PERSERIKATAN SETAN
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode: Perserikatan Setan
128 hal.
1
Matahari menggarang tanah Jawa. Kemarau ma-
sih saja belum puas mengeringkan tanah. Bumi makin
kepayahan, terengah-engah. Manusia masih banyak
yang belum juga menyadari kenapa semuanya terjadi.
Tak beda dengan bagian tanah Jawa lainnya, wi-
layah Wetan Jawa juga dilibas kemarau. Di salah satu
sudut wilayah tersebut, tepatnya di tepi hamparan la-
dang kerontang, sedang terjadi bentrokan hebat.
Bentrokan berlangsung antara seorang pemuda
tampan berperawakan gagah. Di antara kelebatan ge-
raknya yang cepat, gesit, dan tangkas, tampak samar
warna pakaiannya. Hijau pupus. Dengan selembar
kain bercorak catur di tangannya. Rambut pemuda itu
ikal panjang sebatas bahu. Berkibaran liar terseret an-
gin dari gerakan setiap jurus.
Lawan yang dihadapi seorang lelaki hitam. Tu-
buhnya kurus kering. Mungkin sekering tanah yang
sedang dilanda kemarau. Bertolak belakang dari kea-
daan tubuhnya, gerakannya justru memperlihatkan
kehebatan luar biasa. Sulit mencari tandingan, bahkan
untuk seorang pendekar sakti tanah Jawa seperti sang
lawan yang sudah dikenal oleh dunia persilatan seba-
gai Pendekar Slebor!
Tanpa pakaian, kecuali semacam kain putih
kumal berupa cawat penutup bagian auratnya, si lelaki
kurus kering pun tak kalah lincah, tak kalah gesit, tak
kalah cepat dari pendekar muda pewaris kesaktian
Pendekar Lembah Kutukan yang tengah dihadapi.
Menjelang satu hari penuh pertarungan mereka.
Dimulai ketika hari menjelang pagi kemarin. Dan terus
berlangsung hingga saat ini, ketika matahari mulai
hendak muncul kembali ke pelipis sebelah timur tanah
Jawa.
Keadaan keduanya sudah sama-sama melemah.
Tenaga mereka tentu saja sudah banyak terkuras.
Pendekar Slebor selaku ksatria muda yang sudah ba-
nyak makan asam garam, bukan tak merasakan ba-
gaimana beratnya pertarungan sehari semalam seperti
itu. Dia sendiri begitu letih. Rasanya yang tersisa cuma
semangat tarung untuk mempertahankan nyawa. Se-
genap sendinya sudah terasa bagai dibalut dengan
lumpur lahar panas. Sekujur permukaan kulitnya te-
rasa sepedih luka tersiram air cuka. Sementara selu-
ruh jaringan otot dan serat dagingnya sudah bagai di-
rebus di atas air mendidih!
Andika, alias si Pendekar Slebor tak henti-
hentinya mengherankan daya tahan lawan hingga saat
itu. Sepanjang pengetahuannya, lawan bukanlah tokoh
dunia persilatan berilmu tinggi. Sewaktu pertama kali
berjumpa, Amitha lelaki India yang menjadi seterunya
ini hanyalah seorang lelaki desa biasa. Bahkan dia
hanya bisa menangis meraung-raung mendapati is-
trinya menjadi mayat di belakang gubuk mereka. (Ba-
calah episode sebelumnya: "Macan Kepala Ular")!
Kini, hanya dalam beberapa pekan, dia telah
menjelma menjadi seorang mandraguna. Ilmu kanura-
gannya mungkin bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh
sesat Penguasa Laut Cina yang pernah dihadapi Pen-
dekar Slebor dulu (dalam episode: "Perompak-
Perompak Laut Cina")!
Apa yang sesungguhnya telah dialami Amitha ke-
tika terakhir kali dia menyadari dirinya berada dalam
liang lahat terbuka?
Saat itu, Amitha tak mempunyai pikiran apa-apa
tentang keberadaan dirinya. Satu-satunya yang terbe-
tik di benak saat itu bahwa dirinya sudah gagal mem-
pelajari Kitab Ular dan Macan. Kegagalan itu menyebabkan nyawanya terlempar dari raga. Dia mati, sim-
pulnya. Dan dia berada dalam liang kuburnya sendiri.
Tapi mungkinkah dirinya dikubur, sementara liang itu
sendiri dalam keadaan terbuka.
Karena ingin tahu keadaan sebenarnya, Amitha
berdiri. Tinggi lubang tak jauh berbeda dengan tinggi
tubuhnya. Karenanya dia dapat dengan leluasa me-
nyaksikan keadaan di luar lubang. Matanya dipaksa
membelalak sebesar mungkin menyaksikan sesuatu di
luar sana.
Ada sebentuk bayangan yang dilapisi pendar-
pendar cahaya merah api berkabut, tegak tepat di sisi
lubang. Ketika diperhatikan, bentuk bayangan itu me-
nyerupai tubuh seekor macan. Yang ganjil, di lehernya
tidak terlihat bentuk bayangan kepala seekor macan,
melainkan sekumpulan ular-ular yang bergerak nya-
lang ke segenap arah. Sebagian mematuk-matuk entah
ke mana, seolah memangsa apa pun tanpa terkendali.
Bayangan itu tak hanya memancarkan pendaran ca-
haya merah api, tapi juga memancarkan panas teramat
sangat. Amitha merasa seperti amat dekat dengan ger-
bang neraka!
Semestinya Amitha mengalami kegugupan dan
ketakutan luar biasa menyaksikan pemandangan yang
baru sekali itu dilihat sepanjang hidupnya. Tak demi-
kian yang dialami si lelaki India itu. Tak ada ketakutan
sama sekali. Tak juga ada kegugupan. Sebaliknya, dia
justru merasakan dorongan liar dari dalam dirinya un-
tuk mendekati bayangan aneh tadi.
Dari liang kubur terbuka, Amitha berusaha ke-
luar. Ada lagi satu keanehan dirasakan lelaki itu. Tu-
buhnya terasa begitu ringan. Dia tak merasakan sedi-
kit pun bobot tubuhnya. Seolah gaya tarik bumi tun-
duk kepadanya. Dengan mencoba-coba, Amitha beru-
saha keluar melompati mulut liang. Dihentakkannya
kaki dari dasar lubang. Kejadian menakjubkan pun
terjadi. Tubuhnya melayang lebih ringan dari selembar
bulu. Hentakan kaki barusan melontarkan tubuhnya
di luar perkiraan. Bukan cuma mulut liang terlewati,
lebih dari itu tubuhnya melayang sejauh lima belas
tombak ke udara!
Tatkala hinggap, Amitha sudah berdiri tak jauh
di sisi bayangan terpendar cahaya panas tadi. Meski
terasa amat panas luar biasa, kulit lelaki itu tak mele-
puh. Itu juga keanehan lain lagi.
Untuk semua keganjilan tersebut, Amitha ham-
pir-hampir tak bisa percaya kalau dirinya tidak sedang
bermimpi.
Tak tahu harus melakukan apa, Amitha hanya
menatapi bayangan berpendar tadi dengan perasaan
tersiksa. Panas luar biasa itu makin menjerang kulit.
Sementara, dorongan asing dalam dirinya terus meng-
hentak-hentak, menitahnya untuk terus mendekat dan
mendekat. Dalam jarak yang sudah sedekat itu, tentu
saja benak Amitha mengartikan lain. Hatinya bukan
saja didorong untuk mendekat, melainkan masuk ke
dalam bayangan berpendar tadi.
Masuk? Apa itu bukan pikiran sinting? Risau ha-
tinya. Sementara dalam jarak cukup jauh saja, panas-
nya sudah terasa menyiksa. Apalagi jika dia harus ma-
suk ke dalam bayangan berpendar tadi.
Meski pikirannya berkutat menolak, dorongan as-
ing dalam hatinya malah semakin rusuh, merebak dan
meledak-ledak. Sampai tanpa sadar, kaki Amitha mu-
lai beringsut perlahan. Hanya perlu dua tindak untuk
benar-benar masuk ke dalam jangkauan bayangan
berpendar tadi. Hanya dua tindak, tapi rasanya Amitha
melangkah selama berabad-abad di permukaan gurun
pasir tandus. Meletihkan. Menyiksa.
Dan ketika tubuhnya benar-benar tertelan
bayangan tadi, tercipta kembali keganjilan baru! Apa-
kah deraan panas telah menghilang? Tidak. Panas itu
tidak hilang sama sekali. Bahkan panasnya makin
menjadi-jadi. Amitha dipaksa untuk menjerit sekuat-
kuatnya, sekeras-kerasnya. Tapi tak ada lolongan yang
terdengar, meski urat lehernya sudah terasa hendak
putus. Yang aneh, setelah itu Amitha diperintahkan
oleh sesuatu dalam dirinya untuk tak mempedulikan
lagi. Sampai rasa panas itu benar-benar berdamai
dengannya, sebagaimana banyak penganut yoga ber-
damai dengan rasa sakit saat tidur di atas kayu berpa-
ku!
Setelah itu semuanya berubah. Amitha menemu-
kan dirinya sudah berada di tengah-tengah ladang ker-
ing, tempat dia selanjutnya membantai orang-orang
persilatan. Dan kini, tempat itu dijadikan ajang perta-
rungan antara dirinya dengan Pendekar Slebor.
Sebelum menjalankan seluruh terornya di tempat
tersebut, Amitha melakukan penyelidikan ke beberapa
tempat. Dia menanyakan pada beberapa orang persila-
tan mengenai seorang pemuda tampan berpakaian hi-
jau pupus, berambut ikal panjang tak terurus, dan
berkain corak catur pada bahunya.
Didatanginya jantung kadipatenan. Sebagai pusat
pemerintahan daerah, di sana banyak orang berkum-
pul. Dari pejabat sampai penjahat. Dari tukang obat
sampai penjilat, orang sehat sampai orang seka-rat.
Sudah pasti pula di sana banyak berkeliaran warga
persilatan.
Suatu kali, Amitha bertemu dengan seseorang.
Dari penampilan dan pakaiannya, orang itu memperli-
hatkan kalau dirinya warga persilatan. Kumisnya bap-
lang hampir selebar ujung cobek. Tak mengapa kalau
tubuhnya kekar berotot. Ini orang cuma kumis saja
gemuk, tubuhnya sendiri kurus kering. Jangan-jangan
tubuh dengan kumis lebih berat kumis. Jangan-jangan
juga, dia selalu berjalan terhuyung-huyung ke depan!
Kumis sangarnya diimbangi dengan penampilan
serba hitam. Celana pangsi hitam, kemeja tak berkerah
dan tak berkancing hitam, ikat kepala hitam, sandal
ikat hitam, ikat pinggang hitam, sarung golok hitam,
kulit pun hitam. Kalau ada yang tak hitam, cuma panu
sebesar jempol Pak Tani di samping udelnya.
Dengan berjalan bak jawara baru jadi, lelaki itu
menyusuri jalan jantung kadipaten menuju alun-alun.
Amitha mengikuti di belakang.
Lama-kelamaan, lelaki hitam berkumis baplang
tadi merasa ada yang menguntit. Dia berhenti melang-
kah. Kepalanya menoleh penuh lagak. Ketika itu, Ami-
tha sudah cepat bergerak ke balik pohon besar.
"Cuih!"
Lelaki kurus tadi meludah. Entah apa maksud-
nya. Apa mungkin dia telah mengetahui kalau orang
yang menguntit telah bersembunyi?
Tanpa banyak urusan, lelaki itu melanjutkan per-
jalanan. Namun, Amitha merasa dia telah diketahui
oleh lelaki itu. Dia tak ingin berlama-lama lagi. Lagi
pula, tempat yang dilewati sudah cukup sepi. Amitha
tak mau usahanya mencari pembunuh Neelam diketa-
hui oleh buruannya terlebih dahulu. Oleh karena itu,
dia berusaha bekerja diam-diam dahulu.
"Hei, berhenti kau?!" seru Amitha di belakang le-
laki tadi.
Lelaki tadi menoleh acuh.
Amitha berjalan mendekat.
"Katakan padaku, apakah kau kenal dengan seo-
rang pemuda tampan berpakaian hijau, berambut pan-
jang dan memiliki kain bercorak catur?" tanya Amitha,
ketika sudah berdiri di depan lelaki tadi.
Si lelaki berkumis baplang mendengus. Ditatap
nya Amitha dengan ujung mata. Sambil melinting-
linting ujung kumisnya, dia mengajukan pertanyaan
balik.
"Apa kepentinganmu dengan orang itu?"
Aku punya urusan dengannya, dan itu bukan
urusanmu."
"Kalau begitu, kau tanyakan saja ludahku," kata
lelaki hitam berkumis. Dia meludah. "Cueh!"
Amitha hilang kesabaran. Giginya bergemeletu-
kan. Rahangnya mengeras.
"Kau tak bisa pergi begitu saja sebelum kau men-
jawab pertanyaanku!" ancam Amitha, ketika lelaki
yang dihadangnya hendak melanjutkan langkah.
"Kau kira, kau ini siapa heh? Bera..."
Belum selesai bacot si lelaki berkumis bercuap-
cuap seperti mujair, tangan Amitha langsung men-
cengkeram leher bajunya.
"Katakan padaku, atau kau tak bisa hidup sam-
pai akhir siang ini!" bentaknya murka. Meledak persis
di depan hidung nongkrong si lelaki berkumis.
Detik ini juga, wajah si lelaki berkumis baplang
memucat. Cuping hidungnya kembang kempis. Ma-
tanya mendelik.
"Ja... jangan. Say... saya jangan di... dibun... di-
bun... dibunuh...."
"Jangan banyak mulut! Katakan saja padaku
apakah kau kenal dengan orang yang kusebutkan?!"
hardik Amitha tak sabar.
"Glk.... Tid... tid...," gagap si lelaki berkumis
sambil menggeleng-gelengkan kepala sekuat-kuatnya.
Lagi-lagi kalimatnya tersunat oleh kegugupan sendiri.
"Tak mungkin! Kau pasti kenal! Aku yakin kau
orang persilatan!" desak Amitha. Cengkeramannya di-
keraskan. Dihentak-hentakkannya tubuh lelaki itu.
Kepala lelaki berkumis menggeleng-geleng lebih
yang melewati ladang kering tempatnya.
Usaha itu akhirnya membawa hasil. Pendekar
Slebor yang dicarinya terpancing juga mendatangi
tempat tersebut.
***
2
Kembali ke pertarungan. Saat itu, Amitha meng-
hentikan serbuan serangan-serangannya terhadap
Pendekar Slebor. Dia mengambil jarak cukup jauh.
Berdiri dengan sikap sarat permusuhan, dia pun ber-
seru.
"Kau tak akan lolos begitu saja, Pendekar Slebor!
Hutang nyawa harus dibayar nyawa!"
"Apa maksudmu, lelaki India?"
"Jangan berpura-pura, Pendekar Slebor! Kau pi-
kir aku semacam bocah kecil yang begitu mudah kau
kibuli?!"
Kening Andika berkerut rapat. Diingat-ingatnya
sesuatu. Sewaktu pertama kali bertemu Amitha, dia
ingat dirinya dituduh sebagai pembunuh istri lelaki itu.
"Ooo," bibir Pendekar Slebor membulat. "Kau te-
tap menyangka aku sebagai pembunuh istrimu, begi-
tu?" sambungnya. Kepalanya mengangguk-angguk ke-
bodoh-bodohan.
"Kini aku hendak menuntut hutang nyawa itu!"
tandas Amitha.
"Keliru! Kau keliru. Aku tidak membunuh istri-
mu. Lagi pula apa alasanku membunuhnya?" sangkal
Pendekar Slebor. Perempuan selangsing biang badak
seperti dia, jangan lagi berurusan dengannya, melihat-
nya saja aku sudah tak punya selera, rutuk Pendekar
Slebor dalam hati.
"Peduli setan dengan alasanmu!"
Andika jengkel juga dipersalahkan terus. Apalagi
menghadapi kekeraskepalaan Amitha, meski Andika
sendiri berkepala batu. Bisa-bisanya dia tidak peduli
pada pembelaan diri Pendekar Slebor. Rasanya, Andika
ingin mencak-mencak ketika itu juga.
Pendekar Slebor mengeluarkan sesuatu dari balik
pakaian.
"Ini... lihatlah ini," ujarnya seraya memperli-
hatkan kalung di telapak tangan kanan. Benda itu
yang ditemukan di tangan mayat Neelam.
"Aku menemukannya tergenggam di tangan
mayat istrimu."
Sejenak Amitha memperhatikan benda tadi den-
gan teliti. Sampai saat itu, dia belum bisa menduga
apa maksud si pemuda pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan itu. Tapi, setidaknya dia mengerti,
ada sesuatu yang hendak disampaikan padanya. Se-
dangkan kecurigaan tetap tumbuh dalam dirinya.
Menyaksikan Amitha cuma memperhatikan ka-
lung di tangannya, Pendekar Slebor merasa jengkel la-
gi. Digadaikan ke mana otak lelaki ini. Apa tempurung
kepalanya cuma berisi martabak? Makinya membatin.
"Kau tidak tahu alasanku memperlihatkan benda
ini padamu?" ujar Pendekar Slebor.
Bukan menjawab, Amitha malah mendengus.
Slompret, dia benar-benar tak berotak! Maki An-
dika lagi.
"Maksudku, aku yakin pemilik benda inilah yang
telah membunuh istrimu. Mungkin istrimu sempat me-
raihnya sewaktu dia hendak dibunuh dari leher orang
itu. Kau mengerti maksudku?"
"Kenapa aku harus percaya pada bualanmu,"
dengus Amitha. Dia tak percaya.
"Bualan...," Andika merutuk. Sebenarnya, Pende-
kar Slebor memang tidak bisa meyakinkan Amitha ka-
lau dia tak membunuh Neelam hanya dengan memper-
lihatkan kalung tadi. Jadi, apa yang mesti di-
lakukannya kini? Dia mati kutu.
"Bisa saja kau membuat cerita itu. Sedang kalung
itu, bisa saja kau menemukannya dari satu tempat.
Entah di mana. Dan bukan dari telapak tangan jena-
zah istriku!" Amitha makin menyudutkan posisi Pen-
dekar Slebor.
"Mampus aku...," bisik Pendekar Slebor. Ditam-
parnya kening sendiri.
"Jadi, bersiaplah kau untuk mampus!" terabas
Amitha, tak memberi kesempatan bagi Pendekar Slebor
untuk membela diri lagi.
"Tapi aku bukan pembunuh istrimu, ngaco!" har-
dik Pendekar Slebor sewot. Sekarang dia benar-benar
mencak-mencak tak karuan. Hari sudah panas begini.
Ada lagi manusia yang bikin otak si pendekar muda
bertambah panas. Kepalanya tidak mengebul saja su-
dah untung....
"Nenek moyang ular kadut juga tahu kalau aku
tak mungkin membunuh istrimu, tahu? Aku tak punya
urusan apa-apa dengannya. Seperti aku tak punya
urusan denganmu, Slompret! Kalau otakmu waras,
kenapa kau tak meneliti dulu secara benar persoalan-
nya!" Pendekar muda yang tak cuma keras kepala tapi
juga sering 'angot-angotan' itu sekarang malah berte-
riak-teriak. Khotbah tukang obat pasti kalah seru!
"Aku tak peduli pada semua ocehanmu!" balas
Amitha, tak mau kalah.
Kalau sudah begitu, Pendekar Slebor mau bilang
apa? Pikir punya pikir, biarpun saat otaknya sedang
simpang-siur, Pendekar Slebor memutuskan untuk
pergi saja. Biar sekali ini dia dikatakan pecundang kek,
pengecut kek. Pokoknya dia tak peduli.
Dia cuma tak mau terus berurusan dengan Ami-
tha. Mengenai tuduhan Amitha, besok juga masih ada
waktu, pikir Andika.
Pendekar Slebor pun buron.
"Pengecut! Jangan lari kau! Hadapi aku!" teriak
Amitha. Giliran dia yang mencak-mencak.
Lelaki India itu tak cuma berniat mencak-mencak
rupanya. Dengan sigap, dia menggenjot tubuhnya. Di-
kejarnya kelebatan lari Pendekar Slebor dengan ke-
sempurnaan peringan tubuh yang tak kalah menga-
gumkan dibanding buruannya.
***
Ada yang bilang manusia selalu tidak puas den-
gan keinginannya. Keinginan yang terpenuhi hari ini,
besok akan lain lagi. Kalau diberi emas, manusia lalu
ingin permata. Walau sudah mendapat bukit, manusia
hendak memiliki gunung.
Bagi Petaruh Sakti Perut Buncit, penyakit keba-
nyakan manusia itu benar-benar merajalela dalam di-
rinya. Serangan hama tikus di sawah bahkan kurang
ganas dibanding penyakit aneh manusia satu ini.
Kesaktian manusia berperut gentong satu ini se-
benarnya sudah terbilang tinggi. Nyai Silili-lilu saja
masih berada satu tingkat di bawahnya. Kalau hendak
dicari bandingan, mungkin Ki Saptacakra alias Pende-
kar Lembah Kutukan yang pantas untuknya. Selisih
kesaktiannya mungkin hanya sedikit lebih rendah. Di
samping itu, Petaruh Sakti Perut Buncit kalah di usia.
Sesepuh dunia persilatan golongan putih Ki Saptaca-
kra lebih tua darinya sekitar sepuluh tahun.
Entah bagaimana caranya dua manusia langka,
Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit dulu bisa
menjalin tali asmara. Jelas-jelas kakak perempuan Ki
Saptacakra itu jauh lebih tua darinya. Kalau mau dibi-
lang Nyai Silili-lilu dulunya bagai primadona persila-
tan, siapa yang mau percaya? Atau barangkali Petaruh
Sakti Perut Buncit waktu itu sudah putus harapan un-
tuk mendapatkan perempuan yang lebih agak 'beres'
ketimbang Nyai Silili-lilu? Sampai dia pun akhirnya
'memasrahkan' diri menjadi kekasih perempuan seten-
gah edan? Ah, siapa yang peduli! Toh, Petaruh Sakti
Perut Buncit pun memang setengah edan!
Alkisah, dua manusia yang semestinya sudah
masuk liang lahat itu sedang asyik bergandengan me-
nuju Pesisir Pantai Laut Selatan. Bak muda-mudi yang
dimabuk kasmaran, mereka bersenandung. Riang ti-
dak riang, merdu tidak merdu, keduanya tidak peduli.
Padahal orang bertelinga waras justru mengira senan-
dung mereka suara iring-iringan lebah ngamuk.
Biar saja, mungkin begitu pikir mereka. Dalam
kasmaran, tak peduli tua bangka seperti mereka, du-
nia benar-benar bagai milik berdua. Kalau ada orang
lain, cukup bayar sewa!
Mereka sudah menginjakkan kaki di pantai. Je-
jak-jejak mereka jauh memanjang di belakang, men-
guntit pemiliknya.
"Apa tujuan kita ke tempat ini sebenarnya, Bun-
cit?" tanya Nyai Silili-lilu. Disebutnya bekas kekasih-
nya. (Yang kini tampaknya akan menjadi kekasih kem-
bali. Gombal)! Dengan sebutan seenak perut. Perem-
puan uzur macam dia memang sulit menghargai siapa-
siapa. Tak juga kekasihnya.
"Firasatku mengatakan aku harus segera kembali
ke tempat ini."
"Ah, firasat apa?!"
"Firasat ya firasat."
"Firasat baik atau buruk, maksudku begitu
brengsek!"
"Siapa peduli, mau firasat baik kek, buruk kek.
Mau firasat tai kucing kek.... He he he...!"
"Hikhikhik!"
Seseorang tahu-tahu berkelebat memotong jalan
mereka. Sekaligus memenggal obrolan ngawur tadi.
Angin larinya begitu kuat. Tubuh kedua bangkotan itu
sampai terhuyung. Rambut Nyai Silili-lilu jadi tak ka-
ruan. Lebih tak karuan dari bongsang yang dicekeri
ayam. Dedaunan di dahan-dahan pohon yang dipakai
untuk menutupi tubuhnya berhamburan. Manusia tua
jelek itu jadi tambah jelek saja.
"Kunyuk! Siapa yang sudah merasa punya nyali
membuat perkara denganku!" semprot Nyai Silili-lilu.
Air liurnya terbang bersama bentakannya. Wajahnya
terlipat. Entah berapa lipatan.
Di sebelahnya, Petaruh Sakti Perut Buncit masih
saja terhuyung-huyung. Perut buncitnya tak bisa ber-
damai pada saat seperti itu. Dia agak kewalahan kare-
na kelebihan bobot pada bagian tersebut.
Setelah berhasil menguasai keseimbangan den-
gan bantuan tombak bermata golok besarnya yang di-
tancapkan di tanah, dia berkata dengan napas teren-
gah-engah.
"Sudah kubilang, perut sial ini dari dulu selalu
bikin aku repot. Aku mau makan sedikit tapi tidak bi-
sa. Kalau makanku tetap saja seperti karung bolong,
mana bisa perutku menjadi kecil...."
"Diam kau, Buncit!" bentak Nyai Silili-lilu. Pe-
rempuan tua itu sedang bersiaga. Mata kelabu yang
tak kalah tajam dengan pandangan seekor rubah beti-
na mencari-cari si pembuat ulah barusan.
"Itu tadi perbuatan siapa, heh? Berani-beraninya
dia mengerjai kita!" tukas Petaruh Sakti Perut Buncit
gusar. "Apa dia ingin menantang aku bertaruh untuk
mengadu kesaktian?!"
"Diam, makanya kau diam! Aku sendiri sedang
mencari tahu siapa orang sialan itu!"
"Kau sudah melihatnya?!"
Mata Nyai Silili-lilu melotot.
"Kalau aku sudah melihatnya, tentu saja sudah
aku hajar dia! Kau ini kenapa tolol sekali!"
"Aku tidak tolol! Jangan sebut aku begitu,
Sayang.... Aku cuma tersinggung karena kemesraan ki-
ta diganggu...."
"Ah, tai kucing!"
"He he he!"
"Ssst!" Nyai Silili-lilu mendekatkan jari telunjuk
keriputnya ke depan bibir.
"Ada apa? Ada apa?"
"Aku mendengar suara kelebatan lagi!"
"O, itu tadi aku buang 'angin'..."
Dugh!
"Sial kau!" maki Nyai Silili-lilu setelah mendahu-
luinya dengan sikutan keras ke udel Petaruh Sakti Pe-
rut Buncit.
"Ssst!" Tanpa perlu merasakan sakit di perutnya,
Petaruh Sakti Perut Buncit ganti mendesis.
"Ada apa, Buncit? Kau dengar sesuatu?"
"Kau tidak buang 'angin', kan?"
"Tidak! Perutku tidak sejenis perutmu! Kau den-
gar apa tadi?"
"Ada yang berkelebat ke arah kita dari timur,"
lanjut si tua buncit berbisik.
Keduanya segera berbalik. Dan tiba-tiba saja....
Bruk!
"Kutu busuk bedebah bau congek kurang ajar!
Apa-apaan kau ini, Pemuda Sial?!" maki Nyai Silili-lilu
tak terputus sepanjang ular kadut. Seseorang melang-
gar tubuh mereka berdua. Membuat dua tua bangka
itu jatuh terduduk seperti dua bocah tak berdosa di
atas pasir pantai.
Pelanggarnya sendiri ikut jatuh terduduk. Na-
pasnya masih terengah-engah kalang kabut. Orang itu
ternyata Pendekar Slebor.
"Mohon beribu maaf, Uwak! Aku tadi tak melihat
kalau Uwak dan Pak Tua Buncit sedang berjalan di si-
ni...," hatur Andika sambil memperlihatkan cengiran
memelas.
"Makanya kalau lari matamu dipasang di kepala,
jangan di pantat!" Nyai Silili-lilu belum puas memun-
tahkan kemangkelannya pada sang cicit kemenakan.
"Kalau begitu, aku mohon ber'juta' maaf, kalau
'seribu' belum cukup...."
Nyai Silili-lilu bangkit terseok, masih dikawal
dengan semburan mautnya. "Jangan main hitung-
menghitung! Aku bukan pedagang! Kalau kau benar-
benar mau minta maaf pada uwak buyutmu, sekarang
juga kau harus...."
"Cium tengkuknya!" sela Petaruh Sakti Perut
Buncit, ngawur.
"Aaahhh, sudahlah!" tepis Nyai Silili-lilu. "Pokok-
nya kau ingat-ingat saja, kau hutang 'kualat' padaku."
"Katanya Uwak bukan pedagang, kenapa harus
pakai hutang segala?" rengek Pendekar Slebor.
"Ya, sudah. Kalau begitu lunas!"
Andika bangkit dengan perasaan lega. Asal uwak
buyutnya bisa melupakan kesalahannya, dia sudah le-
ga
"Sayang, bantulah aku bangkit...," rayu Petaruh
Sakti Perut Buncit, belum bisa mengangkat tubuhnya
dari pasir.
"Minta tolong saja sama dedemit!" ketus si pe-
rempuan uzur.
Terpaksa Petaruh Sakti Perut Buncit bangkit
sendiri. Padahal dia bukannya tak bisa bangkit sendiri.
Sebagai seorang yang baru resmi menjadi kekasih
kembali, pantas untuk meminta sedikit kemanjaan.
Tapi, yang didapat malah kemangkelan.
"Memangnya kenapa kau lari-lari seperti setan te-
lat buang hajat begitu, heh?" tanya Petaruh Sakti Perut
Buncit kemudian.
"Aku sibuk melihat ke belakang, jadi aku tak me-
lihat ada kalian berdua di depan," jawab Andika. Kepa-
lanya menoleh kembali ke arah timur. Dia masih kha-
watir Amitha masih mengejarnya.
"Bukan itu yang kutanyakan! Maksudku, kenapa
kau lari? Apa kau mengejar sesuatu atau ada yang
mengejar?"
"Tentu saja. Apa aku sudah sinting lari-lari tanpa
maksud?"
"Jadi kau mengejar sesuatu?"
Pendekar Slebor menggeleng. Lagi-lagi dia sibuk
menoleh ke arah timur.
"Kau ada yang mengejar?" susul Petaruh Sakti
Perut Buncit.
Andika mengangguk.
"Kau ada yang mengejar?" ulang Nyai Silili-lilu,
nimbrung. "Apa aku tak salah dengar? Sejak kapan ke-
turunan keluargaku jadi pecundang? Sejak kapan ke-
turunan keluargaku jadi pengecut hingga meski dike-
jar-kejar? Sejak kapan...."
"Cukup, Uwak!" sergah Andika. Otaknya bisa le-
bih keruh dari empang kalau uwak buyutnya mencero-
coskan kata sejak kapan....
Nyai Silili-lilu baru mau hendak memaki. Meski
mata kelabunya sudah mendeliki Andika, caci makinya
dipenggal pertanyaan Petaruh Sakti Perut Buncit.
"Kalau kau sedang dikejar, jadi siapa yang lari
sebelum kau?"
"E, iya... ya...," gumam Nyai Silili-lilu, lupa pada
kedongkolannya.
"Apa maksud kalian?" Andika ingin kejelasan.
"Sebelum kau melanggar kami, ada seseorang
berlari melewati kami. Ilmu lari cepatnya lumayanlah.
Kalau kuhitung-hitung, pasti akan seru kalau aku ber-
taruh untuk adu kesaktian dengannya. Mungkin...."
Andika pening mendengarkan ucapan ngalor-
ngidul tak perlu si tua bangka berperut buncit.
"Sebentar! Sebentar, Pak Tua Buncit!" tahan An-
dika. "Kau dulu pernah bilang kalau di tempatmu kau
menyimpan beberapa kitab sakti yang belum kau pela-
jari?"
"Benul, eh benar... eh, betul, maksudku benar
dan betul!"
"Lalu kau bilang juga ketiga murid murtadmu
berhasil masuk ke ruang rahasia penyimpanan kitab-
kitab itu, bukan?"
"Bukan, eh betul lagi!"
"Ke mana arah tempatmu?" cecar Andika.
Petaruh Sakti Perut Buncit menunjuk ke utara.
"Lalu ke mana arah kelebatan orang tadi?" lanjut
Andika cepat.
Sekali lagi Petaruh Sakti Perut Buncit menunjuk
arah utara.
"Apa kau tak curiga...."
Ucapan terakhir Andika segera diserobot Petaruh
Sakti Perut Buncit dengan teriakan serak memelas.
"Wadow, orang itu mungkin salah seorang yang
ditarik ketiga murid murtadku untuk membentuk Per-
serikatan Setan! Dan... tiga murid sial itu pasti sudah
membocorkan tempat rahasia milikku!"
"Itu maksudku, Pak Tua Buncit!" sambar Andika.
"Nyok... nyok... mending kita kejar saja itu orang,
ketimbang kau merengek jelek seperti itu, Buncit!"
usul Nyai Silili-lilu.
Mereka bergegas menggenjot kemampuan lari ce-
pat mereka. Seperti tiga ekor dedemit... kecepirit!
***
3
Di tepi Kadipaten Karang Gantung, di tengah hu-
tan karet, sedang terjadi perang mulut antara dua
orang berbeda. Satu pihak adalah Katak Merah. Se-
dang yang lain Mata Dewa Kematian. Mereka sama-
sama ngotot, sama-sama bersikeras dengan pendapat
masing-masing. Wajah keduanya sudah menampakkan
tanda-tanda akan meledaknya pertarungan.
Beberapa hari setelah pertemuan rahasia sembi-
lan tokoh sesat dunia persilatan di batas Kadipaten
Karang Gantung, masing-masing pihak yang tersang-
kut mulai menyusun rencana besar yang bisa mem-
buat satu kegemparan hebat dunia persilatan.
Dalam hal ini, Pangeran Neraka mengajukan diri
secara bersemangat untuk menyusun rencana awal.
Yang lain cukup menanti hasil di tempat masing-
masing. Hal seperti itu tentu saja tak begitu saja dite-
rima oleh para tokoh sesat sekelas Tiga Datuk Karang
dan si Gila Petualang.
Meski dalam pertemuan telah disepakati Pange-
ran Neraka yang memiliki keenceran otak cukup dian-
dalkan untuk menghasilkan satu rencana besar, Tiga
Datuk Karang diam-diam melaksanakan rencana me-
reka sendiri. Awalnya ketika mereka melihat kalung
yang dimiliki Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kema-
tian.
"Kau lihat kalung yang dikenakan Dewi Kecu
bung dan Mata Dewa Kematian?" bisik Datuk Kening
Merah, orang tertua di antara ketiga dedengkot kembar
itu. Saat itu mereka mengadakan pertemuan diam-
diam di tengah malam, sehari setelah pertemuan raha-
sia di atas Kadipaten Karang Gantung.
Dua saudara kembarnya, Datuk Kening Ungu
dan Datuk Kening Perak hanya mengangguk samar.
Dari wajah ketiganya, tampak kesan bahwa mereka
sedang membicarakan satu masalah yang benar-benar
mengusik mereka. Ada sesuatu yang diketahui mereka
tentang kalung yang dimaksud.
"Petaruh Sakti Perut Buncit. Tampaknya para
pemilik kalung mengenal keparat buncit itu," desis Da-
tuk Kening Perak, orang termuda di antara mereka.
"Ya, kemungkinan besar buncit keparat itu telah
menampakkan batang hidung pula seperti kita..."
"Apa alasannya muncul kembali? Apa kalian ti-
dak bertanya-tanya dalam hati? Dia tak mungkin mau
muncul begitu saja tanpa alasan jelas...," timpal Datuk
Kening Ungu.
"Itulah yang mengusik pikiranku. Mungkinkah
dia telah mengetahui kemunculan kembali kita, lalu
dia pun ikut turun ke dunia persilatan?" susul Datuk
Kening Merah.
"Keparat itu selalu saja jadi penghalang besar ba-
gi kita! Seperti juga Saptacakra dan Nyai Silili-lilu lak-
nat!" dengus Datuk Kening Perak, sarat kegeraman.
"Aku tak yakin dia sudah mengetahui kemuncu-
lan kita kembali. Dan Pendekar Lembah Kutukan bu-
suk itu pun aku yakin belum mengetahui. Kalaupun si
buncit itu muncul juga, aku yakin dia punya alasan
tertentu," simpul Datuk Kening Merah.
"Bagaimana dengan kedua pemilik kalung itu?
Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian? Apakah
mereka murid-murid si Buncit? Mungkinkah mereka
berpura-pura menyusun rencana besar untuk kita,
padahal mereka sengaja memancing kita keluar agar
nanti kita berhadapan dengan si Buncit."
"Tak mungkin. Kau tahu sendiri, orang seperti si
Buncit dan Saptacakra tak akan bertindak jika merasa
tak perlu bertindak," sangkal Datuk Kening Merah pa-
da pendapat adik bungsunya.
"Bagaimana kalau si Buncit hanya ingin menan-
tang kita bertanding untuk satu pertaruhan?"
"Itu pun tidak mungkin!" sentak Datuk Kening
Merah. Entah bagaimana ketika pertanyaan terakhir
adiknya terangkat ke permukaan, bersama dengan itu,
terungkit pula kegusarannya. Tapi, kedua saudara
kembarnya tampak tahu jelas kenapa hal itu terjadi.
"Karena kita tak punya kitab sakti yang bisa di-
pertaruhkan kembali! Kau ingat? Bahkan kitab sakti
ilmu 'Karang Pamungkas' milik kita, satu-satunya
benda paling berharga yang belum lagi kita pelajari,
sampai sekarang masih berada di tangannya. Si Buncit
keparat telah memenangkan pertaruhan waktu itu!
Padahal kitab itu berisi pamungkas kesaktian karang
kita.... Ibarat elang, kita belum punya cukup bulu
sayap untuk terbang, tanpa kitab itu!"
"Tanpa menyelesaikan isi kitab itu, kemungkinan
kita makin kecil untuk memenangkan pertarungan
menghadapi si Buncit atau Saptacakra!" Datuk Kening
Ungu ikut merutuk.
"Itulah sebabnya, aku memutuskan untuk me-
menuhi undangan pembentukan Perserikatan Setan.
Aku berharap kita mendapat satu jalan untuk me-
nyingkirkan si Buncit, Ki Saptacakra, dan Nyai Silili-
lilu!"
Mata berurat merah Datuk Kening Perak menda-
dak berbinar.
"Kini, tampaknya kita bisa mendapatkan kembali!" cetusnya. Ada sesuatu yang terbersit dalam benak
dedengkot satu itu.
Kedua saudara seperguruannya menoleh. "Je-
laskan maksudmu!" pinta Datuk Kening Merah.
"Kalau benar dua orang pemilik kalung itu memi-
liki hubungan dengan si Buncit, tentunya kita bisa
mengorek keterangan pada mereka di mana buncit ke-
parat itu menyimpan kitab pamungkas kita!"
Lalu, malam itu pula mereka mendatangi Mata
Dewa Kematian dan Dewi Kecubung. Jika perlu, keti-
ganya akan menculik mereka. Tapi, Tiga Datuk Karang
tak menemukan kedua orang itu di bangunan tua,
markas sementara mereka.
Pada saat yang sama, Dewi Kecubung dan Mata
Dewa Kematian rupanya sedang membicarakan siasat
untuk menyingkirkan Pendekar Slebor, salah seorang
penghalang besar pergerakan mereka.
Kebetulan yang mereka temui cuma Katak Me-
rah. Mereka ingat bahwa lelaki cebol itu pernah diper-
kenalkan Dewi Kecubung sebagai saudara perguruan.
Kemudian mereka pun mulai mengorek keterangan.
"Kau tak bisa seenaknya menunjukkan tempat
rahasia penyimpanan pusaka milik guru kita!" bentak
Mata Dewa Kematian pada si manusia bertubuh kerdil,
Katak Merah.
"Dia bukan lagi guru kita! Kau harus ingat itu,"
bantah Katak Merah mengkelap, semengkelap lawan
perang mulutnya. "Lagi pula, apa perlunya lagi kita
melindungi kepentingan tua bangka berperut besar
itu?! Bukankah kita memang sudah murtad?! Kita
akan dipenggal kalau sampai tertangkap olehnya. Kau
pikir dia akan menghukum kita dengan menjewer te-
linga kita?!" gempur Katak Merah, sampai tubuhnya
berjingkat-jingkat.
"Aku bukan mempermasalahkan tua bangka itu,
bodoh! Yang ku permasalahkan, bagaimana kalau be-
berapa kitab sakti itu jatuh ke tangan Tiga Datuk Ka-
rang!"
Belum lama, Katak Merah kedapatan sedang
memberitahukan rahasia tempat penyimpanan kitab-
kitab pusaka milik Petaruh Sakti Perut Buncit pada Ti-
ga Datuk Karang. Padahal kakak seperguruannya, Ma-
ta Dewa Kematian sudah mengingatkan untuk menu-
tup mulut tentang hal itu.
Katak Merah berpikir, kalau ketiga musuh lama
Pendekar Lembah Kutukan yang lama tak muncul di
dunia persilatan itu diberitahu, tentunya mereka akan
lebih cepat mencapai tujuan membangun satu kekua-
tan golongan sesat. Sebab, dengan begitu mereka ma-
kin per....
"Apa maksudmu? Biarkan saja mereka menda-
patkan kitab-kitab itu!"
"Bagaimana kalau mereka berkhianat pada selu-
ruh rencana kita? Apa kau telah yakin mereka tetap
akan mendukung terus rencana kita? Bagaimana ka-
lau mereka cuma menginginkan kematian Pendekar
Slebor dan seluruh keluarga Pendekar Lembah Ku-
tukan. Setelah itu, mereka akan menusuk kita dari be-
lakang?!"
"Jangan berpikiran picik seperti itu, Kang!"
"Picik bagaimana?!"
"Justru dengan cara itu, kita dapat mengikat me-
reka. Mereka akan merasa yakin kalau kita sungguh-
sungguh ingin memadukan kekuatan terhadap mere-
ka. Mereka jadi lebih percaya pada kita!"
"Ah, omong kosong! Kau pikir, kenapa mereka di-
anggap sebagai orang-orang golongan sesat? Karena
sikap mereka memang sikap sesat. Orang-orang sesat
seperti kita semestinya tak perlu diberikan keper-
cayaan sepenuhnya."
"Kalau begitu, kau pun pasti tak sepenuhnya
mempercayaiku. Begitu, Kang? Kau pun pasti akan se-
lalu siap menghantamku, karena kau setiap saat selalu
mencurigaiku."
"Bangsat! Kau benar-benar tak bisa kuajak ber-
pikir matang! Otakmu memang kerdil seperti tubuh-
mu!"
Mendengar makian keterlaluan kakak sepergu-
ruannya, Katak Merah mulai mengkelap.
"Jangan sembarangan bicara, Kang! Biar kau
pernah menjadi kakak seperguruanku, aku mampu
merobek bacotmu itu!"
"Keparat kerdil! Kau menantangku, rupanya!"
"Kalau itu anggapanmu, maka aku jawab ya!"
tantang Katak Merah, makin dianggap menginjak ke-
pala Mata Dewa Kematian yang merasa lebih tua sela-
ku kakak seperguruan.
"Bangsat.... Hiah!"
Dua saudara seperguruan itu akhirnya memulai
baku hantam. Mata Dewa Kematian mengirim satu
tendangan samping teramat keras ke kepala saudara
seperguruannya.
Dengan tubuh sependek itu, tentu saja Katak
Merah tak mengalami kesulitan berarti menghindari
hantaman punggung kaki Mata Dewa Kematian. Cu-
kup hanya dengan merundukkan badan sedikit, sa-
puan kaki itu pun luput.
Secepat juluran lidah katak menyambar serang-
ga, cengkeraman Katak Merah terlepas ke selangkan-
gan Mata Dewa Kematian.
Crep!
Terdengar bunyi santer menggebuk nyali. Mata
Dewa Kematian berhasil menghindar ke belakang den-
gan sekali jumpalitan. Suara tadi tercipta bukan kare-
na cengkeraman Katak Merah mengenai sasa-ran, melainkan suara kekuatan jari-jari tangan milik Katak
Merah yang melakukan remasan teramat kuat. Jika
‘kantong menyan’ Mata Dewa Kematian terkena, tidak
disangsikan lagi dia akan kehilangan kejantanan un-
tuk selamanya.
"Khrh... krok!"
Karena serangan baliknya tak mengenai sasaran,
kegusaran Katak Merah membludak ke ubun-ubun.
Dia memburu tubuh Mata Dewa Kematian ganas. Tu-
buhnya membungkuk lalu cepat melayang ke depan
seperti gerakan melompat seekor katak.
Dengan kepala merunduk, Katak Merah mencoba
menanduk punggung Mata Dewa Kematian yang se-
dang berjumpalitan.
Merasa ada angin kuat mengarah ke dirinya dari
belakang, dengan lincah dan gerakan yang cukup sulit
dilakukan pada posisi terbaliknya, Mata Dewa Kema-
tian membuat putaran tangan di udara.
Wukh!
Bagai sayap kincir angin terlepas dari rangkanya,
tubuh Mata Dewa Kematian berputar dalam keadaan
terbalik di udara.
Dash!
Terjadi benturan hebat antara kening Katak Me-
rah dengan telapak tangan Mata Dewa Kematian. Aki-
batnya, dua saudara seperguruan itu terpental deras
ke belakang.
Sesungguhnya, tampak jelas bagaimana hebat-
nya kealotan kulit kepala dan kekokohan tengkorak
Katak Merah. Hantaman telapak tangan Mata Dewa
Kematian mengandung tenaga dalam tingkat tinggi
yang dapat menggempur hancur batang pohon jati be-
sar.
Yang dialami Katak Merah ternyata tak separah
batang pohon jati. Dia hanya melayang jauh dan terpuruk sekitar delapan tombak ke belakang. Dahan-
dahan pohon meranggas terkena terjangan tubuhnya.
Sebagian pakaian lelaki cebol itu terkoyak-moyak. Di
lain pihak, Mata Dewa Kematian terdorong tak kalah
jauh.
Tanpa mengalami luka berarti, keduanya me-
nyentak tubuh dari tanah. Mereka bangkit dengan ke-
siapan masing-masing.
"Tunggu!" cegah Mata Dewa Kematian tiba-tiba.
Katak Merah menggeram. Terdengar bagai suara katak
yang hendak melakukan perkawinan.
"Kenapa? Apa kau takut mati membawa malu ka-
lau aku bisa mengalahkanmu!"
Mata Dewa Kematian tak mempedulikan cemoo-
han barusan. Matanya tegas-tegas mengarah pada ba-
gian bawah leher adik seperguruannya.
"Ke mana kalungmu?!" tanyanya dengan wajah
diselubungi waswas memuncak.
Tak ada kecurigaan sedikit pun di dalam diri Ka-
tak Merah. Bisa saja timbul prasangka kakak sepergu-
ruannya akan mengelabui. Jika dia lengah sedikit,
maka Mata Dewa Kematian akan segera melancarkan
serangan mendadak. Tapi, Katak Merah tahu benar
watak kakak seperguruannya. Mata Dewa Kematian
bukanlah sejenis orang yang pandai berpura-pura.
Maka, Katak Merah cepat melirik ke arah yang
dimaksud. Dia tak kalah terperangah menyaksikan ka-
lungnya telah tiada lagi di tempat.
Cepat pula, matanya menjadi nyalang. Pandan-
gannya menebar kian kemari mencari-cari sesuatu
seakan yang dicarinya adalah potongan jiwa sendiri.
Seperti halnya Katak Merah. Mata Dewa Kema-
tian melakukan hal serupa. Dia turut mencari-cari.
Semak disibak kasar, rumput ditendangi. Yang dicari
tak diketemukan.
Sampai akhirnya keduanya berhenti. Mereka sal-
ing menatap.
"Kau melihat kalungku terlepas?!" tanya Katak
Merah nanar.
"Aku tak tahu!" Mata Dewa Kematian, terlihat se-
panik adik seperguruannya. "Yang jelas kalung itu ti-
dak jatuh di sekitar sini...," tambahnya.
"Bagaimana mungkin kalung itu bisa raib begitu
saja?" geram Katak Merah. Paras wajahnya sudah mi-
rip orang dijemput sakaratul maut. Sebab yang kini hi-
lang bukan benda biasa. Bukan! Melainkan....
***
4
"Kejar! Kejar! Yang cepat larinya, Buncit Slomp-
ret!" Nyai Silili-lilu memaki-maki serampangan selagi
berlari mengejar orang yang melewati mereka. Meski
sampai saat itu belum tampak sosok kelebatan yang
dikejar, sikap si perempuan uzur itu sepertinya sudah
melihat di depan jidat.
Tinggal Petaruh Sakti Perut Buncit kelimpungan
di belakang. Cara berlarinya benar-benar kalang-
kabut. Maklum dia harus berurusan dengan perut
'hamil tua'-nya. Jadilah dia berlari dengan perut te-
rayun-ayun. Terlihat seperti anggukan kepala gajah
tak berotak.
Dia memang tokoh jajaran atas yang setaraf den-
gan Pendekar Lembah Kutukan. Tapi dalam soal lari
cepat, entah kenapa justru jadi masalah mana besar
bagi dirinya. Padahal, peringan tubuhnya tergolong su-
lit dicari tandingan.
Aneh juga kalau begitu. Apa mungkin, perutnya
semacam 'benda kualat', yang tak mau berdamai meski
dengan kemampuan peringan tubuh yang demikian
hebat. Atau jangan-jangan, dia benar-benar membawa
bayi dalam perutnya? Siapa tahu dia tak ingin bayinya
celaka? Yah, siapa yang tahu....
"Tunggu aku! Hoooiii, tunggu aku!" teriak Petaruh
Sakti Perut Buncit. Tombak bermata golok besarnya
teracung-acung ke atas. Sebelah tangan yang lain te-
rayun-ayun di udara, meminta untuk ditunggu.
Nyai Silili-lilu dan Pendekar Slebor di depan sana
seperti tak punya perasaan. Mereka tak mempedulikan
Petaruh Sakti Perut Buncit.
Pendekar Slebor sendiri sebenarnya telah menge-
rahkan segenap kemampuan peringan tubuh warisan
buyutnya. Dia pikir, akan bisa menandingi kecepatan
lari si perempuan bungkuk peot. Nyatanya, dia tetap
saja tertinggal di belakang. Itu yang namanya takdir
barangkali. Takdir yang menentukan Pendekar Slebor
harus selalu 'nunut' pada Nyai Silili-lilu. Sebab dengan
tingkat kesaktian di atas Andika, si pemuda itu tak bi-
sa berbuat banyak menghadapi tingkah tengik uwak
buyutnya. Bertingkah sedikit saja, kalau tidak benjut
ya kualat!
Di belakang sana, Petaruh Sakti Perut Buncit
masih bisa-bisanya terkentut-kentut. Masih bagus ka-
lau 'gas buangan'-nya dapat membantu mendorong ge-
rak larinya!
Sekitar sepenanakan nasi ketiga 'makhluk' aneh
itu berlari, akhirnya orang yang dikejar tampak juga di
kejauhan.
Syukur pikir Pendekar Slebor. Sebab makin lama
mereka berlari seperti itu, makin congkak saja uwak
buyutnya pamer kehebatan peringan tubuh.
"Lho, kau Saptacakra iler?! Dikira siapa?! Slomp-
ret benar kau, ah!" sembur Nyai Silili-lilu begitu tiba di
dekat orang yang dikejar.
Ki Saptacakra sendiri sudah menghentikan lang-
kahnya. Semestinya, akan butuh waktu berhari-hari
atau mungkin berminggu-minggu untuk mengejar
orang sekelas dedengkot dunia persilatan seperti dia,
meski Nyai Silili-lilu adalah kakak perempuannya sen-
diri. Kalau kejar-kejaran selama itu, apa tidak seru ja-
dinya?
Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan,
buyut Pendekar Slebor memang tak berniat menggen-
jot larinya lebih jauh. Dia sengaja memperlambat agar
jarak ketiga pengejar dengan dirinya jadi cepat me-
nyempit.
Belum-belum, Ki Saptacakra sudah mulai lari la-
gi. Sekarang dia tak ingin memperlambat gerak larinya.
Seperti semula, dia mengempos lagi kemampuan pe-
ringan tubuhnya sampai titik darah penghabisan, eh...
sampai titik puncak!
Napas Senin-Kamis Petaruh Sakti Perut Buncit
tersedak seketika. Dia harus mulai berlari lagi kalau
tak ingin kehilangan 'kekasih tercinta' yang sudah pula
mengekori Ki Saptacakra. Kasihan.... Mudah-mudahan
dia mati di jalan, ketimbang tersiksa terus seperti itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Iler!" seru
Nyai Silili-lilu pada si tua sakti Pendekar Lembah Ku-
tukan. Enak saja dia menyebut tokoh yang sudah
menjadi semacam cerita rakyat seperti Pendekar Lem-
bah Kutukan dengan panggilan seenaknya.
"Nanti juga kau tahu!" sahut Ki Saptacakra.
"Nanti kapan?!"
"Sehabis kiamat! Ah, kenapa kau tak menyumpal
saja mulut cerewetmu itu!"
"Aku tak bisa! Itu memang sudah kodratku!"
Ki Saptacakra tak mempedulikan lagi. Dia terus
berlari.
Di belakang Nyai Silili-lilu, Pendekar Slebor berla-
ri dengan kepala dipenati pertanyaan-pertanyaan. Apa
maunya Ki Buyut sebenarnya? Lalu kenapa tiba-tiba
seperti ada pertemuan keluarga dengan acara lari-lari
layaknya sekumpulan orang sinting? Benar-benar
brengsek mereka, gerutu anak muda itu dalam hati.
Bagaimana tidak, kalau dia terpaksa harus turut iring-
iringan lari cepat tanpa juntrungan di sepanjang garis
pesisir Pantai Laut Selatan?
Sekian lama melanjutkan lari, Pendekar Lembah
Kutukan baru berhenti. Tak terlihat kalau tokoh bang-
kotan itu terengah-engah. Tua-tua, dia tetap ‘kuda’
Lho, kuda saja masih terengah-engah!
Menyusul berhentinya Ki Saptacakra, Nyai Silili-
lilu, Pendekar Slebor dan Petaruh Sakti Perut Buncit
pun berhenti. Pasir bertebaran terkena sentakan kaki-
kaki mereka karena terlalu mendadak mengerem tu-
buh. Mereka tiba di sisi selatan batu karang. Di ten-
gah-tengah batu karang sebesar bukit kecil itu terda-
pat gua kecil hanya selebar tubuh manusia.
"Cepat katakan padaku, Iler! Sebenarnya apa
yang tengah kau kejar? Kalau tidak cepat kau katakan,
aku akan menggebukimu dari ubun-ubun sampai ma-
ta kaki! Mengerti?!" omel Nyai Silili-lilu pada sesepuh
dunia persilatan itu.
"Aku sengaja datang ke tempat ini karena...."
"Eh, bukankah ini tempat pertapaanku?" sela Pe-
taruh Sakti Perut Buncit, baru menyadari di mana di-
rinya berhenti. Semenjak tadi, rupanya dia hanya si-
buk mengipasi perutnya yang dikuyupi keringat den-
gan telapak tangan.
"Itu maksudku, Buncit! Aku harus segera meme-
riksa tempat pertapaanmu!" tukas Ki Saptacakra.
"Lho, bukankah kau Saptacakra?" ujar Petaruh
Sakti Perut Buncit, lagi-lagi dia ketinggalan kereta.
"Mau apa kau berlari-lari seperti itu? Celaka kau! Apa
kau sudah kehilangan akal sehat?!"
"Aku mesti memeriksa tempatmu!" ulang Pende-
kar Lembah Kutukan, kesal.
"Mau apa memeriksa tempatku?"
"Nanti saja kujelaskan! Sekarang sebaiknya kita
cepat masuk ke dalam gua!" penggal Ki Saptacakra.
Petaruh Sakti Perut Buncit meringis. Biarpun dia
baru saja mengatakan kalau tempat tersebut adalah
tempatnya, tapi soal masuk ke gua, tunggu dulu! Pe-
rutnya tak memungkinkan untuk melakukan hal itu.
Aneh juga. Tempat sendiri, tapi kenapa menyusahkan?
Sambil menggelengkan kepala, Petaruh Sakti Pe-
rut Buncit menggerutu, "Sudah puluhan tahun aku
tak pernah masuk ke dalam gua itu lagi. Dulu, perutku
masih tak sebesar ini. Sekarang, kalau mau masuk ju-
ga aku pasti harus meninggalkan sebagian perutku di
luar!"
***
Tiga hari yang lalu.
Sang sesepuh dunia persilatan, Ki Saptacakra
berjalan menyusuri sungai yang bersambung dengan
telaga di sekitar wilayah Kadipaten Karang Gantung.
Selaku orang yang mencapai taraf makrifat dalam ke-
batinan, lelaki tua itu merasakan dorongan yang kuat
dalam hatinya untuk pergi ke sekitar wilayah tersebut.
Dorongan kata hati seperti itu, biasanya merupa-
kan pertanda sesuatu yang belum terjelaskan. Orang
setua dia, tentunya sudah bisa mengenai setiap tanda-
tanda dalam dirinya. Karena itu, Ki Saptacakra segera
berangkat ke sekitar wilayah tersebut.
Seharian dia mengitari wilayah sekitar telaga Ka-
dipaten Karang Gantung, tak juga ditemukan sesuatu
yang mungkin mengusik hatinya. Sewaktu dia menco-
ba menyusuri sungai kecil yang bersambung dengan
telaga, dia menemukan secarik kain tersangkut di batu
sungai. Perhatiannya tersedot pada benda tersebut.
Dihampiri, lalu diambilnya sobekan kain itu.
Di atas kain yang masih basah itu, Pendekar
Lembah Kutukan menemukan satu tulisan dengan
menggunakan getah sejenis pohon. Tampaknya surat
tersebut dibuat begitu tergesa-gesa dan dalam keadaan
amat lemah. Terlihat sekali dari guratannya yang begi-
tu berantakan dan bergelombang.
Siapa pun yang menemukan surat ini, kuharap dia
adalah warga persilatan golongan lurus.
Aku cuma seorang pendatang dari negeri jauh
yang hendak mengadu nasib di tanah Jawa. Beberapa
hari lalu, tanpa sengaja aku mendengar tiga orang me-
laksanakan pertemuan rahasia. Seorang wanita cantik
dan lainnya lelaki. Salah satu lelaki memiliki tubuh ker-
dil. Mereka rata-rata berusia sekitar empat puluhan. Ke-
tiganya mengenakan kalung. Mata kalung terbuat dari
ujung tanduk rusa. Benda itu sebesar jari telunjuk ber-
bentuk pipih setengah lingkaran dan memiliki lubang di
satu sisinya.
Kudengar mereka akan merencanakan pembentu-
kan Perserikatan Setan yang anggota-anggotanya ada-
lah tokoh-tokoh atas golongan sesat.
Samar-samar, aku mendengar beberapa nama
disebutkan. Ada Tiga Datuk Kar...
Hanya sampai di situ bunyi surat tersebut. Tam-
paknya, si pembuat surat tak punya cukup tenaga lagi
untuk mengguratkan kata-kata di atas kain.
***
Kurang lebih seabad lalu, hidup seorang pende-
kar muda dari Puncak Gunung Tangkuban Perahu,
Tanah Parahiyangan. Untuk pertama kalinya dia turun
gunung. Selama tiga tahun terakhir, dia berdiam diri di
puncak gunung tersebut. Berguru dengan seorang pe-
tapa sakti mandraguna yang tak pernah dikenal nama
dan julukannya dalam hingar-bingar dunia persilatan.
Bahkan, si murid sendiri hingga turun gunung tak ju-
ga mengetahui nama sesungguhnya. Dia hanya ingin
dipanggil Eyang. Itu saja.
Gurunya memerintahkan si pendekar muda un-
tuk memperdalam kesaktian kanuragan dan kedig-
dayaan dengan bertapa selama dua belas purnama di
tepi Sungai Citarum.
Pada kala itu, Sungai Citarum tak pernah bebas
dari satronan kawanan binatang buas. Buaya, ular
sungai, atau macan Jawa setiap saat bisa muncul di
tepinya. Tak peduli siang, atau malam. Tak pandang
panas hujan. Menurut rakyat sekitar, sebagian hewan-
hewan tersebut malah merupakan makhluk jejadian,
lelembut hutan yang berubah wujud menjadi binatang
buas penunggu sungai.
Tanpa pernah merasa gentar akan segala cerita
dan segala ancaman kebuasan hewan-hewan liar di
sekitar sungai, pemuda itu menjalankan tapanya. Te-
pat di tepian berbatu rendah, dia duduk bersila, berse-
dekap dan memejamkan mata selama berhari-hari.
Belum lagi memulai pertapaan, si pendekar muda
sudah didatangi sekawanan buaya. Seolah Joko Ting-
kir, pemuda itu harus menghadapi serbuan buaya-
buaya lapar. Sementara modalnya cuma sepotong
bambu panjang yang diberikan Eyang Petapa. Ilmu
kanuragan yang pernah diturunkan olehnya dilarang
dipergunakan. Tentu saja perbuatan itu dilakoni, mengingat pesan Eyang Petapa adalah salah satu syarat
yang harus dipenuhi.
Mati-matian pemuda itu mengusir gerombolan
buaya lapar. Perjuangan yang menghabiskan waktu
dua harian penuh. Sekaligus menguras tenaganya. Be-
lum lagi luka-luka di sekujur tubuhnya.
Dalam keadaan penuh luka, dalam keadaan de-
mikian letih serta lemah, pemuda itu tak pernah terpi-
kir untuk membatalkan niat. Dia memulai masa ta-
panya hari itu juga. Dengan luka-luka menganga di
beberapa bagian tubuhnya, dengan sisa tenaga. Na-
mun dengan semangat yang tetap membukit di ha-
tinya.
Sepekan berlalu. Tak pernah terjadi apa-apa se-
lama itu. Pada awal hari di pekan kedua, si pendekar
muda berhati baja mendapat uji kembali.
Dalam kekhusuan tapanya, dia merasakan ada
sesuatu bergerak-gerak tepat di bawah tempatnya ber-
sila. Semacam gerakan bergeliat halus tubuh-tubuh
panjang menjijikkan. Mula-mula gerakan tersebut
hanya samar-samar. Selanjutnya semakin terasa jelas.
Ketika geliatan-geliatan di bawahnya makin ber-
gerumbul, dirasa tubuhnya terangkat sedikit demi se-
dikit. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dia be-
lum lagi mengetahui. Namun, ada semacam pikiran
mengusik, kalau geliatan-geliatan yang sedang ber-
langsung di bawah silanya adalah gerak gerombolan
ular-ular liar.
Pikiran yang semestinya tak dibiarkan menjadi
liar pada saat dia harus memusatkan segenap rasa
dan karsanya ke satu titik dalam diri menjadi semakin
liar ketika telinganya sayup-sayup menangkap desisan
ramai.
Pemuda itu makin yakin di bawah tubuhnya kini
ada gerombolan ular-ular besar. Mereka datang entah
dari mana. Tiba-tiba saja menyelusup ke bawah si-
lanya, dan berkumpul hingga mengangkat tubuhnya.
Kesadarannya cepat memperingatkan akan satu
hal. Bahwa dirinya sedang dalam masa pertapaan. Apa
pun yang terjadi, dia sebaiknya tidak mempedulikan.
Sebab jika dia membuka mata sedikit saja, atau lebih
lama terusik kekhusuannya, maka usahanya selama
ini akan gagal. Hancur tanpa hasil seperti asap tersapu
angin.
Kemungkinan besar, seluruh ular-ular liar itu
hanyalah salah satu cobaan. Tampaknya cobaan un-
tuk bisa lulus dalam tapa telah dimulai. Dan ular-ular
itu tentu cuma bayangan yang bermain di benaknya
dan mencoba mengusik perasaan serta pikirannya. Ta-
pi, bagaimana dia bisa mengetahui kalau ular-ular itu
cuma bayangannya? Bagaimana kalau ternyata ular-
ular itu ternyata sungguhan? Lebih gawat lagi, bagai-
mana kalau mereka tergolong berbisa?
Tanpa mempedulikan ketakutan yang meruyak
langsung dari dalam dirinya, pemuda itu melawan se-
luruh ketakutan dalam dirinya. Dia tak ingin tapanya
gagal. Apa pun yang terjadi, dia tak ingin gagal. Lagi
pula, kalaupun ternyata binatang-binatang yang sibuk
melata di bawahnya memang gerombolan ular sunggu-
han, toh dia tak akan diserang selama tubuhnya tetap
tak bergeming.
Perjuangannya untuk memusatkan kembali rasa
dan karsanya mendapat tantangan lebih besar mana-
kala dirasa tubuhnya mulai beringsut ke arah sungai.
Apa-apaan ini? Terbetik rasa, ketidak mengertian
dalam dirinya. Bagaimana mungkin gerombolan ular
dapat bergerak begitu rupa ke satu arah, membuat tu-
buhnya terikut gerakan mereka? Apakah dugaannya
meleset? Mungkinkah makhluk-makhluk menjijikkan
yang bergerak-gerak di bawahnya bukan kawanan
ular?
Jangan terusik! Tetap bertahan pada kekhusu-
kanmu! Hati kecilnya memperingati. Sentakan kata ha-
tinya menyadarkan si pemuda untuk berkutat kembali
mengerahkan segenap kekuatan batin untuk me-
ngembalikan kekhusuannya.
Semuanya tetap tidak menjadi mudah.
Gerakan makhluk-makhluk panjang di bawahnya
terus beringsut dengan gerak pasti ke arah sungai.
Kekhusuan si pemuda terusik lagi. Barangkali
aku memang telah memasuki masa cobaan? Pikirnya.
Padahal pikiran yang terbetik selintas seperti itu dapat
membuat tapanya gagal jika terus saja dibiarkan men-
jadi liar tak terkendali. Lalu dia berjuang lagi untuk
kembali ke kekhusuannya.
Tantangan makin memberat manakala si pemuda
merasakan bagian bawah tubuhnya mulai diserbu rasa
dingin. Air sungai pada malam hari memang terasa
amat dingin. Dan tubuhnya kini telah mencapai bibir
sungai. Makhluk-makhluk yang bergeliat-geliat di ba-
wahnya telah membawa dia sampai di sana!
Astaga, apa yang akan terjadi pada diriku? Mes-
tikah aku meneruskan tapa, atau membatalkannya?
Jika tapa kuteruskah, apa yang nanti bakal terjadi?
Segala usikan pertanyaan dalam hati segera dibe-
rangusnya kembali. Dipatrinya tekad sekali lagi, apa
pun yang terjadi, dia harus tetap meneruskan tapa!
Rasa dingin yang menyerang seluruh bagian ka-
kinya kini merambat naik ke batas pinggang. Gerakan-
gerakan makhluk-makhluk di bawahnya masih samar
dirasakan. Lalu rasa dingin yang berasal dari air Sun-
gai Citarum naik terus ke batas dada, leher dan akhir-
nya wajahnya.
Benak si pemuda kini bukan lagi diusik oleh se-
runtun pertanyaan, melainkan sudah muncul pula kepanikan dalam dirinya. Kalau dia terus diam, maka dia
akan mati tenggelam. Jalan yang terbaik baginya ada-
lah segera membatalkan tapa. Dengan begitu, nya-
wanya akan selamat.
Kepanikan yang mencoba merapuhkan tekadnya
ditebas oleh peringatan hati kecil. Jangan bodoh! Te-
ruskan tapamu! Bagaimana kalau semua itu cuma co-
baan? Kalau benar ujian, maka kau akan gagal saat
kau membuka mata!
Si pemuda memutuskan untuk tetap diam Tetap
memejamkan mata, tetap dalam posisi bersemadi. Apa
pun yang terjadi, tapanya harus diselesaikan. Jika per-
lu, mati pun akan dihadapinya!
Penguatan tekad kembali itu membawa hasil. Si
pemuda tetap tak bergeming dari posisi semula. Se-
mentara rasa dingin kini tuntas menyerang seluruh
bagian kulitnya. Tak terkecuali kulit kepalanya. Dia te-
lah tenggelam!
Tak begitu lama, dialaminya tekanan air sungai.
Dia merasakan tubuhnya melayang turun perlahan ke
dasar Sungai yang dalam. Turun dan terus turun. Tak
ada lagi geliat tubuh-tubuh panjang di bawah posisi si-
lanya yang tak berubah. Digantikan dengan tekanan
air yang menyesakkan dada. Lubang telinga dan hi-
dung pun mengalami hal serupa.
Sempat terbersit dalam pikirannya, kalau semua
itu semata ujian yang datang ke dalam perasaan dan
pikirannya semata tentu dia masih bisa bernapas.
Mungkin saja sebenarnya dia masih duduk di tepi
sungai. Namun karena cobaan itu, dia merasa telah
tenggelam dalam sungai. Karena itu dia menjajal me-
narik napas. Namun dugaannya meleset. Begitu per-
napasannya mencoba menghirup udara, yang masuk
justru air.
Tak mau mengambil resiko paru-parunya kerasukan air dan mati karenanya, si pemuda secepatnya
membatalkan niat menarik napas. Ditahannya paru-
paru.
Keraguan mengusiknya untuk ke sekian kali. Be-
narkan dia dalam ujian? Semuanya begitu terasa nya-
ta. Jangan-jangan dia memang benar-benar tenggelam.
Kalau dia mati, maka bukan cuma tapanya yang gagal,
tapi dia pun akan kehilangan nyawa. 'Sudah jatuh ter-
timpa tangga pula' kalau begitu!
Dan untuk yang ke sekian kalinya keraguan itu
dilawannya sekeras hati. Dilawannya, sampai seluruh
bisikan-bisikan melemahkan tadi menjadi melemah di
hatinya lalu pudar sama sekali.
Dia berhasil mengentaskan semua itu.
Sementara rasa sesak terus berjangkit. Dadanya
sudah kehilangan banyak udara karena menahan na-
pas cukup lama. Otot-otot dadanya sudah terasa ter-
koyak-koyak. Sebentar lagi, mungkin dia akan menarik
napas secara refleks.
Pada saat-saat genting, mendadak saja terjadi ke-
jadian baru yang tak kalah mengejutkan. Terasa tu-
buhnya dijepit kuat-kuat oleh sesuatu. Semacam gua,
tapi bukan. Kalau gua, tentu permukaannya keras. Ini
justru lembek, berlendir dan hangat.
Dia menyadari tubuhnya telah ditelan makhluk
raksasa entah berwujud apa ketika sebagian tubuhnya
membentur deretan benda-benda keras meruncing.
Dugaan muncul cepat. Deretan benda-benda ranting
tadi tentu barisan gigi!
Sekejapan berikutnya, dia merasa didorong ma-
suk ke dalam saluran berlendir menghimpit. Sekujur
tubuhnya terasa nyaris remuk. Kemudian tubuhnya
meluncur deras dalam saluran yang tak hanya berlen-
dir menghimpit, tapi juga berbau amat memuakkan
itu. Seperti ada tumpukan bangkai busuk!
Kejadian itu berlangsung cukup lama. Amat me-
nyiksa si pemuda. Hingga rasanya dia menjalaninya
selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.
Tiba-tiba semuanya usai. Semuanya. Diganti oleh
hadirnya kesunyian yang pekat. Kegelapan meraja. Se-
juk berkuasa. Apa yang telah terjadi? Bisik hati si pe-
muda.
Samar-samar dilihatnya kemudian satu titik ca-
haya putih kemilau. Titik cahaya itu kian lama kian
mengembang sampai seluruh kegelapan tertelan. Yang
ada kini cuma terang benderang. Anehnya, tidak me-
nyilaukan. Tidak pula terasa panas. Melainkan sejuk.
Disusul oleh bergemanya suara.
"Tapamu telah berhasil. Bukalah matamu. Bang-
kitlah. Lalu berdiri untuk memperingatkan manusia
akan kuasa Tuhan. Tegakkan keadilan di muka bumi.
Perangi kemungkaran. Sang Penguasa Semesta telah
melimpahkan padamu anugrahnya. Sebelum kau be-
nar-benar melaksanakan tugas suci, kau harus me-
nyempurnakan kesaktian di Lembah Kutukan. Kesak-
tianmu itu, akan turun kepada setiap babak keturu-
nanmu. Salah seorang di antara mereka akan terpilih
untuk memiliki kesaktian seperti kesaktianmu pula,
meski kau belum lagi mati. Jika waktu pewarisan ke-
saktian telah tiba, perintahkanlah mereka untuk me-
nyempurnakannya di Lembah Kutukan...."
Ketika si pemuda membuka mata, dia ternyata
masih berada di tepi Sungai Citarum. Seluruh tubuh-
nya telah ditumbuhi pepohonan rambat yang biasa
tumbuh di tepi sungai. Rupanya telah dua belas pur-
nama dia bertapa. Padahal menurut perasaannya, dia
bertapa baru beberapa hari saja.
Pemuda itu bernama Saptacakra.
Beberapa tahun kemudian, diguncangkannya
dunia persilatan. Julukan angker pun tersemat, Pendekar Lembah Kutukan.
***
5
Dalam masa perjuangan menegakkan panji-panji
keadilan, Saptacakra muda berhadapan dengan mu-
suh besar, Tiga Datuk Karang. Meski muda, ilmu
'Karang' mereka benar-benar tangguh. Itu sebabnya
dunia persilatan tak segan-segan memberi julukan Da-
tuk pada mereka. Sampai Ki Saptacakra pun hampir-
hampir kewalahan dibuatnya. Padahal kesaktian me-
reka belum lagi benar-benar disempurnakan dengan
mempelajari satu kitab ilmu 'Karang Pamungkas'. Pada
saat mereka berhasil mempelajari kitab itu, maka ke-
sempatan bagi Saptacakra muda untuk mengalahkan
mereka pun akan lenyap.
Suatu hari Saptacakra muda bertemu dengan
kakak perempuannya, Nyai Silili-lilu. Dahulu, perem-
puan tua itu demikian cantik. Namanya pun demikian
indah, Ratna Juwita Permata Kumalasari Dewi Bunga
Kamboja. Entah berapa nama perawan di-borongnya
menjadi satu. Setiap orang boleh memanggilnya sesuka
hati. Boleh Ratna, boleh Juwita, boleh Permata. Kuma-
la juga boleh. Asal jangan Kumal, katanya.
Waktu itu, dia sudah berpacaran dengan Petaruh
Sakti Perut Buncit. Buncit memang. Namun tak se-
buncit sekarang. Dibanding sekarang, perutnya masih
lebih langsing. Meski untuk ukuran perut dua orang!
Mengetahui Petaruh Sakti Perut Buncit muda be-
gitu gandrung bertaruh dengan kesaktiannya, Sapta-
cakra muda mempunyai akal. Dia akan berkerja sama
dengan Petaruh Sakti Perut Buncit muda untuk menghadapi tiga musuh beratnya. Ditantangnya tiga tokoh
sesat muda itu untuk bertanding. Dua lawan tiga. Sap-
tacakra muda dengan Petaruh Sakti Perut Buncit mu-
da menghadapi Tiga Datuk Karang. Siapa pun yang ka-
lah, harus menyerahkan kitab ilmu pamungkas milik
masing-masing. Dengan kecerdikan itu, Saptacakra
muda berharap dapat mencegah tiga musuh besarnya
mempelajari kitab ilmu 'Karang Pamungkas'.
Tantangannya mendapat sambutan. Bukan cuma
dari Petaruh Sakti Perut Buncit muda. Tapi juga dari
ketiga lawan yang sudah lama ingin menyingkirkan-
nya.
Pertarungan maha hebat sepanjang setengah ab-
ad terakhir pun pecah. Tempatnya di puncak Gunung
Ciremai. Tiga Datuk Karang berhasil dikalahkan. Sejak
saat itu, ketiganya menghilang.
***
Ki Saptacakra mengakhiri cerita tentang riwayat
awal perjalanan hidupnya pada Pendekar Slebor, Nyai
Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit. Ketiganya be-
rada di depan gua sempit, yang sebenarnya lebih pan-
tas disebut lubang di karang tepi Pesisir Pantai Laut
Selatan.
Sebelumnya, Pendekar Slebor dan buyutnya,
Pendekar Lembah Kutukan masuk ke dalam. Melalui
mulut gua sempit, mereka masuk merangkak. Kira-
kira dua kali peminuman teh mereka merayap di se-
panjang lorong. Sampai akhirnya keduanya tiba di
ujung lorong. Tepat di ujungnya, terdapat ruangan
alam besar mirip kubah. Di dalam sana gelap gulita,
keadaan yang serupa dengan di sepanjang lorong ren-
dah dan sempit. Untuk membawa obor melalui lorong
sesempit itu, jelas tak memungkinkan. Lagi pula, mereka datang ke tempat itu tanpa persiapan sama sekali
Dengan agak merayap-rayap, dua lelaki bertaut
usia amat jauh itu turun dari ujung mulut lorong dan
masuk ke ruangan yang bersambungan dengan lorong.
"Sebenarnya ada perlu apa kita ke tempat ini, Ki
Buyut?" tanya Andika waktu itu. Jelas dia ingin tahu
tujuan buyutnya. Baginya, orang tua itu telah melaku-
kan hal yang tidak-tidak. Tak ada angin tak ada hujan,
tahu-tahu dia berlari kalang-kabut ke tempat itu. Su-
dah itu, dia mengajak yang lain masuk ke lorong ka-
rang seperti tempat tinggal tikus tanah itu. Nyai Silili-
lilu jelas menolak mentah-mentah. Perempuan bung-
kuk seperti dia bakal mendapat musibah mengenaskan
kalau ngotot masuk juga ke lorong. Masih bagus kalau
tidak terjebak di dalam. Bagaimana kalau tubuh me-
lengkungnya itu terjepit dalam lorong? Memangnya pe-
rempuan bangkotan itu mau bernasib seperti upil di
lubang hidung?
Kalau Nyai Silili-lilu saja tak mau, apalagi Peta-
ruh Sakti Perut Buncit? Andika sebenarnya ingin san-
tai saja di luar. Menikmati pemandangan lepas Laut
Selatan pasti lebih mengasyikkan ketimbang masuk ke
dalam lubang berlorong. Tapi, kalau urusannya sudah
main bentak, Andika tidak bisa menolak perintah
buyutnya.
Kalau Pendekar Slebor tak bertanya, itu namanya
bersedia dengan sukarela ikut-ikutan tingkah buyut-
nya yang dianggap agak sableng.
"Diam kau!" bentak Ki Saptacakra, menanggapi
pertanyaan penasaran cicitnya di belakang. "Aku pal-
ing dongkol pada orang cerewet! Seperti perempuan
kaleng rombeng itu!" dengusnya, memaki kakak pe-
rempuannya sendiri, Nyai Silili-lilu. Padahal, dia sendi-
ri sering begitu.
"Jangan marah begitu, Ki Buyut. Aku cuma ingin
tahu alasanmu ke tempat ini...," susul Andika.
"Kalau kau mau tahu, ikuti saja. Nanti juga kau
tahu!"
"Suka-suka Ki Buyut sajalah...," gumam Andika
pasrah.
Di dalam ruangan alam berdinding karang gelap
gulita itu, Andika merayap-rayap. Hanya desah napas
Ki Saptacakra yang dijadikan pedoman untuk mengi-
kutinya. Ruangan yang tertutup itu memungkinkan
suara sekecil apa pun terdengar lebih jelas.
Di lain pihak, Ki Saptacakra seperti tidak menga-
lami kesulitan di dalam kegelapan pekat seperti itu.
Dia berjalan seenaknya, seolah-olah tak takut jidat-nya
jadi benjut karena menabrak dinding karang.
Barangkali makanan sehari-hari si tua ini tikus
lubang yang biasa hidup di tempat gelap, rutuk Pende-
kar Slebor.
Selagi sibuk memikirkan bagaimana buyutnya
bisa berjalan seenaknya di tempat tanpa cahaya seper-
ti itu, Andika menabrak sesuatu.
"Aduh!" Andika mengaduh. Darahnya berdesir
ngeri, karena yang baru saja ditabraknya ternyata pan-
tat Ki Saptacakra.
"Monyet kurap, kudis bau, obat bisul manjur!"
maki kakek sakti itu tak alang kepalang murka. Lucu
kalau dia tidak murka. Sebab tubuhnya langsung ter-
jungkal ke depan. Andika tak tahu apa yang terjadi
padanya. Cuma kalau mendengar ada suara tempu-
rung kepala beradu dengan dinding karang, dia yakin
buyutnya pasti mendapat 'kecelakaan'!
"Ma... maaf, Ki Buyut! Tidak sengaja, he he he!" "
"Diam kau!"
"Habisnya, Ki Buyut berhenti tidak bilang-bilang.
Lagi pula, buat apa Ki Buyut membungkuk seperti tadi?" dalih Andika.
"Aku sedang memeriksa sesuatu, tolol! Makanya
kalau jalan hati-hati."
"Tempatnya gelap...."
"Ah, aku saja yang tua tidak mengeluh!"
Itu karena kau senang menyantap tikus tanah
barangkali! Maki Andika membatin.
"Apa yang sedang kau periksa, Ki Buyut?"
"Lubang!"
"Lubang apa? Di dunia ini banyak macam lu-
bang. Dari lubang ular sampai 'lubang yang berja-
lan'...," Andika mencoba bergurau, sedikit merayu
orangtua besar adat itu.
"Jangan ngawur! Aku sedang memeriksa tutup
lobang rahasia penyimpanan benda-benda berharga
milik si Buncit di luar sana!"
"Dunia ini memang sinting. Masa' orang sebuncit
dia punya tempat penyimpanan dalam lubang seperti
itu? Bagaimana dia hendak masuk untuk menyimpan
sesuatu?"
"Itu urusan dia, bukan urusanmu!" bentak Ki
Saptacakra kembali. "Sekarang keluar!" sambungnya
kemudian.
"Keluar? Memangnya kau sudah memeriksa lu-
bang tadi, Ki Buyut?"
"Waduh-waduh!"
"Kenapa? Kenapa, Ki Buyut? Ada sesuatu dalam
lubang itu!" tanya Pendekar Slebor kalang kabut.
"Jempol kakiku kau injak, tolol!"
Begitu kejadian sebelumnya. Keduanya berkum-
pul lagi di luar bersama Nyai Silili-lilu dan Petaruh
Sakti Perut Buncit. Ki Saptacakra melaporkan pada
dua bangkotan itu bahwa lubang penyimpanan ternya-
ta masih aman.
Setelah diminta Andika sampai mulutnya pegal,
barulah Ki Saptacakra menjelaskan alasannya kenapa
dia begitu tergesa-gesa untuk memeriksa lubang terse-
but.
Diceritakannya tentang surat kain yang ditemui
di sungai dua hari lalu. Dari kain itu, dia mengambil
kesimpulan kalau musuh besarnya sejak muda. Tiga
Datuk Karang, telah kembali lagi ke dunia persilatan.
"Bagaimana kau merasa yakin kalau tiga manu-
sia busuk itu mengincar kitab pamungkas mereka da-
lam tempat penyimpanan rahasiaku?" tanya Petaruh
Sakti Perut Buncit.
"Kau ingat ketiga murid murtadmu?" Bukan men-
jawab, Ki Saptacakra malah balik bertanya. Petaruh
Sakti Perut Buncit mengangguk. "Bukankah kau
memberikan tiga kalung pada mereka masing-masing?"
susul Ki Saptacakra.
"Nah, dalam surat kain yang kutemukan, penu-
lisnya menyebut-nyebut tentang tiga orang yang memi-
liki kalung seperti telah kau berikan pada ketiga mu-
ridmu. Gambaran penulis surat tentang ciri-ciri ketiga
muridmu.... Sementara, ketiga orang pemilik kalung
yang kuyakin ketiga murid murtadmu itu sedang me-
rencanakan pembentukan Perserikatan Setan.
Mereka hendak bersekutu dengan tokoh-tokoh
golongan sesat. Dalam surat tokoh golongan sesat yang
sempat ditulis hanya 'Tiga Datuk Kar....' Aku yakin dia
hendak menulis Tiga Datuk Karang!" papar sesepuh
golongan putih, panjang lebar.
"Jadi?"
"Ah, otakmu kau gadaikan ke mana, Buncit? Ten-
tu saja tiga manusia busuk itu akan mengincar ketiga
kalung yang dikenakan muridmu untuk mendapatkan
kitab pamungkas mereka kembali. Bukankah...."
"Kalung?!" Nyai Silili-lilu menyela. "Kau tadi sebut
kalung milik murid murtad si Buncit, Iler?"
"Ya."
"Satu kalung itu dipegang cicit kita. Bukan begi-
tu, Anak Sial?!" Nyai Silili-lilu menoleh ke arah Andika
berdiri sebelumnya. Tapi, pendekar muda itu sudah
tak ada lagi di tempatnya.
"Hei, ke mana kau?!"
Pendekar Slebor sedang mengejar seseorang yang
mengintai dari puncak bukit karang sewaktu dirinya,
Petaruh Sakti Perut Buncit, Nyai Silili-lilu, dan Ki Sap-
tacakra sedang berkumpul di depan gua kecil. Tanpa
sepengetahuan ketiga dedengkot yang sedang sibuk
berbicara itu, Andika mengendap-endap mengelilingi
tepi bukit karang. Akan diringkusnya si pengintai dari
bagian belakang bukit karang.
Sewaktu tiba di bagian belakang bukit karang
yang bagian atasnya menjorok ke laut, Pendekar Sle-
bor sudah tak menemukan pengintai tadi. Dia cepat
naik ke atas untuk meyakinkan diri.
Di atas, orang tadi memang benar-benar telah
melarikan diri. Kebetulan sekali, dari tempat setinggi
itu, Pendekar Slebor bisa melepas pandangan cukup
jauh. Mata sejeli elang pemuda itu menangkap kembali
si pengintai.
Anak muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah
Kutukan itu segera turun mengejar. Dihelanya seluruh
ilmu peringan tubuh yang dimiliki.
***
6
Hari menjelang malam. Ladang kering di wilayah
Wetan Jawa yang belakangan menggegerkan dunia
persilatan dengan hadirnya makhluk menakutkan ter-
lihat senyap. Jangkerik berkerik dalam kegelisahan.
Kekurangan air telah menyiksa binatang kecil melata
sampai manusia.
Tanah kering kerontang, serta retak-retak telan-
jang tanpa tanaman seperti bulan-bulan sebelum mu-
sim kering merajalela. Bulan bulat berwarna kemera-
han. Mengambang di angkasa raya, bebas menebar
cahayanya seakan tak peduli pada segenap keluh ke-
sah satwa.
Amitha berdiri di tengah-tengah bentangan la-
dang kering. Angin kering berhembus mempermainkan
ujung sorban dekil dan kain cawatnya yang tak kalah
dekil. Tangannya bersedekap. Matanya kaku dan keras
menatapi rembulan. Wajahnya sangat sepi. Namun
bersit di mata cekungnya tetap memancarkan bara
dendam tak kunjung padam.
Malam ini, dia sedang menunggu seseorang yang
akan menemuinya. Tepatnya ketika rembulan men-
gambang tepat di atas kepala. Tak jelas siapa orang
yang akan ditemuinya.
Siang tadi, dia mendapat pesan yang diikatkan di
kaki seekor burung merpati. Isi surat menjelaskan ka-
lau seseorang ingin menemuinya tanpa membubuhkan
nama. Si pengirim surat mengatakan dirinya memiliki
keterangan berkenaan kematian istri Amitha.
Tentu saja hal itu memicu rasa penasaran Ami-
tha. Sepanjang pengetahuannya, pemuda berjuluk
Pendekar Sleborlah pembunuh istrinya. Hanya itu
yang diketahui. Tentang alasan kenapa Neelam istrinya
dibunuh tetap menjadi tanda tanya. Juga dia belum
paham apa hubungan antara kematian istrinya dengan
kalung yang diperlihatkan Pendekar Slebor padanya
beberapa waktu lalu.
Terakhir bertemu dengan si pendekar muda dari
Lembah Kutukan, Amitha jadi merasa ragu apakah dia
telah menempatkan tuduhan pada pihak yang tepat?
Sebab menurut pengamatannya, tak ada kesan di wa-
jahnya kalau pemuda gondrong itu berdusta.
Namun, bukankah dunia ini penuh kepalsuan?
Wajah bersahabat tak selamanya membuktikan jiwa
bersih dari keculasan. Lain luar, lain dalam. Lain di
wajah, lain pula di hati. Curiga hati Amitha.
Meski begitu, kenapa pendekar yang menurut
kabar beberapa orang memiliki kesaktian tinggi itu me-
rasa harus lari menghindariku. Hatinya bertanya-tanya
kembali. Kabar lain yang didengar pun mengatakan
kalau Pendekar Slebor adalah tokoh muda jajaran te-
ras golongan lurus. Tak mungkin dia melarikan diri
dari satu pertarungan seperti seorang pecundang tan-
pa alasan yang benar-benar jelas.
Pikiran seperti itu mengembalikan kembali kera-
guan dalam diri Amitha.
"Selamat malam, Lelaki India!" sapa seseorang di
belakangnya.
Pandangan Amitha yang semula menancap tepat
di kebisuan bulan, beralih ke asal suara. Dilihatnya
seseorang telah berdiri di belakangnya. Sapuan sinar
lamat bulan memperjelas wajah lelaki itu. Dia berjeng-
got seperti kambing gunung. Usianya sekitar delapan
puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat, menaungi se-
pasang mata setajam sembilu. Meski usianya tua, ma-
sih tampak sisa ketampanannya. Kening lelaki itu le-
bar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala.
Memanjang lepas menutupi bokong. Perawakannya
tinggi besar dan berotot. Pada kulit dari bagian leher
ke bawah, seluruhnya berkerut-kerut. Serupa dengan
karet terbakar dengan warna merah kehitaman.
Siapa dia? Pertanyaan itu tentu timbul dalam diri
Amitha. Baginya, pendatang itu masih penuh teka-teki.
Dialah orang yang telah mengirim surat padanya mela-
lui merpati beberapa waktu lalu. Meski tak dijelaskan
ciri-cirinya dalam surat tersebut. Amitha tetap yakin
memang dia orangnya.
Amitha boleh tidak mengenalnya, tapi dunia per-
silatan sudah cukup tahu siapa sesungguhnya lelaki
satu ini. Pangeran Neraka! Salah seorang yang siap
menggabungkan diri ke dalam Perserikatan Setan.
Apa sesungguhnya sesuatu yang mendekam da-
lam pikiran licik lelaki satu ini dengan menemui Ami-
tha? Jika Pangeran Neraka melakukan sesuatu, tak
ada yang pernah terlepas dari satu rencana busuknya.
Dia adalah manusia yang hidup dengan setiap desah
napas kelicikan. Sementara hidup sendiri baginya ada-
lah permainan culas yang mesti dimenangkan dengan
segala cara.
Seperti pernah diceritakan sebelumnya. Pangeran
Neraka menjadi sukarelawan pertama dalam Perserika-
tan Setan dalam melaksanakan kerja besar menying-
kirkan Pendekar Slebor. Selama tahun-tahun belakan-
gan, hanya niat itu menjadi hasrat hebatnya. Dendam-
nya terhadap si pemuda sakti dari Lembah Kutukan
menempati dirinya bagai lebih besar dari tubuhnya. Itu
sebabnya dia begitu bersemangat ketika tiga murid
murtad Petaruh Sakti Perut Buncit mengiming-imingi
akan membuat rencana awal membunuh Pendekar
Slebor sebagai usaha pertama pembentukan Perserika-
tan Setan.
Sewaktu pertama menyatakan diri sebagai suka-
relawan untuk perencanaan siasat licik menyingkirkan
Pendekar Slebor, Pangeran Neraka tak mendapat gaga-
san sama sekali.
Beberapa hari kemudian, secara kebetulan dia
mendengar kegegeran di daerah perladangan sekitar
Wetan Jawa. Tentang munculnya makhluk mengerikan
berwujud macan kepala puluhan ular. Ketertarikannya
terpicu manakala mengetahui kalau makhluk jejadian
itu menyebut-nyebut nama Pendekar Slebor ketika
membunuh orang-orang persilatan.
Pangeran Neraka pun segera berangkat ke wi-
layah kegegeran. Diam-diam, dia menyelidik. Diin-
tainya setiap saat wilayah ladang kering tersebut di
tempat tersembunyi yang tak pernah diduga Amitha
sama sekali. Dengan tanah lapang yang membentang
kering seperti itu, akan terlalu sulit bagi siapa pun un-
tuk mengintai. Pangeran Neraka tidak kehilangan akal.
Ketika Amitha pergi ke jantung Kadipatenan Karang
Gantung, dibuatnya satu lubang persembunyian dalam
tanah. Lengkap dengan lubang udara untuk saluran
bernapas. Lubang itu kemudian ditutupinya dengan
tumpukan jewawut kering yang banyak tersebar di se-
kitar tempat itu. Dari dalam tumpukan jewawut yang
agak tinggi, kepalanya dapat mengawasi keluar melalui
celah-celahnya.
Sampai suatu hari, dia menyaksikan Pendekar
Slebor mendatangi tempat tersebut. Sebelumnya, Ami-
tha memang tak ada di tempat tersebut. Itu sebabnya
kenapa Pendekar Slebor waktu itu tetap merasa ada
yang mengawasi.
Setelah mengamati seluruh kejadian antara Pen-
dekar Slebor dengan Amitha, mencuat akal licik dalam
benak Pangeran Neraka. Kesaktian Amitha dianggap-
nya cukup tangguh untuk menyingkirkan si pendekar
muda bernama besar itu. Adu domba. Kelicikan yang
sesungguhnya sudah berusia demikian tua akan di-
atur! Hadiah besar bagi Pendekar Slebor, pikirnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Amitha. Matanya
mengawasi Pangeran Neraka, padat kecurigaan.
"Aku? Tak penting siapa aku...," jawab Pangeran
Neraka. Kelicikan dalam pancar matanya disembunyi-
kan oleh wajah yang dipasang sedemikian bersahabat.
"Aku tahu kau orang dunia persilatan! Kau tahu,
aku paling benci orang-orang dunia persilatan. Seper-
tinya keinginanku untuk membunuh mereka tak per-
nah terpuaskan. Jika kau bertele-tele padaku, kau pun
akan mengalami nasib serupa dengan orang-orang
persilatan lain!" ancam Amitha, gusar karena perta-
nyaannya tak mendapat jawaban memuaskan.
"Sabar, Saudara," Pangeran Neraka menenang-
kan, dengan sandiwara yang demikian matang. Sikap-
nya saat itu seolah-olah seorang suci yang tak gam-
pang terpancing kemarahannya.
"Aku cuma seorang yang menginginkan keadilan
tegak di muka bumi ini," lanjut Pangeran Neraka, pa-
dat kedustaan.
"Tidak ada keadilan di bumi ini!" terabas Amitha
mengkelap. Tergambar kembali keadaan mayat Neelam
ketika ditemukan di belakang gubuk kecil mereka.
Bayangan itu menyesakkan dadanya.
"Kau tahu, aku cuma orang kecil mencoba men-
gadu nasib di negeri orang. Bersama istriku, aku ke
pulau Jawa ini. Kami membanting tulang memeras ke-
ringat hanya untuk dapat bertahan hidup sehari dua
hari. Kami tak mengusik siapa pun untuk menda-
patkan makan. Kami tak pernah menyakiti siapa pun.
Tapi kenapa tiba-tiba istriku direnggut dari sisiku? Apa
salah kami? Apa? Kau pikir itu keadilan?" serbu Ami-
tha meledak-ledak kalap.
"Keadilan memang kian rapuh di dunia, Sauda-
ra," ucap Pangeran Neraka, berpura-pura turut priha-
tin atas nasib lelaki India di depannya. Lalu lanjutnya,
"Karena itu pula aku merasa harus menjadi seorang
penegak keadilan...."
"Aku tak percaya! Kukenal pun kau tidak. Lalu
bisa-bisanya kau mengatakan padaku bahwa kau seo-
rang penegak keadilan!"
"Percayalah, Saudara," bujuk Pangeran Neraka
bersama senyumnya yang memikat dilihat dari luar.
Namun siap menusuk di dalam.
Kepalsuan adalah bagian dari diri Pangeran Ne-
raka. Untuk mengakali Amitha, kepalsuan pun menja-
di senjata andalan lelaki berotak cemerlang namun
berhati busuk bak bangkai itu. Kata-katanya mengalir
bak kemilau mutiara. Di balik itu, tersenyum tipu
daya.
"Aku sengaja ingin menemuimu karena aku tahu
bahwa kau adalah salah seorang yang tidak mendapat
keadilan di muka bumi. Aku datang untuk mendu-
kungmu dalam mendapatkan keadilan itu."
"Dusta!"
"Dusta? Aku tidak berdusta. Untuk apa aku
mendustaimu? Apa untungnya aku mendustaimu?!"
dalih Pangeran Neraka, licik.
Dada kurus Amitha turun-naik. Kemarahannya
pada orang dunia persilatan membakar dari dalam,
menghanguskan seluruh rasa kemanusiaannya. Tapi
menghadapi lelaki satu ini, dia seperti dipaksa untuk
berpikir keras. Khususnya setiap perkataan yang tam-
paknya benar menurut penilaian Amitha.
"Kau marah pada orang-orang persilatan?" lanjut
Pangeran Neraka. Perlahan dia mendekat. Selangkah
demi selangkah. Seolah seorang pawang binatang buas
yang hendak menjinakkan hewan peliharaannya.
"Kau ingin membunuh seluruh orang persilatan
bukan? Kalau kau merasa tidak puas telah membunuh
setiap nyawa yang semestinya tak pantas kau bunuh,
sebaiknya kau bunuh aku...," tambah Pangeran Nera-
ka, mencoba dengan siasat lain.
Mata Amitha menatap nanar.
"Kenapa ragu. Kau bisa membunuhku sekarang
bukan? Ayolah, bunuh aku!" desak Pangeran Neraka.
Pada saat itu, dia tahu benar kalau ucapannya telah
menancapkan keraguan dalam pada diri Amitha.
"Kenapa kini kau hanya bisa diam, Saudara?"
Wajah Amitha semakin diberangus keraguan.
"Aku tahu kau ragu untuk membunuhku. Karena
di dasar hatimu, kau tahu tak seorang pun pantas kau
bunuh...."
"Aku dendam pada orang persilatan!" maki Ami-
tha, merasa tersudut.
"Tidak semua orang persilatan!" sentak Pangeran
Neraka. Dia telah tiba di depan Amitha. Jarak yang ter-
lalu dekat dan berbahaya seandainya Amitha benar-
benar melakukan serangan. Tapi, tampaknya Pangeran
Neraka telah memperhitungkan semuanya dengan be-
gitu teliti.
"Kau hanya dikendalikan hawa kemarahanmu!
Orang-orang yang kau bunuh selama ini sebenarnya
tidak patut menerimanya. Kau menuntut keadilan
dengan cara yang tidak adil! Apa kau pikir membunuh
orang tak bersalah adalah perbuatan yang adil!"
Entah bagaimana, kepala lelaki India di depan-
nya perlahan-lahan merunduk. Amitha makin terpero-
sok dalam jebakan Pangeran Neraka!
"Katakan padaku, Saudara, apakah kau pantas
membunuh orang-orang tak bersalah?!" desak Pange-
ran Neraka dengan nada suara menjangkit naik. "Ka-
takan padaku!"
"Tidak!" jawab Amitha keras. Kepalanya menen-
gadah kembali. "Aku hanya pantas membunuh orang
yang telah menyingkirkan istriku!"
Pangeran Neraka diam. Ditariknya napas. Dalam
hatinya, dia justru bersorak gembira. Pancingannya
sebentar lagi akan mendapat hasil, pikirnya.
"Kau tahu siapa orang itu?" susul Pangeran Neraka.
"Pendekar Slebor," geram Amitha.
"Kau yakin?" Pangeran Neraka melanjutkan kuc-
ing-kucingan itu.
Amitha menggeleng.
"Kenapa?"
"Yang kudengar, dia adalah seorang pendekar go-
longan lurus. Dia sendiri berkata padaku, tak ada ala-
san baginya untuk membunuh istriku...."
"Kau keliru," kata Pangeran Neraka sambil meng-
geleng perlahan. Wajahnya berubah, menampakkan
keprihatinan. Lalu dia berbalik membelakangi Amitha.
"Apa yang kau ketahui tentang dia?" tanya Ami-
tha. Sikap lelaki di depannya, memancing rasa penasa-
ran di hati Amitha. Memang itu yang diinginkan Pan-
geran Neraka.
Tanpa berniat menjawab pertanyaan Amitha se-
cepatnya, Pangeran Neraka memancing rasa penasaran
Amitha lebih jauh. Lagi-lagi korban kelicikannya terje-
rat.
"Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang
pendekar muda itu!" desak Amitha. Tangannya men-
cengkeram kerah belakang Pangeran Neraka kuat-
kuat.
"Jangan sebut dia 'pendekar'. Sesungguhnya, dia
bukan pendekar sejati lagi kini...."
"Jangan bertele-tele! Ceritakan padaku cepat!"
Pangeran Neraka berbalik. Ditatapnya si lelaki India
dengan tatapan mantap.
"Semula, dia memang seorang ksatria terpuji.
Namun bujuk rayu duniawi telah menyesatkan ji-
wanya," mulai Pangeran Neraka lagi. Dia siap melepas
kata-kata berbisa, seperti pernah meracuni pikiran
kemenakannya sendiri untuk membunuh Pendekar
Slebor. (Kisahnya bisa dibaca dalam episode: "Sepa-
sang Bidadari Merah").
"Apakah kau pernah diperlihatkan sebuah ka
lung?" tanya Pangeran Neraka lebih jauh.
"Dari mana kau tahu?"
Lelaki berotak licik itu tak menjawab pertanyaan
Amitha. Diteruskannya kalimat yang terhenti sejenak.
"Pendekar Slebor ingin memburu seorang India.
Orang India itulah si pemilik kalung."
"Aku tak mengerti maksudmu. Kau terlalu berpu-
tar-putar!"
"Pemilik kalung itu memiliki satu kitab sakti ten-
tang ilmu yoga tingkat tinggi. Kau tentu tahu ilmu itu,
bukan? Keserakahannya telah membuat hatinya mati.
Dia ingin menguasai kitab yoga itu agar nantinya da-
pat dipakai untuk membuat dirinya lebih sakti tak ter-
kalahkan. Ketika terjadi pertarungan dengan lelaki In-
dia pemilik kitab, tanpa sengaja Pendekar Slebor me-
nyambar kalung dari lehernya. Pemilik kitab yoga lalu
melarikan diri. Pendekar Slebor terus mencari. Dengan
modal kalung itu, dia menanyakan setiap orang India
yang ditemuinya. Kebetulan sekali, dia bertemu den-
gan istrimu. Dia pun menanyakan perihal lelaki India
yang diburunya pada istrimu. Karena istrimu tak ingin
memberi keterangan, pemuda itu gusar dan membu-
nuhnya!" papar Pangeran Neraka, mengakhiri cerita
palsu, kenyataan yang diputar balikkan!
***
7
"Hei, berhenti kau!"
Pendekar Slebor berseru. Buruannya terus berlari
tak peduli. Dari kecepatannya berlari serta ringannya
dia menggerakkan tubuh, Andika bisa menilai kalau
buruannya memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Kejar-kejaran dari senja hingga mengambangnya
rembulan itu berlangsung alot. Andika sudah menge-
rahkan segenap kemampuan lari cepatnya. Orang yang
dikejar tak juga dapat didekati. Selama, kejar-kejaran,
jaraknya dengan buruan seperti tak pernah berubah.
Tak berkurang, tidak juga bertambah jauh. Lama ke-
lamaan si anak muda sakti tanah Jawa menyadari ka-
lau buruannya sengaja mempermainkan. Tampaknya
kesaktian orang itu memang tak bisa dianggap remeh.
Satu bukti, orang itu dengan sengaja bermain kucing-
kucingan dengan Pendekar Slebor. Padahal nama be-
sar Andika sudah dikenal dalam kehebatan ilmu pe-
ringan tubuh. Banyak kalangan persilatan mengiba-
ratkan kecepatan gerak Pendekar Slebor sebagai kele-
batan siluman. Jadi, kalau ada orang yang bisa mem-
permainkannya, tentu kesaktian orang itu berada be-
berapa tingkat di atasnya.
"Slompret sekali! Siapa sebenarnya kunyuk ini?"
gerutu Pendekar Slebor. Bukan masalah kalau nama
terhormatnya di dunia persilatan menjadi cemar kare-
na dipermainkan. Dipermalukan atau tidak dalam du-
nia persilatan, tak ada masalah baginya. Dalam hal
itu, acuh saja sudah cukup baginya. Percuma saja ka-
lau julukannya Pendekar Slebor. Selama harga dirinya
tak diusik-usik siapa pun, Andika tak akan memper-
soalkan.
Kalau dia kesal kali ini karena, bagi Andika kejar-
kejaran yang diyakininya sengaja diatur oleh sang bu-
ruan itu sama buruknya dengan permainan bocah
gendeng kurang kerjaan. Selain itu, dia merasa dihina.
Siapa yang tak merasa harga dirinya dilecehkan kalau
seseorang mempermainkan. (Ngomong-ngomong soal
'mempermainkan orang', Andika tampaknya lupa ka-
lau dirinya sendiri paling piawai dalam hal itu!)
Selama mengadakan pengejaran konyol itu, Andika sama sekali tak memiliki kesempatan untuk men-
genali buruannya. Dia hanya melihat kelebatan bayan-
gan orang berlari. Mengenakan jubah gelap dan be-
rambut panjang dengan ikat kepala. Jangankan malam
seperti kini, tadi sore pun ketika kejar-kejaran ber-
langsung, Andika tak bisa mengenalinya. Orang itu
benar-benar memanfaatkan kesempurnaan peringan
tubuhnya untuk mempermainkan Pendekar Slebor.
Dengan begitu, Andika tentu saja jadi makin dongkol
setengah modar.
Terkadang, orang yang dikejar melenting-lenting
di dahan atau pucuk pepohonan kerontang. Ringan
tubuhnya mengalah kelincahan seekor kadal terbang.
Kadang-kadang pula, tubuh orang itu menyelinap-
nyelinap di balik batang pepohonan, seolah-olah se-
dang mengejek Pendekar Slebor dengan cara itu.
"Hei, kunyuk bau pesing! Kenapa kau tak meng-
hentikan saja permainan konyol ini?!" seru Pendekar
Slebor gusar.
"Kenapa? Kau merasa sudah tak mampu lagi
mengejar?! Ha ha ha! Mana kehebatanmu, Anak Muda
Keparat!" sahut orang yang dikejar.
"Aku bukannya tak mampu mengejarmu. Cuma...
cuma...." Anak muda itu tak bisa cepat-cepat mencari
alasan yang cukup bagus pada saat berlari setengah
sinting seperti itu. Sudah keringat membanjir, paru-
parunya rasanya sudah mau meledak.
"Cuma apa?"
"Aku cuma ingin membiarkan kau berlari saja.
Apa itu dosa besar?" jawab Andika, sekenanya. Asal
dia punya alasan. Asal dia tidak disebut pendekar
'keok'.
"Kau tetap menjengkelkan seperti dulu, Anak
Muda Keparat!"
"Rasanya dari kecil aku memang sudah menjengkelkan. Kenapa sekarang harus tidak?"
"Bagus. Sayangnya, sebentar lagi kebiasaanmu
itu akan segera hilang!"
"Ooo, apa, kau semacam dukun, begitu? Bisa
mengobati sifat menjengkelkan seseorang?!"
"Sebab kau akan segera mampus!" hardik orang
di depan sana. Meski sudah cukup tahu kalau penge-
jarnya sangat menjengkelkan, tapi tampaknya dia te-
tap terpancing oleh serangan mulut ceriwis Pendekar
Slebor.
"Ooo, kalau begitu aku salah mengira. Kau pasti
bukan dukun sembarang dukun. Tentu kau sejenis
dukun santet. Betul apa benar?" Meski lelahnya sudah
tak tertolong, Pendekar Slebor berusaha untuk bersi-
kap seolah-olah dia tak kelelahan.
Kejar-kejaran itu tak berlanjut ketika mendadak
orang di depan sana menghentikan larinya.
Pendekar Slebor berhenti pula. Inginnya dia me-
runduk sambil terengah-engah. Tapi karena takut
orang yang dikejar punya alasan mengejeknya, dia ma-
lah menyorongkan dada. Napas memburunya dicoba
ditahan-tahan. Celakanya, justru 'napas' itu menye-
ruak terpaksa dari lubang bawah.
"Slompret, mengganggu, 'keamanan'-ku saja!"
makinya mendesis. Tentu saja sambil bersicepat mem-
bungkam bagian tersebut. Kalau terdengar calon la-
wan, apa jadinya? Pikir Andika.
Di lain tempat, sekitar dua puluh lima depa dari
tempat Pendekar Slebor, orang berjubah gelap berdiri
menghadap ke arahnya. Sinar bulan yang memancar
dari arah belakang tubuh orang itu membuat si anak
muda keras kepala tak mempunyai kesempatan lagi
untuk mengenali wajah orang itu. Sosoknya hanya
tampak seperti bayangan. Berdiri di atas tanah berbu-
kit kecil. Kukuh, dan menantang. Angin menyibak bagian bawah jubah dan rambutnya.
"Kau jangan merasa yakin akan bisa menyela-
matkan nyawamu kali ini, Anak Muda Keparat!" geram
orang di sana. Biarpun diucapkan tak terlalu kencang,
Pendekar Slebor mendengarnya.
Andika diam sejenak, mengatur napasnya diam-
diam. Usai mengurus napasnya, dia mulai berpikir un-
tuk mencari tahu siapa sesungguhnya orang itu.
Kalau mendengar dia menyebutkan dengan 'Anak
Muda Keparat', tampaknya dia cukup tahu siapa diri-
ku. Andika berpikir. Tapi apakah aku dan dia pernah
terlibat satu urusan? Kalau menilai kalimat ter akhir-
nya yang menyebut-nyebut kata 'kali ini' tentunya ka-
rena dia memang pernah berurusan denganku
'sebelumnya'. Dan tampaknya orang ini memendam
dendam terhadapku. Siapa dia? Benak si anak muda
berotak seencer bubur kakek jompo itu menilai-nilai.
Tanpa menyaksikan langsung wajahnya, aku tak
akan dapat memastikan apakah dia pernah berurusan
denganku atau tidak. Hm, bagaimana kalau aku ber-
pura-pura mengenalnya? Aku ingin lihat bagaimana
sikapnya jika aku begitu! Bukankah dia telah berbalik
ke arah ku. Dan mungkin saja dia belum menyadari
kalau wajahnya terlalu gelap untuk ku kenali, pikir
Pendekar Slebor.
"Ah, rupanya kau Pak Tua Brengsek!" seru Pen-
dekar Slebor, sok yakin. Sengaja disebutnya orang itu
dengan Pak Tua, karena dinilai dari bayangan tubuh
orang itu, punggungnya agak membungkuk layaknya
orang-orang berusia senja.
"Ya, aku! Kau pikir siapa?!" seru orang itu kem-
bali.
Pancingan Andika mengena! Korban kecerdikan-
nya tampak merasa Andika telah mengenalinya. Itu bi-
sa dinilai dari caranya menyahuti seruan Andika.
"Aku heran. Telah lama kau menghilang seperti
cecurut di liangnya. Kenapa tiba-tiba kau muncul
kembali?" pancing Pendekar Slebor lagi, untung-
untungan.
"Lama? Kau pikir peristiwa itu telah lama berlalu,
Anak Muda Keparat! Kegagalanku di Piramida Tonggak
Osiris tak akan menyurutkan semangatku terlalu la-
ma!"
Piramida Tonggak Osiris? Hey, aku tahu siapa dia
kini! Seru Pendekar Slebor dalam hati. Orang itu pasti
si tua Gila Petualang! Tokoh sesat penuh dendam yang
sekitar setahun lalu merencanakan per-mainan maut
besar-besaran di Piramida Tonggak Osiris Mesir!
Astaga, si tua yang begitu banyak menguasai ke-
saktian dari berbagai penjuru dunia ini telah muncul
kembali! Desis Andika membatin. Dunia persilatan
akan mendapat kesulitan besar dengan munculnya
orang tua penuh dendam ini.
(Untuk mengetahui petualangan dahsyat Pende-
kar Slebor di Mesir, bacalah dalam tiga episode: "Un-
dangan Ratu Mesir", "Piramida Kematian", dan "Wari-
san Ratu Mesir")!
Sambil tersenyum-senyum dikulum karena sia-
satnya berjalan semulus betis perawan, Pendekar Sle-
bor mengangguk-anggukkan kepala.
"Kenapa waktumu selama ini tak kau gunakan
untuk mencoba merenung dan bertobat..., Pak Tua Gi-
la Petualang?" tukasnya, penuh keyakinan.
"Ha ha ha! Tobat? Kau mau mengajarkan aku
Anak Muda tahu adat?! Kau pikir seberapa hebat pen-
getahuanmu dibanding aku?!" ejek lelaki yang sesung-
guhnya memang si Gila Petualang.
"Dibanding kau, aku tak punya cukup pengeta-
huan untuk ku banggakan. Tapi, semestinya kau yang
memiliki banyak pengetahuan memiliki pula banyak
kebijakan. Karena kebijakan datang dari pengetahuan
bukan? Dengan kebijakan itu, kau mestinya dapat
menilai hidup secara arif...."
"Aku tak perlu khotbahmu, Pemuda Sial!"
Andika menghela napas.
"Ya, sudah...," dengusnya kesal. "Jadi, apa mak-
sudmu mengintai kami di Pesisir Pantai Laut Selatan?"
lanjutnya.
"Kau mau tahu? Kau yakin mau tahu? Ha ha ha!
Kami akan menyingkirkanmu untuk selamanya. Ter-
masuk menyingkirkan seluruh keturunan keluarga
buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan!"
Alis Pendekar Slebor bertaut.
"Kami? Kami siapa maksudmu?!"
Pertanyaan Andika tak mendapat jawaban. Si Gi-
la Petualang sudah bergerak lagi dari tempatnya berdi-
ri.
"Hei, tunggu!"
Pendekar Slebor berusaha mengejar. Tapi ke ma-
na pun dia melepas pandangan, sosok si Gila Petua-
lang sudah tak ada lagi.
Andika tercenung sendiri. Pikirannya terus ber-
tanya-tanya. Kami? Apa maksudnya?
Pendekar Slebor tak tahu pasti di mana dia bera-
da kini. Setelah tak karuan berlari mengejar si Gila Pe-
tualang sekian lama, tentunya dia sudah berpindah
jauh dari Pesisir Pantai Laut Selatan.
Ada yang terasa ganjil bagi pendekar muda bero-
tak cemerlang itu kalau teringat kejadian tersebut. Bu-
kankah terlalu ganjil jika si Gila Petualang yang demi-
kian sarat memendam dendam terhadap dirinya berlari
sekian lama dalam pengejaran?
Kalau si Gila Petualang hendak melampiaskan
dendam, kenapa saat sudah berhadapan dia tak segera
menyerang Pendekar Slebor?
Setelah direnung-renungkan, Andika mulai men-
gendusi dirinya sengaja dipancing agar sampai di tem-
patnya kini. Tapi di mana?
Untuk memberantas rasa penasarannya, Pende-
kar Slebor menebar pandangan. Sama seperti keadaan
bagian tanah Jawa lain, di sana-sini cuma ada keke-
ringan. Bukit-bukit tanah kecil. Barisan pepohonan
karet kering. Rupanya dia telah cukup jauh beranjak
dari wilayah pantai, nilai Andika.
Ketika matanya mengarah kesatu penjuru, anak
muda itu menyaksikan sesuatu yang mencurigakan di
dekat semak kering. Ada tiga benda sebesar manusia
tergeletak tak berjauhan satu sama lain.
Begitu diamati seksama, Pendekar Slebor dibuat
terperanjat. Tiga benda itu ternyata benar-benar ma-
nusia! Karena sebagian tubuhnya tertutup dahan se-
mak kering, bentuk tubuh mereka menjadi tak jelas.
Andika bergegas mendekat. Ditemukannya tiga
orang terkapar. Seorang wanita cantik. Dua sisanya le-
laki. Satu lelaki itu bertubuh cebol. Sedang yang lain
bertubuh tinggi berwajah menyeramkan. Dilihat dari
keadaannya, mereka tampak mengalami luka parah.
Tak ada darah setetes pun. Namun di bagian-bagian
tubuh tertentu terlihat tanda telapak tangan berwarna
biru kehitaman. Diperiksanya nadi ketiga orang itu.
Dua lelaki sudah tak bernyawa. Sedangkan si wanita
cantik dalam keadaan sekarat.
Siapa mereka? Hati Andika terusik. Sinar lembut
bulan sabit membantu si pemuda sakti dari Lembah
Kutukan melihat rupa dan penampilan ketiganya.
Saat itu, Andika jadi teringat pada keterangan Pe-
taruh Sakti Perut Buncit. Sempat orang tua berperut
luar biasa itu menjelaskan ciri-ciri ketiga murid mur-
tadnya pada Andika. Dan ketiga orang yang ditemukan
kini mencirikan serupa dengan penjelasan Petaruh
Sakti Perut Buncit.
"Kalau mereka benar-benar ketiga murid murtad
itu, tentunya mereka mengenakan kalung," bisik Pen-
dekar Slebor samar. Diperiksanya leher ketiga tubuh
tadi. Tak ada kalung di sana. Tapi, mata jeli Pendekar
Slebor menemukan yang lain. Dilihatnya ada goresan
luka kemerahan memanjang di sekeliling leher si wani-
ta cantik dan lelaki berwajah seram. Andika yakin, ga-
ris merah melingkari leher itu adalah akibat tarikan
paksa pada kalung yang mereka kenakan. Lain lagi di
leher mayat lelaki cebol. Andika tak menemukan gore-
san merah. Hanya ada bekas seperti itu yang sudah
menghitam pudar.
"Jadi ada orang yang telah mencuri kalung dua
orang ini. Sedangkan lelaki cebol ini telah kehilangan
kalungnya lama sebelum itu...."
Sejenak otak cemerlang si anak muda menghu-
bung-hubungkan beberapa kejadian.
"Aku yakin merekalah ketiga murid murtad itu.
Kalung yang kudapatkan dari tangan perempuan India
gemuk waktu itu adalah milik si lelaki cebol ini. Si ce-
bol ini pula yang membunuh perempuan India itu. Aku
ingat, tanda pukulan di tubuh mayat si perempuan In-
dia berukuran kecil. Waktu itu aku mengira pembu-
nuhnya adalah seorang bocah," simpulnya jeli. "Tapi
kenapa dua kalung milik saudara Seperguruan si cebol
ini dicuri? Ah, aku yakin ini bukan sekedar pencurian
biasa. Mereka telah dibegal. Pembegal itu mengingin-
kan kalung yang dikenakan mereka. Karena mereka
bersikeras tak memberikan, lalu timbul pertarun-
gan...."
Pendekar Slebor mengeluarkan kalung milik si
cebol yang selama ini dipegangnya.
"Tiga kalung yang penuh teka-teki...," gumamnya.
Tentu ada rahasia besar yang berkait dengan semua
kalung. Yang jadi pertanyaan kini, apa rahasia besar di
balik semua teka-teki ini. Dan siapa pula yang telah
merampas dua kalung lain secara paksa?
Gumaman Pendekar Slebor dipenggal oleh suara
mencurigakan. Telinga terlatih Andika lamat-lamat
menangkap gerakan halus dari tiga penjuru. Ada yang
bermaksud mengepungnya. Dari suara yang demikian
lembut, Andika yakin pengepungnya rata-rata berilmu
tinggi.
***
8
Seperti dugaan Pendekar Slebor, ada tiga orang
yang telah mengelilinginya dari tiga penjuru. Lamat-
lamat disaksikannya tiga sosok berdiri di tempat ber-
beda. Ketika Andika memperjelas penglihatannya, dia
jadi geli sendiri. Semula dikiranya mereka adalah
orang-orang golongan sesat yang mungkin telah meng-
gabungkan diri ke dalam Perserikatan Setan. Nya-
tanya, ketiga orang itu tak lain tak bukan tiga tua
bangka tengik. Siapa lagi kalau bukan Ki Saptacakra,
Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit?
"Bocah gendeng, dari mana saja kau? Kami ke-
limpungan mencari-carimu ke mana-mana, tahu?!"
sembur Nyai Silili-lilu.
Andika cengengesan pasrah. "Mengejar seseo-
rang," jawabnya.
Petaruh Sakti Perut Buncit menggaruk-garuk pe-
rutnya. "Kenapa seharian ini banyak sekali terjadi ke-
jar-kejaran? Padahal aku paling benci pekerjaan itu!
Sungguh, percayalah padaku...," gerutunya, entah pada siapa.
"Pak Tua Buncit!" panggil Andika.
"Yok?"
"Bisakah kau lebih dekat ke tempatku?"
"Tentu... tentu... tentu...!" tukas lelaki berperut
boros itu sambil berjalan tersuruk-suruk menuruni ta-
nah melandai. Perutnya pun mengangguk-angguk.
Menyusul Ki Saptacakra dan Nyai Silili-lilu.
"Kau kenal pada mereka?" susul Pendekar Slebor,
setibanya Petaruh Sakti Perut Buncit di dekatnya.
"Weleh! Ini kan murid-murid kutu kupret itu!" pe-
rangah si tua bangka berperut buncit begitu memper-
hatikan gelimpangan tiga sosok tubuh. "Bagaimana
mereka bisa tidur-tiduran di tempat seperti ini?"
"Mereka bukan tidur-tiduran!" potong Andika.
"Dua lelaki itu sudah mampus. Sedangkan perempuan
cantik itu masih bernyawa."
"Lho, mampus toh? Siapa yang melakukannya?
Ah, apa peduliku! Mereka toh murid-murid murtad.
Sudah bagus bukan tanganku yang melempar mereka
ke neraka!" Sumpah serapah Petaruh Sakti Perut Bun-
cit terulur. Dengan wajah asam, ditendangnya mayat si
lelaki cebol, Katak Merah. Lalu, tak kalah, bernafsu,
ditendangnya pula Mata Dewa Kematian. Tampaknya
kekesalan yang terpendam selama memburu ketiga
muridnya itu hendak sedikit dilampiaskan. Kalau be-
lum ketiga-tiganya mendapat jatah masing-masing, Pe-
taruh Sakti Perut Buncit belum puas. Dewi Kecubung
pun siap mendapat jatahnya sendiri....
"Hey, jangan dia!" cegah Andika.
"Kenapa?" pelotot Petaruh Sakti Perut Buncit. Di-
liriknya Ki Saptacakra. "Saptacakra, apakah muridmu
termasuk pemuda mata bongsang?"
Tak sudi dikatakan seperti itu, hidung Andika
kembang-kempis. Maaf-maaf saja, tepisnya dalam hati.
"Jangan salah paham, Pak Tua Buncit. Aku cuma
tak tega. Bukankah sudah kubilang kalau perempuan
cantik satu ini masih bernyawa? Sebaiknya...."
"Kubunuh saja dia dulu, setelah itu baru dia ku-
tendang?!" terjang Petaruh Sakti Perut Buncit berse-
mangat.
Andika menggeleng-gelengkan kepala. Itu malah
lebih sinting, pikirnya. "Apa tak terpikir olehmu untuk
memberinya kesempatan bertobat?" tanyanya pada Pe-
taruh Sakti Perut Buncit. Matanya kemudian melirik
mayat Katak Merah.
"Iya-iya! Aku tahu maksudmu! Kau mengusulkan
agar aku menendang bangkai murid cebol yang murtad
ini untuk menggantikan jatah tendangan yang mes-
tinya diterima murid perempuan kutu kupretku itu,
bukan?" rutuk Petaruh Sakti Perut Buncit. Sambil me-
rutuk, kakinya menendang mayat Katak Merah geram-
geram. Perasaannya sudah digadaikan entah ke mana.
"Jadi apa yang akan kau lakukan terhadap pe-
rempuan itu?" tanya si lelaki tua berperut buncit, puas
dia melampiaskan kekesalan.
Andika mengangkat tangan ke depan dada. "Hey,
jangan tanya aku! Bukankah kau gurunya?" tampik si
pemuda sakti tanah Jawa. Biasanya, dia mau sedikit
berpura-pura. Tak enak kan, dianggap pemuda mata
bongsang?
Perbuatannya itu mengakibatkan 'kecelakaan ke-
cil' menimpa dalam sekejap. Ubun-ubunnya kejatuhan
jitakan gemas dari belakang.
"Anak muda tengik! Kau pikir aku tak tahu apa
yang ada dalam pikiranmu sekarang!" maki Ki Sapta-
cakra di belakang Andika. Sesepuh dunia persilatan
itu yang telah menghadiahkan jitakan manis di kepala
Pendekar Slebor barusan. "Kenapa kau tak langsung
saja membopongnya. Perempuan itu bakal benar-benar
mati tak tertolong kalau terus dibiarkan begitu!"
Andika meringis. Cita rasa jitakan di ubun-
ubunnya masih berdenyut-denyut hebat. Mulutnya
menggerutu, tapi hatinya bicara lain. Dipujinya buyut-
nya itu setinggi langit. Kau tahu saja kemauan anak
muda, Ki Buyut.
"Jangan cuma meringis! Tulang kami bertiga su-
dah keropos! Kami bisa masuk angin kalau berdiri la-
ma-lama di sini!" bentak Nyai Silili-lilu cempreng.
Andika buru-buru mengangkat tubuh Dewi Ke-
cubung ke bahunya.
"Bawa dia ke tempat si Buncit! Cepat!" perintah
Ki Saptacakra.
"Lari sana, lari!" timpal Petaruh Sakti Perut Bun-
cit, sama membentaknya dengan adik-kakak bangko-
tan tadi.
Huh, jangan mentang-mentang kalian semua
sama-sama tua, kalian keroyok aku! Andika merutuk
membatin.
"Ssst...!" Nyai Silili-lilu tiba-tiba berbisik. Matanya
melirik ke satu arah tanpa berkedip. "Aku mendengar
suara mencurigakan," bisiknya lagi pada yang lain.
Biarpun tergolong manusia lapuk, Pendekar Sle-
bor sadar peringatan Nyai Silili-lilu tidak bisa dianggap
main-main. Telinga perempuan tua itu mungkin lebih
tajam dari pendengaran seekor serigala betina. Pende-
kar Slebor segera saja memusatkan pandangan dan
pendengaran ke arah yang dilirik Nyai Silili-lilu. Begitu
juga Ki Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit.
Cukup lama mereka berdiri tegang seperti empat
potong arca batu. Sampai akhirnya mereka menarik
napas lega ketika mata masing-masing hanya menyak-
sikan seekor kelinci kurus keluar dari liangnya.
"Sial. Kukira kita akan sedikit melenturkan otot-
otot," gerutu Nyai Silili-lilu.
Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan kepala.
Kalau dekat ketiga tua bangka tengik itu, dia jadi ser-
ing menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu, tak ba-
nyak bicara ditinggalkannya tempat tersebut.
Di belakangnya, ketiga manusia uzur setengah
sinting mengikuti.
Tak lama setelah ketiganya menghilang, muncul
sosok-sosok yang lain dari balik tanah melandai yang
membentuk bukit-bukit kecil. Jumlahnya lima orang.
Tiga orang berdiri di sebelah selatan. Dua yang lain di
barat. Mereka ternyata Tiga Datuk Karang, Pangeran
Neraka, dan... Amitha.
Sedang apa mereka di sana?
"Sial kau, Pangeran Neraka! Kau bilang rencana-
mu sudah matang?! Mana buktinya?! Ternyata cuma
omong kosong!" seru Datuk Kening Perak.
"Rencanaku memang telah matang. Semuanya
akan berjalan mulus, kalau saja ketiga tua bangka tadi
tak muncul!" bantahnya. Lelaki berotak licik itu me-
mang telah menyusun rencana untuk menjebak Pen-
dekar Slebor.
Dua hari lalu, setelah berhasil menghasut Ami-
tha, Pangeran Neraka mengajak lelaki India itu untuk
bergabung sementara dengan Perserikatan Setan. Tan-
pa menyebut-nyebut nama persatuan golongan sesat
itu, Pangeran Neraka menjelaskan pada Amitha bahwa
perkumpulan mereka berniat menyingkirkan Pendekar
Slebor yang telah menjadi sesat. Amitha dijanjikan
bantuan untuk menemukan Pendekar Slebor. Amitha
bagai seekor kerbau dicucuk hidungnya, menuruti saja
seluruh ajakan Pangeran Neraka.
Ketika kembali ke markas sementara Perserika-
tan Setan, dalam perjalanan tanpa sengaja mereka
menyaksikan kejadian tak terduga. Tiga Datuk Karang
sedang bertengkar keras dengan tiga murid murtad Pe-
taruh Sakti Perut Buncit. Agar Amitha tak curiga pada
siapa dia berurusan sebenarnya, lelaki licik itu memin-
ta Amitha untuk menunggunya di suatu tempat yang
cukup jauh dari tempat kejadian.
Dari pertengkaran yang akhirnya memicu perta-
rungan maut itu, Pangeran Neraka mengetahui kalau
Tiga Datuk Karang menginginkan kalung milik Dewi
Kecubung dan Mata Dewa Kematian. Sementara sein-
gatnya, Pendekar Slebor pun menyimpan kalung seru-
pa ketika diperlihatkan pada Amitha beberapa waktu
lalu.
Ketika tiga murid sesat Petaruh Sakti Perut Bun-
cit terkapar, Pangeran Neraka keluar dari persembu-
nyian. Tiga Datuk Karang murka. Mereka merasa di-
mata-matai. Mereka tak pernah ingin rahasia besar
mereka selama ini diketahui orang lain, meskipun
orang itu kini menjadi sekutu mereka dalam Perserika-
tan Setan.
Dengan silat lidah yang lincah, Pangeran Neraka
berhasil meredam kemarahan ketiga dedengkot golon-
gan sesat tersebut. Dikatakannya, dia mengetahui satu
kalung yang diinginkan Tiga Datuk Karang. Diiming-
iminginya pula janji bahwa dia bisa merencanakan pe-
rebutan kalung dari tangan Pendekar Slebor tanpa be-
rurusan dengan Pendekar Lembah Kutukan, Nyai Sili-
li-lilu, dan Petaruh Sakti Perut Buncit.
Lalu, Pangeran Neraka merencanakan menggiring
Andika agar bisa dikepung sendiri. Dia lalu meminta
seorang dari Tiga Datuk Karang untuk bersandiwara
seolah-olah dirinya si Gila Petualang. Karena tak men-
guasai seni penyamaran, Datuk Kening Perak yang
meminta mengaku sebagai si Gila Petualang harus
berhadapan langsung dengan Pendekar Slebor setelah
malam benar-benar telah turun.
Otak cerdik Pendekar Slebor selama ini pun ter-
mangsa oleh kelicikan Pangeran Neraka. Dikira Andi
ka, dia telah berhasil mengenali orang yang dikejarnya
beberapa waktu lalu. Nyatanya, justru dia yang terma-
kan tipu daya.
Sementara Datuk Kening Perak menggiring Pen-
dekar Slebor, Pangeran Neraka, Amitha dan dua dari
Tiga Datuk Karang yang lain menanti di wilayah ber-
bukit, tempat kini mereka memunculkan diri.
Itu sebabnya Pendekar Slebor merasa ada yang
tak beres ketika itu.
***
Pendekar Slebor, Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu,
dan Petaruh Sakti Perut Buncit masih berlari. Selang
dua kali penanakan nasi berlari, Ki Saptacakra men-
dadak berseru.
"Eit, tunggu!" Ki Saptacakra menahan laju la-
rinya. "Apa ada yang telah kita lupakan?" simpulnya
pada Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut Buncit dan
Nyai Silili-lilu.
"Apa, Ki Buyut? Apa?!" sambar Pendekar Slebor.
Dia sudah tak sabar ingin cepat sampai. Masalahnya,
yang dibopongnya kini seorang wanita cantik bertubuh
'ehm'. Membopongnya saja bisa membuat dada pemu-
da itu berdentum-dentum tak karuan. Pasalnya, ketika
dia berlari dua bukit sekal di bagian dada perempuan
itu tanpa diatur 'mengurut-ngurut' punggungnya. (Tu-
kang pijat saja, kalah nikmatnya)! Andika jadi merind-
ing juga. Tapi, bukan dengan begitu dia tak menikmati.
Rezeki nomplok yang bikin merinding, kicaunya mem-
batin. Selain itu, dia juga ingin cepat-cepat memelototi
sepuas-puasnya wajah cantik itu setibanya di tempat
Petaruh Sakti Perut Buncit nanti. Tentunya....
"Kau ke manakan otakmu!" bentak Pendekar
Lembah Kutukan.
"Mak!" Andika terlonjak dengan mata mendelik
dan lubang hidung menganga. Sedang asyik-asyiknya
membayangkan wajah cantik Dewi Kecubung, Ki Sap-
tacakra menghardik. Tak punya perasaan, gerutunya.
"Apa kau lupa kalau mayat dua murid murtad itu
belum diurus?!" tebas Ki Saptacakra kembali,
"Biar saja bangkai mereka jadi makanan burung
pemakan bangkai!" sela Petaruh Sakti Perut Buncit.
Setuju sekali ah! Seru Andika membatin. Dia ta-
hu kalau mayat itu harus diurus, pasti Ki Saptacakra
alias Pendekar Lembah Kutukan akan melimpahkan
kepadanya. Dia bisa kehilangan keasyikan!
"Tidak bisa!" tegas Ki Saptacakra. "Sebejat-
bejatnya mereka, mereka tetap manusia!"
"Siapa yang bilang kampret!" gumam Pendekar
Slebor.
"Jadi...," mulai Ki Saptacakra lagi. Diliriknya An-
dika.
Tuh, benar kataku, gerutu pemuda sakti tanah
Jawa.
"Kau kembali ke tempat itu! Urus mayat mereka
secara baik! Kita harus menghormati jenazah orang-
orang yang telah kembali ke pangkuan Yang Esa!"
Bersungut-sungut, Andika melangkah. Perintah
buyutnya tak boleh ditolak.
"Hey, mau ke mana kau?!" tahan Ki Saptacakra.
Wajah buyutnya merengut. "Bukankah kau baru-
san menyuruhku untuk mengurus mayat dua lelaki
itu?" katanya tak bersemangat.
"Dengan membopong-bopong perempuan di ba-
humu?" sindir Nyai Silili-lilu, menyala.
Pendekar Slebor nyengir badak. Saking keasyi-
kan, dia sampai kelupaan....
***
9
Malam kian larut. Sepanjang malam, satwa me-
rintih-rintih tersiksa. Hanya yang kuat masih sanggup
bertahan. Air untuk melangsungkan kehidupan sudah
terlalu sulit didapat. Hujan tak kunjung datang. Hu-
kum alam berlaku. Tapi, apakah semuanya sekadar
hukum alam? Bukankah alam sendiri adalah perwuju-
dan hukum Tuhan? Bagi para satwa, Tuhan sedang
berbincang dengan penderitaan mereka.
Andika berjalan kembali ke tempat semula. Ter-
gopoh-gopoh tidak, santai pun tidak. Pikirannya se-
dang digempur pertanyaan demi pertanyaan. Peristiwa
pertemuan dengan si Gila Petualang mengusiknya
kembali. Kenapa si tua musuh lamanya itu me-
mancingnya untuk melakukan kejar-kejaran? Kalau
sekadar hendak balas dendam, kenapa harus begitu
lama berlari?
Tiba di alur sungai kering berbatu-batu kerikil,
Andika berhenti sejenak. Tempat yang ditujunya sudah
tak seberapa jauh lagi.
"Pasti si Gila Petualang punya maksud. Dia sen-
gaja melakukan itu padaku. Tapi apa tujuannya?" bi-
siknya seraya mengusap-usap dagu bergaris jantan.
Lalu dicobanya dia berpikir seperti tokoh-tokoh
golongan sesat. Terpikir olehnya, jika dia menjadi
orang golongan sesat, segala cara akan dilakukan dan
dihalalkan untuk mencapai tujuan. Jika punya lawan,
maka kelicikan pun diperbuat! Tipu daya. Ya, tipu
daya! Pendekar Slebor mulai bisa mereka-reka maksud
lelaki tua yang sebelumnya dikejar-kejar sekian lama
itu.
"Pasti ada semacam tipu daya yang dipersiapkan
untukku!" simpul si anak muda berotak encer.
Bibirnya saat itu juga menyunggingkan senyum.
Di tempurung kepalanya, terbayang wajah buyutnya,
Ki Saptacakra.
"Rupanya si tua brengsek itu telah pula mengen-
dusi ketidakberesan tersebut. Pantas saja aku diperin-
tahkan kembali. Pasti Ki Buyut tak sekadar menyu-
ruhku mengurus pemakaman dua mayat di sana. Sia-
lan, kenapa aku jadi kalah cepat dengan otak lelaki
uzur itu! Dibuat dari apa otak si tua itu, sampai tetap
bisa berpikir demikian cepat dalam usia kero-pos!" An-
dika cengengesan. "Yang jelas bukan terbuat dari kolak
singkong," gumamnya berkelakar sendiri.
Pendekar Slebor beranjak kembali. Diputuskan
untuk kembali ke tempat semula secara diam-diam.
Dengan mengerahkan seluruh kemampuan peringan
tubuhnya, pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan itu berlari cepat mendaki tanah me-
ninggi yang membentuk bukit. Sengaja dipilihnya tem-
pat yang paling tinggi. Tempat seperti itu memungkin-
kan dia mengawasi sekitarnya lebih leluasa.
Di balik pohon jati besar kering yang tumbuh da-
lam kepungan pepohonan karet, Pendekar Slebor men-
gintai ke tempat dua mayat murid murtad Petaruh
Sakti Perut Buncit tergeletak.
Sepi. Tak ada siapa-siapa di bawah sana.
Malam mengendap-endap terus. Sekian lama
mengintai, tetap juga tak terlihat tanda-tanda mencu-
rigakan. Pendekar Slebor mulai ragu, apakah kecuri-
gaannya memang benar. Atau semua pikiran itu cuma
pembawaan perasaannya saja?
Karena merasa bosan, juga tak yakin lagi dengan
prasangkanya, Andika hendak keluar dari persembu-
nyian. Sebelum sempat menggerakkan tubuh, dilihat-
nya seseorang datang ke tempat yang diawasi di ba-
wah.
Andika merapatkan tubuh ke batang pohon jati.
Diperhatikannya tegas-tegas si pendatang. Meski bulan
hanya bersinar sebagian, mata Andika masih sanggup
mengenali orang itu. Dia dibuat terkesiap, Darahnya
berdesir cepat menyaksikan orang tadi.
"Pangeran Neraka...," desisnya. Ada kegusaran te-
rikut dalam desis tadi. "Jadi benar dugaanku kalau
manusia selicin belut dan selicik serigala ini juga telah
muncul kembali...." Wajah pemuda itu tampak mem-
perlihatkan garis-garis kekhawatiran. Bagaimana tidak
khawatir. Kini dia tahu, setidaknya telah muncul si Gi-
la Petualang. Tokoh tua satu itu dengan pengetahuan
dan kesaktian yang dikumpulkan dari berbagai penju-
ru dunia saja akan banyak menebar bencana bagi du-
nia persilatan. Sekarang disaksikannya pula Pangeran
Neraka. Secerdik-cerdiknya Andika, dia masih harus
mengakui bahwa otak lelaki di bawah sana tak kalah
cerdik dari dirinya. Dulu pun dia sempat diperdaya be-
gitu rupa (dalam episode: "Sepasang Bidadari Merah")!
Kuat dugaan Pendekar Slebor kalau mereka tentu
ada hubungan dengan Perserikatan Setan. Hal paling
buruk, keduanya turut bergabung dengan rencana ter-
kutuk itu tiga murid murtad Petaruh Sakti Perut Bun-
cit.
Setelah mereka muncul, siapa lagi tokoh jajaran
atas yang akan menyusul? Tanya hati Andika giris.
Satu hal turut mengambang di benaknya berke-
naan dengan Perserikatan Setan. Kenapa tiga orang
pencetus rencana besar itu mendapat nasib naas? Dua
orang di antaranya, Katak Merah dan Mata Dewa Ke-
matian malah telah menemui ajal. Siapa yang telah
mencelakakan mereka? Kalau teringat pada kalung
mereka yang hilang secara paksa, tentu saja jawaban-
nya terdapat dalam ketiga kalung itu. Andika yakin.
Tapi untuk apa semua benda yang tampaknya tak
berharga itu? Apakah orang yang membunuh mereka
orang golongan sesat juga?"
Sedang sibuk-sibuk Andika berpikir, tiba-tiba
disadarinya ada orang lain yang telah begitu lama
memperhatikan di belakang. Andika sigap menoleh.
"Kau...," katanya singkat. Orang itu ternyata Ami-
tha. Telah berdiri cukup lama tanpa disadari oleh Pen-
dekar Slebor sendiri.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Slebor!"
Andika memasang wajah penuh persahabatan-
nya. Senyumnya mengembang lebar-lebar. Tak menga-
pa jadi terlihat sedikit tolol, yang penting lelaki India
itu tahu kalau dirinya tak ingin bermusuhan.
Di bawah siraman lamat sinar bulan, wajah Ami-
tha tak berubah. Kedua ujung bibirnya terungkit, me-
lempar ejekan.
"Jangan menipuku dengan senyummu, Pendekar
Terkutuk! Aku tak akan bisa kau perdayai lagi!"
Dalam hati, Andika mulai tak suka dengan sikap
Amitha. Apalagi dengan ucapannya.
"Kau mengatakan sesuatu yang tidak aku men-
gerti, Saudara," ucap Pendekar Slebor, sungguh-
sungguh. Tak ada lagi senyumnya.
"Itulah kau, Pendekar Slebor. Dibalik keharuman
namamu, ternyata kau tak lebih dari binatang durja-
na!"
"Itu pun aku tak mengerti," sambar Pendekar
Slebor.
Amitha mendengus.
"Aku sudah muak dengan kepalsuanmu, Ksatria
Palsu!" serapahnya bertekanan. "Kau telah mencabut
nyawa istriku. Sekarang, kau tak perlu banyak mulut.
Bersiap saja untuk mati! Aku akan menuntut hutang
nyawa itu!" tandas Amitha.
"Kau tak bisa menuntut apa-apa dariku, Amitha!"
seru Andika lantang.
Mereka kini berdiri berjajar. Cara berdiri mereka
memperlihatkan bagaimana kedua orang itu siap ber-
tarung hidup mati dengan lawan. Pendekar Slebor ba-
gaimanapun meski siap menghadapi amukan Amitha
yang setiap saat bisa meledak.
Bulan mengapung di angkasa, tepat di kepala ke-
dua orang itu, membuat tubuh mereka tak begitu jelas
dari arah depan. Mereka seolah dua bayangan yang
siap menjemput nyawa lawan masing-masing.
"Kau pikir, kau akan dapat lolos dari tanganku,
Pendekar Slebor?! Kau salah duga! Hari ini, tak akan
kubiarkan hutang nyawa itu luput untuk kau bayar!"
tegas Amitha padat kemurkaan seorang dikuasai den-
dam.
"Bukankah sudah kukatakan padamu dulu bah-
wa semuanya hanya salah paham," tandas Pendekar
Slebor. Betapa dia merasa dirinya terlalu dipojokkan
Amitha. Sementara Andika sendiri tahu pasti, dia tak
memiliki bukti cukup kuat untuk meyakinkan lelaki
India itu.
"Dusta!"
Mata Andika mendelik. Dusta? Dia mengatakan
aku berdusta? E, sejak kapan Pendekar Slebor berkata
dusta pada orang yang tak patut didustai?
"Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura tolol, Pendekar Slebor. Du-
lu orang persilatan boleh menganggap kau sebagai seo-
rang ksatria. Kini, kau tak lebih dari cecunguk busuk.
Kau terlalu dibuai nama besarmu!"
"Apa maksudmu?!" Andika makin mendelik-delik.
Dia belum juga mengerti.
"Nama besarmu itu telah membuat kau lupa diri.
Kau ingin tetap diagungkan dunia persilatan, lalu kau
mulai rakus terhadap kesaktian. Kau buru seorang lelaki India untuk merebut kitab yoganya!"
"Apa maksudmu?! Ini benar-benar gila?!" Andika
mencak-mencak kalang kabut. Wajahnya porak-
poranda seperti letusan bisul mendengar setiap tudin-
gan Amitha.
"Dan yang lebih busuk dari semua itu, kau bu-
nuh istriku hanya untuk satu keterangan!" cecar Ami-
tha, tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Slebor
untuk membela diri.
"Diam! Omong kosong siapa yang telah kau den-
gar?!" hardik Pendekar Slebor. Kini mulai diendusinya
ketidakberesan. Seseorang telah menghasut Amitha.
Hanya ada yang masih belum diketahui. Siapa peng-
hasut itu? Menilai ucapan Amitha yang demikian yakin
bahwa Pendekar Slebor adalah pembunuh istrinya,
tentu si penghasut adalah orang yang amat lihai mem-
pengaruhi orang lain.
Andika jadi ingat pada seorang musuh lamanya
ketika dia harus berhadapan dengan Pendekar Wanita
Tanah Buangan, seorang pendekar wanita pendendam
yang terjerat permainan licik pamannya sendiri, Pange-
ran Neraka.
Amitha tak mau mengulur-ngulur waktu lebih
lama. Keadaannya dirinya makin tak memungkinkan
untuk bertele-tele. Gejolak dendam dalam dirinya su-
dah tak lagi dapat dibendung.
Amitha segera menghambur ke arah Pendekar
Slebor. Anak muda sakti dari Lembah Kutukan sendiri
saat itu telah bersiap diri menghadapi kemungkinan
terburuk yang bakal dilakukan Amitha.
"Grrhhhaaah!"
Dengan berjumpalitan tiga empat kali di atas ta-
nah keras layaknya seekor singa lapar, Amitha mem-
persempit jarak dengan calon lawannya. Setiap kali
tangannya terjejak jari-jemarinya menembus tanah.
Tahu dirinya belum bahaya besar, Pendekar Sle-
bor segera melenting ke sisi kiri. Gerakan terkaman
Amitha yang demikian cepat memburu perutnya di
udara. Pendekar Slebor dipaksa untuk menahan sam-
baran jari mengejang lawan.
Wukh! Dash!
Menyambut sambaran cakar lawan, Pendekar
Slebor mengayunkan tangannya ke depan. Jari men-
gembang kejang Amitha bertumbukan kuat dengan
pergelangan tangan Pendekar Slebor.
Andika tahu, dia harus membalas. Jika tidak, la-
wan akan memiliki kesempatan melepas serangan su-
sulan. Meski amat sadar Amitha cuma termakan fit-
nah, Pendekar Slebor terpaksa juga menyerangnya. Sa-
tu tendangan berantai dilancarkan. Padahal, tubuhnya
masih berada di udara.
Deb! Deb! Deb!
Amitha mungkin tergolong tokoh kemarin sore.
Kedigdayaan sesat belum lama dikuasainya. Untuk ke-
saktian yang didapat demikian cepat itu, malah Pende-
kar Slebor masih setingkat di bawahnya. Lepas dari
itu, Amitha tak mau ambil resiko terhadap serbuan
tendangan berantai kaki lawan. Cepat dia menghem-
pas tubuh ke belakang kembali.
Kesempatan itu dipergunakan Pendekar Slebor
untuk mengokohkan kuda-kuda kembali di atas tanah.
"Saudara, sebaliknya kau memberiku kesempatan un-
tuk membuktikan semua ucapanku!" ujarnya, menco-
ba menahan amukan Amitha lebih kuat.
"Tak perlu! Kau hanya harus mampus hari ini!
Hearh!"
Serbuan lelaki India terbakar dendam itu dimulai
kembali.
Berkawal sumpah serapah tak kentara, Pendekar
Slebor melempar tubuhnya tinggi ke udara. Di udara
dia berguliran deras dengan tubuh terlekuk dalam.
Dengan cara itu, dia hendak memperdayai Amitha.
Saat lawan lengah mengikuti gerak tubuhnya, akan di-
lancarkannya seruntun totokan cepat secara tak ter-
duga.
Biarpun belum cukup berpengalaman dalam
kancah dunia persilatan, rupanya Amitha tak mudah
tertipu. Dengan cukup jeli dia dapat menduga-duga
maksud lawan.
Sebelum jari tangan Pendekar Slebor melepas se-
puluh totokan cepat ke sepuluh titik jalan darah di tu-
buh si lelaki kalap, Amitha sudah lebih dahulu memu-
tar sepasang tangan kurusnya bagai kincir angin rak-
sasa.
Srrr!
Tas... tas... tas...!
Sepuluh patukan jari Pendekar Slebor ke sepuluh
tempat berbeda di tubuh Amitha tak menghasilkan
apa-apa. Hanya tulang lengan Amitha saja yang terla-
brak. Hampir sekujur tubuh bagian depan lelaki India
itu terlindungi oleh putaran tangan.
Menyaksikan hal itu, Andika merasa harus. men-
gatur siasat lain. Tiba di tanah, tubuhnya langsung
berguling tangkas dan cepat menuju lawan. Memang,
kejelian mata pendekar muda yang ditempa pengala-
man itu menemukan celah lowong yang tak terlindungi
putaran tangan di bawah tubuh Amitha.
Amitha sebelumnya sibuk dengan terjangan pa-
tukan jari lawan. Dia tak menyadari kalau lawan su-
dah berada begitu dekat dengan pertahanan terlemah
di bagian bawah tubuhnya. Tatkala menyadari, semu-
anya sudah terlambat. Tanpa perlu tiba di dekat la-
wan, Pendekar Slebor telah melepas tenaga dalam me-
lalui jari telunjuknya.
Tubs! Tubs!
Lontaran tenaga dalam kecil itu mendarat tepat
di dua titik jalan darah di pangkal paha Amitha.
Si lelaki India mengeluh tertahan. Saat itu juga
sepasang kakinya bagai kehilangan tulang. Tubuhnya
tersungkur ke depan. Lalu tersimpuh di tempat.
***
Sehari lalu. Jauh dari tempat pertarungan antara
Pendekar Slebor dengan Amitha, tepatnya di Kadipaten
Blitar, sebelah timur tanah Jawa. Di sebelah selatan
kadipaten tersebut terdapat dusun bernama Beran Ki-
dul. Sama seperti kebanyakan daerah Jawa lain, pada
saat itu dusun Beran Kidul pun sedang dilanda keke-
ringan hebat
Seseorang perempuan tampak berjalan di pinggi-
ran dusun tersebut. Dilihat dari penampilannya, tam-
pak perempuan itu seorang warga persilatan. Pakaian-
nya merah, memperlihatkan kesan keberanian dan ke-
gairahan pemakainya. Wajahnya demikian memikat
untuk ukuran seorang yang mengetahui keindahan.
Rambutnya legam panjang terurai. Daya pikatnya
menjadi lengkap dengan dada sekal, pinggang ramp-
ing, serta pinggul padatnya.
Peluh di dahi pendekar wanita itu bercucuran,
kotor bercampur dengan debu. Sesekali, lengan ba-
junya disapukan ke bagian tersebut. Bibirnya yang
memiliki bentuk demikian mempesona tampak kering
dan agak pecah-pecah. Panas siang telah lancang se-
dikit merusak kecantikannya.
"Ke mana Uwak Nyai Silili-lilu sebenarnya?" tanya
perempuan itu, mendesah. Keluhnya terdengar. Telah
dua minggu dia berjalan mencari. Orang yang dicari
seperti raib ditelan bumi.
Siapa pendekar wanita yang mencari Nyai Silili
lilu ini. Beberapa waktu lalu, dia menggegerkan dunia
persilatan dengan julukan Ratu Lebah. Nama aslinya
Mayangseruni. Murid satu-satunya si nenek nyentrik,
Nyai Silili-lilu.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Ratu Le-
bah, bacalah episode "Pendekar Wanita Tanah Buan-
gan", dan "Sepasang Bidadari Merah")!
Kurang lebih dua minggu lalu, Mayangseruni
menemukan tempat tinggal Nyai Silili-lilu kosong.
Tempat tinggal berupa pohon tua berlubang dengan
ruangan di bawahnya itu ditinggal dalam keadaan ka-
cau-balau. Bau pesing pula.
Tentu saja hal itu membuat Mayangseruni men-
jadi khawatir. Sebab, tak biasa-biasanya Nyai Silili-lilu
meninggalkan tempat tersebut.
Mayangseruni memutuskan untuk segera menca-
rinya. Hari ini, masuk hari ketiga belas masa penca-
riannya.
Mayangseruni terus berjalan. Sampai langkahnya
terhenti di tepi Sungai Brantas. Sungai dalam keadaan
sekarat. Tepiannya sudah kering sama sekali. Sisa air
demikian menyedihkan. Hanya mengalir kecil seperti
selokan di tengah-tengah badan sungai. Rasa haus
yang menggelantung begitu pekat di tenggorokan me-
nuntut Mayangseruni untuk meneguk air sungai.
Didekatinya bagian yang paling jernih. Mayangse-
runi bersimpuh. Kedua tangannya menjulur, menciduk
air. Diteguknya air itu dengan penuh kenikmatan. Da-
lam keadaan teramat haus, rasanya air adalah surga.
Puas melepas dahaga, Mayangseruni membasuh
wajah dan sebagian rambutnya dengan air. Biar enyah
semua perasaan penat. Dinikmatinya sesaat kesegaran
air dan terpaan angin. Setelah benar-benar puas, pe-
rempuan itu bangkit.
Belusa mual. Matanya berkunang-kunang. Bumi bagai di-
ayun ke kiri ke kanan. Kepalanya pun memberat.
"Kenapa dengan diriku?" keluhnya lirih.
Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tu-
buh Mayangseruni ambruk.
Tak lama kemudian, datang sesosok tubuh men-
jemputnya. Tubuh pendekar wanita itu dibopong den-
gan kedua tangan, lalu dilarikan. Entah ke mana.
***
Kembali ke pertarungan antara Pendekar Slebor
dan Amitha.
Amitha ketika itu berhasil dilumpuhkan kuda-
kudanya oleh dua totokan Pendekar Slebor pada kedua
pangkal pahanya. Lelaki India itu tersimpuh di tempat
tanpa bisa berbuat apa-apa. Wajahnya memperli-
hatkan kegeraman berbaur dengan kemurkaan me-
muncak. Menjadikan sorot matanya demikian menggi-
dikkan, meski bagi nyali alot seorang Pendekar Slebor.
"Maaf, Saudara. Terpaksa aku melakukan," sesal
Andika.
"Jangan banyak basa-basi! Aku sudah muak me-
lihat semua kepalsuanmu!" desis Amitha tertahan-
tahan akibat desakan-desakan kemarahan.
"Aku tak bisa percaya ini!" bentak Pendekar Sle-
bor. "Sementara, aku sendiri sampai saat ini belum
mengetahui siapa namamu, kenapa kita harus bermu-
suhan? Bagaimana caraku agar membuatmu percaya
bahwa aku bukanlah pembunuh istrimu?!"
"Tak perlu! Sebab kau akan tetap mati. Jangan
mengira aku sudah kalah karena telah tertotok oleh-
mu!" ancam Amitha.
Andika menggeleng-gelengkan kepala, masyghul.
Ancaman Amitha nyatanya bukan pepesan kosong dari mulut seorang pecundang. Dia membuktikan
ancaman tadi, dengan memejamkan mata. Kedua tan-
gannya bersilangan di depan wajah. Tubuhnya bebera-
pa saat kemudian bergetaran, bagai ada gempa dari
dalam dirinya.
Pendekar Slebor terus memperhatikan. Tak per-
nah terlintas dalam pikirannya untuk kembali lari dari
Amitha. Dia terlalu ingin tahu sebenarnya apa yang
hendak dilakukan Amitha saat itu. Lagi pula, dia su-
dah bosan menghindar terus. Persoalan harus dijer-
nihkan hari ini juga, tekadnya.
Perhatian Pendekar Slebor makin tercurah, keti-
ka samar-samar disaksikannya dari sekujur permu-
kaan kulit Amitha mulai menyeruak pendar-pendar
cahaya berkabut berwarna merah bara.
Detik itulah, Pendekar Slebor baru menyadari ka-
lau si lelaki India sedang mengerahkan ajian sesatnya.
Dia akan segera berubah wujud menjadi makhluk jeja-
dian, Macan Kepala Ular! Andika menyadari keadaan
itu karena dia teringat ketika pertama menyaksikan
makhluk jelmaan diri Amitha dulu. Sewaktu makhluk
jejadian terkutuk itu berubah wujud men-jadi Amitha,
Andika pun menyaksikan pendar-pendar cahaya ber-
kabut merah bara.
Tanpa tahu mesti berbuat apa-apa, bahaya yang
disadari Andika sudah jadi terlambat. Di depannya,
tubuh Amitha kini telah benar-benar menjelma menja-
di makhluk berwujud... tak utuh. Seekor macan ber-
kepala puluhan ular yang mendesis-desis membentuk
dengung bergaung, mencakar nyali.
"Nggsnngsss!"
Berikutnya kejadian yang tak terduga Pendekar
Slebor menyusul. Makhluk jejadian itu telah berhasil
membebaskan dua totokan yang tergolong sulit dibe-
baskan. Dibantu orang lain saja, sudah amat sulit.
Apalagi dengan usahanya sendiri. Tapi, itu benar-
benar terjadi!
"Saudara! Ini sudah keterlaluan!" seru Pendekar
Slebor, nyaris seperti memekik. Dia berusaha keras
untuk mencegah amukan Amitha yang telah menjelma
menjadi sosok dari dasar neraka itu.
"Hadapilah semuanya dengan pikiran jernih! Ka-
lau kau ingin mengetahui satu kebenaran, kau tak bi-
sa hanya mengikuti perasaanmu saja!"
Semua usaha Andika tak mendapat tanggapan
apa-apa, kecuali dengung bergaung yang makin san-
ter. Sebelum akhirnya dari puluhan pasang mata ular
di leher binatang menyeramkan itu menerjangkan dua
larik cahaya panjang berwarna merah bara ke mata
Pendekar Slebor.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan yang tak
pernah menduga kejadian itu tak bisa lagi menghindar
dari terkaman cepat juluran cahaya tadi. Tepat di dua
bola matanya, sinar menyilaukan tadi menusuk ma-
suk.
"Aaa!"
Pendekar Slebor melepas lengkingan tinggi, me-
notok langit. Tangannya menutup mata. Apa yang se-
dang dirasakan Pendekar Slebor saat itu benar-benar
tak terperikan. Dirinya seperti dirasuki ratusan roh-
roh sesat, memadati garba batinnya dan menyiksanya
dari dalam. Nyawanya seakan hendak ditendang ke-
luar dari tubuh sendiri. Seribu rasa sakit yang pernah
dialami manusia di dunia, dirasakan Andika saat itu.
Di lain pihak, makhluk jejadian di depannya
mendengung lebih santer. Dari caranya berdiri, tam-
pak jelas kalau dia siap melakukan terkaman maut ke
arah korbannya....
Pada saatnya, terkaman buas itu benar-benar
terjadi. Dari jarak yang cukup jauh, makhluk jejadian
menyeramkan di depan Pendekar Slebor mencelat. Ke-
dua kaki depannya mengeras. Kuku-kukunya bersem-
bulan dalam sekejap, memendam kesan haus darah.
Pihak yang diserang sendiri saat itu sedang ber-
kutat dengan segenap rasa menyiksa. Bersumber dari
sepasang biji matanya, Pendekar Slebor merasakan di-
rinya nyaris sekarat. Sulit untuk mempertahankan ke-
sadaran. Jika untuk itu saja sudah sulit, bagaimana
lagi dia harus menghindari terkaman lawan?
Beriring dengung berat Macan Kepala Ular, teng-
gorokan Pendekar Slebor melepas lengkingan untuk ke
sekian kalinya. Tak ada yang bisa diperbuat selain itu.
Dia sudah tak sanggup melakukan apa-apa.
Namun, teriakan yang terdorong oleh rasa sakit
luar biasa tadi justru membangkitkan kekuatan 'Inti
Petir' yang selama ini mendekam dalam dirinya. Tanpa
sadar, gelegak tenaga 'Inti Petir' membuncah ke seku-
jur tubuhnya, mengalirinya dengan kekuatan listrik
alam tak terhingga untuk ketahanan tubuh seorang
manusia.
Dalam sekejapan, kulit tubuh pendekar muda
pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu ber-
pendar menyilaukan. Pada saat yang sama, kuku-
kuku sang makhluk jejadian mendarat didua belahan
dada bidang si pemuda yang mengejang.
Terlambunglah suara menggidikkan ke angkasa.
Dazzz!
Suara asing yang begitu mirip dengan desis lidah
halilintar memangsa pucuk pohon kelapa! Sepersekian
kejap dari suara meninggi tadi, meluruk pula dengung
berat dari mulut puluhan ular di leher macan jejadian.
Kalau sebelumnya bernada kemurkaan, kini padat
dengan nada giris merintih.
Berbarengan dengan itu, kerongkongan Pendekar
Slebor bergetar kembali, melempar kekuatan lengkingan yang sanggup dilempar sekuatnya. Siksaan dalam
dirinya telah meningkat berlipat kali!
Tubuh berbeda wujud itu bergeletaran liar. Kea-
daannya seperti dua makhluk yang disengat terus me-
nerus oleh seruntun petir menggila. Yang aneh, kuku-
kuku di kedua kaki depan makhluk jejadian, sama se-
kali tak terlepas dari dada Pendekar Slebor. Padahal,
benda-benda tajam tersebut sama sekali tak menem-
bus dada si pemuda sakti tanah Jawa, bahkan sekadar
mengoyak kulitnya.
Sementara Pendekar Slebor jatuh berlutut, den-
gan tubuh mengejang dan tangan terbentang, makhluk
jejadian di dekatnya tersentak-sentak. Dua kaki bela-
kangnya berkutat liar hendak melepaskan diri dari pa-
gutan tak terjelaskan dari tubuh lawan. Beberapa kali
hentakan nyalang dilakukan ke tanah, tapi tetap saja
tak sanggup membobol kekuatan pagutan tadi.
Cukup lama kejadian tersebut berlangsung.
Sampai keduanya kemudian terkulai perlahan. Pende-
kar Slebor terjatuh ke belakang. Kakinya terlipat. Se-
dangkan lawan anehnya terkulai ke samping. Ketika
itu, pendar cahaya menyilaukan di sekujur kulit Pen-
dekar Slebor memudar lamat-lamat. Lalu menghilang.
Kuku-kuku kedua kaki depan makhluk jejadian telah
terlepas dari permukaan kulit dadanya. Itu yang me-
nyebabkan tubuh Macan Kepala Ular dapat dengan
mudah terkulai.
Keduanya tergeletak tanpa gerak di tanah. Diam.
Bisu. Juga hening.
Selang setengah penanakan nasi, suatu keane-
han baru mencuat dari tubuh macan berkepala pulu-
han ular. Seberkas sinar merah bara panas dan me-
nyengat mata bergemul sesaat. Selanjutnya sinar me-
rah bara tadi melepaskan diri dari tubuh yang sudah
menjadi bangkai. Dari tubuh Macan Berkepala Ular,
cahaya itu berpindah dalam kecepatan yang sulit di-
ikuti mata ke dalam tubuh Pendekar Slebor....
Selang berikutnya, wujud mengerikan Macan Ke-
pala Ular perlahan dan samar berubah kembali menja-
di sosok lelaki India kurus. Dia telah kehilangan nyawa
untuk suatu yang sia-sia....
***
Rahasia apa yang sesungguhnya tersembunyi da-
lam tiga kalung milik Katak Merah, Dewi Kecubung
dan Mata Dewa Kematian? Mengapa Tiga Datuk Ka-
rang begitu menginginkannya?
Apa pula yang terjadi dengan Pendekar Slebor?
Lalu, apakah Tiga Datuk Karang akan menda-
patkan kitab pamungkas ilmu 'Karang' mereka?
Banyak pertanyaan menanti jawaban. Semuanya
akan terjawab tuntas dalam episode berikutnya.
Jaga waktu terbitnya:
AJIAN SESAT PENDEKAR SLEBOR
0 comments:
Posting Komentar