"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 31 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PULAU SERIBU SETAN

Pulau Seribu Setan

 

PULAU SERIBU SETAN

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor 

dalam episode: 

Pulau Seribu Setan

128 hal.


1


Rambatan sinar surya telah memasuki tiga 

perempat perjalanan, sengatannya tak lagi terlalu 

garang. Angin berhembus sejuk di tanah luas yang 

dipenuhi rerumputan setinggi mata kaki.

Di tempat itulah Andika alias Pendekar Slebor 

menghentikan langkah. Di sisinya, Suci berdiri, 

tegak pula. Mengedarkan pandangan ke seantero

tempat yang indah. Di hadapan mereka, menjulang 

sebuah gunung, indah, tinggi, dan puncaknya 

tersaput gumpalan awan putih, lembut dan 

menyejukkan.

Sejak pertempuran mereka menghadapi si Rase 

Maut dan Iblis Tambang, Andika bermaksud untuk 

meneruskan perjalanan mencari Kakek Buruk Rupa. 

Secara tidak langsung, Andika telah berhasil 

memecahkan teka-teki tentang Permata Sakti yang 

diberikan Kakek Buruk Rupa (Silakan baca serial 

Pendekar Slebor, dalam episode sebelumnya : 

"Rahasia Permata Sakti").

"Sulit menentukan di mana kakekmu berada, Su-

ci," kata Andika sambil melirik gadis jelita di sisinya.

Suci hanya mengangguk.

"Tak mengherankan hal itu sebenarnya, Kang 

Andika. Kakek selalu berada di mana saja yang ia

hendaki."

Andika mengangguk-anggukkan kepalanya. Di 

samping hendak menyerahkan kembali Permata

Sakti yang memancarkan sinar biru pada Kakek 

Buruk Rupa, akan dikabarkannya pula pada orang

tua aneh yang tidak ketahuan mana hidung dan 

mana mulut itu, kalau banyak tokoh- tokoh sakti 

kelas atas mencarinya guna merebut Permata Sakti 

yang dimilikinya.

"Sebelum malam tiba, sebaiknya kita bergerak la-

gi, Suci. Kulihat ada hutan di depan sana. Agaknya, 

cukup lumayan dijadikan tempat bermalam 

daripada alam terbuka semacam ini."

Suci mengangguk. Sungguh, perjalanan ini 

sebenarnya sangat berat sekali baginya, tetapi 

membuatnya senang. Senang karena dua hal. 

Pertama, karena ia bermaksud mencari kakek yang 

dirindukannya. Kedua, karena pada akhirnya 

Pendekar Slebor mengabulkan keinginannya untuk 

ikut serta. Satu hal lain yang singgah di hati gadis 

itu, diam-diam dia ingin memiliki Permata Sakti 

yang ada pada Pendekar Slebor. Karena pikirnya, 

toh permata itu semula milik kakeknya.

Hari menjelang malam ketika Pendekar Slebor 

dan cucu Kakek Buruk Rupa memasuki sebuah 

hutan kecil namun lebat. Andika menghentikan 

langkahnya di antara jajaran pohon.

Dikagumi ketahanan fisik Suci. Tak sia – sia 

Kakek Buruk Rupa mengajarkan beberapa ilmu 

meringankan tubuh dan tenaga dalam. Lagi – lagi 

Andika berpikir, bila saja Kakek Buruk Rupa 

mengajarkan pula cucunya ilmu kanuragan, tak 

mustahil suci akan menjadi seorang gadis yang tak 

mudah dikalahkan.

Andika menyuruh Suci untuk beristirahat, 

sementara ia sendiri bermaksud untuk mencari buah

– buahan sebagai pengisi perut. Sepeninggal 

Pendekar Slebor, Suci mendesah pendek, "Ah.... 

Bagaimana caranya aku bisa memiliki Permata Sakti 

itu?"

Sementara itu, Andika sudah menemukan banyak 

pohon manggis hutan. Cekatan dengan 

mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang 

kesohor, Andika berlompatan memetiknya. Setelah 

dirasakannya cukup, Andika bermaksud untuk 

menemui Suci kembali.

Namun tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke 

samping, buah-buahan yang dipegangnya terlepas 

ketika beberapa senjata rahasia mendesing halus ke 

arahnya.

"Manusia hina! Keluar kalian!!" bentak Andika 

dengan tatapan jengkel.

Ketika kata-katanya habis, bermunculan sepuluh 

orang berpakaian compang-camping berwajah 

bengis yang tanpa basa-basi langsung 

mengurungnya. Di tangan masing-masing terdapat 

parang tajam.

Salah seorang dari mereka berwajah tirus dengan 

kumis dan jenggot merah, mengeluarkan tawa 

dingin dan angkuh. Rambut panjang bergetar ketika 

tawanya berderai.

"Ada manusia nekat berani masuk ke Hutan 

Sengkalan yang dikuasai oleh Setan Hitam 

Compang-camping!"

Pendekar Slebor memandang dengan tatapan 

semakin menyipit, nyalang memerah. 

Kewaspadaannya jelas-jelas menguasai dirinya.

Tetapi mulutnya yang usil berseloroh, "Kalau kau 

memang menjuluki diri sebagai setan, tanpa kau 

juluki pun orang-orang sudah menganggapmu 

sebagai setan! Apalagi aku yang cerdik ini?"

Wajah Setan Hitam Compang-camping memerah. 

"Keparat! Berani beraninya kau berkata begitu, hah?"

"Bahkan aku herani menyuruh kau untuk kembali 

menemui ibumu dan menete padanya!"

Wajah Setan Hitam Compang-camping bertambah 

memerah mendengar ejekan Andika. Tiba-tiba saja 

ia membuang ludah seraya berseru, "Tangkap 

manusia hina itu!!'

Sembilan orang yang bersamanya menerjang 

serempak. Kilatan sembilan parang mengarah pada

Andika, bagaikan desingan angin yang datang 

berkali-kali.

Andika mengeluarkan dengusan. Lalu tubuhnya 

berkelebat menghadapi serangan-serangan ganas 

yang datang, tubuhnya tiba-tiba menukik ketika tiga 

sambaran parang mengarah pada lehernya

Wuuut! Wuuuut! Wuuuut!

Bersamaan dengan menukuknya tubuh Andika, 

tangan kanannya menghantam disusul dengan kaki 

kiri dan kanan.

Buk! Buk! Buk!

Tendangan yang dilakukan secara beruntun itu 

mendarat dengan telak di dada ketiga orang 

penyerangnya hingga ketiga orang itu terpental 

kebelakang. Untuk sesaat ketiganya berusaha

bangkit, tetapi rasa sakit di dada membuat ketiganya 

harus telentang menahan sakit.

Seharusnya Andika bisa langsung menghabisi 

mereka. Namun, ia tak melakukan hal itu. Karena ia 

belum bisa menduga siapakah orang – orang garang 

ini. Menurunkan tangan telengas tanpa mengetahui

sebab yang pasti bagi Andika adalah pantangan.

Tetapi hal lain yang menyebabkan ia tak 

menurunkan tangan telengas, karena enam buah 

parang berikutnya mendesaknya dengan hebat. Tiga 

buah parang menghantam bagian atas, sementara 

tiga buah lagi menghantam bagian bawah.

Andika memperlihatkan kehandalannya dalam 

menghindar. Gerakan keenam lawannya itu 

bagaikan setan. Sementara Setan Hitam Compang-

camping mengerutkan keningnya melihat gerakan 

yang dilakukan oleh Andika.

"Edan! Siapakah anak muda ini? Ilmunya begitu 

tinggi sekali!"

Andika berkelebat cepat, melepaskan pukulan dan 

tendangannya, yang membuat empat orang 

penyerangnya terkapar pingsan setelah tersambar 

serangan balasannya.

"Nah, nah! Apakah kalian masih mau meneruskan 

main-main ini?" katanya sambil menghindari dua 

serangan lainnya.

Melihat hal itu, Setan Hitam Compang-camping 

menderu maju sambil meloloskan parangnya yang 

beronce merah.

Wuttt!

Andika berkelit dengan ringannya.

"Nah, kenapa tidak sekalian saja sejak tadi? 

Merepotkan saja!"

Geram melihat serangannya bisa dielakkan 

dengan mudah, dikawal gerengan garang, Setan 

Hitam Compang Camping menderu kembali. 

Parang di tangannya mendadak bagaikan menjadi 

banyak. Desingan angin yang ditimbulkannya 

membuat bulu kuduk Andika terasa dingin. 

Terlambat saja dia membuat gerakan menghindar, 

salah satu serangan lawan, pasti akan mampir di 

tubuhnya

Melihat hal itu. Andika berkelebat secepat kilat ke 

sana kemari. Memasuki jurus ketiga, ia bukan hanya 

mampu menahan setiap serangan dari tiga 

lawannya, bahkan mulai dapat menyusup masuk. 

Terutama terhadap serangan yang dilancarkan oleh 

Setan Hitam Compang-camping.

Dua anak buah Setan Hitam Compang-camping

bagaikan berlomba untuk membunuh Andika. Di 

samping geram melihat yang lainnya terkapar 

pingsan, keduanya geram karena sejak tadi 

serangan-serangan mereka tak berhasil. Bahkan 

berkali-kali dipatahkan oleh Andika, sehingga ini 

membuat mereka bertambah murka.

Setan Hitam compang camping yang mulai kacau

petahanannya akibat gerakan Andika yang seperti 

hantu dan sangat sulit diterka, kali ini mengan-

dalkan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga sambil 

melompat kesana kemari ini mengelebatkan 

parangnya yang menimbulkan suara berdesing.

Namun itu adalah kesalahan. Karena Selagi Setan 

Hitam Compang-Camping mencecarnya. Andika 

membuat gerakan melurup ke arah dua anak buah 

laki-laki berwajah tirus itu. Tiba-tiba jotosan dan 

tepat menghantam wajah dan perut dua lawannya. 

Yang terkena jotosan rontok giginya dengan wajah 

sembab, sementara yang terkena tendangan pada 

perutnya, mengaduh dan seketika mendekap 

perutnya, karena bagaikan terasa tulang iganya yang 

patah.

Melihat hal itu, Setan Hitam Compang-camping 

bertambah geram. Serangannya semakin ganas dan 

mengerikan. Tetapi, Andika yang sudah 

menemukan bentuk serangannya, dengan 

mudahnya menjotos punggung lawan yang 

mengaduh, yang masih mampu mengibaskan 

tangannya ke belakang.

Wuuuttt!

Andika langsung merunduk menghindari 

sambaran parang yang cepat itu. Lalu.... 

But,

Kakinya menendang ke depan hingga Setan Hitam 

Compang-camping tersungkur. Belum lagi ia sempat 

bangkit, Andika sudah menjejakkan kakinya di 

kepala lawan yang menggeram sambil memaki-maki 

tak karuan.

"Nah, mengapa kau tidak mencoba untuk 

mengangkat kepalamu, bah?"

Setan Hitam Compang-camping kali ini benar-

benar kena batunya. Ia menepuk-nepuk tangannya 

ke tanah.

"Aku menyerah."

"Ya, sudah kalau begitu," kata Andika. Lalu seolah 

tak ada masalah yang berarti ia memunguti lagi 

buah-buahan yang berserakan. Ketika ia hendak 

melangkah, terdengar seruan Setan Hitam 

Compang-camping, .

"Pendekar muda, tunggu!!"

Andika berhentii dan menoleh. "Kenapa lagi? 

Apakah kau ingin benar-benar kukemplang pecah

kepalamu?"

"Tidak Aku mangaku kalah. Tetapi, sebutkan 

nama."

“Brengsek! kalau mau berkenalan, kenapa harus 

menyerangku seperti tadi? Untungnya aku masih 

sabar. Kalau tidak, kepalamu sudah jadi bubur."

Tak mempedulikan makian Andika, Setan Hitam 

Compang-camping berkata lagi, "Aku ingin 

mengetahui nama dan julukanmu, Orang Muda."

"Namaku Andika. Orang-orang menjulukiku 

Pendekar Slebor. Nah, kau sudah mendengar, kan? 

Kalau begitu, aku permisi!"

Mendengar nama dan julukan yang disebutkan 

oleh Andika, laki-laki berwajah tirus itu terdiam 

sesaat. Lalu terdengar seruannya bagai disengat 

kalajengking, "Pendekar Slebor!"

Andika menoleh lagi. "Kenapa lagi? Tidak usah 

panggil-panggil begitu aku juga dengar!" dengusnya

gusar.

Dilihatnya Setan Hitam Campang camping 

merangkak ke arahnya, lalu tiba-tiba lelaki yang tadi 

begitu garang, kini bersujud dihadapan Andika.

“Maafkan aku Tuan Pendekar. Sungguh, aku tak

tahu siapa gerangan Tuan Pendekar Tadi"

Kalau tadi Andika gusar melihat sepak terjang 

laki-laki itu. Kini ia menjadi risih dengan sikap yang 

diperlihatkan bekas lawannya tadi.”Tadi garangnya 

kayak setan, sekarang ko kayak abdi dalem. Hei, kau 

kenapa? Aku bukan ibumu yang suka membelai 

kepalamu!”

"Pendekar Slebor, ingatkah kau pada Menur?" 

tahu-tahu Setan Hitam Compang-camping bertanya 

begitu. Kali ini, sinar matanya begitu hormat.

Sejenak Andika terdiam. "Menur? Oh ya, 

bagaimana kabarnya?"

"Ia baik-baik saja, Tuan Pendekar."

"Tetapi, bagaimana kau bisa mengenal gadis itu?"

"Lima bulan yang lalu, ia melewati hutan ini. 

Kami bersepuluh bermaksud menangkapnya untuk 

dijadikan pemuas nafsu. Tetapi, rupanya gadis itu 

bukan orang sembarangan. Ia menghajar kami 

tunggang langgang dan mengampuni nyawa kami 

asalkan kami berjanji tidak akan membegal lagi."

"Lalu mengapa kau tadi ingin membegalku, hah?"

"Bukan itu maksud kami. Tadi kau lancang telah 

mengambil buah-buahan yang selalu kami jaga."

Andika nyengir. "Wah, kalau begitu ada yang 

punya, ya? Aku minta ya?"

Setan Hitam Compang-camping menganggukkan 

kepalanya. Lalu melanjutkan ceritanya, "Dari Menur 

yang tinggal bersama kami selama satu bulanlah 

kami mengetahui tentangmu, Pendekar Slebor. 

Katanya, ia hendak terus mencarimu. Karena

sesungguhnya ia mencintaimu. Kami saat itu ingin 

sekali membantunya untuk mencarimu, tetapi ia 

menolak. Dan sepeninggal Menur, kami menjadi 

kesepian, karena, tak ada lagi yang bernyanyi dan 

bisa diajak bersenda gurau."

Andika diam-diam mendesah pendek. Menur, 

ah….ia memang tahu kalau gadis itu mencintainya, 

ia pun tahu mengapa Menur tidak kembali pada

gurunya, Kaliki Lorot. Dikarenakan, Kaliki Lorot 

akan menolaknya datang bila tidak bersama dirinya. 

Andika kembali mendesah mengingat semua itu. 

Persoalan cima memang memusingkan (Silakan 

baca: "Jodoh Sang Pendekar").

"Kalau begitu ya, sudah."

"Pendekar Slebor, setelah kedatangan dan 

kepergian Menur, kami berjanji tidak akan 

membegal lagi. Tetapi, kami hampir saja kehilangan 

kepercayaan. Pendekar Slebor, terus terang, aku dan 

kesembilan anak buahku ingin mengabdi 

kepadamu."

"Wah, apa-apaan ini?" desis Andika yang tak 

menyangka kalau Setan Hitam Compang-camping 

yang garang itu ingin mengabdi padanya. "Aku 

bukan siapa-siapa yang patut dihormati, aku bukan 

juga pendekar tangguh yang hebat. Aku hanya...."

"Bila kau menolak, aku akan membunuh kesembilan 

temanku yang pingsan ini, lalu membunuh diri."

Andika hanya mengangkat bahu, lalu berkata 

seraya melangkah,"terserahlah"

Wajah Setan Compang Camping kelihatan sedih 

ditolak seperti itu. Memang, semenjak kepergian

Menur ia bagaikan kehilangan pegangan. Ia dan 

kesembilan temannya memang bermaksud untuk 

menjadi orang baik-baik. Dan kini, Pendekar Slebor

menolaknya untuk mengabdi padanya.

Lalu tiba-tiba ia mengambil senjatanya yang jatuh

tadi. Dan perlahan-lahan ia mendekati salah seorang 

temannya yang pingsan.”Maafkan aku, Kawan. Kita 

memang tak berguna hidup di dunia ini. Kalian 

akan pergi di tanganku, dan aku akan menyusul”. 

Lalu tangannya diangkat dan siap dihujamkan 

kepada temannya yang pingsan. 

Trak!

Sebuah kerikil membuat tangannya bergetar dan 

parangnya jatuh.

***

"Apa-apaan sih kau ini?" dengus Pendekar Slebor 

sambil melotot. Meskipun begitu, sifat konyolnya 

justru makin nampak, "Kalau mau mampus ya 

mampus saja! Jangan di depanku! Memangnya enak 

menguburkan sepuluh mayat?!"

Wajah Setan Hitam Compang-camping semakin 

kuyu. "Tak ada gunanya kami hidup lagi."

"Konyol! Kau ini tidak mempergunakan otakmu! 

Apakah kau pikir dengan jalan membunuh diri kau 

sudah merasa berhasil mengatasi kegagalanmu itu? 

Bodoh! Kau justru menista dirimu sendiri!!"

'Tetapi...."

"Tidak ada tetapi! Ketegaran harus kau jaga! 

Jangan membuat tindakan yang konyol!"

"Bila Tuan Pendekar menolak kami untuk 

mengabdi, kami memilih jalan membunuh diri!"

'Tak ada pengabdian apa-apa! Aku bukan orang 

yang patut dijadikan sebagai tuan! Bila kau memang 

ingin melakukannya, bisa menjadi temanku! Dasar 

gemblung!!"

Wajah Setan Hitam Compang-camping seketika

berseri-seri meskipun ia dibentak-bentak seperti itu.

lalu ia berkata, "Aku akan segera menyusulmu. Tuan

Pendekar. Bila teman-temanku ini sudah siuman 

dari pingsannya!!"

"Ya,sudah! Kasihan temanku sudah menunggu!"

Andika terus ngeloyor saja.

***

Dua hari berada di Hutan Sengkalan, Andika 

merasa sudah cukup. Perjalanannya untuk mencari 

Kakek Buruk Rupa memang harus dilanjutkan Suci 

menyetujui rencananya itu. Sementara ketika 

Andika mengatakan keinginannya pada Setan Hitam 

Compang-camping, wajah laki-laki itu seketika 

menjadi kuyu.

"Izinkanlah kami ikut serta, Tuan Pendekar. Kami 

akan mengabdi kepadamu."

"Tidak usah. Asal kalian berjanji tidak akan 

membegal lagi, aku sudah senang."

"Tetapi. ."

"Tidak ada tapi-tapian. Ayo. Suci! Kita segera

berangkat" kata Andika sambil melangkah.

Setan Hitam Compang Camping beserta sembilan 

anak buahnya tak ada yang bersuara. Mereka hanya 

memperhatikan kepergian Andika dan Suci dengan 

wajah kuyu. 

Bagi Andika, memang lebih baik begitu. 

Sebenarnya ia ingin pergi sendiri saja, tanpa 

kehadiran Suci. Namun gadis yang keras kepala itu 

mana mau tahu keinginan Andika. Bahkan berkali-

kali dengan cerdiknya berhasil menemukan Andika. 

(Baca : “Rahasia Permata Sakti”)

Akan tetapi sesuatu yang aneh terjadi

Baru saja Andika dan Suci berjalan sepuluh 

langkah, mendadak sebuah asap hitam muncul. 

Begitu pekat dan membuat keduanya terpana sesaat 

sebelum kemudian Pendekar Slebor mendorong 

tubuh Suci ke kiri.

"Awaasss!!"

Asap hitam tebal bergulung-gulung itu, 

mengeluarkan deru angin yang mengerikan. Dan 

menerjang ke arah Andika yang bergulingan cepat.

"Busyet! Apa itu?" makinya tak karuan.

Asap tebal itu tiba tiba terpecah menjadi dua. Satu 

mengarah pada Pendekar Slebor dan satu lagi 

mengarah pada Suci. Dari gumpalan asap tebal itu 

bagai ada satu tarikan yang sangat kuat. Begitu 

kuatnya hingga Andika dan Suci tak mampu 

menahannya. Di samping mereka masih terkejut 

dengan kemunculan asap hitam yang tiba-tiba dan 

langsung menyerang.

Sementara itu, Setan Hitam Compang-camping 

sudah meluncur begitu dilihatnya Suci meronta

dalam asap hitam tebaL Tangannya siap menarik 

tangan Suci keluar dari pusaran asap, namun justru 

ia sendiri yang tertarik ke dalam.

"Gila!" makinya berusaha berontak. Tetapi tarikan 

itu bagai magnit raksasa, memaksanya dengan kuat.

Siksaan cukup menyakitkan dirasakan oleh me-

reka. Pendekar Slebor berusaha memecahkan gum-

palan asap hitam tebal. Namun belum lagi ia 

mengeluarkan tenaganya, asap hitam itu 

mengeluarkan bau yang sangat wangi.

Tercium cepat di hidungnya.

Sesaat kemudian. Pendekar Slebor tak tahu apa 

yang terjadi.

Begitu pula halnya dengan Suci dan Setan Hitam 

Compang camping.

Selebihnya, asap tebal itu lenyap.

Yang tinggal, hanya sembilan anak buah Setan 

Hitam Compang-camping, termangu dan tak 

mengerti apa yang terjadi.

***

2


Bukit Karang. Sebuah tanah tandus yang terjal. 

Matahari seakan begitu dekat dengan kepala. 

Daerah yang cukup terpencil. Terlihat menghampar 

luas. Di sebelah utara, terdapat hutan yang 

berlumpur pasir.

Daerah tandus yang sulit untuk mencari makan, 

rasanya tak ada yang nekat untuk datang, apalagi 

memilih tempat itu sebagai tempat tinggal.

Tetapi, satu sosok tua berpakaian keperakan 

dengan rambut digelung ke atas, berdiam di 

belakang batu karang besar. Dialah si Camar Hitam.

Tokoh sesat yang selalu membuat sengketa. 

Matanya yang cekung ke dalam, memperhatikan 

Kakek Buruk Rupa yang celingukan lima belas 

tombak dari tempatnya bersembunyi

"Hhh! Tak perlu aku menghabisi manusia laknat 

itu sekarang, karena aku tahu Permata Sakti berada 

di tangan Pendekar Slebor!" dengus Camar Hitam 

tajam.

Panas meranggas.

Sementara itu, Kakek Buruk Rupa yang tengah 

mencari cucunya yang hilang, mendesis lirih, "Ada 

manusia jelek di balik batu karang itu. Kurang ajar! 

Mengintip hanya kerjaan orang iseng! Apakah ia

tahu kalau Permata Sakti itu tidak berada di 

tanganku? Mendapati manusia kepalat itu masih

berdiam saja aku yakin, ia tahu Permata Sakti itu 

berada di tangan Pendekar Slebor."

Berpikir demikian, Kakek Buruk Rupa melesat 

dari tempat berdirinya. Selang beberapa detik, 

Camar Hitam berbuat serupa. Ia tak mau

ketinggalan sedikit juga. Dalam pikirnya, ia yakin 

Kakek Buruk Rupa akan mencari Pendekar Slebor. 

Itulah yang ditunggunya. Pendekar Slebor adalah 

musuh bebuyutannya semenjak peristiwa berdarah 

beberapa bulan lalu (Untuk mengetahui hal itu,

silakan baca: "Cincin Berlumur Darah").

Di sebuah tempat yang lapang, Camar Hitam 

berhenti. Memandang seantero tanah yang luas. Ia 

tak mengerti bagaimana tahu-tahu Kakek Buruk 

Rupa menghilang. Pandangannya tak berkesip pada 

sebuah batu besar yang tak jauh darinya. Hari sudah 

memasuki rembang senja.

"Kurang ajar! Manusia aneh itu pasti tahu aku 

menguntit!" makinya. "Atau... ia bersembunyi 

dibalik batu sialan itu?"

"Bagaimana aku tidak tahu, kalau tapakmu 

sekeras gajah?" terdengar suara itu sambil terkekeh-

kekeh. Entah dari mana datangnya, Kakek Buruk

Rupa sudah berdiri lima tombak di hadapan Camar

Hitam.

Merdang. Gusar dan penuh amarah Camar Hitam 

merasa dipernalukan seperti itu.

“Katakan padaku, dimana Pendekar Slebor 

berada?!” serunya keras, memecah seantero tanah

Kakek Buruk Rupa terkekeh kekeh.

"Zaman sudah edan rupanya! kau yang sudah bau 

tanah masih mencari perjaka semacam Pendekar 

Slebor!"

"Orang tua hina! Lancang mulutmu bicara!" 

