"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 15 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE GEISHA

Geisha

 

GEISHA

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Clntamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor dalam episode : Geisha 128 hal.


1


Musim semi menyapa kota Kyoto. Bunga-bunga

marak bermekaran pada tangkai-tangkai pepohonan.

Kuntum-kuntum sakura menggelepar di udara, terhempas

hembusan angin. Pagi muda datang menyapa bebungaan

dengan cahaya lembutnya. Embun belum lagi enyah dari

kuncup-kuncup daun dan putik bunga.

Di sudut utara Kyoto, sebuah pesta kecil dimulai.

Tawa meriah, perbincangan hangat terbawa angin ke

segenap penjuru. Asalnya dari sebuah bangunan yang

cukup megah bergaya khas Nipon.

Mendekat ke bangunan, semakin tercium kepekatan

aroma sake.*

Di satu ruang dalam rumah ada sekitar lima belas

lelaki duduk bersila di atas tatami* Tangan masing-masing

memegang sakazumi* berisi sake. Seraya menaikkan

sakazumi dengan kedua tangan, mereka lalu bersama-

sama meneguk isinya.

* Sake = Minuman khas Jepang

* Talami = Alas lanlaj tradisional Jepang

Di selingi perbincangan dan sesekali ledakan tawa,

salah seorang dari mereka berkata.

"Semoga Amateras u* memberkati kau dan

keluargamu, Jotaro!"

"Ya, semoga!" timpal yang lain. Sake dituangkan

kembali ke mulut sakazumi masing-masing oleh seorang

wanita jelita berwajah lembut kemerahan, berkimono biru

muda. Dia geisha* Jotaro, si tuan rumah.

Jotaro sendiri duduk di depan pintu geser tembus

cahaya. Dia seorang lelaki berperawakan kekar. Tubuhnya

berotot, gagah sebagaimana penampakan rahang

perseginya. Di antara semua lelaki di tempat itu, Jotaro

paling muda dan tertampan.

Sepagi itu, tak semcstinya mereka mengadakan

upacara minum. Namun karena subuh tadi Jotaro baru saja

dikarunia seorang putra dari istrinya, upacara minum sake

pun dilaksanakan.

Keempat betas lelaki di sekitamya adalah para

kerabat dan handai taulan. Mereka ingin turut berbagi suka

dengan keluarga Jotaro.

"Akan kau beri nama siapa anakmu Jotaro?" tanya

seorang lelaki setengah uimir.

* Amaterasu = Dewa Matahari Jepang

* Geisha = Pelayan wamla

Belum lagi keluar jawaban dari mulut Jotaro,

meledak teriakan menyayat dari pekarangan depan. Dari

nadanya, bisa dinilai kalau si pemilik teriakan saat itu

sedang meregang nyawa.

"Ada yang tak beres dengan pengawal di depan,"

desis Jotaro siaga. Cepat dia bangkit. Matanya menajam ke

pintu dojo* Senjatanya ada di sana.

Yang lain turut bangkit.

Sementara para tamunya yang kebetulan para

daimyo* meloloskan senjata masing-masing. Jotaro

bersicepat berlari ke tempat istri dan bayinya terbaring.

Empat depa sebelum sampai, langit-langit di atasnya

jebol. Sesuatu meluruk dari sana. Jelasnya, seseorang

berpakaian hitam-hitam. Wajahnya sebagian tertutup kain

hitam pula. Sewaktu meluncur, tangan penyerang Jotaro

menebaskan katana*

Wukh!

Kelebatan pantulan sinar mata senjata tadi

ditangkap pengelihatan Jotaro. Naluri ke kstariaan yang

diwarisi keluarga Samurainya memperingati. Dia harus

cepat melompat ke depan atau melempar tubuh kembali

ke belakang jika tak ingin kepalanya terbelah dual

* Dojo = Ruang tempat berlatih beladiri

* Daimyo = Penguasa daerah *

Jotaro memilih untuk menerkam ke depan.

"Heaa!"

Sebentar dia berguling, lalu bangkit kembali seraya

memutar tubuh menghadap lawan.

Saat yang sama, lawan mengirim tiga keping

lempengan senjata rahasia berbentuk bintang ke arahnya.

Rupanya apa yang terpikir Jotaro saat itu tidak meleset Dia

yakin penyerangnya adalah ninja bayaran yang tak ingin

lebih banyak membuang waktu. Terbukti serangan kedua

menyusul gencar.

Swik-swik-swik!

Amat bodoh jika Jotaro membiarkan dirinya

dimangsa empat lempeng senjata rahasia maut itu. Apalagi

sasarannya amat mematikan. Leher, kening, dan dada.

Masalahnya, bukan bagaimana menghindar. Akan

tetapi seberapa cepat dia berkeli.t Runtunan gempuran

lawan begitu cepat. Sementara Jotaro belum siap

menerima datangnya senjata-senjata rahasia.

Trask!

Betapapun Jotaro sudah menghindar sebisanya, tak

urung dua mata logam tajam mengoyak kilat bahu lelaki

itu. Jotaro mengeluh berat. Tangannya berusaha

membendung darah yang mengalir cepat dari luka di

bagian terparah.

Dua-tiga kejap berikutnya, serangan datang lagi.

"Heaa!"

Lawan berpakaian gelap berlari liar menuju Jotaro.

Dua tangannya terangkat tinggi, siap membabatkan katana

ke tubuh calon korban.

Wukh!

"Hih!"

Babatan telengas seolah hendak memotong dua

bagian tubuh Jotaro lewat sisi badan Samurai muda itu. Dia

bcrhasil berkelit tanpa membuang banyak tenaga. Cukup

menggeser badan sedikit ke samping. Kelebihan

tenaganya dimanfaatkan untuk menjegal gerakan lawan

dengan sikut.

Degh!

Tentu saja ulu hati lawan berpakaian hitam-hitam

nyaris hancur menerima sikutan Jotaro. Lebih-lebih karena

tenaga dorongan tubuhnya sendiri menambah kekuatan

sikutan lawan. Maka. tak pelak lagi mata si ninja

membeliak. Napasnya sesak. Terlalu sesak untuk

mengeluarkan teriakan.

Tahu lawan pun tak akan memberi kesempatan

baginya untuk bernapas setarikan pun, Jotaro langsung

menyiapkan satu tebasan -bertenaga ke punggung lawaa .

Wuk-degh!

Melompat suara tulang remuk ke udara. Ninja

hayaran seketika itu ambruk. Cuma gajah yang masih

mungkin bernyawa menerima tebasan Jotaro barusan.

"Kakak!"

Jotaro lerkesiap. Dia amat hafal suara yang

didengarnya meski tersamar di antara riuh-rendah

pertarungan yang sudah pula meletus di ruang depan. Itu

jeritan istrinya!

'Terkutuk!" maki Jotaro kalap.

Diraihnya katana milik lawan di lantai kayu. Cepat

pula dia menghambur menuju kamar Akemi, istrinya. Tak

lagi dia peduli apakah lukanya akan menguras darahnya

atau tidak. Dia harus menyelamatkan istrinya tercinta. Istri

yang baru saja menghadiahkan seorang bayi montok

padanya.

"Akemi!!"

Sambil berlari, Jotaro bcrteriak nyalang. Kalau ada

seorang penyerang terlihat di depannya, dia pasti akan

mencacah-cacahnya di tempat

Tiba di pintu kamar, Jotaro tidak menemukan lagi

siapa-siapa. Tidak Akemi. Tak juga bayinya. Darah si

Samurai muda berusia empat puluhan itu seperti dijerang

seketika. Apalagi sewaktu matanya menemukan bercak

merah di lantai kamar.

"Akan kubunuh kalian semua jika istri atau bayiku

terluka!" sumpah Jotaro, murka memuncak.

Di ujung ancaman membludaknya, empat Iaki-laki

berpakaian ninja melabrak masuk dari dinding penyekat

kamar. Jerami kasur berhamburan tersapu lompatan liar

mereka. Secepatnya Jotaro dikepung.

Keempat pembunuh bayaran itu mulai mengitari

Jotaro. Tak beda dengan sekawanan serigala mewaspadai

mangsa. Langkah mereka teratur, satu-satu. Pertanda

mereka adalah orang-orang terlatih. Tak dapat diremehkan

kehandalan tarungnya. Di tangan masing-masing, siap

senjata pembunuh dari baja. Satu orang menggenggam

katana, sisanya memegang lembing panjang.

Kekhawatiran Jotaro pada keselamatan istrinya

membuat dia menjadi ingin segera memenggal kepala

keempat lawan. Untuk bertanya tentang Akemi adalah

kesiaan. Mereka dididik untuk menjadi seorang ahli

membunuh, bukan para penjawab pertanyaan!

"Zing"

Dari sisi kiri, seorang lawan membuka serangan.

Ganas, ditebasnya katana ke dada Jotaro. Andai terkena,

dada lelaki muda itu akan menganga Jebar.

Jotaro bukan anak ingusan. Dia tergolong Samurai

yang disegani semasa jaya shogun sebelumnya. Babatan

cepat seperti itu dapat dengan cepat ditangkap kejelian

matanya. Dengan satu kayuhan katana ke depan, serangan

tadi dimentahkan.

Trang!

Pijar api terpercik di antara tumbukan mata katana

baja. Jotaro membalas. Disambarnya wajah lawan dari

atas.

Wukh!

Lawan ternyata tak kalah tangkas. Dia menyurut

cepat ke belakang seraya menusukkan mata katana ke

leber Jotaro. Berbarengan dengan pertukaran serangan itu,

lawan lain mencoba memanggangnya dengan lembing dari

belakang.

Telinga Jotaro menangkap desis maut di

belakangnya. Dia bukan saja harus menghindari tusukan

katana lawan di depan Juga harus menghindari tusukan

lain di belakang. Tak perlu bergerak dua posisi, cukup

memindahkan tubuh gesit ke samping, Jotaro berhasil

mengenyahkan ancaman dari dua arah berbeda.

Di samping itu, dia memetik keuntungan lain.

Tusukan lembing menyelonong deras ke depan. Senjata

memang tak punya mata sama sekali. Sekali meluruk, sulit

ditarik.

Wes-jleph!

Lawan yang sebelumnya berusaha bernafsu

menusuk leher Jotaro dengan katana meregang di tempat.

Perutnya tertembus lembing kawan sendiri.

Saat senjata panjang tersebut dicabut, lelaki tadi

pun roboh.kehilangan nyawa. Artinya Jotaro kini hanya

menghadapi tiga lawan. Namun, bukan berarti pertarungan

menjadi lebih ringan. Sebab sekarang sisa lawan menyerbu

serempak!

"Haii!"

Satu putaran katana dibuat Jotaro untuk

melumpuhkan serangan ketiga lawannya sekaligus. Untuk

melakukannya, Jotaro harus mengerahkan tenaga lebih.

Kalau terus begitu, tenaganya lambat-laun akan terkuras.

Sesungguhnya, memang rencana itu yang sedang

dimainkan lawan. Terbukti mereka mengulang kembali

serangan serempak. Dengan arah berbeda dan sasaran

berbeda pula. Satu-satunya yang sama adalah

keseragaman waktu serangan mereka.

Begitu sekian terjangan berbarengan terlewati,

Jotaro mulai kehilangan banyak tenaga. Pertahannya mulai

hmbung. Ketiga lawan pun siap memanfaatkan keadaan.

Sret!

Luka berikutnya menganga di rusuk kiri Jotaro. Hasil

sayatan kilat katana seorang lawan. Luka sebelumnya saja

sudah banyak menguras darah, apalagi ditambah luka baru

pula.

Jotaro semakin menyadari posisinya. Bertambah

sulit serta terdesak. Lari terlalu memalukan bagi seorang

Samurai sejati'. Tapi tindakan dengan pertim-bangan akal

sehat harus dilakukan. Dia mesti memperbaiki posisi.

Jotaro berteriak keras-keras, mencoba memancing

konsentrasi tarung ketiga lawan.

"Haiiii!!!"

Sekelebat berikutnya, samurai luka itu membabat

dengan sisa tenaganya. Katananya bergerak satu putaran

penuh. Hendak dibabat sekaligus tiga lawannya.

Para lawan terkesiap. Tak menyangka Jotaro masih

sanggup melakukan babatan kuat seperti itu. Mereka

melompat berbarengan ke belakang.

Justru itu yang dikehendaki Jotaro. Ruang geraknya

jadi lebih Juas. Di samping itu, terbuka pula jalan lowong

baginya untuk menerjang sekat dinding.

Bergerak seperti harimau luka, Jotaro menerkam

sekat dinding. tubuhnya terlempar keluar bangunan.

Sebentar dia bergulingan di tanah musim semi. Lalu

dijejaknya kaki untuk berguling kembali ke dekat dinding.

Tepat di hawah lantai rumah panggung, Jotaro

menanti lawan mendobrak.dinding pula. Perhitungannya

tepat. Tak ada dua kedip mata, dua lawan menyeruak

keluar. Saat itulah Jotaro menebaskan katana.

Wukh! Sret-sret!

Sekali sabet, dua nyawa!

Senjatanya berhasil mengoyak dalam ke perut dua

lawan tadi. Sayatan itu terlalu dalam untuk bisa

menyelamatkan keduanya. Bahkan scbagian isi perut

mereka berhamburan bersama simbahan darah se-gar!

Jotaro menyeringai. Akan pantas bagi mereka

menerimanya jika Akemi dan bayinya terbunuh, sumpah

Jotaro geram.

Limbung, Jotaro menanti lawan ke tiga. Katana

diacungkan ke depan. Darah masih menetes dari mata

senjatanya. Orang yang dinanti tak kunjung menerohos

juga. Semakin lama menanti, akan kian buruk bagi Jotaro.

Lukanya terus mcngalirkan darah. Matanya mulai

berkunang-kunang.

"Bangsat! Apa si laknat itu tahu aku menunggu di

sini?" rutuk Jotaro dalam hati.

Sekali lagi perkiraan Samurai muda itu menemui

sasaran. Lawan ketiganya ternyata tak begitu bodoh

diperdayai seperti dua kawannya. Dia punya perhitungan

sendiri yang tak kalah licin dari Jotaro.

"Hiaiii!"

Dari wuwungan jerami, lawan yang ditunggu

menukik. Lembing di tangannya siap dihujamkan ke kepala

Jotaro. Serangan yang sungguh bengis. Jadi, pantas saja

jika Jotaro mengimbangi dengan kebengisan pula.

Meski pandangannya mengabur serta kuda-kudanya

limbung, Jotaro tak memiliki pilihan lain kecuali memapaki

hujaman lawan. Dengan sisa tenaga paling akhir, dengan

satu perjudian maut!

Trang!

Kecepatan tangkisan pedang Jotaro sempat

mengejar hujaman lembing lawan. Biar begitu, tenaganya

sudah tak cukup lagi untuk menyingkirkan moncong

senjata lawan cukup jauh dari tubuhnya.

Jleb! "Akh!"

Bahunya tertembus. Tepat di dekat luka bahu kiri

sebelumnya. Sakitnya tentu saja luar biasa. Seorang

Samurai yang tak gentar melakukan seppuku* seperti dia

pun akan berteriak sejadi-jadinya.

Di lain sisi. lawan membiarkan lembingnya

menancap di bahu kiri Jotaro. Dia sendiri mendarat tepat di

depan korban. Dari balik lengan baju kedua tangannya

mendadak menyembul dua bilah belati kecil.

Jreph!

Sampai sudah Jotaro pada puncak penderitaannya.

Dua mata belati lawan menembus langsung sepasang

buah pinggangnya!

Lelaki perkasa itu tersungkur, bertahan dengan

kedua lututnya. Matanya sekarat menerobos mata lawan.

Kekhawatiran pada keselamatan istri dan bayinya

membuat dia masih bersikeras mempertahankan nyawa.

Lawan tak mau membuang waktu lebih banyak.

Katana yang sejak tadi tak terusik, segera diloloskan dari

sarungnya. Perlahan kedua tangan sang ninja menaikkan

senjata ke sisi kepala, seolah hendak mengejek kekalahan

Jotaro.

Sebentar lagi, kepala Jotaro bakal menggelinding.

Sekeras apa pun tekadnya untuk tetap merangkul nyawa,

tak akan berguna lagi jika kepalanya harus lepas dari

badan,

Dalam kegentingan nyawa, Jotaro sadar sesadar-

sadarnya. Dia tak akan bisa menyelamatkan istri dan

bayinya. Untuk nyawa sendiri saja dia sudah tak mampu.

Sebelum semuanya terlambat.... Wush! Tlep!

Mendadak saja katana penjagal raib dari

genggaman lelaki berpakaian hitam. Pasti ada seseorang

mengusili. Tapi sejauh itu, tak seorang pun dilihatnya. Ini

benar-benar aneh, bisik hatinya bmgung. Tak mungkin di

siang bolong seperti ini ada hantu gentayangan....

***

2


"Kau tak bisa memenggal kepala orang hanya

dengan tangan kosong seperti itu...," ejek seseorang tiba-

tiba di belakang si ninja.

Lelaki itu terkesiap. Cepat kepalanya menoleh sigap,

hendak mencari tahu siapa pengacau barusan.

Sekarang dilihatnya seorang memegang katana

miliknya. Seorang pemuda. Usianya terbilang muda.

Berpakaian hijau pupus. Kain bercorak catur tersampir di

bahu. Rambutnya panjang tak terurus. Dari wajahnya tak

ada tanda-tanda kalau dia penduduk asli Kyoto. Atau dari

bagian mana pun negeri Sakura ini. Ada yang menarik di

ikat pinggang pemuda itu. Sebatang pedang bergagang

kepala naga.

"Lupa dengan katanamu?" susul si pemuda asing

dengan bahasa Nippon terpenggal-penggal. Bibirnya

cengengesan. Terlihat tolol kelewatan. Sebaliknya, sinar

mata itu membersitkan kecerdikan berlehihaa Siapa dia?

Bagaimana bisa katanaku disambar demikian rupa? Desis

si ninja. Kalau katananya bisa disambar cepat tanpa

terjihat, bagaimana dia bisa mengukur kesaktian orang itu?

Wukh wukh wuhk!

Si pemuda asing memamerkan kebolehanhya

memainkan katana hasil rampasan di tangannya. Seperti

juga cara merampas, gerak permainan katananya pun

begitu cepat. Tak teratur tapi sulit terukur. Kecepatannya

bahkan membuat mata katana bagai menghilang.

"He he he...! Senjatamu lumayan denok juga. Boleh

kupinjam, bukan? Bukan? Sekalian menjajalnya di

tubuhmu. Boleh, bukan? Bukan?"

Sadar dirinya tak akan unggul menghadapi lawan

barunya, lelaki berpakaian hitam tiba-tiba meloloskan

pedang pendek dari ikatan pinggang.

"Haaah!"

Jlep!

Ditembuskannya pedang tadi hingga melesak ke

punggung sendiri! Memang itu yang diterapkan para ninja

dalam melaksanakan tugas. Mereka harus mati di tangan

sendiri ketimbang tertangkap basah. Kerahasiaan mereka

lebih berharga dari nyawa sendiri!

"E-eh! Sinting juga ini manusia!"tukas si pemuda

asing terkesima. Semula dikiranya orang itu hendak

melabrak. Sambil berdecak-decak tak habis-habis-nya,

pemuda itu melangkah mendekati Jotaro.

"Kau tak apa-apa, Saudara?" Pertanyaan tolol. Si

pemuda tersadar. Cepat disahutinya sendiri pertanyaan

barusan. "Sudah.pasti kenapa-napa..."

Ditahannya tubuh Jotars yang hampir ambruk. Tiga

senjata berbeda yang memangsa tubuh Samurai muda itu

dicabutnya satu demi satu. Sebelumnya beberapa titik

jalan darah Jotaro ditotok. S upaya menghambat keluarnya

darah lebih banyak dan sedikit mengurangi deraan sakit.

"Sss..., siapa kau?" desah Jotaro terputus-putus.

"Aku? Cuma pengembara. Singgah ke sini untuk

mencari tahu keluarga sahabatku.... Ah, sudahlah! Kau tak

boleh banyak bicara dulu."

"Ttt..., tolong a-aku, Tuan...."

"Ya, pasti aku menolongmu. Pokoknya, kau jangan

bicara dulu!"

