GEISHA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Clntamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode : Geisha 128 hal.
1
Musim semi menyapa kota Kyoto. Bunga-bunga
marak bermekaran pada tangkai-tangkai pepohonan.
Kuntum-kuntum sakura menggelepar di udara, terhempas
hembusan angin. Pagi muda datang menyapa bebungaan
dengan cahaya lembutnya. Embun belum lagi enyah dari
kuncup-kuncup daun dan putik bunga.
Di sudut utara Kyoto, sebuah pesta kecil dimulai.
Tawa meriah, perbincangan hangat terbawa angin ke
segenap penjuru. Asalnya dari sebuah bangunan yang
cukup megah bergaya khas Nipon.
Mendekat ke bangunan, semakin tercium kepekatan
aroma sake.*
Di satu ruang dalam rumah ada sekitar lima belas
lelaki duduk bersila di atas tatami* Tangan masing-masing
memegang sakazumi* berisi sake. Seraya menaikkan
sakazumi dengan kedua tangan, mereka lalu bersama-
sama meneguk isinya.
* Sake = Minuman khas Jepang
* Talami = Alas lanlaj tradisional Jepang
Di selingi perbincangan dan sesekali ledakan tawa,
salah seorang dari mereka berkata.
"Semoga Amateras u* memberkati kau dan
keluargamu, Jotaro!"
"Ya, semoga!" timpal yang lain. Sake dituangkan
kembali ke mulut sakazumi masing-masing oleh seorang
wanita jelita berwajah lembut kemerahan, berkimono biru
muda. Dia geisha* Jotaro, si tuan rumah.
Jotaro sendiri duduk di depan pintu geser tembus
cahaya. Dia seorang lelaki berperawakan kekar. Tubuhnya
berotot, gagah sebagaimana penampakan rahang
perseginya. Di antara semua lelaki di tempat itu, Jotaro
paling muda dan tertampan.
Sepagi itu, tak semcstinya mereka mengadakan
upacara minum. Namun karena subuh tadi Jotaro baru saja
dikarunia seorang putra dari istrinya, upacara minum sake
pun dilaksanakan.
Keempat betas lelaki di sekitamya adalah para
kerabat dan handai taulan. Mereka ingin turut berbagi suka
dengan keluarga Jotaro.
"Akan kau beri nama siapa anakmu Jotaro?" tanya
seorang lelaki setengah uimir.
* Amaterasu = Dewa Matahari Jepang
* Geisha = Pelayan wamla
Belum lagi keluar jawaban dari mulut Jotaro,
meledak teriakan menyayat dari pekarangan depan. Dari
nadanya, bisa dinilai kalau si pemilik teriakan saat itu
sedang meregang nyawa.
"Ada yang tak beres dengan pengawal di depan,"
desis Jotaro siaga. Cepat dia bangkit. Matanya menajam ke
pintu dojo* Senjatanya ada di sana.
Yang lain turut bangkit.
Sementara para tamunya yang kebetulan para
daimyo* meloloskan senjata masing-masing. Jotaro
bersicepat berlari ke tempat istri dan bayinya terbaring.
Empat depa sebelum sampai, langit-langit di atasnya
jebol. Sesuatu meluruk dari sana. Jelasnya, seseorang
berpakaian hitam-hitam. Wajahnya sebagian tertutup kain
hitam pula. Sewaktu meluncur, tangan penyerang Jotaro
menebaskan katana*
Wukh!
Kelebatan pantulan sinar mata senjata tadi
ditangkap pengelihatan Jotaro. Naluri ke kstariaan yang
diwarisi keluarga Samurainya memperingati. Dia harus
cepat melompat ke depan atau melempar tubuh kembali
ke belakang jika tak ingin kepalanya terbelah dual
* Dojo = Ruang tempat berlatih beladiri
* Daimyo = Penguasa daerah *
Jotaro memilih untuk menerkam ke depan.
"Heaa!"
Sebentar dia berguling, lalu bangkit kembali seraya
memutar tubuh menghadap lawan.
Saat yang sama, lawan mengirim tiga keping
lempengan senjata rahasia berbentuk bintang ke arahnya.
Rupanya apa yang terpikir Jotaro saat itu tidak meleset Dia
yakin penyerangnya adalah ninja bayaran yang tak ingin
lebih banyak membuang waktu. Terbukti serangan kedua
menyusul gencar.
Swik-swik-swik!
Amat bodoh jika Jotaro membiarkan dirinya
dimangsa empat lempeng senjata rahasia maut itu. Apalagi
sasarannya amat mematikan. Leher, kening, dan dada.
Masalahnya, bukan bagaimana menghindar. Akan
tetapi seberapa cepat dia berkeli.t Runtunan gempuran
lawan begitu cepat. Sementara Jotaro belum siap
menerima datangnya senjata-senjata rahasia.
Trask!
Betapapun Jotaro sudah menghindar sebisanya, tak
urung dua mata logam tajam mengoyak kilat bahu lelaki
itu. Jotaro mengeluh berat. Tangannya berusaha
membendung darah yang mengalir cepat dari luka di
bagian terparah.
Dua-tiga kejap berikutnya, serangan datang lagi.
"Heaa!"
Lawan berpakaian gelap berlari liar menuju Jotaro.
Dua tangannya terangkat tinggi, siap membabatkan katana
ke tubuh calon korban.
Wukh!
"Hih!"
Babatan telengas seolah hendak memotong dua
bagian tubuh Jotaro lewat sisi badan Samurai muda itu. Dia
bcrhasil berkelit tanpa membuang banyak tenaga. Cukup
menggeser badan sedikit ke samping. Kelebihan
tenaganya dimanfaatkan untuk menjegal gerakan lawan
dengan sikut.
Degh!
Tentu saja ulu hati lawan berpakaian hitam-hitam
nyaris hancur menerima sikutan Jotaro. Lebih-lebih karena
tenaga dorongan tubuhnya sendiri menambah kekuatan
sikutan lawan. Maka. tak pelak lagi mata si ninja
membeliak. Napasnya sesak. Terlalu sesak untuk
mengeluarkan teriakan.
Tahu lawan pun tak akan memberi kesempatan
baginya untuk bernapas setarikan pun, Jotaro langsung
menyiapkan satu tebasan -bertenaga ke punggung lawaa .
Wuk-degh!
Melompat suara tulang remuk ke udara. Ninja
hayaran seketika itu ambruk. Cuma gajah yang masih
mungkin bernyawa menerima tebasan Jotaro barusan.
"Kakak!"
Jotaro lerkesiap. Dia amat hafal suara yang
didengarnya meski tersamar di antara riuh-rendah
pertarungan yang sudah pula meletus di ruang depan. Itu
jeritan istrinya!
'Terkutuk!" maki Jotaro kalap.
Diraihnya katana milik lawan di lantai kayu. Cepat
pula dia menghambur menuju kamar Akemi, istrinya. Tak
lagi dia peduli apakah lukanya akan menguras darahnya
atau tidak. Dia harus menyelamatkan istrinya tercinta. Istri
yang baru saja menghadiahkan seorang bayi montok
padanya.
"Akemi!!"
Sambil berlari, Jotaro bcrteriak nyalang. Kalau ada
seorang penyerang terlihat di depannya, dia pasti akan
mencacah-cacahnya di tempat
Tiba di pintu kamar, Jotaro tidak menemukan lagi
siapa-siapa. Tidak Akemi. Tak juga bayinya. Darah si
Samurai muda berusia empat puluhan itu seperti dijerang
seketika. Apalagi sewaktu matanya menemukan bercak
merah di lantai kamar.
"Akan kubunuh kalian semua jika istri atau bayiku
terluka!" sumpah Jotaro, murka memuncak.
Di ujung ancaman membludaknya, empat Iaki-laki
berpakaian ninja melabrak masuk dari dinding penyekat
kamar. Jerami kasur berhamburan tersapu lompatan liar
mereka. Secepatnya Jotaro dikepung.
Keempat pembunuh bayaran itu mulai mengitari
Jotaro. Tak beda dengan sekawanan serigala mewaspadai
mangsa. Langkah mereka teratur, satu-satu. Pertanda
mereka adalah orang-orang terlatih. Tak dapat diremehkan
kehandalan tarungnya. Di tangan masing-masing, siap
senjata pembunuh dari baja. Satu orang menggenggam
katana, sisanya memegang lembing panjang.
Kekhawatiran Jotaro pada keselamatan istrinya
membuat dia menjadi ingin segera memenggal kepala
keempat lawan. Untuk bertanya tentang Akemi adalah
kesiaan. Mereka dididik untuk menjadi seorang ahli
membunuh, bukan para penjawab pertanyaan!
"Zing"
Dari sisi kiri, seorang lawan membuka serangan.
Ganas, ditebasnya katana ke dada Jotaro. Andai terkena,
dada lelaki muda itu akan menganga Jebar.
Jotaro bukan anak ingusan. Dia tergolong Samurai
yang disegani semasa jaya shogun sebelumnya. Babatan
cepat seperti itu dapat dengan cepat ditangkap kejelian
matanya. Dengan satu kayuhan katana ke depan, serangan
tadi dimentahkan.
Trang!
Pijar api terpercik di antara tumbukan mata katana
baja. Jotaro membalas. Disambarnya wajah lawan dari
atas.
Wukh!
Lawan ternyata tak kalah tangkas. Dia menyurut
cepat ke belakang seraya menusukkan mata katana ke
leber Jotaro. Berbarengan dengan pertukaran serangan itu,
lawan lain mencoba memanggangnya dengan lembing dari
belakang.
Telinga Jotaro menangkap desis maut di
belakangnya. Dia bukan saja harus menghindari tusukan
katana lawan di depan Juga harus menghindari tusukan
lain di belakang. Tak perlu bergerak dua posisi, cukup
memindahkan tubuh gesit ke samping, Jotaro berhasil
mengenyahkan ancaman dari dua arah berbeda.
Di samping itu, dia memetik keuntungan lain.
Tusukan lembing menyelonong deras ke depan. Senjata
memang tak punya mata sama sekali. Sekali meluruk, sulit
ditarik.
Wes-jleph!
Lawan yang sebelumnya berusaha bernafsu
menusuk leher Jotaro dengan katana meregang di tempat.
Perutnya tertembus lembing kawan sendiri.
Saat senjata panjang tersebut dicabut, lelaki tadi
pun roboh.kehilangan nyawa. Artinya Jotaro kini hanya
menghadapi tiga lawan. Namun, bukan berarti pertarungan
menjadi lebih ringan. Sebab sekarang sisa lawan menyerbu
serempak!
"Haii!"
Satu putaran katana dibuat Jotaro untuk
melumpuhkan serangan ketiga lawannya sekaligus. Untuk
melakukannya, Jotaro harus mengerahkan tenaga lebih.
Kalau terus begitu, tenaganya lambat-laun akan terkuras.
Sesungguhnya, memang rencana itu yang sedang
dimainkan lawan. Terbukti mereka mengulang kembali
serangan serempak. Dengan arah berbeda dan sasaran
berbeda pula. Satu-satunya yang sama adalah
keseragaman waktu serangan mereka.
Begitu sekian terjangan berbarengan terlewati,
Jotaro mulai kehilangan banyak tenaga. Pertahannya mulai
hmbung. Ketiga lawan pun siap memanfaatkan keadaan.
Sret!
Luka berikutnya menganga di rusuk kiri Jotaro. Hasil
sayatan kilat katana seorang lawan. Luka sebelumnya saja
sudah banyak menguras darah, apalagi ditambah luka baru
pula.
Jotaro semakin menyadari posisinya. Bertambah
sulit serta terdesak. Lari terlalu memalukan bagi seorang
Samurai sejati'. Tapi tindakan dengan pertim-bangan akal
sehat harus dilakukan. Dia mesti memperbaiki posisi.
Jotaro berteriak keras-keras, mencoba memancing
konsentrasi tarung ketiga lawan.
"Haiiii!!!"
Sekelebat berikutnya, samurai luka itu membabat
dengan sisa tenaganya. Katananya bergerak satu putaran
penuh. Hendak dibabat sekaligus tiga lawannya.
Para lawan terkesiap. Tak menyangka Jotaro masih
sanggup melakukan babatan kuat seperti itu. Mereka
melompat berbarengan ke belakang.
Justru itu yang dikehendaki Jotaro. Ruang geraknya
jadi lebih Juas. Di samping itu, terbuka pula jalan lowong
baginya untuk menerjang sekat dinding.
Bergerak seperti harimau luka, Jotaro menerkam
sekat dinding. tubuhnya terlempar keluar bangunan.
Sebentar dia bergulingan di tanah musim semi. Lalu
dijejaknya kaki untuk berguling kembali ke dekat dinding.
Tepat di hawah lantai rumah panggung, Jotaro
menanti lawan mendobrak.dinding pula. Perhitungannya
tepat. Tak ada dua kedip mata, dua lawan menyeruak
keluar. Saat itulah Jotaro menebaskan katana.
Wukh! Sret-sret!
Sekali sabet, dua nyawa!
Senjatanya berhasil mengoyak dalam ke perut dua
lawan tadi. Sayatan itu terlalu dalam untuk bisa
menyelamatkan keduanya. Bahkan scbagian isi perut
mereka berhamburan bersama simbahan darah se-gar!
Jotaro menyeringai. Akan pantas bagi mereka
menerimanya jika Akemi dan bayinya terbunuh, sumpah
Jotaro geram.
Limbung, Jotaro menanti lawan ke tiga. Katana
diacungkan ke depan. Darah masih menetes dari mata
senjatanya. Orang yang dinanti tak kunjung menerohos
juga. Semakin lama menanti, akan kian buruk bagi Jotaro.
Lukanya terus mcngalirkan darah. Matanya mulai
berkunang-kunang.
"Bangsat! Apa si laknat itu tahu aku menunggu di
sini?" rutuk Jotaro dalam hati.
Sekali lagi perkiraan Samurai muda itu menemui
sasaran. Lawan ketiganya ternyata tak begitu bodoh
diperdayai seperti dua kawannya. Dia punya perhitungan
sendiri yang tak kalah licin dari Jotaro.
"Hiaiii!"
Dari wuwungan jerami, lawan yang ditunggu
menukik. Lembing di tangannya siap dihujamkan ke kepala
Jotaro. Serangan yang sungguh bengis. Jadi, pantas saja
jika Jotaro mengimbangi dengan kebengisan pula.
Meski pandangannya mengabur serta kuda-kudanya
limbung, Jotaro tak memiliki pilihan lain kecuali memapaki
hujaman lawan. Dengan sisa tenaga paling akhir, dengan
satu perjudian maut!
Trang!
Kecepatan tangkisan pedang Jotaro sempat
mengejar hujaman lembing lawan. Biar begitu, tenaganya
sudah tak cukup lagi untuk menyingkirkan moncong
senjata lawan cukup jauh dari tubuhnya.
Jleb! "Akh!"
Bahunya tertembus. Tepat di dekat luka bahu kiri
sebelumnya. Sakitnya tentu saja luar biasa. Seorang
Samurai yang tak gentar melakukan seppuku* seperti dia
pun akan berteriak sejadi-jadinya.
Di lain sisi. lawan membiarkan lembingnya
menancap di bahu kiri Jotaro. Dia sendiri mendarat tepat di
depan korban. Dari balik lengan baju kedua tangannya
mendadak menyembul dua bilah belati kecil.
Jreph!
Sampai sudah Jotaro pada puncak penderitaannya.
Dua mata belati lawan menembus langsung sepasang
buah pinggangnya!
Lelaki perkasa itu tersungkur, bertahan dengan
kedua lututnya. Matanya sekarat menerobos mata lawan.
Kekhawatiran pada keselamatan istri dan bayinya
membuat dia masih bersikeras mempertahankan nyawa.
Lawan tak mau membuang waktu lebih banyak.
Katana yang sejak tadi tak terusik, segera diloloskan dari
sarungnya. Perlahan kedua tangan sang ninja menaikkan
senjata ke sisi kepala, seolah hendak mengejek kekalahan
Jotaro.
Sebentar lagi, kepala Jotaro bakal menggelinding.
Sekeras apa pun tekadnya untuk tetap merangkul nyawa,
tak akan berguna lagi jika kepalanya harus lepas dari
badan,
Dalam kegentingan nyawa, Jotaro sadar sesadar-
sadarnya. Dia tak akan bisa menyelamatkan istri dan
bayinya. Untuk nyawa sendiri saja dia sudah tak mampu.
Sebelum semuanya terlambat.... Wush! Tlep!
Mendadak saja katana penjagal raib dari
genggaman lelaki berpakaian hitam. Pasti ada seseorang
mengusili. Tapi sejauh itu, tak seorang pun dilihatnya. Ini
benar-benar aneh, bisik hatinya bmgung. Tak mungkin di
siang bolong seperti ini ada hantu gentayangan....
***
2
"Kau tak bisa memenggal kepala orang hanya
dengan tangan kosong seperti itu...," ejek seseorang tiba-
tiba di belakang si ninja.
Lelaki itu terkesiap. Cepat kepalanya menoleh sigap,
hendak mencari tahu siapa pengacau barusan.
Sekarang dilihatnya seorang memegang katana
miliknya. Seorang pemuda. Usianya terbilang muda.
Berpakaian hijau pupus. Kain bercorak catur tersampir di
bahu. Rambutnya panjang tak terurus. Dari wajahnya tak
ada tanda-tanda kalau dia penduduk asli Kyoto. Atau dari
bagian mana pun negeri Sakura ini. Ada yang menarik di
ikat pinggang pemuda itu. Sebatang pedang bergagang
kepala naga.
"Lupa dengan katanamu?" susul si pemuda asing
dengan bahasa Nippon terpenggal-penggal. Bibirnya
cengengesan. Terlihat tolol kelewatan. Sebaliknya, sinar
mata itu membersitkan kecerdikan berlehihaa Siapa dia?
Bagaimana bisa katanaku disambar demikian rupa? Desis
si ninja. Kalau katananya bisa disambar cepat tanpa
terjihat, bagaimana dia bisa mengukur kesaktian orang itu?
Wukh wukh wuhk!
Si pemuda asing memamerkan kebolehanhya
memainkan katana hasil rampasan di tangannya. Seperti
juga cara merampas, gerak permainan katananya pun
begitu cepat. Tak teratur tapi sulit terukur. Kecepatannya
bahkan membuat mata katana bagai menghilang.
"He he he...! Senjatamu lumayan denok juga. Boleh
kupinjam, bukan? Bukan? Sekalian menjajalnya di
tubuhmu. Boleh, bukan? Bukan?"
Sadar dirinya tak akan unggul menghadapi lawan
barunya, lelaki berpakaian hitam tiba-tiba meloloskan
pedang pendek dari ikatan pinggang.
"Haaah!"
Jlep!
Ditembuskannya pedang tadi hingga melesak ke
punggung sendiri! Memang itu yang diterapkan para ninja
dalam melaksanakan tugas. Mereka harus mati di tangan
sendiri ketimbang tertangkap basah. Kerahasiaan mereka
lebih berharga dari nyawa sendiri!
"E-eh! Sinting juga ini manusia!"tukas si pemuda
asing terkesima. Semula dikiranya orang itu hendak
melabrak. Sambil berdecak-decak tak habis-habis-nya,
pemuda itu melangkah mendekati Jotaro.
"Kau tak apa-apa, Saudara?" Pertanyaan tolol. Si
pemuda tersadar. Cepat disahutinya sendiri pertanyaan
barusan. "Sudah.pasti kenapa-napa..."
Ditahannya tubuh Jotars yang hampir ambruk. Tiga
senjata berbeda yang memangsa tubuh Samurai muda itu
dicabutnya satu demi satu. Sebelumnya beberapa titik
jalan darah Jotaro ditotok. S upaya menghambat keluarnya
darah lebih banyak dan sedikit mengurangi deraan sakit.
"Sss..., siapa kau?" desah Jotaro terputus-putus.
"Aku? Cuma pengembara. Singgah ke sini untuk
mencari tahu keluarga sahabatku.... Ah, sudahlah! Kau tak
boleh banyak bicara dulu."
"Ttt..., tolong a-aku, Tuan...."
"Ya, pasti aku menolongmu. Pokoknya, kau jangan
bicara dulu!"
"Istri dan bb..., bayiku. Mereka men..., culiknya."
"Baik. Tapi kau harus kuamankan dulu."
"Tak ada waktu lagi, Ttt... Tuan."
Genggaman Jotaro mengeras pada kerah baju si
anak muda. Dalam keadaan sekarat, dia masih bisa
memaksa penolongnya untuk mcmentingkan keselamatan
Akemi dan bayinya.
Tidaklah berlebihan sikap Jotaro. Kareha di ujung
kalimatnya terdengar jeritan wanita. Melengking tinggi
seakan dijejali ketakutan teramat sangat
"A.., kemi.... Akemi...," lirih Jotaro. Suaranya makin
kehilangan kekuatan.
Pemuda asing di sampingnya baru menyadari sikap
keras Jotaro. Jotaro sendiri tak ingin diselamatkan meski
nyawanya sudah di mulut gerhang kematian.
"Aku pergi!" putus si pemuda, akhirnya Cepat tubuh
pemuda itu melesat. Tak beda dengan saat datang,
kepergiannya dari tempat tersebut pun sulit diikuti mata
biasa. Tak perlu menelan waktu lebih panjang, dia telah
tiba di tempat asal jeritan.
Di sana tak ditemukannya siapa-siapa. Tidak
perempuan seperti disebut Jotaro, tak juga bayi merah.
Yang ditemukan justru gelimpangan empat belas mayat
lelaki.
Pembantaian baru saja terjadi. Darah menggenang
pekat di sekitar mayat-mayat. Semuanya mati
mengenaskan. Terlalu keji untuk dikatakan, terlalu bengis
untuk digambarkan. Bahkan si pemuda sendiri merasa
cukup sekilas menyaksikan pemandangan itu.
Di antara empat belas mayat lelaki tadi, tampak pula
beberapa mayat berpakaian hitam-hitam. Sama seperti
lelaki yang melakukan seppuku sebelumnya.
"Tampaknya pembantaian ini dilakukan oleh se-
gerombolan orang. Siapa mereka?" bisik pemuda gondrong
itu.
Pertanyaan lamatnya disahuti oleh terjangan
teriakan dari beberapa penjuru.
"Hiaiiii!"
Sring! Sringg! Sring!
Ada-sekitar sembilan lelaki berpakaian seragam
hitam-hitam membentuk kepungan di sekitarnya. Menilik
senjata penuh darah di tangan masing-ma-sing, tampak
mereka ikut andil dalam pembantaian di tempat tersebut.
Si pemuda melirik enteng satu demi satu calon
lawan.
"Kenapa baru sekarang kalian muncul? Aku sudah
kebelet menunggu kalian muncul," mulainya. Nadanya
seramah sambutan wanita murahan.
"Apa tidak sebaiknya kalian mempreteli kain penutup
wajah kalian? Biar aku tahu pasti siapa yang wajahnya
paling jelek. Atau barangkali ada yang hidungnya di jidat,
dan jidatnya di hidung?" oceh pemuda berpakaian hijau
pupus. Kalau ada seorang anak muda sakti bermulut
ceriwis, urakan minta tobat, dan bertampang tanah Jawa,
maka dia gampang dikenal, Siapa lagi kalau bukan
Pendekar Slebor!
Beberapa pekan lalu, anak muda buyut Pendekar
Lembah Kutukan legendaris itu dikejutkan oleh sepucuk
surat. Isinya dibuat oleh Hiroto, salah seorang yang ikut
dalam petualangan hesar di Piramida Tonggak Osiris.
Ksatria Nippon itu mengundang Andika untuk datang ke
negerinya. Padahal semenjak pulang dari Mesir, Andika
beranggapan Hiroto telah gugur (Untuk mengetahui lebih
jelas tentang lelaki ini, bacalah episode : "Undangan Ratu
Mesir". "Piramida Kematian" dan "Warisan Ratu Mesir"!)
Dengan menumpang sebuah kapal dagang yang
hendak melakukan pelayaran ke Nippon,Andika memenuhi
undangan kawan lamanya tersebut.
Kota Kyoto pun dijejaki. Baru saja tiba, dia sudah
mesti terlibat kejadian berdarah. Waktu itu Andika hendak
menuju utara Kyoto. Tanpa sengaja dia melewati tempat
tinggal Jotaro. Ketika itulah disaksikannya pertarungan
hidup-mati Jotaro dengan lawan-lawannya.
Para lawan Pendekar Slebor kini mulai bergerak
mengelilingi. Langkah-langkah mereka teratur serta siaga
penuh. Sesiaga sinar mata keji mereka yang mengawasi
sosok pemuda tanah Jawa itu. Berbeda dengan mereka,
kulit Andika memang agak kecoklatan. Matanya
berkelopak tegas, tak seperti mata sipit para
pengepungnya. Selain itu, pakaiannya pun tampak asing.
"Ngomong-ngomong, kalian hendak menyerangku
atau cuma naksir? Kenapa aku diawasi terus seperti itu?"
Celoteh Pendekar Slebor dibayar teriakan garang
salah seorang lawan. "Heaaah!" Zing!
Mata katana mengancam deras. Tepat mengarah ke
leher kokoh Pendekar Slebor. Dalam keadaan berbau maut
seperti itu, cuma orang sinting yang masih bisa tersenyum-
senyum. Meski bukan orang tak waras, sungguh sulit
dipercaya, Andika ternyata melakukannya!
Senyum itu bukan sekadar ringisan seorang tolol,
Karena menjelang mata katana lawan tinggal berjarak
setengah jari lagi.... Sring!
Mendadak senjata bengis itu tertahan.
Tanpa terbaca mata seluruh lawan, Pendekar Slebor
telah merentangkan kain pusakanya di depan leher.
Padahal si penyerang sudah yakin setengah mampus
kepala calon korbannya akan terpental jauh dari badan.
Sementara matanya sendiri tak pernah menangkap
gerakan tangan lawan. Lalu bagaimana mungkin dia tahu-
tahu sudah membentang kain yang kenyalnya lebih
tangguh dari baja? Hati si penyerang bertanya-tanya takjup.
Lebih mencengangkan lawan lagi, katana itu tak
hanya tertahan. Tapi juga telah terlilit erat di antara simpul
kain!
Ketika lawan hendak membetotnya, senjata itu tak
bergemik meski seujung kuku. Kerasnya seperti sedang
dihimpit sepasang gunung.
Tak putus asa, lawan mencoba betotan ke dua.
Tetap tak bergeming. Dicobanya kembali, tak berhasil juga.
Mata sempitnya bahkan sudah membesar begitu rupa.
Wajahnya sudah sematang merah udang, mengeluarkan
bulir-bulir keringat sebesar biji kacang.
"Hati-hati, Tuan. Jangan terlalu dipaksakan. Nanti
bisulan," bisik Pendekar Slebor persis di depan hidung
lawan.Ocehan si pendekar muda dalam bahasa Nippon
yang tak genah, masuk ke telinga lawan seperti sengatan
lebah. Menyakitkan sekali dihina seperti itu bagi seorang
ninja.
Didorong kemarahan, sang lawan mencoba cara lain.
Disapunya kaki Pendekar Slebor. Kalau kuda-kudanya
dapat dipatahkan, tentu akan menjadi mudah untuk
membetot katananya kembali. Begitu pikirnya.
Berkawal debu, kaki lawan memapas kuda-kuda kiri
Andika.
Pendekar Slebor tak tampak kelimpungan menerima
sapuan kaki cepat itu. Dia hanya mengangkat satu kakinya
sedikit. Maka, sapuan itu hanya memakan angin.
Entah untuk pamer kehebatan atau hanya hendak
menjengkelkan lawan, Pendekar Slebor dengan keterlaluan
membiarkansebelah kakinya terangkat. Di lain pihak,
lawan merasa mendapat angin. Harus dimanfaatkannya
kesempatan itu. Dengan satu kaki, rasanya tak mungkin
lagi pemuda asing di depan ini dapat menahan senjataku,
pikirnya lagi.
Dia kecele. Nyatanya katana itu tetap tak berubah.
Biarpun sudah terasa hendak meletus urat lehernya
mengerahkan tenaga tarikan.
Selatjutnya....
Trang!
Lawari dipaksa terperangah kembali. Samurainya
patah dua saat itu juga! Belum beres keterkejutannya,
Andika sudah menghadiahkan satu hajaran ke kening
lawan. Lebih sinting lagi, anak muda itu sengaja
mempergunakan kening pula!
"Yihaaa!"
Padahal tulang tengkorak Andika sebenarnya tak
sekeras milik lawan. Kalau Andika mengalirkan tenaga
sakti warisan buyutnya hingga tingkat delapan dan
dipusatkan ke kening, itu jadi lain perkara!
Jidat lawan dijamin bukan cuma benjut sebesar
kepalan centeng. Lebih naas dari itu, tulang pelipisnya
retak seketika.
Bertahan hidup dengan serpihan tulang menghujam
otak adalah suatu hal yang tidak mungkin. Sang ninja mati
seketika dengan mata membelalak.
"Malang nian nasibmu, Kawan...," gumam Andika.
Bibirnya meringis. Bukan apa-apa. Biar bagaimanapun dia
merasa pening juga. Terasa ada kunang-kunang bersenda
mengelilingi kepalanya.
Delapan anggota ninja bayaran lain sejak tadi hanya
bisa terperangah-perangah. Tindakan Andika dianggap
mereka begitu luar biasa, Dalam dunia para ninja, samurai,
atau daimyo, kehebatan itu sulit dicari. Kebanyakan ilmu
bela diri mereka Sebenarnya mengandalkan kecepatan
gerak. Selain pengolahan tenaga luar hingga melipat
gandakan kekuatan biasa.
Sementara yang dilakukan si pemuda asing sama
sekali tidak terlihat mengandalkan tenaga yang mereka
kenal. Geraknya bahkan terlalu ringan untuk bisa
meremukkan kaleng kerupuk sekalipun. Di Iain sisi,
hasilnya malah membuat kawan mereka mati dengan
kening melesak sedalam satu jari!
Kedelapan orang itu saling pandang. Bimbang
menentukan apakah mereka harus menghadapi juga orang
asing ini atau pergi. Karena sesungguhnya urusan mereka
telah selesai.
Sampai salah seorang yang tampak berpengaruh
melepas isyarat dengan gerak bola matanya.
Mereka berhamburan serempak. Lari ke arah
herlainan.
"Hei! Aku belum sempat menyaksikan wajah jeIek
kalian, bukan?!"
***
Selahg sekian lama berlari, dua orang anggota ninja
yang terpencar menghentikan langkah. Napas lega
dihempas mereka. Sudah yakin sekali keduanya kalau
sipemuda asing tak mengejar.
"Siapa sesungguhnya orang itu?" tanya salah
seorang pada yang lain. Mereka sudah melepas kain hitam
penutup wajah. Keduanya masih cukup muda. Berusia
sekitar tiga puluhan. Wajah mereka tak ada yang sedap.
Jangankan untuk dipandang, untuk dilihat sekelebatan pun
tidak,
Seperti kebanyakan lelaki Nippon, mata mereka
berkelopak sempit. Pipi salah seorang dijejali jerawat
merah merangas. Hidung peseknya pun tak luput. Dengan
alis jarang, makin buruk saja parasnya.
Kawannya berbibir tebal, berkening tebal, juga
berdagu tebal.
"Mana aku tahu," sahut lelaki berbibir tebal. "Je-
lasnya dia orang asing. Wajah, perawakan, dan pakaiannya
berbeda sekali dengan kita."
"Kira-kira, kau tahu dari mana asalnya?"
"Rasanya dari neraka!" serobot seseorang yang tahu-
tahu menghadang di depan.
Keduanya tercekat. Mereka melihat orang yang
dibicarakan justru sedang asyik memanggang seekor
burung. Persis di tengah-tengah jalan yang mereka lalui.
"Lama sekali kalian.... Aku sudah hampir bosan
menunggu. Untung aku punya sedikit kerjaan untuk
mengisi perut...," celoteh Andika, Sedikit pun tak ada lirikan
di matanya.
Kaki dua lelaki anggota ninja tersurut. Bagi
perhitungan mereka, tak mungkin pemuda asing itu bisa
sampai lebih dahulu. Apalagi telah memanggang seekor
burung! Seorang daimyo andalan shogun pun belum tentu
bisa melakukannya.
"Mau ke mana lagi?" sergah Pendekar Slebor.
Diangkatnya panggangan daging burung ke depan hidung.
"Apa kalian tak mati menemani aku makan?"
Tahulah kedua anggota gerombolan pembunuh
bayaran kalau jalan lari sudah tak mungkin lagi bagi
mereka. Lawan terlalu tinggi untuk dihadapi.
Hanya satu pilihan. Seperti disepakati dalam isyarat
batin masing-masing, keduanya cepat meloloskan pedang
pendek dari balik ikatan pinggang mereka.
Bles!
Keduanya mati melakukan seppuku.
***
3
Pendekar Slebor kembali ke tempat kejadian awal,
rumah Jotaro. Gelimpangan mayat sudah digerayangi lalat-
lalat. Kawanan binatang kecil menjijikkan itu mendenging-
denging, seolah sedang membangun pesta-pora.
Nyawa seperti tak ada arti. Seperti tak lebih berharga
dari kotoran tempat lalat mencari makan. Kenyataan getir
yang selalu harus Andika telan.
Anak muda dari tanah Jawa itu merasa harus
kembali ke tempat tersebut. Ada dua alasan buatnya.
Pertama dia harus menemukan Akemi dan bayinya. Untuk
memulai pencarian, tempat paling tepat satu-satunya
adalah dari rumah kediaman keluarga malang itu. Kedua,
Andika harus menguburkan sekian mayat di sana. Untuk
yang terakhir, Andika akan mencari bantuan penduduk
setempat.
Hiroto datang selagi Andika mencoba mencari sedikit
petunjuk untuk dijadikan acuan mencari Akemi dan
bayinya.
'Andika San*!"
"Ah, Hiroto! Kebetulan sekali!" Samurai muda
membungkukkan tubuh.
"Selamat datang di negeri kami," katanya, memberi
sambutan.
"Tampaknya kita tak bisa banyak berbasa-basi,"
lukas Andika. "Kita harus cepat menyelamatkan istri dan
bayi lelaki malang kepala keluarga rumah ini”
Hiroto membungkukkan badan lagi.
"Maaf kalau Andika San terlibat semua ini. Soal
Akemi dan bayinya, aku telah berhasil menyelamat mereka.
Mereka telah kuamankan," tutur Hiroto.
Andika lega. Phiuhh....
"Hei, tampaknya kau kenal mereka?" tanya Andika.
"Jotaro. kepala keluarga rumah ini adalah adikku,"
jawab Hiroto. Suaranya terdengar melandai. Ada getar
kehilangan pada kalimatnya, meski seorang ksatria sejati
seperti dia terbiasa bersikap tegar.
"Aku turut menyesal."
Hiroto tak ingin terlarut. Segera didekati dua sosok
mayat anggota ninja. Usai meneliti sebentar, ditemukannya
rajah di dada kedua mayat itu. Rajah berbentuk seperti
trisula pendek yang memiliki dua mata pada kedua
ujungnya. Andika melihat. Gambar itu jelas tidak berarti
apa-apa baginya. Kecuali bagi Hiroto.
"Imada-Tong, sudah aku duga...," gumam Hiroto. '
Apa yang kau ketahui tentang mereka, Hiroto?'
"Mereka adalah perkumpulanrahasia para
pembunuh bayaran yang paling ditakuti di negeri mi," papar
Hiroto, menjawab pertanyaan Andika.
'Tak bisa kupercaya keluargaku akan terlibat dengan
mereka," keluh Hiroto.
***
Akemi.
Seorang janda malang nan memikat. Layaknya
kebanyakan perempuan Nippon, matanya agak sipit. Di
antara kelopak matanya, tumbuh bulu lentik. Akan
mempesona manakala matanya mengatup dan membuka.
Kulitnya sebersih susu. Dengan tubuh sintal meski pun
belum lama melahirkan. Ramuan tradisional turun-temurun
tampaknya membantu mengembalikan kembali kemolekan
tubuhnya. Rambutnya legam, digelung gaya wanita Nippon.
Sewaktu bertemu Pendekar Slebor, wanita itu berpakaian
kimono hitam, seakan sedang berkabung atas kematian
suaminya, Jotaro.
"Perkenalkan. ini Andika San...," kata Hiroto,
memperkenalkan Andika pada Akemi.
Kedua ksatria dari negeri berbeda itu telah tiba di
rumah pengasingan rahasia Hiroto, sekitar setengah hari
perjalanan dari rumah Jotaro. Akemi sudah tiba lebih
dahulu. Sebagai anggota keluarga, dia memang
mengetahui tempat rumah pengasingan rahasia yang
bentuknya mirip kuil itu.
Akemi cepat-cepat menjura dalam. Matanya hanya
sekejap menatap wajah si pemuda tanah Jawa.
Selanjutnya dia lebih banyak merunduk.
Demi menyaksikan kecantikan janda di depannya,
Andika tak mau buru-buru berkedip. Ditatapinya Akemi.
Dinikmatinya kulit wajah selembut sutera perempuan itu.
Hidungnya yang bangir menipis menggelitik kegemasan
Pendekar Slebor. Desir darah anak muda itu menjalang.
Dadanya jadi tak karuan.
"Andika San...," Hiroto hendak mengajak Andika
berbicara. Tapi Andika malah terus saja melompong,
menggeleng-geleng dan mendecak-decak.
"Andika San...," ulang Hiroto sekali lagi. Lebih keras.
'Oh-eh, apa?!" kesiap Andika.
"Akemi kutemukan tak jauh dari rumahnya. Dengan
bayinya dia bersembunyi di kuil tua."
"Ooo," Andika cuma bisa memonyongkan bibir. Dia
tak begitu peduli pada penuturan Hiroto. Yang paling
dlpedulikannya sekarang ini cuma bibir ranum Akemi yang
terus dipandanginya. Dadanya kian berdentum-dentum.
Sungguh menggoda bibir itu, bisik hatinya.
Dasar buaya!
Dengan agaksusah-payah, Andika akhirnya bisa
menguasaj diri kembali.
"Tapi kenapa kau sudah ada di sini, Nyonya?" tanya
Andika. Anak muda itu agaknya cuma ingin berbasa-basi,
setelah mendengar ucapan Hiroto yang tadi tak begitu
ditanggapi. Dia sedikit malu hati!
"Aku ketakutan sendiri di biara tua itu. Aku takut
gerombolan ninja dapat menemukan aku dan bayiku.
Karena itu aku memutuskan untuk lari ke rumah Kak
Hiroto...."
"Hmm, perempuan ini punya nyali besar," puji Andika
dalam hati. Bukan hal yang tak berbahaya bila dia harus
berjalan setengah harian membawa bayinya ke tempat
Hiroto. Jika ada anggota gerombolan yang kebetulan
menemukan, maka habislah dia!
"Sebaiknya Andika San beristirahat dulu."
"Aku tak begitu letih." tolak Andika. Rasanya dia
masih belum puas bertemu Akemi.
"Bukan begitu, Andika San. Aku mengundangmu
datang ke negeri ini karena ingin bertemu dengan sahabat
lama. Aku ingin menjamu agar kau senang. Mungkin kita
bisa berbincang-bincang tentang pengalaman lama kita di
negeri Mesir. Tapi, nyatanya Andika San malah terlibat
dengan semua kekacauan ini. Jadi, aku rasa ini waktu yang
tepat untuk menjamu Andika San. Sebelum semua
kekacauan meledak lagi...."
Andika tak bisa menolak lagi. Dengan napas agak
dibanting, dianggukinya permintaan Hiroto. Hiroto bertepuk
dua kali.
Dari ruang dalam, keluar seorang perempuan muda
cantik. Wajahnya tak kalah dengan Akemi. Begitu juga
tubuhnya. Wanita itu berkimono berwarna merah muda.
Dia adalah geisha milik Hiroto.
Andika menyumpah-nyumpah dalam hati. "Sial!
Kenapa banyak sekali makhluk menggemaskan di tempat
ini?!"
Dengan berjalan merunduk-runduk seraya me-
megangi belahan kimono di bagian pahanya, wanita itu
duduk dengan kepala tertunduk.
"Coba kau antar Tuan Muda ini ke pemandian air
hangat. Dia tentu ingin membersihkan diri. Layani dia
dengan baik...," ucap Hiroto datar.
Geisha cantik di dekat pintu geser merundukkan
badan.
"Silakan...," hatur Hiroto seraya mengangsurkan
tangan pada Andika.
Sang geisha keluar ruangan. Andika mengikuti lanpa
banyak cincong. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya! Di
bagian belakang rumah, ada ruang khusus untuk
pemandian air hangat. Bak besar dari kayu tersedia di
sana. Di dalamnya, air mengepulkan uap yang lamban
mendaki ke udara. Tak jauh dari bak itu, satu baki sake
dan sakazumi sudah pula disiapkan.
Andika diajak masuk ke ruang itu oleh si geisha.
"Silakan Tuan membuka pakaian...," kata perempuan
cantik berpipi halus agak bersemu kemerahan itu.
Andika menatapnya tak mengerti. Bagaimana dia
bisa membuka pakaian kalau seorang perempuan cantik
ada tepat di depannya? Apa itu tidak sinting, pikirnya.
"Kau tetap di sini?" tanya Andika, seperti orang
linglung.
Geisha tadi mengangguk. Ada senyum tersembul di
bibir tipis memerahnya mendengar kalimat dalam bahasa
Nippon yang begitu berantakan diucapkan Andika.
Andika dipaksa cengar-cengir serba salah kalau
sudah begitu.
"Ng..., bagaimana, ya...," gumam Andika. "Apa kau
tidak perlu keluar?" pancing Andika. Dia agak risih kalau
berterus terang.
Geisha tadi tersenyum kecil lagi. Sekali ini kar¬na
dia menemukan paras Andika yang sudah tak karuan lagi.
Antara serba-salah, risih, dan malu yang campur-aduk!
Bodoh sekali kesannya.
"Kalau Tuan menyuruh saya untuk keluar, saya akan
keluar," kata si geisha.
"Biasanya tamu-lamu Tuan Hiroto yang lain
bagaimana?" Andika penasaran. Dia jadi mau tahu apa
memang hal itu sudah biasa di tempat yang asing baginya
ini.
"Bagaimana maksud Tuan?" Geisha berkimono
merah muda balik bertanya.
Andika ragu-ragu. Mau bilang langsung, masih rada
sungkan. Mau tak bilang dia pun tak bisa. Masa' iya dia
mesti menganggap wanita di sebelahnya tak ada
sementara dia melepas pakaiannya?
"Maksudku..., ng hee-he-he!" Andika garuk-garuk
kepala. Gatal atau tidak, dia tak peduli. Pokoknya garuk
kepala! "Maksudku, apa mereka tak menyuruh kau keluar
dulu sewaktu mereka membuka pakaian?" Anak muda itu
akhirnya nekat. Bukankah malu bertanya sesat di jalan?
Mendapati tingkah anak muda asing yang
dianggapnya begitu lugu, geisha tadi tertawa tertahan.
"Kenapa malah tertawa? Apa pertanyaanku lucu?"
Jawaban yang didapat Andika sama. Tawa tertahan
geisha cantik didekatnya. Dengan kedua tangannya dia
berusaha menyembunyikan tawa itu.
"Tuan meminta saya keluar?" akhirnya geisha itu
mulai paham maksud Andika.
"Betul!" tukas Andika girang sekali. Rasanya seperti
baru terbebas belenggu, dia membatin.
Geisha Hiroto keluar dengan langkah-langkah
pendeknya yang terhalang kimono. Terdengar geser halus
ketika tangan lembutnya menutup pintu,
Andika lega sekarang. Mau buka pakaian tak akan
jadi malu. Karena itu cepat-cepat dibukanya pakaian. Satu-
satu, sampai tersisa yang dianggap tak perlu dibuka. Anak
muda itu sudah tak sabar ingin merasakan bagaimana
nikmatnya resapan air hangat di dalam bak, Ingin juga
menghirup aroma rempah-rempah yang dicampurkan ke
dalamnya.
"Wahl, sekali seumur hidup aku mandi seperti ini,"
gumamnya seraya melangkah mendekati bak besar. Dua
langkah ke depan, pintu di belakangnya terdengar bergeser
lagi. Geisha tadi hendak masuk kembali.
"Mak!"
Tak alang kepalang kelimpungannya Andika
meloncat ke dalam bak besar. Byur!
Lama anak muda urakan itu tak berani muncul dari
dalam air. Cuma terdengar bunyi gelembung-gelembung
udara keluar dari napasnya. Dia tak mau muncul sebelum
yakin benar wajahnya sudah tak merah padam karena
malu!
Perlahan-lahan, dengan rambut basah kuyup kepala
pendekar muda itu akhhirnya muncul juga.
"Maaf Tuan. Hiroto San menyuruh saya mengantar
pakaian ganti," tutur sang geisha di mulut pintu. Di
tangannya ada setumpuk pakaian dalam beberapa warna.
Andika cengengesan. Maksudnya unluk menutupi
rasa malu yang membekas di raut wajahnya..
"Lain kali, kau... ah, sudahlah!" tepis Andika, urung
mengingatkan perempuan muda jelita di mulut pintu.
"Sekarang, apa saya sudah boleh masuk dan
mcmbersihkan tubuh, Tuan?" tanya sang geis ha, membuat
Andika membuka mulut tak dapat bicara....
"Ng..., siapa namamu, Nona?" tanya Andika,
mengalihkan pembicaraan. Dia merasa ditelanjangi
mentah-mentah saat pelayan wanita itu menawarkan
layanan yang dianggap Andika keterlaluan tadi.
"Kissumi."
"Hm..., nama bagus," puji Andika asal bunyi. Tahu
tidak dia artinya.
"Kau mau menolongku, Kissumi?"
Wajah perempuan bernama Kissumi menjadi cerah
mendengar permintaan Andika. Selaku seorang geisha, diri
dan kehormatannya dipertaruhkan untuk menyenangkan
tuannya.,
"Apa saja, Tuan...."-
"Panggil aku Andika."
"Baik, Andika San."
"Tolong kau keluar selama aku mandi. Kalau kau
terus berada di situ, sehari-semalam aku bisa berada
dalam bak hangat ini!" pinta Andika. Mana mau dia
menjadi matang seperti toge rebus!
Wajah Kissumi menyemburatkan kekecewaan
mendalam mendengar permintaan Andika. Dia seperti
tidak diberi kesempatan untuk melayani tuannya
sepenuhnya. Padahal, apa pun siap dilakukan. Penolakan
baginya seperti kehormatan dirinya ditelantarkan.
Andika tak peduli. Dia begitu semata karena tak
tahu. Mendapati ada kekecewaan di wajah Kissumi, Andika
jadi berpikir lagi. Apa dia telah melakukan kesalahan?
"Ah, aneh-aneh saja negeri orang-orang sipit ini,"
gerutunya sambil menciduk air hangat ke kepalanya.
Tak memakan waktu lama, pendekar muda dari
tanah Jawa itu sudah keluar dari ruang pemandian.
Mandinya memang selalu seperti capung cebok. Kebiasaan
dari kecil yang terus dibawanya sampai sekarang. Kalau
sekarang dia mandi agak lama, itu pasti mandi terlama
yang pernah dilakukan selama hidup! Pasti!
Pakaian yang disediakan Kissumi sudah pula di-
kenakan Andika. Anak muda acuh itu tak mau pilih-pilih
lagi, meski ada beberapa potong pakaian disediakan. Yang
tersambar tangannya, itu yang dipakai. Kebetulan yang
didapat wama putih, sangat sepadan dengan kulilnya yang
coklat garang.
Pantas tidak pantas, Andika menyampirkan pusaka
ke bahunya. Benda itu jelas tak sama dengan pakaian
butut bau siluman pasar yang Biasa dipakainya. Kain itu
pusaka berharga dari buyutnya sendiri Pendekar Lembah
Kutukan. Mana mau dia meninggalkan begitu saja?
Sementara di ikatan kimononya diselipkan sebilah
pedang. Pedang Pusaka Langit. Senjata pusaka itu
didapatnya dari Chin Liong, seorang panglima Kerajaan
Cina yang juga sahabat baiknya. (Tentang hal itu, bacalah
episode : "Perompak-Perompak Laut Cina"!)
"Ah, Andika San. Bagaimana pelayanan Kissumi?"
sambut Hiroto di ruang minum teh.
Andika buru-buru mengangguk
"O, memuaskan! Sangat memuaskan!" serunya
dengan sedikit sandiwara. Dia tak mau memburukkan
nama Kissumi di depan Hiroto.
"Bagus! Bagus!"
Hiroto tampak gembira sekali. Kepalanya bahkan
sampai terangguk-angguk keras.
"Kau sudah 'bermain' dengan Kissumi, Andika San?"
aju Hiroto bersemangat.
Bermain? Andika terlongo. Sama sekali tak
dipahaminya pertanyaan Hiroto.
"Bermain apa maksudmu?" Karena penasaran,
Andika akhirnya bertanya. Tak peduli apakah nanti
dianggap bodoh oleh Hiroto atau tidak.
Hiroto malah tergelak. Kepalanya mendongak,
memperlihatkan jakun yang turun naik. Perlakuan lelaki itu
makin memperosokkan si Pendekar Slebor dalam liang
ketidak mengertian.
"Katakan padakn. Hiroto. Apa maksudmu dengan
'bermain'?" susul Andika lagi. Makin lugu saja sikapnya di
mata Hiroto. "Apa tradisi negeri ini menyediakan mainan di
bak mandi seperti kebiasaan bocah?" Andika mendesak.
"Atau……"
Mendadak pendekar muda itu memancung ka-
limatnya sendiri. Benaknya mulai bisa mengendusi apa
maksud lelaki muda Nippon di depannya.
Tanpa berkedip, Andika berbisik.
"Apa di negeri ini seorang pelayan wanita siap
melakukan apa saja?" tanyanya hati-hati. Cuma takut kalau
pertanyaannya ternyata salah.
Hiroto mengangguki.
"Semuanya?!" sentak Andika.
Hiroto tergelak lagi.
Andika malah terbengong lagi.
Seorang anak lelaki berusia lima tahun masuk ke
ruangan. Didekatinya Andika yang sedang meneguk teh
hangat. Dengan kehangatan polos, Andika ditubruknya.
Bocah kecil lucu berkepala hampir botak itu bergelayut di
bahu Andika.
"Akimoto!" hardik Hiroto. "Jangan bersikap tak sopan
seperti itu pada tamu Ayah!"
Anak yang dipanggil Akimoto menyusutkan badan.
Perlahan dia beringsut dari bahu Andika. Wajahnya terlipat.
Antara takut dan kesal.
"Dia anakmu, Hiroto?" tanya Andika.
"Hai*! Anak tunggalku, Andika San. Nakalnya bukan
main!"
"Siapa namanya tadi?"
"Akimoto."
"Haaa, Aki.... Aki...," Andika ingin menegur bocah
yang sudah beranjak ke sampingnya. Tapi nama anak itu
terlalu sulit buat telinganya. "Aki apa tadi?"
"Akimoto."
”Yah Akimoto! Kenalkan...." Andika menjulurkan
tangan pada Akimoto. "Paman Andika dari tanah Jawa,"
sambungnya memperkenalkan diri.
"Di mana tanah Jawa, Paman Andika?" tanya
Akimoto. Anak itu tampaknya cepat akrab dengan siapa
saja. Matanya berbinar ketika mengetahui tamu ayahnya
tak marah padanya.
"Jauh! Jauuuh sekali!" Andika pun berusaha akrab
dengan bocah lucu itu. Waktu bilang 'jauh', bibirnya pun
jadi ikut 'jauh'.
Akimoto terkikik melihatnya.
"Ayo, Akimoto. Kau main di luar. Jangan ganggu Ayah
dan teman Ayah!" perintah Hiroto.
Akimoto cemberut lagi. Sebelum keluar pintu, bocah
itu mengepalkan tinjunya pada Andika. "Paman Andika
pandai berkelahi?!" tanyanya seperti menantang.
Andika tertawa. Ditepuknya dada.
"Paman jagonya!" sesumbar Andika, bergurau.
"Kalau begitu, nanti berkelahi sama Akimoto, ya?!"
Setelah itu Akimoto kecil berlari. Hiroto hampir saja
mencambuknya dengan tali samurai. Tawa kecil terkikiknya
masih terdengar.
'Dasar anak-anak...," ujar. Andika. Kepalanya
menggeleng-geleng.
"Aku tak menyangka kau sudah menikah. Mana
tstrimu? Sejak aku datang, aku tak melihatnya...," tanya
Andika kembali.
Hiroto seperti tepekur sejenak. Tangannya
rriengusap-usap dagu mengiringi helaan napas panjang
dan dalamnya.
"Istriku meninggal ketika melahirkan Akimoto,"
desahnya.
"Ah, kalau begitu aku turut menyesal. Kau tentu
kehilangan?"
"Ya. Dia amat kucintai. Rasanya tak ada lagi wanita
yang bisa kucintai selain wanita itu."
"Kau jangan berkata seperti itu. Nanti pun kau akan
menemukan lagi wanita yang kau cintai. Kucing tak pernah
kehilangan selera pada daging, bukan?" seloroh Andika,
mencoba menghibur temannya.
"Meoongg.... Ha ha ha!" ledek Andika setelah
mcnirukan suara kucing.
Hiroto tertawa juga akhirnya.
Kedua teman lama itu kembali mereguk teh hangat.
Malam di luar mengungkung hari. Gemerisik daun-daun
terbawa angin terdengar sampai tempat mereka. Musim
semi memang menumbuhkan banyak bunga. Tapi daun
kering di tanah masih tetap menumpuk tebal.
Desau angin yang menyelinapi malam ditebas oleh
suara yang jauh lebih kcras. Suara lengkingan seorang
anak kecil dilanda ketakutan. .*
"Akimoto!" sergah Hiroto tersentak. Tubuhnya
bergegas bangkit Cepat disambarnya samurai di dojo.
Andika tak perlu ambil apa-apa. Senjata yang
diperlukan sudah ada padanya, kain pusaka dan Pedang
Pusaka Langit. Itu pun belum tentu dipergunakan jika
keadaan tak begitu mendesak: Dia langsung mencelat
keluar melalui jendela yang terbuka.
Di luar, di antara gemerisik kecil daun kering, anak
muda itu tak menemukan siapa-siapa. Keadaan lengang.
Terlalu lengang untuk bisa disebut genting. Bahkan sosok
si kecil Akimoto tak juga didapati.
"Ada yang tak beres...," nilai Andika, berbisik.
Dibiarkannya tubuh terdiam, mempertahankan kesiagaan
puncak. Segenap kemampuan inderanya terkerahkan.
Terpusatkan.
Ada yang tak beres. Kenyataannya memang begitu.
Dengan tiba-tiba, tumpukan dedaunan kering di tanah
berhamburan di beberapa tempat.
Andika tercekat. Benaknya sama sekali belum dapat
menebak apa yang tengah terjadi. Sampai semuanya
benar-benar jadi jelas ketika dari hamburan dedaunan
kering tadi mencelat keluar belasan orang-orang
berpakaian hitam-hitam! Mereka siap dengan senjata
masing-masing. Semuanya siap merencah Pendekar
Slebor!
"Kalian lagi...," gerutu Pendekar Slebor dalam. Biar
bagaimanapun dia benci membunuh. Orang-orang seperti
para pengepungnya kini adalah orang-prang yang selalu
memaksa Andika untuk menodai tangan dengan darah.
Mereka akan membunuhnya tanpa perlu memberi
kesempatan sedikit pun atau alasan apa pun. Kalau ada
yang hendak membunuh, bagaimana Pendekar Slebor bisa
menghindar untuk tidak membunuh pula dalam
mempertahankan diri?
Sebelum gerombolan berpakaian hitam maju
menerjang, dari dalam rumah, sesosok tubuh tegap
perkasa menerobos dinding kertas. Di tangannya katana
siap disabetkan!
"Heaaa...!"
Gerombolan ninja tersentak sejenak. Naluri tarung
terlatih mereka segera menyadari bahaya datang. Mereka
menggerakkan senjata bersamaan. Serangan mendadakitu
tak urung mengacaukan bentuk kepungan mereka
terhadap Pendekar Slebor.
Zing! Trang!
Salah seorang dari mereka bersiaga ke tengah
kepungan. Saat yang sama, Hiroto. si penyerang dari
dalam rumah disambutnya. Ditangkisnya tebasan lurus
katana Hiroto.
Pijar-pijar liar tercipta dari tumbukan senjata Hiroto
dengan katana lawan. Sekejap suasana jadi benderang.
Garis-garis wajah berang Hiroto tersembul sekejapan pula.
Lawannya tersurut. Tebasan Hiroto terlalu kuat. Dengan
perhitungan yang keliru, tentu saja tindakan memapaknya
akan menjadi satu kesalahan.
"Haih!"
Traang!
Tanpa memberi kesempatan, Hiroto menyusulkan
serangan. Tak kalah kuat, tak kalah mengancam. Lawan
tadi masih sempat mengikuti arah katana Hiroto. Pada
gerakan selanjutnya, dia malah terkecoh. Senjata Hiroto
dapat ditahan agar tidak menebas pinggangnya, secara
tiba-tiba terangkat penuh kekuatan.
Bles!
"Khh!"
Hanya sempat melempar erangan pendek, leher
lelaki berpakaian hitam tadi tertembus katana Hiroto!
Pendekar Slebor, meski sudah kenyang menelan
kekejiaan demi kekejaman dunia persilatan tak urung
bergidik juga menyaksikan cara kawannya membereskan
lawan. Dari sana, Andika bisa menilai. Hiroto tak ingin
menganggap sepele satu orang pun di antara gerombolan
Imada-Tong. Kalau perlu membunuh dengan cara berkesan
keji seperti tadi, dia akan melakukannya.
Mendapati satu rekannya mampus, anggota
gerombolan Imada-Tongyang lain serempak menyerbu
Hiroto di tengah kepungan. Pendekar Slebor sekararig
harus turun tangan. Karena dia pun tampaknya menjadi
sasaran serangan, di samping Hiroto.
Pendekar Slebor maupun Hiroto tahu, agar bisa lebih
menguntungkan di bawah hujanan serangan serempak
seperti itu mereka harus saling memunggungi. Dengan
begitu, mereka bisa saling melindungi.
Lawan pun akan mendapat kesulitan menyerang dari
arah belakang.
Tapi, Andika punya pikiran Iain.
Tanpa bisa dimengerti Hiroto, anak muda sakti dari
tanah Jawa itu melayang tinggi-tinggi di antara kepala
penyerangnya. Belasan lelaki berpakaian hitam terdongak.
Di balik kain hitam penutup wajah, tentu wajah mereka
berkerut karena terkejut. Gerakan ringan seperti tak
memiliki bobot yang dilakukan Pendekar Slebor
mengagumkan mereka. Untuk bisa melakukan itu, mereka
mungkin harus mempelajarinya puluhan tahun. Sementara
usia anak muda itu tak lebih dari tiga puluhan.
Keterperanjatan tadi tak dibiarkan mereka lebih
lama. Mereka adalah orang-orang terlatih. Pembunuh
berkeahlian tinggi. Salah satu godokan keras yang didapat
mereka adalah tempaan mental. Dalam keadaan yang
mampu mengguncangkan jiwa manusia biasa mereka
dapat menghadapinya dengan sikap dingin. Jadi,
kehebatan yang diperlihatkan Pendekar Slebor tak sedikit
pun mengkerutkan nyali mereka.
Sigap, beberapa orang di antara mereka melempar
tubuh, mengikuti arah Pendekar Slebor. Beberapa saat
tubuh' mereka bergulingan di tanah, sementara tubuh
Pendekar Slebor melayang di atas mereka. Karena
menganggap Pendekar Slebor jauh lebih piawai dan
berhahaya dari Hiroto, maka kekuatan lawan sebagian
tersedot ke arah Andika Tinggal dua penyerang yang
mencoba menyingkirkan Hiroto. Itu memang maunya
Pendekar Slebor. Dia ingin Hiroto cepat menyelesaikan
penyerangnya lalu segera mencari Akimoto.
Manakala Andika sudah menjejakkan kaki, mereka
pun berdiri nyaris berbarengan. Seperti telah diatur,
mereka langsung berdiri membentuk kepungan baru bagi
Pendekar Slebor.