"Aku hanya menyadarkan kau, Camar Hitam."

"Setan alas!!"

Tangan Camar Hitam bergerak. Angin dahsyat 

mengerjap ke arah orang tua aneh berambut panjang 

menutupi wajah.

Wuuuttt!

Tubuh bongkok itu tetap tak berkutik. Masih 

mengumbar tawa yang keras. Mendapati sikap 

Kakek Buruk Rupa seperti itu, membuat Camar 

Hitam marah, karena merasa diejek sekaligus 

terhina. Belum lagi serangan pertamanya mengenai 

sasaran, ia langsung susulkan serangan kedua.

Wuuuttt!

Bersamaan angin deru dari serangan pertama 

Camar Hitam, tubuh Kakek Buruk Rupa mencelat 

begitu cepat. Menyusul bunyi ledakan keras.

Ia telah mengibaskan tangannya untuk memapaki 

serangan kedua dari Camar Hitam.

Menyadari hal itu, merahlah wajah Camar Hitam. 

Apalagi melihat Kakek Buruk Rupa sudah berdiri di 

batu besar. Camar Hitam kembali menggerakkan 

tangannya, ke arah batu besar itu. Bagaikan ada 

sebuah bom yang meletus, batu besar itu pecah 

seketika. Sementara si orang tua aneh yang berada di 

atasnya tadi tidak nampak di mata.

Camar Hitam celingukan dengan bersiaga dan 

wajah memerah. Tiba-tiba terdengar suara dingin 

bernada angker dari sisi kirinya.

"Cukup bermain-main untuk hari Ini! Jika kau 

tidak segera pergi, aku tak segan-segan menurunkan 

tangan telengas padamu'"

Camar Hitam berbalik segera. Matanya yang 

kelabu bagai memancarkan serat api.

"Jangan sesumbar! Justru kau tak akan hidup lebih 

lama lagi!"

Kakek Buruk Rupa kembali berkata dengan suara 

yang semakin dingin, "Tinggalkan tempat ini. Kalau 

tidak, nyawamu tak akan pernah lagi melekat di 

tubuh busukmu itu!!"

Tanpa membuang tempo, Camar Hitam bergerak 

laksana kilat ke arah Kakek Buruk Rupa. Tongkat 

kusamnya digerakkan, menimbulkan kesiur angin 

yang sangat keras sekali.

Kakek Buruk Rupa mengangkat sebelah kakinya.

Wuuuuttt!

Sigap Camar Hitam membuang tubuh ke kiri 

dengan cara bergulingan.

"Gila! Hebat sekali kesaktian yang dimilikinya! 

Hhh! Aku ingin tahu, apakah ia mampu menandingi 

‘Ajian Penutup Jalan Darah’ milikku ini!"

Camar Hitam segera mengatupkan kedua tangan 

di dada. Menarik nafas sejenak dan dihembuskan 

perlahan-lahan. Bersamaan denganitu tangannya 

bergerak ke atas. Namun belum lagi ia melepaskan 

ajian andalanya, dilihatnya asap hitam tebal 

bergulung-gulung ke arah Kakek Buruk Rupa.

Bagai sebuah jaring, asap tebal itu menerjang 

Kakek Buruk Rupa. Dilihatnya bagaimana orang tua 

aneh itu seperti berada dalam sekat yang sempit dan

ketat. Penuh rontaan namun tak mampu melepaskan 

diri.

Merasa ada kesempatan untuk menghabisi Kakek 

Buruk Rupa, Camar Hitam segera menerjang. Ajian 

"Penutup Jalan Darah' telah dipergunakan.

Wuuusss!

Dikawal angin mengerikan, ajian yang mampu 

memusnahkan jalan darah lawan dalam setiap 

totokannya dan membuat lumpuh tak berdaya, 

meluncur ke arah Kakek Buruk Rupa.

Keanehan terjadi. Karena asap yang menggulung 

Kakek Buruk Rupa, mendadak terpisah. Membentuk 

tiga gumpalan sekaligus. Dan menahan ajian 

'Penutup Jalan Darah' milik Camar Hitam.

Tercengang Camar Hitam melihatnya. Detik lain, 

tercekat ia melompat ke kiri karena tiga asap itu 

menderu ke arahnya.

"Sinting! Apa-apaan ini?" makinya kalap. Ia 

berusaha menghujankan asap-asap itu dengan ajian 

andalannyu Namun seperti yang pertama tadi, asap 

itu terus menderu dan seperti yang dialami Kakek

Buruk Rupa. tubuhnya juga terkurung asap lebal.

Napasnya sesak. Darahnya kacau. Uratnya kaku. 

Lebih parah lagi ketika asap hitam itu mengeluarkan 

aroma wangi yang memabukkan. Dalam waktu tiga 

detik, Camar Hitam terkulai pingsan, menyusul 

Kakek Buruk Rupa yang lebih dulu pingsan.

Asap itu pun lenyap dengan anehnya, membawa 

tubuh keduanya.

***

Pulau Seribu Selan.

Pulau yang menyimpan banyak misteri di 

dalamnya, menghampar dalam senja yang redup. 

Matahari seakan tak mampu lagi bertahan lebih 

lama memberikan penerangan. Debur ombak yang 

memecah batu karang, sahut menyahut terdengar di 

kejauhan.

Di salah satu ruangan yang terdapat pada sebuah 

bangunan yang cukup besar, di tengah-tengah 

pulau, Tunggul Manik terbahak-bahak melihat 

kejadian demi kejadian pada sebuah wadah yang 

berisi air berwarna kuning. Di sisi wadah yang tak 

besar itu, terdapat dupa yang mengeluarkan bau 

busuk.

Di air kuning itu, dilihatnya bagaimana Kakek 

Buruk Rupa dan Camar Hitam dalam keadaan 

pingsan.

"Kalian akan menemani tiga pendatang 

sebelumnya!" desisnya dengan suara keras. Laki-laki 

berbaju hitam pekat dengan bagian dada tak 

tertutup, hingga memperlihatkan sebuah tato 

bergambar tengkorak, mengatupkan kedua tangan 

di dada. Sejurus kemudian tubuhnya bergetar. 

Matanya yang agak menukik dengan kelopak mata 

berlipat ke dalam, makin menyipit Mulutnya 

berkomat kamit hingga brewok yang memenuhi 

wajahnya bergetar pula.

Air kuning dalam wadah pun bergetar. Terlihat

asap tebal yang melingkupi tubuh Kakek Buruk 

Rupa dan Camar Hitam melayang dalam alam yang 

kasat mata.

Tak lama kemudian Tunggul Manik membuka 

kedua matanya

"Permainan yang sangat menarik akan dimulai," 

katanya terbahak "Pendekar Slebor dan yang lain 

nya, akan mampus di Pulau Seribu Setan ini!"

Lalu suaranya menggema keras, bagai meretakkan 

dinding ruang yang berbau busuk. "Iblis Tambang 

dan Sepasang Dewa Gurun Pasir akan kuundang 

pula ke sini!"

***

Apa yang dialami Pendekar Slebor memang 

sungguh aneh. Tubuhnya tahu-tahu ambruk di 

sebuah ruangan yang kotor. Agak gelap. Sebelum 

berhasil membuka matanya lebih lebar, Andika 

merasa kepalanya pusing bukan alang kepalang.

"Kerbau bunting! Apa yang sebenarnya terjadi?" 

makinya jengkel. Pandangannya seperti tertutup 

dalam gelap. Namun, ketajaman matanya yang 

terlatih di delik lain tak membuatnya linglung lagi. 

"Tempat apa ini?" desisnya pula.

Dirabanya dinding pekat itu. Diketuk-ketuknya. 

Suaranya nyaring. Berarti dinding itu kosong.

Ingatan Pendekar Slebor beralih pada Suci. Ia 

mendesis pelan, "Suci... Suci...."

Tak ada sahutan apa-apa. Sesaat, Andika berusaha 

memanggil lagi. Yang terdengar justru keluhan 

seorang laki-laki, dari sudut ruangan.

"Pendekar Slebor...."

"Busyet! Kok suaramu jadi berubah. Suci!"

"Aku Setan Hitam Compang ramping," suara dari

sudut ruangan itu terdengar. 

“Celaka! Ke mana Suci!"

Dengan meraba dan dibantu oleh Setan Hitam 

Compang-camping, Andika mencari Suci di setiap 

jengkal ruangan. Tetapi tak ada sosok Suci.

"Apakah aku sedang mabuk?" serunya jengkel. 

"Ke mana Suci? Oh, aku ingat sekarang. Ada asap 

tebal yang bergulung ke arahku, melingkupi dan 

membuat seluruh persendianku tak bisa digerakkan. 

Tahu-tahu aku sudah berada di sini! Sinting! Apakah 

Suci mengalami hal yang sama?"

"Pendekar Slebor... kurasa Suci memang berada di 

sekitar sini. Tetapi terpisah."

"Mengapa?"

"Aku tidak tahu."

Andika terdiam. Belum lagi Andika menemukan 

jawaban atas kebingungannya, suara keras 

menggema di telinga, bagai hendak merobek-

robeknya.

"Selamat datang di Pulau Seribu Setan, Pendekar 

Slebor!"

Dada Andika berdetak. Pulau Seribu Setan? Ia 

pernah mendengar nama pulau itu dan disangkanya 

pulau itu hanya ada di alam khayal.

Benarkah ia berada di Pulau Seribu Setan?

“Orang jelek yang bau selokan! Siapa kau 

sebenarnya?!" seruya tak kalah keras

"Kekeraskepalaan Pendekar Slebor patut 

diacungkan jempol. Hanya sayang, tak lama lagi

hanya tinggal kenangan. Ketahuilah. aku Tunggul 

Manik, ketua dan Serikat Kuda Hitam!"

"O... bagus kalau begitu! Anak buahmu sudah 

menjadi makanan cacing tanah!" sahut Andika 

geram.

"Dan kau akan tercacah di pulau ini, Pendekar

Slebor!" suara keras itu berkumandang diiringi tawa.

"Manusia buduk!" maki Andika dalam hati. Untuk 

mengetahui kebenaran itu, ia memang harus lebih 

banyak memancing. Tetapi untuk saat ini, 

pikirannya tiba kembali pada Suci. Seruannya 

terdengar lagi, "Orang jelek yang suka ngumpet! 

Katakan, di mana gadis yang bersamaku itu?"

Gema tawa berkumandang.

"Ini permainan yang akan kita jalani! Pertama, kau 

harus berusaha menemukan gadis yang bernama 

Suci itu! Kedua, kau harus bisa menghadapi lawan-

lawan tangguh! Setelah kau berhasil melewati 

keduanya, tantangan lain akan datang! Menghadapi 

aku! Dan terakhir, kau harus menemukan jalan 

keluar dari Pulau Seribu Setan!"

"Monyet buntung! Jangan mengumbar pepesan 

kosong!"

"Kita akan melihat permainan ini, Pendekar 

Slebor. Nyawa anak buahku harus kau bayar dengan 

nyawamu!"

"Apa yang akan kudapatkan bila aku berhasil 

lepas dari semua ini?" seru Andika menahan marah.

"Permata Sakti!"

Seketika Andika meraba pinggangnya. Tak ada 

Permata Sakti itu di sana.

"Keparat itu pasti telah mengambilnya," desisnya 

marah dalam hati

"Kau tak akan menemukannya, Pendekar Slebor 

Selagi kau terlelap pingsan entah kau bermimpi 

bagus atau sebaliknya, Permata Sakti itu sudah 

kuambil. Tetapi sekarang aku yakin, mimpi 

buruklah yang membentang di hadapanmu, 

Pendekar Slebor! Kuharap, kau akan 

menikmatinya!"

"Keparat!" geram Andika berusaha menentukan 

dari mana asal suara itu.

"Sekarang, dengar baik-baik! Bila kau berhasil

melewati permainan yang kuciptakan ini, kau akan 

mendapatkan Permata Sakti kembali."

"Kau sudah merasa seperti dewa! Bagaimana bila 

tantangan ketiga yang kau berikan, kau mampus 

lebih dulu? Bagaimana bisa kudapatkan Permata 

Sakti itu?"

"Jalan keluar dari tantangan keempat, adalah 

Permata Sakti itu! Bila kau berhasil menemukannya, 

maka kau akan selamat keluar dari sini!"

"Manusia kambing! Kau akan menyesali semua' 

ini!" maki Andika keras. Dia menggeram 

mengetahui kelicikan Tunggul Manik.

"Rasanya, kau akan terlalu sulit untuk menghadap 

tantangan ketiga! Karena, akulah lawanmu!"

"Menghadapi manusia picik seperti kau, anak 

kecil yang baru bisa buang ingus pun akan mampu 

menjatuhkanmu"

"Sesumbarmu kelewat besar. Kita buktikan se-

mua ini. Dan permainan yang mengasyikkan ini bisa

kita mulai! Perlu kau ingat, setiap tantangan bisa 

datang kapan saja! Hingga tugasmu mencari Suci, 

akan selalu dihadang oleh maut. Bukankah ini 

sebuah permainan yang mengasyikkan! Selamat 

berjuang Pendekar Slebor!” tawa itu berkumandang 

keras dan lamat akhirnya lenyap sama sekali

Tinggal Pendekar Slebor yang menggeram 

setinggi langit. Manusia yang bernama Tunggul 

Manik atau Majikan Pulau Seribu Setan, sulit 

ditentukan di ruangan mana dia berada. Marah, 

diterjangnya dinding yang melingkupinya. 

Des!

Tak jebol. Bahkan bergeming saja tidak. Justru 

tangannya yang agak ngilu. Dikerahkan tenaga 'inti 

petir' dan dihantamnya lagi. Berulang kali. Tetapi 

dinding itu tetap tegak berdiri.

"Laknat! Terbuat dari apa dinding ini?!" maki 

Andikn kesal. Tangannya nyeri bukan main. Dan ia 

teringat akan tantangan pertama dari Tunggul 

Manik, la harus menemukan Suci secepatnya. 

Andika menduga, Suci berada di sebuah tempat -

entah di mana. Mungkin dalam keadaan tak 

berdaya. Mengingat semua Ini, Andika bertambah 

yakin, ucapan Tunggul Manik tidak main-main.

"Hhhh! bila kutemukan di mana kau berada, 

Tunggul Manik, akan kucabik-cabik

tubuhmu!"serunya geram dan memeras otaknya 

memikirkan jalan keluar dari sini.

Karena, dia harus berpacu dengan waktu!

"Pendekar Slebor...," panggil Setan Hitam 

Compang-camping yang sejak tadi terdiam.

Karena jengkel akibat kata-kata Tunggul Manik, 

Andika menyahut dengan nada membentak, "Apa?"

"Benarkah Pulau Seribu Setan itu ada?"

"Apakah kau tadi tidak mendengarnya, hah?"

"Aku mendengarnya."

"Bagaimana pendapatmu sendiri?" 

“Bila kau yakin akan adanya Pulau Seribu Setan,

aku pun yakin akan hal itu."

"Bagus! Tetapi, jangan cuma jadi kambing congek 

saja!" seru Andika yang tahu keinginan Setan Hitam 

Compang-camping untuk mengabdi padanya. Dan 

itu sangat tidak disukai Andika.

Kali ini Setan Hitam Compang-camping terdiam. 

Karena dia merasa, salah bicara saja akan 

memancing kemarahan Pendekar Slebor.

***

3


Jalan yang harus ditempuh oleh Pendekar Slebor 

sekarang, keluar dari ruangan gelap ini. Mengingat 

tenaga 'inti petir' tak mampu menghancurkan 

dinding ruangan, Andika merapal ajian 'Guntur 

Selaksa' yang diciptakan di Lembah Kutukan.

Tubuhnya mendadak bagai dilingkupi sinar 

perak. Tempat di mana dirinya disekap, menjadi 

terang seketika. Setan Hitam Compang-camping 

mendesis takjub melihal hal itu. Dia mundur tiga 

langkah mengingat Andika bermaksud menghantam 

dinding di hadapannya

Dikawal seruan keras penambah semangat, 

Andika meluncur menghantam dinding itu.

Blaaaarrrr!

Dinding itu seketika jebol. Pecahannya 

berpentalan keluar. Sesaat Andika bersiaga. Matanya 

menatap ke depan melalui dinding yang jebol besar 

itu. Tak ada tanda-tanda jebakan. Diputuskannya 

untuk segera meninggalkan ruangan di mana dia 

disekap.

"Kita keluar dari sini!" katanya memberi tahu 

Setan Hitam Compang-camping.

Dengan sekali lompat, Andika mencelat melalui 

dinding yang bolong itu. la harus berpacu dengan 

waktu, karena diyakini ucapan Tunggul Manik 

bukan ancaman kosong. Menyusul Setan Hitam

Compang camping yang sudah berada di sisinya.

Berada di luar ruangan, keadaan agak terang 

meskipun temaram. Anehnya, meskipun tempat di 

mana Andika menjejakkan kaki sekarang tertutup 

rapat dinding, angin dingin terasa berlarian bagai 

berada di alam terbuka. Suasana angker dan 

mencekam. Andika tak tahu, saat ini malam atau 

sebaliknya.

"Busyet! Apakah bangunan ini benar-benar berada 

di Pulau Seribu Setan?" desisnya tak tahu harus ke 

mana. Di hadapannya ada lorong panjang. Di 

sebelah kirinya berbentur tembok, ke kiri 

nampaknya ada jalan.

Andika memutuskan untuk melewati lorong 

panjang di hadapannya.

Ditolehkan kepalanya pada Setan Hitam 

Compang-camping yang sejak tadi terdiam.

"Aku akan memasuki lorong di hadapanku ini. 

Sebaiknya, kau memasuki lorong sebelah kiri."

"Baik."

"Ingat, kita berada di Pulau Serihu Setan, yang

sebenarnya rada tak masuk akal. Tetapi ucapan 

Tunggul Manik bisa kita jadikan pegangan. Jadi, kau 

harus berhati-hati "

"Aku akan melakukannya "

"Sebaiknya pula, hindari bila terjadi bentrokan. 

Karena dari ucapan manusia keparat itu, dia hanya 

menginginkan aku. Meskipun belum diketahui apa 

tujuannya melakukan semua ini"

Setan Hitam Compang Camping menganggukkan 

kepalanya.

"Mulailah. Dan hati hati."

Setelah menatap Andika, lelaki berpakaian 

compang-campmg itu menganggukkan kepalanya. 

Seolah meminta kekuatan batin pada Andika. Sosok 

tinggi besar itu pun sudah berkelebat ke arah kiri, 

mengikuti lorong panjang di hadapannya.

Andika mendesah pendek.

"Aku harus memburu waktu. Nasib Suci belum 

kuketahui."

Ia segera berkelebat memasuki lorong di 

hadapannya. Semakin dia melangkah angin dingin 

makin menusuk tulang. Dikerahkan tenaga 

dalamnya guna mengatasi angin yang datang seperti 

menampar seluruh tubuhnya.

Manusia semacam apa Tunggul Manik itu yang 

mampu menciptakan semua ini? desis Andika dalam 

hati menyadari keanehan ini adalah ciptaan dari 

Tunggul Manik

Lorong panjang itu telah dilalui. Dan membentur 

pada sebuah pemandangan aneh. Ada lima buah 

pintu di hadapannya, masing-masing berjarak satu

meter.

"Busyet! Seperti buntu apa yang ada di hadapanku 

ini!" dengusnya. "Lima buah pintu. Hmm... pintu 

mana yang harus kumasuki?"

Keras Andika memeras otaknya. Menentukan 

pintu mana yang ditempuh. Tak mustahil kalau 

pintu pintu itu berisi jebakan. Setelah terdiam 

beberapa saat. Andika memutuskan untuk masuk

melalui pintu pertama. Karena, semuanya harus dari 

awal.

Disiagakan dirinya. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah

terangkum sebagai senjata. Perlahan Andika 

membuka pintu, agak bergetar dengan dada 

berdebar.

Begitu pintu dibuka, matanya segera memicing 

dan memalingkan kepala. Sinar yang sangat terang 

begitu mencolok menghantam kedua matanya. Tak 

sadar Andika menggerakkan tangannya untuk 

menutupi pandangan.

"Kucing buduk! Apa apaan ini?!" dengusnya 

sambil menutup pintu kembali. Napasnya agak 

terengah. "Gila! Pintu itu bukan jalan yang benar. 

Tak mustahil bila aku terus menatap sinar panas itu, 

kedua mataku akan jadi buta! Pintu kedua harus 

kumulai sekarang."

Kali ini Andika kembali bersiap bila memang 

cahaya panas itu ada lagi di pintu kedua. Tetapi, 

begitu pintu kedua dibuka, angin dahsyat 

bergulung-gulung ke arahnya.

Memekik pemuda urakan itu melompat keluar 

dan menendang pintu hingga tertutup.

Hiaaat!

Hantaman angin dahsyat itu menghantam pintu. 

Ruangan itu bagai bergetar hebat. Anehnya, pintu 

tak jebol sama sekali. Sesaat Andika menunggu. Tak 

ada lagi gempuran dari angin yang menggulung-

gulung ke arah pintu.

Selebihnya sunyi seperti sediakala.

"Kutu busuk! Pintu manaa lagi yang halus 

kumasuki?!" makinya geram. Namun tekadnya 

untuk menentukan jalan keluar dari lorong panjang

yang baru dilaluinya makin membulat. Tantangan 

semacam apa pun tak akan dipedulikan pemuda 

urakan dari Lembah Kutukan ini, sebelum dia puas 

mengetahui rahasianya.

Dibukanya pintu pintu lainnya, hati-hati dan 

penuh kesiagaan. Dari pintu ketiga, meluncur 

puluhan tombak ke arahnya. Dari pintu keempat 

mengeluar asap busuk yang menyengat. Dari pintu 

kelima, terlihat dua orang aneh terbungkus pakaian 

dari emas menyerangnya.

Bukan bualan tegangnya pemuda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan itu. Semua pintu telah 

dibuka. Namun tak ada tanda-tanda pintu mana 

yang harus ia masuki.

"Monyet buduk! Tak ada di antara kelima pintu ini 

yang memberikan kenyamanan," desisnya sambil 

menghapus kuingat. "Semuanya penuh bahaya 

mengancam. Mungkin pula jebakan. Apakah 

jebakan-jebakan itu melupakan sebuah jalan? 

Ataukah memang jebakan semata?"

Sesaat Andika tak bisa memutuskan apa yang 

akan dilakukan berikutnya. Sampai terlihat, lamat 

tangan kanannya memegang hendel pintu kedua 

kembali.

"Angin! Ya, barangkali saja aku bisa menerobos 

pusaran angin itu! Pintu-pintu ini memang penuh 

jebakan Aku tak peduli sekarang. Biar 

bagaimanapun juga, aku harus lebih dulu 

membuktikan!!"

Sebelum membuka pintu, dialirkan tenaga dalam 

ke seluruh tubuh. Bobot tubuhnya ditambah melalui

aliran tenaga dalam itu. Sigap Andika membuka 

pintu kedua kembali

Tegak ia berdiri dengan kedua tangan siap 

dikibaskan ke depan. Matanya dibuka lebar-lebar, 

siaga menanti serangan dahsyat yang datang. Tetapi 

sejenak ia tertegun tak lagi angin keras bergulung.

Justru sebaliknya lorong panjang yang nampak di 

matanya.

Kaget Andika menutup pintu kembali.

"Aneh! Apa sebenarnya yang terjadi? Ataukah...."

Cepat Andika membuka pintu pertama. Tak ada 

lagi cahaya panas menyilaukan. Begitu pula ketika ia 

membuka pintu ketiga, keempat dan kelima. Tak 

ada serangan apa-apa. Yang nampak dari balik 

setiap pintu, hanyalah lorong yang panjang.

Tertegun Andika menyaksikan semua ini. Sesaat 

kelihatan ia mengangguk-angguk. "Hmm... apakah 

sebenarnya ini sebuah kunci? Bila aku membuka 

semua pintu, maka serangan itu akan lenyap?

Karena, tak mustahil orang lain enggan untuk 

membuka pintu lainnya bila mengetahui ada 

serangan berbahaya. Hhh! Tadi kubuka pintu kedua, 

berarti, akan kulewati lorong di balik pintu kedua 

itu."

Memikir demikian, dibukanya lagi pintu kedua. 

Setelah menarik napas, Andika melesat melalui 

lorong panjang di hadapannya.

***

Di satu tempat Tunggul Manik menggeram 

melihat kecerdikan Pendekar Slebor dari wadah 

yang berisi cairan kuning

"Cerdik! Tak sia-sia pemuda itu dijuluki pendekar 

sejuta akal. Ia telah berhasil memecahkan rahasia 

Lima Pintu Kematian. Akan ku lihat, apakah ia akan 

bisa memecahkan rintangan-rintangan berikutnya 

yang telah ku siapkan?”

Tak lama kemudian, mulut lelaki kasar itu 

nampak berkomat-kamit.

***

Bukit Cadasgering, sebuah tempat yang jauh dari 

Pulau Seribu Setan. Letaknya yang berada di sekitar 

pegunungan kapur, menyebabkan daerah itu begitu 

tandus. Kekeringan akrab sekali dengan bukit itu. 

Setiap kali angin berhembus kencang, debu kapur 

langsung bertebalan menjelajah tanah Bukit 

Cadasgering.

Apalagi di siang yang terik ini. 

Namun, tempat yang jarang didatangi orang, 

justru tengah terjadi satu pertarungan dahsyat. 

Seorang laki laki bersenjata tambang besar, sedang 

mencecar sepasang anak manusia berbaju biru.

Gempuran tambangnya begitu dahsyat, 

menghancurkan kapur-kapur yang langsung 

beterbangan. Siapa lagi manusianya kalau bukan

Iblis Tambang yang memiliki senjata tambang besar 

dan sedang melancarkan serangan dahsyat itu.

Sejak pertarungan dengan Pendekar Slebor dan 

terluka pada tangan kirinya, ia menghindar dan 

berhasil mengobati luka-luka tangannya.

Sementara yang sedang digempur ilu adalah 

Sepasang Dewa Gurun Pasir. Pasangan serasi dari 

orang-orang muda yang berusia paling tidak tiga 

puluh tahun dan dua puluh enam tahun.

Julukun Sepasang Dewa Gurun Pasir bukan 

julukan kosong. Namanya cukup dikenal sejak lima 

bulan terakhir. Datang dari dataran pasir yang 

cukup panjang di pantai timur pulau Bali. Tak 

seorang yang mengerti apa maksud mereka tiba di 

tanah Jawa. Hanya desas-desus mengatakan, mereka 

selalu menantang siapa saja yang dijumpai.

Konon, di pulau Dewata, tak ada lagi yang

mampu menandingi mereka.

Dalam menghadapi setiap lawan yang ditantang, 

Sepasang Dewa Gurun Pasir selalu menyerang 

serempak. Tidak alang kepalang, gempuran mereka 

dahsyat dan mematikan.

Gempuran Iblis Tambang dibalas cepat, 

bersamaan dan beruntun. Mencecar bagian-bagian 

yang berbahaya. Kelebihan dari Sepasang Dewa 

Gurun Pasir, kelincahan yang luar biasa. Menyusul 

jurus-jurus yang mematikan.

Pertarungan itu sebenarnya singkat saja, bila Iblis 

Tambang tidak segera mundur dan berseru, "Tahan!"

Gempuran dari dua lawannya terhenti. Menatap 

tak berkesip pada lawan

"Sepasang Dewa Gurun Pasir tak akan melepas 

lawan sebelum bekalang tanah" seru yang laki-laki

Wajahnya tampan dengan rambut gondrong. Ikat

kepala berwarna putih. Pakaian birunya berkebyar 

dimainkan angin. Kejantanan begitu nampak, 

namun matanya memancarkan keculasan.

"Kita tak saling kenal, tak punya silang sengketa! 

Mengapa menyerang?" seru Iblis Tambang menahan 

napas. Memperhatikan lawan yang sedang menatap 

dingin.

"Pulau Jawa gudang dari para pendekar! Kami 

menyeberang untuk menjajal kemampuan!"

Otak culas yang dimiliki Iblis Tambang berputar 

cepat Ia merasa ada kambrat yang bisa dijadikan 

sekutu.

"Jelas tak mampu aku menghadapi kalian. Jauh

ilmu yang kalian miliki dibanding kepandaianku!" 

katanya memulai rencana busuk yang terjalin begitu 

saja di benaknya.

"Raka Gunarsa! Jangan buang tempo! Bunuh 

manusia itu!" seru yang wanita. Kecantikannya 

sungguh luar biasa. Memiliki dada yang besar, yang 

sejenak akan membuat mata laki-laki yang belum 

mengenal betapa kejamnya wanita itu akan tergiur 

dan tak akan mengarahkan tatapannya pada obyek 

lain. Kulitnya pulih, bening. Tetapi, senyum yang 

bertengger di bibirnya dingin sekali, sedingin 

tatapan matanya.

"Kau dengar kata-kata kekasihku, Manusia 

Laknat? Kau tak bisa kuampuni lagi! Tak akan 

pernah Sepesang Dewa Gurun Pasir meninggalkan 

lawan-lawannya tanpa nyawa lawan-lawannya 

putus dari badan!"

"Tunggu!" semakin culas pikiran yang ada di 

benak Iblis Tambang. Dengan memasang wajah 

mengalah dan sikap pasrah, dia berkata lagi, "Aku 

tak akan melawan. Karena menghadapi kalian 

hanyalah sebuah kesia-siaan. Ampuni selembar 

nyawaku yang hina ini,"

"'Tak ada yang mampu menghentikan keinginan

Sepasang Dewa Gurun Pasir!" seru Raka Gunarsa 

dengan seringai lebar.

"Akan kuberikan imbalan pada kalian bila kalian 

mau mengampuni nyawaku!"

"Hhhh! Kami tak membutuhkan harta benda! 

Yang kami butuhkan adalah pengakuan!"

"Akan kutunjukkan pada kalian lawan tangguh 

untuk menjajal kemampuan!"

Raka Gunarsa terbahak-bahak.

'Tak seorang pendekar pun yang mampu 

menghentikan sepak terjang Sepasang Dewa Gurun 

Pasir! Berani menantang, berarti siap menghadapi 

ajal! Menolak tantangan Sepasang Dewa Gurun 

Pasir, akan mampus seperti anjing lapar!"

"Pendekar Slebor mampu mengalahkan kalian!" 

seru Iblis Tambang terus memasang jeratnya.

"Keparat!" meradang Raka Gunarsa keras. 

Tawanya terhenti seketika. Kedua matanya 

mendelik besar pada Iblis Tambang yang dalam hati 

tersenyum. "Siapa orang yang kau sebutkan itu?! 

Sehebat apa kesaktian yang dimilikinya?!*

Merasa lawannya terpancing ucapannya. Iblis 

Tambang bagai menemukan sasarannya, "Di tanah 

Jawa ini, telah lama malang melintang seorang

pemuda berbaju hijau pupus yang menjuluki dirinya

Pendekar Slebor! Pemuda itu pun memiliki 

keinginan seperti kalian, menjajal kemampuan siapa 

saja yang dirasakannya cukup tangguh 

menghadapinya! Akupun terpaksa menerima 

tantangannya dan aku kalah! Jadi kupikir, satu-

satunya yang mampu mengatasinya adalah kalian. 

Sepasang Dewa Gurun Pasir. Yang aku yakin 

kemampuan kalian lebih tinggi dari Pendekar 

Slebor! Tetapi perlu kalian ketahui, kesombongan 

Pendekar Slebor harus dihentikan! Seperti yang 

diinginkan oleh banyak pendekar di tanah Jawa ini!”

Sepasang Dewa Gurun Pasir merandek gusar. 

Berpandangan sesaat. Keduanya adalah manusia-

manusia yang tak pernah puas dengan kemampuan 

yang mereka miliki. Terutama, pada kemampuan 

orang lain. Setiap saat mereka mengisi kehidupan 

yang mereka jalani untuk menebarkan tantangan. 

Bagai disepakati, keduanya menganggukkan kepala.

Raka Gunarsa menoleh lagi pada Iblis Tambang 

yang makin tersenyum dalam hati.

"Tunjukkan di mana manusia keparat itu! Akan 

kami buktikan, bahwa Sepasang Dewa Gurun Pasir 

tak akan terkalahkah!"

"Tentu, tentu aku akan menunjukkannya," kata 

Iblis Tambang sambil tersenyum. Terbayang di 

benaknya ia akan memetik keuntungan dari 

pertarungan antara Pendekar Slebor dengan 

Sepasang Dewa Gurun Pasir.

"Bila manusia berjuluk Pendekar Slebor itu tak

mampu menghadapi kami, kau harus mati!!"

Tak cukup membuat Iblis Tambang ketakutan 

dengan ancaman itu. Baginya, bila terjadi 

pertarungan hebat antara Pendekar Slebor dan 

Sepasang Dewa Gurun Pasir, ini suatu hal yang 

sangat menarik. Permata Sakti yang dimiliki 

Pendekar Slebor sekarang, adalah sasaran yang 

diinginkannya. Juga, membalas sakit hatinya akan 

kekalahannya waktu itu.

Namun kata-kata dari Ida Ayu Mantri mengejut 

kau Iblis Tambang "Kami ingin mengambil sebelah 

tanganmu, agar kau tak lepas dari tangan kami!!"

Bersamaan dengan itu, tubuh lda Ayu Mantri 

berkelebat laksana kilat. Iblis Tambang terkejut 

dengan wajah pias. Sebelum dia sempat melakukan 

gerakan apa-apa, entah bagaimana terjadinya, tahu-

tahu tangan kirinya telah putus.

Jeritan keras terdengar menyayat. Tubuh Iblis 

Tambang bergulingan. Bersamaan dengan itu, Ida 

Ayu Mantri menjentikkan tangan kanannya.

Tuk! Tuk!

Urat darah Iblis Tambang tertotok. Darah yang 

mengalir dari tubuh Iblis Tambang terhenti seketika, 

bersamaan dengan gerak tubuhnya yang kelojotan.

Raka Gunarsa terbahak-bahak sambil merangkul 

kekasihnya. Lalu penuh nafsu dikecupinya leher dan 

wajah Ida Ayu Mantri yang kegelian.

"Menyenangkan. Sangat menyenangkan. Aku 

menyukai kekejamanmu, kekasihku. Sepasang Dewa 

Gurun Pasir tak akan menemui lawan sepadan!"

Ida Ayu Mantri menatap mesra pada kekasihnya.

"Tak seorang pun akan mampu lari dari tangan 

Sepasang Dewa Gurun Pasir!"

Penuh kemesuman, Raka Gunarsa merebahkan 

tubuh kekasihnya di atas tanah yang cukup panas. 

Namun hal itu tak dirasakan oleh keduanya. 

Tertawa-tawa mulai dibukanya pakaian kekasihnya 

disertai kecupan liar yang panas.

Ida Ayu Mantri banyak terkikik geli. membiarkan 

tangan kekasihnya merajah seluruh tubuhnya. Hal 

itu memang sering terjadi. Kedua anak manusia 

berhati mesum itu melakukan hubungan badan 

dimana saja mereka suka. Tak peduli dihadapan 

orang banyak. Karena, nafsu telah mengalahkan akal 

sehat mereka.

Namun sebelum apa yang mereka inginkan ter-

laksana, terdengar seruan Raka Gunarsa.

"Lihat! Asap apa yang melingkupi tubuh laki-laki 

buntung itu?!"

***

Ida Ayu Mantri cepat merapikan pakaiannya. 

Terbelalak dan kening berkerut ia menyaksikan apa 

yang dikatakan kekasihnya. Tubuh Iblis Tambang 

mengapung tak berdaya dalam gumpalan asap 

hitam.

Belum lagi menyadari apa yang terjadi, 

keduanya terkesiap ketika muncul asap hitam 

lainnya. Bergulung ke arah mereka

"Gila! Apakah ini perbuatan manusia yang 

berjuluk Pendekar Slebor? Baik, kita lihat siapa yang

lebih kuasa!" sentak Raka Gunarsa sambil bersiap 

menyongsong asap hitam yang melesat ke arahnya.

Jotosan penuh tenaga dalam dilepaskan.

Plossss!

Jotosan itu bagai nyeplos belaka. Belum 

keheranan melanda Raka Gunarsa habis, tubuhnya 

mendadak bagai ditarik, memasuki asap tebal itu 

secara paksa.

Ida Ayu Mantri berusaha menolong. Tetapi, hal 

yang sama pun dialaminya. Rontaan keduanya, tak 

mampu meloloskan diri dan tak berdaya dalam 

gulungan asap hitam.

Tak lama kemudian, keduanya pun terkulai 

pingsan

***

4


Lorong yang dilalui Andika semakin panjang. 

Rasanya sudah cukup lama Andika berlari, namun 

belum menemukan ujungnya pula. Dia seolah

sedang mengejar dinding hitam panjang di kanan 

kirinya.

Dalam berlari Andika berbisik di hati, "Aneh! Ini 

benar-benar aneh! Baru kali ini kudapati bangunan 

memiliki lorong demikian panjang. Hhh! Di mana 

aku harus menemukan Suci. Manusia keji bernama 

Tunggul Manik memaksaku untuk marah rupanya. 

Aku pun harus mempertanggungjawabkan Permata 

Sakti yang memancarkan sinar biru pada Kakek 

Buruk Rupa."

Penuh pertanyaan yang belum terjawab dalam 

benaknya. Andika tak menghentikan larinya barang 

sekejap. Penasaran dibawanya terus larinya.

Dalam jarak lima tombak. Andika melihat sebuah 

taman di hadapannya. Memancarkan bau wangi 

yang mampu membuat siapapun terbius beberapa 

saat.

Dihentikan lariya disana. Sukar ditebak, berapa 

lama dia berlari melewati lorong. itu Dan matanya 

memandang takjub apa yang terpampang di 

hadapannya.

"Hmmm... taman apa ini? Banyak bunga-bunga 

beraneka warna tumbuh di sini dan menebarkan 

semerbak wangi. Aku yakin, ini mirip kaputren di 

mana selir para raja tinggal. Busyet! Pulau Seribu

Setan bukan hanya banyak menyimpan misteri! 

Tempat yang kuyakini berupa bangunan ini pun 

menyimpan keanehan yang dalam. Sebesar apakah 

bangunan ini? Apakah seukuran dengan ikan paus 

raksasa?"

Diperhatikan sekelilingnya dengan rasa keheranan 

makin menggunung. Belum lagi Andika menduga 

apa yang akan terjadi, sayup-sayup telinganya 

menangkap suara di kejauhan.

"Kang Andika! Tolong akuuuu!" Terdengar 

teriakan penuh duka dan kesedihan.

Andika tersentak.

"Suci!" desisnya. Diputar tubuhnya berkali-kali, 

mencoba menemukan dari mana asal suara itu. 

"Suci, itu suara Suci. Apakah dia berada di sekitar 

sini? Suciiii! Di mana kau berada?! Succciiii!!"

"Kang Audikaaaa! Tolong aku! Bebaskan aku, 

Kang!”

Suara yang dikenal Andika sebagai milik Suci, 

menggema di tempat itu. Membuat Andika harus 

mendengus berkali-kali karena sulit menentukan 

darimana asal suara itu. Tak ada tanda-tanda dia 

bisa menemukan. Karena yang terpampang di 

hadapannya, hanyalah taman bunga belaka.

"Apakah itu hanya ilusi saja? Ataukah desir angin 

yang membawa suara Suci dari satu tempat? Tetapi, 

pendengaranku tak salah, kalau suara itu berasal 

dari sekitar taman."

Diputuskan unluk menyelidiki taman besar penuh 

bunga-bunga itu. Tetapi, tak ada tanda-tanda Suci

disana. Disesali kebodohannya mengapa harus

membuang tenaga memeriksa taman, karena dari

tempatnya berdiri tadi dia tak melihat tubuh Suci di 

sana.

"Suci!! Katakan, kau di mana? Aku akan 

menolongmu?" serunya keras.

"Kang Andika, aku tidak tahan! Sakit, Kang 

Andika! Sakiitttt!!" suara itu menggema lagi, kali ini 

diiringi isak yang memilukan.

Geram bukan buatan Andika menyadari sukar 

baginya menentukan dari mana asal suara itu. 

Karena, bagai terseret, berpindah dari satu tempat ke 

tempat lam. Kegeraman itu makin bertambah, 

membayangkan kemungkinan Suci saat ini berada 

dalam satu penderitaan. Itu terbukti dari suaranya 

yang serak dan penuh duka.

"Berabe kalau begini. Aku cuma bisa jadi kambing 

congek belaka! Rupanya Tunggul Manik memang 

sudah mempersiapkan semuanya."

Namun mendadak saja Andika tersentak, dengan 

bola mata membulat besar. Di hadapannya 

mendadak terlihat sebuah tiang gantungan. Cukup

tinggi. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi,

Suci terikat terikat diujung atas sana.

"Gila! Tak kulihat ada tiang ini tadi? Bagaimana 

bisa muncul mendadak? Kurang ajar! Siapa lagi 

kalau bukan Tunggul Manik," makinya dalam bati. 

Penuh kegeraman dan kekhawatiran Andika

melompat lima tindak ke depan. Mendongak dan 

berseru, "Suci! Tahan, aku akan menolongmu!"

"Sakit, Kang Andika! Aku ngeri!!" seru Suci 

dengan wajah pucat. tubuhnya tak bisa digerakkan.

Sungguh bukan bualan kelu hati Andika melihat 

keadaan Suci. Diperhitungkannya tinggi tiang 

gantungan yang mengikat tubuh Suci.

Tetapi, satu pikiran menyelinap di benaknya.

"Apakah ini bukan sebuah jebakan?" pikirnya. 

"Sejak tadi aku tidak melihat ada tiang gantungan di 

sini. Lalu tahu-tahu muncul begitu saja dengan 

tubuh Suci terikat. Hmm... aku harus berhati-hati! 

Jangan-jangan, ini permainan berikutnya dari 

Tunggul Manik."

"Kang Andika... mengapa kau diam saja?

Mengapa kau tidak segera menolongku? Manusia 

laknat itu akan membunuhku, Kang! Tolong aku, 

Kang! Tolooong!!"

Serua Suci membuat hati Andika menjadi galau. 

Sukar menebak apakah ini sebuah jebakan atau 

bukan. Untuk beberapa saat Andika masih terdiam, 

tak berbuat apa apa.

Ketika melihat tubuh Suci bergetar hebat diiringi 

teriakan bagai lolongan serigala, Andika tersentak.

"Sakit, Kang! Sakiiiittt!!"

Diputuskan untuk melompat menyambar tubuh 

Suci. Diperhitungkan sekali lompat ia akan 

memutuskan tali-tali pengikat tubuh Suci.

Dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya Kedua 

tangannya dialiri tenaga dalam tinggi. Dengan 

pencalan dua kaki, tubuh Andika meluncur ke atas.

Tak ada angin yang terasa menyambar. Semua 

mendadak seperti mati. Begitu tiba di hadapan Suci, 

tanpa membuang tempo, Andika memapas putus

tali yang mengikut tubuh Suci. Tangan kirinya sigap 

menyambar tubuh Suci yang terpental begitu tali 

pengikat tubuhnya putus.

Cepat Andika kendalikan diri. Masih merangkul 

Suci, dia putar tubuhnya dua kali. Dan meluncur ke 

tanah dengan kedua kaki di bawah.

"Kau aman, Suci!" hiburnya ketika melihat gadis 

itu merapatkan kedua matanya erat-erat.

Begitu kedua kakinya hinggap di tanah, sesuatu

yang luar biasa terjadi....

***

Kakek Buruk Rupa mengerutkan kening yang 

tertutup rambut panjangnya. Tempat di mana dia 

berada sekarang ini cukup terang, hingga bisa 

dilihatnya Camar Hitam yang duduk tak jauh di 

hadapannya. Dikelilingi oleh tembok hitam.

Wanita tua kejam itu pun telah bangun dari

pingsannya Sesaat dirasakan kepalanya pusing dan 

tubuhnya yang lemah. Namun semuanya sirna, 

begitu melihat siapa yang berada di hadapannya. 

Seketika dia bangkit dan siap melepaskan ajian 

'Penutup Jalan Darah'

"Tahan!" seru Kakek Buruk Rupa yang melihat 

Camar Hitam siap melepaskan satu 

serangan,dengan tangan kanan kedepan. Telapak 

tangan terbuka ke atas. Gerakan tangannya itu

bukan sebuah gerakan biasa. Melainkan 

mengeluarkan tenaga dalam, menahan gerakan 

Camar Hitam.

Camar Hitam mendengus gusar. Bukan karena 

mendengar seruan itu, melainkah karena dirasakan 

tubuhnya bagai terhalang dinding tebal tak numpak

"Peduli setan dengan ucapanmu! Kau harus 

mampus, Lelaki tua!"

'Tunggu, Camar Hitam! Tinggalkan sejenak 

kemarahanmu itu. Tidakkah kau merasa asing 

dengan tempat di mana kita berada? Buka kedua 

mata jelekmu itu, tatap sekelilingmu! Bukankah 

sebelumnya kita berada di...."

"Diam!" potong Camar Hitam. Tetapi tak urung 

kedua mata kelabunya memperhatikan pula 

sekelilingnya. Tangannya yang siap melepaskan 

ajian 'Penutup Jalan Darah' diturunkan. Penuh rasa 

heran wanita tua itu berjalan ke sekelilingnya.

"Kau percaya bukan?" seru Kakek Buruk Rupa.

Camar Hitam tak mempedulikannya.

"Hhh! Tempat apa ini sebenarnya? Apa yang telah 

terjadi?" kata wanita tua kejam itu dengan suara 

mendesis, pada dirinya sendiri.

"Mana aku tahu," sahut Kakek Buruk Rupa 

Seenaknya

"Aku tidak tanya padamu!" bentak Camar Hitam. 

"Aku ingin tahu, tempat apa sebenarnya ini?" maki-

nya ketus.

Dialirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. 

Menghantam dinding hitam itu. 

Blaaar!

Dinding itu tak goyah sedikit juga.

"Setan belang! Terbuat dari apa dinding ini!"

"Sebelum memutuskan untuk menghancurkan 

dinding itu, sebaiknya kita menebak dulu di mana 

kila berada sekarang," kata Kakek Buruk Rupa yang 

tertawa melihat pukulan Camar Hitam pada dinding 

itu tak berfungsi sama sekali.

Camar Hitam menoleh gusar. Mata celongnya 

bagai tertarik ke dalam, menyipit.

"Setelah semua ini, tak akan kuurungkan niatku 

untuk membunuhmu!"

"Memangnya gampang?"

"Setan!" Tangan kanan Camar Hitam mengibas.

Wusss!

Serangkum angin dahsyat menderu ke arah Kakek 

Buruk Rupa. Yang tiba-tiba saja sudah tak ada di 

tempatnya. Pukulan Camar Hitam menghantam 

tembok di belakang si kakek.

Duaaar!

Tembok itu tidak jebol sama sekali.

"Tenang dulu, tenang," kata Kakek Buruk Rupa. 

"Meneruskan pertarungan kita sangat mudah sekali! 

Di tempat semacam ini pun bisa dilaksanakan! 

Tetapi, apakah tidak lebih baik kita mengetahui 

tempat apa ini dulu sebelum meneruskan 

pertarungan, hah?"

Camar Hitam terdiam meskipun mengeluarkan 

dengusannya. Dibenarkannya pula kata-kata Kakek

Buruk Rupa. Tanpa sadar kedua tangan kurusnya 

yang terbungkus baju keperakan meraba-raba 

diding itu.

Di belakangnya Kakek Buruk Rupa berbuat yang 

sama.

"Hmmm... menembus dinding ini adalah jalan 

pertama untuk keluar dari sini. Tak ada pintu sama 

sekali, Gila! Bagaimana caranya kita masuk tadi?" 

membatin si kakek sambil menggeleng-gelengkan 

kepalanya.

Di lain pihak. Camar llilam sudah merangkum 

kembali tenaga dalamnya. Dilipatgandakan dari 

pukulan pertama tadi. Tanpa berkata apa-apa pada 

Kakek Buruk Rupa, dihantamnya dinding di 

hadapannya.

Suara gemuruh terdengar hebat. Kakek Buruk 

Rupa seketika menoleh dan terkekeh-kekeh.

"Lumayan pukulanmu itu!" desisnya dan 

melompat keluar mendahului Camar Hitam yang 

menggeram.

Kalau sebelumnya dua orang tua berbeda aliran 

itu berada dalam pertikaian yang sengit, kali ini 

tanpa disadari masing-masing berkeinginan untuk 

lebih dulu mengetahui di mana mereka berada.

Seperti diketahui. Kakek Buruk Rupa sedang 

mencari cucunya yang pergi bersama Pendekar 

Slebor. Maka, ingatannya pun beralih pada Suci.

"Di mana cucu jelitaku sekarang ini? Sebenarnya 

cukup aman bagiku mengingat dia bersama si 

Slebor. Tetapi awas, akan kupatahkan tangan si 

Slebor bila pemuda itu mulai bersikap lancang."

Sementara itu Camar Hitam berkata seraya 

memandang sekelilingnya.

"Tempat ini seperti sebuah bangunan. Namun 

langit-langitnya begitu tinggi sekali. Dan ada dua

lorong yang sangat panjang. Apakah tempat ini 

didiami oleh raksasa?"

"Boleh juga pendapat seperti itu," sahut Kakek 

Buruk Rupa sambil memperhatikan lorong panjang 

di sebelah kanannya. "O ya, kalau kau masih mau 

berada di sini, silahkan' Aku ingin melihat keadaan."

Tanpa menghiraukan Camar Hitam Kakek Buruk 

Rupa mulai melangkah. Hanya satu tindak dia 

berhasil melangkah, selebihnya bagai ditahan oleh 

ribuan tangan kasar.

"Kau jangan ke mana-mana! Urusanku untuk 

mendapatkan Permata Sakti yang kau miliki dan 

kau berikan pada Pendekar Slebor masih menjadi 

urusan!"

Kakek Buruk Rupa menyahut tanpa menoleh. 

"Jelas itu urusanmu!" Lalu dikerahkan tenaga 

dalamnya untuk memupus serangan gelap Camar 

Hitam. Lalu melangkah lagi dengan santainya.

Tinggal wanita tua berbaju perak dengan rambut 

disanggul ke atas yang menggeram. 'Tenaga 

dalamnya tak jauh bedanya dengan tenaga dalamku. 

Setelah kuketahui tempat sialan ini, akan kuteruskan 

pertarunganku dengan orang tua sialan itu!

Terutama, keinginanku untuk mendapatkan 

Permata Sakti yang dimilikinya dan kuketahui telah 

dipegang Pendekat Slebor "

Berlainan arah dengan yang ditempuh Kakek

Buruk Rupa, Camar Hitam berkelebat ke sebelah 

kanan.

***

Andika memekik keras seraya melontarkan tubuh 

Suci dari boponganya bulu kuduknya meremang 

tatkala mendapati tubuh yang dibopongnya tadi 

berubah menjadi seekor ular besar.

"Benar dugaanku! Hanya jebakan belaka!" 

makinya geram.

Ular besar warna kuning itu bergerak-gerak 

dengan liar. Mulutnya mendesis-desis mengerikan, 

mengeluarkan lidah bercabang dua pada ujungnya. 

Bola mata bundar berwarna merah tak luput sedikit 

pun menatap Andika. Mendadak saja desisan yang 

menandakan kegarangan terdengar. Menyusul 

kepalanya mencelat ke arah Andika.

Terperangah pemuda urakan itu menghindar

dengan jalan membuang tubuh kesamping. Namun 

bersamaan dengan Andika menghindar, ekor ular 

besar itu bergerak menyapu kedua kakinya begitu 

hinggap di tanah.

Gerakan ekor ular itu menimbulkan angin laksana 

debur ombak. Menerabas bunga-bunga beraneka 

warna yang langsung luruh dan memuncratkan 

tanah setinggi satu meter.

Ular jejadian yang mengerikan itu terus 

mengurung Andika dengan dua serangan serempak. 

Kepalanya mencelat siap mencaplok kepala Andika, 

sementara ekornya mengibas untuk menggempur 

lumat tubuh Andika.

Andika tak mau tinggal diam. Dikawal dengan 

gerengan keras dan angm kuat, Andika meluncur 

dengan merangkum tenaga 'inti petir' tingkat kedua

belas. Gerakan tubuhnya tak ubahnya bagai elang 

belaka, siap mencengkeram mangsa.

Des! Des!

Dua kali jotosan tangan kanan dan kiri yang 

mengandung tenaga 'inti petir' menghantam kepala 

ular besai itu. Ular itu justru bertambah liar 

bergerak. Makin banyak bunga yang terpapas dan 

tanah yang muncrat. Andika mundur sepuluh 

tindak untuk melihat apa yang terjadi.

"Gila!" desisnya tertahan.

Ular besar kuning itu tetap menyerang dengan 

kepala masih utuh! Belum lagi Andika mengerti apa 

yang terjadi, mendadak mulut ular besar itu terbuka, 

menampakkan deretan gigi runcing yang siap 

mencabik-cabik tubuh Andika. Dari sana, 

menyembur kabut warna kuning, menderu ke arah 

Andika!

"Sinting!" maki pemuda sakti itu sambil 

mengibaskan kedua tangannya, mencoba mengusir 

gumpalan kabut yang keluar dari mulut besar itu 

terus menerus. Tetapi semakin dikebutkan kedua 

tangannya, semakin banyak kabut kuning panas itu.

Bergumpal, bergulung dan menderu ke arahnya.

"Ular buduk!" geramnya melompat ke belakang. Dan 

ketika hinggap sepuluh tombak di antara bunga-

bunga warna warni, di tangannya sudah 

tergenggam kain pusaka bercorak catur.

Bersamaan kabut kuning menderu lagi ke 

arahnya. Andika mengebutkan kain pusaka warisan 

Ki Saptacakra. Suara bagai ribuan tawon marah 

mendengung, memenuhi taman itu.

Beeet! Wussss!

Bukan hanya gumpalan kabut kuning itu yang 

pecah, bunga-bunga yang tumbuh pun terpapas

habis, beterbangan, terkena besarnya angin yang 

menderu. Melihat kesempatan, Andika mengempos 

tubuhnya, menembus pecahan kabut kuning itu 

sambil mengebutkan kain pusakanya kembali.

Wusss!

Pyaaarr!

Kain pusaka yang dikebutkannya berhasil 

dihindari ular besar itu dengan cara meliukkan 

tubuhnya. Menyusul ekornya menggebah dahsyat. 

Andika melompat dan diiringi teriakan mengguntur, 

kembali dikibaskan kain pusakanya. Menghantam 

kepala ular itu. Telak. Suara raungan membahana, 

diiringi dengungan bagai ribuan tawon marah yang 

ditimbulkan oleh kebutan kain bercorak catur.

Begitu dahsyatnya hingga debu-debu tebal 

menyelimuti tempat di mana ular besar tadi berada. 

Menghalangi pandangan Andika yang bersiap 

dengan mata memicing. Bila asap hitam itu lenyap. 

Andika bersiap untuk menghantamkan kain 

pusakanya lagi.

Akan tetapi, dari picingan mata menunggu, justru 

membelalak lebar ketika tak lagi melihat ular besar 

itu di hadapannya. Serentak Andika memutar 

tubuhnya, menghamparkan pandangan pada 

seluruh tempat.

"Sinting! Ke mana ular besar sialan itu?!"serunya 

seraya melompat ke depan. Memperhatikan 

sekelilingnya. Disampirkan kembali kain bercorak

catur ke lehernya. "Makin besar dugaanku kalau ular 

itu ular jejadian belaka! Hhh! Tunggul Manik, tak 

akan kubiarkan kau meneruskan permainan 

busukmu ini!”

***

5


Di ruangan yang tersembunyi, Tunggul Manik 

menggeram hebat menyaksikan ilmu sihirnya 

berhasil ditumbangkan oleh Pendekar Slebor dari 

dalam wadah berisi cairan kuning. Matanya 

terbelalak tak percaya melihat ular besar ciptaannya 

menjadi asap.

"Keparat!" makinya dengan kedua tangan 

mengepal keras, hingga otot-otot tangannya 

menyembul. Rahangnya dikertakkan dengan mata 

melotot gusar. "Setan alas! Pemuda itu ternyata tidak 

hanya memiliki kesaktian tinggi, tetapi otaknya 

sangat cerdik! Ketabahannya menjadi jaminan dia 

akan mampu menghadapi segala rintangan! Hhh! 

Ternyata ilmu sihirku tak mampu menghadapi kain 

bercorak catur itu! Ada kekuatan apa yang 

tersembunyi pada kain bercorak catur itu? Ingin 

kulihat kehebatannya lebih lanjut!"

Diperhatikannya Pendekar Slebor yang melesat ke 

kiri dari taman yang kini berantakan.

"Tak akan mudah menghentikan permainan yang

kuciptakan ini, Pendekar Slebor! Dalam tempo yang 

singkat, Rimba persilatan akan kehilangan tokoh-

tokoh kelas atasnya! Setelah semua ini berhasil, 

berarti ilmuku telah sempurna. Tibalah saatnya 

bagiku untuk muncul di dunia ramai! Bukan hanya 

mengirim anak buahku untuk menjajaki rimba 

persilatan. Tetapi, diriku sendiri yang akan muncul 

dan akan kubuat kacau rimba persilatan dengan 

menculik dan membunuh para tokohnya!"

Tawa keras mengumandang di ruangan bau 

busuk itu.

"Hhhh! Memasuki lorong kelima, kau akan 

menghadapi sepak terjang anak buahku yang untuk 

sementara ini masih kutahan keberadaan mereka, 

Pendekar Slebor! Sementara, kau masih harus 

mencari gadis yang bernama Suci itu! Sebaiknya, 

kulihat keadaan Sepasang Dewa Gurun Pasir dan 

Iblis Tambang. Sudah saatnya mereka untuk 

siuman."

Mulut Tunggul Manik berkomat-kamit kembali. 

Tangan kanannya dikatupkan di dada. Lalu 

perlahan sekali tangan kanannya bagai mengambil 

asap dupa dari wadah yang menyala. Diarahkannya 

pada wadah berisi air kuning.

Sesaat kemudian, dia telah melihat apa yang 

diinginkannya....

***

Raka Gunarsa menggeliat pelan. Kepalanya 

terasa pusing sekali dengan mata yang nyeri. 

Tubuhnya terasa pegal. Lamat disertai keluhan, 

lelaki dari Sepasang Dewa Gurun Pasir membuka 

sepasang matanya.

Mata yang tadi sulit dibuka dan menimbulkan 

rasa nyeri, terbelalak begitu melihat sekelilingnya 

Sebuah kehampaan bagai merasuki perasaannya

"Di mana ini?" desisnya berusaha berdiri. bagai

orang baru bangun dari tidur selama bertahun-

tahun, dia memutar tubuhnya melihat sekeliling.

"Rasanya, aku seperti berada dalam sebuah ruangan. 

Terkurung rapat!" desisnya. "Keparat! Ini tantangan 

buat Sepasang Dewa Gurun Pasir."

Tak sengaja kakinya menyentuh satu sosok tubuh 

di bawahnya. "Ida Ayu Mantri," desisnya.

Tertegun dan terburu-buru dengan kecemasan 

menyelinap di hati, dibangunkannya kekasihnya 

yang tak sengaja tersentuh kakinya tadi.

Ida Ayu Mantri terbangun dengan kepala 

berpendar pusing. Keluhannya terdengar pelan 

sambil memegang kepalanya dengan tangan kanan.

"Di manakah kita berada sekarang ini, Raka?" 

tanyanya pelan, menyadari yang membangun

kannya kekasihnya. Wajah cantiknya sedikit 

memucat.

"Aku tidak tahu. Yang kuingat, ada asap tebal 

yang menyelimuti Iblis Tambang. Lalu mengurung 

kita Selebihnya kita pingsan." 

“Oh! Kepalaku sakit sekali!" 

"Alirkan tenaga dalammu. Ida. Dengan cara 

begitu, rasa sakit di kepala dan pegal di tubuhmu 

akan menghilang "

Ida Ayu Mantri melakukan petunjuk kekasihnya. 

Sesaat dirasakan tubuhbta menjadi segar kembali.

"Mana manusia keparat yang berjuluk Iblis 

Tambang itu? Jangan-jangan dia yang melakukan 

semua ini," tebak Ida Ayu Mantri.

Raka Gunarsa memiringkan matanya menatap 

sekitar. Membuktikan kebenaran kata kata 

kekasihnya tentang Iblis Tambang

Pada saat yang sama, Iblis Tambang juga sudah 

siuman. Terbelalak diperhatikan sekelilingnya. 

Empat dinding mengurungnya dengan langit-langit 

tinggi-

Belum lagi disadari di mana dia berada, satu 

serangan yang dilakukan oleh Raka Gunarsa sudah 

menderu ke arahnya. Sigap meskipun kesadarannya 

belum pulih benar, Iblis Tambang menggerakkan 

tubuhnya.

Wusssh!

Cepat dikirimkan satu tendangan ke samping, 

memutar cepat. Raka Gunarsa menekuk sikunya.

Plak!

"Katakan, apakah semua ini ulahmu, ataukah 

Pendekar Slebor yang kau sebutkan waktu itu yang 

melakukannya, hah?!" bentak Raka Gunarsa.

Iblis Tambang tak segera menjawab. Kalau dia 

yang melakukannya, sudah tentu dia tak merasa 

keheranan. Kalaupun Pendekar Slebor yang 

melakukannya, sepanjang ingatannya Pendekar 

Slebor tak memiliki ajian semacam gumpalan asap 

yang membuat orang pingsan.

Mendapati lawan tak menjawab pertanyaannya. 

Raka Gunarsa makin meradang. Dibantu oleh 

kekasihnya, keduanya melabrak Iblis Tambang 

bertubi-tubi.

Ruangan itu bergetar hebat. Beberapa kali dinding 

yang melingkupi mereka bagai mau ambruk.

Menghadapi Sepasang Dewa Gurun Pasir, Iblis 

Tumbang memang tak mampu bertahan lama.

Terutama, karena keseimbangan tubuhnya belum

pulih benar, sementara kedua lawannya telah 

memulihkan kondisi tubuh mereka.

Otak lelaki bersenjata tambang besar itu yang licik

berputar. Dia sengaja menghindari setiap serangan 

yang datang memepet ke tembok. Berkelit lincah 

dengan sesekali membalas. Serangan yang 

dilancarkan kedua lawannya berkali-kali

menghantam dinding di belakangnya.

Inilah yang memang ditunggu Iblis Tambang.

Sengaja dia tak menghindar kebagian lain. Tetap di 

belakang dinding yang terus terkena hajaran dua 

lawannya. Akibatnya, dinding itu pun akhirnya 

jebol. Bersamaan itu, dengan pencalan satu kaki 

sambil mengibaskan tangannya mengirimkan satu 

pukulan ke depan, sekaligus menahan serangan Ida 

Ayu Mantri, Iblis Tambang melompati dinding jebol 

itu, dan berkelebat meninggalkan Sepasang Dewa 

Gurun Pasir yang geram bukan main.

"Kelicikan bangsat itu sungguh mengagumkan!", 

geram Raka Gunarsa dengan rahang terkatup. "Biar 

bagaimanapun juga, manusia itu harus mampus!"

"Tunggu. Raka!"seru Ida Ayu Mantri ketika Raka 

Gunarsa hendak melompati dinding jebol itu..

Raka Gunarsa menoleh. Pancarannya sedikit 

geram karena ditahan seperti itu. Berarti, hanya 

membuang waktu dan membiarkan Iblis Tambang 

lolos.

"Ada apa?"

"Tidakkah kau merasa heran dengan tempat ini?" 

tanya Ida Ayu Mantri. Sekali melompat dia telah

melewati dinding jebol itu.

Raka Gunarsa menyusul. Pandangannya 

mengedar melihat lorong di depan dan di 

belakangnya.

"Peduli setan dengan tempat ini! Sekalipun tempat 

ini tempat berdiamnya Raja Iblis, aku tak peduli! 

Manusia keparat berjuluk Iblis Tambang itu harus 

mampus! Aku tak sabar untuk melakukannya dan 

menantang Pendekar Slebor!"

"Tenang, Raka. Kau lihatlah dulu sekelilingmu. 

Angin dingin berhembus kencang. Lorong-lorong ini 

sangat panjang. Apakah kau tidak merasakan 

keanehan di sini?"

Raka Gunarsa menurunkan sedikit 

kemarahannya. Setelah menoleh ke sana-kemari dia 

menatap kekasihnya dan menganggukkan 

kepalanya.

"Kau benar, Ida. Tak ada lubang angin di sekitar 

sini. Tetapi angin begitu kencang menusuk."

"Apakah kita berada di tepi pantai?"

"Tak ada debur ombak yang kudengar."

"Lalu tempat apa ini?"

Raka Gunarsa tak menyahuti kata-kata 

kekasihnya. Keheranannya mulai membulat 

menyadari tempat yang asing ini. Ditatapnya lagi 

Ida Ayu Mantri yang sedang menatapnya, 

menunggu jawaban atas pertanyaannya.

"Kita tak bisa menebak begitu saja. Bahkan untuk 

mengetahui tempat ini, penyelidikan yang akan kita 

lakukan belum tentu berhasil. Tetapi sebaiknya, kita 

memang harus menyelidiki tempat ini, Ida”

lda Ayu Mantri tak banyak bertanya. Menyepakati

kata-kata kekasihnya, dia menganggukkan kepala

"Kita mulai, Raka!"

Keduanya pun berkelebat ke arah Iblis Tambang 

melarikan diri.

***

Kakek Buruk Rupa menghentikan langkahnya di 

sebuah tempat yang mirip pendopo. Lelaki yang tak 

ketahuan mana hidung dan mana mulut itu 

bergumam tak jelas. Tubuh bongkoknya berputar 

melihat sekelilingnya. Angin dingin menghembusi 

wajahnya yang tertutup rambutnya yang putih 

panjang.

"Sontoloyo! Tempat apakah ini? Seumur hidupku, 

baru sekarang aku melihat tempat semacam ini." 

Lalu dia menggerutu tak jelas. "Perginya Pendekar 

Slebor yang membawa cucuku masih 

membingungkan lebih-lebih lagi bila memikirkan 

Permata Sakti yang kuberikan pada Pendekar 

Slebor. Apakah dia bisa memecahkan rahasia 

Permata Sakti itu? Brengsek! Mengapa aku bisa 

berada di sini?"

Dari balik rambut putih panjang yang menutupi 

wajahnya, sepasang mata Kakek Buruk Rupa 

berkeliling

"Ke mana pula Camar Hitam pergi? Pedulilah 

dengan wanita serakah itu! Aku harus mencari jalan 

keluar dari sini'"

Bersamaan angin menghembus terdengar suara 

dikawal tawa membahana. "Selamat datang di Pulau 

Seribu Setan, Kakek Buruk Rupa!"

Di balik rambut pulih panjang yang menutupi 

wajahnya, Kakek Buruk Rupa mengerutkan kening.

"Suara itu seperti datang dari sampingku. Begitu 

dekat. Tetapi, bagai terseret angin hingga menggema 

di seluruh tempat aneh ini. Pulau Seribu Setan. 

Apakah aku memang berada di Pulau Seribu Setan, 

sebuah pulau yang tak diketahui di mana berada," 

membatin si kakek. Lalu dia terkekeh-kekeh, "Wah, 

wah... kalau begitu kuucapkan terima kasih atas 

sambutanmu. Ngomong-ngomong, apakah di Pulau 

Seribu Setan ini terdapat delman? Aku mau pulang! 

Mau buang air besar!"

Suara keras itu menggeram.

"Jangan sesumbar di sini, Orang Tua! Kau tak 

lebih dari tikus kurus yang terjebak di sarang kucing 

lapar!"

"Atau... bukan kau sendiri yang semacam tikus 

kurus?" balas Kakek Buruk Rupa sambil terbahak-

bahak.

"Orang tua keparat!" makian keras terdengar 

kembali. "Jangan menjual lagak di hadapanku! 

Akulah Tunggul Manik, Majikan Pulau Seribu 

Setan!"

"Wah! Kalau begitu, kau boleh memanggilku 

dengan sebutan Majikan Pulau Bidadari! Itu terjadi 

karena ketampanan wajahku dan selalu dikerubungi 

para bidadari!"

"Apakah kau akan sesumbar lagi bila mengetahui

cucumu dan Permata Sakti itu ada di tanganku, 

hah?” suara keras itu bertalu lagi diiringi kegeraman

Kakek Buruk Rupa menghentikan tawa setannya.

"Cucuku? Oh! Apakah cucuku berada di sini pula? 

Kurang ajar! Aku ingat sekarang, ketika asap tebal 

menggulung tubuhku. Pasti asap hitam tebal itu 

yang membawaku ke sini. Manusia keparat yang 

bernama Tunggul Manik yang melakukan semua ini. 

Dan Permata Sakti? Bukankah permata itu berada di 

tangan Pendekar Slebor? Kalau begitu, pemuda dari 

Lembah Kutukan itu pasti berada di sini juga!"

"Mengapa kau diam, hah? Apakah telingamu 

sudah semakin budek?"

Kakek Buruk Rupa terkekeh. "Bagaimana dengan 

kau sendiri? Apakah kau malu unjuk diri di 

hadapanku? Jangan-jangan, wajahmu lebih jelek dari 

wajah tampanku ini!"

Bentakan dibaluri geram tinggi terdengar dahsyat.

"Jangan menjadi badut di sini! Kakek Buruk Rupa, 

bila kau menginginkan cucumu dan Permata Sakti 

itu, kau harus mengikuti perintahku!"

"Main perintah! Kau seperti orang-orang kotapraja 

saja! Biar kau yang kuperintahkan! Ayo, keluar! Aku 

ingin lihat apakah kau sebangsa kodok bantet

apakah tikus got?"

"Keparat! Sesumbarmu terlewat besar, Orang Tua! 

Dengar baik baik aku akan memberikan sebuah 

permainan yang pasti sangat kau sukai!"

"Aku tak pernah suka bermain-main!!" kata Ka kek

Buruk Rupa makin ngawur. Dia memang sengaja

memancing kemarahan orang dibalik suara keras itu 

untuk keluar "Apalagi, untuk menghadapi manusia

pengecut seperti kau ini?'"

"Diam! Aku ingin kau dengan Pendekar Slebor

bertarung sampai mampus! Bila kau tidak 

melakukannya, maka cucumu akan mati di 

tanganku!"

"Keparat itu tidak main-main dalam ancamannya," 

batin si kakek. "Bagaimana aku tahu cucuku masih 

dalam keadaan segar bugar, hah?"

"Dia aman di tanganku. Saat ini, Pendekar Slebor 

sedang berusaha mencari cucumu karena padanya 

telah kusuguhkan sebuah permainan! Dan untukmu, 

bertarung sampai mampus dengan Pendekar Slebor! 

Hadiahnya, cucumu itu!"

"Pendekar Slebor pasti akan menemukan cucuku!"

"Kita lihat nanti! Hahahaha!" suara tawa keras itu 

terdengar bertalu-talu. Selebihnya sepi melanda 

kembali. Angin dingin yang tadi bagai tertahan 

berhembus, kini bertiup lagi. Lebih dingin dari 

sebelumnya.

Kakek Buruk Kupa membatin, "Aku yakin, ini 

hanya sebuah permainan sihir. Nama Pulau Seribu 

Setan memang kudengar. Tetapi setahuku, tak 

seorang pun yang tinggal di sana. Bahkan pulau itu 

bagai tertutup kabut, tak ada yang pernah 

menemukannya. Kalau Tunggul Manik mengatakan 

semua ini, berarti dia bukan orang sembarangan. 

Hhhh! Mau apa sebenarnya manusia keparat itu 

berbuat seperti ini? Bila cucuku disakiti, akan

kuhancurkan tempat ini! Peduli setan apakah aku 

bisa keluar dan sini atau tidak!"

***

6


Apa yang dialami oleh Pendekar Slebor memang 

sesuatu yang aneh. Pulau Seribu Setan sepenuhnya 

dikuasai oleh ilmu sihir Tunggul Manik. Beberapa 

kali Andika merasa lorong panjang yang setiap kali 

dimasukinya seolah buntu. Dan ketika dia berbalik 

ke arah jalan semula, ada bentangan lorong panjang 

kembali.

"Astaga! Teka-teki lorong-lorong ini saja begitu 

memusingkan kepalaku. Setiap kali kntelusuri, 

selalu bagaikan buntu. Tetapi setelah dekat masih 

terdapat bentangan lorong lainnya. Dan bila aku 

kembali ke tempat semula, rasanya begitu panjang. 

Kurang ajar! Di mana aku bisa menemukan cucu 

Kakek Buruk Rupa itu?" hatinya agak galau dibaluri 

kemarahan.

Belim lagi Andika melakukan apa-apa, dirasakan 

satu keras ke arahnya. Cepat dia memutar tubuh 

menghindar.

Blaaar!

Angin dahsyat itu menghajar tembok hingga 

sempal..

Ketika Andikamenoleh, dilihatnya Iblis Tambang 

telah berdiri dengan wajah dingin.

"Astaga! Rupanya manusia dajal ini pun tiba disini 

pula!" desis Andika

"Kucari di alam sana tak ku temukan! Kini ada di 

hadapanku! Bagus! Pendekar Slebor, serahkan

Permata Sakti biru itu kepadaku?" Membentak Iblis 

Tambang dengan tatapan dingin.

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak 

gatal.

"Ngomongmu gaya juga! Apa kau belum puas bila 

kuhajar kembali? Hei, ke mana perginya tanganmu 

yang satu itu? Kau jual ya sebagai pengganti 

tambangmu?"

Membesi wajah Iblis Tambang. Urat wajahnya 

bagai tertarik keluar, menimbun daging kecil di 

bawah matanya, hingga kedua matanya menyipit.

"Jangan jual lagak di hadapanku! Kali ini kau akan 

mampus di tanganku, Pendekar Slebor!" bersamaan 

dengan itu, Iblis Tambang menderu dahsyat. 

Dengan mempergunakan tangan kanannya, senjata 

tambangnya saat dilepaskan ke arah Andika, 

menimbulkan suara gemuruh keras.

Andika yang sudah tahu kehebatan senjata aneh 

itu, mencoba membuang tubuh ke samping. Namun 

belum lagi hinggap di tanah, kaki Iblis Tambang 

sudah memapas kedua kakinya. Sigap Andika 

melompat dan meluruk dengan satu jotosan ke 

wajah Iblis Tambang.

Tetapi, senjata tambang yang berat itu berputar 

hingga menimbulkan desingan bak ratusan anak 

panah diluncurkan dari busurnya. Membuat Andika 

urung melakukan maksudnya.

Satu tendangan mengenai perutnya, hingga dia 

terjajar ke belakang.

"Boleh juga!" desisnya sambil menyeringai. lalu 

sambungnya dalam hati, "Kecepatan tambang itu tak

jauh berbeda bila dia menggunakan kedua tangan. 

Tetapi, tenaga yang keluar tak sebesar bila dia 

mempergunakan kedua tangannya. Berarti, 

kelemahannya jelas berada di tangan kanan."

"Kau akan melihat kelebihanku yang lain!"

Andika yang sedang berpacu dengan waktu untuk 

menemukan cucu Kakek Buruk Rupa, tak mau 

bertindak tanggung. Lagi pula, dia sudah 

memperkirakan kelemahan ilmu senjata tambang 

lawan. Sebelum Iblis Tambang menyerangnya 

kembali, dia sudah mendahului.

Melalui pencalan satu kaki, tubuhnya meluruk ke 

depan. Namun, lagi-lagi bersamaan tubuhnya 

menyerang, tambang besar itu menderu. Membuat 

Andika kembali urung. Dan kali ini dia berusaha 

menghindar sekaligus menemukan sela untuk 

melakukan serangan.

Sekali pun senjata maut Iblis Tambang sangat 

hebat, mengeluarkan suara menderu-deru, namun 

dia tidak mampu menandingi kegesitan Pendekar 

Slebor. Justru berkali-kali manusia dajal ini terkejut 

karena serangan Andika selalu mengarah pada 

tangan kanannya

"Keparat! Dia mencecar tangan kananku terus!

Setan alas!! Geraqkanku jadi semakin susah!!"

Iblis Tambang keluarkan keringat dingin ketika 

pada jurus selanjutnya dia bagai tak mampu 

bertahan lagi. Dalam keadaan kedua tangannya 

utuh, dia sungguh sulit mengalahkan Andika. Lebih-

lebih kini hanya satu tangannya yang berfungsi.

Andika sendiri memang tak mau membuang 

waktu lama. Beberapa kali serangannya yang 

dilancarkan tiba-tiba membuat Iblis Tambang 

memekik. Bahkan pakaian Iblis Tambang di bagian 

dada, sobek terpapas tangan kanannya.

Iblis Tambang melompat mundur dengan wajah 

pucat. Sebaliknya, Andika tertawa-tawa.

"Kau tidak usah tegang! Pokoknya, kau akan pergi 

ke akhirat dengan cara yang paling menyakitkan!"

Mendidih darah Iblis Tambang mendengar ejekan 

itu. Dilipatgandakan tenaga dalamnya dan diputar 

senjata tambangnya lebih hebat. Kali ini, seluruh 

tubuh Andika terbungkus serangan lawan yang 

gencar dan bertubi-tubi.

Justru Andika sengaja membiarkannya. Karena, 

dengan cara begitu secara tidak langsung dia telah 

menguras tenaga Iblis Tambang.

Apa yang diduga berikutnya memang benar. 

Karena lama kelamaan serangan Iblis Tambang 

mengendur. Mukanya merah mendapati tak satu 

serangannya pun yang mengenai sasaran. Hal ini 

membuat kemarahannya semakin menjadi.

Namun Andika yang sudah menemukan bentuk 

penyerangannya, dengan mudah menyarangkan 

jotosan dan tendangannya. Berkali-kali, hingga 

membuat Iblis Tambang menekan erat perutnya.

Bagi Andika, manusia seperti Iblis Tambang 

memang tak perlu dikasihani. Akan diberinya 

pelajaran pada lelaki dajal itu. Maka, dengan cepat

dan mengalirkan kembali tenaga 'inti petir'-nya, 

Andika menderu, siap memapas tangan kanan Iblis

Tambang. Pikirnya, tanpa kedua tangan, Iblis 

Tambang hanyalah menjadi orang pesakitan belaka.

Namun belum lagi Andika melakukan hal itu, satu 

sosok biru menderu cepat ke arahnya. Memapaki 

serangannya. 

Plak!

Cepat Andika melenting ke belakang tiga tombak. 

Begitu hinggap kembali, dilihatnya dua sosok tubuh 

berbaju biru sedang menatap dingin ke arahnya

***

Sebelum Andika berkata apa-apa, Iblis Tambang 

yang merasa selamat dari sambaran maut Andika, 

cepat bergulingan mendekati sepasang anak 

manusia yang memasang wajah dingin.

"Raka Gunarsa!"serunya pada yang laki-laki, 

penuh dengan sikap menjilat Apalagi mengingat 

dirinya telah diselamatkan dari serangan Pendekar 

Slebor. Pandangannya berkilat kilat penuh kelicikan. 

Orang yang baru datang itu bukan lain adalah 

Sepasang Dewa Gurun Pasir. "Bila kau ingin 

mengetahui orang yang berjuluk Pendekar Slebor, 

pemuda itulah orangnya!"

Pada saat Iblis Tambang mendekatinya, Raka 

Gunarsa hendak menghantamkan tangannya pada

lelaki itu,menjadi urung ketika mendengar 

keterangannya. Pandangan matanya lurus tek 

berkesip pada Andika yang tengah mengira-ngira 

siapakah kedua orang ini. Bila melihat cara

memapaki serangannya pada Iblis Tambang tadi,

jelas-jelas lelaki yang dipanggil dengan nama Raka

Gunarsa bukan orang sembarangan. Benturan 

lengannya barusan cukup membuat tangannya 

bergetar. Nampaknya kemampuan yang sama pun 

dimiliki oleh wanita yang berdiri dengan dua tangan 

terlipat di dada di samping lelaki itu. Keduanya 

memasang wajah dingin.

"Hhh! Pemuda masih bau kencur rupanya yang 

kau maksudkan, Iblis Tambang!" seru Raka Gunarsa. 

Keinginannya untuk diakui sebagai orang tak 

terkalahkan, membuat kepongahan merambati 

wajahnya.

Andika masih terdiam, sementara otaknya terus 

berpikir. Apakah kedua manusia itu kambratnya 

Iblis Tambang? Tetapi bila melihat sikap Iblis 

Tambang yang seperti orang pesakitan itu, jelas-jelas 

justru lelaki jelek itu tunduk pada keduanya

Raka Gunarsa berkata lagi, berat dan 

menunjukkan tenaga dalam pada suaranya, 

"Pendekar Slebor! Cukup membuat keder julukan 

itu! Tetapi tidak bagi kami, Sepasang Dewa Gurun 

Pasir yang ingin menjajal kemampuan!"

Kalau sejak tadi Andika terdiam memperhatikan, 

sekarang terdengar dengusannya. "Orang-orang 

yang tak pernah puas dengan apa yang dicapainya! 

Hhh! Sepasang Dewa Gurun Pasir... bila kau ingin 

menjajal kemampuan, bukan saat yang tepat!"

"Peduli setan!" maki Raka Gunarsa dengan rahang

terkatup rapat. Matanya membiaskan kemarahan 

yang luar biasa.

Melayani omong kosong seperti ini, hanyalah 

mengundang diri masuk ke sebuah kebodohan 

Andika tidak pernah tertarik untuk meladeni orang 

orang yang terlalu tidak puas dengan apa yang 

mereka miliki. Dan selalu ingin diakui sebagai yang 

terbesar. Apalagi saat ini. Andika.merasa berpacu 

dengan waktu untuk menemukan Suci.

Dia berkata dingin, "Sebaiknya... bila memang kau 

bermaksud menantangku, kita tunda untuk be-

berapa saat!"

Raka Gunarsa terbahak-bahak. Dia menoleh pada 

Iblis Tambang, lalu berkata dengan nada meleceh-

kan, "Kau dengar sendiri, bukan? Orang yang kau 

tunjuk sebagai orang yang mampu memuaskan 

keinginan kami, ternyata tak lebih dari kambing 

congek belaka! Mana keberanian yang kau gembar-

gemborkan itu, hah? Ayam sayur kau berikan pada 

kami!"

Bila menuruti kata hatinya, Andika akan langsung 

menampar mulut kurang ajar itu. Tatapannya 

dialihkan pada Iblis Tambang. Otaknya segera 

berpikir, "Manusia keparat itu rupanya sengaja 

menjebakku. Hhh! Bila melihat sikapnya, aku yakin 

kalau Iblis Tumbang bukan apa apa dibandingkan 

Sepasang Dewa Gurun Pasir. Lengan kirinya yang 

kutung pasti tanda mata dari Sepasang Dewa Gurun 

Pasir. Kalau menuruti kata hatiku, akan kugebrak 

keduanya. Tetapi ini bukanlah saat yang tepat, 

mengingat aku masih harus menemukan di mana 

suci berada."

Lalu dia berseru kepada Raka Gunarsa, 

"Kesombongan Sepasang Dewa Gurun Pasir

sebenarnya memaksaku untuk menerima tantangan 

kalian! Tetapi, bila kalian merasa diri nomor satu... 

coba tunjukkan jalan keluar dari Pulau Seribu Setan."

"Jangan berdalih! Bila kau takut katakan terus 

terang hingga kami rela menahan diri tidak 

langsung membunuhmu!" Ida Avu Mantri yang 

berseru.

Andika tersenyum dalam hati melihat wajah 

cantik di hadapannya. "Sayangnya, wanita itu pun 

berhati kejam." Lalu katanya dengan ketenangan 

luar biasa, "Takut hanyalah setipis kulit ari. Rasa 

takutlah yang membuat setiap manusia gamang 

dalam melakukan tindakan"

'Banyak omong!" geram Ida Ayu Mantri.

"Rasanya sulit melepaskan diri dari orang-orang 

celaka yang suka mengumbar kepandaian," batin 

Andika. "Sebaiknya, kucoba saja untuk melunakkan 

hati mereka." Dengan pandangan tetap tenang 

Andika berkata, "Untuk saat ini, kuakui kalian 

memang hebat meskipun aku tidak tahu apakah 

kalian memang pantas mendapat pujian seperti itu. 

Sebaiknya...."

"Setan alas! Kau hanya membuang waktu, 

Pendekar Slebor! Tanpa kau layani keinginan kami, 

kau tetap akan mampus!" Dikawal dengan geraman 

tinggi, tubuh Ida Ayu Mantri berkelebat. Saking 

cepatnya yang nampak hanyalah bayangan biru 

belaka.

Tak ada jalan lain bagi Andika selain memapaki 

serangan itu. Dia sengaja tak beranjak dari 

tempatnya, semata untuk menjajaki tenaga dalam 

lawan. Begitu jotosan Ida Ayu Mantri siap 

menghantam wajahnya, Andika mengangkat 

sebelah tangannya dengan kibasan cepat.

Des!

Andika surut tiga tindak ke belakang ketika 

dirasakan tangannya bergetar. "Bukan buatan! 

Tenaga dalamnya cukup tinggi! Terpaksa aku harus 

melayani orang orang ini dulu!"

Ida Ayu Mantri sendiri saat ini sedang memular

tubuhnya di udara Begitu serangan pertamanya di 

papaki Andika, dia segera susulkan serangan kedua.

Tendangan kaki kanan dan kiri dilepaskan 

bersamaan tubuhnya berputar.

Kembali Andika menangkis serangan serempak 

itu. Tetapi kali ini disusul dengan satu serangan 

balasan. Kakinya menyepak ke atas. Ida Ayu Mantri 

terkejut dan terburu-buru membuat silang kedua 

tangannya ke bawah.

Des!

Seharusnya selagi lawan dalam keadaan terjepit 

seperti itu, Andika bisa segera menyusulkan 

serangannya. Tetapi Andika yang memang enggan 

untuk melayani manusia-manusia yang 

berkeinginan seperti Sepasang Dewa Gurun Pasir 

justru mundur dua tindak.

Satu teriakan keras terdengar. Raka Gunarsa 

sudah menderu dahsyat. Di samping kemarahannya 

dia juga jengkel melihat lawan seperti memberi

angin pada kekasihnya. Dia tahu kalau lawan bisa 

menjatuhkan kekasihnva saat itu juga.

Berarti ini tantangan!

Tidak tanggung lagi. Saat menyerang Raka 

Gunarsa melipatgandakan tenaga dalamnya. 

Mendapati perubahan angin serangan yang datang. 

Andika mencelat ke samping. Tetaoi kibasan kaki 

kiri Raka Gunarsa, membuatnya harus melompat.

Bersamaan dengan itu, Ida Ayu Mantri yang tak 

tahu kalau Andika sengaja melepaskannya, 

menyepak ke muka.

Cepat Andika memutar tubuhnya. Dirasakan pula 

perubahan angin serangan Idu Ayu Mantri.

"Keduanya tidak main-main rupanya" dengus nya 

yang mau tak mau harus menghindar dan

membalas.

Dua gempuran dahsyat datang sekaligus. 

Beruntun dan bertubi-tubi. Membuat Andika 

menjadi kacau pikirannya. Di satu segi, dia merasa 

harus memburu waktu, sementara di segi lain, 

menghadapi dua manusia celaka ini akan memakan 

waktu.

Dilihatnya Iblis Tambang yang menyeringai 

penuh kemenangan. Dia berseru, "Raka Gunarsa! 

Pendekar Slebor telah mencuri Permata Sakti 

milikku!"

"Persetan dengan ucapanmu!" bentak Raka 

Gunarsa dan meningkatkan kecepatannya. Begitu 

pula dengan Ida Ayu Mantri. Keduanya telah 

mempergunakan ajian andalan mereka 'Gabungan 

Dua Dewa'. Hingga setiap kali keduanya

melancarkan serangan, terdengar suara menggebah

keras.

Andika sendiri akhirnya mulai turun tangan pula. 

Kalau tadi serangannya tidak begitu diarahkan, kali 

ini dia tak mau bersikap tanggung. Diputar 

tubuhnya ke samping, menghindari serangan dua 

lawan sekaligus.

Bersamaan dengan itu, Andika merunduk. 

Kakinya menendang keras. Mengenai kedua 

lawannya yang terhenyak dan segera bangkit 

kembali. Menyerang dengan kemarahan berlipat 

ganda.

Melihat Sepasang Dewa Gurun Pasir mulai 

terdesak, Iblis Tambang memperlihatkan wajah 

aslinya.

"Keparat! Ternyata dua manusia ini tak mampu 

menghadapi Pendekar Slebor! Bisa aku yang celaka!"

Selagi Iblis Tambang ketakutan seperti itu, Pen-

dekar Slebor sedang melancarkan serangannya. Te-

naga 'inti petir' sudah dipergunakan. Dengan 

mengandalkan ketepatannya yang kesohor, dia 

menyodok masuk dan memukul dua kali.

Des! Des!

Raka Gunarsa terpelanting dan terkapar. 

Sementara kekasihnya terbanting dan berguling 

sampai dua tombak. Melihat hal itu, wajah Iblis 

Tambang makin memucat

Walau tubuh Sepasang Dewa Gurun Pasir terasa 

sakit tak karuan dengan jantung berdebar dan darah 

mengalir kacau, keduanya masih bisa berdiri.

Mengalirkan hawa murni ke dada yang bagai 

remuk.

"Setan alas!" maki Raka Gunarsa. "Jangan 

berbangga dulu dengan hasil perbuatanmu itu! Kau 

akan menerima ganjarannya!"

Andika yang sudah mundur lima tindak 

menggeleng-gelengkan kepala.

"Manusia-manusia yang tak tahu diuntung!" 

dengusnya dalam hati. Dengan mata memicing yang

memancarkan kegusaran dia berkata, "Sebaiknya, 

lupakan semua ini! Karena, di dunia ini tak ada yang 

lebih tinggi dan lebih rendah. Kalau pun merasa 

lebih tinggi, masih ada yang lebih tinggi lagi begitu 

seterusnya. Kuakui, kehebatan Sepasang Dewa

Gurun Pasir sangat tinggi. Sebaiknya. kalian 

berusaha membebaskan diri d Pulau Seribu Setan 

ini."

Sehabis berkata bergitu Andika berkelebat cepat

meninggalkan mereka yang tertegun mendengar

kata-kata Andika Perasaan tidak enak tiba-tiba

muncul.

"Raka Gunarsa. baru kali ini kutemui seorang 

pendekar yang memiliki ilmu tinggi dan hati bijak 

seperti dia," kata Ida Ayu Mantri.

Raka Gunarsa menganggukkan kepalanya

"Kau benar, Ida. Tak kusangka, kalau orang yang 

berjuluk Pendekar Slebor itu masih sedemikian 

muda. Kesaktiannya begitu tinggi Aku jadi malu 

mengingat, kalau dia sebenarnya mampu 

menghabisi kita. Seperti yang kulihat saat kau 

pertama kali menyerangnya, Ida."

Seketika Ida Ayu Mantri menoleh dengan kening 

berkerut.

"Apa maksudmu, Raka?"

"Kulihat, tadi pun Pendekar Slebor membiarkan 

kau bebas. Padahal, dia bisa meneruskan 

serangannya."

Hati Ida Ayu Mantri menjadi bergetar tak karuan. 

Perasaannya yang menduga kalau Pendekar Slebor 

tak berani menyerangnya tadi pupus perlahan.

"Benarkah yang kau katakan itu?" Raka Gunarsa 

mengangguk pasti. "Gila! Sungguh gila!" rutuk Ida 

Ayu Mantri tak karuan.

"Aku jadi malu dengan sikap kita selama ini, 

Ida...."

"Bodoh! Mengapa hanya karena ucapan Pendekar 

Slebor saja kalian seperti lumpuh?" bentakan itu 

terdengar keras. Iblis Tambang yang tidak suka 

melihat Sepasang Dewa Gurun Pasir bagai pasrah 

dan melupakan keinginan mereka, menjadi geram. 

Terutama mengingat Sepasang Dewa Gurun Pasir 

tak mampu menjatuhkan Pendekar Slebor. Padahal, 

dia menginginkan Permata Sakti yang disangkanya 

masih berada pada Pendekar Slebor.

Kalau sebelumnya Raka Gunarsa sudah jengkel 

terhadap Iblis Tambang, kali ini kejengkelannya 

makin menjadi. Dia berbalik dengan tatapan gusar.

"Jangan banyak bacot!" sentaknya penuh 

kegeraman. "Justru kau yang harus mengganti malu 

kami!"

"Setan alasi Dengan cara seperti itu, kalian justru 

menunjukkan kepengecutan kalian sendiri! Kalian 

tak pantas disebut sebagai... eeeittt!"

"Kusumpal mulutmu, Keparat!" Ida Ayu Mantri 

sudah menerjang mendahului kekasihnya.

Iblis Tambang terperanjat. Dia berusaha 

menghindar. Tetapi, Raka Gunarsa lebih cepat 

menghantam dadanya hingga tubuhnya terhuyung 

ke belakang.

Belum lagi keseimbangannya normal, Ida Ayu 

Mantri telah mengirimkan serangan selanjutnya. 

Menyusul serangan Raka Gunarsa. Dalam tempo 

beberapa kejapan saja. Iblis Tambang sudah pingsan.

***

7


Pendekar Slebor kembari menghentikan larinya. 

Dia benar-benar pusing, memikirkan di mana harus 

mencari Suci. Apalagi bila memikirkan jalan keluar 

dari bangunan aneh yang terus menerus berbentuk 

lorong. Bahkan terkadang Andika tidak yakin 

apakah lorong-lorong itu pernah dimasuki 

sebelumnya.

"Tuyul botak! Semuanya dinding hitam terus. Tak 

ada lagi taman seperti yang kujumpai sebelumnya! 

Sinting! Ilmu sihir milik Tunggul Manik memang 

sangat tinggi!"

Dirabanya dinding di hadapannya, yang dalam 

setiap lorong selalu berwarna kehitaman itu. 

Diketuk-ketuknya. Beberapa kali Andika mendengar 

suara menggema.

"Hmmm... di balik dinding ini aku seolah merasa 

ada tempat kosong." Untuk beberapa lama Andika 

terdiam, dan mengetuk kembali dinding-dinding itu. 

Sampai kemudian dia bergumam, agak tidak jelas. 

"Sejak pertama keluar dari tempatku disekap, aku 

selalu mengikuti setiap lorong yang di kanan kiri 

terdapat dinding panjang kehitaman ini. Bagaimana 

bila sekarang kutembus dinding-dinding ini? 

Apakah ada sesuatu di balik setiap dinding? 

Baiknya, kucoba saja untuk menembus dinding di 

hadapanku ini"

Memutuskan seperti itu. Andika merangkum 

ujian 'Guntur Selaksa' di kedua tangannya. Lalu di-

hantamnya dinding di hadapannya. 

Duaaarr!

Dinding itu jebol dengan menimbulkan suara bak 

ombak menghantam karang di pantai. Ada cahaya 

redup di dalamnya. Andika tidak segera masuk, 

karena dikhawatirkan ada jebakan yang menantinya. 

Hati-hati dilongokkan kepalanya melihat ruangan 

yang terang itu.

Ada sebatang besi di hadapannya. Ketika 

diarahkan pandangannya ke bawah, ada semacam 

sumur yang dalam sementara besi itu terus 

membujur ke bawah.

"Tempat apakah ini?" desisnya dengan kening 

berkerut. 'Adakah sesuatu yang bisa kujadikan pa-

tokan untuk menemukan Suci? Atau, hanya jebakan 

belaka? Sebaiknya, biar kucoba untuk masuk ke 

dalamnya."

Dengan sekali lompat. Andika sudah 

melingkarkan kedua tangan dan kakinya pada 

batang besi itu. Dipejamkan kedua matanya untuk 

mengonsentrasikan diri. Dilipatgandakan tenaga 

dalamnya, siaga bila datang satu serangan. Setelah

membulatkan tekad mulailah dia meluncur di 

batang besi itu, ke bawah.

Semakin ke bawah dirasakan angin begitu keras 

bertiup. Dan batang basi yang masih ke tempat

semacam sumur, terus berlangsung. Entah berapa 

lama sudah berlalu. Yang dirasakan, sudah lama

sekali dan bertambah dalam

Mendadak saja pegangan pada besi itu terlepas.

Rupanya besi bulat itu sudah habis. Cepat Andika 

mengendalikan tubuhnya dengan mempergunakan

ilmu meringankan tubuhnya. 

Bruk!

Ia terjatuh dengan pantat terduduk. Rupanya 

batas besi itu tidak terlalu jauh dengan dasar. Sigap 

dia berdiri dan meraba ke atas. Tangannya 

menggapai batas terakhir dari besi yang tadi dibuat 

sebagai luncuran.

"Edan! Kepalaku jadi pusing melihat semua ini?" 

dengusnya. Matanya mencoba tembusi kegelapan 

tempat. "Apakah ini semacam lorong pula? Ataukah 

sebuah ruangan?"

Mengandalkan ketajaman mata dan nalurinya, 

Pendekat Slebor melangkah ke samping kanan. Tak 

ada dinding yang tersentuh. Dilakukannya ke 

sebelah kiri. Lalu ke belakang.

"Hmmm... ini bukan semacam ruangan. Kalau 

pun ini sebuah lorong, pasti sangat lebar sekali. 

Sebaiknya, aku melangkah terus ke depan."

Mulai dilangkahkan kakinya dengan kesiagaan 

penuh. Semakin jauh melangkah, mulailah 

dilihatnya cahaya terang di hadapannya. Dan dia 

tiba di sebuah ruangan yang memancarkan bau 

sangat wangi sekali.

Tak ada suara apa pun yang terdengar. Bahkan 

angin pun seperti berhenti bertiup. Mendadak saja 

pandangannya terhalang kabut putih yang cukup 

tebal.

"Apa-apaan ini? Bagaimana tahu-tahu bisa ada 

kabut keparat di hadapanku?"

Sesaat Andika berusaha menajamkan 

pandangannya dengan kesiagaan membesar. 

Batinnya mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi.

Benar saja. Begitu tatapannya membaik dan kabut 

putih itu menghilang, di hadapannya berdiri 

sepuluh orang laki-laki berpakaian hitam dengan 

destar merah. Masing-masing menunjukkan wajah 

garang. Dan di tangan mereka terdapat senjata 

parang tajam, berkilat-kilat tertimpa cahaya yang 

entah datang dari mana, menatap tak berkesip ke 

arah Andika.

***

"Kura-kura bau!" rutuk Andika sambil tak 

berkesip menatap sepuluh lelaki garang di 

hadapannya. "Melihat penampilan mereka, jelas 

mereka adalah anggota Serikat Kuda Hitam. 

Beberapa anggotanya pernah kuhajar di alam luar 

sana!" Sesaat kemudian, Andika membatin lagi, 

"Kampret! Kalau mereka adalah anak buah Tunggul 

Manik atau majikan Pulau Seribu Setan... mengapa 

justru mereka yang mengacau di rimba persilatan 

sementara Tunggul Manik berdiam diri di Pulau 

Seribu Setan ini'' Hanya satu jawaban, kalau

Tunggul Manik tidak menghendaki dirinya untuk 

muncul di rimba persilatan lebih dulu. Dia 

mengirimkan anak buahnya ntuk melihat keaadan. 

Gambaran tentang Tunggul Manik mulai jelas 

sekarang. Dia sengaja mengundangku atau mungkin

ada lagi yang datang ke tempat ini untuk emnguji 

kesaktiannya. Setelah berhasil mengalahkan orang 

yang diundangnya kesini, dia akan muncul di rimba 

persilatan! Keparat! Tak akan kubiarkan semua itu 

berlangsung!"

Sepuluh lelaki berwajah garang itu, maju satu

tindak. Tak berkesip menatap Andika.

Salah seorang dari mereka yang mempunyai 

hidung bulat dan besar berkata geram, "Kau telah 

membunuh sejumlah kawan kami, Pendekar Slebor! 

Hal itu tak akan pernah kami maafkan sebelum 

melihatmu terkubur di Pulau Seribu Setan ini!"

"Lagi pula, siapa yang mau minta maaf?" sahut

Andika seenaknya sambil menjulurkan lidah. "Justru 

aku datang ke sini, buat mengemplang kepala 

kalian! Ayo, maju satu-satu! Berbaris, dan jangan 

berebut!"

Sebagai jawaban atas tingkah Andika yang penuh 

ejekan, lima dari lelaki garang bercambang bauk itu,

menderu seraya mengibaskan parang di tangan 

mereka.

Wussshhh!

Bersamaan dengan itu, Andika melompat 

kedepan. Lima parang yang dikibaskan ganas lolos 

dari sasaran. Dari lompatannya, pemuda dari 

Lembah Kutukan ini menendang dengan kaki kanan 

dan kiri ke arah lima orang dari lelaki berbaju hitam 

dan berdestar merah lainnya, semata untuk 

membuat mereka jeri. Tetapi, orang-orang itu justru 

bertambah beringas karena mendapati Andika yang 

tak segera menurunkan tangan.

"Kutu busuk! Mereka rupanya tak mau mengerti 

kalau aku sengaja takmenurunkan tangan," makinya 

dalam hati. Lalu menyambung sambil menghindari 

sambaran parangiparang tajam, 'Tak ada jalan lain 

rupanya..."

Memikir demikian, pemuda sakti itu mencelat ke 

depan. Kedua tangannya bergerak cepat.

Wuuut!

Prak! Prak!

Tiga orang bisa menghindar, sementara dua orang 

lagi terkapar dengan kepala pecah. Lolongan keras 

terdengar mewarnai tempat itu ketika tangan 

Andika menghantam pecah kepala dua lawannya.

Menyadari hal itu, kemarahan dari sisa orang-

orang itu bertambah tinggi. Dikawal dengan 

gerengan kemarahan yang memecahkan telinga, 

delapan parang tajam menderu ke arah Andika yang 

menarik napas panjang melihat perbuatan yang 

terpaksa dilakukannya.

"Kutu monyet! Ini makin membuang waktu saja 

untuk menemukan Suci! Aku tak bisa tinggal diam 

sekarang. Rasanya, terpaksa aku harus menurunkan 

tangan telengas. Orang-orang semacam ini tak akan 

mau mengerti betapapun yang mereka lakukan 

adalah sebuah dosa dan kekejian. Begundal tengik 

macam mereka ini hanya akan mempersempit jalan 

kedamaian. Apalagi, mereka tentunya sangat patuh 

akan perintah Tunggul Manik! Padahal, aku hanya 

bermaksud menakut-nakuti mereka biar kapok!"

Dengan mempergunakan kecepatan dan tenaga 

‘Inti Petir’ nya, dalam tiga jurus berikutnya Andika 

berhasil membunuh kedelapan lawannya. 

Ditarik napas sambil memandangi masing-masing 

mayat yang tumpang tindih bergelimpangan. Ada 

rasa penyesalan di hati pendekar yang berjiwa 

lembut itu.

"Maafkan aku, terpaksa kulakukan hal im. Aku 

tidak boleh membuang waktu! Meskipun aku tidak

tahu di mana Suci berada tetapi … Hei!!"

Kata katanya terhenti. Pandangannyamembulat

besar tak berkedip Keningnya berkerut yang 

membuat tampangnya menjadi jelek.

Di hadapannya, delapan orang yang tadi 

dilumpuhkannya, bangkit dalam keadaan segar 

bugar.

"Sihir!" dengus pemuda urakan itu. "Seperti ular 

jejadian itu!!"

Tetapi Andika tak bisa memikirkan soal itu lebih 

lama. Karena delapan lawannya tadi sudah 

menggempurnya dengan ganas. Hampir saja tiga 

parang dari delapan parangyung menderu ke

arahnya, membuat putus kedua tangan pemuda 

berbaju pupus ini.

Menyadari kalau lawan-lawannya ini seperti 

berada dalam pengaruh sihir, kembali Andika 

bertindak cepat. Kali ini tak segan-segan lagi 

menurunkan tangan, karena bisa-bisa nyawanya 

yang melayang.

Dua orang dari mereka pecah kepalanya terkena 

tendangan kerasnya. Sementara enam orang lainnya

ambruk dengan tubuh penuh luka dan mengalirkan 

darah.

Belum lagi Andika menarik napas panjang, enam 

orang itu lebih bangkit kembali. Lebih garang dan 

mengerikan.

"Benar-benar sinting!" maki Andika sambil

menghindar. Kali ini dia tak langsung menurunkan

tangan telengas. Dihindarinya setiap serangan yang

datang dengan otak berpikir keras. "Hmm... 

bagaimana bisa begitu?" batinnya. "Semula mereka 

ber-jumlah sepuluh. Dua orang mati dengan kepala 

pecah. Tinggal delapan. Lalu kedelapan orang itu 

mati pula. Tetapi bangkit kembali. Dua orang pecah 

pula kepalanya. Tersisa enam orang dengan ganas 

menyerang. Dan kini…Aku tahu! Aku tahu!"

Bagai anak kecil yang mendapatkan kue apem,

Andika memutar tubuhnya berkali-kali. 

Ditendangnya kepala tiga lawannya sekaligus dan 

ambruk dengan kepala pecah. Sementara tiga 

lainnya dijotos pada dadanya. Darah makin banyak 

mengalir.

Diperhatikannya mayat-mayat itu dengan hati 

tegang. Mendadak tiga lawan yang terhantam pada 

dadanya bangkit, sementara yang terhantam 

kepalanya hingga pecah tak berkutik.

"Kepalanya! Bila kuhancurkan kepalanya, mereka 

tak akan bisa bangkit lagi! Karena, yang lainnya pun 

demikian!" desisnya dalam hati.

Tanpa membuang waktu lagi, Andika mendahului 

menyerang. Jotosannya sekarang diarahkan ke 

kepala. Sebenarnya, lagi-lagi Pendekar Slebor tak

ingin melakukan hal demikian. Namun, semuanya 

sangat terpaksa memang harus dilakukan.

Prak! Prak! Prak!

Seketika ketiga lawannya ambruk dengan kepala 

pecah. Ditunggunya kembali dan ditariknya napas 

setelah melihat bahwa peihitungannya benar.

"Kepalanya! Ya. kepala mereka kunci dari semua 

ini. Bila kepala pecah, mereka tak berdaya. Tetapi, 

mengapa di alam luar sana mereka bisa mampus? 

Hmmm... mungkin pula ini kelemahan dari ilmu 

sihir yang dimiliki Tunggul Manik"

Diperhatikannya mayat itu satu persatu dengan 

perasaan tak enak. Tetapi kejap lain si anak muda

muda mengalihkan perhatiannya pada

sekelilingnya. Di hadapannya ada sebuah lorong 

panjang berliku. Dilihatnya pula ada sebuah pohon 

besar tak jauh dari hadapannya.

"Semakin membingungkan sebenarnya sekarang 

ini. Tetapi, aku tak akan berhenti sebelum 

mengetahui seluruh rahasia yang tersimpan di Pulau 

Seribu Setan."

Diperhatikannya mayat-mayat itu. Satu pikiran 

timbul di benaknya....

***

Sehabis melihat keadaan Sepasang Dewa Gurun 

Pasir, Iblis Tambang dan setelah mempermainkan 

Kakek Buruk Rupa, Tunggul Manik memutuskan 

untuk melihat keadaan Pendekar Slebor.

Dia merasa cukup berhasil menguji setiap ilmu 

sihirnya. Namun mengingat dua kali Pendekar 

Slebor berhasil memusnahkan ilmu sihirnya, rasa 

marah pada pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu 

makin membesar.

Kembali dia berkomat-kamit dan wadah yang 

berisi cairan kuning bergoyang dan berubah. 

Pemandangan lain terpampang.

Sejenak Tunggul Manik mengerutkan keningnya.

"Keparat! Di mana Pendekar Slebor berada?" 

makinya. Dikendalikan lagi cairan kuning dalam 

wadah. Ditelusuri setiap tempat di bangunan besar 

itu. Tetapi sosok Pendekar Slebor tidak nampak

"Setan alas! Terlalu lama aku melihat manusia-

manusia lain yang kutawan, hingga kini Pendekar 

Slebor luput dari pantauanku! Tetapi, tak mungkin 

dia bisa menghilang begitu saja! Tak seorang pun 

yang tahu jalan keluar dari Pulau Seribu Setan 

kecuali aku!"

Penuh kegeraman dia terus mencari Pendekar 

Slebor melalui wadah berisi cairan kuning di 

hadapannya. Dilihatnya Sepasang Dewa Gurun 

Pasir sedang bersemadi dan tubuh Iblis Tambang 

yang pingsan.

"Hhhh! Mereka telah bertarung rupanya! Biar tahu 

rasa! Tetapi... aku membutuhkan lelaki jelek yang 

berjuluk Iblis Tambang! Hatinya dingin dan kejam! 

Sepasang Dewa Gurun Pasir akan terkubur dan 

menjadi penghuni abadi Pulau Seribu Setan! Saat ini, 

kuketahui kalau keduanya menginginkan Pendekar

Slebor! Akan kupertemukan mereka nanti! Tetapi... 

setan keparat! Di mana Pendekar Slebor berada!"

Kembali ditelusurinya setiap lorong dari wadah 

yang berisi cairan kuning, hingga dilihatnya sebuah 

dinding jebol. Sejenak Tunggul Manik terdiam. 

Bibirnya melebar dengan tarikan pada kedua 

pipinya. Matanya mengembung geram.

"Keparat! Rupanya pemuda itu benar-benar 

cerdik. Dia berhasil kembali memecahkan rahasia 

ilmu sihirku dengan cara menghancurkan dinding di 

mana di balik setiap dinding selalu terdapat besi 

menuju ke bawah. Hhh! Sebaiknya kulihat disana!"

Ditelulusuri besi yang mengarah ke bawah itu

dari wadah berisi cairan kuning. Mukanya membesi 

ketika melihat sepuluh orang anak buahnya

tergeletak dengan kepala pecah.

"Aku yakin, Pendekar Slebor yang melakukan

semua ini. Kembali dia bisa memecahkan rahasia 

sihirku yang kuletakkan pada setiap kepala manusia 

keparat itu. Kepala mereka pecah! Kurang ajar! Pasti 

dia menuju ke penjara dimana gadis bernama Suci 

itu ku tahan."

Kembali ditelusurinya tempat itu dari wadah 

berisi cairan kuning. Dilihatnya puluhan anak 

buahnya lalu lalang di sana. Dengan kehebatan ilmu 

sihirnya, Tunggul Manik atau Majikan Pulau Seribu 

Setan telah membaluri tempat itu dengan 

kekuatannya. Dari jalan itulah dia mengirim dan 

mengeluarkan anak buahnya ke dunia ramai. 

Tentunya dikendalikan dengan ilmu sihirnya.

Namun yang membuat keningnya berkerut dan 

wajah makin membesi, tak dilihatnya sosok berbaju 

hijau pupus di sana

"Keparat! Di mana pendekar itu bersembunyi?" 

makinya geram. Disesali mengapa dia tidak 

memantau gerak gerik Pendekar Slebor terus 

menerus. "Tak mungkin sosoknya bisa luput dari 

pandangan wadah cairan kuning ini. Pasti pemuda 

itu berada di sekitar sana!"

Kembali ditelusuri tempat itu. Namun orang yang 

dicarinya tak ada di tempat itu.

"Setan alas! Berabe kalau Pendekar Slebor bisa 

menemukan gadis itu! Tetapi... tak semudah yang 

dibayangkan biar bagaimanapun cerdiknya dia. 

Kutunggu saja, barangkali ada yang masuk ke sana!"

Dari wadah berisi cairan kuning, dilihatnya cucu 

Kakek Buruk Rupa tengah meringkuk dengan 

menekuk kedua lutut di sebuah ruangan yang diberi 

jeruji besi. Sementara di depan jeruji itu, puluhan 

anak buahnya lalu lalang.

***

Suci mendesah berkali-kali. Keheranan masih 

meliputi dirinya. Disesalinya pula perjalanannya 

untuk melepas rindu pada kakeknya harus berakhir 

di sini. Semenjak tadi ditahan tangisnya. Dia harus 

tegar. Dia harus bisa mengatasi semua masalah ini.

Dipikirkannya tentang Pendekar Slebor. Di mana 

pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu berada?

"Kang Andika... selamatkanlah aku, Kang...," 

desisnya dengan batin galau. 'Tak terasa ada

ketakutan yang menyelinap. Dirasakan pula kalau 

dirinya seperti kehilangan sesuatu, kehilangan diri 

Pendekar Slebor yang sebenarnya sudah begitu 

dekat sekali dengan dirinya.

Secara diam-diam, sebenarnya Suci pernah 

mencoba untuk meloloskan diri, dengan jalan 

membengkokkan beberapa buah jeruji besi yang 

melingkupinya. Dengan tenaga dalam yang 

dimilikinya, dia sebenarnya mampu melakukan hal 

itu.

Tetapi begitu hendak dilakukannya, dan saat 

kedua tangannya siap ditempelkan pada jeruji besi 

itu, mendadak saja dirasakan tenaganya melemah. 

Ada sebuah kekuatan gaib yang mengunci seluruh 

aliran tenaga dalamnya.

Pada dasarnya, Suci memiliki sifat keras kepala. 

Dicobanya lagi dan dikerahkan berkali-kali. Namun 

seluruh tenaga dalamnya benar-benar bagai terkuras 

hingga akhirnya dia yakni tak akan mampu 

mengerahkan tenaga dalamnya.

Dari balik jeruji besi, dilihatnya para lelaki berbaju 

hijau dan berdestar merah lalu lalang. Mereka 

nampaknya sibuk sekali. Beberapa orang berkali-kali 

menengok keadaannya. Memberinya makan dan 

minum. Namun tak satu pun yang disentuh oleh 

Suci.

Yang diinginkannya, selain keluar dari sini, juga 

menemukan kakeknya. Rasa rindu pada 

kakeknyalah yang membuat Suci masih 

bersemangat.

Tiba tiba dia tersentak. Tiga orang lelaki muncul 

dengan wajah beringas.

"Hmmm... bila saja gadis ini bukan tawanan 

Ketua, aku ingin sekali tidur dengannya!" kata salah 

seorang dengan seringaian lebar menakutkan.

"Tenanglah, Ketua tak akan melupakan kita," kata 

yang bermata lebar. Dan dengan matanya seakan 

telah menjarah sekujur tubuh Suci.

"Ini sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya aku 

untuk melakukan. Di tempat ini, kita tak pernah bisa 

menyalurkan keinginan kita. Hhhh! Mengapa Ketua 

tidak mangirim kita kembali ke dunia ramai?" sahut 

yang berbibir tebal.

"Tak usah khawatir... semuanya akan kita 

dapatkan," terdengar satu suara di belakang mereka.

Ketiganya menoleh dan tertawa.

"Kau benar, Singkil Gambir," kata yang bermata 

lebar. "Kita akan mendapatkannya."

Kawan yang mereka panggil Singkil Gambir 

menyeringai. "Ketua tak akan pernah melupakan 

kita. Gadis itu begitu cantik sekali. Aku pun tak 

sabar untuk mendapatkannya." Tak sengaja tangan 

Singkil Gambir terjulur hendak memegang salah 

satu jeruji besi itu. Tetapi dengan cepat di tepak oleh 

yang berbibir tebal.

"Goblok! Apakah kau lupa bila kita menyentuh 

jeruji besi itu maka tubuh kita akan hangus?"

Singkil Gambir menyeringai dengan keringat 

sedikit mengalir.

"Ini karena aku tak sabar untuk mendapatkannya."

Yang lainnya tertawa-tawa.

"Seperti katamu tadi, bila Ketua telah selesai 

dengan urusannya, kita akan mendapatkan gadis ini. 

Bukankah biasanya seperti itu? Meskipun kejam, 

Ketua tak akan pernah melupakan kita. Ayo! Kita 

teruskan bekerja? Tempat ini harus selesai dibangun, 

karena Ketua akan mengurung tawanan-

tawanannya di sini."

"Gila! Aku sampai lupa soal itu? Siapa saja yang 

Ketua bawa ke sini?"

"Pendekar Slebor, Kakek Buruk Rupa, Sepasang 

Dewa Gurun Pasir, Iblis Tambang, dan Camar 

Hitam."

Singkil Gambir menggeram. "Yang kuinginkan 

adalah mencabik cabik tubuh Pendekar Slebor. 

Manusia itulah yang lelah membunuh kawan-kawan 

kita."

"Aku pun tak sabar unntuk melakukannya, 

Singkil. Perlu kau ketahui, kita baru saja menangkap

salah seorang dari mereka." Kata si bibir tebal sambil 

tersenyum.

"Siapa?"

"Lelaki jelek berbaju Compang Camping. Dia 

mengaku berjuluk Setan Hitam Compang -

Camping."

"Manusia keparat mana itu? Dimana dia ditawan! 

Ingin kucabik cabik tubuhnya sebelum mengerat 

tubuh Pendekar Slebor!"seru Singkil Gambir

menggeram.

"Dia kumasukkan ke penjara bawah tanah! Biar 

bagaimana juga, akan tiba saatnya bagi kita untuk 

berpesta membunuh mereka satu persatu. Bila Ketua

sudah selesai dalam permainannya, berarti kita akan 

mendapatkan bagian."

"Sebenarnya, aku pun penasaran di manakah 

Ketua berdiam?” 

Si bibir tebal terbahak-bahak. Kau sudah ngaco

rupanya! Jangan main-main dengan Ketua!" Lalu 

katanya berbisik, "Tetapi, aku pernah dipanggil 

menghadap Ketua. Tempatnya memang sukar 

ditemukan bila kita tidak tahu Tetapi, aku tahu."

"Di mana?"

"Ini rahasia di antara kita. Jangan sampai Ketua 

tahu. Yang mengherankan, seluruh tempat ini 

dipenuhi dinding hitam, bukan? Nah, kau carilah 

sebuah dinding yang bermotifkan kuda hitam yang 

sedang mengangkat kedua kakinya."

"Bagaimana cara masuknya?"

"Aku tidak tahu. Ketua hanya menyuruh 

memejamkan mata dan tiba-tiba kita berada di 

ruangannya."

"Bagaimana bisa kau menduga di balik dinding 

bergambarkan kuda hitam yang sedang mengangkat 

kedua kakinya merupakan tempat Ketua?"

"Karena, setelah aku selesai dipanggil, aku 

kembali disuruh memejamkan mata dan tahu-tahu 

sudah berada di hadapan dinding bergambar kuda 

hitam itu. Jadi...," kata-kata yang berbibir tebal 

terhenti ketika melihat seorang kawannya datang 

tergopoh-gopoh. Cepat diarahkan pandangan pada 

orang yang baru dalang itu. "Ada apa, Lanun? 

Wajahmu seperti habis melihat setan gentayangan?"

Bukannya menjawab pertanyaan si bibir tebal, 

orang yang dipanggil Lanun justru menoleh dan 

berkata cepat pada Singkil Gambir,

"Singkil Gambir, anak buahmu tewas di lorong 

pertama dari besi panjang!"

***

8


Kelima orang itu segera menuju ke tempat yang 

dikatakan Lanun. Mereka terbelalak melihat mayat-

mayat yang bergeletakan di sana.

"Setan alas!" maki Singkil Gambir dengan wajah 

membesi "Siapa yang berani melakukan hal ini, 

hah?!" Dia membungkuk dan diperiksanya mayat 

kawan-kawannya itu. "Kepala mereka pecah! 

Bersiaga! Mungkin salah seorang tawanan Ketua 

telah tiba di sini dan membuat kekacauan."

Serentak yang lainnya pun bersiaga.

"Sirat Sedah!" seru Singkil Gambir pada yang 

berbibir tebal. "Siagakan teman-teman! Ketua bisa 

marah bila mengetahui hal ini!"

Si bibir tebal yang ternyata bernama Sirat Sedah 

segera bergerak. Dalam sekali panggil saja, dua 

puluh teman-temannya sudah berkumpul.

Singkil Gambir berseru, "Selidiki setiap lorong! 

Manusia celaka itu harus mendapatkan ganjaran!"

Serentak mereka berlarian memasuki lorong yang 

terdapat tiga buah di sana. Sementara teman-

temannya menyelidik, Singkil Gambir berlari ke

penjara di mana Suci tertawan.

Sejenak dia ragu-ragu untuk memegang jeruji besi 

di depannya. Dilihatnya Suci tengah meringkuk dan 

tatapannya berubah garang begitu mengetahui 

kedatangannya.

"Tenang, Nona... jangan tunjukkan sikap 

bermusuhan!" seru Singkil Gambir.

"Manusia keparat! Lepaskan aku! Kita bertarung 

sampai mampus!"

"Justru sekarang aku sedang berusaha 

melepaskanmu!" kata Singkil Gambir tak disangka. 

Pandangannya menyatakan ketulusan hatinya.

Sejenak Suci terdiam dengan kening berkerut. 

Dalam keadaan seperti ini sudah tentu dia tidak bisa 

menelan bulat-bulat perkataan Singkil Gambir. 

Tetapi ketika dilihatnya lelaki berbaju hitam dan 

berdestar merah itu, nampak mengangkat kedua 

tangannya dan siap menghantam jeruji besi itu, 

tanpa sadar Suci beringsut ke belakang.

Tak disangkanya lelaki itu memegang jeruji besi 

dengan kedua langannya. Sesaat Suci seperti tak 

tahu harus melakukan apa, seolah terkesima oleh 

pemandangan di hadapannya. Padahal yang cukup 

mengherankan, ketika dicobanya untuk 

membengkokkan besi besi itu, dari jarak satu

tombak, dirasakan tubuhnya melemah, seolah ada 

tenaga yang menyedotnya.

Tetapi Singkil Gambir bukan hanya memegang. 

Bahkan dibengkokkannya dua buah jeruji besi 

hingga membentuk lubang yang besar.

"Cepat, Nona! Kita tak punya banyak waktu!"

serunya sambir memperhatikan kanan dan kiri.

Justru Suci yang masih berdiam.

"Siapa kau sebenarnya?” serunya.

"Pendekar Slebor yang menyuruhku untuk 

membebaskanmu! Aku tahu jeruji itu mengandung

kekuatan yang bisa menghancurkan kedua tangan

yang memegangnya. Tetapi aku telah menutupi 

kekuatan tak nampak itu hingga memudahkanku 

untuk melakukan apa yang kuinginkan. Ayo, Nona 

Suci! Kita tak punya banyak waktu!"

Mendengar kata-kata bernada mendesak itu, Suci 

langsung berkelebat mendekat. Singkil Gambir 

memegang tangannya. Sejenak Suci hendak 

melepaskan, tetapi masih memegang tangannya 

Singkil Gambir sudah berkelebat.

Wussshhh!

Tak mau tersungkur. Suci mengerahkan ilmu 

larinya.

"Di mana Setan Hitam Compang-camping dita-

wan?" tanya Singkil Gambir. 

"Aku tidak tahu."

"Brengsek! Kita telusuri lorong ini, meskipun nanti 

untuk keluar dari sini kita pasti berhadapan dengan 

manusia manusia celaka itu!"

Meskipun masih ada rasa tak percaya pada lelaki 

itu, Suci menurut saja. Dua orang muncul dari 

lorong di sebelah kiri. Singkil Gambir bergerak 

cepat. Tanpa melepaskan pegangannya pada Suci, 

dihajarnya kedua lawannya hingga kepala mereka 

pecah.

"Kejam!" desis Suci dalam hati.

Mereka tiba di sebuah tempat yang agak temaram. 

Di sana Singkil Gambir melihat sebuah jeruji besi 

semacam di mana Suci disekap sebelumnya. Seperti 

yang dilakukannya pada Suci, dibengkokkannya

pula jeruji besi di mana Setan Hitam Compang-

camping disekap.

Melihat siapa penolongnya, Setan Hitam 

Compang-camping langsung melancarkan satu 

serangan. Tetapi Singkil Gambir segera 

memiringkan tubuhnya.

"Tahan!" serunya keras.

Setan Hitam Compang-camping berbalik dan 

menggeram.

"Manusia keparat! Lepaskan gadis itu!!"

Bagai menurut Singkil Gambir melepaskan tangan 

Suci. Lalu menatap serius pada Setan Hitam 

Compang-camping yang hendak membentak lagi, 

"Tak perlu gusar! Urusan ini sangat rumit sekali! 

Pendekar Slebor menyuruhku untuk 

menyelamatkan kalian!"

"Di mana pemuda sakti itu berada?" tanya Setan 

Hitam Compang-camping tanpa merubah sikapnya. 

Hanya suaranya yang diperkecil.

"Tak banyak waktu untuk menerangkannya. Setan 

Hitam, kau jaga keselamatan Suci. Kita bergerak 

kembali ke depan. Biar aku di posisi pertama untuk 

menghadapi segala kemungkinan. Nanti, di ujung 

lorong ini, ada sebuah besi panjang menjulur dari 

atas ke bawah. Pergunakan ilmu meiingankan tubuh 

kalian, dan panjat besi itu. Mengerti?"

Kalaupun setan Hitam dan Suci mengerti, namun 

mereka belum mengerti mengapa lelaki kejam yang 

pernah menggelandang mereka ke penjara berubah 

baik seperti itu

Setan Hitam Compang Camping geram bukan 

main teringat bagaimana tiba-tiba muncul sepuluh 

lelaki hitam dan berdestar merah dihadapannya. 

Pertarungan terjadi. Namun yang mengejutkannya, 

para penyerang yang sudah terhantam penuh luka, 

bangkit kembali. Hingga akhirnya tenaganya 

terkuras dan dirinya berhasil dikalahkan.

Setan Hitam berkata, "Untuk saat ini, kami 

menuruti kata-katamu. Bila kau memang suruhan 

Pendekar Slebor, tunjukkan kepada kami di mana 

dia berada?"

"Itu urusan nanti! Ingat, bila kalian menemukan 

lawan dari Serikat Kuda Hitam, hantam kepalanya 

hingga pecah, niscaya mereka tak akan bangkit lagi. 

Kita mulai!"

Mulailah rombongan kecil yang dipimpin oleh 

Singkil Gambir bergerak ke depan. Beberapa 

anggota Serikat Kuda Hitam yang melihat 

kemunculan Singkil Gambir, harus ambruk dengan 

kepala pecah sekali jotos dan tendang.

Setan Hitam dan Suci benar-benar tak mengerti 

akan sikap yang diperlihatkan Singkil Gambir. 

Tetapi mereka tak mau memperdulikannya saat ini.

Sirat Sedah yang sedang menerima laporan anak 

buahnya yang tak menemukan orang asing di sana, 

terkejut melihat kemunculan Singkil Gambir.

"Bagaimana, Sirat?" tanya Singkil Gambir, 

sementara sebelumnya disuruhnya Setan Hitam dan 

Suci untuk bersembunyi.

"Tak ditemukan manusia keparat yang telah 

membunuh teman-teman kita!"

"Setan alas! Bergerak lagi! Jangan sampai Ketua 

mengetahui semua ini!"

Kembali orang-orang itu berkelebat memasuki 

setiap lorong. Sirat Sedah menatap Singkil Gambir.

"Bagaimana menurutmu?"

"Kalau memang tak ditemukan orang itu, berarti 

dia sudah keluar melalui besi bulat panjang itu!"

"Keparat!" geram Sirat Sedah. "Ingin kucabik-cabik 

tubuhnya!"

"Kita segera menuju ke sana!"

"Tidak! Ketua akan marah besar dan menghukum 

kita!"

"Biar aku yang melihatnya! Kemarahanku tak bisa 

dibendung lagi!"

"Kau mencari penyakit, Singkil!"

"Peduli setan dengan semua ini!" seru Singkil 

Gambir dan mendekati besi bulat di atasnya.

"Singkil!"

"Diam kau, Sirat Sedah! Jangan campuri 

urusanku!" bentak Singkil Gambir melotot

"Kau sudah berani melancangi perintah Ketua?" 

seru Sirat Sedah gusar.

"Hatiku sakit melihat yang lain terkapar tak 

berdaya!"

"Tetapi...," kata-kata Sirat Sedah terhenti, 

bersamaan tubuhnya ambruk dan kepalanya 

rengkah. Setan Hitam Compang Camping sudah 

menghajarnya.

Singkil Gambir berseru. "Cepat naik! Jangan 

membuang waktu!!"

Suci pertama kali naik. Dengan mengandalkan 

ilmu meringankan tubuhnya, dia sudah segera tiba 

di atas. 

“Tak perlu banyak Tanya sekarang! Kau jaga 

keselamatan Suci!” seru Singkil Gambir melotot.

"Bagaimana kau sendiri?'"

"Aku harus berada disini untuk sementara. 

Mengingat …. Gila! Cepat, Setan Hitam! Terdengar 

langkah menuju ke sini!"

Setan Hitam Compang-camping menajamkan 

pendengarannya. Dia sama sekali tak menangkap 

suara-suara yang dimaksud oleh Singkil Gambir. 

Tetapi melihat kesungguhan Singkil Gambir yang 

menyuruhnya bergegas, dia pun segera melesat 

naik.

Meninggalkan Singkil Gambir yang bergerak 

menyongsong teman-temannya.

***

"Setan Hitam... bagaimana dengan manusia yang 

bernama Singkil Gambir itu?"tanya Suci begitu Setan 

Hitam Compang camping muncul.

"Dia tidak mau ikut."

"Mengapa?"

"Mungkin untuk mengelabui teman-temannya. 

Hmmm... siapa pun dia dan apa hubungannya 

dengan Pendekur Slebor...' sebaiknya kita 

tinggalkan. Kita harus mencari Pendekar Slebor, 

Suci."

Suci hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Sebelumnya, dia sangat membenci lelaki itu, karena 

beberapa kali pernah mendatanginya dan 

memandangnya dengan tatapan penuh birahi. 

Tetapi rupanya, lelaki itu justru yang menolongnya.

"Kalau begitu... kita harus cepat!" kata Suci seperti 

menangkap gelagat yang tak menguntungkan.

Namun belum lagi keduanya bergerak, satu sosok 

tubuh keperakan telah tiba di hadapan mereka.

***

"Hi hi hi.... kulihat cucu Kakek Buruk Rupa berada 

di sini pula," kata orang yang baru muncul dan tak 

lain si Camar Hitam. Seringaian lebar membuat pipi 

kempotnya bagai tertarik ke dalam. Mata celongnya 

bagai melihat kelinci empuk di hadapannya. "Bagus, 

bagus sekali... Kakek Buruk Rupa tak akan banyak 

cincong sekarang!"

Mendengar kata-kata yang bernada mengancam, 

Setan Hitam Compang-camping maju tiga langkah, 

berdiri membelakangi Suci. Pandangannya lurus ke 

depan, penuh kegeraman.

"Nenek tua yang bau tanah! Ucapanmu keren 

betul mencoba membikin orang keder! Sayangnya, 

lakon yang baru kau perlihatkan itu, seperti lakon 

ketoprak yang sering kulihat!"

Tertarik ke dalam sepasang mata kelabu si wanita 

tua.

"Aku tak ada urusan denganmu, Orang Jelek! 

Minggir, ingin kudapati cucu Kakek Buruk Rupa! 

Entah di lorong mana orang tua keparat itu!"

Mendengar kata-kata itu. Suci berkala, memotong 

Setan Hitam yang ingin berseru lagi. "Maksudmu... 

kakekku berada di sini pula?"'

"Kau pintar. Anak Manis. Memang, kakek 

sialanmu itu berada di sini pula. Tapi sayangnya, 

aku tidak tahu. Dan aku memang tak

memperdulikannya! Hhh! Tempat sialan ini 

membuatku bagai mati langkah untuk menemukan 

di dimana Pendekar Slebor yang telah membawa 

Permata Sakti. Tetapi ada umpan bagus di 

hadapanku'"

Sehabis berkata begitu.Camar Hitam bergerak 

dengan kecepatan yang mengagumkan mencoba

menjambak kepala Suci. Tetapi Setan Hitam 

Compang-camping cepat mengibaskan jotosannya 

ke atas. 

Plak!

Membuat Camar Hitam menghentikan 

serangannya dan mundur tiga langkah. Matanya 

menatap penuh hawa kematian. Tajam dan tak 

berkesip memandang.

"Kau hanya mencari penyakit!"

"Siapa pun tak akan kubiarkan menyentuh gadis 

ini! Apalagi manusia busuk seperti kau!"

"Setan alas! Kutampar mulutmu!"

"Aku ingin merasakannya!" tantang Setan Hitam 

Compang camping yang membuat darah Camar 

Hitam mendidih.

Tanpa buang tempo lagi, Camar Hitam sudah 

menderu dahsyat. Kecepatannya saat menyerang itu 

memang sukar dicari tandingannya. Terbelalak

Setan Hitam Compang-camping menerima serangan 

dahsyat ilu. Dicoba untuk memapakinya. Tetapi 

justru tubuhnya yang terpental ke belakang, disusul 

satu tendangan keras menghantam dadanya.

Remuk dadanya dirasakan. Aliran darahnya 

seketika kacau. Wajahnya tertekuk pias. Belum satu 

jurus, dirampungkan, dia sudah tak berdaya 

menghadapi kehebatan wanita tua berbaju 

keperakan yang tengah berdiri tiga tombak di muka.

Mendapati Setan Hitam Compang-camping tak 

berdaya, Suci memburu cepat.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya pelan.

Setan Hitam mengeluarkan suara keluhan.

"Aku tak mampu menghadapinya, Suci. Jelas dia 

bukan tandinganku. Lebih baik, kau tinggalkan 

tempat ini dan kucoba untuk menahannya...."

"Tidak... aku akan membawamu serta."

"Tak banyak waktu yang kita punya, Suci. Dalam 

satu gebrak berikutnya, pasti aku sudah mampus. 

Berarti, aku tak menjaga pesan Singkil Gambir 

sesuai dengan amanat Pendekar Slebor." Dicobanya 

untuk bangkit. Tetapi keluhan tertahan justru 

terdengar dan tubuhnya sukar dibawa berdiri.

Terharu Suci mendengar kesetiaan Setan Hitam 

Compang-camping. Hatinya mulai memberangus 

marah. Lamat dia berdiri dengan tatapan tajam ke 

arah Camar Hitam.

"Kami memang bukan tandinganmu! Tetapi, kami 

tak akan mundur barang selangkah juga!"

"Bagus! Kakek Buruk Rupa harus tahu kalau 

cucunya berada di tanganku!"

"Kakekku tak akan memberi ampun manusia bu-

suk seperti kau ini!"

Camar Hitam menggeleng gelengkan kepalanya 

sambil umbar senyum

"Keberanian dan kekeraskepalaanmu itu mewarisi 

sifat Kakek Buruk Rupa yang terkadang angin 

anginan! Aku menyukaimu, Anak Manis. Dan ingin 

sekali aku menjadikanmu murid untuk meneruskan

segala cita-citaku!"

"Hanya orang bodoh yang mau melakukan hal 

itu!" sentak Suci dengan tatapan memicing.

Membesi wajah Camar Hitam.

"Kau harus diberii pelajaran'"

Sesudah berkata begitu, tubuhnya berkelebat lagi. 

Kali ini mencoba menotok Suci, karena dirasakan 

kalau gadis ini sangat berharga sebagai penukar 

Permata Sakti yang menurut wanita tua itu berada 

di tangan Pendekar Slebor.

Namun dia cukup terkejut dibuat oleh Suci. Gadis 

yang digembleng oleh kakeknya itu berkelit dengan 

lincah. Lagi lagi disayangkan, Suci hanya diberi 

pelajaran ilmu meringankan tubuh dan tenaga 

dalam. Bila saja Kakek Buruk Rupa menurunkan 

ilmu kanuragan, bisa dipastikan selelah berkelit 

akan menyusul satu serangan berikutnya.

Seperti dituturkan pada episode sebelumnya, 

Kakek Buruk Rupa saat mengajarkan Suci memang 

diam-diam. Karena ayah Suci, putra dari Kakek 

Buruk Rupa, selalu melarang Suci untuk menemui 

kakeknya sendiri (Silakan baca : "Rahasia Permata 

Sakti").

Tetapi kelitan yang dilakukan gadis itu tadi, 

membuka mata Camar Hitam akan kepandaian yang 

dimiliki Suci. Terkikik diteruskan serangannya.

Dan pada dasarnya Suci memang bukanlah 

tandingan Camar Hitam. Dalam satu gebrak 

berikutnya dia tak mampu lagi bergerak. Karena 

kecepatan Camar Hitam bagai memantek ruang 

geraknya.

Namun sebelum Camar Hitam melaksanakan 

maksudnya, satu suara terdengar dari belakang, 

"Lho, lho! Edan-edanan sekali! Berani mencoba 

meringkus cucuku!"

***

9


"Kakek!!" seru Suci kencang dan selagi Camar 

Hitam terkesima, dia sudah berlari mendapati 

kakeknya. Dan merangkulnya penuh keharuan. "Ke 

mana saja Kakek pergi? Kakek jahat! Katanya 

berjanji untuk menemuiku, tetapi mana janjinya? 

Mana?"

Kakek Buruk Rupa hanya terkekeh-kekeh. Seolah 

melupakan tatapan tajam dan geram dari Camar 

Hitam dia berkata, "Anak nakal! Mengapa kau 

berada di sini, hah?"

"Aku mencari Kakek! Aku rindu Kakek!"

"Nah, sekarang kita sudah bertemu. Bukankah...."

"Orang tua keparat! Lakonmu busuk berkasih-

kasihan di hadapanku?" bentak Camar Hitam 

memotong.

Kakek Buruk Rupa memandang ke depan.

"Sudah tentu yang kurangkul cucuku ini! 

Merangkulmu, sama saja merangkul gedebong 

pisang yang sudah rubuh!"

"Keparat!" membesi wajah Camar Hitam. Dikawal

gerengan keras dan angin mendesis hebat. 

Tubuhnya sudah berkelebat cepat ke arah Kakek 

Buruk Rupa. Tongkat kusam di tangannya telah 

digerakkan dengan kekuatan penuh.

Masih merangkul cucunya. Kakek Buruk Rupa

melangkah dua tindak ke kiri, menghindari 

sambaran penuh tenaga dari tongkat kusam si 

nenek. Lalu menghantam dengan tangan kanannya.

Wuuut!

Plak!

Jotosan tangan kanan si kakek dipapaki dengan 

cara mengibaskan tangan kiri. Si nenek tersentak 

kaget dan surut dua langkah ke belakang. Mukanya 

yang mendongak berubah memerah sedang kedua 

matanya bergerak liar.

Justru sikap Kakek Buruk Rupa yang masih santai 

saja. Dia memang tak mau membuat cucunya cemas 

di saat bentrokan terjadi.

"Kau minggirlah. Suci. Nenek jelek itu 

memaksaku untuk memukul pinggulnya!"

Suci menatap wajah kakeknya yang tertutup 

rambut.

"Hati-hati. Kek...," katanya cemas.

"Tidak usah tegang. Si Peot itu memang harus 

diberi pelajaran. Kalau tidak... wah! Tidak sabaran!"

Si kakek sudah menghindar dengan jalan berputar 

di atas. Sedangkan si nenek yang sudah kelebatkan 

hantamannya, menyusulkan serangan kedua, kali ini 

melalui tusukan yang dilakukan pada tongkatnya.

Satu gelombang angin menderu ke arah Kakek 

Buruk Rupa. Si kakek berteriak keras dan melompat 

ke atas. Dari atas mendadak dikibaskan kaki 

kurusnya, menyambar ke arah kepala lawan. Camar 

Hitam tersentak, sebisanya dihalau dengan kibasan 

tongkatnya.

Tak!

Kekuatan kaki rupanya lebih besar dari kekuatan 

tangan. Tangan kanan Camar Hitam yang 

memegang tongkat, berhasil dihantam. Seketika si 

nenek merasa tangannya ngilu. Tongkatnya terlepas.

Mendapati hal semacam itu, Kakek Buruk Rupa 

meneruskan hantamannya kembali. Masih berada di 

udara, dia putar tubuh dan melancarkan jotosannya 

ke kepala si nenek. Camar Hitam melipat kedua 

lututnya hingga merendah. Begitu hantaman tangan 

kanan Kakek Buruk Rupa mendekat, dia langsung 

menghantam dengan dua tangan sekaligus.

Dua gelombang angin laksana topan mengarah 

pada Kakek Buruk Rupa, yang berteriak dan segera 

mengurungkan serangannya. Menghindar dengan 

jalan bergulingan.

Camar Hitam jelas tak mau memberi kesempatan 

lagi. Belum lagi kedua kaki Kakek Buruk Rupa 

berdiri, dia kembali melancarkan dua jotosan 

sekaligus mengandung tenaga dalam tinggi. Dalam 

keadaan yang mencemaskan, Kakek Buruk Rupa 

cepat membuang tubuhnya kembali. 

Blaaar!

Dinding hitam yang berada di belakang si kakek 

ambrol. Si kakek mengusap dadanya sambil 

menggelengkan kepala.

"Hebat juga serangannya!" desisnya Dan ia tak 

bisa banyak berpikir lagi, karena lawan sudah 

kembali menyerang.

Kali ini si kakek mencoba lipat gandakan tenaga

dalamnya. Lalu dengan pencalan satu kaki, dipapaki

serangan dahsyat Camar Hitam.

Des! Des!

Bentrokan dua tenaga dalam tinggi itu terjadi. 

Menimbulkan gemuruh angin yang keras. Suci 

sampai terpekik melihatnya dan dia bergerak cepat

untuk menyambar tubuh Setan Hitam Compang-

camping agar tidak terhantam derasnya tubuh 

Camar Hitam yang terlontar ke belakang. Si kakek 

pun mengalami hal yang sama. Namun dia cepat 

bangkit. Nampak tubuh Kakek Buruk Rupa bergetar. 

Dari wajah yang tertutup rambut, di bagian 

bawahnya mengalirkan darah. Jelas keluar dari 

mulutnya.

Sementara Camar Hitam merasa tulang iganya 

seperti patah. Agak sempoyongan dia bangkit dan 

mata kelabunya bagai dibetot setan meradang ke 

depan.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengusnya 

geram dan cepat menyambar tongkat kusamnya. 

Kali ini ajian 'Penutup Jalan Darah'-nya sudah 

dikerahkan. Membuat si kakek kembali harus 

menghindar. Untuk jenis pukulan yang satu ini, si 

kakek tak berani bentrok. Karena bila saja dia 

bentrok sementara akibat benturan tadi tenaganya 

terkuras, maka tak ampun lagi jalan darahnya akan 

kaku dan beberapa detik kemudian mati dengan 

jalan darah pecah.

Tongkat yang dipegang lawannya mengarah pada 

bagian-bagian urat darah si kakek yang mematikan. 

Kecepatannya tinggi sekali. Bahkan dalam sekali 

pandang, tongkat di tangan si nenek seakan berubah 

menjadi puluhan. Menyambar dan menebarkan 

hawa maut.

Kalang kabut Kakek Buruk Rupa dibuatnya. 

Namun di detik lain, mendadak saja dikibaskan 

kepalanya. Rambut putihnya yang menutup wajah

mendadak berubah memanjang. Dan melilit tongkat

Camar Hitam.

"Keparat! Ilmu apa yang kau perlihatkan itu, 

hah?" maki si nenek.

"Hehehe... itulah ajian simpananku yang jarang 

kupergunakan. 'Titian Rambut Merenggut Nyawa'."

Ajian yang disebutkan si kakek tadi bukan buatan 

hebatnya. Masih melilit tongkat Camar Hitam yang 

seakan tak mampu menggerakkannya, rambut putih 

itu makin memanjang. Dan menampar wajah si 

nenek.

Plak!

Camar Hitam tergugu menerimanya. Belum lagi 

disadari apa yang terjadi, jotosan Kakek Buruk Rupa 

telah menghantam dadanya.

Menjerit setinggi langit Camar Hitam dan 

tersuruk ke belakang. Terpelanting lagi ke depan 

begitu tubuhnya menabrak dinding. Jatuh telungkup 

dengan dada dan wajah menghantam lantai.

Sakitnya bukan alang kepalang. Bahkan 

membuatnya tak bisa bangkit kembali. Kakek Buruk 

Rupa menggelengkan kepalanya tiga kali. 

Rambutnya yang mendadak memanjang tadi, kini 

kembali seperti biasa, menutupi wajahnya yang 

buruk.

“Maafkan aku .. kau yang terlalu memaksa....”

Camar Hitam tak bersuara, karena dia sudah

pingsan. Suci langsung merangkul kakeknya dengan 

hati gembira. Justru si kakek hanya terdiam saja,

Sementara Setan Comapang Camping hanya 

menghela nafas panjang. Seumur hidupnya baru kali

ini dilihatnya pertarungan dahsyat yang 

mengerikan.

Selagi ketiganya terdiam dicekam perasaan 

masing-masing dua sosok tubuh berbaju biru 

berkelebat datang. Dan sesaat hanya saling pandang 

dalam jarak tiga tombak di hadapan orang-orang itu.

***

Kakek Buruk Rupa yang pertama kali menyadari 

kehadiran keduanya. Dilepaskan rangkulan cucunya 

dan ditolehkan kepalanya pada dua orang yang baru 

datang.

"Sepasang Dewa Gurun Pasir... tak kusangka 

kalian berada di sini pula. Apakah kalian sudah 

menemukan lawan yang sepadan di tanah Jawa ini?" 

serunya sambil terkekeh. Kakek Buruk Rupa 

memang pernah mendengar sepak terjang sepasang 

anak manusia dari tanah Dewata yang selalu 

menjajal kemampuan.

Dipikirnya Sepasang Dewa Gurun Pasir akan 

menampakkan wajah meradang karena ejekannya 

itu, tetapi justru keduanya mengatupkan tangan di 

dada.

"Nama besar Kakek Buruk Rupa telah tiba pula di 

telinga kami. Kami yang datang dari jauh, ternyata 

hanyalah mengumbar kesombongan belaka. Seorang 

pendekar tanah Jawa telah membuka mata hati 

kami."

' Kakek Buruk Rupa yang memiliki sifat angin-

anginan itu terkekeh lagi.

"Siapakah yang kau maksudkan?"

"Pendekar Slebor. Pendekar muda itulah yang 

membuat kami harus menyimpan seluruh malu 

dalam diri dan tak kuasa untuk berlama-lama 

bertemu."

Kakek Buruk Rupa terdiam. Di manakah 

Pendekar Slebor berada? Diingatnya lagi akan 

ancaman dari Tunggul Manik. Berarti, jalan satu-

satunya memang harus mencari Tunggul Manik. 

Tetapi, di manakah manusia dajal itu berada?

Selagi mereka terdiam belum menemukan apa 

yang harus mereka lakukan, Singkil Gambir muncul 

dari dinding yang jebol. Sesaat dia terperangah 

melihat apa yang terjadi. Tetapi detik kemudian dia 

berseru, "Cepat kalian tinggalkan tempat ini. Kita 

menuju ke taman di sebelah sana. Di tempat yang 

terbuka, kita bisa lebih waspada menerima serangan 

yang datang."

"Siapakah kau, Kawan?" tanya Kakek Buruk Rupa.

Singkil Gambir menangkupkan kedua tangan di 

dada.

"Kalau tidak salah.... Kakek Buruk Rupa yang 

berada di hadapanku ini. Hmm... namaku Singkil 

Gambir. Aku orang kepercayaan Pendekar Slebor."

"Di mana pemuda sakti itu berada?"

"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Sebaiknya, kita 

segera menuju ke taman saja. Tak perlu saling 

berobat kembali." Singkil Gambir mendekati Setan 

Hitam Compang-camping "Biar cepat, kau 

kubopong saja!"

Dengan sekali angkat, tubuh besat Setan Hitam

Compang-camping sudah dibopongnya Singkil

Gambir berkata pada Raka Gunarsa, 

"Kawan…tolong angkat si nenek yang pingsan Itu"

Setelah itu, mereka berkelabat mengikuti Singkil 

Gambir menuju ke taman. Meskipun demikian, tak

mudah untuk menemukan jalan menuju ke taman 

yang dimaksudkan Singkil Gambir. Mereka harus 

nyasar dua kali. Dan barulah tiba di sana.

***

Di tumpal kediamannya, Tunggul Manik 

menggeram murka melihat sepak terjang Singkil 

Gambir dari wadah berisi cairan kuning.

"Keparat! Kau harus mampus, Singkil Gambir!" 

geram lelaki berkalung tengkorak itu dengan kedua 

rahang mengatup rapat dan mata mengecil. "Hhhh! 

Di mana Pendekat Slebor berada? Setan alas! 

Mengapa sejak tadi aku tak bisa menemukannya? 

Tak mungkin seluruh tempat ini bisa luput dari 

penglihatanku, karena aku yang membangun dan 

menciptakannya."

Dibiarkannya orang-orang itu menuju ke tempat 

yang mereka inginkan. Dengan hati panas karena 

beberapa ilmu sihirnya berhasil dipunahkan 

Pendekar Slebor, Tunggul Manik berkomat-kamit 

dan pemandangan dalam wadah berisi cairan

kuning itu bergerak kembali.

Dicarinya sosok Pendekar Slebor dengan rasa 

penasaran yang tinggi. Namun sekian lama dicari, 

orang yang dimaksud tak ditemukan.

"Setan alas! Rasa-rasanya... permainanku akan 

usai. Keinginanku untuk melihat Kakek Buruk Rupa 

dan Pendekar Slebor bertarung gagal. Pertama, Suci 

telah berada di antara mereka. Begitu pula dengan 

Setan Hitam Compang-camping. Kedua, sosok 

Pendekar Slebor tak ada di tempat. Berarti aku harus 

menjalankan permainan terakhir. Biar aku muncul di 

hadapan mereka dan kupaksa Pendekar Slebor 

untuk muncul!"

***

10


Orang orang yang mengikuti langkah Singkil 

Gambir, telah tiba di taman yang luas, di mana di 

tempat itu sebelumnya Pendekar Slebor hampir saja 

tertipu oleh ilmu sihir Tunggul Manik.

Suci bertanya, "Singkil Gambir... di manakah 

Pendekar Slebor berada?"

Singkil Gambir menoleh dan menjawab, "Aku 

tidak tahu di mana Pendekar Slebor berada saat ini. 

Mungkin, dia hendak menjalankan rencananya"

"Apa maksudmu dengan rencananya?"

"Setelah aku diperintah untuk membebaskan kau 

dan Setan Hitam, aku diharuskan membawa kalian 

ke tempat ini. Dan sungguh tak kusangka kalau 

akan bertemu dengan yang lain. Sementara setelah 

kau dan Setan Hitam keluar dari sini, aku bertemu 

dengan Pendekar Slebor. Dan mengatakan di mana 

Tunggul Manik berada. Pendekar Slebor pun 

bermaksud untuk mencari Tunggul Manik. Tetapi 

entah mengapa, dia merasa tak akan 

menemukannya."

"Apa maksudmu?"

"Aku sama sekali tidak mengerti. Naluri Pendekar 

Slebor mengatakan, kalau Tunggul Manik telah 

kalah dalam permainan sesat yang dijalankannya 

ini."

"Kau benar, Singkil Gambir! Pendekar Slebor 

memang telah berhasil meruntuhkan seluruh 

rencanaku sebelum tiba waktunya! "suara keras

bersamaan angin dahsyat bergemuruh itu terdengar. 

Membuat orang-orang yang berada di taman itu 

melengak dan mengedarkan pandangan.

Asap hitam tebal tiba-tiba bagai menyembur dari 

tanah berjarak Lima tombak dari hadapan mereka. 

Masing-masing menajamkan pandangan. Begitu 

asap tebal menghilang, mendadak satu sosok tubuh 

tinggi besar berdiri di hadapan mereka. Bagian 

dadanya tak tertutup, memperlihatkan sebuah tato 

bergambar tengkorak. Celananya hitam panjang 

hingga mata kaki. Di pinggangnya melilit sabuk 

warna merah. Matanya agak menukik dengan 

kelopak mata berlipat ke dalam. Alis mata laki-laki 

itu setebal brewok yang tumbuh didagunya. Di 

pergelangan tangannya terdapat dua buah gelang 

perak yang besar.

Tunggul Manik yang segera mmgirimkan tawa 

keras, menindih angin bergemuruh. Dan masing-

masing segera alirkan tenaga dalam mereka. Kakek 

Buruk Rupa cepat bertindak menotok pingsan Setan 

Hitam Compang-camping yang jelas tak berdaya 

menghadapi gempuran tersembunyi melalui tawa 

yang dialirkan tenaga dalam. Hingga dalam keadaan 

pingsan, Setan Hitam Compang-camping tak akan 

terganggu oleh tawa keras itu.

"Kalian telah kuundang ke Pulau Seribu Setan. 

Dan menerima permainan yang menarik! Terutama 

Pendekar Slebor! Sayangnya, pemuda itu seperti 

ayam kehilangan induk yang cuma bisa 

bersembunyi tanpa berani muncul'"

Raka Gunarsa menggeram. " Tunggul Manik kau 

tak akan lagi bisa meneruskan permainan busukmu 

ini!"

"Hahaha... jangan lupa, permainan ini langsung 

kuubah menuju puncaknya Karena, kecerdikan

Pendekar Slebor telah mengalahkan aku sebelum 

waktunya!"

"Kau tak akan berdaya menghadapinya!" seru 

Kakek Buruk Rupa.

"Dan kenyataannya, pendekar muda itu justru-

bersembunyi, lari sipat kuping seperti seekor kelinci 

yang khawatir diterkam serigala!"

"Keparat!" geraman itu keluar dari mulut 

Sepasang Dewa Gurun Pasir secara bersamaan. 

Meskipun sebelumnya mereka ingin sekali 

membunuh Pendekar Slebor dan ternyata di saat 

bertarung justru Pendekat Slebor membiarkan 

mereka hidup, tidak menerima cacian Tunggul 

Manik terhadap pendekar besar urakan yang 

bijaksana itu.

Dengan tenaga penuh, keduanya sudah berkelebat 

menggempur Tunggul Manik yang masih terbahak-

bahak. Dan ketika serangan keduanya berjarak 

demikian dekat, Tunggul Manik menepuk 

tangannya dua kali.

Seolah melesat dari tubuhnya, sosok Tunggul 

Manik berubah menjadi tiga. Yang dua langsung 

memapak serangan Sepasang Dewa Gurun Pasir, 

sementara yang satu lagi masih terbahak-bahak.

"Sihir!" seru Raka Gunarsa terkejut dan 

menghindar.

Sementara itu Kakek Buruk Rupa berbisik pada 

Suci, "Kau tetap di sini. Jaga kedua manusia yang 

pingsan itu. Meskipun Camar Hitam memiliki hati 

busuk, tetapi sekarang dia tak berdaya."

"Hati-hati, Kakek...."

Kakek Buruk Rupa menganggukkan kepalanya 

dan maju tiga tindak.

"Kau tak akan bisa berbuat lebih banyak, Tunggul 

Manik! Pendekar Slebor telah mengalahkanmu!"

"Hhh! Tetapi kali ini, aku akan memenangkan 

semua permainan!* seru Tunggul Manik dan 

mendadak dia membentak Singkil Gambir, "Kau tak 

akan luput pula dari kematian karena 

pengkhianatanmu itu!"

Singkil Gambir cuma tersenyum saja.

Mendadak pula Tunggul Manik menepuk 

tangannya sekali. Sosoknya kembali muncul dan 

menyerang Singkil Gambir. Lalu ditepuk tangannya 

lagi. Apa yang tadi terjadi, kembali terjadi lagi.

Kali ini, empat sosok Tunggul Manik tengah 

menggempur lawan masing-masing. Sementara 

Tunggul Manik yang seorang lagi sedang terbahak-

bahak.

"Sangat kusukai permainan ini! Sayang, Pendekar 

Slebor tidak ada!" serunya terbahak-bahak.

Sementara Suci membelalakkan matanya melihat 

apa yang terjadi di depannya. Sosok Tunggul Manik 

berubah menjadi lima orang!

Masing-masing terus menggempur setiap lawan. 

Raka Gunarsa, berhasil menjatuhkan lawannya, 

tetapi lawan itu sudah bangkit kembali dan

menyerang dengan garang. Begitu pula halnya 

dengan yang lain.

Setelah lima belas jurus terjadi, terdengar teriakan 

Singkil Gambir, “Hantam Kepalanya!”

Mendengar seruan itu, masing-masing bergerak 

cepat. Serangan diarahkan pada kepala lawan. Dan 

dalam tempo yang singkat, mereka berhasil 

menghantam kepala masing-masing Tunggul Manik 

pecah. Jatuh ambruk.

Anehnya, mendadak lawan-lawan itu berubah 

menjadi asap, dan mengarah pada Tunggul Manik 

yang meradang pada Singkil Gambir. “Setan 

Keparat! Rupanya banyak yang kau ketahui tanpa 

kusadari! Siapa yang mengatakan rahasia ilmu 

sihirku itu, hah?”

Singkil Gambir terbahak-bahak.

"Pendekar Sleborlah yang mengatakan semua ini 

kepudaku. Bahkan dia tahu, kalau Permata Sakti 

biru itu ada pada tubuhmu!"

Tunggul Manik menggeram. Apa yang dikatakan 

Singkil Gambir memang benar. Di balik 

pinggangnya terdapat Permata Sakti yang 

memancarkan sinar warna biru

"Setan alas!!" menggembor lelaki itu dengan suara 

kalap.

Singkil Gambir tertawa lagi.

"Pendekar Slebor mengatakan kepadaku, bila 

Permata Sukti itu berhasil pindah tangan, maka kau 

akan menunjukkan jalan keluar dari Pulau Seribu 

Setan."

"Singkil Gambir! Nyawamu sudah di tanganku!" 

Sehabis berkata begitu, dengan kemarahan setinggi 

langit, Tunggul Manik menderu pada anak buahnya 

itu. Kedua tangannya mendadak memancarkan sinar 

warna merah dan siap menekuk kepala Singkil 

Gambir.

Namun yang mengejutkan, dengan lincahnya 

Singkil Gambir menghindari gempuran itii. Terkejut 

dan meradang, Tunggul Manik menyusulkan 

serangannya.

Akan tetapi, dengan kelincahan yang sama Singkil 

Gambir berhasil menghindar. Hal ini membuat

Tunggul Manik makin murka. Sambil menyerang 

dia berseru, "Siapa kau sesungguhnya, hah?"

"Aku, adalah Singkil Gambiryang menghentikan 

semua sepak terjang busukmu!"

Tunggul Manik menambah kecepatannya. Kedua 

tangannya yang memancarkan sinar merah 

bergulung-gulung dan mencoba menjambak 

lawannya. Untuk seterusnya, Singkil Gambir 

nampak tunggang-langgang menghadapi serangan 

Tunggul Manik.

Baju bagian belakangnya terkena cengkeram. Bila 

saja dia tidak segera meliukkan tubuhnya, tak urung 

dagingnya terbawa pula. Tunggul Manik melompat 

ke belakang sambil terbahak-bahak. "Sebentar lagi, 

nyawamu akan sirna!"

Singkil Gambir cuma tertawa saja. Justru 

terdengar teriakan Suci keras, "Kang Andika!"

Singkil Gambir menoleh. Lalu nyengir. Cengiran 

itu sudah sangat akrab sekali dengan Suci.

Lalu dengan santainya dia berkata, "Brengsek kau, 

Tunggul Manik! Bajuku yang kau robek itu pasti 

memperlihatkan baju dalam yang kututupi hingga 

Suci tahu siapa aku!"

Masih dengan sikap santai, Singkil Gambir 

membuka seluruh pakaiannya Yang nampak 

kemudian, pakaian hijau pupus dengan selembar 

kain catur yang diikat di pinggang. Lalu dengan 

enaknya dibuka kain bercorak catur itu dan 

disampirkan ke lehernya. Lalu kedua tangannya 

mengusap wajahnya menarik kumis lebat yang ada 

di bawah hidungnya

Yang ada sekarang, adalah wujud Pendekar

Slebor!

Bagaimana asal muasalnya Pendekar Slebor 

menyamar sebagai Singkil Gambir? Setelah 

mengalahkan sepuluh anggota Serikat Kuda Hitam. 

Pendekar Slebor mempunyai satu pikiran begitu 

dilihatnya ada sebuah pohon besar di hadapannya.

Dibukanya pakaian yang dikenakan oleh salah 

seorang dari yang tewas. Dipakainya untuk 

menutupi pakaian khasnya. Lalu dihampirinya 

pohon besar itu. Dipatahkannya beberapa dahan. 

Ada getah di sana. Ditirunya wajah orang yang 

tewas di tangannya itu setelah diingat-ingat 

wajahnya. Dengan mempergunakan getah itu. 

Andika membuat sedikit codetan. Mempergunakan 

panas dari tenaga 'inti petir'-nya, diambilnya rambut

dari salah seorang yang tewas. Dipilinnya lalu 

dengan bantuan getah dari pohon itu, diciptakannya

sebuah kumis.

Jadilah sosok Pendekar Slebor berubah. Dan baru 

dikelahui kalau sosok yang ditirunya itu bernama 

Singkil Gambir setelah Sirat Sedah memanggilnya 

demikian.

Otak Andika yang cerdik yakin sekali, kalau 

Tunggul Manik entah dari mana mengetahui gerak-

geriknya. Untung-untungan dia melakukan 

penyamaran semula untuk menutupi dirinya dari 

pandangan mata Tunggul Manik. Kebetulan sekali 

saat itu, Tunggul Manik sedang mengalihkan wadah 

berisi cairan kuning pada Kakek Buruk Rupa.

Lengkap sudah apa yang dikehendaki Andika. 

Sebenarnya, dari omongannya dengan Sirat Sedah, 

Andika bermaksud mencari Tunggul Manik yang 

diketahui berada di balik dinding bergambar kuda 

hitam yang sedang mengangkat kedua kakinya. 

Akan tetapi, nalurinya mengatakan, kalau saat ini 

Tunggul Manik sedang kehilangan dirinya dan 

kemungkinan besar akan muncul.

Apa yang diduganya memang benar.

"Ih! Lengket benar getah ini!" dengus Andika 

sambil mengerik getak di tangannya. Ketika 

dialirkan panas dari tubuhnya, getah itu mencair 

dan jatuh.

Membesi wajah Tunggul Manik melihat keadaan 

ini. Tak disangkanya kalau orang yang dicarinya 

menyamar sebagai Singkil Gambir. Yang lain pun 

menarik napas panjang melihat kecerdikan Pendekar 

Slebor. Dalam hal menyamar, Andika memang tak 

ada bandingannya. Secara tidak langsung, dia

pernah menjadi murid dari Raja Penyamar yang 

mengajarkannya ilmu menyamar!

"Setan alas! Kucabut nyawamu, Pendekar Slebor!"

Andika cuma tersenyum. "Permainanmu telah 

selesai. Sebaiknya, kau menyerah dan menunjukkan 

jalan keluar!"

"Sudah kukatakan, bila kau mendapatkan Permata 

Sakti ini kembali, secara tak langsung kau telah 

menemukan jalan keluar dari sini! Tetapi sekarang, 

kau dan manusia-manusia lainnya itu, akan 

terkubur di Pulau Seribu Setan!"

Sehabis berkata begitu, Tunggul Manik 

menggeduk kakinya tiga kali. Bukan buatan yang 

terjadi kemudian. Tanah yang mereka pijak bergetar 

dahsyat. Dinding-dinding di kejauhan terdengar 

berderak. Bunga bunga yang sebagian sudah 

terpapas sebelumnya, kini berpentalan. Keadaan tak 

ubahnya bagai gempa belaka.

Orang-orang yang berada di sana menjadi panik. 

Seketika mereka kerahkan tenaga dalam masing 

masing agar tubuh tidak terpelanting.

Namun lain halnya dengan Pendekar Slebor 

Meskipun dia berusaha agar tubuhnya tidak terbawa 

gerakan aneh yang dahsyat itu, otaknya berpikir 

keras. Kain bercorak catur! desisnya dalam hati. 

Mendadak saja sambil kendalikan tubuh, 

diambilnya kain bercorak catur, lalu dikibas-

kibasnya hingga menimbulkan gemuruh dahsyat 

dan dengungan bagai ribuan tawon marah.

Suaranya menindih gelegar angin yang terjadi.

Dan semakin lama angin dahsyat dan suasana 

mirip gempa itu mereda dan menghilang. Ketika 

mata memandang, tak ada dinding yang hancur, tak 

ada bunga-bunga yang beterbangan, semua utuh. 

Yang terdengar justru teriakan Tunggul Manik 

memecah kesunyian yang mendadak mengerjap.

"Setan alas! Lagi lagi kau bisa memusnahkan ilmu 

sihirku!"

Sadarlah yang lainnya, kalau yang barusan 

mereka rasakan hanyalah akibat dari pengerahan 

ilmu sihir yang dilakukan Tunggul Manik. Raka 

Gunarsa dan Ida Ayu Mantri tak kuasa lagi 

menahan amarahnya. Begitu tubuh Tunggul Manik 

mencelat ke arah Andika, keduanya segera bergerak 

menyongsong.

Justru Andika yang bergerak cepat, memapas 

serangan Sepasang Dewa Gurun Pasir, dan meliuk 

menahan jotosan Tunggul Manik. Karena Andika

bagai menahan dua serangan sekaligus, tubuhnya 

pun terpental dua tombak ke belakang terkena 

hantaman Tunggul Manik.

Andika memang punya pikiran lain. Terutama

bila ingat Permata Sakti berada di tangan Tunggul 

Manik. Dia telah memecahkan rahasia Permata Sakli 

itu, jadi tahu kalau Tunggul Manik tak akan 

merasakan apa-apa bila terkena pukulan.

Menyadari hal ini, lagi-lagi Andika berpikir akan 

kain bercorak catur yang masih dipegangnya.

"Barangkali saja kesaktian kain bercorak catur ini 

lebih tinggi dari Permata Sakti!" pikirnya sesaat, lalu

sudah bergulingan ketika Tunggui Manik telah 

menggempur lagi.

Tidak tanggung-tanggung yang dilakukan 

Andika. Berpikir dia harus menggunakan kain 

bercorak catur, maka segera dialirkan tenaga 'inti 

petir' pada kain itu, hingga kekuatan yang ada jadi 

berlipat ganda.

Tunggul Manik terbelalak menerima serangan 

dahsyat itu. Kini dia justru bernafsu untuk 

memilikinya. Kecepatannya ditambah untuk 

menjambret kain bercorak catur milik Andika. Akan 

tetapi, Andika yang tak mau bertindak tanggung 

segera mengibaskan kain pusakanya itu.

Beet!

Beeet!

"Aaaaakhhhh!!"

Jeritan keras terdengar dari mulut Tunggul Manik, 

menyusul tubuhnya terpental ke belakang. 

Menabrak dinding taman dan muntah darah. 

Seluruh tulangnya bagai patah. Di saat tubuh 

Tunggul Manik terpental tadi, Permata Sakti yang 

berada di balik pinggangnya terpental.

Andika cepat menyambarnya. Bersamaan 

dipegangnya permata itu, mendadak terdengar

ledakan di kejauhan. Menyusul suara debur ombak 

bagai menghantam bangunan besar itu.

"Gila! Ada apa ini?" maki Andika sementara di 

yakininya kekuatan kain bercorak catur lebih tinggi 

dari Permata Sakti yang kini dipegangnya .Mungkin 

tak ada senjata lain yang bisa menandingi kehebatan

permata itu kecuali kain bercorak catur milik 

Pendekar Slebor.

Tetapi sekarang, tempat itu bagai digonjang-

ganjing tangan-tangan raksasa. Mereka kali ini 

benar-benar menghadapi guncangan dahsyat.

Menyusul suara seperti air bah tumpah. Entah 

dari mana datangnya air itu mendadak memenuhi 

taman, hingga sebetis.

Dalam kepanikan semacam itu, Andika mencoba 

bersikap leriang. Diingat ingatnya kata-kata Tunggul 

Manik. Permala Sakti itu adalah kunci jalan keluar

dan Pulau Seribu Setan.

Mendadak saja Andika menatap permata itu 

dalam dalam. Di dalam permata itu terlihat dua ekor 

naga yang biasanya berdiam, kini bergerak-gerak. 

Lalu menghilang dan muncul di dalamnya 

gambaran sebuah lorong yang terdapat sebatang 

besi di dalamnya. Andika teringat akan lorong itu.

Cepat dia berseru, "Kita berlari cepat! Jangan ada 

yang tertinggal!"

Serentak orang-orang itu mengikuti Andika. Satu 

persatu dengan cepat menuruni besi bulat di mana 

Andika menyelamatkan Suci dan Setan Hitam 

Compang-camping. Sambil berlari Andika terus 

memperhatikan Permata Sakti itu.

Dan terpampang di dalamnya, tempat di mana 

Suci pernah di penjara. Bergegas Andika mengajak 

yang lainnya masuk. Dilihatnya lagi di dalam 

permata itu dinding di sebelah kirinya. Dan retakan 

yang perlahan membesar.

Andika sadar berarti dia harus memukulnya. 

Dihantamnya dinding itu sekuat tenaga hingga 

jebol. Bergegas diperintahnya yang lainnya untuk 

masuk.

Begitu semuanya berada di sana, air laut yang 

entah dari mana datangnya menggenang. Anehnya, 

dinding jebol itu tertutup rapat. Dan sesuatu yang 

aneh terjadi. Karena orang-orang itu bagai 

mengapung dalam ruang hampa udara, berputaran 

cepat dan bagai terlontar ke sebuah tempat yang 

sangat jauh sekali.

Andikalah yang pertama kali tersadar ketika 

mendapati dirinya berada di sebuah bukit tandus 

dibentengi perbukitan batu karang. Entah sudah 

berapa lama dia tergeletak di sana bersama dengan

yang lainnya.

"Gila! Pengalaman ini sangat aneh sekali! Dan aku 

baru tahu kehebatan kedua dari Permata Sakti ini. 

Dalam suasana terkurung, dia akan menunjukkan 

jalan keluar."

Dilihatnya Kakek Buruk Rupa mulai siuman. 

Andika cepat mendekati Kakek Buruk Rupa. 

Berbisik diterangkanlah rahasia Permata Sakti itu. Si 

kakek cuma mengangguk-anggukkan kepala dan 

menerima Permata Sakti yang diberikan Andika.

"Tidakkah kau berkeinginan memilikinya?"

Andika nyengir. "Tidak usah. Yang pasti, permata 

itu akan aman di tanganmu, Kek. Sebaiknya, aku 

permisi!"

Tanpa menunggu jawaban Kakek Buruk Rupa, 

Andika sudah berkelebal cepat. Menghilang dari 

pandangan si kakek.

"Tak kusangka, kecerdikan dan kehebatanmu itu 

sangat luar biasa, Pendekar Slebor…"puji Kakek

Buruk Rupa. Tanpa menghiraukan Camar Hitam 

dan Sepasang Dewa Gurun Pasir, Kakek Buruk 

Rupa membopong cucunya dan Selan Hitam 

Compang Camping. "Aku khawatir, putra dan 

menantuku cemas memikirkan kepergian Suci.

Sebaiknya aku menuju ke sana."

Ketika Suci siuman dari pingsannya, yang 

pertama kali ditanyakan pada kakeknya adalah 

Pendekar Slebor.

Kakek Buruk Rupa segera menjawab pertanyaan 

cucunya itu.

"Dia sudah pergi, Suci."

"Oh! Mengapa Kakek tidak menahannya?"

"Sulit untuk menahan kepergiannya, karena 

langkahnya sangat panjang."

Suci terdiam, tak terasa hatinya menjadi pilu. 

Sementara Setan Hitam Compang-camping hanya 

tertunduk saja sambil menahan nyeri pada 

tubuhnya.

Kakek Buruk Rupa menarik napas pendek. Bisa 

dirasakan kalau sebenarnya cucunya mulai tertarik 

pada Pendekai Slebor. Hanya itu yang diketahuinya, 

karena sesungguhnya selain mulai mencintai 

Pendekar Slebor, Suci pun menyesali keinginannya 

untuk merebut Permata Sakti dari pemuda sakti itu.

"Kang Andika.... Maafkan aku, kalau aku ternyata 

punya niat jelek kepadamu. Tetapi, semuanya 

karena permata itu semula milik kakekku, bukan? 

Dan rasanya sah saja aku memilikinya. Suatu saat, 

Kang Andika. Suatu saat, Akan kukatakan 

kepadamu niatku yang jelek ini "

***

Pulau Seribu Setan telah terkubur dalam air yang 

semakin banyak tumpah. Tunggul Manik terperanjat

begitu dia tersadar dirinya berada dalam genangan

air. Mengerahkan sisa-sisa tenaganya, dan 

mengeluarkan ilmu sihirnya, tubuhnya mendadak 

melayang di atas air tinggi itu.

Memasuki sebuah tempat yang mana di 

hadapannya terdapat dinding bergambar kuda 

hitam sedang mengangkat kedua kakinya, Tunggul 

Manik berkomat-kamit. Dan mendadak tubuhnya 

berada di balik dinding itu.

Aman dari air yang semakin tinggi.

Di dalam sana terdapat sosok Iblis Tambang yang 

pingsan. Kegeraman Tunggul Manik makin 

membesar pada Pendekar Slebor.

Diangkatnya tubuh Iblis Tambang. Dan dia 

berkomat-kamit. Entah dari mana datangnya asap 

hitam, dibawanya tubuhnya yang membopong 

tubuh Iblis Tambang ke dalamnya.

Bersamaan asap itu lenyap, lenyap pula tubuh 

Tunggul Manik dan Iblis Tambang.

Pulau Seribu Setan telah terkubur dan kembali 

menjadi misteri yang berkepanjangan.


               SELESAI


PENDEKAR SLEBOR

Segera menyusul!!

Serial Pendekat Slebor 

dalam episode:

DARAH-DARAH LAKNAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive