... kami pejalan kaki yang ingin 

beristirahat... Tuan. Kami... dari

jauh... huk... huk...."

"Hmm," Si Codet mendongak 

congkak. "Nama kalian siapa, hah?"

"Saya... Ronggosewu.... Ini kedua 

anak saya, Mardian dan Seta...."

"Hei, Kakek Tua... ketahuilah 

olehmu... tempat ini terlarang untuk 

orang-orang selain anggota Perkumpulan 

Telapak Naga.... Jadi maaf saja, kalau


kalian tidak bisa beristirahat di 

sini... kecuali...." Orang bercodet

itu mengerling kawan-kawannya penuh 

arti. "Kalian memiliki uang yang 

banyak dan menyerahkannya pada 

kami...."

Teman-temannya tertawa-tawa 

setuju.

"Oh... ka... kalau uang... kami 

ada Tuan...,"

Madewa yang menyamar sebagai 

kakek tua itu merogoh-rogoh tas 

bututnya. Adi Permana memperhatikan 

gerak-geriknya. Dan dia melihat Madewa 

membuat bogem tiga kali, tanda mereka 

harus menyerang.

Dan tiba-tiba terdengar bentakan 

Madewa, "Serang!" Dan des-des-des! 

Tiga orang tergeletak kaku tertotok 

jalan darahnya.

Teman-teman orang bercodet itu 

terkejut. Tetapi tak sempat berbuat 

apa-apa, karena mereka sudah 

terjengkang kelojotan dan mampus 

termakan sepasang pedang Adi Permana.

Tak seorang pun yang sadar akan 

kecepatan pedang Adi Permana. Mereka 

hanyalah penjaga-penjaga Telapak Naga 

yang sok bermulut besar.

Dan menemui ajalnya begitu cepat! 

Adi Permana mendengus, "Hhh! Omong 

besar saja!!"

Nindia yang memekik tadi, agak 

tenang sekarang. Madewa berbisik,


perjalanan ini berbahaya. Kau harus 

tabah Nindia. Dan tahan perasaanmu 

jika melihat pembunuhan.

Lalu berseru, "Ayo kita 

tinggalkan tempat ini, sebelum yang 

lain datang!"

Serentak mereka berlari dan 

menghindar jauh-jauh dari tempat itu. 

Tetapi langkah mereka menuntun mereka 

sendiri ke neraka maut, di mana lima 

belas tombak di depan mereka, berdiri 

berpuluh-puluh penjaga lengkap dengan 

senjata.

Dan di antara orang-orang itu, 

berdiri Krampelaksa dan... Pratiwi!

***

DELAPAN



Ketiganya tersentak kaget. Seren-

tak Madewa melindungi Nindia. Tetapi 

sikapnya tetap tenang, tetapi seperti 

penyamarannya sebagai kakek tua.

Dengan hati-hati dia berjalan ke 

depan, dua temannya mengikuti pula 

dengan tenang. Hanya Nindia yang agak 

gemetar. Dia menggigit bibirnya agar 

tidak tegang. Tapi bentakan keras itu 

mau tak mau menghentikan langkah kaki 

mereka.

"Kalian tetap disana!" suara itu 

menggelegar keras, diiringi tenaga 

dalam yang agak lumayan. Krampelaksa


bertolak pinggang.

Mereka berhenti.

"Ada apa Tuan?" tanya Madewa 

dalam penyamarannya.

"Jangan berpura-pura kalian! 

Penyamaran tak mutu kalian telah 

terbongkar! Cepat buka penyamaran 

kalian!!"

Madewa tetap berpura-pura.

"Penyamaran apa, Tuan?"

"Bangsat hina!" Tiba-tiba 

Krampelaksa mengibaskan tangannya. 

Selarik sinar putih menghantam ke arah 

kepala Madewa. Sigap Madewa merunduk 

tapi tak urung rambut palsunya terkena 

sambaran itu. Terurailah rambut 

aslinya!

Krampelaksa terbahak. "Ha... 

ha... penyamaran orang-orang edan! 

Cepat kalian berlutut, sebelum kucabut 

nyawa kalian!"

Merasa penyamarannya itu tak ada 

gunanya lagi, Madewa membuka semua 

pemyamarannya. Ia mencabut kumis dan 

jenggot putihnya. Lalu membetulkan 

tubuhnya yang tadi membungkuk dan 

melangkah tersaruk-saruk, kali ini 

tegak dan gagah.

Adi Permana pun berbuat demikian. 

Dia mencabut kumisnya yang tebal 

hingga tampaklah kumisnya yang tipis. 

Nindia tidak membuka samarannya, ia 

tetap berdandan seorang laki-laki.

Madewa mendengus, "Krampelaksa..


kau memang seorang ketua yang hebat! 

Penyamaran kami ini kau ketahui! Tapi 

kau perlu ketahui, kalau kedatangan 

kami ini untuk mencabut nyawa sesatmu. 

Dan juga kau... Pratiwi! Tak perlu 

pertentangan kita selesaikan di puncak 

gunung Halimun, karena nyawamu akan 

kucabut hari ini juga!"

Pratiwi mengikik. "Hik... hik... 

pemuda ganteng. Kaupikir mampu 

mengalahkanku... mimpi burukmu akan

berakhir hari ini... pemuda gagah...."

"Pratiwi! Apakah masalah Pedang 

Pusaka Dewa Matahari yang membuatmu 

masih mendendam padaku?"

"Hik... hik... persoalan itu 

telah selesai, Bocah. Ketahuilah... 

dendamku ini karena kau meninggalkanku 

setelah lenganku dibuat buntung oleh 

Bayangan Hitam atau Biparsena...."

"Itu dendammu pada Biparsena, 

bukan padaku!"

"Hik... hik... bocah.... Karena 

kelakuanmu yang meninggalkanku itulah 

yang membuatku marah...."

"Pratiwi, masalah ringan itu kau 

buat menjadi besar. Lengan itu aku 

yang menolong!"

"Salahmu sendiri... hik... 

hik...bocah... kalau kau mau 

melayaniku semalam saja... kuhapus 

semua masalah kita," kata Pratiwi 

tanpa malu-malu.

Wajah Madewa memerah antara marah


dan malu, Ia melirik kedua temannya. 

Wajah Nindia memerah pula karena 

ketakutan dan malu mendengar ucapan 

Pratiwi. Dan Madewa terkejut melihat 

wajah Adi Permana pucat, kelihatan 

pias wajahnya yang nampak kaget. 

Tetapi Madewa tidak bisa berpikir 

lebih lama, karena Krampelaksa sudah 

berseru, "Kurung mereka bertiga!!"

Serentak pengawal-pengawalnya 

mengurung, dengan senjata tombak 

terhunus. Madewa bersiap. Ia agak 

bersyukur melihat Adi Permana bersiap 

pula dengan sepasang pedang kembar. 

Bahkan terlihat dia memberikan sebuah 

keris pada Nindia agar gadis itu bisa 

menjaga diri.

Madewa berseru, "Krampelaksa, 

jangan kau korbankannya nyawa-nyawa 

anak buahmu ini! Aku tidak membutuhkan 

nyawa mereka! Cepat kau maju dan 

kau... Pratiwi, cepat sebelum marahku 

menjadi naik!"

Krampelaksa dan Pratiwi hanya 

tertawa. Lalu terdengar Krampelaksa 

bertepuk tiga kali. Dan serentak para 

pengepung itu meloncat menerjang 

menusukkan tombak mereka. Madewa dan 

Adi Permana saling melindungi Nindia. 

Mereka membabat dan membasmi serangan 

yang datang. Dengan jurus Ular 

Meloloskan Diri Madewa menghindar dan 

membalas dengan jurus Ular Mematuk 

Katak. Sementara Adi Permana mengamuk


dengan sepasang pedangnya.

Terdengar jeritan dan percikan 

darah di sana-sini. Suasana tempat itu 

seperti jadi neraka, karena dengan 

mudahnya nyawa melayang!"

Dalam waktu yang cukup singkat 

pengurung itu sudah menjadi porak-

poranda dan kewalahan. Hampir dua 

puluh orang yang mati kena pukul 

Madewa dan sabetan pedang Adi Permana. 

Melihat anak buahnya tak mampu 

menandingi kedua pemuda itu, 

Krampelaksa menghentikan serangan anak 

buahnya. Ia menepuk bahu Caturseta 

yang langsung bersalto untuk hinggap 

di depan Madewa dan kedua temannya 

berdiri.

Madewa tersenyum melihat tingkah 

sombong Caturseta. Ia pun beranjak ke 

depan setelah berbisik pada Adi 

Permana agar menjaga Nindia. 

"Silahkan...."

Mendengar kata itu Caturseta 

langsung melancarkan serangannya. Keji 

dan dahsyat. Serangan yang cepat dan 

susul menyusul. Tetapi Madewa bukanlah 

anak kemarin sore. Ular Meloloskan 

Diri berguna sekali saat ini.

Dan ketika melihat suatu lowongan 

yang kosong, Madewa tak mau menyia-

nyiakan kesempatan itu. Tangannya 

menjotos pinggang Caturseta yang 

ambruk kelojotan.

Terdengar dua pekikan kaget.


"Hebat dan kejam!" suara dari 

Krampelaksa.

"Pukulan Bayangan sukma!" jerit 

Pratiwi kaget.

Madewa berdiri tegak. Tidak 

menyerang Caturseta yang kelojotan 

tapi kemudian mati dengan pinggang 

serasa patah dan detak jantung 

berhenti saat pukulan itu mengenai 

pinggangnya.

Rupanya Madewa sudah tidak mau 

main-main lagi, jurus andalannya yang 

sangat dahsyat dikeluarkan pada 

tingkat tinggi! Pukulan dahsyat, tanpa 

terlihat gerakan tapi mampu mencabut 

nyawa sang lawan!

Tiba-tiba terdengar seruan keras 

dari arah belakang. Si Toya Maut 

datang dengan toyanya yang terayun ke 

arah Adi Permana. Dia yang sudah dua 

hari menjaga tapi tidak bertemu dengan 

orang-orang itu menjadi jengkel dan 

hendak kembali ke perkumpulan. Barang-

kali saja tiga orang yang dicarinya 

sudah datang dengan jalan menyelinap. 

Lebih baik dia membantu di sana 

daripada menjaga tak kunjung selesai. 

Dan begitu kakinya tiba dilihatnya 

Madewa tengah merubuhkan Caturseta, 

kawan akrabnya! Dan kemarahannya 

bangkit. Dengan beringas dia menerjang 

dengan toyanya ke arah Adi Permana dan 

Nindia yang terkagum melihat pukulan 

sakti Madewa.


"Awaassss!" Madewa berseru seraya 

menubruk tubuh kedua kawannya hingga 

terguling. Wuitt! Toya Maut itu 

melewati kepala ketiganya. Tetapi toya 

itu terus mencecar dengan hebat. 

Hingga ketiganya agak kewalahan, 

terutama Madewa dan Adi Permana, 

karena harus melindungi Nindia!

Tetapi tiba-tiba Adi Permana 

melenting dengan indahnya ke atas. Dan 

pedangnya menghunus ke dada Surya-

purnama dengan cepat! Reflek Surya-

purnama menghentikan serangannya, 

menangkis pedang itu dengan tangkisan 

toyanya.

"Trang... trang.... des!"

Kedua senjata itu menimbulkan 

bunyi yang ramai. Dan tangan kanan Adi 

Permana menyambar dada Suryapurnama 

hingga terjatuh.

Adi Permana melenting lagi dan 

bersalto dua kali dengan pedang 

kembali terhunus. Tapi tiba-tiba dia 

menghentikan serangannya dan "Trang... 

cringg... criiing...!"

Pedangnya menangkis senjata 

rahasia yang dilemparkan Krampelaksa!

"Setan! Curang!" maki Adi Permana 

ketika hinggap di tanah.

Krampelaksa terbahak. la mengi-

baskan tangannya pada Suryapurnama 

untuk menghentikan serangan.

"Baik, kita tak perlu berbasa-

basi lagi! Sekarang hadapi aku, Pemuda


cantik!"

"Bangsat busuk! Majulah Akan 

kucabut nyawa anjingmu!" 

Memerah wajah Krampelaksa. Dengan 

geram dia menerjang dengan tangan dan 

kaki ke arah Adi Permana. Pemuda itu 

cepat mengibaskan pedangnya. "Wuiit! 

Wuuut!"

Gerakan pedang itu cepat dan 

aneh. Krampelaksa balas menyerang 

dengan gesit pula. Si Selendang Merah 

yang dari tadi diam saja, mulai 

menguraikan selendangnya.

Sambil menjerit keras dia memain-

kan selendangnya. Angin selendang yang 

disertai tenaga dalam terdengar

bising. Dan tiba-tiba ujung selendang 

itu menyambar ke arah Adi Permana yang 

tengah menahan serangan Krampelaksa.

"Pengecut curang!"Ujung selendang 

itu berada dengan sebatang ranting 

yang dilemparkan Madewa Gumilang. 

Pemuda itu pun menerjunkan diri di 

arena pertarungan. Dua pasang pertem-

puran yang dahsyat terjadi di hutan 

Waringin. Pengawal-pengawal Krampe-

laksa yang tersisa mundur agak 

menjauh. Begitu pula dengan Surya-

purnama, dia pun mundur.

Nindia sendiri tetap bersiap-siap 

dengan keris yang diberikan Adi 

Permana.

Di arena pertarungan, perkelahian 

itu semakin dahsyat. Masing-masing


mengeluarkan jurus-jurus silat mereka 

yang ampuh. Krampelaksa sudah 

mengeluarkan jurus andalannya, Telapak 

Naga!

Adi Permana tetap melayani dengan 

jurus pedangnya. Namun tanpa diduga, 

pukulan sakti Krampelaksa mengenai 

ujung pedangnya. 

"Tap!"

Pedang itu terasa bergetar. Dan 

panas telapak tangan Adi Permana. Dia 

melepaskan pedang itu sambil 

menyabetkan pedangnya yang satu lagi. 

Tapi lagi-lagi dia melepaskannya, 

karena pedang itu pun berhasil ditepak 

Krampelaksa yang tertawa-tawa.

Adi Permana menjadi geram. Tiba-

tiba dia mengerakkan tangannya. Kali 

ini dia mengeluarkan jurus tangan 

kosongnya. "Wutt!" tangannya mendadak 

terlihat banyak. Rupanya Adi Permana 

juga mempunyai jurus silat yang hebat.

Gerakannya penuh tenaga.

Tetapi Krampelaksa malah tertawa-

tawa, 

"Keluarkan semua ilmumu, bocah

Telapak Naga akan mengakhiri per-

mainanmu itu!"

Kembali Krampelaksa menyerang. 

Tangannya berubah menjadi hitam, 

menandakan inti. ilmunya sudah 

menyerap. Untunglah Adi Permana bisa 

menghindari dengan baik, jurus walet 

putihnya untuk menghindar dipergunakan


habis-habisan. Sedikit saja dia gagal, 

bisa hangus termakan telapak tangan 

itu.

Walaupun begitu, Adi Permana 

masih bisa membalas juga. Tangannya

yang berkembang menjadi banyak sempat 

mampir di bahu Krampelaksa, yang 

membuat orang itu semakin geram.

Sementara itu Selendang Merah 

agak kewalahan menghadapi Madewa 

Gumilang. Berkali-kali selendang 

merahnya mengenai tempat yang kosong. 

Jurus Ular Meloloskan Diri benar-benar 

hebat.

Bahkan Madewa sempat pula memukul 

bahu Pratiwi dengan jurus Ular Mematuk 

Katak.

Pratiwi terhuyung. Pukulan itu 

membuatnya pusing sejenak. Tapi 

kemudian dia menerjang lagi. Ia 

memperpadukan jurus Selendang merahnya 

dengan pukulan tangan kosong. Walaupun 

dimainkan dengan satu tangan, gera-

kannya sungguh hebat. Jurus Angin 

Membelah Badai dengan Jurus Angin 

Menghalau Hujan, membuat Madewa 

kewalahan. Bahunya terkena sambaran 

selendang merah Pratiwi yang 

membuatnya terhuyung karena sambaran 

angin keras menerpa dadanya.

"Des!" 

Lagi Madewa terhuyung. Adi 

Permana terpekik kaget melihat sahabat 

barunya terhuyung, apalagi Pratiwi


sudah menyerang lagi. Tanpa 

menghiraukan keselamatannya, dia 

bersalto dan menghalau serangan 

Pratiwi. 

"Des! Duk! Duk!" 

Dua buah pukulan penuh tenaga 

beradu. Tetapi tenaga Pratiwi lebih 

kuat. Adi Permana terhuyung ke 

belakang. Kepalanya terasa pening dan 

dadanya sesak.

Pukulan Pratiwi benar-benar 

mantap.

Madewa memburu, agar Adi Permana 

tidak terjatuh.

"Terima kasih, Adi."

"Awas...." 

Seruan pelan Adi Permana 

menyadarkan Madewa, kalau bahaya masih 

siap mengancam keselamatan mereka. 

Dengan cepat dia menghindar sambil 

membopong tubuh Adi Permana.

Di tempat yang agak jauh dia 

berkata, "Pulihkan tenagamu Adi... 

biar aku yang menghadapi mereka."

Lalu Madewa masuk kembali ke 

arena pertempuran. Pratiwi dan 

Krapelaksa terbahak. Hanya segitu saja 

perlawanan mereka?

Pratiwi menggerakan tangannya. 

Beberapa jarum rahasianya berterbangan 

ke arah Madewa. Madewa bersalto ke 

depan seraya menyerang dengan pukulan 

bayangan sukmanya.

Krampelaksa menghindar bersamaan


dengan Pratiwi yang langsung berguling 

ke samping. Madewa mencecar Pratiwi. 

Tetapi dewi cabul itu tetap bukan

orang sembarangan. Walaupun lengannya 

buntung, dia masih mampu bertahan. 

Bahkan membalas dengan ayunan telak 

selendang merahnya.

"Duk!" Madewa terhuyung. Dadanya 

digedor oleh ujung selendang merah 

Pratiwi yang berubah menjadi tombak.

Pratiwi lebih beruntung, karena 

jaraknya jauh dengan Madewa.

Krampelaksa langsung mengembang

kan jari-jarinya. Sambil menjerit 

pukulan telapak naga siap menyambar 

Madewa. Tetapi gagal, Adi Permana 

sudah menyambar tubuhnya, membuat 

Krampelaksa urung menyerang Madewa.

Dia ganti menyerang Adi Permana. 

Rupanya pemuda itu sudah kelelahan. 

Dia hampir termakan oleh telapak naga 

Krampelaksa kalau saja dia tidak cepat 

memungut dan mengibaskan pedangnya ke 

leher lawannya.

"Hiaaat!"

Krampelaksa merunduk dan bersalto 

ke ke belakang. Tertawa melihat wajah 

pemuda itu pucat. "Ha... ha... lebih 

baik kau pulang saja kerumahmu. Atau 

menyerah di telapak kakiku! Ha... 

ha...!"

Madewa yang dua kali ditolong 

oleh Adi Permana cepat duduk bersila, 

Menahan emosi marahnya Dan


dikeluarkannya seruling naga yang 

terselip dia tidak ada jalan lain, dia 

harus menggunakan kembali seruling 

ini. Pratiwi dan Krampelaksa terbahak.

"Senjata apa lagi yang kau pakai, 

Madewa?!" ejek Pratiwi sambil 

terkekeh.

Madewa tak perduli dengan ejekan 

itu. Dia berpaling pada Adi Permana. 

Tahu-tahu Adi Permana mendengar suara 

Madewa di telinganya, "Kau buat

pingsan Nindia Adi, cepat! Lalu kau 

duduk dan kerahkan tenaga dalammu! 

Cepat kerjakan perintahku! Cepat, 

Adi!"

Adi Permana kebingungan. Apa 

maksud Madewa, tetapi terdengar lagi 

bentakan di telinganya, "Cepat! Adi, 

lakukan perintahku! Sebelum orang-

orang itu menyerang! Ini kesempatan 

yang bagus, selagi mereka masih 

terbuai oleh kemenangan! Adi... 

lakukanlah...."

Adi Permana tak banyak tanya lagi. Dia 

yakin akan sahabat barunya itu. Sambil 

bersalto ke belakang, dia memukul 

tengkuk Nindia yang tersentak dan 

terkulai pingsan. Lalu dia sendiri 

duduk bersila dan menghimpun tenaga 

dalamnya, seperti yang diperintahkan 

oleh Madewa.

Orang-orang itu terbelalak tak 

mengerti. Pratiwi dan Krampelaksa 

berpandangan. Dan serentak menyerang.


Saat itulah Madewa meniup serulingnya!

Suara seruling itu lembut dan 

mendayu-dayu. Namun membuat Pratiwi 

dan Krampelaksa terguling, serangannya 

gagal. Dan suara seruling itu 

mengejar, seperti menyentak-nyentak di 

telinga mereka. Sakit sekali 

dirasakan. Keduanya tak melanjutkan 

serangan, malah duduk bersila untuk 

menahan suara seruling itu dengan 

tenaga dalam masing-masing.

Suara seruling itu sungguh hebat 

akibatnya.

Pengawal-pengawal yang punya 

tenaga dalam sedikit, langsung pada 

kelojotan. Mampus dengan telinga 

berdarah. Yang menengah masih mampu 

bertahan. Tetapi segera menyusul yang

lain, dalam keadaan yang sama.

Serangan tersembunyi itu sungguh 

hebat. Kedua orang itu bergetar 

menahan bunyi yang bising di telinga 

mereka. Sementara Adi Permana sudah 

bergoyang hebat tubuhnya. Dari 

mulutnya keluar darah kental....

Madewa meningkatkan permainan 

serulingnya. Ia menambah tenaga 

dalamnya. Dan penyentak. Semakin 

garang dan bising suara seruling itu. 

"Aaaaah!" seruan itu terdengar 

berbarengan dari mulut Krampelaksa dan 

Adi Permana. Keduanya jatuh 

bergeletak, dengan mulut dan telinga 

berdarah, namun masih mampu bertahan.


Sekuat tenaga agar ajal tidak 

menjemput mereka hari ini. Namun 

Krampelaksa menemui ajalnya hari itu 

juga, karena dia masih dalam keadaan 

emosi.

Pratiwi pun keadaannya sudah 

goyah. Dia sudah memerah habis tenaga 

dalamnya. Dan tak kuasa lagi 

membendung serangan seruling sakti 

itu.

Dia pun terhuyung ke belakang. 

Ambruk.

Dengan bibir dan telinga berdarah 

pula.

Melihat lawan-lawannya semua 

ambruk,. Madewa menghentikan meniup 

serulingnya. Lawan-lawannya sudah 

tidak mampu bertahan. Memang sebuah 

seruling sakti. Dan dia berpikir, 

kalau tidak dihentikan, Adi Permana 

bisa mati terkena serangan seruling 

itu.

Dengan bergegas dia memeriksa 

tubuh Adi Permana. Didudukannya pemuda 

itu. Dia pun bersila di belakangnya. 

Ditekannya kedua telapak tangannya di 

punggung-pemuda itu.

Ketika dia akan mengalirkan 

tenaga dalamnya, mendadak dia 

terguling. Sebuah serangan bersarang 

di punggungnya. Madewa bangkit dengan 

sigap.

Seorang wanita cantik dan seorang 

jembel tua telah berdiri di


hadapannya. Madewa mengenal jembel tua 

itu, jembel yang pernah di tolong oleh 

Adi Permana.

"Ada apa dengan kalian?" Wanita 

cantik itu terkekeh. Jembel tua itu 

membentak, "Kau pemuda jahat! Kau 

telah melukai anakku ini! Aku akan 

mengadu jiwa denganmu!"

Madewa terkejut. Adi Permana 

anaknya jembel tua itu?

"Kalau anakku ini sampai menemui 

ajalnya, aku bersumpah akan 

membunuhmu!" seru jembel tua itu 

seraya memeriksa tubuh Adi Permana 

yang terkulai. Ia menangis tersedu-

sedu. "Hu...hu... anakku... mengapa 

sampai begini, Nak? Sekian tahun kita 

berpisah, tapi setelah bertemu, 

suasananya begini. Kau akan berangkat

meninggalkanku." Jembel tua menangis 

lagi. Tetapi mendadak dia mengangkat 

wajahnya "Kau?" bentaknya pada Madewa. 

"Kau telah menyebabkan kematian 

anakku! Kau harus kubunuh! Kau harus 

kubunuh!" 

Madewa mundur selangkah. Apa-

apaan ini? Ia tidak mengerti akan 

semua ini. Dan jembel tua itu seperti 

menghalanginya mendekati Permana. 

Padahal dia harus segera ditolong, 

kalau tidak, sahabat barunya itu bisa 

mati.

"Jembel tua... kalau benar dia 

anakmu biarkanlah aku untuk


mengobatinya" bujuk Ma dewa. 

"Tidak! Kau ingin membunuh 

anakku!"

"Anakmu harus segera diobati."

"Tidak! Aku tidak mau anakku 

diobati oleh orang jahat macam kau! 

Kau ingin membunuh anakku!!"

Madewa menjadi serba salah. 

Posisinya terjepit. Dia harus bisa 

menyelamatkan nyawa Adi Permana. 

Tetapi bagaimana? Dia harus 

menyingkirkan jembel tua ini. Dan juga 

wanita cantik itu.

Tetapi sebelum Madewa bergerak, 

jembel tua itu berseru, "Pandan! 

Tolong aku... kau bunuh pemuda itu. 

Tolong pandan... bunuh pemuda itu!"

Wanita cantik itu hanya terkekeh. 

Ia beranjak mendekati Madewa dengan 

genit. Tatapannya manja dan mesra 

sekali. Mendadak Madewa merasakan 

sesuatu menyentak-nyentak tubuhnya.

Nafsu birahinya bangkit karena 

tatapan wanita itu. Hei, Madewa 

merasakan ada sesuatu yang tak wajar 

terhadap dirinya.

Ini pasti buat-buatan, bukan 

nafsu birahi alami dari dalam dirinya. 

Dia menghalau serangan diam-diam itu 

dengan membalas menatap kedua mata 

wanita itu. 

Wanita itu tetap tersenyum-

senyum. Tetapi mendadak dia mengaduh. 

Mengusap kedua matanya yang dirasakan


perih.

Benar dugaan Madewa, mata wanita 

itu mengandung hipnotis yang 

membuatnya dimabuk birahi.

"Sialan!" gerutu wanita itu. Lalu 

dia menyerang Madewa. Gerakannya cepat 

dan tangkas. Dua buah pukulan dan 

kakinya menyerang secara serentak. 

Gerakan yang aneh, tetapi mantap.

Madewa memapaki dengan jalan 

menerjang pula. Dua buah tenaga 

beradu. Madewa terkejut. Tenaga dalam 

lawannya tidak boleh dianggap ringan.

Walaupun tidak membuatnya ter-

huyung, tetapi jari-jarinya terasa 

kesemutan.

Wanita itu pun merasakan demi-

kian. Tetapi dia agak parah. Dadanya 

terasa sesak.

Tiba-tiba dia menjerit keras. Dan 

menyerang dengan kecepatan yang luar 

biasa. Lagi-lagi Madewa memapaki, 

tidak menggunakan pukulan andalannya.

Madewa hanya memakai jurus Tembok 

Menghalau Badai. Dia berpikir, wanita 

ini dan jembel tua yang masih 

menangis, hanya orang-orang yang salah 

paham.

Lagi dua buah pukulan beradu. 

Kali ini wanita itu terhuyung. Dan 

ambruk.

"Pandan Ningsih!" jerit si jembel 

tua sambil memburu. Ia merangkul 

wanita itu. "Kau tidak apa-apa,


Pandan? Kau tidak apa-apa, bukan?"

Wanita itu tersenyum, walau dari 

mulutnya mengeluarkan darah.

"Aku tidak apa-apa, Karto. Aku 

akan membunuh pemuda itu untukmu. 

Pemuda itu yang menyebabkan anakmu 

hampir mati, bukan?"

Jembel tua itu manggut dengan 

terburu-buru.

Wanita cantik itu tersenyum. "Kau 

tolonglah anakmu, Karto. Biar pemuda 

itu aku yang menghadapi...." 

Wanita cantik itu bangkit dan 

siap menerjang Madewa lagi. 

"Tahan!" seru Madewa buru-buru, 

mengingat nyawa Adi Permana dalam 

bahaya. "Kita sudahi dulu pertempuran 

ini, semua ini tidak berguna.

Karena ini hanya salah paham.

Pemuda itu kawan seperjalananku. 

Dia baru saja kena serangan seruling 

naga. aku harus segera menolongnya, 

kalau tidak akan segera mati Sekarang, 

perkenankan aku untuk menolongnya. 

Kalau aku memang berniat membunuhnya, 

kalian boleh membunuhku nanti. Aku 

tidak akan melawan."

"Tidak!" seru jembel tua. "Aku 

tidak mengizinkan anakku disentuh oleh 

kau! Kau jahat Kau hendak membunuh 

anakku! Tidak perlu mempengaruhiku, 

dengan mengatakan anakku ini kawan 

seperjalananmu!"

Tiba-tiba wanita cantik itu


menoleh. "Karto, aku rasa benar. 

Pemuda ini kawan seperjalanan anakmu, 

Bukankah kita melihatnya bertanding di 

tanah genting beberapa minggu yang 

lalu? Kau masih ingat, Karto?" |

Jembel tua itu terdiam beberapa 

saat. Tiba-tiba dia mengangguk dan 

tertawa-tawa.

"He... he... benar, benar kau, 

Pandan. Aku ingat sekarang, pemuda ini 

yang bertarung dengan orang yang 

bernama Wirapati di tanah genting 

waktu itu. Ya, ya, aku ingat. Aku 

ingat."

Madewa kaget juga mendengarnya. 

Berarti kedua orang ini telah lama 

membuntutinya. Tetapi mendengar 

penuturan barusan, dia agak gembira, 

Karena ada kesempatan untuk menolong 

temannya itu, yang tak tahunya anak 

dari jembel tua. 

"Benar, aku yang bertarung di 

tanah genting waktu itu. Dan anakmu, 

adalah sahabatku yang membantuku. 

Bagaimana sekarang, aku diperbolehkan 

untuk mengobatinya?"

"Ya, ya?" si Jembel tua 

menyingkir. Seolah memberi jalan. 

Madewa buru-buru menghampiri Adi 

Permana. Nafasnya tinggal satu-satu.

Wajahnya pucat sekali. Dan lemah 

tubuhnya. Kembali Madewa mendudukkan 

pemuda itu. Dan dia bersila. Di 

tekannya kedua telapak tangannya di


punggung. Dan dialirinya tenaga 

dalamnya.

Si jembel tua dan wanita cantik 

itu hanya memperhatikan tanpa berbuat 

apa-apa.

Pengobatan itu berlangsung agak 

lama. Peluh sudah bermandi tubuh 

Madewa dan Adi Permana. 

"Huak!" Adi Permana muntah darah. 

Bertanda darah kotor sudah ada yang 

keluar. Tahan sedikit, Adi...."

Madewa mengalirkan hampir separuh 

tenaga dalamnya. Ia rela melakukan 

itu, walau tubuhnya sudah terasa 

lemah. Adi Permana sudah dua kali 

menolongnya dari kematian.

Menotok beberapa jalan darah dan 

melonggarkan pernafasan Adi Permana. 

Lalu tangannya bergerak cepat. Merobek 

pakaian depan Adi Permana.

Dan bukan main terkejutnya dia, 

ketika tangannya langsung menyentuh 

dua buah gundukan halus yang lembut!

"Oh....."

Madewa menarik tangannya kembali. 

Dan cepat menutup dada Adi Permana. 

Ternyata sahabatnya ini seorang wanita 

yang menyamar! Jelas dia kaget, karena 

tangannya menempel pada buah dada 

wanita itu. Madewa tidak jadi

menyalurkan tenaga dalamnya.

Wajahnya mendadak memerah.

Bukan dia saja yang kaget, tetapi 

si jembel tua itu juga. Ia terbelalak.


Tak percaya mendekati Adi Permana. Dan 

dengan seenaknya dia menyingkap 

pakaian Adi Permana, seolah tak 

percaya melihat buah dada wanita itu.

"Oh, dia bukan, dia bukan 

anakku!" serunya tiba-tiba. Membuat 

Madewa dan wanita cantik itu terkejut.

"Benar dia bukan anakmu, Karto?" 

tanya wanita cantik itu.

"Bukan, bukan! Anakku laki-laki! 

Bukan dia! Dia perempuan! Dia punya 

buah dada!!" jembel tua itu menjerit-

jerit pilu. Dan menangis terguguk. 

"Hu... hu... ke mana lagi harus kucari 

anakku...."

Wanita cantik itu memeriksa tubuh 

Adi Permana. Benar, dia bukan laki-

laki, dia seorang wanita. Wanita itu 

menghampiri dan membujuk jembel tua.

"Jangan menangis, Karto. Kita 

cari lagi anakmu itu...." 

"Hu... hu... aku sedih, aku 

sedih, Pandan. Dia ternyata bukan 

anakku... hu... hu... anakku...."

"Sudahlah, kita akan mencarinya 

lagi".

"Kau tidak perlu ikut, kau akan 

membunuh anakku"

Wanita cantik itu menggeleng.

"Tidak, aku tidak akan membunuh 

anakmu. Aku pasti akan menyayangi 

anakmu. Seperti aku menyayangimu..."

Jembel tua itu terdiam. Menatap 

wanita cantik itu tak percaya.


"Benar?" 

Wanita cantik itu mengangguk.

Jembel tua itu memeluknya.

Sementara itu Adi Permana muntah 

lagi. Madewa menghela nafas. Dia harus 

segera menolong sahabatnya lagi. Tak 

perduli siapa sahabatnya ini. Laki 

atau wanita.

Sambil memejamkan matanya, Madewa 

membuka pakaian sahabatnya itu. Dan 

tangannya menyentuh kembali gundukan 

halus yang lembut. Hati-hati dia 

menyalurkan tenaganya lagi. Kali ini 

matanya tetap terpejam.

Dan terdengar sahabatnya itu 

bernafas normal kembali. Setelah 

selesai, Madewa buru-buru menutup 

pakaian itu.

Mata sahabatnya perlahan-lahan 

terbuka dan terbelalak melihat Madewa 

telah mengancingi pakaiannya.

"Oh! Kau! Plak! Plak!!"

Dua buah tamparan mampir di pipi 

Madewa. "Kau... kau... aaahh...."

Madewa cepat menunduk. "Maafkan 

aku, Saudari... sungguh mati aku tidak 

bermaksud buruk... aku hanya ingin 

menolongmu."

"Tapi... tapi kau melihat... 

kehormatanku...suara Adi Permana 

menghilang berganti suara wanita yang 

tersendat antara marah dan malu. 

Wajahnya memerah.

Madewa tetap menunduk. "Maafkan


aku... aku tidak bermaksud kotor 

terhadapmu, Saudari. Aku tidak 

menyangka kau seorang wanita Aku tetap 

menyangka kau sahabat baruku yang 

bernama Adi Permana.

Lukamu parah. Aku masih tetap 

menyangka kau seorang laki-laki.... 

Dan... aku... aku...."

Madewa menunduk dengan wajah 

memerah.

Wanita itu menunduk pula. Isaknya 

terdengar perlahan. Kehormatannya 

dilihat oleh pemuda ini. Betapa 

malunya. Betapa marahnya. Tetapi pe-

muda ini bermaksud hendak menolongnya.

Terdengar suara dari arah sam-

ping, "Benar Karto, dia seorang 

wanita."

"Ya, ya... dia bukan anakku. Dia, 

bukan anakku. Anakku seorang laki-

laki, yang pasti telah tumbuh remaja. 

Aku tahu Pandan, anakku pasti tumbuh 

dengan gagahnya. Dia akan menjadi 

orang yang perkasa...."

"Kalau begitu, ayo kita 

pergi...."

"Ya, ya! Kita pergi. Kau tidak 

akan membunuh anakku kan jika ber-

temu?"

"Tidak! Aku akan menganggapnya 

sebagai anakku sendiri"

"Ya, ya, anakku sendiri. Dan aku 

ayah kandungnya. Oh, Madewa..,."

Madewa serentak menoleh. Disang


kanya jembel tua itu, memanggil 

dirinya. Tetapi dia tengah meratap dan 

menatap langit. bukan, dia bukan 

memanggilnya.

Mendadak dada Madewa berdebar. 

Debar keras. Orang itu memanggil 

anaknya? Madewa? Laki-laki? Tumbuh 

perkasa. Bergetar tubuh Madewa. Siapa 

orang tua itu?

"Jembel tua!" panggil Madewa pada 

keduanya yang akan beranjak.

Kedua orang tua itu berhenti. 

Jembel tua itu tertawa pelan.

"He... he... maaf, maafkan aku

anak muda. Benar dia sahabatmu. Dia 

bukan anakku. Anakku laki-laki. Bukan 

dia, bukan dia." .

"Jembel tua...."

"He. he... aku tahu maksudmu, kau 

masih marah bukan? Maaf, maafkan 

aku....." 

"Bukan itu!" 

"Lalu apa, anak muda?"

"Siapa nama anakmu, Jembel tua?"

"Oh, dia? Kau pernah bertemu? Di 

mana?, dimana? Cepat katakan padaku, 

di mana dia berada sekarang?"

"Aku tidak tahu dia di mana. 

Tetapi siapa nama anakmu itu?"

"He... he... nama yang bagus, 

Madewa Gumilang. Kau pernah mendengar 

nama itu? Pernah?"

Madewa tersentak. Mirip dengan 

namanya. Hati-hati dia menatap jembel


tua itu. Diingat-ingatnya kejadian 15 

tahun yang lalu. Dia hanya ingat, dia 

dan ibunya meninggalkan rumah. Dan 

ibunya baru bercerita, tentang semua 

yang telah menyebabkan mereka pergi.

"Apakah nama ibu anakmu Warsih 

Inten?" tanyanya hati-hati.

"He... he... kau mengenai ibu

anakku, rupanya. Ya, ya. Dia istriku. 

Tolong beritahu aku anak muda, di mana 

dia berada sekarang?"

Madewa terdiam. Lemas seluruh 

tubuhnya. Ini pasti ayahnya. Pasti. 

Ayah yang dirinduinya. Yang sudah lama 

tak bertemu dengannya.

Mendadak dia menjatuhkan diri di 

depan jembel itu. 

"Ayah!"

Jembel itu heran. Juga wanita 

yang mendampinginya.

"Apa maksudmu Anak muda?" Madewa 

mendongak.

"Ayah.,, akulah anakmu... anakmu 

ayah..." 

"Kau?"

"Ya, aku anakmu. Yang telah 15 

tahun tidak pernah bertemu. Aku Madewa 

Gumilang, Ayah."

"Hhh! Mana mungkin? Kalau begitu, 

siapa namaku, hah?"

"Ayah, aku anakmu. aku tahu 

namamu. Kau... bernama... Kartonggolo 

ayah, dan Warsih Inten ibuku...."

Jembel tua itu tersentak. Inikah

anaknya? Mendadak dia menubruk Madewa. 

Menyingkapkan pakaian di lengan kanan 

Madewa.

Tompel besar yang menjadikan 

tanda kelahiran Madewa, ada di lengan 

kanan pemuda itu!

Ya, dia anaknya. Anaknya yang 15 

tahun telah hilang. Jembel tua itu 

memeluk Madewa dengan erat. Kedua ayah 

beranak itu berpelukan dengan terharu.

Pandan Ningsih menghapus air 

matanya.

Adi Permana yang diketahui 

sebagai wanita menahan rasa haru pula.

"Ayah... aku rindu padamu...."

Kartonggolo menangis tersedu-

sedu. Ia menciumi sekujur tubuh 

anaknya. Dia rindu pula. Lalu, lalu di 

mana istrinya? Di mana Warsih Inten?

"Madewa... di mana, di mana 

ibumu?"

Wajah Madewa berubah menjadi 

mendung. Ia menggeleng, pelan.

"Ibu sudah lama meninggal, Ayah. 

Dia bunuh diri ketika akan diperkosa 

oleh orang-orang jahat...."

"Oh, Gusti. Betapa besar dosaku 

kepadanya."

"Sudahlah, Ayah. Kita sudah 

bertemu." Madewa berdiri. Menatap 

Pandan Ningsih. Pandan Ningsih risih 

ditatap demikian. Disangkanya anak itu 

akan marah padanya, pada orang yang 

menyebabkan semuanya menjadi


berantakan. Tetapi,

"Bu..."

Pandan Ningsih tersentak.

Pemuda itu memanggilnya Ibu? Ibu. 

Ibu. Ibu. Oh, Dewa... betapa 

bahagianya... Pandan Ningsih tanpa 

ragu lagi memeluk Madewa.

Suasana haru.

Kartonggolo tersenyum. Putranya 

sedikit pun tidak menampakkan dendam 

pada Pandan Ningsih.

Tiba-tiba, "Awaaaass!" terdengar 

suara Adi Permana memekik.

Pratiwi tengah bangkit dengan 

susah payah dan melancarkan serangan 

dengan sisa tenaganya yang terakhir. 

Dia ingin pemuda itu mati bersamanya. 

Maka dia nekat berjibaku. Saat Madewa 

tengah membelakanginya.

Pratiwi memekik panjang dan 

menerjang. Bersamaan dengan itu, 

Kartongolo melompat, menghalau 

serangan Pratiwi pada anaknya.

Dan "Des! Aaaah!"

Keduanya ambruk.

Pratiwi mati dengan sisa 

tenaganya terakhir. Kartonggolo ambruk 

tergeletak penuh darah.

"Aayaaaaah...! jerit Madewa 

kaget. Ia memburu. Ayahnya terkulai 

lemah penuh darah.

"Ayah... ayah... mengapa kau 

lakukan itu?"

Kartonggolo tersenyum walau


kesakitan. Istrinya memburu pula. Juga 

Adi Permana.

"Karto...." rintih Pandan Ningsih 

pilu. Tak kuasa melihat suaminya penuh 

luka.

Tetapi Kartonggolo tersenyum.

"Madewa... aku puas, bisa berbuat 

kebaikan kepadamu, di akhir... 

hidupmu.... Selama ini... aku telah 

menyia-nyiakanmu... aku... aku... akan 

segera menyusul ibumu... Madewa... 

juga... jagalah d... dirimu... ah...."

Rintihan panjang mengakhiri hidup 

Kartonggolo. Tubuh itu terkulai di 

pangkuan Madewa.

Melihat suaminya meninggal, 

Pandan Ningsih menjerit-jerit. Ia

mengambil sebilah pedang yang 

berserakan. Tanpa sempat dicegah, dia 

sudah menusukkan pedang itu ke 

dadanya.

"Aku akan menyusulmu, Karto!"

Dan tubuh itu ambruk pula penuh 

darah.

"Ibu!"

Tetapi Pandan Ningsih sudah mati.

Suasana sepi. Hening. Angin pun 

seolah tak mau berdesir. Madewa 

menatap kedua orang tuanya yang telah 

menjadi mayat. Tak sadar air matanya 

menitik.

Baru sekarang dia bertemu dengan 

ayahnya.

Dan baru beberapa menit pula


harus meninggalkan semuanya. Pertemuan 

tadi seolah menambah kedukaan saja.

"Ayah... ibu... damailah kalian 

di sisi Tuhan..." Madewa memejamkan 

matanya. Air matanya merembes ke luar, 

mengalir di pipinya.

"Madewa...."

Madewa menoleh. Adi Permana. Dia 

tersenyum.

"Semua sudah berakhir, Saudari... 

Maafkan aku...."

"Tidak ada yang perlu di-

maafkan...." Gadis itu mengusap 

matanya. Mengangkat wajahnya. Dia 

tersenyum. Dan menggeleng perlahan. 

"Aku berbela sungkawa atas kematian 

orang tuamu," katanya pelan.

"Terima kasih, Saudari.... Hanya 

sekejap kami dipertemukan Tuhan...." |

"Sudahlah, biarlah yang lalu 

berlalu..."

Madewa tersenyum, getir.

"Aku minta maaf atas 

kelancanganku tadi. Sungguh Saudari

aku tidak tahu kau seorang wanita..."

"Tidak apa, aku tidak marah..."

"Sungguh?"

Gadis itu mengangguk, agak sedih. 

Ia menatap Madewa. "Kau tidak 

mengenali ku, Madewa..."

Suara gadis itu bagai 

menyentaknya. Madewa mengingat. Yah, 

sudah lama sebenarnya ia ingat itu. 

Gerakan-gerakan silat si gadis seperti


pernah dilihatnya. Permainan sepasang 

pedang kembar, jurus pukulan seribu 

dan keris yang diberikan kepada 

Nindia, seperti pernah dialaminya 

dulu.

Tiba-tiba Madewa menghela nafas 

panjang. Terharu dia menatap gadis

itu.

"Kau... kau... Ratih Ningrum?" 

tanyanya ragu-ragu.

Mata gadis itu berkaca-kaca. 

Tiba-tiba ia merangkul Madewa dengan 

erat.

"Madewa kekasihku... aku... Ratih 

Ningrum kekasihmu dulu...."

Madewa balas merangkul.

"Oh, Gusti... kita dipertemukan 

juga akhirnya, walau dalam keadaan 

begini..."

Gadis itu memang Ratih Ningrum. 

Seperti yang disarankan oleh ketiga 

gurunya sebelum dia berangkat, dia 

menyamar sebagai laki-laki dan mengaku 

bernama Adi Permana.

Dia memeluk kekasihnya dengan air 

mata menitik. Pencarian dan 

penyamarannya telah berakhir.

Madewa mendengar gadis itu 

mendesah. Ia, mengangkat wajahnya. 

Diciumnya bibir gadis itu dengan rasa 

rindu yang membara. Tetapi mendadak 

Ratih Ningrum melepaskan bibirnya.^

"Madewa... ada hubungan apa kau 

dengan... Nindia?" tanyanya tersendat.


Sudan lama dia memendam cemburu yang 

amat sangat melihat gadis itu selalu 

bergayutan di lengan kekasihnya.

Ditahannya perasaan cemburunya 

waktu itu. Dan sekarang dia harus 

menumpahkannya.

Madewa tersenyum. Kekasihnya 

cemburu.

"Dia hanya putri seorang kaya 

yang bernama Abindamanyu. Aku hanya 

disuruh menyelamatkannya dari tangan 

Wirapati, yang telah kita bunuh 

bersama-sama. Dan kau tak perlu. 

cemburu, aku tidak punya hubungan apa-

apa dengannya. Aku hanya menganggap 

dia adik. Dan seorang putri orang kaya 

yang harus kuselamatkan."

"Ratih... kini kau seorang gadis 

yang pandai bersilat. Pasti tiga 

pengawal sakti itu telah menurunkan 

ilmunya padamu..."

Ratih Ningrum mengangguk. Dan 

bercerita tentang kepergiannya. Selain 

ingin mencari pemuda itu, dia juga 

ingin mencari pembunuh ayahnya.

Madewa tersentak. Biparsena... 

dia mati tanganku, desahnya dalam 

hati. Apakah aku harus mengatakan 

semua ini? Ah, pasti gadis itu marah 

sekali. Tetapi dia harus mengatakan 

semua itu.

Dan gadis itu terbelalak 

mendengar pengakuannya. Serentak ia 

melepaskan rangkulannya dan berlari.


Matanya nyalang.

"Kau?!" serunya marah.

"Tenang dulu, Ratih... mari 

kujelaskan...." Perlahan Madewa menje-

laskan semuanya. Dan terlihat kekasih-

nya menunduk menangis. Kemarahannya 

mereda. Madewa merangkulnya. "Kita 

sama sama kehilangan kasih sayang dari 

ayah, Ratih? Tapi kau mengerti bukan? 

Aku terpaksa membunuh ayahmu, karena 

dia adalah orang sesat yang harus 

dimusnahkan? Kau mengerti, Ratih?"

Ratih Ningrum mengangguk-angguk 

dalam dekapannya kekasihnya. Madewa 

menghela nafas lega.

Tanpa mereka sadari Nindia sudah 

tersadar dari pingsannya. Ia terkejut 

melihat Madewa merangkul seorang 

gadis. Tetapi herannya, gadis itu 

berkumis tipis. Oh, dia pasti Adi 

Permana, yang ternyata seorang 

gadis....

Dan berada dalam dekapan Madewa, 

pemuda yang dicintainya....

Hati Nindia terkoyak melihat 

kenyataan itu. Keduanya jelas saling 

mencintai. Tinggal dia yang sendiri. 

Pandangannya nanar dan terluka. Dia 

tidak mungkin dapat meraih cinta 

pemuda itu. Biarlah Madewa bahagia 

dengan gadisnya.

Tanpa menimbulkan suara, Nindia 

meninggalkan tempat itu dengan diam-

diam. Dan sepasang kekasih itu


terkejut, ketika tidak menemui Nindia 

di tempatnya.

Sayup-sayup terdengar suara dari 

kejauhan, "Madewa sayang... kudoakan 

kau berbahagia dengan gadis itu...."

"Nindia," desis Madewa pelan, 

pada angin.

Madewa akan mengejar, tetapi 

Ratih Ningrum menatapnya. Tatapan 

gadis itu penuh sinar cemburu. Madewa 

menjadi serba salah. Dia mencintai

gadis ini, yang selalu dirinduinya. 

Biarlah Nindia mencari jalannya.

Ia menghela nafas, dan 

menguburkan mayat ayah dan ibu 

tirinya. Setelah itu mengajak Ratih 

Ningrum meninggalkan tempat itu.

Tak lama mereka pergi, Ki Lurah 

Lanangneweng dan anak buahnya datang. 

Mereka terkejut melihat mayat-mayat 

itu. Dan bersorak gembira ketika 

mengetahui bahwa mereka adalah orang-

orang Perkumpulan Telapak Naga! Orang-

orang yang mereka benci!

***

SEMBILAN



Di rumah besar itu, sedang 

terjadi rapat. Nampaknya sangat 

penting, karena di luar rumah itu 

beberapa orang siaga menjaga, lengkap 

dengan senjata.


Juga di tempat penjuru rumah itu. 

Rapat berjalan dengan baik, tidak 

terjadi bantahan-bantahan yang bisa 

menimbulkan pertempuran darah.

Rapat dipimpin oleh seorang laki-

laki tua berjubah putih. Ia memakai 

angkin berwarna biru. Wajahnya 

menampakkan kebengisan yang luar 

biasa. Di tangannya terpegang sebuah 

tongkat berkepala ular. Orang-orang 

rimba persilatan memberinya gelar:

Datuk Sakti Berjubah Putih.

Rapat berbentuk empat persegi 

panjang. Di barisan sebelah kiri, 

duduk tiga orang laki-laki berkepala 

gundul Masing-masing memegangi sebuah 

rantai dan di ujung rantai itu 

terdapat sebuah bandul berduri..

Mereka menamakan diri Tiga Malaikat 

Berantai Emas. 

Dihadapan mereka duduk seorang 

wanita dan dua orang laki-laki yang 

jauh berbeda usianya. Wanita itu 

berwajah cantik. Dan senyumnya begitu 

menghanyutkan. Lirikan matanya, bisa 

membuat orang mabuk kepayang. Dia 

bernama Roro Antika. Tetapi orang-

orang rimba persilatan menjulukinya 

Dewi Maut. Karena setiap kali kepruk, 

orang bisa mati seketika. Dan Roro 

Antika tidak akan melepaskan musuhnya 

sebelum menemui ajal. 

Bahkan dia pernah menyiksa salah 

seorang musuhnya dengan ribuan ekor


semut.

Laki-laki yang duduk di sebelah 

kirinya, adalah seorang laki-laki 

muda. Berperawakan tampan dan ganteng. 

Usianya paling tidak 27 tahun. Sejak 

tadi dia selalu berkipas. Dan kipasnya 

itu mengeluarkan aroma yang sangat 

harum. Dia menamakan dirinya Pendekar 

Kipas Sakti.

Dan di sebelah kirinya duduk 

seorang laki-laki tua bertubuh pendek 

dan gemuk. Kalau dilihat lebih tua 

dari Datuk Sakti Berjubah Putih. Orang 

itu hanya tenang-tenang saja. Bahkan 

kelihatan mengantuk. Dia lebih banyak 

memejamkan matanya daripada 

mendengarkan jalannya rapat itu. Namun 

walaupun nampak selalu mengantuk, 

pendengaran kakek itu sungguh luar 

biasa. Dia bisa mendengar suara 

sekecil apa pun. Dan dia dijuluki Dewa 

Tua Pengantuk. Mereka adalah orang-

orang dari golongan putih.

Kali ini rupanya rapat itu 

mengenai munculnya seorang wanita 

sakti yang berjuluk Dewi Cantik 

Penyebar Maut. Dengan beberapa orang 

anak buahnya, dewi itu telah 

menyebarkan maut yang sangat mencekam.

Mereka membuat kerusakan dan 

keonaran di setiap desa. Merampok. 

Membunuh. Bahkan menculik beberapa 

orang bayi entah mereka apakan, karena 

orang tidak ada yang tahu di mana


tempat Dewi Iblis itu beserta murid-

muridnya berada.

Dan sebagai orang dari golongan 

putih orang-orang yang berkumpul itu 

merasa berkewajiban untuk menolong

yang lemah dengan berusaha mengusir 

mereka. 

Datuk Sakti Berjubah Putih

mengangkat wajahnya. 

"Yah... kita harus Bersatu 

menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut, 

yang konon ilmu kesaktiannya sampai 

sekarang belum ada yang menandingi."

Terdengar suara dengusan bernada 

mengejek. Dengusan itu keluar dari 

mulut Roro Antika atau si Dewi Maut. 

Dia merasa kesal karena Datuk Sakti 

Berjubah Putih begitu mengagungkan 

nama Dewi Cantik Penyebar Maut. Bahkan 

menyuruh mereka bersatu!

Bah! Dia sendiri mampu membunuh 

dewi sesat itu.

"Lucu! Kau begitu ketakutan 

sekali, Kakek!" ejeknya langsung pada 

Datuk Sakti. "Biar kalau bertemu 

nanti, aku yang akan menghajar dewi 

sesat itu. Berani-beraninya dia muncul 

membuat onar. Dia belum tahu luasnya 

lautan tingginya langit!"

"Aku bukannya ketakutan, Dewi. 

Tetapi dengan bersatu, tenaga kita 

lebih banyak dan kuat. Mungkin, 

menghadapi anak buahnya saja, mm belum 

tentu sanggup," kata kakek itu


bijaksana.

"Hhh! Kau ketakutan, Kakek! Di 

mana nama besarmu ini? menghadapi 

keroco-keroco itu kau begitu pucat?"

Sekian dulu sampai disini, kisah 

selanjutnya dapat anda ikuti dalam :

"Dewi cantik Penyebar Maut"



                           S E L E S A I


Share:

0 comments:

Posting Komentar