MISTERI HUTAN LARANGAN
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Misteri Hutan Larangan
128 hal.
SATU
MALAM telah menapak jauh. Dan karena
cahaya sang rembulan serta kerlipan berjuta bin-
tang tak mampu menembus arak-arakan awan hi-
tam yang tampak menggantung menutupi hampir
seluruh permukaan langit, membuat bentangan
angkasa terlihat hitam legam. Bumi pun menjadi
gelap gulita.
Kegelapan itu terlihat makin pekat di hutan
belantara sepi di sebelah timur bukit Larangan.
Karena selain dirambahi rangasan semak belukar
tinggi-tinggi, hutan belantara itu ditumbuhi jaja-
ran pohon besar berusia ratusan tahun yang ber-
daun rindang. Mungkin karena tiadanya angin
yang berhembus, membuat selain digenggam ge-
lap pekat, hutan belantara itu menjadi sunyi
mencekam!
Tiba-tiba dua sosok bayangan hitam berke-
lebat memasuki kawasan hutan belantara. Entah
karena cepatnya kelebatan bayangan ini atau ka-
rena kerapatan semak belukar dan pekatnya sua-
sana, sosok bayangan tadi tiba-tiba lenyap laksa-
na ditelan bumi begitu masuk kawasan hutan.
Sosok keduanya baru terlihat kembali
tatkala keduanya menghentikan lari masing-
masing di tengah-tengah hutan yang rangasan
semak belukarnya berbentuk aneh. Betapa tidak,
rangasan semak belukar di mana dua sosok ini
berhenti tampak akar-akarnya mengambang di
atas tanah! Hingga akar-akar itu seperti ular-ular
kecil yang menggerombol! Keanehan bukan hanya
sampai di situ saja. Ternyata akar-akar yang se-
perti ular-ular kecil itu berwarna merah berkilau!
Untuk beberapa saat lamanya dua sosok
ini tegak tak bergerak. Mulut keduanya terkanc-
ing rapat. Hanya sepasang mata masing-masing
tak berkesip memandang ke depan, ke arah se-
mak belukar aneh yang ternyata membentuk se-
buah lingkaran agak besar.
Mendadak sosok sebelah kanan membuat
gerakan. Kepalanya dipalingkan ke arah sosok di
sebelahnya. Mulutnya bergerak membuka. Na-
mun tiada kata yang terdengar. Dia tampak bim-
bang. Sosok ini lantas putar kembali kepalanya
dan memandang kembali ke arah semak belukar
aneh di hadapannya. Namun sosok sebelah kanan
ini terlihat tak bisa menahan kesabaran. Hingga
sesaat kemudian, kepalanya kembali berpaling
pada sosok di sebelahnya. Mulutnya bergerak
membuka. Dan terdengarlah ucapannya. Lirih
hampir berbisik.
"Percuma kita tegak dengan perasaan te-
gang di sini! Bagaimanapun juga kita harus sege-
ra menghadap dan berterus terang dengan kega-
galan tugas kita! Siapa tahu nyawa kita masih di-
ampuni, walau itu kecil kemungkinannya!"
Yang diajak bicara tak menyahut. Sepa-
sang matanya tetap lurus memandang ke depan,
membuat sosok yang tadi bicara menghela napas
dalam-dalam dan alihkan pandangannya kembali
ke depan.
Sosok sebelah kanan ini adalah seorang la-
ki-laki setengah baya. Rambutnya panjang. Di
kepalanya tampak melingkar ikat kepala berwar-
na merah. Kumisnya lebat demikian pula jam-
bang dan jenggotnya. Sepasang matanya tajam
dengan alis tebal hitam. Dia mengenakan jubah
besar warna hitam.
Sementara sosok di samping kiri adalah ju-
ga seorang laki-laki setengah baya. Di kepalanya
juga tampak ikat kepala berwarna merah. Ram-
butnya panjang demikian pula jenggotnya. Hanya
laki-laki ini tak berkumis dan tak bercambang.
Dia mengenakan jubah besar berwarna kuning.
Ada suatu keganjilan pada dua laki-laki se-
tengah baya ini. Yakni kedua jari kelingking mas-
ing-masing tidak ada! Yang tampak hanyalah
sembulan kecil yang tidak rata, jelas menandakan
jika jari kelingking itu sengaja dipotong!
Beberapa saat berlalu, laki-laki sebelah
kanan kembali palingkan wajah pada laki-laki di
sampingnya.
"Kita hanyalah orang-orang utusan. Hidup
mati kita tidak berhak kita miliki lagi. Jadi sia-sia
jika masih memikirkan keselamatan. Lebih balk
kita segera menghadap dan menerima apa yang
akan terjadi!"
Kali ini laki-laki sebelah kiri palingkan wa-
jah. Setelah menarik napas panjang dan dalam,
dia membuka mulut.
"Aku tidak memusingkan keselamatan, ka
rena aku tahu apa yang akan kita terima dengan
gagalnya tugas yang kita jalankan. Tapi.... Tidak
ada salahnya jika kita mencoba. Meski akhirnya
kematian juga yang kita alami, namun tidak ter-
tutup kemungkinan kita bisa selamat!"
Laki-laki berjubah hitam yang tegak di se-
belah kanan tertawa perlahan. Kepalanya meng-
geleng. "Hal itu pernah dilakukan oleh utusan
yang gagal, namun kau tahu sendiri apa akibat-
nya. Tewas perlahan-lahan! Apakah kita mengin-
ginkan merasakan sakit berlama-lama sebelum
tewas?"
"Utusan itu tolol! Seharusnya dia segera
bunuh diri saat tahu jika dirinya gagal dengan
usahanya menyelamatkan diri. Aku punya cara
untuk...," laki-laki berjubah kuning ini tak mene-
ruskan ucapannya.
Parasnya tiba-tiba berubah. Tubuhnya ber-
getar, sepasang matanya tak berkedip meman-
dang ke depan. Hal sama juga terlihat pada laki-
laki berjubah hitam.
Ternyata semak belukar di hadapan mere-
ka bergerak menguak. Lalu tampaklah sebuah ja-
lan setapak. Karena akar-akar semak belukar itu
berwarna merah, maka jalan setapak itu meski
samar-samar namun jelas terlihat.
Bersamaan dengan menguaknya semak be-
lukar aneh itu, terdengar suara.
"Sang penguasa telah menunggu. Segera
masuk!"
Kedua laki-laki itu saling berpandangan se
jenak. Paras wajah keduanya terlihat pucat pasi.
Laki-laki berjubah hitam memberi isyarat dengan
anggukkan kepala. Lalu melangkah ke arah jalan
setapak. Laki-laki berjubah kuning sebenarnya
ingin berkata, namun karena laki-laki berjubah
hitam telah melangkah, niatnya diurungkan.
Dengan tubuh gemetar dan wajah keringatan, dia
pun melangkah mengikuti laki-laki berjubah hi-
tam.
Begitu kedua laki-laki ini menginjakkan
kaki masing-masing pada jalan setapak, kuakan
semak belukar kembali menutup!
Ternyata jalan setapak itu hanya sepanjang
lima tombak. Pada ujung jalan tampak sebuah
tangga menurun dari semak belukar. Anehnya,
meski merupakan semak belukar, ketika kedua
laki-laki ini menginjak, semak belukar itu tidak
bergoyang!
Anak tangga itu berujung pada sebuah
ruangan besar. Pada sisi dinding sebelah kanan,
terlihat tujuh undakan dari batu yang menghu-
bungkan dengan sebuah pintu besar yang tampak
tertutup.
Baik langit-langit, dinding maupun lantai
ruangan besar itu berwarna merah. Bukan merah
karena warna cat melainkan darah! Hingga selain
menyeramkan ruangan itu berbau amis menjijik-
kan!
Baru saja kedua laki-laki menginjak kaki
masing-masing pada lantai ruangan merah, pintu
besar yang dihubungkan dengan undakan batu
berderit membuka. Seberkas sinar putih menebar
dari balik pintu.
Paras kedua laki-laki ini makin pias. Lu-
tutnya terlihat goyah. Namun keduanya mengua-
tkan diri hingga tubuhnya tetap tegak meski terli-
hat gemetar. Dua laki-laki ini tidak menunggu
lama. Mendadak terdengar suara tawa mengekeh
panjang. Tahu-tahu di ambang pintu telah tam-
pak sebuah kursi besar berwarna merah. Di atas-
nya duduk berjongkok sesosok tubuh besar. Pa-
ras wajah dan seluruh tubuhnya hampir tak bisa
dikenali, karena paras wajahnya ditutup dengan
sebuah karung terbuat dari goni. Hanya pada ba-
gian mata terlihat berlubang. Sementara sekujur
tubuhnya ditutup dengan sebuah jubah besar
berwarna merah. Begitu besarnya jubah, hingga
sebagian tampak berserakan ke bawah.
Untuk beberapa saat sepasang mata yang
hanya tampak dari lubang karung memandang
liar ke arah dua laki-laki di bawahnya. Tangannya
yang tertutup jubah diangkat setinggi kepala. Ti-
ba-tiba di sampingnya muncul sesosok tubuh.
Seperti halnya sosok yang di atas kursi. Sosok
yang baru muncul ini juga dibalut dengan jubah
besar berwarna merah. Hanya sosok ini menge-
nakan caping lebar.
Sosok yang berdiri di samping kursi seje-
nak pandangi dua laki-laki di bawah dari lubang
pada kedua matanya. Tiba-tiba terdengar dengu-
san keras dari hidungnya. Suaranya pun lantas
terdengar. Berat dan bergetar.
"Kalian tampaknya gagal membawa Dewi
Bayang-Bayang untuk disatukan dengan sauda-
ranya Dewi Kayangan ke sini...!"
Kedua laki-laki berjubah hitam dan kuning
serta-merta jatuhkan diri masing-masing ke lantai
ruangan. Keduanya menjura dalam-dalam.
"Maafkan kami...," jawab laki-laki berjubah
hitam tanpa mengangkat kepala.
Sosok berjubah merah bercaping keluarkan
tawa panjang. Tiba-tiba tawanya diputus. Lalu
terdengar kembali ucapannya.
"Kalian telah lama menjadi anak buah Pen-
guasa Hutan Larangan. Kalian pasti tahu apa
yang akan kalian terima karena gagal menjalan-
kan tugas!"
"Maafkan kami.... Sebenarnya kami hampir
saja bisa menyeret Dewi Bayang-Bayang, tapi...."
"Bagi Penguasa Hutan Larangan, tidak ada
kata tapi!" sahut sosok berjubah merah bercaping
memotong ucapan laki-laki berjubah hitam yang
masih bersujud. Kepalanya lalu dipalingkan pada
sosok besar di atas kursi. Yang ada di atas kursi
tampak anggukkan kepala.
Bersamaan dengan anggukan kepala sosok
di atas kursi, kedua tangan sosok berjubah merah
bercaping bergerak diangkat ke atas.
Di bawah sana, dua laki-laki berjubah hi-
tam dan kuning tubuhnya terangkat. Merasakan
hal demikian kedua laki-laki ini angkat kepala
masing-masing. Paras keduanya telah tampak pu-
tih, napasnya seakan tersedak. Kedua tangan
masing-masing bergerak menggapai-gapai seakan
ingin membebaskan diri dari cengkeraman tangan
yang tidak kelihatan mata.
Laki-laki berjubah kuning kerahkan tenaga
dalam, rupanya dalam keadaan takut dan menge-
tahui apa yang bakal dialami, laki-laki ini menjadi
nekat. Walau hanya bisa menggapai, namun ka-
rena tenaga dalamnya telah dikerahkan, hingga
bersamaan dengan gapaian tangannya menyam-
bar dua gelombang angin dahsyat ke arah sosok
berjubah merah bercaping.
Namun serangan nekat laki-laki berjubah
kuning hanya sampai setengah jalan, karena saat
itu juga membersit sinar merah dan melabrak
buyar dua gelombang angin serangannya.
Di seberang, sosok di atas kursi turunkan
tangan kanannya yang baru saja didorong pelan
ke depan dan membersitkan sinar merah yang
membuyarkan serangan laki-laki berjubah kun-
ing.
Mendapati hal demikian, laki-laki berjubah
kuning tercekat. Dan sebelum hilang rasa terce-
katnya, dia merasakan tubuhnya membubung de-
ras ke atas. Lalu tiba-tiba membalik dan menukik
ke bawah. Terdengar suara bergedebukan. Dis-
usul dengan jeritan tinggi. Lalu sepi. Dan tubuh
laki-laki berjubah kuning telah terkapar di atas
lantai ruangan dengan wajah hancur!
Sosok berjubah merah bercaping kibaskan
tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ma-
sih tetap di atas. Perlahan-lahan tangan kanan
nya diturunkan dan bersamaan dengan itu, tu-
buh laki-laki berjubah hitam di bawahannya ikut
turun ke lantai ruangan.
"Hmmm.... Rupanya Wakil Penguasa masih
memberi kesempatan hidup padaku!" batin laki-
laki berjubah hitam dengan melirik ke atas. Na-
mun dia belum berani membuka mulut. Meman-
dang pun masih dengan kepala menunduk.
"Utusan Hitam!" terdengar suara dari sosok
berjubah merah bercaping.
"Hari ini Penguasa Hutan Larangan masih
mengampuni nyawamu. Namun tidak untuk yang
kedua kalinya. Kau mengerti?"
Entah karena senang nyawanya masih se-
lamat atau karena terkejut, laki-laki berjubah hi-
tam yang dipanggil dengan Utusan Hitam serta-
merta dongakkan kepala dan bangkit. Lalu me-
langkah dua tindak ke depan. Seraya membung-
kuk dalam-dalam dia berkata.
"Terima kasih.... Aku minta kesempatan
sekali lagi untuk melaksanakan tugas! Jika gagal,
aku rela menerima hukuman!"
Sosok berjubah merah bercaping yang ter-
nyata Wakil Penguasa Hutan Larangan tertawa
bergelak.
"Setiap kesalahan pasti mendapat huku-
man! Termasuk kesalahanmu yang gagal menye-
ret Dewi Bayang-Bayang!"
Utusan Hitam merasa jantungnya kembali
berdebar kencang. Tengkuknya menjadi dingin.
Darahnya laksana sirap. Kelegaan yang sejenak
dirasakan mendadak lenyap kembali.
"Wakil Penguasa! Aku tahu jika aku telah
melakukan kesalahan. Harap tunda dulu huku-
man. Beri kesempatan padaku sekali lagi...!"
"Hm.... Nyawamu memang ditunda. Tapi ti-
dak untuk hukumanmu!" habis berkata begitu,
Wakil Penguasa angkat tangan kanannya. Dan
serta-merta didorong ke depan.
Utusan Hitam terperangah. Namun belum
sempat memikir apa yang hendak dilakukannya,
tubuhnya terasa dihantam gelombang besar.
Hingga tubuhnya mencelat ke belakang dan
membentur sisi tembok dinding ruangan. Karena
mencelatnya dalam posisi miring, tangan kirinya
terlebih dahulu menghantam sisi dinding ruan-
gan, namun hal itu menyelamatkan wajahnya da-
ri benturan dengan tembok. Hingga tatkala tu-
buhnya terkapar di lantai, tangan kirinya tampak
hancur, sementara mukanya hanya sedikit beng-
kak.
"Utusan Hitam! Itu hanya sebagai peringa-
tan. Sekali lagi gagal, lebih-lebih punya niat un-
tuk melawan, kau akan mengalami nasib seperti
Utusan Kuning. Kau dengar?!"
Walau merasakan sakit di tangan, Utusan
Hitam anggukkan kepala. Lantas menjura dalam-
dalam.
Wakil Penguasa keluarkan tawa panjang.
Kepalanya bergerak tengadah. Dari mulutnya ter-
dengar seruan keras.
"Utusan Hijau, Utusan Putih, Utusan Biru!"
Belum lenyap suara gaung seruan Wakil
Penguasa, melesat tiga sosok bayangan dari arah
tangga semak belukar. Dan tahu-tahu telah tegak
berjajar dengan sikap hormat.
Sejenak dari lubang karung goni sepasang
mata Wakil Penguasa memperhatikan satu persa-
tu pada tiga sosok yang kini tegak berjajar di ba-
wahnya. Mereka adalah laki-laki setengah baya.
Ketiganya mengenakan jubah besar. Paling kanan
berjubah warna hijau. Di tengah mengenakan ju-
bah warna putih, sementara yang paling kiri
mengenakan jubah warna biru. Masing-masing
kepala tampak terikat sehelai kain berwarna se-
perti jubah yang dikenakan masing-masing orang.
"Dengar! Hari ini kalian mendapat kehor-
matan dari Sang Penguasa Hutan Larangan un-
tuk melakukan tugas. Utusan Hijau! Kau bertu-
gas menyeret hidup atau mati tokoh golongan hi-
tam bergelar Bawuk Raga Ginting. Utusan Putih!
Kau diberi tugas untuk membawa tokoh golongan
putih bergelar Manik Angkeran. Utusan Biru! Kau
memperoleh tugas untuk membawa gadis berna-
ma Roro Ajeng! Dan Utusan Hitam! Kau diberi ke-
sempatan sekali lagi untuk menyeret Dewi
Bayang-Bayang! Laksanakan se-karang juga!" ka-
ta Wakil Penguasa dengan kepala tengadah.
"Kami siap laksanakan perintah Penguasa
Hutan Larangan!" keempat laki-laki ini berseru
serentak.
"Bagus! Tapi kalian harus ingat apa yang
semestinya kalian lakukan jika keadaan tidak
memungkinkan. Kalian masih ingat?!"
"Kami harus menghilangkan jejak dengan
bunuh diri!" kembali keempatnya berseru seren-
tak.
Wakil Penguasa berpaling pada sosok di
atas kursi yang ternyata adalah Sang Penguasa
Hutan Larangan. Sang Penguasa anggukkan ke-
pala. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
mengebut ke bawah. Kursi yang diduduki berge-
rak dan tiba-tiba lenyap! Begitu juga sosok Wakil
Penguasa. Lalu terdengar pintu berdebam menu-
tup.
Keempat laki-laki sejenak saling berpan-
dangan. Mereka tidak ada yang buka suara. Se-
saat kemudian, Utusan Hijau balikkan tubuh dan
berkelebat, disusul dengan Utusan Putih, lalu
Utusan Biru. Terakhir Utusan Hitam melesat
meski dengan memegangi tangan kirinya yang
masih meneteskan darah.
DUA
MALAM telah hampir berujung. Hamparan
bumi masih diliputi kegelapan. Sesosok bayangan
terlihat berkelebat cepat menuju arah sebuah
lembah. Sampai pusat lembah, bayangan ini hen-
tikan larinya.
Dia adalah seorang laki-laki yang usianya
tidak bisa ditebak, karena wajahnya ditutup den-
gan sepotong kulit tipis. Rambutnya panjang sebahu. Pada kepalanya terikat sebuah kain ber-
warna hijau. Laki-laki ini mengenakan sebuah ju-
bah besar juga berwarna hijau.
Sejenak sepasang mata laki-laki berjubah
hijau yang bukan lain adalah Utusan Hijau me-
nyapu ke sekeliling lembah. Namun cuma seje-
nak. Tak lama kemudian dia berkelebat dan tahu-
tahu telah tegak di ujung lembah di mana terlihat
sebuah mulut gua.
Untuk beberapa lama sepasang mata Utu-
san Hijau memandang tak kesiap ke depan. Bu-
kan ke arah mulut gua. Namun ke arah sebuah
sosok yang ada di atas mulut gua.
"Hmmm.... Manusia hebat...!" gumam Utu-
san Hijau seraya memperhatikan lebih seksama.
Di atas gua, memang tampak sesosok tu-
buh. Dia adalah seorang perempuan berdandan
aneh. Wajahnya dipupuri dengan bedak putih
tebal. Bibirnya yang tebal sebelah atas terlihat
merah dipoles. Rambutnya panjang sebahu. Na-
mun rambut bagian atasnya dibuat pendek dan
jabrik. Sementara bagian sampingnya dibiarkan
panjang. Kedua matanya besar dengan hidung
mancung tapi bengkok. Namun bukan sosok pe-
rempuan ini yang membuat Utusan Hijau me-
mandang tak kesiap. Justru karena sosok perem-
puan berdandan aneh itu tidak lebih seperti seo-
rang anak kecil. Karena tinggi tubuhnya hanya
setengah tombak! Hebatnya, sosok perempuan
pendek itu tidak jatuh, meski ujung tombak yang
didudukinya hanya menancap sedikit ke dalam
batu bagian atas gua. Melihat hal ini jelas bahwa
perempuan pendek itu memiliki ilmu meringan-
kan tubuh yang sempurna.
Utusan Hijau melangkah dua tindak ke de-
pan. Mulutnya bergerak membuka. Tak lama ke-
mudian terdengar dia berucap.
"Kunyil! Aku tak akan banyak bicara. Ka-
lau kau ingin selamat, ikut aku!"
Meski tampak terkejut mendengar na-
manya dipanggil, namun perempuan pendek yang
berdandan aneh itu masih belum keluarkan sua-
ra. Namun dalam hati perempuan pendek ini di-
am-diam berucap.
"Jahanam busuk! Siapa manusia tak
kuundang ini? Dia mengetahui namaku, padahal
selama ini hanya beberapa orang saja yang men-
getahui!"
Mendapati ucapannya tak mendapat sahu-
tan, Utusan Hijau keluarkan dengusan keras. Dia
kembali melangkah dua tindak ke depan. Tangan
kanannya bergerak merapikan ikat kepalanya.
Namun tatkala ditarik kembali, dia sedikit me-
nyentakkan tangannya. Bersamaan dengan itu
serangkum angin dahsyat menyambar keluar.
Namun hal ini bukanlah sebuah serangan.
"Kunyil! Kau dengar ucapanku, apakah
kau masih juga tak mau buka suara...?!"
Utusan Hijau menunggu sesaat. Dan ketika
merasa yakin bahwa orang yang dipanggil Kunyil
tidak akan buka mulut untuk menyahut, dia ang-
kat kedua tangannya. Tapi sebelum tangan itu kirimkan serangan, perempuan pendek yang bukan
lain adalah Kunyil yang dalam rimba persilatan
lebih dikenai dengan Bawuk Raga Ginting kelua-
rkan tawa mengekeh panjang. Namun mendadak
saja dia putuskan suara tawanya. Tubuhnya ber-
gerak, dan lenyap dari pandangan. Sesaat kemu-
dian terdengar suara cleeep!.
Utusan Hijau tersurut satu langkah ke be-
lakang. Dia segera berpaling. Bawuk Raga Ginting
telah berdiri tegak di sampingnya dengan kaki kiri
menyilang di atas kaki kanan. Tangan kanannya
mencengkeram tombak yang ternyata pangkalnya
mengembang dan membentuk sekuntum bunga.
"Bagus! Memang tidak ada gunanya kau
melakukan pembangkangan!" kata Utusan Hijau
dengan senyum seringai.
Tiba-tiba Bawuk Raga Ginting gerakkan
kaki kirinya yang menyilang di atas kaki kanan
dan dibantingkan ke atas tanah. Di depannya,
Utusan Hijau sedikit terkejut. Dia maklum manu-
sia pendek di hadapannya tidak bisa dipandang
remeh, karena bersamaan dengan bantingan kaki,
tanah pijakannya terasa bergetar. Namun Utusan
Hijau tak hendak menunjukkan wajah terkejut
apalagi takut mendapati pamer tenaga dalam Ba-
wuk Raga Ginting. Malah dengan keluarkan tawa
pendek bernada mengejek, dia berkata.
"Kunyil! Ilmumu memang tinggi, namun
kedatanganku bukan untuk melihat mainan
akrobatmu!"
Mendengar kata-kata Utusan Hijau, kali ini
balik Bawuk Raga Ginting yang keluarkan tawa
pendek. Bibirnya yang merah dipoles bergetar.
"Orang tak dikenal! Siapa kau...?! Dan ke
mana kau akan mengajakku?!"
"Aku Utusan Hijau. Salah seorang utusan
dari Penguasa Hutan Larangan. Aku mendapat
kehormatan untuk menjemput dan membawamu
menghadap Sang Penguasa Hutan Larangan!"
"Kalau aku tidak bersedia?!" tanya Bawuk
Raga Ginting dengan dongakkan kepala. Meski
bibirnya menyungging senyum namun sepasang
matanya terlihat membeliak. Pelipis kiri kanannya
bergerak-gerak pertanda dia sedang menahan ge-
jolak amarah.
"Nasibmu akan celaka! Karena tubuhmu
yang tidak bernyawa lagi akan kuseret sampai
Hutan Larangan!"
"Jahanam!" maki Bawuk Raga Ginting.
"Utusan Hijau! Apakah kau sadar, sedang berha-
dapan dengan siapa kau saat ini?!"
Utusan Hijau ikut-ikutan tengadahkan ke-
pala.
"Aku tahu siapa kau! Manusia cebol terla-
hir dengan nama Kunyil. Setelah besar dan beril-
mu mengubah nama menjadi Bawuk Raga Gint-
ing. Betul?!"
"Ah...!" Bawuk Raga Ginting keluarkan se-
ruan seperti terkejut. "Pengetahuanmu ternyata
cukup luas. Namun kau salah besar jika ingin
mengajakku ke hadapan junjunganmu. Justru
aku akan mengajakmu melihat-lihat pemandangan alam kubur! Hik.... Hik.... Hik...! Sungguh
malang nasibmu...!" Bawuk Raga Ginting men-
gumbar tawa cekikikan panjang. Tapi tiba-tiba
tawanya laksana direnggut hantu gen-tayangan.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya berkelebat
Utusan Hijau merasakan tubuhnya ter-
sambar hempasan angin dahsyat. Hingga tubuh-
nya bergetar. Namun laki-laki berjubah hijau be-
sar ini segera kerahkan tenaga dalam. Dan dida-
hului bentakan dahsyat, dia melompat ke depan.
Tangan kiri kanan bergerak memukul. Sinar re-
dup dan panas melesat mendahului hantaman
tangan.
Praaakk! Praaakk!
Bawuk Raga Ginting berseru tertahan. Ma-
nusia pendek ini segera melompat mundur tiga
langkah. Sepasang matanya yang besar liar me-
mandang ke arah Utusan Hijau, lalu beralih pada
kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan
kedua tangan Utusan Hijau. Kedua tangannya
ternyata telah berubah warna menjadi hijau! Dan
terasa panas bukan alang kepalang.
Bawuk Raga Ginting sadar bahwa lawan
yang dihadapi kali ini bukan orang yang bisa di-
pandang sebelah mata. Memaklumi hal ini, ma-
nusia pendek ini kerahkan segenap tenaga da-
lamnya. Mulutnya komat-kamit. Dan tanpa kelu-
arkan bentakan terlebih dahulu, dia putar tu-
buhnya. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandan-
gan. Namun sesaat kemudian muncul satu lang-
kah di hadapan Utusan Hijau dengan tangan kanan kiri menghantam. Sebenarnya hantaman ke-
dua tangan Bawuk Raga Ginting ini hanyalah ti-
puan belaka, karena bersamaan dengan itu seca-
ra cepat kedua tangannya ditarik pulang kembali,
dan kini sepasang kakinya yang justru menghan-
tam. Ada serangkum angin dahsyat yang menderu
mendahului. Pertanda hantaman itu telah dialiri
tenaga dalam kuat.
Namun betapa terlengaknya Bawuk Raga
Ginting. Karena gerak tipunya diketahui lawan.
Padahal setiap orang yang baru pertama kali ben-
trok dengannya pasti terkecoh dengan gerak ti-
punya. Namun karena kakinya telah telanjur me-
lejang kirimkan hantaman, maka Bawuk Raga
Ginting tak hendak menariknya kembali. Apalagi
dia telah lancarkan terjangan maut yang diandal-
kan, yakni hantaman 'Sapu Bumi'.
"Sapu Bumi'! He.... He.... He.... Apa hebat-
nya!" ejek Utusan Hijau seraya angkat tangannya,
kepalanya bergerak merunduk. Tapi tangannya
tidak menghantam atau menangkis terjangan ka-
ki lawan. Melainkan bergerak cepat ke samping
kanan dan kiri. Lalu seeettt!
Bawuk Raga Ginting tercekat. Dia hampir
tak dapat percaya pada apa yang dialami. Karena
kejap itu juga kedua kakinya telah masuk ke jepi-
tan tangan Utusan Hijau!
Selagi terlengak begitu rupa dan belum
sempat membuat gerakan untuk membebaskan
diri, Utusan Hijau gerakkan kedua tangannya ke
samping.
Buuukkk!
Bawuk Raga Ginting terbanting ke atas ta-
nah. Dia katupkan rapat-rapat bibirnya agar sua-
ra seruannya tidak terdengar, namun karena rasa
sakit terlalu menguasai dirinya, maka seruan itu
akhirnya terdengar juga. Kini bukan hanya tan-
gannya yang berubah jadi hijau. Tapi juga kedua
kakinya!
Sambil menyumpah panjang pendek Ba-
wuk Raga Ginting bergerak bangkit. Tapi belum
sampai tubuhnya tegak berdiri, Utusan Hijau ki-
baskan jubahnya.
Bawuk Raga Ginting terperangah kaget.
Namun sudah terlambat untuk membuat gerakan
menghindar. Hingga kibasan jubah Utusan Hijau
yang keluarkan sambaran angin dahsyat itu telak
menghajar bahunya!
Untuk kali kedua Bawuk Raga Ginting ter-
banting ke tanah. Sejenak kepalanya terlihat ber-
gerak-gerak. Namun sesaat kemudian lunglai di
atas tanah. Dia pingsan.
Utusan Hijau memperhatikan sosok Bawuk
Raga Ginting, lalu kibas-kibaskan jubahnya. Den-
gan senyum seringai dia melangkah mendekat.
Tangan kanannya segera menyambar tubuh
mungil Bawuk Raga Ginting, meletakkannya di
atas bahu lantas berkelebat meninggalkan lem-
bah.
* * *
Sesosok bayangan putih tampak berkelebat
menyusuri ilalang tinggi di sebelah barat hutan
pinus. Saat itu matahari baru saja unjuk diri,
hingga hamparan ilalang itu tampak berkilat-kilat
dan melambai-lambai disentuh hembusan angin
pagi.
Tiba-tiba sosok bayangan putih hentikan
larinya. Tangannya bergerak mengusap keringat
yang membasahi lehernya. Dia adalah seorang la-
ki-laki. Karena paras wajahnya tertutup sepotong
kulit tipis, maka laki-laki ini tidak mudah ditebak
berapa usianya. Dia mengenakan ikat kepala
warna putih, sama dengan jubah besar yang di-
kenakannya. Rambutnya panjang dengan sepa-
sang mata tajam. Ketika tangannya bergerak, ter-
lihat jari kelingkingnya tidak ada.
"Hmmm.... Pasti di gubuk itu dia berada!"
gumam laki-laki berjubah putih yang bukan lain
adalah Utusan Putih seraya arahkan pandangan-
nya agak jauh ke depan. Di sana memang tampak
sebuah gubuk kecil.
Setelah mengawasi sejenak, Utusan Putih
kembali berkelebat. Dan tahu-tahu telah berdiri
tegak di depan gubuk. Sepasang matanya liar
memandang sekeliling. Setelah menarik napas
panjang dia buka mulut.
"Manik Angkeran! Cepat keluarlah! Aku,
Utusan Putih datang untuk menjemputmu sekali-
gus membawamu!"
Tak ada sahutan dari dalam gubuk. Sekali
lagi Utusan Putih sapukan pandangannya. Dia
tak menemukan tanda-tanda akan adanya orang
yang muncul. Sepasang matanya berubah merah,
dagunya mengembung dengan kedua tangan
mengepal, jelas menandakan jika dia telah dira-
suki hawa kemarahan.
"Manik Angkeran! Kuperingatkan sekali la-
gi. Keluarlah dan ikut aku!" Utusan Putih kembali
berteriak. Karena kali ini dengan keluarkan tena-
ga dalam, maka suaranya membahana dan mene-
rabas hingga hutan pinus.
Di atas sebuah pohon tak jauh dari gubuk,
terlindung oleh rimbun dedaunan, seorang laki-
laki agak tua mengenakan pakaian hijau-hijau
tampak duduk di atas sebuah dahan pohon. Tan-
gan kanannya bergerak-gerak memainkan sebuah
untaian kalung dari manik-manik berwarna hijau.
Meski sepasang matanya tampak terpejam rapat
seolah sedang pusatkan mata batinnya dengan
mulut komat-kamit namun apa yang ada tak jauh
di bawahnya tak luput dari pandangannya.
"Utusan Putih...? Hmmm.... Baru kali ini
aku mendengar nama itu. Siapa dia sebenarnya?
Dia berkata menjemput dan sekaligus membawa-
ku.... Hm.. Berarti dia tak dusta dengan ucapan-
nya, karena dia benar-benar seorang suruhan!
Tapi disuruh siapa...?" batin orang yang di atas
pohon.
Tiba-tiba kening laki-laki berusia agak lan-
jut ini mengernyit. Sepasang matanya bergerak
membuka.
"Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh me
nyelimuti rimba persilatan. Para tokoh baik dari
jalur hitam atau dari jalur putih banyak yang ti-
ba-tiba lenyap begitu saja tanpa meninggalkan je-
jak sama sekali. Beberapa orang telah coba me-
nyelidiki ke mana gerangan lenyapnya para to-
koh-tokoh itu. Namun, sejauh ini mereka mene-
mui jalan buntu. Malah tak jarang mereka sendiri
ikut lenyap.... Hmmm.... Apakah kedatangan ta-
mu ini ada kaitannya dengan kejadian-kejadian
itu? Ah, sebenarnya aku sudah tak ingin ikut
campur dengan masalah rimba persilatan. Namun
tak ada salahnya jika aku menemuinya. Siapa ta-
hu dia membawa kabar tentang kejadian-kejadian
itu...," berpikir sampai di situ, kakek berbaju hi-
jau ini segera hendak melayang turun, namun
niatnya dia urungkan tatkala didengarnya suara
berderak keras.
Memandang ke arah sumber suara, terke-
jutlah si kakek. Gubuk di bawah sana telah han-
cur. Ketika sang kakek memandang agak ke
samping, terlihat laki-laki yang menyebutkan na-
manya Utusan Putih turunkan kedua tangannya.
Dari sini si kakek sudah dapat menduga siapa ge-
rangan orang yang telah menghancurkan gubuk.
"Hmmm.... Orang ini tampaknya bukan
orang baik-baik! Apakah aku harus mene-
muinya...?" si kakek di atas pohon menghela na-
pas panjang.
Namun belum sampai satu helaan napas,
terdengar seruan lantang.
"Manik Angkeran! Jangan bersikap penge
cut. Turunlah dari atas pohon!"
Kakek berbaju hijau-hijau sedikit terkejut.
Kepalanya mendongak. Dan menggeleng perlahan.
"Hmmm.... Dia telah mengetahui aku berada di
sini. Terpaksa aku harus turun menemui dan
menanyakan apa maksud sebenarnya! Rimba
persilatan nyatanya memang tak pernah sepi dari
gelombang masalah...."
Si kakek hentakkan bahunya. Tubuhnya
melayang turun dan menjejak tanah sepuluh
langkah di depan Utusan Putih. Sepasang ma-
tanya segera memperhatikan laki-laki setengah
baya di hadapannya. Sementara tangan kanannya
memutar untaian manik-manik berwarna hijau.
"Bagus! Sekarang ikut aku!" kata Utusan
Putih begitu dapat mengenali siapa adanya orang
tua di hadapannya.
Sang kakek yang bukan lain memang Ma-
nik Angkeran sunggingkan senyum.
"Sobat. Kau jangan terburu-buru. Se-
butkan dulu siapa kau sebenarnya...! Juga hen-
dak ke mana aku akan kau bawa!" suara Manik
Angkeran terdengar tenang.
Utusan Putih melirik tajam. Dari hidung-
nya terdengar dengusan. Dengan kacak pinggang
dia berkata.
"Manik Angkeran. Aku adalah Utusan Pu-
tih. Salah seorang utusan Penguasa Hutan La-
rangan. Aku datang untuk menjemput dan mem-
bawamu menghadap Penguasa Hutan Larangan!
Jelas?!"
Manik Angkeran anggukkan kepala. "Dia
sengaja menyembunyikan wajah di balik sepotong
kulit tipis. Berarti dia mempunyai maksud tidak
baik. Penguasa Hutan Larangan.... Hmmm.... Aku
memang mendengar selentingan tentang itu. Na-
mun kenapa dia mengajakku ke sana?" batin Ma-
nik Angkeran, lalu berkata.
"Utusan Putih. Aku hanyalah manusia hina
papa. Tempat tinggalku gubuk reot, dan kini telah
kau hancurkan pula. Kalau tiba-tiba hari ini
orang yang kau sebut sebagai Penguasa Hutan
Larangan memanggilku tentunya sebuah kehor-
matan tersendiri bagiku. Kalau boleh tahu, ada
apakah sebenarnya di sana?"
"Itu bisa kau lihat sendiri jika kau telah
sampai!" jawab Utusan Putih dengan suara agak
tinggi. Dia tampak tak sabar.
Manik Angkeran kembali anggukkan kepa-
la. Pandangannya lantas mengarah pada jurusan
lain.
"Utusan Putih. Sebenarnya aku ingin sekali
menyambuti maksudmu. Namun karena aku ma-
sih ada urusan, bagaimana kalau...," Manik Ang-
keran tidak melanjutkan ucapannya karena Utu-
san Putih telah menyahut.
"Manik Angkeran! Kau harus ikut sekarang
juga! Jika kau membangkang, jangan menyesal
jika kau ikut aku dengan tubuh tanpa nyawa!"
Mendengar ucapan Utusan Putih, yakinlah
Manik Angkeran jika laki-laki di hadapannya
bermaksud tidak baik.
Utusan Putih melangkah maju. Bibirnya
ulaskan senyum seringai. Dengan mata melotot
angker, dia membentak keras.
"Kau kuberi pilihan, Manik Angkeran! Ikut
dengan baik-baik, atau ikut dengan tubuh tanpa
nyawa!"
Yang dibentak masih tampak tenang-
tenang. Malah bibirnya tak putus-putusnya sung-
gingkan senyum membuat Utusan Putih makin
geram. Namun laki-laki utusan Penguasa Hutan
Larangan ini masih menunggu, karena dilihatnya
Manik Angkeran tercenung seakan mempertim-
bangkan kata-katanya.
"Hmm.... Kalau boleh memilih...," kata Ma-
nik Angkeran dengan putuskan dulu ucapannya.
Sesaat kemudian melanjutkan. "Aku memilih ti-
dak ikut secara baik, apalagi ikut dengan tanpa
nyawa...."
Utusan Putih menggereng keras. Dan tanpa
bicara lagi, kedua tangannya bergerak kirimkan
serangan jarak jauh dengan tangan kosong. Saat
itu juga, dua gelombang angin dahsyat laksana
gempuran ombak menyambar ke arah Manik
Angkeran.
Meski telah waspada, namun tak urung
Manik Angkeran dibuat terkejut. Tubuhnya sea-
kan diterkam gelombang besar. Kalau saja dia tak
segera melompat menghindar, bukan tidak
mungkin dalam satu gebrakan saja tubuhnya
akan bergelimpangan di atas tanah. Sadar akan
ketinggian ilmu lawan, Manik Angkeran tak mau
bertindak gegabah. Namun laki-laki ini masih tak
hendak membalas serangan orang. Dia terlihat te-
tap berdiri tegak dengan putar-putar untaian ka-
lungnya. Namun putaran itu kini keluarkan suara
menderu-deru pertanda bahwa dia telah kerah-
kan tenaga dalam.
Di depan, melihat serangan pembukanya
begitu mudah dielakkan lawan, mata Utusan Pu-
tih membeliak merah. Diam-diam dia juga mak-
lum jika orang yang dihadapinya bukanlah orang
sembarangan.
Didahului bentakan garang, Utusan Putih
jejakkan kakinya. Tubuhnya melesat ke depan.
Kedua tangannya pulang balik merentang dan
menutup. Hebatnya bersamaan gerakan meren-
tang dan menutup itu angin dahsyat yang meng-
hamparkan hawa panas semburat ke sana-
kemari!
Mendapati serangan demikian, Manik Ang-
keran sedikit terkesiap. Kakek yang pada mu-
lanya hanya ingin menghindar ini mau tak mau
harus ambil kuda-kuda menangkis sekaligus me-
nyerang, karena ke mana pun dia hendak meng-
hindar semburatan serangan Utusan Putih da-
tang menyongsong.
"Hmm.... Serangannya tampak membabi
buta, namun membuat tak ada tempat kosong
untuk menghindar. Apa boleh buat...!" batin Ma-
nik Angkeran. Kedua tangannya segera diangkat.
Tangan kiri segera mendorong sementara tangan
kanan putar-putar untaian manik-maniknya.
Gelombang angin melesat keluar dari tan-
gan kiri Manik Angkeran, lalu disusul dengan
menderunya putaran-putaran angin yang seakan
membungkus tubuhnya.
Blaaarrr!
Terdengar dentuman dahsyat ketika dua
pukulan itu bentrok di udara. Hebatnya, tubuh
Utusan Putih seakan tak terbias oleh bentroknya
pukulan, padahal tanah di tempat itu sejenak
bergetar. Sebaliknya tubuh Utusan Putih terus
melesat malah kini dengan memperdengarkan su-
ara tawa mengekeh. Manik Angkeran terkejut, la-
lu melompat mundur. Dia sama sekali tidak men-
duga jika lawan begitu tangguh, padahal dia sem-
pat terseret dua langkah ke belakang begitu terja-
di bentrok pukulan.
Selagi Manik Angkeran digenggam pera-
saan terkejut, dua tangan Utusan Putih telah me-
lesat ke arah kepalanya. Manik Angkeran cepat
hantamkan manik-maniknya.
Sreeettt! Sreeettt!
Utusan Putih melengak kaget. Dia mem-
bentak beberapa kali dengan kerahkan segala
kemampuannya untuk melepaskan kedua tan-
gannya yang ternyata masuk dalam untaian ma-
nik-manik hijau milik Manik Angkeran.
Manik Angkeran tersenyum. Mungkin ka-
rena tak mau mencederai lawan dia hanya sen-
takkan untaian manik-maniknya dengan pelan.
Bukkk!
Namun apa yang terjadi membuat Utusan
Putih terhenyak. Karena meski sentakan itu terli-
hat pelan, selain tak perdengarkan suara eran-
gan, laki-laki berjubah putih ini langsung berge-
rak bangkit! Dan serta-merta melompat ke arah
Manik Angkeran.
Sambil menindih rasa terkesimanya, Manik
Angkeran kembali putar-putar untaian kalung
manik-maniknya. Namun kali ini Utusan Putih
sudah dapat membaca gerakan lawan. Dia tidak
lagi hantamkan kedua tangan sekaligus. Melain-
kan silih berganti dan begitu menghantam segera
ditarik pulang. Hal ini membuat Manik Angkeran
terdesak. Kakek ini terus menangkis dengan pu-
tar kalung untaian manik-maniknya seraya mun-
dur. Saat itulah Utusan Putih membentak garang.
Tubuhnya berputar lalu berkelebat.
Manik Angkeran berseru kaget ketika dia
mendapati lehernya telah terjepit kedua kaki Utu-
san Putih. Dia segera hantamkan tangan kirinya
sementara tangan kanannya berusaha menjerat
kaki di atasnya. Namun gerakannya kalah cepat.
Utusan Putih telah putar tubuhnya hingga mau
tak mau tubuh Manik Angkeran ikut terputar dan
terhempas di atas tanah! Untaian kalung manik-
maniknya terlepas dan jatuh lima langkah di
sampingnya.
Utusan Putih keluarkan tawa mengekeh.
"Aku tahu, kau tidak sepenuh hati melawanku.
Namun itu menjadi bumerang celaka bagimu!" ka-
ta Utusan Putih seraya melangkah mendekat.
Manik Angkeran yang tampaknya memang
tidak sepenuh hati dalam melakukan perlawanan
bergerak bangkit. Kakek ini dalam rimba persila-
tan memang dikenai sebagai tokoh yang paling ti-
dak suka dengan kekerasan. Bahkan terhadap
orang yang menginginkan nyawanya. Dan ini pun
tampak di kala menghadapi Utusan Putih. Namun
sifatnya itu kali ini menjadi senjata makan tuan.
Karena begitu Manik Angkeran setengah tegak
hendak berdiri, Utusan Putih lancarkan pukulan
jarak jauh tangan kosong.
Desss!
Manik Angkeran keluarkan seruan keras.
Meski dia berusaha menghindar namun sudah
sangat terlambat. Hingga tanpa ampun lagi se-
rangan Utusan Putih menghajar perutnya. Manik
Angkeran terjungkal. Kakek ini merasakan pan-
dangannya berkunang-kunang lalu gelap sama
sekali.
Utusan Putih cepat berkelebat. Setelah ya-
kin bahwa Manik Angkeran pingsan, laki-laki
utusan Penguasa Hutan Larangan ini gerakkan
tangan kanannya menotok di tiga tempat. Dengan
gerak cepat pula diangkatnya tubuh Manik Ang-
keran lantas berkelebat meninggalkan tempat itu.
TIGA
SIANG itu panas bukan alang kepalang. Di
sebuah dataran berpasir yang membentang luas
di sebelah barat dusun Kepatihan terlihat seorang
perempuan berjalan tertatih-tatih. Paras wajah-
nya telah dipenuhi dengan keriputan, namun ka-
rena kulit wajahnya amat tipis, keriputan itu ti-
dak begitu terlihat. Justru yang tampak adalah
tonjolan tulang-tulang wajahnya. Dia mengena-
kan pakaian gombrong warna putih kusam. Ram-
butnya telah putih dan amat jarang. Karena ram-
but itu disanggul ke atas dan terlihat kaku, maka
rambut itu mirip sebuah tusuk konde. Sepasang
matanya sipit namun tajam. Kedua kakinya men-
genakan sepasang terompah besar dari kayu ber-
warna hitam legam. Anehnya, meski nenek itu
berjalan sendirian dan tak ada yang pantas untuk
membuat orang tersenyum, sang nenek selalu
sunggingkan bibir untuk tersenyum! Hebatnya,
setiap langkahan kakinya terdengar suara berde-
bam-debam yang memekakkan telinga.
Tiba-tiba si nenek hentikan langkah. Sepa-
sang matanya yang sipit sedikit membelalak. Te-
linganya bergerak-gerak. Lalu dengan cepat tu-
buhnya berputar membalik. Setelah tersenyum-
senyum dia berkelebat ke arah dia datang. Tu-
buhnya melesat lenyap. Yang terlihat hanyalah
bayang-bayang sosoknya di atas dataran pasir!
Sementara itu, di perbatasan dusun Kepa-
tihan dua sosok bayangan tampak tegak berdiri
dengan sepasang mata masing-masing meman-
dang tak berkesip ke arah dataran pasir.
Dua sosok ini adalah dua orang laki-laki.
Sebelah kanan mengenakan jubah besar warna
biru. Sementara di sampingnya mengenakan jubah besar warna hitam. Ada kesamaan pada dua
laki-laki ini. Mereka sama-sama menutup wajah
masing-masing dengan sepotong kulit tipis, se-
hingga paras keduanya tidak bisa dikenali. Juga
jari jemari masing-masing orang hanya empat.
Jari kelingking mereka tampak tidak ada! Hanya
tangan kiri laki-laki berjubah hitam tampak dito-
pang dengan kain yang dilingkarkan pada leher-
nya.
"Kau yakin ini tempat tinggal orang yang
kita cari?" laki-laki berjubah biru buka suara se-
telah agak lama keduanya tak ada yang angkat
bicara.
"Yakin ini tempat tidaknya, tidak. Namun
satu hal yang pasti, aku bersama Utusan Kuning
menemukan dia di sini!" laki-laki berjubah hitam
menyahut.
"Aneh. Bagaimana mungkin seorang ma-
nusia tinggal di tempat seperti ini? Pedataran pa-
sir tanpa sebatang pohon pun!" gumam laki-laki
berjubah biru yang bukan lain adalah Utusan Bi-
ru seraya gelengkan kepala.
"Bagaimana? Apa kita akan teruskan pen-
carian ini dengan melintas pedataran pasir itu?"
tanya laki-laki berjubah hitam yang bukan lain
adalah Utusan Hitam.
Mendengar nada tanya Utusan Hitam, Utu-
san Biru keluarkan tawa pendek.
"Pertanyaanmu menunjukkan kau ragu-
ragu. Apakah kau takut? Seandainya tidak me-
mandangmu sebagai sahabat, aku tak mau kau
ajak! Karena urusanku sendiri untuk membawa
gadis bernama Ajeng Roro belum kulaksanakan."
"Utusan Biru! Dalam hidup, tidak pernah
terbersit rasa takut di dadaku! Dan seandainya
tangan kiriku tidak cidera, aku pun tak akan
minta bantuanmu! Kalau kau merasa keberatan,
lekas tinggalkan tempat ini!" kata Utusan Hitam
dengan suara agak meradang.
Utusan Biru kembali keluarkan tawa. Ma-
lah kali ini mengekeh panjang. Namun tiba-tiba
saja dia putuskan kekehan tawanya karena di
tempat itu mendadak terdengar suara tawa berge-
lak-gelak dan menindih lenyap suara tawanya.
Utusan Biru membeliakkan sepasang ma-
tanya dengan kepala bergerak memutar. Semen-
tara Utusan Hitam tetap memandang ke arah de-
pan dengan wajah tegang. Dalam hati masing-
masing orang diam-diam maklum jika orang yang
keluarkan gelak tawa adalah orang yang memiliki
kepandaian tinggi dan tenaga dalam hebat. Kare-
na masing-masing orang ini dapat merasakan ge-
taran pada tanah pijakannya.
Setelah mengedarkan pandangan ke selu-
ruh sudut dataran dan agak lama menunggu tak
juga menemukan adanya orang, padahal suara
tawanya tetap terdengar malah makin keras, Utu-
san Biru palingkan wajah ke arah Utusan Hitam.
Mulutnya membuka hendak ajukan pertanyaan.
Namun mulut itu mengatup kembali ketika tiba-
tiba saja suara gelak tawa tadi lenyap dan bergan-
ti dengan suara debaman yang sangat memekak
kan telinga serta terdengar dekat sekali.
Secepat kilat Utusan Biru dan Utusan Hi-
tam palingkan wajah masing-masing. Utusan Hi-
tam terlihat surutkan langkah dua tindak ke be-
lakang. Sedangkan Utusan Biru mendelik tak
berkesip.
Lima belas tombak di hadapan mereka,
tampak seorang tua berjalan terbungkuk-
bungkuk ke arah mereka. Kedua kakinya menge-
nakan terompah besar berwarna hitam. Ternyata
dari langkahan kaki si perempuan mengeluarkan
suara berdebam-debam! Hingga kedua laki-laki
ini harus mengerahkan tenaga dalam untuk me-
nangkis suara yang seakan me-nusuk kendang
telinganya!
Seraya menahan amarah, Utusan Biru ber-
paling pada Utusan Hitam.
"Utusan Hitam! Siapa jahanam tua ini?!"
"Dialah Dewi Bayang-Bayang. Manusia ke-
parat yang kita cari!"
Utusan Biru yang sejenak dibakar hawa
amarah sesaat jadi terkesiap. Ia kembali paling-
kan wajah dan memperhatikan lebih seksama pa-
da perempuan tua yang bukan lain memang Dewi
Bayang-Bayang.
"Hmmm.... Tak heran jika Utusan Hitam
dan Utusan Kuning tak bisa menyeret perempuan
tua ini menghadap Penguasa Hutan Larangan.
Dia memiliki tenaga dalam luar biasa. Langkahan
kakinya tampak biasa, namun suara yang ditim-
bulkan mampu menusuk kendang telinga!"
Mungkin karena tegang, kedua orang ini
tak ada yang buka mulut untuk bicara. Bahkan
meski Dewi Bayang-Bayang telah ada tiga langkah
di hadapan mereka!
Sementara Dewi Bayang-Bayang sendiri
seakan acuh saja dengan adanya dua orang laki-
laki yang kini ada di dekatnya. Malah sambil se-
nyum-senyum dia meneruskan langkah dan me-
lewati keduanya tanpa memandang!
"Keparat! Kenapa kita dibuat tercenung
dengan ulah tua bangka itu?!" ujar Utusan Biru
begitu Dewi Bayang-Bayang telah melewatinya.
Dagu laki-laki itu kontan mengembung. Sepasang
matanya merah berkilat. Urat lehernya menyem-
bul, pertanda dia diamuk amarah.
"Utusan Biru! Jangan bertindak gegabah.
Kegagalanku bersama Utusan Kuning untuk me-
nyeret perempuan tua itu karena bertindak sem-
brono!" ucap Utusan Hitam memperingatkan.
Di depan mereka, Dewi Bayang-Bayang ti-
ba-tiba hentikan langkah. Lalu duduk menggelo-
soh. Terompah kanannya diambil dan digerak-
gerakkan pulang balik di bawah dagunya seolah-
olah sedang berkipas. Anehnya, bersamaan den-
gan itu berdesir angin kencang ke kanan dan kiri!
Sesaat kemudian Dewi Bayang-Bayang berucap.
Sungguh malang nasib orang, lepas dari
mulut macan masuk mulut buaya.
Sungguh sial takdir orang, menggali lubang
untuk jasad sendiri.
Malang, malang benar orang yang tidak
mengerti peringatan.
Tapi apa hendak dikata, orang-orang dungu
memang selalu salah hitung!
Utusan Biru kembali berpaling pada Utu-
san Hitam begitu Dewi Bayang-Bayang hentikan
ucapannya. Sesaat kedua orang ini saling pan-
dang. Utusan Biru memberi isyarat dengan me-
nunjuk ke kanan dan kiri. Utusan Hitam angguk-
kan kepala. Serentak kedua orang ini bergerak.
Utusan Biru berkelebat ke arah kanan, sedang
Utusan Hitam ke arah kiri. Tahu-tahu kedua
orang ini telah berada tiga langkah di samping
kanan-kiri Dewi Bayang-Bayang yang masih du-
duk dengan berkipas-kipas terompah.
"Dewi Bayang-Bayang! Saatmu telah tiba
untuk menghadap Penguasa Hutan Larangan! Se-
geralah bangkit. Dan ikut kami!" Utusan Biru ke-
luarkan bentakan.
Dewi Bayang-Bayang hentikan kipasan te-
rompahnya. Namun sepasang matanya tidak me-
mandang pada orang yang membentak. Justru
sepasang mata itu bergerak mengatup. Lalu mu-
lutnya menganga lebar-lebar. Seakan bicara pada
dirinya sendiri, dia bergumam.
"Saat panas begini kenapa aku ngantuk?
Sialan benar! Tapi kalau tidak dituruti aku bisa
celaka...," habis bergumam begitu, enak saja dia
merebahkan diri dengan terlebih dahulu meletak-
kan terompahnya untuk bantalan kepala.
Merasa tidak disambuti orang, Utusan Biru
bantingkan kaki. Rahangnya mengembung den-
gan tangan mengepal. Sementara Utusan Hitam
hanya diam memandang. Sejak awal, laki-laki
berjubah hitam ini memang telah tunjukkan wa-
jah kecut. Ini bisa dimengerti karena sebelum ini
dia memang telah bertemu dengan Dewi Bayang-
Bayang, dan gagal untuk membawa nenek itu.
Malah karena kegagalannya itulah dia menda-
patkan hukuman dengan hancurnya tangan ki-
rinya. Itu masih untung dibanding dengan Utusan
Kuning yang harus menemui ajal.
"Tua Bangka! Kau akan menyesal karena
memandang remeh kami!" kata Utusan Biru. Lalu
memberi isyarat dengan anggukan kepala pada
Utusan Hitam.
Dua orang ini serentak melompat ke arah
Dewi Bayang-Bayang. Tangan masing-masing
bergerak menghantam. Dari derasnya angin yang
melesat mendahului tangan, jelas sekali bahwa
keduanya telah aliri tangan masing-masing den-
gan tenaga dalam. Dan tampaknya mereka ingin
segera menyelesaikan masalah. Karena arah han-
taman mereka pada titik yang mematikan. Yakni
kepala dan dada!
Namun sejauh ini Dewi Bayang-Bayang
masih belum membuat gerakan. Nenek ini seper-
tinya tak merasa jika jiwanya sedang diincar ajal.
Baru begitu sekejap lagi hantaman tangan meng-
hajar tubuhnya, dia menggeliat, tangan kanan kiri
bergerak ke atas seolah hendak membetulkan letak terompahnya. Namun sebelum tangannya
menyentuh kepala, secepat kilat tangan itu mem-
balik. Saat mana hantaman tangan Utusan Biru
dan Utusan Hitam datang menghajar.
Praaakkk! Praaakkk!
Utusan Biru dan Utusan Hitam berseru te-
gang. Keduanya merasa lengannya seakan meng-
hantam benda keras. Tubuh keduanya ter-
huyung-huyung. Dan sebelum keduanya bisa ku-
asai diri, Dewi Bayang-Bayang menggeliat bang-
kit. Kedua tangannya menjulur dan mencekal
leher jubah masing-masing orang. Sambil terse-
nyum, kedua tangannya menyentak ke bawah.
Bukkk! Bukkk!
Utusan Biru dan Utusan Hitam jatuh te-
lungkup. Sadar akan bahaya, kedua orang ini se-
gera bergerak bangkit. Namun kedua orang ini
terperangah kaget. Karena begitu keduanya hen-
dak bangkit, tengkuk masing-masing terasa di-
hantam palu. Dan sebelum dapat mengetahui apa
yang menghantam tengkuknya, masing-masing
orang ini telah jatuh telungkup kembali.
Dewi Bayang-Bayang tersenyum-senyum.
Lalu rebahkan punggungnya kembali sementara
kedua betisnya uncang-uncang di atas tengkuk
Utusan Biru dan Utusan Hitam!
"Ehh.... Kalian tadi kudengar cerita tentang
Penguasa Hutan Larangan. Coba ulangi lagi cerita
kalian itu. Aku akan mendengarkan sambil tidu-
ran! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Keparat! Angkat kakimu dahulu!" teriak
Utusan Biru sambil menggerakkan tangannya.
Namun ketika dirasa tindihan kaki Dewi Bayang-
Bayang makin menekan ketika dia menggerakkan
tangannya, Utusan Biru hentikan gerakannya.
Sedangkan Utusan Hitam tak berani berkutik
sama sekali.
Setelah ditunggu agak lama tidak ada yang
buka mulut, Dewi Bayang-Bayang angkat tubuh-
nya. Kedua laki-laki itu berseru serentak. Karena
bersamaan dengan terangkatnya tubuh Dewi
Bayang-Bayang tekanan kakinya makin membe-
rat.
"Baiklah. Kalian tidak ada yang mau cerita.
Mungkin kalian memilih mengantarku saja ke
tempat juragan kalian itu! Baik. Baik.... Kita be-
rangkat sekarang!"
Habis berkata begitu, Dewi Bayang-Bayang
angkat kedua kakinya dari tengkuk masing-
masing orang. Tubuhnya digeser sedikit. Tiba-tiba
kakinya bergerak kembali dengan cepat. Dan....
Takkk! Taaakkk! Takkk! Takkk!
Utusan Biru dan Utusan Hitam kembali
berseru tertahan. Mereka tercekat. Karena leher
dan bahu masing-masing kaku tak bisa digerak-
kan. Ternyata dengan ibu jari kakinya Dewi
Bayang-Bayang telah lakukan totokan pada leher
dan kedua bahu masing-masing orang.
Dengan senyum-senyum Dewi Bayang-
Bayang tertatih-tatih bangkit. Tangan kiri kanan
menjulur ke bawah. Dijambaknya rambut mas-
ing-masing orang, lantas ditariknya ke atas. Mau
tak mau meski dengan menyumpah habis-
habisan dalam hati, kedua orang ini bergerak
bangkit.
"Bagus! Saat bagi kalian menjadi penunjuk
jalan untuk menuju tempat juragan kalian! Hik....
Hik.... Hik...!"
Sejenak Utusan Biru dan Utusan Hitam
saling pandang satu sama lain. Namun karena
mereka tidak bisa keluarkan suara, mereka hanya
saling pandang seakan sama-sama minta pertim-
bangan.
Selagi kedua orang ini menimbang-
nimbang, Dewi Bayang-Bayang ambil kedua te-
rompahnya. Tangan kiri kanan yang telah meme-
gang terompah besar cepat bergerak memukul
punggung masing-masing orang. Karena pukulan
itu bukan pukulan biasa, maka begitu terpukul,
kedua orang ini sama-sama terhuyung-huyung ke
depan.
"Ayo jalan!" seru Dewi Bayang-Bayang
sambil acung-acungkan terompahnya. Mungkin
karena takut mendapat pukulan terompah, kedua
orang ini lantas melangkah perlahan-lahan. Di
belakangnya Dewi Bayang-Bayang mengikuti
sambil tersenyum-senyum!
EMPAT
SESOSOK bayangan tampak berkelebat
melintasi Bukit Larangan, lalu terus berlari menuju arah timur di mana terlihat hutan belantara
sepi yang dikenai orang dengan nama Hutan La-
rangan. Mungkin karena rapatnya pohon yang
tumbuh serta merangasnya semak belukar, hing-
ga meski saat itu matahari baru saja menggelincir
dari titik tengahnya, namun Hutan Larangan
tampak redup. Malah ketika memasuki tengah
hutan, suasana agak gelap!
Bayangan tadi tiba-tiba hentikan larinya.
Sepasang matanya yang tajam memandang berke-
liling mengikuti putaran kepalanya.
"Hmm.... Tak salah jika orang menamakan
tempat ini Hutan Larangan...," bisik sang bayan-
gan yang ternyata adalah seorang pemuda berpa-
ras tampan. Dia mengenakan baju warna hijau
dilapisi dengan baju lengan panjang warna kun-
ing. Rambutnya panjang dan dikuncir ekor kuda.
"Tempat ini sangat sepi. Tak kudengar ki-
cauan burung, apalagi binatang hutan. Aneh,
mungkinkah hutan angker begini dihuni manu-
sia? Binatang saja takut, hanya manusia punya
nyali besar yang berani hidup di sini...," gumam
sang pemuda yang bukan lain adalah Aji Alias
Pendekar Mata Keranjang 108 seraya memperha-
tikan tempat di sekelilingnya.
"Hanya pohon-pohon dan semak belukar....
Di mana aku dapat menemukan sarang manusia
yang akhir-akhir ini santar dibicarakan orang?
Penguasa Hutan Larangan.... Hmm.... Adakah itu
hanya kabar burung saja? Tapi.... Dengan le-
nyapnya beberapa tokoh rimba persilatan, mungkinkah masih bisa dikatakan kabar burung?"
Murid Wong Agung ini sejenak tercenung.
Kepalanya tengadah memandangi rimbunan
daun-daun di atasnya. "Dengan lenyapnya bebe-
rapa tokoh rimba persilatan, Penguasa Hutan La-
rangan yang dikabarkan biang keladi penculikan
tokoh-tokoh itu aku yakin bukan cerita karangan.
Tapi di mana aku dapat menemukannya? Hmm....
Aku akan menyelidik sebelah sana!" Aji lantas
berkelebat ke arah barat. Namun pencariannya
tiada hasil.
"Sialan! Ke mana lagi harus menyelidik?
Tempat ini rasanya sudah kuaduk-aduk! Namun
nyatanya tak kutemukan sebuah tempat tinggal,
apalagi sosok manusia yang disebut-sebut orang
sebagai Penguasa Hutan Larangan! Ternyata ka-
bar yang tersebar selama ini hanya mengada-ada.
Betul ada orang yang menculik tokoh-tokoh rimba
persilatan, tapi bukan di sini sarangnya.... Kepa-
rat! Aku sudah termakan cerita bohong!" gumam
Aji sambil memaki panjang-pendek.
"Aku harus meninggalkan tempat ini,
mumpung cuaca belum benar-benar gelap...,"
Pendekar Mata Keranjang lantas balikkan tubuh
hendak meninggalkan tempat itu. Namun lang-
kahnya tertahan tatkala sepasang matanya mem-
bentur pada semak belukar yang aneh.
Mungkin karena tak percaya pada pengli-
hatan matanya, Pendekar Mata Keranjang kucek-
kucek matanya. Lalu kembali memandang. Ma-
tanya menyipit dan membeliak.
"Aneh. Semak belukar akar-akarnya men-
gambang di atas tanah. Dan warnanya kemerah-
merahan! Jangan-jangan...," tengkuk murid Wong
Agung ini jadi dingin.
"Ah, persetan dengan hantu hutan! Aku
akan mendekat!" gumam Pendekar 108 lantas
melangkah ke arah semak belukar aneh yang tak
jauh dari hadapannya. Seeettt!
Tiba-tiba segerombol semak belukar di ha-
dapannya bergerak cepat melayang ke arahnya.
Pendekar 108 berseru tegang. Bukan hanya kare-
na terperangah kaget. Namun oleh kecepatan le-
satan semak belukar itu yang mampu menerabas
bahu kirinya meski dia telah bergerak menghin-
dar.
Anehnya, begitu berhasil menerabas bahu
kiri Aji, segerombol semak belukar itu kembali
melayang ke tempatnya semula!
"Tak bisa kupercaya!" gumam Aji seraya
siapkan pukulan. Namun betapa terkejutnya mu-
rid Wong Agung ini. Bahu kirinya terasa hangat.
Melirik, dia membelalak. Baju kirinya ternyata te-
lah bersimbah darah!
"Jahanam!" maki Pendekar 108 seraya alir-
kan tenaga dalam ke bahu kirinya yang mulai te-
rasa panas. Paras wajahnya merah padam.
"Tak mungkin semak belukar itu bergerak
sendiri. Pasti ada orang yang menggerakkan!"
berpikir sampai di situ, Aji putar sepasang ma-
tanya. Namun sampai matanya merah mencari,
dia tak menemukan seorang pun!
"Siapa pun kau adanya, jangan sembunyi!
Tunjukkan dirimu!" teriak Pendekar Mata Keran-
jang sambil kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Pendekar 108 menunggu sebentar.
Tak ada jawaban. Malah dua gerombol semak be-
lukar bergerak dan melesat ke arahnya.
Pendekar 108 melompat mundur, dan ser-
ta-merta kedua tangannya didorong ke depan.
Semak belukar itu hancur berantakan di tengah
jalan. Anehnya, begitu semak belukar hancur be-
rantakan, tiga gerombol semak belukar kembali
melesat menyusul. Seraya menindih rasa geram,
kembali murid Wong Agung ini sentakkan kedua
tangannya. Tiga gerombol semak belukar sembu-
rat dan hangus! Tapi belum sirap semburatan
semak belukar, kembali empat gerombol semak
belukar melesat cepat ke arahnya!
"Gila! Aku tak bisa begini terus-terusan.
Tenagaku akan hilang percuma! Orang ini sengaja
menguras tenagaku!" pikir Pendekar Mata Keran-
jang 108, lalu hantamkan kembali kedua tangan-
nya karena empat gerombol semak belukar itu te-
lah satu depa di hadapannya. Begitu empat ge-
rombol semak itu berantakan, Aji cepat melompat
ke samping.
"Edan! Bagaimana mungkin...?!" seru Pen-
dekar 108 seraya melotot besar. Ternyata gerum-
bulan semak belukar aneh itu sepertinya tidak
ada yang semburat hancur! Gerumbulan semak
belukar itu tetap seperti semula, rapat tidak ada
yang terkuak! Padahal Pendekar 108 telah berhasil membuat hancur berantakan beberapa gerom-
bol!
"Gendeng! Benar-benar gendeng! Tempat
apa sebenarnya ini?!" ujar Pendekar 108 dengan
katupkan rahang rapat-rapat. Pelipisnya berge-
rak-gerak. Merasa dipermainkan orang, kemara-
han murid Wong Agung ini tak dapat dibendung
lagi. Kedua tangannya yang telah teraliri tenaga
dalam segera dihantamkan ke arah semak belu-
kar aneh yang akar-akarnya mengambang.
Wuuuttt!
Serangkum angin dahsyat mengeluarkan
suara bergemuruh menyambar ke depan. Namun
untuk kesekian kalinya, murid Wong Agung ini
harus melotot.
Semak belukar itu bukannya terabas rata
seperti dugaannya. Melainkan hanya bergoyang-
goyang sebentar, lalu diam!
"Setan jahanam!" kemarahan Pendekar 108
benar-benar memuncak. Sambil memandang liar
ke depan dia berteriak.
"Kalau kau tak mau keluar, jangan me-
nyesal jika kau rasakan pukulanku!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menunggu
sebentar. Dia berharap dengan gertakannya,
orang yang diduga telah mempermainkannya
akan keluar. Namun apa yang diharap tidak men-
jadi kenyataan. Hal ini membuat murid Wong
Agung ini naik pitam. Dengan membentak garang,
kedua tangannya ditarik ke belakang, lalu didorong ke depan.
Angin menggemuruh melesat disertai sinar
putih berkilau. Hawa panas pun menebar meling-
kupi tempat itu.
Taaassss!
Angin pukulan Pendekar 108 seperti meng-
gebrak sesuatu namun hanya keluarkan suara
perlahan. Aji terhenyak sendiri menyaksikan hal
itu. Dia tak habis pikir. Bagaimana semak belu-
kar itu hanya bergoyang-goyang, padahal dia baru
saja lepaskan pukulan sakti 'Bayu Cakra Buana'.
Selagi Pendekar 108 terhenyak dalam keti-
dakmengertian, tiba-tiba saja dari arah semak be-
lukar melesat angin dahsyat yang juga mengelua-
rkan suara menggemuruh juga bersinar putih
berkilau!
"Bayu Cakra Buana'!" seru Pendekar 108
mengetahui pukulan yang kini melesat cepat ke
arahnya. Seraya menindih rasa terkejut, murid
Wong Agung ini jejakkan kedua kakinya. Tubuh-
nya melesat ke samping menghindar. Namun tak
urung sambaran pukulan itu menyerempet ping-
gangnya. Hingga tak ampun lagi tubuhnya me-
layang berputar, lalu menghempas dan bergulin-
gan di atas tanah. Untuk beberapa lama dia diam
tak bergerak-gerak karena merasakan sakit pada
pinggangnya. Setelah alirkan hawa murni, dia
bergerak bangkit. Pada pinggang bajunya tampak
robek menganga. Kulit di baliknya membiru!
"Gila! Ini baru gila! Bagaimana tidak. Puku-
lanku membalik! Dan semak jahanam itu hanya
goyang-goyang!" rutuk Pendekar Mata Keranjang
seraya usap-usap pinggangnya.
"Hmm.... Mungkin tempat ini sarang ma-
nusia yang disebut-sebut orang sebagai Penguasa
Hutan Larangan. Tapi tak kulihat sebuah tempat
tinggal. Hanya semak belukar aneh.... Apa pun
adanya semak itu, aku jadi penasaran! Akan ku-
hantam dengan pukulan 'Mutiara Biru'. Masa'
kan tidak mempan...!" bisik Aji. Lalu melangkah
mundur dua langkah. Tangan kiri ditarik ke bela-
kang, sementara tangan kanan di depan dada.
Seketika itu juga tangan kirinya berubah menjadi
biru berkilat-kilat, pertanda murid Wong Agung
ini telah kerahkan pukulan 'Mutiara Biru'.
Namun sesaat lagi tangan kirinya hendak
kirimkan pukulan, terdengar suara bentakan-
bentakan dahsyat dari arah belakang. Pendekar
108 urungkan niat untuk lancarkan pukulan. Ke-
palanya segera berpaling. Telinganya dipasang
baik-baik.
"Hmm.... Seperti suara orang sedang berke-
lahi.... Mendengar bentakan-bentakannya sampai
terdengar di sini, bukan mustahil jika orang yang
sedang berkelahi ini orang yang berilmu tidak
sembarangan. Sebaiknya aku ke sana dahulu,
siapa tahu aku mendapatkan sesuatu yang berta-
lian dengan semak belukar keparat itu. Lebih-
lebih tentang Penguasa Hutan Larangan...," ber-
pikir begitu, Pendekar Mata Keranjang segera
berkelebat ke arah suara bentakan-bentakan.
Begitu dekat dengan suara bentakan-
bentakan, Pendekar 108 segera menyelinap ke balik semak belukar. Sepasang matanya lalu me-
mandang ke depan.
Mula-mula yang terlihat hanyalah bayan-
gan-bayangan yang berkelebat tak karuan, na-
mun jelas bahwa bayangan itu saling lancarkan
pukulan, karena saat itu juga tempat di mana
Pendekar Mata Keranjang mendekam terasa ber-
getar!
Saat bentakan terhenti dan terdengar sua-
ra seruan dua kali berturut-turut, baru Pendekar
108 dapat dengan jelas melihat siapa adanya sang
bayangan.
Di sebelah kanan, terkapar seorang laki-
laki yang wajahnya tidak bisa dikenali karena di-
tutup dengan sepotong kulit tipis. Dia mengena-
kan jubah besar warna coklat. Ikat kepalanya ju-
ga berwarna coklat. Dari sudut bibirnya telah ter-
lihat mengalir darah hitam, menunjukkan jika la-
ki-laki itu telah terluka dalam cukup parah.
Kepala Pendekar Mata Keranjang 108 lan-
tas berpaling ke arah kiri, mendadak sepasang
matanya mendelik besar. Dadanya berdegup ken-
cang. Tenggorokannya bergerak turun naik.
"Benar-benar aduhai...," bisik murid Wong
Agung seraya tak berkesip memandang ke juru-
san kiri. Di situ terlihat telentang seorang perem-
puan muda. Parasnya cantik jelita. Mengenakan
pakaian tipis warna merah berbunga-bunga hi-
tam. Pakaiannya itu dibuat agak rendah di bagian
dada, hingga meski cuaca agak redup, dari tem-
patnya mendekam Pendekar 108 masih dapat melihat agak jelas sembulan buah dadanya yang
tampak putih mulus! Bukan hanya itu saja. Pa-
kaian gadis muda ini bagian bawah ternyata di-
buat membelah di tengah. Hingga saat telentang
begitu rupa, Aji dapat melihat sepasang pahanya
yang berkulit putih, bahkan hampir pangkal pa-
hanya!
Tiba-tiba gadis muda berparas cantik ini
menggeliat hendak bangkit. Namun karena puku-
lan baru saja bersarang di tubuhnya, dia belum
bisa kuasai diri, hingga geliatannya hanya men-
gubah posisinya dari telentang menjadi miring.
Justru posisi ini membuat sepasang mata Pende-
kar 108 makin membesar. Karena tubuh gadis itu
persis menghadap ke arah Pendekar 108 mende-
kam.
"Busyet! Dada itu begitu menggairahkan,
Besar dan putih. Hmm...!" desis Pendekar Mata
Keranjang dengan usap-usap dagunya. Dadanya
berdegup tambah keras. Sementara tenggorokan-
nya turun naik tak beraturan. Napasnya terhem-
bus panjang-panjang.
Selagi Pendekar 108 terkesima, laki-laki
berjubah coklat bergerak bangkit. Dan tanpa
membentak, kedua tangannya bergerak menghan-
tam ke arah sang gadis.
Wuuuttt!
Gelombang angin dahsyat yang membung-
kus kilatan-kilatan sinar coklat menghampar ke
arah gadis yang masih di atas tanah.
Seakan sadar bahwa maut mengancam di
rinya, si gadis bergerak bangkit. Mungkin karena
masih merasakan sakit pada tubuhnya, hingga
gerakannya lamban. Hal ini membuat si gadis ter-
lengak, karena belum sempat dia membuat gera-
kan selanjutnya, serangan yang dilancarkan laki-
laki berjubah coklat telah berada di hadapannya.
Dari mulutnya terdengar pekikan kaget bercam-
pur takut. Wajahnya berubah pucat pasi, tubuh-
nya bergetar hebat. Dia merasa ajal akan segera
merenggut jiwanya!
Di sebelah kanan, melihat si gadis tak ber-
daya, laki-laki berjubah coklat tertawa perlahan
penuh ejekan. Matanya yang merah memejam
dan membuka.
"Itulah ganjaran bagi manusia yang mem-
bangkang dan menipu!" kata sang laki-laki seraya
usap darah yang meleleh dari sudut mulutnya.
Pada saat yang menegangkan itu, menda-
dak dari balik semak belukar di samping sang ga-
dis menyambar dua rangkum angin dahsyat. Satu
rangkum menyerempet tubuh si gadis hingga ter-
pelanting dan jatuh bergulingan. Sementara satu
rangkum lainnya memapak gelombang angin yang
membungkus kilatan warna coklat yang tadi hen-
dak menghajar tubuh si gadis!
Blaaarrr!
Terdengar letupan keras. Di sebelah kanan,
laki-laki berjubah coklat berseru keras. Karena
tak menyangka maka dia tak punya kesempatan
untuk kerahkan tenaga dalam saat terjadinya le-
tupan, hingga saat itu juga tubuhnya mencelat
sampai beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya
membentur pada batang pohon lalu terkapar di
atas tanah!
Di sebelah kiri, merasa dirinya disela-
matkan orang, dan melihat laki-laki berjubah cok-
lat terkapar, sang gadis seakan mendapat kekua-
tan baru. Dengan membentak garang, gadis can-
tik itu berkelebat. Tahu-tahu tubuhnya telah dua
langkah di hadapan laki-laki berjubah coklat yang
menggapai-gapai hendak bangkit. Kaki kanannya
lantas bergerak menyapu ke arah bahu sang laki-
laki.
Desss!
Laki-laki berjubah coklat berseru tertahan.
Tubuhnya bergulingan. Darah hitam makin ba-
nyak mengalir dari bibirnya. Si gadis melangkah
mendekat. Saat itulah tiba-tiba laki-laki berjubah
coklat mengambil sesuatu dari kantong jubahnya.
Serta-merta tangannya mendekat pada mulutnya
yang telah membuka.
"Jangan mimpi bisa mati sebelum memberi
keterangan padaku!" kata sang gadis. Kembali
kaki kanannya bergerak. Tangan laki-laki berju-
bah coklat mental dan tercampaklah apa yang
semula hendak ditelannya.
Si gadis tertawa pendek, tubuhnya sedikit
merendah, lalu kedua tangannya bergerak meno-
tok bagian tertentu tubuh laki-laki berjubah cok-
lat. Sesaat sang gadis memperhatikan laki-laki
berjubah coklat yang kini diam tak bergerak ka-
rena tertotok. Lantas dengan tersenyum, dia balikkan tubuh memandang ke arah semak belukar
dari mana tadi menyambar dua rangkum angin
yang selain menyelamatkan dirinya juga membuat
laki-laki berjubah coklat mencelat.
LIMA
SIAPA pun adanya kau, harap sudi me-
nampakkan diri! Aku ingin mengucapkan terima
kasih!" si gadis berucap seraya terus pandangi ke
arah semak belukar.
Di balik semak belukar, Pendekar Mata Ke-
ranjang tergagu sejenak. Setelah rapikan pa-
kaiannya seraya mendendangkan nyanyian tak je-
las dia menyibakkan semak belukar dan melang-
kah keluar.
Si gadis kernyitkan kening, sepasang ma-
tanya yang bulat membesar dan menyipit. "Tak
disangka. Ternyata seorang pemuda tampan, ber-
tubuh tegap...." Untuk beberapa saat lamanya
sang gadis tampak terkesima. Namun ketika Aji
balik memandang ke arahnya, si gadis seakan ba-
ru sadar. Dia buru-buru tersenyum lalu menjura
hormat.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Aku
berhutang budi juga nyawa. Kalau tidak dapat
pertolonganmu, aku tak tahu apa yang akan kua-
lami!"
Si gadis angkat kepalanya, memperhatikan
pada pemuda di hadapannya.
"Kalau boleh tahu, siapakah kau sebenar-
nya...?!"
Pendekar Mata Keranjang melirik, bukan
pada wajah gadis di hadapannya melainkan pada
dadanya yang tampak menyembul putih mulus
serta kencang menantang. Anehnya, yang dipan-
dangi bukannya segera palingkan tubuh. Sebalik-
nya dia ambil napas dalam-dalam serta panjang
hingga buah dadanya terlihat bergerak-gerak,
membuat Pendekar 108 membeliak dengan degup
jantung makin keras.
"Harap kau sudi menjawab pertanyaan-
ku...," si gadis berkata seakan menyadarkan Pen-
dekar 108.
"Ah...!" Aji keluarkan seruan seolah terpe-
ranjat. Sepasang matanya beralih memandang
wajah gadis di hadapannya.
"Hmmm.... Benar-benar cantik! Mata bulat,
bibir bagus, hidung mancung lebih-lebih da-
danya.,.." Pendekar 108 tersenyum, lalu berkata.
"Namaku Aji. Aji Saputra! Kau sendiri sia-
pa...?"
"Aji.... Hmm.... Baru kali ini aku menden-
gar nama itu. Namun melihat pukulannya tadi,
pemuda ini bukan orang sembarangan. Mungkin
itu nama aslinya yang tak banyak diketahui
orang. Sedang nama gelarnya mungkin banyak
yang mengetahuinya. Siapa gelar pemuda ini...?
Seandainya dia membawa senjata, mungkin den-
gan mudah aku dapat menebaknya. Karena gelar
seseorang biasanya tak jauh dari senjata yang di
bawanya!" si gadis membatin, lalu melangkah le-
bih dekat. Begitu dekat, kembali diperhatikannya
sang pemuda. Namun dia gelengkan kepalanya
perlahan. Sebenarnya waktu mendekat, si gadis
ingin melihat barangkali si pemuda menyelipkan
senjata di pinggang. Namun setelah diteliti dia tak
menemukan senjata, dia tak berhasil mengetahui
siapa adanya si pemuda.
Karena ditunggu agak lama si gadis tak ju-
ga keluarkan suara untuk menjawab, Pendekar
Mata Keranjang angkat bicara kembali.
"Kalau kau keberatan sebutkan nama, tak
apa. Hanya kalau boleh aku tanya...," Aji tak me-
neruskan ucapannya, karena saat itu sang gadis
telah menyahut.
"Namaku Anting Wulan.... Tapi orang-orang
lebih mengenalku dengan Dewi Tengkorak Hi-
tam...."
Mendengar ucapan si gadis, Pendekar Mata
Keranjang sedikit terkejut. Dalam kancah rimba
persilatan nama Dewi Tengkorak Hitam memang
telah banyak dikenal. Bukan hanya karena ke-
tinggian ilmunya, namun juga karena dia terkenal
tokoh yang ugal-ugalan. Dia tantang siapa saja
tokoh yang bernama besar. Baik itu dari jajaran
atas golongan putih atau golongan hitam. Hingga
karena sifatnya itulah Dewi Tengkorak Hitam ba-
nyak punya musuh. Baik itu dari orang-orang ja-
lur putih atau jalur hitam.
"Nama Dewi Tengkorak Hitam telah lama
kudengar. Namun benar-benar tak kusangka jika
sosok orangnya masih begini muda. Cantik dan
bentuk tubuhnya begitu mendebarkan.... Mu-
lanya aku menebak, Dewi Tengkorak Hitam itu
mukanya seperti tengkorak dan hitam...," Pende-
kar 108 seraya tersenyum. Lalu melangkah satu
tindak ke depan dan berkata.
"Hari ini sungguh merupakan hari baik bu-
atku. Tanpa diduga aku dapat bertemu dengan
tokoh rimba persilatan yang bernama besar. Te-
rimalah hormatku Dewi Tengkorak Hitam..,. Maaf
kalau aku tadi tak bersikap hormat padamu. Ka-
rena aku memang belum...."
"Kau terlalu memuji. Dadaku bisa pecah ji-
ka terlalu disanjung. Kau sendiri siapa sebenar-
nya? Yang kumaksud gelarmu?" Anting Wulan
alias Dewi Tengkorak Hitam menyela ucapan Aji
dan balik bertanya.
Sesaat Pendekar Mata Keranjang terdiam.
Dia terlihat bimbang. Namun sesaat kemudian dia
berkata sambil tarik kuncir rambutnya.
"Aku tak bergelar. Karena tak pantas ra-
sanya seorang pengelana jalanan sepertiku ini
memakai gelar. Sebut saja seperti yang kukata-
kan tadi. Aji.... "
"Aku tahu, kau berdusta. Tapi tak apa-
lah...," kata Dewi Tengkorak Hitam sambil mena-
rik napas panjang. Di hadapannya Pendekar 108
tampak terkejut, namun segera saja dia terse-
nyum, lalu berkata kembali.
"Dewi Tengkorak Hitam...."
Si gadis memandang tajam pada Pendekar
108 lalu berkata.
"Panggil Anting Wulan saja...."
"Hmmm... Anting Wulan. Kalau boleh
tanya, siapakah laki-laki berjubah coklat itu? Dan
kenapa kalian terlibat perkelahian?"
"Karena kau telah menolongku, aku berte-
rus terang saja. Soal siapa laki-laki itu, aku be-
lum menanyakan padanya. Tapi satu hal yang
pasti dia adalah salah seorang utusan Penguasa
Hutan Larangan yang hendak membawaku
menghadap orang yang menyuruhnya!"
Pendekar Mata Keranjang terkejut. "Dari
mana kau tahu bahwa dia adalah utusan Pengua-
sa Hutan Larangan?"
Dewi Tengkorak Hitam dongakkan sedikit
kepalanya. Hingga lehernya yang jenjang terlihat
jelas. Buah dadanya pun semakin membusung
kencang. Gadis muda ini tampaknya sengaja
membuat degup dada Pendekar 108 berdetak le-
bih kencang. Karena bersamaan dengan bergerak
tengadah, sepasang matanya dipejamkan seten-
gah membuka. Lantas kedua kakinya sedikit di-
pentangkan, hingga kedua pahanya terlihat jelas.
"Busyet! Siapa pun akan terguncang jika
melihat gadis ini...," batin Pendekar 108 sambil
melirik ke arah paha Dewi Tengkorak Hitam
"Beberapa waktu lalu...," Dewi Tengkorak
Hitam akhirnya berkata. "Aku telah menyirap ka-
bar jika banyak tokoh-tokoh bernama besar tiba-
tiba hilang lenyap tiada berita. Lalu muncul berita
bahwa hilangnya tokoh-tokoh itu didalangi oleh
manusia yang menyebut dirinya Penguasa Hutan
Larangan. Semenjak saat itu aku melakukan per-
jalanan menyelidik. Terus terang, aku ingin me-
nantang orang yang menyebut dirinya Penguasa
Hutan Larangan itu!" Dewi Tengkorak Hitam seje-
nak hentikan keterangannya. Lalu melanjutkan.
"Tiba-tiba dalam perjalananku, mengha-
dang seorang laki-laki berjubah coklat yang me-
nyebut dirinya Utusan Coklat. Dia mengatakan
sebagai utusan Penguasa Hutan Larangan, dan
memang sengaja mencariku untuk dihadapkan
pada Penguasa Hutan Larangan- Karena aku se-
dang menyelidik, aku waktu itu pura-pura menu-
rut saja. Aku hanya ingin tahu di mana letaknya
Hutan Larangan. Setelah aku yakin bahwa tempat
ini adalah Hutan Larangan, aku membelot dan
mencari gara-gara. Namun dugaanku meleset,
Utusan Coklat tidak mudah untuk ditaklukkan.
Hingga seandainya tidak ada kau, pasti aku su-
dah diseretnya menghadap Penguasa Hutan La-
rangan. Dan aku tak dapat membayangkan apa
yang akan menimpaku...."
Dewi Tengkorak Hitam hentikan ucapan-
nya. Lalu luruskan pandangannya menatap pada
Pendekar Mata Keranjang.
"Kau sendiri hendak ke mana? Dan kenapa
berada di sini?" tanyanya kemudian.
"Hmm.... Berarti kabar tentang Penguasa
Hutan Larangan yang akhir-akhir ini menyentak
dunia persilatan bukan kabar bohong. Dan aku
tidak salah alamat datang ke tempat ini!" Aji
membatin. Lalu berkata.
"Terus terang, dengan hilangnya beberapa
tokoh rimba persilatan akhir-akhir ini, aku ingin
tahu. Apakah benar adanya semua berita itu! La-
lu aku coba jalan-jalan hingga sampai sini!"
Kening Dewi Tengkorak Hitam mengernyit.
"Hanya sekadar jalan-jalan? Hmm.... Tak
mungkin. Kalau dia berani sendirian yang kuduga
menyelidik, dia bukanlah pemuda yang boleh di-
pandang sebelah mata. Siapa dia sebenarnya...?"
"Aji.... Katakan terus terang. Apakah kau
bermaksud menyingkap siapa adanya Penguasa
Hutan Larangan sekaligus menyelamatkan para
tokoh-tokoh itu?"
Sejenak Pendekar 108 terdiam. Sambil me-
ringis dia usap-usap ujung hidungnya.
"Bagaimana ini...?" Pendekar 108 berkata
sendiri dalam hati. "Apakah aku harus berterus
terang padanya? Dia sudah mengatakan ingin
menyelidik dan menantang Penguasa Hutan La-
rangan. Meski tujuannya lain denganku tapi
orang yang dituju sama. Hmm.... Memang sebaik-
nya aku terus terang saja. Mendapat teman can-
tik sungguh sayang jika dibiarkan berlalu...." lalu
Pendekar Mata Keranjang anggukkan kepala per-
tanda membenarkan pertanyaan Dewi Tengkorak
Hitam.
"Hmmm.... Jadi tidak meleset dugaanku.
Dia adalah pemuda berilmu tinggi. Mustahil jika
tidak berilmu tinggi berani hendak menyela-
matkan tokoh-tokoh yang akhir-akhir ini kabar
nya diculik oleh Penguasa Hutan Larangan.
Sayang dia tidak berterus terang tentang siapa dia
sebenarnya...."
"Aji. Rasa-rasanya orang yang kita cari ada-
lah sama meski tujuan kita berbeda. Kau tak ke-
beratan bukan jika kita jalan bersama-sama?"
Pendekar Mata Keranjang 108 angkat ba-
hunya sambil tersenyum.
"Bersama-sama tokoh rimba persilatan
yang berwajah cantik tentunya suatu kenangan
tersendiri bagiku. Dan rasa-rasanya tak pantas
jika aku menolaknya...."
Paras muka Dewi Tengkorak Hitam beru-
bah bersemu merah. Tubuh gadis muda ini ter-
guncang sesaat mendengar pujian Pendekar 108.
"Pemuda ini pandai bicara memuji. Hmm....
Seandainya tidak sedang dalam menghadapi ma-
salah...."
"Anting Wulan.... Sebaiknya kita segera
bergerak sekarang, mumpung hari belum gelap
benar. Dan laki-laki itu tentunya bisa untuk pe-
tunjuk jalan!" kata Pendekar 108 membuyarkan
lamunan Dewi Tengkorak Hitam.
Sambil palingkan wajah yang makin ber-
semu merah, Dewi Tengkorak Hitam anggukkan
kepala. Lalu melangkah mendekati laki-laki ber-
jubah coklat.
Laki-laki berjubah coklat yang bukan lain
adalah Utusan Coklat lirikkan sepasang matanya.
Mulutnya membuka bergerak-gerak. Namun tiada
sepatah kata pun yang terdengar, karena Dewi
Tengkorak Hitam telah menotok lehernya.
Dewi Tengkorak Hitam tersenyum dingin.
Tangan kanannya bergerak menjambak rambut
Utusan Coklat lalu ditariknya ke atas. Sambil
menyumpah-nyumpah dalam hati, Utusan Coklat
bergerak berdiri mengikuti tarikan Dewi Tengko-
rak Hitam.
"Kau harus tunjukkan di mana tempat
Penguasa Hutan Larangan!" bentak Dewi Tengko-
rak Hitam sambil menyeret Utusan Coklat. Kare-
na yang tidak tertotok hanya kaki kanannya, ma-
ka Utusan Coklat terpincang-pincang seraya me-
nyeret kaki kirinya mengikuti langkah Dewi Teng-
korak Hitam.
Begitu sampai di hadapan Aji, Dewi Teng-
korak Hitam segera membebaskan totokan pada
leher Utusan Coklat. Seketika Utusan Coklat ber-
teriak keras.
"Demi setan. Bunuh saja aku! Bunuh! La-
kukan cepat!"
Pendekar Mata Keranjang kernyitkan dahi.
Dia tak tahu apa yang membuat Utusan Coklat
berteriak begitu rupa, namun dia maklum jika la-
ki-laki itu dalam keadaan takut luar biasa. Pen-
dekar Mata Keranjang segera tarik bahu Dewi
Tengkorak Hitam dan berbisik.
"Laki-laki itu ketakutan. Mungkin karena
takut mendapat hukuman dari atasannya. Kita
tak boleh bertindak kasar padanya jika ingin agar
dia mau menunjukkan tempat Penguasa Hutan
Larangan!"
Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepala.
Lalu berpaling pada Utusan Coklat dan berkata.
"Dengar! Kalau kau mau menunjukkan di
mana Penguasa Hutan Larangan, kami akan am-
puni nyawamu! Kau akan kami bebaskan!"
"Kalian boleh membunuhku! Aku tak akan
tunjukkan tempat itu!" teriak Utusan Coklat,
membuat Dewi Tengkorak Hitam berpaling pada
Pendekar 108 seolah hendak minta pertimbangan.
Pendekar 108 sendiri usap-usap hidungnya se-
raya berpikir. Saat itulah mendadak Utusan Cok-
lat lejangkan kaki kanannya yang tidak tertotok
ke arah Dewi Tengkorak Hitam.
"Awas serangan!" teriak Aji memperin-
gatkan.
"Jahanam!" maki Dewi Tengkorak Hitam
marah seraya geser tubuhnya ke samping. Lejan-
gan kaki Utusan Coklat menghajar angin sejeng-
kal di depan dada Dewi Tengkorak Hitam. Saat
itulah Dewi Tengkorak Hitam hantamkan kedua
tangannya ke arah dada Utusan Coklat.
Desss!
Utusan Coklat meraung keras, tubuhnya
mencelat hingga beberapa tombak lalu terguling-
guling di atas tanah.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat berke-
lebat. Sesaat dia menunggu. Namun melihat Utu-
san Coklat tidak bergerak-gerak lagi, murid Wong
Agung segera membalik tubuh Utusan Coklat
yang telungkup. Pendekar Mata Keranjang meng-
hela napas panjang. Ternyata dada Utusan Coklat
telah ambrol! Di depan sana, Dewi Tengkorak Hi-
tam memandang dengan tatapan dingin.
"Hilang sudah kesempatan...," gumam Pen-
dekar 108 lalu melangkah ke arah Dewi Tengko-
rak Hitam.
"Anting Wulan. Kita harus cepat tinggalkan
tempat ini!" kata Pendekar 108 sambil melangkah
terus.
"Ke mana...?!" tanya Dewi Tengkorak Hitam
dengan kernyitkan kening.
"Aku tadi menemukan tempat aneh. Aku
curiga dan penasaran dengan tempat itu!"
"Tempat aneh...?" ulang Dewi Tengkorak
Hitam. Sepasang matanya yang bulat memperha-
tikan pemuda di hadapannya. "Hmm.... Jangan-
jangan dia mengajakku...." Bibir Dewi Tengkorak
Hitam tersenyum. Dadanya yang membusung
bergerak turun naik.
"Apakah tempat itu ada mata airnya?"
tanya Dewi Tengkorak Hitam sambil melangkah
menjajari Pendekar Mata Keranjang. Gadis ini
sengaja merapatkan tubuhnya ke bahu Aji. Bah-
kan ketika Aji diam saja, gadis ini menggeser tu-
buhnya hingga buah dadanya sebelah kanan me-
nekan punggung Pendekar 108.
Sejenak murid Wong Agung ini menahan
napas. Perlahan-lahan tubuhnya berubah panas.
Namun teringat akan nasib para tokoh yang le-
nyap, gejolak yang mulai merambat di tubuhnya
segera ditahannya. Seraya menahan napas, dia
berpaling pada Dewi Tengkorak Hitam dan berkata.
"Anting Wulan. Kita tak punya waktu ba-
nyak. Kita harus segera sampai di tempat yang
kusebutkan tadi. Aku tak dapat menerangkan
tempat itu. Nanti saja kau lihat sendiri...."
Dewi Tengkorak Hitam terlihat menarik
napas panjang-panjang. Dadanya tampak makin
turun naik pertanda dia menindih gelegak nafsu
yang mulai menguasai dirinya.
Setelah diam sejenak, Aji anggukkan kepa-
la memberi isyarat agar Dewi Tengkorak Hitam
mengikuti langkahnya. Dengan wajah merah ga-
dis muda cantik itu angkat bahunya lalu melang-
kah mengikuti pemuda di depannya yang mulai
melangkah ke arah tengah hutan.
ENAM
GELAP pekat telah mengepung tatkala
Pendekar Mata Keranjang dan Dewi Tengkorak
Hitam sampai di tempat semak belukar aneh yang
akar-akarnya mengambang di atas tanah dan
berwarna merah!
"Inilah tempat yang kusebutkan aneh itu!"
kata Pendekar 108 menerangkan.
Entah karena terkesima dengan semak be-
lukar di hadapannya atau karena kecewa karena
yang dituju Aji bukan tempat yang seperti hara-
pannya, Dewi Tengkorak Hitam terlihat diam saja
tak menyahut. Hanya sepasang matanya memandang lurus ke depan.
Pendekar 108 kerlingkan matanya. Sepa-
sang mata itu mendadak membesar. Bukan kare-
na melihat wajah gadis di sampingnya yang masih
tertegun, melainkan karena saat itu Dewi Tengko-
rak Hitam tubuhnya dibasahi keringat, maka pa-
kaiannya yang tipis membalut ketat tubuhnya,
hingga tubuhnya jelas membentuk! Sepasang
buah dadanya yang menyembul sebagian, jelas
memperlihatkan bentuknya yang kencang menan-
tang.
Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam berpaling,
membuat Pendekar 108 salah tingkah. Namun
murid Wong Agung ini segera tersenyum sambil
usap-usap ujung dagunya.
"Semak belukar itu memang aneh. Lantas
apa maksudmu membawaku ke sini?"
"Semak belukar itu bukan hanya aneh. Ta-
pi juga mengandung kekuatan luar biasa. Aku cu-
riga jangan-jangan di balik semak belukar itu sa-
rang manusia yang kita cari!" Lalu Pendekar Mata
Keranjang alihkan pandangannya ke depan. Da-
lam hati dia berucap sendiri. "Hmm.... Seandainya
laki-laki tadi tidak kedahuluan tewas, mungkin
dia bisa memberi keterangan. Tapi segalanya su-
dah berlalu...."
Dewi Tengkorak Hitam sipitkan sepasang
matanya. Kepalanya lantas berputar dan kembali
memandangi semak belukar yang tak jauh di ha-
dapannya.
"Aku belum yakin jika tidak membuktikan
nya sendiri!" katanya.
Tangan kanannya bergerak ke balik pa-
kaiannya. Ketika ditarik keluar lagi tampak dua
butiran sebesar buah duku berwarna hitam. Pen-
dekar 108 sejenak memperhatikan. Tiba-tiba se-
pasang matanya mendelik. Betapa tidak. Butiran
sebesar buah duku di tangan Dewi Tengkorak Hi-
tam itu ternyata berbentuk tengkorak kepala ma-
nusia!
"Hmm.... Pasti ini yang membuatnya dige-
lari Dewi Tengkorak Hitam...."
Sesaat Dewi Tengkorak Hitam menimang-
nimang dua butiran hitam yang membentuk
tengkorak kepala manusia itu, lalu tangannya di-
angkat didekatkan ke mulutnya. Mulutnya yang
membentuk bagus terlihat bergerak meniup. Ter-
jadilah hal yang luar biasa. Dua butiran di tan-
gannya menggelembung dan sekejap kemudian
telah berubah benar-benar menjadi tengkorak ke-
pala manusia serta tertata saling tindih!
Tanpa mempedulikan keheranan Pendekar
108, Dewi Tengkorak Hitam ambil salah satu
tengkorak hitam. Kini tangan kanan kirinya me-
megang tengkorak hitam. Sepasang matanya lan-
tas memejam sejenak. Tiba-tiba kedua tangannya
bergerak melemparkan dua tengkorak itu ke de-
pan, ke arah semak belukar aneh.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Kedua tengkorak hitam itu melesat deras
ke depan. Hebatnya bersamaan dengan itu dua
gelombang angin dahsyat terlebih dahulu menyambar! Jelas jika selain dapat menggunakan
tengkorak sebagai senjata hebat, gadis ini juga
mampu mengalirkan tenaga dalam dan mele-
paskannya bersamaan tengkorak!
"Luar biasa...," gumam Aji sambil geleng-
kan kepala.
Namun sesaat kemudian, Pendekar Mata
Keranjang dan Dewi Tengkorak Hitam sama-sama
membelalakkan sepasang mata masing-masing.
Malah Dewi Tengkorak Hitam terlihat bantingkan
kedua kakinya. Dari hidungnya terdengar dengu-
san keras. Dia tak menyangka sama sekali jika
pukulan yang baru saja dilepaskannya hanya
menerabas semak belukar dan membuat gerum-
bulan semak itu bergoyang-goyang! Padahal pu-
kulan yang baru dilepaskan adalah pukulan sakti
‘Tengkorak Mendera Bumi’!
Sementara Pendekar 108 sendiri bertam-
bah penasaran. Diam-diam dia kerahkan tenaga
dalam siapkan pukulan sakti 'Mutiara Biru'.
Pada saat itulah, tiba-tiba semak belukar
aneh itu bergoyang-goyang lagi. Dan belum sem-
pat Pendekar 108 atau Dewi Tengkorak Hitam
mengetahui apa yang terjadi, gerumbulan semak
belukar itu bergerak menguak. Dan melesatlah
dua benda hitam disertai dua gelombang angin
dahsyat!
"Dua tengkorak itu!" seru Aji sambil tarik
tangan Dewi Tengkorak Hitam. Keduanya lantas
bergulingan di atas tanah untuk menghindari dua
buah benda hitam yang ternyata adalah dua
tengkorak milik Dewi Tengkorak Hitam!
Weeerrr! Weeerrr!
Dua tengkorak hitam melesat di atas tubuh
Pendekar 108 dan Dewi Tengkorak Hitam. Lalu
terus menerabas ke belakang. Sesaat kemudian
terdengar dua letusan keras. Lalu disusul dengan
berderaknya pohon yang hendak tumbang. Meli-
rik, Pendekar 108 terkesiap. Dua pohon besar di
belakangnya tumbang dengan daun berhamburan
dan berubah menjadi hitam!
Begitu terdengar tumbangnya pohon, Dewi
Tengkorak Hitam angkat kepalanya hendak berge-
rak bangkit. Namun betapa terkejutnya gadis ini,
karena bersamaan dengan itu dua gelombang an-
gin dahsyat datang menyambar!
Melihat hal itu Pendekar 108 bergerak ce-
pat. Tangannya menjulur dan ditariknya kuat-
kuat tangan gadis di sampingnya itu. Gelombang
angin lewat sejengkal di samping tubuh Dewi
Tengkorak Hitam. Namun mungkin karena kuat-
nya tarikan tenaga Aji yang ingin menyelamatkan
Dewi Tengkorak Hitam, membuat tubuh gadis itu
melambung hingga setinggi setengah tombak di
udara. Pendekar Mata Keranjang terkesiap, kare-
na Dewi Tengkorak Hitam terlihat tak bisa dikua-
sai diri.
"Celaka! Tarikanku terlalu keras...!"" bisik
Pendekar 108 lalu cepat dia gulingkan tubuhnya
mengikuti arah tubuh Dewi Tengkorak Hitam.
Sedang Dewi Tengkorak Hitam sendiri pa-
rasnya pucat pasi. Dan sesaat lagi tubuhnya jatuh telungkup di atas tanah, gadis ini pejamkan
sepasang matanya.
Bukkk!
Dewi Tengkorak Hitam jatuh telungkup.
Namun gadis ini merasa heran. Karena tubuhnya
tidak terasa berbenturan dengan tanah. Dia me-
rasakan gerakan-gerakan pelan di bawahnya.
Dengan menindih rasa heran perlahan-lahan di-
bukanya kelopak matanya. Pertama-tama yang
terlihat adalah batuan hitam di bawahnya. Lalu
ketika matanya turun lagi ke bawah, gadis ini
terhenyak. Pendekar 108 tampak terengah-engah
menahan napas di bawah tubuhnya! Buah da-
danya yang kencang menantang tepat di atas hi-
dung murid Wong Agung ini.
Mungkin tak bisa bernapas, Aji segera ges-
er-geser kepalanya yang tertindih buah dada. Dia
memang segera bisa sedikit bernapas, namun hal
ini membuat kancing pakaian Dewi Tengkorak Hi-
tam terlepas dan tersingkaplah baju bagian atas-
nya, hingga tanpa penutup lagi buah dada ken-
cang milik Dewi Tengkorak Hitam menempel ketat
di wajahnya!
Di lain pihak, geseran-geseran kepala Pen-
dekar Mata Keranjang tampaknya membuat Dewi
Tengkorak Hitam menggelinjang. Gadis cantik ini
keluarkan suara mendesah pelan, dan perlahan-
lahan pula tubuhnya digeser ke bawah. Begitu
wajahnya ada di atas wajah Aji, sepasang ma-
tanya dipejamkan sedikit, bibirnya dibuka, dan
kedua tangannya mencekal kedua bahu Pendekar
108.
'"Jangkrik! Dia sepertinya menunggu, apa-
kah aku...,"' Pendekar 108 tak meneruskan kata
hatinya, karena saat itu juga wajah Dewi Tengko-
rak Hitam telah bergerak ke bawah dan dengan
dada berdegup keras bibirnya memagut bibir
Pendekar 108.
Darah Pendekar Mata Keranjang 108 kon-
tan bergolak. Bersamaan dengan pagutan bibir
Dewi Tengkorak Hitam, kedua tangan murid
Wong Agung bergerak merangkul tubuh gadis
yang kini telungkup di atasnya.
Beberapa saat berlalu, tiba-tiba terdengar
suara gelegukan beberapa kali seperti suara orang
sedang minum. Disusul kemudian dengan suara
tawa mengekeh panjang.
Baik Pendekar Mata Keranjang maupun
Dewi Tengkorak Hitam sama-sama tercekat. Ke-
dua orang ini segera lepaskan bibir masing-
masing. Dan dengan dada masih bergerak turun
naik serta terbuka, Dewi Tengkorak Hitam me-
lompat ke samping. Sedangkan Aji bergulingan
dua kali lalu bangkit dengan sepasang mata me-
mandang ke arah sumber tawa yang sesekali dis-
elingi dengan gelegukan.
Di bawah cahaya sinar rembulan yang ter-
nyata telah merambat dan menerobos melalui po-
hon-pohon yang tumbang, delapan tombak di de-
pan Pendekar 108 terlihat sesosok manusia du-
duk menggelosoh. Pakaiannya compang-camping.
Rambutnya tipis. Mukanya keriput dengan sepasang mata sayu merah. Pada bahu manusia itu
tampak menyelempeng sebuah ikat pinggang be-
sar yang diganduli beberapa bumbung bambu.
Bau arak yang keras menyengat keluar dari bum-
bung bambu itu. Seraya duduk menggelosoh, ke-
dua tangannya yang juga memegang bumbung
bambu didekatkan silih berganti ke mulutnya.
"Setan Arak!" seru Pendekar 108 begitu
mengenali siapa adanya orang.
Mendengar Pendekar 108 menyebut nama
orang, Dewi Tengkorak Hitam kernyitkan dahi.
Bibirnya menyungging senyum seringai. Kepa-
lanya lantas sedikit tengadah.
"Hmm.... Aku telah dengar nama tokoh
pantat arak ini. Sungguh kebetulan sekali hari ini
aku bisa bertemu. Aku telah lama mencari-
carinya untuk ku tantang!"
Setelah mengancingkan bagian dadanya
yang terbuka, Dewi Tengkorak Hitam melangkah
ke arah orang yang duduk menggelosoh sambil
menenggak minuman dan bukan lain memang
Setan Arak.
<s>Apabila nafsu singgah di hati....
Bola mata sesat buta pandangan
Memandang tahi laksana roti
Memandang roti bagaikan tahi
Begitu panas dan demamnya nafsu....
Telinga jadi tuli, mata jadi buta
Mulut jadi bisu dan lidah kelu
Karena daging terasa tahi lalat...
Tiada guna bicara nasihat</s>
Tiba-tiba Setan Arak keluarkan suara se-
perti orang senandungkan syair. Dewi Tengkorak
Hitam hentikan langkahnya mendengar lantunan
senandung Setan Arak. Dia merasa lantunan
syair itu menyindir dirinya.
"Jahanam! Apakah dia tahu siapa aku se-
benarnya?"
Wajah cantik Dewi Tengkorak Hitam makin
merah padam. Pelipis kiri kanannya bergerak-
gerak. Dagunya sedikit terangkat. Tangan kanan-
nya bergerak menyelinap masuk ke balik pa-
kaiannya. Ketika ditarik kembali satu butir teng-
korak kecil berwarna hitam telah ada di tangan-
nya. Mulutnya lantas meniup. Namun gerakan
gadis itu tertahan tatkala lengannya dicekal
orang. Berpaling, Pendekar 108 tegak di samping-
nya dan langsung berkata.
"Anting Wulan. Jangan bertindak gegabah.
Dia bukan orang jahat. Aku mengenalnya! Dia
adalah Setan Arak...!"
"Aku tahu. Justru aku selama ini juga
mencarinya...!" jawab Dewi Tengkorak Hitam tan-
pa memandang lagi. Tapi tangannya yang hendak
ditiup diurungkan.
"Apakah antara kau dan dia ada silang
sengketa...?"
Dewi Tengkorak Hitam gelengkan kepa-
lanya. "Aku memang tidak punya masalah dengan
dia, namun aku akan mencoba menjajaki il
munya!"
Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng
kepala. "Aneh sifat gadis ini. Selalu ingin menan-
tang setiap orang...," tiba-tiba Aji seperti terkejut.
Kepalanya tengadah seakan memikirkan sesuatu.
"Heran, bagaimana gadis ini telah kenal tokoh-
tokoh tua. Padahal usianya masih begini muda?
Jangan-jangan.... Ah, kenapa aku berpikir jelek
padanya. Yang penting kali ini aku harus mence-
gah terjadinya bentrok antara keduanya. Masalah
di depan kurasa lebih penting!" berpikir sampai di
situ, Pendekar 108 lantas berkata.
"Anting Wulan. Untuk sementara ini kuha-
rap kau menunda niatmu. Bagaimanapun juga
saat ini aku memerlukan bantuannya! Kau tak
keberatan bukan?!"
Meski dengan berat dan wajah kecewa, ak-
hirnya Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepa-
lanya. Dalam hati diam-diam gadis cantik ini be-
rucap.
"Kalau bukan dia yang mencegah, kesem-
patan ini tak mungkin kusia-siakan...."
Pendekar 108 lantas melangkah ke arah
Setan Arak. Setelah dekat dan menjura hormat
murid Wong Agung langsung bicara.
"Setan Arak. Kebetulan sekali kau muncul
di sini. Aku sekarang memang sedang memerlu-
kan bantuan!"
Seakan tidak melihat adanya orang dan ju-
ga tidak mendengar pembicaraan orang, Setan
Arak terus tenggelam dalam keasyikan araknya.
Bahkan melirik pun tidak!
Meski dalam hatinya merutuk panjang
pendek melihat tingkah laki-laki tua itu, namun
karena sadar kalau manusia arak itu sering ber-
sikap aneh maka pada akhirnya murid Wong
Agung hanya bisa usap-usap hidungnya seraya
menunggu.
Namun karena ditunggu agak lama dan Se-
tan Arak tetap seperti semula malah kini rebahan
dengan bergumam yang tak bisa dimengerti, Pen-
dekar 108 beranikan diri berkata kembali.
"Setan Arak! Aku tahu, kau mendengar
ucapanku. Harap kau sudi menyahut. Aku perlu
bantuanmu!"
"Puaaah! Kau menyela kesenangan orang
saja. Apakah cumbuan-cumbuan perlu minta
bantuan segala? Memangnya kau kehabisan te-
naga? Mana mungkin orang renta sepertiku bisa
membantu masalah yang begitu-begitu?"
Kembali Pendekar 108 merutuk dalam hati.
Namun wajahnya kali ini berubah merah padam.
Sementara Dewi Tengkorak Hitam bantingkan ka-
kinya mendengar ucapan Setan Arak. "Keparat!
Mulutnya terlalu usil dengan perbuatan orang!
Aku sudah gatal untuk menantangnya!"
"Kek!" kata Pendekar Mata Keranjang sete-
lah agak lama terdiam. "Lupakan dulu masalah
cumbu-cumbuan. Aku benar-benar ingin ban-
tuanmu!"
Tiba-tiba Setan Arak keluarkan tawa pan-
jang dan keras, hingga Aji tutup kedua telin
ganya. Setelah puas tertawa, dia berpaling pada
Pendekar 108 dan berkata.
"Anak sedeng! Kau minta bantuan bukan
soal cumbu-cumbuan, lantas bantuan apa yang
kau minta? He...?!"
"Kek! Tentunya kau telah dengar tentang
lenyapnya beberapa tokoh rimba persilatan pada
akhir-akhir ini. Dan tentunya kau telah pula
mendengar bahwa diduga biang lenyapnya tokoh-
tokoh tersebut adalah manusia yang menyebut
dirinya Penguasa Hutan Larangan. Aku memang
belum...."
"Kau terlalu banyak omong! Bicara lang-
sung saja apa kesulitanmu!" sela Setan Arak. Lalu
dia dekatkan bumbung bambu di tangan kanan-
nya dan menenggak isinya.
"Semak belukar itu adalah sarang manusia
yang bergelar Penguasa Hutan Larangan!" kata
Pendekar 108 seenaknya. Sebenarnya ia memang
belum tahu pasti apakah benar gerumbulan se-
mak belukar itu tempat Penguasa Hutan Laran-
gan, namun karena agak jengkel, Pendekar Mata
Keranjang bicara seenaknya, mengatakan semak
belukar aneh itu tempat Penguasa Hutan Laran-
gan.
"Puaaahhh! Ternyata nafsu juga membuat
otak orang jadi keruh! Kau tadi bilang hendak
minta bantuan, sekarang bicara soal Penguasa
Hutan Larangan. Otakmu benar-benar minta di-
cuci!"
Walau bertambah jengkel dengan ucapan
Setan Arak, namun Aji harus menahannya, kare-
na dia pikir kali ini dia betul-betul mengharapkan
bantuan orang tua di hadapannya itu.
"Kek! Terus terang saja aku tak dapat
membuka tempat Penguasa Hutan Larangan itu.
Aku minta agar kau membantuku membukanya!"
"Dasar anak tolol! Kau bisanya cuma buka
baju orang!"
Pendekar Mata Keranjang tersenyum-
senyum mendengar ucapan Setan Arak. Sementa-
ra Dewi Tengkorak Hitam makin geram, namun
gadis ini tak hendak bergerak dari tempatnya ka-
rena saat itu Setan Arak dilihatnya menggeliat
bangkit. Dan tanpa menghiraukan pada Aji dia
melangkah ke arah semak belukar aneh.
Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak
memperhatikan. Lalu sambil tersenyum-senyum
dia melangkah mengikuti di belakangnya. Ketika
Setan Arak menghentikan langkah tak jauh dari
tempat Dewi Tengkorak Hitam, Pendekar 108
memberi isyarat agar Dewi Tengkorak Hitam tak
angkat bicara dengan gelengkan kepala dan me-
lintangkan jari telunjuknya di depan mulut. Mu-
rid Wong Agung ini khawatir akan terjadi sesuatu
jika Dewi Tengkorak Hitam ikut-ikutan bicara.
Dan jika itu terjadi, bukan mustahil jika Setan
Arak akan mengurungkan niatnya.
Di depan, sejenak Setan Arak memandang
liar pada semak belukar berakar merah di hada-
pannya. Lalu pandangannya beralih pada Dewi
Tengkorak Hitam. Dewi Tengkorak Hitam pasang
tampang angker dengan mata mendelik.
Tiba-tiba Setan Arak lambaikan tangan ki-
rinya ke belakang memberi isyarat pada aji agar
mendekat. Murid Wong Agung ini menarik napas
lega. Karena baru saja dadanya bergetar saat me-
lihat Setan Arak dan Dewi Tengkorak Hitam sal-
ing bentrok pandangan.
Setelah Pendekar 108 dekat, Setan Arak
sorongkan kepalanya dan berbisik.
"Ternyata kau pintar juga memilih perem-
puan. Tahu demikian, aku memasang syarat!"
"Kau tertarik padanya? Ah, jika saja kau
berada lebih dekat lagi, kau pasti bisa melihat
buah dadanya yang kencang menantang, pahanya
yang putih mulus...," jawab Pendekar 108 dengan
suara pelan. Lalu tersenyum dan berbisik kemba-
li.
"Kalau kau memang tertarik, aku bisa
mengatakannya. Siapa tahu dia juga tertarik pa-
damu. Tubuhnya hangat, Kek! Bau badannya ha-
rum...."
Setan Arak menyeringai. Mulutnya komat-
kamit. Sepasang matanya melirik pada Dewi
Tengkorak Hitam.
"Anak kurang ajar, dengar! Gadismu itu
memang berparas cantik, bertubuh aduhai. Ha-
rum tubuhnya mampu membuat dadaku kem-
bang kempis. Tapi maaf saja, jelek-jelek begini
aku tak mau bercumbu-cumbu dengan gadis be-
kas orang! Lagi pula kau akan menyesal jika kau
tahu siapa...," Setan Arak tak meneruskan ucapannya, karena saat itu juga Dewi Tengkorak Hi-
tam terlihat bantingkan kakinya dan melotot ke
arah Aji dan Setan Arak.
"Lihat, gadismu marah-marah. Lekas kau
ke sana!" bisik Setan Arak lalu melangkah setelah
menenggak arak dari bumbung bambu di tangan
kirinya.
"Kek!" seru Pendekar 108 seraya melompat
menjajari. "Kau belum selesai dengan keteran-
ganmu!"
"Puaaahhh! Urus dulu gadismu itu! Suatu
saat nanti kau akan tahu sendiri!" kata Setan
Arak seraya kibaskan tangan Pendekar 108 yang
memegang lengannya.
Dengan muka ditekuk Pendekar Mata Ke-
ranjang balikkan tubuh dan melangkah ke arah
Dewi Tengkorak Hitam yang masih mendelik ang-
ker. Begitu murid Wong Agung dekat, gadis cantik
itu segera ajukan pertanyaan.
"Apa yang dikatakan tua bangka itu pada-
mu?"
"Nggg.... Dia mengatakan kau cantik. Dan
rasa-rasanya dia tertarik padamu!"
Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam tertawa
bergerai-gerai mendengar jawaban Pendekar 108.
"Di mana enaknya bermesra-mesra dengan ma-
nusia yang lebih suka mencium bibir bumbung
daripada.... Bibir.... Hik... hik... hik.... Lebih se-
nang mulusnya bumbung arak daripada mulus-
nya....!" Dewi Tengkorak Hitam putus ucapannya
dan kembali tertawa.
Setelah puas tertawa, kembali Dewi Teng-
korak Hitam berkata.
"Lagi pula bercumbu dengan tua bangka
seperti dia bikin pusing kepala. Karena aku belum
panas dia sudah.... Hik... hik... hik...!"
Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng
kepala. Dan sesaat kemudian dia ikut-ikutan ke-
luarkan tawa.
Saat itulah tiba-tiba terdengar gedebak-
gedebuk berulang kali. Lalu disusul dengan suara
orang seperti sedang menghalau. Pendekar Mata
Keranjang dan Dewi Tengkorak Hitam hentikan
tawanya. Lalu berpaling ke arah sumber suara. Di
depan sana, Setan Arak angkat kedua tangannya,
lalu menenggak bumbung arak silih berganti dari
kedua tangannya. Terdengar gelegukan beberapa
kali. Lalu terdengar tawanya meledak keras.
TUJUH
PENDEKAR Mata Keranjang dan Dewi
Tengkorak Hitam tidak menunggu lama. Dari ke-
gelapan di balik pohon muncul dua sosok laki-
laki dengan langkah terhuyung-huyung. Kedua-
nya sama-sama buka mulutnya lebar-lebar, na-
mun tak terdengar suara. Kedua laki-laki ini
mengenakan jubah besar warna biru dan hitam.
Ikat kepalanya berwarna seperti jubah masing-
masing. Hanya tangan kiri laki-laki berjubah hi-
tam tampak dibalut dan ditopang dengan kain
yang dikalungkan ke lehernya, pertanda bahwa
tangan kirinya cidera. Paras kedua laki-laki ini ti-
dak bisa dikenali karena keduanya menutup wa-
jah masing-masing dengan sepotong kulit tipis.
Ada kesamaan pada kedua laki-laki ini, yakni jari
kelingking masing-masing orang terpotong!
Pendekar 108 kernyitkan kening. Sepasang
matanya memperhatikan kedua laki-laki.
"Hmm.... Ciri-cirinya sama dengan laki-laki
yang tewas di tangan Dewi Tengkorak Hitam.
Hanya warna jubah dan ikat kepalanya yang ber-
beda. Kuat dugaan kedua laki-laki ini adalah juga
utusan Penguasa Hutan Larangan. Tapi kenapa
mereka bisa demikian...? Mereka tampaknya ter-
totok. Hmm.... Pasti yang melakukan totokan itu
adalah orang yang ada di belakangnya. Siapa
dia...? Apakah juga seorang gadis cantik dan ber-
tubuh..." Aji tak meneruskan kata hatinya, karena
saat itu sepasang matanya menangkap muncul-
nya sesosok tubuh dari balik kegelapan.
Yang muncul ternyata seorang perempuan
tua renta. Tubuhnya telah bungkuk. Rambutnya
tipis dan kaku serta disanggul ke atas. Dia men-
genakan pakaian gombrong warna putih kusam.
Sepasang matanya sipit, namun tajam.
Sambil melangkah terseok-seok, sang ne-
nek ini mengacung-acungkan dua terompah besar
berwarna hitam legam di tangan kirinya, seolah
sedang menghalau. Anehnya, meski sendirian dan
seperti orang sedang menghalau, mulutnya tidak
memperdengarkan suara, melainkan tersenyum!
""Dewi Bayang-Bayang!" seru Pendekar 108
begitu dapat mengenali siapa adanya sang nenek.
Di samping Aji, Dewi Tengkorak Hitam tampak
terkejut, malah surutkan langkah dua tindak ke
samping. Sepasang matanya memperhatikan
tingkah si nenek yang bukan lain memang Dewi
Bayang-Bayang.
Mendengar namanya dipanggil orang, Dewi
Bayang-Bayang hentikan langkah. Kepalanya
berpaling, sepasang matanya membesar sedikit.
Memperhatikan pada Pendekar Mata Keranjang
lalu beralih pada Dewi Tengkorak Hitam. Namun
cuma sesaat. Dia lantas luruskan kepalanya
kembali dan memandang ke arah dua laki-laki
yang bukan lain adalah Utusan Biru dan Utusan
Hitam yang telah hentikan langkah masing-
masing tak jauh dari tempat Setan Arak.
Melihat Utusan Biru dan Utusan Hitam te-
lah hentikan langkah, Dewi Bayang-Bayang tu-
runkan kedua tangannya lalu mengenakan te-
rompah yang tadi diacung-acungkan.
"Dewi Bayang-Bayang!" kembali Pendekar
108 berseru. Lalu mendekat ke arahnya. Namun
sebelum Pendekar 108 buka suara lagi, Dewi
Bayang-Bayang telah berkata.
"Sedang apa kau malam-malam begini ke-
layapan di tempat ini? He...?!"
"Ini lagi. Manusia tua yang sukar dimen-
gerti...," kata murid Wong Agung dalam hati. Lalu
berkata.
"Aku sedang menyelidik tempat Penguasa
Hutan Larangan.... Karena aku duga memang di-
alah yang ada di belakang lenyapnya beberapa to-
koh rimba persilatan akhir-akhir ini!"
"Hmmm.... Begitu? Lantas kenapa kau bisa
berdua-dua dengan tua bangka itu? Apakah dia
telah kau jadikan kekasih barumu?!" seraya ber-
kata sepasang mata Dewi Bayang-Bayang melirik
pada Dewi Tengkorak Hitam.
"Tua bangka...? Sialan! Apakah Dewi
Bayang-Bayang sudah lamur? Gadis muda dan
cantik begitu dibilang tua bangka.... Aneh!" kata
Aji dalam hati. Dahinya mengkerut. "Setan Arak
mengatakan bahwa aku akan menyesal jika tahu
siapa dia sebenarnya, sementara Dewi Bayang-
Bayang mengatakan dia tua bangka. Hm.... Apa
arti semua itu? Ah, kenapa aku pusing-pusing
memikirkan ucapan orang-orang aneh...."
Agak jauh di hadapan mereka, Dewi Teng-
korak Hitam terlihat terus memperhatikan Dewi
Bayang-Bayang. "Hmm.... Siapa pemuda itu sebe-
narnya? Dia kenal beberapa tokoh rimba persila-
tan yang terkenal berkepandaian tinggi. Apakah
dia tokoh muda yang akhir-akhir ini namanya
banyak dibicarakan orang dengan gelar Pendekar
Mata Keranjang 108? Hmm.... Dewi Bayang-
Bayang. Sebenarnya aku sudah lama juga menca-
ri nenek tua itu! Sayang.... Saat bertemu kea-
daannya tidak menguntungkan. Jika saja pemuda
itu tidak kenal padanya, sudah ku tantang nenek
itu saat ini juga!" batin Dewi Tengkorak Hitam
sambil buang muka dan memandang jurusan
lain.
"He! Apa kau telah bisu dan tuli? Ditanya
orang diam saja?!" tiba-tiba Dewi Bayang-Bayang
membentak. Namun bibirnya menyunggingkan
senyum.
"Dewi...," kata Pendekar 108 seraya lebih
mendekat. "Siapa yang kau maksud dengan tua
bangka?"
"Dasar anak bodoh! Siapa lagi kalau bukan
manusia berdada montok berpaha mulus yang
tadi berhaha... hihi... bersamamu itu?!"
Mau tak mau Pendekar Mata Keranjang ga-
ruk-garuk kepala mendengar ucapan Dewi
Bayang-Bayang. Setelah memikir sejenak, dia lan-
tas berkata.
"Dewi. Aku secara tak sengaja bertemu
dengannya di sini! Seperti aku, ternyata dia juga
sedang mencari Penguasa Hutan Larangan! Dia
adalah Dewi Tengkorak Hitam...."
"Aku tak tanya namanya!" sahut Dewi
Bayang-Bayang. Lalu pandangannya beralih pada
Setan Arak yang masih terlihat asyik dengan mi-
numannya.
"Dedemit arak itu. Apakah kau yang mem-
bawa-bawa dia kemari?"
Pendekar Mata Keranjang gelengkan kepa-
la. "Aku ke sini sendiri! Dia juga datang sendiri!"
Di depan sana, Setan Arak tenggak bum-
bung araknya. Lalu tertawa bergelak. Anehnya
arak yang masih di mulutnya tidak sepercik pun
yang muncrat! Lalu dia berkata.
<s>Buah kelapa berwarna dua, satu hijau, cok-
lat satunya.
Berjumpa telah berdua. Bercumbu dengan
dua bangka mana nikmatnya?
Orang gila mana yang tidak sialan.
Lontong ketupat dikira tahi hewan. Bersama
bulan aku berjalan
Tiada sahabat tiada kawan!</s>
"Ha.... Ha.... Ha.... Syukur telah ada yang
memberi keterangan, jadi aku tak repot-repot me-
nerangkan!"
"Luar biasa...," desis Pendekar 108. "Dia
dapat menangkap pembicaraan orang, padahal
aku berkata amat pelan. Jaraknya pun jauh...,"
Aji membatin. Namun tak urung wajahnya merah
padam juga mendengar ucapan Setan Arak. Dia
menduga yang disindir dengan tua bangka bukan
lain adalah Dewi Tengkorak Hitam, yang memang
tengah bercumbu dengannya saat ditemukan Se-
tan Arak.
Dewi Bayang-Bayang tersenyum-senyum.
Lalu berpaling pada Pendekar 108 dan berkata.
"He! Kenapa kau enak-enakan mematung?
Pergi sana! Dua laki-laki itu mungkin bisa me-
nunjukkan tempat orang yang kau cari!"
Sambil cengar-cengir, Pendekar 108 nge-
loyor dari hadapan Dewi Bayang-Bayang mende-
kat ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Lalu memberi
isyarat pada gadis itu untuk mengikutinya. Namun si gadis tak beranjak dari tempatnya, hingga
pada akhirnya Aji melangkah sendirian ke arah
Utusan Biru dan Utusan Hitam yang tegak den-
gan sinar mata ketakutan luar biasa.
"Dengar! " kata Pendekar 108 pada kedua
laki-laki di sampingnya. "Aku tahu, kalian adalah
utusan Penguasa Hutan Larangan. Kalau kalian
masih ingin hidup, tunjukkan pada kami tempat
orang yang mengutus kalian!"
Utusan Biru dan Utusan Hitam saling pan-
dang satu sama lain. Mulut mereka membuka
seakan hendak mengatakan sesuatu. Namun tia-
da ucapan yang terdengar. Melihat hal ini murid
Wong Agung lantas gerakkan tangan kanannya
membebaskan totokan pada leher masing-masing
orang.
"Nah, bicaralah!" kata Pendekar Mata Ke-
ranjang
Untuk beberapa saat kedua orang laki-laki
ini masih tak ada yang buka mulut. Keduanya
tampak bimbang. Namun tatkala terdengar suara
berdebam-debam yang mendekat ke arah mereka,
salah satu dari keduanya terlihat anggukan kepa-
la memberi isyarat. Tanpa menoleh kedua orang
ini tampaknya sudah tahu siapa adanya yang ke-
luarkan suara berdebam-debam. Begitu suara
berdebam-debam yang ternyata keluar dari te-
rompah Dewi Bayang-Bayang terhenti, Utusan Bi-
ru luruskan kepalanya ke depan, memandang ge-
rumbulan semak yang akarnya mengambang dan
berwarna merah. Lalu berteriak.
"Utusan Biru dan Utusan Hitam datang!
Pintu harap dibuka!"
Keduanya menunggu. Pendekar 108 melirik
pada Dewi Bayang-Bayang yang kini telah berada
di sampingnya. Lalu beralih pada Dewi Tengkorak
Hitam yang masih tegak mematung di tempatnya
semula. Melirik ke kiri, murid Wong Agung ini ge-
leng-geleng kepala. Karena Setan Arak terlihat ti-
dur pulas!
"Sialan! Kalau hanya ingin tidur, kenapa
harus jauh-jauh ke sini!" maki Pendekar 108 da-
lam hati, lalu pandangannya kembali ke depan.
"Utusan Biru dan Utusan Hitam datang!
Harap buka pintu!" kembali Utusan Biru berte-
riak.
Mendadak terdengar suara tawa mengekeh
panjang. Hebatnya, bersamaan dengan itu tempat
itu bergetar. Ketika suara tawa lenyap, terdengar
suara orang berucap.
"Utusan Bilu, Utusan Hitam. Kalian benal-
benal utusan baik. Diutus mengambil kecoa kecil-
kecil yang kalian bawa empat gajah besal-besal!
Kalian layak dibeli ganjalan.... Ha.... Ha.... Ha...!
Pendekal Mata Kelanjang 108! Setan Alak! Dewi
Bayang-Bayang dan Dewi Tengkolak Hitam! Sela-
mat datang di kawasan hutan lalangan...! Pengu-
asa Hutan Lalangan memang menghalap kehadi-
lan kalian, lebih-lebih Pendekal Mata Kelanjang
108! Ha.... Ha.... Ha...!"
Pendekar Mata Keranjang terkejut. Kepa-
lanya sedikit tengadah memikir. Dahinya mengernyit. "Siapa dia? Rasa-rasanya aku pernah berte-
mu atau membuat urusan dengan orang yang na-
da bicaranya cedal! Hmm.... Tapi siapa pun dia
adanya, yang pasti dia berilmu tinggi!""
Kalau Pendekar 108 terkejut, demikian pu-
la Dewi Tengkorak Hitam. Namun keterkejutan
gadis ini bukan karena suara yang baru saja di-
dengarnya. Melainkan karena orang menyebut
Pendekar Mata Keranjang 108!
"'Hmm.... Ternyata dugaanku tidak mele-
set! Pemuda itu adalah pemuda yang akhir-akhir
ini menggegerkan rimba persilatan Pendekar Mata
Keranjang 108!"
Pendekar Mata Keranjang berpaling pada
Dewi Bayang-Bayang. Nenek ini terlihat tenang-
tenang saja, senyumnya pun terus menyungging.
Melirik lagi ke kiri, Setan Arak masih tampak ti-
dur pulas! Pendekar dari Karang Langit ini geser
tubuhnya mendekati Dewi Bayang-Bayang.
"Dewi. Kau kira-kira dapat mengenali siapa
adanya orang yang baru saja bicara?"
Dewi Bayang-Bayang gelengkan kepalanya
perlahan.
"Selama bertahun-tahun hidup, baru kali
ini aku menemui orang cedal berilmu tinggi! Kita
tunggu saja siapa dia sebenarnya! Namun men-
dengar nada bicaranya, dia telah mengenalmu
dengan baik. Berarti dia sudah pernah bertemu
denganmu! Coba kau ingat-ingat!"
Kembali Pendekar 108 mendongak. Namun
setelah agak lama dia berpaling kembali pada
Dewi Bayang-Bayang dengan menggeleng.
"Aku gagal mengingatnya! Mungkin Setan
Arak mengenalinya....""
"Percuma kau bertanya padanya! Dia lebih
ingat jenis arak daripada mengingat suara-suara
orang!"
"Atau mungkin Dewi Tengkorak Hitam da-
pat mengenalinya!"
Dewi Bayang-Bayang keluarkan tawa per-
lahan. "Apalagi tua bangka itu! Kalau kau tanya
tentang suara-suara mendesah merayu, dia lebih
paham! Hik.... Hik.... Hik...!"
Saat itulah tiba-tiba terdengar kembali su-
ara tawa panjang. Namun mendadak suara tawa
itu diputus. Yang terdengar kini suara orang be-
rucap.
""Utusan Bilu, Utusan Hitam! Atas kelja ka-
lian, kalian dikasih imbalan!" Bersamaan dengan
sirapnya suara cedal, dari semak belukar mende-
ru angin dahsyat mengeluarkan suara mengge-
muruh laksana gelombang.
Pendekar 108 cepat tarik tangan Dewi
Bayang-Bayang. Kedua orang ini langsung rebah-
kan masing-masing tubuhnya sejajar tanah. Di
belakang, Dewi Tengkorak Hitam keluarkan ma-
kian panjang pendek, lalu melompat ke samping
untuk menghindar. Di sebelah kiri, karena tidur
pulas maka tak ampun lagi tubuh Setan Arak
mencelat hingga beberapa tombak ke belakang.
Anehnya, manusia arak ini bukannya jatuh
menghempas tanah, justru melayang turun dengan perlahan dan begitu di atas tanah langsung
meneruskan tidurnya!
Yang paling naas adalah Utusan Biru dan
Utusan Hitam. Karena tubuhnya sebagian masih
tertotok maka keduanya tak bisa membuat gera-
kan untuk menghindar, hingga dengan telak tu-
buh keduanya terhajar gelombang angin. Kedua
laki-laki ini terhempas ke belakang dan berkapa-
ran di atas tanah! Sejenak tubuh keduanya terli-
hat melejang-lejang, tapi kejap kemudian diam
tak bergerak! Tewas dengan tubuh hangus hitam!
Belum lenyap rasa keterkejutan semua
orang, terdengar kembali suara orang cedal.
"Pendekal Mata Kelanjang! Dan kalian se-
mua, kalian telah melihat bagaimana Utusan Bilu
dan Utusan Hitam menemui ajal. Kalian akan
mengalami hal yang lebih dali itu! Ha.... Ha....
Ha...! Silakan masuk calon-calon penghuni abadi
Hutan Lalangan...!"'
Pendekar Mata Keranjang segera bangkit.
Wajahnya merah membara. Dengan kepalkan ke-
dua tangan dia berteriak lantang.
"Jahanam kecil! Siapa pun kau adanya,
tunjukkan dirimu!"'
Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah
gema suara tawa, membuat Pendekar Mata Ke-
ranjang naik pitam. Dengan kerahkan tenaga da-
lam, kembali dia berteriak.
"Keparat kecil! Kalau bukan bangsa penge-
cut, kenapa kau tidak segera unjukkan diri?!"
Gema suara tawa sirna. Kini terdengar sua
ra cedal.
"Pendekal Mata Kelanjang! Aku telah mem-
persilakan kau masuk.. Kenapa kau hanya teliak-
teliak? Apa kau takut...?!"
"Benar. Benar. Kenapa hanya berteriak-
teriak?" kali ini yang menyahut adalah Setan
Arak.
"Sialan!"" maki Aji. Lalu kerahkan tenaga
dalamnya. Tiba-tiba tangan kirinya berubah men-
jadi biru mencorong. Serta-merta kedua tangan-
nya dihantamkan ke arah semak belukar.
Wuuuttt!
Seberkas sinar biru melesat. Di depan, se-
mak belukar aneh itu keluarkan suara 'crasss' be-
rulang kali. Dan sekejap kemudian terlihat ge-
rumbulan semak belukar itu terabas rata. Aneh-
nya, yang mampu terabas hanya ujung atasnya
saja, sedangkan akar-akarnya yang menggantung
seakan tak terusik!
Karena terabas, ujung semak belukar itu
berhamburan. Namun semua orang jadi melen-
gak. Saat ujung-ujung semak belukar itu ber-
hamburan ke udara entah dari mana datangnya,
tiba-tiba gelombang angin dahsyat berputar-putar
lalu menghembuskan ujung-ujung semak belukar
itu. Kini ujung-ujung semak belukar itu bagaikan
pisau kecil-kecil menghampar deras ke arah Aji
dan Dewi Bayang-Bayang!
Dewi Bayang-Bayang tersenyum. Menda-
dak nenek ini membuat gerakan salto dan ketika
kakinya melejang, kedua terompahnya disentak
kan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua terompah besar sang nenek mencelat
deras ke depan. Bagaikan baling-baling, kedua te-
rompah itu berputar-putar dan melabrak habis
ujung-ujung semak belukar! Namun tiba-tiba saja
serangkum angin menyambar ke arah terompah
yang masing mengapung di udara.
Pendekar 108 membeliakkan sepasang ma-
tanya. Sementara Dewi Bayang-Bayang komat-
kamit. Betapa tidak, terompah hitam itu kini me-
lesat ke arahnya dan ke arah Dewi Bayang-
Bayang!
"Celaka! Dewi... Awas!" teriak Pendekar 108
ketika diliriknya Dewi Bayang-Bayang tegak me-
matung dengan mulut komat-kamit.
"Husss! Jangan berteriak-teriak melulu! Se-
lamatkan dirimu!" kata Dewi Bayang-Bayang
sambil membuat gerakan aneh. Kaki kiri kanan-
nya dilejang-lejangkan seperti orang sedang me-
nari. Sedangkan tangan kiri kanan meliuk-liuk ke
bawah ke atas. Tiba-tiba tubuhnya membal ke
atas, lalu membuat gerakan jungkir balik di uda-
ra. Pada jumpalitan ketiga, tahu-tahu tubuhnya
tegak di atas udara dan sudah berada di belakang
terompah! Bukan hanya sampai di situ, tubuhnya
lantas melesat dengan posisi tetap tegak membu-
ru terompahnya! Dalam satu kejapan kaki ka-
nannya telah mengenakan terompah di atas uda-
ra!
Sementara terompah satunya terus mene
rabas ke arah Pendekar 108. "Sialan! Kalau ku-
hantam, terompah ini pasti hancur! Dan Dewi
Bayang-Bayang pasti marah-marah! Terpaksa aku
harus menghindar!"
Berpikir sampai di situ, Pendekar 108 lan-
tas jejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat
cepat ke samping ke arah Dewi Tengkorak Hitam
yang terlihat was-was.
Weeerrr!
Terompah hitam gagal menghajar tubuh
Pendekar Mata Keranjang. Namun kini melesat te-
rus ke belakang, mengarah pada Setan Arak yang
masih tidur-tiduran dan silih berganti sorongkan
tangannya yang memegang bumbung arak ke mu-
lutnya.
Braaakkk!
"Sialan! Kau pecahkan bumbung arakku!"
teriak Setan Arak. Sepasang matanya mengerjap-
ngerjap.
Lalu tangan kanannya mengambil bum-
bung araknya yang telah pecah berantakan. Sisa-
sisa arak pada bumbung bambu yang pecah diji-
latinya.
"Dasar manusia arak! Setetes pun tak rela
jika araknya tumpah!" gumam Aji seraya geleng-
geleng kepala. Lalu melirik pada Dewi Tengkorak
Hitam. Yang dilirik balas melirik sambil busung-
kan dada.
Di sebelah depan, begitu mendarat ke ta-
nah Dewi Bayang-Bayang langsung memaki panjang pendek.
"Kau juga sialan! Alas kakiku kau pecah-
kan jadi dua!" lalu melangkah tertatih-tatih ke
arah Setan Arak. Diambilnya terompah hitam mi-
liknya yang sudah pecah jadi dua karena meng-
hantam bumbung Setan Arak.
"Bumbungku pecah berantakan. Alas kaki
bututmu pecah jadi dua. Ini gara-gara manusia
kecil tak tahu adat itu! Anak kecil kurang ajar itu
harus diberi tahu adat istiadat!"
"Betul! Adat istiadat!" kata Dewi Bayang-
Bayang ikut-ikutan.
Kedua orang ini lantas dorong tangan mas-
ing-masing ke arah semak belukar yang tinggal
akar-akarnya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
DELAPAN
DUA gelombang angin melesat dari tangan
kanan Setan Arak dan tangan kiri Dewi Bayang-
Bayang. Cuaca yang remang-remang mendadak
berubah menjadi terang benderang. Tiada suara
gemuruh yang terdengar. Namun apa yang terjadi
kemudian sungguh luar biasa.
Semak belukar aneh di depan sana laksana
terdorong kekuatan dahsyat dan perlahan-lahan
bergerak ke belakang. Dan ketika Setan Arak un-
tuk kedua kalinya dorong tangan kanannya, se-
mak belukar itu mencelat deras ke belakang!
Bersamaan dengan mencelatnya gerumbu
lan semak belukar, tampaklah jalan setapak se-
panjang lima tombak.
Pendekar Mata Keranjang segera menggaet
tangan Dewi Tengkorak Hitam, lalu berkelebat.
Meski tampak enggan, namun karena tangannya
telah tergaet, mau tak mau gadis cantik ini ikut
berkelebat.
Sejenak Pendekar 108 hentikan tubuhnya
di depan jalan setapak. Sepasang matanya mem-
perhatikan. Lalu berpaling pada Dewi Tengkorak
Hitam.
"Kurasa inilah jalan menuju tempat Pengu-
asa Hutan Larangan! Ayo kita jalan duluan. Yang
tua-tua biar belakangan!"
Dewi Tengkorak Hitam tetap diam tak me-
nyahut, membuat Pendekar 108 kernyitkan dahi.
"Anting Wulan! Tunggu apa lagi?"
Dewi Tengkorak Hitam masih diam. Hanya
sepasang matanya yang bulat memandang tajam
ke arah Pendekar 108. Aji jadi salah tingkah di-
pandang begitu rupa.
"Anting Wulan...," Pendekar Mata Keran-
jang 108 tak meneruskan ucapannya, karena De-
wi Tengkorak Hitam telah buka mulut dan beru-
cap.
"Kau penipu! Kenapa tidak kau jelaskan
dari tadi jika kau adalah manusia yang bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108?"
"Ah, soal itu. Sudah kukatakan, aku tidak
bergelar. Hanya orang-orang yang menjulukiku
demikian. Tapi sudahlah. Itu bisa kita bicarakan
nanti. Ayo!" Pendekar 108 tarik tangan Dewi
Tengkorak Hitam. Gadis ini masih sempat mem-
berengut. Namun akhirnya menurut juga.
Perlahan-lahan keduanya melangkah di ja-
lanan setapak. Pada ujung jalan di mana terlihat
sebuah lubang, Pendekar 108 yang berada di de-
pan hentikan langkah. Kepalanya bergerak me-
longok. Yang terlihat hanyalah cahaya kemerahan
dan bau anyir darah!
"Apa yang kau lihat?!"" tanya Dewi Tengko-
rak Hitam ketika melihat paras wajah Pendekar
Mata Keranjang berubah tegang sambil nyengir.
"Warna merah dan bau anyir darah!" jawab
murid Wong Agung ini sambil layangkan pandan-
gannya jauh ke belakang. Setan Arak dan Dewi
Bayang-Bayang terlihat berjalan pelan ke arah ja-
lanan setapak.
"Anting Wulan. Mereka rupanya telah men-
genalmu. Apakah kau pernah bertemu dengan
mereka?"
Dewi Tengkorak Hitam terdiam sesaat. Da-
lam hati gadis ini membatin.
"Hmm.... Dia rupanya ingin mengetahui
siapa diriku dengan memancing bicara. Aku tak
boleh mengatakannya terus terang!""
"Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang se-
lama ini baru kudengar namanya saja. Bertemu
orangnya baru di tempat ini! Kalau mereka telah
mengenalku, aku tak tahu. Kenapa hal itu kau
tanyakan?" Dewi Tengkorak Hitam balik bertanya.
Pendekar Mata Keranjang gerakkan kepa
lanya menggeleng.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja...."
"Hmm.... Aku tahu, dia menyembunyikan
sesuatu. Apa Setan Arak dan Dewi Bayang-
Bayang telah mengatakan siapa diriku sebenar-
nya waktu dia bercakap-cakap tadi...? Tapi.... Me-
lihat sikapnya yang tak berubah padaku, rasanya
kedua tua bangka itu tidak mengatakannya.... Ah,
kenapa aku mengkhawatirkan hal itu? Apakah
aku benar-benar tertarik pada pemuda ini?" Dewi
Tengkorak Hitam berkata sendiri dalam hati.
Kalau Dewi Tengkorak Hitam dibuncah
dengan kekhawatiran, Pendekar 108 sendiri di-
landa kegelisahan.
"Heran. Gadis ini usianya kira-kira masih
sejajar denganku. Tapi banyak tokoh-tokoh tua
telah mengenalnya. Apa memang karena keting-
gian ilmunya atau karena...."
"He.... Kau ke sini mau menyelidik apa
hendak melamun?!" suara Dewi Tengkorak Hitam
memutuskan kata hati Aji.
Sambil usap-usap hidungnya Pendekar 108
segera palingkan wajahnya kembali pada lubang
di depannya.
Weeesss!
Mendadak gelombang angin dahsyat mele-
sat dari dalam lubang disertai asap putih. Bersa-
maan dengan itu tempat di mana Pendekar 108
dan Dewi Tengkorak Hitam berada bergetar hebat.
Pendekar Mata Keranjang yang sadar akan
bahaya yang sedang mengancam keselamatan di
rinya juga Dewi Tengkorak Hitam segera siapkan
pukulan sakti 'Mutiara Biru'. Tanpa berpaling pa-
da gadis di sampingnya dia berbisik.
"Anting Wulan. Kau jangan jauh-jauh dari-
ku!"
Dewi Tengkorak Hitam mengangguk perla-
han, lalu geser tubuhnya lebih merapat pada
Pendekar Mata Keranjang.
Saat itulah mendadak gelombang angin
dan asap itu membalik. Baik Dewi Tengkorak Hi-
tam atau Pendekar 108 terkesiap. Meski Aji hen-
dak berusaha lepaskan pukulan, namun kea-
daannya sudah terlambat. Hingga sebelum kedua
tangannya bergerak, gelombang angin dan asap
putih telah menghantam keduanya!
Baik Pendekar 108 maupun Dewi Tengko-
rak Hitam merasakan tubuh masing-masing me-
nerabas semak belukar lebat. Dalam keadaan se-
perti itu, Pendekar 108 masih dapat melihat jika
semak belukar itu membentuk anak tangga me-
nurun. Dan ketika hitungan murid Wong Agung
ini sampai dua puluh tiga tubuhnya terasa ter-
hempas di atas lantai ruangan. Lalu disusul den-
gan suara gedebukan terhempasnya tubuh Dewi
Tengkorak Hitam di sampingnya.
Untuk beberapa saat lamanya kedua orang
ini diam tak bergerak. Pendekar 108 merasakan
sekujur tubuhnya bagaikan remuk. Dan ketika
tangannya meraba dahi, terasa dua benjolan di si-
tu.
"Sialan!" maki Aji, lalu membuka kelopak
matanya dan melirik pada Dewi Tengkorak Hitam
yang juga sedang bergerak menggeliat.
Ketika mereka telah dapat menguasai diri
masing-masing dan memandang berkeliling, me-
reka berdua sama-sama tersentak kaget. Ternyata
mereka berdua berada pada sebuah ruangan agak
besar berwarna merah. Namun yang membuat
mereka membelalak dan tekap hidung masing-
masing, ternyata warna merah yang ada pada se-
luruh dinding, langit-langit serta lantai adalah da-
rah yang telah mengering!
"Tempat celaka apa pula ini?"" kata Pende-
kar 108 sambil merambat bangkit. Tangan ka-
nannya lalu diulurkan pada Dewi Tengkorak Hi-
tam untuk menolongnya berdiri.
Baru saja Dewi Tengkorak Hitam berdiri,
tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang
dan bertalu-talu. Arahnya datang dari pintu besar
yang ada pada salah satu sisi dinding.
""Pendekar Mata Keranjang 108! Akhirnya
kau harus mati juga di tanganku! Ha.... Ha....
Ha...! Tapi aku ingin melihat kalian mati bersama-
sama dengan tokoh-tokoh yang kini ada dalam
kekuasaanku! Ha.... Ha.... Ha...!"'
"Hmm.... Suara orang ini lain dengan suara
yang tadi. Sialan! Siapa manusia di balik semua
ini?"
"Suara itu sepertinya telah kenal betul
denganmu. Apa kau tak bisa mengira-ngira siapa
adanya si empunya suara?! Dia menginginkan
kematianmu, berarti kau pernah punya masalah
dengannya, setidak-tidaknya kau pernah bertemu
dengannya!" kata Dewi Tengkorak Hitam seraya
usap-usap lengannya yang masih terasa nyeri
akibat terhempas dari lubang tadi.
"Aku memang telah mencoba menduga-
duga siapa adanya orang ini, namun sejauh ini
belum berhasil! Namun yang pasti, di balik semua
ini ada dua orang!"
Tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang teringat
pada Dewi Bayang-Bayang dan Setan Arak.
"Bagaimana dengan Dewi Bayang-Bayang
dan Setan Arak? Apa mereka juga akan menyusul
ke sini?!"
Selagi Aji memikir begitu, tiba-tiba terden-
gar kembali suara tawa mengekeh panjang. Begi-
tu suara tawa lenyap, terdengar orang berucap.
""Pendekal Mata Kelanjang! Kau tak usah
gelisah, kedua temanmu itu pasti akan sampai
juga ke sini. Dan kalian akan mati belsama-
sama!"
Begitu habis suara orang cedal, mendadak
terdengar suara gemerisik. Pendekar 108 dan De-
wi Tengkorak Hitam sama-sama mendongak ke
samping. Semak belukar yang membentuk anak
tangga sebelah belakang tampak bergoyang-
goyang. Dan sekejap kemudian menyeruak dua
sosok bayangan.
Bayangan yang pertama yang ternyata tu-
buh Setan Arak terlihat menukik deras lalu ber-
putar-putar jungkir balik sebelum akhirnya
'bukkk' terhempas dengan telentang di lantai
ruangan. Dan sebelum orang tua ini sempat ber-
gerak bangkit, terlihat bayangan yang kedua yang
ternyata tubuh Dewi Bayang-Bayang yang mun-
cul dengan menukik dan langsung terjerembab te-
lungkup. Bukan di atas lantai ruangan, melain-
kan di atas tubuh Setan Arak!
"Keparat! Kau berani raba-raba tubuhku!"
teriak Dewi Bayang-Bayang seraya mendelik. Na-
mun dia tak segera bangkit dari atas tubuh Setan
Arak. Malah sepasang kakinya diuncang-
uncangkan ke atas dengan bibir tersenyum-
senyum!"
""Nenek sialan! Apa kau kira tubuhmu ma-
sih pantas untuk diraba-raba? Tubuh tinggal
rongsokan tulang di mana letak nikmatnya?!""
sentak Setan Arak balik memaki. Namun tak juga
geliatkan tubuhnya agar Dewi Bayang-Bayang
terguling dari atas tubuhnya. Sebaliknya kedua
tangannya bergerak menakup ke atas punggung
Dewi Bayang-Bayang! Hingga saat itu juga kedua
orang ini saling bergumul di atas lantai ruangan.
Sesaat kemudian terdengar kembali Dewi
Bayang-Bayang berteriak memaki.
"Laki-laki brengsek! Kau mencium bibirku!"
sambil memaki tangan kanannya diangkat ke atas
hendak menampar Setan Arak.
Di bawahnya, Setan Arak mendengus. Na-
mun tak lama kemudian tertawa mengekeh. Tan-
gan kirinya ikut-ikutan diangkat ke atas dan
mencekal bahu Dewi Bayang-Bayang, hingga
tamparan tangan sang nenek tertahan.
"Dasar perempuan! Sengaja minta cium sa-
ja marah-marah dahulu!"
"Jahanam! Kupecahkan mulutmu!" kini
tangan sang nenek sebelah kiri yang terangkat.
Paras Setan Arak meringis dengan mulut men-
ganga, karena sewaktu akan menahan gerakan
tangan kiri si nenek, ternyata tangannya terjepit
di antara tubuhnya dan tubuh Dewi Bayang-
Bayang. Namun kakek ini tak kehilangan akal.
Kepalanya digerakkan ke atas seakan hendak
mencium si nenek. Dewi Bayang-Bayang memaki
lagi panjang pendek. Dan mungkin takut jika Se-
tan Arak benar-benar hendak menciumnya, dia
gulingkan tubuhnya ke samping. Saat itulah Se-
tan Arak geser tubuhnya ke atas, hingga ketika
tangan kiri Dewi Bayang-Bayang benar-benar
menampar, yang terhajar adalah pantat sang ka-
kek!
"Astaga! Untung tidak ke tengah sedikit!
Dasar perempuan, mau menghajar saja pilih ba-
rang antik!" ujar Setan Arak seraya bangkit lalu
tertawa ngakak!
Dewi Bayang-Bayang menyumpah habis-
habisan. Lalu bergerak bangkit dan merapikan
pakaiannya. Bibirnya terlihat tersenyum!
"Dasar orang gila! Nyawa sudah di ujung
tanduk masih juga bertawa ria!" maki Dewi Teng-
korak Hitam seraya memberengut.
"Itulah nikmatnya orang-orang aneh. Tak
peduli keadaan dan situasi! Malah kalau bisa in-
gin bersenda gurau saat meregang nyawa!" sahut
Pendekar 108 sambil senyum-senyum.
"He...! Apa yang lucu?! Apa kau kira ini da-
gelan, heh...?!" tiba-tiba Dewi Bayang-Bayang
membentak.
Pendekar Mata Keranjang tarik-tarik kuncir
rambutnya. Sejenak dia melirik pada Setan Arak.
Kakek ini ternyata telah tenggelam kembali den-
gan bumbung araknya.
"Repot menghadapi orang-orang aneh. Dia
berbuat lucu tapi tak boleh orang tertawa!" Pen-
dekar 108 lantas melangkah ke arah Dewi
Bayang-Bayang. Dia hendak mengatakan sesuatu
agar si nenek tidak marah. Namun baru tiga
langkahan kaki, Setan Arak telah keluarkan uca-
pan.
"Anak muda! Jangan heran. Itulah tanda-
tandanya seorang nenek sedang kasmaran! Melu-
cu dianggap mendagel, mendagel dianggapnya
melucu! Ha.... Ha.... Ha...!"
"Dasar laki-laki gila! Apa dikira ucapannya
itu lucu hingga tertawa begitu rupa, heh...?!
Hik.... Hik.... Hik...!" Dewi Bayang-Bayang ikut-
ikutan tertawa cekikikan. Mungkin karena saking
kerasnya, tanpa disadari dari bagian belakang tu-
buhnya terdengar suara mendesis panjang.
Pendekar 108 yang berada tak jauh dari
Dewi Bayang-Bayang segera takupkan tangannya
pada hidung, karena bersamaan dengan terden-
garnya suara mendesis, menghampar bau busuk
menyengat! Dan serta-merta dia segera melompat
ke samping, ke dekat Setan Arak.
"He.... Ada apa?!" seru Setan Arak melihat
perubahan pada Aji.
"Dia...," Pendekar 108 tak meneruskan
ucapannya, karena keburu bahunya terguncang-
guncang menahan tawa.
"Dia.... Dia kenapa?!" kejar Setan Arak
sambil melangkah mendekat.
"Dia kentut...," jawab Pendekar 108 lalu tu-
runkan tangan dari hidung untuk mendekap mu-
lutnya agar suara tawanya tidak terdengar. Di
sampingnya Setan Arak telah tertawa ngakak.
Dewi Bayang-Bayang bantingkan sepasang
kakinya. Dari mulutnya terdengar makian pan-
jang pendek. Namun sesaat kemudian dia ikut-
ikutan tertawa.
"Orang-orang edan!" gumam Dewi Tengko-
rak Hitam melihat tingkah ketiga orang di hada-
pannya.
Selagi tawa riuh rendah melingkupi ruan-
gan itu, tiba-tiba pintu yang ada pada salah satu
sisi dinding terbuka. Seberkas sinar putih mem-
bersir keluar.
Ketiga orang sama-sama putus tawa mas-
ing-masing. Mata mereka memandang tajam ke
arah pintu.
SEMBILAN
MENDADAK terdengar suara tawa keras
membahana. Ruangan di mana mereka berada terasa bergetar hebat. Tatkala gelegar suara sirap,
tahu-tahu di ambang pintu terlihat sebuah kursi
besar berwarna merah. Di atasnya duduk sesosok
tubuh besar yang wajahnya ditutup dengan ka-
rung goni dan hanya menyisakan pada bagian
mata. Pakaian bawahannya berupa jubah besar
berwarna merah. Di sampingnya berdiri sesosok
tubuh yang wajahnya juga ditutup dengan karung
goni. Dia juga mengenakan jubah warna merah.
Di atas kepalanya tampak sebuah caping lebar.
Dewi Tengkorak Hitam terlihat terkesiap
dan surutkan langkah mundur. Sementara Pen-
dekar Mata Keranjang membeliakkan sepasang
matanya seakan ingin mengenali siapa adanya
dua sosok yang berada di ambang pintu. Hanya
Dewi Bayang-Bayang dan Setan Arak yang terlihat
tenang-tenang saja. Malah Setan Arak tampak
mendongak lalu dekatkan bumbung bambu arak-
nya. Sebentar kemudian dia tenggelam dalam ge-
legukan araknya. Sementara Dewi Bayang-Bayang
tersenyum-senyum sambil elus-elus rambutnya
yang tipis dan kaku!
"Hmm.... Pasti ini manusia yang menama-
kan dirinya Penguasa Hutan Larangan. Dugaanku
tidak meleset. Mereka ada dua orang! Siapa jaha-
nam itu?" kata Pendekar 108 dalam hati.
"Manusia pengecut! Buka topeng kalian!
Tunjukkan siapa sebenarnya kalian!" teriak Dewi
Tengkorak Hitam.
Sosok berjubah merah bercaping tertawa
mengekeh. Sejenak dia berpaling pada sosok yang
di atas kursi. Lalu luruskan kepalanya kembali
dan memandang satu persatu pada keempat
orang yang ada di ruangan.
"Anting Wulan! Kau tak usah meradang.
Saat kau dan teman-temanmu itu meregang nya-
wa, kau akan tahu siapa kami! Kami ingin kalian
mati dalam penasaran! Ha.... ha.... ha...!" Anting
Wulan sejenak terkesiap. Diam-diam membatin.
"Hm.... Dia mengetahui namaku. Siapa
bangsat ini sebenarnya?!" sambil membatin sepa-
sang mata Anting Wulan memandang tak berke-
sip ke depan.
Pendekar 108 mendekat ke arah Setan
Arak, lalu berbisik.
"Kek! Apa kau tak bisa mengenali siapa ki-
ra-kira mereka itu...?!"
"Puaaahhh! Apa untungnya mengenali ti-
kus dalam karung! Tapi kalau boleh menebak,
tampang-tampang mereka pasti lebih jelek dari
tampangku. Karena di hadapanku saja susah-
susahnya mereka mencari karung untuk bersem-
bunyi! Gluk.... Gluk.... Gluk...!"
Mendapati jawaban Setan Arak, Pendekar
108 mau tak mau tersenyum. Namun karena pe-
nasaran, dia lantas mendekat pada Dewi Bayang-
Bayang.
"Dewi.... Menurutmu siapa sebenarnya me-
reka?!"
"Anak bodoh! Kenapa kau repot-repot men-
duga? Apa kau tak tahu, manusia yang akan ber-
satu dengan tanah biasanya berlagak aneh-aneh!"
"Itulah.... Jadi seorang pendekar memang
banyak aral lintangnya!" yang keluarkan suara
kali ini Setan Arak. "Di mana-mana punya mu-
suh! Bahkan sampai tikus dalam karung goni pun
memusuhi! Ha... Ha... Ha...!"
"Nah, kau dengal ucapan tua bangka itu?
Pendekal itu banyak musuhnya! Hingga bayi-bayi
yang belum benal ucapannya pun menginginkan
nyawanya!" sahut Dewi Bayang-Bayang dengan
suara dicedalkan.
Pendekar Mata Keranjang hanya bisa usap-
usap hidungnya. Lalu melirik pada Dewi Tengko-
rak Hitam. Dan sebelum dia melangkah mende-
kat, dari pintu terdengar ucapan.
"Kalian bicaralah sepuas-puasnya. Karena
saat ini adalah terakhir kalian bisa buka mulut!"
Di belakang, Setan Arak terdengar gelegu-
kan beberapa kali, lalu tertawa mengekeh dan
berkata.
"Rayi Seroja!" katanya memanggil nama asli
Dewi Bayang-Bayang. "Nasib kita nyatanya sung-
guh tidak baik. Malam ini ternyata menjadi ma-
lam terakhir. Bagaimana kalau malam terakhir ini
kita isi dengan berjoget ria sambil mabuk? Untuk
malam terakhir dalam hidupmu, kau tak kebera-
tan bukan jika merasakan arakku?" Tangan ka-
nannya lalu menyorongkan bumbung bambu pa-
da si nenek.
Dewi Bayang-Bayang keluarkan lengkingan
tinggi, lalu tertawa cekikikan. Disambutnya bum-
bung bambu dari tangan Setan Arak. Dan perlahan-lahan pula diteguknya arak yang ada dalam
bumbung bambu. Setelah itu sambil bergumam
tak karuan, kedua orang ini menggerak-gerakkan
kaki dan tangannya seakan gerakan orang sedang
menari-nari. Hebatnya, bersamaan dengan gera-
kan tangan dan kaki kedua orang ini, ruangan itu
bergetar! Jelas menandakan jika gerakan tangan
serta kaki kedua orang ini bukan gerakan biasa!
Pendekar 108 hanya bisa geleng-geleng ke-
pala, sementara Dewi Tengkorak Hitam memaki
panjang pendek dalam hati:
Tiba-tiba sosok berjubah merah di atas
kursi angkat tangan kanannya. Dari arah bela-
kangnya mendadak muncul dua orang laki-laki.
Mereka mengenakan jubah besar warna putih dan
hijau. Di kepalanya terlihat ikat kepala berwarna
sama dengan jubah yang dikenakannya. Wajah
keduanya ditutup dengan sepotong kulit tipis,
hingga paras mukanya tak bisa dikenali.
Sosok besar di atas kursi anggukkan kepa-
la. Bersamaan dengan itu, dua laki-laki berjubah
putih dan hijau yang bukan lain adalah Utusan
Putih dan Utusan Hijau melesat ke bawah. Mere-
ka sebenarnya hendak melesat ke arah Setan
Arak dan Dewi Bayang-Bayang, namun saat itu
juga Pendekar Mata Keranjang dan Dewi Tengko-
rak Hitam berkelebat menyongsong. Hingga Utu-
san Putih dan Utusan Hijau hentikan lesatan tu-
buh masing-masing dan kini berhadapan dengan
Aji dan Dewi Tengkorak Hitam.
Tanpa keluarkan kata-kata lagi, Utusan Hi
jau segera meloncat ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang dan serta-merta kedua tangannya dihan-
tamkan ke arah kepala!
Wuuuttt!
Luar biasa. Tangan belum sampai mengha-
jar sasaran serangkum angin dahsyat telah mele-
sat mendahului. Tahu hal demikian, murid Wong
Agung ini maklum jika laki-laki di hadapannya ti-
dak bisa dianggap sepele. Pendekar 108 segera
rundukkan sedikit kepalanya dan ditarik ke bela-
kang. Kedua tangannya diangkat dan dihantam-
kan ke samping memapak pukulan lawan.
Prakkk! Prakkk!
Utusan Hijau berseru tegang. Kedua tan-
gannya terasa hendak penggal. Dia segera me-
lompat mundur. Kedua kakinya terlihat bergetar.
Jelas bahwa dia sedang menahan sakit pada ke-
dua tangannya yang baru saja bentrok dengan
tangan Pendekar 108. Tiba-tiba laki-laki berjubah
hijau ini takupkan kedua tangannya sejajar dada.
Mulutnya komat-kamit.
Pendekar Mata Keranjang 108 sadar jika
lawan akan lakukan serangan dengan jurus anda-
lan. Diam-diam dia pun kerahkan tenaga dalam
dan disalurkan pada kedua tangannya.
Didahului bentakan garang, Utusan Hijau
serta-merta hantamkan kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Terdengar suara menggemuruh dahsyat
disertai menyambarnya gelombang angin, lalu la-
rikan-larikan sinar hijau menyusuli di belakang
nya.
Pendekar Mata Keranjang terkesiap seje-
nak. Namun sesaat kemudian tangan kirinya di-
tarik ke belakang perlahan-lahan, sementara tan-
gan kanan sejajar dada. Terjadilah hal yang men-
gagumkan!
Sambaran gelombang angin serta larikan-
larikan sinar hijau tiba-tiba seakan tertahan
hingga bergerak lambat! Anehnya gelombang serta
larikan hijau itu bergerak ke arah telapak tangan
kiri Pendekar 108!
Di depan, Utusan Hijau tampak melengak
kaget. Dan sebelum lenyap rasa kagetnya, tubuh-
nya tiba-tiba bergetar, dan perlahan-lahan berge-
rak ke depan. Bagaimanapun dia kerahkan tena-
ga dalam untuk mengatasi tubuhnya yang ternya-
ta tersedot telapak tangan kiri Aji namun sia-sia.
Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terus berge-
rak ke depan.
Utusan Hijau keluarkan bentakan keras.
Dalam keadaan bahaya demikian ia tampaknya
bergerak tanpa perhitungan. Sambil terus coba
menahan tubuhnya dia julurkan tangan kiri ka-
nan untuk menangkap kepala Pendekar 108. Na-
mun murid Wong Agung ini telah waspada. Sebe-
lum kepalanya dapat ditangkap, tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Sementara tubuhnya dipu-
tar setengah lingkaran dengan kaki kanan me-
nyapu deras.
Bukkk!
Utusan Hijau keluarkan pekikan tinggi.
Tubuhnya berputar dan kepalanya deras meng-
hantam lantai ruangan. Namun pekikannya ter-
putus tiba-tiba bersamaan ajal menjemput nya-
wanya!
Pendekar 108 usap keringat yang memba-
sahi dahinya. Lalu menarik napas dalam-dalam.
Murid Wong Agung memang baru saja lancarkan
jurus 'Bayu Kencana'. Ilmu penyedot kekuatan
lawan yang didapatnya dari tokoh perempuan tua
yang tak mau sebutkan nama. (Tentang jurus
sakti 'Bayu Kencana' silakan baca serial Pendekar
Mata Keranjang 108 dalam episode: 'Geger Para
Iblis').
Pendekar Mata Keranjang lalu berpaling ke
samping. Di situ terlihat Dewi Tengkorak Hitam
sedang angkat tangannya yang telah memegang
butiran kecil tengkorak hitam. Mulutnya lalu me-
niup. Tengkorak kecil di tangannya mendadak
menggelembung dan sekejap kemudian telah be-
rubah menjadi tengkorak hitam sebesar kepala
manusia.
Di depannya, Utusan Putih yang telah ke-
luarkan darah dari mulut dan hidungnya tampak
tegang. Dia melirik pada sosok yang ada di atas
kursi. Namun yang dilirik seolah tak mengerti
membuat nyali laki-laki berjubah putih ini makin
lumer, apalagi melihat Utusan Hijau telah mene-
mui ajal.
Dalam keadaan begitu, Dewi Tengkorak Hi-
tam serta-merta lemparkan tengkorak yang ada di
tangan kanannya. Tengkorak hitam itu melesat
cepat dengan keluarkan suara deruan keras. Se-
rangkum angin pun melesat mendahului tengko-
rak!
Utusan Putih laksana sirap darahnya. La-
ki-laki ini segera angkat kedua tangannya, namun
karena nyalinya telah hilang, gerakannya menjadi
lamban, sehingga sebelum kedua tangannya sem-
pat menghantam, angin deras datang mendahului
lesatan tengkorak menghajar kaki kirinya.
Desss!
Utusan Putih meraung keras. Tubuhnya
terhuyung-huyung. Saat itulah tengkorak hitam
menghantam dadanya! Laki-laki ini langsung ter-
jungkal dan terkapar di lantai ruangan. Jubah di
bagian dada terlihat menganga lebar dan tengko-
rak hitam menancap di dadanya! Laki-laki ini
menggapai-gapai sebentar, lalu diam dengan
nyawa melayang!
"Eh.... Ternyata bukan hanya kita saja
yang akan menghadapi Malaikat Maut. Dua te-
man kita rupanya telah mendahului. Sayang....
Mereka tidak ikut menikmati arakku dahulu!" ka-
ta Setan Arak sambil terus bergoyang-goyang ke
kiri kanan.
"Kasihan.... Mereka tewas dalam ketegan-
gan. Hik.... Hik.... Hik...!" sahut Dewi Bayang-
Bayang dengan celingukan melihat pada tubuh
Utusan Hijau dan Utusan Putih.
Sosok berjubah merah bercaping di sebelah
kursi keluarkan gerengan keras. Sepasang ma-
tanya dari lubang karung goni terlihat mendelik
besar, memandang liar ke arah Pendekar Mata
Keranjang dari Dewi Tengkorak Hitam.
"Kek!" tiba-tiba sosok di atas kursi berkata.
"'Apa waktu meleka telah habis?"
Sosok bercaping lebar yang dipanggil kakek
hanya anggukkan kepala tanpa memandang pada
yang bertanya.
""Manusia pengecut! Turunlah. Aku Dewi
Tengkorak Hitam menantang kalian! Jangan
tanggung-tanggung. Majulah sekalian berdua!""
teriak Dewi Tengkorak Hitam seraya melompat ke
hadapan sosok yang duduk di atas kursi.
Sosok berjubah merah bercaping keluarkan
tawa mengekeh. Tangan kanannya menepuk baju
orang yang di atas kursi. Tiba-tiba sosok yang di
atas kursi angkat kedua tangannya dan didorong
pelan saja ke depan.
Weeesss! Weeesss!
Dua gelombang angin dahsyat laksana
gempuran ombak menghampar ke arah Dewi
Tengkorak Hitam bersamaan dengan itu ruangan
bergetar hebat!
Dewi Tengkorak Hitam yang tidak menduga
sama sekali berseru lengking. Ia cepat membuat
gerakan menghindar dengan jatuhkan diri bergu-
lingan di atas lantai.
Bummm! Bummm!
Dua gelombang itu menghajar lantai hingga
langsung terbongkar di dua tempat! Meski Dewi
Tengkorak Hitam sempat menghindar dengan
bergulingan namun tak urung tubuhnya masih
tersambar, hingga saat itu juga tubuhnya mence-
lat ke belakang sampai beberapa tombak.
Dengan menindih rasa tak percaya, Dewi
Tengkorak Hitam segera bangkit. Namun gadis ini
hentikan sejenak gerakannya, karena dadanya te-
rasa nyeri serta kakinya terasa panas. Ketika me-
lirik, dia terkejut. Kakinya ternyata telah berubah
kebiruan! Dan dadanya sukar untuk dibuat ber-
napas! Setelah menyalurkan tenaga dalam pada
dada dan kakinya, gadis ini cepat melompat
mundur. Tangan kanannya menyelinap masuk ke
balik pakaiannya dan ketika keluar lagi, di tan-
gannya telah tergenggam dua butiran tengkorak
kecil berwarna hitam.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua tengkorak
hitam segera ditiupnya. Sesaat kemudian, di tan-
gannya telah tampak dua tengkorak sebesar ke-
pala manusia.
Weeesss! Weeesss!
Dewi Tengkorak Hitam lemparkan dua
tengkorak hitam di tangannya. Angin dahsyat me-
lesat mendahului tengkorak.
Di depan sana, sosok berjubah merah yang
duduk di atas kursi tertawa pelan bernada men-
gejek. Tiba-tiba tawanya diputus. Kedua tangan-
nya bergerak mendorong. Kali ini dengan senta-
kan keras.
Beeesss!
Pyaaar! Pyaaarrr!
Sambaran angin yang mendahului tengko-
rak ambyar sebelum menemui sasaran, lalu dua
tengkorak hitam pecah berantakan. Di bawah,
Dewi Tengkorak Hitam terlihat terguncang. Ma-
tanya mendelik besar. Bukan hanya karena meli-
hat serangannya begitu mudah dihancurkan la-
wan, melainkan karena sambaran angin yang ke-
luar dari sentakan tangan sosok di atas kursi
yang baru saja menghancurkan serangannya kini
melesat lurus ke arahnya!
"Celaka!" gumam Aji. Meski dia coba hen-
dak lancarkan pukulan tangkisan, tapi sudah
sangat terlambat, karena sambaran angin itu su-
dah setengah depa di depan Dewi Tengkorak Hi-
tam! Kalau dia paksakan lancarkan pukulan
tangkisan maka apa yang akan menimpa Dewi
Tengkorak Hitam akan lebih parah lagi, karena
bukan mustahil jika pantulan dua serangan akan
menghajar tubuh Dewi Tengkorak Hitam. Memikir
sampai di situ, yang dapat dilakukan Aji hanyalah
berseru. "Jatuhkan diri!"
Seolah baru sadar, Dewi Tengkorak Hitam
segera rebahkan dirinya ke belakang. Sambaran
angin lewat sejengkal di atas tubuhnya. Namun
belum sampai menarik napas lega, tiba-tiba sam-
baran angin itu berhenti di udara, dan kini me-
nyambar membalik!
Dewi Tengkorak Hitam berseru tertahan.
Tubuhnya tertahan dan mencelat ke depan, lalu
membentur dinding ruangan sebelum akhirnya
bergulingan di atas lantai ruangan. Dinding ruan-
gan itu terlihat rengkah!
Dewi Tengkorak Hitam mencoba menahan
rasa sakit di sekujur tubuhnya dengan katupkan
bibir kuat-kuat. Tapi tak urung juga suara eran-
gan menyayat terdengar dari mulutnya. Malah
bersamaan dengan itu dari sudut bibirnya mele-
leh darah berwarna hitam! Pakaian putihnya be-
rubah kecoklatan dan tampak koyak di sana-sini.
Sambil tertawa perlahan, sosok di atas
kursi menarik tangannya turun ke bawah. Sosok
yang berdiri menepuk-nepuk bahunya beberapa
kali seraya bergumam tak jelas.
"Anting Wulan!" seru Pendekar 108 lalu
melompat. Anting Wulan alias Dewi Tengkorak Hi-
tam buka kelopak matanya. Kepalanya mengge-
leng pelan.
"Aji.... Aku tak apa-apa! Kau harus berhati-
hati menghadapi mereka! Baru kali ini aku me-
nemukan manusia berilmu demikian tinggi!" ha-
bis berkata begitu Dewi Tengkorak Hitam berge-
rak bangkit. Sejenak tegak namun sesaat kemu-
dian kakinya goyah. Untung Pendekar 108 segera
menyambuti tubuhnya yang hendak jatuh kemba-
li.
Dengan melangkah perlahan, digandeng-
nya lengan Dewi Tengkorak Hitam dan diajaknya
agak menjauh ke belakang. Dengan bersandar
pada dinding ruangan, Dewi Tengkorak Hitam
lantas duduk bersila.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat balik-
kan tubuh. Melirik sebentar pada Setan Arak dan
Dewi Bayang-Bayang. Kedua orang ini tetap ber-
gerak bergoyang-goyang seakan tak menghirau
kan apa yang terjadi.
Meski dalam hati memaki panjang pendek
namun murid Wong Agung tak berani mengusik.
Dia tahu betul, meski seperti tak menghiraukan,
sebenarnya kedua orang ini tahu apa yang terjadi.
"Orang-orang aneh...," bisik Aji lalu me-
lompat ke depan.
Dua sosok di ambang pintu serentak kelu-
arkan tawa keras.
"Bagus! Kini giliranmu!" berkata sosok yang
bercaping. Lalu tepuk pundak sosok yang di atas
kursi.
Tahu akan apa yang terjadi, sebelum sosok
yang di atas kursi angkat tangannya, Pendekar
108 telah hantamkan kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Gelombang angin disertai hamparan hawa
panas melesat ke arah sosok yang ada di atas
kursi.
Yang diserang tidak membuat gerakan. Ma-
lah memperdengarkan suara tawa! Sesaat lagi ge-
lombang angin berhawa panas menghajar tubuh-
nya, sosok di atas kursi angkat tangan kanannya
lalu mengibas ke depan.
Wuuuttt!
Terdengar suara 'pesss' lalu gelombang an-
gin berhawa panas itu membalik dan kini melesat
ke arah Pendekar Mata Keranjang!
"Gila! Dengan mudahnya dia membalik pu-
kulanku!" bisik Aji lalu cepat jatuhkan diri sejajar
lantai menghindari pukulannya sendiri yang mental. Begitu dapat menghindar, Pendekar 108 cepat
pula bangkit. Dia rupanya telah dapat menduga
jika pukulannya yang lolos akan membalik kem-
bali.
Dugaan murid Wong Agung tidak meleset.
Gelombang angin berhawa panas yang baru saja
dihindarinya kini menyambar dari arah belakang!
Pendekar Mata Keranjang 108 tak mau
ambil resiko, kedua tangannya segera dihantam-
kan lagi. Bukan ke arah gelombang angin yang
kini mengarah padanya dari belakang, melainkan
pada sosok yang di atas kursi! Hal ini dia lakukan
karena dia tahu, bahwa sosok yang di atas kursi-
lah yang mengendalikan angin pukulan itu. Jika
pengendalinya dapat dilumpuhkan maka dengan
sendirinya pukulannya akan lumpuh juga.
Namun dugaan Pendekar 108 meleset. Be-
gitu dia lepaskan pukulan, sosok yang di atas
kursi hanya diam. Justru orang yang bercaping
kali ini yang hantamkan kedua tangannya!
Bummm!
Terdengar gelegar hebat ketika pukulan
Pendekar Mata Keranjang bentrok dengan puku-
lan sosok bercaping. Tubuh Aji terhuyung-
huyung. Saat itulah gelombang angin yang mem-
balik tadi menghajar dari belakang!
Deeesss!
Pendekar 108 keluarkan seruan keras. Tu-
buhnya terjungkal ke depan dan mencium lantai
ruangan. Darah segar tampak mengucur dari mu-
lut dan hidungnya yang mengantuk lantai ruangan.
"Sialan! Kenapa aku sampai lupa bahwa
masih ada orang di sampingnya!" Pendekar 108
memaki dirinya sendiri. Lalu bergerak hendak
bangkit. Namun sebelum benar-benar bangkit,
sosok di atas kursi dan sosok di sampingnya se-
rentak tangan masing-masing dan serentak pula
dihantamkan ke arah Pendekar Mata Keranjang.
Wuuusss! Wuuusss!
"Celaka! Satu saja pukulannya sudah de-
mikian hebat, bagaimana kalau dua?" batin Aji
dengan wajah tegang dan kuduk merinding. Na-
mun dia tak larut dalam ketegangan. Seraya ke-
rahkan tenaga dalam, dia cepat rebahkan diri
kembali ke atas lantai ruangan lalu bergulingan
dua kali. Pada gulingan ketiga, telapak tangan ki-
rinya yang telah berubah menjadi biru segera di-
hantamkan ke depan. Sementara tangan kanan-
nya yang ternyata telah memegang kipas segera
pula dikibaskan melengkung.
Wuuuttt! Weeesss!
Seberkas sinar biru serta putih meleng-
kung membentuk kipas segera melesat ke depan.
Bummm!
Ledakan dahsyat segera menggema di
ruangan itu. Pendekar 108 berseru tegang. Tu-
buhnya mencelat ke belakang sampai lima tom-
bak jauhnya dan terkapar di atas lantai. Darah
hitam meleleh dari sudut bibirnya, jelas bahwa
murid Wong Agung ini terluka dalam.
Di atas kursi, sosoknya tampak bergetar
hebat, lalu terjengkang bersamaan dengan han-
curnya kursi. Namun sosok besar ini segera
bangkit dan melesat turun. Belum sampai men-
ginjak lantai, kedua tangannya bergerak meng-
hantam pada Pendekar 108 yang masih terkapar!
Melihat hal ini Dewi Tengkorak Hitam ke-
luarkan jeritan, sementara Setan Arak dan Dewi
Bayang-Bayang hentikan gerakan-gerakannya.
Paras wajah Pendekar Mata Keranjang ter-
lihat putih memucat. Tubuhnya gemetar. Dia ter-
lihat mau menggerakkan kedua tangannya, na-
mun tiba-tiba wajahnya meringis pertanda kedua
tangannya sakit jika digerakkan, hingga dia
urungkan menggerakkan tangan. Mungkin karena
merasa tak bisa lagi menangkis serangan, akhir-
nya dia hanya bergulingan untuk menghindar.
Namun sosok yang tadi di atas kursi tak memberi
kesempatan. Dia kembali disusuli hantamannya,
hingga tak ada kesempatan lagi bagi Aji untuk
menghindar!
Saat yang mendebarkan itulah, tiba-tiba
melesat dua buah benda bundar agak panjang.
Satu menghantam tubuh Pendekar 108 satunya
lagi memapak serangan yang mengarah pada mu-
rid Wong Agung!
Bukkk! Pyaaarrr!
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 men-
celat, namun hal itu menyelamatkan dia dari se-
rangan. Disusul kemudian dengan pecahnya ben-
da yang ternyata adalah bumbung bambu, karena
bentrok dengan serangan yang dilancarkan sosok
yang tadi di atas kursi.
Sosok besar berjubah merah yang kini te-
lah tegak di lantai ruangan keluarkan gerengan
keras melihat ada yang menyelamatkan Pendekar
108.
Dan melihat benda apa yang baru saja
hancur dan menyelamatkan Pendekar 108, sosok
ini segera tahu siapa adanya orang yang berbuat.
Dengan mata berkilat merah, sosok besar ini ba-
likkan tubuh.
SEPULUH
SEPASANG mata sosok besar berjubah me-
rah berputar liar memandang tajam ke tempat di
mana Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang tadi
berada. Sosok ini serta-merta keluarkan gerengan
keras. Tubuhnya bergetar pertanda dadanya telah
diamuk amarah yang meluap. Karena ternyata
baik Setan Arak maupun Dewi Bayang-Bayang ti-
dak ada di tempatnya tadi! Yang terlihat hanyalah
Dewi Tengkorak Hitam yang masih duduk bersila
seraya pulihkan tenaganya.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tawa
dan suara cekikikan, namun sosok berjubah me-
rah ini tampaknya tak bisa menentukan di mana
sumber suara tawa dan cekikikan itu, karena
meski dia telah putar kepalanya, dia masih belum
bisa menemukan di mana orang yang keluarkan
tawa dan cekikikan!
"Bangsat!" maki sosok berjubah merah lalu
bantingkan sepasang kakinya. Ruangan besar itu
kembali bergetar. Saat itulah suara tawa dan ce-
kikikan meledak makin keras. Dan dari dalam lu-
bang lantai yang terbongkar muncul dua kepala.
Kepala Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang!
Melihat kepala orang yang dicari muncul
dari dalam lubang, serta-merta sosok berjubah
merah meloncat lalu sapukan kaki kanannya.
Wuuuttt!
Suara tawa Setan Arak dan cekikikan Dewi
Bayang-Bayang serentak sirap laksana direnggut
setan. Dua kepala yang muncul lenyap kembali.
Sosok berjubah merah kembali keluarkan
gerengan keras melihat sapuan kakinya hanya
menghantam angin. Dia segera menatap tajam ke
arah lubang bongkaran di mana kepala Setan
Arak dan Dewi Bayang-Bayang tadi muncul. Lalu
tanpa pikir panjang lagi, sosok besar ini segera
hantamkan kedua tangannya ke arah bongkaran
lubang.
Bummm!
Lantai yang telah terbongkar itu berham-
buran. Dan begitu suara ledakan lenyap, sosok
berjubah merah melangkah perlahan mendekati
lantai yang kini makin menganga besar dan da-
lam.
Baru saja sosok berjubah merah ini melon-
gok ke bawah, terdengar suara tawa panjang
mengekeh yang diseling dengan suara tawa ceki-
kikan. Bukan dari dalam lubang melainkan dari
belakang sosok berjubah merah! Dia cepat berba-
lik.
Merasa dipermainkan orang, kemarahan
sosok berjubah merah makin meluap. Sepasang
matanya liar menatap pada Setan Arak dan Dewi
Bayang-Bayang yang kini ada di hadapannya.
Anehnya, ditatap angker begitu rupa dua orang
ini seakan tidak menghiraukan. Mereka tertawa
dan tersenyum tanpa memandang ke arah sosok
berjubah merah.
Di ambang pintu, sosok berjubah merah
dan bercaping gelengkan kepalanya perlahan.
"Hm.... Jika dia terpancing amarah, maka
sulit baginya melumpuhkan kedua tua bangka
itu! Dan bukan mustahil malah dirinya yang akan
celaka! Aku harus segera memberitahu!" gumam
sosok bercaping, lalu melayang turun.
"Menghadapi tua bangka itu, jangan den-
gan marah! Seranganmu akan mudah dielakkan
mereka!" bisik sosok bercaping begitu dekat den-
gan sosok berjubah merah besar.
Habis berbisik, sosok yang bercaping me-
langkah ke arah Pendekar 108 yang kini telah
duduk bersandar dan pejamkan sepasang ma-
tanya. Sekonyong-konyong, tanpa menunggu lagi
sosok ini hantamkan kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
"Eeeh.... Tikus karung beraninya sama
manusia yang tak berdaya!" teriak Dewi Bayang-
Bayang, lalu kebutkan pakaian gombrongnya.
Weeerrr!
Pukulan yang dilepaskan sosok bercaping
ambyar berantakan sebelum mencapai sasaran!
"Keparat!" bentak sosok bercaping. Lalu ba-
likkan tubuh dan serta-merta meloncat ke arah
Dewi Bayang-Bayang, kedua tangannya bergerak
menghantam kepala si nenek.
Si nenek tersenyum. Kedua tangannya di-
angkat melindungi kepalanya, sementara kaki
kanannya melejang deras ke depan.
Prakkk!
Terdengar benturan keras tatkala dua pa-
sang tangan bertemu. Sosok bercaping keluarkan
seruan tertahan. Lalu melompat mundur. Saat
itulah kaki kanan Dewi Bayang-Bayang mengha-
jar.
Sosok bercaping terhuyung-huyung sesaat
sambil memegangi dadanya, lalu roboh berlutut di
atas lantai ruangan. Sosok ini keluarkan dengu-
san keras. Sepasang matanya lantas memejam
sesaat. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan
hingga capingnya menyentuh lantai. Sekonyong-
konyong tubuh sosok bercaping ini berputar cepat
lalu hilang dari pandangan mata.
Dewi Bayang-Bayang dongakkan kepala.
Mulutnya komat-kamit. Sepasang matanya yang
sipit liar mencari-cari. Saat itulah di depan kepa-
lanya mendadak saja berdesir angin kencang.
Dan belum sempat nenek ini melihat apa yang
terjadi, tahu-tahu sepasang tangan sosok bercap-
ing telah melabrak bahu kanan kirinya.
Desss! Desss!
Dewi Bayang-Bayang mental sampai bebe-
rapa tombak dan jatuh bergulingan. Anehnya, tak
terdengar suara erangan dari mulut nenek ini, ju-
stru yang tampak adalah senyumnya yang me-
nyungging!
"Setan alas!" maki sosok bercaping begitu
mengetahui pukulannya hanya mampu membuat
tubuh Dewi Bayang-Bayang terguling sambil ter-
senyum. Sadar jika lawan tangguh, sosok ini sea-
kan tak mau memberikan kesempatan pada Dewi
Bayang-Bayang, karena begitu terlihat si nenek
hendak bergerak bangkit, dia telah menerjang!
Kedua tangannya pun bergerak kirimkan puku-
lan!
Setan Arak yang masih berdiri berhadapan
dengan sosok besar terkesiap. Dewi Tengkorak Hi-
tam melotot besar, sementara Pendekar Mata Ke-
ranjang yang telah buka kelopak matanya buka
mulut lebar-lebar seakan hendak berteriak mem-
peringatkan. Namun suaranya tak terdengar.
Tapi semua mata yang melihat serentak ja-
di melotot dengan napas menghela panjang. Beta-
pa tidak, sebelum gelombang angin dahsyat serta
terjangan kaki menghajar tubuh Dewi Bayang-
Bayang, nenek ini tekankan kedua siku dan lu-
tutnya pada lantai. Tubuhnya lantas melenting ke
udara. Di udara nenek ini membuat gerakan jum-
palitan beberapa kali, hingga pukulan dan terjan-
gan sosok bercaping menggebrak tempat kosong
dan terus menerabas menghajar dinding ruangan.
Dinding ruangan itu ambrol dan langsung berlubang besar!
Begitu serangan lewat, Dewi Bayang-
Bayang cepat mendarat. Namun cuma sesaat, ka-
rena dia hanya menjejakkan sepasang kakinya.
Hingga tubuhnya kembali melenting ke atas. Di
udara si nenek membuat gerakan aneh. Sepasang
kakinya digerak-gerakkan seperti orang menari,
melejang ke samping kanan dan kiri.
Di depannya, sosok bercaping tenang-
tenang saja seolah menunggu dengan keluarkan
tawa mengekeh. Tiba-tiba suara tawanya terputus
dengan mata membelalak ketika mengetahui tu-
buh Dewi Bayang-Bayang serta-merta melesat ce-
pat ke arahnya. Sepasang kakinya merentang,
namun begitu dekat tiba-tiba kaki itu bergerak
menutup dan menjepit kepala sosok bercaping!
Seeettt!
Bukkk!
Dewi Bayang-Bayang putar tubuhnya ke
samping, hingga saat itu juga tubuh sosok ber-
caping terbanting deras menghantam lantai ruan-
gan! Dewi Bayang-Bayang tersenyum sejenak, lalu
balikkan tubuh dan sebelum melangkah men-
jauh, kaki kanannya melejang ke belakang meng-
hajar kepala sosok bercaping yang ada di bela-
kangnya!
Desss!
Sosok bercaping meraung keras. Caping di
atas kepalanya mencelat, sementara karung goni
yang menutup wajahnya robek besar. Tubuhnya
berguling-guling. Sejenak sosok ini bergerak
gerak seakan hendak bangkit, namun tak lama
kemudian diam tak bergerak!
Sesaat Pendekar 108 menatap lekat-lekat
wajah yang kini telah terbuka penutupnya.
"Restu Canggir Rumekso!" seru Pendekar
108 begitu mengenali siapa adanya orang. Kepa-
lanya lantas sedikit tengadah mengingat-ingat.
Tiba-tiba kepalanya lurus kembali dan meman-
dang tajam ke arah sosok besar yang kini ada di
hadapan Restu Canggir Rumekso.
"Berarti dia adalah muridnya! Hmm.... Tak
kusangka. Belum lama berselang anak itu masih
belum sebesar itu. Heran. Bagaimana perkem-
bangannya bisa secepat itu. Juga ilmunya maju
demikian pesat! Meski besar, namun dia masih
anak-anak. Terbukti bicaranya masih cedal.... Ta-
pi anak ini berbahaya. Seingatku ia tahan puku-
lan! Mudah-mudahan Setan Arak bisa mengata-
sinya. Kasihan.... Anak itu pasti mendapat didi-
kan tidak benar dari gurunya! Bagaimanapun ju-
ga anak itu harus diselamatkan! Mungkin pikiran
sesatnya masih bisa dirubah!" batin Aji seraya te-
rus memperhatikan sosok besar di hadapan Setan
Arak. (Tentang Restu Canggir Rumekso dan mu-
ridnya, silakan baca serial Pendekar Mata Keran-
jang 108 dalam episode: Titisan Darah Terkutuk').
Sementara itu, melihat sosok bercaping
terkapar diam, sosok besar di hadapan Setan
Arak keluarkan lenguhan panjang. Kemarahan-
nya memuncak, dan karena yang ada di hada-
pannya Setan Arak, maka luapan kemarahannya
ditumpahkan pada kakek berselempang bumbung
arak ini.
Sosok besar di hadapan Setan Arak angkat
tangannya tinggi-tinggi. Lalu ditarik ke belakang
dan serta-merta dihantamkan ke arah Setan
Arak.
Wuuttt! Wuuuttt!
Sinar menyala merah melesat dengan dis-
ertai suara deru dahsyat.
Setan Arak tercenung sesaat. Dia seakan
tahu jika serangan lawannya kali ini tak boleh di-
anggap main-main. Karena jika seseorang mampu
mengeluarkan dua pukulan sekaligus dalam satu
hantaman, jelas jika orang tersebut memiliki te-
naga dalam luar biasa. Menyadari hal itu, kakek
peminum ini segera melompat mundur, bumbung
arak di tangan kanan kirinya segera dilemparkan
ke depan. Lalu kedua tangannya segera pula
mendorong mengirimkan serangan susulan.
Pyaaarrr! Pyaaarrr!
Dua bumbung bambu langsung pecah be-
rantakan terabas sinar menyala merah. Hebatnya
sinar menyala merah yang disertai gelombang an-
gin itu terus menerabas ke arah Setan Arak.
Bummm!
Terdengar ledakan dahsyat tatkala sinar
menyala merah dan gelombang angin bentrok
dengan pukulan yang dilancarkan Setan Arak.
Sinar merah menyala ambyar dan menimbulkan
percikan lidah api ke mana-mana!
Sosok besar berjubah merah angkat kem
bali tangannya. Tiba-tiba percikan lidah api sea-
kan terhembus angin dan kembali menyatu lalu
melesat cepat ke arah Setan Arak kembali!
"Panas lawannya panas!" seru Setan Arak.
Tangan kiri kanan segera mencabut bumbung
arak yang bergelantungan di ikat pinggangnya.
Serta-merta isinya ditenggak, lalu sambil melom-
pat ke udara, mulutnya menyembur keluarkan
arak di mulutnya.
"Puaaah! Puaaahhh!"
Dari mulut Setan Arak bermuncratan air
bening. Namun di tengah udara air bening arak
tersebut berubah menjadi merah!
Tasss! Taasss!
Untuk kali kedua sinar merah menyala
ambyar terkena serbuan air merah Setan Arak,
malah sebagian kini melesat ke arah sosok besar
di depan!
Sosok besar berjubah merah tak membuat
gerakan ketika semburan arak itu bermuncratan
ke arahnya. Malah dia tertawa sambil kacak ping-
gang! Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terkena
semburan arak.
Namun semua jadi melengak hampir tak
percaya. Semburan arak yang mampu membuat
lantai ruangan berlubang-lubang itu hanya mam-
pu membuat jubah merah si sosok besar berlu-
bang-lubang. Sementara sosoknya tidak cidera
sama sekali!
"Edan! Ternyata dugaanku tidak meleset!
Dia kebal!" desis Pendekar Mata Keranjang 108
lalu bangkit dan melangkah ke arah Dewi
Bayang-Bayang yang saat itu tampak duduk
menggelosoh tanpa melihat apa yang baru saja
terjadi.
"Dewi.... Orang itu kebal pukulan!" bisik Aji
seraya jongkok di samping Dewi Bayang-Bayang.
Dewi Bayang-Bayang tersenyum. Tanpa berpaling
dia berkata.
"Dari mana kau tahu?"
"Aku pernah menghadapi orang itu! Dia
adalah murid Canggir Rumekso yang tadi kau
buat tewas...," jawab Pendekar 108 seraya melirik
ke arah tubuh Restu Canggir Rumekso.
"Lalu menurutmu bagaimana cara yang
baik menghadapinya?!" tanya Dewi Bayang-
Bayang tetap tanpa berpaling.
"Dirobohkan dulu lalu diikat!"
"Hmm.... Begitu?" gumam Dewi Bayang-
Bayang lalu berpaling ke samping melihat pada
tubuh Utusan Putih dan Utusan Hijau yang telah
jadi mayat.
"Tanggalkan jubah kedua orang itu! Lalu
sobek-sobek jadikan tali!" kata Dewi Bayang-
Bayang seraya menunjuk pada mayat Utusan Pu-
tih dan Utusan Hijau.
Tanpa berkata lagi, Pendekar Mata Keran-
jang bangkit dan mendekati tubuh Utusan Putih
dan Utusan Hijau. Dengan gerak cepat jubah ke-
dua orang ini segera ditanggalkan. Lalu kipas un-
gunya dikeluarkan. Dengan ujung kipas kedua
jubah itu disobek-sobek menjadi beberapa serpihan. Dan dengan cepat pula disambungnya serpi-
han-serpihan jubah itu hingga menjadi tali pan-
jang.
"Berikan pada tua bangka itu!" seru Dewi
Bayang-Bayang.
Pendekar 108 cepat gulung serpihan jubah
yang kini telah menjadi tali. Dan sambil meme-
gangi tali itu dilemparkan pada Setan Arak.
Setan Arak sejenak menimang-nimang gu-
lungan tali dari serpihan jubah itu. Wajahnya ter-
lihat masih tak mengerti dengan maksud Aji
memberikan tali itu padanya. Namun setelah mu-
rid Wong Agung memberi isyarat dengan putar-
putar tangannya pada tubuh, Setan Arak mang-
gut-manggut.
Mungkin mengetahui lawan tahu kelema-
hannya, sosok berjubah merah kepalkan kedua
tangannya. Lalu tangannya diangkat ke atas. Dari
mulutnya terdengar suara mendengus keras. Na-
mun belum sampai sosok ini hantamkan kedua
tangannya Setan Arak telah kebutkan tali di tan-
gannya.
Wuuuttt!
Seeettt! Seeettt!
Tali serpihan jubah itu meliuk deras dan
menjerat kedua tangan sosok besar. Sosok ini
menggeram marah, karena gerakan tangannya
tertahan. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya agar tangannya terlepas. Na-
mun Setan Arak segera kebut-kebutkan talinya,
hingga sosok berjubah merah terhuyung maju
mundur.
"Kepalat!" maki sosok berjubah merah den-
gan suara cedal.
Kedua tangannya yang masih terjerat tali
diluruskan ke depan, dan serta-merta kakinya di-
bantingkan ke lantai. Hebatnya, saat itu juga ke-
dua telapak tangannya tampak berubah putih,
bertanda sosok ini salurkan tenaga dalam sepe-
nuhnya pada kedua tangannya. Sadar jika sosok
ini hendak menghantam dengan kedua tangannya
meski masih terjerat, Setan Arak kendorkan tali
di tangannya. Dan ketika benar-benar sosok ber-
jubah merah hantamkan kedua tangannya, Setan
Arak cepat tarik tali kuat-kuat. Hingga hantaman
tangan sosok berjubah merah melenceng ke atas
mengikuti gerakan tangannya yang tertarik ke
atas.
Baakkk! Brrruuulll!
Gelombang sinar putih yang melesat dari
telapak tangan sosok berjubah merah menyambar
ke atas menghantam langit-langit ruangan. Lan-
git-langit itu langsung jebol dan berlubang besar!
Begitu hamburan langit-langit sirap, tam-
paklah sinar kuning cahaya rembulan menerobos
melalui lubang langit-langit ruangan.
Setan Arak tak menunggu lama, begitu ke-
dua tangan sosok berjubah merah menghajar lan-
git-langit, tubuhnya berkelebat lenyap.
Sosok berjubah merah tercekat tegang
tatkala merasakan desiran angin berputar-putar
mengitari tubuhnya. Dan sebelum dia sempat
berbuat sesuatu tubuhnya telah terikat tali serpi-
han jubah!
"Jahanam! Kepalat! Lepaskan aku!" teriak
sosok berjubah merah sambil meronta-ronta dan
angkat tubuhnya loncat-loncat. Terdengar deba-
man berulang kali begitu kaki sosok berjubah me-
rah menjejak di lantai.
"Ah, tarianmu jelek! Mari kuajarkan tarian
yang bagus!" berkata Setan Arak yang ternyata
kini berada di belakang sosok berjubah merah.
Habis berkata begitu, Setan Arak tenggak arak-
nya, lalu menari-nari. Tangan kiri kanan melejang
ke atas ke bawah, sementara kakinya merentang
menutup. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat dan
menyahut karung goni penutup wajah sosok ber-
jubah merah!
Kini tampaklah wajah sosok berjubah me-
rah itu. Ternyata paras wajahnya masih kekanak-
kanakan. Hanya wajah itu menggembung besar.
Sepasang matanya besar. Hidungnya besar dan
pesek. Bibirnya tebal, sedang rambutnya tebal
dan kaku menjuntai.
"Hmm.... Wajahnya hampir tak berubah.
Hanya tubuhnya yang membengkak besar!" bisik
Pendekar 108 dalam hati begitu melihat wajah so-
sok berjubah merah.
Dewi Tengkorak Hitam yang ada di bela-
kang orang berjubah merah segera bangkit. Lalu
berkelebat dan kini berdiri di hadapan orang ber-
jubah merah seraya memperhatikan dengan seksama.
"Meski tubuhnya seperti gajah, namun wa-
jahnya terlihat masih seperti anak-anak! Menden-
gar suaranya yang masih cedal, juga wajahnya,
manusia ini usianya mungkin masih sepuluh ta-
hunan! Siapa dia sebenarnya...? Murid si keparat
Restu Canggir Rumekso...?! Bisa jadi begitu. Na-
mun ilmunya masih setingkat di atas keparat itu!"
batin Dewi Tengkorak Hitam.
"Enaknya diapakan gajah bunting ini?" ujar
Setan Arak lalu melangkah ke arah Dewi Bayang-
Bayang yang masih duduk menggelosoh.
"Kita penggal kedua tangannya saja biar
kelak kemudian tak berlagak!" sahut Dewi Teng-
korak Hitam seraya melangkah mendekat.
Pendekar Mata Keranjang buka mulut hen-
dak berteriak mencegah, namun belum sampai
suaranya terdengar sesosok bayangan melesat tu-
run dari lubang langit-langit. Lalu terdengar sua-
ra orang menegur.
"Berani sentuh anak itu putus nyawamu!"
Semua mata memandang tajam ke depan,
sedangkan Dewi Tengkorak Hitam hentikan lang-
kahnya.
"Kau...!" seru Pendekar 108 begitu menge-
nali siapa adanya si bayangan yang kini telah te-
gak di samping sosok berjubah merah dan me-
mandang satu persatu pada semua orang yang
ada di ruangan besar itu.
SEBELAS
DIA adalah seorang gadis muda berparas
cantik jelita. Mengenakan pakaian warna kuning
ketat, hingga dadanya yang besar terlihat mem-
busung menantang. Sepasang matanya jernih bu-
lat dan tajam. Rambutnya panjang dan dibiarkan
jatuh ke punggung.
"Siapa kau?!" bentak Dewi Tengkorak Hi-
tam seraya memperhatikan gadis baju kuning
yang tegak di samping anak berjubah merah.
Yang ditanya tersenyum sinis. Malah pan-
dangan matanya tak mengarah pada orang yang
menegur, justru menatap lekat-lekat pada Pende-
kar Mata Keranjang yang terlihat melangkah ke
arahnya.
"Kau jangan jual lagak di sini!" teriak Dewi
Tengkorak Hitam sambil angkat kedua tangannya
dan siap lancarkan pukulan. Namun gerakannya
tertahan tatkala lengannya terasa dipegang orang.
Berpaling, terlihat Pendekar 108 telah be-
rada di sampingnya sambil memandang gadis ba-
ju kuning.
"Tunggu, Anting Wulan. Dia adalah saha-
batku!" kata Pendekar 108 lalu lepaskan cekalan
tangannya pada lengan Dewi Tengkorak Hitam.
Dewi Tengkorak Hitam menarik napas da-
lam-dalam. Wajahnya berpaling cepat pada juru-
san lain. Diam-diam gadis ini cemburu melihat
gadis berbaju kuning saling berpandangan dengan Pendekar Mata Keranjang 108.
"Putri Tunjung Kuning. Lama kita tak jum-
pa. Kau baik-baik saja?" kata Aji berbasa-basi be-
gitu dekat dengan gadis berbaju kuning yang bu-
kan lain adalah Putri Tunjung Kuning.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Lupakan
dulu berbasa-basi. Kalau kau ingin mengatakan
sesuatu, lekas katakan! Aku tak punya waktu ba-
nyak!"
Sejenak Pendekar Mata Keranjang merasa
terkejut mendengar nada ketus Putri Tunjung
Kuning. Namun dia hanya bisa usap-usap hi-
dungnya. Lalu berkata.
"Putri Tunjung Kuning! Kau tahu, kami
semua baru saja menyabung nyawa menghadapi
manusia yang menamakan dirinya Penguasa Hu-
tan Larangan. Manusia yang akhir-akhir ini men-
jadi biang lenyapnya beberapa tokoh rimba persi-
latan. Manusia itu ternyata adalah Restu Canggir
Rumekso dan orang yang ada di sampingmu...,"
sejenak Pendekar 108 hentikan ucapannya.
"Harap kau teruskan kata-katamu!" Putri
Tunjung Kuning menyahut.
"Melihat sikapmu, rasa-rasanya kau telah
mengenal orang di sampingmu!"
"Aku mengenalnya lebih dari Restu Canggir
Rumekso keparat itu!" kembali Putri Tunjung
Kuning menyahut dengan cepat.
"Hmm.... Begitu? Lalu siapa dia sebenar-
nya?!" tanya Pendekar 108 pura-pura tak tahu.
Putri Tunjung Kuning tertawa pelan. Namun napasnya terlihat berhembus panjang-
panjang seakan melepaskan beban yang ada di
dadanya.
"Untuk sementara ini harap jangan me-
maksaku untuk mengatakan siapa dia sebenar-
nya! Namun yang pasti aku akan membawanya,
dan jangan coba-coba menghalangi niatku!"
"Putri Tunjung Kuning! Dia sangat berba-
haya!"
"Pendekar Mata Keranjang! Aku tahu ten-
tang anak ini seratus kali lipat darimu! Kau tak
usah memberitahu!" ujar Putri Tunjung Kuning,
lalu berpaling pada jurusan lain dan melanjutkan
ucapannya.
"Ada lagi yang hendak kau utarakan?!"
Meski sebenarnya masih ada beberapa hal
yang ingin ditanyakan, namun karena hal itu ada
sangkut paut pribadi Putri Tunjung Kuning dan di
situ ada Dewi Tengkorak Hitam, maka dia berpikir
tak pantas kiranya membicarakan hal pribadi di
hadapan orang. Berpikir demikian, akhirnya Pen-
dekar 108 gelengkan kepalanya.
"Baik. Aku harus pergi dari sini. Anak ini
kubawa serta!" Putri Tunjung Kuning lalu meng-
gaet tubuh anak berjubah merah. Dan ditariknya
hendak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu!" teriak Dewi Tengkorak Hitam
sambil memandang tajam pada Putri Tunjung
Kuning.
"Rupanya gadismu tak berkenan...," bisik
Putri Tunjung Kuning, lalu balas menatap pandangan Dewi Tengkorak Hitam dan berkata.
"Apa maumu?!"
"Kami bersusah payah bahkan hampir ter-
puruk tewas di sini gara-gara menangkap manu-
sia keparat itu! Sekarang enaknya saja kau hen-
dak membawanya! Mana bisa begitu?!"
"Lantas maumu apa?!" kembalikan Putri
Tunjung Kuning ajukan tanya.
"Tinggalkan anak jahanam itu!"
Mendengar Dewi Tengkorak Hitam menye-
but anak jahanam, wajah Putri Tunjung Kuning
kontan berubah merah padam. Sepasang ma-
tanya membeliak merah. Pelipisnya bergerak-
gerak. Kedua tangannya bergerak.
"Tahan!" seru Aji seraya menengahi dan
angkat tangan kirinya menahan gerakan tangan
Dewi Tengkorak Hitam yang saat itu juga sedang
bergerak. Sementara tangan kanannya menahan
tangan Putri Tunjung Kuning yang juga sudah
siap hendak memukul.
"Anting Wulan! Nanti saja kuceritakan ma-
salah ini!" lalu kepalanya berpaling pada Putri
Tunjung Kuning. "Lekas tinggalkan tempat ini!"
Meski dengan tubuh terguncang menahan
marah, akhirnya Putri Tunjung Kuning luruhkan
tangannya lalu menggaet kembali anak berjubah
merah dan melangkah ke arah tengah-tengah
ruangan yang langit-langitnya jebol.
"Abilowo!" panggil Putri Tunjung Kuning
pada sosok berjubah merah di sampingnya. "Kali
ini kau jangan berbuat yang tidak-tidak seperti
dulu! Jika kau masih melarikan diri seperti dulu
lagi, aku tak segan-segan memutus kedua kaki-
mu! Kau mengerti?!"
Anak berjubah merah tak menyahut, hanya
kepalanya bergerak mengangguk. Dengan gerakan
cepat Putri Tunjung kuning bebaskan ikatan di
tubuh Abilowo.
"Bagus! Ayo kita keluar dari tempat celaka
ini!" kata Putri Tunjung Kuning lalu jejakkan ka-
kinya ke lantai ruangan. Sosok yang dipanggil Ab-
ilowo ikut-ikutan menjejak lantai ruangan. Seke-
jap kemudian tubuh keduanya melesat ke atas
melalui lubang langit-langit lalu lenyap dari pan-
dangan.
"Kenapa mereka kau biarkan pergi begitu
saja?! Usaha kita sia-sia jika akhirnya hanya be-
gini!" kata Dewi Tengkorak Hitam begitu Putri
Tunjung Kuning dan Abilowo telah pergi.
"Usaha kita tidak sia-sia, Anting Wulan.
Aku tahu siapa Putri Tunjung Kuning. Dan aku
yakin, dia mampu merubah Abilowo menjadi
orang baik-baik! Abilowo masih anak-anak. Butuh
perhatian! Dan kurasa anak itu akan menda-
patkan perhatian di tangan Putri Tunjung Kun-
ing...," sejenak Pendekar 108 hentikan ucapan-
nya. Dia tercenung, lalu memandang berkeliling.
"Astaga! Ke mana perginya Setan Arak dan
Dewi Bayang-Bayang?!" kata Aji sambil angkat
tumitnya melongok pada lantai ruangan yang
menganga dalam, takut jika kedua orang yang di-
cari sembunyi di situ.
Mendengar ucapan Pendekar Mata Keran-
jang, Dewi Tengkorak Hitam ikut-ikutan sapukan
pandangannya ke seluruh ruangan. Dan nyatanya
Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang memang
sudah tidak ada.
"Dasar orang-orang sulit dimengerti...,"
gumam Pendekar 108 sambil gelengkan kepala.
Saat itulah tiba-tiba dari arah belakang tangan
Dewi Tengkorak Hitam melingkar di pinggangnya.
"Aji...," bisik Dewi Tengkorak Hitam seraya
tekankan buah dadanya rapat-rapat ke punggung
Pendekar 108.
Sejurus murid Wong Agung ini terkesiap,
namun tatkala Dewi Tengkorak Hitam mencium
tengkuknya, darah Pendekar 108 laksana diba-
kar. Tubuhnya sedikit bergetar, dadanya berde-
gup makin kencang. Dan perlahan-lahan pula ke-
dua tangannya meremas dan mengelus-elus ke-
dua tangan yang melingkar di pinggangnya.
Merasa sang pemuda mulai panas, perla-
han-lahan pula Dewi Tengkorak Hitam gerakkan
tangannya yang melingkar di pinggang Aji, tu-
buhnya direnggangkan. Kedua tangannya lantas
memutar tubuh Pendekar Mata Keranjang. Murid
Wong Agung menurut saja. Dan sesaat kemudian,
kedua orang ini telah saling berhadapan.
"Aji...," kembali Dewi Tengkorak Hitam de-
katkan kepalanya. Mulutnya setengah dibuka,
sepasang matanya dipejamkan.
"Busyet! Gadis ini benar-benar merontok-
kan jantung.... Tapi terlalu sayang jika kesempatan ini dilewatkan begitu saja...," Pendekar 108
kembangkan kedua tangannya lalu melingkar pa-
da punggung Dewi Tengkorak Hitam dan menarik
tubuhnya ke depan. Kepalanya bergerak pelan
mendekat. Bibir gadis di hadapannya segera dipa-
gut. Dewi Tengkorak Hitam mendesah perlahan
lalu menyambut pagutan bibir Pendekar 108.
Beberapa saat berlalu, tiba-tiba terdengar
suara tawa riuh rendah serta tepuk sorak ramai
di ruangan besar itu.
"Sialan! Ganggu orang saja!" kata Aji dalam
hati sambil melepaskan pagutan dan pelukannya
pada Dewi Tengkorak Hitam. Cepat pula ia balik-
kan tubuh. Saat itu juga sepasang mata murid
Wong Agung ini membeliak besar, lalu menyipit.
Dan seakan tak percaya dengan apa yang dilihat-
nya, dia kucek-kucek matanya lalu memandang
lagi ke arah depan.
Di depan sana, terlihat beberapa orang. Di
antaranya Setan Arak, Dewi Bayang-Bayang, Dewi
Kayangan, Manik Angkeran, Bawuk Raga Ginting,
serta banyak lagi yang Pendekar 108 tidak men-
genalinya.
"Busyet! Kenapa aku bisa sampai lupa ten-
tang ke mana kepergian Setan Arak serta Dewi
Bayang-Bayang tadi...," batin Pendekar 108 lalu
melangkah dengan wajah merah padam.
"Nah, Teman-teman. Inilah salah satu
orang yang berjasa menyelamatkan kalian semua
dari tangan Penguasa Hutan Larangan...," berkata
Setan Arak seraya angkat bumbungnya lalu menenggak isinya.
"Ah, aku hanya andil sedikit. Yang bekerja
keras sebenarnya Dewi Bayang-Bayang dan Setan
Arak...," kata Pendekar Mata Keranjang sambil
menjura hormat dan memandang satu persatu
pada beberapa orang di hadapannya.
Salah seorang di antaranya, seorang laki-
laki berusia agak lanjut berpakaian hijau-hijau
yang bukan lain adalah Manik Angkeran maju se-
langkah. Setelah bungkukkan tubuh dia berkata.
"Pendekar Mata Keranjang. Aku sebagai
wakil dari teman-teman mengucapkan terima ka-
sih atas segala jerih payahmu hingga kami semua
bisa bebas dari kekuasaan Penguasa Hutan La-
rangan. Budi jasamu akan dikenang dalam rimba
persilatan...."
Beberapa saat berlalu. Di antara mereka ti-
dak ada yang buka suara kembali. Karena bebe-
rapa orang itu mengarahkan pandangan mereka
pada beberapa sosok tubuh yang menggeletak di
lantai ruangan.
Tiba-tiba terdengar suara orang nyeletuk.
"Heh.... Kita tunggu apa lagi? Kita harus cepat
tinggalkan tempat ini. Lihat, pendekar kita tam-
paknya sudah tak sabar lagi melanjutkan adegan
mautnya. Hik.... Hik.... Hik...!"
Yang keluarkan suara ternyata Dewi
Kayangan. Habis berkata perempuan bertubuh
gemuk besar ini lalu melangkah ke arah tengah-
tengah ruangan yang langit-langitnya jebol besar.
"Selamat bersenang-senang, Pendekar....
Hik.... Hik.... Hik...!" ucap Dewi Kayangan, lalu
melirik pada Dewi Tengkorak Hitam yang paras-
nya berubah merah padam. Sesaat kemudian tu-
buh besar Dewi Kayangan melesat keluar melalui
lubang di langit-langit ruangan itu.
"Ya. Sudah waktunya kita harus pergi...,"
kata Manik Angkeran. Lalu melangkah ke arah di
mana Dewi Kayangan tadi lenyap. Beberapa orang
segera menyusul. Satu persatu orang tersebut la-
lu melesat keluar. Yang paling belakang adalah
Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang.
"He.... Sini!" panggil Setan Arak pada Aji.
Setelah dekat, Setan Arak sorongkan wajahnya
dan berbisik.
"Kau boleh lanjutkan urusanmu dengan
tua bangka mu yang cantik jelita itu! Tapi ingat.
Harus tahu aturan dan adat! Jika sampai kuden-
gar tua bangka itu hamil, akan kupencet kele-
rengmu! Kau dengar?!"
Meski dalam hati memaki panjang pendek
mendengar Dewi Tengkorak Hitam dikatakan tua
bangka, namun akhirnya murid Wong Agung ini
hanya bisa anggukkan kepala.
"Betul!" Dewi Bayang-Bayang menyahut
sambil melangkah tertatih-tatih mendekat. Lalu
dia ikut-ikutan berbisik.
"Bukan hanya perlu digencet, tapi harus
dipotong malunya jika benar-benar menghamili
tua bangka itu! Eh.... Astaga! Aku salah ucap. Ha-
rus dipotong kema.... Hik.... Hik.... Hik...!" Dewi
Bayang-Bayang tidak lanjutkan ucapannya. Tangan kanannya lalu menjawil pundak Setan Arak.
Kedua orang ini lantas sama-sama anggukkan
kepala. Dan sekejap kemudian tubuhnya telah le-
nyap dari hadapan Pendekar Mata Keranjang 108.
"Aku masih belum mengerti kenapa mereka
mengatakan Dewi Tengkorak Hitam tua bangka.
Padahal orangnya cantik, bertubuh montok,
dan...," Pendekar Mata Keranjang tak teruskan
kata hatinya, karena saat itu lengannya telah di-
pegang oleh Dewi Tengkorak Hitam.
"Anting Wulan.... Kita harus lekas tinggal-
kan tempat ini...."
Anting Wulan alias Dewi Tengkorak Hitam
tersenyum. Ia menggeser tubuhnya merapat pada
Pendekar Mata Keranjang. Kedua tangannya ber-
gerak melingkar pada tubuh Pendekar 108. Lalu
kepalanya mengangguk pelan.
"Ah, persetan dengan omongan mereka.
Yang pasti di hadapanku perempuan ini adalah
seorang gadis cantik, bertubuh aduhai.... Dan
hangat...," batin Aji. Tangannya pun segera me-
lingkar pada pinggang Dewi Tengkorak Hitam.
Sesaat kemudian, keduanya melesat ke
atas dengan berpelukan....
SELESAI
Segera terbit:
TAKHTA SETAN
0 comments:
Posting Komentar