siluman hutan waringin
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Fuji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Curah hujan seperti tak pernah puas membasahi
dataran yang dipenuhi perbukitan. Salah satu bukit dari
kejauhan mirip kepala seekor menjangan. Sehingga,
disebut dengan Bukit Menjangan.
Kilat saling menyambar, tak ubahnya bagai lecutan
malaikat yang menyengat bumi. Alam telah basah. Hewan
yang hidup di tanah berlarian mencari tempat per-
lindungan.
Di tengah cuaca seperti ini, dua laki-laki berkepala
botak dengan sebuah tasbih di langan kanan terus ber-
kelebalan. Keduanya berpakaian sama warna jingga yang
terbuka di bahu sebelah kanan. Wajah mereka pun sama.
Bulat. Tubuh mereka langsing. Begitu mirip. membuat
mereka sukar dibedakan. Yang membedakan hanya dari
tasbih yang dimiliki. Usia mereka sekitar empat puluh lima
lahun.
"Brengsek! Kenapa harus hujan-hujan begini, sih
Angling Srenggi?!" gerutu yang memegang tasbih dari emas
sambil terus berlari.
Dari cara berlari yang secepat angin itu, sudah bisa
dipastikan kalau kedua orang ini memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi.
Laki-laki yang memegang tasbih dari perak dan
dipanggil Angling Srenggi terbahak-bahak. Suaranya
diperkeras guna mengalahkan suara hujan yang begitu
deras.
"Aku baru ingat, Kakang Tapa Srenggi! Tadi kau belum
mandi, kan? Kau tidak usah marah! Tinggal mengeringkan
saja bukan?" ledek Angling Srenggi pada saudaranya yang
bernama Tapa Srenggi.
Tapa Srenggi yang agak pemarah langsung melotot.
"Kau urusi dirimu sendiri!" dengusnya,
"Apa aku prrnah menyuruhmu untuk memandikanku?"
seloroh Angling Srenggii sambil terbahak-bahak.
Sadar kalau sedang digoda adik kembarnya, Tapa
Srenggi mempercepat larinya, agar bisa segera mene-
mukan tempat untuk berteduh. Angling Srenggi pun
menambah kecepatan larinya. Dia tidak heran melihat
sikap kakaknya yang pemarah seperti itu. Sebaliknya
terkadang dia heran melihat sikap kakak kembarnya, yang
bisa menjelma menjadi seorang yang berkepribadian
malaikat.
Kini keduanya terlihat bagaikan sedang kejar-kejaran.
Begitu tiba di salah satu bukit yang berjajar, tepat di
sebelah bukit yang berbentuk kcpala menjangan, mereka
bcrhenti. Dan ketika melihat sebuah gua, mereka masuk.
"Sialan! Aku harus mengeringkan pakaian ini!" maki
Tapa Srenggi, pada diri sendiri ketika herada di dalam gua.
"Hei! Jangan mcmbuka pakaianmu di sini. Aku bisa
malu. kan?" goda Angling Srenggi. Sambil tertawa seluruh
pakaiannya dibuka, hingga hanya kolor saja.
"Kalau tidak mengejek orang bibirmu gatal, ya?" tukas
Tapa Srenggi sambil mengibaskan tangan kanannya ke
arah Angling Srenggi. Namun sigap sekali laki-laki bertasbih
perak ini memiringkan tubuh ke kiri. Jderr...!
Angin pukulan yang dilepaskan Tapa Srenggi
menghantam dinding gua yang langsung sempal.
"Heiiit! Hati-hati! 'Tapak Angin Dingin'-mu itu bisa
memutuskan kepalaku, Kakang Tapa Srenggi!" seru Angling
Srenggi seraya menggerakkan tangannya.
Wusss!
Seketika meluruk desir angin ke arah Tapa Srenggi.
Kalau pukulan yang dilepaskan Tapa Srenggi tadi
mengandung hawa dingin, pukulan adik kembarnya jus-tru
mengandung hawa panas.
"Gila! Sialan!"
Tapa Srenggi yang sedang membuka pakaiannya
memaki-maki. Namun secepat kilat dia bersalto ke sam-
ping. Tak usah disangsikan lagi kehebatannya meri-
ngankan tubuh. Karena dalam keadaan tengah membuka
pakaiannya, dia bisa menghindari. Malah ketika hinggap
kembali di bumi. pakaiannya sudah terbuka.
"Rupanya kau juga sudah sembarangan
menggunakan 'Tapak Angin Panas'-mu, ya?" tukas Tapa
Srenggi.
Angling Srenggi hanya tertawa-lawa saja.
"Kedudukan kita satu-satu, kan?"
Tapa Srenggi menggerutu. lalu meletakkan
pakaiannya di sebuah batu besar yang ada di gua dinding
bukit itu. Hujan di luar scmakin deras.
Kedua manusia kembar itu pun kini terdiam saling
menekuk lutut. Siang yang biasanya meranggas. kini tak
ubahnya bagaikan malam belaka. Cahaya sang surya
seakan tak mampu menembus gumpalan awan hitam yang
terus menutupinya.
"Kang Tapa, sudah tiga minggu kila keluar dari
Pesanggrahan Utara untuk mencari Pendekar Slebor.
Telapi sampi saal ini batang hidungnya belum juga
kelihatan. Bahkan kabarnya saja tidak kita dengar," kata
Angling Srenggi, memetah kesepian. Scmentara hujan
terus menderu dan kilat terus saling menyambar.
Angling Srenggi mengangguk-angguk. "Memang sialan
pendekar urakan itu! Susah benar dicarinya!"
"Kalau memang susah, apakah tak ada lagi yang bisa
mengobati penyakit Guru?" tanya Angling Srenggi.
"Goblok! Sejak kita berangkat dari Pesanggrahan
Utara, sudah kukatakan kalau satu-satunya orang yang
memakan buah inti petir itu ya, Pendekar Slebor! Heran!
Beruntung sekali nasib pendekar gendeng itu bisa
memakan buah inti petir sehingga memiliki tenaga petir
yang luar biasa dahsyatnya!"
"Tetapi, ke mana lagi kita harus mencari Pendekar
Slebor, Kang?" tanya Angling Srenggi. "Apalagi menurutmu,
kau tidak mengenalnya. Hanya yang kau ketahui,
pakaiannya berwarna hijau muda. Huh! Berapa banyak di
bumi ini manusia yang berpakaian berwarna hijau muda
itu?"
"Mana kutahu?! Aku bukan orang iseng yang mau-
maunya menghitung jumlah manusia berpakaian berwarna
hijau muda!" dengus Tapa Srenggi. "Pokoknya kita harus
segera mencarinya! Soalnya, hawa panas yang memancar
dari tubuh Guru tak bisa lagi dikendalikan! Terlalu
berbahaya untuk kita obati! Karena, bisa-bisa kita terkena
hawa panas itu pula!! Dan kuperkirakan, orang yang bisa
memulihkan kesehatan Guru, hanyalah Pendekar Slebor
dengan tenaga inti pelirnya."
"Aku kasihan bila melihat Guru."
"Jangan bodoh! Guru adalah orang tabah dan tak
pernah mcncari perkara! Nah! Yang memusingkan ke pala,
sampai hari ini pun kita tidak tahu siapa yang
melakukannya! Karena, setiap kali kita berusaha
mengobati Guru, hawa panas yang terpancar di tubuhnya
semakin kuat! Bahkan, bisa-bisa terkena kita sendiri!
Apalagi, Guru sendiri pun tidak tahu siapa orang yang
bermaksud mencelakakannya." Lalu Tapa Srenggi
menurunkan nada suaranya jadi agak sedih. "Sebenarnya.
aku pun kasihan pada Guru. Kita tidak kuasa
mengobatinya. Yah. Jalan satu-satunya untuk mengusir
hawa panas itu hanya bisa dilakukan oleh Pendekar Slebor
yang sampai sekarang belum kelihatan batang hidungnya!"
Suasana hening kembali. Keduanya terbayang
kembali, bagaimana Guru mereka yang bernama Ki
Mahesa Luwing atau yang berjuluk si Tua Kepalan Baja kini
tergolek lemah di pembaringan. Tanpa daya dan tenaga.
Hanya bisa tersenyum saja. Keadaannya yang demikian,
hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu
sangat tinggi. Karena terbukti Ki Mahesa Luwing yang
ilmunya sukar ditandingin pun terkena pula serangan gelap
yang mengerikan itu.
Dan belum lagi keduanya meneruskan pembicaraan,
tiba-liba saja terlihat sebuah cahaya dari gua terdalam.
Kedua lokoh kembar itu langsung menolehkan kepala.
menembus sinar yang menulupi snsok yang bergerak
mendantangi.
"Gila! Mengapa tahu-tahu ada cahaya seperti itu,
hah?" seru Tapa Srenggi sambil berdiri.
Angling Srenggi menyipitkan matanya, berusaha
melihat ke dalam. Karena. cahaya lerang itu justru
membuatnya silau.
"Gila!" makinya. "Mata kita bisa buta kalau
melihatnya!"
Cahaya itu semakin lama semakin bertambah terang
dan menyilaukan. Keduanya segera mengangkat sebelah
tangan, untuk menutupi pandangan dari cahaya yang
terang.
"Adi Angling! Aku mencium bahaya di sini!" ingat Tapa
Srenggi. Dan dengan gerakan yang cepat sekali
disambarnya kembali pakaiannya yang belum kering benar
dan segera dikenakannya.
Begitu pula yang dilakukan Angling Srenggi.
"Kau henar, Kang!"
Wusss...!
Belum lagi keduanya mcmasang kuda-kuda,
mendadak saja serangkum angin besar menderu.
"Gila! Angin apa ini'.'!" desis Tapa Srenggi sambil
mengerahkan tenaga dalamnya agar bisa bertahan.
Angling Srenggi pun berbuat yang sama. Wajah
mereka kini bagaikan ditampar pukulan yang sangat keras.
Dan terasa sekali di kepala mereka yang kelimis.
"Busyet! Kepalaku seperti diusap-usap!" maki Angling
Srenggi sambil mengalirkan tenaga dalam ke kedua
kakinya. Ucapan itu dilontarkan seenaknya. Padahal
keadaannya sudah tidak mampu bertahan lagi menerima
serbuan angin yang begitu besar.
Cahaya yang terang itu sangat menyilaukan mata dua
tokoh yang dikenal sebagai Sepasang Tasbih Kepalan
Batu. Akibatnya daya pusat pikiran mereka harus terpecah.
Karena harus juga menahan serbuan angin raksasa yang
menderu-deru hebat.
Selama setengah penanakan nasi mereka mampu
bertahan. Hingga akhirnya.... "Wuaaa...!" Bruk! Bluk!
Tubuh keduanya pun terlempar ke luar gua dengan
deras, bergulingan di tanah yang becek. Lalu.... "Hoekh...!"
Mereka kontan muntah darah dan sama-sama
merasakan sakit luar biasa di dada. Pakaian dan seluruh
tubuh mereka kotor akibat tanah becek.
"Siapa makhluk yang berada di balik cahaya dan angin
raksasa itu?" tanya Angling Srenggi dengan napas
tersengal.
"Aku tidak tahu. Manusia atau sebangsa dedemit.
Serangan anginnya sangat dahsyat! Tetapi lelah
memancing amarahku!"
Tiba-tiba saja Tapa Srenggi berdiri. Kedua kakinya
bergetar. Segera tenaga dalamnya dialirkan ke kaki.
"Siapa pun kau adanya. keluar! Kita bertarung sampai
mati!" teriak Tapa Srenggi.
Sebagai jawaban atas seruan itu, tiba-tiba terlontar
sebuah bola api dari dalam gua yang begitu kencang.
Sepasang Tasbih Kepalan Batu saat itu juga harus
jatuh bangun mempertahankan diri. Sementara alam di
sekitarnya mendadak bagaikan terang benderang. Dan
anebnya, bola api itu tidak padam ditimpa air hujan yang
deras.
''Kalau kita terus-menerus begini, lama-lama akan
mampus juga!" keluh Tapa Srenggi sambil merunduk,
karena bola api mengejarnya.
Baru saja Tapa Srenggi menegakkan badan, bola api
itu kembali menyerbunya. Terpaksa laki-laki ini segera
berjumpalitan.
Begitu luput mcncari sasaran, bola api itu terpental
kebelakang dan kembali menderu-deru, menerjang ke arah
Angling Srenggi.
"Buat 'Pusaran Tasbih Dewa Marah'. Kau putar ke kiri,
dan aku ke kanan! Kita lakukan untung-untungan!
Barangkali saja bola api itu bisa ditepiskan! Mulai!" ujar
Tapa Srenggi.
Seketika Tapa Srenggi kembali melompat ketika bola
api itu terus mengejarnya. Dan tasbih emas yang berada di
tangannya telah diputar dengan arah ke kanan. Begitu pula
yang dilakukan Angling Srenggi. Namun dia memulai arah
putaran tasbih peraknya ke arah kiri.
Wuuttt... wuttt...!
Seketika terdengar deru angin kencang sekali. Saking
kencangnya, beberapa pohon yang tumbuh di Sana
tercabut sampai ke akar-akarnya.
Bola api yang masih mengejar mereka pun terlontar
kembali ke dalam gua. Namun, Sepasang Tasbih Kepalan
Batuyangsudah marah karena dipermainkan seperti itu
segera meloncat pula kc arah mulut gua. Sementara
putaran tasbih mereka dipercepal. Dua angin keras
menderu masuk kc arah gua itu.
Tidak terjadi sesuatu yang mcncurigakan. Bahkan tak
tcrdengar benturan yang kuat atau guncangan karena
terhantam angin keras itu. Yang ada justru sebuah angin
raksasa yang memukul balik angin yang keduanya
lepaskan.
"Adi Angling! Berguling sejauh-jauhnya!" ujar Tapa
Srenggi, seraya melompat dan bergulingan di depan mulut
gua. ,
Angling Srenggi pun berbuat sama. Dan angin raksasa
itu langsung ke luar gua, menumbangkan sepuluh buah
pohon besar yang terlempar hingga ratusan depa.
"Kang Tapa..... Perasaanku mengatakan, gua itu di
huni sebangsa dedemit atau siluman!" teriak Angling
Srenggi.
"Persetan dengan dedemit atau siluman! Aku akan
menghajarnya sampai lunggang-langgang!" dengus Tapa
Srenggi.
Tiba-tiba Tapa Srenggi sudah menderu masuk lebih
dalam lagi ke gua itu dengan memutar tasbihnya lebih
cepat dari yang semula.
"Kang Tapaaa!"
Angling Srenggi sungguh tidak menyangka kalau
kakak kembarnya senekat itu. Dia tahu. Tapa Srenggi
sudah marah. Begitu pula dirinya. Namun Angling Srenggi
masih bisa mengendalikan amarahnya, hingga tidak
terjebak pusaran lawan yang tentunya menghendaki hal
itu.
Akan tetapi. Tapa Srenggi sudah tidak mendengar
peringatan adik kembarnya. Amarahnya sudah sampai di
ubun-ubun. Dirinya tak akan sudi diperlakukan semena-
mena seperti itu.
"Kau harus merasakan pembalasanku, Siluman!"
teriak Tapa Srenggi, mengguntur.
Tapa Srenggi memutar tasbihnya lebih cepat dan
diarahkan pada sasaran. Bersamaan dengan itu Tapak
Angin Dingin"nya dikerahkan. Kali ini terdengarsuara
bagaikan ledakan di dalam gua. Dan Tapa Srenggi
merasakan tanah yang dipijak gemetar.
Angling Srenggi yakin, kakak kembarnya telah
memadukan jurus 'Tasbih Dewa Marah' dan Tapak Angin
Dingin' demi melampiaskan amarahnya. Dua gabungan
jurus yang sangat dahsyat. Bukan hanya mampu
menghancurkan gua hingga runtuh, bahkan menembus
dinding gua di ujung Sana.
Namun yang diduga Angling Srenggi ternyata tidak
terbukti. Meskipun. tanah yang dipijaknya terasa ber-getar.
Karena. dengan mata membelalak kaget. dia melihat satu
sosok tubuh terlontar deras ke luar.
"Kang Tapaaa!"
Dengan satu pentalan kaki, Angling Srenggi me-
nangkap tubuh kakak kembarnya yang terpelanting deras
ke belakang. Lalu dengan satu gerak salto yang ringan,
kakinya hinggap kembali di tanah dengan sikap waspada.
Kalau Tapa Srenggi sudah nekat, maka Angling
Srenggi masih mempergunakan olaknya. Menurutnya, bila
menyerang ke dalam gua itu, maka berarti membuang
nyawa percuma. Makanya lebih haik menghindar saja,
meskipun hatinya sangat penasaran ingin mengetahui
sejenis apa yang mendiami gua itu yang sekarang sedang
mengamuk bebat.
Tanpa tahu tentang keadaan kakak kembarnya.
Angling Srenggi terus berlari. Diterobosnya hujan yang
semakin deras dan debaran dada yang semakin mengencang sambil memondong Tapa Srenggi.
***
2
Hujan deras sudah berhenti. Sinar matahari kini
benar-benar terseret di ufuk barat. Hanya ada kegelapan
malam yang terus merangkak. Kalau tadi siang langit
begitu gelap dengan hawa dingin mencekam, kini langit
begitu cerahnya. Rupanya ratu malam kali ini mendapat
kebebasan bersinar, tanpa dihalangi segumpal awan pun.
Di sebuah hutan pohon jati sebelah selatan Bukit
Menjangan, Angling Srenggi menghentikan larinya. Sejenak
diperhatikannya keadaan sekeliling. Dan selelah
dirasakannya aman, barulah diletakkannya tubuh Tapa
Srenggi di atas rumput yang masih basah.
Keadaan Tapa Srenggi sangat menyedihkan. Sekujur
tubuhnya penuh luka. Sejenak Angling Srenggi menduga
kalau kakak kembarnya sudah mampus. Tetapi ketika
memegang dadanya, dia yakin kalau kakak kembarnya
masih hidup. Enlah untuk berapa lama. Yang pasti,
sekarang berusaha untuk memulihkan kesehatan
kakaknya. Paling tidak menyadarkannya dari pingsannya.
Dengan menempelkan kedua langan ke dada Tapa
Srenggi, laki-laki botak dengan tasbih perak ini
mengalirkan Tapak Angin Panas'nya, semata untuk
mengembalikan suhu tubuh Tapa Srenggi yang dingin
sekali.
Cukup lama juga Angling Srenggi melakukan hal itu.
Sehingga, kemudian terlihat keringat bercucuran.
Dipegangnya tubuh kakak kembarnya perlahan-lahan.
Dan ketika Tapa Srenggi sudah tidak sedingin tadi,
segera Angling Srenggi beringsut dan bangkit. Dia segera
mcncari dedaunan untuk menutupi tubuh kakak
kembarnya dari hawa dingin yang kemungkinan bisa
kembali menerpanya. Namun....
"Wuaaalahhh.... Tak jadi deh, dicium gadis cantik.
Huh.... Kabur sudah mimpiku! Siapa, sih yang iseng
mengganggu tidurku...?!"
Terdengar bentakan ketika Angling Srenggi
mematahkan sebuah dahan kayu.
Angling Srenggi tersentak. Dalam keadaan genting
seperti ini. sikapnya harus terus waspada. Matanya
memperhatikan rimbunnya dedaunan pohon yang tadi
dahannya dipatahkan. Tetapi tak satu sosok tubuh pun
yang nampak. Gila! Apakah daerah ini dihuni dedemit pula?
Akan tetapi, di samping penasaran. Angling Srenggi
pun berusaha untuk menghindar dari kemungkinan
terjadinya pertarungan. Karena yang terpenting saat ini
adalah menolong kakak kembarnya.
Setelah ditunggu beberapn saat tak ada yang muncul.
Angling Srenggi memutuskan untuk kembali menemui
kakak kembarnya yang masih dalam keadaan pingsan.
Sckaligus, bermaksud berpindah tempat. Saat ini bukanlah
saat yang tepat untuk bertempur. Karena keselamatan
kakak kembarnya lebih diutamakan.
Namun baru saja Angling Srenggi memondong tubuh
Tapa Srenggi di bahunya....
"Hayo, Manusia Botak! Mau lari ke mana, hah?! Aku
tidak terima! Aku minta ganti mimpiku yang kau usir!"
Tiba-tiba tcrdengar seruan keras. disusul
berkelebatnya satu sosok tubuh yang tahu-tahu telah
berdiri di hadapan Angling Srenggi.
Angling Srenggi memperbatikan orang yang
membentak di depannya. Dalam sangkaannya tadi, orang
itu berwajah mengerikan dengan usia sudah tua. Namun
yang berdiri di hadapannya, justru jauh dari bayangan nya.
Menurut perhitungannya, paring tidak berusia dua puluh
satu tahun. Pakaiannya berwarna hijau muda, dengan
selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya.
Wajahnya tampan. Sepasang mata yang tajam ditambah
sepasang alis hitam yang menukik bagaikan kepakan
sayap elang.
Yang sangat menarik lagi, pemuda ini kelihatan kocak
sekali. Dia berdiri di hadapan Angling Srenggi sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Sikap dan suaranya tidak
mencerminkan habis tertidur tadi. Matanya melotot dalam
satu pelototan gemas.
Namun, Angling Srenggi tetap bersiaga. Dia sering
mendengar para begundal sering menjual tampang bodoh,
tampang baik, bahkan tampang arjuna untuk menipu
korbannya.
"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya Angling Srenggi-
Kening pemuda berbaju hijau itu berkerut.
"Heran! Rasanya aku tadi yang bertanya lebih dulu....
Yang jelas, gara-gara kau, aku tidak jadi dicium gadis
cantik. Eh, begitu bangun, malah bertemu simbahnya tuyul.
Malas ah, kenalan dengan tuyul," kata pemuda ini,
seenaknya.
Angling Srenggi menyipitkan matanya. Sejenak
merasa terheran-heran dengan sikap pemuda ini. Dari
nada suaranya yang keras. jelas sekali kalau sedang marah
karena tidurnya terganggu. Tetapi melihat sikapnya yang
kocak seperti itu, jelas-jelas bukan tergolong pemuda
pemarah. Kendati demikian, dia tidak mau mencari
masalah.
"Maaf".... Namaku Angling Srenggi. Yang berada dalam
panggulanku ini adalah kakak kembarku. Namanya Tapa
Srenggi. Kami dikenal dengan julukan Sepasang Tasbih
Kepalan Batu. Dan, maafkan aku kalau telah mengganggu
tidurmu. Hanya itulah yang bisa kukatakan kalau kau ingin
mengetahuinya."
"Kepanjangan malah!"
Pemuda berbaju hijau pupus itu nyengir. Tiba-tiba
matanya menalap tajam pada tubuh Tapa Srenggi.
"Maaf, Manusia Bolak!" ucap pemuda itu, acuh saja
memanggil demikian. "Kulihat, manusia botak yang berada
dalam panggulanmu itu terluka dalam. Benarkah
dugaanku?"
Angling Srenggi memicingkan matanya. Dia berpikir,
tentu pemuda berbaju hijau pupus ini bukan orang
sembarangan. Buktinya dalam sekali lihat saja, dia bisa
tahu kalau kakak kembarnya tengah terluka dalam. Namun
baginya saat ini yang lerpenling bukanlah mencari
masalah.
"Tidak.... Kakak kemharku ini sedang kolokan saja,"
elak Angling Srenggi, berdusta.
Namun pemuda berbaju hijau pupus itu malah
nyengir. Sepertinya dia tidak percaya dengan kata-kala
Angling Srenggi.
"Ayo, jangan bohong! Biar kulihat! Sudah botak
sombong lagi! Huh! Mimpi apa aku tadi hingga bisa
bertemu dengan manusia-manusia botak seperti kalian ini!
Sini, aku mau melihat luka manusia botak yang berada
dalam panggulanmu itu!" ujar pemuda itu.
"Tidak!" tandas Angling Srenggi.
Akibat serangan yang terjadi di gua daerah perbukitan
sana, laki-laki botak dengan tasbih perak ini justru menjadi
tegang sekarang. Baginya, sangat sukar membedakan
manusia dari golongan lurus ataukah golongan sesat.
Tetapi kemudian disadari, kalau saat ini bukanlah saat
yang tepat untuk bertempur.
"Maaf, aku tidak bermaksud bersikap kasar seperti
itu. Tetapi, aku tidak membutuhkan bantuanmu. Aku
mampu menolong kakak kembarku ini." tolak Angling
Srenggi, dengan nada suara diturunkan.
Si pemuda mengerutkan keningnya. Merasa aneh
dengan kata-kata laki-laki botak itu. Matanya sepertinya
bisa menebak, kalau laki-laki yang berada di panggulan
laki-laki yang menolak bantuannya, jelas-jelas terluka.
Bahkan menurutnya, terluka dalam sangat parah.
"Sudahlah.... Kau boleh berbuat apa saja semaumu.
Aku mau tidur lagi!" kata pemuda berbaju hijau muda itu
sambil melangkah. Dan....
Wuuusss!
Tahu-tahu tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan.
Kening Angling Srenggi sckelika berkerut. Memang
sudah diduga kalau pemuda itu tak bisa dianggap
sembarangan. Terbukti dengan apa yang dikatakannya
tentang Tapa Srenggi. Juga terbukti dengan yang baru saja
dilihatnya. Tetapi, apakah pemuda itu berada dalam
golongan lurus atau sesat?
Sesaat Angling Srenggi terdiam dalam keraguan. Bila
mendengar ketlulusan bantuan pemuda berbaju hijau
pupus itu, jelas-jelas dia menunjukkan kebaikannya.
Namun, tak jarang orang dari golongan sesat pun
berpura-pura menawarkan niat baik, padahal menohok dari
belakang.
Angling Srenggi tak bisa meneruskan pikirannya,
ketika dirasakannya tubuh kakak kembarnya mulai dingin
kembali. Bergegas dilelakkannya tubuh Tapa Srenggi dan
ditutupinya dengan dedaunan. Sementara, ia sendiri pun
merebahkan tubuhnya untuk memeluk kakak kembarnya
sekadar memberi kehangatan.
Malam pun semakin membentang. Tengah malam
telah lewat. Suara hewan malam terus menembangkan
nyanyian malam. Dan semakin lama semakin ramai. Suara
burung hantu menggema di sekitarnya, menambah
keseraman hutan.
Angling Srenggi yang sejak tadi hanya terbaring saja
dan tidak bisa memejamkan matanya, tiba-tiba saja ter-
bangun. Dia memang tak bisa tidur, karena menurutnya
bahaya masih terus mengintai. Terutama, pikiran tentang
pemuda berpakaian hijau pupus ladi.
Mata lajam laki-laki bolak ini bersiaga. Telinganya
dipasang lebar-lebar. Sesuatu vang membuatnya
penasaran telah mengusik haiinya.
"Gila! Aku mencium bahaya kembali!" desisnya sambil
mcmperhatikan sekilarnya.
Tak ada scsuatu yang mencurigakan. Semuanya tetap
berjalan dalam keadaan wajar-wajar saja. Namun hanya
sesaat saja hal itu berlangsung. Karena kemudian baru
disadari kalau angin terasa berhenti berhembus.
Suara hewan malam pun mendadak saja lenyap dan
pendengaran.
Suasana sangai sepi Scpi sekali. Angling Srenggi
semakin waspada. Tiba-tiba benaknya teringat pada
pemuda berpakaian hijau pupus tadi yang kemudian
kembali meneruskan tidurnya, entah di pohon yang mana.
Apakah pemuda itu yang mengganggunya? Tetapi,
nalurinya yang terlatih mengalakan, kalau bahaya yang
datang ini sangat mengerikan. Bila melihat sikap pemuda
itu, bisa dipastikan kalau yang mengusik berbaringnya
bukan dia.
Tetapi siapa? Karena, hanya pemuda itu saja yang
barusan berjumpa dengannya?
Dan belum lagi laki-laki botak ini semakin menyadari
apa yang lerjadi. kembali terlihat sebuah cahaya yang
terang perlahan-lahan mendekatinya. Seketika hatinya
menjadi tegang, sclelah meyakinkan dirinya. Ternyata ilu
adalah cahaya yang sama saat berada di gua perbukitan
tadi siang.
"Gila! Bangsa siluman ilu rupanya menghendaki
kematianku dan Kakang Tapa," desisnya sambil
menyambar tubuh kakak kembarnya dan memondongnya.
Walaupun telah bersiaga, namun Angling Srenggi ciut
juga nyalinya. Karena, dia sendiri tidak mengetahui
siapakah yang mcnjadi lawannya.
Tiba-tiba saja....
"Hhhh! Tak seorang pun akan kubiarkan mencari
pemuda yang telah memakan buah "inti petir', untuk
menyelamatkan Ketua Pesanggrahan Utara yang telah
kubuat luka parah lanpa daya!"
Angling Srenggi lersenlak mendengar suara dingin dari
balik cahaya lerang ilu. Bukankah itu tujuan yang dilakukan
bersama Tapa Srenggi? Dan lagi, suara di balik cahaya
terang itu seperti bercerita tentang gurunya,siTua Kcpalan
Batu, Kalau begitu, apakah makhluk yang berada di balik
cahaya terang itu yang telah membuat Guru tanpa daya?
Angling Srenggi bertanya-tanya dalam hati dengan tatapan
waspada. Karena dalam keadaan seperti ini sangat mudah
untuk dibokong. Dan sudah tentu dia kesulitan untuk
mcnyelamatkan diri. Bukan karena memanggul tubuh
kakak kembarnya, melainkan harus lebih dulu mengobati
luka yang diderita Tapa Srenggi. Angling Srenggi tidak ingin
melihat kakak kembarnya mati konyol!
"Makhluk busuk! Siapa kau sebenarnya, hah?!
Perlihatkan wajah burukmu itu!" leriak Angling Srenggi,
antara kemarahan bercampur keccmasan.
"Ha ha ha,... Kau memang sungguh berani. Tetapi,
ingat! Tak akan kubiarkan siapa pun juga mencari
Pendekar Slebor!"
Tiba-liba terdengar suara geraman keras, disusul tawa
menggema di seantero hutan ini.
"Kenapa dengannya, hah?! Dia kubutuhkan untuk
menolong guruku?" pancing Angling Srenggi untuk mc-
ngetahui lebih jelas lagi kalau makhluk itulah yang mela
kukan kejahatan pada gurunya.
"Karena, aku menghendaki kedatangannya! Bila
sebelum tiga purnama mendatang dia belum datang juga,
maka si Tua Kepalan Batu akan mampus hari itu juga!"
"Biadab! Siapa kau sebenarnya, hah?! Apa urusannya
dengan guruku!" bentak Angling Srenggi dengan wajah
terasa panas dan hati tercmas-remas oleh marahnya.
Wesss....
Bukannya menjawab pertanyaan yang diucapkan
penuh amarah oleh Angling Srenggi, tiba-tiba saja
serangkum angin keras bergulung-gulung menderu ke
arahnya. Sehingga, membuat laki-laki botak harus
tunggang-langgang menyelamatkan diri. sekaligus
menyelamatkan kakak kembarnya yang masih dalam
keadaan pingsan.
"Kau tak akan mampu menghadapi Siluman Hutan
Waringin yang mendendam pada Pendekar Slebor! Dan
aku telah menunggu kedatangannya untuk menerima ajal
dariku. Ha... ha... ha!"
Angin yang menderu-deru itu terus mengejar Angling
Srenggi yang semakin bersusah payah menghindarinya.
Dalam keadaan memondong kakak kembarnya, sangat
sulit baginya untuk melakukan pembalasan. Namun diam-
diam pun dirasakannya kalau menyerang pun tak ada
gunanya.
Yang dihadapi Angling Srenggi ini adalah bangsa
siluman. Dia tadi mendengar jelas sekali kalau makhluk itu
menyebutkan dirinya. Sudah tentu tenaganya tak akan
mampu menembus ruang gerak bangsa siluman.
Jalan satu-satunya memang meninggalkan tempat ini!
Pertama, kembali mencoba menyadarkan kakak
kembarnya dan menceritakan semua yang diketahuinya
sekarang. Kedua, harus secepatnya mcncari Pendekar
Slebor. Yang tak pernah disangka, ternyata siluman itu
mempunyai dendam pada Pendekar Slebor.
Sementara itu, angin yang keluar dari cahaya yang
terang itu terus menderu-deru. Bahkan mencabut
beberapa pepohonan besar yang tumbuh di hutan ini.
Dan ternyata, salah sebuah pohon yang tercabut
adalah pohon yang tadi digunakan tidur oleh pemuda
berbaju hijau pupus. Pohon itu pun terbang, bersamaan
satu teriakan keras.
"Waaddooowww! Apa iniii?!
***
Satu sosok tubuh berpakaian hijau melenting dari
pohon yang meluncur deras ke belakang itu. Lalu dalam
dua kali gerak saja, pemuda berpakaian hijau pupus itu
hinggap ringan di tanah.
Pemuda ini mcrasakan angin yang menderu-deru ke
arahnya. Busyet! Angin dari mana ini? Begitu dengusnya
dalam hati. Dan dia harus menghindari serbuan angin ilu.
Dalam pusaran angin yang besar, mata tajam pemuda
ini melihat satu sosok tubuh sedang menghindari diri, agar
jangan sampai masuk ke dalam pusaran angin yang
bergulung-gulung. Dia adalah Ielaki berkcpala botak yang
sedang memanggul Ielaki botak pula.
Pemuda berpakaian hijau pupus itu menghentakkan
sebelah kakinya yang telah dialiri tenaga dalam kuat. Lalu,
tubuhnya mencelat menerobos pusaran angin yang sedang
berusaha menggulung Ielaki botak itu
Hup!
Sambil meluruk. pemuda itu meluncur ke arah Angling
Srenggi. Tangan kanannya yang telah memegang kain
bercorakcaturyangsejak tadi tersampirdi bahunya cepat
bergerak mengibas.
Wultl...!
Seketika arah angin itu seperti terpotong dan, ber-
belok ke alas. Tangan kiri pemuda ilu yang bebas,
menangkap tangan kanan Angling Srenggi. Kemudian
seketika disentaknya dengan mengirimkan tenaga dalam
ke tangan laki-laki botak itu. Sehingga, Angling Srenggi
tidak terjerembab, melainkan terbawa gerakan yang di-
lakukan oleh si pemuda.
Dua tubuh itu pun hinggap di tanah. Angling Srenggi
yang menyangka kalau nyawanya akan segera putus,
melirik penolongnya. Nyatanya pemuda berpakaian hijau
pupus itu sedang memaki-maki sambil memperhatikan
cahaya yang menerangi hutan besar ini.
"Gila! Angin dari mana. nih?! Jin mana yang sedang
kentut hah?!" seru pemuda itu jengkel.
Angling Srenggi memperhatikan sekali lagi si pemuda
yang sedang menyampirkan kembali kain ber-corak
caturnya di bahu. Belum lagi bisa ditebak siapakah
gerangan pemuda yang nampaknya urakan ini, tiba-tiba
saja....
"Grrrhhh! Hidungku mencium bau busuk dari tubuh
Pendekar Slebor! Grrrhhh! Ha ha ha.... Rupanya tidak perlu
lagi bersusah payah mencarinya!"
Terdengar suara geraman yang sarat ancaman. Dan
mendadak saja cahaya yang bersinar terang tadi itu
perlahan-Iahan meredup. Lalu, terlihatlah gumpalan asap
yang sangat pekat.
***
3
Angling Srenggi tersentak melihatnya. Asap itu terus
membumbung. begitu pekat.Sementara cahaya yang
sangat menyilaukan menghilang. Keterkejutannya bukan
hanya pada cahaya yang berubah menjadi asap hitam,
melainkan dengan seruan makhluk yang berada di balik
cahaya terang tadi.
Laki-laki botak ini memperhatikan dengan seksama
pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur
yang tersampir di pundak. Pemuda inikah yang selama ini
dicari olehnya bersama kakak kembarnya? Pemuda sakti
yang telah memakan buah 'inti petir' yang diharapkan
mampu mengobati penyakit gurunya, si Tua Kepalan Batu?
Pemuda yang dijuluki Pendekar Slebor?
Murid si Tua Kepalan Batu ini hampir-hampir tidak
mempercayai pendengarannya. Kalau tahu pemuda ini
orang yang dicarinya, sudah tentuakan dibiarkan menolong
kakak kembarnya. Dan lagi, mengapa dia melupakan ciri-
ciri Pendekar Slebor yang berpakaian berwarna hijau
pupus? Tetapi kemudian dia teringat, kalau mencari
pendekar sakti berpakaian hijau pupus itu maka akan
mengalami kesulitan. Karena, sangat banyak orang yang
berpakaian sama. Tetapi kalau kakak kembarnya tahu di
leher pemuda itu tersampir kain bercorak catur, bisa
dipastikan akan sangat mudah menduga.
Pemuda berpakaian hijau pupus ilu memang
Pendekar Slebor, yang sekarang menatap tegang asap
tehal yang perlahan-lahan menghilang.
Ketika asap ilu lenyap sama sekali, terlihatlah satu
sosok tubuh mengerikan. Wajah sosok itu bulat lonjong.
Kedua telinganya lebar berbentuk kerucut. Di bibirnya yang
panjang, ada dua buah taring mengkilat. Sekujur tubuhnya
dipenuhi bulu-bulu mengerikan. Sosok itu hanya
mengenakan sebuah cawat. Yang lebih mengerikan lagi,
matanya yang hanya sebuah dan terletak tepat di kening,
di atas hidung panjangnya yang seperti babi.
Andika bergidik pula melihatnya. Diam-diam
ingatannya beralih pada perisliwa yang dialaminya di Alam
Sunyi. Peristiwa yang mempertemukannya dengan Eyang
Sasongko Murti dan makhluk mengerikan berjuluk Siluman
Hutan Waringin. (Untuk lebih jelasnya, silahkan baca :
'Neraka di Keraton Barat').
Meskipun kelihatan terkejut, namun Andika masih
tetap menampilkan sikap urakannya.
"O..., rupanya kau siluman jelek! Baguslah itu. Sudah
lama memang aku ingin menyunatmu. Bukankah kau
belum disunat?"
Makhluk mengerikan yang sekaligus menjijikkan itu
menyeringai lebar
"Pendekar Slebor! Gara-gara pertolonganmu, murid
murtadku berhasil meloloskan diri! Dan aku tak akan
pernah membiarkannya hidup. Termasuk, kau!" desis
Siluman Hutan Waringin, mengandung kegeraman luar
biasa.
"Yeee!" seru Andika. "Enak saja ngomong begitu! Aku
tidak pernah bermaksud menolong Eyang Sasongko Murti!
Mengenalnya saja tidak! Dia saja yang terlalu kangen
padaku. Justru dia sendiri yang menarikku masuk ke
penjaramu yang disebut Alam Sunyi itu! Pakai otakmu,
dong! Jangan main nuduh sembarangan!"
Tetapi tahu-tahu Pendekar Slebor terkekeh-kekeh
sambil nyengir.
"Aku lupa, kalau kau ini tak punya otak!"
Angling Srenggi terkejut sekali lagi mendengar kata-
kata yang diucapkan begitu santainya oleh Pendekar
Slebor. Tetapi kemudian dia hanya membatin, mengapa
Andika berani berseloroh seperti itu. Mungkin pemuda ilu
belum mengetahui keanehan dan kehebatan ilmu bangsa
siluman!
Namun sesungguhnya, laki-laki botak itu tidak tahu
kalau Pendekar Slebor pernah melihat ilmu-ilmu siluman,
ketika terjadi pertarungan hebat antara Eyang Sasongko
Murti melawan Siluman Hutan Waringin di Alam Sunyi.
Kalaupun Andika berani berseru seperti itu, disebabkan
otaknya yang cerdik. Sengaja makhluk itu diajak berbicara,
sementara otaknya berpikir keras bagaimana caranya
untuk bisa mengalahkan. Paling tidak, neloloskan diri dari
cengkeramannya. Karena Andika tahu, betapa tinggi dan
anehnya ilmu Siluman Hutan Waringin.
Siluman Hutan Waringin mengibaskan tangannya
yang kurus pcnuh totol-totol mengerikan.
Wusss!
Seketika serangkum angin menderu keras. Namun
Andika langsung melompat ke kiri. Blarrr...!
Sebuah pohon besar langsung tumbang dan terhem-
pas beberapa puluh meter, terhantam pukulan nyasar.
"Gila! Bagaimana caranya aku menghadapi siluman
jelek ini?" rutuk Andika dalam hati.
Pendekar Slebor melirik Angling Srenggi yang keli-
hatan bersiap kalau ada serangan yang mengarah
padanya. Melihat hal itu, Andika mendesah pendek. Bisa
dipastikan, dalam keadaan memanggul kakak kembarnya
yang terluka dalam, laki-laki botak itu tak akan mampu
menghindari serangan. "Hei, Botak! Kau...."
"Namaku Angling Srenggi! Kakakku Tapa Srenggi!"
seru Angling Srenggi memutus kata-kata Andika.
Andika cuma nyengir saja. Dan dengan gerakan cepat,
Pendekar Slebor melcnting ke arah laki-laki botak itu dan
hinggap di sisinya.
"Ingat! Saat ini kesehatan kakakmu terluka parah.
Pasti kau pernah menghadapi siluman busuk ini. bukan?"
kata Pendekar Slebor.
Angling Srenggi mengangguk.
"Kalau begitu, lebih baik segera minggat dari sini.
Nyawa kakakmu lebih penting," ujar Andika.
"Oh! Kau sendiri?" tanya laki-laki botak itu dengan
tatapan cemas.
"Tidak usah memikirkanku! Aku tahu bagaimana cara
menghadapinya. meskipun tidak yakin apakah mampu
mengalahkannya."
"Tetapi...."
"Busyat deh! Kenapa kau jadi keras kepala?!" seru
Andika. "Tetapi biar kucoba dulu...."
Andika lantas mengayunkan kepalannya ke kepala
laki-laki botak itu.
Tak!
"Benar juga, ya! Ternyata kepalamu keras. Sudah,
sudah.... Jangan banyak omong lagi. Cepat minggat setelah
mendengar perintahku!" ujar Andika, setelah menjitak
kepala Angling Srenggi.
Laki-laki botak itu sendiri cuma mengangguk.
Memang hanya itu yang bisa dilakukan. Selebihnya. dia
harus melompat karena angin keras menderu ke arahnya.
Begitu pula yang dilakukan Pendekar Slebor.
Begitu melenting ke atas, Pendekar Slebor langsung
merangkum ajian 'Guntur Selaksa'-nya. Ajian kebanggaan
yang didapat dari Lembah Kutukan. Sehingga dia sering
pula disebut sebagai Pemuda Sakti pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan. Bagi Andika sendiri, menghadapi
siluman ini haras menggunakan siasat. Langkah pertama
yang harus dilakukan adalah mencoba menghadang setiap
serangan yang datang.
Dengan ajian 'Guntur Selaksa' yang terangkum di
tangannya, Andika langsung menderu cepat.
"Botak! Cepat pergi dari sini!" teriak Andika sambil
meluruk.
Angling Srenggi kelihatan ragu-ragu untuk melarikan
diri. Sebenarnya dia tidak mungkin membiarkan Andika
menghadapi siluman itu seorang diri. Namun meskipun
demikian, dia teringat kata-kata pendekar sakti itu bahwa
nyawa kakak kembarnya harus diselamatkan.
Dengan rasa berat hati. Angling Srenggi pun
melompat ketika Andika terus menderu ke arah Siluman
Hutan Waringin.
"Pendekar Slebor! Aku bersumpah, akan mencarimu
untuk mengucapkan lerima kasih!" teriak laki-laki botak itu.
Andika tidak sempat lagi mendengar kata-kala Angling
Srenggi. Karena, ajian 'Guntur Selaksa' siap dijatuhkan ke
tubuh Siluman Hutan Waringin.
"Kau rasakan ajianku ini. Siluman Jelek!" pekik
Andika.
Seketika tangan Pendekar Slebor pun menghantam
tubuh Siluman Hutan Waringin. Namun yang dirasakan,
tangannya seperti menghantam karet saja. Bahkan Andika
sendiri merasakan betapa panas seluruh tubuhnya.
Dengan cepat ditutupnya kembali ajian 'Guntur Selaksa'-
nya kalau tidak ingin termakan ajiannya sendiri.
Belum tuntas keterkejutan Andika, tiba-tiba saja
tangan kanan Siluman Hutan Waringin mengibas.
"Kau tak akan pernah bisa melumpuhkanku.
Pendekar Slebor! Malam ini nyawamu akan meregang!"
desis makhluk aneh ini.
Wrrr!
"Aaakh...!"
Tubuh Andika terpelanting ke belakang, ketika sebuah
tenaga besar tak terlihat mendorongnya amat kual.
Tubuhnya bergulingan berkali-kali di tanah. Dan dadanya
seketika terasa sesak luar biasa disertai getaran cukup
hebat.
"Gila!" dengusnya sambil mengalirkan tenaga dalam
untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Werrr....
Namun belum lagi Pendekar Slebor bisa berdiri tegak,
serangkum api panas yang bergulung menjilat-jilat ke
arahnya siap memanggangnya bulat-bulat. Seketika
suasana gelap di hutan dilerangi cahaya api yang besar.
Dengan mengemposkan tubuhnya, Andika melompat-
lompat menghindari sambaran api yang datang bertubi-
tubi. Akibatnya beberapa pohon terbakar. hingga tak
ubahnya obor-obor raksasa.
"Sudah kukatakan, kau akan mampus, Pendekar
Slebor!" desis Siluman Hutan Waringin. dingin.
"Enak saja! Memang nyawanya mbahmu. Biar begini,
aku punya nyawa rangkap. tahu?!" seru Andika tak
acuhnya. Padahal. nyawanya rasanya sudah siap tercabut.
Api besar yang menjilat-jilat itu sudah siap untuk
memanggangnya hidup-hidup.
Dan mendengar kata-kata penuh ejekan itu, membuat
Siluman Hutan Waringin bertambah garang. Wajahnya
seketika merah, tampak mengerikan dan sukar sekali
dilukiskan. Namun yang jelas, serangan-serangan aneh
dari ilmu siluman mulai dikeluarkannya.
Mendadak saja, dalam pusaran api yang menjilat-jilat
panas itu sebelah tangan kiri Siluman Hutan Waringin tiba-
tiba terlepas dan melayang-Iayang ke arah An¬dika.
"Busyet! Kau bisa main sulap juga rupanya, ya? Lebih
baik ke kotapraja saja, yuk? Di sana kau bisa mendapat
duit dari keahlianmu main sulap yang beginian!"
Sambil mengejek, dengan kelincahannya yang benar-
benar terlatih Andika meliuk-liukkan tubuhnya dan
melompat ke sana kemari untuk menghindari sambaran
tangan Siluman Hutan Waringin yang mengejarnya ba-
gaikan seekor elang. Namun lama kelamaan Pendekar
Slebor pun menjadi kewalahan. Karena gerakan tangan
putus itu begitu cepatnya.
Sementara, Siluman Hutan Waringin menyeringai
buas. Bila Pendekar Slebor mampus, niatnya hanya akan
mencari si murid murtad, Sasongko Murti!
Namun di luar dugaan, tiba-tiba saja Andika melenting
ke belakang, dan hinggap di tanah dengan kedua kaki
terbuka. Sikapnya penuh ejekan. Bahkan kedua tangannya
pun berada di pinggang.
"Yeee! Betul, kan kalau aku punya nyawa rangkap?"
ejek Pendekar Slebor sambil menjulurkan lidahnya.
Andaikata Angling Srenggi melihat kelakuan Pendekar
Slebor. pasti bertambah keheranan.
Tiba-tiba saja tangan Siluman Hutan Waringin yang
melayang-Iayang menderu cepat ke arahnya.
Wusss!
Beberapa rambut saja tangan itu mencengkeram
leher, tiba-tiba saja dengan gerakan luar biasa cepat
Andika mengibaskan tangannya yang telah menyambar
kain pusaka. Seketika kain itu dikibaskan.
Brrrttt!
Tangan yang melayang itu langsung tergulung kain
pusaka Andika. Dan segera disentakkannya ke tanah.
Dengan cepat pula Andika menginjaknya.
Akan tetapi itu adalah kesalahan besar. Karena,
tangan melayang itu kini mencengkeram kaki kanan
Andika yang menginjak. Kuku-kuku panjang setajam pisau
itu mendadak saja muncul, siap menghunjam kaki Andika!
Dengan cepat Pendekar Slebor mengirimkan tenaga
'inti petir', seraya membuka paksa tangan yang men-
cengkeram kakinya. Sekuat tenaga ia berusaha
melepaskannya, namun tangan itu terus mencengkeram
dengan ketat.
"Ampun, deh! Bisa lumpuh kakiku!" dengus Andika.
Segera dikerahkannya tenaga 'inti petir' tingkat pertama.
Dengan bersusah payah akhirnya Andika berhasil
melepaskan cengkeraman tangan melayang dari kakinya.
Namun. tubuhnya harus terhempas ke belakang, karena
Siluman Hutan Waringin sudah kembali menyerangnya.
Kembali Andika bergulingan di tanah. Keadaannya
mulai payah sekarang. Dadanya semakin sakit dirasakan.
begitu pula kakinya yang penuh luka.
Tiba-tiba saja kedua mata Andika terbuka lebar,
karena sosok mengerikan ilu sudah melayang ke arahnya!
Wuuuttt...!
Namun agaknya, Yang Kuasa belum menginginkan
nyawa Andika. Karena, mendadak saja sebuah
cengkeraman dirasakan Andika pada perutnya. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya pun terasa bagaikan terbang!
Siluman Hutan Waringin menggcram marah.
"Akhirnya kau muncul juga, Sasongko Murti!" serunya.
Ternyata, makhluk aneh ini bisa membaca gerakan
penolong Andika. Karena gerakan seperti itu hanya bisa
dilakukan oleh bangsa siluman. Dan satu-satunya manusia
yang bisa mcnggunakan ilmu itu hanyalah Eyang Sasongko
Murti. yang pernah menuntut ilmu pada Siluman Hutan
Waringin. Namun dengan segera ajaran sesat itu
ditingalkan setelah menyadari kalau belajar dari bangsa
siluman. Karena kenekatan untuk meninggalkan Siluman
Hutan Waringin. Eyang Sasongko Murti tertangkap dan
dipenjarakan di Alam Sunyi menunggu pengadilan dari
Siluman Hutan Waringin. Namun sebeIum hukuman ilu
dijalankan, berkat bantuan Pendekar Slebor yang tak
sengaja datang ke Alam Sunyi, Eyang Sasongko Murti pun
berhasil meloloskan diri. (Baca : 'Ncraka di Keraton Barat').
Sehingga dia harus rela dikejar terus-menerus oleh
Siluman Hutan Waringin.
Tubuh mengerikan dari Siluman Hutan Waringin itu
pun bergerak dan lenyap dari pandangan. Dia tetap akan
mencari Eyang Sasongko Murti dan Pendekar Slebor.
Pagi kembali menjelang, matahari bersinar. Gugusan
bebatuan yang terdapat di perbukitan nampak terjal. Di
bawahnya, mengalir sebuah sungai berair kuning. Entah
karena jenis tumbuhan yang hidup di bawahnya, ataukah
sesuatu yang lain yang menyebabkan air sungai ilu
berwarna demikian.
Di tepi sungai berjongkok satu sosok tubuh sambil
memperhatikan air sungai yang berwarna kuning ilu
dengan seksama. Sosok berpakaian warna hitam yang
sudah compang-camping itu memperlihatkan tubuhnya
yang kurus kering, tak ubahnya mayat hidup. Rambutnya
yang putih panjang acak-acakan menutupi hampir seluruh
wajahnya. Sehingga boleh dikatakan, wajah sosok itu sukar
sekali dilukiskan.
Tiba-tiba sungai yang tenang itu bergejolak, lalu
muncul sebuah kepala sambil menghembuskan napas
keras.
"Aku tak tahan lagi! Aku tak tahan!"seru sosok yang
dalam keadaan telanjang bulat.
"Coblok! Kakimu sudah terkena kuku Siluman Hutan
Waringin! Jalan satu-satunnya harus direndam di air!"
bentak sosok awut-awutan itu jengkel.
"Sudah tiga jam aku direndam di sini! Mana tidak
boleh angkat kepala lagi!" bentak pemuda yang baru
muncul dari sungai itu. Anggota tubuhnya mulai dari pusar
hingga ke bawah terendam sungai. Sementara, tubuhnya
dari pusar ke atas basah oleh air sungai yang kemudian
menetes kembali. Wajahnya begitu gusar.
"Bor! Terserah kaulah! Aku toh. cuma membantumu
saja! Eh! Kau tahu..., kalau kau tidak direndam di sungai
ini, kuku siluman itu akan membuatmu jadi siluman!"
ancam sosok compang-camping.
Pemuda bertclanjang dada yang tak lain Pendekar
Slebor terkekeh.
"Biar saja! Asal jangan seperti kau yang seram begitu!
Yang mana mata, dan yang mana hidung, tidak ketahuan,"
ejek Andika.
Sosok yang tak terlihat wajahnya itu bukannya marah,
tapi justru terbahak-bahak keras. Suara tawanya
menggema di scluruh perbukitan.
"Tetapi aku masih lebih ganteng kan dari Siluman
Hutan Waringin!" elak sosok yang tak lain Eyang Sasongko
Murti.
Andika mendengus.
"Sama kambing peot saja, masih bagus kambing!
Sudah! Mana pakaianku?!"
Eyang Sasongko Murti menggerakkan tangan
kanannya ke arah pakaian Andika yang menumpuk
menjadi satu. Bagai ada dorongan tenaga tak nampak,
tumpukan pakaian ilu melesat di tangannya.
"Pakaian ini akan kubakar!"
"Hei! Jangan sembarangan kalau ngomong!" bentak
Andika terkejut.
"Berendam lagi!" "Brengsek!"
"Dasar gendeng! Jangan menyebutku seperti itu! Ayo
berendam!"
Tangan kiri Eyang Sasongko Murti langsung mengibas
ke arah Andika. Namun dengan cepat Pendekar Slebor
menyelam kembali, kalau tidak ingin kepalanya berpisah
dari tubuhnya.
Byarrr!
Terdengar suara bagai ledakan. Dan air di seberang
sana muncrat seolah ada gejolak keras yang memaksanya
muncrat.
Kepala dengan rambut gondrong itu muncul kembali
dan mengibas-ngibaskan air yang melekat di kepalanya.
Andika mendengus. melotot pada Eyang Sasongko Murti
yang masih berjongkok di hadapannya.
"Kenapa kau harus menyelamatkan aku. sih?" bentak
Pendekar Slebor.
"Bego! Kau bisa mampus tabu?!"
"Biar saja! Kan aku ini yang mampus!"
"He! Katanya otakmu cerdik. Kalau ternyata kau
bersikap seperti itu, otakmu sama dungunya dengan
kerbau!"
"Kalau begitu, mengapa tadi kau tidak menghadapi
pula siluman itu, hah'.'!" seru Andika lagi.
"Dasar! Apakah aku akan membiarkanmu menjelma
menjadi pengikut siluman di saat aku menghadapi Siluman
Hutan Waringin?" bentak Eyang Sasongko Murti.
Andika terdiam, membenarkan juga kata-kala Eyang
Sasongko Murti.
"Bodohnya aku! Kenapa tidak kubiarkan saja kau
menjadi bangsa siluman, daripada aku mendengar
omelanmu yang jelek ilu!"
Tiba-tiba mendengar Eyang Sasongko Murti memaki-
maki.
Kali ini Andika nyengir. Ditatapnya Ielaki yang berusia
sekitar seratus tiga puluh tahun yang bentuk wajahnya
sukar sekali dilihat jelas.
"Jadi, apa yang harus kulakukan lagi?" tanya Pendekar
Slebor kemudian.
"Tetap berendam di sungai itu! Kebetulan sekali,
airnya berwarna kuning. Sehingga aku hanya mengalirkan
ajian pemunah bangsa siluman yang kudapatkan dari
Siluman Hutan Waringin! Kau masih memerlukan waktu
tiga penanakan nasi lagi untuk mengembalikan jalan
darahmu!"
"Hanya dengan tiga kali bernapas setiap satu
penanakan?" tukas Andika terbelalak. Tadi pun ia
melakukan hal itu.
"Bahkan kalau bisa, tanpa mengambil napas sekali
pun!" sahut Eyang Sasongko Murti tegas. "Eh! Kalau bisa,
kau bisa saja jadi ikan!"
"Tidak lucu!" gerutu Andika.
"Aku bukan badut yang suka mcmbuat orang tergelak-
gelak! Sudah! Jangan cerewet kenapa, sih?! Ayo, cepat
berendam kembali sampai kepalamu tenggelam! Atau, kau
ingin kupaksa, hah?!"
Andika menjulurkan lidahnya.
"Weee!"
Dan sebelum Eyang Sasongko Murti kembali
mengibaskan tangannya. buru-buru Pendekar Slebor
menarik napas dan menenggelamkan tubuhnya kembali.
Eyang Sasongko Murti terkekeh-kekeh.
***
4
Lima hari sudah Angling Srenggi berusaha
mengembalikan kesehatan kakak kembarnya.
Saat ini, dia sedang mengalirkan kembali hawa
murninya pada Tapa Srenggi. Hal itu dilakukan sudah lebih
dari dua puluh kali. Perlahan-lahan namun pasti, kesehalan
Tapa Srenggi pun sudah bcrangsur-angsur
menggembirakan. Pada dua hari sebelumnya, tubuhnya
tiba-tiba bisa terasa panas sekali, dan tiba-tiba bisa men-
jadi dingin sekali. Ini terkadang juga membuat Angling
Srenggi kebingungan sendiri. Namun berkat kesabarannya,
keadaan tubuh kakak sepcrguruannya s udah mulai teratur
kembali. Hanya tinggal memulihkan tenaga dan
penyembuhan luka dalamnya.
Kini sekujur tubuh Sepasang Tasbih KepalanBatu
sudah dibanjiri keringat. Sementara, Angling Srenggi terus
memberikan tekanan hawa murni agar menyerap ke tubuh
kakak kembarnya. Terlihat wajah Tapa Srenggi berkali-kali
meringis. Dan perlahan-lahan terlihat asap putih mengepul
dari kedua tangan Angling Srenggi yang menempel di
punggung kakak kembarnya yang terbuka.
Setelah hampir sepenanak nasi, laki-laki botak
bertasbih pcrak menghentikan aliran hawa murninya.
Diam-diam dia mendesah lega. Lalu kakak kembarnya
disuruh kembali mengenakan pakaiannya. Sementar dia
sendiri mengatur pernapasannya untuk mengembalikan
hawa murninya.
Tapa Srenggi tersenyum haru melihat kesungguhan
adik kembarnya yang selalu ceria saat mengobatinya.
Sejak kecil, dia selalu bersama Angling Srenggi. Dan dia
tahu sifat adik kembarnya yang lebih suka mengalah bila
ada satu pertikaian. Juga selalu berusaha bersikap
gembira dalam menghadapi satu masalah. Tapa Srenggi
tidak tahu, kalau adik kembarnya akhir-akhir ini sangat
cemas sekali memikirkan keadaannya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Adi Angling
Srenggi...," ucap Tapa Srenggi bersungguh-sungguh.
Angling Srenggi tersenyum meskipun jelas kelelahan.
Namun di wajahnya terpancar kepuasan.
"Tidak usah berkata begitu, Kakang. Bukankah kita ini
sedarah daging. Bocah kembar yang tak pernah tumbuh
rambut, ketika ditemukan Guru tergeletak hanya berbalut
sebuah kain kusam di sebuah hutan sebelah timur
Pesanggrahan Utara?" tukas Angling Srenggi tersenyum.
"Dan hingga sekarang. di usia yang hampir mencapai lima
puluh tahun, kepala kita pun tetap tak ada rambut sedikit
pun! Licin tandas seperti padang pasir!"
Kakak kembar Angling Srenggi pun tersenyum. Namun
diakui Angling Srenggi, kalau sampai saat ini keduanya
tidak tahu asal usul mereka. Siapa kedua orang-tua
mereka-saja, mereka tidak tahu. Yang mereka tahu,
mereka sudah besar dan berada dalam asuhan Ki Mahesa
Luwing yang menjadi guru sekaligus orangtua mereka
sampai sekarang.
"Adi Angling Srenggi.... Seperti katamu semalam, kau
yakin kalau pemuda yang rela menghalangi perbuatan
'Siluman Hutan Waringin itu adalah pemuda yang kita
cari?" tanya, Tapa Srenggi kemudian.
Angling Srenggi menganggukkan kepalanya.
"Aku yakin sekali, Kakang Tapa. Pemuda itu pasti
Pendekar Slebor. pendekar muda yang kita butuhkan
pertolongannya untuk mengobati penyakil Guru."
"Mcngapa dia diserang Siluman Hutan Waringin itu?"
tanya Tapa Srenggi lagi.
"Secara pasti, aku tidak tahu, Kang. Tetapi aku yakin,
Pendekar Slebor pasti sebelumnya telah mempunyai
masalah dengan Siluman Hutan Waringin. Kata-kata
Siluman Hutan Waringinlah yang membuatku sadar, kalau
pemuda berbaju hijau pupus yang menawarkan
pcrtolongan untuk memulihkan kesehatanmu adalah
Pendekar Slebor! Pemuda yang kita cari!"
"Ah! Apakah dia masih hidup sekarang ini?" desah
Tapa Srenggi ragu-ragu.
Meskipun Tapa Srenggi menyadari belapa tingginya
ilmu yang dimiliki pemuda sakti itu, namun menghadapi
Siluman Hutan Waringin bukanlah hal yang mudah.
Karena, ilmu bangsa siluman sangat s ulit ditandingi
manusia.
"Aku tidak tahu soal itu, Kang. Sebenarnya pun, aku
merasa tidak enak karena tidak membantunya. Dari
sikapnya saat menyuruhku meninggalkannya bersama
Siluman Hutan Waringin, sudah menunjukkan kebesaran
jiwa dan namanya. Dia memang seorang pendekar sakti
yang palut diperhilungkan namanya. Namun biar pun
begitu, sekali lagi kulandaskan, aku tidak tahu apakah dia
berhasil mengatasi Siluman Hutan Waringin. Tetapi,
kitaharus tetap mencarinya. Karena, kita membutuhkan
bantuannya untuk menyembuhkan Guru," jelas Angling
Srenggi.
Tapa Srenggi menganggukkan kepalanya.
"Kau benar, Adi Angling. Apalagi menurutmu penyebab
sakitnya Guru adalah perbuatan Siluman Hutan Waringin.
Dan itu sengaja dilakukan untuk memancing kehadiran
Pendekar Slebor. Sementara Pendekar Slebor mau
menolong Guru, maka saat itulah Siluman Hutan Waringin
melakukan balas dendamnya. Namun sekarang, keduanya
sudah bertemu. Ah! Aku tidak tahu. apa yang harus kita
lakukan."
"Kakang Tapa.... Yang pasti, seperti yang kukatakan,
kita harus mencarinya. Karena, kita ingin sekali mendapat
pertolongannya demi kesehatan Guru."
"Siluman itu benar-benar keji! Dia menghancurkan
kesehatan Guru demi kepentingan sendiri," desis Tapa
Srenggi.
Angling Srenggi tertawa mendengar kata-kata kakak
kembarnya.
"Kau ini ada-ada saja, Kakang. Sudah pasti bangsa
siluman akan berbuat apa saja demi kepentingannya. Ah!
Aku tidak tahu, bagaimana harus menghadapinya."
Sejenak keduanya terdiam. Suasana jadi hening.
"Yang kucemaskan saat ini adalah keadaan Guru,"
kata Tapa Srenggi memecah keheningan. "Sudah cukup
lama dia kita tinggal tanpa ada yang mengurusnya. Aku
tidak tahu, bagaimana keadaannya sekarang ini?"
Kembali keheningan tercipta. Pikiran mereka sama-
sama terhanyut pada nasib Ki Mahesa Luwing yang
terbaring sakit.
"Kakang Tapa, apakah kesehatanmu sudah pulih
benar?" tanya Angling Srenggi tiba-tiba.
"Ya."
"Baiknya, kita segera mencari Pendekar Slebor.
Mengingat nasib Guru yang sudah di ambang maut.
Juga, untuk mengetahui apakah Pendekar Slebor masih
hidup atau sudah tewas."
Tapa Srenggi mengangguk. Karena memang itulah
yang bisa dilakukan.
Saat itu juga, keduanya berkelebat meninggalkan
tanah dekat sebuah rawa yang penuh ilalang dan bunga
teratai.
***
Matahari terus bergulir, menyeret waktu. Dan kini si
raja siang ini berada di tengah puncak panasnya,
memanggang seluruh alam. Juga, memanggang dua sosok
tubuh yang melangkah melalui dataran yang membentang
panjang. Keduanya adalah Pendekar Slebor dan Eyang
Sasongko Murti.
"Eyang.... Bagaimana cara kita menemukan siluman
jelek itu?" tanya Pendekar Slebor tanpa mempedulikan
sengatan panas.
Tubuh Pendekar Slebor kelihatan sedikit berkeringat.
Setelah direndam di s ungai berair kuning, Eyang Sasongko
Murti pun mengalirkan hawa panas dalam tubuh Pendekar
Slebor, lalu menyuruhnya meminum ramuan yang lelah
dibuatnya.
"Aku tidak tahu! Tetapi, aku bisa mencium
kehadirannya," sahul Eyang Sasongko Murti sambil terus
melangkah. "Bor! Menghadapi Siluman Hutan Waringin,
bukanlah masalah mudah. Karena, ilmu-ilmu bangsa
siluman yang dimilikinya sangat sukar dihadapi! Apalagi
saat ini, hanya akulah yang bisa mengimbanginya
walaupun sangat sulit mengalahkannya."
"Kalau kau sudah ketakutan sebelum berhadapan
dengannya, ya pergi saja dari sini," sahut Andika seenak
jidatnya saja.
Eyang Sasongko Murti menoleh dan melotot.
Apa kau pikir aku ini banci, hah?!"
Andika nyengir.
"Untuk membuktikan kalau bukan banci, kau tidak
perlu memperlihatkannya kepadaku."
"Sialan! Berbulan-bulan lamanya aku menghindari
Siluman Hutan Waringin, agar jangan sampai berada di
permukaan bumi. Karena kalau dia berada di sini, maka
keadaannya akan menjadi kacau-balau. Akan banyak
masalah yang akan ditimbulkannya," umpat laki-laki
berusia ratusan tahun itu.
"Lalau mengapa kau keluar dari alam bawah tanah?"
tukas Andika. "Justru kau yang menjadi penyebabnya!"
"Sialan! Seratus tahun lamanya aku mendiami Alam
Sunyi! Aku bosan berada dalam kesunyian. Aku pun bosan
berada di bawah tanah terus-menerus, memancing
Siluman Hutan Waringin agar jangan sampai naik ke
permukaan. Kutekan semua kebosananku itu dengan satu
keyakinan, agar keadaan di sini selalu aman. Tetapi
rupanya, siluman itu pintar juga. Dia tiba-tiba saja
menghentikan pengejarannya padaku! Dan muncul di sini!"
tangkis Eyang Sasongko Murti.
Andika yang mendengar kata-kala laki-laki tua bangka
itu cuma mendengus saja. Enaknya ngomong di dunia ini
tidak ada kekacau balauan yang memusingkan? Kalau
segolongan orang sesat membuatonar, apa bukan kekacau
balauan?
"Kalau begitu, kita harus cepat menemukannya!" ujar
Andika.
"Iya, iya! Aku tahu!" dengus Eyang Sasongko Murti.
"Tetapi saat ini di mana keberadaannya aku tidak tahu.
Meskipun, aku bisa mencium kedatangannya. Itu hanya
kalau dia datang! Bagaimana kalau dia telah membuat
keonaran di tempat lain, hah?!" sergah si tua bangka.
"Mana aku tahu?" lukas Andika lagi seraya
menggedikkan kedua bahunya.
Eyang Sasongko Murti menjilak kepala Andika saking
gemasnya.
"Jangan asal ngomong saja kau! Kalaupun kita tahu di
mana keberadaannya, belum tentu bisa mengalahkannya."
"Itu urusan belakangan!" sahut Andika menggam-
pangkan masalah.
Tak!
Sekali lagi kepala Pendekar Slebor dijitak Eyang
Sasongko Murti. Dan ini membuat Andika nyengir.
"Jaga bacotmu itu!"
"Habis mau bagaimana lagi? Bukankah kita
merelakan nyawa untuk keselamalan manusia?"
"Kau betul! Tetapi kalau kita langsung menyerangnya
tanpa perhitungan, sama artinya nekat! Kalau pun kita
nekat tanpa kemampuan, itn namanya bodoh!"
"Busyet! Susah amat, ya?" Pendekar Slebor
menggaruk-garuk kepalanya. "Kubantu kau melecehkan
kemampuanku. Hhh! Dasar orang tua pikun! Rasanya
hanya merasa dia sendiri yang mampu! Kalau sendiri
menghadapinya. kau bilang justru tidak akan mampu
mengalahkannya. Menandinginya saja sudah cukup.
Bagaimana sih maunya?"
Eyang Sasongko Murti melotot.
"Hei! Aku tahu, kau pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan. Namun, lawan yang akan dihadapi adalah bangsa
siluman. yang ilmunya jauh berbeda dengan kita!"
"Dimarahi lagi!" maki Andika.
"Kalau kau memang merasa tidak mampu
mengalahkannya, mengapa tidak turunkan saja ilmu
siluman itu kepadaku? Dengan begitu, bukankah kita
memiliki dua buah tenaga. Kurasa dengan kemampuan
kita berdua, bukan hanya mampu menandingi Siluman
Hutan Waringin. Bahkan mampu memukulnya sampai
lenyap untuk selama-lamanya!"
Eyang Sasongko Murti terdiam. Lalu mendadak saja
tua bangka ini melonjak-lonjak seperti monyet dapat
pisang. Mulutnya meracau kegirangan.
Kening Andika berkerut.
"Hei. kalau mendadak sinting jangan di sini, dong!"
"Hei, Bor! Usulmu boleh juga! Bagus, bagus! Aku akan
mengajarkan kau ilmu siluman! He he he.... Dengan
kekuatan kita berdua, kita pasti mampu menaklukkan
Siluman Hutan Waringin! Tak kusangka, encer sekali
otakmu! Kupikir otakmu hanya ada di dengkul. Tak
tahunya...?"
Andika melotot.
"Jadi hanya karena kau ingin mengajarkan ilmu
siluman, sampai teriak-teriak hingga telingaku budek,
hah?!"
"Masa bodoh! Pokoknya kau harus memperlajari ilmu
siluman ilu! Ayo. kita mencari tempat sepi!" Andika terkikik.
"Busyet... Aku mau diajak kencan? Pikir dong kau ini
siapa ?"
Eyang Sasongko Murti melotot seraya menghentikan
langkahnya.
"Mulutmu memang harus disumpal gombal!" umpat
orang tua itu.
Andika nyengir.
"Kalau begitu, boleh saja. Awas, jangan-jangan kau
mau memperkosa aku ya..., ha ha ha...."
"Kau ini...."
Kata-kata Eyang Sasongko Murti terputus ketika
melihat satu sosok tubuh berparas jelita terbungkus
pakaian biru melangkah dengan gemulai ke arah mereka.
Kini, mereka tidak lagi berada di tanah panjang
membentang, tapi sudah memasuki sebuah hutan kecil
yang rimbun.
Kalau Eyang Sasongko Murti mengerutkan keningnya,
Andika justru cengengesan. Baginya, ini memang
pemandangan yang tak boleh dilewatkan. "Mau ke mana,
Neng Geulis pagi-pagi begini?" sapa Andika, seraya
menghentikan langkahnya dan memasang sikap sok
ganteng.
Eyang Sasongko Murti melotot. Sementara Andika
cuma mengangkal alisnya saja yang seperti sayap elang
berkepak.
Gadis itu tersipu-sipu.
"Mau..., mau pulang, Kang...," sahut gadis itu.
"Pulang? Lho, Iho..., berani-beraninya sendirian di
tempat scpi sepei ti ini? Apa tidak takut diculik?" Andika
makin menjadi-jadi.
Gadis itu tersenyum, semakin menambah manis
wajahnya. Kulilnya sebening susu, dengan wajah bulat
telur. Pipinya yang berlesung pipit ilu menambah pesona
wajahnya. Mulutnya mungil dan sepasang bibir memerah.
Matanya memancarkan sinar kesejukan, membuat laki-laki
yang menatapnya mampu merasa berada dalam
rangkulannya.
"Ah! Memangnya ada apa, Kang? Sepertinya aman-
aman saja, kok...."
"Bagaimana kalau kuantar?" tanya Andika, menge-
dipkan matanya. Menyebalkan sekali.
"Jangan, Kang.... Ayah bisa marah." tolak gadis ini.
"Lho. ayahmu galak, ya?"
"Bukan itu maksudku, Kang. Ayah tidak suka kalau
ada laki-laki yang bertandang ke rumah."
"Ayahmu salah kalau begitu. Masa' punya anak
secantik kau dibiarkan pergi sendirian. Namamu siapa?"
Andika tidak mempedulikan Eyang Sasongko Murti
yang mengerutkan keningnya.
"Rukmini, Kang...."
"Aih! Bagus sekali. Namaku...."
"Slebor!" tcrabas Eyang Sasongko Murti.
Andika melotot.
"Iri saja! Eh, Eyang! Kalau ingin mendapatkan teman
secantik Rukmini, lebih baik pakai topeng dulu. Tapi,
Kalaupun kau masih semuda aku..., hmmm.... Paling-paling
cuma mendapatkan sapi!" ledek Andika.
"Sialan!"
Gadis bernama Rukmini terkikik. "Aku pamit dulu,
Kang...,'' kata Rukmini tersipu sambil terus melangkah.
"Eh! Jadi kuantar tidak?" tanya Andika.
"Tidak usah! Lain kali saja, Kang!"
"Namaku Andikaaa!"
Rukmini sudah berlari menjauh. Sementara Andika
menggeleng-gelengkan kepala melihat pinggul gadis itu
yang montok. Saat berlari seperti itu, membuat pinggulnya
bagaikan memberi isyarat, silakan dikejar kalau bisa,
"Ampun, deh! Ada gadis cantik di tempat seseram ini!
Kupikir, aku hanya bisa menatap pemandangan buruk
saja! Seperti... kau, Eyang! Ha ha ha!"
Eyang Sasongko Murti mendengus.
"Mata keranjang! Tak boleh lihat jidat licin!"
"Daripada melihat jidatmu yang jelek? Kan lebih baik
melihat jidatnya. Dia cantik, bukan?"
Eyang Sasongko Murti tidak mempedulikan kata-kata
Andika. Tubuhnya seketika sudah kembali berkelebat.
"Ayo, kau harus segera berlatih! Andika mencibir.
"Busyet! Tidak tahu malu, sudah jelek seperti itu
masih suka nekat juga!"
Lalu Andika bermaksud untuk segera menyusul Eyang
Sasongko Murti. Namun....
"Tolooong! Tooolooong!"
Andika tersentak ketika tiba-tiba mendengar satu
teriakan keras. Padahal Eyang Sasongko Murti sudah lak
terlihat lagi oleh pandangannya. Telinganya menangkap
sekali lagi jcritan minta tolong ilu. Dengan sekali sebat,
tuhuh Andika sudah berbalik dan berkelebat!
Pendekar Slebor melihat gadis berbaju warna biru tadi
terduduk di rumput, sambil mcmijal-mijat kakinya yang
membengkak. Wajahnya mencerminkan kesakitan luar
biasa.
Sejenak kening Andika bcrkerul sebelum mendekat.
"Ada apa. Rukmini?"
"Oh, Kang Andika...," desis Rukmini dengan wajah
cerah, lalu menunjuk kakinya.
"Kenapa?"
"Terkilir."
"Lho, lho...? Mcngapa bisa begitu?" tanya Andika,
mesem-mesem. Itu betis! Amboi, begitu berisi dan bening
sekali!
Rukmini tersipu-sipu.
"Aku..., ah! Tadi ketika melangkah, seekor ular me-
lintas di hadapanku.... Aku terkejut, Kang Andika...," desah
Rukmini, menggemaskan sekali.
"Nah, nah...! Bukankah tadi sudah kukatakan, lebih
baik kuantar saja," sahut Andika nyengir.
Rukmini kembali tersipu-sipu dan masih tersipu pula
ketika Andika berlutut.
"Coba kulihat dulu," kata Andika. Dipegangnya betis
yang halus dan kuning langsat itu. Dirabanya sesekali.
"Tidak terlalu parah."
Tetapi terasa sangat sakit. Kang Andika….." keluh
gadis itu.
Andika mengangguk-angguk. Lalu mulailah betis yang
bagus itu diurut perlahan-lahan.
"Cukup, Kakang.... Rasanya sudah lebih baik.
Pijatanmu hebat, Kakang...," puji Rukmini.
Andika cuma tersenyum.
"Sekarang, bagaimana?" tanya Pendekar Slebor
seperti orang bodoh.
Rukmini mcnalapnya sekilas. lalu menundukkan
kepalanya.
"Terserah, Kang Andika. Kalau Kakang mau
mengantarku pulang, kali ini aku bersedia."
"Kalau tidak?" goda Andika.
"Ya, aku pulang sendiri, kan?"
Andika terkekeh-kekeh. Lalu dituntunnya gadis ilu
untuk berdiri. Dan agaknya keseimbangan gadis itu masih
belum pulih. Berdirinya pun timpang ke kiri.
"Kau yakin kalau mampu berjalan?" tanya Pendekar
Slebor.
Rukmini menganggukkan kepala meskipun saat
melangkah kemudian berkali-kali meringis.
"Hmmm.... Sepertinya kau kesakitan, Rukmini.
Bagaimana kalau digendong saja?"
"Tidak! Oh! Maksudku..., jangan, Kang.... Jangan."
Andika tersenyum.
"Malu?"
Rukmini mengangguk tersipu.
"Kan, tidak ada siapa-siapa kec uali kita berdua. Tidak
usah malu. Biar kau lebih cepat sampai di rumah."
Dansebeluin Rukmini menyetujui, pemuda berbaju
hijau pupus itu sudah membopongnya dan melesat cepat.
Tinggal Rukmini yang menjerit-jerit terkejut mints
dilepaskan, tetapi kemudian gadis ilu pun terdiam. Justru
kepalanya direbahkan di dada Andika.
Di sebuah ranting pohon yang kccil. sosok berpakaian
compang-camping dengan wajah yang sukar dilukis
mendengus.
"Dasar tidak boleh lihat jidat licin! Tetapi..., hmmm....
Apakah penciumanku tidak salah?"
***
5
Andika yang sedang membopong tubuh Rukmini tiba
di sebuah gubuk mungil yang tertata rapi. Hanya ada satu-
satunya gubuk di tempat ini. Letaknya agak terhalang
semak belukar yang cukup lebat. Di belakangnya terdapat
sebuah sungai yang mengalir lembut.
"Turunkan aku di sini, Kang. Nanti kalau Ayah melihat,
kau bisa kena bogem mentah...," bisik Andika.
Pendekar Slebor mengangkat kedua alisnya sambil
meringis dan memegangi kepalanya. Seolah dia sudah
dipukul Ayah Rukmini. Melihat kelakuan pemuda yang
konyol seperti itu, Rukmini tertawa-tawa.
"Kang Andika ini bisa saja! Jangan meledek, ya?"
"Habisnya..., belum apa-apa sudah membuatku
gemetar."
"Kang Andika takut menghadapi Ayah?" tanya
Rukmini, kelihatan sungguh-sungguh.
Andika menggeleng. 'Tidak."
"Kalau begitu. ayo masuk....''
Bersama Rukmini, Pendekar Slebor menaiki tangga
menuju gubuk panggung itu. Rukmini mendorong pintu
yang tidak terkunci. Sikapnya kelihatan takut-takut.
"Ayah... aku sudah pulang...," seru Rukmini pelan.
Tak ada sahutan apa-apa. Andika mengedarkan
pandangan ke sekeliling gubuk. Hanya ada tiga lembar
tikar yang sudah kusam dan beberapa alat memasak. Di
sisi sebelah kiri, ada ruang tidur yang tertutup pintunya.
Rukmini memanggil lagi ayahnya, namun tidak ada
scorang pun yang muncul.
"Kita selamat. Kang," kata gadis ini sambil tersenyum.
"Selamat?" Andika mengerutkan keningnya.
"Ya."
Rukmini duduk di lantai gubuk itu. Kedua kakinya
ditekuk ke belakang.
"Maksudku, Ayah pasti sedang mencari kayu bakar
dan memburu kelinci di hutan sebelah sana. Nah, kita bisa
tenang sekarang, Kang?"
Andika tersenyum.
"Nantang atau mengundang nih?" seloroh Andika.
Wajah Rukmini memerah.
"Ih! Omongan apa itu?" tukas gadis ini seraya buru-
buru berdiri,
"Kubuatkan air dulu ya, Kang?"
Andika hanya manggut-manggut saja. Sementara
tubuh Rukmini menghilang di balik sekat yang ada di gubuk
itu. Kembali Andika mengedarkan pandangan. Tempat ini
lumayan nyaman. Namun mengapa tak ada orang lain yang
tinggal di sini? Mengapa hanya mereka berdua saja?
Dugaan Andika saat itu. pasti mereka sudah sangat
kerasan tinggal di tempat sepi seperti ini.
Tak lama Rukmini sudah muncul kembali dengan dua
buah gelas leh panas. Bau wangi menguap dari sana.
Rupanya teh itu dicampur daun pandan, sehingga
menimbulkan aroma nikmat.
"Silakan, Kang Andika...," ucap gadis itu tersipu-sipu.
Andika mengangkat gelasnya. Lalu diteguknya teh itu
perlahan-lahan. Ah, nyaman sekali rasanya. Sementara
Rukmini menatap tanpa meminum tehnya.
"Lho kenapa menatap aku? Apa ada yang aneh?"
tanya Andika sambil memperhatikan sekujur tubuhnya
sendiri.
"Oh! Tidak, tidak!"
Rukmini gelagapan sejenak, lalu untuk menutupi
ketersipuannya tehnya diminum. Sementara Andika hanya
tersenyum melihat sikap Rukmini yang polos dan lugu ini.
Obrolan pun mulai terjadi. Waktu perlahan-lahan terus
bergulir. Andika sendiri merasa heran, mengapa senang
berada di sini dan bercakap-cakap dengan Rukmini tanpa
menghiraukan malam yang sudah menjelang kembali.
Andika bertanya-tanya dalam hati, mengapa ayahnya
Rukmini belum kembali pula? Tapi, ah! Masa bodoh! Justru
itu yang diharapkan.
Tapi kegembiraan Pendekar Slebor mendadak
terpenggal, ketika kepalanya terasa pusing. Matanya mulai
nanar. Lalu penciumannya menangkap aroma sangat
memabukkan.
"Oh.... Kenapa aku ini?" desisnya sambil berusaha
mempertahankan kesadarannya.
Namun dari rasa pusing yang diderita, kini Pendekar
Slebor merasakan tubuhnya melayang. Bahkan aroma
wangi itu semakin tercium hidungnya. Mendayu-dayu
seperti membelai segenap jiwa dan perasaannya.
"Rukmini..., kenapa aku ini?" tanya Andika, lirih.
Mata Pendekar Slebor yang nanar menangkap
senyum Rukmini yang memabukkan. Perlahan-lahan gadis
itu tampak mendekatinya dengan sikap penuh rangsangan.
Tangannya yang halus membelai-belai wajah Andika.
"Mengapa, Kang? Bukankah kau menyenangi
keadaan seperti ini? Ayolah, Kang.... Kau boleh melakukan
apa saja pada diriku...," rayu Rukmini, mengandung
kekuatan membiuskan sekaligus memabukkan. Dan kalau
Pendekar Slebor mampu berpikir jernih, seharus nya curiga
kalau sikap gadis ini yang tiba-tiba justru malah
menawarkan diri.
Justru saat ini Andika berusaha mempertahankan
kesadarannya. Tidak! Dia tidak boleh membiarkan dirinya
terbawa arus yang tidak dimengertinya. Mengapa
datangnya begitu tiba-tiba? Ataukah sebelumnya sudah
merambat namun perlahan?
Andika mencoba berdiri, bermaksud meninggalkan
gubuk itu. Namun tubuhnya justru sempoyongan, dan jatuh
menindih tubuh montok Rukmini.
"Ah! Kau ini, Kang Andika.... Aku siap diperlakukan
apa saja, Kang...," bisik gadis itu, parau.
"Tidak! Jangan, Rukmini! Jangan.... Kita tidak boleh
melakukannya!"
Andika mengibaskan tangannya. Namun, terasa
lemah sekali. Bahkan seluruh tubuhnya terasa tak lagi
memiliki daya tahan berarti.
"Mengapa, Kang? Oh... Apakah wajahku tidak
membuatmu tertarik. Kang?"
Suara gadis itu benar-benar memabukkan. Bahkan
perlahan-lahan seluruh pakaiannya dibuka. Hingga tak ada
selembar benang pun yang melekal di tubuh seindah
pualam itu.
"Ataukah..., kau juga tidak tertarik pada tubuhku ini?"
Andika berusaha memalingkan wajahnya. Namun
entah dari mana datangnya. kepalanya pun menoleh ke
tubuh telanjang Rukmini yang menggairahkan. Tidak! Ini
pasti ada yang salah! Pasti ada yang tidak beres! Begitu
teriak hati Andika, berusaha mengusir seluruh pesona
aneh yang merasuki seluruh jiwanya.
Namun belum juga perasaan aneh itu terusir tubuh
Rukmini yang bak pualam itu telah mendekatinya. Setiap
kali gadis ini membuat sebuah gerakan, selalu tercium
aroma rangsangan yang membelai-belai sukma Andika.
"Kang Andika..., ayolah! Kita bisa melakukannya
sebelum Ayah pulang.... Ayolah, Kang...," rayu Rukmini.
Di alas kesadarannya, Andika masih berusaha
menolak semua rangsangan Rukmini. Tangannya berusaha
dikibaskan mengusir segenap keanehan di hatinya. Namun
semakin berusaha. semakin bertambah sulit
melakukannya.
Apalagi kini kedua tangan halus Rukmini telah melilit
di leher Andika. Tubuh telanjangnya dekat sekali dengan
Andika. Membuat Andika perlahan-lahan terbakar. Kini
kesadarannya benar-benar hilang, meksipun masih
memiliki akal sehat kalau itu adalah perbuatan terlarang.
Namun tetap saja Pendekar Slebor tak kuasa
menolak ketika Rukmini mulai memagut bibirnya,yang
kemudian berpindah ke leher dan belakang telinga disertai
rayuan membiuskan.
Sekuat tenaga Andika berusaha mempertahankan
dirinya, namun naluri kelaki-Iakiannya sangat sulit ditahan.
Matanya pun redup. Suaranya parau.
"Rukmini.... Kau..., kau cantik sekali?"
Senyum di bibir Rukmini membuka, membentuk
lorong kecil yang memabukkan.
"Kau juga tampan, Kang.... Ayolah, Kang. Ini
kesempatan kita untuk mencicipi kenikmatan dunia...,"
bujuk gadis itu, makin berani menawarkan.
"Tetapi...."
Hanya kata-kata itu yang bisa diucapkan Pendekar
Slebor. Sementara tubuhnya bergetar hebat. Nuraninya
mengatakan kalau yang akan dilakukannya adalah
perbuatan terlarang. Namun, kelaki-lakiannya sangat sukar
dikcndalikan.
"Tidak ada tetapi, Kang Andika.... Ayolah, mumpung
Ayah belum pulang...." desis Rukmini. Di bibirnya
tersungging sebuah senyum aneh.
Akan tetapi, sebelum Andika membuka bajunya
sendiri. satu sosok tubuh mendadak berkelebat masuk ke
dalam gubuk. Langsung disambarnya tubuh Andika.
Sementara tangan kanannya menggedor tubuh Rukmini
hingga.. terguling ke belakang.
Rukmini yang sedang merangkul Andika, tersentak
kagel.
"Keparat busuk! Siapa yang berani menggangguku.
hah?!"
Di luar gubuk, sosok tubuh compang-camping sedang
menepuk-nepuk pipi Andika yang terkulai bagaikan orang
mabuk. Sosok compang-camping berambut acak-acakan
yang tak lain Eyang Sasongko Murti malah mengomcl-
ngomel.
"Hei. Bor! Sadar! Sadar!" dengusnya. "Dasar gendeng!
Kenapa kau tidak bisa mcmbedakan mana perawan asli,
dan mana jelmaan sih? Ini akibatnya!"
"Aaah... kau..., kau ini siapa?" racau Pendekar Slebor.
"Oh.... Kau cantik sekali, Manis.... Cantik...."
Tangan Pendekar Slebor terangkat untuk membelai
sosok yang berdiri memapahnya. Tentu saja laki-laki tua itu
langsung mendengus. Dilepasnya tubuh Andika sambil
menarik kepalanya. Sehingga, Pendekar Slebor yang
berada di bawah sadarnya harus terjerunuk ke depan dan
jatuh menggeletak di tanah.
"Hei! Sadar, Bor! Aku Eyang Sasongko Murti! Bukan
gadis cantik!" ujar Eyang Sasongko Murti, seraya
menghampiri dan jongkok di sebelah Andika.
"Siapa itu, Manis? Ayolah.... Jangan main-main de-
nganku.... Aku sudah tidak tahan...."
Pendekar Slebor memaksakan kedua tangannya yang
lemah itu untuk merangkul tubuh Eyang Sasongko Murti
yang telah menyelamatkannya.
"Heran! Kenapa kau bau kambing sih. Manis?"
"Edan!"
Eyang Sasongko Murti meletakkan telapak tangannya
ke kening Andika. Dirasakannya kening Pendekar Slebor
yang tengah berada dalam rangsangan tinggi itu agak
panas.
"Hhh! Kalau kau bergelut juga dengan gadis itu, maka
akan menjadi pengikut siluman, Bor!" dengus si tua
bangka.
Lalu Eyang Sasongko Murti menotok tubuh Andika di
beberapa bagian. Sehingga tubuh pendekar sakti itu tak
bisa bergerak. Namun mulutnya masih bisa berkata-kata.
Bila dalam keadaan sadar, belum tentu semudah itu
Andika bisa ditotok.
"Hei? Kenapa, Manis? Oho..., aku tahu. Kau sudah
tidak sabar, kan?" racau Andika sambil berusaha
memberontak.
"Makanya, jangan nafsu kalau lihat jidat licin!"maki si
tua bangka ini jengkel.
Kini Eyang Sasongko Murti duduk bersila di hadapan
Pendekar Slebor yang terbujur kaku dan meracau tak
karuan.
Namun sebelum Eyang Sasongko Murti menyadarkan
Pendekar Slebor dari pengaruh rangsangan kuat. tiba-tiba
saja satu sosok tubuh melenting ke luar dengan gerakan
ringan.
Eyang Sasongko Murti menoleh, melihat Rukmini
berdiri dengan kedua kaki terbuka. Yang membuatnya
tersentak, gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!
Namun si tua bangka ini tidak memalingkan
wajahnya! Karena, penciumannya menangkap sesuatu
yang sangat dikenalnya. Sesuatu yang membuatnya
terpaksa harus mengikuti Andika yang pergi bersama
Rukmini.
"Hhh! Rupanya Siluman Hutan Waringin menjelma jadi
gadis jelita!" seru Eyang Sasongko Murti tiba-tiba.
Mata si tua ini waspada. Dan diam-diam hawa
murninya dialirkan pada Andika agar cepat sadar. Bisa di-
maklumi, kalau pendekar muda ini bisa terkecoh oleh
Siluman Hutan Waringin yang menjelma menjadi gadis
cantik bernama Rukmini. Karena, ilmu dari bangsa siluman
begitu halus, namun dahsyat luar biasa. Untungnya, di saat
Pendekar Slebor pergi bersama Rukmini, penciuman si tua
ini menangkap sesuatu yang sangat dikenalnya. Berbau
busuk dan menjijikkan.
"Ha ha ha.... Rupanya, penciumanmu sudah tidak
setajam dulu untuk melihat kedatanganku! Tetapi, kau
telah menggagalkan rencanaku untuk membuat Pendekar
Slebor menjadi pengikutku!"
"Itu lebih bagus, daripada harus mengabdi kepadamu
selama-Iamanya!" sahut Eyang Sasongko Murti seraya
meludah.
"Karena dia akan menjadi penggantimu, Murid
Murtad!"
Tiba-tiba saja Rukmini menggoyangkan tangan
kanannya. Kelihatan sekali kalau goyangan itu sangat
pelan. Namun tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti
merasakan bumi yang diinjaknya bergetar.
Si tua ini semakin yakin, kalau Rukmini adalah
jelmaan Siluman Hutan Waringin. Dia memang tidak cepat
tanggap tadi, sehingga Pendekar Slebor hampir terjebak
Siluman Hutan Waringin. Bila saja Andika bergelut dengan
gadis jelmaan itu, maka seumur hidupnya, bahkan sampai
matinya pun, akan menjadi pengikut Siluman Hutan
Waringin!
Eyang Sasongko Murti mengalirkan tenaga dalam ke
kedua kakinya, untuk mempertahankan keseimbang-an.
"Bor! Sadar cepat! Bahaya sedang mengancam kita!"
bisik si tuajni, sambil bertindak seperti itu.
Namun Pendekar Slebor yang masih berada dalam
pengaruh bius Rukmini yang ternyata jelmaan Siluman
Hutan Waringin, masih berada dalam keadaan seperti
orang kesurupan. Sehingga tak ubahnya bagai orang yang
tak pernah bisa mengetahui keadaan diri sendiri.
Rukmini terbahak-bahak. Dadanya yang bulat montok
bergoyang, merangsang siapa saja yang melihatnya. Tetapi
bagi Eyang Sasongko Murti, tak ada pengaruh apa-apa.
Begitu pula dengan anggota-anggota tubuh lainnya yang
terbuka. Baginya, yang terlihat tak lebih dari makhluk yang
sangat mengerikan.
"Sasongko Murti! Kini sudah tiba saatnya kau
mampus bersama Pendekar Slebor! Kali ini, kau tak akan
bisa meloloskan diri!" desis Rukmini.
Tiba-tiba saja sosok Rukmini yang menggiurkan
lenyap. Dan sebagai gantinya muncul sosok sangat
mengerikan. Sosok kurus dengan kedua telinga lebar. Mon-
congnya seperti babi. Sosok Siluman Hutan Waringin!
Eyang Sasongko Murti tersentak melihatnya. Namun
dalam keadaan seperti ini, ketenangan memang harus
dipertahankan. Dengan gerakan cepat sekali. tangannya
mengibas.
Wuuuttt...!
Maka tubuh Pendekar Slebor yang masih terbujur
kaku terlontar ke belakang. Saat tangan si tua itu
mengibas, sudah dikirimkannya satu ajian pemunah dari
pengaruh Siluman Hutan Waringin.
Namun sebelum tubuh Pendekar Slebor menyangkut
di salah satu sebuah pohon, tangan Siluman Hutan
Waringin pun bergerak.
Wuuuttt...!
Tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bagaikan
tertahan dari lontaran Eyang Sasongko Murti. Seolah,
terpaku di awang-awang.
Eyang Sasongko Murti menyumpah-nyumpah
melihatnya. Seketika dikirimkannya satu tenaga kembali
untuk melontarkan tubuh Andika. Namun, tubuh itu tetap
seperti mengapung di udara.
"Sasongko Murti! Kita jadikan Pendekar Slebor
sebagai taruhan!" tantang Siluman Hutan Waringin dengan
suara dingin dan penuh geraman.
Eyang Sasongko Murti diam-diam mendesah panjang.
Bahaya sekali bila membiarkan Pendekar Slebor dijadikan
taruhan seperti itu. Ah! Seharusnya memang harus cepat
disadari kalau Rukmini bukanlah gadis dalam arti
sesungguhnya. Dia tak lain jelmaan dari Siluman Hutan
Waringin.
Seharusnya pula. si tua itu mengajarkan beberapa
ilmu siluman pada Pendekar Slebor. Apalagi Eyang
Sasongko Murti sendiri tidakyakin. apakah bisa mengalah-
kan Siluman Hutan Waringin?
"Siluman busuk!" dengus Eyang Sasongko Murti.
"Kenapa sih, kau tidak juga membiarkan aku hidup bebas,
hah?! Sudah kukatakan, aku tidak akan terus-menerus
menjadi muridmu! Ilmu bangsa siluman terlalu
mengerikan!"
"Grrrhhh! Kau berani menghinaku!"
"Kenapa memangnya? Kalau aku tidak berani, nanti
kau yang menghinaku lagi? Lebih baik, duluan saja!"
Wuttt...!
Tangan Siluman Hutan Waringin mengibas. Terasa
hawa panas yang menderu-deru, membuat Eyang
Sasongko Murti terhenyak untuk menerima serangan.
Dengan sigap tubuhnya melenting ke belakang,
menghindari serangan mengandung kekuatan dahsyat itu.
"Hei, sabar dong! Aku kan belum siap!" seru Eyang
Sasongko Murti, seperti anak kecil yang didahului
temannya saat berebut makanan.
Tetapi Siluman Hutan Waringin sudah mengirimkan
serangan-serangan bangsa siluman yang berbahaya. Dan
ini membuat Eyang Sasongko Murti harus mati-matian
menghindarinya.
Seketika di tempat sepi itu terasa bagaikan ada
gempa. Dua kekuatan dari ilmu bangsa siluman
diperlihatkan.
***
Alam bagaikan diguncang. Pepohonan yang tumbuh di
sana tumbang. Bahkan beberapa buah batu besar
beterbangan tak ubahnya kerikil yang dilemparkan.
Pertarungan antara murid dan guru itu bertambah
mengerikan. Ajian-ajian dari bangsa siluman telah
diperlihatkan. Sungguh terlalu mengerikan!
"Kau tak akan bisa melarikan diri lagi, Sasongko!"
geram Siluman Hutan Waringin.
Dengan gerakan penuh amarah dan dahsyat siluman
ini menyerbu Eyang Sasongko Murti. Sementara si tua itu
memutar-mutar tubuhnya penuh kekuatan hawa dingin.
Kalau Siluman Hutan Waringin mempergunakan ajian
berhawa panas, Eyang Sasongko Murti kebalikannya.
Blarrr....
Setiap kali salah satu ada yang melakukan serangan,
terjadilah suara mengguncangkan yang memekakkan
telinga. Sedikit banyaknya, Eyang Sasongko Murti memang
telah mempelajari ilmu bangsa siluman.
Namun yang dihadapi adalah siluman sejati yang
penuh kebuasannya. Bahkan pernah menjadi gurunya.
Ajian-ajian mengerikan pun silih berganti dilontarkan
satu sama lain. Bagi Eyang Sasongko Murti, ini adalah
pertarungan hidup mati baginya. Kalau tidak bisa diatasi,
sudah bisa dipastikan bukan hanya Pendekar Slebor saja
yang akan menjadi korban. Tapi para tokoh sakti maupun
penduduk bisa-bisa menjadi korban, sekaligus pengikut
Siluman Hutan Waringin.
Sementara tubuh Andika yang masih mengapung di
udara terus meracau dalam keadaan penuh rangsangan.
Benar-benar tidak disadari kalau tubuhnya mengapung di
udara seperti litu. Kalau saja dalam keadaan sadar. sudah
tentu akan mengomel-ngomel berkepanjangan.
Eyang Sasongko Murti terus mengeluarkan ajian-ajian
bangsa siluman yang pernah dipelajari. Beberapa kali
tubuhnya terkena gempuran-gempuran dahsyat me-
nyakitkan. Kalau dia tidak menguasai ajian bangsa
siluman, bisa dipastikan tubuh yang terkena serangan
Siluman Hutan Waringin akan berkeping-keping hangus.
"Kau tak akan bisa melarikan diri, Sasongko!"
"Kenapa sih banyak omong terus? Ayo hajar aku! Kau
kuberi kesempatan dulu sebelum aku menghancurkanmu!"
seru Eyang Sasongko Murti sambil melenting dan
mengirimkan serangan balasan tak kalah dahsyatnya.
Namun lama kelamaan si tua itu pun akhirnya
kewalahan juga. Serangan-serangan dari Siluman Hutan
Waringin memang tak mungkin dihadapi terus-menerus.
Ilmu bangsa siluman yang dimiliki Eyang Sasongko Murti
masih kalah jauh dibanding Siluman Hutan Waringin yang
pernah menjadi gurunya. Kalau begitu, ia harus
menyelamatkan diri.
Sementara, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
diri harus meminta bantuan Pendekar Slebor, agar
bersedia diturunkan ajian-ajian bangsa siluman. Karena,
meskipun terkadang jengkel dengan sikapnya. Eyang
Sasongko Murti berkeyakinan kalau Pendekar Slebor lah
yang bisa dipercayainya.
Tiba-tiba saja saat melenting ke samping menghindari
serangan Siluman Hutan Waringin, Eyang Sasongko Murti
mengusap kedua tangannya. Seketika dikibaskannya ke
arah Siluman Hutan Waringin.
Wusss!
Brrr!
Serangkum api bergerak menjilat-jilat ke arah Siluman
Hutan Waringin. Dengan cepat, makhluk aneh ini
bergulingan mcnghindarinya. Lalu mulutnya yang panjang
berlendir itu membuka.
"Hooowwwaaa!"
Seketika api besar yang menjilat-jilat tertarik oleh
tarikan napas Siluman Hutan Waringin. Dan dengan cepat,
masuk ke mulut penuh lendir itu.
Kesempatan ini segera dipergunakan Eyang Sa-
sonnko Murti untuk melompat ke atas.
"Hup...!"
Gerakan si tua ini sangat menakjubkan. Saat
melompat. kedua tangannya ditepuk. Blaaar...!
Saat itu juga terdengar suara yang memekakkan
telinga. Lalu tanpa menginjak bumi lagi, tangannya
menepuk sebanyak empat kali, membentuk bujur sangkar.
Tiba-liba saja tubuh Pendekar Slebor meluncur deras
ke bawah! Dengan sigap. Eyang Sasongko Murti
menangkap. Dan sekali lagi. tanpa menginjakkan kakinya
ke tanah, tubuhnva sudah berjumpalitan beberapa kali dan
langsung lenyap dari pandangan.
Tinggal Siluman Hutan Waringin yang menggerarn
penuh kemarahan menjadi-jadi. Tubuhnya bergerak tak
karuan. Sehingga tanah yang berada di sekitar sana
guncang. Pepohonan kembali tercabut.
"Sasongkooo! Kau lak akan bisa melarikan diri!"
***
6
Dua sosok tubuh berkepala gundul tampak melesat
cepat, menerobos setiap hutan dan lembah. Melompati
sungai dan ngarai. Keduanya tak lain dari Sepasang Tasbih
Kepalan Batu. Setelah mereka tiba di tempat pertarungan
antara Pendekar Slebor dengan Siluman Hutan Waringin,
keduanya tak menemukan Pendekar Slebor di sana.
Setelah disepakati, mereka pun terus melesat,
mencari Pendekar Slebor. Memang mereka benar-benar
berharap sekali agar Pendekar Slebor sudi menolong Ki
Mahesa Luwing, guru mereka.
Di satu tempat sepi yang penuh pepohonan tinggi,
keduanya menghentikan lari.
"Kang Tapa.... Ke mana lagi kita harus mencari
Pendekar Slebor?" tanya Angling Srenggi sambil mem-
perhatikan sekitarnya.
Tapa Srenggi cuma bisa menggelengkan kepalanya
saja.
"Aku tidak tahu. Tetapi naluriku mengatakan, pemuda
berbaju hijau pupus itu pasti masih hidup, meskipun
menghadapi siluman yang sangat hebat!"
"Aku pun menduga seperti itu. Kang Tapa... kalau saja
aku tahu pemuda itu adalah Pendekar Slebor, sudah tentu
akan mengatakannya langsung permintaan kita," sesal
Angling Srenggi.
"Tidak usah bcrsikap seperti itu. Apa yang kau lakukan
benar, Adi Angling. Karena dalam keadaan seperti ini, kita
memang harus berhati-hati. Dan yang bisa diketahui
sekarang ini, Siluman Hutan Waringin lah yang
mencelakakan Guru. Yah.... Kita memang harus waspada.
Ayolah.... Kita harus mencari Pendekar Slebor sampai
dapat."
Tetapi sebelum mereka melangkah kembali. tiba-tiba
satu sosok tubuh jelita berlari mendatangi. Sosok itu
kelihatan ketakutan sekali. Lemah dengan wajah pucat.
Pakaian putih yang dikenakannya penuh noda darah.
"Tolooong.... Tolong aku...," desis wanita ini begitu
melihat Sepasang Tasbih Kepalan Batu.
Dan hanya itulah kata yang bisa diucapkan wanita ini.
Selebihnya tubuhnya sudah terhuyung bagaikan sebatang
pohon rubuh tertiup angin. Lalu, pingsan.
Sepasang Tasbih Kepalan Batu dengan sigap sege¬ra
mendekati gadis itu.
"Kang Tapa.... Lukanya sangat parah...." desis Angling
Srenggi setelah memeriksa tubuh gadis itu dengan jalan
membuka pakaiannya. Apa yang mereka saksikan memang
menggiurkan mata. Tetapi tak sedikit pun keduanya
berusaha menatap sepasang bukit kembar mengkal yang
ranum itu. Karena, mata mereka terpaku pada luka yang
menganga di perut gadis itu. Sementara di bahu gadis itu
terlihat memar cukup besar.
"Adi Angling.... Kau cari air!" ujar Tapa Srenggi dengan
suara tenang. "Kalau tidak segera ditolong, gadis ini pasti
tak akan selamat."
Angling Srenggi pun mempunyai pikiran sama. Maka
segera dia mencari air yang dibutuhkan kakak kembarnya.
Ketika kembali membawa air dengan batang pohon yang
telah dibuat ceruk, kakak kembarnya sedang mengalirkan
tenaga dalam pada gadis itu.
Diam-diam Angling Srenggi menghela napas melihat
hal itu. Karena dia tahu betul kakak kembarnya baru
sembuh dan tidak boleh terlalu banyak membuang tenaga.
Namun menghadapi kejadian seperti ini. Tapa Srenggi
masih menunjukkan sikap perikemanusiaannya.
Terkadang, Angling Srenggi sering tak mengerti
melihat sikap kakak kembarnya. Tapa Srenggi dikenal
sebagai orang panasan. Tak sabar, dan terkadang mau
menang sendiri. Apalagi menghadapi lawan yang
menjengkelkan. Namun kalau sudah menemui kejadian
seperti ini, sikapnya tak ubahnya bagai seorang dewa.
"Adi Angling, alirkan 'Tapak Angin Panas'-mu ke air itu.
Cepat! Kita tak punya banyak waktu," ujar Tapa Srenggi
ketika melihat Angling Srenggi cepat mengalirkan ajian
'Tapak Angin Panas'-nya ke air yang dibawanya. Dalam
waktu beberapa kejapan saja terlihat air telah mendidih.
"Cukup!"
Tapa Srenggi segera mengangkat ceruk pohon berisi
air yang masih mendidih, seolah dipanasi oleh panas yang
tinggi. Lalu mulutnya terlihat komat-kamit. Diban-tu oleh
ajian 'Tapak Angin Dingin'- nya, diguyurnya luka di tubuh si
gadis dengan air itu.
"Pegang kedua ibu jarinya. Kalau kukatakan alirkan
'Tapak Angin Panas'-mu, segera lakukan."
Angling Srenggi segera bertindak seperti yang
dikatakan kakak kembarnya. Sementara Tapa Srenggi
sedang menutup kembali pakaian gadis ini, lalu memegang
keningnya.
"Lakukan sekarang!" ujar Tapa Srenggi.
Seketika Angling Srenggi mengalirkan ajian 'Tapak
Angin Panas'- nya melalui ibu jari gadis itu. Bisa
dirasakannya kalau tubuh kakaknya seperti tersengat petir.
Namun Tapa Srenggi berusaha menahannya.
Pengobatan aneh ini cukup lama dilakukan. Sampai
kemudian Angling Srenggi tersadar, kalau kakaknya se-
ngaja menyedot tenaga pukulan yang ada di tubuh gadis
itu.
"Kang Tapa!"
"Tidak apa-apa. Tak usah cemas. Pertahankan aliran
'Tapak Angin Panas'-mu. Adi Angling, bila melihat lukanya
yang sukar sekali diobati, dia bukan dihantam oleh tenaga
kasar."
"Oh, Gusti! Maksudmu tenaga halus?"
"Ya!"
"Siapa yang melakukannya, Kang?"
"Entahlah.... Namun dugaanku, Siluman Hutan
Waringin yang melakukan semua ini. Bisa pula bangsa
siluman lain. Aku tidak bisa memastikan."
Angling Srenggi kelihatan terkejut mendengarnya.
Yang dikuatirkan bila tenaga pukulan yang telah
mengendap di tubuh gadis itu berbalik mengenai kakak
kembarnya. Namun dia yakin dengan kata- kata Tapa
Srenggi. Dan tentunya, kakak kembarnya melakukan
semua ini dengan perhitungan niatang.
"Hentikan aliran 'Tapak Angin Panas'-mu, Adi Angling,"
ujar Tapa Srenggi. "Sekarang dengarkan kata-kataku.
Berdirilah di belakang tubuhku. Bila tanganku terangkat
dari kening gadis ini. segera alirkan 'Tapak Angin Panas'-
mu. Langsung pada tingkat pamungkas! Kau mengerti?"
"Kang Tapa!" desis Angling Srenggi terkejut. Laki-laki
botak bertasbih perak ini bisa mengelahui apa akibatnya
bila sampai mengalirkan ajian 'Tapak Angin Panas'-nya
pada tingkat pamungkas ke tubuh kakak kembarnya. Jelas,
Tapa Srenggi bukan hanya bisa hangus seketika, tetapi
bisa-bisa nyawanya akan langsung melayang.
"Jangan banyak tanya!" seru Tapa Srenggi melihat
adik kembarnya ragu-ragu. "Sebentar lagi aku tak akan
mampu untuk membuang tenaga pukulan siluman ini!"
"Tetapi, Kang...."
"Kau memang selalu membantahku! Lakukan apa
yang kukatakan! Mengerti?"
Angling Srenggi tak tahu lagi, apa yang harus
diperbual. Dia pun segera berpindah tempat. Dan
sekarang, berada di belakang kakak kembarnya. Sukar
dibayangkan, apa yang akan terjadi. Namun lagi-lagi dia
percaya kalau kakak kembarnya melakukan semua ini
dengan perhitungan matang.
"Adi Angling! Tidak usah cemas! Semuanya akan
berlangsung seperti yang kita harapkan! Ingat! Jangan
melepaskan kedua tanganmu ytng telah dialirkan ajian
'Tapak Angin Panas' tingkat pamungkas itu! Nah,
pusatkanlah pikiranmu sekarang!"
Angling Srenggi menarik napas.
"Aku siap, Kang," kata Angling Srenggi bergetar.
"Bagus!"
Angling Srenggi melihai tubuh kakaknya semakin
bergetar. Juga dirasakan dadanya berdebar hebat. Apa
yang dilakukannya lebih mengerikan dari serangan
serangan Siluman Hutan Waringin. Namun sekali lagi, dia
percaya dengan perhitungan kakak kembarnya, meski pun
hati kecilnya begitu was-was memikirkan akibat yang akan
terjadi. Karena, bila meleset dari perhitungan, maka nyawa
kakak kembarnya akan melayang seketika.
"Sekarang!" tiba-tiba terdengar seruan Tapa Srenggi
yang keras, membuat Angling Srenggi tersentak.
Seketika laki-laki botak bertasbih perak menempelkan
kedua telapak tangannya ke punggung kakak kembarnya.
Dialirkannya ajian 'Tapak Angin Panas'-nya tingkat
pamungkas!
Angling Srenggi merasakan sesuatu yang dingin
menyerap di kedua tangannya. Sementara tubuh kakaknya
tampak bagaikan tersungkur ke depan, lalu muntah darah
berwarna hitam pekat berkali-kali. Sepertinya darah yang
dikeluarkan mengandung racun sangat berbahaya. Dalam
keadaan seperti ini, Angling Srenggi ingin segera
menghentikan aliran 'Tapak Angin Panas'-nya. Namun bila
dilepaskan sebelum mendapat perintah dari kakak
kembarnya, bisa dipastikan akan berakibat sangat
berbahaya.
Maka laki-laki botak bertasbih perak ini berusaha
mempertahankannya, meskipun hatinya teriris melihat
penderitaan kakak kembarnya. Tanpa sadar Angling
Srenggi menghitung beberapa kali kakak kembarnya
muntah darah!
Tujuh kali!
Dan pakaian yang dikenakan Tapa Srenggi pun
hangus seketika begitu ajian 'Tapak Angin Panas'-nya
dialirkan untuk pertama kali.
"Cukup!" seru Tapa Srenggi terdengar keras.
Bagai tersengat petir berkekuatan tinggi. Angling
Srenggi segera menarik kedua telapak tangannya. Begitu
ditarik, tubuh kakak kembarnya bagaikan sebuah pohon
pisang ditiup angin. Ambruk terjerunuk ke depan.
"Kang Tapa!" seru Angling Srenggi sambil
membalikkan tubuh kakak kembarnya dengan hati cemas.
Tetapi nyatanya Tapa Srenggi malah tersenyum.
Penuh rasa sakit, juga penuh senyum gembira.
"Kita telah melewatkan saat-saat yang mengerikan.
Aku tidak apa- apa.... Sebentar lagi, tenagaku akan pulih,"
katanya pelan. Namun, suaranya mengandung kelegaan.
Angling Srenggi menarik napas panjang. Tersenyum
haru pada kakaknya yang rela mengorbankan nyawa untuk
menolong nyawa orang lain. Padahal, mereka tidak
mengenal gadis yang masih dalam keadaan pingsan itu.
"Di punggungmu membekas telapak tanganku,
Kang...," jelas Angling Srenggi.
"Tidak apa-apa. Semuanya sudah berakhir...."
Perlahan-lahan Ielaki botak bertasbih emas ini
bangkit. Dirasakannya nyeri luar biasa sekali di dadanya.
"Adi Angling.... Aku yakin, gadis ini dilukai oleh
siluman."
Angling Srenggi c uma mendesah. Begitu banyaknya
persoalan yang dihadapi sekarang ini. Masalah
keselamatan gurunya sampai saat ini belum tcrpecahkan.
Mencari Pendekar Slebor pun belum tentu bisa ditemukan.
Dan sekarang, mereka menjadi buruan dari Siluman Hutan
Waringin yang ganas.
"Siluman manakah yang telah melukainya seperti ini?"
desis Angling Srenggi, walaupun telah menduga kalau itu
hasil perbuatan Siluman Hutan Waringin.
"Untuk mengetahui jawabannya, kita harus menunggu
gadis ini siuman. Darinya, kita bisa tahu bangsa siluman
manakah yang melakukan hal ini. Di samping itu, tenagaku
belum pulih benar. Aku akan mempergunakan kesempatan
ini untuk memulihkan kembali tenagaku," sahut Tapa
Srenggi.
Angling Srenggi hanya mengangguk. Sementara kakak
kembarnya s udah duduk bersemadi dengan kedua tangan
mengatup di dada. Lagi-lagi Ielaki botak bertasbih perak ini
mendesah masygul, menerima kenyataan seperti ini.
Bukan keselamatannya yang dipikirkan, tetapi kesehatan
gurunya yang dipikirkannya. Dan dia yakin, kakak
kembarnya berpikiran sama.
Setelah lewat beberapa penanakan nasi, sementara
mentari kini mulai menuju peraduannya, Tapa Srenggi
selesai meuiulihkan tenaganya kembali. Dan belum lama
kepulihannya bisa dinikmati, si gadis telah mengeluarkan
keluhan tertahan.
Serentak Tapa Srenggi dan Angling Srenggi
mendekati.
"Ia sudah siuman, Kang...."
"Ya.... Biarkan dia tenang dulu. Mungkin dia kaget bila
melihat kita. Karena aku yakin, gadis ini telah mengalami
suatu kejadian yang benar-benar menakutkannya."
Apa yang dikatakan Tapa Srenggi memang benar.
Karena begitu si gadis membuka kedua matanya, langsung
tersentak. Gadis ini berusaha untuk bangkit.
"Jangan banyak bergerak dulu.... Kau terluka hebat,
Nona...," ujar Tapa Srenggi, lembut.
"Oh! Siapakah kalian? Siapakah kalian?" desis gadis
itu dengan suara tertahan, sarat ketakutan luar biasa.
Untuk menenangkan gadis itu, Tapa Srenggi
tersenyum.
"Namaku Tapa Srenggi. Dan ini adikku. Namanya
Angling Srenggi. Kami kakak beradik yang kembar. Jangan
takut, Nona.... Kau dalam keadaan aman sekarang. Kami
berdua akan berusaha melindungimu sekuat tenaga," ujar
Tapa Srenggi lagi, lembut.
Rupanya kelembutan itu membuat si gadis mulai
sedikit berani. Tetapi sebentar kemudian, kepalanya sudah
celingukan dengan mata mengerjap-ngerjap. Penuh sinar
ketakutan!
"Oh, Gusti.... Di mana makhluk ganas yang menye-
ramkan itu? Di mana?" desah si gadis.
"Tenang, Nona...," ujar Tapa Srenggi, sekali lagi.
Lelaki botak bertasbih emas ini semakin yakin kalau
gadis ini telah mengalami kejadian yang tak akan pernah
dilupakannya seumur hidup.
"Sekali lagi kukatakan. kau aman di sini. Sekarang,
ceritakanlah mengapa kau mengalami kejadian seperti
ini?" lanjutnya.
Kata-kata lembut Tapa Srenggi memang benar-benar
merasuk di hati gadis itu. Lalu dengan suara tersendat, dia
mulai menceritakan kejadian menyeramkan yang
dialaminya.
"Namaku Minanti, salali seorang murid Perguruan
Selendang Putih di sebelah selatan Bukit Menjangan.
Guruku hanya mengambil murid dari jenis kaum hawa.
Entah mengapa, hanya Guru yang tahu. Nyi Nimas Anjani
memang telah bersikap adil dan bijaksana. Dia pun dikenal
sangat baik terhadap para penduduk yang tinggal di sekitar
Bukit Menjangan," tutur gadis bernama Minanti.
Sejenak gadis ini terdiam, seperti berusaha
mengingat-ingat peristiwa yang dialami. "Semalam,
ketenteraman yang telah lama tercipta tiba-tiba
dihancurkan kedatangan sosok mengerikan yang mengaku
berjuluk Siluman Hutan Waringin. Siluman itu mengamuk
sejadi-jadinya, memporak porandakan seluruh isi.
Perguruan Selendang Putih. Banyak murid-murid di sana
yang gugur, termasuk Nyi Nimas Anjani sendiri...."
Kembali gadis ini menghentikan cerilanya dengan
wajah sendu penuh haru. "Aku yang waktu itu ikut
bertarung, terlontar beberapa tombak ke belakang. Dadaku
terasa nyeri. Darah mengalir keluar. Namun kesadarannya
untuk tidak mati konyol seperti itu membuatku berusaha
untuk bangkit dan melarikan diri," lanjut Minanti. "Sambil
menatap dengan linangan air mata bercampur kegeraman.
aku terus melangkah ke mana saja. Kulihat, seluruh murid
Perguruan Selendang Putih termasuk Nyi Nimas Anjani,
harus menemui ajal. Dan aku masih mendengar seruan
keras mengandung kemarahan Siluman Hutan Waringin
yang mencari Pendekar Slebor.... Begitulah yang terjadi
sampai kalian menemukan aku," desis Minanti sambil
menunduk.
Tiba-tiba gadis ini menangis pilu.
"Gusti..., mengapa Kau turunkan cobaan yang yang
mengerikan ini. Aku telah menjadi pengecut! Yang hanya
bisa menyelamatkan diri saja tanpa memikirkan yang lain!
Oh, tidak! Aku tidak boleh hidup lebih lama lagi! Aku harus
mati!" rutuk gadis itu.
Mendadak saja Minanti menyambar sebuah batu yang
runcing, siap dihunjamkan ke perutnya yang masih terluka.
Namun, Tapa Srenggi bergerak cepat.
Tak!
Lelaki bertasbih emas ini menjentikkan jarinya,
membuat batu itu terlepas. Sementara Minanti menangis
tersedu-sedu. Dengan penuh kelembutan Tapa Srenggi
merangkulnya.
"Sudahlah, Nona.,, tak usah ditangisi semuanya ini.
Apa yang telah terjadi, biarkanlah terjadi….."
"Tetapi, Kang. Aku telah menjadi pengecut. Aku tidak
berani mati... hu hu hu...."
Tapa Srenggi memaklumi perasaan gadis ini. Tentu
saja Minanti merasa sedih menyadari dirinya masih hidup,
sementara saudara- saudaranya yang lain sudah menjadi
mayat.
"Minanti..., tak usah diratapi lagi. Hadapilah semua ini
dengan tabah. Seperti matahari yang tanpa berhenti terus
bekerja, tanpa mempedulikan perbuatan anak manusia
yang hidup di bawah sinarnya...."
Kata-kata lembut itu benar-benar menyejukkan hati
Minanti.
"Minanti.... Kami pun telah mengalami hal yang sama.
Kami pun diserang Siluman Hutan Waringin. Akibatnya aku
pernah mengalami luka mengerikan sekali. Kita senasib....
Dan kau benar... Siluman Hutan Waringin itu memang
hendak mencari Pendekar Slebor. Ah! Menghadapi siluman
yang ganas itu memang tidak mudah. Saat ini, kami pun
sedang mencari Pendekar Slebor. Pertama, meminta
bantuannya untuk menyelamatkan nasib guru kami yang
sudah di ambang maut yang juga telah dibuat celaka oleh
siluman itu. Kedua, untuk meminta bantuannya
memusnahkan Siluman Hutan Waringin...."
Menyadari kalau ada orang lain mengalami nasib
sama, Minanti mengangkat kepalanya. Matanya yang leduh
dengan bola mata hitam itu mengerjap-ngerjap.
"Oh.... Benarkah, Kang?"
Tapa Srenggi mengangguk sambil tersenyum.
"Apa yang kukatakan ini benar. Aku bukan sedang
menghiburmu, Minanti. Kita memang harus mencari
Pendekar Slebor untuk meminta bantuannya."
"Oh.... Di manakah dia berada sekarang ini?"
Di balik mata gadis ini yang memerah karena
menangis, terbersit sinar harapan sekaligus kegembiraan.
"Kami pernah berjumpa dengannya. Hanya saja, kami
tidak mengetahui kalau pemuda berbaju hijau pupus itu
adalah Pendekar Slebor."
Minanti terdiam. Kalau begitu, masih jauh perjalanan
yang harus ditempuh. Karena bisa jadi, Siluman Hutan
Waringin akan mencari mereka. Itu sangat gawat sekali.
Apalagi tadi Tapa Srenggi mengatakan kalau mereka belum
tentu mampu menandingi Siluman Hutan Waringin, yang
tentunya memiliki ajian-ajian ampuh bangsa siluman.
Namun sedikit banyaknya harapan telah terlihat di
mata gadis itu.
"Kang Tapa..., izinkan aku ikut bersamamu," pinta
gadis itu sambil menatap lembut.
Tapa Srenggi menganggukkan kepalanya.
Minanti menoleh pada Angling Srenggi yang sejak tadi
diam saja.
"Kau tidak keberatan, Kang Angling?"
***
7
Seharusnya Pendekar Slebor menyadari
kesalahannya. Karena dalam sekali waktu, siapa pun pasti
pernah berbuat salah. Tetapi sikapnya tetap acuh saja.
Bahkan terkekeh-kekeh mendengar omelan Eyang
Sasongko Murti yang panjang pendek.
"Habisnya..., gadis itu cantik...," katanya sambil
nyengir.
Eyang Sasongko Murti melotot.
"Kalau dia benar-benar gadis asli sih, aku juga
tertarik! Tetapi apa kau juga akan tertarik kalau tahu dia
ternyata jelmaan Siluman Hutan Waringin?" balik si tua
bangka.
"Ya..., daripada tidak ada. Kan lebih baik ada...,"
tangkis Andika.
"Kentut!" maki Eyang Sasongko Murti.
Sebenarnya si tua ini cukup gembira melihat
Pendekar Slebor telah pulih kembali dari pikatan Siluman
Hutan Waringin yang menjelma menjadi Rukmini. Dan ia
pun tahu, kalau pendekar pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan ini sebenarnya agak menyesali kecerobohannya.
Tetapi Eyang Sasongko Murti pun merasa kalau itu
bukanlah suatu kecerobohan. Karena, menolong siapa pun
adalah sifat manusia dari aliran lurus. Menolong tanpa
pamrih. Dan kebetulan saja, yang ditolong seorang gadis
jelmaan Siluman Hutan Waringin.
"Hhh! Aku bisa membayangkan, bagaimana kalau
Siluman Hutan Waringin dibiarkan merajalela seperti ini,
Eyang. Pasti keadaan akan semakin memburuk saja," desis
Andika, sarat kegeraman.
"Nah! Otakmu encer juga rupanya!" puji si tua bangka.
"He he he.... Kebanyakan dikasih air, sih!"
"Sialan! Coba kau berdiri, Bor!"
"Eil, eit! Mau apa? Ayolah. Eyang. Masa' kau bernafsu
juga sih denganku? Aku laki-laki, lho?!" seloroh Andika.
Saking kesalnya, Eyang Sasongko Murti mengibaskan
tangan kirinya. Wusss!
Serangkum angin berkekualan tinggi menderu ke arah
Andika. Namun dengan sigap Pendekar Slebor melompat
ke kiri, lalu seketika berada dalam keadaan bersiaga.
"Bagus! Kulihat kau memang patut menjadi orang
nomor satu di rimba persilatan." puji si tua.
"Ah.... Jadi tak enak nih!" sahut Andika nyengir.
Eyang Sasongko Murti tak mengacuhkan seloroh
Andika.
"Andika.... Waktu kita sangat sempit. Menurut
dugaanku, bukan hanya kita saja yang akan diburu
Siluman Hutan Waringin. Untuk memancing kemunculan
kita, siluman itu pasti akan melakukan apa saja. Kini
saatnya kau menerima ajian-ajian dari ilmu bangsa
siluman.
"Eh, benar nih?" goda Andika.
"Jangan banyak omong! Ayo bersiap!"
"Nanti kalau kau kalah denganku, bagaimana?"
Andika masih menggoda lagi. Padahal hatinya senang
sekali dengan kenyataan ini.
"Sudah. sudah...! Sekarang, rentangkan kedua
kakimu. Dan. angkat kedua tanganmu sejajar dengan
dada. Tahan napasmu...," perintah Eyang Sasongko Murti.
"Tahan napas lagi?" tukas Andika.
"Busyet, deh! Temyata mulutmu seperti perempuan?
Mau aku gampar, hah?!" bentak Eyang Sasongko Murti.
Andika cuma nyengir saja. Lalu dilaksanakan perintah
Eyang Sasongko Murti.
"Kendalikan napasmu di perul jangan bawa kemana-
mana."
Andika yang paham tentang ilmu pernapasan, bisa
mengetahui kalau pusat seluruh tenaga dalam berada di
dalam perut. Dengan mempertahankan napas di perut.
berarti mengumpulkan kembali seluruh tenaga dalam.
Kalau saja sampai pindah ke salah satu bagian tubuh, bisa
dipastikan akan celaka sendiri. Karena Andika tahu, ajian
yang akan diberikan si tua bavvel itu sangat dahsyat.
"Ingat, Andika! Sebelum semuanya selesai, kau tidak
boleh mengalirkan napasmu."
"Eyang.... Apakah kau akan mengajariku ajian bangsa
siluman satu persatu?" tanya Pendekar Slebor.
"Tidak!" sahul Eyang Sasongko Murti tegas. "Kau akan
mendapatkan seluruh ajian dari bangsa siluman. Yang
perlu diketahui, ajian itu tidak akan bisa dipergunakan
sembarangan."
"Wah.... Tidak sip kalau begitu!"
Andika menggoyang-goyangkan tangannya dengan
wajah sengak.
"Lagipula, tidak usah mempelajari ajian bangsa
siluman, aku mampu menghadapi siluman busuk itu, kok!
Kalau aku teringat hampir saja terjebak olehnya, hhh!
Rasanya ingin kubuat perkedel saja!"
"Cerewet! Sok tahu! Sok jago! Kau ini benar-benar
memusingkan kepalaku, Bor! Sudah! Pokoknya. kau hanya
bisa menggunakan ajian bangsa siluman itu bila sudah
terdesak," sentak si tua. mangkel bukan main.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Andika akhirnya. Diam-
diam Pendekar Slebor pun tertarik oleh pernyataan Eyang
Sasongko Murti.
"Pertama, kau tidak pantas memiliki ajian bangsa
siluman yang ganas. Kedua, usiamu masih terlalu muda.
Sehingga, jiwamu masih goyah. Belum mapan! Ketiga, ajian
itu sangat berbahaya," jelas si tua ini, mencoba untuk tetap
bersabar.
"Kalau yang ketiga sih, aku s udah tahu! Tetapi yang
pertama dan kedua itu kan...."
"Diam!" bentak si tua bawel ini, akhirnya tak sabar
lagi.
Bersamaan bentakan itu terdengar. mulut Pendekar
Slebor terkunci. Tinggal pandangan matanya saja yang
mencerminkan keheranan, sekaligus kekesalan.
"Kumpulkan seluruh tenaga dalammu di perut. Ingat!
Kau akan mengalami sesuatu yang aneh. Panas, dingin,
terkadang penuh getaran hebat.
Pendekar Slebor cuma mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Dia telah siap menerima ajian-ajian bangsa
siluman dari Eyang Sasongko Murti.
Kini si tua bawel itu merapatkan kedua tangan
keriputnya di dada. Mulutnya komat-kamit. Dan sesaat
kemudian tubuhnya bergetar.
Tiba-tiba saja Andika merasakan ada hawa dingin
yang menyergapnya. Dingin sekali sehingga sckujur
tubuhnya terasa kaku. Sementara bibirnya bergemeletuk.
"Aaa...!"
Namun tiba-tiba hawa dingin itu berubah menjadi
panas luar biasa, membuat Andika mcnjerit keras karena
tak kuasa menahan panas seperti itu. Bila tidak berada
dalam pengajaran Eyang Sasongko Murti, akan sangat
mudah baginya untuk mengusir hawa panas itu.
Dan mendadak saja rasa panas itu berubah menjadi
rasa mual yang mcmular-mutar seisi perutnya. Dan ini
membuat Andika kelabakan dan bagaikan tersentak-
sentak ingin muntah. Namun dia berusaha menguatkan
diri. Sikapnya dipertahankan agar bisa menyerap ajian-
ajian bangsa siluman.
Tidak hanya sampai di sana saja penderitaan
Pendekar Slebor. Karena kedua tangan Eyang Sasongko
Murti mendadak saja mengibas ke depan! Lalu....
Des! Des! Des!
Tiga bagian di tubuh Andika terhantam. Kening, dada,
dan perut. Rasa sakit yang diderita pendekar urakan ini
sungguh luar biasa. Namun Andika tetap menguatkan
dirinya. Aliran tenaga dalamnya yang dipusatkan di pusar
sama sekali tidak boleh dipindahkan.
Kini. lampak sebuah sinar kuning kcluar dari tubuh
Eyang Sasongko Murti. dan masuk ke tubuh Pendekar
Slebor melalui pusat kepala. Sesaat seluruh tubuh Andika
bergetar. Bulu kuduknya pun mcremang.
Hampir sepenanak nasi Andika menerima
gemblengan langsung dari Eyang Sasongko Murti.
Gemblengan untuk mendapatkan ajian bangsa siluman.
Hingga kemudian, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor
terlempar ke belakang dalam satu sentakan keras.
Bersamaan dengan itu, tubuh Eyang Sasongko Murti pun
terhuyung ke belakang. Sepertinya. seluruh tenaganya
telah terkuras.
Andika merasa sekujur tubuhnya bagaikan diinjak-
injak sekawanan gajah liar, yang membuatnya susah sekali
saat bangkit. Tulang-tulangnya pun terasa seperti patah.
Meskipun begitu. mulutnya tetap saja mengumbar kata-
kala konyol.
"Hei, Eyang! Lain kali kalau mengajariku yang kalem
dikit, dong! Memangnya aku karung basah untuk latihan
pukulan?"
"Cerewet! Hei, Bor! Kau sudah menguasai ajian-ajian
bangsa siluman yang kumiliki!" jelas Eyang Sasongko Murti
sambil berdiri pula. Meskipun sekujur tubuhnya terasa
lemas. namun hatinya puas karena berhasil menurunkan
ajian bangsa siluman pada saat yang tepat. "Kini dengan
bantuanmu, kita akan bisa menghancurkan Siluman Hutan
Waringin!"
Pendekar Slebor mengangguk. Disadari, lawan yang
dihadapi sekarang ini bukanlah jasad kasar. Melainkan,
jasad halus yang penuh dendam.
***
Panas meranggas alam. Debu-debu jalan
berterbangan menerpa wajah, tak ubahnya bagaikan
serpihan besi panas menerpa kulit. Namun tak
menghalangi langkah sebuah rombongan yang terdiri dari
sepuluh orang laki-laki gagah memegang tombak. Di
belakang rombongan tampak sebuah tandu berwarna
keemasan. Digotong empat laki-laki berpakaian warna biru.
Di belakang tandu pun berjalan sekitar lima belas laki-laki
ber-senjatakan tombak pula.
Rombongan itu dipimpin seorang laki-laki berkumis
melintang dengan pakaian merah. Selendang sutera warna
biru tampak menyampir di pundaknya.
Mereka terus melangkah tenang. Namun mendadak
saja Ielaki berselendang sutera biru berusia empat puluh
lima tahun itu mengangkat tangannya.
Seketika rombongan itu berhenti. Lelaki berkumis
melintang memicingkan matanya. Pendengarannya yang
terlatih menangkap sesuatu yang menarik perhatian.
"Hmmm... orang iseng manakah yang berani
menghalangi rombongan Dewi Sutera! Aku Abirawa tak
gentar menghadapinya...!" serunya, tiba-tiba saja.
Di balik sebuah batu besar, ternyata tengah
bersembunyi Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti.
"Busyet! Hebat juga tuh orang!" maki Tapa Srenggi.
Dalam mencari Pendekar Slebor. Sepasang Tasbih
Kepalan Batu dan Minanti tadi melihat rombongan itu.
Karena tidak ingin mencari masalah. Tapa Srenggi sengaja
mengajak mereka untuk hcrscmbunyi. Tetapi rupanya lelaki
berselendang sutera biru itu tajam iuga pendengarannya.
"Minanti! Kau jangan menongolkan wajahmu.
Tubuhmu masih lemah. Biar kami yang menemuinya.
Karena, kami belum mcngetahui siapakah rombongan itu.
Dan berada dalam golongan mana mereka...," ujar Tapa
Srenggi.
Minanti hanya mengangguk-angguk. Lalu bersama
adik kembarnya, Tapa Srenggi melesat keluar dengan
sekali bersalto. Dan secara bersamaan mereka mendarat
di depan rombongan itu.
"Maafkan kami, yang ternyata telah mengganggu
perjalananmu. Tak ada maksud apa-apa dari kami. Karena.
kita tak saling kenal dan tak ada silang sengketa," ucap
Tapa Srenggi, seraya menjura.
Rupanya. lelaki yang mcngaku bernama Abirawa
bukanlah orang mudah percaya. Kembali matanya
dipicingkan.
"Terserah, apa yang kau katakan. Yang pasti, kau
telah membuat rombongan yang kupimpin ini berhenti!"
desis Abirawa.
Rupanya Abirawa mcmpunyai sifat pemarah. Dan
Angling Srenggi melirik wajah kakak kembarnya yang
seketika memerah. Kacau kalau begini. Bila Tapa Srenggi
tidak bisa mcnguasai amarahnya. bisa berarti pertem-
puran. Padahal saat ini mereka hendak mencari Pendekar
Slebor untuk meminta bantuan. Karena nasib Ki Mahesa
Luwing sudah berada di ujung tanduk.
Namun, rupanya Tapa Srenggi pun merasa lebih baik
menghindari pertempuran saja.
"Sekali lagi... maafkan kami.... Lebih baik, kami segera
melanjutkan pcrjalanan kembali."
"Manusia sombong!" maki Abirawa. "Tanpa mem-
perkenalkan diri, kalian sudah ingin mengundurkan diri!"
Angling Srenggi melihat Tapa Srenggi menjura
kembali. Padahal dia yakin sekali kalau kakak kembarnya
sudah berada dalam batas kesabarannya.
"Maaf.... Namaku, Tapa Srenggi. Dan ini adik
kembarku. Namanya Angling Srenggi. Kami dikenal sebagai
Sepasang Tashih Kepalan Batu," ucap laki-laki botak
bertasbih emas.
Tiba-tiba Abirawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha.... Rupanya kali ini aku bertemu murid-
murid Pesanggrahan Utara. Bagus! Dan kalian rupanya
memang sengaja memancing keributan di sini!"
Mata Tapa Srenggi menyipit.
"Sekali lagi, maafkan kami," elak Angling Srenggi
cepat, saat melihat gelagat buruk. "Kami tak bermaksud
mencari silang sengketa dengan kalian, lzinkan kami
melanjutkan perjalanan.
"Ha ha ha.... Sepasang Tasbih Kepalan Batu! Hari ini
kalian berkenalan dengan Abirawa yang berjuluk Pencabut
Nyawa!
"Sungguh, berbahagia sekali dapat berkenalan
dengan si Pencabut Nyawa. Ah! Panas memang merang-
gas. Tak baik bila kita meneruskan percakapan ini."
Abirawa yang ternyata berjuluk si Pencabut Nyawa
menyeringai penuh kesombongan.
"Kalian kuberi kesempatan untuk meninggalkan
tempat ini, asalkan kalian memberitahu di mana Pendekar
Slebor berada?!" kata lelaki berkumis ini, dingin.
Angling Srenggi melirik kakak kembarnya yang juga
sedang meliriknya. Otaknya yang pintar tidak segera
mcngatakan, kalau mereka pun sedang mencari Pendekar
Slebor.
"Oh? Apakah yang kau maksudkan si pendekar sakti
dari Lembah Kutukan?" tukas Angling Srenggi, bernada
heran.
"Tai kucing dikatakan sakti! Aku ingin mencoba
kcsaktiannya!" sentak Abirawa sambil meludah, penuh
kesombongan.
Dalam waktu yang cepat saja, Sepasang Tasbih
Kepalan Batu itu bisa menebak maksud Abirawa.
Sementara, beberapa laki-laki yang berada di belakangnya,
seperti siap menunggu perintah.
"Terus terang, kami tidak tahu keberadaan Pendear
Sakti."
"Bangsat! Sekali lagi kau menyebutnya sakti, kucabut
nyawamu saat ini juga!" bentak si Pencabut Nyawa dengan
sepasang mata lebar melotot nyalang.
Tapa Srenggi sudah mengepalkan tangannya dengan
rahang terkatup. Dia benar-benar hampir tak mampu lagi
menguasai dirinya. Tetapi, marahnya masih berusaha
ditahan.
"Abirawa..., apa yang kami katakan ini benar. Kami
tidak mengetahuinya. Lagipula, kami tidak mempunyai
kepentingan dengan Pendekar Slebor. Sehingga tidak perlu
mencarinya," katanya berbohong sambil menggertakkan
giginya.
"Kalau begitu, kalian tak akan kuberikan kesempatan
untuk meninggalkan tempat ini!" desis si Pencabut Nyawa.
"Bagaimana bila kau memberi kesempatan kepada
kami untuk mencarinya? Bila bertemu dengannya, kami
akan memberitahukannya," tawar Angling Srenggi, buru-
buru untuk menghindari pertarungan.
"Ha ha ha.... Bagus, bagus sekali! Itu lebih baik!"
"Tetapi, ada masalah apakah kau dengan Pendekar
Slebor?"
"Untuk apa kau tahu, hah?!" Abirawa malah
membentak.
"Sekadar bila berjumpa dengannya, kami bisa
menentukan sikap. Apakah harus mengatakan pesanmu
ini, ataukah langsung meringkusnya."
Ternyata, Abirawa terlalu mengandalkan kekuatan
jasmaninya. Terbukti, dengan mudahnya dia termakan
kata-kata Angling Srenggi.
"Manusia keparat itu telah membunuh kakak
seperguruan guruku yang berada di dalam tandu
keemasan itu. Dia tak akan pernah kami biarkan hidup
terlalu lama. Karena, guruku bermaksud untuk
membalaskan sakit hati kakak seperguruannya," jelas si
Pencabut Nyawa penuh kegeraman.
"Siapakah kakek seperguruan gurumu itu, Abirawa?"
tanya Angling Srenggi semakin tertarik. Dia tidak merasa
heran bila Pendekar Slebor banyak dimusuhi orang dari
golongan sesat.
"Hhhh! Namanya Wedokmurko yang berjuluk Manusia
Pemuja Bulan!" sahut Abirawa. (Untuk mengetahui
siapakah Wedokmurko, silakan baca: 'Manusia Pemuja
Bulan'. Dan untuk mengetahui matinya Wedokmurko.
silakan baca : 'Cingin Berlumur Darah').
Angling Srenggi menggangguk-angguk.
"Baiklah.... Kalau begitu, kami pun akan membantumu
untuk meringkusnya. .
"Ha... ha... ha...!"
Tertawalah Abirawa, seolah menutupi panas yang
terus meranggas.
"Bagus! Kalian kuizinkan untuk meninggalkan tempat
ini!" kata si Pencabut Nyawa seraya berbalik.
"Berangkat!"
Sepasang Tasbih Kepalan Batu menyingkir,
membiarkan rombongan itu lewat. Ketika tandu keemasan
itu lewat, terlihat sedikit celah. Namun, masih bisa
dipergunakan untuk melihat isi tandu.
Sepasang Tasbih Kepalan Batu tercengang. Karena di
dalam tandu terlihat satu sosok tubuh berparas tak
ubahnya bidadari! Wanita itukah yang dijuluki Dewi Sutera?
Tetapi mereka tak merasa perlu untuk
mempermasalahkan, siapa wanita jelita di tandu itu. Yang
pasti sekarang, mereka harus segera mencari Pendekar
Slebor. Karena, ancaman demi ancaman terhadap
pendekar sakti itu akan semakin menyulitkan mereka,
untuk meminta bantuan Pendekar Slebor dalam mengobati
Ki Mahesa Luwing.
Tapa Srenggi memanggil Minanti yang keluar dengan
tubuh berkeringat. Meskipun sinar matahari tidak tepat
mengenainya yang bersembunyi di balik batu besar, namun
hawa panas telah membuatnya berkeringat.
"Kang Tapa... ini bahaya sekali...."
Begitu kata-kata pertama gadis itu muncul di hadapan
Sepasang Tasbih Kepalan Batu. Minanti tadi telah
mendengar seluruh percakapan dan langsung mengam-bil
kesimpulan, kalau ada seromhongan orang gagah yang
hendak membunuh Pendekar Slebor.
"Bila Pendekar Slebor disibukkan oleh mereka.
kemungkinan besar kita akan gagal meminta bantuannya
untuk menghancurkan Siluman Hutan Waringin dan
mengobati penyakit guru kalian...," lanjut gadis itu.
"Kau benar, Minanti," sahut Tapa Srenggi. "Kita
memang harus secepatnya menemukan Pendekar Slebor.
Tetapi. di manakah dia bisa ditemui?"
Tak ada yang bersuara.
***
Rombongan yang dipimpin Abirawa terus melangkah.
Hingga beberapa penanakan nasi kemudian, malam pun
menjelang. Bayangan Bukit Menjangan terlihat jelas,
meksipun tertutup kabut yang semakin turun.
Dalam jarak ratusan tombak dengan Bukit Menjangan
rombongan itu berhenti. Abirawa" berlari mendekati tandu
keemasan itu, lalu berlutut.
"Dewi Guru, kita sudah tiba di Bukit Menjangan,"
lapornya.
"Abirawa……"
Terdengar suara halus penuh pesona, seperti
mengandung kekuatan sihir.
"Kita urungkan untuk membuat pemukiman disini.
Karena menurut penglihatanku. Pendekar Slebor akan
segera muncul. Kita berangkat kembali!" ujar suara dari
balik tandu.
Tanpa banyak cakap, Abirawa segera menyetujui. Dan
rombongan itu pun berputar arah kembali.
***
8
Duuuaaarrr!
Ledakan yang terdengar sangat keras, membuat
Pendekar Slebor yang baru saja melepaskan pukulan
tercengang-cengang. Ternyata pohon besar yang jadi
sasaran menjadi serpihan semacam butiran debu,
terhantam sebuah pukulan yang tak nampak. Bahkan
pemuda ini melakukannya tanpa mengeluarkan tenaga
kuat.
"Eyang!" serunya terkejut.
Eyang Sasongko Murti tersenyum.
"Tidak usah heran. Ajian bangsa siluman memang
sangat hebat, Bor! Kau kinisudah menguasai ajian bangsa
siluman...," jelas si tua bangka.
"Tunggu!" cegah Andika, mengangkat tangannya.
"Kenapa?" tanya Eyang Sasongko Murti.
"Kenapa, kenapa?" tukas Pendekar Slebor, memaki
jengkel. "Aku yang harus bertanya. Kenapa sih kau
memanggilku 'Bor' ‘Bor' saja! Namaku Andika! Lebih cakep
dari namamu, tahu?! Enak saja main panggil 'Bor', 'Bor'
saja!"
Mendengar bentakan Andika itu, Eyang Sasongko
Murti justru terkekeh-kekeh.
"He he he.... Panggilan itu lebih cocok untukmu!"
Andika menggerakkan tangan kanannya. Wuuusss!
Scrangkum pusaran angin panas menderu ke arah
Eyang Sasongko Murti. Terpaksa si tua bangka urakan ini
melompal-lompat seperti monyet kebakar ekomya.
"Busyet! Bor! Aku bisa mati nih!"
"Ah tinggal dikubur ini! Lagian sudah bau tanah....
He... he... he...!" seru Andika enteng sambil terkekeh-kekeh.
Kini Pendekar Slebor benar-benar yakin, kalau ajian
bangsa siluman yang dipergunakannya sangat ampuh.
Bahkan melebihi ajian-ajian dari Lembah Kutukan! Hanya
bedanya. ajian bangsa siluman dapat memukul makhluk
halus, sementara ajian dari Lembah Kutukan meskipun
mampu digunakan untuk memukul makhluk halus, namun
tak sedahsyat seperti ini.
Eyang Sasongko Murti yakin kalau Pendekar Slebor
semata ingin menguji keampuhan ajian bangsa siluman
yang baru dipelajarinya. Maka dia melayani.
"Tekan napasmu di dada! Jangan tarik dalam tiga
hentakan, tetapi padukan menjadi satu!" seru si tua ini.
Andika pun menuruti kata-kata itu. Tiba-tiba
dirasakannya sesuatu yang membangkitkan kelembutan di
dirinya. Bahkan terlihat gerakannya tidak sekasar pertama
saat menyerang Eyang Sasongko Murti tadi.
"Kekuatanmu saat menggunakan ajian ini ada di
mata, yang sekaligus merupakan kelemahanmu!"
"Bagaimana kalau orang mcncolok mataku, Eyang?"
tanya Andika sambil terus menyerang.
"Ya, buta!" sahut si tua, seenaknya.
"Sialan!"
Ajian bangsa siluman itu pun diperlihatkan mereka.
Sehingga dalam beberapa saat saja, tanah yang dipijak
terasa bergetar. Bahkan terasa hingga ke jantung.
"Sekarang kamu putar tubuhmu ke kiri, Bor! Sambil
berputar, lakukan Tapa Geni! Waktumu hanya beberapa
kejap!"
Tapa Geni adalah tapa tanpa memperlihatkan api.
Namun, Tapa Geni yang dimaksud Eyang Sasongko Murti
berarti, Andika harus memusnahkan hawa panas yang
berada dalam tubuhnya. Bagi Pendekar Slebor yang
memang telah menguasai ajian-ajian tangguh dari Lembah
Kutukan, hal itu sangat mudah dilakukan.
Tiba-tiba terjadi perubahan mengerikan. Karena
mendadaksaja, tubuh Andika membubung tinggi hingga
setinggi pohon kelapa!
"Ajian itu bernama 'Ajian Rubah Jasad', yang hanya
dimiliki bangsa siluman saja! Kalaupun manusia
memilikinya, lebih cenderung pada ilmu sihir!" jelas Eyang
Sasongko Murti, berseru.
Namun mendadak saja Andika menjejakkan kakinya
ke arah Eyang Sasongko Murti. Mau tak mau si tua cerewet
ini memaki-maki terkejut sambil menghindari serangan.
"Tutup!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Eyang Sasongko
Murti yang keras sambil menggerakkan tangannya.
Mendadak saja tubuh raksasa Pendekar Slebor
terhuyung ke belakang. Ketika hampir saja terhempas ke
bumi, tiba-tiba perubahan jasadnya terjadi kembali. Kali ini,
tubuhnya terhempas setelah berubah seperti sedia-kala
dan tak bisa lagi menggunakan ajian bangsa silumannya.
Kini ganti Eyang Sasongko Murti yang terkekeh-kekeh.
"Sok tahunya kau ini! Baru saja kubuka jalan ajian
siluman yang kau miliki, sudah sok!"
Andika mengusap-usap kepalanya sambil nyengir.
"Kini kuakui, ajian bangsa siluman sangat
mengerikan. Aku lebih senang bila bisa menggunakannya
seeara mendadak saja. Maksudku, bila terdesak atau
bagaimana. Karena. aku tidak ingin membunuh orang
dengan ajian siluman ini, bila tidak terpaksa. Itu pun,
haruslah orang dari golongan sesat yang banyak membuat
onar di muka bumi ini!" puji Pendekar Slebor.
"Bagus! Itulah sebabnya aku bersedia menurunkan
ajian bangsa siluman ini kepadamu!" Eyang Sasongko
Murti balas memuji.
"He he he.... Bisa, bisa kau kalah denganku, Eyang?"
seloroh Andika sambil berdiri kembali.
"Sudah, sudah! Malam semakin membentang. Bulan
tepat di kepala kita! Aku mencium sesuatu yang sangat
kukenal! Sesuatu yang membuat kita harus berhati-hati!
Jangan kaget kalau mendadak saja kau mampu
menggunakan ajian bangsa siluman itu!" ujar si tua itu.
Werrr....
Baru saja kata-kata Eyang Sasongko Murti habis, tiba-
tiba terlihat beberapa buah bola api yang panas menderu-
deru cepat ke arah mereka. Seketika hutan pekat itu
terang benderang!
Mereka tersentak dan secara serempak bergulingan
kalau tidak ingin tcrbakar hidup-hidup. Namun bola-bola
api itu terpecah menjadi dua bagian. Dan masing-ma-sing
memburu ke arah Pendekar Slebor dan Eyang Sasongko
Murti. Seketika, mereka terpaksa bergulingan ke sana
kemari.
"Busyet! Siapa sih, yang sedang main bola api ini?"
maki Pendekar Slebor sambil mengebutkan kain
pusakanya.
Crasss!
Bola api itu terpental ke belakang, namun kembali
memburu dengan kecepatan sangat luar biasa.
"Kutu kupret! Hei, Monyet Jelek! Keluar kau dari
persembunyianmu! Biar kupukul pantatmu sampai merah!"
maki Pendekar Slebor sambil menggerakkan kain
pusakanya kembali.
Sementara itu Eyang Sasongko Murti bisa menebak,
kalau bola api yang cepat menderu dan siap mencabut
nyawanya bukanlah pcrbuatan bangsa manusia. Dia pun
sudah mempergunakan ajian bangsa silumannya, untuk
mengusir bola api yang dahsyat ini.
Sraaak!
Dugaan si tua cerewet ini memang benar. Karena tiga
buah bola api yang menderu ke arahnya seketika padam,
begitu tersampok kedua tangannya.
"Bor! Gunakan ajian 'Singkir Geni'!" seru Eyang
Sasongko Murti sambil menggerakkan tangannya ke arah
Pendekar Slebor.
Seketika ajian bangsa siluman yang diajarkannya
pada Pendekar Slebor terbuka.
Andika pun segera menyampirkan kain pusaka yang
bercorak catur. Sambil bersalto beberapa kali, segera
digunakannya ajian 'Singkir Geni'.
Wuttt...'!
Dan hanya sekali mengibaskan tangan, bola api itu
pun padam. Lalu Pendekar Slebor melenting ke arah Eyang
Sasongko Murti, beradu punggung dengan mata siaga.
"Eyang! Rupanya siluman monyet itu muncul. ya?"
Eyang Sasongko Murti cuma mengangguk. Diam-diam
mata batinnya dipergunakan untuk mcnembus kegelapan
malam. Namun, tak ada bayangan Siluman Hutan Waringin
di sekitar sana. Akan tetapi, penciumannya tak bisa
dibohongi kalau siluman itu ada di sekitar sini.
Belum lagi Eyang Sasongko Murti berpikir lebih jauh,
tiba-tiba saja munc ul satu sosok tubuh berperawakan
sedang. Rambutnya terurai panjang dengan wajah cantik
jelita. Pakaiannya berwarna merah tipis menerawang.
Meskipun di tempat gelap, yang mengherankan
Andika bisa melihat sampai ke dalam tubuh mcnerawang
itu! Bila dalam keadaan biasa, sudah tentu mulutnya yang
usil akan berkata-kata. Namun Pendekar Slebor hanya
memperhatikan dengan tajam gadis jelita yang melangkah
gemulai ke arahnya.
"Eyang.... Apakah gadis ini jelmaan dari Siluman Hutan
Waringin?" tanya Pendekar Slebor sambil menatap gadis
yang sedang melangkah sambil tersenyum itu. Tetapi
sejurus kemudian dia tertawa-tawa. "Sayang sekali, ya?
Heran! Siluman itu kenapa selalu menjelma menjadi gadis-
gadis cantik saja, sih? Sekali-sekali jadi gadis jelek,
kenapa? Biar memusnahkannya sedikit enak!"
Eyang Sasongko Murti tidak menggubris kata-kata
Andika. Sepasang mata kelabunya menatap penuh
ketajaman. Dia tidak bisa membedakan, apakah gadis ini
jelmaan dari Siluman Hutan Waringin ataukah hanya dititisi
belaka? Pikiran yang kedua itu sungguh menyulitkannya.
Karena bila gadis itu ternyala hanya dititisi, berarti akan
mengorbankan sebuah nyawa percuma.
Gadis jelita dengan sepasang mata bening dan tubuh
aduhai di balik pakaiannya yang mcnerawang itu
mendekat. Bibirnya tersenyum, seperti mengandung
kekuatan sihir.
Eyang Sasongko Murti melirik Andika yang sedang
tersenyum pula. Mendadak saja dijitaknya kepala
Pendekar Slebor.
"Waaadddooow! Kenapa sih, main jitak-jitak saja?
Ngiri ya, dengan kepalaku yang bagus ini?!" maki Andika
melotot.
"Jangan terpengaruh tatapannya!" sahut Eyang
Sasongko Murti mengingatkan.
"Maafkan kemunculanku ini, dua laki-laki gagah."
Tiba-tiba gadis itu membuka mulut. Suaranya begitu
merdu sekali.
Dari rasa jengkelnya karena mendadak dijitak tadi,
Andika menekap mulutnya agar tidak tertawa mendengar
kata-kata itu. Karena kata laki-laki gagah berarti juga
ditujukan pada Eyang Sasongko Murti.
"Nona manis, siapakah kau sebenarnya?" tanya Eyang
Sasongko Murti.
Sementara, mata si tua ini menatap tajam, berusaha
menembus ke arah gadis itu. Bila memang gadis ilu
jelmaan dari Siluman Hutan Waringin, akan langsung
diserangnya. Tetapi kalau hanya dititisi siluman itu belaka,
maka betapa malangnya nasib gadis itu.
"Aduh.... Kau ini. ah! Membuatku malu saja.
Tampan...."
Gadis itu terkikik sambil menutup mulutnya dengan
tangan kanan. Sehingga, ketiaknya yang tak berbulu
terlihat. Mulut Andika sempat cengar-cengir, meskipun geli
membayangkan wajah Eyang Sasongko Murti yang acak-
acakan karena dikatakan tampan.
Sementara laki-laki berpakaian compang-camping itu
terdiam. Seperti dia tengah berpikir.
"Kalau begitu, aku permisi! Ayo, Bor!" ajak si tua ini.
Namun belum lagi Eyang Sasongko Murti bergerak
tiba-tiba saja kedua kakinya terasa menjadi dingin. Kaku.
Namun dengan cepat segera dimusnahkannya serangan
diam-diam itu dengan mengalirkan hawa panas. Dia juga
melihat Andika sudah menggerakkan kakinya. Hmm....
Berarti hanya si tua ini yang diserang!
"Hei, Eyang! Kenapa diam saja?" tanya Andika.
Bukannya menjawab pertanyaan Andika, tiba-tiba saja
Eyang Sasongko Murti menggerakkan tangannya ke arah
gadis itu.
Wusss!
"Heh...?!"
Yang mengherankan, gadis itu justru diam saja.
Andika yang melihat kontan terpekik kaget. Dengan cepat
tubuhnya bcrkelebat ke arah gadis itu. Lalu dengan sekali
melenting ke depan disambarnya tubuh gadis itu. Karena
dalam pikirannya, bila gadis itu ternyata jelmaan Siluman
Hutan Waringin, dengan cepat serangan itu pasti
dielakkannya. Tetapi, dia diam saja seperti layaknya orang
yang tak mengerti ilmu silat.
Namun, begitu tangan Andika memegang tangannya,
gadis itu bergerak hendak menepak punggungnya. Dengan
cepat Andika menjatuhkn dirinya, dan berguling.
"He he he... Eyang.... Gadis itu memang jelmaan
Siluman Hutan Waringin!" kata Pendekar Slebor terkekeh.
Eyang Sasongko Murti menghela napas. Dia tadi
sudah terkejut ketika mendadak saja Andika bergerak,
seperti menyongsong serangan dan berusaha
menyelamatkan gadis itu. Namun sekarang dia tahu, kalau
Andika hanya ingin menguji, siapa gadis itu sebenarnya.
Sebenarnya Eyang Sasongko Murti tidak tahu, kalau
semula Andika memang ingin menyelamatkannya! Namun,
pemuda sakti itu lebih tanggap. Malah segala sesuatunya
sudah diperhitungkan hingga berhasil melepaskan diri dari
serangan diam-diam gadis itu.
Akan tetapi di luar dugaan mereka tiba-tiba saja si
gadis jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu!
***
9
Eyang Sasongko Murti menahan Pendekar Slebor
yang hendak melangkah untuk mendekati gadis jelita itu.
Andika meliriknya seolah bertanya. Kenapa?
"Kita harus berhati-hati. Siluman itu mampu
mengubah wujudnya menjadi apa saja yang diinginkannya,"
jelas si tua ini.
"Tetapi, Eyang! Mengapa dia menangis?" tanya
Andika.
"Mungkin hanya pancingan belaka. Lebih baik, kita
pergi saja dari sini," sahut Eyang Sasongko Murti. "Ingat!
Kau pernah tertipu gadis jelmaan dari Siluman Hutan
Waringin."
Andika hanya mengangguk-angguk saja. Lawan yang
dihadapinya ini sangat berat. Bangsa siluman yang
memiliki ilmu mengerikan. Termasuk, mengubah dirinya
menjadi apa saja yang dikehendakinya, seperti yang
dikatakan Eyang Sasongko Murti.
Lalu seperti yang dikalakan si tua ini Pendekar Slebor
segera melangkah. Termasuk, Eyang Sasongko Murti yang
diam-diam ingin melihat kejadian apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba tangis gadis itu semakin mengeras,
membuat mereka terpaksa berhenti.
"Eyang," bisik Andika.
"Jangan terpancing. Kita harus..., bangsat!" tiba-tiba
Eyang Sasongko Murti menggeram hebat.
Andika melirik dengan pandangan tak mengerti.
"Ada apa, Eyang?"
"Gadis itu bukanlah jelmaan Siluman Hutan Waringin.
Tetapi, hmmm..., dia akan segera dititisinya. Bor,
bersiaplah. Kita akan menghadapi bahaya yang sangat
dahsyat!"
Baru saja kalimai Eyang Sasongko Murti habis, dalam
penglihatan mata batinnya tampak setitik sinar warna
kuning masuk melalui ubun-ubun kepala gadis yang
tangisnya semakin lama semakin keras. Bahkan
bertambah memilukan, sehingga mau tak mau membuat
yang mendengarnya merasa prihatin.
Dan mendadak saja, Eyang Sasongko Murti
menggerakkan tangannya ke arah gadis yang sedang
menangis.
Wusss...!
Serangkum angin berhawa panas langsung menderu
ke arah gadis itu. Dan anehnya, gadis itu lagi-lagi tidak
menghindar. Andika sendiri tidak berusaha mencegah
seperti yang dilakukan pertama kali saat Eyang Sasongko
Murti menyerang gadis itu.
Akibatnya, hawa panas yang menderu itu kontan
menyambar tubuh si gadis. Seperti terbakar, pakaian yang
dikenakannya tiba-tiba luruh menjadi abu. Sehingga,
memperlihatkan seluruh auratnya yang tak tertutupi
sehelai benang pun.
"Busyet kau, Eyang! Sudah tua masih genit saja!
Bilang saja kalau kau hendak membuka pakaian gadis itu!"
desis Andika.
Tetapi sepasang mata kelabu Eyang Sasongko Murti
tidak berkedip. Bahkan tubuhnya tidak bergeming.
"Kau lihat, Bor.... Gadis itu tidak seperti kebanyakan
gadis lainnya. Tubuhnya pasti hangus! Tapi dia tidak...!"
Seketika Andika menghentikan tawanya, lalu
mengangguk-angguk. Kini sadarlah Pendekar Slebor, siapa
gadis yang sedang menangis di hadapannya. Maka
mendadak saja tubuhnya meluncur deras ke arah gadis itu.
"Siluman busuk! Jangan kau pergunakan tubuh ga¬dis
yang tak berdosa ini sebagai tameng!"
"Andika!" jerit Eyang Sasongko Murti.
Tetapi, tubuh Andika sudah menderu cepat. Seketika
si gadis menggerakkan tangan kirinya, sehingga buah
dadanya bergoyang menggairahkan.
Des!
Pukulan Andika berhasil ditangkis. Maka mau tak mau
pemuda itu melenting kembali ke belakang. Saat itu juga
tangannya terasa ngilu. Ketika matanya melirik, tangannya
membiru!
"Kau lupa, yang kau hadapi bangsa siluman! Ajian-mu
tak banyak gunanya!" ingat Eyang Sasongko Murti.
Tiba-tiba saja gadis itu berdiri dan tcrbahak-bahak
dengan suara dingin. Tatapannya nyalang. Tubuhnya yang
tanpa busana terlihat sangat menggairahkan.
"Sasongko! Kau tak bisa terjebak juga, hah?!" tiba-tiba
gadis itu bersuara penuh kegeraman. "Hhh! Tetapi, aku
akan tetap membunuh pemuda sialan itu!"
Andika pun bersiap. Kini diyakini kalau gadis itu telah
dititisi Siluman Hutan Waringin. Sementara Eyang
Sasongko Murti terlihat melompat dua tindak ke depan
Andika pun berbuat sama, dengan merenggangkan jarak
dua tombak.
Tiba-tiba saja gadis yang bertelanjang bulat itu
menderu maju dengan gerengan mengerikan. Bahkan
sampai membuat dedaunan berguguran!
Eyang Sasongko Murti dan Pendekar Slebor yang
sudah memperhitungkan akan serangan mendadak segera
melenting ke arah berlawanan. Dalam sekali melompat
saja, mereka bisa melewati serangan dahsyat.
Gadis itu berbalik dengan tatapan menyalang
mengandung kegeraman.
"Grrrhhh! Sasongko! Dan kau, Pendekar Slebor! Hari
ini riwayat kalian akan tamat!"
"Heran? Apa bangsa siluman bisa menentukan nasib
manusia?" tukas Pendekar Slebor, terkekeh-kekeh.
"Bisa! Dan malam ini nasib kita ditentukan oleh nya!"
Eyang Sasongko Murti yang menyahuti.
Andika paham, ke mana arti ucapan Eyang Sasongko
Murti itu. Maka ketika si gadis yang dititisi oleh Siluman
Hutan Waringin itu meluruk cepat, dia segera
mempersiapkan diri. Gerakan gadis ini begitu dahsyat,
sehingga mampu membuat jantung terasa mau copot!
"Gunakan ajian bangsa siluman!" seru Eyang
Sasongko Murti sambil meluncur kc arah gadis itu.
Andika pun berbuat sama. Bisa dirasakan
kedahsyatan ajian bangsa siluman yang baru saja
dimilikinya. Begitu merapal, sekujur tubuhnya terasa
bergetar. Dan tiba-tiba dia merasa kalau hawa marah
melingkupinya.
"Graughrrr...!"
Seketika terdengar gerengan Pendekar Slebor yang
luar biasa keras.
"Murid laknat! Rupanya kau menurunkan ajian bangsa
siluman pada pemuda gondrong itu!" geram gadis itu.
"Kalau kau takut. pulang saja ke asalmu!" seru
Andika.
Eyang Sasongko Murti mengincar bagian atas dari
tubuh si gadis. Sementara, Andika menderu-deru
menyerang bagian bawahnya. Sejenak pemuda itu
gelagapan juga melihat 'benda' rahasia si gadis yang
terbuka. Tetapi, dia tidak peduli. Karena yang terpenling
seka-rang, mcmusnahkan Siluman Hutan Waringin.
sekaligus menyelamatkan nyawa gadis tak berdosa.
Siluman Hutan Waringin yang dikeroyok dari dua
jurusan rnenggeram-geram penuh amarah. Serangan demi
serangan menimbulkan hawa panas dan dingin bergantian.
Bahkan terkadang bulatan bola api yang banyak menderu-
deru. sctiap kali tangannya mengibaskan. "Kutu kupret!
Monyet jelek! Kurang ajar!" Andika sendiri memaki-maki
ketika bahunya terserempet bola api itu. Pendekar Slebor
menepuk-nepuk bahunya. hingga api itu padam. Bahunya
pun terbuka, karena pakaiannya di sekitar sana telah
hangus. Anehnya, kain bercorak caturnya sama sekali tak
hangus.
Dengan jengkcl Pendekar Slebor kembali menerjang,
sekaligus membantu Eyang Sasongko Murti yang kini
menjadi bulan-bulanan serangan Siluman Hutan Waringin.
Meskipun dikeroyok dua pendekar sakti, Siluman Hutan
Waringin tak kelihatan terdesak sedikit pun. Bahkan
serangannya semakin gencar dan ganas.
"Eyang! Gawat kalau begini!" seru Pendekar Slebor
yang sempat terserempet pukulan pada dadanya. Kalau
saja belum memiliki ajian bangsa siluman, sudah pasti
dadanya seketika hangus.
"Tak ada jalan lain lagi! Kita harus menyabung nyawa,
Bor!" seru Eyang Sasongko Murti. Beberapa kali dada si tua
ini terhantam pukulan sangat dahsyat.
"Aku tidak memikirkan nyawaku, Eyang! Mampus hari
ini juga tidak apa-apa!"seru Andika kembali menyerang.
"Tetapi yang kupikirkan, nasib gadis itu!"
"Aku pun memikirkan hal yang sama! Siluman itu
sengaja menitis pada gadis tak berdosa, sehingga kita sulit
untuk menyerangnya! Mundur sepuluh tombak! Aku minta
darahmu!"
"Untuk apa?"
"Jangan banyak tanya! Mundur. Bor!" seru Eyang
Sasongko Murti tiba-tiba. Sementara dia sendiri menderu
menyerang.
Andika yang mundur sepuluh tombak ke belakang,
cepat menggigit lengan kirinya sambil menahan rasa sakit.
Darah pun menetes. Buru-buru darahnya ditadahi dengan
kain bercorak caturnya. Karena dia ingat, dulu pun ketika
sama-sama terjebak di Alam Sunyi, Eyang Sasongko Murti
meminta darahnya sebagai 'jalan ke-luar' dari Alam Sunyi.
(Baca: 'Neraka di Keraton Barat).
"Eyang! S udah!" seru Andika kembali berguling
menyerang ke arah gadis yang dititisi Siluman Hutan
Waringin.
"Lemparkan kepadaku, Bor!" pinta si tua itu.
Dengan sigap sambil melenting, Andika mengerahkan
tenaganya. Lalu dilontarkannya kain pusaka yang tadi
ditadahi darahnya sendiri. Eyang Sasongko Murti pun
bcrmaksud menyambarnya.
Namun hal itu tidak mudah dilakukan. Karena
beberapa bola api sudah menderu-deru. Bersamaan
dengan itu, tubuh si gadis melayang hendak menyambar
kain pusaka Andika yang terbuntal darahnya sendiri.
"Heaaa!"
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan. Andika
segera mengempos tubuhnya disertai teriakan keras.
Kakinya seketika berputar dua kali.
Buk! Buk!
Tepat sekali tendangan Pendekar Slebor mengenai
dada gadis itu hingga terpental ke belakang diiringi
gerengan kemarahan luar biasa. Sedangkan dengan
sigapnya Andika kembali menyambar kain pusakanya.
"He he he.... Empuk.... Empuk sekali!" desis Pendekar
Slebor sambil tertawa. "Lumayanlah. Yang penting kan
tersentuh dada lembut yang montok itu!" sambungnya
konyol.
Dan Pendekar Slebor pun harus kembali melompat
menghindari serangan Siluman Hutan Waringin. Begitu
marahnya, hingga serangannya diiringi lemparan bola api
yang melingkar-Iingkar.
Sambil menghindar dengan jalan menyepak bola api
yang menderu, Andika melemparkan kain pusakanya ke
arah Eyang Sasongko Murti.
Lalu untuk mengalihkan perhatian yang ingin me-
rebut kain pusaka, Andika terus mcncecarnya. Pendekar
Slebor berusaha terus memukul mundur siluman itu.
'Akan tetapi, Siluman Hutan Waringin bukan hanya
mampu menghindar. Bahkan menyerang balik pada Andika
berkali-kali.
Desss.... desss...-
Lagi-lagi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu merasakan nyeri luar biasa di dadanya.
Perutnya bagai teraduk-aduk keras.
Sementara Eyang Sasongko Murti sedang merapal
ajiannya, sambil mendekatkan kain pusaka yang berisi
darah Pendekar Slebor. Seketika, darah yang sudah mulai
mengering itu tiba-tiba mencair kembali dan mengental.
Darah seorang perjaka tulen ilu akan dipergunakannya
sebagai senjata.
Namun belum lagi si tua ini mempergunakannya, tiba-
tiba saja satu sambaran keras bagaikan bunyi gunung
marah mengarah kepadanya.
Eyang Sasongko Murti mendongak kaget. Sebisanya
dia menggulingkan diri, karena sambaran itu datang dari
kaki Siluman Hutan Waringin yang telah mengubah diri
menjadi raksasa pula. Maka kain yang berisi darah
Pendekar Slebor pun terpental entah ke mana.
"Bangsat!" maki Eyang Sasongko Murti sambil berdiri
sigap.
Si tua ini melihat Pendekar Slebor sedang meringis
menahan sakit. Saat itu juga, tiba-tiba tubuh Eyang
Sasongko Murti pun berubah menjadi raksasa. Langsung
dihalanginya serangan maut Siluman Hutan Waringin pada
Pendekar Slebor yang terpental ke belakang, karena
sambaran angin tendangannya.
Pendekar Slebor melihat dua sosok raksasa sedang
bertarung sengit. Bumi benar-benar bergonjang-ganjing.
Kalau saja Eyang Sasongko Murti tidak segera mengubah
dirinya menjadi raksasa pula, sudah bisa dipastikan akan
terpental-pental.
Terlihatlah pemandangan luar biasa mengerikan,
sekaligus menakjubkan. Dua sosok raksasa tengah
bertarung hebat. Demikian pula bola api raksasa yang
menderu-deru kencang, membakar pepohonan dan
mengusir malam yang telah menjelma menjadi pagi!
"Eyang! Kenapa kau tidak menurunkan ajian 'Rubah
Jasad' itu kepadaku sih?"
Andika berseru keras dengan kedua tangan di mulut
berbentuk corong.
"Bukannya aku tidak menurunkan, Bor! Rupanya
tubuhmu menolak ajian ini! Kau masih perjaka ting-ting!"
sahut Eyang Sasongko Murti dengan suara terdengar
bagaikan guntur menyalak.
Mendadak saja Pendekar Slebor kembali menderu-
deru. Tak dipedulikannya rasa sakit yang menyiksa.
Sasaran serangannya adalah kedua kaki besar Siluman
Hutan Waringin yang menitis di tubuh gadis jelita itu.
Dig! Dig!
Tetapi, lagi-lagi serangan Andika tak ada gunanya.
Bahkan tubuhnya terpental kembali dan jatuh bergulingan.
Melihat hal itu, Eyang Sasongko Murti semakin murka.
Tubuh raksasanya mencoba menghantam tubuh raksasa
bugil itu yang dititisi Siluman Hutan Waringin.
"Eyang! Kau bisa membunuh gadis itu!" teriak
An¬dika.
"Tak ada jalan lain, Bor! Terpaksa kita memang harus
mengorbankan nyawa gadis itu!" seru Eyang Sasongko
Murti sambil mengirimkan bola-bola api panas.
Seketika terlihat suasana berubah terang. Dan hawa
dingin pun menjelma menjadi panas menyengat. Be-lum
lagi ketika Siluman Hutan Waringin membalas dengan cara
sama. Sehingga, terjadilah benturan bola-bola api yang
menimbulkan ledakan dan bunga api yang membakari
pepohonan di sekitarnya.
Bagi Eyang Sasongko Murti sendiri, lebih baik
mengorbankan nyawa gadis yang dititisi Siluman Hutan
Waringin daripada nanli siluman iiu menimbulkan
kerusuhan di mana-mana. Sementara bagi Andika, masih
dipikirkannya cara untuk menyelamatkan gadis yang tak
berdosa. Namun hingga pertarungan berjalan sampai siang
hari, jawabannya beluin juga ditemukan.
Pendekar Slebor lantas melenting ke atas, memper-
gunakan ilmu meringankan tubuhnya. Bagaikan seekor
lalat, dihantamnya wajah siluman itu dengan ajian bangsa
siluman. Namun, hasilnya nihil.
"Hup!"
Kembali Andika hinggap, kalau tidak ingin tersampok
kibasan tangan gadis itu yang besar. Belum lagi kakinya
hinggap di bumi, kembali tubuhnya harus berguling, kalau
tak ingin terhantam tendangan kaki yang menimbulkan
suara angin laksana topan.
Dan pemandangan iiu mengejutkan tiga sosok tubuh
yang baru tiba di sana. Karena sejak tadi, mereka
merasakan bumi yang dipijak bergoyang. Bahkan mereka
menyangka, ada sebuah gunung yang terletak tak jauh dari
tempat ini hendak memuntahkan laharnya.
"Kang Tapa, apa-apaan ini?" desis salah seorang
terheran-heran. Mereka tak lain Sepasang Tasbih Kepalan
Batu dan Minanti.
"Aku tidak mengcrti. Bukankah pemuda berpakaian
hijau pupus yang scdang menyerang kedua kaki gadis itu
adalah Pendekar Slebor? Gila! Pertarungan ini benar-benar
mengerikan!" seru Tapa Srenggi sambil memperhatikan
penuh takjub. Sekaligus, ada kengerian di hatinya.
Sementara Minanti menundukkan kepala. Dia
me¬rasa risih melihat raksasa yang satunya lagi, yang
sedang menyerang raksasa berpakaian compang-camping.
Kewanitaannya bergetar. Sungguh, memalukan pe-
mandangan itu. Angling Srenggi yang melirik tersenyum
saja. Dia maklum kalau Minanti menundukkan kepala.
"Aku yakin, raksasa wanita tanpa busana itu jelmaan
dari Siluman Hutan Waringin," desis Tapa Srenggi.
Mereka kini kembali memperhatikan jalannya
pertarungan. Sementara, Minanti sambil menghela napas
panjang pun memperhatikan pula. Dari rasa risih melihat
tubuh raksasa jelita yang tanpa busana, timbul pula rasa
ngerinya. Bila memang benar yang dikatakan Tapa Srenggi
tadi kalau gadis itu jelmaan Siluman Hutan Waringin,
alangkah mengerikannya! Meskipun saat ini ia seharusnya
gembira karena menemukan makhluk yang telah
menghancurkan perguruan, saudara-sandara seperguruan.
dan gurunya. Tetapi untuk menghadapi Siluman Hutan
Waringin, sudah tentu sangat sukar!
Tiba-tiba pandangan Minanti terbentur pada se-
onggok kain bercorak catur takjauh darinya. Diam-diam
segera diambil kain itu.
"Oh!"
Minanti mendesis setelah melihat telapak tangannya
yang terdapat bercak darah. Rupanya, darah Pendekar
Slebor merembes ke tangannya. Dibukanya kain bercorak
catur itu yang tak lain milik Pendekar Slebor yang terlontar
ketika dipegang Eyang Sasongko Murti tadi. Ada darah cair
di sana. Yang membuatnya heran, darah itu tidak segera
mengering?
"Gila! Milik siapakah ini?" desis gadis ilu sambil
kembali ke tempat di mana Sepasang Tasbih Kepalan Batu
yang tengah memperhatikan jalannya pertarung-an.
Minanti pun kembali memperhatikan pertarungan
dengan hati semakin ciut. Jantungnya terasa berdetak
lebih hebat. Dan tubuhnya berguncang-guncang akibat
sentakan kaki-kaki raksasa pada bumi. Sementara, tangan
kanannya menggenggam kain bercorak catur yang berisi
darah Pendekar Slebor.
***
10
Pertarungan aneh sekaligus mengerikan terus terjadi.
Keadaan di sekitarnya sudah porak-poranda. Banyak
sudah pepohonan tercabut. Ada yang terinjak, ada yang
terbakar, dan ada yang memang dicabut untuk
dilemparkan ke arah lawan. Dalam keadaan wajar,
menghadapi serangan dari siluman itu Andika bisa
merasakan betapa tubuhnya telah terluka parah. Dia yakin,
dalam beberapa saat kemudian tak akan mampu
bertahan. Namun hal itu tak dipedulikannya. Baginya,
nyawanya putus hari ini juga bukanlah masalah besar.
Yang terpenting, Siluman Hutan Waringin bisa
dimusnahkan!
Semakin lama pertarungan semakin bertambah seru
dan menegangkan. Yang mengherankan Andika. karena
dari malam hingga siang hari ini benarung, tubuh¬nya
belum juga terasa letih. Bahkan tenaganya pun tak
berkurang sedikit pun! Padahal, ajian yang
dipergunakannya memakan banyak tenaga. Bahkan
berkali-kali tubuhnya terhantam serangan raksasa. Namun,
otaknya yang encer seketika mampu memecahkannya.
Mungkin, hal ini karena telah memiliki ajian bangsa
siluman!
Namun Andika bisa merasakan pula sesuatu yang
lain. Meskipun tenaganya tak berkurang, namun luka di
tubuhnya akibat pukulan Siluman Hutan Waringin atau
sambaran bola api yang dilcmparkan, bisa membuat
keadaan tubuhnya semakin lama semakin payah.
Eyang Sasongko Murti pun melihal keadaan Pendekar
Slebor yang terus-menerus bergulingan menghindari setiap
sambaran Siluman Hutan Waringin.
"Lebih baik kau pergi dari sini, Bor! Aku yang akan
menghadapinya!" ujar si tua ini.
"Tidak!" seru Andika keras kepala. "Aku akan ber-
tarung sampai mampus!"
"Jangan bertindak bodoh! Bila aku mampus hari ini.
masih ada kau yang menghalangi sepak terjang Siluman
Hutan Waringin ini!" seru Eyang Sasongko Murti jeng-kel.
"Peduli Setan! Kutu busuk itu harus mampus!" geram
Andika keras kepala, sambil merangkum kembali
tenaganya dan terus menyerang.
"Ha ha ha.... Kau tak akan bisa bertahan lebih lama,
Pendekar Slebor! Inilah akibatnya berani-berani lancang
menyelamatkan Sasongko Murti!" ejek gadis itu dengan
suara aneh. Lalu kaki-kakinya yang besar mencecar tubuh
Andika, tak ubahnya bagaikan menginjak seekor belalang.
Namun bagi Andika, nyawanya melayang bukanlah
menjadi soal. Yang penting Siluman Hutan Waringin ini
harus bisa dimusnahkan. Dan meskipun berkali-kali
menghantamkan pukulan atau tendangan dengan
mempergunakan ajian bangsa siluman yang baru
dipelajari, tubuh gadis itu tetap tegar. Hanya di beberapa
bagian saja menghangus. Akhirnya. diputuskannya untuk
menghentikan serangannya. Karena, timbul rasa
kasihannya pada gadis tak berdosa itu yang menderita
akibat pukulannya.
"Kalau kau tidak mau mundur, jangan bertindak
setengah-setengah!" teriak Eyang Sasongko Murti.
"Tetapi Eyang! Tubuh raksasa gadis itu sukar sekali
kuhadapi! Jadi salahmu sendiri, kenapa aku tidak
diturunkan ajian 'Rubah Jasad'! Lagi pula, gadis itu
bukanlah orang jahat!" tangkis Andika.
"Aku tahu! Namun dia dititisi Siluman Hutan Waringin
yang tak akan pernah mau tahu siapa yang dititisinya!
Sudah berkali-kali kukatakan hal itu! Ingat, Bor! Hari ini
adalah hari pengadilan maut bagi kita!"
Pendekar Slebor pun kembali meningkatkan
serangannya. Kini dia benar-benar meyakinkan diri sendiri,
kalau lawan yang dihadapi bukanlah sosok gadis itu. Dan
gadis itu sendiri hanya merupakan wajah yang dititisi
Siluman Hutan Waringin. Seorang gadis yang tak mengerti
apa-apa.
Dengan mempergunakan kelincahannya, Pendekar
Slebor berkali-kali mencecar dan sekaligus menghindari
setiap sambaran kaki atau tangan gadis itu yang membuat
wajahnya terasa panas. Padahal, hanya terkena sambaran
angin yang menderu-deru laksana badai.
Wuttt...!
Tiba tiba saja Siluman Hutan Waringin menggerakkan
kedua tangannya ke depan. Maka, beberapa buah pohon
kontan tercabut dan berterbangan ke arah Pendekar
Slebor dan Eyang Sasongko Murti. Seharusnya, saat
menggunakan ajian 'Rubah Jasad' serangan beberapa
buah pohon yang meluneur bagaikan tombak itu bukanlah
serangan sulit. Mudah ditepiskan dengan sekali
mengibaskan tangan. Ini memang bisa dilakukan Eyang
Sasongko Murti. Tetapi, bagi Andika? Dia harus benar-
benar memperlihatkan kelincahannya kalau tidak ingin
tubuhnya hancur berantakan.
Namun, lima belas buah pohon besar yang tercabut
dan menderu ke arah Pendekar Slebor dan Eyang
Sasongko Murti lelah dialiri ajian bangsa siluman. Bila
terkena sambarannya seketika tubuh yang terkena akan
menjadi hangus.
Eyang Sasongko Murti yang lebih dulu menyadari hal
itu.
"Hati-hati! Aku belum pernah mempelajari ajian yang
satu ini!" seru si tua itu sambil melompat-lompat.
Blammm...! Blarrr...!
Dan ketika pohon-pohon itu terhempas ke bumi.
bukan hanya suara berdebam saja yang terdengar, tetapi
suara ledakan sangat dahsyat!
"Ke mana kain pusakamu yang telah ditetesi darah-
mu itu, Bor? Tubuhmu bisa pecah renyah terkena pohon-
pohon itu!" teriak Eyang Sasongko Murti.
"Aku tidak tahu!" dengus Andika geram. "Gila! Kalau
begini caranya, dia benar-benar mati kutu! Benar-benar
brengsek Eyang Sasongko Murti ini. Dia tidak mengajarkan
ilmu 'Rubah Jasad' padaku!"
Tetapi, kemudian Andika yakin dengan kata-kata
Eyang Sasongko Murti, kalau ajian 'Rubah Jasad' tidak bisa
ke tubuhnya.
Sementara itu, Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan
Minanti yang mengintip pertempuran aneh dan
mengerikan, seketika mengalirkan hawa murni untuk
menu-tupi kedua telinga agar tidak mendengar ledakan
keras tadi. Sedangkan Minanti sudah melirik kain bercorak
catur yang ada darah cair di sana.
"Inikah yang dimaksudkan Eyang Sasongko Murti?"
desisnya dalam hati.
"Kalian akan mampus hari ini! Sasongko! Kembalilah
kau ke Alam Sunyi untuk menerima hukumanku!
Dan kau, Pendekar Slebor! Kau harus menyerahkan
jantungmu kepadaku!" teriak si gadis raksasa.
"Enak saja ngomong! Di pasar kotapraja, jantung
sekilo mahal harganya. tahu?!" seru Andika.
Mendadak saja Pendekar Slebor sudah
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa' yang dibanggakan
dan diperoleh dari Lembah Kutukan. Begitu ajian itu
dilepaskan, Pendekar Slebor juga memadukan dengan
ajian 'Tapa Geni' ajaran Eyang Sasongko Murti.
Wurrr..,!
Akan tetapi. serangan Andika tetap tidak membawa
hasil memuaskan. Jalan satu-satunya memang harus
mencari kain pusaka yang telah ditetesi darahnya sendiri.
Memang hanya itulah satu-satunya cara untuk menghabisi
Siluman Hutan Waringin. Tetapi untuk mencari kain pusaka
di saat genting seperti ini, sangat sulit. Malah bisa
dipastikan, siluman itu tak akan memberikan kesempatan.
"Kalian harus mampus!" seru gadis raksasa seraya
mengibaskan langan. Wurrr...!
Seketika bergulung-gulung angin raksasa ke arah
keduanya, sehingga menimbulkan suara ribut bergemuruh.
Bumi seperlinya terjadi gempa.
"Selamatkan dirimu, Bor!" seru Eyang Sasongko Murti
sambil mcncoba memotong serangan Siluman Hutan
Waringin.
Namun tubuh raksasa si tua iiu pun mendadak saja
tcrhempas ke belakang.
Sementara. Andika pun sudah mendcru eepat dengan
kedua tangan terangkum ajian 'Guntur Selaksa' yang kali
ini dipadukan tenaga 'inti petir' dan ajian 'Tapa Geni' ajian
bangsa siluman. Blasss!
Hasil yang didapat Pendekar Slebor sungguh di luar
dugaan. Seketika, pusaran angin raksasa itu diterobos oleh
ajian 'Guntur Selaksa'. Bahkan langsung menembus ke
arah si gadis raksasa yang sedang melancarkan serangan
tangguh.
Blaaarrr!
Kini tubuh si gadis raksasa terhempas ke bumi. Dan
mendadak saja tubuhnya menciut dalam ukuran yang
sewajarnya. Dan dari ubun-ubunnya, keluarlah setitik
cahaya berwarna kuning yang mendadak berasap dan
membubung tinggi.
Mendadak, asap itu mengelam sosok Siluman Hutan
Waringin yang mengerikan tetap berwujud raksasa.
SepasangTasbih Kepalan Batu dan Minanti terkc-jut
melihatnya. Tapa Srenggisendiri tanpa banyak bicara lagi
langsung bergulingan, dan menyambar tubuh gadis yang
dititisi Siluman Hutan Waringin tadi. Dibawanya gadis itu
kembali ke tempat persembunyian.
"Gila!" desis Tapa Srenggi setelah melihat luka yang
diderita gadis itu. "Seperti luka yang kau alami, Minanti!
Kita harus menyelamatkan nyawanya. Ah! Entah di mana
dia tinggal. Dan, bagaimana bisa dititisi Siluman Hutan
Waringin itu."
Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, Tapa
Srenggi berusaha menyelamatkan nyawa gadis itu.
"Bantu aku. Adi Angling!"
Sementara itu, pertarungan aneh semakin
mengerikan saja.
"Grrhhh! Sasongko Murti! Kenibalilah kau ke Alam
Sunyi untukmenerima pengadilanku! He he.... Kau tentu
tidak ingin melihat pemuda gondrong ini mampus?"
Eyang Sasongko Murti hanya bisa mendengus saja
sambil melancarkan serangan. Namun dia pun harus
terpukul mundur. karena serangan balik Siluman Hutan
Waringin begitu mengerikan. Diam-diam si tua ini
mendesah masygul, karena ajian-ajian yang diperlihatkan
Siluman Hutan Waringin sama sekali belum dipelajari-nya.
"Gggrrrhhh! Kembalilah ke Alam Sunyi, Sasongko
Murti!" seru Siluman Hutan Waringin lagi.
Sementara itu tubuh Pendekar Slebor tampak sudah
terhuyung ke sana kemari. Ajian 'Guntur Selaksa' yang
dipadukan dengan tenaga 'inti petir' dan ajian 'Tapa Geni',
hanya mampu menahan dua gebrakan dari serangan
Siluman Hutan Waringin. Selebihnya, justru Pendekar
Slebor yang menjadi bulan-bulanan.
Tubuh Pendekar Slebor terhuyung. Dan berkali-kali
muntahkan darah yang terpaksa keluar dari mulut.
"Siluman busuk itu harus musnah!" desis Pendekar
Slebor
Kembali Andika menyerang cepat. Namun kali ini,
pemuda itu benar-benar tak mampu lagi menahan
serangan balik dari Siluman Hutan Waringin. Kembali
tubuhnya terhantam pukulan-pukulan dahsyat.
"Kalau saja kita bisa tcmukan kain corak caturmu,
Bor!" dengus Eyang Sasongko Murti sambil menghadang
serangan Siluman Hutan Waringin.
Minanti yang mendengar semua itu tersentak..Tanpa
pikir panjang lagi, dilemparkannya kain itu pada Eyang
Sasongko Murti. Dia memang langsung menyadari kalau
kain inilah yang dibutuhkan si tua itu.
Tiba-tiba saja mata si tua menangkap sesuatu yang
melenting ke arahnya. Memang hanya sebatas paha saja.
Tetapi dengan sigap ditangkapnya benda yang tak lain kain
pusaka milik Andika yang dipegang Minanti tadi.
"Aaagrrrh...!"
Dan begitu kain pusaka itu terpegang si tua ini,
mendadak saja Siluman Hutan Waringin menjerit-jerit
kesakitan. Tubuhnya bagai terbakar. Namun, Eyang
Sasongko Murti tak mau membuang waktu lagi. Dengan
gencar kain bercorak catur yang jadi seperti sangat kecil
dikibaskan.
Wuttt...!
"Aghrrr...!"
Siluman Hutan Waringin terus meraung-raung keras.
Dengan serentak, Eyang Sasongko Murti mengarahkan
kain pusaka itu ke mata. Namun, siluman itu langsung
menutup kedua matanya. Tubuhnya bergerak bagaikan
mabuk, menghancurkan apa saja yang ada di sana.
Dan tiba-tiba saja tubuh raksasa Siluman Hutan
Waringin lenyap. Lalu. terlihatlah sebuah cahaya berwarna
kuning melingkar-lingkar.
"Sasongko! Suatu saat aku akan muncul lagi untuk
mencabut nyawamu dan nyawa Pendekar Slebor!"
Terdengar suara Siluman Hutan Waringin.
Plas!
Cahaya kuning itu pun mendadak menghilang: Eyang
Sasongko Murti menghela napas panjang. Lalu dia
mengubah diri menjadi bentuk seperti sediakala. Begitu
pula Andika yang langsung terbujur. Seketika Eyang
Sasongko Murti langsung memeriksa luka Pendekar
Slebor.
"Luka kecil saja!" desis si tua ini. Dioleskannya darah
Pendekar Slebor yang ada di kain itu. Seketika, Andika
merasakan kalau rasa sakit dan nyeri di tubuhnya sedikit
menghilang.
Dan tak lama, tiga sosok tubuh muncul. Mereka
adalah Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti. Di
bahu Tapa Srenggi tampak sosok gadis yang dititisi
Siluman Hutan Waringin, telah diobati namun masih ping-
san.
"Wah, wah...! Rupanya dua botak ini yang muncul. Eh?
Siapa pula gadis jelita itu?" tanya Pendekar Slebor sambil
nyengir.
Minanti menundukkan kepala, malu-malu. Saat itulah
Sepasang Tasbih Kepalan Batu mengemukakan
maksudnya, untuk meminta tolong kepada Pendekar
Slebor agar bersedia mengobati penyakit guru mereka yang
disebabkan oleh Siluman Hutan Waringin.
Andika mengangguk-angguk tanda setuju. Belum lagi
ada yang sempat bergerak, tiba-tiba saja puluhan sosok
manusia dengan senjata di tangan, disusul sebuah kereta
kuda yang bagus.
"Abirawa! Benar bukan ucapanku?"
Terdengar suara halus dari balik tandu yang diusung
empat orang.
"Pendekar Slebor.... Hari ini aku, Dewi Sutera,
menuntut balas atas kematian kakakku Manusia Pemuja
Bulan yang telah kau bunuh!" lanjut suara dari balik tandu.
Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal. Busyet! Baru saja tuntas urusannya dengan Siluman
Hutan Waringin, kini sudah muncul lagi yang baru.
"Siapa kau ini? Kalau mendengar suaramu. kau pasti
gadis jelita! Tetapi, bisa saja kau ini nenek-nenek yang
memiliki suara merdu?" seloroh Pendekar Slebor asal saja.
Sementara, Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan
Minanti segera bersiaga. Rupanya, rombongan Dewi Sutera
sudah tiba di sini. Hanya Eyang Sasongko Murti yang acuh
saja.
Mendadak satu sosok tubuh melenting ke arah
Pendekar Slebor.
"Kau harus mampus, Pemuda Hina!" bentak sosok itu.
"Heeeiiittt!"
Andika pun melenting ke samping. Dan dia melihat
satu sosok tubuh berpakaian putih menerawang, sehingga
memperlihatkan lekuk tubuh yang menggairahkan. Begitu
mendarat, sosok itu kembali menyerbu cepat. Wajahnya
tak ubahnya bidadari dari kahyangan. Begitu jelita sekali.
Rambutnya digelung ke atas, dan sebagian tergerai di
punggung.
Dia tak lain dari Dewi Sutera yang mendendam pada
Pendekar Slebor.
"Wah, wah! Kau cantik sekali! Dewi Sutera! Apakah
kau tidak tahu kalau kakak seperguruanmu telah berubah
menjadi manusia laknat?" tukas Pendekar Slebor, kalem
sambil berlompatan menghindar.
"Aku tak peduli apa yang dilakukannya! Yang
kuinginkan adalah nyawamu!" seru Dewi Sutera terus
menyerang ganas.
Setiap kali wanita itu bergerak, rangkaian angin panas
menderu-deru ke arah Pendekar Slebor dengan cepatnya.
"Baik! Ini adalah urusanku denganmu, Dewi Sutera!
Jadi tak kuinginkan dari pihakmu atau pihakku sa-ling
bertempur!"
"Aku setuju! Akan kubunuh anak buahku yang
menyerangmu!" sahut Dewi Sutera seraya menerjang
dengan serangan-serangan berbahaya.
Sepuluh jurus pun berlalu, tanpa ada yang kelihatan
terdesak atau pun mengalah. Dewi Sutera sendiri segera
meningkat serangannya. Dia berusaha mendesak
Pendekar Slebor dengan serangan-serangan berbahaya.
Bahkan tiba-tiba saja tangannya membuat gerakan
bagaikan menebar.
Di balik tebaran yang kasat mata itu, terdapat se-
kumpul tenaga dalam teramat kuat. Sehingga Andika
akhirnya terpaksa bergulingan. Namun, Dewi Sutera yang
memang ingin melihat Pendekar Slebor terkapar segera
memburu cepat. Dia menginginkan segalanya berlangsung
cepat.
Namun yang dihadapi Dewi Sutera adalah Pendekar
Slebor yang sesekali mengoceh seenak perutnya saja.
"Dewi Sutera.... Kupikir tak ada gunanya membela
kakak seperguruanmu yang bejat itu," ujar Pendekar Slebor
sambil menghindari dan sekaligus membalas serangan
Dewi Sutera.
Pada dasarnya, Andika berkeyakinan kalau Dewi
Sutera bukanlah datang dari golongan hitam. Dia hanya
bermaksud membalas sakit hatinya yang mendengar kakak
seperguruannya telah tewas.
"Bila melihat sikapmu, kau bukanlah dari orang
golongan hitam, Dewi Sutera! Lebih baik kau sadarkan diri.
Ikhlaskan saja kenyataan kalau Manusia Pemuja Bulan
memang sudah selayaknya mati sebagai orang sesat,"
lanjut Andika.
"Dia adalah kakak seperguruanku! Dan kau yang telah
membunuhnya! Yeaaa!"
Kembali Dewi Sutera menerjang ganas. Kali ini
tubuhnya mendadak bergulung-gulung, bagaikan angin.
Menderu dan siap menghancurkan Pendekar Slebor!
Andika sendiri akhirnya merasa kalau memang harus
menjatuhkan tangan. Kali ini tubuhnya dikempos dengan
mempergunakan tenaga 'inti petir'. Sehingga setiap kali
menyerang, terdengar suara bagai salakan petir yang
keras, membuat Dewi Sutera sejenak terkejut pula.
Akan tetapi, di mata wanita ini Pendekar Slebor
hanyalah seorang lawan yang harus dihabisi! Biar bagai-
manapun juga, pemuda itu telah membunuh kakak
seperguruannya yang telah dua belas tahun tak jumpa. Di
saat telah mendirikan Partai Dewi Sutera, di saat ingin
mengajak kakak seperguruannya bcrgabung, justru
terdengar kabar kalau manusia ilu telah menemui ajal di
tangan Pendekar Slebor!
Memang, Dewi Sutera mendengar kalau kakaknya
telah berubah dari sifat semula. Kakaknya telah menjadi
orang bejat yang telah membuat keonaran dan
meresahkan rimba persilatan. Akan letapi, dia tidak mau
tahu. Kakak seperguruannya sudah sangat dirindukan. Dan
di saat-saat rindunya tuntas, kakaknya dikabarkan telah
tewas! Dan Pendekar Slebor-lah yang harus membayar
semua ini dengan nyawanya!
"Dewi Sutera.... Sadarlah.... Kau lak patut menjadi
manusia bejat seperti kakak seperguruanmu. Kau tak patut
membela manusia bus uk itu! Kehidupan yang telah dan
akan kau jalani, adalah kehidupan lurus yang seharusnya
dipertahankan. Janganlah diputarbalikkan. Ingat! Manusia
Pemuja Bulan telah menjadi manusia sesat yang berdosa!"
"Aku tidak peduli! Aku tidak peduli!" seru Dewi Sutera
sambil terus menyerang gencar.
Tetapi Pendekar Slebor menangkap isaknya yang
tersendat. Sesungguhnya, hati wanita itu memang berhati
murni. Hati yangberada dalam jalan lurus. Sehingga
akhirnya perlahan-lahan bisa disadari kenyataan itu.
"Dewi.... Hentikan semua ini. Kita tidak perlu
menanamkan bibit silang sengketa! Kita tidak perlu
mengumbar amarah hingga saling menumpahkan darah!
Kau orang baik, Dewi...," bujuk Pendekar Slebor.
Tiba-tiba saja Dewi Sutera menghentikan
serangannya. Lalu, tubuhnya berbalik meninggalkan
tempat itu dengan hati pedih dan mata berkaca-kaca. Dia
sedih bukan karena tak bisa mengalahkan Pendekar
Slebor, tapi setelah menyadari kakak seperguruannya telah
berubah menjadi orang sesat yang menimbulkan keonaran.
Melihat sikapnya. sudah tentu Abirawa dan yang lain
terkejut. Tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mata
Abirawa mcnatap tajam pada Pendekar Slebor.
"Kita kembali! Susul Ketua!" ujar si Pencabut Nyawa.
Serentak rombongan itu berlalu meninggalkan tempat
ini menyusul Dewi Sutera yang sedang berlari sambil
menyesali diri karena terlalu gegabah menyerang Pendekar
Slebor. Di hati kecilnya, dia rela kakak seperguruannya
mati di tangan Pendekar Slebor.,
***
Pendekar Slebor mendesah pendek. Hati nurani Dewi
Sutera masih bersih sekali. Sangat disayangkan kalau
hatinya yang murni dibaluri amarah yang bisa
menghancurkannya.
"Ternyata..., dalam jiwa manusia itu masih ada musuh
yang paling besar. Yaitu nafsu. nafsu dari segala nafsu
yang akan menyengsarakan siapa pun juga," kata Eyang
Sasongko Murti sambil lersenyum.
Pendekar Slebor juga tersenyum.
"Eyang... Dewi Sutera termasuk dalam hal itu. Juga,
kita semua. Tetapi di dasar hati kita yang paling dalam
pula, selalu terdapat kebajikan. Selalu terdapat nurani
yang mengatakan kalau hal yang kita lakukan adalah benar
dan salah," sahut Pendekar Slebor yang kali ini masih bisa
bijaksana.
"Kau benar, Bor! Nih, kukembalikan kain bercorak
catur jelek milikmu!"
Eyang Sasongko Murti melemparkan kain bercorak
catur itu pada Andika.
"Kini aku bisa menikmati alam indah ini dengan
bebas. Tetapi aku yakin, Siluman Hutan Waringin suatu
saat akan kembali. Sampai ketemu lagi, Bor!"
Tubuh berpakaian compang-camping itu pun
berkelebat, dan menghilang dalam sekali kejap.
"Pendekar.... Sekali lagi kuminta, bersediakah kau
mengobati penyakit guru kami?" kata Tapa Srenggi, ketika
si tua tadi telah lenyap.
"Ha ha ha.... Aku bersedia sekali. Lebih baik, kita
berangkat saja sekarang. Karena aku khawatir keadaan Ki
Mahesa Luwing semakin parah."
Wajah Sepasang Tasbih Kepalan Batu berseri-seri.
Tiba-tiba saja Angling Srenggi menoleh pada Minanti yang
tercliam.
"Minanti..., hendak ke manakah kau?" tanya laki-laki
botak bertasbih perak.
Minanti gelagapan.
"Aku..., aku tidak tahu……"
Angling Srenggi mendesah pendek.
"Minanti..., sudikah kau ikut denganku ke
Pesanggrahan Utara?" tawar Angling Srenggi.
Wajah Minanti sejenak terangkat. Sepasang matanya
terbelalak. Tetapi sejurus kemudian kepalanya
mengangguk.
Angling Srenggi mendesah lega. Tapi justru Tapa
Srenggi yang mengerutkan keningnya. melihat keberanian
adik kembarnya.
Andika menepuk bahunya.
"He! Kau tidak usah iri, Botak! Bukankah masih ada
gadis yang kau panggul itu?" sentak Pendekar Slebor
sambil tertawa.
Wajah Tapa Srenggi memerah.
Andika tertawa lagi.
"Sudahlah, mudah-mudahan saja gadis yang kau
pondong itu menerima botakmu yang licin itu.... Ayo, kita
segera berangkat ke Pcsanggrahan Utara!"
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar