"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 26 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE MALAIKAT BUKIT PASIR

Malaikat Bukit Pasir

 

MALAIKAT 

BUKIT PASIR

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode:

Malaikat Bukit Pasir

128 hal.


1


Saat itu hari Kamis Legi. Siang hari.

Lima ekor kuda hitam yang gagah menderu 

berderap dengan kecepatan tinggi di jalan penuh 

batu yang berliku itu. Derap langkah menggebah 

jalan, meninggalkan debu-debu yang tebal. Mas-

ing-masing penunggangnya nampak berusaha un-

tuk saling mendahului. Selain nampak ingin tiba 

di tujuan, juga untuk menghindari panas yang 

menyengat. Wajah dan tubuh para penunggang 

kuda itu sudah bermandikan peluh. Ketika mela-

lui sebuah hutan, barulah panas itu tidak terlalu 

mengena lagi. Dan semakin membuat kelima 

orang itu memacu kuda dengan semangat, bagai 

ada yang mengejar karena tak sekali pun mereka 

menghentikan laju kuda.

Bunyi tarikan napas kuda yang ngos-

ngosan terdengar cukup keras. Namun tak satu 

juga yang pedulikan kalau kuda yang mereka 

tunggangi sudah kelelahan. Kelima penunggang 

kuda itu rata-rata berwajah mengerikan, dengan 

mengenakan ikat kepala berwarna kuning. Mereka 

pun mengenakan pakaian berwarna hitam yang 

pekat, dengan parang besar di punggung masing-

masing.

Ketika tiba di tepi hutan itu, kelimanya 

menghentikan lari kuda mereka. Terdengar ringki-

kan keras bersahutan, selebihnya hanya napas te-

rengah dari kuda-kuda itu.

Pandangan lima orang itu tertuju ke depan, 

menatap sebuah bukit yang menghitam dan berki-

lat-kilat ditimpa sinar matahari. Aneh sekali me-

mang bukit itu, tak sebuah pohon pun yang tum-

buh di sana. Tak ada tanda-tanda kehidupan di 

bukit yang menggunung dan terbuat dari tumpukan pasir.

Tumpukan pasir? Ya, seluruh bukit itu 

memang penuh pasir. Sehingga bukit itu dinama-

kan Bukit Pasir!

"Kakang Grido, jelas sudah kita telah sam-

pai di tujuan. Bukankah itu Bukit Pasir?" tanya 

salah seorang yang berwajah tirus, dengan sepa-

sang mata turun.

Yang dipanggil tadi seorang lelaki yang wa-

jahnya dipenuhi oleh bulu. Kumis dan jenggotnya 

cukup le-bat berwarna hitam pekat. Nama aslinya 

Grido Kencono. Nampaknya, dialah pemimpin dari 

keempat yang lainnya.

"Kau benar," desisnya dengan suara yang 

berat. Matanya tak berkesip memandang Bukit

Pasir. "Hhh! Tak sabar aku untuk membunuh Ma-

laikat Bukit Pasir yang telah menghabisi nyawa 

kedua orangtua ku dua puluh lima tahun yang la-

lu. Sekaligus membayar sakit hati guruku, Datuk 

Pincang Gunung Neraka. Karena kedua orangtua

ku - Sepasang Iblis - juga muridnya. Kita segera ke 

sana!"

Tanpa membuang tempo lagi, lelaki tinggi 

besar itu segera menggebrak kudanya dengan sua-

ra menggebah. Yang lainnya pun mengikuti diirin-

gi dengan gemuruh teriak masing-masing.

Tiga jam kemudian, matahari sudah nam-

pak lelah menjelajahi alam, karena sebentar lagi 

jelas-jelas ia akan kembali ke peraduannya. Sua-

sana di Bukit Pasir nampak mulai gelap, kabut 

mulai turun. Udara berhembus dingin.

Lima lelaki penunggang kuda itu pun tiba 

di bawah Bukit Pasir. Mata mereka memperhati-

kan sekeliling bukit yang terdiri dari timbunan pa-

sir dengan tatapan nyalang penuh amarah. Teru-

tama pandangan mata Grido Kencono yang berkilat-kilat.

"Hhhh! Kita tak perlu membuang tempo la-

gi! Sekian lama aku mencari di mana Malaikat 

Bukit Pasir bersembunyi dengan dendam yang 

semakin berkarat! Kini saatnya lah untuk meng-

habisi nyawa manusia keparat itu! Heaaaa!!"

Kudanya pun digebrak naik ke Bukit Pasir, 

menyusul dengan empat ekor kuda lainnya. Ge-

muruh pasir terdengar dan berguguran. Kalau ti-

dak memiliki tenaga dalam yang cukup dan me-

nunggang kuda yang terlatih, sudah tentu kaki-

kaki kuda itu sulit untuk dicabut setelah amblas 

setengah di pasir setiap kali melangkah. Di wajah 

Grido Kencono jelas sekali kemarahan dan den-

dam yang menyengatnya sendiri. Kudanya dige-

brak dengan kecepatan penuh.

Selang beberapa saat, tepat matahari teng-

gelam, kelima ekor kuda itu tiba di puncak Bukit 

Pasir. Kalau di bawah bukit itu saja udara sudah 

dingin, apalagi berada di puncaknya bertambah 

dingin. Kuda-kuda mereka sampai meringkik ke-

ras ketika kaki-kakinya tertanam di pasir.

Grido Kencono langsung melompat turun 

dan berteriak keras, menggema seantero Bukit Pa-

sir, "Malaikat Bukit Pasir! Aku datang untuk me-

nuntut dendam dua puluh lima tahun yang lalu 

atas perbuatanmu!!"

Suaranya menggema, menggugurkan pasir-

pasir di sebelah timur.

Di satu tempat yang terletak di timbunan 

pasir itu, seorang laki-laki tua mendesah panjang 

sambil mengusap jenggotnya. Sulit sekali orang-

orang yang belum mengetahui suasana di Bukit 

Pasir untuk menemukan di mana laki-laki yang 

tak lain Malaikat Bukit Pasir berada.

Dengan kekuatan tenaga dalam yang ia pa

trikan melalui kekuatan tanah, Malaikat Bukit Pa-

sir membuat bangunan kecil sebagai tempat ting-

galnya di timbunan pasir.

"Rupanya salah seorang dari yang men-

dendam padaku sudah datang. Hmm, pasti Grido 

Kencono yang datang," desis lelaki berusia enam 

puluh lima tahun yang berwajah bijaksana itu. 

Rambut dan bulu yang tumbuh di tubuhnya selu-

ruhnya berwarna putih. Ia pun mengenakan pa-

kaian dan jubah panjang menjuntai yang berwar-

na putih pula. Ketika melihat ke matanya, orang 

akan terkejut. Karena, tak ada bola hitam di ma-

tanya. Semuanya berwarna pulih. Rupanya Malai-

kat Bukit Pasir buta!

Lelaki itu kembali mendesah lembut, "Ka-

lau saja Grido Kencono tahu apa yang terjadi dua 

puluh lima tahun yang lalu, mungkin ia akan sa-

dar, kalau aku membunuh kedua orangtuanya ka-

rena kejahatan dan sepak terjang kejam yang me-

reka lakukan. Tetapi, sudah tentu Datuk Pincang 

Gunung Neraka sebagai guru dari Sepasang Iblis 

tak akan membiarkan Grido Kencono tumbuh 

tanpa dendam."

"Orang tua hina dina! Apakah kau sudah 

berubah menjadi banci yang penakut, hah? Atau-

kah kau sudah menetapkan dirimu menjadi tikus 

Bukit Pasir!!" seruan diiringi tenaga dalam yang 

kuat itu menggema kembali.

Malaikat Bukit Pasir kembali menggeleng-

gelengkan kepalanya. Ia memang harus memberi-

tahukan apa yang terjadi dua puluh lima tahun 

yang lalu. Tidak ada jalan lain lagi. Kemudian, per-

lahan-lahan lelaki itu berdiri sambil mendesah 

masygul. Mengambil tongkat putihnya yang sejak 

tadi tergeletak di sisi bersilanya.

Tangannya terangkat ke atas.

Plas!

Timbunan pasir itu seolah menjadi bolong 

karena tertahan oleh tenaga dalam yang dialir-

kannya. Lalu dengan gerakan yang aneh sekali 

Malaikat Bukit Pasir melompat melalui lubang pa-

sir yang cukup besar. Hanya ia dan muridnya saja 

yang tahu bagaimana cara masuk dan keluar dari 

kediamannya.

Sementara itu, Grido Kencono masih berte-

riak-teriak tak karuan dengan kerasnya.

"Tak perlu membuang tenaga... aku sudah 

ada di sini," terdengar satu suara lembut di bela-

kang mereka

Bukan hanya lelaki tinggi besar dengan 

kumis dan cambang bawuk itu saja yang terkejut, 

begitu pula dengan keempat temannya. Begitu me-

lihat siapa yang muncul, Grido Kencono mengelu-

arkan tawanya yang keras penuh ejekan.

"Rupanya kau masih mempunyai nyali ju-

ga, Orang Tua! Kini bersiaplah untuk mampus! Se-

lama dua puluh lima tahun kau mengasingkan diri 

di Bukit Pasir, rasanya sudah cukup untuk mengi-

rimkan nyawa busukmu ke neraka!"

Malaikat Bukit Pasir tersenyum.

"Grido... tahan sedikit amarahmu yang su-

dah setinggi gunung itu. Beri aku kesempatan un-

tuk menjelaskan apa yang telah terjadi dengan ke-

dua orangtua mu itu."

"Tak perlu kau jelaskan lagi! Aku sudah 

tahu semuanya dari guruku yang juga guru kedua 

orangtua ku. Nyawa harus dibalas nyawa, Malai-

kat Bukit Pasir. Dan sekarang... bersiaplah untuk 

mampus!"

"Aku tahu, sebagai anak yang berbakti ke-

pada orangtua, kita memang harus membela me-

reka dengan darah dan nyawa sekalipun. Tetapi,

bukanlah lebih baik bila kita menghindari bentro-

kan ini, karena kau sendiri belum mengetahui apa 

yang terjadi waktu itu."

"Orang Tua hina dina! Tak usah kau ba-

nyak komentar! Hari ini juga nyawamu akan kuki-

rim ke neraka!!" bersamaan itu, dengan satu lom-

patan cepat laki-laki tinggi besar itu melesat dari 

atas kudanya. Jotosan tangan kanan yang men-

gandung kekuatan tinggi diarahkan pada kepala 

laki-laki buta itu yang nampak begitu tenang.

Namun belum lagi jotosan Grido Kencono 

menghajar kepalanya, laki-laki buta yang berjuluk 

Malaikat Bukit Pasir itu mengangkat sebelah tan-

gannya.

Des!

Jotosan Grido Kencono terhalang. Sebe-

narnya, laki-laki buta itu bisa melanjutkan gebra-

kannya, karena tangkisan tadi merupakan satu 

rangkaian gerak yang sangat cepat. Tetapi ia ju-

stru terdiam di tempatnya, tak berbuat apa-apa 

hanya memasang pendengarannya lebih tajam la-

gi.

Grido Kencono merasakan tangannya ngilu 

sekali. Seluruh otot di wajahnya bagai hendak me-

lompat keluar menyadari kalau serangannya di-

tangkis dengan mudah.

Sementara itu, empat temannya sudah 

mengurung laki-laki buta yang berjuluk Malaikat 

Bukit Pasir. Sikap mereka garang bukan alang ke-

palang. Parang besar telah diloloskan. Tanpa me-

nunggu perintah, keempatnya segera menerjang.

Parang-parang besar bergerak beruntun, 

mencecar bagian tubuh Malaikat Bukit Pasir yang 

berlompatan ke sana kemari. Desingan parang itu 

menimbulkan suara yang cukup menggetarkan. 

Pasir di tempat itu bagai beterbangan.Grido Kencono sendiri sudah terjunkan diri 

dalam pertarungan itu. Menghadapi lima serangan 

maut yang dilakukan secara beruntun, membuat 

pertahanan Malaikat Bukit Pasir seperti agak ka-

cau.

Mendapati kalau lawan kebingungan seper-

ti itu, Grido Kencono mencecar membabi buta. 

Namun meskipun demikian, sampai sejauh itu 

dan betapapun hebatnya serangan yang mereka 

lakukan, tak sekali pun mengenai sasarannya.

Bahkan yang mengherankan, Malaikat Bu-

kit Pasir tidak membalas serangan orang-orang 

ganas itu. Hanya menghindari saja. Sedangkan 

menurut Grido Kencono, kalau lawan sebenarnya 

memang tak mampu untuk bertindak lebih lanjut. 

Ia tak menyadari kalau Malaikat Bukit Pasir sebe-

narnya mempunyai rencana lain.

***

Pada saat yang bersamaan, dalam jarak ti-

ga puluh tombak dari Bukit Pasir, seorang pemu-

da berbaju hijau pupus dengan kain bercorak ca-

tur di lehernya, sedang duduk di sebatang pohon. 

Kedua kakinya menjuntai ke bawah. Matanya yang 

setajam mata elang menatap Bukit Pasir di hada-

pannya. Rambutnya yang memang acak-acakan, 

bertambah tak karuan ketika dihembus angin.

"Busyet! Baru kali ini aku melihat ada se-

buah bukit yang sepenuhnya berisi pasir," desis-

nya sambil geleng-geleng kepala. "Memang aneh 

alam ini. Semakin jauh kita melangkah, semakin 

aneh terasa. Begitu banyak ciptaan Yang Maha 

Kuasa yang belum mampu terpecahkan oleh akal."

Selagi pemuda tampan itu masih menga-

gumi keindahan alam, tiba-tiba saja pendengaran

nya yang tajam dan terlatih menangkap suara 

bentakan keras dari kejauhan.

"Hmmm... seperti orang bertarung. Dan 

asalnya dari Bukit Pasir itu. Ada-ada saja! Baru 

saja aku tenang di sini, sudah ada kejadian. Se-

baiknya kulihat apa yang terjadi!"

Lalu dengan gerakan yang sangat ringan, 

pemuda tampan itu melompat turun dan segera 

kelebatkan tubuh menuju Bukit Pasir.

***

Pertarungan di puncak Bukit Pasir bertam-

bah sengit dan mengerikan. Serangan lima parang 

sekaligus yang mengarah pada tubuh Malaikat 

Bukit Pasir bertambah gencar. Namun sampai se-

jauh itu, laki-laki buta itu belum juga membalas. 

Entah dengan maksud apa. Hanya ia sendiri yang 

tahu.

Mendadak saja telinganya menangkap 

bayangan berlari menaiki Bukit Pasir.

"Hmm.... siapa lagi yang datang? Bila men-

dengar gerakan larinya yang begitu cepat dan rin-

gan, tak mungkin murid bengal itu. Sebaiknya, 

kujalankan saja rencana. Bukan orang-orang ini 

yang kutunggu. Masih ada lagi yang menjadi mo-

mok lebih mengerikan!"

Dan bagaikan disengaja, Malaikat Bukit 

Pasir membiarkan tubuhnya ditendang dan dipu-

kul. Ia tak menghindar. Akan tetapi, bila parang-

parang itu mengarah padanya, ia selalu menghin-

dar.

Grido Kencono yang menyangka kalau la-

wan sudah tak mampu bergerak dan melakukan 

serangan, mencoba menghabisi lawannya. Namun 

terjangannya yang berkekuatan penuh ke arah

Malaikat Bukit Pasir, mendadak saja bagai meng-

hantam sebuah batu karang yang mendadak me-

luncur.

Des! Des!

***

Tersentak wajah laki-laki kasar itu. Aliran 

darahnya naik ke ubun-ubun. Tangannya dirasa-

kan ngilu luar biasa.

"Manusia hina! Siapa kau yang ingin men-

cari mampus?!" bentaknya sengit, sementara 

keempat temannya hentikan serangan pada Ma-

laikat Bukit Pasir.

Lima pandang mata menatap satu sosok 

tubuh berbaju hijau pupus yang tadi menghalangi 

serangan Grido Kencono pada Malaikat Bukit Pa-

sir. Sikap pemuda yang baru muncul itu nampak 

tegang. Matanya yang setajam elang berkilat-kilat.

"Manusia-manusia yang kerjanya hanya 

mengotori dunia saja," desisnya dalam hati.

Sementara Malaikat Bukit Pasir menajam-

kan pendengarannya. "Siapa gerangan orang ini? 

Meskipun aku sudah menangkap kelebatan tu-

buhnya dari jauh, namun bisa kupastikan kalau 

orang ini mempunyai ilmu yang tinggi. Bila mem-

baui tubuhnya, aku yakin ia masih sangat muda. 

Tetapi jelas-jelas kalau bukan Imas yang nongol. 

Ke mana lagi murid nakal itu?"

Grido Kencono memasang wajah garang. 

Kelam sudah menyelimuti wajahnya yang kasar 

itu.

"Pemuda hina! Berani mampus lancang 

mencampuri urusanku!"

Dibentak seperti itu si pemuda bukannya 

menjadi jeri, justru cuma mengangkat kedua alis

nya saja. Sikapnya kocak sekali.

"Lho, jadi kalau ikut campur, itu namanya 

lancang? Ya, sudah... kalau memang begitu lebih 

baik kalian menyingkir saja dari sini."

Bukan buatan gusarnya Grido Kencono 

mendengar jawaban si pemuda yang secara tak 

langsung mengejeknya.

"Sebutkan nama! Hingga aku bisa menge-

nang orang yang kubunuh!"

"Wah, yakin ya? Padahal badan gede yang 

berisi kentut itu kosong melompong! Ya... kalau 

kau memaksa, namaku Andika," sahut si pemuda 

tetap santai. Ketika mendengar namanya, jelas-

jelas kalau ia adalah Andika alias Pendekar Slebor 

pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.

Grido Kencono tak mau buang waktu lagi. 

Hatinya gusar bukan buatan karena serangan 

pamungkasnya pada Malaikat Bukit Pasir dihalan-

gi dengan ringannya oleh Andika.

Dengan suara menggembor dan timbulkan 

angin gemuruh dahsyat, tubuhnya berkelebat ke 

arah Andika.

"Heaaa!"

***

2


Mendapati lawan menyerangnya dengan 

kekuatan dahsyat, Andika segera buang tubuh ke 

kiri. Gerakannya tak kalah cepat dengan yang di-

perlihatkan Grido Kencono. Hati Andika sebenar-

nya bukan main geram melihat seorang laki-laki 

buta diserang terus menerus seperti itu.

Selagi Andika buang tubuh ke kiri, jotosan 

tangan kanannya berkelebat deras. Grido Kencono

ter-pekik melihat serangan balasan yang dilaku-

kan lawan.

Cepat ia tekuk sikunya. 

Des!

Jotosan Andika ditahan dengan hebatnya.

Andika langsung jumpalitan ke belakang, 

ketika ia hinggap di tanah dilihatnya lengannya 

membiru. Sementara Grido Kencono sendiri terke-

jut ketika sadar tubuhnya bergetar akibat bentu-

ran tenaga dalam yang keras.

"Setan keparat! Rupanya kau memang 

mempunyai sedikit ilmu untuk dipamerkan! 

Sayangnya, kau akan menyesali semua tindakan-

mu hari ini!" Sehabis berkata begitu, Grido Kenco-

no kibaskan kedua tangan ke atas, lalu ke bawah. 

Saat ia kibaskan tangannya yang dilakukan dua 

kali berturut-turut, terlihat kedua tangannya ber-

getar. Terasa sekali udara berubah menjadi panas.

Andika yang memperhatikan berjingkat ke-

tika kedua kakinya bagaikan menginjak bara.

"Busyet! Ilmu apa ini?" dengusnya dalam 

hati sambil alirkan hawa murni ke kedua kakinya. 

Sementara perubahan itu pun dirasakan oleh Ma-

laikat Bukit Pasir.

Laki-laki buta itu mendesis, "Tak sia-sia 

Datuk Pincang Gunung Neraka mengambil laki-

laki itu sebagai murid. Ia rupanya telah menerima 

ajaran dari Datuk Pincang. Hhh! Aku tak ingin 

menambah keributan sebenarnya. Yang kutunggu 

kehadiran Datuk Pincang. Biarlah kurasai saja 

pertarungan antara pemuda yang bernama Andika 

itu dengan Grido Kencono."

Serangan yang siap dilepaskan oleh Grido 

Kencono adalah ajian 'Iblis Neraka Cabut Nyawa', 

salah satu ajian yang diajarkan oleh gurunya. Se-

buah serangan ganas yang menimbulkan udara

panas.

Tanpa buang tempo lagi, ia sudah kele-

batkan tubuhnya. Panas membara menguar dan 

menderu dahsyat. Andika pun tak mencoba untuk 

memapaki. Ia hindari serangan itu sambil mengira 

kekuatan lawan. Namun lawan nampaknya tak 

mau berayal lagi, ia terus mencecar Andika yang 

lama kelamaan mendengus.

"Kadal ompong! Bisa-bisa hangus aku ka-

lau kena!" makinya berusaha mencari sela untuk 

menyerang. Namun serbuan yang dilakukan Grido 

Kencono begitu gencar, bahkan berusaha untuk 

merapat dengan Andika.

Menyusul bahaya lain yang datang dari 

dua kawan Grido Kencono. Parang besar diki-

baskan hingga timbulkan angin besar. Sementara 

dua orang yang lainnya memburu ke arah Malai-

kat Bukit Pasir.

Mendapati serangan macam begitu, Andika 

jadi kalang kabut. Bukan dalam arti ia bingung 

pertahankan diri, melainkan menurut perasaan-

nya ia harus menyelamatkan laki-laki buta yang 

sepertinya tak berdaya.

Memikir sampai di situ, membuat Andika 

jadi nekat. Ia coba potong serangan dari Grido 

Kencono dengan buang tubuh ke kanan, sambil 

melompat itu ia lancarkan tendangan keras ke 

muka. Satu jotosan pun dilepaskan.

Des! Des!

Dua kawan Grido Kencono terhuyung.

Bersamaan dengan itu, Andika mene-

ruskan geraknya. Ia buat satu tendangan meling-

kar ke arah dua penyerang yang siap habisi Malai-

kat Bukit Pasir.

Rupanya dua orang itu sadar kalau seran-

gan Andika bisa menimbulkan maut. Mereka hentikan gerakan, dan kibaskan parang dan jotosan 

yang dilakukan bersamaan.

Des! Des!

Kalau dalam keadaan menyerang langsung, 

tanpa memotong serangan pertama, benturan itu 

tak akan membawa akibat apa-apa bagi Andika. 

Tetapi, karena tadi ia sudah kerahkan tenaga un-

tuk menerobos serangan dari Grido Kencono dan 

dua temannya, menyusul satu serangan dilakukan 

ke arah dua orang yang siap habisi nyawa Malai-

kat Bukit Pasir, mau tak mau gebrakannya jadi 

sedikit terkuras.

Maka akibat benturan itu, Andika terpental 

ke belakang beberapa tombak Begitu pula dengan 

dua lawannya tadi. Namun tanpa pedulikan di-

rinya sendiri, begitu kedua kakinya menjejak ta-

nah, Andika langsung emposkan tubuh ke arah 

Malaikat Bukit Pasir. Disambarnya tubuh laki-laki 

buta itu yang seperti tak berdaya.

"Hmm... pemuda ini ternyata bermaksud 

baik," desis laki-laki buta yang sudah berada da-

lam bopongan Pendekar Slebor. "Sebaiknya, ku-

biarkan saja ia melakukan hal ini."

Sementara itu Grido Kencono tak mau 

buang kesempatan, tak akan dibiarkannya orang 

yang telah membunuh kedua orangtuanya itu hi-

dup, apalagi mengingat ia mengemban tugas dari 

gurunya. Makanya, ia segera kibaskan tangan se-

telah memungut parangnya.

Parang besar itu meluncur deras ke arah 

Andika.

Wuuuttt!

Trak!

Dalam keadaan genting semacam itu, An-

dika masih tunjukkan kelasnya. Masih membo-

pong tubuh Malaikat Bukit Pasir, kaki kanannya

menyepak se-batang ranting, hingga meluncur 

menghantam parang itu. Lebih hebat lagi, ranting 

yang terpotong menjadi dua itu meluncur tak 

ubahnya anak panah ke arah Grido Kencono yang 

kibaskan tangan hingga kedua potongan ranting 

itu luluh sambil memaki-maki.

"Kejar manusia keparat itu! Bunuh!"

***

Selang beberapa saat, satu sosok tubuh 

ramping berbaju putih berkelebat ke arah Bukit 

Pasir. Wajahnya yang jelita dengan sepasang mu-

lut memerah menggiurkan dipenuhi keringat.

Rambutnya yang panjang dan diikat ekor 

kuda dengan sehelai pita berwarna biru, berlom-

patan manja saat ia berlari.

Tak lama kemudian, gadis itu pun tiba di 

puncak Bukit Pasir. Sejenak ia hentikan larinya. 

Keningnya berkerut. Sepasang matanya yang hi-

tam jernih itu membulat melihat keadaan yang po-

rak-poranda. Hatinya bergetar tidak enak.

"Apakah telah terjadi sesuatu di sini?" de-

sisnya galau. Mendadak saja kepalanya menegak. 

Bagai melompat ia berlari dan berseru, "Guru! Di 

manakah Guru!"

Gadis yang tak lain murid dari Malaikat 

Bukit Pasir semakin kacau hatinya, apalagi ketika 

masuk ke tempat tinggal mereka yang kini mulai 

dipenuhi pasir. Wajah jelitanya pias dan nampak 

kacau sekali.

Belum lagi ia menemukan di mana gu-

runya, mendadak kepalanya mendongak. Diden-

garnya suara berderak.

"Oh, Gusti! Pasir-pasir itu akan runtuh! 

Aku harus keluar dari sini kalau tidak ingin terkubur!"

Gadis itu segera empos tubuhnya, semen-

tara suara berderak itu makin keras terdengar. 

Bergemuruh timbulkan suara dahsyat. Bersamaan 

dengan runtuhnya pasir-pasir itu, tubuh ramping 

berbaju putih itu sudah mencelat keluar. Lalu 

buat gerakan cepat menuruni Bukit Pasir,

Dari bawah, dipandanginya Bukit Pasir di 

mana ia tinggal bersama gurunya yang dijuluki 

Malaikat Bukit Pasir. Hati gadis yang bernama Im-

as itu menjadi galau bukan main. Ia duduk ber-

simpuh dengan pikiran kacau.

Disesalinya mengapa ia tidak segera kem-

bali dari membeli makanan di kotapraja. Ini dika-

renakan ia menyaksikan pertunjukan sulap yang 

diadakan di sana.

Ditatapnya dengan penuh kerisauan nasi 

timbel beserta lauknya yang ada di tangan kanan-

nya.

"Guru... maafkan aku, Guru... aku telah 

lancang mengabaikan pesan Guru untuk segera 

kembali. Aku tahu, telah lama Guru bersembunyi 

di sini dari kejaran orang-orang yang ingin mem-

balas dendam. Namun nampaknya, tempat ini su-

dah diketahui.... Oh, Guru... maafkan aku...."

Gadis itu terguguk dengan galaunya. Biar 

bagaimanapun tegarnya Imas, namun ia seorang 

gadis yang terkadang suka menangis untuk me-

lampiaskan segenap perasaannya.

Tiba-tiba kepalanya menegak.

"Tidak, aku tidak boleh cengeng! Aku harus 

segera mencari Guru!"

Perlahan-lahan ia berdiri. Diperhatikannya 

lagi kediamannya yang telah tertimbun pasir. Lalu 

tanpa buang waktu ia segera kelebatkan tubuh.

***

3


Di tepi sebuah sungai yang terdapat dalam 

hutan belantara, pemuda berbaju hijau pupus 

dengan kain bercorak catur di lehernya sedang be-

rusaha mengobati tubuh Malaikat Bukit Pasir. Pa-

gi sebentar lagi datang, dari kejauhan sudah nam-

pak bias-bias matahari yang terpantul. Udara ma-

sih dingin dan sisa embun masih menggenang.

Diperhatikannya sosok buta yang sejak ta-

di berusaha diobatinya. Menurut Andika, laki-laki 

buta ini pingsan karena tak sanggup menahan lu-

ka akibat hantaman dari Grido Kencono dan ka-

wan-kawannya.

Tak lama kemudian, Andika menarik napas 

panjang. Keringat dihapus dari wajahnya. Sejenak 

ia geleng-geleng kepala sambil tatap Malaikat Bu-

kit Pasir yang masih terbujur tak bergerak sedikit

pun.

"Ada yang aneh kurasa. Mengapa aliran te-

naga dalam yang kucoba alirkan padanya justru 

seperti tersendat? Apakah ini disebabkan pereda-

ran darahnya yang kacau akibat serangan dari li-

ma laki-laki jelek berparang itu, ataukah aliran 

darahnya memang sudah tersumbat? Kalau ter-

sumbat, aku bisa menemukannya. Aliran darah-

nya nampak lancar, hanya saja, mengapa aliran 

tenaga dalamku seperti tertahan?"

Lama Andika coba menemukan jawaban 

dari keanehan yang dirasakannya.

"Hmm... akan kutunggu orang tua ini sa-

dar. Aku jadi penasaran ingin tahu apa sebenar-

nya yang terjadi. Kalau memang bisa diselesaikan 

dengan jalan damai silang sengketa antara orang 

tua ini dengan kelima orang itu, merupakan jalan 

yang terbaik"

Andika mendongak, memperhatikan hutan 

lebat yang dipenuhi pepohonan tinggi. Tiba-tiba ia 

merasa perutnya lapar sekali.

"Gila! Dari kemarin sore aku belum ma-

kan!"

Andika memutuskan untuk mencari buah-

buahan sekadar mengganjal perutnya. Dipindah-

kannya tubuh Malaikat Bukit Pasir ke balik se-

mak. Setelah itu, ia segera kelebatkan tubuh.

Hanya beberapa menit saja Andika menda-

patkan manggis dan jambu hutan. Dipetiknya 

agak banyak, sekalian akan diberikannya pada 

Malaikat Bukit Pasir bila orang tua itu sudah si-

uman.

Ia terkekeh dari kejauhan.

"Hei, Ki! Sadar cepat! Nih ada rezeki yang 

tak akan kau tolak! Tetapi kalau kau belum sadar 

juga... apa boleh buat. Terpaksa aku akan mema-

kannya sendiri." Masih berkata-kata ia sibakkan 

semak di mana tubuh Malaikat Bukit Pasir dipin-

dahkan. "Ayo cepat kau... heeiii...!"

Kata-kata Andika terputus. Matanya melo-

tot. Kiiiingnya berkerut. Ia tak melihat sosok orang 

tua yang ditolongnya disana. Untuk sejenak Andi-

ka terpaku di tempatnya dengan mulut menganga.

"Busyet! Apa yang terjadi?"

Tanpa hiraukan buah-buahan yang ada di 

tangannya, ia kelebatkan tubuh hingga buah-

buahan itu terlempar.

"Hei, Ki! Kalau kau sudah siuman dari 

pingsanmu, jangan ke mana-mana dong! Sudah 

bangkotan kau masih nakal juga, ya?"

Tak ada sahutan apa-apa kecuali gema su-

aranya.

Andika coba berteriak kembali sambil kele-

batkan tubuh mencari. Namun sosok Malaikat

Bukit Pasir tidak ditemukan. Ia kembali ke tempat 

semula dengan perasaan cemas sekarang. Entah 

apa yang dicemasinya.

Diperas otaknya guna memecahkan masa-

lah itu. Namun belum lagi ia tiba pada satu ke-

simpulan, telinganya yang tajam menangkap suara 

berderak di belakangnya.

Sigap Andika putar tubuh dan membentak, 

"Siapa di sana, hah? Kalau hanya seekor monyet 

silakan bersembunyi terus! Kalau tikus buduk si-

lakan tinggalkan tempat itu! Kalau manusia jelek, 

jelas harus keluar tutupi wajah!"

***

Dua sosok tubuh berpakaian merah-merah 

dengan rambut panjang acak-acakan keluar dari 

balik semak dengan diiringi tawa yang keras 

menggema.

Andika picingkan mata melihat kemuncu-

lan kedua orang itu. Tetapi mulutnya yang usil te-

tap nyerocos seperti petasan, "Kukira siapa? Ru-

panya hanya orang utan yang nyasar ke sini!"

Wajah kedua orang yang satu sama lain se-

rupa itu kelam. Di leher keduanya masing-masing 

tergantung taring serigala. Yang memiliki codet di 

pipi kirinya membentak, "Siapa yang telah meno-

long Malaikat Bukit Pasir harus mampus! Tetapi, 

siapa pun kau adanya, nyawamu tetap harus kami 

cabut!" 

Andika menjulurkan lidahnya.

"Enaknya ngomong! Memangnya singkong 

main cabut saja!"

"Aku tahu siapa kau adanya! Nama besar 

Pendekar Slebor sudah masuk ke Hutan Sejuta Ib-

lis di mana kami tinggal! Hhh! Di mana kau sembunyikan Malaikat Bukit Pasir!"

Kali ini Andika terdiam. Lagi-lagi orang 

yang menginginkan nyawa Malaikat Bukit Pasir. 

Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh laki-

laki buta yang sekarang lenyap itu, sehingga begi-

tu banyak yang menginginkan nyawanya?

"Rupanya hari ini aku kedatangan badut-

badut bodoh yang seenaknya ngomong! Kalau kau 

ingin mengetahui di mana Malaikat Bukit Pasir be-

rada, mengapa tidak bersama-sama denganku? 

Aku saja sedang mencari. Nah! Jangan-jangan ka-

lian tahu lalu pura-pura bertanya, kan? Iya, kan?" 

Dasar urakan, Andika masih bisa meledek seperti 

itu. Meskipun ia bersikap santai saja, namun 

otaknya berpikir keras kalau kedatangan kedua 

orang ini tidak main-main.

"Kurang ajar!" bentak orang yang kedua. 

Sikapnya lebih garang. Matanya memancarkan si-

nar kemerahan yang mengerikan. "Cepat kau ka-

takan di mana manusia keparat yang telah mem-

bunuh Guru kami sepuluh tahun yang lalu? Ia ha-

rus membayar semua perbuatannya sekarang! Se-

lama lima tahun kami meninggalkan Hutan Seribu 

Iblis untuk mencari manusia keparat itu! Katakan, 

bila tidak ingin kupenggal kepalamu! Jangan 

main-main dengan Jelak Kembar Baju Merah!"

"Mau baju hitam kek, biru kek, mau jadi 

monyet kembar nangkring di pohon kek, itu uru-

san kalian!" Andika masih nyerocos saja padahal 

otaknya masih memikirkan tentang lenyapnya Ma-

laikat Bukit Pasir.

"Keparat busuk!" Yang kedua tadi sudah 

menderu dengan satu serangan cepat. Andika 

yang sudah perhitungkan serangan itu buang tu-

buhnya dan tangannya dengan sigap lancarkan 

satu pukulan ke bagian iga lawan. Namun dengan

gerakan yang aneh, lawannya mampu menangkis 

serangan itu. Bukan dengan tangan, melainkan 

dengan kaki!

Des!

Andika mundur dua langkah. "Gila! Jurus 

apa yang diperlihatkannya ini?" desisnya dalam 

hati.

Lawannya siap menyerang lagi, tetapi yang 

pertama bicara tadi yang bernama Jalak Codet 

Merah berkata, "Tahan seranganmu, Adi Jalak Ma-

ta Merah! Pendekar Slebor... katakan di mana Ma-

laikat Bukit Pasir? Ingat, kami tak segan-segan tu-

runkan tangan telengas kepadamu!"

Ancaman itu jelas bukan ancaman kosong. 

Sayang yang dihadapi keduanya adalah Pendekar 

Slebor yang dalam keadaan bagaimanapun masih 

tetap bertingkah seenaknya. Kata-kata itu hanya 

disambuti dengan senyuman mengejek, sementara 

otaknya berpikir, "Ada sesuatu yang pernah terjadi 

sebelumnya dulu pada Malaikat Bukit Pasir, se-

hingga orang-orang ini menginginkan nyawanya. 

Peristiwa apa sebenarnya?"

Tetapi, sebelum Andika buka mulut, Jalak 

Mata Merah yang gusar tadi, sudah kelebatkan 

tubuhnya. Desingan angin bak topan prahara 

menderu dahsyat ke arah Andika yang cepat 

menghindar. Namun serangan itu datang susul 

menyusul, bahkan dilakukan dengan menggerak-

kan kedua kaki dan tangan sekaligus.

"Benar-benar hebat!" puji Andika sambil te-

rus menghindar. Dan dengan satu gerak tipu yang 

manis, Andika bisa menyusup masuk dan siap 

hantamkan pukulan yang telah dialirkan tenaga 

'inti petir' tingkat kelima belas.

Namun, Jalak Codet Merah langsung kele-

batkan tubuh ke arahnya, hingga Andika urung

meneruskan serangannya pada Jalak Mata Merah. 

Menyusul Jalak Mata Merah yang kembali mende-

ru-deru dengan serangan aneh kakinya. 

Andika bergulingan hindarkan serangan 

gencar yang dilakukan serempak itu. Gulingan tu-

buhnya bukan ke belakang, melainkan ke depan. 

Kaki kanannya menyepak kaki Jalak Codet Merah, 

dan langsung melompat dengan pancalan satu ka-

ki ke arah Jalak Mata Merah.

Jalak Mata Merah tak mau tubuhnya dija-

dikan sasaran empuk serangan Andika. Selagi An-

dika melompat ke arahnya, ia buang tubuh ke kiri 

dan mendadak saja terdengar angin dahsyat ber-

desingan

Dengan gerakan yang menakjubkan, tubuh 

laki-laki bermata merah itu berbalik dengan posisi 

kepala di bawah. Kedua kakinya bergerak bagai 

baling-baling. Angin laksana topan prahara men-

deru hebat. Gemuruh terdengar seketika. Dedau-

nan berguguran. Kerikil beterbangan. Debu men-

gepul menjadi satu, memedihkan mata.

Andika yang sudah membuang tubuhnya 

merasa wajahnya bagai ditampar dari jauh. Selagi 

Andika kerepotan menghindari serangan Jalak 

Mata Merah, Jalak Codet Merah sudah berkelebat 

berkali-kali. Setiap jotosannya mengandung hawa 

panas.

Mendapati serangan dua lawan yang demi-

kian gencar, tak ada jalan lain kecuali memotong 

setiap serangan. Di saat Jalak Codet Merah gu-

lingkan tubuh ke arahnya, Andika berkelebat ce-

pat. Melompat dan menjadikan tubuh Jalak Codet 

Merah sebagai tumpuan. Gerakan semacam itu 

tak mungkin bisa dilakukan bila tidak memiliki 

ilmu meringankan tubuh dan kecepatan yang 

tinggi. Bersamaan tubuhnya melenting dari tubuh

Jalak Codet Merah, dengan kerahkan tenaga 'inti 

petir' tingkat kelima, ia songsong serangan Jalak 

Mata Merah yang masih menderu dengan kedua 

kaki di atas dan bergerak bagai baling-baling.

Sergapan yang dilakukan Andika benar-

benar harus matang. Ia rundukkan kepala dan 

kedua kaki Jalak Mata Merah luput dari sasaran. 

Saat itulah ia lakukan jotosan dua kali berturut-

turut.

Des! Des!

Tubuh Jalak Mata Merah meluncur ke be-

lakang. Gerakannya limbung dan masih posisi ke-

pala di bawah tubuhnya menghantam sebuah po-

hon besar. Andika sendiri bergulingan ke belakang 

dan berdiri tegak.

Wajahnya yang tampan nampak berkerut, 

nyeri menahan sakit.

Sementara Jalak Codet Merah menggeram 

murka melihat adik kembarnya jadi sasaran han-

taman Andika. Dengan gerengan keras ia mengge-

brak Andika kembali, menyusul Jalak Mata Merah 

yang sudah bangkit sambil menahan sakit. Ia tak 

peduli keadaan dirinya. Seluruh wajahnya kelam 

karena hajaran Andika tadi.

Andika yang sudah alirkan ajian 'Guntur 

Selaksa' segera menyongsong dua serangan itu se-

kaligus.

"Heaaa!"

"Yeaaa!"

Dua buah tenaga yang dijadikan satu, ber-

bentrokan dengan tenaga ajian 'Guntur Selaksa' 

milik Pendekar Slebor.

Akibatnya sungguh mengerikan. Suara ke-

ras berdentum dua kali. Dari benturan itu menge-

pul asap hitam yang pekat. Tubuh Andika terlem-

par ke belakang lima tombak. Sementara dua tokoh yang mempunyai dendam pada Malaikat Bukit 

Pasir itu mengalami hal serupa. Bahkan Jalak Ma-

ta Merah yang masih menahan sakit tadi, tak bisa 

bangkit kembali. Kepalanya telak terhantam ajian 

'Guntur Selaksa' dari Andika.

Melihat adiknya tewas mengerikan, Jalak 

Codet Merah menjerit keras sambil memelukinya. 

Hatinya hancur bersamaan geram dan amarah 

yang tinggi. Ia tolehkan kepalanya dengan tatapan 

laksana kobaran api ke arah Andika.

"Keparat hina! Sejak semula sudah kuduga 

kau akan mempertahankan di mana manusia ke-

parat berjuluk Malaikat Bukit Pasir itu! Kini, si-

lang sengketa telah terbuka di mataku!"

Andika hanya terdiam sambil tarik napas.

"Kepalaku benar-benar jadi pusing seka-

rang!"

Jalak Codet Merah yang berada dalam ke-

gusaran luar biasa, tak mau meneruskan seran-

gannya sekarang ini. Ia tahu, ia tak akan mampu 

menghadapi Pendekar Slebor. Berdua dengan sau-

daranya saja, jauh dari hasil yang diinginkan. 

Bahkan harus membayar semuanya dengan kema-

tian Jalak Mata Merah. Namun dendam sudah 

membara. Ia akan menunggu saat yang tepat.

"Pendekar Slebor... saat ini kau menang. 

Tetapi, kau akan mendapati balasan alas perla-

kuan busukmu ini!"

Lalu dengan kemarahan yang tinggi, Jalak 

Codet Merah mengangkat mayat adik kembarnya 

dan kelebatkan tubuh dengan gerengan yang ke-

ras.

Tinggal Andika yang mendesah panjang. 

Masalah apa lagi yang dihadapinya ini? Ternyata 

keingintahuannya tentang Malaikat Bukit Pasir 

membawanya ke masalah yang besar. Karena, banyak para tokoh rimba persilatan yang mengingin-

kan nyawa Malaikat Bukit Pasir. Sedikit yang dike-

tahui Andika, kalau mereka memiliki dendam 

tinggi pada laki-laki buta yang sekarang entah be-

rada di mana.

Tak lama kemudian Andika duduk dengan 

kaki menekuk dan menjadi bantalan pinggulnya. 

Ia atur napas dan jalan darahnya. Beberapa saat 

berlalu, ia berdiri dan segera tinggalkan tempat 

ini.

***

4


Pagi kembali datang. Alam memang tak 

pernah mau menunggu siapa pun juga saat men-

jalankan tugasnya.

Dua anak manusia hentikan langkah di 

Hutan Maringgis. Yang seorang laki-laki berparas 

tampan. Wajahnya tak ubahnya pangeran-

pangeran dalam dongeng. Rahangnya kukuh. Hi-

dungnya mancung dengan bibir memerah. Dipe-

nuhi dengan cambang halus yang menambah ke-

jantanannya. Tubuhnya tegap tanpa mengenakan 

baju, memperlihatkan bagian dadanya yang bi-

dang dan penuh otot. Celana pangsinya berwarna 

hitam. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor 

kuda. Sayang, dari semua kejantanan dan ketam-

panan yang dimilikinya, matanya memancarkan 

sinar culas. Ia bernama Praba Gering atau yang 

dikenal dengan julukan si Pukulan Maut.

Sedang yang seorang lagi, wanita berparas 

bidadari. Begitu jelita sekali. Kejelitaannya hanya 

bisa ditandingi oleh para dewi-dewi. Ia mengena-

kan pakaian berwarna keemasan dengan bagian

dada terbuka lebar hingga perlihatkan pakaian da-

lamnya yang tipis. di pinggang yang ramping ter-

dapat selendang berwarna keemasan pula dengan 

celana berwarna putih. rambutnya disanggul. ia 

bernama mantari atau yang dikenal dengan julu-

kan si selendang emas.

julukan keduanya itu bukanlah julukan 

kosong dan asing bagi orang-orang rimba persila-

tan. mereka bukanlah suami-istri. namun keke-

jaman dan kesukaan mereka berhubungan badan, 

menjadikan mereka seperti mendapatkan teman 

seperjalanan yang sama. meskipun mereka kerap 

melakukan hubungan badan, namun bila salah 

satu dari mereka mendapat mangsa, tak ada yang

cemburu. mereka juga dikenal sebagai para pem-

bunuh bayaran yang tangguh.

setelah hentikan langkah di hutan maring-

gis, keduanya sambil bergandengan dan sesekali 

berkecupan, melangkah menuju ke sungai yang 

terdapat di sana. dan tanpa malu-malu keduanya 

buka pakaian dan mandi di sungai itu. saling ter-

bahak-bahak dan menyelam. saling raba dan ber-

kecupan. setelah puas mandi, tanpa malu-malu, 

keduanya naik ke tepi sungai dan berpakaian 

kembali.

"kudengar, salah seorang dari jalak kem-

bar baju merah telah tewas di tangan pendekar 

slebor," desis si selendang emas sambil menyang-

gul rambutnya kembali.

praba gering tertawa pendek. "mereka ada-

lah orang-orang tolol! memiliki kemampuan tak 

seberapa, lalu ingin menjegal pendekar slebor. te-

tapi, dengan adanya berita itu, kita sekarang tahu 

kalau pendekar slebor berada di sekitar daerah 

ini. dan ini memudahkan kita untuk menemukannya.

Mantari perlihatkan senyum genitnya.

"Kau benar. Dewi Kemuning atau Ketua 

Partai Tumbal Iblis tak akan sia-sia mengeluarkan 

uang dan upeti untuk kita bila kita berhasil mem-

bunuh Pendekar dari Lembah Kutukan itu."

"Bukankah ini sebuah tugas yang menye-

nangkan? Pertemuan kita dengan Ketua Partai 

Tumbal Iblis, membawa kita kepada Pendekar Sle-

bor. Sejak munculnya seorang tokoh sakti yang 

berjuluk Malaikat Peti Mati, sebenarnya Dewi Ke-

muning berharap sekali Malaikat Peti Mati yang 

menantang Pendekar Slebor bisa membunuh pen-

dekar urakan itu. Hanya sayang, entah bagaima-

na, tiba-tiba saja pertarungan itu tak pernah ter-

jadi. Dan menyenangkan bukan, Dewi Kemuning 

akan membayar mahal bila kita berhasil membu-

nuh Pendekar Slebor."

(Untuk mengetahui tentang Dewi Kemun-

ing dan pertarungan Malaikat Peti Mati dengan 

Pendekar Slebor, silakan baca: "Malaikat Peti Ma-

ti").

"Bodohnya, perempuan itu mengapa tidak 

turun tangan untuk membunuh Pendekar Slebor 

yang ia pikir akan menghalangi sepak terjangnya 

untuk memperluas wilayah kekuasaannya."

"Idenya tidak terlalu bodoh sebenarnya. 

Dewi Kemuning sedang mempersiapkan diri untuk 

menyerang Perguruan Partai Timur karena mem-

bangkang untuk menjadi sekutunya. Dengan ke-

kuatan gabungan beberapa partai, maka kekua-

tannya bertambah dan ia bisa membunuh Pende-

kar Slebor."

Mantari tersenyum. "Kini giliran kita men-

jajal kehebatan Pendekar Slebor, sekaligus men-

dapatkan uang dan upeti yang banyak jumlahnya."

"Ini sangat... cepat sembunyi!" tiba-tiba sa-

ja Praba Gering hentikan ucapannya dan langsung 

lompat ke dahan pohon yang cukup tinggi. Begitu 

pula dengan Mantari. Telinganya pun menangkap 

suara orang berlari ke arah mereka.

Tak lama kemudian, satu sosok tubuh tiba 

di sana. Wajahnya yang cantik dipenuhi keringat. 

Ia adalah Imas, murid Malaikat Bukit Pasir.

Telah empat hari gadis jelita itu mencari 

gurunya, namun sampai sekarang belum ada ha-

sil. Seperti baru sadar, ia merasakan tubuhnya 

lengket karena keringat. Dilihatnya sungai yang 

mengalirkan air jernih. Diraihnya air itu dengan 

kedua tangannya, di-basuh ke wajahnya yang jadi 

segar. Ia pun bermaksud ingin mandi.

Diperhatikan sekelilingnya. Lalu perlahan-

lahan ia mulai membuka pakaiannya. Namun be-

lum lagi ia melakukan, mendadak saja tangannya 

sambar dua buah kerikil dan melemparnya ke atas 

sebuah pohon.

Tass! Tass!

Bersamaan dengan meluncurnya dua buah 

kerikil itu, Praba Gering dan Mantari melompat 

dan hinggap di tanah dengan ringannya.

Praba Gering langsung perdengarkan ta-

wanya. Sejak tadi matanya sudah tak sabar meli-

hat gadis di tepi sungai itu membuka pakaiannya.

Imas memandang tak berkesip pada kedu-

anya. "Hmmm... untungnya aku menangkap gera-

kan salah seorang dari mereka. Kalau tidak, tu-

buhku akan dilalap oleh mata laki-laki itu." Sam-

bil menekan jengkelnya ia mendesis, "Rupanya 

ada monyet-monyet liar yang kerjanya mengintip!"

Mantari hanya perlihatkan senyum. "Anak 

manis... mengapa harus marah? Bukankah itu 

sangat menyenangkan?"

"Perempuan hina! Mulutmu suka bicara 

ngaco rupanya!"

Lagi Mantari perlihatkan senyumnya. Lalu 

berkata pada laki-laki berparas dewa di sisinya, 

"Praba Gering... apakah kau ingin menikmatinya, 

ataukah kau ingin membunuhnya?"

Praba Gering terbahak-bahak, namun tak 

mengurangi ketampanan wajahnya. "Siapa yang 

akan membuang kesempatan seperti ini, hah?"

Imas sadar kalau keduanya bukanlah 

orang baik-baik. Dan kata-kata Praba Gering itu 

membuat wajahnya kelam.

"Manusia hina! Lebih baik kalian tinggal-

kan tempat ini sebelum kubuat perhitungan!"

"Mengejutkan. Sangat mengejutkan. Baru 

kali ini kulihat seekor kelinci berani menantang 

serigala."

"Hanya serigala tua yang tak bertaring!"

Praba Gering terbahak-bahak mendengar-

nya. Baginya, ejekan itu merupakan buaian lem-

but di telinganya. Justru Mantari yang memerah 

wajahnya.

"Cepat kau geluti gadis itu! Aku sudah gat-

al ingin mengepruk mulutnya!"

Mendadak saja, masih tertawa, Praba Ger-

ing kelebatkan tubuh. Sangat cepat sekali.

***

Mendapati serangan itu, Imas langsung 

melompat dan memutar tubuhnya dengan satu 

tendangan cepat.

Wuuttt!

Saat itu juga Praba Gering tersentak. Sejak 

tadi ia memang yakin kalau gadis ini tidak kosong. 

Tetapi gerakan yang diperlihatkan barusan cukup

mengejutkannya.

Ia segera ubah serangannya. Kalau tadi 

masih menganggap enteng kali ini dengan disertai 

seruan keras, ia menerjang cepat. Imas sendiri tak 

mau membuang waktu. Ia masih harus menemu-

kan gurunya.

Dengan setengah bergulingan, murid Ma-

laikat Bukit Pasir itu buat gerakan mengkontra. 

Padahal itu hanya serangan pancingan. Selagi la-

wan menyangka serangannya akan diblok, justru 

Imas akan melenting ke atas. Gadis itu melihat ka-

lau Praba Gering terpancing tipuannya.

Saat itulah ia melenting ke atas dan....

Des!

Dada bidang itu terhantam kaki Imas yang 

telah dialiri tenaga dalam tinggi. Bila Praba Gering 

tak me-miliki keseimbangan terlatih, tubuhnya bi-

sa langsung ambruk. Ia masih sanggup bertahan, 

meskipun gedoran itu cukup menyakitkannya. 

Kepalanya tegak. Matanya nyalang penuh gera-

man.

"Gadis keparat! Kubunuh kau!" sentaknya 

sambil menyerang kembali. Serangkum angin din-

gin menggebubu mengikuti gerakan tubuhnya.

Imas tercekat melihat serangan dahsyat 

itu. Ia tak mau memapaki, justru melompat ke ki-

ri.

Wusss!

Imas cepat menarik kepalanya ke belakang 

ketika kaki Praba Gering sudah mengibas ke 

arahnya. Meskipun serangan lawan luput, namun 

tak urung Imas merasakan wajahnya jadi perih 

karena terkena pukulan angin Praba Gering.

"Bagus!" seru Mantari puas. "Cepat kau 

lumpuhkan gadis itu! Aku sudah tak sabar ingin 

membunuhnya!"

Imas masih coba mempertahankan diri 

dengan meloloskan pedangnya. Namun hasilnya 

tetap sama. Gempuran lawannya begitu dahsyat. 

Dalam satu jurus kemudian, ia tak mampu lagi 

bertahan. Pedangnya sudah berpindah tangan, 

dadanya terhantam tendangan yang keras.

"Inilah saat yang mengasyikkan!" seru Pra-

ba Gering dan siap menotok gadis yang kini terdu-

duk pias. Akan tetapi.... 

Des! Des!

Praba Gering terjajar ke belakang, dadanya 

bagai remuk belaka. Mantari bersiaga dengan ma-

ta nyalang. Satu sosok tubuh berpakaian hijau 

pupus dengan kain bercorak catur di lehernya, te-

lah berdiri dalam jarak tiga tombak di hadapan 

keduanya sambil memegangi tubuh Imas.

Justru Imas yang gelagapan sambil mele-

paskan dirinya. Ia merasa risih dipegang oleh seo-

rang pemuda yang tak dikenalnya.

Sejenak hanya dipandanginya saja peno-

longnya tanpa tahu harus berbuat apa. Tetapi ia 

menjadi risih karena diperlakukan seperti itu.

Penolong Imas yang tak lain adalah Pende-

kar Slebor tersenyum sambil lepaskan pegangan-

nya. Justru Imas yang masih terpana menyaksi-

kan penolongnya, menjadi bersiaga kembali sete-

lah mendengar seruan Mantari,

"Rupanya, orang yang kita cari sudah be-

rada di sini, Praba!"

Praba Gering yang geram karena serangan-

nya pada Imas dihalangi oleh orang yang tengah 

mereka cari, berkata dingin, "Pendekar Slebor... 

cukup lama kudengar nama besarmu. Sayangnya, 

hari ini akan punah di tangan kami!"

"Wah... kalau namanya saja sih tidak apa-

apa. Asal jangan orangnya! Tetapi, kayaknya tidak

pantas orang lain memakai julukan seperti itu. 

Iya, nggak? Iya, nggak?" sahut Andika sambil ke-

rutkan kening, berpikir keras tentang siapakah 

kedua orang ini.

"Setan alas! Kepalamu harus kami bawa ke 

hadapan Dewi Kemuning!"

Mendengar nama Dewi Kemuning dis-

ebutkan, Andika teringat tentang wanita Pimpinan 

Partai Tumbal Iblis yang ingin melebarkan sayap 

kekuasaannya. Bahkan selagi Andika menyamar 

sebagai Malaikat Peti Mati, ia pernah bertarung 

dengan beberapa orang anak buah Partai Tumbal 

Iblis (Silakan baca: "Malaikat Peti Mati").

"Hmm... rupanya Dewi Kemuning tetap 

akan menjalankan niat busuknya itu. Dan kedua-

nya jelas orang yang berpihak padanya," desisnya 

dalam hati.

Tetapi, dasar urakan dengan tak acuhnya 

Andika berkata pada Imas, "Kau tinggalkan tempat 

ini. Biar aku yang meneruskan urusan ini."

"Enaknya ngomong!" sentak Imas yang ma-

sih mendendam pada kedua orang itu. "Kau ini 

siapa sih, main perintahku begitu saja? Lagi pula, 

manusia keparat itu telah memukulku, aku harus 

membalas!" Andika cuma mengangkat bahunya 

saja. "Jadi maumu apa?"

"Manusia itu harus kubalas." Kali ini Andi-

ka mengangguk-angukkan kepalanya.

"Orang seperti mereka memang harus diha-

jar. Kau mampu melakukannya?" 

"Ya!"

"Kalau begitu, bagaimana bila aku dulu 

yang menjitak kepalanya? Tetapi, keenakan ya, 

kalau kujitak kepalanya!"

Imas memperhatikan Andika serius. Batin-

nya bertanya-tanya, "Siapa pemuda yang bersikap

konyol seperti ini? Santai sekali dan seolah tak 

ada masalah."

"O ya... namaku Andika. Siapa namamu?" 

Andika masih bersikap santai, padahal ia tengah 

memancing kemarahan dua orang di belakangnya.

Meskipun keningnya berkerut Imas menye-

butkan pula namanya.

"Nah, bagaimana usulmu sekarang, Imas? 

Apakah mereka harus kita usir, atau kita jitak?"

Imas berkata, "Aku ingin mereka menda-

patkan ganjaran atas tindakan yang mereka laku-

kan tadi. Hhh! Meskipun saat ini aku tengah men-

cari guruku, tetapi kedua manusia busuk itu ha-

rus dihajar!"

"Siapakah gurumu itu, Imas?"

Imas menoleh. Matanya yang bagus mena-

tap Andika tak berkesip. Dikira-kira siapa pemuda 

yang sikapnya rada konyol ini. Bila melihat sikap-

nya itu, jelas ia tak berpihak pada siapa pun juga, 

termasuk dirinya. Namun secara tak langsung Im-

as mengetahui apa yang diinginkan kedua orang 

itu sekarang. Rupanya, pemuda inilah yang mere-

ka cari dan berjuluk Pendekar Slebor.

Lalu perlahan ia berkata, "Aku tak pernah 

tahu nama asli guruku. Tetapi, orang-orang men-

julukinya Malaikat Bukit Pasir."

Meskipun kata-kata itu pelan, namun ter-

dengar keras di telinga Andika. "Rupanya gadis ini 

murid Malaikat Bukit Pasir. Ini sebenarnya ke-

sempatanku untuk mengetahui lebih lanjut siapa 

gerangan orang tua buta itu. Tetapi, saat ini nam-

paknya tidak tepat. Dua manusia itu sudah tentu 

tak akan membiarkanku."

Sementara itu, Praba Gering menjadi panas 

melihat sikap Andika yang seperti tidak mengang-

gap kehadirannya.

Tanpa banyak bicara lagi, ia menderu dah-

syat pada Andika yang seketika menoleh dengan 

tatapan tajam. Sedangkan Mantari yang sejak tadi 

tak melakukan apa-apa, segera meluruk ke arah 

Imas.

***

5


Pertarungan sengit yang terjadi di tepi sun-

gai itu terus berlangsung. Puluhan jurus telah le-

wat. Praba Gering yang tahu akan kehebatan Pen-

dekar Slebor, mengeluarkan segenap kemam-

puannya untuk menjatuhkan pemuda pewaris il-

mu Pendekar Lembah Kutukan itu. Bahkan berka-

li-kali ia harus menerima serangan balik yang de-

mikian cepat terjadi. Namun Andika sendiri mera-

sakan pukulan-pukulan maut yang dilakukan oleh 

Praba Gering, yang timbulkan angin menderu-deru 

dan suara yang keras.

Sementara Imas sudah terdesak hebat oleh 

Mantari. Dengan pergunakan jurus 'Ratu Emas 

Menggulung Api' wanita setengah baya yang genit 

itu mampu membuat Imas tunggang langgang. Ge-

rakannya begitu cepat dan dahsyat. Setiap kali 

Mantari menyergap setiap kali angin bergulung 

hebat menderu. Dedaunan rontok seketika. Debu 

di tempat itu beterbangan dengan tebal.

Dalam waktu yang singkat tempat itu bagai 

diserbu oleh gerombolan gajah ngamuk.

Andika yang sedang mencoba mendesak 

Praba Gering dengan tenaga 'inti petir' tingkat ke-

lima harus terbagi dua perhatiannya. Di satu segi 

ia harus mencoba pula untuk menyelamatkan di-

rinya, di segi lain ia pun harus menolong Imas. Inilah sebabnya, mengapa ia menyuruh gadis itu 

meninggalkan tempat ini tadi. Karena, ia bisa me-

repotkannya! Dan gadis itu terlalu keras kepala! 

Brengsek, padahal ia merasa beruntung karena 

secara tak langsung bertemu dengan murid Malai-

kat Bukit Pasir dan ia bisa menjadikannya sebagai 

tempat bertanya, mengapa begitu banyak orang-

orang rimba persilatan yang menginginkan nyawa 

Malaikat Bukit Pasir?

Tiba-tiba saja dengan alirkan tenaga 'inti 

petir' tingkat pertama pada kedua tangannya, An-

dika menderu ke arah Praba Gering yang sudah 

merangkum ajian pamungkasnya pukulan 'Maut 

Hancurkan Gunung'. Dua buah tenaga berbentu-

ran keras, menimbulkan dentuman yang amat 

dahsyat sekali.

Buuummm!

Bentrokan dua tenaga raksasa itu mem-

buat debu yang beterbangan semakin tebal dan 

tanah yang dipijak bagaikan bergoyang.

Tubuh Praba Gering terpental ke belakang 

dengan tangan yang terasa mau patah. Ngilu tak 

terkira dirasakan. Begitu pula dengan Andika. Da-

rah keluar dari mulutnya. Meskipun luka dalam 

telah dideritanya, Andika segera melenting ke arah 

Mantari yang sedang menyerang Imas dengan 

gempuran-gempur-an dahsyat.

Wusss!

Mendapati angin dahsyat menderu ke 

arahnya, si Selendang Emas mencelat ke samping 

dan membuat serangan Andika luput dari sasa-

rannya. Melihat kesempatan itu, Andika tak henti-

kan gerakannya, langsung putar tubuh ke kiri dan 

langsung menyambar tubuh Imas.

Namun belum lagi pemuda dari Lembah 

Kutukan itu berhasil melakukannya, tiba-tiba saja

kaki kirinya bagaikan disentak ke belakang hingga 

tubuhnya ambruk ke tanah, Imas yang berada da-

lam gendongannya meskipun tak terlepas mau tak 

mau menindihnya. Debu betebaran seketika. 

Andika berbalik ketika dirasakannya satu 

tenaga menariknya dengan kuat. Rupanya Mantari 

sudah meloloskan selendang keemasannya dan 

melilit kaki Andika.

"Monyet pitak!" maki Andika jengkel dan 

berusaha menahan tarikan selendang Mantari 

yang menyeringai. Akan tetapi gerakannya justru 

terganggu oleh Imas yang meronta-ronta minta di-

lepaskan dari bopongannya. Dan ini justru menyu-

litkan Andika sendiri.

Gerakan Andika untuk melepaskan diri da-

ri lilitan selendang Mantari yang juga membetot-

nya hingga terasa nyeri benar-benar kacau, apala-

gi di saat yang bersamaan, bahaya lain tengah 

mengancamnya.

Praba Gering yang tadi mempergunakan 

kesempatan untuk pulihkan tenaganya kembali, 

melurup dengan kekuatan penuh! Gerakannya itu 

begitu cepat, dilakukan hampir bersamaan dengan 

tarikan selendang yang dilakukan Mantari.

Andika hanya terperangah bagai sapi om-

pong melihatnya, sementara Imas yang masih be-

rada dalam bopongannya menjerit keras.

***

Des!

"Aaaakhhhh!"

Jeritan keras menyayat itu terdengar keras. 

Tetapi, bukan dari mulut Andika. Justru Praba 

Gering yang tersurut ke belakang beberapa tom-

bak ketika satu hantaman tak terlihat menyambar

tubuhnya. Darah menyembur dari mulutnya begi-

tu tubuhnya terlempar lima tombak ke belakang. 

Tulang iganya patah dua buah. Dadanya terasa 

remuk dengan napas sesak. Ia tak mampu untuk 

bangun kembali.

Andika sesaat terperanjat. Matanya yang 

tajam melihat kelebatan bayangan yang menderu 

ke arah Praba Gering tadi. Melihat keadaan Praba 

Gering. Mantari berteriak kalap. Wajahnya pias 

bukan buatan. Lalu menjelma menjadi kemarahan 

makin tinggi. Pandangan matanya bagai lontarkan 

kobaran api. Pipinya mengeras. Dalam sangkaan-

nya, Andikalah yang menghantam Praba Gering 

dengan tenaga tak nampak.

Ia cepat menambah aliran tenaga dalam 

pada selendangnya dan tarik dengan cepat kaki 

Andika, yang mau tak mau terseret. Namun Andi-

ka yang sudah siaga meskipun masih kaget den-

gan kejadian barusan, segera menahan kakinya.

Tarik menarik terjadi begitu cepat. Keringat 

mengalir di wajah tampan itu. Kakinya terasa nye-

ri, urat-urat kakinya bagai mau putus. Sementara 

seluruh otot di wajah dan tangan Mantari bagai 

menyembul keluar. Dari hidungnya mengalir da-

rah karena sentakan tenaga dalamnya sendiri.

Tiba-tiba Andika buat satu gerakan cepat. 

Julurkan tangan untuk sambar selendang itu, 

meskipun kakinya terseret lagi.

Beeet!

Sekali sentak tubuh Mantari sudah terba-

wa ke arahnya. Mantari terperangah, ia coba ken-

dalikan diri. Namun betotan Andika lebih cepat.

Begitu tubuh wanita genit itu meluncur, 

Andika segera menyongsongnya dengan tenaga 

'inti petir' tingkat keempat. Suara bagaikan petir 

menyalak terdengar cukup keras.

Desss!

Tubuh Mantari terpental ke belakang, ber-

gulingan sesaat dan muntah darah. Rupanya wa-

nita itu memiliki tubuh yang kedot, karena ia tak 

langsung ambruk terkena pukulan Andika yang 

hebat itu. Namun akibatnya, giginya tanggal. Mata 

kirinya bengkak lebam. Bibirnya pecah dan tiga 

buah tulang iganya patah.

Andika langsung lepaskan selendang Man-

tari pada kakinya yang segera ia alirkan hawa 

murni guna mengurangi rasa sakit. Secepat itu 

pula ia berdiri. Celingukan memperhatikan siapa 

orang yang telah menolongnya tadi. Namun sosok 

orang itu tak nampak lagi. Gerakannya tadi bagai-

kan hantu belaka.

Siapa orang itu?

Tiba-tiba ia mendengar teriakan Imas yang 

keras ke arah Praba Gering yang sudah tak mam-

pu berbuat apa-apa. Rupanya, gadis itu sudah 

menyambar pedangnya yang tadi terjatuh dari 

tangan lelaki berparas dewa itu. Dan sekarang 

siap dihujamkan pada Praba Gering.

"Imas!"

Andika tersentak dan bergerak cepat. 

Tuk!

Ia menotok urat di bagian bawah ketiak 

Imas sebelah kanan, seketika gadis itu mengaduh 

dan tangannya tak mampu digerakkan. Justru 

makiannya yang terdengar.

"Tahan! Kita tak patut membunuh lawan 

yang sudah tak berdaya!"

"Tetapi ia telah memukulku!"

"Menjatuhkan lawan dalam keadaan tak 

berdaya adalah tindakan pengecut! Kita boleh me-

lakukan apa saja! Curang boleh, menggunakan 

akal licik pun tak jadi masalah! Hanya saja, melakukan tindakan pengecut adalah perbuatan hina!"

"Aku tak peduli!" seru gadis itu keras kepa-

la. "Kalau aku pengecut, kau mau apa? Lagi pula, 

apakah kau sudah menjadi bodoh sekarang, kalau 

keduanya tadi menginginkan mengambil nyawa-

mu?!"

"Jangan, Imas... biarkan ia hidup. Toh ke-

duanya sudah tak mampu berbuat apa-apa. Ju-

stru kita harus mengetahui siapakah orang yang 

tadi menolongku!"

"Masa bodoh! Lepaskan totokanmu, aku 

harus membunuh kedua manusia keparat itu!"

Andika cuma menggelengkan kepalanya. 

Membiarkan gadis itu memaki-maki tak karuan. Ia 

sendiri mencoba mencari orang yang telah meno-

longnya tadi. Tetapi tetap tak nampak di depan 

matanya. Lalu ia kembali lagi ke tempat semula, di 

mana Imas sedang berusaha membebaskan di-

rinya dari totokan Andika, namun tak mampu di-

lakukannya.

"Siapa pun dia, kita patut berterima kasih," 

kata Andika pelan sambil mengalirkan hawa mur-

ninya akibat bentrokan yang terjadi berkali-kali. 

"Imas... aku akan membebaskan totokanmu bila 

kau berjanji tidak akan membunuh lawan yang 

sudah tak berdaya."

Imas masih menolak permintaan Andika. 

"Seorang pendekar tak patut melakukan 

tindakan yang keji," ujar Andika pula.

"Lepaskan totokanmu! Akan kubunuh ma-

nusia itu!"

Andika menggeleng. 

"Lepaskan!"

"Bila kau berjanji untuk tidak melakukan 

tindakan keji itu, aku akan melakukannya. Kau 

lihat sendiri, keduanya sudah tak mampu berbuat

apa-apa. Dengan luka yang mereka derita, secara 

tidak langsung ilmu yang mereka miliki sudah 

lumpuh!"

Gadis jelita itu mengeluarkan suara meng-

gembor. "Brengsek! Lepaskan aku! Akan kubiar-

kan manusia itu hidup!"

Andika tersenyum. "Aku menyukaimu bila 

kau menepati janjimu," katanya lalu menggerak-

kan tangannya.

Tuk!

Tubuh Imas terjingkat sebentar. Namun di 

detik lain, tubuhnya sudah menderu ke arah Pra-

ba Gering yang masih terduduk sambil menahan 

rasa sakit dengan teriakan keras, "Mampuslah 

kau!"

"Imas, jangan!" seru Andika dan mengem-

pos tubuhnya untuk menahan serangan Imas. Te-

tapi, Imas yang sudah memperhitungkan kalau se-

rangannya akan dihalangi oleh Andika, mengi-

baskan pedangnya.

Wuuutt!

Andika merunduk. Dan dengan kecepatan 

yang luar biasa, hulu pedang di tangan gadis itu 

menghantam dada Andika.

Des!

Tubuh pemuda pewaris ilmu Pendekar 

Lembah Kutukan itu terhuyung. Andika menden-

gus, benar-benar menjengkelkan gadis ini. Tiba-

tiba ia memiliki satu pikiran yang jitu untuk me-

nahan kejengkelan Imas.

Tiba-tiba saja tubuhnya limbung. Lalu am-

bruk dengan mengeluarkan suara pelan, "Imas...."

Imas yang siap menghujamkan pedangnya 

ke Praba Gering, menoleh ke arah Andika yang 

mendadak saja ambruk. Ia urung melakukan 

niatnya pada lelaki berparas dewa yang tak mampu lagi untuk berdiri.

"Andikaaa!" serunya memburu. Galau ber-

campur kecemasan menjadi satu. Diperiksanya 

tubuh Pendekar Slebor dengan perasaan tak me-

nentu. Detak jantung Pendekar Slebor sangat le-

mah. Tubuhnya pun terasa panas. Imas menoleh 

pada Praba Gering dan Mantari,

"Kalian seharusnya beruntung karena se-

cara tidak langsung diselamatkan oleh orang yang 

hendak kalian bunuh. Pergi dari sini dan jangan 

bertemu denganku lagi!"

Sambil membopong tubuh Pendekar Sle-

bor, Imas pun berkelebat tinggalkan tempat itu.

***

6


Malam mulai merambat perlahan. Imas 

masih tepekur di sisi tubuh Pendekar Slebor yang 

terbujur. Sejak tadi Andika memang berusaha un-

tuk tetap berlagak pingsan. Dan apa yang diala-

minya kemudian sungguh mengejutkan. Pikirnya, 

Imas akan segera meninggalkannya begitu saja, 

namun pada kenyataannya ia berusaha keras un-

tuk menolongnya.

Sesaat Andika ingin membuka sandiwa-

ranya, tetapi ia justru khawatir kalau gadis itu 

akan mengamuk karena merasa dipermainkan. 

Menghadapi gadis semacam ini, sebenarnya telah 

sering diterima Andika. Hanya saja, terkadang ia 

suka kebingungan untuk menghadapinya.

Sebenarnya, saat ini Imas entah mengapa

merasa trenyuh melihat keadaan Andika. Teruta-

ma akan kebijaksanaan hatinya yang mengampuni 

lawan yang sudah tak berdaya.

Sedikit banyaknya, bila mengingat hal itu, 

Imas menjadi tidak enak. Saat ini pikirannya me-

mang se-dang galau. Nasib gurunya belum ia ke-

tahui.

Ia membawa Andika ke sebuah lembah 

yang penuh bukit. Rasa khawatir semakin mende-

ranya, semakin membuat perasaannya tak menen-

tu melihat keadaan Andika yang menurutnya san-

gat berbahaya bagi keselamatan pemuda tampan 

berbaju hijau pupus itu. Dikerahkannya seluruh 

tenaga dalam dan hawa murninya untuk menya-

darkan Andika, paling tidak menghilangkan hawa 

panas yang bagaikan bara. Seluruh ilmu pengoba-

tan yang dipelajarinya dari Malaikat Bukit Pasir 

dipergunakan untuk mengobati luka-luka Andika.

Padahal saat ini, dalam berpura-pura ping-

san, Andika tengah mengeluarkan tenaga 'inti pe-

tir' yang dipadukan dengan tenaga dalamnya un-

tuk mengusir luka dalam yang dideritanya. Karena 

itulah saat Imas memegangnya terasa panas. Dan 

rasa panas itu akan terus terjadi sebelum Andika 

hentikan mengalirkan tenaga 'inti petir'-nya. Ju-

stru gadis itu yang menjadi cemas.

"Oh, Tuhan... apa yang harus kulakukan 

lagi untuk menyelamatkannya?" desisnya dengan 

tubuh penuh keringat, karena ia telah mengerah-

kan tenaga dalamnya untuk menyadarkan Andika. 

Padahal saat itu udara malam begitu dingin sekali 

hingga ke tulang.

Dirabanya sekali lagi tubuh Andika, ber-

tambah panas tak ubahnya ia memegang bara be-

laka. Gadis itu berlari mencari mata air. Tak dihi-

raukannya lagi keadaan dirinya. Dibukanya pakaian luarnya hingga kini ia hanya mengenakan 

pakaian dalam. Dengan pakaian yang telah ia basahi, dibalurinya ke sekujur tubuh Andika.

Saat itulah Andika tersentak ketika diam-

diam ia membuka mata dan melihat Imas hanya 

mengenakan pakaian dalamnya saja, dan pakaian 

luarnya dibalut ke tubuhnya. Sesaat perasaan tak 

menentu hinggap di hati Andika. Sementara itu, ia 

sudah menghentikan mengalirkan tenaga 'inti pe-

tir'-nya untuk mengobati luka dalamnya, sehingga 

tak lagi dirasakan panas ketika Imas meraba tu-

buhnya.

Didengarnya helaan napas lega dari Imas. 

Justru perasaan Andika semakin bertambah tak 

karuan.

"Kutu koreng! Kenapa jadi begini?" desis-

nya dalam hati. "Padahal maksudku berpura-pura 

pingsan agar Imas tidak menurunkan tangan te-

lengas pada kedua lawan tadi. Mereka dalam kea-

daan tak berdaya, tak seharusnya dihabisi. Bila 

dalam satu pertarungan jujur, memang tak ada pi-

lihan lain. Tetapi aku yakin, sikap marah gadis itu 

karena ia sedang kesal. Terutama, kusadari kalau 

ia tengah mencemaskan gurunya. Ah, ke mana la-

ki-laki buta itu sebenarnya?"

Lalu ia merasakan Imas merebahkan tu-

buhnya di sisinya. Dada Andika menjadi berdebar 

hebat dengan wajah memanas. Di sebelahnya ten-

gah terbaring seorang dara jelita, hanya mengena-

kan pakaian dalam belaka!

Ditahannya sesuatu yang mengisi hatinya.

"Busyet! Benar-benar kacau! Kekeras kepa-

laannya gadis ini sebenarnya karena ia tengah ga-

lau memikirkan nasib gurunya. Padahal ia memi-

liki hati yang baik. Terbukti, ia masih berada di si-

siku yang menyangka aku pingsan."

Ditunggunya beberapa saat sebelum ke-

mudian ia melepaskan pakaian luar Imas yang 

menyelimuti tubuhnya, lalu diselimutinya tubuh

Imas. Saat ia merebahkan tubuhnya kembali, An-

dika jadi semakin galau saja. Perasaan aneh di ba-

tinnya menjalar, ditahannya sekuat tenaga.

Dan karena tak ingin melihat tubuh Imas, 

Andika pun memejamkan matanya pula. Tetapi, 

disebabkan rasa lelahnya, ia pun akhirnya terle-

lap.

***

Pagi sudah membentang sejak lima jam 

yang lalu. Matahari sudah lebih dari sepenggalah. 

Burung-burung beterbangan bercicitan.

Andika terbangun ketika sehelai daun me-

nerpa wajahnya. Yang pertama kali diingat adalah 

Imas. Dengan cepat, Andika bangkit. Tetapi hanya 

sesaat ia bisa melakukannya, karena setelah itu ia 

rebah kembali. Dilihatnya gadis itu tidur hanya 

mengenakan pakaian dalam saja. Kalau semalam 

tak begitu kentara, sekarang nyata sekali bentuk 

tubuhnya. Karena, selain saat ini matahari sudah 

muncul juga pakaian luar itu sudah tak pada po-

sisi di mana Andika meletakkannya semalam.

"Busyet! Kacau juga nih!" desisnya sambil 

menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Lalu dengan wajah memerah, Andika men-

gambil pakaian itu, dan menyelimuti tubuh Imas 

kembali. Tetapi perbuatannya justru membangun-

kan Imas dari tidurnya.

"Oh! Mau apa kau?" bentaknya pertama 

kali sambil mendekap tubuhnya sendiri. Matanya 

bagai tertarik ke dalam, tak ubahnya mata kelinci 

yang kelimpungan karena kepungan beberapa 

ekor serigala.

Andika gelagapan dengan wajah memerah. 

"Aku hanya ingin menyelimutimu saja, Imas." Imas langsung berdiri dan menyambar pakaiannya, 

berlari ke satu tempat. "Imas!"

"Ceriwis! Kau mempergunakan kesempatan 

untuk melihati tubuhku rupanya!" seru gadis itu 

di balik semak. Malunya tidak ketolongan lagi. Ko-

nyol, kenapa ia masih tertidur tadi? Astaga, apa 

yang sebelumnya dilakukan oleh Andika tadi? Ba-

gai disengat kalajengking ia meraba tubuhnya 

sendiri dan diyakini tak kurang suatu apa. Meski-

pun demikian hatinya jengkel bukan main. Andika 

mengusap rambutnya ke belakang. Edan, kenapa 

jadi begini sih? Lalu menggerakkan tubuhnya yang 

terasa pegal. Imas muncul kembali sudah berpa-

kaian.

"Kalau kau sudah siuman dari pingsanmu, 

jangan mempergunakan kesempatan!" tuding ga-

dis itu ketika muncul dari balik semak.

Andika jelas sekali melihat kalau Imas ma-

sih mengantuk. Ia benar-benar merasa tidak enak. 

Padahal, ia berpura-pura pingsan agar Imas tidak 

lagi mempersoalkan Praba Gering yang memang 

sudah mau mampus. Dan ia pikir, gadis itu tak 

peduli. Tetapi nyatanya? Ah, Andika jadi pusing 

sendiri. Dan sudah tentu semakin tak berani un-

tuk mengatakan sesungguhnya.

"Tidak, aku tidak melakukan apa-apa. Aku 

hanya...."

"Alasan!" seru Imas sengit. Ia kelihatan ge-

ram sekali. Wajahnya merah padam tak karuan. 

Lalu katanya dengan suara menggembor, "Kalau 

kau sudah merasa sembuh, aku hendak pergi se-

karang!"

"Ke mana?" tanya Andika yang benar-benar 

jadi tidak enak dan pertanyaan itu terlontar begitu 

saja.

"Mencari guruku!"

Andika menahan langkah Imas, "Tunggu!" 

Gadis itu berbalik sambil mendengus, "Apa lagi?" 

"Ada yang ingin kukatakan tentang guru-

mu," kata Andika dan tak menunggu persetujuan 

Imas, ia menceritakan tentang Malaikat Bukit Pa-

sir. Bukannya gembira, Imas justru melotot.

"Kau?" desisnya dengan tubuh bergetar. "Di 

mana guruku sekarang, hah?"

"Sungguh aku tidak tahu. Ini memang ke-

salahanku, Imas. Aku akan berusaha menemu-

kannya. Imas, ceritakan tentang gurumu. Menga-

pa banyak sekali yang menginginkan nyawanya...."

"Setelah kau tidak tahu di mana guruku 

berada, kau ingin aku menceritakan apa yang te-

lah terjadi? Justru kau sendiri yang tahu jawa-

bannya!"

"Maksudmu... sebelum kejadian itu. Ceri-

takan...."

"Kau harus bertanggung jawab atas hi-

langnya guruku!" Gadis itu hanya berkata-kata 

tanpa menjawab keingintahuan Andika tentang 

Malaikat Bukit Pasir.

Andika cuma mendengarkan saja, mem-

biarkan gadis itu mengeluarkan seluruh keingi-

nannya karena ia tahu gadis itu gusar dan risau 

memikirkan gurunya. Setelah puas memaki, Imas 

berkelebat meninggalkannya. Tinggal Andika yang 

terdiam. Setengah penasaran dan gusar. Biar ba-

gaimanapun juga, ia harus mencari Malaikat Bukit 

Pasir.

Lalu ditinggalkannya tempat itu dengan se-

juta pikiran yang mengganggu benaknya.

***

Hujan lebat dan kabut tebal menutup selu

ruh Gunung Neraka mulai dari puncak hingga ke 

kaki. Dingin yang menusuk tulang tak terkirakan 

lagi. Dan tadi siang hujan terus turun dengan de-

rasnya. Suara yang menderu menegakkan bulu 

roma. Petir sambar menyambar. Kilat sesekali me-

nerangi puncak Gunung Neraka yang mengerikan.

Namun satu sosok tubuh yang menung-

gang kuda tak hiraukan semua itu. Ia terus me-

macu kudanya, tak peduli sekujur tubuhnya su-

dah basah. Wajahnya bagaikan ditempa oleh tu-

sukan jarum yang kuat. Sesekali terdengar sua-

ranya memberi semangat pada kudanya. Bila me-

lihat kabut yang tebal dan derap langkah kuda 

yang ringan itu, seolah tak merasa terhalangi oleh 

hujan, menandakan kalau penunggangnya sudah 

hafal liku-liku sekitar Gunung Neraka yang sulit 

dan penuh dengan batu-batu terjal yang setiap 

saat bisa berjatuhan.

Gerakannya pun benar-benar menandakan 

ia sangat hafal sekali, karena dengan ringannya ia 

bisa melewati batu-batu terjal dan jalan yang agak 

licin untuk tiba di puncak Gunung Neraka yang 

menyeramkan dan gelap karena tertutup kabut 

tebal.

Tiba di puncak Gunung Neraka, penung-

gang kuda itu melompat dari kudanya dan tanpa 

buang waktu langsung kelebatkan tubuh menuju

sebuah bangunan kecil yang seakan hendak run-

tuh ditimpa hujan dan petir yang mampu mengge-

tarkannya. Ia menerobos masuk dan menggerak-

kan seluruh tubuhnya agar air hujan yang mele-

kat di tubuhnya berjatuhan.

"Tepat sekali kedatanganmu ini, Grido...," 

terdengar suara dingin itu.

Orang yang baru datang, yang ternyata 

Grido Kencono langsung jatuhkan tubuh di dasar

bangunan kecil yang lembab.

"Maafkan atas keterlambatanku, Guru."

Bangunan kecil itu gelap gulita. Mata telan-

jang saja seakan tak sanggup untuk menembus 

kegelapan. Namun tiba-tiba satu cahaya bersinar. 

Ketika terlihat, jelas-jelas sekali api yang muncul 

itu berasal dari jentikan sebuah tangan. Bahkan 

api itu menempel di ujung jari telunjuk! Dialah 

Datuk Pincang Gunung Neraka, guru dari Grido 

Kencono yang sekaligus guru dari kedua orangtu-

anya - Sepasang Iblis.

"Guru...," desis Grido Kencono lagi.

Orang yang ujung jari telunjuknya menyala 

api tersenyum dingin. Begitu mengerikan. Wajah-

nya tak ubahnya bagaikan tengkorak belaka, ka-

rena kurus sekali. Rambutnya berwarna kelabu 

sekelabu biji matanya. Hidungnya melesak ke da-

lam dengan kedua mata yang turun. Bila saja wa-

jahnya tak seperti tengkorak, sudah tentu ma-

tanya akan membentuk gelambir. Pakaiannya 

berwarna hitam panjang. Menutupi seluruh tu-

buhnya saat ia duduk. Ketika ia menggerakkan 

kakinya, terlihatlah kaki kirinya lebih kecil dari 

kaki kanannya. Di sisinya terdapat sebuah tongkat 

berwarna hitam pula dengan ukiran tengkorak di 

pangkalnya.

"Sudahkah kau membunuh si Keparat Ma-

laikat Bukit Pasir, Grido?"

Grido Kencono menghela napas pelan, lalu 

sahutnya takut-takut, "Belum, Guru"

"Murid bodoh!" suara itu keras menggele-

gar, seakan menyaingi petir yang sambar me-

nyambar. Gubuk itu bagaikan bergerak sesaat. 

Tangannya bergerak menampar pipi Grido Kenco-

no hingga mengalirkan darah. Sakitnya bukan 

alang kepalang, di tahannya semua itu dengan

merapatkan giginya. "Tak guna aku mendidikmu 

selama ini untuk membunuh manusia keparat itu! 

Ingat Grido, nyawa kedua orangtua mu mati di 

tangannya! Keduanya adalah muridku yang ku

sayangi! Dan kau sebagai anaknya, sudah tentu 

adalah cucuku! Yang harus membalaskan sakit 

hati kedua orangtua mu, juga sakit hatiku pada 

Malaikat Bukit Pasir! Yang perlu kau ingat, Gri-

do... laki-laki buta itulah yang membuat hidungku 

hancur seperti ini dan wajahku yang tak ubahnya 

mirip setan gentayangan belaka. Selagi aku men-

coba menolong dan menyelamatkanmu dari tan-

gan Malaikat Bukit Pasir, pertarungan dahsyat tak 

bisa kuelakkan. Karena, ada kau di tanganku yang 

waktu itu masih bayi, gerakanku jadi kacau. Teru-

tama karena aku memang ingin menyelamatkan-

mu. Hhh! Aku hanya menunggu waktu beberapa 

hari lagi untuk menyempurnakan ilmu baruku ini! 

Namun yang perlu kau ketahui pula, kau mampu 

menggempur Malaikat Bukit Pasir dengan ilmu 

yang kuajarkan kepadamu. Sejak puluhan tahun 

lalu, aku dan Malaikat Bukit Pasir selalu berada di 

jalur yang berbeda. Ia selalu menghalangi sepak 

terjangku, juga kedua muridku yang tak lain ke-

dua orangtua mu. Kini saatnya bagimu tunjukkan 

bakti untuk membalas sakit hati kedua orangtua

mu."

Grido Kencono menyahut tanpa mengang-

kat wajahnya. Ia bisa membayangkan kemurkaan 

Datuk Pincang Gunung Neraka.

"Maafkan saya, Guru. Sebenarnya saya 

berhasil untuk mengalahkannya, namun seorang 

pemuda berpakaian hijau pupus telah menolong-

nya," katanya memberanikan diri.

"Siapa setan keparat itu?" suara itu sema-

kin dingin mengandung kegeraman. Tulang-tulang

di wajahnya makin nampak menonjol tak karuan. 

"Pendekar Slebor."

"Hhh! Aku pernah mendengar sepak ter-

jang seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Sle-

bor! Seperti apa kehebatan pemuda itu, hah? Kau 

yang bodoh atau dia yang memang terlalu tangguh 

untukmu?"

Panas wajah Grido Kencono mendengar 

ejekan gurunya. Namun sudah tentu ia tak me-

nampakkannya.

"Kau cari kedua manusia keparat itu! Bu-

nuh mereka! Jangan mempermainkan aku sebagai 

gurumu!"

"Saya datang ke sini, justru ingin meminta 

pelajaran lagi dari Guru. Saya akui, karena saya 

tak mampu untuk menandingi kehebatan Pende-

kar Slebor. Kabarnya, ia berasal dari Lembah Ku-

tukan."

Datuk Pincang Gunung Neraka terlengak 

sejenak. Matanya menyipit.

"Hhh! Ada hubungan apa pemuda itu den-

gan Ki Saptacakra?" dengusnya, seolah bertanya 

pada dirinya sendiri.

Grido Kencono yang mendengarnya baru 

berani mengangkat kepalanya. Ia melihat gurunya 

seperti termenung.

Lalu didengarnya lagi suara gurunya, "Pe-

duli setan bila ia memang ada hubungan dengan 

Ki Saptacakra. Kau tak perlu khawatir lagi untuk 

menghadapinya. Akan kubuat pemuda lancang itu 

kena batunya di tanganmu. Pejamkan kedua ma-

tamu."

Serentak Grido Kencono memejamkan ma-

tanya dengan hati gembira. Ia tahu, dengan perin-

tah seperti itu gurunya jelas akan menurunkan 

sebuah ilmu baru. Memang itulah yang diingin

kan.

Dan mendadak saja ia merasakan satu 

sengatan yang sangat keras sekali, membuat tu-

buhnya bergetar hebat. Di udara yang sedingin 

itu, Grido Kencono mengeluarkan keringat yang 

banyak. Kedua matanya seakan hendak melompat 

karena tak sanggup menahan panas. Mulutnya 

menjerit-jerit setinggi langit. Ia merasa seluruh te-

naganya bagaikan terkuras, membuatnya kelojo-

tan tak menentu Sengatan itu bagaikan ribuan li-

strik yang menyerangnya.

Cukup lama juga lelaki berkumis dan ber-

jenggot panjang itu merasakan sakit yang mende-

ranya, hingga kemudian bagaikan sehelai kertas, 

ia doyong ke belakang dan ambruk.

"Bangun! Pusatkan tenaga dalammu di pe-

rut dan hembuskan napasmu perlahan-lahan!"

Meski masih menahan rasa sakit yang 

menderanya, Grido Kencono melakukan perintah 

dari gurunya, seketika itu juga ia merasakan seku-

jur tubuhnya membaik kembali. Sengatan listrik 

tadi tak begitu dirasakannya lagi, seolah lenyap 

begitu saja.

"Kau sudah memiliki ajian 'Rembulan Ma-

tahari' yang sangat dahsyat, Grido. Kau akan 

mampu menandingi ajian 'Guntur Selaksa' milik 

Pendekar Slebor bila ia memang mewarisi ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan. Tetapi, aku tak per-

caya soal itu. Tak seorang pun yang bisa mewarisi 

ilmu Ki Saptacakra."

Grido Kencono mengangguk-angukkan ke-

palanya dengan gembira.

"Guru, dengan ajian yang baru saja Guru 

turunkan ini, saya akan secepatnya melaksanakan 

perintah Guru."

"Kalau begitu, kembalilah kau sekarang ju

ga, Grido! Ingat, aku tak pernah suka menunggu 

terlalu lama."

"Baik, Guru!"

Dengan tertawa gembira Grido Kencono 

berkelebat keluar dari bangunan itu. Seperti hal-

nya tadi, ia segera menaiki kudanya dan mengge-

braknya kencang. Terobos hujan dan kabut tebal. 

Kalau tadi ia datang dengan hati agak waswas ka-

rena khawatir kena marah gurunya, kali ini se-

nyum tak pernah putus sepanjang ia menaiki ku-

danya selalu bertengger di bibirnya.

Di matanya sudah terbayang bagaimana 

jasad Pendekar Slebor membujur tak bernyawa. 

Dan ia tak sabar untuk menunggu saat yang di-

tunggunya.

Sementara itu, Datuk Pincang Gunung Ne-

raka berada dalam kegelapan kembali. Karena ia 

sudah memadamkan api yang keluar dari jarinya 

tadi. Ada sesuatu yang dipikirkannya....

***

7


Andika memaki-maki, kesal sendiri. Ia ma-

sih berdiri tegak di sebuah batang pohon, melin-

dungi dirinya dari hujan yang turun dengan de-

rasnya.

"Busyet! Kalau begini terus, aku akan kehi-

langan jejak Imas!" dengusnya jengkel. Kalau diin-

gat tentang kejadian itu, Andika jadi malu sendiri. 

Habis, kalau saat itu ia menahan serangan Imas 

pada Praba Gering, bisa-bisa gadis itu akan ganti 

marah padanya. Padahal, Andika membutuhkan-

nya untuk bertanya lebih jauh tentang Malaikat 

Bukit Pasir. Soal Praba Gering dan Mantari yang

ingin dibunuh oleh Imas, sebenarnya tidak perlu 

dilakukan. Karena dugaan Andika, keduanya tak 

akan mampu hidup lebih lama lagi. Kalaupun hi-

dup, mereka akan menjadi orang cacat selama-

lamanya. Pemuda tampan beralis hitam legam mi-

rip kepakan sayap elang itu mendengus mem-

bayangkan kekeraskepalaan Imas. "Menjengkel-

kan, mengapa aku mencemaskannya sekarang? 

Apakah karena aku merasa bersalah setelah hi-

langnya gurunya itu, Malaikat Bukit Pasir? Uh, 

kenapa harus ada sih gadis menjengkelkan seperti 

itu?"

Tetapi di detik lain, pikirannya berubah. 

"Biar bagaimanapun juga, aku harus menemukan 

Imas. Karena, tak mustahil dialah yang sekarang 

akan menjadi sasaran manusia-manusia busuk 

yang mendendam pada gurunya!"

Berpikir seperti itu, Andika akhirnya me-

mutuskan untuk meneruskan larinya.

Tubuh itu pun berkelebat menerobos hu-

jan.

Di sebuah tempat yang agak lapang, tiba-

tiba saja Andika berteriak keras. Empat buah tali 

telah mengikat kedua tangan dan kakinya. Seren-

tak Andika mendengus sambil mengerahkan tena-

ga dalamnya.

"Heeeiiittt!"

Empat buah tali itu menyentak dan empat 

sosok tubuh berpentalan keluar dari arah yang 

berlainan, yang bagai dibetot oleh tenaga raksasa, 

namun segera sigap berdiri. Mereka cukup kaget 

melihat tenaga yang diperlihatkan oleh Pendekar 

Slebor. Karena, membuat tubuh keempatnya ber-

getar.

Andika mendengus gusar begitu melihat 

siapa yang muncul. "Rupanya monyet-monyet ke

pala kuning! Hhh! Di mana Grido Kencono bera-

da?"

Bukannya menyahut keempat orang itu se-

gera menderu secara serempak dengan empat 

buah parang yang besar. Kibasan parang di tan-

gan mereka seakan mengalahkan suara gemuruh 

hujan. Andika mendengus sambil menghentakkan 

tangannya yang dialiri oleh tenaga dalam. Tubuh 

keempatnya tertarik ke depan dan jatuh bangun.

Namun mereka segera berdiri meskipun di 

bibir mereka mengalirkan darah. Serangan kali ini 

lebih berbahaya lagi. Andika berkali-kali harus 

melompat dan membuang tubuhnya kalau tidak 

ingin dicacah oleh parang-parang besar itu.

Yang lebih membahayakan lagi, karena ti-

ba-tiba saja keempatnya melemparkan parang se-

cara serempak ke arah Andika yang harus ber-

jumpalitan menghindar.

Ia memang berhasil menghindari serangan 

itu, bahkan tangannya masih sempat mematahkan 

dua buah parang sekaligus. Namun begitu ia men-

jejakkan kakinya di tanah yang becek, empat buah 

jala yang dilemparkan sekaligus dari arah berlai-

nan telah men-jeratnya. Menjadikannya bagaikan 

seekor burung yang terkena perangkap.

Rupanya keempatnya memang telah mem-

persiapkan jebakan yang lebih hebat lagi. Serentak 

mereka menariknya dengan mengalirkan tenaga 

dalam sehingga ikatan jala itu semakin mengen-

cang. Lalu berlarian berputaran, sehingga tali-tali 

yang menghubungkan dengan jala itu semakin 

pendek, dan membuat Andika bagaikan terikat 

erat.

Andika berontak dengan suara memaki-

maki panjang. Ia mencoba untuk memutuskan 

rangkaian jala itu. Namun jala itu begitu kedot sekali. Keempatnya terus berusaha mempertahan-

kan agar Andika tak mampu meloloskan diri.

"Keparat! Kalian ingin mencari mampus!" 

geram Andika dan berusaha untuk melepaskan ja-

la-jala itu. Namun yang anehnya, jala yang terbuat 

dari rangkaian tali yang bening itu tak mampu un-

tuk diputuskan. Bahkan ajian 'Guntur Selaksa' 

tak bisa memutuskan-nya. Bukan karena tak 

mampu, melainkan karena jala itu sangat lentur 

sehingga Andika bagaikan memukul angin.

Salah seorang dari mereka itu terbahak-

bahak, "Hebat! Hebat sekali! Kakang Grido Kenco-

no pasti menyukai kerja kita ini begitu tahu siapa 

yang masuk dalam jala-jala maut!"

Andika menyipitkan matanya, tubuhnya 

tertekuk karena ikatan jala yang menguat. Kedua 

kakinya bagaikan menekan dadanya sendiri. Cu-

kup menyiksa berada dalam ruang gerak yang 

sempit ini. Bahkan untuk bernapas saja rasanya 

sulit, karena wajahnya pun tertekan ikatan jala 

itu.

"Manusia busuk! Kita bertarung sampai 

mampus!" serunya gusar.

"Mengapa harus repot-repot untuk mem-

bunuhmu, Pendekar Slebor! Gara-gara ulah bu-

sukmu itulah Malaikat Bukit Pasir lolos dari tan-

gan kami!"

"Keparat! Monyet pitak! Ombak karang! Sa-

tu saat akan kukepruk kepala kalian sampai pe-

cah!" maki Andika dan berusaha meronta kembali, 

namun semakin ia meronta, semakin kuat jala-jala 

itu mengikat tubuhnya.

Orang-orang itu terbahak-bahak. Lalu ba-

gaikan dikomando, keempatnya menerjang ke arah 

Andika yang tengah meringkuk tanpa mampu be-

rontak. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi diterima Andika dengan hati marah. Namun, ia tak 

mampu berbuat apa-apa.

Setelah puas memukuli dan menendang 

Andika, bagaikan mendapat hewan buruan, den-

gan sekali sentak saja mereka mengangkat tubuh 

Andika dan meninggalkan tempat itu sambil ter-

bahak-bahak.

Tinggal Andika yang menahan geramnya 

dengan sekujur tubuh yang terasa sakit sekali. 

Namun itu tak dirasakannya, karena justru ha-

tinya yang bertambah sakit.

***

Imas terus berlari menembus hujan yang 

lebat sekali. Ia tak peduli semua itu. Yang dipikir-

kannya hanyalah nasib gurunya. Berbagai pikiran 

aneh yang mengandung kecemasan selalu bermain 

di otaknya. Tetapi Imas berusaha untuk segera 

menghilangkan pikiran buruknya bila setiap kali 

datang.

Di sebuah tempat yang sunyi, Imas mene-

mukan sebuah gubuk kecil yang tak dipakai lagi. 

Gubuk itu masih nyaman untuk sekedar melin-

dunginya dari curahan hujan. Di gubuk itulah Im-

as meringkuk dengan menekuk kedua lututnya di 

balai-balai yang telah kusam dengan rasa lelah 

yang mulai dirasakan.

Pikirannya kembali menerawang. Teringat 

lagi saat-saat yang menggembirakan bersama gu-

runya. Teringat bagaimana gurunya berlatih ilmu 

kanuragan. Teringat bagaimana gurunya selalu 

memberikan wejangan hidup yang berarti. Semua-

muanya teringat dan membuat gadis itu berkali-

kali menarik napas.

Apa yang dialami gurunya saat ini? Dan

berada di manakah dia? Tanya gadis itu dalam ha-

ti.

Imas mendesah panjang. Ia sudah men-

dengar cerita dari gurunya mengapa dua puluh li-

ma tahun yang lalu membunuh kedua orangtua 

Grido Kencono.

Karena mereka orang jahat yang kerjanya 

hanya membunuh saja dan mengumbar ilmu-ilmu 

hitam. Saat itu, gurunya datang berkelana seperti 

kebiasaannya dan ia memiliki seorang musuh be-

buyutan yang berjuluk Datuk Pincang Gunung Ne-

raka. Dalam berkelananya, ia pun telah menden-

gar sepak terjang dari Sepasang Iblis yang menge-

rikan.

Dalam satu perjumpaannya dengan Sepa-

sang Iblis, gurunya berhasil membunuh mereka. 

Namun harus dibayar mahal dengan indera pen-

glihatannya yang terkena Bubuk Sutera yang dite-

barkan oleh Sepasang Iblis.

Gurunya pun tahu kalau Sepasang Iblis 

memiliki seorang anak yang bernama Grido Ken-

cono. Namun ketika ia mencarinya, ia terlambat. 

Karena Datuk Pincang Gunung Neraka yang dike-

tahui sebagai guru dari Sepasang Iblis telah mem-

bawanya pergi.

Mengetahui kalau Sepasang Iblis ternyata 

adalah murid dari musuh bebuyutannya, gurunya 

berusaha mengejar Datuk Pincang Gunung Nera-

ka, namun lelaki berwajah tengkorak itu sudah 

menghilang. Dan yang tak pernah disangka Imas, 

kalau begitu banyak yang mendendam pada gu-

runya. Meskipun ia kini menyadari, kalau dulu 

gurunya bertindak sebagai pendekar kebenaran 

dan sudah tentu orang-orang busuk yang pernah 

dikalahkannya bertambah mendendam saja.

Meskipun cemas bercampur bingung me

mikirkan nasib gurunya, tetapi Imas bangga kare-

na gurunya adalah tokoh dari golongan lurus.

Tiba-tiba Imas teringat akan Pendekar Sle-

bor. Bibir gadis itu tiba-tiba tersenyum sendiri 

berbalur malu. Ah, pemuda tampan yang urakan 

itu telah melihat tubuhnya. Ini sebenarnya mema-

lukan, makanya Imas merasa lebih baik mening-

galkannya saja. Meskipun ia sedih mendengar ce-

rita Pendekar Slebor yang gagal untuk menyela-

matkan gurunya.

Ah, ke mana gurunya pergi sebenarnya? 

Desisnya resah.

Namun lagi-lagi bayangan Pendekar Slebor 

yang muncul di benaknya. Eh! Apa-apaan sih ini? 

Geramnya gusar dan berusaha untuk menghi-

langkan bayangan Pendekar Slebor.

Akan tetapi, semakin ia berusaha keras un-

tuk menghilangkan bayangan-bayangan itu, justru 

semakin kuat mengikatnya. Wajah Imas memerah 

kembali ketika teringat lagi bagaimana Pendekar 

Slebor menatap tubuhnya.

"Memalukan!" desisnya gusar. Seharusnya 

ia membunuh saja pemuda brengsek itu yang te-

lah melihat tubuhnya. Dalam keadaan terluka itu, 

tentunya ia lebih mudah membunuh Pendekar 

Slebor. Namun entah mengapa di dasar hatinya 

Imas merasa senang tubuhnya dilihat Pendekar 

Slebor.

Kembali ia memaki ketika pikiran itu mun-

cul?

"Brengsek! Kenapa sih bayangan pemuda 

brengsek itu tidak mau hilang juga!" makinya gu-

sar.

Dan semuanya bagaikan film yang diputar 

belaka. Kembali lagi bayangan-bayangan itu men-

guak di benaknya. Ih, apakah aku sudah jadi perempuan gatal? Makinya.

Lalu ia berusaha mengkonsentrasikan piki-

rannya pada nasib gurunya. Tetapi, bayangan 

Pendekar Slebor terus mengikuti jalan pikirannya.

"Brengsek! Brengsek! Kenapa sih jadi begi-

ni?" makinya lagi. Apalagi ketika teringat ia me-

ninggalkan Pendekar Slebor dalam keadaan terlu-

ka. Justru ia merasa tak tenang sekarang. "Ah, ti-

dak apa-apa. Pemuda brengsek itu memiliki ilmu 

yang tinggi! Kalaupun ia terluka, seperti ceritanya 

karena ia telah bertarung secara beruntun dengan 

orang-orang yang menginginkan nyawa Guru... 

aku yakin ia masih mampu mengatasinya."

Tetapi gadis itu justru mendesah gelisah. 

Pendekar Slebor tak tahu masalah apa yang sebe-

narnya tengah terjadi, tetapi ia sudah terlibat da-

lam masalah berdarah ini.

Saat itu, Imas benar-benar mencemaskan 

Pendekar Slebor. Perubahan sikapnya begitu cepat 

sekali. Semula membenci dan merutuknya karena 

telah melihat tubuhnya, sekarang justru ia yang 

merasa tidak tenang.

Ah, mengapa harus jadi seperti ini? Desis-

nya masih mencoba menutup segala keanehan 

yang dirasakannya. Tetapi, justru ia berusaha me-

nutupnya, justru kecemasan itu semakin besar 

bertalu-talu di hatinya.

"Brengsek! Kenapa aku harus memikirkan 

pemuda urakan itu? Sialan betul!"

Namun sesuatu yang aneh di hatinya ber-

talu-talu. Setelah hujan berhenti, Imas bertekad 

untuk mencari Pendekar Slebor.

***

8


Grido Kencono hanya mendengus ketika 

penglihatannya yang tajam menangkap satu sosok 

tubuh berkelebat. Hmmm, ada tikus yang iseng 

rupanya, dengusnya dalam hati.

Tiba-tiba tangannya mengibas.

Duaaaar!

Semak belukar seketika pecah berantakan 

begitu terkena sambaran pukulan anginnya yang 

keras. Satu sosok tubuh melenting dari sana sam-

bil menggeram.

Lelaki tinggi besar itu terbahak-bahak me-

lihat sosok di hadapannya.

"Rupanya memang ada tikus iseng yang 

busuk!"

Orang yang baru muncul itu adalah Jalak 

Codet Merah. Setelah melarikan diri sambil mem-

bawa tubuh saudara kembarnya yang tewas akibat 

hantaman Pendekar Slebor, ia pun menguburkan-

nya di satu tempat yang sunyi.

Kegeramannya bertambah setinggi langit. 

Ia berteriak keras bagaikan membedah alam. Dan 

ia bersumpah untuk membunuh Pendekar Slebor. 

Makanya ia kembali berbalik arah untuk mencari 

Pendekar Slebor tanpa mempedulikan lagi ke-

mampuan dirinya. Yang terpenting sekarang, ada-

lah salah seorang dari mereka harus mati. Dirinya, 

atau diri Pendekar Slebor. Untuk sejenak dilupa-

kannya tentang dendamnya pada Malaikat Bukit 

Pasir yang telah membunuh gurunya sepuluh ta-

hun lalu.

Dan sekarang, ia muak diperlakukan se-

perti ini oleh lelaki berkumis dan berjenggot lebat 

yang terbahak-bahak di hadapannya.

"Manusia hina! Jangan kau mencari uru

san denganku! Biarkan aku meninggalkan tempat 

ini bila kau ingin selamat!" ancamnya dengan ma-

ta memerah tajam.

Grido Kencono terbahak-bahak. Tiba-tiba 

saja tawanya terhenti dan tubuhnya melompat ga-

rang ke arah Jalak Codet Merah, menebarkan ha-

wa panas yang tinggi. Jalak Codet Merah yang se-

jak tadi sudah mempersiapkan diri, segera melu-

ruk dengan kecepatan yang sama.

Duk! Buk!

Dua kali tangan dan kaki keduanya berte-

mu dan keduanya mundur ke belakang. Jalak Co-

det Merah mengerutkan keningnya ketika melihat 

tangannya membiru. Sementara Grido Kencono 

hanya terbahak-bahak.

"Rupanya kau sendiri yang tak akan sela-

mat!"

Geram serta penasaran sekali Jalak Codet 

Merah segera menggerakkan kedua tangannya se-

kaligus dalam pukulan yang kuat dan mengan-

dung tenaga yang sangat dahsyat. Dengan gerakan 

itu, Jalak Codet Merah bermaksud menjepit len-

gan kanan lawan kemudian mematahkannya!

Tetapi lagi-lagi Jalak Codet Merah tersen-

tak ketika mendadak saja lawannya membentak 

keras, "Awas leher!"

Dan laksana cengkeraman seekor elang, 

kedua tangan Grido Kencono sekaligus menyapu 

dan menderu ke batang leher Jalak Codet Merah.

"Setttan!" memaki Jalak Codet Merah sam-

bil mengeluarkan suara yang keras. Seketika ia 

melihat tubuh lawannya bagaikan lenyap dari 

pandangan. Namun mendadak ia mendengar an-

gin berkesiur dari sisinya.

Sewaktu lengan Grido Kencono menebas ke 

arah leher, Jalak Codet Merah berhasil mengelak

kan dan kini begitu terdengar seruan lawan maka 

tak ayal lagi ia merunduk cepat dan laksana kilat 

ia menyodokkan kedua tangannya dengan gerakan 

beruntun. Satu ke wajah dan satu lagi ke ulu hati.

Namun ia harus tertipu oleh gerak seran-

gan lawannya. Karena, sesungguhnya dengan ke-

cepatan yang luar biasa tangan Grido Kencono 

berputar ke bawah dan naik lagi ke atas di antara 

kedua lengannya.

Besss!

Tubuh Jalak Codet Merah terjajar ke bela-

kang. Tangannya mengusap dadanya yang nyeri 

terpukul. Matanya memicing dengan kemarahan 

yang semakin menjadi-jadi.

"Keparat!" makinya dan serentak memutar 

tubuh dengan gerakan aneh. Tangan kanannya 

bergerak ke kiri dan ke kanan, membuat Grido 

Kencono sejenak tertegun dengan serangan yang 

aneh semacam itu. Itu adalah jurus 'Merah Darah 

Membuyarkan Lautan'.

Kali ini Grido Kencono nampak bagaikan 

tikus yang terkena perangkap kepungan seekor 

kucing. Ia mencoba mengelak dengan mempergu-

nakan kecepatannya, namun setiap kali ia berge-

rak, setiap kali pula serangan Jalak Codet Merah 

mengarah padanya.

"Anjing! Kau harus mampus!" tiba-tiba saja 

Grido Kencono bersalto ke belakang dengan lin-

cahnya, bahkan saat bersalto ia masih sempat 

menendang sehingga Jalak Codet Merah urung 

untuk mengejar. Saat ia hinggap di tanah, di tan-

gannya telah terangkum ajian 'Rembulan Mataha-

ri' yang baru didapatnya dari Datuk Pincang Gu-

nung Neraka.

Jalak Codet Merah yang telah dirasuki 

amarahnya tak sadar kalau bahaya telah mengancam. Dengan sengitnya, dan suara gerengan yang 

keras ia kembali menyerang. Dalam pikirannya, 

manusia yang mengenakan ikat kepala kuning itu 

hanya membuang waktunya saja untuk mencari 

Pendekar Slebor.

Namun belum lagi serangannya sampai 

pada Grido Kencono, Jalak Codet Merah sudah 

membuang tubuhnya ke kiri dan bergulingan. Ia 

merasakan satu sentakan tenaga yang kuat dan 

dahsyat mengarah padanya tadi.

Duaaar!

Wajahnya seketika pucat pasi melihat lima 

buah pohon pecah menjadi serpihan ketika seran-

gan Grido Kencono luput dari sasarannya.

"Gila! Kalau aku nekat meneruskan semua 

ini, bisa-bisa aku mampus di tangannya! Kesem-

patanku untuk mencari Pendekar Slebor akan pu-

pus."

Grido Kencono terbahak-bahak melihat wa-

jah lawannya yang pias. "Kini kau akan mampus, 

Manusia Busuk!" tawanya sambil mengangkat 

tangan kanannya. Ajian 'Rembulan Matahari' siap 

dikirimkan pada lawan.

Jalak Codet Merah mengangkat kedua tan-

gannya seraya berseru, "Tahan! Biarkan aku hi-

dup, maka aku akan mengabdi kepadamu!"

Grido Kencono mengeluarkan suara terta-

wa yang lebih tinggi. Perutnya bagaikan bergun-

cang hebat.

"Usul yang menarik sekali. Silakan kau 

menjilat kedua kakiku bagaikan seekor anjing un-

tuk mengetahui ketulusan hatimu mengabdimu 

kepadaku!"

Wajah Jalak Codet Merah memerah men-

dengarnya. Ia berusaha menahan seluruh gelegak 

amarahnya. Ia memang tak ingin mati dulu sebelum membunuh Pendekar Slebor. Lalu dengan 

menahan seluruh amarah, dendam, dan malunya, 

bagaikan seekor anjing ia menjilati kedua kaki 

Grido Kencono yang terbahak-bahak, tetap dengan 

tangan yang terangkum ajian 'Rembulan Matahari' 

bila lawannya ternyata hanya berpura-pura.

"Ha ha ha... bagus! Kau boleh mengabdi 

kepadaku! Sebutkan namamu dan ceritakan apa 

yang sedang kau alami!"

Jalak Codet Merah menyebut namanya dan 

menceritakan semua yang dialaminya. Seketika 

terdengar suara Grido Kencono bagaikan ledakan 

keras.

"Lagi-lagi pendekar keparat itu!" tiba-tiba 

tangannya mengibas kembali. Suara ledakan se-

puluh kali beruntun terdengar bersamaan sepuluh 

pohon besar yang menjadi serpihan. "Aku pun 

mempunyai dendam yang sama pada Pendekar 

Slebor! Jalak Codet Merah, pengabdianmu sejalan 

dengan yang hendak kulakukan pada Pendekar 

Slebor! Dan yang terpenting lagi, kita pun memiliki 

dendam pula pada Malaikat Bukit Pasir! Hhh! 

Keinginanku yang ada sekarang ini membunuh 

pendekar lancang itu!"

"Kawan Grido, terima kasih bila kau men-

ganggapku sebagai teman seperjalanan!" sahut Ja-

lak Codet Merah tersenyum. Dengan adanya Grido 

Kencono, ia yakin akan berhasil membunuh Pen-

dekar Slebor.

"Ha ha ha... kau memang pandai menjilat 

rupanya! Sayang, Jalak Kembar Baju Merah hanya 

tinggal seorang! Hhh! Pendekar Slebor memang 

harus mampus di tanganku!"

Tiba-tiba terdengar satu suara, "Kakang 

Grido! Pendekar busuk ini telah berada di tangan 

kita!"

Grido Kencono menoleh ke arah suara itu. 

Begitu pula dengan Jalak Codet Merah yang seke-

tika bergerak bagaikan melihat buruannya.

"Keparat hina! Kau harus membayar nyawa 

adikku! Heaaa!"

Bruk!

Kaki Grido Kencono lebih dulu menyambar 

kaki Jalak Codet Merah sehingga lelaki itu tersu-

ruk ke depan.

"Tidak perlu langsung membunuhnya! Ini 

kesempatan kita untuk memperlihatkan diri pada 

seluruh isi rimba persilatan, kalau pendekar no-

mor satu di rimba persilatan berada di tangan ki-

ta! Setelah manusia ini kita bikin mampus, usaha 

yang harus kita lakukan adalah memburu Malai-

kat Bukit Pasir! Ha ha ha...."

Pendekar Slebor yang kali ini benar-benar 

bagaikan tikus yang masuk perangkap hanya bisa 

menggeram gusar dengan tatapan sengit.

"Kita bertarung sampai mampus, Orang 

Busuk!" serunya sambil mencengkeram erat jala 

yang menyelimuti tubuhnya. Ia tahu, keadaan tak 

menguntungkan saat ini. Apalagi dilihatnya Jalak 

Codet Merah sudah bergabung dengan Grido Ken-

cono.

"Pemuda setan! Kita akan membuat per-

mainan yang sangat menarik!" Tubuh Grido Ken-

cono berkelebat cepat.

Tuk! Tuk!

Dua kali ia menotok Andika sehingga pe-

muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu 

semakin tak berdaya saja.

"Keluarkan ia dari jala itu!"

Serentak keempat lelaki yang memegang 

tali masing-masing menggerakkannya.

Bruk!

Jala-jala itu terlepas, tubuh Andika terlem-

par dan jatuh bagaikan nangka busuk.

Sementara sepasang mala Jalak Codet Me-

rah semakin berkilat-kilat dengan dendam yang 

semakin sarat. Namun ia masih bisa menahan ra-

sa dendamnya untuk tidak menghabisi nyawa 

Pendekar Slebor. Toh, sebentar lagi ia akan turut 

menghabisi nyawa Pendekar Slebor. Ini adalah ke-

sempatan yang lebih baik, karena tak perlu bersu-

sah payah mencarinya.

Andika masih memaki-maki dengan tubuh 

tak bisa bergerak. Kemarahannya sudah memblu-

dak sebenarnya. Tiba-tiba ia mengaduh dengan 

kepala oleng. Kaki Ekalaya sudah menyepak mu-

kanya.

"Jangan jadi badut di sini!"

Andika menggeram pada Ekalaya."Kuhajar 

tunggang-langgang kau nanti!"

Ekalaya terbahak-bahak. "Sudah mau 

mampus masih bertingkah! Kakang, apa yang 

akan kita lakukan dengan manusia busuk ini?!"

"Ikat kedua kakinya!"

Ekalaya segera menjalankan perintah itu. 

Lalu meneruskan dengan melemparkan tali itu ke 

sebuah batang pohon.

"Tarik! Biar seluruh darahnya tumpah di 

kepala!"

Apa yang dialami Andika memang benar-

benar suatu siksaan. Kini tubuhnya tergelantung 

di dahan pohon dengan kepala ke bawah. Ia tak 

mampu untuk meronta sedikit pun kecuali hanya 

memaki-maki tak karuan.

"Kumpulkan batu!" seru Grido Kencono 

sambil terbahak-bahak.

Dengan cepat termasuk Jalak Codet Merah, 

mereka mengumpulkan batu-batu yang cukup besar.

"Nah, kita akan menikmati permainan ini! 

Barang siapa yang bisa melempar tepat di kepala 

pemuda sialan itu, maka ia berhak melempar dua 

kali!"

Wajah Andika pias bercampur kemarahan 

yang tinggi. Ia menggeram hebat mengumbar selu-

ruh amarahnya. Namun totokan yang dilakukan 

Grido Kencono bukanlah totokan sembarangan, ia 

bukan hanya tak mampu untuk melepaskannya, 

bahkan untuk menemukan di bagian mana tu-

buhnya ditotok saja sungguh sulit.

"Keparat busuk! Manusia monyet!"

"Kau boleh memaki sepuasmu, Pendekar 

Slebor! Ingat, aku bisa menghentikan semua per-

mainan ini, asal kau mau mengatakan di mana 

Malaikat Bukit Pasir berada?"

"Setan alas! Monyet gundul! Bila aku tahu 

di mana ia berada, tak akan pernah akan kukata-

kan padamu! Kau harus mampus, Jelek!"

Wajah Grido Kencono memerah. "Jangan 

salahkan aku bila kau akan segera mengikuti 

permainan ini! Lakukan!"

Lalu mulailah ia menerima siksaan yang 

membuatnya gusar dan marah. Batu-batu itu di-

lempar secara bergantian, mencecar kepalanya. 

Memang hanya sesekali batu yang dilempar den-

gan kekuatan penuh itu menimpa kepalanya, na-

mun rasa sakitnya sungguh luar biasa. Darah su-

dah mengalir dari pelipisnya. Belum lagi bagian-

bagian tubuhnya yang lain yang terhantam oleh 

batu-batu itu.

Orang-orang itu melakukannya sambil ter-

tawa-tawa. Jalak Codet Merah benar-benar mera-

sakan satu kesenangan yang telah lama dicarinya. 

Bahkan ia melempar dengan mempergunakan tenaga dalam yang penuh sehingga setelah sepena-

nakan nasi Andika menerima siksaan itu, ia pun 

jatuh pingsan.

"Cukup! Guyur ia dengan air biar sadar 

kembali! Setelah itu, kita teruskan permainan ini!" 

seru Grido Kencono dengan senyum puas.

Ekalaya sambil tertawa-tawa segera men-

gambil air yang terdapat di sebuah sungai.

Ia menemukan sebuah gentong yang ter-

buat dari tanah liat. Gentong yang cukup besar 

itu, sudah agak kusam. Namun tak ada bagian 

yang retak. Dengan gentong itu ia membawa air 

yang banyak. Ketika ia akan kembali lagi ke tem-

pat semula, mendadak saja satu pukulan keras 

menimpa punggungnya hingga ia jungkir balik. 

Tulang punggungnya terasa patah. Gentong yang 

dipegangnya terlepas, pecah dan airnya tumpah.

Matanya berkeliaran mencari siapa yang 

membokongnya. Namun tak satu sosok pun yang 

terlihat.

"Manusia keparat! Tampakkan wajah bu-

sukmu bila kau memang jantan!" maki Ekalaya 

dengan sikap waspada.

Tak ada suara apa pun.

Yang ada hanya kesiur angin yang datang 

begitu tiba-tiba.

Buk!

Kembali Ekalaya bergulingan dan ketika 

berdiri ia memaki-maki keras. Ia sungguh tak me-

lihat orang yang menyerangnya. Bahkan bayan-

gannya pun tidak. Hanya suara angin yang men-

desir saja yang dirasakannya.

Kembali ia memaki-maki keras. Namun 

makiannya itu tak berguna, karena sejurus kemu-

dian kepalanya sudah pisah dari jasadnya.

***

Grido Kencono mendengus gusar ketika 

menyadari sudah cukup lama Ekalaya tak kemba-

li. Ia sudah tak sabar untuk mempermainkan An-

dika kembali. "Subali! Susul dia!"

Yang diperintah segera menjalankan tugas. 

Namun ia pun tak kembali lagi. Karena, suara an-

gin yang aneh itu terdengar lagi dan Subali mera-

sakan tubuhnya terkena hantaman keras. Tulang 

iganya patah seketika. Belum lagi ia menyadari 

apa yang terjadi, terdengar suara 'krak' yang cu-

kup keras. Kepalanya pecah terkena keprukan 

yang dahsyat.

Grido Kencono benar-benar murka seka-

rang. Dengan segera ia memerintahkan dua te-

mannya sekaligus untuk mencari Ekalaya dan 

Subali.

Keduanya kembali lagi dengan teriakan-

teriakan keras, "Kakang! Ekalaya dan Subali su-

dah menjadi mayat!"

"Apa?" lelaki tinggi besar itu bangkit dari 

duduknya dengan suara menggelegar. Matanya 

nyalang dan suaranya semakin keras menggelegar, 

"Siapa yang melakukan semua itu?"

"Kami tak melihat siapa-siapa!"

"Kalian tunggu di sini! Jalak Codet Merah, 

ikut denganku! Rupanya ada manusia lancang 

yang hendak mencari mati!" serunya keras.

Lalu dengan kegeraman yang sangat besar, 

Grido Kencono berkelebat bersama Jalak Codet 

Merah. Apa yang dikatakan Drajit dan Waringko 

memang benar. Ia menemukan mayat Ekalaya dan 

Subali dengan leher patah.

Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Ia 

menjerit keras memanggil-manggil si penyerang

yang tak ketahuan batang hidungnya. Setelah be-

berapa saat tak muncul, dengan kegeraman yang 

sangat Grido Kencono melepaskan pukulan ajian 

'Rembulan Matahari' berkali-kali. Seketika suara 

gemuruh bagaikan puluhan ekor gajah liar men-

gamuk

Setelah puas mengumbar amarahnya, den-

gan napas terengah-engah menyimpan gelegak 

amarah, ia segera mengajak Jalak Codet Merah 

kembali ke tempat semula. Dan sepasang matanya 

yang geram seakan melompat keluar ketika meli-

hat Drajit dan Waringko sudah menjadi mayat. 

Sementara tubuh Pendekar Slebor tak ada di tem-

patnya!

"Bangsat keparat! Kau hanya mencari 

mampus!" geramnya setinggi langit, membedah 

tempat yang besar dan sunyi itu.

Sementara Jalak Codet Merah hanya ter-

diam dengan tatapan waspada.

***

9


Andika membuka matanya, yang kembali 

segera dipejamkan karena silaunya sengatan ma-

tahari. Yang diingatnya, hanyalah ketika terakhir 

ia mengalami siksaan yang dilakukan oleh Grido 

Kencono. Makanya, seketika ia bangkit berdiri dan 

bersiaga. Namun tempat itu sepi, tak seorang pun 

berada di sana.

Diam-diam Andika mendesah. Berada di 

manakah ia sekarang ini? Bukankah saat itu ia 

tengah tergantung dengan kepala ke bawah? Baru 

pula disadarinya kalau luka-lukanya telah sem-

buh. Bahkan Andika merasa tubuhnya seperti sediakala.

Siapa yang telah menolong aku? desisnya 

bertanya-tanya.

Tiba-tiba ia menoleh ketika didengarnya 

suara ranting patah karena terinjak dan dilihatnya 

Imas sedang melangkah perlahan. Di tangannya 

terdapat buah-buahan yang ranum. Andika men-

desis, entah kenapa ia jadi gelisah. Melihat keha-

diran gadis ini, ia yakin, pasti Imas yang meno-

longnya. Ah, kalau dulu ia mempermainkan gadis 

itu dengan berpura-pura pingsan, justru sekarang 

ia pingsan benaran. Karena merasa seperti itu, 

Andika langsung mendekat dan berkata.

"Kuucapkan terima kasih atas pertolon-

ganmu, Imas."

Bukannya menjawab sebaliknya gadis itu 

mendengus, "Bicaramu ngaco! Aku merasa tidak 

menolongmu lagi?" Lalu dengan santainya ia du-

duk di tanah dan tanpa menawari ia memakan 

buah yang baru dipetiknya. "Pemuda seperti kau 

ini justru akan mencuri kesempatan kalau dito-

long! Kesudian amat!"

Andika hanya membuang nafasnya saja. 

Sikap gadis ini memang masih tetap semaunya sa-

ja. Tetapi merasa ia memang harus berterima ka-

sih, Andika berkata lagi, "Biar bagaimanapun juga, 

aku berterima kasih padamu."

"Sudah kubilang tadi, aku tidak meno-

longmu!"

Kali ini Andika mengerutkan kening. "Ka-

lau kau merasa tidak menolongku, lalu siapa yang 

melakukannya?" tanyanya seolah pada diri sendiri.

Gadis itu menyahut tak acuh, "Mana aku 

tahu? Aku menemukanmu dalam keadaan ping-

san. Ketika kuperiksa luka-lukamu, kau seperti 

baru saja diobati. Masih untung sebenarnya! Masih ada yang mau menolongmu!"

"Brengsek, gadis ini bicara seenak perutnya 

saja!" maki Andika dalam hati. "Tetapi, siapa yang 

telah menolongku?" desisnya bagai bergumam.

Imas yang mendengar gumamannya itu 

membentak, "Ya ampun! Kau ini bagaimana sih?! 

Sudah kubilang tadi, mana aku tahu! Hei, kau la-

par tidak? Nih, kau nikmati rezekimu!"

Andika menangkap buah yang dilemparkan 

Imas. Lalu dengan masih memikirkan siapa yang 

telah menolongnya, ia memakan buah itu. Sesaat 

kemudian dilihatnya Imas telah berdiri, "Aku mau 

mencari Guru!"

"Tunggu, Imas!"

Gadis itu menghentikan langkahnya. Lalu 

sambil menghentakkan kakinya ia menoleh dan 

berseru, "Apa lagi? Tak ada yang perlu dibicarakan 

lagi, bukan? Nah! Selamat tinggal!"

Wajah Andika memerah karena jengkel di-

ejek seperti itu. Ia mendengus tanpa berkata lagi.

Gadis itu membuang wajahnya, lalu den-

gan langkah angkuh ia meninggalkan Andika.

Andika tak menahan kepergian Imas. Se-

sungguhnya, ia tak tahu apa yang ada di hati ga-

dis itu sebenarnya. Imas memang sengaja hendak 

meninggalkannya, dengan harapan Andika akan 

mengikutinya. Atau paling tidak menahannya lagi. 

Tetapi justru Andika malah membiarkan saja.

Huh! Pemuda bodoh! Tidak tahu kalau aku 

mulai mencintainya, dengus Imas. Tidak tahu ka-

lau aku selalu memikirkannya. Tiba-tiba terdengar 

teriakannya yang keras.

"Kang Andikaaaa!"

Andika yang masih terdiam, melengak lalu 

dengan satu lompatan ringan ia sudah tiba di sisi 

Imas. "Ada apa, Imas?"

Gadis itu menunjuk seekor ular yang se-

dang melata dengan tangan gemetar. Sikapnya be-

gitu ketakutan sekali. Andika segera mengambil 

sebutir kerikil, menjentiknya hingga batu itu me-

luncur laksana anak panah yang dilepaskan dari 

busur ke arah ular itu. Dan seketika kepala ular 

itu pecah!

"Tidak apa-apa! Mengapa hanya dengan 

ular saja kau takut? Padahal, kau berani memben-

takku!"

Imas memukul bahu Andika dengan man-

ja. Andika mengerutkan keningnya. "Aneh, tadi ia 

membentak-bentakku, sekarang sikapnya begitu 

manja. Kenapa sih? Jangan-jangan buah yang di-

makannya mengandung racun pengacau otak?"

Andika memang tak tahu kalau itu hanya-

lah akal Imas belaka. Jangankan hanya seekor 

ular, seekor singa yang menghadangnya, gadis itu 

pun masih berani menghadapinya.

Yang terjadi kemudian, tahu-tahu kedua-

nya sudah saling tatap. Mata mereka seakan mag-

nit yang membuai dan menggerakkan hati. Karena 

tiba-tiba saja sepasang mata Imas terpejam den-

gan dada berdebar. Untuk sejenak Andika menge-

rutkan keningnya. Tidak mengerti.

"Kenapa, Imas? Apakah kau masih ngeri 

dengan ular itu?" tanyanya, polos

Imas menjadi gemas dan segera membuka 

matanya.

"Kang Andika ini!"

"Lho, aku bertanya kan... ha ha ha!" tiba-

tiba Andika tertawa. Lalu ia memijit hidung Imas 

yang bangir setelah menyadari apa yang terjadi. 

"Kalau kau ingin kucium, aku mau saja."

Justru dikatakan seperti itu Imas jadi ma-

lu. Wajahnya memerah tak karuan. Namun hatinya senang bukan main. Akan tetapi, karena su-

dah telanjur malu, ia melepaskan rangkulannya 

pada Andika dan berlari.

"Hei, kau mau ke mana?" seru Andika. "Ke-

jar aku kalau Kang Andika mampu!" 

"Busyet! Dia nantang nih! Tetapi nanti ka-

sih cium ya?" seru Andika masih tertawa geli me-

mikirkan sikap Imas.

"Cium bibir sumur mau?" seru Imas dari 

kejauhan.

Andika mengejar, "Kalau kau yang jadi su-

murnya, ya... aku belum tentu mau! Ha ha ha!"

Dunia memang berputar, sesuai dengan 

hukum alam. Malam pun kembali datang. Bentan-

gan langit gelap yang diterangi oleh jutaan bintang 

membentang indah.

Di bawah pohon yang rindang, Andika dan 

Imas duduk berdua. Dalam jarak seratus tombak 

dari mereka, berjejer bukit-bukit indah, namun di-

lihat pada malam hari tak ubahnya bagai raksasa 

yang sedang tertidur. Pada siang hari, pemandan-

gan disekitar bukit itu sangat indah.

Imas bersandar di batang pohon, sementa-

ra Andika tiduran dengan kepala berbantal kedua 

paha Imas.

Apa yang dialami oleh Imas ini memang 

sangat ia harapkan sekali. Sementara bagi Andika 

sendiri, ia merasa Imas akan lebih aman bersa-

manya karena seperti diketahui kalau intaian 

maut siap mengancam mereka. Meskipun terus te-

rang, berjalan bersama seorang gadis dalam kea-

daan semacam ini bukanlah hal yang mengena-

kan. Mengingat gadis itu juga memiliki sifat yang 

keras kepala.

Sampai saat ini Andika masih memikirkan 

siapakah yang telah menolongnya. Biar bagaimanapun juga, siapa pun orangnya, ia akan tetap 

berterima kasih padanya. Yang juga masih dipikir-

kannya, tentang lenyapnya Malaikat Bukit Pasir 

yang kemungkinan berkaitan dengan seseorang, 

yang mungkin telah menolong laki-laki buta itu 

atau bisa pula telah atau akan membunuhnya.

"Kang Andika...," desis Imas dengan suara 

bergetar sambil membelai rambut Andika yang 

gondrong. Matanya memandang lembut pada An-

dika yang mendongak.

"Ya?"

"Aku mencemaskan nasib Guru."

"Begitu pula denganku, Imas. Aku sungguh 

menyesal karena tidak lebih dulu mengamankan-

nya saat mencari buah-buahan pengisi perut."

"Jangan salahkan dirimu, Kang Andika. 

Bukankah kau sendiri saat itu yakin kalau Guru 

akan aman?"

"Kau benar, Imas. Tetapi biar bagaimana-

pun juga...."

Imas menekan mulutnya pada bibir Andika

"Tidak usah kau teruskan lagi."

Suasana hening. Masing-masing dicekam 

oleh pikiran sendiri. Malam semakin merambat. 

Suara binatang malam terdengar cukup ramai. 

Andika tak ingin memasang api unggun karena 

tak mau mengundang masalah. Sudah berhari-

hari mereka mencari jejak Malaikat Bukit Pasir, 

namun lelaki itu tetap tak diketahui di mana be-

rada. Seolah lenyap dari muka bumi begitu saja.

Kesempatan berdua-dua dengan Imas di-

pergunakan Andika meminta pada gadis itu agar 

menceritakan tentang Malaikat Bukit Pasir. Andi-

ka mengangguk-anggukkan kepalanya setelah 

mendengar semua itu.

Kini ia tahu, kalau sesungguhnya dulu Ma

laikat Bukit Pasir selalu menumpas orang-orang 

golongan sesat. Dan sekarang, mereka yang masih 

tersisa masih memendam dendam yang sangat. 

Terutama dari Grido Kencono yang jelas-jelas di-

tunggangi oleh Datuk Pincang Gunung Neraka.

Sehabis menceritakan semua itu, Imas me-

rebahkan tubuhnya di tanah, menatap langit yang 

terhalang oleh pohon tinggi besar. Andika pun me-

lakukan hal yang sama dengan otak yang masih 

berpikir.

Berada di samping Andika, perasaan Imas 

jauh lebih aman dan tenteram. Apalagi ketika din-

gin semakin menyerang dan ia semakin tenteram 

ketika tangan melingkar di tubuhnya. "Tuhan, 

jangan kau biarkan pagi datang terlalu cepat. Aku 

ingin menikmati semua ini berlama-lama," doanya.

Tiba-tiba pesona yang sedang dinikmati 

gadis itu lenyap ketika Andika berkata sambil cen-

gengesan, "Imas.... Ada sesuatu yang ku rahasia-

kan sebenarnya."

Gadis itu berbalik, menatap Andika dengan 

kening berkerut. Matanya yang indah seolah me-

mancarkan sinar kelembutan di malam itu. Andi-

ka sendiri hampir-hampir tak percaya menyaksi-

kan apa yang dilihatnya.

"Tentang apa?"

"Aku pernah membohongimu."

Kali ini Imas lebih serius menatap Andika.

"Berbohong? Maksud Kang Andika bagai-

mana?"

"Dia sudah terbiasa menyebutku dengan 

panggilan 'Kang'," desis Andika dalam hati dan 

merasa tak enak bila mengingat ia pernah mem-

bohongi gadis itu. Merasa saat inilah yang tepat 

untuk mengatakannya, Andika segera bercerita 

saat ia berpura-pura pingsan.

Imas terduduk sambil berkacak pinggang. 

"Kau?" suaranya gemetar dengan tangan menud-

ing.

"Apa lagi? Sudah, sudah! Kan sudah berla-

lu...."

Imas menghentakkan tangannya ke tanah 

dengan wajah memerah. Tetapi, entah mengapa ia 

justru senang ketika menyadari hal itu. Hanya sa-

ja, sudah tentu tak diperlihatkannya. Lalu dengan 

bersungut-sungut Imas merebahkan tubuhnya 

kembali.

"Brengsek! Kau jahat!"

"Tidak apa-apa. Kau beruntung lho, aku 

yang melihat tubuhmu!"

Imas melotot, lalu sejurus kemudian ia 

menghujani Andika dengan cubitannya.

"Bandel! Urakan! Brengsek!"

Andika hanya terkekeh kegelian, sementara 

gadis itu terus mencubiti sekujur tubuhnya.

Tinggal suara cekikikan saja yang terden-

gar.

***

10


Dua sosok tubuh itu berhenti di sebuah 

tempat yang lapang. Keduanya adalah Grido Ken-

cono dan Jalak Codet Merah yang masih mencari 

Pendekar Slebor. Lenyapnya Malaikat Bukit Pasir 

masih diyakini oleh keduanya kalau semua ini 

berhubungan dengan Pendekar Slebor.

"Akan kupatah-patahkan seluruh tulang-

nya bila kudapati Pendekar Slebor!" geram Grido 

Kencono dengan wajah memerah. Terutama bila 

mengingat bagaimana empat orang anak buahnya

mati mendadak tanpa diketahui siapa yang me-

nyerangnya. "Manusia bangsat itu pun harus 

mampus, siapa pun dia adanya!"

Tiba-tiba saja hawa panas menderu ke 

arah mereka yang serentak bergulingan dan ber-

samaan datangnya hawa panas itu satu sosok 

berwajah menyeramkan telah berdiri di hadapan 

keduanya.

Jalak Codet Merah bersiaga, sementara 

Grido Kencono langsung menjatuhkan tubuhnya 

mengetahui siapa yang datang.

"Guru!"

"Aku yakin, kau belum menemukan kepa-

rat itu!" suara Datuk Pincang Gunung Neraka 

mengerikan sekali. Dari nafasnya hawa yang pa-

nas menguar. Jalak Codet Merah sendiri mem-

buyarkan sikap waspadanya mengetahui kalau 

guru dari Grido Kencono yang datang.

"Maafkan saya, Guru."

"Kau tak akan pernah menemuinya, Grido."

"Mengapa, Guru? Apakah Guru sudah 

membikinnya mampus?"

Datuk Pincang Gunung Neraka mengelua-

rkan suara dingin.

"Tidak! Tetapi sebentar lagi ia akan mam-

pus!"

"Ia sendiri sudah akan mampus Guru, bila 

Pendekar Slebor tak menyelamatkannya."

Datuk Pincang terbahak-bahak. "Meskipun 

kau sudah menceritakan bagaimana terlukanya 

Malaikat Bukit Pasir, tetapi tetap saja aku tak bisa 

mempercayainya."

Grido Kencono terbelalak, matanya seperti 

melompat keluar, suaranya bagai tercekik, "Guru!"

"Tak mudah untuk menaklukkan Malaikat 

Bukit Pasir. Menghadapi Pendekar Slebor saja kau

tak mampu. Aku yakin, kesaktian yang dimiliki 

oleh Malaikat Bukit Pasir berada di atas Pendekar 

Slebor."

"Tetapi, Guru... aku melihatnya sendiri ba-

gaimana ia sudah kepayahan menghadapi gempu-

ran-gempuranku. Hhh! Kalau saja tak ada Pende-

kar Slebor...."

"Tidak, ia pasti mempunyai rencana lain 

dengan sikap mengalahnya itu!" potong Datuk 

Pincang Gunung Neraka. "Hanya aku yang menge-

tahui kelemahannya, begitu pula dengannya. 

Hanya ia yang mengetahui kelemahanku. Itu se-

babnya, aku meninggalkan Gunung Neraka untuk 

mencarinya, karena aku yakin.... Malaikat Bukit 

Pasir sengaja mengalah ketika kau dan teman-

temanmu menggempurnya. Hanya satu jawaban 

yang bisa kudapatkan, ia menginginkan aku ke-

luar dari Gunung Neraka. Dan sekarang, aku su-

dah keluar untuk mendapatkannya."

Sadarlah Grido Kencono sekarang, kalau 

ternyata Malaikat Bukit Pasir hanya berlagak 

mengalah. Tetapi, ia jelas-jelas melihat Malaikat 

Bukit Pasir dalam keadaan luka dilarikan oleh 

Pendekar Slebor.

Hal ini semakin membuatnya geram.

"Kalau begitu, di manakah saat ini ia bera-

da, Guru?"

Datuk Pincang Gunung Neraka mengge-

lengkan kepalanya.

"Aku akan membuktikan ucapanku ini! Tu-

gasmu itu kuambil alih sekarang. Ilmu yang se-

dang kupelajari tuntas sudah. Tugasmu, membu-

nuh Pendekar Slebor!"

Wuuuttt!

Seperti datangnya yang menebarkan hawa 

panas, menghilangnya Datuk Pincang Gunung Neraka pun mengeluarkan hawa yang tak kalah pa-

nasnya. Tinggal Grido Kencono yang terdiam. Piki-

ran-pikiran aneh berkecamuk di benaknya.

Wajahnya mengeras menahan gejolak tak 

menentu di dadanya.

Tidak, Guru pasti salah menduga. Sudah 

jelas kalau Malaikat Bukit Pasir akan mampus, 

katanya geram dalam hati. Hhh! Kalau memang 

yang dikatakannya benar, sudah bisa dipastikan 

hanya Pendekar Slebor yang mampu menolongnya! 

Dan ia pula yang telah menyembunyikannya.

Sementara Jalak Codet Merah yang sejak 

tadi terdiam berkata, "Bukan aku mengecilkan 

kemampuanmu, Kawan Grido. Tetapi, ucapan gu-

rumu itu patut kita pikirkan."

Grido Kencono tak bersuara. Ia tak bisa 

menerima kenyataan kalau memang ternyata Ma-

laikat Bukit Pasir hanya berlagak mengalah. Tidak 

mungkin hal itu terjadi. Sudah jelas Malaikat Bu-

kit Pasir akan mampus terkena ajiannya yang he-

bat.

Kalau memang begini, dendam pribadi dan 

dendam kedua oraugtuanya belum tuntas. Meski-

pun demikian, Grido Kencono masih meragukan 

kemungkinan Malaikat Bukit Pasir mengalah.

Ia lalu berkata pada Jalak Codet Merah, 

"Kita harus secepatnya untuk menemukan Pende-

kar Slebor! Satu-satunya orang yang tahu tentang 

Malaikat Bukit Pasir, hanya dia! Hhh! Akan kupa-

tah-patahkan tulang pendekar keparat itu!"

Wuuut!

Wuuuuttt!

Dua tubuh itu pun berkelebat dengan ce-

patnya.

***

Rumah kayu yang condong ke belakang itu 

diselimuti kegelapan. Berada di tempat yang ter-

lindung dari sinar matahari, dan berada di balik 

rimbunnya semak-semak. Meskipun saat ini baru 

memasuki rembang petang, namun kengerian di 

tempat itu tak ubahnya bagai malam belaka.

Satu sosok tubuh berkelebat masuk ke sa-

na. Begitu masuk, ia langsung bersila dan berse-

madi, mengalur pernafasannya dengan baik. Ge-

rakannya sangat lincah luar biasa. Setelah bebe-

rapa saat, terdengar desahannya yang cukup pan-

jang.

"Hhh! Datuk Pincang Gunung Neraka su-

dah muncul sekarang. Ini memang yang aku tung-

gu, karena dialah pangkal dari semua petaka yang 

terjadi dua puluh tahun yang lalu," desisnya.

"Orang-orang seperti Sepasang Iblis dan 

keturunannya itu memang harus dimusnahkan 

dari muka bumi. Juga manusia-manusia sesat 

lainnya yang masih mendendam kepadaku. Ini 

memang tak boleh dibiarkan. Dan masalah Imas, 

nampaknya aku sudah aman sekarang. Biarlah ia 

bersama Pendekar Slebor. Kelihatannya pemuda 

itu memang berhati suci. Tetapi, aku mencium ge-

lagat yang tak menguntungkan bagi Imas. Jelas 

sekali Imas mencintai pemuda itu, namun kebali-

kannya? Ah, sangat sulit diharapkan."

Orang itu mendesah sekali lagi. Dan tiba-

tiba saja kepalanya menegak. Sepasang matanya 

yang buta tertuju pada lain tempat, namun telin-

ganya yang tajam mengarah pada sasaran yang 

mengganggu pendengarannya.

Tiba-tiba saja, bagaikan tersentak ia me-

lompat keluar dari rumah kayunya, bagaikan see-

kor walet yang memiliki gerakan yang cepat bersalto dengan lincah.

Wrrr!

Rumah kayu itu seketika hangus dimakan

api yang besar. Puing-puing berderakkan. Suara 

gemericik api sangat mengerikan. Kalau saja orang 

itu tidak siaga, sudah pasti ia akan menjadi ma-

nusia panggang. Seketika tempat itu jadi terang 

benderang.

Pendengarannya yang tajam menangkap 

suara halus di kejauhan. "Datuk Pincang Gunung 

Neraka!" dengusnya. "Aku tidak perlu menghada-

pinya lebih dulu. Di tempat yang penuh dengan 

pepohonan ini, justru sangat sulit bagiku meng-

hindari setiap sambaran apinya. Karena, ruang ge-

rakku bisa terkurung oleh api-api setannya. Lebih 

baik aku pergi saja dulu!"

Wuuuttt!

Orang itu pun berkelebat cepat, laksana 

hantu belaka.

Sementara itu, Datuk Pincang Gunung Ne-

raka yang tadi melepaskan apinya berteriak keras, 

"Orang tua pengecut! Jangan hanya jadi kambing 

congek saja kau di rumah kayu yang sudah terba-

kar hangus! Kau bisa menipu murid-muridku 

dengan melemahkan dirimu dan berlagak menga-

lah, tetapi... kau tak akan bisa menipu diriku! Ke-

luar kau, Monyet Keparat!"

Tak ada sahutan apa-apa, kecuali bangu-

nan kayu itu yang runtuh berderak.

Datuk Pincang Gunung Neraka kelebatkan 

tubuh cepat ke arah bangunan kayu itu. Saat me-

lewati api yang menyala itu ia mengibaskan kaki 

kanan dan kirinya.

Wuusss! Wrrr!

Serangkum angin laksana topan menderu 

ke arah api itu. Bukan hanya segera memadam

kan, melainkan juga membuat puing-puingnya 

yang hangus beterbangan.

Lalu dengan gusarnya lelaki pincang itu 

mengobrak-abrik tempat itu. Setelah beberapa 

saat ia mendengus, "Setan alas! Aku yakin, manu-

sia itu pasti tadi berada di sini! Aku masih men-

cium baunya! Kau tak akan bisa melarikan diri 

Malaikat Bukit Pasir keparat!"

Lalu dengan penuh kegeraman, Datuk Pin-

cang Gunung Neraka berkelebat meninggalkan 

tempat itu.

***

Setelah lima kali penanakan nasi, di tem-

pat itu Pendekar Slebor dan Imas tiba. Keduanya 

mengerutkan kening ketika melihat kayu-kayu 

yang sudah menjadi arang dan debu hitam.

"Ada kebakaran rupanya," desis Imas. 

"Apakah ada yang mati, Kang Andika?"

"Tidak," sahut Andika yang tadi melihat-

lihat. "Tetapi, bagaimana cara munculnya api ini?" 

tanyanya tiba-tiba bagaikan bergumam.

Imas jadi tertarik mendengarnya.

"Maksud Kakang?"

"Tak ada kompor di sini. Maksudku, alat 

memasak. Tak ada bekas panggangan apa pun di 

sini. Lalu, bagaimana api itu bisa muncul?"

"Jadi, ada yang membakar tempat ini?"

"Kemungkinannya begitu. Bisa jadi pemi-

liknya yang tak ingin tempat ini diketahui orang 

lain. Bisa jadi pula orang lain yang membakarnya. 

Imas, kupikir lebih baik kita segera tinggalkan 

tempat ini. Aku tak ingin... awwwaaasss!"

Andika berkelebat cepat menubruk tubuh 

Imas hingga keduanya bergulingan.

Angin besar yang datang tiba-tiba itu men-

deru kencang menerbangkan sisa puing-puing 

yang terbakar!

Andika yang sudah berdiri kembali dengan 

sigap segera bersiaga penuh. Matanya yang seta-

jam elang mengedar, memperhatikan segala sesua-

tunya. Malam mulai merambat perlahan, menam-

bah ketegangan.

Begitu pula dengan Imas. Ia bisa mem-

bayangkan, kalau saja Andika tidak sigap, sudah 

tentu tubuh keduanya akan terlempar jauh, ber-

gulingan muntah darah, pingsan, atau juga bisa 

langsung mati.

"Manusia hina! Siapa kau, hah?" bentak 

Imas sambil meloloskan pedangnya. Hatinya be-

nar-benar kesal menerima bokongan seperti itu.

Tak ada sahutan apa pun juga. Bahkan se-

telah menunggu beberapa saat, tak ada serangan 

maut mendadak seperti tadi. Andika menyuruh 

Imas untuk bersiaga di sana, sementara ia berke-

lebat untuk memeriksa beberapa tempat.

Namun ia tak menjumpai siapa pun juga. 

"Siapa sebenarnya orang itu? Kalau ia bermaksud 

jahat, sudah bisa dipastikan akan sangat mudah 

untuk melakukannya. Ilmu meringankan tubuh 

yang diperlihatkannya, tak akan mudah dimiliki 

oleh orang sembarangan. Serangannya juga men-

gandung kekuatan yang hebat luar biasa. Aku jadi 

penasaran."

Setelah menunggu dan memperhatikan be-

berapa saat, dan tak terjadi apa pun juga, Andika 

segera kembali ke tempat Imas.

"Bagaimana, Kakang?"

"Nihil! Aku tak menemukan siapa-siapa. 

Bahkan, gerakannya pun aku tak bisa menebak. 

Hanya saja, serangan tadi datang dari arah pohon

besar itu. Orang yang menyerang kita, pasti memi-

liki ilmu yang sangat tinggi."

Keduanya tetap bersiaga penuh. Tiba-tiba 

Andika melompat cepat ketika matanya yang seta-

jam elang menangkap kelebatan satu sosok tubuh 

yang bergerak bagai setan. "Tunggu! Siapa kau se-

benarnya?!"

Namun seperti halnya tadi, ia tak mene-

mukan siapa pun juga. Bahkan lagi-lagi ia heran 

karena gerakan orang itu sama sekali tak tertang-

kap oleh pendengarannya.

"Siapa dia, Kakang?" terdengar suara Imas, 

rupanya ia menyusul.

Andika menggelengkan kepalanya dengan 

kening berkerut.

"Aku tidak tahu. Hanya saja, apakah orang 

itu yang telah menolong gurumu?"

"Oh!"

"Sayang, nampaknya ia tak ingin kita men-

getahui siapa dirinya. Bila memang yang kuduga 

barusan itu benar, aku ingin sekali tahu apa yang 

dialami oleh gurumu saat ini."

Imas juga memiliki perasaan yang sama 

dengan Andika. Tetapi mau bagaimana lagi, kare-

na orang itu benar-benar bagaikan setan yang bisa 

datang dan lenyap laksana kilat.

Andika menoleh dengan kening berkerut 

ketika Imas berkata pelan, "Tetapi, mengapa ia 

menyerang kita tadi, Kakang?"

***

11


Malam terus merambat perlahan. Kekuatan 

dan hukum alam memang tak satu pun manusia

yang mampu mengalahkannya. Kebesaran dan ke-

dahsyatan kekuatan milik Yang Maha Kuasa tak 

akan pernah ada yang menandingi.

Pendekar Slebor dan Imas yang sudah me-

ninggalkan tempat di mana mereka menemukan 

gubuk terbakar, menghentikan larinya di sebuah 

tempat agak terbuka.

"Mengapa kita berhenti di sini, Kang?" 

tanya Imas.

Bukannya menjawab, Andika justru men-

gedarkan pandangannya.

Imas bisa mengerti mengapa Andika tun-

jukkan sikap demikian. Mungkin Andika mencium 

gelagat yang tidak menguntungkan. Belum lagi ia 

berkata apa-apa, tiba-tiba Andika sudah meraih 

tubuhnya, bersalto dua kali dan hinggap di tanah 

dengan posisi siaga.

Angin yang berdesir kencang itu menghan-

tam ke tanah di mana keduanya berpijak tadi. 

Duaaar!

Seketika tanah yang mereka pijak tadi 

membentuk sebuah lubang yang cukup besar.

Wajah cantik itu menjadi pias. Lagi-lagi ia 

diselamatkan oleh Andika. Dan kedua matanya 

seakan keluar dari tempatnya ketika melihat dua 

sosok tubuh telah berdiri di hadapan mereka den-

gan wajah garang.

"Anjing-anjing geladak! Mampuslah kau! 

Heaaa!" Imas sudah menerjang dengan mengi-

baskan pedangnya dengan cepat. Gadis panasan 

itu memang tak pernah membiarkan dirinya dihi-

na, apalagi dihantam dengan cara pengecut seperti 

itu.

Jalak Codet Merah segera mengempos tu-

buhnya untuk mengimbangi serangan Imas.

"Gadis ini bisa jinak di tanganku, Kawan

Grido! Aku yakin ia ingin menjadi kawan hidupku! 

Kau lihat sendiri, ia menyerang atau ingin meme-

lukku!" serunya dan mencoba menerjang dengan 

mematahkan serangan Imas melalui cecaran pada 

kedua kaki Imas.

Namun Jalak Codet Merah kecele, karena 

pedang di tangan Imas bagaikan memiliki mata. 

Dan sekejap saja pedang di tangan gadis yang se-

dang marah itu sudah mengurung Jalak Codet 

Merah yang mendadak menjadi pias, karena ia tak 

menyangka kalau gadis itu memiliki ilmu pedang 

yang tinggi. Kini yang nampak hanyalah kilatan-

kilatan pedang di tangan Imas, dan sosok seperti 

bayangan berwarna merah yang berkelebat sambil 

mendengus dan mengeluarkan suara bagaikan ter-

tekan.

Jalak Codet Merah sebisanya meloloskan 

diri dengan membalas menggempur dengan jurus 

'Si Merah Tebarkan Darah'. Namun Imas yang te-

lah memadukan jurus pedang 'Sambar Langit 

Tumbangkan Bumi' dengan jurus tangan kosong 

tangan kirinya 'Kibasan Ular Sanca', membuat Ja-

lak Codet Merah tercekat dengan wajah tertarik ke 

belakang.

Namun Jalak Codet Merah masih terus be-

rusaha melakukannya. Tiba-tiba saja ia mengge-

rakkan kepalanya. Puluhan rambutnya bagaikan 

copot dan mendesing ke arah Imas tak ubahnya 

jarum-jarum berbisa. Imas mendengus sambil 

memutar pedangnya.

Rambut-rambut yang mendesing itu bu-

kannya putus, melainkan justru terpental dan 

menimbulkan suara.

Ting! Tang! Tring!

Melihat lawan nampak sedang sibuk me-

matahkan serangan rambutnya, Jalak Codet Merah menderu kembali sambil mengibaskan ram-

butnya kembali. Kali ini berjumlah dua kali lipat. 

Imas benar-benar mendengus hebat dan mengge-

rakkan pedangnya tak ubahnya baling-baling, me-

nimbulkan suara yang keras.

"Keparat! Ini tak boleh dibiarkan terus me-

nerus!" dengus Imas dalam hati. Dan dengan satu 

gerakan yang benar-benar aneh, sambil memutar 

pedangnya bagaikan baling-baling, Imas melompat 

ke depan, melewati puluhan rambut yang siap 

mencabut nyawanya. Dan....

Seeettt!

Pedang itu kembali mengibas ke arah Jalak 

Codet Merah. Kali ini yang menjadi sasaran Imas 

adalah rambut manusia codet berkalung taring se-

rigala itu. Hanya tiga kali menggerakkan pedang-

nya, rambut di kepala Jalak Codet Merah seluruh-

nya telah lenyap. Saat itulah Imas menderu lagi 

untuk menghabisi Jalak Codet Merah yang berka-

li-kali darahnya seakan membeku dengan wajah 

memerah pasi.

Melihat Jalak Codet Merah benar-benar 

sudah mati kutu, Grido Kencono yang sejak tadi 

memperhatikan, mencoba untuk memotong seran-

gan Imas. Namun ia harus mendengus ketika tan-

gannya dipapaki oleh Pendekar Slebor yang sejak 

tadi memang sudah menunggu. Andika akan ber-

gerak bila Grido Kencono turun tangan. Karena 

sampai sejauh ini dilihatnya Imas masih mampu 

mengimbangi serangan dari Jalak Codet Merah. 

Inilah saat yang tepat. 

Duk!

"Keparat!" maki Grido Kencono sambil me-

lompat ke belakang. Tangannya dirasakan nyeri 

sekali.

"Wah, marah ya?" ledek Andika, padahal

hatinya marah bukan main.

Grido Kencono perdengarkan dengusan 

dingin. "Kau akan mampus, Pendekar Slebor!"

Dua pertarungan yang sangat dahsyat, 

yang tak ubahnya bagaikan puluhan gajah liar 

mengamuk, benar-benar terjadi di tempat itu. Sal-

ing desak dan serang diiringi dengan teriakan yang 

keras kerap terjadi. Imas sendiri saat ini benar-

benar berhasil mengurung Jalak Codet Merah 

dengan jurus-jurus pedangnya yang sangat am-

puh. Dalam tiga jurus berikutnya, tubuh Jalak 

Codet Merah sudah penuh dengan luka-luka. 

Bahkan menyambar putus tangan kiri Jalak Codet 

Merah. Disusul dengan satu tendangan memutar 

yang membuat Jalak Codet Merah bergulingan ke 

belakang. Raungannya begitu keras sekali. Namun 

lelaki itu masih mampu menggerakkan kakinya 

untuk menendang dada Imas hingga gadis itu ter-

guling ke belakang. Sakitnya tak terkira. Tulang 

iganya bagai terasa patah.

Imas menggeram. Sambil menahan sakit ia 

menyerang lagi.

Jalak Codet Merah yang sedang berusaha 

untuk bangkit merasa bulu kuduknya meremang. 

Menyadari ia tak akan mampu menghadapi gadis 

ini, sifat pengecutnya timbul. Menghadapi gadis ini 

saja ia sudah tunggang-langgang dibuatnya, apa-

lagi menghadapi Pendekar Slebor. Dan sebelum 

gadis itu mengibaskan pedangnya, ia bergulingan 

bagai menyongsong serangan Imas.

Gerak semacam itu justru mengejutkan 

Imas. Namun ia tetap menggerakkan tangannya 

sambil melompat. Tubuh Jalak Codet Merah lolos 

dari terkamannya dan tiba-tiba saja tubuh manu-

sia bercodet itu lenyap. Ia merasa lebih baik 

menghindar dulu untuk sementara, karena dalam

keadaan seperti ini jangankan untuk membunuh 

Pendekar Slebor, mengalahkan gadis itu saja ia be-

lum tentu mampu. Dan Jalak Codet Merah berjan-

ji, suatu saat ia akan menuntaskan dendamnya 

pada Pendekar Slebor atas kematian Jalak Mata 

Merah.

Imas mendengus menyadari serangan itu 

hanya pancingan belaka. Ketika ia mencoba men-

gejar, tubuh Jalak Codet Merah sudah hilang dari 

pandangan.

Dengan geram ia menoleh dan melihat per-

tarungan antara Pendekar Slebor dengan Grido 

Kencono yang terus berjalan dengan serunya. An-

dika cukup terkejut menyadari kalau lawan men-

jadi lebih tinggi ilmunya dari pertarungan pertama 

tempo hari.

Mendadak Andika melihat lawan mem-

buang tubuh ke kiri, bukan menghindari serangan 

dari Andika. Melainkan memang sengaja dilaku-

kannya. Andika semula menyangka lawan mela-

kukan itu hanya untuk mengatur napas, padahal 

lelaki berkumis lebat itu tengah mempersiapkan 

diri dengan ajian 'Rembulan Matahari'.

Ketika ia mengatupkan kedua tangannya, 

terdengar suara bagaikan membelah bumi. Sangat 

keras sekali dengan kekuatan dahsyat. Daun-daun 

seketika rontok dari pangkalnya. Satwa hutan 

yang sejak pertarungan itu dimulai merasa lebih 

aman berada di kediamannya, berlarian pontang-

panting dengan suara-suara aneh yang ramai.

Andika tercekat mendengar suara yang 

mengerikan itu. Begitu pula dengan Imas yang kini 

telah berkelebat ke sisi Andika dengan tatapan 

marah. Bila saja keduanya tak memiliki tenaga da-

lam yang tinggi, bisa dipastikan keduanya akan 

mengalirkan darah.

Tiba-tiba Grido Kencono menepuk kedua 

tangannya. Satu serangan aneh yang datang men-

deru bagaikan gunung yang dihempaskan, melun-

cur ke arah Imas. Suaranya lebih dahsyat dari 

guntur, menggebubu dengan hempasan sinar hi-

tam menggidikkan bagai menyala.

Andika sadar kalau jurus yang dilepaskan 

oleh Grido Kencono adalah jurus yang sangat dah-

syat. Sambil berkelebat menarik tangan Imas dan 

membawanya bergulingan, ia berseru, "Tinggalkan 

tempat ini, Imas! Cepat!"

Bummm!

Lima buah pohon besar yang berada di be-

lakang mereka tadi, meledak dan seketika menjadi 

serpihan. Grido Kencono terbahak-bahak melihat 

hasil serangannya. Lalu dengan tawa yang sema-

kin menggema, ia mengumbar serangan ajian 

'Rembulan Matahari'-nya. Kali ini bukan hanya 

Imas yang menjadi berlompatan menyelamatkan 

diri, Andika sendiri dibuat tunggang-langgang. 

Sementara di sekitar tempat itu sudah tak terhi-

tung pohon besar yang menjadi serpihan dan ta-

nah yang membentuk lubang.

Untuk menyerang masuk bukanlah suatu 

hal yang mudah. Karena, setiap kali Andika men-

coba bergerak, setiap kali pula serangan dahsyat 

itu menderu. Sekarang yang terjadi, hanyalah dua 

sosok manusia yang terus berlompatan bagaikan 

monyet terbakar ekornya.

"Astaga! Apa yang harus kulakukan seka-

rang?" maki Andika dalam hati. Jantungnya ber-

detak dengan cepat dan aliran darah yang kacau. 

"Serangan yang dilakukan oleh Grido Kencono mi-

rip sekali dengan ajian 'Guntur Selaksa'. Hanya 

bedanya lebih kejam dan mengerikan. Huh! Apa-

kah aku harus terus menerus melompat-lompat

seperti monyet liar begini?"

Berpikiran seperti itu, tiba-tiba saja Andika 

melompat ke depan saat Grido Kencono tengah 

menghujaninya dengan ajian 'Rembulan Matahari'. 

Bertepatan dengan terdengarnya ledakan menuju 

ke arahnya, Andika melepaskan kain bercorak ca-

tur warisan Ki Saptacakra. Dengan mengalirkan 

tenaga 'inti petir' tingkat pamungkas, ia mengi-

baskannya ke arah datangnya serangan Grido 

Kencono.

Crrrppp!

Sungguh keanehan terjadi, karena kain 

pusaka itu seakan mampu menangkap lontaran 

serangan dari Grido Kencono dan setelah menya-

dari hal itu, Andika melepaskannya ke arah Grido 

Kencono yang sudah mengirimkan lagi serangan 

dahsyatnya.

Akibatnya serangan yang pertama dile-

paskannya tadi, berbenturan dengan serangan ke-

duanya menimbulkan ledakan yang bukan alang 

kepalang. Menyadari hal itu, Andika tidak menu-

runkan serangannya. Justru ia melurup maju 

sambil mengibaskan kain pusakanya, berputar 

dan menimbulkan angin prahara.

Grido Kencono memekik ketika wajahnya 

terasa bagaikan ditampar oleh ribuan tangan, pa-

dahal kain pusaka itu masih berjarak satu tombak 

dengannya. Tetapi, angin keras yang ditimbulkan-

nya seakan telah menderu ke wajahnya. Menyusul 

satu kibasan tangan keras di dadanya. Tubuh Gri-

do Kencono terpelanting keras di tanah.

Imas yang melihat kesempatan itu menu-

kik dengan suara keras dan siap menusukkan pe-

dangnya ke dada lawan. Namun itu adalah kesa-

lahan. Karena, meskipun sudah terdesak, Grido 

Kencono masih sempat mengirimkan ajian

'Rembulan Matahari'-nya yang dahsyat.

Bersamaan dengan itu, Andika yang meli-

hat bahaya mengancam Imas, bergulingan cepat. 

Kakinya menyepak tubuh Imas yang masih me-

layang di udara hingga tubuh gadis itu terhuyung 

ke belakang dengan deras. Detik itu pula Andika

membuang tubuhnya kembali.

Buummm!

Serangan itu gagal mengenai sasarannya. 

Namun kesempatan dimiliki oleh Grido Kencono 

kembali, karena dengan cepat ia berdiri dan 

menghujani Andika dengan serangan-serangan 

mematikan. Kali ini diiringi dengan tubuhnya yang 

berkelebat ke sana kemari.

Suara ledakan terdengar beberapa kali. 

Andika benar-benar sudah berada di ambang 

maut. Ia harus bergulingan terus menerus. Ma-

tanya beberapa kali harus dipejamkan karena ta-

nah yang terhantam serangan Grido Kencono ber-

pentalan. Tubuh dan wajahnya sudah kotor terke-

na debu yang banyak

Di saat seperti ini, memang sangat sulit se-

kali untuk membalas. Jangankan membalas, me-

nyelamatkan diri saja bukanlah hal yang mudah. 

Namun kekerasan dan kebulatan hati Andika su-

dah terpatri sejak lama di dirinya. Karena, menda-

dak saja ia melenting dan membuat gerakan ba-

gaikan menyongsong. Kalau tadi ia mengibaskan 

kain pusakanya ke arah serangan Grido Kencono, 

kali ini ia melemparkannya.

Kain pusaka itu meluncur deras bagaikan 

meriam yang melesat dari porosnya.

Wuuusss!

Lawannya tercekat, dan dengan cepat men-

girimkan kembali ajian 'Rembulan Matahari'.

Bagai dihempas oleh tangan raksasa kain

pusaka itu meluncur deras entah ke mana. Se-

mentara Andika sudah menyerbu cepat. Ajian 

'Guntur Selaksa' sudah terangkum di kedua tan-

gannya.

Grido Kencono yang terkejut melihat Andi-

ka sudah melesat bagai anak panah, mencoba 

menghindar. Namun ia kalah cepat.

Des! Bezzz!

Dua kali tepat mengenai sasarannya. Satu 

menghantam dadanya dan satu lagi menghantam 

wajahnya, hingga tubuh tinggi besar itu terlontar 

ke belakang dengan derasnya. Menabrak sebuah 

pohon besar yang langsung ambruk.

Grido Kencono mengerang kesakitan. Da-

danya bagaikan jebol. Sementara lima buah gi-

ginya langsung tanggal.

Andika menggeleng-gelengkan kepalanya 

tak percaya. Tubuh lawannya masih tetap utuh 

meskipun di sana-sini nampak menghangus. Itu 

terjadi karena Grido Kencono sendiri sudah men-

galiri tubuhnya dengan ajian 'Rembulan Matahari'. 

Tetapi, ia tak mau memberi kesempatan lagi pada 

Grido Kencono, segera menyerbu dengan teriakan 

keras, "Heaaaa!"

Dalam sekali hajar, Grido Kencono yang 

sudah sulit untuk menghindar bisa mampus seke-

tika. Namun mendadak saja Andika membuang 

tubuhnya ke belakang, karena api panas yang 

menjilat-jilat menderu ke arahnya.

"Rupanya kau yang berjuluk Pendekar Sle-

bor! Bagus, kau harus mampus hari ini juga!" ter-

dengar satu suara yang dingin dan hawa panas 

yang menebar hebat

***

12


Andika melompat ke belakang, ke sisi Imas 

dengan wajah tegang. Keduanya melihat satu so-

sok tubuh mengerikan dengan sepasang mata ke-

labu sedang terbahak-bahak. Tawanya bukan ta-

wa sembarangan, melainkan menebarkan hawa 

panas yang menyengat. Keringat tiba-tiba mengalir 

di sekujur tubuh Andika dan Imas. Sesaat mereka 

bergetar. Sementara Grido Kencono sedang bang-

kit dengan susah payah, dari mulutnya terdengar 

suara, 

"Guru!"

"Hhh! Hanya menghadapi pemuda yang 

masih bau air tetek ini kau tak mampu menakluk-

kannya!" dengus sosok berpakaian hitam itu din-

gin. Mulutnya menyeringai mengerikan.

Andika mendengus mendengar sebutan 

Grido Kencono pada laki-laki bertampang setan 

itu. "Aku harus berhati-hati," gumamnya.

"Anak muda, kudengar kau memiliki ajian 

'Guntur Selaksa'! Ada hubungan apa kau dengan 

Eyang Saptacakra, hah?" bentak sosok mengeri-

kan itu yang memang tak lain Datuk Pincang Gu-

nung Neraka. Suaranya sangat keras sekali, hing-

ga daun-daun berguguran.

Dasar urakan, Andika masih sempatnya 

mengejek, "Wah, kau takut ya? Kalau kau takut, 

kau bunuh diri saja! Atau mogok makan saja biar 

tubuhmu tak lebih dari seekor cacing!"

Imas meliriknya dengan tegang. Hampir ia 

tak bisa mempercayai sikap Andika itu. Di saat pe-

taka siap menghampiri, pemuda itu masih bisa 

bersikap santai. Bahkan kata-kata usilnya seakan 

tak lepas dari mulutnya.

Wajah Datuk Pincang Gunung Neraka me-

merah "Pemuda keparat! Enteng banget bacotmu!"

Lalu tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, tan-

gannya bergerak. Beberapa larik sinar warna me-

rah menggebubu diiringi dengan suara bak air bah 

tumpah. Tempat itu jadi lebih terang.

Andika tercekat, ketika dirasakannya hawa 

panas yang menyelingkupi dirinya. Ia coba bergu-

lingan. Tetapi rupanya, lima buah sinar merah ba-

gaikan anak panah itu membentuk satu formasi

yang sukar dipercaya. Karena mendadak saja lima 

buah api itu mengarah pada Andika, menusuk ba-

gian dada, kepala, perut, tangan bahkan kema-

luan Andika.

Clep! Clep!

Tangan kiri Andika tertusuk api bagaikan 

mata panah itu. Pemuda pewaris ilmu Pendekar 

Lembah Kutukan mengeluarkan teriakan kaget, 

panas yang menyengat dirasakannya di tangan ki-

rinya. Dan tubuhnya mencelat dua tombak ke be-

lakang.

"Astaga!" rutuk Andika sambil muntah da-

rah. Entah kenapa ia merasa tengkuknya mulai 

dingin, padahal panas itu sangat menyiksanya.

"Hanya begini saja kehebatan Pendekar 

Slebor!"

Dalam kondisi yang bagaimanapun juga, 

Pendekar Slebor tetaplah Pendekar Slebor. Sifat 

urakannya masih ada, meskipun dirasakan detak 

jantungnya lebih cepat dan aliran darahnya kacau. 

"Kau belum melihatnya sih? Baru berhasil begitu 

saja sudah bangga! Aku sebenarnya khawatir, ka-

lau nanti sebelah kakimu akan kubuat pincang la-

gi! Dan aku yakin kau akan berterima kasih kepa-

daku, karena jalanmu jadi rata, kan?"

Datuk Pincang Gunung Neraka mengelua-

rkan suara bagai kemaluannya dicatek ular. Tan-

gannya bergerak membabi-buta. Kembali beberapa

larik sinar merah menderu-deru, membuat Andika 

harus mengeluarkan segenap kemampuannya un-

tuk menghindari serangan itu. Imas sendiri tak 

luput dari sasaran serangan yang mengerikan. 

Tempat itu tak ubahnya bagai neraka.

Imas sendiri menjadi pias melihat serangan 

aneh itu. Sesaat ia ingin menolong Andika, tetapi 

ia sadar kalau maut pun akan segera menjemput-

nya pula.

Tiba-tiba matanya melihat kain pusaka mi-

lik Andika tersangkut di dahan sebuah pohon. Se-

telah melihat keampuhan kain bercorak catur itu 

yang berhasil menahan serangan Grido Kencono, 

Imas segera mengempos tubuhnya menyambar 

kain pusaka itu dan melemparkannya pada Andi-

ka.

"Kang Andika! Tangkap!"

Wuuuttt!

Andika cepat berputar menyambar kain 

bercorak caturnya yang dilempar oleh Imas, sem-

bari menghindari lurupan sinar merah sebesar 

mata panah dan dengan gerakan menakjubkan 

membuang tubuhnya ke kiri. Begitu menjejak ta-

nah, langsung mengemposnya ke arah Datuk Pin-

cang Gunung Neraka, yang lagi-lagi melepaskan 

sinar-sinar merah bagaikan mata anak panah. Kali 

ini jumlahnya dua kali lipat dari yang pertama. 

Andika mengebutkan kain pusakanya, hingga me-

nimbulkan suara gemuruh yang hebat. Namun la-

gi-lagi sinar merah itu mengurungnya, sangat sulit 

dihalau oleh kain pusakanya.

Datuk Pincang Gunung Neraka perdengar-

kan tawanya.

"Kini kau mampuslah, Pendekar Slebor!" 

Tangannya menepuk berkali-kali. Kalau tadi bebe-

rapa larik sinar merah mematikan yang menderu

deru ke arah Andika, kali ini kobaran api raksasa 

bergulung-gulung ke arah Andika dengan cepat-

nya, menyambar ke sana kemari diiringi suara 

yang dahsyat mengerikan, membuat Andika kem-

bali bergulingan cepat.

"Kau tak akan mampu menghadapi manu-

sia keparat itu, Pendekar Slebor, sebelum kau me-

nemukan kunci mati dari rahasia jurusnya!" ter-

dengar satu suara bersamaan berkelebatnya 

bayangan yang menepuk-nepuk api raksasa itu 

dengan enaknya. Seketika api-api itu padam.

"Guru!" terdengar teriakan Imas keras.

***

Yang hadir di sana dan mematahkan se-

rangan mematikan dari Datuk Pincang Gunung 

Neraka pada Andika, satu sosok tubuh berjubah 

putih. Ia tak lain adalah Malaikat Bukit Pasir.

Luar biasa! Bagaimana ceritanya tahu-tahu 

lelaki buta yang dicari-cari oleh orang-orang yang 

mendendam padanya bisa muncul? Sebenarnya, 

ketika menghadapi Lima Iblis Kepala Kuning, Ma-

laikat Bukit Pasir dengan sekali gebrak saja mam-

pu menjatuhkan mereka. Tetapi saat itu ia men-

gerti akan amarah yang ada di hati Grido Kencono. 

Bahkan Malaikat Bukit Pasir ingin sekali menya-

darkan lelaki tinggi besar yang mendendam pa-

danya. Dan lawan yang dikehendaki sebenarnya 

adalah Datuk Pincang Gunung Neraka.

Selama dua puluh lima tahun secara sem-

bunyi-sembunyi Malaikat Bukit Pasir selalu me-

ninggalkan Bukit Pasir untuk mencari kediaman 

Datuk Pincang Gunung Neraka. Karena, lelaki 

pincang itulah yang menjadi pangkal petaka ini. 

Sepasang Iblis adalah murid Datuk Pincang Gunung Neraka, dan Datuk Pincang Gunung Neraka 

yang melarikan Grido Kencono sudah tentu men-

didiknya dan menanamkan dendam yang sangat 

pada diri Malaikat Bukit Pasir.

Di saat Malaikat Bukit Pasir memungut 

Imas menjadi muridnya, tanpa sepengetahuan Im-

as ia masih mencari jejak Datuk Pincang Gunung 

Neraka. Selama itu pula ia gagal menemukannya, 

sampai Grido Kencono muncul.

Dan kesempatan itu dipergunakan untuk 

memancing keluar Datuk Pincang Gunung Neraka.

Itulah sebabnya ia bagaikan tak mampu 

menghadapi Lima Iblis Kepala Kuning, sampai 

kemudian muncul Pendekar Slebor. Sandiwara 

yang dilakukannya pun semakin baik. Karena ia 

diselamatkan oleh Pendekar Slebor.

Ketika dirasakan sudah cukup, disaat Pen-

dekar Slebor mencari buah-buahan ia pun meng-

hilang. Namun ia selalu memantau kejadian demi 

kejadian, sampai akhirnya ia melihat Imas - murid 

terkasihnya.

Malaikat Bukit Pasir yang menolong Pen-

dekar Slebor dari maut yang diturunkan oleh Gri-

do Kencono saat dirinya terjerat dari jala lentur. Ia 

pula yang menyerang Andika dan Imas ketika ke-

duanya berada di depan bangunan kayunya yang 

habis dibakar oleh Datuk Pincang Gunung Neraka, 

dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari 

tempat itu. Karena menurutnya, keduanya tak ada 

sangkut paut dengan masalah yang akan dihada-

pinya. Datuk Pincang Gunung Neraka adalah ba-

giannya.

Dan ia memantau terus setiap kejadian 

demi kejadian, sampai saat ini, dengan munculnya 

Datuk Pincang Gunung Neraka.

Terdengar suara terbahak-bahak Datuk

Pincang Gunung Neraka. Sementara Grido Kenco-

no terbelalak melihatnya. Kini sadarlah ia apa 

yang telah dikatakan gurunya waktu itu. Tak mu-

dah untuk mengalahkan Malaikat Bukit Pasir. 

Terbukti sekarang ini, Malaikat Bukit Pasir berdiri 

tegar dalam keadaan segar bugar.

Dari tawa yang keras tadi, suara Datuk 

Pincang Gunung Neraka merandek

"Budi dibalas budi. Darah dibayar darah. 

Nyawa dituntaskan nyawa. Kematian muridku Se-

pasang Iblis tak akan pernah kulupakan. Kini 

saatnya kau membayar tuntas seluruh hutang 

nyawamu kepadanya!"

"Bila mencium bau busuk yang ada pada-

mu, sudah jelas kau adalah Datuk Pincang Gu-

nung Neraka. Dendam hanya membuat dosa. 

Dendam hanya menimbulkan petaka. Namun, bila 

sudah berada dekat, mengapa harus lari?" balas 

Malaikat Bukit Pasir.

Keadaan semakin bertambah tegang. Pen-

dekar Slebor mendesah pendek melihat Malaikat 

Bukit Pasir dalam keadaan segar bugar. Imas yang 

hendak merangkul gurunya tadi menjadi urung.

"Lari pun tak berguna. Tinggalkan nyawa 

lebih baik!" balas Datuk Pincang Gunung Neraka 

dengan mata tak berkesip.

"Bermimpi di siang hari hanya selalu ada 

pada diri orang bodoh. Kesombongan tinggi ada 

pada orang berjiwa pengecut," sahut Malaikat Bu-

kit Pasir tenang.

"Bangsat! Kalau dulu muridku membuat 

kau buta, kali ini akan kubikin kau mampus! 

Heaaaa!"

Datuk Pincang Gunung Neraka menyerbu 

cepat ke arah Malaikat Bukit Pasir yang masih 

berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Api-api yang dikeluarkan oleh Datuk Pincang Gu-

nung Neraka menderu hebat ke arah lelaki berju-

bah putih yang buta itu yang masih belum berge-

rak juga dari tempatnya.

Ketika api-api itu sudah mendekat, tiba-

tiba saja Malaikat Bukit Pasir menghembuskan 

nafasnya.

Srrrttt!

Lima buah bola api itu mendadak saja be-

rubah menjadi bongkahan batu es ketika hembu-

san napas Malaikat Bukit Pasir menerpanya.

Wajah Datuk Pincang Gunung Neraka me-

merah melihatnya.

"Orang buta kurang ajar! Lihat serangan!"

Tubuhnya berkelebat laksana setan. Tong-

kat di tangannya bergerak menimbulkan angin 

yang menggebubu besar. Bersamaan dengan itu, 

Malaikat Bukit Pasir pun berkelebat pula. Tongkat 

di tangannya digerakkan dengan kecepatan luar 

biasa. 

Prak! Prak!

Dua buah tongkat yang dialiri oleh tenaga 

dalam yang tinggi bertemu. Menimbulkan percikan 

api yang cukup besar. Gebrakan demi gebrakan 

yang mengerikan dilancarkan.

Pertempuran dahsyat pun berkecamuk 

dengan hebatnya. Saling gempur dan hindar yang 

manis namun mengandung tenaga dahsyat. Dan 

yang terlihat kemudian, hanyalah dua sosok tu-

buh yang satu kelebatan putih dan yang satu ke-

lebatan hitam diiringi dengan bentakan-bentakan 

yang keras.

Sementara itu Grido Kencono kembali me-

nyadari kalau ketinggian ilmu Malaikat Bukit Pasir 

yang jelas bukan tandingannya. Ia menjadi malu 

sendiri, dan dari rasa malunya ia menjadi marah.

Tiba-tiba saja ia berteriak keras sambil mengirim-

kan ajian 'Rembulan Matahari' ke arah Malaikat 

Bukit Pasir yang tengah mengimbangi desakan 

hebat dari Datuk Pincang Gunung Neraka.

Melihat hal itu, Pendekar Slebor segera 

mengempos tubuhnya seraya berseru, "Biarkan 

mereka menyelesaikan urusan masa lalu! Kau ha-

dapi aku!"

"Keparat!" sasaran serangan Grido Kencono 

berbalik kepada Andika yang berkelit dengan men-

girimkan pukulan tenaga 'inti petir' yang diga-

bungkan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.

Sementara Imas hanya memperhatikan sa-

ja dengan tegang. Ledakan demi ledakan terdengar 

sangat dahsyat dan mengerikan. Tanah yang dipi-

jaknya benar-benar bergoyang sekarang.

Setelah dua jurus berikutnya lewat, Grido 

Kencono yang memang sudah terluka dalam tadi, 

meluncur ke belakang setelah terhantam pukulan 

Andika. Bukan hanya sampai di sana saja Andika 

melancarkan serangannya. Ia terus menderu den-

gan suara menggelegar keras. "Heaaa!"

Dalam keadaan kritis dengan luka dalam 

yang sangat sakit, Grido Kencono berhasil menja-

tuhkan tubuhnya sejajar dengan tanah. Bahkan 

kakinya masih sempat dikibaskan.

Des!

Andika yang melayang di atasnya terjung-

kir terkena hantaman tepat pada perutnya. Grido 

Kencono cepat bangkit dan menerjang dengan te-

riakan yang keras, "Mampuslah kau, Pendekar 

Keparat!"

Sebisanya Andika bergulingan menghindari 

serangan Grido Kencono yang menghantam tanah 

di mana ia tersungkur tadi. Tanah itu membentuk 

lubang seketika.

Bersamaan dengan itu pula Andika bagai-

kan melompat menerjang. Grido Kencono tercekat. 

Gerakannya sudah tidak selincah tadi karena luka 

dalam yang dideritanya.

Tak ayal lagi tubuhnya kembali terhantam 

jotosan Andika yang keras. Tubuh itu terlempar ke 

belakang dan ambruk setelah muntah darah.

Andika menarik napas panjang sambil 

mengusap keringatnya. Ia menghampiri tubuh 

Grido Kencono. Setelah ia yakin Grido Kencono 

hanya pingsan, segera ia bersemadi untuk memu-

lihkan tenaganya kembali.

Ketika ia membuka matanya, dilihatnya 

pertarungan antara Malaikat Bukit Pasir yang 

memiliki kekuatan dingin dengan Datuk Pincang 

Gunung Neraka yang memiliki kekuatan panas 

semakin dahsyat saja. Serangan-serangan aneh 

benar-benar nampak di matanya, Berkali-kali 

hampir tiada putus-putusnya Datuk Pincang Gu-

nung Neraka menebarkan serangan-serangannya. 

Kali ini Malaikat Bukit Pasir seakan tak mampu 

memunahkan serangan-serangan itu, karena sela-

lu mengarah pada mulutnya hingga ia tak mampu 

meniup atau memusnahkan serangan Datuk Pin-

cang Gunung Neraka.

"Ha ha ha... sudah kukatakan, kau tak 

akan pernah mampu mengalahkan aku!" sentak 

Datuk Pincang Gunung Neraka dengan suara ke-

ras, dan hawa panas melingkar-lingkar di seluruh 

tempat itu. Imas sudah hampir berteriak kepana-

san bila ia tidak cepat-cepat mengalirkan hawa 

murninya.

Malaikat Bukit Pasir mundur lima tindak. 

Ia mendesis, "Sayangnya, kau hanya melihat sesaat."

"Anjing buduk! Manusia buta yang mencari

mampus!" geram Datuk Pincang Gunung Neraka 

dan bergerak lagi secepat setan. Tongkat di tangan 

kanannya berputar bagai pusaran angin, sementa-

ra setiap kali tangan kirinya bergerak, gulungan 

api kembali menderu dahsyat.

Malaikat Bukit Pasir benar-benar di bawah

angin sekarang. Ia berusaha menghalangi serbuan 

tongkat dari Datuk Pincang Gunung Neraka.

Trak! Trak!

Namun api yang mengeluarkan desingan 

dan sinar dahsyat menyilaukan itu terus mengge-

bubu. Andika yang melihat keadaan genting di-

alami oleh Malaikat Bukit Pasir, segera bergerak 

sambil mengebutkan kain pusakanya dengan ce-

pat. Api yang dilepaskan oleh Datuk Pincang Gu-

nung Neraka musnah seketika.

Sesaat Datuk Pincang Gunung Neraka 

menggeram.

"Kau hanya cari mampus!"

"Justru aku ingin melihat kau mampus!" 

maki Andika yang mengalirkan tenaga 'inti petir' 

pada kain pusakanya. Terdengar suara bagaikan 

ribuan tawon marah dan kiblatan sinar-sinar yang 

menyilaukan.

Namun hanya sesaat serangan itu mampu 

dilakukan Andika, selebihnya, justru ia sendiri 

yang harus kalang kabut dibuat oleh Datuk Pin-

cang Gunung Neraka. Karena, dari mata lelaki 

pincang yang sedang murka itu melesat api-api 

panas luar biasa. Itu adalah jurus andalan Datuk 

Pincang Gunung Neraka, 'Sepasang Mata Api'.

Kepala Datuk Pincang Gunung Neraka ber-

goyang-goyang. Larikan sinar merah yang panas 

tak putus-putusnya ke arah Andika yang menge-

lak berkelebat cepat kian kemari. Ke mana Pende-

kar Slebor berada, di sanalah Datuk Pincang Gunung Neraka menyerbu.

"Iblis! Benar-benar iblis!" rutuk Andika 

mencoba pula dengan mengibaskan kain pusa-

kanya lagi. Namun serangan itu semakin memba-

bi-buta saja. Bahkan Imas pun harus tunggang-

langgang karena sesaat kemudian justru ia yang 

menjadi sasaran serangan dari Datuk Pincang 

Gunung Neraka. Pepohonan yang banyak tumbuh 

di sana sudah terbakar, mengobarkan api yang 

besar.

"Ha ha ha... siapa pun yang menghalangiku 

untuk mencabut nyawa manusia buta itu, akan 

menjadi manusia panggang!"

"Enaknya ngomong! Kenapa tidak kau ke-

cilkan sih apinya? Berapa pula setiap hari kau 

menelan kompor, hah?"

Ejekan yang dilakukan Andika di saat yang 

membahayakan itu, membuat kemurkaan di hati 

Datuk Pincang Gunung Neraka semakin memun-

cak. Serangannya semakin berbahaya.

***

13


"Andika! Apakah api-api itu keluar dari se-

pasang mata busuknya?" terdengar suara Malaikat 

Bukit Pasir bagai tertahan. Ia menelengkan telin-

ganya untuk menangkap desingan-desingan ber-

tubi-tubi.

Masih berusaha menghindari serangan Da-

tuk Pincang Gunung Neraka, Andika berseru, "Kau 

benar, Ki! Api-api sialan ini mencelat dari mata ke-

labunya!"

"'Sepasang Mata Api'! Rupanya, manusia 

itu sudah berhasil menguasainya. Kalian lebih

baik menyingkir! Sangat sulit untuk menghadapi 

serangan 'Sepasang Mata Api itu!" seru Malaikat 

Bukit Pasir sambil menggerakkan kepalanya, lalu 

mengempos melayang dan mencoba memusnah-

kan api-api itu. Tongkatnya diputar hingga me-

nimbulkan desingan yang sangat luar biasa. Angin 

yang keluar dari sana bagai topan prahara. Na-

mun ia sendiri pun harus mengaduh keras ketika 

paha kirinya terkena sambaran api, yang cepat dia 

padamkan.

"Sudah kukatakan tadi, kau akan mampus 

menyusul kedua muridku!" dengus Datuk Pincang 

Gunung Neraka dan kembali tak henti-hentinya 

menyerang ke arah lawan-lawannya.

Malaikat Bukit Pasir bergerak ke sana ke-

mari dengan cepat. Lalu mengibaskan tangannya, 

tiba-tiba saja di depannya telah tercipta sebuah 

tembok yang terbuat dari salju. Ketika api-api itu 

meluruk ke arahnya, langsung punah ketika 

menghantam tembok salju itu.

Akan tetapi, di luar dugaannya, api-api 

yang melesat dari sepasang mata Datuk Pincang 

Gunung Neraka terus meluncur dahsyat. Mem-

buat Malaikat Bukit Pasir harus bergulingan 

menghindar. "Rupanya manusia keparat itu me-

mang sudah bersatu dengan Iblis Raja Api!"

Melihat hal itu, Datuk Pincang Gunung Ne-

raka merasa sudah berada di atas angin. Ia yakin 

dalam dua gebrakan lagi, Malaikat Bukit Pasir 

akan menemui ajalnya.

Namun Pendekar Slebor tak membiarkan 

kesempatan itu dimiliki oleh Datuk Pincang Gu-

nung Neraka. Sambil menggebah keras, ia melu-

ruk masuk dengan bergulingan. Kain pusakanya 

berhasil menghantam kedua kaki Datuk Pincang 

Gunung Neraka dan segera membetotnya hingga

sempoyongan. Saat itulah Andika menderu dengan 

menghantamkan ajian 'Guntur Selaksa'!

"Jangan!" justru terdengar seruan Malaikat 

Bukit Pasir bernada cemas dan menahan begitu 

merasakan hawa panas yang luar biasa berkelebat 

ke arah Datuk Pincang Gunung Neraka.

Terlambat, karena ajian 'Guntur Selaksa' 

sudah menerpa tubuh Datuk Pincang Gunung Ne-

raka.

Des!

Tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka ter-

lontar tiga tombak. Sesaat Andika menghela napas 

lega, namun hanya sesaat. Karena di detik lain se-

pasang matanya bagaikan terbelalak melihat tu-

buh Datuk Pincang Gunung Neraka justru ber-

tambah segar. Tawanya semakin menggeledek.

Andika sadar apa arti peringatan Malaikat 

Bukit Pasir.

"Jangan kau serang dia dengan ajian 

'Guntur Selaksa', Andika. Karena hawa panas 

yang terpancar dari ajian 'Guntur Selaksa' akan 

membuat tenaganya semakin membesar saja!" se-

ru Malaikat Bukit Pasir semakin memperkuat 

keyakinan Andika apa arti seruannya tadi. "Andi-

ka, 'Sepasang Mata Api' hanya mampu dihadapi 

dengan hawa panas yang tak nampak!" 

Sadarlah Andika, kalau sejak tadi ia tak 

mampu menurunkan tangan pada Datuk Pincang 

Gunung Neraka, bukan tidak mampu karena ajian 

yang dilepaskannya tak ampuh, melainkan karena 

Datuk Pincang Gunung Neraka memang bagaikan 

membiarkan tubuhnya terhantam serangannya.

Menyadari kekeliruannya, Andika justru 

bertambah marah. Tiba-tiba saja ia menggulung 

seluruh tubuhnya dengan kain bercorak catur. 

Hingga kini yang nampaknya hanyalah tubuh

yang terbalut saja.

Lalu mendadak tubuhnya berputar bagai-

kan pusara angin, mengarah pada Datuk Pincang 

Gunung Neraka yang terbahak-bahak bagaikan 

melihat sasaran yang sangat empuk sekali. Den-

gan mengeluarkan gerengan yang keras ia mener-

jang ke arah Andika.

Des!

Tubuh Andika terlontar ke belakang den-

gan derasnya. Meskipun ia merasakan tubuhnya 

bagaikan patah, namun anehnya tak hangus. 

Bahkan justru tubuh Datuk Pincang Gunung Ne-

raka yang nampak kelojotan.

Malaikat Bukit Pasir yang hampir saja me-

motong serangan Datuk Pincang Gunung Neraka 

karena sangat berbahaya bagi Andika, menge-

rutkan keningnya tak percaya melihat kenyataan 

itu. Lebih terkejut lagi ketika Andika tiba-tiba saja 

memutar tubuhnya, kain pusaka yang membalut 

tubuhnya terlepas dan langsung disampirkan ke 

lehernya kembali.

Kali ini ia menerjang dengan cepatnya, se-

mentara tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka 

masih limbung dengan jeritan yang keras. Malai-

kat Bukit Pasir dan Imas hanya terbengong-

bengong memperhatikan. Karena, mereka tiba-tiba 

saja merasakan panas yang sangat luar biasa. Bu-

kan terpancar dari tubuh Datuk Pincang Gunung 

Neraka, melainkan keluar dari tubuh Andika.

Dedaunan di sekitarnya seketika menger-

ing, lalu berguguran. Dalam keadaan terdesak se-

macam itu, dan mendengar peringatan dari Malai-

kat Bukit Pasir, Andika teringat akan ilmu ajaran 

dari Eyang Sasongko Murti, murid dari Siluman 

Hutan Waringin yang pernah mengajarkan ajian-

ajian bangsa siluman (Baca serial Pendekar Slebor

dalam episode : "Siluman Hutan Waringin").

Saat ini yang dipergunakan oleh Andika 

adalah ajian bangsa siluman, ajian 'Tapa Geni' 

yang memancarkan panas bagaikan neraka na-

mun panas itu tak akan nampak bila Andika tidak 

menggerakkan bagian tubuhnya kepada lawan 

yang dituju. Dengan ajian bangsa siluman itulah 

Andika menderu kencang ke arah Datuk Pincang.

"Heaaa! Pergilah kau ke neraka, Manusia 

Iblis!"

Des! Bummm!

Tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka ter-

lempar beberapa tombak ke belakang dan bergu-

lingan dengan tubuh yang bagaikan terbakar. Ter-

dengar lolongan bagaikan serigala keras. Rambut 

lelaki berpakaian hitam yang kejam itu seketika 

rontok. Pakaian yang dikenakannya langsung le-

bur menjadi debu. Ia berteriak keras setinggi langit 

dengan tubuh kelojotan. Tiba-tiba saja kepalanya 

pecah! Nyawa manusia kejam itu putus seketika.

Andika menghentikan serangannya dengan 

napas terengah-engah. Tatapannya masih setajam 

elang, masih berbalur kemarahan. Namun ia me-

rasakan nafasnya begitu sesak. Tubuhnya ter-

huyung ke belakang dengan darah yang keluar da-

ri mulut dan hidungnya. Benturan itu rupanya ju-

ga menyiksanya.

Malaikat Bukit Pasir yang mengandalkan 

pendengarannya tahu apa yang telah terjadi. Na-

mun ia bertanya, "Andika... apakah kepala manu-

sia itu pecah?"

"Kau benar, Ki."

Terdengar desisan Malaikat Bukit Pasir, 

"Andika... apakah ada cairan warna hijau yang ke-

luar dari kepalanya?"

Andika sendiri terkejut mendengar perta

nyaan Malaikat Bukit Pasir. Dan hampir ia tak bi-

sa mempercayai dirinya, karena apa yang dikata-

kan oleh Malaikat Bukit Pasir itu benar adanya. 

Cairan warna hijau pekat mengalir perlahan dari 

kepala yang pecah.

"Kau benar, Ki."

"Cepat ambil tanah, tutup seluruh cairan 

warna hijau itu."

Tanpa banyak tanya lagi Andika menjalan-

kan perintah Malaikat Bukit Pasir yang bernada 

tergesa dan memerintah.

Setelah menimbun cairan hijau itu dengan 

tanah, terlihatlah asap hitam yang mengepul.

"Mengeluarkan asap, Ki!" serunya kaget.

Malaikat Bukit Pasir menganggukkan kepa-

lanya.

"Aku bisa mencium baunya. Hmmm, ke-

saktian manusia sesat ini telah musnah."

"Tetapi, cairan apakah itu, Ki?"

"Cairan itulah sumber dari hawa panas 

yang ada dalam tubuhnya. Masih mudanya, Datuk 

Pincang Gunung Neraka selalu bersemadi. Ru-

panya setan telah menjadi sekutunya, dengan 

memasukkan cairan warna hijau itu di kepalanya."

Andika terdiam dengan kepala berpendar. 

Sungguh, ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi.

"Ia telah memilih jalannya sendiri. Dan 

kematiannya, hanyalah jalan keluar dari seluruh 

dosa-dosanya," kata Malaikat Bukit Pasir.

Andika mendesah pendek, lalu meminta 

agar Malaikat Bukit Pasir menceritakan apa yang 

sebenarnya telah terjadi. Ia menganggukkan kepa-

lanya ketika Malaikat Bukit Pasir selesai menceri-

takan semua yang telah terjadi.

"Ternyata, dendam manusia itu lebih men-

gerikan daripada dendam setan."

Malaikat Bukit Pasir hanya tersenyum, lalu 

berkata, "Andika... kulihat kelelahan sangat men-

dera kita. Bagaimana bila untuk sejenak kita 

kembali ke Bukit Pasir guna membangun kedia-

manku kembali? Mudah-mudahan, segala dendam 

yang ada di tubuh lawan-lawanku, telah sirna. 

Dan menurut penglihatan batinku, kau sedang 

terluka dalam. Bila dua hari kau tak diobati, maka 

nyawamu tak akan tertolong lagi"

Tiba-tiba saja Andika memang merasakan 

kelelahan. Ia cuma menganggukkan kepalanya. 

Apalagi begitu melihat sepasang mata Imas yang 

menatapnya penuh harap. Lumayanlah, sambil 

membantu Malaikat Bukit Pasir ia bisa bersama 

Imas lebih lama. Dan yang terpenting lagi, ia ha-

rus mengatakan pada Imas, kalau sebenarnya ia 

hanya menganggap Imas sebagai adiknya.

"Baiklah, Ki... mari kita segera berangkat. 

Kita tinggalkan Grido Kencono yang pingsan dan

sudah kehilangan seluruh ilmu yang dimilikinya."

Malaikat Bukit Pasir cuma mendesah pen-

dek

***

Dan tanpa setahu siapa pun juga, satu titik 

cairan berwarna hijau yang keluar dari kepala Da-

tuk Pincang Gunung Neraka, tak tertutup oleh pa-

sir yang dilakukan Pendekar Slebor.

Cairan warna hijau itu bagaikan memiliki 

nyawa, karena tiba-tiba bergerak pelan. Begitu an-

gin men-desir, cairan itu mendadak saja membe-

sar dan membentuk menjadi gumpalan.

Tiba-tiba saja cairan berwarna hijau itu 

melayang-layang dengan cepatnya di angkasa. Ia 

akan memasuki kepala siapa saja yang diingin

kannya. Karena, dalam cairan hijau itulah seluruh 

ilmu Datuk Pincang Gunung Neraka masih terpendam....



                     SELESAI



Segera menyusul!!!

Serial Pendekar Slebor dalam episode:

BAYANGAN KEMATIAN


























Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive