..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 08 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE MANUSIA DARI PUSAT BUMI

Manusia Dari Pusat Bumi

 

MANUSIA DARI PUSAT BUMI 

oleh Pijar El 

Cetakan pertama 

Penerbit Cintamedia, Jakarta 

Editor : Puji S. 

Cover : Henky 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit 

Pijar El 

Serial Pendekar Slebor 

dalam episode 009 : 

Manusia dari Pusat Bumi 

128 hal ; 12 x 18 cm


SATU


Seorang kakek tua renta tampak menggelantung 

terbalik pada seutas tali jerami dengan kedua per-

gelangan kaki terikat. Sikapnya bersidekap rapat 

seperti seekor kelelawar, diam tanpa bergeming. 

Tubuhnya yang terbalik membuat untaian jenggot 

panjang berwarna putih yang telah kotor itu menutupi 

wajahnya. Menjulur sampai tanah, sekitar satu depa. 

Raut wajah lelaki bangkotan berumur seratus dua 

puluh tahun ini sulit dikenali. Bukan hanya karena 

tertutup jenggot, tapi juga karena ruangan tempatnya 

menggelantung tak memiliki cahaya, kecuali sebuah 

lubang sebesar biji mata manusia di langit-langit 

ruang, tepat di dekat benang jerami tersangkut. 

Seberkas cahaya dari lubang kecil tadi jatuh pada 

kain usang berwarna putih, yang membungkus tubuh 

si Lelaki Bangkotan ini dari batas bahu hingga mata 

kaki, seperti libatan kain kafan. Suasana di dalam 

ruangan kecil dan sempit ini mengingatkan pada 

suasana di liang lahat. Kenyataannya memang begitu. 

Ternyata lelaki bangkotan ini memang berada dalam 

perut sebuah kuburan yang memiliki rongga lebih 

besar dari biasa. 

Ketika pertama kali muncul sekitar delapan puluh 

tahun yang lalu, dia mendapat gelar angker. Hakim 

Tanpa Wajah! Orang-orang dunia persilatan men-

julukinya demikian, karena lelaki itu nyaris tak me-

miliki wajah. Raut mukanya datar dengan satu lubang 

hidung kecil. Bibirnya amat tipis, hingga nyaris tak

kentara. Sepasang kelopak mata sempit. Bahkan biji 

matanya sendiri sulit ditegaskan, apakah berwarna 

hitam atau putih. Karena kelompak matanya memang 

terlalu kecil. 

Selama berkecimpung dalam rimba persilatan, 

sepak terjangnya amat membingungkan. Tak seperti 

tokoh golongan hitam yang memusuhi golongan putih. 

Tak peduli tua atau muda, lelaki atau wanita. Setiap 

orang yang berurusan dengannya, selalu dituduh 

sebagai 'si pembuat kesalahan'. Dan kemunculannya 

untuk menjatuhkan satu-satunya hukuman.... 

Hukuman mati! Itu sebabnya, dia mendapat julukan 

lengkap Hakim Tanpa Wajah. 

Pada masanya, Hakim Tanpa Wajah menjadi tak 

terkalahkan. Dia ditakuti layaknya malaikat maut. 

Baik di kalangan bawah, maupun raja-raja. 

Setiap kali bertemu seseorang yang memiliki ilmu 

kedigdayaan, Hakim Tanpa Wajah langsung saja men-

ceramahi dengan tuduhan-tuduhan. Kesalahan 

sekecil apa pun tak luput dari penilaiannya. Banyak 

orang persilatan waktu itu terheran-heran, bagaimana 

dia bisa tahu kesalahan-kesalahan seseorang, se-

hingga seolah-olah memiliki mata di mana-mana. Tak 

ada seorang pun yang mampu menjawab. Karena 

setiap kali ada yang berusaha menjawab, maka orang 

itu akan menerima hukuman mati! 

Seorang demi seorang waktu itu hilang begitu saja 

tanpa bekas. Bahkan nasibnya tak pernah diketahui 

lagi. Tak peduli dari kalangan bawah persilatan atau 

pun kalangan atas. Baik yang punya nama besar, 

atau tidak. 

Hanya ada tiga tokoh sakti yang waktu itu mampu 

luput dari kebiasaan aneh berbau maut dari si Hakim 

Tanpa Wajah. Salah satunya adalah tokoh yang

berjuluk Lelaki Berbulu Hitam. Sedangkan dua orang 

lain adalah Raja Penyamar dan Pendekar Dungu. 

Seperti juga Hakim Tanpa Wajah, ketiga tokoh itu 

pun memiliki nama besar. Selain Hakim Tanpa Wajah, 

tak ada seorang pun sanggup menandingi kehebatan 

ilmu kedigdayaan mereka. Menurut kabar burung 

kala itu, keempatnya sebenarnya memiliki ke-

pandaian berimbang. 

Setelah menggegerkan dunia persilatan sekian 

lama, keempatnya menghilang, tak jelas ke mana. 

Seolah-olah mereka sama-sama mengadakan per-

janjian untuk mengundurkan diri, lalu akan muncul 

kembali suatu saat. Dan pada saat itulah mereka 

akan mengukur kembali kesaktian masing-masing, 

untuk menentukan siapa yang lebih berhak mendapat 

tempat teratas. 

Delapan puluh tahun telah berlalu. Namun tak ada 

secuil tanda-tanda pun kalau keempat tokoh sakti itu 

akan muncul kembali. Lambat tapi pasti, nama 

mereka mulai dilupakan orang. 

Dan hari ini, saat yang dikehendaki keempat tokoh 

sakti itu tampaknya telah tiba. Karena, Hakim Tanpa 

Wajah yang sudah puluhan tahun menggelantung 

dalam liang lahatnya, tiba-tiba saja membuka kelopak 

matanya yang sempit. Sesaat kemudian, terdengar 

tawa kekeh yang menggema kasar, membuat tanah 

dalam kuburan ganjil itu berguguran. 

“He... he... he!” 

Hakim Tanpa Wajah membuka bibir tipisnya. 

Dan.... 

“Cuah!” 

Hakim Tanpa Wajah menyemburkan ludahnya, 

hingga melesat ke arah tali jerami rapuh yang 

sebenarnya tak akan kuat menahan berat tubuhnya,

seandainya saja lelaki bangkotan itu tak memiliki ilmu 

meringankan tubuh luar biasa. 

Wesss...! 

Tasss...! 

Tali jerami putus menimbulkan bunyi halus. Tak 

berhenti sampai di situ. Ludah Hakim Tanpa Wajah 

terus melesat begitu ludah laki-laki ini meng-

hantamnya ke satu sudut liang. Kekuatan tenaga 

dalam tingkat tinggi yang terkandung dalam air kental 

berwarna keputihan itu ternyata mampu membuat 

lubang kecil sedalam dua depa! 

Mestinya tubuh kering kerontang lelaki bangkotan 

ini segera jatuh. Kenyataannya, justru bertolak 

belakang. Hakim Tanpa Wajah tetap menggelantung 

tegak di atas. Benar-benar mustahil! 

“He... he... he, jenggot sialan! Mengganggu acara-

ku saja,” gerutu Hakim Tanpa Wajah, lebih mirip 

gurauan orang kurang waras. Ditepuk-tepuknya 

jenggot putih panjang merangas yang menjulur ke 

tanah di bawahnya. 

Rupanya, jenggot itu telah kaku seperti akar 

pepohonan. Sehingga, dapat menopang tubuh Hakim 

Tanpa Wajah yang memang seringan kapas. 

Dengan gerakan indah lelaki bangkotan ini 

menurunkan kakinya, lantas berdiri. Sebentar dia 

memandangi langit-langit kuburan ganjil yang 

digunakan untuk bertapa puluhan tahun. Bibirnya 

tersenyum tipis, lalu kedua tangannya menghentak ke 

atas. Dan.... 

Brolll! 

Dari luar, bongkahan koral dan tanah kering 

kontan berhamburan ke segenap penjuru, bagai baru 

dibuncah angin puting beliung. Gundukan makam tua 

bernisan tumpukan tengkorak kepala ini sekarang

berlubang besar. Dan dari situ tubuh lelaki bangkotan 

ini mencelat keluar. 

Seperti tidak pernah peduli pada hawa segar yang 

baru saja memenuhi paru-parunya kembali, Hakim 

Tanpa Wajah kembali terkekeh serak. Wajahnya yang 

pucat dengan juntaian rambut putih yang alot dan 

kotor, membuat bibirnya yang sudah tak kentara 

makin tak jelas saja, meski sedang terkekeh. 

“Apa kalian bertiga kini sanggup menandingiku?” 

gumam laki-laki tua ini berbicara sendiri. 

Tentu saja yang dimaksud Hakim Tanpa Wajah 

adalah Lelaki Berbulu Hitam, Raja Penyamar, dan 

Pendekar Dungu. 

“Hm.... Mungkin hanya tinggal aku saja yang belum 

memiliki murid,” sambung laki-laki ini. 

“Koaaak!” 

Mendadak seekor burung gagak hitam kelam 

hinggap di batang pohon kering besar, tak jauh dari 

tempat berdirinya lelaki bangkotan itu. Kedua 

sayapnya dibentangkan dan dikepak-kepakkannya. 

Paruhnya yang menyeramkan melempar teriakan 

nyaring beberapa kali, seakan hendak menegur 

Hakim Tanpa Wajah. 

Sementara lelaki berbebat kain kafan dari bahu 

hingga ke mata kaki itu menjadi tertarik. Kepalanya 

segera menoleh ke arah gagak. 

“Kau ingin mengatakan berita apa, 'saksi mata'?” 

tegur laki-laki tua itu. Hewan berbulu hitam itu disebut 

'saksi mata' oleh laki-laki tua ini seakan-akan dia 

adalah hakim pengadilan yang sedang berbicara 

dengan seorang saksi dalam sebuah perkara. 

“Kaoook!” sahut burung gagak itu. Kepalanya 

terayun ke depan dan ke belakang.

“Ada wanita hamil? Ah! Kau tak perlu mem-

beritahukan aku tentang itu! Di mana-mana juga ada 

wanita hamil. Apalagi sudah makin banyak pasangan 

yang berhubungan intim seenak perut, seperti monyet 

hutan,” tukas Hakim Tanpa Wajah. 

“Kak-koaaak-kaaak!” 

“O, maksudmu wanita hamil itu telah mati 

seminggu lalu? Ah! Itu juga biasa. Tak aneh bukan?” 

“Kaaak-kaaak!” 

“Apa?!” 

Hakim Tanpa Wajah langsung menjulurkan kepala-

nya ke depan, karena agak tersentak dengan ucapan 

gagak terakhir yang hanya bisa dimengerti olehnya. 

“Kau bilang, jabang bayi dalam kandungannya 

masih tetap hidup?! Nah! Itu baru luar biasa, 'saksi 

mata'! Pintar... pintar!” puji laki-laki tua ini. “Di mana 

mayat wanita hamil itu? Aku harus mengeluarkan si 

Jabang Bayi. Anak itu pasti memiliki kelebihan luar 

biasa. Kebetulan sekali, aku sedang berpikir untuk 

mengangkat murid. He... he... he!” 

“Koaaak!” 

Burung gagak tadi berkoak sekali lagi. Di atas 

dahan tempatnya hinggap, dia melompat berbalik. 

Sebentar kemudian sayapnya dikepakkan kuat-kuat, 

langsung mengangkasa menerabas angin siang yang 

panas. 

Dan seketika itu pula, Hakim Tanpa Wajah segera 

mengikutinya. 

*** 

Hakim Tanpa Wajah berlari cepat dengan cara 

melompat-lompat. Dan akhirnya, laki-laki bangkotan

itu tiba bersama burung gagak di tepi sebuah danau 

alam yang tak begitu luas. Sementara burung gagak 

hitam yang menuntunnya ke tempat itu sudah 

hinggap kembali di pucuk sebongkah batu runcing, 

tak jauh dari Hakim Tanpa Wajah. 

“Mana? Aku tak melihat wanita hamil, seperti yang 

kau katakan?” Hakim Tanpa Wajah memberengut. 

Seketika gagak hitam itu menaikkan sayap tinggi-

tinggi, menanggapi dengan rasa tak suka pada 

ucapan lelaki berusia seratus dua puluhan itu. 

“Kaaak-kaaak-kaaak!” koak burung itu nyaring, 

merambah ke segenap bibir danau berair keruh 

kecoklatan. 

“He... he... he! Kau jangan bergurau padaku, 'saksi 

mata'. Mana mungkin wanita hamil itu berada di 

dasar danau ini. Eh?! Tapi hewan sepertimu memang 

tidak perlu ngibul dan suka berkata apa adanya. 

Tidak seperti manusia yang suka mengobral ucapan 

untuk kepentingan perutnya sendiri....” 

Hakim Tanpa Wajah memandangi permukaan 

danau yang dibelai angin beberapa lama. 

“Baik-baik. Tak ada ruginya jika aku mencoba 

membuktikan beritamu, 'saksi mata'...,” kata Hakim 

Tanpa Wajah, akhirnya. 

Laki-laki tua itu segera akan melaksanakan niat-

nya untuk mencaritahu kebenaran berita dari sang 

Gagak. Diangkatnya tangan pucat berkeriput di depan 

wajah, dengan telapak saling bersilang ke depan. 

Cukup lama Hakim Tanpa Wajah bersikap seperti 

itu, sampai akhirnya air danau bergolak bagai diaduk-

aduk dari dalam oleh sepasang tangan raksasa. 

Rupanya laki-laki tua ini sedang mengerahkan tenaga 

batin berkekuatan dahsyat yang dinamakan ilmu 

'Rahasia Pikiran'. Karena hanya dengan membayangkan benda yang menjadi sasaran, dia dapat 

mengangkat, melempar, atau bahkan meng-

hancurkannya. Begitu juga dengan dasar danau di 

depannya. Dibayangkannya dasar danau itu sedang 

teraduk-aduk kuat luar biasa. Maka, yang terjadi pun 

demikian! 

Sampai suatu saat terdengar gemuruh tertahan 

dari dasar danau, beriring sembulan gelembung-

gelembung udara yang demikian ramai. Sebentar 

kemudian menyusul sesosok tubuh wanita hamil 

muncul ke permukaan. Tampaknya, mayat wanita 

hamil itu terjebak di sebuah rongga batu besar yang 

berisi udara di dasar danau ini. Sehingga air danau 

tidak dapat masuk ke dalam rongga batu. Dengan 

begitu, si Jabang Bayi tetap bisa mengirup udara 

untuk bernapas. Meski, sampai saat ini Hakim Tanpa 

Wajah tak bisa mengerti, bagaimana cara si Jabang 

Bayi bernapas. Yang pasti, suhu rendah yang begitu 

dingin di dasar danau, telah membuat mayat wanita 

hamil tidak cepat membusuk. 

Mudah sekali Hakim Tanpa Wajah meniti per-

mukaan air danau dengan daun-daun kering yang 

diambil dari sebatang pohon. Di atas daun demi daun 

yang dimanfaatkan sebagai pijakan lompatan, lelaki 

bangkotan itu mendekati mayat wanita hamil tadi. 

Dijemputnya tubuh kaku itu. Sebentar kemudian 

dibopong di bahu, lalu dibawanya ke tepian. 

“He... he... he, 'saksi mata'! Kau telah berjasa 

padaku. Aku akan segera punya murid luar biasa! Dia 

akan kudidik menjadi tokoh tak terkalahkan di dunia 

persilatan. He... he... he!” 

Baru saja kata-katanya selesai, Hakim Tanpa 

Wajah melesat pergi. 

“Kau tentu tahu, di mana kau bisa menemuiku,

bukan?” Seru Hakim Tanpa Wajah pada si Burung 

Gagak. 

“Kaaak!” 

***

DUA


“Eiii! Hi... hi... hi!” 

Seorang wanita genit tampak berdiri berhadapan 

berjarak tiga tombak dengan seorang pemuda di 

tengah jalan berbatu di satu lereng bukit, melihat 

kemunculannya tadi wanita bertubuh sintal yang 

tersenyum menggoda ini agaknya memang sengaja 

menghadang. Dengan pakaian ketat berwarna merah 

menyala, leluk-lekuk tubuhnya jadi membayang jelas. 

Wanita berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu 

berambut panjang. Berkerudung kuning tembus 

pandang yang menjulur hingga menutupi wajahnya. 

Meski tertutup kain tertembus pandang, kecantikan-

nya masih tetap bisa ditangkap mata pemuda yang 

dihadang. Sayangnya, rias wajahnya terlalu ber-

lebihan. Sehingga terasa sebal dipandang. Bibirnya 

mekar memerah. Pipinya dipupuri tebal-tebal. Mata-

nya memandang sayu dengan bulu-bulu mata lentik. 

Alis matanya dilukis demikian tebal menantang. 

Sementara pipinya diberi pemerah. 

Pemuda yang dihadang mengangkat alisnya yang 

seperti sayap elang, ketika wanita genit itu mulai 

maju perlahan mendekatinya. Baginya, biasa kalau 

agak terpikat dengan kecantikan wanita di depannya 

kini. Tapi kalau tingkahnya genit dengan penampilan 

seronok, rasanya ketertarikan itu jadi buyar seketika. 

Dia berpikir, hanya wanita-wanita nakal yang ber-

dandan seperti dia. 

“Mau ke mana, Anak Muda Tampan?” tanya 

wanita genit ini mendayu-dayu.

“Ke sana boleh, ke sini juga boleh,” jawab pemuda 

berpakaian hijau-hijau dengan selembar kain 

bercorak catur tersampir di bahunya. Sambil 

menjentik anak rambut yang panjang menghalangi 

pandangan, ditatapnya wanita genit itu acuh tak 

acuh. 

“Kalau begitu, ke sini saja, ya? Ya?! Ya?!” 

Pemuda tampan bertubuh kekar ini menarik 

napas. “Aneh-aneh saja manusia di dunia ini. 

Seenaknya saja memaksa kehendaknya pada orang 

lain. Memang aku ini jongosnya apa?” gerutu pemuda 

ini tak kentara. 

“Ah! Jangan sesinis itu...!” sergah wanita itu seraya 

mencibir. 

Telinga wanita ini ternyata cukup tajam juga. Dia 

bisa menangkap ucapan berbisik pemuda tadi. 

“Kalau nanti kau sudah dekaaat denganku, baru 

tahu rasa kau. Bisa-bisa kau tidak mau jauh-jauh 

dariku. Hi... hi...!” Dijawilnya dada bidang si Pemuda 

dengan jarinya yang lentik. 

“Ih...!” 

Pemuda tampan ini menyurut ke belakang. 

Dadanya kontan menguncup karena geli. 

“Jangan lancang, ya!” bentak pemuda itu agak 

mangkel. 

“Itu tadi bukan lancang, Anak Muda! Hanya 

semacam ketrampilan tangan. Hi.. hi... hi....” 

“Hus!” 

Si Wanita genit cepat-cepat mengatupkan mulut-

nya. Dan secepat itu pula, bibir merahnya dicibir-

cibirkan kian kemari. 

“Kenapa bibirnya? Keseleo? Atau salah urat?” 

gurau pemuda ini asal bunyi. Mungkin karena cetusan 

rasa jengkel.

“Hi... hi... hi.... Bisa sajaaa!” Kembali dijawilnya 

dada bidang pemuda berpakaian hijau ini. 

“Ah, sudah! Aku ingin lewat. Tak ada waktu buat 

melayanimu!” 

“Juwita Permatasari Megapuspita Ranasutra....” 

“Apa itu?” tanya si Pemuda heran. 

“Namaku.” 

“Aku tak tanya namamu!” hardik pemuda ini makin 

dongkol. “Sudah, minggir! Kasih aku jalan!” 

Pemuda itu maju selangkah untuk melanjutkan 

perjalanan. Tapi, segera kembali dihadang oleh 

wanita genit itu. Hampir-hampir saja, wanita ini 

ditabraknya. 

“Aiii, nafsu nih?!” tukas wanita genit yang mengaku 

bernama Juwita Permatasari Megapuspita Ranasutra 

itu. 

“Sialan!” maki pemuda berbaju hijau ini sambil 

membelalakkan mata ke arah perempuan di 

depannya. “Kalau kau sejenis wanita nakal, akan 

salah bila memilihku.” 

“Jadi namamu siapa, anak muda tampan yang 

gagah perkasa?” 

“Sialan!” 

Sekali lagi, pemuda ini memaki. Ucapannya 

barusan seakan hanya kentut bagi perempuan cantik 

itu. 

“Kalau kuberitahu, kau bersedia memberiku 

lewat?” usul pemuda itu kemudian, supaya bisa cepat 

pergi dari sana dan tidak lagi berurusan dengan 

wanita binal semacam ini. 

“Tergantung...,” sahut si Wanita Genit. 

“Tergantung apa?” 

“Tergantung, apakah kau memiliki sesuatu yang 

digantung-gantung. Hi... hi... hi!” celoteh wanita genit

ini makin menjurus. 

Tingkah Juwita bahkan kian nakal saja. Malah 

bahu kekar pemuda itu mulai digelayuti dengan 

kedua tangan. Sesekali matanya mengerling dan 

mengumbar senyum tipis penuh arti. 

“O, ya. Jadi siapa namamu, Pemuda Ganteng?” 

“Aku..., ah! Apa perlu kuberitahu namaku?!” 

“Perlu!” selak Juwita berbareng gerakan tangan 

jahil ke arah tubuh bagian bawah pemuda di sisinya. 

Tentu saja calon korban tangan usil itu terkesiap. 

“Baik..., baik! Namaku Andika!” ujar pemuda yang 

tak lain pendekar muda kesohor dari Lembah 

Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor. 

“Amit-amit kalau tangan wanita ini sempat 

'Bertemu' di tempat rahasiaku!” rutuk Andika tak 

kentara. “Dasar wanita nakal! Biar cantik bisa-bisa 

malah bawa penyakit!” 

“Apa katamu!” sentak Juwita dengan mata ter-

belalak besar-besar. Jelas, dia tersinggung dengan 

gerutuan Andika. 

Andika alias Pendekar Slebor meringis ngeri-ngeri. 

Tapi dia cukup jujur untuk mengulang kembali 

gerutuannya tadi. 

“Aku bilang, secantik-cantik wanita nakal, bisa saja 

bawa penyakit....” 

“Kau harus membayar penghinaanmu itu!” teriak 

wanita genit ini persis di telinga Andika. 

Satu tangan Juwita terangkat tinggi-tinggi, siap 

menampar wajah pemuda yang menghinanya. 

“Jangan terlalu perasa! Aku kan, tidak bilang kalau 

kau membawa penyakit. Aku hanya bilang....” 

Andika berusaha berdalih. Tapi sebelum sempat 

ucapannya diselesaikan, tangan wanita itu sudah 

melayang deras.

Bet! 

Angin keras segera saja terdengar, pertanda kalau 

tamparan tangan Juwita membawa satu tenaga 

dalam tingkat tinggi. Dan ini sama sekali luput dari 

dugaan Pendekar Slebor sebelumnya. Beruntung 

kesiagaannya tidak ikut terdesak oleh rasa kagum 

pada kecantikan wanita yang kini menjadi lawannya. 

Tanpa mau mengambil bahaya sedikit pun, Andika 

melempar tubuhnya jauh-jauh ke belakang. Namun 

begitu, masih juga dirasakannya rasa pedih berdenyar 

pada bagian tubuh yang sempat tersambar angin 

pukulan lawan. 

“Apa kau sudah sinting, Perempuan Cantik?! 

Kenapa kau tiba-tiba hendak membunuhku?!” sentak 

Pendekar Slebor, begitu bangkit berdiri dengan satu 

lompatan indah. 

Wanita cantik itu tertawa renyah menanggapi 

kebingungan Andika. 

“Jangan heran, Anak Muda. Sebenarnya aku hanya 

ingin mengenal Pendekar Slebor. Aku ingin tahu, 

apakah nama besarmu benar-benar bukan sekadar 

bungkus bubur nasi!” 

“Jadi, sebenarnya kau telah tahu tentang diriku?” 

tanya Pendekar Slebor. 

“Hi... hi... hi. Siapa yang tak kenal ciri-ciri pemuda 

sakti kesohor seperti kau, Pendekar Slebor! Pemuda 

tampan yang selalu berpakaian hijau-hijau dengan 

kain bercorak catur tersampir di bahu. Dan, satu lagi 

yang tidak mungkin kau lepaskan dari tubuhmu.... 

Tanda bintang berwarna hijau kebiru-biruan yang kau 

bawa dari lahir di tangan kananmu!” urai Juwita. 

Andika jadi tak habis pikir pada wanita yang kini 

dihadapinya. Jarang sekali orang persilatan yang tahu 

tanda lahir di tangan kanannya, karena selalu tertutup lengan baju. Pendekar Slebor sendiri sudah 

tidak begitu memperhatikan hal kecil ini. Dan 

sekarang, tiba-tiba saja ada orang asing yang baru 

saja bertemu, tapi sudah tahu hal kecil tentang 

dirinya. 

“Tampaknya aku sedang berhadapan dengan 

orang yang tak bisa dibuat main-main,” gumam 

Pendekar Slebor. 

Entah bagaimana Andika jadi menduga kalau 

wanita ini adalah tokoh jajaran atas yang lebih dulu 

malang melintang dalam dunia persilatan ketimbang 

dirinya. Memang menurut cerita dari mulut rakyat, 

Andika mendapat kabar kalau setiap pewaris 

kesaktian Pendekar Lembah Kutukan yang juga 

buyutnya, pasti memiliki tanda seperti terdapat di 

tangan kanannya. Namun sejauh itu, orang-orang 

hanya tahu tentang tanda khusus yang menjadi ciri 

khas pewaris pendekar panutan itu. 

Sedangkan bentuk dan letaknya tak pernah ada 

yang tahu. Jika ada seorang yang tahu tentang bentuk 

dan letak tanda lahir itu, bisa jadi dia adalah tokoh 

tua yang cukup akrab dengan Pendekar Lembah 

Kutukan itu sendiri. 

“Tapi, apa mungkin dia salah seorang sahabat 

buyutku, Pendekar Lembah Kutukan? Bukankah 

buyutku itu hidup lebih dari seratus tahun lalu? 

Sementara wanita ini mungkin baru berusia antara 

dua puluh tujuh sampai dua puluh sembilan tahun,” 

bisik Andika, mulai ragu dengan dugaannya. 

“Kenapa kau bengong seperti kambing masuk 

angin?” sentak Juwita membuyarkan dugaan-dugaan 

Andika. 

“Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?” tanya 

Andika, hati-hati.

Bukan apa-apa. Pendekar Slebor hanya tak mau 

berbuat kurang ajar jika wanita itu benar-benar 

sahabat buyutnya. Siapa tahu, dia memiliki ilmu awet 

muda! 

Wanita cantik ini menggoyang-goyangkan kepala 

ke kiri dan kanan. Dan kerudungnya yang tembus 

pandang itu ikut bergerak lemah gemulai. 

“O, o! Belum waktunya kau mengenalku, Anak 

Muda Menggemaskan!” tandas Juwita seraya me-

mainkan jari telunjuk di depan kepala. “Suatu saat, 

kau akan tahu siapa aku. Sekarang ini, kau cukup 

kubiarkan dongkol dan penasaran saja. Hi... hi... hi!” 

Selesai berkata demikian perempuan mempesona 

itu berpindah tempat, tanpa menggerakkan badan 

sedikit pun. Dari satu jarak, ke jarak lain. Sehingga, 

akhirnya dia menghilang tanpa jejak. Sungguh satu 

unjuk kebolehan ilmu meringankan tubuh yang 

mungkin hanya dimiliki oleh dua atau tiga orang di 

dunia persilatan. Bahkan Andika sendiri pun tak 

sanggup melakukannya. 

Tanpa sadar, mulut Andika berdecak. Sementara 

itu matanya terbuka lebar tanpa berkedip. Dan ada 

satu lagi, hidungnya mencium aroma bunga sedap 

malam, sepeninggalan wanita genit tadi. 

*** 

Hakim Tanpa Wajah membawa mayat wanita hamil 

yang ditemukannya di danau, ke sebuah rawa penuh 

buaya buas. Dia menyelam tanpa kesulitan ke dasar 

rawa berlumpur seperti seekor katak besar. Anehnya, 

tak ada seekor buaya pun yang berani mengusik. 

Kehadirannya bagi binatang peninggalan zaman 

purba itu, seperti raja diraja yang ditakuti. Binatang

binatang berdarah dingin itu langsung saja menyingkir 

ketakutan, manakala Hakim Tanpa Wajah lewat. 

Setelah menyelami sekian depa kedalaman rawa, 

Hakim Tanpa Wajah tiba di sebuah lubang besar 

menganga. Dimasukinya lubang di dasar rawa itu. 

Lorong panjang berliku-liku dalam lubang bukan 

sesuatu yang sulit buatnya, tanpa perlu mengambil 

napas. 

Beberapa lama kemudian, laki-laki tua ini muncul 

di sebuah kubangan air dalam sebuah ruang besar di 

perut bumi, yang memiliki beberapa lorong lain. 

Tempat itulah yang beberapa puluh tahun lalu, 

dijadikan sebagai penjara, pengadilan, sekaligus 

tempat bagi orang-orang persilatan yang diculiknya 

menjalani hukuman. Dan tempat itu dinamakan: 

Pengadilan Perut Bumi. 

“Kita sudah tiba, Bocah Bagus!” kata Hakim Tanpa 

Wajah pada si Jabang Bayi dalam perut mayat wanita 

hamil yang dipondongnya. “Sebentar lagi kau akan 

kukeluarkan dari perut ibumu. He... he... he!” 

Hakim Tanpa Wajah memasuki sebuah lorong yang 

di dalamnya hanya diterangi obor-obor dari gas alami. 

Diletakkan mayat yang dibawanya di lantai sebuah 

ruangan yang tak begitu luas sebesar gubuk. 

Telinganya lantas didekatkan ke perut besar mayat 

wanita itu, seakan ingin meyakinkan kalau si Jabang 

Bayi masih hidup. 

“He... he... he. Kau benar-benar bocah kuat!” puji 

Hakim Tanpa Wajah seraya menepuk-nepuk 

kandungan. “Bagaimana cara mengeluarkan kau, ya? 

Aku jadi bingung juga. Kau tahu sendiri bukan, kalau 

aku bukan dukun beranak. He... he... he!” 

Layaknya orang kebingungan, Hakim Tanpa Wajah 

mondar-mandir di dekat mayat wanita hamil ini.

Namun jalannya sungguh aneh. Dia seperti me-

lompat-lompat! 

Kini dia berpikir untuk menemukan cara, bagai-

mana mengusahakan si Jabang Bayi hadir di alam 

yang baru, tanpa harus mencelakakannya. Tentu saja 

Hakim Tanpa Wajah tak ingin si Jabang Bayi men-

dapat celaka. Hasratnya untuk menjadikan si Jabang 

Bayi menjadi muridnya, telah membuatnya bertindak 

hati-hati. 

Kebingungan laki-laki tua ini terjegal mendadak, 

saat matanya menangkap satu gerakan ganjil dalam 

perut mayat wanita itu. 

“Ei, apa itu?” tanya Hakim Tanpa Wajah ingin tahu. 

Didekatinya perut buncit mayat wanita ini. 

“We... we... we. Rupanya kau sudah tak sabar lagi, 

Bocah Bagus!” kata Hakim Tanpa Wajah sewaktu 

melihat kandungan tersentak-sentak dari dalam. 

“Kau tentunya sudah penat di dalam sana. Tapi, 

tampaknya kau ingin keluar sendiri tanpa ingin 

dibantu.... Weee, begini saja. Biar kau kuberi sedikit 

pertolongan.” 

Dengan kuku runcing jari telunjuknya, Hakim 

Tanpa Wajah menusuk hati-hati perut besar mayat si 

Wanita. Maka lubang sebesar jari pun tercipta, tanpa 

mengeluarkan darah. Tak ada lima kerdipan mata, 

lubang kecil itu mulai melebar, merobek kulit perut 

wanita si Wanita. 

Penyebab robekan yang kian besar itu tentu saja 

geliatan liar si Jabang Bayi di dalamnya. Kemudian 

disusul menyembulnya sepotong kaki mungil, namun 

kokoh. Dan sebelah kaki yang lain, membuat kulit 

perut ibu sang Bayi jadi terkuak makin lebar. Maka 

sebagian jaringan rahim yang sudah agak liat pun 

terlihat. Ketika lubang di perut sang Ibu makin

melebar, tampaklah seorang bayi. Mungil, sehat, dan 

masih merah seperti layaknya bayi lain. Namun ada 

yang berbeda dengan bayi satu ini. Gusinya telah 

ditumbuhi dua gigi runcing, berbentuk taring yang 

menyembul di sudut-sudut bibirnya! 

***

TIGA


Puluhan tahun yang lalu, ada seorang pemuda 

digdaya yang selalu muncul bersama monyet 

kecilnya. Bentuk tubuhnya gagah. Wajahnya tampan, 

hingga mampu menggoyahkan hati setiap wanita 

yang melihatnya. Meski tindak-tanduknya lebih tepat 

disebut tingkah orang tak punya otak, toh, tetap saja 

puluhan wanita kalangan dunia persilatan mengejar-

ngejarnya. 

Otak pemuda itu memang bebal seperti kerbau. 

Cara berpikirnya memang tak lebih daripada bocah 

ingusan berumur enam tahun. Tapi untuk urusan 

kedigdayaan, jangan coba-coba menjajalnya. Begitu-

lah pendapat umum dunia persilatan kala itu, 

mengenai dirinya. 

Sementara monyet kecilnya yang seringkali justru 

lebih cerdik dari pemuda itu sendiri. Baginya, 

binatang peliharaannya itu adalah sahabat, sekaligus 

teman mengambil keputusan. Bila ada orang-orang 

yang berurusan dengannya, maka hewan yang 

memiliki naluri kuat itu akan memberinya per-

timbangan. Apakah orang itu akan dibunuh, atau 

dibiarkan hidup. Sesakti apa pun seseorang, jika si 

Kera Kecil itu sudah berjingkat-jingkat liar seraya 

menampakkan wajah beringas, maka akan digasak 

habis oleh pemuda tampan ini. Sejauh itu, tak ada 

seorang pun yang bisa lepas dari tangan mautnya, 

kalau sudah mendapat isyarat dari hewan peliharaan-

nya. Hampir semua yang dihabisinya adalah orang-

orang dari golongan hitam. Karena itu, dia amat

dimusuhi habis-habisan oleh datuk-datuk sesat di 

empat penjuru angin. Apalagi, kera kecilnya yang 

selalu saja bisa mencium sifat-sifat busuk seseorang. 

“Sebaliknya, jika si Kera Kecil itu mulai melompat 

berputaran sambil bertepuk tangan, maka orang itu 

akan dibiarkannya hidup. Meskipun, orang tersebut 

sudah nyaris melemparnya ke liang kubur sekali pun. 

Kini, setelah sekitar delapan puluh tahun berlalu, 

pendekar itu tidak lagi gagah. Wajahnya pun sudah 

diramaikan kerutan di sana-sini. Tubuhnya yang dulu 

kekar berisi, kini hanya seonggok tulang berbalut kulit 

keriput. Kalaupun ada yang tidak berubah, hanya 

pakaiannya yang berwarna-warni, penuh tambalan di 

sana-sini. Meski tubuhnya sudah melengkung seperti 

tongkat, dia masih bisa berjalan cukup gagah tanpa 

perlu penyangga. Matanya kelabu, tapi tetap berbinar 

riang. Rambutnya memutih rata dan ditutupi 

selembar topi pandan. Tanpa jenggot dan kumis, dia 

seperti lebih muda daripada usia sebenarnya. Kalau 

laki-laki itu cengengesan sendiri sesekali, maka 

tampaklah gusi yang hanya memiliki tiga batang gigi 

kuning langsat. Ketuaan usianya mungkin hanya bisa 

ditaksir dari panjang alis mata berwarna putih, yang 

menjuntai menutupi kelompak matanya yang sayu. 

Tokoh inilah yang dulu kesohor dengan julukan 

Pendekar Dungu! Tua bangka itu kini tengah berjalan 

melenggang di sebuah pematang sawah. Sayang, 

monyet kecil sahabat setianya tak seberuntung 

dirinya diberi usia panjang. Binatang itu telah mati 

sekitar enam puluh tahun lalu. Kini, tidak ada lagi 

yang bisa memberi pertimbangan padanya untuk ber-

tindak pada orang-orang yang berurusan dengannya. 

Bahkan dia tidak bisa lagi membedakan, mana orang-

orang dari golongan lurus dan mana yang dari

golongan sesat. 

“Hoiii, Dungu!” 

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang, saat 

Pendekar Dungu sampai di ujung pematang. Langkah 

kakinya seketika tertahan, tapi tak segera menoleh 

ke asal suara. Sesaat laki-laki tua itu hanya terpaku 

dengan mata berkedip-kedip lambat. Selanjutnya 

kakinya digerakkan kembali untuk meneruskan 

perjalanan. Barangkali hatinya sudah tidak yakin, 

apakah ada orang memanggilnya atau tidak. Atau, 

barangkali dia sendiri sudah lupa dengan julukannya 

sendiri. 

“Oooi, Bodoh! Lagakmu masih tetap menjengkel-

kan seperti dulu!” 

Terdengar teriakan kembali. Kali ini terdengar agak 

kalap. 

Jauh di belakang Pendekar Dungu, tampak se-

seorang berlari ringan mengejarnya. Cara larinya 

bagai kesetanan. Blingsatan dengan langkah-langkah 

ngawur seperti anak kecil baru bisa berlari. 

Penampilannya membuat siapa pun merinding. 

Seluruh badannya yang besar kelebihan lemak, 

ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Bahkan sampai ke 

wajahnya. Kalau dilihat sekilas, laki-laki yang baru 

datang ini mirip seekor kera. Namun begitu, wajahnya 

tidak seburuk itu. Untuk orang kebanyakan, dia masih 

termasuk tampan. Sayang, pipinya agak tebal oleh 

lemak. Bulu-bulu hitam lebat di badannya, mem-

buatnya tak membutuhkan baju untuk melindungi diri 

dari sengatan sinar matahari. Hanya bagian 

bawahnya saja yang ditutupi celana panjang hitam. 

Tokoh ini salah satu yang tak tertandingi pada 

puluhan tahun yang lalu. Julukannya, Lelaki Berbulu 

Hitam. Tak seperti Pendekar Dungu, lelaki itu tak

nampak dimakan usia. Walau berusia seratus tahun 

lebih, namun tak membuatnya menjadi renta. 

Padahal dia sama sekali tidak memiliki ilmu awet 

muda. Bisa saja dia tetap muda seperti berusia 

empat puluhan, karena konon dalam tubuhnya 

mengalir darah keturunan serigala. Dan lelaki berbulu 

itu memang lahir dengan cara di luar kebiasaan alam, 

yakni dari perut seekor serigala betina jejadian. 

Mulanya, wanita itu adalah penuntut ilmu hitam 

serigala siluman. Habisnya batas waktu ilmu hitam 

itu, menyebabkan si Wanita berubah wujud menjadi 

serigala. 

Pada masa jayanya, Lelaki Berbulu Hitam dikenal 

sangat beringas. Wajar saja, darahnya memang 

panas layaknya serigala. Dalam membunuh, dia tak 

pernah mengenal batas-batas kekejian. Merencah-

rencah lawan baginya merupakan hal biasa. 

Namun begitu, sesungguhnya Lelaki Berbulu Hitam 

tetap memiliki hati nurani. Kerap kali dalam dirinya 

terasa ada hembusan kuat, yang mencoba menyadar-

kannya dari kebuasan seekor binatang. Saat seperti 

itulah, akan terjadi pertarungan batin antara dua 

kehendak yang saling bertentangan. Yang satu ingin 

memperturutkan naluri kebuasan, sedang yang lain 

ingin mengikuti hati nurani. 

Pernah, Lelaki Berbulu Hitam berurusan dengan 

Pendekar Dungu. Penyebabnya, hanya karena Lelaki 

Berbulu Hitam merasa iri terhadap Pendekar Dungu 

yang memiliki seekor kera berkemampuan 

mengagumkan. Menurut Lelaki Berbulu Hitam, 

dengan bantuan kera kecil cerdik itu, tentu dirinya 

bisa mulai menghilangkan sikap buas pada setiap 

orang. 

Tentu saja Pendekar Dungu tidak ingin binatang

kesayangannya direnggut Lelaki Berbulu Hitam. 

Karena, dia pun amat memerlukan kecerdikan 

binatang kecil itu. Maka pertentangan itu pun 

menyulut pertarungan seru dan habis-habisan. 

Setelah pertarungan dahsyat habis-habisan itu, 

mereka tidak pernah lagi muncul di dunia persilatan. 

Keduanya seperti disadarkan oleh sebuah kekuatan 

suci, bahwa mereka tidak bisa bergantung dengan 

seekor hewan kecil. Mereka harus bisa mengatasi 

masalah sendiri. Untuk itulah, mereka lalu meng-

asingkan diri, meminta petunjuk sang Penguasa 

Jagad agar bisa mengenyahkan kekurangan diri 

masing-masing. 

*** 

Lelaki Berbulu Hitam telah sampai di dekat 

Pendekar Dungu. 

“Kenapa kau dungu sekali, Dungu?!” tegur Lelaki 

Berbulu Hitam dengan wajah memerah kesal. 

“Kau bilang aku dungu?” tanya Pendekar Dungu, 

ketolol-tololan. 

“Ya!” 

“Kenapa kau katakan begitu?” 

“Karena kau dungu, Dungu!” 

Pendekar Dungu mengangguk-angguk dengan alis 

mata berkerut. 

“Ya, ya.... Aku memang dungu. Betapa dungunya 

aku...,” gumam Pendekar Dungu. 

“Ah, sudah! Kalau terus meributkan kedunguan-

mu, kita tak akan selesai-selesai sampai seratus 

abad lagi! Jadi, ke mana saja kau selama ini?” tanya 

Lelaki Berbulu Hitam, seperti seorang sahabat yang 

lama tak bersua.

“Aku? Kalau tidak salah, aku menyembunyikan diri 

di Gunung Gangginggung. Aku bertapa di sana.... Itu 

kalau tidak salah.” 

“Kalau tidak salah? Kau masih saja dungu seperti 

dulu.” 

“Ya, dasar dungu....” 

“Sama seperti kau, aku juga mengucilkan diri. Dan 

aku juga bertapa untuk memohon wangsit dari Yang 

Kuasa.” 

Pendekar Dungu mengupil hidung. 

“Kalau tak salah, aku tidak bertanya soal itu,” 

gumam Pendekar Dungu santai. 

“Kau menjengkelkan, Dungu! Hih!” 

Lelaki Berbulu Hitam melayangkan cakar panjang-

nya yang berwarna hitam ke perut Pendekar Dungu. 

Suara mendesau tajam terdengar menggiriskan saat 

tangan itu menyambar. Dan udara pun terasa seperti 

bergetar tersambar kuku-kukunya. 

Bet! 

Sementara itu, jari tangan kanan Pendekar Dungu 

segera menjentik kotoran hidungnya yang menempel 

ke arah sambaran Lelaki Berbulu Hitam. Maka desir 

angin yang tak kalah santer pun terdengar. Tahi 

hidung itu terus melesat, lalu menghantam kuku 

kelingking Lelaki Berbulu Hitam. 

Tak! 

Seperti sebuah bangunan beton amat tebal, secuil 

tahi hidung milik lelaki tua berotak bebal itu sanggup 

menahan laju sambaran cakar Lelaki Berbulu Hitam. 

Lelaki Berbulu Hitam jadi mendengus gusar. “Kau 

hendak menghinaku, Dungu?!” bentak laki-laki seram 

ini setengah bertanya. 

Rupanya Lelaki Berbulu Hitam tak mau kalah 

unjuk kebolehan. Satu gerakan tangan dibuat. Maka

seketika beberapa lembar bulu hitam di punggung 

jarinya terlepas, lalu melesat deras ke sepasang mata 

Pendekar Dungu. Wesss! 

Sementara itu Pendekar Dungu mendadak 

menguap lebar-lebar. Setelah itu napasnya dihempas-

kan. 

“Hoaaah... huuuhhh!” 

Semua itu dilakukan seperti di luar kesadaran. 

Namun hasil yang terjadi sungguh luar biasa! 

Lembaran-lembaran bulu berkekuatan hebat itu 

langsung terhambat di udara. Dan begitu hembusan 

napasnya, terpenggal, bulu-bulu maut itu pun meng-

gelepar turun di udara kehilangan seluruh kekuatan 

seperti lembaran kapas. Namun beberapa lembar di 

antaranya sempat tersangkut di lubang hidung 

Pendekar Dungu. Dan sebentar kemudian.... 

“Aaa... aaa... haaachiiihhh!” 

Orang tua berpakaian tambalan ini mendadak 

membersin keras. Lendir kental dari hidungnya 

langsung terlontar menuju Lelaki Berbulu Hitam 

dengan kecepatan angin topan. Sewaktu bergesekan 

dengan udara, lendir menjijikkan itu mengepulkan 

asap tipis. Mungkin lubang hidung yang tak pernah 

dibersihkan selama puluhan tahun itu, telah 

menyebabkannya beracun. 

Mata Lelaki Berbulu Hitam kontan mendelik. 

Secepat dadanya disingkirkan ke samping. Maka 

lendir si Pendekar Dungu pun meluncur ke sasaran 

lain, seekor ular sawah besar yang naas. Batok 

kepala binatang melata itu terhajar lendir tadi. Maka 

sekejap saja kepala ular itu berhamburan. Sedangkan 

bekas hantaman lendir mengeluarkan asap tipis, 

mengambang lamban di antara puncuk padi yang 

masih berwarna hijau.

“Ngomong-ngomong, apa yang kau dapat waktu 

bertapa?” Pendekar Dungu melontarkan pertanyaan 

sambil menghindari tendangan kasar musuh laman-

ya. 

“Kalau tidak salah..., sial! Kenapa aku jadi 

melatahimu! Maksudku, aku mendapat wangsit. 

Masalah kita bisa diatasi dengan bantuan 

seseorang.... Hiaaat!” jawab Lelaki Berbulu Hitam, 

masih terus menggempur liar. 

“Lho? Kenapa bisa sama, ya?! Haih!” 

“Jadi, kau mendapat wangsit seperti itu juga?!” 

“Ya, ya! Kalau tidak salah..., hiaaah!” 

Kedua tokoh itu bertukar jurus kian panas. 

Gerakan mereka membongkar habis pematang 

sawah di bawah. Angin pukulan dan tendangan satu 

sama lain menyapu bulir-bulir padi hijau hingga 

berterbangan ke segenap penjuru. 

“Lalu, apa kau mendapatkan ciri-ciri orang yang 

bakal bisa membantu kita untuk mengenyahkan 

kekurangan diri kita?” tanya Lelaki Berbulu Hitam 

yang dibarengi susulan terjangan. 

“Kau sendiri?! Hey, jangan menyerang jidatku! 

Otakku bisa jadi tambah bebal!” hardik Pendekar 

Dungu kalap. 

“Ada bintang....” 

“Di langit?!” selak Pendekar Dungu. 

“Dungu! Heaaa!” 

“Memang! Aiiit!” 

“Maksudku, orang itu memiliki tanda bintang di 

tangan kanannya!” teriak Lelaki Berbulu Hitam, 

sampai urat-urat di tenggorokannya membengkak. 

“Lho? Kenapa bisa sama lagi dengan wangsitku, 

ya?!” 

Srat! Prat!

Pada saat yang bersamaan, telapak tangan 

Pendekar Dungu menyerempet bulu dada laki-laki 

berpakaian tambalan. Sebaliknya cakar Lelaki 

Berbulu Hitam menyambar pakaian di bagian dada si 

Tua Bangkotan. Sejengkal bulu dada lelaki keturunan 

serigala itu tercukur gundul. Sementara, pakaian 

Pendekar Dungu koyak lebar. 

“Kau merusak bajuku!” maki Pendekar Dungu 

kalap. 

“Hanya baju dekil dan bau! Tapi, kau malah 

merontoki bulu dadaku! Kau merusak penampilan-

ku!” sentak Lelaki Bertubuh Hitam tak kalah kalap. 

“Bulu-bulumu mestinya memang harus dirontok-

kan semua! Aku geli melihatnya! Memandang 

bulumu, seperti melihat setumpuk lalat jamban!” ejek 

Pendekar Dungu sambil memajukan wajah keriput-

nya, menantang Lelaki Berbulu Lebat. 

Lelaki Berbulu Lebat jadi latah. Kepalanya ikut-

ikutan dijulurkan. Kini keduanya saling berhadap-

hadapan wajah. Jidat keduanya bertemu, seperti 

sepasang domba tua sedang bersabung. 

“Kau yang mestinya menanggalkan pakaian 

rombengmu itu! Pakaianmu hanya membawa 

penyakit kudis saja!” balas Lelaki Berbulu Hitam. 

“Ngomong-ngomong, apa kau berniat mencari 

orang bertanda bintang itu?” tanya Pendekar Dungu 

sungguh-sungguh, seperti tak pernah terjadi apa-apa 

pada dirinya. 

“Aku pikir begitu.” 

“Kalau kupikir..., ng.... Apa iya aku bisa berpikir?” 

gumam Pendekar Dungu menyebalkan. 

“Jadi kau akan mencari dia juga, apa tidak?!” 

bentak Lelaki Berbulu Lebat ngotot sekali. 

“Hayo! Hayo!”

Keduanya seketika menyudahi pertarungan. Dan 

seperti tak pernah terjadi apa-apa, mereka berjalan 

bersisian ke arah timur. Matahari saat ini meng-

gelantung dengan warna Jingga di belakang. Cara 

jalan mereka seperti dua orang sahabat kental. Tak 

beberapa jauh berjalan, mulut Pendekar Dungu mulai 

berkicau lagi. 

“Kau punya murid? Muridmu apa sejelek kau 

juga?” 

Tak lama kemudian kembali keduanya bertengkar. 

Suara teriakan kasar seketika terdengar ke mana-

mana. 

***

EMPAT


Apa yang dinamakan Pengadilan Perut Bumi tetap 

tersembunyi dari segenap mata penghuni rimba 

persilatan. Di sana, lelaki bangkotan berkain kafan 

yang berjuluk Hakim Tanpa Wajah sedang mem-

persiapkan sesuatu yang akan menggemparkan. 

Selalu kegemparan yang bakal dimunculkan kembali, 

setelah terkubur delapan puluh tahun lebih. Ya! Dia 

akan mempersiapkan satu pengadilan raya dunia 

persilatan. Siap mendakwa, lalu menjatuhi hukuman 

bagi tokoh-tokohnya. Tak seperti dulu, kemunculan 

pengadilan miliknya kali ini akan lebih menggetarkan 

nyali. Karena lelaki tua yang merasa dirinya sebagai 

hakim sejagad, bakal didukung murid tunggal yang 

baru sekali ini dimiliki. 

Siapakah murid tunggalnya? 

Dialah bayi ajaib yang ditemukan Hakim Tanpa 

Wajah dari dalam kandungan mayat seorang wanita 

tak dikenal. Setelah keluar dari perut ibunya, 

keajaiban makin menjadi-jadi. Tubuhnya berkembang 

pesat, tak seperti bayi biasa. Paling tidak, bayi lain 

membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa berjalan. 

Namun si Bayi Ajaib itu hanya perlu waktu satu 

minggu! Tangan dan kakinya yang semula merah 

mungil, cepat menjadi kekar. Yang lebih gila lagi, 

dalam waktu seminggu remasan jarinya sudah 

mampu menghancurkan batang pohon. Tak ada susu 

buat pertumbuhannya, yang jadi makanannya hanya 

akar-akar pohon bakau yang tumbuh di rawa, di atas 

Pengadilan Perut Bumi.

Hari terus berjalan, sesuai kodratnya. Dua bulan 

telah berjalan. Sementara pertumbuhan si Bayi Ajaib 

kian tidak terkendali. Dalam usia sedini itu dia sudah 

bisa berlari dan melompat kian kemari, menabraki 

dinding batu di dalam ruang Pangadilan Perut Bumi 

hingga berguguran. Tubuhnya mulai disarati otot-otot 

kenyal. Tulangnya makin kokoh. Sedangkan tingginya 

sudah seperti anak umur sembilan tahun. 

Di samping semua itu, wajah si Bayi Ajaib lebih 

menampakkan keganasan. Mulutnya yang bertaring, 

seringkali menyeringai layaknya hewan buas. 

Sepasang matanya seperti milik macan hutan. Bola 

mata hitamnya tegak lurus, berbentuk pipih. Tidak 

seperti manusia umumnya, rambutnya berwarna 

merah menyala seolah-olah dibuat dari bahan batuan 

neraka. Hakim Tanpa Wajah menamakan bocah itu, 

Manusia Dari Pusat Bumi. Karena, lahirnya jauh di 

dasar bumi. 

Lalu bagaimana si Bayi Ajaib bisa terkandung 

dalam perut mayat wanita tak dikenal itu? 

Kisahnya dimulai dari sebuah tempat, dalam 

kelebatan hutan bernama Rimba Selaksa Mambang. 

Seorang gadis yang belum pernah sekali pun 

tersentuh lelaki, telah tersesat di sana. Mulanya dia 

dikejar-kejar segerombolan bajingan yang bernafsu 

melampiaskan hawa nafsu kelelakian di tepi hutan. 

Waktu itu gadis ini hendak melewati tepi hutan untuk 

membuat jalan pintas menuju sebuah kampung 

terpencil. Dia memang hendak membeli obat untuk 

bapaknya yang hampir sekarat, sehingga harus 

mengambil jalan pintas. 

Melihat gadis ayu dan molek berjalan sendiri di 

tepi hutan, gerombolan bajingan jadi tergiur. Mereka 

berusaha menghadang. Seketika gadis yang tahu ada

segerombolan orang hendak berniat jahat padanya, 

langsung saja melarikan diri ke dalam hutan. Tanpa 

disadarinya, wilayah hutan paling angker di kawasan 

barat itu telah dimasuki. Selama ini, tidak ada 

seorang pun berani menjejakkan kaki di sana. Begitu 

juga gerombolan bajingan yang mengejarnya. 

Ketika makin dalam memasuki hutan, gadis itu 

mulai sadar kalau telah memasuki hutan angker. 

Buktinya, gerombolan yang mengejarnya sudah tidak 

terlihat lagi. Namun kesadarannya sudah terlambat, 

karena dirinya sudah telanjur terjebak dalam pusat 

Hutan Rimba Selaksa Mambang. 

Pepohonan raksasa bersisian satu sama lain 

dalam baris yang tak teratur. Ototnya merangas, 

menggantung bagai ribuan tangan makhluk dasar 

neraka sedang menggapai-gapai. Dedaunan yang 

lebat tak membiarkan cahaya matahari sempat 

menerobos. Bagi gadis ini, pepohonan itu seperti 

berpuluh-puluh mata-mata dari alam gaib yang 

sedang mengawasinya. Lalu, dia pun menjadi 

ketakutan. 

Gadis itu berlarian kembali dengan perasaan 

tercekam. Namun, iniiah justru yang menjadi 

kesalahan terbesar dalam hidupnya. Karena ternyata, 

dia makin masuk ke tengah-tengah Rimba Selaksa 

Mambang, di mana berdiri istana para mambang, 

siluman-siluman penghuni hutan! 

Malam pun menjelang. Rimba Selaksa Mambang 

makin disergap kegelapan. Sementara, si Gadis 

makin dililit perasaan takut luar biasa. Sampai suatu 

ketika, muncul sosok-sosok menyeramkan secara 

tiba-tiba dari sebuah pohon raksasa sebesar rumah! 

Ada sekitar dua puluh sosok bertubuh besar 

menampakkan diri secara samar-samar. Rata-rata

tinggi mereka sekitar tiga kali manusia dengan wujud 

yang begitu mengerikan. Ada yang bertaring 

sepanjang lengan manusia. Ada yang bermata bulat 

amat besar, seakan hendak keluar. Bahkan ada yang 

berkepala besar dengan tanduk menjulang, malah 

sebagian lain memiliki perut buncit. 

Mendapat semua itu, kontan saja si Gadis menjerit 

sejadi-jadinya. Benteng kekuatan jiwanya hancur 

seketika. Dan saat itu juga dia tak sadarkan diri. 

“Apakah purnama telah benar-benar berada tepat 

di atas kepala kita?” tanya seorang siluman dengan 

bahasa mereka sendiri. 

“Tinggal beberapa saat lagi,” sahut yang lain. 

“Kebetulan sekali ada seorang gadis manusia yang 

datang ke tempat kita. Tanpa harus pergi keluar 

wilayah, kita bisa mendapatkan gadis yang dibutuh-

kan. Tak seperti sejuta purnama yang lalu.” 

“Kak..., kak..., kak! Purnama kesejuta kali ini 

rupanya kita benar-benar beruntung!” timpal siluman 

berkepala gundul dan berpusar panjang. 

“Nang..., ning..., ning.... Nang-gung...!” Siluman 

berperut buncit menari-nari girang. Perutnya yang 

menggelantung hampir menyentuh tanah, terayun-

ayun ke sana kemari. “Tanpa susah-susah, kita akan 

mendapat hadiah dari Sri Ratu. Kak..., kak..., kak!” 

*** 

Purnama akhirnya tiba juga di pucuk angkasa. 

Para siluman tadi mulai melaksanakan tugas yang 

diemban. Mereka harus menanam benih keturunan 

bangsa siluman, ke dalam perut seorang gadis yang 

masih tetap pingsan itu. 

Upacara gaib segera dilaksanakan, yang sulit

dipahami pikiran manusia. Mula-mula kedua puluh 

siluman itu melingkari tubuh gadis ini yang meng-

geletak. Perlahan-lahan mereka mulai bergerak 

mengitarinya. Kian lama, putaran itu bertambah cepat 

menggila. Sampai akhirnya, tubuh halus semua 

siluman itu mengabur, dan berubah menjadi pusingan 

angin kencang. Batang-batang pohon besar yang tak 

begitu kuat menghujam bumi, pasti akan tercabut 

dan melayang ke udara tak bedanya dengan 

lembaran bulu. Hutan lebat itu bagai digasak angin 

topan maha hebat. 

Anehnya, tubuh gadis itu tetap berada di tempat 

semula, seperti tak mendapat pengaruh sama sekali. 

Pada saat angin berbentuk pusaran makin tinggi 

merangsek angkasa, seberkas cahaya kemerahan 

berkelebat cepat dari puncaknya menuju perut gadis 

itu. Bersamaan dengan terlepasnya cahaya tadi, 

tercipta bebunyian menggidikkan bagai suara 

segerombolan lebah dan denting sejuta genta. 

Kesunyian hutan kian dipecah. Sepertinya kedua 

puluh siluman tadi sedang mengumandangkan 

semacam mantera hitam untuk mengantar masuknya 

sang Benih berbentuk cahaya, ke rahim si Gadis. 

Sekian kejap berikutnya, cahaya merah sudah 

menelusup lenyap dalam perut gadis itu. Dan saat 

itulah terlempar raungan menyayat dari mulut wanita 

malang ini, memenggal bebunyian ganjil yang 

sebelumnya menyesaki hutan. 

Alam mendadak sunyi. Hanya tersisa derak ranting 

yang terlambat jatuh serta tiupan angin yang lelah. 

Upacara gaib telah selesai. Para makhluk halus itu 

satu persatu meninggalkan tempat ini. Nyawa si 

Gadis telah melayang sebagai tumbalnya. 

Dan dari bawah pohon besar tempat meng

hilangnya para siluman, timbul mata air keruh 

berwarna kehitaman. Genangan mata air itu kian 

besar, seiring membesarnya perut si Gadis Malang. 

Pada saatnya, aliran air yang tercipta menghanyutkan 

tubuh gadis itu ke arah selatan, di mana telah 

menanti danau tempat mayatnya ditemukan oleh si 

Hakim Tanpa Wajah. 

*** 

“Pengadilan menanti!” 

Dari balik sebuah bukit karang, meluncur teriakan 

beringas nan lantang dari seseorang. Suaranya begitu 

menggebuk jantung setiap telinga yang men-

dengarnya. Demikian pula bagi lima orang pejalan 

kaki di bawah lereng bukit. 

Pakaian kelima lelaki itu sungguh tak sedap 

dipandang. Bertambal sulam serta compang-camping. 

Rata-rata tubuh mereka dekil, seolah menjadi 

pakaian sehari-hari. Dua orang di antaranya malah 

berhias koreng di beberapa bagian tubuh. Satu orang 

di antaranya berkaki pincang. 

Kelima lelaki gembel ini berasal dari wilayah timur. 

Di sana memang terdapat perkumpulan orang-orang 

macam mereka. Dunia persilatan menamakan 

perkumpulan itu Partai Pengemis Timur. 

Pada dasarnya, orang telah salah sangka terhadap 

kehadiran mereka. Penampilan dekil para anggota 

perkumpulan itu, membuat nama mereka dekat 

dengan sebutan pengemis, walau sebenarnya bukan 

pengemis. Jauh di lubuk hati masing-masing, tetap 

memiliki harga diri untuk tidak meminta-minta. 

Perkumpulan itu bisa hidup tanpa belas kasihan 

orang lain. Mereka punya lahan usaha sendiri, untuk

menyambung hidup para anggotanya. Namun rupa-

nya banyak orang menyamaratakan dengan para 

pengemis. Akhirnya, mereka pun mendapat julukan 

itu. 

Kalaupun mereka berpakaian seperti itu, karena 

masing-masing ingin mencoba menjauhi kesenangan 

dunia yang berlebihan. 

Anggota Partai Pengemis Timur rata-rata ber-

kepandaian tinggi. Beberapa pentolannya, bahkan 

amat disegani di kawasan timur. Beberapa tahun 

yang lalu, pernah terjadi perampokan besar-besaran 

yang dilakukan kawanan begal berilmu tinggi. 

Beberapa pendekar tangguh tak sanggup meladeni 

kebuasan mereka. Beberapa di antaranya menemui 

ajal. Sedang yang lain harus menderita luka dan cacat 

seumur hidup. 

Kebrutalan gerombolan begal itu akhirnya me-

mancing tokoh-tokoh Partai Pengemis Timur. Dari dua 

puluh anggota, sepuluh pentolan turun untuk meng-

hadapi keganasan gerombolan begal. 

Meski kalah dalam jumlah dan senjata, kesepuluh 

pengemis itu sanggup memorat-maritkan anggota 

gerombolan berilmu tak tanggung, yang berjumlah 

banyak. Pentolan-pentolannya bahkan dapat dibuat 

mati! 

Para anggota Partai Pengemis Timur pulang 

dengan keadaan sehat walafial. Sejak itu kehadiran 

mereka mulai diperhitungkan oleh orang persilatan 

wilayah timur. 

Di antara kesepuluh lelaki yang turun menumpas 

gerombolan begal itu, lima orang kumuh yang sedang 

berjalan di lereng bukit karang tadi ikut ambil bagian. 

Mereka masing-masing bernama Kamasetya, 

Dartasa, Damarsuta, Guruhdadi, dan Komajaya.

Kekompakan yang terjalin, membuat mereka dijuluki 

Lima Gembel Busuk, meski tak harus keluar dari 

Partai Pengemis Timur. 

Lima Gembel Busuk dikenal bukan karena 

kehadirannya yang selalu membawa bau busuk atau 

berpenampilan tak karuan. Mereka amat kesohor 

karena keistimewaannya dalam memainkan jurus 

gabungan yang dinamakan 'Benteng Angin'. Jurus 

gabungan itu mampu menahan serangan, sehingga 

lawan seperti menggasak angin. 

Lima Gembel Busuk segera menghentikan langkah 

begitu mendengar teriakan yang sulit dimengerti tadi. 

Satu sama lain saling berpandangan heran. 

“Kang! Apakah seruan itu ditujukan untuk kita?” 

tanya Kamasetya, lelaki adik dari orang yang 

dipanggil Kamajaya. Usia masing-masing terpaut dua 

tahun. Sekitar empat puluhan. 

“Entahlah. Aku sendiri bingung,” jawab Kamajaya. 

Dari puncak bukit karang di atas mereka, muncul-

lah dua lelaki berusia jauh berbeda. Yang seorang 

tampak masih begitu muda dengan penampilan 

menggidikkan. Tubuhnya kekar sarat otot tebal. 

Rambutnya merah, sedangkan di sudut bibirnya 

tersembul taring tajam. 

Sementara lelaki yang satunya tampak amat renta. 

Meskipun demikian, sinar matanya tetap me-

mancarkan kekuatan berapi-api. Tubuhnya dari batas 

leher hingga mata kaki ditutup kain kafan lusuh. 

Siapa lagi kalau bukan Hakim Tanpa Wajah bersama 

muridnya, Manusia Dari Pusat Bumi? Dalam setengah 

tahun saja, murid baru sang Hakim Sejagad itu telah 

menjelma menjadi pemuda bengis. 

“He... he... he!” 

Hakim Tanpa Wajah terkekeh. Dikeluarkannya

segulungan daun lontar dari balik kain kalannya. 

“Dengan ini, kalian Lima Gembel Busuk harus 

menjalani pengadilan di perut bumi! Menurut sang 

'saksi mata', kalian harus dituntut karena kesalahan 

mencampuri urusan orang lain! Kalian telah lancang 

dengan mengusik-usik urusan gerombolan begal 

beberapa tahun yang lewat! He... he... he!” sambung 

Hakim Tanpa Wajah di sela-sela tawanya. 

“Sinting!” maki Guruhdadi, lelaki berkoreng berusia 

muda serta berambut gembel. “Siapa dua orang ini? 

Apa aku tak salah dengar? Mereka telah menyalah-

kan kita karena telah memberantas orang-orang 

bejad macam gerombolan begal itu?” 

“Seumur hidup, baru kutemui manusia macam 

mereka!” timpal Kamajaya. 

“Alah! Kenapa kita tak melanjutkan perjalanan 

saja! Tak perlu menggubris mereka. Toh, kita tidak 

memiliki urusan apa-apa dengan mereka,” sergah 

Guruhdadi sambil menggaruk-garuk kudis di kakinya 

yang juga dipenuhi koreng. “Ayo!” 

Keempat lelaki yang lain menyetujui saran 

Guruhdadi. Kini mereka mulai melangkah beriringan 

lagi di lereng setapak. Tapi baru tiga langkah, 

terdengar lagi suaru berat Hakim Tanpa Wajah. 

“Karena itu, setelah menimbang dan menilai, 

maka kuputuskan kalau kalian harus menerima 

hukuman mati di Neraka Perut Bumi!” 

Diawali bunyi gelepar jubah hitamnya, Manusia 

Dari Pusat Bumi melompat ringan untuk menghadang 

Lima Gembel Busuk. Dan tanpa basa-basi lagi, 

pemuda keturunan siluman itu mengirim tamparan 

keras ke arah seorang dari Lima Gembel Busuk. 

Wuuuk! 

Damarsuta, lelaki pincang yang diserang, tahu

kalau tamparan itu bisa meremukkan rahangnya 

dalam sekejap. Maka tubuhnya langsung saja 

dilempar ke belakang, melewati keempat kawannya 

yang beriringan. 

Tak berhasil menghajar Damarsuta, Manusia Dari 

Pusat Bumi maju setindak. Kini dirangseknya 

Kamajaya dengan sebuah sapuan kaki deras ke 

bagian leher. Berbeda dengan Damarsuta yang tak 

begitu siap, Kamajaya mencoba menyambut kaki 

pemuda itu dengan tangkisan tangan. 

Tak! 

Benturan keras kontan terjadi. Akibatnya, 

Kamajaya terdorong ke sisi. Wajahnya menampakkan 

kesakitan luar biasa. Betapa tak dinyana kalau lawan 

yang demikian muda memiliki tenaga luar begitu 

kuat! Bahkan pergelangan tangan yang digunakan 

untuk menangkis tadi, terasa bagai remuk. Itu baru 

tenaga luar. Lantas, bagaimana lagi kalau tenaga 

dalamnya sudah dikeluarkan? 

Kemampuan Manusia Dari Pusat Bumi memang 

tak diragukan. Pada usia satu bulan setelah bisa 

berlari lincah serta tubuh yang mulai ditumbuhi otot 

kenyal, Hakim Tanpa Wajah sudah menurunkan ilmu-

ilmu kesaktiannya. Yang paling awal diturunkan 

adalah beberapa rangkaian jurus berisi tenaga luar. 

Keyakinan sang Guru pada keajaiban si Bocah 

ternyata tak lari dari harapan. Seperti orang rakus, 

bocah itu melalap jurus-jurus sakti bertenaga luar 

yang diturunkan padanya. 

Kemampuan yang mengagumkan itu memancing 

keinginan Hakim Tanpa Wajah untuk segera 

menurunkan ilmu-ilmu lain yang setingkat lebih tinggi. 

Pada tingkatan berikutnya, apa-apa yang diturunkan 

sang Guru pun habis dilalap tanpa kesulitan. Maka,

Hakim Tanpa Wajah pun jadi demikian girang. Untuk 

melampiaskan rasa senangnya yang membludak itu, 

kembali diturunkannya ilmu yang lebih tinggi. Begitu 

seterusnya, sehingga si Bocah Ajaib menguasai 

ratusan jurus-jurus sakti serta tata cara pengolahan 

tenaga secara ampuh. Sementara itu, dengan cepat 

pula si Bocah tumbuh layaknya pemuda dewasa. 

“Hiaaa!” 

Kamasetya kalap melihat saudaranya dapat dibuat 

hilang keseimbangan oleh pemuda kemarin sore. 

Setelah menahan tubuh Kamajaya yang oleng ke 

samping, Kamasetya maju ke muka. Bersama wajah 

penuh ancaman, dihantamnya pemuda itu dengan 

kepala kurusnya. 

Bet! 

Pukulan cepat Kamasetya seperti menerkam 

angin. Pemuda itu cepat melengoskan tubuhnya 

tanpa dapat disentuh kepalan Kamasetya. Betul-betul 

gerakan teramat lincah yang pernah ditemukan 

Kamasetya selama menjadi tokoh disegani wilayah 

timur, bersama keempat kawan dan saudaranya. 

Sekejap berikutnya, justru Kamasetya yang harus 

pontang-panting menghindari serangan balasan 

Manusia Dari Pusat Bumi. Sama dengan saudaranya, 

dia juga bertanya-tanya dalam hati. Siapa 

sesungguhnya pemuda belia berwajah bengis yang 

sebenarnya sulit dipercaya jika memiliki gerak dan 

tenaga setangguh itu? Terlebih, sewaktu mata 

Kamasetya menangkap sepasang taring runcing di 

sudut bibir pemuda itu. Hatinya tanpa sadar tergedor. 

Sekali lagi dia tak percaya ada manusia memiliki 

taring seperti hewan buas, serta sepasang mata 

seekor macan hutan! 

Sewaktu benak Kamasetya disarati keheranan,

satu babatan tangan cepat siap merontokan iganya. 

Weeet! 

“Kamasetya awaaas!” 

Kamajaya yang masih berdiri tak jauh darinya 

langsung berguling dijalan lereng bukit menuju tubuh 

adiknya. Setibanya di dekat Kamasetya, dia bangkit 

dibarengi satu terkaman ke perut Manusia Dari Pusat 

Bumi. 

Begkh! 

Dua kepalan Kamajaya masuk mentah-mentah ke 

perut pemuda keturunan siluman itu, memaksa 

tubuhnya terlempar deras tanpa ampun. Saat 

ambruk, Kamasetya yakin kalau pemuda itu tak akan 

sanggup bangkit lagi. Pukulan seperti itu juga pernah 

merontokkan nyawa tiga tokoh berilmu tinggi 

gerombolan begal, beberapa tahun yang lalu dalam 

sekali pukul. 

Tapi, dugaannya keliru. Tanpa luka sedikit pun, 

pemuda berwajah menyeramkan itu bangkit seraya 

menggeram. Suaranya menerabas, hingga sampai ke 

sudut nyali.... 

***

LIMA


Sebuah kedai kini sepi pengunjung. Memang, waktu 

makan siang sudah lewat sekian lama. Para buruh 

bandar, atau para pendatang dari Gujarat, Cina, dan 

Arab yang biasa singgah untuk makan, sudah kembali 

semua ke bandar. Kebetulan, kedai itu berada tak 

begitu jauh dari pusat niaga ini. 

Dua orang pelayan wanita tengah membersih-

bersihkan meja bekas makan para pengunjung. 

Kedua wanita yang sama-sama cantik ini berkebaya 

agak ketat dengan kain sepanjang lutut. Masing-

masing kebaya berwarna merah, dan hijau. Dalam 

kerja santai seperti ini, sesekali mereka bergurau. Tak 

jarang pula keduanya bergunjing tentang segala hal. 

Tawa mereka yang lembut, terkadang memenuhi 

ruang kedai. 

Belum habis canda mereka, masuk seorang 

pemuda tampan menawan. Rambutnya tak teratur, 

panjang sampai bahu. Seperti salah seorang wanita 

pelayan, baju pemuda itu juga hijau. Begitupun 

celananya. Pada bahunya yang tegap, tersampir 

selembar kain bercorak catur. Sambil menguap 

berkepanjangan, kakinya melangkah acuh ke sebuah 

meja. Tentu saja, pemuda ini adalah Andika alias 

Pendekar Slebor. 

“Ssst... Ni Warsih..., kau sudah janji dengan 

seseorang, ya?” tukas wanita berkebaya merah, 

menegur rekannya yang kebetulan membelakangi 

Andika. 

“Janjian?” tanya wanita yang dipanggil Ni Warsih,

heran. 

“Itu lho!” wanita berkebaya merah mengerling ke 

arah Andika. 

Mendapat isyarat mata itu, Ni Warsih berbalik 

mengikuti pandangan mata rekannya. Dan matanya 

bertemu dengan pemuda tampan menggetarkan hati. 

“O, Gusti...,” bisik Ni Warsih. 

Mata Ni Warsih terbelalak pada rekannya. Tangan 

kanannya yang masih memegang serbet kotor, 

diletakkan di dada. 

“Kenapa Ni Warsih?” tanya wanita berkebaya 

merah sambil tertawa kecil. 

“Itu betul-betul manusia, ya? Kenapa tuampuan 

sekali...,” kata Ni Warsih setengah berbisik. “Aduh, 

rontok juga jantungku....” 

“Itu bagianku, ya?!” serobot wanita berkebaya 

merah. 

“Eee.... Enak saja, Kau Ningsih! Mau nyerobot 

rejeki orang?!” 

“Hi... hi... hi!” 

Wanita berkebaya merah yang dipanggil Ningsih 

cengengesan. 

Di sisi lain, Andika merasa tak enak hati dibicara-

an seperti itu. 

“Ehem..., ehem!” Andika mendehem. 

“Nah, lo...,” ujar Ningsih menakut-nakuti Ni Warsih. 

“Sana kamu layani! Katanya rejekimu....” 

“Aduh.... Bagaimana, ya? Kok, aku jadi dag-dig-dug 

gitu lho!” 

“Wajahmu juga mulai merah matang.... Nah! 

Sekarang, malah mulai biru.... Merah lagi...,” goda 

Ningsih. 

“Masa'... masa'?!” 

“Iya! Sumpah, biar disambar geledek bareng

bareng!” 

“Kalau gitu, kamu saja yang melayani dia, ya?” 

“Wah.... Ketiban bulan aku....” 

Wanita berkebaya merah menampakkan 

kecerahan di wajahnya. Baru saja dia mulai beranjak, 

Ni Warsih menahannya. 

“E-e, biar aku saja!” 

Ni Warsih mendahului Ningsih menuju Andika. 

Wanita itu jadi terlihat kampungan sekali, sewaktu 

berlari terburu-buru. Cetusan antara perasaan 

gembira meluap bersama kegugupan. 

“Kang mau...?” 

Tenggorokan Ni Warsih mendadak tersekat. 

Ucapannya terputus sebelum selesai. Lalu dia 

tertegun seperti orang bodoh di sisi Andika. Mulutnya 

megap-megap ingin berkata, tapi tidak bisa. 

“Mau apa?” kata Andika. 

“Mak... maksud saya, Kakang mau mesan apa?” 

Andika menatap lurus-lurus sepasang bola lentik 

Ni Warsih. Dan ini membuat wanita itu makin gugup. 

Dadanya jadi terasa sesak. 

“Kalau memesan Nisanak sendiri boleh?” goda 

Andika sambil mengerling. 

Mendadak saja Ni Warsih tambah megap-megap, 

semakin parah. Selanjutnya.... Bruk! 

Wanita itu ambruk, semaput dengan mata 

terbelalak ke atas. Tinggal Andika yang hanya bisa 

garuk-garuk kepala. Cepat Ningsih menubruk 

rekannya, untuk menyadarkan. Sebentar saja, Ni 

Warsih siuman. 

Ni Warsih kini dibawa masuk oleh Ningsih. Meski 

sudah siuman, tapi sama sekali belum bisa bangun. 

Kakinya masih lemas. Sampai Ningsih muncul, Ni 

Warsih belum menampakkan batang hidungnya

kembali. Maka 'Rejeki' Ni Warsih pun diambil alih oleh 

wanita berkebaya merah ini. Dilayaninya Andika 

dengan mata terus melirik-lirik nakal. Dasar 

perempuan! 

Sewaktu Andika mulai menyantap hidangan, dua 

lelaki asing masuk. Tidak hanya asing, keduanya juga 

ganjil. Seorang tampak begitu rua renta. Bertopi 

pandang lusuh, serta berpakaian tambalan di sana-

sini. Meski agak bongkok, jalannya tetap sigap. Alis 

matanya tampak memanjang, hingga menutupi 

kelopak mata dengan warna putih. 

Seorang lagi membuat Ningsih hampir menjerit 

ketakutan kalau tidak segera mendekap mulut. 

Bagaimana wanita itu tidak terkejut? Ternyata orang 

itu ditumbuhi bulu lebat di sekujur tubuhnya. Dikira 

ada orang utan mau makan siang di tempat ini. 

Dari pintu masuk, kedua laki-laki aneh itu sudah 

tampak tak akur. Satu sama lain saling mengomel tak 

karuan. Lelaki berbulu, terus saja menghardik-hardik 

kasar. Sementara, yang lain berbicara ngalor-ngidul, 

seolah-olah tak mendengarkan teriakan keras lelaki 

di sebelahnya. Terkadang pula dia balas membentak, 

setelah itu acuh kembali. 

Andika tak peduli pada kedua lelaki tadi. Pemuda 

itu terus melahap makanan penuh selera. Cara 

makannya seperti orang yang baru bertemu makanan 

selama tiga hari. Tak ada lagi tata cara kesopanan 

buat pemuda itu. Kakinya diangkat, duduk bersila di 

bangku panjang tempatnya duduk. Mangkuk air 

tempat mencuci tangan pun tak disentuhnya, meski 

tangan yang dipakai untuk meraup nasi ke mulut bisa 

dibilang dekil. Apa mau dikata? Memang begitulah si 

Pendekar Slebor. 

Dua lelaki yang baru datang sudah mengambil

tempat di satu sudut kedai, berhadap-hadapan 

dengan meja Andika. Lelaki tua yang tak lain 

Pendekar Dungu itu sudah duduk dengan wajah 

bodoh di kursi panjang. Sepertinya, dia tak tahu apa 

yang harus dilakukannya dalam kedai. Berbeda orang 

yang satu lagi, yang tak lain Lelaki Berbulu Hitam. 

Kawan seperjalanan Pendekar Dungu yang pernah 

menjadi lawan tangguhnya dulu malah terus memaki-

maki sambil mengitari meja makan. 

“Sudah kubilang! Jangan urus perutmu dulu, 

sebelum kita temukan orang itu, Dungu!” hardik 

Lelaki Berbulu Hitam dengan urat leher tertarik. 

“Pantas saja otakmu jadi bebal. Karena, yang kau 

pikirkan hanya makan!” 

Pendekar Dungu melirik sejenak pada lelaki kalap 

tadi. Lalu, matanya kembali tertegun-tegun ke arah 

meja makan. 

“Jangan berlagak bodoh! Kau pasti dengar 

ucapanku!” sambung Lelaki Berbulu Hitam. 

Namun, setelah itu Lelaki Berbulu Hitam 

menampar keras-keras kening sendiri. 

“Siapa bilang dia berlagak bodoh! Memang dari 

dulu sudah bodoh!” gumam laki-laki berbulu itu. 

Karena wataknya yang keras, gumamannya pun 

tak terdengar seperti gumaman. Bagi yang 

mendengarnya, gumaman itu dianggap teriakan. 

“Dunguuu! Kita mesti keluar dari tempat celaka 

ini!” seru Lelaki Berbulu Hitam tak tanggung-

tanggung. Kekesalannya yang memuncak, telah 

membuatnya mengerahkan tenaga dalam bersama 

teriakannya. 

Saat itu juga, dinding kayu kedai bergetar dan 

retak. Meja dan kursi terangkat mendadak. Piring-

piring tanah liat di meja Andika juga ikut menjadi

korban. Semuanya pecah berpetalan. Sementara 

wanita pelayan di ruang dalam kedai langsung 

mendekap telinga masing-masing dengan wajah 

menahan sakit. 

Sedangkan Andika tetap tenang, meski telinganya 

sempat terasa nyeri. Tanpa kentara, Pendekar Slebor 

menyalurkan hawa murni ke gendang telinga untuk 

meredam tenaga dalam kuat yang mencoba 

merangsek ke dalam. Di samping itu, Andika juga 

mengirim hawa murni ke ruang dalam kedai, agar 

gelombang teriakan hebat Lelaki Berbulu Hitam tidak 

begitu mencelakakan dua pelayan wanita di sana. 

Setelah berteriak kalap, Lelaki Berbulu Hitam agak 

menurun kemarahannya. Kakinya melangkah meng-

hampiri kursi di depan Pendekar Dungu dengan 

bersungut-sungut. Dengan rasa kesal, didudukinya 

kursi itu. Baru saja tubuh gempalnya turun pada 

kursi.... 

Bruk! 

Kursi kayu kontan terbelah dua, membuat Lelaki 

Berbulu Hitam terjatuh duduk di lantai kedai. 

Salahnya sendiri. Teriakan bertenaga dalamnya tadi, 

telah membuat kursi kayu itu retak. Sewaktu dibebani 

tubuh besarnya, tentu saja tak kuat lagi bertahan. 

“Siaaal!” 

Lelaki Berulu Hitam berteriak kuat-kuat lagi. Tapi 

lagi-lagi dia harus menelan getah dari perbuatannya. 

Langit-langit kedai yang memang sudah keropos 

segera berjatuhan. Pecahannya sebagian masuk 

tanpa permisi ke mulutnya yang lebar. 

“Afh... glek!” 

“Astaga! Rupanya kau telah memesan makanan 

lebih dahulu! Dasar culas! Kenapa tak ajak-ajak aku 

makan?!” maki Pendekar Dungu, sewaktu telinganya

menangkap suara mulut Lelaki Berbulu Hitam 

menelan sesuatu. 

Lelaki gempal berbulu yang terduduk di lantai, 

mendelik mata sebesar-besarnya. Ucapan lugu 

Pendekar Dungu terdengar di telinganya sebagai 

hinaan. Tak lama kemudian, Lelaki Berbulu Hitam 

mulai mengomel-ngomel lagi. Mulai dikitarinya meja 

tempat Pendekar Dungu sambil berkacak pinggang 

serta mencak-mencak serabutan. 

Belum habis omelan Lelaki Berbulu Hitam masuk 

lagi seorang nenek-nenek peot berpunuk besar, 

seperti seekor onta. Rambutnya putih panjang. 

Karena terlalu panjang, rambut itu terseret-seret 

menyapu lantai kedai. Wajah nenek tua ini bukan 

hanya keriput, tapi sudah begitu kendor. Pipinya 

menggelantung ke sisi rahang. Matanya tak kalah 

parah, memutih tanpa warna hitam lagi. Sementara, 

bibirnya yang berkerut-kerut, terus saja memamah 

sirih. Sesekali disekanya cairan sirih di sudut bibir 

dengan lengan baju yang berwarna jingga terang 

kebesaran. 

“Ugh..., uhugh... ugh!” 

Nenek itu terbatuk-batuk. Dilewatinya meja Andika 

tanpa mau ambil pusing untuk menegur. Tanpa rasa 

bersalah, air sirih kental di mulutnya diludahkan 

sembarangan. Masih wajar kalau singgah di bawah 

meja Andika. Tapi, air sirih menjijikkan itu justru 

mampir di bibir gelas bambu tempat minum pemuda 

ini. 

Pendekar Slebor jadi mendengus. Pangkal 

hidungnya kontan terlipat. Kalau saja bukan orang 

lanjut usia yang berbuat seperti itu, sudah disodoknya 

mulut orang itu dengan kepalan! 

Dua meja setelah tempat Andika, nenek itu

mendapat tempat yang dianggap cukup nyaman. Dia 

duduk menghadap jendela besar sebelah timur, 

sehingga angin menyapu wajah kendornya. Wajahnya 

bagai dibelai-belai, hingga matanya berkedip-kedip 

lamban seperti orang sekarat. Sebentar kemudian, 

nenek itu sudah merebahkan diri melepaskan 

dengkurnya yang keras. 

“Sebenarnya, nenek sial ini hendak makan atau 

hanya numpang tidur,” gerutu Andika, merasa terusik 

kenyamanannya. 

Betapa tidak terusik? Sudah piring-piringnya 

hancur oleh teriakan sinting Lelaki Berbulu Hitam, 

gelas bambunya disinggahi benda nyasar, kini ada 

pula senandung yang sungguh mati tak sedap masuk 

telinga. 

Sementara Lelaki Berbulu Hitam tak bosan-

bosannya mencaci maki Pendekar Dungu, nenek tua 

yang tak kalah bangkotan tadi dengan tenang 

menikmati mimpinya. Sirih di mulut peot itu tak juga 

dibuang. Air liur berwarna merah sirih pun mulai 

mengalir lambat tanpa dosa. 

Andika sudah tak tahan lagi. Seacuh-acuhnya 

pemuda ini, tak akan bisa menahan jijik kala 

menatap air liur kental itu. Nasi yang tersisa beberapa 

kepal lagi di piringnya yang sebagian masih utuh 

ditinggal begitu saja. 

“Niii!” panggil Andika pada pelayan. 

Pelayan wanita berkebaya merah keluar tergopoh-

gopoh ke arahnya. Wajahnya masih tetap berkerut 

ketakutan. Sedang matanya tak berani sedikit pun 

melirik ke arah para tamu lain, kecuali Andika. 

“Ada apa, Kang?” tanya Ningsih pada Andika. 

“Kenapa orang-orang sinting itu tidak dilayani?” 

tanya Andika. Dia ingin, agar para pengunjung aneh

itu cepat-cepat diam karena sibuk dengan makanan 

yang dihidangkan. 

“Mana aku berani melayani kalau mereka sinting,” 

bisik Ningsih dengan mendekatkan mulut ke telinga 

Andika. 

“Siapa yang bilang mereka sinting?” tanya Andika 

bingung. 

“Lho? Kakang tadi bukan bilang begitu?” 

“Aku tadi hanya dongkol. Jadi kusebut mereka 

sinting,” tandas Andika tanpa hendak menurunkan 

suara. 

“Siapa yang sinting?!” 

Mendadak saja, Lelaki Berbulu Hitam, tokoh kelas 

atas yang ditakuti pada zamannya, berseru murka. 

Hatinya kontan tersinggung pada ucapan Andika. 

Memang, hanya orang tuli yang tak mendengar 

ucapan pemuda urakan yang cukup keras tadi. 

Sementara wanita berkebaya merah itu langsung 

terlonjak kaget. Dia hampir meloncat, karena begitu 

kagetnya. Matanya terbelalak, sedang mulutnya 

terbuka lebar. Jangan ditanya, bagaimana pucat 

pasinya wajah Ningsih saat itu. 

“Siapa yang sinting?!” ulang Lelaki Berbulu Hitam. 

Dihampirinya Pendekar Slebor dengan langkah 

berdebam-debam. 

Namun, pemuda yang didekati hanya tersenyum-

senyum menikmati kekalapan lelaki berpenampilan 

bagai orang utan itu. Sementara, pelayan wanita 

berkebaya merah sudah terbirit-birit ke dalam sejak 

tadi. Masih bagus kalau tak terkencing-kencing di 

celana. 

“Kau yang barusan bilang aku orang sinting?!” 

tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak merasa harus sopan 

sedikit pun. Matanya sudah mendeliki Andika.

“Aku tidak bilang begitu,” sangkal Andika. “Yang 

kukatakan, kalian bertiga....” 

“Kenapa kami bertiga?” 

“Ya, sinting....” 

“Pemuda busuk tak tahu adat!” 

Lelaki Berbulu Hitam seketika meniup serakan 

piring di meja Andika. Pecahan piring pun 

berhamburan secepat kilat ke wajah Pendekar Slebor. 

Sungguh suatu pamer kekuatan yang mengagumkan! 

Andika yang merasa mendapat tantangan adu 

kekuatan, dengan sigap meniup kembali pecahan 

piring itu ke arah lelaki di depannya. Mula-mula, 

pecahan piring itu berhenti di udara. Dan sesaat 

kemudian berbalik meluncur ke wajah Lelaki Berbulu 

Hitam. 

Di tengah jalan, pecahan piring tanah liat itu 

tertahan lagi. Bukan karena ulah Lelaki Berbulu 

Hitam. Nyatanya, mulut laki kasar itu memang belum 

lagi tampak bergerak. Lalu, siapa yang usil ingin ikut 

campur adu kekuatan yang dimiliki orang-orang 

kalangan atas itu? 

***

ENAM


Sementara itu di bukit karang, di mana Lima Gembel 

Busuk dihadang Manusia Dari Pusat Bumi. 

Pertarungan satu lawan lima telah memasuki jurus ke 

sembilan puluh. 

Sebenarnya, Lima Gembel Busuk sanggup 

membuat tekanan pada pemuda itu. Pukulan tangan 

mereka serta hantaman tongkat milik si Pincang, 

berkali-kali menjebol benteng pertahanan Manusia 

Dari Pusat Bumi. Namun sampai sejauh itu, Manusia 

Dari Pusat Bumi mampu meredam seluruh hajaran di 

tubuhnya dengan cara aneh. 

Lima Gembel Busuk benar-benar tak habis pikir, 

kenapa pemuda itu seperti memberi kesempatan 

pada mereka untuk mendaratkan pukulan atau 

hantaman. Dan sewaktu mereka merasakan satu 

sengatan luar biasa setiap kali berhasil mendaratkan 

serangan, barulah disadari. 

Sudah berkali-kali pukulan tokoh ternama dari 

wilayah timur itu berhasil memakan bagian demi 

bagian tubuh Manusia Dari Pusat Bumi. Namun, yang 

semakin melemah justru keadaan tubuh mereka. 

Tenaga lima lelaki ini seperti disedot oleh kekuatan 

tak terlihat sebagian demi sebagian. 

Meski agak terlambat, Kamajaya, orang yang 

paling berpengaruh di antara mereka, segera 

memberi aba-aba. 

“Hentikan serangan!” seru Kamajaya cepat. “Kita 

akan kehabisan tenaga kalau terus mendaratkan 

serangan ke tubuhnya!”

Di lain tempat, Hakim Tanpa Wajah ikut terkejut 

dengan kemampuan tak terduga murid tunggalnya. 

Selama ini, dia hanya menurunkan ilmu-ilmunya yang 

diserap secara baik. Kalupun pemuda ini belum 

begitu lihai memainkan setiap jurus ajaran Hakim 

Tanpa Wajah, penyebabnya hanya karena usianya 

yang terlalu hijau. Sehingga, dia belum begitu 

berpengalaman dalam medan tempur. Dengan 

kemampuan di luar dugaan tadi, Manusia Dari Pusat 

Bumi justru memanfaatkan kekurangannya untuk 

menguras tenaga lawan. 

“He... he... he! Pintar, Bocah Bagus! Kau memang 

murid yang bisa diandalkan! Ada baiknya kau tidak 

hanya menjadi muridku, tapi sekaligus jadi seorang 

'Penuntut Pengadilan Perut Bumi'. He... he... he!” kata 

Hakim Tanpa Wajah dari tempatnya berdiri. 

Bukan main berbunganya hati lelaki bangkotan itu 

menyaksikan para calon orang hukumannya mundur 

teratur, menghadapi pemuda hijau yang sesungguh-

nya baru berusia teramat muda. 

Di kancah pertarungan, lima Gembel Busuk sudah 

bersiap-siap memainkan jurus andalan 'Benteng 

Angin'. Mula-mula, lima lelaki itu mengatur 

keberadaan masing-masing dalam bentuk lingkaran 

lima belas tombak di sekitar pemuda itu. Setapak 

demi setapak, mereka maju dengan langkah teratur 

dan pasti menuju pusat sasaran serangan. Ketika 

tinggal sekitar tiga tombak lagi, mereka serempak 

mengerahkan kembangan jurus masing-masing, 

seolah hendak membingungkan lawan. Lalu pada 

waktunya, tenaga sembrani mereka dilepaskan dari 

kedua belah telapak. Tenaga yang sanggup membuat 

mereka menggabungkan tenaga pada telapak tangan 

langsung membentuk lingkaran, mengurung Manusia

Dari Pusat Bumi seperti gelang tembus pandang. 

Dinginnya wajah Manusia Dari Pusat Bumi tak 

berubah sediki pun menghadapi jurus andalan yang 

amat kesohor di wilayah timur itu. Selama 'Benteng 

Angin' dipergunakan Lima Gembel Busuk, belum ada 

seorang lawan pun yang sanggup mengungguli. Tapi 

bagi lelaki belia berperawakan manusia berusia dua 

puluh limaan itu, mungkin hanya mainan tak berarti. 

“Heaaa!” 

Adu kedigdayaan dimulai kembali. Manusia Dari 

Pusat Bumi membuat terjangan lebih dahulu. Hatinya 

sudah tak sabar ingin segera menyelesaikan 

pekerjaan. Yang jadi sasaran pertama adalah si 

Pincang. Jurus yang diturunkan gurunya mulai 

dikerahkan pada tingkat yang sulit ditandingi. 

Delapan puluh tahun yang lalu, jurus itu pernah 

menjatuhkan berpuluh-puluh tokoh jajaran atas. Pada 

waktu itu, jika Hakim Tanpa Wajah sudah merangsek 

dengan kaki menjejak-jejak dengan bumi penuh 

tenaga, maka para lawannya seketika menjadi gentar. 

Karena mereka tahu kalau dia telah memainkan jurus 

'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'. 

Setelah sekian lama terkubur masa, jurus tangguh 

itu tak lagi muncul. Orang pun tak pernah lagi 

melihatnya seperti tak pernah lagi melihat Hakim 

Tanpa Wajah. Kalaupun masih ada yang mengenali 

jurus itu, hanya terbatas pada tiga saingan utama 

Hakim Tanpa Wajah. Yakni, Pendekar Dungu, Raja 

Penyamar, dan Lelaki Berbulu Hitam. 

Namun begitu, tak luput dari kelima lawannya 

bertanya-tanya heran. Jurus apa yang bisa membuat 

permukaan tanah bergetar seperti ada seekor naga 

raksasa sedang bergeliat di dasar bumi?

*** 

Jauh di tempat lain, tepatnya di sebuah kedai 

bandar, adu kesaktian para tokoh jajaran atas yang 

bertemu di satu tempat tanpa sengaja, berlangsung 

makin hangat. Dua orang sudah dikenal sebagai 

Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar Dungu. 

Keduanya adalah tokoh dari zaman yang jauh 

berbeda dengan orang ketiga yang dikenali sebagai 

Pendekar Slebor. Sedangkan tentang nenek bongkok 

berpunuk, belum ada seorang pun yang tahu tentang 

dirinya. 

Ketika itu, Andika maupun Lelaki Berbulu Hitam 

disentak oleh keusilan seseorang. Pecahan piring 

yang meluncur ke wajah Lelaki Berbulu Hitam akibat 

ditiup balik Andika, mendadak saja berhenti di udara. 

Sudah pasti ada seseorang yang mengirim tenaga 

dalamnya yang tak kalah hebat. 

Pendekar Slebor serta Lelaki Berbulu Hitam yang 

memang memiliki indera tajam, segera saja bisa 

mengendus orang yang berbuat usil. Orang itu duduk 

menyender pada sisi meja, terpulas dengan liur 

bercampur sirih. Siapa lagi kalau bukan si Nenek 

Bongkok. Dengan dengkurnya, diam-diam tenaga 

dalamnya yang sudah sangat tinggi disalurkan ke 

arah pecahan piring. Alhasil, kepingan-kepingan kecil 

tanah liat itu pun tertahan di udara. 

“Siaaal!” 

Lelaki Berbulu Hitam mulai sewot lagi. 

Kemarahannya kali ini berpindah ke nenek bongkok. 

“Kau jangan sok ikut campur, Perempuan Peot!” 

hardik Lelaki Berbulu Hitam garang. Matanya 

mendelik-delik buruk kepada nenek bongkok yang 

tetap mendengkur. “Kau mau bibirmu yang sudah

mirip gombal itu kusumpal dengan pecahan piring, 

ya?!” 

Dan seketika itu pula Lelaki Berbulu Hitam 

menggerakkan tangannya, hendak menyambar 

benda-benda kecil tajam itu di udara. Tapi sebelum 

tangannya sampai, pecahan-pecahan itu melayang 

lebih cepat ke atas, kemudian berhenti kembali 

setelah naik sekitar satu depa. 

Sekali lagi, Andika tersentak. Bukan karena tak 

tahu siapa yang berbuat hal itu. Justru dia tersentak 

setelah menyadari kalau di sekitarnya kini hadir tiga 

orang yang tingkat kepandaiannya tak terukur. Kalau 

tadi si Nenek Bongkok menahan tiupan tenaga 

dalamnya pada pecahan piring hanya dengan 

mendengkur, kini pecahan-pecahan tanah liat kering 

itu dipindahkan ke atas, dalam keadaan tetap 

melayang oleh Pendekar Dungu di sudut ruangan 

dengan mengipas-ngipaskan topi pandannya secara 

santai! 

Kini giliran Pendekar Dungu mendapat jatah 

pelototan mata Lelaki Berbulu Hitam. 

“Kau juga jangan ikut-kutan latah, Dungu!” bentak 

Lelaki Berbulu Hitam. 

“Aku tidak mau 'ikut-ikut'. Makanan macam apa 

itu? Aku hanya mau makan nasi biasa,” tukas 

Pendekar Dungu acuh tak acuh. 

“Kenapa kau tak panggil pelayan saja?!” 

“Jangan, jangan dipanggil. Biar aku tunggu pelayan 

itu memanggilku saja...” 

“Goblok! Kau pikir, mau makan apa cari pelacur!” 

“Aku mau cari nasi biasa! Sudah kubilang tadi, 

bukan?” 

“Gggeeehhh....” 

Lelaki Berbulu Hitam menggurutukkan gigi-giginya

sendiri. Rahangnya sampai seperti membengkak, 

karena begitu jengkel dengan kebodohan Pendekar 

Dungu. 

Sementara Andika celingak-celinguk sendiri. Dia 

tak habis mengerti, apa yang sesungguhnya 

diributkan kedua lelaki ganjil itu? Dan kenapa pula si 

Nenek Bongkok usil-usilannya menjahili? Seolah-olah, 

pemuda itu sedang disuguhkan satu adegan 

sandiwara rakyat yang penuh guyonan. Sesekali 

matanya memperhatikan Pendekar Dungu di sudut 

kedai. Saat yang lain, diperhatikannya Lelaki Berbulu 

Hitam yang belum juga beranjak di dekat mejanya. 

Juga, diawasinya si Nenek Bongkok yang tetap pulas 

seperti bayi, seakan-akan suara menggelegar-gelegar 

Lelaki Berbulu Hitam tak pernah bisa mengusiknya. 

“Para orang tua! Sebelum kalian melanjutkan 

pertengkaran, bolehkah aku yang muda ini tahu, 

siapa kalian sebenarnya?” selak Andika, memotong 

makian panjang-panjang Lelaki Berbulu Hitam. 

“Apa pedulimu!” tandas Lelaki Berbulu Hitam. 

“Wah! Kalau namaku, aku tahu. Tapi kalau nama 

kalian...? sahut Pendekar Dungu sambil berpikir 

beberapa saat. Setelah itu, dia menggeleng lamban. 

“Nyem... nyem... grrr... suiiittt...,” Nenek bongkok 

pun ikut menjawab dengan caranya sendiri. 

Andika meringis. Dirinya yang slebor pun dibuat 

berdecak-decak oleh sikap ketiga orang itu. Apalagi 

orang yang waras? Bisa-bisa langsung ngacir dari 

tempat ini! 

“Maksudku, mungkin aku bisa membantu kalian,” 

ralat Andika. 

“Aku tak perlu bantuanmu, Bocah!” sentak Lelaki 

Berbulu Hitam. 

“Ya, Anak Muda. Mana mau manusia keras kepala

itu dibantu. Di samping keras kepala, dia juga tinggi 

hati. Pertolongan orang lain selalu dianggapnya 

hinaan,” selak nenek bongkok, tanpa sedikit pun 

membuka kelompak mata keriputnya. Setelah itu, dia 

meludah. 

“Cuih!” 

Cairan berwarna merah dari mulut nenek itu 

terbang cepat, menuju kepingan-kepingan bekas 

piring yang masih melayang di atas, karena 

dikendalikan tenaga dalam Pendekar Dungu. Ludah 

kental itu langsung menyebar ke beberapa arah, 

menggasak habis pecahan tanah liat keras, lalu 

mendorongnya kuat ke dinding kedai. Seketika 

lubang-lubang sebesar jari manusia tercipta, karena 

kekuatan dalam dari setiap pecahan itu. 

“Sudah kubilang, kau tak usah ikut campur, Nenek 

Peot! Sudah tidak pantas bagimu ikut bermain-main 

seperti ini!” 

Lelaki Berbulu Hitam berpindah tempat. Dihampiri-

nya nenek bongkok dengan wajah menyeringai-

nyeringai merah. 

Setibanya di sisi meja, Lelaki Berbulu Hitam 

menjatuhkan tangannya tanpa tenaga. Belum lagi 

tangan itu sampai ke permukaan meja, papan dari 

kayu setebal seperempat jengkal itu terpatah dua 

bagian! Lagi-lagi, dia hendak pamer kekuatan. 

“Huuuaaah!” si Nenek Bongkok menguap lebar-

lebar. Gulungan sirih tersembul di antara kuapan 

mulutnya. “Itu kekuatan yang sudah ketinggalan 

zaman buatku, Monyet.” 

“Kau bilang aku apa?!” bentak Lelaki Berbulu 

Hitam kuat-kuat di depan hidung si Nenek Bongkok. 

“Kau tak suka kukatakan monyet? Baik, memang 

mestinya kau kusebut biang monyet....”

Lelaki keturunan serigala itu tak bisa lagi 

menguasai diri. Itulah sifatnya yang sulit hilang, meski 

telah menjalani tapa selama puluhan tahun. Itu pula 

yang menjadi masalah utama bagi dirinya. Tapi 

dibanding dulu, sekarang ini Lelaki Berbulu Hitam 

termasuk sabar. Sebelum menyembunyikan diri 

selama puluhan tahun, seseorang akan langsung 

dikepruknya hingga mampus jika sekali saja 

menyindirnya. 

“Biar mampus kau, Nenek Keropos!” 

Berbareng makian kasar, tangan besar Lelaki 

Berbulu Hitam terangkat cepat tinggi-tinggi. Sebelum 

benar-benar sampai ke puncak, tangan itu sudah 

menukik deras ke kepala nenek bongkok. Telapak 

tangannya terbuka lebar, seperti sebatang pacul siap 

memburai lumpur sawah! 

Wuk! Prak! 

Ubun-ubun nenek bongkok benar-benar telak 

terkepruk oleh telapak tangan lebar milik Lelaki 

Berbulu Hitam. Andika sendiri sampai hendak 

bangkit, untuk menahan tangan itu. Pendekar Slebor 

yang kesohor ini tahu, keprukan itu tak bisa dianggap 

remeh. Batu karang sebesar kerbau saja belum tentu 

sanggup bertahan. Apalagi kepala rapuh si Nenek 

Bongkok. 

Tapi, kenyataan yang terjadi malah jauh di luar 

perkiraan. Sesudah tertimpa tangan besar Lelaki 

Berbulu Hitam, si Nenek Bongkok menggaruk ubun-

ubun. Bahkan bibirnya yang lusuh mengembangkan 

senyum melecehkan. 

“Sudah kubilang, tenagamu sudah ketinggalan 

zaman. Itu tadi untuk membunuhku, atau untuk 

membunuh kutu-kutu di kepalaku?” 

Siapa yang tak panas dikatakan seperti itu?

Apalagi, bagi lelaki berperawakan seram ini. 

Telinganya serasa disodok sebatang besi panas. 

Darahnya langsung bergejolak. Sifat-sifat seekor 

serigala yang mendekam dalam tubuhnya pun 

terusik. Layaknya serigala murka, mulutnya 

menyeringai. Untung saja wajahnya tak serupa 

binatang buas itu. 

“Grrr...!” geram Lelaki Berbulu Hitam sangar. Si 

Nenek Bongkok tetap tenang, memperhatikan 

seluruh tingkah calon lawannya. Tidak tahu, apakah 

lelaki yang berada dalam puncak kemarahan itu 

dipedulikan atau tidak. Yang jelas, dia terus saja 

memamerkan wajah melecehkan. Tangannya ber-

balut kulit keriput memain-mainkan gulungan sirih di 

sudut bibir. 

Tak perlu ada yang memanas-manasi, pertarungan 

memang akan segera pecah. 

“Wah! Urusan jadi runyam,” gumam Andika 

perlahan sekali di mejanya. “Kalau orang seperti 

mereka bertarung di kedai ini, bisa porak-poranda 

seluruh isinya....” 

Untung saja yang ditakutkan Andika tidak terjadi. 

Si Nenek Bongkok rupanya masih punya sedikit 

perasaan pada nasib sumber rejeki orang lain. 

Dengan terseok-seok tubuhnya diangkat dari kursi 

panjang. 

“Tempat ini terlalu kecil buat kita bergurau...,” kata 

nenek itu sambil melenggang terbungkuk-bungkuk. 

***

TUJUH


Sampai saat ini Andika tak tahu, siapa dua manusia 

aneh yang siap bertukar jurus-jurus sakti di pelataran 

depan kedai. Juga tentang urusan mereka masing-

masing. Semuanya benar-benar tak jelas. Yang jelas 

Pendekar Slebor yakin kalau tingkat kepandaian 

mereka berada beberapa tingkat di atasnya. 

Sementara Pendekar Dungu tetap duduk masa 

bodoh di kursinya, Andika ikut keluar kedai. Tepat di 

pintu kedai, tubuhnya disandarkan untuk mem-

perhatikan segala hal dahsyat yang bakal meledak. 

Di pelataran kedai, si Nenek Bongkok berdiri ter-

bungkuk-bungkuk. Tangannya terus saja memper-

mainkan gulungan sirih dari sudut bibir yang satu ke 

sudut lain. Selama melihat, tak sekalipun Andika 

menangkap suara tawa wanita tua ini. Andika menilai 

nenek peot itu termasuk manusia bersifat dingin. 

Sekitar delapan tombak di depan si Nenek 

Bongkok, Lelaki Berbulu Hitam berdiri dengan sikap 

tak sabar ingin melabrak lawan. Kedua tangannya 

terlihat meremas-remas jemari, membuat otot-otot 

tangan gempal itu bermunculan. Sesekali dia 

menggeram dengan tatapan mata menusuk. 

“Ayo! Tunggu apa lagi, Kunyuk Bohongan?” tantang 

si Nenek Bongkok berbarengan dengan semburan 

ludah berwarna merah ke bawah kakinya. 

Tak perlu lagi banyak basa-basi. Lelaki Berbulu 

Hitam langsung membuka sepertiga jurus andalan-

nya. Sudah bisa disadari kalau lawan yang bakal 

dihadapi tidak bisa diladeni dengan jurus tanggung.

“Grrr...!” 

Beriring geraman berat serta terseret, lelaki ber-

perawakan buruk itu menelentangkan kuku-kuku jari 

tangannya di depan wajah. Sesaat setelah terdiam, 

napasnya dihembuskan ke kuku jari jemarinya. 

“Fhuuuh....” 

Kuku panjang berwarna hitam serta runcing 

seperti milik hewan buas itu makin menghitam. Sisi-

sisinya tampak berpendar kehijauan. Tak lama 

kemudian, asap tipis mengambang dari sana. 

Wut! Wut! Wut! 

Lelaki Berbulu Hitam menggerak-gerakkan tangan-

nya dalam kecepatan menggila. Sepasang cakaran itu 

seakan hendak menghalau udara di sekitarnya. 

“Yeee.... Anak kecil ingusan juga bisa begitu!” 

ledek si Nenek Bongkok. 

Lelaki Berbulu Hitam tak mau lagi mendengarkan 

setiap kalimat mengolok-olok dari mulut lawan. 

Dengan satu tarikan napas, diterkamnya bumi 

sepenuh tenaga. Tak ada yang mengerti, kenapa 

tindakan bodoh itu dilakukannya. Bahkan Andika juga 

tidak mengerti. Tapi si Nenek Bongkok tampaknya 

sudah paham betul tindakan lawannya. Maka sebelah 

kakinya diangkat tinggi-tinggi, siap menanti serangan 

lawan selanjutnya. 

Di lain pihak, tubuh besar Lelaki Berbulu Hitam 

yang sudah menimpa tanah berpasir, meluncur 

seperti papan di permukaan es menuju bagian bawah 

tubuh si Nenek Bongkok dengan sepasang tangan 

mencabik-cabik ke depan. 

Wuk! Wuk! Wuk! 

Ketika tinggal empat kaki dari tubuh Lelaki Berbulu 

Hitam dari tempatnya, si Nenek Bongkok meng-

hentakkan kakinya yang telah diangkat sebelumnya

kuat-kuat ke bumi. 

Bammm! 

Seketika suara berdebam tercipta. Sepertinya, tak 

ada yang istimewa dari tindakan nenek itu. Tanah 

yang dihentaknya tak mengalami apa-apa. Bahkan 

debu pun tak terlihat mengepul. Amat bertolak 

belakang dengan bunyi keras yang dihasilkannya. 

Tapi, siapa nyana kalau hentakan kaki berkesan 

tak berarti itu sanggup melempar tubuh besar Lelaki 

Berbulu Hitam dari tanah tempatnya terseret? Dan 

yang terjadi memang demikian. Lelaki Berbulu Hitam 

seperti disentak kekuatan dasar bumi, hingga 

tubuhnya meluncur ke atas! 

Di udara, lelaki penuh bulu itu terperangah. 

Matanya melotot besar-besar. Tangan dan kakinya 

bergerak kalang-kabut, sebelum akhirnya mampu 

menguasai keseimbangan dengan memutar tubuh di 

udara ke samping. Dengan cara itu, dia bisa 

melepaskan diri dari dorongan kuat dari bawah. 

Jleg! 

Hanya dalam satu tarikan napas, lelaki itu sudah 

berdiri tegak kembali. Sekarang, wajah murkanya 

sudah terdepak entah ke mana, berganti dengan 

mimik keterkejutan. 

“Kau...,” kata Lelaki Berbulu Hitam terputus. Jari 

berbulunya menunjuk ke arah nenek bongkok. 

Matanya menatap tak berkedip, seakan sedang 

melihat setan memakai gincu. 

“Hek... hek... hek!” 

Untuk pertama kalinya, si Nenek Bongkok mem-

perdengarkan tawa. 

“Kau mulai mengenaliku?” tanya nenek itu dengan 

suara tak lagi sama seperti semula. Kali ini terdengar 

agak besar dan mantap.

“Hanya, seorang yang bisa melumpuhkan jurus 

maut 'Serigala Tak Berkaki' milikku dengan cara 

seperti tadi,” ucap Lelaki Berbulu Hitam nada 

suaranya tak setinggi sebelumnya. “Kau pasti....” 

“Ya, pasti!” terabas si Nenek Bongkok. 

Tubuh bongkok nenek itu tiba-tiba menegak. Satu 

demi satu dilepasnya punuk, rambut panjangnya, 

kemudian wajah keriput seperti mencopot topeng. 

Memang, sesungguhnya itu hanya sekadar topeng 

yang dibuat begitu halus, sehingga amat mirip dengan 

wajah nenek tua sesungguhnya. 

Sekarang bisa dilihat wajah dan tubuh asli si 

Nenek Bongkok tadi. Dia ternyata seorang kakek 

seusia Pendekar Dungu. Dagunya ditutup bulu putih 

lebat, tak begitu panjang. Kepalanya dibelit kain batik 

seperti blangkon Sunda, menutupi rambutnya yang 

putih tak terlalu panjang. Seperti juga Pendekar 

Dungu, laki-laki tua ini pun berwajah kerut-merut. 

Namun begitu, gigi-giginya masih lengkap. Itu terlihat 

sewaktu tertawa lepas. Dia mengenakan baju coklat 

berkerah pendek yang tertutup rapat. Sedangkan 

celananya berupa pangsi warna hitam. 

“Raja Penyamar! Tak kuduga kau sudah sepeot 

Pendekar Dungu...,” kata Lelaki Berbulu Hitam. 

“Ya! Rupanya kita berjodoh untuk bertemu lagi, 

meski jarak puluhan tahun telah memisahkan kita!” 

balas lelaki tua yang disebut sebagai Raja Penyamar. 

“Nah, sekarang cukup sudah salam perjumpaan kita. 

Aku pergi dulu...!” 

Lelaki tua itu lantas pergi tanpa memberi 

kesempatan Lelaki Berbulu Hitam berkata lagi 

sepatah kata. Kepergian Raja Penyamar cukup 

mengejutkan Andika. Cara perginya membuat 

pemuda itu teringat pada peristiwa beberapa hari

yang lalu. Sama seperti wanita cantik dan genit yang 

menggodanya dulu, si Tua Raja Penyamar pun berlalu 

cepat dari satu tempat, ke tempat lain tanpa terlihat 

menggerakkan badan sedikit pun. Dan Andika lebih 

terperanjat lagi, manakala hidungnya mencium wangi 

kembang sedap malam sepeninggalan Raja 

Penyamar. 

“Astaga! Jadi kakek tua itu yang dulu menyamar 

menjadi wanita cantik,” bisik Pendekar Slebor. “Hi... 

hi... hi.” 

Andika melepas tawa kecilnya, membayangkan 

dirinya berkencan dengan kakek bangkotan kalau 

dulu sempat tergoda. 

*** 

Empat hari setelah peristiwa di kedai, Pendekar 

Slebor berjalan melintasi satu lereng di kaki bukit 

cadas. Bertepatan dengan peristiwa di kedai, empat 

hari lalu pula di sana terjadi pertempuran sengit 

antara Lima Gembel Busuk melawan Manusia Dari 

Pusat Bumi. 

Mata tajam Andika langsung menangkap tanda-

tanda tak beres. Setelah menemukan beberapa 

lubang kasar bekas pukulan di dinding cadas 

sekitarnya. 

“Ada yang bertarung seru di tempat ini belum 

lama, rupanya,” simpul Andika saat memperhatikan 

kerusakan di dinding cadas. 

Dari kedalaman lubang di sana, Andika bisa 

memperkirakan kalau orang yang bertarung termasuk 

berkepandaian tinggi. Kalau berkepandaian 

tanggung, tak mungkin mampu membuat lubang 

sedalam dua jengkal di tempat yang keras seperti itu.

Satu depa di sekitar lubang, dinding cadas menjadi 

rapuh seperti bubuk. Pertanda kalau ada kekuatan 

pukulan lain, menyebar di sekitar tangan yang 

menembus dinding cadas. 

“Ilmu pukulan macam apa ini? Selama ini, tak 

pernah kutemukan pukulan seganas ini. Angin 

pukulan di sekitar tangan pemiliknya saja, sudah 

sanggup meremukkan cadas hingga menjadi leburan 

halus,” gumam Andika, mengagumi kehebatan 

pemilik pukulan. 

Perhatian Andika pada dinding yang porak-poranda 

di beberapa bagian, terpenggal oleh suara halus di 

belakangnya. Seperti desah napas terseret seseorang 

yang sedang sekarat. Andika cepat menoleh. Seketika 

matanya melihat seorang dalam keadaan amat 

payah, sedang berusaha menggerakkan tubuh dari 

balik sebongkah batu besar. Tak tampak ada darah di 

sekujur tubuhnya. Namun dari batas bahu hingga 

setengah tulang iga kanan tubuh lelaki itu tampak 

mengering seperti daging layu. Lelaki itu tak lain 

adalah Damarsuta, anggota Lima Gembel Busuk yang 

berkaki pincang. 

“Apa yang terjadi, Kang?” tanya Andika, setelah 

bergegas menghampiri Damarsuta. 

Damarsuta tak sanggup menyahuti pertanyaan 

Andika. Untuk menggerakkan mulut saja sudah sulit. 

Beberapa saat, dia seolah berjuang antara hidup dan 

mati hanya untuk membisikkan sesuatu. 

Andika cepat mendekatkan telinga ke mulut 

Damarsuta. 

“Hak... kim Tanpa Waj-jahh...,” bisik Damarsuta 

lirih. 

Setelah itu tak terdengar apa-apa lagi. Tidak juga 

tarikan napas. Lelaki pincang itu mati dalam keadaan

mengenaskan. Keadaan sebenarnya sudah tak 

memungkinkan lagi untuk bertahan hidup sekian 

lama. Namun karena tekadnya untuk memberitahu-

kan seseorang demikian kuat, nyawanya pun sanggup 

dipertahankan untuk beberapa lama. Empat hari dia 

tersiksa hanya untuk menyampaikan kalimat pendek 

tadi. 

Andika mengatupkan kelompak mata Damarsuta 

dengan telapak tangan. 

“Siapa manusia sinting bernama Hakim Tanpa 

Wajah itu?” bisik Pendekar Slebor nyaris berdesis 

karena geram. “Selama berkubang di dunia 

persilatan, julukan itu belum pernah kudengar. Tapi 

kalau kutilik dari ilmu pukulan di dinding cadas, aku 

yakin dia tokoh jajaran atas yang sudah cukup lama 

hadir di dunia persilatan. Apa mungkin orang itu 

muncul lebih dulu, lalu ketika aku muncul dia 

menyembunyikan diri? Dan kini, dia muncul lagi?” 

Penasaran dengan petunjuk tak jelas dari lelaki itu, 

Andika lalu memeriksa mayat Damarsuta. Dari baju 

bertambalnya, tak ditemukan apa-apa yang bisa 

dijadikan petunjuk. 

“Buntu,” gumam Andika lagi. 

Pendekar Slebor pun bangkit hendak pergi dari 

tempat itu. Sebelum benar-benar melangkah, sebuah 

seruan menahannya. 

“Anak muda! Jangan coba-coba melarikan diri!” 

Secepatnya Andika menoleh. Tak jauh di lereng 

sebelah timur, tampak dua lelaki yang pernah 

dilihatnya di kedai empat hari lalu berjalan beriringan. 

Tentu saja mereka adalah Lelaki Berbulu Hitam 

dengan Pendekar Dungu. 

“Ah! Orang-orang sinting itu lagi,” gerutu Andika. 

“Ada apa, Orang Tua?”

“Jangan sok ramah! Katakan saja pada kami, kau 

murid si Sundal Hakim Tanpa Wajah, bukan?!” bentak 

Lelaki Berbulu Hitam tanpa tedeng aling-aling. 

Andika kontan tertawa. Betapa geli hatinya 

mendengar tuduhan tak beralasan si Lelaki Ganjil itu. 

Jangan lagi menjadi murid, mengenal namanya saja 

baru kali ini! 

“Jangan tertawa!” bentak Lelaki Berbulu Hitam 

sekali lagi. 

Andika tentu saja jadi sewot. 

“Orang tua! Kau jangan bertingkah seperti 

penguasa, mengatur-ngatur mulut orang seenaknya. 

Orang berbicara ini tidak boleh, itu tidak boleh, 

tertawa tidak boleh! Apa kau mau aku menangis?! 

Seperti penguasa lalim yang lebih senang, membuat 

rakyat menangis daripada tertawa?!” khotbah 

Pendekar Slebor menggebu-gebu. 

“Huaaa... ha... ha!” Entah kenapa Pendekar Dungu 

tertawa mendengar semprotan kata-kata dari mulut 

Andika. 

“Jangan tertawa!” hardik Andika, ikut-ikutan 

tingkah Lelaki Berbulu Hitam padanya tadi. 

“Kau terlalu banyak mulut, Anak Muda. Apa 

susahnya kau katakan pada kami, kalau kau adalah 

murid Hakim Tanpa Wajah?” desak Lelaki Berbulu 

Hitam. 

“Kenapa aku harus mengaku?” 

“Ya, harus! Kalau tidak, tahu sendiri!” 

“Meski aku mengakui sesuatu yang tidak benar?” 

“Kau mau bilang, kalau kau bukan murid Hakim 

Tanpa Wajah?” 

“Aku memang bukan muridnya....” 

“Jangan mungkir. Sebelum tiba di tempat ini, aku 

sudah melihat dari jauh bekas pukulan di dinding

cadas itu!” 

Lelaki Berbulu Hitam menunjuk ke salah satu 

bekas pukulan di dinding cadas. 

“Aku tahu pemilik pukulan itu! Kalau ada orang 

yang memiliki pukulan ganas itu, tentu dia adalah 

muridnya!” lanjut Lelaki Berbulu Hitam 

“Hakim Tanpa Wajah?” 

“Nah, buktinya kau kenal dia!” sergah Lelaki 

Berbulu Hitam. 

“Tentu saja aku tahu nama itu, bukankah kau 

sudah menyebutnya beberapa kali tadi!” balas 

Andika. 

“O, iya. Aku lupa....” Lelaki Berbulu Hitam 

mengangguk-angguk sebentar. “Kenapa aku jadi 

ketularan penyakitnya si Dungu? Sialan!” 

Selagi Lelaki Berbulu Hitam sibuk dengan dirinya 

sendiri, Andika mempergunakan kesempatan itu 

untuk melesat pergi. Segenap kemampuan larinya 

segera dikerahkan, biar bisa cepat enyah dari dua 

manusia sinting yang bisa membuatnya jadi ikut 

sinting. 

“Hey, jangan lari!” tahan Lelaki Berbulu Hitam 

gusar. 

“Hey, lari saja!” teriak Pendekar Dungu, tanpa tahu 

apa-apa. 

Sambil mencaci maki habis Pendekar Dungu, 

Lelaki Berbulu Hitam lari secepat kilat mengejar 

Andika. Di belakangnya, Pendekar Dungu mengekori 

sambil terus bertanya-tanya sendiri. 

“Apa salahku, ya...? Apa salahku...?” 

***

DELAPAN


Hakim Tanpa Wajah dengan murid ajaibnya, Manusia 

Dari Pusat Bumi kian unjuk taring. Seperti mengulang 

kejadian delapan puluh tahun yang lalu, satu demi 

satu tokoh persilatan diculik. Mereka menghilang 

tanpa jejak, seakan ditelan bumi. Tak jarang di antara 

mereka mati di tempat kejadian, karena berusaha 

melawan. 

Dunia persilatan golongan putih gempar. 

Sementara, kaun hitam geger. Mereka tak habis pikir, 

bagaimana orang-orang andalan bisa menghilang tak 

tahu rimbanya atau mati mengenaskan. Selama ini, 

tak pernah terjadi tokoh-tokoh berilmu tinggi bisa 

rontok satu persatu dalam waktu begitu cepat. 

Beberapa orang saksi yang sempat melihat 

kejadian penculikan atau pembantaian, tak punya 

kesempatan untuk menyimpan nyawa lagi. Mereka 

mati mengenaskan, sama dengan korban yang 

bersikeras melawan. 

Seorang saksi mata yang sempat menyaksikan 

kejadian dengan mata kepala sendiri beruntung bisa 

pulang selamat. Entah kenapa, Hakim Tanpa Wajah 

dan Manusia Dari Pusat Bumi tidak mengetahui saat 

orang itu bersembunyi di atas sebuah pohon besar. 

Padahal, kedua manusia itu memiliki telinga yang 

amat tajam. Atau mungkin, orang itu sengaja 

dibiarkan hidup agar berita kemunculan mereka 

berdua dapat diketahui oleh seantero warga 

persilatan. 

“Aku tahu. siapa yang menculik tokoh-tokoh

persilatan!” teriak orang itu. Dia memang melihat 

peristiwa penculikan seorang tokoh golongan hitam di 

pinggiran hutan. 

Mendengar teriakan itu, orang-orang di sebuah 

dermaga kecil langsung mengerubungi. Sudah sejak 

lama mereka ingin mengetahui kabar seperti ini. 

Mereka penasaran, tapi tak pernah ada yang tahu. 

Berita yang dibawa orang ini membuat rasa 

penasaran meledak saat itu juga. 

“Apa yang kau bilang tadi?” tanya seseorang di 

antara kerumunan. 

“Aku tahu, siapa yang menculik tokoh-tokoh 

persilatan belakangan ini!” ulang si Pembawa Berita 

berkobar-kobar. 

“Siapa?!” 

“Ya, siapa?” 

“Ah! Kau jangan coba-coba ngibul, ya!” 

Si Pembawa Berita mulai bercerita. 

“Sewaktu aku sedang tidur-tiduran di batang 

pohon, kudengar suara orang bertengkar. Suara 

mereka keras dan lantang. Tak lama kemudian, 

disusul suara perkelahian seru. Wih! Baru kali ini 

kulihat pertempuran yang begitu hebat. Bayangkan 

saja....” 

“Jangan bertele-tele, Goblok!” sentak salah 

seorang pendengar, merasa kesal. 

“Iya-iya! Ketika aku melihat siapa yang berkelahi, 

ternyata seorang pemuda berperawakan menyeram-

kan. Apalagi, wajahnya. Iiih.... Dia sedang merangsek 

orang tokoh yang bernama Iblis Mata Darah. Kalian 

tentu tahu Iblis Mata Darah, bukan? Nah, pada saat 

itulah si Iblis Mata Darah bertanya siapa pemuda itu 

sesungguhnya. Juga, orang tua yang sedang 

menonton pertarungan. Kalau yang tua mengaku

sebagai Hakim Tanpa Wajah. Sedangkan yang muda 

berjuluk Manusia Dari Pusat Bumi. Kemudian kata 

mereka lagi, semua tokoh persilatan akan diadili di 

Pengadilan Perut Bumi. Gila tidak?! Gila tidak?!” 

“Kau yang gila!” 

“E, tidak percaya dengan ceritaku?!” 

“Bukan! Kau cerita terlalu seru, sampai ludahmu 

muncrat ke mukaku. Slompret, kau!” 

Lalu desas-desus pun membentang ke segenap 

penjuru angin. Berita tentang Hakim Tanpa Wajah 

dengan Manusia Dari Pusat Bumi dengan cepat 

menjadi bahan perguncingan yang tak pernah basi. 

Orang-orang dunia persilatan yang sadar kalau 

bisa jadi korban berikutnya, mulai hati-hati 

melangkah. Beberapa orang bahkan mulai membuat 

kelompok-kelompok tertentu, agar bila suatu saat 

kedua manusia menggemparkan itu muncul, bisa 

dihadapi bersama-sama. 

Namun begitu, dari hari ke hari, korban tetap saja 

bertambah. Sudah hampir empat belas orang jajaran 

berilmu tinggi telah menerima giliran. Siapa lagi yang 

akan menyusul, tak ada seorang pun tahu. Hakim 

Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi muncul 

tanpa pernah diduga. Setiap saat dan di setiap 

tempat, keduanya tiba-tiba saja menampakkan diri 

seperti hantu. 

Maka, jadilah keduanya momok yang paling 

menakutkan bagi dunia persilatan belakangan ini. 

Seperti juga pernah terjadi delapan puluh tahun yang 

lalu. Peristiwa lama yang sudah dilupakan orang. 

***

“Sudah kubilang pemuda sialan itu lewat sini!” 

Di dekat sebuah bangunan tua tak terurus, Lelaki 

Berbulu Hitam menghardik Pendekar Dungu. 

Setengah harian keduanya terus mengejar Pendekar 

Slebor. Kejar mengejar seperti kucing-kucingan 

terjadi. Bagi orang biasa atau berkepandaian 

tanggung, bila terus berlari selama itu tanpa henti 

akan membuat mereka sekarat kehabisan napas. 

Namun, tidak bagi Pendekar Slebor dan dua 

pengejarnya. 

Andika atau Pendekar Slebor sesungguhnya 

memiliki ilmu lari cepat yang sulit dicari tandingan 

pada masa ini. Kecepatannya sering disebut-sebut 

sebagai kecepatan setan. Tapi mau bilang apa, kalau 

kenyataannya si Pengejar ternyata sanggup meng-

imbangi kehebatannya? 

Pendekar Slebor pun makin yakin kalau kedua 

orang ganjil itu bukan tokoh sembarangan. Meski 

sampai saat ini belum juga bisa diketahui, siapa 

sesungguhnya mereka. 

Di tempat tersembunyi dalam bangunan tak 

terurus berupa kuil kecil, Andika hati-hati sekali 

mengawasi Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar 

Dungu. Rasanya dia menahan napas supaya tidak 

terdengar telinga dua manusia aneh itu, setelah 

menyadari kalau bukan orang sembarangan. 

“Ini semua karena salahmu! Kalau saja tadi kau 

tak menunjuk ke arah lain!” gerutu Pendekar Dungu 

dengan wajah bersungut-sungut jengkel. 

“Tapi, tunggu dulu,” sergah Lelaki Berbulu Hitam 

cepat-cepat. Tubuhnya diam tak bergerak. Begitu juga 

sepasang bola mata besarnya. Perhatiannya sedang 

dipusatkan ke arah bangunan tua tempat ber-

sembunyi Pendekar Slebor.

“Kau mendengar sesuatu?” tanya Pendekar 

Dungu. 

“Aku tidak dengar apa-apa. Pemuda sialan itu 

memiliki ilmu meringankan tubuh yang boleh juga. 

Tapi aku tahu, dia ada di dalam bangunan tua itu!” 

“Ah! Bagaimana kau yakin?” 

“Sudah jangan banyak mulut! Pokoknya, aku tahu 

dia ada di sana. Titik!” Lelaki Berbulu Hitam sewot. 

Di dalam kuil tua, Andika memaki-maki dalam hati. 

Sulit dimengerti, bagaimana lelaki berbulu itu tahu 

kalau dirinya ada di tempat tersebut? Terlihat olehnya 

tidak. Terdengar pun tidak. 

“Apa dia punya semacam indera keenam?” bisik 

Andika, bertanya pada diri sendiri. 

Entah karena kesal atau apa, Andika akhirnya 

keluar dari persembunyian. 

“Kalian ini sebenarnya mau apa, hah?!” hardik 

Andika mulai tak bisa menahan kedongkolan. 

Pendekar Slebor muncul cepat tepat di belakang 

kedua lelaki aneh itu dengan mengerahkan seluruh 

kemampuan ilmu lari cepatnya. 

Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu 

menoleh. Dari sikap, bisa dilihat kalau mereka sudah 

tahu kehadiran Pendekar Slebor yang tiba-tiba itu. 

Mana mudah orang-orang seperti mereka 

dipecundangi dengan cara begitu. 

“Sudah, jangan berpura-pura lagi! Ayo mengaku 

kalau kau murid si Hakim Tanpa Wajah!” balas Lelaki 

Berbulu Hitam, tak kalah menghardik. 

“Aduuuh!” gerutu Andika langsung menepak-nepak 

kepala dengan telapak tangan berkali-kali. “Aku 

sudah bilang, kalau bukan murid orang itu!” 

“Kalau kau bukan muridnya, kenapa bersembunyi 

dari kami?!” desak Lelaki Berbulu Hitam.

“Itu karena aku tidak berurusan apa-apa dengan 

kalian!” 

“Ngibul! Apa bukan karena kau takut pada kami? 

Ilmu gurumu itu, tak sanggup menandingi kehebatan 

kami berdua, bukan?” 

“Wah, Gusti.... Gusti! Kalian ini manusia macam 

apa? Kenapa senang sekali memaksakan kehendak! 

Sumpah mati tertabrak nyamuk, aku bukan murid 

orang yang kau sebutkan!” 

“Begini saja. Untuk mengetahui kalau kau murid 

Hakim Tanpa Wajah atau bukan, kau harus 

membuktikannya pada kami....” 

“Bagaimana caranya?” 

“Bertarung dengan kami!” 

“Lebih sinting lagi! Mana aku bisa bertarung 

sungguh-sungguh kalau tak punya urusan apa-apa 

pada kalian?!” 

“Takut?” 

Andika menaikkan hidung, hingga pangkalnya 

berlipat. Alis hitamnya menyatu. Hatinya mengkelap 

dengan ejekan lelaki itu. Sifat kerasnya timbul ke 

permukaan. Dia paling dongkol kalau disebut 

pengecut. 

“Baik..., baik!” putus Pendekar Slebor cepat. 

“Nah, begitu lebih baik....” 

“Aaah, sudah! Tunggu apa lagi?!” tantang Andika 

kalap. 

“Hiaaa!” 

Teriakan mengguntur Lelaki Berbulu Hitam 

terlempar ke angkasa. Kekesalannya selama ini pada 

kedunguan Pendekar Dungu, seperti mendapat 

kesempatan untuk dilampiaskan pada anak muda 

berpakaian hijau-hijau itu. 

Andika mulai dirangsek. Jarak yang cukup dekat,

dimanfaatkan Lelaki Berbulu Hitam untuk langsung 

menyambar leher Pendekar Slebor. 

Wuk! Wuk! 

Dua sambaran cakar kiri dan kanan merobek 

udara, Pendekar Slebor dengan sigap mengangkat 

kedua tangannya. Secepat gerakan geledek, tangan 

kanannya menahan tangan kiri Lelaki Berbulu Hitam. 

Sementara, tangan kirinya menjegal tangan kanan. 

Tak! Tak! 

Karena sama-sama menyalurkan kekuatan, 

sepasang tangan mereka terpaku di tempat dalam 

usaha menahan tenaga dalam masing-masing lawan. 

Beberapa saat lamanya, otot-otot kedua orang itu 

mengejang, menyebabkan bulir-bulir keringat sebesar 

biji jagung menyembul dari lubang kulit. Gigi mereka 

pun bergemelutuk, pertanda sama-sama ingin 

menjadi pemenang dalam adu tenaga ini. 

Dan saat itulah Lelaki Berbulu Hitam menyaksikan 

jelas-jelas tanda lahir berbentuk bintang berwarna 

hijau kebiruan di tangan kanan Andika. Matanya 

kontan membesar. Maka dia pun lupa dengan adu 

kekuatan. Tanpa sengaja, penyaluran tenaga dalam 

ke tangannya dihentikan secara mendadak. 

Akibatnya.... 

Buhgh! 

Hidung Lelaki Berbulu Hitam langsung saja terjotos 

punggung tangan Pendekar Slebor. Untung saja 

hanya terserempet. Kalau tidak, dia akan kehilangan 

hidung untuk selamanya. Meski begitu, tak urung 

tubuhnya melintir-lintir menahan sakit. Didekapnya 

hidung yang mengeluarkan darah. 

“Dhungu, watauuu!” 

“Astaga! Kenapa kau sekarang jadi begitu 

lamban?!” seru Pendekar Dungu yang hanya menjadi

penonton sejak tadi. “Hidungmu masih utuh? Kasihan 

sekali kalau kau kehilangan hidung. Pasti kau tambah 

jelek saja....” 

“Thiam khauuu!” 

“Apa?!” 

Lelaki Berbulu Hitam melepas pegangan pada 

hidungnya. 

“Kubilang, diam kau!” 

“Ooo...!” Pendekar Dungu mengangguk-angguk 

tolol. 

“Anak muda inilah yang kita cari. Dungu!” sambung 

Lelaki Berbulu Hitam. “Dialah 'Sang Penolong' agar 

kita bisa menyelesaikan masalah kita!” 

Pendekar Dungu tak menanggapi ucapan Lelaki 

Berbulu Hitam. Mulutnya bungkam seribu bahasa. 

Tak hanya itu. Dia bahkan tak bergeming sedikit pun 

seperti patung pesakitan! Rupanya, dia benar-benar 

diam seperti perintah Lelaki Berbulu Hitam. 

“Hey?! Apa kau tuli, Dungu! Anak muda itu yang 

kita cari-cari selama ini!” 

Pendekar Dungu tetap bungkam dam diam. 

“Dasar otak kerbau! Aku bukan menyuruhmu diam 

seperti itu! Aku hanya menyuruhmu tutup mulut!” 

ralat Lelaki Berbulu Hitam, setelah sadar ketololan 

kawannya. 

Melihat kejadian itu, Andika tak bisa menahan 

kegelian yang berontak dalam tubuhnya. Pendekar 

Slebor pun tergelak ramai. 

“Anak muda!” tegur Lelaki Berbulu Hitam, 

memenggal tawa meriah Pendekar Slebor. Mimik 

wajahnya berubah ramah. “Kau tentu pemuda berhati 

mulya, bukan? Kau pasti sudi menolong kami, bukan? 

Kau tentu tahu, kalau kami butuh bantuanmu, 

bukan? Bukan?”

“Bukan!” sentak Andika. 

“Lho?! Jangan begitu, aaah...! Wangsit yang datang 

pada kami berdua tak mungkin bohong. Kaulah orang 

yang bisa menolong kami untuk menyelesaikan 

masalah diri kami.... Iya, kan Dungu?” 

“Bukan!” jawab Pendekar Dungu, melatahi 

jawaban Andika. 

“Lho?!” Wajah Lelaki Berbulu Hitam mulai berang 

lagi. 

“Eh, iya maksudku!” ralat Pendekar Dungu, seraya 

memamerkan tiga butir giginya. 

“Nah! Kau dengar sendiri pengakuan kawanku itu, 

bukan?” lanjut Lelaki Berbulu Hitam pada Andika. 

“Kalian ini betul-betul tak bisa kumengerti. Mula-

mula menuduhku murid orang yang tak kukenal. 

Sekarang, kalian malah merayu-rayuku untuk 

kutolong. Dan terus terang saja, sampai saat ini pun 

aku belum mengerti maksud kalian...,” tolak Andika 

bersungguh-sungguh, setelah melihat kesungguhan di 

wajah Lelaki Berbulu Hitam. 

Baru saja kalimat Andika selesai, si Lelaki 

Berperawakan Buruk itu menubruk kaki Pendekar 

Slebor, lalu mendekapnya kuat-kuat. 

“Aduh! Jangan begitu pada kami, 'Tuan Penolong'. 

Aku tadi memang berbuat salah. Untuk itu, ampunilah 

aku. Ya. 'Tuan Penolong', ya? Ya, bukan?” ratap Lelaki 

Berbulu Hitam, memelas pada Andika. Sayang, 

wajahnya tetap tak meyakinkan layaknya orang 

memelas. Malah terlihat seperti orang menakut-

nakuti! 

Andika meringis serba salah. Bukan apa-apa. 

'Perkutut' di sarang rahasia miliknya tergesek-gesek 

bulu di kening Lelaki Berbulu Hitam. 

“Aku rasa, kalian meminta tolong pada orang

keliru,” tutur Andika. “Aku bukan orang yang pantas 

untuk dimintai pertolongan oleh orang-orang sehebat 

kalian.” 

“Wuaaa, waaau... wauuu!” 

Pendekar Dungu yang sudah terlihat bangkotan 

ikut menubruk kaki Andika. Kalau Lelaki Berbulu 

Hitam dari depan, orang tua ini dari belakang. Dengan 

membenamkan wajah dalam-dalam di selangkangan 

Andika, orang tua peot itu meraung-raung seperti 

anak kecil. 

Andika kian serba salah. 

“Baik..., baiklah. Aku akan mencoba menolong 

kalian,” putus Andika akhirnya. “Tapi kuminta kalian 

mau menceritakan dulu masalah sebenarnya....” 

Kontan saja dua orang aneh itu mendongakkan 

wajah cerah. Seterusnya mereka bangkit, lalu 

menandak-nandak riang, menari kian kemari melebihi 

lincahnya penari jaipong! 

“Nang... ning-ning-nang-ning-kung....” 

Berkali-kali Andika meringis-ringis tak karuan. Mau 

tertawa salah. Mau terharu, juga salah. 

“O, Gusti.... Dosa apa yang telah kuperbuat, 

sehingga Kau mengirim manusia-manusia sinting ini 

padaku,” keluh Pendekar Slebor. 

***

SEMBILAN


Matahari berwarna Jingga menyaput pagi, merayap 

perlahan dalam bentangan kaki langit sebelah timur. 

Ayam-ayam jantan berlomba memperdengarkan 

kokoknya yang lantang. Angin dingin sisa udara 

malam merambati bumi lamat-lamat. Suasana baru 

lengkap tercip-ta. 

Seorang pemuda berambut gondrong dalam pagi 

sejuk ini tampak bermandi keringat. Dia berjalan agak 

lunglai, di antara jajaran alang-alang jangkung. Baju 

hijaunya sudah basah kuyup. Napasnya pun 

berhembus cepat tak teratur. 

Pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar 

Slebor, semalaman suntuk memang habis berlari 

habis-habisan. Seluruh kemampuan ilmu meringan-

kan tubuhnya dikuras habis. Seperti juga sebelumnya. 

Pendekar Slebor kini berusaha melepaskan diri dari 

Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu yang 

dianggap sinting. 

Kemarin siang, setelah diminta untuk men-

ceritakan masalah masing-masing, kedua laki-laki 

aneh itu mengatakan kalau Andika adalah orang yang 

bisa menolong. Pendekar Slebor diminta untuk 

menghilangkan kekurangan dari masing-masing, 

terutama sifat-sifat mereka. 

Selesai mendengar semuanya, Andika jadi 

kebingungan sendiri. Bagaimana mungkin Pendekar 

Slebor bisa menghilangkan sifat berangasan Lelaki 

Berbulu Hitam, dan membantu Pendekar Dungu agar 

bisa menilai mana orang baik dan orang jahat?

Semula Andika mengira masalah yang dihadapi biasa 

saja. Mungkin mereka butuh tenaga untuk meng-

hadapi sekelompok manusia bejad, atau membantu 

mencari seseorang. Maka kalau untuk masalah yang 

mereka utarakan, Andika benar-benar angkat tangan 

tinggi-tinggi. 

Meski Andika sudah mengatakan kalau tidak bisa 

membantu, mereka tetap saja ngotot. Andika yang 

dikenal urakan, tetap saja dia dibuat kalang kabut 

oleh sikap kelewatan dua manusia aneh itu. 

Akhirnya, dengan sedikit akal-akalan, Andika akhir-

nya bisa meloloskan diri. Sayangnya, Lelaki Berbulu 

Hitam dan Pendekar Dungu langsung mengejar. Maka 

kejar-kejaran pun terjadi lagi. Pendekar Slebor terus 

berlari karena tak ingin berurusan dengan orang yang 

dianggap kurang waras. Mengurusi mereka hanya 

membuang-buang waktu, begitu pertimbangannya. Di 

lain pihak, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu 

terus mengejar. Karena mereka yakin, Andika-lah 

orang yang dimaksud dalam wangsit. 

Setelah nyaris kehabisan napas, barulah Pendekar 

Slebor bisa melepaskan diri dari kejaran. 

“Mereka betul-betul sinting,” keluh Andika dalam 

helaan napas memburu. Dia terduduk lemas di 

bawah alang-alang. 

“Ya.... Mereka memang orang-orang sinting. Tapi 

mereka patut dikasihi....” 

Mendadak terdengar sahutan yang mengelak 

ucapan Andika dari belakang. Tatkala Andika 

menoleh, tampaklah orang tua yang kini dikenal 

sebagai Raja Penyamar sedang bersila tenang di 

pucuk sebatang ilalang. Lelaki berumur lanjut ini 

memang tak kalah aneh dengan dua orang yang 

mengejar-ngejar Andika.

“Kau lagi. Apa maumu sebenarnya? Kenapa kau 

dulu menipuku dengan menyamar sebagai 

perempuan brengsek?” cecar Andika, setelah 

terlonjak bangkit bersungut-sungut. 

“Aaah, sudahlah. Kenapa soal kecil itu jadi dibesar-

besarkan!” sergah Raja Penyamar. 

Orang tua itu langsung menatap Pendekar Slebor. 

Tampak sinar mata Andika menyala-nyala seperti 

mendesak menginginkan jawaban. 

“Ya, ya. Aku memang ada maksud tertentu 

padamu. Sewaktu menyamar dulu, aku hanya ingin 

membuktikan apakah kau benar-benar Pendekar 

Slebor, si Pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan. 

Sengaja kau kupancing, agar mengakui sendiri kalau 

kau memiliki tanda bintang di tangan kananmu...,” 

papar Raja Penyamar mantap dan berkesan penuh 

wibawa. 

“Tapi kenapa harus menyamar menjadi wanita 

cantik?” desak Andika, tak puas mendengar jawaban 

si Raja Penyamar barusan. 

Lelaki tua berwajah alim itu melepas tawa kecil 

yang terdengar sejuk di telinga Andika. 

“Karena kalau bukan keturunan Pendekar Lembah 

Kutukan, maka pasti kau sudah tergoda,” jelas Raja 

Penyamar. “Selama kukenal, keturunan pendekar 

agung itu tak gampang kena bujuk rayu. Bahkan dari 

bidadari sekali pun....” 

Andika jadi besar kepala. Dia merasa tersanjung 

dengan penuturan Raja Penyamar. “Jadi, apa 

maksudmu denganku?” 

“Sebelum kujawab, aku ingin mengajukan 

pertanyaan padamu, Anak Muda.” 

“Silakan....” 

“Apakah kau ingin mengetahui peristiwa besar

yang akan terjadi pada zamanmu, yang menyangkut 

peristiwa di bukit cadas tempat kau menemukan 

lelaki berpakaian kumuh?” 

Andika tak berusaha menanggapi. Ditunggunya 

ucapan Raja Penyamar lebih lanjut. 

“Aku tahu, kau pasti ingin mengetahuinya,” simpul. 

Raja Penyamar, menilik mimik wajah pemuda di 

dekatnya. “Kalau kau ingin tahu, pergilah ke 

Kampung Kelelawar di sebelah selatan. Kau harus 

menemui seseorang di sana....” 

Andika ingin bertanya. Tapi, si Raja Penyamar 

menahan gerak bibir pemuda itu hanya dengan 

mengacungkan jari telunjuknya. 

“Ini,” sambung orang tua itu sambil melempar 

sebuah kitab tebal bersampul yang terlihat sudah 

amat tua ke pangkuan Andika. “Kitab itu mungkin 

berguna buatmu kelak. Pelajari isinya....” 

Selesai berpesan, Raja Penyamar menghilang 

seperti sebelumnya. Tubuhnya berpindah dari satu 

pucuk ilalang ke pucuk lain yang jauh, tanpa 

menggerakkan bagian tubuhnya sedikit pun. 

Sehingga dia tampak seperti orang bersila yang 

melayang cepat. 

*** 

Desa Bangbung bersebelahan dengan Kampung 

Kelelawar. Kedua desa itu memang terletak di lereng 

gunung berapi. Jalan pintas satu-satunya yang paling 

dekat untuk menuju Kampung Kelelawar, memang 

hanya melewati Desa Bangbung. Setiap beberapa 

tahun sekali, gunung berapi itu memuntahkan lahar 

panas. Dan belakangan ini, sang Raksasa Alam itu 

tampak tenang dengan kepulan asap putih tipis di

puncaknya. 

Siang ini di sebuah warung kopi kecil di Desa 

Bangbung, beberapan penduduk tampak tengah 

menikmati obrolan santai yang begitu lepas. Seolah-

olah mereka tak pernah dibebani masalah. Dua orang 

di antaranya mengangkat kaki ke bangku panjang di 

depan meja. Di belakang meja, seorang gadis manis 

sedang mengaduk-aduk kopi di cangkir tanah liat. 

Di tengah obrolan mereka, datang seorang lelaki 

gembrot berkumis baplang. Pipinya yang tebal seperti 

bantal, berwarna agak kemerahan tersengat 

matahari. Dengan perut buncit seperti orang hamil, 

baju biru tuanya tampak kesempitan. Rambutnya 

yang sepanjang pinggang, dikuncir buntut kuda. 

Buntalan kain hitam diikatkan di bahunya. 

“Minta kopinya, Cah Ayu,” pinta lelaki gembrot itu, 

begitu duduk di ujung bangku panjang. Matanya yang 

cacat bekas luka benda tajam, melirik nakal pada 

gadis pemilik warung. 

“Kakang ini sepertinya orang baru, ya?” sapa 

seorang pemuda di sebelah laki-laki gembrot itu, 

ramah. Adat sopan-santun dan ramah tamah di desa 

itu memang masing mengakar kuat. 

“Betul,” jawab lelaki bertubuh boros, singkat. 

“Tujuannya hendak ke mana?” lanjut pemuda tadi. 

Laki-laki gembrot pendatang ini melempar 

pandangan ke gunung berapi yang menjulang angkuh 

di kejauhan. 

“Kampung Kelelewar,” jawab si Gembrot datar. 

“Astaga! Apa Kakang tahu, tempat macam apa 

itu?” 

Lelaki lain ikut nimbrung. Paras mukanya berubah 

ketakutan, seperti juga tiga lelaki di sana. 

“Kenapa dengan tempat itu?” tanya si Gembrot,

terpancing melihat perubahan wajah mereka. 

“Kalau kau ingin tahu soal tempat itu, kau mesti 

bertanya padaku!” serobot orang lain yang baru 

datang. 

Lelaki itu tampak angkuh. Perawakannya besar 

dan kekar dengan brewok lebat. Kepalanya botak 

polos, memantul cahaya matahari yang menimpanya. 

Melihat lagaknya, tentu dia seorang jawara yang 

ditakuti di desa ini. Sambil menyingkap jubah 

hitamnya, kakinya diangkat ke atas bangku. 

“Akulah orang satu-satunya di sekitar wilayah ini 

yang paling tahu tempat itu. Karena, hanya aku yang 

berani datang ke sana,” jelas laki-laki brewokan itu, 

sesumbar. 

“Seberapa banyak kau tahu tempat itu?” tanya 

lelaki gembrot. 

“Banyaaak! Kau ingin tahu?” 

Si Gembrot mengangguk tanpa menatapnya. 

“Tapi, kau harus membayarku....” 

“Berapa?” 

“Tak banyak. Asal cukup untuk membayar gadis 

warung ini, ha ha ha!” 

Si Gembrot segera mengeluarkan dua keping uang 

perak. Dijentiknya dua keping uang itu dengan jari, 

hingga melayang berputar-putar. Dan seketika itu 

pula, lelaki brewok itu menyambarnya. 

“Hanya dua keping?” tanya si Brewok dengan bibir 

mencibir. 

Tiba-tiba saja si Brewok melempar uang logam di 

tangannya ke kayu penyangga warung. Sing...jep! 

Benda logam itu pun kontan menancap hampir 

setengahnya. 

“Kau pikir, aku ini siapa, heh?! Berani benar kau 

membayar keteranganku dengan dua keping perak?!”

bentak si Brewok kasar pada si Gembrot. 

Namun orang yang dibentak tak menggubris. 

Malah tenang-tenang saja. kopi panasnya diseruput 

sedikit demi sedikit. Sikapnya ini memancing 

kemarahan si Botak. Dengan lagak penuh 

keangkuhan, si Brewok menggebrak kursi dengan 

kakinya. 

Brak! 

Bangku kayu itu kontan hancur terbelah dua. Dua 

lelaki desa yang duduk bersama si Gembrot kontan 

jatuh, dengan pantat menghantam tanah. Sementara 

mereka meringis-ringis menahan sakit, si Lelaki 

berbadan gembrot masih tetap santai dalam keadaan 

duduk mengangkat sebelah kaki. Padahal, sudah tak 

ada bangku lagi! 

“Heh?! Permainan anak kecil yang mengandalkan 

otot kaki,” ejek lelaki brewok. Didekatinya si Gembrot 

dengan wajah sarat ancaman. 

“Hih!” 

Begitu cepat kaki si Brewok menyapu kaki lelaki 

berbadan boros yang sedang menopang tubuhnya. 

Namun, si Gembrot lebih cepat lagi mengangkat 

kakinya. Niat si Brewok untuk menggulingkan tubuh 

besar itu gagal. Bahkan dengan gerakan seringan 

kapas si Gembrot menaikkan kedua kakinya ke 

udara. Tubuh besarnya kini melayang seperti 

gelembung udara di atas pecahan papan bangku 

yang menjorok ke atas. Padahal, pecahan papan itu 

sangat lancip setipis mata pisau! 

Sampai di situ, si Jawara Brewok mulai sadar kalau 

orang yang sedang berurusan dengannya tidak bisa 

dianggap enteng. Hanya tokoh jajaran atas yang bisa 

melakukannya. Tiga puluh tahun lagi, dia melatih ilmu 

meringankan tubuh, belum tentu bisa melakukannya.

Pikir punya pikir, si Brewok angkuh itu akhirnya 

menyingkir takut-takut, kemudian menghambur 

keluar dari kedai kopi itu. 

Sepeninggalannya, terdengar tepukan berirama 

santai dari jarak dua puluh tombak dari kedai. 

Asalnya dari dua lelaki. Masing-masing bertubuh 

tinggi besar dan berbulu, dan satu lagi bertubuh 

ringkih seperti orang tua penyakitan. Mereka adalah 

Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. 

Sesaat si Gembrot menoleh. Selanjutnya, kopinya 

diseruput kembali. Sikapnya seperti seorang yang 

sedang berpura-pura. 

“Kenapa harus bertepuk tangan? Bukankah hal 

seperti itu amat mudah dilakukan?” tanya Pendekar 

Dungu, ketika keduanya menghampiri kedai kopi ini. 

“Jangan banyak tanya dulu!” tahan Lelaki Berbulu 

Hitam. 

Laki-laki berbulu itu, tak mau Pendekar Dungu 

lebih banyak bertanya lagi. Dari wajahnya yang biasa 

berang, terlihat pancaran rasa senang. Entah kenapa, 

sifatnya jadi demikian. Padahal, itu sangat jarang 

terjadi pada dirinya. 

“Akhirnya kau ditemukan di sini, 'Tuan Penolong'!” 

sapa Lelaki Berbulu Hitam begitu tiba di depan lelaki 

gembrot tadi, cukup ramah. Lagi-lagi hal yang amat 

jarang muncul dalam dirinya. 

Si Gembrot menoleh sejenak seperti sebelumnya. 

Lalu dia mulai acuh lagi. 

“Aku tak tahu, siapa yang kau maksud,” ucap si 

Gembrot datar. 

“Aaah! Jangan begitu, 'Tuan Penolong'. Meski kau 

menyamar menjadi seekor katak sekalipun, 

penciuman serigalaku tak akan dapat tertipu....” 

“Apa maksudmu? Aku tak mengerti?”

“Sudahlah. Apa kau tak tahu, kalau aku adalah 

manusia berdarah serigala? Aku memiliki penciuman 

yang amat tajam seperti serigala. Sehingga, aku 

dapat membedakan bau tubuh seseorang....” 

Si Gembrot menampakkan kekecewaan pada 

wajahnya. Dihelanya napas beberapa kali. 

“Baiklah. Aku menyerah,” desah si Gembrot. 

Segera laki-laki bertubuh subur ini menanggalkan 

penambal wajahnya yang ternyata terbuat dari getah 

suatu pohon. Dari getah itu bisa dibentuk dan 

diwarnai sedemikian rupa, sehingga mirip pipi 

manusia. Tubuhnya yang dibuntal kain yang cukup 

banyak, mulai dilolosi. Sehingga dia tak lagi nampak 

gembrot. Rambut palsu yang panjang pun ikut 

ditanggalkan. Kini terlihatlah wajah tampan aslinya. 

Wajah seorang pemuda yang lebih dikenal sebagai 

Pendekar Slebor. 

Sesungguhnya, kitab tua yang diberikan Raja 

Penyamar pada Andika beberapa hari lalu, adalah 

kitab pelajaran ilmu menyamar yang begitu 

sempurna. Jika hanya dengan mata dan telinga, 

orang akan tertipu. Sebab dari kitab itu bisa dipelajari 

bagaimana seseorang bisa mengubah wajah dan 

penampilan, sekaligus suara. 

Kecerdasan dan kemauan kuat Andika, mem-

bantunya menyelesaikan kitab itu hanya dalam 

beberapa hari. Sebelumnya, Andika tak begitu 

tertarik. Baginya, ilmu itu seperti merupakan perisai 

orang-orang pengecut yang ingin bersembunyi di balik 

topeng. Atau, orang-orang bejad yang ingin lari dari 

tanggung jawab. Namun Pendekar Slebor butuh 

pendukung agar tak lagi dikuntit oleh Lelaki Berbulu 

Hitam dan Pendekar Dungu, akhirnya kitab itu 

dipelajari juga. Andika memang tidak mau urusannya

diganggu kedua orang itu. Lagi pula, tak ada salahnya 

mempelajari satu ilmu. Toh, baik buruknya satu ilmu, 

tergantung manusia yang mempelajarinya. 

Harapannya untuk bisa mengelabui dua penguntit 

tadi, kini hancur seketika ketika dengan mudah lelaki 

seram yang mengaku sebagai keturunan serigala ini 

mengetahui penyamarannya. 

“Bagaimana, Tuan Penolong'? Apakah kau sudah 

bersedia membantu masalah kami?” desak Lelaki 

Berbulu Hitam. 

Andika membayar kopi serta kerusakan bangku 

pada si Gadis pemilik warung. Kalau tadi matanya 

melirik nakal pada gadis itu, sekarang giliran mata 

gadis itu yang melirik nakal padanya. Meskipun pada 

saat ini, gadis itu masih belum percaya kalau 

penampilan buruk Andika tadi sekadar penyamaran. 

Dengan kedongkolan menggelantung di teng-

gorokan, Andika memasukkan alat-alat menyamarnya 

ke dalam buntalan kain. Termasuk baju besar berisi 

kain-kain yang dilapisi kapuk. Dia harus mencari akal 

lain agar bisa meloloskan diri dari dua manusia 

merepotkan ini. Belum sempat Andika menemui akal, 

mendadak saja.... 

“Pengadilan menanti!” 

Tiba-tiba terdengar satu teriakan menggelegar 

merambah angkasa. Mendengar teriakan tadi, Lelaki 

Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu menoleh paling 

cepat di antara pengunjung lainnya. Keduanya begitu 

terkejut, begitu mengenali jenis suara dan kata-kata 

tadi, sebuah teriakan yang ditakuti oleh orang-orang 

persilatan delapan puluhan tahun lampau. 

“Hakim Tanpa Wajah?” desis lelaki Berbulu Hitam 

nyaris tak percaya. 

Mata laki-laki berbulu itu menatap lurus ke asal

suara, di mana dua orang berbeda usia berdiri 

mengancam. Yang satu adalah si Hakim Tanpa 

Wajah. Sedang yang lain tentu saja Manusia Dari 

Pusat Bumi. 

“Hakim Tanpa Wajah,” bisik Pendekar Dungu, tolol 

sekali. 

“Jadi si Manusia Sialan itu benar-benar masih 

hidup seperti kita juga?” tanya Lelaki Berbulu Hitam 

“Jadi manusia sialan itu benar-benar masih hidup, 

ya?” ulang Pendekar Dungu. Padahal, justru dia yang 

tadi ditanya oleh Lelaki Berbulu Hitam. 

“Dungu! Apakah kau percaya kalau manusia itu 

akan bertingkah lagi mengadili orang-orang 

persilatan?” susul Lelaki Berbulu Hitam, bertanya lagi 

pada Pendekar Dungu. 

“Ya! Apakah aku percaya?” Sementara dua lelaki 

aneh itu berdiri tegang, menatap dua titik yang mulai 

bergerak ke arah mereka dikejauhan, Andika sudah 

tidak ada lagi di tempatnya. Sewaktu Lelaki Berbulu 

Hitam dan Pendekar Dungu lengah karena men-

dengar teriakan Hakim Tanpa Wajah, Pendekar 

Slebor langsung memanfaatkan kesempatan untuk 

mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya. 

Dalam sekejap, dia sudah jauh dari warung kopi. 

Tujuannya jelas, ke Kampung Kelelawar seperti pesan 

Raja Penyamar. Sayang, kalau saja pemuda sakti itu 

bisa sedikit lama tinggal, tentu akan mendengar 

Lelaki Berbulu Hitam menyebutkan nama Hakim 

Tanpa Wajah, orang yang sedang dicarinya karena 

berhubungan dengan peristiwa di Bukit Cadas. Di 

mana si Lelaki Pincang dari Lima Gembel Busuk 

pernah menyebut-nyebut namanya, sebelum tewas. 

***

SEPULUH


Pertarungan besar sepanjang abad ini siap terjadi. 

Bagaimana tidak? Dua tokoh tua tak tertandingi 

delapan puluh tahun yang lalu akan berbaku jurus 

dengan seorang tokoh tua tak tertandingi pula pada 

zamannya, didukung oleh pemuda keturunan 

siluman! 

Kesaktian mereka tak diragukan lagi, dan pasti 

akan segera memporak-porandakan tempat sekitar-

nya. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu, dan 

Hakim Tanpa Wajah pasti menggunakan ilmu-ilmu 

puncaknya. Belum lagi kesaktian milik si Pemuda 

Keturunan Siluman yang selama ini belum diper-

lihatkan seluruhnya pada sang Guru. 

Di kedai kopi saat ini juga telah ditinggali 

pengunjung maupun pemiliknya. Mereka semua tahu 

gelagat bahwa akan ada sebuah bentrokan dahsyat, 

yang bisa saja menjadikan nyawa melayang. 

Manakala angin dingin dari kaki gunung merayapi 

tanah lapang dekat warung kopi, empat orang lelaki 

yang siap bertarung berdiri tegang tanpa gerak. Dua 

orang pada satu sisi, sedang dua orang lain delapan 

tombak pada sisi lain. Rambut dan pakaian mereka 

tampak bergeletar diusuk angin, seolah menjadi panji 

yang menandai dimulainya pertarungan maut! 

Lama mereka saling menusuk dengan tatapan. 

Sampai akhirnya, terdengar ledakan suara melompat 

dari mulut salah seorang. Suara itu begitu melengking 

menjotos langit, bagai tetabuhan dalam upacara para 

siluman sesat. Dari rongga mulut siapa lagi jenis

teriakan itu tercipta, kalau bukan milik Manusia Dari 

Pusat Bumi.... 

“Eaaa...!” 

Manusia Dari Pusat Bumi membuka jurus awal. 

Serangan pembuka yang langsung masuk ke satu 

dari sekian jurus pamungkas, 'Tenaga Sakti Pembelah 

Bumi'. Tak ada perintah dari Hakim Tanpa Wajah 

padanya untuk langsung mengerahkan jurus ini. 

Tindakannya semata didorong oleh naluri makhluk 

halus dalam dirinya yang memberitakan bahwa lawan 

tidak bisa dihadapi dengan jurus-jurus tanggung. 

Menyambut gerakan pemuda Manusia Dari Pusat 

Bumi, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu 

tidak mau diam. Mereka cepat pula membuka jurus, 

memainkan kembangan jurus-jurus tangguh masing-

masing. 

Deb, deb, wuk, zes! 

Laksana tiga pusat gelombang samudera, gerak 

ketiga orang itu menciptakan terpaan kekuatan ke 

segenap penjuru mata angin. Debu langsung 

menghambur tinggi-tinggi, kerikil terhempas deras-

deras, bebatuan berguliran kencang, dan bumi pun 

bagai diamuk badai! 

“Heaaa!” 

Manusia Dari Pusat Bumi memulai serangan. 

Diterjangnya dua lawan dengan hentakan-hentakan 

kaki berdebam ke bumi. 

Blam, blam, blam! 

Pada jarak tiga depa dari kedua lawan, pemuda 

keturunan siluman itu cepat mengangsurkan 

sepasang kepalannya ke kepala masing-masing 

sasaran. Seketika terdengar bunyi menderu, mem-

barengi hantaman dahsyat yang siap meremukkan. 

Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu tentu

saja tak sudi membiarkan kepala mereka dijadikan 

sasaran empuk. Mereka langsung berkelit ber-

barengan ke samping kanan, sehingga luput dari 

hantaman. Sambil tetap memiringkan tubuh, Lelaki 

Berbulu Hitam mendepak perut Manusia Dari Pusat 

Bumi. Sedangkan Pendekar Dungu melepas tusukan 

jari tangan ke dada. 

Namun, serangan balasan mereka dengan mudah 

dimentahkan. Manusia Dari Pusat Bumi dengan 

mengangkat satu kaki tinggi-tinggi dan menekuknya 

di depan dada dan perut. Alhasil, depakan dan 

tusukan kedua lawan hanya sempat memakan 

kakinya yang memang sudah dipersiapkan untuk 

membentengi. 

Sebagai tokoh tua yang sudah terlalu kenyang 

makan asam garam, serangan yang mudah 

dimentahkan itu sebenarnya hanya siasat. Tak 

mungkin serangan bersama itu dibuat, sehingga 

begitu mudah diduga lawan. 

Maka pada saat yang demikian tipis dari serangan 

pertama, dua tokoh bangkotan itu membuat satu 

gerakan tak terduga. Lelaki Berbulu Hitam menanduk 

Manusia Dari Pusat Bumi dengan kepalanya. Di lain 

pihak, Pendekar Dungu menjatuhkan diri lantas 

menyapu kaki pemuda siluman itu demikian cepat. 

Dak! Sret! 

Berbarengan dengan mendaratnya kepala Lelaki 

Berbulu Hitam ke kening pemuda itu, kaki Pendekar 

Dungu pun berhasil mengait kuda-kuda Manusia Dari 

Pusat Bumi yang hanya mengandalkan satu kaki. 

Maka tak dapat ditahan lagi, Manusia Dari Pusat 

Bumi terlempar deras ke belakang. 

Begitu dahsyat penggabungan serangan dua tokoh 

tua itu, sehingga Manusia Dari Pusat Bumi terpental

bagai kerikil sembilan belas tombak jauhnya! Tubuh 

kekar berotot menonjol pemuda siluman itu pun 

meninju tanah berbatu. Siapa pun manusia yang 

menerima hantaman keras dari kepalan Lelaki 

Berbulu Hitam sudah bisa dipastikan akan terlempar 

ke neraka. Jangan lagi kening, lempeng baja setebal 

dua jengkal saja, bisa mencekung dalam. Tapi, 

Manusia Dari Pusat Bumi bukan sekadar manusia. 

Dia adalah gabungan keturunan antara manusia 

dengan siluman! 

Tanpa luka berarti, pemuda menyeramkan itu 

bangkit. Bibirnya menyeringai penuh ejekan. Matanya 

berbinar, membersitkan cahaya haus darah.... 

Sementara itu, jauh di balik gunung berapi, 

Pendekar Slebor telah memasuki wilayah Kampung 

Kelelawar. Seperti namanya, kampung itu memang 

menjadi tempat bersemayamnya jutaan kelelawar 

sebesar kera. Mereka menggelantung di pohon dan 

atap-atap rumah terbengkalai. 

Seratus dua puluh tahun yang lalu, desa itu pernah 

dihuni para penduduk asli. Namun sewaktu jutaan 

kelelawar menyerbu, banyak di antara mereka yang 

mati terisap darahnya. Dan hanya segelintir orang 

saja yang sanggup menyelamatkan diri. 

Betapa bergidik Andika, menyaksikan ratusan 

tubuh hitam memenuhi sebatang pohon tua besar. 

Mereka bagai buah-buahan dari neraka, menjijikkan 

dan membuat bulu kuduk merinding. 

Kedatangan Pendekar Slebor tampak tak 

mengusik kenyenyakan tidur mereka. Namun 

sewaktu kaki pemuda itu melintasi satu garis dari 

bercak-bercak darah, mata mengancam makhluk-

makhluk itu mulai terbuka. Ratusan pasang mata 

bersinar merah muncul di sana-sini. Makin lama

makin banyak. Di dahan-dahan kering merangas, di 

puncak-puncak atap rumah tua, di atas daun pintu, di 

daun jendela, di tiang-tiang kayu, juga di nisan-nisan 

batu besar. 

Kini tampaklah pemandangan berjuta pasang bola 

merah menyala mengawasi si Pendatang, bagai para 

pemakan bangkai menatapi hidangan mayat. 

Pada saatnya, satu kelelawar memperdengarkan 

jeritan menyayat. 

“Kiiikkk!” 

Seekor di antaranya mulai mengepakkan sayap 

kuat-kuat, lalu terbang menuju Andika. Seperti 

mendapat aba-aba, ratusan kelelawar lain mengikuti! 

Maka terciptalah tumpang-tindih bunyi kepakan 

sayap mengerikan. 

Sekujur otot di tubuh Pendekar Slebor kini 

menegang. Tak pernah diduga akan menghadapi 

lawan macam ini. Ratusan kelelawar pengisap darah 

besar yang. kemudian menjadi ribuan, siap mem-

perebutkan darah Pendekar Slebor! 

Langit mendadak seperti diselubungi warna-warni 

gelap dari tubuh para kelelawar. Dari utara hingga 

selatan, dari barat hingga timur. Mereka menjerit-jerit 

memekakkan, dalam serbuan besar-besaran. 

“Gila!” desis Andika. Sebelum sempat memaki lagi, 

beberapa sambaran menukik dari belakang. 

“Kiiikkk!” 

Secepat kilat Pendekar Slebor menjatuhkan badan 

ke tanah. Maka sambaran-sambaran berbau maut 

itupun hanya sempat menderu di atasnya. Selagi di 

tanah, tanpa sengaja Andika dihadapkan pada 

tumpukan kerangka manusia, korban para makhluk 

haus darah! 

“Mereka benar-benar hewan dari dasar neraka!”

rutuk Andika. “Aku harus berbuat sesuatu kalau tak 

ingin bernasib sama dengan kerangka-kerangka ini.” 

Andika pun segera melepas kain bercorak catur 

dengan hati-hati. Dia tahu, gerakan kecil tubuhnya 

akan segera memancing ratusan kelelawar lain untuk 

menyambar dari udara. 

Ketika kain pusakanya sudah tergenggam kuat di 

tangan, Pendekar Slebor menghentakkan kakinya 

dengan tenaga penuh. Sekejap berikut, tubuhnya 

sudah bangkit kembali dengan kuda-kuda siap 

menanti serbuan. Benar saja dugaan Andika, 

gerakannya tadi ternyata langsung membuat para 

kelelawar merangseknya. Dari udara, kuku-kuku 

tajam mereka mengancam setiap bagian tubuh 

Pendekar Slebor. 

“Kiiikkk!” 

Puluhan kelelawar datang. Tubuh-tubuh mereka 

menukik tajam. 

Wuk! Wuk! Ctar! Ctar! 

Pendekar Slebor langsung menyambut mereka 

dengan hadiah perkenalan. Sabetan tajam kain 

pusakanya, membabat belasan ekor kelelawar, 

membuat kepala binatang itu hancur. Bahkan ada 

pula yang sayapnya tersayat lebar. Tubuh mereka 

yang terluka parah, langsung berjatuhan meninju 

tanah bergantian. Sebagian di antaranya kehilangan 

nyawa saat itu juga. Sementara, yang lain meng-

gelepar-gelepar hebat. 

Kejadian yang tak kalah menggidikkan pun terjadi. 

Kelelawar-kelelawar yang tak terluka di atasnya, 

menyerbu tubuh kawan mereka sendiri yang terjatuh 

di tanah. Satu kelelawar luka dirubungi puluhan 

kelelawar lain. Daging dan kulit mereka dikoyak-koyak 

tanpa ampun. Kelelawar-kelelawar yang mendapat

keratan daging atau isi perut kawannya, langsung 

melayang kembali ke angkasa. Seolah mereka 

gembira dan bangga dengan apa yang didapatnya. Di 

luar itu, yang paling diincar adalah darah kawan naas 

mereka. Dalam waktu tak begitu lama, mereka 

sanggup mengeringkan darah satu ekor kelelawar! 

Meski memperhatikan dengan bergidik, Andika tak 

kehilangan akal sehatnya sedikit pun. Kini, Pendekar 

Slebor punya cara menghadapi kelelawar-kelelawar 

buas itu, tanpa harus menguras tenaga. Sejenak 

dikerahkannya tenaga sakti warisan Pendekar 

Lembah Kutukan pada sepasang telapak tangan. 

Lalu.... 

“Hiaaa!” 

Teriakan mengguntur Pendekar Slebor mengejut-

kan puluhan kelelawar yang sedang berpestapora 

menikam tubuh kawannya. Mereka hendak 

mengepak sayap untuk melesat ke angkasa, tapi 

sudah terlambat. Pukulan jarak jauh Andika sudah 

berpentalan gencar dari sepasang telapak tangannya. 

Deb! Deb! Prak-prak! 

Kerumunan kelelawar itu buyar. Tubuh mereka 

berpentalan terhantam pukulan jarak jauh Pendekar 

Slebor. Tanah pun makin diramaikan oleh geleparan 

tubuh-tubuh hitam. Kala itulah, kelelawar-kelelawar 

lain di angkasa menyambut gembira dengan teriakan 

kema-tian. Semuanya menyerbu ke bawah, bagai 

hujan bongkahan benda hitam! 

Kesempatan bagus itu dipergunakan Andika untuk 

segera melesat ke rumah-rumah yang terbengkalai. 

Menurut perkiraannya, tentu orang yang dimaksud si 

Raja Penyamar bisa ditemukan. Satu demi satu, 

rumah kotor dan keropos itu diperiksa dengan 

perasaan was-was. Andika khawatir, makhluk

makhluk buas di luar selesai dengan pestanya, 

sementara dia sendiri belum selesai meneliti seluruh 

rumah. 

Pada salah satu rumah paling besar seperti istana 

kecil dengan tembok kusam penuh lumut, Andika 

menemukan juga manusia di sana. Tampak seorang 

lelaki tua tengah duduk bersila di satu sudut ruangan 

dengan wajah tenang serta sejuk. Bajunya putih, 

seperti pakaian para biksu. Di sekitar badan lelaki tua 

itu merangas sarang laba-laba tebal. 

Yang membuat Andika agak terkejut, ternyata 

wajah lelaki tua itu milik si Raja Penyamar! 

“Raja Penyamar...,” tegur Andika sambil men-

dekatinya. 

Tak ada jawaban. Si Tua itu tetap diam, seperti 

arca. 

“Sebenarnya apa yang kau rencanakan padaku, 

Raja Penyamar?” lanjut Andika, penasaran. Tapi tetap 

tak ada sahutan meski Andika sudah tetap bersimpuh 

di depannya. 

“Percuma kau menegurnya, Anak Muda....” 

Tiba-tiba terdengar sahutan dari orang lain, di 

belakang Andika. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba 

saja orang itu muncul. Telinga Andika yang terlatih 

pun, bahkan tak menangkap suara kedatangannya. 

Andika cepat menoleh, dan hampir saja terlonjak 

manakala menangkap siapa orang yang baru saja 

datang. Ternyata, orang itu Raja Penyamar juga! 

“Apa-apaan ini?” tanya Andika tak mengerti. 

Wajah Pendekar Slebor kontan tertekuk. Dia 

merasa telah dipermainkan Raja Penyamar. 

“O, aku tahu! Lelaki yang duduk ini tentu bukan 

kau. Dia hanya kau dandani hingga mirip denganmu, 

begitu bukan?” sodor Andika, mengajukan

kesimpulan. 

“Kau salah,” sahut Raja Penyamar yang baru 

datang, sambil menggeleng. 

“Salah? Salah bagaimana? Aku jadi bingung,” 

gerutu Andika sambil menepak kening. 

“Yang duduk itu memang aku....” 

“Apa maksudmu?! Apa kau sudah ikut-ikutan 

sinting seperti lelaki yang terus menguntitku?!” 

Raja Penyamar yang baru datang hanya meng-

geleng lambat. Senyumnya yang sejuk tersembul, 

menawarkan keramahan. 

“Yang di dekatmu itu adalah jasadku, Anak Muda,” 

jalas Raja Penyamar. 

“Jadi?” Andika terbengong. “Kau telah mati?” 

“Ya.... Empat puluh tahun yang lalu.” 

“Apa?!” 

Kali ini Andika benar-benar terlonjak. Tubuhnya 

bangkit dengan wajah sulit dijabarkan. Dihampirinya 

lelaki yang baru tiba. 

“Kau tidak sedang bergurau, bukan?!” desak 

Andika sungguh-sungguh. 

Sekali lagi, Raja Penyamar menggeleng. Tetap 

perlahan dan tetap dengan senyum sejuk. 

“Jadi yang selama ini kutemui adalah rohmu?” 

susul Andika, tak percaya. 

“Benar. Tak seperti tiga orang seangkatanku yang 

beruntung memiliki umur panjang hingga hari ini, aku 

justru lebih dulu mati. Aku dulu mengidap penyakit 

yang tak ada obatnya. Aku tak menyesal, karena itu 

adalah kehendak Yang Maha Esa. Namun tugasku 

dari-Nya, rupanya belum selesai. Maka meski aku 

sudah mati, tapi masih diberi kesempatan untuk 

menitipkan amanat....” 

“Amanat?”

“Ya! Amanat pada seorang berjiwa ksatria, berhati 

sekeras baja dan sebening pualam, berakal seterang 

kilau berlian. Seorang yang hanya bisa menyelamat-

kan dunia persilatan dari tangan lalim manusia 

jelmaan siluman....” 

“Siapa orang itu?” 

“Manusia Dari Pusat Bumi.” 

“Bukan.... Maksudmu, siapa orang yang akan 

diberi amanat itu?” 

“Kau....” 

*** 

Bagaimana Andika bisa menerima amanat itu? 

Apakah demikian berbahayanya Manusia Dari Pusat 

Bumi, sehingga roh Raja Penyamar pun belum juga 

kembali ke alam terakhirnya? Lalu, bagaimana pula 

nasib Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu 

menghadapi Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari 

Pusat Bumi? 

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : 


PENGADILAN PERUT BUMI 


                           SELESAI 




Share:

0 comments:

Posting Komentar