Plok! Plok! Plok!
Pendekar Slebor bertepuk tangan ramai.
"Kalian sudah cukup pintar. Setelah ini, kalian bisa
mendapatkan sesisir pisang!" ocehnya, menganggap para
lawan kera peliharaan yang baru selesai dilatih.
Dua-tiga pengurungnya mendengus berat.
Berbarengan mereka menyerbu ke tengah-tengah, tempat
Pendekar Slebor berdiri. Teriakan para Imada-Tong itu
menyatu. Menggelegar menyeruak malam karena
memadat satu dengan yang lain. Katana di tangan mereka
terayun ke atas, siap membelah-belah tubuh pemuda
berkulit coklat.
Dalam kegentingan seperti itu, PendekarSlebor
masih sempat menukas.
"Hei, jangan sewot dulu! Apa kubilang kalian ini
monyet-monyet yang baru kulatib?! Aku tidak mengatakan
itu bukan?!"
Lalu tubuh anak muda itu mencelat. Bacokan buas
lima belas katana hanya berbenturan satu sama lain.
Sasarannya malah mengapung hanya tiga jengkal di atas,
seperti anak monyet bcrjongkok di udara.
"Kalian saja yang terlalu cepat tersinggung!" tambah
Andika. Tubuhnya tahu-tahu sudah bertengger di salah satu
ujung katana. Tanpa mengubah posisi tubuh, anak muda
itu berjongkok santai seraya mengusap-usap kepala
seorang lawan.
Para penyerang geram. Baru kali ini mereka bertemu
dengan seorang yang begitu punya nyali mem-permainkan
anggota gerombolan Imada-Tong. Perkumpulan pembunuh
yang memiliki pamor paling menakutkan di negeri Sakura
itu!
Serempak mereka menarik katana.
Andika meluruk turun ke bumi. Sambil meluncur,
mulutnya menyambung ocehan lagi.
"Atau kalian memang benar-benar monyet-monyet
yang mengenakan topeng kain?! Nyet! Nyet!"
Sekerdip sebclum kakinya menyentuh tanah, para
lawan membabatkan senjata kelima belas tempat berbeda
di tubuh Pendekar Slebor. Itu akan menutup seluruh ruang
gerak Pendekar Slebor. Ke mana pun Andika bergerak,
maka mata katana setajam pisau cukup siap
menyambutnya. Siap mengoyak kulitnya! Sungguh
serangan handal yang amat sulit dihindari.
Jangan sebut Pendekar Slebor kalau untuk Itu saja
dia akan kehilangan taktik tarung.
Dengan mengandalkan kecepatan gerak yang amat
dikagumi kalangan persilatan, Andika justru sengaja
menyorongkan tubuh ke satu mata pedang Mata lawan
membelalak sekejap. Mereka tak menyangka si anak muda
berwajah asing melakukan itu.
Dalam selang waktu yang lebih cepat dari kedipan
kelopak mata, tangannya menjulur cepat ke gagang
pedang lawan, berkejaran dengan gerak sabetan katana
yang siap memenggal lehernya.
Tik!
"Wuaaa!"
Lagi-lagi para lawan dipaksa membelalak. Seorang
kawan mereka telah melepas katana yang mestinya sudah
memenggal leher si anak muda. Sebelah tangannya
memegangi tangan yang lain. Sentilan kecil Pendekar
Slebor telah membuat sebagian tulang tangannya retak!
Andika meringis sendiri Sengaja untuk mencemooh
lawan.
"Aduh, bagaimana ya...," gumam Andika berpura-
pura tolol.
Lawan yang telah retak tulang tangannya,
meloloskan senjata yang lain. Dari ikatan pinggangnya
ditarik satu senjata dari rantai tipis panjang. Bahannya dari
baja. Pada kedua ujung rantai terdapat bandul pemberat
dari baja pula.
Wukh-wukh-wukh!
Udara diisi suara menderu ketika rantai itu diputar
pemiliknya.
"Mau apa kau dengan rantai itu? Itu bukan kalung
warisan nenekmu yang sudah meninggal terserang panu,
bukan? Jangan! Jangan! Ampuni aku.... Aku takut nenekmu
mengutukku menjadi biang dari segala biang panu!"
seloroh Andika. Dipasangnya wajah takut. Meringis-ringis
dia. Dibuat-buat. Jadi lebih mirip orang telat buang hajat
daripada orang ketakutan.
Rantai tadi pun dilepas. Putarannya merangsak ke
angkasa. Lalu menukik cepat ke kaki Andika. Srrt!
Seketika sepasang kaki Pendekar Slebor terjerat
ketat. Sebetulnya, tak sulit bagi pendekar muda dari tanah
Jawa itu untuk menghindar. Namun di benaknya dia punya
rencana yang lebih menyenangkan ketimbang cuma
menghindar.
"Yah...," keluhnya seperti bocah baru 'ketelepasan'
ngompol di celana. Dilirik sepasang kakinya.
Terjeratnya kaki lawan, menjadi aba-aba khusus
untuk kelima belas anggota Imada-Tong untuk menerjang
Pendekar Slebor kembali. Semuanya masih bernafsu untuk
menyarangkan mata katana masing-masing ke tubuh
lawan. Kecuali lelaki yang tangannya terluka. Dia seorang
diri menggunakan pedang pendek yang dilepasnya dari
ikatan sepatu.
Ikatan baja tipis di kaki Pendekar Slebor demikian
kuat. Beberapa korban sebelumnya tak ada yang bisa
melepas nya dalam waktu cepat. Apalagi dibayangi
serangan susulan di sekitarnya.
Belasan mata katana dan satu pedang pendek
mendekat dan mendekat demikian cepat. Setiap senjata
seperti punya mata sendiri untuk memilih bagian tubuh
lawan yang paling empuk!
***
5
Di dekat sebuah sungai kecil, tiga orang berpakaian
segelap malam sedang berlari. Salah seorang membopong
karung hitam. Karung hitam itu bergerak-gerak. Ada yang
meronta-ronta di dalamnya. Dari dalamnya pula terdengar
jeritan ketakutan seorang bocah.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kalau kalian berani,
lawan aku! Akimoto tak pernah takut berkelahi dengan
kalian orang-orang jahat!" begitu teriakan si bocah dari
dalam karung.
Anak itu memang Akimoto. Anak Hiroto yang berhasil
dilarikan oleh ketiga lelaki berpakaian ninja. Mereka
sebagian anggota Imada-Tong yang menyerbu rumah Hiroto
malam ini.
Tiba di tepi s ungai, ketiganya berhenti. Dua lelaki
yang bergegas menuju semak. Lelaki yang membopong
Hiroto menunggu.
Tak lama kemudian, dua ninja tadi sudah kembali
dengan. menggotong perahu kecil. Mereka
menyembunyikan perahu kecil itu di dalam semak-semak.
Tampaknya; itu sebagian rencana matang mereka.
Perahu lalu dilempar ke permukaan sungai. Dua
lelaki tadi naik terlebih dahulu. Lelaki yang membopong
Akimoto menyusul kemudian.
"Cepat kita menyingkir!" aba-aba salah seorang. Lalu,
mereka menjemput kayuh dari dasar perahu. Dengan
cerdik, mereka sengaja mengayuh perahu ke hulu sungai.
Artinya mereka harus mengerahkan tenaga berlebihan
untuk menentang arus. Namun dengan begitu, mereka
bisa memperdayai orang-orang yang mungkin mengejar.
"Tak semudah itu kalian menyingkir!" tahan
seseorang di seberang sungai. Pendatang baru itu berdiri di
kegelapan. Sama seperti ketiga anggota ninja di perahu,
orang ini pun mengenakan pakaian gelap. Wajahnya pun
tertutup. Bedanya, dia mengenakan kain penutup warna
ungu.
Ketiga ninja cukup tersentak. Sejauh ini, mereka
menganggap semuanya berjalan mulus. Tak disangka tak
diduga ada orang yang berhasil memergoki mereka.
Keheranan itu menyebabkan ketiganya tak begitu
memperhatikan apakah orang di seberang sungai lelaki
atau perempuan.
"Hghhh!" dengus salah seorang anggota Imada-Tong
gusar. Sekaligus pula dia berbicara dengan bahasa isyarat
gerombolan mereka. Dua lelaki lain mengerti maksud
kawannya tadi. Mereka melompat ke tepi sungai.
Sementara satu orang meneruskan kayuhan;
Sadar siasat sedang dijalankan ketiga calon lawan,
orang tak dikenal di seberang sungai menghentak tubuh.
Bagai manyar, orang itu melayang menyeberangi sungai
selebar enam-tujuh tombak. Di tengah jalan, orang itu
meloloskan dua bilah belati kecil. Satu belati pada satu
tangan.
Sat-sat!
Kulit kepala ninja di atas perahu hendak disayatnya.
Kesiagaan ninja di atas perahu menyelamatkannya dari
kehilangan nyawa seketika. Kayuh di tangannya
dimanfaatkan untuk menangkal sabetan belati tadi.
Tak!
Selanjutnya, si penyerang tak dikenal mendarat
tujuh-delapan kaki dari dua ninja lain.
Tampak betapa gusarnya si orang tidak dikenal
mengetahui serangan pertamanya gagal. Dia menoleh ke
perahu. Lelaki berpakaian hitam di atasnya terus
mengayuh sekuat tenaga, hendak menyingkir secepatnya
dari sana. Padahal si orang tidak dikenal menghendaki
semua lawannya dapat dibereskan.,
Kalau saja dua anggota Imada-Tong di tepi sungai
tak cepat menggebrak, tentu orang bertopeng kain ungu
tadi akan berusaha menahan perahu kembali,'
"Haiahh!"
Berkawal lengking yang sesak dengan hawa
membunuh, dua ninja di tepi sungai menerjang. Satu orang
mengirim tinju berkecepatan tinggi. Dada orang bertopeng
ungu hendak dilantakkan. Yang lain menyapu pertahanan
lawan dengan kaki. Swing!
Mata orang tak dikenal membelalak di antara kain
penutup wajahnya. Tinju satu lawan yang berhasil
dihindarinya menebar angin tajam. Ketika sinar bulan
setengah menyinari tangan penyerangnya, dilihat tangan
itu dilengkapi dengan semacam sarung tangan baja
bergerigi tajam. Sejari lagi, dadanya bisa terkoyak oleh
benda itu.
Tak sempat terkejut lebih jauh, orang tak dikenal
sudah harus menghindari sapuan kaki lawan lain. Agar
benda tajam di tangan lawan sebelumnya tak mengejar,
orang tak dikenal berusaha sedikit menjauh. Sekaligus
pula menghindari sapuan tadi.
"Heah!"
Satu salto cantik dibuat ke belakang. Tumpuan
tangan dilakukannya beberapa kali selarua berputaran.
Meski masih memegang belati, orang bertopeng ungu tak
mengalami kesulitan melakukannya. Begitu menjejak
bumi, dua lawan mencecar lagi.
Kalau menerjang, kedua ninja tak bisa langsung
membuat tekanan. Jarak mereka dengan orang tak dikenal
sudah cukup jauh. Agar mereka tak kehilangan waktu
mengejar lawan, sementara mereka tetap mendesak,
mereka melakukan jalan pintas.
Tangan keduanya bergerak sekelebatan. Swing-wing-
swing!
Beberapa larik kerjapan benda tajam melesat.
Karena belum siap untuk melompat, orang tak
dikenal mengambil resiko memapaki semua hamburan
senjata rahasia dua lawan.
Trang-trang-trang!
Dua belati di sepasang tangannya mematuk-matuk
cepat ke segenap penjuru. Bunyi denting menusuk
gendang telinga berpencaran, seiring dengan terperciknya
bunga-bunga api. Lalu seluruh senjata rahasia tadi rontok
ke tanah. Bentuknya seperti bintang dari lempeng logam.
Sejenak dua ninja bertukar tatap. Kepala mereka
mengangguk samar.
Srang!
Katana di belakang punggung mereka diloloskan
bersamaan. Kalau senjata itu sudah keluar dari sarungnya,
itu berarti keduanya siap melakukan pertarungan hidup-
mati!
“Hiaaaa!"
Wukh wukh wukh!
Seperti mencoba menggedor nyali lawan, untuk
beberapa saat mereka mempertunjukkan kemahiran
memainkan katana di sekujur tubuh mereka, pantulan
sinar memanjang logam tipis amat tajam itu berseliweran.
Cepat dan semakin cepat.
Kaki mereka pun memperpendek jarak antara
mereka dengan orang tak dikenal. Langkahnya lambat.
Satu-satu. Sangat bertolak belakang dengan gerak amat
cepat katana di tangan mereka.
Lawan hendak bertaruh nyawa! Pikir orang tak
dikenal, menilai. Menyadari hal itu, dia pun
mempersiapkan segenap kesiagaan. Membangun seluruh
kesiapan. Desah napas panjangnya ditarik sejenak, dan
dihembus perlahan pada waktu berikutnya. Kedua
tangannya menggenggam belati erat-erat, ketat-ketat.
Kalau mereka siap mati, aku pun begitu, sumpah
orang tak dikenal membatin....
***
Kembali ke medan laga di sekitar rumah Hiroto.
Pendekar Slebor saat itu di ujung mulut kematian,
tepatnya di mata seluruh senjata kelima belas lawannya.
Entah si pemuda sableng itu sudah kebal dengan kata
kematian, atau otaknya memang kerasukan kotoran
jamban. Bukannya ketakutan, Pendekar Slebor malah
berteriak kegirangan. Tangannya terangkat-angkat ke
udara.
"Hiaaha-haaa!" serunya dengan mulut terkuak boros-
boros.
Para lawan tak peduli dengan tingkah sintingnya.
Mereka tak ingin terkecoh. Bahkan sepertinya ben-
takan dari alam kubur pun tak bisa menghentikan niat
mereka merencah tubuh lawan. "Heaa!"
Padat, bergemuruh, dan nyalang, teriakan kelima
belas lelaki itu terdengar. Tepat pada saat mereka
mengayunkan senjata ke tubuh Pendekar Slebor.
Trang! Trang! Trang!
Benar senjata mereka berhasil merencah pemuda
urakan yang seumur hidup baru sekali berkimono itu? Jauh
di luar seluruh gelegak nafsu kelima belas ninja, sesuatu
telah terjadi. Segenap pikiran mereka saat itu juga diputar
sekejapan. Mereka tak mengerti apa yang terjadi. Yang
mereka tahu, senjata mereka semuanya mendadak
tersentak hebat. Ada sengatan keras seperti tegangan petir
kecil menjalari tangan mereka. Seluruh senjata mereka
terpotong dua!
Yang lebih membuat mereka tertegun, mata mereka
menangkap sekelebatan sinar merah membentuk
lingkaran panjang menyilaukan. Sebentang kejadian yang
baru sekali itu dialami membuat mereka mematuhg di
tempat masing-masing. Semuanya masih berkerumun di
tempat Pendekar Slebor sambil menatap tak berkedip
senjata kutung di tangan masing-masing. Senjata mereka
masih bersentuhan satu dengan yang lain, tepat di depan
mereka. Ke mana Pendekar Slebor sendiri?
"Hompimpa alaihum gambreng! Nek Ijah pakai kain
rombeng! ejek Pendekar Slebor. Di atas ranting pohon yang
tak lebih besar dari jari telunjuk, anak muda itu bertengger
santai. Tangannya menimang-nimang Pedang Pusaka
Langit!
Patut diketahui, Pedang Pusaka Langit adalah
pedang yang memendarkan cahaya merah bara. Terbuat
dari pecahan batu luar angkasa yang berhasil menerobos
selubung udara bumi. Pedang pusaka itu memiliki
kelebihan dari pusaka lain. Di dalamnya terdapat satu
medan gelombang kekuatan. Seorang yang memegangnya
secara langsung akan terpengaruhi oleh medan gelombang
kekuatan itu hingga dapat melipatgandakan
kcmampuannya scpuluh kali lipat! (Untuk mengetahui asal-
usul Pedang Pusaka Langit, bacalah episode: "Pusaka
Langit"!)
Pemuda sakti dari tanah Jawa itu sebenarnya belum
perlu benar mempergunakannya. Tapi sifat usilnya telah
menggelitik dia untuk sedikit menjajal kehebatan Pedang
Pusaka Langit.
Di lain kancah. Hiroto sudah berhasil memancung
kepala seorang lawannya. Sisa seorang lawan kini dalam
keadaan tersudut mutlak. Sambaran-sambaran katana
Hiroto seperti mengurung ke setiap arah. Memadati udara,
tak menyisakan ruang sekelingking pun!
Hingga akhirnya....
Srat-srat!
Tebasan kembar menemui sasaran. Dada lawan
seperti baru saja disilang oleh mata katana. Kuakannya
dimulai dari bahu kiri dan kanan dan berakhir di sepasang
sisi rusuknya.
Tak ada kesempatan untuk mengeluarkan jeritan.
Nyawa lelaki itu telah lebih cepat disambar maut! Ambruk
dengan tubuh hampir terbelah!
Plok plok plok!
Di atas dahan yang sama, Pendekar Slebor bertepuk
tangan riuh rendah. Bukannya dia hendak mem-benarkan
sebentuk kekejaman. Tujuannya semata-mata hendak
membuat nyali lawan semakin kehilangan bobot. Siapa
tahu mereka menganggap dia adalah orang sakti berotak
miring. Yang bisa membunuh mereka semua sambil
tertawa.
Tentu saja Andika keliru menggunakan taktik itu
terhadap sepasukan Imada-Tong. Sebelum mengemban
satu tugas, mereka bahkan sudah lebih dahulu bertekad
mati sebagai satu-satunya pilihan:
Dan kalaupun mereka akhirnya pergi juga, itu
semata-mata karena mereka menganggap tugas utama
telah berhasil dilaksanakan. menculik Akimoto.
"Tak perlu dikejar!" cegah Andika ketika Hiroto
berusaha memburu.
"Sebaiknya kaii mencari anakmu! Biar aku yang urus
mereka!" tambah Pendekar Slebor. Selanjutnya, dia
melesat seperti bayangan dari satu daha ke dahan pohon
lain.
***
Malam tak henti merayap. Pertarungan di tepi sungai
pun tak juga henti. Orang tak dikenal bertopeng kain ungu
berhasil menguasai jalannya pertarungan. Makin larut
mereka dalam jurus-jurus cepat, makin menanjak saja
keunggulan orang tak dikenal. Dia berada di atas angin!
Seorang lawannya telah kehilangan katana.
Terpental jatuh dan ditelan sungai ketika terjadi bentrokan
senjata. Tampaknya orang tak dikenal lebih tinggi dalam
penguasaan tenaga. Meski dikeroyok, dia masih dapat
menekan dua lawannya. Itu menyebabkan lelaki yang
kehilangan katana tak sempat mengeluarkan senjatanya
yang lain. Dapat dibayangkan betapa hebat gempuran
orang tak dikenal itu!
Srat!
Pada satu kesempatan, belati yang jauh lebih tajam
dari sembilu merobek pakaian di bagian bahu seorang
ninja. Sayatan bertenaga tadi tak hanya merobek
pakaiannya. Kulit dagingnya pun tersayat. Menciptakan
luka dalam bersimbah darah.
Lelaki bertopeng itu mengerang. Didekapnya luka.
Tangan yang lain tetap mempertahankan katana.
"Kau akan menyesali perbuatanmu...," geramnya,
penuh ancaman.
Terdengar dengus dari sang lawan. Kalau tak ada
kain penutup ungu, tentu senyum mengejeknya akan
terlihat.
"Aku yakin aku tak akan menyesal. Seperti kau juga.
Karena kau tak akan bisa menyesal lagi setelah nyawamu
tak ada lagi!"
"Huh!"
Didahului dengusan sengau, dua ninja tadi
menggempur kembali. Sisa tenaga mereka dikuras
sebisanya. Katana milik ninja yang tersayat mengais-ngais
udara. Bagian mana pun tubuh lawan dikejarnya
menggebu.
Tapi. ucapan orang tak dikenal bukan omong kosong
belaka. Dari caranya menghadapi gempuran, tampak jelas
kalau dia memang bakal memenangkan pertarungan.
Di satu celah kosong pertahanan lawan, orang tak
dikenal membuat gebrakan tak terduga. Belati di tangan
kanannya terlepas mendadak. Penuh kekuatan tembus,
senjata kecil itu menanduk dada kiri seorang lawan, dan
langsung menembus jantungnya.
Tak ada dua tarikan napas, ninja itu pun ambruk.
Sisanya dibereskan tanpa memakan waktu lama.
Dengan sedikit meningkatkan kecepatah gempuran,
disobeknya tenggorokan lawan sekali sentak.
Lawan mengejang. Ambruk tanpa nyawa. Orang tak
dikenal menghentak napas. Ada kegeraman dalam
hentakannya mengetahui orang ketiga anggota Imada-Tong
telah lolos dengan perahu. Mungkin orang itu telah begitu
jauh melarikan Akimoto. Kalaupun dilakukan pengejaran,
tampaknya akan sia-sia. Lelaki di atas perahu tak akan
begitu bodoh terus menentang arus membawa perahu. Dia
akan cepat tersusul. Tentu dia akan lari ke darat untuk
menghapus jejak.
Dan perkiraannya itu terbukti. Belum lagi cukup lama
dia menuntaskan pertarungan, perahu kecil tadi telah
terlihat di kejauhan di siraman lamat sinar bulan. Benda itu
hanyut terbawa arus sungai tenang. Penumpangnya sudah
tak ada lagi. Baik lelaki anggota Imada-Tong maupun anak
yang diculiknya.
Orang tak dikenal bertopeng kain ungu mengeluh.
Bahu kirinya terasa amat nyeri. Cepat dibukanya pakaian di
bagian tadi. Sekarang ditemukannya luka menganga. Ada
satu logam bintang yang luput dari pertahanannya dan
menembus di bagian itu.
Hendak dicabutnya senjata rahasia yang bersarang
dalam itu. Tapi suara seseorang terdengar di kejauhan
***
"Akimoto! Akimoto! Di mana kau'?!" panggil Hiroto
kalang-kabut. Lelaki ksatria sejati itu mencari-cari kian-
kemari dalam kegelapan malam. Ada kekhawatiran dan
keputus asaan di raut wajahnya setelah tak berhasil juga
mencari anaknya. Padahal dia sudah mencari cukup lama.
"Bagaimana, Hiroto? Apakah kau menemukan
anakmu?" Pendekar Slebor tiba di dekatnya.
Hiroto menggeleng.
"Tampaknya anakku telah diculik oleh perkumpulan
Imada-Tong," keluh Hiroto pekat.
Rahang Pendekar Slebor bergemeletuk. Geram
sekali anak muda itu dengan tindakan pengecut seperti
yang dilakukan musuh-musuh Hiroto. Menculik seorang
bocah tak berdaya? "Slompret bau pesing!" makinya dalam
hati.
"Apa kau punya gagasan yang baik, Andika San?"
tanya Hiroto kemudiaa
Andika mengangguk.
"Bagaimana?" susul Hiroto. Berharap sekali lelaki itu
kawan dari negeri jauh di depanhya akan memberjkan satu
jalan pemecahan untuk mengem-*Jbalikan Akimoto.
"Saat kau mencari Akimoto, aku berhasil
melumpuhkan salah seorang anggota kunyuk-kunyuk itu.
Kini dia kusembunyikan di tempat yang aman. Bagaimana
kalau kita mengorek keterangan darinya?" Hiroto
menggelengkan kepala lunglai.
"Percuma, Andika San." "Kenapa?"
Hiroto menghela napas sarat-sarat
"Apa kau pernah melihat tindakan mereka dalam
keadaan amat terdesak?" Lelaki itu malah mengajukan
pertanyaan balik kepada Andika.
"Ya Pernah kulihat dua orang dari menikam perut
sendiri dengan pedang pendek saat tahu aku akan
menangkap mereka. Saat itu aku sedang berusaha
menolong Jotaro," tutur Andika, mengenang kejadian
belum lama. "Apa mereka itu semacam orang sinting?"
Andika bertanya dengan nada meng-umpat.
Hiroto menggeleng.
"Bukan. Sama sekali bukan. Mereka adalah orang-
orang yang menganut jalan bushido. Bagi mereka tujuan
lebih berharga dari nyawa mereka sendiri. Sayang,
tampaknya mereka berada di dalam kesesatan...."
Andika menggeleng-gelengkan kepala. Apa pun yang
dikalakan teman Nippon nya, dalam hati dia tetap
menyumpahi orang-orang itu dan menyebutnya slompret
bau pesing!
"Membuang nyawa untuk tujuan yang bodoh!" maki
Andika.,
"Itu menurutmu. Keyakinanmu tentu berbeda
dengan mereka. Menurut mereka, itulah kebanggaan dan
kehormatan tertinggi yang lebih dari nyawa."
Kalau bicara soal keyakinan, Andika hanya bisa
mcngangkat bahu.
"Jadi apa yang akan kita lakukan, Hiroto?" Andika
mengembalikan pembicaraan.
"Kupikir, aku tahu siapa yang mengatur ini semua...,"
gumam Hiroto, seakan dia sedang berbicara pada diri
sendiri.
"Ada satu hal yang belum kau katakan padaku?"
"Ya Tapi aku tak bisa menjelaskan padamu
sekarang. Aku harus segera pergi mencari Akimoto."
"Kalau begitu, aku akan membantumu!"
"Dengan hormat, kuminta kau tak ikut campur dalam
urusan ini. Ini hanya urusan permusuhan keluarga yang
terus berlanjut membosankan." sergah Hiroto.
"Tapi aku ini kawanmu, Hiroto. Kawan macam apa
yang membiarkan sahabatnya berada dalam ke-sulitan.
Sementara kau menghadapi maut., apa aku harus
beruncang-uncang kaki?" debat Andika. Sama sekali dia
tak setuju penolakan Hiroto.
"Mengertilah Andika San...."
"Aku tak mengerti!" terabas Andika.tak mau tahu.
Orang negeri.Sakura ini memiliki tabiat keras. Tapi si anak
muda Tanah Jawa bisa tak kalah keras. Kalau tak kepala
batu, mana mungkin dia masih bisa dijuluki Pendekar
Slebor?
Sayang, sifat keras Andika tak berguna menghadapi
tekad Hiroto. Andika akan sia-sia bersikeras. Ibarat
memecah karang dengan palu kayu!
"Aku menjunjung tinggi kehormatanku, Andika San.
Kalau kau turut campur dalam masalah ini, aku akan
sangat dipermalukan. Kuundang kau ke sini bukan untuk
susah demi aku...," tegas Hiroto. "Apa pun yang kau
katakan, sekali lagi aku minta dengan sangat hormat
Andika San. Biarkan aku sendiri yang menyelesaikan
perkara ini," tandas Hiroto.
Hiroto pergi.
Andika cemberut. Dia jelas tak bisa memaksa untuk
mendampingi lelaki itu. Mungkin ini masalah kehormatan
dan harga diri pula seperti katanya tadi, nilai Andika
membatin.
"Hm, permusuhan keluarga.... Aku tidak bisa
menunggu agar Hiroto menceritakannya padaku. Aku harus
mencari tahu!" tekad Andika. Saat itulah, di benak pemuda
sakti Lembah Kulukan itu melintas wajah lembut Akemi.
"Tentu perempuan itu tahu banyak tentang
permusuhan keluarga yang dimaksud Hiroto," duga Andika
pasti, Yang tak pasti sekarang, apakah niatnya sekadar
ingin bertanya. Atau ada niat lain yang 'ehem-ehem'?
Andika sempat nyengir kuda. Sekali tepuk dua
lalatlah!
Cuma satu yang bisa dilakukan Pendekar Slebor kini.
Kembali ke rumah pengasingan rahasia Hiroto. Akan
ditanyakannya perihal permusuhan keluarga pada Akemi.
Andika tiba di sana menjelang sekaratnya dinihari
Ayam jantan sudah mulai berkokok panjang. Bersahutan,
memberitakan hari baru sebejitar lagi akan hadir, meski
mentari belum lagi berani beranjak dari sudul timur. Hari
masih gelap.
Dalam kegelapan seperli itu seseorang mengintai
kedatangan Pendekar Slebor di sisi rumah. Cahaya lampu
kertas dari depan terhalang pohon besar. Sosok itu jadi tak
nampak jelas.
Ketajaman daya pendengaran Andika tak bisa
diperdayai. Dalam jarak yang terbilang jauh, nalurinya
sudah memperingati ada seseorang mengawasi. Dengan
sedikit lebih mendekat, telinga anak muda itu sudah bisa
menginderai helaan napas halus seseorang.
"Jangan coba-coba main kucing-kucingan dengan
seekor kucing, Tikus!" bisik Andika. Bibirnya menyeringai.
Akal bulusnya berjalan.
Andika menghentikan langkah. Tentu lawannya
belum tahu kalau Andika sudah menyadari sedang diawasi.
Karena itu dia tak ingin melakukan tindakan yang
memancing kecurigaan. Sambil bcrsiul-siul kecil, Andika
menyorongkan langkah kesemak-semak. Pura-pura
membuang hajat kecil!
Begitu tubuhnya terhalang oleh rimbunnya semak,
ringan tanpa menghasilkan suara yang lebih keras dari
tarikan napas, tubuhnya melenting ke kubah bangunan.
Kecepatan dikerahkan pendekar muda yang kini memakai
pakaian seperti layaknya penduduk setempat. Maksudnya
biar tak ada kemungkinan pcngintainya melihat tindakan
itu.
Mengendap-endap seperti seekor kucing hendak
mencuri sepotong daging di meja makan sebuah rumah,
Pendekar Slebor mendekati tempat sembunyi pengintai
tadi dari atap.
"Yak, di sini!" katanya dalam hati memastikan. Lalu...
Wukh!
Dari atap tubuh pemuda itu berputar cepat ke
bawah. Amat cepat. Dua putaran di udara bahkan
dilakukannya dalam sekejapan.
"Hihihi…."
Tahu-tahu saja, tangan kekarnya sudah
mencengkeram kerah baju si pengintai. Saat itu tangan
Andika menyentuh benda kenyal padat di dekat ba-
gianhaju si pengintai yang dicengkeramnya.
"Waduh, apa ini?" batinnya kasak-kusuk cepat.
"Aw!"
Terdengar pckikan kaget. Andika mendelik. Bukan
cuma suara wanita yang didengarnya membuatnya
terkejut, tapi juga karena wajah orang itu sudah
dikenalnya.
"Andika San...," sapa kaget Kissumi, orang yang
dianggap sedang mengintai Andika.
"Kissumi? Ah, untung saja bogemku belum sempat
melayang ke wajah cantikmu itu...," kata Andika seperti
menggerutu.
"Maaf Andika San. Saya sedang menunggu
kepulangan Tuan berdua...," hatur Kissumi seraya menjura
dalam.
"Kau tidak tidur?" Andika heran. Selarut ini
perempuan itu belum juga beranjak ke peraduan.
"Menunggu Andika San."
Alis anak muda urakan itu berkernyit.
"Kenapa begitu? Kenapa kau tak bilang sedang
menunggu Tuanmu, Hiroto?"
Kissumi merunduk lagi. Sikap seperti itu membuat
Andika terlalu jengah. Nanti aku akan melarang dia terus
begitu padaku, niat Andika di hati.
"Karena Hiroto San telah mcnyerahkan diri saya
kepada Andika San...."
Menyerahkan kau padaku? Gurauan tengik macam
apa ini?" Andika mcnyeringai. Karena terlalu tak mengerti
tangannya jadi sibuk menggaruk sana-sini. Kalau kebetulan
ada kera, bisa diperlombakan siapa yang lebih cepat
menggaruk!
"Dengan begitu, saya menjadi milik Andika San.
Kalau Andika San gugur dalam kericuhan tadi, maka
sepantasnya saya pun harus mati."
Kening Andika dijamm berkerut-merut bak gombal
tak kena cuci setahun penuh!
"Maksudmu...?" Andika tak bisa berkedip.
"Saya harus melakukan seppuku sebagai tanda
kesetiaan saya pada Andika San...."
"Seppuku?" Seperti bocah tolol, anak muda itu
mengekori ucapan Kissumi. Lalu tangannya membuat
gerakan seperti orang sedang menikam pisau ke perut
sendiri. Wajahnya bertanya pada Kissumi.
"Ya, Andika San." Kissumi membenarkan.
Andika menggeleng-gelengkan kepala. Pusing
rasanya mendengar penuturan perempuan cantik di
depannya barusan. Dia cepat melangkah masuk ke dalam.
Mulutnya tak henti menggerutu, memaki, menyumpah-
nyumpah tak kentara.
"Kesintingan macam apa lagi ini...," kalanya agak
samar. Tapi masih bisa ditangkap telinga Kissumi. Untung,
Andika mengucapkannya dalam bahasa sendiri. Kalau
tidak, Kissumi bisa merunduk-rudukkan kepala lagi seraya
meminta maaf berkali-kali
Buh, menyebalkan!
Dinihari kian menjelang pagi. Lamat, sinar kuning
tembaga matahari pagi mulai mengambang di cakrawala
timur. Sapuan warnanya begitu lembut, menggelitik
perasaan damai terdalam seseorang.
Andika di kamarnya. Berdiri menatapi sinar lembut
matahari muda di ufuk sana. Dia tak mungkin bisa tidak.
Matanya tak mengantuk. Kalaupun mengantuk, dia pun
akan berusaha untuk tetap melek.
Kecamuk pikirannya masih terus berlangsung. Dia
mengkhawatirkan keadaan Hiroto. Dan jauh lebih
dikhawatirkan lagi adalah nasib Akimoto. Bocah kecil itu
terlalu muda untuk mengalami kebusukan dunia ini.
Waktu hendak menanyakan pada Akemi, janda
Jolaro itu ternyata sedang tidur lelap.
Tadinya Andika mencoba lancang memasuki
kamarnya. Sungguh tak pantas sebenarnya. Andika
menyadari itu. Namun karena keadaan demikian
mendesak, dia memutuskan untuk mencoba memasuki
kamar Akemi juga, Dia harus secepatnya mengetahui
persoalan yang sedang memanas. Siapa tahu dia bisa
mendapatkan jalan untuk menyelamatkan Akimoto.
Waktu dia masuk, Akemi ternyata terpulas. Andika
jadi tak tega mengusiknya, mendapati wajah perempuan
malang itu begitu tenang dalam tidurnya.
Sewaktu sedang menyusui bayinya, tentu
perempuan itu tertidur. Mulut bayinya masih menempel
pada puting susu dada padat sehalus sutera Akemi. Andika
jengah melihatnya. Meski begitu, tak urung darah mudanya
menjadi melonjak sesaat Dada Akemi begitu mempesona.
Kehalusannya dan kepadatannya mengundang. Apalagi
masa-masa sedang menyusui anaknya seperti itu. Dadanya
jadi kian padat.
Ada semacam godaan mendesir di benak si pemuda
dari tanah Jawa. Ingin sekali dia berdiam sampai pagi dan
menatapi dada mempesona Akemi puas-puas. Toh, tak ada
yang tahu. Akemi pun sedang terlelap. Tentu dia tak akan
sadar ada yang mengawasi kemolekan tubuhnya.
Untung, Andika masih punya kesadaran untuk tidak
meneruskan perbuatan yang dianggapnya menghina diri
sendiri itu. Dengan menahan gelegak darah,dalam dirinya,
Andika menggeser pintu perlahan.Pergi meninggalkan
kamar Akemi.
"Andika San. Apakah Andika San belum tidur? Boleh
saya masuk?"
Suara Kissumi di pintu kamar membuyarkan
keterdiaman Pendekar Slebor.
"Ada apa Kissumi?" tanya Andika setelah
membukakan pintu untuk wanita itu.
"Apa...," Kissumi tertunduk. Keraguan menjegal
ucapannya.
Andika menunggu.
"Ada apa Kissumi?" ulang Andika lagi.
"Apa Andika San membutuhkan seorang 'teman'?"
aju Kissumi akhirnya.
Andika menelan ludah. Jakunnya turun naik.
Bayangan kemolekan bagian tubuh Akemi yang dilihatnya
mengambang liar kembali di benaknya. Keparat! Makinya
dalam hati, mengutuki diri sendiri.
Andika tahu apa maksud Kissumi. Dari dasar hati
entah di sisi mana, Andika digoda bisikan-bisikan kuat.
Bisikan yang mencoba mendongkel segenap birahinya
selaku seorang pemuda. Dia masih waras. Masih punya
birahi yang mengelegak-gelegak.
Tanpa sadar, Andika menepikan tubuh, mem-biarkan
Kissumi memasuki kamarnya.
Kissumi sendiri menganggap itu adalah isyarat
bahwa Andika memintanya menemani 'tidur' menjelang
pagi ini. Dia masuk dengan merunduk. Tak ada senyum di
wajahnya. Tapi sinar mata wanita itu membersitkan
kebahagiaan. Mungkin dia pun tak sekadar mehgorbankan
diri untuk Tuan barunya. Lebih dari itu mungkin ada
dorongan selaku perempuan biasa yang mengharapkan hal
itu.
Di tengah kamar, Kissumi melepas satu persatu
pakaiannya. Mula-mula kimono lebar yang membungkus
tubuhnya dilorotkan dalam gerak gemulai diselubungi
hasrat. Gerak tak sadar yang lahir begitu saja.
Andika terpaku. Menganga dengan mata tak
sanggup berkedip. Disaksikannya tubuh Kissumi kini hanya
terbungkus pakaian dalam. Sebagian kulit saljunya
tersingkap sudah. Kamar gelap. Lampu telah dimatikan
Andika ketika dia baru masuk belum lama. Sinar lamat
yang menembus kisi-kisi dinding kertas menyapu kulit
tubuh Kissumi, membentuk bayangan memikat berlekuk
mengundang.
Dada Andika berdebam-debam. Keadaan dirinya
makin kacau. Makin dihanyut gelombang liar tak
tertahankan. Tanpa berbuat apa-apa, Andika terus
menatap gerak perlahan Kissumi.
Kissumi kini mulai melepas pakaian dalam bagian
atas. Tetap perlahan, tapi mengalun. Dilepasnya simpul-
simpul penutup buah dada. Dan kain halus itu pun
menuruni tubuhnya.
Kini samar-samar terlihat sepasang benda padat
mengambang di dadanya. Terbuka tanpa penghalang apa-
apa.
Dada itu mengingatkan Andika pada dada Akemi.
Yang kini dilihatnya tak kalah menggairahkan. Meski tak
sepadat milik Akemi, tapi tetap memanggil-manggil dalam
keindahan bentuknya.
Sedikit saja, tubuh berlekuk Kissumi bergerak
menghadap siraman lamat cahaya dari kisi dinding, makin
jelas saja bentuk dadanya.
Pemuda petualang sakti dari tanah Jawa seperti
terkena tenung yang ditebarnya. Kakinya beranjak
perlahan. Selangkah demi selangkah, di dekatinya tubuh
setengah tak berbusana di atas talami.
Sampai di dekatnya, tangan Andika terangkat
perlahan. Kissumi menyambutnya. Dituntunnya tangannya
itu ke leher jenjang mulai terentang. Kissumi mendongak,
mempersilakan Andika mengecup lehernya dengan desah
napas halus yang mulai tak berirama.
Andika makin dekat.
Kepalanya terjatuh di leher Kissumi. Disentuhkannya
bibir lamat Kemudian beranjakbibir pemuda itu menjadi
liar, mengec up dan berlari di sekujur kulit langsat leher
Kissumi.
Kissumi melenguh dalam desah napas yang terulur
panjang terseret. Dia menikmatinya.
Tangan Andika mulai menuruni pangkal leher
Kissumi ke bagian dada. Menurun dan menurun. Sampai
jemari Andika mulai menanjak bukit dara Kissumi.
Saat itu, Kissumi kianterbakar desahnya sendiri. Dan
saat yang sama, Andika merasakan tangannya tersengat
sesuatu. Dia tersentak. Cepat dijauhkannya tangan. Juga
dijauhkannya tubuh dari Kissumi.
Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan
rupanya tak bisa untuk dibawa dalam kemesuman. Tenaga
itu bergeliat lalu menyentak kesadaran si pemuda.
