..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 03 Juli 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE MISTERI HUTAN LARANGAN


 

MISTERI HUTAN LARANGAN

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Misteri Hutan Larangan

128 hal.


SATU


MALAM telah menapak jauh. Dan karena 

cahaya sang rembulan serta kerlipan berjuta bin-

tang tak mampu menembus arak-arakan awan hi-

tam yang tampak menggantung menutupi hampir 

seluruh permukaan langit, membuat bentangan 

angkasa terlihat hitam legam. Bumi pun menjadi 

gelap gulita.

Kegelapan itu terlihat makin pekat di hutan 

belantara sepi di sebelah timur bukit Larangan. 

Karena selain dirambahi rangasan semak belukar 

tinggi-tinggi, hutan belantara itu ditumbuhi jaja-

ran pohon besar berusia ratusan tahun yang ber-

daun rindang. Mungkin karena tiadanya angin 

yang berhembus, membuat selain digenggam ge-

lap pekat, hutan belantara itu menjadi sunyi 

mencekam!

Tiba-tiba dua sosok bayangan hitam berke-

lebat memasuki kawasan hutan belantara. Entah 

karena cepatnya kelebatan bayangan ini atau ka-

rena kerapatan semak belukar dan pekatnya sua-

sana, sosok bayangan tadi tiba-tiba lenyap laksa-

na ditelan bumi begitu masuk kawasan hutan.

Sosok keduanya baru terlihat kembali 

tatkala keduanya menghentikan lari masing-

masing di tengah-tengah hutan yang rangasan 

semak belukarnya berbentuk aneh. Betapa tidak, 

rangasan semak belukar di mana dua sosok ini 

berhenti tampak akar-akarnya mengambang di

atas tanah! Hingga akar-akar itu seperti ular-ular 

kecil yang menggerombol! Keanehan bukan hanya 

sampai di situ saja. Ternyata akar-akar yang se-

perti ular-ular kecil itu berwarna merah berkilau!

Untuk beberapa saat lamanya dua sosok 

ini tegak tak bergerak. Mulut keduanya terkanc-

ing rapat. Hanya sepasang mata masing-masing 

tak berkesip memandang ke depan, ke arah se-

mak belukar aneh yang ternyata membentuk se-

buah lingkaran agak besar.

Mendadak sosok sebelah kanan membuat 

gerakan. Kepalanya dipalingkan ke arah sosok di 

sebelahnya. Mulutnya bergerak membuka. Na-

mun tiada kata yang terdengar. Dia tampak bim-

bang. Sosok ini lantas putar kembali kepalanya 

dan memandang kembali ke arah semak belukar 

aneh di hadapannya. Namun sosok sebelah kanan 

ini terlihat tak bisa menahan kesabaran. Hingga 

sesaat kemudian, kepalanya kembali berpaling 

pada sosok di sebelahnya. Mulutnya bergerak 

membuka. Dan terdengarlah ucapannya. Lirih 

hampir berbisik.

"Percuma kita tegak dengan perasaan te-

gang di sini! Bagaimanapun juga kita harus sege-

ra menghadap dan berterus terang dengan kega-

galan tugas kita! Siapa tahu nyawa kita masih di-

ampuni, walau itu kecil kemungkinannya!"

Yang diajak bicara tak menyahut. Sepa-

sang matanya tetap lurus memandang ke depan, 

membuat sosok yang tadi bicara menghela napas 

dalam-dalam dan alihkan pandangannya kembali

ke depan.

Sosok sebelah kanan ini adalah seorang la-

ki-laki setengah baya. Rambutnya panjang. Di 

kepalanya tampak melingkar ikat kepala berwar-

na merah. Kumisnya lebat demikian pula jam-

bang dan jenggotnya. Sepasang matanya tajam 

dengan alis tebal hitam. Dia mengenakan jubah 

besar warna hitam.

Sementara sosok di samping kiri adalah ju-

ga seorang laki-laki setengah baya. Di kepalanya 

juga tampak ikat kepala berwarna merah. Ram-

butnya panjang demikian pula jenggotnya. Hanya 

laki-laki ini tak berkumis dan tak bercambang. 

Dia mengenakan jubah besar berwarna kuning.

Ada suatu keganjilan pada dua laki-laki se-

tengah baya ini. Yakni kedua jari kelingking mas-

ing-masing tidak ada! Yang tampak hanyalah 

sembulan kecil yang tidak rata, jelas menandakan 

jika jari kelingking itu sengaja dipotong! 

Beberapa saat berlalu, laki-laki sebelah 

kanan kembali palingkan wajah pada laki-laki di 

sampingnya.

"Kita hanyalah orang-orang utusan. Hidup 

mati kita tidak berhak kita miliki lagi. Jadi sia-sia 

jika masih memikirkan keselamatan. Lebih balk 

kita segera menghadap dan menerima apa yang 

akan terjadi!"

Kali ini laki-laki sebelah kiri palingkan wa-

jah. Setelah menarik napas panjang dan dalam, 

dia membuka mulut.

"Aku tidak memusingkan keselamatan, ka

rena aku tahu apa yang akan kita terima dengan 

gagalnya tugas yang kita jalankan. Tapi.... Tidak 

ada salahnya jika kita mencoba. Meski akhirnya 

kematian juga yang kita alami, namun tidak ter-

tutup kemungkinan kita bisa selamat!"

Laki-laki berjubah hitam yang tegak di se-

belah kanan tertawa perlahan. Kepalanya meng-

geleng. "Hal itu pernah dilakukan oleh utusan 

yang gagal, namun kau tahu sendiri apa akibat-

nya. Tewas perlahan-lahan! Apakah kita mengin-

ginkan merasakan sakit berlama-lama sebelum 

tewas?"

"Utusan itu tolol! Seharusnya dia segera 

bunuh diri saat tahu jika dirinya gagal dengan 

usahanya menyelamatkan diri. Aku punya cara 

untuk...," laki-laki berjubah kuning ini tak mene-

ruskan ucapannya.

Parasnya tiba-tiba berubah. Tubuhnya ber-

getar, sepasang matanya tak berkedip meman-

dang ke depan. Hal sama juga terlihat pada laki-

laki berjubah hitam.

Ternyata semak belukar di hadapan mere-

ka bergerak menguak. Lalu tampaklah sebuah ja-

lan setapak. Karena akar-akar semak belukar itu 

berwarna merah, maka jalan setapak itu meski 

samar-samar namun jelas terlihat.

Bersamaan dengan menguaknya semak be-

lukar aneh itu, terdengar suara.

"Sang penguasa telah menunggu. Segera 

masuk!"

Kedua laki-laki itu saling berpandangan se

jenak. Paras wajah keduanya terlihat pucat pasi. 

Laki-laki berjubah hitam memberi isyarat dengan 

anggukkan kepala. Lalu melangkah ke arah jalan 

setapak. Laki-laki berjubah kuning sebenarnya 

ingin berkata, namun karena laki-laki berjubah 

hitam telah melangkah, niatnya diurungkan. 

Dengan tubuh gemetar dan wajah keringatan, dia 

pun melangkah mengikuti laki-laki berjubah hi-

tam.

Begitu kedua laki-laki ini menginjakkan 

kaki masing-masing pada jalan setapak, kuakan 

semak belukar kembali menutup!

Ternyata jalan setapak itu hanya sepanjang 

lima tombak. Pada ujung jalan tampak sebuah 

tangga menurun dari semak belukar. Anehnya, 

meski merupakan semak belukar, ketika kedua 

laki-laki ini menginjak, semak belukar itu tidak 

bergoyang!

Anak tangga itu berujung pada sebuah 

ruangan besar. Pada sisi dinding sebelah kanan, 

terlihat tujuh undakan dari batu yang menghu-

bungkan dengan sebuah pintu besar yang tampak 

tertutup.

Baik langit-langit, dinding maupun lantai 

ruangan besar itu berwarna merah. Bukan merah 

karena warna cat melainkan darah! Hingga selain 

menyeramkan ruangan itu berbau amis menjijik-

kan!

Baru saja kedua laki-laki menginjak kaki 

masing-masing pada lantai ruangan merah, pintu 

besar yang dihubungkan dengan undakan batu

berderit membuka. Seberkas sinar putih menebar 

dari balik pintu.

Paras kedua laki-laki ini makin pias. Lu-

tutnya terlihat goyah. Namun keduanya mengua-

tkan diri hingga tubuhnya tetap tegak meski terli-

hat gemetar. Dua laki-laki ini tidak menunggu 

lama. Mendadak terdengar suara tawa mengekeh 

panjang. Tahu-tahu di ambang pintu telah tam-

pak sebuah kursi besar berwarna merah. Di atas-

nya duduk berjongkok sesosok tubuh besar. Pa-

ras wajah dan seluruh tubuhnya hampir tak bisa 

dikenali, karena paras wajahnya ditutup dengan 

sebuah karung terbuat dari goni. Hanya pada ba-

gian mata terlihat berlubang. Sementara sekujur 

tubuhnya ditutup dengan sebuah jubah besar 

berwarna merah. Begitu besarnya jubah, hingga 

sebagian tampak berserakan ke bawah.

Untuk beberapa saat sepasang mata yang 

hanya tampak dari lubang karung memandang 

liar ke arah dua laki-laki di bawahnya. Tangannya 

yang tertutup jubah diangkat setinggi kepala. Ti-

ba-tiba di sampingnya muncul sesosok tubuh. 

Seperti halnya sosok yang di atas kursi. Sosok 

yang baru muncul ini juga dibalut dengan jubah 

besar berwarna merah. Hanya sosok ini menge-

nakan caping lebar.

Sosok yang berdiri di samping kursi seje-

nak pandangi dua laki-laki di bawah dari lubang 

pada kedua matanya. Tiba-tiba terdengar dengu-

san keras dari hidungnya. Suaranya pun lantas 

terdengar. Berat dan bergetar.

"Kalian tampaknya gagal membawa Dewi 

Bayang-Bayang untuk disatukan dengan sauda-

ranya Dewi Kayangan ke sini...!"

Kedua laki-laki berjubah hitam dan kuning 

serta-merta jatuhkan diri masing-masing ke lantai 

ruangan. Keduanya menjura dalam-dalam.

"Maafkan kami...," jawab laki-laki berjubah 

hitam tanpa mengangkat kepala.

Sosok berjubah merah bercaping keluarkan 

tawa panjang. Tiba-tiba tawanya diputus. Lalu 

terdengar kembali ucapannya.

"Kalian telah lama menjadi anak buah Pen-

guasa Hutan Larangan. Kalian pasti tahu apa 

yang akan kalian terima karena gagal menjalan-

kan tugas!"

"Maafkan kami.... Sebenarnya kami hampir 

saja bisa menyeret Dewi Bayang-Bayang, tapi...."

"Bagi Penguasa Hutan Larangan, tidak ada 

kata tapi!" sahut sosok berjubah merah bercaping 

memotong ucapan laki-laki berjubah hitam yang 

masih bersujud. Kepalanya lalu dipalingkan pada 

sosok besar di atas kursi. Yang ada di atas kursi 

tampak anggukkan kepala.

Bersamaan dengan anggukan kepala sosok 

di atas kursi, kedua tangan sosok berjubah merah 

bercaping bergerak diangkat ke atas.

Di bawah sana, dua laki-laki berjubah hi-

tam dan kuning tubuhnya terangkat. Merasakan 

hal demikian kedua laki-laki ini angkat kepala 

masing-masing. Paras keduanya telah tampak pu-

tih, napasnya seakan tersedak. Kedua tangan

masing-masing bergerak menggapai-gapai seakan 

ingin membebaskan diri dari cengkeraman tangan 

yang tidak kelihatan mata.

Laki-laki berjubah kuning kerahkan tenaga 

dalam, rupanya dalam keadaan takut dan menge-

tahui apa yang bakal dialami, laki-laki ini menjadi 

nekat. Walau hanya bisa menggapai, namun ka-

rena tenaga dalamnya telah dikerahkan, hingga 

bersamaan dengan gapaian tangannya menyam-

bar dua gelombang angin dahsyat ke arah sosok 

berjubah merah bercaping.

Namun serangan nekat laki-laki berjubah 

kuning hanya sampai setengah jalan, karena saat 

itu juga membersit sinar merah dan melabrak 

buyar dua gelombang angin serangannya.

Di seberang, sosok di atas kursi turunkan 

tangan kanannya yang baru saja didorong pelan 

ke depan dan membersitkan sinar merah yang 

membuyarkan serangan laki-laki berjubah kun-

ing.

Mendapati hal demikian, laki-laki berjubah 

kuning tercekat. Dan sebelum hilang rasa terce-

katnya, dia merasakan tubuhnya membubung de-

ras ke atas. Lalu tiba-tiba membalik dan menukik 

ke bawah. Terdengar suara bergedebukan. Dis-

usul dengan jeritan tinggi. Lalu sepi. Dan tubuh 

laki-laki berjubah kuning telah terkapar di atas 

lantai ruangan dengan wajah hancur!

Sosok berjubah merah bercaping kibaskan 

tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ma-

sih tetap di atas. Perlahan-lahan tangan kanan

nya diturunkan dan bersamaan dengan itu, tu-

buh laki-laki berjubah hitam di bawahannya ikut 

turun ke lantai ruangan.

"Hmmm.... Rupanya Wakil Penguasa masih 

memberi kesempatan hidup padaku!" batin laki-

laki berjubah hitam dengan melirik ke atas. Na-

mun dia belum berani membuka mulut. Meman-

dang pun masih dengan kepala menunduk.

"Utusan Hitam!" terdengar suara dari sosok 

berjubah merah bercaping.

"Hari ini Penguasa Hutan Larangan masih 

mengampuni nyawamu. Namun tidak untuk yang 

kedua kalinya. Kau mengerti?"

Entah karena senang nyawanya masih se-

lamat atau karena terkejut, laki-laki berjubah hi-

tam yang dipanggil dengan Utusan Hitam serta-

merta dongakkan kepala dan bangkit. Lalu me-

langkah dua tindak ke depan. Seraya membung-

kuk dalam-dalam dia berkata.

"Terima kasih.... Aku minta kesempatan 

sekali lagi untuk melaksanakan tugas! Jika gagal, 

aku rela menerima hukuman!"

Sosok berjubah merah bercaping yang ter-

nyata Wakil Penguasa Hutan Larangan tertawa 

bergelak.

"Setiap kesalahan pasti mendapat huku-

man! Termasuk kesalahanmu yang gagal menye-

ret Dewi Bayang-Bayang!"

Utusan Hitam merasa jantungnya kembali 

berdebar kencang. Tengkuknya menjadi dingin. 

Darahnya laksana sirap. Kelegaan yang sejenak

dirasakan mendadak lenyap kembali.

"Wakil Penguasa! Aku tahu jika aku telah 

melakukan kesalahan. Harap tunda dulu huku-

man. Beri kesempatan padaku sekali lagi...!"

"Hm.... Nyawamu memang ditunda. Tapi ti-

dak untuk hukumanmu!" habis berkata begitu, 

Wakil Penguasa angkat tangan kanannya. Dan 

serta-merta didorong ke depan.

Utusan Hitam terperangah. Namun belum 

sempat memikir apa yang hendak dilakukannya, 

tubuhnya terasa dihantam gelombang besar. 

Hingga tubuhnya mencelat ke belakang dan 

membentur sisi tembok dinding ruangan. Karena 

mencelatnya dalam posisi miring, tangan kirinya 

terlebih dahulu menghantam sisi dinding ruan-

gan, namun hal itu menyelamatkan wajahnya da-

ri benturan dengan tembok. Hingga tatkala tu-

buhnya terkapar di lantai, tangan kirinya tampak 

hancur, sementara mukanya hanya sedikit beng-

kak.

"Utusan Hitam! Itu hanya sebagai peringa-

tan. Sekali lagi gagal, lebih-lebih punya niat un-

tuk melawan, kau akan mengalami nasib seperti 

Utusan Kuning. Kau dengar?!"

Walau merasakan sakit di tangan, Utusan 

Hitam anggukkan kepala. Lantas menjura dalam-

dalam.

Wakil Penguasa keluarkan tawa panjang. 

Kepalanya bergerak tengadah. Dari mulutnya ter-

dengar seruan keras.

"Utusan Hijau, Utusan Putih, Utusan Biru!"

Belum lenyap suara gaung seruan Wakil 

Penguasa, melesat tiga sosok bayangan dari arah 

tangga semak belukar. Dan tahu-tahu telah tegak 

berjajar dengan sikap hormat.

Sejenak dari lubang karung goni sepasang 

mata Wakil Penguasa memperhatikan satu persa-

tu pada tiga sosok yang kini tegak berjajar di ba-

wahnya. Mereka adalah laki-laki setengah baya. 

Ketiganya mengenakan jubah besar. Paling kanan 

berjubah warna hijau. Di tengah mengenakan ju-

bah warna putih, sementara yang paling kiri 

mengenakan jubah warna biru. Masing-masing 

kepala tampak terikat sehelai kain berwarna se-

perti jubah yang dikenakan masing-masing orang.

"Dengar! Hari ini kalian mendapat kehor-

matan dari Sang Penguasa Hutan Larangan un-

tuk melakukan tugas. Utusan Hijau! Kau bertu-

gas menyeret hidup atau mati tokoh golongan hi-

tam bergelar Bawuk Raga Ginting. Utusan Putih! 

Kau diberi tugas untuk membawa tokoh golongan 

putih bergelar Manik Angkeran. Utusan Biru! Kau 

memperoleh tugas untuk membawa gadis berna-

ma Roro Ajeng! Dan Utusan Hitam! Kau diberi ke-

sempatan sekali lagi untuk menyeret Dewi 

Bayang-Bayang! Laksanakan se-karang juga!" ka-

ta Wakil Penguasa dengan kepala tengadah.

"Kami siap laksanakan perintah Penguasa 

Hutan Larangan!" keempat laki-laki ini berseru 

serentak.

"Bagus! Tapi kalian harus ingat apa yang 

semestinya kalian lakukan jika keadaan tidak

memungkinkan. Kalian masih ingat?!"

"Kami harus menghilangkan jejak dengan 

bunuh diri!" kembali keempatnya berseru seren-

tak.

Wakil Penguasa berpaling pada sosok di 

atas kursi yang ternyata adalah Sang Penguasa 

Hutan Larangan. Sang Penguasa anggukkan ke-

pala. Bersamaan dengan itu tangan kanannya 

mengebut ke bawah. Kursi yang diduduki berge-

rak dan tiba-tiba lenyap! Begitu juga sosok Wakil 

Penguasa. Lalu terdengar pintu berdebam menu-

tup.

Keempat laki-laki sejenak saling berpan-

dangan. Mereka tidak ada yang buka suara. Se-

saat kemudian, Utusan Hijau balikkan tubuh dan 

berkelebat, disusul dengan Utusan Putih, lalu 

Utusan Biru. Terakhir Utusan Hitam melesat 

meski dengan memegangi tangan kirinya yang 

masih meneteskan darah.


DUA


MALAM telah hampir berujung. Hamparan 

bumi masih diliputi kegelapan. Sesosok bayangan 

terlihat berkelebat cepat menuju arah sebuah 

lembah. Sampai pusat lembah, bayangan ini hen-

tikan larinya.

Dia adalah seorang laki-laki yang usianya 

tidak bisa ditebak, karena wajahnya ditutup den-

gan sepotong kulit tipis. Rambutnya panjang sebahu. Pada kepalanya terikat sebuah kain ber-

warna hijau. Laki-laki ini mengenakan sebuah ju-

bah besar juga berwarna hijau.

Sejenak sepasang mata laki-laki berjubah 

hijau yang bukan lain adalah Utusan Hijau me-

nyapu ke sekeliling lembah. Namun cuma seje-

nak. Tak lama kemudian dia berkelebat dan tahu-

tahu telah tegak di ujung lembah di mana terlihat 

sebuah mulut gua.

Untuk beberapa lama sepasang mata Utu-

san Hijau memandang tak kesiap ke depan. Bu-

kan ke arah mulut gua. Namun ke arah sebuah 

sosok yang ada di atas mulut gua.

"Hmmm.... Manusia hebat...!" gumam Utu-

san Hijau seraya memperhatikan lebih seksama.

Di atas gua, memang tampak sesosok tu-

buh. Dia adalah seorang perempuan berdandan 

aneh. Wajahnya dipupuri dengan bedak putih 

tebal. Bibirnya yang tebal sebelah atas terlihat 

merah dipoles. Rambutnya panjang sebahu. Na-

mun rambut bagian atasnya dibuat pendek dan 

jabrik. Sementara bagian sampingnya dibiarkan 

panjang. Kedua matanya besar dengan hidung 

mancung tapi bengkok. Namun bukan sosok pe-

rempuan ini yang membuat Utusan Hijau me-

mandang tak kesiap. Justru karena sosok perem-

puan berdandan aneh itu tidak lebih seperti seo-

rang anak kecil. Karena tinggi tubuhnya hanya 

setengah tombak! Hebatnya, sosok perempuan 

pendek itu tidak jatuh, meski ujung tombak yang 

didudukinya hanya menancap sedikit ke dalam

batu bagian atas gua. Melihat hal ini jelas bahwa 

perempuan pendek itu memiliki ilmu meringan-

kan tubuh yang sempurna.

Utusan Hijau melangkah dua tindak ke de-

pan. Mulutnya bergerak membuka. Tak lama ke-

mudian terdengar dia berucap.

"Kunyil! Aku tak akan banyak bicara. Ka-

lau kau ingin selamat, ikut aku!"

Meski tampak terkejut mendengar na-

manya dipanggil, namun perempuan pendek yang 

berdandan aneh itu masih belum keluarkan sua-

ra. Namun dalam hati perempuan pendek ini di-

am-diam berucap.

"Jahanam busuk! Siapa manusia tak 

kuundang ini? Dia mengetahui namaku, padahal 

selama ini hanya beberapa orang saja yang men-

getahui!"

Mendapati ucapannya tak mendapat sahu-

tan, Utusan Hijau keluarkan dengusan keras. Dia 

kembali melangkah dua tindak ke depan. Tangan 

kanannya bergerak merapikan ikat kepalanya. 

Namun tatkala ditarik kembali, dia sedikit me-

nyentakkan tangannya. Bersamaan dengan itu 

serangkum angin dahsyat menyambar keluar. 

Namun hal ini bukanlah sebuah serangan.

"Kunyil! Kau dengar ucapanku, apakah 

kau masih juga tak mau buka suara...?!"

Utusan Hijau menunggu sesaat. Dan ketika 

merasa yakin bahwa orang yang dipanggil Kunyil 

tidak akan buka mulut untuk menyahut, dia ang-

kat kedua tangannya. Tapi sebelum tangan itu kirimkan serangan, perempuan pendek yang bukan 

lain adalah Kunyil yang dalam rimba persilatan 

lebih dikenai dengan Bawuk Raga Ginting kelua-

rkan tawa mengekeh panjang. Namun mendadak 

saja dia putuskan suara tawanya. Tubuhnya ber-

gerak, dan lenyap dari pandangan. Sesaat kemu-

dian terdengar suara cleeep!.

Utusan Hijau tersurut satu langkah ke be-

lakang. Dia segera berpaling. Bawuk Raga Ginting 

telah berdiri tegak di sampingnya dengan kaki kiri 

menyilang di atas kaki kanan. Tangan kanannya 

mencengkeram tombak yang ternyata pangkalnya 

mengembang dan membentuk sekuntum bunga.

"Bagus! Memang tidak ada gunanya kau 

melakukan pembangkangan!" kata Utusan Hijau 

dengan senyum seringai.

Tiba-tiba Bawuk Raga Ginting gerakkan 

kaki kirinya yang menyilang di atas kaki kanan 

dan dibantingkan ke atas tanah. Di depannya, 

Utusan Hijau sedikit terkejut. Dia maklum manu-

sia pendek di hadapannya tidak bisa dipandang 

remeh, karena bersamaan dengan bantingan kaki, 

tanah pijakannya terasa bergetar. Namun Utusan 

Hijau tak hendak menunjukkan wajah terkejut 

apalagi takut mendapati pamer tenaga dalam Ba-

wuk Raga Ginting. Malah dengan keluarkan tawa 

pendek bernada mengejek, dia berkata.

"Kunyil! Ilmumu memang tinggi, namun 

kedatanganku bukan untuk melihat mainan 

akrobatmu!"

Mendengar kata-kata Utusan Hijau, kali ini

balik Bawuk Raga Ginting yang keluarkan tawa 

pendek. Bibirnya yang merah dipoles bergetar.

"Orang tak dikenal! Siapa kau...?! Dan ke 

mana kau akan mengajakku?!"

"Aku Utusan Hijau. Salah seorang utusan 

dari Penguasa Hutan Larangan. Aku mendapat 

kehormatan untuk menjemput dan membawamu 

menghadap Sang Penguasa Hutan Larangan!"

"Kalau aku tidak bersedia?!" tanya Bawuk 

Raga Ginting dengan dongakkan kepala. Meski 

bibirnya menyungging senyum namun sepasang 

matanya terlihat membeliak. Pelipis kiri kanannya 

bergerak-gerak pertanda dia sedang menahan ge-

jolak amarah.

"Nasibmu akan celaka! Karena tubuhmu 

yang tidak bernyawa lagi akan kuseret sampai 

Hutan Larangan!"

"Jahanam!" maki Bawuk Raga Ginting. 

"Utusan Hijau! Apakah kau sadar, sedang berha-

dapan dengan siapa kau saat ini?!"

Utusan Hijau ikut-ikutan tengadahkan ke-

pala.

"Aku tahu siapa kau! Manusia cebol terla-

hir dengan nama Kunyil. Setelah besar dan beril-

mu mengubah nama menjadi Bawuk Raga Gint-

ing. Betul?!"

"Ah...!" Bawuk Raga Ginting keluarkan se-

ruan seperti terkejut. "Pengetahuanmu ternyata 

cukup luas. Namun kau salah besar jika ingin 

mengajakku ke hadapan junjunganmu. Justru 

aku akan mengajakmu melihat-lihat pemandangan alam kubur! Hik.... Hik.... Hik...! Sungguh 

malang nasibmu...!" Bawuk Raga Ginting men-

gumbar tawa cekikikan panjang. Tapi tiba-tiba 

tawanya laksana direnggut hantu gen-tayangan. 

Bersamaan dengan itu tangan kirinya berkelebat

Utusan Hijau merasakan tubuhnya ter-

sambar hempasan angin dahsyat. Hingga tubuh-

nya bergetar. Namun laki-laki berjubah hijau be-

sar ini segera kerahkan tenaga dalam. Dan dida-

hului bentakan dahsyat, dia melompat ke depan. 

Tangan kiri kanan bergerak memukul. Sinar re-

dup dan panas melesat mendahului hantaman 

tangan. 

Praaakk! Praaakk!

Bawuk Raga Ginting berseru tertahan. Ma-

nusia pendek ini segera melompat mundur tiga 

langkah. Sepasang matanya yang besar liar me-

mandang ke arah Utusan Hijau, lalu beralih pada 

kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan 

kedua tangan Utusan Hijau. Kedua tangannya 

ternyata telah berubah warna menjadi hijau! Dan 

terasa panas bukan alang kepalang.

Bawuk Raga Ginting sadar bahwa lawan 

yang dihadapi kali ini bukan orang yang bisa di-

pandang sebelah mata. Memaklumi hal ini, ma-

nusia pendek ini kerahkan segenap tenaga da-

lamnya. Mulutnya komat-kamit. Dan tanpa kelu-

arkan bentakan terlebih dahulu, dia putar tu-

buhnya. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandan-

gan. Namun sesaat kemudian muncul satu lang-

kah di hadapan Utusan Hijau dengan tangan kanan kiri menghantam. Sebenarnya hantaman ke-

dua tangan Bawuk Raga Ginting ini hanyalah ti-

puan belaka, karena bersamaan dengan itu seca-

ra cepat kedua tangannya ditarik pulang kembali, 

dan kini sepasang kakinya yang justru menghan-

tam. Ada serangkum angin dahsyat yang menderu 

mendahului. Pertanda hantaman itu telah dialiri 

tenaga dalam kuat.

Namun betapa terlengaknya Bawuk Raga 

Ginting. Karena gerak tipunya diketahui lawan. 

Padahal setiap orang yang baru pertama kali ben-

trok dengannya pasti terkecoh dengan gerak ti-

punya. Namun karena kakinya telah telanjur me-

lejang kirimkan hantaman, maka Bawuk Raga 

Ginting tak hendak menariknya kembali. Apalagi 

dia telah lancarkan terjangan maut yang diandal-

kan, yakni hantaman 'Sapu Bumi'.

"Sapu Bumi'! He.... He.... He.... Apa hebat-

nya!" ejek Utusan Hijau seraya angkat tangannya, 

kepalanya bergerak merunduk. Tapi tangannya 

tidak menghantam atau menangkis terjangan ka-

ki lawan. Melainkan bergerak cepat ke samping 

kanan dan kiri. Lalu seeettt!

Bawuk Raga Ginting tercekat. Dia hampir 

tak dapat percaya pada apa yang dialami. Karena 

kejap itu juga kedua kakinya telah masuk ke jepi-

tan tangan Utusan Hijau!

Selagi terlengak begitu rupa dan belum 

sempat membuat gerakan untuk membebaskan 

diri, Utusan Hijau gerakkan kedua tangannya ke 

samping.

Buuukkk!

Bawuk Raga Ginting terbanting ke atas ta-

nah. Dia katupkan rapat-rapat bibirnya agar sua-

ra seruannya tidak terdengar, namun karena rasa 

sakit terlalu menguasai dirinya, maka seruan itu 

akhirnya terdengar juga. Kini bukan hanya tan-

gannya yang berubah jadi hijau. Tapi juga kedua 

kakinya!

Sambil menyumpah panjang pendek Ba-

wuk Raga Ginting bergerak bangkit. Tapi belum 

sampai tubuhnya tegak berdiri, Utusan Hijau ki-

baskan jubahnya.

Bawuk Raga Ginting terperangah kaget. 

Namun sudah terlambat untuk membuat gerakan 

menghindar. Hingga kibasan jubah Utusan Hijau 

yang keluarkan sambaran angin dahsyat itu telak 

menghajar bahunya!

Untuk kali kedua Bawuk Raga Ginting ter-

banting ke tanah. Sejenak kepalanya terlihat ber-

gerak-gerak. Namun sesaat kemudian lunglai di 

atas tanah. Dia pingsan.

Utusan Hijau memperhatikan sosok Bawuk 

Raga Ginting, lalu kibas-kibaskan jubahnya. Den-

gan senyum seringai dia melangkah mendekat. 

Tangan kanannya segera menyambar tubuh 

mungil Bawuk Raga Ginting, meletakkannya di 

atas bahu lantas berkelebat meninggalkan lem-

bah.

* * *

Sesosok bayangan putih tampak berkelebat 

menyusuri ilalang tinggi di sebelah barat hutan 

pinus. Saat itu matahari baru saja unjuk diri, 

hingga hamparan ilalang itu tampak berkilat-kilat 

dan melambai-lambai disentuh hembusan angin 

pagi.

Tiba-tiba sosok bayangan putih hentikan 

larinya. Tangannya bergerak mengusap keringat 

yang membasahi lehernya. Dia adalah seorang la-

ki-laki. Karena paras wajahnya tertutup sepotong 

kulit tipis, maka laki-laki ini tidak mudah ditebak 

berapa usianya. Dia mengenakan ikat kepala 

warna putih, sama dengan jubah besar yang di-

kenakannya. Rambutnya panjang dengan sepa-

sang mata tajam. Ketika tangannya bergerak, ter-

lihat jari kelingkingnya tidak ada.

"Hmmm.... Pasti di gubuk itu dia berada!" 

gumam laki-laki berjubah putih yang bukan lain 

adalah Utusan Putih seraya arahkan pandangan-

nya agak jauh ke depan. Di sana memang tampak 

sebuah gubuk kecil.

Setelah mengawasi sejenak, Utusan Putih 

kembali berkelebat. Dan tahu-tahu telah berdiri 

tegak di depan gubuk. Sepasang matanya liar 

memandang sekeliling. Setelah menarik napas 

panjang dia buka mulut.

"Manik Angkeran! Cepat keluarlah! Aku, 

Utusan Putih datang untuk menjemputmu sekali-

gus membawamu!"

Tak ada sahutan dari dalam gubuk. Sekali 

lagi Utusan Putih sapukan pandangannya. Dia

tak menemukan tanda-tanda akan adanya orang 

yang muncul. Sepasang matanya berubah merah, 

dagunya mengembung dengan kedua tangan 

mengepal, jelas menandakan jika dia telah dira-

suki hawa kemarahan.

"Manik Angkeran! Kuperingatkan sekali la-

gi. Keluarlah dan ikut aku!" Utusan Putih kembali 

berteriak. Karena kali ini dengan keluarkan tena-

ga dalam, maka suaranya membahana dan mene-

rabas hingga hutan pinus.

Di atas sebuah pohon tak jauh dari gubuk, 

terlindung oleh rimbun dedaunan, seorang laki-

laki agak tua mengenakan pakaian hijau-hijau 

tampak duduk di atas sebuah dahan pohon. Tan-

gan kanannya bergerak-gerak memainkan sebuah 

untaian kalung dari manik-manik berwarna hijau. 

Meski sepasang matanya tampak terpejam rapat 

seolah sedang pusatkan mata batinnya dengan 

mulut komat-kamit namun apa yang ada tak jauh 

di bawahnya tak luput dari pandangannya.

"Utusan Putih...? Hmmm.... Baru kali ini 

aku mendengar nama itu. Siapa dia sebenarnya? 

Dia berkata menjemput dan sekaligus membawa-

ku.... Hm.. Berarti dia tak dusta dengan ucapan-

nya, karena dia benar-benar seorang suruhan! 

Tapi disuruh siapa...?" batin orang yang di atas 

pohon.

Tiba-tiba kening laki-laki berusia agak lan-

jut ini mengernyit. Sepasang matanya bergerak 

membuka.

"Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh me

nyelimuti rimba persilatan. Para tokoh baik dari 

jalur hitam atau dari jalur putih banyak yang ti-

ba-tiba lenyap begitu saja tanpa meninggalkan je-

jak sama sekali. Beberapa orang telah coba me-

nyelidiki ke mana gerangan lenyapnya para to-

koh-tokoh itu. Namun, sejauh ini mereka mene-

mui jalan buntu. Malah tak jarang mereka sendiri 

ikut lenyap.... Hmmm.... Apakah kedatangan ta-

mu ini ada kaitannya dengan kejadian-kejadian 

itu? Ah, sebenarnya aku sudah tak ingin ikut 

campur dengan masalah rimba persilatan. Namun 

tak ada salahnya jika aku menemuinya. Siapa ta-

hu dia membawa kabar tentang kejadian-kejadian 

itu...," berpikir sampai di situ, kakek berbaju hi-

jau ini segera hendak melayang turun, namun 

niatnya dia urungkan tatkala didengarnya suara 

berderak keras.

Memandang ke arah sumber suara, terke-

jutlah si kakek. Gubuk di bawah sana telah han-

cur. Ketika sang kakek memandang agak ke 

samping, terlihat laki-laki yang menyebutkan na-

manya Utusan Putih turunkan kedua tangannya. 

Dari sini si kakek sudah dapat menduga siapa ge-

rangan orang yang telah menghancurkan gubuk.

"Hmmm.... Orang ini tampaknya bukan 

orang baik-baik! Apakah aku harus mene-

muinya...?" si kakek di atas pohon menghela na-

pas panjang.

Namun belum sampai satu helaan napas, 

terdengar seruan lantang.

"Manik Angkeran! Jangan bersikap penge

cut. Turunlah dari atas pohon!"

Kakek berbaju hijau-hijau sedikit terkejut. 

Kepalanya mendongak. Dan menggeleng perlahan. 

"Hmmm.... Dia telah mengetahui aku berada di 

sini. Terpaksa aku harus turun menemui dan 

menanyakan apa maksud sebenarnya! Rimba 

persilatan nyatanya memang tak pernah sepi dari 

gelombang masalah...."

Si kakek hentakkan bahunya. Tubuhnya 

melayang turun dan menjejak tanah sepuluh 

langkah di depan Utusan Putih. Sepasang ma-

tanya segera memperhatikan laki-laki setengah 

baya di hadapannya. Sementara tangan kanannya 

memutar untaian manik-manik berwarna hijau.

"Bagus! Sekarang ikut aku!" kata Utusan 

Putih begitu dapat mengenali siapa adanya orang 

tua di hadapannya.

Sang kakek yang bukan lain memang Ma-

nik Angkeran sunggingkan senyum.

"Sobat. Kau jangan terburu-buru. Se-

butkan dulu siapa kau sebenarnya...! Juga hen-

dak ke mana aku akan kau bawa!" suara Manik 

Angkeran terdengar tenang.

Utusan Putih melirik tajam. Dari hidung-

nya terdengar dengusan. Dengan kacak pinggang 

dia berkata.

"Manik Angkeran. Aku adalah Utusan Pu-

tih. Salah seorang utusan Penguasa Hutan La-

rangan. Aku datang untuk menjemput dan mem-

bawamu menghadap Penguasa Hutan Larangan! 

Jelas?!"

Manik Angkeran anggukkan kepala. "Dia 

sengaja menyembunyikan wajah di balik sepotong 

kulit tipis. Berarti dia mempunyai maksud tidak 

baik. Penguasa Hutan Larangan.... Hmmm.... Aku 

memang mendengar selentingan tentang itu. Na-

mun kenapa dia mengajakku ke sana?" batin Ma-

nik Angkeran, lalu berkata.

"Utusan Putih. Aku hanyalah manusia hina 

papa. Tempat tinggalku gubuk reot, dan kini telah 

kau hancurkan pula. Kalau tiba-tiba hari ini 

orang yang kau sebut sebagai Penguasa Hutan 

Larangan memanggilku tentunya sebuah kehor-

matan tersendiri bagiku. Kalau boleh tahu, ada 

apakah sebenarnya di sana?"

"Itu bisa kau lihat sendiri jika kau telah 

sampai!" jawab Utusan Putih dengan suara agak 

tinggi. Dia tampak tak sabar.

Manik Angkeran kembali anggukkan kepa-

la. Pandangannya lantas mengarah pada jurusan 

lain.

"Utusan Putih. Sebenarnya aku ingin sekali 

menyambuti maksudmu. Namun karena aku ma-

sih ada urusan, bagaimana kalau...," Manik Ang-

keran tidak melanjutkan ucapannya karena Utu-

san Putih telah menyahut.

"Manik Angkeran! Kau harus ikut sekarang 

juga! Jika kau membangkang, jangan menyesal 

jika kau ikut aku dengan tubuh tanpa nyawa!"

Mendengar ucapan Utusan Putih, yakinlah 

Manik Angkeran jika laki-laki di hadapannya 

bermaksud tidak baik.

Utusan Putih melangkah maju. Bibirnya 

ulaskan senyum seringai. Dengan mata melotot 

angker, dia membentak keras.

"Kau kuberi pilihan, Manik Angkeran! Ikut 

dengan baik-baik, atau ikut dengan tubuh tanpa 

nyawa!"

Yang dibentak masih tampak tenang-

tenang. Malah bibirnya tak putus-putusnya sung-

gingkan senyum membuat Utusan Putih makin 

geram. Namun laki-laki utusan Penguasa Hutan 

Larangan ini masih menunggu, karena dilihatnya 

Manik Angkeran tercenung seakan mempertim-

bangkan kata-katanya.

"Hmm.... Kalau boleh memilih...," kata Ma-

nik Angkeran dengan putuskan dulu ucapannya. 

Sesaat kemudian melanjutkan. "Aku memilih ti-

dak ikut secara baik, apalagi ikut dengan tanpa 

nyawa...."

Utusan Putih menggereng keras. Dan tanpa 

bicara lagi, kedua tangannya bergerak kirimkan 

serangan jarak jauh dengan tangan kosong. Saat 

itu juga, dua gelombang angin dahsyat laksana 

gempuran ombak menyambar ke arah Manik 

Angkeran.

Meski telah waspada, namun tak urung 

Manik Angkeran dibuat terkejut. Tubuhnya sea-

kan diterkam gelombang besar. Kalau saja dia tak 

segera melompat menghindar, bukan tidak 

mungkin dalam satu gebrakan saja tubuhnya

akan bergelimpangan di atas tanah. Sadar akan 

ketinggian ilmu lawan, Manik Angkeran tak mau

bertindak gegabah. Namun laki-laki ini masih tak 

hendak membalas serangan orang. Dia terlihat te-

tap berdiri tegak dengan putar-putar untaian ka-

lungnya. Namun putaran itu kini keluarkan suara 

menderu-deru pertanda bahwa dia telah kerah-

kan tenaga dalam.

Di depan, melihat serangan pembukanya 

begitu mudah dielakkan lawan, mata Utusan Pu-

tih membeliak merah. Diam-diam dia juga mak-

lum jika orang yang dihadapinya bukanlah orang 

sembarangan.

Didahului bentakan garang, Utusan Putih 

jejakkan kakinya. Tubuhnya melesat ke depan. 

Kedua tangannya pulang balik merentang dan 

menutup. Hebatnya bersamaan gerakan meren-

tang dan menutup itu angin dahsyat yang meng-

hamparkan hawa panas semburat ke sana-

kemari!

Mendapati serangan demikian, Manik Ang-

keran sedikit terkesiap. Kakek yang pada mu-

lanya hanya ingin menghindar ini mau tak mau 

harus ambil kuda-kuda menangkis sekaligus me-

nyerang, karena ke mana pun dia hendak meng-

hindar semburatan serangan Utusan Putih da-

tang menyongsong.

"Hmm.... Serangannya tampak membabi 

buta, namun membuat tak ada tempat kosong 

untuk menghindar. Apa boleh buat...!" batin Ma-

nik Angkeran. Kedua tangannya segera diangkat. 

Tangan kiri segera mendorong sementara tangan 

kanan putar-putar untaian manik-maniknya.

Gelombang angin melesat keluar dari tan-

gan kiri Manik Angkeran, lalu disusul dengan 

menderunya putaran-putaran angin yang seakan 

membungkus tubuhnya.

Blaaarrr!

Terdengar dentuman dahsyat ketika dua 

pukulan itu bentrok di udara. Hebatnya, tubuh 

Utusan Putih seakan tak terbias oleh bentroknya 

pukulan, padahal tanah di tempat itu sejenak 

bergetar. Sebaliknya tubuh Utusan Putih terus 

melesat malah kini dengan memperdengarkan su-

ara tawa mengekeh. Manik Angkeran terkejut, la-

lu melompat mundur. Dia sama sekali tidak men-

duga jika lawan begitu tangguh, padahal dia sem-

pat terseret dua langkah ke belakang begitu terja-

di bentrok pukulan.

Selagi Manik Angkeran digenggam pera-

saan terkejut, dua tangan Utusan Putih telah me-

lesat ke arah kepalanya. Manik Angkeran cepat 

hantamkan manik-maniknya. 

Sreeettt! Sreeettt!

Utusan Putih melengak kaget. Dia mem-

bentak beberapa kali dengan kerahkan segala 

kemampuannya untuk melepaskan kedua tan-

gannya yang ternyata masuk dalam untaian ma-

nik-manik hijau milik Manik Angkeran.

Manik Angkeran tersenyum. Mungkin ka-

rena tak mau mencederai lawan dia hanya sen-

takkan untaian manik-maniknya dengan pelan.

Bukkk!

Namun apa yang terjadi membuat Utusan

Putih terhenyak. Karena meski sentakan itu terli-

hat pelan, selain tak perdengarkan suara eran-

gan, laki-laki berjubah putih ini langsung berge-

rak bangkit! Dan serta-merta melompat ke arah 

Manik Angkeran.

Sambil menindih rasa terkesimanya, Manik 

Angkeran kembali putar-putar untaian kalung 

manik-maniknya. Namun kali ini Utusan Putih 

sudah dapat membaca gerakan lawan. Dia tidak 

lagi hantamkan kedua tangan sekaligus. Melain-

kan silih berganti dan begitu menghantam segera 

ditarik pulang. Hal ini membuat Manik Angkeran 

terdesak. Kakek ini terus menangkis dengan pu-

tar kalung untaian manik-maniknya seraya mun-

dur. Saat itulah Utusan Putih membentak garang. 

Tubuhnya berputar lalu berkelebat.

Manik Angkeran berseru kaget ketika dia 

mendapati lehernya telah terjepit kedua kaki Utu-

san Putih. Dia segera hantamkan tangan kirinya 

sementara tangan kanannya berusaha menjerat 

kaki di atasnya. Namun gerakannya kalah cepat. 

Utusan Putih telah putar tubuhnya hingga mau 

tak mau tubuh Manik Angkeran ikut terputar dan 

terhempas di atas tanah! Untaian kalung manik-

maniknya terlepas dan jatuh lima langkah di 

sampingnya.

Utusan Putih keluarkan tawa mengekeh. 

"Aku tahu, kau tidak sepenuh hati melawanku. 

Namun itu menjadi bumerang celaka bagimu!" ka-

ta Utusan Putih seraya melangkah mendekat.

Manik Angkeran yang tampaknya memang

tidak sepenuh hati dalam melakukan perlawanan

bergerak bangkit. Kakek ini dalam rimba persila-

tan memang dikenai sebagai tokoh yang paling ti-

dak suka dengan kekerasan. Bahkan terhadap 

orang yang menginginkan nyawanya. Dan ini pun 

tampak di kala menghadapi Utusan Putih. Namun 

sifatnya itu kali ini menjadi senjata makan tuan. 

Karena begitu Manik Angkeran setengah tegak 

hendak berdiri, Utusan Putih lancarkan pukulan 

jarak jauh tangan kosong.

Desss!

Manik Angkeran keluarkan seruan keras. 

Meski dia berusaha menghindar namun sudah 

sangat terlambat. Hingga tanpa ampun lagi se-

rangan Utusan Putih menghajar perutnya. Manik 

Angkeran terjungkal. Kakek ini merasakan pan-

dangannya berkunang-kunang lalu gelap sama 

sekali.

Utusan Putih cepat berkelebat. Setelah ya-

kin bahwa Manik Angkeran pingsan, laki-laki 

utusan Penguasa Hutan Larangan ini gerakkan 

tangan kanannya menotok di tiga tempat. Dengan 

gerak cepat pula diangkatnya tubuh Manik Ang-

keran lantas berkelebat meninggalkan tempat itu.


TIGA



SIANG itu panas bukan alang kepalang. Di 

sebuah dataran berpasir yang membentang luas 

di sebelah barat dusun Kepatihan terlihat seorang

perempuan berjalan tertatih-tatih. Paras wajah-

nya telah dipenuhi dengan keriputan, namun ka-

rena kulit wajahnya amat tipis, keriputan itu ti-

dak begitu terlihat. Justru yang tampak adalah 

tonjolan tulang-tulang wajahnya. Dia mengena-

kan pakaian gombrong warna putih kusam. Ram-

butnya telah putih dan amat jarang. Karena ram-

but itu disanggul ke atas dan terlihat kaku, maka 

rambut itu mirip sebuah tusuk konde. Sepasang 

matanya sipit namun tajam. Kedua kakinya men-

genakan sepasang terompah besar dari kayu ber-

warna hitam legam. Anehnya, meski nenek itu 

berjalan sendirian dan tak ada yang pantas untuk 

membuat orang tersenyum, sang nenek selalu 

sunggingkan bibir untuk tersenyum! Hebatnya, 

setiap langkahan kakinya terdengar suara berde-

bam-debam yang memekakkan telinga.

Tiba-tiba si nenek hentikan langkah. Sepa-

sang matanya yang sipit sedikit membelalak. Te-

linganya bergerak-gerak. Lalu dengan cepat tu-

buhnya berputar membalik. Setelah tersenyum-

senyum dia berkelebat ke arah dia datang. Tu-

buhnya melesat lenyap. Yang terlihat hanyalah 

bayang-bayang sosoknya di atas dataran pasir!

Sementara itu, di perbatasan dusun Kepa-

tihan dua sosok bayangan tampak tegak berdiri 

dengan sepasang mata masing-masing meman-

dang tak berkesip ke arah dataran pasir.

Dua sosok ini adalah dua orang laki-laki. 

Sebelah kanan mengenakan jubah besar warna 

biru. Sementara di sampingnya mengenakan jubah besar warna hitam. Ada kesamaan pada dua 

laki-laki ini. Mereka sama-sama menutup wajah 

masing-masing dengan sepotong kulit tipis, se-

hingga paras keduanya tidak bisa dikenali. Juga 

jari jemari masing-masing orang hanya empat. 

Jari kelingking mereka tampak tidak ada! Hanya 

tangan kiri laki-laki berjubah hitam tampak dito-

pang dengan kain yang dilingkarkan pada leher-

nya.

"Kau yakin ini tempat tinggal orang yang 

kita cari?" laki-laki berjubah biru buka suara se-

telah agak lama keduanya tak ada yang angkat 

bicara.

"Yakin ini tempat tidaknya, tidak. Namun 

satu hal yang pasti, aku bersama Utusan Kuning 

menemukan dia di sini!" laki-laki berjubah hitam 

menyahut.

"Aneh. Bagaimana mungkin seorang ma-

nusia tinggal di tempat seperti ini? Pedataran pa-

sir tanpa sebatang pohon pun!" gumam laki-laki 

berjubah biru yang bukan lain adalah Utusan Bi-

ru seraya gelengkan kepala.

"Bagaimana? Apa kita akan teruskan pen-

carian ini dengan melintas pedataran pasir itu?" 

tanya laki-laki berjubah hitam yang bukan lain 

adalah Utusan Hitam.

Mendengar nada tanya Utusan Hitam, Utu-

san Biru keluarkan tawa pendek.

"Pertanyaanmu menunjukkan kau ragu-

ragu. Apakah kau takut? Seandainya tidak me-

mandangmu sebagai sahabat, aku tak mau kau

ajak! Karena urusanku sendiri untuk membawa 

gadis bernama Ajeng Roro belum kulaksanakan."

"Utusan Biru! Dalam hidup, tidak pernah 

terbersit rasa takut di dadaku! Dan seandainya 

tangan kiriku tidak cidera, aku pun tak akan 

minta bantuanmu! Kalau kau merasa keberatan, 

lekas tinggalkan tempat ini!" kata Utusan Hitam 

dengan suara agak meradang.

Utusan Biru kembali keluarkan tawa. Ma-

lah kali ini mengekeh panjang. Namun tiba-tiba 

saja dia putuskan kekehan tawanya karena di 

tempat itu mendadak terdengar suara tawa berge-

lak-gelak dan menindih lenyap suara tawanya.

Utusan Biru membeliakkan sepasang ma-

tanya dengan kepala bergerak memutar. Semen-

tara Utusan Hitam tetap memandang ke arah de-

pan dengan wajah tegang. Dalam hati masing-

masing orang diam-diam maklum jika orang yang 

keluarkan gelak tawa adalah orang yang memiliki 

kepandaian tinggi dan tenaga dalam hebat. Kare-

na masing-masing orang ini dapat merasakan ge-

taran pada tanah pijakannya.

Setelah mengedarkan pandangan ke selu-

ruh sudut dataran dan agak lama menunggu tak 

juga menemukan adanya orang, padahal suara 

tawanya tetap terdengar malah makin keras, Utu-

san Biru palingkan wajah ke arah Utusan Hitam. 

Mulutnya membuka hendak ajukan pertanyaan. 

Namun mulut itu mengatup kembali ketika tiba-

tiba saja suara gelak tawa tadi lenyap dan bergan-

ti dengan suara debaman yang sangat memekak

kan telinga serta terdengar dekat sekali.

Secepat kilat Utusan Biru dan Utusan Hi-

tam palingkan wajah masing-masing. Utusan Hi-

tam terlihat surutkan langkah dua tindak ke be-

lakang. Sedangkan Utusan Biru mendelik tak 

berkesip.

Lima belas tombak di hadapan mereka, 

tampak seorang tua berjalan terbungkuk-

bungkuk ke arah mereka. Kedua kakinya menge-

nakan terompah besar berwarna hitam. Ternyata 

dari langkahan kaki si perempuan mengeluarkan 

suara berdebam-debam! Hingga kedua laki-laki 

ini harus mengerahkan tenaga dalam untuk me-

nangkis suara yang seakan me-nusuk kendang 

telinganya!

Seraya menahan amarah, Utusan Biru ber-

paling pada Utusan Hitam.

"Utusan Hitam! Siapa jahanam tua ini?!"

"Dialah Dewi Bayang-Bayang. Manusia ke-

parat yang kita cari!"

Utusan Biru yang sejenak dibakar hawa 

amarah sesaat jadi terkesiap. Ia kembali paling-

kan wajah dan memperhatikan lebih seksama pa-

da perempuan tua yang bukan lain memang Dewi 

Bayang-Bayang.

"Hmmm.... Tak heran jika Utusan Hitam 

dan Utusan Kuning tak bisa menyeret perempuan 

tua ini menghadap Penguasa Hutan Larangan. 

Dia memiliki tenaga dalam luar biasa. Langkahan 

kakinya tampak biasa, namun suara yang ditim-

bulkan mampu menusuk kendang telinga!"

Mungkin karena tegang, kedua orang ini 

tak ada yang buka mulut untuk bicara. Bahkan 

meski Dewi Bayang-Bayang telah ada tiga langkah 

di hadapan mereka!

Sementara Dewi Bayang-Bayang sendiri 

seakan acuh saja dengan adanya dua orang laki-

laki yang kini ada di dekatnya. Malah sambil se-

nyum-senyum dia meneruskan langkah dan me-

lewati keduanya tanpa memandang!

"Keparat! Kenapa kita dibuat tercenung 

dengan ulah tua bangka itu?!" ujar Utusan Biru 

begitu Dewi Bayang-Bayang telah melewatinya. 

Dagu laki-laki itu kontan mengembung. Sepasang 

matanya merah berkilat. Urat lehernya menyem-

bul, pertanda dia diamuk amarah.

"Utusan Biru! Jangan bertindak gegabah. 

Kegagalanku bersama Utusan Kuning untuk me-

nyeret perempuan tua itu karena bertindak sem-

brono!" ucap Utusan Hitam memperingatkan.

Di depan mereka, Dewi Bayang-Bayang ti-

ba-tiba hentikan langkah. Lalu duduk menggelo-

soh. Terompah kanannya diambil dan digerak-

gerakkan pulang balik di bawah dagunya seolah-

olah sedang berkipas. Anehnya, bersamaan den-

gan itu berdesir angin kencang ke kanan dan kiri! 

Sesaat kemudian Dewi Bayang-Bayang berucap.

Sungguh malang nasib orang, lepas dari 

mulut macan masuk mulut buaya. 

Sungguh sial takdir orang, menggali lubang 

untuk jasad sendiri.

Malang, malang benar orang yang tidak 

mengerti peringatan.

Tapi apa hendak dikata, orang-orang dungu 

memang selalu salah hitung!

Utusan Biru kembali berpaling pada Utu-

san Hitam begitu Dewi Bayang-Bayang hentikan 

ucapannya. Sesaat kedua orang ini saling pan-

dang. Utusan Biru memberi isyarat dengan me-

nunjuk ke kanan dan kiri. Utusan Hitam angguk-

kan kepala. Serentak kedua orang ini bergerak. 

Utusan Biru berkelebat ke arah kanan, sedang 

Utusan Hitam ke arah kiri. Tahu-tahu kedua 

orang ini telah berada tiga langkah di samping 

kanan-kiri Dewi Bayang-Bayang yang masih du-

duk dengan berkipas-kipas terompah.

"Dewi Bayang-Bayang! Saatmu telah tiba 

untuk menghadap Penguasa Hutan Larangan! Se-

geralah bangkit. Dan ikut kami!" Utusan Biru ke-

luarkan bentakan.

Dewi Bayang-Bayang hentikan kipasan te-

rompahnya. Namun sepasang matanya tidak me-

mandang pada orang yang membentak. Justru 

sepasang mata itu bergerak mengatup. Lalu mu-

lutnya menganga lebar-lebar. Seakan bicara pada 

dirinya sendiri, dia bergumam.

"Saat panas begini kenapa aku ngantuk? 

Sialan benar! Tapi kalau tidak dituruti aku bisa 

celaka...," habis bergumam begitu, enak saja dia 

merebahkan diri dengan terlebih dahulu meletak-

kan terompahnya untuk bantalan kepala.

Merasa tidak disambuti orang, Utusan Biru 

bantingkan kaki. Rahangnya mengembung den-

gan tangan mengepal. Sementara Utusan Hitam 

hanya diam memandang. Sejak awal, laki-laki 

berjubah hitam ini memang telah tunjukkan wa-

jah kecut. Ini bisa dimengerti karena sebelum ini 

dia memang telah bertemu dengan Dewi Bayang-

Bayang, dan gagal untuk membawa nenek itu. 

Malah karena kegagalannya itulah dia menda-

patkan hukuman dengan hancurnya tangan ki-

rinya. Itu masih untung dibanding dengan Utusan 

Kuning yang harus menemui ajal.

"Tua Bangka! Kau akan menyesal karena 

memandang remeh kami!" kata Utusan Biru. Lalu 

memberi isyarat dengan anggukan kepala pada 

Utusan Hitam.

Dua orang ini serentak melompat ke arah 

Dewi Bayang-Bayang. Tangan masing-masing 

bergerak menghantam. Dari derasnya angin yang 

melesat mendahului tangan, jelas sekali bahwa 

keduanya telah aliri tangan masing-masing den-

gan tenaga dalam. Dan tampaknya mereka ingin 

segera menyelesaikan masalah. Karena arah han-

taman mereka pada titik yang mematikan. Yakni 

kepala dan dada!

Namun sejauh ini Dewi Bayang-Bayang 

masih belum membuat gerakan. Nenek ini seper-

tinya tak merasa jika jiwanya sedang diincar ajal. 

Baru begitu sekejap lagi hantaman tangan meng-

hajar tubuhnya, dia menggeliat, tangan kanan kiri 

bergerak ke atas seolah hendak membetulkan letak terompahnya. Namun sebelum tangannya 

menyentuh kepala, secepat kilat tangan itu mem-

balik. Saat mana hantaman tangan Utusan Biru 

dan Utusan Hitam datang menghajar.

Praaakkk! Praaakkk!

Utusan Biru dan Utusan Hitam berseru te-

gang. Keduanya merasa lengannya seakan meng-

hantam benda keras. Tubuh keduanya ter-

huyung-huyung. Dan sebelum keduanya bisa ku-

asai diri, Dewi Bayang-Bayang menggeliat bang-

kit. Kedua tangannya menjulur dan mencekal 

leher jubah masing-masing orang. Sambil terse-

nyum, kedua tangannya menyentak ke bawah.

Bukkk! Bukkk!

Utusan Biru dan Utusan Hitam jatuh te-

lungkup. Sadar akan bahaya, kedua orang ini se-

gera bergerak bangkit. Namun kedua orang ini 

terperangah kaget. Karena begitu keduanya hen-

dak bangkit, tengkuk masing-masing terasa di-

hantam palu. Dan sebelum dapat mengetahui apa 

yang menghantam tengkuknya, masing-masing 

orang ini telah jatuh telungkup kembali.

Dewi Bayang-Bayang tersenyum-senyum. 

Lalu rebahkan punggungnya kembali sementara 

kedua betisnya uncang-uncang di atas tengkuk 

Utusan Biru dan Utusan Hitam!

"Ehh.... Kalian tadi kudengar cerita tentang 

Penguasa Hutan Larangan. Coba ulangi lagi cerita 

kalian itu. Aku akan mendengarkan sambil tidu-

ran! Hik.... Hik.... Hik...!"

"Keparat! Angkat kakimu dahulu!" teriak

Utusan Biru sambil menggerakkan tangannya. 

Namun ketika dirasa tindihan kaki Dewi Bayang-

Bayang makin menekan ketika dia menggerakkan 

tangannya, Utusan Biru hentikan gerakannya. 

Sedangkan Utusan Hitam tak berani berkutik 

sama sekali.

Setelah ditunggu agak lama tidak ada yang 

buka mulut, Dewi Bayang-Bayang angkat tubuh-

nya. Kedua laki-laki itu berseru serentak. Karena 

bersamaan dengan terangkatnya tubuh Dewi 

Bayang-Bayang tekanan kakinya makin membe-

rat.

"Baiklah. Kalian tidak ada yang mau cerita. 

Mungkin kalian memilih mengantarku saja ke 

tempat juragan kalian itu! Baik. Baik.... Kita be-

rangkat sekarang!"

Habis berkata begitu, Dewi Bayang-Bayang 

angkat kedua kakinya dari tengkuk masing-

masing orang. Tubuhnya digeser sedikit. Tiba-tiba 

kakinya bergerak kembali dengan cepat. Dan....

Takkk! Taaakkk! Takkk! Takkk!

Utusan Biru dan Utusan Hitam kembali 

berseru tertahan. Mereka tercekat. Karena leher 

dan bahu masing-masing kaku tak bisa digerak-

kan. Ternyata dengan ibu jari kakinya Dewi 

Bayang-Bayang telah lakukan totokan pada leher 

dan kedua bahu masing-masing orang.

Dengan senyum-senyum Dewi Bayang-

Bayang tertatih-tatih bangkit. Tangan kiri kanan 

menjulur ke bawah. Dijambaknya rambut mas-

ing-masing orang, lantas ditariknya ke atas. Mau

tak mau meski dengan menyumpah habis-

habisan dalam hati, kedua orang ini bergerak 

bangkit.

"Bagus! Saat bagi kalian menjadi penunjuk 

jalan untuk menuju tempat juragan kalian! Hik.... 

Hik.... Hik...!"

Sejenak Utusan Biru dan Utusan Hitam 

saling pandang satu sama lain. Namun karena 

mereka tidak bisa keluarkan suara, mereka hanya

saling pandang seakan sama-sama minta pertim-

bangan.

Selagi kedua orang ini menimbang-

nimbang, Dewi Bayang-Bayang ambil kedua te-

rompahnya. Tangan kiri kanan yang telah meme-

gang terompah besar cepat bergerak memukul 

punggung masing-masing orang. Karena pukulan 

itu bukan pukulan biasa, maka begitu terpukul, 

kedua orang ini sama-sama terhuyung-huyung ke 

depan.

"Ayo jalan!" seru Dewi Bayang-Bayang 

sambil acung-acungkan terompahnya. Mungkin 

karena takut mendapat pukulan terompah, kedua 

orang ini lantas melangkah perlahan-lahan. Di 

belakangnya Dewi Bayang-Bayang mengikuti 

sambil tersenyum-senyum!


EMPAT



SESOSOK bayangan tampak berkelebat 

melintasi Bukit Larangan, lalu terus berlari menuju arah timur di mana terlihat hutan belantara 

sepi yang dikenai orang dengan nama Hutan La-

rangan. Mungkin karena rapatnya pohon yang 

tumbuh serta merangasnya semak belukar, hing-

ga meski saat itu matahari baru saja menggelincir 

dari titik tengahnya, namun Hutan Larangan 

tampak redup. Malah ketika memasuki tengah 

hutan, suasana agak gelap!

Bayangan tadi tiba-tiba hentikan larinya. 

Sepasang matanya yang tajam memandang berke-

liling mengikuti putaran kepalanya.

"Hmm.... Tak salah jika orang menamakan 

tempat ini Hutan Larangan...," bisik sang bayan-

gan yang ternyata adalah seorang pemuda berpa-

ras tampan. Dia mengenakan baju warna hijau 

dilapisi dengan baju lengan panjang warna kun-

ing. Rambutnya panjang dan dikuncir ekor kuda.

"Tempat ini sangat sepi. Tak kudengar ki-

cauan burung, apalagi binatang hutan. Aneh, 

mungkinkah hutan angker begini dihuni manu-

sia? Binatang saja takut, hanya manusia punya 

nyali besar yang berani hidup di sini...," gumam 

sang pemuda yang bukan lain adalah Aji Alias 

Pendekar Mata Keranjang 108 seraya memperha-

tikan tempat di sekelilingnya.

"Hanya pohon-pohon dan semak belukar.... 

Di mana aku dapat menemukan sarang manusia 

yang akhir-akhir ini santar dibicarakan orang? 

Penguasa Hutan Larangan.... Hmm.... Adakah itu 

hanya kabar burung saja? Tapi.... Dengan le-

nyapnya beberapa tokoh rimba persilatan, mungkinkah masih bisa dikatakan kabar burung?"

Murid Wong Agung ini sejenak tercenung. 

Kepalanya tengadah memandangi rimbunan 

daun-daun di atasnya. "Dengan lenyapnya bebe-

rapa tokoh rimba persilatan, Penguasa Hutan La-

rangan yang dikabarkan biang keladi penculikan 

tokoh-tokoh itu aku yakin bukan cerita karangan. 

Tapi di mana aku dapat menemukannya? Hmm.... 

Aku akan menyelidik sebelah sana!" Aji lantas 

berkelebat ke arah barat. Namun pencariannya 

tiada hasil.

"Sialan! Ke mana lagi harus menyelidik? 

Tempat ini rasanya sudah kuaduk-aduk! Namun 

nyatanya tak kutemukan sebuah tempat tinggal, 

apalagi sosok manusia yang disebut-sebut orang 

sebagai Penguasa Hutan Larangan! Ternyata ka-

bar yang tersebar selama ini hanya mengada-ada. 

Betul ada orang yang menculik tokoh-tokoh rimba 

persilatan, tapi bukan di sini sarangnya.... Kepa-

rat! Aku sudah termakan cerita bohong!" gumam 

Aji sambil memaki panjang-pendek.

"Aku harus meninggalkan tempat ini, 

mumpung cuaca belum benar-benar gelap...," 

Pendekar Mata Keranjang lantas balikkan tubuh 

hendak meninggalkan tempat itu. Namun lang-

kahnya tertahan tatkala sepasang matanya mem-

bentur pada semak belukar yang aneh.

Mungkin karena tak percaya pada pengli-

hatan matanya, Pendekar Mata Keranjang kucek-

kucek matanya. Lalu kembali memandang. Ma-

tanya menyipit dan membeliak.

"Aneh. Semak belukar akar-akarnya men-

gambang di atas tanah. Dan warnanya kemerah-

merahan! Jangan-jangan...," tengkuk murid Wong 

Agung ini jadi dingin.

"Ah, persetan dengan hantu hutan! Aku 

akan mendekat!" gumam Pendekar 108 lantas 

melangkah ke arah semak belukar aneh yang tak 

jauh dari hadapannya. Seeettt!

Tiba-tiba segerombol semak belukar di ha-

dapannya bergerak cepat melayang ke arahnya. 

Pendekar 108 berseru tegang. Bukan hanya kare-

na terperangah kaget. Namun oleh kecepatan le-

satan semak belukar itu yang mampu menerabas 

bahu kirinya meski dia telah bergerak menghin-

dar.

Anehnya, begitu berhasil menerabas bahu 

kiri Aji, segerombol semak belukar itu kembali 

melayang ke tempatnya semula!

"Tak bisa kupercaya!" gumam Aji seraya 

siapkan pukulan. Namun betapa terkejutnya mu-

rid Wong Agung ini. Bahu kirinya terasa hangat. 

Melirik, dia membelalak. Baju kirinya ternyata te-

lah bersimbah darah!

"Jahanam!" maki Pendekar 108 seraya alir-

kan tenaga dalam ke bahu kirinya yang mulai te-

rasa panas. Paras wajahnya merah padam.

"Tak mungkin semak belukar itu bergerak 

sendiri. Pasti ada orang yang menggerakkan!" 

berpikir sampai di situ, Aji putar sepasang ma-

tanya. Namun sampai matanya merah mencari, 

dia tak menemukan seorang pun!

"Siapa pun kau adanya, jangan sembunyi! 

Tunjukkan dirimu!" teriak Pendekar Mata Keran-

jang sambil kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya. Pendekar 108 menunggu sebentar. 

Tak ada jawaban. Malah dua gerombol semak be-

lukar bergerak dan melesat ke arahnya.

Pendekar 108 melompat mundur, dan ser-

ta-merta kedua tangannya didorong ke depan. 

Semak belukar itu hancur berantakan di tengah 

jalan. Anehnya, begitu semak belukar hancur be-

rantakan, tiga gerombol semak belukar kembali 

melesat menyusul. Seraya menindih rasa geram, 

kembali murid Wong Agung ini sentakkan kedua 

tangannya. Tiga gerombol semak belukar sembu-

rat dan hangus! Tapi belum sirap semburatan 

semak belukar, kembali empat gerombol semak 

belukar melesat cepat ke arahnya!

"Gila! Aku tak bisa begini terus-terusan. 

Tenagaku akan hilang percuma! Orang ini sengaja 

menguras tenagaku!" pikir Pendekar Mata Keran-

jang 108, lalu hantamkan kembali kedua tangan-

nya karena empat gerombol semak belukar itu te-

lah satu depa di hadapannya. Begitu empat ge-

rombol semak itu berantakan, Aji cepat melompat 

ke samping.

"Edan! Bagaimana mungkin...?!" seru Pen-

dekar 108 seraya melotot besar. Ternyata gerum-

bulan semak belukar aneh itu sepertinya tidak 

ada yang semburat hancur! Gerumbulan semak 

belukar itu tetap seperti semula, rapat tidak ada 

yang terkuak! Padahal Pendekar 108 telah berhasil membuat hancur berantakan beberapa gerom-

bol!

"Gendeng! Benar-benar gendeng! Tempat 

apa sebenarnya ini?!" ujar Pendekar 108 dengan 

katupkan rahang rapat-rapat. Pelipisnya berge-

rak-gerak. Merasa dipermainkan orang, kemara-

han murid Wong Agung ini tak dapat dibendung 

lagi. Kedua tangannya yang telah teraliri tenaga 

dalam segera dihantamkan ke arah semak belu-

kar aneh yang akar-akarnya mengambang.

Wuuuttt!

Serangkum angin dahsyat mengeluarkan 

suara bergemuruh menyambar ke depan. Namun 

untuk kesekian kalinya, murid Wong Agung ini 

harus melotot.

Semak belukar itu bukannya terabas rata 

seperti dugaannya. Melainkan hanya bergoyang-

goyang sebentar, lalu diam!

"Setan jahanam!" kemarahan Pendekar 108 

benar-benar memuncak. Sambil memandang liar 

ke depan dia berteriak.

"Kalau kau tak mau keluar, jangan me-

nyesal jika kau rasakan pukulanku!"

Pendekar Mata Keranjang 108 menunggu 

sebentar. Dia berharap dengan gertakannya, 

orang yang diduga telah mempermainkannya 

akan keluar. Namun apa yang diharap tidak men-

jadi kenyataan. Hal ini membuat murid Wong 

Agung ini naik pitam. Dengan membentak garang, 

kedua tangannya ditarik ke belakang, lalu didorong ke depan.

Angin menggemuruh melesat disertai sinar 

putih berkilau. Hawa panas pun menebar meling-

kupi tempat itu.

Taaassss!

Angin pukulan Pendekar 108 seperti meng-

gebrak sesuatu namun hanya keluarkan suara 

perlahan. Aji terhenyak sendiri menyaksikan hal 

itu. Dia tak habis pikir. Bagaimana semak belu-

kar itu hanya bergoyang-goyang, padahal dia baru 

saja lepaskan pukulan sakti 'Bayu Cakra Buana'.

Selagi Pendekar 108 terhenyak dalam keti-

dakmengertian, tiba-tiba saja dari arah semak be-

lukar melesat angin dahsyat yang juga mengelua-

rkan suara menggemuruh juga bersinar putih 

berkilau!

"Bayu Cakra Buana'!" seru Pendekar 108 

mengetahui pukulan yang kini melesat cepat ke 

arahnya. Seraya menindih rasa terkejut, murid 

Wong Agung ini jejakkan kedua kakinya. Tubuh-

nya melesat ke samping menghindar. Namun tak 

urung sambaran pukulan itu menyerempet ping-

gangnya. Hingga tak ampun lagi tubuhnya me-

layang berputar, lalu menghempas dan bergulin-

gan di atas tanah. Untuk beberapa lama dia diam 

tak bergerak-gerak karena merasakan sakit pada 

pinggangnya. Setelah alirkan hawa murni, dia 

bergerak bangkit. Pada pinggang bajunya tampak 

robek menganga. Kulit di baliknya membiru!

"Gila! Ini baru gila! Bagaimana tidak. Puku-

lanku membalik! Dan semak jahanam itu hanya 

goyang-goyang!" rutuk Pendekar Mata Keranjang

seraya usap-usap pinggangnya.

"Hmm.... Mungkin tempat ini sarang ma-

nusia yang disebut-sebut orang sebagai Penguasa 

Hutan Larangan. Tapi tak kulihat sebuah tempat 

tinggal. Hanya semak belukar aneh.... Apa pun 

adanya semak itu, aku jadi penasaran! Akan ku-

hantam dengan pukulan 'Mutiara Biru'. Masa' 

kan tidak mempan...!" bisik Aji. Lalu melangkah 

mundur dua langkah. Tangan kiri ditarik ke bela-

kang, sementara tangan kanan di depan dada. 

Seketika itu juga tangan kirinya berubah menjadi 

biru berkilat-kilat, pertanda murid Wong Agung 

ini telah kerahkan pukulan 'Mutiara Biru'.

Namun sesaat lagi tangan kirinya hendak 

kirimkan pukulan, terdengar suara bentakan-

bentakan dahsyat dari arah belakang. Pendekar 

108 urungkan niat untuk lancarkan pukulan. Ke-

palanya segera berpaling. Telinganya dipasang 

baik-baik.

"Hmm.... Seperti suara orang sedang berke-

lahi.... Mendengar bentakan-bentakannya sampai 

terdengar di sini, bukan mustahil jika orang yang 

sedang berkelahi ini orang yang berilmu tidak 

sembarangan. Sebaiknya aku ke sana dahulu, 

siapa tahu aku mendapatkan sesuatu yang berta-

lian dengan semak belukar keparat itu. Lebih-

lebih tentang Penguasa Hutan Larangan...," ber-

pikir begitu, Pendekar Mata Keranjang segera 

berkelebat ke arah suara bentakan-bentakan.

Begitu dekat dengan suara bentakan-

bentakan, Pendekar 108 segera menyelinap ke balik semak belukar. Sepasang matanya lalu me-

mandang ke depan.

Mula-mula yang terlihat hanyalah bayan-

gan-bayangan yang berkelebat tak karuan, na-

mun jelas bahwa bayangan itu saling lancarkan 

pukulan, karena saat itu juga tempat di mana 

Pendekar Mata Keranjang mendekam terasa ber-

getar!

Saat bentakan terhenti dan terdengar sua-

ra seruan dua kali berturut-turut, baru Pendekar 

108 dapat dengan jelas melihat siapa adanya sang 

bayangan. 

Di sebelah kanan, terkapar seorang laki-

laki yang wajahnya tidak bisa dikenali karena di-

tutup dengan sepotong kulit tipis. Dia mengena-

kan jubah besar warna coklat. Ikat kepalanya ju-

ga berwarna coklat. Dari sudut bibirnya telah ter-

lihat mengalir darah hitam, menunjukkan jika la-

ki-laki itu telah terluka dalam cukup parah.

Kepala Pendekar Mata Keranjang 108 lan-

tas berpaling ke arah kiri, mendadak sepasang 

matanya mendelik besar. Dadanya berdegup ken-

cang. Tenggorokannya bergerak turun naik.

"Benar-benar aduhai...," bisik murid Wong 

Agung seraya tak berkesip memandang ke juru-

san kiri. Di situ terlihat telentang seorang perem-

puan muda. Parasnya cantik jelita. Mengenakan 

pakaian tipis warna merah berbunga-bunga hi-

tam. Pakaiannya itu dibuat agak rendah di bagian 

dada, hingga meski cuaca agak redup, dari tem-

patnya mendekam Pendekar 108 masih dapat melihat agak jelas sembulan buah dadanya yang 

tampak putih mulus! Bukan hanya itu saja. Pa-

kaian gadis muda ini bagian bawah ternyata di-

buat membelah di tengah. Hingga saat telentang 

begitu rupa, Aji dapat melihat sepasang pahanya 

yang berkulit putih, bahkan hampir pangkal pa-

hanya!

Tiba-tiba gadis muda berparas cantik ini 

menggeliat hendak bangkit. Namun karena puku-

lan baru saja bersarang di tubuhnya, dia belum 

bisa kuasai diri, hingga geliatannya hanya men-

gubah posisinya dari telentang menjadi miring. 

Justru posisi ini membuat sepasang mata Pende-

kar 108 makin membesar. Karena tubuh gadis itu 

persis menghadap ke arah Pendekar 108 mende-

kam.

"Busyet! Dada itu begitu menggairahkan, 

Besar dan putih. Hmm...!" desis Pendekar Mata 

Keranjang dengan usap-usap dagunya. Dadanya 

berdegup tambah keras. Sementara tenggorokan-

nya turun naik tak beraturan. Napasnya terhem-

bus panjang-panjang.

Selagi Pendekar 108 terkesima, laki-laki 

berjubah coklat bergerak bangkit. Dan tanpa 

membentak, kedua tangannya bergerak menghan-

tam ke arah sang gadis.

Wuuuttt!

Gelombang angin dahsyat yang membung-

kus kilatan-kilatan sinar coklat menghampar ke 

arah gadis yang masih di atas tanah.

Seakan sadar bahwa maut mengancam di

rinya, si gadis bergerak bangkit. Mungkin karena 

masih merasakan sakit pada tubuhnya, hingga 

gerakannya lamban. Hal ini membuat si gadis ter-

lengak, karena belum sempat dia membuat gera-

kan selanjutnya, serangan yang dilancarkan laki-

laki berjubah coklat telah berada di hadapannya. 

Dari mulutnya terdengar pekikan kaget bercam-

pur takut. Wajahnya berubah pucat pasi, tubuh-

nya bergetar hebat. Dia merasa ajal akan segera 

merenggut jiwanya!

Di sebelah kanan, melihat si gadis tak ber-

daya, laki-laki berjubah coklat tertawa perlahan 

penuh ejekan. Matanya yang merah memejam 

dan membuka.

"Itulah ganjaran bagi manusia yang mem-

bangkang dan menipu!" kata sang laki-laki seraya 

usap darah yang meleleh dari sudut mulutnya.

Pada saat yang menegangkan itu, menda-

dak dari balik semak belukar di samping sang ga-

dis menyambar dua rangkum angin dahsyat. Satu 

rangkum menyerempet tubuh si gadis hingga ter-

pelanting dan jatuh bergulingan. Sementara satu 

rangkum lainnya memapak gelombang angin yang 

membungkus kilatan warna coklat yang tadi hen-

dak menghajar tubuh si gadis!

Blaaarrr!

Terdengar letupan keras. Di sebelah kanan, 

laki-laki berjubah coklat berseru keras. Karena 

tak menyangka maka dia tak punya kesempatan 

untuk kerahkan tenaga dalam saat terjadinya le-

tupan, hingga saat itu juga tubuhnya mencelat

sampai beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya 

membentur pada batang pohon lalu terkapar di 

atas tanah!

Di sebelah kiri, merasa dirinya disela-

matkan orang, dan melihat laki-laki berjubah cok-

lat terkapar, sang gadis seakan mendapat kekua-

tan baru. Dengan membentak garang, gadis can-

tik itu berkelebat. Tahu-tahu tubuhnya telah dua 

langkah di hadapan laki-laki berjubah coklat yang 

menggapai-gapai hendak bangkit. Kaki kanannya 

lantas bergerak menyapu ke arah bahu sang laki-

laki. 

Desss!

Laki-laki berjubah coklat berseru tertahan. 

Tubuhnya bergulingan. Darah hitam makin ba-

nyak mengalir dari bibirnya. Si gadis melangkah 

mendekat. Saat itulah tiba-tiba laki-laki berjubah 

coklat mengambil sesuatu dari kantong jubahnya. 

Serta-merta tangannya mendekat pada mulutnya 

yang telah membuka.

"Jangan mimpi bisa mati sebelum memberi 

keterangan padaku!" kata sang gadis. Kembali 

kaki kanannya bergerak. Tangan laki-laki berju-

bah coklat mental dan tercampaklah apa yang 

semula hendak ditelannya.

Si gadis tertawa pendek, tubuhnya sedikit 

merendah, lalu kedua tangannya bergerak meno-

tok bagian tertentu tubuh laki-laki berjubah cok-

lat. Sesaat sang gadis memperhatikan laki-laki 

berjubah coklat yang kini diam tak bergerak ka-

rena tertotok. Lantas dengan tersenyum, dia balikkan tubuh memandang ke arah semak belukar 

dari mana tadi menyambar dua rangkum angin 

yang selain menyelamatkan dirinya juga membuat 

laki-laki berjubah coklat mencelat.


LIMA


SIAPA pun adanya kau, harap sudi me-

nampakkan diri! Aku ingin mengucapkan terima 

kasih!" si gadis berucap seraya terus pandangi ke 

arah semak belukar.

Di balik semak belukar, Pendekar Mata Ke-

ranjang tergagu sejenak. Setelah rapikan pa-

kaiannya seraya mendendangkan nyanyian tak je-

las dia menyibakkan semak belukar dan melang-

kah keluar.

Si gadis kernyitkan kening, sepasang ma-

tanya yang bulat membesar dan menyipit. "Tak 

disangka. Ternyata seorang pemuda tampan, ber-

tubuh tegap...." Untuk beberapa saat lamanya 

sang gadis tampak terkesima. Namun ketika Aji 

balik memandang ke arahnya, si gadis seakan ba-

ru sadar. Dia buru-buru tersenyum lalu menjura 

hormat.

"Terima kasih atas pertolonganmu. Aku 

berhutang budi juga nyawa. Kalau tidak dapat 

pertolonganmu, aku tak tahu apa yang akan kua-

lami!"

Si gadis angkat kepalanya, memperhatikan 

pada pemuda di hadapannya.

"Kalau boleh tahu, siapakah kau sebenar-

nya...?!"

Pendekar Mata Keranjang melirik, bukan 

pada wajah gadis di hadapannya melainkan pada 

dadanya yang tampak menyembul putih mulus 

serta kencang menantang. Anehnya, yang dipan-

dangi bukannya segera palingkan tubuh. Sebalik-

nya dia ambil napas dalam-dalam serta panjang 

hingga buah dadanya terlihat bergerak-gerak, 

membuat Pendekar 108 membeliak dengan degup 

jantung makin keras.

"Harap kau sudi menjawab pertanyaan-

ku...," si gadis berkata seakan menyadarkan Pen-

dekar 108.

"Ah...!" Aji keluarkan seruan seolah terpe-

ranjat. Sepasang matanya beralih memandang 

wajah gadis di hadapannya.

"Hmmm.... Benar-benar cantik! Mata bulat, 

bibir bagus, hidung mancung lebih-lebih da-

danya.,.." Pendekar 108 tersenyum, lalu berkata.

"Namaku Aji. Aji Saputra! Kau sendiri sia-

pa...?" 

"Aji.... Hmm.... Baru kali ini aku menden-

gar nama itu. Namun melihat pukulannya tadi, 

pemuda ini bukan orang sembarangan. Mungkin 

itu nama aslinya yang tak banyak diketahui 

orang. Sedang nama gelarnya mungkin banyak 

yang mengetahuinya. Siapa gelar pemuda ini...? 

Seandainya dia membawa senjata, mungkin den-

gan mudah aku dapat menebaknya. Karena gelar 

seseorang biasanya tak jauh dari senjata yang di

bawanya!" si gadis membatin, lalu melangkah le-

bih dekat. Begitu dekat, kembali diperhatikannya 

sang pemuda. Namun dia gelengkan kepalanya 

perlahan. Sebenarnya waktu mendekat, si gadis 

ingin melihat barangkali si pemuda menyelipkan 

senjata di pinggang. Namun setelah diteliti dia tak 

menemukan senjata, dia tak berhasil mengetahui 

siapa adanya si pemuda.

Karena ditunggu agak lama si gadis tak ju-

ga keluarkan suara untuk menjawab, Pendekar 

Mata Keranjang angkat bicara kembali.

"Kalau kau keberatan sebutkan nama, tak 

apa. Hanya kalau boleh aku tanya...," Aji tak me-

neruskan ucapannya, karena saat itu sang gadis 

telah menyahut.

"Namaku Anting Wulan.... Tapi orang-orang 

lebih mengenalku dengan Dewi Tengkorak Hi-

tam...."

Mendengar ucapan si gadis, Pendekar Mata 

Keranjang sedikit terkejut. Dalam kancah rimba 

persilatan nama Dewi Tengkorak Hitam memang 

telah banyak dikenal. Bukan hanya karena ke-

tinggian ilmunya, namun juga karena dia terkenal 

tokoh yang ugal-ugalan. Dia tantang siapa saja 

tokoh yang bernama besar. Baik itu dari jajaran 

atas golongan putih atau golongan hitam. Hingga 

karena sifatnya itulah Dewi Tengkorak Hitam ba-

nyak punya musuh. Baik itu dari orang-orang ja-

lur putih atau jalur hitam.

"Nama Dewi Tengkorak Hitam telah lama 

kudengar. Namun benar-benar tak kusangka jika

sosok orangnya masih begini muda. Cantik dan 

bentuk tubuhnya begitu mendebarkan.... Mu-

lanya aku menebak, Dewi Tengkorak Hitam itu 

mukanya seperti tengkorak dan hitam...," Pende-

kar 108 seraya tersenyum. Lalu melangkah satu 

tindak ke depan dan berkata.

"Hari ini sungguh merupakan hari baik bu-

atku. Tanpa diduga aku dapat bertemu dengan 

tokoh rimba persilatan yang bernama besar. Te-

rimalah hormatku Dewi Tengkorak Hitam..,. Maaf 

kalau aku tadi tak bersikap hormat padamu. Ka-

rena aku memang belum...."

"Kau terlalu memuji. Dadaku bisa pecah ji-

ka terlalu disanjung. Kau sendiri siapa sebenar-

nya? Yang kumaksud gelarmu?" Anting Wulan 

alias Dewi Tengkorak Hitam menyela ucapan Aji 

dan balik bertanya.

Sesaat Pendekar Mata Keranjang terdiam. 

Dia terlihat bimbang. Namun sesaat kemudian dia 

berkata sambil tarik kuncir rambutnya.

"Aku tak bergelar. Karena tak pantas ra-

sanya seorang pengelana jalanan sepertiku ini 

memakai gelar. Sebut saja seperti yang kukata-

kan tadi. Aji.... "

"Aku tahu, kau berdusta. Tapi tak apa-

lah...," kata Dewi Tengkorak Hitam sambil mena-

rik napas panjang. Di hadapannya Pendekar 108 

tampak terkejut, namun segera saja dia terse-

nyum, lalu berkata kembali.

"Dewi Tengkorak Hitam...."

Si gadis memandang tajam pada Pendekar

108 lalu berkata.

"Panggil Anting Wulan saja...."

"Hmmm... Anting Wulan. Kalau boleh 

tanya, siapakah laki-laki berjubah coklat itu? Dan 

kenapa kalian terlibat perkelahian?"

"Karena kau telah menolongku, aku berte-

rus terang saja. Soal siapa laki-laki itu, aku be-

lum menanyakan padanya. Tapi satu hal yang 

pasti dia adalah salah seorang utusan Penguasa 

Hutan Larangan yang hendak membawaku 

menghadap orang yang menyuruhnya!"

Pendekar Mata Keranjang terkejut. "Dari 

mana kau tahu bahwa dia adalah utusan Pengua-

sa Hutan Larangan?"

Dewi Tengkorak Hitam dongakkan sedikit 

kepalanya. Hingga lehernya yang jenjang terlihat 

jelas. Buah dadanya pun semakin membusung 

kencang. Gadis muda ini tampaknya sengaja 

membuat degup dada Pendekar 108 berdetak le-

bih kencang. Karena bersamaan dengan bergerak 

tengadah, sepasang matanya dipejamkan seten-

gah membuka. Lantas kedua kakinya sedikit di-

pentangkan, hingga kedua pahanya terlihat jelas.

"Busyet! Siapa pun akan terguncang jika 

melihat gadis ini...," batin Pendekar 108 sambil 

melirik ke arah paha Dewi Tengkorak Hitam

"Beberapa waktu lalu...," Dewi Tengkorak 

Hitam akhirnya berkata. "Aku telah menyirap ka-

bar jika banyak tokoh-tokoh bernama besar tiba-

tiba hilang lenyap tiada berita. Lalu muncul berita 

bahwa hilangnya tokoh-tokoh itu didalangi oleh

manusia yang menyebut dirinya Penguasa Hutan 

Larangan. Semenjak saat itu aku melakukan per-

jalanan menyelidik. Terus terang, aku ingin me-

nantang orang yang menyebut dirinya Penguasa 

Hutan Larangan itu!" Dewi Tengkorak Hitam seje-

nak hentikan keterangannya. Lalu melanjutkan.

"Tiba-tiba dalam perjalananku, mengha-

dang seorang laki-laki berjubah coklat yang me-

nyebut dirinya Utusan Coklat. Dia mengatakan 

sebagai utusan Penguasa Hutan Larangan, dan 

memang sengaja mencariku untuk dihadapkan 

pada Penguasa Hutan Larangan- Karena aku se-

dang menyelidik, aku waktu itu pura-pura menu-

rut saja. Aku hanya ingin tahu di mana letaknya 

Hutan Larangan. Setelah aku yakin bahwa tempat 

ini adalah Hutan Larangan, aku membelot dan 

mencari gara-gara. Namun dugaanku meleset, 

Utusan Coklat tidak mudah untuk ditaklukkan. 

Hingga seandainya tidak ada kau, pasti aku su-

dah diseretnya menghadap Penguasa Hutan La-

rangan. Dan aku tak dapat membayangkan apa 

yang akan menimpaku...."

Dewi Tengkorak Hitam hentikan ucapan-

nya. Lalu luruskan pandangannya menatap pada 

Pendekar Mata Keranjang.

"Kau sendiri hendak ke mana? Dan kenapa 

berada di sini?" tanyanya kemudian.

"Hmm.... Berarti kabar tentang Penguasa 

Hutan Larangan yang akhir-akhir ini menyentak 

dunia persilatan bukan kabar bohong. Dan aku 

tidak salah alamat datang ke tempat ini!" Aji

membatin. Lalu berkata.

"Terus terang, dengan hilangnya beberapa 

tokoh rimba persilatan akhir-akhir ini, aku ingin 

tahu. Apakah benar adanya semua berita itu! La-

lu aku coba jalan-jalan hingga sampai sini!"

Kening Dewi Tengkorak Hitam mengernyit.

"Hanya sekadar jalan-jalan? Hmm.... Tak 

mungkin. Kalau dia berani sendirian yang kuduga 

menyelidik, dia bukanlah pemuda yang boleh di-

pandang sebelah mata. Siapa dia sebenarnya...?"

"Aji.... Katakan terus terang. Apakah kau 

bermaksud menyingkap siapa adanya Penguasa 

Hutan Larangan sekaligus menyelamatkan para 

tokoh-tokoh itu?"

Sejenak Pendekar 108 terdiam. Sambil me-

ringis dia usap-usap ujung hidungnya.

"Bagaimana ini...?" Pendekar 108 berkata 

sendiri dalam hati. "Apakah aku harus berterus 

terang padanya? Dia sudah mengatakan ingin 

menyelidik dan menantang Penguasa Hutan La-

rangan. Meski tujuannya lain denganku tapi 

orang yang dituju sama. Hmm.... Memang sebaik-

nya aku terus terang saja. Mendapat teman can-

tik sungguh sayang jika dibiarkan berlalu...." lalu 

Pendekar Mata Keranjang anggukkan kepala per-

tanda membenarkan pertanyaan Dewi Tengkorak 

Hitam.

"Hmmm.... Jadi tidak meleset dugaanku. 

Dia adalah pemuda berilmu tinggi. Mustahil jika 

tidak berilmu tinggi berani hendak menyela-

matkan tokoh-tokoh yang akhir-akhir ini kabar

nya diculik oleh Penguasa Hutan Larangan. 

Sayang dia tidak berterus terang tentang siapa dia 

sebenarnya...."

"Aji. Rasa-rasanya orang yang kita cari ada-

lah sama meski tujuan kita berbeda. Kau tak ke-

beratan bukan jika kita jalan bersama-sama?"

Pendekar Mata Keranjang 108 angkat ba-

hunya sambil tersenyum.

"Bersama-sama tokoh rimba persilatan 

yang berwajah cantik tentunya suatu kenangan 

tersendiri bagiku. Dan rasa-rasanya tak pantas 

jika aku menolaknya...."

Paras muka Dewi Tengkorak Hitam beru-

bah bersemu merah. Tubuh gadis muda ini ter-

guncang sesaat mendengar pujian Pendekar 108.

"Pemuda ini pandai bicara memuji. Hmm.... 

Seandainya tidak sedang dalam menghadapi ma-

salah...."

"Anting Wulan.... Sebaiknya kita segera 

bergerak sekarang, mumpung hari belum gelap 

benar. Dan laki-laki itu tentunya bisa untuk pe-

tunjuk jalan!" kata Pendekar 108 membuyarkan 

lamunan Dewi Tengkorak Hitam.

Sambil palingkan wajah yang makin ber-

semu merah, Dewi Tengkorak Hitam anggukkan 

kepala. Lalu melangkah mendekati laki-laki ber-

jubah coklat.

Laki-laki berjubah coklat yang bukan lain 

adalah Utusan Coklat lirikkan sepasang matanya. 

Mulutnya membuka bergerak-gerak. Namun tiada 

sepatah kata pun yang terdengar, karena Dewi

Tengkorak Hitam telah menotok lehernya.

Dewi Tengkorak Hitam tersenyum dingin. 

Tangan kanannya bergerak menjambak rambut 

Utusan Coklat lalu ditariknya ke atas. Sambil 

menyumpah-nyumpah dalam hati, Utusan Coklat 

bergerak berdiri mengikuti tarikan Dewi Tengko-

rak Hitam.

"Kau harus tunjukkan di mana tempat 

Penguasa Hutan Larangan!" bentak Dewi Tengko-

rak Hitam sambil menyeret Utusan Coklat. Kare-

na yang tidak tertotok hanya kaki kanannya, ma-

ka Utusan Coklat terpincang-pincang seraya me-

nyeret kaki kirinya mengikuti langkah Dewi Teng-

korak Hitam.

Begitu sampai di hadapan Aji, Dewi Teng-

korak Hitam segera membebaskan totokan pada 

leher Utusan Coklat. Seketika Utusan Coklat ber-

teriak keras.

"Demi setan. Bunuh saja aku! Bunuh! La-

kukan cepat!"

Pendekar Mata Keranjang kernyitkan dahi. 

Dia tak tahu apa yang membuat Utusan Coklat 

berteriak begitu rupa, namun dia maklum jika la-

ki-laki itu dalam keadaan takut luar biasa. Pen-

dekar Mata Keranjang segera tarik bahu Dewi 

Tengkorak Hitam dan berbisik.

"Laki-laki itu ketakutan. Mungkin karena 

takut mendapat hukuman dari atasannya. Kita 

tak boleh bertindak kasar padanya jika ingin agar 

dia mau menunjukkan tempat Penguasa Hutan 

Larangan!"

Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepala. 

Lalu berpaling pada Utusan Coklat dan berkata.

"Dengar! Kalau kau mau menunjukkan di 

mana Penguasa Hutan Larangan, kami akan am-

puni nyawamu! Kau akan kami bebaskan!"

"Kalian boleh membunuhku! Aku tak akan 

tunjukkan tempat itu!" teriak Utusan Coklat, 

membuat Dewi Tengkorak Hitam berpaling pada 

Pendekar 108 seolah hendak minta pertimbangan. 

Pendekar 108 sendiri usap-usap hidungnya se-

raya berpikir. Saat itulah mendadak Utusan Cok-

lat lejangkan kaki kanannya yang tidak tertotok 

ke arah Dewi Tengkorak Hitam.

"Awas serangan!" teriak Aji memperin-

gatkan.

"Jahanam!" maki Dewi Tengkorak Hitam 

marah seraya geser tubuhnya ke samping. Lejan-

gan kaki Utusan Coklat menghajar angin sejeng-

kal di depan dada Dewi Tengkorak Hitam. Saat 

itulah Dewi Tengkorak Hitam hantamkan kedua 

tangannya ke arah dada Utusan Coklat.

Desss!

Utusan Coklat meraung keras, tubuhnya 

mencelat hingga beberapa tombak lalu terguling-

guling di atas tanah.

Pendekar Mata Keranjang 108 cepat berke-

lebat. Sesaat dia menunggu. Namun melihat Utu-

san Coklat tidak bergerak-gerak lagi, murid Wong 

Agung segera membalik tubuh Utusan Coklat 

yang telungkup. Pendekar Mata Keranjang meng-

hela napas panjang. Ternyata dada Utusan Coklat

telah ambrol! Di depan sana, Dewi Tengkorak Hi-

tam memandang dengan tatapan dingin.

"Hilang sudah kesempatan...," gumam Pen-

dekar 108 lalu melangkah ke arah Dewi Tengko-

rak Hitam.

"Anting Wulan. Kita harus cepat tinggalkan 

tempat ini!" kata Pendekar 108 sambil melangkah 

terus.

"Ke mana...?!" tanya Dewi Tengkorak Hitam 

dengan kernyitkan kening.

"Aku tadi menemukan tempat aneh. Aku 

curiga dan penasaran dengan tempat itu!"

"Tempat aneh...?" ulang Dewi Tengkorak 

Hitam. Sepasang matanya yang bulat memperha-

tikan pemuda di hadapannya. "Hmm.... Jangan-

jangan dia mengajakku...." Bibir Dewi Tengkorak 

Hitam tersenyum. Dadanya yang membusung 

bergerak turun naik.

"Apakah tempat itu ada mata airnya?" 

tanya Dewi Tengkorak Hitam sambil melangkah 

menjajari Pendekar Mata Keranjang. Gadis ini 

sengaja merapatkan tubuhnya ke bahu Aji. Bah-

kan ketika Aji diam saja, gadis ini menggeser tu-

buhnya hingga buah dadanya sebelah kanan me-

nekan punggung Pendekar 108.

Sejenak murid Wong Agung ini menahan 

napas. Perlahan-lahan tubuhnya berubah panas. 

Namun teringat akan nasib para tokoh yang le-

nyap, gejolak yang mulai merambat di tubuhnya 

segera ditahannya. Seraya menahan napas, dia 

berpaling pada Dewi Tengkorak Hitam dan berkata.

"Anting Wulan. Kita tak punya waktu ba-

nyak. Kita harus segera sampai di tempat yang 

kusebutkan tadi. Aku tak dapat menerangkan 

tempat itu. Nanti saja kau lihat sendiri...."

Dewi Tengkorak Hitam terlihat menarik 

napas panjang-panjang. Dadanya tampak makin 

turun naik pertanda dia menindih gelegak nafsu 

yang mulai menguasai dirinya.

Setelah diam sejenak, Aji anggukkan kepa-

la memberi isyarat agar Dewi Tengkorak Hitam 

mengikuti langkahnya. Dengan wajah merah ga-

dis muda cantik itu angkat bahunya lalu melang-

kah mengikuti pemuda di depannya yang mulai 

melangkah ke arah tengah hutan.


ENAM


GELAP pekat telah mengepung tatkala 

Pendekar Mata Keranjang dan Dewi Tengkorak 

Hitam sampai di tempat semak belukar aneh yang 

akar-akarnya mengambang di atas tanah dan 

berwarna merah!

"Inilah tempat yang kusebutkan aneh itu!" 

kata Pendekar 108 menerangkan.

Entah karena terkesima dengan semak be-

lukar di hadapannya atau karena kecewa karena 

yang dituju Aji bukan tempat yang seperti hara-

pannya, Dewi Tengkorak Hitam terlihat diam saja 

tak menyahut. Hanya sepasang matanya memandang lurus ke depan.

Pendekar 108 kerlingkan matanya. Sepa-

sang mata itu mendadak membesar. Bukan kare-

na melihat wajah gadis di sampingnya yang masih 

tertegun, melainkan karena saat itu Dewi Tengko-

rak Hitam tubuhnya dibasahi keringat, maka pa-

kaiannya yang tipis membalut ketat tubuhnya, 

hingga tubuhnya jelas membentuk! Sepasang 

buah dadanya yang menyembul sebagian, jelas 

memperlihatkan bentuknya yang kencang menan-

tang.

Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam berpaling, 

membuat Pendekar 108 salah tingkah. Namun 

murid Wong Agung ini segera tersenyum sambil 

usap-usap ujung dagunya.

"Semak belukar itu memang aneh. Lantas 

apa maksudmu membawaku ke sini?"

"Semak belukar itu bukan hanya aneh. Ta-

pi juga mengandung kekuatan luar biasa. Aku cu-

riga jangan-jangan di balik semak belukar itu sa-

rang manusia yang kita cari!" Lalu Pendekar Mata 

Keranjang alihkan pandangannya ke depan. Da-

lam hati dia berucap sendiri. "Hmm.... Seandainya 

laki-laki tadi tidak kedahuluan tewas, mungkin 

dia bisa memberi keterangan. Tapi segalanya su-

dah berlalu...."

Dewi Tengkorak Hitam sipitkan sepasang 

matanya. Kepalanya lantas berputar dan kembali 

memandangi semak belukar yang tak jauh di ha-

dapannya.

"Aku belum yakin jika tidak membuktikan

nya sendiri!" katanya.

Tangan kanannya bergerak ke balik pa-

kaiannya. Ketika ditarik keluar lagi tampak dua 

butiran sebesar buah duku berwarna hitam. Pen-

dekar 108 sejenak memperhatikan. Tiba-tiba se-

pasang matanya mendelik. Betapa tidak. Butiran 

sebesar buah duku di tangan Dewi Tengkorak Hi-

tam itu ternyata berbentuk tengkorak kepala ma-

nusia!

"Hmm.... Pasti ini yang membuatnya dige-

lari Dewi Tengkorak Hitam...."

Sesaat Dewi Tengkorak Hitam menimang-

nimang dua butiran hitam yang membentuk 

tengkorak kepala manusia itu, lalu tangannya di-

angkat didekatkan ke mulutnya. Mulutnya yang 

membentuk bagus terlihat bergerak meniup. Ter-

jadilah hal yang luar biasa. Dua butiran di tan-

gannya menggelembung dan sekejap kemudian 

telah berubah benar-benar menjadi tengkorak ke-

pala manusia serta tertata saling tindih!

Tanpa mempedulikan keheranan Pendekar 

108, Dewi Tengkorak Hitam ambil salah satu 

tengkorak hitam. Kini tangan kanan kirinya me-

megang tengkorak hitam. Sepasang matanya lan-

tas memejam sejenak. Tiba-tiba kedua tangannya 

bergerak melemparkan dua tengkorak itu ke de-

pan, ke arah semak belukar aneh.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Kedua tengkorak hitam itu melesat deras 

ke depan. Hebatnya bersamaan dengan itu dua 

gelombang angin dahsyat terlebih dahulu menyambar! Jelas jika selain dapat menggunakan 

tengkorak sebagai senjata hebat, gadis ini juga 

mampu mengalirkan tenaga dalam dan mele-

paskannya bersamaan tengkorak!

"Luar biasa...," gumam Aji sambil geleng-

kan kepala.

Namun sesaat kemudian, Pendekar Mata 

Keranjang dan Dewi Tengkorak Hitam sama-sama 

membelalakkan sepasang mata masing-masing. 

Malah Dewi Tengkorak Hitam terlihat bantingkan 

kedua kakinya. Dari hidungnya terdengar dengu-

san keras. Dia tak menyangka sama sekali jika 

pukulan yang baru saja dilepaskannya hanya 

menerabas semak belukar dan membuat gerum-

bulan semak itu bergoyang-goyang! Padahal pu-

kulan yang baru dilepaskan adalah pukulan sakti 

‘Tengkorak Mendera Bumi’!

Sementara Pendekar 108 sendiri bertam-

bah penasaran. Diam-diam dia kerahkan tenaga 

dalam siapkan pukulan sakti 'Mutiara Biru'.

Pada saat itulah, tiba-tiba semak belukar 

aneh itu bergoyang-goyang lagi. Dan belum sem-

pat Pendekar 108 atau Dewi Tengkorak Hitam 

mengetahui apa yang terjadi, gerumbulan semak 

belukar itu bergerak menguak. Dan melesatlah 

dua benda hitam disertai dua gelombang angin 

dahsyat!

"Dua tengkorak itu!" seru Aji sambil tarik 

tangan Dewi Tengkorak Hitam. Keduanya lantas 

bergulingan di atas tanah untuk menghindari dua 

buah benda hitam yang ternyata adalah dua

tengkorak milik Dewi Tengkorak Hitam! 

Weeerrr! Weeerrr!

Dua tengkorak hitam melesat di atas tubuh 

Pendekar 108 dan Dewi Tengkorak Hitam. Lalu 

terus menerabas ke belakang. Sesaat kemudian 

terdengar dua letusan keras. Lalu disusul dengan 

berderaknya pohon yang hendak tumbang. Meli-

rik, Pendekar 108 terkesiap. Dua pohon besar di 

belakangnya tumbang dengan daun berhamburan 

dan berubah menjadi hitam!

Begitu terdengar tumbangnya pohon, Dewi 

Tengkorak Hitam angkat kepalanya hendak berge-

rak bangkit. Namun betapa terkejutnya gadis ini, 

karena bersamaan dengan itu dua gelombang an-

gin dahsyat datang menyambar!

Melihat hal itu Pendekar 108 bergerak ce-

pat. Tangannya menjulur dan ditariknya kuat-

kuat tangan gadis di sampingnya itu. Gelombang 

angin lewat sejengkal di samping tubuh Dewi 

Tengkorak Hitam. Namun mungkin karena kuat-

nya tarikan tenaga Aji yang ingin menyelamatkan 

Dewi Tengkorak Hitam, membuat tubuh gadis itu 

melambung hingga setinggi setengah tombak di 

udara. Pendekar Mata Keranjang terkesiap, kare-

na Dewi Tengkorak Hitam terlihat tak bisa dikua-

sai diri.

"Celaka! Tarikanku terlalu keras...!"" bisik 

Pendekar 108 lalu cepat dia gulingkan tubuhnya 

mengikuti arah tubuh Dewi Tengkorak Hitam.

Sedang Dewi Tengkorak Hitam sendiri pa-

rasnya pucat pasi. Dan sesaat lagi tubuhnya jatuh telungkup di atas tanah, gadis ini pejamkan 

sepasang matanya. 

Bukkk!

Dewi Tengkorak Hitam jatuh telungkup. 

Namun gadis ini merasa heran. Karena tubuhnya 

tidak terasa berbenturan dengan tanah. Dia me-

rasakan gerakan-gerakan pelan di bawahnya. 

Dengan menindih rasa heran perlahan-lahan di-

bukanya kelopak matanya. Pertama-tama yang 

terlihat adalah batuan hitam di bawahnya. Lalu 

ketika matanya turun lagi ke bawah, gadis ini 

terhenyak. Pendekar 108 tampak terengah-engah 

menahan napas di bawah tubuhnya! Buah da-

danya yang kencang menantang tepat di atas hi-

dung murid Wong Agung ini.

Mungkin tak bisa bernapas, Aji segera ges-

er-geser kepalanya yang tertindih buah dada. Dia 

memang segera bisa sedikit bernapas, namun hal 

ini membuat kancing pakaian Dewi Tengkorak Hi-

tam terlepas dan tersingkaplah baju bagian atas-

nya, hingga tanpa penutup lagi buah dada ken-

cang milik Dewi Tengkorak Hitam menempel ketat 

di wajahnya!

Di lain pihak, geseran-geseran kepala Pen-

dekar Mata Keranjang tampaknya membuat Dewi 

Tengkorak Hitam menggelinjang. Gadis cantik ini 

keluarkan suara mendesah pelan, dan perlahan-

lahan pula tubuhnya digeser ke bawah. Begitu 

wajahnya ada di atas wajah Aji, sepasang ma-

tanya dipejamkan sedikit, bibirnya dibuka, dan 

kedua tangannya mencekal kedua bahu Pendekar

108.

'"Jangkrik! Dia sepertinya menunggu, apa-

kah aku...,"' Pendekar 108 tak meneruskan kata 

hatinya, karena saat itu juga wajah Dewi Tengko-

rak Hitam telah bergerak ke bawah dan dengan 

dada berdegup keras bibirnya memagut bibir 

Pendekar 108.

Darah Pendekar Mata Keranjang 108 kon-

tan bergolak. Bersamaan dengan pagutan bibir 

Dewi Tengkorak Hitam, kedua tangan murid 

Wong Agung bergerak merangkul tubuh gadis 

yang kini telungkup di atasnya.

Beberapa saat berlalu, tiba-tiba terdengar 

suara gelegukan beberapa kali seperti suara orang 

sedang minum. Disusul kemudian dengan suara 

tawa mengekeh panjang.

Baik Pendekar Mata Keranjang maupun 

Dewi Tengkorak Hitam sama-sama tercekat. Ke-

dua orang ini segera lepaskan bibir masing-

masing. Dan dengan dada masih bergerak turun 

naik serta terbuka, Dewi Tengkorak Hitam me-

lompat ke samping. Sedangkan Aji bergulingan 

dua kali lalu bangkit dengan sepasang mata me-

mandang ke arah sumber tawa yang sesekali dis-

elingi dengan gelegukan.

Di bawah cahaya sinar rembulan yang ter-

nyata telah merambat dan menerobos melalui po-

hon-pohon yang tumbang, delapan tombak di de-

pan Pendekar 108 terlihat sesosok manusia du-

duk menggelosoh. Pakaiannya compang-camping. 

Rambutnya tipis. Mukanya keriput dengan sepasang mata sayu merah. Pada bahu manusia itu 

tampak menyelempeng sebuah ikat pinggang be-

sar yang diganduli beberapa bumbung bambu. 

Bau arak yang keras menyengat keluar dari bum-

bung bambu itu. Seraya duduk menggelosoh, ke-

dua tangannya yang juga memegang bumbung 

bambu didekatkan silih berganti ke mulutnya.

"Setan Arak!" seru Pendekar 108 begitu 

mengenali siapa adanya orang.

Mendengar Pendekar 108 menyebut nama 

orang, Dewi Tengkorak Hitam kernyitkan dahi. 

Bibirnya menyungging senyum seringai. Kepa-

lanya lantas sedikit tengadah.

"Hmm.... Aku telah dengar nama tokoh 

pantat arak ini. Sungguh kebetulan sekali hari ini 

aku bisa bertemu. Aku telah lama mencari-

carinya untuk ku tantang!"

Setelah mengancingkan bagian dadanya 

yang terbuka, Dewi Tengkorak Hitam melangkah 

ke arah orang yang duduk menggelosoh sambil 

menenggak minuman dan bukan lain memang 

Setan Arak.

<s>Apabila nafsu singgah di hati....

Bola mata sesat buta pandangan

Memandang tahi laksana roti

Memandang roti bagaikan tahi

Begitu panas dan demamnya nafsu....

Telinga jadi tuli, mata jadi buta

Mulut jadi bisu dan lidah kelu

Karena daging terasa tahi lalat...

Tiada guna bicara nasihat</s>

Tiba-tiba Setan Arak keluarkan suara se-

perti orang senandungkan syair. Dewi Tengkorak 

Hitam hentikan langkahnya mendengar lantunan 

senandung Setan Arak. Dia merasa lantunan 

syair itu menyindir dirinya.

"Jahanam! Apakah dia tahu siapa aku se-

benarnya?"

Wajah cantik Dewi Tengkorak Hitam makin 

merah padam. Pelipis kiri kanannya bergerak-

gerak. Dagunya sedikit terangkat. Tangan kanan-

nya bergerak menyelinap masuk ke balik pa-

kaiannya. Ketika ditarik kembali satu butir teng-

korak kecil berwarna hitam telah ada di tangan-

nya. Mulutnya lantas meniup. Namun gerakan 

gadis itu tertahan tatkala lengannya dicekal 

orang. Berpaling, Pendekar 108 tegak di samping-

nya dan langsung berkata.

"Anting Wulan. Jangan bertindak gegabah. 

Dia bukan orang jahat. Aku mengenalnya! Dia 

adalah Setan Arak...!"

"Aku tahu. Justru aku selama ini juga 

mencarinya...!" jawab Dewi Tengkorak Hitam tan-

pa memandang lagi. Tapi tangannya yang hendak 

ditiup diurungkan.

"Apakah antara kau dan dia ada silang 

sengketa...?"

Dewi Tengkorak Hitam gelengkan kepa-

lanya. "Aku memang tidak punya masalah dengan 

dia, namun aku akan mencoba menjajaki il

munya!"

Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng 

kepala. "Aneh sifat gadis ini. Selalu ingin menan-

tang setiap orang...," tiba-tiba Aji seperti terkejut. 

Kepalanya tengadah seakan memikirkan sesuatu. 

"Heran, bagaimana gadis ini telah kenal tokoh-

tokoh tua. Padahal usianya masih begini muda? 

Jangan-jangan.... Ah, kenapa aku berpikir jelek 

padanya. Yang penting kali ini aku harus mence-

gah terjadinya bentrok antara keduanya. Masalah 

di depan kurasa lebih penting!" berpikir sampai di 

situ, Pendekar 108 lantas berkata.

"Anting Wulan. Untuk sementara ini kuha-

rap kau menunda niatmu. Bagaimanapun juga 

saat ini aku memerlukan bantuannya! Kau tak 

keberatan bukan?!"

Meski dengan berat dan wajah kecewa, ak-

hirnya Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepa-

lanya. Dalam hati diam-diam gadis cantik ini be-

rucap.

"Kalau bukan dia yang mencegah, kesem-

patan ini tak mungkin kusia-siakan...."

Pendekar 108 lantas melangkah ke arah 

Setan Arak. Setelah dekat dan menjura hormat 

murid Wong Agung langsung bicara.

"Setan Arak. Kebetulan sekali kau muncul 

di sini. Aku sekarang memang sedang memerlu-

kan bantuan!"

Seakan tidak melihat adanya orang dan ju-

ga tidak mendengar pembicaraan orang, Setan 

Arak terus tenggelam dalam keasyikan araknya.

Bahkan melirik pun tidak!

Meski dalam hatinya merutuk panjang 

pendek melihat tingkah laki-laki tua itu, namun 

karena sadar kalau manusia arak itu sering ber-

sikap aneh maka pada akhirnya murid Wong 

Agung hanya bisa usap-usap hidungnya seraya 

menunggu.

Namun karena ditunggu agak lama dan Se-

tan Arak tetap seperti semula malah kini rebahan 

dengan bergumam yang tak bisa dimengerti, Pen-

dekar 108 beranikan diri berkata kembali.

"Setan Arak! Aku tahu, kau mendengar 

ucapanku. Harap kau sudi menyahut. Aku perlu 

bantuanmu!"

"Puaaah! Kau menyela kesenangan orang 

saja. Apakah cumbuan-cumbuan perlu minta 

bantuan segala? Memangnya kau kehabisan te-

naga? Mana mungkin orang renta sepertiku bisa 

membantu masalah yang begitu-begitu?"

Kembali Pendekar 108 merutuk dalam hati. 

Namun wajahnya kali ini berubah merah padam. 

Sementara Dewi Tengkorak Hitam bantingkan ka-

kinya mendengar ucapan Setan Arak. "Keparat! 

Mulutnya terlalu usil dengan perbuatan orang! 

Aku sudah gatal untuk menantangnya!"

"Kek!" kata Pendekar Mata Keranjang sete-

lah agak lama terdiam. "Lupakan dulu masalah 

cumbu-cumbuan. Aku benar-benar ingin ban-

tuanmu!"

Tiba-tiba Setan Arak keluarkan tawa pan-

jang dan keras, hingga Aji tutup kedua telin

ganya. Setelah puas tertawa, dia berpaling pada 

Pendekar 108 dan berkata.

"Anak sedeng! Kau minta bantuan bukan 

soal cumbu-cumbuan, lantas bantuan apa yang 

kau minta? He...?!"

"Kek! Tentunya kau telah dengar tentang 

lenyapnya beberapa tokoh rimba persilatan pada 

akhir-akhir ini. Dan tentunya kau telah pula 

mendengar bahwa diduga biang lenyapnya tokoh-

tokoh tersebut adalah manusia yang menyebut 

dirinya Penguasa Hutan Larangan. Aku memang 

belum...."

"Kau terlalu banyak omong! Bicara lang-

sung saja apa kesulitanmu!" sela Setan Arak. Lalu 

dia dekatkan bumbung bambu di tangan kanan-

nya dan menenggak isinya.

"Semak belukar itu adalah sarang manusia 

yang bergelar Penguasa Hutan Larangan!" kata 

Pendekar 108 seenaknya. Sebenarnya ia memang 

belum tahu pasti apakah benar gerumbulan se-

mak belukar itu tempat Penguasa Hutan Laran-

gan, namun karena agak jengkel, Pendekar Mata 

Keranjang bicara seenaknya, mengatakan semak 

belukar aneh itu tempat Penguasa Hutan Laran-

gan.

"Puaaahhh! Ternyata nafsu juga membuat 

otak orang jadi keruh! Kau tadi bilang hendak 

minta bantuan, sekarang bicara soal Penguasa 

Hutan Larangan. Otakmu benar-benar minta di-

cuci!"

Walau bertambah jengkel dengan ucapan

Setan Arak, namun Aji harus menahannya, kare-

na dia pikir kali ini dia betul-betul mengharapkan 

bantuan orang tua di hadapannya itu.

"Kek! Terus terang saja aku tak dapat 

membuka tempat Penguasa Hutan Larangan itu. 

Aku minta agar kau membantuku membukanya!"

"Dasar anak tolol! Kau bisanya cuma buka 

baju orang!"

Pendekar Mata Keranjang tersenyum-

senyum mendengar ucapan Setan Arak. Sementa-

ra Dewi Tengkorak Hitam makin geram, namun 

gadis ini tak hendak bergerak dari tempatnya ka-

rena saat itu Setan Arak dilihatnya menggeliat 

bangkit. Dan tanpa menghiraukan pada Aji dia 

melangkah ke arah semak belukar aneh.

Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak 

memperhatikan. Lalu sambil tersenyum-senyum 

dia melangkah mengikuti di belakangnya. Ketika 

Setan Arak menghentikan langkah tak jauh dari 

tempat Dewi Tengkorak Hitam, Pendekar 108 

memberi isyarat agar Dewi Tengkorak Hitam tak 

angkat bicara dengan gelengkan kepala dan me-

lintangkan jari telunjuknya di depan mulut. Mu-

rid Wong Agung ini khawatir akan terjadi sesuatu 

jika Dewi Tengkorak Hitam ikut-ikutan bicara. 

Dan jika itu terjadi, bukan mustahil jika Setan 

Arak akan mengurungkan niatnya.

Di depan, sejenak Setan Arak memandang 

liar pada semak belukar berakar merah di hada-

pannya. Lalu pandangannya beralih pada Dewi 

Tengkorak Hitam. Dewi Tengkorak Hitam pasang

tampang angker dengan mata mendelik.

Tiba-tiba Setan Arak lambaikan tangan ki-

rinya ke belakang memberi isyarat pada aji agar 

mendekat. Murid Wong Agung ini menarik napas 

lega. Karena baru saja dadanya bergetar saat me-

lihat Setan Arak dan Dewi Tengkorak Hitam sal-

ing bentrok pandangan.

Setelah Pendekar 108 dekat, Setan Arak 

sorongkan kepalanya dan berbisik.

"Ternyata kau pintar juga memilih perem-

puan. Tahu demikian, aku memasang syarat!"

"Kau tertarik padanya? Ah, jika saja kau 

berada lebih dekat lagi, kau pasti bisa melihat 

buah dadanya yang kencang menantang, pahanya 

yang putih mulus...," jawab Pendekar 108 dengan 

suara pelan. Lalu tersenyum dan berbisik kemba-

li.

"Kalau kau memang tertarik, aku bisa 

mengatakannya. Siapa tahu dia juga tertarik pa-

damu. Tubuhnya hangat, Kek! Bau badannya ha-

rum...."

Setan Arak menyeringai. Mulutnya komat-

kamit. Sepasang matanya melirik pada Dewi 

Tengkorak Hitam.

"Anak kurang ajar, dengar! Gadismu itu 

memang berparas cantik, bertubuh aduhai. Ha-

rum tubuhnya mampu membuat dadaku kem-

bang kempis. Tapi maaf saja, jelek-jelek begini 

aku tak mau bercumbu-cumbu dengan gadis be-

kas orang! Lagi pula kau akan menyesal jika kau 

tahu siapa...," Setan Arak tak meneruskan ucapannya, karena saat itu juga Dewi Tengkorak Hi-

tam terlihat bantingkan kakinya dan melotot ke 

arah Aji dan Setan Arak.

"Lihat, gadismu marah-marah. Lekas kau

ke sana!" bisik Setan Arak lalu melangkah setelah 

menenggak arak dari bumbung bambu di tangan 

kirinya.

"Kek!" seru Pendekar 108 seraya melompat 

menjajari. "Kau belum selesai dengan keteran-

ganmu!"

"Puaaahhh! Urus dulu gadismu itu! Suatu 

saat nanti kau akan tahu sendiri!" kata Setan 

Arak seraya kibaskan tangan Pendekar 108 yang 

memegang lengannya.

Dengan muka ditekuk Pendekar Mata Ke-

ranjang balikkan tubuh dan melangkah ke arah 

Dewi Tengkorak Hitam yang masih mendelik ang-

ker. Begitu murid Wong Agung dekat, gadis cantik 

itu segera ajukan pertanyaan.

"Apa yang dikatakan tua bangka itu pada-

mu?"

"Nggg.... Dia mengatakan kau cantik. Dan 

rasa-rasanya dia tertarik padamu!"

Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam tertawa 

bergerai-gerai mendengar jawaban Pendekar 108. 

"Di mana enaknya bermesra-mesra dengan ma-

nusia yang lebih suka mencium bibir bumbung 

daripada.... Bibir.... Hik... hik... hik.... Lebih se-

nang mulusnya bumbung arak daripada mulus-

nya....!" Dewi Tengkorak Hitam putus ucapannya 

dan kembali tertawa.

Setelah puas tertawa, kembali Dewi Teng-

korak Hitam berkata.

"Lagi pula bercumbu dengan tua bangka 

seperti dia bikin pusing kepala. Karena aku belum 

panas dia sudah.... Hik... hik... hik...!"

Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng 

kepala. Dan sesaat kemudian dia ikut-ikutan ke-

luarkan tawa.

Saat itulah tiba-tiba terdengar gedebak-

gedebuk berulang kali. Lalu disusul dengan suara 

orang seperti sedang menghalau. Pendekar Mata 

Keranjang dan Dewi Tengkorak Hitam hentikan 

tawanya. Lalu berpaling ke arah sumber suara. Di 

depan sana, Setan Arak angkat kedua tangannya, 

lalu menenggak bumbung arak silih berganti dari 

kedua tangannya. Terdengar gelegukan beberapa 

kali. Lalu terdengar tawanya meledak keras.


TUJUH


PENDEKAR Mata Keranjang dan Dewi 

Tengkorak Hitam tidak menunggu lama. Dari ke-

gelapan di balik pohon muncul dua sosok laki-

laki dengan langkah terhuyung-huyung. Kedua-

nya sama-sama buka mulutnya lebar-lebar, na-

mun tak terdengar suara. Kedua laki-laki ini 

mengenakan jubah besar warna biru dan hitam. 

Ikat kepalanya berwarna seperti jubah masing-

masing. Hanya tangan kiri laki-laki berjubah hi-

tam tampak dibalut dan ditopang dengan kain

yang dikalungkan ke lehernya, pertanda bahwa 

tangan kirinya cidera. Paras kedua laki-laki ini ti-

dak bisa dikenali karena keduanya menutup wa-

jah masing-masing dengan sepotong kulit tipis. 

Ada kesamaan pada kedua laki-laki ini, yakni jari 

kelingking masing-masing orang terpotong!

Pendekar 108 kernyitkan kening. Sepasang 

matanya memperhatikan kedua laki-laki.

"Hmm.... Ciri-cirinya sama dengan laki-laki 

yang tewas di tangan Dewi Tengkorak Hitam. 

Hanya warna jubah dan ikat kepalanya yang ber-

beda. Kuat dugaan kedua laki-laki ini adalah juga 

utusan Penguasa Hutan Larangan. Tapi kenapa 

mereka bisa demikian...? Mereka tampaknya ter-

totok. Hmm.... Pasti yang melakukan totokan itu 

adalah orang yang ada di belakangnya. Siapa 

dia...? Apakah juga seorang gadis cantik dan ber-

tubuh..." Aji tak meneruskan kata hatinya, karena 

saat itu sepasang matanya menangkap muncul-

nya sesosok tubuh dari balik kegelapan.

Yang muncul ternyata seorang perempuan 

tua renta. Tubuhnya telah bungkuk. Rambutnya 

tipis dan kaku serta disanggul ke atas. Dia men-

genakan pakaian gombrong warna putih kusam. 

Sepasang matanya sipit, namun tajam.

Sambil melangkah terseok-seok, sang ne-

nek ini mengacung-acungkan dua terompah besar 

berwarna hitam legam di tangan kirinya, seolah 

sedang menghalau. Anehnya, meski sendirian dan 

seperti orang sedang menghalau, mulutnya tidak 

memperdengarkan suara, melainkan tersenyum!

""Dewi Bayang-Bayang!" seru Pendekar 108 

begitu dapat mengenali siapa adanya sang nenek. 

Di samping Aji, Dewi Tengkorak Hitam tampak 

terkejut, malah surutkan langkah dua tindak ke 

samping. Sepasang matanya memperhatikan 

tingkah si nenek yang bukan lain memang Dewi 

Bayang-Bayang.

Mendengar namanya dipanggil orang, Dewi 

Bayang-Bayang hentikan langkah. Kepalanya 

berpaling, sepasang matanya membesar sedikit. 

Memperhatikan pada Pendekar Mata Keranjang 

lalu beralih pada Dewi Tengkorak Hitam. Namun 

cuma sesaat. Dia lantas luruskan kepalanya 

kembali dan memandang ke arah dua laki-laki 

yang bukan lain adalah Utusan Biru dan Utusan 

Hitam yang telah hentikan langkah masing-

masing tak jauh dari tempat Setan Arak.

Melihat Utusan Biru dan Utusan Hitam te-

lah hentikan langkah, Dewi Bayang-Bayang tu-

runkan kedua tangannya lalu mengenakan te-

rompah yang tadi diacung-acungkan.

"Dewi Bayang-Bayang!" kembali Pendekar 

108 berseru. Lalu mendekat ke arahnya. Namun 

sebelum Pendekar 108 buka suara lagi, Dewi 

Bayang-Bayang telah berkata.

"Sedang apa kau malam-malam begini ke-

layapan di tempat ini? He...?!"

"Ini lagi. Manusia tua yang sukar dimen-

gerti...," kata murid Wong Agung dalam hati. Lalu 

berkata.

"Aku sedang menyelidik tempat Penguasa

Hutan Larangan.... Karena aku duga memang di-

alah yang ada di belakang lenyapnya beberapa to-

koh rimba persilatan akhir-akhir ini!"

"Hmmm.... Begitu? Lantas kenapa kau bisa 

berdua-dua dengan tua bangka itu? Apakah dia 

telah kau jadikan kekasih barumu?!" seraya ber-

kata sepasang mata Dewi Bayang-Bayang melirik 

pada Dewi Tengkorak Hitam.

"Tua bangka...? Sialan! Apakah Dewi 

Bayang-Bayang sudah lamur? Gadis muda dan 

cantik begitu dibilang tua bangka.... Aneh!" kata 

Aji dalam hati. Dahinya mengkerut. "Setan Arak 

mengatakan bahwa aku akan menyesal jika tahu 

siapa dia sebenarnya, sementara Dewi Bayang-

Bayang mengatakan dia tua bangka. Hm.... Apa 

arti semua itu? Ah, kenapa aku pusing-pusing 

memikirkan ucapan orang-orang aneh...."

Agak jauh di hadapan mereka, Dewi Teng-

korak Hitam terlihat terus memperhatikan Dewi 

Bayang-Bayang. "Hmm.... Siapa pemuda itu sebe-

narnya? Dia kenal beberapa tokoh rimba persila-

tan yang terkenal berkepandaian tinggi. Apakah 

dia tokoh muda yang akhir-akhir ini namanya 

banyak dibicarakan orang dengan gelar Pendekar 

Mata Keranjang 108? Hmm.... Dewi Bayang-

Bayang. Sebenarnya aku sudah lama juga menca-

ri nenek tua itu! Sayang.... Saat bertemu kea-

daannya tidak menguntungkan. Jika saja pemuda 

itu tidak kenal padanya, sudah ku tantang nenek 

itu saat ini juga!" batin Dewi Tengkorak Hitam 

sambil buang muka dan memandang jurusan

lain.

"He! Apa kau telah bisu dan tuli? Ditanya 

orang diam saja?!" tiba-tiba Dewi Bayang-Bayang 

membentak. Namun bibirnya menyunggingkan 

senyum.

"Dewi...," kata Pendekar 108 seraya lebih 

mendekat. "Siapa yang kau maksud dengan tua 

bangka?"

"Dasar anak bodoh! Siapa lagi kalau bukan 

manusia berdada montok berpaha mulus yang 

tadi berhaha... hihi... bersamamu itu?!"

Mau tak mau Pendekar Mata Keranjang ga-

ruk-garuk kepala mendengar ucapan Dewi 

Bayang-Bayang. Setelah memikir sejenak, dia lan-

tas berkata.

"Dewi. Aku secara tak sengaja bertemu 

dengannya di sini! Seperti aku, ternyata dia juga 

sedang mencari Penguasa Hutan Larangan! Dia 

adalah Dewi Tengkorak Hitam...."

"Aku tak tanya namanya!" sahut Dewi 

Bayang-Bayang. Lalu pandangannya beralih pada 

Setan Arak yang masih terlihat asyik dengan mi-

numannya.

"Dedemit arak itu. Apakah kau yang mem-

bawa-bawa dia kemari?"

Pendekar Mata Keranjang gelengkan kepa-

la. "Aku ke sini sendiri! Dia juga datang sendiri!"

Di depan sana, Setan Arak tenggak bum-

bung araknya. Lalu tertawa bergelak. Anehnya 

arak yang masih di mulutnya tidak sepercik pun 

yang muncrat! Lalu dia berkata.

<s>Buah kelapa berwarna dua, satu hijau, cok-

lat satunya.

Berjumpa telah berdua. Bercumbu dengan 

dua bangka mana nikmatnya?

Orang gila mana yang tidak sialan. 

Lontong ketupat dikira tahi hewan. Bersama 

bulan aku berjalan 

Tiada sahabat tiada kawan!</s>

"Ha.... Ha.... Ha.... Syukur telah ada yang 

memberi keterangan, jadi aku tak repot-repot me-

nerangkan!"

"Luar biasa...," desis Pendekar 108. "Dia 

dapat menangkap pembicaraan orang, padahal

aku berkata amat pelan. Jaraknya pun jauh...," 

Aji membatin. Namun tak urung wajahnya merah 

padam juga mendengar ucapan Setan Arak. Dia 

menduga yang disindir dengan tua bangka bukan 

lain adalah Dewi Tengkorak Hitam, yang memang 

tengah bercumbu dengannya saat ditemukan Se-

tan Arak.

Dewi Bayang-Bayang tersenyum-senyum. 

Lalu berpaling pada Pendekar 108 dan berkata.

"He! Kenapa kau enak-enakan mematung? 

Pergi sana! Dua laki-laki itu mungkin bisa me-

nunjukkan tempat orang yang kau cari!"

Sambil cengar-cengir, Pendekar 108 nge-

loyor dari hadapan Dewi Bayang-Bayang mende-

kat ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Lalu memberi 

isyarat pada gadis itu untuk mengikutinya. Namun si gadis tak beranjak dari tempatnya, hingga 

pada akhirnya Aji melangkah sendirian ke arah 

Utusan Biru dan Utusan Hitam yang tegak den-

gan sinar mata ketakutan luar biasa.

"Dengar! " kata Pendekar 108 pada kedua 

laki-laki di sampingnya. "Aku tahu, kalian adalah 

utusan Penguasa Hutan Larangan. Kalau kalian 

masih ingin hidup, tunjukkan pada kami tempat 

orang yang mengutus kalian!"

Utusan Biru dan Utusan Hitam saling pan-

dang satu sama lain. Mulut mereka membuka 

seakan hendak mengatakan sesuatu. Namun tia-

da ucapan yang terdengar. Melihat hal ini murid 

Wong Agung lantas gerakkan tangan kanannya 

membebaskan totokan pada leher masing-masing 

orang.

"Nah, bicaralah!" kata Pendekar Mata Ke-

ranjang

Untuk beberapa saat kedua orang laki-laki 

ini masih tak ada yang buka mulut. Keduanya 

tampak bimbang. Namun tatkala terdengar suara 

berdebam-debam yang mendekat ke arah mereka, 

salah satu dari keduanya terlihat anggukan kepa-

la memberi isyarat. Tanpa menoleh kedua orang 

ini tampaknya sudah tahu siapa adanya yang ke-

luarkan suara berdebam-debam. Begitu suara 

berdebam-debam yang ternyata keluar dari te-

rompah Dewi Bayang-Bayang terhenti, Utusan Bi-

ru luruskan kepalanya ke depan, memandang ge-

rumbulan semak yang akarnya mengambang dan 

berwarna merah. Lalu berteriak.

"Utusan Biru dan Utusan Hitam datang! 

Pintu harap dibuka!"

Keduanya menunggu. Pendekar 108 melirik 

pada Dewi Bayang-Bayang yang kini telah berada 

di sampingnya. Lalu beralih pada Dewi Tengkorak 

Hitam yang masih tegak mematung di tempatnya 

semula. Melirik ke kiri, murid Wong Agung ini ge-

leng-geleng kepala. Karena Setan Arak terlihat ti-

dur pulas!

"Sialan! Kalau hanya ingin tidur, kenapa 

harus jauh-jauh ke sini!" maki Pendekar 108 da-

lam hati, lalu pandangannya kembali ke depan.

"Utusan Biru dan Utusan Hitam datang! 

Harap buka pintu!" kembali Utusan Biru berte-

riak.

Mendadak terdengar suara tawa mengekeh 

panjang. Hebatnya, bersamaan dengan itu tempat 

itu bergetar. Ketika suara tawa lenyap, terdengar 

suara orang berucap.

"Utusan Bilu, Utusan Hitam. Kalian benal-

benal utusan baik. Diutus mengambil kecoa kecil-

kecil yang kalian bawa empat gajah besal-besal! 

Kalian layak dibeli ganjalan.... Ha.... Ha.... Ha...! 

Pendekal Mata Kelanjang 108! Setan Alak! Dewi 

Bayang-Bayang dan Dewi Tengkolak Hitam! Sela-

mat datang di kawasan hutan lalangan...! Pengu-

asa Hutan Lalangan memang menghalap kehadi-

lan kalian, lebih-lebih Pendekal Mata Kelanjang 

108! Ha.... Ha.... Ha...!"

Pendekar Mata Keranjang terkejut. Kepa-

lanya sedikit tengadah memikir. Dahinya mengernyit. "Siapa dia? Rasa-rasanya aku pernah berte-

mu atau membuat urusan dengan orang yang na-

da bicaranya cedal! Hmm.... Tapi siapa pun dia 

adanya, yang pasti dia berilmu tinggi!""

Kalau Pendekar 108 terkejut, demikian pu-

la Dewi Tengkorak Hitam. Namun keterkejutan 

gadis ini bukan karena suara yang baru saja di-

dengarnya. Melainkan karena orang menyebut 

Pendekar Mata Keranjang 108!

"'Hmm.... Ternyata dugaanku tidak mele-

set! Pemuda itu adalah pemuda yang akhir-akhir 

ini menggegerkan rimba persilatan Pendekar Mata 

Keranjang 108!"

Pendekar Mata Keranjang berpaling pada 

Dewi Bayang-Bayang. Nenek ini terlihat tenang-

tenang saja, senyumnya pun terus menyungging. 

Melirik lagi ke kiri, Setan Arak masih tampak ti-

dur pulas! Pendekar dari Karang Langit ini geser 

tubuhnya mendekati Dewi Bayang-Bayang.

"Dewi. Kau kira-kira dapat mengenali siapa 

adanya orang yang baru saja bicara?"

Dewi Bayang-Bayang gelengkan kepalanya 

perlahan.

"Selama bertahun-tahun hidup, baru kali 

ini aku menemui orang cedal berilmu tinggi! Kita 

tunggu saja siapa dia sebenarnya! Namun men-

dengar nada bicaranya, dia telah mengenalmu 

dengan baik. Berarti dia sudah pernah bertemu 

denganmu! Coba kau ingat-ingat!"

Kembali Pendekar 108 mendongak. Namun 

setelah agak lama dia berpaling kembali pada

Dewi Bayang-Bayang dengan menggeleng.

"Aku gagal mengingatnya! Mungkin Setan 

Arak mengenalinya....""

"Percuma kau bertanya padanya! Dia lebih 

ingat jenis arak daripada mengingat suara-suara 

orang!"

"Atau mungkin Dewi Tengkorak Hitam da-

pat mengenalinya!"

Dewi Bayang-Bayang keluarkan tawa per-

lahan. "Apalagi tua bangka itu! Kalau kau tanya 

tentang suara-suara mendesah merayu, dia lebih 

paham! Hik.... Hik.... Hik...!"

Saat itulah tiba-tiba terdengar kembali su-

ara tawa panjang. Namun mendadak suara tawa 

itu diputus. Yang terdengar kini suara orang be-

rucap.

""Utusan Bilu, Utusan Hitam! Atas kelja ka-

lian, kalian dikasih imbalan!" Bersamaan dengan 

sirapnya suara cedal, dari semak belukar mende-

ru angin dahsyat mengeluarkan suara mengge-

muruh laksana gelombang.

Pendekar 108 cepat tarik tangan Dewi 

Bayang-Bayang. Kedua orang ini langsung rebah-

kan masing-masing tubuhnya sejajar tanah. Di 

belakang, Dewi Tengkorak Hitam keluarkan ma-

kian panjang pendek, lalu melompat ke samping 

untuk menghindar. Di sebelah kiri, karena tidur 

pulas maka tak ampun lagi tubuh Setan Arak 

mencelat hingga beberapa tombak ke belakang. 

Anehnya, manusia arak ini bukannya jatuh 

menghempas tanah, justru melayang turun dengan perlahan dan begitu di atas tanah langsung 

meneruskan tidurnya!

Yang paling naas adalah Utusan Biru dan 

Utusan Hitam. Karena tubuhnya sebagian masih 

tertotok maka keduanya tak bisa membuat gera-

kan untuk menghindar, hingga dengan telak tu-

buh keduanya terhajar gelombang angin. Kedua 

laki-laki ini terhempas ke belakang dan berkapa-

ran di atas tanah! Sejenak tubuh keduanya terli-

hat melejang-lejang, tapi kejap kemudian diam 

tak bergerak! Tewas dengan tubuh hangus hitam!

Belum lenyap rasa keterkejutan semua 

orang, terdengar kembali suara orang cedal.

"Pendekal Mata Kelanjang! Dan kalian se-

mua, kalian telah melihat bagaimana Utusan Bilu 

dan Utusan Hitam menemui ajal. Kalian akan 

mengalami hal yang lebih dali itu! Ha.... Ha.... 

Ha...! Silakan masuk calon-calon penghuni abadi 

Hutan Lalangan...!"'

Pendekar Mata Keranjang segera bangkit. 

Wajahnya merah membara. Dengan kepalkan ke-

dua tangan dia berteriak lantang.

"Jahanam kecil! Siapa pun kau adanya, 

tunjukkan dirimu!"'

Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah 

gema suara tawa, membuat Pendekar Mata Ke-

ranjang naik pitam. Dengan kerahkan tenaga da-

lam, kembali dia berteriak.

"Keparat kecil! Kalau bukan bangsa penge-

cut, kenapa kau tidak segera unjukkan diri?!"

Gema suara tawa sirna. Kini terdengar sua

ra cedal.

"Pendekal Mata Kelanjang! Aku telah mem-

persilakan kau masuk.. Kenapa kau hanya teliak-

teliak? Apa kau takut...?!"

"Benar. Benar. Kenapa hanya berteriak-

teriak?" kali ini yang menyahut adalah Setan 

Arak.

"Sialan!"" maki Aji. Lalu kerahkan tenaga 

dalamnya. Tiba-tiba tangan kirinya berubah men-

jadi biru mencorong. Serta-merta kedua tangan-

nya dihantamkan ke arah semak belukar.

Wuuuttt!

Seberkas sinar biru melesat. Di depan, se-

mak belukar aneh itu keluarkan suara 'crasss' be-

rulang kali. Dan sekejap kemudian terlihat ge-

rumbulan semak belukar itu terabas rata. Aneh-

nya, yang mampu terabas hanya ujung atasnya 

saja, sedangkan akar-akarnya yang menggantung 

seakan tak terusik!

Karena terabas, ujung semak belukar itu 

berhamburan. Namun semua orang jadi melen-

gak. Saat ujung-ujung semak belukar itu ber-

hamburan ke udara entah dari mana datangnya, 

tiba-tiba gelombang angin dahsyat berputar-putar 

lalu menghembuskan ujung-ujung semak belukar 

itu. Kini ujung-ujung semak belukar itu bagaikan 

pisau kecil-kecil menghampar deras ke arah Aji 

dan Dewi Bayang-Bayang!

Dewi Bayang-Bayang tersenyum. Menda-

dak nenek ini membuat gerakan salto dan ketika 

kakinya melejang, kedua terompahnya disentak

kan.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua terompah besar sang nenek mencelat 

deras ke depan. Bagaikan baling-baling, kedua te-

rompah itu berputar-putar dan melabrak habis 

ujung-ujung semak belukar! Namun tiba-tiba saja 

serangkum angin menyambar ke arah terompah 

yang masing mengapung di udara.

Pendekar 108 membeliakkan sepasang ma-

tanya. Sementara Dewi Bayang-Bayang komat-

kamit. Betapa tidak, terompah hitam itu kini me-

lesat ke arahnya dan ke arah Dewi Bayang-

Bayang!

"Celaka! Dewi... Awas!" teriak Pendekar 108 

ketika diliriknya Dewi Bayang-Bayang tegak me-

matung dengan mulut komat-kamit.

"Husss! Jangan berteriak-teriak melulu! Se-

lamatkan dirimu!" kata Dewi Bayang-Bayang 

sambil membuat gerakan aneh. Kaki kiri kanan-

nya dilejang-lejangkan seperti orang sedang me-

nari. Sedangkan tangan kiri kanan meliuk-liuk ke 

bawah ke atas. Tiba-tiba tubuhnya membal ke 

atas, lalu membuat gerakan jungkir balik di uda-

ra. Pada jumpalitan ketiga, tahu-tahu tubuhnya 

tegak di atas udara dan sudah berada di belakang 

terompah! Bukan hanya sampai di situ, tubuhnya 

lantas melesat dengan posisi tetap tegak membu-

ru terompahnya! Dalam satu kejapan kaki ka-

nannya telah mengenakan terompah di atas uda-

ra!

Sementara terompah satunya terus mene

rabas ke arah Pendekar 108. "Sialan! Kalau ku-

hantam, terompah ini pasti hancur! Dan Dewi 

Bayang-Bayang pasti marah-marah! Terpaksa aku 

harus menghindar!"

Berpikir sampai di situ, Pendekar 108 lan-

tas jejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat 

cepat ke samping ke arah Dewi Tengkorak Hitam 

yang terlihat was-was.

Weeerrr!

Terompah hitam gagal menghajar tubuh 

Pendekar Mata Keranjang. Namun kini melesat te-

rus ke belakang, mengarah pada Setan Arak yang 

masih tidur-tiduran dan silih berganti sorongkan 

tangannya yang memegang bumbung arak ke mu-

lutnya.

Braaakkk!

"Sialan! Kau pecahkan bumbung arakku!" 

teriak Setan Arak. Sepasang matanya mengerjap-

ngerjap.

Lalu tangan kanannya mengambil bum-

bung araknya yang telah pecah berantakan. Sisa-

sisa arak pada bumbung bambu yang pecah diji-

latinya.

"Dasar manusia arak! Setetes pun tak rela 

jika araknya tumpah!" gumam Aji seraya geleng-

geleng kepala. Lalu melirik pada Dewi Tengkorak 

Hitam. Yang dilirik balas melirik sambil busung-

kan dada.

Di sebelah depan, begitu mendarat ke ta-

nah Dewi Bayang-Bayang langsung memaki panjang pendek.

"Kau juga sialan! Alas kakiku kau pecah-

kan jadi dua!" lalu melangkah tertatih-tatih ke 

arah Setan Arak. Diambilnya terompah hitam mi-

liknya yang sudah pecah jadi dua karena meng-

hantam bumbung Setan Arak.

"Bumbungku pecah berantakan. Alas kaki 

bututmu pecah jadi dua. Ini gara-gara manusia 

kecil tak tahu adat itu! Anak kecil kurang ajar itu 

harus diberi tahu adat istiadat!"

"Betul! Adat istiadat!" kata Dewi Bayang-

Bayang ikut-ikutan.

Kedua orang ini lantas dorong tangan mas-

ing-masing ke arah semak belukar yang tinggal 

akar-akarnya.

Wuuuttt! Wuuuttt!



DELAPAN


DUA gelombang angin melesat dari tangan 

kanan Setan Arak dan tangan kiri Dewi Bayang-

Bayang. Cuaca yang remang-remang mendadak 

berubah menjadi terang benderang. Tiada suara 

gemuruh yang terdengar. Namun apa yang terjadi 

kemudian sungguh luar biasa.

Semak belukar aneh di depan sana laksana 

terdorong kekuatan dahsyat dan perlahan-lahan 

bergerak ke belakang. Dan ketika Setan Arak un-

tuk kedua kalinya dorong tangan kanannya, se-

mak belukar itu mencelat deras ke belakang!

Bersamaan dengan mencelatnya gerumbu

lan semak belukar, tampaklah jalan setapak se-

panjang lima tombak.

Pendekar Mata Keranjang segera menggaet 

tangan Dewi Tengkorak Hitam, lalu berkelebat. 

Meski tampak enggan, namun karena tangannya 

telah tergaet, mau tak mau gadis cantik ini ikut 

berkelebat.

Sejenak Pendekar 108 hentikan tubuhnya 

di depan jalan setapak. Sepasang matanya mem-

perhatikan. Lalu berpaling pada Dewi Tengkorak 

Hitam.

"Kurasa inilah jalan menuju tempat Pengu-

asa Hutan Larangan! Ayo kita jalan duluan. Yang 

tua-tua biar belakangan!"

Dewi Tengkorak Hitam tetap diam tak me-

nyahut, membuat Pendekar 108 kernyitkan dahi. 

"Anting Wulan! Tunggu apa lagi?"

Dewi Tengkorak Hitam masih diam. Hanya 

sepasang matanya yang bulat memandang tajam 

ke arah Pendekar 108. Aji jadi salah tingkah di-

pandang begitu rupa.

"Anting Wulan...," Pendekar Mata Keran-

jang 108 tak meneruskan ucapannya, karena De-

wi Tengkorak Hitam telah buka mulut dan beru-

cap.

"Kau penipu! Kenapa tidak kau jelaskan 

dari tadi jika kau adalah manusia yang bergelar 

Pendekar Mata Keranjang 108?"

"Ah, soal itu. Sudah kukatakan, aku tidak 

bergelar. Hanya orang-orang yang menjulukiku 

demikian. Tapi sudahlah. Itu bisa kita bicarakan

nanti. Ayo!" Pendekar 108 tarik tangan Dewi 

Tengkorak Hitam. Gadis ini masih sempat mem-

berengut. Namun akhirnya menurut juga.

Perlahan-lahan keduanya melangkah di ja-

lanan setapak. Pada ujung jalan di mana terlihat 

sebuah lubang, Pendekar 108 yang berada di de-

pan hentikan langkah. Kepalanya bergerak me-

longok. Yang terlihat hanyalah cahaya kemerahan 

dan bau anyir darah!

"Apa yang kau lihat?!"" tanya Dewi Tengko-

rak Hitam ketika melihat paras wajah Pendekar 

Mata Keranjang berubah tegang sambil nyengir.

"Warna merah dan bau anyir darah!" jawab 

murid Wong Agung ini sambil layangkan pandan-

gannya jauh ke belakang. Setan Arak dan Dewi 

Bayang-Bayang terlihat berjalan pelan ke arah ja-

lanan setapak.

"Anting Wulan. Mereka rupanya telah men-

genalmu. Apakah kau pernah bertemu dengan 

mereka?"

Dewi Tengkorak Hitam terdiam sesaat. Da-

lam hati gadis ini membatin.

"Hmm.... Dia rupanya ingin mengetahui 

siapa diriku dengan memancing bicara. Aku tak 

boleh mengatakannya terus terang!""

"Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang se-

lama ini baru kudengar namanya saja. Bertemu 

orangnya baru di tempat ini! Kalau mereka telah 

mengenalku, aku tak tahu. Kenapa hal itu kau 

tanyakan?" Dewi Tengkorak Hitam balik bertanya.

Pendekar Mata Keranjang gerakkan kepa

lanya menggeleng.

"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja...."

"Hmm.... Aku tahu, dia menyembunyikan 

sesuatu. Apa Setan Arak dan Dewi Bayang-

Bayang telah mengatakan siapa diriku sebenar-

nya waktu dia bercakap-cakap tadi...? Tapi.... Me-

lihat sikapnya yang tak berubah padaku, rasanya 

kedua tua bangka itu tidak mengatakannya.... Ah, 

kenapa aku mengkhawatirkan hal itu? Apakah 

aku benar-benar tertarik pada pemuda ini?" Dewi 

Tengkorak Hitam berkata sendiri dalam hati.

Kalau Dewi Tengkorak Hitam dibuncah 

dengan kekhawatiran, Pendekar 108 sendiri di-

landa kegelisahan.

"Heran. Gadis ini usianya kira-kira masih 

sejajar denganku. Tapi banyak tokoh-tokoh tua 

telah mengenalnya. Apa memang karena keting-

gian ilmunya atau karena...."

"He.... Kau ke sini mau menyelidik apa 

hendak melamun?!" suara Dewi Tengkorak Hitam 

memutuskan kata hati Aji.

Sambil usap-usap hidungnya Pendekar 108 

segera palingkan wajahnya kembali pada lubang 

di depannya.

Weeesss!

Mendadak gelombang angin dahsyat mele-

sat dari dalam lubang disertai asap putih. Bersa-

maan dengan itu tempat di mana Pendekar 108 

dan Dewi Tengkorak Hitam berada bergetar hebat.

Pendekar Mata Keranjang yang sadar akan 

bahaya yang sedang mengancam keselamatan di

rinya juga Dewi Tengkorak Hitam segera siapkan 

pukulan sakti 'Mutiara Biru'. Tanpa berpaling pa-

da gadis di sampingnya dia berbisik.

"Anting Wulan. Kau jangan jauh-jauh dari-

ku!"

Dewi Tengkorak Hitam mengangguk perla-

han, lalu geser tubuhnya lebih merapat pada 

Pendekar Mata Keranjang.

Saat itulah mendadak gelombang angin 

dan asap itu membalik. Baik Dewi Tengkorak Hi-

tam atau Pendekar 108 terkesiap. Meski Aji hen-

dak berusaha lepaskan pukulan, namun kea-

daannya sudah terlambat. Hingga sebelum kedua 

tangannya bergerak, gelombang angin dan asap 

putih telah menghantam keduanya!

Baik Pendekar 108 maupun Dewi Tengko-

rak Hitam merasakan tubuh masing-masing me-

nerabas semak belukar lebat. Dalam keadaan se-

perti itu, Pendekar 108 masih dapat melihat jika 

semak belukar itu membentuk anak tangga me-

nurun. Dan ketika hitungan murid Wong Agung 

ini sampai dua puluh tiga tubuhnya terasa ter-

hempas di atas lantai ruangan. Lalu disusul den-

gan suara gedebukan terhempasnya tubuh Dewi 

Tengkorak Hitam di sampingnya.

Untuk beberapa saat lamanya kedua orang 

ini diam tak bergerak. Pendekar 108 merasakan 

sekujur tubuhnya bagaikan remuk. Dan ketika 

tangannya meraba dahi, terasa dua benjolan di si-

tu.

"Sialan!" maki Aji, lalu membuka kelopak

matanya dan melirik pada Dewi Tengkorak Hitam 

yang juga sedang bergerak menggeliat.

Ketika mereka telah dapat menguasai diri 

masing-masing dan memandang berkeliling, me-

reka berdua sama-sama tersentak kaget. Ternyata 

mereka berdua berada pada sebuah ruangan agak 

besar berwarna merah. Namun yang membuat 

mereka membelalak dan tekap hidung masing-

masing, ternyata warna merah yang ada pada se-

luruh dinding, langit-langit serta lantai adalah da-

rah yang telah mengering!

"Tempat celaka apa pula ini?"" kata Pende-

kar 108 sambil merambat bangkit. Tangan ka-

nannya lalu diulurkan pada Dewi Tengkorak Hi-

tam untuk menolongnya berdiri.

Baru saja Dewi Tengkorak Hitam berdiri, 

tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang 

dan bertalu-talu. Arahnya datang dari pintu besar 

yang ada pada salah satu sisi dinding.

""Pendekar Mata Keranjang 108! Akhirnya 

kau harus mati juga di tanganku! Ha.... Ha.... 

Ha...! Tapi aku ingin melihat kalian mati bersama-

sama dengan tokoh-tokoh yang kini ada dalam 

kekuasaanku! Ha.... Ha.... Ha...!"'

"Hmm.... Suara orang ini lain dengan suara 

yang tadi. Sialan! Siapa manusia di balik semua 

ini?"

"Suara itu sepertinya telah kenal betul 

denganmu. Apa kau tak bisa mengira-ngira siapa 

adanya si empunya suara?! Dia menginginkan 

kematianmu, berarti kau pernah punya masalah

dengannya, setidak-tidaknya kau pernah bertemu 

dengannya!" kata Dewi Tengkorak Hitam seraya 

usap-usap lengannya yang masih terasa nyeri 

akibat terhempas dari lubang tadi.

"Aku memang telah mencoba menduga-

duga siapa adanya orang ini, namun sejauh ini 

belum berhasil! Namun yang pasti, di balik semua 

ini ada dua orang!"

Tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang teringat 

pada Dewi Bayang-Bayang dan Setan Arak.

"Bagaimana dengan Dewi Bayang-Bayang 

dan Setan Arak? Apa mereka juga akan menyusul 

ke sini?!"

Selagi Aji memikir begitu, tiba-tiba terden-

gar kembali suara tawa mengekeh panjang. Begi-

tu suara tawa lenyap, terdengar orang berucap.

""Pendekal Mata Kelanjang! Kau tak usah 

gelisah, kedua temanmu itu pasti akan sampai 

juga ke sini. Dan kalian akan mati belsama-

sama!"

Begitu habis suara orang cedal, mendadak 

terdengar suara gemerisik. Pendekar 108 dan De-

wi Tengkorak Hitam sama-sama mendongak ke 

samping. Semak belukar yang membentuk anak 

tangga sebelah belakang tampak bergoyang-

goyang. Dan sekejap kemudian menyeruak dua 

sosok bayangan.

Bayangan yang pertama yang ternyata tu-

buh Setan Arak terlihat menukik deras lalu ber-

putar-putar jungkir balik sebelum akhirnya 

'bukkk' terhempas dengan telentang di lantai

ruangan. Dan sebelum orang tua ini sempat ber-

gerak bangkit, terlihat bayangan yang kedua yang 

ternyata tubuh Dewi Bayang-Bayang yang mun-

cul dengan menukik dan langsung terjerembab te-

lungkup. Bukan di atas lantai ruangan, melain-

kan di atas tubuh Setan Arak!

"Keparat! Kau berani raba-raba tubuhku!" 

teriak Dewi Bayang-Bayang seraya mendelik. Na-

mun dia tak segera bangkit dari atas tubuh Setan 

Arak. Malah sepasang kakinya diuncang-

uncangkan ke atas dengan bibir tersenyum-

senyum!"

""Nenek sialan! Apa kau kira tubuhmu ma-

sih pantas untuk diraba-raba? Tubuh tinggal 

rongsokan tulang di mana letak nikmatnya?!"" 

sentak Setan Arak balik memaki. Namun tak juga 

geliatkan tubuhnya agar Dewi Bayang-Bayang 

terguling dari atas tubuhnya. Sebaliknya kedua 

tangannya bergerak menakup ke atas punggung 

Dewi Bayang-Bayang! Hingga saat itu juga kedua 

orang ini saling bergumul di atas lantai ruangan.

Sesaat kemudian terdengar kembali Dewi 

Bayang-Bayang berteriak memaki.

"Laki-laki brengsek! Kau mencium bibirku!" 

sambil memaki tangan kanannya diangkat ke atas 

hendak menampar Setan Arak.

Di bawahnya, Setan Arak mendengus. Na-

mun tak lama kemudian tertawa mengekeh. Tan-

gan kirinya ikut-ikutan diangkat ke atas dan 

mencekal bahu Dewi Bayang-Bayang, hingga 

tamparan tangan sang nenek tertahan.

"Dasar perempuan! Sengaja minta cium sa-

ja marah-marah dahulu!"

"Jahanam! Kupecahkan mulutmu!" kini 

tangan sang nenek sebelah kiri yang terangkat. 

Paras Setan Arak meringis dengan mulut men-

ganga, karena sewaktu akan menahan gerakan 

tangan kiri si nenek, ternyata tangannya terjepit 

di antara tubuhnya dan tubuh Dewi Bayang-

Bayang. Namun kakek ini tak kehilangan akal. 

Kepalanya digerakkan ke atas seakan hendak 

mencium si nenek. Dewi Bayang-Bayang memaki 

lagi panjang pendek. Dan mungkin takut jika Se-

tan Arak benar-benar hendak menciumnya, dia 

gulingkan tubuhnya ke samping. Saat itulah Se-

tan Arak geser tubuhnya ke atas, hingga ketika 

tangan kiri Dewi Bayang-Bayang benar-benar 

menampar, yang terhajar adalah pantat sang ka-

kek!

"Astaga! Untung tidak ke tengah sedikit! 

Dasar perempuan, mau menghajar saja pilih ba-

rang antik!" ujar Setan Arak seraya bangkit lalu 

tertawa ngakak!

Dewi Bayang-Bayang menyumpah habis-

habisan. Lalu bergerak bangkit dan merapikan 

pakaiannya. Bibirnya terlihat tersenyum!

"Dasar orang gila! Nyawa sudah di ujung 

tanduk masih juga bertawa ria!" maki Dewi Teng-

korak Hitam seraya memberengut.

"Itulah nikmatnya orang-orang aneh. Tak 

peduli keadaan dan situasi! Malah kalau bisa in-

gin bersenda gurau saat meregang nyawa!" sahut

Pendekar 108 sambil senyum-senyum.

"He...! Apa yang lucu?! Apa kau kira ini da-

gelan, heh...?!" tiba-tiba Dewi Bayang-Bayang 

membentak.

Pendekar Mata Keranjang tarik-tarik kuncir 

rambutnya. Sejenak dia melirik pada Setan Arak. 

Kakek ini ternyata telah tenggelam kembali den-

gan bumbung araknya.

"Repot menghadapi orang-orang aneh. Dia 

berbuat lucu tapi tak boleh orang tertawa!" Pen-

dekar 108 lantas melangkah ke arah Dewi 

Bayang-Bayang. Dia hendak mengatakan sesuatu 

agar si nenek tidak marah. Namun baru tiga 

langkahan kaki, Setan Arak telah keluarkan uca-

pan.

"Anak muda! Jangan heran. Itulah tanda-

tandanya seorang nenek sedang kasmaran! Melu-

cu dianggap mendagel, mendagel dianggapnya 

melucu! Ha.... Ha.... Ha...!"

"Dasar laki-laki gila! Apa dikira ucapannya 

itu lucu hingga tertawa begitu rupa, heh...?! 

Hik.... Hik.... Hik...!" Dewi Bayang-Bayang ikut-

ikutan tertawa cekikikan. Mungkin karena saking 

kerasnya, tanpa disadari dari bagian belakang tu-

buhnya terdengar suara mendesis panjang.

Pendekar 108 yang berada tak jauh dari 

Dewi Bayang-Bayang segera takupkan tangannya 

pada hidung, karena bersamaan dengan terden-

garnya suara mendesis, menghampar bau busuk 

menyengat! Dan serta-merta dia segera melompat 

ke samping, ke dekat Setan Arak.

"He.... Ada apa?!" seru Setan Arak melihat 

perubahan pada Aji.

"Dia...," Pendekar 108 tak meneruskan 

ucapannya, karena keburu bahunya terguncang-

guncang menahan tawa.

"Dia.... Dia kenapa?!" kejar Setan Arak 

sambil melangkah mendekat.

"Dia kentut...," jawab Pendekar 108 lalu tu-

runkan tangan dari hidung untuk mendekap mu-

lutnya agar suara tawanya tidak terdengar. Di 

sampingnya Setan Arak telah tertawa ngakak.

Dewi Bayang-Bayang bantingkan sepasang 

kakinya. Dari mulutnya terdengar makian pan-

jang pendek. Namun sesaat kemudian dia ikut-

ikutan tertawa.

"Orang-orang edan!" gumam Dewi Tengko-

rak Hitam melihat tingkah ketiga orang di hada-

pannya.

Selagi tawa riuh rendah melingkupi ruan-

gan itu, tiba-tiba pintu yang ada pada salah satu 

sisi dinding terbuka. Seberkas sinar putih mem-

bersir keluar.

Ketiga orang sama-sama putus tawa mas-

ing-masing. Mata mereka memandang tajam ke 

arah pintu.


SEMBILAN



MENDADAK terdengar suara tawa keras 

membahana. Ruangan di mana mereka berada terasa bergetar hebat. Tatkala gelegar suara sirap, 

tahu-tahu di ambang pintu terlihat sebuah kursi 

besar berwarna merah. Di atasnya duduk sesosok 

tubuh besar yang wajahnya ditutup dengan ka-

rung goni dan hanya menyisakan pada bagian 

mata. Pakaian bawahannya berupa jubah besar 

berwarna merah. Di sampingnya berdiri sesosok 

tubuh yang wajahnya juga ditutup dengan karung 

goni. Dia juga mengenakan jubah warna merah. 

Di atas kepalanya tampak sebuah caping lebar.

Dewi Tengkorak Hitam terlihat terkesiap 

dan surutkan langkah mundur. Sementara Pen-

dekar Mata Keranjang membeliakkan sepasang 

matanya seakan ingin mengenali siapa adanya 

dua sosok yang berada di ambang pintu. Hanya 

Dewi Bayang-Bayang dan Setan Arak yang terlihat 

tenang-tenang saja. Malah Setan Arak tampak 

mendongak lalu dekatkan bumbung bambu arak-

nya. Sebentar kemudian dia tenggelam dalam ge-

legukan araknya. Sementara Dewi Bayang-Bayang 

tersenyum-senyum sambil elus-elus rambutnya 

yang tipis dan kaku!

"Hmm.... Pasti ini manusia yang menama-

kan dirinya Penguasa Hutan Larangan. Dugaanku 

tidak meleset. Mereka ada dua orang! Siapa jaha-

nam itu?" kata Pendekar 108 dalam hati.

"Manusia pengecut! Buka topeng kalian! 

Tunjukkan siapa sebenarnya kalian!" teriak Dewi 

Tengkorak Hitam.

Sosok berjubah merah bercaping tertawa 

mengekeh. Sejenak dia berpaling pada sosok yang

di atas kursi. Lalu luruskan kepalanya kembali 

dan memandang satu persatu pada keempat 

orang yang ada di ruangan.

"Anting Wulan! Kau tak usah meradang. 

Saat kau dan teman-temanmu itu meregang nya-

wa, kau akan tahu siapa kami! Kami ingin kalian 

mati dalam penasaran! Ha.... ha.... ha...!" Anting 

Wulan sejenak terkesiap. Diam-diam membatin.

"Hm.... Dia mengetahui namaku. Siapa 

bangsat ini sebenarnya?!" sambil membatin sepa-

sang mata Anting Wulan memandang tak berke-

sip ke depan.

Pendekar 108 mendekat ke arah Setan 

Arak, lalu berbisik.

"Kek! Apa kau tak bisa mengenali siapa ki-

ra-kira mereka itu...?!"

"Puaaahhh! Apa untungnya mengenali ti-

kus dalam karung! Tapi kalau boleh menebak, 

tampang-tampang mereka pasti lebih jelek dari 

tampangku. Karena di hadapanku saja susah-

susahnya mereka mencari karung untuk bersem-

bunyi! Gluk.... Gluk.... Gluk...!"

Mendapati jawaban Setan Arak, Pendekar 

108 mau tak mau tersenyum. Namun karena pe-

nasaran, dia lantas mendekat pada Dewi Bayang-

Bayang.

"Dewi.... Menurutmu siapa sebenarnya me-

reka?!"

"Anak bodoh! Kenapa kau repot-repot men-

duga? Apa kau tak tahu, manusia yang akan ber-

satu dengan tanah biasanya berlagak aneh-aneh!"

"Itulah.... Jadi seorang pendekar memang 

banyak aral lintangnya!" yang keluarkan suara 

kali ini Setan Arak. "Di mana-mana punya mu-

suh! Bahkan sampai tikus dalam karung goni pun 

memusuhi! Ha... Ha... Ha...!"

"Nah, kau dengal ucapan tua bangka itu? 

Pendekal itu banyak musuhnya! Hingga bayi-bayi 

yang belum benal ucapannya pun menginginkan 

nyawanya!" sahut Dewi Bayang-Bayang dengan 

suara dicedalkan.

Pendekar Mata Keranjang hanya bisa usap-

usap hidungnya. Lalu melirik pada Dewi Tengko-

rak Hitam. Dan sebelum dia melangkah mende-

kat, dari pintu terdengar ucapan.

"Kalian bicaralah sepuas-puasnya. Karena 

saat ini adalah terakhir kalian bisa buka mulut!"

Di belakang, Setan Arak terdengar gelegu-

kan beberapa kali, lalu tertawa mengekeh dan 

berkata.

"Rayi Seroja!" katanya memanggil nama asli 

Dewi Bayang-Bayang. "Nasib kita nyatanya sung-

guh tidak baik. Malam ini ternyata menjadi ma-

lam terakhir. Bagaimana kalau malam terakhir ini 

kita isi dengan berjoget ria sambil mabuk? Untuk 

malam terakhir dalam hidupmu, kau tak kebera-

tan bukan jika merasakan arakku?" Tangan ka-

nannya lalu menyorongkan bumbung bambu pa-

da si nenek.

Dewi Bayang-Bayang keluarkan lengkingan 

tinggi, lalu tertawa cekikikan. Disambutnya bum-

bung bambu dari tangan Setan Arak. Dan perlahan-lahan pula diteguknya arak yang ada dalam 

bumbung bambu. Setelah itu sambil bergumam 

tak karuan, kedua orang ini menggerak-gerakkan 

kaki dan tangannya seakan gerakan orang sedang 

menari-nari. Hebatnya, bersamaan dengan gera-

kan tangan dan kaki kedua orang ini, ruangan itu 

bergetar! Jelas menandakan jika gerakan tangan 

serta kaki kedua orang ini bukan gerakan biasa!

Pendekar 108 hanya bisa geleng-geleng ke-

pala, sementara Dewi Tengkorak Hitam memaki 

panjang pendek dalam hati:

Tiba-tiba sosok berjubah merah di atas 

kursi angkat tangan kanannya. Dari arah bela-

kangnya mendadak muncul dua orang laki-laki. 

Mereka mengenakan jubah besar warna putih dan 

hijau. Di kepalanya terlihat ikat kepala berwarna 

sama dengan jubah yang dikenakannya. Wajah 

keduanya ditutup dengan sepotong kulit tipis, 

hingga paras mukanya tak bisa dikenali.

Sosok besar di atas kursi anggukkan kepa-

la. Bersamaan dengan itu, dua laki-laki berjubah 

putih dan hijau yang bukan lain adalah Utusan 

Putih dan Utusan Hijau melesat ke bawah. Mere-

ka sebenarnya hendak melesat ke arah Setan 

Arak dan Dewi Bayang-Bayang, namun saat itu 

juga Pendekar Mata Keranjang dan Dewi Tengko-

rak Hitam berkelebat menyongsong. Hingga Utu-

san Putih dan Utusan Hijau hentikan lesatan tu-

buh masing-masing dan kini berhadapan dengan 

Aji dan Dewi Tengkorak Hitam.

Tanpa keluarkan kata-kata lagi, Utusan Hi

jau segera meloncat ke arah Pendekar Mata Ke-

ranjang dan serta-merta kedua tangannya dihan-

tamkan ke arah kepala! 

Wuuuttt!

Luar biasa. Tangan belum sampai mengha-

jar sasaran serangkum angin dahsyat telah mele-

sat mendahului. Tahu hal demikian, murid Wong 

Agung ini maklum jika laki-laki di hadapannya ti-

dak bisa dianggap sepele. Pendekar 108 segera 

rundukkan sedikit kepalanya dan ditarik ke bela-

kang. Kedua tangannya diangkat dan dihantam-

kan ke samping memapak pukulan lawan.

Prakkk! Prakkk!

Utusan Hijau berseru tegang. Kedua tan-

gannya terasa hendak penggal. Dia segera me-

lompat mundur. Kedua kakinya terlihat bergetar. 

Jelas bahwa dia sedang menahan sakit pada ke-

dua tangannya yang baru saja bentrok dengan 

tangan Pendekar 108. Tiba-tiba laki-laki berjubah 

hijau ini takupkan kedua tangannya sejajar dada. 

Mulutnya komat-kamit.

Pendekar Mata Keranjang 108 sadar jika 

lawan akan lakukan serangan dengan jurus anda-

lan. Diam-diam dia pun kerahkan tenaga dalam 

dan disalurkan pada kedua tangannya.

Didahului bentakan garang, Utusan Hijau 

serta-merta hantamkan kedua tangannya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Terdengar suara menggemuruh dahsyat 

disertai menyambarnya gelombang angin, lalu la-

rikan-larikan sinar hijau menyusuli di belakang

nya.

Pendekar Mata Keranjang terkesiap seje-

nak. Namun sesaat kemudian tangan kirinya di-

tarik ke belakang perlahan-lahan, sementara tan-

gan kanan sejajar dada. Terjadilah hal yang men-

gagumkan!

Sambaran gelombang angin serta larikan-

larikan sinar hijau tiba-tiba seakan tertahan 

hingga bergerak lambat! Anehnya gelombang serta 

larikan hijau itu bergerak ke arah telapak tangan 

kiri Pendekar 108!

Di depan, Utusan Hijau tampak melengak 

kaget. Dan sebelum lenyap rasa kagetnya, tubuh-

nya tiba-tiba bergetar, dan perlahan-lahan berge-

rak ke depan. Bagaimanapun dia kerahkan tena-

ga dalam untuk mengatasi tubuhnya yang ternya-

ta tersedot telapak tangan kiri Aji namun sia-sia. 

Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terus berge-

rak ke depan.

Utusan Hijau keluarkan bentakan keras. 

Dalam keadaan bahaya demikian ia tampaknya 

bergerak tanpa perhitungan. Sambil terus coba 

menahan tubuhnya dia julurkan tangan kiri ka-

nan untuk menangkap kepala Pendekar 108. Na-

mun murid Wong Agung ini telah waspada. Sebe-

lum kepalanya dapat ditangkap, tangan kanannya 

dipukulkan ke depan. Sementara tubuhnya dipu-

tar setengah lingkaran dengan kaki kanan me-

nyapu deras.

Bukkk!

Utusan Hijau keluarkan pekikan tinggi.

Tubuhnya berputar dan kepalanya deras meng-

hantam lantai ruangan. Namun pekikannya ter-

putus tiba-tiba bersamaan ajal menjemput nya-

wanya!

Pendekar 108 usap keringat yang memba-

sahi dahinya. Lalu menarik napas dalam-dalam. 

Murid Wong Agung memang baru saja lancarkan 

jurus 'Bayu Kencana'. Ilmu penyedot kekuatan 

lawan yang didapatnya dari tokoh perempuan tua 

yang tak mau sebutkan nama. (Tentang jurus 

sakti 'Bayu Kencana' silakan baca serial Pendekar 

Mata Keranjang 108 dalam episode: 'Geger Para 

Iblis').

Pendekar Mata Keranjang lalu berpaling ke 

samping. Di situ terlihat Dewi Tengkorak Hitam 

sedang angkat tangannya yang telah memegang 

butiran kecil tengkorak hitam. Mulutnya lalu me-

niup. Tengkorak kecil di tangannya mendadak 

menggelembung dan sekejap kemudian telah be-

rubah menjadi tengkorak hitam sebesar kepala 

manusia.

Di depannya, Utusan Putih yang telah ke-

luarkan darah dari mulut dan hidungnya tampak 

tegang. Dia melirik pada sosok yang ada di atas 

kursi. Namun yang dilirik seolah tak mengerti 

membuat nyali laki-laki berjubah putih ini makin 

lumer, apalagi melihat Utusan Hijau telah mene-

mui ajal.

Dalam keadaan begitu, Dewi Tengkorak Hi-

tam serta-merta lemparkan tengkorak yang ada di 

tangan kanannya. Tengkorak hitam itu melesat

cepat dengan keluarkan suara deruan keras. Se-

rangkum angin pun melesat mendahului tengko-

rak!

Utusan Putih laksana sirap darahnya. La-

ki-laki ini segera angkat kedua tangannya, namun 

karena nyalinya telah hilang, gerakannya menjadi 

lamban, sehingga sebelum kedua tangannya sem-

pat menghantam, angin deras datang mendahului 

lesatan tengkorak menghajar kaki kirinya.

Desss!

Utusan Putih meraung keras. Tubuhnya 

terhuyung-huyung. Saat itulah tengkorak hitam 

menghantam dadanya! Laki-laki ini langsung ter-

jungkal dan terkapar di lantai ruangan. Jubah di 

bagian dada terlihat menganga lebar dan tengko-

rak hitam menancap di dadanya! Laki-laki ini 

menggapai-gapai sebentar, lalu diam dengan 

nyawa melayang!

"Eh.... Ternyata bukan hanya kita saja 

yang akan menghadapi Malaikat Maut. Dua te-

man kita rupanya telah mendahului. Sayang.... 

Mereka tidak ikut menikmati arakku dahulu!" ka-

ta Setan Arak sambil terus bergoyang-goyang ke 

kiri kanan.

"Kasihan.... Mereka tewas dalam ketegan-

gan. Hik.... Hik.... Hik...!" sahut Dewi Bayang-

Bayang dengan celingukan melihat pada tubuh 

Utusan Hijau dan Utusan Putih.

Sosok berjubah merah bercaping di sebelah 

kursi keluarkan gerengan keras. Sepasang ma-

tanya dari lubang karung goni terlihat mendelik

besar, memandang liar ke arah Pendekar Mata 

Keranjang dari Dewi Tengkorak Hitam.

"Kek!" tiba-tiba sosok di atas kursi berkata. 

"'Apa waktu meleka telah habis?"

Sosok bercaping lebar yang dipanggil kakek 

hanya anggukkan kepala tanpa memandang pada 

yang bertanya.

""Manusia pengecut! Turunlah. Aku Dewi 

Tengkorak Hitam menantang kalian! Jangan 

tanggung-tanggung. Majulah sekalian berdua!"" 

teriak Dewi Tengkorak Hitam seraya melompat ke 

hadapan sosok yang duduk di atas kursi.

Sosok berjubah merah bercaping keluarkan 

tawa mengekeh. Tangan kanannya menepuk baju 

orang yang di atas kursi. Tiba-tiba sosok yang di 

atas kursi angkat kedua tangannya dan didorong 

pelan saja ke depan.

Weeesss! Weeesss!

Dua gelombang angin dahsyat laksana 

gempuran ombak menghampar ke arah Dewi 

Tengkorak Hitam bersamaan dengan itu ruangan 

bergetar hebat!

Dewi Tengkorak Hitam yang tidak menduga 

sama sekali berseru lengking. Ia cepat membuat 

gerakan menghindar dengan jatuhkan diri bergu-

lingan di atas lantai.

Bummm! Bummm!

Dua gelombang itu menghajar lantai hingga 

langsung terbongkar di dua tempat! Meski Dewi 

Tengkorak Hitam sempat menghindar dengan 

bergulingan namun tak urung tubuhnya masih

tersambar, hingga saat itu juga tubuhnya mence-

lat ke belakang sampai beberapa tombak.

Dengan menindih rasa tak percaya, Dewi 

Tengkorak Hitam segera bangkit. Namun gadis ini 

hentikan sejenak gerakannya, karena dadanya te-

rasa nyeri serta kakinya terasa panas. Ketika me-

lirik, dia terkejut. Kakinya ternyata telah berubah 

kebiruan! Dan dadanya sukar untuk dibuat ber-

napas! Setelah menyalurkan tenaga dalam pada 

dada dan kakinya, gadis ini cepat melompat 

mundur. Tangan kanannya menyelinap masuk ke 

balik pakaiannya dan ketika keluar lagi, di tan-

gannya telah tergenggam dua butiran tengkorak 

kecil berwarna hitam.

Tanpa banyak bicara lagi, kedua tengkorak 

hitam segera ditiupnya. Sesaat kemudian, di tan-

gannya telah tampak dua tengkorak sebesar ke-

pala manusia.

Weeesss! Weeesss!

Dewi Tengkorak Hitam lemparkan dua 

tengkorak hitam di tangannya. Angin dahsyat me-

lesat mendahului tengkorak.

Di depan sana, sosok berjubah merah yang 

duduk di atas kursi tertawa pelan bernada men-

gejek. Tiba-tiba tawanya diputus. Kedua tangan-

nya bergerak mendorong. Kali ini dengan senta-

kan keras.

Beeesss! 

Pyaaar! Pyaaarrr! 

Sambaran angin yang mendahului tengko-

rak ambyar sebelum menemui sasaran, lalu dua

tengkorak hitam pecah berantakan. Di bawah, 

Dewi Tengkorak Hitam terlihat terguncang. Ma-

tanya mendelik besar. Bukan hanya karena meli-

hat serangannya begitu mudah dihancurkan la-

wan, melainkan karena sambaran angin yang ke-

luar dari sentakan tangan sosok di atas kursi 

yang baru saja menghancurkan serangannya kini 

melesat lurus ke arahnya!

"Celaka!" gumam Aji. Meski dia coba hen-

dak lancarkan pukulan tangkisan, tapi sudah 

sangat terlambat, karena sambaran angin itu su-

dah setengah depa di depan Dewi Tengkorak Hi-

tam! Kalau dia paksakan lancarkan pukulan 

tangkisan maka apa yang akan menimpa Dewi 

Tengkorak Hitam akan lebih parah lagi, karena 

bukan mustahil jika pantulan dua serangan akan 

menghajar tubuh Dewi Tengkorak Hitam. Memikir 

sampai di situ, yang dapat dilakukan Aji hanyalah 

berseru. "Jatuhkan diri!"

Seolah baru sadar, Dewi Tengkorak Hitam 

segera rebahkan dirinya ke belakang. Sambaran 

angin lewat sejengkal di atas tubuhnya. Namun 

belum sampai menarik napas lega, tiba-tiba sam-

baran angin itu berhenti di udara, dan kini me-

nyambar membalik!

Dewi Tengkorak Hitam berseru tertahan. 

Tubuhnya tertahan dan mencelat ke depan, lalu 

membentur dinding ruangan sebelum akhirnya 

bergulingan di atas lantai ruangan. Dinding ruan-

gan itu terlihat rengkah!

Dewi Tengkorak Hitam mencoba menahan

rasa sakit di sekujur tubuhnya dengan katupkan 

bibir kuat-kuat. Tapi tak urung juga suara eran-

gan menyayat terdengar dari mulutnya. Malah 

bersamaan dengan itu dari sudut bibirnya mele-

leh darah berwarna hitam! Pakaian putihnya be-

rubah kecoklatan dan tampak koyak di sana-sini.

Sambil tertawa perlahan, sosok di atas 

kursi menarik tangannya turun ke bawah. Sosok 

yang berdiri menepuk-nepuk bahunya beberapa 

kali seraya bergumam tak jelas.

"Anting Wulan!" seru Pendekar 108 lalu 

melompat. Anting Wulan alias Dewi Tengkorak Hi-

tam buka kelopak matanya. Kepalanya mengge-

leng pelan.

"Aji.... Aku tak apa-apa! Kau harus berhati-

hati menghadapi mereka! Baru kali ini aku me-

nemukan manusia berilmu demikian tinggi!" ha-

bis berkata begitu Dewi Tengkorak Hitam berge-

rak bangkit. Sejenak tegak namun sesaat kemu-

dian kakinya goyah. Untung Pendekar 108 segera 

menyambuti tubuhnya yang hendak jatuh kemba-

li.

Dengan melangkah perlahan, digandeng-

nya lengan Dewi Tengkorak Hitam dan diajaknya 

agak menjauh ke belakang. Dengan bersandar 

pada dinding ruangan, Dewi Tengkorak Hitam 

lantas duduk bersila.

Pendekar Mata Keranjang 108 cepat balik-

kan tubuh. Melirik sebentar pada Setan Arak dan 

Dewi Bayang-Bayang. Kedua orang ini tetap ber-

gerak bergoyang-goyang seakan tak menghirau

kan apa yang terjadi.

Meski dalam hati memaki panjang pendek 

namun murid Wong Agung tak berani mengusik. 

Dia tahu betul, meski seperti tak menghiraukan, 

sebenarnya kedua orang ini tahu apa yang terjadi.

"Orang-orang aneh...," bisik Aji lalu me-

lompat ke depan.

Dua sosok di ambang pintu serentak kelu-

arkan tawa keras.

"Bagus! Kini giliranmu!" berkata sosok yang 

bercaping. Lalu tepuk pundak sosok yang di atas 

kursi.

Tahu akan apa yang terjadi, sebelum sosok 

yang di atas kursi angkat tangannya, Pendekar 

108 telah hantamkan kedua tangannya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Gelombang angin disertai hamparan hawa 

panas melesat ke arah sosok yang ada di atas 

kursi.

Yang diserang tidak membuat gerakan. Ma-

lah memperdengarkan suara tawa! Sesaat lagi ge-

lombang angin berhawa panas menghajar tubuh-

nya, sosok di atas kursi angkat tangan kanannya 

lalu mengibas ke depan.

Wuuuttt!

Terdengar suara 'pesss' lalu gelombang an-

gin berhawa panas itu membalik dan kini melesat 

ke arah Pendekar Mata Keranjang!

"Gila! Dengan mudahnya dia membalik pu-

kulanku!" bisik Aji lalu cepat jatuhkan diri sejajar 

lantai menghindari pukulannya sendiri yang mental. Begitu dapat menghindar, Pendekar 108 cepat 

pula bangkit. Dia rupanya telah dapat menduga 

jika pukulannya yang lolos akan membalik kem-

bali.

Dugaan murid Wong Agung tidak meleset. 

Gelombang angin berhawa panas yang baru saja 

dihindarinya kini menyambar dari arah belakang!

Pendekar Mata Keranjang 108 tak mau 

ambil resiko, kedua tangannya segera dihantam-

kan lagi. Bukan ke arah gelombang angin yang 

kini mengarah padanya dari belakang, melainkan 

pada sosok yang di atas kursi! Hal ini dia lakukan 

karena dia tahu, bahwa sosok yang di atas kursi-

lah yang mengendalikan angin pukulan itu. Jika 

pengendalinya dapat dilumpuhkan maka dengan 

sendirinya pukulannya akan lumpuh juga.

Namun dugaan Pendekar 108 meleset. Be-

gitu dia lepaskan pukulan, sosok yang di atas 

kursi hanya diam. Justru orang yang bercaping 

kali ini yang hantamkan kedua tangannya!

Bummm!

Terdengar gelegar hebat ketika pukulan 

Pendekar Mata Keranjang bentrok dengan puku-

lan sosok bercaping. Tubuh Aji terhuyung-

huyung. Saat itulah gelombang angin yang mem-

balik tadi menghajar dari belakang! 

Deeesss!

Pendekar 108 keluarkan seruan keras. Tu-

buhnya terjungkal ke depan dan mencium lantai 

ruangan. Darah segar tampak mengucur dari mu-

lut dan hidungnya yang mengantuk lantai ruangan.

"Sialan! Kenapa aku sampai lupa bahwa 

masih ada orang di sampingnya!" Pendekar 108 

memaki dirinya sendiri. Lalu bergerak hendak 

bangkit. Namun sebelum benar-benar bangkit, 

sosok di atas kursi dan sosok di sampingnya se-

rentak tangan masing-masing dan serentak pula 

dihantamkan ke arah Pendekar Mata Keranjang.

Wuuusss! Wuuusss!

"Celaka! Satu saja pukulannya sudah de-

mikian hebat, bagaimana kalau dua?" batin Aji 

dengan wajah tegang dan kuduk merinding. Na-

mun dia tak larut dalam ketegangan. Seraya ke-

rahkan tenaga dalam, dia cepat rebahkan diri 

kembali ke atas lantai ruangan lalu bergulingan 

dua kali. Pada gulingan ketiga, telapak tangan ki-

rinya yang telah berubah menjadi biru segera di-

hantamkan ke depan. Sementara tangan kanan-

nya yang ternyata telah memegang kipas segera 

pula dikibaskan melengkung.

Wuuuttt! Weeesss!

Seberkas sinar biru serta putih meleng-

kung membentuk kipas segera melesat ke depan. 

Bummm!

Ledakan dahsyat segera menggema di 

ruangan itu. Pendekar 108 berseru tegang. Tu-

buhnya mencelat ke belakang sampai lima tom-

bak jauhnya dan terkapar di atas lantai. Darah 

hitam meleleh dari sudut bibirnya, jelas bahwa 

murid Wong Agung ini terluka dalam.

Di atas kursi, sosoknya tampak bergetar

hebat, lalu terjengkang bersamaan dengan han-

curnya kursi. Namun sosok besar ini segera 

bangkit dan melesat turun. Belum sampai men-

ginjak lantai, kedua tangannya bergerak meng-

hantam pada Pendekar 108 yang masih terkapar!

Melihat hal ini Dewi Tengkorak Hitam ke-

luarkan jeritan, sementara Setan Arak dan Dewi 

Bayang-Bayang hentikan gerakan-gerakannya.

Paras wajah Pendekar Mata Keranjang ter-

lihat putih memucat. Tubuhnya gemetar. Dia ter-

lihat mau menggerakkan kedua tangannya, na-

mun tiba-tiba wajahnya meringis pertanda kedua 

tangannya sakit jika digerakkan, hingga dia 

urungkan menggerakkan tangan. Mungkin karena 

merasa tak bisa lagi menangkis serangan, akhir-

nya dia hanya bergulingan untuk menghindar. 

Namun sosok yang tadi di atas kursi tak memberi 

kesempatan. Dia kembali disusuli hantamannya, 

hingga tak ada kesempatan lagi bagi Aji untuk 

menghindar!

Saat yang mendebarkan itulah, tiba-tiba 

melesat dua buah benda bundar agak panjang. 

Satu menghantam tubuh Pendekar 108 satunya 

lagi memapak serangan yang mengarah pada mu-

rid Wong Agung!

Bukkk! Pyaaarrr!

Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 men-

celat, namun hal itu menyelamatkan dia dari se-

rangan. Disusul kemudian dengan pecahnya ben-

da yang ternyata adalah bumbung bambu, karena 

bentrok dengan serangan yang dilancarkan sosok

yang tadi di atas kursi.

Sosok besar berjubah merah yang kini te-

lah tegak di lantai ruangan keluarkan gerengan 

keras melihat ada yang menyelamatkan Pendekar 

108.

Dan melihat benda apa yang baru saja 

hancur dan menyelamatkan Pendekar 108, sosok 

ini segera tahu siapa adanya orang yang berbuat. 

Dengan mata berkilat merah, sosok besar ini ba-

likkan tubuh.



SEPULUH


SEPASANG mata sosok besar berjubah me-

rah berputar liar memandang tajam ke tempat di 

mana Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang tadi 

berada. Sosok ini serta-merta keluarkan gerengan 

keras. Tubuhnya bergetar pertanda dadanya telah 

diamuk amarah yang meluap. Karena ternyata 

baik Setan Arak maupun Dewi Bayang-Bayang ti-

dak ada di tempatnya tadi! Yang terlihat hanyalah 

Dewi Tengkorak Hitam yang masih duduk bersila 

seraya pulihkan tenaganya.

Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tawa 

dan suara cekikikan, namun sosok berjubah me-

rah ini tampaknya tak bisa menentukan di mana 

sumber suara tawa dan cekikikan itu, karena 

meski dia telah putar kepalanya, dia masih belum 

bisa menemukan di mana orang yang keluarkan 

tawa dan cekikikan!

"Bangsat!" maki sosok berjubah merah lalu 

bantingkan sepasang kakinya. Ruangan besar itu 

kembali bergetar. Saat itulah suara tawa dan ce-

kikikan meledak makin keras. Dan dari dalam lu-

bang lantai yang terbongkar muncul dua kepala. 

Kepala Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang!

Melihat kepala orang yang dicari muncul 

dari dalam lubang, serta-merta sosok berjubah 

merah meloncat lalu sapukan kaki kanannya.

Wuuuttt!

Suara tawa Setan Arak dan cekikikan Dewi 

Bayang-Bayang serentak sirap laksana direnggut 

setan. Dua kepala yang muncul lenyap kembali.

Sosok berjubah merah kembali keluarkan 

gerengan keras melihat sapuan kakinya hanya 

menghantam angin. Dia segera menatap tajam ke 

arah lubang bongkaran di mana kepala Setan 

Arak dan Dewi Bayang-Bayang tadi muncul. Lalu 

tanpa pikir panjang lagi, sosok besar ini segera 

hantamkan kedua tangannya ke arah bongkaran 

lubang. 

Bummm!

Lantai yang telah terbongkar itu berham-

buran. Dan begitu suara ledakan lenyap, sosok 

berjubah merah melangkah perlahan mendekati 

lantai yang kini makin menganga besar dan da-

lam.

Baru saja sosok berjubah merah ini melon-

gok ke bawah, terdengar suara tawa panjang 

mengekeh yang diseling dengan suara tawa ceki-

kikan. Bukan dari dalam lubang melainkan dari

belakang sosok berjubah merah! Dia cepat berba-

lik.

Merasa dipermainkan orang, kemarahan 

sosok berjubah merah makin meluap. Sepasang 

matanya liar menatap pada Setan Arak dan Dewi 

Bayang-Bayang yang kini ada di hadapannya. 

Anehnya, ditatap angker begitu rupa dua orang 

ini seakan tidak menghiraukan. Mereka tertawa 

dan tersenyum tanpa memandang ke arah sosok 

berjubah merah.

Di ambang pintu, sosok berjubah merah 

dan bercaping gelengkan kepalanya perlahan.

"Hm.... Jika dia terpancing amarah, maka 

sulit baginya melumpuhkan kedua tua bangka

itu! Dan bukan mustahil malah dirinya yang akan 

celaka! Aku harus segera memberitahu!" gumam 

sosok bercaping, lalu melayang turun.

"Menghadapi tua bangka itu, jangan den-

gan marah! Seranganmu akan mudah dielakkan 

mereka!" bisik sosok bercaping begitu dekat den-

gan sosok berjubah merah besar.

Habis berbisik, sosok yang bercaping me-

langkah ke arah Pendekar 108 yang kini telah 

duduk bersandar dan pejamkan sepasang ma-

tanya. Sekonyong-konyong, tanpa menunggu lagi 

sosok ini hantamkan kedua tangannya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

"Eeeh.... Tikus karung beraninya sama 

manusia yang tak berdaya!" teriak Dewi Bayang-

Bayang, lalu kebutkan pakaian gombrongnya.

Weeerrr!

Pukulan yang dilepaskan sosok bercaping 

ambyar berantakan sebelum mencapai sasaran!

"Keparat!" bentak sosok bercaping. Lalu ba-

likkan tubuh dan serta-merta meloncat ke arah 

Dewi Bayang-Bayang, kedua tangannya bergerak 

menghantam kepala si nenek.

Si nenek tersenyum. Kedua tangannya di-

angkat melindungi kepalanya, sementara kaki 

kanannya melejang deras ke depan.

Prakkk!

Terdengar benturan keras tatkala dua pa-

sang tangan bertemu. Sosok bercaping keluarkan 

seruan tertahan. Lalu melompat mundur. Saat 

itulah kaki kanan Dewi Bayang-Bayang mengha-

jar.

Sosok bercaping terhuyung-huyung sesaat 

sambil memegangi dadanya, lalu roboh berlutut di 

atas lantai ruangan. Sosok ini keluarkan dengu-

san keras. Sepasang matanya lantas memejam 

sesaat. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan 

hingga capingnya menyentuh lantai. Sekonyong-

konyong tubuh sosok bercaping ini berputar cepat 

lalu hilang dari pandangan mata.

Dewi Bayang-Bayang dongakkan kepala. 

Mulutnya komat-kamit. Sepasang matanya yang 

sipit liar mencari-cari. Saat itulah di depan kepa-

lanya mendadak saja berdesir angin kencang. 

Dan belum sempat nenek ini melihat apa yang 

terjadi, tahu-tahu sepasang tangan sosok bercap-

ing telah melabrak bahu kanan kirinya.

Desss! Desss!

Dewi Bayang-Bayang mental sampai bebe-

rapa tombak dan jatuh bergulingan. Anehnya, tak 

terdengar suara erangan dari mulut nenek ini, ju-

stru yang tampak adalah senyumnya yang me-

nyungging!

"Setan alas!" maki sosok bercaping begitu 

mengetahui pukulannya hanya mampu membuat 

tubuh Dewi Bayang-Bayang terguling sambil ter-

senyum. Sadar jika lawan tangguh, sosok ini sea-

kan tak mau memberikan kesempatan pada Dewi 

Bayang-Bayang, karena begitu terlihat si nenek 

hendak bergerak bangkit, dia telah menerjang! 

Kedua tangannya pun bergerak kirimkan puku-

lan!

Setan Arak yang masih berdiri berhadapan 

dengan sosok besar terkesiap. Dewi Tengkorak Hi-

tam melotot besar, sementara Pendekar Mata Ke-

ranjang yang telah buka kelopak matanya buka 

mulut lebar-lebar seakan hendak berteriak mem-

peringatkan. Namun suaranya tak terdengar.

Tapi semua mata yang melihat serentak ja-

di melotot dengan napas menghela panjang. Beta-

pa tidak, sebelum gelombang angin dahsyat serta 

terjangan kaki menghajar tubuh Dewi Bayang-

Bayang, nenek ini tekankan kedua siku dan lu-

tutnya pada lantai. Tubuhnya lantas melenting ke 

udara. Di udara nenek ini membuat gerakan jum-

palitan beberapa kali, hingga pukulan dan terjan-

gan sosok bercaping menggebrak tempat kosong 

dan terus menerabas menghajar dinding ruangan. 

Dinding ruangan itu ambrol dan langsung berlubang besar!

Begitu serangan lewat, Dewi Bayang-

Bayang cepat mendarat. Namun cuma sesaat, ka-

rena dia hanya menjejakkan sepasang kakinya. 

Hingga tubuhnya kembali melenting ke atas. Di 

udara si nenek membuat gerakan aneh. Sepasang 

kakinya digerak-gerakkan seperti orang menari, 

melejang ke samping kanan dan kiri.

Di depannya, sosok bercaping tenang-

tenang saja seolah menunggu dengan keluarkan 

tawa mengekeh. Tiba-tiba suara tawanya terputus 

dengan mata membelalak ketika mengetahui tu-

buh Dewi Bayang-Bayang serta-merta melesat ce-

pat ke arahnya. Sepasang kakinya merentang, 

namun begitu dekat tiba-tiba kaki itu bergerak 

menutup dan menjepit kepala sosok bercaping!

Seeettt!

Bukkk! 

Dewi Bayang-Bayang putar tubuhnya ke 

samping, hingga saat itu juga tubuh sosok ber-

caping terbanting deras menghantam lantai ruan-

gan! Dewi Bayang-Bayang tersenyum sejenak, lalu 

balikkan tubuh dan sebelum melangkah men-

jauh, kaki kanannya melejang ke belakang meng-

hajar kepala sosok bercaping yang ada di bela-

kangnya!

Desss!

Sosok bercaping meraung keras. Caping di 

atas kepalanya mencelat, sementara karung goni 

yang menutup wajahnya robek besar. Tubuhnya 

berguling-guling. Sejenak sosok ini bergerak

gerak seakan hendak bangkit, namun tak lama 

kemudian diam tak bergerak!

Sesaat Pendekar 108 menatap lekat-lekat 

wajah yang kini telah terbuka penutupnya.

"Restu Canggir Rumekso!" seru Pendekar 

108 begitu mengenali siapa adanya orang. Kepa-

lanya lantas sedikit tengadah mengingat-ingat. 

Tiba-tiba kepalanya lurus kembali dan meman-

dang tajam ke arah sosok besar yang kini ada di 

hadapan Restu Canggir Rumekso.

"Berarti dia adalah muridnya! Hmm.... Tak 

kusangka. Belum lama berselang anak itu masih 

belum sebesar itu. Heran. Bagaimana perkem-

bangannya bisa secepat itu. Juga ilmunya maju 

demikian pesat! Meski besar, namun dia masih 

anak-anak. Terbukti bicaranya masih cedal.... Ta-

pi anak ini berbahaya. Seingatku ia tahan puku-

lan! Mudah-mudahan Setan Arak bisa mengata-

sinya. Kasihan.... Anak itu pasti mendapat didi-

kan tidak benar dari gurunya! Bagaimanapun ju-

ga anak itu harus diselamatkan! Mungkin pikiran 

sesatnya masih bisa dirubah!" batin Aji seraya te-

rus memperhatikan sosok besar di hadapan Setan 

Arak. (Tentang Restu Canggir Rumekso dan mu-

ridnya, silakan baca serial Pendekar Mata Keran-

jang 108 dalam episode: Titisan Darah Terkutuk').

Sementara itu, melihat sosok bercaping 

terkapar diam, sosok besar di hadapan Setan 

Arak keluarkan lenguhan panjang. Kemarahan-

nya memuncak, dan karena yang ada di hada-

pannya Setan Arak, maka luapan kemarahannya

ditumpahkan pada kakek berselempang bumbung 

arak ini.

Sosok besar di hadapan Setan Arak angkat 

tangannya tinggi-tinggi. Lalu ditarik ke belakang 

dan serta-merta dihantamkan ke arah Setan 

Arak.

Wuuttt! Wuuuttt!

Sinar menyala merah melesat dengan dis-

ertai suara deru dahsyat.

Setan Arak tercenung sesaat. Dia seakan 

tahu jika serangan lawannya kali ini tak boleh di-

anggap main-main. Karena jika seseorang mampu 

mengeluarkan dua pukulan sekaligus dalam satu 

hantaman, jelas jika orang tersebut memiliki te-

naga dalam luar biasa. Menyadari hal itu, kakek 

peminum ini segera melompat mundur, bumbung 

arak di tangan kanan kirinya segera dilemparkan 

ke depan. Lalu kedua tangannya segera pula 

mendorong mengirimkan serangan susulan. 

Pyaaarrr! Pyaaarrr!

Dua bumbung bambu langsung pecah be-

rantakan terabas sinar menyala merah. Hebatnya 

sinar menyala merah yang disertai gelombang an-

gin itu terus menerabas ke arah Setan Arak.

Bummm!

Terdengar ledakan dahsyat tatkala sinar 

menyala merah dan gelombang angin bentrok 

dengan pukulan yang dilancarkan Setan Arak. 

Sinar merah menyala ambyar dan menimbulkan 

percikan lidah api ke mana-mana!

Sosok besar berjubah merah angkat kem

bali tangannya. Tiba-tiba percikan lidah api sea-

kan terhembus angin dan kembali menyatu lalu 

melesat cepat ke arah Setan Arak kembali!

"Panas lawannya panas!" seru Setan Arak. 

Tangan kiri kanan segera mencabut bumbung 

arak yang bergelantungan di ikat pinggangnya. 

Serta-merta isinya ditenggak, lalu sambil melom-

pat ke udara, mulutnya menyembur keluarkan 

arak di mulutnya.

"Puaaah! Puaaahhh!"

Dari mulut Setan Arak bermuncratan air 

bening. Namun di tengah udara air bening arak 

tersebut berubah menjadi merah!

Tasss! Taasss! 

Untuk kali kedua sinar merah menyala 

ambyar terkena serbuan air merah Setan Arak, 

malah sebagian kini melesat ke arah sosok besar 

di depan!

Sosok besar berjubah merah tak membuat 

gerakan ketika semburan arak itu bermuncratan 

ke arahnya. Malah dia tertawa sambil kacak ping-

gang! Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terkena 

semburan arak.

Namun semua jadi melengak hampir tak 

percaya. Semburan arak yang mampu membuat 

lantai ruangan berlubang-lubang itu hanya mam-

pu membuat jubah merah si sosok besar berlu-

bang-lubang. Sementara sosoknya tidak cidera 

sama sekali!

"Edan! Ternyata dugaanku tidak meleset! 

Dia kebal!" desis Pendekar Mata Keranjang 108

lalu bangkit dan melangkah ke arah Dewi 

Bayang-Bayang yang saat itu tampak duduk 

menggelosoh tanpa melihat apa yang baru saja 

terjadi.

"Dewi.... Orang itu kebal pukulan!" bisik Aji 

seraya jongkok di samping Dewi Bayang-Bayang. 

Dewi Bayang-Bayang tersenyum. Tanpa berpaling 

dia berkata.

"Dari mana kau tahu?"

"Aku pernah menghadapi orang itu! Dia 

adalah murid Canggir Rumekso yang tadi kau 

buat tewas...," jawab Pendekar 108 seraya melirik 

ke arah tubuh Restu Canggir Rumekso.

"Lalu menurutmu bagaimana cara yang 

baik menghadapinya?!" tanya Dewi Bayang-

Bayang tetap tanpa berpaling.

"Dirobohkan dulu lalu diikat!"

"Hmm.... Begitu?" gumam Dewi Bayang-

Bayang lalu berpaling ke samping melihat pada 

tubuh Utusan Putih dan Utusan Hijau yang telah 

jadi mayat.

"Tanggalkan jubah kedua orang itu! Lalu 

sobek-sobek jadikan tali!" kata Dewi Bayang-

Bayang seraya menunjuk pada mayat Utusan Pu-

tih dan Utusan Hijau.

Tanpa berkata lagi, Pendekar Mata Keran-

jang bangkit dan mendekati tubuh Utusan Putih 

dan Utusan Hijau. Dengan gerak cepat jubah ke-

dua orang ini segera ditanggalkan. Lalu kipas un-

gunya dikeluarkan. Dengan ujung kipas kedua 

jubah itu disobek-sobek menjadi beberapa serpihan. Dan dengan cepat pula disambungnya serpi-

han-serpihan jubah itu hingga menjadi tali pan-

jang.

"Berikan pada tua bangka itu!" seru Dewi 

Bayang-Bayang.

Pendekar 108 cepat gulung serpihan jubah 

yang kini telah menjadi tali. Dan sambil meme-

gangi tali itu dilemparkan pada Setan Arak.

Setan Arak sejenak menimang-nimang gu-

lungan tali dari serpihan jubah itu. Wajahnya ter-

lihat masih tak mengerti dengan maksud Aji 

memberikan tali itu padanya. Namun setelah mu-

rid Wong Agung memberi isyarat dengan putar-

putar tangannya pada tubuh, Setan Arak mang-

gut-manggut.

Mungkin mengetahui lawan tahu kelema-

hannya, sosok berjubah merah kepalkan kedua 

tangannya. Lalu tangannya diangkat ke atas. Dari 

mulutnya terdengar suara mendengus keras. Na-

mun belum sampai sosok ini hantamkan kedua 

tangannya Setan Arak telah kebutkan tali di tan-

gannya.

Wuuuttt!

Seeettt! Seeettt!

Tali serpihan jubah itu meliuk deras dan 

menjerat kedua tangan sosok besar. Sosok ini 

menggeram marah, karena gerakan tangannya 

tertahan. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya agar tangannya terlepas. Na-

mun Setan Arak segera kebut-kebutkan talinya, 

hingga sosok berjubah merah terhuyung maju

mundur.

"Kepalat!" maki sosok berjubah merah den-

gan suara cedal.

Kedua tangannya yang masih terjerat tali 

diluruskan ke depan, dan serta-merta kakinya di-

bantingkan ke lantai. Hebatnya, saat itu juga ke-

dua telapak tangannya tampak berubah putih, 

bertanda sosok ini salurkan tenaga dalam sepe-

nuhnya pada kedua tangannya. Sadar jika sosok 

ini hendak menghantam dengan kedua tangannya 

meski masih terjerat, Setan Arak kendorkan tali 

di tangannya. Dan ketika benar-benar sosok ber-

jubah merah hantamkan kedua tangannya, Setan 

Arak cepat tarik tali kuat-kuat. Hingga hantaman 

tangan sosok berjubah merah melenceng ke atas 

mengikuti gerakan tangannya yang tertarik ke 

atas.

Baakkk! Brrruuulll!

Gelombang sinar putih yang melesat dari 

telapak tangan sosok berjubah merah menyambar 

ke atas menghantam langit-langit ruangan. Lan-

git-langit itu langsung jebol dan berlubang besar!

Begitu hamburan langit-langit sirap, tam-

paklah sinar kuning cahaya rembulan menerobos 

melalui lubang langit-langit ruangan.

Setan Arak tak menunggu lama, begitu ke-

dua tangan sosok berjubah merah menghajar lan-

git-langit, tubuhnya berkelebat lenyap.

Sosok berjubah merah tercekat tegang 

tatkala merasakan desiran angin berputar-putar 

mengitari tubuhnya. Dan sebelum dia sempat

berbuat sesuatu tubuhnya telah terikat tali serpi-

han jubah!

"Jahanam! Kepalat! Lepaskan aku!" teriak 

sosok berjubah merah sambil meronta-ronta dan 

angkat tubuhnya loncat-loncat. Terdengar deba-

man berulang kali begitu kaki sosok berjubah me-

rah menjejak di lantai.

"Ah, tarianmu jelek! Mari kuajarkan tarian 

yang bagus!" berkata Setan Arak yang ternyata 

kini berada di belakang sosok berjubah merah. 

Habis berkata begitu, Setan Arak tenggak arak-

nya, lalu menari-nari. Tangan kiri kanan melejang 

ke atas ke bawah, sementara kakinya merentang 

menutup. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat dan 

menyahut karung goni penutup wajah sosok ber-

jubah merah!

Kini tampaklah wajah sosok berjubah me-

rah itu. Ternyata paras wajahnya masih kekanak-

kanakan. Hanya wajah itu menggembung besar. 

Sepasang matanya besar. Hidungnya besar dan 

pesek. Bibirnya tebal, sedang rambutnya tebal 

dan kaku menjuntai.

"Hmm.... Wajahnya hampir tak berubah. 

Hanya tubuhnya yang membengkak besar!" bisik 

Pendekar 108 dalam hati begitu melihat wajah so-

sok berjubah merah.

Dewi Tengkorak Hitam yang ada di bela-

kang orang berjubah merah segera bangkit. Lalu 

berkelebat dan kini berdiri di hadapan orang ber-

jubah merah seraya memperhatikan dengan seksama.

"Meski tubuhnya seperti gajah, namun wa-

jahnya terlihat masih seperti anak-anak! Menden-

gar suaranya yang masih cedal, juga wajahnya, 

manusia ini usianya mungkin masih sepuluh ta-

hunan! Siapa dia sebenarnya...? Murid si keparat 

Restu Canggir Rumekso...?! Bisa jadi begitu. Na-

mun ilmunya masih setingkat di atas keparat itu!" 

batin Dewi Tengkorak Hitam.

"Enaknya diapakan gajah bunting ini?" ujar 

Setan Arak lalu melangkah ke arah Dewi Bayang-

Bayang yang masih duduk menggelosoh.

"Kita penggal kedua tangannya saja biar 

kelak kemudian tak berlagak!" sahut Dewi Teng-

korak Hitam seraya melangkah mendekat.

Pendekar Mata Keranjang buka mulut hen-

dak berteriak mencegah, namun belum sampai 

suaranya terdengar sesosok bayangan melesat tu-

run dari lubang langit-langit. Lalu terdengar sua-

ra orang menegur.

"Berani sentuh anak itu putus nyawamu!"

Semua mata memandang tajam ke depan, 

sedangkan Dewi Tengkorak Hitam hentikan lang-

kahnya.

"Kau...!" seru Pendekar 108 begitu menge-

nali siapa adanya si bayangan yang kini telah te-

gak di samping sosok berjubah merah dan me-

mandang satu persatu pada semua orang yang 

ada di ruangan besar itu.


SEBELAS


DIA adalah seorang gadis muda berparas 

cantik jelita. Mengenakan pakaian warna kuning 

ketat, hingga dadanya yang besar terlihat mem-

busung menantang. Sepasang matanya jernih bu-

lat dan tajam. Rambutnya panjang dan dibiarkan 

jatuh ke punggung.

"Siapa kau?!" bentak Dewi Tengkorak Hi-

tam seraya memperhatikan gadis baju kuning 

yang tegak di samping anak berjubah merah.

Yang ditanya tersenyum sinis. Malah pan-

dangan matanya tak mengarah pada orang yang 

menegur, justru menatap lekat-lekat pada Pende-

kar Mata Keranjang yang terlihat melangkah ke 

arahnya.

"Kau jangan jual lagak di sini!" teriak Dewi 

Tengkorak Hitam sambil angkat kedua tangannya 

dan siap lancarkan pukulan. Namun gerakannya 

tertahan tatkala lengannya terasa dipegang orang.

Berpaling, terlihat Pendekar 108 telah be-

rada di sampingnya sambil memandang gadis ba-

ju kuning.

"Tunggu, Anting Wulan. Dia adalah saha-

batku!" kata Pendekar 108 lalu lepaskan cekalan 

tangannya pada lengan Dewi Tengkorak Hitam.

Dewi Tengkorak Hitam menarik napas da-

lam-dalam. Wajahnya berpaling cepat pada juru-

san lain. Diam-diam gadis ini cemburu melihat 

gadis berbaju kuning saling berpandangan dengan Pendekar Mata Keranjang 108.

"Putri Tunjung Kuning. Lama kita tak jum-

pa. Kau baik-baik saja?" kata Aji berbasa-basi be-

gitu dekat dengan gadis berbaju kuning yang bu-

kan lain adalah Putri Tunjung Kuning.

"Pendekar Mata Keranjang 108! Lupakan 

dulu berbasa-basi. Kalau kau ingin mengatakan 

sesuatu, lekas katakan! Aku tak punya waktu ba-

nyak!"

Sejenak Pendekar Mata Keranjang merasa 

terkejut mendengar nada ketus Putri Tunjung 

Kuning. Namun dia hanya bisa usap-usap hi-

dungnya. Lalu berkata.

"Putri Tunjung Kuning! Kau tahu, kami 

semua baru saja menyabung nyawa menghadapi 

manusia yang menamakan dirinya Penguasa Hu-

tan Larangan. Manusia yang akhir-akhir ini men-

jadi biang lenyapnya beberapa tokoh rimba persi-

latan. Manusia itu ternyata adalah Restu Canggir 

Rumekso dan orang yang ada di sampingmu...," 

sejenak Pendekar 108 hentikan ucapannya.

"Harap kau teruskan kata-katamu!" Putri 

Tunjung Kuning menyahut.

"Melihat sikapmu, rasa-rasanya kau telah 

mengenal orang di sampingmu!"

"Aku mengenalnya lebih dari Restu Canggir 

Rumekso keparat itu!" kembali Putri Tunjung 

Kuning menyahut dengan cepat.

"Hmm.... Begitu? Lalu siapa dia sebenar-

nya?!" tanya Pendekar 108 pura-pura tak tahu.

Putri Tunjung Kuning tertawa pelan. Namun napasnya terlihat berhembus panjang-

panjang seakan melepaskan beban yang ada di 

dadanya.

"Untuk sementara ini harap jangan me-

maksaku untuk mengatakan siapa dia sebenar-

nya! Namun yang pasti aku akan membawanya, 

dan jangan coba-coba menghalangi niatku!"

"Putri Tunjung Kuning! Dia sangat berba-

haya!"

"Pendekar Mata Keranjang! Aku tahu ten-

tang anak ini seratus kali lipat darimu! Kau tak 

usah memberitahu!" ujar Putri Tunjung Kuning, 

lalu berpaling pada jurusan lain dan melanjutkan 

ucapannya.

"Ada lagi yang hendak kau utarakan?!"

Meski sebenarnya masih ada beberapa hal 

yang ingin ditanyakan, namun karena hal itu ada 

sangkut paut pribadi Putri Tunjung Kuning dan di 

situ ada Dewi Tengkorak Hitam, maka dia berpikir 

tak pantas kiranya membicarakan hal pribadi di 

hadapan orang. Berpikir demikian, akhirnya Pen-

dekar 108 gelengkan kepalanya.

"Baik. Aku harus pergi dari sini. Anak ini 

kubawa serta!" Putri Tunjung Kuning lalu meng-

gaet tubuh anak berjubah merah. Dan ditariknya 

hendak meninggalkan tempat itu.

"Tunggu!" teriak Dewi Tengkorak Hitam 

sambil memandang tajam pada Putri Tunjung 

Kuning.

"Rupanya gadismu tak berkenan...," bisik 

Putri Tunjung Kuning, lalu balas menatap pandangan Dewi Tengkorak Hitam dan berkata.

"Apa maumu?!"

"Kami bersusah payah bahkan hampir ter-

puruk tewas di sini gara-gara menangkap manu-

sia keparat itu! Sekarang enaknya saja kau hen-

dak membawanya! Mana bisa begitu?!"

"Lantas maumu apa?!" kembalikan Putri 

Tunjung Kuning ajukan tanya.

"Tinggalkan anak jahanam itu!"

Mendengar Dewi Tengkorak Hitam menye-

but anak jahanam, wajah Putri Tunjung Kuning 

kontan berubah merah padam. Sepasang ma-

tanya membeliak merah. Pelipisnya bergerak-

gerak. Kedua tangannya bergerak.

"Tahan!" seru Aji seraya menengahi dan 

angkat tangan kirinya menahan gerakan tangan 

Dewi Tengkorak Hitam yang saat itu juga sedang 

bergerak. Sementara tangan kanannya menahan 

tangan Putri Tunjung Kuning yang juga sudah 

siap hendak memukul.

"Anting Wulan! Nanti saja kuceritakan ma-

salah ini!" lalu kepalanya berpaling pada Putri 

Tunjung Kuning. "Lekas tinggalkan tempat ini!"

Meski dengan tubuh terguncang menahan 

marah, akhirnya Putri Tunjung Kuning luruhkan 

tangannya lalu menggaet kembali anak berjubah 

merah dan melangkah ke arah tengah-tengah 

ruangan yang langit-langitnya jebol.

"Abilowo!" panggil Putri Tunjung Kuning 

pada sosok berjubah merah di sampingnya. "Kali

ini kau jangan berbuat yang tidak-tidak seperti

dulu! Jika kau masih melarikan diri seperti dulu 

lagi, aku tak segan-segan memutus kedua kaki-

mu! Kau mengerti?!"

Anak berjubah merah tak menyahut, hanya 

kepalanya bergerak mengangguk. Dengan gerakan 

cepat Putri Tunjung kuning bebaskan ikatan di 

tubuh Abilowo.

"Bagus! Ayo kita keluar dari tempat celaka 

ini!" kata Putri Tunjung Kuning lalu jejakkan ka-

kinya ke lantai ruangan. Sosok yang dipanggil Ab-

ilowo ikut-ikutan menjejak lantai ruangan. Seke-

jap kemudian tubuh keduanya melesat ke atas 

melalui lubang langit-langit lalu lenyap dari pan-

dangan.

"Kenapa mereka kau biarkan pergi begitu 

saja?! Usaha kita sia-sia jika akhirnya hanya be-

gini!" kata Dewi Tengkorak Hitam begitu Putri 

Tunjung Kuning dan Abilowo telah pergi.

"Usaha kita tidak sia-sia, Anting Wulan. 

Aku tahu siapa Putri Tunjung Kuning. Dan aku 

yakin, dia mampu merubah Abilowo menjadi 

orang baik-baik! Abilowo masih anak-anak. Butuh 

perhatian! Dan kurasa anak itu akan menda-

patkan perhatian di tangan Putri Tunjung Kun-

ing...," sejenak Pendekar 108 hentikan ucapan-

nya. Dia tercenung, lalu memandang berkeliling.

"Astaga! Ke mana perginya Setan Arak dan 

Dewi Bayang-Bayang?!" kata Aji sambil angkat 

tumitnya melongok pada lantai ruangan yang 

menganga dalam, takut jika kedua orang yang di-

cari sembunyi di situ.

Mendengar ucapan Pendekar Mata Keran-

jang, Dewi Tengkorak Hitam ikut-ikutan sapukan 

pandangannya ke seluruh ruangan. Dan nyatanya 

Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang memang 

sudah tidak ada.

"Dasar orang-orang sulit dimengerti...," 

gumam Pendekar 108 sambil gelengkan kepala. 

Saat itulah tiba-tiba dari arah belakang tangan 

Dewi Tengkorak Hitam melingkar di pinggangnya.

"Aji...," bisik Dewi Tengkorak Hitam seraya 

tekankan buah dadanya rapat-rapat ke punggung 

Pendekar 108.

Sejurus murid Wong Agung ini terkesiap, 

namun tatkala Dewi Tengkorak Hitam mencium 

tengkuknya, darah Pendekar 108 laksana diba-

kar. Tubuhnya sedikit bergetar, dadanya berde-

gup makin kencang. Dan perlahan-lahan pula ke-

dua tangannya meremas dan mengelus-elus ke-

dua tangan yang melingkar di pinggangnya.

Merasa sang pemuda mulai panas, perla-

han-lahan pula Dewi Tengkorak Hitam gerakkan 

tangannya yang melingkar di pinggang Aji, tu-

buhnya direnggangkan. Kedua tangannya lantas 

memutar tubuh Pendekar Mata Keranjang. Murid 

Wong Agung menurut saja. Dan sesaat kemudian, 

kedua orang ini telah saling berhadapan.

"Aji...," kembali Dewi Tengkorak Hitam de-

katkan kepalanya. Mulutnya setengah dibuka, 

sepasang matanya dipejamkan. 

"Busyet! Gadis ini benar-benar merontok-

kan jantung.... Tapi terlalu sayang jika kesempatan ini dilewatkan begitu saja...," Pendekar 108 

kembangkan kedua tangannya lalu melingkar pa-

da punggung Dewi Tengkorak Hitam dan menarik 

tubuhnya ke depan. Kepalanya bergerak pelan 

mendekat. Bibir gadis di hadapannya segera dipa-

gut. Dewi Tengkorak Hitam mendesah perlahan 

lalu menyambut pagutan bibir Pendekar 108.

Beberapa saat berlalu, tiba-tiba terdengar 

suara tawa riuh rendah serta tepuk sorak ramai 

di ruangan besar itu.

"Sialan! Ganggu orang saja!" kata Aji dalam 

hati sambil melepaskan pagutan dan pelukannya 

pada Dewi Tengkorak Hitam. Cepat pula ia balik-

kan tubuh. Saat itu juga sepasang mata murid 

Wong Agung ini membeliak besar, lalu menyipit. 

Dan seakan tak percaya dengan apa yang dilihat-

nya, dia kucek-kucek matanya lalu memandang 

lagi ke arah depan.

Di depan sana, terlihat beberapa orang. Di 

antaranya Setan Arak, Dewi Bayang-Bayang, Dewi 

Kayangan, Manik Angkeran, Bawuk Raga Ginting, 

serta banyak lagi yang Pendekar 108 tidak men-

genalinya.

"Busyet! Kenapa aku bisa sampai lupa ten-

tang ke mana kepergian Setan Arak serta Dewi 

Bayang-Bayang tadi...," batin Pendekar 108 lalu 

melangkah dengan wajah merah padam.

"Nah, Teman-teman. Inilah salah satu 

orang yang berjasa menyelamatkan kalian semua 

dari tangan Penguasa Hutan Larangan...," berkata 

Setan Arak seraya angkat bumbungnya lalu menenggak isinya.

"Ah, aku hanya andil sedikit. Yang bekerja 

keras sebenarnya Dewi Bayang-Bayang dan Setan 

Arak...," kata Pendekar Mata Keranjang sambil 

menjura hormat dan memandang satu persatu 

pada beberapa orang di hadapannya.

Salah seorang di antaranya, seorang laki-

laki berusia agak lanjut berpakaian hijau-hijau 

yang bukan lain adalah Manik Angkeran maju se-

langkah. Setelah bungkukkan tubuh dia berkata.

"Pendekar Mata Keranjang. Aku sebagai 

wakil dari teman-teman mengucapkan terima ka-

sih atas segala jerih payahmu hingga kami semua 

bisa bebas dari kekuasaan Penguasa Hutan La-

rangan. Budi jasamu akan dikenang dalam rimba 

persilatan...."

Beberapa saat berlalu. Di antara mereka ti-

dak ada yang buka suara kembali. Karena bebe-

rapa orang itu mengarahkan pandangan mereka 

pada beberapa sosok tubuh yang menggeletak di 

lantai ruangan.

Tiba-tiba terdengar suara orang nyeletuk. 

"Heh.... Kita tunggu apa lagi? Kita harus cepat 

tinggalkan tempat ini. Lihat, pendekar kita tam-

paknya sudah tak sabar lagi melanjutkan adegan 

mautnya. Hik.... Hik.... Hik...!"

Yang keluarkan suara ternyata Dewi 

Kayangan. Habis berkata perempuan bertubuh 

gemuk besar ini lalu melangkah ke arah tengah-

tengah ruangan yang langit-langitnya jebol besar.

"Selamat bersenang-senang, Pendekar....

Hik.... Hik.... Hik...!" ucap Dewi Kayangan, lalu 

melirik pada Dewi Tengkorak Hitam yang paras-

nya berubah merah padam. Sesaat kemudian tu-

buh besar Dewi Kayangan melesat keluar melalui 

lubang di langit-langit ruangan itu.

"Ya. Sudah waktunya kita harus pergi...," 

kata Manik Angkeran. Lalu melangkah ke arah di 

mana Dewi Kayangan tadi lenyap. Beberapa orang 

segera menyusul. Satu persatu orang tersebut la-

lu melesat keluar. Yang paling belakang adalah 

Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang.

"He.... Sini!" panggil Setan Arak pada Aji. 

Setelah dekat, Setan Arak sorongkan wajahnya 

dan berbisik.

"Kau boleh lanjutkan urusanmu dengan 

tua bangka mu yang cantik jelita itu! Tapi ingat. 

Harus tahu aturan dan adat! Jika sampai kuden-

gar tua bangka itu hamil, akan kupencet kele-

rengmu! Kau dengar?!"

Meski dalam hati memaki panjang pendek 

mendengar Dewi Tengkorak Hitam dikatakan tua 

bangka, namun akhirnya murid Wong Agung ini 

hanya bisa anggukkan kepala.

"Betul!" Dewi Bayang-Bayang menyahut 

sambil melangkah tertatih-tatih mendekat. Lalu 

dia ikut-ikutan berbisik.

"Bukan hanya perlu digencet, tapi harus 

dipotong malunya jika benar-benar menghamili 

tua bangka itu! Eh.... Astaga! Aku salah ucap. Ha-

rus dipotong kema.... Hik.... Hik.... Hik...!" Dewi 

Bayang-Bayang tidak lanjutkan ucapannya. Tangan kanannya lalu menjawil pundak Setan Arak. 

Kedua orang ini lantas sama-sama anggukkan 

kepala. Dan sekejap kemudian tubuhnya telah le-

nyap dari hadapan Pendekar Mata Keranjang 108.

"Aku masih belum mengerti kenapa mereka 

mengatakan Dewi Tengkorak Hitam tua bangka. 

Padahal orangnya cantik, bertubuh montok, 

dan...," Pendekar Mata Keranjang tak teruskan 

kata hatinya, karena saat itu lengannya telah di-

pegang oleh Dewi Tengkorak Hitam.

"Anting Wulan.... Kita harus lekas tinggal-

kan tempat ini...."

Anting Wulan alias Dewi Tengkorak Hitam 

tersenyum. Ia menggeser tubuhnya merapat pada 

Pendekar Mata Keranjang. Kedua tangannya ber-

gerak melingkar pada tubuh Pendekar 108. Lalu 

kepalanya mengangguk pelan.

"Ah, persetan dengan omongan mereka. 

Yang pasti di hadapanku perempuan ini adalah 

seorang gadis cantik, bertubuh aduhai.... Dan 

hangat...," batin Aji. Tangannya pun segera me-

lingkar pada pinggang Dewi Tengkorak Hitam.

Sesaat kemudian, keduanya melesat ke 

atas dengan berpelukan....



                           SELESAI



Segera terbit:

TAKHTA SETAN



































Share:

0 comments:

Posting Komentar