SATU
Buleleng. Suatu daerah yang cukup indah di Pulau
Dewata-Bali.
Purnama mengambang di angkasa. Bisu dengan
bias cahayanya yang lembut. Bintang-bintang yang
bertaburan mengintip dari celah awan tipis yang
bergerak lamban. Seakan, benda-benda langit itu
mewarnai Hari Raya Galungan yang dirayakan hari ini.
Seluruh penduduk Buleleng pada hari keramat
seperti ini selalu mempersembahkan sesaji untuk
para dewa, diiringi tarian gadis-gadis cantik dan para
pemuda tampan.
Cokorde* Buleleng telah meninggalkan upacara.
Sementara acara terus dijalin oleh pergantian
pasangan tari.
Di antara puluhan orang yang meramaikan
kemeriahan upacara, berdiri seorang pemuda tampan
di sisi sebuah gapura. Pakaiannya sederhana, terdiri
dari baju hijau dan celana hijau pula. Pada bahunya
yang kekar tersampir sehelai kain bercorak catur.
Sementara tubuhnya bersender di gapura, angin
malam nan dingin menjamah wajah tampan serta
rambut sepanjang bahu yang tak tertata itu. Matanya
yang seperkasa elang, menikmati gelora tari yang
sedang dipergelarkan.
Sesekali pemuda itu terlihat menarik napas dalam-
dalam. Entah apa yang menyebabkannya begitu.
Mungkin sekadar ungkapan keterpesonaannya pada
keindahan tari. Atau mungkin hanya ingin menikmati
hawa malam. Atau bisa jadi ada sebab lain. Karena,
matanya saat itu sedang tertuju lekat pada dara
penari di depan sana.
“Idayu Wayan Laksmi cantik bukan, Beli*?” usik
seorang pemuda tanggung di sebelahnya.
“Apa?” pemuda berpakaian hijau itu malah balik
bertanya, karena belum menangkap arah ucapan
pemuda tanggung ini.
“Itu, penari itu. Dia begitu menawan, bukan?”
tegas pemuda tanggung tadi.
“Ooo, ya, ya. Betul,” kata pemuda berpakaian
hijau-hijau membenarkan sambil mengangguk-
angguk.
“Namanya Idayu Wayan Laksmi.”
“Apa?”
“Namanya Idayu Wayan Laskmi,” ulang si Pemuda
tanggung.
“Ooo....” lagi-lagi pemuda berpakaian hijau-hijau
membulatkan bibirnya, “Dari mana kau tahu?”
Pemuda tanggung bertelanjang dada dan
mengenakan penutup kain di pinggang hingga betis
itu tersenyum bangga.
“Tentu saja aku kenal. Dia kan, Mbok* saya!”
cetusnya.
Pemuda berpakaian hijau-hijau itu tertawa ringan.
“Kenapa Beli tertawa?”
“Rupanya kau punya tujuan tertentu membangga-
banggakan kakakmu, ya?” ujar pemuda berpakaian
hijau-hijau menggoda.
“Ah, kata siapa?” sangkal pemuda tanggung
dengan wajah asam.
“Kataku.”
“Ah! Mbok-ku terlalu cantik untuk orang semacam
Beli!” kilah pemuda tanggung itu lagi. Tanpa sadar
telah dilontarkan sendiri tujuannya membangga-
banggakan kakak perempuannya.
Pemuda berpakaian hijau-hijau itu mengangkat
bahu.
“Ya sudah, kalau kau tak memerlukan aku,” kata
pemuda berpakaian hijau seraya melangkah hendak
pergi dari tempat itu.
“Beli tunggu!” tahan si Pemuda tanggung.
“Nan, kan?” goda pemuda yang penampilannya
aneh itu. Langkahnya dihentikan. “Kenapa?”
“Beli jadi kekasih Mbok-ku, ya?” kata si Pemuda
tanggung ini. Jawaban itu membuat lelaki muda yang
diajak bicara tertawa kembali lebih keras.
“Sinting kau, ya?” gurau pemuda yang pada bahu-
nya tersampir kain bercorak papan catur itu. “Kenal
pun belum, tahu-tahu saja kau sewenang-wenang
menjodohkan orang!”
“Tolonglah, Beli...” pintanya memelas.
Pemuda tampan dan gagah di depannya meng-
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bibirnya
memperlihatkan senyum, seperti seekor sapi tolol.
“Yaaa, aku sih mau saja. Siapa sih, yang sudi
menolak gadis cantik seperti kakakmu. Tapi kenapa
kau begitu ngotot menjodohkan aku dengan kakak-
mu? Apa...,” didekatinya pemuda tanggung itu.
“Kakakmu kakinya berbulu ya? Jadi, tidak ada
pemuda yang mendekatinya?”
Pemuda tanggung itu langsung membelalak sewot.
Ingin rasanya menyemprot pemuda acuh yang mem-
bisikinya itu.
“Aaah! Jangan cepat naik darah! Aku hanya
bergurau, kok!” kata pemuda acuh itu, sebelum
pemuda tanggung di depannya berkata.
“Jadi Beli mau, bukan?” desak si Pemuda
tanggung.
“Kalau mau, bagaimana?”
“Jangan nafsu dulu, Beli!”
Pemuda berambut gondrong di depannya meng-
umpat dalam hati.
“Bisa-bisanya anak ini menembakku dengan
ucapan itu!”
“Ada syaratnya, Beli!” kata pemuda tanggung itu.
“Apa?”
“Nama Beli siapa?”
“Andika,” jawab pemuda berpakaian hijau yang
ternyata Andika. Dialah pendekar muda yang begitu
terkenal sebagai Pendekar Slebor.
“Beli Andika seorang pendekar?” lanjut si Pemuda
tanggung.
“Ngg..., orang bilang begitu.”
“Pokoknya Beli harus seorang pendekar. Kalau
tidak, ya tak jadi....”
Andika mengerutkan kening. Apa hubungannya
kependekarannya dengan kakak perempuan si
Pemuda tanggung ini? Keingintahuannya membuat
Andika jadi bertanya-tanya.
“Memangnya kenapa?” tanya Andika.
Pemuda tanggung itu segera menarik Andika ke
balik gapura. Matanya melirik takut-takut ke
beberapa arah, seakan takut ada orang mengawasi.
Di balik gapura dibisikinya Andika dengan suara amat
perlahan.
“I Made Raka, punya niat jahat sama Mbok...” jelas
pemuda tanggung itu.
“Siapa I Made Raka?” tanya Andika sambil
menautkan sepasang alisnya.
“Dia amat ditakuti di banyak Banjar*” jelas
pemuda tanggung. “Dia jatuh hati pada Mbok. Tapi,
Mbok tidak mau karena tabiat dan prilakunya tidak
senonoh dan kejam.”
“Rupanya dia jawara, ya?” tanya Andika.
“Lagi pula, I Made Raka suka mempermainkan
wanita, Beli. Sudah dipermainkan, ditinggal begitu
saja tanpa dinikahi. Banyak wanita yang bisulan gara-
gara dia....”
“Bisulan?” Andika tak mengerti.
“Begini....”
Si Pemuda tanggung itu membusungkan perutnya
sambil memberi isyarat dengan kedua tangan.
“Kini, Mbok-ku lah yang mulai diincarnya. Dan se-
belum berangkat ke upacara tadi, sempat kudengar
dia berbicara dengan dua kaki tangan I Made Raka.
Kelihatannya, mereka berniat busuk pada Mbok
Laksmi!” sambung si Pemuda tanggung. “Beli mesti
tolong dia!”
“Kenapa mesti aku?” tanya Andika. “Apa tidak ada
orang yang berani menghadapi kecoak-kecoak kudis
macam mereka?”
Si Pemuda tanggung lebih mendekat ke telinga
Andika. Sebentar kepalanya menoleh ke kanan dan
ke kiri.
“Sebab I Made Raka masih keluarga dekat
Cokorde...”
Andika mengangguk-angguk. Rupanya, orang yang
bernama I Made Raka tergolong manusia yang me-
nerapkan aji mumpung, dengan memanfaatkan ke-
kuasaan seorang keluarganya untuk berbuat semena-
mena. Manusia macam begini mesti dibuat kerak
bubur!
“Bagaimana, Beli!” pancing si Pemuda tanggung
itu, memenggal kata hati Andika.
“Bagaimana apanya?”
“Mau kan, jadi kekasih Mbok-ku?”
“Mmm. Kalau menolong kakakmu dari manusia
itu, aku mau. Tapi tidak untuk kekasihnya...,” tutur
Andika.
“Huh, sombong!” maki si Pemuda tanggung itu,
merasa tersinggung.
Andika menyeringai bodoh. Tak terasa dia jadi
menggerutu sendiri.
“Memangnya aku ini apa? Kambing congek yang
gampang diamprok-amprokkan?”
“Kenapa Beli?”
“Ah, tidaaak....”
***
Malam terus beranjak makin larut. Tengah malam
terlewati tanpa terasa. Upacara Galungan telah
selesai beberapa saat lalu. Sementara para
pengunjung telah kembali ke rumah masing-masing.
Begitu pula Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg,
adiknya yang telah berbicara dengan Andika
beberapa saat lalu.
Pendekar Slebor sendiri tidak terlihat bersama
mereka. Pendekar muda Tanah Jawa Dwipa ini
berada di sekitar lima belas kaki di belakang kedua
kakak beradik itu. Dia mengintai sambil berjalan di
antara semak yang tumbuh di sisi jalan setapak.
“Ada pemuda asing yang ingin berkenalan dengan
Mbok Laksmi,” cetus I Ktut Regeg seraya tetap
melangkah di sisi kakaknya. “Waktu Mbok menari,
kukatakan kalau Mbok kembang Buleleng. Eee,
tampaknya dia tertarik sama Mbok.”
Idayu Wayan Laksmi di sampingnya membelalak-
kan mata. Gadis ini amat tahu, siapa I Ktut Regeg.
Seorang adik yang begitu membanggakan kecantikan
kakaknya secara berlebihan. Sehingga, terkadang dia
seperti seorang penjual patung yang sedang memuji-
muji dagangannya sendiri pada pembeli.
“Dia yang bertanya padaku kok, Mbok,” sergah I
Ktut Regeg, berbohong. Sementara, kakaknya terus
memelototi. “Mbok pasti tidak akan melotot seperti
itu, kalau sudah melihat orangnya. Dia tampan, lho.
Biarpun yahhh..., penampilannya agak berantakan....”
Di semak-semak, kini giliran Andika melotot kesal.
“Setelah urusan ini selesai akan kusumpal mulut
lancangmu dengan kotoran kerbau!” ancam Andika
dalam hati.
Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg terus me-
lanjutkan langkah sambil berbincang ringan. Di
belakang mereka, Andika tetap menguntit tanpa
diketahui. Sepanjang perjalanan, berkali-kali matanya
mengawasi wajah Idayu Wayan Laksmi ketika
menengok ke belakang.
Menurut Andika, wanita itu memang luar biasa.
Kecantikannya yang terpancar di wajahnya begitu
mempesona. Matanya bulat menggemaskan dengan
bulu lentik bagai gapaian tangan bidadari. Apalagi
dengan tanda hitam yang diletakkan pada kedua
pangkal hidungnya di bawah dahi. Makin meng-
gemaskan saja. Di atas mata itu, sepasang alis tipis
namun hitam tumbuh memikat. Hidungnya amat pas
dengan bentuk bibir yang tipis memerah. Sementara
bagian bawah bibirnya, tampak bagai buah ranum
menggoda.
Wanita itu mengenakan kain yang dibebatkan
sebagai penutup tubuhnya. Pinggangnya dililit
selendang 'Tengkulang'.
Sedang rambutnya digelung gaya khas Bali, dihiasi
bebungaan.
Berbeda dengan adiknya, yang bertubuh kurus dan
agak hitam. Sedangkan Idayu Wayan Laksmi berkulit
kuning langsat. Tubuhnya pun sintal. Tak heran kalau
banyak pria yang jatuh hati padanya.
Tanpa terasa mereka telah berjalan cukup jauh.
Rumah kedua kakak beradik itu mungkin sudah
dekat. Namun sepanjang perjalanan belum ada
tanda-tanda kalau I Made Raka muncul seperti cerita
I Ktut Regeg. Andika pun mulai berpikir kalau dirinya
telah dibodohi seorang pembual kecil bernama I Ktut
Regeg.
Ketika kesabaran Andika sudah nyaris habis,
mendadak tiga kelebat bayangan masuk ke jalan
setapak dari semak-semak. Mereka langsung meng-
hadang Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg.
“I Made Raka,” bisik Idayu Wayan Laksmi takut-
takut, saat melihat siapa penghadangnya.
“Ya, aku. Kau terkejut, Geg*?” tegur I Made Raka
dengan bibir mengumbar senyum nakal.
Lelaki itu berwajah cukup tampan. Tubuhnya agak
kurus dan mengenakan bebatan kain batik sutera.
Kepalanya yang berambut sepanjang bahu ditutup
kain berujung lancip pada satu sisinya.
“Beli mau membiarkan aku lewat, bukan?” ucap
Idayu Wayan Laksmi ragu-ragu.
“Aku membiarkanmu lewat?” I Made Raka tertawa
berderai-derai, diikuti anak buahnya yang berdiri di
belakang.
Tawa ketiga lelaki itu membuat Idayu Wayan
Laksmi menjadi kian takut. Direngkuhnya tangan I
Ktut Regeg kuat-kuat. Sementara, matanya menatap
takut-takut pada I Made Raka. I Ktut Regeg yang
direngkuh malah seperti tidak mempedulikan
kedatangan ketiga lelaki di depannya. Matanya sibuk
melirik ke sana kemari, mencari Andika. Setelah
matanya menemukan pendekar muda itu di satu
semak, baru ditatapnya I Made Raka bengis-bengis.
“Kami akan pulang, Beli,” kata I Ktut Regeg
mantap. “Jangan coba-coba mengganggu kami!”
Sekali lagi, tawa ketiga penghadang mereka me-
ledak.
“Apa aku tak salah dengar? Cacing kecil ini berani
mengancamku, ya?” kata I Made Raka, setelah tawa-
nya terhenti.
Dengan gaya seorang ksatria, I Ktut Regeg maju ke
depan tubuh Idayu Wayan Laksmi. Dadanya yang tipis
dibusungkan dengan wajah terangkat menantang.
“Kau tak salah dengar, Beli,” tukas I Ktut Regeg
sok pahlawan, dengan suara lantang. “Biar bagai-
manapun, aku orang Bali sejati yang siap mengorban-
kan jiwa demi keadilan dan kebenaran. 'Sepi ing
pamrih rame inggawe'!”
I Ktut Regeg seakan-akan benar-benar memiliki
keberanian. Padahal kalau Andika tidak di dekat
mereka, sudah pasti dia ikut merengkuh tubuh kakak-
nya kuat-kuat.
“Ha ha ha...!” I Made Raka tergelak nyaring. “Kau
cukup punya nyali untuk meminta dihajar.”
“Cobalah!” tantang I Ktut Regeg.
Kata-kata I Ktut Regeg bagai menginjak-injak
kepala I Made Raka. Yang makin membuat jengkel,
anak itu juga memukul dadanya sendiri seraya meng-
angkat wajah tinggi-tinggi.
“Regeg!” hardik Idayu Wayan Laksmi, mem-
peringati.
“Biar, Mbok. Jangan dipisahkan!” seru I Ktut Regeg
jumawa. Padahal, berkelahi pun belum pernah.
“Akan kucincang kau, Bocah!” bentak I Made
Raka, tak bisa menahan kegusaran. Didekatinya I
Ktut Regeg dengan langkah terbanting keras. Tangan-
nya siap menghajar wajah I Ktut Regeg.
Baru saja tangan I Made Raka terangkat tinggi-
tinggi, mendadak satu desiran halus terdengar.
Wesss...!
Prot!
Sesuatu yang lembek dan hangat tahu-tahu
mampir di telapak tangan lelaki itu. Tak hanya lembek
dan hangat. Begitu I Made Raka mengendus tangan-
nya, ternyata benda lembek dan hangat itu juga
bau...!
“Kotoran sapi sebagai hadiah perkenalan!” ucap
seseorang tiba-tiba dari belakang Idayu Wayan
Laksmi dan I Ktut Regeg.
Seketika I Made Raka melotot lebar-lebar. Diturun-
kan tangannya cepat-cepat. Bodohnya, tangannya
yang tertiban ampas binatang itu kembali diciumnya.
Seolah hendak dibuktikan kalau itu benar-benar
kotoran sapi. Maka, kontan saja wajahnya jadi
memerah serta cuping hidung terangkat tinggi-tinggi.
Sebentar kemudian....
“Khoeeek!”
***
DUA
“Siapa orang yang berani kurang ajar pada I Made
Raka?!” bentak I Made Raka kalap sambil mengibas-
ngibaskan tangan.
Andika melangkah ke depan. Dari kegelapan
naungan pepohonan lebat, Pendekar Slebor muncul.
Wajah dan penampilannya kini jelas terlihat karena
siraman sinar purnama.
“Kau bicara padaku?” tanya Andika pura-pura
bodoh.
I Made Raka mengawasi Andika tajam. Bola mata-
nya yang nyaris membulat penuh seperti hendak
menelan pemuda di depannya. Wajahnya tampak
merah matang, seperti kepiting rebus.
“Siapa kau?!” tanya lelaki itu menghardik. “Baru
kali ini kulihat wajahmu!”
“Rasanya aku juga baru kali ini melihat tampang
menjengkelkanmu itu,” balas Andika enteng.
“Siapa namamu?!” ulang I Made Raka lebih keras.
“Kenapa tanya-tanya segala? Naksir ya?”
“Bangsat!”
“He he he...,” Andika malah terkekeh, seperti tak
merasa bersalah secuil pun.
“He he he...,” timpal I Ktut Regeg mengikuti gaya
Andika, membuat kemarahan I Made Raka makin
menjadi.
Lelaki itu lalu uring-uringan tak karuan. Dia
mencak-mencak seperti kakek peot kebakaran
jenggot.
“Kalian telah mempermainkan keluarga Cokorde!
Kalian tahu itu?! Kalau kalian tak segera bersujud
minta maaf padaku, akan menyesal seumur hidup!”
maki I Made Raka panjang pendek.
“Wah, gerakanmu nyatanya lebih bagus daripada
tarian di upacara tadi,” cemooh Andika seraya
mengusap-usap dagu serta mengangkat satu alisnya.
“Cukup sudah! Hajar!” perintah I Made Raka pada
kedua anak buahnya.
Lelaki bertubuh tinggi dan buntal maju ke muka.
Dihampirinya Andika dengan wajah dipasang garang.
Dia mengira orang akan ngeri melihat wajahnya.
Padahal, mimik mukanya lebih mirip orang dungu.
Sambil menggeram, tangan lelaki berbadan boros
itu melayang di udara. Gerakannya lamban, namun
cukup bertenaga. Bagi Andika, lawannya sekarang ini
tak lebih cecunguk yang hanya modal tenaga.
Dengan bibir tetap menyeringai, Pendekar Slebor
bergerak sedikit ke belakang. Tanpa terlihat bergerak
sedikit pun, tangannya langsung menjentik ke ikat
kain penutup tubuh tinggi dan gemuk itu.
Tes!
Semuanya terjadi begitu cepat. Sampai-sampai,
laki-laki itu sendiri tak menyadari kalau kain penutup
tubuhnya telah melorot. Maka bukan main blingsatan-
nya lelaki berbadan seperti kerbau itu, menyadari
badannya yang seperti tumpukan lemak terbuka
bebas tanpa penutup, kecuali celana pendek hitam-
nya. Kedua tangannya berusaha menutupi bagian
perutnya yang buncit, tapi tetap terlihat seperti kepala
dedemit sedang mengintip.
Lalu tanpa mempedulikan Andika lagi, bergegas
diangkatnya kain dari bawah tubuhnya. Lalu, dia lari
menuju tempat gelap.
“Awas ada kerbau hamil!” ledek Andika, diiringi
tawa renyah.
Kaki-tangan I Made Raka yang lain langsung maju.
Penampilannya cukup meyakinkan. Kumisnya mem-
bentang, tak beda tanduk kambing buduk. Menilik
pakaiannya yang berbentuk kemeja hitam tanpa
kerah serta celana pangsi bisa jadi dia bukan
penduduk asli Bali.
Penuh lagak meyakinkan, lelaki itu meloloskan
golok besar dari libatan kain di pinggangnya. Sret!
Dia pun menggeram aneh. Barisan gigi kuningnya
diperlihatkan lebar-lebar seperti tak tahu malu.
“Akan kubuat daging cincang kau, Anak Muda!”
ancam laki-laki itu berat.
“Monggo*...” kata Andika, seraya mengayun
tangan ke depan untuk mempersilakan.
“Hiaaah!”
Laki-laki bertampang bengis ini mulai membuka
serangan. Satu tebasan telengas ditujukan ke batang
leher Pendekar Slebor. Meski mata senjata itu nyaris
mampir di leher, namun Andika masih terlihat tenang-
tenang saja.
Dan ketika tinggal seujung kuku lagi golok besar
milik lelaki berkumis baplang membabat lehernya,
tubuh Pendekar Slebor tahu-tahu berkelebat secepat
hantu. Gerakan menghindarnya memang terlalu
cepat, sehingga laki-laki berkumis itu menyangka
Andika menghilang begitu saja.
Mata orang itu mendadak melotot sebesar uang
logam, tanpa berkedip sedikit pun. Bibirnya langsung
bergetar tergagap-gagap.
“Ded... ded... de...,” laki-laki berkumis baplang itu,
tergagap.
“Dedemit!” bentak Andika.
Seperti dikejar sekawanan setan, lelaki itu
langsung lari tunggang langgang. Malah kepalanya
tak sempat lagi menoleh ke arah tuan besarnya yang
juga ikut melongo, menyaksikan pemuda yang mem-
permainkannya yang tiba-tiba menghilang, dan
muncul tiba-tiba pula.
Sesaat kemudian, I Made Raka ikut tunggang
langgang, mengekori kedua anak buahnya. Masih
bagus, tak terkencing-kencing.
“Nah! Sekarang kalian aman untuk meneruskan
perjalanan pulang,” ucap Andika, setelah ketiga lelaki
bejat tadi tak terlihat lagi.
“Oi, hebat! Beli betul-betul pendekar jempolan!”
puji I Ktut Regeg pada Andika.
“Ya, ya,” sergah Andika. “Tapi kau juga menyebut
berantakan tadi, bukan?”
I Ktut Regeg terkekeh.
“Ini orang yang kuceritakan tadi, Mbok,” ujar I Ktut
Regeg langsung menoleh ke arah Idayu Wayan
Laksmi. Diperkenalkannya Andika. Bahkan langsung
disambarnya lengan Andika untuk didekatkan pada
kakaknya.
“Terima kasih atas pertolongan Beli.”
Gadis jelita itu tersipu-sipu, meski masih ada sisa
ketakutan di wajahnya.
“Aku Andika,” kata Andika memperkenalkan.
“Laksmi,” balas gadis itu disambutnya uluran
tangan pemuda tampan di depannya sungkan-
sungkan.
“Ya, aku sudah tahu,” kata Andika lagi.
“Dari aku dia tahu, lho Mbok!” sela I Ktut Regeg.
“Aku tak mau tahu,” tukas Andika acuh. “Bagai-
mana kalau kuantar kalian sampai di rumah?”
“Ooo.... lebih baik begitu, Beli!” serobot I Ktut
Regeg, sambil mengerling pada kakaknya.
Idayu Wayan Laksmi tak bisa berbuat apa-apa,
kecuali menarik napas panjang-panjang. Dan
sebentar saja, ketiganya sudah nampak berjalan
beriringan diselingi obrolan ringan.
***
Idayu Wayan Laksmi mempersilakan Andika untuk
masuk dulu. Mulanya pemuda itu menolak, karena
hari sudah larut malam. Tapi Idayu Wayan Laksmi
terus memaksa. Lebih-lebih I Ktut Regeg. Akhirnya
Pendekar Slebor ikut juga masuk ke dalam rumah
berbentuk gubuk besar ini.
“Mana kedua orangtua kalian?” tanya Andika,
setibanya di dalam ruang tengah.
“Kami hanya tinggal berdua,” jawab Idayu Wayan
Laksmi. “Kedua orangtua kami telah meninggal
beberapa tahun lalu.”
Andika mengangguk-angguk. Dia ikut prihatin,
walau tak ditampakkan secara langsung.
“Silakan duduk, Beli!”
Andika menggeser bangku kayu berukir, lalu
duduk. Idayu Wayan Laksmi sendiri pamit pada
Andika untuk pergi ke belakang sebentar. Sedangkan
I Ktut Regeg sudah pergi entah ke mana. Anak muda
tanggung itu tidak terlihat lagi di ruang depan.
Selang tak lama kemudian, Idayu Wayan Laksmi
muncul lagi membawa secangkir kopi hangat. Diletak-
kannya cangkir tanah liat itu di meja di depan Andika.
Langsung dipersilakannya Andika.
Andika mengangkat cangkir, lalu menyeruputnya.
“Maafkan adikku, Beli,” Idayu Wayan Laksmi mulai
angkat bicara, begitu Andika selesai meneguk kopi.
“Mungkin dia telah lancang berbicara pada Beli.”
“Ah, biasa,” sergah Andika. “Sekarang ke mana
anak itu?”
“Di belakang. Entah apa yang dikerjakannya. Tapi
dia membawa peti berukir dengan golok. Aku tidak
tahu lagi, apa yang akan dikerjakannya,” ucap Idayu
Wayan Laksmi.
“Peti? Peti apa?”
“Aku tidak tahu, Beli. Katanya, dia menemukannya
di dekat pantai.”
“Boleh aku melihatnya?” tanya Andika.
Idayu Wayan Laksmi mengangguk. Segera diantar-
nya Andika ke halaman belakang rumah mereka. Di
sana, I Ktut Regeg tampak tengah berusaha men-
congkel tutup peti dengan golok.
“Apa yang kau kerjakan, Regeg?”
I Ktut Regeg menoleh pada Andika.
“Ini, Beli. Aku hanya penasaran pada isi peti ini.
Tampaknya isinya menarik,” sahut I Ktut Regeg tanpa
berhenti mencongkel.
“Boleh kulihat?” pinta Andika, segera berjongkok di
sisi I Ktut Regeg.
“Ini....”
Anak muda tanggung itu menyerahkan peti selebar
lengan manusia itu. Andika segera menerimanya,
kemudian memandanginya beberapa saat.
Peti dari kayu jenis langka itu pada setiap sisinya
diberi ukiran yang menggambarkan perkelahian
Kala* dengan seorang ksatria. Cukup berat juga.
Ketika diguncang-guncangkan, terdengar bunyi se-
suatu yang bergulir. Jelas, peti ini memiliki isi. Entah
apa, Andika sendiri tak tahu.
“Beli bisa tolong membukakannya?”
“Kenapa harus dibuka? Mungkin ini milik se
seorang. Bukankah lebih baik menunggu orang yang
merasa kehilangan benda ini, kemudian diserahkan
kembali padanya?” cegah Andika.
“Tapi aku menemukannya dalam keadaan ter-
kubur ketika hendak....”
“Eee...,” potong Andika cepat. “Kau lupa pada
ucapanmu ketika I Made Raka menghadang kalian?
Kau bilang, kau adalah orang Bali sejati yang sudi
membela kebenaran dan keadilan dengan
pengorbanan jiwa?”
I Ktut Regeg membuang napas.
“Bagaimana? Setuju?” tanya Andika.
“Tapi aku hanya ingin melihat isinya, Beli!”
Andika menggelengkan kepala, lalu bangkit mem-
bawa peti itu masuk ke rumah.
“Beli....”
“Aku tak dengar....”
“Huh, pendekar berantakan!” makinya mangkel.
***
Malam meringkus seluruh pelosok Buleleng.
Seusai upacara Galungan, desa menjadi sepi. Apalagi
ketika hari bergulir ke ambang pagi.
Karena desakan Idayu Wayan Laksmi yang masih
takut kalau-kalau I Made Raka datang menyatroni
kembali, Andika akhirnya bermalam di gubuk besar
milik dua kakak-beradik itu.
Tempat kediaman itu kini senyap. Baik Idayu
Wayan Laksmi, I Ktut Regeg, maupun Andika,
semuanya tidur nyenyak. Rasa letih yang sarat mem-
buat mereka begitu.
***
TIGA
Jauh di pinggir utara daerah Buleleng, tampak dua
orang berjalan menelusuri lembah. Ada sesuatu yang
tengah dilakukan mereka. Keduanya tampak ber-
sama-sama menyeret sebuah peti besar dengan
tambang yang diikatkan pada satu bagian peti.
Melihat bentuknya, cepat bisa diduga kalau benda itu
sebuah peti jenazah.
Warna peti mati itu sudah begitu kusam. Namun
karena terbuat dari kayu jenis langka yang tahan
rapuh, jadi tidak mengalami kerusakan meski ter-
seret-seret di jalan berbatu. Hanya saja tetap ter-
dengar suara ribut, karena benturan-benturan.
Sementara debu beterbangan di sisi peti mati, mem-
buat peti itu makin terlihat kusam dan angker.
Buat orang-orang biasa, peti itu mungkin harus
diseret empat atau lima orang karena demikian
besarnya. Namun tidak bagi kedua lelaki itu.
Sebenarnya, bukan karena badan mereka besar.
Malah bisa dibilang, perawakan keduanya tak
seimbang dengan beban yang sedang dibawa.
Yang seorang berbadan kurus agak bungkuk.
Wajahnya buruk. Malah bisa dikatakan mengerikan,
karena matanya yang membesar seperti hendak
melompat keluar dan hidung yang tak berbatang.
Rambutnya panjang dan kotor, berwarna kemerahan.
Dia mengenakan rompi sepanjang paha, serta kain
hitam sebagai pengganti celana.
Sedang yang seorang lagi berbadan kurus, tapi
lebih tinggi. Wajahnya tak bisa digambarkan, karena
mengenakan caping yang menutupi seluruh kepala-
nya. Pakaiannya hanya berupa kain merah panjang,
yang diberi lubang di tengahnya sebagai kerah. Agar
tidak terbuka ke mana-mana, kain di bagian pinggang
diikat kulit ular yang berguna juga untuk meng-
gantung pundi-pundi kecil dari tanah liat.
Mereka terus melangkah pasti ke sebuah padang
ilalang. Tumbuhan setinggi manusia itu diterabas
tanpa kesulitan berarti. Setelah melewati padang
ilalang, mereka tiba di sebuah bukit kecil yang di
atasnya berdiri satu gubuk panggung kecil.
“Kita sudah sampai, kakang Lalinggi,” ucap lelaki
berwajah buruk.
Lelaki yang dipanggil Lalinggi menoleh. Lalu diberi-
nya isyarat kecil dengan gerakan kepala, disambut
anggukan oleh laki-laki berwajah buruk.
Segera laki-laki berwajah buruk itu melepas
tambang penyeret peti. Mulai dilakukannya gerakan
pernapasan. Diawali komat-kamit dibibirnya, tangan-
nya membentuk paruh gagak dalam gerakan per-
lahan berbentuk putaran. Sesaat berikutnya....
“Husss!”
Bfiiing!
Bersama lengkingan tinggi, tiba-tiba dua rangkum
pukulan tak berwujud dari laki-laki berwajah buruk
meluncur deras ke arah gubuk panggung.
Brak! Brak!
Bagai dihantam dua bongkah batu besar dari dua
sisi, gubuk naas itu kontan porak-poranda. Dinding-
nya yang terbuat dari papan berhamburan ke segala
arah. Begitu pula atapnya yang terbuat dari daun
kelapa kering.
Di antara tebaran pecahan kayu dan serpihan
atap, tampak sesosok tubuh menerobos ringan
laksana rajawali di udara. Kedua tangannya mem-
bentang lebar, menjaga keseimbangan agar tetap
meluncur lurus ke atas. Pada ketinggian puncak,
sosok tubuh itu berputaran di udara. Dan kini
tubuhnya meluncur lurus ke bawah dengan kedua
tangan terlebih dahulu. Sebelum benar-benar tiba di
permukaan tanah, kembali dilakukannya putaran,
sehingga kakinya menjejak mantap tanpa cedera.
Tepat di depan puing-puing reruntuhan gubuk, orang
itu berdiri tegak.
Melihat ketangkasannya di udara, bisa diduga
kalau laki-laki itu berkepandaian cukup tinggi. Usia-
nya kira-kira delapan puluh tahun. Seperti layaknya
penduduk Bali, dia mengenakan babatan kain batik
dari dada hingga ke batas lutut. Di pinggangnya
terlihat kain hitam sebagai tempat menyisipkan keris.
Rambutnya yang putih, panjangnya sampai ke
punggung. Di wajahnya yang berkeriput, tak ada
selembar kumis atau jenggot pun. Mungkin karena itu
pula wajahnya terlihat bersih berwibawa.
“Siapa kalian berdua?” tanya orang tua itu dengan
segumpal ketidakmengertian.
“Kami Sepasang Datuk Karang!” balas lelaki ber-
caping itu, memperkenalkan diri.
Wajah lelaki tua yang berdiri dua puluh tombak di
depan mereka terlihat makin mengerut. Sepertinya,
sedang berusaha mengingat-ingat nama yang baru
disebutkan tadi.
“Aku tak kenal kalian,” kata laki-laki tua itu lebih
lanjut.
“Tentu saja kau tidak tahu kami, karena selama ini
selalu menyembunyikan diri seperti seorang
pecundang!” kata Lalinggi lagi, yang merupakan
orang tertua dari Sepasang Datuk Karang.
“Jadi, siapa sebenarnya kalian? Dan ada sangkut-
paut apa denganku?”
“Kami menginginkan peti yang kau kubur di pulau
ini, lima puluh tahun lalu!” sambar lelaki yang ber-
wajah buruk.
Si Lelaki tua itu memegangi dagunya. Wajahnya
kembali memperlihatkan kerutan lebih banyak.
Sedang matanya menyipit, tertuju ke arah lain.
Sepertinya dia berusaha mengingat peristiwa lima
puluh tahun lalu.
“Hm, peti itu,” gumam laki-laki tua itu perlahan.
“Kenapa dengan peti itu? Dan kenapa kalian begitu
menginginkannya?”
“Kau tak perlu tahu! Tunjukkan saja, di mana
tempatnya!” bentak lelaki berwajah buruk yang cepat
naik darah.
“Tidak bisa.” putus laki-laki tua itu tegas, sambil
menggeleng.
“Perlu kau tahu, Pak Tua. Kami hanya ingin agar
kau memberitahu di mana peti itu dikuburkan. Kalau
kau tak bersedia dengan cara yang baik ini, kami
akan memaksa mulutmu berbicara,” ancam lelaki
bercaping dingin dan datar.
“Cepat katakan!” bentak lelaki berwajah buruk
sekali lagi.
Dan sekali lagi pula orang yang diminta bicara ini
menggeleng mantap.
“Paksa dia, Gumbala!” perintah Lalinggi.
Lelaki kurus berwajah buruk yang bernama
Gumbala pun bersiap. Sambil maju dengan langkah
membentuk kuda-kuda, tangannya memainkan jurus
kembangan. Sama seperti saat pertama meng-
hancurkan gubuk, kedua tangannya membentuk
paruh gagak.
Empat tombak lagi jaraknya dengan lelaki tua itu,
tangan seorang dari Sepasang Datuk Karang ini bagai
sedang mencabik-cabik udara di depannya.
“Hiaaah!”
Tiba-tiba kaki Gumbala melangkah cepat. Seretan
kaki pada tanah kering itu menyebabkan debu
beterbangan ke udara, menutupi sehagian tubuhnya.
Bfing!
Bunyi melengking tinggi tercipta, manakala tangan
kanan laki-laki berwajah buruk itu menyambar cepat
ke dada lawan.
Tentu saja lelaki tua ini tak sudi dadanya ter-
tembus jari Gumbala. Segera dibentuknya benteng
pertahanan dengan menyorongkan pergelangan
tangan ke depan.
Des!
Serangan pertama Gumbala dapat ditangkis laki-
laki tua ini.
Bfing! Bfing!
Dan belum juga laki-laki tua itu bersiap, Gumbala
kembali meruntunkan dua cabikan jari ke kening dan
selangkangan. Benar-benar jurus kejam mematikan!
Jika sambaran angin pukulannya saja sudah terasa
bagai sabetan cemeti, bagaimana lagi kalau benar
mengenai sasaran?
Lelaki tua menyadari keampuhan jurus seorang
dari Sepasang Datuk Karang ini. Bertindak gegabah
berakibat maut. Apalagi setelah merasakan bagai-
mana perihnya angin pukulan Gumbala. Maka
serangan yang datang kali ini tidak dipapakinya. Dia
tahu, jika dicoba memapak berarti angin pukulan
lawan akan jatuh tepat di wajahnya. Hal itu bisa
mengakibatkan penglihatannya hilang beberapa saat.
Dan jelas, itu sangat berbahaya.
Maka lelaki tua itu pun segera menyeret langkah
ke belakang tiga tindak. Tak urung, sambaran angin
patukan jari Gumbala menyambar sebagian wajah-
nya. Untunglah, tak begitu parah.
Dan ketika tangan Gumbala hanya memakan
angin di depan dada, lelaki tua melihat tempat
kosong di bagian kepala. Dengan sigap diangkatnya
kaki tinggi-tinggi, lalu disentakkannya ke arah kepala.
Deb!
Seorang dari Sepasang Datuk Karang ini rupanya
cukup jeli membaca serangan lelaki tua itu. Dengan
cepat dia menjatuhkan diri ke tanah. Berbarengan
dengan itu, kaki kanannya diputar dari belakang ke
depan, untuk membabat sebelah kaki lawannya yang
sedang menopang tubuh.
Srrrt!
“Haih!”
Mau tak mau, lelaki tua itu harus mendorong kaki
yang masih di udara kuat-kuat ke atas. Dengan
begitu, ayunan kakinya bisa dimanfaatkan untuk ber-
jumpalitan ke belakang.
Wrrr!
Bring!
Sekejapan saja. di belakang suara geletar kain
penutup tubuh lelaki tua itu kembali menyusul
lengkingan nyaring dari patukan jari Gumbala ke
punggungnya yang terbuka.
Keberuntungan tampaknya masih mengikuti si
Lelaki tua. Kecepatan sambaran tangan Gumbala,
tidak bisa mengimbangi putaran tubuhnya. Alhasil.
patukan tadi pun lolos begitu saja.
“Aku tak mengerti, apa gunanya peti itu bagi
kalian?” kata lelaki tua setelah membentuk kuda-
kuda delapan langkah di depan lawannya.
“Kau tak perlu mengerti. Kau hanya perlu
mengatakan, di mana kau kubur peti itu. Dengan
begitu, kau tak akan kehilangan nyawa!” hardik
Gumbala.
Baru saja kata-kata itu kering, tanpa mau
menunggu lebih lama, Gumbala melabrak lelaki tua
itu.
“Hiiiah!”
Bfing... bfing... bfing!
Dengan maksud mencecar, Gumbala mengirim
tiga patukan bertubi-tubi ke arah laki-laki tua itu.
Patukan pertama mengarah ke biji mata kanan, yang
kedua mengarah ke uluhati, sedang yang ketiga ke
daerah kematian di selangkangan.
“Haith... hiah... hih!”
Lelaki tua ini cepat memiringkan tubuh ke kiri dan
kanan. Dengan cara itu, dia tak lagi terganggu angin
pukulan Gumbala yang menyerbu ke depan.
Kemudian....
“Khaaa!”
Beriring satu teriakan menggelegar, tangan laki-
laki tua ini mengejang membentuk kepalan. Secepat
itu pula dua kepalan tadi dihantamkan ke dada tipis
Gumbala di sampingnya.
Wuuubh!
Namun, seorang dari Sepasang Datuk Karang ini
cepat bertindak sambil menarik dadanya ke
belakang, telapak tangannya cepat disorongkan ke
depan.
Gumbala mementahkan serangan lawannya, dan
langsung melenting berputaran.
“Kau belum berbicara, Tua Bangka?!” seru
Gumbala, begitu mendarat di tanah.
“Aku tak akan sudi buka mulut pada manusia
manusia macam kalian!” balas lelaki tua.
“Baik kalau memang begitu maumu!” geram
Gumbala.
Selesai berkata penuh ancaman tadi, Gumbala
membuka satu jurus baru. Kali ini jurus-jurus
andalannya hendak dikerahkan agar urusan cepat
selesai.
Dalam lima tarikan napas, Gumbala terdengar
menggeram bagai erangan naga. Dan tangannya yang
masih membentuk paruh gagak dibenamkan di dada-
nya yang mencekung. Saat berikutnya, tubuh kurus-
nya berguncang hebat. Perlahan, sepasang kakinya
meregang bagai ditarik kekuatan tak terlihat.
“Huaaa!”
Diawali satu teriakan ganjil, Gumbala meng-
hempaskan tangannya ke muka dengan punggung
tangan lebih dahulu. Dorongan angin besar seketika
pun tercipta, menerpa lelaki tua itu hingga terseret
beberapa kaki ke belakang.
Saat selanjutnya keanehan terjadi. Dari setiap
ujung jari Gumbala, perlahan menyembul kuku-kuku
hitam lancip. Dan setiap kukunya, asap kekuningan
terlihat mengambang di sekitarnya. Tampaknya dia
sedang memusatkan racun keji pada setiap ujung
jarinya.
Pada saat lelaki tua itu terpana-pana dalam
tatapan tak berkedip, Gumbala tiba-tiba meluruk ke
arahnya.
“Hwaaa!”
Teriakan berbau maut dari mulut Gumbala
menyentakkan lelaki tua itu, hingga tersadar.
Mengetahui lawan akan merangseknya dengan jurus-
jurus andalan, lelaki tua itu segera meloloskan keris
dari lipatan kain di pinggang.
Sret!
Wes!
Baru sekejap keris pusaka diloloskan, tangan
Gumbala menyambar deras ke wajahnya. Seketika
sebentuk cahaya kekuningan terbersit dalam bentuk
melengkung di ujung sambaran.
Lelaki tua itu terkesiap. Disadari benar kalau
lengkungan sinar kuning itu akan membuat tubuhnya
mengejang biru, jika sedikit saja tersentuh. Karena
itu, sebisa mungkin wajahnya dijorokkan ke belakang.
Dengan kerisnya, dibabatnya tangan lawan yang
menuju wajahnya.
Wesss!
Trang!
Luar biasa! Mata keris yang mampu membelah
batu karang ini ternyata tidak berdaya membentur
ujung tangan lawan. Senjata itu bagai baru saja
menghantam baja murni, hingga menyebabkan
timbulnya percikan bunga api. Bahkan tubuhnya
sampai terjajar beberapa langkah.
Untuk kedua kalinya lelaki tua itu terpana. Mata-
nya terbelalak besar sebagai ungkapan kekagetan
sekaligus kekagumannya. Sayang, keterpanaannya
kali ini membuatnya tak ingat pada serangan lawan.
Maka kesempatan itu dimanfaatkan benar-benar
oleh Gumbala. Seketika satu sodokan mematikan
dilancarkan ke depan. Dua tangannya yang berkuku
panjang dan tajam langsung dihujamkan ke bagian
dada lelaki tua ini.
Cras! Cras!
“Aaakh!”
Satu lengkingan panjang kontan terlontar dari si
Lelaki Tua. Tubuhnya sendiri tersentak tertahan dua
langkah ke belakang. Kedua tangannya langsung
memegangi dadanya yang berlubang kehitaman.
Hangus dengan darah membeku.
Setelah berdiri limbung beberapa saat, tubuh tua
itu tersungkur. Sekujur badannya membiru. Yang
lebih menggiriskan setiap lembar rambutnya ber-
tebaran disapu angin.
“Kau memang bodoh, Tua Bangka!” sergah
Gumbala.
Laki-laki berwajah buruk ini tiba-tiba meludahi
mayat laki-laki tua itu. Lalu langsung didekati kawan-
nya.
“Kita harus mencari tahu dari yang lainnya, Kang.
Dia terlalu keras kepala untuk buka mulut,” ujar
Gumbala pada Lalinggi.
Yang diajak bicara hanya mengangguk pelan.
Tak lama kemudian, keduanya sudah meninggal-
kan bukit kecil itu bersama gemuruh peti mati
terseret.
***
EMPAT
Tak terasa, telah dua malam Andika menginap di
rumah Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg. Dan
sore ini, Pendekar Slebor berpamitan untuk menerus-
kan perjalanan. Padahal tujuannya saat ini belum
bisa dipastikan. Ke mana kaki melangkah, ke sana
pula tujuannya.
Sebenarnya, jauh di lubuk hati, Idayu Wayan
Laksmi tidak ingin Andika pergi. Di samping merasa
aman akan kehadiran seorang pendekar muda di
rumahnya, dia juga mulai merasakan tumbuhnya
benih yang sulit dilukiskan.
“Bagaimana kalau I Made Raka kembali lagi ke
sini, Beli?” tanya Idayu Wayan Laksmi sebagai alasan
keberatannya terhadap kepergian Andika, ketika
mereka berada di luar rumah.
“Kau bisa berdoa pada Tuhan untuk memohon
perlindungan. Karena sebaik-baiknya perlindungan,
ada di tangan-Nya,” sahut Andika.
“Biar saja dia pergi Mbok! Dikira hanya dia saja
yang bisa menghadapi si Raka!”
I Ktut Regeg yang masih mangkel pada Andika
yang melarangnya membuka peti, dengan acuh
bersuara dari dalam rumah gubuk.
“Regeg!” bentak Idayu Wayan Laksmi kesal.
Adiknya itu malah tidak membantunya sama sekali
untuk menahan Andika.
Andika sendiri hanya tersenyum menahan tawa.
“Tapi Beli janji akan kembali lagi ke sini, bukan?”
mohon Idayu Wayan Laksmi, sepenuh hati. Wajah
ayunya menampakkan keberatan nan dalam.
“Akan kuusahakan,” jawab Andika, lembut.
“Biarkan dia pergi, Mbok! Dia itu pemuda
sombong!” sergah I Ktut Regeg lagi.
Anak muda tanggung itu kini sudah muncul di
ambang pintu. Kepalanya dijulurkan dengan wajah
ditekuk.
“Waktu itu saja dia mengatakan, tak ingin menjadi
kekasih Mbok. Padahal aku sudah setengah mampus
menawarkan Mbok jadi keka....”
I Ktut Regeg memenggal ocehannya, karena tiba-
tiba saja kakaknya berbalik dengan mata melotot.
“Keterlaluan kamu, Geg!” hardik Idayu Wayan
Laksmi.
I Ktut Regeg cepat menutup mulutnya dengan
tangan.
“Eee, ketelepasan,” gumam pemuda tanggung itu
enteng.
“Maafkan adikku, Beli,” tutur Idayu Wayan Laksmi
cepat pada Andika. “Mulutnya memang suka seenak-
nya berbicara.”
Tampak wajah gadis itu bersemu merah karena
menahan malu.
“Tidak apa-apa,” sahut Andika.
Dalam hati, pendekar muda itu ingin sekali
menyumpal mulut I Ktut Regeg dengan setumpuk
telur busuk.
“Aku pamit, Laksmi,” hatur Andika.
Setelah menjura pada Idayu Wayan Laksmi,
Pendekar Slebor pun berbalik dan melangkah pergi.
“Tunggu, Beli...” tahan Idayu Wayan Laksmi.
Gadis itu ingin sekali mengiringi kepergian Andika
hingga ke batas desa. Tapi rasa sungkan mem-
buatnya tak jadi mengungkap keinginan, ketika
Andika menoleh.
“Ada apa, Laksmi?” tanya Andika, karena gadis ayu
itu tidak juga bicara.
Idayu Wayan Laksmi tergagap, wajahnya kembali
dirayapi warna merah merona.
“Tid... tidak apa-apa, Beli” jawab Idayu Wayan
Laksmi cepat. “Aku hanya ingin mengatakan, hati-
hati.”
“Terimakasih,” kata Andika, lalu melangkah
kembali.
Idayu Wayan Laksmi terus memandangi punggung
pemuda itu sampai tertelan kerimbunan semak di
kejauhan. Entah disadari atau tidak, mata gadis itu
tampak berkaca-kaca. Mungkin merasa begitu
kehilangan pada lelaki tampan yang baru dikenalnya
dua hari itu.
***
Matahari terus merangkak dalam garis edarnya.
Pada puncak siang, sinarnya memanggang garang
wajah bumi. Suasana menjadi tidak nyaman. Bahkan
angin pun terasa panas berhembus.
Andika kini telah tiba di suatu daerah berhutan.
Berarti, Pendekar Slebor berjalan semalaman hingga
siang ini. Panas yang sejak tadi tak dipedulikannya,
kini tidak bisa lagi menyengat karena lindungan daun
pepohonan tinggi.
Sambil bersiul mendendangkan lagu ceria, Andika
menembus hutan yang tak begitu lebat. Dan begitu
memasuki pedalaman hutan, telinganya yang terlatih
menangkap suara erangan. Langkahnya dihentikan
untuk memasang pendengaran lebih tajam.
“Hm.... Kira-kira tiga puluh depa dari sini,” bisik
Pendekar Slebor menentukan asal suara itu.
Cepat Pendekar Slebor menggenjot tubuhnya.
Naluri kependekarannya langsung memerintah untuk
segera tiba. Maka segera dikerahkannya ilmu
meringankan tubuh, sehingga sekejap saja tubuhnya
sudah berkelebatan dari satu pohon ke pohon lain.
Bahkan lebih cepat daripada macan kumbang, dan
lebih tangkas dari seekor kera.
Tak lama Pendekar Slebor berkelebat, kini telah
tiba di tempat kejadian. Tampak di depan sana
seorang wanita tua terkapar di tanah. Erangannya
masih terdengar. Hanya sudah demikian lirih. Tubuh-
nya berusaha merangkak, namun hanya sempat
menggapai-gapaikan tangan saja. Tubuhnya begitu
lemah, akibat terlalu banyak mengeluarkan darah
dari luka menganga di bahu kirinya.
Andika cepat menghampiri. Diangkatnya tubuh
lemah wanita tua itu, lalu disandarkan ke pahanya.
“Kenapa Odah*? Apa yang terjadi?” tanya Andika.
“Me... mereka menginginkan peti itu...,” gumam
wanita tua itu lemah.
“Peti apa, Odah?” susul Andika, tak mengeri.
“Pe...”
Hembusan napas panjang terdengar. Seketika
nyawa wanita malang itu telah berakhir menyedihkan.
Andika meninju tanah geram. Bukan karena belum
sempat mengetahui maksud yang hendak disampai-
kan wanita tua di pangkuannya, melainkan gundah
tak sempat memberi pertolongan.
“Manusia keparat mana lagi yang melakukan
perbuatan biadab ini?” desis Pendekar Slebor sambil
meletakkan kepala si Wanita tua ke tanah.
Dan baru saja kepala wanita tua itu menyentuh
tanah, di kejauhan terdengar teriakan tinggi mengangkasa.
Pendekar Slebor bergegas bangkit. Kembali
matanya menatap mayat wanita tua itu.
“Aku akan kembali untuk menguburmu dengan
layak, Odah,” kata Andika sebelum menggenjot
tubuhnya.
Setelah itu, Pendekar Slebor langsung melesat ke
asal teriakan yang didengarnya barusan.
Tak memakan waktu lama, Andika sudah dapat
menemukan tempat yang dituju. Tampak dua lelaki
sedang mengeroyok lelaki tua berusia tak berbeda
dengan wanita tua yang ditemui sebelumnya. Kira-
kira sembilan puluh tahun.
Lelaki tua yang sedang habis-habisan dikeroyok itu
berambut putih merata, layaknya orang berusia
lanjut. Tak seperti orang Bali pada umumnya, jubah
yang dikenakannya berwarna biru tua dengan pangsi
hitam. Wajahnya berkesan keras, namun sinar mata-
nya sejuk. Kumisnya tebal memutih menghiasi
wajahnya yang berwibawa.
Sementara dua lelaki yang sedang bernafsu
hendak menghabisinya, yang seorang mengenakan
caping dan seorang lagi berwajah buruk. Tak salah
lagi, mereka adalah Sepasang Datuk Karang yang
selalu menyeret peti mati besar.
Keadaan gawat yang dialami si Lelaki tua itu
membuat Andika secepatnya memutuskan untuk
campur tangan.
“Berhenti!” seru Pendekar Slebor lantang dari jarak
dua puluh lima tombak.
Sepasang Datuk Karang langsung menghentikan
tekanan mereka pada laki-laki tua yang sudah di-
basahi cucuran darah dari sudut bibirnya. Keduanya
segera menoleh berbarengan ke arah Andika.
“Mau apa kau?!” bentak orang yang bernama
Gumbala kasar. Matanya berkilat bengis, seakan siap
menyantap pendekar muda itu.
“Ah, ah, ah! Bukan kau yang mesti bertanya, tapi
aku! Mau apa kalian terhadap lelaki tua itu?!” balas
Pendekar Slebor, tak kalah kasar. Jangan tanya,
bagaimana bencinya Andika terhadap orang yang sok
berkuasa seperti Gumbala.
“Bocah busuk!” maki Gumbala menggeram.
Kaki laki-laki berwajah buruk itu melangkah gusar
hendak memberi sedikit pelajaran pada pemuda yang
dianggap hijau yang punya nyali mengusik mereka.
Lalinggi, lelaki yang bercaping segera mencegah.
Dibentangkannya sebelah tangan di depan Gumbala.
“Anak Muda! Kami harap kau tak ikut campur
pada urusan kami. Kami hanya ingin lelaki tua itu
mengatakan sesuatu pada kami, tapi....”
“Tapi kenapa kalian memaksanya juga?!” serobot
Pendekar Slebor, tak peduli.
“Banyak mulut kau...!” Gumbala kian tak sabar.
Sekali lagi, Lalinggi menahan kawannya.
“Sekali lagi kukatakan padamu, Anak Muda.
Jangan campuri urusan kami,” ancam Lalinggi dingin.
“Hmmm....”
Andika mengangguk-angguk dengan wajah men-
cemooh. Tangannya mengusap-usap dagu, seolah
seorang guru sedang menilai kedua muridnya yang
nakal.
“Apa orangtua kalian tidak pernah memberitahu,
kalau memaksa orang lain adalah perbuatan yang tak
se... no... nohhh!” hardik Pendekar Slebor dengan
mata membulat.
Andika lantas mengalihkan pandangannya kearah
laki-laki tua yang jadi korban keroyokan Sepasang
Datuk Karang.
“Pak Tua, izinkan aku sendiri mendidik dua bocah
tak tahu adat ini! Mungkin aku perlu memberi sedikit
jeweran di telinga masing-masing...,” kata Pendekar
Slebor dengan wajah dibuat judes.
Sampai di situ, Lalinggi pun terpancing.
Kemarahannya akhirnya pecah juga. Hanya tokoh
persilatan yang tak memiliki harga diri yang sudi
diperlakukan seperti anak kecil.
“Kau boleh menghajarnya sekarang, Gumbala,”
ucap Lalinggi. “Biar kuurus lelaki tua itu.”
Seperti diberi kesempatan untuk bersenang-
senang, Gumbala maju bernafsu ke arah Pendekar
Slebor.
“Bersiaplah. Karena mulutmu akan segera
kurobek, Bocah Busuk!” geram Gumbala sambil
membuka jurus 'Paruh Gagak'nya.
“Heeeaaa!”
Teriakan serak tercipta bersama terjangan tubuh
kurus Gumbala. Diterkamnya Pendekar Slebor
dengan satu lompatan ke udara. Sepasang tangannya
yang berbentuk paruh gagak, membuat serentetan
cabikan ke depan. Sasarannya, tentu saja wajah
pemuda di depannya.
Meski lawan sudah siap merobek-robek wajahnya,
Pendekar Slebor masih sempat tersenyum-senyum
mengejek. Sewaktu wajah buruk Gumbala mengeras
karena teriakan, Andika pun menarik otot-otot
wajahnya, hingga terlihat seperti orang telat buang
air.
“Waaa! Ada setan laut ngamuk!” jerit Pendekar
Slebor dibuat-buat.
Ketika tangan Gumbala nyaris tiba di wajahnya,
barulah Andika berkelit secepat kilat ke satu sisi.
Krak! Glarrr...!
Seketika dua batang pohon besar yang ber-
himpitan menjadi korban sasaran jurus kejam
Gumbala. Setengah bagian kayu pohon itu terkoyak
sebesar kuali. Serat-seratnya berhamburan ke mana-
mana, tersapu angin yang bertiup cukup kencang.
Andika memang keterlaluan. Tak terlalu berlebihan
kalau dijuluki Pendekar Slebor, saat pemuda itu
santai meniup-niup serat kayu yang terbang ke
arahnya seraya berjingkat-jingkat.
Tingkah urakan itu benar-benar dianggap sebagai
sebuah penghinaan oleh Gumbala. Malah keinginan-
nya untuk mencabik-cabik Andika makin menggebu
saja. Dengan penuh nafsu, sekali lagi diterjangnya
Pendekar Slebor.
“Khiiiah!”
Bfing! Bfing!
Satu terkaman lagi dilakukan Gumbala. Kali ini,
tangannya diayunkan bertubi-tubi dari samping
kanan.
Tapi, santai saja Pendekar Slebor memapaki satu
persatu patukan tangan lawan. Plak! Plak! Plak!
Angin pukulan kuat yang bisa melecut kulit tubuh
milik Gumbala, seperti ditelan begitu saja oleh tenaga
papakan Andika. Tindakan itu sungguh membingung-
kan laki-laki berwajah buruk itu. Yang lebih mem-
bingungkan ketika Gumbala merasakan sesuatu yang
tak beres di dada cekungnya.
Lelaki buruk rupa itu berjumpalitan ke belakang.
Ingin dibuktikan, bagaimana perasaannya tadi. Saat
dadanya dilihat, ternyata sudah ada tulisan dari serat
kayu menembus kulit luarnya. Bunyinya 'Aku Hewan
Langka, Lestarikan'!
Mata Gumbala lantas saja terbelalak. Tulisan itu
terlalu panjang untuk dibuat dalam waktu demikian
singkat. Untuk membuat serat kayu tembus ke kulit
saja, sudah cukup sulit. Bagaimana pemuda itu bisa
melakukannya demikian cepat?
Kini mata bulat Gumbala beralih ke arah Andika.
Ketercengangannya belum tuntas. Benaknya masih
bertanya-tanya, siapa pemuda itu sesungguhnya.
Sementara Pendekar Slebor yang sedang diper-
hatikan, sibuk mengamati hasil karyanya di tubuh
Gumbala. Sebelah alisnya terangkat seraya mem-
perdengarkan gumaman panjang.
Ingin sekali saat itu Gumbala melontarkan per-
tanyaan, siapa lawan yang dihadapinya kini. Tapi
karena hatinya berbisik kalau sedang menghadapi
lawan tangguh yang mungkin tidak terkalahkan, dia
malah berpikir untuk menyingkir saja.
“Kang Lalinggi! Lebih baik kita menyingkir!” teriak
Gumbala seraya melayang ke belakang.
Saat itu, Lalinggi tampak telah berhasil membuat
lelaki tua yang dihadapi terluka lebih parah. Dan
karena sudah memastikan kalau lawannya tidak akan
membuka mulut tentang peti yang dicari, maka usul
Gumbala untuk menyingkir disetujuinya.
Seketika keduanya melesat pergi diiringi tawa
terkekeh Andika. Tapi setelah itu, tawanya terpenggal
begitu saja kala menyadari satu kesalahan.
“Astaga! Kenapa kubiarkan saja bajingan ber-
caping itu menggasak Pak Tua,” desah Pendekar
Slebor.
Dengan kekhawatiran menggelegak, Andika ber-
gegas menoleh pada si Lelaki Tua. Kekhawatirannya
terbukti. Orang tua naas itu sedang terbaring lemas
dengan napas terengah-engah.
“Maafkan aku, Pak Tua. Mestinya aku tak membiarkan seorang dari mereka membuatmu seperti
ini,” sesal Andika, di sampingnya.
Sambil memegangi dadanya yang terbakar telapak
tangan Lalinggi, lelaki tua itu megap-megap berusaha
mengucapkan sesuatu.
“Jangan berkata apa-apa dulu, Pak Tua! Biar
kucoba mengobati lukamu dulu!” sergah Andika.
“Ja... jang... an,” tolak laki-laki tua itu, lirih
tersendat. “Aku sudah tak mungkin ditolong lagi.
Serbuk racun itu pasti sudah merasuki tubuhku.
Sebentar lagi, jantungku tentu akan dihanguskannya.
Aku hanya minta padamu... satu hal. Akhhh....”
“Katakanlah, Pak Tua! Aku akan berusaha
sebisanya memenuhi,” ucap Andika.
Susah payah si Lelaki Tua menyeret napas satu-
satu. Dikumpulkannya udara ke paru-paru yang
terasa tercabik-cabik.
“Tolong selamatkan peti berukir satria yang
sedang bertarung dengan raksasa 'Kala'. Jangan
sampai peti itu jatuh ke tangan kedua orang tadi...,”
pinta laki-laki tua itu nyaris tak kentara.
“Peti berukir satria....”
Tiba-tiba benak Andika kembali pada peristiwa dua
malam lalu, saat I Ktut Regeg sedang berusaha
membongkar satu peti kecil. Peti yang ditemukan I
Ktut Regeg pun memiliki ukiran seperti digambarkan
lelaki tua di dekatnya.
“Kalau peti itu sampai jatuh ke tangan mereka,
dunia persilatan akan menghadapi bahaya besar,”
lanjut si Lelaki Tua, membuyarkan lamunan Andika.
“Kenapa begitu, Pak Tua?” tanya Andika ingin
tahu.
Tak ada jawaban. Kecuali suara hembusan napas
terakhir. Sebuah napas kematian.
LIMA
Rasa penasaran bergumpal dalam benak Pendekar
Slebor. Ada apa sebenarnya dengan peti itu, sehingga
begitu diinginkan dua lelaki yang mengaku sebagai
Sepasang Datuk Karang? Geletar keingintahuannya
pun meminta, untuk segera kembali ke rumah Idayu
Wayan Laksmi setelah dua jenazah orang tua malang
yang didapat Andika dikuburkan.
Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh
penuh, tidak terlalu lama Pendekar Slebor sudah
sampai kembali ke pekarangan rumah Idayu Wayan
Laksmi dan adiknya, I Ktut Regeg. Kebetulan saat itu I
Ktut Regeg sedang bersila di depan pintu, menimang-
nimang ayam sabungan kesayangannya.
“Geg! Kebetulan sekali kau tidak ke mana-mana,”
sapa Andika, mengejutkan anak muda tanggung itu.
I Ktut Regeg menatapnya acuh.
“Kenapa kembali?” tanya pemuda tanggung itu
sedikit tak ramah.
Andika duduk di sampingnya. Maksudnya untuk
sedikit melunakkan ambekan hati anak kurus itu.
Sambil tersenyum lebar, digandengkannya tangan ke
belakang I Ktut Regeg.
“Kau masih kesal padaku karena soal peti itu, ya?”
rayu Andika.
I Ktut Regeg bersikap bodoh sambil terus me-
nimang-nimang ayam jantan di tangannya. Mulutnya
pun sengaja bersiul kencang-kencang, seakan tidak
ingin mendengar ucapan Andika.
“Kau marah, karena aku melarangmu membuka
nya, bukan?” lanjut Andika.
Sambil berkata demikian, Pendekar Slebor me-
ninju bahu kurus I Ktut Regeg perlahan. “Biar si Setan
Kurus ini bisa merasa lebih akrab,” pikirnya.
I Ktut Regeg tetap acuh tak acuh.
“Hey? Bagaimana kalau kita membukanya
sekarang? Aku pikir boleh juga kita melihat isinya,
bukan? Yang penting, kita tidak berniat jahat. Hanya
melihat isinya saja, toh?” bujuk Andika susah payah,
dengan mimik dibuat semanis mungkin. Padahal,
hatinya mendongkol.
Si Anak Kurus itu mulai mau menoleh padanya.
“O, ya?” tanya I Ktut Regeg, masih tetap terdengar
dingin.
“Ooo, iya.... Pasti itu!” sergah Andika cepat.
“Cari sana di laut!” sentak I Ktut Regeg.
Andika memiringkan kepala. Ditatapnya I Ktut
Regeg tak mengerti.
“Apa kau bilang tadi?” tanya Pendekar Slebor
dengan alis bertaut.
“Aku bilang, cari sana di laut!” ulang I Ktut Regeg
satu-satu.
Andika terlonjak. Seperti kerasukan, dia berdiri
cepat. Lalu dicengkeramnya bahu I Ktut Regeg,
sehingga terangkat.
“Apa maksudmu?!” teriak Pendekar Slebor
bersama beliakan mata.
“Peti itu baru saja kubuang ke laut. Apa tidak
mengerti juga? Ah, pendekar sakti kok bodoh...,”
gerutu pemuda tanggung itu tenang, tak peduli pada
tubuhnya yang tergantung di tangan kekar Andika.
“Apa kau sinting?!” maki Andika. “Peti itu amat
berharga, tahu?! Bisa membuat bencana, jika dua
manusia busuk itu menemukannya!”
“Siapa suruh 'Beli' melarangku membukanya?!” I
Ktut Regeg balik membentak, “Kalau waktu itu kita
membukanya, tentu sudah tahu apa isinya. Dan kita
tahu pula, peti itu berbahaya atau tidak?!”
Napas I Ktut Regeg turun naik. Dada kerempeng-
nya kembang-kempis seperti orang sekarat.
Sementara Andika jadi jengkel. Dilepas begitu saja
tubuh I Ktut Regeg.
Bruk!
Tumpukan tulang hidup itu kontan mencium tanah.
Pantatnya pun terantuk batu sebesar kepalan
centeng, membuatnya meringis-ringis sambil
memegangi pantat.
“Sekarang katakan, di mana kau buang benda
itu?” tanya Andika mulai tenang kembali.
“Aku sudah bilang di laut!”
“Aku tidak tuli. Aku juga sudah dengar, kau tadi
bilang di laut. Tapi di sebelah mana? Apa di Lautan
Cina?” desak Andika, langsung menjewer I Ktut Regeg
kuat-kuat.
“Di Pantai Buleleng sebelah barat!” jawab I Ktut
Regeg sembari meringis-ringis.
“Anak pintar,” kata Andika, memuji. Tapi setelah
itu dihadiahkannya tamparan gemas ke kepala I Ktut
Regeg.
Plak!
“Adow! Heee. beraninya sama anak kecil!”
Andika tak mempedulikan lagi ejekan anak biang
kerok itu. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya
secepatnya pergi ke Pantai Buleleng untuk menye-
lamatkan peti yang dimaksud, sebelum didahului
Sepasang Datuk Karang.
“Tak ada titip salam buat Mbok-ku. 'Beli'?” ledek I
Ktut Regeg, belum puas. “Kalau naksir, ya naksir!
Jangan pura-pura segala!”
Baru saja selesai ucapan I Ktut Regeg....
“Tolooong...”
Terdengar jeritan keras minta tolong. Jelas, itu
suara Idayu Wayan Laksmi, kakak I Ktut Regeg.
“Ada apa, Geg?” tanya Andika.
Dengan sigap, tubuh Pendekar Slebor segera
memburu ke pintu gubuk besar itu. Dilewatinya I Ktut
Regeg yang masih terlongong-longong karena kaget.
“Mana aku tahu?” kata I Ktut Regeg. Padahal
tubuh pendekar muda itu sudah menghilang di balik
pintu.
Begitu berada di dalam gubuk, Andika menemukan
sesuatu yang membuatnya gusar. Dalam keadaan
mendesak saat Pendekar Slebor harus menemukan
secepatnya peti berbahaya itu, seseorang ternyata
telah menculik Idayu Wayan Laksmi. Kesimpulan
seperti itu bisa langsung diambil Andika, manakala
matanya melihat dinding bilik bambu di ruang tengah
tampak jebol besar. Sementara kendi air minum
berantakan di lantai tanah.
Satu lagi kesimpulan yang bisa diambil. Jelas,
penculik Idayu Wayan Laksmi memiliki ilmu yang tak
bisa dianggap remeh. Kalau ilmunya tanggung, sudah
pasti penculik itu bisa langsung dipergoki Andika
sebelum bisa membawa lari Idayu Wayan Laksmi.
Waktu yang dibutuhkan si Penculik untuk men-
jalankan niat jahatnya, ternyata lebih cepat daripada
gerakan masuk si Pendekar Slebor!
Di satu sisi Pendekar Slebor tidak boleh didahului
Sepasang Datuk Karang untuk menemukan peti. Di
sisi lain, Pendekar Slebor juga harus menyelamatkan
Idayu Wayan Laksmi, yang tentu saja harus meng-
hadapi si Penculik. Kepandaian si Penculik ini
diperkirakan akan banyak membuang waktunya.
“Monyet buduk, kutu botak. bangsat norak...!”
Pendekar Slebor memaki-maki kalap. Kalau mata-
nya tak tertumbuk pada sehelai daun lontar di meja
kayu, tentu akan terus menyumpah-nyumpah sampai
kehabisan suara.
“Apalagi ini,” gumam Pendekar Slebor. Diraihnya
daun lontar itu, dan langsung dibuka lipatannya.
Maaf, jika aku harus menculik Idayu Wayan
Laksmi. Karena hanya dengan cara itu aku bisa
mengundangmu untuk sedikit berpesta di tepi desa
dekat gapura masuk. Ya! Berpesta menghadapi orang
bayaranku. Aku ingin sekali melihatmu terkapar di
tangan orangku itu. Sekali lagi, aku minta maaf atas
semua ini.
IMade Raka.
“Maaf... maaf. Gonderuwo!”
Andika dongkol. Direjamnya daun lontar itu geram,
sambil membayangkan kalau daun itu adalah wajah
manusia bernama I Made Raka.
Dari lubang besar di dinding gedek, Andika
melompat keluar. Satu-satunya cara terbaik adalah
lari dengan kekuatan penuh, agar cepat tiba dibatas
desa. Sekejapan baginya bisa saja amat berharga,
mengingat pesan lelaki tua tentang peti berukir itu.
Pengerahan kemampuan ilmu meringankan tubuh
yang tak tanggung, membuat jarak cukup jauh ke
tapal batas desa bisa ditempuh Pendekar Slebor
hanya dalam waktu singkat.
***
Tapal batas desa saat itu lengang. Tak tampak ada
orang melintas, karena hari sudah begitu senja. Para
petani yang biasanya lewat, sudah tak terlihat
seorang pun. Mereka mungkin sudah tiba di rumah
masing-masing.
Dalam siraman warna jingga lembayung, dua orang
berdiri bersandar pada gapura. Yang seorang adalah
wanita uzur berpakaian berbentuk piyama longgar
warna hitam. Tubuhnya yang renta, ditopang se-
batang tongkat di tangan kanan. Rambutnya yang
putih merata dibiarkan terlepas ke mana-mana.
Sebagian besar wajahnya pun tertutup juluran
rambut. Sehingga, wajahnya sulit dikenali. Namun
yang jelas, dia memiliki dagu panjang berkerut
dengan bibir berkesan kejam.
Sedang orang kedua tak lain dari I Made Raka.
Ketika Andika tiba di sana, lelaki itu menyambut
bersemangat, penuh basa-basi menyebalkan. Sambil
merentangkan tangan lebar-lebar, disambutnya ke-
datangan Pendekar Slebor.
“Ah, akhirnya kau datang juga! Kupikir kau agak
ngeri dengan tantanganku,” kata I Made Raka seraya
tersenyum lebar mengejek.
“Jangan banyak mulut, Raka! Mana Laksmi?!
Cepat serahkan padaku!” terabas Andika tak sabar.
“Ooo, jangan terburu nafsu. Aku tahu, wanita itu
memang menggiurkan....”
“Di mana dia?!” bentak Andika geram. Wajah
pemuda itu mulai memerah.
“Sesuai aturan, kau harus bertarung dulu dengan-
nya.”
I Made Raka mengerlingkan bola matanya ke arah
perempuan tua di belakangnya.
“Aku tak ada waktu menuruti kemauan bodohmu!”
hardik Andika makin keras.
Pendekar Slebor segera mendekati lelaki itu
dengan mata merah membara. Ingin sekali dipatah-
kannya batang leher I Made Raka. Namun baru dua
langkah maju, perempuan tua di belakang I Made
Raka melompat ringan, lalu turun tepat di depan
tuannya.
“Anak Muda! Kau harus menghadapi aku,” ucap
perempuan tua itu dingin.
“Kenapa harus?! Apa kau pikir aku sudi sepertimu,
yang mau saja dijadikan kacung oleh manusia
sampah seperti dia?!” dengus Andika, sebal.
“Kau harus menghadapiku,” ulang wanita itu
penuh tekanan, seperti tidak peduli perkataan
pemuda di depannya. “Aku telah dibayar mahal oleh I
Made Raka untuk menjajal kehebatanmu, Bocah!”
Tak ada niat perempuan tua itu memberi
kesempatan Andika untuk menyanggah lagi. Seketika
disambarnya leher Andika dengan cakaran cepat.
Wesss!
“Upfh!”
Andika tak menduga perempuan ini begitu ber-
nafsu menghajarnya. Tapi untuk disebut bernafsu,
wajah perempuan tua yang dihadapinya tetap tak
memperlihatkan perubahan mimik. Masih saja dingin
dan kaku. Kalau begitu, perempuan tua ini mungkin
semacam manusia budak uang! Siap membunuh
dengan tangan dingin jika ada yang bersedia mem-
bayarnya.
Selaku pendekar berpengalaman menumpuk,
terjangan mendadak seperti ini dapat dihindari
Pendekar Slebor dengan sedikit mengegoskan badan
ke belakang. Namun luputnya serangan pertama
tidak berarti bahaya terlewati. Karena dengan lebih
cepat dan panas, si Perempuan Tua mengayunkan
tongkat ke kaki Andika yang masih bertahan di
tempat. Wuuut!
Pendekar Slebor yang sudah telanjur menyorong-
kan badan ke belakang, tidak bisa lagi berbuat lain,
kecuali meneruskan dorongan tubuhnya. Dia
langsung berjumpalitan ke belakang. Dan saat
berikutnya, kakinya sudah membuat kuda-kuda
kembali.
“Baik..., baik. Kau ternyata memaksa,” ucap
Andika.
Pendekar Slebor segera membuka bagian jurus
awal yang diciptanya di Lembah Kutukan dahulu.
Jurus-jurusnya yang semula ganjil dan agak lucu kini
terbentang di depan mata lawan. Kakinya berjingkat,
sementara tangannya menggapai angkasa tinggi-
tinggi, seperti gerakan orang yang sedang meng-
hindari sambaran petir.
“Ayo seranglah!” tantang Pendekar Slebor.
Berbareng satu erangan serak, perempuan tua itu
meluruk ke arah Andika. Tongkatnya berputar
menderu-deru di atas kepala, samping kiri lalu
samping kanannya. Hendak diremukkannya tulang-
belulang Pendekar Slebor dalam seruntun hantaman
kilat.
Wung... wung... wung! Prak, prak!
Suara berderak mendadak terdengar. Kejadiannya
begitu cepat. Tahu-tahu saja, tubuh Pendekar Slebor
berpilin di udara. Mungkin salah satu bagian
tubuhnya telah membentur ujung senjata lawan,
sehingga menyebabkannya terlempar seperti gasing.
Tak ada teriakan terdengar. Dan perempuan tua
itu yakin benar kalau tongkatnya tentu telah meng-
hantam telak kepala pendekar gagah itu. Sehingga
mulutnya tak sempat lagi mengeluarkan suara.
Sementara tubuh Andika pun jatuh ke pangkuan
bumi seperti sepotong pelepah pisang, kaku tanpa
gerak. Sungguh suatu hasil yang begitu meng-
gembirakan bagi si Perempuan Tua. Itu sebabnya, dia
lantas terkikik nyaring.
“Hi hi hi...! Hanya sebegitu saja kemampuanmu,
Bocah! Aku kira sebelumnya, aku akan sedikit susah
payah untuk merontokkanmu,” ucap perempuan itu
menggebu.
Sebagian cuping hidung wanita ini tampak
mengembang-kempis seperti kelinci.
“Kau lihat itu,” ujar wanita tua itu lagi pada I Made
Paka. “Orang yang kau katakan memiliki ilmu
dedemit, nyatanya tak ada apa-apanya melawan Nyi
Ngurah Tambi, dukun sakti di Tanah Bali!”
I Made Raka seperti tak percaya melihat kejadian
yang dilihatnya. Mengapa pendekar muda itu
demikian cepat terkalahkan? Tapi mengingat Nyi
Ngurah Tambi memiliki ilmu hitam yang bisa saja
membuat seseorang kehilangan kesadaran, dia baru
bisa tertawa mengiringi cekikikan perempuan tua itu.
“Hua ha ha...! Tak percuma aku membayar
sekantung uang emas padamu, Nyi Ngurah Tambi!”
puji I Made Raka.
“Hua ha ha...!”
Mendadak seseorang menyerobot keasyikan tawa I
Made Raka. Entah dari mana datangnya suara itu.
Dan ketika I Made Raka mengawasi sekelilingnya, tak
ditemukan seorang pun di sana. Nyi Ngurah Tambi
pun melakukan hal yang sama.
Dan saat keduanya melempar pandang kembali
pada tempat pendekar tadi terkapar, pemuda itu
sudah tidak ada lagi di tempatnya.
“Hua ha ha...!”
Terdengar lagi suara tawa meriah. Asalnya dari
belakang tubuh I Made Raka. Kontan saja lelaki mata
keranjang itu berbalik.
“Waaa...!” I Made Raka memekik kaget, menyaksi-
kan Pendekar Slebor sudah berdiri bersidekap dalam
keadaan sehat walatiat.
Terbirit-birit I Made Raka lari ke arah Nyi Ngurah
Tambi. Lelaki bernyali kodok itu langsung berlindung
di belakang punggung si Perempuan Tua.
Nyi Ngurah Tambi merasa dipermainkan. Meski
masih bingung kenapa lawan masih tetap utuh.
Padahal, telinganya tadi mendengar suara berderak
sesuatu yang remuk. Seraya menggeram hendak
dilabraknya Pendekar Slebor kembali.
“Eit... eit!” cegah Andika sambil mengangkat
tangan ke depan. “Tak usah terburu-buru, Barangkali
kau perlu meneliti tongkatmu dulu, sebelum
menyerangku kembali.”
Secepatnya, Nyi Ngurah Tambi melirik tongkatnya.
Matanya jadi mendelik tiba-tiba. Tongkat kayu itu
ternyata sudah berubah bentuk! Kedua ujungnya kini
sudah seperti ujung kuas. Entah, bagaimana kayu
yang direndamnya bertahun-tahun dalam ramuan
pengeras bisa hancur masai seperti itu? Rupanya
itulah yang tadi terdengar berderak di telinganya!
Dengan gusar dihempasnya tongkat dari tangan.
Sekali lagi, si Perempuan Tua menggeram penuh
ancaman. Dan baru saja kakinya maju selangkah,
Pendekar Slebor untuk kedua kalinya menahan.
“Eit, jangan terburu-buru. Bagaimana kalau kita
sedikit berdamai?”
Nyi Ngurah Tambi menatap pemuda yang berdiri
empat tombak darinya di balik juluran rambut.
Rupanya, dia terpancing dengan kata damai yang
diajukan Andika.
“Ya! Tentu kau tahu apa maksudku,” sergah
Andika cepat.
Pendekar Slebor segera mengeluarkan dua buah
kantung kecil dari balik baju.
“Kau tahu ini?” tanya Andika sambil mengguncang-
guncang kantung-kantung itu di depan wajahnya. “Ini
adalah dua kantung uang emas. Kau tak perlu
bersusah payah mendapatkannya. Kau tahu, kalau
aku cukup sulit dikalahkan. Perlu usaha yang berat,
tentunya. Nah! Kau akan dapatkan kantung uang ini,
tanpa harus buang-buang tenaga bertarung dengan-
ku. Kau cukup memberitahuku, di mana Idayu Wayan
Laksmi disembunyikan....”
“Jangan terima, Nyi!” sambar I Made Raka cepat.
“Aku akan membay....”
“Ah, diam kau!” bentak Andika.
Seketika tangan Andika menjentik satu keeping
uang emas yang diambilnya dari salah satu kantung
ke arah I Made Raka. Tuk!
I Made Raka langsung bungkam seribu bahasa.
Tubuhnya yang melorot ke tanah langsung kaku
matanya mendelik tak berkedip. Andika memang
telah menotok satu jalan darahnya.
“Bagaimana?” Andika mulai lagi pada Nyi Ngurah
Tambi.
Untuk sesaat, dukun perempuan ini hanya
menimbang-nimbang. Tubuhnya diam bagai arca.
Sedang matanya menatap lurus-lurus pada Andika.
Sepertinya, dia hendak meyakinkan diri dengan
tawaran pemuda di depannya.
“Hey? Kenapa masih menimbang-nimbang?
Berapa kau dibayar manusia mata keranjang itu?
Satu kantung, bukan? Nah? Kini kau bisa menerima
dua kantung dengan bicara. Tak sulit?” ucap Andika.
“Hmmm, baiklah,” putus Nyi Ngurah Tambi. Uang
toh lebih penting daripada kehormatan baginya.
“Bagus! Sebelum kuberikan dua kantung ini, cepat
katakan di mana wanita itu disembunyikan?”
“Aku ingin uangnya dulu. Kau bisa saja lari dariku
setelah kuberitahu!” kata Nyi Ngurah Tambi, keras.
“Baik..., baik. Nih!”
Andika pun melempar dua kantung uang di
tangannya. Dan dengan tangkas, tangan Nyi Ngurah
Tambi menyambar dua kantung itu. Setelah puas
meneliti isi kantung, baru perempuan itu menampak-
kan senyum yang lebih mirip seringai.
“Perempuan itu disembunyikan Raka di sebuah
gubuk dekat gapura, kira-kira sepeminum teh ke
utara,” jelas perempuan tua itu.
“Kau tidak menipuku, bukan?” tanya Andika, ingin
lebih yakin.
“Pemuda sundal!” maki Nyi Ngurah Tambi kesal.
“Baik, baik.... Aku percaya padamu,” tukas Andika
bergegas.
Bukannya Pendekar Slebor takut pada Nyi Ngurah
Tambi, tapi hanya paling tidak tahan kalau mulut peot
nenek-nenek itu melantunkan makian menyakitkan
telinga. Dia bisa jadi sinting mendengarnya!
“Kalau begitu, terimakasih at...!”
“Pergi kau!” hardik Nyi Ngurah Tambi, memenggal
kalimat basa-basi Andika.
“Ya, ya, ya...! Baik, baik!” Andika kelimpungan.
Lalu Pendekar Slebor bergegas pergi. Lagi pula, dia
memang sedang mengejar waktu agar tak kecolongan
Sepasang Datuk Karang untuk mendapatkan peti
berukir.
Belum begitu jauh meninggalkan tempat tadi, si
Pemuda Urakan itu kontan menahan geli. Sambil
berlari cepat, dia masih juga memegangi perutnya.
Sementara dari kejauhan telinganya mendengar
sumpah serapah Nyi Ngurah Tambi dan I Made Raka
yang telah terbebas dari pengaruh totokan di
tubuhnya.
“Pencopet Busuuuk!” teriak mereka berbarengan
di kejauhan.
Ternyata, dua kantung uang yang dipakainya untuk
menyogok Nyi Ngurah Tambi adalah uang perempuan
tua itu sendiri yang didapat dari I Made Raka. Sedang
yang sekantung lagi milik I Made Raka yang berada di
sakunya. Tak percuma Pendekar Slebor pernah men-
jadi copet budiman sewaktu masih menjadi bocah
kotapraja dulu.
“Dengan begitu, aku toh bisa lebih cepat
membebaskan Laksmi,” ucap Andika tersedak-sedak
tawa.
***
ENAM
Sejak kepergian Pendekar Slebor untuk menye-
lamatkan Idayu Wayan Laksmi. I Ktut Regeg duduk
menanti di anak tangga rumah seperti orang bodoh.
Sebelah tangannya menopang dagu, sedang tangan
yang lain menjentik-jentik papan anak tangga
berirama. Sampai saat ini, dia belum mengetahui apa
yang terjadi terhadap kakaknya. Yang cuma di-
ketahuinya, kakaknya sedang dalam bahaya dan
Andika, pendekar muda yang dikenalnya, sedang
berusaha menyelamatkan.
Tanpa disadarinya, dua lelaki tiba di tempat itu
sambil menyeret peti mati besar. Siapa lagi kalau
bukan Gumbala dan Lalinggi yang berjuluk Sepasang
Datuk Karang.
Sebenarnya suara bergemuruh yang ditimbulkan
gesekan peti mati dengan permukaan tanah bisa
ditangkap jelas telinga I Ktut Regeg. Tapi karena
pikirannya saat itu hanya tertuju pada nasib Idayu
Wayan Laksmi, I Ktut Regeg jadi tidak begitu mem-
pedulikan. Sampai akhirnya, Lalinggi menepuk
pundaknya.
“Apakah kau yang bernama Regeg, Bocah?” sapa
laki-laki bercaping itu di sisi I Ktut Regeg.
I Ktut Regeg tersentak. Lamunannya seketika
buyar. Kepalanya menoleh pada Lalinggi.
“Ya, kenapa?” sahut pemuda tanggung itu singkat
tak bersemangat.
“Kudengar desas-desus dari beberapa orang desa,
kau menemukan peti kecil berukir. Apa benar?”
sambung Lalinggi.
I Ktut Regeg mendengus acuh. “Apa pedulimu?”
kata I Ktut Regeg masabodo.
“Lebih baik kau beritahukan padaku, di mana
benda itu sekarang...,” tandas Lalinggi datar.
I Ktut Regeg mengadukan pandangan ke penutup
wajah Lalinggi. Kedua bola matanya tampak agak
membesar.
“Kalau aku tak mau memberitahu, kenapa?”
tantang pemuda tanggung ini.
Lalinggi jadi tertawa sumbang.
“Kau anak yang bernyali besar, Bocah....”
Usai berkata, sebelah tangan Lalinggi merogoh
sesuatu dari balik pakaian. I Ktut Regeg menyangka,
lelaki bercaping itu hendak bertindak kasar padanya.
Maka dia tersentak hendak bangkit menghindar.
Tangan Lalinggi cepat menahan pundak I Ktut
Regeg.
“Tidak perlu takut. Aku tidak mengancammu,
bukan? Ini....”
Dari balik pakaiannya, tangan Lalinggi tadi
mengeluarkan kantung kecil.
“Kantung ini berisi uang yang cukup untuk
hidupmu setahun,” lanjut Lalinggi. “Kalau kau
memberitahu peti berukir itu, kantung uang ini akan
menjadi milikmu. Bagaimana?”
Sekali lagi I Ktut Regeg menoleh ke Lalinggi.
Dipandanginya caping penutup wajah lelaki di
sampingnya tajam-tajam, seakan hendak menerobos
ke celah anyaman untuk mengenali wajahnya. Kalau
tadi pantatnya dibikin berdenyut-denyut oleh Andika
karena peti berukir itu, kini ada orang aneh yang
menawarinya uang.
“Kau tak yakin dengan tawaranku ini?” tanya
Lalinggi.
Maka laki-laki bercaping ini segera mengeluarkan
keping-keping uang ke sebelah telapak tangannya.
Setelah itu, dimasukkannya kembali.
“Sebenarnya aku bukan tidak yakin pada tawaran-
mu. Tapi aku hanya jadi penasaran pada isi peti
berukir itu...,” tutur I Ktut Regeg nyaris bergumam
pada diri sendiri.
“Ah! Tidak ada benda berharga di dalamnya.
Kalaupun kau bisa melihat isinya, tentu kau akan
segera membuang kembali,” sergah Lalinggi.
“Jadi, apa isinya?”
“Ooo, sudahlah. Kau bersedia menerima uang ini,
atau tidak?”
I Ktut Regeg menimbang sesaat. Toh, dia mungkin
tak bisa lagi mendapatkan peti berukir yang telah
dibuangnya di laut. Sedangkan uang sekantung kecil
itu, bisa dipastikan akan jadi miliknya. Syaratnya
mudah pula. Hanya membuka mulut sedikit, beres.
“Aku telah membuangnya di sekitar pantai barat
Buleleng,” jawab I Ktut Regeg akhirnya.
“Bagus, Bocah!” Lalinggi mengangguk-angguk
kepala. “Terimalah ini....”
Laki-laki bercaping itu segera melepar kantung
uang ke udara.
I Ktut Regeg bergegas mengasongkan tangan
untuk menangkapnya. Tapi sebelum sempat jatuh ke
telapak tangan I Ktut Regeg, satu tangan menyambar-
nya di udara. Dan ternyata, tangan itu milik Gumbala.
“Tapi kalau kau membohongi kami, maka kepala-
mu yang jadi penggantinya,” ancam lelaki buruk itu.
Setelah itu, Gumbala baru meletakkan kantung
uang itu ke telapak tangan I Ktut Regeg.
Belum juga I Ktut Regeg mengucapkan terima
kasih, kedua laki-laki itu pergi begitu saja sambil
menyeret peti mati besar seperti biasa. Tidak di-
pedulikan lagi pemuda tanggung yang berjingkat-
jingkat sambil melempar-lempar kantung uang ke
udara.
Malam telah menjelang. Andika dan Idayu Wayan
Laksmi pun tiba. Tapi mereka tak menemukan I Ktut
Regeg di pekarangan. Di dalam rumah panggung,
barulah pemuda tanggung itu ditemukan sedang
berbaring sambil berongkang kaki. Tangannya masih
menggenggam kantung uang, sementara pikirannya
melayang mengkhayalkan barang-barang yang bisa
dibeli dengan uang itu.
“Regeg...,” isak Idayu Wayan Laksmi seraya meng-
hambur ke arah I Ktut Regeg. Dipeluknya sang Adik
erat-erat, lega karena bisa selamat dari kejahatan I
Made Raka.
“Mbok tidak apa-apa?” sambut I Ktut Regeg, ikut
lega.
Idayu Wayan Laksmi menggeleng. Tangannya sibuk
menghapus airmata di pipi.
“Untung Tuan Andika menolongku,” tutur gadis itu.
“Sekarang mana dia?” tanya I Ktut Regeg, hendak
melaporkan tentang kedatangan dua lelaki sore tadi.
“Di luar,” jawab Idayu Wayan Laksmi.
I Ktut Regeg bergegas keluar. Tapi di sana tak
menemukan siapa-siapa lagi, kecuali kelengangan
malam yang diramaikan tembang hewan malam.
Andika sendiri sudah beranjak pergi sejak Idayu
Wayan Laksmi masuk ke dalam rumahnya. Tak ada
waktu lagi baginya untuk mengantar masuk atau
berbasa-basi. Pendekar Slebor harus segera ke tepi
pantai barat Buleleng, untuk mencari peti berukir.
Sungguh! Dia tidak mau kedahuluan Sepasang Datu
Karang. Padahal tanpa diketahuinya, dua lelaki aliran
sesat itu memang sudah mendahuluinya sejak sore
tadi.
Belum begitu jauh dia meninggalkan rumah Idayu
Wayan Laksmi, di tengah jalan menuju tepi desa
Pendekar Slebor bertemu sepasukan prajurit
kerajaan yang berjumlah sekitar tiga puluhan orang,
lengkap dengan tombak dan tameng. Seorang di
antaranya berpakaian seorang patih. Juga, ada
seorang yang pernah dilihat Andika sewaktu upacara
malam purnama waktu itu. Dialah Corkode Ida Bagu
Tanca Raja Buleleng.
“Ada apa gerangan ini, Gusti?” tanya Andika
setelah dekat, dan langsung menjura hormat.
“Kau orang asing yang tinggal di kediaman Idayu
Wayan Laksmi?” tanya Cokorde berwibawa.
“Benar.”
“Tangkap dia!” perintah Cokorde tiba-tiba saja,
benar-benar mengejutkan Andika.
“Tunggu dulu!” sergah Andika. “Bisakah Gusti
jelaskan padaku, kenapa aku hendak ditangkap?”
Cokorde tak segera menjawab karena patih di
sebelahnya menyarankan agar tidak perlu melayani
pertanyaan Andika.
“Langsung tangkap saja, Paduka. Nanti setelah
tiba di kerajaan, barulah disuruh bicara,” saran patih
yang bernama I Wayan Rama.
Patih itu berusia sekitar empat puluh delapan
tahun. Badannya kekar berotot. Sikapnya semakin
gagah dengan sebilah keris pusaka di pinggangnya.
Wajahnya tampak garang, meski tanpa kumis
melintang atau cambang bauk. Apalagi kalau
memperhatikan alis matanya yang lebat, hampir
menyatu pada pangkalnya. Sinar matanya tetap
mencerminkan semangat bergelora, meski rambutnya
sudah banyak ditumbuhi uban.
Berbeda dengan patihnya, Cokorde Ida Bagus
Tanca bertubuh agak pendek dan agak gemuk. Meski
begitu, perutnya tidak terlihat buncit. Dengan pakaian
kebesarannya, dia tampak tak kalah gagah dengan
Patih I Wayan Rama. Wajahnya putih, dengan kumis
rapi. Karena usianya sudah cukup tua, wajahnya yang
cukup tampan, tampak sudah dihiasi kerutan.
“Tangkap pemuda itu!” perintah Cokorde Ida
Bagus Tanca, setelah menyetujui saran patihnya.
Andika jadi gelagapan tak karuan. Bibirnya
meringis tak mengerti. Apalagi ketika kedua puluh
delapan orang prajurit mulai maju ke arahnya.
“Kutu koreng! Bisa-bisa aku kedahuluan Sepasang
Datuk Karang...,” maki Andika.
Sementara, seluruh prajurit sudah mengurung
Pendekar Slebor dari setiap penjuru.
Tunggu duluuu!” teriak Andika kembali agak
sedikit mengkel. “Ini pasti salah paham!”
“Tidak ada yang salah paham. Seorang keluarga
kerajaan telah melaporkan. kalau kau telah mem-
bunuh tiga sesepuh Buleleng!” tandas Patih I Wayan
Rama lantang.
“Siapa yang telah melaporkan kebohongan itu?”
sangkal Andika:
Selama ini, Pendekar Slebor hanya tahu ada
sepasang suami-istri tua yang dibunuh Sepasang
Datuk Karang. Entah, siapa sesepuh lain yang
dimaksud Patih I Wayan Rama.
“Tuan tadi menyebut-nyebut seorang keluarga
kerajaan yang melaporkan hal itu?” tanya Andika lagi.
“Apa dia I Made Raka?”
Mata Patih I Wayan Rama menyipit.
“Dari mana kau tahu?”
Tiba-tiba Andika tertawa.
“Sebaiknya Tuan sedikit mencari tahu, apa orang
itu bisa dipercaya atau tidak. Menurutku, dia hanya
seekor ular berkepala dua!”
“Tutup mulutmu, Anak Muda!” bentak Cokorde
dengan mata agak terbelalak. “Menyerah atau
terpaksa kami menggunakan kekerasan?!”
Andika menggeleng. Bagaimana mau menyerah
kalau kesalahan tidak pernah dibuat. Menyerahkan
diri untuk dihukum karena fitnah, rasanya terlalu
bodoh baginya.
“Kuminta pada Gusti, agar menyelidiki kembali
perkara ini,” kata Andika.
Patih I Wayan Rama tak bisa bersabar lagi. Setelah
meminta izin Cokorde, diperintahkannya pasukan
untuk segera menyerang Andika.
“Seraaang!”
Seketika kepungan berbentuk lingkaran besar
yang dibentuk para prajurit bergerak mengecil ke satu
titik, yakni ke tubuh Andika. Bagai puluhan kuda liar,
mereka meluruk menciptakan gumpalan debu yang
tersamar kegelapan malam. Tombak di tangan
masing-masing teracung lurus ke depan, siap
merencah tubuh Pendekar Slebor dari tiap jurusan.
“Hiiiaaa...!”
Dengan mulut mengumpat panjang-pendek,
Pendekar Slebor menghindari tusukan demi tusukan
tombak. Seiring serbuan tiap senjata lawan, tubuh
pendekar urakan itu melengos kian kemari. Sejengkal
ruang pun, saat itu amat berarti baginya agar mata
tombak tidak sempat menembus atau menyodok
kulitnya.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar Slebor melompat
tinggi-tinggi ke atas, lalu hinggap di mana pun suka.
Setelah itu, tubuhnya bisa digenjot secepat mungkin,
pergi dari tempat tersebut. Hal itu tidak dilakukannya,
karena Andika tidak mau menjadi buronan pihak
kerajaan untuk sesuatu yang tak pernah dibuatnya.
“Haih!”
Trak! Trak!
Dua batang tombak yang menutup ruang gerak
Pendekar Slebor di bagian tulang rusuk, patah
berkeping oleh tamparan tangannya.
Slep... slep... slep...!
Beberapa batang lain kontan kandas dihimpit
ketiak Andika. Saat berikutnya, semua terbelah
berantakan dicongkel sepasang pergelangan tangan
Pendekar Slebor.
Prak!
Bisa saja untuk selanjutnya Pendekar Slebor
mengirim pukulan beruntun pada para prajurit yang
telah kehilangan tombaknya. Namun, Andika tahu
kalau lawannya hanya korban kesalahpahaman
akibat termakan fitnah manusia licik I Made Raka.
Satu-satunya cara yang bisa diperbuat Pendekar
Slebor agar terhindar dari hujaman senjata lawan,
sekaligus tidak membuat para prajurit terluka, adalah
menotok jalan darah masing-masing. Namun niat
tersebut tak terlaksana, manakala prajurit yang masih
memiliki senjata cepat menerobos masuk di antara
prajurit lain, seraya menusukkan ujung tombak.
Serangan susulan mendadak itu menerabas dari
depan. Sehingga, memaksa Pendekar Slebor
melemparkan tubuh ke belakang, melewati kepala
beberapa prajurit di belakangnya. Setelah memutar
tubuh di udara sekali, kakinya menjejak kembali di
tanah.
Belum lagi Pendekar Slebor bisa menarik napas
lega, lima prajurit di belakang lapisan pertama
membokongnya berbarengan.
“Hiaaa!”
Zeb... zeb... zeb...!
Telinga pendekar Tanah Jawa Dwipa yang terlatih
ini segera dapat menangkap ancaman bahaya di
belakang. Dengan tangkas dirinya dijatuhkan ke
tanah. Dan seketika kaki kelima prajurit tadi langsung
tersapu keras, manakala tubuh Pendekar Slebor
bergulir cepat ke arah mereka. Akibatnya, mereka
pun jatuh berdebam susul-menyusul.
Bruk! Bruk!
Kini Andika sudah berdiri kembali sekitar tiga depa
di tempat yang agak aman dari kepungan.
“Hm, mereka tampaknya begitu terlatih untuk
kulumpuhkan dengan mudah,” desis Pendekar
Slebor. “Kodok bengkak! Aku makin sulit saja untuk
segera tiba di pantai barat Buleleng....”
“Serang lagiii...!” seru seorang prajurit, penuh
gelora.
Para prajurit baik yang masih bersenjata maupun
yang tidak, dengan berapi-api menerjang untuk yang
kesekian kalinya. Selaku prajurit sejati, mereka
memang digembleng untuk tidak mudah menyerah.
Sikap mereka bagai sudah tidak lagi memiliki rasa
takut mati. Mereka percaya, mati dalam mengemban
tugas negera adalah terhormat.
Hal itu semua terangkum dalam dasar hukum adat
dalam Tri Pepali, atau Tiga Dasar Hukum bagi
kehidupan manusia sebagai keyakinan mereka. 'Sepi
ingpamrih rame inggawe'.
Kali ini, serangan para prajurit demikian kompak
menggebu. Keadaan yang makin menempatkan
Andika pada keadaan yang sulit, di mana harus
menyelamatkan dirinya tanpa melukai seorang lawan
pun. Maka saat itulah Pendekar Slebor harus
menentukan pilihan. Membiarkan dirinya direncah
lawan, atau menghantam balik dengan akibat
kematian. Dan mendadak....
“Berhenti!”
Pada saat yang rawan itulah, tiba-tiba teriakan
mengguntur menyelamatkan Andika dari tindakan
yang tak diharapkan. Dan seketika, semua mata
mencari arah datangnya suara.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul
seorang laki-laki tua berpakaian hitam-hitam di
belakang Cokorde Ida Bagus Tanca.
“Ki Lantanggeni! Kenapa kau mencegah kami
menangkap bocah perusuh ini?!” tanya Raja Buleleng
itu, seperti tidak senang. Rupanya, raja ini sudah
kenal dekat dengan laki-laki tua yang dipanggil Ki
Lantanggeni tadi.
“Dia tidak bersalah, Cokorde. Akulah saksinya,”
kata Ki Lantanggeni.
Kemudian Ki Lantanggeni segera menceritakan
apa yang disaksikan terhadap tindakan I Made Raka
selama ini. Juga tentang fitnah yang dilimpahkan
kepada Pendekar Slebor.
***
TUJUH
Di pantai barat Buleleng. Ombak susul-menyusul,
menepis jutaan buih ketepian. Deburnya men-
ciptakan irama alam teratur, seakan tetabuhan
genderang dari alam jauh tak tergapai mata. Tebaran
pasir putih di mana-mana, membersitkan cahaya-
cahaya kecil kala sinar mentari senja menimpa, bagai
timbunan permata halus berkilau menawan.
Di bibir pantai, jejak memanjang terlihat. Asalnya
dari seretan peti mati besar yang ditarik dua lelaki.
Siapa lagi kalau bukan Sepasang Datuk Karang.
“Apakah anak itu telah membohongi kita, Kang?”
ungkap Gumbala.
Telah lama mereka hanya memusatkan mata pada
pantai, mencari kotak berukir yang diincar.
“Hampir sepanjang pantai kita susuri, kotak
berukir itu belum juga kita temui,” kata Gumbala lagi.
Lalinggi tidak menyahut. Dari balik caping yang
menutup wajahnya, mata lelaki itu terus mengawasi
jengkal demi jengkal pantai barat Buleleng.
“Kita belum lagi sampai di batas pantai, Gumbala,”
ujar Lalinggi, dingin akhirnya.
“Tapi kalau anak sundal itu membohongi, sia-sia
saja usaha kita. Dengan begitu, kita toh hanya
membuang waktu percuma,” sungut Gumbala.
“Aku tahu. Tapi, percayalah. Jika anak itu mem-
bohongi kita, dia harus menerima akibatnya,” balas
Lalinggi.
“Ya! Aku ingin sekali menghancurkan batok
kepalanya!
“Apakah sekarang kau bisa diam dan meneruskan
pencarian?!” bentak Lalinggi.
Gumbala diam. Kalau Lalinggi sudah menghardik
seperti itu, dia tidak berani macam-macam lagi.
Dengan menekuk wajah buruknya dalam-dalam,
diturutinya perintah Lalinggi.
Kini keduanya meneruskan pencarian. Sampai di
satu bagian pantai mereka menemukan sesuatu yang
terapung-apung di bibir pantai.
“Itu dia, Kang!” seru Gumbala.
“Ya, aku tahu.”
Mereka pun segera mendekat. Benar! Ternyata
benda terapung itu memang kotak berukir yang
selama ini dicari. Tanpa menunggu perintah Lalinggi
lagi, Gumbala dengan wajah berseri-seri segera
menjemput kotak itu.
“Ini, Kang...,” kotak di tangannya segera pula
diantar pada Lalinggi. “Periksalah dulu, Kang,” pinta
Gumbala.
Lalinggi menerima kotak itu dari tangan Gumbala.
Untuk beberapa saat, diteliti seluruh bagian kotak,
untuk meyakinkan kalau tidak keliru. Tak lama
kemudian kepala bercaping Lalinggi pun bergerak-
gerak berirama. Rupanya, dia mengangguk-angguk
puas.
“Sebentar lagi kita akan menjadi murid seorang
tokoh hitam yang bakal menaklukkan dunia
persilatan Gumbala,” kata Lalinggi.
Selesai mengungkapkan isi hatinya, Lalinggi
tertawa canggung. Hal yang selama ini belum pernah
dilakukannya.
Sedang Gumbala ikut menimpali tawa Lalinggi,
penuh kemenangan. Suaranya yang serak, terdengar
bagai jeritan burung pemakan bangkai.
“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini,” ajak
Lalinggi setelah puas tertawa.
Gumbala cepat mengangguk. Maka kini keduanya
pun pergi. Seperti biasa, mereka menyeret peti mati
besar bersama-sama. Hanya, kali ini ada satu peti
kecil berukir di tangan Lalinggi.
***
Goa Karang Hitam berada tak begitu jauh dari
pantai barat Buleleng. Letaknya tepat di kaki satu
bukit karang yang tak begitu menjulang. Sewaktu
menemukan goa itu, Lalinggi dan Gumbala ber-
sepakat untuk memanfaatkanya sebagai tempat men-
jalankan sebuah rencana.
“Goa ini benar-benar cocok dengan rencana kita.
Kebetulan sekali, Kang,” cetus Gumbala saat
keduanya telah memasuki goa buntu, sedalam kira-
kira lima puluh depa.
“Ya,” jawab Lalinggi singkat seraya mengangkat
kayu bakar yang digunakan sebagai penerang.
Dipandanginya seluruh bagian dinding goa yang
dipenuhi lumut. “Kita harus segera membuat api
unggun.”
Gumbala menuruti ucapan Lalinggi. Kayu-kayu
kering yang telah dikumpulkan sebelum memasuki
goa, segera diserakkannya di dasar goa berpasir ini.
Lalu mulai dibuatnya api dengan memantik-mantik
dua buah batu di atas jerami kering.
“Api unggun sudah menyala, Kang.” lapor
Gumbala.
Lalinggi mengangguk lemah. Setelah itu kayu
bakar di tangannya disatukan dengan kayu api
unggun.
“Sekarang kau geser peti mati itu ke sini,” perintah
Lalinggi.
Gumbala bergegas menjalankan perintah Lalinggi.
Kini peti mati besar yang selama ini selalu diseret-
seret telah berada tepat di sisi api unggun. Lidah api
unggun menjilat-jilat liar, hendak menggapai langit-
langit goa. Cahayanya menyapu sisi peti mati,
membuat benda besar itu terlihat kian angker.
“Sekarang apa lagi, Kang?” tanya Gumbala.
Tak ada jawaban dari Lalinggi. Lelaki itu hanya
menurunkan peti berukir dari tangannya ke dasar
goa. Tepat di hadapan peti berukir, Lalinggi duduk
bersila. Tangannya bersidekap, sedang matanya
terpejam.
Ketika waktu berlalu cukup lama, tangan Lalinggi
mulai bergerak ke depan. Seluruh otot-otot di
tangannya mengejang. Satu telapak tangannya yang
terbuka pun tiba di lubang kunci peti berukir. Tak
begitu lama, telapak tangan itu menempel, maka
asap putih kehitaman mengebul dari sela-sela antara
telapak tangan dengan sisi lubang kunci. Krak!
Tiba-tiba saja peti berukir terbuka bersama suara
berderak. Namun, hanya berupa kuakan celah kecil.
“Biar aku yang buka, Kang,” serobot Gumbala tak
sabar, mengetahui pengunci peti berukir telah dapat
dihancurkan Lalinggi.
“Tunggu dulu!” cegah Lalinggi cepat. “Jangan
berlaku ceroboh!”
Tangan Gumbala urung diulurkan ke peti berukir.
Bentakan keras Lalinggi, lumayan membuatnya kaget.
“Kenapa, Kang?” tanya laki-laki berwajah buruk
itu.
“Lihat saja...,” kata Lalinggi dingin.
Kemudian laki-laki bercaping ini melepas satu
pundi yang digantung di sekitar pinggang. Pundi itu
kemudian digulung dengan bajunya, hingga mem-
bentuk sebuah bantalan kain.
“Kau pegang penutup peti itu,” ujar Lalinggi pada
Gumbala. “Kalau kubilang buka, kau harus
secepatnya membuka penutup peti itu. Mengerti?”
Gumbala hanya mengangguk-angguk.
“Siap...,” Lalinggi memberi aba-aba.
Gumbala yang berada di belakang peti menatap
Lalinggi tegang, menanti aba-aba selanjutnya.
Sementara, Lalinggi siap dengan bantalan kain di
tangan.
“Buka!” seru Lalinggi.
Secepat kilat, Gumbala menarik penutup peti.
Dalam saat yang hampir bersamaan, Lalinggi pun
mendekapkan buntalan kain ke mulut peti yang baru
saja terkuak.
Blep! Jep! Jep! Jep!
Serentak suara halus terdengar. Sewaktu Lalinggi
mengangkat bantalan kain dari mulut peti, terlihatlah
puluhan batang bambu beracun berwarna biru
kehijauan. Kain pada bagian yang tertancap batang
bambu itu tampak kontan terbakar menghitam serta
mengepulkan asap sewarna dengan batang-batang
bambu.
“Kau lihat,” ujar Lalinggi. “Kalau kau seenaknya
membuka peti ini, pasti sudah mengejang hangus
seperti kain ini....”
Mata besar Gumbala terbelalak kian besar.
Mungkin lebih besar daripada mata burung hantu.
Dan dia hanya menelan ludah. Kalau saja tak dicegah
Lalinggi, tentu sudah mampus! Gumbala ngeri
membayangkannya.
Lalu, apa isi peti itu sebenarnya?
Sambil tertawa nyaring yang membuat dinding goa
bergetar, Lalinggi mengambil isi peti berukir di
depannya. Ternyata, sebuah kepala manusia!
“Hua ha ha...! Kau akan hidup kembali Ki Rawe
Rontek! Dan kau pasti akan membalas budi baik
kami, dengan menurunkan ilmu 'Rawe Rontek'mu
pada kami! Hua ha ha...!”
Tak hanya Lalinggi, Gumbala pun turut terbahak-
bahak.
“Kita akan menjadi dua jago persilatan, Kang!”
teriak Gumbala. “Hua ha ha...!”
***
Sementara itu di tepi pantai barat Buleleng malam
ini, tampak pula dua laki-laki lain. Seperti Lalinggi dan
Gumbala, mereka pun sama-sama menelusuri tepi
pantai. Jejak panjang yang ditinggalkan di belakang,
menandakan kalau mereka sudah cukup lama
berjalan di sana.
Salah seorang lelaki tua bercaping kerucut.
Pantulan cahaya rembulan di laut, menerangi samar
wajahnya yang berkeriput serta berjanggut.
Kekurusan lelaki tua itu menyebabkan tulang pipinya
jadi menonjol.
“Tampaknya kita telah didahului, Andika,” kata
lelaki tua itu.
Saat ini, mereka telah tiba di batas pantai sebelah
selatan. Dan memang pemuda di sebelah laki-laki tua
itu adalah Pendekar Slebor. Setelah lelaki tua yang
tak lain adalah Ki Lantanggeni itu menyelamatkan
Pendekar Slebor dari keroyokan prajurit Buleleng,
Andika memang langsung menceritakan tentang
kotak berukir. Maka, kini mereka berada di pantai
barat Buleleng.
Pendekar Slebor hanya menghela napas. Dia juga
seyakin lelaki tua di sebelahnya, kalau peti berukir
yang dicari telah diambil orang lain.
“Apakah orang-orang yang mendahului kita
Sepasang Datuk Karang, Ki Lantanggeni?” tanya
Andika penasaran.
“Besar kemungkinan begitu,” sahut Ki
Lantanggeni. “Bagaimana kalau kita mencari tahu
pada penduduk sekitar pantai ini?”
Andika setuju. Maka mereka melangkah ke
pedalaman pesisir menuju desa penduduk terdekat
untuk mencari keterangan.
Siapakah Ki Lantanggeni sebenarnya, sehingga
ikut campur dalam masalah peti berukir yang telah
menelan beberapa korban nyawa itu?
***
Kira-kira enam puluh tahun lalu, ada seorang
tokoh golongan hitam yang memiliki ilmu sesat 'Rawe
Rontek'. Dengan ilmu itu, si Tokoh Sesat amat sulit
dibinasakan. Setiap luka yang berhasil merobek kulit
tubuhnya, selalu saja menutup kembali tanpa cacat,
seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Lebih dahsyat
lagi, setiap kali bagian tubuhnya terpotong, setiap kali
pula bagian tubuh itu menyatu kembali. Bahkan
kepalanya sendiri! Di dunia persilatan, dia amat
tersohor sebagai Ki Rawe Rontek.
Kisah Ki Rawe Rontek, berasal dari perjalanan
hidup seorang pemuda dari sebuah desa kecil
bernama Watukarang. Namanya, Lantang. Sejak kecil,
pemuda itu memiliki tabiat buruk dan perangai
tercela.
Seperti bibit perusuh, dia tumbuh dalam kejahatan
demi kejahatan. Mencuri, menganiaya, dan membuat
kekacauan adalah pekerjaan biasa.
Suatu hari, terjadi perampokan yang mengakibat-
kan terbunuhnya satu keluarga secara keji. Pada
malam yang sama dengan saat perampokan, Lantang
pun mempunyai niat buruk pada seorang kembang
desa, bernama Saridewi. Cintanya yang selama ini
selalu ditolak Saridewi, membuatnya bermata gelap.
Hendak dilarikannya Saridewi, lalu dipaksa untuk
dikawini.
Naas, pada saat mengendap-endap di samping
kamar si Kembang Desa, orangtua Saridewi yang
terkenal kasar, keluar dan hampir memergokinya.
Kontan saja Lantang lari tunggang-langgang, karena
begitu takut akan kekasaran lelaki itu. Saat itulah
perampok yang sedang dikejar para penduduk
bertemu Lantang.
Dengan licik, si Perampok menghajar Lantang
seraya meneriakinya perampok. Lantang yang
memang tak memiliki kepandaian silat, tak bisa ber-
buat apa-apa. Dia megap-megap dihajar oleh si
Perampok. Bahkan para penduduk yang sudah kalap,
tanpa banyak tanya langsung saja menghajarnya
habis-habisan.
“Ampun! Ampun! Aku bukan perampok!” teriak
Lantang kala itu.
“Ah! Mana ada orang maling yang mau mengaku!”
hardik si Perampok dengan mimik sinis penuh
kesungguhan.
“Aku Lantang! Aku memang suka berbuat
kericuhan, tapi tidak pernah merampok!” sangkal
Lantang lagi.
“Kau tidak hanya merampok! Kau juga membantai
seluruh keluarga korban dengan golok itu!” tuding si
Perampok lagi, seraya menunjuk golok berlumur
darah yang sempat diselipkan di balik pakaian
Lantang.
Lantang terkesiap. Wajahnya yang sudah babak
belur tampak demikian takut. Dikeluarkannya golok
dari balik baju. Dengan mata bengkak terbelalak,
diperhatikannya senjata itu tanpa bisa berkata
sepatah pun. Bibirnya kelu dan pita suaranya seperti
tersumpal.
“Ayo, tunggu apa lagi?!” seru si Perampok pada
penduduk. “Cepat cincang dia! Bunuh seperti dia
membunuh keluarga korban!”
Amukan penduduk meledak seketika. Pikiran
mereka tak lagi jernih. Bersama segenap kekalapan,
Lantang dihajar kembali tanpa ampun.
“Sungguh, demi Tuhan! Aku tak pernah merampok
atau membunuh!” teriak serak Lantang di antara
suara-suara pukulan kayu para penduduk yang
menghantam tubuhnya.
Sementara Lantang menerima siksaan tak ter-
hingga. Perampok yang memfitnahnya melarikan diri
secara diam-diam.
Jika beberapa saat saja Lantang dibiarkan dihajar
orang-orang gelap mata itu, sudah bisa dipastikan
nyawa mudanya akan melayang. Untunglah sebuah
bayangan berkelebat cepat, menyambar di antara
kerumunan penduduk. Lalu disambarnya tubuh
Lantang pada saat hampir sekarat.
Gerakan bayangan itu begitu cepat bagai
bayangan hantu. Setiap orang yang berada di sana
mendadak takjub dan lupa pada kemarahan. Seakan,
suatu kekuatan gaib telah menguasai diri mereka
masing-masing. Memang, yang menyelamatkan
Lantang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah
seorang pertapa tua yang hanya muncul dua puluh
tahun sekali, untuk mencari seorang murid. Namanya
Ki Gintung.
Karena Ki Gintung adalah seorang pertapa yang
memiliki ketajaman mata batin, dia bisa menilai kalau
Lantang sebenarnya memiliki hati baik. Hanya karena
dikucilkan penduduk yang disebabkan kemelaratan-
nya, dia menjadi seorang pemuda berjiwa pem-
berontak. Kejahatan-kejahatannya selama ini hanya
cara untuk unjuk rasa terhadap sikap orang-orang
desanya yang sudah menganggapnya seperti anjing
geladak tak berarti. Ki Gintung juga bisa menilai kalau
pemuda yang telah diselamatkannya memiliki
kemauan keras dan bentuk tubuh yang bagus.
Dengan semua pertimbangan itu, Ki Gintung mem-
buat keputusan untuk mengangkat Lantang sebagai
murid kelima.
Sejak saat itulah Lantang mendapat godokan lahir
batin dari si Pertapa Tua. Godokan batin ini
membuatnya menjadi seorang berjiwa matang dan
bersih. Sedangkan godokan lahir. membuatnya
menjadi seorang tangguh. Maka, jadilah dia seorang
ksatria.
Selama lima tahun menjalani didikan keras Ki
Gintung, suatu saat Lantang diperkenalkan pada
keempat kakak seperguruannya yang telah
meninggalkan goa penggodokan terlebih dahulu.
Betapa kagetnya Lantang, manakala melihat salah
seorang kakak seperguruannya. Dari keempat lelaki
itu, ada seorang yang dulu memfitnahnya hingga
dihajar habis oleh penduduk!
Rupanya panggilan duniawi menyebabkan kakak
seperguruannya itu mengkhianati seluruh petuah Ki
Gintung, sekaligus mengkhianati amanat ilmu-ilmu
yang telah diberikan.
Karena tak ingin mengecewakan Ki Gintung,
Lantang tak mengungkap makar yang dilakukan
Artapati, kakak seperguruan yang melakukan
perampokan waktu itu. Padahal, tanpa perlu
diberitahu, mata batin Ki Gintung sendiri sudah bisa
merasakan pengkhianatan Artapati.
Namun apa mau dikata? Ki Gintung tak bisa
berbuat apa-apa, karena usianya yang kian lanjut. Dia
tak ingin bergelimang darah lagi. Dan akibatnya,
pertapa itu menderita sakit parah. Merasa dirinya
sudah mendekat ajal, Ki Gintung pada suatu hari
memanggil Lantang seorang diri. Di samping Lantang
adalah murid satu-satunya yang masih tinggal di
tempat, dia juga murid kesayangan Ki Gintung.
“Sepertinya ajalku akan segera tiba, Lantang,”
ucap Ki Gintung tersendat. Napasnya terseret satu-
satu. “Saatnyalah aku memberimu wasiat....”
Lantang diam tanpa suara. Ditatapnya sang Guru
tercinta dengan mata menahan bias bening.
“Di bawah batu tempat bertapaku,” lanjut Ki
Gintung. “Ada sebuah tempat penyimpanan rahasia.
Di sana, aku menyimpan kitab berisi ajian-ajian ilmu
hitam, lengkap dengan seluruh riwayatnya. Kuberikan
kitab itu padamu. Pelajarilah. Tapi, jangan dipakai
kecuali jika memang mendesak sekali....”
Wasiat Ki Gintung selesai. Dan saat itu pula,
usianya pun tamat.
Betapa kehilangannya Lantang. Baginya, Ki
Gintung lebih dari sekadar guru. Ki Gintung juga
sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri. Itu
sebabnya, dia sempat pula menitikkan airmata
kehilangan, meski sudah berusaha menahannya.
Selesai menguburkan jenazah gurunya, Lantang
segera memeriksa batu tempat bertapa Ki Gintung. Di
balik batu bundar serta datar itu, ditemukannya
lubang tempat penyimpanan sebuah kitab kuno,
seperti pernah dikatakan Ki Gintung.
Lalu, diambilnya kitab itu. Selama berminggu-
minggu, mulai dipelajari seluruh riwayat ilmu hitam
dalam kitab termasuk ajian 'Rawe Rontek'.
Sayang, sebelum ilmu-ilmu dalam kitab sempat
dikuasai, Artapati datang secara diam-diam. Dengan
licik, mata air yang biasa dipakai Lantang untuk
minum dicampur racun. Dan ketika Lantang tak
sadarkan diri, kitab kuno warisan mendiang Ki
Gintung pun dicuri.
Sejak saat itu, Lantang tak pernah lagi bertemu
Artapati. Suatu hari, Lantang pulang kembali ke
desanya untuk melihat keadaan Saridewi, kembang
desa yang dicintainya dulu hingga sekarang.
***
“Bagaimana dengan Lantang dan Artapati, Ki?”
tanya Andika penasaran, karena Ki Lantanggeni
memutuskan cerita.
“Keduanya bertemu kembali di desa itu. Artapati
sudah berhasil menguasai ajian 'Rawa Rontek”. Niat
Artapati ke desa itu adalah menculik Saridewi.
Artapati memang licik. Sengaja Saridewi diculik untuk
memancing kemarahan Lantang,” papar Ki
Lantanggeni meneruskan cerita.
Sementara dia dan Andika sudah tiba di tapal
batas sebuah desa di dekat panlai barat Buleleng.
“Lalu?” tanya Andika untuk kedua kalinya.
“Dengan telengas, wanita yang dicintai Lantang
dibunuh Artapati di depan matanya sendiri. Lantang
tentu saja jadi amat murka. Dia pun melabrak
Artapati. Saat itu, Lantang nyaris kehilangan nyawa.
Untunglah, datang tiga saudara seperguruannya yang
lain. Dengan penggabungan kepandaian, mereka bisa
menandingi kemampuan Artapati. Rupanya, sejak
lama ketiga kakak perguruan Lantang yang lain telah
mengawasi setiap sepak terjang Artapati yang keji.
Mereka bertarung habis-habisan. Dan satu persatu
kakak perguruan Lantang bisa dibunuh Artapati.
Namun begitu, Artapati harus membayar mahal
nyawa ketiga saudara seperguruannya, dengan
nyawanya sendiri. Pada saat puncak di mana Artapati
dan Lantang sudah kehilangan tenaga, Lantang
teringat pada rahasia kelemahan ajian 'Rawe Rontek'.
Dengan rahasia yang pernah dibaca dari kitab yang
dicuri akhirnya Artapati bisa dibunuh.”
Ki Lantanggeni mengakhiri cerita. Napasnya ter-
lihat agak memberat. Tampaknya dia terhanyut oleh
ceritanya sendiri.
“Apakah Lantang adalah kau sendiri, Ki?” duga
Andika, saat mendapati keadaan Ki Lantanggeni.
Lelaki tua bercaping kerucut itu mengangguk.
“Dan orang yang disebut Ki Rawe Rontek adalah
saudara seperguruanmu yang bernama Artapati?”
duga Andika lagi.
Kembali laki-laki tua itu mengangguk.
Malam semakin larut. Di langit, bulan sabit
diselimuti awan tipis bagai serpihan-serpihan kain
tembus pandang. Sementara di laut, suasana tak juga
lekang dari debur ombak yang mulai meninggi.
Goa Karang Hitam yang terletak tak begitu jauh
dari pantai barat Buleleng tampak diterangi cahaya
kemerahan yang berasal dari api unggun. Di dalam
nya, Sepasang Datuk Karang akan memulai suatu
upacara. Mereka akan berusaha menyatukan kembali
kepala Artapati, alias Ki Rawe Rontek dengan tubuh-
nya. Dengan penyatuan itu, Lalinggi dan Gumbala
berharap Ki Rawe Rontek akan hidup kembali.
Mereka percaya, ilmu 'Rawe Rontek' yang dimiliki
Artapati masih tetap menyatu dengan jasadnya yang
tak membusuk.
Setelah berhasil membuka peti kecil berukir
tempat kepala Ki Rawe Rontek, Lalinggi memerintah
Gumbala untuk membuka peti mati besar yang
selama ini selalu dibawa-bawa. Di dalam peti itu
tersimpan tubuh Ki Rawe Rontek. Mereka mem-
bawanya dari pemakaman di Pulau Jawa Dwipa,
setelah melakukan pencarian selama bertahun-
tahun.
Memang! Lantang yang kini dikenal Andika sebagai
Ki Lantanggeni sengaja mengubur kepala dan tubuh
kakak seperguruannya yang murtad itu, secara
terpisah. Karena menurut kitab kuno warisan
gurunya, orang penganut ilmu 'Rawe Rontek' akan
bisa bangkit dari kematiannya, jika kepala dan
tubuhnya tidak dikuburkan secara terpisah jauh.
Semakin jauh, akan semakin menutup kemungkinan
bagi si Pemilik ilmu sesat tersebut untuk bangkit
kembali. Makanya Lantang mengubur tubuh Artapati
di tanah Jawa Dwipa, sedangkan kepalanya dikubur-
kan di Pulau Bali. Untuk urusan penguburan kepala
Artapati, dipercayakannya pada tiga tokoh Pulau
Dewata yang belum lama dibunuh oleh Sepasang
Datuk Karang.
Kini Gumbala tampak telah membuka penutup peti
mati. Kedua lelaki aliran sesat itu bersama-sama
mengeluarkan tubuh Ki Rawe Rontek. Tanpa
kesulitan, mereka bisa memindahkan tubuh besar
berotot itu ke satu bagian lantai goa.
“Sekarang ambil kain hitam di dalam peti itu,
Gumbala,” ujar Lalinggi.
Setelah menerima kain hitam yang dimaksud,
Lalinggi menyatukan kepala Ki Rawe Rontek dengan
tubuh kakunya. Kemudian dilanjutkan dengan
menutup mayat si Tokoh penganut ilmu 'Rawe
Rontek' dengan kain hitam lebar hingga seluruh
bagian tubuhnya tertutup.
Sementara Gumbala diam memperhatikan dengan
mata tak berkedip, Lalinggi melepas pundi-pundi kecil
dari pinggangnya. Di dalam pundi-pundi tersebut,
tersimpan serbuk dupa yang selanjutnya dibakar
Lalinggi di seputar mayat Ki Rawe Rontek.
Asap dupa tampak menyebar. Harum namun ber-
kesan menggidikkan, membuat orang yang mencium
aromanya akan langsung merinding. Hal itu dialami
Gumbala. Walau sebagai tokoh sesat yang sudah
biasa melakukan hal mengerikan, tetap saja seluruh
bulu di kuduknya terasa meremang hebat. Tanpa
terasa tengkuknya diusap. Berbeda sekali dengan
sikap Lalinggi yang tetap dingin dan tenang.
“Sekarang apa lagi yang harus kita lakukan,
Kang?” tanya Gumbala mengetahui Lalinggi telah
selesai membakar serbuk dupa.
“Darah....”
“Darah?”
“Ya! Kita perlu darah seorang perawan suci. Ki
Rawe Rontek memerlukan itu, sebagai daya hidup
karena telah begitu lama mati dan terkubur di perut
bumi,” jelas Lalinggi nyaris mendesis bagai
kerasukan.
“Aku akan cari ke desa terdekat....”
“Bodoh!” hardik Lalinggi. “Cari di desa yang jauh
dari tempat ini. Aku tak mau orang-orang di desa
terdekat menemukan tempat persembunyian kita!”
“Ba... baik, Kang,” gagap Gumbala.
Lelaki buruk rupa itu pun segera beranjak lagi. Di
luar goa, Gumbala bergumam sendiri.
“Hm, kenapa aku tak mencoba menculik seorang
perawan dari desa tempat anak lelaki yang telah
memberitahukan tempat pembuangan peti berukir
itu....”
Dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmu
meringankan tubuh, tubuh Gumbala pun melesat
bagai anak panah lepas dari busur.
Tak begitu lama Gumbala keluar, Lalinggi
menyusul. Rupanya, dia tak begitu yakin dengan kerja
Gumbala yang dinilainya sering kali bertindak
ceroboh.
“Aku harus pula mencari seorang perawan di desa
lain,” bisik Lalinggi. “Kalau Gumbala gagal, aku tetap
bisa mendapatkan perawan sebagai tumbal Ki Rawe
Rontek.”
***
Di luar malam purnama, Desa Umbuldadi diringkus
sepi. Dini hari yang datang bersama dingin, membuat
para penduduk lelap dalam selimut masing-masing.
Jalan-jalan di desa sepi dan lengang. Temaram lampu
bambu dari beberapa rumah di tepinya, hanya
mampu menerangi sebagian jalan.
Di satu rumah panggung, Idayu Wayan Laksmi dan
I Ktut Regeg terpulas dihanyut mimpi. Idayu Wayan
Laksmi tidur di kamarnya. Begitu juga I Ktut Regeg.
Kalau kamar Idayu Wayan Laksmi ada di tengah
bangunan, kamar I Ktut Regeg berada di belakang
bangunan.
Malam itu, entah kenapa I Ktut Regeg mendadak
terjaga. Setelah mengerjap-ngerjap mata beberapa
saat, anak muda tanggung itu duduk terpaku di tepi
balai-balai. Pikiran dan hatinya resah, tanpa dia tahu
penyebabnya.
“Sial! Nyamuk tak ngalor-ngidul, panas juga tidak.
Tapi, kenapa aku tidak bisa tidur lagi. Padahal, aku
baru saja mau bermimpi bercengkerama dengan
bidadari. Apa bisa kuteruskan mimpinya, ya?” gumam
I Ktut Regeg, setengah menggerutu. Digaruk-garuknya
kepala dengan jengkel. “Ayo..., ayo mengantuk lagi!
Kalau tidak, bidadari itu bisa pulang lagi ke
kampungnya!”
Namun, tetap saja I Ktut Regeg tak bisa tidur.
Dengan satu dengusan kesal, dia bangkit. Dibanting-
nya langkah ke lantai kayu, sehingga menimbulkan
bunyi yang cukup keras. Anak muda tanggung
berbadan kurus itu mondar-mandir tak karuan. Tiba-
tiba....
Srek!
I Ktut Regeg terdiam. Telinganya dipasang tajam-
tajam. Dia biasa mendengar suara-suara hewan
malam dan sangat hafal. Tapi suara yang satu ini
bukan dari binatang malam. I Ktut Regeg jadi curiga.
Sambil mengendap-endap, didekatinya jendela
kamar. Dari salah satu celahnya I Ktut Regeg mulai
mengintip.
“Lho? Itu kan lelaki jelek yang memberiku uang
untuk sebuah keterangan tentang peti berukir yang
kubuang ke pantai?” bisik I Ktut Regeg kala melihat
pengendap di luar. “Mau apa dia datang ke sini lagi?
Dan kenapa pula dengan cara mengendap-endap
seperti maling ayam?”
I Ktut Regeg menjauhi jendela dengan hati-hati.
Dia merasa kalau lelaki di luar itu hendak berniat
tidak baik.
“Apa akalku supaya dia cepat-cepat pergi...,” desis
pemuda tanggung itu, amat perlahan. “Ah! Aku ada
akal....”
Wajah anak muda tanggung itu berseri. Benaknya
memunculkan rencana kecil. Akan diteriakinya lelaki
itu sebagai maling! Tak peduli maling ayam, atau
maling jemuran, maling sandal, atau maling sundal.
Bergegas I Ktut Regeg menguak daun jendela.
Mulutnya terbuka lebar, siap meneriakkan kata
maling.
“Ma....”
Teriakan I Ktut Regeg tak dilanjutkan, terhenti
begitu saja seperti orang tersedak. Dengan mulut
masih menganga, I Ktut Regeg celingukkan ke sana
kemari. Orang yang hendak diteriaki ternyata sudah
tidak terlihat lagi, menghilang bagai hantu.
I Ktut Regeg mengusap-usap mata tak percaya.
“Ah! Barangkali aku masih bermimpi. Dan lelaki
jelek itu adalah penjelmaan bidadari. Hi hi hi...,
bidadari malang,” ceracau I Ktut Regeg.
Dia menguap lebar-lebar, lalu melangkah kembali
ke balai-balai kayunya.
Baru saja I Ktut Regeg hendak merebahkan tubuh
di sana, satu suara keras mengejutkannya.
Brak!
Kontan saja anak muda tanggung itu terlonjak
sambil teriak-teriak kelimpungan.
“Maliiing! Maliiing! Ada bidadari jadi maliiing!”
“Aaa!”
Menyusul, suara jeritan Idayu Wayan Laksmi dari
kamar tengah.
I Ktut Regeg sekali lagi tersentak. Teriakannya
macet seketika. Rasanya, sekarang ini dia tidak
bermimpi! Untuk meyakinkan diri disiapkannya
kepalan ke hidungnya, lalu segera dilayangkan tanpa
ragu. Bukh!
“Aduh... aduh! Sakit! Wah! Berarti aku tidak
mimpi!” seru pemuda tanggung itu tersadar.
Hidung I Ktut Regeg yang berdenyut-denyut
dipegangi seraya berlari ke kamar kakaknya.
“Mbok! Ada apa Mbok?.”
Setibanya di kamar Idayu Wayan Laksmi, I Ktut
Regeg hanya menemukan balai-balai kayu Idayu
Wayan Laksmi yang kosong berantakan. Idayu Wayan
Laksmi tak ada lagi di sana. Sementara, dinding bilik
di sebelah timur kamarnya sudah jebol. I Ktut Regeg
jadi teringat kejadian kemarin. Dinding bilik yang baru
saja diperbaiki kemarin juga jebol sewaktu Idayu
Wayan Laksmi diculik.
“Jangan-jangan Mbok diculik lagi,” duga I Ktut
Regeg.
Tiba-tiba saja, pemuda itu berlari ke kamarnya
kembali. Di dekat jendela kamarnya, dia berteriak
sekali lagi.
“Tolooong! Bukan maliiing! Bukan maliiing! Eh...
penculiiik! Penculiiik! Mbok-ku diculiiik!”
Anak muda tanggung itu terus berteriak blingsatan,
sampai beberapa penduduk datang membawa
senjata masing-masing.
***
Sementara itu di desa dekat pantai barat Buleleng,
Andika dan Ki Lantanggeni telah mendapat
keterangan dari salah seorang penduduk yang
menegaskan, kalau peti berukir yang sedang dicari
memang telah dibawa dua lelaki. Seorang berwajah
buruk dengan badan agak bungkuk, dan seorang lagi
mengenakan caping keranjang.
Tapi ketika Andika menanyakan ke mana dua
lelaki yang dilihat penduduk itu, jawaban yang didapat
tidak memuaskan. Ternyata si Nelayan tidak tahu ke
mana Sepasang Datuk Karang membawa peti berukir
itu. Dia hanya memberi petunjuk kalau dua lelaki
yang dilihatnya pergi ke arah utara.
Sesudah menghaturkan terimakasih, Andika dan
Ki Lantanggeni langsung memacu tubuh ke arah
utara. Mereka berharap, belum terlambat untuk
mengejar Sepasang Datuk Karang.
Jarak ke utara yang ditempuh sudah cukup jauh.
Saat itulah mereka menangkap sesosok tubuh yang
berkelebat, sama cepat dengan gerakan mereka. Di
punggung orang itu tampak beban sebesar manusia.
Meski tampak lebih berat dari badannya sendiri yang
agak kurus membungkuk, orang itu tidak terlihat
mengalami hambatan saat berlari dengan membawa
beban.
Andika dan Ki Lantanggeni cepat bersembunyi di
balik serumpun pohon kelapa. Keduanya memang tak
ingin diketahui oleh lelaki yang mencurigakan itu.
Terlebih-lebih sampai bentrokan.
“Sepertinya aku pernah melihat orang itu,” bisik
Andika perlahan pada Ki Lantanggeni.
“Bagaimana kalau kita coba ikuti dulu?” usul Ki
Lantanggeni.
Andika setuju. Mereka pun mulai membuntuti
lelaki yang dicurigai. Orang yang dikuntit memang
melewati daerah terbuka dengan sinar bulan yang
samar menerangi seluruh tubuhnya. Namun baik
mata Andika maupun Ki Lantanggeni bisa melihat
siapa sesungguhnya orang itu.
“Dia adalah salah seorang dari Sepasang Datuk
Karang,” ucap Andika tak kentara.
Ki Lantanggeni masih bisa menangkap ucapan
pendekar muda di sisinya.
“Siapa dia?” tanya orang tua itu ingin tahu.
“Dialah orang yang telah membunuh tiga sesepuh
Buleleng,” jawab Andika, memperjelas keterangan-
nya.
“Sepasang Datuk Karang? Tapi, mana yang
seorang lagi. Bukankah kau bilang Sepasang Datuk
Karang dua orang?”
“Itulah yang harus kita ketahui, Ki.”
“Kalau begitu, aku akan meringkusnya....”
“Jangan, Ki. Apa kau tak ingat dengan peti berukir
itu?”
Ki Lantanggeni menoleh pada Andika. Dia belum
paham maksud Pendekar Slebor.
“Nelayan tadi berkata, kalau mereka telah men-
dapatkan peti itu. Jadi, pasti mereka sedang mencoba
menjalankan satu rencana. Biar kita ikuti lelaki itu.
Dengan begitu, mungkin dia akan membawa kita
langsung pada peti berukir tersebut, sekaligus bisa
bertemu kawannya. Sekali tepuk, dua nyawa!”
Ki Lantanggeni tersenyum. Baru dimengerti
maksud Pendekar Slebor. Dalam hati, dia sempat
memuji kecerdikan pemuda yang baru saja dikenal-
nya.
“Kalau begitu, mari kita ikuti lagi! Jangan sampai
kita kehilangan jejak,” ajak Ki Lantanggeni.
Mereka pun mengerahkan ilmu meringankan
tubuh masing-masing, berlari cepat di belakang
Gumbala dalam jarak yang cukup aman, sehingga
orang yang dikuntit tidak merasa curiga.
Tak ada sepenimum teh kemudian, Andika dan Ki
Lantanggeni melihat Gumbala tiba di bibir Goa
Karang Hitam.
“Kang! Aku telah mendapatkan seorang perawan,
Kang!” seru Gumbala gembira.
Tak ada sahutan dari dalam goa.
“Kang?”
Gumbala memajukan kepala. Diperhatikannya
dalam goa tajam-tajam.
“Kang? Kau masih di dalam, Kang?” tanya
Gumbala.
Laki-laki buruk rupa itu mulai melangkah masuk.
Padahal, semula dia berharap Lalinggi menyambut-
nya dengan senyum lebar di luar karena telah
berhasil menjalankan tugas dengan sempurna.
Tak jauh dari Goa Karang Hitam, Andika dan Ki
Lantanggeni saling berpandangan.
“Tampaknya orang yang satunya sedang tidak ada
dalam goa itu, Ki,” bisik Andika. “Ah! Aku jadi ada
akal, Ki....”
Lalu tanpa memberi kesempatan Ki Lantanggeni
bertanya, pemuda itu langsung saja mengangkat
tangan ke depan mulut.
“Hoi! Aku di sini!” teriak Pendekar Slebor dengan
suara dibuat tersamar mungkin.
Gumbala yang mendengar teriakan Andika segera
mengurungkan niat untuk masuk ke dalam goa.
“Kang?! Apa kau di sana, Kang Lalinggi?!” tanya
Gumbala.
“Yhuaaah!” sahut Andika.
“Sedang apa di situ, Kang?” tanya Gumbala heran.
Matanya mencari-cari ke asal suara.
“Cepat ke sini, kau!” teriak Andika lagi.
Gumbala baru hendak meletakkan beban di
pundaknya yang ternyata Idayu Wayan Laksmi. Tapi,
kembali terdengar teriakan Andika.
“Bawa sekalian perempuan itu!”
“Baik, Kang!” sahut Gumbala. “Heran?! Sedang
apa Kang Lalinggi di sana, ya?” gumam Gumbala,
sambil melangkah ke balik karang tempat
persembunyian Andika dan Ki Lantanggeni.
Sewaktu hendak melangkah ke balik karang,
Gumbala akan membuka suara kembali. Dia ingin
membanggakan hasil kerjanya pada Lalinggi yang
dikira berada di balik karang. Tapi belum sempat
mulutnya menganga, satu sergapan cepat datang ke
arahnya.
Tuk!
Mata Gumbala kontan membalalak. Tubuhnya
mengejang seketika, setelah itu lunglai. Dia ter-
jerembab bersama tubuh Idayu Wayan Laksmi yang
juga dalam keadaan tertotok!
Bruk!
“Kau mencari kakangmu?” ledek Andika.
Mata Pendekar Slebor tampak memelototi tubuh
yang tanpa bisa bergerak.
“Lihat jelas-jelas dengan matamu yang sebesar
koreng itu. Apa aku kakangmu?” lanjut Pendekar
Slebor seraya membantu Idayu Wayan Laksmi berdiri,
setelah membebaskan totokan di tubuh wanita ayu
itu.
Dengan gerakan lembut Idayu Wayan Laksmi
berdiri, dan langsung memandang Andika.
“Kau tidak apa-apa, Laksmi?” tanya Andika.
Wanita itu menggeleng. Wajahnya pucat pasi.
Sedangkan satu tangannya mendekap bahu sebelah
kanan.
“Kenapa?” tanya Andika lagi.
Tidak apa-apa, Beli! Aku hanya tergores batu
karang sewaktu lelaki itu jatuh tadi.”
Biar kulihat...,” Andika memeriksa luka Idayu
Wayan Laksmi.
Bahu gadis itu memang tidak terluka terlalu parah.
Tapi, goresannya cukup dalam. Darah pun mulai
membasahi pakaian di bagian bahunya.
“Ah! Maafkan aku, Laksmi. Aku tak cepat-cepat
menangkap tubuhmu tadi. Aku tak tahu kalau orang
yang dibopong lelaki jelek ini ternyata dirimu,” sesal
Andika. “Biar kubalut dengan kainku....”
Andika segera melepas kain bercorak catur dari
pundaknya.
“Tak usah..., tak usah Beli. Aku tak apa-apa.
Sungguh...,” cegah Idayu Wayan Laksmi sungguh-
sungguh.
“Tidak! Kamu harus dibalut,” tegas Andika
bersikeras.
Pendekar Slebor mulai mengangsurkan kain
miliknya ke bahu Idayu Wayan Laksmi. Dan Idayu
Wayan Laksmi pun rupanya bersikeras pula. Satu
tangannya menahan tangan pemuda tampan di
depannya itu, sehingga tangan keduanya bertemu.
Tanpa disadari, tangan mereka saling terpagut.
Andika terpaku. Ada sebentuk kehangatan men-
jalar dari tangan wanita ayu yang pernah ditolongnya
dulu. Kehangatan yang sulit sekali dijelaskan oleh
kata-kata. Ditemukannya mata lentik Idayu Wayan
Laksmi. Pada saat yang sama, Idayu Wayan Laksmi
pun menatap mata berkesan tegar milik Andika.
“Oh, Tuhan.... Betapa sempurna kecantikan wanita
ini,” bisik Andika dalam hati.
“Hm... ehem.” Ki Lantanggeni di belakang Andika
berdehem-dehem usil.
Andika tersadar. Untung saja Pendekar Slebor
masih bisa menguasai diri, kalau tidak tentu sudah
gelagapan seperti orang tolol.
“Oh, ya. Ki Lantanggeni, perkenalkan.... Ini
Laksmi,” tutur Andika memperkenalkan si Gadis pada
Ki Lantanggeni.
Orang tua bercaping dan selalu tampak tenang itu
menjura dalam, seolah-olah tidak terlalu mem-
persoalkan kalau yang diperkenalkan padanya
berusia jauh lebih muda darinya. Merasa risih pada
penghormatan Ki Lantanggeni, Idayu Wayan Laksmi
pun bergegas menundukkan tubuh lebih dalam.
“Bagaimana, Andika?” tanya Ki Lantanggeni.
“Ah! Itu tadi kan hanya sikap wajar seorang anak
muda sepertiku, Ki. Aku tak bisa menjadikannya
kekasih. Kau kan tahu, aku masih memiliki tugas lain
di dunia persilatan,” bisik Andika di telinga Ki
Lantanggeni.
Lelaki tua itu mendadak saja terkekeh.
“Hei? Aku bukan menanyakan perihal hubungan-
mu dengan gadis ayu ini,” kata Ki Lantanggeni sedikit
dikeraskan agar Idayu Wayan Laksmi bisa men-
dengar. “Aku menanyakan, bagaimana tindakan kita
selanjutnya....”
Andika melotot. Seluruh pipinya mendadak
matang! Lebih merah dari daging panggang!
“Mati aku,” gumam Pendekar Slebor dengan
menutup kelopak mata. Malu sekali hatinya!
***
SEMBILAN
Andika dan Ki Lantanggeni akhirnya sepakat untuk
memasuki Goa Karang Hitam. Mereka berharap, di
dalam sana dapat menemukan peti berukir tempat
kepala Artapati yang lebih dikenal sebagai Ki Rawe
Rontek.
Pada saat bersamaan, ketika mereka baru men-
jejakkan kaki di bibir goa, Lalinggi tiba. Di pundaknya
ada seorang perawan yang didapat entah dari desa
mana. Yang pasti, bukan dari desa di sekitar pantai
barat Buleleng.
Mengetahui ada tiga orang hendak masuk dalam
goa, Lalinggi menghentikan langkah. Dengan sekali
genjot tanpa menimbulkan suara, laki-laki bercaping
itu berpindah ke tempat tersembunyi. Dari sana
diperhatikannya ketiga penyusup itu.
“Keparat.... Anak muda itu bisa membawa
kesulitan besar padaku,” geram Lalinggi saat
mengenali Andika.
Dia tahu, bagaimana ketinggian ilmu kesaktian
Andika yang hingga saat itu belum dikenalnya sebagai
Pendekar Slebor, karena pernah pula menyaksikan
pertarungan Andika dengan Gumbala.
“Ke mana pula si Gumbala?” bisik Lalinggi kesal.
“Sendiri seperti ini, menghadapi pemuda itu saja
belum tentu aku akan menang secara mudah. Apalagi
dengan dua orang yang bersamanya itu....”
Lalinggi meletakkan wanita yang diculiknya ke
tanah. Sambil melakukannya, kepalanya menoleh
kian kemari, mencari-cari Gumbala.
Dengan gelisah, Lalinggi menunggu. Dia makin
gelisah ketika Andika, Ki Lantanggeni dan Idayu
Wayan Laksmi telah hilang tertelan goa.
“Keparat.... Ke mana Gumbala?! Semua rencana
yang bertahun-tahun kuusahakan bisa berantakan
dalam sekejap,” gerutu Lalinggi.
Karena dorongan kegelisahan yang bergeliat
dalam diri, Lalinggi berjalan hilir-mudik di tempat
persembunyiannya. Sampai suatu saat, kakinya
terantuk sesuatu.
“Sialan!” maki Lalinggi jengkel dengan suara
tertahan.
Baru saja laki-laki bercaping itu hendak meng-
angkat kaki hendak menendang sesuatu di tanah
yang dikiranya tumpukan karang, mendadak saja
niatnya diurungkan. Dari balik caping penutup wajah
diperhatikannya sesuatu yang menghalangi barusan.
“Gumbala...,” desis Lalinggi kaget.
Sementara di dalam goa, Andika dan Ki
Lantanggeni serta Idayu Wayan Laksmi telah sampai
di tempat Lalinggi dan Gumbala mempersiapkan
upacara kebangkitan Ki Rawe Rontek.
“Apa-apaan ini?” tanya Andika seperti tak
ditujukan pada siapa-siapa.
DitatapnyaKi Lantanggeni, meminta penjelasan
pada lelaki yang sudah banyak makan asam garam
dunia persilatan itu.
Ki Lantanggeni melangkah lebih dekat pada jasad
Ki Rawe Rontek yang tertutup kain hitam lebar.
“Tampaknya Sepasang Datuk Karang hendak
menghidupkan kembali saudara seperguruanku,”
gumam laki-laki tua itu menjawab keingintahuan
Andika.
Andika kembali menatap mata Ki Lantanggeni
lekat-lekat. Dia tak puas atas penjelasan lelaki tua itu.
Ki Lantanggeni mengerti maksud Andika.
“Kau masih ingat ceritaku tentang ajian hitam
'Rawe Rontek'?! Ilmu itu akan tetap tinggal bersama
jasad si Penganutnya, meski telah lama mati. Jika
suatu saat ada orang lain menolongnya menyatukan
kembali bagian tubuhnya lalu melaksanakan suatu
upacara gaib, dia akan bisa membangkitkan kembali
ilmu hitamnya. Pada akhirnya, dia akan bangkit
kembali dari kematian...,” jelas Ki Lantanggeni.
Idayu Wayan Laksmi bersidekap rapat. Bahunya
terangkat dalam getaran halus. Dia jadi merinding,
mendengar pengungkapan lelaki tua yang baru
dikenalnya itu. Selama hidup, baru kali ini dia
mendengar tentang ilmu sesat yang mengerikan.
“Lalu kenapa belum juga hidup kembali?” tanya
Andika, sambil menyusul Ki Lantanggeni ke dekat
jasad Artapati alias Ki Rawe Rontek.
Ki Lantanggeni diam sesaat. Pikirannya mencoba
menerka-nerka.
“Hmmm… Mungkin ada satu persyaratan yang
kurang...,” duga laki-laki tua itu datar.
“Persyaratan apa?”
Ki Lantanggeni menatap Idayu Wayan Laksmi yang
masih menciut ketakutan di satu sudut dinding goa.
Andika jadi turut memperhatikan gadis ayu itu.
“O, aku mengerti,” sela Andika. “Tumbal. Begitu
maksudmu, Ki?”
Ki Lantanggeni mengangguk sekali.
“Darah seorang perawan suci mungkin adalah
syarat terakhir. Itu sebabnya, mereka berusaha
menculik Laksmi....”
Demi mendengar percakapan kedua orang
berbeda usia itu, Idayu Wayan Laksmi merasakan
bulu kuduknya kian meremang hebat. Mimik wajah-
nya memperlihatkan ketakutan dalam. Setarikan
napas berikutnya, gadis itu berlari mendekati Andika.
Dipeluknya pemuda itu dari belakang, sehingga
membuat pendekar ugal-ugalan itu tak bisa berkutik.
Kecuali, senyum-senyum pada Ki Lantanggeni seperti
lelaki kehilangan akal.
“Tak perlu takut, Laksmi...,” ucap Ki Lantanggeni.
“Ya, tak perlu takut,” timpal Andika. “Toh kau
sudah selamat, dan aku masih ada di sampingmu.
Juga Ki Lantanggeni....”
Bujukan Ki Lantanggeni dan Andika percuma.
Ketakutan gadis itu tidak juga bisa diredam, meski
sedikit. Malah dia makin merapatkan tubuh pada
Andika. Kala itulah, tanpa disadari mereka darah dari
luka di bahu Idayu Wayan Laksmi menetes jatuh ke
kain hitam penutup mayat Ki Rawe Rontek. Menetes
dan menetes....
“Hei?! Kalian yang ada di dalam goa! Keluar!”
Mendadak terdengar suara lantang seseorang dari
luar.
Andika dan Ki Lantanggeni menoleh tenang
dengan mimik wajah tak berubah. Lain halnya Idayu
Wayan Laksmi. Gadis itu terlonjak tak alang kepalang.
Wajahnya makin kehilangan darah. Kalau saja Andika
tak segera mendekap mulutnya, mungkin akan
menjerit sejadi-jadinya.
“Aku tahu kalian ada di dalam. Jadi, jangan
berpura-pura!” suara itu membahana kembali. “Aku
juga tahu, kalian pula yang telah memperdayai
pasanganku di balik batu karang. Kini, dia telah
kubebaskan. Itu berarti kalian bisa menghadapi kami,
Sepasang Datuk Karang, secara langsung. Tak perlu
lagi main kucing-kucingan, jika kalian memang bukan
pengecut!”
“Wah! Si Tuan Rumah tampaknya marah, Ki,” kata
Andika acuh tak acuh. “Sebagai tamu yang baik, kita
tentu harus memenuhi permintaan mereka....”
Dengan gaya dibuat-buat, Andika membungkukkan
badan sambil mengayun satu tangan perlahan. Diper-
hatikannya Ki Lantanggeni.
“Sebagai orang yang lebih tua, kau patut
didahulukan...,” seloroh Andika.
Ki Lantanggeni tertawa lebar.
“Kau jadi mengingatkan aku pada cerita seorang
pendekar muda tanah Jawa Dwipa yang amat
tersohor dengan julukan Pendekar Slebor, Andika...,”
ucap orang tua itu sambil melangkah.
Andika mengerutkan kening.
“Memangnya aku ini siapa?! Bagong, atau
Semar?” ceracau hati Andika.
Lalu Pendekar Slebor pun mengikuti lelaki tua itu
keluar seiring seulas senyum dikulum. Idayu Wayan
Laksmi mengikuti rapat di sisinya.
Di luar, Sepasang Datuk Karang menunggu garang.
Keduanya berdiri tegang bagai dua tonggak kayu tak
bernyawa. Cara berdiri mereka begitu menantang.
Lalinggi mendekap tangan di depan dada, sedangkan
Gumbala bertolak pinggang angkuh.
“Hei?! Apa kabar!” sapa Andika setibanya di mulut
goa dengan maksud mengejek. “Kita bertemu lagi,
ya? Ada perlu apa? Menagih utang atau minta
digebuk?”
“Jangan banyak omong lagi, Kang,” bisik Gumbala.
“Mereka bisa menggagalkan usaha kita yang sudah
dibangun bertahun-tahun.”
Lalinggi mengangguki Gumbala. Dia setuju
pendapat lelaki berwajah buruk itu. Lalu dengan
gerakan kepala diberinya isyarat pada Gumbala untuk
segera menghajar Pendekar Slebor.
Gumbala tampak senang. Tak tanggung-tanggung
lagi, dipersiapkannya pukulan tenaga dalamnya.
Seperti pernah dipakai saat menghancurkan gubuk
salah seorang sesepuh Buleleng, Gumbala meng-
gerakkan sepasang tangannya dalam bentuk paruh
burung gagak. Sesaat dicobanya memusatkan
seluruh kekuatan tenaga dalam pada kedua tangan.
Saat berikutnya....
“Hiah!”
Wesss!
Serangkum angin pukulan keras memburu ke arah
Pendekar Slebor, Ki Lantanggeni, dan Idayu Wayan
Laksmi.
Pendekar Slebor terkejut. Begitu juga lelaki tua di
sisinya. Mereka sama sekali tidak menduga kalau
orang itu akan melepaskan pukulan jarak jauh. Idayu
Wayan Laksmi yang tak biasa menghadapi keadaan
seperti itu malah menjerit tak tanggung-tanggung.
“Aaa!”
Dilihat dari tempat mereka berdiri, ketiga orang itu
benar-benar dalam keadaan yang tidak mengun-
tungkan. Di bibir goa, mereka tak bisa bergerak
terlalu bebas, meskipun Pendekar Slebor termasuk
dalam jajaran tokoh atas aliran putih. Terlebih, karena
pukulan jarak jauh Gumbala yang melingkupi hampir
seluruh mulut goa.
Maka mau tak mau Pendekar Slebor melakukan
tindakan yang cukup nekat. Beriring teriakan yang
sanggup merontokkan bebatuan dinding goa,
pendekar muda dari Lembah Kutukan itu merangsek
ke depan. Pukulan jarak jauh Gumbala akan
dihadangnya tanpa persiapan benteng pertahanan
diri yang matang.
“Hiaaa!”
Des!
Pukulan tanpa wujud Gumbala seketika menghajar
seluruh bagian tubuhnya, bagai satu sapuan topan
raksasa. Pakaian di sekujur tubuh Pendekar Slebor
langsung koyak-koyak. Tubuhnya yang meluncur ke
depan terhenti sekejap, setelah itu mulai terseret ke
belakang kembali.
“Hiaaa!”
Pendekar Slebor bertahan, dengan mencoba
mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan yang masih sempat dapat dikerahkan dalam
keadaan terlambat seperti itu. Maka benturan dua
kekuatan hebat itu membuat sepasang kakinya mulai
melesak, karena hendak mempertahankan kuda-
kuda. Dalam sekejap, kakinya sudah terkubur ke
bumi sebatas betis.
Sekujur tubuh Pendekar Slebor saat itu bagai
ditimpa beruntun ribuan kerikil tajam. Dirasakannya
setiap pori-pori kulit seperti hendak terbelah.
“Ki Lantanggeni! Cepat keluarkan Laksmi dari
mulut goa!” teriak Pendekar Slebor di sela jeritan.
Ki Lantanggeni cepat tanggap maksud Andika.
Kalau dia tetap di mulut goa, keadaan akan makin
tak menguntungkan. Maka cepat disambarnya tubuh
Idayu Wayan Laksmi, langsung melesat keluar.
Bersamaan dengan keluarnya Ki Lantanggeni dan
Idayu Wayan Laksmi, Pendekar Slebor melepas
pertahanan. Seketika tubuhnya dihentakkan keluar
dari terjangan angin pukulan jarak jauh Gumbala.
“Khiaaah!”
Ketika Pendekar Slebor berpuntar di udara, sisa
pukulan jarak jauh lawan tanpa tertahan lagi meng-
hantam bibir goa. Maka bongkahan batu sebesar
manusia pun beruntuhan. Akibatnya, mulut Goa
Karang Hitam tertimbun cepat.
Menyadari pukulan jarak jauhnya dapat membuat
seluruh goa tertutup bongkahan-bongkahan batu
cadas, Gumbala cepat menghentikan pengerahan
ilmu andalannya.
“Kau tak apa-apa, Andika?” tanya Ki Lantanggeni,
saat Andika tiba di depannya dalam keadaan tak
karuan.
“Tak apa-apa, Ki,” sahut Andika.
Berhubung ada gadis yang bersama Ki
Lantanggeni di belakangnya, Andika lebih sudi bilang
tak apa-apa. Padahal dadanya begitu sesak! Tak
cuma itu. Dari lubang hidung si Pendekar Urakan itu
pun merembes darah segar. Andika baru menyadari
ketika merasakan anyir darah itu mengalir ke
mulutnya.
“Hey, binatang langka itu telah membuat hidungku
berdarah,” gerutu Pendekar SIebor berbisik mangkel.
Baru saja Andika menyeka hidung dengan koyakan
tangan bajunya, Lalinggi ganti menyerang. Lelaki yang
biasanya bersikap setenang permukaan telaga dan
sedingin es itu, kini berubah seratus delapan puluh
derajat. Tentu saja penyebabnya karena kegusaran-
nya, akibat tindakan ketiga orang itu yang
mengacaukan rencananya.
“Kau telah membuat rencanaku kacau balau,
Pemuda Sialan!” maki Lalinggi murka seraya
melabrak Pendekar Slebor garang.
“Hih!”
Deb! Deb!
Seperti Gumbala, Lalinggi pun tak ingin tanggung
tanggung lagi menghadapi lawannya. Jurus-jurus
maut tingkat tertinggi yang dimilikinya langsung
dikerahkan. Sepasang tangan dan kakinya menyabet
deras dengan gerakan berputar bergantian, ke arah
kepala dan kaki Pendekar Slebor.
Untuk serangan kalap itu, Andika mengeluarkan
jurus yang sudah amat dikenal kalangan kaum
persilatan. Jurus 'Memapak Peti Membabibuta'. Dia
tahu, serangan lawan harus dihadapi dengan jurus-
jurus utamanya.
Seperti orang gila kelimpungan, Pendekar Slebor
menangkis sabetan demi sabetan tangan dan kaki
lawan.
Des! Des! Des!
Lalinggi tersentak mundur beberapa tindak.
Dirasakan tangan dan kakinya seperti baru saja
menimpa benda tak terlihat yang demikian keras.
Sehingga membuat sekujur tangan dan kakinya
berdenyut-denyut nyeri. Bagaimana lawan bisa
bergerak secepat itu? Padahal, dia telah melancarkan
serangan cepat yang sanggup meremukkan empat
puluh batang besi sekaligus. Itu sebabnya, jurusnya
diberi nama 'Empat Puluh Hantaman Dewa'.
Lebih herannya lagi, pemuda itu bergerak seperti
main-main, tak seperti biasanya orang bertempur.
Tapi setiap gerakan yang dibuat sanggup mem-
bentengi sekujur tubuhnya dalam satu gebrakan!
Empat-lima tombak di belakang Pendekar Slebor,
Ki Lantanggeni juga tersentak. Matanya terbelalak tak
percaya pada penglihatannya. Dia hampir-hampir tak
melihat tangan Andika bergerak menangkis, kecuali
gerakan-gerakan ngawur ke berbagai arah. Tapi
kenyataannya, hantaman-hantaman lawan kandas
begitu saja!
Sampai di situ, Ki Lantanggeni baru sadar kalau
pemuda yang selama ini bersamanya adalah seorang
pendekar kalangan atas. Di tanah Jawa Dwipa,
mungkin dia begitu terkenal! Sayang, dia tidak
mengetahui julukan pemuda itu.
Lain lagi Lalinggi. Tidak seperti Ki Lantanggeni
yang telah lama mengucilkan diri di Pulau Bali,
Lalinggi adalah tokoh sesat yang masih berkubang di
dunia persilatan. Dengan begitu, dia sering men-
dengar kabar burung mengenai seorang pendekar
kenamaan berusia muda yang memiliki jurus aneh....
“Kau.... Pendekar Slebor,” desis Lalinggi kaget.
Meskipun hanya berbisik, ucapan Lalinggi tertangkap
pula telinga Ki Lantanggeni. Untuk kedua kalinya,
lelaki tua itu terperangah.
“Apa? Pendekar Slebor?” sentak hati orang tua itu.
Lagi-lagi dia hampir tak percaya. Bodoh sekali dia
selama ini, tak mengetahui kalau pemuda itu adalah
pendekar muda dengan nama besar Pendekar Slebor.
“Gumbala! Bantu aku! Kita menghadapi lawan
berat!” seru Lalinggi tak malu-malu.
“Apa, Kang?!”
“Bodoh! Cepat ke sini dan bantu aku! Pemuda
sialan ini ternyata Pendekar Slebor!” teriak Lalinggi
kalap.
Gumbala yang hendak memeriksa goa, mendadak
terbelalak. Matanya makin membesar saja seperti
hantu telat buang air!
“Cepat, Goblok! Kenapa jadi bengong seperti itu!”
bentak Lalinggi makin kalap.
“Iy... iya, Kang!” sahut Gumbala tersadar. Lalu
segera dia melompat ke sisi pasangannya dengan
genjotan tubuh lebar.
“Siapkan jurus 'Sepasang Iblis Menghimpit Badai'!”
kata Lalinggi memberi aba-aba.
“Siap, Kang!” jawab Gumbala.
Sementara benak laki-laki buruk rupa itu masih
bergumam tak menentu. Pantas, dulu dia begitu
mudah dipermainkan lawan....
Lalinggi mulai mempersiapkan jurus gabungan
andalan mereka. Mula-mula dilakukannya hal yang
amat jarang sekali diperbuat, kecuali pada saat-saat
menghadapi lawan amat berat seperti sekarang.
Dilepaskannya caping di kepala. Dan terlihatlah wajah
asli Lalinggi.
Wajah lelaki itu ternyata tak kalah buruk dengan
Gumbala. Seluruh wajahnya dipenuhi kerutan
mengerikan bagai luka bakar. Bibirnya bagai bentuk
mulut makhluk melata dari rawa, bergelombang men-
jijikkan. Sedangkan hidungnya seperti dikoyak-koyak
pisau tajam! Yang lebih menyeramkan lagi adalah
matanya. Yang bersinar kebiru-biruan menyilaukan!
Kini lelaki itu mengatur pernapasan. Kedua
tangannya kaku di depan dada dengan keadaan
seperti sedang mendekap sesuatu. Satu kakinya
terangkat tinggi, hingga dengkulnya menyentuh siku
kedua tangan. Beberapa saat kemudian, matanya
bertambah menyilaukan. Sinar kebiruan perlahan-
lahan merambat ke sekujur tubuhnya, seakan satu
selimut biru tembus pandang. Rupanya, inti kekuatan
ilmunya kali ini berpusat di mata lelaki itu.
Saat tubuh Lalinggi sudah terbungkus seluruhnya
oleh sinar kebiru-biruan, Gumbala maju ke depan.
Dengan menarik napas dalam-dalam, kedua tangan
Gumbala disatukan dengan tangan Lalinggi.
Keanehan pun terjadi lagi. Sinar kebiru-biruan di
sekujur tubuh Lalinggi mulai merambat pula ke tubuh
Gumbala sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya,
kedua lelaki itu benar-benar terbungkus selubung
sinar tersebut.
“Wan... wah... wah! Ada yang mau main lampu-
lampuan rupanya,” leceh Andika. Kepalanya meng-
angguk-angguk seperti burung pelatuk kurang
kerjaan. “Baik kalau itu yang kalian mau....”
Pendekar Slebor pun mulai mempersiapkan
jurusnya 'Guntur Selaksa'. Jurus ciptaannya ini sering
kali digunakan untuk benteng pertahanan, di samping
untuk melakukan serangan balasan pula. Jurus yang
pernah membuatnya sanggup melindungi diri dari
setiap sambaran lidah petir!
“Iii...!”
Diawali satu lengkingan aneh, Sepasang Datuk
Karang memulai serangan. Lalinggi menghentak
tubuh Gumbala, sehingga pasangannya terayun cepat
di tangannya.
“Iii...!”
Beriring satu lengkingan ganjil kembali, tubuh
Gumbala kini malah berputar. Sedang tubuh Lalinggi
menjadi pusat tumpuannya. Putaran itu makin lama
bertambah cepat.
Pada saat putaran tubuh Sepasang Datuk Karang
menderu ke arah Pendekar Slebor, Andika pun sudah
mencapai pengerahan tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan tingkat terakhir. Kekuatan sakti
dalam tubuhnya membentuk sinar pula, seperti milik
lawan. Bedanya sinar yang membentengi tubuh
Pendekar Slebor berwarna putih keperakan.
Angin besar menerbangkan debu dan kerikil di
sekitar arena pertarungan maut, akibat putaran tubuh
Sepasang Datuk Karang. Dan mereka makin dekat
saja ke arah Pendekar Slebor.
Wrrr!
Angin yang tercipta dari jurus langka Sepasang
Datuk Karang bagai amukan topan badai. Dalam
jarak dua puluh tombak, sekeliling kancah
pertarungan bagai hendak diobrak-abrik. Bahkan
batu-batu karang sebesar kepala manusia mulai
beterbangan, layaknya sekumpulan bulu.
Agar Idayu Wayan Laksmi tak terluka, Ki
Lantanggeni mengambil keputusan cepat untuk
membawanya segera keluar dari sekitar kancah
pertarungan. Disambarnya kembali tubuh Idayu
Wayan Laksmi yang sudah begitu lunglai ketakutan.
Sekitar dua puluh lima tombak dari tempat per-
tarungan, barulah Ki Lantanggeni menurunkan tubuh
wanita Bali itu.
Jarak antara Pendekar Slebor dengan putaran
tubuh Sepasang Datuk Karang tinggal dua tombak
lagi. Angin makin menggila. Pendekar Slebor merasa
tubuhnya bagai hendak dilempar kekuatan raksasa.
“Hiaaa!”
Terdengar teriakan mengguruh terlontar dari mulut
Pendekar Slebor. Tampaknya, dia tak ingin menunggu
dua lawannya sampai. Di akhir teriakan, seluruh otot-
otot kakinya dikejangkan kemudian digenjotnya ke
arah lawan.
Seperti berjalan di dasar laut, kaki Pendekar
Slebor bergerak sejengkal demi sejengkal ditahan
dorongan angin raksasa milik Sepasang Datuk
Karang. Tanah bercadas tempat pijakannya lebur
terparut kakinya, seakan tanah keras itu hanya
berupa tepung.
Pada saatnya, tubuh mereka pun bentrok.
Tangan Pendekar Slebor menjulur ke depan
seperti gerakan seorang pencuri jemuran, siap
menerkam kepala Lalinggi yang masih berpusing.
“Haaaih!”
Des!
Terkaman Pendekar Slebor dapat digagalkan
Sepasang Datuk Karang. Pada saat yang sama,
Gumbala menekuk dua kakinya yang masih melayang
di udara. Maka tangan Pendekar Slebor dan kaki
Gumbala bertemu dahsyat. Benturan selubung sinar
kebiru-biruan dengan selubung sinar putih keperak-
perakan terjadi. menimbulkan percikan-percikan
bunga api di udara.
Cras! Cras!
Sepasang Datuk Karang mencoba menyusun
serangan balasan. Sementara kaitan dua tangan
mereka tiba-tiba terlepas. Tubuh Gumbala terus
berputar. Pada saat sepasang kakinya menghadapi
tubuh Lalinggi, pasangannya itu pun segera
menangkap kakinya.
Wuk!
Tep!
Lalu kedua tangan Gumbala yang kini menghadap
Andika, beruntun mencabik di udara dengan jari
membentuk paruh gagak.
Jep! Jep! Jep...!
Pendekar Slebor tentu saja tak sudi wajahnya yang
masih bagus dan mulus diacak-acak jari tangan
Gumbala. Dengan kedua tangannya ditangkisnya
serangan itu berkali-kali.
Taks! Taks! Taks...!
“Kau tentu ingin merusak wajahku seperti wajah
kalian yang porak-poranda itu! Dasar sirik!” cerocos
Andika. “Sudah jelek, ya jelek saja! Tak usah
mengajak orang lain ikut jelek!”
Pendekar Slebor masih sempat meledek, meski
pertarungan berlangsung dalam tempo yang demikian
cepat.
Pertarungan dahsyat berlanjut. Sembilan puluh
sembilan jurus berlalu cepat seperti angin. Masing-
masing masih terlihat tangguh dengan jurus andalan.
Percikan demi percikan bunga api masih terus
tercipta, mengiringi setiap bentrokan. Deru angin
raksasa ciptaan Sepasang Datuk Karang tetap
menyapu gila ke berbagai arah, ke segenap penjuru.
Selama itu, otak encer pendekar muda dari
Lembah Kutukan itu terus merekam titik-titik lemah
jurus andalan lawan. Tak ada gading yang tak retak.
Dia yakin, ada satu kunci untuk menembus per-
tahanan rapat lawannya.
Memang sampai saat ini, usahanya untuk mem-
bongkar titik lemah jurus kedua lawannya masih tak
menghasilkan apa-apa. Bahkan pada satu kali, jari
tangan Gumbala berhasil menyayat dada Pendekar
Slebor.
Sret!
Maka sobekan luka memanjang dari bahu kiri ke
lambung kanan Pendekar Slebor pun terlihat. Darah
pun merembes dari luka yang cukup dalam.
“Monyet kudis! Setan ileran! Kunyuk bau! Bau!
Bauuu...!”
Umpatan panjang-pendek pendekar yang kadang
lebih cerewet dari mulut nenek-nenek pikun itu pun
merajalela ke segenap kancah pertarungan.
Kepala Pendekar Slebor jadi panas meledak-ledak.
Dengan menghentak-hentak kaki ke tanah dan
kepala menggeleng-geleng tak karuan seperti bocah
kecil dilanda kejengkelan, Pendekar Slebor mencoba
membayar perbuatan Gumbala.
“Hiaaaiii, ai... ai... aiii!”
Orang sinting satu kampung pun kalah dengan
terjangan Pendekar Slebor kali ini. Tangan dan
kakinya merangsek bergantian dalam satu rangkai
jurus yang sulit ditangkap mata biasa. Sesekali
tangannya mengarah ke punggung Gumbala yang
melengkung bak tanda tanya. Sesekali pula, kakinya
menyapu ke leher Lalinggi.
“Akan kubuat punggungmu membengkok ke
depan, Manusia Bau! Agar nanti kau berterima kasih
padaku di liang lahat!” maki Pendekar Slebor.
Wus! Wus! Wus!
Kedua tangan Andika berputar ke depan, hendak
menampar punggung orang yang telah melukainya.
Kecepatan yang terbawa gerakan Pendekar Slebor
kali ini sungguh sulit dipapaki kedua tangan lawan
lagi.
Agar punggungnya tetap awet membungkuk ke
belakang, Gumbala terpaksa melakukan gerakan
yang begitu sulit dalam keadaan berputar seperti itu.
Badannya ditekuk dalam-dalam ke bawah, dan terus
melaju ke kolong selangkangan Lalinggi. Dan
gerakannya dimanfaatkan Lalinggi untuk memutar
tubuh ke depan. Kaki lelaki yang semula selalu
bertopi keranjang itu dengan cepat meluncur lurus ke
depan.
Des!
“Augkh!
Andika mengerang sesaat. Dadanya lagi-lagi men-
jadi sasaran empuk. Sehingga tubuh pendekar muda
itu terlempar deras ke belakang.
“Andikaaa!” teriak Idayu Wayan Laksmi di
belakang sana, khawatir akan nasib pemuda yang
mulai menempati ruang dalam kalbunya.
Tepat lima tombak di depan Ki Lantanggeni dan
Idayu Wayan Laksmi, tubuh Andika berdebam meninju tanah. Punggungnya jatuh lebih dahulu.
Beberapa saat pemuda itu mengerang-erang. Dada
dan punggungnya dirasa bagai dilantak dari dalam.
“Andika kau tak apa-apa?!” seru Ki Lantanggeni.
“Andikaaa! 'Beli' Andikaaa!” teriak Idayu Wayan
Laksmi lagi makin was-was.
Demi mendengar teriakan suara gadis ayu itu,
Andika langsung bangkit walau dipaksakan. Mulutnya
meringis-ringis dengan darah kehitaman membasahi.
Tapi, dasar anak muda kepala batu dan sedikit
sombong, dia malah membusungkan dada sok
jumawa.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawab
Pendekar Slebor sok kuat. Padahal, dadanya masih
terasa remuk.
“Kau yakin, Andika? Biar aku membantumu?”
“Jangan, Ki!” cegah Andika. “Biar aku saja yang
melabrak manusia-manusia bau itu!”
Padahal mulut Pendekar Slebor meringis-ringis
terus. Untung saja saat itu membelakangi Ki
Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi. Kalau tidak,
tentu kedua orang itu bisa melihat wajah mengenas-
kan pendekar muda kepala batu itu.
Pendekar Slebor menarik napas kuat-kuat. Diper-
hatikannya putaran tubuh lawan yang tercipta
kembali, dan kini meluncur ke arahnya. Saat itulah
dia teringat pada serangan terakhir Sepasang Datuk
Karang. Dalam waktu yang demikian cepat, mata
tajamnya menangkap suatu titik yang begitu
dilindungi oleh Sepasang Datuk Karang. Mereka
berusaha berputar mengganti kedudukan, agar lawan
tidak dekat pada titik itu. Titik itu adalah kaitan
tangan milik Lalinggi dengan kaki Gumbala!
“Kali ini akan kubuat kerak kolak kalian!” dengus
Andika, diawali satu seringai.
Pendekar Slebor yakin, telah berhasil memecah-
kan teka-teki kelemahan lawan. Maka tanpa me-
nunggu serangan tiba. Pendekar Slebor melarikan
tubuh deras ke arah mereka.
“Hiaaa!”
Kalau seseorang ingin menilai, tentu mereka akan
melihat gerak lari Pendekar Slebor mirip maling
kesiangan. Tapi di balik itu, sedang disiapkannya satu
terjangan penuh siasat matang. Memang aneh kalau
Andika tak segera tiba di dekat lawannya. Karena, tak
sedikit pun mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang begitu disegani di kalangan persilatan. Dia
memang lari, tapi larinya seperti lari orang awam.
Tindakan Pendekar Slebor sungguh-sungguh mem-
bingungkan lawan. Apa sesungguhnya yang mau
diperbuat pendekar muda yang banyak memiliki
tingkah urakan itu?
Pada saat mereka bertanya-tanya heran dalam
hati, tubuh Pendekar Slebor telah tiba di dekat
keduanya. Dengan lari seperti itu, baik Lalinggi
maupun Gumbala begitu yakin akan segera bisa
merontokkan kembali tubuh Pendekar Slebor.
Dengan lengkingan aneh, mereka memutar tubuh
lebih cepat untuk menghantam Pendekar Slebor. Tapi
di luar dugaan, mendadak saja Pendekar Slebor
mengerahkan kembali ilmu kecepatannya.
“Iii...!”
Wut!
Hantaman sapuan tubuh Gumbala luput, karena
Pendekar Slebor sudah melenting indah gemulai ke
atas. Di udara, dia bersalto cepat. Lalu dilepaskannya
kain pusaka bercorak catur dari pundaknya.
Sret!
Sekedip mata saja, kain pusaka itu sudah melecut
tepat ke arah pegangan tangan Lalinggi.
Prat!
“Wuaaa!”
Lalinggi kontan menjerit tak alang kepalang. Jari-
jemarinya langsung hancur berantakan seperti batang
pohon pisang tertumbuk balok kayu. Tentu saja tubuh
Gumbala jadi terlepas. Lelaki itu kontan terlempar ke
udara.
Entah bagaimana caranya, dalam keadaan masih
tetap di udara Pendekar Slebor melepas inti tenaga
sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan ke arah
Gumbala.
Wezzz!
“Aaa...!”
Tanpa bisa menghindar lagi, leher belakang lelaki
buruk rupa itu termakan telak pukulan jarak jauh
Pendekar Slebor. Lehernya remuk seketika. Bahkan
kepala lelaki itu nyaris saja terlepas, begitu ambruk di
tanah.
Pendekar Slebor kini berdiri dua tombak persis di
depan hidung Lalinggi. Mata kebiru-biruan lelaki itu
membeliak mendapati Pendekar Slebor siap melecut
kain pusaka kembali.
“Wuaaa!” raung Lalinggi, menyangka Pendekar
Slebor akan segera melepas lecutan kembali.
Matanya terpejam, mulutnya membuka lebar seperti
lalat.
Lalinggi menunggu-nunggu lecutan senjata pusaka
Pendekar Slebor, tapi tak juga datang. Takut-takut,
matanya dibuka tapi ternyata Andika sudah tidak ada
lagi di depannya. Tapi, telinganya mendengar tawa
pemuda tersebut di belakang. Ketika menoleh,
tampak Pendekar Slebor tengah memegang
pakaiannya.
“Ini untuk membayar pakaianku yang dirusak oleh
kawanmu...,” kata Pendekar Slebor ringan.
Lalinggi terlonjak. Ketika melirik ke bawah,
tubuhnya sudah polos seperti bayi baru lahir! Entah
malu atau takut mati, laki-laki yang juga buruk rupa
itu langsung lari tunggang langgang sambil me-
lindungi bagian 'rahasianya' dengan tangan hancur.
“Oiii, ada tuyul!” teriak Andika sambil tergelak.
Idayu Wayan Laksmi yang melihat kejadian itu
menutup wajah cepat-cepat. Ngeri campur geli....
***
Bagaimana keadaan jasad Ki Rawe Rontek yang
telah ditetesi darah Idayu Wayan Laksmi secara tidak
disengaja? Apakah dia berhasil bangkit kembali? Apa
sesungguhnya rahasia kelemahan ilmu hitam yang
luar biasa itu, sehingga Ki Rawe Rontek dikabarkan
masih mampu hidup kembali meski kepalanya telah
terpenggal sekalipun? Kalau bangkit kembali,
mampukah Andika menghadapinya?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode :
BANGKITNYA KI RAWE RONTEK
SELESAI
Catatan
* Cokorde = raja
* Beli = panggilan untuk kakak lelaki
* Mbok = kakak perempuan
* Banjar = kelompok keluarga dalam wilayah Bali
* Geg = kependekan Jegeg (manis)
* Monggo = silakan
* Kala = raksasa
* Odah = nenek
0 comments:
Posting Komentar