ISTANA SEMBILAN
IBLIS
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memper-
banyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
1
"Dungu! Apa maksudmu mengajakku ke
sini?!"
Seruan yang terdengar membentak meng-
gema di seluruh Hutan Angkoso yang lebat ini.
"Aku? Mengajak ke sini? He he he.... Jan-
gan mengigau, kawan. Bukankah kau yang men-
gajakku ke sini?" balas suara lain seperti tanpa
merasa bersalah.
Agaknya, dunia memang kurang ramai ka-
lau tanpa seteru. Harus ada saling berlawanan.
Ada lelaki, ada perempuan. Ada gelap, ada terang.
Ada tua, ada muda. Ada benar, ada salah. Begitu-
lah yang terjadi terhadap Lelaki Berbulu Hitam,
yang saat ini diajak oleh Pendekar Dungu ke se-
buah hutan sangat lebat. Satu sama lain saling
membenarkan dan menyalahkan, siapa yang men-
gajak mereka ke sini.
Lelaki Berbulu Hitam adalah salah satu to-
koh persilatan yang menjadi sahabat Andika, alias
Pendekar Slebor. Padahal Andika sendiri malas
untuk bersahabat dengannya. Selain bermulut
bawel, lelaki keturunan serigala itu juga berperan-
gai kasar.
Makanya, untuk mengobati 'penyakitnya'
itu, Lelaki Berbulu Hitam mendapat wangsit untuk
menemui Pendekar Slebor. Tak heran kalau Lelaki
Berbulu Hitam terus mengejar-ngejar Pendekar
Slebor. Bukan karena cinta, tapi Andika memang
sudah dianggap sebagai Tuan Penolongnya.
Sedangkan lelaki bangkotan satu lagi yang
berjuluk Pendekar Dungu, bodohnya memang ti-
dak ketulungan. Sudah bau tanah, tapi kedun-
guannya terus saja dipelihara. Dia juga salah satu
sahabat Pendekar Slebor.
"Enaknya kau ngomong! Kau memang sela-
lu bikin kepalaku mau meledak, tahu?!" bentak
Lelaki Berbulu Hitam. Seketika diserangnya Pen-
dekar Dungu yang masih menatap dengan wajah
ke bodoh-bodohan.
Dan begitu Lelaki Berbulu Hitam menye-
rang, dengan sigap Pendekar Dungu berkelit lin-
cah. Bahkan kemudian segera membalas. Maka
antar dua tokoh aneh yang sama-sama tua bangka
bau tanah itu terjadi pertarungan. Dan ini bukan-
lah sebuah pertarungan enteng, melainkan sebuah
pertarungan penuh jurus-jurus maut.
"Kepalamu memang keras, eh! Maksudku,
kau memang keras kepala. Apa kau memang ingin
mampus?!" seru Pendekar Dungu sambil terus me-
ladeni serangan Lelaki Berbulu Hitam.
"Dasar tua-tua belekan! Kau yang mesti
mampus lebih dulu!"
"Enaknya! Kalau aku mampus pun, cacing-
cacing geli memakan daging ku!"
Tubuh mereka saling berkelebat, menim-
bulkan angin menderu tajam. Serangan keduanya
dilakukan silih berganti, dengan jurus-jurus me-
nakjubkan.
Hingga pertarungan berlangsung seratus
jurus, tak ada yang kelihatan mengalah. Kedua-
duanya masih terus menyerang, tetapi lama-
kelamaan Pendekar Dungu mengangkat tangan-
nya.
"Berhenti dulu!" ujar tua bangka yang to-
lolnya minta ampun itu. Dia berusaha mengatur
nafasnya yang dicicil.
"Kenapa?" tanya Lelaki Berbulu Hitam, se-
raya menghentikan serangan.
"Kenapa? Lho, kok tanya padaku? Bukan-
kah tadi kau yang menyuruhku menghentikan
pertarungan ini?" tanya Pendekar Dungu lugu.
Wajahnya menggambarkan rasa tak bersalah.
"Wuuaah...!"
"Dasar, Dungu! Heran! Tujuh turunan aku
tak mau bertemu denganmu, kini kenapa bisa ber-
temu lagi hah?" Lelaki Berbulu Hitam menyum-
pah-nyumpah.
Pendekar Dungu tersenyum. Wajahnya jadi
sangat jelek sekali.
"Itu tandanya jodoh," sahutnya, enteng.
Mata Lelaki Berbulu Hitam membelalak.
"Jodoh? Apa kita mau main pedang-
pedangan?!"
Bukannya menyahuti, Pendekar Dungu ju-
stru menyerang dengan kecepatan sangat luar bi-
asa disertai tenaga dalam tinggi.
"Jangan mengkhayal kau, ya?! Mana sudi
aku berjodoh denganmu?" maki lelaki tua bodoh
itu.
Lelaki Berbulu Hitam menggaruk-garuk
kepalanya sendiri sambil bersalto untuk menghin-
dar. Gerakan itu dilakukan dengan sikap biasa sa-
ja, seolah sedang berdiri tegak.
"Wauah! Dasar dungu, ya tetap dungu! Su-
dah, sudah! Berhenti dulu!" teriak Lelaki Berbulu
Hitam.
"Tarik lagi kata-katamu tadi! Enaknya bi-
lang aku berjodoh denganmu!" ujar Pendekar
Dungu, masih menyerang gencar, seolah tak kenal
lelah.
"Kau yang bilang berjodoh! Bukan aku!"
maki Lelaki Berbulu Hitam sengit.
"Kau yang bilang!"
"Kau!"
"Kau!"
"Iya, iya aku bilang! Hentikan serangan
mu!"
Pendekar Dungu melenting ke belakang.
Setelah berputaran beberapa kali. Dia hinggap di
bumi bagai sehelai kapas sambil terkekeh-kekeh.
"Nah! Akhirnya kau ngaku juga, kan?" usik
Pendekar Dungu.
Lelaki Berbulu Hitam mendengus.
"Sudah, sudah! Sekarang katakan, menga-
pa kau mengajakku ke sini?"
"Hei, kau masih tidak mau mengatakan
yang sebenarnya, hah?! Kaulah yang justru men-
gajakku!" bentak Pendekar Dungu. Tetapi tiba-tiba
dia terdiam, lalu tertawa. "Ha ha ha...! Memang
aku yang mengajak mu ke sini, kan? Ah..., ternya-
ta aku memang pintar!"
Lelaki Berbulu Hitam melongo. Tetapi di-
biarkannya saja Pendekar Dungu.
"Apa kau tidak tahu kalau di sebelah timur
hutan ini ada sebuah lembah?" jelas Pendekar
Dungu.
"Lembah apa?" tanya Lelaki Berbulu Hitam.
"Mana aku tahu! Aku saja ingin tahu!"
"Iya, iya! Lalu kenapa?"
"Menurut wangsit yang kuterima dua
minggu lalu, di lembah itu ada sebuah istana yang
sangat bagus. Ha ha ha..., aku jadi ingin tidur di
ranjang yang empuk," kata Pendekar Dungu sam-
bil memejamkan matanya yang selalu dihiasi be-
lek.
"Lalu, apa yang dikatakan wangsit dalam
mimpimu itu?"
"Aku melihat Tuan Penolong kita si Andika,
mampus," papar Pendekar Dungu.
"Jangan mengigau!" dengus Lelaki Berbulu
Hitam. Mana mungkin tuan penolong kita mam-
pus! Dia itukan pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan?!"
"Aku juga tidak percaya! Tetapi mimpi ku
mengatakan demikian! Makanya, aku ingin meno-
longnya!"
"Sok tahu! Dengan tubuhmu yang kering
kerontang begitu, kau bisa apa?" ejek manusia ke-
turunan serigala itu.
Pendekar Dungu melotot.
"Aku?" tukas Pendekar Dungu, menatap
Lelaki Berbulu Hitam. "Sudah jelas aku bisa ma-
kan. Aku tau, di mana letak mulutku! Hm.... Jan-
gan-jangan..., kau yang dungu. Karena, tidak tahu
di mana letak mulutmu sendiri?"
Lelaki Berbulu Hitam mendengus. Kesal
juga dia dengan lelaki dungu ini. Namun kali ini
dia berusaha meredam amarahnya ketika teringat
dengan mimpi yang diceritakan Pendekar Dungu.
"Hei! Bagaimana dengan Tuan Penolong-
mu?!" tanya Lelaki Berbulu Hitam.
"Nah! Tadi kau bilang kau dan aku jodoh?
Lalu mengapa menanyakan pemuda itu? Dasar ti-
dak setia!"
Lelaki Berbulu Hitam menghentakkan ka-
kinya saking jengkelnya.
"Heran! Kenapa ada manusia yang dun-
gunya tidak hilang-hilang sepertimu, ya?"
Bukannya marah, Pendekar Dungu justru
menepuk-nepuk dadanya.
"Siapa dulu dong?" tukas lelaki berotak
bebal itu, bangga.
"Sudah, sudah! Aku mencari Pendekar Sle-
bor, karena ingin melihat keadaannya. Itu saja!"
ujar Lelaki Berbulu Hitam seraya melangkah me-
ninggalkan Pendekar Dungu.
"He he he.... Kalau begitu kebetulan, Aku
juga ingin menemuinya! Hei, mau ke mana kau?"
"Bukankah tadi kau bilang di lembah sebe-
lah timur hutan ini ada sebuah istana?" tukas Le-
laki Berbulu Hitam, langsung menghentikan lang-
kahnya.
"Benar."
"Kau bilang juga. Pendekar Slebor akan
mampus di sana."
"Benar."
"Dan kau bilang...." "Benar."
"Aku belum ngomong!"
Pendekar Dungu mengibaskan tangannya.
"Aku sudah tahu! Tidak usah dikasih tahu!
Belum budek!"
Lelaki Berbulu Hitam kembali melangkah.
Pendekar Dungu menggeleng-geleng.
"Heran! Kok ada orang yang pemarah se-
perti itu ya? Hmmm.... Jangan-jangan dia Lelaki
Berbulu Hitam! Lho? Dari tadi aku ngomong den-
gan siapa? Bukankah dia Lelaki Berbulu Hitam?
Ah, dasar bodohnya aku!"
***
Dua tokoh aneh yang sering berbeda pen-
dapat itu terus melangkah, mencari istana yang
disebutkan Pendekar Dungu. Sesekali mereka ber-
tengkar.
Ketika mereka keluar dari hutan, menda-
dak saja satu sosok gemulai muncul dari balik
semak. Rambutnya panjang, wajahnya jelita, ku-
litnya putih bersih ditunjang pakaian berwarna
kuning. Pas sekali! Ketika Kakinya melangkah,
pinggulnya yang indah itu bergerak.
Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam
berhenti sambil menelan ludah. Suara ludah yang
ditelan Pendekar Dungu terdengar lebih kencang.
"Memalukan!" maki Lelaki Berbulu Hitam.
"Apa urusanmu? Ludah-ludah ku sendiri!"
Sementara gadis jelita itu terus melangkah.
Seperti acuh saja pada kedua pendekar tua bang-
ka ini.
"Neng..., apa kau tahu kalau ada istana di
sini?" tanya Pendekar Dungu.
Gadis jelita itu berhenti melangkah seraya
berbalik. Matanya lantas mengerling dengan ge-
nitnya, membuat Pendekar Dungu mencolek bahu
Lelaki Berbulu Hitam.
"Jangan iri. Biar sudah tua begini, aku ma-
sih ganteng, kan?" oceh lelaki berotak tumpul itu.
"Paman.... Apa yang Paman tanyakan ta-
di?" tanya gadis jelita itu sambil tersenyum malu-
malu.
Pendekar Dungu langsung menegakkan
badannya yang keropos. Setelah menarik rambut-
nya yang tipis, dia melangkah bagai perjaka ku-
rang makan.
"Istana," kata Pendekar Dungu dengan su-
ara yakin. Lalu tahu-tahu kepalanya menoleh pa-
da Lelaki Berbulu Hitam. "Bukankah tadi aku me-
nanyakan istana, kan?"
"Mana aku tahu!" sahut Lelaki Berbulu Hi-
tam, semaunya.
"Dungu!" dengus Pendekar Dungu, lalu
menoleh kembali pada gadis jelita yang tersenyum
simpul. "Iya, iya.... Aku yakin, yang kutanyakan
tadi padamu adalah istana. Apa kau tahu, kalau di
sini ada istana?"
Gadis itu menggeleng.
"Maaf, Paman.... Aku tidak tahu. Permi-
si...."
Pendekar Dungu hanya manggut-manggut
saja seperti orang kena sirep. Bahkan matanya
memperhatikan langkah gadis itu yang meng-
goyangkan pinggulnya sambil menggeleng-geleng
kepala.
"Hei? Apakah kau tidak merasa heran,
mengapa di hutan seangker ini muncul gadis jeli-
ta?" tanya Lelaki Berbulu Hitam, mengusik perha-
tian Pendekar Dungu pada gadis itu.
Pendekar Dungu seketika menoleh.
"Memangnya dia siapa?" tanya Lelaki tolol
itu lugu.
"Kuntilanak barangkali!"
"Ih! Teganya kau bilang begitu? Mana ada
kuntilanak penunggu cantik seperti itu? Kalau kau
yang sebut genderuwo, aku percaya...."
"Tampangku masih lebih cakep daripada
kau, tahu!"
"Lho, lho...? Masa memperebutkan siapa
yang paling jelek saja sampai ngotot. Sudahlah,
aku rela kalau kau menganggap dirimu paling je-
lek," tukas Pendekar Dungu dengan ringan, lalu
melangkah santai.
Tetapi tangan Lelaki Berbulu Hitam lebih
cepat menahan tangannya.
"Kau lihat di mana gadis itu sekarang?" ta-
nyanya.
"Pergi."
"Iya, ke mana?"
"Mana aku tahu? Dia tidak bilang apa-
apa?"
Dengan gemas Lelaki Berbulu Hitam meno-
lehkan kepala Pendekar Dungu pada arah yang di-
tempuh oleh gadis tadi.
"Kau lihat! Dia sudah tidak ada!" ujar Lela-
ki Berbulu Hitam, kesal.
"Oh! Hitam, kau lihat ke mana gadis itu?"
tanya Pendekar Dungu, makin bodoh saja.
Lelaki Berbulu Hitam menggeram gemas.
Ingin rasanya dia meremas tubuh keropos itu.
"Sudah kubilang tadi, dia termasuk kuntilanak
hutan ini!"
Pendekar Dungu menggeleng-geleng.
"Sayang, ada kuntilanak secantik itu dilewatkan.
Kalau saja muncul lagi, aku mau menjadi keka-
sihnya," gumam Pendekar Dungu.
Lelaki Berbulu Hitam sudah benar-benar
putus asa menghadapi Pendekar Dungu. Tetapi
sebelum dia berkata-kata, gadis tadi sudah mun-
cul dari arah pertama kali datangnya tadi.
"Hei!" desis lelaki keturunan serigala itu
terkejut. "Nah! Apa kubilang? Matamu saja yang
kurang waras. Buktinya, dia berada di sini, kan?
Hei, Neng Geulis.... Katanya kau ini sebangsa kun-
tilanak? Apa iya, ya?" tegur Pendekar Dungu.
Dengan lugunya lelaki tua keropos ini
mendekati. Lalu diraba-rabanya sekujur tubuh
gadis itu.
"Auuw!"
Tanpa mempedulikan teriakan-teriakan
gadis itu, Pendekar Dungu menoleh pada Lelaki
Berbulu Hitam.
"Lihat! Dia bisa kupegang tubuhnya. Kau
ini suka mengigau saja! Makanya, jangan menu-
duh gadis jelita ini sebangsa kuntilanak!"
Plak!
Gadis itu tahu-tahu menampar pipi Pende-
kar Dungu yang seketika menoleh pada Lelaki
Berbulu Hitam.
"Tamparannya pun ku rasakan, kok," kata
Pendekar Dungu yakin.
Sekali lagi Lelaki Berbulu Hitam menghen-
takkan kakinya. Lalu didekatinya gadis itu yang
cemberut.
"Nona Manis..., maafkan temanku yang
dungu ini. Dia memang...."
"Enaknya kau ngomong!" potong Pendekar
Dungu."Sudah, sudah! Biar aku yang menghadapi!
Kalau memang wangsit mimpi ku benar, Pendekar
Slebor berarti dalam bahaya besar! Kita harus me-
nolongnya."
"Aku kenal pemuda ganteng itu." Sebelum
ditanya, gadis berbaju kuning itu sudah berkata
lebih dulu
"Hah? Kau mengenalnya?" sentak Pendekar
Dungu. "Bagus, bagus.... di mana dia sekarang?"
Gadis itu tersenyum penuh rahasia.
"Hei. Jangan senyum-senyum saja! Kau
memang cantik! Tetapi nanti dong, kalau mau
main senyum-senyuman!" seru Pendekar Dungu.
Lelaki Berbulu Hitam menarik lengan Pen-
dekar Dungu ke belakang. Dia berpikir, kalau be-
gini caranya, tidak akan pernah selesai.
"Nona Manis..., apakah kau bertemu den-
gannya?" tanya Lelaki Berbulu Hitam.
Gadis itu mengangguk.
"Di mana dia sekarang?"
Gadis itu menunjuk suatu tempat.
"Oh! Keadaannya baik-baik saja?"
Gadis itu mengangguk.
"Bisakah kau mengantarkan kami ke sa-
na?"
"Bisa, Paman?"
"Kalau begitu..., antarkan kami sekarang.
Kau bersedia, bukan?"
Gadis itu kembali mengangguk.
Lelaki Berbulu Hitam menoleh pada Pen-
dekar Dungu.
"Kau mau ikut tidak?" tanya lelaki keturu-
nan serigala ini.
"Aku sudah dengar semuanya. Ya, mau!
Toh, aku ingin melihat keadaan Tuan Penolong.
"Sudah, jangan banyak bicara!"
"Lho? Hanya sedikit saja! Justru kau yang
banyak bicara! Dasar! Sudah tua masih ganjen sa-
ja!" seru Pendekar Dungu.
Pendekar Dungu lantas berbalik, membela-
kangi Lelaki Berbulu Hitam yang mendengus jeng-
kel.
"Mari..., antarkan kami sekarang juga, No-
na...," pinta Pendekar Dungu.
Gadis itu sudah melangkah duluan. Se-
mentara Lelaki Berbulu Hitam bermaksud hendak
menyusul. Tetapi, tangannya dipegang Pendekar
Dungu yang melotot.
"Kau tidak mau aku ikut kan? Dasar sirik!"
***
2
Di sebuah lembah yang terletak di sebelah
timur hutan Angsoko memang berdiri sebuah ista-
na yang sangat megah. Bangunannya mirip seperti
candi, namun di sana-sini sudah diperbaharui.
Dinding yang memagari istana terbuat dari
batu yang keras. Pintu gerbangnya tinggi. Di depan istana, membentang halaman berumput hijau,
sedap dipandang.
Dalam istana sebuah ruangan yang besar
dan indah tampak tertata apik sebuah meja yang
penuh buah-buahan dan makanan lezat serta
tuak dikelilingi sembilan orang laki-laki berwajah
menyeramkan. Sambil tertawa terbahak-bahak
masing-masing memangku seorang gadis jelita
yang kelihatan hanya pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika diciumi.
"Ha ha ha.... Rasanya aku tidak pernah
puas membayangkan apa yang akan kita da-
patkan," kata seorang laki-laki yang matanya pi-
cak sebelah kiri.
Rambut lelaki ini panjang. Badannya besar
dengan kulit keras. Pakaian terbuat dari sutera
halus. "Rasanya, persatuan kita yang dijuluki
Sembilan Iblis akan menguasai rimba persilatan.
Dan aku bangga dengan kalian! Upasonto yang
berjuluk Iblis Baju Sutra, Jenggolo yang berjuluk
Iblis Tangan Dewa, Majenar yang berjuluk Iblis
Cakar Harimau, Sridorsa yang berjuluk Iblis Ka-
hyangan, Dwipolko yang berjuluk Iblis Rembulan,
Grisoko yang berjuluk Iblis Pincang, Kahyunputi
yang berjuluk Iblis Lidah Api, Bresalar yang berju-
luk Iblis Kaki Seribu, dan Wediwoso yang berjuluk
Iblis Juling, adalah nama-nama yang patut diper-
hitungkan dalam rimba persilatan!" Lanjut lelaki
yang berjuluk Iblis Baju Sutera itu.
Mereka memang dikenal sebagai Sembilan
Iblis, yang tergolong jajaran kaum sesat. Setelah
malang melintang di kancah dunia persilatan den-
gan sepak terjang yang menggemparkan, mereka
menemukan sebuah tempat di lembah yang terle-
tak di sebelah timur Hutan Angkoso. Hingga seka-
rang, hutan itu dikenal dengan nama Istana Sem-
bilan Iblis!
Setelah lima tahun berdiam di sana sudah
banyak tokoh persilatan golongan putih yang ingin
memusnahkan mereka. Namun semuanya harus
menemui ajal. Bahkan saat menjadi mayat pun,
tubuh mereka dicabik-cabik dengan buas.
Pagi ini, seperti biasa Sembilan Iblis me-
nikmati kemenangan setelah membunuh Panem-
bahan Reso Tunggal yang menguasai Gunung Rogo Jembangan di tengah pulau Jawa ini. Tubuh
Panembahan Reso Tunggal yang berusia kira-kira
tujuh puluh enam tahun ini pun ditemukan terpi-
sah-pisah. Tubuhnya dirancah dengan kejam oleh
Sembilan Iblis.
"Kau tahu, Upasonto," kata Jenggolo yang
berjuluk Iblis Tangan Dewa. "Sebentar lagi, kita
akan memusnahkan pendekar muda yang sepak
terjangnya akhir-akhir ini banyak dibicarakan
orang. Aku muak mendengarnya! Dan dia ingin ku
kubur bersama jiwa besarnya itu!"
Upasonto terbahak-bahak. Diciuminya lagi
gadis yang berada di pangkuannya.
"Sebentar lagi dia akan mampus, Jenggolo!
Pendekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor
memang satu-satunya penghalang kita yang akan
dihancurkan! Tokoh-tokoh yang lain adalah masa-
lah kecil! Buktinya, Panembahan Reso Tunggal
yang perkasa itu kini sudah menjadi santapan
cacing-cacing tanah!"
Kata-kata Upasonto disambut tawa saha-
bat-sahabatnya. Namun tiba-tiba saja tawa mere-
ka terhenti. karena....
"Bagus! Rupanya kalian bersenang-senang
di sini!"
Mendadak terdengar sebuah suara bernada
membentak, yang diikuti berkelebatnya satu sosok
tubuh. Dan tahu-tahu sosok tubuh tinggi besar
sudah berada di ruangan ini. Wajahnya dingin
dengan kedua tangan terlipat di dada. Rambutnya
panjang acak-acakan. Ada bekas luka memanjang
di pipi sebelah kiri. Sosok tinggi besar dengan ta-
tapan mata dingin dan memancarkan kekejaman
itu mengenakan pakaian berwarna merah.
"Siapa kau?!" bentak Bresatar yang berju-
luk Iblis kaki Seribu sambil bangkit berdiri. Gadis
yang berada di pangkuannya pun terjatuh, tak di-
pedulikan lagi.
Sosok yang tiba-tiba muncul itu terse-
nyum. Dingin, mengundang hawa kematian.
"Namaku Tidar, berjuluk Raja Akherat!"
Mendengar julukan itu bukannya terlon-
goh-longoh atau ketakutan, Sembilan Iblis malah
terbahak-bahak. Bresatar yang bertubuh jangkung
dengan wajah panjang dan mata sipit, melangkah.
"Rupanya..., Raja Akherat yang berada di
hadapanku ini? Tak kusangka, rupanya kedatan-
ganmu hanya untuk mati!"
Raja Akherat menyipitkan matanya.
"Sudah lama aku mendengar tentang Ista-
na Sembilan Iblis yang dikuasai orang-orang dun-
gu semacam kalian! Dan tanganku menjadi gatal
untuk mencobanya!"
Bresatar menoleh ke arah teman-
temannya. Dan secara bersamaan mereka terba-
hak-bahak.
"Lucu, lucu sekali! Raja Akherat! Meskipun
kita sama-sama dari golongan sesat namun orang
yang lancang berani-beraninya menantang Sembi-
lan Iblis pasti akan mampus!"
"Itulah sebabnya aku ingin mencoba ka-
lian! Bila aku menang, kalian akan menjadi pengi-
kut ku. Dan akulah yang akan menguasai Istana
Sembilan Iblis ini!"
"Bila kau menang?" ejek Bresatar. "Ha ha
ha...! Rupanya setelah takluk di bawah kaki Pen-
dekar Slebor, kau ingin mengadu nasib dengan
kami? Berhadapan dengan pendekar picisan itu
saja, kau tidak mampu. Apalagi menghadapi kami,
hah?!"
Mata sipit Raja Akherat itu terbuka. Sinar-
nya penuh bahaya. Raja Akherat jelas-jelas tidak
akan bisa melupakan kekalahannya di tangan
Pendekar Slebor ketika ingin menguasai Kerajaan
Pakuan. Dendamnya pada pendekar itu semakin
tinggi saja.
Bahkan dia selalu berusaha mencari Pen-
dekar Slebor untuk dibuat perkedel! (Untuk men-
getahui siapa Raja Akherat dan pengalaman pa-
hitnya di tangan Pendekar Slebor, silakan baca ep-
isode: "Raja Akherat" dan "Neraka Di Keraton Ba-
rat").
"Hhh! Rupanya Sembilan Iblis hanya bisa
menjual omong! Lihat!"
Tiba-tiba saja Raja Akherat menggerakkan
tangannya.
Wusss!
Seketika serangkum angin kencang mende-
ru ke arah Bresatar yang sedang tertawa. Iblis Ka-
ki Seribu ini bisa menangkap adanya serangan
berbahaya dari deru angin yang bergerak mende-
katinya. Maka dengan gerakan ringan sekali tu-
buhnya melenting ke alas, menghindari serangan.
"Hebat! Tetapi, nama Raja Akherat akan
mampus di Istana Sembilan Iblis!" seru Bresatar
setelah mendarat.
Iblis Kaki Seribu langsung menyerang Raja
Akherat dengan cepatnya. Begitu tubuhnya melu-
ruk, kakinya menjelma bagaikan menjadi seribu.
Bahkan yang aneh, serangannya dalam keadaan
kepala di bawah dengan kaki berputar mencari
mangsa.
Raja Akherat mendengus geram. Lalu tan-
gan kanannya dikibaskan.
Plak!
Tetapi Iblis Kaki Seribu tidak tergempur
oleh serangan yang berisi penuh tenaga dalam itu.
Masih dalam gerakan terbalik, serangannya terus
terlihat keganasannya. Bahkan lebih dahsyat dari
semula. Kakinya benar-benar menjelma menjadi
banyak, membuat kepala Raja Akherat puyeng.
Belum lagi Raja Akherat bisa menandingi
Iblis Kaki Seribu, Grisoko yang melangkah pincang
sudah melompat dengan gerakan sangat aneh. Se-
rangannya bagaikan terbawa oleh kedua kakinya
yang penuh tenaga, menendang ke arah Raja Ak-
herat. Sebelah kakinya yang pincang seolah tidak
menimbulkan masalah baginya.
Dikeroyok Iblis Kaki Seribu dan Iblis Pin-
cang, Raja Akherat hanya mendengus. Bahkan dia
membalas serangan dengan serangan-serangan
dahsyat.
Suasana pesta pora itu pun menjadi beran-
takan. Gadis-gadis yang berada di pangkuan para
Sembilan Iblis itu pun berlarian, dan meringkuk di
pojok ruangan sambil berpelukan ketakutan. Tak
seorang pun yang menahan mereka. Rupanya, ke-
datangan Raja Akherat justru sangat menarik per-
hatian Sembilan Iblis. Karena manusia yang bera-
ni datang ke sini berarti berani mati!
Raja Akherat sendiri sudah memperguna-
kan jurus 'Himpunan Surya-Bayu-Tanah' yang
luar biasa dahsyat. Bahkan pada satu kesempatan
berhasil mendaratkan pukulan di tubuh Iblis Kaki
Seribu dan Iblis Pincang, hingga jatuh terjeng-
kang.
Melihat dua kawannya berhasil dikalahkan,
Majenar yang berjuluk Iblis Cakar Harimau dan
Jenggolo yang berjuluk Iblis Tangan Dewa segera
menyerbu berbarengan.
Wuuuttt!
"Heaaa!"
Kali ini serangan kedua dari sembilan Iblis
itu benar-benar dahsyat karena merupakan gabungan dua tenaga dalam yang luar biasa. Maje-
nar meluruk dengan gerakan-gerakan mematikan.
Tangannya yang membentuk cakar mengibas ce-
pat, terarah pada bagian-bagian yang sangat me-
matikan. Begitu pula Jenggolo. Setiap kali tangan-
nya berkelebat, menimbulkan suara ledakan ke-
ras.
Kali ini Raja Akherat terlihat benar-benar
terdesak. Apalagi setelah Bresatar kembali menye-
rang dengan jurus 'Kaki Seribu'nya.
Bagi Sembilan Iblis, mengeroyok adalah hal
yang biasa. Asal keinginan mereka tercapai, apa
pun bisa dihalalkan.
Kali ini Raja Akherat benar-benar kewala-
han. Dia bukan hanya tidak mampu menyerang,
bahkan menghindar pun sangat sulit. Dan men-
dadak Iblis Tangan Dewa berhasil menjatuhkan
pukulan keras, mengandung kekuatan sangat
dahsyat.
Des! Des!
Akibatnya tubuh Raja Akherat terhuyung
dan belum lagi dia menguasai keseimbangan, Iblis
Cakar Harimau sudah meluruk maju sambil men-
gibaskan tangannya yang berkuku tajam bagai
ujung anak panah.
Bret!
Cakar lelaki bernama asli Majenar bukan
hanya membuat pakaian Raja Akherat sobek.
Bahkan kulit dadanya pun tergores, menimbulkan
luka mengerikan.
Penderitaan yang dialami oleh Raja Akherat
bukan hanya sampai di situ saja. Karena Iblis Kaki
Seribu sudah menghantam berkali-kali dengan
tendangan-tendangan dahsyat.
Des! Des!
Kepala Raja Akherat tak ubahnya sebuah
bola yang dipermainkan kaki Bresatar. Lalu diirin-
gi teriakan sangat keras, kedua kaki Iblis Kaki Se-
ribu yang menjelma menjadi seribu menghantam
dada Raja Akherat yang penuh luka.
Buggghhh!
"Ughh...!"
Sebentar Raja Akherat sempoyongan diser-
tai lenguh kesakitan.
Sembilan Iblis memang tergolong orang
yang sangat kejam. Bahkan Upasonto mendadak
saja berteriak keras. Tubuhnya bergerak setengah
lingkaran dengan kaki menghantam kepala Raja
Akherat!
Prakk!
Terdengar suara berderak keras, menanda-
kan kepala Raja Akherat pecah. Saat itu juga tu-
buhnya ambruk bergelimang darah.
Sembilan Iblis terbahak-bahak melihat ha-
sil kerjasama mereka.
"Hanya orang dungu yang berani datang ke
sini!!" seru Upasonto. "Siapa saja yang berani
muncul di sini, mati taruhannya. Kini, kita ber-
siap-siap untuk mencari dan membunuh Pendekar
Slebor!"
Mereka terbahak-bahak dan masing-
masing kembali ke kursinya. Bersamaan mereka
mengangkat guci berisi tuak. Namun belum lagi
mereka menenggaknya....
"Kalian jangan berbangga dulu! Raja Akhe-
rat tidak mudah dipecundangi!"
"Hah?!"
Sembilan Iblis tersentak dan menoleh keti-
ka tiba-tiba terdengar suara bernada melecehkan.
Tampak satu sosok tubuh tinggi besar berpakaian
warna merah dengan wajah menyeramkan, berdiri
sambil terbahak-bahak.***
Lelaki Berbulu Hitam semakin geram saja.
Rasanya sudah cukup jauh mereka berjalan na-
mun gadis jelita berbaju kuning itu terus saja me-
langkah.
"Jangan-jangan, memang benar dugaanku?
Dia pasti tergolong bangsa kuntilanak. Dan seka-
rang akan memperangkap aku dan si Dungu di sa-
rangnya!" kata hati Lelaki Berbulu Hitam, lalu me-
lirik Pendekar Dungu yang tetap melangkah san-
tai.
Memang benar-benar dungu! Apa dia tidak
bisa mencium kalau sedang dijebak? Lelaki Berbu-
lu Hitam terus merutuk dalam hati.
"Nona Manis..., masih jauhkan tempat
Pendekar Slebor...?"
Langkah gadis itu terhenti. Lalu, matanya
mengerling dengan genit.
"Memangnya kenapa, Paman?"
Lelaki Berbulu Hitam menggaruk-garuk
rambutnya yang panjang acak-acakan.
"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu den-
gannya."
"Sebentar lagi kita akan bertemu dengan-
nya, Paman."
"Tetapi mengapa sampai sejauh ini?"
Gadis itu mengerling dengan bibir terse-
nyum. "Paman takut, ya?" tukasnya dengan suara
mendayu-dayu.
Lelaki Berbulu Hitam melengak. "Tidak ada
yang aku takuti di dunia ini!"
"Hei! Siapa yang bilang aku penakut, hah?"
seru Pendekar Dungu tiba-tiba. "Ingin kupecahkan
kepalanya rupanya! Hitam! Bilang, siapa yang
mengatakan aku penakut?"
"Diam kau!"
"Aha!"
Pendekar Dungu menggoyang-goyangkan
telunjuknya di depan wajah Lelaki Berbulu Hitam.
"Rupanya kau yang mengatakan seperti itu,
ya? Aku sudah curiga sejak lama, kalau kau me-
mang sirik padaku," tuding Pendekar Dungu.
"Kenapa tidak kau sumpal saja mulutmu
yang cerewet itu, hah?!" bentak lelaki keturunan
serigala itu.
"Hei? Menghina, ya? Apa kau pikir mulut-
mu bagus?"
Pendekar Dungu langsung membuat kuda-
kuda. Sikapnya siap menyerang Lelaki Berbulu Hi-
tam.
"Sudah, sudah," ujar gadis berbaju kuning,
sebelum Lelaki Berbulu Hitam berkata. "Kalian ini
bercanda saja kerjanya!"
Pendekar Dungu melotot.
"Bercanda katamu? Sejak tadi aku memang
ingin mengemplang monyet ini!"
"Kalau begitu, mengapa tidak kau laku-
kan?" tantang Lelaki Berbulu Hitam.
"Eh! Benar juga, ya?" Pendekar Dungu ce-
kikikan. "Ya, ya.... Aku akan mengemplangnya!
Hei, Hitam! Kau dengar itu! Cepat sini, copot kepa-
lamu biar ku kemplang! Setelah itu, kau bisa me-
masangnya lagi! He he he..., pasti kepalamu ben-
jol!"
Lelaki Berbulu Hitam semakin curiga melihat si-
kap gadis jelita itu. Dan mendadak saja, di tu-
bruknya gadis itu. Menurut perhitungannya, tu-
brukannya pasti bisa dielakkan karena gadis ini
bangsa dedemit. Namun di luar dugaan, justru ga-
dis itu berhasil ditangkapnya. Bahkan dipeluknya,
karena kedua tangan Lelaki Berbulu Hitam terbuka.
"Lepaskan, lepaskan aku! Paman Pendekar
Dungu..., mengapa tidak menolongku?" seru gadis
itu, yang sepertinya sudah mengenal lelaki bang-
kotan ini.
Pendekar Dungu bukannya berbuat sesua-
tu, malah menoleh ke sana kemari.
"Eh! Dia memanggil siapa, ya?"
"Lepaskan, lepaskan!"
Lelaki Berbulu Hitam jadi blingsatan sendi-
ri. Buru-buru dilepaskannya gadis itu yang kemu-
dian tertunduk menangis.
Mendengar tangis gadis berbaju kuning,
Pendekar Dungu marah-marah.
"Kurang ajar! Liar! Cabul! Kenapa kau me-
meluk dia hah?!" bentaknya pada Lelaki Berbulu
Hitam. Dan sebelum Lelaki Berbulu Hitam menja-
wab, Pendekar Dungu sudah menyerang dengan
cepat.
"Uts!"
Seketika lelaki keturunan serigala ini men-
gelak.
"Punya kebolehan juga kau ya?" dengus
Pendekar Dungu seolah baru menyadari keheba-
tan Lelaki Berbulu Hitam. Padahal dia sering ber-
tarung dengannya tanpa sebab apa-apa.
Lelaki Berbulu Hitam yang malu sendiri
karena gadis itu dipeluknya tadi, harus mengelak-
kan serangan-serangan cepat Pendekar Dungu.
"Tidak kusangka! Ternyata selama ini aku
berjalan dengan orang cabul!" leceh lelaki keropos
itu.
"Hentikan seranganmu dulu! Biar aku je-
laskan!" ujar Lelaki Berbulu Hitam sambil memba-
las.
Sementara gadis jelita itu tersenyum sendi
rian. Dia benar-benar geli melihat sikap kedua to-
koh aneh ini, yang satu sama lain tidak pernah
cocok. Herannya, mereka selalu berjalan beririn-
gan.
"Masa bodoh! aku ingin mengemplang ke-
palamu! Copot dulu, biar gampang mengemplang-
nya!"
"Dasar dungu! Aku bisa mampus kalau be-
gitu!"
"Toh nanti akan kukembalikan lagi!" sahut
Pendekar Dungu sambil terus menyerang gencar.
Lelaki Berbulu Hitam pun membalas tak
kalah cepat dan hebat. Keduanya memang sama-
sama sakti. Satu sama lain tak ada yang bisa
mengalahkan. Tiba-tiba Lelaki Berbulu Hitam ber-
seru keras.
"Dungu! Kalau wangsit mimpimu benar,
jangan-jangan Pendekar Slebor sudah ditawan di
Istana Sembilan Iblis! Lalu, mereka membunuh-
nya!"
"Masa bodoh! Aku ingin mengemplang ke-
palamu dulu! Makanya, copotlah! Biar aku mudah
melakukannya!!"
"Kau akan menyesal tidak berhasil meno-
long Pendekar Slebor!" seru Lelaki Berbulu Hitam.
"Biar saja, toh dia punya kepandaian! Pasti
dia bisa membela diri! Otaknya juga cerdik! Sama
seperti aku! Tidak seperti kau yang dungu!"
Sementara keduanya bertarung sambil berkata-
kata, gadis berbaju kuning itu bertepuk tangan.
"Cepat kemplang kepalanya! Atau, kau ta-
rik kulit wajahnya yang jelek itu. Jangan-jangan
dia memakai topeng!"
Lelaki Berbulu Hitam terbelalak mendengar
ejekan gadis berbaju kuning. Otaknya terus berpi-
kir sambil menghindari serangan Pendekar Dungu.
Sementara gadis berbaju kuning terus ber-
tepuk tangan mulutnya tak henti-hentinya mengo-
ceh. Dan mendadak saja Lelaki Berbulu Hitam
yang sedang menghindari serangan memutar tu-
buhnya. Langsung dikirimkannya pukulan jarak
jauhnya ke orang lelaki tua berotak bebal itu.
Tepat ketika Pendekar Dungu melompat,
kesempatan itu dipergunakan Lelaki Berbulu Hi-
tam untuk melakukan sesuatu yang telah dipikir-
kannya. Di saat tak terduga dijambaknya rambut
gadis berbaju kuning.
Bukan hanya itu yang dilakukan Lelaki
Berbulu Hitam. Dia juga berguling sambil me-
nyambar pakaian yang dikenakan gadis itu.
Breet!
Seketika terlihatlah pakaian berwarna hi-
jau pupus. Baju berwarna kuning dan sebuah
rambut palsu telah ada di tangan Lelaki Berbulu
Hitam.
"Andika!" seru lelaki keturunan serigala itu.
Sementara Pendekar Dungu tak jadi melan-
jutkan serangan. Kepalanya menoleh ke sana ke-
mari.
"Di mana Andika? Di mana Pendekar Sle-
bor? Hei, Hitam! Jangan main-main, ya? teriak
Pendekar Dungu.
"Dasar Dungu! Kita dipermainkan Pende-
kar Slebor! Coba kau lihat itu? Siapa gadis jelita
sialan yang membiarkan kita saling tarung, hah?!
Dia Pendekar Slebor!!" kata Lelaki Berbulu Hitam,
gemas.
Gadis berbaju kuning yang tadi bersuara
kenes, manja, dan menggemaskan itu tiba-tiba ter-
tawa. Suaranya sudah berubah, lebih tegas dan
mengandung kekocakan.
"Hebat, hebat! Rupanya kau memang tokoh
aneh yang hebat!" puji gadis berbaju kuning yang
sekarang terlihat aneh ini.
Pendekar Dungu yang belum menyadari
sepenuhnya apa yang telah terjadi mendekati ga-
dis itu.
"Kau..., Andika?"
Gadis berbaju kuning yang memang Andika
alias Pendekar Slebor terkekeh-kekeh.
"Kenapa? Naksir? Kirim surat saja...."
"Sialan!"
Hanya itu yang dikatakan Pendekar Dun-
gu. Lantas didekatinya Lelaki Berbulu hitam.
"Apa kubilang tadi.... Gadis itu bukan de-
demit! Iya kan, Bor?" kata Pendekar Dungu.
Pendekar Slebor tertawa seraya menghapus
pupur yang dipergunakan untuk menutupi wajah-
nya. Bibirnya yang merah menggiurkan dihapus
punggung tangannya. Sisa pakaiannya yang ber-
warna kuning di sobeknya. Kini, terlihat seluruh
pakaiannya sekarang. Berwarna hijau pupus den-
gan sehelai kain bercorak catur yang tersampir di
punggung.
Dia memang Pendekar Slebor! Pendekar sa-
tu ini sekarang memang ahli menyamar. Ilmu itu
diperoleh dari Raja Penyamar, salah seorang tokoh
aneh seangkatan Pendekar Dungu dan Lelaki Ber-
bulu Hitam. Mereka itulah yang pernah membuat
Hakim Tanpa Wajah harus kehilangan pamor ka-
rena ternyata ilmunya masih ada yang menandin-
gi. Bahkan tokoh sesat itu berkali-kali membuat
onar di rimba persilatan, semata untuk memaksa
ketiga tokoh aneh ini tunduk.
Namun, tiga tokoh tua itu bukanlah orang
yang mudah ditundukkan. Apalagi ketika Pende-
kar Slebor turun tangan membantu membasmi
Hakim Tanpa Wajah (Baca: "Manusia Dari Pusat
Bumi" dan "Pengadilan Perut Bumi").
Andika sendiri sebelum mengerjai kedua
tokoh ma itu, sedang tidur di sebuah dahan pohon
yang menjulang tinggi. Dan dia terpaksa terban-
gun ketika mendengar suara orang sedang ber-
tengkar mulut. Ketika melihat siapa yang berteng-
kar, timbul sifat jahilnya paling tidak untuk seka-
dar hiburan, karena menyangka tidak akan per-
nah lagi berjumpa dengan dua tokoh aneh namun
berilmu tinggi yang di kaguminya. Pendekar Dun-
gu dan Lelaki Berbulu Hitam.
Karena sifatnya yang slebor, Andika pun
bermaksud mempermainkan keduanya dengan ca-
ra menyamar sebagai gadis jelita. Untung saja, ke-
betulan Andika membawa peralatan untuk me-
nyamar. Kini Pendekar Slebor terpingkal-pingkal
melihat kelucuan yang telah terjadi.
Lelaki Berbulu Hitam mendengus.
"Diamlah Tuan Penolong!! tawamu tidak
merdu!"
"He he he..., tetapi lumayan bukan, buat
menghibur diri setelah disuguhkan dagelan lucu?"
"Sudah, sudah! Sifat slebormu tidak hi-
lang-hilang juga! Hei, Bor! Apa kau sudah tahu ka-
lau Pendekar Dungu melihatmu sudah mampus
dalam mimpinya?"
"Sudah."
"Tapi aku kan belum menceritakannya pa-
damu!" sambar Pendekar Dungu. "Hayo, ralat ka-
ta-kata itu! Bilang kau belum tahu, karena aku in-
gin menceritakannya!"
Andika hanya tersenyum mendengarnya.
Akan tetapi, dituruti juga kata-kata Pendekar
Dungu.
Lalu Di bawah pohon yang rindang, Pende-
kar Slebor mendengarkan Pendekar Dungu bcrcerita tentang mimpinya.
***
3
Sembilan Iblis menatap tak percaya pada
Raja Akherat yang masih ketawa terbahak-bahak.
Memang sulit dipercayai apa yang mereka lihat.
Raja Akherat tampak berdiri dalam keadaan segar
bugar! Ketika melihat tempat Raja Akherat tadi
tergeletak, tak ada lagi mayatnya yang penuh luka
mengerikan dengan kepala pecah rebah di sana.
"Ha... ha... ha...! Rupanya Sembilan Iblis
adalah manusia-manusia dungu! Tak seorang pun
yang bisa mengalahkan ajian 'Melayang Dua' yang
kumiliki!" kata Raja Akherat disertai tawa mengge-
legar penuh kejumawaan.
Ajian 'Melayang Dua' yang dimiliki Raja Akherat
memang sangat mengerikan. Karena, tubuhnya bi-
sa menjadi dua. Dan masing-masing mempunyai
kekuatan sama hebatnya, sama-sama sukar un-
tuk dikalahkan. Sulit ditentukan, mana asli dan
mana jelmaan.
Dengan Ajian itulah Pendekar Slebor harus
memeras otak untuk mengalahkan Raja Akherat.
Upasonto yang tadi berbangga karena ber-
hasil mengakhiri hidup Raja Akherat, kini berdiri
tegap menatap tak percaya. Kedua kakinya terbu-
ka, kedua tangannya mengepal. Matanya nyalang
memperhatikan wajah Raja Akherat.
"Apa maumu sebenarnya, Raja Akherat?!"
tanya Iblis Baju Sutera dengan suara berwibawa.
"Ha... ha... ha...! Bukankah tadi sudah ku-
katakan, kalau aku menghendaki menjadi pemim-
pin kalian," sahut Raja Akherat enteng.
"Bodoh! Kau tahu, Istana Sembilan Iblis
tak ada yang memimpin! Semuanya berkedudukan
sama. Bila kau memang berkeinginan untuk ber-
gabung, pintu selalu terbuka. Tentunya..., ha ha
ha...! Bila kau berhasil mengalahkan kami. Tetapi,
jangan terlalu banyak berharap. Karena, nyawa
busukmu akan melayang-layang meninggalkan ja-
sad mu!"
Kata-kata Iblis Baju Sutera disambut tawa
yang lainnya. Gegap gempita dan penuh ejekan.
Sementara para gadis yang meringkuk di pojok
ruangan semakin ketakutan saja.
Dan tawa yang menggema itu pun runtuh
ketika terdengar suara tawa Raja Akherat yang
sangat keras berisi tenaga dalam tinggi.
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus sekali! Se-
karang kalian lihat baik-baik...."
Wusss!
Mendadak saja tubuh Raja Akherat menja-
di dua orang. Kedua-duanya mirip satu sama lain.
"Hhhh! Ilmu siluman!" desis Dwipolko alias
Iblis Rembulan.
Lelaki ini paling pendek di antara Sembilan
Iblis. Tubuhnya setengah bulat. Di kedua tangan-
nya terdapat gelang bahar yang besar. Kepalanya
mengenakan ikat berwarna merah, di tengah-
tengahnya bergambar bulan sabit.
Dwipolko sudah berdiri. Kesaktian yang
dimiliki mampu menghancurkan bangsa siluman.
Makanya, melihat Raja Akherat memperlihatkan
kembali ajian 'Melayang Dua'nya dia hanya men-
dengus saja, seperti menganggap ringan. Dalam
benaknya, sekali gebrak saja Raja Akherat sudah
terkapar. Bahkan lelaki berwajah seram ini akan
segera mengakui kalau ajian 'Melayang Dua'nya
bukanlah suatu ilmu yang sangat dahsyat."Ha... ha... ha.... Buntet! Apakah kau me-
rasa mampu menghadapiku?" kata Raja Akherat
mengejek. "Lebih baik kalian semua maju menye-
rangku. Karena kali ini..., aku tidak ingin main-
main lagi! Kalian akan menyesal karena masih
membangkang pada Raja Akherat!"
Iblis Rembulan tidak mau banyak omong
lagi. Tubuhnya yang bulat tiba-tiba bergerak, ba-
gaikan berguling! Putaran tubuhnya sangat cepat,
mengarah pada salah satu Raja Akherat yang ma-
sih terbahak-bahak.
"Grrrrr! Kau akan menyesal karena berani
bertingkah di Istana Sembilan Iblis!" geram Dwi-
polko, langsung menyerang gencar.
Raja Akherat bergerak ke kiri, langsung
memapak serangan. Dan tangannya kontan berge-
tar hebat.
Seketika Raja Akherat yakin kalau manusia
bertubuh bulat ini memang mempunyai ajian un-
tuk melawan sihir.
Sementara itu, Sembilan Iblis yang lain ha-
rus berpencaran. Karena Raja Akherat yang seo-
rang lagi tiba-tiba menyerbu. Upasonto yang san-
gat penasaran sekali segera mengurung dibantu
Sridorsa, Majenar, dan Wediwoso. Sementara
Jenggolo, Grisoko, Kahyunpati, Bresatar telah ter-
jun membantu Dwipolko.
Maka pertarungan sengit tak dapat dihin-
dari lagi, sampai menggetarkan dinding Istana
Sembilan Iblis. Padahal, istana itu dibangun dari
kumpulan tanah dan batu-batu yang sangat kuat.
Meskipun Raja Akherat yang telah meng-
gunakan ajian 'Melayang Dua' dikeroyok Sembilan
Iblis, namun belum kelihatan terdesak. Bahkan
serangan kedua Raja Akherat terlihat tangguh dan
mengerikan.
"Sridorsa! Gunakan ajian mu yang hebat
itu!"
Tiba-tiba Upasonto berseru sambil meng-
hindari gempuran sengit Raja Akherat.
Sridorsa pun mendadak saja berputar beberapa
kali, sehingga menimbulkan pusaran angin yang
kuat sekali. Bukan hanya bekas makanan dan
kendi-kendi tuak saja yang berterbangan, kursi
dan meja yang tadi habis digunakan berpestapun
berterbangan.
Seketika terdengar jeritan gadis-gadis yang
meringkuk tadi. Namun mereka segera beringsut
masuk ke dalam. Dan kesempatan itu diperguna-
kan untuk melarikan diri melalui pintu belakang.
Melihat Sridorsa berputar kencang, semen-
tara yang lainnya bersiap pula untuk menyerang,
Raja Akherat hanya tertawa terbahak-bahak saja.
"Bagus! Tetapi, mengapa kalian tidak lang-
sung mengeroyokku saja seperti tadi, hah?! Biar
kalian cepat mampus!"
Begitu ejekan Raja Akherat terlontar, tu-
buh Sridorsa tiba-tiba melayang cepat. Serangan-
nya mengandung hawa panas luar biasa. Itulah
ajian 'Mambang Kahyangan' yang memang diper-
gunakan untuk menghancurkan bangsa siluman.
Namun ajian 'Mambang Kahyangan' yang dile-
paskan Sridorsa rupanya tidak membawa hasil
yang diharapkan. Bahkan justru Sridorsa yang
melayang ke belakang hingga menabrak dinding,
ketika tangan Raja Akherat menghantam telak da-
danya.
Gerakan Raja Akherat memang sungguh
tidak terlihat mata. Tahu-tahu, tubuh Sridorsa
sudah melayang ke belakang.
Bukan hanya Upasonto saja yang terkejut
melihatnya. Begitu pula yang lain. Maka, serentak
mereka kembali mengeroyok Raja Akherat yang
semakin membabi buta menyerang.
Sementara Raja Akherat yang satunya
mengamuk pula. Serangan demi serangan yang di-
lakukannya benar-benar luar biasa, mampu me-
rontokkan jantung siapa pun juga. Bahkan Dwi-
polko yang dibantu tiga orang temannya yang lain,
justru harus pontang-panting menyelamatkan diri.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kalian tidak mau
mengakui aku ini sebagai raja kalian hah?! Dari-
pada kalian mati konyol?"
Tetapi, tak seorang pun dari Sembilan Iblis
yang berniat menyerahkan kekuasaan ke tangan
Raja Akherat. Kalaupun Raja Akherat ingin berga-
bung, sudah tentu akan diizinkan. Toh, mereka
sama-sama dari golongan sesat yang berniat
menghancurkan golongan lurus.
Namun, kedatangan Raja Akherat yang in-
gin dianggap sebagai ketua tentu saja ditolak men-
tah-mentah.
Dan sekarang, kenyataan yang sangat ti-
dak mengenakan di hati harus ditelan Sembilan
Iblis. Terbukti, mereka kini terdesak dengan hebat.
Bahkan Bresatar pun sudah ambruk pingsan sete-
lah kaki Raja Akherat menyampok kepalanya.
Menyusul Wediwoso yang juga telah mem-
pergunakan ajian 'Mata Maut'nya. Ajian yang me-
mancarkan kekuatan dahsyat itu rupanya tak ada
gunanya menghadapi Raja Akherat. Iblis Juling
yang berambut panjang itu pun jatuh pingsan, se-
telah menerima hantaman telak di dadanya.
Menyadari hal itu, sisa dari Sembilan Iblis
yang lain, semakin meningkatkan tempo serangan.
Namun meskipun mereka telah bergerak laksana
kilat dengan susul-menyusul yang gencar, jelas
terlihat kalau Raja Akherat tidak goyah sedikit
pun.
Namun, Sembilan Iblis tetap berusaha
mempertahankan harga diri, jangan sampai Istana
Sembilan Iblis dikuasai Raja Akherat!
***
"Sudah, sudah!" ujar lelaki Berbulu Hitam
ketika melihat Pendekar Dungu hendak berbicara
lagi.
Lelaki keturunan serigala itu bosan melihat te-
mannya yang dungu itu berbicara. Hari pun sudah
menjelang senja. Sebentar lagi, malam akan da-
tang.
"Tuan Penolong pasti sudah jelas dengan
kata-katamu yang panjang lebar itu!" lanjut Lelaki
Berbulu Hitam.
"Nah! Apa kubilang?" Pendekar Dungu ju-
stru berkata dengan bangganya. "Dia pasti men-
gertikan? Huh! Tidak sepertimu yang dungu itu!"
Sedangkan Andika tetap terdiam. Otaknya
tengah merenungkan kata-kata Pendekar Dungu.
Istana Sembilan Iblis? Hmmm... samar-samar te-
linganya memang pernah mendengar istana yang
katanya dikuasai manusia-manusia kejam berju-
luk Sembilan Iblis.
Tetapi, Pendekar Dungu mengatakan kalau
dalam mimpinya Andika telah tewas di istana itu?
Dan ini justru membuat Pendekar Slebor menjadi
penasaran.
"Hei! Sudah jangan bertengkar terus! Ka-
lian ini kok seperti anak kecil saja?" seru Andika
pada Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu
yang sedang berdebat mulut.
"Dia ini!" seru Pendekar Dungu, seraya
dengan enaknya mendorong kening Lelaki Berbulu
Hitam yang langsung melotot. "Orangnya memang
dungu! Masa kau dibilang tidak mengerti penjela-
sanku?"
"Siapa bilang?" sambar Lelaki Berbulu Hi-
tam sewot. "Aku tidak mengatakan seperti itu?"
"Nah, benarkah kubilang? Tuan Penolong!
Jangan bergaul dengan dia! Nanti kau ketularan
dungu!
Andika terbahak-bahak mendengar kata-
kata Pendekar Dungu yang mengejek temannya.
Terkadang si pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan tidak mengerti dengan sifat dua to-
koh aneh yang berilmu tinggi ini. Mereka sama-
sama keras kepala dan mau menang sendiri. Teta-
pi, meskipun mereka terkadang kelihatan berjalan
beriring, tetap saja pertengkaran terus berlang-
sung.
"Kalau begitu, siapa yang tahu di mana le-
tak Istana Sembilan Iblis?" tanya Andika kemu-
dian. "He he he... yang tahu kuberi hadiah!"
"Aku!" Pendekar Dungu langsung men-
gangkat tangannya.
"Dimana?"
Pendekar Dungu menunjuk ke satu tem-
pat. Dan Lelaki Berbulu Hitam langsung mendo-
rong kepalanya.
"Dasar dungu! Andika, kita akan mencari
Istana Sembilan Iblis! Dasar mimpi manusia dun-
gu ini saja yang tidak karuan! Masa ia mengata-
kan kau sudah mampus? Eh! Kau tahu, aku se-
nang bertemu denganmu lagi!"
"Genit!" cibir Pendekar Dungu, cemberut.
"Apa urusannya denganmu?"
"Mana aku tahu?"
Andika mengangguk dalam hati, sebenar-
nya Pendekar Slebor segan berjalan bersama ke
dua tokoh yang aneh ini. Lebih baik menunggu
malam saja. Dan bila mereka lengah, dia akan
mencari Istana Sembilan Iblis sendirian.
"Kalau begitu, kita bermalam saja di sini.
Setelah fajar esok pagi, kita akan segera berangkat
mencari Istana Sembilan Iblis!" ujar Pendekar Sle-
bor.
"Cihui!" Pendekar Dungu bersorak. "Kita
akan berjalan-jalan! Bor! Yang jauh, ya?"
Lelaki Berbulu Hitam mencibir. "Lebih ce-
pat memang lebih baik. Terus terang, aku tidak
percaya dengan mimpi Pendekar Dungu! Sok he-
bat! Masa cuma dia saja yang diberi wangsit sih?"
kata Lelaki Berbulu Hitam.
"Sudah! Lebih baik kita beristirahat saja
dulu! Aku mau mencari sungai mau mandi!" ujar
Andika.
Lelaki Berbulu Hitam mengangkat sebelah
tangannya dan mencium pangkal lengannya. Bi-
birnya meringis.
"Kecut! Aku juga ingin mandi!" Pendekar
Dungu melotot.
"Jangan sembarangan omong! Tadi sudah
kukatakan, aku tidak tahu di mana Istana Sembi-
lan Iblis! Kau justru menghasut Pendekar Slebor,
ya, dengan mengatakan aku tahu di mana letak Is-
tana Sembilan Iblis?" sambarnya salah arah.
***
4
"Gila yang iseng begini?!" rutuk Andika.
Karena begitu selesai mandi, pakaiannya tidak ada
di tempat. "Ini namanya nekat!" Sebentar Pendekar
Slebor celingukan, mencari-cari. Namun sampai
sejauh itu tak juga ditemukan pakaiannya.
"Kodok jelek! Monyet buduk! Keluar kau!
Kembalikan pakaianku! Hei, orang jelek! Aku ke-
dinginan nih!" teriak Andika, memaki-maki.
Tak ada sahutan apa-apa. Dan Andika jadi
gemas. Rupanya, dia terlalu asyik berenang-
renang, hingga tidak memperhatikan pakaiannya.
Toh, pikirnya dia meletakkannya di tempat yang
agak tersembunyi.
Apakah Lelaki Berbulu Hitam atau Pendekar Dun-
gu yang mengerjainya?
"Dunguuuu! Hitaaam! Jangan main-main
dong! Aku malu kalau keluar, nih!" teriaknya lagi.
Bahkan lebih keras daripada yang pertama. "Hei,
jangan main-main! Aku bisa kedinginan nih! Hei,
Dunguuu! Hitaaam! Ayo cepat berikan pakaian itu
kepadaku!"
"Kenapa tidak keluar saja?"
Mendadak terdengar sahutan.
"Hei!"
Andika celingukan. Jelas, sahutan itu bu-
kan suara Pendekar Dungu atau Lelaki Berbulu
hitam.
"Siapa kau? Keluar cepat dan kembalikan
pakaianku! Kita bertarung seribu jurus!"
"Dalam keadaan seperti itu, apakah kau bi-
sa bertarung?"
"Makanya, berikan dulu pakaianku!"
"Keluar dari sungai itu, baru kita berta-
rung."
"Masa bodoh! Kembalikan pakaianku!"
"Kalau itu maumu, baik, baik!"
Mendadak saja satu sosok tubuh melenting
dari sebuah pohon. Gerakannya sangat ringan.
Andika yang sudah jengkel dan bermaksud mengi-
rimkan pukulan jarak jauhnya cepat mengurung
kan niatnya, Ketika melihat siapa yang berdiri di
hadapannya.
Di tanah pinggir sungai berdiri gadis cantik
dengan rambut digelung ke atas. Sepasang ma-
tanya indah dengan bulu mata lentik. Dua alis hi-
tam yang berbentuk bagai gemulainya seorang pe-
nari, menghiasi kedua matanya. Pipinya memerah
delima. Hidungnya bangir dengan sepasang bibir
tipis menggairahkan. Gadis itu berpakaian putih-
putih, dengan sebuah ikat pinggang terbuat dari
sutera berwarna merah. Di pinggangnya terdapat
sebuah pecut yang tergulung rapi.
Bukan hanya itu saja yang membuat Andi-
ka mengurungkan niatnya untuk menyerang. Ka-
rena di tangan kanan gadis itu terlihat onggokan
pakaian berwarna hijau pupus dan selembar kain
bercorak catur.
"Pencuri iseng! Kembalikan pakaianku!"
bentak Pendekar Slebor.
"Enaknya menuduhku pencuri!" semprot
gadis itu.
"Kalau tidak pencuri, apa namanya? Mal-
ing? Ya sama saja toh, Manis," tukas Andika.
"Aku menemukan pakaian ini di tanah.
Aku tidak mencurinya. Jadi yang tepat, aku me-
nemukan pakaian ini!"
"Sudah, sudah! Kembalikan!"
Kali ini dara jelita itu tersenyum manis.
"Banyak omong! Tadi katanya kau berani
menantang aku, hah?! Aku terima tantangan itu,
hingga seribu jurus! Kalau menang, kau akan
mendapatkan pakaianmu ini kembali. Tetapi kalau
kalah, kau akan menanggung malu seumur hi-
dup," kata gadis ini penuh ejekan.
Andika memaki-maki tanpa suara. Siapa
sih gadis ini? Nekat amat! Kalau melihat sikapnya
yang setengah berandalan, menandakan kalau ga-
dis ini dari rimba persilatan yang bebas. Tetapi bi-
la mendengar nada suaranya, gadis ini tampak
terlatih yang penuh disiplin.
"Ayo, kalau kau berani! Hhh! Memang, ke-
banyakan pemuda cuma hanya berani jual lagak
saja! Padahal kosong setengah mati!" kata gadis
ini, melecehkan.
Sebenarnya hati Andika panas sekali men-
dengar ejekan itu. Tetapi mau bagaimana? Kalau
keluar dari sungai ini, sudah jelas 'barang raha-
sia'nya akan kelihatan. Kalau tidak keluar, akan
menjadi bahan ejekan dara jelita ini.
"Hei, Nona! Kalau aku keluar dari sungai
ini dan bertarung denganmu, apakah kau tidak
akan lari?!" seru Andika, sambil nyengir.
"Memangnya kenapa?" tanya gadis itu lugu.
"Pakai bertanya lagi! Memang kau mau li-
hat burung kesayanganku? He he he...."
Wajah dara jelita itu memerah mendengar-
nya. "Jorok! Jorok!" seru gadis itu setengah menje-
rit. Gadis itu membuang pakaian Andika ke tanah.
"Nah, ambillah sendiri!"
Andika tersenyum geli. Hatinya merasa
menang karena bisa membuat gadis itu justru
menjadi malu.
"Iya! Tetapi pergilah dari sini!" ujar Andika
"Kalau aku mau di sini, kau mau apa,
hah?!" balas gadis itu membentak.
"Aha..., ketahuan, kan? Kau memang mau
melihat burungku yang indah itu?"
Gadis itu mengangkat dagunya dengan si-
kap sombong. Tangannya di lipat, seolah tidak
mendengar selorohan Andika.
"Kenapa kau tidak segera keluar, hah?!"
tantang gadis ini, membuat Andika melongo.Gila! Kok ada ya gadis yang tak tahu malu?
tetapi diam-diam Andika yakin kalau gadis itu se-
benarnya hanya menahan diri saja. Padahal, da-
lam hatinya malu juga, itu terlihat dari sikapnya
yang mengangkat kepala.
"Hei!" seru Andika sambil tertawa. "Kalau
kau memang ingin melihat burungku, kenapa ti-
dak lebih dekat lagi? Bagaimana?"
"Iih! Jorok!"
Andika terbahak-bahak. Kena juga! Bisa
terlihat jelas kalau kedua telinga gadis itu semakin
memerah. Mimik dari wajahnya yang kelihatan
menjadi gelisah sekarang.
Tiba-tiba saja tanpa berkata apa-apa, gadis
itu bersiul cukup nyaring. Lalu, mendadak terden-
gar suara ringkikan sangat keras, disusul mun-
culnya seekor kuda tinggi besar berwarna hitam
pekat mendekati gadis itu.
"Manis! Kau lihat itu! Ada pemuda jelek se-
dang kedinginan! Hhh! Ternyata dia sebangsa ma-
nusia cabul juga!" leceh gadis itu.
Si gadis lantas menaiki kudanya, lalu me-
noleh pada Andika.
"Hei, Jorok! Kau ambil pakaianmu itu! Se-
telah berpakaian, aku akan datang lagi ke sini! Ki-
ta akan bertarung sampai mampus!" ujar si gadis,
menantang.
"Lho, Iho...? Kenapa lagi ini?" seru Andika
yang masih geli melihat sikap gadis itu. Apalagi
wajah si gadis memancarkan sinar bermusuhan.
"Diaaam! Pokoknya, kenakan kembali pa-
kaianmu! Kita akan bertarung nanti! Karena...,
kau adalah bangsa cabul yang memang harus di-
bunuh! Heaaa!"
Si Gadis langsung menggebuk kudanya
yang langsung melesat cepat.
"Hei!"
Teriak Andika "Kenapa harus pergi?"
Tak ada sahutan. Dan Andika celingukan
sebentar, sebelum merangkak keluar dari sungai
sambil menutupi barang rahasianya. Lalu dengan
cepat disambarnya pakaian yang menumpuk di
tanah. Kini dia merasa terbebas dari 'belenggu'
yang membuatnya kerepotan.
"He he he.... Kok, dia malah kabur? Dasar,
gadis iseng! Tahu-tahu menyembunyikan pakaian
saja! Tetapi, dia cantik juga, ya? Ilmunya cukup
tinggi. Buktinya aku tidak tahu saat dia mengam-
bil pakaianku? Alah..., itu kan hanya kebetulan
saja. Sayang..., aku tidak tahu namanya!"
"Untuk apa kuberitahu namaku padamu,
hah?!"
Mendadak terdengar bentakan keras, dis-
usul bersaltonya satu sosok berpakaian putih.
Dan tahu-tahu sosok itu mendarat ringan di ha-
dapan Andika sambil menatap tajam.
***
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Lho, lho...! Apakah kau penasaran ingin
melihat burungku?" seloroh Pendekar Slebor sam-
bil nyengir.
Gadis itu mendengus gemas. Tangannya menud-
ing.
"Hei, Pemuda Otak Kotor! Katakan siapa
namamu, hah?! Apakah kau sebangsa manusia
busuk seperti Sembilan Iblis yang telah membu-
nuh kakekku?" bentaknya, penuh amarah.
Sementara Andika jadi mengerutkan ken-
ing. Lagi-lagi Sembilan Iblis. Dan rasa penasaran-
nya pun semakin menjadi-jadi saja untuk mengetahui, siapakah sesungguhnya Sembilan Iblis itu.
"Tenang dulu, tenang dulu. Aku tidak men-
genalmu, kakekmu, dan Sembilan Iblis. Tetapi...,
he he he..., aku yakin, kau pasti sudah mengenal-
ku, kan? Siapa sih yang tak kenal pemuda berwa-
jah ganteng seperti ini?"
Gadis itu menghentakkan kakinya.
"Diaaam! Namaku Lasni! Kakekku Panem-
bahan Reso Tunggal yang dibunuh Sembilan Iblis.
Kau puas itu? Sekarang, mengaku saja. Siapa kau
sebenarnya? Tetapi aku yakin, kau pasti salah
seorang dari Sembilan Iblis!"
"He he he.... Kau salah. Heeeiitt!"
Andika langsung melompat ketika merasa-
kan hawa dingin menderu ke arahnya. Rupanya
Lasni sudah cepat menyerangnya.
"Hei, sabar dulu! Kita salah paham! Aku
orang baik-baik! Masa tampang ganteng begini
disamakan dengan Sembilan Iblis!" ujar Andika
mencegah serangan.
"Jangan banyak mulut! Kau harus mem-
bayar nyawa kakekku yang kalian bunuh dengan
kejam!" bentak gadis bernama Lasni sambil terus
menyerang ganas.
Serangan demi serangan gadis ini benar-
benar mematikan. Dan setiap kali tangan atau ka-
kinya digerakkan serangkum angin berhawa din-
gin selalu mengancam keselamatan Pendekar Sle-
bor.
"Aduh..., ini salah paham, Nona! Aku tidak
mengenal kakekmu! Tetapi terus terang, nama be-
sar Panembahan Reso Tunggal pernah kudengar!
Nah, kau sendiri ke mana saat kakekmu dibunuh
Sembilan Iblis?" kata Andika sambil berkelebatan
menghindari serangan Lasni.
Pendekar Slebor memang tidak mau mem
balas, karena tahu ini hanyalah salah paham be-
laka. Akan tetapi, matanya pun harus benar-benar
jeli dan waspada, karena setiap serangan Lasni
begitu mematikan. Tidak mengherankan kalau il-
mu gadis ini cukup tinggi, karena merupakan cu-
cu Panembahan Reso Tunggal.
"Kau dan teman-teman busukmu memang
manusia sesat yang harus dimusnahkan! Kalau
saja kakekku tidak diserang selagi bertapa, mung-
kin meskipun kalian berjumlah dua puluh orang,
tidak akan mampu membunuhnya! Jangankan
membunuhnya. Mengalahkannya saja kalian akan
mendapat kesulitan yang sangat besar!" desis Las-
ni sambil menyerang dengan gencar.
Saat pertama kali bertemu Andika tadi, se-
benarnya Lasni tidak tahu kalau pakaian berwar-
na hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur
yang tergeletak di tanah itu ada yang punya. Saat
gadis ini melihat pakaian, Andika sedang menye-
lam. Tanpa maksud mencuri dan didasari rasa in-
gin tahu, Lasni meraih seluruh pakaian Andika.
Tetapi ketika melangkah tiga tindak, gadis
ini mendengar suara riak air, disusul munculnya
sebuah kepala dari air. Dengan cepatnya Lasni
melenting ke atas. Dan tanpa sadar pakaian Andi-
ka ikut terbawa. Diperhatikannya pemuda yang
baru mandi itu.
Begitu sadar kalau pakaian yang dipegang-
nya itu adalah milik si pemuda, Lasni sebenarnya
ingin mengembalikan secara baik-baik. Tetapi ka-
rena sikap si pemuda sudah menjengkelkannya,
makanya dia mempermainkan Andika. Sayang
yang dihadapi adalah Pendekar Slebor yang ter-
kenal sebagai Pendekar Urakan. Maka hasilnya ju-
stru berganti arah. Karena, justru Lasni sendiri
yang kena dipermainkan oleh pemuda itu. Hingga
kemudian disadari kalau perjalanannya ini adalah
untuk mencari Sembilan Iblis yang telah membu-
nuh kakeknya selagi bertapa di tepi Sungai Kun-
ing.
"Hei, aku tidak bertanya itu! Aku bertanya
ke mana kau sebelumnya?" sergah Andika.
"Kalau kau tahu, saat itu aku pun hendak
kalian bikin mampus, bukan?" tukas Lasni dengan
kegeraman semakin menjadi-jadi. Dia tidak bisa
lagi membayangkan, bagaimana hancur hatinya
melihat jasad kakeknya yang telah terpisah-pisah.
"Lalu dari mana kau tahu kalau Sembilan
Iblis yang melakukannya?" caci Andika, tidak
mempedulikan seruan marah Lasni.
Pendekar Slebor benar-benar penasaran
ingin mengetahui siapa Sembilan Iblis itu. Apalagi
menurut wangsit mimpi yang diterima Pendekar
Dungu, dirinya dinyatakan telah tewas. Kini di-
tambah lagi dengan kabar kalau Panembahan Re-
so Tunggal telah tewas di tangan mereka. Maka
semakin geram saja pemuda dari Lembah Kutukan
ini.
"Dan kau ketakutan sekarang, bukan? Ka-
rena aku mengetahui kau adalah salah seorang
dari anggota Sembilan Iblis?" tuding Lasni.
"Salah besar! Kau salah, Nona! Namaku
Andika..., aku...."
"Tidak peduli siapa namamu! Pokoknya
kau harus membayar nyawa kakekku!" potong
Lasni.
Serangan gadis ini semakin dipergencar.
Namun lama-kelamaan hatinya merasa kesal sen-
diri, karena sampai tiga puluh jurus berlangsung
belum sekali pun berhasil menjatuhkan pukulan
pada pemuda yang dianggapnya sebagai salah seo-
rang anggota Sembilan Iblis.Tiba-tiba saja Lasni melenting ke belakang.
Dan ketika hinggap di bumi di tangannya sudah
tersampir sebuah pecut yang cukup panjang den-
gan hulu terbuat dari tembaga hitam.
Ctarr...!
Gadis ini memain-mainkan pecutnya, se-
hingga menimbulkan suara cukup keras.
"Pemuda setan! Kau akan merasakan
keampuhan Pecut Brajakirana ku ini! Kalau kau
memang bisa lolos dari pecut ini, itu hanya kebe-
runtungan saja! Jangan terlalu bangga! Ketahui-
lah! Justru kau akan mampus dengan tubuh te-
rencah pecah seperti yang dialami kakekku!"
Tiba-tiba saja si gadis berbibir tipis meme-
rah itu menggerakkan tangan kanannya.
Ctaaarr!
Andika cukup tercekat mendengar ledakan
pecut. Untung saja Pendekar Slebor sudah melent-
ing ke belakang, sehingga jelas-jelas luput dari
sambaran pecut.
Namun yang mengejutkan, mendadak Pen-
dekar Slebor merasakan kedua kakinya bagaikan
dililit hawa dingin yang cepat merambat ke seku-
jur tubuhnya. Saat itu juga Andika mengalirkan
hawa panas dari tubuhnya untuk mengusir hawa
dingin yang menjalar itu.
Kini, Pendekar Slebor dapat membayang-
kan bagaimana jadinya bila salah satu anggota tu-
buhnya termakan pecut itu. Hawa dingin yang
mengenainya bisa membuat jantungnya membeku!
Lasni yang melihat keterkejutan di wajah
pemuda itu tersenyum penuh kemenangan.
"Kau akan mampus, Pemuda Busuk!" desis
gadis ini.
"Hei, hei! Tahan dulu kenapa sih? Kita
ngomong-ngomong saja dulu? Soalnya ini hanya
salah paham belaka. Nanti kalau salah satu dari
kita sudah celaka, maka...."
Ctar!
Kata-kata Andika terpotong oleh sambaran
pecut Brajakirana yang dikibaskan Lasni kembali.
Dengan ringannya, pemuda sakti pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu melenting ke bela-
kang. Baru saja Andika mendarat kembali Lasni
mengibaskan kembali jurus-jurusnya dengan ce-
pat. Bahkan kali ini terlihat jurus-jurusnya dike-
luarkan disertai permainan pecut yang sangat di-
andalkannya. Dia yakin, pemuda yang dihada-
pinya ini adalah salah seorang dari Sembilan Iblis.
"Hei, mana kebisaan mu hah?!" ejek Lasni
sambil terus mengejar Andika.
Sampai sekarang ini Pendekar Slebor be-
lum juga mau membalas. Karena dia merasa ini
hanyalah kesalahpahaman belaka, yang harus se-
gera diluruskan.
Namun untuk menenangkan kemarahan si
gadis sangat sulit sekali. Dan Andika masih bin-
gung, kenapa dirinya dianggap sebagai anggota
Sembilan Iblis?
Pendekar Slebor hanya bisa memaki dalam
hati. Tetapi biar bagaimanapun Andika harus me-
nenangkan gadis ini. Karena bila diteruskan,
hanya membuang waktu dan tenaga percuma.
Namun yang jelas sekarang ini dia tahu, siapa ga-
dis ini. Dan, apa yang sedang dialaminya.
Mendadak saja pemuda sakti itu bergerak
tak ubahnya kilat yang menyambar. Gerakannya
begitu cepat sehingga Lasni tidak merasakan ka-
lau tangannya tahu-tahu kaku dan pecut Brajaki-
rana yang sangat dibanggakannya sudah berpin-
dah tangan ke tangan Andika.
"Kau?" seru gadis ini terkejut.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Nona manis..., kita ini salah paham. Kok
kau masih terus menyerangku saja? Apakah kau
tidak kasihan melihat pecut mu yang mengerikan
ini menggores kulitku?"
"Lepaskan totokan sialan ini! Ayo kita ber-
tarung! Bertarung hingga seribu jurus!!"
"Nyebut, nyebut. But, but, begitu. He...,
he..., he.... Pertama-tama hendak kukatakan seju-
jurnya, kalau aku tidak pernah berjumpa Panem-
bahan Reso Tunggal meskipun namanya pernah
kudengar. Kedua, aku tidak pernah membunuh-
nya. Ketiga, aku bukanlah anggota Sembilan Iblis
yang telah membuat hatimu terluka, karena kakek
yang kau sayangi mereka bunuh. Keempat, nama-
ku Andika.... Orang-orang menjuluki Pendekar
Slebor."
Lasni mendengus.
"Pantas kau dijuluki seperti itu! Memang
edan! Sudah, sudah! Lepaskan totokanmu ini! Kau
harus mampus!"
"Lho?" Andika menggaruk-garuk kepa-
lanya. "Apakah kau masih belum mengerti dengan
kata-kataku tadi?"
"Kembalikan pecut ku!" seru Lasni tiba-
tiba.
Andika tersenyum.
"Berjanjilah untuk tidak menyerangku
kembali. Aku akan mengembalikan pecut ini ke-
padamu, asal kau segera menyimpannya. Janji?"
ujar Pendekar Slebor.
"Iya!"
"Jangan membentak, dong? Senyum di-
kit..., ya! Jelek!"
"Biar!" seru Lasni. "Kembalikan pecut ku!
Dan, lepaskan totokan ini!"
"Janji tidak akan menyerangku lagi?" cecar
Andika.
"Iya, ya!"
"Nah! Begitu lebih bagus. Kita akan mem-
bicarakan kembali soal kakekmu yang dibunuh
Sembilan Iblis."
Andika segera menggerakkan tangan ka-
nannya. Seketika, tangan Lasni yang kaku tadi bi-
sa diturunkan.
"Kembalikan pecut ku!" bentak gadis ini
langsung, dengan mata melotot.
Andika hanya nyengir saja dilemparkannya
pecut itu yang langsung ditangkap dengan sigap
oleh Lasni. Lalu seperti yang dilakukan semula,
gadis itu bersiul cukup keras. Maka kembali kuda
hitam kesayangannya muncul.
"Kita pergi dari sini, Manis!" serunya seraya
melompat ke punggung kudanya.
"Hei! Kenapa tidak sama-sama?" tegur An-
dika.
"Jalan dengan pemuda cerewet sepertimu
pasti akan makan hati!" sahut gadis itu sambil
menggebrak kudanya.
Andika menggaruk-garuk kepalanya. Ah!
Banyak sekali dia berjumpa gadis-gadis jelita yang
sakti dalam perjalanannya. Rata-rata bertabiat ga-
lak. Dan diam-diam, Andika juga cemas memikir-
kan nasib Lasni yang diyakini sedang berusaha
mencari Sembilan Iblis.
Kalau begitu, Lasni memang harus diban-
tu. Maka saat itu juga Pendekar Slebor melesat
kembali ke tempat semula. Dan yang dilihatnya
justru membuatnya menggeleng-gelengkan kepala.
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu
sedang beradu mulut dengan sengitnya.
"Kau memang penghasut!" maki Pendekar
Dungu.
"Kau ini benar-benar dungu! Nggak ketu-
lungan! Aku tidak mengatakan seperti itu!" sahut
Lelaki Berbulu Hitam sambil menghentakkan ka-
kinya jengkel. "Meskipun pendengaranmu baik, te-
tapi otakmu tetap saja dungu!"
"Ala, kau memang pandai bicara!"
"Hei! Kau bisa mampus kubunuh!"
"Enaknya ngomong! Apa kau pikir kepala-
ku ini kusediakan untuk di pukul, hah?!"
Andika tersenyum memperhatikan dua to-
koh aneh yang berilmu tinggi itu saling ngotot. Ju-
stru ini kesempatan yang ditunggu-tunggunya.
Tanpa banyak kata lagi, Pendekar Slebor pun me-
lesat ke arah timur.
Hendak dicarinya Istana Sembilan Iblis,
sekaligus membalaskan sakit hati Panembahan
Reso Tunggal yang telah dibunuh secara kejam.
***
5
Pertarungan antara Sembilan Iblis mela-
wan Raja Akherat berlangsung hingga tiga hari
lamanya. Meskipun dikeroyok, Raja Akherat tetap
menunjukkan kehebatan daya tahannya. Dia bah-
kan tak pernah kelihatan letih. Bila lawan-
lawannya berhasil membunuh salah satu Raja Ak-
herat justru yang terbunuh bisa bangkit kembali.
Ilmu 'Melayang Dua' yang dimilikinya memang be-
nar-benar tak ada tandingannya!
Malam ini pun pertarungan masih berlang-
sung sengit. Kini yang bertahan tinggal Upasonto
saja, karena satu persatu kawan-kawannya sudah
ambruk pingsan. Mereka tak mampu menandingi
ilmu Raja Akherat.
Sementara itu Upasonto alias Iblis Baju Sutera
masih berusaha menaklukkan Raja Akherat yang
tetap dengan ilmu 'Melayang Dua'nya ganti menge-
royok Upasonto. Hasilnya, sudah tentu Iblis Baju
Sutera itu terdesak hebat.
"Ha... ha... ha...! Kau akan mengakui kehe-
batanku, Iblis Goblok!" ejek salah seorang Raja
Akherat.
Wusss! Wuuut!
Berkali-kali anggota tubuh Iblis Baju Sute-
ra terhantam serangan yang sangat dahsyat. Sa-
kitnya sudah tidak alang-kepalang. Serangan yang
datang beruntun dan susul-menyusul itu bukan
hanya membuatnya kewalahan. Bahkan mem-
buatnya yakin kalau ajal akan segera menjemput-
nya. Mungkin ia tidak hanya dibuat pingsan seper-
ti yang lain, malah dibunuhnya!
Dan ketika dua Raja Akherat menyerang ke
arah Upasonto secara serentak, Upasonto men-
gangkat kedua tangannya.
"Tahan! Aku mengakui keunggulanmu!" ce-
gah Iblis Baju Sutera dengan suara geram.
Seketika serangan dua Raja Akherat ter-
henti, menyusul suara terbahak-bahak keras. Be-
gitu kerasnya, sehingga mampu mengguncangkan
Istana Iblis yang kokoh itu. Lalu perlahan-lahan
dua sosok tubuh Raja Akherat menyatu kembali.
Semuanya tak luput dari perhatian Upasonto yang
kali ini benar-benar sudah kehabisan tenaga.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kau tidak mau
mengakuinya sejak semula, hah?!"
Upasonto meskipun geram bukan alang
kepalang, diam-diam masih merasa beruntung.
Karena, toh yang mengalahkannya adalah orang
yang sealiran dengannya. Kalau misalnya yang di
hadapinya dari golongan lurus, semua ini tidak
akan dibiarkan terjadi.
Ia melirik delapan kerabatnya yang dalam keadaan
terkapar pingsan.
"Sekarang katakan, apa maumu?" tanya Ib-
lis Baju Sutera penuh geram.
"Bagus, bagus sekali! Pertama, akui aku
sebagai ketua kalian. Dan, ingat! Kalian harus
mengikuti seluruh kata-kataku! Bila membantah,
aku tak segan-segan untuk menghancurkan ka-
lian!" ujar Raja Akherat dengan tatapan terbuka
lebar. Matanya memancarkan sinar merah berkila-
tan.
Upasonto hanya menganggukkan kepala.
Sembilan Iblis memang tak pernah menganggap
seseorang sebagai ketua. Namun tak ada salahnya
bila sekarang Raja Akherat mengakui dirinya se-
bagai ketua. Namun diam-diam, Iblis Baju Sutera
berniat untuk menghancurkannya. Saat ini, lebih
baik menurut daripada nyawa melayang.
"Kuakui kau sebagai ketua dari Sembilan
Iblis, sekaligus menduduki kursi tertinggi di Istana
Sembilan Iblis," katanya sambil menekan semua
kegeraman.
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus sekali! Ke-
tahuilah! Hidupku tidak akan pernah tenang bila
belum memusnahkan musuh besarku! Sembilan
Iblis kuperintahkan untuk mencari!" ujar Raja Ak-
herat.
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Iblis
Baju Sutera, meski sudah bisa menduga.
Tangan Raja Akherat tiba-tiba bergerak.
Wussss!
Des!
Tubuh Upasonto kontan terguling ke bela-
kang. Dia hanya sanggup bangun dengan merang
kak. Dadanya nyeri luar biasa, setelah muntah da-
rah.
"Panggil. aku Ketua!!" perintah Raja Akhe-
rat, tak ubahnya lolongan Serigala.
Upasonto terpaksa menganggukkan kepala.
Dia benar-benar merasa kalau kebebasan Sembi-
lan Iblis kini sudah terinjak-injak.
"Baik, Ketua...."
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus sekali! Aku
suka mendengarnya! Ketahuilah, Upasonto.... Mu-
suh besarku adalah Pendekar Slebor! Cari dia
sampai dapat! Hidup atau mati. Dan, hadapkan
kepadaku! Mengerti?"
"Baik, Ketua...."
Tiba-tiba Raja Akherat melemparkan sebu-
tir benda bulat kecil berwarna hitam seperti obat
pulung kepada Upasonto.
"Telan!" ujar Raja Akherat, setelah Iblis Ba-
ju Sutera menangkapnya.
"Untuk apa?" tanya Upasonto sambil mena-
tap obat yang kini berada di tangannya.
"Jangan banyak tanya kalau tidak ingin
mampus!"
Dengan kegeraman yang menjadi-jadi,
Upasonto menelan pil itu.
Raja Akherat terbahak-bahak melihatnya.
"Bagus! Bagus sekali! Yang kau telan baru-
san itu adalah hati burung padang pasir yang te-
lah ku campur dengan bisa ular sendok. Setiap
minggu, bila masih ingin hidup, kau akan kuberi-
kan obat pemusnahnya. Tetapi bila memberontak
dari perintahku, maka kau akan mampus secara
perlahan-lahan!"
Sambil terbahak-bahak Raja Akherat melangkah
mendekati delapan iblis lain yang pingsan. Dengan
paksa dimasukkannya benda hitam itu ke mulut
mereka. Semua tindakannya diperhatikan oleh
Upasonto penuh kegeraman yang semakin menja-
di-jadi. Raja Akherat kemudian menyadarkan me-
reka.
Begitu bangun, mereka siap menyerang Ra-
ja Akherat.
"Jangan bertingkah bila kalian tidak ingin
mampus!" seru Raja Akherat.
Biang tokoh sesat ini terbahak-bahak, lalu
melangkah tenang. Dan pantatnya di henyakkan
di sebuah kursi yang masih utuh.
"Kalian telah menelan racun racikan ku
sendiri yang sangat berbahaya! Bila kalian masih
ingin hidup, silakan bersikap hormat kepadaku!
Seperti Upasonto yang telah menyerahkan seluruh
hidupnya kepadaku! Kalian dengar itu?"
Mereka saling pandang, tak percaya. Tetapi ketika
Upasonto menganggukkan kepala, mereka pun
yakin apa yang dikatakan laki-laki bercodet di pipi
kirinya itu benar.
Lalu satu persatu para iblis ini berdiri den-
gan geram.
"Apa maumu sebenarnya?" bentak Ka-
hyunputi dengan tatapan geram.
"Ha... ha... ha...! Seperti yang tadi sudah
kukatakan, aku ingin kalian menganggapku seba-
gai Ketua. Dan, ingat! Jangan ada yang memban-
tah perintah ini!"
Kahyunputi mengepalkan tangannya. Se-
mentara Raja Akherat terbahak-bahak kembali.
"Tak ada gunanya kalian melawanku! Lebih
baik turuti perintahku saja! Cari Pendekar Slebor
sampai dapat! Hidup, atau mati!"
Tak ada yang membantah. Masing-masing
dari Sembilan Iblis hanya mengangguk meskipun
kegeraman sudah menjadi-jadi. Memang, mereka
telah merencanakan untuk membunuh Pendekar
Slebor. Tetapi, bukan diperintah semacam ini!
Namun saat ini, mereka tak berani mem-
bantah. Kalau melawan, toh tak ada gunanya.
Apalagi, nyawa mereka berada di tangan Raja Ak-
herat.
"Kami akan mencarinya, Ketua...," kata
Upasonto pelan sambil menekan seluruh dendam-
nya.
"Ha... ha... ha...! Aku senang mendengar-
nya! Bila kalian taat kepadaku, setiap minggu
akan kuberikan penangkal dari racun yang kalian
telan! Tetapi yang perlu diketahui, bila dalam
tenggang seminggu racun itu tidak diberikan pe-
nangkalnya, maka kalian akan mati perlahan-
lahan."
***
"Sudah, sudah! Memang tak ada gunanya
berbicara denganmu!"
Di Hutan Angsoko, Lelaki Berbulu Hitam
berseru keras pada Pendekar Dungu.
"Ala! Jangan mempermainkan aku! Otakku
cerdik! Aku tahu, kau hendak mengatakan aku
dungu, kan?" Dengus Pendekar Dungu.
"Dengar! Ke mana Tuan Penolong kita?!"
tanya Lelaki Berbulu Hitam sambil mengedarkan
pandangannya.
"Nah, nah! Mau main-main lagi! Kapan kita
pernah melihat Pendekar Slebor, hah?!"
Manusia Berbulu Hitam menggeleng-geleng
dengan gemas.
"Masa kau lupa, sih?"
"Lupa! Oho, ingatanku masih sehat, Ka-
wan. Sudah, ayo kita berkelahi saja! Aku masih
ingin mengemplang kepalamu! Jangan mencari
alasan! Kalau kau takut, bilang saja takut?"
"Jangan sesumbar!"
"Buktinya, kau tidak mau berkelahi lagi
denganku, kan? ayo, sini maju! Maju!"
"Dengar, Dungu!" ujar lelaki Berbulu Hi-
tam, jengkel. "Sebelumnya Pendekar Slebor bilang
hendak mandi! Lalu dia muncul di sini. Dan seka-
rang, sudah tidak ada! Ke mana dia?" "Mana
aku tahu? Dia tidak bilang kepadaku, kok.
Atau...." Pendekar Dungu menyipitkan matanya.
"Jangan-jangan, kau tahu ke mana dia pergi!"
"Kalau aku tahu, kenapa harus bertanya?"
tukas Lelaki Berbulu Hitam.
"Nah! Kalau aku tahu, aku kan bisa men-
jawab! Memang pusing punya teman dungu seperti
kau ini!" cibir Pendekar Dungu sambil mengge-
leng-geleng. "Kasihan, punya kawan sudah pikun."
Lelaki Berbulu Hitam tidak lagi menghi-
raukan kata-kata Pendekar Dungu. Dia tidak tahu
secara pasti, sudah berapa lama bertarung dengan
Pendekar Dungu. Dan tahu-tahu baru disadari ka-
lau Pendekar Slebor sudah tidak ada di tempat.
Dengan cepat tubuh lelaki keturunan seri-
gala ini berkelebat ke satu tempat.
"Hei! Mau tinggal aku, ya?! Sana pergi! Aku
tidak takut!" seru Pendekar Dungu sambil mengi-
baskan tangannya. "Hhh! Memangnya dipikir aku
takut? Tetapi, lho...? Jangan-jangan si Hitam me-
mang benar. Tadi ada Pendekar Slebor di sini. Dan
dia tidak tahu kalau dalam wangsit mimpi ku
Pendekar Slebor akan tewas di Istana Sembilan Ib-
lis? Hei, Hitam! Keluar kau! Kau harus mengaku
kepadaku kalau tadi Pendekar Slebor ada di sini!
Hei, Hitam jelek! Keluar! Kita berkelahi lagi!"
Untuk sesaat, sosok Lelaki Berbulu Hitam
belum keluar dari balik semak.
Pendekar Dungu semakin sewot.
"Hei! Kalau kau takut bilang saja takut! Ti-
dak usah berlagak berani!"
Lelaki Berbulu Hitam belum keluar juga.
Seketika Pendekar Dungu mengibaskan
tangannya dengan jengkel.
Wusss!
"Blaaarrr!"
Sebatang pohon besar kontan ambruk ba-
gaikan disambar kilat yang dahsyat. Suaranya
menimbulkan bunyi berdebam keras. Seketika, so-
sok lelaki Berbulu Hitam keluar dari sana. Wajah-
nya nampak jengkel sekali.
"Brengsek! Lihat-lihat dong, kalau ingin
menebang pohon!" makinya jengkel.
"Mengapa kau tidak bergeser saja tadi?"
Lelaki Berbulu Hitam membuang kekesalan
dengan melepas napas melalui hidungnya.
"Ke mana sih pemuda itu? Brengsek! Pa-
dahal begitu banyak yang aku ingin ngobrolkan?"
maki Lelaki Berbulu Hitam.
"Bagus itu. Aku juga! Tetapi, di mana dia
sekarang?"
"Sudah kubilang aku tidak tahu!"
"Ala, kau ini memang licik!" Tadi kau bilang
dia ada di sini? Nah, mana dia?"
"Dungu! Aku tidak tahu!" jerit lelaki Berbu-
lu Hitam keras sambil membuang rasa jengkelnya
pada kawannya yang dungunya tidak ketulungan
lagi.
"Dasar licik! Memangnya dia apamu sih?
Pacarmu? Istrimu? Kan bukan? Jadi aku boleh
bertemu dengannya, kan?" sahut Pendekar Dun-
gu, semakin dungu saja.
Lelaki Berbulu Hitam tidak meladeni kata
kata Pendekar Dungu.
"Hitam! Kau tahu, di mana Istana Sembilan
Iblis?" tanya Pendekar Dungu, membuat Lelaki
Berbulu Hitam menoleh.
Lelaki keturunan Serigala ini menggeleng.
"Jangan-jangan si Slebor itu ke sana," tun-
juk Pendekar Dungu ke satu arah. Kali ini sikap-
nya kelihatan yakin.
Lelaki Berbulu Hitam langsung menoleh-
kan kepala pada Pendekar Dungu. Lalu bibirnya
tersenyum yang justru membuat wajahnya sema-
kin jelek.
"Tumben kau bisa punya pikiran yang ce-
merlang itu," puji Lelaki Berbulu Hitam. Pendekar
Dungu tersenyum.
"Kalau dia ke sana, kita harus mencarinya.
Nanti kita tanya di mana letak Istana Sembilan Ib-
lis. Baru kita menyusul dia ke sana!"
***
Lelaki Berbulu Hitam menghentakkan ka-
kinya. Kalau begitu caranya sama saja bohong!
"Kau ini benar-benar dungu tak ketulun-
gan!" semburnya kesal.
"Lho, lho? Kenapa lagi sih?" seru Pendekar
Dungu tersinggung.
"Aku sudah mengatakan apa adanya! Me-
mang susah punya teman dungu seperti kau!"
"Sudah, sudah! Kita harus segera mencari
pemuda sakti itu! Aku juga ingin membuktikan
kebenaran mimpimu! Masa iya sih, dia bisa dika-
lahkan Sembilan Iblis!"
"Eh, kau tidak percaya? Aku juga tidak!
Mungkin mimpi ku itu hanya gombal saja, ya?"
"Atau kau mengada-ada?" tebak Lelaki
Berbulu Hitam.
Pendekar Dungu melotot.
"Enaknya kau ngomong! Aku ini orang pili-
han dewa!" Sahut Pendekar Dungu bangga sambil
menepuk dadanya. "Setiap kali aku bermimpi,
pasti itu wangsit yang benar. Tetapi..., ah! Itu bo-
hong. Benar, bohong. Masa pemuda sakti itu bisa
mati, ya?"
"Kubilang apa! Kau mengakuinya juga,
kan?" seru Manusia keturunan Serigala ini dengan
wajah puas.
Pendekar Dungu hanya menggedikkan ba-
hunya saja. Kelihatan jengkel pada kawannya ini.
"Memang, sekali-sekali orang yang cerdik
dan pintar itu berbuat salah. Buktinya... ya, seper-
ti aku ini," kata Pendekar Dungu, bernada som-
bong.
Lelaki Berbulu Hitam terbahak-bahak
mendengar kata-kata Pendekar Dungu yang di-
ucapkan dengan nada sombong sekali.
"Sekarang, bagaimana?" kata Lelaki Berbu-
lu Hitam, bernada mengejek.
Pendekar Dungu menyeringai menang.
"Nah! Memang, orang dungu sering bertanya ke-
pada yang pintar. Silakan, Hitam.... Kau mau ber-
tanya apa?"
Lelaki Berbulu Hitam memaki-maki me-
nyadari kesalahan bicaranya. "Aku akan mencari
Pendekar Slebor! Sialan juga dia, main tinggal sa-
ja! Akan ku jitak kepalanya!"
"Aku juga! Kau sebelah kanan atau kiri?"
"Kiri!"
"Aku ambil yang kanan!" kata Pendekar
Dungu. Dan tahu-tahu di jitaknya kepala Lelaki
Berbulu Hitam.
Bletak!
"Waadddooowww!"
Jitakan Pendekar Dungu mengandung te-
naga dalam kuat. Hingga tak heran kalau Lelaki
Berbulu Hitam menjerit keras.
"Sialan! Kurang ajar! Dungu!" maki Lelaki
Berbulu Hitam sewot.
Kening Pendekar Dungu berkerut.
"Heran! Dia yang menyuruh aku menjitak
kepalanya bagian kanan! Kok, aku yang dimaki-
maki! Memang susah berteman dengannya!" kata
Pendekar Dungu.
"Ada orang dungu, tetapi tidak seperti kau!"
"Itu lebih baik. Jadi tidak ada yang me-
nyamai ku! Eh, Hitam! Bagaimana kalau kita ber-
tanya pada gadis berbaju Kuning yang kalau berja-
lan mengegol-egolkan pinggulnya! Barangkali saja
dia tahu, di mana Andika?"
Lelaki Berbulu Hitam mendengus. "Payah!"
***
Lima sosok tubuh yang berwajah menye-
ramkan keluar dari Istana Sembilan Iblis. Pagi
yang menusuk tulang seakan siap menyebarkan
kematian. Mereka tak lain Iblis Kaki Seribu, Iblis
Cakar Harimau, Iblis Juling, Iblis Kahyangan, dan
Iblis Lidah Api. Sesuai perintah Raja Akherat, me-
reka keluar dari Istana Sembilan Iblis untuk men-
cari Pendekar Slebor.
Sebenarnya keinginan untuk membunuh
Pendekar Slebor sudah merupakan rencana mere-
ka. Tetapi kini, atas perintah orang lain. Dan me-
reka pun menjadi jengkel. Meskipun, rencana itu
akan tetap dijalankan.
Mereka melangkah menyusuri lembah yang
panjang. Alang-alang tinggi yang tumbuh diterobos
begitu saja. Beberapa ekor burung yang hinggap
terjuntai segera berterbangan lincah.
"Kita akan membuat perhitungan kembali
dengan Raja Akherat," dengus Majenar alias Iblis
Cakar Harimau dengan hati panas.
Bagi Majenar ini adalah kekalahan yang
sangat pahit. Seumur hidupnya, belum pernah dia
mengalami masalah yang sangat menjengkelkan
seperti ini. Diperintah layaknya budak belaka!
"Kau benar, Majenar," sahut Bresatar alias
Iblis Kaki Seribu. "Aku sudah muak melihat si-
kapnya!
Sayang, racun itu telah masuk ke tubuh
kita! Setelah kita mendapatkan Pendekar Slebor
baik hidup atau mati, barulah bisa meminta obat
pemusnah dari Raja Akherat."
"Memang! Raja Akherat harus menerima
pembalasan dari kita!" seru Wediwoso alias Iblis
Juling dengan tatapan mata sukar diartikan. "Aku
benar-benar merasa heran dengan ajian 'Melayang
Dua'nya itu. Bukan hanya dahsyat, namun juga
menakjubkan!"
Lima dari Sembilan Iblis itu terus melang-
kah dengan hati panas. Keinginan untuk me-
nyingkirkan Raja Akherat semakin menjadi-jadi
saja, tanpa boleh sirna dari hati mereka. Apalagi
setelah di perut masing-masing tertanam racun
yang dipaksa masuk oleh Raja Akherat.
"Setelah Pendekar Slebor tewas, kita akan
segera menghancurkan raja tengik itu!" desis Ka-
hyunputi alias Iblis Lidah Api.
"Tetapi, bagaimana cara mengatasinya bila
mempergunakan ajian 'Melayang Dua'nya?" tanya
Sridorsa alias Iblis Kahyangan. "Ajian 'Mambang
Kahyangan'ku saja tidak banyak membawa arti.
Terbukti aku pun dibuatnya pingsan! Kalau dia
hanya seorang diri, dengan mudah tubuhnya akan
kita rencah menjadi beberapa bagian. Namun, bila
telah mempergunakan ajian 'Melayang Dua'nya
yang sangat dahsyat, kita seperti menghadapi dua
kelompok yang sama-sama ganas, tangguh, dan
kejam."
Kini tak ada yang bersuara. Mereka terus
melangkah.
"Apakah di antara kalian ada yang tahu
rahasia ajian 'Melayang Dua' milik Raja Akherat?"
tanya Iblis Kahyangan lagi.
Sekali lagi tak ada yang bersuara. Mereka
kemudian sama-sama mendengus ketika menya-
dari kehebatan Raja Akherat memang tangguh,
Apalagi saat ini racun yang dalam waktu seminggu
akan terus bekerja, telah bersemayam di perut
mereka. Inilah yang sangat menyulitkan.
Mereka pun tiba di tepi Hutan Angosko, se-
telah menempuh perjalanan dua penanak nasi.
Matahari pun sudah menggeser dari ubun-ubun
kepala mulai miring ke kanan.
"Kalau begitu, kita tidak perlu membicara-
kannya lagi. Bila kita mendapatkan kunci dari
ajiannya, maka akan bisa mengalahkannya," tan-
das Majenar. "Bahkan, bisa menjadikannya seo-
rang budak!"
Rombongan itu tertawa-tawa. Dan tanpa
disadari, sepasang mata tengah memperhatikan
seksama. Sesekali keningnya berkerut. Tangannya
menghitung jumlah orang-orang itu.
"Heran," desis si pengintai dengan kening
berkerut. "Menurut mimpi Pendekar Dungu, jum-
lah mereka sembilan orang. Kok ini hanya lima?"
Si pengintai menghitung sekali lagi agar
jangan meleset. Tetapi hasilnya tetap sama. Jan-
gan-jangan mereka bukan Sembilan Iblis. Huh! Di
mana sih sebenarnya mereka berada?
Belum lagi si pengintai berpakaian hijau
pupus dengan selembar kain bercorak catur yang
melingkar di bahunya mendapatkan jawaban dari
pertanyaannya sendiri, tiba-tiba saja telinganya
menangkap ringkik kuda yang keras. Menyusul,
satu sosok tubuh berpakaian putih-putih dengan
ikat pinggang berwarna merah, melenting ke arah
lima orang itu.
Begitu mendarat di tanah dengan ringan,
sosok ramping itu berdiri gagah dengan sikap me-
nantang di hadapan lima dari Sembilan Iblis.
"Busyet! Kenapa Lasni menghadang lang-
kah orang-orang itu?" desis si pengintai lagi yang
tak lain Pendekar Slebor.
Untuk keluar dari hutan yang lebat dan panjang
itu membutuhkan waktu berhari-hari. Dan pengli-
hatan Pendekar Slebor yang tajam tadi pun meli-
hat lima sosok tubuh bertampang menyeramkan
sedang melangkah ke arahnya.
Pendekar Slebor yang tidak ingin mencari urusan,
segera melenting ke atas pohon dan mengintai. Te-
tapi yang tak disangka sekarang ini, justru gadis
yang memang Lasni, terlihat sudah berdiri meng-
hadang langkah orang-orang itu yang sekarang
terbahak-bahak saling pandang.
"Ha ha ha.... Ayam bulat mana yang bera-
ni-beraninya menghalangi langkah kita?" seru We-
diwoso, alias Iblis Juling sambil tertawa. Matanya
yang tidak kompak jadi kelihatan lucu ketika me-
natap Lasni.
Gadis baju putih bisa melihat kalau tata-
pan itu penuh sinar birahi. Akan tetapi, Lasni ada-
lah gadis gagah dan tabah. Dendamnya atas ke-
matian kakeknya telah berakar di hatinya, tekad-
nya tidak akan pudar sebelum menemukan Sembilan Iblis.
"Hhh! Orang-orang menyeramkan! Siapa-
kah kalian?!" tanya Lasni, berusaha berwibawa.
"Ha ha ha.... Nona Manis..., mengapa kau
bertanya seperti itu?" sahut Sridosa sambil menye-
ringai. "Sudah tentu kami berlima ini adalah ka-
kang masmu yang akan membuatmu gembira.
Mari sini, Manis.... Mari.... Kau bisa menghibur
kami, kan?"
Lasni jijik mendengar kata-kata itu. Se-
hingga telinganya memerah dan tatapannya sema-
kin nyalang.
"Kurang ajar! Kalian rupanya orang-orang
busuk yang tak ubahnya seperti Sembilan Iblis!"
dengus gadis itu.
Mendengar julukan Sembilan Iblis disebut,
mereka berpandangan. Lalu sama-sama mereka
terbahak-bahak.
"Rupanya kau mencari Sembilan Iblis, No-
na Manis? Bagus! Bagus sekali.... Kebetulan, kami
adalah lima orang dari anggota Sembilan Iblis
yang ditakuti. Nah, apakah kau sekarang akan lari
ke pelukan kami?"
Mendengar kata-kata itu, dengan sigap
Lasni mencabut pecut Brajakirana nya dari ping-
gang.
"Rupanya, kalianlah yang telah membunuh
kakekku!" geramnya marah.
Sementara Andika tersenyum dingin.
"Ha ha ha.... Kami sudah banyak membu-
nuh orang! Bahkan tak terhitung banyaknya!" seru
Bresatar jumawa. "Siapakah kakekmu itu, Nona
Manis?"
"Nama kakekku Panembahan Reso Tunggal
yang kalian bunuh secara keji!"
Kelima Iblis ini terbahak-bahak.
"Rupanya dia cucu dari orang tua goblok
itu!" seru Bresatar.
"Ha ha ha...! Bagus sekali. Tetapi, rasanya
sayang bila kita langsung membunuhnya sebelum
dinikmati," tambah Kahyunputi sambil tertawa-
tawa.
"Kau benar, Kahyunputi. Kita bisa men-
gundinya sekarang," timpal Wediwoso sambil me-
nelan ludahnya. "Siapa yang pertama kali berhak
menguliti ayam bulat itu?"
Ctaaarrr!
Lasni yang tak tahan mendengar ocehan
itu sudah menggerakkan pecut pusakanya yang
menebarkan hawa dingin. Seketika, kelima orang
itu berlompatan sambil terbahak-bahak dan men-
gurungnya.
Di atas pohon, Andika menepuk keningnya.
"Gila! Nekat juga si Lasni ini! Dia bukan
hanya bisa mati konyol, tetapi akan hancur luar
dalam!"
Sementara Lasni dengan kemarahan luar
biasa mengayunkan pecutnya berkali-kali ke arah
lima orang yang telah membunuh kakeknya. Dia
tidak kelihatan takut sedikit pun. Bahkan wajah-
nya begitu tegas untuk membalas dendam.
"Ayo, maju kalian semua! Biar arwah ka-
kekku puas!" serunya, keras.
Ctar! Ctaarrr!
Kelima anggota Sembilan Iblis berkelit
menghindari serangan sambil terbahak-bahak.
Terkadang, tubuh mereka sengaja dibiarkan untuk
terjilat pecut Brajakirana.
"Manis.... Mengapa kita harus membuang-
buang waktu lagi? Sebentar lagi malam akan men-
jelang. Dan kita bisa saling menghangatkan bu-
kan?" kata Wediwoso sambil balas menyerang
dengan kedua tangan terbuka, siap memegang ba-
gian-bagian terlarang tubuh Lasni.
Begitu pula yang lainnya, yang tak ubahnya se-
kumpulan elang sedang mengeliling anak ayam.
Hal ini justru membingungkan Lasni. Sehingga di-
am-diam kekeliruannya disadari karena terlalu
menganggap enteng lawan-lawannya. Semua ini
terjadi karena hatinya terlalu geram akibat kema-
tian kakeknya.
Kalau tadi Lasni bisa mengumbar setiap
serangannya, namun kali ini justru merapatkan
pecutnya. Karena begitu tangannya mengibas pa-
da salah seorang lawannya, para iblis yang lain
segera memburu dengan kedua tangan terbuka.
Mereka berusaha menyentuh bagian-
bagian terlarang dari tubuh Lasni cara ini mem-
buat gadis itu benar-benar kalang kabut.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" seru Lasni keti-
ka tangan Majenar berhasil memegangi kedua tan-
gannya dan merangkul dari belakang. Sementara,
yang lain mendekati sambil menyeringai lebar.
"Ha ha ha.... Kita berpesta malam ini!" kata
Majenar sambil terbahak-bahak.
Namun mendadak Iblis Cakar Harimau ter-
sentak seketika.
Dukk!
"Augh...!" sebuah pukulan keras menghan-
tam pangkal lengannya. Saat itu juga tubuhnya
sempoyongan ke belakang.
"Siapa kau, Manusia Lancang?" bentak
Bresatar sambil bersiaga.
Sementara Lasni yang merasa terbebas dari
rangkulan Majenar segera berbalik. Pecutnya lang-
sung diayunkan ke arah Majenar.
Ctarr!
Majenar yang masih sempoyongan ternyata
memang memiliki kemampuan cukup tinggi. Se-
rangan Lasni berhasil dihindari. Namun teman-
teman Majenar menjadi terkejut, karena tidak me-
nyangka gadis itu akan mempergunakan kesempa-
tan selagi mereka kebingungan mencari siapa pe-
nyerang Majenar.
Tetapi nasib Majenar kali ini sungguh ma-
lang. Meskipun berhasil menghindari serangan
Lasni, tetapi kembali suatu bayangan berkelebat
dan langsung menghantam dadanya hingga tu-
buhnya kembali sempoyongan.
Begitu bisa mengembalikan keseimban-
gannya, begitu teman-temannya membuka mata,
maka lima anggota Sembilan Iblis melihat di sisi
Lasni telah berdiri seorang pemuda tampan den-
gan sepasang alis menukik bagaikan kepakan
sayap elang!
***
"Oh, kau?" desah Lasni begitu mengenali
penolongnya.
Sosok bayangan yang tak lain Pendekar
Slebor hanya tersenyum saja.
"Ini akibatnya bila terlalu nekat dan tidak
memperhitungkan akibatnya!!" kata Pendekar Sle-
bor seperti mengomeli.
"Pendekar Slebor!"
Kelima anggota Sembilan Iblis secara se-
rempak berseru.
Andika menjura bagaikan seorang petinju yang
baru memenangkan sebuah pertandingan.
"Terima kasih, terima kasih. Rupanya ka-
lian menaruh hormat pula padaku. Baik, baik....
Kuterima hormat kalian," lanjut pemuda urakan
ini.
Lasni yang terkejut sekaligus senang meli-
hat kehadiran Pendekar Slebor, jadi tersenyum ge-
li. Tetapi dia pun segera bersikap waspada, berdiri
berdampingan dengan Pendekar Slebor. Sementa-
ra pecut pusakanya siap diayunkan kembali, keti-
ka kelima anggota Sembilan Iblis mendengus pe-
nuh kegeraman.
"Rupanya kami tidak perlu mencarimu
jauh-jauh, Pendekar Slebor karena, kau datang
untuk mengantarkan nyawa!" seru Kahyunputi
dengan tatapan dingin.
Andika hanya nyengir saja, sambil meng-
gunakan otaknya yang cerdik untuk memperhi-
tungkan segala sesuatu.
"Lho? Jadi kalian selama ini sudah me-
mendam keinginan yang dalam untuk berkenalan
denganku, ya? Wah, bagus! Bagus! Perkenalan ka-
lian kuterima! Sini, sini semuanya.... Biar ku ji-
tak!"
"Jangan banyak tingkah!" dengus Kahyun-
puti.
"He he he.... Kudengar kalian berjumlah
sembilan orang. Nah, mengapa sekarang cuma li-
ma?
Apakah yang empat orang lagi sedang
mengerami telurnya yang cuma dua?" ejek Andika.
Mata Pendekar Slebor terus bekerja, mem-
perhitungkan jaraknya. Dia tahu Lasni akan
mampu menjaga diri. Namun, dia pun tahu kalau
kelima orang ini memiliki kesaktian di atas rata-
rata. Bisa repot kalau harus bertarung sambil
memikirkan Lasni.
Bukannya sahutan yang didapatkan Andi-
ka. Mendadak Kahyunputi membuka mulutnya.
Dan....
Wrrr!
Api besar bagaikan keluar dari mulut naga,
siap menyambar wajah Andika dan Lasni. Dengan
sigap Pendekar Slebor memiringkan tubuhnya.
Sementara, Lasni melompat dua tindak ke samp-
ing.
Dan gerakan yang dilakukan secara serem-
pak itu pun menemukan ganjalan berarti. Karena,
Kahyunputi, Wediwoso, Majenar, dan Bresatar se-
cara serempak menyerang. Mereka langsung
mempergunakan ajian pamungkas yang dimiliki.
Sementara Sridorsa menyerang Lasni. Namun ga-
dis ini segera menyambutnya dengan pecut pusa-
kanya.
Menghadapi satu orang, ternyata Lasni
masih mampu mengimbanginya, meskipun berka-
li-kali harus keteter pula.
Sedangkan Andika sudah berkelit kesana
kemari. Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan itu mempergunakan kecepatan-
nya untuk menghindari serangan dari empat ang-
gota Sembilan Iblis yang cepat dan beruntun.
Menghadapi keempat orang dari Sembilan Iblis sa-
ja, Andika sudah bisa merasakan kedahsyatannya.
Apalagi mereka tergabung dalam Sembilan
Iblis? Tetapi, pendekar urakan itu tidak mempedu-
likannya lagi. Baginya mereka harus bisa diatasi.
Maka dengan mempergunakan tenaga 'inti
petir' tingkat kedelapan belas, Andika mencoba
menerobos ruang gerak serangan para iblis itu.
Wuuut!
"Heeaaa!"
Namun hal itu tidak gampang dilakukan.
Karena selain serangan yang rapat dan cepat,
keempat lawan Iblis itu pun dapat merapat sekali-
gus.
"Edan! Konyol!" maki Pendekar Slebor
jengkel.
Dan kembali Andika harus menghindari se-
rangan beruntun itu. Berkali-kali dicoba untuk
menerobos ruang gerak serangan keempat lawan-
nya.
Pendekar Slebor memang berhasil, dengan
cara mengirimkan pukulan telak ke dada Wediwo-
so. Sehingga ruang gerak serangan lawan sedikit
terbuka. Akan tetapi, hal itu harus dibayar dengan
pukulan Majenar dan tendangan Bresatar.
Buk!
Des!
Pendekar Slebor kontan terjajar, namun
cepat menguasai keseimbangannya lagi.
"Yeee..., tidak sakit! Tidak sakit!" ejeknya
sambil mengulurkan lidahnya seperti anak kecil.
Ejekan Andika membuat kemarahan empat
dari Sembilan Iblis semakin menjadi-jadi. Teruta-
ma, Majenar dan Wediwoso. Keduanya menyerang
gencar, membuat Andika jadi kewalahan. Belum
lagi menghadapi serangan Bresatar yang menggu-
nakan jurus 'Kaki Seribu'nya. Juga, ditambah
semburan lidah api Kahyunputi.
Semuanya membuat Andika melompat-lompat se-
perti monyet kebakar ekornya.
"Gawat! Bisa-bisa aku yang konyol nih!"
maki Pendekar Slebor dalam hati.
Memang serangan yang datang semakin
lama semakin terasa dahsyat dan mengerikan.
Sementara itu, Sridorsa berusaha menekan Lasni
dengan serangan-serangan rapat, cepat, dan ber-
bahaya. Karena bila jaraknya merenggang maka
pecut yang berada di tangan Lasni bisa memakan
tubuhnya.
Lasni pun seorang gadis cerdik. Dia tahu lawan
memaksanya bertarung dari jarak lebih dekat.Makanya setiap kali Sridorsa merapatkan seran-
gan, gadis itu langsung melompat mundur sambil
mengibaskan pecutnya.
"Setaaannn!" maki Sridorsa.
Iblis ini menyadari kalau gadis itu menge-
tahui maksudnya. Namun dia tetap berusaha me-
rapatkan serangan, kalau tak ingin salah satu
anggota tubuhnya dimakan pecut Lasni.
Ctaaar!
"Hei?! Mengapa kau seperti anak kecil yang
ketakutan seperti itu, ha ha ha...?!" ejek Lasni.
Sudah tentu kata-kata gadis itu membuat
Sridorsa bertambah murka. Mendadak saja, tan-
gannya dikibaskan ke depan.
Wress!
Seketika serangkum angin panas menderu
ke arah Lasni.
Akan tetapi, menghadapi lawan seorang di-
ri seperti itu, bagi Lasni lebih mudah. Apalagi ilmu
pecutnya memang sudah sangat terlatih.
Tiba-tiba saja sambil melenting ke atas,
Lasni membuat lingkaran cepat dari pecutnya,
yang digerakkan hingga menimbulkan hawa din-
gin. Maka hawa panas yang dilancarkan Sridorsa
pun harus runtuh oleh hawa dingin yang keluar
dari pecut Lasni.
Semakin bertambah murka saja Sridorsa
dibuatnya. Dia benar-benar marah, karena meng-
hadapi seorang gadis saja belum juga berhasil me-
naklukkannya.
"Kau memang harus diajar adat!" geram-
nya.
"Hei? Apakah tadi kau hanya main-main
saja?" kata Lasni, mengejek. "Atau..., memang
hanya begitu saja kemampuanmu?"
Wajah Sridorsa memerah mendengar ejekan yang menjengkelkannya. Tiba-tiba saja tu-
buhnya meluruk ke arah Lasni dengan gerakan
bagai meluncur.
"Kau akan membayar ucapanmu itu den-
gan nyawamu! Heaaaa!" seru Iblis Kahyangan den-
gan hati jengkel.
***
7
Lasni cepat mengibaskan pecut Brajakira-
na nya begitu Sridorsa meluruk dengan kedua
tangan terkepal.
Ctar!
Pecut yang mampu menghancurkan batu
karang sebesar kerbau, ternyata tidak membawa
hasil yang diharapkan. Bahkan tubuh Sridorsa te-
rus meluncur deras!
Gadis itu melenguh pelan. Baru disadari
kalau lawan yang dihadapinya ini benar-benar
tangguh. Mau tak mau tubuhnya melenting ke
atas. Namun yang membuatnya terkejut, tubuh
Sridorsa terus melayang mengejarnya.
"Setan alas!" maki gadis itu.
Seketika Lasni memutar tubuhnya, seraya menen-
dang ke arah Sridorsa. Namun, Iblis Kahyangan
segera mengibaskan tangannya saja.
Plak!
Lasni hampir saja terpental karena kehi-
langan keseimbangan. Namun untungnya dia ma-
sih bisa menguasai dirinya, sehingga jatuh dengan
ringan. Ketika celananya disingkap terlihat kaki
kanannya membiru.
Namun gadis itu tidak bisa berlama-lama
menyesali kakinya yang putih mulus berubah
membiru, karena Sridorsa terus meluruk ke arah-
nya. Tak ada jalan lain lagi baginya selain memu-
tar pecut dengan putaran cepat.
Rrrrt...!
Sridorsa masuk ke dalam lingkaran pecut.
Dan secepat kilat, Lasni menarik pecutnya yang
melilit tubuh Sridorsa, hingga terjerunuk ke de-
pan. Dan dengan gerakan lincah sekali, tubuhnya
berputar sambil mengibaskan kaki kirinya.
Des!
"Ughh...!"
Tubuh Sridorsa makin tersuruk ke depan.
Sementara itu Andika kini benar-benar ke-
walahan menghadapi serangan-serangan gencar
kaki Sembilan Iblis. Terutama, menghadapi sem-
buran api Kahyunputi yang membakar semak be-
lukar. Saat itu juga sekitar tempat itu jadi terang
benderang, karena malam sudah datang. Andika
juga harus pontang-panting menghindari serbuan
'Kaki Seribu' yang dilakukan Bresatar.
"Kampret bau! Kentut busuk! Bisa mampus nih!"
dengus Andika. Kali ini Pendekar Slebor benar-
benar tidak diberi kesempatan lagi untuk memba-
las. Namun si pemuda yang kepribadiannya sudah
tertempa oleh kehidupan keras di kotapraja itu
masih berusaha meloloskan diri dari kepungan se-
rangan beruntun dan membabi buta. Karena ka-
lau terus menerus berada dalam pusaran seran-
gan lawan-lawannya, bisa dipastikan ajalnya akan
lebih cepat tiba.
Dan mendadak saja, Andika bergulingan ke
depan. Sejenak tadi Pendekar Slebor terkejut juga
melihat serangan Sridorsa pada Lasni. Tetapi dia
bisa menarik napas lega setelah melihat Lasni
berhasil meloloskan diri dari sergapan maut Iblis
Kahyangan. Bahkan mampu mengirimkan serangan balasan yang tak kalah hebat.
Sambil bergulingan Pendekar Slebor men-
gibaskan tangannya yang telah terangkum tenaga
'inti petir' pada tingkat kesepuluh. Dengan seran-
gan balasan ini, ia berhasil meloloskan diri.
Meskipun, cakar harimau Majenar sempat meng-
gores kulit lengan kanannya.
Kali ini memang tak ada jalan lain lagi.
Mendadak saja, Andika melenting ke atas ketika
sergapan yang datang berikutnya meluruk begitu
cepat. Dan seketika di tangannya telah tergenggam
kain pusaka warisan Ki Saptacakra.
Dengan kain pusaka Andika mengibaskan-
nya ke arah semburan api Kahyunputi.
Wutt...!
Api yang menyambar ke arah Andika ter-
lempar ke arah Wediwoso. Iblis Juling langsung
bergulingan kalau tidak mau ajian andalan ka-
wannya menjilat-jilat tubuhnya.
Dan Andika tidak mau lagi membuang ke-
sempatan yang cukup sempit itu. Hanya sebuah
celah sedikit. Seketika kain pusakanya dikebutkan
pada Wediwoso yang masih bergulingan.
Brrt!
"Aaakh...!"
Iblis Juling menjerit keras bagai lolongan
serigala. Lalu terlihat sesuatu terlepas dari tubuh-
nya. Ternyata tangan kirinya yang tersambar kain
pusaka Andika putus! Darah seketika mengalir da-
ri tangannya.
Melihat Iblis Juling bergulingan menahan
sakit, ketiga temannya semakin ganas.
Serangan-serangan mereka bertambah cepat dan
berbahaya. Namun kesempatan yang sangat lang-
ka, setelah berhasil menjatuhkan Wediwoso, seca-
ra tidak langsung Andika mendapatkan celah serangan. Pendekar Slebor melihat serangan empat
penjuru yang dilakukan lawan-lawannya menjadi
terbuka. Maka dengan cepat tubuhnya bergerak ke
kiri dan kanan sambil mengebutkan kain pusa-
kanya.
Wurrr...!
Wutt...!
Lagi-lagi api semburan Kahyunputi berha-
sil dibuang Andika. Bahkan tubuhnya cepat me-
lenting cepat ke depan sambil mengibaskan kain
pusakanya. Kakinya terangkat dengan gerakan
memutar, memapaki serangan Iblis Kaki Seribu
yang bergerak cepat.
Des!
Tubuh Bresatar yang bergerak dalam kea-
daan kepala ke bawah dan kaki ke atas langsung
tersungkur cepat. Andika pun bergerak cepat pula.
Langsung diinjaknya leher Bresatar, sehingga....
Krekk...!
Seketika, patahlah leher Bresatar. Dan
nyawanya pun melayang-layang meninggalkan ja-
sadnya.
Sudah tentu Majenar dan Kahyunputi se-
makin marah. Namun, dua serangan yang mereka
lakukan secara serempak, sepertinya telah kehi-
langan gigi.
Karena dua penjuru yang bebas itu mem-
buat Andika melompat ke sana kemari, sambil
menghindari setiap serangan.
"Ayo, ayo! Mau ke mana kalian?" seru Pen-
dekar Slebor sambil mengebut-ngebutkan kain
pusakanya, hingga menimbulkan angin keras yang
menderu-deru.
Kahyunputi yang merasa semburan lidah apinya
sudah tidak banyak gunanya, kini menyerang
dengan tangan dan kaki, mengikuti gerakan Iblis
Cakar Harimau.
Melihat kalau kedua lawannya kini sudah
'kehilangan' kepandaiannya, Andika cepat me-
nyampirkan kembali kain pusakanya yang berco-
rak catur ke punggungnya. Dan dengan tenaga
'inti petir' tingkat ke delapan langsung disambut-
nya setiap serangan.
"He he he.... Mau ke mana sih, Kang?" ejek
Andika ketika Iblis Lidah Api berkali-kali berlom-
patan menghindari setiap serangan.
Sementara Iblis Cakar Harimau masih den-
gan gencar mengibaskan tangannya. Namun tak
satu pun serangannya yang masuk!
Kelicikan memang begitu lekat dengan
orang-orang golongan sesat. Melihat Andika tidak
menggunakan kain pusakanya lagi, Kahyunputi
mendadak saja menyemburkan lidah apinya.
Namun kelicikan itu pun harus dibayar
mahal. Karena dengan gerakan tak terduga dan
cepat sekali, tahu-tahu kain bercorak catur sudah
berada di tangan Pendekar Slebor. Bahkan dengan
cepatnya dikebutkannya, sehingga api yang menji-
lat-jilat itu justru pulang ke pemiliknya sendiri!
Waaa....
"Hah...?!"
Kahyunputi terkejut melihatnya. Namun
api yang menderu ke arahnya lebih cepat. Sehing-
ga....
Blap!
Iblis Lidah Api sendiri termakan oleh api
yang menjilat-jilat ganas. Tubuhnya kontan bergu-
lingan sambil menjerit-jerit keras.
Melihat hal itu, keberanian Iblis Cakar Ha-
rimau menjadi surut. Kepengecutannya yang se-
lama ini disembunyikannya terlihat. Selama ini dia
telah merasa besar bersama anggota Sembilan Iblis. Dan mendadak saja disambarnya tangan We-
diwoso yang terdiam pingsan, karena tak kuasa
menahan rasa sakit. Seketika dia lari lintang pu-
kang.
Sedangkan Andika hanya terkekeh saja.
"Enteng!" kata Andika, padahal tadi sudah
hampir mampus! Dan mendadak saja telinga Pen-
dekar Slebor mendengar geraman keras di bela-
kang.
"Gadis setan! Mampuslah kau!"
***
Andika melihat tubuh Sridorsa menderu
dengan tenaga hebat terangkum di tangan ke arah
Lasni. Namun dengan lincahnya gadis itu meng-
hindar lima tindak ke belakang hanya sekali lom-
pat. Lalu pecutnya diayunkan.
Ctaaarr!
Bagaikan telah kehilangan rasa sakit, tu-
buh Sridorsa terus meluruk ke arah Lasni. Seje-
nak gadis itu terkejut. Sudah dua kali dia melihat
Sridorsa begitu kebal terhadap pecutnya. Lasni ti-
dak tahu kalau Iblis Kahyangan kembali memper-
gunakan ajian 'Mambang Kahyangan'nya yang
sanggup mematahkan serangan siluman.
Melihat gadis itu terdesak, Andika pun se-
gera bergerak. Tubuhnya langsung meluruk deras.
"Lasni! Menghadapi manusia seperti ini sih
encer! Serahkan dia padaku!" seru Andika dengan
pukulan tenaga 'inti petir'nya.
Sridorsa yang merasakan gerakan Andika
di belakang segera membatalkan serangan. Seke-
tika tubuh berbalik langsung dipapakinya seran-
gan Andika.
Plak! Plak.
Tubuh Sridorsa terpental dua tindak. Se-
mentara Andika yang sudah sok hebat, melirik
tangannya yang memerah.
"Busyet!" makinya. "Yang ini sih benar-
benar kedot rupanya!"
Pendekar Slebor langsung mencerna kalau
ternyata kekuatan anggota Sembilan Iblis tidak
sama. Kini, dia bisa menilai kalau mereka itu me-
rupakan kekuatan sangat sukar untuk dikalah-
kan. Jalan satu-satunya sekarang ini, memang
memusnahkan satu persatu.
Andika sendiri langsung melenting ke de-
pan, melewati tubuh Sridorsa yang sudah meluruk
kembali dengan cepatnya.
"Pendekar sialan! Kau harus mampus di
tanganku malam ini juga?" geram Iblis Kahyangan.
"Ah, masa?" sahut Andika ringan. "Jangan-
jangan kau yang iri ingin ikut kedua temanmu
yang telah menjadi mayat itu! Tidak usah berkecil
hati. Aku akan berbaik hati untuk mengirimmu
menyusul kedua temanmu tanpa ongkos sepeser
pun!"
Sridorsa yang merasa kalau tenaga Pende-
kar Slebor biasa-biasa saja, setelah memapak se-
rangan tadi kembali mengerahkan ajian 'Mambang
Kahyangan'nya. Hatinya tidak khawatir lagi kalau
terjadi benturan. Karena diyakini tenaga dalamnya
lebih kuat.
Tetapi secara diam-diam, Andika telah me-
rangkum ajian 'Guntur Selasa', salah satu dari
ajian yang sangat dibanggakannya. Dibiarkannya
saja Iblis Kahyangan menyerangnya dengan bertu-
bi-tubi. Dan pada satu kesempatan, Pendekar Sle-
bor pun mengempos tubuhnya menerjang.
Lasni yang tengah mengatur pernafasannya
kontan terbelalak. Meskipun hanya sekejap, dia
tahu kalau kekuatan Pendekar Slebor tadi kalah
oleh tenaga Sridorsa.
"Hati-hati!!" serunya memperingatkan.
Glarr...!
Tetapi, benturan sudah terjadi. Terdengar
suara salakan petir yang cukup keras. Dan dari
pusat benturan tampak mengepul asap cukup pe-
kat. Namun keadaan masih bisa terlihat karena
api yang dikeluarkan Iblis Lidah Api tadi semakin
merembet memakan pohon-pohon kecil dan ila-
lang.
Tiba-tiba, terlihat satu sosok tubuh terlon-
tar deras ke belakang, menabrak sebuah pohon
besar! Tubuh Sridorsa!
Seluruh tulang Iblis Kahyangan langsung
patah-patah. Dan nyawanya pun melayang me-
nyusul kedua rekannya. Sedangkan Andika masih
berdiri tegak di tempatnya.
"Andika!" seru Lasni gembira. Gadis ini tadi
khawatir sekali kalau sampai terjadi apa-apa ter-
hadap Andika. Andika hanya cengengesan saja.
"Kecil! Itu urusan kecil!" katanya jumawa.
Lasni
tersenyum.
"Kau memang hebat."
"Itu sih kecil! Masa buat Andika yang
kayak begitu jadi takut, sih?! Eh, maaf!"
Andika mendadak melompat ke balik se-
mak. Di sana dia mengibas-ngibaskan tangan ka-
nannya.
"Wadoooww! Sakit sekali!" teriak Pendekar
Slebor.
Lasni terkejut mendengar jeritan itu. Na-
mun dia menjadi cekikikan geli. Rupanya, Andika
menyembunyikan rasa sakitnya tadi.
Kini Andika tampak keluar dengan langkah
gagah.
"Kenapa? Digigit semut?" sambar gadis itu,
membuat Andika tersenyum kecut.
"Biasa," sahut Pendekar Slebor enteng.
"Makanya, jangan sok!"
"Kau yang jangan sok!" sergah Andika tiba-
tiba. "Sudah ketahuan kalau Sembilan Iblis itu
terdiri dari orang-orang sakti. Tapi, kau masih ne-
kat juga untuk mencari mereka! Kau tahu, Las-
ni.... Hampir saja kau menjadi sasaran empuk me-
reka!"
Lasni menghela napas panjang. Kini apa
yang dikatakan Andika dibenarkan. Dia memang
terburu nafsu, karena rasa dendam dan marah
yang menyelimutinya ketika menemukan mayat
kakeknya.
"Hei, kenapa diam? Kau bersedia ya, dija-
dikan 'hidangan' mereka? Memang enak sih, ya?
Itu juga barangkali, lho!" ledek Andika sambil ter-
kekeh, seperti menyembunyikan sesuatu.
Lasni tersenyum. "Aku mengerti. Tetapi
Kang Andika, aku tidak pernah tenang sebelum
melihat manusia-manusia biadab itu mampus se-
muanya!"
"Siapa bilang aku tenang? Aku juga ingin
menumpas mereka! Tetapi pakai otak. Bukan pa-
kai dengkul!"
"Sialan! Siapa yang bilang otakku di deng-
kul?!" Mendadak terdengar suara sahutan bernada
memaki.
"Hitam, kau yang bilang ya?" lanjut suara
itu.
Lalu muncul dua sosok tubuh yang mem-
buat Andika mendengus. Lagi-lagi dua tokoh aneh
yang memang Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar
Dungu.
Lelaki Berbulu Hitam melotot.
"Kau ini sudah aku tidak bilang apa-apa
kok!"
"Jangan banyak omong! Kau berani meng-
hina hanya dari belakang! Ayo, bilang sekali lagi!
Bilang!" seru Pendekar Dungu ngotot.
Lelaki Berbulu Hitam hendak menyahut,
tetapi urung ketika melihat sosok yang dikena-
linya.
"Nah, ini dia orangnya!" teriaknya.
Pendekar Dungu pun melihat Andika.
“Tuhkan, apa kubilang? Kita pasti akan
bertemu dengannya lagi! Hei, Bor! Sudah lama ya,
kita tidak bertemu?" kata Pendekar Dungu.
Andika tertawa. Padahal baru tiga hari yang lalu
mereka bertemu. Tetapi Pendekar Dungu sudah
lupa.
Pendekar Dungu lantas menoleh ke arah
Lasni.
"Lho? Mengapa gadis itu sudah mengena-
kan pakaian putih? Seingatku..., kalau tidak salah
dia kan memakai baju kuning ya, Hitam? Iya ti-
dak?"
"Tauk!" sembur Lelaki Berbulu Hitam.
"Pemarah!"
Andika semakin tertawa melihat dua tokoh
aneh itu yang selalu bertengkar, namun selalu be-
riringan.
"Hei, mayat-mayat siapakah itu?" tanya Le-
laki Berbulu Hitam, menunjuk tiga mayat yang
tergolek tak jauh dari tempat ini.
"Tiga orang dari Sembilan Iblis!" sahut
Pendekar Slebor.
"Kan dalam mimpi ku Pendekar Slebor akan mati
di Istana Sembilan Iblis! Tidak bisa! Bor! Hidupkan
mereka lagi! Aku ingin wangsit mimpi ku benar!"
tuntut Pendekar Dungu.
Andika hanya cekakakan saja. Sementara
Lasni yang baru mengenal keduanya mau tak mau
mengerutkan kening. Menurutnya, baru kali ini di-
jumpainya tokoh-tokoh aneh seperti itu.
"Dungunya! Mana ada orang sudah mam-
pus dihidupkan lagi!" sahut Lelaki Berbulu Hitam,
mendengus.
"Kalau tidak ada, ya diadakan!"
Andika langsung menarik lengan Lasni, un-
tuk meninggalkan tempat itu. Karena bila berla-
ma-lama berhadapan dengan dua tokoh aneh itu,
bisa-bisa jadi gila!
***
Bukan main marahnya Raja Akherat men-
dapatkan laporan kalau lima orang dari Sembilan
Iblis yang ditugaskan mencari Pendekar Slebor ju-
stru hanya pulang dua orang. Itu pun dalam kea-
daan terluka. Sementara tiga orang sudah mam-
pus di tangan Pendekar Slebor!
Bukan kematian dari ketiga anggota Sem-
bilan Iblis yang membuatnya marah, akan tetapi
kegagalan dalam menangkap atau membunuh
Pendekar Slebor!
Tangan Raja Akherat yang kekar, terkepal
seketika menghantam meja di hadapannya.
Prak!
Meja itu langsung hancur berantakan.
"Bodoh! Nama Sembilan Iblis hanya omong
kosong belaka!" makinya murka. "Majenar! Di ma-
na dia berada?"
"Dekat, dekat sekali dari sini," sahut Maje-
nar alias Iblis Cakar Harimau sambil menatap ta-
jam Raja Akherat. Kalau saja tidak ada manusia
ini, sudah bisa dipastikan mereka akan mencari
Pendekar Slebor bersama-sama.
"Jangan bertele-tele! Di mana?!" bentak Ra-
ja Akherat.
"Di Hutan Angsoko!"
"Upasonto! Cari dia, dan bunuh! Bawa se-
mua kawan-kawanmu keluar dari sini! Dan si Jul-
ing yang telah buntung lengannya pasti akan me-
nyusahkan kalian saja!"
Tanpa terduga Raja Akherat mengibaskan
tangannya. Wuusss!
"Aaakh...!"
Wediwoso kontan menjerit kesakitan tu-
buhnya terjengkang dan kelojotan karena dadanya
bagaikan dihantam benda yang tajam dan kuat
sekali. Dari gerakan kesakitan yang keras dan
menyentak tadi, perlahan-lahan pun melemah dan
tidak bergerak lagi.
Majenar langsung menderu ke arah Raja
Akherat dengan kedua tangan terbuka. Seruannya
yang keras itu menyadarkan yang lain kalau We-
diwoso sudah tewas.
"Keparat! Kau harus membayar nyawa We-
diwoso dengan nyawamu!" bentak Majenar tak
mampu menahan amarahnya. Kedua tangannya
yang membentuk cakar harimau mengibas.
Namun Raja Akherat hanya mengibaskan
tangan kanannya saja Dua kali.
Plak!
Des!
Pukulan pertama menghalau cakar hari-
mau Majenar yang memburu kepalanya. Sedang-
kan pukulan kedua menghantam tepat di dada Ib-
lis Cakar Harimau yang terluka dalam akibat ber-
tarung dengan Pendekar Slebor.
Tubuh Majenar langsung terlempar deras
ke belakang dan menabrak dinding. Lalu bagai di-
pantulkan, tubuhnya terlempar lagi ke depan, tak
begitu jauh. Namun sentakan tubuh yang terjadi
itu terasa sangat menyakitkan. Itu menandakan
kekuatan lemparan yang dilakukan Raja Akherat
begitu dahsyat.
Majenar jatuh tergolek tak berdaya. Mati!
Upasonto dan yang lain hanya bisa meng-
geram marah saja, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Padahal di hati mereka, sudah tidak sabar untuk
menghancurkan kepala laki-laki berpakaian me-
rah menyala itu.
Tetapi, kali ini mereka lebih baik mengalah dulu.
Karena keadaan jelas tidak memungkinkan. Di
samping memang sudah merencanakan untuk
membunuh Pendekar Slebor, mereka juga akan
mencari sela untuk menghancurkan Raja Akherat!
Memang, mereka tidak merasakan adanya
Raja Akherat sebagai pimpinan. Dan yang dirasa-
kan justru sesuatu yang menikam dari belakang.
Belum lagi dengan racun yang bersemayam di tu-
buh mereka.
Karena tak ada yang bergerak, Raja Akhe-
rat terbahak-bahak.
"Jangan coba-coba melalaikan tugas dari-
ku! Bunuh Pendekar Slebor!"
Upasonto dan ketiga kawannya tidak lagi
banyak cakap. Sambil menatap dingin dan sikap
tak puas, ketiga kawannya diajak untuk segera
meninggalkan Istana Sembilan Iblis, di mana me-
reka sebelumnya berada dalam alam kebebasan
yang sangat mengasyikkan. Tetapi sekarang? Hhh!
Melihat keempatnya berlalu, Raja Akherat
terbahak-bahak.
"Pendekar Slebor! Sampai di mana pun ju-
ga, kau akan kucari! Kau harus membayar semua
perbuatanmu padaku! Ha..., ha..., ha! Kau akan
mampus, Pendekar Slebor!"
Raja Akherat kembali terbahak-bahak den-
gan perut terguncang. Rasanya akan puas me-
nyaksikan Pendekar Slebor mampus!
***
"Sebenarnya, siapakah kedua tokoh aneh
itu, Kang Andika?" tanya Lasni ketika mereka su-
dah menjauh dari Lelaki Berbulu Hitam dan Pen-
dekar Dungu yang masih berdebat mulut. Hari
pun sudah berganti pagi. Ah! Betapa cepatnya
sang waktu berjalan.
Andika nyengir. mereka berhenti di sebuah
tempat yang cukup luas. Samar dalam pandan-
gannya yang tajam, matanya melihat sebuah ban-
gunan besar di kejauhan. Itukah Istana Sembilan
Iblis?
"Kenapa sih, kau ingin tahu tentang mere-
ka? Naksir, ya? Wah, wah...! Masa iya sih, kau
doyan sama orang-orang yang sudah bau tanah!
Kan di sini ada yang lebih ganteng lagi?" tukas
Andika, meledek.
Lasni yang tahu kalau digoda Andika, tiba-
tiba celingukan seperti mencari sesuatu.
"Lho? Di sini cuma ada kita berdua, Kang,"
sahut Lasni.
Andika yang tidak mengerti sekarang.
"Memangnya kenapa?"
"Kalau aku, sudah tentu cantik. Kang An-
dika jelek. Lalu, siapa yang ganteng itu, kang?"
Andika menepuk keningnya. Dan dia jadi
terkekeh-kekeh ketika sadar kalau sedang dibalas
Lasni.
"Kalau manusia yang banyak bulunya itu
aku tidak tau namanya. Yang jelas dia Lelaki Ber-
bulu Hitam. Seorang aneh yang berilmu tinggi. Se-
dangkan yang seorang lagi bernama Pendekar
Dungu."
"Kang Andika tau namanya?"
"Kata siapa? Aku hanya tai julukannya sa-
ja. Keduanya memang sama-sama membingung-
kan. Bahkan sama-sama memusingkan. Pertama,
mereka berjalan beriringan tak ubahnya sahabat
kental. Akan tetapi, di setiap perjalanan akan dis-
elingi pertengkaran yang langsung dilanjutkan
dengan pertarungan yang tidak dianggap ringan.
Jurus-jurus tinggi pasti akan segera muncul."
Lasni hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya.
"Eh, dimana kudamu itu?" kata Andika ti-
ba-tiba.
Ku tinggalkan disana, ketika melihat keli-
ma orang laki-laki itu datang."
"Kasihan kudamu itu"
"Dia bisa mengurus diri sendiri."
"Tidak seperti majikannya ya?" kata Andika
sambil tertawa-tawa.
Lasni hanya tersenyum kecut.
"Aku tidak seperti yang kau bayangkan."
Dengusnya. "Saat itu amarahku terpancing den-
gan dendam para pembunuh kakek! Aku tidak in-
gin mereka berkeliaran di muka bumi ini, semen-
tara kakekku sudah menjadi mayat."
"Lasni, jika kau menghadapi sesuatu na-
mun masih terbawa arus amarah mu sendiri, su-
dah bisa dipastikan justru kau sendirilah yang
akan hancur, maka akan celaka," kata Andika, bi-
sa berkata bijak juga. Tetapi kemudian kepalanya
digaruk-garuk sambil nyengir. "Kadang-kadang
aku juga suka marah, sih!"
Lasni tersenyum. Dia tidak mengerti, men-
gapa bisa begitu cepat akrab dengan pemuda ini.
Meskipun kelihatan agak urakan, namun Andika
begitu baik.
Dan belum ada yang membuka suara la-
gi....
"Wah, wah...! Memang enak kalau pacaran
di sini! Terlindung dari pandangan mata, dari si-
nar matahari, dan dari segala-galanya. Dibelai an-
gin sejuk yang mampu melenakan! Ih! Sialan! Ke-
napa sih dengan bajuku ini!"
Tiba-tiba terdengar suara kekehan keras,
membuat Pendekar Slebor dan Lasni langsung
bersiaga. Keduanya sama-sama mengerutkan ke-
ningnya ketika melihat sosok yang tahu-tahu
muncul di depan.
Dia adalah seorang laki-laki yang sangat
pendek. Boleh dikatakan kuntet. Bentuk tubuhnya
sangat lucu dengan sebuah anggota tubuh serba
kecil. Kepalanya bulat dengan rambut panjang dan
hidung pesek. Pakaiannya biru dan panjang seka-
li. Sepertinya pakaian itu bukan miliknya. Entah
dicurinya dari mana.
Ketika lelaki kerdil ini melangkah lagi,
mendadak saja tubuhnya berguling, karena pa-
kaiannya terinjak kakinya sendiri.
"Heit! Heit! Sialan!" makinya setelah bebe-
rapa kali bergulingan dan berdiri tegak kembali.
Andika dan Lasni tak kuasa menahan ta-
wanya melihat sesuatu yang menggelikan.
"Hei! Jangan tertawa!" bentak si kontet.
"Kurang ajar kalian, ya?"
"Paman Kerdil.... Siapakah kau ini?" tanya
Andika sambil menahan tawa.
Si Kontet tersenyum-senyum mendengar
panggilan yang bernada hormat.
"Bagus, bagus! Namaku Srundul! Tetapi
orang-orang lebih mengenalku sebagai Tapak Da-
rah! Bagaimana? Hebat bukan? Makanya jangan
main-main denganku! Kau bisa kubuat nyungsep
tahu! Eiiit! Sialan banget nih baju. Eh, Gondrong!
Buka bajumu untukku! Baju yang kupakai ini ke-
panjangan, jadinya selalu ku injak ujungnya!"
Andika tersenyum geli. "Sama saja, Paman
Srundul. Toh, pakaian yang kau kenakan itu seu-
kuran denganku."
Srundul alias si Tapak Darah mengangguk-
anggukkan kepalanya mengerti. Tetapi kemudian
pandangannya tertuju kepada Lasni yang tanpa
sadar menjadi kecut.
"He he he.... Gadis itu kan tubuhnya lebih
kecil dari kau? Pasti pakaiannya cocok untukku.
Ayo, mintakan padanya agar pakaian itu diberikan
kepadaku!" ujar Srundul.
Andika terbahak-bahak begitu melihat wa-
jah Lasni yang memerah padam.
"Hei, Tapak Darah! Hati-hati kalau ngo-
mong!" sentak Lasni.
"Lho, kenapa? Apa aku salah?" tukas Ta-
pak Darah sambil melotot. "Aku hanya minta,
kan? Kalau tidak dikasih ya..., akan kurebut sen-
diri!"
Semakin terbahak-bahak Andika menden-
gar kata-kata itu. Apalagi begitu melihat peruba-
han wajah Lasni yang menunjukkan kegeraman.
"Kalau kau memang menginginkan pa-
kaiannya, mengapa tidak minta sendiri saja? Ba-
rangkali saja dia berbaik hati hendak memberi-
kannya kepadamu?"
"Kang Andika!" teriak Lasni sewot.
"Hei, Manis! Cepat buka bajumu untukku!
Pakaianku ini kebesaran! Tidak tahu pakaian siapa, kutemukan di sungai saat mandi! Setelah ku-
pakai, sekarang sudah kering, kan? Hei, kenapa
diam saja! Ayo, buka bajumu!" ujar Tapak Darah.
Lasni tidak kuasa lagi menahan geramnya.
"Brengsek! Apa kau pikir aku bersedia melaku-
kannya, hah?!" bentaknya.
"Lho, kenapa? Malu? Ala, kan hanya ada
kita bertiga saja. Tidak usah malu. Tidak ada
orang lain lagi kok di sini," kata Tapak Darah
sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
"Ayo, cepat! Aku ingin mencocokannya! Ka-
lau cocok, biar untukku. Dan yang ini untukmu!
Itu juga kalau kau mau! Kalau kau tidak mau ya,
tidak apa-apa. Kedua baju ini untukku saja! Ayo,
buka! Kenapa masih bengong saja, sih?"
Justru Andika yang semakin terpingkal-
pingkal. Sejenak dibayangkannya sesuatu yang
hanya diketahuinya sendiri. Lalu tiba-tiba tawanya
semakin keras.
Lasni yang tak kuasa menahan malu dan
marahnya dikerjai seperti itu, langsung men-
gayunkan pecut Brajakirana nya dengan cepat.
Ctaaarr!
"Hei! Kenapa jadi bermain kuda-kudaan
seperti ini? Ayo, lebih baik serahkan saja pa-
kaianmu kepadaku! Atau, kau malah menyuruhku
untuk merebutnya? He he he.... Baik, baik.... Kau
boleh mengetahui, siapa Tapak Darah yang tam-
pan ini sesungguhnya," desak Tapak Darah, mem-
buat Pendekar Slebor semakin terpingkal-pingkal
mendengarnya.
Lasni yang jengkel karena Pendekar Slebor
justru memojokkannya, mengibaskan pecutnya,
"Brengsek!"
Ctar!
Pecut itu menghantam sebuah batu di de
pan Andika, hingga pecah berantakan, sementara
Andika masih nyengir.
"Jangan mempermainkan aku!"
"Lho? Siapa yang mempermainkan?" sahut
Andika. "Yang kau hadapi kan bukan aku, tetapi si
Tapak Darah," sergah Pendekar Slebor.
"Tetapi kau tidak menolongku?"
"Apa yang harus kutolong? Membukakan
pakaianmu untuknya? Baik, sini!"
Andika langsung melangkah dan bersikap
seolah-olah hendak membuka baju Lasni. Tetapi
Pendekar Slebor langsung melompat ke samping
ketika ayunan pecut yang berada di tangan Lasni
kembali menyambar cepat.
Ctaaar! Ctaaarr!
Lasni terus mencecar Andika karena jeng-
kel dipermainkan begitu.
"Hei! Katanya kau ingin bertarung dengan-
ku? Ayo, sini! Pemuda berbaju hijau itu tidak usah
diladeni! Dia masih kalah ganteng denganku,
kan?" kata Tapak Darah.
Sambil menghindari sambaran-sambaran
pecut Lasni, Andika terbahak-bahak mendengar
kata-kata Tapak Darah. Luar biasa, dia kembali
bertemu tokoh aneh lagi!
"Hei, Tapak Darah! Kalau memang ingin
mengambil sendiri pakaian yang kau inginkan itu,
mengapa masih diam saja? Ayo, bukai pakaian-
nya!" teriak Andika, keterlaluan.
"Kang Andika!"
Andika mengedipkan matanya.
Seketika Tapak Darah mengempos tubuh-
nya. "Baik! Lihat, dalam dua kali gebrak, pakaian-
nya sudah terlepas dari tubuhnya!"
Tubuh yang kuntet itu bergerak luar biasa
cepat. Andika sendiri sampai terkejut melihat gerakan Tapak Darah.
Sementara Lasni menghentikan serangan pada
Andika cepat pecutnya diayunkan ke arah Tapak
Darah. Namun dengan sigapnya lelaki kuntet itu
menghindari serangan.
"Hei, Gondrong! Kau lihat nih! Satu!"
Tiba-tiba saja tubuh Tapak Darah berputar
mengelilingi Lasni. Dan gadis itu menjadi kebin-
gungan.
Sementara Andika sendiri sangat sulit me-
nangkap gerakan si Tapak Darah. Tahu-tahu ge-
rakan memutari tubuh Lasni itu terhenti. Dan ke-
tika sudah berdiri kembali, di tangannya tergeng-
gam pecut Brajakirana milik Lasni.
Lasni sungguh-sungguh tidak menyangka
kalau pecut kesayangannya akan pindah tangan.
Seketika gadis itu langsung menyerang ganas.
"Kuntet jelek! Kembalikan pecut ku!"
Tapak Darah segera mengempos tubuhnya.
"Dua!" serunya keras.
Begitu mendengar teriakan, Andika dengan
cepat melenting ke depan. Meskipun habis-
habisan menggoda Lasni, tetapi dia tidak mau cu-
cu Panembahan Reso Tunggal itu dibuat malu.
Makanya ketika Tapak Darah sudah siap
melucuti pakaian Lasni, Andika cepat memotong
gerakannya.
Wuuuut!
Des!
Plak!
Pecut Brajakirana yang dipegang Tapak
Darah langsung terlepas, ketika Pendekar Slebor
cepat menyambarnya. Lalu disambarnya pula tu-
buh Lasni, dan dibopongnya.
"Hei, apa-apaan ini?" bentak Tapak Darah
sambil bergulingan ke belakang, dan berdiri tegap
kembali.
Andika pun hinggap ringan di tanah.
Lasni sendiri tidak menyangka kalau Andi-
ka yang tadi terus menerus mengerjainya akan
menolongnya. Dan kini gadis itu tersenyum lega.
Rupanya pemuda ini tergolong baik juga.
Dan terus terang, Lasni sangat senang be-
rada dalam rangkulan pemuda tampan yang ura-
kan, namun baik hati ini. Makanya matanya kini
terpejam menikmati pesona rangkulan itu.
"Auuuw...!"
Tetapi tiba-tiba saja Lasni menjerit keras.
Dan tubuhnya tahu-tahu jatuh ke tanah.
Brukkk!
"Kang Andika!" makinya jengkel. Andika
terkejut.
"Oh! Kupikir tidak ada orang tadi dalam
rangkulan ku," sahutnya dengan nyengir kuda.
Sementara Lasni berdiri sambil merengut. Diam-
bilnya pecut Brajakirananya yang berada di tan-
gan Pendekar Slebor.
"Hei, Gondrong! Kau ini bagaimana, sih?
Tadi, kau sudah setuju dengan rencanaku untuk
mengambil pakaian gadis itu, lalu sekarang malah
melarang?"
"Tapak Darah.... Biarpun kau memakai ba-
junya, pasti kebesaran juga," sahut Pendekar Sle-
bor, kalem.
"Mana bisa! Tubuhnya ramping seperti itu,
kok? Tetapi, di dadanya itu ada benjolan besar
yang montok, ya? Boleh kupegang?" tanya Tapak
Darah lugu.
Lasni langsung menyumpah-nyumpah.
"Serba salah!" maki Tapak Darah. "Memin-
ta pakaiannya tidak boleh. Sekarang memegang
yang montok-montok di dadanya, tidak boleh.
Huh! Apalagi yang montok itu kuminta, ya?"
Andika terbahak-bahak.
"Hei, Tapak Darah! Kau ini lugu atau bego,
sih? Sudah tentu yang montok-montok itu tidak
akan diberikannya."
"Pelit!"
Tapak Darah melipat kedua tangannya
dengan wajah mendongak ke atas.
"Kalau tidak diperbolehkan ya, sudah! Ti-
dak kusangka, gadis seperti dia itu pelit sekali!
Dasar! Tetapi tidak apa-apa, kok! Sudah, sudah!
Aku mau pergi saja...." Segera Srundul melangkah.
Tetapi tubuhnya harus bergulingan lagi, karena
pakaiannya yang kebesaran terinjak kakinya sen-
diri.
Andika benar-benar geli sekali melihat
tingkah laku Tapak Darah itu. Ah! Siapa sebenar-
nya tokoh kontet yang aneh itu?
"Hati-hati kalau melangkah!" teriak Pende-
kar Slebor.
"Brengsek! Kau menghinaku ya? Aku bisa
langsung menghilang tahu!"
"Percaya, percaya!"
Tapak Darah membuktikan ucapannya. La-
lu....
Wwuuut!
Tubuh Kontet itu pun menghilang, mem-
buat Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepa-
lanya. Lalu tahu-tahu, tubuhnya berkelit ke kiri.
Ctaaar!
"Hei, kenapa lagi ini?"
"Brengsek! Mata keranjang! Cabul! Jangan
mempergunakan kesempatan dalam kesempitan,
ya?!" maki Lasni sambil mengibaskan ayunan pe-
cutnya berkali-kali.
"Heran! Tadi pacaran sekarang malah ber
tengkar!"
Lasni segera menghentikan serangan keti-
ka terdengar seruan keras.
"Kuntet! Mau apa lagi kau, hah?!" maki
Lasni dengan mata melotot geram.
"He he he.... Cuma sebentar. Nanti setelah
itu kalian bisa berkelahi lagi."
"Apa yang ingin kau ketahui?" bentak Lasni
lagi. Hatinya benar-benar jengkel pada Tapak Da-
rah.
Srundul mengangkat bahunya. "Aku cuma
ingin tahu, apakah kalian mengenal Pendekar Sle-
bor?! Tetapi, ah! Pasti kalian tidak tahu! Sudah te-
ruskan lagi deh, pertarungan kalian!"
Wussss!
Tubuh Tapak Darah sudah lenyap kembali
dari pandangan. Andika sejenak melongo. Pende-
kar Slebor? Kan hanya dia saja yang berjuluk Pen-
dekar Slebor?
"Hm.... Mau apa dia mencariku? Tetapi
yang terpenting, aku tidak pernah mengenal dia
sebelumnya." gumam Andika.
Tetapi pikiran itu buyar karena Lasni su-
dah menyerang kembali.
"Hei, Jelek! Kau harus merasakan pecut
ku!"
Kembali Andika terkejut dan gelagapan
menerima serangan Lasni yang begitu gencar.
Mendadak, Pendekar Slebor berkelebat,
membuat gadis itu menjadi gelagapan. Karena ta-
hu-tahu, Pendekar Slebor sudah merangkulnya.
Ketika akan memberontak....
"Jangan ribut. Ada yang datang ke sini," bi-
sik Pendekar Slebor.
Lalu dengan ringan sambil membopong tu-
buh Lasni, Andika melenting ke atas pohon!
terhadap Pendekar Slebor, yang telah mem-
bunuh Kahyunputi, Sridorsa dan Bresatar. Bah-
kan secara tidak langsung Pendekar Slebor juga
penyebab kematian Majenar dan Wediwoso di tan-
gan Raja Akherat.
"Kang Andika.... Aku yakin, mereka pasti
anggota Sembilan Iblis pula. Bukankah waktu itu
jumlah mereka lima orang? Dan sekarang, empat
orang?" bisik Lasni sambil memperhatikan lang-
kah bergegas orang-orang itu.
"Kau benar. Tetapi, ingat. Jangan gegabah.
Kau sudah menyaksikan kehebatan mereka, bu-
kan?" Lasni mengangguk.
Keempat Iblis itu terus melangkah tergesa-
gesa, seolah yang dicari akan lenyap hari ini juga.
Andika sendiri lebih suka menyelidik ke Istana
Sembilan Iblis sendiri. Dia ingin tahu, ada apa ge-
rangan di sana.
Pendekar Slebor lantas membisiki renca-
nanya pada Lasni. Gadis itu mengangguk perlahan
tanda setuju. Kali ini setiap amarahnya harus di-
tekan. Otaknya harus dipergunakan daripada te-
naga dan amarahnya yang justru menjadi senjata
makan tuan.
Namun belum lagi Pendekar Slebor dan
Lasni melompat turun, tiba-tiba saja....
"Hayyooo! Siapa kalian orang-orang jelek?"
Terdengar sebuah bentakan keras, disusul
munculnya satu sosok tua keropos yang tak lain
Pendekar Dungu.
Andika melihat Pendekar Dungu berusaha
memasang tampang garang, tapi hasilnya malah
seperti kakek telat buang air.
Sementara Lelaki Berbulu Hitam tak lama
muncul kemudian diperhatikannya keempat orang
itu dengan tatapan tajam.
Kening Upasonto berkerut. Dia merasa
aneh melihat dua laki-laki yang kira-kira tua
bangkotan itu di hadapannya.
"Dan kalian sendiri siapa?!" Upasonto balas
membentak.
"Hei!! Dia bertanya namaku, Hitam?" tukas
Pendekar Dungu. "Kau ingat namamu sendiri?"
Lelaki Berbulu Hitam menggelengkan kepa-
lanya. "Tidak."
"Aku juga tidak. Lalu, bagaimana menja-
wab pertanyaan orang berbaju sutera itu?" Pende-
kar Dungu menggaruk-garuk kepalanya.
"Bilang saja kita sudah lupa nama kita
sendiri," sahut Lelaki Berbulu Hitam sebenarnya.
Lelaki keturunan serigala itu berusaha
mengingat-ingat namanya sendiri. Namun, tak ke-
temu juga. Telah puluhan tahun dia tidak mema-
kai namanya yang asli, sehingga sudah sulit sekali
mengingatnya.
"Nah! Kau dengar kata-kata temanku ini?
Kami sudah lupa dengan nama sendiri. Eh, benar
begitu, kan?"
Lelaki Berbulu Hitam mengangguk.
Pendekar Dungu melipat kedua tangannya
di dada dengan sikap puas.
Upasonto memicingkan matanya, mengira-
ngira siapa kedua orang aneh ini.
"Hhhh! Orangtua-orangtua aneh, katakan
kepada kami! Apakah kalian melihat Pendekar
Slebor? Kalau tidak, lebih baik segera pergi dari
sini sebelum terjadi pertumpahan darah!" kata Ib-
lis Baju Sutera merandek.
Andika menegakkan telinga. Hmm.... Ru-
panya manusia-manusia ini ingin bermain-main
denganku? Sekarang biarkan saja mereka ber-
main-main dulu dengan Pendekar Dungu dan Le-
laki Berbulu Hitam. Kalau berhasil meloloskan di-
ri, mereka akan sangat terkejut sekali bila kembali
karena Istana Sembilan Iblis sudah porak poran-
da.
Andika sudah tersenyum-senyum geli
membayangkan rencana yang akan dilakukan. La-
lu, diajaknya Lasni untuk segera menuju Istana
Sembilan Iblis.
***
Pendekar Dungu menggaruk-garuk kepala.
"Memangnya di sini ada ayam yang akan dipotong,
ya? Kok pakai darah tumpah segala sih?" tanyanya
lugu, menyahuti kata-kata Upasonto.
"Hei?! Kau dengar tidak, kalau dia menye-
butkan nama Tuan Penolong?"
"Aku tidak tuli!"
"Nah! Kalau begitu, aku bisa tahu siapa
dia? Pasti orang-orang jelek ini adalah anggota
Sembilan Iblis. Eh, kau yakin tidak dengan mim-
pimu waktu itu?" tanya Pendekar Dungu.
"Yakin sekali! Bisa jadi kau benar! Coba
aku tanya dulu. Manusia-manusia.... Heeiiittt!!
Lho? Kok, pakai serang-serangan segala sih?" seru
Pendekar Dungu sambil melenting ke belakang
dengan ringan ketika Upasonto menyerangnya.
Secara serempak pula Jenggolo alias Iblis
Tangan Dewa membantu mengeroyok Pendekar
Dungu. Sedangkan Grisoko, si Iblis Pincang dan
Dwipolko si Iblis Rembulan, secara serempak me-
nyerang Lelaki Berbulu Hitam.
Upasonto yang langsung bisa menebak sia-
pa kedua orang ini, tidak mau membuang waktu
lagi. Dalam perhitungannya, sangat mudah meng-
hadapi dua laki-laki aneh ini. Namun pada kenya-
taannya, justru tenaganya banyak terkuras meng-
hadapi Pendekar Dungu. Begitu pula Jenggolo
yang dengan telapak tangannya sudah bergetar-
getar.
"Heran?! Kok ada orang yang tidak bosan-
bosannya berkelahi, sih?" seru Pendekar Dungu
sambil melepas serangan-serangan cepat dan ber-
bahaya.
"Kau benar! Lawan-lawan begini sih enteng
banget!" sambut Lelaki Berbulu Hitam sambil me-
lenting ke sana kemari, mengirimkan serangan ba-
lasan.
Namun rupanya, keadaan menguntungkan
yang dialami Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu
Hitam hanya sesaat saja. Karena kejap berikutnya,
keempat iblis itu menyerang secara bergantian.
Kalau tadi Upasonto dan Jenggolo yang
menyerang Pendekar Dungu, secara mendadak sa-
ja mereka menyerang Lelaki Berbulu hitam. Begitu
pula Grisoka dan Dwipolko. Serangan secara aneh
dan mendadak membuat Pendekar Dungu dan Le-
laki Berbulu Hitam menjadi terkejut pula.
Setiap kali kedua lelaki bangkotan itu hen-
dak membalas, lawannya sudah menghindar dan
berganti penyerang. Begitu seterusnya.
"Busyet, deh! Kita dimainkan seperti
ini!",maki lelaki Berbulu Hitam jengkel.
"Hitam! Kau ini terlalu sombong! Masa se-
rangan maut begini di bilang main-main!" seru
Pendekar Dungu.
Sambil berkata demikian Pendekar Dungu
harus berjumpalitan menghindari serangan se-
rempak yang mematikan. Itu terlihat dari gerakan
keempat iblis ini yang mempersempit ruang gerak
Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam.
Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hi-
tam, benar-benar kelimpungan. Sehingga sulit ba-
gi mereka untuk menemukan jalan keluar dari pu-
saran empat serangan yang cepat itu.
Akan tetapi, meskipun terdesak, sikap aneh kedu-
anya pun tetap muncul.
"Busyet deh! Dungu! Apa kita akan mam-
pus sekarang?" kata Lelaki Berbulu Hitam.
Ketika lelaki keturunan serigala itu hendak
membalas, dua penyerang pertama sudah diganti-
kan dua lawan selanjutnya. Ini sangat menyu-
litkan sekali.
"Brengsek! Kau mau mampus ya mampus
saja! Tidak usah mengajak-ajak!" maki Pendekar
Dungu. "Tetapi..., maksudmu..., apa kita akan
mampus sekarang ini?"
"Kau betul."
"Barangkali saja. Aku juga ingin merasakan
mati. Bagaimana sih rasanya, ya? Kalau enak, aku
akan terus saja mati. Tetapi kalau tidak enak,
yang minta hidup kembali."
"Kalau kau ingin merasakan mati, biarkan
saja tubuhmu dihajar manusia-manusia ini!"
"Yee...! Keenakan mereka dong! Eh, masa
sih kita tidak bisa membalas? Apa kau sudah ke-
hilangan kepandaianmu, Hitam? Nah, nah.... Kini
kau mengakui kehebatanku, bukan?"
Lelaki Berbulu Hitam menoleh.
"Dungu! Coba gabung jurus-jurus yang kita
miliki menjadi satu!" usul Lelaki Berbulu Hitam.
"Enak saja! Nanti kau mencurinya!" tuduh
Pendekar Dungu, tak beralasan.
"Sialan! Ayo, cepat! Kita tidak banyak wak-
tu lagi! Serangan mereka semakin cepat dan dah-
syat!"
Saat itu juga dua rangkaian jurus yang
menakjubkan pun diperlihatkan Lelaki Berbulu
Hitam dan Pendekar Dungu. Tiba-tiba saja dengan
gerakan cepat sekali tubuh lelaki keropos berotak
bebal itu sudah berada di punggung Lelaki Berbu-
lu Hitam. Lalu dengan gerakan aneh dan menak-
jubkan, keduanya menyerang ganas.
Upasonto dan tiga kawannya terkejut meli-
hat penggabungan jurus yang aneh. Diam-diam
diakui, kalau mereka terpisah seperti ini, pasti
bukanlah tokoh unggulan. Bila saja masih terga-
bung dalam Sembilan Iblis, bisa dipastikan ilmu
mereka akan sulit ditumbangkan.
Dan kini justru keempatnya yang kocar-
kacir oleh rangkaian jurus Lelaki Berbulu Hitam
dan Pendekar Dungu. Dengan Pendekar Dungu
berada di punggung Lelaki Berbulu Hitam, pemu-
satan tenaga dalam yang biasanya dilakukan mas-
ing-masing melalui saluran tali pusar, kini terang-
kai menjadi satu. Dari tali pusar Pendekar Dungu
menuju tubuh Lelaki Berbulu Hitam demikian pu-
la sebaliknya.
Gerakan itu memang sangat sukar dilaku-
kan. Tetapi bagi kedua tokoh aneh yang berilmu
tinggi itu bukanlah hal yang aneh. Sehingga per-
gantian tenaga dalam masing-masing berlangsung
begitu cepatnya. Dan yang terpenting lagi, dengan
keadaan seperti itu, serangan yang dilakukan ke
bagian atas bisa diatasi Pendekar Dungu yang
mengalirkan pula tenaga dalam pada Lelaki Ber-
bulu Hitam yang menjadi dasar tumpuan.
Empat dari anggota Sembilan Iblis ganti di-
buat kocar-kacir. Mereka benar-benar pontang-
panting. Hingga....
"Kawan-kawan! Lebih baik kita berpisah di
sini! Kita selamatkan nyawa masing-masing! Kare-
na, kita masih memiliki dendam pada Pendekar
Slebor dan Raja Akherat! Kelak, bila saatnya tiba,
kita akan berkumpul kembali untuk menghimpun
kekuatan!" teriak Upasonto, keras sekali.
Sesudah berkata seperti itu, Iblis Baju Su-
tera mengambil sesuatu dari pundi yang ada di
pinggangnya.
"Aku telah mencuri obat pemusnah racun
di tubuh kita, selagi Raja Akherat lengah! Kalian
bisa menelannya satu persatu! Tangkap!" ujar
Upasonto.
Dengan sigap, Bresatar, Dwipolko dan
Jenggolo menangkap obat pemusnah racun yang
masuk ke tubuh dan langsung menelannya.
Sementara itu, Iblis Baju Sutra langsung
melompat ke belakang dan lenyap dari pandangan.
Mendengar kata-kata yang diucapkan Upa-
sonto, ketiga temannya membenarkan pula. Maka
dengan segera mereka langsung memutuskan un-
tuk mengikuti jejak Upasonto. Mereka pun berla-
rian menyelamatkan diri dengan satu tujuan, ke-
lak akan kembali lagi untuk mencari Pendekar
Slebor dan menuntut dendam pada Raja Akherat.
"Hei, hei...?! Kenapa berhenti? Kan masih
asyik nih?! Kalian belum dapat memukul kami!"
seru Pendekar Dungu.
"Sudah, sudah! Turun dong!" ujar Lelaki
Berbulu Hitam.
Pendekar Dungu melompat turun.
"Baru juga sebentar!" makinya sebal.
"Dungu! Apakah sekarang kau masih
membenarkan wangsit mimpimu kalau Pendekar
Slebor telah mampus di Istana Sembilan Iblis?"
Pendekar Dungu Nyengir.
"Sepertinya tidak."
"Kau tahu kenapa?"
"Kalau kau tahu, kenapa tidak segera men-
jelaskannya sih!"
"Karena, kulihat mereka sedang mencari
Pendekar Slebor. Dan kalau melihat jumlah mere-
ka yang tinggal empat orang, berarti Sembilan Iblis
telah runtuh. Berarti, wangsit dalam mimpi itu sa-
lah. Pasti Tuan Penolong dalam keadaan segar bu-
gar sekarang."
Pendekar Dungu mengangguk-angguk
layaknya orang yang mengerti kata-kata teman-
nya.
"Kalau begitu, aku ingin meneruskan perja-
lananku saja," kata lelaki Berbulu Hitam.
"Mau ke mana?"
"Kau mau ikut?
"Bersamamu? Hhh! Tidak usah, ya! Lebih
baik aku pergi sendiri!"
"Baiklah kau begitu! Dungu, sampai kete-
mu lagi!" pamit Lelaki Berbulu Hitam, bersiap
hendak berlari.
"Hitam jelek! Kau mau meninggalkan aku,
ya? Tidak mengajak-ajak, ya? Padahal kalau tidak
ada aku, tadi kau sudah mampus tahu!"
Lelaki Berbulu Hitam hanya melongo.
***
10
Benarkah yang dikatakan Lelaki Berbulu
Hitam kalau bahaya tidak sedang mengancam
Pendekar Slebor? Padahal pendekar urakan itu se-
lalu saja hidupnya diintai bahaya. Dan kali ini,
bahaya itu sudah menunggu di Istana Sembilan
Iblis.
Begitu kaki Andika menginjak halaman is-
tana besar yang megah bersama Lasni, malam su-
dah menjelang. Andika berdecak kagum melihat
kebesaran dan kemegahan istana itu.
"Edan! Enak banget ya, kalau tidur di sini,"
kata si pemuda, lalu nyengir pada Lasni. "Teruta-
ma kalau bersamamu. He... he... he...!"
"Ih! Jorok!" Maki Lasni cemberut. Tetapi
entah mengapa, dia suka dengan selorohan Pen-
dekar Slebor.
"He he he.... Kita akan hancurkan istana
ini, biar Sembilan Iblis terbengong-bengong meli-
hat istananya berantakan! Itu pun kalau mereka
berhasil meloloskan diri dari tangan Lelaki Berbu-
lu Hitam dan Pendekar Dungu! Ayo, Lasni! Kita
segera ke sana! Makan dulu atau segera ke ka-
mar?"
"Kang Andika!" jerit Lasni.
Andika sudah berlari ke arah Istana Sembi-
lan Iblis disusul Lasni yang mengejarnya. Kalau
sepintas, mereka tak ubahnya bagai sepasang re-
maja yang tengah di mabuk asmara.
Biarpun kelihatannya tidak menduga bu-
ruk pada istana itu, sebenarnya Andika mencium
sesuatu yang tidak enak. Naluri kependekarannya
yang sangat terlatih mengatakan kalau ada anca-
man maut yang siap menghadang.
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor menghenti
kan larinya, tepat di pintu masuk Istana Sembilan
Iblis yang terpentang lebar. Dari luar matanya bisa
melihat bangunan yang indah dengan lorong yang
panjang di istana itu.
"Mengapa kita tidak segera menghancur-
kan istana ini saja, Kang Andika?" tanya Lasni.
"Tunggu, Lasni. Aku mencium sesuatu
yang tidak enak. Ada bahaya yang tengah men-
gancam kita," sergah Andika.
"Ha.... Ha.... Ha.... Pendekar Slebor...! Se-
lamat berjumpa kembali denganku!"
Tiba-tiba terdengar suara keras dari atap
Istana Sembilan Iblis.
"Raja Akherat!"
"Bagus, bagus! Kau masih mengingat ku,
bukan? Dan, bawalah nama besarku ini ke ku-
burmu!"
Tiba-tiba saja Raja Akherat menggerakkan
tangannya ke arah Pendekar Slebor.
Wusss!
Saat itu juga serangkum angin keras men-
deru ke arah Pendekar Slebor dengan cepatnya.
Dengan sigap Andika mendorong tubuh
Lasni. "Pergilah dari sini! Jangan dekat-dekat!"
ujar Andika.
"Kenapa, Kang?"
"Aku tidak ingin melihat kau mati dan me-
nyesali diriku yang tak bisa menolongmu. Menger-
ti?"
Andika menekan suaranya agar Lasni pa-
ham. Padahal, sebenarnya, dia tidak ingin kalau
gadis itu sampai terlibat pertikaiannya dengan Ra-
ja Akherat. Andika sendiri tahu kalau lawan yang
dihadapinya memiliki kesaktian yang sangat luar
biasa.
Lasni pun mengangguk.
"Kalau kukatakan lari, kau lari!" ujar Andi-
ka lagi.
Seketika Pendekar Slebor menggerakkan
tangannya pada Raja Akherat yang berdiri kukuh
di wuwungan sana.
"Lari, Lasni!" teriak Pendekar Slebor.
Dengan cepat gadis jelita berbaju putih itu
mengikuti saran Pendekar Slebor. Padahal, dia in-
gin sekali membantu Pendekar Slebor menghadapi
Raja Akherat. Namun, bagi Andika sendiri, kalau
bertarung ada perempuan, malah merepotkannya
saja.
"Hei, Raja buduk! Kenapa tidak turun,
hah?!" serunya keras sambil mengejek.
"Ha... ha... ha.... Pendekar Slebor! Rupanya
kau memang ditakdirkan untuk mampus di tan-
ganku! Buktinya kau datang untuk mengantarkan
nyawamu, bukan?" ejek Raja Akherat.
"Sialan! Aku datang justru ingin meminta
nyawamu! Iya toh, iya toh?"
Raja Akherat rupanya tidak mau mem-
buang waktu lagi. Kebenciannya pada Pendekar
Slebor memang sudah sampai diujung ubun-
ubun, karena Pendekar Sleborlah yang mengga-
galkan rencananya untuk menguasai rimba persi-
latan. Baik dari golongan lurus maupun golongan
sesat.
Dengan gerak meluncur Raja Akherat su-
dah langsung merangkum 'Himpunan Surya Bayu-
Tanah'nya. Dia tahu, pemuda itu bukanlah orang
sembarangan.
Begitu pula Andika. Begitu tubuh Raja Ak-
herat meluruk ke arahnya, Pendekar Slebor segera
melenting memapaki dengan tenaga 'inti petir'
tingkat ketiga. Mengingat, lawan bukanlah orang
sembarang pula.
Benturan keras pun terjadi menimbulkan
suara ledakan keras. Andika merasakan tangan
kanannya bergetar. Dan perlahan-lahan terlihat
membiru.
"Gila! Rupanya tenaga dalam raja buduk
ini semakin tinggi saja. Tentunya dia telah berlatih
sebelum mencariku?" sentak Pendekar Slebor.
Yang membuat Pendekar Slebor bertanya-
tanya, apakah di balik kekejaman Sembilan Iblis
berdiri Raja Akherat? Kalau memang iya, sungguh
hebat sekali Raja Akherat bisa menutupi semua-
nya ini.
"Ha... ha... ha.... Kalau sekarang, tangan-
mu saja yang membiru. Tetapi kini..., tanganmu
akan patah, Pendekar Slebor!" seru Raja Akherat.
Kini biang tokoh sesat itu sudah bergerak
lagi dengan cepatnya. Serangannya lebih dahsyat
dari yang pertama. Andika sendiri harus menaik-
kan tenaga 'inti petir'nya. Tingkat pamungkas
yang dirasakannya sangat berguna untuk mema-
paki serangan dari Raja Akherat.
Blarr....
Kembali benturan terjadi. Suara yang di-
timbulkannya lebih kencang. Ternyata yang didu-
ga Andika benar. Kalau tadi tangannya gemetar
dan membiru, sekarang hanya gemetar saja. Se-
mentara Raja Akherat pun terlihat pias. Rupanya
dia terkejut dengan perubahan tenaga yang dila-
kukan Pendekar Slebor.
Namun belum lagi Andika menikmati ke-
menangan gebrakan yang kedua, tiba-tiba saja tu-
buh Raja Akherat berpisah. Dan kini berdiri tegap
dua sosok berwajah mirip satu sama lain.
Kedua Raja Akherat kini sama-sama terba-
hak-bahak.
"Inilah yang memusingkan kepalaku!" den
gus Andika.
Pendekar Slebor langsung berpikir keras
untuk mencari sela yang paling tepat untuk me-
musnahkan ajian yang cukup dikenalnya. Ajian
'Melayang Dua' yang pernah membuatnya tertipu.
Dia pikir saat itu Raja Akherat sudah tewas, justru
ternyata belum. Yang tewas adalah jelmaannya
yang segera kembali pada yang aslinya (Baca : "Ra-
ja Akherat").
"Pendekar Slebor...! Apakah kau masih in-
gat ajian 'Melayang Dua'ku ini?"
"Iya, ya.... Bahkan kau akan kuhadapi
dengan ajian 'Melayang-layang'!" sahut Andika
santai.
Padahal, Pendekar Slebor tengah berpikir
keras bagaimana caranya mengatasi serangan
yang akan dilakukan Raja Akherat. Karena dia ta-
hu dan pasti, kalau dua Raja Akherat sama-sama
sakti luar biasa.
Kedua tubuh Raja Akherat mendadak saja
secara serempak meluruk ke arah Pendekar Sle-
bor.
Dan Andika langsung menghindari seran-
gan. Namun pemuda ini harus tersungkur, karena
sebelah kakinya berhasil ditangkap Raja Akherat
yang berdiri di kanan. Bahkan tiba-tiba Raja Ak-
herat membantingnya!
"Heeigggkkk!"
Andika terjerembab, namun dengan cepat
bergulingan ketika merasakan satu sentakan kuat
siap menghujam dadanya.
"Ampun deh! Bisa mati konyol aku!" sentak
Pendekar Slebor.
Andika merasa harus segera berdiri. Na-
mun baru saja bangkit, Raja Akherat satunya te-
lah melepaskan tendangan dahsyat.
Dess...!
"Augh...!"
Sekali lagi tendangan telak dari Raja Akhe-
rat mendarat di dada Pendekar Slebor.
Setelah bergulingan beberapa kali, Pende-
kar Slebor mengambil kain pusakanya yang berco-
rak catur. Dengan bantuan kain pusaka itu Andi-
ka masih bisa bertahan, meskipun lama kelamaan
kain pusakanya terasa panas sekali.
"Ha... ha... ha.... Kau akan mampus, Pen-
dekar Slebor! Kau akan mengakui kehebatan Raja
Akherat!"
Tiba-tiba saja Andika bergerak ke depan,
seraya merangkum ajian 'Guntur Selaksa' yang
langsung dialirkan pada kain pusakanya. Dengan
cara seperti itu, kekuatannya bertambah.
Dengan gerakan mengagumkan Pendekar
Slebor melompat ke kiri, ketika Raja Akherat yang
di sebelah kanan menyambar kepalanya. Dan den-
gan seruan keras, kain pusakanya dikebutkan pa-
da Raja Akherat yang berada di sebelah kiri.
Blarr...!
Seketika terdengar ledakan keras sekali.
Dan tubuh Raja Akherat yang berada di sebelah
kiri seperti pecah berantakan.
Namun yang membuat mata Andika terbe-
lalak, tiba-tiba saja tubuh yang terpecah-pecah
menghilang. Sementara Raja Akherat yang sa-
tunya lagi terbahak-bahak.
"Bodoh! Bodoh sekali!" ejek Raja Akherat
keras.
Sadarlah Andika kalau telah tertipu lagi.
Ternyata yang baru saja dibunuhnya adalah Raja
Akherat jelmaan. Untuk menentukan yang mana
yang asli dan yang jelmaan, memang sangat sulit.
Dan mendadak saja tubuh Raja Akherat
kembali menjadi dua. Bahkan sama-sama lang-
sung menyerang Pendekar Slebor dengan cepat.
Andika benar-benar kedodoran sekarang.
Ajian 'Guntur Selaksa' yang telah dialirkan pada
kain pusaka saja sudah tidak mampu menghadapi
serangan-serangan hebat Raja Akherat.
Dengan demikian Pendekar Slebor kini
hanya bisa menghindari serangan sebisanya sam-
bil mencoba membalas.
"Hiaa...!"
Dan tiba-tiba terdengar teriakan keras dari
dua Raja Akherat yang menyerang secara bersa-
maan.
Untuk memapaki serangan itu, Andika me-
rasa sangat kesulitan. Karena dia tahu, bila nekat
berarti hanya mengantarkan nyawa percuma. Se-
mentara untuk menghindari serangan sudah me-
rupakan hal yang tidak mungkin. Karena kea-
daannya benar-benar tersudut.
Dalam satu pikiran Andika, hanya ada dua
kata. Bertahan hidup! Namun sebelum serangan
dua Raja Akherat mengenai sasaran, tiba-tiba me-
lesat satu bayangan yang langsung memapak.
Blarr!
Terjadi benturan keras, disusul mentalnya
dua tubuh Raja Akherat ke belakang.
Andika terkejut melihatnya. Lebih terkejut
lagi ketika melihat Srundul alias si Tapak Darah
tahu-tahu telah berdiri di dekatnya. Dia masih
berpakaian yang bukan ukuran tubuhnya. Ru-
panya, si kontet itulah yang telah menolongnya.
"He he he, Gondrong! Kau mempermainkan
aku, ya? Rupanya kau ini Pendekar Slebor, kan?
Bagus! Bagus! Aku sudah lama mendengar nama
besarmu itu. Tetapi, baru kali ini menjumpai mu!"
Andika masih terpaku melihat kenyataan
kalau Srundul bukan hanya mampu memapaki
serangan dua Raja Akherat yang dahsyat, bahkan
membuat biang tokoh sesat itu terpental ke bela-
kang.
Sementara itu Raja Akherat yang terkejut
karena serangannya justru terpental, membela-
lakkan matanya melihat sosok yang menyela-
matkan Andika. Dan sosoknya pun sudah kembali
menjadi satu.
"Si Tapak Darah!" desisnya terkejut.
Dan tiba-tiba saja wajah Raja Akherat me-
mucat. Tubuhnya bergetar. Lalu seketika biang
tokoh sesat itu berlari meninggalkan tempat itu.
"Hei!" seru Andika keras.
"He he he.... Gondrong! Kau tidak akan bi-
sa membunuhnya sebelum mengetahui kelema-
hannya! Dia adalah adik seperguruanku di Goa
Akherat! Dia pula yang telah mencuri Kitab Me-
layang Dua yang dirahasiakan Guru. Bahkan den-
gan kejinya, meracuni ku dan guru dengan masa-
kan yang dibuatnya. Untungnya, aku berhasil se-
lamat dari maut. Hanya sayang, Guru menemui
ajalnya saat itu juga. Kau tahu, Gondrong! Telah
berbulan-bulan aku mencari manusia sesat yang
memuakkan itu hingga akhirnya kudengar kabar
kalau dia pernah bertarung melawan seorang pen-
dekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor! Dan
sekarang, manusia itu sudah ada di depan mata-
ku!" urai Srundul.
Andika masih tetap terpaku seperti tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Bunuh dia, Gondrong! Pukulkan tangan-
mu ke tangannya yang sebelah kanan! Mungkin
kau tidak pernah memperhatikan. Setiap kali
menggunakan * ajian 'Melayang Dua', dia tidak
pernah membiarkan tangan kanannya beradu
denganmu. Nah, bunuh dia sekarang! Aku akan
kembali ke Goa Akherat!" lanjut si Tapak Darah
menyadarkan Pendekar Slebor.
Wussss!
Tubuh si Tapak Darah pun melesat meng-
hilang dari pandangan. Andika yang mendapat pe-
tunjuk yang berharga, langsung mengejar Raja
Akherat yang belum jauh. Hingga sebentar saja,
Pendekar Slebor sudah berhasil menghadangnya.
"He he he.... Mau ke mana kau? Mengapa
kau jadi pengecut, sih?" ejek Andika yang lang-
sung mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'nya.
Dan sasaran ajian Andika adalah tangan
kanan Raja Akherat. Seperti yang dikatakan Tapak
Darah, Raja Akherat memang tak sudi membiar-
kan tangannya beradu dengan tangan Pendekar
Slebor.
Namun hal ini justru menguntungkan An-
dika. Karena biarpun Raja Akherat berusaha me-
nangkis, tetap saja yang diburu Andika adalah te-
lapak kanannya. Yang lebih mengerikan lagi, ka-
rena Pendekar Slebor mempergunakan ajian
'Guntur Selaksa'.
Raja Akherat kini benar-benar bagaikan
orang yang kehilangan kepercayaan diri lagi. Dia
sudah begitu ketakutan dan ngeri sekali menyada-
ri kelemahan dari ajian 'Melayang Dua'nya yang
telah diketahui Pendekar Slebor.
Dengan masih mengandalkan jurus
'Himpunan Surya-Bayu-Tanah' biang tokoh sesat
itu berusaha mencecar Andika. Namun dengan
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa', Andika
mampu membuat Raja Akherat kalang kabut.
Tiba-tiba Raja Akherat melenting ke bela-
kang. Begitu berbalik, dia melesat melarikan diri.
Andika yang tidak ingin membiarkannya lolos untuk kedua kalinya segera mengejar.
Kejar-mengejar antara dua tokoh tinggi di
malam buta itu pun terjadi. Mereka menerobos
hutan dan ilalang tanpa sedikit pun ada hamba-
tan.
Raja Akherat yang benar-benar sudah mati
kutu mendadak saja melemparkan suatu benda
sebesar telur burung puyuh ke arah Andika. Un-
tungnya dengan sigap Pendekar Slebor melompat.
Busss...!
Dan ketika benda itu terjatuh ke tanah,
menimbulkan asap tebal pekat. Dan ini langsung
membuat pandangan Andika terhalang.
"Brengsek!" maki Andika.
Pendekar Slebor berusaha menajamkan
pandangannya. Namun, Raja Akherat sudah le-
nyap entah ke mana dengan membawa sakit hati
dan dendam untuk kedua kalinya.
Andika kesal bukan main. Untuk kedua
kalinya manusia sesat itu lolos dari tangannya. Bi-
la terjadi pertempuran yang ketiga, Pendekar Sle-
bor tak akan membiarkannya lolos.
Pendekar Slebor kini tiba di Istana Sembi-
lan Iblis. Di sana sosok Lasni sudah menunggu.
Begitu melihat Andika, Lasni yang sudah cemas
ketika melihat Andika mengejar Raja Akherat, ber-
lari memeluknya.
"Oh, Kang Andika.... Kau selamat, Kang?"
tanya gadis itu, mengandung kegembiraan teramat
sangat.
"Aku beruntung, karena Tapak Darah ta-
hu-tahu muncul. Eh! Ngomong-ngomong, apa ke-
dua tanganku juga boleh ku lingkarkan di pinggangmu?"
"Ih...!"
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar