MALAIKAT
BUKIT PASIR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode:
Malaikat Bukit Pasir
128 hal.
1
Saat itu hari Kamis Legi. Siang hari.
Lima ekor kuda hitam yang gagah menderu
berderap dengan kecepatan tinggi di jalan penuh
batu yang berliku itu. Derap langkah menggebah
jalan, meninggalkan debu-debu yang tebal. Mas-
ing-masing penunggangnya nampak berusaha un-
tuk saling mendahului. Selain nampak ingin tiba
di tujuan, juga untuk menghindari panas yang
menyengat. Wajah dan tubuh para penunggang
kuda itu sudah bermandikan peluh. Ketika mela-
lui sebuah hutan, barulah panas itu tidak terlalu
mengena lagi. Dan semakin membuat kelima
orang itu memacu kuda dengan semangat, bagai
ada yang mengejar karena tak sekali pun mereka
menghentikan laju kuda.
Bunyi tarikan napas kuda yang ngos-
ngosan terdengar cukup keras. Namun tak satu
juga yang pedulikan kalau kuda yang mereka
tunggangi sudah kelelahan. Kelima penunggang
kuda itu rata-rata berwajah mengerikan, dengan
mengenakan ikat kepala berwarna kuning. Mereka
pun mengenakan pakaian berwarna hitam yang
pekat, dengan parang besar di punggung masing-
masing.
Ketika tiba di tepi hutan itu, kelimanya
menghentikan lari kuda mereka. Terdengar ringki-
kan keras bersahutan, selebihnya hanya napas te-
rengah dari kuda-kuda itu.
Pandangan lima orang itu tertuju ke depan,
menatap sebuah bukit yang menghitam dan berki-
lat-kilat ditimpa sinar matahari. Aneh sekali me-
mang bukit itu, tak sebuah pohon pun yang tum-
buh di sana. Tak ada tanda-tanda kehidupan di
bukit yang menggunung dan terbuat dari tumpukan pasir.
Tumpukan pasir? Ya, seluruh bukit itu
memang penuh pasir. Sehingga bukit itu dinama-
kan Bukit Pasir!
"Kakang Grido, jelas sudah kita telah sam-
pai di tujuan. Bukankah itu Bukit Pasir?" tanya
salah seorang yang berwajah tirus, dengan sepa-
sang mata turun.
Yang dipanggil tadi seorang lelaki yang wa-
jahnya dipenuhi oleh bulu. Kumis dan jenggotnya
cukup le-bat berwarna hitam pekat. Nama aslinya
Grido Kencono. Nampaknya, dialah pemimpin dari
keempat yang lainnya.
"Kau benar," desisnya dengan suara yang
berat. Matanya tak berkesip memandang Bukit
Pasir. "Hhh! Tak sabar aku untuk membunuh Ma-
laikat Bukit Pasir yang telah menghabisi nyawa
kedua orangtua ku dua puluh lima tahun yang la-
lu. Sekaligus membayar sakit hati guruku, Datuk
Pincang Gunung Neraka. Karena kedua orangtua
ku - Sepasang Iblis - juga muridnya. Kita segera ke
sana!"
Tanpa membuang tempo lagi, lelaki tinggi
besar itu segera menggebrak kudanya dengan sua-
ra menggebah. Yang lainnya pun mengikuti diirin-
gi dengan gemuruh teriak masing-masing.
Tiga jam kemudian, matahari sudah nam-
pak lelah menjelajahi alam, karena sebentar lagi
jelas-jelas ia akan kembali ke peraduannya. Sua-
sana di Bukit Pasir nampak mulai gelap, kabut
mulai turun. Udara berhembus dingin.
Lima lelaki penunggang kuda itu pun tiba
di bawah Bukit Pasir. Mata mereka memperhati-
kan sekeliling bukit yang terdiri dari timbunan pa-
sir dengan tatapan nyalang penuh amarah. Teru-
tama pandangan mata Grido Kencono yang berkilat-kilat.
"Hhhh! Kita tak perlu membuang tempo la-
gi! Sekian lama aku mencari di mana Malaikat
Bukit Pasir bersembunyi dengan dendam yang
semakin berkarat! Kini saatnya lah untuk meng-
habisi nyawa manusia keparat itu! Heaaaa!!"
Kudanya pun digebrak naik ke Bukit Pasir,
menyusul dengan empat ekor kuda lainnya. Ge-
muruh pasir terdengar dan berguguran. Kalau ti-
dak memiliki tenaga dalam yang cukup dan me-
nunggang kuda yang terlatih, sudah tentu kaki-
kaki kuda itu sulit untuk dicabut setelah amblas
setengah di pasir setiap kali melangkah. Di wajah
Grido Kencono jelas sekali kemarahan dan den-
dam yang menyengatnya sendiri. Kudanya dige-
brak dengan kecepatan penuh.
Selang beberapa saat, tepat matahari teng-
gelam, kelima ekor kuda itu tiba di puncak Bukit
Pasir. Kalau di bawah bukit itu saja udara sudah
dingin, apalagi berada di puncaknya bertambah
dingin. Kuda-kuda mereka sampai meringkik ke-
ras ketika kaki-kakinya tertanam di pasir.
Grido Kencono langsung melompat turun
dan berteriak keras, menggema seantero Bukit Pa-
sir, "Malaikat Bukit Pasir! Aku datang untuk me-
nuntut dendam dua puluh lima tahun yang lalu
atas perbuatanmu!!"
Suaranya menggema, menggugurkan pasir-
pasir di sebelah timur.
Di satu tempat yang terletak di timbunan
pasir itu, seorang laki-laki tua mendesah panjang
sambil mengusap jenggotnya. Sulit sekali orang-
orang yang belum mengetahui suasana di Bukit
Pasir untuk menemukan di mana laki-laki yang
tak lain Malaikat Bukit Pasir berada.
Dengan kekuatan tenaga dalam yang ia pa
trikan melalui kekuatan tanah, Malaikat Bukit Pa-
sir membuat bangunan kecil sebagai tempat ting-
galnya di timbunan pasir.
"Rupanya salah seorang dari yang men-
dendam padaku sudah datang. Hmm, pasti Grido
Kencono yang datang," desis lelaki berusia enam
puluh lima tahun yang berwajah bijaksana itu.
Rambut dan bulu yang tumbuh di tubuhnya selu-
ruhnya berwarna putih. Ia pun mengenakan pa-
kaian dan jubah panjang menjuntai yang berwar-
na putih pula. Ketika melihat ke matanya, orang
akan terkejut. Karena, tak ada bola hitam di ma-
tanya. Semuanya berwarna pulih. Rupanya Malai-
kat Bukit Pasir buta!
Lelaki itu kembali mendesah lembut, "Ka-
lau saja Grido Kencono tahu apa yang terjadi dua
puluh lima tahun yang lalu, mungkin ia akan sa-
dar, kalau aku membunuh kedua orangtuanya ka-
rena kejahatan dan sepak terjang kejam yang me-
reka lakukan. Tetapi, sudah tentu Datuk Pincang
Gunung Neraka sebagai guru dari Sepasang Iblis
tak akan membiarkan Grido Kencono tumbuh
tanpa dendam."
"Orang tua hina dina! Apakah kau sudah
berubah menjadi banci yang penakut, hah? Atau-
kah kau sudah menetapkan dirimu menjadi tikus
Bukit Pasir!!" seruan diiringi tenaga dalam yang
kuat itu menggema kembali.
Malaikat Bukit Pasir kembali menggeleng-
gelengkan kepalanya. Ia memang harus memberi-
tahukan apa yang terjadi dua puluh lima tahun
yang lalu. Tidak ada jalan lain lagi. Kemudian, per-
lahan-lahan lelaki itu berdiri sambil mendesah
masygul. Mengambil tongkat putihnya yang sejak
tadi tergeletak di sisi bersilanya.
Tangannya terangkat ke atas.
Plas!
Timbunan pasir itu seolah menjadi bolong
karena tertahan oleh tenaga dalam yang dialir-
kannya. Lalu dengan gerakan yang aneh sekali
Malaikat Bukit Pasir melompat melalui lubang pa-
sir yang cukup besar. Hanya ia dan muridnya saja
yang tahu bagaimana cara masuk dan keluar dari
kediamannya.
Sementara itu, Grido Kencono masih berte-
riak-teriak tak karuan dengan kerasnya.
"Tak perlu membuang tenaga... aku sudah
ada di sini," terdengar satu suara lembut di bela-
kang mereka
Bukan hanya lelaki tinggi besar dengan
kumis dan cambang bawuk itu saja yang terkejut,
begitu pula dengan keempat temannya. Begitu me-
lihat siapa yang muncul, Grido Kencono mengelu-
arkan tawanya yang keras penuh ejekan.
"Rupanya kau masih mempunyai nyali ju-
ga, Orang Tua! Kini bersiaplah untuk mampus! Se-
lama dua puluh lima tahun kau mengasingkan diri
di Bukit Pasir, rasanya sudah cukup untuk mengi-
rimkan nyawa busukmu ke neraka!"
Malaikat Bukit Pasir tersenyum.
"Grido... tahan sedikit amarahmu yang su-
dah setinggi gunung itu. Beri aku kesempatan un-
tuk menjelaskan apa yang telah terjadi dengan ke-
dua orangtua mu itu."
"Tak perlu kau jelaskan lagi! Aku sudah
tahu semuanya dari guruku yang juga guru kedua
orangtua ku. Nyawa harus dibalas nyawa, Malai-
kat Bukit Pasir. Dan sekarang... bersiaplah untuk
mampus!"
"Aku tahu, sebagai anak yang berbakti ke-
pada orangtua, kita memang harus membela me-
reka dengan darah dan nyawa sekalipun. Tetapi,
bukanlah lebih baik bila kita menghindari bentro-
kan ini, karena kau sendiri belum mengetahui apa
yang terjadi waktu itu."
"Orang Tua hina dina! Tak usah kau ba-
nyak komentar! Hari ini juga nyawamu akan kuki-
rim ke neraka!!" bersamaan itu, dengan satu lom-
patan cepat laki-laki tinggi besar itu melesat dari
atas kudanya. Jotosan tangan kanan yang men-
gandung kekuatan tinggi diarahkan pada kepala
laki-laki buta itu yang nampak begitu tenang.
Namun belum lagi jotosan Grido Kencono
menghajar kepalanya, laki-laki buta yang berjuluk
Malaikat Bukit Pasir itu mengangkat sebelah tan-
gannya.
Des!
Jotosan Grido Kencono terhalang. Sebe-
narnya, laki-laki buta itu bisa melanjutkan gebra-
kannya, karena tangkisan tadi merupakan satu
rangkaian gerak yang sangat cepat. Tetapi ia ju-
stru terdiam di tempatnya, tak berbuat apa-apa
hanya memasang pendengarannya lebih tajam la-
gi.
Grido Kencono merasakan tangannya ngilu
sekali. Seluruh otot di wajahnya bagai hendak me-
lompat keluar menyadari kalau serangannya di-
tangkis dengan mudah.
Sementara itu, empat temannya sudah
mengurung laki-laki buta yang berjuluk Malaikat
Bukit Pasir. Sikap mereka garang bukan alang ke-
palang. Parang besar telah diloloskan. Tanpa me-
nunggu perintah, keempatnya segera menerjang.
Parang-parang besar bergerak beruntun,
mencecar bagian tubuh Malaikat Bukit Pasir yang
berlompatan ke sana kemari. Desingan parang itu
menimbulkan suara yang cukup menggetarkan.
Pasir di tempat itu bagai beterbangan.Grido Kencono sendiri sudah terjunkan diri
dalam pertarungan itu. Menghadapi lima serangan
maut yang dilakukan secara beruntun, membuat
pertahanan Malaikat Bukit Pasir seperti agak ka-
cau.
Mendapati kalau lawan kebingungan seper-
ti itu, Grido Kencono mencecar membabi buta.
Namun meskipun demikian, sampai sejauh itu
dan betapapun hebatnya serangan yang mereka
lakukan, tak sekali pun mengenai sasarannya.
Bahkan yang mengherankan, Malaikat Bu-
kit Pasir tidak membalas serangan orang-orang
ganas itu. Hanya menghindari saja. Sedangkan
menurut Grido Kencono, kalau lawan sebenarnya
memang tak mampu untuk bertindak lebih lanjut.
Ia tak menyadari kalau Malaikat Bukit Pasir sebe-
narnya mempunyai rencana lain.
***
Pada saat yang bersamaan, dalam jarak ti-
ga puluh tombak dari Bukit Pasir, seorang pemu-
da berbaju hijau pupus dengan kain bercorak ca-
tur di lehernya, sedang duduk di sebatang pohon.
Kedua kakinya menjuntai ke bawah. Matanya yang
setajam mata elang menatap Bukit Pasir di hada-
pannya. Rambutnya yang memang acak-acakan,
bertambah tak karuan ketika dihembus angin.
"Busyet! Baru kali ini aku melihat ada se-
buah bukit yang sepenuhnya berisi pasir," desis-
nya sambil geleng-geleng kepala. "Memang aneh
alam ini. Semakin jauh kita melangkah, semakin
aneh terasa. Begitu banyak ciptaan Yang Maha
Kuasa yang belum mampu terpecahkan oleh akal."
Selagi pemuda tampan itu masih menga-
gumi keindahan alam, tiba-tiba saja pendengaran
nya yang tajam dan terlatih menangkap suara
bentakan keras dari kejauhan.
"Hmmm... seperti orang bertarung. Dan
asalnya dari Bukit Pasir itu. Ada-ada saja! Baru
saja aku tenang di sini, sudah ada kejadian. Se-
baiknya kulihat apa yang terjadi!"
Lalu dengan gerakan yang sangat ringan,
pemuda tampan itu melompat turun dan segera
kelebatkan tubuh menuju Bukit Pasir.
***
Pertarungan di puncak Bukit Pasir bertam-
bah sengit dan mengerikan. Serangan lima parang
sekaligus yang mengarah pada tubuh Malaikat
Bukit Pasir bertambah gencar. Namun sampai se-
jauh itu, laki-laki buta itu belum juga membalas.
Entah dengan maksud apa. Hanya ia sendiri yang
tahu.
Mendadak saja telinganya menangkap
bayangan berlari menaiki Bukit Pasir.
"Hmm.... siapa lagi yang datang? Bila men-
dengar gerakan larinya yang begitu cepat dan rin-
gan, tak mungkin murid bengal itu. Sebaiknya,
kujalankan saja rencana. Bukan orang-orang ini
yang kutunggu. Masih ada lagi yang menjadi mo-
mok lebih mengerikan!"
Dan bagaikan disengaja, Malaikat Bukit
Pasir membiarkan tubuhnya ditendang dan dipu-
kul. Ia tak menghindar. Akan tetapi, bila parang-
parang itu mengarah padanya, ia selalu menghin-
dar.
Grido Kencono yang menyangka kalau la-
wan sudah tak mampu bergerak dan melakukan
serangan, mencoba menghabisi lawannya. Namun
terjangannya yang berkekuatan penuh ke arah
Malaikat Bukit Pasir, mendadak saja bagai meng-
hantam sebuah batu karang yang mendadak me-
luncur.
Des! Des!
***
Tersentak wajah laki-laki kasar itu. Aliran
darahnya naik ke ubun-ubun. Tangannya dirasa-
kan ngilu luar biasa.
"Manusia hina! Siapa kau yang ingin men-
cari mampus?!" bentaknya sengit, sementara
keempat temannya hentikan serangan pada Ma-
laikat Bukit Pasir.
Lima pandang mata menatap satu sosok
tubuh berbaju hijau pupus yang tadi menghalangi
serangan Grido Kencono pada Malaikat Bukit Pa-
sir. Sikap pemuda yang baru muncul itu nampak
tegang. Matanya yang setajam elang berkilat-kilat.
"Manusia-manusia yang kerjanya hanya
mengotori dunia saja," desisnya dalam hati.
Sementara Malaikat Bukit Pasir menajam-
kan pendengarannya. "Siapa gerangan orang ini?
Meskipun aku sudah menangkap kelebatan tu-
buhnya dari jauh, namun bisa kupastikan kalau
orang ini mempunyai ilmu yang tinggi. Bila mem-
baui tubuhnya, aku yakin ia masih sangat muda.
Tetapi jelas-jelas kalau bukan Imas yang nongol.
Ke mana lagi murid nakal itu?"
Grido Kencono memasang wajah garang.
Kelam sudah menyelimuti wajahnya yang kasar
itu.
"Pemuda hina! Berani mampus lancang
mencampuri urusanku!"
Dibentak seperti itu si pemuda bukannya
menjadi jeri, justru cuma mengangkat kedua alis
nya saja. Sikapnya kocak sekali.
"Lho, jadi kalau ikut campur, itu namanya
lancang? Ya, sudah... kalau memang begitu lebih
baik kalian menyingkir saja dari sini."
Bukan buatan gusarnya Grido Kencono
mendengar jawaban si pemuda yang secara tak
langsung mengejeknya.
"Sebutkan nama! Hingga aku bisa menge-
nang orang yang kubunuh!"
"Wah, yakin ya? Padahal badan gede yang
berisi kentut itu kosong melompong! Ya... kalau
kau memaksa, namaku Andika," sahut si pemuda
tetap santai. Ketika mendengar namanya, jelas-
jelas kalau ia adalah Andika alias Pendekar Slebor
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.
Grido Kencono tak mau buang waktu lagi.
Hatinya gusar bukan buatan karena serangan
pamungkasnya pada Malaikat Bukit Pasir dihalan-
gi dengan ringannya oleh Andika.
Dengan suara menggembor dan timbulkan
angin gemuruh dahsyat, tubuhnya berkelebat ke
arah Andika.
"Heaaa!"
***
2
Mendapati lawan menyerangnya dengan
kekuatan dahsyat, Andika segera buang tubuh ke
kiri. Gerakannya tak kalah cepat dengan yang di-
perlihatkan Grido Kencono. Hati Andika sebenar-
nya bukan main geram melihat seorang laki-laki
buta diserang terus menerus seperti itu.
Selagi Andika buang tubuh ke kiri, jotosan
tangan kanannya berkelebat deras. Grido Kencono
ter-pekik melihat serangan balasan yang dilaku-
kan lawan.
Cepat ia tekuk sikunya.
Des!
Jotosan Andika ditahan dengan hebatnya.
Andika langsung jumpalitan ke belakang,
ketika ia hinggap di tanah dilihatnya lengannya
membiru. Sementara Grido Kencono sendiri terke-
jut ketika sadar tubuhnya bergetar akibat bentu-
ran tenaga dalam yang keras.
"Setan keparat! Rupanya kau memang
mempunyai sedikit ilmu untuk dipamerkan!
Sayangnya, kau akan menyesali semua tindakan-
mu hari ini!" Sehabis berkata begitu, Grido Kenco-
no kibaskan kedua tangan ke atas, lalu ke bawah.
Saat ia kibaskan tangannya yang dilakukan dua
kali berturut-turut, terlihat kedua tangannya ber-
getar. Terasa sekali udara berubah menjadi panas.
Andika yang memperhatikan berjingkat ke-
tika kedua kakinya bagaikan menginjak bara.
"Busyet! Ilmu apa ini?" dengusnya dalam
hati sambil alirkan hawa murni ke kedua kakinya.
Sementara perubahan itu pun dirasakan oleh Ma-
laikat Bukit Pasir.
Laki-laki buta itu mendesis, "Tak sia-sia
Datuk Pincang Gunung Neraka mengambil laki-
laki itu sebagai murid. Ia rupanya telah menerima
ajaran dari Datuk Pincang. Hhh! Aku tak ingin
menambah keributan sebenarnya. Yang kutunggu
kehadiran Datuk Pincang. Biarlah kurasai saja
pertarungan antara pemuda yang bernama Andika
itu dengan Grido Kencono."
Serangan yang siap dilepaskan oleh Grido
Kencono adalah ajian 'Iblis Neraka Cabut Nyawa',
salah satu ajian yang diajarkan oleh gurunya. Se-
buah serangan ganas yang menimbulkan udara
panas.
Tanpa buang tempo lagi, ia sudah kele-
batkan tubuhnya. Panas membara menguar dan
menderu dahsyat. Andika pun tak mencoba untuk
memapaki. Ia hindari serangan itu sambil mengira
kekuatan lawan. Namun lawan nampaknya tak
mau berayal lagi, ia terus mencecar Andika yang
lama kelamaan mendengus.
"Kadal ompong! Bisa-bisa hangus aku ka-
lau kena!" makinya berusaha mencari sela untuk
menyerang. Namun serbuan yang dilakukan Grido
Kencono begitu gencar, bahkan berusaha untuk
merapat dengan Andika.
Menyusul bahaya lain yang datang dari
dua kawan Grido Kencono. Parang besar diki-
baskan hingga timbulkan angin besar. Sementara
dua orang yang lainnya memburu ke arah Malai-
kat Bukit Pasir.
Mendapati serangan macam begitu, Andika
jadi kalang kabut. Bukan dalam arti ia bingung
pertahankan diri, melainkan menurut perasaan-
nya ia harus menyelamatkan laki-laki buta yang
sepertinya tak berdaya.
Memikir sampai di situ, membuat Andika
jadi nekat. Ia coba potong serangan dari Grido
Kencono dengan buang tubuh ke kanan, sambil
melompat itu ia lancarkan tendangan keras ke
muka. Satu jotosan pun dilepaskan.
Des! Des!
Dua kawan Grido Kencono terhuyung.
Bersamaan dengan itu, Andika mene-
ruskan geraknya. Ia buat satu tendangan meling-
kar ke arah dua penyerang yang siap habisi Malai-
kat Bukit Pasir.
Rupanya dua orang itu sadar kalau seran-
gan Andika bisa menimbulkan maut. Mereka hentikan gerakan, dan kibaskan parang dan jotosan
yang dilakukan bersamaan.
Des! Des!
Kalau dalam keadaan menyerang langsung,
tanpa memotong serangan pertama, benturan itu
tak akan membawa akibat apa-apa bagi Andika.
Tetapi, karena tadi ia sudah kerahkan tenaga un-
tuk menerobos serangan dari Grido Kencono dan
dua temannya, menyusul satu serangan dilakukan
ke arah dua orang yang siap habisi nyawa Malai-
kat Bukit Pasir, mau tak mau gebrakannya jadi
sedikit terkuras.
Maka akibat benturan itu, Andika terpental
ke belakang beberapa tombak Begitu pula dengan
dua lawannya tadi. Namun tanpa pedulikan di-
rinya sendiri, begitu kedua kakinya menjejak ta-
nah, Andika langsung emposkan tubuh ke arah
Malaikat Bukit Pasir. Disambarnya tubuh laki-laki
buta itu yang seperti tak berdaya.
"Hmm... pemuda ini ternyata bermaksud
baik," desis laki-laki buta yang sudah berada da-
lam bopongan Pendekar Slebor. "Sebaiknya, ku-
biarkan saja ia melakukan hal ini."
Sementara itu Grido Kencono tak mau
buang kesempatan, tak akan dibiarkannya orang
yang telah membunuh kedua orangtuanya itu hi-
dup, apalagi mengingat ia mengemban tugas dari
gurunya. Makanya, ia segera kibaskan tangan se-
telah memungut parangnya.
Parang besar itu meluncur deras ke arah
Andika.
Wuuuttt!
Trak!
Dalam keadaan genting semacam itu, An-
dika masih tunjukkan kelasnya. Masih membo-
pong tubuh Malaikat Bukit Pasir, kaki kanannya
menyepak se-batang ranting, hingga meluncur
menghantam parang itu. Lebih hebat lagi, ranting
yang terpotong menjadi dua itu meluncur tak
ubahnya anak panah ke arah Grido Kencono yang
kibaskan tangan hingga kedua potongan ranting
itu luluh sambil memaki-maki.
"Kejar manusia keparat itu! Bunuh!"
***
Selang beberapa saat, satu sosok tubuh
ramping berbaju putih berkelebat ke arah Bukit
Pasir. Wajahnya yang jelita dengan sepasang mu-
lut memerah menggiurkan dipenuhi keringat.
Rambutnya yang panjang dan diikat ekor
kuda dengan sehelai pita berwarna biru, berlom-
patan manja saat ia berlari.
Tak lama kemudian, gadis itu pun tiba di
puncak Bukit Pasir. Sejenak ia hentikan larinya.
Keningnya berkerut. Sepasang matanya yang hi-
tam jernih itu membulat melihat keadaan yang po-
rak-poranda. Hatinya bergetar tidak enak.
"Apakah telah terjadi sesuatu di sini?" de-
sisnya galau. Mendadak saja kepalanya menegak.
Bagai melompat ia berlari dan berseru, "Guru! Di
manakah Guru!"
Gadis yang tak lain murid dari Malaikat
Bukit Pasir semakin kacau hatinya, apalagi ketika
masuk ke tempat tinggal mereka yang kini mulai
dipenuhi pasir. Wajah jelitanya pias dan nampak
kacau sekali.
Belum lagi ia menemukan di mana gu-
runya, mendadak kepalanya mendongak. Diden-
garnya suara berderak.
"Oh, Gusti! Pasir-pasir itu akan runtuh!
Aku harus keluar dari sini kalau tidak ingin terkubur!"
Gadis itu segera empos tubuhnya, semen-
tara suara berderak itu makin keras terdengar.
Bergemuruh timbulkan suara dahsyat. Bersamaan
dengan runtuhnya pasir-pasir itu, tubuh ramping
berbaju putih itu sudah mencelat keluar. Lalu
buat gerakan cepat menuruni Bukit Pasir,
Dari bawah, dipandanginya Bukit Pasir di
mana ia tinggal bersama gurunya yang dijuluki
Malaikat Bukit Pasir. Hati gadis yang bernama Im-
as itu menjadi galau bukan main. Ia duduk ber-
simpuh dengan pikiran kacau.
Disesalinya mengapa ia tidak segera kem-
bali dari membeli makanan di kotapraja. Ini dika-
renakan ia menyaksikan pertunjukan sulap yang
diadakan di sana.
Ditatapnya dengan penuh kerisauan nasi
timbel beserta lauknya yang ada di tangan kanan-
nya.
"Guru... maafkan aku, Guru... aku telah
lancang mengabaikan pesan Guru untuk segera
kembali. Aku tahu, telah lama Guru bersembunyi
di sini dari kejaran orang-orang yang ingin mem-
balas dendam. Namun nampaknya, tempat ini su-
dah diketahui.... Oh, Guru... maafkan aku...."
Gadis itu terguguk dengan galaunya. Biar
bagaimanapun tegarnya Imas, namun ia seorang
gadis yang terkadang suka menangis untuk me-
lampiaskan segenap perasaannya.
Tiba-tiba kepalanya menegak.
"Tidak, aku tidak boleh cengeng! Aku harus
segera mencari Guru!"
Perlahan-lahan ia berdiri. Diperhatikannya
lagi kediamannya yang telah tertimbun pasir. Lalu
tanpa buang waktu ia segera kelebatkan tubuh.
***
3
Di tepi sebuah sungai yang terdapat dalam
hutan belantara, pemuda berbaju hijau pupus
dengan kain bercorak catur di lehernya sedang be-
rusaha mengobati tubuh Malaikat Bukit Pasir. Pa-
gi sebentar lagi datang, dari kejauhan sudah nam-
pak bias-bias matahari yang terpantul. Udara ma-
sih dingin dan sisa embun masih menggenang.
Diperhatikannya sosok buta yang sejak ta-
di berusaha diobatinya. Menurut Andika, laki-laki
buta ini pingsan karena tak sanggup menahan lu-
ka akibat hantaman dari Grido Kencono dan ka-
wan-kawannya.
Tak lama kemudian, Andika menarik napas
panjang. Keringat dihapus dari wajahnya. Sejenak
ia geleng-geleng kepala sambil tatap Malaikat Bu-
kit Pasir yang masih terbujur tak bergerak sedikit
pun.
"Ada yang aneh kurasa. Mengapa aliran te-
naga dalam yang kucoba alirkan padanya justru
seperti tersendat? Apakah ini disebabkan pereda-
ran darahnya yang kacau akibat serangan dari li-
ma laki-laki jelek berparang itu, ataukah aliran
darahnya memang sudah tersumbat? Kalau ter-
sumbat, aku bisa menemukannya. Aliran darah-
nya nampak lancar, hanya saja, mengapa aliran
tenaga dalamku seperti tertahan?"
Lama Andika coba menemukan jawaban
dari keanehan yang dirasakannya.
"Hmm... akan kutunggu orang tua ini sa-
dar. Aku jadi penasaran ingin tahu apa sebenar-
nya yang terjadi. Kalau memang bisa diselesaikan
dengan jalan damai silang sengketa antara orang
tua ini dengan kelima orang itu, merupakan jalan
yang terbaik"
Andika mendongak, memperhatikan hutan
lebat yang dipenuhi pepohonan tinggi. Tiba-tiba ia
merasa perutnya lapar sekali.
"Gila! Dari kemarin sore aku belum ma-
kan!"
Andika memutuskan untuk mencari buah-
buahan sekadar mengganjal perutnya. Dipindah-
kannya tubuh Malaikat Bukit Pasir ke balik se-
mak. Setelah itu, ia segera kelebatkan tubuh.
Hanya beberapa menit saja Andika menda-
patkan manggis dan jambu hutan. Dipetiknya
agak banyak, sekalian akan diberikannya pada
Malaikat Bukit Pasir bila orang tua itu sudah si-
uman.
Ia terkekeh dari kejauhan.
"Hei, Ki! Sadar cepat! Nih ada rezeki yang
tak akan kau tolak! Tetapi kalau kau belum sadar
juga... apa boleh buat. Terpaksa aku akan mema-
kannya sendiri." Masih berkata-kata ia sibakkan
semak di mana tubuh Malaikat Bukit Pasir dipin-
dahkan. "Ayo cepat kau... heeiii...!"
Kata-kata Andika terputus. Matanya melo-
tot. Kiiiingnya berkerut. Ia tak melihat sosok orang
tua yang ditolongnya disana. Untuk sejenak Andi-
ka terpaku di tempatnya dengan mulut menganga.
"Busyet! Apa yang terjadi?"
Tanpa hiraukan buah-buahan yang ada di
tangannya, ia kelebatkan tubuh hingga buah-
buahan itu terlempar.
"Hei, Ki! Kalau kau sudah siuman dari
pingsanmu, jangan ke mana-mana dong! Sudah
bangkotan kau masih nakal juga, ya?"
Tak ada sahutan apa-apa kecuali gema su-
aranya.
Andika coba berteriak kembali sambil kele-
batkan tubuh mencari. Namun sosok Malaikat
Bukit Pasir tidak ditemukan. Ia kembali ke tempat
semula dengan perasaan cemas sekarang. Entah
apa yang dicemasinya.
Diperas otaknya guna memecahkan masa-
lah itu. Namun belum lagi ia tiba pada satu ke-
simpulan, telinganya yang tajam menangkap suara
berderak di belakangnya.
Sigap Andika putar tubuh dan membentak,
"Siapa di sana, hah? Kalau hanya seekor monyet
silakan bersembunyi terus! Kalau tikus buduk si-
lakan tinggalkan tempat itu! Kalau manusia jelek,
jelas harus keluar tutupi wajah!"
***
Dua sosok tubuh berpakaian merah-merah
dengan rambut panjang acak-acakan keluar dari
balik semak dengan diiringi tawa yang keras
menggema.
Andika picingkan mata melihat kemuncu-
lan kedua orang itu. Tetapi mulutnya yang usil te-
tap nyerocos seperti petasan, "Kukira siapa? Ru-
panya hanya orang utan yang nyasar ke sini!"
Wajah kedua orang yang satu sama lain se-
rupa itu kelam. Di leher keduanya masing-masing
tergantung taring serigala. Yang memiliki codet di
pipi kirinya membentak, "Siapa yang telah meno-
long Malaikat Bukit Pasir harus mampus! Tetapi,
siapa pun kau adanya, nyawamu tetap harus kami
cabut!"
Andika menjulurkan lidahnya.
"Enaknya ngomong! Memangnya singkong
main cabut saja!"
"Aku tahu siapa kau adanya! Nama besar
Pendekar Slebor sudah masuk ke Hutan Sejuta Ib-
lis di mana kami tinggal! Hhh! Di mana kau sembunyikan Malaikat Bukit Pasir!"
Kali ini Andika terdiam. Lagi-lagi orang
yang menginginkan nyawa Malaikat Bukit Pasir.
Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh laki-
laki buta yang sekarang lenyap itu, sehingga begi-
tu banyak yang menginginkan nyawanya?
"Rupanya hari ini aku kedatangan badut-
badut bodoh yang seenaknya ngomong! Kalau kau
ingin mengetahui di mana Malaikat Bukit Pasir be-
rada, mengapa tidak bersama-sama denganku?
Aku saja sedang mencari. Nah! Jangan-jangan ka-
lian tahu lalu pura-pura bertanya, kan? Iya, kan?"
Dasar urakan, Andika masih bisa meledek seperti
itu. Meskipun ia bersikap santai saja, namun
otaknya berpikir keras kalau kedatangan kedua
orang ini tidak main-main.
"Kurang ajar!" bentak orang yang kedua.
Sikapnya lebih garang. Matanya memancarkan si-
nar kemerahan yang mengerikan. "Cepat kau ka-
takan di mana manusia keparat yang telah mem-
bunuh Guru kami sepuluh tahun yang lalu? Ia ha-
rus membayar semua perbuatannya sekarang! Se-
lama lima tahun kami meninggalkan Hutan Seribu
Iblis untuk mencari manusia keparat itu! Katakan,
bila tidak ingin kupenggal kepalamu! Jangan
main-main dengan Jelak Kembar Baju Merah!"
"Mau baju hitam kek, biru kek, mau jadi
monyet kembar nangkring di pohon kek, itu uru-
san kalian!" Andika masih nyerocos saja padahal
otaknya masih memikirkan tentang lenyapnya Ma-
laikat Bukit Pasir.
"Keparat busuk!" Yang kedua tadi sudah
menderu dengan satu serangan cepat. Andika
yang sudah perhitungkan serangan itu buang tu-
buhnya dan tangannya dengan sigap lancarkan
satu pukulan ke bagian iga lawan. Namun dengan
gerakan yang aneh, lawannya mampu menangkis
serangan itu. Bukan dengan tangan, melainkan
dengan kaki!
Des!
Andika mundur dua langkah. "Gila! Jurus
apa yang diperlihatkannya ini?" desisnya dalam
hati.
Lawannya siap menyerang lagi, tetapi yang
pertama bicara tadi yang bernama Jalak Codet
Merah berkata, "Tahan seranganmu, Adi Jalak Ma-
ta Merah! Pendekar Slebor... katakan di mana Ma-
laikat Bukit Pasir? Ingat, kami tak segan-segan tu-
runkan tangan telengas kepadamu!"
Ancaman itu jelas bukan ancaman kosong.
Sayang yang dihadapi keduanya adalah Pendekar
Slebor yang dalam keadaan bagaimanapun masih
tetap bertingkah seenaknya. Kata-kata itu hanya
disambuti dengan senyuman mengejek, sementara
otaknya berpikir, "Ada sesuatu yang pernah terjadi
sebelumnya dulu pada Malaikat Bukit Pasir, se-
hingga orang-orang ini menginginkan nyawanya.
Peristiwa apa sebenarnya?"
Tetapi, sebelum Andika buka mulut, Jalak
Mata Merah yang gusar tadi, sudah kelebatkan
tubuhnya. Desingan angin bak topan prahara
menderu dahsyat ke arah Andika yang cepat
menghindar. Namun serangan itu datang susul
menyusul, bahkan dilakukan dengan menggerak-
kan kedua kaki dan tangan sekaligus.
"Benar-benar hebat!" puji Andika sambil te-
rus menghindar. Dan dengan satu gerak tipu yang
manis, Andika bisa menyusup masuk dan siap
hantamkan pukulan yang telah dialirkan tenaga
'inti petir' tingkat kelima belas.
Namun, Jalak Codet Merah langsung kele-
batkan tubuh ke arahnya, hingga Andika urung
meneruskan serangannya pada Jalak Mata Merah.
Menyusul Jalak Mata Merah yang kembali mende-
ru-deru dengan serangan aneh kakinya.
Andika bergulingan hindarkan serangan
gencar yang dilakukan serempak itu. Gulingan tu-
buhnya bukan ke belakang, melainkan ke depan.
Kaki kanannya menyepak kaki Jalak Codet Merah,
dan langsung melompat dengan pancalan satu ka-
ki ke arah Jalak Mata Merah.
Jalak Mata Merah tak mau tubuhnya dija-
dikan sasaran empuk serangan Andika. Selagi An-
dika melompat ke arahnya, ia buang tubuh ke kiri
dan mendadak saja terdengar angin dahsyat ber-
desingan
Dengan gerakan yang menakjubkan, tubuh
laki-laki bermata merah itu berbalik dengan posisi
kepala di bawah. Kedua kakinya bergerak bagai
baling-baling. Angin laksana topan prahara men-
deru hebat. Gemuruh terdengar seketika. Dedau-
nan berguguran. Kerikil beterbangan. Debu men-
gepul menjadi satu, memedihkan mata.
Andika yang sudah membuang tubuhnya
merasa wajahnya bagai ditampar dari jauh. Selagi
Andika kerepotan menghindari serangan Jalak
Mata Merah, Jalak Codet Merah sudah berkelebat
berkali-kali. Setiap jotosannya mengandung hawa
panas.
Mendapati serangan dua lawan yang demi-
kian gencar, tak ada jalan lain kecuali memotong
setiap serangan. Di saat Jalak Codet Merah gu-
lingkan tubuh ke arahnya, Andika berkelebat ce-
pat. Melompat dan menjadikan tubuh Jalak Codet
Merah sebagai tumpuan. Gerakan semacam itu
tak mungkin bisa dilakukan bila tidak memiliki
ilmu meringankan tubuh dan kecepatan yang
tinggi. Bersamaan tubuhnya melenting dari tubuh
Jalak Codet Merah, dengan kerahkan tenaga 'inti
petir' tingkat kelima, ia songsong serangan Jalak
Mata Merah yang masih menderu dengan kedua
kaki di atas dan bergerak bagai baling-baling.
Sergapan yang dilakukan Andika benar-
benar harus matang. Ia rundukkan kepala dan
kedua kaki Jalak Mata Merah luput dari sasaran.
Saat itulah ia lakukan jotosan dua kali berturut-
turut.
Des! Des!
Tubuh Jalak Mata Merah meluncur ke be-
lakang. Gerakannya limbung dan masih posisi ke-
pala di bawah tubuhnya menghantam sebuah po-
hon besar. Andika sendiri bergulingan ke belakang
dan berdiri tegak.
Wajahnya yang tampan nampak berkerut,
nyeri menahan sakit.
Sementara Jalak Codet Merah menggeram
murka melihat adik kembarnya jadi sasaran han-
taman Andika. Dengan gerengan keras ia mengge-
brak Andika kembali, menyusul Jalak Mata Merah
yang sudah bangkit sambil menahan sakit. Ia tak
peduli keadaan dirinya. Seluruh wajahnya kelam
karena hajaran Andika tadi.
Andika yang sudah alirkan ajian 'Guntur
Selaksa' segera menyongsong dua serangan itu se-
kaligus.
"Heaaa!"
"Yeaaa!"
Dua buah tenaga yang dijadikan satu, ber-
bentrokan dengan tenaga ajian 'Guntur Selaksa'
milik Pendekar Slebor.
Akibatnya sungguh mengerikan. Suara ke-
ras berdentum dua kali. Dari benturan itu menge-
pul asap hitam yang pekat. Tubuh Andika terlem-
par ke belakang lima tombak. Sementara dua tokoh yang mempunyai dendam pada Malaikat Bukit
Pasir itu mengalami hal serupa. Bahkan Jalak Ma-
ta Merah yang masih menahan sakit tadi, tak bisa
bangkit kembali. Kepalanya telak terhantam ajian
'Guntur Selaksa' dari Andika.
Melihat adiknya tewas mengerikan, Jalak
Codet Merah menjerit keras sambil memelukinya.
Hatinya hancur bersamaan geram dan amarah
yang tinggi. Ia tolehkan kepalanya dengan tatapan
laksana kobaran api ke arah Andika.
"Keparat hina! Sejak semula sudah kuduga
kau akan mempertahankan di mana manusia ke-
parat berjuluk Malaikat Bukit Pasir itu! Kini, si-
lang sengketa telah terbuka di mataku!"
Andika hanya terdiam sambil tarik napas.
"Kepalaku benar-benar jadi pusing seka-
rang!"
Jalak Codet Merah yang berada dalam ke-
gusaran luar biasa, tak mau meneruskan seran-
gannya sekarang ini. Ia tahu, ia tak akan mampu
menghadapi Pendekar Slebor. Berdua dengan sau-
daranya saja, jauh dari hasil yang diinginkan.
Bahkan harus membayar semuanya dengan kema-
tian Jalak Mata Merah. Namun dendam sudah
membara. Ia akan menunggu saat yang tepat.
"Pendekar Slebor... saat ini kau menang.
Tetapi, kau akan mendapati balasan alas perla-
kuan busukmu ini!"
Lalu dengan kemarahan yang tinggi, Jalak
Codet Merah mengangkat mayat adik kembarnya
dan kelebatkan tubuh dengan gerengan yang ke-
ras.
Tinggal Andika yang mendesah panjang.
Masalah apa lagi yang dihadapinya ini? Ternyata
keingintahuannya tentang Malaikat Bukit Pasir
membawanya ke masalah yang besar. Karena, banyak para tokoh rimba persilatan yang mengingin-
kan nyawa Malaikat Bukit Pasir. Sedikit yang dike-
tahui Andika, kalau mereka memiliki dendam
tinggi pada laki-laki buta yang sekarang entah be-
rada di mana.
Tak lama kemudian Andika duduk dengan
kaki menekuk dan menjadi bantalan pinggulnya.
Ia atur napas dan jalan darahnya. Beberapa saat
berlalu, ia berdiri dan segera tinggalkan tempat
ini.
***
4
Pagi kembali datang. Alam memang tak
pernah mau menunggu siapa pun juga saat men-
jalankan tugasnya.
Dua anak manusia hentikan langkah di
Hutan Maringgis. Yang seorang laki-laki berparas
tampan. Wajahnya tak ubahnya pangeran-
pangeran dalam dongeng. Rahangnya kukuh. Hi-
dungnya mancung dengan bibir memerah. Dipe-
nuhi dengan cambang halus yang menambah ke-
jantanannya. Tubuhnya tegap tanpa mengenakan
baju, memperlihatkan bagian dadanya yang bi-
dang dan penuh otot. Celana pangsinya berwarna
hitam. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor
kuda. Sayang, dari semua kejantanan dan ketam-
panan yang dimilikinya, matanya memancarkan
sinar culas. Ia bernama Praba Gering atau yang
dikenal dengan julukan si Pukulan Maut.
Sedang yang seorang lagi, wanita berparas
bidadari. Begitu jelita sekali. Kejelitaannya hanya
bisa ditandingi oleh para dewi-dewi. Ia mengena-
kan pakaian berwarna keemasan dengan bagian
dada terbuka lebar hingga perlihatkan pakaian da-
lamnya yang tipis. di pinggang yang ramping ter-
dapat selendang berwarna keemasan pula dengan
celana berwarna putih. rambutnya disanggul. ia
bernama mantari atau yang dikenal dengan julu-
kan si selendang emas.
julukan keduanya itu bukanlah julukan
kosong dan asing bagi orang-orang rimba persila-
tan. mereka bukanlah suami-istri. namun keke-
jaman dan kesukaan mereka berhubungan badan,
menjadikan mereka seperti mendapatkan teman
seperjalanan yang sama. meskipun mereka kerap
melakukan hubungan badan, namun bila salah
satu dari mereka mendapat mangsa, tak ada yang
cemburu. mereka juga dikenal sebagai para pem-
bunuh bayaran yang tangguh.
setelah hentikan langkah di hutan maring-
gis, keduanya sambil bergandengan dan sesekali
berkecupan, melangkah menuju ke sungai yang
terdapat di sana. dan tanpa malu-malu keduanya
buka pakaian dan mandi di sungai itu. saling ter-
bahak-bahak dan menyelam. saling raba dan ber-
kecupan. setelah puas mandi, tanpa malu-malu,
keduanya naik ke tepi sungai dan berpakaian
kembali.
"kudengar, salah seorang dari jalak kem-
bar baju merah telah tewas di tangan pendekar
slebor," desis si selendang emas sambil menyang-
gul rambutnya kembali.
praba gering tertawa pendek. "mereka ada-
lah orang-orang tolol! memiliki kemampuan tak
seberapa, lalu ingin menjegal pendekar slebor. te-
tapi, dengan adanya berita itu, kita sekarang tahu
kalau pendekar slebor berada di sekitar daerah
ini. dan ini memudahkan kita untuk menemukannya.
Mantari perlihatkan senyum genitnya.
"Kau benar. Dewi Kemuning atau Ketua
Partai Tumbal Iblis tak akan sia-sia mengeluarkan
uang dan upeti untuk kita bila kita berhasil mem-
bunuh Pendekar dari Lembah Kutukan itu."
"Bukankah ini sebuah tugas yang menye-
nangkan? Pertemuan kita dengan Ketua Partai
Tumbal Iblis, membawa kita kepada Pendekar Sle-
bor. Sejak munculnya seorang tokoh sakti yang
berjuluk Malaikat Peti Mati, sebenarnya Dewi Ke-
muning berharap sekali Malaikat Peti Mati yang
menantang Pendekar Slebor bisa membunuh pen-
dekar urakan itu. Hanya sayang, entah bagaima-
na, tiba-tiba saja pertarungan itu tak pernah ter-
jadi. Dan menyenangkan bukan, Dewi Kemuning
akan membayar mahal bila kita berhasil membu-
nuh Pendekar Slebor."
(Untuk mengetahui tentang Dewi Kemun-
ing dan pertarungan Malaikat Peti Mati dengan
Pendekar Slebor, silakan baca: "Malaikat Peti Ma-
ti").
"Bodohnya, perempuan itu mengapa tidak
turun tangan untuk membunuh Pendekar Slebor
yang ia pikir akan menghalangi sepak terjangnya
untuk memperluas wilayah kekuasaannya."
"Idenya tidak terlalu bodoh sebenarnya.
Dewi Kemuning sedang mempersiapkan diri untuk
menyerang Perguruan Partai Timur karena mem-
bangkang untuk menjadi sekutunya. Dengan ke-
kuatan gabungan beberapa partai, maka kekua-
tannya bertambah dan ia bisa membunuh Pende-
kar Slebor."
Mantari tersenyum. "Kini giliran kita men-
jajal kehebatan Pendekar Slebor, sekaligus men-
dapatkan uang dan upeti yang banyak jumlahnya."
"Ini sangat... cepat sembunyi!" tiba-tiba sa-
ja Praba Gering hentikan ucapannya dan langsung
lompat ke dahan pohon yang cukup tinggi. Begitu
pula dengan Mantari. Telinganya pun menangkap
suara orang berlari ke arah mereka.
Tak lama kemudian, satu sosok tubuh tiba
di sana. Wajahnya yang cantik dipenuhi keringat.
Ia adalah Imas, murid Malaikat Bukit Pasir.
Telah empat hari gadis jelita itu mencari
gurunya, namun sampai sekarang belum ada ha-
sil. Seperti baru sadar, ia merasakan tubuhnya
lengket karena keringat. Dilihatnya sungai yang
mengalirkan air jernih. Diraihnya air itu dengan
kedua tangannya, di-basuh ke wajahnya yang jadi
segar. Ia pun bermaksud ingin mandi.
Diperhatikan sekelilingnya. Lalu perlahan-
lahan ia mulai membuka pakaiannya. Namun be-
lum lagi ia melakukan, mendadak saja tangannya
sambar dua buah kerikil dan melemparnya ke atas
sebuah pohon.
Tass! Tass!
Bersamaan dengan meluncurnya dua buah
kerikil itu, Praba Gering dan Mantari melompat
dan hinggap di tanah dengan ringannya.
Praba Gering langsung perdengarkan ta-
wanya. Sejak tadi matanya sudah tak sabar meli-
hat gadis di tepi sungai itu membuka pakaiannya.
Imas memandang tak berkesip pada kedu-
anya. "Hmmm... untungnya aku menangkap gera-
kan salah seorang dari mereka. Kalau tidak, tu-
buhku akan dilalap oleh mata laki-laki itu." Sam-
bil menekan jengkelnya ia mendesis, "Rupanya
ada monyet-monyet liar yang kerjanya mengintip!"
Mantari hanya perlihatkan senyum. "Anak
manis... mengapa harus marah? Bukankah itu
sangat menyenangkan?"
"Perempuan hina! Mulutmu suka bicara
ngaco rupanya!"
Lagi Mantari perlihatkan senyumnya. Lalu
berkata pada laki-laki berparas dewa di sisinya,
"Praba Gering... apakah kau ingin menikmatinya,
ataukah kau ingin membunuhnya?"
Praba Gering terbahak-bahak, namun tak
mengurangi ketampanan wajahnya. "Siapa yang
akan membuang kesempatan seperti ini, hah?"
