..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 06 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE DARAH PEMBANGKIT MAYAT

Darah Pembangkit Mayat

 

SATU


Buleleng. Suatu daerah yang cukup indah di Pulau 

Dewata-Bali. 

Purnama mengambang di angkasa. Bisu dengan 

bias cahayanya yang lembut. Bintang-bintang yang 

bertaburan mengintip dari celah awan tipis yang 

bergerak lamban. Seakan, benda-benda langit itu 

mewarnai Hari Raya Galungan yang dirayakan hari ini. 

Seluruh penduduk Buleleng pada hari keramat 

seperti ini selalu mempersembahkan sesaji untuk 

para dewa, diiringi tarian gadis-gadis cantik dan para 

pemuda tampan. 

Cokorde* Buleleng telah meninggalkan upacara. 

Sementara acara terus dijalin oleh pergantian 

pasangan tari. 

Di antara puluhan orang yang meramaikan 

kemeriahan upacara, berdiri seorang pemuda tampan 

di sisi sebuah gapura. Pakaiannya sederhana, terdiri 

dari baju hijau dan celana hijau pula. Pada bahunya 

yang kekar tersampir sehelai kain bercorak catur. 

Sementara tubuhnya bersender di gapura, angin 

malam nan dingin menjamah wajah tampan serta 

rambut sepanjang bahu yang tak tertata itu. Matanya 

yang seperkasa elang, menikmati gelora tari yang 

sedang dipergelarkan. 

Sesekali pemuda itu terlihat menarik napas dalam-

dalam. Entah apa yang menyebabkannya begitu. 

Mungkin sekadar ungkapan keterpesonaannya pada 

keindahan tari. Atau mungkin hanya ingin menikmati

hawa malam. Atau bisa jadi ada sebab lain. Karena, 

matanya saat itu sedang tertuju lekat pada dara 

penari di depan sana. 

“Idayu Wayan Laksmi cantik bukan, Beli*?” usik 

seorang pemuda tanggung di sebelahnya. 

“Apa?” pemuda berpakaian hijau itu malah balik 

bertanya, karena belum menangkap arah ucapan 

pemuda tanggung ini. 

“Itu, penari itu. Dia begitu menawan, bukan?” 

tegas pemuda tanggung tadi. 

“Ooo, ya, ya. Betul,” kata pemuda berpakaian 

hijau-hijau membenarkan sambil mengangguk-

angguk. 

“Namanya Idayu Wayan Laksmi.” 

“Apa?” 

“Namanya Idayu Wayan Laskmi,” ulang si Pemuda 

tanggung. 

“Ooo....” lagi-lagi pemuda berpakaian hijau-hijau 

membulatkan bibirnya, “Dari mana kau tahu?” 

Pemuda tanggung bertelanjang dada dan 

mengenakan penutup kain di pinggang hingga betis 

itu tersenyum bangga. 

“Tentu saja aku kenal. Dia kan, Mbok* saya!” 

cetusnya. 

Pemuda berpakaian hijau-hijau itu tertawa ringan. 

“Kenapa Beli tertawa?” 

“Rupanya kau punya tujuan tertentu membangga-

banggakan kakakmu, ya?” ujar pemuda berpakaian 

hijau-hijau menggoda. 

“Ah, kata siapa?” sangkal pemuda tanggung 

dengan wajah asam. 

“Kataku.” 

“Ah! Mbok-ku terlalu cantik untuk orang semacam 

Beli!” kilah pemuda tanggung itu lagi. Tanpa sadar

telah dilontarkan sendiri tujuannya membangga-

banggakan kakak perempuannya. 

Pemuda berpakaian hijau-hijau itu mengangkat 

bahu. 

“Ya sudah, kalau kau tak memerlukan aku,” kata 

pemuda berpakaian hijau seraya melangkah hendak 

pergi dari tempat itu. 

“Beli tunggu!” tahan si Pemuda tanggung. 

“Nan, kan?” goda pemuda yang penampilannya 

aneh itu. Langkahnya dihentikan. “Kenapa?” 

“Beli jadi kekasih Mbok-ku, ya?” kata si Pemuda 

tanggung ini. Jawaban itu membuat lelaki muda yang 

diajak bicara tertawa kembali lebih keras. 

“Sinting kau, ya?” gurau pemuda yang pada bahu-

nya tersampir kain bercorak papan catur itu. “Kenal 

pun belum, tahu-tahu saja kau sewenang-wenang 

menjodohkan orang!” 

“Tolonglah, Beli...” pintanya memelas. 

Pemuda tampan dan gagah di depannya meng-

garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bibirnya 

memperlihatkan senyum, seperti seekor sapi tolol. 

“Yaaa, aku sih mau saja. Siapa sih, yang sudi 

menolak gadis cantik seperti kakakmu. Tapi kenapa 

kau begitu ngotot menjodohkan aku dengan kakak-

mu? Apa...,” didekatinya pemuda tanggung itu. 

“Kakakmu kakinya berbulu ya? Jadi, tidak ada 

pemuda yang mendekatinya?” 

Pemuda tanggung itu langsung membelalak sewot. 

Ingin rasanya menyemprot pemuda acuh yang mem-

bisikinya itu. 

“Aaah! Jangan cepat naik darah! Aku hanya 

bergurau, kok!” kata pemuda acuh itu, sebelum 

pemuda tanggung di depannya berkata. 

“Jadi Beli mau, bukan?” desak si Pemuda

tanggung. 

“Kalau mau, bagaimana?” 

“Jangan nafsu dulu, Beli!” 

Pemuda berambut gondrong di depannya meng-

umpat dalam hati. 

“Bisa-bisanya anak ini menembakku dengan 

ucapan itu!” 

“Ada syaratnya, Beli!” kata pemuda tanggung itu. 

“Apa?” 

“Nama Beli siapa?” 

“Andika,” jawab pemuda berpakaian hijau yang 

ternyata Andika. Dialah pendekar muda yang begitu 

terkenal sebagai Pendekar Slebor. 

“Beli Andika seorang pendekar?” lanjut si Pemuda 

tanggung. 

“Ngg..., orang bilang begitu.” 

“Pokoknya Beli harus seorang pendekar. Kalau 

tidak, ya tak jadi....” 

Andika mengerutkan kening. Apa hubungannya 

kependekarannya dengan kakak perempuan si 

Pemuda tanggung ini? Keingintahuannya membuat 

Andika jadi bertanya-tanya. 

“Memangnya kenapa?” tanya Andika. 

Pemuda tanggung itu segera menarik Andika ke 

balik gapura. Matanya melirik takut-takut ke 

beberapa arah, seakan takut ada orang mengawasi. 

Di balik gapura dibisikinya Andika dengan suara amat 

perlahan. 

“I Made Raka, punya niat jahat sama Mbok...” jelas 

pemuda tanggung itu. 

“Siapa I Made Raka?” tanya Andika sambil 

menautkan sepasang alisnya. 

“Dia amat ditakuti di banyak Banjar*” jelas 

pemuda tanggung. “Dia jatuh hati pada Mbok. Tapi,

Mbok tidak mau karena tabiat dan prilakunya tidak 

senonoh dan kejam.” 

“Rupanya dia jawara, ya?” tanya Andika. 

“Lagi pula, I Made Raka suka mempermainkan 

wanita, Beli. Sudah dipermainkan, ditinggal begitu 

saja tanpa dinikahi. Banyak wanita yang bisulan gara-

gara dia....” 

“Bisulan?” Andika tak mengerti. 

“Begini....” 

Si Pemuda tanggung itu membusungkan perutnya 

sambil memberi isyarat dengan kedua tangan. 

“Kini, Mbok-ku lah yang mulai diincarnya. Dan se-

belum berangkat ke upacara tadi, sempat kudengar 

dia berbicara dengan dua kaki tangan I Made Raka. 

Kelihatannya, mereka berniat busuk pada Mbok

Laksmi!” sambung si Pemuda tanggung. “Beli mesti 

tolong dia!” 

“Kenapa mesti aku?” tanya Andika. “Apa tidak ada 

orang yang berani menghadapi kecoak-kecoak kudis 

macam mereka?” 

Si Pemuda tanggung lebih mendekat ke telinga 

Andika. Sebentar kepalanya menoleh ke kanan dan 

ke kiri. 

“Sebab I Made Raka masih keluarga dekat 

Cokorde...” 

Andika mengangguk-angguk. Rupanya, orang yang 

bernama I Made Raka tergolong manusia yang me-

nerapkan aji mumpung, dengan memanfaatkan ke-

kuasaan seorang keluarganya untuk berbuat semena-

mena. Manusia macam begini mesti dibuat kerak 

bubur! 

“Bagaimana, Beli!” pancing si Pemuda tanggung 

itu, memenggal kata hati Andika. 

“Bagaimana apanya?”

“Mau kan, jadi kekasih Mbok-ku?” 

“Mmm. Kalau menolong kakakmu dari manusia 

itu, aku mau. Tapi tidak untuk kekasihnya...,” tutur 

Andika. 

“Huh, sombong!” maki si Pemuda tanggung itu, 

merasa tersinggung. 

Andika menyeringai bodoh. Tak terasa dia jadi 

menggerutu sendiri. 

“Memangnya aku ini apa? Kambing congek yang 

gampang diamprok-amprokkan?” 

“Kenapa Beli?” 

“Ah, tidaaak....” 

*** 

Malam terus beranjak makin larut. Tengah malam 

terlewati tanpa terasa. Upacara Galungan telah 

selesai beberapa saat lalu. Sementara para 

pengunjung telah kembali ke rumah masing-masing. 

Begitu pula Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg, 

adiknya yang telah berbicara dengan Andika 

beberapa saat lalu. 

Pendekar Slebor sendiri tidak terlihat bersama 

mereka. Pendekar muda Tanah Jawa Dwipa ini 

berada di sekitar lima belas kaki di belakang kedua 

kakak beradik itu. Dia mengintai sambil berjalan di 

antara semak yang tumbuh di sisi jalan setapak. 

“Ada pemuda asing yang ingin berkenalan dengan 

Mbok Laksmi,” cetus I Ktut Regeg seraya tetap 

melangkah di sisi kakaknya. “Waktu Mbok menari, 

kukatakan kalau Mbok kembang Buleleng. Eee, 

tampaknya dia tertarik sama Mbok.” 

Idayu Wayan Laksmi di sampingnya membelalak-

kan mata. Gadis ini amat tahu, siapa I Ktut Regeg.

Seorang adik yang begitu membanggakan kecantikan 

kakaknya secara berlebihan. Sehingga, terkadang dia 

seperti seorang penjual patung yang sedang memuji-

muji dagangannya sendiri pada pembeli. 

“Dia yang bertanya padaku kok, Mbok,” sergah I 

Ktut Regeg, berbohong. Sementara, kakaknya terus 

memelototi. “Mbok pasti tidak akan melotot seperti 

itu, kalau sudah melihat orangnya. Dia tampan, lho. 

Biarpun yahhh..., penampilannya agak berantakan....” 

Di semak-semak, kini giliran Andika melotot kesal. 

“Setelah urusan ini selesai akan kusumpal mulut 

lancangmu dengan kotoran kerbau!” ancam Andika 

dalam hati. 

Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg terus me-

lanjutkan langkah sambil berbincang ringan. Di 

belakang mereka, Andika tetap menguntit tanpa 

diketahui. Sepanjang perjalanan, berkali-kali matanya 

mengawasi wajah Idayu Wayan Laksmi ketika 

menengok ke belakang. 

Menurut Andika, wanita itu memang luar biasa. 

Kecantikannya yang terpancar di wajahnya begitu 

mempesona. Matanya bulat menggemaskan dengan 

bulu lentik bagai gapaian tangan bidadari. Apalagi 

dengan tanda hitam yang diletakkan pada kedua 

pangkal hidungnya di bawah dahi. Makin meng-

gemaskan saja. Di atas mata itu, sepasang alis tipis 

namun hitam tumbuh memikat. Hidungnya amat pas 

dengan bentuk bibir yang tipis memerah. Sementara 

bagian bawah bibirnya, tampak bagai buah ranum 

menggoda. 

Wanita itu mengenakan kain yang dibebatkan 

sebagai penutup tubuhnya. Pinggangnya dililit 

selendang 'Tengkulang'. 

Sedang rambutnya digelung gaya khas Bali, dihiasi

bebungaan. 

Berbeda dengan adiknya, yang bertubuh kurus dan 

agak hitam. Sedangkan Idayu Wayan Laksmi berkulit 

kuning langsat. Tubuhnya pun sintal. Tak heran kalau 

banyak pria yang jatuh hati padanya. 

Tanpa terasa mereka telah berjalan cukup jauh. 

Rumah kedua kakak beradik itu mungkin sudah 

dekat. Namun sepanjang perjalanan belum ada 

tanda-tanda kalau I Made Raka muncul seperti cerita 

I Ktut Regeg. Andika pun mulai berpikir kalau dirinya 

telah dibodohi seorang pembual kecil bernama I Ktut 

Regeg. 

Ketika kesabaran Andika sudah nyaris habis, 

mendadak tiga kelebat bayangan masuk ke jalan 

setapak dari semak-semak. Mereka langsung meng-

hadang Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg. 

“I Made Raka,” bisik Idayu Wayan Laksmi takut-

takut, saat melihat siapa penghadangnya. 

“Ya, aku. Kau terkejut, Geg*?” tegur I Made Raka 

dengan bibir mengumbar senyum nakal. 

Lelaki itu berwajah cukup tampan. Tubuhnya agak 

kurus dan mengenakan bebatan kain batik sutera. 

Kepalanya yang berambut sepanjang bahu ditutup 

kain berujung lancip pada satu sisinya. 

“Beli mau membiarkan aku lewat, bukan?” ucap 

Idayu Wayan Laksmi ragu-ragu. 

“Aku membiarkanmu lewat?” I Made Raka tertawa 

berderai-derai, diikuti anak buahnya yang berdiri di 

belakang.

Tawa ketiga lelaki itu membuat Idayu Wayan 

Laksmi menjadi kian takut. Direngkuhnya tangan I 

Ktut Regeg kuat-kuat. Sementara, matanya menatap 

takut-takut pada I Made Raka. I Ktut Regeg yang 

direngkuh malah seperti tidak mempedulikan

kedatangan ketiga lelaki di depannya. Matanya sibuk 

melirik ke sana kemari, mencari Andika. Setelah 

matanya menemukan pendekar muda itu di satu 

semak, baru ditatapnya I Made Raka bengis-bengis. 

“Kami akan pulang, Beli,” kata I Ktut Regeg 

mantap. “Jangan coba-coba mengganggu kami!” 

Sekali lagi, tawa ketiga penghadang mereka me-

ledak. 

“Apa aku tak salah dengar? Cacing kecil ini berani 

mengancamku, ya?” kata I Made Raka, setelah tawa-

nya terhenti. 

Dengan gaya seorang ksatria, I Ktut Regeg maju ke 

depan tubuh Idayu Wayan Laksmi. Dadanya yang tipis 

dibusungkan dengan wajah terangkat menantang. 

“Kau tak salah dengar, Beli,” tukas I Ktut Regeg 

sok pahlawan, dengan suara lantang. “Biar bagai-

manapun, aku orang Bali sejati yang siap mengorban-

kan jiwa demi keadilan dan kebenaran. 'Sepi ing 

pamrih rame inggawe'!” 

I Ktut Regeg seakan-akan benar-benar memiliki 

keberanian. Padahal kalau Andika tidak di dekat 

mereka, sudah pasti dia ikut merengkuh tubuh kakak-

nya kuat-kuat. 

“Ha ha ha...!” I Made Raka tergelak nyaring. “Kau 

cukup punya nyali untuk meminta dihajar.” 

“Cobalah!” tantang I Ktut Regeg. 

Kata-kata I Ktut Regeg bagai menginjak-injak 

kepala I Made Raka. Yang makin membuat jengkel, 

anak itu juga memukul dadanya sendiri seraya meng-

angkat wajah tinggi-tinggi. 

“Regeg!” hardik Idayu Wayan Laksmi, mem-

peringati. 

“Biar, Mbok. Jangan dipisahkan!” seru I Ktut Regeg 

jumawa. Padahal, berkelahi pun belum pernah.

“Akan kucincang kau, Bocah!” bentak I Made 

Raka, tak bisa menahan kegusaran. Didekatinya I 

Ktut Regeg dengan langkah terbanting keras. Tangan-

nya siap menghajar wajah I Ktut Regeg. 

Baru saja tangan I Made Raka terangkat tinggi-

tinggi, mendadak satu desiran halus terdengar. 

Wesss...! 

Prot! 

Sesuatu yang lembek dan hangat tahu-tahu 

mampir di telapak tangan lelaki itu. Tak hanya lembek 

dan hangat. Begitu I Made Raka mengendus tangan-

nya, ternyata benda lembek dan hangat itu juga 

bau...! 

“Kotoran sapi sebagai hadiah perkenalan!” ucap 

seseorang tiba-tiba dari belakang Idayu Wayan 

Laksmi dan I Ktut Regeg. 

Seketika I Made Raka melotot lebar-lebar. Diturun-

kan tangannya cepat-cepat. Bodohnya, tangannya 

yang tertiban ampas binatang itu kembali diciumnya. 

Seolah hendak dibuktikan kalau itu benar-benar 

kotoran sapi. Maka, kontan saja wajahnya jadi 

memerah serta cuping hidung terangkat tinggi-tinggi. 

Sebentar kemudian.... 

“Khoeeek!” 

***


DUA


“Siapa orang yang berani kurang ajar pada I Made 

Raka?!” bentak I Made Raka kalap sambil mengibas-

ngibaskan tangan. 

Andika melangkah ke depan. Dari kegelapan 

naungan pepohonan lebat, Pendekar Slebor muncul. 

Wajah dan penampilannya kini jelas terlihat karena 

siraman sinar purnama. 

“Kau bicara padaku?” tanya Andika pura-pura 

bodoh. 

I Made Raka mengawasi Andika tajam. Bola mata-

nya yang nyaris membulat penuh seperti hendak 

menelan pemuda di depannya. Wajahnya tampak 

merah matang, seperti kepiting rebus. 

“Siapa kau?!” tanya lelaki itu menghardik. “Baru 

kali ini kulihat wajahmu!” 

“Rasanya aku juga baru kali ini melihat tampang 

menjengkelkanmu itu,” balas Andika enteng. 

“Siapa namamu?!” ulang I Made Raka lebih keras. 

“Kenapa tanya-tanya segala? Naksir ya?” 

“Bangsat!” 

“He he he...,” Andika malah terkekeh, seperti tak 

merasa bersalah secuil pun. 

“He he he...,” timpal I Ktut Regeg mengikuti gaya 

Andika, membuat kemarahan I Made Raka makin 

menjadi. 

Lelaki itu lalu uring-uringan tak karuan. Dia 

mencak-mencak seperti kakek peot kebakaran 

jenggot.

“Kalian telah mempermainkan keluarga Cokorde! 

Kalian tahu itu?! Kalau kalian tak segera bersujud 

minta maaf padaku, akan menyesal seumur hidup!” 

maki I Made Raka panjang pendek. 

“Wah, gerakanmu nyatanya lebih bagus daripada 

tarian di upacara tadi,” cemooh Andika seraya 

mengusap-usap dagu serta mengangkat satu alisnya. 

“Cukup sudah! Hajar!” perintah I Made Raka pada 

kedua anak buahnya. 

Lelaki bertubuh tinggi dan buntal maju ke muka. 

Dihampirinya Andika dengan wajah dipasang garang. 

Dia mengira orang akan ngeri melihat wajahnya. 

Padahal, mimik mukanya lebih mirip orang dungu. 

Sambil menggeram, tangan lelaki berbadan boros 

itu melayang di udara. Gerakannya lamban, namun 

cukup bertenaga. Bagi Andika, lawannya sekarang ini 

tak lebih cecunguk yang hanya modal tenaga. 

Dengan bibir tetap menyeringai, Pendekar Slebor 

bergerak sedikit ke belakang. Tanpa terlihat bergerak 

sedikit pun, tangannya langsung menjentik ke ikat 

kain penutup tubuh tinggi dan gemuk itu. 

Tes! 

Semuanya terjadi begitu cepat. Sampai-sampai, 

laki-laki itu sendiri tak menyadari kalau kain penutup 

tubuhnya telah melorot. Maka bukan main blingsatan-

nya lelaki berbadan seperti kerbau itu, menyadari 

badannya yang seperti tumpukan lemak terbuka 

bebas tanpa penutup, kecuali celana pendek hitam-

nya. Kedua tangannya berusaha menutupi bagian 

perutnya yang buncit, tapi tetap terlihat seperti kepala 

dedemit sedang mengintip. 

Lalu tanpa mempedulikan Andika lagi, bergegas 

diangkatnya kain dari bawah tubuhnya. Lalu, dia lari 

menuju tempat gelap.

“Awas ada kerbau hamil!” ledek Andika, diiringi 

tawa renyah. 

Kaki-tangan I Made Raka yang lain langsung maju. 

Penampilannya cukup meyakinkan. Kumisnya mem-

bentang, tak beda tanduk kambing buduk. Menilik 

pakaiannya yang berbentuk kemeja hitam tanpa 

kerah serta celana pangsi bisa jadi dia bukan 

penduduk asli Bali. 

Penuh lagak meyakinkan, lelaki itu meloloskan 

golok besar dari libatan kain di pinggangnya. Sret! 

Dia pun menggeram aneh. Barisan gigi kuningnya 

diperlihatkan lebar-lebar seperti tak tahu malu. 

“Akan kubuat daging cincang kau, Anak Muda!” 

ancam laki-laki itu berat. 

“Monggo*...” kata Andika, seraya mengayun 

tangan ke depan untuk mempersilakan. 

“Hiaaah!” 

Laki-laki bertampang bengis ini mulai membuka 

serangan. Satu tebasan telengas ditujukan ke batang 

leher Pendekar Slebor. Meski mata senjata itu nyaris 

mampir di leher, namun Andika masih terlihat tenang-

tenang saja. 

Dan ketika tinggal seujung kuku lagi golok besar 

milik lelaki berkumis baplang membabat lehernya, 

tubuh Pendekar Slebor tahu-tahu berkelebat secepat 

hantu. Gerakan menghindarnya memang terlalu 

cepat, sehingga laki-laki berkumis itu menyangka 

Andika menghilang begitu saja. 

Mata orang itu mendadak melotot sebesar uang 

logam, tanpa berkedip sedikit pun. Bibirnya langsung 

bergetar tergagap-gagap. 

“Ded... ded... de...,” laki-laki berkumis baplang itu, 

tergagap. 

“Dedemit!” bentak Andika.

Seperti dikejar sekawanan setan, lelaki itu 

langsung lari tunggang langgang. Malah kepalanya 

tak sempat lagi menoleh ke arah tuan besarnya yang 

juga ikut melongo, menyaksikan pemuda yang mem-

permainkannya yang tiba-tiba menghilang, dan 

muncul tiba-tiba pula. 

Sesaat kemudian, I Made Raka ikut tunggang 

langgang, mengekori kedua anak buahnya. Masih 

bagus, tak terkencing-kencing. 

“Nah! Sekarang kalian aman untuk meneruskan 

perjalanan pulang,” ucap Andika, setelah ketiga lelaki 

bejat tadi tak terlihat lagi. 

“Oi, hebat! Beli betul-betul pendekar jempolan!” 

puji I Ktut Regeg pada Andika. 

“Ya, ya,” sergah Andika. “Tapi kau juga menyebut 

berantakan tadi, bukan?” 

I Ktut Regeg terkekeh. 

“Ini orang yang kuceritakan tadi, Mbok,” ujar I Ktut 

Regeg langsung menoleh ke arah Idayu Wayan 

Laksmi. Diperkenalkannya Andika. Bahkan langsung 

disambarnya lengan Andika untuk didekatkan pada 

kakaknya. 

“Terima kasih atas pertolongan Beli.” 

Gadis jelita itu tersipu-sipu, meski masih ada sisa 

ketakutan di wajahnya. 

“Aku Andika,” kata Andika memperkenalkan. 

“Laksmi,” balas gadis itu disambutnya uluran 

tangan pemuda tampan di depannya sungkan-

sungkan. 

“Ya, aku sudah tahu,” kata Andika lagi. 

“Dari aku dia tahu, lho Mbok!” sela I Ktut Regeg. 

“Aku tak mau tahu,” tukas Andika acuh. “Bagai-

mana kalau kuantar kalian sampai di rumah?” 

“Ooo.... lebih baik begitu, Beli!” serobot I Ktut

Regeg, sambil mengerling pada kakaknya. 

Idayu Wayan Laksmi tak bisa berbuat apa-apa, 

kecuali menarik napas panjang-panjang. Dan 

sebentar saja, ketiganya sudah nampak berjalan 

beriringan diselingi obrolan ringan. 

*** 

Idayu Wayan Laksmi mempersilakan Andika untuk 

masuk dulu. Mulanya pemuda itu menolak, karena 

hari sudah larut malam. Tapi Idayu Wayan Laksmi 

terus memaksa. Lebih-lebih I Ktut Regeg. Akhirnya 

Pendekar Slebor ikut juga masuk ke dalam rumah 

berbentuk gubuk besar ini. 

“Mana kedua orangtua kalian?” tanya Andika, 

setibanya di dalam ruang tengah. 

“Kami hanya tinggal berdua,” jawab Idayu Wayan 

Laksmi. “Kedua orangtua kami telah meninggal 

beberapa tahun lalu.” 

Andika mengangguk-angguk. Dia ikut prihatin, 

walau tak ditampakkan secara langsung. 

“Silakan duduk, Beli!” 

Andika menggeser bangku kayu berukir, lalu 

duduk. Idayu Wayan Laksmi sendiri pamit pada 

Andika untuk pergi ke belakang sebentar. Sedangkan 

I Ktut Regeg sudah pergi entah ke mana. Anak muda 

tanggung itu tidak terlihat lagi di ruang depan. 

Selang tak lama kemudian, Idayu Wayan Laksmi 

muncul lagi membawa secangkir kopi hangat. Diletak-

kannya cangkir tanah liat itu di meja di depan Andika. 

Langsung dipersilakannya Andika. 

Andika mengangkat cangkir, lalu menyeruputnya. 

“Maafkan adikku, Beli,” Idayu Wayan Laksmi mulai 

angkat bicara, begitu Andika selesai meneguk kopi.

“Mungkin dia telah lancang berbicara pada Beli.” 

“Ah, biasa,” sergah Andika. “Sekarang ke mana 

anak itu?” 

“Di belakang. Entah apa yang dikerjakannya. Tapi 

dia membawa peti berukir dengan golok. Aku tidak 

tahu lagi, apa yang akan dikerjakannya,” ucap Idayu 

Wayan Laksmi. 

“Peti? Peti apa?” 

“Aku tidak tahu, Beli. Katanya, dia menemukannya 

di dekat pantai.” 

“Boleh aku melihatnya?” tanya Andika. 

Idayu Wayan Laksmi mengangguk. Segera diantar-

nya Andika ke halaman belakang rumah mereka. Di 

sana, I Ktut Regeg tampak tengah berusaha men-

congkel tutup peti dengan golok. 

“Apa yang kau kerjakan, Regeg?” 

I Ktut Regeg menoleh pada Andika. 

“Ini, Beli. Aku hanya penasaran pada isi peti ini. 

Tampaknya isinya menarik,” sahut I Ktut Regeg tanpa 

berhenti mencongkel. 

“Boleh kulihat?” pinta Andika, segera berjongkok di 

sisi I Ktut Regeg. 

“Ini....” 

Anak muda tanggung itu menyerahkan peti selebar 

lengan manusia itu. Andika segera menerimanya, 

kemudian memandanginya beberapa saat. 

Peti dari kayu jenis langka itu pada setiap sisinya 

diberi ukiran yang menggambarkan perkelahian 

Kala* dengan seorang ksatria. Cukup berat juga. 

Ketika diguncang-guncangkan, terdengar bunyi se-

suatu yang bergulir. Jelas, peti ini memiliki isi. Entah 

apa, Andika sendiri tak tahu. 

“Beli bisa tolong membukakannya?” 

“Kenapa harus dibuka? Mungkin ini milik se

seorang. Bukankah lebih baik menunggu orang yang 

merasa kehilangan benda ini, kemudian diserahkan 

kembali padanya?” cegah Andika. 

“Tapi aku menemukannya dalam keadaan ter-

kubur ketika hendak....” 

“Eee...,” potong Andika cepat. “Kau lupa pada 

ucapanmu ketika I Made Raka menghadang kalian? 

Kau bilang, kau adalah orang Bali sejati yang sudi 

membela kebenaran dan keadilan dengan 

pengorbanan jiwa?” 

I Ktut Regeg membuang napas. 

“Bagaimana? Setuju?” tanya Andika. 

“Tapi aku hanya ingin melihat isinya, Beli!” 

Andika menggelengkan kepala, lalu bangkit mem-

bawa peti itu masuk ke rumah. 

“Beli....” 

“Aku tak dengar....” 

“Huh, pendekar berantakan!” makinya mangkel. 

*** 

Malam meringkus seluruh pelosok Buleleng. 

Seusai upacara Galungan, desa menjadi sepi. Apalagi 

ketika hari bergulir ke ambang pagi. 

Karena desakan Idayu Wayan Laksmi yang masih 

takut kalau-kalau I Made Raka datang menyatroni 

kembali, Andika akhirnya bermalam di gubuk besar 

milik dua kakak-beradik itu. 

Tempat kediaman itu kini senyap. Baik Idayu 

Wayan Laksmi, I Ktut Regeg, maupun Andika, 

semuanya tidur nyenyak. Rasa letih yang sarat mem-

buat mereka begitu. 

***

TIGA


Jauh di pinggir utara daerah Buleleng, tampak dua 

orang berjalan menelusuri lembah. Ada sesuatu yang 

tengah dilakukan mereka. Keduanya tampak ber-

sama-sama menyeret sebuah peti besar dengan 

tambang yang diikatkan pada satu bagian peti. 

Melihat bentuknya, cepat bisa diduga kalau benda itu 

sebuah peti jenazah. 

Warna peti mati itu sudah begitu kusam. Namun 

karena terbuat dari kayu jenis langka yang tahan 

rapuh, jadi tidak mengalami kerusakan meski ter-

seret-seret di jalan berbatu. Hanya saja tetap ter-

dengar suara ribut, karena benturan-benturan. 

Sementara debu beterbangan di sisi peti mati, mem-

buat peti itu makin terlihat kusam dan angker. 

Buat orang-orang biasa, peti itu mungkin harus 

diseret empat atau lima orang karena demikian 

besarnya. Namun tidak bagi kedua lelaki itu. 

Sebenarnya, bukan karena badan mereka besar. 

Malah bisa dibilang, perawakan keduanya tak 

seimbang dengan beban yang sedang dibawa. 

Yang seorang berbadan kurus agak bungkuk. 

Wajahnya buruk. Malah bisa dikatakan mengerikan, 

karena matanya yang membesar seperti hendak 

melompat keluar dan hidung yang tak berbatang. 

Rambutnya panjang dan kotor, berwarna kemerahan. 

Dia mengenakan rompi sepanjang paha, serta kain 

hitam sebagai pengganti celana. 

Sedang yang seorang lagi berbadan kurus, tapi 

lebih tinggi. Wajahnya tak bisa digambarkan, karena

mengenakan caping yang menutupi seluruh kepala-

nya. Pakaiannya hanya berupa kain merah panjang, 

yang diberi lubang di tengahnya sebagai kerah. Agar 

tidak terbuka ke mana-mana, kain di bagian pinggang 

diikat kulit ular yang berguna juga untuk meng-

gantung pundi-pundi kecil dari tanah liat. 

Mereka terus melangkah pasti ke sebuah padang 

ilalang. Tumbuhan setinggi manusia itu diterabas 

tanpa kesulitan berarti. Setelah melewati padang 

ilalang, mereka tiba di sebuah bukit kecil yang di 

atasnya berdiri satu gubuk panggung kecil. 

“Kita sudah sampai, kakang Lalinggi,” ucap lelaki 

berwajah buruk. 

Lelaki yang dipanggil Lalinggi menoleh. Lalu diberi-

nya isyarat kecil dengan gerakan kepala, disambut 

anggukan oleh laki-laki berwajah buruk. 

Segera laki-laki berwajah buruk itu melepas 

tambang penyeret peti. Mulai dilakukannya gerakan 

pernapasan. Diawali komat-kamit dibibirnya, tangan-

nya membentuk paruh gagak dalam gerakan per-

lahan berbentuk putaran. Sesaat berikutnya.... 

 “Husss!” 

Bfiiing! 

Bersama lengkingan tinggi, tiba-tiba dua rangkum 

pukulan tak berwujud dari laki-laki berwajah buruk 

meluncur deras ke arah gubuk panggung. 

Brak! Brak! 

Bagai dihantam dua bongkah batu besar dari dua 

sisi, gubuk naas itu kontan porak-poranda. Dinding-

nya yang terbuat dari papan berhamburan ke segala 

arah. Begitu pula atapnya yang terbuat dari daun 

kelapa kering. 

Di antara tebaran pecahan kayu dan serpihan 

atap, tampak sesosok tubuh menerobos ringan

laksana rajawali di udara. Kedua tangannya mem-

bentang lebar, menjaga keseimbangan agar tetap 

meluncur lurus ke atas. Pada ketinggian puncak, 

sosok tubuh itu berputaran di udara. Dan kini 

tubuhnya meluncur lurus ke bawah dengan kedua 

tangan terlebih dahulu. Sebelum benar-benar tiba di 

permukaan tanah, kembali dilakukannya putaran, 

sehingga kakinya menjejak mantap tanpa cedera. 

Tepat di depan puing-puing reruntuhan gubuk, orang 

itu berdiri tegak. 

Melihat ketangkasannya di udara, bisa diduga 

kalau laki-laki itu berkepandaian cukup tinggi. Usia-

nya kira-kira delapan puluh tahun. Seperti layaknya 

penduduk Bali, dia mengenakan babatan kain batik 

dari dada hingga ke batas lutut. Di pinggangnya 

terlihat kain hitam sebagai tempat menyisipkan keris. 

Rambutnya yang putih, panjangnya sampai ke 

punggung. Di wajahnya yang berkeriput, tak ada 

selembar kumis atau jenggot pun. Mungkin karena itu 

pula wajahnya terlihat bersih berwibawa. 

“Siapa kalian berdua?” tanya orang tua itu dengan 

segumpal ketidakmengertian. 

“Kami Sepasang Datuk Karang!” balas lelaki ber-

caping itu, memperkenalkan diri. 

Wajah lelaki tua yang berdiri dua puluh tombak di 

depan mereka terlihat makin mengerut. Sepertinya, 

sedang berusaha mengingat-ingat nama yang baru 

disebutkan tadi. 

“Aku tak kenal kalian,” kata laki-laki tua itu lebih 

lanjut. 

“Tentu saja kau tidak tahu kami, karena selama ini 

selalu menyembunyikan diri seperti seorang 

pecundang!” kata Lalinggi lagi, yang merupakan 

orang tertua dari Sepasang Datuk Karang.

“Jadi, siapa sebenarnya kalian? Dan ada sangkut-

paut apa denganku?” 

“Kami menginginkan peti yang kau kubur di pulau 

ini, lima puluh tahun lalu!” sambar lelaki yang ber-

wajah buruk. 

Si Lelaki tua itu memegangi dagunya. Wajahnya 

kembali memperlihatkan kerutan lebih banyak. 

Sedang matanya menyipit, tertuju ke arah lain. 

Sepertinya dia berusaha mengingat peristiwa lima 

puluh tahun lalu. 

“Hm, peti itu,” gumam laki-laki tua itu perlahan. 

“Kenapa dengan peti itu? Dan kenapa kalian begitu 

menginginkannya?” 

“Kau tak perlu tahu! Tunjukkan saja, di mana 

tempatnya!” bentak lelaki berwajah buruk yang cepat 

naik darah. 

“Tidak bisa.” putus laki-laki tua itu tegas, sambil 

menggeleng. 

“Perlu kau tahu, Pak Tua. Kami hanya ingin agar 

kau memberitahu di mana peti itu dikuburkan. Kalau 

kau tak bersedia dengan cara yang baik ini, kami 

akan memaksa mulutmu berbicara,” ancam lelaki 

bercaping dingin dan datar. 

“Cepat katakan!” bentak lelaki berwajah buruk 

sekali lagi. 

Dan sekali lagi pula orang yang diminta bicara ini 

menggeleng mantap. 

“Paksa dia, Gumbala!” perintah Lalinggi. 

Lelaki kurus berwajah buruk yang bernama 

Gumbala pun bersiap. Sambil maju dengan langkah 

membentuk kuda-kuda, tangannya memainkan jurus 

kembangan. Sama seperti saat pertama meng-

hancurkan gubuk, kedua tangannya membentuk 

paruh gagak.

Empat tombak lagi jaraknya dengan lelaki tua itu, 

tangan seorang dari Sepasang Datuk Karang ini bagai 

sedang mencabik-cabik udara di depannya. 

“Hiaaah!” 

Tiba-tiba kaki Gumbala melangkah cepat. Seretan 

kaki pada tanah kering itu menyebabkan debu 

beterbangan ke udara, menutupi sehagian tubuhnya. 

Bfing! 

Bunyi melengking tinggi tercipta, manakala tangan 

kanan laki-laki berwajah buruk itu menyambar cepat 

ke dada lawan. 

Tentu saja lelaki tua ini tak sudi dadanya ter-

tembus jari Gumbala. Segera dibentuknya benteng 

pertahanan dengan menyorongkan pergelangan 

tangan ke depan. 

Des! 

Serangan pertama Gumbala dapat ditangkis laki-

laki tua ini. 

Bfing! Bfing! 

Dan belum juga laki-laki tua itu bersiap, Gumbala 

kembali meruntunkan dua cabikan jari ke kening dan 

selangkangan. Benar-benar jurus kejam mematikan! 

Jika sambaran angin pukulannya saja sudah terasa 

bagai sabetan cemeti, bagaimana lagi kalau benar 

mengenai sasaran? 

Lelaki tua menyadari keampuhan jurus seorang 

dari Sepasang Datuk Karang ini. Bertindak gegabah 

berakibat maut. Apalagi setelah merasakan bagai-

mana perihnya angin pukulan Gumbala. Maka 

serangan yang datang kali ini tidak dipapakinya. Dia 

tahu, jika dicoba memapak berarti angin pukulan 

lawan akan jatuh tepat di wajahnya. Hal itu bisa 

mengakibatkan penglihatannya hilang beberapa saat. 

Dan jelas, itu sangat berbahaya.

Maka lelaki tua itu pun segera menyeret langkah 

ke belakang tiga tindak. Tak urung, sambaran angin 

patukan jari Gumbala menyambar sebagian wajah-

nya. Untunglah, tak begitu parah. 

Dan ketika tangan Gumbala hanya memakan 

angin di depan dada, lelaki tua melihat tempat 

kosong di bagian kepala. Dengan sigap diangkatnya 

kaki tinggi-tinggi, lalu disentakkannya ke arah kepala. 

Deb! 

Seorang dari Sepasang Datuk Karang ini rupanya 

cukup jeli membaca serangan lelaki tua itu. Dengan 

cepat dia menjatuhkan diri ke tanah. Berbarengan 

dengan itu, kaki kanannya diputar dari belakang ke 

depan, untuk membabat sebelah kaki lawannya yang 

sedang menopang tubuh. 

Srrrt! 

“Haih!” 

Mau tak mau, lelaki tua itu harus mendorong kaki 

yang masih di udara kuat-kuat ke atas. Dengan 

begitu, ayunan kakinya bisa dimanfaatkan untuk ber-

jumpalitan ke belakang. 

Wrrr! 

Bring! 

Sekejapan saja. di belakang suara geletar kain 

penutup tubuh lelaki tua itu kembali menyusul 

lengkingan nyaring dari patukan jari Gumbala ke 

punggungnya yang terbuka. 

Keberuntungan tampaknya masih mengikuti si 

Lelaki tua. Kecepatan sambaran tangan Gumbala, 

tidak bisa mengimbangi putaran tubuhnya. Alhasil. 

patukan tadi pun lolos begitu saja. 

“Aku tak mengerti, apa gunanya peti itu bagi 

kalian?” kata lelaki tua setelah membentuk kuda-

kuda delapan langkah di depan lawannya.

“Kau tak perlu mengerti. Kau hanya perlu 

mengatakan, di mana kau kubur peti itu. Dengan 

begitu, kau tak akan kehilangan nyawa!” hardik 

Gumbala. 

Baru saja kata-kata itu kering, tanpa mau 

menunggu lebih lama, Gumbala melabrak lelaki tua 

itu. 

“Hiiiah!” 

Bfing... bfing... bfing! 

Dengan maksud mencecar, Gumbala mengirim 

tiga patukan bertubi-tubi ke arah laki-laki tua itu. 

Patukan pertama mengarah ke biji mata kanan, yang 

kedua mengarah ke uluhati, sedang yang ketiga ke 

daerah kematian di selangkangan. 

“Haith... hiah... hih!” 

Lelaki tua ini cepat memiringkan tubuh ke kiri dan 

kanan. Dengan cara itu, dia tak lagi terganggu angin 

pukulan Gumbala yang menyerbu ke depan. 

Kemudian.... 

“Khaaa!” 

Beriring satu teriakan menggelegar, tangan laki-

laki tua ini mengejang membentuk kepalan. Secepat 

itu pula dua kepalan tadi dihantamkan ke dada tipis 

Gumbala di sampingnya. 

Wuuubh! 

Namun, seorang dari Sepasang Datuk Karang ini 

cepat bertindak sambil menarik dadanya ke 

belakang, telapak tangannya cepat disorongkan ke 

depan. 

Gumbala mementahkan serangan lawannya, dan 

langsung melenting berputaran. 

“Kau belum berbicara, Tua Bangka?!” seru 

Gumbala, begitu mendarat di tanah. 

“Aku tak akan sudi buka mulut pada manusia

manusia macam kalian!” balas lelaki tua. 

“Baik kalau memang begitu maumu!” geram 

Gumbala. 

Selesai berkata penuh ancaman tadi, Gumbala 

membuka satu jurus baru. Kali ini jurus-jurus 

andalannya hendak dikerahkan agar urusan cepat 

selesai. 

Dalam lima tarikan napas, Gumbala terdengar 

menggeram bagai erangan naga. Dan tangannya yang 

masih membentuk paruh gagak dibenamkan di dada-

nya yang mencekung. Saat berikutnya, tubuh kurus-

nya berguncang hebat. Perlahan, sepasang kakinya 

meregang bagai ditarik kekuatan tak terlihat. 

“Huaaa!” 

Diawali satu teriakan ganjil, Gumbala meng-

hempaskan tangannya ke muka dengan punggung 

tangan lebih dahulu. Dorongan angin besar seketika 

pun tercipta, menerpa lelaki tua itu hingga terseret 

beberapa kaki ke belakang. 

Saat selanjutnya keanehan terjadi. Dari setiap 

ujung jari Gumbala, perlahan menyembul kuku-kuku 

hitam lancip. Dan setiap kukunya, asap kekuningan 

terlihat mengambang di sekitarnya. Tampaknya dia 

sedang memusatkan racun keji pada setiap ujung 

jarinya. 

Pada saat lelaki tua itu terpana-pana dalam 

tatapan tak berkedip, Gumbala tiba-tiba meluruk ke 

arahnya. 

“Hwaaa!” 

Teriakan berbau maut dari mulut Gumbala 

menyentakkan lelaki tua itu, hingga tersadar. 

Mengetahui lawan akan merangseknya dengan jurus-

jurus andalan, lelaki tua itu segera meloloskan keris 

dari lipatan kain di pinggang.

Sret! 

Wes! 

Baru sekejap keris pusaka diloloskan, tangan 

Gumbala menyambar deras ke wajahnya. Seketika 

sebentuk cahaya kekuningan terbersit dalam bentuk 

melengkung di ujung sambaran. 

Lelaki tua itu terkesiap. Disadari benar kalau 

lengkungan sinar kuning itu akan membuat tubuhnya 

mengejang biru, jika sedikit saja tersentuh. Karena 

itu, sebisa mungkin wajahnya dijorokkan ke belakang. 

Dengan kerisnya, dibabatnya tangan lawan yang 

menuju wajahnya. 

Wesss! 

Trang! 

Luar biasa! Mata keris yang mampu membelah 

batu karang ini ternyata tidak berdaya membentur 

ujung tangan lawan. Senjata itu bagai baru saja 

menghantam baja murni, hingga menyebabkan 

timbulnya percikan bunga api. Bahkan tubuhnya 

sampai terjajar beberapa langkah. 

Untuk kedua kalinya lelaki tua itu terpana. Mata-

nya terbelalak besar sebagai ungkapan kekagetan 

sekaligus kekagumannya. Sayang, keterpanaannya 

kali ini membuatnya tak ingat pada serangan lawan. 

Maka kesempatan itu dimanfaatkan benar-benar 

oleh Gumbala. Seketika satu sodokan mematikan 

dilancarkan ke depan. Dua tangannya yang berkuku 

panjang dan tajam langsung dihujamkan ke bagian 

dada lelaki tua ini. 

Cras! Cras! 

“Aaakh!” 

Satu lengkingan panjang kontan terlontar dari si 

Lelaki Tua. Tubuhnya sendiri tersentak tertahan dua 

langkah ke belakang. Kedua tangannya langsung

memegangi dadanya yang berlubang kehitaman. 

Hangus dengan darah membeku. 

Setelah berdiri limbung beberapa saat, tubuh tua 

itu tersungkur. Sekujur badannya membiru. Yang 

lebih menggiriskan setiap lembar rambutnya ber-

tebaran disapu angin. 

“Kau memang bodoh, Tua Bangka!” sergah 

Gumbala. 

Laki-laki berwajah buruk ini tiba-tiba meludahi 

mayat laki-laki tua itu. Lalu langsung didekati kawan-

nya. 

“Kita harus mencari tahu dari yang lainnya, Kang. 

Dia terlalu keras kepala untuk buka mulut,” ujar 

Gumbala pada Lalinggi. 

Yang diajak bicara hanya mengangguk pelan. 

Tak lama kemudian, keduanya sudah meninggal-

kan bukit kecil itu bersama gemuruh peti mati 

terseret. 

***


EMPAT


Tak terasa, telah dua malam Andika menginap di 

rumah Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg. Dan 

sore ini, Pendekar Slebor berpamitan untuk menerus-

kan perjalanan. Padahal tujuannya saat ini belum 

bisa dipastikan. Ke mana kaki melangkah, ke sana 

pula tujuannya. 

Sebenarnya, jauh di lubuk hati, Idayu Wayan 

Laksmi tidak ingin Andika pergi. Di samping merasa 

aman akan kehadiran seorang pendekar muda di 

rumahnya, dia juga mulai merasakan tumbuhnya 

benih yang sulit dilukiskan. 

“Bagaimana kalau I Made Raka kembali lagi ke 

sini, Beli?” tanya Idayu Wayan Laksmi sebagai alasan 

keberatannya terhadap kepergian Andika, ketika 

mereka berada di luar rumah. 

“Kau bisa berdoa pada Tuhan untuk memohon 

perlindungan. Karena sebaik-baiknya perlindungan, 

ada di tangan-Nya,” sahut Andika. 

“Biar saja dia pergi Mbok! Dikira hanya dia saja 

yang bisa menghadapi si Raka!” 

I Ktut Regeg yang masih mangkel pada Andika 

yang melarangnya membuka peti, dengan acuh 

bersuara dari dalam rumah gubuk. 

“Regeg!” bentak Idayu Wayan Laksmi kesal. 

Adiknya itu malah tidak membantunya sama sekali 

untuk menahan Andika. 

Andika sendiri hanya tersenyum menahan tawa. 

“Tapi Beli janji akan kembali lagi ke sini, bukan?” 

mohon Idayu Wayan Laksmi, sepenuh hati. Wajah

ayunya menampakkan keberatan nan dalam. 

“Akan kuusahakan,” jawab Andika, lembut. 

“Biarkan dia pergi, Mbok! Dia itu pemuda 

sombong!” sergah I Ktut Regeg lagi. 

Anak muda tanggung itu kini sudah muncul di 

ambang pintu. Kepalanya dijulurkan dengan wajah 

ditekuk. 

“Waktu itu saja dia mengatakan, tak ingin menjadi 

kekasih Mbok. Padahal aku sudah setengah mampus 

menawarkan Mbok jadi keka....” 

I Ktut Regeg memenggal ocehannya, karena tiba-

tiba saja kakaknya berbalik dengan mata melotot. 

“Keterlaluan kamu, Geg!” hardik Idayu Wayan 

Laksmi. 

I Ktut Regeg cepat menutup mulutnya dengan 

tangan. 

“Eee, ketelepasan,” gumam pemuda tanggung itu 

enteng. 

“Maafkan adikku, Beli,” tutur Idayu Wayan Laksmi 

cepat pada Andika. “Mulutnya memang suka seenak-

nya berbicara.” 

Tampak wajah gadis itu bersemu merah karena 

menahan malu. 

“Tidak apa-apa,” sahut Andika. 

Dalam hati, pendekar muda itu ingin sekali 

menyumpal mulut I Ktut Regeg dengan setumpuk 

telur busuk. 

“Aku pamit, Laksmi,” hatur Andika. 

Setelah menjura pada Idayu Wayan Laksmi, 

Pendekar Slebor pun berbalik dan melangkah pergi. 

“Tunggu, Beli...” tahan Idayu Wayan Laksmi. 

Gadis itu ingin sekali mengiringi kepergian Andika 

hingga ke batas desa. Tapi rasa sungkan mem-

buatnya tak jadi mengungkap keinginan, ketika

Andika menoleh. 

“Ada apa, Laksmi?” tanya Andika, karena gadis ayu 

itu tidak juga bicara. 

Idayu Wayan Laksmi tergagap, wajahnya kembali 

dirayapi warna merah merona. 

“Tid... tidak apa-apa, Beli” jawab Idayu Wayan 

Laksmi cepat. “Aku hanya ingin mengatakan, hati-

hati.” 

“Terimakasih,” kata Andika, lalu melangkah 

kembali. 

Idayu Wayan Laksmi terus memandangi punggung 

pemuda itu sampai tertelan kerimbunan semak di 

kejauhan. Entah disadari atau tidak, mata gadis itu 

tampak berkaca-kaca. Mungkin merasa begitu 

kehilangan pada lelaki tampan yang baru dikenalnya 

dua hari itu. 

*** 

Matahari terus merangkak dalam garis edarnya. 

Pada puncak siang, sinarnya memanggang garang 

wajah bumi. Suasana menjadi tidak nyaman. Bahkan 

angin pun terasa panas berhembus. 

Andika kini telah tiba di suatu daerah berhutan. 

Berarti, Pendekar Slebor berjalan semalaman hingga 

siang ini. Panas yang sejak tadi tak dipedulikannya, 

kini tidak bisa lagi menyengat karena lindungan daun 

pepohonan tinggi. 

Sambil bersiul mendendangkan lagu ceria, Andika 

menembus hutan yang tak begitu lebat. Dan begitu 

memasuki pedalaman hutan, telinganya yang terlatih 

menangkap suara erangan. Langkahnya dihentikan 

untuk memasang pendengaran lebih tajam. 

“Hm.... Kira-kira tiga puluh depa dari sini,” bisik

Pendekar Slebor menentukan asal suara itu. 

Cepat Pendekar Slebor menggenjot tubuhnya. 

Naluri kependekarannya langsung memerintah untuk 

segera tiba. Maka segera dikerahkannya ilmu 

meringankan tubuh, sehingga sekejap saja tubuhnya 

sudah berkelebatan dari satu pohon ke pohon lain. 

Bahkan lebih cepat daripada macan kumbang, dan 

lebih tangkas dari seekor kera. 

Tak lama Pendekar Slebor berkelebat, kini telah 

tiba di tempat kejadian. Tampak di depan sana 

seorang wanita tua terkapar di tanah. Erangannya 

masih terdengar. Hanya sudah demikian lirih. Tubuh-

nya berusaha merangkak, namun hanya sempat 

menggapai-gapaikan tangan saja. Tubuhnya begitu 

lemah, akibat terlalu banyak mengeluarkan darah 

dari luka menganga di bahu kirinya. 

Andika cepat menghampiri. Diangkatnya tubuh 

lemah wanita tua itu, lalu disandarkan ke pahanya. 

“Kenapa Odah*? Apa yang terjadi?” tanya Andika. 

“Me... mereka menginginkan peti itu...,” gumam 

wanita tua itu lemah. 

“Peti apa, Odah?” susul Andika, tak mengeri. 

“Pe...” 

Hembusan napas panjang terdengar. Seketika 

nyawa wanita malang itu telah berakhir menyedihkan. 

Andika meninju tanah geram. Bukan karena belum 

sempat mengetahui maksud yang hendak disampai-

kan wanita tua di pangkuannya, melainkan gundah 

tak sempat memberi pertolongan. 

“Manusia keparat mana lagi yang melakukan 

perbuatan biadab ini?” desis Pendekar Slebor sambil 

meletakkan kepala si Wanita tua ke tanah. 

Dan baru saja kepala wanita tua itu menyentuh 

tanah, di kejauhan terdengar teriakan tinggi mengangkasa. 

Pendekar Slebor bergegas bangkit. Kembali 

matanya menatap mayat wanita tua itu. 

“Aku akan kembali untuk menguburmu dengan 

layak, Odah,” kata Andika sebelum menggenjot 

tubuhnya. 

Setelah itu, Pendekar Slebor langsung melesat ke 

asal teriakan yang didengarnya barusan. 

Tak memakan waktu lama, Andika sudah dapat 

menemukan tempat yang dituju. Tampak dua lelaki 

sedang mengeroyok lelaki tua berusia tak berbeda 

dengan wanita tua yang ditemui sebelumnya. Kira-

kira sembilan puluh tahun. 

Lelaki tua yang sedang habis-habisan dikeroyok itu 

berambut putih merata, layaknya orang berusia 

lanjut. Tak seperti orang Bali pada umumnya, jubah 

yang dikenakannya berwarna biru tua dengan pangsi 

hitam. Wajahnya berkesan keras, namun sinar mata-

nya sejuk. Kumisnya tebal memutih menghiasi 

wajahnya yang berwibawa. 

Sementara dua lelaki yang sedang bernafsu 

hendak menghabisinya, yang seorang mengenakan 

caping dan seorang lagi berwajah buruk. Tak salah 

lagi, mereka adalah Sepasang Datuk Karang yang 

selalu menyeret peti mati besar. 

Keadaan gawat yang dialami si Lelaki tua itu 

membuat Andika secepatnya memutuskan untuk 

campur tangan. 

“Berhenti!” seru Pendekar Slebor lantang dari jarak 

dua puluh lima tombak. 

Sepasang Datuk Karang langsung menghentikan 

tekanan mereka pada laki-laki tua yang sudah di-

basahi cucuran darah dari sudut bibirnya. Keduanya 

segera menoleh berbarengan ke arah Andika.

“Mau apa kau?!” bentak orang yang bernama 

Gumbala kasar. Matanya berkilat bengis, seakan siap 

menyantap pendekar muda itu. 

“Ah, ah, ah! Bukan kau yang mesti bertanya, tapi 

aku! Mau apa kalian terhadap lelaki tua itu?!” balas 

Pendekar Slebor, tak kalah kasar. Jangan tanya, 

bagaimana bencinya Andika terhadap orang yang sok 

berkuasa seperti Gumbala. 

“Bocah busuk!” maki Gumbala menggeram. 

Kaki laki-laki berwajah buruk itu melangkah gusar 

hendak memberi sedikit pelajaran pada pemuda yang 

dianggap hijau yang punya nyali mengusik mereka. 

Lalinggi, lelaki yang bercaping segera mencegah. 

Dibentangkannya sebelah tangan di depan Gumbala. 

“Anak Muda! Kami harap kau tak ikut campur 

pada urusan kami. Kami hanya ingin lelaki tua itu 

mengatakan sesuatu pada kami, tapi....” 

“Tapi kenapa kalian memaksanya juga?!” serobot 

Pendekar Slebor, tak peduli. 

“Banyak mulut kau...!” Gumbala kian tak sabar. 

Sekali lagi, Lalinggi menahan kawannya. 

“Sekali lagi kukatakan padamu, Anak Muda. 

Jangan campuri urusan kami,” ancam Lalinggi dingin. 

“Hmmm....” 

Andika mengangguk-angguk dengan wajah men-

cemooh. Tangannya mengusap-usap dagu, seolah 

seorang guru sedang menilai kedua muridnya yang 

nakal. 

“Apa orangtua kalian tidak pernah memberitahu, 

kalau memaksa orang lain adalah perbuatan yang tak 

se... no... nohhh!” hardik Pendekar Slebor dengan 

mata membulat. 

Andika lantas mengalihkan pandangannya kearah 

laki-laki tua yang jadi korban keroyokan Sepasang

Datuk Karang. 

“Pak Tua, izinkan aku sendiri mendidik dua bocah 

tak tahu adat ini! Mungkin aku perlu memberi sedikit 

jeweran di telinga masing-masing...,” kata Pendekar 

Slebor dengan wajah dibuat judes. 

Sampai di situ, Lalinggi pun terpancing. 

Kemarahannya akhirnya pecah juga. Hanya tokoh 

persilatan yang tak memiliki harga diri yang sudi 

diperlakukan seperti anak kecil. 

“Kau boleh menghajarnya sekarang, Gumbala,” 

ucap Lalinggi. “Biar kuurus lelaki tua itu.” 

Seperti diberi kesempatan untuk bersenang-

senang, Gumbala maju bernafsu ke arah Pendekar 

Slebor. 

“Bersiaplah. Karena mulutmu akan segera 

kurobek, Bocah Busuk!” geram Gumbala sambil 

membuka jurus 'Paruh Gagak'nya. 

“Heeeaaa!” 

Teriakan serak tercipta bersama terjangan tubuh 

kurus Gumbala. Diterkamnya Pendekar Slebor 

dengan satu lompatan ke udara. Sepasang tangannya 

yang berbentuk paruh gagak, membuat serentetan 

cabikan ke depan. Sasarannya, tentu saja wajah 

pemuda di depannya. 

Meski lawan sudah siap merobek-robek wajahnya, 

Pendekar Slebor masih sempat tersenyum-senyum 

mengejek. Sewaktu wajah buruk Gumbala mengeras 

karena teriakan, Andika pun menarik otot-otot 

wajahnya, hingga terlihat seperti orang telat buang 

air. 

“Waaa! Ada setan laut ngamuk!” jerit Pendekar 

Slebor dibuat-buat. 

Ketika tangan Gumbala nyaris tiba di wajahnya, 

barulah Andika berkelit secepat kilat ke satu sisi.

Krak! Glarrr...! 

Seketika dua batang pohon besar yang ber-

himpitan menjadi korban sasaran jurus kejam 

Gumbala. Setengah bagian kayu pohon itu terkoyak 

sebesar kuali. Serat-seratnya berhamburan ke mana-

mana, tersapu angin yang bertiup cukup kencang. 

Andika memang keterlaluan. Tak terlalu berlebihan 

kalau dijuluki Pendekar Slebor, saat pemuda itu 

santai meniup-niup serat kayu yang terbang ke 

arahnya seraya berjingkat-jingkat. 

Tingkah urakan itu benar-benar dianggap sebagai 

sebuah penghinaan oleh Gumbala. Malah keinginan-

nya untuk mencabik-cabik Andika makin menggebu 

saja. Dengan penuh nafsu, sekali lagi diterjangnya 

Pendekar Slebor. 

“Khiiiah!” 

Bfing! Bfing! 

Satu terkaman lagi dilakukan Gumbala. Kali ini, 

tangannya diayunkan bertubi-tubi dari samping 

kanan. 

Tapi, santai saja Pendekar Slebor memapaki satu 

persatu patukan tangan lawan. Plak! Plak! Plak! 

Angin pukulan kuat yang bisa melecut kulit tubuh 

milik Gumbala, seperti ditelan begitu saja oleh tenaga 

papakan Andika. Tindakan itu sungguh membingung-

kan laki-laki berwajah buruk itu. Yang lebih mem-

bingungkan ketika Gumbala merasakan sesuatu yang 

tak beres di dada cekungnya. 

Lelaki buruk rupa itu berjumpalitan ke belakang. 

Ingin dibuktikan, bagaimana perasaannya tadi. Saat 

dadanya dilihat, ternyata sudah ada tulisan dari serat 

kayu menembus kulit luarnya. Bunyinya 'Aku Hewan 

Langka, Lestarikan'! 

Mata Gumbala lantas saja terbelalak. Tulisan itu

terlalu panjang untuk dibuat dalam waktu demikian 

singkat. Untuk membuat serat kayu tembus ke kulit 

saja, sudah cukup sulit. Bagaimana pemuda itu bisa 

melakukannya demikian cepat? 

Kini mata bulat Gumbala beralih ke arah Andika. 

Ketercengangannya belum tuntas. Benaknya masih 

bertanya-tanya, siapa pemuda itu sesungguhnya. 

Sementara Pendekar Slebor yang sedang diper-

hatikan, sibuk mengamati hasil karyanya di tubuh 

Gumbala. Sebelah alisnya terangkat seraya mem-

perdengarkan gumaman panjang. 

Ingin sekali saat itu Gumbala melontarkan per-

tanyaan, siapa lawan yang dihadapinya kini. Tapi 

karena hatinya berbisik kalau sedang menghadapi 

lawan tangguh yang mungkin tidak terkalahkan, dia 

malah berpikir untuk menyingkir saja. 

“Kang Lalinggi! Lebih baik kita menyingkir!” teriak 

Gumbala seraya melayang ke belakang. 

Saat itu, Lalinggi tampak telah berhasil membuat 

lelaki tua yang dihadapi terluka lebih parah. Dan 

karena sudah memastikan kalau lawannya tidak akan 

membuka mulut tentang peti yang dicari, maka usul 

Gumbala untuk menyingkir disetujuinya. 

Seketika keduanya melesat pergi diiringi tawa 

terkekeh Andika. Tapi setelah itu, tawanya terpenggal 

begitu saja kala menyadari satu kesalahan. 

“Astaga! Kenapa kubiarkan saja bajingan ber-

caping itu menggasak Pak Tua,” desah Pendekar 

Slebor. 

Dengan kekhawatiran menggelegak, Andika ber-

gegas menoleh pada si Lelaki Tua. Kekhawatirannya 

terbukti. Orang tua naas itu sedang terbaring lemas 

dengan napas terengah-engah. 

“Maafkan aku, Pak Tua. Mestinya aku tak membiarkan seorang dari mereka membuatmu seperti 

ini,” sesal Andika, di sampingnya. 

Sambil memegangi dadanya yang terbakar telapak 

tangan Lalinggi, lelaki tua itu megap-megap berusaha 

mengucapkan sesuatu. 

“Jangan berkata apa-apa dulu, Pak Tua! Biar 

kucoba mengobati lukamu dulu!” sergah Andika. 

“Ja... jang... an,” tolak laki-laki tua itu, lirih 

tersendat. “Aku sudah tak mungkin ditolong lagi. 

Serbuk racun itu pasti sudah merasuki tubuhku. 

Sebentar lagi, jantungku tentu akan dihanguskannya. 

Aku hanya minta padamu... satu hal. Akhhh....” 

“Katakanlah, Pak Tua! Aku akan berusaha 

sebisanya memenuhi,” ucap Andika. 

Susah payah si Lelaki Tua menyeret napas satu-

satu. Dikumpulkannya udara ke paru-paru yang 

terasa tercabik-cabik. 

“Tolong selamatkan peti berukir satria yang 

sedang bertarung dengan raksasa 'Kala'. Jangan 

sampai peti itu jatuh ke tangan kedua orang tadi...,” 

pinta laki-laki tua itu nyaris tak kentara. 

“Peti berukir satria....” 

Tiba-tiba benak Andika kembali pada peristiwa dua 

malam lalu, saat I Ktut Regeg sedang berusaha 

membongkar satu peti kecil. Peti yang ditemukan I 

Ktut Regeg pun memiliki ukiran seperti digambarkan 

lelaki tua di dekatnya. 

“Kalau peti itu sampai jatuh ke tangan mereka, 

dunia persilatan akan menghadapi bahaya besar,” 

lanjut si Lelaki Tua, membuyarkan lamunan Andika. 

“Kenapa begitu, Pak Tua?” tanya Andika ingin 

tahu. 

Tak ada jawaban. Kecuali suara hembusan napas 

terakhir. Sebuah napas kematian.



LIMA


Rasa penasaran bergumpal dalam benak Pendekar 

Slebor. Ada apa sebenarnya dengan peti itu, sehingga 

begitu diinginkan dua lelaki yang mengaku sebagai 

Sepasang Datuk Karang? Geletar keingintahuannya 

pun meminta, untuk segera kembali ke rumah Idayu 

Wayan Laksmi setelah dua jenazah orang tua malang 

yang didapat Andika dikuburkan. 

Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh 

penuh, tidak terlalu lama Pendekar Slebor sudah 

sampai kembali ke pekarangan rumah Idayu Wayan 

Laksmi dan adiknya, I Ktut Regeg. Kebetulan saat itu I 

Ktut Regeg sedang bersila di depan pintu, menimang-

nimang ayam sabungan kesayangannya. 

“Geg! Kebetulan sekali kau tidak ke mana-mana,” 

sapa Andika, mengejutkan anak muda tanggung itu. 

I Ktut Regeg menatapnya acuh. 

“Kenapa kembali?” tanya pemuda tanggung itu 

sedikit tak ramah. 

Andika duduk di sampingnya. Maksudnya untuk 

sedikit melunakkan ambekan hati anak kurus itu. 

Sambil tersenyum lebar, digandengkannya tangan ke 

belakang I Ktut Regeg. 

“Kau masih kesal padaku karena soal peti itu, ya?” 

rayu Andika. 

I Ktut Regeg bersikap bodoh sambil terus me-

nimang-nimang ayam jantan di tangannya. Mulutnya 

pun sengaja bersiul kencang-kencang, seakan tidak 

ingin mendengar ucapan Andika. 

“Kau marah, karena aku melarangmu membuka

nya, bukan?” lanjut Andika. 

Sambil berkata demikian, Pendekar Slebor me-

ninju bahu kurus I Ktut Regeg perlahan. “Biar si Setan 

Kurus ini bisa merasa lebih akrab,” pikirnya. 

I Ktut Regeg tetap acuh tak acuh. 

“Hey? Bagaimana kalau kita membukanya 

sekarang? Aku pikir boleh juga kita melihat isinya, 

bukan? Yang penting, kita tidak berniat jahat. Hanya 

melihat isinya saja, toh?” bujuk Andika susah payah, 

dengan mimik dibuat semanis mungkin. Padahal, 

hatinya mendongkol. 

Si Anak Kurus itu mulai mau menoleh padanya. 

“O, ya?” tanya I Ktut Regeg, masih tetap terdengar 

dingin. 

“Ooo, iya.... Pasti itu!” sergah Andika cepat. 

“Cari sana di laut!” sentak I Ktut Regeg. 

Andika memiringkan kepala. Ditatapnya I Ktut 

Regeg tak mengerti. 

“Apa kau bilang tadi?” tanya Pendekar Slebor 

dengan alis bertaut. 

“Aku bilang, cari sana di laut!” ulang I Ktut Regeg 

satu-satu. 

Andika terlonjak. Seperti kerasukan, dia berdiri 

cepat. Lalu dicengkeramnya bahu I Ktut Regeg, 

sehingga terangkat. 

“Apa maksudmu?!” teriak Pendekar Slebor 

bersama beliakan mata. 

“Peti itu baru saja kubuang ke laut. Apa tidak 

mengerti juga? Ah, pendekar sakti kok bodoh...,” 

gerutu pemuda tanggung itu tenang, tak peduli pada 

tubuhnya yang tergantung di tangan kekar Andika. 

“Apa kau sinting?!” maki Andika. “Peti itu amat 

berharga, tahu?! Bisa membuat bencana, jika dua 

manusia busuk itu menemukannya!”

“Siapa suruh 'Beli' melarangku membukanya?!” I 

Ktut Regeg balik membentak, “Kalau waktu itu kita 

membukanya, tentu sudah tahu apa isinya. Dan kita 

tahu pula, peti itu berbahaya atau tidak?!” 

Napas I Ktut Regeg turun naik. Dada kerempeng-

nya kembang-kempis seperti orang sekarat. 

Sementara Andika jadi jengkel. Dilepas begitu saja 

tubuh I Ktut Regeg. 

Bruk! 

Tumpukan tulang hidup itu kontan mencium tanah. 

Pantatnya pun terantuk batu sebesar kepalan 

centeng, membuatnya meringis-ringis sambil 

memegangi pantat. 

“Sekarang katakan, di mana kau buang benda 

itu?” tanya Andika mulai tenang kembali. 

“Aku sudah bilang di laut!” 

“Aku tidak tuli. Aku juga sudah dengar, kau tadi 

bilang di laut. Tapi di sebelah mana? Apa di Lautan 

Cina?” desak Andika, langsung menjewer I Ktut Regeg 

kuat-kuat. 

“Di Pantai Buleleng sebelah barat!” jawab I Ktut 

Regeg sembari meringis-ringis. 

“Anak pintar,” kata Andika, memuji. Tapi setelah 

itu dihadiahkannya tamparan gemas ke kepala I Ktut 

Regeg. 

Plak! 

“Adow! Heee. beraninya sama anak kecil!” 

Andika tak mempedulikan lagi ejekan anak biang 

kerok itu. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya 

secepatnya pergi ke Pantai Buleleng untuk menye-

lamatkan peti yang dimaksud, sebelum didahului 

Sepasang Datuk Karang. 

“Tak ada titip salam buat Mbok-ku. 'Beli'?” ledek I 

Ktut Regeg, belum puas. “Kalau naksir, ya naksir!

Jangan pura-pura segala!” 

Baru saja selesai ucapan I Ktut Regeg.... 

“Tolooong...” 

Terdengar jeritan keras minta tolong. Jelas, itu 

suara Idayu Wayan Laksmi, kakak I Ktut Regeg. 

“Ada apa, Geg?” tanya Andika. 

Dengan sigap, tubuh Pendekar Slebor segera 

memburu ke pintu gubuk besar itu. Dilewatinya I Ktut 

Regeg yang masih terlongong-longong karena kaget. 

“Mana aku tahu?” kata I Ktut Regeg. Padahal 

tubuh pendekar muda itu sudah menghilang di balik 

pintu. 

Begitu berada di dalam gubuk, Andika menemukan 

sesuatu yang membuatnya gusar. Dalam keadaan 

mendesak saat Pendekar Slebor harus menemukan 

secepatnya peti berbahaya itu, seseorang ternyata 

telah menculik Idayu Wayan Laksmi. Kesimpulan 

seperti itu bisa langsung diambil Andika, manakala 

matanya melihat dinding bilik bambu di ruang tengah 

tampak jebol besar. Sementara kendi air minum 

berantakan di lantai tanah. 

Satu lagi kesimpulan yang bisa diambil. Jelas, 

penculik Idayu Wayan Laksmi memiliki ilmu yang tak 

bisa dianggap remeh. Kalau ilmunya tanggung, sudah 

pasti penculik itu bisa langsung dipergoki Andika 

sebelum bisa membawa lari Idayu Wayan Laksmi. 

Waktu yang dibutuhkan si Penculik untuk men-

jalankan niat jahatnya, ternyata lebih cepat daripada 

gerakan masuk si Pendekar Slebor! 

Di satu sisi Pendekar Slebor tidak boleh didahului 

Sepasang Datuk Karang untuk menemukan peti. Di 

sisi lain, Pendekar Slebor juga harus menyelamatkan 

Idayu Wayan Laksmi, yang tentu saja harus meng-

hadapi si Penculik. Kepandaian si Penculik ini

diperkirakan akan banyak membuang waktunya. 

“Monyet buduk, kutu botak. bangsat norak...!” 

Pendekar Slebor memaki-maki kalap. Kalau mata-

nya tak tertumbuk pada sehelai daun lontar di meja 

kayu, tentu akan terus menyumpah-nyumpah sampai 

kehabisan suara. 

“Apalagi ini,” gumam Pendekar Slebor. Diraihnya 

daun lontar itu, dan langsung dibuka lipatannya. 

Maaf, jika aku harus menculik Idayu Wayan 

Laksmi. Karena hanya dengan cara itu aku bisa 

mengundangmu untuk sedikit berpesta di tepi desa 

dekat gapura masuk. Ya! Berpesta menghadapi orang 

bayaranku. Aku ingin sekali melihatmu terkapar di 

tangan orangku itu. Sekali lagi, aku minta maaf atas 

semua ini. 

IMade Raka. 

“Maaf... maaf. Gonderuwo!” 

Andika dongkol. Direjamnya daun lontar itu geram, 

sambil membayangkan kalau daun itu adalah wajah 

manusia bernama I Made Raka. 

Dari lubang besar di dinding gedek, Andika 

melompat keluar. Satu-satunya cara terbaik adalah 

lari dengan kekuatan penuh, agar cepat tiba dibatas 

desa. Sekejapan baginya bisa saja amat berharga, 

mengingat pesan lelaki tua tentang peti berukir itu. 

Pengerahan kemampuan ilmu meringankan tubuh 

yang tak tanggung, membuat jarak cukup jauh ke 

tapal batas desa bisa ditempuh Pendekar Slebor 

hanya dalam waktu singkat. 

***

Tapal batas desa saat itu lengang. Tak tampak ada 

orang melintas, karena hari sudah begitu senja. Para 

petani yang biasanya lewat, sudah tak terlihat 

seorang pun. Mereka mungkin sudah tiba di rumah 

masing-masing. 

Dalam siraman warna jingga lembayung, dua orang 

berdiri bersandar pada gapura. Yang seorang adalah 

wanita uzur berpakaian berbentuk piyama longgar 

warna hitam. Tubuhnya yang renta, ditopang se-

batang tongkat di tangan kanan. Rambutnya yang 

putih merata dibiarkan terlepas ke mana-mana. 

Sebagian besar wajahnya pun tertutup juluran 

rambut. Sehingga, wajahnya sulit dikenali. Namun 

yang jelas, dia memiliki dagu panjang berkerut 

dengan bibir berkesan kejam. 

Sedang orang kedua tak lain dari I Made Raka. 

Ketika Andika tiba di sana, lelaki itu menyambut 

bersemangat, penuh basa-basi menyebalkan. Sambil 

merentangkan tangan lebar-lebar, disambutnya ke-

datangan Pendekar Slebor. 

“Ah, akhirnya kau datang juga! Kupikir kau agak 

ngeri dengan tantanganku,” kata I Made Raka seraya 

tersenyum lebar mengejek. 

“Jangan banyak mulut, Raka! Mana Laksmi?! 

Cepat serahkan padaku!” terabas Andika tak sabar. 

“Ooo, jangan terburu nafsu. Aku tahu, wanita itu 

memang menggiurkan....” 

“Di mana dia?!” bentak Andika geram. Wajah 

pemuda itu mulai memerah. 

“Sesuai aturan, kau harus bertarung dulu dengan-

nya.” 

I Made Raka mengerlingkan bola matanya ke arah 

perempuan tua di belakangnya. 

“Aku tak ada waktu menuruti kemauan bodohmu!”

hardik Andika makin keras. 

Pendekar Slebor segera mendekati lelaki itu 

dengan mata merah membara. Ingin sekali dipatah-

kannya batang leher I Made Raka. Namun baru dua 

langkah maju, perempuan tua di belakang I Made 

Raka melompat ringan, lalu turun tepat di depan 

tuannya. 

“Anak Muda! Kau harus menghadapi aku,” ucap 

perempuan tua itu dingin. 

“Kenapa harus?! Apa kau pikir aku sudi sepertimu, 

yang mau saja dijadikan kacung oleh manusia 

sampah seperti dia?!” dengus Andika, sebal. 

“Kau harus menghadapiku,” ulang wanita itu 

penuh tekanan, seperti tidak peduli perkataan 

pemuda di depannya. “Aku telah dibayar mahal oleh I 

Made Raka untuk menjajal kehebatanmu, Bocah!” 

Tak ada niat perempuan tua itu memberi 

kesempatan Andika untuk menyanggah lagi. Seketika 

disambarnya leher Andika dengan cakaran cepat. 

 Wesss! 

“Upfh!” 

Andika tak menduga perempuan ini begitu ber-

nafsu menghajarnya. Tapi untuk disebut bernafsu, 

wajah perempuan tua yang dihadapinya tetap tak 

memperlihatkan perubahan mimik. Masih saja dingin 

dan kaku. Kalau begitu, perempuan tua ini mungkin 

semacam manusia budak uang! Siap membunuh 

dengan tangan dingin jika ada yang bersedia mem-

bayarnya. 

Selaku pendekar berpengalaman menumpuk, 

terjangan mendadak seperti ini dapat dihindari 

Pendekar Slebor dengan sedikit mengegoskan badan 

ke belakang. Namun luputnya serangan pertama 

tidak berarti bahaya terlewati. Karena dengan lebih

cepat dan panas, si Perempuan Tua mengayunkan 

tongkat ke kaki Andika yang masih bertahan di 

tempat. Wuuut! 

Pendekar Slebor yang sudah telanjur menyorong-

kan badan ke belakang, tidak bisa lagi berbuat lain, 

kecuali meneruskan dorongan tubuhnya. Dia 

langsung berjumpalitan ke belakang. Dan saat 

berikutnya, kakinya sudah membuat kuda-kuda 

kembali. 

“Baik..., baik. Kau ternyata memaksa,” ucap 

Andika. 

Pendekar Slebor segera membuka bagian jurus 

awal yang diciptanya di Lembah Kutukan dahulu. 

Jurus-jurusnya yang semula ganjil dan agak lucu kini 

terbentang di depan mata lawan. Kakinya berjingkat, 

sementara tangannya menggapai angkasa tinggi-

tinggi, seperti gerakan orang yang sedang meng-

hindari sambaran petir. 

“Ayo seranglah!” tantang Pendekar Slebor. 

Berbareng satu erangan serak, perempuan tua itu 

meluruk ke arah Andika. Tongkatnya berputar 

menderu-deru di atas kepala, samping kiri lalu 

samping kanannya. Hendak diremukkannya tulang-

belulang Pendekar Slebor dalam seruntun hantaman 

kilat. 

Wung... wung... wung! Prak, prak! 

Suara berderak mendadak terdengar. Kejadiannya 

begitu cepat. Tahu-tahu saja, tubuh Pendekar Slebor 

berpilin di udara. Mungkin salah satu bagian 

tubuhnya telah membentur ujung senjata lawan, 

sehingga menyebabkannya terlempar seperti gasing. 

Tak ada teriakan terdengar. Dan perempuan tua 

itu yakin benar kalau tongkatnya tentu telah meng-

hantam telak kepala pendekar gagah itu. Sehingga

mulutnya tak sempat lagi mengeluarkan suara. 

Sementara tubuh Andika pun jatuh ke pangkuan 

bumi seperti sepotong pelepah pisang, kaku tanpa 

gerak. Sungguh suatu hasil yang begitu meng-

gembirakan bagi si Perempuan Tua. Itu sebabnya, dia 

lantas terkikik nyaring. 

“Hi hi hi...! Hanya sebegitu saja kemampuanmu, 

Bocah! Aku kira sebelumnya, aku akan sedikit susah 

payah untuk merontokkanmu,” ucap perempuan itu 

menggebu. 

Sebagian cuping hidung wanita ini tampak 

mengembang-kempis seperti kelinci. 

“Kau lihat itu,” ujar wanita tua itu lagi pada I Made 

Paka. “Orang yang kau katakan memiliki ilmu 

dedemit, nyatanya tak ada apa-apanya melawan Nyi 

Ngurah Tambi, dukun sakti di Tanah Bali!” 

I Made Raka seperti tak percaya melihat kejadian 

yang dilihatnya. Mengapa pendekar muda itu 

demikian cepat terkalahkan? Tapi mengingat Nyi 

Ngurah Tambi memiliki ilmu hitam yang bisa saja 

membuat seseorang kehilangan kesadaran, dia baru 

bisa tertawa mengiringi cekikikan perempuan tua itu. 

“Hua ha ha...! Tak percuma aku membayar 

sekantung uang emas padamu, Nyi Ngurah Tambi!” 

puji I Made Raka. 

“Hua ha ha...!” 

Mendadak seseorang menyerobot keasyikan tawa I 

Made Raka. Entah dari mana datangnya suara itu. 

Dan ketika I Made Raka mengawasi sekelilingnya, tak 

ditemukan seorang pun di sana. Nyi Ngurah Tambi 

pun melakukan hal yang sama. 

Dan saat keduanya melempar pandang kembali 

pada tempat pendekar tadi terkapar, pemuda itu 

sudah tidak ada lagi di tempatnya.

“Hua ha ha...!” 

Terdengar lagi suara tawa meriah. Asalnya dari 

belakang tubuh I Made Raka. Kontan saja lelaki mata 

keranjang itu berbalik. 

“Waaa...!” I Made Raka memekik kaget, menyaksi-

kan Pendekar Slebor sudah berdiri bersidekap dalam 

keadaan sehat walatiat. 

Terbirit-birit I Made Raka lari ke arah Nyi Ngurah 

Tambi. Lelaki bernyali kodok itu langsung berlindung 

di belakang punggung si Perempuan Tua. 

Nyi Ngurah Tambi merasa dipermainkan. Meski 

masih bingung kenapa lawan masih tetap utuh. 

Padahal, telinganya tadi mendengar suara berderak 

sesuatu yang remuk. Seraya menggeram hendak 

dilabraknya Pendekar Slebor kembali. 

“Eit... eit!” cegah Andika sambil mengangkat 

tangan ke depan. “Tak usah terburu-buru, Barangkali 

kau perlu meneliti tongkatmu dulu, sebelum 

menyerangku kembali.” 

Secepatnya, Nyi Ngurah Tambi melirik tongkatnya. 

Matanya jadi mendelik tiba-tiba. Tongkat kayu itu 

ternyata sudah berubah bentuk! Kedua ujungnya kini 

sudah seperti ujung kuas. Entah, bagaimana kayu 

yang direndamnya bertahun-tahun dalam ramuan 

pengeras bisa hancur masai seperti itu? Rupanya 

itulah yang tadi terdengar berderak di telinganya! 

Dengan gusar dihempasnya tongkat dari tangan. 

Sekali lagi, si Perempuan Tua menggeram penuh 

ancaman. Dan baru saja kakinya maju selangkah, 

Pendekar Slebor untuk kedua kalinya menahan. 

“Eit, jangan terburu-buru. Bagaimana kalau kita 

sedikit berdamai?” 

Nyi Ngurah Tambi menatap pemuda yang berdiri 

empat tombak darinya di balik juluran rambut.

Rupanya, dia terpancing dengan kata damai yang 

diajukan Andika. 

“Ya! Tentu kau tahu apa maksudku,” sergah 

Andika cepat. 

Pendekar Slebor segera mengeluarkan dua buah 

kantung kecil dari balik baju. 

“Kau tahu ini?” tanya Andika sambil mengguncang-

guncang kantung-kantung itu di depan wajahnya. “Ini 

adalah dua kantung uang emas. Kau tak perlu 

bersusah payah mendapatkannya. Kau tahu, kalau 

aku cukup sulit dikalahkan. Perlu usaha yang berat, 

tentunya. Nah! Kau akan dapatkan kantung uang ini, 

tanpa harus buang-buang tenaga bertarung dengan-

ku. Kau cukup memberitahuku, di mana Idayu Wayan 

Laksmi disembunyikan....” 

“Jangan terima, Nyi!” sambar I Made Raka cepat. 

“Aku akan membay....” 

“Ah, diam kau!” bentak Andika. 

Seketika tangan Andika menjentik satu keeping 

uang emas yang diambilnya dari salah satu kantung 

ke arah I Made Raka. Tuk! 

I Made Raka langsung bungkam seribu bahasa. 

Tubuhnya yang melorot ke tanah langsung kaku 

matanya mendelik tak berkedip. Andika memang 

telah menotok satu jalan darahnya. 

“Bagaimana?” Andika mulai lagi pada Nyi Ngurah 

Tambi. 

Untuk sesaat, dukun perempuan ini hanya 

menimbang-nimbang. Tubuhnya diam bagai arca. 

Sedang matanya menatap lurus-lurus pada Andika. 

Sepertinya, dia hendak meyakinkan diri dengan 

tawaran pemuda di depannya. 

“Hey? Kenapa masih menimbang-nimbang? 

Berapa kau dibayar manusia mata keranjang itu?

Satu kantung, bukan? Nah? Kini kau bisa menerima 

dua kantung dengan bicara. Tak sulit?” ucap Andika. 

“Hmmm, baiklah,” putus Nyi Ngurah Tambi. Uang 

toh lebih penting daripada kehormatan baginya. 

“Bagus! Sebelum kuberikan dua kantung ini, cepat 

katakan di mana wanita itu disembunyikan?” 

“Aku ingin uangnya dulu. Kau bisa saja lari dariku 

setelah kuberitahu!” kata Nyi Ngurah Tambi, keras. 

“Baik..., baik. Nih!” 

Andika pun melempar dua kantung uang di 

tangannya. Dan dengan tangkas, tangan Nyi Ngurah 

Tambi menyambar dua kantung itu. Setelah puas 

meneliti isi kantung, baru perempuan itu menampak-

kan senyum yang lebih mirip seringai. 

“Perempuan itu disembunyikan Raka di sebuah 

gubuk dekat gapura, kira-kira sepeminum teh ke 

utara,” jelas perempuan tua itu. 

“Kau tidak menipuku, bukan?” tanya Andika, ingin 

lebih yakin. 

“Pemuda sundal!” maki Nyi Ngurah Tambi kesal. 

“Baik, baik.... Aku percaya padamu,” tukas Andika 

bergegas. 

Bukannya Pendekar Slebor takut pada Nyi Ngurah 

Tambi, tapi hanya paling tidak tahan kalau mulut peot 

nenek-nenek itu melantunkan makian menyakitkan 

telinga. Dia bisa jadi sinting mendengarnya! 

“Kalau begitu, terimakasih at...!” 

“Pergi kau!” hardik Nyi Ngurah Tambi, memenggal 

kalimat basa-basi Andika. 

“Ya, ya, ya...! Baik, baik!” Andika kelimpungan. 

Lalu Pendekar Slebor bergegas pergi. Lagi pula, dia 

memang sedang mengejar waktu agar tak kecolongan 

Sepasang Datuk Karang untuk mendapatkan peti 

berukir.

Belum begitu jauh meninggalkan tempat tadi, si 

Pemuda Urakan itu kontan menahan geli. Sambil 

berlari cepat, dia masih juga memegangi perutnya. 

Sementara dari kejauhan telinganya mendengar 

sumpah serapah Nyi Ngurah Tambi dan I Made Raka 

yang telah terbebas dari pengaruh totokan di 

tubuhnya. 

“Pencopet Busuuuk!” teriak mereka berbarengan 

di kejauhan. 

Ternyata, dua kantung uang yang dipakainya untuk 

menyogok Nyi Ngurah Tambi adalah uang perempuan 

tua itu sendiri yang didapat dari I Made Raka. Sedang 

yang sekantung lagi milik I Made Raka yang berada di 

sakunya. Tak percuma Pendekar Slebor pernah men-

jadi copet budiman sewaktu masih menjadi bocah 

kotapraja dulu. 

“Dengan begitu, aku toh bisa lebih cepat 

membebaskan Laksmi,” ucap Andika tersedak-sedak 

tawa. 

***

ENAM


Sejak kepergian Pendekar Slebor untuk menye-

lamatkan Idayu Wayan Laksmi. I Ktut Regeg duduk 

menanti di anak tangga rumah seperti orang bodoh. 

Sebelah tangannya menopang dagu, sedang tangan 

yang lain menjentik-jentik papan anak tangga 

berirama. Sampai saat ini, dia belum mengetahui apa 

yang terjadi terhadap kakaknya. Yang cuma di-

ketahuinya, kakaknya sedang dalam bahaya dan 

Andika, pendekar muda yang dikenalnya, sedang 

berusaha menyelamatkan. 

Tanpa disadarinya, dua lelaki tiba di tempat itu 

sambil menyeret peti mati besar. Siapa lagi kalau 

bukan Gumbala dan Lalinggi yang berjuluk Sepasang 

Datuk Karang. 

Sebenarnya suara bergemuruh yang ditimbulkan 

gesekan peti mati dengan permukaan tanah bisa 

ditangkap jelas telinga I Ktut Regeg. Tapi karena 

pikirannya saat itu hanya tertuju pada nasib Idayu 

Wayan Laksmi, I Ktut Regeg jadi tidak begitu mem-

pedulikan. Sampai akhirnya, Lalinggi menepuk 

pundaknya. 

“Apakah kau yang bernama Regeg, Bocah?” sapa 

laki-laki bercaping itu di sisi I Ktut Regeg. 

I Ktut Regeg tersentak. Lamunannya seketika 

buyar. Kepalanya menoleh pada Lalinggi. 

“Ya, kenapa?” sahut pemuda tanggung itu singkat 

tak bersemangat. 

“Kudengar desas-desus dari beberapa orang desa,

kau menemukan peti kecil berukir. Apa benar?” 

sambung Lalinggi. 

I Ktut Regeg mendengus acuh. “Apa pedulimu?” 

kata I Ktut Regeg masabodo. 

“Lebih baik kau beritahukan padaku, di mana 

benda itu sekarang...,” tandas Lalinggi datar. 

I Ktut Regeg mengadukan pandangan ke penutup 

wajah Lalinggi. Kedua bola matanya tampak agak 

membesar. 

“Kalau aku tak mau memberitahu, kenapa?” 

tantang pemuda tanggung ini. 

Lalinggi jadi tertawa sumbang. 

“Kau anak yang bernyali besar, Bocah....” 

Usai berkata, sebelah tangan Lalinggi merogoh 

sesuatu dari balik pakaian. I Ktut Regeg menyangka, 

lelaki bercaping itu hendak bertindak kasar padanya. 

Maka dia tersentak hendak bangkit menghindar. 

Tangan Lalinggi cepat menahan pundak I Ktut 

Regeg. 

“Tidak perlu takut. Aku tidak mengancammu, 

bukan? Ini....” 

Dari balik pakaiannya, tangan Lalinggi tadi 

mengeluarkan kantung kecil. 

“Kantung ini berisi uang yang cukup untuk 

hidupmu setahun,” lanjut Lalinggi. “Kalau kau 

memberitahu peti berukir itu, kantung uang ini akan 

menjadi milikmu. Bagaimana?” 

Sekali lagi I Ktut Regeg menoleh ke Lalinggi. 

Dipandanginya caping penutup wajah lelaki di 

sampingnya tajam-tajam, seakan hendak menerobos 

ke celah anyaman untuk mengenali wajahnya. Kalau 

tadi pantatnya dibikin berdenyut-denyut oleh Andika 

karena peti berukir itu, kini ada orang aneh yang 

menawarinya uang.

“Kau tak yakin dengan tawaranku ini?” tanya 

Lalinggi. 

Maka laki-laki bercaping ini segera mengeluarkan 

keping-keping uang ke sebelah telapak tangannya. 

Setelah itu, dimasukkannya kembali. 

“Sebenarnya aku bukan tidak yakin pada tawaran-

mu. Tapi aku hanya jadi penasaran pada isi peti 

berukir itu...,” tutur I Ktut Regeg nyaris bergumam 

pada diri sendiri. 

“Ah! Tidak ada benda berharga di dalamnya. 

Kalaupun kau bisa melihat isinya, tentu kau akan 

segera membuang kembali,” sergah Lalinggi. 

“Jadi, apa isinya?” 

“Ooo, sudahlah. Kau bersedia menerima uang ini, 

atau tidak?” 

I Ktut Regeg menimbang sesaat. Toh, dia mungkin 

tak bisa lagi mendapatkan peti berukir yang telah 

dibuangnya di laut. Sedangkan uang sekantung kecil 

itu, bisa dipastikan akan jadi miliknya. Syaratnya 

mudah pula. Hanya membuka mulut sedikit, beres. 

“Aku telah membuangnya di sekitar pantai barat 

Buleleng,” jawab I Ktut Regeg akhirnya. 

“Bagus, Bocah!” Lalinggi mengangguk-angguk 

kepala. “Terimalah ini....” 

Laki-laki bercaping itu segera melepar kantung 

uang ke udara. 

I Ktut Regeg bergegas mengasongkan tangan 

untuk menangkapnya. Tapi sebelum sempat jatuh ke 

telapak tangan I Ktut Regeg, satu tangan menyambar-

nya di udara. Dan ternyata, tangan itu milik Gumbala. 

“Tapi kalau kau membohongi kami, maka kepala-

mu yang jadi penggantinya,” ancam lelaki buruk itu. 

Setelah itu, Gumbala baru meletakkan kantung 

uang itu ke telapak tangan I Ktut Regeg.

Belum juga I Ktut Regeg mengucapkan terima 

kasih, kedua laki-laki itu pergi begitu saja sambil 

menyeret peti mati besar seperti biasa. Tidak di-

pedulikan lagi pemuda tanggung yang berjingkat-

jingkat sambil melempar-lempar kantung uang ke 

udara. 

Malam telah menjelang. Andika dan Idayu Wayan 

Laksmi pun tiba. Tapi mereka tak menemukan I Ktut 

Regeg di pekarangan. Di dalam rumah panggung, 

barulah pemuda tanggung itu ditemukan sedang 

berbaring sambil berongkang kaki. Tangannya masih 

menggenggam kantung uang, sementara pikirannya 

melayang mengkhayalkan barang-barang yang bisa 

dibeli dengan uang itu. 

“Regeg...,” isak Idayu Wayan Laksmi seraya meng-

hambur ke arah I Ktut Regeg. Dipeluknya sang Adik 

erat-erat, lega karena bisa selamat dari kejahatan I 

Made Raka. 

“Mbok tidak apa-apa?” sambut I Ktut Regeg, ikut 

lega. 

Idayu Wayan Laksmi menggeleng. Tangannya sibuk 

menghapus airmata di pipi. 

“Untung Tuan Andika menolongku,” tutur gadis itu. 

“Sekarang mana dia?” tanya I Ktut Regeg, hendak 

melaporkan tentang kedatangan dua lelaki sore tadi. 

“Di luar,” jawab Idayu Wayan Laksmi. 

I Ktut Regeg bergegas keluar. Tapi di sana tak 

menemukan siapa-siapa lagi, kecuali kelengangan 

malam yang diramaikan tembang hewan malam. 

Andika sendiri sudah beranjak pergi sejak Idayu 

Wayan Laksmi masuk ke dalam rumahnya. Tak ada 

waktu lagi baginya untuk mengantar masuk atau 

berbasa-basi. Pendekar Slebor harus segera ke tepi 

pantai barat Buleleng, untuk mencari peti berukir.

Sungguh! Dia tidak mau kedahuluan Sepasang Datu 

Karang. Padahal tanpa diketahuinya, dua lelaki aliran 

sesat itu memang sudah mendahuluinya sejak sore 

tadi. 

Belum begitu jauh dia meninggalkan rumah Idayu 

Wayan Laksmi, di tengah jalan menuju tepi desa 

Pendekar Slebor bertemu sepasukan prajurit 

kerajaan yang berjumlah sekitar tiga puluhan orang, 

lengkap dengan tombak dan tameng. Seorang di 

antaranya berpakaian seorang patih. Juga, ada 

seorang yang pernah dilihat Andika sewaktu upacara 

malam purnama waktu itu. Dialah Corkode Ida Bagu 

Tanca Raja Buleleng. 

“Ada apa gerangan ini, Gusti?” tanya Andika 

setelah dekat, dan langsung menjura hormat. 

“Kau orang asing yang tinggal di kediaman Idayu 

Wayan Laksmi?” tanya Cokorde berwibawa. 

“Benar.” 

“Tangkap dia!” perintah Cokorde tiba-tiba saja, 

benar-benar mengejutkan Andika. 

“Tunggu dulu!” sergah Andika. “Bisakah Gusti 

jelaskan padaku, kenapa aku hendak ditangkap?” 

Cokorde tak segera menjawab karena patih di 

sebelahnya menyarankan agar tidak perlu melayani 

pertanyaan Andika. 

“Langsung tangkap saja, Paduka. Nanti setelah 

tiba di kerajaan, barulah disuruh bicara,” saran patih 

yang bernama I Wayan Rama. 

Patih itu berusia sekitar empat puluh delapan 

tahun. Badannya kekar berotot. Sikapnya semakin 

gagah dengan sebilah keris pusaka di pinggangnya. 

Wajahnya tampak garang, meski tanpa kumis 

melintang atau cambang bauk. Apalagi kalau 

memperhatikan alis matanya yang lebat, hampir

menyatu pada pangkalnya. Sinar matanya tetap 

mencerminkan semangat bergelora, meski rambutnya 

sudah banyak ditumbuhi uban. 

Berbeda dengan patihnya, Cokorde Ida Bagus 

Tanca bertubuh agak pendek dan agak gemuk. Meski 

begitu, perutnya tidak terlihat buncit. Dengan pakaian 

kebesarannya, dia tampak tak kalah gagah dengan 

Patih I Wayan Rama. Wajahnya putih, dengan kumis 

rapi. Karena usianya sudah cukup tua, wajahnya yang 

cukup tampan, tampak sudah dihiasi kerutan. 

“Tangkap pemuda itu!” perintah Cokorde Ida 

Bagus Tanca, setelah menyetujui saran patihnya. 

Andika jadi gelagapan tak karuan. Bibirnya 

meringis tak mengerti. Apalagi ketika kedua puluh 

delapan orang prajurit mulai maju ke arahnya. 

“Kutu koreng! Bisa-bisa aku kedahuluan Sepasang 

Datuk Karang...,” maki Andika. 

Sementara, seluruh prajurit sudah mengurung 

Pendekar Slebor dari setiap penjuru. 

Tunggu duluuu!” teriak Andika kembali agak 

sedikit mengkel. “Ini pasti salah paham!” 

“Tidak ada yang salah paham. Seorang keluarga 

kerajaan telah melaporkan. kalau kau telah mem-

bunuh tiga sesepuh Buleleng!” tandas Patih I Wayan 

Rama lantang. 

“Siapa yang telah melaporkan kebohongan itu?” 

sangkal Andika: 

Selama ini, Pendekar Slebor hanya tahu ada 

sepasang suami-istri tua yang dibunuh Sepasang 

Datuk Karang. Entah, siapa sesepuh lain yang 

dimaksud Patih I Wayan Rama. 

“Tuan tadi menyebut-nyebut seorang keluarga 

kerajaan yang melaporkan hal itu?” tanya Andika lagi. 

“Apa dia I Made Raka?”

Mata Patih I Wayan Rama menyipit. 

“Dari mana kau tahu?” 

Tiba-tiba Andika tertawa. 

“Sebaiknya Tuan sedikit mencari tahu, apa orang 

itu bisa dipercaya atau tidak. Menurutku, dia hanya 

seekor ular berkepala dua!” 

“Tutup mulutmu, Anak Muda!” bentak Cokorde

dengan mata agak terbelalak. “Menyerah atau 

terpaksa kami menggunakan kekerasan?!” 

Andika menggeleng. Bagaimana mau menyerah 

kalau kesalahan tidak pernah dibuat. Menyerahkan 

diri untuk dihukum karena fitnah, rasanya terlalu 

bodoh baginya. 

“Kuminta pada Gusti, agar menyelidiki kembali 

perkara ini,” kata Andika. 

Patih I Wayan Rama tak bisa bersabar lagi. Setelah 

meminta izin Cokorde, diperintahkannya pasukan 

untuk segera menyerang Andika. 

“Seraaang!” 

Seketika kepungan berbentuk lingkaran besar 

yang dibentuk para prajurit bergerak mengecil ke satu 

titik, yakni ke tubuh Andika. Bagai puluhan kuda liar, 

mereka meluruk menciptakan gumpalan debu yang 

tersamar kegelapan malam. Tombak di tangan 

masing-masing teracung lurus ke depan, siap 

merencah tubuh Pendekar Slebor dari tiap jurusan. 

“Hiiiaaa...!” 

Dengan mulut mengumpat panjang-pendek, 

Pendekar Slebor menghindari tusukan demi tusukan 

tombak. Seiring serbuan tiap senjata lawan, tubuh 

pendekar urakan itu melengos kian kemari. Sejengkal 

ruang pun, saat itu amat berarti baginya agar mata 

tombak tidak sempat menembus atau menyodok 

kulitnya.

Sebenarnya, bisa saja Pendekar Slebor melompat 

tinggi-tinggi ke atas, lalu hinggap di mana pun suka. 

Setelah itu, tubuhnya bisa digenjot secepat mungkin, 

pergi dari tempat tersebut. Hal itu tidak dilakukannya, 

karena Andika tidak mau menjadi buronan pihak 

kerajaan untuk sesuatu yang tak pernah dibuatnya. 

“Haih!” 

Trak! Trak! 

Dua batang tombak yang menutup ruang gerak 

Pendekar Slebor di bagian tulang rusuk, patah 

berkeping oleh tamparan tangannya. 

Slep... slep... slep...! 

Beberapa batang lain kontan kandas dihimpit 

ketiak Andika. Saat berikutnya, semua terbelah 

berantakan dicongkel sepasang pergelangan tangan 

Pendekar Slebor. 

Prak! 

Bisa saja untuk selanjutnya Pendekar Slebor 

mengirim pukulan beruntun pada para prajurit yang 

telah kehilangan tombaknya. Namun, Andika tahu 

kalau lawannya hanya korban kesalahpahaman 

akibat termakan fitnah manusia licik I Made Raka. 

Satu-satunya cara yang bisa diperbuat Pendekar 

Slebor agar terhindar dari hujaman senjata lawan, 

sekaligus tidak membuat para prajurit terluka, adalah 

menotok jalan darah masing-masing. Namun niat 

tersebut tak terlaksana, manakala prajurit yang masih 

memiliki senjata cepat menerobos masuk di antara 

prajurit lain, seraya menusukkan ujung tombak. 

Serangan susulan mendadak itu menerabas dari 

depan. Sehingga, memaksa Pendekar Slebor 

melemparkan tubuh ke belakang, melewati kepala 

beberapa prajurit di belakangnya. Setelah memutar 

tubuh di udara sekali, kakinya menjejak kembali di

tanah. 

Belum lagi Pendekar Slebor bisa menarik napas 

lega, lima prajurit di belakang lapisan pertama 

membokongnya berbarengan. 

“Hiaaa!” 

Zeb... zeb... zeb...! 

Telinga pendekar Tanah Jawa Dwipa yang terlatih 

ini segera dapat menangkap ancaman bahaya di 

belakang. Dengan tangkas dirinya dijatuhkan ke 

tanah. Dan seketika kaki kelima prajurit tadi langsung 

tersapu keras, manakala tubuh Pendekar Slebor 

bergulir cepat ke arah mereka. Akibatnya, mereka 

pun jatuh berdebam susul-menyusul. 

Bruk! Bruk! 

Kini Andika sudah berdiri kembali sekitar tiga depa 

di tempat yang agak aman dari kepungan. 

“Hm, mereka tampaknya begitu terlatih untuk 

kulumpuhkan dengan mudah,” desis Pendekar 

Slebor. “Kodok bengkak! Aku makin sulit saja untuk 

segera tiba di pantai barat Buleleng....” 

“Serang lagiii...!” seru seorang prajurit, penuh 

gelora. 

Para prajurit baik yang masih bersenjata maupun 

yang tidak, dengan berapi-api menerjang untuk yang 

kesekian kalinya. Selaku prajurit sejati, mereka 

memang digembleng untuk tidak mudah menyerah. 

Sikap mereka bagai sudah tidak lagi memiliki rasa 

takut mati. Mereka percaya, mati dalam mengemban 

tugas negera adalah terhormat. 

Hal itu semua terangkum dalam dasar hukum adat 

dalam Tri Pepali, atau Tiga Dasar Hukum bagi 

kehidupan manusia sebagai keyakinan mereka. 'Sepi 

ingpamrih rame inggawe'. 

Kali ini, serangan para prajurit demikian kompak

menggebu. Keadaan yang makin menempatkan 

Andika pada keadaan yang sulit, di mana harus 

menyelamatkan dirinya tanpa melukai seorang lawan 

pun. Maka saat itulah Pendekar Slebor harus 

menentukan pilihan. Membiarkan dirinya direncah 

lawan, atau menghantam balik dengan akibat 

kematian. Dan mendadak.... 

“Berhenti!” 

Pada saat yang rawan itulah, tiba-tiba teriakan 

mengguntur menyelamatkan Andika dari tindakan 

yang tak diharapkan. Dan seketika, semua mata 

mencari arah datangnya suara. 

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul 

seorang laki-laki tua berpakaian hitam-hitam di 

belakang Cokorde Ida Bagus Tanca. 

“Ki Lantanggeni! Kenapa kau mencegah kami 

menangkap bocah perusuh ini?!” tanya Raja Buleleng 

itu, seperti tidak senang. Rupanya, raja ini sudah 

kenal dekat dengan laki-laki tua yang dipanggil Ki 

Lantanggeni tadi. 

“Dia tidak bersalah, Cokorde. Akulah saksinya,” 

kata Ki Lantanggeni. 

Kemudian Ki Lantanggeni segera menceritakan 

apa yang disaksikan terhadap tindakan I Made Raka 

selama ini. Juga tentang fitnah yang dilimpahkan 

kepada Pendekar Slebor. 

***


TUJUH


Di pantai barat Buleleng. Ombak susul-menyusul, 

menepis jutaan buih ketepian. Deburnya men-

ciptakan irama alam teratur, seakan tetabuhan 

genderang dari alam jauh tak tergapai mata. Tebaran 

pasir putih di mana-mana, membersitkan cahaya-

cahaya kecil kala sinar mentari senja menimpa, bagai 

timbunan permata halus berkilau menawan. 

Di bibir pantai, jejak memanjang terlihat. Asalnya 

dari seretan peti mati besar yang ditarik dua lelaki. 

Siapa lagi kalau bukan Sepasang Datuk Karang. 

“Apakah anak itu telah membohongi kita, Kang?” 

ungkap Gumbala. 

Telah lama mereka hanya memusatkan mata pada 

pantai, mencari kotak berukir yang diincar. 

“Hampir sepanjang pantai kita susuri, kotak 

berukir itu belum juga kita temui,” kata Gumbala lagi. 

Lalinggi tidak menyahut. Dari balik caping yang 

menutup wajahnya, mata lelaki itu terus mengawasi 

jengkal demi jengkal pantai barat Buleleng. 

“Kita belum lagi sampai di batas pantai, Gumbala,” 

ujar Lalinggi, dingin akhirnya. 

“Tapi kalau anak sundal itu membohongi, sia-sia 

saja usaha kita. Dengan begitu, kita toh hanya 

membuang waktu percuma,” sungut Gumbala. 

“Aku tahu. Tapi, percayalah. Jika anak itu mem-

bohongi kita, dia harus menerima akibatnya,” balas 

Lalinggi. 

“Ya! Aku ingin sekali menghancurkan batok 

kepalanya!

“Apakah sekarang kau bisa diam dan meneruskan 

pencarian?!” bentak Lalinggi. 

Gumbala diam. Kalau Lalinggi sudah menghardik 

seperti itu, dia tidak berani macam-macam lagi. 

Dengan menekuk wajah buruknya dalam-dalam, 

diturutinya perintah Lalinggi. 

Kini keduanya meneruskan pencarian. Sampai di 

satu bagian pantai mereka menemukan sesuatu yang 

terapung-apung di bibir pantai. 

“Itu dia, Kang!” seru Gumbala. 

“Ya, aku tahu.” 

Mereka pun segera mendekat. Benar! Ternyata 

benda terapung itu memang kotak berukir yang 

selama ini dicari. Tanpa menunggu perintah Lalinggi 

lagi, Gumbala dengan wajah berseri-seri segera 

menjemput kotak itu. 

“Ini, Kang...,” kotak di tangannya segera pula 

diantar pada Lalinggi. “Periksalah dulu, Kang,” pinta 

Gumbala. 

Lalinggi menerima kotak itu dari tangan Gumbala. 

Untuk beberapa saat, diteliti seluruh bagian kotak, 

untuk meyakinkan kalau tidak keliru. Tak lama 

kemudian kepala bercaping Lalinggi pun bergerak-

gerak berirama. Rupanya, dia mengangguk-angguk 

puas. 

“Sebentar lagi kita akan menjadi murid seorang 

tokoh hitam yang bakal menaklukkan dunia 

persilatan Gumbala,” kata Lalinggi. 

Selesai mengungkapkan isi hatinya, Lalinggi 

tertawa canggung. Hal yang selama ini belum pernah 

dilakukannya. 

Sedang Gumbala ikut menimpali tawa Lalinggi, 

penuh kemenangan. Suaranya yang serak, terdengar 

bagai jeritan burung pemakan bangkai.

“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini,” ajak 

Lalinggi setelah puas tertawa. 

Gumbala cepat mengangguk. Maka kini keduanya 

pun pergi. Seperti biasa, mereka menyeret peti mati 

besar bersama-sama. Hanya, kali ini ada satu peti 

kecil berukir di tangan Lalinggi. 

*** 

Goa Karang Hitam berada tak begitu jauh dari 

pantai barat Buleleng. Letaknya tepat di kaki satu 

bukit karang yang tak begitu menjulang. Sewaktu 

menemukan goa itu, Lalinggi dan Gumbala ber-

sepakat untuk memanfaatkanya sebagai tempat men-

jalankan sebuah rencana. 

“Goa ini benar-benar cocok dengan rencana kita. 

Kebetulan sekali, Kang,” cetus Gumbala saat 

keduanya telah memasuki goa buntu, sedalam kira-

kira lima puluh depa. 

“Ya,” jawab Lalinggi singkat seraya mengangkat 

kayu bakar yang digunakan sebagai penerang. 

Dipandanginya seluruh bagian dinding goa yang 

dipenuhi lumut. “Kita harus segera membuat api 

unggun.” 

Gumbala menuruti ucapan Lalinggi. Kayu-kayu 

kering yang telah dikumpulkan sebelum memasuki 

goa, segera diserakkannya di dasar goa berpasir ini. 

Lalu mulai dibuatnya api dengan memantik-mantik 

dua buah batu di atas jerami kering. 

“Api unggun sudah menyala, Kang.” lapor 

Gumbala. 

Lalinggi mengangguk lemah. Setelah itu kayu 

bakar di tangannya disatukan dengan kayu api 

unggun.

“Sekarang kau geser peti mati itu ke sini,” perintah 

Lalinggi. 

Gumbala bergegas menjalankan perintah Lalinggi. 

Kini peti mati besar yang selama ini selalu diseret-

seret telah berada tepat di sisi api unggun. Lidah api 

unggun menjilat-jilat liar, hendak menggapai langit-

langit goa. Cahayanya menyapu sisi peti mati, 

membuat benda besar itu terlihat kian angker. 

“Sekarang apa lagi, Kang?” tanya Gumbala. 

Tak ada jawaban dari Lalinggi. Lelaki itu hanya 

menurunkan peti berukir dari tangannya ke dasar 

goa. Tepat di hadapan peti berukir, Lalinggi duduk 

bersila. Tangannya bersidekap, sedang matanya 

terpejam. 

Ketika waktu berlalu cukup lama, tangan Lalinggi 

mulai bergerak ke depan. Seluruh otot-otot di 

tangannya mengejang. Satu telapak tangannya yang 

terbuka pun tiba di lubang kunci peti berukir. Tak 

begitu lama, telapak tangan itu menempel, maka 

asap putih kehitaman mengebul dari sela-sela antara 

telapak tangan dengan sisi lubang kunci. Krak! 

Tiba-tiba saja peti berukir terbuka bersama suara 

berderak. Namun, hanya berupa kuakan celah kecil. 

“Biar aku yang buka, Kang,” serobot Gumbala tak 

sabar, mengetahui pengunci peti berukir telah dapat 

dihancurkan Lalinggi. 

“Tunggu dulu!” cegah Lalinggi cepat. “Jangan 

berlaku ceroboh!” 

Tangan Gumbala urung diulurkan ke peti berukir. 

Bentakan keras Lalinggi, lumayan membuatnya kaget. 

“Kenapa, Kang?” tanya laki-laki berwajah buruk 

itu. 

“Lihat saja...,” kata Lalinggi dingin. 

Kemudian laki-laki bercaping ini melepas satu

pundi yang digantung di sekitar pinggang. Pundi itu 

kemudian digulung dengan bajunya, hingga mem-

bentuk sebuah bantalan kain. 

“Kau pegang penutup peti itu,” ujar Lalinggi pada 

Gumbala. “Kalau kubilang buka, kau harus 

secepatnya membuka penutup peti itu. Mengerti?” 

Gumbala hanya mengangguk-angguk. 

“Siap...,” Lalinggi memberi aba-aba. 

Gumbala yang berada di belakang peti menatap 

Lalinggi tegang, menanti aba-aba selanjutnya. 

Sementara, Lalinggi siap dengan bantalan kain di 

tangan. 

“Buka!” seru Lalinggi. 

Secepat kilat, Gumbala menarik penutup peti. 

Dalam saat yang hampir bersamaan, Lalinggi pun 

mendekapkan buntalan kain ke mulut peti yang baru 

saja terkuak. 

Blep! Jep! Jep! Jep! 

Serentak suara halus terdengar. Sewaktu Lalinggi 

mengangkat bantalan kain dari mulut peti, terlihatlah 

puluhan batang bambu beracun berwarna biru 

kehijauan. Kain pada bagian yang tertancap batang 

bambu itu tampak kontan terbakar menghitam serta 

mengepulkan asap sewarna dengan batang-batang 

bambu. 

“Kau lihat,” ujar Lalinggi. “Kalau kau seenaknya 

membuka peti ini, pasti sudah mengejang hangus 

seperti kain ini....” 

Mata besar Gumbala terbelalak kian besar. 

Mungkin lebih besar daripada mata burung hantu. 

Dan dia hanya menelan ludah. Kalau saja tak dicegah 

Lalinggi, tentu sudah mampus! Gumbala ngeri 

membayangkannya. 

Lalu, apa isi peti itu sebenarnya?

Sambil tertawa nyaring yang membuat dinding goa 

bergetar, Lalinggi mengambil isi peti berukir di 

depannya. Ternyata, sebuah kepala manusia! 

“Hua ha ha...! Kau akan hidup kembali Ki Rawe 

Rontek! Dan kau pasti akan membalas budi baik 

kami, dengan menurunkan ilmu 'Rawe Rontek'mu 

pada kami! Hua ha ha...!” 

Tak hanya Lalinggi, Gumbala pun turut terbahak-

bahak. 

“Kita akan menjadi dua jago persilatan, Kang!” 

teriak Gumbala. “Hua ha ha...!” 

*** 

Sementara itu di tepi pantai barat Buleleng malam 

ini, tampak pula dua laki-laki lain. Seperti Lalinggi dan 

Gumbala, mereka pun sama-sama menelusuri tepi 

pantai. Jejak panjang yang ditinggalkan di belakang, 

menandakan kalau mereka sudah cukup lama 

berjalan di sana. 

Salah seorang lelaki tua bercaping kerucut. 

Pantulan cahaya rembulan di laut, menerangi samar 

wajahnya yang berkeriput serta berjanggut. 

Kekurusan lelaki tua itu menyebabkan tulang pipinya 

jadi menonjol. 

“Tampaknya kita telah didahului, Andika,” kata 

lelaki tua itu. 

Saat ini, mereka telah tiba di batas pantai sebelah 

selatan. Dan memang pemuda di sebelah laki-laki tua 

itu adalah Pendekar Slebor. Setelah lelaki tua yang 

tak lain adalah Ki Lantanggeni itu menyelamatkan 

Pendekar Slebor dari keroyokan prajurit Buleleng, 

Andika memang langsung menceritakan tentang 

kotak berukir. Maka, kini mereka berada di pantai

barat Buleleng. 

Pendekar Slebor hanya menghela napas. Dia juga 

seyakin lelaki tua di sebelahnya, kalau peti berukir 

yang dicari telah diambil orang lain. 

“Apakah orang-orang yang mendahului kita 

Sepasang Datuk Karang, Ki Lantanggeni?” tanya 

Andika penasaran. 

“Besar kemungkinan begitu,” sahut Ki 

Lantanggeni. “Bagaimana kalau kita mencari tahu 

pada penduduk sekitar pantai ini?” 

Andika setuju. Maka mereka melangkah ke 

pedalaman pesisir menuju desa penduduk terdekat 

untuk mencari keterangan. 

Siapakah Ki Lantanggeni sebenarnya, sehingga 

ikut campur dalam masalah peti berukir yang telah 

menelan beberapa korban nyawa itu? 

*** 

Kira-kira enam puluh tahun lalu, ada seorang 

tokoh golongan hitam yang memiliki ilmu sesat 'Rawe 

Rontek'. Dengan ilmu itu, si Tokoh Sesat amat sulit 

dibinasakan. Setiap luka yang berhasil merobek kulit 

tubuhnya, selalu saja menutup kembali tanpa cacat, 

seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Lebih dahsyat 

lagi, setiap kali bagian tubuhnya terpotong, setiap kali 

pula bagian tubuh itu menyatu kembali. Bahkan 

kepalanya sendiri! Di dunia persilatan, dia amat 

tersohor sebagai Ki Rawe Rontek. 

Kisah Ki Rawe Rontek, berasal dari perjalanan 

hidup seorang pemuda dari sebuah desa kecil 

bernama Watukarang. Namanya, Lantang. Sejak kecil, 

pemuda itu memiliki tabiat buruk dan perangai 

tercela.

Seperti bibit perusuh, dia tumbuh dalam kejahatan 

demi kejahatan. Mencuri, menganiaya, dan membuat 

kekacauan adalah pekerjaan biasa. 

Suatu hari, terjadi perampokan yang mengakibat-

kan terbunuhnya satu keluarga secara keji. Pada 

malam yang sama dengan saat perampokan, Lantang 

pun mempunyai niat buruk pada seorang kembang 

desa, bernama Saridewi. Cintanya yang selama ini 

selalu ditolak Saridewi, membuatnya bermata gelap. 

Hendak dilarikannya Saridewi, lalu dipaksa untuk 

dikawini. 

Naas, pada saat mengendap-endap di samping 

kamar si Kembang Desa, orangtua Saridewi yang 

terkenal kasar, keluar dan hampir memergokinya. 

Kontan saja Lantang lari tunggang-langgang, karena 

begitu takut akan kekasaran lelaki itu. Saat itulah 

perampok yang sedang dikejar para penduduk 

bertemu Lantang. 

Dengan licik, si Perampok menghajar Lantang 

seraya meneriakinya perampok. Lantang yang 

memang tak memiliki kepandaian silat, tak bisa ber-

buat apa-apa. Dia megap-megap dihajar oleh si 

Perampok. Bahkan para penduduk yang sudah kalap, 

tanpa banyak tanya langsung saja menghajarnya 

habis-habisan. 

“Ampun! Ampun! Aku bukan perampok!” teriak 

Lantang kala itu. 

“Ah! Mana ada orang maling yang mau mengaku!” 

hardik si Perampok dengan mimik sinis penuh 

kesungguhan. 

“Aku Lantang! Aku memang suka berbuat 

kericuhan, tapi tidak pernah merampok!” sangkal 

Lantang lagi. 

“Kau tidak hanya merampok! Kau juga membantai

seluruh keluarga korban dengan golok itu!” tuding si 

Perampok lagi, seraya menunjuk golok berlumur 

darah yang sempat diselipkan di balik pakaian 

Lantang. 

Lantang terkesiap. Wajahnya yang sudah babak 

belur tampak demikian takut. Dikeluarkannya golok 

dari balik baju. Dengan mata bengkak terbelalak, 

diperhatikannya senjata itu tanpa bisa berkata 

sepatah pun. Bibirnya kelu dan pita suaranya seperti 

tersumpal. 

“Ayo, tunggu apa lagi?!” seru si Perampok pada 

penduduk. “Cepat cincang dia! Bunuh seperti dia 

membunuh keluarga korban!” 

Amukan penduduk meledak seketika. Pikiran 

mereka tak lagi jernih. Bersama segenap kekalapan, 

Lantang dihajar kembali tanpa ampun. 

“Sungguh, demi Tuhan! Aku tak pernah merampok 

atau membunuh!” teriak serak Lantang di antara 

suara-suara pukulan kayu para penduduk yang 

menghantam tubuhnya. 

Sementara Lantang menerima siksaan tak ter-

hingga. Perampok yang memfitnahnya melarikan diri 

secara diam-diam. 

Jika beberapa saat saja Lantang dibiarkan dihajar 

orang-orang gelap mata itu, sudah bisa dipastikan 

nyawa mudanya akan melayang. Untunglah sebuah 

bayangan berkelebat cepat, menyambar di antara 

kerumunan penduduk. Lalu disambarnya tubuh 

Lantang pada saat hampir sekarat. 

Gerakan bayangan itu begitu cepat bagai 

bayangan hantu. Setiap orang yang berada di sana 

mendadak takjub dan lupa pada kemarahan. Seakan, 

suatu kekuatan gaib telah menguasai diri mereka 

masing-masing. Memang, yang menyelamatkan

Lantang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah 

seorang pertapa tua yang hanya muncul dua puluh 

tahun sekali, untuk mencari seorang murid. Namanya 

Ki Gintung. 

Karena Ki Gintung adalah seorang pertapa yang 

memiliki ketajaman mata batin, dia bisa menilai kalau 

Lantang sebenarnya memiliki hati baik. Hanya karena 

dikucilkan penduduk yang disebabkan kemelaratan-

nya, dia menjadi seorang pemuda berjiwa pem-

berontak. Kejahatan-kejahatannya selama ini hanya 

cara untuk unjuk rasa terhadap sikap orang-orang 

desanya yang sudah menganggapnya seperti anjing 

geladak tak berarti. Ki Gintung juga bisa menilai kalau 

pemuda yang telah diselamatkannya memiliki 

kemauan keras dan bentuk tubuh yang bagus. 

Dengan semua pertimbangan itu, Ki Gintung mem-

buat keputusan untuk mengangkat Lantang sebagai 

murid kelima. 

Sejak saat itulah Lantang mendapat godokan lahir 

batin dari si Pertapa Tua. Godokan batin ini 

membuatnya menjadi seorang berjiwa matang dan 

bersih. Sedangkan godokan lahir. membuatnya 

menjadi seorang tangguh. Maka, jadilah dia seorang 

ksatria. 

Selama lima tahun menjalani didikan keras Ki 

Gintung, suatu saat Lantang diperkenalkan pada 

keempat kakak seperguruannya yang telah 

meninggalkan goa penggodokan terlebih dahulu. 

Betapa kagetnya Lantang, manakala melihat salah 

seorang kakak seperguruannya. Dari keempat lelaki 

itu, ada seorang yang dulu memfitnahnya hingga 

dihajar habis oleh penduduk! 

Rupanya panggilan duniawi menyebabkan kakak 

seperguruannya itu mengkhianati seluruh petuah Ki

Gintung, sekaligus mengkhianati amanat ilmu-ilmu 

yang telah diberikan. 

Karena tak ingin mengecewakan Ki Gintung, 

Lantang tak mengungkap makar yang dilakukan 

Artapati, kakak seperguruan yang melakukan 

perampokan waktu itu. Padahal, tanpa perlu 

diberitahu, mata batin Ki Gintung sendiri sudah bisa 

merasakan pengkhianatan Artapati. 

Namun apa mau dikata? Ki Gintung tak bisa 

berbuat apa-apa, karena usianya yang kian lanjut. Dia 

tak ingin bergelimang darah lagi. Dan akibatnya, 

pertapa itu menderita sakit parah. Merasa dirinya 

sudah mendekat ajal, Ki Gintung pada suatu hari 

memanggil Lantang seorang diri. Di samping Lantang 

adalah murid satu-satunya yang masih tinggal di 

tempat, dia juga murid kesayangan Ki Gintung. 

“Sepertinya ajalku akan segera tiba, Lantang,” 

ucap Ki Gintung tersendat. Napasnya terseret satu-

satu. “Saatnyalah aku memberimu wasiat....” 

Lantang diam tanpa suara. Ditatapnya sang Guru 

tercinta dengan mata menahan bias bening. 

“Di bawah batu tempat bertapaku,” lanjut Ki 

Gintung. “Ada sebuah tempat penyimpanan rahasia. 

Di sana, aku menyimpan kitab berisi ajian-ajian ilmu 

hitam, lengkap dengan seluruh riwayatnya. Kuberikan 

kitab itu padamu. Pelajarilah. Tapi, jangan dipakai 

kecuali jika memang mendesak sekali....” 

Wasiat Ki Gintung selesai. Dan saat itu pula, 

usianya pun tamat. 

Betapa kehilangannya Lantang. Baginya, Ki 

Gintung lebih dari sekadar guru. Ki Gintung juga 

sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri. Itu 

sebabnya, dia sempat pula menitikkan airmata 

kehilangan, meski sudah berusaha menahannya.

Selesai menguburkan jenazah gurunya, Lantang 

segera memeriksa batu tempat bertapa Ki Gintung. Di 

balik batu bundar serta datar itu, ditemukannya 

lubang tempat penyimpanan sebuah kitab kuno, 

seperti pernah dikatakan Ki Gintung. 

Lalu, diambilnya kitab itu. Selama berminggu-

minggu, mulai dipelajari seluruh riwayat ilmu hitam 

dalam kitab termasuk ajian 'Rawe Rontek'. 

Sayang, sebelum ilmu-ilmu dalam kitab sempat 

dikuasai, Artapati datang secara diam-diam. Dengan 

licik, mata air yang biasa dipakai Lantang untuk 

minum dicampur racun. Dan ketika Lantang tak 

sadarkan diri, kitab kuno warisan mendiang Ki 

Gintung pun dicuri. 

Sejak saat itu, Lantang tak pernah lagi bertemu 

Artapati. Suatu hari, Lantang pulang kembali ke 

desanya untuk melihat keadaan Saridewi, kembang 

desa yang dicintainya dulu hingga sekarang. 

*** 

“Bagaimana dengan Lantang dan Artapati, Ki?” 

tanya Andika penasaran, karena Ki Lantanggeni 

memutuskan cerita. 

“Keduanya bertemu kembali di desa itu. Artapati 

sudah berhasil menguasai ajian 'Rawa Rontek”. Niat 

Artapati ke desa itu adalah menculik Saridewi. 

Artapati memang licik. Sengaja Saridewi diculik untuk 

memancing kemarahan Lantang,” papar Ki 

Lantanggeni meneruskan cerita. 

Sementara dia dan Andika sudah tiba di tapal 

batas sebuah desa di dekat panlai barat Buleleng. 

“Lalu?” tanya Andika untuk kedua kalinya. 

“Dengan telengas, wanita yang dicintai Lantang

dibunuh Artapati di depan matanya sendiri. Lantang 

tentu saja jadi amat murka. Dia pun melabrak 

Artapati. Saat itu, Lantang nyaris kehilangan nyawa. 

Untunglah, datang tiga saudara seperguruannya yang 

lain. Dengan penggabungan kepandaian, mereka bisa 

menandingi kemampuan Artapati. Rupanya, sejak 

lama ketiga kakak perguruan Lantang yang lain telah 

mengawasi setiap sepak terjang Artapati yang keji. 

Mereka bertarung habis-habisan. Dan satu persatu 

kakak perguruan Lantang bisa dibunuh Artapati. 

Namun begitu, Artapati harus membayar mahal 

nyawa ketiga saudara seperguruannya, dengan 

nyawanya sendiri. Pada saat puncak di mana Artapati 

dan Lantang sudah kehilangan tenaga, Lantang 

teringat pada rahasia kelemahan ajian 'Rawe Rontek'. 

Dengan rahasia yang pernah dibaca dari kitab yang 

dicuri akhirnya Artapati bisa dibunuh.” 

Ki Lantanggeni mengakhiri cerita. Napasnya ter-

lihat agak memberat. Tampaknya dia terhanyut oleh 

ceritanya sendiri. 

“Apakah Lantang adalah kau sendiri, Ki?” duga 

Andika, saat mendapati keadaan Ki Lantanggeni. 

Lelaki tua bercaping kerucut itu mengangguk. 

“Dan orang yang disebut Ki Rawe Rontek adalah 

saudara seperguruanmu yang bernama Artapati?” 

duga Andika lagi. 

Kembali laki-laki tua itu mengangguk. 

Malam semakin larut. Di langit, bulan sabit 

diselimuti awan tipis bagai serpihan-serpihan kain 

tembus pandang. Sementara di laut, suasana tak juga 

lekang dari debur ombak yang mulai meninggi. 

Goa Karang Hitam yang terletak tak begitu jauh 

dari pantai barat Buleleng tampak diterangi cahaya 

kemerahan yang berasal dari api unggun. Di dalam

nya, Sepasang Datuk Karang akan memulai suatu 

upacara. Mereka akan berusaha menyatukan kembali 

kepala Artapati, alias Ki Rawe Rontek dengan tubuh-

nya. Dengan penyatuan itu, Lalinggi dan Gumbala 

berharap Ki Rawe Rontek akan hidup kembali. 

Mereka percaya, ilmu 'Rawe Rontek' yang dimiliki 

Artapati masih tetap menyatu dengan jasadnya yang 

tak membusuk. 

Setelah berhasil membuka peti kecil berukir 

tempat kepala Ki Rawe Rontek, Lalinggi memerintah 

Gumbala untuk membuka peti mati besar yang 

selama ini selalu dibawa-bawa. Di dalam peti itu 

tersimpan tubuh Ki Rawe Rontek. Mereka mem-

bawanya dari pemakaman di Pulau Jawa Dwipa, 

setelah melakukan pencarian selama bertahun-

tahun. 

Memang! Lantang yang kini dikenal Andika sebagai 

Ki Lantanggeni sengaja mengubur kepala dan tubuh 

kakak seperguruannya yang murtad itu, secara 

terpisah. Karena menurut kitab kuno warisan 

gurunya, orang penganut ilmu 'Rawe Rontek' akan 

bisa bangkit dari kematiannya, jika kepala dan 

tubuhnya tidak dikuburkan secara terpisah jauh. 

Semakin jauh, akan semakin menutup kemungkinan 

bagi si Pemilik ilmu sesat tersebut untuk bangkit 

kembali. Makanya Lantang mengubur tubuh Artapati 

di tanah Jawa Dwipa, sedangkan kepalanya dikubur-

kan di Pulau Bali. Untuk urusan penguburan kepala 

Artapati, dipercayakannya pada tiga tokoh Pulau 

Dewata yang belum lama dibunuh oleh Sepasang 

Datuk Karang. 

Kini Gumbala tampak telah membuka penutup peti 

mati. Kedua lelaki aliran sesat itu bersama-sama 

mengeluarkan tubuh Ki Rawe Rontek. Tanpa

kesulitan, mereka bisa memindahkan tubuh besar 

berotot itu ke satu bagian lantai goa. 

“Sekarang ambil kain hitam di dalam peti itu, 

Gumbala,” ujar Lalinggi. 

Setelah menerima kain hitam yang dimaksud, 

Lalinggi menyatukan kepala Ki Rawe Rontek dengan 

tubuh kakunya. Kemudian dilanjutkan dengan 

menutup mayat si Tokoh penganut ilmu 'Rawe 

Rontek' dengan kain hitam lebar hingga seluruh 

bagian tubuhnya tertutup. 

Sementara Gumbala diam memperhatikan dengan 

mata tak berkedip, Lalinggi melepas pundi-pundi kecil 

dari pinggangnya. Di dalam pundi-pundi tersebut, 

tersimpan serbuk dupa yang selanjutnya dibakar 

Lalinggi di seputar mayat Ki Rawe Rontek. 

Asap dupa tampak menyebar. Harum namun ber-

kesan menggidikkan, membuat orang yang mencium 

aromanya akan langsung merinding. Hal itu dialami 

Gumbala. Walau sebagai tokoh sesat yang sudah 

biasa melakukan hal mengerikan, tetap saja seluruh 

bulu di kuduknya terasa meremang hebat. Tanpa 

terasa tengkuknya diusap. Berbeda sekali dengan 

sikap Lalinggi yang tetap dingin dan tenang. 

“Sekarang apa lagi yang harus kita lakukan, 

Kang?” tanya Gumbala mengetahui Lalinggi telah 

selesai membakar serbuk dupa. 

“Darah....” 

“Darah?” 

“Ya! Kita perlu darah seorang perawan suci. Ki 

Rawe Rontek memerlukan itu, sebagai daya hidup 

karena telah begitu lama mati dan terkubur di perut 

bumi,” jelas Lalinggi nyaris mendesis bagai 

kerasukan. 

“Aku akan cari ke desa terdekat....”

“Bodoh!” hardik Lalinggi. “Cari di desa yang jauh 

dari tempat ini. Aku tak mau orang-orang di desa 

terdekat menemukan tempat persembunyian kita!” 

“Ba... baik, Kang,” gagap Gumbala. 

Lelaki buruk rupa itu pun segera beranjak lagi. Di 

luar goa, Gumbala bergumam sendiri. 

“Hm, kenapa aku tak mencoba menculik seorang 

perawan dari desa tempat anak lelaki yang telah 

memberitahukan tempat pembuangan peti berukir 

itu....” 

Dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmu 

meringankan tubuh, tubuh Gumbala pun melesat 

bagai anak panah lepas dari busur. 

Tak begitu lama Gumbala keluar, Lalinggi 

menyusul. Rupanya, dia tak begitu yakin dengan kerja 

Gumbala yang dinilainya sering kali bertindak 

ceroboh. 

“Aku harus pula mencari seorang perawan di desa 

lain,” bisik Lalinggi. “Kalau Gumbala gagal, aku tetap 

bisa mendapatkan perawan sebagai tumbal Ki Rawe 

Rontek.” 

*** 

Di luar malam purnama, Desa Umbuldadi diringkus 

sepi. Dini hari yang datang bersama dingin, membuat 

para penduduk lelap dalam selimut masing-masing. 

Jalan-jalan di desa sepi dan lengang. Temaram lampu 

bambu dari beberapa rumah di tepinya, hanya 

mampu menerangi sebagian jalan. 

Di satu rumah panggung, Idayu Wayan Laksmi dan 

I Ktut Regeg terpulas dihanyut mimpi. Idayu Wayan 

Laksmi tidur di kamarnya. Begitu juga I Ktut Regeg. 

Kalau kamar Idayu Wayan Laksmi ada di tengah

bangunan, kamar I Ktut Regeg berada di belakang 

bangunan. 

Malam itu, entah kenapa I Ktut Regeg mendadak 

terjaga. Setelah mengerjap-ngerjap mata beberapa 

saat, anak muda tanggung itu duduk terpaku di tepi 

balai-balai. Pikiran dan hatinya resah, tanpa dia tahu 

penyebabnya. 

“Sial! Nyamuk tak ngalor-ngidul, panas juga tidak. 

Tapi, kenapa aku tidak bisa tidur lagi. Padahal, aku 

baru saja mau bermimpi bercengkerama dengan 

bidadari. Apa bisa kuteruskan mimpinya, ya?” gumam 

I Ktut Regeg, setengah menggerutu. Digaruk-garuknya 

kepala dengan jengkel. “Ayo..., ayo mengantuk lagi! 

Kalau tidak, bidadari itu bisa pulang lagi ke 

kampungnya!” 

Namun, tetap saja I Ktut Regeg tak bisa tidur. 

Dengan satu dengusan kesal, dia bangkit. Dibanting-

nya langkah ke lantai kayu, sehingga menimbulkan 

bunyi yang cukup keras. Anak muda tanggung 

berbadan kurus itu mondar-mandir tak karuan. Tiba-

tiba.... 

Srek! 

I Ktut Regeg terdiam. Telinganya dipasang tajam-

tajam. Dia biasa mendengar suara-suara hewan 

malam dan sangat hafal. Tapi suara yang satu ini 

bukan dari binatang malam. I Ktut Regeg jadi curiga. 

Sambil mengendap-endap, didekatinya jendela 

kamar. Dari salah satu celahnya I Ktut Regeg mulai 

mengintip. 

“Lho? Itu kan lelaki jelek yang memberiku uang 

untuk sebuah keterangan tentang peti berukir yang 

kubuang ke pantai?” bisik I Ktut Regeg kala melihat 

pengendap di luar. “Mau apa dia datang ke sini lagi? 

Dan kenapa pula dengan cara mengendap-endap

seperti maling ayam?” 

I Ktut Regeg menjauhi jendela dengan hati-hati. 

Dia merasa kalau lelaki di luar itu hendak berniat 

tidak baik. 

“Apa akalku supaya dia cepat-cepat pergi...,” desis 

pemuda tanggung itu, amat perlahan. “Ah! Aku ada 

akal....” 

Wajah anak muda tanggung itu berseri. Benaknya 

memunculkan rencana kecil. Akan diteriakinya lelaki 

itu sebagai maling! Tak peduli maling ayam, atau 

maling jemuran, maling sandal, atau maling sundal. 

Bergegas I Ktut Regeg menguak daun jendela. 

Mulutnya terbuka lebar, siap meneriakkan kata 

maling. 

“Ma....” 

Teriakan I Ktut Regeg tak dilanjutkan, terhenti 

begitu saja seperti orang tersedak. Dengan mulut 

masih menganga, I Ktut Regeg celingukkan ke sana 

kemari. Orang yang hendak diteriaki ternyata sudah 

tidak terlihat lagi, menghilang bagai hantu. 

I Ktut Regeg mengusap-usap mata tak percaya. 

“Ah! Barangkali aku masih bermimpi. Dan lelaki 

jelek itu adalah penjelmaan bidadari. Hi hi hi..., 

bidadari malang,” ceracau I Ktut Regeg. 

Dia menguap lebar-lebar, lalu melangkah kembali 

ke balai-balai kayunya. 

Baru saja I Ktut Regeg hendak merebahkan tubuh 

di sana, satu suara keras mengejutkannya. 

Brak! 

Kontan saja anak muda tanggung itu terlonjak 

sambil teriak-teriak kelimpungan. 

“Maliiing! Maliiing! Ada bidadari jadi maliiing!” 

“Aaa!” 

Menyusul, suara jeritan Idayu Wayan Laksmi dari

kamar tengah. 

I Ktut Regeg sekali lagi tersentak. Teriakannya 

macet seketika. Rasanya, sekarang ini dia tidak 

bermimpi! Untuk meyakinkan diri disiapkannya 

kepalan ke hidungnya, lalu segera dilayangkan tanpa 

ragu. Bukh! 

“Aduh... aduh! Sakit! Wah! Berarti aku tidak 

mimpi!” seru pemuda tanggung itu tersadar. 

Hidung I Ktut Regeg yang berdenyut-denyut 

dipegangi seraya berlari ke kamar kakaknya. 

“Mbok! Ada apa Mbok?.” 

Setibanya di kamar Idayu Wayan Laksmi, I Ktut 

Regeg hanya menemukan balai-balai kayu Idayu 

Wayan Laksmi yang kosong berantakan. Idayu Wayan 

Laksmi tak ada lagi di sana. Sementara, dinding bilik 

di sebelah timur kamarnya sudah jebol. I Ktut Regeg 

jadi teringat kejadian kemarin. Dinding bilik yang baru 

saja diperbaiki kemarin juga jebol sewaktu Idayu 

Wayan Laksmi diculik. 

“Jangan-jangan Mbok diculik lagi,” duga I Ktut 

Regeg. 

Tiba-tiba saja, pemuda itu berlari ke kamarnya 

kembali. Di dekat jendela kamarnya, dia berteriak 

sekali lagi. 

“Tolooong! Bukan maliiing! Bukan maliiing! Eh... 

penculiiik! Penculiiik! Mbok-ku diculiiik!” 

Anak muda tanggung itu terus berteriak blingsatan, 

sampai beberapa penduduk datang membawa 

senjata masing-masing. 

*** 

Sementara itu di desa dekat pantai barat Buleleng, 

Andika dan Ki Lantanggeni telah mendapat

keterangan dari salah seorang penduduk yang 

menegaskan, kalau peti berukir yang sedang dicari 

memang telah dibawa dua lelaki. Seorang berwajah 

buruk dengan badan agak bungkuk, dan seorang lagi 

mengenakan caping keranjang. 

Tapi ketika Andika menanyakan ke mana dua 

lelaki yang dilihat penduduk itu, jawaban yang didapat 

tidak memuaskan. Ternyata si Nelayan tidak tahu ke 

mana Sepasang Datuk Karang membawa peti berukir 

itu. Dia hanya memberi petunjuk kalau dua lelaki 

yang dilihatnya pergi ke arah utara. 

Sesudah menghaturkan terimakasih, Andika dan 

Ki Lantanggeni langsung memacu tubuh ke arah 

utara. Mereka berharap, belum terlambat untuk 

mengejar Sepasang Datuk Karang. 

Jarak ke utara yang ditempuh sudah cukup jauh. 

Saat itulah mereka menangkap sesosok tubuh yang 

berkelebat, sama cepat dengan gerakan mereka. Di 

punggung orang itu tampak beban sebesar manusia. 

Meski tampak lebih berat dari badannya sendiri yang 

agak kurus membungkuk, orang itu tidak terlihat 

mengalami hambatan saat berlari dengan membawa 

beban. 

Andika dan Ki Lantanggeni cepat bersembunyi di 

balik serumpun pohon kelapa. Keduanya memang tak 

ingin diketahui oleh lelaki yang mencurigakan itu. 

Terlebih-lebih sampai bentrokan. 

“Sepertinya aku pernah melihat orang itu,” bisik 

Andika perlahan pada Ki Lantanggeni. 

“Bagaimana kalau kita coba ikuti dulu?” usul Ki 

Lantanggeni. 

Andika setuju. Mereka pun mulai membuntuti 

lelaki yang dicurigai. Orang yang dikuntit memang 

melewati daerah terbuka dengan sinar bulan yang

samar menerangi seluruh tubuhnya. Namun baik 

mata Andika maupun Ki Lantanggeni bisa melihat 

siapa sesungguhnya orang itu. 

“Dia adalah salah seorang dari Sepasang Datuk 

Karang,” ucap Andika tak kentara. 

Ki Lantanggeni masih bisa menangkap ucapan 

pendekar muda di sisinya. 

“Siapa dia?” tanya orang tua itu ingin tahu. 

“Dialah orang yang telah membunuh tiga sesepuh 

Buleleng,” jawab Andika, memperjelas keterangan-

nya. 

“Sepasang Datuk Karang? Tapi, mana yang 

seorang lagi. Bukankah kau bilang Sepasang Datuk 

Karang dua orang?” 

“Itulah yang harus kita ketahui, Ki.” 

“Kalau begitu, aku akan meringkusnya....” 

“Jangan, Ki. Apa kau tak ingat dengan peti berukir 

itu?” 

Ki Lantanggeni menoleh pada Andika. Dia belum 

paham maksud Pendekar Slebor. 

“Nelayan tadi berkata, kalau mereka telah men-

dapatkan peti itu. Jadi, pasti mereka sedang mencoba 

menjalankan satu rencana. Biar kita ikuti lelaki itu. 

Dengan begitu, mungkin dia akan membawa kita 

langsung pada peti berukir tersebut, sekaligus bisa 

bertemu kawannya. Sekali tepuk, dua nyawa!” 

Ki Lantanggeni tersenyum. Baru dimengerti 

maksud Pendekar Slebor. Dalam hati, dia sempat 

memuji kecerdikan pemuda yang baru saja dikenal-

nya. 

“Kalau begitu, mari kita ikuti lagi! Jangan sampai 

kita kehilangan jejak,” ajak Ki Lantanggeni. 

Mereka pun mengerahkan ilmu meringankan 

tubuh masing-masing, berlari cepat di belakang

Gumbala dalam jarak yang cukup aman, sehingga 

orang yang dikuntit tidak merasa curiga. 

Tak ada sepenimum teh kemudian, Andika dan Ki 

Lantanggeni melihat Gumbala tiba di bibir Goa 

Karang Hitam. 

“Kang! Aku telah mendapatkan seorang perawan, 

Kang!” seru Gumbala gembira. 

Tak ada sahutan dari dalam goa. 

“Kang?” 

Gumbala memajukan kepala. Diperhatikannya 

dalam goa tajam-tajam. 

“Kang? Kau masih di dalam, Kang?” tanya 

Gumbala. 

Laki-laki buruk rupa itu mulai melangkah masuk. 

Padahal, semula dia berharap Lalinggi menyambut-

nya dengan senyum lebar di luar karena telah 

berhasil menjalankan tugas dengan sempurna. 

Tak jauh dari Goa Karang Hitam, Andika dan Ki 

Lantanggeni saling berpandangan. 

“Tampaknya orang yang satunya sedang tidak ada 

dalam goa itu, Ki,” bisik Andika. “Ah! Aku jadi ada 

akal, Ki....” 

Lalu tanpa memberi kesempatan Ki Lantanggeni 

bertanya, pemuda itu langsung saja mengangkat 

tangan ke depan mulut. 

“Hoi! Aku di sini!” teriak Pendekar Slebor dengan 

suara dibuat tersamar mungkin. 

Gumbala yang mendengar teriakan Andika segera 

mengurungkan niat untuk masuk ke dalam goa. 

“Kang?! Apa kau di sana, Kang Lalinggi?!” tanya 

Gumbala. 

“Yhuaaah!” sahut Andika. 

“Sedang apa di situ, Kang?” tanya Gumbala heran. 

Matanya mencari-cari ke asal suara.

“Cepat ke sini, kau!” teriak Andika lagi. 

Gumbala baru hendak meletakkan beban di 

pundaknya yang ternyata Idayu Wayan Laksmi. Tapi, 

kembali terdengar teriakan Andika. 

“Bawa sekalian perempuan itu!” 

“Baik, Kang!” sahut Gumbala. “Heran?! Sedang 

apa Kang Lalinggi di sana, ya?” gumam Gumbala, 

sambil melangkah ke balik karang tempat 

persembunyian Andika dan Ki Lantanggeni. 

Sewaktu hendak melangkah ke balik karang, 

Gumbala akan membuka suara kembali. Dia ingin 

membanggakan hasil kerjanya pada Lalinggi yang 

dikira berada di balik karang. Tapi belum sempat 

mulutnya menganga, satu sergapan cepat datang ke 

arahnya. 

Tuk! 

Mata Gumbala kontan membalalak. Tubuhnya 

mengejang seketika, setelah itu lunglai. Dia ter-

jerembab bersama tubuh Idayu Wayan Laksmi yang 

juga dalam keadaan tertotok! 

Bruk! 

“Kau mencari kakangmu?” ledek Andika. 

Mata Pendekar Slebor tampak memelototi tubuh 

yang tanpa bisa bergerak. 

“Lihat jelas-jelas dengan matamu yang sebesar 

koreng itu. Apa aku kakangmu?” lanjut Pendekar 

Slebor seraya membantu Idayu Wayan Laksmi berdiri, 

setelah membebaskan totokan di tubuh wanita ayu 

itu. 

Dengan gerakan lembut Idayu Wayan Laksmi 

berdiri, dan langsung memandang Andika. 

“Kau tidak apa-apa, Laksmi?” tanya Andika. 

Wanita itu menggeleng. Wajahnya pucat pasi. 

Sedangkan satu tangannya mendekap bahu sebelah

kanan. 

“Kenapa?” tanya Andika lagi. 

Tidak apa-apa, Beli! Aku hanya tergores batu 

karang sewaktu lelaki itu jatuh tadi.” 

Biar kulihat...,” Andika memeriksa luka Idayu 

Wayan Laksmi. 

Bahu gadis itu memang tidak terluka terlalu parah. 

Tapi, goresannya cukup dalam. Darah pun mulai 

membasahi pakaian di bagian bahunya. 

“Ah! Maafkan aku, Laksmi. Aku tak cepat-cepat 

menangkap tubuhmu tadi. Aku tak tahu kalau orang 

yang dibopong lelaki jelek ini ternyata dirimu,” sesal 

Andika. “Biar kubalut dengan kainku....” 

Andika segera melepas kain bercorak catur dari 

pundaknya. 

“Tak usah..., tak usah Beli. Aku tak apa-apa. 

Sungguh...,” cegah Idayu Wayan Laksmi sungguh-

sungguh. 

“Tidak! Kamu harus dibalut,” tegas Andika 

bersikeras. 

Pendekar Slebor mulai mengangsurkan kain 

miliknya ke bahu Idayu Wayan Laksmi. Dan Idayu 

Wayan Laksmi pun rupanya bersikeras pula. Satu 

tangannya menahan tangan pemuda tampan di 

depannya itu, sehingga tangan keduanya bertemu. 

Tanpa disadari, tangan mereka saling terpagut. 

Andika terpaku. Ada sebentuk kehangatan men-

jalar dari tangan wanita ayu yang pernah ditolongnya 

dulu. Kehangatan yang sulit sekali dijelaskan oleh 

kata-kata. Ditemukannya mata lentik Idayu Wayan 

Laksmi. Pada saat yang sama, Idayu Wayan Laksmi 

pun menatap mata berkesan tegar milik Andika. 

“Oh, Tuhan.... Betapa sempurna kecantikan wanita 

ini,” bisik Andika dalam hati.

“Hm... ehem.” Ki Lantanggeni di belakang Andika 

berdehem-dehem usil. 

Andika tersadar. Untung saja Pendekar Slebor 

masih bisa menguasai diri, kalau tidak tentu sudah 

gelagapan seperti orang tolol. 

“Oh, ya. Ki Lantanggeni, perkenalkan.... Ini 

Laksmi,” tutur Andika memperkenalkan si Gadis pada 

Ki Lantanggeni. 

Orang tua bercaping dan selalu tampak tenang itu 

menjura dalam, seolah-olah tidak terlalu mem-

persoalkan kalau yang diperkenalkan padanya 

berusia jauh lebih muda darinya. Merasa risih pada 

penghormatan Ki Lantanggeni, Idayu Wayan Laksmi 

pun bergegas menundukkan tubuh lebih dalam. 

“Bagaimana, Andika?” tanya Ki Lantanggeni. 

“Ah! Itu tadi kan hanya sikap wajar seorang anak 

muda sepertiku, Ki. Aku tak bisa menjadikannya 

kekasih. Kau kan tahu, aku masih memiliki tugas lain 

di dunia persilatan,” bisik Andika di telinga Ki 

Lantanggeni. 

Lelaki tua itu mendadak saja terkekeh. 

“Hei? Aku bukan menanyakan perihal hubungan-

mu dengan gadis ayu ini,” kata Ki Lantanggeni sedikit 

dikeraskan agar Idayu Wayan Laksmi bisa men-

dengar. “Aku menanyakan, bagaimana tindakan kita 

selanjutnya....” 

Andika melotot. Seluruh pipinya mendadak 

matang! Lebih merah dari daging panggang! 

“Mati aku,” gumam Pendekar Slebor dengan 

menutup kelopak mata. Malu sekali hatinya! 

***

SEMBILAN


Andika dan Ki Lantanggeni akhirnya sepakat untuk 

memasuki Goa Karang Hitam. Mereka berharap, di 

dalam sana dapat menemukan peti berukir tempat 

kepala Artapati yang lebih dikenal sebagai Ki Rawe 

Rontek. 

Pada saat bersamaan, ketika mereka baru men-

jejakkan kaki di bibir goa, Lalinggi tiba. Di pundaknya 

ada seorang perawan yang didapat entah dari desa 

mana. Yang pasti, bukan dari desa di sekitar pantai 

barat Buleleng. 

Mengetahui ada tiga orang hendak masuk dalam 

goa, Lalinggi menghentikan langkah. Dengan sekali 

genjot tanpa menimbulkan suara, laki-laki bercaping 

itu berpindah ke tempat tersembunyi. Dari sana 

diperhatikannya ketiga penyusup itu. 

“Keparat.... Anak muda itu bisa membawa 

kesulitan besar padaku,” geram Lalinggi saat 

mengenali Andika. 

Dia tahu, bagaimana ketinggian ilmu kesaktian 

Andika yang hingga saat itu belum dikenalnya sebagai 

Pendekar Slebor, karena pernah pula menyaksikan 

pertarungan Andika dengan Gumbala. 

“Ke mana pula si Gumbala?” bisik Lalinggi kesal. 

“Sendiri seperti ini, menghadapi pemuda itu saja 

belum tentu aku akan menang secara mudah. Apalagi 

dengan dua orang yang bersamanya itu....” 

Lalinggi meletakkan wanita yang diculiknya ke 

tanah. Sambil melakukannya, kepalanya menoleh

kian kemari, mencari-cari Gumbala. 

Dengan gelisah, Lalinggi menunggu. Dia makin 

gelisah ketika Andika, Ki Lantanggeni dan Idayu 

Wayan Laksmi telah hilang tertelan goa. 

“Keparat.... Ke mana Gumbala?! Semua rencana 

yang bertahun-tahun kuusahakan bisa berantakan 

dalam sekejap,” gerutu Lalinggi. 

Karena dorongan kegelisahan yang bergeliat 

dalam diri, Lalinggi berjalan hilir-mudik di tempat 

persembunyiannya. Sampai suatu saat, kakinya 

terantuk sesuatu. 

“Sialan!” maki Lalinggi jengkel dengan suara 

tertahan. 

Baru saja laki-laki bercaping itu hendak meng-

angkat kaki hendak menendang sesuatu di tanah 

yang dikiranya tumpukan karang, mendadak saja 

niatnya diurungkan. Dari balik caping penutup wajah 

diperhatikannya sesuatu yang menghalangi barusan. 

“Gumbala...,” desis Lalinggi kaget. 

Sementara di dalam goa, Andika dan Ki 

Lantanggeni serta Idayu Wayan Laksmi telah sampai 

di tempat Lalinggi dan Gumbala mempersiapkan 

upacara kebangkitan Ki Rawe Rontek. 

“Apa-apaan ini?” tanya Andika seperti tak 

ditujukan pada siapa-siapa. 

DitatapnyaKi Lantanggeni, meminta penjelasan 

pada lelaki yang sudah banyak makan asam garam 

dunia persilatan itu. 

Ki Lantanggeni melangkah lebih dekat pada jasad 

Ki Rawe Rontek yang tertutup kain hitam lebar. 

“Tampaknya Sepasang Datuk Karang hendak 

menghidupkan kembali saudara seperguruanku,” 

gumam laki-laki tua itu menjawab keingintahuan 

Andika.

Andika kembali menatap mata Ki Lantanggeni 

lekat-lekat. Dia tak puas atas penjelasan lelaki tua itu. 

Ki Lantanggeni mengerti maksud Andika. 

“Kau masih ingat ceritaku tentang ajian hitam 

'Rawe Rontek'?! Ilmu itu akan tetap tinggal bersama 

jasad si Penganutnya, meski telah lama mati. Jika 

suatu saat ada orang lain menolongnya menyatukan 

kembali bagian tubuhnya lalu melaksanakan suatu 

upacara gaib, dia akan bisa membangkitkan kembali 

ilmu hitamnya. Pada akhirnya, dia akan bangkit 

kembali dari kematian...,” jelas Ki Lantanggeni. 

Idayu Wayan Laksmi bersidekap rapat. Bahunya 

terangkat dalam getaran halus. Dia jadi merinding, 

mendengar pengungkapan lelaki tua yang baru 

dikenalnya itu. Selama hidup, baru kali ini dia 

mendengar tentang ilmu sesat yang mengerikan. 

“Lalu kenapa belum juga hidup kembali?” tanya 

Andika, sambil menyusul Ki Lantanggeni ke dekat 

jasad Artapati alias Ki Rawe Rontek. 

Ki Lantanggeni diam sesaat. Pikirannya mencoba 

menerka-nerka. 

“Hmmm… Mungkin ada satu persyaratan yang 

kurang...,” duga laki-laki tua itu datar. 

“Persyaratan apa?” 

Ki Lantanggeni menatap Idayu Wayan Laksmi yang 

masih menciut ketakutan di satu sudut dinding goa. 

Andika jadi turut memperhatikan gadis ayu itu. 

“O, aku mengerti,” sela Andika. “Tumbal. Begitu 

maksudmu, Ki?” 

Ki Lantanggeni mengangguk sekali. 

“Darah seorang perawan suci mungkin adalah 

syarat terakhir. Itu sebabnya, mereka berusaha 

menculik Laksmi....” 

Demi mendengar percakapan kedua orang

berbeda usia itu, Idayu Wayan Laksmi merasakan 

bulu kuduknya kian meremang hebat. Mimik wajah-

nya memperlihatkan ketakutan dalam. Setarikan 

napas berikutnya, gadis itu berlari mendekati Andika. 

Dipeluknya pemuda itu dari belakang, sehingga 

membuat pendekar ugal-ugalan itu tak bisa berkutik. 

Kecuali, senyum-senyum pada Ki Lantanggeni seperti 

lelaki kehilangan akal. 

“Tak perlu takut, Laksmi...,” ucap Ki Lantanggeni. 

“Ya, tak perlu takut,” timpal Andika. “Toh kau 

sudah selamat, dan aku masih ada di sampingmu. 

Juga Ki Lantanggeni....” 

Bujukan Ki Lantanggeni dan Andika percuma. 

Ketakutan gadis itu tidak juga bisa diredam, meski 

sedikit. Malah dia makin merapatkan tubuh pada 

Andika. Kala itulah, tanpa disadari mereka darah dari 

luka di bahu Idayu Wayan Laksmi menetes jatuh ke 

kain hitam penutup mayat Ki Rawe Rontek. Menetes 

dan menetes.... 

“Hei?! Kalian yang ada di dalam goa! Keluar!” 

Mendadak terdengar suara lantang seseorang dari 

luar. 

Andika dan Ki Lantanggeni menoleh tenang 

dengan mimik wajah tak berubah. Lain halnya Idayu 

Wayan Laksmi. Gadis itu terlonjak tak alang kepalang. 

Wajahnya makin kehilangan darah. Kalau saja Andika 

tak segera mendekap mulutnya, mungkin akan 

menjerit sejadi-jadinya. 

“Aku tahu kalian ada di dalam. Jadi, jangan 

berpura-pura!” suara itu membahana kembali. “Aku 

juga tahu, kalian pula yang telah memperdayai 

pasanganku di balik batu karang. Kini, dia telah 

kubebaskan. Itu berarti kalian bisa menghadapi kami, 

Sepasang Datuk Karang, secara langsung. Tak perlu

lagi main kucing-kucingan, jika kalian memang bukan 

pengecut!” 

“Wah! Si Tuan Rumah tampaknya marah, Ki,” kata 

Andika acuh tak acuh. “Sebagai tamu yang baik, kita 

tentu harus memenuhi permintaan mereka....” 

Dengan gaya dibuat-buat, Andika membungkukkan 

badan sambil mengayun satu tangan perlahan. Diper-

hatikannya Ki Lantanggeni. 

“Sebagai orang yang lebih tua, kau patut 

didahulukan...,” seloroh Andika. 

Ki Lantanggeni tertawa lebar. 

“Kau jadi mengingatkan aku pada cerita seorang 

pendekar muda tanah Jawa Dwipa yang amat 

tersohor dengan julukan Pendekar Slebor, Andika...,” 

ucap orang tua itu sambil melangkah. 

Andika mengerutkan kening. 

“Memangnya aku ini siapa?! Bagong, atau 

Semar?” ceracau hati Andika. 

Lalu Pendekar Slebor pun mengikuti lelaki tua itu 

keluar seiring seulas senyum dikulum. Idayu Wayan 

Laksmi mengikuti rapat di sisinya. 

Di luar, Sepasang Datuk Karang menunggu garang. 

Keduanya berdiri tegang bagai dua tonggak kayu tak 

bernyawa. Cara berdiri mereka begitu menantang. 

Lalinggi mendekap tangan di depan dada, sedangkan 

Gumbala bertolak pinggang angkuh. 

“Hei?! Apa kabar!” sapa Andika setibanya di mulut 

goa dengan maksud mengejek. “Kita bertemu lagi, 

ya? Ada perlu apa? Menagih utang atau minta 

digebuk?” 

“Jangan banyak omong lagi, Kang,” bisik Gumbala. 

“Mereka bisa menggagalkan usaha kita yang sudah 

dibangun bertahun-tahun.” 

Lalinggi mengangguki Gumbala. Dia setuju

pendapat lelaki berwajah buruk itu. Lalu dengan 

gerakan kepala diberinya isyarat pada Gumbala untuk 

segera menghajar Pendekar Slebor. 

Gumbala tampak senang. Tak tanggung-tanggung 

lagi, dipersiapkannya pukulan tenaga dalamnya. 

Seperti pernah dipakai saat menghancurkan gubuk 

salah seorang sesepuh Buleleng, Gumbala meng-

gerakkan sepasang tangannya dalam bentuk paruh 

burung gagak. Sesaat dicobanya memusatkan 

seluruh kekuatan tenaga dalam pada kedua tangan. 

Saat berikutnya.... 

“Hiah!” 

Wesss! 

Serangkum angin pukulan keras memburu ke arah 

Pendekar Slebor, Ki Lantanggeni, dan Idayu Wayan 

Laksmi. 

Pendekar Slebor terkejut. Begitu juga lelaki tua di 

sisinya. Mereka sama sekali tidak menduga kalau 

orang itu akan melepaskan pukulan jarak jauh. Idayu 

Wayan Laksmi yang tak biasa menghadapi keadaan 

seperti itu malah menjerit tak tanggung-tanggung. 

“Aaa!” 

Dilihat dari tempat mereka berdiri, ketiga orang itu 

benar-benar dalam keadaan yang tidak mengun-

tungkan. Di bibir goa, mereka tak bisa bergerak 

terlalu bebas, meskipun Pendekar Slebor termasuk 

dalam jajaran tokoh atas aliran putih. Terlebih, karena 

pukulan jarak jauh Gumbala yang melingkupi hampir 

seluruh mulut goa. 

Maka mau tak mau Pendekar Slebor melakukan 

tindakan yang cukup nekat. Beriring teriakan yang 

sanggup merontokkan bebatuan dinding goa, 

pendekar muda dari Lembah Kutukan itu merangsek 

ke depan. Pukulan jarak jauh Gumbala akan

dihadangnya tanpa persiapan benteng pertahanan 

diri yang matang. 

“Hiaaa!” 

Des! 

Pukulan tanpa wujud Gumbala seketika menghajar 

seluruh bagian tubuhnya, bagai satu sapuan topan 

raksasa. Pakaian di sekujur tubuh Pendekar Slebor 

langsung koyak-koyak. Tubuhnya yang meluncur ke 

depan terhenti sekejap, setelah itu mulai terseret ke 

belakang kembali. 

“Hiaaa!” 

Pendekar Slebor bertahan, dengan mencoba 

mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah 

Kutukan yang masih sempat dapat dikerahkan dalam 

keadaan terlambat seperti itu. Maka benturan dua 

kekuatan hebat itu membuat sepasang kakinya mulai 

melesak, karena hendak mempertahankan kuda-

kuda. Dalam sekejap, kakinya sudah terkubur ke 

bumi sebatas betis. 

Sekujur tubuh Pendekar Slebor saat itu bagai 

ditimpa beruntun ribuan kerikil tajam. Dirasakannya 

setiap pori-pori kulit seperti hendak terbelah. 

“Ki Lantanggeni! Cepat keluarkan Laksmi dari 

mulut goa!” teriak Pendekar Slebor di sela jeritan. 

Ki Lantanggeni cepat tanggap maksud Andika. 

Kalau dia tetap di mulut goa, keadaan akan makin 

tak menguntungkan. Maka cepat disambarnya tubuh 

Idayu Wayan Laksmi, langsung melesat keluar. 

Bersamaan dengan keluarnya Ki Lantanggeni dan 

Idayu Wayan Laksmi, Pendekar Slebor melepas 

pertahanan. Seketika tubuhnya dihentakkan keluar 

dari terjangan angin pukulan jarak jauh Gumbala. 

“Khiaaah!” 

Ketika Pendekar Slebor berpuntar di udara, sisa

pukulan jarak jauh lawan tanpa tertahan lagi meng-

hantam bibir goa. Maka bongkahan batu sebesar 

manusia pun beruntuhan. Akibatnya, mulut Goa 

Karang Hitam tertimbun cepat. 

Menyadari pukulan jarak jauhnya dapat membuat 

seluruh goa tertutup bongkahan-bongkahan batu 

cadas, Gumbala cepat menghentikan pengerahan 

ilmu andalannya. 

“Kau tak apa-apa, Andika?” tanya Ki Lantanggeni, 

saat Andika tiba di depannya dalam keadaan tak 

karuan. 

“Tak apa-apa, Ki,” sahut Andika. 

Berhubung ada gadis yang bersama Ki 

Lantanggeni di belakangnya, Andika lebih sudi bilang 

tak apa-apa. Padahal dadanya begitu sesak! Tak 

cuma itu. Dari lubang hidung si Pendekar Urakan itu 

pun merembes darah segar. Andika baru menyadari 

ketika merasakan anyir darah itu mengalir ke 

mulutnya. 

“Hey, binatang langka itu telah membuat hidungku 

berdarah,” gerutu Pendekar SIebor berbisik mangkel. 

Baru saja Andika menyeka hidung dengan koyakan 

tangan bajunya, Lalinggi ganti menyerang. Lelaki yang 

biasanya bersikap setenang permukaan telaga dan 

sedingin es itu, kini berubah seratus delapan puluh 

derajat. Tentu saja penyebabnya karena kegusaran-

nya, akibat tindakan ketiga orang itu yang 

mengacaukan rencananya. 

“Kau telah membuat rencanaku kacau balau, 

Pemuda Sialan!” maki Lalinggi murka seraya 

melabrak Pendekar Slebor garang. 

“Hih!” 

Deb! Deb! 

Seperti Gumbala, Lalinggi pun tak ingin tanggung

tanggung lagi menghadapi lawannya. Jurus-jurus 

maut tingkat tertinggi yang dimilikinya langsung 

dikerahkan. Sepasang tangan dan kakinya menyabet 

deras dengan gerakan berputar bergantian, ke arah 

kepala dan kaki Pendekar Slebor. 

Untuk serangan kalap itu, Andika mengeluarkan 

jurus yang sudah amat dikenal kalangan kaum 

persilatan. Jurus 'Memapak Peti Membabibuta'. Dia 

tahu, serangan lawan harus dihadapi dengan jurus-

jurus utamanya. 

Seperti orang gila kelimpungan, Pendekar Slebor 

menangkis sabetan demi sabetan tangan dan kaki 

lawan. 

Des! Des! Des! 

Lalinggi tersentak mundur beberapa tindak. 

Dirasakan tangan dan kakinya seperti baru saja 

menimpa benda tak terlihat yang demikian keras. 

Sehingga membuat sekujur tangan dan kakinya 

berdenyut-denyut nyeri. Bagaimana lawan bisa 

bergerak secepat itu? Padahal, dia telah melancarkan 

serangan cepat yang sanggup meremukkan empat 

puluh batang besi sekaligus. Itu sebabnya, jurusnya 

diberi nama 'Empat Puluh Hantaman Dewa'. 

Lebih herannya lagi, pemuda itu bergerak seperti 

main-main, tak seperti biasanya orang bertempur. 

Tapi setiap gerakan yang dibuat sanggup mem-

bentengi sekujur tubuhnya dalam satu gebrakan! 

Empat-lima tombak di belakang Pendekar Slebor, 

Ki Lantanggeni juga tersentak. Matanya terbelalak tak 

percaya pada penglihatannya. Dia hampir-hampir tak 

melihat tangan Andika bergerak menangkis, kecuali 

gerakan-gerakan ngawur ke berbagai arah. Tapi 

kenyataannya, hantaman-hantaman lawan kandas 

begitu saja!

Sampai di situ, Ki Lantanggeni baru sadar kalau 

pemuda yang selama ini bersamanya adalah seorang 

pendekar kalangan atas. Di tanah Jawa Dwipa, 

mungkin dia begitu terkenal! Sayang, dia tidak 

mengetahui julukan pemuda itu. 

Lain lagi Lalinggi. Tidak seperti Ki Lantanggeni 

yang telah lama mengucilkan diri di Pulau Bali, 

Lalinggi adalah tokoh sesat yang masih berkubang di 

dunia persilatan. Dengan begitu, dia sering men-

dengar kabar burung mengenai seorang pendekar 

kenamaan berusia muda yang memiliki jurus aneh.... 

“Kau.... Pendekar Slebor,” desis Lalinggi kaget. 

Meskipun hanya berbisik, ucapan Lalinggi tertangkap 

pula telinga Ki Lantanggeni. Untuk kedua kalinya, 

lelaki tua itu terperangah. 

“Apa? Pendekar Slebor?” sentak hati orang tua itu. 

Lagi-lagi dia hampir tak percaya. Bodoh sekali dia 

selama ini, tak mengetahui kalau pemuda itu adalah 

pendekar muda dengan nama besar Pendekar Slebor. 

“Gumbala! Bantu aku! Kita menghadapi lawan 

berat!” seru Lalinggi tak malu-malu. 

“Apa, Kang?!” 

“Bodoh! Cepat ke sini dan bantu aku! Pemuda 

sialan ini ternyata Pendekar Slebor!” teriak Lalinggi 

kalap. 

Gumbala yang hendak memeriksa goa, mendadak 

terbelalak. Matanya makin membesar saja seperti 

hantu telat buang air! 

“Cepat, Goblok! Kenapa jadi bengong seperti itu!” 

bentak Lalinggi makin kalap. 

“Iy... iya, Kang!” sahut Gumbala tersadar. Lalu 

segera dia melompat ke sisi pasangannya dengan 

genjotan tubuh lebar. 

“Siapkan jurus 'Sepasang Iblis Menghimpit Badai'!”

kata Lalinggi memberi aba-aba. 

“Siap, Kang!” jawab Gumbala. 

Sementara benak laki-laki buruk rupa itu masih 

bergumam tak menentu. Pantas, dulu dia begitu 

mudah dipermainkan lawan.... 

Lalinggi mulai mempersiapkan jurus gabungan 

andalan mereka. Mula-mula dilakukannya hal yang 

amat jarang sekali diperbuat, kecuali pada saat-saat 

menghadapi lawan amat berat seperti sekarang. 

Dilepaskannya caping di kepala. Dan terlihatlah wajah 

asli Lalinggi. 

Wajah lelaki itu ternyata tak kalah buruk dengan 

Gumbala. Seluruh wajahnya dipenuhi kerutan 

mengerikan bagai luka bakar. Bibirnya bagai bentuk 

mulut makhluk melata dari rawa, bergelombang men-

jijikkan. Sedangkan hidungnya seperti dikoyak-koyak 

pisau tajam! Yang lebih menyeramkan lagi adalah 

matanya. Yang bersinar kebiru-biruan menyilaukan! 

Kini lelaki itu mengatur pernapasan. Kedua 

tangannya kaku di depan dada dengan keadaan 

seperti sedang mendekap sesuatu. Satu kakinya 

terangkat tinggi, hingga dengkulnya menyentuh siku 

kedua tangan. Beberapa saat kemudian, matanya 

bertambah menyilaukan. Sinar kebiruan perlahan-

lahan merambat ke sekujur tubuhnya, seakan satu 

selimut biru tembus pandang. Rupanya, inti kekuatan 

ilmunya kali ini berpusat di mata lelaki itu. 

Saat tubuh Lalinggi sudah terbungkus seluruhnya 

oleh sinar kebiru-biruan, Gumbala maju ke depan. 

Dengan menarik napas dalam-dalam, kedua tangan 

Gumbala disatukan dengan tangan Lalinggi. 

Keanehan pun terjadi lagi. Sinar kebiru-biruan di 

sekujur tubuh Lalinggi mulai merambat pula ke tubuh 

Gumbala sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya,

kedua lelaki itu benar-benar terbungkus selubung 

sinar tersebut. 

“Wan... wah... wah! Ada yang mau main lampu-

lampuan rupanya,” leceh Andika. Kepalanya meng-

angguk-angguk seperti burung pelatuk kurang 

kerjaan. “Baik kalau itu yang kalian mau....” 

Pendekar Slebor pun mulai mempersiapkan 

jurusnya 'Guntur Selaksa'. Jurus ciptaannya ini sering 

kali digunakan untuk benteng pertahanan, di samping 

untuk melakukan serangan balasan pula. Jurus yang 

pernah membuatnya sanggup melindungi diri dari 

setiap sambaran lidah petir! 

“Iii...!” 

Diawali satu lengkingan aneh, Sepasang Datuk 

Karang memulai serangan. Lalinggi menghentak 

tubuh Gumbala, sehingga pasangannya terayun cepat 

di tangannya. 

“Iii...!” 

Beriring satu lengkingan ganjil kembali, tubuh 

Gumbala kini malah berputar. Sedang tubuh Lalinggi 

menjadi pusat tumpuannya. Putaran itu makin lama 

bertambah cepat. 

Pada saat putaran tubuh Sepasang Datuk Karang 

menderu ke arah Pendekar Slebor, Andika pun sudah 

mencapai pengerahan tenaga sakti warisan Pendekar 

Lembah Kutukan tingkat terakhir. Kekuatan sakti 

dalam tubuhnya membentuk sinar pula, seperti milik 

lawan. Bedanya sinar yang membentengi tubuh 

Pendekar Slebor berwarna putih keperakan. 

Angin besar menerbangkan debu dan kerikil di 

sekitar arena pertarungan maut, akibat putaran tubuh 

Sepasang Datuk Karang. Dan mereka makin dekat 

saja ke arah Pendekar Slebor. 

Wrrr!

Angin yang tercipta dari jurus langka Sepasang 

Datuk Karang bagai amukan topan badai. Dalam 

jarak dua puluh tombak, sekeliling kancah 

pertarungan bagai hendak diobrak-abrik. Bahkan 

batu-batu karang sebesar kepala manusia mulai 

beterbangan, layaknya sekumpulan bulu. 

Agar Idayu Wayan Laksmi tak terluka, Ki 

Lantanggeni mengambil keputusan cepat untuk 

membawanya segera keluar dari sekitar kancah 

pertarungan. Disambarnya kembali tubuh Idayu 

Wayan Laksmi yang sudah begitu lunglai ketakutan. 

Sekitar dua puluh lima tombak dari tempat per-

tarungan, barulah Ki Lantanggeni menurunkan tubuh 

wanita Bali itu. 

Jarak antara Pendekar Slebor dengan putaran 

tubuh Sepasang Datuk Karang tinggal dua tombak 

lagi. Angin makin menggila. Pendekar Slebor merasa 

tubuhnya bagai hendak dilempar kekuatan raksasa. 

“Hiaaa!” 

Terdengar teriakan mengguruh terlontar dari mulut 

Pendekar Slebor. Tampaknya, dia tak ingin menunggu 

dua lawannya sampai. Di akhir teriakan, seluruh otot-

otot kakinya dikejangkan kemudian digenjotnya ke 

arah lawan. 

Seperti berjalan di dasar laut, kaki Pendekar 

Slebor bergerak sejengkal demi sejengkal ditahan 

dorongan angin raksasa milik Sepasang Datuk 

Karang. Tanah bercadas tempat pijakannya lebur 

terparut kakinya, seakan tanah keras itu hanya 

berupa tepung. 

Pada saatnya, tubuh mereka pun bentrok. 

Tangan Pendekar Slebor menjulur ke depan 

seperti gerakan seorang pencuri jemuran, siap 

menerkam kepala Lalinggi yang masih berpusing.

“Haaaih!” 

Des! 

Terkaman Pendekar Slebor dapat digagalkan 

Sepasang Datuk Karang. Pada saat yang sama, 

Gumbala menekuk dua kakinya yang masih melayang 

di udara. Maka tangan Pendekar Slebor dan kaki 

Gumbala bertemu dahsyat. Benturan selubung sinar 

kebiru-biruan dengan selubung sinar putih keperak-

perakan terjadi. menimbulkan percikan-percikan 

bunga api di udara. 

Cras! Cras! 

Sepasang Datuk Karang mencoba menyusun 

serangan balasan. Sementara kaitan dua tangan 

mereka tiba-tiba terlepas. Tubuh Gumbala terus 

berputar. Pada saat sepasang kakinya menghadapi 

tubuh Lalinggi, pasangannya itu pun segera 

menangkap kakinya. 

Wuk! 

Tep! 

Lalu kedua tangan Gumbala yang kini menghadap 

Andika, beruntun mencabik di udara dengan jari 

membentuk paruh gagak. 

Jep! Jep! Jep...! 

Pendekar Slebor tentu saja tak sudi wajahnya yang 

masih bagus dan mulus diacak-acak jari tangan 

Gumbala. Dengan kedua tangannya ditangkisnya 

serangan itu berkali-kali. 

Taks! Taks! Taks...! 

“Kau tentu ingin merusak wajahku seperti wajah 

kalian yang porak-poranda itu! Dasar sirik!” cerocos 

Andika. “Sudah jelek, ya jelek saja! Tak usah 

mengajak orang lain ikut jelek!” 

Pendekar Slebor masih sempat meledek, meski 

pertarungan berlangsung dalam tempo yang demikian

cepat. 

Pertarungan dahsyat berlanjut. Sembilan puluh 

sembilan jurus berlalu cepat seperti angin. Masing-

masing masih terlihat tangguh dengan jurus andalan. 

Percikan demi percikan bunga api masih terus 

tercipta, mengiringi setiap bentrokan. Deru angin 

raksasa ciptaan Sepasang Datuk Karang tetap 

menyapu gila ke berbagai arah, ke segenap penjuru. 

Selama itu, otak encer pendekar muda dari 

Lembah Kutukan itu terus merekam titik-titik lemah 

jurus andalan lawan. Tak ada gading yang tak retak. 

Dia yakin, ada satu kunci untuk menembus per-

tahanan rapat lawannya. 

Memang sampai saat ini, usahanya untuk mem-

bongkar titik lemah jurus kedua lawannya masih tak 

menghasilkan apa-apa. Bahkan pada satu kali, jari 

tangan Gumbala berhasil menyayat dada Pendekar 

Slebor. 

Sret! 

Maka sobekan luka memanjang dari bahu kiri ke 

lambung kanan Pendekar Slebor pun terlihat. Darah 

pun merembes dari luka yang cukup dalam. 

“Monyet kudis! Setan ileran! Kunyuk bau! Bau! 

Bauuu...!” 

Umpatan panjang-pendek pendekar yang kadang 

lebih cerewet dari mulut nenek-nenek pikun itu pun 

merajalela ke segenap kancah pertarungan. 

Kepala Pendekar Slebor jadi panas meledak-ledak. 

Dengan menghentak-hentak kaki ke tanah dan 

kepala menggeleng-geleng tak karuan seperti bocah 

kecil dilanda kejengkelan, Pendekar Slebor mencoba 

membayar perbuatan Gumbala. 

“Hiaaaiii, ai... ai... aiii!” 

Orang sinting satu kampung pun kalah dengan

terjangan Pendekar Slebor kali ini. Tangan dan 

kakinya merangsek bergantian dalam satu rangkai 

jurus yang sulit ditangkap mata biasa. Sesekali 

tangannya mengarah ke punggung Gumbala yang 

melengkung bak tanda tanya. Sesekali pula, kakinya 

menyapu ke leher Lalinggi. 

“Akan kubuat punggungmu membengkok ke 

depan, Manusia Bau! Agar nanti kau berterima kasih 

padaku di liang lahat!” maki Pendekar Slebor. 

Wus! Wus! Wus! 

Kedua tangan Andika berputar ke depan, hendak 

menampar punggung orang yang telah melukainya. 

Kecepatan yang terbawa gerakan Pendekar Slebor 

kali ini sungguh sulit dipapaki kedua tangan lawan 

lagi. 

Agar punggungnya tetap awet membungkuk ke 

belakang, Gumbala terpaksa melakukan gerakan 

yang begitu sulit dalam keadaan berputar seperti itu. 

Badannya ditekuk dalam-dalam ke bawah, dan terus 

melaju ke kolong selangkangan Lalinggi. Dan 

gerakannya dimanfaatkan Lalinggi untuk memutar 

tubuh ke depan. Kaki lelaki yang semula selalu 

bertopi keranjang itu dengan cepat meluncur lurus ke 

depan. 

Des! 

“Augkh! 

Andika mengerang sesaat. Dadanya lagi-lagi men-

jadi sasaran empuk. Sehingga tubuh pendekar muda 

itu terlempar deras ke belakang. 

“Andikaaa!” teriak Idayu Wayan Laksmi di 

belakang sana, khawatir akan nasib pemuda yang 

mulai menempati ruang dalam kalbunya. 

Tepat lima tombak di depan Ki Lantanggeni dan 

Idayu Wayan Laksmi, tubuh Andika berdebam meninju tanah. Punggungnya jatuh lebih dahulu. 

Beberapa saat pemuda itu mengerang-erang. Dada 

dan punggungnya dirasa bagai dilantak dari dalam. 

“Andika kau tak apa-apa?!” seru Ki Lantanggeni. 

“Andikaaa! 'Beli' Andikaaa!” teriak Idayu Wayan 

Laksmi lagi makin was-was. 

Demi mendengar teriakan suara gadis ayu itu, 

Andika langsung bangkit walau dipaksakan. Mulutnya 

meringis-ringis dengan darah kehitaman membasahi. 

Tapi, dasar anak muda kepala batu dan sedikit 

sombong, dia malah membusungkan dada sok 

jumawa. 

“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawab 

Pendekar Slebor sok kuat. Padahal, dadanya masih 

terasa remuk. 

“Kau yakin, Andika? Biar aku membantumu?” 

“Jangan, Ki!” cegah Andika. “Biar aku saja yang 

melabrak manusia-manusia bau itu!” 

Padahal mulut Pendekar Slebor meringis-ringis 

terus. Untung saja saat itu membelakangi Ki 

Lantanggeni dan Idayu Wayan Laksmi. Kalau tidak, 

tentu kedua orang itu bisa melihat wajah mengenas-

kan pendekar muda kepala batu itu. 

Pendekar Slebor menarik napas kuat-kuat. Diper-

hatikannya putaran tubuh lawan yang tercipta 

kembali, dan kini meluncur ke arahnya. Saat itulah 

dia teringat pada serangan terakhir Sepasang Datuk 

Karang. Dalam waktu yang demikian cepat, mata 

tajamnya menangkap suatu titik yang begitu 

dilindungi oleh Sepasang Datuk Karang. Mereka 

berusaha berputar mengganti kedudukan, agar lawan 

tidak dekat pada titik itu. Titik itu adalah kaitan 

tangan milik Lalinggi dengan kaki Gumbala! 

“Kali ini akan kubuat kerak kolak kalian!” dengus

Andika, diawali satu seringai. 

Pendekar Slebor yakin, telah berhasil memecah-

kan teka-teki kelemahan lawan. Maka tanpa me-

nunggu serangan tiba. Pendekar Slebor melarikan 

tubuh deras ke arah mereka. 

“Hiaaa!” 

Kalau seseorang ingin menilai, tentu mereka akan 

melihat gerak lari Pendekar Slebor mirip maling 

kesiangan. Tapi di balik itu, sedang disiapkannya satu 

terjangan penuh siasat matang. Memang aneh kalau 

Andika tak segera tiba di dekat lawannya. Karena, tak 

sedikit pun mengerahkan ilmu meringankan tubuh 

yang begitu disegani di kalangan persilatan. Dia 

memang lari, tapi larinya seperti lari orang awam. 

Tindakan Pendekar Slebor sungguh-sungguh mem-

bingungkan lawan. Apa sesungguhnya yang mau 

diperbuat pendekar muda yang banyak memiliki 

tingkah urakan itu? 

Pada saat mereka bertanya-tanya heran dalam 

hati, tubuh Pendekar Slebor telah tiba di dekat 

keduanya. Dengan lari seperti itu, baik Lalinggi 

maupun Gumbala begitu yakin akan segera bisa 

merontokkan kembali tubuh Pendekar Slebor. 

Dengan lengkingan aneh, mereka memutar tubuh 

lebih cepat untuk menghantam Pendekar Slebor. Tapi 

di luar dugaan, mendadak saja Pendekar Slebor 

mengerahkan kembali ilmu kecepatannya. 

“Iii...!” 

Wut! 

Hantaman sapuan tubuh Gumbala luput, karena 

Pendekar Slebor sudah melenting indah gemulai ke 

atas. Di udara, dia bersalto cepat. Lalu dilepaskannya 

kain pusaka bercorak catur dari pundaknya. 

Sret!

Sekedip mata saja, kain pusaka itu sudah melecut 

tepat ke arah pegangan tangan Lalinggi. 

Prat! 

“Wuaaa!” 

Lalinggi kontan menjerit tak alang kepalang. Jari-

jemarinya langsung hancur berantakan seperti batang 

pohon pisang tertumbuk balok kayu. Tentu saja tubuh 

Gumbala jadi terlepas. Lelaki itu kontan terlempar ke 

udara. 

Entah bagaimana caranya, dalam keadaan masih 

tetap di udara Pendekar Slebor melepas inti tenaga 

sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan ke arah 

Gumbala. 

Wezzz! 

“Aaa...!” 

Tanpa bisa menghindar lagi, leher belakang lelaki 

buruk rupa itu termakan telak pukulan jarak jauh 

Pendekar Slebor. Lehernya remuk seketika. Bahkan 

kepala lelaki itu nyaris saja terlepas, begitu ambruk di 

tanah. 

Pendekar Slebor kini berdiri dua tombak persis di 

depan hidung Lalinggi. Mata kebiru-biruan lelaki itu 

membeliak mendapati Pendekar Slebor siap melecut 

kain pusaka kembali. 

“Wuaaa!” raung Lalinggi, menyangka Pendekar 

Slebor akan segera melepas lecutan kembali. 

Matanya terpejam, mulutnya membuka lebar seperti 

lalat. 

Lalinggi menunggu-nunggu lecutan senjata pusaka 

Pendekar Slebor, tapi tak juga datang. Takut-takut, 

matanya dibuka tapi ternyata Andika sudah tidak ada 

lagi di depannya. Tapi, telinganya mendengar tawa 

pemuda tersebut di belakang. Ketika menoleh, 

tampak Pendekar Slebor tengah memegang

pakaiannya. 

“Ini untuk membayar pakaianku yang dirusak oleh 

kawanmu...,” kata Pendekar Slebor ringan. 

Lalinggi terlonjak. Ketika melirik ke bawah, 

tubuhnya sudah polos seperti bayi baru lahir! Entah 

malu atau takut mati, laki-laki yang juga buruk rupa 

itu langsung lari tunggang langgang sambil me-

lindungi bagian 'rahasianya' dengan tangan hancur. 

“Oiii, ada tuyul!” teriak Andika sambil tergelak. 

Idayu Wayan Laksmi yang melihat kejadian itu 

menutup wajah cepat-cepat. Ngeri campur geli.... 

*** 

Bagaimana keadaan jasad Ki Rawe Rontek yang 

telah ditetesi darah Idayu Wayan Laksmi secara tidak 

disengaja? Apakah dia berhasil bangkit kembali? Apa 

sesungguhnya rahasia kelemahan ilmu hitam yang 

luar biasa itu, sehingga Ki Rawe Rontek dikabarkan 

masih mampu hidup kembali meski kepalanya telah 

terpenggal sekalipun? Kalau bangkit kembali, 

mampukah Andika menghadapinya? 

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : 

BANGKITNYA KI RAWE RONTEK 


                       SELESAI


Catatan 

* Cokorde = raja 

* Beli = panggilan untuk kakak lelaki 

* Mbok = kakak perempuan 

* Banjar = kelompok keluarga dalam wilayah Bali 

* Geg = kependekan Jegeg (manis) 

* Monggo = silakan 

* Kala = raksasa 

* Odah = nenek 

 

 




Share:

0 comments:

Posting Komentar