PULAU SERIBU SETAN
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
dalam episode:
Pulau Seribu Setan
128 hal.
1
Rambatan sinar surya telah memasuki tiga
perempat perjalanan, sengatannya tak lagi terlalu
garang. Angin berhembus sejuk di tanah luas yang
dipenuhi rerumputan setinggi mata kaki.
Di tempat itulah Andika alias Pendekar Slebor
menghentikan langkah. Di sisinya, Suci berdiri,
tegak pula. Mengedarkan pandangan ke seantero
tempat yang indah. Di hadapan mereka, menjulang
sebuah gunung, indah, tinggi, dan puncaknya
tersaput gumpalan awan putih, lembut dan
menyejukkan.
Sejak pertempuran mereka menghadapi si Rase
Maut dan Iblis Tambang, Andika bermaksud untuk
meneruskan perjalanan mencari Kakek Buruk Rupa.
Secara tidak langsung, Andika telah berhasil
memecahkan teka-teki tentang Permata Sakti yang
diberikan Kakek Buruk Rupa (Silakan baca serial
Pendekar Slebor, dalam episode sebelumnya :
"Rahasia Permata Sakti").
"Sulit menentukan di mana kakekmu berada, Su-
ci," kata Andika sambil melirik gadis jelita di sisinya.
Suci hanya mengangguk.
"Tak mengherankan hal itu sebenarnya, Kang
Andika. Kakek selalu berada di mana saja yang ia
hendaki."
Andika mengangguk-anggukkan kepalanya. Di
samping hendak menyerahkan kembali Permata
Sakti yang memancarkan sinar biru pada Kakek
Buruk Rupa, akan dikabarkannya pula pada orang
tua aneh yang tidak ketahuan mana hidung dan
mana mulut itu, kalau banyak tokoh- tokoh sakti
kelas atas mencarinya guna merebut Permata Sakti
yang dimilikinya.
"Sebelum malam tiba, sebaiknya kita bergerak la-
gi, Suci. Kulihat ada hutan di depan sana. Agaknya,
cukup lumayan dijadikan tempat bermalam
daripada alam terbuka semacam ini."
Suci mengangguk. Sungguh, perjalanan ini
sebenarnya sangat berat sekali baginya, tetapi
membuatnya senang. Senang karena dua hal.
Pertama, karena ia bermaksud mencari kakek yang
dirindukannya. Kedua, karena pada akhirnya
Pendekar Slebor mengabulkan keinginannya untuk
ikut serta. Satu hal lain yang singgah di hati gadis
itu, diam-diam dia ingin memiliki Permata Sakti
yang ada pada Pendekar Slebor. Karena pikirnya,
toh permata itu semula milik kakeknya.
Hari menjelang malam ketika Pendekar Slebor
dan cucu Kakek Buruk Rupa memasuki sebuah
hutan kecil namun lebat. Andika menghentikan
langkahnya di antara jajaran pohon.
Dikagumi ketahanan fisik Suci. Tak sia – sia
Kakek Buruk Rupa mengajarkan beberapa ilmu
meringankan tubuh dan tenaga dalam. Lagi – lagi
Andika berpikir, bila saja Kakek Buruk Rupa
mengajarkan pula cucunya ilmu kanuragan, tak
mustahil suci akan menjadi seorang gadis yang tak
mudah dikalahkan.
Andika menyuruh Suci untuk beristirahat,
sementara ia sendiri bermaksud untuk mencari buah
– buahan sebagai pengisi perut. Sepeninggal
Pendekar Slebor, Suci mendesah pendek, "Ah....
Bagaimana caranya aku bisa memiliki Permata Sakti
itu?"
Sementara itu, Andika sudah menemukan banyak
pohon manggis hutan. Cekatan dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang
kesohor, Andika berlompatan memetiknya. Setelah
dirasakannya cukup, Andika bermaksud untuk
menemui Suci kembali.
Namun tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke
samping, buah-buahan yang dipegangnya terlepas
ketika beberapa senjata rahasia mendesing halus ke
arahnya.
"Manusia hina! Keluar kalian!!" bentak Andika
dengan tatapan jengkel.
Ketika kata-katanya habis, bermunculan sepuluh
orang berpakaian compang-camping berwajah
bengis yang tanpa basa-basi langsung
mengurungnya. Di tangan masing-masing terdapat
parang tajam.
Salah seorang dari mereka berwajah tirus dengan
kumis dan jenggot merah, mengeluarkan tawa
dingin dan angkuh. Rambut panjang bergetar ketika
tawanya berderai.
"Ada manusia nekat berani masuk ke Hutan
Sengkalan yang dikuasai oleh Setan Hitam
Compang-camping!"
Pendekar Slebor memandang dengan tatapan
semakin menyipit, nyalang memerah.
Kewaspadaannya jelas-jelas menguasai dirinya.
Tetapi mulutnya yang usil berseloroh, "Kalau kau
memang menjuluki diri sebagai setan, tanpa kau
juluki pun orang-orang sudah menganggapmu
sebagai setan! Apalagi aku yang cerdik ini?"
Wajah Setan Hitam Compang-camping memerah.
"Keparat! Berani beraninya kau berkata begitu, hah?"
"Bahkan aku herani menyuruh kau untuk kembali
menemui ibumu dan menete padanya!"
Wajah Setan Hitam Compang-camping bertambah
memerah mendengar ejekan Andika. Tiba-tiba saja
ia membuang ludah seraya berseru, "Tangkap
manusia hina itu!!'
Sembilan orang yang bersamanya menerjang
serempak. Kilatan sembilan parang mengarah pada
Andika, bagaikan desingan angin yang datang
berkali-kali.
Andika mengeluarkan dengusan. Lalu tubuhnya
berkelebat menghadapi serangan-serangan ganas
yang datang, tubuhnya tiba-tiba menukik ketika tiga
sambaran parang mengarah pada lehernya
Wuuut! Wuuuut! Wuuuut!
Bersamaan dengan menukuknya tubuh Andika,
tangan kanannya menghantam disusul dengan kaki
kiri dan kanan.
Buk! Buk! Buk!
Tendangan yang dilakukan secara beruntun itu
mendarat dengan telak di dada ketiga orang
penyerangnya hingga ketiga orang itu terpental
kebelakang. Untuk sesaat ketiganya berusaha
bangkit, tetapi rasa sakit di dada membuat ketiganya
harus telentang menahan sakit.
Seharusnya Andika bisa langsung menghabisi
mereka. Namun, ia tak melakukan hal itu. Karena ia
belum bisa menduga siapakah orang – orang garang
ini. Menurunkan tangan telengas tanpa mengetahui
sebab yang pasti bagi Andika adalah pantangan.
Tetapi hal lain yang menyebabkan ia tak
menurunkan tangan telengas, karena enam buah
parang berikutnya mendesaknya dengan hebat. Tiga
buah parang menghantam bagian atas, sementara
tiga buah lagi menghantam bagian bawah.
Andika memperlihatkan kehandalannya dalam
menghindar. Gerakan keenam lawannya itu
bagaikan setan. Sementara Setan Hitam Compang-
camping mengerutkan keningnya melihat gerakan
yang dilakukan oleh Andika.
"Edan! Siapakah anak muda ini? Ilmunya begitu
tinggi sekali!"
Andika berkelebat cepat, melepaskan pukulan dan
tendangannya, yang membuat empat orang
penyerangnya terkapar pingsan setelah tersambar
serangan balasannya.
"Nah, nah! Apakah kalian masih mau meneruskan
main-main ini?" katanya sambil menghindari dua
serangan lainnya.
Melihat hal itu, Setan Hitam Compang-camping
menderu maju sambil meloloskan parangnya yang
beronce merah.
Wuttt!
Andika berkelit dengan ringannya.
"Nah, kenapa tidak sekalian saja sejak tadi?
Merepotkan saja!"
Geram melihat serangannya bisa dielakkan
dengan mudah, dikawal gerengan garang, Setan
Hitam Compang Camping menderu kembali.
Parang di tangannya mendadak bagaikan menjadi
banyak. Desingan angin yang ditimbulkannya
membuat bulu kuduk Andika terasa dingin.
Terlambat saja dia membuat gerakan menghindar,
salah satu serangan lawan, pasti akan mampir di
tubuhnya
Melihat hal itu. Andika berkelebat secepat kilat ke
sana kemari. Memasuki jurus ketiga, ia bukan hanya
mampu menahan setiap serangan dari tiga
lawannya, bahkan mulai dapat menyusup masuk.
Terutama terhadap serangan yang dilancarkan oleh
Setan Hitam Compang-camping.
Dua anak buah Setan Hitam Compang-camping
bagaikan berlomba untuk membunuh Andika. Di
samping geram melihat yang lainnya terkapar
pingsan, keduanya geram karena sejak tadi
serangan-serangan mereka tak berhasil. Bahkan
berkali-kali dipatahkan oleh Andika, sehingga ini
membuat mereka bertambah murka.
Setan Hitam compang camping yang mulai kacau
petahanannya akibat gerakan Andika yang seperti
hantu dan sangat sulit diterka, kali ini mengan-
dalkan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga sambil
melompat kesana kemari ini mengelebatkan
parangnya yang menimbulkan suara berdesing.
Namun itu adalah kesalahan. Karena Selagi Setan
Hitam Compang-Camping mencecarnya. Andika
membuat gerakan melurup ke arah dua anak buah
laki-laki berwajah tirus itu. Tiba-tiba jotosan dan
tepat menghantam wajah dan perut dua lawannya.
Yang terkena jotosan rontok giginya dengan wajah
sembab, sementara yang terkena tendangan pada
perutnya, mengaduh dan seketika mendekap
perutnya, karena bagaikan terasa tulang iganya yang
patah.
Melihat hal itu, Setan Hitam Compang-camping
bertambah geram. Serangannya semakin ganas dan
mengerikan. Tetapi, Andika yang sudah
menemukan bentuk serangannya, dengan
mudahnya menjotos punggung lawan yang
mengaduh, yang masih mampu mengibaskan
tangannya ke belakang.
Wuuuttt!
Andika langsung merunduk menghindari
sambaran parang yang cepat itu. Lalu....
But,
Kakinya menendang ke depan hingga Setan Hitam
Compang-camping tersungkur. Belum lagi ia sempat
bangkit, Andika sudah menjejakkan kakinya di
kepala lawan yang menggeram sambil memaki-maki
tak karuan.
"Nah, mengapa kau tidak mencoba untuk
mengangkat kepalamu, bah?"
Setan Hitam Compang-camping kali ini benar-
benar kena batunya. Ia menepuk-nepuk tangannya
ke tanah.
"Aku menyerah."
"Ya, sudah kalau begitu," kata Andika. Lalu seolah
tak ada masalah yang berarti ia memunguti lagi
buah-buahan yang berserakan. Ketika ia hendak
melangkah, terdengar seruan Setan Hitam
Compang-camping, .
"Pendekar muda, tunggu!!"
Andika berhentii dan menoleh. "Kenapa lagi?
Apakah kau ingin benar-benar kukemplang pecah
kepalamu?"
"Tidak Aku mangaku kalah. Tetapi, sebutkan
nama."
“Brengsek! kalau mau berkenalan, kenapa harus
menyerangku seperti tadi? Untungnya aku masih
sabar. Kalau tidak, kepalamu sudah jadi bubur."
Tak mempedulikan makian Andika, Setan Hitam
Compang-camping berkata lagi, "Aku ingin
mengetahui nama dan julukanmu, Orang Muda."
"Namaku Andika. Orang-orang menjulukiku
Pendekar Slebor. Nah, kau sudah mendengar, kan?
Kalau begitu, aku permisi!"
Mendengar nama dan julukan yang disebutkan
oleh Andika, laki-laki berwajah tirus itu terdiam
sesaat. Lalu terdengar seruannya bagai disengat
kalajengking, "Pendekar Slebor!"
Andika menoleh lagi. "Kenapa lagi? Tidak usah
panggil-panggil begitu aku juga dengar!" dengusnya
gusar.
Dilihatnya Setan Hitam Campang camping
merangkak ke arahnya, lalu tiba-tiba lelaki yang tadi
begitu garang, kini bersujud dihadapan Andika.
“Maafkan aku Tuan Pendekar. Sungguh, aku tak
tahu siapa gerangan Tuan Pendekar Tadi"
Kalau tadi Andika gusar melihat sepak terjang
laki-laki itu. Kini ia menjadi risih dengan sikap yang
diperlihatkan bekas lawannya tadi.”Tadi garangnya
kayak setan, sekarang ko kayak abdi dalem. Hei, kau
kenapa? Aku bukan ibumu yang suka membelai
kepalamu!”
"Pendekar Slebor, ingatkah kau pada Menur?"
tahu-tahu Setan Hitam Compang-camping bertanya
begitu. Kali ini, sinar matanya begitu hormat.
Sejenak Andika terdiam. "Menur? Oh ya,
bagaimana kabarnya?"
"Ia baik-baik saja, Tuan Pendekar."
"Tetapi, bagaimana kau bisa mengenal gadis itu?"
"Lima bulan yang lalu, ia melewati hutan ini.
Kami bersepuluh bermaksud menangkapnya untuk
dijadikan pemuas nafsu. Tetapi, rupanya gadis itu
bukan orang sembarangan. Ia menghajar kami
tunggang langgang dan mengampuni nyawa kami
asalkan kami berjanji tidak akan membegal lagi."
"Lalu mengapa kau tadi ingin membegalku, hah?"
"Bukan itu maksud kami. Tadi kau lancang telah
mengambil buah-buahan yang selalu kami jaga."
Andika nyengir. "Wah, kalau begitu ada yang
punya, ya? Aku minta ya?"
Setan Hitam Compang-camping menganggukkan
kepalanya. Lalu melanjutkan ceritanya, "Dari Menur
yang tinggal bersama kami selama satu bulanlah
kami mengetahui tentangmu, Pendekar Slebor.
Katanya, ia hendak terus mencarimu. Karena
sesungguhnya ia mencintaimu. Kami saat itu ingin
sekali membantunya untuk mencarimu, tetapi ia
menolak. Dan sepeninggal Menur, kami menjadi
kesepian, karena, tak ada lagi yang bernyanyi dan
bisa diajak bersenda gurau."
Andika diam-diam mendesah pendek. Menur,
ah….ia memang tahu kalau gadis itu mencintainya,
ia pun tahu mengapa Menur tidak kembali pada
gurunya, Kaliki Lorot. Dikarenakan, Kaliki Lorot
akan menolaknya datang bila tidak bersama dirinya.
Andika kembali mendesah mengingat semua itu.
Persoalan cima memang memusingkan (Silakan
baca: "Jodoh Sang Pendekar").
"Kalau begitu ya, sudah."
"Pendekar Slebor, setelah kedatangan dan
kepergian Menur, kami berjanji tidak akan
membegal lagi. Tetapi, kami hampir saja kehilangan
kepercayaan. Pendekar Slebor, terus terang, aku dan
kesembilan anak buahku ingin mengabdi
kepadamu."
"Wah, apa-apaan ini?" desis Andika yang tak
menyangka kalau Setan Hitam Compang-camping
yang garang itu ingin mengabdi padanya. "Aku
bukan siapa-siapa yang patut dihormati, aku bukan
juga pendekar tangguh yang hebat. Aku hanya...."
"Bila kau menolak, aku akan membunuh kesembilan
temanku yang pingsan ini, lalu membunuh diri."
Andika hanya mengangkat bahu, lalu berkata
seraya melangkah,"terserahlah"
Wajah Setan Compang Camping kelihatan sedih
ditolak seperti itu. Memang, semenjak kepergian
Menur ia bagaikan kehilangan pegangan. Ia dan
kesembilan temannya memang bermaksud untuk
menjadi orang baik-baik. Dan kini, Pendekar Slebor
menolaknya untuk mengabdi padanya.
Lalu tiba-tiba ia mengambil senjatanya yang jatuh
tadi. Dan perlahan-lahan ia mendekati salah seorang
temannya yang pingsan.”Maafkan aku, Kawan. Kita
memang tak berguna hidup di dunia ini. Kalian
akan pergi di tanganku, dan aku akan menyusul”.
Lalu tangannya diangkat dan siap dihujamkan
kepada temannya yang pingsan.
Trak!
Sebuah kerikil membuat tangannya bergetar dan
parangnya jatuh.
***
"Apa-apaan sih kau ini?" dengus Pendekar Slebor
sambil melotot. Meskipun begitu, sifat konyolnya
justru makin nampak, "Kalau mau mampus ya
mampus saja! Jangan di depanku! Memangnya enak
menguburkan sepuluh mayat?!"
Wajah Setan Hitam Compang-camping semakin
kuyu. "Tak ada gunanya kami hidup lagi."
"Konyol! Kau ini tidak mempergunakan otakmu!
Apakah kau pikir dengan jalan membunuh diri kau
sudah merasa berhasil mengatasi kegagalanmu itu?
Bodoh! Kau justru menista dirimu sendiri!!"
'Tetapi...."
"Tidak ada tetapi! Ketegaran harus kau jaga!
Jangan membuat tindakan yang konyol!"
"Bila Tuan Pendekar menolak kami untuk
mengabdi, kami memilih jalan membunuh diri!"
'Tak ada pengabdian apa-apa! Aku bukan orang
yang patut dijadikan sebagai tuan! Bila kau memang
ingin melakukannya, bisa menjadi temanku! Dasar
gemblung!!"
Wajah Setan Hitam Compang-camping seketika
berseri-seri meskipun ia dibentak-bentak seperti itu.
lalu ia berkata, "Aku akan segera menyusulmu. Tuan
Pendekar. Bila teman-temanku ini sudah siuman
dari pingsannya!!"
"Ya,sudah! Kasihan temanku sudah menunggu!"
Andika terus ngeloyor saja.
***
Dua hari berada di Hutan Sengkalan, Andika
merasa sudah cukup. Perjalanannya untuk mencari
Kakek Buruk Rupa memang harus dilanjutkan Suci
menyetujui rencananya itu. Sementara ketika
Andika mengatakan keinginannya pada Setan Hitam
Compang-camping, wajah laki-laki itu seketika
menjadi kuyu.
"Izinkanlah kami ikut serta, Tuan Pendekar. Kami
akan mengabdi kepadamu."
"Tidak usah. Asal kalian berjanji tidak akan
membegal lagi, aku sudah senang."
"Tetapi. ."
"Tidak ada tapi-tapian. Ayo. Suci! Kita segera
berangkat" kata Andika sambil melangkah.
Setan Hitam Compang Camping beserta sembilan
anak buahnya tak ada yang bersuara. Mereka hanya
memperhatikan kepergian Andika dan Suci dengan
wajah kuyu.
Bagi Andika, memang lebih baik begitu.
Sebenarnya ia ingin pergi sendiri saja, tanpa
kehadiran Suci. Namun gadis yang keras kepala itu
mana mau tahu keinginan Andika. Bahkan berkali-
kali dengan cerdiknya berhasil menemukan Andika.
(Baca : “Rahasia Permata Sakti”)
Akan tetapi sesuatu yang aneh terjadi
Baru saja Andika dan Suci berjalan sepuluh
langkah, mendadak sebuah asap hitam muncul.
Begitu pekat dan membuat keduanya terpana sesaat
sebelum kemudian Pendekar Slebor mendorong
tubuh Suci ke kiri.
"Awaasss!!"
Asap hitam tebal bergulung-gulung itu,
mengeluarkan deru angin yang mengerikan. Dan
menerjang ke arah Andika yang bergulingan cepat.
"Busyet! Apa itu?" makinya tak karuan.
Asap tebal itu tiba tiba terpecah menjadi dua. Satu
mengarah pada Pendekar Slebor dan satu lagi
mengarah pada Suci. Dari gumpalan asap tebal itu
bagai ada satu tarikan yang sangat kuat. Begitu
kuatnya hingga Andika dan Suci tak mampu
menahannya. Di samping mereka masih terkejut
dengan kemunculan asap hitam yang tiba-tiba dan
langsung menyerang.
Sementara itu, Setan Hitam Compang-camping
sudah meluncur begitu dilihatnya Suci meronta
dalam asap hitam tebaL Tangannya siap menarik
tangan Suci keluar dari pusaran asap, namun justru
ia sendiri yang tertarik ke dalam.
"Gila!" makinya berusaha berontak. Tetapi tarikan
itu bagai magnit raksasa, memaksanya dengan kuat.
Siksaan cukup menyakitkan dirasakan oleh me-
reka. Pendekar Slebor berusaha memecahkan gum-
palan asap hitam tebal. Namun belum lagi ia
mengeluarkan tenaganya, asap hitam itu
mengeluarkan bau yang sangat wangi.
Tercium cepat di hidungnya.
Sesaat kemudian. Pendekar Slebor tak tahu apa
yang terjadi.
Begitu pula halnya dengan Suci dan Setan Hitam
Compang camping.
Selebihnya, asap tebal itu lenyap.
Yang tinggal, hanya sembilan anak buah Setan
Hitam Compang-camping, termangu dan tak
mengerti apa yang terjadi.
***
2
Bukit Karang. Sebuah tanah tandus yang terjal.
Matahari seakan begitu dekat dengan kepala.
Daerah yang cukup terpencil. Terlihat menghampar
luas. Di sebelah utara, terdapat hutan yang
berlumpur pasir.
Daerah tandus yang sulit untuk mencari makan,
rasanya tak ada yang nekat untuk datang, apalagi
memilih tempat itu sebagai tempat tinggal.
Tetapi, satu sosok tua berpakaian keperakan
dengan rambut digelung ke atas, berdiam di
belakang batu karang besar. Dialah si Camar Hitam.
Tokoh sesat yang selalu membuat sengketa.
Matanya yang cekung ke dalam, memperhatikan
Kakek Buruk Rupa yang celingukan lima belas
tombak dari tempatnya bersembunyi
"Hhh! Tak perlu aku menghabisi manusia laknat
itu sekarang, karena aku tahu Permata Sakti berada
di tangan Pendekar Slebor!" dengus Camar Hitam
tajam.
Panas meranggas.
Sementara itu, Kakek Buruk Rupa yang tengah
mencari cucunya yang hilang, mendesis lirih, "Ada
manusia jelek di balik batu karang itu. Kurang ajar!
Mengintip hanya kerjaan orang iseng! Apakah ia
tahu kalau Permata Sakti itu tidak berada di
tanganku? Mendapati manusia kepalat itu masih
berdiam saja aku yakin, ia tahu Permata Sakti itu
berada di tangan Pendekar Slebor."
Berpikir demikian, Kakek Buruk Rupa melesat
dari tempat berdirinya. Selang beberapa detik,
Camar Hitam berbuat serupa. Ia tak mau
ketinggalan sedikit juga. Dalam pikirnya, ia yakin
Kakek Buruk Rupa akan mencari Pendekar Slebor.
Itulah yang ditunggunya. Pendekar Slebor adalah
musuh bebuyutannya semenjak peristiwa berdarah
beberapa bulan lalu (Untuk mengetahui hal itu,
silakan baca: "Cincin Berlumur Darah").
Di sebuah tempat yang lapang, Camar Hitam
berhenti. Memandang seantero tanah yang luas. Ia
tak mengerti bagaimana tahu-tahu Kakek Buruk
Rupa menghilang. Pandangannya tak berkesip pada
sebuah batu besar yang tak jauh darinya. Hari sudah
memasuki rembang senja.
"Kurang ajar! Manusia aneh itu pasti tahu aku
menguntit!" makinya. "Atau... ia bersembunyi
dibalik batu sialan itu?"
"Bagaimana aku tidak tahu, kalau tapakmu
sekeras gajah?" terdengar suara itu sambil terkekeh-
kekeh. Entah dari mana datangnya, Kakek Buruk
Rupa sudah berdiri lima tombak di hadapan Camar
Hitam.
Merdang. Gusar dan penuh amarah Camar Hitam
merasa dipernalukan seperti itu.
“Katakan padaku, dimana Pendekar Slebor
berada?!” serunya keras, memecah seantero tanah
Kakek Buruk Rupa terkekeh kekeh.
"Zaman sudah edan rupanya! kau yang sudah bau
tanah masih mencari perjaka semacam Pendekar
Slebor!"
"Orang tua hina! Lancang mulutmu bicara!"
"Aku hanya menyadarkan kau, Camar Hitam."
"Setan alas!!"
Tangan Camar Hitam bergerak. Angin dahsyat
mengerjap ke arah orang tua aneh berambut panjang
menutupi wajah.
Wuuuttt!
Tubuh bongkok itu tetap tak berkutik. Masih
mengumbar tawa yang keras. Mendapati sikap
Kakek Buruk Rupa seperti itu, membuat Camar
Hitam marah, karena merasa diejek sekaligus
terhina. Belum lagi serangan pertamanya mengenai
sasaran, ia langsung susulkan serangan kedua.
Wuuuttt!
Bersamaan angin deru dari serangan pertama
Camar Hitam, tubuh Kakek Buruk Rupa mencelat
begitu cepat. Menyusul bunyi ledakan keras.
Ia telah mengibaskan tangannya untuk memapaki
serangan kedua dari Camar Hitam.
Menyadari hal itu, merahlah wajah Camar Hitam.
Apalagi melihat Kakek Buruk Rupa sudah berdiri di
batu besar. Camar Hitam kembali menggerakkan
tangannya, ke arah batu besar itu. Bagaikan ada
sebuah bom yang meletus, batu besar itu pecah
seketika. Sementara si orang tua aneh yang berada di
atasnya tadi tidak nampak di mata.
Camar Hitam celingukan dengan bersiaga dan
wajah memerah. Tiba-tiba terdengar suara dingin
bernada angker dari sisi kirinya.
"Cukup bermain-main untuk hari Ini! Jika kau
tidak segera pergi, aku tak segan-segan menurunkan
tangan telengas padamu'"
Camar Hitam berbalik segera. Matanya yang
kelabu bagai memancarkan serat api.
"Jangan sesumbar! Justru kau tak akan hidup lebih
lama lagi!"
Kakek Buruk Rupa kembali berkata dengan suara
yang semakin dingin, "Tinggalkan tempat ini. Kalau
tidak, nyawamu tak akan pernah lagi melekat di
tubuh busukmu itu!!"
Tanpa membuang tempo, Camar Hitam bergerak
laksana kilat ke arah Kakek Buruk Rupa. Tongkat
kusamnya digerakkan, menimbulkan kesiur angin
yang sangat keras sekali.
Kakek Buruk Rupa mengangkat sebelah kakinya.
Wuuuuttt!
Sigap Camar Hitam membuang tubuh ke kiri
dengan cara bergulingan.
"Gila! Hebat sekali kesaktian yang dimilikinya!
Hhh! Aku ingin tahu, apakah ia mampu menandingi
‘Ajian Penutup Jalan Darah’ milikku ini!"
Camar Hitam segera mengatupkan kedua tangan
di dada. Menarik nafas sejenak dan dihembuskan
perlahan-lahan. Bersamaan denganitu tangannya
bergerak ke atas. Namun belum lagi ia melepaskan
ajian andalanya, dilihatnya asap hitam tebal
bergulung-gulung ke arah Kakek Buruk Rupa.
Bagai sebuah jaring, asap tebal itu menerjang
Kakek Buruk Rupa. Dilihatnya bagaimana orang tua
aneh itu seperti berada dalam sekat yang sempit dan
ketat. Penuh rontaan namun tak mampu melepaskan
diri.
Merasa ada kesempatan untuk menghabisi Kakek
Buruk Rupa, Camar Hitam segera menerjang. Ajian
"Penutup Jalan Darah' telah dipergunakan.
Wuuusss!
Dikawal angin mengerikan, ajian yang mampu
memusnahkan jalan darah lawan dalam setiap
totokannya dan membuat lumpuh tak berdaya,
meluncur ke arah Kakek Buruk Rupa.
Keanehan terjadi. Karena asap yang menggulung
Kakek Buruk Rupa, mendadak terpisah. Membentuk
tiga gumpalan sekaligus. Dan menahan ajian
'Penutup Jalan Darah' milik Camar Hitam.
Tercengang Camar Hitam melihatnya. Detik lain,
tercekat ia melompat ke kiri karena tiga asap itu
menderu ke arahnya.
"Sinting! Apa-apaan ini?" makinya kalap. Ia
berusaha menghujankan asap-asap itu dengan ajian
andalannyu Namun seperti yang pertama tadi, asap
itu terus menderu dan seperti yang dialami Kakek
Buruk Rupa. tubuhnya juga terkurung asap lebal.
Napasnya sesak. Darahnya kacau. Uratnya kaku.
Lebih parah lagi ketika asap hitam itu mengeluarkan
aroma wangi yang memabukkan. Dalam waktu tiga
detik, Camar Hitam terkulai pingsan, menyusul
Kakek Buruk Rupa yang lebih dulu pingsan.
Asap itu pun lenyap dengan anehnya, membawa
tubuh keduanya.
***
Pulau Seribu Selan.
Pulau yang menyimpan banyak misteri di
dalamnya, menghampar dalam senja yang redup.
Matahari seakan tak mampu lagi bertahan lebih
lama memberikan penerangan. Debur ombak yang
memecah batu karang, sahut menyahut terdengar di
kejauhan.
Di salah satu ruangan yang terdapat pada sebuah
bangunan yang cukup besar, di tengah-tengah
pulau, Tunggul Manik terbahak-bahak melihat
kejadian demi kejadian pada sebuah wadah yang
berisi air berwarna kuning. Di sisi wadah yang tak
besar itu, terdapat dupa yang mengeluarkan bau
busuk.
Di air kuning itu, dilihatnya bagaimana Kakek
Buruk Rupa dan Camar Hitam dalam keadaan
pingsan.
"Kalian akan menemani tiga pendatang
sebelumnya!" desisnya dengan suara keras. Laki-laki
berbaju hitam pekat dengan bagian dada tak
tertutup, hingga memperlihatkan sebuah tato
bergambar tengkorak, mengatupkan kedua tangan
di dada. Sejurus kemudian tubuhnya bergetar.
Matanya yang agak menukik dengan kelopak mata
berlipat ke dalam, makin menyipit Mulutnya
berkomat kamit hingga brewok yang memenuhi
wajahnya bergetar pula.
Air kuning dalam wadah pun bergetar. Terlihat
asap tebal yang melingkupi tubuh Kakek Buruk
Rupa dan Camar Hitam melayang dalam alam yang
kasat mata.
Tak lama kemudian Tunggul Manik membuka
kedua matanya
"Permainan yang sangat menarik akan dimulai,"
katanya terbahak "Pendekar Slebor dan yang lain
nya, akan mampus di Pulau Seribu Setan ini!"
Lalu suaranya menggema keras, bagai meretakkan
dinding ruang yang berbau busuk. "Iblis Tambang
dan Sepasang Dewa Gurun Pasir akan kuundang
pula ke sini!"
***
Apa yang dialami Pendekar Slebor memang
sungguh aneh. Tubuhnya tahu-tahu ambruk di
sebuah ruangan yang kotor. Agak gelap. Sebelum
berhasil membuka matanya lebih lebar, Andika
merasa kepalanya pusing bukan alang kepalang.
"Kerbau bunting! Apa yang sebenarnya terjadi?"
makinya jengkel. Pandangannya seperti tertutup
dalam gelap. Namun, ketajaman matanya yang
terlatih di delik lain tak membuatnya linglung lagi.
"Tempat apa ini?" desisnya pula.
Dirabanya dinding pekat itu. Diketuk-ketuknya.
Suaranya nyaring. Berarti dinding itu kosong.
Ingatan Pendekar Slebor beralih pada Suci. Ia
mendesis pelan, "Suci... Suci...."
Tak ada sahutan apa-apa. Sesaat, Andika berusaha
memanggil lagi. Yang terdengar justru keluhan
seorang laki-laki, dari sudut ruangan.
"Pendekar Slebor...."
"Busyet! Kok suaramu jadi berubah. Suci!"
"Aku Setan Hitam Compang ramping," suara dari
sudut ruangan itu terdengar.
“Celaka! Ke mana Suci!"
Dengan meraba dan dibantu oleh Setan Hitam
Compang-camping, Andika mencari Suci di setiap
jengkal ruangan. Tetapi tak ada sosok Suci.
"Apakah aku sedang mabuk?" serunya jengkel.
"Ke mana Suci? Oh, aku ingat sekarang. Ada asap
tebal yang bergulung ke arahku, melingkupi dan
membuat seluruh persendianku tak bisa digerakkan.
Tahu-tahu aku sudah berada di sini! Sinting! Apakah
Suci mengalami hal yang sama?"
"Pendekar Slebor... kurasa Suci memang berada di
sekitar sini. Tetapi terpisah."
"Mengapa?"
"Aku tidak tahu."
Andika terdiam. Belum lagi Andika menemukan
jawaban atas kebingungannya, suara keras
menggema di telinga, bagai hendak merobek-
robeknya.
"Selamat datang di Pulau Seribu Setan, Pendekar
Slebor!"
Dada Andika berdetak. Pulau Seribu Setan? Ia
pernah mendengar nama pulau itu dan disangkanya
pulau itu hanya ada di alam khayal.
Benarkah ia berada di Pulau Seribu Setan?
“Orang jelek yang bau selokan! Siapa kau
sebenarnya?!" seruya tak kalah keras
"Kekeraskepalaan Pendekar Slebor patut
diacungkan jempol. Hanya sayang, tak lama lagi
hanya tinggal kenangan. Ketahuilah. aku Tunggul
Manik, ketua dan Serikat Kuda Hitam!"
"O... bagus kalau begitu! Anak buahmu sudah
menjadi makanan cacing tanah!" sahut Andika
geram.
"Dan kau akan tercacah di pulau ini, Pendekar
Slebor!" suara keras itu berkumandang diiringi tawa.
"Manusia buduk!" maki Andika dalam hati. Untuk
mengetahui kebenaran itu, ia memang harus lebih
banyak memancing. Tetapi untuk saat ini,
pikirannya tiba kembali pada Suci. Seruannya
terdengar lagi, "Orang jelek yang suka ngumpet!
Katakan, di mana gadis yang bersamaku itu?"
Gema tawa berkumandang.
"Ini permainan yang akan kita jalani! Pertama, kau
harus berusaha menemukan gadis yang bernama
Suci itu! Kedua, kau harus bisa menghadapi lawan-
lawan tangguh! Setelah kau berhasil melewati
keduanya, tantangan lain akan datang! Menghadapi
aku! Dan terakhir, kau harus menemukan jalan
keluar dari Pulau Seribu Setan!"
"Monyet buntung! Jangan mengumbar pepesan
kosong!"
"Kita akan melihat permainan ini, Pendekar
Slebor. Nyawa anak buahku harus kau bayar dengan
nyawamu!"
"Apa yang akan kudapatkan bila aku berhasil
lepas dari semua ini?" seru Andika menahan marah.
"Permata Sakti!"
Seketika Andika meraba pinggangnya. Tak ada
Permata Sakti itu di sana.
"Keparat itu pasti telah mengambilnya," desisnya
marah dalam hati
"Kau tak akan menemukannya, Pendekar Slebor
Selagi kau terlelap pingsan entah kau bermimpi
bagus atau sebaliknya, Permata Sakti itu sudah
kuambil. Tetapi sekarang aku yakin, mimpi
buruklah yang membentang di hadapanmu,
Pendekar Slebor! Kuharap, kau akan
menikmatinya!"
"Keparat!" geram Andika berusaha menentukan
dari mana asal suara itu.
"Sekarang, dengar baik-baik! Bila kau berhasil
melewati permainan yang kuciptakan ini, kau akan
mendapatkan Permata Sakti kembali."
"Kau sudah merasa seperti dewa! Bagaimana bila
tantangan ketiga yang kau berikan, kau mampus
lebih dulu? Bagaimana bisa kudapatkan Permata
Sakti itu?"
"Jalan keluar dari tantangan keempat, adalah
Permata Sakti itu! Bila kau berhasil menemukannya,
maka kau akan selamat keluar dari sini!"
"Manusia kambing! Kau akan menyesali semua'
ini!" maki Andika keras. Dia menggeram
mengetahui kelicikan Tunggul Manik.
"Rasanya, kau akan terlalu sulit untuk menghadap
tantangan ketiga! Karena, akulah lawanmu!"
"Menghadapi manusia picik seperti kau, anak
kecil yang baru bisa buang ingus pun akan mampu
menjatuhkanmu"
"Sesumbarmu kelewat besar. Kita buktikan se-
mua ini. Dan permainan yang mengasyikkan ini bisa
kita mulai! Perlu kau ingat, setiap tantangan bisa
datang kapan saja! Hingga tugasmu mencari Suci,
akan selalu dihadang oleh maut. Bukankah ini
sebuah permainan yang mengasyikkan! Selamat
berjuang Pendekar Slebor!” tawa itu berkumandang
keras dan lamat akhirnya lenyap sama sekali
Tinggal Pendekar Slebor yang menggeram
setinggi langit. Manusia yang bernama Tunggul
Manik atau Majikan Pulau Seribu Setan, sulit
ditentukan di ruangan mana dia berada. Marah,
diterjangnya dinding yang melingkupinya.
Des!
Tak jebol. Bahkan bergeming saja tidak. Justru
tangannya yang agak ngilu. Dikerahkan tenaga 'inti
petir' dan dihantamnya lagi. Berulang kali. Tetapi
dinding itu tetap tegak berdiri.
"Laknat! Terbuat dari apa dinding ini?!" maki
Andikn kesal. Tangannya nyeri bukan main. Dan ia
teringat akan tantangan pertama dari Tunggul
Manik, la harus menemukan Suci secepatnya.
Andika menduga, Suci berada di sebuah tempat -
entah di mana. Mungkin dalam keadaan tak
berdaya. Mengingat semua Ini, Andika bertambah
yakin, ucapan Tunggul Manik tidak main-main.
"Hhhh! bila kutemukan di mana kau berada,
Tunggul Manik, akan kucabik-cabik
tubuhmu!"serunya geram dan memeras otaknya
memikirkan jalan keluar dari sini.
Karena, dia harus berpacu dengan waktu!
"Pendekar Slebor...," panggil Setan Hitam
Compang-camping yang sejak tadi terdiam.
Karena jengkel akibat kata-kata Tunggul Manik,
Andika menyahut dengan nada membentak, "Apa?"
"Benarkah Pulau Seribu Setan itu ada?"
"Apakah kau tadi tidak mendengarnya, hah?"
"Aku mendengarnya."
"Bagaimana pendapatmu sendiri?"
“Bila kau yakin akan adanya Pulau Seribu Setan,
aku pun yakin akan hal itu."
"Bagus! Tetapi, jangan cuma jadi kambing congek
saja!" seru Andika yang tahu keinginan Setan Hitam
Compang-camping untuk mengabdi padanya. Dan
itu sangat tidak disukai Andika.
Kali ini Setan Hitam Compang-camping terdiam.
Karena dia merasa, salah bicara saja akan
memancing kemarahan Pendekar Slebor.
***
3
Jalan yang harus ditempuh oleh Pendekar Slebor
sekarang, keluar dari ruangan gelap ini. Mengingat
tenaga 'inti petir' tak mampu menghancurkan
dinding ruangan, Andika merapal ajian 'Guntur
Selaksa' yang diciptakan di Lembah Kutukan.
Tubuhnya mendadak bagai dilingkupi sinar
perak. Tempat di mana dirinya disekap, menjadi
terang seketika. Setan Hitam Compang-camping
mendesis takjub melihal hal itu. Dia mundur tiga
langkah mengingat Andika bermaksud menghantam
dinding di hadapannya
Dikawal seruan keras penambah semangat,
Andika meluncur menghantam dinding itu.
Blaaaarrrr!
Dinding itu seketika jebol. Pecahannya
berpentalan keluar. Sesaat Andika bersiaga. Matanya
menatap ke depan melalui dinding yang jebol besar
itu. Tak ada tanda-tanda jebakan. Diputuskannya
untuk segera meninggalkan ruangan di mana dia
disekap.
"Kita keluar dari sini!" katanya memberi tahu
Setan Hitam Compang-camping.
Dengan sekali lompat, Andika mencelat melalui
dinding yang bolong itu. la harus berpacu dengan
waktu, karena diyakini ucapan Tunggul Manik
bukan ancaman kosong. Menyusul Setan Hitam
Compang camping yang sudah berada di sisinya.
Berada di luar ruangan, keadaan agak terang
meskipun temaram. Anehnya, meskipun tempat di
mana Andika menjejakkan kaki sekarang tertutup
rapat dinding, angin dingin terasa berlarian bagai
berada di alam terbuka. Suasana angker dan
mencekam. Andika tak tahu, saat ini malam atau
sebaliknya.
"Busyet! Apakah bangunan ini benar-benar berada
di Pulau Seribu Setan?" desisnya tak tahu harus ke
mana. Di hadapannya ada lorong panjang. Di
sebelah kirinya berbentur tembok, ke kiri
nampaknya ada jalan.
Andika memutuskan untuk melewati lorong
panjang di hadapannya.
Ditolehkan kepalanya pada Setan Hitam
Compang-camping yang sejak tadi terdiam.
"Aku akan memasuki lorong di hadapanku ini.
Sebaiknya, kau memasuki lorong sebelah kiri."
"Baik."
"Ingat, kita berada di Pulau Serihu Setan, yang
sebenarnya rada tak masuk akal. Tetapi ucapan
Tunggul Manik bisa kita jadikan pegangan. Jadi, kau
harus berhati-hati "
"Aku akan melakukannya "
"Sebaiknya pula, hindari bila terjadi bentrokan.
Karena dari ucapan manusia keparat itu, dia hanya
menginginkan aku. Meskipun belum diketahui apa
tujuannya melakukan semua ini"
Setan Hitam Compang Camping menganggukkan
kepalanya.
"Mulailah. Dan hati hati."
Setelah menatap Andika, lelaki berpakaian
compang-campmg itu menganggukkan kepalanya.
Seolah meminta kekuatan batin pada Andika. Sosok
tinggi besar itu pun sudah berkelebat ke arah kiri,
mengikuti lorong panjang di hadapannya.
Andika mendesah pendek.
"Aku harus memburu waktu. Nasib Suci belum
kuketahui."
Ia segera berkelebat memasuki lorong di
hadapannya. Semakin dia melangkah angin dingin
makin menusuk tulang. Dikerahkan tenaga
dalamnya guna mengatasi angin yang datang seperti
menampar seluruh tubuhnya.
Manusia semacam apa Tunggul Manik itu yang
mampu menciptakan semua ini? desis Andika dalam
hati menyadari keanehan ini adalah ciptaan dari
Tunggul Manik
Lorong panjang itu telah dilalui. Dan membentur
pada sebuah pemandangan aneh. Ada lima buah
pintu di hadapannya, masing-masing berjarak satu
meter.
"Busyet! Seperti buntu apa yang ada di hadapanku
ini!" dengusnya. "Lima buah pintu. Hmm... pintu
mana yang harus kumasuki?"
Keras Andika memeras otaknya. Menentukan
pintu mana yang ditempuh. Tak mustahil kalau
pintu pintu itu berisi jebakan. Setelah terdiam
beberapa saat. Andika memutuskan untuk masuk
melalui pintu pertama. Karena, semuanya harus dari
awal.
Disiagakan dirinya. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah
terangkum sebagai senjata. Perlahan Andika
membuka pintu, agak bergetar dengan dada
berdebar.
Begitu pintu dibuka, matanya segera memicing
dan memalingkan kepala. Sinar yang sangat terang
begitu mencolok menghantam kedua matanya. Tak
sadar Andika menggerakkan tangannya untuk
menutupi pandangan.
"Kucing buduk! Apa apaan ini?!" dengusnya
sambil menutup pintu kembali. Napasnya agak
terengah. "Gila! Pintu itu bukan jalan yang benar.
Tak mustahil bila aku terus menatap sinar panas itu,
kedua mataku akan jadi buta! Pintu kedua harus
kumulai sekarang."
Kali ini Andika kembali bersiap bila memang
cahaya panas itu ada lagi di pintu kedua. Tetapi,
begitu pintu kedua dibuka, angin dahsyat
bergulung-gulung ke arahnya.
Memekik pemuda urakan itu melompat keluar
dan menendang pintu hingga tertutup.
Hiaaat!
Hantaman angin dahsyat itu menghantam pintu.
Ruangan itu bagai bergetar hebat. Anehnya, pintu
tak jebol sama sekali. Sesaat Andika menunggu. Tak
ada lagi gempuran dari angin yang menggulung-
gulung ke arah pintu.
Selebihnya sunyi seperti sediakala.
"Kutu busuk! Pintu manaa lagi yang halus
kumasuki?!" makinya geram. Namun tekadnya
untuk menentukan jalan keluar dari lorong panjang
yang baru dilaluinya makin membulat. Tantangan
semacam apa pun tak akan dipedulikan pemuda
urakan dari Lembah Kutukan ini, sebelum dia puas
mengetahui rahasianya.
Dibukanya pintu pintu lainnya, hati-hati dan
penuh kesiagaan. Dari pintu ketiga, meluncur
puluhan tombak ke arahnya. Dari pintu keempat
mengeluar asap busuk yang menyengat. Dari pintu
kelima, terlihat dua orang aneh terbungkus pakaian
dari emas menyerangnya.
Bukan bualan tegangnya pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu. Semua pintu telah
dibuka. Namun tak ada tanda-tanda pintu mana
yang harus ia masuki.
"Monyet buduk! Tak ada di antara kelima pintu ini
yang memberikan kenyamanan," desisnya sambil
menghapus kuingat. "Semuanya penuh bahaya
mengancam. Mungkin pula jebakan. Apakah
jebakan-jebakan itu melupakan sebuah jalan?
Ataukah memang jebakan semata?"
Sesaat Andika tak bisa memutuskan apa yang
akan dilakukan berikutnya. Sampai terlihat, lamat
tangan kanannya memegang hendel pintu kedua
kembali.
"Angin! Ya, barangkali saja aku bisa menerobos
pusaran angin itu! Pintu-pintu ini memang penuh
jebakan Aku tak peduli sekarang. Biar
bagaimanapun juga, aku harus lebih dulu
membuktikan!!"
Sebelum membuka pintu, dialirkan tenaga dalam
ke seluruh tubuh. Bobot tubuhnya ditambah melalui
aliran tenaga dalam itu. Sigap Andika membuka
pintu kedua kembali
Tegak ia berdiri dengan kedua tangan siap
dikibaskan ke depan. Matanya dibuka lebar-lebar,
siaga menanti serangan dahsyat yang datang. Tetapi
sejenak ia tertegun tak lagi angin keras bergulung.
Justru sebaliknya lorong panjang yang nampak di
matanya.
Kaget Andika menutup pintu kembali.
"Aneh! Apa sebenarnya yang terjadi? Ataukah...."
Cepat Andika membuka pintu pertama. Tak ada
lagi cahaya panas menyilaukan. Begitu pula ketika ia
membuka pintu ketiga, keempat dan kelima. Tak
ada serangan apa-apa. Yang nampak dari balik
setiap pintu, hanyalah lorong yang panjang.
Tertegun Andika menyaksikan semua ini. Sesaat
kelihatan ia mengangguk-angguk. "Hmm... apakah
sebenarnya ini sebuah kunci? Bila aku membuka
semua pintu, maka serangan itu akan lenyap?
Karena, tak mustahil orang lain enggan untuk
membuka pintu lainnya bila mengetahui ada
serangan berbahaya. Hhh! Tadi kubuka pintu kedua,
berarti, akan kulewati lorong di balik pintu kedua
itu."
Memikir demikian, dibukanya lagi pintu kedua.
Setelah menarik napas, Andika melesat melalui
lorong panjang di hadapannya.
***
Di satu tempat Tunggul Manik menggeram
melihat kecerdikan Pendekar Slebor dari wadah
yang berisi cairan kuning
"Cerdik! Tak sia-sia pemuda itu dijuluki pendekar
sejuta akal. Ia telah berhasil memecahkan rahasia
Lima Pintu Kematian. Akan ku lihat, apakah ia akan
bisa memecahkan rintangan-rintangan berikutnya
yang telah ku siapkan?”
Tak lama kemudian, mulut lelaki kasar itu
nampak berkomat-kamit.
***
Bukit Cadasgering, sebuah tempat yang jauh dari
Pulau Seribu Setan. Letaknya yang berada di sekitar
pegunungan kapur, menyebabkan daerah itu begitu
tandus. Kekeringan akrab sekali dengan bukit itu.