Sinting! Kalau ini terus kubiarkan, aku bakal
terjerumus pada penghinaan martabat seorang
perempuan! Andika tersadar dalam kecamuk birahinya
sendiri. Tak mungkin dibiarkan ini terjadi.
Aku tak bisa melakukan hal itu sekehendak birahi
tanpa ikatan apa-apa. Hanya binatang yang melakukan
perbuatan seperti itu! Hati si anak muda memperingati.
Begitu kesadaran telah memenuhi benaknya, Andika
beranjak meninggalkan ruangan. Membengkalaikan
Kissumi dalam gelora birahmya sendiri.
Suatu saat nanti, aku akan melakukannya juga.
Sumpah hati Andika. Tapi hanya dengan istri tercintaku!
Sampai di luar anak muda itu mendinginkan panas
darahnya dengan udara pagi. Ditariknya napas dalam-
dalam memenuhi rongga paru-parunya dengan hawa segar
di pinggiranKyoto. Hari mulai terang. Dari tempat terpencil
yang berada di punggung sebuah bukit itu, Andika bisa
melepas pandangan jauh-jauh.
Di bawah sana, dilihat kumpulan-kumpulan rumah
penduduk masih berpayung kabut tipis.Hamparan hijau di
mana-mana. Rasanya bukan cuma pikiran yang menjadi
segar, jiwa anak muda itu pun begitu.
Andika melangkah perlahan. Di dekatinya tebing.
Dari sana, tentu dia bisa melihat lebih lapang, desah
batinnya. Tanpa sengaja, kakinya menginjak sesuatu di
bibir tebing tanah berumput.
Matanya meneliti ke bawah. Ditemukannya sebuah
benda kecil. Tampaknya benda itu terbuat dari logam tipis.
Berbentuk seperti bintang. Ada darah hampir mengering
menodai seluruh permukaannya.
Dengan mengamati sebentar saja otak encer anak
muda itu sudah bisa menduga kalau benda yang
ditemukan adalah sebuah senjata rahasia. Tampaknya ada
seseorang yang telah menjadi korban. Orang itu mencabut
logam bintang ini disini, pikir Pendekar Slebor.
Tapi kenapa harus di tempat ini? Andika bertanya-
tanya. Kepalanya menoleh ke belakang. Rumah
pengasingan rahasia Jotaro tak begitu jauh dari tempatnya
berdiri.
"Hm..., apakah orang itu adalah salah seorang
penghuni rumah Hiroto?" gumam Andika.
Andika meneliti lagi tempat itu. Terlalu aneh bagi
pikirannya jika seseorang yang terluka oleh senjata rahasia
harus mencabut senjata rahasia di tepi tebing. Tentu ada
maksud lain.
Sekian lama mencari, Andika tak menemukan apa-
apa. Ketika hampir yakin memang tak ada hal
mencurigakan lain, matanya malah melihat sesuatu.. Tepat
di bawah tebing yang bagian tanahnya agak menjorok ke
dalam, dilihatnya kain hitam menyembul.
Andika mengambil ranting kering. Dengan ranting itu,
diraihnya ujung kain tadi.
"Hmm.... Sekarang jelas sudah," bisik Andika ketika
menyaksikan benda baru yang ditemukannya adalah
pakaian hitam seperti milik anggota perkumpulan rahasia
Imada-Tong.
"Di rumah itu ada musuh dalam selimut!" tandasnya
lagi, masih berbisik. Pantas saja para penculik Akimoto
tahu rumah pengasingan rahasia Hiroto. Padahal, Hiroto
pernah bilang pada Andika bahwa rumah di atas bukitnya
ini benar-benar terpencil. Tak ada yang mengetahui kecuali
anggota keluarganya sendiri.
Kalau di rumah itu hanya ada Akemi dan Kissumi,
apa mungkin di antara dua wanita itu ada seorang
penghianat? Tanya hati Andika ragu.
Andika tak bisa membuang waktu lebih lama. Begitu
Akemi bangun pagi itu, ditemuinya Akemi. Ditanyakannya
tentang permusuhah keluarga yang dimaksud Hiroto.
"Memang terjadi permusuhan turun-temurun yang
terjadi antara keluarga Hiroto dengan keluarga Tokugawa,"
papar Akemi di ruang upacara minum teh.
"Bagaimana asal mulanya?" Andika ingin tahu lebih
banyak.
Akemi pun mulai menceritakan dari awal. Sekitar
satu setengah abad silam, ada Perguruan Samurai Naga
Langit Merah. Perguruan itu dibawah pimpinan dan didikan
seorang sensei* berjuluk Pedang Ekor Naga.
Sensei Pedang Ekor Naga hanya memiliki dua orang
murid pewaris seluruh ferafo*nya yang amat disegani.
Bahkan shogun yang berkuasa saat itu pernah
menganggap lelaki tua itu sebagai Benteng Besar
Keshogunan. Dia amat disegani dan mendapat
kehormatan langsung dari shogun
Suatu hari, karena merasa dirinya sudah begitu tua,
Sensei Pedang Ekor Naga ingin menyerahkan katana
pusakanya yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Karena muridnya ada dua orang dan sama-sama.
baik dalam menguasai kendo yang diajarkan, maka Sensei
Pedang Ekor Naga membuat satu ketentuan. Kedua
muridnya harus bertanding untuk membuktikan diri siapa
di antara mereka yang pantas menerima warisan katana
pusaka tersebut!
Pertandingan penentuan pun di laksanakan di
bawah kaki Gunung Fuji.
Pada pertandingan adu kendo yang memakan waktu
sehari-semalam itu, ternyata murid bungsu unggul.
Dikalahkannya kakak seperguruan dalam jurus-jurus
terakhir.
Maka, Sensei Pedang Ekor Naga pun membuat
keputusan saat itu juga. Dibuatlah satu upacara
penerimaan katana pusaka kepada murid bungsu di
tempat itu juga.
Setengah tahun sejak kejadian itu, Sensei Pedang
Ekor Naga wafat. Dengan wafatnya sang Guru, mulai
tumbuh rasa tak puas pada diri murid tertua. Dia merasa
dilangkahi oleh adik perguruannya sendiri. Kehormatannya
merasa dihina.
Akhirnya, dia pun menuntut si murid bungsu agar
katana pusaka diberikan padanya. Menurutnya, dialah
yang pantas menerima senjata warisan itu selaku murid
tertua.
Karena merasa Katana Pusaka Ekor Naga adalah
amanat dari gurunya, murid bungsu tak ingin
menyerahkan. Baginya amanat berarti harga diri,
kehormatan dan jiwanya. Semua itu akan dipertaruhkan
urituk amanat tersebut. Jadi, bukan masalah pedang
pusaka itu sendiri. Sebab menurutnya, kalau saja itu bukan
amanat dari sang Guru, dia akan dengan senang hati
menyerahkan Pedang Ekor Naga pada kakak
seperguruannya.
Untuk mendapatkan pedang yang dihasratinya,
kakak seperguruan itu rnenantang tanding ulang.
Murid bungsu mulanya menolak. Karena dipaksa,
akhirnya terjadi juga pertandingan ulang yang sebenarrrya
lebih tepat dikatakan pertarungan dua lelaki seperguruan.
Murid tertua benar-benar hendak melenyapkan adik
perguruannya dalam pertandingan itu. Serangan-
serangannya tak beda dengan terjangan penuh hasrat
membunuh.
Menyadari hal itu, murid bungsu meladeni.
Sebelumnya dia hanya mencoba bertahan. Namun tak
mungkin dia terus begitu. Mana mungkin dibiarkannya
nyawa lepas dari badan di tangan kakak seperguruannya.
Sampai pertarungan berjalan hampir dua hari, murid
bungsu untuk kedua kalinya mengalahkan murid tertua.
Mereka sama-sama terluka parah. Namun katana murid
termuda pada akhir pertarungan siap membabat leher
murid tertua. Itu tak dilakukannya. Dia malah
meninggalkan murid tertua begitu saja.
Merasa tak bisa lagi tinggal di tempat itu, murid
bungsu pergi amat jauh ke Kyoto. Dia ingin memisahkan
diri dari kakak seperguruannya.
Sejak saat itu setiap babak keturunan dari murid
tertua, mendapat semacam warisan kebencian. Mereka
harus mendapatkan kembali katana pusaka dari tangan
keluarga murid bungsu!
"Begitulah ceritanya, Andika San...," Akemi me-
nyelesaikan penuturan.
"Jadi yang telah membayar perkumpulan Imada-Tong
untuk melakukan pembunuhan terhadap Jotaro dan
penculikan Akimoto adalah keluarga keturunan murid
tertua?"
"Sepertinya memang begitu, Andika San," Akemi
membenarkan dugaan Pendekar Slebor.
"Keturunan keluarga murid tertua, kini memiliki
pengaruh dan kekuasaan yang besar. Mereka berhasil
memasuki lingkungan shogun yang berkuasa kini. Salah
seorang dari mereka telah menjadi seorang perwira tinggi
di Suruga. Itu sebabnya Hiroto makin tersudutkan. Hiroto
sendiri adalah salah satu daimyo dari shogun yang
diruntuhkan."
Andika bangkit dari tatami. Di ruangan cukup luas
itu, si anak muda berjalan mondar-mandir. Tangannya
terus mengusap-usap dagu. Ada sesuatu yang begitu
dipikirkannya.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Andika San?"
tanya Akemi lembut. Sejak Andika mengenal Akemi,
perempuan itu memiliki perhatian yang besar pada Andika.
Memang tak terlalu tampak dari sikapnya, namun mata
tajam Andika bisa menangkap perhatian itu pada sinar
matanya.
"Ya, benar," jawab Andika seraya menghindari
tatapan dalam Akemi. "Aku sedang memikirkan Akimoto.
Kalau sekarang anak itu diculik, ada dua kemungkinan
tempat dia disembunyikan. Pertama, mungkin Akimoto
dibawa ke markas perkumpulan Imada-Tong. Kedua,
8
"Andika San. Ada orang asing masuk pekarangan!?"
lapor Kissumi dari mulut pintu.
Andika dan Akemi yang sedang berbicara bertatapan
sebentar.
"Kau kenal orangnya, Kissumi?" tanya Akemi
Kissumi menggeleng.
"Sebaiknya kita melihatnya," putus Andika. Anak
muda itu segera bangkit. Akemi dan Kissumi mengikutinya
di belakang tergopoh-gopoh.
"Sebaiknya kalian tetap di dalam," cegah Andika.
Setelah mendapat anggukan dari dua wanita di
belakangnya, Andika keluar.
"Siapa Tuan sebenarnya?" Tanpa mengucapkan
basa-basi sambutan, Pendekar Slebor langsung bertanya.
Di taman yang ditata apik oleh Kissumi dengan seni
pertamanan tradisional, tamu tak diundang itu berdiri. Raut
wajahnya melemparkan kesan kecurigaan pada Andika.
Perawakannya kekar. Lebih pendek tiga empat jari dari
Andika. Pakaiannya memperlihatkan kalau dia adalah
seorang samurai. Wajahnya bergaris keras. Rambutnya
panjang diekor kuda. Berkimono hitam-hitam dengan
menyandang sepasang katana dan pedang pendek di
ikatan kimononya. Menilik wajahnya, Andika yakinusia
orang itu hanya terpaut lima-enam tahun lebih tua.
"Semestinya, aku yang bertanya begitu padarrru.
Siapa kau sebenarnya pemuda asing?" balas sang ta-mu.
"E-eh, kalau orang bertanya padamu, kau harus
menjawabnya dengan jawaban. Bukan dengan pertanyaan
kembali! Ibumu belum pernah mengajarkan teladan itu?"
sentak Andika. Dibilang sungguh-sungguh, bibirnya masih
menampakkan senyum sok ramah. Mau dibilang bergurau,
kata-katanya terlalu pedas.
"Di mana lelaki pemilik rumah ini?" Sekali lagi, lelaki
tak diundang itu malah menyahuti pertanyaan mengejek
Andika dengan pertanyaan.
Andika tertawa.
"Aku senang dengan orang ini...," gumamnya sebal.
"Kamu jangan main-main, Orang Asing! Aku sedang
tergesa. Sebaiknya kau katakan di.mana pemilik rumah
ini?!" Nada suara tamu berwajah keras meninggi…..
"Kupikir, kalau tidak salah aku bisa disebut pemilik
rumah ini...." jawab Ahdika asal sebut.
. Mata orang di depannya menajam, menusuk manik
mata Pendekar Slebor. Terdengar geramnya. Dan tahu-
tahu.... Sraang!
Orang itu meloloskan katananya. "Hei! Apa aku telah
salah bicara padamu?!" lonjak Andika.
"Aku tahu, kau pasti orang yang harus kuenyahkan!"
sergah tamu tadi. Makin meninggi saja nadanya.
"Sontoloyo! Baru saja bertemu, kau sudah bisa
memastikan kalau aku harus kau enyahkan?" Andika
mendelik sejadi-jadinya. Jangan bilang dia tidak sewot!
"Sini kau!" bentak Andika. Dilambaikannya tangan.
Lagaknya sudah tak beda dengan aki jompo yang berniat
menjewer telinga cucu nakalnya.
Siapa yang tak jadi berang dibegitukan?
"Heaaa!"
Samurai berpakaian hitam berlari menerjang.
Katananya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Wukh!
Satu sabetan tercipta. Dengan amat bernafs u,
hendak dibelahnya batok kepala Pendekar Slebor saat itu
juga. Pendekar Slebor menyambutnya hanya dengan
menyurutkan tubuh ke belakang. Trak!
Kayu lantai rumah panggting termakan katana kalap
si samurai berpakaian hjiam. Kayu di bagia itu terbelah.
Pecahahnya berpentalan.
"Nah, kan luput! Kubilang juga apa...," gumam
Andika.
"Hea-hea-hea!"
Lawan makin kalap. Disabet-sabetkannya senjata
kesegala penjuru. Sementara itu suara teriakanya
meledak-ledak tak juntrungan.
"Hea-hea-heaaaa!" Andika menimpalinya.
Teriakannya malah lebih tak ada juntrungan. Beberapa
ekor burung di atas dahan pohon kontan berterbangan
kalang-kabut. Ada angin ribut, pikir mereka.
Karena serangan pertama gagal, samurai berwajah
keras menerkam lawan di atas lantai teras rumah
panggung. Senjatanya teracung ke depan. Dada Pendekar
Slebor hendak disatainya!
Sesaat sebelum terkaman tiba, Pendekar Slebor
dengan amat slebor malah membusungkan dada.
"Yak, di sini! Di sini!" teriakanya bersemangat sambil
menunjuk lubang pusar sendiri.
Dan begitu mata katana lawan tinggal sejengkal lagi,
pemuda itu mengenyahkan diri ke sisi. Sebelah kakinya
terangkat sedikit. Dukh!
Masih di udara, samurai kalap tadi merasakan 'telur
perkutut'nya begitu nyeri. Sakitnya seperti menjalar
langsung ke ulu hati. Dia merasa teramat muak, sekaligus
sesak. Dan keadaan itu membuatnya tak bisa lagi
mengendalikah diri.
Bruak!
Tubuhnya berdebam menghantam lantai panggung
teras.
"Hati-hati jatuh!" seru Pendekar Slebor.
Orang berangasan tadi bangun buru-buru. Meski
masih merunduk-runduk sambil memegangi selangkangan
dengan sebelah tangan, dia bersikeras menyerang pemuda
asing lawannya.
"Hey..., siapa pun namamu! Sebaiknya kau berhenti
dulu! Apa kau tak ingin berbicara dengan kepala dingin?"
tahan Andika. Bukannya takut. Dia cuma tak tega
menyaksikan betapa 'tersiksanya' samurai itu.
"Tak perlu!"
Usai menjerit tinggi, samurai berpakaian hitam
kembali menerjang Pendekar Slebor tanpa kenal me-
nyerah. Menyerah itu bodoh! Menyerah itu memalukan!
Tekad hatinya.
Srang wukh!
Kedua tangannya kini menggenggam dua senjata
berbeda. Tangan kanan memegang katana,yang lain
memegang pedang pendek.
"Jangan serakah! Satu saja kau belum berhasil!"
cemooh Pendekar Slebor. Mangkel juga Andika
menghadapi orang keras kepala. Padahal dia sendiri
biangnya keras kepala!
"Heah!"
Wing wukh wing!
Membabi-buta, samurai tadi membabatkan dua
senjata di tangannya ke seluruh bagian tubuh lawan yang
masih bisa disambar.
Andika berkelit enteng. Sebentar tubuhnya
terhuyung ke sini. Sebentar ke sana. Sebentar dia meliuk,
sebentar kemudian dia berjingkrak. Jurusnya memang tak
pernah karuan. Tapi selalu ampuh. Dijamin!
Jaminan seperti itu ada buktinya. Sewaktu lawan
terlupa membentengi bagian perutnya, dengan lemah
gemulai sekaligus bertenaga, Pendekar Slebor
menyodokkan dengkulnya penuh perasaan.
Degh!
"Egh!"
Mata si samurai berpakaian hitam mendelik.
Tubuhnya mcngejang di tempat dengan posisi setengah
membungkuk. Pendekar Slebor tidak mau berlama-lama.
Mumpung lawannya sedang menikmati 'cita rasa' dengkul
buatan tanah Jawa, cepat-cepat disarangkannya jotokan
pelumpuh ke satu bagian tubuh lawan.
Tuk!
Orang itu pun menggeioso.
"Aku kenal dia, Andika San," tukas Akemi,
menyaksikan samurai berpakaian hitam yang tergeletak di
lantai kayu dipan.
Andika menolehpada perempuan yang baru keluar
dari pintu itu.
"Kau kenal?"
"Ya," Akemi membenarkan. "Fujimoto, samurai yang
pernah menjadi bawahan Hiroto San ketika masih menjadi
Daimyo...."
"Aaahhh...." Andika menampar kening sendiri keras-
keras. "Kenapa kau tak bilang-bilang?" katanya terdengar
menggerutu.
"Andika San melarang aku keluar," kilah Akemi.
Andika tengengesan.
"Tapi tak pernah melarang untuk memberitahukan
kalau kau kenal orang itu, bukan?" kelit Andika lagi. Dia
memang jarang mau kalah. Sekali mau kalah kalau
otaknya sudah tak beres lagi!
"Apakah dia tak apa-apa, Andika San?"susul Akemi.
Wajahnya menampakkan kekhawatiran juga ketika dia
bersimpuh untuk memeriksa 'korban' Pendekar Slebor.
"Aku kurang yakin dengan keadaan 'senjata'nya...,"
ucap Andika.
Akemi menatap Andika talc mengerti. Kalau tak
salah, aku tadi menanyakan keadaan orang ini. Bukan soal
senjata? Bisik hatinya keheranan.
Andika malah tergelak-gelak.
Lalu tanpa menghiraukan tanda-tanya di wajah
mulut Akemi, Andika mengangkat tubuh lelaki bernama
Fujimoto ke dalam rumah. Di atas tatami, lelaki itu lalu
dibaringkan. Akemi terus mengikuti di belakangnya. Juga
Kissumi.
Setelah dibaringkan, Andika menotok Fujimoto
kembali, membebaskan jalan darahnya.
"Haih!"
Begitu terbebas, kontan Fujimoto berteriak seraya
mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dia merasa saat itu
masih memegang katana.
"Aaa!" Pendekar Slebor bertingkah tengik lagi. Si
pemuda urakan itu berteriak keras-keras sambil mendekap
dadanya. Mending kalau teriakannya tidak keras!
Akemi dan Kissumi di belakangnya tak bisa tidak
untuk terkikik tertahan menyaksikan tontonan konyol
tersebut. Mereka benar-benar baru sekali itu mengenal
seorang pria yang sifatnya sama sekali membingungkan.
Tapi entah kenapa mereka menikmatinya. Wuh, suka
barangkali!
"Cukup, Fujimoto!" seru Akemi kemudian. Tentu saja
setelah dia berhasil menguasai rasa geli yang
menggelitikinya..
"Nyonya Jotaro?" Fujimoto tersadar. Tangannya
diturunkan. "Siapa orang ini,Nyonya?" tanyanya lagi sambil
menuding Andika.
"Perkenalkan.... Ini Andika San," Akemi
memperkenalkan.
Fujimoto bangkit terseok. Badannya masih terasa
ngilu. Sambil berdiri, dia mengingat-ingat sesuatu. Diulang-
ulangnya nama Andika berbisik.
"Kau Andika San!" serunya, meledak tiba-tiba. Andika
sampai hendak mencak karena kelewat terkejut.
"Kausahabat Hiroto San!" susul Fujimoto masih meledak-
Iedak. "Kau pendekar dari negeri jauh itu!"
Andika tak tahan lagi melihat Fujimoto reriak-teriak
seperti itu. Tak tahu Andika, apa orang itu cuma terkejut
mengetahui siapa dirinya atau sedang kerasukan memedi
Gunung Fuji.
"Iyaaa!" balas Andika tak kalah meledak. Habis dia
mangkel sekali.
Lantas saja Fujimoto membungkuk dalam-dalam.
"Satu kehormatan besar bisa bertemu dengan
Pendekar Slebor!" ucapnya bersemangat.
"Eh, dia tahu julukanku?" Pendekar Slebor me-
ngernyit.
"Hiroto San sering bercerita tentang Andika San.
Tentang kisah mengagumkan di Piramida Tonggak
Osiris...," cecar Fujimoto lagi seraya bersimpuh di depan
Andika. Raut wajahnya simpang-siur karena, terlalu
bersemangat.
"Ooo...," Andika baru mengerti. Diam-diam, hidung
Andika jadi kembang-kempis juga. Siapa yang tidak bangga
namanya dipuji di negeri orang?
"Hai! Hai!" timpal Fujimoto dengan bahasa Nip¬pon
kentalnya.
Buntut-buntutnya, Fujimoto meminta Andika
mengajarkan beberapa jurus silat. "Slompret," dengus
Andika.
***
Sulitnya membuat keputusan bagi Andika mem-
buatnya terus saja terombang-ambing keresahan. Dia
tertahan di rumah pengasingan Hiroto tanpa bisa berbuat
apa-apa. Hal itu sungguh menyiksanya.
Hari makin siang. Kian lama waktu menggelinding,
kian tak menentu nasib Hiroto dan Akimoto entah di mana.
Andika tak bisa berdiam diri selaku seorang teman. Tapi
dia pun tak bisa berbuat banyak.
Andika pun mencoba bertanya pada Fujimoto. Siapa
tahu lelaki bekas samurai bawahan Hiroto itu mengetahui
sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk melacak ke
mana perginya Hiroto.
. "Apa kau pernah dengar tentang markas Imada-
Tong?" tanya Andika. Saat itu Andika, Fujimoto, Akemi, dan
Kissumi sudah duduk mcmbentuk lingkaran di ruang
upacara minum teh.
Fujimoto menggeleng.
Andika menghempas napas.
"Kau tahu sesuatu yang bisa kujadikan petunjuk
untuk mencari Hiroto dan Akimoto?" lanjut Andika.
Fujimoto tepekur sebentar. Kemudian dia
menggeleng lagi.
"Sial! Jadi apa yang kau tahu?!" Andika agak
mengkelap.
"Apa Andika San tak ingin menanyakan tujuanku ke
tempat ini?" Fujimoto mulai berbicara.
"Yah, benar. Apa tujuanmu ke sini?" terjang Andika,
tergesa. Dia baru menyadari kebodohannya. Tak mungkin
seorang datang begitu saja ke rumah pengasingan rahasia
Hiroto tanpa tujuan apa-apa.
"Aku ingin menyampaikan pesan dari Hiroto San..."
"Apa benar begitu?!" Pendekar Slebor
mencengkeram kerah baju Fujimoto. Anak muda itu terlalu
bernafsu.
"Hiroto San memintaku untuk menyampaikan pesan
bahwa jika dalam sepekan dia tidak pulang, Andika San
diminta menyelamatkan Akimoto. Hiroto San menganggap
dirinya telah gugur jika waktu sepekan telah terlewati. Tapi
tetap ingin Akimoto selamat."
"Bagaimana aku bisa menyelamatkan anak itu.
sedang tempatnya saja aku tak tahu!" maki Andika entah
pada siapa. Ditinjunya lantai kayu tuangan sampai jebol.
Geram sekali tampaknya anak muda dari tanah Jawa itu.
"Obani, Andika San," ujar Fujimoto.
"Apa? Apa tadi kau menyebut satu nama tempat?"
"Obani, tepatnya di kuil tua di tepi danau kota itu.
Begitu Hiroto San berpesan padaku!"
"Bagus!" Andika bangkit cepat. Karena terlalu
tergesa-gesa, tanpa sengaja kaki Andika melanggar
sebelah bahu Fujimoto.
Fujimoto mengeluh seraya mendekap bahunya.
Andika sempat melihat ada genangan darah merembes.
Tampaknya setelah terlanggar kaki Andika, luka yang
dibalut di balik pakaian itu menganga lagi.
"Kenapa dengan bahumu, Fujimoto?" tanya Andika
penuh selidik. Pendekar muda itu teringat pada senjata
rahasia yang ditemukan di bibir tebing depan rumah
pengasmgan rahasia Hiroto pagi tadi.
"Ceritanya panjang, Andika San," jawab Fujimoto
mencoba mengelak. Dari wajah lelakinya ter-lihat kalau dia
tak ingin menjelaskan. Andika melirik matanya tegas-
tegas..
Apa bukan terkena senjata rahasia?" desak anak
muda itu.
Fujimoto menggeleng.
Andika merasa harus memperlihatkan bukti yang
didapatnya pagi tadi. Segera dikeluarkannya benda
tersebut dari balik kimono pinjamannya.
'Tadi pagi aku menemukan benda ini," katanya
sambil melempar logam tipis berbentuk bintang yang
ditutupj darah kering itu ke lantai kayu.
Fujimoto menatap Andika.
"Kau tahu di mana kutemukan benda itu. Di depan
rumah ini. Kau mau tahu kesimpulanku? Kurasa, ada yang
telah berkhianat pada Hiroto. Orang itu tahu tempat
rahasia ini dan telah memberitahukan pula pada musuh
Hiroto. Hingga rumah ini dapat disantroni dan Akimoto
dapat diculik...."
Fujimoto bangkit dan berdiri menghadap Andika.
'Tampaknya Andika San mencurigaiku...," desisnya
gusar.
"Bukankah kau mengetahui tempat rahasia ini?"
Fujimoto mengeleng-gelengkan kepala. Wajahnya
memerah amat matang.
"Itu tuduhan keterlaluan, Andika San...," tandasnya
tegas. "Aku tak pernah berkhianat pada Hiroto San"
tegasnya lagi dengan napas tersendat.
"Bagaimanaaku bisa percaya?" tepis Andika enteng.
Bibirnya menyeringai, mencoba menyudutkan Fujimoto.
Mata lelaki itu menerkam mata Pendekar Slebor.
"Kau perlu bukti, Andika San?" desisnya. Setelah
itu....
Srang!
Fujimoto meloloskan pedang pendeknya. Andika
tersentak. Dia mengira Fujimoto akan menyerangnya. Tapi
itu tak pernah terjadi.
"Aku akan seppuku untuk membuktikan kesetiaanku
pada Hiroto San," kata Fujimoto.
"Menurutku, itu tidak membuktikan apa-apa. Sebab,
musuh Hiroto pun melakukan hai yang sama agar tidak
bisa dikorek keterangan darmya...," sangkal Andika lincah.
Fujimoto mati kutu. Keadaannya mutlak tersudut.
Dia terdiam dengan wajah tak karuan. Merah, bingung dan
geram.
Melihat hai itu, Andika bisa cepat menilai.
"Aku percaya. kau bukan seorang penghianat...,"
katanya sambil beranjak. Dibuatnya Fujimoto tak mengerti
sama sekali. Padahal kesimpulannya seder-hana saja bagi
anak muda berotak encer itu. Kalau benar-benar Fujimoto
penghianat, tentu dia akan benar-behar menikamkan
pisaunya ke perut. Bukankah begitu yang dilakukan lawan-
lawan Hiroto sebeIumnya manakala sudah tersudut?
Tapi si pemuda urakan tak peduli pada ketidak
mengertian Fujimoto. Sementara samurai berpakaian
hitam itu terbengong-bengong, Pendekar Slebor dia yang
tahu....
***
9
Hiroto tiba di sebuah kuil kuno di wilayah Yaraashiro.
Tengah hari kala itu. Matahari musim semi berada di
puncaknya. Memang sinarnya tak segarang musim panas.
Namun begitu, tetap saja menyiksa. Setelah memakan
waktu perjalanan berkuda selama tiga hari, akhirnya dia
tiba juga di Kuil Matahari.
Sampai saat itu, Hiroto sendiri masih sangsi apakah
anaknya dilarikan ke sana atau tidak. Yang dia tahu
hanyalah tempat itu pernah dipergunakan se-bagai markas
oleh musuh keluarganya. Di mana dari sana mereka
menggempur keluarga keturunan Murid Bungsu yang
banyak tinggal di Kyoto. Yamashiro memang daerah yang
paling dekat dengan Kyoto.
Hiroto ingat saat itu serangan mus uh keluarga
keturunan Murid Sulung Sensei Pedang Ekor Naga
dipimpin oleh seorang samurai bengis yang begitu
membencinya. Namanya Seichi Onigawa. Kala itu. Hiroto
masih menjabat sebagai daimyo dari shogun yang
berkuasa.
Setelah shogun yang lama terguling, Seichi Onigawa
diangkat menjadi salah seorang perwjra shogun yang baru.
Hiroto dan anggota keturunan keluarga Murid Bungsu pun
menjadi buronan utamanya. Mereka dikejar ke sana ke sini
seperti binatang hutan. Di bantai tanpa belas kasihan.
Semata-mata karena Seichi Onigawa ingin memuaskan
hasrat membunuhnya.
Seichi Onigawa begitu memegang teguh kebencian
yang diwariskan secara turun-temurun oleh buyutnya. Dan
hanya satu yang dapat membayar semua itu, Pedang
Pusaka Ekor Naga. Kebetulan sekali, Hiroto adalah salah
seorang keturunan Murid Bungsu yang mendapat
kepercayaan untuk menerima warisan pedang pusaka itu.
Maka, makin kuat saja alasan Seichi Onigawa membenci
Hiroto.
Kuda Hiroto kini telah berhenti terengah-engah di
depan gerbang kuil. Kuil Matahari sepi. Tak ada tanda-
tanda kehidupan. Hanya kelengangan penat. Sejauh mata
memandang, hanya tampak ilalang-ilalang jangkung di
seluruh penjuru tanah kuil.
Tembok bangunan tua itu sudah dimakan lumut.
Sekarat dengan warna buram muram. Dindingnya gompal
di sana sini. Kubah bertingkat sebagian sudah hancur.
Pintu gerbang yang dulunya mungkin berdiri gagah,
sekarang tinggal puing terkatung.
Hiroto menghentak tali kekang. Kuda-berjalan
perlahan, memasuki mulut gerbang Kuil Matahari. Dari
kejauhan mata Hiroto. memang tak menyaksikan siapa-
siapa. Sementara naluri samurainya sendiri memperingati
ada berpasang-pasang mata sedang mengawasi
kedatangannya.
Kesiagaan Hiroto semakin menjangkit begitu
kudanya sudah berada di halaman luas penuh ilalang.
Matanya tak bergerak, terpusat di bangunan sekarat di
depan sana. Biarpun begitu, bukan berarti dia tak
mewaspadai keadaan sekitarnya. Sebelah tangannya tetap
pada tali kekang kuda. Tangan yang lain bersiap di gagang
katananya. Kalau mendadak ada yang menerjang, dia siap
membabatnya.
Hewan kendaraan ksatria Nippon itu terus
melangkah membawa tuannya lebih jauh masuk ke
pekarangan Kuil Matahari. Lebih jauh mas uk, naluri Hiroto
bertambah kuat memperingati.
Sampai satu saat, kuda tunggangan Hiroto dibuat
meringkik keras oleh seruakan tiba-tiba dari serumpun
ilalang lebat. Kuda itu menaikkan kedua kaki depannya
liar. Hiroto berusaha mengendalikan. Meski tali kekang
ditarik demikian rupa dan mulutnya berseru-seru, tetap
saja bmatang itu sulit dikendalikan.
Tentu saja ada yang membuat binatang itu terkejut
luar biasa. Ada seseorang muncul tepat di depannya. Orang
itu kini berdiri memperhatikan kepanikan kuda Hiroto
dengan wajah menyeringai.
, Hiroto melompat dari kuda. Dia tak ingin tubuhnya
terlempar, dan lelaki di depannya memanfaatkan keadaan
itu. Seraya cepat meloloskan katana dari pinggangnya,
Hiroto berdiri empat depa di depan si pcnghadang.
"Siapa kau?!" hardik Hiroto.
Orang yang ditanya berwajah buruk. Tubuhnya
bungkuk karena s udah terlalu tua. Wajahnya sudah
diramaikan kerut-merut. Cuma giginya yang tampak masih
utuh. Hanya tanggal beberapa butir. Kumis putihnya
memanjang sampai ke leher. Dia berpakaian seorang
samurai lama. Pakaiannya berwarna hitam dengan
dalaman putih. Tangannya menggenggam toya panjang
yang selalu diketuk-ketukkan ke tanah.
"Bodoh! Kau tak berhak bertanya begitu! Aku tuan
rumah di sini Jadi aku yang mestinya bertanya padamu,
siapa kau?! Sekarangjawab!" balas si lelaki tua, sengit.
Toya di tangan ditudingkan ke arah Hiroto.
"Kau penghuni Kuil Matahari? Apa kau punya
hubungan keluarga dengan Seichi Onigawa?" Hiroto
tampaknya tak begitu peduli dengan pertanyaan lelaki tua
barusan. Mungkin benaknya terlalu dihantui oleh keluarga
Seichi Onigawa yang telah menculik anaknya.
"Kutu busuk! Sudah kubilang, kau tak berhak
menanyakan siapa aku lebih dahulu! Apa kau tak pernah
diajarkan tata krama, hah!" bentak si lelaki tua. "Ayo jawab
pertanyaanku, tunggu apa lagi?!"-
Karena merasa lelaki tua di depannya tidak ber-niat
memusuhinya, meski tetap bersikap kasar, Hiroto
mengalah.
"Aku Hiroto, dari Kyoto," akunya.
"Apa tujuanmu datang ke sini?!" susul si orang tua
bungkuk. Masih juga dengan pertanyaan kerasnya.
"Aku ingin tahu, apakah kuil ini masih ditcmpati oleh
orang-orang Seichi Onigawa?"
Orang tua bungkuk menepis udara. Bibirnya
mencibir.
"Seichi Onigawa. Dasar lelaki pecundang!"
"Apa maksudmu, Orang Tua? Apa yang kau ketahui
tentang orang itu?" Hiroto tergesa-gesa meruntunkan
pertanyaan.
Tanpa menjawab pertanyaan Hiroto, orang tua
bungkuk berbalik dan melangkah tertatih ke arah
bangunan kuil.
"Orang tua, tunggu!" Hiroto menyusul di be-
lakangnya.
"Kalau kau berurusan dengan lelaki pecundang itu,
aku tak punya urusan denganmu!" tandas orang tua
bungkuk tanpa menoleh.
"Tapi, maukah kau menolongku orang tua. Aku harus
tahu di mana markas. perkumpulan Imada-Tong!"
Orang tua bertoya memanCung langkah. Ditatapnya
Hiroto dengan mata kelabunya! "Kau tadi bilang soal
Imada-Tong?"
"Benar, Orang Tua. Anakku telah diculik mereka...."
"Dan Seichi Onigawa yang membayar orang-orang
Imada-Tong untuk melakukan itu?" terka orang tua bertoya
dengan nada yakin.
"Benar, Orang Tua...."
Kepala orang tua itu bergoyang-goyang seperti
menarikan sesuatu. "Ya ya ya..., aku memang selalu
benar!" tukasnya acuh. Lalu dia melangkah lagi.
"Orang tua, apakah kau bisa menolongku?" Hiroto
memohon.
"Yang bisa menolong dirimu, cuma kau sendiri!"
"Aku cuma butuh keterangan di mana markas
Imada-Tong."
"Kau keliru jika hendak mencari anakmu di markas
mereka. Mereka dibayar untuk melaksanakan tugas. Kalau
Seichi si pecundang itu membayar mereka untuk menculik
anakmu, tak mungkin anakmu masih di tangan orang-
orang Imada-Tong...," tutur orang tua bertoya datar.
Hiroto diam-diam membenarkan ucapan si orang tua
itu. Karena orang tua itu terus saja melangkah, Hiroto
mengikutinya lagi dengan sabar.
"Kalau begitu, apa kau tahu di mana bisa kutemui
Seichi Onigawa?"
"Kutubusuk! Kenapa kau jadi demikian tolol?" Hiroto
tersentak, Dia bukan sekadar terkejut mendapat hardikan
itu. Dia justru tersentak karena tenaga dorongan yang lahir
dari bentakan itu. Ada tenaga seperti tangan raksasa yang
menyentaknya ke belakang!
Siapa orang tua ini? Hiroto berbisik dalam hati. Di
negeri ini, jarang seorang dapat melakukan hal itu.
Belum sempat terberangus rasa heran Hiroto, orang
tua bungkuk mengayunkan toyanya ke tanah tepat di
depan Hiroto. Maka, terbentuklah semacam lubang
jebakan yang cuma ditutupi ranting kering dan jerami. Di
dalamnya telah siap moncong-moncong bambu setajam
mata pedang!
"Lihat! Kalau kau tadi terns berjalan serampangan,
kau tentu akan..., ah, kau tahu sendiri itu!"
Dua kali dengan ini Hiroto dibuat terpana.
Bagaimana si orang tua itu tidak terperosok ke dalam
lubang yang hanya ditutupi oleh ranting setipis sumpit dan
jerami? Padahal jelas-jelas Hiroto menyaksikan si tua
bungkuk itu melangkah seenaknya di sana....
Merasa dia tengah berhadapan dengan sesepuh
para samurai, Hiroto secepatnya memperbaiki sikap. Dia
merunduk dalam-dalam, memberi hormat.
"Maafkan aku, Orang Tua! Mataku buta untuk
mengetahui kalau kau,„" '
Tak!
Belum selesai Hiroto berbicarar orang tua bungkuk
tadi menggetok kepalanya dengan toya.
Hiroto meringis.
"Sekali lagi kau berbuat itu padaku, aku akan
menghantam batok kepalamu sampai remuk! Kau pikir aku
ini siapa?! Senseimu?! Bhuh, maaf-maaf saja...."
Jakun Hiroto turun-naik. Dia merasa serba salah
menghadapi orang tua ini.
"Sebaiknya kau pergi secepatnya dari sini!" perintah
si orang tua dengan wajah dibuat sebengis mungkin.
"Tapi bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"
"Yang mana?!"
Dimana bisa kutemukan Seichi Onigawa?"
"Bhuh, si pecundang itu lagi...," gerutu orang tua
bertoya.
"Di mana orang tua? Saya mohon sekali. "
"Ada di dalam sana! Dengan puluhan orang-orang
Imada-Tong bayarannya...," jawab orang tua bungkuk.
Ditunjuknya Kuil Matahari dengan toya.
"Seenaknya mereka memakai kuilku tanpa izin lagi!"
Hiroto menjura. Pemberitahuan orang tua bungkuk
benar-benar dihargainya. Dengan begitu, dia tahu bahaya
macam apa yang sedang menantinya di Kuil Matahari. Bisa
jadi dia bisa tahu pula keadaan Akimoto.
"Apakah mereka menahan seorang bocah, Orang
Tua?" Hiroto penasaran. Parasnya demikian berharap
mendapat jawaban atas pertanyaarrya.
"Kau terlalu banyak tanya! Kenapa tak langsung saja
ke sana!"
"Baik..., baik! Terima kasih, Orang Tua!"
Hiroto pun beranjak. Empat langkah ke depan, Hiroto
menoleh pada lelaki tua tadi. Ternyata Hiroto sudah tak
menemukannya lagi. Si orang tua bungkuk menghilang
dengan meninggalkan kabut.
Hiroto berdecak tak sadar. Siapa sesungguhnya dia?
Tanya hatinya lagi. Ketika teringat keadaan Akimoto, Hiroto
tak bisa lebih lama memikirkan si orang tua. Dia
meneruskan langkah. Sekaligus membulat-kan tekad untuk
menghadapi bahaya amat besar yang menanti di dalam
Kuil Matahari. Lelaki berjrwa ksatria itu siap mati!
Jarak semakin dekat.
Tak lama, Hiroto sampai juga di pintu besar kuil.
Daun pintu masih terkatup. Kesannya tak pernah ada
orang di dalam. Bahkan sarang laba-laba merangas,
seperti tak pernah terusik selama bertahun-tahun.
Sejenak Hiroto menjadi ragu. Benarkah ucapan
orang tua penuh teka-teki tadi? Benarkah Seichi Onigawa
dan orang-orang Imada-Tong sedang menunggu di dalam?
Kalau benar, kenapa di dalam sana begitu sunyi? Daya
pendengaranriya sudah dikerahkan, tapi tak seberkas
suara jrum jatuh pun terdengar. Sunyi terlalu
mengungkung. Sementara pintu dan sekian jendela
berjajar di sepanjang kuil tak menampakkan tanda pernah
dibuka.
Ditipukah aku oleh orang tua sakti tadi?
Keraguannya buyar seketika. Suara riuh mena-dingi
kerasnya guruh terdengar dari dalam. Kejap itu juga,
seluruh jalinan otot Hiroto mengejang tegang. Matanya
membesar. Katana di tangannya diacungkan ke depan. Dia
siap menanti apa yang bak al muncul dari balik pintu.
Sampai....
Khoarkk!
Brak!
Hiroto tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dia baru mengetahuinya manakala pintu besar Kuil
Matahari jebol seketika. Ledakan amat besar yang
menyebabkannya. Kekuatan ledakan itu menyebabkan
kayu daun pintu setebal setengah jengkal berhamburan
berkeping-keping.
Sigap, Hiroto membuang badan jauh-jauh ke
samping. Tak ingin dia menempuh bahaya sedikit pun
dengan menghindar tanggung-tanggung.
Di atas rimbunya ilalang, Hiroto mendarat. Dia
begulingan, lalu berdiri kembali dengan tangkas tanpa
kehilangan senjata di tangan. Matanya nyalang mencari
sesuatu yang baru saja menjebol pintu besar. Manakala
tahu apa yang .dilihatnya, wajah Hiroto seperti menjadi
kaku. .
Dari gumpalah asap putih tebal bergulung-gu-lung,
bermunculan delapan lelaki berpakaian merah-merah.
Nyaris seluruh tubuh mereka tertutup oleh pakaian
tersebut. Hanya bagian mata mereka saja yang tidak.
Mereka berguliran di udara bagai delapan bola, lalu berdiri
membentuk Iingkarang tertutup, mengurung Hiroto.
Mereka adalah delapan pemimpin Imada-Tong.
Dalam dunia samurai hitam, mereka dijuluki Delapan
Samurai Merah. Nama mereka demikian ditakuti, bahkan
oleh para samurai, daimyo, bahkan para perwira shogun
sekali pun. Selama ini tak ada lawan yang sanggup
mengalahkan mereka. Lebih dari itu, tak ada satu nyawa
bisa lolos dari ancaman maut mereka. Mereka adalah
pencabut nyawa tak kenal ampun!
Tanpa sadar genggaraan tangan pada gagang
pedangnya mengeras. Rahangnya pun turut mengeras. Dia
sadar sesadarnya kini bahaya apa yang siap
memamahnya....
***
10
"Kau yang bernama Hiroto?!" seru salah seorang dari
Delapan Samurai Merah, menghentak.
Hiroto tak menjawab. Dia tak ingin berbasa-basi
dengan Iawannya. Buat apa? Pikirnya. Toh, nanti dia atau
mereka yang harus mati!
"Aku dengar kau mempunyai teman asing yang
hebat, heh?!" lanjut lelaki tadi. Tampaknya dia paling
berpengaruh di antara delapan orang berpakaian merah
tertutup.
"Aku tidak berurusan dengan kalian! Aku hanya
berurusan dengan Seichi Onigawa!" geram Hiroto tanpa
bergerak dari kuda-kuda awal.
"Kami pun sebenarnya tidak berurusan denganmu.
Tapi Seichi Onigawa telah membayar mahal kami. Tapi
tetap saja itu tidak cukup untuk membuat kami keluar.
Kalau pun sekarang kami keluar, karena kami mendengar
dari anak buah kami bahwa kau mempunyai seorang
teman sakti! Kami ingin menjajalnya! Jadi urusan kami
terlepas dari urusan kau dengan Seichi Onigawa!" papar
lelaki tadi. Tangannya mengacungkan katana ke Hiroto.
Dari caranya, jelas sekali dia memandang sebelah mata
pada samurai muda dari Kyoto itu.
"Kalau kalian tak berurusan denganku, kenapa
kalian tak enyah saja!" balas Hiroto. Tak sedikit pun
menyembul kesan ketakulan di raut wajahnya.
"Karena kami ingin bertemu dengan teman
asingmu!"
Hiroto tersenyum, meledek. "Kalian cuma delapan
ekor monyet bagi kesak-tiannya...," ledek Hiroto lagi,
membanding-bandingkan kehebatan Pendekar Slebor
dengan nama besar Delapan Samurai Merah.
"Kalau begitu, kau yang terlebih dahulu merasakan
kehebatan kami!" ancam lelaki tadi.
Hiroto mengebut katana beberapa gebrakan. "Kalau
begitu, kenapa kalian tak cepat menerjang?! Aku sudah
ingin secepatnya menyelesaikan urusan dengan Seichi
Onigawa keparat itu!" tandas Hiroto.
Lalu lelaki yang kehilangan anak kesayangannya itu
menoleh pada bangunan Kuil Matahari. Dengan wajah
berang, dia berteriak.
"Hei, Seichi! Apa kau dengar ucapanku! Aku akan
datang memenggalmu jika selembar saja rambut anakku
kau rontokkan!"
Di ujung seruannya, delapan lawan tanpa aba-aba
sedikit pun serentak menyerhu Hiroto. Memang begitu ciri
khas serangan Delapan Samurai Merah. Mereka
menyerang^tanpa tanda sedikit pun kalau mereka hendak
melakukannya. Namun begitu, serangan mereka bisa
dilakukan secara bersamaan. Sementara tak pernah sekali
pun mereka pernah menyerang sendiri-sendiri. Kehebatan
mereka justru terletak pada kesatuan penyerangan. Siapa
pun atau bagaimanapun kehebatan lawan yang mereka
hadapi mereka akan selalu menyerang bersama. Tak
perduli apakah lawan terbilang memiliki kendo tinggi atau
tidak.
Satu dari sekian ciri khas mereka adalah senjata
andalan yang berbeda satu dengan Iain. Masing-ma-sing
dari mereka sepertinya telah mencapai taraf sensei dalam
permainan senjata yang berbeda. Seorang
mempergunakan katana, yang Iain mempergunakan toya,
arit kembar, rantai berbandul pisau. trisula, pedang pendek
kembar, lembing panjang berpangkal arit dan sepasang
tongkat pendek.
Di lain sisi, bukan berarti mereka tak cukup
berbahaya dalam keahlian mempergunakan senjata Iain.
Swing!
Terjangan pendahuluan dilakukan oleh lelaki
berkatana. Dialah yang sebelumnya bertanya pada Hiroto.
Dari udara, lelaki membacokkan senjatanya lurus-lurus ke
batok kepala Hiroto. Tenaga lompatannya sudah cukup
menunjukkan bacokannya bisa membelah dua kepala
hingga tubuh lawan!
Hiroto terkesiap sejenak. Semula dia tak
menganggap Delapan Samurai Merah akan melakukan
serangan secepat itu dan setiba-tiba itu. Naluri
kesamuraiannya yang telah diasah dalam memperingati.
"Hai!"
Hiroto berguling di tanah. Katana lawan hanya
menghujam tanah tepat di tempat berdiri sebelumnya.
"Hea!" Swing!
Begitu kaki lawan sampai, Hiroto membuat sabetan
rendah setengah putaran. Kaki lawan hendak
dikutungkannya. Namun usaha itu tidak mudah. Se-belum
bisa membabat kaki lawan, anggota Delapan Samurai
Merah bersenjata katana itu sudah menjegal tebasan
Hiroto dengan katananya.
Trang!
Kejap berikutnya, lawan bertrisula kembar
menusukkan sepasang senjatanya ke dada Hiroto. Hiroto
yang masih telentang di tanah, mencoba memapaknya
dengan telapak kaki.
Taph!
Pergelangan tangan lelaki bertrisula kembar
tertahan di udara. Itu tak berlangsung lama. Katana lawan
yang lain mencoba membobol pertahanan kaki Hiroto
dengan menebaskan sepasang arit. Wes!
Hiroto tak mau kedua kakinya terputus. Dia menarik
dalam-dalam kakinya. Lalu melepaskan tusukan ke perut
lawan bersenjatakan trisula kembar.
Swing!
Trang!
Tanpa sempat menembus sasaran, katana Hiroto
dijegal sepasang arit yang sebelumnya berusaha
mengutungi kakinya. Pada saat yang sama, sepasang arit
tadi mengunci senjata Hiroto dengan cara menyilang di
antara katana Hiroto.
Mata Hiroto cukup awas untuk mengetahui niat
lawan. Sebelum pedang panjangnya benar-benar terkunci
tenaga lawan, cepat ditariknya senjata ke samping.
Gagalnya kuncian sepasang arit diikuti oleh tusukan
dua pedang dari lawan yang lain. Hiroto yang masih
telentang di tanah dipaksa bergulingan. Lawan bersenjata
dua pedang pendektcrus mengejarnya. Setiap kali Hiroto
berhasil membuat tus ukan sepasang pedang pendek itu
menghujam tanah, lawan. membuat tusukan yang sama
kembali.
Bles! Bles! Bles!
Hiroto tak mau terus-terusan begitu. Lama-lama dia
bisa kehabisan tenaga. Maka diputuskan untuk menjegal
tusukan liar lawan dengan katananya. Sayang baru saja
senjatanya itu di ayunkan, toya baja seorang lawan
mendongkelnya dari bawah. Trang!
Bunga-bunga api terpercik ketika dua batang baja
berbentuk berbeda itu berbenturan. Hiroto merasakan
pergelangannya demikian ngilu karena tenaga hantaman
lawan.
Detik itu juga pedang panjang Hiroto terpental ke
udara, terkena dongkelan bertenaga lawan bertoya. Lawan
berhasil membobol satu pertahanan paling penting bagi
Hiroto.
Itulah kehebatan Delapan Samurai Merah. Mereka
membuat pertahanan rapat satu dengan yang Iain.
Serangan dan pertahanan mereka ibarat mata rantai yang
tergabung menjadi satu. Satu dengan yang lain saling
memperkuat. Tak perduli apakah mereka menghadapi
lawan berkemampuan kendo tinggi atau tidak
Hiroto baru menyadari itu. Tapi apa gunanya
menyadari kunci benteng pertahanan lawan kalau dia
sendiri telah kehilangan benda paling penting dalam suatu
pertarungan?
Ha,ti Hiroto seperti tergiris,Sementara memegang
senjata saja keadaannya sudah begitu terdesak, Apalagi
jika tangannya kosong melompong.
Tanpa mau memberi kesempatan bagi Hiroto untuk
bernapas setarikan pun, seorang dari anggota Delapan
Samurai Merah yang memegang rantai panjang berbandul
pisau melepas senjatanya dari jarak jauh.
Keterdesakan Hiroto di atas tanah makin tak banyak
mendapat jalan lolos. Mata pisau berantai meluncur deras
menuju kening Hiroto.
Tak ada lagi yang bisa diperbuat Hiroto saat itu. Satu
sisi dia harus menghadapi tusukan mata sepasang pedang.
Dan kalau dia mencoba menghindar ke sisi lain, maka
mata pisau berantai akan menembus keningnya!
Mau tak mau, Hiroto akhirnya memasrahkan
semuanya pada takdir. Kalau melihat keadaannya
sekarang, tentu takdir buruk yang akan menghampiri.
Namun begitu, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang
tahu takdirnya sendiri. Karena begitu mata pisau di ujung
rantai lawan hendak menghujam, tubuhnya tiba-tiba saja
disambar seseorang. Sambaran itu amat cepat, lebih
tangkas dari sambaran seekor elang perkasa dari langit!.'
Thep!
Kejopak mata Hiroto yang semula terkatup
memasrahkan segalanya, Jangsung saja membuka saat
merasakan tubuhnya melayang begitu cepat. Dia belum
lagi tahu siapa yang baru saja menolongnya.
Ketika Hiroto merasakan ada sentakan, dia tahu si
penolong telah menjejakkan kaki di tanah. Lalu
didengamya suara orang yang membopongnya. Suara yang
serak memekakkan telinga. Saking memekakkan, mungkin
lebih pantas disamakan dengan riuh-rendah kaleng
rombeng.
'Hua-he-hu-he-huaaa, jangan heran jangan ka-get!
Aku datang untuk bikin kejutan. Siapa yang tak terkejut,
silahkan terkejut. Siapa yang terkejut, silahkan tidak
terkejut. Siapa yang bingung mendengar kejutan ini?
Silahkan buat kejutan sendiri!"
Delapan Samurai Merah merasa langkah
kemenangan mereka digagalkan oleh seorang sinting!
Mereka melihat seorang yang amat jelek. Kimono yang
dipakainya sudah porak-poranda. Dekil, dan tercabik-cabik.
Wajahnya amat merah menjijikan. Bagaimana tidak
mcnjijikkan kalau merah wajahnya sama dengan pinggiran
bisul? Di salah satu pipinya terdapat benjolan sebesar
jempol Buto Ijoberwama biru. Mulutnya terus saja
mengecap-ngecap, menimbulkan s uara tak sedap. Dan
rambutnya keras serta ''kaku seperti bulu domba tak
terurus.
Delapan Samurai Merah benar-benar yakin mereka
berhadapan dengan orang sinting. Belum lagi kalau
mereka menilai ucapan ngawur yang dikatakan barusan.
Kalau pun benar lelaki itu sinting, tentu dia adalah orang
sinting berilmu tinggi. Buktinya Hiroto dapat disambar
demikian rupa. Pikir mereka lagi.
"Siapa kau?!" bentak lelaki bersenjatakan katana.
Dari sinar matanya tampak sekali kalau dia begitu gusar.
"Iyou-iyou! Siapa aku? Aku adalah orang yang bakal
membuat kejutan. Siapa pun manusia di dunia ini akan
kubuat terkejut! Terkejut adalah kesenangan yang
mengejutkan. Apa kalian tak ingin terkejut? Hua-he-hu-
heaaaa!"
Delapan Samurai Merah saling pandang tak
mengerti. Mereka mau berbuat apa sekarang? Menghabisi
juga orang sinting itu?
Tampaknya lelaki bersenjata katana tak berniat
berurusan dengan si orang dekil tak dikenal. Tujuan
mereka menghadang Hiroto sesungguhnya hanya untuk
membuktikan cerita anak buahnya tentang kawan
asing,Hiroto. Mereka merasa harga diri mereka terusik
dengan tindak-tanduk si anak muda asing.
Kalau orang yang akan dihadapinya kini bukan lah
pemuda itu, bagaimana mereka mau membuang tenaga
tanpa tujuan yang jelas. Seichi Onigawa pun tak membayar
mereka untuk melakukan tindakan itu.
Delapan Samurai Merah menganggukkan kepala
berbarengan,Dan dengan berbarengan pula tangan mereka
membanting sesuatu ke atas tanah.
Blush!
Asap tebal mengepung tubuh kedelapan lelaki
berpakaian merah-merah itu. Amat tebal, sosok mereka
jadi tak tampak karenanya. Ketika angin menyapu
perlahan asap putih tebal tadi, Delapan Samurai Merah
telah tak ada lagi.
"Turunkan aku, Tuan!" pinta Hiroto, sesaat setelah
Delapan Samurai Merah menghilang.
Lelaki dekil berwajah jelek tertawa tak beraturan
"O, iya. Aku sampai lupa," tukasnya. Dilepasnya
begitu saja tubuh Hiroto dari bahu. Kalau saja Hiroto
sejenis lelaki pesakitan, tentu dia sudah jatuh tersungkur
dengan pantat terlebih dahulu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hiroto. Diberinya
sang penolong juraan hormat. Dalam dan khusuk. Sebagai
samurai sejati, Hiroto memiliki tata krama tinggi.
Sementara menjura, hatinya tak habis bergumam.
Hari ini di tempat yang sama, dia sudah dua kali bertemu
dengan orang yang bukan saja bertingkah ganjil, tapi
pakaiannya pun tak karuan. Sebelumnya si kakek bungkuk.
Sekarang lelaki berwajah merah.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, kau ,tak
bisa terus di sini!" sambat lelaki berwajah merah sebelum
mulut Hiroto berucap lebih banyak.
"Kenapa begitu! Tuan?"
"Jangan panggil aku Tuan! Kau pasti punya nama
bukan? Begitu juga aku.... Namaku Tototo."
Mulut Hiroto meringis samar. Nama itu? bisik hatinya
geli. Seumur hidup, tak pernah didengarnya nama seaneh
itu di negerinya ini.... Jangan-jangan dia orang sinting, duga
Hiroto lagi, tak beda dengan pikiran Delapan Samurai
Merah.
"Kenapa tersenyum?!" hardik lelaki bernama Tototo.
Matanya mendelik menyeramkan.
Hiroto menjura lagi.
"Maaf, maaf.... Aku tidak bermaksud apa-apa,"
sergah Hiroto, memperbaiki kesalahannya. "Kenapa aku
tidak bisa masuk ke Kuil Matahari, Tototo San?" Hiroto
mengulang pertanyaan yang sebelumnya terbengkalai.
"Karena aku sudah ke sana."
"Tapi aku belum."
"Tapi kau tak perlu ke sana! Titik!"
"Aku punya urusan yang amat genting dengan Seichi
Onigawa...." Hiroto mencoba menjelaskan.
"Aku bilang tak perlu ke sana. Waktu kau habis-
habisan dikeroyok orang-orang usil tadi, aku iseng.-iseng
masuk ke dalam sana. Tak ada seorang pun di dalam sana.
Tapi tunggu dulu...." Tototo rnenghentikan ucapan-
mencerocosnya Dia mengingat-ingat sesuatu. "Tapi aku
melihat satu gerombolan bersembunyi di sana...."
"Kau bertemu dengan gerombolan Imada-Tong?"
Hiroto teringat pada ucapan kakek bungkuk. Orang tua
bertoya itu juga kalau orang-orang Imada-Tong menanti di
dalam Kuil Matahari.
Tototo mencibir. Wajahnya bertambah jelek.
"Aku bertemu dengan satu gerombolan kecoak!"
tukasnya acuh sambil berlalu dari tempat itu.
Hiroto ragu. Mana yang harus dipercayanya kini.
Orang tua bungkuk sebelumnya mengatakan Seichi
Onigawa dan orang-orang Imaga-Tong menunggunya di
dalam kuil. Sebaliknya, lelaki bernama Tototo ini justru
mengatakan di dalam kuil tak ada orang lagi.
Bimbang meruyak. Kalau dia masuk ke sana juga
dan ternyata Tototo benar, artinya dia akan banyak
kehilangan waktu. Tapi bagaimana kalau perkataan kakek
bungkuk benar?
Karena terlalu dikecamuk kebimbahgan, tanpa
sadar Hiroto menoleh ke arah bangunan Kuil Matahari.
Sewaktu kepalanya menoleh kembali ke arah lelaki
bernama aneh tadi, Hiroto sudah tak menemukannya lagi.
“Siapa pula dia?” Benak Hiroto makin dijejali teka-
teki tak terjawab.
Siapakah orang tua bungkuk bertoya? Siapa pula
Tototo? Apa tujuan keduanya? Apa yang dilakukan si
urakan sakti Pendekar Slebor untuk menolong Hiroto
tanpa perlu membuat harga diri kawannya itu terusik? "
Di mana pula Akimoto disembunyikan? Siapa
pengkhianat keluarga Hiroto?
SELESAI
Ikutl serial Pendekar Slebor selanjutnya :
RAHASIA SANG GEISHA
0 comments:
Posting Komentar