Imas sadar kalau keduanya bukanlah
orang baik-baik. Dan kata-kata Praba Gering itu
membuat wajahnya kelam.
"Manusia hina! Lebih baik kalian tinggal-
kan tempat ini sebelum kubuat perhitungan!"
"Mengejutkan. Sangat mengejutkan. Baru
kali ini kulihat seekor kelinci berani menantang
serigala."
"Hanya serigala tua yang tak bertaring!"
Praba Gering terbahak-bahak mendengar-
nya. Baginya, ejekan itu merupakan buaian lem-
but di telinganya. Justru Mantari yang memerah
wajahnya.
"Cepat kau geluti gadis itu! Aku sudah gat-
al ingin mengepruk mulutnya!"
Mendadak saja, masih tertawa, Praba Ger-
ing kelebatkan tubuh. Sangat cepat sekali.
***
Mendapati serangan itu, Imas langsung
melompat dan memutar tubuhnya dengan satu
tendangan cepat.
Wuuttt!
Saat itu juga Praba Gering tersentak. Sejak
tadi ia memang yakin kalau gadis ini tidak kosong.
Tetapi gerakan yang diperlihatkan barusan cukup
mengejutkannya.
Ia segera ubah serangannya. Kalau tadi
masih menganggap enteng kali ini dengan disertai
seruan keras, ia menerjang cepat. Imas sendiri tak
mau membuang waktu. Ia masih harus menemu-
kan gurunya.
Dengan setengah bergulingan, murid Ma-
laikat Bukit Pasir itu buat gerakan mengkontra.
Padahal itu hanya serangan pancingan. Selagi la-
wan menyangka serangannya akan diblok, justru
Imas akan melenting ke atas. Gadis itu melihat ka-
lau Praba Gering terpancing tipuannya.
Saat itulah ia melenting ke atas dan....
Des!
Dada bidang itu terhantam kaki Imas yang
telah dialiri tenaga dalam tinggi. Bila Praba Gering
tak me-miliki keseimbangan terlatih, tubuhnya bi-
sa langsung ambruk. Ia masih sanggup bertahan,
meskipun gedoran itu cukup menyakitkannya.
Kepalanya tegak. Matanya nyalang penuh gera-
man.
"Gadis keparat! Kubunuh kau!" sentaknya
sambil menyerang kembali. Serangkum angin din-
gin menggebubu mengikuti gerakan tubuhnya.
Imas tercekat melihat serangan dahsyat
itu. Ia tak mau memapaki, justru melompat ke ki-
ri.
Wusss!
Imas cepat menarik kepalanya ke belakang
ketika kaki Praba Gering sudah mengibas ke
arahnya. Meskipun serangan lawan luput, namun
tak urung Imas merasakan wajahnya jadi perih
karena terkena pukulan angin Praba Gering.
"Bagus!" seru Mantari puas. "Cepat kau
lumpuhkan gadis itu! Aku sudah tak sabar ingin
membunuhnya!"
Imas masih coba mempertahankan diri
dengan meloloskan pedangnya. Namun hasilnya
tetap sama. Gempuran lawannya begitu dahsyat.
Dalam satu jurus kemudian, ia tak mampu lagi
bertahan. Pedangnya sudah berpindah tangan,
dadanya terhantam tendangan yang keras.
"Inilah saat yang mengasyikkan!" seru Pra-
ba Gering dan siap menotok gadis yang kini terdu-
duk pias. Akan tetapi....
Des! Des!
Praba Gering terjajar ke belakang, dadanya
bagai remuk belaka. Mantari bersiaga dengan ma-
ta nyalang. Satu sosok tubuh berpakaian hijau
pupus dengan kain bercorak catur di lehernya, te-
lah berdiri dalam jarak tiga tombak di hadapan
keduanya sambil memegangi tubuh Imas.
Justru Imas yang gelagapan sambil mele-
paskan dirinya. Ia merasa risih dipegang oleh seo-
rang pemuda yang tak dikenalnya.
Sejenak hanya dipandanginya saja peno-
longnya tanpa tahu harus berbuat apa. Tetapi ia
menjadi risih karena diperlakukan seperti itu.
Penolong Imas yang tak lain adalah Pende-
kar Slebor tersenyum sambil lepaskan pegangan-
nya. Justru Imas yang masih terpana menyaksi-
kan penolongnya, menjadi bersiaga kembali sete-
lah mendengar seruan Mantari,
"Rupanya, orang yang kita cari sudah be-
rada di sini, Praba!"
Praba Gering yang geram karena serangan-
nya pada Imas dihalangi oleh orang yang tengah
mereka cari, berkata dingin, "Pendekar Slebor...
cukup lama kudengar nama besarmu. Sayangnya,
hari ini akan punah di tangan kami!"
"Wah... kalau namanya saja sih tidak apa-
apa. Asal jangan orangnya! Tetapi, kayaknya tidak
pantas orang lain memakai julukan seperti itu.
Iya, nggak? Iya, nggak?" sahut Andika sambil ke-
rutkan kening, berpikir keras tentang siapakah
kedua orang ini.
"Setan alas! Kepalamu harus kami bawa ke
hadapan Dewi Kemuning!"
Mendengar nama Dewi Kemuning dis-
ebutkan, Andika teringat tentang wanita Pimpinan
Partai Tumbal Iblis yang ingin melebarkan sayap
kekuasaannya. Bahkan selagi Andika menyamar
sebagai Malaikat Peti Mati, ia pernah bertarung
dengan beberapa orang anak buah Partai Tumbal
Iblis (Silakan baca: "Malaikat Peti Mati").
"Hmm... rupanya Dewi Kemuning tetap
akan menjalankan niat busuknya itu. Dan kedua-
nya jelas orang yang berpihak padanya," desisnya
dalam hati.
Tetapi, dasar urakan dengan tak acuhnya
Andika berkata pada Imas, "Kau tinggalkan tempat
ini. Biar aku yang meneruskan urusan ini."
"Enaknya ngomong!" sentak Imas yang ma-
sih mendendam pada kedua orang itu. "Kau ini
siapa sih, main perintahku begitu saja? Lagi pula,
manusia keparat itu telah memukulku, aku harus
membalas!" Andika cuma mengangkat bahunya
saja. "Jadi maumu apa?"
"Manusia itu harus kubalas." Kali ini Andi-
ka mengangguk-angukkan kepalanya.
"Orang seperti mereka memang harus diha-
jar. Kau mampu melakukannya?"
"Ya!"
"Kalau begitu, bagaimana bila aku dulu
yang menjitak kepalanya? Tetapi, keenakan ya,
kalau kujitak kepalanya!"
Imas memperhatikan Andika serius. Batin-
nya bertanya-tanya, "Siapa pemuda yang bersikap
konyol seperti ini? Santai sekali dan seolah tak
ada masalah."
"O ya... namaku Andika. Siapa namamu?"
Andika masih bersikap santai, padahal ia tengah
memancing kemarahan dua orang di belakangnya.
Meskipun keningnya berkerut Imas menye-
butkan pula namanya.
"Nah, bagaimana usulmu sekarang, Imas?
Apakah mereka harus kita usir, atau kita jitak?"
Imas berkata, "Aku ingin mereka menda-
patkan ganjaran atas tindakan yang mereka laku-
kan tadi. Hhh! Meskipun saat ini aku tengah men-
cari guruku, tetapi kedua manusia busuk itu ha-
rus dihajar!"
"Siapakah gurumu itu, Imas?"
Imas menoleh. Matanya yang bagus mena-
tap Andika tak berkesip. Dikira-kira siapa pemuda
yang sikapnya rada konyol ini. Bila melihat sikap-
nya itu, jelas ia tak berpihak pada siapa pun juga,
termasuk dirinya. Namun secara tak langsung Im-
as mengetahui apa yang diinginkan kedua orang
itu sekarang. Rupanya, pemuda inilah yang mere-
ka cari dan berjuluk Pendekar Slebor.
Lalu perlahan ia berkata, "Aku tak pernah
tahu nama asli guruku. Tetapi, orang-orang men-
julukinya Malaikat Bukit Pasir."
Meskipun kata-kata itu pelan, namun ter-
dengar keras di telinga Andika. "Rupanya gadis ini
murid Malaikat Bukit Pasir. Ini sebenarnya ke-
sempatanku untuk mengetahui lebih lanjut siapa
gerangan orang tua buta itu. Tetapi, saat ini nam-
paknya tidak tepat. Dua manusia itu sudah tentu
tak akan membiarkanku."
Sementara itu, Praba Gering menjadi panas
melihat sikap Andika yang seperti tidak mengang-
gap kehadirannya.
Tanpa banyak bicara lagi, ia menderu dah-
syat pada Andika yang seketika menoleh dengan
tatapan tajam. Sedangkan Mantari yang sejak tadi
tak melakukan apa-apa, segera meluruk ke arah
Imas.
***
5
Pertarungan sengit yang terjadi di tepi sun-
gai itu terus berlangsung. Puluhan jurus telah le-
wat. Praba Gering yang tahu akan kehebatan Pen-
dekar Slebor, mengeluarkan segenap kemam-
puannya untuk menjatuhkan pemuda pewaris il-
mu Pendekar Lembah Kutukan itu. Bahkan berka-
li-kali ia harus menerima serangan balik yang de-
mikian cepat terjadi. Namun Andika sendiri mera-
sakan pukulan-pukulan maut yang dilakukan oleh
Praba Gering, yang timbulkan angin menderu-deru
dan suara yang keras.
Sementara Imas sudah terdesak hebat oleh
Mantari. Dengan pergunakan jurus 'Ratu Emas
Menggulung Api' wanita setengah baya yang genit
itu mampu membuat Imas tunggang langgang. Ge-
rakannya begitu cepat dan dahsyat. Setiap kali
Mantari menyergap setiap kali angin bergulung
hebat menderu. Dedaunan rontok seketika. Debu
di tempat itu beterbangan dengan tebal.
Dalam waktu yang singkat tempat itu bagai
diserbu oleh gerombolan gajah ngamuk.
Andika yang sedang mencoba mendesak
Praba Gering dengan tenaga 'inti petir' tingkat ke-
lima harus terbagi dua perhatiannya. Di satu segi
ia harus mencoba pula untuk menyelamatkan di-
rinya, di segi lain ia pun harus menolong Imas. Inilah sebabnya, mengapa ia menyuruh gadis itu
meninggalkan tempat ini tadi. Karena, ia bisa me-
repotkannya! Dan gadis itu terlalu keras kepala!
Brengsek, padahal ia merasa beruntung karena
secara tak langsung bertemu dengan murid Malai-
kat Bukit Pasir dan ia bisa menjadikannya sebagai
tempat bertanya, mengapa begitu banyak orang-
orang rimba persilatan yang menginginkan nyawa
Malaikat Bukit Pasir?
Tiba-tiba saja dengan alirkan tenaga 'inti
petir' tingkat pertama pada kedua tangannya, An-
dika menderu ke arah Praba Gering yang sudah
merangkum ajian pamungkasnya pukulan 'Maut
Hancurkan Gunung'. Dua buah tenaga berbentu-
ran keras, menimbulkan dentuman yang amat
dahsyat sekali.
Buuummm!
Bentrokan dua tenaga raksasa itu mem-
buat debu yang beterbangan semakin tebal dan
tanah yang dipijak bagaikan bergoyang.
Tubuh Praba Gering terpental ke belakang
dengan tangan yang terasa mau patah. Ngilu tak
terkira dirasakan. Begitu pula dengan Andika. Da-
rah keluar dari mulutnya. Meskipun luka dalam
telah dideritanya, Andika segera melenting ke arah
Mantari yang sedang menyerang Imas dengan
gempuran-gempur-an dahsyat.
Wusss!
Mendapati angin dahsyat menderu ke
arahnya, si Selendang Emas mencelat ke samping
dan membuat serangan Andika luput dari sasa-
rannya. Melihat kesempatan itu, Andika tak henti-
kan gerakannya, langsung putar tubuh ke kiri dan
langsung menyambar tubuh Imas.
Namun belum lagi pemuda dari Lembah
Kutukan itu berhasil melakukannya, tiba-tiba saja
kaki kirinya bagaikan disentak ke belakang hingga
tubuhnya ambruk ke tanah, Imas yang berada da-
lam gendongannya meskipun tak terlepas mau tak
mau menindihnya. Debu betebaran seketika.
Andika berbalik ketika dirasakannya satu
tenaga menariknya dengan kuat. Rupanya Mantari
sudah meloloskan selendang keemasannya dan
melilit kaki Andika.
"Monyet pitak!" maki Andika jengkel dan
berusaha menahan tarikan selendang Mantari
yang menyeringai. Akan tetapi gerakannya justru
terganggu oleh Imas yang meronta-ronta minta di-
lepaskan dari bopongannya. Dan ini justru menyu-
litkan Andika sendiri.
Gerakan Andika untuk melepaskan diri da-
ri lilitan selendang Mantari yang juga membetot-
nya hingga terasa nyeri benar-benar kacau, apala-
gi di saat yang bersamaan, bahaya lain tengah
mengancamnya.
Praba Gering yang tadi mempergunakan
kesempatan untuk pulihkan tenaganya kembali,
melurup dengan kekuatan penuh! Gerakannya itu
begitu cepat, dilakukan hampir bersamaan dengan
tarikan selendang yang dilakukan Mantari.
Andika hanya terperangah bagai sapi om-
pong melihatnya, sementara Imas yang masih be-
rada dalam bopongannya menjerit keras.
***
Des!
"Aaaakhhhh!"
Jeritan keras menyayat itu terdengar keras.
Tetapi, bukan dari mulut Andika. Justru Praba
Gering yang tersurut ke belakang beberapa tom-
bak ketika satu hantaman tak terlihat menyambar
tubuhnya. Darah menyembur dari mulutnya begi-
tu tubuhnya terlempar lima tombak ke belakang.
Tulang iganya patah dua buah. Dadanya terasa
remuk dengan napas sesak. Ia tak mampu untuk
bangun kembali.
Andika sesaat terperanjat. Matanya yang
tajam melihat kelebatan bayangan yang menderu
ke arah Praba Gering tadi. Melihat keadaan Praba
Gering. Mantari berteriak kalap. Wajahnya pias
bukan buatan. Lalu menjelma menjadi kemarahan
makin tinggi. Pandangan matanya bagai lontarkan
kobaran api. Pipinya mengeras. Dalam sangkaan-
nya, Andikalah yang menghantam Praba Gering
dengan tenaga tak nampak.
Ia cepat menambah aliran tenaga dalam
pada selendangnya dan tarik dengan cepat kaki
Andika, yang mau tak mau terseret. Namun Andi-
ka yang sudah siaga meskipun masih kaget den-
gan kejadian barusan, segera menahan kakinya.
Tarik menarik terjadi begitu cepat. Keringat
mengalir di wajah tampan itu. Kakinya terasa nye-
ri, urat-urat kakinya bagai mau putus. Sementara
seluruh otot di wajah dan tangan Mantari bagai
menyembul keluar. Dari hidungnya mengalir da-
rah karena sentakan tenaga dalamnya sendiri.
Tiba-tiba Andika buat satu gerakan cepat.
Julurkan tangan untuk sambar selendang itu,
meskipun kakinya terseret lagi.
Beeet!
Sekali sentak tubuh Mantari sudah terba-
wa ke arahnya. Mantari terperangah, ia coba ken-
dalikan diri. Namun betotan Andika lebih cepat.
Begitu tubuh wanita genit itu meluncur,
Andika segera menyongsongnya dengan tenaga
'inti petir' tingkat keempat. Suara bagaikan petir
menyalak terdengar cukup keras.
Desss!
Tubuh Mantari terpental ke belakang, ber-
gulingan sesaat dan muntah darah. Rupanya wa-
nita itu memiliki tubuh yang kedot, karena ia tak
langsung ambruk terkena pukulan Andika yang
hebat itu. Namun akibatnya, giginya tanggal. Mata
kirinya bengkak lebam. Bibirnya pecah dan tiga
buah tulang iganya patah.
Andika langsung lepaskan selendang Man-
tari pada kakinya yang segera ia alirkan hawa
murni guna mengurangi rasa sakit. Secepat itu
pula ia berdiri. Celingukan memperhatikan siapa
orang yang telah menolongnya tadi. Namun sosok
orang itu tak nampak lagi. Gerakannya tadi bagai-
kan hantu belaka.
Siapa orang itu?
Tiba-tiba ia mendengar teriakan Imas yang
keras ke arah Praba Gering yang sudah tak mam-
pu berbuat apa-apa. Rupanya, gadis itu sudah
menyambar pedangnya yang tadi terjatuh dari
tangan lelaki berparas dewa itu. Dan sekarang
siap dihujamkan pada Praba Gering.
"Imas!"
Andika tersentak dan bergerak cepat.
Tuk!
Ia menotok urat di bagian bawah ketiak
Imas sebelah kanan, seketika gadis itu mengaduh
dan tangannya tak mampu digerakkan. Justru
makiannya yang terdengar.
"Tahan! Kita tak patut membunuh lawan
yang sudah tak berdaya!"
"Tetapi ia telah memukulku!"
"Menjatuhkan lawan dalam keadaan tak
berdaya adalah tindakan pengecut! Kita boleh me-
lakukan apa saja! Curang boleh, menggunakan
akal licik pun tak jadi masalah! Hanya saja, melakukan tindakan pengecut adalah perbuatan hina!"
"Aku tak peduli!" seru gadis itu keras kepa-
la. "Kalau aku pengecut, kau mau apa? Lagi pula,
apakah kau sudah menjadi bodoh sekarang, kalau
keduanya tadi menginginkan mengambil nyawa-
mu?!"
"Jangan, Imas... biarkan ia hidup. Toh ke-
duanya sudah tak mampu berbuat apa-apa. Ju-
stru kita harus mengetahui siapakah orang yang
tadi menolongku!"
"Masa bodoh! Lepaskan totokanmu, aku
harus membunuh kedua manusia keparat itu!"
Andika cuma menggelengkan kepalanya.
Membiarkan gadis itu memaki-maki tak karuan. Ia
sendiri mencoba mencari orang yang telah meno-
longnya tadi. Tetapi tetap tak nampak di depan
matanya. Lalu ia kembali lagi ke tempat semula, di
mana Imas sedang berusaha membebaskan di-
rinya dari totokan Andika, namun tak mampu di-
lakukannya.
"Siapa pun dia, kita patut berterima kasih,"
kata Andika pelan sambil mengalirkan hawa mur-
ninya akibat bentrokan yang terjadi berkali-kali.
"Imas... aku akan membebaskan totokanmu bila
kau berjanji tidak akan membunuh lawan yang
sudah tak berdaya."
Imas masih menolak permintaan Andika.
"Seorang pendekar tak patut melakukan
tindakan yang keji," ujar Andika pula.
"Lepaskan totokanmu! Akan kubunuh ma-
nusia itu!"
Andika menggeleng.
"Lepaskan!"
"Bila kau berjanji untuk tidak melakukan
tindakan keji itu, aku akan melakukannya. Kau
lihat sendiri, keduanya sudah tak mampu berbuat
apa-apa. Dengan luka yang mereka derita, secara
tidak langsung ilmu yang mereka miliki sudah
lumpuh!"
Gadis jelita itu mengeluarkan suara meng-
gembor. "Brengsek! Lepaskan aku! Akan kubiar-
kan manusia itu hidup!"
Andika tersenyum. "Aku menyukaimu bila
kau menepati janjimu," katanya lalu menggerak-
kan tangannya.
Tuk!
Tubuh Imas terjingkat sebentar. Namun di
detik lain, tubuhnya sudah menderu ke arah Pra-
ba Gering yang masih terduduk sambil menahan
rasa sakit dengan teriakan keras, "Mampuslah
kau!"
"Imas, jangan!" seru Andika dan mengem-
pos tubuhnya untuk menahan serangan Imas. Te-
tapi, Imas yang sudah memperhitungkan kalau se-
rangannya akan dihalangi oleh Andika, mengi-
baskan pedangnya.
Wuuutt!
Andika merunduk. Dan dengan kecepatan
yang luar biasa, hulu pedang di tangan gadis itu
menghantam dada Andika.
Des!
Tubuh pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan itu terhuyung. Andika menden-
gus, benar-benar menjengkelkan gadis ini. Tiba-
tiba ia memiliki satu pikiran yang jitu untuk me-
nahan kejengkelan Imas.
Tiba-tiba saja tubuhnya limbung. Lalu am-
bruk dengan mengeluarkan suara pelan, "Imas...."
Imas yang siap menghujamkan pedangnya
ke Praba Gering, menoleh ke arah Andika yang
mendadak saja ambruk. Ia urung melakukan
niatnya pada lelaki berparas dewa yang tak mampu lagi untuk berdiri.
"Andikaaa!" serunya memburu. Galau ber-
campur kecemasan menjadi satu. Diperiksanya
tubuh Pendekar Slebor dengan perasaan tak me-
nentu. Detak jantung Pendekar Slebor sangat le-
mah. Tubuhnya pun terasa panas. Imas menoleh
pada Praba Gering dan Mantari,
"Kalian seharusnya beruntung karena se-
cara tidak langsung diselamatkan oleh orang yang
hendak kalian bunuh. Pergi dari sini dan jangan
bertemu denganku lagi!"
Sambil membopong tubuh Pendekar Sle-
bor, Imas pun berkelebat tinggalkan tempat itu.
***
6
Malam mulai merambat perlahan. Imas
masih tepekur di sisi tubuh Pendekar Slebor yang
terbujur. Sejak tadi Andika memang berusaha un-
tuk tetap berlagak pingsan. Dan apa yang diala-
minya kemudian sungguh mengejutkan. Pikirnya,
Imas akan segera meninggalkannya begitu saja,
namun pada kenyataannya ia berusaha keras un-
tuk menolongnya.
Sesaat Andika ingin membuka sandiwa-
ranya, tetapi ia justru khawatir kalau gadis itu
akan mengamuk karena merasa dipermainkan.
Menghadapi gadis semacam ini, sebenarnya telah
sering diterima Andika. Hanya saja, terkadang ia
suka kebingungan untuk menghadapinya.
Sebenarnya, saat ini Imas entah mengapa
merasa trenyuh melihat keadaan Andika. Teruta-
ma akan kebijaksanaan hatinya yang mengampuni
lawan yang sudah tak berdaya.
Sedikit banyaknya, bila mengingat hal itu,
Imas menjadi tidak enak. Saat ini pikirannya me-
mang se-dang galau. Nasib gurunya belum ia ke-
tahui.
Ia membawa Andika ke sebuah lembah
yang penuh bukit. Rasa khawatir semakin mende-
ranya, semakin membuat perasaannya tak menen-
tu melihat keadaan Andika yang menurutnya san-
gat berbahaya bagi keselamatan pemuda tampan
berbaju hijau pupus itu. Dikerahkannya seluruh
tenaga dalam dan hawa murninya untuk menya-
darkan Andika, paling tidak menghilangkan hawa
panas yang bagaikan bara. Seluruh ilmu pengoba-
tan yang dipelajarinya dari Malaikat Bukit Pasir
dipergunakan untuk mengobati luka-luka Andika.
Padahal saat ini, dalam berpura-pura ping-
san, Andika tengah mengeluarkan tenaga 'inti pe-
tir' yang dipadukan dengan tenaga dalamnya un-
tuk mengusir luka dalam yang dideritanya. Karena
itulah saat Imas memegangnya terasa panas. Dan
rasa panas itu akan terus terjadi sebelum Andika
hentikan mengalirkan tenaga 'inti petir'-nya. Ju-
stru gadis itu yang menjadi cemas.
"Oh, Tuhan... apa yang harus kulakukan
lagi untuk menyelamatkannya?" desisnya dengan
tubuh penuh keringat, karena ia telah mengerah-
kan tenaga dalamnya untuk menyadarkan Andika.
Padahal saat itu udara malam begitu dingin sekali
hingga ke tulang.
Dirabanya sekali lagi tubuh Andika, ber-
tambah panas tak ubahnya ia memegang bara be-
laka. Gadis itu berlari mencari mata air. Tak dihi-
raukannya lagi keadaan dirinya. Dibukanya pakaian luarnya hingga kini ia hanya mengenakan
pakaian dalam. Dengan pakaian yang telah ia basahi, dibalurinya ke sekujur tubuh Andika.
Saat itulah Andika tersentak ketika diam-
diam ia membuka mata dan melihat Imas hanya
mengenakan pakaian dalamnya saja, dan pakaian
luarnya dibalut ke tubuhnya. Sesaat perasaan tak
menentu hinggap di hati Andika. Sementara itu, ia
sudah menghentikan mengalirkan tenaga 'inti pe-
tir'-nya untuk mengobati luka dalamnya, sehingga
tak lagi dirasakan panas ketika Imas meraba tu-
buhnya.
Didengarnya helaan napas lega dari Imas.
Justru perasaan Andika semakin bertambah tak
karuan.
"Kutu koreng! Kenapa jadi begini?" desis-
nya dalam hati. "Padahal maksudku berpura-pura
pingsan agar Imas tidak menurunkan tangan te-
lengas pada kedua lawan tadi. Mereka dalam kea-
daan tak berdaya, tak seharusnya dihabisi. Bila
dalam satu pertarungan jujur, memang tak ada pi-
lihan lain. Tetapi aku yakin, sikap marah gadis itu
karena ia sedang kesal. Terutama, kusadari kalau
ia tengah mencemaskan gurunya. Ah, ke mana la-
ki-laki buta itu sebenarnya?"
Lalu ia merasakan Imas merebahkan tu-
buhnya di sisinya. Dada Andika menjadi berdebar
hebat dengan wajah memanas. Di sebelahnya ten-
gah terbaring seorang dara jelita, hanya mengena-
kan pakaian dalam belaka!
Ditahannya sesuatu yang mengisi hatinya.
"Busyet! Benar-benar kacau! Kekeras kepa-
laannya gadis ini sebenarnya karena ia tengah ga-
lau memikirkan nasib gurunya. Padahal ia memi-
liki hati yang baik. Terbukti, ia masih berada di si-
siku yang menyangka aku pingsan."
Ditunggunya beberapa saat sebelum ke-
mudian ia melepaskan pakaian luar Imas yang
menyelimuti tubuhnya, lalu diselimutinya tubuh
Imas. Saat ia merebahkan tubuhnya kembali, An-
dika jadi semakin galau saja. Perasaan aneh di ba-
tinnya menjalar, ditahannya sekuat tenaga.
Dan karena tak ingin melihat tubuh Imas,
Andika pun memejamkan matanya pula. Tetapi,
disebabkan rasa lelahnya, ia pun akhirnya terle-
lap.
***
Pagi sudah membentang sejak lima jam
yang lalu. Matahari sudah lebih dari sepenggalah.
Burung-burung beterbangan bercicitan.
Andika terbangun ketika sehelai daun me-
nerpa wajahnya. Yang pertama kali diingat adalah
Imas. Dengan cepat, Andika bangkit. Tetapi hanya
sesaat ia bisa melakukannya, karena setelah itu ia
rebah kembali. Dilihatnya gadis itu tidur hanya
mengenakan pakaian dalam saja. Kalau semalam
tak begitu kentara, sekarang nyata sekali bentuk
tubuhnya. Karena, selain saat ini matahari sudah
muncul juga pakaian luar itu sudah tak pada po-
sisi di mana Andika meletakkannya semalam.
"Busyet! Kacau juga nih!" desisnya sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Lalu dengan wajah memerah, Andika men-
gambil pakaian itu, dan menyelimuti tubuh Imas
kembali. Tetapi perbuatannya justru membangun-
kan Imas dari tidurnya.
"Oh! Mau apa kau?" bentaknya pertama
kali sambil mendekap tubuhnya sendiri. Matanya
bagai tertarik ke dalam, tak ubahnya mata kelinci
yang kelimpungan karena kepungan beberapa
ekor serigala.
Andika gelagapan dengan wajah memerah.
"Aku hanya ingin menyelimutimu saja, Imas." Imas langsung berdiri dan menyambar pakaiannya,
berlari ke satu tempat. "Imas!"
"Ceriwis! Kau mempergunakan kesempatan
untuk melihati tubuhku rupanya!" seru gadis itu
di balik semak. Malunya tidak ketolongan lagi. Ko-
nyol, kenapa ia masih tertidur tadi? Astaga, apa
yang sebelumnya dilakukan oleh Andika tadi? Ba-
gai disengat kalajengking ia meraba tubuhnya
sendiri dan diyakini tak kurang suatu apa. Meski-
pun demikian hatinya jengkel bukan main. Andika
mengusap rambutnya ke belakang. Edan, kenapa
jadi begini sih? Lalu menggerakkan tubuhnya yang
terasa pegal. Imas muncul kembali sudah berpa-
kaian.
"Kalau kau sudah siuman dari pingsanmu,
jangan mempergunakan kesempatan!" tuding ga-
dis itu ketika muncul dari balik semak.
Andika jelas sekali melihat kalau Imas ma-
sih mengantuk. Ia benar-benar merasa tidak enak.
Padahal, ia berpura-pura pingsan agar Imas tidak
lagi mempersoalkan Praba Gering yang memang
sudah mau mampus. Dan ia pikir, gadis itu tak
peduli. Tetapi nyatanya? Ah, Andika jadi pusing
sendiri. Dan sudah tentu semakin tak berani un-
tuk mengatakan sesungguhnya.
"Tidak, aku tidak melakukan apa-apa. Aku
hanya...."
"Alasan!" seru Imas sengit. Ia kelihatan ge-
ram sekali. Wajahnya merah padam tak karuan.
Lalu katanya dengan suara menggembor, "Kalau
kau sudah merasa sembuh, aku hendak pergi se-
karang!"
"Ke mana?" tanya Andika yang benar-benar
jadi tidak enak dan pertanyaan itu terlontar begitu
saja.
"Mencari guruku!"
Andika menahan langkah Imas, "Tunggu!"
Gadis itu berbalik sambil mendengus, "Apa lagi?"
"Ada yang ingin kukatakan tentang guru-
mu," kata Andika dan tak menunggu persetujuan
Imas, ia menceritakan tentang Malaikat Bukit Pa-
sir. Bukannya gembira, Imas justru melotot.
"Kau?" desisnya dengan tubuh bergetar. "Di
mana guruku sekarang, hah?"
"Sungguh aku tidak tahu. Ini memang ke-
salahanku, Imas. Aku akan berusaha menemu-
kannya. Imas, ceritakan tentang gurumu. Menga-
pa banyak sekali yang menginginkan nyawanya...."
"Setelah kau tidak tahu di mana guruku
berada, kau ingin aku menceritakan apa yang te-
lah terjadi? Justru kau sendiri yang tahu jawa-
bannya!"
"Maksudmu... sebelum kejadian itu. Ceri-
takan...."
"Kau harus bertanggung jawab atas hi-
langnya guruku!" Gadis itu hanya berkata-kata
tanpa menjawab keingintahuan Andika tentang
Malaikat Bukit Pasir.
Andika cuma mendengarkan saja, mem-
biarkan gadis itu mengeluarkan seluruh keingi-
nannya karena ia tahu gadis itu gusar dan risau
memikirkan gurunya. Setelah puas memaki, Imas
berkelebat meninggalkannya. Tinggal Andika yang
terdiam. Setengah penasaran dan gusar. Biar ba-
gaimanapun juga, ia harus mencari Malaikat Bukit
Pasir.
Lalu ditinggalkannya tempat itu dengan se-
juta pikiran yang mengganggu benaknya.
***
Hujan lebat dan kabut tebal menutup selu
ruh Gunung Neraka mulai dari puncak hingga ke
kaki. Dingin yang menusuk tulang tak terkirakan
lagi. Dan tadi siang hujan terus turun dengan de-
rasnya. Suara yang menderu menegakkan bulu
roma. Petir sambar menyambar. Kilat sesekali me-
nerangi puncak Gunung Neraka yang mengerikan.
Namun satu sosok tubuh yang menung-
gang kuda tak hiraukan semua itu. Ia terus me-
macu kudanya, tak peduli sekujur tubuhnya su-
dah basah. Wajahnya bagaikan ditempa oleh tu-
sukan jarum yang kuat. Sesekali terdengar sua-
ranya memberi semangat pada kudanya. Bila me-
lihat kabut yang tebal dan derap langkah kuda
yang ringan itu, seolah tak merasa terhalangi oleh
hujan, menandakan kalau penunggangnya sudah
hafal liku-liku sekitar Gunung Neraka yang sulit
dan penuh dengan batu-batu terjal yang setiap
saat bisa berjatuhan.
Gerakannya pun benar-benar menandakan
ia sangat hafal sekali, karena dengan ringannya ia
bisa melewati batu-batu terjal dan jalan yang agak
licin untuk tiba di puncak Gunung Neraka yang
menyeramkan dan gelap karena tertutup kabut
tebal.
Tiba di puncak Gunung Neraka, penung-
gang kuda itu melompat dari kudanya dan tanpa
buang waktu langsung kelebatkan tubuh menuju
sebuah bangunan kecil yang seakan hendak run-
tuh ditimpa hujan dan petir yang mampu mengge-
tarkannya. Ia menerobos masuk dan menggerak-
kan seluruh tubuhnya agar air hujan yang mele-
kat di tubuhnya berjatuhan.
"Tepat sekali kedatanganmu ini, Grido...,"
terdengar suara dingin itu.
Orang yang baru datang, yang ternyata
Grido Kencono langsung jatuhkan tubuh di dasar
bangunan kecil yang lembab.
"Maafkan atas keterlambatanku, Guru."
Bangunan kecil itu gelap gulita. Mata telan-
jang saja seakan tak sanggup untuk menembus
kegelapan. Namun tiba-tiba satu cahaya bersinar.
Ketika terlihat, jelas-jelas sekali api yang muncul
itu berasal dari jentikan sebuah tangan. Bahkan
api itu menempel di ujung jari telunjuk! Dialah
Datuk Pincang Gunung Neraka, guru dari Grido
Kencono yang sekaligus guru dari kedua orangtu-
anya - Sepasang Iblis.
"Guru...," desis Grido Kencono lagi.
Orang yang ujung jari telunjuknya menyala
api tersenyum dingin. Begitu mengerikan. Wajah-
nya tak ubahnya bagaikan tengkorak belaka, ka-
rena kurus sekali. Rambutnya berwarna kelabu
sekelabu biji matanya. Hidungnya melesak ke da-
lam dengan kedua mata yang turun. Bila saja wa-
jahnya tak seperti tengkorak, sudah tentu ma-
tanya akan membentuk gelambir. Pakaiannya
berwarna hitam panjang. Menutupi seluruh tu-
buhnya saat ia duduk. Ketika ia menggerakkan
kakinya, terlihatlah kaki kirinya lebih kecil dari
kaki kanannya. Di sisinya terdapat sebuah tongkat
berwarna hitam pula dengan ukiran tengkorak di
pangkalnya.
"Sudahkah kau membunuh si Keparat Ma-
laikat Bukit Pasir, Grido?"
Grido Kencono menghela napas pelan, lalu
sahutnya takut-takut, "Belum, Guru"
"Murid bodoh!" suara itu keras menggele-
gar, seakan menyaingi petir yang sambar me-
nyambar. Gubuk itu bagaikan bergerak sesaat.
Tangannya bergerak menampar pipi Grido Kenco-
no hingga mengalirkan darah. Sakitnya bukan
alang kepalang, di tahannya semua itu dengan
merapatkan giginya. "Tak guna aku mendidikmu
selama ini untuk membunuh manusia keparat itu!
Ingat Grido, nyawa kedua orangtua mu mati di
tangannya! Keduanya adalah muridku yang ku
sayangi! Dan kau sebagai anaknya, sudah tentu
adalah cucuku! Yang harus membalaskan sakit
hati kedua orangtua mu, juga sakit hatiku pada
Malaikat Bukit Pasir! Yang perlu kau ingat, Gri-
do... laki-laki buta itulah yang membuat hidungku
hancur seperti ini dan wajahku yang tak ubahnya
mirip setan gentayangan belaka. Selagi aku men-
coba menolong dan menyelamatkanmu dari tan-
gan Malaikat Bukit Pasir, pertarungan dahsyat tak
bisa kuelakkan. Karena, ada kau di tanganku yang
waktu itu masih bayi, gerakanku jadi kacau. Teru-
tama karena aku memang ingin menyelamatkan-
mu. Hhh! Aku hanya menunggu waktu beberapa
hari lagi untuk menyempurnakan ilmu baruku ini!
Namun yang perlu kau ketahui pula, kau mampu
menggempur Malaikat Bukit Pasir dengan ilmu
yang kuajarkan kepadamu. Sejak puluhan tahun
lalu, aku dan Malaikat Bukit Pasir selalu berada di
jalur yang berbeda. Ia selalu menghalangi sepak
terjangku, juga kedua muridku yang tak lain ke-
dua orangtua mu. Kini saatnya bagimu tunjukkan
bakti untuk membalas sakit hati kedua orangtua
mu."
Grido Kencono menyahut tanpa mengang-
kat wajahnya. Ia bisa membayangkan kemurkaan
Datuk Pincang Gunung Neraka.
"Maafkan saya, Guru. Sebenarnya saya
berhasil untuk mengalahkannya, namun seorang
pemuda berpakaian hijau pupus telah menolong-
nya," katanya memberanikan diri.
"Siapa setan keparat itu?" suara itu sema-
kin dingin mengandung kegeraman. Tulang-tulang
di wajahnya makin nampak menonjol tak karuan.
"Pendekar Slebor."
"Hhh! Aku pernah mendengar sepak ter-
jang seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Sle-
bor! Seperti apa kehebatan pemuda itu, hah? Kau
yang bodoh atau dia yang memang terlalu tangguh
untukmu?"
Panas wajah Grido Kencono mendengar
ejekan gurunya. Namun sudah tentu ia tak me-
nampakkannya.
"Kau cari kedua manusia keparat itu! Bu-
nuh mereka! Jangan mempermainkan aku sebagai
gurumu!"
"Saya datang ke sini, justru ingin meminta
pelajaran lagi dari Guru. Saya akui, karena saya
tak mampu untuk menandingi kehebatan Pende-
kar Slebor. Kabarnya, ia berasal dari Lembah Ku-
tukan."
Datuk Pincang Gunung Neraka terlengak
sejenak. Matanya menyipit.
"Hhh! Ada hubungan apa pemuda itu den-
gan Ki Saptacakra?" dengusnya, seolah bertanya
pada dirinya sendiri.
Grido Kencono yang mendengarnya baru
berani mengangkat kepalanya. Ia melihat gurunya
seperti termenung.
Lalu didengarnya lagi suara gurunya, "Pe-
duli setan bila ia memang ada hubungan dengan
Ki Saptacakra. Kau tak perlu khawatir lagi untuk
menghadapinya. Akan kubuat pemuda lancang itu
kena batunya di tanganmu. Pejamkan kedua ma-
tamu."
Serentak Grido Kencono memejamkan ma-
tanya dengan hati gembira. Ia tahu, dengan perin-
tah seperti itu gurunya jelas akan menurunkan
sebuah ilmu baru. Memang itulah yang diingin
kan.
Dan mendadak saja ia merasakan satu
sengatan yang sangat keras sekali, membuat tu-
buhnya bergetar hebat. Di udara yang sedingin
itu, Grido Kencono mengeluarkan keringat yang
banyak. Kedua matanya seakan hendak melompat
karena tak sanggup menahan panas. Mulutnya
menjerit-jerit setinggi langit. Ia merasa seluruh te-
naganya bagaikan terkuras, membuatnya kelojo-
tan tak menentu Sengatan itu bagaikan ribuan li-
strik yang menyerangnya.
Cukup lama juga lelaki berkumis dan ber-
jenggot panjang itu merasakan sakit yang mende-
ranya, hingga kemudian bagaikan sehelai kertas,
ia doyong ke belakang dan ambruk.
"Bangun! Pusatkan tenaga dalammu di pe-
rut dan hembuskan napasmu perlahan-lahan!"
Meski masih menahan rasa sakit yang
menderanya, Grido Kencono melakukan perintah
dari gurunya, seketika itu juga ia merasakan seku-
jur tubuhnya membaik kembali. Sengatan listrik
tadi tak begitu dirasakannya lagi, seolah lenyap
begitu saja.
"Kau sudah memiliki ajian 'Rembulan Ma-
tahari' yang sangat dahsyat, Grido. Kau akan
mampu menandingi ajian 'Guntur Selaksa' milik
Pendekar Slebor bila ia memang mewarisi ilmu
Pendekar Lembah Kutukan. Tetapi, aku tak per-
caya soal itu. Tak seorang pun yang bisa mewarisi
ilmu Ki Saptacakra."
Grido Kencono mengangguk-angukkan ke-
palanya dengan gembira.
"Guru, dengan ajian yang baru saja Guru
turunkan ini, saya akan secepatnya melaksanakan
perintah Guru."
"Kalau begitu, kembalilah kau sekarang ju
ga, Grido! Ingat, aku tak pernah suka menunggu
terlalu lama."
"Baik, Guru!"
Dengan tertawa gembira Grido Kencono
berkelebat keluar dari bangunan itu. Seperti hal-
nya tadi, ia segera menaiki kudanya dan mengge-
braknya kencang. Terobos hujan dan kabut tebal.
Kalau tadi ia datang dengan hati agak waswas ka-
rena khawatir kena marah gurunya, kali ini se-
nyum tak pernah putus sepanjang ia menaiki ku-
danya selalu bertengger di bibirnya.
Di matanya sudah terbayang bagaimana
jasad Pendekar Slebor membujur tak bernyawa.
Dan ia tak sabar untuk menunggu saat yang di-
tunggunya.
Sementara itu, Datuk Pincang Gunung Ne-
raka berada dalam kegelapan kembali. Karena ia
sudah memadamkan api yang keluar dari jarinya
tadi. Ada sesuatu yang dipikirkannya....
***
7
Andika memaki-maki, kesal sendiri. Ia ma-
sih berdiri tegak di sebuah batang pohon, melin-
dungi dirinya dari hujan yang turun dengan de-
rasnya.
"Busyet! Kalau begini terus, aku akan kehi-
langan jejak Imas!" dengusnya jengkel. Kalau diin-
gat tentang kejadian itu, Andika jadi malu sendiri.
Habis, kalau saat itu ia menahan serangan Imas
pada Praba Gering, bisa-bisa gadis itu akan ganti
marah padanya. Padahal, Andika membutuhkan-
nya untuk bertanya lebih jauh tentang Malaikat
Bukit Pasir. Soal Praba Gering dan Mantari yang
ingin dibunuh oleh Imas, sebenarnya tidak perlu
dilakukan. Karena dugaan Andika, keduanya tak
akan mampu hidup lebih lama lagi. Kalaupun hi-
dup, mereka akan menjadi orang cacat selama-
lamanya. Pemuda tampan beralis hitam legam mi-
rip kepakan sayap elang itu mendengus mem-
bayangkan kekeraskepalaan Imas. "Menjengkel-
kan, mengapa aku mencemaskannya sekarang?
Apakah karena aku merasa bersalah setelah hi-
langnya gurunya itu, Malaikat Bukit Pasir? Uh,
kenapa harus ada sih gadis menjengkelkan seperti
itu?"
Tetapi di detik lain, pikirannya berubah.
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menemukan
Imas. Karena, tak mustahil dialah yang sekarang
akan menjadi sasaran manusia-manusia busuk
yang mendendam pada gurunya!"
Berpikir seperti itu, Andika akhirnya me-
mutuskan untuk meneruskan larinya.
Tubuh itu pun berkelebat menerobos hu-
jan.
Di sebuah tempat yang agak lapang, tiba-
tiba saja Andika berteriak keras. Empat buah tali
telah mengikat kedua tangan dan kakinya. Seren-
tak Andika mendengus sambil mengerahkan tena-
ga dalamnya.
"Heeeiiittt!"
Empat buah tali itu menyentak dan empat
sosok tubuh berpentalan keluar dari arah yang
berlainan, yang bagai dibetot oleh tenaga raksasa,
namun segera sigap berdiri. Mereka cukup kaget
melihat tenaga yang diperlihatkan oleh Pendekar
Slebor. Karena, membuat tubuh keempatnya ber-
getar.
Andika mendengus gusar begitu melihat
siapa yang muncul. "Rupanya monyet-monyet ke
pala kuning! Hhh! Di mana Grido Kencono bera-
da?"
Bukannya menyahut keempat orang itu se-
gera menderu secara serempak dengan empat
buah parang yang besar. Kibasan parang di tan-
gan mereka seakan mengalahkan suara gemuruh
hujan. Andika mendengus sambil menghentakkan
tangannya yang dialiri oleh tenaga dalam. Tubuh
keempatnya tertarik ke depan dan jatuh bangun.
Namun mereka segera berdiri meskipun di
bibir mereka mengalirkan darah. Serangan kali ini
lebih berbahaya lagi. Andika berkali-kali harus
melompat dan membuang tubuhnya kalau tidak
ingin dicacah oleh parang-parang besar itu.
Yang lebih membahayakan lagi, karena ti-
ba-tiba saja keempatnya melemparkan parang se-
cara serempak ke arah Andika yang harus ber-
jumpalitan menghindar.
Ia memang berhasil menghindari serangan
itu, bahkan tangannya masih sempat mematahkan
dua buah parang sekaligus. Namun begitu ia men-
jejakkan kakinya di tanah yang becek, empat buah
jala yang dilemparkan sekaligus dari arah berlai-
nan telah men-jeratnya. Menjadikannya bagaikan
seekor burung yang terkena perangkap.
Rupanya keempatnya memang telah mem-
persiapkan jebakan yang lebih hebat lagi. Serentak
mereka menariknya dengan mengalirkan tenaga
dalam sehingga ikatan jala itu semakin mengen-
cang. Lalu berlarian berputaran, sehingga tali-tali
yang menghubungkan dengan jala itu semakin
pendek, dan membuat Andika bagaikan terikat
erat.
Andika berontak dengan suara memaki-
maki panjang. Ia mencoba untuk memutuskan
rangkaian jala itu. Namun jala itu begitu kedot sekali. Keempatnya terus berusaha mempertahan-
kan agar Andika tak mampu meloloskan diri.
"Keparat! Kalian ingin mencari mampus!"
geram Andika dan berusaha untuk melepaskan ja-
la-jala itu. Namun yang anehnya, jala yang terbuat
dari rangkaian tali yang bening itu tak mampu un-
tuk diputuskan. Bahkan ajian 'Guntur Selaksa'
tak bisa memutuskan-nya. Bukan karena tak
mampu, melainkan karena jala itu sangat lentur
sehingga Andika bagaikan memukul angin.
Salah seorang dari mereka itu terbahak-
bahak, "Hebat! Hebat sekali! Kakang Grido Kenco-
no pasti menyukai kerja kita ini begitu tahu siapa
yang masuk dalam jala-jala maut!"
Andika menyipitkan matanya, tubuhnya
tertekuk karena ikatan jala yang menguat. Kedua
kakinya bagaikan menekan dadanya sendiri. Cu-
kup menyiksa berada dalam ruang gerak yang
sempit ini. Bahkan untuk bernapas saja rasanya
sulit, karena wajahnya pun tertekan ikatan jala
itu.
"Manusia busuk! Kita bertarung sampai
mampus!" serunya gusar.
"Mengapa harus repot-repot untuk mem-
bunuhmu, Pendekar Slebor! Gara-gara ulah bu-
sukmu itulah Malaikat Bukit Pasir lolos dari tan-
gan kami!"
"Keparat! Monyet pitak! Ombak karang! Sa-
tu saat akan kukepruk kepala kalian sampai pe-
cah!" maki Andika dan berusaha meronta kembali,
namun semakin ia meronta, semakin kuat jala-jala
itu mengikat tubuhnya.
Orang-orang itu terbahak-bahak. Lalu ba-
gaikan dikomando, keempatnya menerjang ke arah
Andika yang tengah meringkuk tanpa mampu be-
rontak. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi diterima Andika dengan hati marah. Namun, ia tak
mampu berbuat apa-apa.
Setelah puas memukuli dan menendang
Andika, bagaikan mendapat hewan buruan, den-
gan sekali sentak saja mereka mengangkat tubuh
Andika dan meninggalkan tempat itu sambil ter-
bahak-bahak.
Tinggal Andika yang menahan geramnya
dengan sekujur tubuh yang terasa sakit sekali.
Namun itu tak dirasakannya, karena justru ha-
tinya yang bertambah sakit.
***
Imas terus berlari menembus hujan yang
lebat sekali. Ia tak peduli semua itu. Yang dipikir-
kannya hanyalah nasib gurunya. Berbagai pikiran
aneh yang mengandung kecemasan selalu bermain
di otaknya. Tetapi Imas berusaha untuk segera
menghilangkan pikiran buruknya bila setiap kali
datang.
Di sebuah tempat yang sunyi, Imas mene-
mukan sebuah gubuk kecil yang tak dipakai lagi.
Gubuk itu masih nyaman untuk sekedar melin-
dunginya dari curahan hujan. Di gubuk itulah Im-
as meringkuk dengan menekuk kedua lututnya di
balai-balai yang telah kusam dengan rasa lelah
yang mulai dirasakan.
Pikirannya kembali menerawang. Teringat
lagi saat-saat yang menggembirakan bersama gu-
runya. Teringat bagaimana gurunya berlatih ilmu
kanuragan. Teringat bagaimana gurunya selalu
memberikan wejangan hidup yang berarti. Semua-
muanya teringat dan membuat gadis itu berkali-
kali menarik napas.
Apa yang dialami gurunya saat ini? Dan
berada di manakah dia? Tanya gadis itu dalam ha-
ti.
Imas mendesah panjang. Ia sudah men-
dengar cerita dari gurunya mengapa dua puluh li-
ma tahun yang lalu membunuh kedua orangtua
Grido Kencono.
Karena mereka orang jahat yang kerjanya
hanya membunuh saja dan mengumbar ilmu-ilmu
hitam. Saat itu, gurunya datang berkelana seperti
kebiasaannya dan ia memiliki seorang musuh be-
buyutan yang berjuluk Datuk Pincang Gunung Ne-
raka. Dalam berkelananya, ia pun telah menden-
gar sepak terjang dari Sepasang Iblis yang menge-
rikan.
Dalam satu perjumpaannya dengan Sepa-
sang Iblis, gurunya berhasil membunuh mereka.
Namun harus dibayar mahal dengan indera pen-
glihatannya yang terkena Bubuk Sutera yang dite-
barkan oleh Sepasang Iblis.
Gurunya pun tahu kalau Sepasang Iblis
memiliki seorang anak yang bernama Grido Ken-
cono. Namun ketika ia mencarinya, ia terlambat.
Karena Datuk Pincang Gunung Neraka yang dike-
tahui sebagai guru dari Sepasang Iblis telah mem-
bawanya pergi.
Mengetahui kalau Sepasang Iblis ternyata
adalah murid dari musuh bebuyutannya, gurunya
berusaha mengejar Datuk Pincang Gunung Nera-
ka, namun lelaki berwajah tengkorak itu sudah
menghilang. Dan yang tak pernah disangka Imas,
kalau begitu banyak yang mendendam pada gu-
runya. Meskipun ia kini menyadari, kalau dulu
gurunya bertindak sebagai pendekar kebenaran
dan sudah tentu orang-orang busuk yang pernah
dikalahkannya bertambah mendendam saja.
Meskipun cemas bercampur bingung me
mikirkan nasib gurunya, tetapi Imas bangga kare-
na gurunya adalah tokoh dari golongan lurus.
Tiba-tiba Imas teringat akan Pendekar Sle-
bor. Bibir gadis itu tiba-tiba tersenyum sendiri
berbalur malu. Ah, pemuda tampan yang urakan
itu telah melihat tubuhnya. Ini sebenarnya mema-
lukan, makanya Imas merasa lebih baik mening-
galkannya saja. Meskipun ia sedih mendengar ce-
rita Pendekar Slebor yang gagal untuk menyela-
matkan gurunya.
Ah, ke mana gurunya pergi sebenarnya?
Desisnya resah.
Namun lagi-lagi bayangan Pendekar Slebor
yang muncul di benaknya. Eh! Apa-apaan sih ini?
Geramnya gusar dan berusaha untuk menghi-
langkan bayangan Pendekar Slebor.
Akan tetapi, semakin ia berusaha keras un-
tuk menghilangkan bayangan-bayangan itu, justru
semakin kuat mengikatnya. Wajah Imas memerah
kembali ketika teringat lagi bagaimana Pendekar
Slebor menatap tubuhnya.
"Memalukan!" desisnya gusar. Seharusnya
ia membunuh saja pemuda brengsek itu yang te-
lah melihat tubuhnya. Dalam keadaan terluka itu,
tentunya ia lebih mudah membunuh Pendekar
Slebor. Namun entah mengapa di dasar hatinya
Imas merasa senang tubuhnya dilihat Pendekar
Slebor.
Kembali ia memaki ketika pikiran itu mun-
cul?
"Brengsek! Kenapa sih bayangan pemuda
brengsek itu tidak mau hilang juga!" makinya gu-
sar.
Dan semuanya bagaikan film yang diputar
belaka. Kembali lagi bayangan-bayangan itu men-
guak di benaknya. Ih, apakah aku sudah jadi perempuan gatal? Makinya.
Lalu ia berusaha mengkonsentrasikan piki-
rannya pada nasib gurunya. Tetapi, bayangan
Pendekar Slebor terus mengikuti jalan pikirannya.
"Brengsek! Brengsek! Kenapa sih jadi begi-
ni?" makinya lagi. Apalagi ketika teringat ia me-
ninggalkan Pendekar Slebor dalam keadaan terlu-
ka. Justru ia merasa tak tenang sekarang. "Ah, ti-
dak apa-apa. Pemuda brengsek itu memiliki ilmu
yang tinggi! Kalaupun ia terluka, seperti ceritanya
karena ia telah bertarung secara beruntun dengan
orang-orang yang menginginkan nyawa Guru...
aku yakin ia masih mampu mengatasinya."
Tetapi gadis itu justru mendesah gelisah.
Pendekar Slebor tak tahu masalah apa yang sebe-
narnya tengah terjadi, tetapi ia sudah terlibat da-
lam masalah berdarah ini.
Saat itu, Imas benar-benar mencemaskan
Pendekar Slebor. Perubahan sikapnya begitu cepat
sekali. Semula membenci dan merutuknya karena
telah melihat tubuhnya, sekarang justru ia yang
merasa tidak tenang.
Ah, mengapa harus jadi seperti ini? Desis-
nya masih mencoba menutup segala keanehan
yang dirasakannya. Tetapi, justru ia berusaha me-
nutupnya, justru kecemasan itu semakin besar
bertalu-talu di hatinya.
"Brengsek! Kenapa aku harus memikirkan
pemuda urakan itu? Sialan betul!"
Namun sesuatu yang aneh di hatinya ber-
talu-talu. Setelah hujan berhenti, Imas bertekad
untuk mencari Pendekar Slebor.
***
8
Grido Kencono hanya mendengus ketika
penglihatannya yang tajam menangkap satu sosok
tubuh berkelebat. Hmmm, ada tikus yang iseng
rupanya, dengusnya dalam hati.
Tiba-tiba tangannya mengibas.
Duaaaar!
Semak belukar seketika pecah berantakan
begitu terkena sambaran pukulan anginnya yang
keras. Satu sosok tubuh melenting dari sana sam-
bil menggeram.
Lelaki tinggi besar itu terbahak-bahak me-
lihat sosok di hadapannya.
"Rupanya memang ada tikus iseng yang
busuk!"
Orang yang baru muncul itu adalah Jalak
Codet Merah. Setelah melarikan diri sambil mem-
bawa tubuh saudara kembarnya yang tewas akibat
hantaman Pendekar Slebor, ia pun menguburkan-
nya di satu tempat yang sunyi.
Kegeramannya bertambah setinggi langit.
Ia berteriak keras bagaikan membedah alam. Dan
ia bersumpah untuk membunuh Pendekar Slebor.
Makanya ia kembali berbalik arah untuk mencari
Pendekar Slebor tanpa mempedulikan lagi ke-
mampuan dirinya. Yang terpenting sekarang, ada-
lah salah seorang dari mereka harus mati. Dirinya,
atau diri Pendekar Slebor. Untuk sejenak dilupa-
kannya tentang dendamnya pada Malaikat Bukit
Pasir yang telah membunuh gurunya sepuluh ta-
hun lalu.
Dan sekarang, ia muak diperlakukan se-
perti ini oleh lelaki berkumis dan berjenggot lebat
yang terbahak-bahak di hadapannya.
"Manusia hina! Jangan kau mencari uru
san denganku! Biarkan aku meninggalkan tempat
ini bila kau ingin selamat!" ancamnya dengan ma-
ta memerah tajam.
Grido Kencono terbahak-bahak. Tiba-tiba
saja tawanya terhenti dan tubuhnya melompat ga-
rang ke arah Jalak Codet Merah, menebarkan ha-
wa panas yang tinggi. Jalak Codet Merah yang se-
jak tadi sudah mempersiapkan diri, segera melu-
ruk dengan kecepatan yang sama.
Duk! Buk!
Dua kali tangan dan kaki keduanya berte-
mu dan keduanya mundur ke belakang. Jalak Co-
det Merah mengerutkan keningnya ketika melihat
tangannya membiru. Sementara Grido Kencono
hanya terbahak-bahak.
"Rupanya kau sendiri yang tak akan sela-
mat!"
Geram serta penasaran sekali Jalak Codet
Merah segera menggerakkan kedua tangannya se-
kaligus dalam pukulan yang kuat dan mengan-
dung tenaga yang sangat dahsyat. Dengan gerakan
itu, Jalak Codet Merah bermaksud menjepit len-
gan kanan lawan kemudian mematahkannya!
Tetapi lagi-lagi Jalak Codet Merah tersen-
tak ketika mendadak saja lawannya membentak
keras, "Awas leher!"
Dan laksana cengkeraman seekor elang,
kedua tangan Grido Kencono sekaligus menyapu
dan menderu ke batang leher Jalak Codet Merah.
"Setttan!" memaki Jalak Codet Merah sam-
bil mengeluarkan suara yang keras. Seketika ia
melihat tubuh lawannya bagaikan lenyap dari
pandangan. Namun mendadak ia mendengar an-
gin berkesiur dari sisinya.
Sewaktu lengan Grido Kencono menebas ke
arah leher, Jalak Codet Merah berhasil mengelak
kan dan kini begitu terdengar seruan lawan maka
tak ayal lagi ia merunduk cepat dan laksana kilat
ia menyodokkan kedua tangannya dengan gerakan
beruntun. Satu ke wajah dan satu lagi ke ulu hati.
Namun ia harus tertipu oleh gerak seran-
gan lawannya. Karena, sesungguhnya dengan ke-
cepatan yang luar biasa tangan Grido Kencono
berputar ke bawah dan naik lagi ke atas di antara
kedua lengannya.
Besss!
Tubuh Jalak Codet Merah terjajar ke bela-
kang. Tangannya mengusap dadanya yang nyeri
terpukul. Matanya memicing dengan kemarahan
yang semakin menjadi-jadi.
"Keparat!" makinya dan serentak memutar
tubuh dengan gerakan aneh. Tangan kanannya
bergerak ke kiri dan ke kanan, membuat Grido
Kencono sejenak tertegun dengan serangan yang
aneh semacam itu. Itu adalah jurus 'Merah Darah
Membuyarkan Lautan'.
Kali ini Grido Kencono nampak bagaikan
tikus yang terkena perangkap kepungan seekor
kucing. Ia mencoba mengelak dengan mempergu-
nakan kecepatannya, namun setiap kali ia berge-
rak, setiap kali pula serangan Jalak Codet Merah
mengarah padanya.
"Anjing! Kau harus mampus!" tiba-tiba saja
Grido Kencono bersalto ke belakang dengan lin-
cahnya, bahkan saat bersalto ia masih sempat
menendang sehingga Jalak Codet Merah urung
untuk mengejar. Saat ia hinggap di tanah, di tan-
gannya telah terangkum ajian 'Rembulan Mataha-
ri' yang baru didapatnya dari Datuk Pincang Gu-
nung Neraka.
Jalak Codet Merah yang telah dirasuki
amarahnya tak sadar kalau bahaya telah mengancam. Dengan sengitnya, dan suara gerengan yang
keras ia kembali menyerang. Dalam pikirannya,
manusia yang mengenakan ikat kepala kuning itu
hanya membuang waktunya saja untuk mencari
Pendekar Slebor.
Namun belum lagi serangannya sampai
pada Grido Kencono, Jalak Codet Merah sudah
membuang tubuhnya ke kiri dan bergulingan. Ia
merasakan satu sentakan tenaga yang kuat dan
dahsyat mengarah padanya tadi.
Duaaar!
Wajahnya seketika pucat pasi melihat lima
buah pohon pecah menjadi serpihan ketika seran-
gan Grido Kencono luput dari sasarannya.
"Gila! Kalau aku nekat meneruskan semua
ini, bisa-bisa aku mampus di tangannya! Kesem-
patanku untuk mencari Pendekar Slebor akan pu-
pus."
Grido Kencono terbahak-bahak melihat wa-
jah lawannya yang pias. "Kini kau akan mampus,
Manusia Busuk!" tawanya sambil mengangkat
tangan kanannya. Ajian 'Rembulan Matahari' siap
dikirimkan pada lawan.
Jalak Codet Merah mengangkat kedua tan-
gannya seraya berseru, "Tahan! Biarkan aku hi-
dup, maka aku akan mengabdi kepadamu!"
Grido Kencono mengeluarkan suara terta-
wa yang lebih tinggi. Perutnya bagaikan bergun-
cang hebat.
"Usul yang menarik sekali. Silakan kau
menjilat kedua kakiku bagaikan seekor anjing un-
tuk mengetahui ketulusan hatimu mengabdimu
kepadaku!"
Wajah Jalak Codet Merah memerah men-
dengarnya. Ia berusaha menahan seluruh gelegak
amarahnya. Ia memang tak ingin mati dulu sebelum membunuh Pendekar Slebor. Lalu dengan
menahan seluruh amarah, dendam, dan malunya,
bagaikan seekor anjing ia menjilati kedua kaki
Grido Kencono yang terbahak-bahak, tetap dengan
tangan yang terangkum ajian 'Rembulan Matahari'
bila lawannya ternyata hanya berpura-pura.
"Ha ha ha... bagus! Kau boleh mengabdi
kepadaku! Sebutkan namamu dan ceritakan apa
yang sedang kau alami!"
Jalak Codet Merah menyebut namanya dan
menceritakan semua yang dialaminya. Seketika
terdengar suara Grido Kencono bagaikan ledakan
keras.
"Lagi-lagi pendekar keparat itu!" tiba-tiba
tangannya mengibas kembali. Suara ledakan se-
puluh kali beruntun terdengar bersamaan sepuluh
pohon besar yang menjadi serpihan. "Aku pun
mempunyai dendam yang sama pada Pendekar
Slebor! Jalak Codet Merah, pengabdianmu sejalan
dengan yang hendak kulakukan pada Pendekar
Slebor! Dan yang terpenting lagi, kita pun memiliki
dendam pula pada Malaikat Bukit Pasir! Hhh!
Keinginanku yang ada sekarang ini membunuh
pendekar lancang itu!"
"Kawan Grido, terima kasih bila kau men-
ganggapku sebagai teman seperjalanan!" sahut Ja-
lak Codet Merah tersenyum. Dengan adanya Grido
Kencono, ia yakin akan berhasil membunuh Pen-
dekar Slebor.
"Ha ha ha... kau memang pandai menjilat
rupanya! Sayang, Jalak Kembar Baju Merah hanya
tinggal seorang! Hhh! Pendekar Slebor memang
harus mampus di tanganku!"
Tiba-tiba terdengar satu suara, "Kakang
Grido! Pendekar busuk ini telah berada di tangan
kita!"
Grido Kencono menoleh ke arah suara itu.
Begitu pula dengan Jalak Codet Merah yang seke-
tika bergerak bagaikan melihat buruannya.
"Keparat hina! Kau harus membayar nyawa
adikku! Heaaa!"
Bruk!
Kaki Grido Kencono lebih dulu menyambar
kaki Jalak Codet Merah sehingga lelaki itu tersu-
ruk ke depan.
"Tidak perlu langsung membunuhnya! Ini
kesempatan kita untuk memperlihatkan diri pada
seluruh isi rimba persilatan, kalau pendekar no-
mor satu di rimba persilatan berada di tangan ki-
ta! Setelah manusia ini kita bikin mampus, usaha
yang harus kita lakukan adalah memburu Malai-
kat Bukit Pasir! Ha ha ha...."
Pendekar Slebor yang kali ini benar-benar
bagaikan tikus yang masuk perangkap hanya bisa
menggeram gusar dengan tatapan sengit.
"Kita bertarung sampai mampus, Orang
Busuk!" serunya sambil mencengkeram erat jala
yang menyelimuti tubuhnya. Ia tahu, keadaan tak
menguntungkan saat ini. Apalagi dilihatnya Jalak
Codet Merah sudah bergabung dengan Grido Ken-
cono.
"Pemuda setan! Kita akan membuat per-
mainan yang sangat menarik!" Tubuh Grido Ken-
cono berkelebat cepat.
Tuk! Tuk!
Dua kali ia menotok Andika sehingga pe-
muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu
semakin tak berdaya saja.
"Keluarkan ia dari jala itu!"
Serentak keempat lelaki yang memegang
tali masing-masing menggerakkannya.
Bruk!
Jala-jala itu terlepas, tubuh Andika terlem-
par dan jatuh bagaikan nangka busuk.
Sementara sepasang mala Jalak Codet Me-
rah semakin berkilat-kilat dengan dendam yang
semakin sarat. Namun ia masih bisa menahan ra-
sa dendamnya untuk tidak menghabisi nyawa
Pendekar Slebor. Toh, sebentar lagi ia akan turut
menghabisi nyawa Pendekar Slebor. Ini adalah ke-
sempatan yang lebih baik, karena tak perlu bersu-
sah payah mencarinya.
Andika masih memaki-maki dengan tubuh
tak bisa bergerak. Kemarahannya sudah memblu-
dak sebenarnya. Tiba-tiba ia mengaduh dengan
kepala oleng. Kaki Ekalaya sudah menyepak mu-
kanya.
"Jangan jadi badut di sini!"
Andika menggeram pada Ekalaya."Kuhajar
tunggang-langgang kau nanti!"
Ekalaya terbahak-bahak. "Sudah mau
mampus masih bertingkah! Kakang, apa yang
akan kita lakukan dengan manusia busuk ini?!"
"Ikat kedua kakinya!"
Ekalaya segera menjalankan perintah itu.
Lalu meneruskan dengan melemparkan tali itu ke
sebuah batang pohon.
"Tarik! Biar seluruh darahnya tumpah di
kepala!"
Apa yang dialami Andika memang benar-
benar suatu siksaan. Kini tubuhnya tergelantung
di dahan pohon dengan kepala ke bawah. Ia tak
mampu untuk meronta sedikit pun kecuali hanya
memaki-maki tak karuan.
"Kumpulkan batu!" seru Grido Kencono
sambil terbahak-bahak.
Dengan cepat termasuk Jalak Codet Merah,
mereka mengumpulkan batu-batu yang cukup besar.
"Nah, kita akan menikmati permainan ini!
Barang siapa yang bisa melempar tepat di kepala
pemuda sialan itu, maka ia berhak melempar dua
kali!"
Wajah Andika pias bercampur kemarahan
yang tinggi. Ia menggeram hebat mengumbar selu-
ruh amarahnya. Namun totokan yang dilakukan
Grido Kencono bukanlah totokan sembarangan, ia
bukan hanya tak mampu untuk melepaskannya,
bahkan untuk menemukan di bagian mana tu-
buhnya ditotok saja sungguh sulit.
"Keparat busuk! Manusia monyet!"
"Kau boleh memaki sepuasmu, Pendekar
Slebor! Ingat, aku bisa menghentikan semua per-
mainan ini, asal kau mau mengatakan di mana
Malaikat Bukit Pasir berada?"
"Setan alas! Monyet gundul! Bila aku tahu
di mana ia berada, tak akan pernah akan kukata-
kan padamu! Kau harus mampus, Jelek!"
Wajah Grido Kencono memerah. "Jangan
salahkan aku bila kau akan segera mengikuti
permainan ini! Lakukan!"
Lalu mulailah ia menerima siksaan yang
membuatnya gusar dan marah. Batu-batu itu di-
lempar secara bergantian, mencecar kepalanya.
Memang hanya sesekali batu yang dilempar den-
gan kekuatan penuh itu menimpa kepalanya, na-
mun rasa sakitnya sungguh luar biasa. Darah su-
dah mengalir dari pelipisnya. Belum lagi bagian-
bagian tubuhnya yang lain yang terhantam oleh
batu-batu itu.
Orang-orang itu melakukannya sambil ter-
tawa-tawa. Jalak Codet Merah benar-benar mera-
sakan satu kesenangan yang telah lama dicarinya.
Bahkan ia melempar dengan mempergunakan tenaga dalam yang penuh sehingga setelah sepena-
nakan nasi Andika menerima siksaan itu, ia pun
jatuh pingsan.
"Cukup! Guyur ia dengan air biar sadar
kembali! Setelah itu, kita teruskan permainan ini!"
seru Grido Kencono dengan senyum puas.
Ekalaya sambil tertawa-tawa segera men-
gambil air yang terdapat di sebuah sungai.
Ia menemukan sebuah gentong yang ter-
buat dari tanah liat. Gentong yang cukup besar
itu, sudah agak kusam. Namun tak ada bagian
yang retak. Dengan gentong itu ia membawa air
yang banyak. Ketika ia akan kembali lagi ke tem-
pat semula, mendadak saja satu pukulan keras
menimpa punggungnya hingga ia jungkir balik.
Tulang punggungnya terasa patah. Gentong yang
dipegangnya terlepas, pecah dan airnya tumpah.
Matanya berkeliaran mencari siapa yang
membokongnya. Namun tak satu sosok pun yang
terlihat.
"Manusia keparat! Tampakkan wajah bu-
sukmu bila kau memang jantan!" maki Ekalaya
dengan sikap waspada.
Tak ada suara apa pun.
Yang ada hanya kesiur angin yang datang
begitu tiba-tiba.
Buk!
Kembali Ekalaya bergulingan dan ketika
berdiri ia memaki-maki keras. Ia sungguh tak me-
lihat orang yang menyerangnya. Bahkan bayan-
gannya pun tidak. Hanya suara angin yang men-
desir saja yang dirasakannya.
Kembali ia memaki-maki keras. Namun
makiannya itu tak berguna, karena sejurus kemu-
dian kepalanya sudah pisah dari jasadnya.
***
Grido Kencono mendengus gusar ketika
menyadari sudah cukup lama Ekalaya tak kemba-
li. Ia sudah tak sabar untuk mempermainkan An-
dika kembali. "Subali! Susul dia!"
Yang diperintah segera menjalankan tugas.
Namun ia pun tak kembali lagi. Karena, suara an-
gin yang aneh itu terdengar lagi dan Subali mera-
sakan tubuhnya terkena hantaman keras. Tulang
iganya patah seketika. Belum lagi ia menyadari
apa yang terjadi, terdengar suara 'krak' yang cu-
kup keras. Kepalanya pecah terkena keprukan
yang dahsyat.
Grido Kencono benar-benar murka seka-
rang. Dengan segera ia memerintahkan dua te-
mannya sekaligus untuk mencari Ekalaya dan
Subali.
Keduanya kembali lagi dengan teriakan-
teriakan keras, "Kakang! Ekalaya dan Subali su-
dah menjadi mayat!"
"Apa?" lelaki tinggi besar itu bangkit dari
duduknya dengan suara menggelegar. Matanya
nyalang dan suaranya semakin keras menggelegar,
"Siapa yang melakukan semua itu?"
"Kami tak melihat siapa-siapa!"
"Kalian tunggu di sini! Jalak Codet Merah,
ikut denganku! Rupanya ada manusia lancang
yang hendak mencari mati!" serunya keras.
Lalu dengan kegeraman yang sangat besar,
Grido Kencono berkelebat bersama Jalak Codet
Merah. Apa yang dikatakan Drajit dan Waringko
memang benar. Ia menemukan mayat Ekalaya dan
Subali dengan leher patah.
Kemarahannya semakin menjadi-jadi. Ia
menjerit keras memanggil-manggil si penyerang
yang tak ketahuan batang hidungnya. Setelah be-
berapa saat tak muncul, dengan kegeraman yang
sangat Grido Kencono melepaskan pukulan ajian
'Rembulan Matahari' berkali-kali. Seketika suara
gemuruh bagaikan puluhan ekor gajah liar men-
gamuk
Setelah puas mengumbar amarahnya, den-
gan napas terengah-engah menyimpan gelegak
amarah, ia segera mengajak Jalak Codet Merah
kembali ke tempat semula. Dan sepasang matanya
yang geram seakan melompat keluar ketika meli-
hat Drajit dan Waringko sudah menjadi mayat.
Sementara tubuh Pendekar Slebor tak ada di tem-
patnya!
"Bangsat keparat! Kau hanya mencari
mampus!" geramnya setinggi langit, membedah
tempat yang besar dan sunyi itu.
Sementara Jalak Codet Merah hanya ter-
diam dengan tatapan waspada.
***
9
Andika membuka matanya, yang kembali
segera dipejamkan karena silaunya sengatan ma-
tahari. Yang diingatnya, hanyalah ketika terakhir
ia mengalami siksaan yang dilakukan oleh Grido
Kencono. Makanya, seketika ia bangkit berdiri dan
bersiaga. Namun tempat itu sepi, tak seorang pun
berada di sana.
Diam-diam Andika mendesah. Berada di
manakah ia sekarang ini? Bukankah saat itu ia
tengah tergantung dengan kepala ke bawah? Baru
pula disadarinya kalau luka-lukanya telah sem-
buh. Bahkan Andika merasa tubuhnya seperti sediakala.
Siapa yang telah menolong aku? desisnya
bertanya-tanya.
Tiba-tiba ia menoleh ketika didengarnya
suara ranting patah karena terinjak dan dilihatnya
Imas sedang melangkah perlahan. Di tangannya
terdapat buah-buahan yang ranum. Andika men-
desis, entah kenapa ia jadi gelisah. Melihat keha-
diran gadis ini, ia yakin, pasti Imas yang meno-
longnya. Ah, kalau dulu ia mempermainkan gadis
itu dengan berpura-pura pingsan, justru sekarang
ia pingsan benaran. Karena merasa seperti itu,
Andika langsung mendekat dan berkata.
"Kuucapkan terima kasih atas pertolon-
ganmu, Imas."
Bukannya menjawab sebaliknya gadis itu
mendengus, "Bicaramu ngaco! Aku merasa tidak
menolongmu lagi?" Lalu dengan santainya ia du-
duk di tanah dan tanpa menawari ia memakan
buah yang baru dipetiknya. "Pemuda seperti kau
ini justru akan mencuri kesempatan kalau dito-
long! Kesudian amat!"
Andika hanya membuang nafasnya saja.
Sikap gadis ini memang masih tetap semaunya sa-
ja. Tetapi merasa ia memang harus berterima ka-
sih, Andika berkata lagi, "Biar bagaimanapun juga,
aku berterima kasih padamu."
"Sudah kubilang tadi, aku tidak meno-
longmu!"
Kali ini Andika mengerutkan kening. "Ka-
lau kau merasa tidak menolongku, lalu siapa yang
melakukannya?" tanyanya seolah pada diri sendiri.
Gadis itu menyahut tak acuh, "Mana aku
tahu? Aku menemukanmu dalam keadaan ping-
san. Ketika kuperiksa luka-lukamu, kau seperti
baru saja diobati. Masih untung sebenarnya! Masih ada yang mau menolongmu!"
"Brengsek, gadis ini bicara seenak perutnya
saja!" maki Andika dalam hati. "Tetapi, siapa yang
telah menolongku?" desisnya bagai bergumam.
Imas yang mendengar gumamannya itu
membentak, "Ya ampun! Kau ini bagaimana sih?!
Sudah kubilang tadi, mana aku tahu! Hei, kau la-
par tidak? Nih, kau nikmati rezekimu!"
Andika menangkap buah yang dilemparkan
Imas. Lalu dengan masih memikirkan siapa yang
telah menolongnya, ia memakan buah itu. Sesaat
kemudian dilihatnya Imas telah berdiri, "Aku mau
mencari Guru!"
"Tunggu, Imas!"
Gadis itu menghentikan langkahnya. Lalu
sambil menghentakkan kakinya ia menoleh dan
berseru, "Apa lagi? Tak ada yang perlu dibicarakan
lagi, bukan? Nah! Selamat tinggal!"
Wajah Andika memerah karena jengkel di-
ejek seperti itu. Ia mendengus tanpa berkata lagi.
Gadis itu membuang wajahnya, lalu den-
gan langkah angkuh ia meninggalkan Andika.
Andika tak menahan kepergian Imas. Se-
sungguhnya, ia tak tahu apa yang ada di hati ga-
dis itu sebenarnya. Imas memang sengaja hendak
meninggalkannya, dengan harapan Andika akan
mengikutinya. Atau paling tidak menahannya lagi.
Tetapi justru Andika malah membiarkan saja.
Huh! Pemuda bodoh! Tidak tahu kalau aku
mulai mencintainya, dengus Imas. Tidak tahu ka-
lau aku selalu memikirkannya. Tiba-tiba terdengar
teriakannya yang keras.
"Kang Andikaaaa!"
Andika yang masih terdiam, melengak lalu
dengan satu lompatan ringan ia sudah tiba di sisi
Imas. "Ada apa, Imas?"
Gadis itu menunjuk seekor ular yang se-
dang melata dengan tangan gemetar. Sikapnya be-
gitu ketakutan sekali. Andika segera mengambil
sebutir kerikil, menjentiknya hingga batu itu me-
luncur laksana anak panah yang dilepaskan dari
busur ke arah ular itu. Dan seketika kepala ular
itu pecah!
"Tidak apa-apa! Mengapa hanya dengan
ular saja kau takut? Padahal, kau berani memben-
takku!"
Imas memukul bahu Andika dengan man-
ja. Andika mengerutkan keningnya. "Aneh, tadi ia
membentak-bentakku, sekarang sikapnya begitu
manja. Kenapa sih? Jangan-jangan buah yang di-
makannya mengandung racun pengacau otak?"
Andika memang tak tahu kalau itu hanya-
lah akal Imas belaka. Jangankan hanya seekor
ular, seekor singa yang menghadangnya, gadis itu
pun masih berani menghadapinya.
Yang terjadi kemudian, tahu-tahu kedua-
nya sudah saling tatap. Mata mereka seakan mag-
nit yang membuai dan menggerakkan hati. Karena
tiba-tiba saja sepasang mata Imas terpejam den-
gan dada berdebar. Untuk sejenak Andika menge-
rutkan keningnya. Tidak mengerti.
"Kenapa, Imas? Apakah kau masih ngeri
dengan ular itu?" tanyanya, polos
Imas menjadi gemas dan segera membuka
matanya.
"Kang Andika ini!"
"Lho, aku bertanya kan... ha ha ha!" tiba-
tiba Andika tertawa. Lalu ia memijit hidung Imas
yang bangir setelah menyadari apa yang terjadi.
"Kalau kau ingin kucium, aku mau saja."
Justru dikatakan seperti itu Imas jadi ma-
lu. Wajahnya memerah tak karuan. Namun hatinya senang bukan main. Akan tetapi, karena su-
dah telanjur malu, ia melepaskan rangkulannya
pada Andika dan berlari.
"Hei, kau mau ke mana?" seru Andika. "Ke-
jar aku kalau Kang Andika mampu!"
"Busyet! Dia nantang nih! Tetapi nanti ka-
sih cium ya?" seru Andika masih tertawa geli me-
mikirkan sikap Imas.
"Cium bibir sumur mau?" seru Imas dari
kejauhan.
Andika mengejar, "Kalau kau yang jadi su-
murnya, ya... aku belum tentu mau! Ha ha ha!"
Dunia memang berputar, sesuai dengan
hukum alam. Malam pun kembali datang. Bentan-
gan langit gelap yang diterangi oleh jutaan bintang
membentang indah.
Di bawah pohon yang rindang, Andika dan
Imas duduk berdua. Dalam jarak seratus tombak
dari mereka, berjejer bukit-bukit indah, namun di-
lihat pada malam hari tak ubahnya bagai raksasa
yang sedang tertidur. Pada siang hari, pemandan-
gan disekitar bukit itu sangat indah.
Imas bersandar di batang pohon, sementa-
ra Andika tiduran dengan kepala berbantal kedua
paha Imas.
Apa yang dialami oleh Imas ini memang
sangat ia harapkan sekali. Sementara bagi Andika
sendiri, ia merasa Imas akan lebih aman bersa-
manya karena seperti diketahui kalau intaian
maut siap mengancam mereka. Meskipun terus te-
rang, berjalan bersama seorang gadis dalam kea-
daan semacam ini bukanlah hal yang mengena-
kan. Mengingat gadis itu juga memiliki sifat yang
keras kepala.
Sampai saat ini Andika masih memikirkan
siapakah yang telah menolongnya. Biar bagaimanapun juga, siapa pun orangnya, ia akan tetap
berterima kasih padanya. Yang juga masih dipikir-
kannya, tentang lenyapnya Malaikat Bukit Pasir
yang kemungkinan berkaitan dengan seseorang,
yang mungkin telah menolong laki-laki buta itu
atau bisa pula telah atau akan membunuhnya.
"Kang Andika...," desis Imas dengan suara
bergetar sambil membelai rambut Andika yang
gondrong. Matanya memandang lembut pada An-
dika yang mendongak.
"Ya?"
"Aku mencemaskan nasib Guru."
"Begitu pula denganku, Imas. Aku sungguh
menyesal karena tidak lebih dulu mengamankan-
nya saat mencari buah-buahan pengisi perut."
"Jangan salahkan dirimu, Kang Andika.
Bukankah kau sendiri saat itu yakin kalau Guru
akan aman?"
"Kau benar, Imas. Tetapi biar bagaimana-
pun juga...."
Imas menekan mulutnya pada bibir Andika
"Tidak usah kau teruskan lagi."
Suasana hening. Masing-masing dicekam
oleh pikiran sendiri. Malam semakin merambat.
Suara binatang malam terdengar cukup ramai.
Andika tak ingin memasang api unggun karena
tak mau mengundang masalah. Sudah berhari-
hari mereka mencari jejak Malaikat Bukit Pasir,
namun lelaki itu tetap tak diketahui di mana be-
rada. Seolah lenyap dari muka bumi begitu saja.
Kesempatan berdua-dua dengan Imas di-
pergunakan Andika meminta pada gadis itu agar
menceritakan tentang Malaikat Bukit Pasir. Andi-
ka mengangguk-anggukkan kepalanya setelah
mendengar semua itu.
Kini ia tahu, kalau sesungguhnya dulu Ma
laikat Bukit Pasir selalu menumpas orang-orang
golongan sesat. Dan sekarang, mereka yang masih
tersisa masih memendam dendam yang sangat.
Terutama dari Grido Kencono yang jelas-jelas di-
tunggangi oleh Datuk Pincang Gunung Neraka.
Sehabis menceritakan semua itu, Imas me-
rebahkan tubuhnya di tanah, menatap langit yang
terhalang oleh pohon tinggi besar. Andika pun me-
lakukan hal yang sama dengan otak yang masih
berpikir.
Berada di samping Andika, perasaan Imas
jauh lebih aman dan tenteram. Apalagi ketika din-
gin semakin menyerang dan ia semakin tenteram
ketika tangan melingkar di tubuhnya. "Tuhan,
jangan kau biarkan pagi datang terlalu cepat. Aku
ingin menikmati semua ini berlama-lama," doanya.
Tiba-tiba pesona yang sedang dinikmati
gadis itu lenyap ketika Andika berkata sambil cen-
gengesan, "Imas.... Ada sesuatu yang ku rahasia-
kan sebenarnya."
Gadis itu berbalik, menatap Andika dengan
kening berkerut. Matanya yang indah seolah me-
mancarkan sinar kelembutan di malam itu. Andi-
ka sendiri hampir-hampir tak percaya menyaksi-
kan apa yang dilihatnya.
"Tentang apa?"
"Aku pernah membohongimu."
Kali ini Imas lebih serius menatap Andika.
"Berbohong? Maksud Kang Andika bagai-
mana?"
"Dia sudah terbiasa menyebutku dengan
panggilan 'Kang'," desis Andika dalam hati dan
merasa tak enak bila mengingat ia pernah mem-
bohongi gadis itu. Merasa saat inilah yang tepat
untuk mengatakannya, Andika segera bercerita
saat ia berpura-pura pingsan.
Imas terduduk sambil berkacak pinggang.
"Kau?" suaranya gemetar dengan tangan menud-
ing.
"Apa lagi? Sudah, sudah! Kan sudah berla-
lu...."
Imas menghentakkan tangannya ke tanah
dengan wajah memerah. Tetapi, entah mengapa ia
justru senang ketika menyadari hal itu. Hanya sa-
ja, sudah tentu tak diperlihatkannya. Lalu dengan
bersungut-sungut Imas merebahkan tubuhnya
kembali.
"Brengsek! Kau jahat!"
"Tidak apa-apa. Kau beruntung lho, aku
yang melihat tubuhmu!"
Imas melotot, lalu sejurus kemudian ia
menghujani Andika dengan cubitannya.
"Bandel! Urakan! Brengsek!"
Andika hanya terkekeh kegelian, sementara
gadis itu terus mencubiti sekujur tubuhnya.
Tinggal suara cekikikan saja yang terden-
gar.
***
10
Dua sosok tubuh itu berhenti di sebuah
tempat yang lapang. Keduanya adalah Grido Ken-
cono dan Jalak Codet Merah yang masih mencari
Pendekar Slebor. Lenyapnya Malaikat Bukit Pasir
masih diyakini oleh keduanya kalau semua ini
berhubungan dengan Pendekar Slebor.
"Akan kupatah-patahkan seluruh tulang-
nya bila kudapati Pendekar Slebor!" geram Grido
Kencono dengan wajah memerah. Terutama bila
mengingat bagaimana empat orang anak buahnya
mati mendadak tanpa diketahui siapa yang me-
nyerangnya. "Manusia bangsat itu pun harus
mampus, siapa pun dia adanya!"
Tiba-tiba saja hawa panas menderu ke
arah mereka yang serentak bergulingan dan ber-
samaan datangnya hawa panas itu satu sosok
berwajah menyeramkan telah berdiri di hadapan
keduanya.
Jalak Codet Merah bersiaga, sementara
Grido Kencono langsung menjatuhkan tubuhnya
mengetahui siapa yang datang.
"Guru!"
"Aku yakin, kau belum menemukan kepa-
rat itu!" suara Datuk Pincang Gunung Neraka
mengerikan sekali. Dari nafasnya hawa yang pa-
nas menguar. Jalak Codet Merah sendiri mem-
buyarkan sikap waspadanya mengetahui kalau
guru dari Grido Kencono yang datang.
"Maafkan saya, Guru."
"Kau tak akan pernah menemuinya, Grido."
"Mengapa, Guru? Apakah Guru sudah
membikinnya mampus?"
Datuk Pincang Gunung Neraka mengelua-
rkan suara dingin.
"Tidak! Tetapi sebentar lagi ia akan mam-
pus!"
"Ia sendiri sudah akan mampus Guru, bila
Pendekar Slebor tak menyelamatkannya."
Datuk Pincang terbahak-bahak. "Meskipun
kau sudah menceritakan bagaimana terlukanya
Malaikat Bukit Pasir, tetapi tetap saja aku tak bisa
mempercayainya."
Grido Kencono terbelalak, matanya seperti
melompat keluar, suaranya bagai tercekik, "Guru!"
"Tak mudah untuk menaklukkan Malaikat
Bukit Pasir. Menghadapi Pendekar Slebor saja kau
tak mampu. Aku yakin, kesaktian yang dimiliki
oleh Malaikat Bukit Pasir berada di atas Pendekar
Slebor."
"Tetapi, Guru... aku melihatnya sendiri ba-
gaimana ia sudah kepayahan menghadapi gempu-
ran-gempuranku. Hhh! Kalau saja tak ada Pende-
kar Slebor...."
"Tidak, ia pasti mempunyai rencana lain
dengan sikap mengalahnya itu!" potong Datuk
Pincang Gunung Neraka. "Hanya aku yang menge-
tahui kelemahannya, begitu pula dengannya.
Hanya ia yang mengetahui kelemahanku. Itu se-
babnya, aku meninggalkan Gunung Neraka untuk
mencarinya, karena aku yakin.... Malaikat Bukit
Pasir sengaja mengalah ketika kau dan teman-
temanmu menggempurnya. Hanya satu jawaban
yang bisa kudapatkan, ia menginginkan aku ke-
luar dari Gunung Neraka. Dan sekarang, aku su-
dah keluar untuk mendapatkannya."
Sadarlah Grido Kencono sekarang, kalau
ternyata Malaikat Bukit Pasir hanya berlagak
mengalah. Tetapi, ia jelas-jelas melihat Malaikat
Bukit Pasir dalam keadaan luka dilarikan oleh
Pendekar Slebor.
Hal ini semakin membuatnya geram.
"Kalau begitu, di manakah saat ini ia bera-
da, Guru?"
Datuk Pincang Gunung Neraka mengge-
lengkan kepalanya.
"Aku akan membuktikan ucapanku ini! Tu-
gasmu itu kuambil alih sekarang. Ilmu yang se-
dang kupelajari tuntas sudah. Tugasmu, membu-
nuh Pendekar Slebor!"
Wuuuttt!
Seperti datangnya yang menebarkan hawa
panas, menghilangnya Datuk Pincang Gunung Neraka pun mengeluarkan hawa yang tak kalah pa-
nasnya. Tinggal Grido Kencono yang terdiam. Piki-
ran-pikiran aneh berkecamuk di benaknya.
Wajahnya mengeras menahan gejolak tak
menentu di dadanya.
Tidak, Guru pasti salah menduga. Sudah
jelas kalau Malaikat Bukit Pasir akan mampus,
katanya geram dalam hati. Hhh! Kalau memang
yang dikatakannya benar, sudah bisa dipastikan
hanya Pendekar Slebor yang mampu menolongnya!
Dan ia pula yang telah menyembunyikannya.
Sementara Jalak Codet Merah yang sejak
tadi terdiam berkata, "Bukan aku mengecilkan
kemampuanmu, Kawan Grido. Tetapi, ucapan gu-
rumu itu patut kita pikirkan."
Grido Kencono tak bersuara. Ia tak bisa
menerima kenyataan kalau memang ternyata Ma-
laikat Bukit Pasir hanya berlagak mengalah. Tidak
mungkin hal itu terjadi. Sudah jelas Malaikat Bu-
kit Pasir akan mampus terkena ajiannya yang he-
bat.
Kalau memang begini, dendam pribadi dan
dendam kedua oraugtuanya belum tuntas. Meski-
pun demikian, Grido Kencono masih meragukan
kemungkinan Malaikat Bukit Pasir mengalah.
Ia lalu berkata pada Jalak Codet Merah,
"Kita harus secepatnya untuk menemukan Pende-
kar Slebor! Satu-satunya orang yang tahu tentang
Malaikat Bukit Pasir, hanya dia! Hhh! Akan kupa-
tah-patahkan tulang pendekar keparat itu!"
Wuuut!
Wuuuuttt!
Dua tubuh itu pun berkelebat dengan ce-
patnya.
***
Rumah kayu yang condong ke belakang itu
diselimuti kegelapan. Berada di tempat yang ter-
lindung dari sinar matahari, dan berada di balik
rimbunnya semak-semak. Meskipun saat ini baru
memasuki rembang petang, namun kengerian di
tempat itu tak ubahnya bagai malam belaka.
Satu sosok tubuh berkelebat masuk ke sa-
na. Begitu masuk, ia langsung bersila dan berse-
madi, mengalur pernafasannya dengan baik. Ge-
rakannya sangat lincah luar biasa. Setelah bebe-
rapa saat, terdengar desahannya yang cukup pan-
jang.
"Hhh! Datuk Pincang Gunung Neraka su-
dah muncul sekarang. Ini memang yang aku tung-
gu, karena dialah pangkal dari semua petaka yang
terjadi dua puluh tahun yang lalu," desisnya.
"Orang-orang seperti Sepasang Iblis dan
keturunannya itu memang harus dimusnahkan
dari muka bumi. Juga manusia-manusia sesat
lainnya yang masih mendendam kepadaku. Ini
memang tak boleh dibiarkan. Dan masalah Imas,
nampaknya aku sudah aman sekarang. Biarlah ia
bersama Pendekar Slebor. Kelihatannya pemuda
itu memang berhati suci. Tetapi, aku mencium ge-
lagat yang tak menguntungkan bagi Imas. Jelas
sekali Imas mencintai pemuda itu, namun kebali-
kannya? Ah, sangat sulit diharapkan."
Orang itu mendesah sekali lagi. Dan tiba-
tiba saja kepalanya menegak. Sepasang matanya
yang buta tertuju pada lain tempat, namun telin-
ganya yang tajam mengarah pada sasaran yang
mengganggu pendengarannya.
Tiba-tiba saja, bagaikan tersentak ia me-
lompat keluar dari rumah kayunya, bagaikan see-
kor walet yang memiliki gerakan yang cepat bersalto dengan lincah.
Wrrr!
Rumah kayu itu seketika hangus dimakan
api yang besar. Puing-puing berderakkan. Suara
gemericik api sangat mengerikan. Kalau saja orang
itu tidak siaga, sudah pasti ia akan menjadi ma-
nusia panggang. Seketika tempat itu jadi terang
benderang.
Pendengarannya yang tajam menangkap
suara halus di kejauhan. "Datuk Pincang Gunung
Neraka!" dengusnya. "Aku tidak perlu menghada-
pinya lebih dulu. Di tempat yang penuh dengan
pepohonan ini, justru sangat sulit bagiku meng-
hindari setiap sambaran apinya. Karena, ruang ge-
rakku bisa terkurung oleh api-api setannya. Lebih
baik aku pergi saja dulu!"
Wuuuttt!
Orang itu pun berkelebat cepat, laksana
hantu belaka.
Sementara itu, Datuk Pincang Gunung Ne-
raka yang tadi melepaskan apinya berteriak keras,
"Orang tua pengecut! Jangan hanya jadi kambing
congek saja kau di rumah kayu yang sudah terba-
kar hangus! Kau bisa menipu murid-muridku
dengan melemahkan dirimu dan berlagak menga-
lah, tetapi... kau tak akan bisa menipu diriku! Ke-
luar kau, Monyet Keparat!"
Tak ada sahutan apa-apa, kecuali bangu-
nan kayu itu yang runtuh berderak.
Datuk Pincang Gunung Neraka kelebatkan
tubuh cepat ke arah bangunan kayu itu. Saat me-
lewati api yang menyala itu ia mengibaskan kaki
kanan dan kirinya.
Wuusss! Wrrr!
Serangkum angin laksana topan menderu
ke arah api itu. Bukan hanya segera memadam
kan, melainkan juga membuat puing-puingnya
yang hangus beterbangan.
Lalu dengan gusarnya lelaki pincang itu
mengobrak-abrik tempat itu. Setelah beberapa
saat ia mendengus, "Setan alas! Aku yakin, manu-
sia itu pasti tadi berada di sini! Aku masih men-
cium baunya! Kau tak akan bisa melarikan diri
Malaikat Bukit Pasir keparat!"
Lalu dengan penuh kegeraman, Datuk Pin-
cang Gunung Neraka berkelebat meninggalkan
tempat itu.
***
Setelah lima kali penanakan nasi, di tem-
pat itu Pendekar Slebor dan Imas tiba. Keduanya
mengerutkan kening ketika melihat kayu-kayu
yang sudah menjadi arang dan debu hitam.
"Ada kebakaran rupanya," desis Imas.
"Apakah ada yang mati, Kang Andika?"
"Tidak," sahut Andika yang tadi melihat-
lihat. "Tetapi, bagaimana cara munculnya api ini?"
tanyanya tiba-tiba bagaikan bergumam.
Imas jadi tertarik mendengarnya.
"Maksud Kakang?"
"Tak ada kompor di sini. Maksudku, alat
memasak. Tak ada bekas panggangan apa pun di
sini. Lalu, bagaimana api itu bisa muncul?"
"Jadi, ada yang membakar tempat ini?"
"Kemungkinannya begitu. Bisa jadi pemi-
liknya yang tak ingin tempat ini diketahui orang
lain. Bisa jadi pula orang lain yang membakarnya.
Imas, kupikir lebih baik kita segera tinggalkan
tempat ini. Aku tak ingin... awwwaaasss!"
Andika berkelebat cepat menubruk tubuh
Imas hingga keduanya bergulingan.
Angin besar yang datang tiba-tiba itu men-
deru kencang menerbangkan sisa puing-puing
yang terbakar!
Andika yang sudah berdiri kembali dengan
sigap segera bersiaga penuh. Matanya yang seta-
jam elang mengedar, memperhatikan segala sesua-
tunya. Malam mulai merambat perlahan, menam-
bah ketegangan.
Begitu pula dengan Imas. Ia bisa mem-
bayangkan, kalau saja Andika tidak sigap, sudah
tentu tubuh keduanya akan terlempar jauh, ber-
gulingan muntah darah, pingsan, atau juga bisa
langsung mati.
"Manusia hina! Siapa kau, hah?" bentak
Imas sambil meloloskan pedangnya. Hatinya be-
nar-benar kesal menerima bokongan seperti itu.
Tak ada sahutan apa pun juga. Bahkan se-
telah menunggu beberapa saat, tak ada serangan
maut mendadak seperti tadi. Andika menyuruh
Imas untuk bersiaga di sana, sementara ia berke-
lebat untuk memeriksa beberapa tempat.
Namun ia tak menjumpai siapa pun juga.
"Siapa sebenarnya orang itu? Kalau ia bermaksud
jahat, sudah bisa dipastikan akan sangat mudah
untuk melakukannya. Ilmu meringankan tubuh
yang diperlihatkannya, tak akan mudah dimiliki
oleh orang sembarangan. Serangannya juga men-
gandung kekuatan yang hebat luar biasa. Aku jadi
penasaran."
Setelah menunggu dan memperhatikan be-
berapa saat, dan tak terjadi apa pun juga, Andika
segera kembali ke tempat Imas.
"Bagaimana, Kakang?"
"Nihil! Aku tak menemukan siapa-siapa.
Bahkan, gerakannya pun aku tak bisa menebak.
Hanya saja, serangan tadi datang dari arah pohon
besar itu. Orang yang menyerang kita, pasti memi-
liki ilmu yang sangat tinggi."
Keduanya tetap bersiaga penuh. Tiba-tiba
Andika melompat cepat ketika matanya yang seta-
jam elang menangkap kelebatan satu sosok tubuh
yang bergerak bagai setan. "Tunggu! Siapa kau se-
benarnya?!"
Namun seperti halnya tadi, ia tak mene-
mukan siapa pun juga. Bahkan lagi-lagi ia heran
karena gerakan orang itu sama sekali tak tertang-
kap oleh pendengarannya.
"Siapa dia, Kakang?" terdengar suara Imas,
rupanya ia menyusul.
Andika menggelengkan kepalanya dengan
kening berkerut.
"Aku tidak tahu. Hanya saja, apakah orang
itu yang telah menolong gurumu?"
"Oh!"
"Sayang, nampaknya ia tak ingin kita men-
getahui siapa dirinya. Bila memang yang kuduga
barusan itu benar, aku ingin sekali tahu apa yang
dialami oleh gurumu saat ini."
Imas juga memiliki perasaan yang sama
dengan Andika. Tetapi mau bagaimana lagi, kare-
na orang itu benar-benar bagaikan setan yang bisa
datang dan lenyap laksana kilat.
Andika menoleh dengan kening berkerut
ketika Imas berkata pelan, "Tetapi, mengapa ia
menyerang kita tadi, Kakang?"
***
11
Malam terus merambat perlahan. Kekuatan
dan hukum alam memang tak satu pun manusia
yang mampu mengalahkannya. Kebesaran dan ke-
dahsyatan kekuatan milik Yang Maha Kuasa tak
akan pernah ada yang menandingi.
Pendekar Slebor dan Imas yang sudah me-
ninggalkan tempat di mana mereka menemukan
gubuk terbakar, menghentikan larinya di sebuah
tempat agak terbuka.
"Mengapa kita berhenti di sini, Kang?"
tanya Imas.
Bukannya menjawab, Andika justru men-
gedarkan pandangannya.
Imas bisa mengerti mengapa Andika tun-
jukkan sikap demikian. Mungkin Andika mencium
gelagat yang tidak menguntungkan. Belum lagi ia
berkata apa-apa, tiba-tiba Andika sudah meraih
tubuhnya, bersalto dua kali dan hinggap di tanah
dengan posisi siaga.
Angin yang berdesir kencang itu menghan-
tam ke tanah di mana keduanya berpijak tadi.
Duaaar!
Seketika tanah yang mereka pijak tadi
membentuk sebuah lubang yang cukup besar.
Wajah cantik itu menjadi pias. Lagi-lagi ia
diselamatkan oleh Andika. Dan kedua matanya
seakan keluar dari tempatnya ketika melihat dua
sosok tubuh telah berdiri di hadapan mereka den-
gan wajah garang.
"Anjing-anjing geladak! Mampuslah kau!
Heaaa!" Imas sudah menerjang dengan mengi-
baskan pedangnya dengan cepat. Gadis panasan
itu memang tak pernah membiarkan dirinya dihi-
na, apalagi dihantam dengan cara pengecut seperti
itu.
Jalak Codet Merah segera mengempos tu-
buhnya untuk mengimbangi serangan Imas.
"Gadis ini bisa jinak di tanganku, Kawan
Grido! Aku yakin ia ingin menjadi kawan hidupku!
Kau lihat sendiri, ia menyerang atau ingin meme-
lukku!" serunya dan mencoba menerjang dengan
mematahkan serangan Imas melalui cecaran pada
kedua kaki Imas.
Namun Jalak Codet Merah kecele, karena
pedang di tangan Imas bagaikan memiliki mata.
Dan sekejap saja pedang di tangan gadis yang se-
dang marah itu sudah mengurung Jalak Codet
Merah yang mendadak menjadi pias, karena ia tak
menyangka kalau gadis itu memiliki ilmu pedang
yang tinggi. Kini yang nampak hanyalah kilatan-
kilatan pedang di tangan Imas, dan sosok seperti
bayangan berwarna merah yang berkelebat sambil
mendengus dan mengeluarkan suara bagaikan ter-
tekan.
Jalak Codet Merah sebisanya meloloskan
diri dengan membalas menggempur dengan jurus
'Si Merah Tebarkan Darah'. Namun Imas yang te-
lah memadukan jurus pedang 'Sambar Langit
Tumbangkan Bumi' dengan jurus tangan kosong
tangan kirinya 'Kibasan Ular Sanca', membuat Ja-
lak Codet Merah tercekat dengan wajah tertarik ke
belakang.
Namun Jalak Codet Merah masih terus be-
rusaha melakukannya. Tiba-tiba saja ia mengge-
rakkan kepalanya. Puluhan rambutnya bagaikan
copot dan mendesing ke arah Imas tak ubahnya
jarum-jarum berbisa. Imas mendengus sambil
memutar pedangnya.
Rambut-rambut yang mendesing itu bu-
kannya putus, melainkan justru terpental dan
menimbulkan suara.
Ting! Tang! Tring!
Melihat lawan nampak sedang sibuk me-
matahkan serangan rambutnya, Jalak Codet Merah menderu kembali sambil mengibaskan ram-
butnya kembali. Kali ini berjumlah dua kali lipat.
Imas benar-benar mendengus hebat dan mengge-
rakkan pedangnya tak ubahnya baling-baling, me-
nimbulkan suara yang keras.
"Keparat! Ini tak boleh dibiarkan terus me-
nerus!" dengus Imas dalam hati. Dan dengan satu
gerakan yang benar-benar aneh, sambil memutar
pedangnya bagaikan baling-baling, Imas melompat
ke depan, melewati puluhan rambut yang siap
mencabut nyawanya. Dan....
Seeettt!
Pedang itu kembali mengibas ke arah Jalak
Codet Merah. Kali ini yang menjadi sasaran Imas
adalah rambut manusia codet berkalung taring se-
rigala itu. Hanya tiga kali menggerakkan pedang-
nya, rambut di kepala Jalak Codet Merah seluruh-
nya telah lenyap. Saat itulah Imas menderu lagi
untuk menghabisi Jalak Codet Merah yang berka-
li-kali darahnya seakan membeku dengan wajah
memerah pasi.
Melihat Jalak Codet Merah benar-benar
sudah mati kutu, Grido Kencono yang sejak tadi
memperhatikan, mencoba untuk memotong seran-
gan Imas. Namun ia harus mendengus ketika tan-
gannya dipapaki oleh Pendekar Slebor yang sejak
tadi memang sudah menunggu. Andika akan ber-
gerak bila Grido Kencono turun tangan. Karena
sampai sejauh ini dilihatnya Imas masih mampu
mengimbangi serangan dari Jalak Codet Merah.
Inilah saat yang tepat.
Duk!
"Keparat!" maki Grido Kencono sambil me-
lompat ke belakang. Tangannya dirasakan nyeri
sekali.
"Wah, marah ya?" ledek Andika, padahal
hatinya marah bukan main.
Grido Kencono perdengarkan dengusan
dingin. "Kau akan mampus, Pendekar Slebor!"
Dua pertarungan yang sangat dahsyat,
yang tak ubahnya bagaikan puluhan gajah liar
mengamuk, benar-benar terjadi di tempat itu. Sal-
ing desak dan serang diiringi dengan teriakan yang
keras kerap terjadi. Imas sendiri saat ini benar-
benar berhasil mengurung Jalak Codet Merah
dengan jurus-jurus pedangnya yang sangat am-
puh. Dalam tiga jurus berikutnya, tubuh Jalak
Codet Merah sudah penuh dengan luka-luka.
Bahkan menyambar putus tangan kiri Jalak Codet
Merah. Disusul dengan satu tendangan memutar
yang membuat Jalak Codet Merah bergulingan ke
belakang. Raungannya begitu keras sekali. Namun
lelaki itu masih mampu menggerakkan kakinya
untuk menendang dada Imas hingga gadis itu ter-
guling ke belakang. Sakitnya tak terkira. Tulang
iganya bagai terasa patah.
Imas menggeram. Sambil menahan sakit ia
menyerang lagi.
Jalak Codet Merah yang sedang berusaha
untuk bangkit merasa bulu kuduknya meremang.
Menyadari ia tak akan mampu menghadapi gadis
ini, sifat pengecutnya timbul. Menghadapi gadis ini
saja ia sudah tunggang-langgang dibuatnya, apa-
lagi menghadapi Pendekar Slebor. Dan sebelum
gadis itu mengibaskan pedangnya, ia bergulingan
bagai menyongsong serangan Imas.
Gerak semacam itu justru mengejutkan
Imas. Namun ia tetap menggerakkan tangannya
sambil melompat. Tubuh Jalak Codet Merah lolos
dari terkamannya dan tiba-tiba saja tubuh manu-
sia bercodet itu lenyap. Ia merasa lebih baik
menghindar dulu untuk sementara, karena dalam
keadaan seperti ini jangankan untuk membunuh
Pendekar Slebor, mengalahkan gadis itu saja ia be-
lum tentu mampu. Dan Jalak Codet Merah berjan-
ji, suatu saat ia akan menuntaskan dendamnya
pada Pendekar Slebor atas kematian Jalak Mata
Merah.
Imas mendengus menyadari serangan itu
hanya pancingan belaka. Ketika ia mencoba men-
gejar, tubuh Jalak Codet Merah sudah hilang dari
pandangan.
Dengan geram ia menoleh dan melihat per-
tarungan antara Pendekar Slebor dengan Grido
Kencono yang terus berjalan dengan serunya. An-
dika cukup terkejut menyadari kalau lawan men-
jadi lebih tinggi ilmunya dari pertarungan pertama
tempo hari.
Mendadak Andika melihat lawan mem-
buang tubuh ke kiri, bukan menghindari serangan
dari Andika. Melainkan memang sengaja dilaku-
kannya. Andika semula menyangka lawan mela-
kukan itu hanya untuk mengatur napas, padahal
lelaki berkumis lebat itu tengah mempersiapkan
diri dengan ajian 'Rembulan Matahari'.
Ketika ia mengatupkan kedua tangannya,
terdengar suara bagaikan membelah bumi. Sangat
keras sekali dengan kekuatan dahsyat. Daun-daun
seketika rontok dari pangkalnya. Satwa hutan
yang sejak pertarungan itu dimulai merasa lebih
aman berada di kediamannya, berlarian pontang-
panting dengan suara-suara aneh yang ramai.
Andika tercekat mendengar suara yang
mengerikan itu. Begitu pula dengan Imas yang kini
telah berkelebat ke sisi Andika dengan tatapan
marah. Bila saja keduanya tak memiliki tenaga da-
lam yang tinggi, bisa dipastikan keduanya akan
mengalirkan darah.
Tiba-tiba Grido Kencono menepuk kedua
tangannya. Satu serangan aneh yang datang men-
deru bagaikan gunung yang dihempaskan, melun-
cur ke arah Imas. Suaranya lebih dahsyat dari
guntur, menggebubu dengan hempasan sinar hi-
tam menggidikkan bagai menyala.
Andika sadar kalau jurus yang dilepaskan
oleh Grido Kencono adalah jurus yang sangat dah-
syat. Sambil berkelebat menarik tangan Imas dan
membawanya bergulingan, ia berseru, "Tinggalkan
tempat ini, Imas! Cepat!"
Bummm!
Lima buah pohon besar yang berada di be-
lakang mereka tadi, meledak dan seketika menjadi
serpihan. Grido Kencono terbahak-bahak melihat
hasil serangannya. Lalu dengan tawa yang sema-
kin menggema, ia mengumbar serangan ajian
'Rembulan Matahari'-nya. Kali ini bukan hanya
Imas yang menjadi berlompatan menyelamatkan
diri, Andika sendiri dibuat tunggang-langgang.
Sementara di sekitar tempat itu sudah tak terhi-
tung pohon besar yang menjadi serpihan dan ta-
nah yang membentuk lubang.
Untuk menyerang masuk bukanlah suatu
hal yang mudah. Karena, setiap kali Andika men-
coba bergerak, setiap kali pula serangan dahsyat
itu menderu. Sekarang yang terjadi, hanyalah dua
sosok manusia yang terus berlompatan bagaikan
monyet terbakar ekornya.
"Astaga! Apa yang harus kulakukan seka-
rang?" maki Andika dalam hati. Jantungnya ber-
detak dengan cepat dan aliran darah yang kacau.
"Serangan yang dilakukan oleh Grido Kencono mi-
rip sekali dengan ajian 'Guntur Selaksa'. Hanya
bedanya lebih kejam dan mengerikan. Huh! Apa-
kah aku harus terus menerus melompat-lompat
seperti monyet liar begini?"
Berpikiran seperti itu, tiba-tiba saja Andika
melompat ke depan saat Grido Kencono tengah
menghujaninya dengan ajian 'Rembulan Matahari'.
Bertepatan dengan terdengarnya ledakan menuju
ke arahnya, Andika melepaskan kain bercorak ca-
tur warisan Ki Saptacakra. Dengan mengalirkan
tenaga 'inti petir' tingkat pamungkas, ia mengi-
baskannya ke arah datangnya serangan Grido
Kencono.
Crrrppp!
Sungguh keanehan terjadi, karena kain
pusaka itu seakan mampu menangkap lontaran
serangan dari Grido Kencono dan setelah menya-
dari hal itu, Andika melepaskannya ke arah Grido
Kencono yang sudah mengirimkan lagi serangan
dahsyatnya.
Akibatnya serangan yang pertama dile-
paskannya tadi, berbenturan dengan serangan ke-
duanya menimbulkan ledakan yang bukan alang
kepalang. Menyadari hal itu, Andika tidak menu-
runkan serangannya. Justru ia melurup maju
sambil mengibaskan kain pusakanya, berputar
dan menimbulkan angin prahara.
Grido Kencono memekik ketika wajahnya
terasa bagaikan ditampar oleh ribuan tangan, pa-
dahal kain pusaka itu masih berjarak satu tombak
dengannya. Tetapi, angin keras yang ditimbulkan-
nya seakan telah menderu ke wajahnya. Menyusul
satu kibasan tangan keras di dadanya. Tubuh Gri-
do Kencono terpelanting keras di tanah.
Imas yang melihat kesempatan itu menu-
kik dengan suara keras dan siap menusukkan pe-
dangnya ke dada lawan. Namun itu adalah kesa-
lahan. Karena, meskipun sudah terdesak, Grido
Kencono masih sempat mengirimkan ajian
'Rembulan Matahari'-nya yang dahsyat.
Bersamaan dengan itu, Andika yang meli-
hat bahaya mengancam Imas, bergulingan cepat.
Kakinya menyepak tubuh Imas yang masih me-
layang di udara hingga tubuh gadis itu terhuyung
ke belakang dengan deras. Detik itu pula Andika
membuang tubuhnya kembali.
Buummm!
Serangan itu gagal mengenai sasarannya.
Namun kesempatan dimiliki oleh Grido Kencono
kembali, karena dengan cepat ia berdiri dan
menghujani Andika dengan serangan-serangan
mematikan. Kali ini diiringi dengan tubuhnya yang
berkelebat ke sana kemari.
Suara ledakan terdengar beberapa kali.
Andika benar-benar sudah berada di ambang
maut. Ia harus bergulingan terus menerus. Ma-
tanya beberapa kali harus dipejamkan karena ta-
nah yang terhantam serangan Grido Kencono ber-
pentalan. Tubuh dan wajahnya sudah kotor terke-
na debu yang banyak
Di saat seperti ini, memang sangat sulit se-
kali untuk membalas. Jangankan membalas, me-
nyelamatkan diri saja bukanlah hal yang mudah.
Namun kekerasan dan kebulatan hati Andika su-
dah terpatri sejak lama di dirinya. Karena, menda-
dak saja ia melenting dan membuat gerakan ba-
gaikan menyongsong. Kalau tadi ia mengibaskan
kain pusakanya ke arah serangan Grido Kencono,
kali ini ia melemparkannya.
Kain pusaka itu meluncur deras bagaikan
meriam yang melesat dari porosnya.
Wuuusss!
Lawannya tercekat, dan dengan cepat men-
girimkan kembali ajian 'Rembulan Matahari'.
Bagai dihempas oleh tangan raksasa kain
pusaka itu meluncur deras entah ke mana. Se-
mentara Andika sudah menyerbu cepat. Ajian
'Guntur Selaksa' sudah terangkum di kedua tan-
gannya.
Grido Kencono yang terkejut melihat Andi-
ka sudah melesat bagai anak panah, mencoba
menghindar. Namun ia kalah cepat.
Des! Bezzz!
Dua kali tepat mengenai sasarannya. Satu
menghantam dadanya dan satu lagi menghantam
wajahnya, hingga tubuh tinggi besar itu terlontar
ke belakang dengan derasnya. Menabrak sebuah
pohon besar yang langsung ambruk.
Grido Kencono mengerang kesakitan. Da-
danya bagaikan jebol. Sementara lima buah gi-
ginya langsung tanggal.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya
tak percaya. Tubuh lawannya masih tetap utuh
meskipun di sana-sini nampak menghangus. Itu
terjadi karena Grido Kencono sendiri sudah men-
galiri tubuhnya dengan ajian 'Rembulan Matahari'.
Tetapi, ia tak mau memberi kesempatan lagi pada
Grido Kencono, segera menyerbu dengan teriakan
keras, "Heaaaa!"
Dalam sekali hajar, Grido Kencono yang
sudah sulit untuk menghindar bisa mampus seke-
tika. Namun mendadak saja Andika membuang
tubuhnya ke belakang, karena api panas yang
menjilat-jilat menderu ke arahnya.
"Rupanya kau yang berjuluk Pendekar Sle-
bor! Bagus, kau harus mampus hari ini juga!" ter-
dengar satu suara yang dingin dan hawa panas
yang menebar hebat
***
12
Andika melompat ke belakang, ke sisi Imas
dengan wajah tegang. Keduanya melihat satu so-
sok tubuh mengerikan dengan sepasang mata ke-
labu sedang terbahak-bahak. Tawanya bukan ta-
wa sembarangan, melainkan menebarkan hawa
panas yang menyengat. Keringat tiba-tiba mengalir
di sekujur tubuh Andika dan Imas. Sesaat mereka
bergetar. Sementara Grido Kencono sedang bang-
kit dengan susah payah, dari mulutnya terdengar
suara,
"Guru!"
"Hhh! Hanya menghadapi pemuda yang
masih bau air tetek ini kau tak mampu menakluk-
kannya!" dengus sosok berpakaian hitam itu din-
gin. Mulutnya menyeringai mengerikan.
Andika mendengus mendengar sebutan
Grido Kencono pada laki-laki bertampang setan
itu. "Aku harus berhati-hati," gumamnya.
"Anak muda, kudengar kau memiliki ajian
'Guntur Selaksa'! Ada hubungan apa kau dengan
Eyang Saptacakra, hah?" bentak sosok mengeri-
kan itu yang memang tak lain Datuk Pincang Gu-
nung Neraka. Suaranya sangat keras sekali, hing-
ga daun-daun berguguran.
Dasar urakan, Andika masih sempatnya
mengejek, "Wah, kau takut ya? Kalau kau takut,
kau bunuh diri saja! Atau mogok makan saja biar
tubuhmu tak lebih dari seekor cacing!"
Imas meliriknya dengan tegang. Hampir ia
tak bisa mempercayai sikap Andika itu. Di saat pe-
taka siap menghampiri, pemuda itu masih bisa
bersikap santai. Bahkan kata-kata usilnya seakan
tak lepas dari mulutnya.
Wajah Datuk Pincang Gunung Neraka me-
merah "Pemuda keparat! Enteng banget bacotmu!"
Lalu tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, tan-
gannya bergerak. Beberapa larik sinar warna me-
rah menggebubu diiringi dengan suara bak air bah
tumpah. Tempat itu jadi lebih terang.
Andika tercekat, ketika dirasakannya hawa
panas yang menyelingkupi dirinya. Ia coba bergu-
lingan. Tetapi rupanya, lima buah sinar merah ba-
gaikan anak panah itu membentuk satu formasi
yang sukar dipercaya. Karena mendadak saja lima
buah api itu mengarah pada Andika, menusuk ba-
gian dada, kepala, perut, tangan bahkan kema-
luan Andika.
Clep! Clep!
Tangan kiri Andika tertusuk api bagaikan
mata panah itu. Pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan mengeluarkan teriakan kaget,
panas yang menyengat dirasakannya di tangan ki-
rinya. Dan tubuhnya mencelat dua tombak ke be-
lakang.
"Astaga!" rutuk Andika sambil muntah da-
rah. Entah kenapa ia merasa tengkuknya mulai
dingin, padahal panas itu sangat menyiksanya.
"Hanya begini saja kehebatan Pendekar
Slebor!"
Dalam kondisi yang bagaimanapun juga,
Pendekar Slebor tetaplah Pendekar Slebor. Sifat
urakannya masih ada, meskipun dirasakan detak
jantungnya lebih cepat dan aliran darahnya kacau.
"Kau belum melihatnya sih? Baru berhasil begitu
saja sudah bangga! Aku sebenarnya khawatir, ka-
lau nanti sebelah kakimu akan kubuat pincang la-
gi! Dan aku yakin kau akan berterima kasih kepa-
daku, karena jalanmu jadi rata, kan?"
Datuk Pincang Gunung Neraka mengelua-
rkan suara bagai kemaluannya dicatek ular. Tan-
gannya bergerak membabi-buta. Kembali beberapa
larik sinar merah menderu-deru, membuat Andika
harus mengeluarkan segenap kemampuannya un-
tuk menghindari serangan itu. Imas sendiri tak
luput dari sasaran serangan yang mengerikan.
Tempat itu tak ubahnya bagai neraka.
Imas sendiri menjadi pias melihat serangan
aneh itu. Sesaat ia ingin menolong Andika, tetapi
ia sadar kalau maut pun akan segera menjemput-
nya pula.
Tiba-tiba matanya melihat kain pusaka mi-
lik Andika tersangkut di dahan sebuah pohon. Se-
telah melihat keampuhan kain bercorak catur itu
yang berhasil menahan serangan Grido Kencono,
Imas segera mengempos tubuhnya menyambar
kain pusaka itu dan melemparkannya pada Andi-
ka.
"Kang Andika! Tangkap!"
Wuuuttt!
Andika cepat berputar menyambar kain
bercorak caturnya yang dilempar oleh Imas, sem-
bari menghindari lurupan sinar merah sebesar
mata panah dan dengan gerakan menakjubkan
membuang tubuhnya ke kiri. Begitu menjejak ta-
nah, langsung mengemposnya ke arah Datuk Pin-
cang Gunung Neraka, yang lagi-lagi melepaskan
sinar-sinar merah bagaikan mata anak panah. Kali
ini jumlahnya dua kali lipat dari yang pertama.
Andika mengebutkan kain pusakanya, hingga me-
nimbulkan suara gemuruh yang hebat. Namun la-
gi-lagi sinar merah itu mengurungnya, sangat sulit
dihalau oleh kain pusakanya.
Datuk Pincang Gunung Neraka perdengar-
kan tawanya.
"Kini kau mampuslah, Pendekar Slebor!"
Tangannya menepuk berkali-kali. Kalau tadi bebe-
rapa larik sinar merah mematikan yang menderu
deru ke arah Andika, kali ini kobaran api raksasa
bergulung-gulung ke arah Andika dengan cepat-
nya, menyambar ke sana kemari diiringi suara
yang dahsyat mengerikan, membuat Andika kem-
bali bergulingan cepat.
"Kau tak akan mampu menghadapi manu-
sia keparat itu, Pendekar Slebor, sebelum kau me-
nemukan kunci mati dari rahasia jurusnya!" ter-
dengar satu suara bersamaan berkelebatnya
bayangan yang menepuk-nepuk api raksasa itu
dengan enaknya. Seketika api-api itu padam.
"Guru!" terdengar teriakan Imas keras.
***
Yang hadir di sana dan mematahkan se-
rangan mematikan dari Datuk Pincang Gunung
Neraka pada Andika, satu sosok tubuh berjubah
putih. Ia tak lain adalah Malaikat Bukit Pasir.
Luar biasa! Bagaimana ceritanya tahu-tahu
lelaki buta yang dicari-cari oleh orang-orang yang
mendendam padanya bisa muncul? Sebenarnya,
ketika menghadapi Lima Iblis Kepala Kuning, Ma-
laikat Bukit Pasir dengan sekali gebrak saja mam-
pu menjatuhkan mereka. Tetapi saat itu ia men-
gerti akan amarah yang ada di hati Grido Kencono.
Bahkan Malaikat Bukit Pasir ingin sekali menya-
darkan lelaki tinggi besar yang mendendam pa-
danya. Dan lawan yang dikehendaki sebenarnya
adalah Datuk Pincang Gunung Neraka.
Selama dua puluh lima tahun secara sem-
bunyi-sembunyi Malaikat Bukit Pasir selalu me-
ninggalkan Bukit Pasir untuk mencari kediaman
Datuk Pincang Gunung Neraka. Karena, lelaki
pincang itulah yang menjadi pangkal petaka ini.
Sepasang Iblis adalah murid Datuk Pincang Gunung Neraka, dan Datuk Pincang Gunung Neraka
yang melarikan Grido Kencono sudah tentu men-
didiknya dan menanamkan dendam yang sangat
pada diri Malaikat Bukit Pasir.
Di saat Malaikat Bukit Pasir memungut
Imas menjadi muridnya, tanpa sepengetahuan Im-
as ia masih mencari jejak Datuk Pincang Gunung
Neraka. Selama itu pula ia gagal menemukannya,
sampai Grido Kencono muncul.
Dan kesempatan itu dipergunakan untuk
memancing keluar Datuk Pincang Gunung Neraka.
Itulah sebabnya ia bagaikan tak mampu
menghadapi Lima Iblis Kepala Kuning, sampai
kemudian muncul Pendekar Slebor. Sandiwara
yang dilakukannya pun semakin baik. Karena ia
diselamatkan oleh Pendekar Slebor.
Ketika dirasakan sudah cukup, disaat Pen-
dekar Slebor mencari buah-buahan ia pun meng-
hilang. Namun ia selalu memantau kejadian demi
kejadian, sampai akhirnya ia melihat Imas - murid
terkasihnya.
Malaikat Bukit Pasir yang menolong Pen-
dekar Slebor dari maut yang diturunkan oleh Gri-
do Kencono saat dirinya terjerat dari jala lentur. Ia
pula yang menyerang Andika dan Imas ketika ke-
duanya berada di depan bangunan kayunya yang
habis dibakar oleh Datuk Pincang Gunung Neraka,
dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari
tempat itu. Karena menurutnya, keduanya tak ada
sangkut paut dengan masalah yang akan dihada-
pinya. Datuk Pincang Gunung Neraka adalah ba-
giannya.
Dan ia memantau terus setiap kejadian
demi kejadian, sampai saat ini, dengan munculnya
Datuk Pincang Gunung Neraka.
Terdengar suara terbahak-bahak Datuk
Pincang Gunung Neraka. Sementara Grido Kenco-
no terbelalak melihatnya. Kini sadarlah ia apa
yang telah dikatakan gurunya waktu itu. Tak mu-
dah untuk mengalahkan Malaikat Bukit Pasir.
Terbukti sekarang ini, Malaikat Bukit Pasir berdiri
tegar dalam keadaan segar bugar.
Dari tawa yang keras tadi, suara Datuk
Pincang Gunung Neraka merandek
"Budi dibalas budi. Darah dibayar darah.
Nyawa dituntaskan nyawa. Kematian muridku Se-
pasang Iblis tak akan pernah kulupakan. Kini
saatnya kau membayar tuntas seluruh hutang
nyawamu kepadanya!"
"Bila mencium bau busuk yang ada pada-
mu, sudah jelas kau adalah Datuk Pincang Gu-
nung Neraka. Dendam hanya membuat dosa.
Dendam hanya menimbulkan petaka. Namun, bila
sudah berada dekat, mengapa harus lari?" balas
Malaikat Bukit Pasir.
Keadaan semakin bertambah tegang. Pen-
dekar Slebor mendesah pendek melihat Malaikat
Bukit Pasir dalam keadaan segar bugar. Imas yang
hendak merangkul gurunya tadi menjadi urung.
"Lari pun tak berguna. Tinggalkan nyawa
lebih baik!" balas Datuk Pincang Gunung Neraka
dengan mata tak berkesip.
"Bermimpi di siang hari hanya selalu ada
pada diri orang bodoh. Kesombongan tinggi ada
pada orang berjiwa pengecut," sahut Malaikat Bu-
kit Pasir tenang.
"Bangsat! Kalau dulu muridku membuat
kau buta, kali ini akan kubikin kau mampus!
Heaaaa!"
Datuk Pincang Gunung Neraka menyerbu
cepat ke arah Malaikat Bukit Pasir yang masih
berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Api-api yang dikeluarkan oleh Datuk Pincang Gu-
nung Neraka menderu hebat ke arah lelaki berju-
bah putih yang buta itu yang masih belum berge-
rak juga dari tempatnya.
Ketika api-api itu sudah mendekat, tiba-
tiba saja Malaikat Bukit Pasir menghembuskan
nafasnya.
Srrrttt!
Lima buah bola api itu mendadak saja be-
rubah menjadi bongkahan batu es ketika hembu-
san napas Malaikat Bukit Pasir menerpanya.
Wajah Datuk Pincang Gunung Neraka me-
merah melihatnya.
"Orang buta kurang ajar! Lihat serangan!"
Tubuhnya berkelebat laksana setan. Tong-
kat di tangannya bergerak menimbulkan angin
yang menggebubu besar. Bersamaan dengan itu,
Malaikat Bukit Pasir pun berkelebat pula. Tongkat
di tangannya digerakkan dengan kecepatan luar
biasa.
Prak! Prak!
Dua buah tongkat yang dialiri oleh tenaga
dalam yang tinggi bertemu. Menimbulkan percikan
api yang cukup besar. Gebrakan demi gebrakan
yang mengerikan dilancarkan.
Pertempuran dahsyat pun berkecamuk
dengan hebatnya. Saling gempur dan hindar yang
manis namun mengandung tenaga dahsyat. Dan
yang terlihat kemudian, hanyalah dua sosok tu-
buh yang satu kelebatan putih dan yang satu ke-
lebatan hitam diiringi dengan bentakan-bentakan
yang keras.
Sementara itu Grido Kencono kembali me-
nyadari kalau ketinggian ilmu Malaikat Bukit Pasir
yang jelas bukan tandingannya. Ia menjadi malu
sendiri, dan dari rasa malunya ia menjadi marah.
Tiba-tiba saja ia berteriak keras sambil mengirim-
kan ajian 'Rembulan Matahari' ke arah Malaikat
Bukit Pasir yang tengah mengimbangi desakan
hebat dari Datuk Pincang Gunung Neraka.
Melihat hal itu, Pendekar Slebor segera
mengempos tubuhnya seraya berseru, "Biarkan
mereka menyelesaikan urusan masa lalu! Kau ha-
dapi aku!"
"Keparat!" sasaran serangan Grido Kencono
berbalik kepada Andika yang berkelit dengan men-
girimkan pukulan tenaga 'inti petir' yang diga-
bungkan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Sementara Imas hanya memperhatikan sa-
ja dengan tegang. Ledakan demi ledakan terdengar
sangat dahsyat dan mengerikan. Tanah yang dipi-
jaknya benar-benar bergoyang sekarang.
Setelah dua jurus berikutnya lewat, Grido
Kencono yang memang sudah terluka dalam tadi,
meluncur ke belakang setelah terhantam pukulan
Andika. Bukan hanya sampai di sana saja Andika
melancarkan serangannya. Ia terus menderu den-
gan suara menggelegar keras. "Heaaa!"
Dalam keadaan kritis dengan luka dalam
yang sangat sakit, Grido Kencono berhasil menja-
tuhkan tubuhnya sejajar dengan tanah. Bahkan
kakinya masih sempat dikibaskan.
Des!
Andika yang melayang di atasnya terjung-
kir terkena hantaman tepat pada perutnya. Grido
Kencono cepat bangkit dan menerjang dengan te-
riakan yang keras, "Mampuslah kau, Pendekar
Keparat!"
Sebisanya Andika bergulingan menghindari
serangan Grido Kencono yang menghantam tanah
di mana ia tersungkur tadi. Tanah itu membentuk
lubang seketika.
Bersamaan dengan itu pula Andika bagai-
kan melompat menerjang. Grido Kencono tercekat.
Gerakannya sudah tidak selincah tadi karena luka
dalam yang dideritanya.
Tak ayal lagi tubuhnya kembali terhantam
jotosan Andika yang keras. Tubuh itu terlempar ke
belakang dan ambruk setelah muntah darah.
Andika menarik napas panjang sambil
mengusap keringatnya. Ia menghampiri tubuh
Grido Kencono. Setelah ia yakin Grido Kencono
hanya pingsan, segera ia bersemadi untuk memu-
lihkan tenaganya kembali.
Ketika ia membuka matanya, dilihatnya
pertarungan antara Malaikat Bukit Pasir yang
memiliki kekuatan dingin dengan Datuk Pincang
Gunung Neraka yang memiliki kekuatan panas
semakin dahsyat saja. Serangan-serangan aneh
benar-benar nampak di matanya, Berkali-kali
hampir tiada putus-putusnya Datuk Pincang Gu-
nung Neraka menebarkan serangan-serangannya.
Kali ini Malaikat Bukit Pasir seakan tak mampu
memunahkan serangan-serangan itu, karena sela-
lu mengarah pada mulutnya hingga ia tak mampu
meniup atau memusnahkan serangan Datuk Pin-
cang Gunung Neraka.
"Ha ha ha... sudah kukatakan, kau tak
akan pernah mampu mengalahkan aku!" sentak
Datuk Pincang Gunung Neraka dengan suara ke-
ras, dan hawa panas melingkar-lingkar di seluruh
tempat itu. Imas sudah hampir berteriak kepana-
san bila ia tidak cepat-cepat mengalirkan hawa
murninya.
Malaikat Bukit Pasir mundur lima tindak.
Ia mendesis, "Sayangnya, kau hanya melihat sesaat."
"Anjing buduk! Manusia buta yang mencari
mampus!" geram Datuk Pincang Gunung Neraka
dan bergerak lagi secepat setan. Tongkat di tangan
kanannya berputar bagai pusaran angin, sementa-
ra setiap kali tangan kirinya bergerak, gulungan
api kembali menderu dahsyat.
Malaikat Bukit Pasir benar-benar di bawah
angin sekarang. Ia berusaha menghalangi serbuan
tongkat dari Datuk Pincang Gunung Neraka.
Trak! Trak!
Namun api yang mengeluarkan desingan
dan sinar dahsyat menyilaukan itu terus mengge-
bubu. Andika yang melihat keadaan genting di-
alami oleh Malaikat Bukit Pasir, segera bergerak
sambil mengebutkan kain pusakanya dengan ce-
pat. Api yang dilepaskan oleh Datuk Pincang Gu-
nung Neraka musnah seketika.
Sesaat Datuk Pincang Gunung Neraka
menggeram.
"Kau hanya cari mampus!"
"Justru aku ingin melihat kau mampus!"
maki Andika yang mengalirkan tenaga 'inti petir'
pada kain pusakanya. Terdengar suara bagaikan
ribuan tawon marah dan kiblatan sinar-sinar yang
menyilaukan.
Namun hanya sesaat serangan itu mampu
dilakukan Andika, selebihnya, justru ia sendiri
yang harus kalang kabut dibuat oleh Datuk Pin-
cang Gunung Neraka. Karena, dari mata lelaki
pincang yang sedang murka itu melesat api-api
panas luar biasa. Itu adalah jurus andalan Datuk
Pincang Gunung Neraka, 'Sepasang Mata Api'.
Kepala Datuk Pincang Gunung Neraka ber-
goyang-goyang. Larikan sinar merah yang panas
tak putus-putusnya ke arah Andika yang menge-
lak berkelebat cepat kian kemari. Ke mana Pende-
kar Slebor berada, di sanalah Datuk Pincang Gunung Neraka menyerbu.
"Iblis! Benar-benar iblis!" rutuk Andika
mencoba pula dengan mengibaskan kain pusa-
kanya lagi. Namun serangan itu semakin memba-
bi-buta saja. Bahkan Imas pun harus tunggang-
langgang karena sesaat kemudian justru ia yang
menjadi sasaran serangan dari Datuk Pincang
Gunung Neraka. Pepohonan yang banyak tumbuh
di sana sudah terbakar, mengobarkan api yang
besar.
"Ha ha ha... siapa pun yang menghalangiku
untuk mencabut nyawa manusia buta itu, akan
menjadi manusia panggang!"
"Enaknya ngomong! Kenapa tidak kau ke-
cilkan sih apinya? Berapa pula setiap hari kau
menelan kompor, hah?"
Ejekan yang dilakukan Andika di saat yang
membahayakan itu, membuat kemurkaan di hati
Datuk Pincang Gunung Neraka semakin memun-
cak. Serangannya semakin berbahaya.
***
13
"Andika! Apakah api-api itu keluar dari se-
pasang mata busuknya?" terdengar suara Malaikat
Bukit Pasir bagai tertahan. Ia menelengkan telin-
ganya untuk menangkap desingan-desingan ber-
tubi-tubi.
Masih berusaha menghindari serangan Da-
tuk Pincang Gunung Neraka, Andika berseru, "Kau
benar, Ki! Api-api sialan ini mencelat dari mata ke-
labunya!"
"'Sepasang Mata Api'! Rupanya, manusia
itu sudah berhasil menguasainya. Kalian lebih
baik menyingkir! Sangat sulit untuk menghadapi
serangan 'Sepasang Mata Api itu!" seru Malaikat
Bukit Pasir sambil menggerakkan kepalanya, lalu
mengempos melayang dan mencoba memusnah-
kan api-api itu. Tongkatnya diputar hingga me-
nimbulkan desingan yang sangat luar biasa. Angin
yang keluar dari sana bagai topan prahara. Na-
mun ia sendiri pun harus mengaduh keras ketika
paha kirinya terkena sambaran api, yang cepat dia
padamkan.
"Sudah kukatakan tadi, kau akan mampus
menyusul kedua muridku!" dengus Datuk Pincang
Gunung Neraka dan kembali tak henti-hentinya
menyerang ke arah lawan-lawannya.
Malaikat Bukit Pasir bergerak ke sana ke-
mari dengan cepat. Lalu mengibaskan tangannya,
tiba-tiba saja di depannya telah tercipta sebuah
tembok yang terbuat dari salju. Ketika api-api itu
meluruk ke arahnya, langsung punah ketika
menghantam tembok salju itu.
Akan tetapi, di luar dugaannya, api-api
yang melesat dari sepasang mata Datuk Pincang
Gunung Neraka terus meluncur dahsyat. Mem-
buat Malaikat Bukit Pasir harus bergulingan
menghindar. "Rupanya manusia keparat itu me-
mang sudah bersatu dengan Iblis Raja Api!"
Melihat hal itu, Datuk Pincang Gunung Ne-
raka merasa sudah berada di atas angin. Ia yakin
dalam dua gebrakan lagi, Malaikat Bukit Pasir
akan menemui ajalnya.
Namun Pendekar Slebor tak membiarkan
kesempatan itu dimiliki oleh Datuk Pincang Gu-
nung Neraka. Sambil menggebah keras, ia melu-
ruk masuk dengan bergulingan. Kain pusakanya
berhasil menghantam kedua kaki Datuk Pincang
Gunung Neraka dan segera membetotnya hingga
sempoyongan. Saat itulah Andika menderu dengan
menghantamkan ajian 'Guntur Selaksa'!
"Jangan!" justru terdengar seruan Malaikat
Bukit Pasir bernada cemas dan menahan begitu
merasakan hawa panas yang luar biasa berkelebat
ke arah Datuk Pincang Gunung Neraka.
Terlambat, karena ajian 'Guntur Selaksa'
sudah menerpa tubuh Datuk Pincang Gunung Ne-
raka.
Des!
Tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka ter-
lontar tiga tombak. Sesaat Andika menghela napas
lega, namun hanya sesaat. Karena di detik lain se-
pasang matanya bagaikan terbelalak melihat tu-
buh Datuk Pincang Gunung Neraka justru ber-
tambah segar. Tawanya semakin menggeledek.
Andika sadar apa arti peringatan Malaikat
Bukit Pasir.
"Jangan kau serang dia dengan ajian
'Guntur Selaksa', Andika. Karena hawa panas
yang terpancar dari ajian 'Guntur Selaksa' akan
membuat tenaganya semakin membesar saja!" se-
ru Malaikat Bukit Pasir semakin memperkuat
keyakinan Andika apa arti seruannya tadi. "Andi-
ka, 'Sepasang Mata Api' hanya mampu dihadapi
dengan hawa panas yang tak nampak!"
Sadarlah Andika, kalau sejak tadi ia tak
mampu menurunkan tangan pada Datuk Pincang
Gunung Neraka, bukan tidak mampu karena ajian
yang dilepaskannya tak ampuh, melainkan karena
Datuk Pincang Gunung Neraka memang bagaikan
membiarkan tubuhnya terhantam serangannya.
Menyadari kekeliruannya, Andika justru
bertambah marah. Tiba-tiba saja ia menggulung
seluruh tubuhnya dengan kain bercorak catur.
Hingga kini yang nampaknya hanyalah tubuh
yang terbalut saja.
Lalu mendadak tubuhnya berputar bagai-
kan pusara angin, mengarah pada Datuk Pincang
Gunung Neraka yang terbahak-bahak bagaikan
melihat sasaran yang sangat empuk sekali. Den-
gan mengeluarkan gerengan yang keras ia mener-
jang ke arah Andika.
Des!
Tubuh Andika terlontar ke belakang den-
gan derasnya. Meskipun ia merasakan tubuhnya
bagaikan patah, namun anehnya tak hangus.
Bahkan justru tubuh Datuk Pincang Gunung Ne-
raka yang nampak kelojotan.
Malaikat Bukit Pasir yang hampir saja me-
motong serangan Datuk Pincang Gunung Neraka
karena sangat berbahaya bagi Andika, menge-
rutkan keningnya tak percaya melihat kenyataan
itu. Lebih terkejut lagi ketika Andika tiba-tiba saja
memutar tubuhnya, kain pusaka yang membalut
tubuhnya terlepas dan langsung disampirkan ke
lehernya kembali.
Kali ini ia menerjang dengan cepatnya, se-
mentara tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka
masih limbung dengan jeritan yang keras. Malai-
kat Bukit Pasir dan Imas hanya terbengong-
bengong memperhatikan. Karena, mereka tiba-tiba
saja merasakan panas yang sangat luar biasa. Bu-
kan terpancar dari tubuh Datuk Pincang Gunung
Neraka, melainkan keluar dari tubuh Andika.
Dedaunan di sekitarnya seketika menger-
ing, lalu berguguran. Dalam keadaan terdesak se-
macam itu, dan mendengar peringatan dari Malai-
kat Bukit Pasir, Andika teringat akan ilmu ajaran
dari Eyang Sasongko Murti, murid dari Siluman
Hutan Waringin yang pernah mengajarkan ajian-
ajian bangsa siluman (Baca serial Pendekar Slebor
dalam episode : "Siluman Hutan Waringin").
Saat ini yang dipergunakan oleh Andika
adalah ajian bangsa siluman, ajian 'Tapa Geni'
yang memancarkan panas bagaikan neraka na-
mun panas itu tak akan nampak bila Andika tidak
menggerakkan bagian tubuhnya kepada lawan
yang dituju. Dengan ajian bangsa siluman itulah
Andika menderu kencang ke arah Datuk Pincang.
"Heaaa! Pergilah kau ke neraka, Manusia
Iblis!"
Des! Bummm!
Tubuh Datuk Pincang Gunung Neraka ter-
lempar beberapa tombak ke belakang dan bergu-
lingan dengan tubuh yang bagaikan terbakar. Ter-
dengar lolongan bagaikan serigala keras. Rambut
lelaki berpakaian hitam yang kejam itu seketika
rontok. Pakaian yang dikenakannya langsung le-
bur menjadi debu. Ia berteriak keras setinggi langit
dengan tubuh kelojotan. Tiba-tiba saja kepalanya
pecah! Nyawa manusia kejam itu putus seketika.
Andika menghentikan serangannya dengan
napas terengah-engah. Tatapannya masih setajam
elang, masih berbalur kemarahan. Namun ia me-
rasakan nafasnya begitu sesak. Tubuhnya ter-
huyung ke belakang dengan darah yang keluar da-
ri mulut dan hidungnya. Benturan itu rupanya ju-
ga menyiksanya.
Malaikat Bukit Pasir yang mengandalkan
pendengarannya tahu apa yang telah terjadi. Na-
mun ia bertanya, "Andika... apakah kepala manu-
sia itu pecah?"
"Kau benar, Ki."
Terdengar desisan Malaikat Bukit Pasir,
"Andika... apakah ada cairan warna hijau yang ke-
luar dari kepalanya?"
Andika sendiri terkejut mendengar perta
nyaan Malaikat Bukit Pasir. Dan hampir ia tak bi-
sa mempercayai dirinya, karena apa yang dikata-
kan oleh Malaikat Bukit Pasir itu benar adanya.
Cairan warna hijau pekat mengalir perlahan dari
kepala yang pecah.
"Kau benar, Ki."
"Cepat ambil tanah, tutup seluruh cairan
warna hijau itu."
Tanpa banyak tanya lagi Andika menjalan-
kan perintah Malaikat Bukit Pasir yang bernada
tergesa dan memerintah.
Setelah menimbun cairan hijau itu dengan
tanah, terlihatlah asap hitam yang mengepul.
"Mengeluarkan asap, Ki!" serunya kaget.
Malaikat Bukit Pasir menganggukkan kepa-
lanya.
"Aku bisa mencium baunya. Hmmm, ke-
saktian manusia sesat ini telah musnah."
"Tetapi, cairan apakah itu, Ki?"
"Cairan itulah sumber dari hawa panas
yang ada dalam tubuhnya. Masih mudanya, Datuk
Pincang Gunung Neraka selalu bersemadi. Ru-
panya setan telah menjadi sekutunya, dengan
memasukkan cairan warna hijau itu di kepalanya."
Andika terdiam dengan kepala berpendar.
Sungguh, ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi.
"Ia telah memilih jalannya sendiri. Dan
kematiannya, hanyalah jalan keluar dari seluruh
dosa-dosanya," kata Malaikat Bukit Pasir.
Andika mendesah pendek, lalu meminta
agar Malaikat Bukit Pasir menceritakan apa yang
sebenarnya telah terjadi. Ia menganggukkan kepa-
lanya ketika Malaikat Bukit Pasir selesai menceri-
takan semua yang telah terjadi.
"Ternyata, dendam manusia itu lebih men-
gerikan daripada dendam setan."
Malaikat Bukit Pasir hanya tersenyum, lalu
berkata, "Andika... kulihat kelelahan sangat men-
dera kita. Bagaimana bila untuk sejenak kita
kembali ke Bukit Pasir guna membangun kedia-
manku kembali? Mudah-mudahan, segala dendam
yang ada di tubuh lawan-lawanku, telah sirna.
Dan menurut penglihatan batinku, kau sedang
terluka dalam. Bila dua hari kau tak diobati, maka
nyawamu tak akan tertolong lagi"
Tiba-tiba saja Andika memang merasakan
kelelahan. Ia cuma menganggukkan kepalanya.
Apalagi begitu melihat sepasang mata Imas yang
menatapnya penuh harap. Lumayanlah, sambil
membantu Malaikat Bukit Pasir ia bisa bersama
Imas lebih lama. Dan yang terpenting lagi, ia ha-
rus mengatakan pada Imas, kalau sebenarnya ia
hanya menganggap Imas sebagai adiknya.
"Baiklah, Ki... mari kita segera berangkat.
Kita tinggalkan Grido Kencono yang pingsan dan
sudah kehilangan seluruh ilmu yang dimilikinya."
Malaikat Bukit Pasir cuma mendesah pen-
dek
***
Dan tanpa setahu siapa pun juga, satu titik
cairan berwarna hijau yang keluar dari kepala Da-
tuk Pincang Gunung Neraka, tak tertutup oleh pa-
sir yang dilakukan Pendekar Slebor.
Cairan warna hijau itu bagaikan memiliki
nyawa, karena tiba-tiba bergerak pelan. Begitu an-
gin men-desir, cairan itu mendadak saja membe-
sar dan membentuk menjadi gumpalan.
Tiba-tiba saja cairan berwarna hijau itu
melayang-layang dengan cepatnya di angkasa. Ia
akan memasuki kepala siapa saja yang diingin
kannya. Karena, dalam cairan hijau itulah seluruh
ilmu Datuk Pincang Gunung Neraka masih terpendam....
SELESAI
Segera menyusul!!!
Serial Pendekar Slebor dalam episode:
BAYANGAN KEMATIAN
0 comments:
Posting Komentar