Setiap kali angin berhembus kencang, debu kapur
langsung bertebalan menjelajah tanah Bukit
Cadasgering.
Apalagi di siang yang terik ini.
Namun, tempat yang jarang didatangi orang,
justru tengah terjadi satu pertarungan dahsyat.
Seorang laki laki bersenjata tambang besar, sedang
mencecar sepasang anak manusia berbaju biru.
Gempuran tambangnya begitu dahsyat,
menghancurkan kapur-kapur yang langsung
beterbangan. Siapa lagi manusianya kalau bukan
Iblis Tambang yang memiliki senjata tambang besar
dan sedang melancarkan serangan dahsyat itu.
Sejak pertarungan dengan Pendekar Slebor dan
terluka pada tangan kirinya, ia menghindar dan
berhasil mengobati luka-luka tangannya.
Sementara yang sedang digempur ilu adalah
Sepasang Dewa Gurun Pasir. Pasangan serasi dari
orang-orang muda yang berusia paling tidak tiga
puluh tahun dan dua puluh enam tahun.
Julukun Sepasang Dewa Gurun Pasir bukan
julukan kosong. Namanya cukup dikenal sejak lima
bulan terakhir. Datang dari dataran pasir yang
cukup panjang di pantai timur pulau Bali. Tak
seorang yang mengerti apa maksud mereka tiba di
tanah Jawa. Hanya desas-desus mengatakan, mereka
selalu menantang siapa saja yang dijumpai.
Konon, di pulau Dewata, tak ada lagi yang
mampu menandingi mereka.
Dalam menghadapi setiap lawan yang ditantang,
Sepasang Dewa Gurun Pasir selalu menyerang
serempak. Tidak alang kepalang, gempuran mereka
dahsyat dan mematikan.
Gempuran Iblis Tambang dibalas cepat,
bersamaan dan beruntun. Mencecar bagian-bagian
yang berbahaya. Kelebihan dari Sepasang Dewa
Gurun Pasir, kelincahan yang luar biasa. Menyusul
jurus-jurus yang mematikan.
Pertarungan itu sebenarnya singkat saja, bila Iblis
Tambang tidak segera mundur dan berseru, "Tahan!"
Gempuran dari dua lawannya terhenti. Menatap
tak berkesip pada lawan
"Sepasang Dewa Gurun Pasir tak akan melepas
lawan sebelum bekalang tanah" seru yang laki-laki
Wajahnya tampan dengan rambut gondrong. Ikat
kepala berwarna putih. Pakaian birunya berkebyar
dimainkan angin. Kejantanan begitu nampak,
namun matanya memancarkan keculasan.
"Kita tak saling kenal, tak punya silang sengketa!
Mengapa menyerang?" seru Iblis Tambang menahan
napas. Memperhatikan lawan yang sedang menatap
dingin.
"Pulau Jawa gudang dari para pendekar! Kami
menyeberang untuk menjajal kemampuan!"
Otak culas yang dimiliki Iblis Tambang berputar
cepat Ia merasa ada kambrat yang bisa dijadikan
sekutu.
"Jelas tak mampu aku menghadapi kalian. Jauh
ilmu yang kalian miliki dibanding kepandaianku!"
katanya memulai rencana busuk yang terjalin begitu
saja di benaknya.
"Raka Gunarsa! Jangan buang tempo! Bunuh
manusia itu!" seru yang wanita. Kecantikannya
sungguh luar biasa. Memiliki dada yang besar, yang
sejenak akan membuat mata laki-laki yang belum
mengenal betapa kejamnya wanita itu akan tergiur
dan tak akan mengarahkan tatapannya pada obyek
lain. Kulitnya pulih, bening. Tetapi, senyum yang
bertengger di bibirnya dingin sekali, sedingin
tatapan matanya.
"Kau dengar kata-kata kekasihku, Manusia
Laknat? Kau tak bisa kuampuni lagi! Tak akan
pernah Sepesang Dewa Gurun Pasir meninggalkan
lawan-lawannya tanpa nyawa lawan-lawannya
putus dari badan!"
"Tunggu!" semakin culas pikiran yang ada di
benak Iblis Tambang. Dengan memasang wajah
mengalah dan sikap pasrah, dia berkata lagi, "Aku
tak akan melawan. Karena menghadapi kalian
hanyalah sebuah kesia-siaan. Ampuni selembar
nyawaku yang hina ini,"
"'Tak ada yang mampu menghentikan keinginan
Sepasang Dewa Gurun Pasir!" seru Raka Gunarsa
dengan seringai lebar.
"Akan kuberikan imbalan pada kalian bila kalian
mau mengampuni nyawaku!"
"Hhhh! Kami tak membutuhkan harta benda!
Yang kami butuhkan adalah pengakuan!"
"Akan kutunjukkan pada kalian lawan tangguh
untuk menjajal kemampuan!"
Raka Gunarsa terbahak-bahak.
'Tak seorang pendekar pun yang mampu
menghentikan sepak terjang Sepasang Dewa Gurun
Pasir! Berani menantang, berarti siap menghadapi
ajal! Menolak tantangan Sepasang Dewa Gurun
Pasir, akan mampus seperti anjing lapar!"
"Pendekar Slebor mampu mengalahkan kalian!"
seru Iblis Tambang terus memasang jeratnya.
"Keparat!" meradang Raka Gunarsa keras.
Tawanya terhenti seketika. Kedua matanya
mendelik besar pada Iblis Tambang yang dalam hati
tersenyum. "Siapa orang yang kau sebutkan itu?!
Sehebat apa kesaktian yang dimilikinya?!*
Merasa lawannya terpancing ucapannya. Iblis
Tambang bagai menemukan sasarannya, "Di tanah
Jawa ini, telah lama malang melintang seorang
pemuda berbaju hijau pupus yang menjuluki dirinya
Pendekar Slebor! Pemuda itu pun memiliki
keinginan seperti kalian, menjajal kemampuan siapa
saja yang dirasakannya cukup tangguh
menghadapinya! Akupun terpaksa menerima
tantangannya dan aku kalah! Jadi kupikir, satu-
satunya yang mampu mengatasinya adalah kalian.
Sepasang Dewa Gurun Pasir. Yang aku yakin
kemampuan kalian lebih tinggi dari Pendekar
Slebor! Tetapi perlu kalian ketahui, kesombongan
Pendekar Slebor harus dihentikan! Seperti yang
diinginkan oleh banyak pendekar di tanah Jawa ini!”
Sepasang Dewa Gurun Pasir merandek gusar.
Berpandangan sesaat. Keduanya adalah manusia-
manusia yang tak pernah puas dengan kemampuan
yang mereka miliki. Terutama, pada kemampuan
orang lain. Setiap saat mereka mengisi kehidupan
yang mereka jalani untuk menebarkan tantangan.
Bagai disepakati, keduanya menganggukkan kepala.
Raka Gunarsa menoleh lagi pada Iblis Tambang
yang makin tersenyum dalam hati.
"Tunjukkan di mana manusia keparat itu! Akan
kami buktikan, bahwa Sepasang Dewa Gurun Pasir
tak akan terkalahkah!"
"Tentu, tentu aku akan menunjukkannya," kata
Iblis Tambang sambil tersenyum. Terbayang di
benaknya ia akan memetik keuntungan dari
pertarungan antara Pendekar Slebor dengan
Sepasang Dewa Gurun Pasir.
"Bila manusia berjuluk Pendekar Slebor itu tak
mampu menghadapi kami, kau harus mati!!"
Tak cukup membuat Iblis Tambang ketakutan
dengan ancaman itu. Baginya, bila terjadi
pertarungan hebat antara Pendekar Slebor dan
Sepasang Dewa Gurun Pasir, ini suatu hal yang
sangat menarik. Permata Sakti yang dimiliki
Pendekar Slebor sekarang, adalah sasaran yang
diinginkannya. Juga, membalas sakit hatinya akan
kekalahannya waktu itu.
Namun kata-kata dari Ida Ayu Mantri mengejut
kau Iblis Tambang "Kami ingin mengambil sebelah
tanganmu, agar kau tak lepas dari tangan kami!!"
Bersamaan dengan itu, tubuh lda Ayu Mantri
berkelebat laksana kilat. Iblis Tambang terkejut
dengan wajah pias. Sebelum dia sempat melakukan
gerakan apa-apa, entah bagaimana terjadinya, tahu-
tahu tangan kirinya telah putus.
Jeritan keras terdengar menyayat. Tubuh Iblis
Tambang bergulingan. Bersamaan dengan itu, Ida
Ayu Mantri menjentikkan tangan kanannya.
Tuk! Tuk!
Urat darah Iblis Tambang tertotok. Darah yang
mengalir dari tubuh Iblis Tambang terhenti seketika,
bersamaan dengan gerak tubuhnya yang kelojotan.
Raka Gunarsa terbahak-bahak sambil merangkul
kekasihnya. Lalu penuh nafsu dikecupinya leher dan
wajah Ida Ayu Mantri yang kegelian.
"Menyenangkan. Sangat menyenangkan. Aku
menyukai kekejamanmu, kekasihku. Sepasang Dewa
Gurun Pasir tak akan menemui lawan sepadan!"
Ida Ayu Mantri menatap mesra pada kekasihnya.
"Tak seorang pun akan mampu lari dari tangan
Sepasang Dewa Gurun Pasir!"
Penuh kemesuman, Raka Gunarsa merebahkan
tubuh kekasihnya di atas tanah yang cukup panas.
Namun hal itu tak dirasakan oleh keduanya.
Tertawa-tawa mulai dibukanya pakaian kekasihnya
disertai kecupan liar yang panas.
Ida Ayu Mantri banyak terkikik geli. membiarkan
tangan kekasihnya merajah seluruh tubuhnya. Hal
itu memang sering terjadi. Kedua anak manusia
berhati mesum itu melakukan hubungan badan
dimana saja mereka suka. Tak peduli dihadapan
orang banyak. Karena, nafsu telah mengalahkan akal
sehat mereka.
Namun sebelum apa yang mereka inginkan ter-
laksana, terdengar seruan Raka Gunarsa.
"Lihat! Asap apa yang melingkupi tubuh laki-laki
buntung itu?!"
***
Ida Ayu Mantri cepat merapikan pakaiannya.
Terbelalak dan kening berkerut ia menyaksikan apa
yang dikatakan kekasihnya. Tubuh Iblis Tambang
mengapung tak berdaya dalam gumpalan asap
hitam.
Belum lagi menyadari apa yang terjadi,
keduanya terkesiap ketika muncul asap hitam
lainnya. Bergulung ke arah mereka
"Gila! Apakah ini perbuatan manusia yang
berjuluk Pendekar Slebor? Baik, kita lihat siapa yang
lebih kuasa!" sentak Raka Gunarsa sambil bersiap
menyongsong asap hitam yang melesat ke arahnya.
Jotosan penuh tenaga dalam dilepaskan.
Plossss!
Jotosan itu bagai nyeplos belaka. Belum
keheranan melanda Raka Gunarsa habis, tubuhnya
mendadak bagai ditarik, memasuki asap tebal itu
secara paksa.
Ida Ayu Mantri berusaha menolong. Tetapi, hal
yang sama pun dialaminya. Rontaan keduanya, tak
mampu meloloskan diri dan tak berdaya dalam
gulungan asap hitam.
Tak lama kemudian, keduanya pun terkulai
pingsan
***
4
Lorong yang dilalui Andika semakin panjang.
Rasanya sudah cukup lama Andika berlari, namun
belum menemukan ujungnya pula. Dia seolah
sedang mengejar dinding hitam panjang di kanan
kirinya.
Dalam berlari Andika berbisik di hati, "Aneh! Ini
benar-benar aneh! Baru kali ini kudapati bangunan
memiliki lorong demikian panjang. Hhh! Di mana
aku harus menemukan Suci. Manusia keji bernama
Tunggul Manik memaksaku untuk marah rupanya.
Aku pun harus mempertanggungjawabkan Permata
Sakti yang memancarkan sinar biru pada Kakek
Buruk Rupa."
Penuh pertanyaan yang belum terjawab dalam
benaknya. Andika tak menghentikan larinya barang
sekejap. Penasaran dibawanya terus larinya.
Dalam jarak lima tombak. Andika melihat sebuah
taman di hadapannya. Memancarkan bau wangi
yang mampu membuat siapapun terbius beberapa
saat.
Dihentikan lariya disana. Sukar ditebak, berapa
lama dia berlari melewati lorong. itu Dan matanya
memandang takjub apa yang terpampang di
hadapannya.
"Hmmm... taman apa ini? Banyak bunga-bunga
beraneka warna tumbuh di sini dan menebarkan
semerbak wangi. Aku yakin, ini mirip kaputren di
mana selir para raja tinggal. Busyet! Pulau Seribu
Setan bukan hanya banyak menyimpan misteri!
Tempat yang kuyakini berupa bangunan ini pun
menyimpan keanehan yang dalam. Sebesar apakah
bangunan ini? Apakah seukuran dengan ikan paus
raksasa?"
Diperhatikan sekelilingnya dengan rasa keheranan
makin menggunung. Belum lagi Andika menduga
apa yang akan terjadi, sayup-sayup telinganya
menangkap suara di kejauhan.
"Kang Andika! Tolong akuuuu!" Terdengar
teriakan penuh duka dan kesedihan.
Andika tersentak.
"Suci!" desisnya. Diputar tubuhnya berkali-kali,
mencoba menemukan dari mana asal suara itu.
"Suci, itu suara Suci. Apakah dia berada di sekitar
sini? Suciiii! Di mana kau berada?! Succciiii!!"
"Kang Audikaaaa! Tolong aku! Bebaskan aku,
Kang!”
Suara yang dikenal Andika sebagai milik Suci,
menggema di tempat itu. Membuat Andika harus
mendengus berkali-kali karena sulit menentukan
darimana asal suara itu. Tak ada tanda-tanda dia
bisa menemukan. Karena yang terpampang di
hadapannya, hanyalah taman bunga belaka.
"Apakah itu hanya ilusi saja? Ataukah desir angin
yang membawa suara Suci dari satu tempat? Tetapi,
pendengaranku tak salah, kalau suara itu berasal
dari sekitar taman."
Diputuskan unluk menyelidiki taman besar penuh
bunga-bunga itu. Tetapi, tak ada tanda-tanda Suci
disana. Disesali kebodohannya mengapa harus
membuang tenaga memeriksa taman, karena dari
tempatnya berdiri tadi dia tak melihat tubuh Suci di
sana.
"Suci!! Katakan, kau di mana? Aku akan
menolongmu?" serunya keras.
"Kang Andika, aku tidak tahan! Sakit, Kang
Andika! Sakiitttt!!" suara itu menggema lagi, kali ini
diiringi isak yang memilukan.
Geram bukan buatan Andika menyadari sukar
baginya menentukan dari mana asal suara itu.
Karena, bagai terseret, berpindah dari satu tempat ke
tempat lam. Kegeraman itu makin bertambah,
membayangkan kemungkinan Suci saat ini berada
dalam satu penderitaan. Itu terbukti dari suaranya
yang serak dan penuh duka.
"Berabe kalau begini. Aku cuma bisa jadi kambing
congek belaka! Rupanya Tunggul Manik memang
sudah mempersiapkan semuanya."
Namun mendadak saja Andika tersentak, dengan
bola mata membulat besar. Di hadapannya
mendadak terlihat sebuah tiang gantungan. Cukup
tinggi. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi,
Suci terikat terikat diujung atas sana.
"Gila! Tak kulihat ada tiang ini tadi? Bagaimana
bisa muncul mendadak? Kurang ajar! Siapa lagi
kalau bukan Tunggul Manik," makinya dalam bati.
Penuh kegeraman dan kekhawatiran Andika
melompat lima tindak ke depan. Mendongak dan
berseru, "Suci! Tahan, aku akan menolongmu!"
"Sakit, Kang Andika! Aku ngeri!!" seru Suci
dengan wajah pucat. tubuhnya tak bisa digerakkan.
Sungguh bukan bualan kelu hati Andika melihat
keadaan Suci. Diperhitungkannya tinggi tiang
gantungan yang mengikat tubuh Suci.
Tetapi, satu pikiran menyelinap di benaknya.
"Apakah ini bukan sebuah jebakan?" pikirnya.
"Sejak tadi aku tidak melihat ada tiang gantungan di
sini. Lalu tahu-tahu muncul begitu saja dengan
tubuh Suci terikat. Hmm... aku harus berhati-hati!
Jangan-jangan, ini permainan berikutnya dari
Tunggul Manik."
"Kang Andika... mengapa kau diam saja?
Mengapa kau tidak segera menolongku? Manusia
laknat itu akan membunuhku, Kang! Tolong aku,
Kang! Tolooong!!"
Serua Suci membuat hati Andika menjadi galau.
Sukar menebak apakah ini sebuah jebakan atau
bukan. Untuk beberapa saat Andika masih terdiam,
tak berbuat apa apa.
Ketika melihat tubuh Suci bergetar hebat diiringi
teriakan bagai lolongan serigala, Andika tersentak.
"Sakit, Kang! Sakiiiittt!!"
Diputuskan untuk melompat menyambar tubuh
Suci. Diperhitungkan sekali lompat ia akan
memutuskan tali-tali pengikat tubuh Suci.
Dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya Kedua
tangannya dialiri tenaga dalam tinggi. Dengan
pencalan dua kaki, tubuh Andika meluncur ke atas.
Tak ada angin yang terasa menyambar. Semua
mendadak seperti mati. Begitu tiba di hadapan Suci,
tanpa membuang tempo, Andika memapas putus
tali yang mengikut tubuh Suci. Tangan kirinya sigap
menyambar tubuh Suci yang terpental begitu tali
pengikat tubuhnya putus.
Cepat Andika kendalikan diri. Masih merangkul
Suci, dia putar tubuhnya dua kali. Dan meluncur ke
tanah dengan kedua kaki di bawah.
"Kau aman, Suci!" hiburnya ketika melihat gadis
itu merapatkan kedua matanya erat-erat.
Begitu kedua kakinya hinggap di tanah, sesuatu
yang luar biasa terjadi....
***
Kakek Buruk Rupa mengerutkan kening yang
tertutup rambut panjangnya. Tempat di mana dia
berada sekarang ini cukup terang, hingga bisa
dilihatnya Camar Hitam yang duduk tak jauh di
hadapannya. Dikelilingi oleh tembok hitam.
Wanita tua kejam itu pun telah bangun dari
pingsannya Sesaat dirasakan kepalanya pusing dan
tubuhnya yang lemah. Namun semuanya sirna,
begitu melihat siapa yang berada di hadapannya.
Seketika dia bangkit dan siap melepaskan ajian
'Penutup Jalan Darah'
"Tahan!" seru Kakek Buruk Rupa yang melihat
Camar Hitam siap melepaskan satu
serangan,dengan tangan kanan kedepan. Telapak
tangan terbuka ke atas. Gerakan tangannya itu
bukan sebuah gerakan biasa. Melainkan
mengeluarkan tenaga dalam, menahan gerakan
Camar Hitam.
Camar Hitam mendengus gusar. Bukan karena
mendengar seruan itu, melainkah karena dirasakan
tubuhnya bagai terhalang dinding tebal tak numpak
"Peduli setan dengan ucapanmu! Kau harus
mampus, Lelaki tua!"
'Tunggu, Camar Hitam! Tinggalkan sejenak
kemarahanmu itu. Tidakkah kau merasa asing
dengan tempat di mana kita berada? Buka kedua
mata jelekmu itu, tatap sekelilingmu! Bukankah
sebelumnya kita berada di...."
"Diam!" potong Camar Hitam. Tetapi tak urung
kedua mata kelabunya memperhatikan pula
sekelilingnya. Tangannya yang siap melepaskan
ajian 'Penutup Jalan Darah' diturunkan. Penuh rasa
heran wanita tua itu berjalan ke sekelilingnya.
"Kau percaya bukan?" seru Kakek Buruk Rupa.
Camar Hitam tak mempedulikannya.
"Hhh! Tempat apa ini sebenarnya? Apa yang telah
terjadi?" kata wanita tua kejam itu dengan suara
mendesis, pada dirinya sendiri.
"Mana aku tahu," sahut Kakek Buruk Rupa
Seenaknya
"Aku tidak tanya padamu!" bentak Camar Hitam.
"Aku ingin tahu, tempat apa sebenarnya ini?" maki-
nya ketus.
Dialirkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Menghantam dinding hitam itu.
Blaaar!
Dinding itu tak goyah sedikit juga.
"Setan belang! Terbuat dari apa dinding ini!"
"Sebelum memutuskan untuk menghancurkan
dinding itu, sebaiknya kita menebak dulu di mana
kila berada sekarang," kata Kakek Buruk Rupa yang
tertawa melihat pukulan Camar Hitam pada dinding
itu tak berfungsi sama sekali.
Camar Hitam menoleh gusar. Mata celongnya
bagai tertarik ke dalam, menyipit.
"Setelah semua ini, tak akan kuurungkan niatku
untuk membunuhmu!"
"Memangnya gampang?"
"Setan!" Tangan kanan Camar Hitam mengibas.
Wusss!
Serangkum angin dahsyat menderu ke arah Kakek
Buruk Rupa. Yang tiba-tiba saja sudah tak ada di
tempatnya. Pukulan Camar Hitam menghantam
tembok di belakang si kakek.
Duaaar!
Tembok itu tidak jebol sama sekali.
"Tenang dulu, tenang," kata Kakek Buruk Rupa.
"Meneruskan pertarungan kita sangat mudah sekali!
Di tempat semacam ini pun bisa dilaksanakan!
Tetapi, apakah tidak lebih baik kita mengetahui
tempat apa ini dulu sebelum meneruskan
pertarungan, hah?"
Camar Hitam terdiam meskipun mengeluarkan
dengusannya. Dibenarkannya pula kata-kata Kakek
Buruk Rupa. Tanpa sadar kedua tangan kurusnya
yang terbungkus baju keperakan meraba-raba
diding itu.
Di belakangnya Kakek Buruk Rupa berbuat yang
sama.
"Hmmm... menembus dinding ini adalah jalan
pertama untuk keluar dari sini. Tak ada pintu sama
sekali, Gila! Bagaimana caranya kita masuk tadi?"
membatin si kakek sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Di lain pihak. Camar llilam sudah merangkum
kembali tenaga dalamnya. Dilipatgandakan dari
pukulan pertama tadi. Tanpa berkata apa-apa pada
Kakek Buruk Rupa, dihantamnya dinding di
hadapannya.
Suara gemuruh terdengar hebat. Kakek Buruk
Rupa seketika menoleh dan terkekeh-kekeh.
"Lumayan pukulanmu itu!" desisnya dan
melompat keluar mendahului Camar Hitam yang
menggeram.
Kalau sebelumnya dua orang tua berbeda aliran
itu berada dalam pertikaian yang sengit, kali ini
tanpa disadari masing-masing berkeinginan untuk
lebih dulu mengetahui di mana mereka berada.
Seperti diketahui. Kakek Buruk Rupa sedang
mencari cucunya yang pergi bersama Pendekar
Slebor. Maka, ingatannya pun beralih pada Suci.
"Di mana cucu jelitaku sekarang ini? Sebenarnya
cukup aman bagiku mengingat dia bersama si
Slebor. Tetapi awas, akan kupatahkan tangan si
Slebor bila pemuda itu mulai bersikap lancang."
Sementara itu Camar Hitam berkata seraya
memandang sekelilingnya.
"Tempat ini seperti sebuah bangunan. Namun
langit-langitnya begitu tinggi sekali. Dan ada dua
lorong yang sangat panjang. Apakah tempat ini
didiami oleh raksasa?"
"Boleh juga pendapat seperti itu," sahut Kakek
Buruk Rupa sambil memperhatikan lorong panjang
di sebelah kanannya. "O ya, kalau kau masih mau
berada di sini, silahkan' Aku ingin melihat keadaan."
Tanpa menghiraukan Camar Hitam Kakek Buruk
Rupa mulai melangkah. Hanya satu tindak dia
berhasil melangkah, selebihnya bagai ditahan oleh
ribuan tangan kasar.
"Kau jangan ke mana-mana! Urusanku untuk
mendapatkan Permata Sakti yang kau miliki dan
kau berikan pada Pendekar Slebor masih menjadi
urusan!"
Kakek Buruk Rupa menyahut tanpa menoleh.
"Jelas itu urusanmu!" Lalu dikerahkan tenaga
dalamnya untuk memupus serangan gelap Camar
Hitam. Lalu melangkah lagi dengan santainya.
Tinggal wanita tua berbaju perak dengan rambut
disanggul ke atas yang menggeram. 'Tenaga
dalamnya tak jauh bedanya dengan tenaga dalamku.
Setelah kuketahui tempat sialan ini, akan kuteruskan
pertarunganku dengan orang tua sialan itu!
Terutama, keinginanku untuk mendapatkan
Permata Sakti yang dimilikinya dan kuketahui telah
dipegang Pendekat Slebor "
Berlainan arah dengan yang ditempuh Kakek
Buruk Rupa, Camar Hitam berkelebat ke sebelah
kanan.
***
Andika memekik keras seraya melontarkan tubuh
Suci dari boponganya bulu kuduknya meremang
tatkala mendapati tubuh yang dibopongnya tadi
berubah menjadi seekor ular besar.
"Benar dugaanku! Hanya jebakan belaka!"
makinya geram.
Ular besar warna kuning itu bergerak-gerak
dengan liar. Mulutnya mendesis-desis mengerikan,
mengeluarkan lidah bercabang dua pada ujungnya.
Bola mata bundar berwarna merah tak luput sedikit
pun menatap Andika. Mendadak saja desisan yang
menandakan kegarangan terdengar. Menyusul
kepalanya mencelat ke arah Andika.
Terperangah pemuda urakan itu menghindar
dengan jalan membuang tubuh kesamping. Namun
bersamaan dengan Andika menghindar, ekor ular
besar itu bergerak menyapu kedua kakinya begitu
hinggap di tanah.
Gerakan ekor ular itu menimbulkan angin laksana
debur ombak. Menerabas bunga-bunga beraneka
warna yang langsung luruh dan memuncratkan
tanah setinggi satu meter.
Ular jejadian yang mengerikan itu terus
mengurung Andika dengan dua serangan serempak.
Kepalanya mencelat siap mencaplok kepala Andika,
sementara ekornya mengibas untuk menggempur
lumat tubuh Andika.
Andika tak mau tinggal diam. Dikawal dengan
gerengan keras dan angm kuat, Andika meluncur
dengan merangkum tenaga 'inti petir' tingkat kedua
belas. Gerakan tubuhnya tak ubahnya bagai elang
belaka, siap mencengkeram mangsa.
Des! Des!
Dua kali jotosan tangan kanan dan kiri yang
mengandung tenaga 'inti petir' menghantam kepala
ular besai itu. Ular itu justru bertambah liar
bergerak. Makin banyak bunga yang terpapas dan
tanah yang muncrat. Andika mundur sepuluh
tindak untuk melihat apa yang terjadi.
"Gila!" desisnya tertahan.
Ular besar kuning itu tetap menyerang dengan
kepala masih utuh! Belum lagi Andika mengerti apa
yang terjadi, mendadak mulut ular besar itu terbuka,
menampakkan deretan gigi runcing yang siap
mencabik-cabik tubuh Andika. Dari sana,
menyembur kabut warna kuning, menderu ke arah
Andika!
"Sinting!" maki pemuda sakti itu sambil
mengibaskan kedua tangannya, mencoba mengusir
gumpalan kabut yang keluar dari mulut besar itu
terus menerus. Tetapi semakin dikebutkan kedua
tangannya, semakin banyak kabut kuning panas itu.
Bergumpal, bergulung dan menderu ke arahnya.
"Ular buduk!" geramnya melompat ke belakang. Dan
ketika hinggap sepuluh tombak di antara bunga-
bunga warna warni, di tangannya sudah
tergenggam kain pusaka bercorak catur.
Bersamaan kabut kuning menderu lagi ke
arahnya. Andika mengebutkan kain pusaka warisan
Ki Saptacakra. Suara bagai ribuan tawon marah
mendengung, memenuhi taman itu.
Beeet! Wussss!
Bukan hanya gumpalan kabut kuning itu yang
pecah, bunga-bunga yang tumbuh pun terpapas
habis, beterbangan, terkena besarnya angin yang
menderu. Melihat kesempatan, Andika mengempos
tubuhnya, menembus pecahan kabut kuning itu
sambil mengebutkan kain pusakanya kembali.
Wusss!
Pyaaarr!
Kain pusaka yang dikebutkannya berhasil
dihindari ular besar itu dengan cara meliukkan
tubuhnya. Menyusul ekornya menggebah dahsyat.
Andika melompat dan diiringi teriakan mengguntur,
kembali dikibaskan kain pusakanya. Menghantam
kepala ular itu. Telak. Suara raungan membahana,
diiringi dengungan bagai ribuan tawon marah yang
ditimbulkan oleh kebutan kain bercorak catur.
Begitu dahsyatnya hingga debu-debu tebal
menyelimuti tempat di mana ular besar tadi berada.
Menghalangi pandangan Andika yang bersiap
dengan mata memicing. Bila asap hitam itu lenyap.
Andika bersiap untuk menghantamkan kain
pusakanya lagi.
Akan tetapi, dari picingan mata menunggu, justru
membelalak lebar ketika tak lagi melihat ular besar
itu di hadapannya. Serentak Andika memutar
tubuhnya, menghamparkan pandangan pada
seluruh tempat.
"Sinting! Ke mana ular besar sialan itu?!"serunya
seraya melompat ke depan. Memperhatikan
sekelilingnya. Disampirkan kembali kain bercorak
catur ke lehernya. "Makin besar dugaanku kalau ular
itu ular jejadian belaka! Hhh! Tunggul Manik, tak
akan kubiarkan kau meneruskan permainan
busukmu ini!”
***
5
Di ruangan yang tersembunyi, Tunggul Manik
menggeram hebat menyaksikan ilmu sihirnya
berhasil ditumbangkan oleh Pendekar Slebor dari
dalam wadah berisi cairan kuning. Matanya
terbelalak tak percaya melihat ular besar ciptaannya
menjadi asap.
"Keparat!" makinya dengan kedua tangan
mengepal keras, hingga otot-otot tangannya
menyembul. Rahangnya dikertakkan dengan mata
melotot gusar. "Setan alas! Pemuda itu ternyata tidak
hanya memiliki kesaktian tinggi, tetapi otaknya
sangat cerdik! Ketabahannya menjadi jaminan dia
akan mampu menghadapi segala rintangan! Hhh!
Ternyata ilmu sihirku tak mampu menghadapi kain
bercorak catur itu! Ada kekuatan apa yang
tersembunyi pada kain bercorak catur itu? Ingin
kulihat kehebatannya lebih lanjut!"
Diperhatikannya Pendekar Slebor yang melesat ke
kiri dari taman yang kini berantakan.
"Tak akan mudah menghentikan permainan yang
kuciptakan ini, Pendekar Slebor! Dalam tempo yang
singkat, Rimba persilatan akan kehilangan tokoh-
tokoh kelas atasnya! Setelah semua ini berhasil,
berarti ilmuku telah sempurna. Tibalah saatnya
bagiku untuk muncul di dunia ramai! Bukan hanya
mengirim anak buahku untuk menjajaki rimba
persilatan. Tetapi, diriku sendiri yang akan muncul
dan akan kubuat kacau rimba persilatan dengan
menculik dan membunuh para tokohnya!"
Tawa keras mengumandang di ruangan bau
busuk itu.
"Hhhh! Memasuki lorong kelima, kau akan
menghadapi sepak terjang anak buahku yang untuk
sementara ini masih kutahan keberadaan mereka,
Pendekar Slebor! Sementara, kau masih harus
mencari gadis yang bernama Suci itu! Sebaiknya,
kulihat keadaan Sepasang Dewa Gurun Pasir dan
Iblis Tambang. Sudah saatnya mereka untuk
siuman."
Mulut Tunggul Manik berkomat-kamit kembali.
Tangan kanannya dikatupkan di dada. Lalu
perlahan sekali tangan kanannya bagai mengambil
asap dupa dari wadah yang menyala. Diarahkannya
pada wadah berisi air kuning.
Sesaat kemudian, dia telah melihat apa yang
diinginkannya....
***
Raka Gunarsa menggeliat pelan. Kepalanya
terasa pusing sekali dengan mata yang nyeri.
Tubuhnya terasa pegal. Lamat disertai keluhan,
lelaki dari Sepasang Dewa Gurun Pasir membuka
sepasang matanya.
Mata yang tadi sulit dibuka dan menimbulkan
rasa nyeri, terbelalak begitu melihat sekelilingnya
Sebuah kehampaan bagai merasuki perasaannya
"Di mana ini?" desisnya berusaha berdiri. bagai
orang baru bangun dari tidur selama bertahun-
tahun, dia memutar tubuhnya melihat sekeliling.
"Rasanya, aku seperti berada dalam sebuah ruangan.
Terkurung rapat!" desisnya. "Keparat! Ini tantangan
buat Sepasang Dewa Gurun Pasir."
Tak sengaja kakinya menyentuh satu sosok tubuh
di bawahnya. "Ida Ayu Mantri," desisnya.
Tertegun dan terburu-buru dengan kecemasan
menyelinap di hati, dibangunkannya kekasihnya
yang tak sengaja tersentuh kakinya tadi.
Ida Ayu Mantri terbangun dengan kepala
berpendar pusing. Keluhannya terdengar pelan
sambil memegang kepalanya dengan tangan kanan.
"Di manakah kita berada sekarang ini, Raka?"
tanyanya pelan, menyadari yang membangun
kannya kekasihnya. Wajah cantiknya sedikit
memucat.
"Aku tidak tahu. Yang kuingat, ada asap tebal
yang menyelimuti Iblis Tambang. Lalu mengurung
kita Selebihnya kita pingsan."
“Oh! Kepalaku sakit sekali!"
"Alirkan tenaga dalammu. Ida. Dengan cara
begitu, rasa sakit di kepala dan pegal di tubuhmu
akan menghilang "
Ida Ayu Mantri melakukan petunjuk kekasihnya.
Sesaat dirasakan tubuhbta menjadi segar kembali.
"Mana manusia keparat yang berjuluk Iblis
Tambang itu? Jangan-jangan dia yang melakukan
semua ini," tebak Ida Ayu Mantri.
Raka Gunarsa memiringkan matanya menatap
sekitar. Membuktikan kebenaran kata kata
kekasihnya tentang Iblis Tambang
Pada saat yang sama, Iblis Tambang juga sudah
siuman. Terbelalak diperhatikan sekelilingnya.
Empat dinding mengurungnya dengan langit-langit
tinggi-
Belum lagi disadari di mana dia berada, satu
serangan yang dilakukan oleh Raka Gunarsa sudah
menderu ke arahnya. Sigap meskipun kesadarannya
belum pulih benar, Iblis Tambang menggerakkan
tubuhnya.
Wusssh!
Cepat dikirimkan satu tendangan ke samping,
memutar cepat. Raka Gunarsa menekuk sikunya.
Plak!
"Katakan, apakah semua ini ulahmu, ataukah
Pendekar Slebor yang kau sebutkan waktu itu yang
melakukannya, hah?!" bentak Raka Gunarsa.
Iblis Tambang tak segera menjawab. Kalau dia
yang melakukannya, sudah tentu dia tak merasa
keheranan. Kalaupun Pendekar Slebor yang
melakukannya, sepanjang ingatannya Pendekar
Slebor tak memiliki ajian semacam gumpalan asap
yang membuat orang pingsan.
Mendapati lawan tak menjawab pertanyaannya.
Raka Gunarsa makin meradang. Dibantu oleh
kekasihnya, keduanya melabrak Iblis Tambang
bertubi-tubi.
Ruangan itu bergetar hebat. Beberapa kali dinding
yang melingkupi mereka bagai mau ambruk.
Menghadapi Sepasang Dewa Gurun Pasir, Iblis
Tumbang memang tak mampu bertahan lama.
Terutama, karena keseimbangan tubuhnya belum
pulih benar, sementara kedua lawannya telah
memulihkan kondisi tubuh mereka.
Otak lelaki bersenjata tambang besar itu yang licik
berputar. Dia sengaja menghindari setiap serangan
yang datang memepet ke tembok. Berkelit lincah
dengan sesekali membalas. Serangan yang
dilancarkan kedua lawannya berkali-kali
menghantam dinding di belakangnya.
Inilah yang memang ditunggu Iblis Tambang.
Sengaja dia tak menghindar kebagian lain. Tetap di
belakang dinding yang terus terkena hajaran dua
lawannya. Akibatnya, dinding itu pun akhirnya
jebol. Bersamaan itu, dengan pencalan satu kaki
sambil mengibaskan tangannya mengirimkan satu
pukulan ke depan, sekaligus menahan serangan Ida
Ayu Mantri, Iblis Tambang melompati dinding jebol
itu, dan berkelebat meninggalkan Sepasang Dewa
Gurun Pasir yang geram bukan main.
"Kelicikan bangsat itu sungguh mengagumkan!",
geram Raka Gunarsa dengan rahang terkatup. "Biar
bagaimanapun juga, manusia itu harus mampus!"
"Tunggu. Raka!"seru Ida Ayu Mantri ketika Raka
Gunarsa hendak melompati dinding jebol itu..
Raka Gunarsa menoleh. Pancarannya sedikit
geram karena ditahan seperti itu. Berarti, hanya
membuang waktu dan membiarkan Iblis Tambang
lolos.
"Ada apa?"
"Tidakkah kau merasa heran dengan tempat ini?"
tanya Ida Ayu Mantri. Sekali melompat dia telah
melewati dinding jebol itu.
Raka Gunarsa menyusul. Pandangannya
mengedar melihat lorong di depan dan di
belakangnya.
"Peduli setan dengan tempat ini! Sekalipun tempat
ini tempat berdiamnya Raja Iblis, aku tak peduli!
Manusia keparat berjuluk Iblis Tambang itu harus
mampus! Aku tak sabar untuk melakukannya dan
menantang Pendekar Slebor!"
"Tenang, Raka. Kau lihatlah dulu sekelilingmu.
Angin dingin berhembus kencang. Lorong-lorong ini
sangat panjang. Apakah kau tidak merasakan
keanehan di sini?"
Raka Gunarsa menurunkan sedikit
kemarahannya. Setelah menoleh ke sana-kemari dia
menatap kekasihnya dan menganggukkan
kepalanya.
"Kau benar, Ida. Tak ada lubang angin di sekitar
sini. Tetapi angin begitu kencang menusuk."
"Apakah kita berada di tepi pantai?"
"Tak ada debur ombak yang kudengar."
"Lalu tempat apa ini?"
Raka Gunarsa tak menyahuti kata-kata
kekasihnya. Keheranannya mulai membulat
menyadari tempat yang asing ini. Ditatapnya lagi
Ida Ayu Mantri yang sedang menatapnya,
menunggu jawaban atas pertanyaannya.
"Kita tak bisa menebak begitu saja. Bahkan untuk
mengetahui tempat ini, penyelidikan yang akan kita
lakukan belum tentu berhasil. Tetapi sebaiknya, kita
memang harus menyelidiki tempat ini, Ida”
lda Ayu Mantri tak banyak bertanya. Menyepakati
kata-kata kekasihnya, dia menganggukkan kepala
"Kita mulai, Raka!"
Keduanya pun berkelebat ke arah Iblis Tambang
melarikan diri.
***
Kakek Buruk Rupa menghentikan langkahnya di
sebuah tempat yang mirip pendopo. Lelaki yang tak
ketahuan mana hidung dan mana mulut itu
bergumam tak jelas. Tubuh bongkoknya berputar
melihat sekelilingnya. Angin dingin menghembusi
wajahnya yang tertutup rambutnya yang putih
panjang.
"Sontoloyo! Tempat apakah ini? Seumur hidupku,
baru sekarang aku melihat tempat semacam ini."
Lalu dia menggerutu tak jelas. "Perginya Pendekar
Slebor yang membawa cucuku masih
membingungkan lebih-lebih lagi bila memikirkan
Permata Sakti yang kuberikan pada Pendekar
Slebor. Apakah dia bisa memecahkan rahasia
Permata Sakti itu? Brengsek! Mengapa aku bisa
berada di sini?"
Dari balik rambut putih panjang yang menutupi
wajahnya, sepasang mata Kakek Buruk Rupa
berkeliling
"Ke mana pula Camar Hitam pergi? Pedulilah
dengan wanita serakah itu! Aku harus mencari jalan
keluar dari sini'"
Bersamaan angin menghembus terdengar suara
dikawal tawa membahana. "Selamat datang di Pulau
Seribu Setan, Kakek Buruk Rupa!"
Di balik rambut pulih panjang yang menutupi
wajahnya, Kakek Buruk Rupa mengerutkan kening.
"Suara itu seperti datang dari sampingku. Begitu
dekat. Tetapi, bagai terseret angin hingga menggema
di seluruh tempat aneh ini. Pulau Seribu Setan.
Apakah aku memang berada di Pulau Seribu Setan,
sebuah pulau yang tak diketahui di mana berada,"
membatin si kakek. Lalu dia terkekeh-kekeh, "Wah,
wah... kalau begitu kuucapkan terima kasih atas
sambutanmu. Ngomong-ngomong, apakah di Pulau
Seribu Setan ini terdapat delman? Aku mau pulang!
Mau buang air besar!"
Suara keras itu menggeram.
"Jangan sesumbar di sini, Orang Tua! Kau tak
lebih dari tikus kurus yang terjebak di sarang kucing
lapar!"
"Atau... bukan kau sendiri yang semacam tikus
kurus?" balas Kakek Buruk Rupa sambil terbahak-
bahak.
"Orang tua keparat!" makian keras terdengar
kembali. "Jangan menjual lagak di hadapanku!
Akulah Tunggul Manik, Majikan Pulau Seribu
Setan!"
"Wah! Kalau begitu, kau boleh memanggilku
dengan sebutan Majikan Pulau Bidadari! Itu terjadi
karena ketampanan wajahku dan selalu dikerubungi
para bidadari!"
"Apakah kau akan sesumbar lagi bila mengetahui
cucumu dan Permata Sakti itu ada di tanganku,
hah?” suara keras itu bertalu lagi diiringi kegeraman
Kakek Buruk Rupa menghentikan tawa setannya.
"Cucuku? Oh! Apakah cucuku berada di sini pula?
Kurang ajar! Aku ingat sekarang, ketika asap tebal
menggulung tubuhku. Pasti asap hitam tebal itu
yang membawaku ke sini. Manusia keparat yang
bernama Tunggul Manik yang melakukan semua ini.
Dan Permata Sakti? Bukankah permata itu berada di
tangan Pendekar Slebor? Kalau begitu, pemuda dari
Lembah Kutukan itu pasti berada di sini juga!"
"Mengapa kau diam, hah? Apakah telingamu
sudah semakin budek?"
Kakek Buruk Rupa terkekeh. "Bagaimana dengan
kau sendiri? Apakah kau malu unjuk diri di
hadapanku? Jangan-jangan, wajahmu lebih jelek dari
wajah tampanku ini!"
Bentakan dibaluri geram tinggi terdengar dahsyat.
"Jangan menjadi badut di sini! Kakek Buruk Rupa,
bila kau menginginkan cucumu dan Permata Sakti
itu, kau harus mengikuti perintahku!"
"Main perintah! Kau seperti orang-orang kotapraja
saja! Biar kau yang kuperintahkan! Ayo, keluar! Aku
ingin lihat apakah kau sebangsa kodok bantet
apakah tikus got?"
"Keparat! Sesumbarmu terlewat besar, Orang Tua!
Dengar baik baik aku akan memberikan sebuah
permainan yang pasti sangat kau sukai!"
"Aku tak pernah suka bermain-main!!" kata Ka kek
Buruk Rupa makin ngawur. Dia memang sengaja
memancing kemarahan orang dibalik suara keras itu
untuk keluar "Apalagi, untuk menghadapi manusia
pengecut seperti kau ini?'"
"Diam! Aku ingin kau dengan Pendekar Slebor
bertarung sampai mampus! Bila kau tidak
melakukannya, maka cucumu akan mati di
tanganku!"
"Keparat itu tidak main-main dalam ancamannya,"
batin si kakek. "Bagaimana aku tahu cucuku masih
dalam keadaan segar bugar, hah?"
"Dia aman di tanganku. Saat ini, Pendekar Slebor
sedang berusaha mencari cucumu karena padanya
telah kusuguhkan sebuah permainan! Dan untukmu,
bertarung sampai mampus dengan Pendekar Slebor!
Hadiahnya, cucumu itu!"
"Pendekar Slebor pasti akan menemukan cucuku!"
"Kita lihat nanti! Hahahaha!" suara tawa keras itu
terdengar bertalu-talu. Selebihnya sepi melanda
kembali. Angin dingin yang tadi bagai tertahan
berhembus, kini bertiup lagi. Lebih dingin dari
sebelumnya.
Kakek Buruk Kupa membatin, "Aku yakin, ini
hanya sebuah permainan sihir. Nama Pulau Seribu
Setan memang kudengar. Tetapi setahuku, tak
seorang pun yang tinggal di sana. Bahkan pulau itu
bagai tertutup kabut, tak ada yang pernah
menemukannya. Kalau Tunggul Manik mengatakan
semua ini, berarti dia bukan orang sembarangan.
Hhhh! Mau apa sebenarnya manusia keparat itu
berbuat seperti ini? Bila cucuku disakiti, akan
kuhancurkan tempat ini! Peduli setan apakah aku
bisa keluar dan sini atau tidak!"
***
6
Apa yang dialami oleh Pendekar Slebor memang
sesuatu yang aneh. Pulau Seribu Setan sepenuhnya
dikuasai oleh ilmu sihir Tunggul Manik. Beberapa
kali Andika merasa lorong panjang yang setiap kali
dimasukinya seolah buntu. Dan ketika dia berbalik
ke arah jalan semula, ada bentangan lorong panjang
kembali.
"Astaga! Teka-teki lorong-lorong ini saja begitu
memusingkan kepalaku. Setiap kali kntelusuri,
selalu bagaikan buntu. Tetapi setelah dekat masih
terdapat bentangan lorong lainnya. Dan bila aku
kembali ke tempat semula, rasanya begitu panjang.
Kurang ajar! Di mana aku bisa menemukan cucu
Kakek Buruk Rupa itu?" hatinya agak galau dibaluri
kemarahan.
Belim lagi Andika melakukan apa-apa, dirasakan
satu keras ke arahnya. Cepat dia memutar tubuh
menghindar.
Blaaar!
Angin dahsyat itu menghajar tembok hingga
sempal..
Ketika Andikamenoleh, dilihatnya Iblis Tambang
telah berdiri dengan wajah dingin.
"Astaga! Rupanya manusia dajal ini pun tiba disini
pula!" desis Andika
"Kucari di alam sana tak ku temukan! Kini ada di
hadapanku! Bagus! Pendekar Slebor, serahkan
Permata Sakti biru itu kepadaku?" Membentak Iblis
Tambang dengan tatapan dingin.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal.
"Ngomongmu gaya juga! Apa kau belum puas bila
kuhajar kembali? Hei, ke mana perginya tanganmu
yang satu itu? Kau jual ya sebagai pengganti
tambangmu?"
Membesi wajah Iblis Tambang. Urat wajahnya
bagai tertarik keluar, menimbun daging kecil di
bawah matanya, hingga kedua matanya menyipit.
"Jangan jual lagak di hadapanku! Kali ini kau akan
mampus di tanganku, Pendekar Slebor!" bersamaan
dengan itu, Iblis Tambang menderu dahsyat.
Dengan mempergunakan tangan kanannya, senjata
tambangnya saat dilepaskan ke arah Andika,
menimbulkan suara gemuruh keras.
Andika yang sudah tahu kehebatan senjata aneh
itu, mencoba membuang tubuh ke samping. Namun
belum lagi hinggap di tanah, kaki Iblis Tambang
sudah memapas kedua kakinya. Sigap Andika
melompat dan meluruk dengan satu jotosan ke
wajah Iblis Tambang.
Tetapi, senjata tambang yang berat itu berputar
hingga menimbulkan desingan bak ratusan anak
panah diluncurkan dari busurnya. Membuat Andika
urung melakukan maksudnya.
Satu tendangan mengenai perutnya, hingga dia
terjajar ke belakang.
"Boleh juga!" desisnya sambil menyeringai. lalu
sambungnya dalam hati, "Kecepatan tambang itu tak
jauh berbeda bila dia menggunakan kedua tangan.
Tetapi, tenaga yang keluar tak sebesar bila dia
mempergunakan kedua tangannya. Berarti,
kelemahannya jelas berada di tangan kanan."
"Kau akan melihat kelebihanku yang lain!"
Andika yang sedang berpacu dengan waktu untuk
menemukan cucu Kakek Buruk Rupa, tak mau
bertindak tanggung. Lagi pula, dia sudah
memperkirakan kelemahan ilmu senjata tambang
lawan. Sebelum Iblis Tambang menyerangnya
kembali, dia sudah mendahului.
Melalui pencalan satu kaki, tubuhnya meluruk ke
depan. Namun, lagi-lagi bersamaan tubuhnya
menyerang, tambang besar itu menderu. Membuat
Andika kembali urung. Dan kali ini dia berusaha
menghindar sekaligus menemukan sela untuk
melakukan serangan.
Sekali pun senjata maut Iblis Tambang sangat
hebat, mengeluarkan suara menderu-deru, namun
dia tidak mampu menandingi kegesitan Pendekar
Slebor. Justru berkali-kali manusia dajal ini terkejut
karena serangan Andika selalu mengarah pada
tangan kanannya
"Keparat! Dia mencecar tangan kananku terus!
Setan alas!! Geraqkanku jadi semakin susah!!"
Iblis Tambang keluarkan keringat dingin ketika
pada jurus selanjutnya dia bagai tak mampu
bertahan lagi. Dalam keadaan kedua tangannya
utuh, dia sungguh sulit mengalahkan Andika. Lebih-
lebih kini hanya satu tangannya yang berfungsi.
Andika sendiri memang tak mau membuang
waktu lama. Beberapa kali serangannya yang
dilancarkan tiba-tiba membuat Iblis Tambang
memekik. Bahkan pakaian Iblis Tambang di bagian
dada, sobek terpapas tangan kanannya.
Iblis Tambang melompat mundur dengan wajah
pucat. Sebaliknya, Andika tertawa-tawa.
"Kau tidak usah tegang! Pokoknya, kau akan pergi
ke akhirat dengan cara yang paling menyakitkan!"
Mendidih darah Iblis Tambang mendengar ejekan
itu. Dilipatgandakan tenaga dalamnya dan diputar
senjata tambangnya lebih hebat. Kali ini, seluruh
tubuh Andika terbungkus serangan lawan yang
gencar dan bertubi-tubi.
Justru Andika sengaja membiarkannya. Karena,
dengan cara begitu secara tidak langsung dia telah
menguras tenaga Iblis Tambang.
Apa yang diduga berikutnya memang benar.
Karena lama kelamaan serangan Iblis Tambang
mengendur. Mukanya merah mendapati tak satu
serangannya pun yang mengenai sasaran. Hal ini
membuat kemarahannya semakin menjadi.
Namun Andika yang sudah menemukan bentuk
penyerangannya, dengan mudah menyarangkan
jotosan dan tendangannya. Berkali-kali, hingga
membuat Iblis Tambang menekan erat perutnya.
Bagi Andika, manusia seperti Iblis Tambang
memang tak perlu dikasihani. Akan diberinya
pelajaran pada lelaki dajal itu. Maka, dengan cepat
dan mengalirkan kembali tenaga 'inti petir'-nya,
Andika menderu, siap memapas tangan kanan Iblis
Tambang. Pikirnya, tanpa kedua tangan, Iblis
Tambang hanyalah menjadi orang pesakitan belaka.
Namun belum lagi Andika melakukan hal itu, satu
sosok biru menderu cepat ke arahnya. Memapaki
serangannya.
Plak!
Cepat Andika melenting ke belakang tiga tombak.
Begitu hinggap kembali, dilihatnya dua sosok tubuh
berbaju biru sedang menatap dingin ke arahnya
***
Sebelum Andika berkata apa-apa, Iblis Tambang
yang merasa selamat dari sambaran maut Andika,
cepat bergulingan mendekati sepasang anak
manusia yang memasang wajah dingin.
"Raka Gunarsa!"serunya pada yang laki-laki,
penuh dengan sikap menjilat Apalagi mengingat
dirinya telah diselamatkan dari serangan Pendekar
Slebor. Pandangannya berkilat kilat penuh kelicikan.
Orang yang baru datang itu bukan lain adalah
Sepasang Dewa Gurun Pasir. "Bila kau ingin
mengetahui orang yang berjuluk Pendekar Slebor,
pemuda itulah orangnya!"
Pada saat Iblis Tambang mendekatinya, Raka
Gunarsa hendak menghantamkan tangannya pada
lelaki itu,menjadi urung ketika mendengar
keterangannya. Pandangan matanya lurus tek
berkesip pada Andika yang tengah mengira-ngira
siapakah kedua orang ini. Bila melihat cara
memapaki serangannya pada Iblis Tambang tadi,
jelas-jelas lelaki yang dipanggil dengan nama Raka
Gunarsa bukan orang sembarangan. Benturan
lengannya barusan cukup membuat tangannya
bergetar. Nampaknya kemampuan yang sama pun
dimiliki oleh wanita yang berdiri dengan dua tangan
terlipat di dada di samping lelaki itu. Keduanya
memasang wajah dingin.
"Hhh! Pemuda masih bau kencur rupanya yang
kau maksudkan, Iblis Tambang!" seru Raka Gunarsa.
Keinginannya untuk diakui sebagai orang tak
terkalahkan, membuat kepongahan merambati
wajahnya.
Andika masih terdiam, sementara otaknya terus
berpikir. Apakah kedua manusia itu kambratnya
Iblis Tambang? Tetapi bila melihat sikap Iblis
Tambang yang seperti orang pesakitan itu, jelas-jelas
justru lelaki jelek itu tunduk pada keduanya
Raka Gunarsa berkata lagi, berat dan
menunjukkan tenaga dalam pada suaranya,
"Pendekar Slebor! Cukup membuat keder julukan
itu! Tetapi tidak bagi kami, Sepasang Dewa Gurun
Pasir yang ingin menjajal kemampuan!"
Kalau sejak tadi Andika terdiam memperhatikan,
sekarang terdengar dengusannya. "Orang-orang
yang tak pernah puas dengan apa yang dicapainya!
Hhh! Sepasang Dewa Gurun Pasir... bila kau ingin
menjajal kemampuan, bukan saat yang tepat!"
"Peduli setan!" maki Raka Gunarsa dengan rahang
terkatup rapat. Matanya membiaskan kemarahan
yang luar biasa.
Melayani omong kosong seperti ini, hanyalah
mengundang diri masuk ke sebuah kebodohan
Andika tidak pernah tertarik untuk meladeni orang
orang yang terlalu tidak puas dengan apa yang
mereka miliki. Dan selalu ingin diakui sebagai yang
terbesar. Apalagi saat ini. Andika.merasa berpacu
dengan waktu untuk menemukan Suci.
Dia berkata dingin, "Sebaiknya... bila memang kau
bermaksud menantangku, kita tunda untuk be-
berapa saat!"
Raka Gunarsa terbahak-bahak. Dia menoleh pada
Iblis Tambang, lalu berkata dengan nada meleceh-
kan, "Kau dengar sendiri, bukan? Orang yang kau
tunjuk sebagai orang yang mampu memuaskan
keinginan kami, ternyata tak lebih dari kambing
congek belaka! Mana keberanian yang kau gembar-
gemborkan itu, hah? Ayam sayur kau berikan pada
kami!"
Bila menuruti kata hatinya, Andika akan langsung
menampar mulut kurang ajar itu. Tatapannya
dialihkan pada Iblis Tambang. Otaknya segera
berpikir, "Manusia keparat itu rupanya sengaja
menjebakku. Hhh! Bila melihat sikapnya, aku yakin
kalau Iblis Tumbang bukan apa apa dibandingkan
Sepasang Dewa Gurun Pasir. Lengan kirinya yang
kutung pasti tanda mata dari Sepasang Dewa Gurun
Pasir. Kalau menuruti kata hatiku, akan kugebrak
keduanya. Tetapi ini bukanlah saat yang tepat,
mengingat aku masih harus menemukan di mana
suci berada."
Lalu dia berseru kepada Raka Gunarsa,
"Kesombongan Sepasang Dewa Gurun Pasir
sebenarnya memaksaku untuk menerima tantangan
kalian! Tetapi, bila kalian merasa diri nomor satu...
coba tunjukkan jalan keluar dari Pulau Seribu Setan."
"Jangan berdalih! Bila kau takut katakan terus
terang hingga kami rela menahan diri tidak
langsung membunuhmu!" Ida Avu Mantri yang
berseru.
Andika tersenyum dalam hati melihat wajah
cantik di hadapannya. "Sayangnya, wanita itu pun
berhati kejam." Lalu katanya dengan ketenangan
luar biasa, "Takut hanyalah setipis kulit ari. Rasa
takutlah yang membuat setiap manusia gamang
dalam melakukan tindakan"
'Banyak omong!" geram Ida Ayu Mantri.
"Rasanya sulit melepaskan diri dari orang-orang
celaka yang suka mengumbar kepandaian," batin
Andika. "Sebaiknya, kucoba saja untuk melunakkan
hati mereka." Dengan pandangan tetap tenang
Andika berkata, "Untuk saat ini, kuakui kalian
memang hebat meskipun aku tidak tahu apakah
kalian memang pantas mendapat pujian seperti itu.
Sebaiknya...."
"Setan alas! Kau hanya membuang waktu,
Pendekar Slebor! Tanpa kau layani keinginan kami,
kau tetap akan mampus!" Dikawal dengan geraman
tinggi, tubuh Ida Ayu Mantri berkelebat. Saking
cepatnya yang nampak hanyalah bayangan biru
belaka.
Tak ada jalan lain bagi Andika selain memapaki
serangan itu. Dia sengaja tak beranjak dari
tempatnya, semata untuk menjajaki tenaga dalam
lawan. Begitu jotosan Ida Ayu Mantri siap
menghantam wajahnya, Andika mengangkat
sebelah tangannya dengan kibasan cepat.
Des!
Andika surut tiga tindak ke belakang ketika
dirasakan tangannya bergetar. "Bukan buatan!
Tenaga dalamnya cukup tinggi! Terpaksa aku harus
melayani orang orang ini dulu!"
Ida Ayu Mantri sendiri saat ini sedang memular
tubuhnya di udara Begitu serangan pertamanya di
papaki Andika, dia segera susulkan serangan kedua.
Tendangan kaki kanan dan kiri dilepaskan
bersamaan tubuhnya berputar.
Kembali Andika menangkis serangan serempak
itu. Tetapi kali ini disusul dengan satu serangan
balasan. Kakinya menyepak ke atas. Ida Ayu Mantri
terkejut dan terburu-buru membuat silang kedua
tangannya ke bawah.
Des!
Seharusnya selagi lawan dalam keadaan terjepit
seperti itu, Andika bisa segera menyusulkan
serangannya. Tetapi Andika yang memang enggan
untuk melayani manusia-manusia yang
berkeinginan seperti Sepasang Dewa Gurun Pasir
justru mundur dua tindak.
Satu teriakan keras terdengar. Raka Gunarsa
sudah menderu dahsyat. Di samping kemarahannya
dia juga jengkel melihat lawan seperti memberi
angin pada kekasihnya. Dia tahu kalau lawan bisa
menjatuhkan kekasihnva saat itu juga.
Berarti ini tantangan!
Tidak tanggung lagi. Saat menyerang Raka
Gunarsa melipatgandakan tenaga dalamnya.
Mendapati perubahan angin serangan yang datang.
Andika mencelat ke samping. Tetaoi kibasan kaki
kiri Raka Gunarsa, membuatnya harus melompat.
Bersamaan dengan itu, Ida Ayu Mantri yang tak
tahu kalau Andika sengaja melepaskannya,
menyepak ke muka.
Cepat Andika memutar tubuhnya. Dirasakan pula
perubahan angin serangan Idu Ayu Mantri.
"Keduanya tidak main-main rupanya" dengus nya
yang mau tak mau harus menghindar dan
membalas.
Dua gempuran dahsyat datang sekaligus.
Beruntun dan bertubi-tubi. Membuat Andika
menjadi kacau pikirannya. Di satu segi, dia merasa
harus memburu waktu, sementara di segi lain,
menghadapi dua manusia celaka ini akan memakan
waktu.
Dilihatnya Iblis Tambang yang menyeringai
penuh kemenangan. Dia berseru, "Raka Gunarsa!
Pendekar Slebor telah mencuri Permata Sakti
milikku!"
"Persetan dengan ucapanmu!" bentak Raka
Gunarsa dan meningkatkan kecepatannya. Begitu
pula dengan Ida Ayu Mantri. Keduanya telah
mempergunakan ajian andalan mereka 'Gabungan
Dua Dewa'. Hingga setiap kali keduanya
melancarkan serangan, terdengar suara menggebah
keras.
Andika sendiri akhirnya mulai turun tangan pula.
Kalau tadi serangannya tidak begitu diarahkan, kali
ini dia tak mau bersikap tanggung. Diputar
tubuhnya ke samping, menghindari serangan dua
lawan sekaligus.
Bersamaan dengan itu, Andika merunduk.
Kakinya menendang keras. Mengenai kedua
lawannya yang terhenyak dan segera bangkit
kembali. Menyerang dengan kemarahan berlipat
ganda.
Melihat Sepasang Dewa Gurun Pasir mulai
terdesak, Iblis Tambang memperlihatkan wajah
aslinya.
"Keparat! Ternyata dua manusia ini tak mampu
menghadapi Pendekar Slebor! Bisa aku yang celaka!"
Selagi Iblis Tambang ketakutan seperti itu, Pen-
dekar Slebor sedang melancarkan serangannya. Te-
naga 'inti petir' sudah dipergunakan. Dengan
mengandalkan ketepatannya yang kesohor, dia
menyodok masuk dan memukul dua kali.
Des! Des!
Raka Gunarsa terpelanting dan terkapar.
Sementara kekasihnya terbanting dan berguling
sampai dua tombak. Melihat hal itu, wajah Iblis
Tambang makin memucat
Walau tubuh Sepasang Dewa Gurun Pasir terasa
sakit tak karuan dengan jantung berdebar dan darah
mengalir kacau, keduanya masih bisa berdiri.
Mengalirkan hawa murni ke dada yang bagai
remuk.
"Setan alas!" maki Raka Gunarsa. "Jangan
berbangga dulu dengan hasil perbuatanmu itu! Kau
akan menerima ganjarannya!"
Andika yang sudah mundur lima tindak
menggeleng-gelengkan kepala.
"Manusia-manusia yang tak tahu diuntung!"
dengusnya dalam hati. Dengan mata memicing yang
memancarkan kegusaran dia berkata, "Sebaiknya,
lupakan semua ini! Karena, di dunia ini tak ada yang
lebih tinggi dan lebih rendah. Kalau pun merasa
lebih tinggi, masih ada yang lebih tinggi lagi begitu
seterusnya. Kuakui, kehebatan Sepasang Dewa
Gurun Pasir sangat tinggi. Sebaiknya. kalian
berusaha membebaskan diri d Pulau Seribu Setan
ini."
Sehabis berkata bergitu Andika berkelebat cepat
meninggalkan mereka yang tertegun mendengar
kata-kata Andika Perasaan tidak enak tiba-tiba
muncul.
"Raka Gunarsa. baru kali ini kutemui seorang
pendekar yang memiliki ilmu tinggi dan hati bijak
seperti dia," kata Ida Ayu Mantri.
Raka Gunarsa menganggukkan kepalanya
"Kau benar, Ida. Tak kusangka, kalau orang yang
berjuluk Pendekar Slebor itu masih sedemikian
muda. Kesaktiannya begitu tinggi Aku jadi malu
mengingat, kalau dia sebenarnya mampu
menghabisi kita. Seperti yang kulihat saat kau
pertama kali menyerangnya, Ida."
Seketika Ida Ayu Mantri menoleh dengan kening
berkerut.
"Apa maksudmu, Raka?"
"Kulihat, tadi pun Pendekar Slebor membiarkan
kau bebas. Padahal, dia bisa meneruskan
serangannya."
Hati Ida Ayu Mantri menjadi bergetar tak karuan.
Perasaannya yang menduga kalau Pendekar Slebor
tak berani menyerangnya tadi pupus perlahan.
"Benarkah yang kau katakan itu?" Raka Gunarsa
mengangguk pasti. "Gila! Sungguh gila!" rutuk Ida
Ayu Mantri tak karuan.
"Aku jadi malu dengan sikap kita selama ini,
Ida...."
"Bodoh! Mengapa hanya karena ucapan Pendekar
Slebor saja kalian seperti lumpuh?" bentakan itu
terdengar keras. Iblis Tambang yang tidak suka
melihat Sepasang Dewa Gurun Pasir bagai pasrah
dan melupakan keinginan mereka, menjadi geram.
Terutama mengingat Sepasang Dewa Gurun Pasir
tak mampu menjatuhkan Pendekar Slebor. Padahal,
dia menginginkan Permata Sakti yang disangkanya
masih berada pada Pendekar Slebor.
Kalau sebelumnya Raka Gunarsa sudah jengkel
terhadap Iblis Tambang, kali ini kejengkelannya
makin menjadi. Dia berbalik dengan tatapan gusar.
"Jangan banyak bacot!" sentaknya penuh
kegeraman. "Justru kau yang harus mengganti malu
kami!"
"Setan alasi Dengan cara seperti itu, kalian justru
menunjukkan kepengecutan kalian sendiri! Kalian
tak pantas disebut sebagai... eeeittt!"
"Kusumpal mulutmu, Keparat!" Ida Ayu Mantri
sudah menerjang mendahului kekasihnya.
Iblis Tambang terperanjat. Dia berusaha
menghindar. Tetapi, Raka Gunarsa lebih cepat
menghantam dadanya hingga tubuhnya terhuyung
ke belakang.
Belum lagi keseimbangannya normal, Ida Ayu
Mantri telah mengirimkan serangan selanjutnya.
Menyusul serangan Raka Gunarsa. Dalam tempo
beberapa kejapan saja. Iblis Tambang sudah pingsan.
***
7
Pendekar Slebor kembari menghentikan larinya.
Dia benar-benar pusing, memikirkan di mana harus
mencari Suci. Apalagi bila memikirkan jalan keluar
dari bangunan aneh yang terus menerus berbentuk
lorong. Bahkan terkadang Andika tidak yakin
apakah lorong-lorong itu pernah dimasuki
sebelumnya.
"Tuyul botak! Semuanya dinding hitam terus. Tak
ada lagi taman seperti yang kujumpai sebelumnya!
Sinting! Ilmu sihir milik Tunggul Manik memang
sangat tinggi!"
Dirabanya dinding di hadapannya, yang dalam
setiap lorong selalu berwarna kehitaman itu.
Diketuk-ketuknya. Beberapa kali Andika mendengar
suara menggema.
"Hmmm... di balik dinding ini aku seolah merasa
ada tempat kosong." Untuk beberapa lama Andika
terdiam, dan mengetuk kembali dinding-dinding itu.
Sampai kemudian dia bergumam, agak tidak jelas.
"Sejak pertama keluar dari tempatku disekap, aku
selalu mengikuti setiap lorong yang di kanan kiri
terdapat dinding panjang kehitaman ini. Bagaimana
bila sekarang kutembus dinding-dinding ini?
Apakah ada sesuatu di balik setiap dinding?
Baiknya, kucoba saja untuk menembus dinding di
hadapanku ini"
Memutuskan seperti itu. Andika merangkum
ujian 'Guntur Selaksa' di kedua tangannya. Lalu di-
hantamnya dinding di hadapannya.
Duaaarr!
Dinding itu jebol dengan menimbulkan suara bak
ombak menghantam karang di pantai. Ada cahaya
redup di dalamnya. Andika tidak segera masuk,
karena dikhawatirkan ada jebakan yang menantinya.
Hati-hati dilongokkan kepalanya melihat ruangan
yang terang itu.
Ada sebatang besi di hadapannya. Ketika
diarahkan pandangannya ke bawah, ada semacam
sumur yang dalam sementara besi itu terus
membujur ke bawah.
"Tempat apakah ini?" desisnya dengan kening
berkerut. 'Adakah sesuatu yang bisa kujadikan pa-
tokan untuk menemukan Suci? Atau, hanya jebakan
belaka? Sebaiknya, biar kucoba untuk masuk ke
dalamnya."
Dengan sekali lompat. Andika sudah
melingkarkan kedua tangan dan kakinya pada
batang besi itu. Dipejamkan kedua matanya untuk
mengonsentrasikan diri. Dilipatgandakan tenaga
dalamnya, siaga bila datang satu serangan. Setelah
membulatkan tekad mulailah dia meluncur di
batang besi itu, ke bawah.
Semakin ke bawah dirasakan angin begitu keras
bertiup. Dan batang basi yang masih ke tempat
semacam sumur, terus berlangsung. Entah berapa
lama sudah berlalu. Yang dirasakan, sudah lama
sekali dan bertambah dalam
Mendadak saja pegangan pada besi itu terlepas.
Rupanya besi bulat itu sudah habis. Cepat Andika
mengendalikan tubuhnya dengan mempergunakan
ilmu meringankan tubuhnya.
Bruk!
Ia terjatuh dengan pantat terduduk. Rupanya
batas besi itu tidak terlalu jauh dengan dasar. Sigap
dia berdiri dan meraba ke atas. Tangannya
menggapai batas terakhir dari besi yang tadi dibuat
sebagai luncuran.
"Edan! Kepalaku jadi pusing melihat semua ini?"
dengusnya. Matanya mencoba tembusi kegelapan
tempat. "Apakah ini semacam lorong pula? Ataukah
sebuah ruangan?"
Mengandalkan ketajaman mata dan nalurinya,
Pendekat Slebor melangkah ke samping kanan. Tak
ada dinding yang tersentuh. Dilakukannya ke
sebelah kiri. Lalu ke belakang.
"Hmmm... ini bukan semacam ruangan. Kalau
pun ini sebuah lorong, pasti sangat lebar sekali.
Sebaiknya, aku melangkah terus ke depan."
Mulai dilangkahkan kakinya dengan kesiagaan
penuh. Semakin jauh melangkah, mulailah
dilihatnya cahaya terang di hadapannya. Dan dia
tiba di sebuah ruangan yang memancarkan bau
sangat wangi sekali.
Tak ada suara apa pun yang terdengar. Bahkan
angin pun seperti berhenti bertiup. Mendadak saja
pandangannya terhalang kabut putih yang cukup
tebal.
"Apa-apaan ini? Bagaimana tahu-tahu bisa ada
kabut keparat di hadapanku?"
Sesaat Andika berusaha menajamkan
pandangannya dengan kesiagaan membesar.
Batinnya mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi.
Benar saja. Begitu tatapannya membaik dan kabut
putih itu menghilang, di hadapannya berdiri
sepuluh orang laki-laki berpakaian hitam dengan
destar merah. Masing-masing menunjukkan wajah
garang. Dan di tangan mereka terdapat senjata
parang tajam, berkilat-kilat tertimpa cahaya yang
entah datang dari mana, menatap tak berkesip ke
arah Andika.
***
"Kura-kura bau!" rutuk Andika sambil tak
berkesip menatap sepuluh lelaki garang di
hadapannya. "Melihat penampilan mereka, jelas
mereka adalah anggota Serikat Kuda Hitam.
Beberapa anggotanya pernah kuhajar di alam luar
sana!" Sesaat kemudian, Andika membatin lagi,
"Kampret! Kalau mereka adalah anak buah Tunggul
Manik atau majikan Pulau Seribu Setan... mengapa
justru mereka yang mengacau di rimba persilatan
sementara Tunggul Manik berdiam diri di Pulau
Seribu Setan ini'' Hanya satu jawaban, kalau
Tunggul Manik tidak menghendaki dirinya untuk
muncul di rimba persilatan lebih dulu. Dia
mengirimkan anak buahnya ntuk melihat keaadan.
Gambaran tentang Tunggul Manik mulai jelas
sekarang. Dia sengaja mengundangku atau mungkin
ada lagi yang datang ke tempat ini untuk emnguji
kesaktiannya. Setelah berhasil mengalahkan orang
yang diundangnya kesini, dia akan muncul di rimba
persilatan! Keparat! Tak akan kubiarkan semua itu
berlangsung!"
Sepuluh lelaki berwajah garang itu, maju satu
tindak. Tak berkesip menatap Andika.
Salah seorang dari mereka yang mempunyai
hidung bulat dan besar berkata geram, "Kau telah
membunuh sejumlah kawan kami, Pendekar Slebor!
Hal itu tak akan pernah kami maafkan sebelum
melihatmu terkubur di Pulau Seribu Setan ini!"
"Lagi pula, siapa yang mau minta maaf?" sahut
Andika seenaknya sambil menjulurkan lidah. "Justru
aku datang ke sini, buat mengemplang kepala
kalian! Ayo, maju satu-satu! Berbaris, dan jangan
berebut!"
Sebagai jawaban atas tingkah Andika yang penuh
ejekan, lima dari lelaki garang bercambang bauk itu,
menderu seraya mengibaskan parang di tangan
mereka.
Wussshhh!
Bersamaan dengan itu, Andika melompat
kedepan. Lima parang yang dikibaskan ganas lolos
dari sasaran. Dari lompatannya, pemuda dari
Lembah Kutukan ini menendang dengan kaki kanan
dan kiri ke arah lima orang dari lelaki berbaju hitam
dan berdestar merah lainnya, semata untuk
membuat mereka jeri. Tetapi, orang-orang itu justru
bertambah beringas karena mendapati Andika yang
tak segera menurunkan tangan.
"Kutu busuk! Mereka rupanya tak mau mengerti
kalau aku sengaja takmenurunkan tangan," makinya
dalam hati. Lalu menyambung sambil menghindari
sambaran parangiparang tajam, 'Tak ada jalan lain
rupanya..."
Memikir demikian, pemuda sakti itu mencelat ke
depan. Kedua tangannya bergerak cepat.
Wuuut!
Prak! Prak!
Tiga orang bisa menghindar, sementara dua orang
lagi terkapar dengan kepala pecah. Lolongan keras
terdengar mewarnai tempat itu ketika tangan
Andika menghantam pecah kepala dua lawannya.
Menyadari hal itu, kemarahan dari sisa orang-
orang itu bertambah tinggi. Dikawal dengan
gerengan kemarahan yang memecahkan telinga,
delapan parang tajam menderu ke arah Andika yang
menarik napas panjang melihat perbuatan yang
terpaksa dilakukannya.
"Kutu monyet! Ini makin membuang waktu saja
untuk menemukan Suci! Aku tak bisa tinggal diam
sekarang. Rasanya, terpaksa aku harus menurunkan
tangan telengas. Orang-orang semacam ini tak akan
mau mengerti betapapun yang mereka lakukan
adalah sebuah dosa dan kekejian. Begundal tengik
macam mereka ini hanya akan mempersempit jalan
kedamaian. Apalagi, mereka tentunya sangat patuh
akan perintah Tunggul Manik! Padahal, aku hanya
bermaksud menakut-nakuti mereka biar kapok!"
Dengan mempergunakan kecepatan dan tenaga
‘Inti Petir’ nya, dalam tiga jurus berikutnya Andika
berhasil membunuh kedelapan lawannya.
Ditarik napas sambil memandangi masing-masing
mayat yang tumpang tindih bergelimpangan. Ada
rasa penyesalan di hati pendekar yang berjiwa
lembut itu.
"Maafkan aku, terpaksa kulakukan hal im. Aku
tidak boleh membuang waktu! Meskipun aku tidak
tahu di mana Suci berada tetapi … Hei!!"
Kata katanya terhenti. Pandangannyamembulat
besar tak berkedip Keningnya berkerut yang
membuat tampangnya menjadi jelek.
Di hadapannya, delapan orang yang tadi
dilumpuhkannya, bangkit dalam keadaan segar
bugar.
"Sihir!" dengus pemuda urakan itu. "Seperti ular
jejadian itu!!"
Tetapi Andika tak bisa memikirkan soal itu lebih
lama. Karena delapan lawannya tadi sudah
menggempurnya dengan ganas. Hampir saja tiga
parang dari delapan parangyung menderu ke
arahnya, membuat putus kedua tangan pemuda
berbaju pupus ini.
Menyadari kalau lawan-lawannya ini seperti
berada dalam pengaruh sihir, kembali Andika
bertindak cepat. Kali ini tak segan-segan lagi
menurunkan tangan, karena bisa-bisa nyawanya
yang melayang.
Dua orang dari mereka pecah kepalanya terkena
tendangan kerasnya. Sementara enam orang lainnya
ambruk dengan tubuh penuh luka dan mengalirkan
darah.
Belum lagi Andika menarik napas panjang, enam
orang itu lebih bangkit kembali. Lebih garang dan
mengerikan.
"Benar-benar sinting!" maki Andika sambil
menghindar. Kali ini dia tak langsung menurunkan
tangan telengas. Dihindarinya setiap serangan yang
datang dengan otak berpikir keras. "Hmm...
bagaimana bisa begitu?" batinnya. "Semula mereka
ber-jumlah sepuluh. Dua orang mati dengan kepala
pecah. Tinggal delapan. Lalu kedelapan orang itu
mati pula. Tetapi bangkit kembali. Dua orang pecah
pula kepalanya. Tersisa enam orang dengan ganas
menyerang. Dan kini…Aku tahu! Aku tahu!"
Bagai anak kecil yang mendapatkan kue apem,
Andika memutar tubuhnya berkali-kali.
Ditendangnya kepala tiga lawannya sekaligus dan
ambruk dengan kepala pecah. Sementara tiga
lainnya dijotos pada dadanya. Darah makin banyak
mengalir.
Diperhatikannya mayat-mayat itu dengan hati
tegang. Mendadak tiga lawan yang terhantam pada
dadanya bangkit, sementara yang terhantam
kepalanya hingga pecah tak berkutik.
"Kepalanya! Bila kuhancurkan kepalanya, mereka
tak akan bisa bangkit lagi! Karena, yang lainnya pun
demikian!" desisnya dalam hati.
Tanpa membuang waktu lagi, Andika mendahului
menyerang. Jotosannya sekarang diarahkan ke
kepala. Sebenarnya, lagi-lagi Pendekar Slebor tak
ingin melakukan hal demikian. Namun, semuanya
sangat terpaksa memang harus dilakukan.
Prak! Prak! Prak!
Seketika ketiga lawannya ambruk dengan kepala
pecah. Ditunggunya kembali dan ditariknya napas
setelah melihat bahwa peihitungannya benar.
"Kepalanya! Ya. kepala mereka kunci dari semua
ini. Bila kepala pecah, mereka tak berdaya. Tetapi,
mengapa di alam luar sana mereka bisa mampus?
Hmmm... mungkin pula ini kelemahan dari ilmu
sihir yang dimiliki Tunggul Manik"
Diperhatikannya mayat itu satu persatu dengan
perasaan tak enak. Tetapi kejap lain si anak muda
muda mengalihkan perhatiannya pada
sekelilingnya. Di hadapannya ada sebuah lorong
panjang berliku. Dilihatnya pula ada sebuah pohon
besar tak jauh dari hadapannya.
"Semakin membingungkan sebenarnya sekarang
ini. Tetapi, aku tak akan berhenti sebelum
mengetahui seluruh rahasia yang tersimpan di Pulau
Seribu Setan."
Diperhatikannya mayat-mayat itu. Satu pikiran
timbul di benaknya....
***
Sehabis melihat keadaan Sepasang Dewa Gurun
Pasir, Iblis Tambang dan setelah mempermainkan
Kakek Buruk Rupa, Tunggul Manik memutuskan
untuk melihat keadaan Pendekar Slebor.
Dia merasa cukup berhasil menguji setiap ilmu
sihirnya. Namun mengingat dua kali Pendekar
Slebor berhasil memusnahkan ilmu sihirnya, rasa
marah pada pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu
makin membesar.
Kembali dia berkomat-kamit dan wadah yang
berisi cairan kuning bergoyang dan berubah.
Pemandangan lain terpampang.
Sejenak Tunggul Manik mengerutkan keningnya.
"Keparat! Di mana Pendekar Slebor berada?"
makinya. Dikendalikan lagi cairan kuning dalam
wadah. Ditelusuri setiap tempat di bangunan besar
itu. Tetapi sosok Pendekar Slebor tidak nampak
"Setan alas! Terlalu lama aku melihat manusia-
manusia lain yang kutawan, hingga kini Pendekar
Slebor luput dari pantauanku! Tetapi, tak mungkin
dia bisa menghilang begitu saja! Tak seorang pun
yang tahu jalan keluar dari Pulau Seribu Setan
kecuali aku!"
Penuh kegeraman dia terus mencari Pendekar
Slebor melalui wadah berisi cairan kuning di
hadapannya. Dilihatnya Sepasang Dewa Gurun
Pasir sedang bersemadi dan tubuh Iblis Tambang
yang pingsan.
"Hhhh! Mereka telah bertarung rupanya! Biar tahu
rasa! Tetapi... aku membutuhkan lelaki jelek yang
berjuluk Iblis Tambang! Hatinya dingin dan kejam!
Sepasang Dewa Gurun Pasir akan terkubur dan
menjadi penghuni abadi Pulau Seribu Setan! Saat ini,
kuketahui kalau keduanya menginginkan Pendekar
Slebor! Akan kupertemukan mereka nanti! Tetapi...
setan keparat! Di mana Pendekar Slebor berada!"
Kembali ditelusurinya setiap lorong dari wadah
yang berisi cairan kuning, hingga dilihatnya sebuah
dinding jebol. Sejenak Tunggul Manik terdiam.
Bibirnya melebar dengan tarikan pada kedua
pipinya. Matanya mengembung geram.
"Keparat! Rupanya pemuda itu benar-benar
cerdik. Dia berhasil kembali memecahkan rahasia
ilmu sihirku dengan cara menghancurkan dinding di
mana di balik setiap dinding selalu terdapat besi
menuju ke bawah. Hhh! Sebaiknya kulihat disana!"
Ditelulusuri besi yang mengarah ke bawah itu
dari wadah berisi cairan kuning. Mukanya membesi
ketika melihat sepuluh orang anak buahnya
tergeletak dengan kepala pecah.
"Aku yakin, Pendekar Slebor yang melakukan
semua ini. Kembali dia bisa memecahkan rahasia
sihirku yang kuletakkan pada setiap kepala manusia
keparat itu. Kepala mereka pecah! Kurang ajar! Pasti
dia menuju ke penjara dimana gadis bernama Suci
itu ku tahan."
Kembali ditelusurinya tempat itu dari wadah
berisi cairan kuning. Dilihatnya puluhan anak
buahnya lalu lalang di sana. Dengan kehebatan ilmu
sihirnya, Tunggul Manik atau Majikan Pulau Seribu
Setan telah membaluri tempat itu dengan
kekuatannya. Dari jalan itulah dia mengirim dan
mengeluarkan anak buahnya ke dunia ramai.
Tentunya dikendalikan dengan ilmu sihirnya.
Namun yang membuat keningnya berkerut dan
wajah makin membesi, tak dilihatnya sosok berbaju
hijau pupus di sana
"Keparat! Di mana pendekar itu bersembunyi?"
makinya geram. Disesali mengapa dia tidak
memantau gerak gerik Pendekar Slebor terus
menerus. "Tak mungkin sosoknya bisa luput dari
pandangan wadah cairan kuning ini. Pasti pemuda
itu berada di sekitar sana!"
Kembali ditelusuri tempat itu. Namun orang yang
dicarinya tak ada di tempat itu.
"Setan alas! Berabe kalau Pendekar Slebor bisa
menemukan gadis itu! Tetapi... tak semudah yang
dibayangkan biar bagaimanapun cerdiknya dia.
Kutunggu saja, barangkali ada yang masuk ke sana!"
Dari wadah berisi cairan kuning, dilihatnya cucu
Kakek Buruk Rupa tengah meringkuk dengan
menekuk kedua lutut di sebuah ruangan yang diberi
jeruji besi. Sementara di depan jeruji itu, puluhan
anak buahnya lalu lalang.
***
Suci mendesah berkali-kali. Keheranan masih
meliputi dirinya. Disesalinya pula perjalanannya
untuk melepas rindu pada kakeknya harus berakhir
di sini. Semenjak tadi ditahan tangisnya. Dia harus
tegar. Dia harus bisa mengatasi semua masalah ini.
Dipikirkannya tentang Pendekar Slebor. Di mana
pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu berada?
"Kang Andika... selamatkanlah aku, Kang...,"
desisnya dengan batin galau. 'Tak terasa ada
ketakutan yang menyelinap. Dirasakan pula kalau
dirinya seperti kehilangan sesuatu, kehilangan diri
Pendekar Slebor yang sebenarnya sudah begitu
dekat sekali dengan dirinya.
Secara diam-diam, sebenarnya Suci pernah
mencoba untuk meloloskan diri, dengan jalan
membengkokkan beberapa buah jeruji besi yang
melingkupinya. Dengan tenaga dalam yang
dimilikinya, dia sebenarnya mampu melakukan hal
itu.
Tetapi begitu hendak dilakukannya, dan saat
kedua tangannya siap ditempelkan pada jeruji besi
itu, mendadak saja dirasakan tenaganya melemah.
Ada sebuah kekuatan gaib yang mengunci seluruh
aliran tenaga dalamnya.
Pada dasarnya, Suci memiliki sifat keras kepala.
Dicobanya lagi dan dikerahkan berkali-kali. Namun
seluruh tenaga dalamnya benar-benar bagai terkuras
hingga akhirnya dia yakni tak akan mampu
mengerahkan tenaga dalamnya.
Dari balik jeruji besi, dilihatnya para lelaki berbaju
hijau dan berdestar merah lalu lalang. Mereka
nampaknya sibuk sekali. Beberapa orang berkali-kali
menengok keadaannya. Memberinya makan dan
minum. Namun tak satu pun yang disentuh oleh
Suci.
Yang diinginkannya, selain keluar dari sini, juga
menemukan kakeknya. Rasa rindu pada
kakeknyalah yang membuat Suci masih
bersemangat.
Tiba tiba dia tersentak. Tiga orang lelaki muncul
dengan wajah beringas.
"Hmmm... bila saja gadis ini bukan tawanan
Ketua, aku ingin sekali tidur dengannya!" kata salah
seorang dengan seringaian lebar menakutkan.
"Tenanglah, Ketua tak akan melupakan kita," kata
yang bermata lebar. Dan dengan matanya seakan
telah menjarah sekujur tubuh Suci.
"Ini sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya aku
untuk melakukan. Di tempat ini, kita tak pernah bisa
menyalurkan keinginan kita. Hhhh! Mengapa Ketua
tidak mangirim kita kembali ke dunia ramai?" sahut
yang berbibir tebal.
"Tak usah khawatir... semuanya akan kita
dapatkan," terdengar satu suara di belakang mereka.
Ketiganya menoleh dan tertawa.
"Kau benar, Singkil Gambir," kata yang bermata
lebar. "Kita akan mendapatkannya."
Kawan yang mereka panggil Singkil Gambir
menyeringai. "Ketua tak akan pernah melupakan
kita. Gadis itu begitu cantik sekali. Aku pun tak
sabar untuk mendapatkannya." Tak sengaja tangan
Singkil Gambir terjulur hendak memegang salah
satu jeruji besi itu. Tetapi dengan cepat di tepak oleh
yang berbibir tebal.
"Goblok! Apakah kau lupa bila kita menyentuh
jeruji besi itu maka tubuh kita akan hangus?"
Singkil Gambir menyeringai dengan keringat
sedikit mengalir.
"Ini karena aku tak sabar untuk mendapatkannya."
Yang lainnya tertawa-tawa.
"Seperti katamu tadi, bila Ketua telah selesai
dengan urusannya, kita akan mendapatkan gadis ini.
Bukankah biasanya seperti itu? Meskipun kejam,
Ketua tak akan pernah melupakan kita. Ayo! Kita
teruskan bekerja? Tempat ini harus selesai dibangun,
karena Ketua akan mengurung tawanan-
tawanannya di sini."
"Gila! Aku sampai lupa soal itu? Siapa saja yang
Ketua bawa ke sini?"
"Pendekar Slebor, Kakek Buruk Rupa, Sepasang
Dewa Gurun Pasir, Iblis Tambang, dan Camar
Hitam."
Singkil Gambir menggeram. "Yang kuinginkan
adalah mencabik cabik tubuh Pendekar Slebor.
Manusia itulah yang lelah membunuh kawan-kawan
kita."
"Aku pun tak sabar unntuk melakukannya,
Singkil. Perlu kau ketahui, kita baru saja menangkap
salah seorang dari mereka." Kata si bibir tebal sambil
tersenyum.
"Siapa?"
"Lelaki jelek berbaju Compang Camping. Dia
mengaku berjuluk Setan Hitam Compang -
Camping."
"Manusia keparat mana itu? Dimana dia ditawan!
Ingin kucabik cabik tubuhnya sebelum mengerat
tubuh Pendekar Slebor!"seru Singkil Gambir
menggeram.
"Dia kumasukkan ke penjara bawah tanah! Biar
bagaimana juga, akan tiba saatnya bagi kita untuk
berpesta membunuh mereka satu persatu. Bila Ketua
sudah selesai dalam permainannya, berarti kita akan
mendapatkan bagian."
"Sebenarnya, aku pun penasaran di manakah
Ketua berdiam?”
Si bibir tebal terbahak-bahak. Kau sudah ngaco
rupanya! Jangan main-main dengan Ketua!" Lalu
katanya berbisik, "Tetapi, aku pernah dipanggil
menghadap Ketua. Tempatnya memang sukar
ditemukan bila kita tidak tahu Tetapi, aku tahu."
"Di mana?"
"Ini rahasia di antara kita. Jangan sampai Ketua
tahu. Yang mengherankan, seluruh tempat ini
dipenuhi dinding hitam, bukan? Nah, kau carilah
sebuah dinding yang bermotifkan kuda hitam yang
sedang mengangkat kedua kakinya."
"Bagaimana cara masuknya?"
"Aku tidak tahu. Ketua hanya menyuruh
memejamkan mata dan tiba-tiba kita berada di
ruangannya."
"Bagaimana bisa kau menduga di balik dinding
bergambarkan kuda hitam yang sedang mengangkat
kedua kakinya merupakan tempat Ketua?"
"Karena, setelah aku selesai dipanggil, aku
kembali disuruh memejamkan mata dan tahu-tahu
sudah berada di hadapan dinding bergambar kuda
hitam itu. Jadi...," kata-kata yang berbibir tebal
terhenti ketika melihat seorang kawannya datang
tergopoh-gopoh. Cepat diarahkan pandangan pada
orang yang baru dalang itu. "Ada apa, Lanun?
Wajahmu seperti habis melihat setan gentayangan?"
Bukannya menjawab pertanyaan si bibir tebal,
orang yang dipanggil Lanun justru menoleh dan
berkata cepat pada Singkil Gambir,
"Singkil Gambir, anak buahmu tewas di lorong
pertama dari besi panjang!"
***
8
Kelima orang itu segera menuju ke tempat yang
dikatakan Lanun. Mereka terbelalak melihat mayat-
mayat yang bergeletakan di sana.
"Setan alas!" maki Singkil Gambir dengan wajah
membesi "Siapa yang berani melakukan hal ini,
hah?!" Dia membungkuk dan diperiksanya mayat
kawan-kawannya itu. "Kepala mereka pecah!
Bersiaga! Mungkin salah seorang tawanan Ketua
telah tiba di sini dan membuat kekacauan."
Serentak yang lainnya pun bersiaga.
"Sirat Sedah!" seru Singkil Gambir pada yang
berbibir tebal. "Siagakan teman-teman! Ketua bisa
marah bila mengetahui hal ini!"
Si bibir tebal yang ternyata bernama Sirat Sedah
segera bergerak. Dalam sekali panggil saja, dua
puluh teman-temannya sudah berkumpul.
Singkil Gambir berseru, "Selidiki setiap lorong!
Manusia celaka itu harus mendapatkan ganjaran!"
Serentak mereka berlarian memasuki lorong yang
terdapat tiga buah di sana. Sementara teman-
temannya menyelidik, Singkil Gambir berlari ke
penjara di mana Suci tertawan.
Sejenak dia ragu-ragu untuk memegang jeruji besi
di depannya. Dilihatnya Suci tengah meringkuk dan
tatapannya berubah garang begitu mengetahui
kedatangannya.
"Tenang, Nona... jangan tunjukkan sikap
bermusuhan!" seru Singkil Gambir.
"Manusia keparat! Lepaskan aku! Kita bertarung
sampai mampus!"
"Justru sekarang aku sedang berusaha
melepaskanmu!" kata Singkil Gambir tak disangka.
Pandangannya menyatakan ketulusan hatinya.
Sejenak Suci terdiam dengan kening berkerut.
Dalam keadaan seperti ini sudah tentu dia tidak bisa
menelan bulat-bulat perkataan Singkil Gambir.
Tetapi ketika dilihatnya lelaki berbaju hitam dan
berdestar merah itu, nampak mengangkat kedua
tangannya dan siap menghantam jeruji besi itu,
tanpa sadar Suci beringsut ke belakang.
Tak disangkanya lelaki itu memegang jeruji besi
dengan kedua langannya. Sesaat Suci seperti tak
tahu harus melakukan apa, seolah terkesima oleh
pemandangan di hadapannya. Padahal yang cukup
mengherankan, ketika dicobanya untuk
membengkokkan besi besi itu, dari jarak satu
tombak, dirasakan tubuhnya melemah, seolah ada
tenaga yang menyedotnya.
Tetapi Singkil Gambir bukan hanya memegang.
Bahkan dibengkokkannya dua buah jeruji besi
hingga membentuk lubang yang besar.
"Cepat, Nona! Kita tak punya banyak waktu!"
serunya sambir memperhatikan kanan dan kiri.
Justru Suci yang masih berdiam.
"Siapa kau sebenarnya?” serunya.
"Pendekar Slebor yang menyuruhku untuk
membebaskanmu! Aku tahu jeruji itu mengandung
kekuatan yang bisa menghancurkan kedua tangan
yang memegangnya. Tetapi aku telah menutupi
kekuatan tak nampak itu hingga memudahkanku
untuk melakukan apa yang kuinginkan. Ayo, Nona
Suci! Kita tak punya banyak waktu!"
Mendengar kata-kata bernada mendesak itu, Suci
langsung berkelebat mendekat. Singkil Gambir
memegang tangannya. Sejenak Suci hendak
melepaskan, tetapi masih memegang tangannya
Singkil Gambir sudah berkelebat.
Wussshhh!
Tak mau tersungkur. Suci mengerahkan ilmu
larinya.
"Di mana Setan Hitam Compang-camping dita-
wan?" tanya Singkil Gambir.
"Aku tidak tahu."
"Brengsek! Kita telusuri lorong ini, meskipun nanti
untuk keluar dari sini kita pasti berhadapan dengan
manusia manusia celaka itu!"
Meskipun masih ada rasa tak percaya pada lelaki
itu, Suci menurut saja. Dua orang muncul dari
lorong di sebelah kiri. Singkil Gambir bergerak
cepat. Tanpa melepaskan pegangannya pada Suci,
dihajarnya kedua lawannya hingga kepala mereka
pecah.
"Kejam!" desis Suci dalam hati.
Mereka tiba di sebuah tempat yang agak temaram.
Di sana Singkil Gambir melihat sebuah jeruji besi
semacam di mana Suci disekap sebelumnya. Seperti
yang dilakukannya pada Suci, dibengkokkannya
pula jeruji besi di mana Setan Hitam Compang-
camping disekap.
Melihat siapa penolongnya, Setan Hitam
Compang-camping langsung melancarkan satu
serangan. Tetapi Singkil Gambir segera
memiringkan tubuhnya.
"Tahan!" serunya keras.
Setan Hitam Compang-camping berbalik dan
menggeram.
"Manusia keparat! Lepaskan gadis itu!!"
Bagai menurut Singkil Gambir melepaskan tangan
Suci. Lalu menatap serius pada Setan Hitam
Compang-camping yang hendak membentak lagi,
"Tak perlu gusar! Urusan ini sangat rumit sekali!
Pendekar Slebor menyuruhku untuk
menyelamatkan kalian!"
"Di mana pemuda sakti itu berada?" tanya Setan
Hitam Compang-camping tanpa merubah sikapnya.
Hanya suaranya yang diperkecil.
"Tak banyak waktu untuk menerangkannya. Setan
Hitam, kau jaga keselamatan Suci. Kita bergerak
kembali ke depan. Biar aku di posisi pertama untuk
menghadapi segala kemungkinan. Nanti, di ujung
lorong ini, ada sebuah besi panjang menjulur dari
atas ke bawah. Pergunakan ilmu meiingankan tubuh
kalian, dan panjat besi itu. Mengerti?"
Kalaupun setan Hitam dan Suci mengerti, namun
mereka belum mengerti mengapa lelaki kejam yang
pernah menggelandang mereka ke penjara berubah
baik seperti itu
Setan Hitam Compang Camping geram bukan
main teringat bagaimana tiba-tiba muncul sepuluh
lelaki hitam dan berdestar merah dihadapannya.
Pertarungan terjadi. Namun yang mengejutkannya,
para penyerang yang sudah terhantam penuh luka,
bangkit kembali. Hingga akhirnya tenaganya
terkuras dan dirinya berhasil dikalahkan.
Setan Hitam berkata, "Untuk saat ini, kami
menuruti kata-katamu. Bila kau memang suruhan
Pendekar Slebor, tunjukkan kepada kami di mana
dia berada?"
"Itu urusan nanti! Ingat, bila kalian menemukan
lawan dari Serikat Kuda Hitam, hantam kepalanya
hingga pecah, niscaya mereka tak akan bangkit lagi.
Kita mulai!"
Mulailah rombongan kecil yang dipimpin oleh
Singkil Gambir bergerak ke depan. Beberapa
anggota Serikat Kuda Hitam yang melihat
kemunculan Singkil Gambir, harus ambruk dengan
kepala pecah sekali jotos dan tendang.
Setan Hitam dan Suci benar-benar tak mengerti
akan sikap yang diperlihatkan Singkil Gambir.
Tetapi mereka tak mau memperdulikannya saat ini.
Sirat Sedah yang sedang menerima laporan anak
buahnya yang tak menemukan orang asing di sana,
terkejut melihat kemunculan Singkil Gambir.
"Bagaimana, Sirat?" tanya Singkil Gambir,
sementara sebelumnya disuruhnya Setan Hitam dan
Suci untuk bersembunyi.
"Tak ditemukan manusia keparat yang telah
membunuh teman-teman kita!"
"Setan alas! Bergerak lagi! Jangan sampai Ketua
mengetahui semua ini!"
Kembali orang-orang itu berkelebat memasuki
setiap lorong. Sirat Sedah menatap Singkil Gambir.
"Bagaimana menurutmu?"
"Kalau memang tak ditemukan orang itu, berarti
dia sudah keluar melalui besi bulat panjang itu!"
"Keparat!" geram Sirat Sedah. "Ingin kucabik-cabik
tubuhnya!"
"Kita segera menuju ke sana!"
"Tidak! Ketua akan marah besar dan menghukum
kita!"
"Biar aku yang melihatnya! Kemarahanku tak bisa
dibendung lagi!"
"Kau mencari penyakit, Singkil!"
"Peduli setan dengan semua ini!" seru Singkil
Gambir dan mendekati besi bulat di atasnya.
"Singkil!"
"Diam kau, Sirat Sedah! Jangan campuri
urusanku!" bentak Singkil Gambir melotot
"Kau sudah berani melancangi perintah Ketua?"
seru Sirat Sedah gusar.
"Hatiku sakit melihat yang lain terkapar tak
berdaya!"
"Tetapi...," kata-kata Sirat Sedah terhenti,
bersamaan tubuhnya ambruk dan kepalanya
rengkah. Setan Hitam Compang Camping sudah
menghajarnya.
Singkil Gambir berseru. "Cepat naik! Jangan
membuang waktu!!"
Suci pertama kali naik. Dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya, dia sudah segera tiba
di atas.
“Tak perlu banyak Tanya sekarang! Kau jaga
keselamatan Suci!” seru Singkil Gambir melotot.
"Bagaimana kau sendiri?'"
"Aku harus berada disini untuk sementara.
Mengingat …. Gila! Cepat, Setan Hitam! Terdengar
langkah menuju ke sini!"
Setan Hitam Compang-camping menajamkan
pendengarannya. Dia sama sekali tak menangkap
suara-suara yang dimaksud oleh Singkil Gambir.
Tetapi melihat kesungguhan Singkil Gambir yang
menyuruhnya bergegas, dia pun segera melesat
naik.
Meninggalkan Singkil Gambir yang bergerak
menyongsong teman-temannya.
***
"Setan Hitam... bagaimana dengan manusia yang
bernama Singkil Gambir itu?"tanya Suci begitu Setan
Hitam Compang camping muncul.
"Dia tidak mau ikut."
"Mengapa?"
"Mungkin untuk mengelabui teman-temannya.
Hmmm... siapa pun dia dan apa hubungannya
dengan Pendekur Slebor...' sebaiknya kita
tinggalkan. Kita harus mencari Pendekar Slebor,
Suci."
Suci hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebelumnya, dia sangat membenci lelaki itu, karena
beberapa kali pernah mendatanginya dan
memandangnya dengan tatapan penuh birahi.
Tetapi rupanya, lelaki itu justru yang menolongnya.
"Kalau begitu... kita harus cepat!" kata Suci seperti
menangkap gelagat yang tak menguntungkan.
Namun belum lagi keduanya bergerak, satu sosok
tubuh keperakan telah tiba di hadapan mereka.
***
"Hi hi hi.... kulihat cucu Kakek Buruk Rupa berada
di sini pula," kata orang yang baru muncul dan tak
lain si Camar Hitam. Seringaian lebar membuat pipi
kempotnya bagai tertarik ke dalam. Mata celongnya
bagai melihat kelinci empuk di hadapannya. "Bagus,
bagus sekali... Kakek Buruk Rupa tak akan banyak
cincong sekarang!"
Mendengar kata-kata yang bernada mengancam,
Setan Hitam Compang-camping maju tiga langkah,
berdiri membelakangi Suci. Pandangannya lurus ke
depan, penuh kegeraman.
"Nenek tua yang bau tanah! Ucapanmu keren
betul mencoba membikin orang keder! Sayangnya,
lakon yang baru kau perlihatkan itu, seperti lakon
ketoprak yang sering kulihat!"
Tertarik ke dalam sepasang mata kelabu si wanita
tua.
"Aku tak ada urusan denganmu, Orang Jelek!
Minggir, ingin kudapati cucu Kakek Buruk Rupa!
Entah di lorong mana orang tua keparat itu!"
Mendengar kata-kata itu. Suci berkala, memotong
Setan Hitam yang ingin berseru lagi. "Maksudmu...
kakekku berada di sini pula?"'
"Kau pintar. Anak Manis. Memang, kakek
sialanmu itu berada di sini pula. Tapi sayangnya,
aku tidak tahu. Dan aku memang tak
memperdulikannya! Hhh! Tempat sialan ini
membuatku bagai mati langkah untuk menemukan
di dimana Pendekar Slebor yang telah membawa
Permata Sakti. Tetapi ada umpan bagus di
hadapanku'"
Sehabis berkata begitu.Camar Hitam bergerak
dengan kecepatan yang mengagumkan mencoba
menjambak kepala Suci. Tetapi Setan Hitam
Compang-camping cepat mengibaskan jotosannya
ke atas.
Plak!
Membuat Camar Hitam menghentikan
serangannya dan mundur tiga langkah. Matanya
menatap penuh hawa kematian. Tajam dan tak
berkesip memandang.
"Kau hanya mencari penyakit!"
"Siapa pun tak akan kubiarkan menyentuh gadis
ini! Apalagi manusia busuk seperti kau!"
"Setan alas! Kutampar mulutmu!"
"Aku ingin merasakannya!" tantang Setan Hitam
Compang camping yang membuat darah Camar
Hitam mendidih.
Tanpa buang tempo lagi, Camar Hitam sudah
menderu dahsyat. Kecepatannya saat menyerang itu
memang sukar dicari tandingannya. Terbelalak
Setan Hitam Compang-camping menerima serangan
dahsyat ilu. Dicoba untuk memapakinya. Tetapi
justru tubuhnya yang terpental ke belakang, disusul
satu tendangan keras menghantam dadanya.
Remuk dadanya dirasakan. Aliran darahnya
seketika kacau. Wajahnya tertekuk pias. Belum satu
jurus, dirampungkan, dia sudah tak berdaya
menghadapi kehebatan wanita tua berbaju
keperakan yang tengah berdiri tiga tombak di muka.
Mendapati Setan Hitam Compang-camping tak
berdaya, Suci memburu cepat.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya pelan.
Setan Hitam mengeluarkan suara keluhan.
"Aku tak mampu menghadapinya, Suci. Jelas dia
bukan tandinganku. Lebih baik, kau tinggalkan
tempat ini dan kucoba untuk menahannya...."
"Tidak... aku akan membawamu serta."
"Tak banyak waktu yang kita punya, Suci. Dalam
satu gebrak berikutnya, pasti aku sudah mampus.
Berarti, aku tak menjaga pesan Singkil Gambir
sesuai dengan amanat Pendekar Slebor." Dicobanya
untuk bangkit. Tetapi keluhan tertahan justru
terdengar dan tubuhnya sukar dibawa berdiri.
Terharu Suci mendengar kesetiaan Setan Hitam
Compang-camping. Hatinya mulai memberangus
marah. Lamat dia berdiri dengan tatapan tajam ke
arah Camar Hitam.
"Kami memang bukan tandinganmu! Tetapi, kami
tak akan mundur barang selangkah juga!"
"Bagus! Kakek Buruk Rupa harus tahu kalau
cucunya berada di tanganku!"
"Kakekku tak akan memberi ampun manusia bu-
suk seperti kau ini!"
Camar Hitam menggeleng gelengkan kepalanya
sambil umbar senyum
"Keberanian dan kekeraskepalaanmu itu mewarisi
sifat Kakek Buruk Rupa yang terkadang angin
anginan! Aku menyukaimu, Anak Manis. Dan ingin
sekali aku menjadikanmu murid untuk meneruskan
segala cita-citaku!"
"Hanya orang bodoh yang mau melakukan hal
itu!" sentak Suci dengan tatapan memicing.
Membesi wajah Camar Hitam.
"Kau harus diberii pelajaran'"
Sesudah berkata begitu, tubuhnya berkelebat lagi.
Kali ini mencoba menotok Suci, karena dirasakan
kalau gadis ini sangat berharga sebagai penukar
Permata Sakti yang menurut wanita tua itu berada
di tangan Pendekar Slebor.
Namun dia cukup terkejut dibuat oleh Suci. Gadis
yang digembleng oleh kakeknya itu berkelit dengan
lincah. Lagi lagi disayangkan, Suci hanya diberi
pelajaran ilmu meringankan tubuh dan tenaga
dalam. Bila saja Kakek Buruk Rupa menurunkan
ilmu kanuragan, bisa dipastikan selelah berkelit
akan menyusul satu serangan berikutnya.
Seperti dituturkan pada episode sebelumnya,
Kakek Buruk Rupa saat mengajarkan Suci memang
diam-diam. Karena ayah Suci, putra dari Kakek
Buruk Rupa, selalu melarang Suci untuk menemui
kakeknya sendiri (Silakan baca : "Rahasia Permata
Sakti").
Tetapi kelitan yang dilakukan gadis itu tadi,
membuka mata Camar Hitam akan kepandaian yang
dimiliki Suci. Terkikik diteruskan serangannya.
Dan pada dasarnya Suci memang bukanlah
tandingan Camar Hitam. Dalam satu gebrak
berikutnya dia tak mampu lagi bergerak. Karena
kecepatan Camar Hitam bagai memantek ruang
geraknya.
Namun sebelum Camar Hitam melaksanakan
maksudnya, satu suara terdengar dari belakang,
"Lho, lho! Edan-edanan sekali! Berani mencoba
meringkus cucuku!"
***
9
"Kakek!!" seru Suci kencang dan selagi Camar
Hitam terkesima, dia sudah berlari mendapati
kakeknya. Dan merangkulnya penuh keharuan. "Ke
mana saja Kakek pergi? Kakek jahat! Katanya
berjanji untuk menemuiku, tetapi mana janjinya?
Mana?"
Kakek Buruk Rupa hanya terkekeh-kekeh. Seolah
melupakan tatapan tajam dan geram dari Camar
Hitam dia berkata, "Anak nakal! Mengapa kau
berada di sini, hah?"
"Aku mencari Kakek! Aku rindu Kakek!"
"Nah, sekarang kita sudah bertemu. Bukankah...."
"Orang tua keparat! Lakonmu busuk berkasih-
kasihan di hadapanku?" bentak Camar Hitam
memotong.
Kakek Buruk Rupa memandang ke depan.
"Sudah tentu yang kurangkul cucuku ini!
Merangkulmu, sama saja merangkul gedebong
pisang yang sudah rubuh!"
"Keparat!" membesi wajah Camar Hitam. Dikawal
gerengan keras dan angin mendesis hebat.
Tubuhnya sudah berkelebat cepat ke arah Kakek
Buruk Rupa. Tongkat kusam di tangannya telah
digerakkan dengan kekuatan penuh.
Masih merangkul cucunya. Kakek Buruk Rupa
melangkah dua tindak ke kiri, menghindari
sambaran penuh tenaga dari tongkat kusam si
nenek. Lalu menghantam dengan tangan kanannya.
Wuuut!
Plak!
Jotosan tangan kanan si kakek dipapaki dengan
cara mengibaskan tangan kiri. Si nenek tersentak
kaget dan surut dua langkah ke belakang. Mukanya
yang mendongak berubah memerah sedang kedua
matanya bergerak liar.
Justru sikap Kakek Buruk Rupa yang masih santai
saja. Dia memang tak mau membuat cucunya cemas
di saat bentrokan terjadi.
"Kau minggirlah. Suci. Nenek jelek itu
memaksaku untuk memukul pinggulnya!"
Suci menatap wajah kakeknya yang tertutup
rambut.
"Hati-hati. Kek...," katanya cemas.
"Tidak usah tegang. Si Peot itu memang harus
diberi pelajaran. Kalau tidak... wah! Tidak sabaran!"
Si kakek sudah menghindar dengan jalan berputar
di atas. Sedangkan si nenek yang sudah kelebatkan
hantamannya, menyusulkan serangan kedua, kali ini
melalui tusukan yang dilakukan pada tongkatnya.
Satu gelombang angin menderu ke arah Kakek
Buruk Rupa. Si kakek berteriak keras dan melompat
ke atas. Dari atas mendadak dikibaskan kaki
kurusnya, menyambar ke arah kepala lawan. Camar
Hitam tersentak, sebisanya dihalau dengan kibasan
tongkatnya.
Tak!
Kekuatan kaki rupanya lebih besar dari kekuatan
tangan. Tangan kanan Camar Hitam yang
memegang tongkat, berhasil dihantam. Seketika si
nenek merasa tangannya ngilu. Tongkatnya terlepas.
Mendapati hal semacam itu, Kakek Buruk Rupa
meneruskan hantamannya kembali. Masih berada di
udara, dia putar tubuh dan melancarkan jotosannya
ke kepala si nenek. Camar Hitam melipat kedua
lututnya hingga merendah. Begitu hantaman tangan
kanan Kakek Buruk Rupa mendekat, dia langsung
menghantam dengan dua tangan sekaligus.
Dua gelombang angin laksana topan mengarah
pada Kakek Buruk Rupa, yang berteriak dan segera
mengurungkan serangannya. Menghindar dengan
jalan bergulingan.
Camar Hitam jelas tak mau memberi kesempatan
lagi. Belum lagi kedua kaki Kakek Buruk Rupa
berdiri, dia kembali melancarkan dua jotosan
sekaligus mengandung tenaga dalam tinggi. Dalam
keadaan yang mencemaskan, Kakek Buruk Rupa
cepat membuang tubuhnya kembali.
Blaaar!
Dinding hitam yang berada di belakang si kakek
ambrol. Si kakek mengusap dadanya sambil
menggelengkan kepala.
"Hebat juga serangannya!" desisnya Dan ia tak
bisa banyak berpikir lagi, karena lawan sudah
kembali menyerang.
Kali ini si kakek mencoba lipat gandakan tenaga
dalamnya. Lalu dengan pencalan satu kaki, dipapaki
serangan dahsyat Camar Hitam.
Des! Des!
Bentrokan dua tenaga dalam tinggi itu terjadi.
Menimbulkan gemuruh angin yang keras. Suci
sampai terpekik melihatnya dan dia bergerak cepat
untuk menyambar tubuh Setan Hitam Compang-
camping agar tidak terhantam derasnya tubuh
Camar Hitam yang terlontar ke belakang. Si kakek
pun mengalami hal yang sama. Namun dia cepat
bangkit. Nampak tubuh Kakek Buruk Rupa bergetar.
Dari wajah yang tertutup rambut, di bagian
bawahnya mengalirkan darah. Jelas keluar dari
mulutnya.
Sementara Camar Hitam merasa tulang iganya
seperti patah. Agak sempoyongan dia bangkit dan
mata kelabunya bagai dibetot setan meradang ke
depan.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengusnya
geram dan cepat menyambar tongkat kusamnya.
Kali ini ajian 'Penutup Jalan Darah'-nya sudah
dikerahkan. Membuat si kakek kembali harus
menghindar. Untuk jenis pukulan yang satu ini, si
kakek tak berani bentrok. Karena bila saja dia
bentrok sementara akibat benturan tadi tenaganya
terkuras, maka tak ampun lagi jalan darahnya akan
kaku dan beberapa detik kemudian mati dengan
jalan darah pecah.
Tongkat yang dipegang lawannya mengarah pada
bagian-bagian urat darah si kakek yang mematikan.
Kecepatannya tinggi sekali. Bahkan dalam sekali
pandang, tongkat di tangan si nenek seakan berubah
menjadi puluhan. Menyambar dan menebarkan
hawa maut.
Kalang kabut Kakek Buruk Rupa dibuatnya.
Namun di detik lain, mendadak saja dikibaskan
kepalanya. Rambut putihnya yang menutup wajah
mendadak berubah memanjang. Dan melilit tongkat
Camar Hitam.
"Keparat! Ilmu apa yang kau perlihatkan itu,
hah?" maki si nenek.
"Hehehe... itulah ajian simpananku yang jarang
kupergunakan. 'Titian Rambut Merenggut Nyawa'."
Ajian yang disebutkan si kakek tadi bukan buatan
hebatnya. Masih melilit tongkat Camar Hitam yang
seakan tak mampu menggerakkannya, rambut putih
itu makin memanjang. Dan menampar wajah si
nenek.
Plak!
Camar Hitam tergugu menerimanya. Belum lagi
disadari apa yang terjadi, jotosan Kakek Buruk Rupa
telah menghantam dadanya.
Menjerit setinggi langit Camar Hitam dan
tersuruk ke belakang. Terpelanting lagi ke depan
begitu tubuhnya menabrak dinding. Jatuh telungkup
dengan dada dan wajah menghantam lantai.
Sakitnya bukan alang kepalang. Bahkan
membuatnya tak bisa bangkit kembali. Kakek Buruk
Rupa menggelengkan kepalanya tiga kali.
Rambutnya yang mendadak memanjang tadi, kini
kembali seperti biasa, menutupi wajahnya yang
buruk.
“Maafkan aku .. kau yang terlalu memaksa....”
Camar Hitam tak bersuara, karena dia sudah
pingsan. Suci langsung merangkul kakeknya dengan
hati gembira. Justru si kakek hanya terdiam saja,
Sementara Setan Comapang Camping hanya
menghela nafas panjang. Seumur hidupnya baru kali
ini dilihatnya pertarungan dahsyat yang
mengerikan.
Selagi ketiganya terdiam dicekam perasaan
masing-masing dua sosok tubuh berbaju biru
berkelebat datang. Dan sesaat hanya saling pandang
dalam jarak tiga tombak di hadapan orang-orang itu.
***
Kakek Buruk Rupa yang pertama kali menyadari
kehadiran keduanya. Dilepaskan rangkulan cucunya
dan ditolehkan kepalanya pada dua orang yang baru
datang.
"Sepasang Dewa Gurun Pasir... tak kusangka
kalian berada di sini pula. Apakah kalian sudah
menemukan lawan yang sepadan di tanah Jawa ini?"
serunya sambil terkekeh. Kakek Buruk Rupa
memang pernah mendengar sepak terjang sepasang
anak manusia dari tanah Dewata yang selalu
menjajal kemampuan.
Dipikirnya Sepasang Dewa Gurun Pasir akan
menampakkan wajah meradang karena ejekannya
itu, tetapi justru keduanya mengatupkan tangan di
dada.
"Nama besar Kakek Buruk Rupa telah tiba pula di
telinga kami. Kami yang datang dari jauh, ternyata
hanyalah mengumbar kesombongan belaka. Seorang
pendekar tanah Jawa telah membuka mata hati
kami."
' Kakek Buruk Rupa yang memiliki sifat angin-
anginan itu terkekeh lagi.
"Siapakah yang kau maksudkan?"
"Pendekar Slebor. Pendekar muda itulah yang
membuat kami harus menyimpan seluruh malu
dalam diri dan tak kuasa untuk berlama-lama
bertemu."
Kakek Buruk Rupa terdiam. Di manakah
Pendekar Slebor berada? Diingatnya lagi akan
ancaman dari Tunggul Manik. Berarti, jalan satu-
satunya memang harus mencari Tunggul Manik.
Tetapi, di manakah manusia dajal itu berada?
Selagi mereka terdiam belum menemukan apa
yang harus mereka lakukan, Singkil Gambir muncul
dari dinding yang jebol. Sesaat dia terperangah
melihat apa yang terjadi. Tetapi detik kemudian dia
berseru, "Cepat kalian tinggalkan tempat ini. Kita
menuju ke taman di sebelah sana. Di tempat yang
terbuka, kita bisa lebih waspada menerima serangan
yang datang."
"Siapakah kau, Kawan?" tanya Kakek Buruk Rupa.
Singkil Gambir menangkupkan kedua tangan di
dada.
"Kalau tidak salah.... Kakek Buruk Rupa yang
berada di hadapanku ini. Hmm... namaku Singkil
Gambir. Aku orang kepercayaan Pendekar Slebor."
"Di mana pemuda sakti itu berada?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Sebaiknya, kita
segera menuju ke taman saja. Tak perlu saling
berobat kembali." Singkil Gambir mendekati Setan
Hitam Compang-camping "Biar cepat, kau
kubopong saja!"
Dengan sekali angkat, tubuh besat Setan Hitam
Compang-camping sudah dibopongnya Singkil
Gambir berkata pada Raka Gunarsa,
"Kawan…tolong angkat si nenek yang pingsan Itu"
Setelah itu, mereka berkelabat mengikuti Singkil
Gambir menuju ke taman. Meskipun demikian, tak
mudah untuk menemukan jalan menuju ke taman
yang dimaksudkan Singkil Gambir. Mereka harus
nyasar dua kali. Dan barulah tiba di sana.
***
Di tumpal kediamannya, Tunggul Manik
menggeram murka melihat sepak terjang Singkil
Gambir dari wadah berisi cairan kuning.
"Keparat! Kau harus mampus, Singkil Gambir!"
geram lelaki berkalung tengkorak itu dengan kedua
rahang mengatup rapat dan mata mengecil. "Hhhh!
Di mana Pendekat Slebor berada? Setan alas!
Mengapa sejak tadi aku tak bisa menemukannya?
Tak mungkin seluruh tempat ini bisa luput dari
penglihatanku, karena aku yang membangun dan
menciptakannya."
Dibiarkannya orang-orang itu menuju ke tempat
yang mereka inginkan. Dengan hati panas karena
beberapa ilmu sihirnya berhasil dipunahkan
Pendekar Slebor, Tunggul Manik berkomat-kamit
dan pemandangan dalam wadah berisi cairan
kuning itu bergerak kembali.
Dicarinya sosok Pendekar Slebor dengan rasa
penasaran yang tinggi. Namun sekian lama dicari,
orang yang dimaksud tak ditemukan.
"Setan alas! Rasa-rasanya... permainanku akan
usai. Keinginanku untuk melihat Kakek Buruk Rupa
dan Pendekar Slebor bertarung gagal. Pertama, Suci
telah berada di antara mereka. Begitu pula dengan
Setan Hitam Compang-camping. Kedua, sosok
Pendekar Slebor tak ada di tempat. Berarti aku harus
menjalankan permainan terakhir. Biar aku muncul di
hadapan mereka dan kupaksa Pendekar Slebor
untuk muncul!"
***
10
Orang orang yang mengikuti langkah Singkil
Gambir, telah tiba di taman yang luas, di mana di
tempat itu sebelumnya Pendekar Slebor hampir saja
tertipu oleh ilmu sihir Tunggul Manik.
Suci bertanya, "Singkil Gambir... di manakah
Pendekar Slebor berada?"
Singkil Gambir menoleh dan menjawab, "Aku
tidak tahu di mana Pendekar Slebor berada saat ini.
Mungkin, dia hendak menjalankan rencananya"
"Apa maksudmu dengan rencananya?"
"Setelah aku diperintah untuk membebaskan kau
dan Setan Hitam, aku diharuskan membawa kalian
ke tempat ini. Dan sungguh tak kusangka kalau
akan bertemu dengan yang lain. Sementara setelah
kau dan Setan Hitam keluar dari sini, aku bertemu
dengan Pendekar Slebor. Dan mengatakan di mana
Tunggul Manik berada. Pendekar Slebor pun
bermaksud untuk mencari Tunggul Manik. Tetapi
entah mengapa, dia merasa tak akan
menemukannya."
"Apa maksudmu?"
"Aku sama sekali tidak mengerti. Naluri Pendekar
Slebor mengatakan, kalau Tunggul Manik telah
kalah dalam permainan sesat yang dijalankannya
ini."
"Kau benar, Singkil Gambir! Pendekar Slebor
memang telah berhasil meruntuhkan seluruh
rencanaku sebelum tiba waktunya! "suara keras
bersamaan angin dahsyat bergemuruh itu terdengar.
Membuat orang-orang yang berada di taman itu
melengak dan mengedarkan pandangan.
Asap hitam tebal tiba-tiba bagai menyembur dari
tanah berjarak Lima tombak dari hadapan mereka.
Masing-masing menajamkan pandangan. Begitu
asap tebal menghilang, mendadak satu sosok tubuh
tinggi besar berdiri di hadapan mereka. Bagian
dadanya tak tertutup, memperlihatkan sebuah tato
bergambar tengkorak. Celananya hitam panjang
hingga mata kaki. Di pinggangnya melilit sabuk
warna merah. Matanya agak menukik dengan
kelopak mata berlipat ke dalam. Alis mata laki-laki
itu setebal brewok yang tumbuh didagunya. Di
pergelangan tangannya terdapat dua buah gelang
perak yang besar.
Tunggul Manik yang segera mmgirimkan tawa
keras, menindih angin bergemuruh. Dan masing-
masing segera alirkan tenaga dalam mereka. Kakek
Buruk Rupa cepat bertindak menotok pingsan Setan
Hitam Compang-camping yang jelas tak berdaya
menghadapi gempuran tersembunyi melalui tawa
yang dialirkan tenaga dalam. Hingga dalam keadaan
pingsan, Setan Hitam Compang-camping tak akan
terganggu oleh tawa keras itu.
"Kalian telah kuundang ke Pulau Seribu Setan.
Dan menerima permainan yang menarik! Terutama
Pendekar Slebor! Sayangnya, pemuda itu seperti
ayam kehilangan induk yang cuma bisa
bersembunyi tanpa berani muncul'"
Raka Gunarsa menggeram. " Tunggul Manik kau
tak akan lagi bisa meneruskan permainan busukmu
ini!"
"Hahaha... jangan lupa, permainan ini langsung
kuubah menuju puncaknya Karena, kecerdikan
Pendekar Slebor telah mengalahkan aku sebelum
waktunya!"
"Kau tak akan berdaya menghadapinya!" seru
Kakek Buruk Rupa.
"Dan kenyataannya, pendekar muda itu justru-
bersembunyi, lari sipat kuping seperti seekor kelinci
yang khawatir diterkam serigala!"
"Keparat!" geraman itu keluar dari mulut
Sepasang Dewa Gurun Pasir secara bersamaan.
Meskipun sebelumnya mereka ingin sekali
membunuh Pendekar Slebor dan ternyata di saat
bertarung justru Pendekat Slebor membiarkan
mereka hidup, tidak menerima cacian Tunggul
Manik terhadap pendekar besar urakan yang
bijaksana itu.
Dengan tenaga penuh, keduanya sudah berkelebat
menggempur Tunggul Manik yang masih terbahak-
bahak. Dan ketika serangan keduanya berjarak
demikian dekat, Tunggul Manik menepuk
tangannya dua kali.
Seolah melesat dari tubuhnya, sosok Tunggul
Manik berubah menjadi tiga. Yang dua langsung
memapak serangan Sepasang Dewa Gurun Pasir,
sementara yang satu lagi masih terbahak-bahak.
"Sihir!" seru Raka Gunarsa terkejut dan
menghindar.
Sementara itu Kakek Buruk Rupa berbisik pada
Suci, "Kau tetap di sini. Jaga kedua manusia yang
pingsan itu. Meskipun Camar Hitam memiliki hati
busuk, tetapi sekarang dia tak berdaya."
"Hati-hati, Kakek...."
Kakek Buruk Rupa menganggukkan kepalanya
dan maju tiga tindak.
"Kau tak akan bisa berbuat lebih banyak, Tunggul
Manik! Pendekar Slebor telah mengalahkanmu!"
"Hhh! Tetapi kali ini, aku akan memenangkan
semua permainan!* seru Tunggul Manik dan
mendadak dia membentak Singkil Gambir, "Kau tak
akan luput pula dari kematian karena
pengkhianatanmu itu!"
Singkil Gambir cuma tersenyum saja.
Mendadak pula Tunggul Manik menepuk
tangannya sekali. Sosoknya kembali muncul dan
menyerang Singkil Gambir. Lalu ditepuk tangannya
lagi. Apa yang tadi terjadi, kembali terjadi lagi.
Kali ini, empat sosok Tunggul Manik tengah
menggempur lawan masing-masing. Sementara
Tunggul Manik yang seorang lagi sedang terbahak-
bahak.
"Sangat kusukai permainan ini! Sayang, Pendekar
Slebor tidak ada!" serunya terbahak-bahak.
Sementara Suci membelalakkan matanya melihat
apa yang terjadi di depannya. Sosok Tunggul Manik
berubah menjadi lima orang!
Masing-masing terus menggempur setiap lawan.
Raka Gunarsa, berhasil menjatuhkan lawannya,
tetapi lawan itu sudah bangkit kembali dan
menyerang dengan garang. Begitu pula halnya
dengan yang lain.
Setelah lima belas jurus terjadi, terdengar teriakan
Singkil Gambir, “Hantam Kepalanya!”
Mendengar seruan itu, masing-masing bergerak
cepat. Serangan diarahkan pada kepala lawan. Dan
dalam tempo yang singkat, mereka berhasil
menghantam kepala masing-masing Tunggul Manik
pecah. Jatuh ambruk.
Anehnya, mendadak lawan-lawan itu berubah
menjadi asap, dan mengarah pada Tunggul Manik
yang meradang pada Singkil Gambir. “Setan
Keparat! Rupanya banyak yang kau ketahui tanpa
kusadari! Siapa yang mengatakan rahasia ilmu
sihirku itu, hah?”
Singkil Gambir terbahak-bahak.
"Pendekar Sleborlah yang mengatakan semua ini
kepudaku. Bahkan dia tahu, kalau Permata Sakti
biru itu ada pada tubuhmu!"
Tunggul Manik menggeram. Apa yang dikatakan
Singkil Gambir memang benar. Di balik
pinggangnya terdapat Permata Sakti yang
memancarkan sinar warna biru
"Setan alas!!" menggembor lelaki itu dengan suara
kalap.
Singkil Gambir tertawa lagi.
"Pendekar Slebor mengatakan kepadaku, bila
Permata Sukti itu berhasil pindah tangan, maka kau
akan menunjukkan jalan keluar dari Pulau Seribu
Setan."
"Singkil Gambir! Nyawamu sudah di tanganku!"
Sehabis berkata begitu, dengan kemarahan setinggi
langit, Tunggul Manik menderu pada anak buahnya
itu. Kedua tangannya mendadak memancarkan sinar
warna merah dan siap menekuk kepala Singkil
Gambir.
Namun yang mengejutkan, dengan lincahnya
Singkil Gambir menghindari gempuran itii. Terkejut
dan meradang, Tunggul Manik menyusulkan
serangannya.
Akan tetapi, dengan kelincahan yang sama Singkil
Gambir berhasil menghindar. Hal ini membuat
Tunggul Manik makin murka. Sambil menyerang
dia berseru, "Siapa kau sesungguhnya, hah?"
"Aku, adalah Singkil Gambiryang menghentikan
semua sepak terjang busukmu!"
Tunggul Manik menambah kecepatannya. Kedua
tangannya yang memancarkan sinar merah
bergulung-gulung dan mencoba menjambak
lawannya. Untuk seterusnya, Singkil Gambir
nampak tunggang-langgang menghadapi serangan
Tunggul Manik.
Baju bagian belakangnya terkena cengkeram. Bila
saja dia tidak segera meliukkan tubuhnya, tak urung
dagingnya terbawa pula. Tunggul Manik melompat
ke belakang sambil terbahak-bahak. "Sebentar lagi,
nyawamu akan sirna!"
Singkil Gambir cuma tertawa saja. Justru
terdengar teriakan Suci keras, "Kang Andika!"
Singkil Gambir menoleh. Lalu nyengir. Cengiran
itu sudah sangat akrab sekali dengan Suci.
Lalu dengan santainya dia berkata, "Brengsek kau,
Tunggul Manik! Bajuku yang kau robek itu pasti
memperlihatkan baju dalam yang kututupi hingga
Suci tahu siapa aku!"
Masih dengan sikap santai, Singkil Gambir
membuka seluruh pakaiannya Yang nampak
kemudian, pakaian hijau pupus dengan selembar
kain catur yang diikat di pinggang. Lalu dengan
enaknya dibuka kain bercorak catur itu dan
disampirkan ke lehernya. Lalu kedua tangannya
mengusap wajahnya menarik kumis lebat yang ada
di bawah hidungnya
Yang ada sekarang, adalah wujud Pendekar
Slebor!
Bagaimana asal muasalnya Pendekar Slebor
menyamar sebagai Singkil Gambir? Setelah
mengalahkan sepuluh anggota Serikat Kuda Hitam.
Pendekar Slebor mempunyai satu pikiran begitu
dilihatnya ada sebuah pohon besar di hadapannya.
Dibukanya pakaian yang dikenakan oleh salah
seorang dari yang tewas. Dipakainya untuk
menutupi pakaian khasnya. Lalu dihampirinya
pohon besar itu. Dipatahkannya beberapa dahan.
Ada getah di sana. Ditirunya wajah orang yang
tewas di tangannya itu setelah diingat-ingat
wajahnya. Dengan mempergunakan getah itu.
Andika membuat sedikit codetan. Mempergunakan
panas dari tenaga 'inti petir'-nya, diambilnya rambut
dari salah seorang yang tewas. Dipilinnya lalu
dengan bantuan getah dari pohon itu, diciptakannya
sebuah kumis.
Jadilah sosok Pendekar Slebor berubah. Dan baru
dikelahui kalau sosok yang ditirunya itu bernama
Singkil Gambir setelah Sirat Sedah memanggilnya
demikian.
Otak Andika yang cerdik yakin sekali, kalau
Tunggul Manik entah dari mana mengetahui gerak-
geriknya. Untung-untungan dia melakukan
penyamaran semula untuk menutupi dirinya dari
pandangan mata Tunggul Manik. Kebetulan sekali
saat itu, Tunggul Manik sedang mengalihkan wadah
berisi cairan kuning pada Kakek Buruk Rupa.
Lengkap sudah apa yang dikehendaki Andika.
Sebenarnya, dari omongannya dengan Sirat Sedah,
Andika bermaksud mencari Tunggul Manik yang
diketahui berada di balik dinding bergambar kuda
hitam yang sedang mengangkat kedua kakinya.
Akan tetapi, nalurinya mengatakan, kalau saat ini
Tunggul Manik sedang kehilangan dirinya dan
kemungkinan besar akan muncul.
Apa yang diduganya memang benar.
"Ih! Lengket benar getah ini!" dengus Andika
sambil mengerik getak di tangannya. Ketika
dialirkan panas dari tubuhnya, getah itu mencair
dan jatuh.
Membesi wajah Tunggul Manik melihat keadaan
ini. Tak disangkanya kalau orang yang dicarinya
menyamar sebagai Singkil Gambir. Yang lain pun
menarik napas panjang melihat kecerdikan Pendekar
Slebor. Dalam hal menyamar, Andika memang tak
ada bandingannya. Secara tidak langsung, dia
pernah menjadi murid dari Raja Penyamar yang
mengajarkannya ilmu menyamar!
"Setan alas! Kucabut nyawamu, Pendekar Slebor!"
Andika cuma tersenyum. "Permainanmu telah
selesai. Sebaiknya, kau menyerah dan menunjukkan
jalan keluar!"
"Sudah kukatakan, bila kau mendapatkan Permata
Sakti ini kembali, secara tak langsung kau telah
menemukan jalan keluar dari sini! Tetapi sekarang,
kau dan manusia-manusia lainnya itu, akan
terkubur di Pulau Seribu Setan!"
Sehabis berkata begitu, Tunggul Manik
menggeduk kakinya tiga kali. Bukan buatan yang
terjadi kemudian. Tanah yang mereka pijak bergetar
dahsyat. Dinding-dinding di kejauhan terdengar
berderak. Bunga bunga yang sebagian sudah
terpapas sebelumnya, kini berpentalan. Keadaan tak
ubahnya bagai gempa belaka.
Orang-orang yang berada di sana menjadi panik.
Seketika mereka kerahkan tenaga dalam masing
masing agar tubuh tidak terpelanting.
Namun lain halnya dengan Pendekar Slebor
Meskipun dia berusaha agar tubuhnya tidak terbawa
gerakan aneh yang dahsyat itu, otaknya berpikir
keras. Kain bercorak catur! desisnya dalam hati.
Mendadak saja sambil kendalikan tubuh,
diambilnya kain bercorak catur, lalu dikibas-
kibasnya hingga menimbulkan gemuruh dahsyat
dan dengungan bagai ribuan tawon marah.
Suaranya menindih gelegar angin yang terjadi.
Dan semakin lama angin dahsyat dan suasana
mirip gempa itu mereda dan menghilang. Ketika
mata memandang, tak ada dinding yang hancur, tak
ada bunga-bunga yang beterbangan, semua utuh.
Yang terdengar justru teriakan Tunggul Manik
memecah kesunyian yang mendadak mengerjap.
"Setan alas! Lagi lagi kau bisa memusnahkan ilmu
sihirku!"
Sadarlah yang lainnya, kalau yang barusan
mereka rasakan hanyalah akibat dari pengerahan
ilmu sihir yang dilakukan Tunggul Manik. Raka
Gunarsa dan Ida Ayu Mantri tak kuasa lagi
menahan amarahnya. Begitu tubuh Tunggul Manik
mencelat ke arah Andika, keduanya segera bergerak
menyongsong.
Justru Andika yang bergerak cepat, memapas
serangan Sepasang Dewa Gurun Pasir, dan meliuk
menahan jotosan Tunggul Manik. Karena Andika
bagai menahan dua serangan sekaligus, tubuhnya
pun terpental dua tombak ke belakang terkena
hantaman Tunggul Manik.
Andika memang punya pikiran lain. Terutama
bila ingat Permata Sakti berada di tangan Tunggul
Manik. Dia telah memecahkan rahasia Permata Sakli
itu, jadi tahu kalau Tunggul Manik tak akan
merasakan apa-apa bila terkena pukulan.
Menyadari hal ini, lagi-lagi Andika berpikir akan
kain bercorak catur yang masih dipegangnya.
"Barangkali saja kesaktian kain bercorak catur ini
lebih tinggi dari Permata Sakti!" pikirnya sesaat, lalu
sudah bergulingan ketika Tunggui Manik telah
menggempur lagi.
Tidak tanggung-tanggung yang dilakukan
Andika. Berpikir dia harus menggunakan kain
bercorak catur, maka segera dialirkan tenaga 'inti
petir' pada kain itu, hingga kekuatan yang ada jadi
berlipat ganda.
Tunggul Manik terbelalak menerima serangan
dahsyat itu. Kini dia justru bernafsu untuk
memilikinya. Kecepatannya ditambah untuk
menjambret kain bercorak catur milik Andika. Akan
tetapi, Andika yang tak mau bertindak tanggung
segera mengibaskan kain pusakanya itu.
Beet!
Beeet!
"Aaaaakhhhh!!"
Jeritan keras terdengar dari mulut Tunggul Manik,
menyusul tubuhnya terpental ke belakang.
Menabrak dinding taman dan muntah darah.
Seluruh tulangnya bagai patah. Di saat tubuh
Tunggul Manik terpental tadi, Permata Sakti yang
berada di balik pinggangnya terpental.
Andika cepat menyambarnya. Bersamaan
dipegangnya permata itu, mendadak terdengar
ledakan di kejauhan. Menyusul suara debur ombak
bagai menghantam bangunan besar itu.
"Gila! Ada apa ini?" maki Andika sementara di
yakininya kekuatan kain bercorak catur lebih tinggi
dari Permata Sakti yang kini dipegangnya .Mungkin
tak ada senjata lain yang bisa menandingi kehebatan
permata itu kecuali kain bercorak catur milik
Pendekar Slebor.
Tetapi sekarang, tempat itu bagai digonjang-
ganjing tangan-tangan raksasa. Mereka kali ini
benar-benar menghadapi guncangan dahsyat.
Menyusul suara seperti air bah tumpah. Entah
dari mana datangnya air itu mendadak memenuhi
taman, hingga sebetis.
Dalam kepanikan semacam itu, Andika mencoba
bersikap leriang. Diingat ingatnya kata-kata Tunggul
Manik. Permala Sakti itu adalah kunci jalan keluar
dan Pulau Seribu Setan.
Mendadak saja Andika menatap permata itu
dalam dalam. Di dalam permata itu terlihat dua ekor
naga yang biasanya berdiam, kini bergerak-gerak.
Lalu menghilang dan muncul di dalamnya
gambaran sebuah lorong yang terdapat sebatang
besi di dalamnya. Andika teringat akan lorong itu.
Cepat dia berseru, "Kita berlari cepat! Jangan ada
yang tertinggal!"
Serentak orang-orang itu mengikuti Andika. Satu
persatu dengan cepat menuruni besi bulat di mana
Andika menyelamatkan Suci dan Setan Hitam
Compang-camping. Sambil berlari Andika terus
memperhatikan Permata Sakti itu.
Dan terpampang di dalamnya, tempat di mana
Suci pernah di penjara. Bergegas Andika mengajak
yang lainnya masuk. Dilihatnya lagi di dalam
permata itu dinding di sebelah kirinya. Dan retakan
yang perlahan membesar.
Andika sadar berarti dia harus memukulnya.
Dihantamnya dinding itu sekuat tenaga hingga
jebol. Bergegas diperintahnya yang lainnya untuk
masuk.
Begitu semuanya berada di sana, air laut yang
entah dari mana datangnya menggenang. Anehnya,
dinding jebol itu tertutup rapat. Dan sesuatu yang
aneh terjadi. Karena orang-orang itu bagai
mengapung dalam ruang hampa udara, berputaran
cepat dan bagai terlontar ke sebuah tempat yang
sangat jauh sekali.
Andikalah yang pertama kali tersadar ketika
mendapati dirinya berada di sebuah bukit tandus
dibentengi perbukitan batu karang. Entah sudah
berapa lama dia tergeletak di sana bersama dengan
yang lainnya.
"Gila! Pengalaman ini sangat aneh sekali! Dan aku
baru tahu kehebatan kedua dari Permata Sakti ini.
Dalam suasana terkurung, dia akan menunjukkan
jalan keluar."
Dilihatnya Kakek Buruk Rupa mulai siuman.
Andika cepat mendekati Kakek Buruk Rupa.
Berbisik diterangkanlah rahasia Permata Sakti itu. Si
kakek cuma mengangguk-anggukkan kepala dan
menerima Permata Sakti yang diberikan Andika.
"Tidakkah kau berkeinginan memilikinya?"
Andika nyengir. "Tidak usah. Yang pasti, permata
itu akan aman di tanganmu, Kek. Sebaiknya, aku
permisi!"
Tanpa menunggu jawaban Kakek Buruk Rupa,
Andika sudah berkelebal cepat. Menghilang dari
pandangan si kakek.
"Tak kusangka, kecerdikan dan kehebatanmu itu
sangat luar biasa, Pendekar Slebor…"puji Kakek
Buruk Rupa. Tanpa menghiraukan Camar Hitam
dan Sepasang Dewa Gurun Pasir, Kakek Buruk
Rupa membopong cucunya dan Selan Hitam
Compang Camping. "Aku khawatir, putra dan
menantuku cemas memikirkan kepergian Suci.
Sebaiknya aku menuju ke sana."
Ketika Suci siuman dari pingsannya, yang
pertama kali ditanyakan pada kakeknya adalah
Pendekar Slebor.
Kakek Buruk Rupa segera menjawab pertanyaan
cucunya itu.
"Dia sudah pergi, Suci."
"Oh! Mengapa Kakek tidak menahannya?"
"Sulit untuk menahan kepergiannya, karena
langkahnya sangat panjang."
Suci terdiam, tak terasa hatinya menjadi pilu.
Sementara Setan Hitam Compang-camping hanya
tertunduk saja sambil menahan nyeri pada
tubuhnya.
Kakek Buruk Rupa menarik napas pendek. Bisa
dirasakan kalau sebenarnya cucunya mulai tertarik
pada Pendekai Slebor. Hanya itu yang diketahuinya,
karena sesungguhnya selain mulai mencintai
Pendekar Slebor, Suci pun menyesali keinginannya
untuk merebut Permata Sakti dari pemuda sakti itu.
"Kang Andika.... Maafkan aku, kalau aku ternyata
punya niat jelek kepadamu. Tetapi, semuanya
karena permata itu semula milik kakekku, bukan?
Dan rasanya sah saja aku memilikinya. Suatu saat,
Kang Andika. Suatu saat, Akan kukatakan
kepadamu niatku yang jelek ini "
***
Pulau Seribu Setan telah terkubur dalam air yang
semakin banyak tumpah. Tunggul Manik terperanjat
begitu dia tersadar dirinya berada dalam genangan
air. Mengerahkan sisa-sisa tenaganya, dan
mengeluarkan ilmu sihirnya, tubuhnya mendadak
melayang di atas air tinggi itu.
Memasuki sebuah tempat yang mana di
hadapannya terdapat dinding bergambar kuda
hitam sedang mengangkat kedua kakinya, Tunggul
Manik berkomat-kamit. Dan mendadak tubuhnya
berada di balik dinding itu.
Aman dari air yang semakin tinggi.
Di dalam sana terdapat sosok Iblis Tambang yang
pingsan. Kegeraman Tunggul Manik makin
membesar pada Pendekar Slebor.
Diangkatnya tubuh Iblis Tambang. Dan dia
berkomat-kamit. Entah dari mana datangnya asap
hitam, dibawanya tubuhnya yang membopong
tubuh Iblis Tambang ke dalamnya.
Bersamaan asap itu lenyap, lenyap pula tubuh
Tunggul Manik dan Iblis Tambang.
Pulau Seribu Setan telah terkubur dan kembali
menjadi misteri yang berkepanjangan.
SELESAI
PENDEKAR SLEBOR
Segera menyusul!!
Serial Pendekat Slebor
dalam episode:
DARAH-DARAH LAKNAT
0 comments:
Posting Komentar