"Istri dan bb..., bayiku. Mereka men..., culiknya."

"Baik. Tapi kau harus kuamankan dulu."

"Tak ada waktu lagi, Ttt... Tuan."

Genggaman Jotaro mengeras pada kerah baju si

anak muda. Dalam keadaan sekarat, dia masih bisa

memaksa penolongnya untuk mcmentingkan keselamatan

Akemi dan bayinya.

Tidaklah berlebihan sikap Jotaro. Kareha di ujung

kalimatnya terdengar jeritan wanita. Melengking tinggi

seakan dijejali ketakutan teramat sangat

"A.., kemi.... Akemi...," lirih Jotaro. Suaranya makin

kehilangan kekuatan.

Pemuda asing di sampingnya baru menyadari sikap

keras Jotaro. Jotaro sendiri tak ingin diselamatkan meski

nyawanya sudah di mulut gerhang kematian.

"Aku pergi!" putus si pemuda, akhirnya Cepat tubuh

pemuda itu melesat. Tak beda dengan saat datang,

kepergiannya dari tempat tersebut pun sulit diikuti mata

biasa. Tak perlu menelan waktu lebih panjang, dia telah

tiba di tempat asal jeritan.

Di sana tak ditemukannya siapa-siapa. Tidak

perempuan seperti disebut Jotaro, tak juga bayi merah.

Yang ditemukan justru gelimpangan empat belas mayat

lelaki.

Pembantaian baru saja terjadi. Darah menggenang

pekat di sekitar mayat-mayat. Semuanya mati

mengenaskan. Terlalu keji untuk dikatakan, terlalu bengis

untuk digambarkan. Bahkan si pemuda sendiri merasa

cukup sekilas menyaksikan pemandangan itu.

Di antara empat belas mayat lelaki tadi, tampak pula

beberapa mayat berpakaian hitam-hitam. Sama seperti

lelaki yang melakukan seppuku sebelumnya.

"Tampaknya pembantaian ini dilakukan oleh se-

gerombolan orang. Siapa mereka?" bisik pemuda gondrong

itu.

Pertanyaan lamatnya disahuti oleh terjangan

teriakan dari beberapa penjuru.

"Hiaiiii!"

Sring! Sringg! Sring!

Ada-sekitar sembilan lelaki berpakaian seragam

hitam-hitam membentuk kepungan di sekitarnya. Menilik

senjata penuh darah di tangan masing-ma-sing, tampak

mereka ikut andil dalam pembantaian di tempat tersebut.

Si pemuda melirik enteng satu demi satu calon

lawan.

"Kenapa baru sekarang kalian muncul? Aku sudah

kebelet menunggu kalian muncul," mulainya. Nadanya

seramah sambutan wanita murahan.

"Apa tidak sebaiknya kalian mempreteli kain penutup

wajah kalian? Biar aku tahu pasti siapa yang wajahnya

paling jelek. Atau barangkali ada yang hidungnya di jidat,

dan jidatnya di hidung?" oceh pemuda berpakaian hijau

pupus. Kalau ada seorang anak muda sakti bermulut

ceriwis, urakan minta tobat, dan bertampang tanah Jawa,

maka dia gampang dikenal, Siapa lagi kalau bukan

Pendekar Slebor!

Beberapa pekan lalu, anak muda buyut Pendekar

Lembah Kutukan legendaris itu dikejutkan oleh sepucuk

surat. Isinya dibuat oleh Hiroto, salah seorang yang ikut

dalam petualangan hesar di Piramida Tonggak Osiris.

Ksatria Nippon itu mengundang Andika untuk datang ke

negerinya. Padahal semenjak pulang dari Mesir, Andika

beranggapan Hiroto telah gugur (Untuk mengetahui lebih

jelas tentang lelaki ini, bacalah episode : "Undangan Ratu

Mesir". "Piramida Kematian" dan "Warisan Ratu Mesir"!)

Dengan menumpang sebuah kapal dagang yang

hendak melakukan pelayaran ke Nippon,Andika memenuhi

undangan kawan lamanya tersebut.

Kota Kyoto pun dijejaki. Baru saja tiba, dia sudah

mesti terlibat kejadian berdarah. Waktu itu Andika hendak

menuju utara Kyoto. Tanpa sengaja dia melewati tempat

tinggal Jotaro. Ketika itulah disaksikannya pertarungan

hidup-mati Jotaro dengan lawan-lawannya.

Para lawan Pendekar Slebor kini mulai bergerak

mengelilingi. Langkah-langkah mereka teratur serta siaga

penuh. Sesiaga sinar mata keji mereka yang mengawasi

sosok pemuda tanah Jawa itu. Berbeda dengan mereka,

kulit Andika memang agak kecoklatan. Matanya

berkelopak tegas, tak seperti mata sipit para

pengepungnya. Selain itu, pakaiannya pun tampak asing.

"Ngomong-ngomong, kalian hendak menyerangku

atau cuma naksir? Kenapa aku diawasi terus seperti itu?"

Celoteh Pendekar Slebor dibayar teriakan garang

salah seorang lawan. "Heaaah!" Zing!

Mata katana mengancam deras. Tepat mengarah ke

leher kokoh Pendekar Slebor. Dalam keadaan berbau maut

seperti itu, cuma orang sinting yang masih bisa tersenyum-

senyum. Meski bukan orang tak waras, sungguh sulit

dipercaya, Andika ternyata melakukannya!

Senyum itu bukan sekadar ringisan seorang tolol,

Karena menjelang mata katana lawan tinggal berjarak

setengah jari lagi.... Sring!

Mendadak senjata bengis itu tertahan.

Tanpa terbaca mata seluruh lawan, Pendekar Slebor

telah merentangkan kain pusakanya di depan leher.

Padahal si penyerang sudah yakin setengah mampus

kepala calon korbannya akan terpental jauh dari badan.

Sementara matanya sendiri tak pernah menangkap

gerakan tangan lawan. Lalu bagaimana mungkin dia tahu-

tahu sudah membentang kain yang kenyalnya lebih

tangguh dari baja? Hati si penyerang bertanya-tanya takjup.

Lebih mencengangkan lawan lagi, katana itu tak

hanya tertahan. Tapi juga telah terlilit erat di antara simpul

kain!

Ketika lawan hendak membetotnya, senjata itu tak

bergemik meski seujung kuku. Kerasnya seperti sedang

dihimpit sepasang gunung.

Tak putus asa, lawan mencoba betotan ke dua.

Tetap tak bergeming. Dicobanya kembali, tak berhasil juga.

Mata sempitnya bahkan sudah membesar begitu rupa.

Wajahnya sudah sematang merah udang, mengeluarkan

bulir-bulir keringat sebesar biji kacang.

"Hati-hati, Tuan. Jangan terlalu dipaksakan. Nanti

bisulan," bisik Pendekar Slebor persis di depan hidung

lawan.Ocehan si pendekar muda dalam bahasa Nippon

yang tak genah, masuk ke telinga lawan seperti sengatan

lebah. Menyakitkan sekali dihina seperti itu bagi seorang

ninja.

Didorong kemarahan, sang lawan mencoba cara lain.

Disapunya kaki Pendekar Slebor. Kalau kuda-kudanya

dapat dipatahkan, tentu akan menjadi mudah untuk

membetot katananya kembali. Begitu pikirnya.

Berkawal debu, kaki lawan memapas kuda-kuda kiri

Andika.

Pendekar Slebor tak tampak kelimpungan menerima

sapuan kaki cepat itu. Dia hanya mengangkat satu kakinya

sedikit. Maka, sapuan itu hanya memakan angin.

Entah untuk pamer kehebatan atau hanya hendak

menjengkelkan lawan, Pendekar Slebor dengan keterlaluan

membiarkansebelah kakinya terangkat. Di lain pihak,

lawan merasa mendapat angin. Harus dimanfaatkannya

kesempatan itu. Dengan satu kaki, rasanya tak mungkin

lagi pemuda asing di depan ini dapat menahan senjataku,

pikirnya lagi.

Dia kecele. Nyatanya katana itu tetap tak berubah.

Biarpun sudah terasa hendak meletus urat lehernya

mengerahkan tenaga tarikan.

Selatjutnya....

Trang!

Lawari dipaksa terperangah kembali. Samurainya

patah dua saat itu juga! Belum beres keterkejutannya,

Andika sudah menghadiahkan satu hajaran ke kening

lawan. Lebih sinting lagi, anak muda itu sengaja

mempergunakan kening pula!

"Yihaaa!"

Padahal tulang tengkorak Andika sebenarnya tak

sekeras milik lawan. Kalau Andika mengalirkan tenaga

sakti warisan buyutnya hingga tingkat delapan dan

dipusatkan ke kening, itu jadi lain perkara!

Jidat lawan dijamin bukan cuma benjut sebesar

kepalan centeng. Lebih naas dari itu, tulang pelipisnya

retak seketika.

Bertahan hidup dengan serpihan tulang menghujam

otak adalah suatu hal yang tidak mungkin. Sang ninja mati

seketika dengan mata membelalak.

"Malang nian nasibmu, Kawan...," gumam Andika.

Bibirnya meringis. Bukan apa-apa. Biar bagaimanapun dia

merasa pening juga. Terasa ada kunang-kunang bersenda

mengelilingi kepalanya.

Delapan anggota ninja bayaran lain sejak tadi hanya

bisa terperangah-perangah. Tindakan Andika dianggap

mereka begitu luar biasa, Dalam dunia para ninja, samurai,

atau daimyo, kehebatan itu sulit dicari. Kebanyakan ilmu

bela diri mereka Sebenarnya mengandalkan kecepatan

gerak. Selain pengolahan tenaga luar hingga melipat

gandakan kekuatan biasa.

Sementara yang dilakukan si pemuda asing sama

sekali tidak terlihat mengandalkan tenaga yang mereka

kenal. Geraknya bahkan terlalu ringan untuk bisa

meremukkan kaleng kerupuk sekalipun. Di Iain sisi,

hasilnya malah membuat kawan mereka mati dengan

kening melesak sedalam satu jari!

Kedelapan orang itu saling pandang. Bimbang

menentukan apakah mereka harus menghadapi juga orang

asing ini atau pergi. Karena sesungguhnya urusan mereka

telah selesai.

Sampai salah seorang yang tampak berpengaruh

melepas isyarat dengan gerak bola matanya.

Mereka berhamburan serempak. Lari ke arah

herlainan.

"Hei! Aku belum sempat menyaksikan wajah jeIek

kalian, bukan?!"

***

Selahg sekian lama berlari, dua orang anggota ninja

yang terpencar menghentikan langkah. Napas lega

dihempas mereka. Sudah yakin sekali keduanya kalau

sipemuda asing tak mengejar.

"Siapa sesungguhnya orang itu?" tanya salah

seorang pada yang lain. Mereka sudah melepas kain hitam

penutup wajah. Keduanya masih cukup muda. Berusia

sekitar tiga puluhan. Wajah mereka tak ada yang sedap.

Jangankan untuk dipandang, untuk dilihat sekelebatan pun

tidak,

Seperti kebanyakan lelaki Nippon, mata mereka

berkelopak sempit. Pipi salah seorang dijejali jerawat

merah merangas. Hidung peseknya pun tak luput. Dengan

alis jarang, makin buruk saja parasnya.

Kawannya berbibir tebal, berkening tebal, juga

berdagu tebal.

"Mana aku tahu," sahut lelaki berbibir tebal. "Je-

lasnya dia orang asing. Wajah, perawakan, dan pakaiannya

berbeda sekali dengan kita."

"Kira-kira, kau tahu dari mana asalnya?"

"Rasanya dari neraka!" serobot seseorang yang tahu-

tahu menghadang di depan.

Keduanya tercekat. Mereka melihat orang yang

dibicarakan justru sedang asyik memanggang seekor

burung. Persis di tengah-tengah jalan yang mereka lalui.

"Lama sekali kalian.... Aku sudah hampir bosan

menunggu. Untung aku punya sedikit kerjaan untuk

mengisi perut...," celoteh Andika, Sedikit pun tak ada lirikan

di matanya.

Kaki dua lelaki anggota ninja tersurut. Bagi

perhitungan mereka, tak mungkin pemuda asing itu bisa

sampai lebih dahulu. Apalagi telah memanggang seekor

burung! Seorang daimyo andalan shogun pun belum tentu

bisa melakukannya.

"Mau ke mana lagi?" sergah Pendekar Slebor.

Diangkatnya panggangan daging burung ke depan hidung.

"Apa kalian tak mati menemani aku makan?"

Tahulah kedua anggota gerombolan pembunuh

bayaran kalau jalan lari sudah tak mungkin lagi bagi

mereka. Lawan terlalu tinggi untuk dihadapi.

Hanya satu pilihan. Seperti disepakati dalam isyarat

batin masing-masing, keduanya cepat meloloskan pedang

pendek dari balik ikatan pinggang mereka.

Bles!

Keduanya mati melakukan seppuku.

***

3


Pendekar Slebor kembali ke tempat kejadian awal,

rumah Jotaro. Gelimpangan mayat sudah digerayangi lalat-

lalat. Kawanan binatang kecil menjijikkan itu mendenging-

denging, seolah sedang membangun pesta-pora.

Nyawa seperti tak ada arti. Seperti tak lebih berharga

dari kotoran tempat lalat mencari makan. Kenyataan getir

yang selalu harus Andika telan.

Anak muda dari tanah Jawa itu merasa harus

kembali ke tempat tersebut. Ada dua alasan buatnya.

Pertama dia harus menemukan Akemi dan bayinya. Untuk

memulai pencarian, tempat paling tepat satu-satunya

adalah dari rumah kediaman keluarga malang itu. Kedua,

Andika harus menguburkan sekian mayat di sana. Untuk

yang terakhir, Andika akan mencari bantuan penduduk

setempat.

Hiroto datang selagi Andika mencoba mencari sedikit

petunjuk untuk dijadikan acuan mencari Akemi dan

bayinya.

'Andika San*!"

"Ah, Hiroto! Kebetulan sekali!" Samurai muda

membungkukkan tubuh.

"Selamat datang di negeri kami," katanya, memberi

sambutan.

"Tampaknya kita tak bisa banyak berbasa-basi,"

lukas Andika. "Kita harus cepat menyelamatkan istri dan

bayi lelaki malang kepala keluarga rumah ini”

Hiroto membungkukkan badan lagi.

"Maaf kalau Andika San terlibat semua ini. Soal

Akemi dan bayinya, aku telah berhasil menyelamat mereka.

Mereka telah kuamankan," tutur Hiroto.

Andika lega. Phiuhh....

"Hei, tampaknya kau kenal mereka?" tanya Andika.

"Jotaro. kepala keluarga rumah ini adalah adikku,"

jawab Hiroto. Suaranya terdengar melandai. Ada getar

kehilangan pada kalimatnya, meski seorang ksatria sejati

seperti dia terbiasa bersikap tegar.

"Aku turut menyesal."

Hiroto tak ingin terlarut. Segera didekati dua sosok

mayat anggota ninja. Usai meneliti sebentar, ditemukannya

rajah di dada kedua mayat itu. Rajah berbentuk seperti

trisula pendek yang memiliki dua mata pada kedua

ujungnya. Andika melihat. Gambar itu jelas tidak berarti

apa-apa baginya. Kecuali bagi Hiroto.

"Imada-Tong, sudah aku duga...," gumam Hiroto. '

Apa yang kau ketahui tentang mereka, Hiroto?'

"Mereka adalah perkumpulanrahasia para

pembunuh bayaran yang paling ditakuti di negeri mi," papar

Hiroto, menjawab pertanyaan Andika.

'Tak bisa kupercaya keluargaku akan terlibat dengan

mereka," keluh Hiroto.

***

Akemi.

Seorang janda malang nan memikat. Layaknya

kebanyakan perempuan Nippon, matanya agak sipit. Di

antara kelopak matanya, tumbuh bulu lentik. Akan

mempesona manakala matanya mengatup dan membuka.

Kulitnya sebersih susu. Dengan tubuh sintal meski pun

belum lama melahirkan. Ramuan tradisional turun-temurun

tampaknya membantu mengembalikan kembali kemolekan

tubuhnya. Rambutnya legam, digelung gaya wanita Nippon.

Sewaktu bertemu Pendekar Slebor, wanita itu berpakaian

kimono hitam, seakan sedang berkabung atas kematian

suaminya, Jotaro.

"Perkenalkan. ini Andika San...," kata Hiroto,

memperkenalkan Andika pada Akemi.

Kedua ksatria dari negeri berbeda itu telah tiba di

rumah pengasingan rahasia Hiroto, sekitar setengah hari

perjalanan dari rumah Jotaro. Akemi sudah tiba lebih

dahulu. Sebagai anggota keluarga, dia memang

mengetahui tempat rumah pengasingan rahasia yang

bentuknya mirip kuil itu.

Akemi cepat-cepat menjura dalam. Matanya hanya

sekejap menatap wajah si pemuda tanah Jawa.

Selanjutnya dia lebih banyak merunduk.

Demi menyaksikan kecantikan janda di depannya,

Andika tak mau buru-buru berkedip. Ditatapinya Akemi.

Dinikmatinya kulit wajah selembut sutera perempuan itu.

Hidungnya yang bangir menipis menggelitik kegemasan

Pendekar Slebor. Desir darah anak muda itu menjalang.

Dadanya jadi tak karuan.

"Andika San...," Hiroto hendak mengajak Andika

berbicara. Tapi Andika malah terus saja melompong,

menggeleng-geleng dan mendecak-decak.

"Andika San...," ulang Hiroto sekali lagi. Lebih keras.

'Oh-eh, apa?!" kesiap Andika.

"Akemi kutemukan tak jauh dari rumahnya. Dengan

bayinya dia bersembunyi di kuil tua."

"Ooo," Andika cuma bisa memonyongkan bibir. Dia

tak begitu peduli pada penuturan Hiroto. Yang paling

dlpedulikannya sekarang ini cuma bibir ranum Akemi yang

terus dipandanginya. Dadanya kian berdentum-dentum.

Sungguh menggoda bibir itu, bisik hatinya.

Dasar buaya!

Dengan agaksusah-payah, Andika akhirnya bisa

menguasaj diri kembali.

"Tapi kenapa kau sudah ada di sini, Nyonya?" tanya

Andika. Anak muda itu agaknya cuma ingin berbasa-basi,

setelah mendengar ucapan Hiroto yang tadi tak begitu

ditanggapi. Dia sedikit malu hati!

"Aku ketakutan sendiri di biara tua itu. Aku takut

gerombolan ninja dapat menemukan aku dan bayiku.

Karena itu aku memutuskan untuk lari ke rumah Kak

Hiroto...."

"Hmm, perempuan ini punya nyali besar," puji Andika

dalam hati. Bukan hal yang tak berbahaya bila dia harus

berjalan setengah harian membawa bayinya ke tempat

Hiroto. Jika ada anggota gerombolan yang kebetulan

menemukan, maka habislah dia!

"Sebaiknya Andika San beristirahat dulu."

"Aku tak begitu letih." tolak Andika. Rasanya dia

masih belum puas bertemu Akemi.

"Bukan begitu, Andika San. Aku mengundangmu

datang ke negeri ini karena ingin bertemu dengan sahabat

lama. Aku ingin menjamu agar kau senang. Mungkin kita

bisa berbincang-bincang tentang pengalaman lama kita di

negeri Mesir. Tapi, nyatanya Andika San malah terlibat

dengan semua kekacauan ini. Jadi, aku rasa ini waktu yang

tepat untuk menjamu Andika San. Sebelum semua

kekacauan meledak lagi...."

Andika tak bisa menolak lagi. Dengan napas agak

dibanting, dianggukinya permintaan Hiroto. Hiroto bertepuk

dua kali.

Dari ruang dalam, keluar seorang perempuan muda

cantik. Wajahnya tak kalah dengan Akemi. Begitu juga

tubuhnya. Wanita itu berkimono berwarna merah muda.

Dia adalah geisha milik Hiroto.

Andika menyumpah-nyumpah dalam hati. "Sial!

Kenapa banyak sekali makhluk menggemaskan di tempat

ini?!"

Dengan berjalan merunduk-runduk seraya me-

megangi belahan kimono di bagian pahanya, wanita itu

duduk dengan kepala tertunduk.

"Coba kau antar Tuan Muda ini ke pemandian air

hangat. Dia tentu ingin membersihkan diri. Layani dia

dengan baik...," ucap Hiroto datar.

Geisha cantik di dekat pintu geser merundukkan

badan.

"Silakan...," hatur Hiroto seraya mengangsurkan

tangan pada Andika.

Sang geisha keluar ruangan. Andika mengikuti lanpa

banyak cincong. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya! Di

bagian belakang rumah, ada ruang khusus untuk

pemandian air hangat. Bak besar dari kayu tersedia di

sana. Di dalamnya, air mengepulkan uap yang lamban

mendaki ke udara. Tak jauh dari bak itu, satu baki sake

dan sakazumi sudah pula disiapkan.

Andika diajak masuk ke ruang itu oleh si geisha.

"Silakan Tuan membuka pakaian...," kata perempuan

cantik berpipi halus agak bersemu kemerahan itu.

Andika menatapnya tak mengerti. Bagaimana dia

bisa membuka pakaian kalau seorang perempuan cantik

ada tepat di depannya? Apa itu tidak sinting, pikirnya.

"Kau tetap di sini?" tanya Andika, seperti orang

linglung.

Geisha tadi mengangguk. Ada senyum tersembul di

bibir tipis memerahnya mendengar kalimat dalam bahasa

Nippon yang begitu berantakan diucapkan Andika.

Andika dipaksa cengar-cengir serba salah kalau

sudah begitu.

"Ng..., bagaimana, ya...," gumam Andika. "Apa kau

tidak perlu keluar?" pancing Andika. Dia agak risih kalau

berterus terang.

Geisha tadi tersenyum kecil lagi. Sekali ini kar¬na

dia menemukan paras Andika yang sudah tak karuan lagi.

Antara serba-salah, risih, dan malu yang campur-aduk!

Bodoh sekali kesannya.

"Kalau Tuan menyuruh saya untuk keluar, saya akan

keluar," kata si geisha.

"Biasanya tamu-lamu Tuan Hiroto yang lain

bagaimana?" Andika penasaran. Dia jadi mau tahu apa

memang hal itu sudah biasa di tempat yang asing baginya

ini.

"Bagaimana maksud Tuan?" Geisha berkimono

merah muda balik bertanya.

Andika ragu-ragu. Mau bilang langsung, masih rada

sungkan. Mau tak bilang dia pun tak bisa. Masa' iya dia

mesti menganggap wanita di sebelahnya tak ada

sementara dia melepas pakaiannya?

"Maksudku..., ng hee-he-he!" Andika garuk-garuk

kepala. Gatal atau tidak, dia tak peduli. Pokoknya garuk

kepala! "Maksudku, apa mereka tak menyuruh kau keluar

dulu sewaktu mereka membuka pakaian?" Anak muda itu

akhirnya nekat. Bukankah malu bertanya sesat di jalan?

Mendapati tingkah anak muda asing yang

dianggapnya begitu lugu, geisha tadi tertawa tertahan.

"Kenapa malah tertawa? Apa pertanyaanku lucu?"

Jawaban yang didapat Andika sama. Tawa tertahan

geisha cantik didekatnya. Dengan kedua tangannya dia

berusaha menyembunyikan tawa itu.

"Tuan meminta saya keluar?" akhirnya geisha itu

mulai paham maksud Andika.

"Betul!" tukas Andika girang sekali. Rasanya seperti

baru terbebas belenggu, dia membatin.

Geisha Hiroto keluar dengan langkah-langkah

pendeknya yang terhalang kimono. Terdengar geser halus

ketika tangan lembutnya menutup pintu,

Andika lega sekarang. Mau buka pakaian tak akan

jadi malu. Karena itu cepat-cepat dibukanya pakaian. Satu-

satu, sampai tersisa yang dianggap tak perlu dibuka. Anak

muda itu sudah tak sabar ingin merasakan bagaimana

nikmatnya resapan air hangat di dalam bak, Ingin juga

menghirup aroma rempah-rempah yang dicampurkan ke

dalamnya.

"Wahl, sekali seumur hidup aku mandi seperti ini,"

gumamnya seraya melangkah mendekati bak besar. Dua

langkah ke depan, pintu di belakangnya terdengar bergeser

lagi. Geisha tadi hendak masuk kembali.

"Mak!"

Tak alang kepalang kelimpungannya Andika

meloncat ke dalam bak besar. Byur!

Lama anak muda urakan itu tak berani muncul dari

dalam air. Cuma terdengar bunyi gelembung-gelembung

udara keluar dari napasnya. Dia tak mau muncul sebelum

yakin benar wajahnya sudah tak merah padam karena

malu!

Perlahan-lahan, dengan rambut basah kuyup kepala

pendekar muda itu akhhirnya muncul juga.

"Maaf Tuan. Hiroto San menyuruh saya mengantar

pakaian ganti," tutur sang geisha di mulut pintu. Di

tangannya ada setumpuk pakaian dalam beberapa warna.

Andika cengengesan. Maksudnya unluk menutupi

rasa malu yang membekas di raut wajahnya..

"Lain kali, kau... ah, sudahlah!" tepis Andika, urung

mengingatkan perempuan muda jelita di mulut pintu.

"Sekarang, apa saya sudah boleh masuk dan

mcmbersihkan tubuh, Tuan?" tanya sang geis ha, membuat

Andika membuka mulut tak dapat bicara....

"Ng..., siapa namamu, Nona?" tanya Andika,

mengalihkan pembicaraan. Dia merasa ditelanjangi

mentah-mentah saat pelayan wanita itu menawarkan

layanan yang dianggap Andika keterlaluan tadi.

"Kissumi."

"Hm..., nama bagus," puji Andika asal bunyi. Tahu

tidak dia artinya.

"Kau mau menolongku, Kissumi?"

Wajah perempuan bernama Kissumi menjadi cerah

mendengar permintaan Andika. Selaku seorang geisha, diri

dan kehormatannya dipertaruhkan untuk menyenangkan

tuannya.,

"Apa saja, Tuan...."-

"Panggil aku Andika."

"Baik, Andika San."

"Tolong kau keluar selama aku mandi. Kalau kau

terus berada di situ, sehari-semalam aku bisa berada

dalam bak hangat ini!" pinta Andika. Mana mau dia

menjadi matang seperti toge rebus!

Wajah Kissumi menyemburatkan kekecewaan

mendalam mendengar permintaan Andika. Dia seperti

tidak diberi kesempatan untuk melayani tuannya

sepenuhnya. Padahal, apa pun siap dilakukan. Penolakan

baginya seperti kehormatan dirinya ditelantarkan.

Andika tak peduli. Dia begitu semata karena tak

tahu. Mendapati ada kekecewaan di wajah Kissumi, Andika

jadi berpikir lagi. Apa dia telah melakukan kesalahan?

"Ah, aneh-aneh saja negeri orang-orang sipit ini,"

gerutunya sambil menciduk air hangat ke kepalanya.

Tak memakan waktu lama, pendekar muda dari

tanah Jawa itu sudah keluar dari ruang pemandian.

Mandinya memang selalu seperti capung cebok. Kebiasaan

dari kecil yang terus dibawanya sampai sekarang. Kalau

sekarang dia mandi agak lama, itu pasti mandi terlama

yang pernah dilakukan selama hidup! Pasti!

Pakaian yang disediakan Kissumi sudah pula di-

kenakan Andika. Anak muda acuh itu tak mau pilih-pilih

lagi, meski ada beberapa potong pakaian disediakan. Yang

tersambar tangannya, itu yang dipakai. Kebetulan yang

didapat wama putih, sangat sepadan dengan kulilnya yang

coklat garang.

Pantas tidak pantas, Andika menyampirkan pusaka

ke bahunya. Benda itu jelas tak sama dengan pakaian

butut bau siluman pasar yang Biasa dipakainya. Kain itu

pusaka berharga dari buyutnya sendiri Pendekar Lembah

Kutukan. Mana mau dia meninggalkan begitu saja?

Sementara di ikatan kimononya diselipkan sebilah

pedang. Pedang Pusaka Langit. Senjata pusaka itu

didapatnya dari Chin Liong, seorang panglima Kerajaan

Cina yang juga sahabat baiknya. (Tentang hal itu, bacalah

episode : "Perompak-Perompak Laut Cina"!)

"Ah, Andika San. Bagaimana pelayanan Kissumi?"

sambut Hiroto di ruang minum teh.

Andika buru-buru mengangguk

"O, memuaskan! Sangat memuaskan!" serunya

dengan sedikit sandiwara. Dia tak mau memburukkan

nama Kissumi di depan Hiroto.

"Bagus! Bagus!"

Hiroto tampak gembira sekali. Kepalanya bahkan

sampai terangguk-angguk keras.

"Kau sudah 'bermain' dengan Kissumi, Andika San?"

aju Hiroto bersemangat.

Bermain? Andika terlongo. Sama sekali tak

dipahaminya pertanyaan Hiroto.

"Bermain apa maksudmu?" Karena penasaran,

Andika akhirnya bertanya. Tak peduli apakah nanti

dianggap bodoh oleh Hiroto atau tidak.

Hiroto malah tergelak. Kepalanya mendongak,

memperlihatkan jakun yang turun naik. Perlakuan lelaki itu

makin memperosokkan si Pendekar Slebor dalam liang

ketidak mengertian.

"Katakan padakn. Hiroto. Apa maksudmu dengan

'bermain'?" susul Andika lagi. Makin lugu saja sikapnya di

mata Hiroto. "Apa tradisi negeri ini menyediakan mainan di

bak mandi seperti kebiasaan bocah?" Andika mendesak.

"Atau……"

Mendadak pendekar muda itu memancung ka-

limatnya sendiri. Benaknya mulai bisa mengendusi apa

maksud lelaki muda Nippon di depannya.

Tanpa berkedip, Andika berbisik.

"Apa di negeri ini seorang pelayan wanita siap

melakukan apa saja?" tanyanya hati-hati. Cuma takut kalau

pertanyaannya ternyata salah.

Hiroto mengangguki.

"Semuanya?!" sentak Andika.

Hiroto tergelak lagi.

Andika malah terbengong lagi.

Seorang anak lelaki berusia lima tahun masuk ke

ruangan. Didekatinya Andika yang sedang meneguk teh

hangat. Dengan kehangatan polos, Andika ditubruknya.

Bocah kecil lucu berkepala hampir botak itu bergelayut di

bahu Andika.

"Akimoto!" hardik Hiroto. "Jangan bersikap tak sopan

seperti itu pada tamu Ayah!"

Anak yang dipanggil Akimoto menyusutkan badan.

Perlahan dia beringsut dari bahu Andika. Wajahnya terlipat.

Antara takut dan kesal.

"Dia anakmu, Hiroto?" tanya Andika.

"Hai*! Anak tunggalku, Andika San. Nakalnya bukan

main!"

"Siapa namanya tadi?"

"Akimoto."

"Haaa, Aki.... Aki...," Andika ingin menegur bocah

yang sudah beranjak ke sampingnya. Tapi nama anak itu

terlalu sulit buat telinganya. "Aki apa tadi?"

"Akimoto."

”Yah Akimoto! Kenalkan...." Andika menjulurkan

tangan pada Akimoto. "Paman Andika dari tanah Jawa,"

sambungnya memperkenalkan diri.

"Di mana tanah Jawa, Paman Andika?" tanya

Akimoto. Anak itu tampaknya cepat akrab dengan siapa

saja. Matanya berbinar ketika mengetahui tamu ayahnya

tak marah padanya.

"Jauh! Jauuuh sekali!" Andika pun berusaha akrab

dengan bocah lucu itu. Waktu bilang 'jauh', bibirnya pun

jadi ikut 'jauh'.

Akimoto terkikik melihatnya.

"Ayo, Akimoto. Kau main di luar. Jangan ganggu Ayah

dan teman Ayah!" perintah Hiroto.

Akimoto cemberut lagi. Sebelum keluar pintu, bocah

itu mengepalkan tinjunya pada Andika. "Paman Andika

pandai berkelahi?!" tanyanya seperti menantang.

Andika tertawa. Ditepuknya dada.

"Paman jagonya!" sesumbar Andika, bergurau.

"Kalau begitu, nanti berkelahi sama Akimoto, ya?!"

Setelah itu Akimoto kecil berlari. Hiroto hampir saja

mencambuknya dengan tali samurai. Tawa kecil terkikiknya

masih terdengar.

'Dasar anak-anak...," ujar. Andika. Kepalanya

menggeleng-geleng.

"Aku tak menyangka kau sudah menikah. Mana

tstrimu? Sejak aku datang, aku tak melihatnya...," tanya

Andika kembali.

Hiroto seperti tepekur sejenak. Tangannya

rriengusap-usap dagu mengiringi helaan napas panjang

dan dalamnya.

"Istriku meninggal ketika melahirkan Akimoto,"

desahnya.

"Ah, kalau begitu aku turut menyesal. Kau tentu

kehilangan?"

"Ya. Dia amat kucintai. Rasanya tak ada lagi wanita

yang bisa kucintai selain wanita itu."

"Kau jangan berkata seperti itu. Nanti pun kau akan

menemukan lagi wanita yang kau cintai. Kucing tak pernah

kehilangan selera pada daging, bukan?" seloroh Andika,

mencoba menghibur temannya.

"Meoongg.... Ha ha ha!" ledek Andika setelah

mcnirukan suara kucing.

Hiroto tertawa juga akhirnya.

Kedua teman lama itu kembali mereguk teh hangat.

Malam di luar mengungkung hari. Gemerisik daun-daun

terbawa angin terdengar sampai tempat mereka. Musim

semi memang menumbuhkan banyak bunga. Tapi daun

kering di tanah masih tetap menumpuk tebal.

Desau angin yang menyelinapi malam ditebas oleh

suara yang jauh lebih kcras. Suara lengkingan seorang

anak kecil dilanda ketakutan. .*

"Akimoto!" sergah Hiroto tersentak. Tubuhnya

bergegas bangkit Cepat disambarnya samurai di dojo.

Andika tak perlu ambil apa-apa. Senjata yang

diperlukan sudah ada padanya, kain pusaka dan Pedang

Pusaka Langit. Itu pun belum tentu dipergunakan jika

keadaan tak begitu mendesak: Dia langsung mencelat

keluar melalui jendela yang terbuka.

Di luar, di antara gemerisik kecil daun kering, anak

muda itu tak menemukan siapa-siapa. Keadaan lengang.

Terlalu lengang untuk bisa disebut genting. Bahkan sosok

si kecil Akimoto tak juga didapati.

"Ada yang tak beres...," nilai Andika, berbisik.

Dibiarkannya tubuh terdiam, mempertahankan kesiagaan

puncak. Segenap kemampuan inderanya terkerahkan.

Terpusatkan.

Ada yang tak beres. Kenyataannya memang begitu.

Dengan tiba-tiba, tumpukan dedaunan kering di tanah

berhamburan di beberapa tempat.

Andika tercekat. Benaknya sama sekali belum dapat

menebak apa yang tengah terjadi. Sampai semuanya

benar-benar jadi jelas ketika dari hamburan dedaunan

kering tadi mencelat keluar belasan orang-orang

berpakaian hitam-hitam! Mereka siap dengan senjata

masing-masing. Semuanya siap merencah Pendekar

Slebor!

"Kalian lagi...," gerutu Pendekar Slebor dalam. Biar

bagaimanapun dia benci membunuh. Orang-orang seperti

para pengepungnya kini adalah orang-prang yang selalu

memaksa Andika untuk menodai tangan dengan darah.

Mereka akan membunuhnya tanpa perlu memberi

kesempatan sedikit pun atau alasan apa pun. Kalau ada

yang hendak membunuh, bagaimana Pendekar Slebor bisa

menghindar untuk tidak membunuh pula dalam

mempertahankan diri?

Sebelum gerombolan berpakaian hitam maju

menerjang, dari dalam rumah, sesosok tubuh tegap

perkasa menerobos dinding kertas. Di tangannya katana

siap disabetkan!

"Heaaa...!"

Gerombolan ninja tersentak sejenak. Naluri tarung

terlatih mereka segera menyadari bahaya datang. Mereka

menggerakkan senjata bersamaan. Serangan mendadakitu

tak urung mengacaukan bentuk kepungan mereka

terhadap Pendekar Slebor.

Zing! Trang!

Salah seorang dari mereka bersiaga ke tengah

kepungan. Saat yang sama, Hiroto. si penyerang dari

dalam rumah disambutnya. Ditangkisnya tebasan lurus

katana Hiroto.

Pijar-pijar liar tercipta dari tumbukan senjata Hiroto

dengan katana lawan. Sekejap suasana jadi benderang.

Garis-garis wajah berang Hiroto tersembul sekejapan pula.

Lawannya tersurut. Tebasan Hiroto terlalu kuat. Dengan

perhitungan yang keliru, tentu saja tindakan memapaknya

akan menjadi satu kesalahan.

"Haih!"

Traang!

Tanpa memberi kesempatan, Hiroto menyusulkan

serangan. Tak kalah kuat, tak kalah mengancam. Lawan

tadi masih sempat mengikuti arah katana Hiroto. Pada

gerakan selanjutnya, dia malah terkecoh. Senjata Hiroto

dapat ditahan agar tidak menebas pinggangnya, secara

tiba-tiba terangkat penuh kekuatan.

Bles!

"Khh!"

Hanya sempat melempar erangan pendek, leher

lelaki berpakaian hitam tadi tertembus katana Hiroto!

Pendekar Slebor, meski sudah kenyang menelan

kekejiaan demi kekejaman dunia persilatan tak urung

bergidik juga menyaksikan cara kawannya membereskan

lawan. Dari sana, Andika bisa menilai. Hiroto tak ingin

menganggap sepele satu orang pun di antara gerombolan

Imada-Tong. Kalau perlu membunuh dengan cara berkesan

keji seperti tadi, dia akan melakukannya.

Mendapati satu rekannya mampus, anggota

gerombolan Imada-Tongyang lain serempak menyerbu

Hiroto di tengah kepungan. Pendekar Slebor sekararig

harus turun tangan. Karena dia pun tampaknya menjadi

sasaran serangan, di samping Hiroto.

Pendekar Slebor maupun Hiroto tahu, agar bisa lebih

menguntungkan di bawah hujanan serangan serempak

seperti itu mereka harus saling memunggungi. Dengan

begitu, mereka bisa saling melindungi.

Lawan pun akan mendapat kesulitan menyerang dari

arah belakang.

Tapi, Andika punya pikiran Iain.

Tanpa bisa dimengerti Hiroto, anak muda sakti dari

tanah Jawa itu melayang tinggi-tinggi di antara kepala

penyerangnya. Belasan lelaki berpakaian hitam terdongak.

Di balik kain hitam penutup wajah, tentu wajah mereka

berkerut karena terkejut. Gerakan ringan seperti tak

memiliki bobot yang dilakukan Pendekar Slebor

mengagumkan mereka. Untuk bisa melakukan itu, mereka

mungkin harus mempelajarinya puluhan tahun. Sementara

usia anak muda itu tak lebih dari tiga puluhan.

Keterperanjatan tadi tak dibiarkan mereka lebih

lama. Mereka adalah orang-orang terlatih. Pembunuh

berkeahlian tinggi. Salah satu godokan keras yang didapat

mereka adalah tempaan mental. Dalam keadaan yang

mampu mengguncangkan jiwa manusia biasa mereka

dapat menghadapinya dengan sikap dingin. Jadi,

kehebatan yang diperlihatkan Pendekar Slebor tak sedikit

pun mengkerutkan nyali mereka.

Sigap, beberapa orang di antara mereka melempar

tubuh, mengikuti arah Pendekar Slebor. Beberapa saat

tubuh' mereka bergulingan di tanah, sementara tubuh

Pendekar Slebor melayang di atas mereka. Karena

menganggap Pendekar Slebor jauh lebih piawai dan

berhahaya dari Hiroto, maka kekuatan lawan sebagian

tersedot ke arah Andika Tinggal dua penyerang yang

mencoba menyingkirkan Hiroto. Itu memang maunya

Pendekar Slebor. Dia ingin Hiroto cepat menyelesaikan

penyerangnya lalu segera mencari Akimoto.

Manakala Andika sudah menjejakkan kaki, mereka

pun berdiri nyaris berbarengan. Seperti telah diatur,

mereka langsung berdiri membentuk kepungan baru bagi

Pendekar Slebor.

Plok! Plok! Plok!

Pendekar Slebor bertepuk tangan ramai.

"Kalian sudah cukup pintar. Setelah ini, kalian bisa

mendapatkan sesisir pisang!" ocehnya, menganggap para

lawan kera peliharaan yang baru selesai dilatih.

Dua-tiga pengurungnya mendengus berat.

Berbarengan mereka menyerbu ke tengah-tengah, tempat

Pendekar Slebor berdiri. Teriakan para Imada-Tong itu

menyatu. Menggelegar menyeruak malam karena

memadat satu dengan yang lain. Katana di tangan mereka

terayun ke atas, siap membelah-belah tubuh pemuda

berkulit coklat.

Dalam kegentingan seperti itu, PendekarSlebor

masih sempat menukas.

"Hei, jangan sewot dulu! Apa kubilang kalian ini

monyet-monyet yang baru kulatib?! Aku tidak mengatakan

itu bukan?!"

Lalu tubuh anak muda itu mencelat. Bacokan buas

lima belas katana hanya berbenturan satu sama lain.

Sasarannya malah mengapung hanya tiga jengkal di atas,

seperti anak monyet bcrjongkok di udara.

"Kalian saja yang terlalu cepat tersinggung!" tambah

Andika. Tubuhnya tahu-tahu sudah bertengger di salah satu

ujung katana. Tanpa mengubah posisi tubuh, anak muda

itu berjongkok santai seraya mengusap-usap kepala

seorang lawan.

Para penyerang geram. Baru kali ini mereka bertemu

dengan seorang yang begitu punya nyali mem-permainkan

anggota gerombolan Imada-Tong. Perkumpulan pembunuh

yang memiliki pamor paling menakutkan di negeri Sakura

itu!

Serempak mereka menarik katana.

Andika meluruk turun ke bumi. Sambil meluncur,

mulutnya menyambung ocehan lagi.

"Atau kalian memang benar-benar monyet-monyet

yang mengenakan topeng kain?! Nyet! Nyet!"

Sekerdip sebclum kakinya menyentuh tanah, para

lawan membabatkan senjata kelima belas tempat berbeda

di tubuh Pendekar Slebor. Itu akan menutup seluruh ruang

gerak Pendekar Slebor. Ke mana pun Andika bergerak,

maka mata katana setajam pisau cukup siap

menyambutnya. Siap mengoyak kulitnya! Sungguh

serangan handal yang amat sulit dihindari.

Jangan sebut Pendekar Slebor kalau untuk Itu saja

dia akan kehilangan taktik tarung.

Dengan mengandalkan kecepatan gerak yang amat

dikagumi kalangan persilatan, Andika justru sengaja

menyorongkan tubuh ke satu mata pedang Mata lawan

membelalak sekejap. Mereka tak menyangka si anak muda

berwajah asing melakukan itu.

Dalam selang waktu yang lebih cepat dari kedipan

kelopak mata, tangannya menjulur cepat ke gagang

pedang lawan, berkejaran dengan gerak sabetan katana

yang siap memenggal lehernya.

Tik!

"Wuaaa!"

Lagi-lagi para lawan dipaksa membelalak. Seorang

kawan mereka telah melepas katana yang mestinya sudah

memenggal leher si anak muda. Sebelah tangannya

memegangi tangan yang lain. Sentilan kecil Pendekar

Slebor telah membuat sebagian tulang tangannya retak!

Andika meringis sendiri Sengaja untuk mencemooh

lawan.

"Aduh, bagaimana ya...," gumam Andika berpura-

pura tolol.

Lawan yang telah retak tulang tangannya,

meloloskan senjata yang lain. Dari ikatan pinggangnya

ditarik satu senjata dari rantai tipis panjang. Bahannya dari

baja. Pada kedua ujung rantai terdapat bandul pemberat

dari baja pula.

Wukh-wukh-wukh!

Udara diisi suara menderu ketika rantai itu diputar

pemiliknya.

"Mau apa kau dengan rantai itu? Itu bukan kalung

warisan nenekmu yang sudah meninggal terserang panu,

bukan? Jangan! Jangan! Ampuni aku.... Aku takut nenekmu

mengutukku menjadi biang dari segala biang panu!"

seloroh Andika. Dipasangnya wajah takut. Meringis-ringis

dia. Dibuat-buat. Jadi lebih mirip orang telat buang hajat

daripada orang ketakutan.

Rantai tadi pun dilepas. Putarannya merangsak ke

angkasa. Lalu menukik cepat ke kaki Andika. Srrt!

Seketika sepasang kaki Pendekar Slebor terjerat

ketat. Sebetulnya, tak sulit bagi pendekar muda dari tanah

Jawa itu untuk menghindar. Namun di benaknya dia punya

rencana yang lebih menyenangkan ketimbang cuma

menghindar.

"Yah...," keluhnya seperti bocah baru 'ketelepasan'

ngompol di celana. Dilirik sepasang kakinya.

Terjeratnya kaki lawan, menjadi aba-aba khusus

untuk kelima belas anggota Imada-Tong untuk menerjang

Pendekar Slebor kembali. Semuanya masih bernafsu untuk

menyarangkan mata katana masing-masing ke tubuh

lawan. Kecuali lelaki yang tangannya terluka. Dia seorang

diri menggunakan pedang pendek yang dilepasnya dari

ikatan sepatu.

Ikatan baja tipis di kaki Pendekar Slebor demikian

kuat. Beberapa korban sebelumnya tak ada yang bisa

melepas nya dalam waktu cepat. Apalagi dibayangi

serangan susulan di sekitarnya.

Belasan mata katana dan satu pedang pendek

mendekat dan mendekat demikian cepat. Setiap senjata

seperti punya mata sendiri untuk memilih bagian tubuh

lawan yang paling empuk!

***

5


Di dekat sebuah sungai kecil, tiga orang berpakaian

segelap malam sedang berlari. Salah seorang membopong

karung hitam. Karung hitam itu bergerak-gerak. Ada yang

meronta-ronta di dalamnya. Dari dalamnya pula terdengar

jeritan ketakutan seorang bocah.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kalau kalian berani,

lawan aku! Akimoto tak pernah takut berkelahi dengan

kalian orang-orang jahat!" begitu teriakan si bocah dari

dalam karung.

Anak itu memang Akimoto. Anak Hiroto yang berhasil

dilarikan oleh ketiga lelaki berpakaian ninja. Mereka

sebagian anggota Imada-Tong yang menyerbu rumah Hiroto

malam ini.

Tiba di tepi s ungai, ketiganya berhenti. Dua lelaki

yang bergegas menuju semak. Lelaki yang membopong

Hiroto menunggu.

Tak lama kemudian, dua ninja tadi sudah kembali

dengan. menggotong perahu kecil. Mereka

menyembunyikan perahu kecil itu di dalam semak-semak.

Tampaknya; itu sebagian rencana matang mereka.

Perahu lalu dilempar ke permukaan sungai. Dua

lelaki tadi naik terlebih dahulu. Lelaki yang membopong

Akimoto menyusul kemudian.

"Cepat kita menyingkir!" aba-aba salah seorang. Lalu,

mereka menjemput kayuh dari dasar perahu. Dengan

cerdik, mereka sengaja mengayuh perahu ke hulu sungai.

Artinya mereka harus mengerahkan tenaga berlebihan

untuk menentang arus. Namun dengan begitu, mereka

bisa memperdayai orang-orang yang mungkin mengejar.

"Tak semudah itu kalian menyingkir!" tahan

seseorang di seberang sungai. Pendatang baru itu berdiri di

kegelapan. Sama seperti ketiga anggota ninja di perahu,

orang ini pun mengenakan pakaian gelap. Wajahnya pun

tertutup. Bedanya, dia mengenakan kain penutup warna

ungu.

Ketiga ninja cukup tersentak. Sejauh ini, mereka

menganggap semuanya berjalan mulus. Tak disangka tak

diduga ada orang yang berhasil memergoki mereka.

Keheranan itu menyebabkan ketiganya tak begitu

memperhatikan apakah orang di seberang sungai lelaki

atau perempuan.

"Hghhh!" dengus salah seorang anggota Imada-Tong

gusar. Sekaligus pula dia berbicara dengan bahasa isyarat

gerombolan mereka. Dua lelaki lain mengerti maksud

kawannya tadi. Mereka melompat ke tepi sungai.

Sementara satu orang meneruskan kayuhan;

Sadar siasat sedang dijalankan ketiga calon lawan,

orang tak dikenal di seberang sungai menghentak tubuh.

Bagai manyar, orang itu melayang menyeberangi sungai

selebar enam-tujuh tombak. Di tengah jalan, orang itu

meloloskan dua bilah belati kecil. Satu belati pada satu

tangan.

Sat-sat!

Kulit kepala ninja di atas perahu hendak disayatnya.

Kesiagaan ninja di atas perahu menyelamatkannya dari

kehilangan nyawa seketika. Kayuh di tangannya

dimanfaatkan untuk menangkal sabetan belati tadi.

Tak!

Selanjutnya, si penyerang tak dikenal mendarat

tujuh-delapan kaki dari dua ninja lain.

Tampak betapa gusarnya si orang tidak dikenal

mengetahui serangan pertamanya gagal. Dia menoleh ke

perahu. Lelaki berpakaian hitam di atasnya terus

mengayuh sekuat tenaga, hendak menyingkir secepatnya

dari sana. Padahal si orang tidak dikenal menghendaki

semua lawannya dapat dibereskan.,

Kalau saja dua anggota Imada-Tong di tepi sungai

tak cepat menggebrak, tentu orang bertopeng kain ungu

tadi akan berusaha menahan perahu kembali,'

"Haiahh!"

Berkawal lengking yang sesak dengan hawa

membunuh, dua ninja di tepi sungai menerjang. Satu orang

mengirim tinju berkecepatan tinggi. Dada orang bertopeng

ungu hendak dilantakkan. Yang lain menyapu pertahanan

lawan dengan kaki. Swing!

Mata orang tak dikenal membelalak di antara kain

penutup wajahnya. Tinju satu lawan yang berhasil

dihindarinya menebar angin tajam. Ketika sinar bulan

setengah menyinari tangan penyerangnya, dilihat tangan

itu dilengkapi dengan semacam sarung tangan baja

bergerigi tajam. Sejari lagi, dadanya bisa terkoyak oleh

benda itu.

Tak sempat terkejut lebih jauh, orang tak dikenal

sudah harus menghindari sapuan kaki lawan lain. Agar

benda tajam di tangan lawan sebelumnya tak mengejar,

orang tak dikenal berusaha sedikit menjauh. Sekaligus

pula menghindari sapuan tadi.

"Heah!"

Satu salto cantik dibuat ke belakang. Tumpuan

tangan dilakukannya beberapa kali selarua berputaran.

Meski masih memegang belati, orang bertopeng ungu tak

mengalami kesulitan melakukannya. Begitu menjejak

bumi, dua lawan mencecar lagi.

Kalau menerjang, kedua ninja tak bisa langsung

membuat tekanan. Jarak mereka dengan orang tak dikenal

sudah cukup jauh. Agar mereka tak kehilangan waktu

mengejar lawan, sementara mereka tetap mendesak,

mereka melakukan jalan pintas.

Tangan keduanya bergerak sekelebatan. Swing-wing-

swing!

Beberapa larik kerjapan benda tajam melesat.

Karena belum siap untuk melompat, orang tak

dikenal mengambil resiko memapaki semua hamburan

senjata rahasia dua lawan.

Trang-trang-trang!

Dua belati di sepasang tangannya mematuk-matuk

cepat ke segenap penjuru. Bunyi denting menusuk

gendang telinga berpencaran, seiring dengan terperciknya

bunga-bunga api. Lalu seluruh senjata rahasia tadi rontok

ke tanah. Bentuknya seperti bintang dari lempeng logam.

Sejenak dua ninja bertukar tatap. Kepala mereka

mengangguk samar.

Srang!

Katana di belakang punggung mereka diloloskan

bersamaan. Kalau senjata itu sudah keluar dari sarungnya,

itu berarti keduanya siap melakukan pertarungan hidup-

mati!

“Hiaaaa!"

Wukh wukh wukh!

Seperti mencoba menggedor nyali lawan, untuk

beberapa saat mereka mempertunjukkan kemahiran

memainkan katana di sekujur tubuh mereka, pantulan

sinar memanjang logam tipis amat tajam itu berseliweran.

Cepat dan semakin cepat.

Kaki mereka pun memperpendek jarak antara

mereka dengan orang tak dikenal. Langkahnya lambat.

Satu-satu. Sangat bertolak belakang dengan gerak amat

cepat katana di tangan mereka.

Lawan hendak bertaruh nyawa! Pikir orang tak

dikenal, menilai. Menyadari hal itu, dia pun

mempersiapkan segenap kesiagaan. Membangun seluruh

kesiapan. Desah napas panjangnya ditarik sejenak, dan

dihembus perlahan pada waktu berikutnya. Kedua

tangannya menggenggam belati erat-erat, ketat-ketat.

Kalau mereka siap mati, aku pun begitu, sumpah

orang tak dikenal membatin....

***

Kembali ke medan laga di sekitar rumah Hiroto.

Pendekar Slebor saat itu di ujung mulut kematian,

tepatnya di mata seluruh senjata kelima belas lawannya.

Entah si pemuda sableng itu sudah kebal dengan kata

kematian, atau otaknya memang kerasukan kotoran

jamban. Bukannya ketakutan, Pendekar Slebor malah

berteriak kegirangan. Tangannya terangkat-angkat ke

udara.

"Hiaaha-haaa!" serunya dengan mulut terkuak boros-

boros.

Para lawan tak peduli dengan tingkah sintingnya.

Mereka tak ingin terkecoh. Bahkan sepertinya ben-

takan dari alam kubur pun tak bisa menghentikan niat

mereka merencah tubuh lawan. "Heaa!"

Padat, bergemuruh, dan nyalang, teriakan kelima

belas lelaki itu terdengar. Tepat pada saat mereka

mengayunkan senjata ke tubuh Pendekar Slebor.

Trang! Trang! Trang!

Benar senjata mereka berhasil merencah pemuda

urakan yang seumur hidup baru sekali berkimono itu? Jauh

di luar seluruh gelegak nafsu kelima belas ninja, sesuatu

telah terjadi. Segenap pikiran mereka saat itu juga diputar

sekejapan. Mereka tak mengerti apa yang terjadi. Yang

mereka tahu, senjata mereka semuanya mendadak

tersentak hebat. Ada sengatan keras seperti tegangan petir

kecil menjalari tangan mereka. Seluruh senjata mereka

terpotong dua!

Yang lebih membuat mereka tertegun, mata mereka

menangkap sekelebatan sinar merah membentuk

lingkaran panjang menyilaukan. Sebentang kejadian yang

baru sekali itu dialami membuat mereka mematuhg di

tempat masing-masing. Semuanya masih berkerumun di

tempat Pendekar Slebor sambil menatap tak berkedip

senjata kutung di tangan masing-masing. Senjata mereka

masih bersentuhan satu dengan yang lain, tepat di depan

mereka. Ke mana Pendekar Slebor sendiri?

"Hompimpa alaihum gambreng! Nek Ijah pakai kain

rombeng! ejek Pendekar Slebor. Di atas ranting pohon yang

tak lebih besar dari jari telunjuk, anak muda itu bertengger

santai. Tangannya menimang-nimang Pedang Pusaka

Langit!

Patut diketahui, Pedang Pusaka Langit adalah

pedang yang memendarkan cahaya merah bara. Terbuat

dari pecahan batu luar angkasa yang berhasil menerobos

selubung udara bumi. Pedang pusaka itu memiliki

kelebihan dari pusaka lain. Di dalamnya terdapat satu

medan gelombang kekuatan. Seorang yang memegangnya

secara langsung akan terpengaruhi oleh medan gelombang

kekuatan itu hingga dapat melipatgandakan

kcmampuannya scpuluh kali lipat! (Untuk mengetahui asal-

usul Pedang Pusaka Langit, bacalah episode: "Pusaka

Langit"!)

Pemuda sakti dari tanah Jawa itu sebenarnya belum

perlu benar mempergunakannya. Tapi sifat usilnya telah

menggelitik dia untuk sedikit menjajal kehebatan Pedang

Pusaka Langit.

Di lain kancah. Hiroto sudah berhasil memancung

kepala seorang lawannya. Sisa seorang lawan kini dalam

keadaan tersudut mutlak. Sambaran-sambaran katana

Hiroto seperti mengurung ke setiap arah. Memadati udara,

tak menyisakan ruang sekelingking pun!

Hingga akhirnya....

Srat-srat!

Tebasan kembar menemui sasaran. Dada lawan

seperti baru saja disilang oleh mata katana. Kuakannya

dimulai dari bahu kiri dan kanan dan berakhir di sepasang

sisi rusuknya.

Tak ada kesempatan untuk mengeluarkan jeritan.

Nyawa lelaki itu telah lebih cepat disambar maut! Ambruk

dengan tubuh hampir terbelah!

Plok plok plok!

Di atas dahan yang sama, Pendekar Slebor bertepuk

tangan riuh rendah. Bukannya dia hendak mem-benarkan

sebentuk kekejaman. Tujuannya semata-mata hendak

membuat nyali lawan semakin kehilangan bobot. Siapa

tahu mereka menganggap dia adalah orang sakti berotak

miring. Yang bisa membunuh mereka semua sambil

tertawa.

Tentu saja Andika keliru menggunakan taktik itu

terhadap sepasukan Imada-Tong. Sebelum mengemban

satu tugas, mereka bahkan sudah lebih dahulu bertekad

mati sebagai satu-satunya pilihan:

Dan kalaupun mereka akhirnya pergi juga, itu

semata-mata karena mereka menganggap tugas utama

telah berhasil dilaksanakan. menculik Akimoto.

"Tak perlu dikejar!" cegah Andika ketika Hiroto

berusaha memburu.

"Sebaiknya kaii mencari anakmu! Biar aku yang urus

mereka!" tambah Pendekar Slebor. Selanjutnya, dia

melesat seperti bayangan dari satu daha ke dahan pohon

lain.

***

Malam tak henti merayap. Pertarungan di tepi sungai

pun tak juga henti. Orang tak dikenal bertopeng kain ungu

berhasil menguasai jalannya pertarungan. Makin larut

mereka dalam jurus-jurus cepat, makin menanjak saja

keunggulan orang tak dikenal. Dia berada di atas angin!

Seorang lawannya telah kehilangan katana.

Terpental jatuh dan ditelan sungai ketika terjadi bentrokan

senjata. Tampaknya orang tak dikenal lebih tinggi dalam

penguasaan tenaga. Meski dikeroyok, dia masih dapat

menekan dua lawannya. Itu menyebabkan lelaki yang

kehilangan katana tak sempat mengeluarkan senjatanya

yang lain. Dapat dibayangkan betapa hebat gempuran

orang tak dikenal itu!

Srat!

Pada satu kesempatan, belati yang jauh lebih tajam

dari sembilu merobek pakaian di bagian bahu seorang

ninja. Sayatan bertenaga tadi tak hanya merobek

pakaiannya. Kulit dagingnya pun tersayat. Menciptakan

luka dalam bersimbah darah.

Lelaki bertopeng itu mengerang. Didekapnya luka.

Tangan yang lain tetap mempertahankan katana.

"Kau akan menyesali perbuatanmu...," geramnya,

penuh ancaman.

Terdengar dengus dari sang lawan. Kalau tak ada

kain penutup ungu, tentu senyum mengejeknya akan

terlihat.

"Aku yakin aku tak akan menyesal. Seperti kau juga.

Karena kau tak akan bisa menyesal lagi setelah nyawamu

tak ada lagi!"

"Huh!"

Didahului dengusan sengau, dua ninja tadi

menggempur kembali. Sisa tenaga mereka dikuras

sebisanya. Katana milik ninja yang tersayat mengais-ngais

udara. Bagian mana pun tubuh lawan dikejarnya

menggebu.

Tapi. ucapan orang tak dikenal bukan omong kosong

belaka. Dari caranya menghadapi gempuran, tampak jelas

kalau dia memang bakal memenangkan pertarungan.

Di satu celah kosong pertahanan lawan, orang tak

dikenal membuat gebrakan tak terduga. Belati di tangan

kanannya terlepas mendadak. Penuh kekuatan tembus,

senjata kecil itu menanduk dada kiri seorang lawan, dan

langsung menembus jantungnya.

Tak ada dua tarikan napas, ninja itu pun ambruk.

Sisanya dibereskan tanpa memakan waktu lama.

Dengan sedikit meningkatkan kecepatah gempuran,

disobeknya tenggorokan lawan sekali sentak.

Lawan mengejang. Ambruk tanpa nyawa. Orang tak

dikenal menghentak napas. Ada kegeraman dalam

hentakannya mengetahui orang ketiga anggota Imada-Tong

telah lolos dengan perahu. Mungkin orang itu telah begitu

jauh melarikan Akimoto. Kalaupun dilakukan pengejaran,

tampaknya akan sia-sia. Lelaki di atas perahu tak akan

begitu bodoh terus menentang arus membawa perahu. Dia

akan cepat tersusul. Tentu dia akan lari ke darat untuk

menghapus jejak.

Dan perkiraannya itu terbukti. Belum lagi cukup lama

dia menuntaskan pertarungan, perahu kecil tadi telah

terlihat di kejauhan di siraman lamat sinar bulan. Benda itu

hanyut terbawa arus sungai tenang. Penumpangnya sudah

tak ada lagi. Baik lelaki anggota Imada-Tong maupun anak

yang diculiknya.

Orang tak dikenal bertopeng kain ungu mengeluh.

Bahu kirinya terasa amat nyeri. Cepat dibukanya pakaian di

bagian tadi. Sekarang ditemukannya luka menganga. Ada

satu logam bintang yang luput dari pertahanannya dan

menembus di bagian itu.

Hendak dicabutnya senjata rahasia yang bersarang

dalam itu. Tapi suara seseorang terdengar di kejauhan

***

"Akimoto! Akimoto! Di mana kau'?!" panggil Hiroto

kalang-kabut. Lelaki ksatria sejati itu mencari-cari kian-

kemari dalam kegelapan malam. Ada kekhawatiran dan

keputus asaan di raut wajahnya setelah tak berhasil juga

mencari anaknya. Padahal dia sudah mencari cukup lama.

"Bagaimana, Hiroto? Apakah kau menemukan

anakmu?" Pendekar Slebor tiba di dekatnya.

Hiroto menggeleng.

"Tampaknya anakku telah diculik oleh perkumpulan

Imada-Tong," keluh Hiroto pekat.

Rahang Pendekar Slebor bergemeletuk. Geram

sekali anak muda itu dengan tindakan pengecut seperti

yang dilakukan musuh-musuh Hiroto. Menculik seorang

bocah tak berdaya? "Slompret bau pesing!" makinya dalam

hati.

"Apa kau punya gagasan yang baik, Andika San?"

tanya Hiroto kemudiaa

Andika mengangguk.

"Bagaimana?" susul Hiroto. Berharap sekali lelaki itu

kawan dari negeri jauh di depanhya akan memberjkan satu

jalan pemecahan untuk mengem-*Jbalikan Akimoto.

"Saat kau mencari Akimoto, aku berhasil

melumpuhkan salah seorang anggota kunyuk-kunyuk itu.

Kini dia kusembunyikan di tempat yang aman. Bagaimana

kalau kita mengorek keterangan darinya?" Hiroto

menggelengkan kepala lunglai.

"Percuma, Andika San." "Kenapa?"

Hiroto menghela napas sarat-sarat

"Apa kau pernah melihat tindakan mereka dalam

keadaan amat terdesak?" Lelaki itu malah mengajukan

pertanyaan balik kepada Andika.

"Ya Pernah kulihat dua orang dari menikam perut

sendiri dengan pedang pendek saat tahu aku akan

menangkap mereka. Saat itu aku sedang berusaha

menolong Jotaro," tutur Andika, mengenang kejadian

belum lama. "Apa mereka itu semacam orang sinting?"

Andika bertanya dengan nada meng-umpat.

Hiroto menggeleng.

"Bukan. Sama sekali bukan. Mereka adalah orang-

orang yang menganut jalan bushido. Bagi mereka tujuan

lebih berharga dari nyawa mereka sendiri. Sayang,

tampaknya mereka berada di dalam kesesatan...."

Andika menggeleng-gelengkan kepala. Apa pun yang

dikalakan teman Nippon nya, dalam hati dia tetap

menyumpahi orang-orang itu dan menyebutnya slompret

bau pesing!

"Membuang nyawa untuk tujuan yang bodoh!" maki

Andika.,

"Itu menurutmu. Keyakinanmu tentu berbeda

dengan mereka. Menurut mereka, itulah kebanggaan dan

kehormatan tertinggi yang lebih dari nyawa."

Kalau bicara soal keyakinan, Andika hanya bisa

mcngangkat bahu.

"Jadi apa yang akan kita lakukan, Hiroto?" Andika

mengembalikan pembicaraan.

"Kupikir, aku tahu siapa yang mengatur ini semua...,"

gumam Hiroto, seakan dia sedang berbicara pada diri

sendiri.

"Ada satu hal yang belum kau katakan padaku?"

"Ya Tapi aku tak bisa menjelaskan padamu

sekarang. Aku harus segera pergi mencari Akimoto."

"Kalau begitu, aku akan membantumu!"

"Dengan hormat, kuminta kau tak ikut campur dalam

urusan ini. Ini hanya urusan permusuhan keluarga yang

terus berlanjut membosankan." sergah Hiroto.

"Tapi aku ini kawanmu, Hiroto. Kawan macam apa

yang membiarkan sahabatnya berada dalam ke-sulitan.

Sementara kau menghadapi maut., apa aku harus

beruncang-uncang kaki?" debat Andika. Sama sekali dia

tak setuju penolakan Hiroto.

"Mengertilah Andika San...."

"Aku tak mengerti!" terabas Andika.tak mau tahu.

Orang negeri.Sakura ini memiliki tabiat keras. Tapi si anak

muda Tanah Jawa bisa tak kalah keras. Kalau tak kepala

batu, mana mungkin dia masih bisa dijuluki Pendekar

Slebor?

Sayang, sifat keras Andika tak berguna menghadapi

tekad Hiroto. Andika akan sia-sia bersikeras. Ibarat

memecah karang dengan palu kayu!

"Aku menjunjung tinggi kehormatanku, Andika San.

Kalau kau turut campur dalam masalah ini, aku akan

sangat dipermalukan. Kuundang kau ke sini bukan untuk

susah demi aku...," tegas Hiroto. "Apa pun yang kau

katakan, sekali lagi aku minta dengan sangat hormat

Andika San. Biarkan aku sendiri yang menyelesaikan

perkara ini," tandas Hiroto.

Hiroto pergi.

Andika cemberut. Dia jelas tak bisa memaksa untuk

mendampingi lelaki itu. Mungkin ini masalah kehormatan

dan harga diri pula seperti katanya tadi, nilai Andika

membatin.

"Hm, permusuhan keluarga.... Aku tidak bisa

menunggu agar Hiroto menceritakannya padaku. Aku harus

mencari tahu!" tekad Andika. Saat itulah, di benak pemuda

sakti Lembah Kulukan itu melintas wajah lembut Akemi.

"Tentu perempuan itu tahu banyak tentang

permusuhan keluarga yang dimaksud Hiroto," duga Andika

pasti, Yang tak pasti sekarang, apakah niatnya sekadar

ingin bertanya. Atau ada niat lain yang 'ehem-ehem'?

Andika sempat nyengir kuda. Sekali tepuk dua

lalatlah!

Cuma satu yang bisa dilakukan Pendekar Slebor kini.

Kembali ke rumah pengasingan rahasia Hiroto. Akan

ditanyakannya perihal permusuhan keluarga pada Akemi.

Andika tiba di sana menjelang sekaratnya dinihari

Ayam jantan sudah mulai berkokok panjang. Bersahutan,

memberitakan hari baru sebejitar lagi akan hadir, meski

mentari belum lagi berani beranjak dari sudul timur. Hari

masih gelap.

Dalam kegelapan seperli itu seseorang mengintai

kedatangan Pendekar Slebor di sisi rumah. Cahaya lampu

kertas dari depan terhalang pohon besar. Sosok itu jadi tak

nampak jelas.

Ketajaman daya pendengaran Andika tak bisa

diperdayai. Dalam jarak yang terbilang jauh, nalurinya

sudah memperingati ada seseorang mengawasi. Dengan

sedikit lebih mendekat, telinga anak muda itu sudah bisa

menginderai helaan napas halus seseorang.

"Jangan coba-coba main kucing-kucingan dengan

seekor kucing, Tikus!" bisik Andika. Bibirnya menyeringai.

Akal bulusnya berjalan.

Andika menghentikan langkah. Tentu lawannya

belum tahu kalau Andika sudah menyadari sedang diawasi.

Karena itu dia tak ingin melakukan tindakan yang

memancing kecurigaan. Sambil bcrsiul-siul kecil, Andika

menyorongkan langkah kesemak-semak. Pura-pura

membuang hajat kecil!

Begitu tubuhnya terhalang oleh rimbunnya semak,

ringan tanpa menghasilkan suara yang lebih keras dari

tarikan napas, tubuhnya melenting ke kubah bangunan.

Kecepatan dikerahkan pendekar muda yang kini memakai

pakaian seperti layaknya penduduk setempat. Maksudnya

biar tak ada kemungkinan pcngintainya melihat tindakan

itu.

Mengendap-endap seperti seekor kucing hendak

mencuri sepotong daging di meja makan sebuah rumah,

Pendekar Slebor mendekati tempat sembunyi pengintai

tadi dari atap.

"Yak, di sini!" katanya dalam hati memastikan. Lalu...

Wukh!

Dari atap tubuh pemuda itu berputar cepat ke

bawah. Amat cepat. Dua putaran di udara bahkan

dilakukannya dalam sekejapan.

"Hihihi…."

Tahu-tahu saja, tangan kekarnya sudah

mencengkeram kerah baju si pengintai. Saat itu tangan

Andika menyentuh benda kenyal padat di dekat ba-

gianhaju si pengintai yang dicengkeramnya.

"Waduh, apa ini?" batinnya kasak-kusuk cepat.

"Aw!"

Terdengar pckikan kaget. Andika mendelik. Bukan

cuma suara wanita yang didengarnya membuatnya

terkejut, tapi juga karena wajah orang itu sudah

dikenalnya.

"Andika San...," sapa kaget Kissumi, orang yang

dianggap sedang mengintai Andika.

"Kissumi? Ah, untung saja bogemku belum sempat

melayang ke wajah cantikmu itu...," kata Andika seperti

menggerutu.

"Maaf Andika San. Saya sedang menunggu

kepulangan Tuan berdua...," hatur Kissumi seraya menjura

dalam.

"Kau tidak tidur?" Andika heran. Selarut ini

perempuan itu belum juga beranjak ke peraduan.

"Menunggu Andika San."

Alis anak muda urakan itu berkernyit.

"Kenapa begitu? Kenapa kau tak bilang sedang

menunggu Tuanmu, Hiroto?"

Kissumi merunduk lagi. Sikap seperti itu membuat

Andika terlalu jengah. Nanti aku akan melarang dia terus

begitu padaku, niat Andika di hati.

"Karena Hiroto San telah mcnyerahkan diri saya

kepada Andika San...."

Menyerahkan kau padaku? Gurauan tengik macam

apa ini?" Andika mcnyeringai. Karena terlalu tak mengerti

tangannya jadi sibuk menggaruk sana-sini. Kalau kebetulan

ada kera, bisa diperlombakan siapa yang lebih cepat

menggaruk!

"Dengan begitu, saya menjadi milik Andika San.

Kalau Andika San gugur dalam kericuhan tadi, maka

sepantasnya saya pun harus mati."

Kening Andika dijamm berkerut-merut bak gombal

tak kena cuci setahun penuh!

"Maksudmu...?" Andika tak bisa berkedip.

"Saya harus melakukan seppuku sebagai tanda

kesetiaan saya pada Andika San...."

"Seppuku?" Seperti bocah tolol, anak muda itu

mengekori ucapan Kissumi. Lalu tangannya membuat

gerakan seperti orang sedang menikam pisau ke perut

sendiri. Wajahnya bertanya pada Kissumi.

"Ya, Andika San." Kissumi membenarkan.

Andika menggeleng-gelengkan kepala. Pusing

rasanya mendengar penuturan perempuan cantik di

depannya barusan. Dia cepat melangkah masuk ke dalam.

Mulutnya tak henti menggerutu, memaki, menyumpah-

nyumpah tak kentara.

"Kesintingan macam apa lagi ini...," kalanya agak

samar. Tapi masih bisa ditangkap telinga Kissumi. Untung,

Andika mengucapkannya dalam bahasa sendiri. Kalau

tidak, Kissumi bisa merunduk-rudukkan kepala lagi seraya

meminta maaf berkali-kali

Buh, menyebalkan!

Dinihari kian menjelang pagi. Lamat, sinar kuning

tembaga matahari pagi mulai mengambang di cakrawala

timur. Sapuan warnanya begitu lembut, menggelitik

perasaan damai terdalam seseorang.

Andika di kamarnya. Berdiri menatapi sinar lembut

matahari muda di ufuk sana. Dia tak mungkin bisa tidak.

Matanya tak mengantuk. Kalaupun mengantuk, dia pun

akan berusaha untuk tetap melek.

Kecamuk pikirannya masih terus berlangsung. Dia

mengkhawatirkan keadaan Hiroto. Dan jauh lebih

dikhawatirkan lagi adalah nasib Akimoto. Bocah kecil itu

terlalu muda untuk mengalami kebusukan dunia ini.

Waktu hendak menanyakan pada Akemi, janda

Jolaro itu ternyata sedang tidur lelap.

Tadinya Andika mencoba lancang memasuki

kamarnya. Sungguh tak pantas sebenarnya. Andika

menyadari itu. Namun karena keadaan demikian

mendesak, dia memutuskan untuk mencoba memasuki

kamar Akemi juga, Dia harus secepatnya mengetahui

persoalan yang sedang memanas. Siapa tahu dia bisa

mendapatkan jalan untuk menyelamatkan Akimoto.

Waktu dia masuk, Akemi ternyata terpulas. Andika

jadi tak tega mengusiknya, mendapati wajah perempuan

malang itu begitu tenang dalam tidurnya.

Sewaktu sedang menyusui bayinya, tentu

perempuan itu tertidur. Mulut bayinya masih menempel

pada puting susu dada padat sehalus sutera Akemi. Andika

jengah melihatnya. Meski begitu, tak urung darah mudanya

menjadi melonjak sesaat Dada Akemi begitu mempesona.

Kehalusannya dan kepadatannya mengundang. Apalagi

masa-masa sedang menyusui anaknya seperti itu. Dadanya

jadi kian padat.

Ada semacam godaan mendesir di benak si pemuda

dari tanah Jawa. Ingin sekali dia berdiam sampai pagi dan

menatapi dada mempesona Akemi puas-puas. Toh, tak ada

yang tahu. Akemi pun sedang terlelap. Tentu dia tak akan

sadar ada yang mengawasi kemolekan tubuhnya.

Untung, Andika masih punya kesadaran untuk tidak

meneruskan perbuatan yang dianggapnya menghina diri

sendiri itu. Dengan menahan gelegak darah,dalam dirinya,

Andika menggeser pintu perlahan.Pergi meninggalkan

kamar Akemi.

"Andika San. Apakah Andika San belum tidur? Boleh

saya masuk?"

Suara Kissumi di pintu kamar membuyarkan

keterdiaman Pendekar Slebor.

"Ada apa Kissumi?" tanya Andika setelah

membukakan pintu untuk wanita itu.

"Apa...," Kissumi tertunduk. Keraguan menjegal

ucapannya.

Andika menunggu.

"Ada apa Kissumi?" ulang Andika lagi.

"Apa Andika San membutuhkan seorang 'teman'?"

aju Kissumi akhirnya.

Andika menelan ludah. Jakunnya turun naik.

Bayangan kemolekan bagian tubuh Akemi yang dilihatnya

mengambang liar kembali di benaknya. Keparat! Makinya

dalam hati, mengutuki diri sendiri.

Andika tahu apa maksud Kissumi. Dari dasar hati

entah di sisi mana, Andika digoda bisikan-bisikan kuat.

Bisikan yang mencoba mendongkel segenap birahinya

selaku seorang pemuda. Dia masih waras. Masih punya

birahi yang mengelegak-gelegak.

Tanpa sadar, Andika menepikan tubuh, mem-biarkan

Kissumi memasuki kamarnya.

Kissumi sendiri menganggap itu adalah isyarat

bahwa Andika memintanya menemani 'tidur' menjelang

pagi ini. Dia masuk dengan merunduk. Tak ada senyum di

wajahnya. Tapi sinar mata wanita itu membersitkan

kebahagiaan. Mungkin dia pun tak sekadar mehgorbankan

diri untuk Tuan barunya. Lebih dari itu mungkin ada

dorongan selaku perempuan biasa yang mengharapkan hal

itu.

Di tengah kamar, Kissumi melepas satu persatu

pakaiannya. Mula-mula kimono lebar yang membungkus

tubuhnya dilorotkan dalam gerak gemulai diselubungi

hasrat. Gerak tak sadar yang lahir begitu saja.

Andika terpaku. Menganga dengan mata tak

sanggup berkedip. Disaksikannya tubuh Kissumi kini hanya

terbungkus pakaian dalam. Sebagian kulit saljunya

tersingkap sudah. Kamar gelap. Lampu telah dimatikan

Andika ketika dia baru masuk belum lama. Sinar lamat

yang menembus kisi-kisi dinding kertas menyapu kulit

tubuh Kissumi, membentuk bayangan memikat berlekuk

mengundang.

Dada Andika berdebam-debam. Keadaan dirinya

makin kacau. Makin dihanyut gelombang liar tak

tertahankan. Tanpa berbuat apa-apa, Andika terus

menatap gerak perlahan Kissumi.

Kissumi kini mulai melepas pakaian dalam bagian

atas. Tetap perlahan, tapi mengalun. Dilepasnya simpul-

simpul penutup buah dada. Dan kain halus itu pun

menuruni tubuhnya.

Kini samar-samar terlihat sepasang benda padat

mengambang di dadanya. Terbuka tanpa penghalang apa-

apa.

Dada itu mengingatkan Andika pada dada Akemi.

Yang kini dilihatnya tak kalah menggairahkan. Meski tak

sepadat milik Akemi, tapi tetap memanggil-manggil dalam

keindahan bentuknya.

Sedikit saja, tubuh berlekuk Kissumi bergerak

menghadap siraman lamat cahaya dari kisi dinding, makin

jelas saja bentuk dadanya.

Pemuda petualang sakti dari tanah Jawa seperti

terkena tenung yang ditebarnya. Kakinya beranjak

perlahan. Selangkah demi selangkah, di dekatinya tubuh

setengah tak berbusana di atas talami.

Sampai di dekatnya, tangan Andika terangkat

perlahan. Kissumi menyambutnya. Dituntunnya tangannya

itu ke leher jenjang mulai terentang. Kissumi mendongak,

mempersilakan Andika mengecup lehernya dengan desah

napas halus yang mulai tak berirama.

Andika makin dekat.

Kepalanya terjatuh di leher Kissumi. Disentuhkannya

bibir lamat Kemudian beranjakbibir pemuda itu menjadi

liar, mengec up dan berlari di sekujur kulit langsat leher

Kissumi.

Kissumi melenguh dalam desah napas yang terulur

panjang terseret. Dia menikmatinya.

Tangan Andika mulai menuruni pangkal leher

Kissumi ke bagian dada. Menurun dan menurun. Sampai

jemari Andika mulai menanjak bukit dara Kissumi.

Saat itu, Kissumi kianterbakar desahnya sendiri. Dan

saat yang sama, Andika merasakan tangannya tersengat

sesuatu. Dia tersentak. Cepat dijauhkannya tangan. Juga

dijauhkannya tubuh dari Kissumi.

Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan

rupanya tak bisa untuk dibawa dalam kemesuman. Tenaga

itu bergeliat lalu menyentak kesadaran si pemuda.

Sinting! Kalau ini terus kubiarkan, aku bakal

terjerumus pada penghinaan martabat seorang

perempuan! Andika tersadar dalam kecamuk birahinya

sendiri. Tak mungkin dibiarkan ini terjadi.

Aku tak bisa melakukan hal itu sekehendak birahi

tanpa ikatan apa-apa. Hanya binatang yang melakukan

perbuatan seperti itu! Hati si anak muda memperingati.

Begitu kesadaran telah memenuhi benaknya, Andika

beranjak meninggalkan ruangan. Membengkalaikan

Kissumi dalam gelora birahmya sendiri.

Suatu saat nanti, aku akan melakukannya juga.

Sumpah hati Andika. Tapi hanya dengan istri tercintaku!

Sampai di luar anak muda itu mendinginkan panas

darahnya dengan udara pagi. Ditariknya napas dalam-

dalam memenuhi rongga paru-parunya dengan hawa segar

di pinggiranKyoto. Hari mulai terang. Dari tempat terpencil

yang berada di punggung sebuah bukit itu, Andika bisa

melepas pandangan jauh-jauh.

Di bawah sana, dilihat kumpulan-kumpulan rumah

penduduk masih berpayung kabut tipis.Hamparan hijau di

mana-mana. Rasanya bukan cuma pikiran yang menjadi

segar, jiwa anak muda itu pun begitu.

Andika melangkah perlahan. Di dekatinya tebing.

Dari sana, tentu dia bisa melihat lebih lapang, desah

batinnya. Tanpa sengaja, kakinya menginjak sesuatu di

bibir tebing tanah berumput.

Matanya meneliti ke bawah. Ditemukannya sebuah

benda kecil. Tampaknya benda itu terbuat dari logam tipis.

Berbentuk seperti bintang. Ada darah hampir mengering

menodai seluruh permukaannya.

Dengan mengamati sebentar saja otak encer anak

muda itu sudah bisa menduga kalau benda yang

ditemukan adalah sebuah senjata rahasia. Tampaknya ada

seseorang yang telah menjadi korban. Orang itu mencabut

logam bintang ini disini, pikir Pendekar Slebor.

Tapi kenapa harus di tempat ini? Andika bertanya-

tanya. Kepalanya menoleh ke belakang. Rumah

pengasingan rahasia Jotaro tak begitu jauh dari tempatnya

berdiri.

"Hm..., apakah orang itu adalah salah seorang

penghuni rumah Hiroto?" gumam Andika.

Andika meneliti lagi tempat itu. Terlalu aneh bagi

pikirannya jika seseorang yang terluka oleh senjata rahasia

harus mencabut senjata rahasia di tepi tebing. Tentu ada

maksud lain.

Sekian lama mencari, Andika tak menemukan apa-

apa. Ketika hampir yakin memang tak ada hal

mencurigakan lain, matanya malah melihat sesuatu.. Tepat

di bawah tebing yang bagian tanahnya agak menjorok ke

dalam, dilihatnya kain hitam menyembul.

Andika mengambil ranting kering. Dengan ranting itu,

diraihnya ujung kain tadi.

"Hmm.... Sekarang jelas sudah," bisik Andika ketika

menyaksikan benda baru yang ditemukannya adalah

pakaian hitam seperti milik anggota perkumpulan rahasia

Imada-Tong.

"Di rumah itu ada musuh dalam selimut!" tandasnya

lagi, masih berbisik. Pantas saja para penculik Akimoto

tahu rumah pengasingan rahasia Hiroto. Padahal, Hiroto

pernah bilang pada Andika bahwa rumah di atas bukitnya

ini benar-benar terpencil. Tak ada yang mengetahui kecuali

anggota keluarganya sendiri.

Kalau di rumah itu hanya ada Akemi dan Kissumi,

apa mungkin di antara dua wanita itu ada seorang

penghianat? Tanya hati Andika ragu.

Andika tak bisa membuang waktu lebih lama. Begitu

Akemi bangun pagi itu, ditemuinya Akemi. Ditanyakannya

tentang permusuhah keluarga yang dimaksud Hiroto.

"Memang terjadi permusuhan turun-temurun yang

terjadi antara keluarga Hiroto dengan keluarga Tokugawa,"

papar Akemi di ruang upacara minum teh.

"Bagaimana asal mulanya?" Andika ingin tahu lebih

banyak.

Akemi pun mulai menceritakan dari awal. Sekitar

satu setengah abad silam, ada Perguruan Samurai Naga

Langit Merah. Perguruan itu dibawah pimpinan dan didikan

seorang sensei* berjuluk Pedang Ekor Naga.

Sensei Pedang Ekor Naga hanya memiliki dua orang

murid pewaris seluruh ferafo*nya yang amat disegani.

Bahkan shogun yang berkuasa saat itu pernah

menganggap lelaki tua itu sebagai Benteng Besar

Keshogunan. Dia amat disegani dan mendapat

kehormatan langsung dari shogun

Suatu hari, karena merasa dirinya sudah begitu tua,

Sensei Pedang Ekor Naga ingin menyerahkan katana

pusakanya yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Karena muridnya ada dua orang dan sama-sama.

baik dalam menguasai kendo yang diajarkan, maka Sensei

Pedang Ekor Naga membuat satu ketentuan. Kedua

muridnya harus bertanding untuk membuktikan diri siapa

di antara mereka yang pantas menerima warisan katana

pusaka tersebut!

Pertandingan penentuan pun di laksanakan di

bawah kaki Gunung Fuji.

Pada pertandingan adu kendo yang memakan waktu

sehari-semalam itu, ternyata murid bungsu unggul.

Dikalahkannya kakak seperguruan dalam jurus-jurus

terakhir.

Maka, Sensei Pedang Ekor Naga pun membuat

keputusan saat itu juga. Dibuatlah satu upacara

penerimaan katana pusaka kepada murid bungsu di

tempat itu juga.

Setengah tahun sejak kejadian itu, Sensei Pedang

Ekor Naga wafat. Dengan wafatnya sang Guru, mulai

tumbuh rasa tak puas pada diri murid tertua. Dia merasa

dilangkahi oleh adik perguruannya sendiri. Kehormatannya

merasa dihina.

Akhirnya, dia pun menuntut si murid bungsu agar

katana pusaka diberikan padanya. Menurutnya, dialah

yang pantas menerima senjata warisan itu selaku murid

tertua.

Karena merasa Katana Pusaka Ekor Naga adalah

amanat dari gurunya, murid bungsu tak ingin

menyerahkan. Baginya amanat berarti harga diri,

kehormatan dan jiwanya. Semua itu akan dipertaruhkan

urituk amanat tersebut. Jadi, bukan masalah pedang

pusaka itu sendiri. Sebab menurutnya, kalau saja itu bukan

amanat dari sang Guru, dia akan dengan senang hati

menyerahkan Pedang Ekor Naga pada kakak

seperguruannya.

Untuk mendapatkan pedang yang dihasratinya,

kakak seperguruan itu rnenantang tanding ulang.

Murid bungsu mulanya menolak. Karena dipaksa,

akhirnya terjadi juga pertandingan ulang yang sebenarrrya

lebih tepat dikatakan pertarungan dua lelaki seperguruan.

Murid tertua benar-benar hendak melenyapkan adik

perguruannya dalam pertandingan itu. Serangan-

serangannya tak beda dengan terjangan penuh hasrat

membunuh.

Menyadari hal itu, murid bungsu meladeni.

Sebelumnya dia hanya mencoba bertahan. Namun tak

mungkin dia terus begitu. Mana mungkin dibiarkannya

nyawa lepas dari badan di tangan kakak seperguruannya.

Sampai pertarungan berjalan hampir dua hari, murid

bungsu untuk kedua kalinya mengalahkan murid tertua.

Mereka sama-sama terluka parah. Namun katana murid

termuda pada akhir pertarungan siap membabat leher

murid tertua. Itu tak dilakukannya. Dia malah

meninggalkan murid tertua begitu saja.

Merasa tak bisa lagi tinggal di tempat itu, murid

bungsu pergi amat jauh ke Kyoto. Dia ingin memisahkan

diri dari kakak seperguruannya.

Sejak saat itu setiap babak keturunan dari murid

tertua, mendapat semacam warisan kebencian. Mereka

harus mendapatkan kembali katana pusaka dari tangan

keluarga murid bungsu!

"Begitulah ceritanya, Andika San...," Akemi me-

nyelesaikan penuturan.

"Jadi yang telah membayar perkumpulan Imada-Tong

untuk melakukan pembunuhan terhadap Jotaro dan

penculikan Akimoto adalah keluarga keturunan murid

tertua?"

"Sepertinya memang begitu, Andika San," Akemi

membenarkan dugaan Pendekar Slebor.

"Keturunan keluarga murid tertua, kini memiliki

pengaruh dan kekuasaan yang besar. Mereka berhasil

memasuki lingkungan shogun yang berkuasa kini. Salah

seorang dari mereka telah menjadi seorang perwira tinggi

di Suruga. Itu sebabnya Hiroto makin tersudutkan. Hiroto

sendiri adalah salah satu daimyo dari shogun yang

diruntuhkan."

Andika bangkit dari tatami. Di ruangan cukup luas

itu, si anak muda berjalan mondar-mandir. Tangannya

terus mengusap-usap dagu. Ada sesuatu yang begitu

dipikirkannya.

"Ada yang mengganggu pikiranmu, Andika San?"

tanya Akemi lembut. Sejak Andika mengenal Akemi,

perempuan itu memiliki perhatian yang besar pada Andika.

Memang tak terlalu tampak dari sikapnya, namun mata

tajam Andika bisa menangkap perhatian itu pada sinar

matanya.

"Ya, benar," jawab Andika seraya menghindari

tatapan dalam Akemi. "Aku sedang memikirkan Akimoto.

Kalau sekarang anak itu diculik, ada dua kemungkinan

tempat dia disembunyikan. Pertama, mungkin Akimoto

dibawa ke markas perkumpulan Imada-Tong. Kedua,


8


"Andika San. Ada orang asing masuk pekarangan!?"

lapor Kissumi dari mulut pintu.

Andika dan Akemi yang sedang berbicara bertatapan

sebentar.

"Kau kenal orangnya, Kissumi?" tanya Akemi

Kissumi menggeleng.

"Sebaiknya kita melihatnya," putus Andika. Anak

muda itu segera bangkit. Akemi dan Kissumi mengikutinya

di belakang tergopoh-gopoh.

"Sebaiknya kalian tetap di dalam," cegah Andika.

Setelah mendapat anggukan dari dua wanita di

belakangnya, Andika keluar.

"Siapa Tuan sebenarnya?" Tanpa mengucapkan

basa-basi sambutan, Pendekar Slebor langsung bertanya.

Di taman yang ditata apik oleh Kissumi dengan seni

pertamanan tradisional, tamu tak diundang itu berdiri. Raut

wajahnya melemparkan kesan kecurigaan pada Andika.

Perawakannya kekar. Lebih pendek tiga empat jari dari

Andika. Pakaiannya memperlihatkan kalau dia adalah

seorang samurai. Wajahnya bergaris keras. Rambutnya

panjang diekor kuda. Berkimono hitam-hitam dengan

menyandang sepasang katana dan pedang pendek di

ikatan kimononya. Menilik wajahnya, Andika yakinusia

orang itu hanya terpaut lima-enam tahun lebih tua.

"Semestinya, aku yang bertanya begitu padarrru.

Siapa kau sebenarnya pemuda asing?" balas sang ta-mu.

"E-eh, kalau orang bertanya padamu, kau harus

menjawabnya dengan jawaban. Bukan dengan pertanyaan

kembali! Ibumu belum pernah mengajarkan teladan itu?"

sentak Andika. Dibilang sungguh-sungguh, bibirnya masih

menampakkan senyum sok ramah. Mau dibilang bergurau,

kata-katanya terlalu pedas.

"Di mana lelaki pemilik rumah ini?" Sekali lagi, lelaki

tak diundang itu malah menyahuti pertanyaan mengejek

Andika dengan pertanyaan.

Andika tertawa.

"Aku senang dengan orang ini...," gumamnya sebal.

"Kamu jangan main-main, Orang Asing! Aku sedang

tergesa. Sebaiknya kau katakan di.mana pemilik rumah

ini?!" Nada suara tamu berwajah keras meninggi…..

"Kupikir, kalau tidak salah aku bisa disebut pemilik

rumah ini...." jawab Ahdika asal sebut.

. Mata orang di depannya menajam, menusuk manik

mata Pendekar Slebor. Terdengar geramnya. Dan tahu-

tahu.... Sraang!

Orang itu meloloskan katananya. "Hei! Apa aku telah

salah bicara padamu?!" lonjak Andika.

"Aku tahu, kau pasti orang yang harus kuenyahkan!"

sergah tamu tadi. Makin meninggi saja nadanya.

"Sontoloyo! Baru saja bertemu, kau sudah bisa

memastikan kalau aku harus kau enyahkan?" Andika

mendelik sejadi-jadinya. Jangan bilang dia tidak sewot!

"Sini kau!" bentak Andika. Dilambaikannya tangan.

Lagaknya sudah tak beda dengan aki jompo yang berniat

menjewer telinga cucu nakalnya.

Siapa yang tak jadi berang dibegitukan?

"Heaaa!"

Samurai berpakaian hitam berlari menerjang.

Katananya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Wukh!

Satu sabetan tercipta. Dengan amat bernafs u,

hendak dibelahnya batok kepala Pendekar Slebor saat itu

juga. Pendekar Slebor menyambutnya hanya dengan

menyurutkan tubuh ke belakang. Trak!

Kayu lantai rumah panggting termakan katana kalap

si samurai berpakaian hjiam. Kayu di bagia itu terbelah.

Pecahahnya berpentalan.

"Nah, kan luput! Kubilang juga apa...," gumam

Andika.

"Hea-hea-hea!"

Lawan makin kalap. Disabet-sabetkannya senjata

kesegala penjuru. Sementara itu suara teriakanya

meledak-ledak tak juntrungan.

"Hea-hea-heaaaa!" Andika menimpalinya.

Teriakannya malah lebih tak ada juntrungan. Beberapa

ekor burung di atas dahan pohon kontan berterbangan

kalang-kabut. Ada angin ribut, pikir mereka.

Karena serangan pertama gagal, samurai berwajah

keras menerkam lawan di atas lantai teras rumah

panggung. Senjatanya teracung ke depan. Dada Pendekar

Slebor hendak disatainya!

Sesaat sebelum terkaman tiba, Pendekar Slebor

dengan amat slebor malah membusungkan dada.

"Yak, di sini! Di sini!" teriakanya bersemangat sambil

menunjuk lubang pusar sendiri.

Dan begitu mata katana lawan tinggal sejengkal lagi,

pemuda itu mengenyahkan diri ke sisi. Sebelah kakinya

terangkat sedikit. Dukh!

Masih di udara, samurai kalap tadi merasakan 'telur

perkutut'nya begitu nyeri. Sakitnya seperti menjalar

langsung ke ulu hati. Dia merasa teramat muak, sekaligus

sesak. Dan keadaan itu membuatnya tak bisa lagi

mengendalikah diri.

Bruak!

Tubuhnya berdebam menghantam lantai panggung

teras.

"Hati-hati jatuh!" seru Pendekar Slebor.

Orang berangasan tadi bangun buru-buru. Meski

masih merunduk-runduk sambil memegangi selangkangan

dengan sebelah tangan, dia bersikeras menyerang pemuda

asing lawannya.

"Hey..., siapa pun namamu! Sebaiknya kau berhenti

dulu! Apa kau tak ingin berbicara dengan kepala dingin?"

tahan Andika. Bukannya takut. Dia cuma tak tega

menyaksikan betapa 'tersiksanya' samurai itu.

"Tak perlu!"

Usai menjerit tinggi, samurai berpakaian hitam

kembali menerjang Pendekar Slebor tanpa kenal me-

nyerah. Menyerah itu bodoh! Menyerah itu memalukan!

Tekad hatinya.

Srang wukh!

Kedua tangannya kini menggenggam dua senjata

berbeda. Tangan kanan memegang katana,yang lain

memegang pedang pendek.

"Jangan serakah! Satu saja kau belum berhasil!"

cemooh Pendekar Slebor. Mangkel juga Andika

menghadapi orang keras kepala. Padahal dia sendiri

biangnya keras kepala!

"Heah!"

Wing wukh wing!

Membabi-buta, samurai tadi membabatkan dua

senjata di tangannya ke seluruh bagian tubuh lawan yang

masih bisa disambar.

Andika berkelit enteng. Sebentar tubuhnya

terhuyung ke sini. Sebentar ke sana. Sebentar dia meliuk,

sebentar kemudian dia berjingkrak. Jurusnya memang tak

pernah karuan. Tapi selalu ampuh. Dijamin!

Jaminan seperti itu ada buktinya. Sewaktu lawan

terlupa membentengi bagian perutnya, dengan lemah

gemulai sekaligus bertenaga, Pendekar Slebor

menyodokkan dengkulnya penuh perasaan.

Degh!

"Egh!"

Mata si samurai berpakaian hitam mendelik.

Tubuhnya mcngejang di tempat dengan posisi setengah

membungkuk. Pendekar Slebor tidak mau berlama-lama.

Mumpung lawannya sedang menikmati 'cita rasa' dengkul

buatan tanah Jawa, cepat-cepat disarangkannya jotokan

pelumpuh ke satu bagian tubuh lawan.

Tuk!

Orang itu pun menggeioso.

"Aku kenal dia, Andika San," tukas Akemi,

menyaksikan samurai berpakaian hitam yang tergeletak di

lantai kayu dipan.

Andika menolehpada perempuan yang baru keluar

dari pintu itu.

"Kau kenal?"

"Ya," Akemi membenarkan. "Fujimoto, samurai yang

pernah menjadi bawahan Hiroto San ketika masih menjadi

Daimyo...."

"Aaahhh...." Andika menampar kening sendiri keras-

keras. "Kenapa kau tak bilang-bilang?" katanya terdengar

menggerutu.

"Andika San melarang aku keluar," kilah Akemi.

Andika tengengesan.

"Tapi tak pernah melarang untuk memberitahukan

kalau kau kenal orang itu, bukan?" kelit Andika lagi. Dia

memang jarang mau kalah. Sekali mau kalah kalau

otaknya sudah tak beres lagi!

"Apakah dia tak apa-apa, Andika San?"susul Akemi.

Wajahnya menampakkan kekhawatiran juga ketika dia

bersimpuh untuk memeriksa 'korban' Pendekar Slebor.

"Aku kurang yakin dengan keadaan 'senjata'nya...,"

ucap Andika.

Akemi menatap Andika talc mengerti. Kalau tak

salah, aku tadi menanyakan keadaan orang ini. Bukan soal

senjata? Bisik hatinya keheranan.

Andika malah tergelak-gelak.

Lalu tanpa menghiraukan tanda-tanya di wajah

mulut Akemi, Andika mengangkat tubuh lelaki bernama

Fujimoto ke dalam rumah. Di atas tatami, lelaki itu lalu

dibaringkan. Akemi terus mengikuti di belakangnya. Juga

Kissumi.

Setelah dibaringkan, Andika menotok Fujimoto

kembali, membebaskan jalan darahnya.

"Haih!"

Begitu terbebas, kontan Fujimoto berteriak seraya

mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dia merasa saat itu

masih memegang katana.

"Aaa!" Pendekar Slebor bertingkah tengik lagi. Si

pemuda urakan itu berteriak keras-keras sambil mendekap

dadanya. Mending kalau teriakannya tidak keras!

Akemi dan Kissumi di belakangnya tak bisa tidak

untuk terkikik tertahan menyaksikan tontonan konyol

tersebut. Mereka benar-benar baru sekali itu mengenal

seorang pria yang sifatnya sama sekali membingungkan.

Tapi entah kenapa mereka menikmatinya. Wuh, suka

barangkali!

"Cukup, Fujimoto!" seru Akemi kemudian. Tentu saja

setelah dia berhasil menguasai rasa geli yang

menggelitikinya..

"Nyonya Jotaro?" Fujimoto tersadar. Tangannya

diturunkan. "Siapa orang ini,Nyonya?" tanyanya lagi sambil

menuding Andika.

"Perkenalkan.... Ini Andika San," Akemi

memperkenalkan.

Fujimoto bangkit terseok. Badannya masih terasa

ngilu. Sambil berdiri, dia mengingat-ingat sesuatu. Diulang-

ulangnya nama Andika berbisik.

"Kau Andika San!" serunya, meledak tiba-tiba. Andika

sampai hendak mencak karena kelewat terkejut.

"Kausahabat Hiroto San!" susul Fujimoto masih meledak-

Iedak. "Kau pendekar dari negeri jauh itu!"

Andika tak tahan lagi melihat Fujimoto reriak-teriak

seperti itu. Tak tahu Andika, apa orang itu cuma terkejut

mengetahui siapa dirinya atau sedang kerasukan memedi

Gunung Fuji.

"Iyaaa!" balas Andika tak kalah meledak. Habis dia

mangkel sekali.

Lantas saja Fujimoto membungkuk dalam-dalam.

"Satu kehormatan besar bisa bertemu dengan

Pendekar Slebor!" ucapnya bersemangat.

"Eh, dia tahu julukanku?" Pendekar Slebor me-

ngernyit.

"Hiroto San sering bercerita tentang Andika San.

Tentang kisah mengagumkan di Piramida Tonggak

Osiris...," cecar Fujimoto lagi seraya bersimpuh di depan

Andika. Raut wajahnya simpang-siur karena, terlalu

bersemangat.

"Ooo...," Andika baru mengerti. Diam-diam, hidung

Andika jadi kembang-kempis juga. Siapa yang tidak bangga

namanya dipuji di negeri orang?

"Hai! Hai!" timpal Fujimoto dengan bahasa Nip¬pon

kentalnya.

Buntut-buntutnya, Fujimoto meminta Andika

mengajarkan beberapa jurus silat. "Slompret," dengus

Andika.

***

Sulitnya membuat keputusan bagi Andika mem-

buatnya terus saja terombang-ambing keresahan. Dia

tertahan di rumah pengasingan Hiroto tanpa bisa berbuat

apa-apa. Hal itu sungguh menyiksanya.

Hari makin siang. Kian lama waktu menggelinding,

kian tak menentu nasib Hiroto dan Akimoto entah di mana.

Andika tak bisa berdiam diri selaku seorang teman. Tapi

dia pun tak bisa berbuat banyak.

Andika pun mencoba bertanya pada Fujimoto. Siapa

tahu lelaki bekas samurai bawahan Hiroto itu mengetahui

sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk melacak ke

mana perginya Hiroto.

. "Apa kau pernah dengar tentang markas Imada-

Tong?" tanya Andika. Saat itu Andika, Fujimoto, Akemi, dan

Kissumi sudah duduk mcmbentuk lingkaran di ruang

upacara minum teh.

Fujimoto menggeleng.

Andika menghempas napas.

"Kau tahu sesuatu yang bisa kujadikan petunjuk

untuk mencari Hiroto dan Akimoto?" lanjut Andika.

Fujimoto tepekur sebentar. Kemudian dia

menggeleng lagi.

"Sial! Jadi apa yang kau tahu?!" Andika agak

mengkelap.

"Apa Andika San tak ingin menanyakan tujuanku ke

tempat ini?" Fujimoto mulai berbicara.

"Yah, benar. Apa tujuanmu ke sini?" terjang Andika,

tergesa. Dia baru menyadari kebodohannya. Tak mungkin

seorang datang begitu saja ke rumah pengasingan rahasia

Hiroto tanpa tujuan apa-apa.

"Aku ingin menyampaikan pesan dari Hiroto San..."

"Apa benar begitu?!" Pendekar Slebor

mencengkeram kerah baju Fujimoto. Anak muda itu terlalu

bernafsu.

"Hiroto San memintaku untuk menyampaikan pesan

bahwa jika dalam sepekan dia tidak pulang, Andika San

diminta menyelamatkan Akimoto. Hiroto San menganggap

dirinya telah gugur jika waktu sepekan telah terlewati. Tapi

tetap ingin Akimoto selamat."

"Bagaimana aku bisa menyelamatkan anak itu.

sedang tempatnya saja aku tak tahu!" maki Andika entah

pada siapa. Ditinjunya lantai kayu tuangan sampai jebol.

Geram sekali tampaknya anak muda dari tanah Jawa itu.

"Obani, Andika San," ujar Fujimoto.

"Apa? Apa tadi kau menyebut satu nama tempat?"

"Obani, tepatnya di kuil tua di tepi danau kota itu.

Begitu Hiroto San berpesan padaku!"

"Bagus!" Andika bangkit cepat. Karena terlalu

tergesa-gesa, tanpa sengaja kaki Andika melanggar

sebelah bahu Fujimoto.

Fujimoto mengeluh seraya mendekap bahunya.

Andika sempat melihat ada genangan darah merembes.

Tampaknya setelah terlanggar kaki Andika, luka yang

dibalut di balik pakaian itu menganga lagi.

"Kenapa dengan bahumu, Fujimoto?" tanya Andika

penuh selidik. Pendekar muda itu teringat pada senjata

rahasia yang ditemukan di bibir tebing depan rumah

pengasmgan rahasia Hiroto pagi tadi.

"Ceritanya panjang, Andika San," jawab Fujimoto

mencoba mengelak. Dari wajah lelakinya ter-lihat kalau dia

tak ingin menjelaskan. Andika melirik matanya tegas-

tegas..

Apa bukan terkena senjata rahasia?" desak anak

muda itu.

Fujimoto menggeleng.

Andika merasa harus memperlihatkan bukti yang

didapatnya pagi tadi. Segera dikeluarkannya benda

tersebut dari balik kimono pinjamannya.

'Tadi pagi aku menemukan benda ini," katanya

sambil melempar logam tipis berbentuk bintang yang

ditutupj darah kering itu ke lantai kayu.

Fujimoto menatap Andika.

"Kau tahu di mana kutemukan benda itu. Di depan

rumah ini. Kau mau tahu kesimpulanku? Kurasa, ada yang

telah berkhianat pada Hiroto. Orang itu tahu tempat

rahasia ini dan telah memberitahukan pula pada musuh

Hiroto. Hingga rumah ini dapat disantroni dan Akimoto

dapat diculik...."

Fujimoto bangkit dan berdiri menghadap Andika.

'Tampaknya Andika San mencurigaiku...," desisnya

gusar.

"Bukankah kau mengetahui tempat rahasia ini?"

Fujimoto mengeleng-gelengkan kepala. Wajahnya

memerah amat matang.

"Itu tuduhan keterlaluan, Andika San...," tandasnya

tegas. "Aku tak pernah berkhianat pada Hiroto San"

tegasnya lagi dengan napas tersendat.

"Bagaimanaaku bisa percaya?" tepis Andika enteng.

Bibirnya menyeringai, mencoba menyudutkan Fujimoto.

Mata lelaki itu menerkam mata Pendekar Slebor.

"Kau perlu bukti, Andika San?" desisnya. Setelah

itu....

Srang!

Fujimoto meloloskan pedang pendeknya. Andika

tersentak. Dia mengira Fujimoto akan menyerangnya. Tapi

itu tak pernah terjadi.

"Aku akan seppuku untuk membuktikan kesetiaanku

pada Hiroto San," kata Fujimoto.

"Menurutku, itu tidak membuktikan apa-apa. Sebab,

musuh Hiroto pun melakukan hai yang sama agar tidak

bisa dikorek keterangan darmya...," sangkal Andika lincah.

Fujimoto mati kutu. Keadaannya mutlak tersudut.

Dia terdiam dengan wajah tak karuan. Merah, bingung dan

geram.

Melihat hai itu, Andika bisa cepat menilai.

"Aku percaya. kau bukan seorang penghianat...,"

katanya sambil beranjak. Dibuatnya Fujimoto tak mengerti

sama sekali. Padahal kesimpulannya seder-hana saja bagi

anak muda berotak encer itu. Kalau benar-benar Fujimoto

penghianat, tentu dia akan benar-behar menikamkan

pisaunya ke perut. Bukankah begitu yang dilakukan lawan-

lawan Hiroto sebeIumnya manakala sudah tersudut?

Tapi si pemuda urakan tak peduli pada ketidak

mengertian Fujimoto. Sementara samurai berpakaian

hitam itu terbengong-bengong, Pendekar Slebor dia yang

tahu....

***

9


Hiroto tiba di sebuah kuil kuno di wilayah Yaraashiro.

Tengah hari kala itu. Matahari musim semi berada di

puncaknya. Memang sinarnya tak segarang musim panas.

Namun begitu, tetap saja menyiksa. Setelah memakan

waktu perjalanan berkuda selama tiga hari, akhirnya dia

tiba juga di Kuil Matahari.

Sampai saat itu, Hiroto sendiri masih sangsi apakah

anaknya dilarikan ke sana atau tidak. Yang dia tahu

hanyalah tempat itu pernah dipergunakan se-bagai markas

oleh musuh keluarganya. Di mana dari sana mereka

menggempur keluarga keturunan Murid Bungsu yang

banyak tinggal di Kyoto. Yamashiro memang daerah yang

paling dekat dengan Kyoto.

Hiroto ingat saat itu serangan mus uh keluarga

keturunan Murid Sulung Sensei Pedang Ekor Naga

dipimpin oleh seorang samurai bengis yang begitu

membencinya. Namanya Seichi Onigawa. Kala itu. Hiroto

masih menjabat sebagai daimyo dari shogun yang

berkuasa.

Setelah shogun yang lama terguling, Seichi Onigawa

diangkat menjadi salah seorang perwjra shogun yang baru.

Hiroto dan anggota keturunan keluarga Murid Bungsu pun

menjadi buronan utamanya. Mereka dikejar ke sana ke sini

seperti binatang hutan. Di bantai tanpa belas kasihan.

Semata-mata karena Seichi Onigawa ingin memuaskan

hasrat membunuhnya.

Seichi Onigawa begitu memegang teguh kebencian

yang diwariskan secara turun-temurun oleh buyutnya. Dan

hanya satu yang dapat membayar semua itu, Pedang

Pusaka Ekor Naga. Kebetulan sekali, Hiroto adalah salah

seorang keturunan Murid Bungsu yang mendapat

kepercayaan untuk menerima warisan pedang pusaka itu.

Maka, makin kuat saja alasan Seichi Onigawa membenci

Hiroto.

Kuda Hiroto kini telah berhenti terengah-engah di

depan gerbang kuil. Kuil Matahari sepi. Tak ada tanda-

tanda kehidupan. Hanya kelengangan penat. Sejauh mata

memandang, hanya tampak ilalang-ilalang jangkung di

seluruh penjuru tanah kuil.

Tembok bangunan tua itu sudah dimakan lumut.

Sekarat dengan warna buram muram. Dindingnya gompal

di sana sini. Kubah bertingkat sebagian sudah hancur.

Pintu gerbang yang dulunya mungkin berdiri gagah,

sekarang tinggal puing terkatung.

Hiroto menghentak tali kekang. Kuda-berjalan

perlahan, memasuki mulut gerbang Kuil Matahari. Dari

kejauhan mata Hiroto. memang tak menyaksikan siapa-

siapa. Sementara naluri samurainya sendiri memperingati

ada berpasang-pasang mata sedang mengawasi

kedatangannya.

Kesiagaan Hiroto semakin menjangkit begitu

kudanya sudah berada di halaman luas penuh ilalang.

Matanya tak bergerak, terpusat di bangunan sekarat di

depan sana. Biarpun begitu, bukan berarti dia tak

mewaspadai keadaan sekitarnya. Sebelah tangannya tetap

pada tali kekang kuda. Tangan yang lain bersiap di gagang

katananya. Kalau mendadak ada yang menerjang, dia siap

membabatnya.

Hewan kendaraan ksatria Nippon itu terus

melangkah membawa tuannya lebih jauh masuk ke

pekarangan Kuil Matahari. Lebih jauh mas uk, naluri Hiroto

bertambah kuat memperingati.

Sampai satu saat, kuda tunggangan Hiroto dibuat

meringkik keras oleh seruakan tiba-tiba dari serumpun

ilalang lebat. Kuda itu menaikkan kedua kaki depannya

liar. Hiroto berusaha mengendalikan. Meski tali kekang

ditarik demikian rupa dan mulutnya berseru-seru, tetap

saja bmatang itu sulit dikendalikan.

Tentu saja ada yang membuat binatang itu terkejut

luar biasa. Ada seseorang muncul tepat di depannya. Orang

itu kini berdiri memperhatikan kepanikan kuda Hiroto

dengan wajah menyeringai.

, Hiroto melompat dari kuda. Dia tak ingin tubuhnya

terlempar, dan lelaki di depannya memanfaatkan keadaan

itu. Seraya cepat meloloskan katana dari pinggangnya,

Hiroto berdiri empat depa di depan si pcnghadang.

"Siapa kau?!" hardik Hiroto.

Orang yang ditanya berwajah buruk. Tubuhnya

bungkuk karena s udah terlalu tua. Wajahnya sudah

diramaikan kerut-merut. Cuma giginya yang tampak masih

utuh. Hanya tanggal beberapa butir. Kumis putihnya

memanjang sampai ke leher. Dia berpakaian seorang

samurai lama. Pakaiannya berwarna hitam dengan

dalaman putih. Tangannya menggenggam toya panjang

yang selalu diketuk-ketukkan ke tanah.

"Bodoh! Kau tak berhak bertanya begitu! Aku tuan

rumah di sini Jadi aku yang mestinya bertanya padamu,

siapa kau?! Sekarangjawab!" balas si lelaki tua, sengit.

Toya di tangan ditudingkan ke arah Hiroto.

"Kau penghuni Kuil Matahari? Apa kau punya

hubungan keluarga dengan Seichi Onigawa?" Hiroto

tampaknya tak begitu peduli dengan pertanyaan lelaki tua

barusan. Mungkin benaknya terlalu dihantui oleh keluarga

Seichi Onigawa yang telah menculik anaknya.

"Kutu busuk! Sudah kubilang, kau tak berhak

menanyakan siapa aku lebih dahulu! Apa kau tak pernah

diajarkan tata krama, hah!" bentak si lelaki tua. "Ayo jawab

pertanyaanku, tunggu apa lagi?!"-

Karena merasa lelaki tua di depannya tidak ber-niat

memusuhinya, meski tetap bersikap kasar, Hiroto

mengalah.

"Aku Hiroto, dari Kyoto," akunya.

"Apa tujuanmu datang ke sini?!" susul si orang tua

bungkuk. Masih juga dengan pertanyaan kerasnya.

"Aku ingin tahu, apakah kuil ini masih ditcmpati oleh

orang-orang Seichi Onigawa?"

Orang tua bungkuk menepis udara. Bibirnya

mencibir.

"Seichi Onigawa. Dasar lelaki pecundang!"

"Apa maksudmu, Orang Tua? Apa yang kau ketahui

tentang orang itu?" Hiroto tergesa-gesa meruntunkan

pertanyaan.

Tanpa menjawab pertanyaan Hiroto, orang tua

bungkuk berbalik dan melangkah tertatih ke arah

bangunan kuil.

"Orang tua, tunggu!" Hiroto menyusul di be-

lakangnya.

"Kalau kau berurusan dengan lelaki pecundang itu,

aku tak punya urusan denganmu!" tandas orang tua

bungkuk tanpa menoleh.

"Tapi, maukah kau menolongku orang tua. Aku harus

tahu di mana markas. perkumpulan Imada-Tong!"

Orang tua bertoya memanCung langkah. Ditatapnya

Hiroto dengan mata kelabunya! "Kau tadi bilang soal

Imada-Tong?"

"Benar, Orang Tua. Anakku telah diculik mereka...."

"Dan Seichi Onigawa yang membayar orang-orang

Imada-Tong untuk melakukan itu?" terka orang tua bertoya

dengan nada yakin.

"Benar, Orang Tua...."

Kepala orang tua itu bergoyang-goyang seperti

menarikan sesuatu. "Ya ya ya..., aku memang selalu

benar!" tukasnya acuh. Lalu dia melangkah lagi.

"Orang tua, apakah kau bisa menolongku?" Hiroto

memohon.

"Yang bisa menolong dirimu, cuma kau sendiri!"

"Aku cuma butuh keterangan di mana markas

Imada-Tong."

"Kau keliru jika hendak mencari anakmu di markas

mereka. Mereka dibayar untuk melaksanakan tugas. Kalau

Seichi si pecundang itu membayar mereka untuk menculik

anakmu, tak mungkin anakmu masih di tangan orang-

orang Imada-Tong...," tutur orang tua bertoya datar.

Hiroto diam-diam membenarkan ucapan si orang tua

itu. Karena orang tua itu terus saja melangkah, Hiroto

mengikutinya lagi dengan sabar.

"Kalau begitu, apa kau tahu di mana bisa kutemui

Seichi Onigawa?"

"Kutubusuk! Kenapa kau jadi demikian tolol?" Hiroto

tersentak, Dia bukan sekadar terkejut mendapat hardikan

itu. Dia justru tersentak karena tenaga dorongan yang lahir

dari bentakan itu. Ada tenaga seperti tangan raksasa yang

menyentaknya ke belakang!

Siapa orang tua ini? Hiroto berbisik dalam hati. Di

negeri ini, jarang seorang dapat melakukan hal itu.

Belum sempat terberangus rasa heran Hiroto, orang

tua bungkuk mengayunkan toyanya ke tanah tepat di

depan Hiroto. Maka, terbentuklah semacam lubang

jebakan yang cuma ditutupi ranting kering dan jerami. Di

dalamnya telah siap moncong-moncong bambu setajam

mata pedang!

"Lihat! Kalau kau tadi terns berjalan serampangan,

kau tentu akan..., ah, kau tahu sendiri itu!"

Dua kali dengan ini Hiroto dibuat terpana.

Bagaimana si orang tua itu tidak terperosok ke dalam

lubang yang hanya ditutupi oleh ranting setipis sumpit dan

jerami? Padahal jelas-jelas Hiroto menyaksikan si tua

bungkuk itu melangkah seenaknya di sana....

Merasa dia tengah berhadapan dengan sesepuh

para samurai, Hiroto secepatnya memperbaiki sikap. Dia

merunduk dalam-dalam, memberi hormat.

"Maafkan aku, Orang Tua! Mataku buta untuk

mengetahui kalau kau,„" '

Tak!

Belum selesai Hiroto berbicarar orang tua bungkuk

tadi menggetok kepalanya dengan toya.

Hiroto meringis.

"Sekali lagi kau berbuat itu padaku, aku akan

menghantam batok kepalamu sampai remuk! Kau pikir aku

ini siapa?! Senseimu?! Bhuh, maaf-maaf saja...."

Jakun Hiroto turun-naik. Dia merasa serba salah

menghadapi orang tua ini.

"Sebaiknya kau pergi secepatnya dari sini!" perintah

si orang tua dengan wajah dibuat sebengis mungkin.

"Tapi bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"

"Yang mana?!"

Dimana bisa kutemukan Seichi Onigawa?"

"Bhuh, si pecundang itu lagi...," gerutu orang tua

bertoya.

"Di mana orang tua? Saya mohon sekali. "

"Ada di dalam sana! Dengan puluhan orang-orang

Imada-Tong bayarannya...," jawab orang tua bungkuk.

Ditunjuknya Kuil Matahari dengan toya.

"Seenaknya mereka memakai kuilku tanpa izin lagi!"

Hiroto menjura. Pemberitahuan orang tua bungkuk

benar-benar dihargainya. Dengan begitu, dia tahu bahaya

macam apa yang sedang menantinya di Kuil Matahari. Bisa

jadi dia bisa tahu pula keadaan Akimoto.

"Apakah mereka menahan seorang bocah, Orang

Tua?" Hiroto penasaran. Parasnya demikian berharap

mendapat jawaban atas pertanyaarrya.

"Kau terlalu banyak tanya! Kenapa tak langsung saja

ke sana!"

"Baik..., baik! Terima kasih, Orang Tua!"

Hiroto pun beranjak. Empat langkah ke depan, Hiroto

menoleh pada lelaki tua tadi. Ternyata Hiroto sudah tak

menemukannya lagi. Si orang tua bungkuk menghilang

dengan meninggalkan kabut.

Hiroto berdecak tak sadar. Siapa sesungguhnya dia?

Tanya hatinya lagi. Ketika teringat keadaan Akimoto, Hiroto

tak bisa lebih lama memikirkan si orang tua. Dia

meneruskan langkah. Sekaligus membulat-kan tekad untuk

menghadapi bahaya amat besar yang menanti di dalam

Kuil Matahari. Lelaki berjrwa ksatria itu siap mati!

Jarak semakin dekat.

Tak lama, Hiroto sampai juga di pintu besar kuil.

Daun pintu masih terkatup. Kesannya tak pernah ada

orang di dalam. Bahkan sarang laba-laba merangas,

seperti tak pernah terusik selama bertahun-tahun.

Sejenak Hiroto menjadi ragu. Benarkah ucapan

orang tua penuh teka-teki tadi? Benarkah Seichi Onigawa

dan orang-orang Imada-Tong sedang menunggu di dalam?

Kalau benar, kenapa di dalam sana begitu sunyi? Daya

pendengaranriya sudah dikerahkan, tapi tak seberkas

suara jrum jatuh pun terdengar. Sunyi terlalu

mengungkung. Sementara pintu dan sekian jendela

berjajar di sepanjang kuil tak menampakkan tanda pernah

dibuka.

Ditipukah aku oleh orang tua sakti tadi?

Keraguannya buyar seketika. Suara riuh mena-dingi

kerasnya guruh terdengar dari dalam. Kejap itu juga,

seluruh jalinan otot Hiroto mengejang tegang. Matanya

membesar. Katana di tangannya diacungkan ke depan. Dia

siap menanti apa yang bak al muncul dari balik pintu.

Sampai....

Khoarkk!

Brak!

Hiroto tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Dia baru mengetahuinya manakala pintu besar Kuil

Matahari jebol seketika. Ledakan amat besar yang

menyebabkannya. Kekuatan ledakan itu menyebabkan

kayu daun pintu setebal setengah jengkal berhamburan

berkeping-keping.

Sigap, Hiroto membuang badan jauh-jauh ke

samping. Tak ingin dia menempuh bahaya sedikit pun

dengan menghindar tanggung-tanggung.

Di atas rimbunya ilalang, Hiroto mendarat. Dia

begulingan, lalu berdiri kembali dengan tangkas tanpa

kehilangan senjata di tangan. Matanya nyalang mencari

sesuatu yang baru saja menjebol pintu besar. Manakala

tahu apa yang .dilihatnya, wajah Hiroto seperti menjadi

kaku. .

Dari gumpalah asap putih tebal bergulung-gu-lung,

bermunculan delapan lelaki berpakaian merah-merah.

Nyaris seluruh tubuh mereka tertutup oleh pakaian

tersebut. Hanya bagian mata mereka saja yang tidak.

Mereka berguliran di udara bagai delapan bola, lalu berdiri

membentuk Iingkarang tertutup, mengurung Hiroto.

Mereka adalah delapan pemimpin Imada-Tong.

Dalam dunia samurai hitam, mereka dijuluki Delapan

Samurai Merah. Nama mereka demikian ditakuti, bahkan

oleh para samurai, daimyo, bahkan para perwira shogun

sekali pun. Selama ini tak ada lawan yang sanggup

mengalahkan mereka. Lebih dari itu, tak ada satu nyawa

bisa lolos dari ancaman maut mereka. Mereka adalah

pencabut nyawa tak kenal ampun!

Tanpa sadar genggaraan tangan pada gagang

pedangnya mengeras. Rahangnya pun turut mengeras. Dia

sadar sesadarnya kini bahaya apa yang siap

memamahnya....

***

10


"Kau yang bernama Hiroto?!" seru salah seorang dari

Delapan Samurai Merah, menghentak.

Hiroto tak menjawab. Dia tak ingin berbasa-basi

dengan Iawannya. Buat apa? Pikirnya. Toh, nanti dia atau

mereka yang harus mati!

"Aku dengar kau mempunyai teman asing yang

hebat, heh?!" lanjut lelaki tadi. Tampaknya dia paling

berpengaruh di antara delapan orang berpakaian merah

tertutup.

"Aku tidak berurusan dengan kalian! Aku hanya

berurusan dengan Seichi Onigawa!" geram Hiroto tanpa

bergerak dari kuda-kuda awal.

"Kami pun sebenarnya tidak berurusan denganmu.

Tapi Seichi Onigawa telah membayar mahal kami. Tapi

tetap saja itu tidak cukup untuk membuat kami keluar.

Kalau pun sekarang kami keluar, karena kami mendengar

dari anak buah kami bahwa kau mempunyai seorang

teman sakti! Kami ingin menjajalnya! Jadi urusan kami

terlepas dari urusan kau dengan Seichi Onigawa!" papar

lelaki tadi. Tangannya mengacungkan katana ke Hiroto.

Dari caranya, jelas sekali dia memandang sebelah mata

pada samurai muda dari Kyoto itu.

"Kalau kalian tak berurusan denganku, kenapa

kalian tak enyah saja!" balas Hiroto. Tak sedikit pun

menyembul kesan ketakulan di raut wajahnya.

"Karena kami ingin bertemu dengan teman

asingmu!"

Hiroto tersenyum, meledek. "Kalian cuma delapan

ekor monyet bagi kesak-tiannya...," ledek Hiroto lagi,

membanding-bandingkan kehebatan Pendekar Slebor

dengan nama besar Delapan Samurai Merah.

"Kalau begitu, kau yang terlebih dahulu merasakan

kehebatan kami!" ancam lelaki tadi.

Hiroto mengebut katana beberapa gebrakan. "Kalau

begitu, kenapa kalian tak cepat menerjang?! Aku sudah

ingin secepatnya menyelesaikan urusan dengan Seichi

Onigawa keparat itu!" tandas Hiroto.

Lalu lelaki yang kehilangan anak kesayangannya itu

menoleh pada bangunan Kuil Matahari. Dengan wajah

berang, dia berteriak.

"Hei, Seichi! Apa kau dengar ucapanku! Aku akan

datang memenggalmu jika selembar saja rambut anakku

kau rontokkan!"

Di ujung seruannya, delapan lawan tanpa aba-aba

sedikit pun serentak menyerhu Hiroto. Memang begitu ciri

khas serangan Delapan Samurai Merah. Mereka

menyerang^tanpa tanda sedikit pun kalau mereka hendak

melakukannya. Namun begitu, serangan mereka bisa

dilakukan secara bersamaan. Sementara tak pernah sekali

pun mereka pernah menyerang sendiri-sendiri. Kehebatan

mereka justru terletak pada kesatuan penyerangan. Siapa

pun atau bagaimanapun kehebatan lawan yang mereka

hadapi mereka akan selalu menyerang bersama. Tak

perduli apakah lawan terbilang memiliki kendo tinggi atau

tidak.

Satu dari sekian ciri khas mereka adalah senjata

andalan yang berbeda satu dengan Iain. Masing-ma-sing

dari mereka sepertinya telah mencapai taraf sensei dalam

permainan senjata yang berbeda. Seorang

mempergunakan katana, yang Iain mempergunakan toya,

arit kembar, rantai berbandul pisau. trisula, pedang pendek

kembar, lembing panjang berpangkal arit dan sepasang

tongkat pendek.

Di lain sisi, bukan berarti mereka tak cukup

berbahaya dalam keahlian mempergunakan senjata Iain.

Swing!

Terjangan pendahuluan dilakukan oleh lelaki

berkatana. Dialah yang sebelumnya bertanya pada Hiroto.

Dari udara, lelaki membacokkan senjatanya lurus-lurus ke

batok kepala Hiroto. Tenaga lompatannya sudah cukup

menunjukkan bacokannya bisa membelah dua kepala

hingga tubuh lawan!

Hiroto terkesiap sejenak. Semula dia tak

menganggap Delapan Samurai Merah akan melakukan

serangan secepat itu dan setiba-tiba itu. Naluri

kesamuraiannya yang telah diasah dalam memperingati.

"Hai!"

Hiroto berguling di tanah. Katana lawan hanya

menghujam tanah tepat di tempat berdiri sebelumnya.

"Hea!" Swing!

Begitu kaki lawan sampai, Hiroto membuat sabetan

rendah setengah putaran. Kaki lawan hendak

dikutungkannya. Namun usaha itu tidak mudah. Se-belum

bisa membabat kaki lawan, anggota Delapan Samurai

Merah bersenjata katana itu sudah menjegal tebasan

Hiroto dengan katananya.

Trang!

Kejap berikutnya, lawan bertrisula kembar

menusukkan sepasang senjatanya ke dada Hiroto. Hiroto

yang masih telentang di tanah, mencoba memapaknya

dengan telapak kaki.

Taph!

Pergelangan tangan lelaki bertrisula kembar

tertahan di udara. Itu tak berlangsung lama. Katana lawan

yang lain mencoba membobol pertahanan kaki Hiroto

dengan menebaskan sepasang arit. Wes!

Hiroto tak mau kedua kakinya terputus. Dia menarik

dalam-dalam kakinya. Lalu melepaskan tusukan ke perut

lawan bersenjatakan trisula kembar.

Swing!

Trang!

Tanpa sempat menembus sasaran, katana Hiroto

dijegal sepasang arit yang sebelumnya berusaha

mengutungi kakinya. Pada saat yang sama, sepasang arit

tadi mengunci senjata Hiroto dengan cara menyilang di

antara katana Hiroto.

Mata Hiroto cukup awas untuk mengetahui niat

lawan. Sebelum pedang panjangnya benar-benar terkunci

tenaga lawan, cepat ditariknya senjata ke samping.

Gagalnya kuncian sepasang arit diikuti oleh tusukan

dua pedang dari lawan yang lain. Hiroto yang masih

telentang di tanah dipaksa bergulingan. Lawan bersenjata

dua pedang pendektcrus mengejarnya. Setiap kali Hiroto

berhasil membuat tus ukan sepasang pedang pendek itu

menghujam tanah, lawan. membuat tusukan yang sama

kembali.

Bles! Bles! Bles!

Hiroto tak mau terus-terusan begitu. Lama-lama dia

bisa kehabisan tenaga. Maka diputuskan untuk menjegal

tusukan liar lawan dengan katananya. Sayang baru saja

senjatanya itu di ayunkan, toya baja seorang lawan

mendongkelnya dari bawah. Trang!

Bunga-bunga api terpercik ketika dua batang baja

berbentuk berbeda itu berbenturan. Hiroto merasakan

pergelangannya demikian ngilu karena tenaga hantaman

lawan.

Detik itu juga pedang panjang Hiroto terpental ke

udara, terkena dongkelan bertenaga lawan bertoya. Lawan

berhasil membobol satu pertahanan paling penting bagi

Hiroto.

Itulah kehebatan Delapan Samurai Merah. Mereka

membuat pertahanan rapat satu dengan yang Iain.

Serangan dan pertahanan mereka ibarat mata rantai yang

tergabung menjadi satu. Satu dengan yang lain saling

memperkuat. Tak perduli apakah mereka menghadapi

lawan berkemampuan kendo tinggi atau tidak

Hiroto baru menyadari itu. Tapi apa gunanya

menyadari kunci benteng pertahanan lawan kalau dia

sendiri telah kehilangan benda paling penting dalam suatu

pertarungan?

Ha,ti Hiroto seperti tergiris,Sementara memegang

senjata saja keadaannya sudah begitu terdesak, Apalagi

jika tangannya kosong melompong.

Tanpa mau memberi kesempatan bagi Hiroto untuk

bernapas setarikan pun, seorang dari anggota Delapan

Samurai Merah yang memegang rantai panjang berbandul

pisau melepas senjatanya dari jarak jauh.

Keterdesakan Hiroto di atas tanah makin tak banyak

mendapat jalan lolos. Mata pisau berantai meluncur deras

menuju kening Hiroto.

Tak ada lagi yang bisa diperbuat Hiroto saat itu. Satu

sisi dia harus menghadapi tusukan mata sepasang pedang.

Dan kalau dia mencoba menghindar ke sisi lain, maka

mata pisau berantai akan menembus keningnya!

Mau tak mau, Hiroto akhirnya memasrahkan

semuanya pada takdir. Kalau melihat keadaannya

sekarang, tentu takdir buruk yang akan menghampiri.

Namun begitu, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang

tahu takdirnya sendiri. Karena begitu mata pisau di ujung

rantai lawan hendak menghujam, tubuhnya tiba-tiba saja

disambar seseorang. Sambaran itu amat cepat, lebih

tangkas dari sambaran seekor elang perkasa dari langit!.'

Thep!

Kejopak mata Hiroto yang semula terkatup

memasrahkan segalanya, Jangsung saja membuka saat

merasakan tubuhnya melayang begitu cepat. Dia belum

lagi tahu siapa yang baru saja menolongnya.

Ketika Hiroto merasakan ada sentakan, dia tahu si

penolong telah menjejakkan kaki di tanah. Lalu

didengamya suara orang yang membopongnya. Suara yang

serak memekakkan telinga. Saking memekakkan, mungkin

lebih pantas disamakan dengan riuh-rendah kaleng

rombeng.

'Hua-he-hu-he-huaaa, jangan heran jangan ka-get!

Aku datang untuk bikin kejutan. Siapa yang tak terkejut,

silahkan terkejut. Siapa yang terkejut, silahkan tidak

terkejut. Siapa yang bingung mendengar kejutan ini?

Silahkan buat kejutan sendiri!"

Delapan Samurai Merah merasa langkah

kemenangan mereka digagalkan oleh seorang sinting!

Mereka melihat seorang yang amat jelek. Kimono yang

dipakainya sudah porak-poranda. Dekil, dan tercabik-cabik.

Wajahnya amat merah menjijikan. Bagaimana tidak

mcnjijikkan kalau merah wajahnya sama dengan pinggiran

bisul? Di salah satu pipinya terdapat benjolan sebesar

jempol Buto Ijoberwama biru. Mulutnya terus saja

mengecap-ngecap, menimbulkan s uara tak sedap. Dan

rambutnya keras serta ''kaku seperti bulu domba tak

terurus.

Delapan Samurai Merah benar-benar yakin mereka

berhadapan dengan orang sinting. Belum lagi kalau

mereka menilai ucapan ngawur yang dikatakan barusan.

Kalau pun benar lelaki itu sinting, tentu dia adalah orang

sinting berilmu tinggi. Buktinya Hiroto dapat disambar

demikian rupa. Pikir mereka lagi.

"Siapa kau?!" bentak lelaki bersenjatakan katana.

Dari sinar matanya tampak sekali kalau dia begitu gusar.

"Iyou-iyou! Siapa aku? Aku adalah orang yang bakal

membuat kejutan. Siapa pun manusia di dunia ini akan

kubuat terkejut! Terkejut adalah kesenangan yang

mengejutkan. Apa kalian tak ingin terkejut? Hua-he-hu-

heaaaa!"

Delapan Samurai Merah saling pandang tak

mengerti. Mereka mau berbuat apa sekarang? Menghabisi

juga orang sinting itu?

Tampaknya lelaki bersenjata katana tak berniat

berurusan dengan si orang dekil tak dikenal. Tujuan

mereka menghadang Hiroto sesungguhnya hanya untuk

membuktikan cerita anak buahnya tentang kawan

asing,Hiroto. Mereka merasa harga diri mereka terusik

dengan tindak-tanduk si anak muda asing.

Kalau orang yang akan dihadapinya kini bukan lah

pemuda itu, bagaimana mereka mau membuang tenaga

tanpa tujuan yang jelas. Seichi Onigawa pun tak membayar

mereka untuk melakukan tindakan itu.

Delapan Samurai Merah menganggukkan kepala

berbarengan,Dan dengan berbarengan pula tangan mereka

membanting sesuatu ke atas tanah.

Blush!

Asap tebal mengepung tubuh kedelapan lelaki

berpakaian merah-merah itu. Amat tebal, sosok mereka

jadi tak tampak karenanya. Ketika angin menyapu

perlahan asap putih tebal tadi, Delapan Samurai Merah

telah tak ada lagi.

"Turunkan aku, Tuan!" pinta Hiroto, sesaat setelah

Delapan Samurai Merah menghilang.

Lelaki dekil berwajah jelek tertawa tak beraturan

"O, iya. Aku sampai lupa," tukasnya. Dilepasnya

begitu saja tubuh Hiroto dari bahu. Kalau saja Hiroto

sejenis lelaki pesakitan, tentu dia sudah jatuh tersungkur

dengan pantat terlebih dahulu.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hiroto. Diberinya

sang penolong juraan hormat. Dalam dan khusuk. Sebagai

samurai sejati, Hiroto memiliki tata krama tinggi.

Sementara menjura, hatinya tak habis bergumam.

Hari ini di tempat yang sama, dia sudah dua kali bertemu

dengan orang yang bukan saja bertingkah ganjil, tapi

pakaiannya pun tak karuan. Sebelumnya si kakek bungkuk.

Sekarang lelaki berwajah merah.

"Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, kau ,tak

bisa terus di sini!" sambat lelaki berwajah merah sebelum

mulut Hiroto berucap lebih banyak.

"Kenapa begitu! Tuan?"

"Jangan panggil aku Tuan! Kau pasti punya nama

bukan? Begitu juga aku.... Namaku Tototo."

Mulut Hiroto meringis samar. Nama itu? bisik hatinya

geli. Seumur hidup, tak pernah didengarnya nama seaneh

itu di negerinya ini.... Jangan-jangan dia orang sinting, duga

Hiroto lagi, tak beda dengan pikiran Delapan Samurai

Merah.

"Kenapa tersenyum?!" hardik lelaki bernama Tototo.

Matanya mendelik menyeramkan.

Hiroto menjura lagi.

"Maaf, maaf.... Aku tidak bermaksud apa-apa,"

sergah Hiroto, memperbaiki kesalahannya. "Kenapa aku

tidak bisa masuk ke Kuil Matahari, Tototo San?" Hiroto

mengulang pertanyaan yang sebelumnya terbengkalai.

"Karena aku sudah ke sana."

"Tapi aku belum."

"Tapi kau tak perlu ke sana! Titik!"

"Aku punya urusan yang amat genting dengan Seichi

Onigawa...." Hiroto mencoba menjelaskan.

"Aku bilang tak perlu ke sana. Waktu kau habis-

habisan dikeroyok orang-orang usil tadi, aku iseng.-iseng

masuk ke dalam sana. Tak ada seorang pun di dalam sana.

Tapi tunggu dulu...." Tototo rnenghentikan ucapan-

mencerocosnya Dia mengingat-ingat sesuatu. "Tapi aku

melihat satu gerombolan bersembunyi di sana...."

"Kau bertemu dengan gerombolan Imada-Tong?"

Hiroto teringat pada ucapan kakek bungkuk. Orang tua

bertoya itu juga kalau orang-orang Imada-Tong menanti di

dalam Kuil Matahari.

Tototo mencibir. Wajahnya bertambah jelek.

"Aku bertemu dengan satu gerombolan kecoak!"

tukasnya acuh sambil berlalu dari tempat itu.

Hiroto ragu. Mana yang harus dipercayanya kini.

Orang tua bungkuk sebelumnya mengatakan Seichi

Onigawa dan orang-orang Imaga-Tong menunggunya di

dalam kuil. Sebaliknya, lelaki bernama Tototo ini justru

mengatakan di dalam kuil tak ada orang lagi.

Bimbang meruyak. Kalau dia masuk ke sana juga

dan ternyata Tototo benar, artinya dia akan banyak

kehilangan waktu. Tapi bagaimana kalau perkataan kakek

bungkuk benar?

Karena terlalu dikecamuk kebimbahgan, tanpa

sadar Hiroto menoleh ke arah bangunan Kuil Matahari.

Sewaktu kepalanya menoleh kembali ke arah lelaki

bernama aneh tadi, Hiroto sudah tak menemukannya lagi.

“Siapa pula dia?” Benak Hiroto makin dijejali teka-

teki tak terjawab.

Siapakah orang tua bungkuk bertoya? Siapa pula

Tototo? Apa tujuan keduanya? Apa yang dilakukan si

urakan sakti Pendekar Slebor untuk menolong Hiroto

tanpa perlu membuat harga diri kawannya itu terusik? "

Di mana pula Akimoto disembunyikan? Siapa

pengkhianat keluarga Hiroto?


                    SELESAI


Ikutl serial Pendekar Slebor selanjutnya :

RAHASIA SANG GEISHA





Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive