"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 24 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PERSERIKATAN SETAN

Perserikatan Setan

 

PERSERIKATAN SETAN

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode: Perserikatan Setan

128 hal.


1


Matahari menggarang tanah Jawa. Kemarau ma-

sih saja belum puas mengeringkan tanah. Bumi makin 

kepayahan, terengah-engah. Manusia masih banyak 

yang belum juga menyadari kenapa semuanya terjadi.

Tak beda dengan bagian tanah Jawa lainnya, wi-

layah Wetan Jawa juga dilibas kemarau. Di salah satu 

sudut wilayah tersebut, tepatnya di tepi hamparan la-

dang kerontang, sedang terjadi bentrokan hebat.

Bentrokan berlangsung antara seorang pemuda 

tampan berperawakan gagah. Di antara kelebatan ge-

raknya yang cepat, gesit, dan tangkas, tampak samar 

warna pakaiannya. Hijau pupus. Dengan selembar 

kain bercorak catur di tangannya. Rambut pemuda itu 

ikal panjang sebatas bahu. Berkibaran liar terseret an-

gin dari gerakan setiap jurus.

Lawan yang dihadapi seorang lelaki hitam. Tu-

buhnya kurus kering. Mungkin sekering tanah yang 

sedang dilanda kemarau. Bertolak belakang dari kea-

daan tubuhnya, gerakannya justru memperlihatkan 

kehebatan luar biasa. Sulit mencari tandingan, bahkan 

untuk seorang pendekar sakti tanah Jawa seperti sang 

lawan yang sudah dikenal oleh dunia persilatan seba-

gai Pendekar Slebor!

Tanpa pakaian, kecuali semacam kain putih 

kumal berupa cawat penutup bagian auratnya, si lelaki 

kurus kering pun tak kalah lincah, tak kalah gesit, tak 

kalah cepat dari pendekar muda pewaris kesaktian 

Pendekar Lembah Kutukan yang tengah dihadapi.

Menjelang satu hari penuh pertarungan mereka. 

Dimulai ketika hari menjelang pagi kemarin. Dan terus 

berlangsung hingga saat ini, ketika matahari mulai 

hendak muncul kembali ke pelipis sebelah timur tanah

Jawa.

Keadaan keduanya sudah sama-sama melemah. 

Tenaga mereka tentu saja sudah banyak terkuras. 

Pendekar Slebor selaku ksatria muda yang sudah ba-

nyak makan asam garam, bukan tak merasakan ba-

gaimana beratnya pertarungan sehari semalam seperti 

itu. Dia sendiri begitu letih. Rasanya yang tersisa cuma 

semangat tarung untuk mempertahankan nyawa. Se-

genap sendinya sudah terasa bagai dibalut dengan 

lumpur lahar panas. Sekujur permukaan kulitnya te-

rasa sepedih luka tersiram air cuka. Sementara selu-

ruh jaringan otot dan serat dagingnya sudah bagai di-

rebus di atas air mendidih! 

Andika, alias si Pendekar Slebor tak henti-

hentinya mengherankan daya tahan lawan hingga saat 

itu. Sepanjang pengetahuannya, lawan bukanlah tokoh 

dunia persilatan berilmu tinggi. Sewaktu pertama kali 

berjumpa, Amitha lelaki India yang menjadi seterunya 

ini hanyalah seorang lelaki desa biasa. Bahkan dia 

hanya bisa menangis meraung-raung mendapati is-

trinya menjadi mayat di belakang gubuk mereka. (Ba-

calah episode sebelumnya: "Macan Kepala Ular")!

Kini, hanya dalam beberapa pekan, dia telah 

menjelma menjadi seorang mandraguna. Ilmu kanura-

gannya mungkin bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh 

sesat Penguasa Laut Cina yang pernah dihadapi Pen-

dekar Slebor dulu (dalam episode: "Perompak-

Perompak Laut Cina")!

Apa yang sesungguhnya telah dialami Amitha ke-

tika terakhir kali dia menyadari dirinya berada dalam 

liang lahat terbuka?

Saat itu, Amitha tak mempunyai pikiran apa-apa 

tentang keberadaan dirinya. Satu-satunya yang terbe-

tik di benak saat itu bahwa dirinya sudah gagal mem-

pelajari Kitab Ular dan Macan. Kegagalan itu menyebabkan nyawanya terlempar dari raga. Dia mati, sim-

pulnya. Dan dia berada dalam liang kuburnya sendiri. 

Tapi mungkinkah dirinya dikubur, sementara liang itu 

sendiri dalam keadaan terbuka.

Karena ingin tahu keadaan sebenarnya, Amitha 

berdiri. Tinggi lubang tak jauh berbeda dengan tinggi 

tubuhnya. Karenanya dia dapat dengan leluasa me-

nyaksikan keadaan di luar lubang. Matanya dipaksa 

membelalak sebesar mungkin menyaksikan sesuatu di 

luar sana.

Ada sebentuk bayangan yang dilapisi pendar-

pendar cahaya merah api berkabut, tegak tepat di sisi 

lubang. Ketika diperhatikan, bentuk bayangan itu me-

nyerupai tubuh seekor macan. Yang ganjil, di lehernya 

tidak terlihat bentuk bayangan kepala seekor macan, 

melainkan sekumpulan ular-ular yang bergerak nya-

lang ke segenap arah. Sebagian mematuk-matuk entah 

ke mana, seolah memangsa apa pun tanpa terkendali. 

Bayangan itu tak hanya memancarkan pendaran ca-

haya merah api, tapi juga memancarkan panas teramat 

sangat. Amitha merasa seperti amat dekat dengan ger-

bang neraka!

Semestinya Amitha mengalami kegugupan dan 

ketakutan luar biasa menyaksikan pemandangan yang 

baru sekali itu dilihat sepanjang hidupnya. Tak demi-

kian yang dialami si lelaki India itu. Tak ada ketakutan 

sama sekali. Tak juga ada kegugupan. Sebaliknya, dia 

justru merasakan dorongan liar dari dalam dirinya un-

tuk mendekati bayangan aneh tadi.

Dari liang kubur terbuka, Amitha berusaha ke-

luar. Ada lagi satu keanehan dirasakan lelaki itu. Tu-

buhnya terasa begitu ringan. Dia tak merasakan sedi-

kit pun bobot tubuhnya. Seolah gaya tarik bumi tun-

duk kepadanya. Dengan mencoba-coba, Amitha beru-

saha keluar melompati mulut liang. Dihentakkannya

kaki dari dasar lubang. Kejadian menakjubkan pun 

terjadi. Tubuhnya melayang lebih ringan dari selembar 

bulu. Hentakan kaki barusan melontarkan tubuhnya 

di luar perkiraan. Bukan cuma mulut liang terlewati, 

lebih dari itu tubuhnya melayang sejauh lima belas 

tombak ke udara!

Tatkala hinggap, Amitha sudah berdiri tak jauh 

di sisi bayangan terpendar cahaya panas tadi. Meski 

terasa amat panas luar biasa, kulit lelaki itu tak mele-

puh. Itu juga keanehan lain lagi.

Untuk semua keganjilan tersebut, Amitha ham-

pir-hampir tak bisa percaya kalau dirinya tidak sedang 

bermimpi.

Tak tahu harus melakukan apa, Amitha hanya 

menatapi bayangan berpendar tadi dengan perasaan 

tersiksa. Panas luar biasa itu makin menjerang kulit. 

Sementara, dorongan asing dalam dirinya terus meng-

hentak-hentak, menitahnya untuk terus mendekat dan 

mendekat. Dalam jarak yang sudah sedekat itu, tentu 

saja benak Amitha mengartikan lain. Hatinya bukan 

saja didorong untuk mendekat, melainkan masuk ke 

dalam bayangan berpendar tadi.

Masuk? Apa itu bukan pikiran sinting? Risau ha-

tinya. Sementara dalam jarak cukup jauh saja, panas-

nya sudah terasa menyiksa. Apalagi jika dia harus ma-

suk ke dalam bayangan berpendar tadi.

Meski pikirannya berkutat menolak, dorongan as-

ing dalam hatinya malah semakin rusuh, merebak dan 

meledak-ledak. Sampai tanpa sadar, kaki Amitha mu-

lai beringsut perlahan. Hanya perlu dua tindak untuk 

benar-benar masuk ke dalam jangkauan bayangan 

berpendar tadi. Hanya dua tindak, tapi rasanya Amitha 

melangkah selama berabad-abad di permukaan gurun 

pasir tandus. Meletihkan. Menyiksa.

Dan ketika tubuhnya benar-benar tertelan

bayangan tadi, tercipta kembali keganjilan baru! Apa-

kah deraan panas telah menghilang? Tidak. Panas itu 

tidak hilang sama sekali. Bahkan panasnya makin 

menjadi-jadi. Amitha dipaksa untuk menjerit sekuat-

kuatnya, sekeras-kerasnya. Tapi tak ada lolongan yang 

terdengar, meski urat lehernya sudah terasa hendak 

putus. Yang aneh, setelah itu Amitha diperintahkan 

oleh sesuatu dalam dirinya untuk tak mempedulikan 

lagi. Sampai rasa panas itu benar-benar berdamai 

dengannya, sebagaimana banyak penganut yoga ber-

damai dengan rasa sakit saat tidur di atas kayu berpa-

ku! 

Setelah itu semuanya berubah. Amitha menemu-

kan dirinya sudah berada di tengah-tengah ladang ker-

ing, tempat dia selanjutnya membantai orang-orang 

persilatan. Dan kini, tempat itu dijadikan ajang perta-

rungan antara dirinya dengan Pendekar Slebor.

Sebelum menjalankan seluruh terornya di tempat 

tersebut, Amitha melakukan penyelidikan ke beberapa 

tempat. Dia menanyakan pada beberapa orang persila-

tan mengenai seorang pemuda tampan berpakaian hi-

jau pupus, berambut ikal panjang tak terurus, dan 

berkain corak catur pada bahunya.

Didatanginya jantung kadipatenan. Sebagai pusat 

pemerintahan daerah, di sana banyak orang berkum-

pul. Dari pejabat sampai penjahat. Dari tukang obat 

sampai penjilat, orang sehat sampai orang seka-rat. 

Sudah pasti pula di sana banyak berkeliaran warga 

persilatan.

Suatu kali, Amitha bertemu dengan seseorang. 

Dari penampilan dan pakaiannya, orang itu memperli-

hatkan kalau dirinya warga persilatan. Kumisnya bap-

lang hampir selebar ujung cobek. Tak mengapa kalau 

tubuhnya kekar berotot. Ini orang cuma kumis saja 

gemuk, tubuhnya sendiri kurus kering. Jangan-jangan

tubuh dengan kumis lebih berat kumis. Jangan-jangan 

juga, dia selalu berjalan terhuyung-huyung ke depan!

Kumis sangarnya diimbangi dengan penampilan 

serba hitam. Celana pangsi hitam, kemeja tak berkerah 

dan tak berkancing hitam, ikat kepala hitam, sandal 

ikat hitam, ikat pinggang hitam, sarung golok hitam, 

kulit pun hitam. Kalau ada yang tak hitam, cuma panu 

sebesar jempol Pak Tani di samping udelnya.

Dengan berjalan bak jawara baru jadi, lelaki itu 

menyusuri jalan jantung kadipaten menuju alun-alun. 

Amitha mengikuti di belakang.

Lama-kelamaan, lelaki hitam berkumis baplang 

tadi merasa ada yang menguntit. Dia berhenti melang-

kah. Kepalanya menoleh penuh lagak. Ketika itu, Ami-

tha sudah cepat bergerak ke balik pohon besar.

"Cuih!"

Lelaki kurus tadi meludah. Entah apa maksud-

nya. Apa mungkin dia telah mengetahui kalau orang 

yang menguntit telah bersembunyi?

Tanpa banyak urusan, lelaki itu melanjutkan per-

jalanan. Namun, Amitha merasa dia telah diketahui 

oleh lelaki itu. Dia tak ingin berlama-lama lagi. Lagi 

pula, tempat yang dilewati sudah cukup sepi. Amitha 

tak mau usahanya mencari pembunuh Neelam diketa-

hui oleh buruannya terlebih dahulu. Oleh karena itu, 

dia berusaha bekerja diam-diam dahulu.

"Hei, berhenti kau?!" seru Amitha di belakang le-

laki tadi.

Lelaki tadi menoleh acuh.

Amitha berjalan mendekat.

"Katakan padaku, apakah kau kenal dengan seo-

rang pemuda tampan berpakaian hijau, berambut pan-

jang dan memiliki kain bercorak catur?" tanya Amitha, 

ketika sudah berdiri di depan lelaki tadi.

Si lelaki berkumis baplang mendengus. Ditatap

nya Amitha dengan ujung mata. Sambil melinting-

linting ujung kumisnya, dia mengajukan pertanyaan 

balik.

"Apa kepentinganmu dengan orang itu?" 

Aku punya urusan dengannya, dan itu bukan 

urusanmu."

"Kalau begitu, kau tanyakan saja ludahku," kata 

lelaki hitam berkumis. Dia meludah. "Cueh!"

Amitha hilang kesabaran. Giginya bergemeletu-

kan. Rahangnya mengeras.

"Kau tak bisa pergi begitu saja sebelum kau men-

jawab pertanyaanku!" ancam Amitha, ketika lelaki 

yang dihadangnya hendak melanjutkan langkah.

"Kau kira, kau ini siapa heh? Bera..."

Belum selesai bacot si lelaki berkumis bercuap-

cuap seperti mujair, tangan Amitha langsung men-

cengkeram leher bajunya.

"Katakan padaku, atau kau tak bisa hidup sam-

pai akhir siang ini!" bentaknya murka. Meledak persis 

di depan hidung nongkrong si lelaki berkumis.

Detik ini juga, wajah si lelaki berkumis baplang 

memucat. Cuping hidungnya kembang kempis. Ma-

tanya mendelik.

"Ja... jangan. Say... saya jangan di... dibun... di-

bun... dibunuh...."

"Jangan banyak mulut! Katakan saja padaku 

apakah kau kenal dengan orang yang kusebutkan?!" 

hardik Amitha tak sabar.

"Glk.... Tid... tid...," gagap si lelaki berkumis 

sambil menggeleng-gelengkan kepala sekuat-kuatnya. 

Lagi-lagi kalimatnya tersunat oleh kegugupan sendiri.

"Tak mungkin! Kau pasti kenal! Aku yakin kau 

orang persilatan!" desak Amitha. Cengkeramannya di-

keraskan. Dihentak-hentakkannya tubuh lelaki itu.

Kepala lelaki berkumis menggeleng-geleng lebih

yang melewati ladang kering tempatnya.

Usaha itu akhirnya membawa hasil. Pendekar 

Slebor yang dicarinya terpancing juga mendatangi 

tempat tersebut.

***

2


Kembali ke pertarungan. Saat itu, Amitha meng-

hentikan serbuan serangan-serangannya terhadap 

Pendekar Slebor. Dia mengambil jarak cukup jauh. 

Berdiri dengan sikap sarat permusuhan, dia pun ber-

seru.

"Kau tak akan lolos begitu saja, Pendekar Slebor! 

Hutang nyawa harus dibayar nyawa!"

"Apa maksudmu, lelaki India?"

"Jangan berpura-pura, Pendekar Slebor! Kau pi-

kir aku semacam bocah kecil yang begitu mudah kau 

kibuli?!"

Kening Andika berkerut rapat. Diingat-ingatnya 

sesuatu. Sewaktu pertama kali bertemu Amitha, dia 

ingat dirinya dituduh sebagai pembunuh istri lelaki itu.

"Ooo," bibir Pendekar Slebor membulat. "Kau te-

tap menyangka aku sebagai pembunuh istrimu, begi-

tu?" sambungnya. Kepalanya mengangguk-angguk ke-

bodoh-bodohan.

"Kini aku hendak menuntut hutang nyawa itu!" 

tandas Amitha.

"Keliru! Kau keliru. Aku tidak membunuh istri-

mu. Lagi pula apa alasanku membunuhnya?" sangkal 

Pendekar Slebor. Perempuan selangsing biang badak 

seperti dia, jangan lagi berurusan dengannya, melihat-

nya saja aku sudah tak punya selera, rutuk Pendekar

Slebor dalam hati.

"Peduli setan dengan alasanmu!"

Andika jengkel juga dipersalahkan terus. Apalagi 

menghadapi kekeraskepalaan Amitha, meski Andika 

sendiri berkepala batu. Bisa-bisanya dia tidak peduli 

pada pembelaan diri Pendekar Slebor. Rasanya, Andika 

ingin mencak-mencak ketika itu juga.

Pendekar Slebor mengeluarkan sesuatu dari balik 

pakaian.

"Ini... lihatlah ini," ujarnya seraya memperli-

hatkan kalung di telapak tangan kanan. Benda itu 

yang ditemukan di tangan mayat Neelam.

"Aku menemukannya tergenggam di tangan 

mayat istrimu."

Sejenak Amitha memperhatikan benda tadi den-

gan teliti. Sampai saat itu, dia belum bisa menduga 

apa maksud si pemuda pewaris kesaktian Pendekar 

Lembah Kutukan itu. Tapi, setidaknya dia mengerti, 

ada sesuatu yang hendak disampaikan padanya. Se-

dangkan kecurigaan tetap tumbuh dalam dirinya.

Menyaksikan Amitha cuma memperhatikan ka-

lung di tangannya, Pendekar Slebor merasa jengkel la-

gi. Digadaikan ke mana otak lelaki ini. Apa tempurung 

kepalanya cuma berisi martabak? Makinya membatin.

"Kau tidak tahu alasanku memperlihatkan benda 

ini padamu?" ujar Pendekar Slebor.

Bukan menjawab, Amitha malah mendengus.

Slompret, dia benar-benar tak berotak! Maki An-

dika lagi.

"Maksudku, aku yakin pemilik benda inilah yang 

telah membunuh istrimu. Mungkin istrimu sempat me-

raihnya sewaktu dia hendak dibunuh dari leher orang 

itu. Kau mengerti maksudku?"

"Kenapa aku harus percaya pada bualanmu," 

dengus Amitha. Dia tak percaya.

"Bualan...," Andika merutuk. Sebenarnya, Pende-

kar Slebor memang tidak bisa meyakinkan Amitha ka-

lau dia tak membunuh Neelam hanya dengan memper-

lihatkan kalung tadi. Jadi, apa yang mesti di-

lakukannya kini? Dia mati kutu.

"Bisa saja kau membuat cerita itu. Sedang kalung 

itu, bisa saja kau menemukannya dari satu tempat. 

Entah di mana. Dan bukan dari telapak tangan jena-

zah istriku!" Amitha makin menyudutkan posisi Pen-

dekar Slebor.

"Mampus aku...," bisik Pendekar Slebor. Ditam-

parnya kening sendiri.

"Jadi, bersiaplah kau untuk mampus!" terabas 

Amitha, tak memberi kesempatan bagi Pendekar Slebor 

untuk membela diri lagi.

"Tapi aku bukan pembunuh istrimu, ngaco!" har-

dik Pendekar Slebor sewot. Sekarang dia benar-benar 

mencak-mencak tak karuan. Hari sudah panas begini. 

Ada lagi manusia yang bikin otak si pendekar muda 

bertambah panas. Kepalanya tidak mengebul saja su-

dah untung....

"Nenek moyang ular kadut juga tahu kalau aku 

tak mungkin membunuh istrimu, tahu? Aku tak punya 

urusan apa-apa dengannya. Seperti aku tak punya 

urusan denganmu, Slompret! Kalau otakmu waras, 

kenapa kau tak meneliti dulu secara benar persoalan-

nya!" Pendekar muda yang tak cuma keras kepala tapi 

juga sering 'angot-angotan' itu sekarang malah berte-

riak-teriak. Khotbah tukang obat pasti kalah seru!

"Aku tak peduli pada semua ocehanmu!" balas 

Amitha, tak mau kalah.

Kalau sudah begitu, Pendekar Slebor mau bilang 

apa? Pikir punya pikir, biarpun saat otaknya sedang 

simpang-siur, Pendekar Slebor memutuskan untuk 

pergi saja. Biar sekali ini dia dikatakan pecundang kek,

pengecut kek. Pokoknya dia tak peduli. 

Dia cuma tak mau terus berurusan dengan Ami-

tha. Mengenai tuduhan Amitha, besok juga masih ada 

waktu, pikir Andika.

Pendekar Slebor pun buron.

"Pengecut! Jangan lari kau! Hadapi aku!" teriak 

Amitha. Giliran dia yang mencak-mencak.

Lelaki India itu tak cuma berniat mencak-mencak 

rupanya. Dengan sigap, dia menggenjot tubuhnya. Di-

kejarnya kelebatan lari Pendekar Slebor dengan ke-

sempurnaan peringan tubuh yang tak kalah menga-

gumkan dibanding buruannya.

***

Ada yang bilang manusia selalu tidak puas den-

gan keinginannya. Keinginan yang terpenuhi hari ini, 

besok akan lain lagi. Kalau diberi emas, manusia lalu 

ingin permata. Walau sudah mendapat bukit, manusia 

hendak memiliki gunung.

Bagi Petaruh Sakti Perut Buncit, penyakit keba-

nyakan manusia itu benar-benar merajalela dalam di-

rinya. Serangan hama tikus di sawah bahkan kurang 

ganas dibanding penyakit aneh manusia satu ini.

Kesaktian manusia berperut gentong satu ini se-

benarnya sudah terbilang tinggi. Nyai Silili-lilu saja 

masih berada satu tingkat di bawahnya. Kalau hendak 

dicari bandingan, mungkin Ki Saptacakra alias Pende-

kar Lembah Kutukan yang pantas untuknya. Selisih 

kesaktiannya mungkin hanya sedikit lebih rendah. Di 

samping itu, Petaruh Sakti Perut Buncit kalah di usia. 

Sesepuh dunia persilatan golongan putih Ki Saptaca-

kra lebih tua darinya sekitar sepuluh tahun.

Entah bagaimana caranya dua manusia langka, 

Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit dulu bisa

menjalin tali asmara. Jelas-jelas kakak perempuan Ki 

Saptacakra itu jauh lebih tua darinya. Kalau mau dibi-

lang Nyai Silili-lilu dulunya bagai primadona persila-

tan, siapa yang mau percaya? Atau barangkali Petaruh 

Sakti Perut Buncit waktu itu sudah putus harapan un-

tuk mendapatkan perempuan yang lebih agak 'beres' 

ketimbang Nyai Silili-lilu? Sampai dia pun akhirnya 

'memasrahkan' diri menjadi kekasih perempuan seten-

gah edan? Ah, siapa yang peduli! Toh, Petaruh Sakti 

Perut Buncit pun memang setengah edan!

Alkisah, dua manusia yang semestinya sudah 

masuk liang lahat itu sedang asyik bergandengan me-

nuju Pesisir Pantai Laut Selatan. Bak muda-mudi yang 

dimabuk kasmaran, mereka bersenandung. Riang ti-

dak riang, merdu tidak merdu, keduanya tidak peduli. 

Padahal orang bertelinga waras justru mengira senan-

dung mereka suara iring-iringan lebah ngamuk.

Biar saja, mungkin begitu pikir mereka. Dalam 

kasmaran, tak peduli tua bangka seperti mereka, du-

nia benar-benar bagai milik berdua. Kalau ada orang 

lain, cukup bayar sewa!

Mereka sudah menginjakkan kaki di pantai. Je-

jak-jejak mereka jauh memanjang di belakang, men-

guntit pemiliknya.

"Apa tujuan kita ke tempat ini sebenarnya, Bun-

cit?" tanya Nyai Silili-lilu. Disebutnya bekas kekasih-

nya. (Yang kini tampaknya akan menjadi kekasih kem-

bali. Gombal)! Dengan sebutan seenak perut. Perem-

puan uzur macam dia memang sulit menghargai siapa-

siapa. Tak juga kekasihnya.

"Firasatku mengatakan aku harus segera kembali 

ke tempat ini."

"Ah, firasat apa?!"

"Firasat ya firasat."

"Firasat baik atau buruk, maksudku begitu

brengsek!"

"Siapa peduli, mau firasat baik kek, buruk kek. 

Mau firasat tai kucing kek.... He he he...!" 

"Hikhikhik!"

Seseorang tahu-tahu berkelebat memotong jalan 

mereka. Sekaligus memenggal obrolan ngawur tadi. 

Angin larinya begitu kuat. Tubuh kedua bangkotan itu 

sampai terhuyung. Rambut Nyai Silili-lilu jadi tak ka-

ruan. Lebih tak karuan dari bongsang yang dicekeri 

ayam. Dedaunan di dahan-dahan pohon yang dipakai 

untuk menutupi tubuhnya berhamburan. Manusia tua 

jelek itu jadi tambah jelek saja.

"Kunyuk! Siapa yang sudah merasa punya nyali 

membuat perkara denganku!" semprot Nyai Silili-lilu. 

Air liurnya terbang bersama bentakannya. Wajahnya 

terlipat. Entah berapa lipatan.

Di sebelahnya, Petaruh Sakti Perut Buncit masih 

saja terhuyung-huyung. Perut buncitnya tak bisa ber-

damai pada saat seperti itu. Dia agak kewalahan kare-

na kelebihan bobot pada bagian tersebut.

Setelah berhasil menguasai keseimbangan den-

gan bantuan tombak bermata golok besarnya yang di-

tancapkan di tanah, dia berkata dengan napas teren-

gah-engah.

"Sudah kubilang, perut sial ini dari dulu selalu 

bikin aku repot. Aku mau makan sedikit tapi tidak bi-

sa. Kalau makanku tetap saja seperti karung bolong, 

mana bisa perutku menjadi kecil...."

"Diam kau, Buncit!" bentak Nyai Silili-lilu. Pe-

rempuan tua itu sedang bersiaga. Mata kelabu yang 

tak kalah tajam dengan pandangan seekor rubah beti-

na mencari-cari si pembuat ulah barusan.

"Itu tadi perbuatan siapa, heh? Berani-beraninya 

dia mengerjai kita!" tukas Petaruh Sakti Perut Buncit 

gusar. "Apa dia ingin menantang aku bertaruh untuk

mengadu kesaktian?!"

"Diam, makanya kau diam! Aku sendiri sedang 

mencari tahu siapa orang sialan itu!"

"Kau sudah melihatnya?!"

Mata Nyai Silili-lilu melotot.

"Kalau aku sudah melihatnya, tentu saja sudah 

aku hajar dia! Kau ini kenapa tolol sekali!"

"Aku tidak tolol! Jangan sebut aku begitu, 

Sayang.... Aku cuma tersinggung karena kemesraan ki-

ta diganggu...."

"Ah, tai kucing!"

"He he he!"

"Ssst!" Nyai Silili-lilu mendekatkan jari telunjuk 

keriputnya ke depan bibir.

"Ada apa? Ada apa?" 

"Aku mendengar suara kelebatan lagi!"

"O, itu tadi aku buang 'angin'..."

Dugh!

"Sial kau!" maki Nyai Silili-lilu setelah mendahu-

luinya dengan sikutan keras ke udel Petaruh Sakti Pe-

rut Buncit.

"Ssst!" Tanpa perlu merasakan sakit di perutnya, 

Petaruh Sakti Perut Buncit ganti mendesis.

"Ada apa, Buncit? Kau dengar sesuatu?"

"Kau tidak buang 'angin', kan?"

"Tidak! Perutku tidak sejenis perutmu! Kau den-

gar apa tadi?"

"Ada yang berkelebat ke arah kita dari timur," 

lanjut si tua buncit berbisik.

Keduanya segera berbalik. Dan tiba-tiba saja....

Bruk!

"Kutu busuk bedebah bau congek kurang ajar! 

Apa-apaan kau ini, Pemuda Sial?!" maki Nyai Silili-lilu 

tak terputus sepanjang ular kadut. Seseorang melang-

gar tubuh mereka berdua. Membuat dua tua bangka

itu jatuh terduduk seperti dua bocah tak berdosa di 

atas pasir pantai.

Pelanggarnya sendiri ikut jatuh terduduk. Na-

pasnya masih terengah-engah kalang kabut. Orang itu 

ternyata Pendekar Slebor.

"Mohon beribu maaf, Uwak! Aku tadi tak melihat 

kalau Uwak dan Pak Tua Buncit sedang berjalan di si-

ni...," hatur Andika sambil memperlihatkan cengiran 

memelas.

"Makanya kalau lari matamu dipasang di kepala, 

jangan di pantat!" Nyai Silili-lilu belum puas memun-

tahkan kemangkelannya pada sang cicit kemenakan.

"Kalau begitu, aku mohon ber'juta' maaf, kalau 

'seribu' belum cukup...."

Nyai Silili-lilu bangkit terseok, masih dikawal 

dengan semburan mautnya. "Jangan main hitung-

menghitung! Aku bukan pedagang! Kalau kau benar-

benar mau minta maaf pada uwak buyutmu, sekarang 

juga kau harus...."

"Cium tengkuknya!" sela Petaruh Sakti Perut 

Buncit, ngawur.

"Aaahhh, sudahlah!" tepis Nyai Silili-lilu. "Pokok-

nya kau ingat-ingat saja, kau hutang 'kualat' padaku."

"Katanya Uwak bukan pedagang, kenapa harus 

pakai hutang segala?" rengek Pendekar Slebor.

"Ya, sudah. Kalau begitu lunas!"

Andika bangkit dengan perasaan lega. Asal uwak 

buyutnya bisa melupakan kesalahannya, dia sudah le-

ga

"Sayang, bantulah aku bangkit...," rayu Petaruh 

Sakti Perut Buncit, belum bisa mengangkat tubuhnya 

dari pasir.

"Minta tolong saja sama dedemit!" ketus si pe-

rempuan uzur.

Terpaksa Petaruh Sakti Perut Buncit bangkit

sendiri. Padahal dia bukannya tak bisa bangkit sendiri. 

Sebagai seorang yang baru resmi menjadi kekasih 

kembali, pantas untuk meminta sedikit kemanjaan. 

Tapi, yang didapat malah kemangkelan.

"Memangnya kenapa kau lari-lari seperti setan te-

lat buang hajat begitu, heh?" tanya Petaruh Sakti Perut 

Buncit kemudian.

"Aku sibuk melihat ke belakang, jadi aku tak me-

lihat ada kalian berdua di depan," jawab Andika. Kepa-

lanya menoleh kembali ke arah timur. Dia masih kha-

watir Amitha masih mengejarnya.

"Bukan itu yang kutanyakan! Maksudku, kenapa 

kau lari? Apa kau mengejar sesuatu atau ada yang 

mengejar?"

"Tentu saja. Apa aku sudah sinting lari-lari tanpa 

maksud?"

"Jadi kau mengejar sesuatu?"

Pendekar Slebor menggeleng. Lagi-lagi dia sibuk 

menoleh ke arah timur.

"Kau ada yang mengejar?" susul Petaruh Sakti 

Perut Buncit.

Andika mengangguk.

"Kau ada yang mengejar?" ulang Nyai Silili-lilu, 

nimbrung. "Apa aku tak salah dengar? Sejak kapan ke-

turunan keluargaku jadi pecundang? Sejak kapan ke-

turunan keluargaku jadi pengecut hingga meski dike-

jar-kejar? Sejak kapan...."

"Cukup, Uwak!" sergah Andika. Otaknya bisa le-

bih keruh dari empang kalau uwak buyutnya mencero-

coskan kata sejak kapan.... 

Nyai Silili-lilu baru mau hendak memaki. Meski 

mata kelabunya sudah mendeliki Andika, caci makinya 

dipenggal pertanyaan Petaruh Sakti Perut Buncit.

"Kalau kau sedang dikejar, jadi siapa yang lari 

sebelum kau?"

"E, iya... ya...," gumam Nyai Silili-lilu, lupa pada 

kedongkolannya.

"Apa maksud kalian?" Andika ingin kejelasan.

"Sebelum kau melanggar kami, ada seseorang 

berlari melewati kami. Ilmu lari cepatnya lumayanlah. 

Kalau kuhitung-hitung, pasti akan seru kalau aku ber-

taruh untuk adu kesaktian dengannya. Mungkin...."

Andika pening mendengarkan ucapan ngalor-

ngidul tak perlu si tua bangka berperut buncit.

"Sebentar! Sebentar, Pak Tua Buncit!" tahan An-

dika. "Kau dulu pernah bilang kalau di tempatmu kau 

menyimpan beberapa kitab sakti yang belum kau pela-

jari?"

"Benul, eh benar... eh, betul, maksudku benar 

dan betul!"

"Lalu kau bilang juga ketiga murid murtadmu 

berhasil masuk ke ruang rahasia penyimpanan kitab-

kitab itu, bukan?"

"Bukan, eh betul lagi!"

"Ke mana arah tempatmu?" cecar Andika.

Petaruh Sakti Perut Buncit menunjuk ke utara.

"Lalu ke mana arah kelebatan orang tadi?" lanjut 

Andika cepat.

Sekali lagi Petaruh Sakti Perut Buncit menunjuk 

arah utara.

"Apa kau tak curiga...."

Ucapan terakhir Andika segera diserobot Petaruh 

Sakti Perut Buncit dengan teriakan serak memelas.

"Wadow, orang itu mungkin salah seorang yang 

ditarik ketiga murid murtadku untuk membentuk Per-

serikatan Setan! Dan... tiga murid sial itu pasti sudah 

membocorkan tempat rahasia milikku!"

"Itu maksudku, Pak Tua Buncit!" sambar Andika.

"Nyok... nyok... mending kita kejar saja itu orang, 

ketimbang kau merengek jelek seperti itu, Buncit!"

usul Nyai Silili-lilu.

Mereka bergegas menggenjot kemampuan lari ce-

pat mereka. Seperti tiga ekor dedemit... kecepirit!

***

3


Di tepi Kadipaten Karang Gantung, di tengah hu-

tan karet, sedang terjadi perang mulut antara dua 

orang berbeda. Satu pihak adalah Katak Merah. Se-

dang yang lain Mata Dewa Kematian. Mereka sama-

sama ngotot, sama-sama bersikeras dengan pendapat 

masing-masing. Wajah keduanya sudah menampakkan 

tanda-tanda akan meledaknya pertarungan.

Beberapa hari setelah pertemuan rahasia sembi-

lan tokoh sesat dunia persilatan di batas Kadipaten 

Karang Gantung, masing-masing pihak yang tersang-

kut mulai menyusun rencana besar yang bisa mem-

buat satu kegemparan hebat dunia persilatan.

Dalam hal ini, Pangeran Neraka mengajukan diri 

secara bersemangat untuk menyusun rencana awal. 

Yang lain cukup menanti hasil di tempat masing-

masing. Hal seperti itu tentu saja tak begitu saja dite-

rima oleh para tokoh sesat sekelas Tiga Datuk Karang 

dan si Gila Petualang.

Meski dalam pertemuan telah disepakati Pange-

ran Neraka yang memiliki keenceran otak cukup dian-

dalkan untuk menghasilkan satu rencana besar, Tiga 

Datuk Karang diam-diam melaksanakan rencana me-

reka sendiri. Awalnya ketika mereka melihat kalung 

yang dimiliki Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kema-

tian.

"Kau lihat kalung yang dikenakan Dewi Kecu

bung dan Mata Dewa Kematian?" bisik Datuk Kening 

Merah, orang tertua di antara ketiga dedengkot kembar 

itu. Saat itu mereka mengadakan pertemuan diam-

diam di tengah malam, sehari setelah pertemuan raha-

sia di atas Kadipaten Karang Gantung.

Dua saudara kembarnya, Datuk Kening Ungu 

dan Datuk Kening Perak hanya mengangguk samar. 

Dari wajah ketiganya, tampak kesan bahwa mereka 

sedang membicarakan satu masalah yang benar-benar 

mengusik mereka. Ada sesuatu yang diketahui mereka 

tentang kalung yang dimaksud.

"Petaruh Sakti Perut Buncit. Tampaknya para 

pemilik kalung mengenal keparat buncit itu," desis Da-

tuk Kening Perak, orang termuda di antara mereka.

"Ya, kemungkinan besar buncit keparat itu telah 

menampakkan batang hidung pula seperti kita..."

"Apa alasannya muncul kembali? Apa kalian ti-

dak bertanya-tanya dalam hati? Dia tak mungkin mau 

muncul begitu saja tanpa alasan jelas...," timpal Datuk 

Kening Ungu. 

"Itulah yang mengusik pikiranku. Mungkinkah 

dia telah mengetahui kemunculan kembali kita, lalu 

dia pun ikut turun ke dunia persilatan?" susul Datuk 

Kening Merah.

"Keparat itu selalu saja jadi penghalang besar ba-

gi kita! Seperti juga Saptacakra dan Nyai Silili-lilu lak-

nat!" dengus Datuk Kening Perak, sarat kegeraman.

"Aku tak yakin dia sudah mengetahui kemuncu-

lan kita kembali. Dan Pendekar Lembah Kutukan bu-

suk itu pun aku yakin belum mengetahui. Kalaupun si 

buncit itu muncul juga, aku yakin dia punya alasan 

tertentu," simpul Datuk Kening Merah.

"Bagaimana dengan kedua pemilik kalung itu? 

Dewi Kecubung dan Mata Dewa Kematian? Apakah 

mereka murid-murid si Buncit? Mungkinkah mereka

berpura-pura menyusun rencana besar untuk kita, 

padahal mereka sengaja memancing kita keluar agar 

nanti kita berhadapan dengan si Buncit."

"Tak mungkin. Kau tahu sendiri, orang seperti si 

Buncit dan Saptacakra tak akan bertindak jika merasa 

tak perlu bertindak," sangkal Datuk Kening Merah pa-

da pendapat adik bungsunya.

"Bagaimana kalau si Buncit hanya ingin menan-

tang kita bertanding untuk satu pertaruhan?"

"Itu pun tidak mungkin!" sentak Datuk Kening 

Merah. Entah bagaimana ketika pertanyaan terakhir 

adiknya terangkat ke permukaan, bersama dengan itu, 

terungkit pula kegusarannya. Tapi, kedua saudara 

kembarnya tampak tahu jelas kenapa hal itu terjadi.

"Karena kita tak punya kitab sakti yang bisa di-

pertaruhkan kembali! Kau ingat? Bahkan kitab sakti 

ilmu 'Karang Pamungkas' milik kita, satu-satunya 

benda paling berharga yang belum lagi kita pelajari, 

sampai sekarang masih berada di tangannya. Si Buncit 

keparat telah memenangkan pertaruhan waktu itu! 

Padahal kitab itu berisi pamungkas kesaktian karang 

kita.... Ibarat elang, kita belum punya cukup bulu 

sayap untuk terbang, tanpa kitab itu!"

"Tanpa menyelesaikan isi kitab itu, kemungkinan 

kita makin kecil untuk memenangkan pertarungan 

menghadapi si Buncit atau Saptacakra!" Datuk Kening 

Ungu ikut merutuk.

"Itulah sebabnya, aku memutuskan untuk me-

menuhi undangan pembentukan Perserikatan Setan. 

Aku berharap kita mendapat satu jalan untuk me-

nyingkirkan si Buncit, Ki Saptacakra, dan Nyai Silili-

lilu!"

Mata berurat merah Datuk Kening Perak menda-

dak berbinar.

"Kini, tampaknya kita bisa mendapatkan kembali!" cetusnya. Ada sesuatu yang terbersit dalam benak 

dedengkot satu itu.

Kedua saudara seperguruannya menoleh. "Je-

laskan maksudmu!" pinta Datuk Kening Merah.

"Kalau benar dua orang pemilik kalung itu memi-

liki hubungan dengan si Buncit, tentunya kita bisa 

mengorek keterangan pada mereka di mana buncit ke-

parat itu menyimpan kitab pamungkas kita!"

Lalu, malam itu pula mereka mendatangi Mata 

Dewa Kematian dan Dewi Kecubung. Jika perlu, keti-

ganya akan menculik mereka. Tapi, Tiga Datuk Karang 

tak menemukan kedua orang itu di bangunan tua, 

markas sementara mereka.

Pada saat yang sama, Dewi Kecubung dan Mata 

Dewa Kematian rupanya sedang membicarakan siasat 

untuk menyingkirkan Pendekar Slebor, salah seorang 

penghalang besar pergerakan mereka.

Kebetulan yang mereka temui cuma Katak Me-

rah. Mereka ingat bahwa lelaki cebol itu pernah diper-

kenalkan Dewi Kecubung sebagai saudara perguruan. 

Kemudian mereka pun mulai mengorek keterangan.

"Kau tak bisa seenaknya menunjukkan tempat 

rahasia penyimpanan pusaka milik guru kita!" bentak 

Mata Dewa Kematian pada si manusia bertubuh kerdil, 

Katak Merah.

"Dia bukan lagi guru kita! Kau harus ingat itu," 

bantah Katak Merah mengkelap, semengkelap lawan 

perang mulutnya. "Lagi pula, apa perlunya lagi kita 

melindungi kepentingan tua bangka berperut besar 

itu?! Bukankah kita memang sudah murtad?! Kita 

akan dipenggal kalau sampai tertangkap olehnya. Kau 

pikir dia akan menghukum kita dengan menjewer te-

linga kita?!" gempur Katak Merah, sampai tubuhnya 

berjingkat-jingkat.

"Aku bukan mempermasalahkan tua bangka itu,

bodoh! Yang ku permasalahkan, bagaimana kalau be-

berapa kitab sakti itu jatuh ke tangan Tiga Datuk Ka-

rang!"

Belum lama, Katak Merah kedapatan sedang 

memberitahukan rahasia tempat penyimpanan kitab-

kitab pusaka milik Petaruh Sakti Perut Buncit pada Ti-

ga Datuk Karang. Padahal kakak seperguruannya, Ma-

ta Dewa Kematian sudah mengingatkan untuk menu-

tup mulut tentang hal itu.

Katak Merah berpikir, kalau ketiga musuh lama 

Pendekar Lembah Kutukan yang lama tak muncul di 

dunia persilatan itu diberitahu, tentunya mereka akan 

lebih cepat mencapai tujuan membangun satu kekua-

tan golongan sesat. Sebab, dengan begitu mereka ma-

kin per.... 

"Apa maksudmu? Biarkan saja mereka menda-

patkan kitab-kitab itu!"

"Bagaimana kalau mereka berkhianat pada selu-

ruh rencana kita? Apa kau telah yakin mereka tetap 

akan mendukung terus rencana kita? Bagaimana ka-

lau mereka cuma menginginkan kematian Pendekar 

Slebor dan seluruh keluarga Pendekar Lembah Ku-

tukan. Setelah itu, mereka akan menusuk kita dari be-

lakang?!"

"Jangan berpikiran picik seperti itu, Kang!"

"Picik bagaimana?!"

"Justru dengan cara itu, kita dapat mengikat me-

reka. Mereka akan merasa yakin kalau kita sungguh-

sungguh ingin memadukan kekuatan terhadap mere-

ka. Mereka jadi lebih percaya pada kita!"

"Ah, omong kosong! Kau pikir, kenapa mereka di-

anggap sebagai orang-orang golongan sesat? Karena 

sikap mereka memang sikap sesat. Orang-orang sesat 

seperti kita semestinya tak perlu diberikan keper-

cayaan sepenuhnya."

"Kalau begitu, kau pun pasti tak sepenuhnya 

mempercayaiku. Begitu, Kang? Kau pun pasti akan se-

lalu siap menghantamku, karena kau setiap saat selalu 

mencurigaiku."

"Bangsat! Kau benar-benar tak bisa kuajak ber-

pikir matang! Otakmu memang kerdil seperti tubuh-

mu!"

Mendengar makian keterlaluan kakak sepergu-

ruannya, Katak Merah mulai mengkelap.

"Jangan sembarangan bicara, Kang! Biar kau 

pernah menjadi kakak seperguruanku, aku mampu 

merobek bacotmu itu!"

"Keparat kerdil! Kau menantangku, rupanya!"

"Kalau itu anggapanmu, maka aku jawab ya!" 

tantang Katak Merah, makin dianggap menginjak ke-

pala Mata Dewa Kematian yang merasa lebih tua sela-

ku kakak seperguruan.

"Bangsat.... Hiah!"

Dua saudara seperguruan itu akhirnya memulai 

baku hantam. Mata Dewa Kematian mengirim satu 

tendangan samping teramat keras ke kepala saudara 

seperguruannya.

Dengan tubuh sependek itu, tentu saja Katak 

Merah tak mengalami kesulitan berarti menghindari 

hantaman punggung kaki Mata Dewa Kematian. Cu-

kup hanya dengan merundukkan badan sedikit, sa-

puan kaki itu pun luput.

Secepat juluran lidah katak menyambar serang-

ga, cengkeraman Katak Merah terlepas ke selangkan-

gan Mata Dewa Kematian.

Crep! 

Terdengar bunyi santer menggebuk nyali. Mata 

Dewa Kematian berhasil menghindar ke belakang den-

gan sekali jumpalitan. Suara tadi tercipta bukan kare-

na cengkeraman Katak Merah mengenai sasa-ran, melainkan suara kekuatan jari-jari tangan milik Katak 

Merah yang melakukan remasan teramat kuat. Jika 

‘kantong menyan’ Mata Dewa Kematian terkena, tidak 

disangsikan lagi dia akan kehilangan kejantanan un-

tuk selamanya. 

"Khrh... krok!"

Karena serangan baliknya tak mengenai sasaran, 

kegusaran Katak Merah membludak ke ubun-ubun. 

Dia memburu tubuh Mata Dewa Kematian ganas. Tu-

buhnya membungkuk lalu cepat melayang ke depan 

seperti gerakan melompat seekor katak.

Dengan kepala merunduk, Katak Merah mencoba 

menanduk punggung Mata Dewa Kematian yang se-

dang berjumpalitan.

Merasa ada angin kuat mengarah ke dirinya dari 

belakang, dengan lincah dan gerakan yang cukup sulit 

dilakukan pada posisi terbaliknya, Mata Dewa Kema-

tian membuat putaran tangan di udara. 

Wukh!

Bagai sayap kincir angin terlepas dari rangkanya, 

tubuh Mata Dewa Kematian berputar dalam keadaan 

terbalik di udara.

Dash!

Terjadi benturan hebat antara kening Katak Me-

rah dengan telapak tangan Mata Dewa Kematian. Aki-

batnya, dua saudara seperguruan itu terpental deras 

ke belakang.

Sesungguhnya, tampak jelas bagaimana hebat-

nya kealotan kulit kepala dan kekokohan tengkorak 

Katak Merah. Hantaman telapak tangan Mata Dewa 

Kematian mengandung tenaga dalam tingkat tinggi 

yang dapat menggempur hancur batang pohon jati be-

sar.

Yang dialami Katak Merah ternyata tak separah 

batang pohon jati. Dia hanya melayang jauh dan terpuruk sekitar delapan tombak ke belakang. Dahan-

dahan pohon meranggas terkena terjangan tubuhnya. 

Sebagian pakaian lelaki cebol itu terkoyak-moyak. Di 

lain pihak, Mata Dewa Kematian terdorong tak kalah 

jauh.

Tanpa mengalami luka berarti, keduanya me-

nyentak tubuh dari tanah. Mereka bangkit dengan ke-

siapan masing-masing.

"Tunggu!" cegah Mata Dewa Kematian tiba-tiba. 

Katak Merah menggeram. Terdengar bagai suara katak 

yang hendak melakukan perkawinan.

"Kenapa? Apa kau takut mati membawa malu ka-

lau aku bisa mengalahkanmu!"

Mata Dewa Kematian tak mempedulikan cemoo-

han barusan. Matanya tegas-tegas mengarah pada ba-

gian bawah leher adik seperguruannya.

"Ke mana kalungmu?!" tanyanya dengan wajah 

diselubungi waswas memuncak.

Tak ada kecurigaan sedikit pun di dalam diri Ka-

tak Merah. Bisa saja timbul prasangka kakak sepergu-

ruannya akan mengelabui. Jika dia lengah sedikit, 

maka Mata Dewa Kematian akan segera melancarkan 

serangan mendadak. Tapi, Katak Merah tahu benar 

watak kakak seperguruannya. Mata Dewa Kematian 

bukanlah sejenis orang yang pandai berpura-pura.

Maka, Katak Merah cepat melirik ke arah yang 

dimaksud. Dia tak kalah terperangah menyaksikan ka-

lungnya telah tiada lagi di tempat.

Cepat pula, matanya menjadi nyalang. Pandan-

gannya menebar kian kemari mencari-cari sesuatu 

seakan yang dicarinya adalah potongan jiwa sendiri.

Seperti halnya Katak Merah. Mata Dewa Kema-

tian melakukan hal serupa. Dia turut mencari-cari. 

Semak disibak kasar, rumput ditendangi. Yang dicari 

tak diketemukan.

Sampai akhirnya keduanya berhenti. Mereka sal-

ing menatap.

"Kau melihat kalungku terlepas?!" tanya Katak 

Merah nanar.

"Aku tak tahu!" Mata Dewa Kematian, terlihat se-

panik adik seperguruannya. "Yang jelas kalung itu ti-

dak jatuh di sekitar sini...," tambahnya.

"Bagaimana mungkin kalung itu bisa raib begitu 

saja?" geram Katak Merah. Paras wajahnya sudah mi-

rip orang dijemput sakaratul maut. Sebab yang kini hi-

lang bukan benda biasa. Bukan! Melainkan....

***

4


"Kejar! Kejar! Yang cepat larinya, Buncit Slomp-

ret!" Nyai Silili-lilu memaki-maki serampangan selagi 

berlari mengejar orang yang melewati mereka. Meski 

sampai saat itu belum tampak sosok kelebatan yang 

dikejar, sikap si perempuan uzur itu sepertinya sudah 

melihat di depan jidat.

Tinggal Petaruh Sakti Perut Buncit kelimpungan 

di belakang. Cara berlarinya benar-benar kalang-

kabut. Maklum dia harus berurusan dengan perut 

'hamil tua'-nya. Jadilah dia berlari dengan perut te-

rayun-ayun. Terlihat seperti anggukan kepala gajah 

tak berotak.

Dia memang tokoh jajaran atas yang setaraf den-

gan Pendekar Lembah Kutukan. Tapi dalam soal lari 

cepat, entah kenapa justru jadi masalah mana besar 

bagi dirinya. Padahal, peringan tubuhnya tergolong su-

lit dicari tandingan.

Aneh juga kalau begitu. Apa mungkin, perutnya

semacam 'benda kualat', yang tak mau berdamai meski 

dengan kemampuan peringan tubuh yang demikian 

hebat. Atau jangan-jangan, dia benar-benar membawa 

bayi dalam perutnya? Siapa tahu dia tak ingin bayinya 

celaka? Yah, siapa yang tahu....

"Tunggu aku! Hoooiii, tunggu aku!" teriak Petaruh 

Sakti Perut Buncit. Tombak bermata golok besarnya 

teracung-acung ke atas. Sebelah tangan yang lain te-

rayun-ayun di udara, meminta untuk ditunggu.

Nyai Silili-lilu dan Pendekar Slebor di depan sana 

seperti tak punya perasaan. Mereka tak mempedulikan 

Petaruh Sakti Perut Buncit.

Pendekar Slebor sendiri sebenarnya telah menge-

rahkan segenap kemampuan peringan tubuh warisan 

buyutnya. Dia pikir, akan bisa menandingi kecepatan 

lari si perempuan bungkuk peot. Nyatanya, dia tetap 

saja tertinggal di belakang. Itu yang namanya takdir 

barangkali. Takdir yang menentukan Pendekar Slebor 

harus selalu 'nunut' pada Nyai Silili-lilu. Sebab dengan 

tingkat kesaktian di atas Andika, si pemuda itu tak bi-

sa berbuat banyak menghadapi tingkah tengik uwak 

buyutnya. Bertingkah sedikit saja, kalau tidak benjut 

ya kualat!

Di belakang sana, Petaruh Sakti Perut Buncit 

masih bisa-bisanya terkentut-kentut. Masih bagus ka-

lau 'gas buangan'-nya dapat membantu mendorong ge-

rak larinya!

Sekitar sepenanakan nasi ketiga 'makhluk' aneh 

itu berlari, akhirnya orang yang dikejar tampak juga di 

kejauhan.

Syukur pikir Pendekar Slebor. Sebab makin lama 

mereka berlari seperti itu, makin congkak saja uwak 

buyutnya pamer kehebatan peringan tubuh.

"Lho, kau Saptacakra iler?! Dikira siapa?! Slomp-

ret benar kau, ah!" sembur Nyai Silili-lilu begitu tiba di

dekat orang yang dikejar.

Ki Saptacakra sendiri sudah menghentikan lang-

kahnya. Semestinya, akan butuh waktu berhari-hari 

atau mungkin berminggu-minggu untuk mengejar 

orang sekelas dedengkot dunia persilatan seperti dia, 

meski Nyai Silili-lilu adalah kakak perempuannya sen-

diri. Kalau kejar-kejaran selama itu, apa tidak seru ja-

dinya?

Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan, 

buyut Pendekar Slebor memang tak berniat menggen-

jot larinya lebih jauh. Dia sengaja memperlambat agar 

jarak ketiga pengejar dengan dirinya jadi cepat me-

nyempit.

Belum-belum, Ki Saptacakra sudah mulai lari la-

gi. Sekarang dia tak ingin memperlambat gerak larinya. 

Seperti semula, dia mengempos lagi kemampuan pe-

ringan tubuhnya sampai titik darah penghabisan, eh... 

sampai titik puncak!

Napas Senin-Kamis Petaruh Sakti Perut Buncit 

tersedak seketika. Dia harus mulai berlari lagi kalau 

tak ingin kehilangan 'kekasih tercinta' yang sudah pula 

mengekori Ki Saptacakra. Kasihan.... Mudah-mudahan 

dia mati di jalan, ketimbang tersiksa terus seperti itu.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Iler!" seru 

Nyai Silili-lilu pada si tua sakti Pendekar Lembah Ku-

tukan. Enak saja dia menyebut tokoh yang sudah 

menjadi semacam cerita rakyat seperti Pendekar Lem-

bah Kutukan dengan panggilan seenaknya.

"Nanti juga kau tahu!" sahut Ki Saptacakra.

"Nanti kapan?!"

"Sehabis kiamat! Ah, kenapa kau tak menyumpal 

saja mulut cerewetmu itu!"

"Aku tak bisa! Itu memang sudah kodratku!"

Ki Saptacakra tak mempedulikan lagi. Dia terus 

berlari.

Di belakang Nyai Silili-lilu, Pendekar Slebor berla-

ri dengan kepala dipenati pertanyaan-pertanyaan. Apa 

maunya Ki Buyut sebenarnya? Lalu kenapa tiba-tiba 

seperti ada pertemuan keluarga dengan acara lari-lari 

layaknya sekumpulan orang sinting? Benar-benar 

brengsek mereka, gerutu anak muda itu dalam hati. 

Bagaimana tidak, kalau dia terpaksa harus turut iring-

iringan lari cepat tanpa juntrungan di sepanjang garis 

pesisir Pantai Laut Selatan?

Sekian lama melanjutkan lari, Pendekar Lembah 

Kutukan baru berhenti. Tak terlihat kalau tokoh bang-

kotan itu terengah-engah. Tua-tua, dia tetap ‘kuda’ 

Lho, kuda saja masih terengah-engah!

Menyusul berhentinya Ki Saptacakra, Nyai Silili-

lilu, Pendekar Slebor dan Petaruh Sakti Perut Buncit 

pun berhenti. Pasir bertebaran terkena sentakan kaki-

kaki mereka karena terlalu mendadak mengerem tu-

buh. Mereka tiba di sisi selatan batu karang. Di ten-

gah-tengah batu karang sebesar bukit kecil itu terda-

pat gua kecil hanya selebar tubuh manusia.

"Cepat katakan padaku, Iler! Sebenarnya apa 

yang tengah kau kejar? Kalau tidak cepat kau katakan, 

aku akan menggebukimu dari ubun-ubun sampai ma-

ta kaki! Mengerti?!" omel Nyai Silili-lilu pada sesepuh 

dunia persilatan itu.

"Aku sengaja datang ke tempat ini karena...."

"Eh, bukankah ini tempat pertapaanku?" sela Pe-

taruh Sakti Perut Buncit, baru menyadari di mana di-

rinya berhenti. Semenjak tadi, rupanya dia hanya si-

buk mengipasi perutnya yang dikuyupi keringat den-

gan telapak tangan.

"Itu maksudku, Buncit! Aku harus segera meme-

riksa tempat pertapaanmu!" tukas Ki Saptacakra.

"Lho, bukankah kau Saptacakra?" ujar Petaruh 

Sakti Perut Buncit, lagi-lagi dia ketinggalan kereta.

"Mau apa kau berlari-lari seperti itu? Celaka kau! Apa 

kau sudah kehilangan akal sehat?!"

"Aku mesti memeriksa tempatmu!" ulang Pende-

kar Lembah Kutukan, kesal.

"Mau apa memeriksa tempatku?"

"Nanti saja kujelaskan! Sekarang sebaiknya kita 

cepat masuk ke dalam gua!" penggal Ki Saptacakra.

Petaruh Sakti Perut Buncit meringis. Biarpun dia 

baru saja mengatakan kalau tempat tersebut adalah 

tempatnya, tapi soal masuk ke gua, tunggu dulu! Pe-

rutnya tak memungkinkan untuk melakukan hal itu. 

Aneh juga. Tempat sendiri, tapi kenapa menyusahkan?

Sambil menggelengkan kepala, Petaruh Sakti Pe-

rut Buncit menggerutu, "Sudah puluhan tahun aku 

tak pernah masuk ke dalam gua itu lagi. Dulu, perutku 

masih tak sebesar ini. Sekarang, kalau mau masuk ju-

ga aku pasti harus meninggalkan sebagian perutku di 

luar!"

***

Tiga hari yang lalu.

Sang sesepuh dunia persilatan, Ki Saptacakra 

berjalan menyusuri sungai yang bersambung dengan 

telaga di sekitar wilayah Kadipaten Karang Gantung. 

Selaku orang yang mencapai taraf makrifat dalam ke-

batinan, lelaki tua itu merasakan dorongan yang kuat 

dalam hatinya untuk pergi ke sekitar wilayah tersebut.

Dorongan kata hati seperti itu, biasanya merupa-

kan pertanda sesuatu yang belum terjelaskan. Orang 

setua dia, tentunya sudah bisa mengenai setiap tanda-

tanda dalam dirinya. Karena itu, Ki Saptacakra segera 

berangkat ke sekitar wilayah tersebut.

Seharian dia mengitari wilayah sekitar telaga Ka-

dipaten Karang Gantung, tak juga ditemukan sesuatu

yang mungkin mengusik hatinya. Sewaktu dia menco-

ba menyusuri sungai kecil yang bersambung dengan 

telaga, dia menemukan secarik kain tersangkut di batu 

sungai. Perhatiannya tersedot pada benda tersebut. 

Dihampiri, lalu diambilnya sobekan kain itu.

Di atas kain yang masih basah itu, Pendekar 

Lembah Kutukan menemukan satu tulisan dengan 

menggunakan getah sejenis pohon. Tampaknya surat 

tersebut dibuat begitu tergesa-gesa dan dalam keadaan 

amat lemah. Terlihat sekali dari guratannya yang begi-

tu berantakan dan bergelombang.

Siapa pun yang menemukan surat ini, kuharap dia 

adalah warga persilatan golongan lurus.

Aku cuma seorang pendatang dari negeri jauh

yang hendak mengadu nasib di tanah Jawa. Beberapa 

hari lalu, tanpa sengaja aku mendengar tiga orang me-

laksanakan pertemuan rahasia. Seorang wanita cantik 

dan lainnya lelaki. Salah satu lelaki memiliki tubuh ker-

dil. Mereka rata-rata berusia sekitar empat puluhan. Ke-

tiganya mengenakan kalung. Mata kalung terbuat dari 

ujung tanduk rusa. Benda itu sebesar jari telunjuk ber-

bentuk pipih setengah lingkaran dan memiliki lubang di 

satu sisinya.

Kudengar mereka akan merencanakan pembentu-

kan Perserikatan Setan yang anggota-anggotanya ada-

lah tokoh-tokoh atas golongan sesat.

Samar-samar, aku mendengar beberapa nama 

disebutkan. Ada Tiga Datuk Kar...

Hanya sampai di situ bunyi surat tersebut. Tam-

paknya, si pembuat surat tak punya cukup tenaga lagi 

untuk mengguratkan kata-kata di atas kain.

***

Kurang lebih seabad lalu, hidup seorang pende-

kar muda dari Puncak Gunung Tangkuban Perahu, 

Tanah Parahiyangan. Untuk pertama kalinya dia turun 

gunung. Selama tiga tahun terakhir, dia berdiam diri di 

puncak gunung tersebut. Berguru dengan seorang pe-

tapa sakti mandraguna yang tak pernah dikenal nama 

dan julukannya dalam hingar-bingar dunia persilatan. 

Bahkan, si murid sendiri hingga turun gunung tak ju-

ga mengetahui nama sesungguhnya. Dia hanya ingin 

dipanggil Eyang. Itu saja.

Gurunya memerintahkan si pendekar muda un-

tuk memperdalam kesaktian kanuragan dan kedig-

dayaan dengan bertapa selama dua belas purnama di 

tepi Sungai Citarum.

Pada kala itu, Sungai Citarum tak pernah bebas 

dari satronan kawanan binatang buas. Buaya, ular 

sungai, atau macan Jawa setiap saat bisa muncul di 

tepinya. Tak peduli siang, atau malam. Tak pandang 

panas hujan. Menurut rakyat sekitar, sebagian hewan-

hewan tersebut malah merupakan makhluk jejadian, 

lelembut hutan yang berubah wujud menjadi binatang 

buas penunggu sungai.

Tanpa pernah merasa gentar akan segala cerita 

dan segala ancaman kebuasan hewan-hewan liar di 

sekitar sungai, pemuda itu menjalankan tapanya. Te-

pat di tepian berbatu rendah, dia duduk bersila, berse-

dekap dan memejamkan mata selama berhari-hari.

Belum lagi memulai pertapaan, si pendekar muda 

sudah didatangi sekawanan buaya. Seolah Joko Ting-

kir, pemuda itu harus menghadapi serbuan buaya-

buaya lapar. Sementara modalnya cuma sepotong 

bambu panjang yang diberikan Eyang Petapa. Ilmu 

kanuragan yang pernah diturunkan olehnya dilarang 

dipergunakan. Tentu saja perbuatan itu dilakoni, mengingat pesan Eyang Petapa adalah salah satu syarat 

yang harus dipenuhi.

Mati-matian pemuda itu mengusir gerombolan 

buaya lapar. Perjuangan yang menghabiskan waktu 

dua harian penuh. Sekaligus menguras tenaganya. Be-

lum lagi luka-luka di sekujur tubuhnya.

Dalam keadaan penuh luka, dalam keadaan de-

mikian letih serta lemah, pemuda itu tak pernah terpi-

kir untuk membatalkan niat. Dia memulai masa ta-

panya hari itu juga. Dengan luka-luka menganga di 

beberapa bagian tubuhnya, dengan sisa tenaga. Na-

mun dengan semangat yang tetap membukit di ha-

tinya.

Sepekan berlalu. Tak pernah terjadi apa-apa se-

lama itu. Pada awal hari di pekan kedua, si pendekar 

muda berhati baja mendapat uji kembali.

Dalam kekhusuan tapanya, dia merasakan ada 

sesuatu bergerak-gerak tepat di bawah tempatnya ber-

sila. Semacam gerakan bergeliat halus tubuh-tubuh 

panjang menjijikkan. Mula-mula gerakan tersebut 

hanya samar-samar. Selanjutnya semakin terasa jelas.

Ketika geliatan-geliatan di bawahnya makin ber-

gerumbul, dirasa tubuhnya terangkat sedikit demi se-

dikit. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dia be-

lum lagi mengetahui. Namun, ada semacam pikiran 

mengusik, kalau geliatan-geliatan yang sedang ber-

langsung di bawah silanya adalah gerak gerombolan 

ular-ular liar.

Pikiran yang semestinya tak dibiarkan menjadi 

liar pada saat dia harus memusatkan segenap rasa 

dan karsanya ke satu titik dalam diri menjadi semakin 

liar ketika telinganya sayup-sayup menangkap desisan 

ramai.

Pemuda itu makin yakin di bawah tubuhnya kini 

ada gerombolan ular-ular besar. Mereka datang entah

dari mana. Tiba-tiba saja menyelusup ke bawah si-

lanya, dan berkumpul hingga mengangkat tubuhnya.

Kesadarannya cepat memperingatkan akan satu 

hal. Bahwa dirinya sedang dalam masa pertapaan. Apa 

pun yang terjadi, dia sebaiknya tidak mempedulikan. 

Sebab jika dia membuka mata sedikit saja, atau lebih 

lama terusik kekhusuannya, maka usahanya selama 

ini akan gagal. Hancur tanpa hasil seperti asap tersapu 

angin.

Kemungkinan besar, seluruh ular-ular liar itu 

hanyalah salah satu cobaan. Tampaknya cobaan un-

tuk bisa lulus dalam tapa telah dimulai. Dan ular-ular 

itu tentu cuma bayangan yang bermain di benaknya 

dan mencoba mengusik perasaan serta pikirannya. Ta-

pi, bagaimana dia bisa mengetahui kalau ular-ular itu 

cuma bayangannya? Bagaimana kalau ternyata ular-

ular itu ternyata sungguhan? Lebih gawat lagi, bagai-

mana kalau mereka tergolong berbisa?

Tanpa mempedulikan ketakutan yang meruyak 

langsung dari dalam dirinya, pemuda itu melawan se-

luruh ketakutan dalam dirinya. Dia tak ingin tapanya 

gagal. Apa pun yang terjadi, dia tak ingin gagal. Lagi 

pula, kalaupun ternyata binatang-binatang yang sibuk 

melata di bawahnya memang gerombolan ular sunggu-

han, toh dia tak akan diserang selama tubuhnya tetap 

tak bergeming.

Perjuangannya untuk memusatkan kembali rasa 

dan karsanya mendapat tantangan lebih besar mana-

kala dirasa tubuhnya mulai beringsut ke arah sungai.

Apa-apaan ini? Terbetik rasa, ketidak mengertian 

dalam dirinya. Bagaimana mungkin gerombolan ular 

dapat bergerak begitu rupa ke satu arah, membuat tu-

buhnya terikut gerakan mereka? Apakah dugaannya 

meleset? Mungkinkah makhluk-makhluk menjijikkan 

yang bergerak-gerak di bawahnya bukan kawanan

ular?

Jangan terusik! Tetap bertahan pada kekhusu-

kanmu! Hati kecilnya memperingati. Sentakan kata ha-

tinya menyadarkan si pemuda untuk berkutat kembali 

mengerahkan segenap kekuatan batin untuk me-

ngembalikan kekhusuannya.

Semuanya tetap tidak menjadi mudah. 

Gerakan makhluk-makhluk panjang di bawahnya 

terus beringsut dengan gerak pasti ke arah sungai.

Kekhusuan si pemuda terusik lagi. Barangkali 

aku memang telah memasuki masa cobaan? Pikirnya. 

Padahal pikiran yang terbetik selintas seperti itu dapat 

membuat tapanya gagal jika terus saja dibiarkan men-

jadi liar tak terkendali. Lalu dia berjuang lagi untuk 

kembali ke kekhusuannya.

Tantangan makin memberat manakala si pemuda 

merasakan bagian bawah tubuhnya mulai diserbu rasa 

dingin. Air sungai pada malam hari memang terasa 

amat dingin. Dan tubuhnya kini telah mencapai bibir 

sungai. Makhluk-makhluk yang bergeliat-geliat di ba-

wahnya telah membawa dia sampai di sana!

Astaga, apa yang akan terjadi pada diriku? Mes-

tikah aku meneruskan tapa, atau membatalkannya? 

Jika tapa kuteruskah, apa yang nanti bakal terjadi?

Segala usikan pertanyaan dalam hati segera dibe-

rangusnya kembali. Dipatrinya tekad sekali lagi, apa 

pun yang terjadi, dia harus tetap meneruskan tapa!

Rasa dingin yang menyerang seluruh bagian ka-

kinya kini merambat naik ke batas pinggang. Gerakan-

gerakan makhluk-makhluk di bawahnya masih samar 

dirasakan. Lalu rasa dingin yang berasal dari air Sun-

gai Citarum naik terus ke batas dada, leher dan akhir-

nya wajahnya.

Benak si pemuda kini bukan lagi diusik oleh se-

runtun pertanyaan, melainkan sudah muncul pula kepanikan dalam dirinya. Kalau dia terus diam, maka dia 

akan mati tenggelam. Jalan yang terbaik baginya ada-

lah segera membatalkan tapa. Dengan begitu, nya-

wanya akan selamat.

Kepanikan yang mencoba merapuhkan tekadnya 

ditebas oleh peringatan hati kecil. Jangan bodoh! Te-

ruskan tapamu! Bagaimana kalau semua itu cuma co-

baan? Kalau benar ujian, maka kau akan gagal saat 

kau membuka mata!

Si pemuda memutuskan untuk tetap diam Tetap 

memejamkan mata, tetap dalam posisi bersemadi. Apa 

pun yang terjadi, tapanya harus diselesaikan. Jika per-

lu, mati pun akan dihadapinya!

Penguatan tekad kembali itu membawa hasil. Si 

pemuda tetap tak bergeming dari posisi semula. Se-

mentara rasa dingin kini tuntas menyerang seluruh 

bagian kulitnya. Tak terkecuali kulit kepalanya. Dia te-

lah tenggelam!

Tak begitu lama, dialaminya tekanan air sungai. 

Dia merasakan tubuhnya melayang turun perlahan ke 

dasar Sungai yang dalam. Turun dan terus turun. Tak 

ada lagi geliat tubuh-tubuh panjang di bawah posisi si-

lanya yang tak berubah. Digantikan dengan tekanan 

air yang menyesakkan dada. Lubang telinga dan hi-

dung pun mengalami hal serupa.

Sempat terbersit dalam pikirannya, kalau semua 

itu semata ujian yang datang ke dalam perasaan dan 

pikirannya semata tentu dia masih bisa bernapas. 

Mungkin saja sebenarnya dia masih duduk di tepi 

sungai. Namun karena cobaan itu, dia merasa telah 

tenggelam dalam sungai. Karena itu dia menjajal me-

narik napas. Namun dugaannya meleset. Begitu per-

napasannya mencoba menghirup udara, yang masuk 

justru air.

Tak mau mengambil resiko paru-parunya kerasukan air dan mati karenanya, si pemuda secepatnya 

membatalkan niat menarik napas. Ditahannya paru-

paru.

Keraguan mengusiknya untuk ke sekian kali. Be-

narkan dia dalam ujian? Semuanya begitu terasa nya-

ta. Jangan-jangan dia memang benar-benar tenggelam. 

Kalau dia mati, maka bukan cuma tapanya yang gagal, 

tapi dia pun akan kehilangan nyawa. 'Sudah jatuh ter-

timpa tangga pula' kalau begitu!

Dan untuk yang ke sekian kalinya keraguan itu 

dilawannya sekeras hati. Dilawannya, sampai seluruh 

bisikan-bisikan melemahkan tadi menjadi melemah di 

hatinya lalu pudar sama sekali.

Dia berhasil mengentaskan semua itu.

Sementara rasa sesak terus berjangkit. Dadanya 

sudah kehilangan banyak udara karena menahan na-

pas cukup lama. Otot-otot dadanya sudah terasa ter-

koyak-koyak. Sebentar lagi, mungkin dia akan menarik 

napas secara refleks.

Pada saat-saat genting, mendadak saja terjadi ke-

jadian baru yang tak kalah mengejutkan. Terasa tu-

buhnya dijepit kuat-kuat oleh sesuatu. Semacam gua, 

tapi bukan. Kalau gua, tentu permukaannya keras. Ini 

justru lembek, berlendir dan hangat.

Dia menyadari tubuhnya telah ditelan makhluk 

raksasa entah berwujud apa ketika sebagian tubuhnya 

membentur deretan benda-benda keras meruncing. 

Dugaan muncul cepat. Deretan benda-benda ranting 

tadi tentu barisan gigi!

Sekejapan berikutnya, dia merasa didorong ma-

suk ke dalam saluran berlendir menghimpit. Sekujur 

tubuhnya terasa nyaris remuk. Kemudian tubuhnya 

meluncur deras dalam saluran yang tak hanya berlen-

dir menghimpit, tapi juga berbau amat memuakkan 

itu. Seperti ada tumpukan bangkai busuk!

Kejadian itu berlangsung cukup lama. Amat me-

nyiksa si pemuda. Hingga rasanya dia menjalaninya 

selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.

Tiba-tiba semuanya usai. Semuanya. Diganti oleh 

hadirnya kesunyian yang pekat. Kegelapan meraja. Se-

juk berkuasa. Apa yang telah terjadi? Bisik hati si pe-

muda.

Samar-samar dilihatnya kemudian satu titik ca-

haya putih kemilau. Titik cahaya itu kian lama kian 

mengembang sampai seluruh kegelapan tertelan. Yang 

ada kini cuma terang benderang. Anehnya, tidak me-

nyilaukan. Tidak pula terasa panas. Melainkan sejuk.

Disusul oleh bergemanya suara.

"Tapamu telah berhasil. Bukalah matamu. Bang-

kitlah. Lalu berdiri untuk memperingatkan manusia 

akan kuasa Tuhan. Tegakkan keadilan di muka bumi. 

Perangi kemungkaran. Sang Penguasa Semesta telah 

melimpahkan padamu anugrahnya. Sebelum kau be-

nar-benar melaksanakan tugas suci, kau harus me-

nyempurnakan kesaktian di Lembah Kutukan. Kesak-

tianmu itu, akan turun kepada setiap babak keturu-

nanmu. Salah seorang di antara mereka akan terpilih 

untuk memiliki kesaktian seperti kesaktianmu pula, 

meski kau belum lagi mati. Jika waktu pewarisan ke-

saktian telah tiba, perintahkanlah mereka untuk me-

nyempurnakannya di Lembah Kutukan...."

Ketika si pemuda membuka mata, dia ternyata 

masih berada di tepi Sungai Citarum. Seluruh tubuh-

nya telah ditumbuhi pepohonan rambat yang biasa 

tumbuh di tepi sungai. Rupanya telah dua belas pur-

nama dia bertapa. Padahal menurut perasaannya, dia 

bertapa baru beberapa hari saja. 

Pemuda itu bernama Saptacakra. 

Beberapa tahun kemudian, diguncangkannya 

dunia persilatan. Julukan angker pun tersemat, Pendekar Lembah Kutukan.

***

5


Dalam masa perjuangan menegakkan panji-panji 

keadilan, Saptacakra muda berhadapan dengan mu-

suh besar, Tiga Datuk Karang. Meski muda, ilmu 

'Karang' mereka benar-benar tangguh. Itu sebabnya 

dunia persilatan tak segan-segan memberi julukan Da-

tuk pada mereka. Sampai Ki Saptacakra pun hampir-

hampir kewalahan dibuatnya. Padahal kesaktian me-

reka belum lagi benar-benar disempurnakan dengan 

mempelajari satu kitab ilmu 'Karang Pamungkas'. Pada 

saat mereka berhasil mempelajari kitab itu, maka ke-

sempatan bagi Saptacakra muda untuk mengalahkan 

mereka pun akan lenyap.

Suatu hari Saptacakra muda bertemu dengan 

kakak perempuannya, Nyai Silili-lilu. Dahulu, perem-

puan tua itu demikian cantik. Namanya pun demikian 

indah, Ratna Juwita Permata Kumalasari Dewi Bunga 

Kamboja. Entah berapa nama perawan di-borongnya 

menjadi satu. Setiap orang boleh memanggilnya sesuka 

hati. Boleh Ratna, boleh Juwita, boleh Permata. Kuma-

la juga boleh. Asal jangan Kumal, katanya.

Waktu itu, dia sudah berpacaran dengan Petaruh 

Sakti Perut Buncit. Buncit memang. Namun tak se-

buncit sekarang. Dibanding sekarang, perutnya masih 

lebih langsing. Meski untuk ukuran perut dua orang!

Mengetahui Petaruh Sakti Perut Buncit muda be-

gitu gandrung bertaruh dengan kesaktiannya, Sapta-

cakra muda mempunyai akal. Dia akan berkerja sama 

dengan Petaruh Sakti Perut Buncit muda untuk menghadapi tiga musuh beratnya. Ditantangnya tiga tokoh 

sesat muda itu untuk bertanding. Dua lawan tiga. Sap-

tacakra muda dengan Petaruh Sakti Perut Buncit mu-

da menghadapi Tiga Datuk Karang. Siapa pun yang ka-

lah, harus menyerahkan kitab ilmu pamungkas milik 

masing-masing. Dengan kecerdikan itu, Saptacakra 

muda berharap dapat mencegah tiga musuh besarnya 

mempelajari kitab ilmu 'Karang Pamungkas'.

Tantangannya mendapat sambutan. Bukan cuma 

dari Petaruh Sakti Perut Buncit muda. Tapi juga dari 

ketiga lawan yang sudah lama ingin menyingkirkan-

nya.

Pertarungan maha hebat sepanjang setengah ab-

ad terakhir pun pecah. Tempatnya di puncak Gunung 

Ciremai. Tiga Datuk Karang berhasil dikalahkan. Sejak 

saat itu, ketiganya menghilang.

***

Ki Saptacakra mengakhiri cerita tentang riwayat 

awal perjalanan hidupnya pada Pendekar Slebor, Nyai 

Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit. Ketiganya be-

rada di depan gua sempit, yang sebenarnya lebih pan-

tas disebut lubang di karang tepi Pesisir Pantai Laut 

Selatan.

Sebelumnya, Pendekar Slebor dan buyutnya, 

Pendekar Lembah Kutukan masuk ke dalam. Melalui 

mulut gua sempit, mereka masuk merangkak. Kira-

kira dua kali peminuman teh mereka merayap di se-

panjang lorong. Sampai akhirnya keduanya tiba di 

ujung lorong. Tepat di ujungnya, terdapat ruangan 

alam besar mirip kubah. Di dalam sana gelap gulita, 

keadaan yang serupa dengan di sepanjang lorong ren-

dah dan sempit. Untuk membawa obor melalui lorong 

sesempit itu, jelas tak memungkinkan. Lagi pula, mereka datang ke tempat itu tanpa persiapan sama sekali

Dengan agak merayap-rayap, dua lelaki bertaut 

usia amat jauh itu turun dari ujung mulut lorong dan 

masuk ke ruangan yang bersambungan dengan lorong.

"Sebenarnya ada perlu apa kita ke tempat ini, Ki 

Buyut?" tanya Andika waktu itu. Jelas dia ingin tahu 

tujuan buyutnya. Baginya, orang tua itu telah melaku-

kan hal yang tidak-tidak. Tak ada angin tak ada hujan, 

tahu-tahu dia berlari kalang-kabut ke tempat itu. Su-

dah itu, dia mengajak yang lain masuk ke lorong ka-

rang seperti tempat tinggal tikus tanah itu. Nyai Silili-

lilu jelas menolak mentah-mentah. Perempuan bung-

kuk seperti dia bakal mendapat musibah mengenaskan 

kalau ngotot masuk juga ke lorong. Masih bagus kalau 

tidak terjebak di dalam. Bagaimana kalau tubuh me-

lengkungnya itu terjepit dalam lorong? Memangnya pe-

rempuan bangkotan itu mau bernasib seperti upil di 

lubang hidung?

Kalau Nyai Silili-lilu saja tak mau, apalagi Peta-

ruh Sakti Perut Buncit? Andika sebenarnya ingin san-

tai saja di luar. Menikmati pemandangan lepas Laut 

Selatan pasti lebih mengasyikkan ketimbang masuk ke 

dalam lubang berlorong. Tapi, kalau urusannya sudah 

main bentak, Andika tidak bisa menolak perintah 

buyutnya.

Kalau Pendekar Slebor tak bertanya, itu namanya 

bersedia dengan sukarela ikut-ikutan tingkah buyut-

nya yang dianggap agak sableng.

"Diam kau!" bentak Ki Saptacakra, menanggapi 

pertanyaan penasaran cicitnya di belakang. "Aku pal-

ing dongkol pada orang cerewet! Seperti perempuan 

kaleng rombeng itu!" dengusnya, memaki kakak pe-

rempuannya sendiri, Nyai Silili-lilu. Padahal, dia sendi-

ri sering begitu.

"Jangan marah begitu, Ki Buyut. Aku cuma ingin

tahu alasanmu ke tempat ini...," susul Andika.

"Kalau kau mau tahu, ikuti saja. Nanti juga kau 

tahu!"

"Suka-suka Ki Buyut sajalah...," gumam Andika 

pasrah.

Di dalam ruangan alam berdinding karang gelap 

gulita itu, Andika merayap-rayap. Hanya desah napas 

Ki Saptacakra yang dijadikan pedoman untuk mengi-

kutinya. Ruangan yang tertutup itu memungkinkan 

suara sekecil apa pun terdengar lebih jelas.

Di lain pihak, Ki Saptacakra seperti tidak menga-

lami kesulitan di dalam kegelapan pekat seperti itu. 

Dia berjalan seenaknya, seolah-olah tak takut jidat-nya 

jadi benjut karena menabrak dinding karang.

Barangkali makanan sehari-hari si tua ini tikus 

lubang yang biasa hidup di tempat gelap, rutuk Pende-

kar Slebor.

Selagi sibuk memikirkan bagaimana buyutnya 

bisa berjalan seenaknya di tempat tanpa cahaya seper-

ti itu, Andika menabrak sesuatu.

"Aduh!" Andika mengaduh. Darahnya berdesir 

ngeri, karena yang baru saja ditabraknya ternyata pan-

tat Ki Saptacakra.

"Monyet kurap, kudis bau, obat bisul manjur!" 

maki kakek sakti itu tak alang kepalang murka. Lucu 

kalau dia tidak murka. Sebab tubuhnya langsung ter-

jungkal ke depan. Andika tak tahu apa yang terjadi 

padanya. Cuma kalau mendengar ada suara tempu-

rung kepala beradu dengan dinding karang, dia yakin 

buyutnya pasti mendapat 'kecelakaan'!

"Ma... maaf, Ki Buyut! Tidak sengaja, he he he!" "

"Diam kau!"

"Habisnya, Ki Buyut berhenti tidak bilang-bilang. 

Lagi pula, buat apa Ki Buyut membungkuk seperti tadi?" dalih Andika.

"Aku sedang memeriksa sesuatu, tolol! Makanya 

kalau jalan hati-hati."

"Tempatnya gelap...."

"Ah, aku saja yang tua tidak mengeluh!"

Itu karena kau senang menyantap tikus tanah 

barangkali! Maki Andika membatin.

"Apa yang sedang kau periksa, Ki Buyut?"

"Lubang!"

"Lubang apa? Di dunia ini banyak macam lu-

bang. Dari lubang ular sampai 'lubang yang berja-

lan'...," Andika mencoba bergurau, sedikit merayu 

orangtua besar adat itu.

"Jangan ngawur! Aku sedang memeriksa tutup 

lobang rahasia penyimpanan benda-benda berharga 

milik si Buncit di luar sana!"

"Dunia ini memang sinting. Masa' orang sebuncit 

dia punya tempat penyimpanan dalam lubang seperti 

itu? Bagaimana dia hendak masuk untuk menyimpan 

sesuatu?"

"Itu urusan dia, bukan urusanmu!" bentak Ki 

Saptacakra kembali. "Sekarang keluar!" sambungnya 

kemudian.

"Keluar? Memangnya kau sudah memeriksa lu-

bang tadi, Ki Buyut?" 

"Waduh-waduh!"

"Kenapa? Kenapa, Ki Buyut? Ada sesuatu dalam 

lubang itu!" tanya Pendekar Slebor kalang kabut.

"Jempol kakiku kau injak, tolol!"

Begitu kejadian sebelumnya. Keduanya berkum-

pul lagi di luar bersama Nyai Silili-lilu dan Petaruh 

Sakti Perut Buncit. Ki Saptacakra melaporkan pada 

dua bangkotan itu bahwa lubang penyimpanan ternya-

ta masih aman.

Setelah diminta Andika sampai mulutnya pegal, 

barulah Ki Saptacakra menjelaskan alasannya kenapa

dia begitu tergesa-gesa untuk memeriksa lubang terse-

but.

Diceritakannya tentang surat kain yang ditemui 

di sungai dua hari lalu. Dari kain itu, dia mengambil 

kesimpulan kalau musuh besarnya sejak muda. Tiga 

Datuk Karang, telah kembali lagi ke dunia persilatan.

"Bagaimana kau merasa yakin kalau tiga manu-

sia busuk itu mengincar kitab pamungkas mereka da-

lam tempat penyimpanan rahasiaku?" tanya Petaruh 

Sakti Perut Buncit.

"Kau ingat ketiga murid murtadmu?" Bukan men-

jawab, Ki Saptacakra malah balik bertanya. Petaruh 

Sakti Perut Buncit mengangguk. "Bukankah kau 

memberikan tiga kalung pada mereka masing-masing?" 

susul Ki Saptacakra.

"Nah, dalam surat kain yang kutemukan, penu-

lisnya menyebut-nyebut tentang tiga orang yang memi-

liki kalung seperti telah kau berikan pada ketiga mu-

ridmu. Gambaran penulis surat tentang ciri-ciri ketiga 

muridmu.... Sementara, ketiga orang pemilik kalung 

yang kuyakin ketiga murid murtadmu itu sedang me-

rencanakan pembentukan Perserikatan Setan.

Mereka hendak bersekutu dengan tokoh-tokoh 

golongan sesat. Dalam surat tokoh golongan sesat yang 

sempat ditulis hanya 'Tiga Datuk Kar....' Aku yakin dia 

hendak menulis Tiga Datuk Karang!" papar sesepuh

golongan putih, panjang lebar.

"Jadi?"

"Ah, otakmu kau gadaikan ke mana, Buncit? Ten-

tu saja tiga manusia busuk itu akan mengincar ketiga 

kalung yang dikenakan muridmu untuk mendapatkan 

kitab pamungkas mereka kembali. Bukankah...."

"Kalung?!" Nyai Silili-lilu menyela. "Kau tadi sebut 

kalung milik murid murtad si Buncit, Iler?" 

"Ya."

"Satu kalung itu dipegang cicit kita. Bukan begi-

tu, Anak Sial?!" Nyai Silili-lilu menoleh ke arah Andika 

berdiri sebelumnya. Tapi, pendekar muda itu sudah 

tak ada lagi di tempatnya.

"Hei, ke mana kau?!"

Pendekar Slebor sedang mengejar seseorang yang 

mengintai dari puncak bukit karang sewaktu dirinya, 

Petaruh Sakti Perut Buncit, Nyai Silili-lilu, dan Ki Sap-

tacakra sedang berkumpul di depan gua kecil. Tanpa 

sepengetahuan ketiga dedengkot yang sedang sibuk 

berbicara itu, Andika mengendap-endap mengelilingi 

tepi bukit karang. Akan diringkusnya si pengintai dari 

bagian belakang bukit karang.

Sewaktu tiba di bagian belakang bukit karang 

yang bagian atasnya menjorok ke laut, Pendekar Sle-

bor sudah tak menemukan pengintai tadi. Dia cepat 

naik ke atas untuk meyakinkan diri.

Di atas, orang tadi memang benar-benar telah 

melarikan diri. Kebetulan sekali, dari tempat setinggi 

itu, Pendekar Slebor bisa melepas pandangan cukup 

jauh. Mata sejeli elang pemuda itu menangkap kembali 

si pengintai.

Anak muda pewaris kesaktian Pendekar Lembah 

Kutukan itu segera turun mengejar. Dihelanya seluruh 

ilmu peringan tubuh yang dimiliki.

***

6


Hari menjelang malam. Ladang kering di wilayah 

Wetan Jawa yang belakangan menggegerkan dunia 

persilatan dengan hadirnya makhluk menakutkan ter-

lihat senyap. Jangkerik berkerik dalam kegelisahan.

Kekurangan air telah menyiksa binatang kecil melata 

sampai manusia.

Tanah kering kerontang, serta retak-retak telan-

jang tanpa tanaman seperti bulan-bulan sebelum mu-

sim kering merajalela. Bulan bulat berwarna kemera-

han. Mengambang di angkasa raya, bebas menebar 

cahayanya seakan tak peduli pada segenap keluh ke-

sah satwa.

Amitha berdiri di tengah-tengah bentangan la-

dang kering. Angin kering berhembus mempermainkan 

ujung sorban dekil dan kain cawatnya yang tak kalah 

dekil. Tangannya bersedekap. Matanya kaku dan keras 

menatapi rembulan. Wajahnya sangat sepi. Namun 

bersit di mata cekungnya tetap memancarkan bara 

dendam tak kunjung padam.

Malam ini, dia sedang menunggu seseorang yang 

akan menemuinya. Tepatnya ketika rembulan men-

gambang tepat di atas kepala. Tak jelas siapa orang 

yang akan ditemuinya.

Siang tadi, dia mendapat pesan yang diikatkan di 

kaki seekor burung merpati. Isi surat menjelaskan ka-

lau seseorang ingin menemuinya tanpa membubuhkan 

nama. Si pengirim surat mengatakan dirinya memiliki 

keterangan berkenaan kematian istri Amitha.

Tentu saja hal itu memicu rasa penasaran Ami-

tha. Sepanjang pengetahuannya, pemuda berjuluk 

Pendekar Sleborlah pembunuh istrinya. Hanya itu 

yang diketahui. Tentang alasan kenapa Neelam istrinya 

dibunuh tetap menjadi tanda tanya. Juga dia belum 

paham apa hubungan antara kematian istrinya dengan 

kalung yang diperlihatkan Pendekar Slebor padanya 

beberapa waktu lalu.

Terakhir bertemu dengan si pendekar muda dari 

Lembah Kutukan, Amitha jadi merasa ragu apakah dia 

telah menempatkan tuduhan pada pihak yang tepat?

Sebab menurut pengamatannya, tak ada kesan di wa-

jahnya kalau pemuda gondrong itu berdusta.

Namun, bukankah dunia ini penuh kepalsuan? 

Wajah bersahabat tak selamanya membuktikan jiwa 

bersih dari keculasan. Lain luar, lain dalam. Lain di 

wajah, lain pula di hati. Curiga hati Amitha. 

Meski begitu, kenapa pendekar yang menurut 

kabar beberapa orang memiliki kesaktian tinggi itu me-

rasa harus lari menghindariku. Hatinya bertanya-tanya 

kembali. Kabar lain yang didengar pun mengatakan 

kalau Pendekar Slebor adalah tokoh muda jajaran te-

ras golongan lurus. Tak mungkin dia melarikan diri 

dari satu pertarungan seperti seorang pecundang tan-

pa alasan yang benar-benar jelas.

Pikiran seperti itu mengembalikan kembali kera-

guan dalam diri Amitha.

"Selamat malam, Lelaki India!" sapa seseorang di 

belakangnya.

Pandangan Amitha yang semula menancap tepat 

di kebisuan bulan, beralih ke asal suara. Dilihatnya 

seseorang telah berdiri di belakangnya. Sapuan sinar 

lamat bulan memperjelas wajah lelaki itu. Dia berjeng-

got seperti kambing gunung. Usianya sekitar delapan 

puluhan. Alisnya hitam, tebal dan lebat, menaungi se-

pasang mata setajam sembilu. Meski usianya tua, ma-

sih tampak sisa ketampanannya. Kening lelaki itu le-

bar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran kepala. 

Memanjang lepas menutupi bokong. Perawakannya 

tinggi besar dan berotot. Pada kulit dari bagian leher 

ke bawah, seluruhnya berkerut-kerut. Serupa dengan 

karet terbakar dengan warna merah kehitaman.

Siapa dia? Pertanyaan itu tentu timbul dalam diri 

Amitha. Baginya, pendatang itu masih penuh teka-teki. 

Dialah orang yang telah mengirim surat padanya mela-

lui merpati beberapa waktu lalu. Meski tak dijelaskan

ciri-cirinya dalam surat tersebut. Amitha tetap yakin 

memang dia orangnya.

Amitha boleh tidak mengenalnya, tapi dunia per-

silatan sudah cukup tahu siapa sesungguhnya lelaki 

satu ini. Pangeran Neraka! Salah seorang yang siap 

menggabungkan diri ke dalam Perserikatan Setan.

Apa sesungguhnya sesuatu yang mendekam da-

lam pikiran licik lelaki satu ini dengan menemui Ami-

tha? Jika Pangeran Neraka melakukan sesuatu, tak 

ada yang pernah terlepas dari satu rencana busuknya. 

Dia adalah manusia yang hidup dengan setiap desah 

napas kelicikan. Sementara hidup sendiri baginya ada-

lah permainan culas yang mesti dimenangkan dengan 

segala cara.

Seperti pernah diceritakan sebelumnya. Pangeran 

Neraka menjadi sukarelawan pertama dalam Perserika-

tan Setan dalam melaksanakan kerja besar menying-

kirkan Pendekar Slebor. Selama tahun-tahun belakan-

gan, hanya niat itu menjadi hasrat hebatnya. Dendam-

nya terhadap si pemuda sakti dari Lembah Kutukan 

menempati dirinya bagai lebih besar dari tubuhnya. Itu 

sebabnya dia begitu bersemangat ketika tiga murid 

murtad Petaruh Sakti Perut Buncit mengiming-imingi 

akan membuat rencana awal membunuh Pendekar 

Slebor sebagai usaha pertama pembentukan Perserika-

tan Setan.

Sewaktu pertama menyatakan diri sebagai suka-

relawan untuk perencanaan siasat licik menyingkirkan 

Pendekar Slebor, Pangeran Neraka tak mendapat gaga-

san sama sekali.

Beberapa hari kemudian, secara kebetulan dia 

mendengar kegegeran di daerah perladangan sekitar 

Wetan Jawa. Tentang munculnya makhluk mengerikan 

berwujud macan kepala puluhan ular. Ketertarikannya

terpicu manakala mengetahui kalau makhluk jejadian

itu menyebut-nyebut nama Pendekar Slebor ketika 

membunuh orang-orang persilatan.

Pangeran Neraka pun segera berangkat ke wi-

layah kegegeran. Diam-diam, dia menyelidik. Diin-

tainya setiap saat wilayah ladang kering tersebut di 

tempat tersembunyi yang tak pernah diduga Amitha 

sama sekali. Dengan tanah lapang yang membentang 

kering seperti itu, akan terlalu sulit bagi siapa pun un-

tuk mengintai. Pangeran Neraka tidak kehilangan akal. 

Ketika Amitha pergi ke jantung Kadipatenan Karang 

Gantung, dibuatnya satu lubang persembunyian dalam 

tanah. Lengkap dengan lubang udara untuk saluran 

bernapas. Lubang itu kemudian ditutupinya dengan 

tumpukan jewawut kering yang banyak tersebar di se-

kitar tempat itu. Dari dalam tumpukan jewawut yang 

agak tinggi, kepalanya dapat mengawasi keluar melalui 

celah-celahnya.

Sampai suatu hari, dia menyaksikan Pendekar 

Slebor mendatangi tempat tersebut. Sebelumnya, Ami-

tha memang tak ada di tempat tersebut. Itu sebabnya 

kenapa Pendekar Slebor waktu itu tetap merasa ada 

yang mengawasi.

Setelah mengamati seluruh kejadian antara Pen-

dekar Slebor dengan Amitha, mencuat akal licik dalam 

benak Pangeran Neraka. Kesaktian Amitha dianggap-

nya cukup tangguh untuk menyingkirkan si pendekar 

muda bernama besar itu. Adu domba. Kelicikan yang 

sesungguhnya sudah berusia demikian tua akan di-

atur! Hadiah besar bagi Pendekar Slebor, pikirnya.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Amitha. Matanya 

mengawasi Pangeran Neraka, padat kecurigaan.

"Aku? Tak penting siapa aku...," jawab Pangeran 

Neraka. Kelicikan dalam pancar matanya disembunyi-

kan oleh wajah yang dipasang sedemikian bersahabat.

"Aku tahu kau orang dunia persilatan! Kau tahu,

aku paling benci orang-orang dunia persilatan. Seper-

tinya keinginanku untuk membunuh mereka tak per-

nah terpuaskan. Jika kau bertele-tele padaku, kau pun 

akan mengalami nasib serupa dengan orang-orang 

persilatan lain!" ancam Amitha, gusar karena perta-

nyaannya tak mendapat jawaban memuaskan.

"Sabar, Saudara," Pangeran Neraka menenang-

kan, dengan sandiwara yang demikian matang. Sikap-

nya saat itu seolah-olah seorang suci yang tak gam-

pang terpancing kemarahannya.

"Aku cuma seorang yang menginginkan keadilan 

tegak di muka bumi ini," lanjut Pangeran Neraka, pa-

dat kedustaan.

"Tidak ada keadilan di bumi ini!" terabas Amitha 

mengkelap. Tergambar kembali keadaan mayat Neelam 

ketika ditemukan di belakang gubuk kecil mereka. 

Bayangan itu menyesakkan dadanya.

"Kau tahu, aku cuma orang kecil mencoba men-

gadu nasib di negeri orang. Bersama istriku, aku ke 

pulau Jawa ini. Kami membanting tulang memeras ke-

ringat hanya untuk dapat bertahan hidup sehari dua 

hari. Kami tak mengusik siapa pun untuk menda-

patkan makan. Kami tak pernah menyakiti siapa pun. 

Tapi kenapa tiba-tiba istriku direnggut dari sisiku? Apa 

salah kami? Apa? Kau pikir itu keadilan?" serbu Ami-

tha meledak-ledak kalap.

"Keadilan memang kian rapuh di dunia, Sauda-

ra," ucap Pangeran Neraka, berpura-pura turut priha-

tin atas nasib lelaki India di depannya. Lalu lanjutnya, 

"Karena itu pula aku merasa harus menjadi seorang 

penegak keadilan...."

"Aku tak percaya! Kukenal pun kau tidak. Lalu 

bisa-bisanya kau mengatakan padaku bahwa kau seo-

rang penegak keadilan!"

"Percayalah, Saudara," bujuk Pangeran Neraka

bersama senyumnya yang memikat dilihat dari luar. 

Namun siap menusuk di dalam.

Kepalsuan adalah bagian dari diri Pangeran Ne-

raka. Untuk mengakali Amitha, kepalsuan pun menja-

di senjata andalan lelaki berotak cemerlang namun 

berhati busuk bak bangkai itu. Kata-katanya mengalir 

bak kemilau mutiara. Di balik itu, tersenyum tipu 

daya.

"Aku sengaja ingin menemuimu karena aku tahu 

bahwa kau adalah salah seorang yang tidak mendapat 

keadilan di muka bumi. Aku datang untuk mendu-

kungmu dalam mendapatkan keadilan itu."

"Dusta!"

"Dusta? Aku tidak berdusta. Untuk apa aku 

mendustaimu? Apa untungnya aku mendustaimu?!" 

dalih Pangeran Neraka, licik.

Dada kurus Amitha turun-naik. Kemarahannya 

pada orang dunia persilatan membakar dari dalam, 

menghanguskan seluruh rasa kemanusiaannya. Tapi 

menghadapi lelaki satu ini, dia seperti dipaksa untuk 

berpikir keras. Khususnya setiap perkataan yang tam-

paknya benar menurut penilaian Amitha.

"Kau marah pada orang-orang persilatan?" lanjut 

Pangeran Neraka. Perlahan dia mendekat. Selangkah 

demi selangkah. Seolah seorang pawang binatang buas 

yang hendak menjinakkan hewan peliharaannya.

"Kau ingin membunuh seluruh orang persilatan 

bukan? Kalau kau merasa tidak puas telah membunuh 

setiap nyawa yang semestinya tak pantas kau bunuh, 

sebaiknya kau bunuh aku...," tambah Pangeran Nera-

ka, mencoba dengan siasat lain.

Mata Amitha menatap nanar.

"Kenapa ragu. Kau bisa membunuhku sekarang 

bukan? Ayolah, bunuh aku!" desak Pangeran Neraka. 

Pada saat itu, dia tahu benar kalau ucapannya telah

menancapkan keraguan dalam pada diri Amitha.

"Kenapa kini kau hanya bisa diam, Saudara?"

Wajah Amitha semakin diberangus keraguan.

"Aku tahu kau ragu untuk membunuhku. Karena 

di dasar hatimu, kau tahu tak seorang pun pantas kau 

bunuh...."

"Aku dendam pada orang persilatan!" maki Ami-

tha, merasa tersudut.

"Tidak semua orang persilatan!" sentak Pangeran 

Neraka. Dia telah tiba di depan Amitha. Jarak yang ter-

lalu dekat dan berbahaya seandainya Amitha benar-

benar melakukan serangan. Tapi, tampaknya Pangeran 

Neraka telah memperhitungkan semuanya dengan be-

gitu teliti.

"Kau hanya dikendalikan hawa kemarahanmu! 

Orang-orang yang kau bunuh selama ini sebenarnya 

tidak patut menerimanya. Kau menuntut keadilan 

dengan cara yang tidak adil! Apa kau pikir membunuh 

orang tak bersalah adalah perbuatan yang adil!"

Entah bagaimana, kepala lelaki India di depan-

nya perlahan-lahan merunduk. Amitha makin terpero-

sok dalam jebakan Pangeran Neraka!

"Katakan padaku, Saudara, apakah kau pantas 

membunuh orang-orang tak bersalah?!" desak Pange-

ran Neraka dengan nada suara menjangkit naik. "Ka-

takan padaku!"

"Tidak!" jawab Amitha keras. Kepalanya menen-

gadah kembali. "Aku hanya pantas membunuh orang 

yang telah menyingkirkan istriku!"

Pangeran Neraka diam. Ditariknya napas. Dalam 

hatinya, dia justru bersorak gembira. Pancingannya 

sebentar lagi akan mendapat hasil, pikirnya.

"Kau tahu siapa orang itu?" susul Pangeran Neraka.

"Pendekar Slebor," geram Amitha.

"Kau yakin?" Pangeran Neraka melanjutkan kuc-

ing-kucingan itu.

Amitha menggeleng. 

"Kenapa?"

"Yang kudengar, dia adalah seorang pendekar go-

longan lurus. Dia sendiri berkata padaku, tak ada ala-

san baginya untuk membunuh istriku...."

"Kau keliru," kata Pangeran Neraka sambil meng-

geleng perlahan. Wajahnya berubah, menampakkan 

keprihatinan. Lalu dia berbalik membelakangi Amitha.

"Apa yang kau ketahui tentang dia?" tanya Ami-

tha. Sikap lelaki di depannya, memancing rasa penasa-

ran di hati Amitha. Memang itu yang diinginkan Pan-

geran Neraka.

Tanpa berniat menjawab pertanyaan Amitha se-

cepatnya, Pangeran Neraka memancing rasa penasaran 

Amitha lebih jauh. Lagi-lagi korban kelicikannya terje-

rat.

"Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang 

pendekar muda itu!" desak Amitha. Tangannya men-

cengkeram kerah belakang Pangeran Neraka kuat-

kuat.

"Jangan sebut dia 'pendekar'. Sesungguhnya, dia 

bukan pendekar sejati lagi kini...."

"Jangan bertele-tele! Ceritakan padaku cepat!" 

Pangeran Neraka berbalik. Ditatapnya si lelaki India 

dengan tatapan mantap.

"Semula, dia memang seorang ksatria terpuji. 

Namun bujuk rayu duniawi telah menyesatkan ji-

wanya," mulai Pangeran Neraka lagi. Dia siap melepas 

kata-kata berbisa, seperti pernah meracuni pikiran 

kemenakannya sendiri untuk membunuh Pendekar 

Slebor. (Kisahnya bisa dibaca dalam episode: "Sepa-

sang Bidadari Merah").

"Apakah kau pernah diperlihatkan sebuah ka

lung?" tanya Pangeran Neraka lebih jauh.

"Dari mana kau tahu?"

Lelaki berotak licik itu tak menjawab pertanyaan 

Amitha. Diteruskannya kalimat yang terhenti sejenak.

"Pendekar Slebor ingin memburu seorang India. 

Orang India itulah si pemilik kalung."

"Aku tak mengerti maksudmu. Kau terlalu berpu-

tar-putar!"

"Pemilik kalung itu memiliki satu kitab sakti ten-

tang ilmu yoga tingkat tinggi. Kau tentu tahu ilmu itu, 

bukan? Keserakahannya telah membuat hatinya mati. 

Dia ingin menguasai kitab yoga itu agar nantinya da-

pat dipakai untuk membuat dirinya lebih sakti tak ter-

kalahkan. Ketika terjadi pertarungan dengan lelaki In-

dia pemilik kitab, tanpa sengaja Pendekar Slebor me-

nyambar kalung dari lehernya. Pemilik kitab yoga lalu 

melarikan diri. Pendekar Slebor terus mencari. Dengan 

modal kalung itu, dia menanyakan setiap orang India 

yang ditemuinya. Kebetulan sekali, dia bertemu den-

gan istrimu. Dia pun menanyakan perihal lelaki India 

yang diburunya pada istrimu. Karena istrimu tak ingin 

memberi keterangan, pemuda itu gusar dan membu-

nuhnya!" papar Pangeran Neraka, mengakhiri cerita 

palsu, kenyataan yang diputar balikkan!

***

7


"Hei, berhenti kau!"

Pendekar Slebor berseru. Buruannya terus berlari 

tak peduli. Dari kecepatannya berlari serta ringannya 

dia menggerakkan tubuh, Andika bisa menilai kalau 

buruannya memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Kejar-kejaran dari senja hingga mengambangnya 

rembulan itu berlangsung alot. Andika sudah menge-

rahkan segenap kemampuan lari cepatnya. Orang yang 

dikejar tak juga dapat didekati. Selama, kejar-kejaran, 

jaraknya dengan buruan seperti tak pernah berubah. 

Tak berkurang, tidak juga bertambah jauh. Lama ke-

lamaan si anak muda sakti tanah Jawa menyadari ka-

lau buruannya sengaja mempermainkan. Tampaknya 

kesaktian orang itu memang tak bisa dianggap remeh. 

Satu bukti, orang itu dengan sengaja bermain kucing-

kucingan dengan Pendekar Slebor. Padahal nama be-

sar Andika sudah dikenal dalam kehebatan ilmu pe-

ringan tubuh. Banyak kalangan persilatan mengiba-

ratkan kecepatan gerak Pendekar Slebor sebagai kele-

batan siluman. Jadi, kalau ada orang yang bisa mem-

permainkannya, tentu kesaktian orang itu berada be-

berapa tingkat di atasnya.

"Slompret sekali! Siapa sebenarnya kunyuk ini?" 

gerutu Pendekar Slebor. Bukan masalah kalau nama 

terhormatnya di dunia persilatan menjadi cemar kare-

na dipermainkan. Dipermalukan atau tidak dalam du-

nia persilatan, tak ada masalah baginya. Dalam hal 

itu, acuh saja sudah cukup baginya. Percuma saja ka-

lau julukannya Pendekar Slebor. Selama harga dirinya 

tak diusik-usik siapa pun, Andika tak akan memper-

soalkan.

Kalau dia kesal kali ini karena, bagi Andika kejar-

kejaran yang diyakininya sengaja diatur oleh sang bu-

ruan itu sama buruknya dengan permainan bocah 

gendeng kurang kerjaan. Selain itu, dia merasa dihina. 

Siapa yang tak merasa harga dirinya dilecehkan kalau 

seseorang mempermainkan. (Ngomong-ngomong soal 

'mempermainkan orang', Andika tampaknya lupa ka-

lau dirinya sendiri paling piawai dalam hal itu!)

Selama mengadakan pengejaran konyol itu, Andika sama sekali tak memiliki kesempatan untuk men-

genali buruannya. Dia hanya melihat kelebatan bayan-

gan orang berlari. Mengenakan jubah gelap dan be-

rambut panjang dengan ikat kepala. Jangankan malam 

seperti kini, tadi sore pun ketika kejar-kejaran ber-

langsung, Andika tak bisa mengenalinya. Orang itu 

benar-benar memanfaatkan kesempurnaan peringan 

tubuhnya untuk mempermainkan Pendekar Slebor. 

Dengan begitu, Andika tentu saja jadi makin dongkol 

setengah modar.

Terkadang, orang yang dikejar melenting-lenting 

di dahan atau pucuk pepohonan kerontang. Ringan 

tubuhnya mengalah kelincahan seekor kadal terbang. 

Kadang-kadang pula, tubuh orang itu menyelinap-

nyelinap di balik batang pepohonan, seolah-olah se-

dang mengejek Pendekar Slebor dengan cara itu.

"Hei, kunyuk bau pesing! Kenapa kau tak meng-

hentikan saja permainan konyol ini?!" seru Pendekar 

Slebor gusar.

"Kenapa? Kau merasa sudah tak mampu lagi 

mengejar?! Ha ha ha! Mana kehebatanmu, Anak Muda 

Keparat!" sahut orang yang dikejar.

"Aku bukannya tak mampu mengejarmu. Cuma... 

cuma...." Anak muda itu tak bisa cepat-cepat mencari 

alasan yang cukup bagus pada saat berlari setengah 

sinting seperti itu. Sudah keringat membanjir, paru-

parunya rasanya sudah mau meledak.

"Cuma apa?"

"Aku cuma ingin membiarkan kau berlari saja. 

Apa itu dosa besar?" jawab Andika, sekenanya. Asal 

dia punya alasan. Asal dia tidak disebut pendekar 

'keok'.

"Kau tetap menjengkelkan seperti dulu, Anak 

Muda Keparat!"

"Rasanya dari kecil aku memang sudah menjengkelkan. Kenapa sekarang harus tidak?"

"Bagus. Sayangnya, sebentar lagi kebiasaanmu 

itu akan segera hilang!"

"Ooo, apa, kau semacam dukun, begitu? Bisa 

mengobati sifat menjengkelkan seseorang?!"

"Sebab kau akan segera mampus!" hardik orang 

di depan sana. Meski sudah cukup tahu kalau penge-

jarnya sangat menjengkelkan, tapi tampaknya dia te-

tap terpancing oleh serangan mulut ceriwis Pendekar 

Slebor.

"Ooo, kalau begitu aku salah mengira. Kau pasti 

bukan dukun sembarang dukun. Tentu kau sejenis 

dukun santet. Betul apa benar?" Meski lelahnya sudah 

tak tertolong, Pendekar Slebor berusaha untuk bersi-

kap seolah-olah dia tak kelelahan.

Kejar-kejaran itu tak berlanjut ketika mendadak 

orang di depan sana menghentikan larinya.

Pendekar Slebor berhenti pula. Inginnya dia me-

runduk sambil terengah-engah. Tapi karena takut 

orang yang dikejar punya alasan mengejeknya, dia ma-

lah menyorongkan dada. Napas memburunya dicoba 

ditahan-tahan. Celakanya, justru 'napas' itu menye-

ruak terpaksa dari lubang bawah.

"Slompret, mengganggu, 'keamanan'-ku saja!" 

makinya mendesis. Tentu saja sambil bersicepat mem-

bungkam bagian tersebut. Kalau terdengar calon la-

wan, apa jadinya? Pikir Andika.

Di lain tempat, sekitar dua puluh lima depa dari 

tempat Pendekar Slebor, orang berjubah gelap berdiri 

menghadap ke arahnya. Sinar bulan yang memancar 

dari arah belakang tubuh orang itu membuat si anak 

muda keras kepala tak mempunyai kesempatan lagi 

untuk mengenali wajah orang itu. Sosoknya hanya 

tampak seperti bayangan. Berdiri di atas tanah berbu-

kit kecil. Kukuh, dan menantang. Angin menyibak bagian bawah jubah dan rambutnya.

"Kau jangan merasa yakin akan bisa menyela-

matkan nyawamu kali ini, Anak Muda Keparat!" geram 

orang di sana. Biarpun diucapkan tak terlalu kencang, 

Pendekar Slebor mendengarnya.

Andika diam sejenak, mengatur napasnya diam-

diam. Usai mengurus napasnya, dia mulai berpikir un-

tuk mencari tahu siapa sesungguhnya orang itu.

Kalau mendengar dia menyebutkan dengan 'Anak 

Muda Keparat', tampaknya dia cukup tahu siapa diri-

ku. Andika berpikir. Tapi apakah aku dan dia pernah 

terlibat satu urusan? Kalau menilai kalimat ter akhir-

nya yang menyebut-nyebut kata 'kali ini' tentunya ka-

rena dia memang pernah berurusan denganku 

'sebelumnya'. Dan tampaknya orang ini memendam 

dendam terhadapku. Siapa dia? Benak si anak muda 

berotak seencer bubur kakek jompo itu menilai-nilai.

Tanpa menyaksikan langsung wajahnya, aku tak 

akan dapat memastikan apakah dia pernah berurusan 

denganku atau tidak. Hm, bagaimana kalau aku ber-

pura-pura mengenalnya? Aku ingin lihat bagaimana 

sikapnya jika aku begitu! Bukankah dia telah berbalik 

ke arah ku. Dan mungkin saja dia belum menyadari 

kalau wajahnya terlalu gelap untuk ku kenali, pikir 

Pendekar Slebor.

"Ah, rupanya kau Pak Tua Brengsek!" seru Pen-

dekar Slebor, sok yakin. Sengaja disebutnya orang itu 

dengan Pak Tua, karena dinilai dari bayangan tubuh 

orang itu, punggungnya agak membungkuk layaknya 

orang-orang berusia senja.

"Ya, aku! Kau pikir siapa?!" seru orang itu kem-

bali.

Pancingan Andika mengena! Korban kecerdikan-

nya tampak merasa Andika telah mengenalinya. Itu bi-

sa dinilai dari caranya menyahuti seruan Andika.

"Aku heran. Telah lama kau menghilang seperti 

cecurut di liangnya. Kenapa tiba-tiba kau muncul 

kembali?" pancing Pendekar Slebor lagi, untung-

untungan.

"Lama? Kau pikir peristiwa itu telah lama berlalu, 

Anak Muda Keparat! Kegagalanku di Piramida Tonggak 

Osiris tak akan menyurutkan semangatku terlalu la-

ma!"

Piramida Tonggak Osiris? Hey, aku tahu siapa dia 

kini! Seru Pendekar Slebor dalam hati. Orang itu pasti 

si tua Gila Petualang! Tokoh sesat penuh dendam yang 

sekitar setahun lalu merencanakan per-mainan maut 

besar-besaran di Piramida Tonggak Osiris Mesir!

Astaga, si tua yang begitu banyak menguasai ke-

saktian dari berbagai penjuru dunia ini telah muncul 

kembali! Desis Andika membatin. Dunia persilatan 

akan mendapat kesulitan besar dengan munculnya

orang tua penuh dendam ini.

(Untuk mengetahui petualangan dahsyat Pende-

kar Slebor di Mesir, bacalah dalam tiga episode: "Un-

dangan Ratu Mesir", "Piramida Kematian", dan "Wari-

san Ratu Mesir")!

Sambil tersenyum-senyum dikulum karena sia-

satnya berjalan semulus betis perawan, Pendekar Sle-

bor mengangguk-anggukkan kepala.

"Kenapa waktumu selama ini tak kau gunakan 

untuk mencoba merenung dan bertobat..., Pak Tua Gi-

la Petualang?" tukasnya, penuh keyakinan.

"Ha ha ha! Tobat? Kau mau mengajarkan aku 

Anak Muda tahu adat?! Kau pikir seberapa hebat pen-

getahuanmu dibanding aku?!" ejek lelaki yang sesung-

guhnya memang si Gila Petualang.

"Dibanding kau, aku tak punya cukup pengeta-

huan untuk ku banggakan. Tapi, semestinya kau yang 

memiliki banyak pengetahuan memiliki pula banyak

kebijakan. Karena kebijakan datang dari pengetahuan 

bukan? Dengan kebijakan itu, kau mestinya dapat 

menilai hidup secara arif...."

"Aku tak perlu khotbahmu, Pemuda Sial!"

Andika menghela napas.

"Ya, sudah...," dengusnya kesal. "Jadi, apa mak-

sudmu mengintai kami di Pesisir Pantai Laut Selatan?" 

lanjutnya.

"Kau mau tahu? Kau yakin mau tahu? Ha ha ha! 

Kami akan menyingkirkanmu untuk selamanya. Ter-

masuk menyingkirkan seluruh keturunan keluarga 

buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan!"

Alis Pendekar Slebor bertaut.

"Kami? Kami siapa maksudmu?!"

Pertanyaan Andika tak mendapat jawaban. Si Gi-

la Petualang sudah bergerak lagi dari tempatnya berdi-

ri.

"Hei, tunggu!"

Pendekar Slebor berusaha mengejar. Tapi ke ma-

na pun dia melepas pandangan, sosok si Gila Petua-

lang sudah tak ada lagi.

Andika tercenung sendiri. Pikirannya terus ber-

tanya-tanya. Kami? Apa maksudnya?

Pendekar Slebor tak tahu pasti di mana dia bera-

da kini. Setelah tak karuan berlari mengejar si Gila Pe-

tualang sekian lama, tentunya dia sudah berpindah 

jauh dari Pesisir Pantai Laut Selatan.

Ada yang terasa ganjil bagi pendekar muda bero-

tak cemerlang itu kalau teringat kejadian tersebut. Bu-

kankah terlalu ganjil jika si Gila Petualang yang demi-

kian sarat memendam dendam terhadap dirinya berlari 

sekian lama dalam pengejaran? 

Kalau si Gila Petualang hendak melampiaskan 

dendam, kenapa saat sudah berhadapan dia tak segera 

menyerang Pendekar Slebor?

Setelah direnung-renungkan, Andika mulai men-

gendusi dirinya sengaja dipancing agar sampai di tem-

patnya kini. Tapi di mana?

Untuk memberantas rasa penasarannya, Pende-

kar Slebor menebar pandangan. Sama seperti keadaan 

bagian tanah Jawa lain, di sana-sini cuma ada keke-

ringan. Bukit-bukit tanah kecil. Barisan pepohonan 

karet kering. Rupanya dia telah cukup jauh beranjak 

dari wilayah pantai, nilai Andika.

Ketika matanya mengarah kesatu penjuru, anak 

muda itu menyaksikan sesuatu yang mencurigakan di 

dekat semak kering. Ada tiga benda sebesar manusia 

tergeletak tak berjauhan satu sama lain.

Begitu diamati seksama, Pendekar Slebor dibuat 

terperanjat. Tiga benda itu ternyata benar-benar ma-

nusia! Karena sebagian tubuhnya tertutup dahan se-

mak kering, bentuk tubuh mereka menjadi tak jelas.

Andika bergegas mendekat. Ditemukannya tiga 

orang terkapar. Seorang wanita cantik. Dua sisanya le-

laki. Satu lelaki itu bertubuh cebol. Sedang yang lain 

bertubuh tinggi berwajah menyeramkan. Dilihat dari 

keadaannya, mereka tampak mengalami luka parah. 

Tak ada darah setetes pun. Namun di bagian-bagian 

tubuh tertentu terlihat tanda telapak tangan berwarna 

biru kehitaman. Diperiksanya nadi ketiga orang itu. 

Dua lelaki sudah tak bernyawa. Sedangkan si wanita 

cantik dalam keadaan sekarat.

Siapa mereka? Hati Andika terusik. Sinar lembut 

bulan sabit membantu si pemuda sakti dari Lembah 

Kutukan melihat rupa dan penampilan ketiganya.

Saat itu, Andika jadi teringat pada keterangan Pe-

taruh Sakti Perut Buncit. Sempat orang tua berperut 

luar biasa itu menjelaskan ciri-ciri ketiga murid mur-

tadnya pada Andika. Dan ketiga orang yang ditemukan 

kini mencirikan serupa dengan penjelasan Petaruh

Sakti Perut Buncit.

"Kalau mereka benar-benar ketiga murid murtad 

itu, tentunya mereka mengenakan kalung," bisik Pen-

dekar Slebor samar. Diperiksanya leher ketiga tubuh 

tadi. Tak ada kalung di sana. Tapi, mata jeli Pendekar 

Slebor menemukan yang lain. Dilihatnya ada goresan 

luka kemerahan memanjang di sekeliling leher si wani-

ta cantik dan lelaki berwajah seram. Andika yakin, ga-

ris merah melingkari leher itu adalah akibat tarikan 

paksa pada kalung yang mereka kenakan. Lain lagi di 

leher mayat lelaki cebol. Andika tak menemukan gore-

san merah. Hanya ada bekas seperti itu yang sudah 

menghitam pudar.

"Jadi ada orang yang telah mencuri kalung dua 

orang ini. Sedangkan lelaki cebol ini telah kehilangan 

kalungnya lama sebelum itu...."

Sejenak otak cemerlang si anak muda menghu-

bung-hubungkan beberapa kejadian.

"Aku yakin merekalah ketiga murid murtad itu. 

Kalung yang kudapatkan dari tangan perempuan India 

gemuk waktu itu adalah milik si lelaki cebol ini. Si ce-

bol ini pula yang membunuh perempuan India itu. Aku 

ingat, tanda pukulan di tubuh mayat si perempuan In-

dia berukuran kecil. Waktu itu aku mengira pembu-

nuhnya adalah seorang bocah," simpulnya jeli. "Tapi 

kenapa dua kalung milik saudara Seperguruan si cebol 

ini dicuri? Ah, aku yakin ini bukan sekedar pencurian 

biasa. Mereka telah dibegal. Pembegal itu mengingin-

kan kalung yang dikenakan mereka. Karena mereka 

bersikeras tak memberikan, lalu timbul pertarun-

gan...."

Pendekar Slebor mengeluarkan kalung milik si 

cebol yang selama ini dipegangnya.

"Tiga kalung yang penuh teka-teki...," gumamnya. 

Tentu ada rahasia besar yang berkait dengan semua

kalung. Yang jadi pertanyaan kini, apa rahasia besar di 

balik semua teka-teki ini. Dan siapa pula yang telah 

merampas dua kalung lain secara paksa?

Gumaman Pendekar Slebor dipenggal oleh suara 

mencurigakan. Telinga terlatih Andika lamat-lamat 

menangkap gerakan halus dari tiga penjuru. Ada yang 

bermaksud mengepungnya. Dari suara yang demikian 

lembut, Andika yakin pengepungnya rata-rata berilmu 

tinggi.

***

8


Seperti dugaan Pendekar Slebor, ada tiga orang 

yang telah mengelilinginya dari tiga penjuru. Lamat-

lamat disaksikannya tiga sosok berdiri di tempat ber-

beda. Ketika Andika memperjelas penglihatannya, dia 

jadi geli sendiri. Semula dikiranya mereka adalah 

orang-orang golongan sesat yang mungkin telah meng-

gabungkan diri ke dalam Perserikatan Setan. Nya-

tanya, ketiga orang itu tak lain tak bukan tiga tua 

bangka tengik. Siapa lagi kalau bukan Ki Saptacakra, 

Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit?

"Bocah gendeng, dari mana saja kau? Kami ke-

limpungan mencari-carimu ke mana-mana, tahu?!" 

sembur Nyai Silili-lilu.

Andika cengengesan pasrah. "Mengejar seseo-

rang," jawabnya.

Petaruh Sakti Perut Buncit menggaruk-garuk pe-

rutnya. "Kenapa seharian ini banyak sekali terjadi ke-

jar-kejaran? Padahal aku paling benci pekerjaan itu! 

Sungguh, percayalah padaku...," gerutunya, entah pada siapa.

"Pak Tua Buncit!" panggil Andika. 

"Yok?"

"Bisakah kau lebih dekat ke tempatku?"

"Tentu... tentu... tentu...!" tukas lelaki berperut 

boros itu sambil berjalan tersuruk-suruk menuruni ta-

nah melandai. Perutnya pun mengangguk-angguk. 

Menyusul Ki Saptacakra dan Nyai Silili-lilu.

"Kau kenal pada mereka?" susul Pendekar Slebor, 

setibanya Petaruh Sakti Perut Buncit di dekatnya.

"Weleh! Ini kan murid-murid kutu kupret itu!" pe-

rangah si tua bangka berperut buncit begitu memper-

hatikan gelimpangan tiga sosok tubuh. "Bagaimana 

mereka bisa tidur-tiduran di tempat seperti ini?"

"Mereka bukan tidur-tiduran!" potong Andika. 

"Dua lelaki itu sudah mampus. Sedangkan perempuan 

cantik itu masih bernyawa."

"Lho, mampus toh? Siapa yang melakukannya? 

Ah, apa peduliku! Mereka toh murid-murid murtad. 

Sudah bagus bukan tanganku yang melempar mereka 

ke neraka!" Sumpah serapah Petaruh Sakti Perut Bun-

cit terulur. Dengan wajah asam, ditendangnya mayat si 

lelaki cebol, Katak Merah. Lalu, tak kalah, bernafsu, 

ditendangnya pula Mata Dewa Kematian. Tampaknya 

kekesalan yang terpendam selama memburu ketiga 

muridnya itu hendak sedikit dilampiaskan. Kalau be-

lum ketiga-tiganya mendapat jatah masing-masing, Pe-

taruh Sakti Perut Buncit belum puas. Dewi Kecubung 

pun siap mendapat jatahnya sendiri....

"Hey, jangan dia!" cegah Andika.

"Kenapa?" pelotot Petaruh Sakti Perut Buncit. Di-

liriknya Ki Saptacakra. "Saptacakra, apakah muridmu 

termasuk pemuda mata bongsang?"

Tak sudi dikatakan seperti itu, hidung Andika 

kembang-kempis. Maaf-maaf saja, tepisnya dalam hati.

"Jangan salah paham, Pak Tua Buncit. Aku cuma

tak tega. Bukankah sudah kubilang kalau perempuan 

cantik satu ini masih bernyawa? Sebaiknya...."

"Kubunuh saja dia dulu, setelah itu baru dia ku-

tendang?!" terjang Petaruh Sakti Perut Buncit berse-

mangat.

Andika menggeleng-gelengkan kepala. Itu malah 

lebih sinting, pikirnya. "Apa tak terpikir olehmu untuk 

memberinya kesempatan bertobat?" tanyanya pada Pe-

taruh Sakti Perut Buncit. Matanya kemudian melirik 

mayat Katak Merah.

"Iya-iya! Aku tahu maksudmu! Kau mengusulkan 

agar aku menendang bangkai murid cebol yang murtad 

ini untuk menggantikan jatah tendangan yang mes-

tinya diterima murid perempuan kutu kupretku itu, 

bukan?" rutuk Petaruh Sakti Perut Buncit. Sambil me-

rutuk, kakinya menendang mayat Katak Merah geram-

geram. Perasaannya sudah digadaikan entah ke mana.

"Jadi apa yang akan kau lakukan terhadap pe-

rempuan itu?" tanya si lelaki tua berperut buncit, puas 

dia melampiaskan kekesalan.

Andika mengangkat tangan ke depan dada. "Hey, 

jangan tanya aku! Bukankah kau gurunya?" tampik si 

pemuda sakti tanah Jawa. Biasanya, dia mau sedikit 

berpura-pura. Tak enak kan, dianggap pemuda mata 

bongsang?

Perbuatannya itu mengakibatkan 'kecelakaan ke-

cil' menimpa dalam sekejap. Ubun-ubunnya kejatuhan 

jitakan gemas dari belakang.

"Anak muda tengik! Kau pikir aku tak tahu apa

yang ada dalam pikiranmu sekarang!" maki Ki Sapta-

cakra di belakang Andika. Sesepuh dunia persilatan 

itu yang telah menghadiahkan jitakan manis di kepala 

Pendekar Slebor barusan. "Kenapa kau tak langsung 

saja membopongnya. Perempuan itu bakal benar-benar 

mati tak tertolong kalau terus dibiarkan begitu!"

Andika meringis. Cita rasa jitakan di ubun-

ubunnya masih berdenyut-denyut hebat. Mulutnya 

menggerutu, tapi hatinya bicara lain. Dipujinya buyut-

nya itu setinggi langit. Kau tahu saja kemauan anak 

muda, Ki Buyut.

"Jangan cuma meringis! Tulang kami bertiga su-

dah keropos! Kami bisa masuk angin kalau berdiri la-

ma-lama di sini!" bentak Nyai Silili-lilu cempreng.

Andika buru-buru mengangkat tubuh Dewi Ke-

cubung ke bahunya.

"Bawa dia ke tempat si Buncit! Cepat!" perintah 

Ki Saptacakra.

"Lari sana, lari!" timpal Petaruh Sakti Perut Bun-

cit, sama membentaknya dengan adik-kakak bangko-

tan tadi.

Huh, jangan mentang-mentang kalian semua 

sama-sama tua, kalian keroyok aku! Andika merutuk 

membatin.

"Ssst...!" Nyai Silili-lilu tiba-tiba berbisik. Matanya 

melirik ke satu arah tanpa berkedip. "Aku mendengar 

suara mencurigakan," bisiknya lagi pada yang lain.

Biarpun tergolong manusia lapuk, Pendekar Sle-

bor sadar peringatan Nyai Silili-lilu tidak bisa dianggap 

main-main. Telinga perempuan tua itu mungkin lebih 

tajam dari pendengaran seekor serigala betina. Pende-

kar Slebor segera saja memusatkan pandangan dan 

pendengaran ke arah yang dilirik Nyai Silili-lilu. Begitu 

juga Ki Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit. 

Cukup lama mereka berdiri tegang seperti empat 

potong arca batu. Sampai akhirnya mereka menarik 

napas lega ketika mata masing-masing hanya menyak-

sikan seekor kelinci kurus keluar dari liangnya.

"Sial. Kukira kita akan sedikit melenturkan otot-

otot," gerutu Nyai Silili-lilu.

Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan kepala.

Kalau dekat ketiga tua bangka tengik itu, dia jadi ser-

ing menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu, tak ba-

nyak bicara ditinggalkannya tempat tersebut.

Di belakangnya, ketiga manusia uzur setengah 

sinting mengikuti.

Tak lama setelah ketiganya menghilang, muncul 

sosok-sosok yang lain dari balik tanah melandai yang 

membentuk bukit-bukit kecil. Jumlahnya lima orang. 

Tiga orang berdiri di sebelah selatan. Dua yang lain di 

barat. Mereka ternyata Tiga Datuk Karang, Pangeran 

Neraka, dan... Amitha.

Sedang apa mereka di sana?

"Sial kau, Pangeran Neraka! Kau bilang rencana-

mu sudah matang?! Mana buktinya?! Ternyata cuma 

omong kosong!" seru Datuk Kening Perak.

"Rencanaku memang telah matang. Semuanya 

akan berjalan mulus, kalau saja ketiga tua bangka tadi 

tak muncul!" bantahnya. Lelaki berotak licik itu me-

mang telah menyusun rencana untuk menjebak Pen-

dekar Slebor.

Dua hari lalu, setelah berhasil menghasut Ami-

tha, Pangeran Neraka mengajak lelaki India itu untuk 

bergabung sementara dengan Perserikatan Setan. Tan-

pa menyebut-nyebut nama persatuan golongan sesat 

itu, Pangeran Neraka menjelaskan pada Amitha bahwa 

perkumpulan mereka berniat menyingkirkan Pendekar 

Slebor yang telah menjadi sesat. Amitha dijanjikan 

bantuan untuk menemukan Pendekar Slebor. Amitha 

bagai seekor kerbau dicucuk hidungnya, menuruti saja 

seluruh ajakan Pangeran Neraka.

Ketika kembali ke markas sementara Perserika-

tan Setan, dalam perjalanan tanpa sengaja mereka 

menyaksikan kejadian tak terduga. Tiga Datuk Karang 

sedang bertengkar keras dengan tiga murid murtad Pe-

taruh Sakti Perut Buncit. Agar Amitha tak curiga pada

siapa dia berurusan sebenarnya, lelaki licik itu memin-

ta Amitha untuk menunggunya di suatu tempat yang 

cukup jauh dari tempat kejadian.

Dari pertengkaran yang akhirnya memicu perta-

rungan maut itu, Pangeran Neraka mengetahui kalau 

Tiga Datuk Karang menginginkan kalung milik Dewi 

Kecubung dan Mata Dewa Kematian. Sementara sein-

gatnya, Pendekar Slebor pun menyimpan kalung seru-

pa ketika diperlihatkan pada Amitha beberapa waktu 

lalu.

Ketika tiga murid sesat Petaruh Sakti Perut Bun-

cit terkapar, Pangeran Neraka keluar dari persembu-

nyian. Tiga Datuk Karang murka. Mereka merasa di-

mata-matai. Mereka tak pernah ingin rahasia besar 

mereka selama ini diketahui orang lain, meskipun 

orang itu kini menjadi sekutu mereka dalam Perserika-

tan Setan.

Dengan silat lidah yang lincah, Pangeran Neraka 

berhasil meredam kemarahan ketiga dedengkot golon-

gan sesat tersebut. Dikatakannya, dia mengetahui satu 

kalung yang diinginkan Tiga Datuk Karang. Diiming-

iminginya pula janji bahwa dia bisa merencanakan pe-

rebutan kalung dari tangan Pendekar Slebor tanpa be-

rurusan dengan Pendekar Lembah Kutukan, Nyai Sili-

li-lilu, dan Petaruh Sakti Perut Buncit.

Lalu, Pangeran Neraka merencanakan menggiring 

Andika agar bisa dikepung sendiri. Dia lalu meminta 

seorang dari Tiga Datuk Karang untuk bersandiwara 

seolah-olah dirinya si Gila Petualang. Karena tak men-

guasai seni penyamaran, Datuk Kening Perak yang 

meminta mengaku sebagai si Gila Petualang harus 

berhadapan langsung dengan Pendekar Slebor setelah 

malam benar-benar telah turun.

Otak cerdik Pendekar Slebor selama ini pun ter-

mangsa oleh kelicikan Pangeran Neraka. Dikira Andi

ka, dia telah berhasil mengenali orang yang dikejarnya 

beberapa waktu lalu. Nyatanya, justru dia yang terma-

kan tipu daya.

Sementara Datuk Kening Perak menggiring Pen-

dekar Slebor, Pangeran Neraka, Amitha dan dua dari 

Tiga Datuk Karang yang lain menanti di wilayah ber-

bukit, tempat kini mereka memunculkan diri.

Itu sebabnya Pendekar Slebor merasa ada yang 

tak beres ketika itu.

***

Pendekar Slebor, Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu, 

dan Petaruh Sakti Perut Buncit masih berlari. Selang 

dua kali penanakan nasi berlari, Ki Saptacakra men-

dadak berseru.

"Eit, tunggu!" Ki Saptacakra menahan laju la-

rinya. "Apa ada yang telah kita lupakan?" simpulnya 

pada Pendekar Slebor, Petaruh Sakti Perut Buncit dan 

Nyai Silili-lilu.

"Apa, Ki Buyut? Apa?!" sambar Pendekar Slebor. 

Dia sudah tak sabar ingin cepat sampai. Masalahnya, 

yang dibopongnya kini seorang wanita cantik bertubuh 

'ehm'. Membopongnya saja bisa membuat dada pemu-

da itu berdentum-dentum tak karuan. Pasalnya, ketika 

dia berlari dua bukit sekal di bagian dada perempuan 

itu tanpa diatur 'mengurut-ngurut' punggungnya. (Tu-

kang pijat saja, kalah nikmatnya)! Andika jadi merind-

ing juga. Tapi, bukan dengan begitu dia tak menikmati. 

Rezeki nomplok yang bikin merinding, kicaunya mem-

batin. Selain itu, dia juga ingin cepat-cepat memelototi 

sepuas-puasnya wajah cantik itu setibanya di tempat 

Petaruh Sakti Perut Buncit nanti. Tentunya....

"Kau ke manakan otakmu!" bentak Pendekar 

Lembah Kutukan.

"Mak!" Andika terlonjak dengan mata mendelik 

dan lubang hidung menganga. Sedang asyik-asyiknya 

membayangkan wajah cantik Dewi Kecubung, Ki Sap-

tacakra menghardik. Tak punya perasaan, gerutunya.

"Apa kau lupa kalau mayat dua murid murtad itu 

belum diurus?!" tebas Ki Saptacakra kembali,

"Biar saja bangkai mereka jadi makanan burung 

pemakan bangkai!" sela Petaruh Sakti Perut Buncit.

Setuju sekali ah! Seru Andika membatin. Dia ta-

hu kalau mayat itu harus diurus, pasti Ki Saptacakra 

alias Pendekar Lembah Kutukan akan melimpahkan 

kepadanya. Dia bisa kehilangan keasyikan!

"Tidak bisa!" tegas Ki Saptacakra. "Sebejat-

bejatnya mereka, mereka tetap manusia!"

"Siapa yang bilang kampret!" gumam Pendekar 

Slebor.

"Jadi...," mulai Ki Saptacakra lagi. Diliriknya An-

dika.

Tuh, benar kataku, gerutu pemuda sakti tanah 

Jawa.

"Kau kembali ke tempat itu! Urus mayat mereka 

secara baik! Kita harus menghormati jenazah orang-

orang yang telah kembali ke pangkuan Yang Esa!"

Bersungut-sungut, Andika melangkah. Perintah 

buyutnya tak boleh ditolak.

"Hey, mau ke mana kau?!" tahan Ki Saptacakra.

Wajah buyutnya merengut. "Bukankah kau baru-

san menyuruhku untuk mengurus mayat dua lelaki 

itu?" katanya tak bersemangat.

"Dengan membopong-bopong perempuan di ba-

humu?" sindir Nyai Silili-lilu, menyala.

Pendekar Slebor nyengir badak. Saking keasyi-

kan, dia sampai kelupaan....

***

9


Malam kian larut. Sepanjang malam, satwa me-

rintih-rintih tersiksa. Hanya yang kuat masih sanggup 

bertahan. Air untuk melangsungkan kehidupan sudah 

terlalu sulit didapat. Hujan tak kunjung datang. Hu-

kum alam berlaku. Tapi, apakah semuanya sekadar 

hukum alam? Bukankah alam sendiri adalah perwuju-

dan hukum Tuhan? Bagi para satwa, Tuhan sedang 

berbincang dengan penderitaan mereka.

Andika berjalan kembali ke tempat semula. Ter-

gopoh-gopoh tidak, santai pun tidak. Pikirannya se-

dang digempur pertanyaan demi pertanyaan. Peristiwa 

pertemuan dengan si Gila Petualang mengusiknya 

kembali. Kenapa si tua musuh lamanya itu me-

mancingnya untuk melakukan kejar-kejaran? Kalau 

sekadar hendak balas dendam, kenapa harus begitu 

lama berlari?

Tiba di alur sungai kering berbatu-batu kerikil, 

Andika berhenti sejenak. Tempat yang ditujunya sudah 

tak seberapa jauh lagi.

"Pasti si Gila Petualang punya maksud. Dia sen-

gaja melakukan itu padaku. Tapi apa tujuannya?" bi-

siknya seraya mengusap-usap dagu bergaris jantan.

Lalu dicobanya dia berpikir seperti tokoh-tokoh 

golongan sesat. Terpikir olehnya, jika dia menjadi 

orang golongan sesat, segala cara akan dilakukan dan 

dihalalkan untuk mencapai tujuan. Jika punya lawan, 

maka kelicikan pun diperbuat! Tipu daya. Ya, tipu 

daya! Pendekar Slebor mulai bisa mereka-reka maksud 

lelaki tua yang sebelumnya dikejar-kejar sekian lama 

itu.

"Pasti ada semacam tipu daya yang dipersiapkan 

untukku!" simpul si anak muda berotak encer.

Bibirnya saat itu juga menyunggingkan senyum. 

Di tempurung kepalanya, terbayang wajah buyutnya, 

Ki Saptacakra.

"Rupanya si tua brengsek itu telah pula mengen-

dusi ketidakberesan tersebut. Pantas saja aku diperin-

tahkan kembali. Pasti Ki Buyut tak sekadar menyu-

ruhku mengurus pemakaman dua mayat di sana. Sia-

lan, kenapa aku jadi kalah cepat dengan otak lelaki 

uzur itu! Dibuat dari apa otak si tua itu, sampai tetap 

bisa berpikir demikian cepat dalam usia kero-pos!" An-

dika cengengesan. "Yang jelas bukan terbuat dari kolak 

singkong," gumamnya berkelakar sendiri.

Pendekar Slebor beranjak kembali. Diputuskan 

untuk kembali ke tempat semula secara diam-diam. 

Dengan mengerahkan seluruh kemampuan peringan 

tubuhnya, pendekar muda pewaris kesaktian Pendekar 

Lembah Kutukan itu berlari cepat mendaki tanah me-

ninggi yang membentuk bukit. Sengaja dipilihnya tem-

pat yang paling tinggi. Tempat seperti itu memungkin-

kan dia mengawasi sekitarnya lebih leluasa.

Di balik pohon jati besar kering yang tumbuh da-

lam kepungan pepohonan karet, Pendekar Slebor men-

gintai ke tempat dua mayat murid murtad Petaruh 

Sakti Perut Buncit tergeletak.

Sepi. Tak ada siapa-siapa di bawah sana.

Malam mengendap-endap terus. Sekian lama 

mengintai, tetap juga tak terlihat tanda-tanda mencu-

rigakan. Pendekar Slebor mulai ragu, apakah kecuri-

gaannya memang benar. Atau semua pikiran itu cuma 

pembawaan perasaannya saja?

Karena merasa bosan, juga tak yakin lagi dengan 

prasangkanya, Andika hendak keluar dari persembu-

nyian. Sebelum sempat menggerakkan tubuh, dilihat-

nya seseorang datang ke tempat yang diawasi di ba-

wah.

Andika merapatkan tubuh ke batang pohon jati. 

Diperhatikannya tegas-tegas si pendatang. Meski bulan 

hanya bersinar sebagian, mata Andika masih sanggup 

mengenali orang itu. Dia dibuat terkesiap, Darahnya 

berdesir cepat menyaksikan orang tadi.

"Pangeran Neraka...," desisnya. Ada kegusaran te-

rikut dalam desis tadi. "Jadi benar dugaanku kalau 

manusia selicin belut dan selicik serigala ini juga telah 

muncul kembali...." Wajah pemuda itu tampak mem-

perlihatkan garis-garis kekhawatiran. Bagaimana tidak 

khawatir. Kini dia tahu, setidaknya telah muncul si Gi-

la Petualang. Tokoh tua satu itu dengan pengetahuan 

dan kesaktian yang dikumpulkan dari berbagai penju-

ru dunia saja akan banyak menebar bencana bagi du-

nia persilatan. Sekarang disaksikannya pula Pangeran 

Neraka. Secerdik-cerdiknya Andika, dia masih harus 

mengakui bahwa otak lelaki di bawah sana tak kalah 

cerdik dari dirinya. Dulu pun dia sempat diperdaya be-

gitu rupa (dalam episode: "Sepasang Bidadari Merah")!

Kuat dugaan Pendekar Slebor kalau mereka tentu 

ada hubungan dengan Perserikatan Setan. Hal paling 

buruk, keduanya turut bergabung dengan rencana ter-

kutuk itu tiga murid murtad Petaruh Sakti Perut Bun-

cit.

Setelah mereka muncul, siapa lagi tokoh jajaran 

atas yang akan menyusul? Tanya hati Andika giris.

Satu hal turut mengambang di benaknya berke-

naan dengan Perserikatan Setan. Kenapa tiga orang 

pencetus rencana besar itu mendapat nasib naas? Dua 

orang di antaranya, Katak Merah dan Mata Dewa Ke-

matian malah telah menemui ajal. Siapa yang telah 

mencelakakan mereka? Kalau teringat pada kalung 

mereka yang hilang secara paksa, tentu saja jawaban-

nya terdapat dalam ketiga kalung itu. Andika yakin. 

Tapi untuk apa semua benda yang tampaknya tak

berharga itu? Apakah orang yang membunuh mereka 

orang golongan sesat juga?"

Sedang sibuk-sibuk Andika berpikir, tiba-tiba 

disadarinya ada orang lain yang telah begitu lama 

memperhatikan di belakang. Andika sigap menoleh.

"Kau...," katanya singkat. Orang itu ternyata Ami-

tha. Telah berdiri cukup lama tanpa disadari oleh Pen-

dekar Slebor sendiri. 

"Kita bertemu lagi, Pendekar Slebor!"

Andika memasang wajah penuh persahabatan-

nya. Senyumnya mengembang lebar-lebar. Tak menga-

pa jadi terlihat sedikit tolol, yang penting lelaki India 

itu tahu kalau dirinya tak ingin bermusuhan.

Di bawah siraman lamat sinar bulan, wajah Ami-

tha tak berubah. Kedua ujung bibirnya terungkit, me-

lempar ejekan.

"Jangan menipuku dengan senyummu, Pendekar 

Terkutuk! Aku tak akan bisa kau perdayai lagi!"

Dalam hati, Andika mulai tak suka dengan sikap 

Amitha. Apalagi dengan ucapannya.

"Kau mengatakan sesuatu yang tidak aku men-

gerti, Saudara," ucap Pendekar Slebor, sungguh-

sungguh. Tak ada lagi senyumnya.

"Itulah kau, Pendekar Slebor. Dibalik keharuman 

namamu, ternyata kau tak lebih dari binatang durja-

na!"

"Itu pun aku tak mengerti," sambar Pendekar 

Slebor.

Amitha mendengus.

"Aku sudah muak dengan kepalsuanmu, Ksatria 

Palsu!" serapahnya bertekanan. "Kau telah mencabut 

nyawa istriku. Sekarang, kau tak perlu banyak mulut. 

Bersiap saja untuk mati! Aku akan menuntut hutang 

nyawa itu!" tandas Amitha.

"Kau tak bisa menuntut apa-apa dariku, Amitha!"

seru Andika lantang.

Mereka kini berdiri berjajar. Cara berdiri mereka 

memperlihatkan bagaimana kedua orang itu siap ber-

tarung hidup mati dengan lawan. Pendekar Slebor ba-

gaimanapun meski siap menghadapi amukan Amitha 

yang setiap saat bisa meledak.

Bulan mengapung di angkasa, tepat di kepala ke-

dua orang itu, membuat tubuh mereka tak begitu jelas 

dari arah depan. Mereka seolah dua bayangan yang 

siap menjemput nyawa lawan masing-masing.

"Kau pikir, kau akan dapat lolos dari tanganku, 

Pendekar Slebor?! Kau salah duga! Hari ini, tak akan 

kubiarkan hutang nyawa itu luput untuk kau bayar!" 

tegas Amitha padat kemurkaan seorang dikuasai den-

dam.

"Bukankah sudah kukatakan padamu dulu bah-

wa semuanya hanya salah paham," tandas Pendekar 

Slebor. Betapa dia merasa dirinya terlalu dipojokkan 

Amitha. Sementara Andika sendiri tahu pasti, dia tak 

memiliki bukti cukup kuat untuk meyakinkan lelaki 

India itu.

"Dusta!"

Mata Andika mendelik. Dusta? Dia mengatakan 

aku berdusta? E, sejak kapan Pendekar Slebor berkata 

dusta pada orang yang tak patut didustai?

"Apa maksudmu?"

"Jangan berpura-pura tolol, Pendekar Slebor. Du-

lu orang persilatan boleh menganggap kau sebagai seo-

rang ksatria. Kini, kau tak lebih dari cecunguk busuk. 

Kau terlalu dibuai nama besarmu!"

"Apa maksudmu?!" Andika makin mendelik-delik. 

Dia belum juga mengerti.

"Nama besarmu itu telah membuat kau lupa diri. 

Kau ingin tetap diagungkan dunia persilatan, lalu kau 

mulai rakus terhadap kesaktian. Kau buru seorang lelaki India untuk merebut kitab yoganya!"

"Apa maksudmu?! Ini benar-benar gila?!" Andika 

mencak-mencak kalang kabut. Wajahnya porak-

poranda seperti letusan bisul mendengar setiap tudin-

gan Amitha.

"Dan yang lebih busuk dari semua itu, kau bu-

nuh istriku hanya untuk satu keterangan!" cecar Ami-

tha, tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Slebor 

untuk membela diri.

"Diam! Omong kosong siapa yang telah kau den-

gar?!" hardik Pendekar Slebor. Kini mulai diendusinya 

ketidakberesan. Seseorang telah menghasut Amitha. 

Hanya ada yang masih belum diketahui. Siapa peng-

hasut itu? Menilai ucapan Amitha yang demikian yakin 

bahwa Pendekar Slebor adalah pembunuh istrinya, 

tentu si penghasut adalah orang yang amat lihai mem-

pengaruhi orang lain.

Andika jadi ingat pada seorang musuh lamanya 

ketika dia harus berhadapan dengan Pendekar Wanita 

Tanah Buangan, seorang pendekar wanita pendendam 

yang terjerat permainan licik pamannya sendiri, Pange-

ran Neraka.

Amitha tak mau mengulur-ngulur waktu lebih 

lama. Keadaannya dirinya makin tak memungkinkan 

untuk bertele-tele. Gejolak dendam dalam dirinya su-

dah tak lagi dapat dibendung.

Amitha segera menghambur ke arah Pendekar 

Slebor. Anak muda sakti dari Lembah Kutukan sendiri 

saat itu telah bersiap diri menghadapi kemungkinan 

terburuk yang bakal dilakukan Amitha.

"Grrhhhaaah!"

Dengan berjumpalitan tiga empat kali di atas ta-

nah keras layaknya seekor singa lapar, Amitha mem-

persempit jarak dengan calon lawannya. Setiap kali 

tangannya terjejak jari-jemarinya menembus tanah.

Tahu dirinya belum bahaya besar, Pendekar Sle-

bor segera melenting ke sisi kiri. Gerakan terkaman 

Amitha yang demikian cepat memburu perutnya di 

udara. Pendekar Slebor dipaksa untuk menahan sam-

baran jari mengejang lawan.

Wukh! Dash!

Menyambut sambaran cakar lawan, Pendekar 

Slebor mengayunkan tangannya ke depan. Jari men-

gembang kejang Amitha bertumbukan kuat dengan 

pergelangan tangan Pendekar Slebor.

Andika tahu, dia harus membalas. Jika tidak, la-

wan akan memiliki kesempatan melepas serangan su-

sulan. Meski amat sadar Amitha cuma termakan fit-

nah, Pendekar Slebor terpaksa juga menyerangnya. Sa-

tu tendangan berantai dilancarkan. Padahal, tubuhnya 

masih berada di udara.

Deb! Deb! Deb!

Amitha mungkin tergolong tokoh kemarin sore. 

Kedigdayaan sesat belum lama dikuasainya. Untuk ke-

saktian yang didapat demikian cepat itu, malah Pende-

kar Slebor masih setingkat di bawahnya. Lepas dari 

itu, Amitha tak mau ambil resiko terhadap serbuan 

tendangan berantai kaki lawan. Cepat dia menghem-

pas tubuh ke belakang kembali.

Kesempatan itu dipergunakan Pendekar Slebor 

untuk mengokohkan kuda-kuda kembali di atas tanah. 

"Saudara, sebaliknya kau memberiku kesempatan un-

tuk membuktikan semua ucapanku!" ujarnya, menco-

ba menahan amukan Amitha lebih kuat.

"Tak perlu! Kau hanya harus mampus hari ini! 

Hearh!"

Serbuan lelaki India terbakar dendam itu dimulai 

kembali.

Berkawal sumpah serapah tak kentara, Pendekar 

Slebor melempar tubuhnya tinggi ke udara. Di udara

dia berguliran deras dengan tubuh terlekuk dalam. 

Dengan cara itu, dia hendak memperdayai Amitha. 

Saat lawan lengah mengikuti gerak tubuhnya, akan di-

lancarkannya seruntun totokan cepat secara tak ter-

duga.

Biarpun belum cukup berpengalaman dalam 

kancah dunia persilatan, rupanya Amitha tak mudah 

tertipu. Dengan cukup jeli dia dapat menduga-duga 

maksud lawan.

Sebelum jari tangan Pendekar Slebor melepas se-

puluh totokan cepat ke sepuluh titik jalan darah di tu-

buh si lelaki kalap, Amitha sudah lebih dahulu memu-

tar sepasang tangan kurusnya bagai kincir angin rak-

sasa.

Srrr! 

Tas... tas... tas...!

Sepuluh patukan jari Pendekar Slebor ke sepuluh 

tempat berbeda di tubuh Amitha tak menghasilkan 

apa-apa. Hanya tulang lengan Amitha saja yang terla-

brak. Hampir sekujur tubuh bagian depan lelaki India 

itu terlindungi oleh putaran tangan.

Menyaksikan hal itu, Andika merasa harus. men-

gatur siasat lain. Tiba di tanah, tubuhnya langsung 

berguling tangkas dan cepat menuju lawan. Memang, 

kejelian mata pendekar muda yang ditempa pengala-

man itu menemukan celah lowong yang tak terlindungi 

putaran tangan di bawah tubuh Amitha.

Amitha sebelumnya sibuk dengan terjangan pa-

tukan jari lawan. Dia tak menyadari kalau lawan su-

dah berada begitu dekat dengan pertahanan terlemah 

di bagian bawah tubuhnya. Tatkala menyadari, semu-

anya sudah terlambat. Tanpa perlu tiba di dekat la-

wan, Pendekar Slebor telah melepas tenaga dalam me-

lalui jari telunjuknya.

Tubs! Tubs!

Lontaran tenaga dalam kecil itu mendarat tepat 

di dua titik jalan darah di pangkal paha Amitha.

Si lelaki India mengeluh tertahan. Saat itu juga 

sepasang kakinya bagai kehilangan tulang. Tubuhnya 

tersungkur ke depan. Lalu tersimpuh di tempat.

***

Sehari lalu. Jauh dari tempat pertarungan antara 

Pendekar Slebor dengan Amitha, tepatnya di Kadipaten 

Blitar, sebelah timur tanah Jawa. Di sebelah selatan 

kadipaten tersebut terdapat dusun bernama Beran Ki-

dul. Sama seperti kebanyakan daerah Jawa lain, pada 

saat itu dusun Beran Kidul pun sedang dilanda keke-

ringan hebat

Seseorang perempuan tampak berjalan di pinggi-

ran dusun tersebut. Dilihat dari penampilannya, tam-

pak perempuan itu seorang warga persilatan. Pakaian-

nya merah, memperlihatkan kesan keberanian dan ke-

gairahan pemakainya. Wajahnya demikian memikat 

untuk ukuran seorang yang mengetahui keindahan. 

Rambutnya legam panjang terurai. Daya pikatnya 

menjadi lengkap dengan dada sekal, pinggang ramp-

ing, serta pinggul padatnya.

Peluh di dahi pendekar wanita itu bercucuran, 

kotor bercampur dengan debu. Sesekali, lengan ba-

junya disapukan ke bagian tersebut. Bibirnya yang 

memiliki bentuk demikian mempesona tampak kering 

dan agak pecah-pecah. Panas siang telah lancang se-

dikit merusak kecantikannya.

"Ke mana Uwak Nyai Silili-lilu sebenarnya?" tanya 

perempuan itu, mendesah. Keluhnya terdengar. Telah 

dua minggu dia berjalan mencari. Orang yang dicari 

seperti raib ditelan bumi.

Siapa pendekar wanita yang mencari Nyai Silili

lilu ini. Beberapa waktu lalu, dia menggegerkan dunia 

persilatan dengan julukan Ratu Lebah. Nama aslinya 

Mayangseruni. Murid satu-satunya si nenek nyentrik, 

Nyai Silili-lilu.

(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Ratu Le-

bah, bacalah episode "Pendekar Wanita Tanah Buan-

gan", dan "Sepasang Bidadari Merah")!

Kurang lebih dua minggu lalu, Mayangseruni 

menemukan tempat tinggal Nyai Silili-lilu kosong. 

Tempat tinggal berupa pohon tua berlubang dengan 

ruangan di bawahnya itu ditinggal dalam keadaan ka-

cau-balau. Bau pesing pula.

Tentu saja hal itu membuat Mayangseruni men-

jadi khawatir. Sebab, tak biasa-biasanya Nyai Silili-lilu 

meninggalkan tempat tersebut.

Mayangseruni memutuskan untuk segera menca-

rinya. Hari ini, masuk hari ketiga belas masa penca-

riannya.

Mayangseruni terus berjalan. Sampai langkahnya 

terhenti di tepi Sungai Brantas. Sungai dalam keadaan 

sekarat. Tepiannya sudah kering sama sekali. Sisa air 

demikian menyedihkan. Hanya mengalir kecil seperti 

selokan di tengah-tengah badan sungai. Rasa haus 

yang menggelantung begitu pekat di tenggorokan me-

nuntut Mayangseruni untuk meneguk air sungai.

Didekatinya bagian yang paling jernih. Mayangse-

runi bersimpuh. Kedua tangannya menjulur, menciduk 

air. Diteguknya air itu dengan penuh kenikmatan. Da-

lam keadaan teramat haus, rasanya air adalah surga.

Puas melepas dahaga, Mayangseruni membasuh 

wajah dan sebagian rambutnya dengan air. Biar enyah 

semua perasaan penat. Dinikmatinya sesaat kesegaran 

air dan terpaan angin. Setelah benar-benar puas, pe-

rempuan itu bangkit.

Belusa mual. Matanya berkunang-kunang. Bumi bagai di-

ayun ke kiri ke kanan. Kepalanya pun memberat.

"Kenapa dengan diriku?" keluhnya lirih.

Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tu-

buh Mayangseruni ambruk.

Tak lama kemudian, datang sesosok tubuh men-

jemputnya. Tubuh pendekar wanita itu dibopong den-

gan kedua tangan, lalu dilarikan. Entah ke mana.

***

Kembali ke pertarungan antara Pendekar Slebor 

dan Amitha.

Amitha ketika itu berhasil dilumpuhkan kuda-

kudanya oleh dua totokan Pendekar Slebor pada kedua 

pangkal pahanya. Lelaki India itu tersimpuh di tempat 

tanpa bisa berbuat apa-apa. Wajahnya memperli-

hatkan kegeraman berbaur dengan kemurkaan me-

muncak. Menjadikan sorot matanya demikian menggi-

dikkan, meski bagi nyali alot seorang Pendekar Slebor. 

"Maaf, Saudara. Terpaksa aku melakukan," sesal 

Andika.

"Jangan banyak basa-basi! Aku sudah muak me-

lihat semua kepalsuanmu!" desis Amitha tertahan-

tahan akibat desakan-desakan kemarahan.

"Aku tak bisa percaya ini!" bentak Pendekar Sle-

bor. "Sementara, aku sendiri sampai saat ini belum 

mengetahui siapa namamu, kenapa kita harus bermu-

suhan? Bagaimana caraku agar membuatmu percaya 

bahwa aku bukanlah pembunuh istrimu?!"

"Tak perlu! Sebab kau akan tetap mati. Jangan 

mengira aku sudah kalah karena telah tertotok oleh-

mu!" ancam Amitha.

Andika menggeleng-gelengkan kepala, masyghul.

Ancaman Amitha nyatanya bukan pepesan kosong dari mulut seorang pecundang. Dia membuktikan 

ancaman tadi, dengan memejamkan mata. Kedua tan-

gannya bersilangan di depan wajah. Tubuhnya bebera-

pa saat kemudian bergetaran, bagai ada gempa dari 

dalam dirinya.

Pendekar Slebor terus memperhatikan. Tak per-

nah terlintas dalam pikirannya untuk kembali lari dari 

Amitha. Dia terlalu ingin tahu sebenarnya apa yang 

hendak dilakukan Amitha saat itu. Lagi pula, dia su-

dah bosan menghindar terus. Persoalan harus dijer-

nihkan hari ini juga, tekadnya.

Perhatian Pendekar Slebor makin tercurah, keti-

ka samar-samar disaksikannya dari sekujur permu-

kaan kulit Amitha mulai menyeruak pendar-pendar 

cahaya berkabut berwarna merah bara.

Detik itulah, Pendekar Slebor baru menyadari ka-

lau si lelaki India sedang mengerahkan ajian sesatnya. 

Dia akan segera berubah wujud menjadi makhluk jeja-

dian, Macan Kepala Ular! Andika menyadari keadaan 

itu karena dia teringat ketika pertama menyaksikan 

makhluk jelmaan diri Amitha dulu. Sewaktu makhluk 

jejadian terkutuk itu berubah wujud men-jadi Amitha, 

Andika pun menyaksikan pendar-pendar cahaya ber-

kabut merah bara.

Tanpa tahu mesti berbuat apa-apa, bahaya yang 

disadari Andika sudah jadi terlambat. Di depannya, 

tubuh Amitha kini telah benar-benar menjelma menja-

di makhluk berwujud... tak utuh. Seekor macan ber-

kepala puluhan ular yang mendesis-desis membentuk 

dengung bergaung, mencakar nyali.

"Nggsnngsss!"

Berikutnya kejadian yang tak terduga Pendekar 

Slebor menyusul. Makhluk jejadian itu telah berhasil 

membebaskan dua totokan yang tergolong sulit dibe-

baskan. Dibantu orang lain saja, sudah amat sulit.

Apalagi dengan usahanya sendiri. Tapi, itu benar-

benar terjadi!

"Saudara! Ini sudah keterlaluan!" seru Pendekar 

Slebor, nyaris seperti memekik. Dia berusaha keras 

untuk mencegah amukan Amitha yang telah menjelma 

menjadi sosok dari dasar neraka itu.

"Hadapilah semuanya dengan pikiran jernih! Ka-

lau kau ingin mengetahui satu kebenaran, kau tak bi-

sa hanya mengikuti perasaanmu saja!"

Semua usaha Andika tak mendapat tanggapan 

apa-apa, kecuali dengung bergaung yang makin san-

ter. Sebelum akhirnya dari puluhan pasang mata ular 

di leher binatang menyeramkan itu menerjangkan dua 

larik cahaya panjang berwarna merah bara ke mata 

Pendekar Slebor.

Pendekar muda dari Lembah Kutukan yang tak 

pernah menduga kejadian itu tak bisa lagi menghindar 

dari terkaman cepat juluran cahaya tadi. Tepat di dua 

bola matanya, sinar menyilaukan tadi menusuk ma-

suk.

"Aaa!"

Pendekar Slebor melepas lengkingan tinggi, me-

notok langit. Tangannya menutup mata. Apa yang se-

dang dirasakan Pendekar Slebor saat itu benar-benar 

tak terperikan. Dirinya seperti dirasuki ratusan roh-

roh sesat, memadati garba batinnya dan menyiksanya 

dari dalam. Nyawanya seakan hendak ditendang ke-

luar dari tubuh sendiri. Seribu rasa sakit yang pernah 

dialami manusia di dunia, dirasakan Andika saat itu.

Di lain pihak, makhluk jejadian di depannya 

mendengung lebih santer. Dari caranya berdiri, tam-

pak jelas kalau dia siap melakukan terkaman maut ke 

arah korbannya....

Pada saatnya, terkaman buas itu benar-benar 

terjadi. Dari jarak yang cukup jauh, makhluk jejadian

menyeramkan di depan Pendekar Slebor mencelat. Ke-

dua kaki depannya mengeras. Kuku-kukunya bersem-

bulan dalam sekejap, memendam kesan haus darah.

Pihak yang diserang sendiri saat itu sedang ber-

kutat dengan segenap rasa menyiksa. Bersumber dari 

sepasang biji matanya, Pendekar Slebor merasakan di-

rinya nyaris sekarat. Sulit untuk mempertahankan ke-

sadaran. Jika untuk itu saja sudah sulit, bagaimana 

lagi dia harus menghindari terkaman lawan? 

Beriring dengung berat Macan Kepala Ular, teng-

gorokan Pendekar Slebor melepas lengkingan untuk ke 

sekian kalinya. Tak ada yang bisa diperbuat selain itu. 

Dia sudah tak sanggup melakukan apa-apa.

Namun, teriakan yang terdorong oleh rasa sakit 

luar biasa tadi justru membangkitkan kekuatan 'Inti 

Petir' yang selama ini mendekam dalam dirinya. Tanpa 

sadar, gelegak tenaga 'Inti Petir' membuncah ke seku-

jur tubuhnya, mengalirinya dengan kekuatan listrik 

alam tak terhingga untuk ketahanan tubuh seorang 

manusia.

Dalam sekejapan, kulit tubuh pendekar muda 

pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan itu ber-

pendar menyilaukan. Pada saat yang sama, kuku-

kuku sang makhluk jejadian mendarat didua belahan 

dada bidang si pemuda yang mengejang.

Terlambunglah suara menggidikkan ke angkasa.

Dazzz!

Suara asing yang begitu mirip dengan desis lidah 

halilintar memangsa pucuk pohon kelapa! Sepersekian 

kejap dari suara meninggi tadi, meluruk pula dengung 

berat dari mulut puluhan ular di leher macan jejadian. 

Kalau sebelumnya bernada kemurkaan, kini padat 

dengan nada giris merintih.

Berbarengan dengan itu, kerongkongan Pendekar 

Slebor bergetar kembali, melempar kekuatan lengkingan yang sanggup dilempar sekuatnya. Siksaan dalam 

dirinya telah meningkat berlipat kali!

Tubuh berbeda wujud itu bergeletaran liar. Kea-

daannya seperti dua makhluk yang disengat terus me-

nerus oleh seruntun petir menggila. Yang aneh, kuku-

kuku di kedua kaki depan makhluk jejadian, sama se-

kali tak terlepas dari dada Pendekar Slebor. Padahal, 

benda-benda tajam tersebut sama sekali tak menem-

bus dada si pemuda sakti tanah Jawa, bahkan sekadar 

mengoyak kulitnya.

Sementara Pendekar Slebor jatuh berlutut, den-

gan tubuh mengejang dan tangan terbentang, makhluk 

jejadian di dekatnya tersentak-sentak. Dua kaki bela-

kangnya berkutat liar hendak melepaskan diri dari pa-

gutan tak terjelaskan dari tubuh lawan. Beberapa kali 

hentakan nyalang dilakukan ke tanah, tapi tetap saja 

tak sanggup membobol kekuatan pagutan tadi.

Cukup lama kejadian tersebut berlangsung. 

Sampai keduanya kemudian terkulai perlahan. Pende-

kar Slebor terjatuh ke belakang. Kakinya terlipat. Se-

dangkan lawan anehnya terkulai ke samping. Ketika 

itu, pendar cahaya menyilaukan di sekujur kulit Pen-

dekar Slebor memudar lamat-lamat. Lalu menghilang. 

Kuku-kuku kedua kaki depan makhluk jejadian telah 

terlepas dari permukaan kulit dadanya. Itu yang me-

nyebabkan tubuh Macan Kepala Ular dapat dengan 

mudah terkulai.

Keduanya tergeletak tanpa gerak di tanah. Diam. 

Bisu. Juga hening.

Selang setengah penanakan nasi, suatu keane-

han baru mencuat dari tubuh macan berkepala pulu-

han ular. Seberkas sinar merah bara panas dan me-

nyengat mata bergemul sesaat. Selanjutnya sinar me-

rah bara tadi melepaskan diri dari tubuh yang sudah 

menjadi bangkai. Dari tubuh Macan Berkepala Ular,

cahaya itu berpindah dalam kecepatan yang sulit di-

ikuti mata ke dalam tubuh Pendekar Slebor....

Selang berikutnya, wujud mengerikan Macan Ke-

pala Ular perlahan dan samar berubah kembali menja-

di sosok lelaki India kurus. Dia telah kehilangan nyawa 

untuk suatu yang sia-sia....

***

Rahasia apa yang sesungguhnya tersembunyi da-

lam tiga kalung milik Katak Merah, Dewi Kecubung 

dan Mata Dewa Kematian? Mengapa Tiga Datuk Ka-

rang begitu menginginkannya?

Apa pula yang terjadi dengan Pendekar Slebor?

Lalu, apakah Tiga Datuk Karang akan menda-

patkan kitab pamungkas ilmu 'Karang' mereka?

Banyak pertanyaan menanti jawaban. Semuanya 

akan terjawab tuntas dalam episode berikutnya.


Jaga waktu terbitnya:

AJIAN SESAT PENDEKAR SLEBOR




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive