MANUSIA DARI PUSAT BUMI
oleh Pijar El
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor : Puji S.
Cover : Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pijar El
Serial Pendekar Slebor
dalam episode 009 :
Manusia dari Pusat Bumi
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Seorang kakek tua renta tampak menggelantung
terbalik pada seutas tali jerami dengan kedua per-
gelangan kaki terikat. Sikapnya bersidekap rapat
seperti seekor kelelawar, diam tanpa bergeming.
Tubuhnya yang terbalik membuat untaian jenggot
panjang berwarna putih yang telah kotor itu menutupi
wajahnya. Menjulur sampai tanah, sekitar satu depa.
Raut wajah lelaki bangkotan berumur seratus dua
puluh tahun ini sulit dikenali. Bukan hanya karena
tertutup jenggot, tapi juga karena ruangan tempatnya
menggelantung tak memiliki cahaya, kecuali sebuah
lubang sebesar biji mata manusia di langit-langit
ruang, tepat di dekat benang jerami tersangkut.
Seberkas cahaya dari lubang kecil tadi jatuh pada
kain usang berwarna putih, yang membungkus tubuh
si Lelaki Bangkotan ini dari batas bahu hingga mata
kaki, seperti libatan kain kafan. Suasana di dalam
ruangan kecil dan sempit ini mengingatkan pada
suasana di liang lahat. Kenyataannya memang begitu.
Ternyata lelaki bangkotan ini memang berada dalam
perut sebuah kuburan yang memiliki rongga lebih
besar dari biasa.
Ketika pertama kali muncul sekitar delapan puluh
tahun yang lalu, dia mendapat gelar angker. Hakim
Tanpa Wajah! Orang-orang dunia persilatan men-
julukinya demikian, karena lelaki itu nyaris tak me-
miliki wajah. Raut mukanya datar dengan satu lubang
hidung kecil. Bibirnya amat tipis, hingga nyaris tak
kentara. Sepasang kelopak mata sempit. Bahkan biji
matanya sendiri sulit ditegaskan, apakah berwarna
hitam atau putih. Karena kelompak matanya memang
terlalu kecil.
Selama berkecimpung dalam rimba persilatan,
sepak terjangnya amat membingungkan. Tak seperti
tokoh golongan hitam yang memusuhi golongan putih.
Tak peduli tua atau muda, lelaki atau wanita. Setiap
orang yang berurusan dengannya, selalu dituduh
sebagai 'si pembuat kesalahan'. Dan kemunculannya
untuk menjatuhkan satu-satunya hukuman....
Hukuman mati! Itu sebabnya, dia mendapat julukan
lengkap Hakim Tanpa Wajah.
Pada masanya, Hakim Tanpa Wajah menjadi tak
terkalahkan. Dia ditakuti layaknya malaikat maut.
Baik di kalangan bawah, maupun raja-raja.
Setiap kali bertemu seseorang yang memiliki ilmu
kedigdayaan, Hakim Tanpa Wajah langsung saja men-
ceramahi dengan tuduhan-tuduhan. Kesalahan
sekecil apa pun tak luput dari penilaiannya. Banyak
orang persilatan waktu itu terheran-heran, bagaimana
dia bisa tahu kesalahan-kesalahan seseorang, se-
hingga seolah-olah memiliki mata di mana-mana. Tak
ada seorang pun yang mampu menjawab. Karena
setiap kali ada yang berusaha menjawab, maka orang
itu akan menerima hukuman mati!
Seorang demi seorang waktu itu hilang begitu saja
tanpa bekas. Bahkan nasibnya tak pernah diketahui
lagi. Tak peduli dari kalangan bawah persilatan atau
pun kalangan atas. Baik yang punya nama besar,
atau tidak.
Hanya ada tiga tokoh sakti yang waktu itu mampu
luput dari kebiasaan aneh berbau maut dari si Hakim
Tanpa Wajah. Salah satunya adalah tokoh yang
berjuluk Lelaki Berbulu Hitam. Sedangkan dua orang
lain adalah Raja Penyamar dan Pendekar Dungu.
Seperti juga Hakim Tanpa Wajah, ketiga tokoh itu
pun memiliki nama besar. Selain Hakim Tanpa Wajah,
tak ada seorang pun sanggup menandingi kehebatan
ilmu kedigdayaan mereka. Menurut kabar burung
kala itu, keempatnya sebenarnya memiliki ke-
pandaian berimbang.
Setelah menggegerkan dunia persilatan sekian
lama, keempatnya menghilang, tak jelas ke mana.
Seolah-olah mereka sama-sama mengadakan per-
janjian untuk mengundurkan diri, lalu akan muncul
kembali suatu saat. Dan pada saat itulah mereka
akan mengukur kembali kesaktian masing-masing,
untuk menentukan siapa yang lebih berhak mendapat
tempat teratas.
Delapan puluh tahun telah berlalu. Namun tak ada
secuil tanda-tanda pun kalau keempat tokoh sakti itu
akan muncul kembali. Lambat tapi pasti, nama
mereka mulai dilupakan orang.
Dan hari ini, saat yang dikehendaki keempat tokoh
sakti itu tampaknya telah tiba. Karena, Hakim Tanpa
Wajah yang sudah puluhan tahun menggelantung
dalam liang lahatnya, tiba-tiba saja membuka kelopak
matanya yang sempit. Sesaat kemudian, terdengar
tawa kekeh yang menggema kasar, membuat tanah
dalam kuburan ganjil itu berguguran.
“He... he... he!”
Hakim Tanpa Wajah membuka bibir tipisnya.
Dan....
“Cuah!”
Hakim Tanpa Wajah menyemburkan ludahnya,
hingga melesat ke arah tali jerami rapuh yang
sebenarnya tak akan kuat menahan berat tubuhnya,
seandainya saja lelaki bangkotan itu tak memiliki ilmu
meringankan tubuh luar biasa.
Wesss...!
Tasss...!
Tali jerami putus menimbulkan bunyi halus. Tak
berhenti sampai di situ. Ludah Hakim Tanpa Wajah
terus melesat begitu ludah laki-laki ini meng-
hantamnya ke satu sudut liang. Kekuatan tenaga
dalam tingkat tinggi yang terkandung dalam air kental
berwarna keputihan itu ternyata mampu membuat
lubang kecil sedalam dua depa!
Mestinya tubuh kering kerontang lelaki bangkotan
ini segera jatuh. Kenyataannya, justru bertolak
belakang. Hakim Tanpa Wajah tetap menggelantung
tegak di atas. Benar-benar mustahil!
“He... he... he, jenggot sialan! Mengganggu acara-
ku saja,” gerutu Hakim Tanpa Wajah, lebih mirip
gurauan orang kurang waras. Ditepuk-tepuknya
jenggot putih panjang merangas yang menjulur ke
tanah di bawahnya.
Rupanya, jenggot itu telah kaku seperti akar
pepohonan. Sehingga, dapat menopang tubuh Hakim
Tanpa Wajah yang memang seringan kapas.
Dengan gerakan indah lelaki bangkotan ini
menurunkan kakinya, lantas berdiri. Sebentar dia
memandangi langit-langit kuburan ganjil yang
digunakan untuk bertapa puluhan tahun. Bibirnya
tersenyum tipis, lalu kedua tangannya menghentak ke
atas. Dan....
Brolll!
Dari luar, bongkahan koral dan tanah kering
kontan berhamburan ke segenap penjuru, bagai baru
dibuncah angin puting beliung. Gundukan makam tua
bernisan tumpukan tengkorak kepala ini sekarang
berlubang besar. Dan dari situ tubuh lelaki bangkotan
ini mencelat keluar.
Seperti tidak pernah peduli pada hawa segar yang
baru saja memenuhi paru-parunya kembali, Hakim
Tanpa Wajah kembali terkekeh serak. Wajahnya yang
pucat dengan juntaian rambut putih yang alot dan
kotor, membuat bibirnya yang sudah tak kentara
makin tak jelas saja, meski sedang terkekeh.
“Apa kalian bertiga kini sanggup menandingiku?”
gumam laki-laki tua ini berbicara sendiri.
Tentu saja yang dimaksud Hakim Tanpa Wajah
adalah Lelaki Berbulu Hitam, Raja Penyamar, dan
Pendekar Dungu.
“Hm.... Mungkin hanya tinggal aku saja yang belum
memiliki murid,” sambung laki-laki ini.
“Koaaak!”
Mendadak seekor burung gagak hitam kelam
hinggap di batang pohon kering besar, tak jauh dari
tempat berdirinya lelaki bangkotan itu. Kedua
sayapnya dibentangkan dan dikepak-kepakkannya.
Paruhnya yang menyeramkan melempar teriakan
nyaring beberapa kali, seakan hendak menegur
Hakim Tanpa Wajah.
Sementara lelaki berbebat kain kafan dari bahu
hingga ke mata kaki itu menjadi tertarik. Kepalanya
segera menoleh ke arah gagak.
“Kau ingin mengatakan berita apa, 'saksi mata'?”
tegur laki-laki tua itu. Hewan berbulu hitam itu disebut
'saksi mata' oleh laki-laki tua ini seakan-akan dia
adalah hakim pengadilan yang sedang berbicara
dengan seorang saksi dalam sebuah perkara.
“Kaoook!” sahut burung gagak itu. Kepalanya
terayun ke depan dan ke belakang.
“Ada wanita hamil? Ah! Kau tak perlu mem-
beritahukan aku tentang itu! Di mana-mana juga ada
wanita hamil. Apalagi sudah makin banyak pasangan
yang berhubungan intim seenak perut, seperti monyet
hutan,” tukas Hakim Tanpa Wajah.
“Kak-koaaak-kaaak!”
“O, maksudmu wanita hamil itu telah mati
seminggu lalu? Ah! Itu juga biasa. Tak aneh bukan?”
“Kaaak-kaaak!”
“Apa?!”
Hakim Tanpa Wajah langsung menjulurkan kepala-
nya ke depan, karena agak tersentak dengan ucapan
gagak terakhir yang hanya bisa dimengerti olehnya.
“Kau bilang, jabang bayi dalam kandungannya
masih tetap hidup?! Nah! Itu baru luar biasa, 'saksi
mata'! Pintar... pintar!” puji laki-laki tua ini. “Di mana
mayat wanita hamil itu? Aku harus mengeluarkan si
Jabang Bayi. Anak itu pasti memiliki kelebihan luar
biasa. Kebetulan sekali, aku sedang berpikir untuk
mengangkat murid. He... he... he!”
“Koaaak!”
Burung gagak tadi berkoak sekali lagi. Di atas
dahan tempatnya hinggap, dia melompat berbalik.
Sebentar kemudian sayapnya dikepakkan kuat-kuat,
langsung mengangkasa menerabas angin siang yang
panas.
Dan seketika itu pula, Hakim Tanpa Wajah segera
mengikutinya.
***
Hakim Tanpa Wajah berlari cepat dengan cara
melompat-lompat. Dan akhirnya, laki-laki bangkotan
itu tiba bersama burung gagak di tepi sebuah danau
alam yang tak begitu luas. Sementara burung gagak
hitam yang menuntunnya ke tempat itu sudah
hinggap kembali di pucuk sebongkah batu runcing,
tak jauh dari Hakim Tanpa Wajah.
“Mana? Aku tak melihat wanita hamil, seperti yang
kau katakan?” Hakim Tanpa Wajah memberengut.
Seketika gagak hitam itu menaikkan sayap tinggi-
tinggi, menanggapi dengan rasa tak suka pada
ucapan lelaki berusia seratus dua puluhan itu.
“Kaaak-kaaak-kaaak!” koak burung itu nyaring,
merambah ke segenap bibir danau berair keruh
kecoklatan.
“He... he... he! Kau jangan bergurau padaku, 'saksi
mata'. Mana mungkin wanita hamil itu berada di
dasar danau ini. Eh?! Tapi hewan sepertimu memang
tidak perlu ngibul dan suka berkata apa adanya.
Tidak seperti manusia yang suka mengobral ucapan
untuk kepentingan perutnya sendiri....”
Hakim Tanpa Wajah memandangi permukaan
danau yang dibelai angin beberapa lama.
“Baik-baik. Tak ada ruginya jika aku mencoba
membuktikan beritamu, 'saksi mata'...,” kata Hakim
Tanpa Wajah, akhirnya.
Laki-laki tua itu segera akan melaksanakan niat-
nya untuk mencaritahu kebenaran berita dari sang
Gagak. Diangkatnya tangan pucat berkeriput di depan
wajah, dengan telapak saling bersilang ke depan.
Cukup lama Hakim Tanpa Wajah bersikap seperti
itu, sampai akhirnya air danau bergolak bagai diaduk-
aduk dari dalam oleh sepasang tangan raksasa.
Rupanya laki-laki tua ini sedang mengerahkan tenaga
batin berkekuatan dahsyat yang dinamakan ilmu
'Rahasia Pikiran'. Karena hanya dengan membayangkan benda yang menjadi sasaran, dia dapat
mengangkat, melempar, atau bahkan meng-
hancurkannya. Begitu juga dengan dasar danau di
depannya. Dibayangkannya dasar danau itu sedang
teraduk-aduk kuat luar biasa. Maka, yang terjadi pun
demikian!
Sampai suatu saat terdengar gemuruh tertahan
dari dasar danau, beriring sembulan gelembung-
gelembung udara yang demikian ramai. Sebentar
kemudian menyusul sesosok tubuh wanita hamil
muncul ke permukaan. Tampaknya, mayat wanita
hamil itu terjebak di sebuah rongga batu besar yang
berisi udara di dasar danau ini. Sehingga air danau
tidak dapat masuk ke dalam rongga batu. Dengan
begitu, si Jabang Bayi tetap bisa mengirup udara
untuk bernapas. Meski, sampai saat ini Hakim Tanpa
Wajah tak bisa mengerti, bagaimana cara si Jabang
Bayi bernapas. Yang pasti, suhu rendah yang begitu
dingin di dasar danau, telah membuat mayat wanita
hamil tidak cepat membusuk.
Mudah sekali Hakim Tanpa Wajah meniti per-
mukaan air danau dengan daun-daun kering yang
diambil dari sebatang pohon. Di atas daun demi daun
yang dimanfaatkan sebagai pijakan lompatan, lelaki
bangkotan itu mendekati mayat wanita hamil tadi.
Dijemputnya tubuh kaku itu. Sebentar kemudian
dibopong di bahu, lalu dibawanya ke tepian.
“He... he... he, 'saksi mata'! Kau telah berjasa
padaku. Aku akan segera punya murid luar biasa! Dia
akan kudidik menjadi tokoh tak terkalahkan di dunia
persilatan. He... he... he!”
Baru saja kata-katanya selesai, Hakim Tanpa
Wajah melesat pergi.
“Kau tentu tahu, di mana kau bisa menemuiku,
bukan?” Seru Hakim Tanpa Wajah pada si Burung
Gagak.
“Kaaak!”
***
DUA
“Eiii! Hi... hi... hi!”
Seorang wanita genit tampak berdiri berhadapan
berjarak tiga tombak dengan seorang pemuda di
tengah jalan berbatu di satu lereng bukit, melihat
kemunculannya tadi wanita bertubuh sintal yang
tersenyum menggoda ini agaknya memang sengaja
menghadang. Dengan pakaian ketat berwarna merah
menyala, leluk-lekuk tubuhnya jadi membayang jelas.
Wanita berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu
berambut panjang. Berkerudung kuning tembus
pandang yang menjulur hingga menutupi wajahnya.
Meski tertutup kain tertembus pandang, kecantikan-
nya masih tetap bisa ditangkap mata pemuda yang
dihadang. Sayangnya, rias wajahnya terlalu ber-
lebihan. Sehingga terasa sebal dipandang. Bibirnya
mekar memerah. Pipinya dipupuri tebal-tebal. Mata-
nya memandang sayu dengan bulu-bulu mata lentik.
Alis matanya dilukis demikian tebal menantang.
Sementara pipinya diberi pemerah.
Pemuda yang dihadang mengangkat alisnya yang
seperti sayap elang, ketika wanita genit itu mulai
maju perlahan mendekatinya. Baginya, biasa kalau
agak terpikat dengan kecantikan wanita di depannya
kini. Tapi kalau tingkahnya genit dengan penampilan
seronok, rasanya ketertarikan itu jadi buyar seketika.
Dia berpikir, hanya wanita-wanita nakal yang ber-
dandan seperti dia.
“Mau ke mana, Anak Muda Tampan?” tanya
wanita genit ini mendayu-dayu.
“Ke sana boleh, ke sini juga boleh,” jawab pemuda
berpakaian hijau-hijau dengan selembar kain
bercorak catur tersampir di bahunya. Sambil
menjentik anak rambut yang panjang menghalangi
pandangan, ditatapnya wanita genit itu acuh tak
acuh.
“Kalau begitu, ke sini saja, ya? Ya?! Ya?!”
Pemuda tampan bertubuh kekar ini menarik
napas. “Aneh-aneh saja manusia di dunia ini.
Seenaknya saja memaksa kehendaknya pada orang
lain. Memang aku ini jongosnya apa?” gerutu pemuda
ini tak kentara.
“Ah! Jangan sesinis itu...!” sergah wanita itu seraya
mencibir.
Telinga wanita ini ternyata cukup tajam juga. Dia
bisa menangkap ucapan berbisik pemuda tadi.
“Kalau nanti kau sudah dekaaat denganku, baru
tahu rasa kau. Bisa-bisa kau tidak mau jauh-jauh
dariku. Hi... hi...!” Dijawilnya dada bidang si Pemuda
dengan jarinya yang lentik.
“Ih...!”
Pemuda tampan ini menyurut ke belakang.
Dadanya kontan menguncup karena geli.
“Jangan lancang, ya!” bentak pemuda itu agak
mangkel.
“Itu tadi bukan lancang, Anak Muda! Hanya
semacam ketrampilan tangan. Hi.. hi... hi....”
“Hus!”
Si Wanita genit cepat-cepat mengatupkan mulut-
nya. Dan secepat itu pula, bibir merahnya dicibir-
cibirkan kian kemari.
“Kenapa bibirnya? Keseleo? Atau salah urat?”
gurau pemuda ini asal bunyi. Mungkin karena cetusan
rasa jengkel.
“Hi... hi... hi.... Bisa sajaaa!” Kembali dijawilnya
dada bidang pemuda berpakaian hijau ini.
“Ah, sudah! Aku ingin lewat. Tak ada waktu buat
melayanimu!”
“Juwita Permatasari Megapuspita Ranasutra....”
“Apa itu?” tanya si Pemuda heran.
“Namaku.”
“Aku tak tanya namamu!” hardik pemuda ini makin
dongkol. “Sudah, minggir! Kasih aku jalan!”
Pemuda itu maju selangkah untuk melanjutkan
perjalanan. Tapi, segera kembali dihadang oleh
wanita genit itu. Hampir-hampir saja, wanita ini
ditabraknya.
“Aiii, nafsu nih?!” tukas wanita genit yang mengaku
bernama Juwita Permatasari Megapuspita Ranasutra
itu.
“Sialan!” maki pemuda berbaju hijau ini sambil
membelalakkan mata ke arah perempuan di
depannya. “Kalau kau sejenis wanita nakal, akan
salah bila memilihku.”
“Jadi namamu siapa, anak muda tampan yang
gagah perkasa?”
“Sialan!”
Sekali lagi, pemuda ini memaki. Ucapannya
barusan seakan hanya kentut bagi perempuan cantik
itu.
“Kalau kuberitahu, kau bersedia memberiku
lewat?” usul pemuda itu kemudian, supaya bisa cepat
pergi dari sana dan tidak lagi berurusan dengan
wanita binal semacam ini.
“Tergantung...,” sahut si Wanita Genit.
“Tergantung apa?”
“Tergantung, apakah kau memiliki sesuatu yang
digantung-gantung. Hi... hi... hi!” celoteh wanita genit
ini makin menjurus.
Tingkah Juwita bahkan kian nakal saja. Malah
bahu kekar pemuda itu mulai digelayuti dengan
kedua tangan. Sesekali matanya mengerling dan
mengumbar senyum tipis penuh arti.
“O, ya. Jadi siapa namamu, Pemuda Ganteng?”
“Aku..., ah! Apa perlu kuberitahu namaku?!”
“Perlu!” selak Juwita berbareng gerakan tangan
jahil ke arah tubuh bagian bawah pemuda di sisinya.
Tentu saja calon korban tangan usil itu terkesiap.
“Baik..., baik! Namaku Andika!” ujar pemuda yang
tak lain pendekar muda kesohor dari Lembah
Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor.
“Amit-amit kalau tangan wanita ini sempat
'Bertemu' di tempat rahasiaku!” rutuk Andika tak
kentara. “Dasar wanita nakal! Biar cantik bisa-bisa
malah bawa penyakit!”
“Apa katamu!” sentak Juwita dengan mata ter-
belalak besar-besar. Jelas, dia tersinggung dengan
gerutuan Andika.
Andika alias Pendekar Slebor meringis ngeri-ngeri.
Tapi dia cukup jujur untuk mengulang kembali
gerutuannya tadi.
“Aku bilang, secantik-cantik wanita nakal, bisa saja
bawa penyakit....”
“Kau harus membayar penghinaanmu itu!” teriak
wanita genit ini persis di telinga Andika.
Satu tangan Juwita terangkat tinggi-tinggi, siap
menampar wajah pemuda yang menghinanya.
“Jangan terlalu perasa! Aku kan, tidak bilang kalau
kau membawa penyakit. Aku hanya bilang....”
Andika berusaha berdalih. Tapi sebelum sempat
ucapannya diselesaikan, tangan wanita itu sudah
melayang deras.
Bet!
Angin keras segera saja terdengar, pertanda kalau
tamparan tangan Juwita membawa satu tenaga
dalam tingkat tinggi. Dan ini sama sekali luput dari
dugaan Pendekar Slebor sebelumnya. Beruntung
kesiagaannya tidak ikut terdesak oleh rasa kagum
pada kecantikan wanita yang kini menjadi lawannya.
Tanpa mau mengambil bahaya sedikit pun, Andika
melempar tubuhnya jauh-jauh ke belakang. Namun
begitu, masih juga dirasakannya rasa pedih berdenyar
pada bagian tubuh yang sempat tersambar angin
pukulan lawan.
“Apa kau sudah sinting, Perempuan Cantik?!
Kenapa kau tiba-tiba hendak membunuhku?!” sentak
Pendekar Slebor, begitu bangkit berdiri dengan satu
lompatan indah.
Wanita cantik itu tertawa renyah menanggapi
kebingungan Andika.
“Jangan heran, Anak Muda. Sebenarnya aku hanya
ingin mengenal Pendekar Slebor. Aku ingin tahu,
apakah nama besarmu benar-benar bukan sekadar
bungkus bubur nasi!”
“Jadi, sebenarnya kau telah tahu tentang diriku?”
tanya Pendekar Slebor.
“Hi... hi... hi. Siapa yang tak kenal ciri-ciri pemuda
sakti kesohor seperti kau, Pendekar Slebor! Pemuda
tampan yang selalu berpakaian hijau-hijau dengan
kain bercorak catur tersampir di bahu. Dan, satu lagi
yang tidak mungkin kau lepaskan dari tubuhmu....
Tanda bintang berwarna hijau kebiru-biruan yang kau
bawa dari lahir di tangan kananmu!” urai Juwita.
Andika jadi tak habis pikir pada wanita yang kini
dihadapinya. Jarang sekali orang persilatan yang tahu
tanda lahir di tangan kanannya, karena selalu tertutup lengan baju. Pendekar Slebor sendiri sudah
tidak begitu memperhatikan hal kecil ini. Dan
sekarang, tiba-tiba saja ada orang asing yang baru
saja bertemu, tapi sudah tahu hal kecil tentang
dirinya.
“Tampaknya aku sedang berhadapan dengan
orang yang tak bisa dibuat main-main,” gumam
Pendekar Slebor.
Entah bagaimana Andika jadi menduga kalau
wanita ini adalah tokoh jajaran atas yang lebih dulu
malang melintang dalam dunia persilatan ketimbang
dirinya. Memang menurut cerita dari mulut rakyat,
Andika mendapat kabar kalau setiap pewaris
kesaktian Pendekar Lembah Kutukan yang juga
buyutnya, pasti memiliki tanda seperti terdapat di
tangan kanannya. Namun sejauh itu, orang-orang
hanya tahu tentang tanda khusus yang menjadi ciri
khas pewaris pendekar panutan itu.
Sedangkan bentuk dan letaknya tak pernah ada
yang tahu. Jika ada seorang yang tahu tentang bentuk
dan letak tanda lahir itu, bisa jadi dia adalah tokoh
tua yang cukup akrab dengan Pendekar Lembah
Kutukan itu sendiri.
“Tapi, apa mungkin dia salah seorang sahabat
buyutku, Pendekar Lembah Kutukan? Bukankah
buyutku itu hidup lebih dari seratus tahun lalu?
Sementara wanita ini mungkin baru berusia antara
dua puluh tujuh sampai dua puluh sembilan tahun,”
bisik Andika, mulai ragu dengan dugaannya.
“Kenapa kau bengong seperti kambing masuk
angin?” sentak Juwita membuyarkan dugaan-dugaan
Andika.
“Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?” tanya
Andika, hati-hati.
Bukan apa-apa. Pendekar Slebor hanya tak mau
berbuat kurang ajar jika wanita itu benar-benar
sahabat buyutnya. Siapa tahu, dia memiliki ilmu awet
muda!
Wanita cantik ini menggoyang-goyangkan kepala
ke kiri dan kanan. Dan kerudungnya yang tembus
pandang itu ikut bergerak lemah gemulai.
“O, o! Belum waktunya kau mengenalku, Anak
Muda Menggemaskan!” tandas Juwita seraya me-
mainkan jari telunjuk di depan kepala. “Suatu saat,
kau akan tahu siapa aku. Sekarang ini, kau cukup
kubiarkan dongkol dan penasaran saja. Hi... hi... hi!”
Selesai berkata demikian perempuan mempesona
itu berpindah tempat, tanpa menggerakkan badan
sedikit pun. Dari satu jarak, ke jarak lain. Sehingga,
akhirnya dia menghilang tanpa jejak. Sungguh satu
unjuk kebolehan ilmu meringankan tubuh yang
mungkin hanya dimiliki oleh dua atau tiga orang di
dunia persilatan. Bahkan Andika sendiri pun tak
sanggup melakukannya.
Tanpa sadar, mulut Andika berdecak. Sementara
itu matanya terbuka lebar tanpa berkedip. Dan ada
satu lagi, hidungnya mencium aroma bunga sedap
malam, sepeninggalan wanita genit tadi.
***
Hakim Tanpa Wajah membawa mayat wanita hamil
yang ditemukannya di danau, ke sebuah rawa penuh
buaya buas. Dia menyelam tanpa kesulitan ke dasar
rawa berlumpur seperti seekor katak besar. Anehnya,
tak ada seekor buaya pun yang berani mengusik.
Kehadirannya bagi binatang peninggalan zaman
purba itu, seperti raja diraja yang ditakuti. Binatang
binatang berdarah dingin itu langsung saja menyingkir
ketakutan, manakala Hakim Tanpa Wajah lewat.
Setelah menyelami sekian depa kedalaman rawa,
Hakim Tanpa Wajah tiba di sebuah lubang besar
menganga. Dimasukinya lubang di dasar rawa itu.
Lorong panjang berliku-liku dalam lubang bukan
sesuatu yang sulit buatnya, tanpa perlu mengambil
napas.
Beberapa lama kemudian, laki-laki tua ini muncul
di sebuah kubangan air dalam sebuah ruang besar di
perut bumi, yang memiliki beberapa lorong lain.
Tempat itulah yang beberapa puluh tahun lalu,
dijadikan sebagai penjara, pengadilan, sekaligus
tempat bagi orang-orang persilatan yang diculiknya
menjalani hukuman. Dan tempat itu dinamakan:
Pengadilan Perut Bumi.
“Kita sudah tiba, Bocah Bagus!” kata Hakim Tanpa
Wajah pada si Jabang Bayi dalam perut mayat wanita
hamil yang dipondongnya. “Sebentar lagi kau akan
kukeluarkan dari perut ibumu. He... he... he!”
Hakim Tanpa Wajah memasuki sebuah lorong yang
di dalamnya hanya diterangi obor-obor dari gas alami.
Diletakkan mayat yang dibawanya di lantai sebuah
ruangan yang tak begitu luas sebesar gubuk.
Telinganya lantas didekatkan ke perut besar mayat
wanita itu, seakan ingin meyakinkan kalau si Jabang
Bayi masih hidup.
“He... he... he. Kau benar-benar bocah kuat!” puji
Hakim Tanpa Wajah seraya menepuk-nepuk
kandungan. “Bagaimana cara mengeluarkan kau, ya?
Aku jadi bingung juga. Kau tahu sendiri bukan, kalau
aku bukan dukun beranak. He... he... he!”
Layaknya orang kebingungan, Hakim Tanpa Wajah
mondar-mandir di dekat mayat wanita hamil ini.
Namun jalannya sungguh aneh. Dia seperti me-
lompat-lompat!
Kini dia berpikir untuk menemukan cara, bagai-
mana mengusahakan si Jabang Bayi hadir di alam
yang baru, tanpa harus mencelakakannya. Tentu saja
Hakim Tanpa Wajah tak ingin si Jabang Bayi men-
dapat celaka. Hasratnya untuk menjadikan si Jabang
Bayi menjadi muridnya, telah membuatnya bertindak
hati-hati.
Kebingungan laki-laki tua ini terjegal mendadak,
saat matanya menangkap satu gerakan ganjil dalam
perut mayat wanita itu.
“Ei, apa itu?” tanya Hakim Tanpa Wajah ingin tahu.
Didekatinya perut buncit mayat wanita ini.
“We... we... we. Rupanya kau sudah tak sabar lagi,
Bocah Bagus!” kata Hakim Tanpa Wajah sewaktu
melihat kandungan tersentak-sentak dari dalam.
“Kau tentunya sudah penat di dalam sana. Tapi,
tampaknya kau ingin keluar sendiri tanpa ingin
dibantu.... Weee, begini saja. Biar kau kuberi sedikit
pertolongan.”
Dengan kuku runcing jari telunjuknya, Hakim
Tanpa Wajah menusuk hati-hati perut besar mayat si
Wanita. Maka lubang sebesar jari pun tercipta, tanpa
mengeluarkan darah. Tak ada lima kerdipan mata,
lubang kecil itu mulai melebar, merobek kulit perut
wanita si Wanita.
Penyebab robekan yang kian besar itu tentu saja
geliatan liar si Jabang Bayi di dalamnya. Kemudian
disusul menyembulnya sepotong kaki mungil, namun
kokoh. Dan sebelah kaki yang lain, membuat kulit
perut ibu sang Bayi jadi terkuak makin lebar. Maka
sebagian jaringan rahim yang sudah agak liat pun
terlihat. Ketika lubang di perut sang Ibu makin
melebar, tampaklah seorang bayi. Mungil, sehat, dan
masih merah seperti layaknya bayi lain. Namun ada
yang berbeda dengan bayi satu ini. Gusinya telah
ditumbuhi dua gigi runcing, berbentuk taring yang
menyembul di sudut-sudut bibirnya!
***
TIGA
Puluhan tahun yang lalu, ada seorang pemuda
digdaya yang selalu muncul bersama monyet
kecilnya. Bentuk tubuhnya gagah. Wajahnya tampan,
hingga mampu menggoyahkan hati setiap wanita
yang melihatnya. Meski tindak-tanduknya lebih tepat
disebut tingkah orang tak punya otak, toh, tetap saja
puluhan wanita kalangan dunia persilatan mengejar-
ngejarnya.
Otak pemuda itu memang bebal seperti kerbau.
Cara berpikirnya memang tak lebih daripada bocah
ingusan berumur enam tahun. Tapi untuk urusan
kedigdayaan, jangan coba-coba menjajalnya. Begitu-
lah pendapat umum dunia persilatan kala itu,
mengenai dirinya.
Sementara monyet kecilnya yang seringkali justru
lebih cerdik dari pemuda itu sendiri. Baginya,
binatang peliharaannya itu adalah sahabat, sekaligus
teman mengambil keputusan. Bila ada orang-orang
yang berurusan dengannya, maka hewan yang
memiliki naluri kuat itu akan memberinya per-
timbangan. Apakah orang itu akan dibunuh, atau
dibiarkan hidup. Sesakti apa pun seseorang, jika si
Kera Kecil itu sudah berjingkat-jingkat liar seraya
menampakkan wajah beringas, maka akan digasak
habis oleh pemuda tampan ini. Sejauh itu, tak ada
seorang pun yang bisa lepas dari tangan mautnya,
kalau sudah mendapat isyarat dari hewan peliharaan-
nya. Hampir semua yang dihabisinya adalah orang-
orang dari golongan hitam. Karena itu, dia amat
dimusuhi habis-habisan oleh datuk-datuk sesat di
empat penjuru angin. Apalagi, kera kecilnya yang
selalu saja bisa mencium sifat-sifat busuk seseorang.
“Sebaliknya, jika si Kera Kecil itu mulai melompat
berputaran sambil bertepuk tangan, maka orang itu
akan dibiarkannya hidup. Meskipun, orang tersebut
sudah nyaris melemparnya ke liang kubur sekali pun.
Kini, setelah sekitar delapan puluh tahun berlalu,
pendekar itu tidak lagi gagah. Wajahnya pun sudah
diramaikan kerutan di sana-sini. Tubuhnya yang dulu
kekar berisi, kini hanya seonggok tulang berbalut kulit
keriput. Kalaupun ada yang tidak berubah, hanya
pakaiannya yang berwarna-warni, penuh tambalan di
sana-sini. Meski tubuhnya sudah melengkung seperti
tongkat, dia masih bisa berjalan cukup gagah tanpa
perlu penyangga. Matanya kelabu, tapi tetap berbinar
riang. Rambutnya memutih rata dan ditutupi
selembar topi pandan. Tanpa jenggot dan kumis, dia
seperti lebih muda daripada usia sebenarnya. Kalau
laki-laki itu cengengesan sendiri sesekali, maka
tampaklah gusi yang hanya memiliki tiga batang gigi
kuning langsat. Ketuaan usianya mungkin hanya bisa
ditaksir dari panjang alis mata berwarna putih, yang
menjuntai menutupi kelompak matanya yang sayu.
Tokoh inilah yang dulu kesohor dengan julukan
Pendekar Dungu! Tua bangka itu kini tengah berjalan
melenggang di sebuah pematang sawah. Sayang,
monyet kecil sahabat setianya tak seberuntung
dirinya diberi usia panjang. Binatang itu telah mati
sekitar enam puluh tahun lalu. Kini, tidak ada lagi
yang bisa memberi pertimbangan padanya untuk ber-
tindak pada orang-orang yang berurusan dengannya.
Bahkan dia tidak bisa lagi membedakan, mana orang-
orang dari golongan lurus dan mana yang dari
golongan sesat.
“Hoiii, Dungu!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang, saat
Pendekar Dungu sampai di ujung pematang. Langkah
kakinya seketika tertahan, tapi tak segera menoleh
ke asal suara. Sesaat laki-laki tua itu hanya terpaku
dengan mata berkedip-kedip lambat. Selanjutnya
kakinya digerakkan kembali untuk meneruskan
perjalanan. Barangkali hatinya sudah tidak yakin,
apakah ada orang memanggilnya atau tidak. Atau,
barangkali dia sendiri sudah lupa dengan julukannya
sendiri.
“Oooi, Bodoh! Lagakmu masih tetap menjengkel-
kan seperti dulu!”
Terdengar teriakan kembali. Kali ini terdengar agak
kalap.
Jauh di belakang Pendekar Dungu, tampak se-
seorang berlari ringan mengejarnya. Cara larinya
bagai kesetanan. Blingsatan dengan langkah-langkah
ngawur seperti anak kecil baru bisa berlari.
Penampilannya membuat siapa pun merinding.
Seluruh badannya yang besar kelebihan lemak,
ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Bahkan sampai ke
wajahnya. Kalau dilihat sekilas, laki-laki yang baru
datang ini mirip seekor kera. Namun begitu, wajahnya
tidak seburuk itu. Untuk orang kebanyakan, dia masih
termasuk tampan. Sayang, pipinya agak tebal oleh
lemak. Bulu-bulu hitam lebat di badannya, mem-
buatnya tak membutuhkan baju untuk melindungi diri
dari sengatan sinar matahari. Hanya bagian
bawahnya saja yang ditutupi celana panjang hitam.
Tokoh ini salah satu yang tak tertandingi pada
puluhan tahun yang lalu. Julukannya, Lelaki Berbulu
Hitam. Tak seperti Pendekar Dungu, lelaki itu tak
nampak dimakan usia. Walau berusia seratus tahun
lebih, namun tak membuatnya menjadi renta.
Padahal dia sama sekali tidak memiliki ilmu awet
muda. Bisa saja dia tetap muda seperti berusia
empat puluhan, karena konon dalam tubuhnya
mengalir darah keturunan serigala. Dan lelaki berbulu
itu memang lahir dengan cara di luar kebiasaan alam,
yakni dari perut seekor serigala betina jejadian.
Mulanya, wanita itu adalah penuntut ilmu hitam
serigala siluman. Habisnya batas waktu ilmu hitam
itu, menyebabkan si Wanita berubah wujud menjadi
serigala.
Pada masa jayanya, Lelaki Berbulu Hitam dikenal
sangat beringas. Wajar saja, darahnya memang
panas layaknya serigala. Dalam membunuh, dia tak
pernah mengenal batas-batas kekejian. Merencah-
rencah lawan baginya merupakan hal biasa.
Namun begitu, sesungguhnya Lelaki Berbulu Hitam
tetap memiliki hati nurani. Kerap kali dalam dirinya
terasa ada hembusan kuat, yang mencoba menyadar-
kannya dari kebuasan seekor binatang. Saat seperti
itulah, akan terjadi pertarungan batin antara dua
kehendak yang saling bertentangan. Yang satu ingin
memperturutkan naluri kebuasan, sedang yang lain
ingin mengikuti hati nurani.
Pernah, Lelaki Berbulu Hitam berurusan dengan
Pendekar Dungu. Penyebabnya, hanya karena Lelaki
Berbulu Hitam merasa iri terhadap Pendekar Dungu
yang memiliki seekor kera berkemampuan
mengagumkan. Menurut Lelaki Berbulu Hitam,
dengan bantuan kera kecil cerdik itu, tentu dirinya
bisa mulai menghilangkan sikap buas pada setiap
orang.
Tentu saja Pendekar Dungu tidak ingin binatang
kesayangannya direnggut Lelaki Berbulu Hitam.
Karena, dia pun amat memerlukan kecerdikan
binatang kecil itu. Maka pertentangan itu pun
menyulut pertarungan seru dan habis-habisan.
Setelah pertarungan dahsyat habis-habisan itu,
mereka tidak pernah lagi muncul di dunia persilatan.
Keduanya seperti disadarkan oleh sebuah kekuatan
suci, bahwa mereka tidak bisa bergantung dengan
seekor hewan kecil. Mereka harus bisa mengatasi
masalah sendiri. Untuk itulah, mereka lalu meng-
asingkan diri, meminta petunjuk sang Penguasa
Jagad agar bisa mengenyahkan kekurangan diri
masing-masing.
***
Lelaki Berbulu Hitam telah sampai di dekat
Pendekar Dungu.
“Kenapa kau dungu sekali, Dungu?!” tegur Lelaki
Berbulu Hitam dengan wajah memerah kesal.
“Kau bilang aku dungu?” tanya Pendekar Dungu,
ketolol-tololan.
“Ya!”
“Kenapa kau katakan begitu?”
“Karena kau dungu, Dungu!”
Pendekar Dungu mengangguk-angguk dengan alis
mata berkerut.
“Ya, ya.... Aku memang dungu. Betapa dungunya
aku...,” gumam Pendekar Dungu.
“Ah, sudah! Kalau terus meributkan kedunguan-
mu, kita tak akan selesai-selesai sampai seratus
abad lagi! Jadi, ke mana saja kau selama ini?” tanya
Lelaki Berbulu Hitam, seperti seorang sahabat yang
lama tak bersua.
“Aku? Kalau tidak salah, aku menyembunyikan diri
di Gunung Gangginggung. Aku bertapa di sana.... Itu
kalau tidak salah.”
“Kalau tidak salah? Kau masih saja dungu seperti
dulu.”
“Ya, dasar dungu....”
“Sama seperti kau, aku juga mengucilkan diri. Dan
aku juga bertapa untuk memohon wangsit dari Yang
Kuasa.”
Pendekar Dungu mengupil hidung.
“Kalau tak salah, aku tidak bertanya soal itu,”
gumam Pendekar Dungu santai.
“Kau menjengkelkan, Dungu! Hih!”
Lelaki Berbulu Hitam melayangkan cakar panjang-
nya yang berwarna hitam ke perut Pendekar Dungu.
Suara mendesau tajam terdengar menggiriskan saat
tangan itu menyambar. Dan udara pun terasa seperti
bergetar tersambar kuku-kukunya.
Bet!
Sementara itu, jari tangan kanan Pendekar Dungu
segera menjentik kotoran hidungnya yang menempel
ke arah sambaran Lelaki Berbulu Hitam. Maka desir
angin yang tak kalah santer pun terdengar. Tahi
hidung itu terus melesat, lalu menghantam kuku
kelingking Lelaki Berbulu Hitam.
Tak!
Seperti sebuah bangunan beton amat tebal, secuil
tahi hidung milik lelaki tua berotak bebal itu sanggup
menahan laju sambaran cakar Lelaki Berbulu Hitam.
Lelaki Berbulu Hitam jadi mendengus gusar. “Kau
hendak menghinaku, Dungu?!” bentak laki-laki seram
ini setengah bertanya.
Rupanya Lelaki Berbulu Hitam tak mau kalah
unjuk kebolehan. Satu gerakan tangan dibuat. Maka
seketika beberapa lembar bulu hitam di punggung
jarinya terlepas, lalu melesat deras ke sepasang mata
Pendekar Dungu. Wesss!
Sementara itu Pendekar Dungu mendadak
menguap lebar-lebar. Setelah itu napasnya dihempas-
kan.
“Hoaaah... huuuhhh!”
Semua itu dilakukan seperti di luar kesadaran.
Namun hasil yang terjadi sungguh luar biasa!
Lembaran-lembaran bulu berkekuatan hebat itu
langsung terhambat di udara. Dan begitu hembusan
napasnya, terpenggal, bulu-bulu maut itu pun meng-
gelepar turun di udara kehilangan seluruh kekuatan
seperti lembaran kapas. Namun beberapa lembar di
antaranya sempat tersangkut di lubang hidung
Pendekar Dungu. Dan sebentar kemudian....
“Aaa... aaa... haaachiiihhh!”
Orang tua berpakaian tambalan ini mendadak
membersin keras. Lendir kental dari hidungnya
langsung terlontar menuju Lelaki Berbulu Hitam
dengan kecepatan angin topan. Sewaktu bergesekan
dengan udara, lendir menjijikkan itu mengepulkan
asap tipis. Mungkin lubang hidung yang tak pernah
dibersihkan selama puluhan tahun itu, telah
menyebabkannya beracun.
Mata Lelaki Berbulu Hitam kontan mendelik.
Secepat dadanya disingkirkan ke samping. Maka
lendir si Pendekar Dungu pun meluncur ke sasaran
lain, seekor ular sawah besar yang naas. Batok
kepala binatang melata itu terhajar lendir tadi. Maka
sekejap saja kepala ular itu berhamburan. Sedangkan
bekas hantaman lendir mengeluarkan asap tipis,
mengambang lamban di antara puncuk padi yang
masih berwarna hijau.
“Ngomong-ngomong, apa yang kau dapat waktu
bertapa?” Pendekar Dungu melontarkan pertanyaan
sambil menghindari tendangan kasar musuh laman-
ya.
“Kalau tidak salah..., sial! Kenapa aku jadi
melatahimu! Maksudku, aku mendapat wangsit.
Masalah kita bisa diatasi dengan bantuan
seseorang.... Hiaaat!” jawab Lelaki Berbulu Hitam,
masih terus menggempur liar.
“Lho? Kenapa bisa sama, ya?! Haih!”
“Jadi, kau mendapat wangsit seperti itu juga?!”
“Ya, ya! Kalau tidak salah..., hiaaah!”
Kedua tokoh itu bertukar jurus kian panas.
Gerakan mereka membongkar habis pematang
sawah di bawah. Angin pukulan dan tendangan satu
sama lain menyapu bulir-bulir padi hijau hingga
berterbangan ke segenap penjuru.
“Lalu, apa kau mendapatkan ciri-ciri orang yang
bakal bisa membantu kita untuk mengenyahkan
kekurangan diri kita?” tanya Lelaki Berbulu Hitam
yang dibarengi susulan terjangan.
“Kau sendiri?! Hey, jangan menyerang jidatku!
Otakku bisa jadi tambah bebal!” hardik Pendekar
Dungu kalap.
“Ada bintang....”
“Di langit?!” selak Pendekar Dungu.
“Dungu! Heaaa!”
“Memang! Aiiit!”
“Maksudku, orang itu memiliki tanda bintang di
tangan kanannya!” teriak Lelaki Berbulu Hitam,
sampai urat-urat di tenggorokannya membengkak.
“Lho? Kenapa bisa sama lagi dengan wangsitku,
ya?!”
Srat! Prat!
Pada saat yang bersamaan, telapak tangan
Pendekar Dungu menyerempet bulu dada laki-laki
berpakaian tambalan. Sebaliknya cakar Lelaki
Berbulu Hitam menyambar pakaian di bagian dada si
Tua Bangkotan. Sejengkal bulu dada lelaki keturunan
serigala itu tercukur gundul. Sementara, pakaian
Pendekar Dungu koyak lebar.
“Kau merusak bajuku!” maki Pendekar Dungu
kalap.
“Hanya baju dekil dan bau! Tapi, kau malah
merontoki bulu dadaku! Kau merusak penampilan-
ku!” sentak Lelaki Bertubuh Hitam tak kalah kalap.
“Bulu-bulumu mestinya memang harus dirontok-
kan semua! Aku geli melihatnya! Memandang
bulumu, seperti melihat setumpuk lalat jamban!” ejek
Pendekar Dungu sambil memajukan wajah keriput-
nya, menantang Lelaki Berbulu Lebat.
Lelaki Berbulu Lebat jadi latah. Kepalanya ikut-
ikutan dijulurkan. Kini keduanya saling berhadap-
hadapan wajah. Jidat keduanya bertemu, seperti
sepasang domba tua sedang bersabung.
“Kau yang mestinya menanggalkan pakaian
rombengmu itu! Pakaianmu hanya membawa
penyakit kudis saja!” balas Lelaki Berbulu Hitam.
“Ngomong-ngomong, apa kau berniat mencari
orang bertanda bintang itu?” tanya Pendekar Dungu
sungguh-sungguh, seperti tak pernah terjadi apa-apa
pada dirinya.
“Aku pikir begitu.”
“Kalau kupikir..., ng.... Apa iya aku bisa berpikir?”
gumam Pendekar Dungu menyebalkan.
“Jadi kau akan mencari dia juga, apa tidak?!”
bentak Lelaki Berbulu Lebat ngotot sekali.
“Hayo! Hayo!”
Keduanya seketika menyudahi pertarungan. Dan
seperti tak pernah terjadi apa-apa, mereka berjalan
bersisian ke arah timur. Matahari saat ini meng-
gelantung dengan warna Jingga di belakang. Cara
jalan mereka seperti dua orang sahabat kental. Tak
beberapa jauh berjalan, mulut Pendekar Dungu mulai
berkicau lagi.
“Kau punya murid? Muridmu apa sejelek kau
juga?”
Tak lama kemudian kembali keduanya bertengkar.
Suara teriakan kasar seketika terdengar ke mana-
mana.
***
EMPAT
Apa yang dinamakan Pengadilan Perut Bumi tetap
tersembunyi dari segenap mata penghuni rimba
persilatan. Di sana, lelaki bangkotan berkain kafan
yang berjuluk Hakim Tanpa Wajah sedang mem-
persiapkan sesuatu yang akan menggemparkan.
Selalu kegemparan yang bakal dimunculkan kembali,
setelah terkubur delapan puluh tahun lebih. Ya! Dia
akan mempersiapkan satu pengadilan raya dunia
persilatan. Siap mendakwa, lalu menjatuhi hukuman
bagi tokoh-tokohnya. Tak seperti dulu, kemunculan
pengadilan miliknya kali ini akan lebih menggetarkan
nyali. Karena lelaki tua yang merasa dirinya sebagai
hakim sejagad, bakal didukung murid tunggal yang
baru sekali ini dimiliki.
Siapakah murid tunggalnya?
Dialah bayi ajaib yang ditemukan Hakim Tanpa
Wajah dari dalam kandungan mayat seorang wanita
tak dikenal. Setelah keluar dari perut ibunya,
keajaiban makin menjadi-jadi. Tubuhnya berkembang
pesat, tak seperti bayi biasa. Paling tidak, bayi lain
membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa berjalan.
Namun si Bayi Ajaib itu hanya perlu waktu satu
minggu! Tangan dan kakinya yang semula merah
mungil, cepat menjadi kekar. Yang lebih gila lagi,
dalam waktu seminggu remasan jarinya sudah
mampu menghancurkan batang pohon. Tak ada susu
buat pertumbuhannya, yang jadi makanannya hanya
akar-akar pohon bakau yang tumbuh di rawa, di atas
Pengadilan Perut Bumi.
Hari terus berjalan, sesuai kodratnya. Dua bulan
telah berjalan. Sementara pertumbuhan si Bayi Ajaib
kian tidak terkendali. Dalam usia sedini itu dia sudah
bisa berlari dan melompat kian kemari, menabraki
dinding batu di dalam ruang Pangadilan Perut Bumi
hingga berguguran. Tubuhnya mulai disarati otot-otot
kenyal. Tulangnya makin kokoh. Sedangkan tingginya
sudah seperti anak umur sembilan tahun.
Di samping semua itu, wajah si Bayi Ajaib lebih
menampakkan keganasan. Mulutnya yang bertaring,
seringkali menyeringai layaknya hewan buas.
Sepasang matanya seperti milik macan hutan. Bola
mata hitamnya tegak lurus, berbentuk pipih. Tidak
seperti manusia umumnya, rambutnya berwarna
merah menyala seolah-olah dibuat dari bahan batuan
neraka. Hakim Tanpa Wajah menamakan bocah itu,
Manusia Dari Pusat Bumi. Karena, lahirnya jauh di
dasar bumi.
Lalu bagaimana si Bayi Ajaib bisa terkandung
dalam perut mayat wanita tak dikenal itu?
Kisahnya dimulai dari sebuah tempat, dalam
kelebatan hutan bernama Rimba Selaksa Mambang.
Seorang gadis yang belum pernah sekali pun
tersentuh lelaki, telah tersesat di sana. Mulanya dia
dikejar-kejar segerombolan bajingan yang bernafsu
melampiaskan hawa nafsu kelelakian di tepi hutan.
Waktu itu gadis ini hendak melewati tepi hutan untuk
membuat jalan pintas menuju sebuah kampung
terpencil. Dia memang hendak membeli obat untuk
bapaknya yang hampir sekarat, sehingga harus
mengambil jalan pintas.
Melihat gadis ayu dan molek berjalan sendiri di
tepi hutan, gerombolan bajingan jadi tergiur. Mereka
berusaha menghadang. Seketika gadis yang tahu ada
segerombolan orang hendak berniat jahat padanya,
langsung saja melarikan diri ke dalam hutan. Tanpa
disadarinya, wilayah hutan paling angker di kawasan
barat itu telah dimasuki. Selama ini, tidak ada
seorang pun berani menjejakkan kaki di sana. Begitu
juga gerombolan bajingan yang mengejarnya.
Ketika makin dalam memasuki hutan, gadis itu
mulai sadar kalau telah memasuki hutan angker.
Buktinya, gerombolan yang mengejarnya sudah tidak
terlihat lagi. Namun kesadarannya sudah terlambat,
karena dirinya sudah telanjur terjebak dalam pusat
Hutan Rimba Selaksa Mambang.
Pepohonan raksasa bersisian satu sama lain
dalam baris yang tak teratur. Ototnya merangas,
menggantung bagai ribuan tangan makhluk dasar
neraka sedang menggapai-gapai. Dedaunan yang
lebat tak membiarkan cahaya matahari sempat
menerobos. Bagi gadis ini, pepohonan itu seperti
berpuluh-puluh mata-mata dari alam gaib yang
sedang mengawasinya. Lalu, dia pun menjadi
ketakutan.
Gadis itu berlarian kembali dengan perasaan
tercekam. Namun, iniiah justru yang menjadi
kesalahan terbesar dalam hidupnya. Karena ternyata,
dia makin masuk ke tengah-tengah Rimba Selaksa
Mambang, di mana berdiri istana para mambang,
siluman-siluman penghuni hutan!
Malam pun menjelang. Rimba Selaksa Mambang
makin disergap kegelapan. Sementara, si Gadis
makin dililit perasaan takut luar biasa. Sampai suatu
ketika, muncul sosok-sosok menyeramkan secara
tiba-tiba dari sebuah pohon raksasa sebesar rumah!
Ada sekitar dua puluh sosok bertubuh besar
menampakkan diri secara samar-samar. Rata-rata
tinggi mereka sekitar tiga kali manusia dengan wujud
yang begitu mengerikan. Ada yang bertaring
sepanjang lengan manusia. Ada yang bermata bulat
amat besar, seakan hendak keluar. Bahkan ada yang
berkepala besar dengan tanduk menjulang, malah
sebagian lain memiliki perut buncit.
Mendapat semua itu, kontan saja si Gadis menjerit
sejadi-jadinya. Benteng kekuatan jiwanya hancur
seketika. Dan saat itu juga dia tak sadarkan diri.
“Apakah purnama telah benar-benar berada tepat
di atas kepala kita?” tanya seorang siluman dengan
bahasa mereka sendiri.
“Tinggal beberapa saat lagi,” sahut yang lain.
“Kebetulan sekali ada seorang gadis manusia yang
datang ke tempat kita. Tanpa harus pergi keluar
wilayah, kita bisa mendapatkan gadis yang dibutuh-
kan. Tak seperti sejuta purnama yang lalu.”
“Kak..., kak..., kak! Purnama kesejuta kali ini
rupanya kita benar-benar beruntung!” timpal siluman
berkepala gundul dan berpusar panjang.
“Nang..., ning..., ning.... Nang-gung...!” Siluman
berperut buncit menari-nari girang. Perutnya yang
menggelantung hampir menyentuh tanah, terayun-
ayun ke sana kemari. “Tanpa susah-susah, kita akan
mendapat hadiah dari Sri Ratu. Kak..., kak..., kak!”
***
Purnama akhirnya tiba juga di pucuk angkasa.
Para siluman tadi mulai melaksanakan tugas yang
diemban. Mereka harus menanam benih keturunan
bangsa siluman, ke dalam perut seorang gadis yang
masih tetap pingsan itu.
Upacara gaib segera dilaksanakan, yang sulit
dipahami pikiran manusia. Mula-mula kedua puluh
siluman itu melingkari tubuh gadis ini yang meng-
geletak. Perlahan-lahan mereka mulai bergerak
mengitarinya. Kian lama, putaran itu bertambah cepat
menggila. Sampai akhirnya, tubuh halus semua
siluman itu mengabur, dan berubah menjadi pusingan
angin kencang. Batang-batang pohon besar yang tak
begitu kuat menghujam bumi, pasti akan tercabut
dan melayang ke udara tak bedanya dengan
lembaran bulu. Hutan lebat itu bagai digasak angin
topan maha hebat.
Anehnya, tubuh gadis itu tetap berada di tempat
semula, seperti tak mendapat pengaruh sama sekali.
Pada saat angin berbentuk pusaran makin tinggi
merangsek angkasa, seberkas cahaya kemerahan
berkelebat cepat dari puncaknya menuju perut gadis
itu. Bersamaan dengan terlepasnya cahaya tadi,
tercipta bebunyian menggidikkan bagai suara
segerombolan lebah dan denting sejuta genta.
Kesunyian hutan kian dipecah. Sepertinya kedua
puluh siluman tadi sedang mengumandangkan
semacam mantera hitam untuk mengantar masuknya
sang Benih berbentuk cahaya, ke rahim si Gadis.
Sekian kejap berikutnya, cahaya merah sudah
menelusup lenyap dalam perut gadis itu. Dan saat
itulah terlempar raungan menyayat dari mulut wanita
malang ini, memenggal bebunyian ganjil yang
sebelumnya menyesaki hutan.
Alam mendadak sunyi. Hanya tersisa derak ranting
yang terlambat jatuh serta tiupan angin yang lelah.
Upacara gaib telah selesai. Para makhluk halus itu
satu persatu meninggalkan tempat ini. Nyawa si
Gadis telah melayang sebagai tumbalnya.
Dan dari bawah pohon besar tempat meng
hilangnya para siluman, timbul mata air keruh
berwarna kehitaman. Genangan mata air itu kian
besar, seiring membesarnya perut si Gadis Malang.
Pada saatnya, aliran air yang tercipta menghanyutkan
tubuh gadis itu ke arah selatan, di mana telah
menanti danau tempat mayatnya ditemukan oleh si
Hakim Tanpa Wajah.
***
“Pengadilan menanti!”
Dari balik sebuah bukit karang, meluncur teriakan
beringas nan lantang dari seseorang. Suaranya begitu
menggebuk jantung setiap telinga yang men-
dengarnya. Demikian pula bagi lima orang pejalan
kaki di bawah lereng bukit.
Pakaian kelima lelaki itu sungguh tak sedap
dipandang. Bertambal sulam serta compang-camping.
Rata-rata tubuh mereka dekil, seolah menjadi
pakaian sehari-hari. Dua orang di antaranya malah
berhias koreng di beberapa bagian tubuh. Satu orang
di antaranya berkaki pincang.
Kelima lelaki gembel ini berasal dari wilayah timur.
Di sana memang terdapat perkumpulan orang-orang
macam mereka. Dunia persilatan menamakan
perkumpulan itu Partai Pengemis Timur.
Pada dasarnya, orang telah salah sangka terhadap
kehadiran mereka. Penampilan dekil para anggota
perkumpulan itu, membuat nama mereka dekat
dengan sebutan pengemis, walau sebenarnya bukan
pengemis. Jauh di lubuk hati masing-masing, tetap
memiliki harga diri untuk tidak meminta-minta.
Perkumpulan itu bisa hidup tanpa belas kasihan
orang lain. Mereka punya lahan usaha sendiri, untuk
menyambung hidup para anggotanya. Namun rupa-
nya banyak orang menyamaratakan dengan para
pengemis. Akhirnya, mereka pun mendapat julukan
itu.
Kalaupun mereka berpakaian seperti itu, karena
masing-masing ingin mencoba menjauhi kesenangan
dunia yang berlebihan.
Anggota Partai Pengemis Timur rata-rata ber-
kepandaian tinggi. Beberapa pentolannya, bahkan
amat disegani di kawasan timur. Beberapa tahun
yang lalu, pernah terjadi perampokan besar-besaran
yang dilakukan kawanan begal berilmu tinggi.
Beberapa pendekar tangguh tak sanggup meladeni
kebuasan mereka. Beberapa di antaranya menemui
ajal. Sedang yang lain harus menderita luka dan cacat
seumur hidup.
Kebrutalan gerombolan begal itu akhirnya me-
mancing tokoh-tokoh Partai Pengemis Timur. Dari dua
puluh anggota, sepuluh pentolan turun untuk meng-
hadapi keganasan gerombolan begal.
Meski kalah dalam jumlah dan senjata, kesepuluh
pengemis itu sanggup memorat-maritkan anggota
gerombolan berilmu tak tanggung, yang berjumlah
banyak. Pentolan-pentolannya bahkan dapat dibuat
mati!
Para anggota Partai Pengemis Timur pulang
dengan keadaan sehat walafial. Sejak itu kehadiran
mereka mulai diperhitungkan oleh orang persilatan
wilayah timur.
Di antara kesepuluh lelaki yang turun menumpas
gerombolan begal itu, lima orang kumuh yang sedang
berjalan di lereng bukit karang tadi ikut ambil bagian.
Mereka masing-masing bernama Kamasetya,
Dartasa, Damarsuta, Guruhdadi, dan Komajaya.
Kekompakan yang terjalin, membuat mereka dijuluki
Lima Gembel Busuk, meski tak harus keluar dari
Partai Pengemis Timur.
Lima Gembel Busuk dikenal bukan karena
kehadirannya yang selalu membawa bau busuk atau
berpenampilan tak karuan. Mereka amat kesohor
karena keistimewaannya dalam memainkan jurus
gabungan yang dinamakan 'Benteng Angin'. Jurus
gabungan itu mampu menahan serangan, sehingga
lawan seperti menggasak angin.
Lima Gembel Busuk segera menghentikan langkah
begitu mendengar teriakan yang sulit dimengerti tadi.
Satu sama lain saling berpandangan heran.
“Kang! Apakah seruan itu ditujukan untuk kita?”
tanya Kamasetya, lelaki adik dari orang yang
dipanggil Kamajaya. Usia masing-masing terpaut dua
tahun. Sekitar empat puluhan.
“Entahlah. Aku sendiri bingung,” jawab Kamajaya.
Dari puncak bukit karang di atas mereka, muncul-
lah dua lelaki berusia jauh berbeda. Yang seorang
tampak masih begitu muda dengan penampilan
menggidikkan. Tubuhnya kekar sarat otot tebal.
Rambutnya merah, sedangkan di sudut bibirnya
tersembul taring tajam.
Sementara lelaki yang satunya tampak amat renta.
Meskipun demikian, sinar matanya tetap me-
mancarkan kekuatan berapi-api. Tubuhnya dari batas
leher hingga mata kaki ditutup kain kafan lusuh.
Siapa lagi kalau bukan Hakim Tanpa Wajah bersama
muridnya, Manusia Dari Pusat Bumi? Dalam setengah
tahun saja, murid baru sang Hakim Sejagad itu telah
menjelma menjadi pemuda bengis.
“He... he... he!”
Hakim Tanpa Wajah terkekeh. Dikeluarkannya
segulungan daun lontar dari balik kain kalannya.
“Dengan ini, kalian Lima Gembel Busuk harus
menjalani pengadilan di perut bumi! Menurut sang
'saksi mata', kalian harus dituntut karena kesalahan
mencampuri urusan orang lain! Kalian telah lancang
dengan mengusik-usik urusan gerombolan begal
beberapa tahun yang lewat! He... he... he!” sambung
Hakim Tanpa Wajah di sela-sela tawanya.
“Sinting!” maki Guruhdadi, lelaki berkoreng berusia
muda serta berambut gembel. “Siapa dua orang ini?
Apa aku tak salah dengar? Mereka telah menyalah-
kan kita karena telah memberantas orang-orang
bejad macam gerombolan begal itu?”
“Seumur hidup, baru kutemui manusia macam
mereka!” timpal Kamajaya.
“Alah! Kenapa kita tak melanjutkan perjalanan
saja! Tak perlu menggubris mereka. Toh, kita tidak
memiliki urusan apa-apa dengan mereka,” sergah
Guruhdadi sambil menggaruk-garuk kudis di kakinya
yang juga dipenuhi koreng. “Ayo!”
Keempat lelaki yang lain menyetujui saran
Guruhdadi. Kini mereka mulai melangkah beriringan
lagi di lereng setapak. Tapi baru tiga langkah,
terdengar lagi suaru berat Hakim Tanpa Wajah.
“Karena itu, setelah menimbang dan menilai,
maka kuputuskan kalau kalian harus menerima
hukuman mati di Neraka Perut Bumi!”
Diawali bunyi gelepar jubah hitamnya, Manusia
Dari Pusat Bumi melompat ringan untuk menghadang
Lima Gembel Busuk. Dan tanpa basa-basi lagi,
pemuda keturunan siluman itu mengirim tamparan
keras ke arah seorang dari Lima Gembel Busuk.
Wuuuk!
Damarsuta, lelaki pincang yang diserang, tahu
kalau tamparan itu bisa meremukkan rahangnya
dalam sekejap. Maka tubuhnya langsung saja
dilempar ke belakang, melewati keempat kawannya
yang beriringan.
Tak berhasil menghajar Damarsuta, Manusia Dari
Pusat Bumi maju setindak. Kini dirangseknya
Kamajaya dengan sebuah sapuan kaki deras ke
bagian leher. Berbeda dengan Damarsuta yang tak
begitu siap, Kamajaya mencoba menyambut kaki
pemuda itu dengan tangkisan tangan.
Tak!
Benturan keras kontan terjadi. Akibatnya,
Kamajaya terdorong ke sisi. Wajahnya menampakkan
kesakitan luar biasa. Betapa tak dinyana kalau lawan
yang demikian muda memiliki tenaga luar begitu
kuat! Bahkan pergelangan tangan yang digunakan
untuk menangkis tadi, terasa bagai remuk. Itu baru
tenaga luar. Lantas, bagaimana lagi kalau tenaga
dalamnya sudah dikeluarkan?
Kemampuan Manusia Dari Pusat Bumi memang
tak diragukan. Pada usia satu bulan setelah bisa
berlari lincah serta tubuh yang mulai ditumbuhi otot
kenyal, Hakim Tanpa Wajah sudah menurunkan ilmu-
ilmu kesaktiannya. Yang paling awal diturunkan
adalah beberapa rangkaian jurus berisi tenaga luar.
Keyakinan sang Guru pada keajaiban si Bocah
ternyata tak lari dari harapan. Seperti orang rakus,
bocah itu melalap jurus-jurus sakti bertenaga luar
yang diturunkan padanya.
Kemampuan yang mengagumkan itu memancing
keinginan Hakim Tanpa Wajah untuk segera
menurunkan ilmu-ilmu lain yang setingkat lebih tinggi.
Pada tingkatan berikutnya, apa-apa yang diturunkan
sang Guru pun habis dilalap tanpa kesulitan. Maka,
Hakim Tanpa Wajah pun jadi demikian girang. Untuk
melampiaskan rasa senangnya yang membludak itu,
kembali diturunkannya ilmu yang lebih tinggi. Begitu
seterusnya, sehingga si Bocah Ajaib menguasai
ratusan jurus-jurus sakti serta tata cara pengolahan
tenaga secara ampuh. Sementara itu, dengan cepat
pula si Bocah tumbuh layaknya pemuda dewasa.
“Hiaaa!”
Kamasetya kalap melihat saudaranya dapat dibuat
hilang keseimbangan oleh pemuda kemarin sore.
Setelah menahan tubuh Kamajaya yang oleng ke
samping, Kamasetya maju ke muka. Bersama wajah
penuh ancaman, dihantamnya pemuda itu dengan
kepala kurusnya.
Bet!
Pukulan cepat Kamasetya seperti menerkam
angin. Pemuda itu cepat melengoskan tubuhnya
tanpa dapat disentuh kepalan Kamasetya. Betul-betul
gerakan teramat lincah yang pernah ditemukan
Kamasetya selama menjadi tokoh disegani wilayah
timur, bersama keempat kawan dan saudaranya.
Sekejap berikutnya, justru Kamasetya yang harus
pontang-panting menghindari serangan balasan
Manusia Dari Pusat Bumi. Sama dengan saudaranya,
dia juga bertanya-tanya dalam hati. Siapa
sesungguhnya pemuda belia berwajah bengis yang
sebenarnya sulit dipercaya jika memiliki gerak dan
tenaga setangguh itu? Terlebih, sewaktu mata
Kamasetya menangkap sepasang taring runcing di
sudut bibir pemuda itu. Hatinya tanpa sadar tergedor.
Sekali lagi dia tak percaya ada manusia memiliki
taring seperti hewan buas, serta sepasang mata
seekor macan hutan!
Sewaktu benak Kamasetya disarati keheranan,
satu babatan tangan cepat siap merontokan iganya.
Weeet!
“Kamasetya awaaas!”
Kamajaya yang masih berdiri tak jauh darinya
langsung berguling dijalan lereng bukit menuju tubuh
adiknya. Setibanya di dekat Kamasetya, dia bangkit
dibarengi satu terkaman ke perut Manusia Dari Pusat
Bumi.
Begkh!
Dua kepalan Kamajaya masuk mentah-mentah ke
perut pemuda keturunan siluman itu, memaksa
tubuhnya terlempar deras tanpa ampun. Saat
ambruk, Kamasetya yakin kalau pemuda itu tak akan
sanggup bangkit lagi. Pukulan seperti itu juga pernah
merontokkan nyawa tiga tokoh berilmu tinggi
gerombolan begal, beberapa tahun yang lalu dalam
sekali pukul.
Tapi, dugaannya keliru. Tanpa luka sedikit pun,
pemuda berwajah menyeramkan itu bangkit seraya
menggeram. Suaranya menerabas, hingga sampai ke
sudut nyali....
***
LIMA
Sebuah kedai kini sepi pengunjung. Memang, waktu
makan siang sudah lewat sekian lama. Para buruh
bandar, atau para pendatang dari Gujarat, Cina, dan
Arab yang biasa singgah untuk makan, sudah kembali
semua ke bandar. Kebetulan, kedai itu berada tak
begitu jauh dari pusat niaga ini.
Dua orang pelayan wanita tengah membersih-
bersihkan meja bekas makan para pengunjung.
Kedua wanita yang sama-sama cantik ini berkebaya
agak ketat dengan kain sepanjang lutut. Masing-
masing kebaya berwarna merah, dan hijau. Dalam
kerja santai seperti ini, sesekali mereka bergurau. Tak
jarang pula keduanya bergunjing tentang segala hal.
Tawa mereka yang lembut, terkadang memenuhi
ruang kedai.
Belum habis canda mereka, masuk seorang
pemuda tampan menawan. Rambutnya tak teratur,
panjang sampai bahu. Seperti salah seorang wanita
pelayan, baju pemuda itu juga hijau. Begitupun
celananya. Pada bahunya yang tegap, tersampir
selembar kain bercorak catur. Sambil menguap
berkepanjangan, kakinya melangkah acuh ke sebuah
meja. Tentu saja, pemuda ini adalah Andika alias
Pendekar Slebor.
“Ssst... Ni Warsih..., kau sudah janji dengan
seseorang, ya?” tukas wanita berkebaya merah,
menegur rekannya yang kebetulan membelakangi
Andika.
“Janjian?” tanya wanita yang dipanggil Ni Warsih,
heran.
“Itu lho!” wanita berkebaya merah mengerling ke
arah Andika.
Mendapat isyarat mata itu, Ni Warsih berbalik
mengikuti pandangan mata rekannya. Dan matanya
bertemu dengan pemuda tampan menggetarkan hati.
“O, Gusti...,” bisik Ni Warsih.
Mata Ni Warsih terbelalak pada rekannya. Tangan
kanannya yang masih memegang serbet kotor,
diletakkan di dada.
“Kenapa Ni Warsih?” tanya wanita berkebaya
merah sambil tertawa kecil.
“Itu betul-betul manusia, ya? Kenapa tuampuan
sekali...,” kata Ni Warsih setengah berbisik. “Aduh,
rontok juga jantungku....”
“Itu bagianku, ya?!” serobot wanita berkebaya
merah.
“Eee.... Enak saja, Kau Ningsih! Mau nyerobot
rejeki orang?!”
“Hi... hi... hi!”
Wanita berkebaya merah yang dipanggil Ningsih
cengengesan.
Di sisi lain, Andika merasa tak enak hati dibicara-
an seperti itu.
“Ehem..., ehem!” Andika mendehem.
“Nah, lo...,” ujar Ningsih menakut-nakuti Ni Warsih.
“Sana kamu layani! Katanya rejekimu....”
“Aduh.... Bagaimana, ya? Kok, aku jadi dag-dig-dug
gitu lho!”
“Wajahmu juga mulai merah matang.... Nah!
Sekarang, malah mulai biru.... Merah lagi...,” goda
Ningsih.
“Masa'... masa'?!”
“Iya! Sumpah, biar disambar geledek bareng
bareng!”
“Kalau gitu, kamu saja yang melayani dia, ya?”
“Wah.... Ketiban bulan aku....”
Wanita berkebaya merah menampakkan
kecerahan di wajahnya. Baru saja dia mulai beranjak,
Ni Warsih menahannya.
“E-e, biar aku saja!”
Ni Warsih mendahului Ningsih menuju Andika.
Wanita itu jadi terlihat kampungan sekali, sewaktu
berlari terburu-buru. Cetusan antara perasaan
gembira meluap bersama kegugupan.
“Kang mau...?”
Tenggorokan Ni Warsih mendadak tersekat.
Ucapannya terputus sebelum selesai. Lalu dia
tertegun seperti orang bodoh di sisi Andika. Mulutnya
megap-megap ingin berkata, tapi tidak bisa.
“Mau apa?” kata Andika.
“Mak... maksud saya, Kakang mau mesan apa?”
Andika menatap lurus-lurus sepasang bola lentik
Ni Warsih. Dan ini membuat wanita itu makin gugup.
Dadanya jadi terasa sesak.
“Kalau memesan Nisanak sendiri boleh?” goda
Andika sambil mengerling.
Mendadak saja Ni Warsih tambah megap-megap,
semakin parah. Selanjutnya.... Bruk!
Wanita itu ambruk, semaput dengan mata
terbelalak ke atas. Tinggal Andika yang hanya bisa
garuk-garuk kepala. Cepat Ningsih menubruk
rekannya, untuk menyadarkan. Sebentar saja, Ni
Warsih siuman.
Ni Warsih kini dibawa masuk oleh Ningsih. Meski
sudah siuman, tapi sama sekali belum bisa bangun.
Kakinya masih lemas. Sampai Ningsih muncul, Ni
Warsih belum menampakkan batang hidungnya
kembali. Maka 'Rejeki' Ni Warsih pun diambil alih oleh
wanita berkebaya merah ini. Dilayaninya Andika
dengan mata terus melirik-lirik nakal. Dasar
perempuan!
Sewaktu Andika mulai menyantap hidangan, dua
lelaki asing masuk. Tidak hanya asing, keduanya juga
ganjil. Seorang tampak begitu rua renta. Bertopi
pandang lusuh, serta berpakaian tambalan di sana-
sini. Meski agak bongkok, jalannya tetap sigap. Alis
matanya tampak memanjang, hingga menutupi
kelopak mata dengan warna putih.
Seorang lagi membuat Ningsih hampir menjerit
ketakutan kalau tidak segera mendekap mulut.
Bagaimana wanita itu tidak terkejut? Ternyata orang
itu ditumbuhi bulu lebat di sekujur tubuhnya. Dikira
ada orang utan mau makan siang di tempat ini.
Dari pintu masuk, kedua laki-laki aneh itu sudah
tampak tak akur. Satu sama lain saling mengomel tak
karuan. Lelaki berbulu, terus saja menghardik-hardik
kasar. Sementara, yang lain berbicara ngalor-ngidul,
seolah-olah tak mendengarkan teriakan keras lelaki
di sebelahnya. Terkadang pula dia balas membentak,
setelah itu acuh kembali.
Andika tak peduli pada kedua lelaki tadi. Pemuda
itu terus melahap makanan penuh selera. Cara
makannya seperti orang yang baru bertemu makanan
selama tiga hari. Tak ada lagi tata cara kesopanan
buat pemuda itu. Kakinya diangkat, duduk bersila di
bangku panjang tempatnya duduk. Mangkuk air
tempat mencuci tangan pun tak disentuhnya, meski
tangan yang dipakai untuk meraup nasi ke mulut bisa
dibilang dekil. Apa mau dikata? Memang begitulah si
Pendekar Slebor.
Dua lelaki yang baru datang sudah mengambil
tempat di satu sudut kedai, berhadap-hadapan
dengan meja Andika. Lelaki tua yang tak lain
Pendekar Dungu itu sudah duduk dengan wajah
bodoh di kursi panjang. Sepertinya, dia tak tahu apa
yang harus dilakukannya dalam kedai. Berbeda orang
yang satu lagi, yang tak lain Lelaki Berbulu Hitam.
Kawan seperjalanan Pendekar Dungu yang pernah
menjadi lawan tangguhnya dulu malah terus memaki-
maki sambil mengitari meja makan.
“Sudah kubilang! Jangan urus perutmu dulu,
sebelum kita temukan orang itu, Dungu!” hardik
Lelaki Berbulu Hitam dengan urat leher tertarik.
“Pantas saja otakmu jadi bebal. Karena, yang kau
pikirkan hanya makan!”
Pendekar Dungu melirik sejenak pada lelaki kalap
tadi. Lalu, matanya kembali tertegun-tegun ke arah
meja makan.
“Jangan berlagak bodoh! Kau pasti dengar
ucapanku!” sambung Lelaki Berbulu Hitam.
Namun, setelah itu Lelaki Berbulu Hitam
menampar keras-keras kening sendiri.
“Siapa bilang dia berlagak bodoh! Memang dari
dulu sudah bodoh!” gumam laki-laki berbulu itu.
Karena wataknya yang keras, gumamannya pun
tak terdengar seperti gumaman. Bagi yang
mendengarnya, gumaman itu dianggap teriakan.
“Dunguuu! Kita mesti keluar dari tempat celaka
ini!” seru Lelaki Berbulu Hitam tak tanggung-
tanggung. Kekesalannya yang memuncak, telah
membuatnya mengerahkan tenaga dalam bersama
teriakannya.
Saat itu juga, dinding kayu kedai bergetar dan
retak. Meja dan kursi terangkat mendadak. Piring-
piring tanah liat di meja Andika juga ikut menjadi
korban. Semuanya pecah berpetalan. Sementara
wanita pelayan di ruang dalam kedai langsung
mendekap telinga masing-masing dengan wajah
menahan sakit.
Sedangkan Andika tetap tenang, meski telinganya
sempat terasa nyeri. Tanpa kentara, Pendekar Slebor
menyalurkan hawa murni ke gendang telinga untuk
meredam tenaga dalam kuat yang mencoba
merangsek ke dalam. Di samping itu, Andika juga
mengirim hawa murni ke ruang dalam kedai, agar
gelombang teriakan hebat Lelaki Berbulu Hitam tidak
begitu mencelakakan dua pelayan wanita di sana.
Setelah berteriak kalap, Lelaki Berbulu Hitam agak
menurun kemarahannya. Kakinya melangkah meng-
hampiri kursi di depan Pendekar Dungu dengan
bersungut-sungut. Dengan rasa kesal, didudukinya
kursi itu. Baru saja tubuh gempalnya turun pada
kursi....
Bruk!
Kursi kayu kontan terbelah dua, membuat Lelaki
Berbulu Hitam terjatuh duduk di lantai kedai.
Salahnya sendiri. Teriakan bertenaga dalamnya tadi,
telah membuat kursi kayu itu retak. Sewaktu dibebani
tubuh besarnya, tentu saja tak kuat lagi bertahan.
“Siaaal!”
Lelaki Berulu Hitam berteriak kuat-kuat lagi. Tapi
lagi-lagi dia harus menelan getah dari perbuatannya.
Langit-langit kedai yang memang sudah keropos
segera berjatuhan. Pecahannya sebagian masuk
tanpa permisi ke mulutnya yang lebar.
“Afh... glek!”
“Astaga! Rupanya kau telah memesan makanan
lebih dahulu! Dasar culas! Kenapa tak ajak-ajak aku
makan?!” maki Pendekar Dungu, sewaktu telinganya
menangkap suara mulut Lelaki Berbulu Hitam
menelan sesuatu.
Lelaki gempal berbulu yang terduduk di lantai,
mendelik mata sebesar-besarnya. Ucapan lugu
Pendekar Dungu terdengar di telinganya sebagai
hinaan. Tak lama kemudian, Lelaki Berbulu Hitam
mulai mengomel-ngomel lagi. Mulai dikitarinya meja
tempat Pendekar Dungu sambil berkacak pinggang
serta mencak-mencak serabutan.
Belum habis omelan Lelaki Berbulu Hitam masuk
lagi seorang nenek-nenek peot berpunuk besar,
seperti seekor onta. Rambutnya putih panjang.
Karena terlalu panjang, rambut itu terseret-seret
menyapu lantai kedai. Wajah nenek tua ini bukan
hanya keriput, tapi sudah begitu kendor. Pipinya
menggelantung ke sisi rahang. Matanya tak kalah
parah, memutih tanpa warna hitam lagi. Sementara,
bibirnya yang berkerut-kerut, terus saja memamah
sirih. Sesekali disekanya cairan sirih di sudut bibir
dengan lengan baju yang berwarna jingga terang
kebesaran.
“Ugh..., uhugh... ugh!”
Nenek itu terbatuk-batuk. Dilewatinya meja Andika
tanpa mau ambil pusing untuk menegur. Tanpa rasa
bersalah, air sirih kental di mulutnya diludahkan
sembarangan. Masih wajar kalau singgah di bawah
meja Andika. Tapi, air sirih menjijikkan itu justru
mampir di bibir gelas bambu tempat minum pemuda
ini.
Pendekar Slebor jadi mendengus. Pangkal
hidungnya kontan terlipat. Kalau saja bukan orang
lanjut usia yang berbuat seperti itu, sudah disodoknya
mulut orang itu dengan kepalan!
Dua meja setelah tempat Andika, nenek itu
mendapat tempat yang dianggap cukup nyaman. Dia
duduk menghadap jendela besar sebelah timur,
sehingga angin menyapu wajah kendornya. Wajahnya
bagai dibelai-belai, hingga matanya berkedip-kedip
lamban seperti orang sekarat. Sebentar kemudian,
nenek itu sudah merebahkan diri melepaskan
dengkurnya yang keras.
“Sebenarnya, nenek sial ini hendak makan atau
hanya numpang tidur,” gerutu Andika, merasa terusik
kenyamanannya.
Betapa tidak terusik? Sudah piring-piringnya
hancur oleh teriakan sinting Lelaki Berbulu Hitam,
gelas bambunya disinggahi benda nyasar, kini ada
pula senandung yang sungguh mati tak sedap masuk
telinga.
Sementara Lelaki Berbulu Hitam tak bosan-
bosannya mencaci maki Pendekar Dungu, nenek tua
yang tak kalah bangkotan tadi dengan tenang
menikmati mimpinya. Sirih di mulut peot itu tak juga
dibuang. Air liur berwarna merah sirih pun mulai
mengalir lambat tanpa dosa.
Andika sudah tak tahan lagi. Seacuh-acuhnya
pemuda ini, tak akan bisa menahan jijik kala
menatap air liur kental itu. Nasi yang tersisa beberapa
kepal lagi di piringnya yang sebagian masih utuh
ditinggal begitu saja.
“Niii!” panggil Andika pada pelayan.
Pelayan wanita berkebaya merah keluar tergopoh-
gopoh ke arahnya. Wajahnya masih tetap berkerut
ketakutan. Sedang matanya tak berani sedikit pun
melirik ke arah para tamu lain, kecuali Andika.
“Ada apa, Kang?” tanya Ningsih pada Andika.
“Kenapa orang-orang sinting itu tidak dilayani?”
tanya Andika. Dia ingin, agar para pengunjung aneh
itu cepat-cepat diam karena sibuk dengan makanan
yang dihidangkan.
“Mana aku berani melayani kalau mereka sinting,”
bisik Ningsih dengan mendekatkan mulut ke telinga
Andika.
“Siapa yang bilang mereka sinting?” tanya Andika
bingung.
“Lho? Kakang tadi bukan bilang begitu?”
“Aku tadi hanya dongkol. Jadi kusebut mereka
sinting,” tandas Andika tanpa hendak menurunkan
suara.
“Siapa yang sinting?!”
Mendadak saja, Lelaki Berbulu Hitam, tokoh kelas
atas yang ditakuti pada zamannya, berseru murka.
Hatinya kontan tersinggung pada ucapan Andika.
Memang, hanya orang tuli yang tak mendengar
ucapan pemuda urakan yang cukup keras tadi.
Sementara wanita berkebaya merah itu langsung
terlonjak kaget. Dia hampir meloncat, karena begitu
kagetnya. Matanya terbelalak, sedang mulutnya
terbuka lebar. Jangan ditanya, bagaimana pucat
pasinya wajah Ningsih saat itu.
“Siapa yang sinting?!” ulang Lelaki Berbulu Hitam.
Dihampirinya Pendekar Slebor dengan langkah
berdebam-debam.
Namun, pemuda yang didekati hanya tersenyum-
senyum menikmati kekalapan lelaki berpenampilan
bagai orang utan itu. Sementara, pelayan wanita
berkebaya merah sudah terbirit-birit ke dalam sejak
tadi. Masih bagus kalau tak terkencing-kencing di
celana.
“Kau yang barusan bilang aku orang sinting?!”
tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak merasa harus sopan
sedikit pun. Matanya sudah mendeliki Andika.
“Aku tidak bilang begitu,” sangkal Andika. “Yang
kukatakan, kalian bertiga....”
“Kenapa kami bertiga?”
“Ya, sinting....”
“Pemuda busuk tak tahu adat!”
Lelaki Berbulu Hitam seketika meniup serakan
piring di meja Andika. Pecahan piring pun
berhamburan secepat kilat ke wajah Pendekar Slebor.
Sungguh suatu pamer kekuatan yang mengagumkan!
Andika yang merasa mendapat tantangan adu
kekuatan, dengan sigap meniup kembali pecahan
piring itu ke arah lelaki di depannya. Mula-mula,
pecahan piring itu berhenti di udara. Dan sesaat
kemudian berbalik meluncur ke wajah Lelaki Berbulu
Hitam.
Di tengah jalan, pecahan piring tanah liat itu
tertahan lagi. Bukan karena ulah Lelaki Berbulu
Hitam. Nyatanya, mulut laki kasar itu memang belum
lagi tampak bergerak. Lalu, siapa yang usil ingin ikut
campur adu kekuatan yang dimiliki orang-orang
kalangan atas itu?
***
ENAM
Sementara itu di bukit karang, di mana Lima Gembel
Busuk dihadang Manusia Dari Pusat Bumi.
Pertarungan satu lawan lima telah memasuki jurus ke
sembilan puluh.
Sebenarnya, Lima Gembel Busuk sanggup
membuat tekanan pada pemuda itu. Pukulan tangan
mereka serta hantaman tongkat milik si Pincang,
berkali-kali menjebol benteng pertahanan Manusia
Dari Pusat Bumi. Namun sampai sejauh itu, Manusia
Dari Pusat Bumi mampu meredam seluruh hajaran di
tubuhnya dengan cara aneh.
Lima Gembel Busuk benar-benar tak habis pikir,
kenapa pemuda itu seperti memberi kesempatan
pada mereka untuk mendaratkan pukulan atau
hantaman. Dan sewaktu mereka merasakan satu
sengatan luar biasa setiap kali berhasil mendaratkan
serangan, barulah disadari.
Sudah berkali-kali pukulan tokoh ternama dari
wilayah timur itu berhasil memakan bagian demi
bagian tubuh Manusia Dari Pusat Bumi. Namun, yang
semakin melemah justru keadaan tubuh mereka.
Tenaga lima lelaki ini seperti disedot oleh kekuatan
tak terlihat sebagian demi sebagian.
Meski agak terlambat, Kamajaya, orang yang
paling berpengaruh di antara mereka, segera
memberi aba-aba.
“Hentikan serangan!” seru Kamajaya cepat. “Kita
akan kehabisan tenaga kalau terus mendaratkan
serangan ke tubuhnya!”
Di lain tempat, Hakim Tanpa Wajah ikut terkejut
dengan kemampuan tak terduga murid tunggalnya.
Selama ini, dia hanya menurunkan ilmu-ilmunya yang
diserap secara baik. Kalupun pemuda ini belum
begitu lihai memainkan setiap jurus ajaran Hakim
Tanpa Wajah, penyebabnya hanya karena usianya
yang terlalu hijau. Sehingga, dia belum begitu
berpengalaman dalam medan tempur. Dengan
kemampuan di luar dugaan tadi, Manusia Dari Pusat
Bumi justru memanfaatkan kekurangannya untuk
menguras tenaga lawan.
“He... he... he! Pintar, Bocah Bagus! Kau memang
murid yang bisa diandalkan! Ada baiknya kau tidak
hanya menjadi muridku, tapi sekaligus jadi seorang
'Penuntut Pengadilan Perut Bumi'. He... he... he!” kata
Hakim Tanpa Wajah dari tempatnya berdiri.
Bukan main berbunganya hati lelaki bangkotan itu
menyaksikan para calon orang hukumannya mundur
teratur, menghadapi pemuda hijau yang sesungguh-
nya baru berusia teramat muda.
Di kancah pertarungan, lima Gembel Busuk sudah
bersiap-siap memainkan jurus andalan 'Benteng
Angin'. Mula-mula, lima lelaki itu mengatur
keberadaan masing-masing dalam bentuk lingkaran
lima belas tombak di sekitar pemuda itu. Setapak
demi setapak, mereka maju dengan langkah teratur
dan pasti menuju pusat sasaran serangan. Ketika
tinggal sekitar tiga tombak lagi, mereka serempak
mengerahkan kembangan jurus masing-masing,
seolah hendak membingungkan lawan. Lalu pada
waktunya, tenaga sembrani mereka dilepaskan dari
kedua belah telapak. Tenaga yang sanggup membuat
mereka menggabungkan tenaga pada telapak tangan
langsung membentuk lingkaran, mengurung Manusia
Dari Pusat Bumi seperti gelang tembus pandang.
Dinginnya wajah Manusia Dari Pusat Bumi tak
berubah sediki pun menghadapi jurus andalan yang
amat kesohor di wilayah timur itu. Selama 'Benteng
Angin' dipergunakan Lima Gembel Busuk, belum ada
seorang lawan pun yang sanggup mengungguli. Tapi
bagi lelaki belia berperawakan manusia berusia dua
puluh limaan itu, mungkin hanya mainan tak berarti.
“Heaaa!”
Adu kedigdayaan dimulai kembali. Manusia Dari
Pusat Bumi membuat terjangan lebih dahulu. Hatinya
sudah tak sabar ingin segera menyelesaikan
pekerjaan. Yang jadi sasaran pertama adalah si
Pincang. Jurus yang diturunkan gurunya mulai
dikerahkan pada tingkat yang sulit ditandingi.
Delapan puluh tahun yang lalu, jurus itu pernah
menjatuhkan berpuluh-puluh tokoh jajaran atas. Pada
waktu itu, jika Hakim Tanpa Wajah sudah merangsek
dengan kaki menjejak-jejak dengan bumi penuh
tenaga, maka para lawannya seketika menjadi gentar.
Karena mereka tahu kalau dia telah memainkan jurus
'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'.
Setelah sekian lama terkubur masa, jurus tangguh
itu tak lagi muncul. Orang pun tak pernah lagi
melihatnya seperti tak pernah lagi melihat Hakim
Tanpa Wajah. Kalaupun masih ada yang mengenali
jurus itu, hanya terbatas pada tiga saingan utama
Hakim Tanpa Wajah. Yakni, Pendekar Dungu, Raja
Penyamar, dan Lelaki Berbulu Hitam.
Namun begitu, tak luput dari kelima lawannya
bertanya-tanya heran. Jurus apa yang bisa membuat
permukaan tanah bergetar seperti ada seekor naga
raksasa sedang bergeliat di dasar bumi?
***
Jauh di tempat lain, tepatnya di sebuah kedai
bandar, adu kesaktian para tokoh jajaran atas yang
bertemu di satu tempat tanpa sengaja, berlangsung
makin hangat. Dua orang sudah dikenal sebagai
Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar Dungu.
Keduanya adalah tokoh dari zaman yang jauh
berbeda dengan orang ketiga yang dikenali sebagai
Pendekar Slebor. Sedangkan tentang nenek bongkok
berpunuk, belum ada seorang pun yang tahu tentang
dirinya.
Ketika itu, Andika maupun Lelaki Berbulu Hitam
disentak oleh keusilan seseorang. Pecahan piring
yang meluncur ke wajah Lelaki Berbulu Hitam akibat
ditiup balik Andika, mendadak saja berhenti di udara.
Sudah pasti ada seseorang yang mengirim tenaga
dalamnya yang tak kalah hebat.
Pendekar Slebor serta Lelaki Berbulu Hitam yang
memang memiliki indera tajam, segera saja bisa
mengendus orang yang berbuat usil. Orang itu duduk
menyender pada sisi meja, terpulas dengan liur
bercampur sirih. Siapa lagi kalau bukan si Nenek
Bongkok. Dengan dengkurnya, diam-diam tenaga
dalamnya yang sudah sangat tinggi disalurkan ke
arah pecahan piring. Alhasil, kepingan-kepingan kecil
tanah liat itu pun tertahan di udara.
“Siaaal!”
Lelaki Berbulu Hitam mulai sewot lagi.
Kemarahannya kali ini berpindah ke nenek bongkok.
“Kau jangan sok ikut campur, Perempuan Peot!”
hardik Lelaki Berbulu Hitam garang. Matanya
mendelik-delik buruk kepada nenek bongkok yang
tetap mendengkur. “Kau mau bibirmu yang sudah
mirip gombal itu kusumpal dengan pecahan piring,
ya?!”
Dan seketika itu pula Lelaki Berbulu Hitam
menggerakkan tangannya, hendak menyambar
benda-benda kecil tajam itu di udara. Tapi sebelum
tangannya sampai, pecahan-pecahan itu melayang
lebih cepat ke atas, kemudian berhenti kembali
setelah naik sekitar satu depa.
Sekali lagi, Andika tersentak. Bukan karena tak
tahu siapa yang berbuat hal itu. Justru dia tersentak
setelah menyadari kalau di sekitarnya kini hadir tiga
orang yang tingkat kepandaiannya tak terukur. Kalau
tadi si Nenek Bongkok menahan tiupan tenaga
dalamnya pada pecahan piring hanya dengan
mendengkur, kini pecahan-pecahan tanah liat kering
itu dipindahkan ke atas, dalam keadaan tetap
melayang oleh Pendekar Dungu di sudut ruangan
dengan mengipas-ngipaskan topi pandannya secara
santai!
Kini giliran Pendekar Dungu mendapat jatah
pelototan mata Lelaki Berbulu Hitam.
“Kau juga jangan ikut-kutan latah, Dungu!” bentak
Lelaki Berbulu Hitam.
“Aku tidak mau 'ikut-ikut'. Makanan macam apa
itu? Aku hanya mau makan nasi biasa,” tukas
Pendekar Dungu acuh tak acuh.
“Kenapa kau tak panggil pelayan saja?!”
“Jangan, jangan dipanggil. Biar aku tunggu pelayan
itu memanggilku saja...”
“Goblok! Kau pikir, mau makan apa cari pelacur!”
“Aku mau cari nasi biasa! Sudah kubilang tadi,
bukan?”
“Gggeeehhh....”
Lelaki Berbulu Hitam menggurutukkan gigi-giginya
sendiri. Rahangnya sampai seperti membengkak,
karena begitu jengkel dengan kebodohan Pendekar
Dungu.
Sementara Andika celingak-celinguk sendiri. Dia
tak habis mengerti, apa yang sesungguhnya
diributkan kedua lelaki ganjil itu? Dan kenapa pula si
Nenek Bongkok usil-usilannya menjahili? Seolah-olah,
pemuda itu sedang disuguhkan satu adegan
sandiwara rakyat yang penuh guyonan. Sesekali
matanya memperhatikan Pendekar Dungu di sudut
kedai. Saat yang lain, diperhatikannya Lelaki Berbulu
Hitam yang belum juga beranjak di dekat mejanya.
Juga, diawasinya si Nenek Bongkok yang tetap pulas
seperti bayi, seakan-akan suara menggelegar-gelegar
Lelaki Berbulu Hitam tak pernah bisa mengusiknya.
“Para orang tua! Sebelum kalian melanjutkan
pertengkaran, bolehkah aku yang muda ini tahu,
siapa kalian sebenarnya?” selak Andika, memotong
makian panjang-panjang Lelaki Berbulu Hitam.
“Apa pedulimu!” tandas Lelaki Berbulu Hitam.
“Wah! Kalau namaku, aku tahu. Tapi kalau nama
kalian...? sahut Pendekar Dungu sambil berpikir
beberapa saat. Setelah itu, dia menggeleng lamban.
“Nyem... nyem... grrr... suiiittt...,” Nenek bongkok
pun ikut menjawab dengan caranya sendiri.
Andika meringis. Dirinya yang slebor pun dibuat
berdecak-decak oleh sikap ketiga orang itu. Apalagi
orang yang waras? Bisa-bisa langsung ngacir dari
tempat ini!
“Maksudku, mungkin aku bisa membantu kalian,”
ralat Andika.
“Aku tak perlu bantuanmu, Bocah!” sentak Lelaki
Berbulu Hitam.
“Ya, Anak Muda. Mana mau manusia keras kepala
itu dibantu. Di samping keras kepala, dia juga tinggi
hati. Pertolongan orang lain selalu dianggapnya
hinaan,” selak nenek bongkok, tanpa sedikit pun
membuka kelompak mata keriputnya. Setelah itu, dia
meludah.
“Cuih!”
Cairan berwarna merah dari mulut nenek itu
terbang cepat, menuju kepingan-kepingan bekas
piring yang masih melayang di atas, karena
dikendalikan tenaga dalam Pendekar Dungu. Ludah
kental itu langsung menyebar ke beberapa arah,
menggasak habis pecahan tanah liat keras, lalu
mendorongnya kuat ke dinding kedai. Seketika
lubang-lubang sebesar jari manusia tercipta, karena
kekuatan dalam dari setiap pecahan itu.
“Sudah kubilang, kau tak usah ikut campur, Nenek
Peot! Sudah tidak pantas bagimu ikut bermain-main
seperti ini!”
Lelaki Berbulu Hitam berpindah tempat. Dihampiri-
nya nenek bongkok dengan wajah menyeringai-
nyeringai merah.
Setibanya di sisi meja, Lelaki Berbulu Hitam
menjatuhkan tangannya tanpa tenaga. Belum lagi
tangan itu sampai ke permukaan meja, papan dari
kayu setebal seperempat jengkal itu terpatah dua
bagian! Lagi-lagi, dia hendak pamer kekuatan.
“Huuuaaah!” si Nenek Bongkok menguap lebar-
lebar. Gulungan sirih tersembul di antara kuapan
mulutnya. “Itu kekuatan yang sudah ketinggalan
zaman buatku, Monyet.”
“Kau bilang aku apa?!” bentak Lelaki Berbulu
Hitam kuat-kuat di depan hidung si Nenek Bongkok.
“Kau tak suka kukatakan monyet? Baik, memang
mestinya kau kusebut biang monyet....”
Lelaki keturunan serigala itu tak bisa lagi
menguasai diri. Itulah sifatnya yang sulit hilang, meski
telah menjalani tapa selama puluhan tahun. Itu pula
yang menjadi masalah utama bagi dirinya. Tapi
dibanding dulu, sekarang ini Lelaki Berbulu Hitam
termasuk sabar. Sebelum menyembunyikan diri
selama puluhan tahun, seseorang akan langsung
dikepruknya hingga mampus jika sekali saja
menyindirnya.
“Biar mampus kau, Nenek Keropos!”
Berbareng makian kasar, tangan besar Lelaki
Berbulu Hitam terangkat cepat tinggi-tinggi. Sebelum
benar-benar sampai ke puncak, tangan itu sudah
menukik deras ke kepala nenek bongkok. Telapak
tangannya terbuka lebar, seperti sebatang pacul siap
memburai lumpur sawah!
Wuk! Prak!
Ubun-ubun nenek bongkok benar-benar telak
terkepruk oleh telapak tangan lebar milik Lelaki
Berbulu Hitam. Andika sendiri sampai hendak
bangkit, untuk menahan tangan itu. Pendekar Slebor
yang kesohor ini tahu, keprukan itu tak bisa dianggap
remeh. Batu karang sebesar kerbau saja belum tentu
sanggup bertahan. Apalagi kepala rapuh si Nenek
Bongkok.
Tapi, kenyataan yang terjadi malah jauh di luar
perkiraan. Sesudah tertimpa tangan besar Lelaki
Berbulu Hitam, si Nenek Bongkok menggaruk ubun-
ubun. Bahkan bibirnya yang lusuh mengembangkan
senyum melecehkan.
“Sudah kubilang, tenagamu sudah ketinggalan
zaman. Itu tadi untuk membunuhku, atau untuk
membunuh kutu-kutu di kepalaku?”
Siapa yang tak panas dikatakan seperti itu?
Apalagi, bagi lelaki berperawakan seram ini.
Telinganya serasa disodok sebatang besi panas.
Darahnya langsung bergejolak. Sifat-sifat seekor
serigala yang mendekam dalam tubuhnya pun
terusik. Layaknya serigala murka, mulutnya
menyeringai. Untung saja wajahnya tak serupa
binatang buas itu.
“Grrr...!” geram Lelaki Berbulu Hitam sangar. Si
Nenek Bongkok tetap tenang, memperhatikan
seluruh tingkah calon lawannya. Tidak tahu, apakah
lelaki yang berada dalam puncak kemarahan itu
dipedulikan atau tidak. Yang jelas, dia terus saja
memamerkan wajah melecehkan. Tangannya ber-
balut kulit keriput memain-mainkan gulungan sirih di
sudut bibir.
Tak perlu ada yang memanas-manasi, pertarungan
memang akan segera pecah.
“Wah! Urusan jadi runyam,” gumam Andika
perlahan sekali di mejanya. “Kalau orang seperti
mereka bertarung di kedai ini, bisa porak-poranda
seluruh isinya....”
Untung saja yang ditakutkan Andika tidak terjadi.
Si Nenek Bongkok rupanya masih punya sedikit
perasaan pada nasib sumber rejeki orang lain.
Dengan terseok-seok tubuhnya diangkat dari kursi
panjang.
“Tempat ini terlalu kecil buat kita bergurau...,” kata
nenek itu sambil melenggang terbungkuk-bungkuk.
***
TUJUH
Sampai saat ini Andika tak tahu, siapa dua manusia
aneh yang siap bertukar jurus-jurus sakti di pelataran
depan kedai. Juga tentang urusan mereka masing-
masing. Semuanya benar-benar tak jelas. Yang jelas
Pendekar Slebor yakin kalau tingkat kepandaian
mereka berada beberapa tingkat di atasnya.
Sementara Pendekar Dungu tetap duduk masa
bodoh di kursinya, Andika ikut keluar kedai. Tepat di
pintu kedai, tubuhnya disandarkan untuk mem-
perhatikan segala hal dahsyat yang bakal meledak.
Di pelataran kedai, si Nenek Bongkok berdiri ter-
bungkuk-bungkuk. Tangannya terus saja memper-
mainkan gulungan sirih dari sudut bibir yang satu ke
sudut lain. Selama melihat, tak sekalipun Andika
menangkap suara tawa wanita tua ini. Andika menilai
nenek peot itu termasuk manusia bersifat dingin.
Sekitar delapan tombak di depan si Nenek
Bongkok, Lelaki Berbulu Hitam berdiri dengan sikap
tak sabar ingin melabrak lawan. Kedua tangannya
terlihat meremas-remas jemari, membuat otot-otot
tangan gempal itu bermunculan. Sesekali dia
menggeram dengan tatapan mata menusuk.
“Ayo! Tunggu apa lagi, Kunyuk Bohongan?” tantang
si Nenek Bongkok berbarengan dengan semburan
ludah berwarna merah ke bawah kakinya.
Tak perlu lagi banyak basa-basi. Lelaki Berbulu
Hitam langsung membuka sepertiga jurus andalan-
nya. Sudah bisa disadari kalau lawan yang bakal
dihadapi tidak bisa diladeni dengan jurus tanggung.
“Grrr...!”
Beriring geraman berat serta terseret, lelaki ber-
perawakan buruk itu menelentangkan kuku-kuku jari
tangannya di depan wajah. Sesaat setelah terdiam,
napasnya dihembuskan ke kuku jari jemarinya.
“Fhuuuh....”
Kuku panjang berwarna hitam serta runcing
seperti milik hewan buas itu makin menghitam. Sisi-
sisinya tampak berpendar kehijauan. Tak lama
kemudian, asap tipis mengambang dari sana.
Wut! Wut! Wut!
Lelaki Berbulu Hitam menggerak-gerakkan tangan-
nya dalam kecepatan menggila. Sepasang cakaran itu
seakan hendak menghalau udara di sekitarnya.
“Yeee.... Anak kecil ingusan juga bisa begitu!”
ledek si Nenek Bongkok.
Lelaki Berbulu Hitam tak mau lagi mendengarkan
setiap kalimat mengolok-olok dari mulut lawan.
Dengan satu tarikan napas, diterkamnya bumi
sepenuh tenaga. Tak ada yang mengerti, kenapa
tindakan bodoh itu dilakukannya. Bahkan Andika juga
tidak mengerti. Tapi si Nenek Bongkok tampaknya
sudah paham betul tindakan lawannya. Maka sebelah
kakinya diangkat tinggi-tinggi, siap menanti serangan
lawan selanjutnya.
Di lain pihak, tubuh besar Lelaki Berbulu Hitam
yang sudah menimpa tanah berpasir, meluncur
seperti papan di permukaan es menuju bagian bawah
tubuh si Nenek Bongkok dengan sepasang tangan
mencabik-cabik ke depan.
Wuk! Wuk! Wuk!
Ketika tinggal empat kaki dari tubuh Lelaki Berbulu
Hitam dari tempatnya, si Nenek Bongkok meng-
hentakkan kakinya yang telah diangkat sebelumnya
kuat-kuat ke bumi.
Bammm!
Seketika suara berdebam tercipta. Sepertinya, tak
ada yang istimewa dari tindakan nenek itu. Tanah
yang dihentaknya tak mengalami apa-apa. Bahkan
debu pun tak terlihat mengepul. Amat bertolak
belakang dengan bunyi keras yang dihasilkannya.
Tapi, siapa nyana kalau hentakan kaki berkesan
tak berarti itu sanggup melempar tubuh besar Lelaki
Berbulu Hitam dari tanah tempatnya terseret? Dan
yang terjadi memang demikian. Lelaki Berbulu Hitam
seperti disentak kekuatan dasar bumi, hingga
tubuhnya meluncur ke atas!
Di udara, lelaki penuh bulu itu terperangah.
Matanya melotot besar-besar. Tangan dan kakinya
bergerak kalang-kabut, sebelum akhirnya mampu
menguasai keseimbangan dengan memutar tubuh di
udara ke samping. Dengan cara itu, dia bisa
melepaskan diri dari dorongan kuat dari bawah.
Jleg!
Hanya dalam satu tarikan napas, lelaki itu sudah
berdiri tegak kembali. Sekarang, wajah murkanya
sudah terdepak entah ke mana, berganti dengan
mimik keterkejutan.
“Kau...,” kata Lelaki Berbulu Hitam terputus. Jari
berbulunya menunjuk ke arah nenek bongkok.
Matanya menatap tak berkedip, seakan sedang
melihat setan memakai gincu.
“Hek... hek... hek!”
Untuk pertama kalinya, si Nenek Bongkok mem-
perdengarkan tawa.
“Kau mulai mengenaliku?” tanya nenek itu dengan
suara tak lagi sama seperti semula. Kali ini terdengar
agak besar dan mantap.
“Hanya, seorang yang bisa melumpuhkan jurus
maut 'Serigala Tak Berkaki' milikku dengan cara
seperti tadi,” ucap Lelaki Berbulu Hitam nada
suaranya tak setinggi sebelumnya. “Kau pasti....”
“Ya, pasti!” terabas si Nenek Bongkok.
Tubuh bongkok nenek itu tiba-tiba menegak. Satu
demi satu dilepasnya punuk, rambut panjangnya,
kemudian wajah keriput seperti mencopot topeng.
Memang, sesungguhnya itu hanya sekadar topeng
yang dibuat begitu halus, sehingga amat mirip dengan
wajah nenek tua sesungguhnya.
Sekarang bisa dilihat wajah dan tubuh asli si
Nenek Bongkok tadi. Dia ternyata seorang kakek
seusia Pendekar Dungu. Dagunya ditutup bulu putih
lebat, tak begitu panjang. Kepalanya dibelit kain batik
seperti blangkon Sunda, menutupi rambutnya yang
putih tak terlalu panjang. Seperti juga Pendekar
Dungu, laki-laki tua ini pun berwajah kerut-merut.
Namun begitu, gigi-giginya masih lengkap. Itu terlihat
sewaktu tertawa lepas. Dia mengenakan baju coklat
berkerah pendek yang tertutup rapat. Sedangkan
celananya berupa pangsi warna hitam.
“Raja Penyamar! Tak kuduga kau sudah sepeot
Pendekar Dungu...,” kata Lelaki Berbulu Hitam.
“Ya! Rupanya kita berjodoh untuk bertemu lagi,
meski jarak puluhan tahun telah memisahkan kita!”
balas lelaki tua yang disebut sebagai Raja Penyamar.
“Nah, sekarang cukup sudah salam perjumpaan kita.
Aku pergi dulu...!”
Lelaki tua itu lantas pergi tanpa memberi
kesempatan Lelaki Berbulu Hitam berkata lagi
sepatah kata. Kepergian Raja Penyamar cukup
mengejutkan Andika. Cara perginya membuat
pemuda itu teringat pada peristiwa beberapa hari
yang lalu. Sama seperti wanita cantik dan genit yang
menggodanya dulu, si Tua Raja Penyamar pun berlalu
cepat dari satu tempat, ke tempat lain tanpa terlihat
menggerakkan badan sedikit pun. Dan Andika lebih
terperanjat lagi, manakala hidungnya mencium wangi
kembang sedap malam sepeninggalan Raja
Penyamar.
“Astaga! Jadi kakek tua itu yang dulu menyamar
menjadi wanita cantik,” bisik Pendekar Slebor. “Hi...
hi... hi.”
Andika melepas tawa kecilnya, membayangkan
dirinya berkencan dengan kakek bangkotan kalau
dulu sempat tergoda.
***
Empat hari setelah peristiwa di kedai, Pendekar
Slebor berjalan melintasi satu lereng di kaki bukit
cadas. Bertepatan dengan peristiwa di kedai, empat
hari lalu pula di sana terjadi pertempuran sengit
antara Lima Gembel Busuk melawan Manusia Dari
Pusat Bumi.
Mata tajam Andika langsung menangkap tanda-
tanda tak beres. Setelah menemukan beberapa
lubang kasar bekas pukulan di dinding cadas
sekitarnya.
“Ada yang bertarung seru di tempat ini belum
lama, rupanya,” simpul Andika saat memperhatikan
kerusakan di dinding cadas.
Dari kedalaman lubang di sana, Andika bisa
memperkirakan kalau orang yang bertarung termasuk
berkepandaian tinggi. Kalau berkepandaian
tanggung, tak mungkin mampu membuat lubang
sedalam dua jengkal di tempat yang keras seperti itu.
Satu depa di sekitar lubang, dinding cadas menjadi
rapuh seperti bubuk. Pertanda kalau ada kekuatan
pukulan lain, menyebar di sekitar tangan yang
menembus dinding cadas.
“Ilmu pukulan macam apa ini? Selama ini, tak
pernah kutemukan pukulan seganas ini. Angin
pukulan di sekitar tangan pemiliknya saja, sudah
sanggup meremukkan cadas hingga menjadi leburan
halus,” gumam Andika, mengagumi kehebatan
pemilik pukulan.
Perhatian Andika pada dinding yang porak-poranda
di beberapa bagian, terpenggal oleh suara halus di
belakangnya. Seperti desah napas terseret seseorang
yang sedang sekarat. Andika cepat menoleh. Seketika
matanya melihat seorang dalam keadaan amat
payah, sedang berusaha menggerakkan tubuh dari
balik sebongkah batu besar. Tak tampak ada darah di
sekujur tubuhnya. Namun dari batas bahu hingga
setengah tulang iga kanan tubuh lelaki itu tampak
mengering seperti daging layu. Lelaki itu tak lain
adalah Damarsuta, anggota Lima Gembel Busuk yang
berkaki pincang.
“Apa yang terjadi, Kang?” tanya Andika, setelah
bergegas menghampiri Damarsuta.
Damarsuta tak sanggup menyahuti pertanyaan
Andika. Untuk menggerakkan mulut saja sudah sulit.
Beberapa saat, dia seolah berjuang antara hidup dan
mati hanya untuk membisikkan sesuatu.
Andika cepat mendekatkan telinga ke mulut
Damarsuta.
“Hak... kim Tanpa Waj-jahh...,” bisik Damarsuta
lirih.
Setelah itu tak terdengar apa-apa lagi. Tidak juga
tarikan napas. Lelaki pincang itu mati dalam keadaan
mengenaskan. Keadaan sebenarnya sudah tak
memungkinkan lagi untuk bertahan hidup sekian
lama. Namun karena tekadnya untuk memberitahu-
kan seseorang demikian kuat, nyawanya pun sanggup
dipertahankan untuk beberapa lama. Empat hari dia
tersiksa hanya untuk menyampaikan kalimat pendek
tadi.
Andika mengatupkan kelompak mata Damarsuta
dengan telapak tangan.
“Siapa manusia sinting bernama Hakim Tanpa
Wajah itu?” bisik Pendekar Slebor nyaris berdesis
karena geram. “Selama berkubang di dunia
persilatan, julukan itu belum pernah kudengar. Tapi
kalau kutilik dari ilmu pukulan di dinding cadas, aku
yakin dia tokoh jajaran atas yang sudah cukup lama
hadir di dunia persilatan. Apa mungkin orang itu
muncul lebih dulu, lalu ketika aku muncul dia
menyembunyikan diri? Dan kini, dia muncul lagi?”
Penasaran dengan petunjuk tak jelas dari lelaki itu,
Andika lalu memeriksa mayat Damarsuta. Dari baju
bertambalnya, tak ditemukan apa-apa yang bisa
dijadikan petunjuk.
“Buntu,” gumam Andika lagi.
Pendekar Slebor pun bangkit hendak pergi dari
tempat itu. Sebelum benar-benar melangkah, sebuah
seruan menahannya.
“Anak muda! Jangan coba-coba melarikan diri!”
Secepatnya Andika menoleh. Tak jauh di lereng
sebelah timur, tampak dua lelaki yang pernah
dilihatnya di kedai empat hari lalu berjalan beriringan.
Tentu saja mereka adalah Lelaki Berbulu Hitam
dengan Pendekar Dungu.
“Ah! Orang-orang sinting itu lagi,” gerutu Andika.
“Ada apa, Orang Tua?”
“Jangan sok ramah! Katakan saja pada kami, kau
murid si Sundal Hakim Tanpa Wajah, bukan?!” bentak
Lelaki Berbulu Hitam tanpa tedeng aling-aling.
Andika kontan tertawa. Betapa geli hatinya
mendengar tuduhan tak beralasan si Lelaki Ganjil itu.
Jangan lagi menjadi murid, mengenal namanya saja
baru kali ini!
“Jangan tertawa!” bentak Lelaki Berbulu Hitam
sekali lagi.
Andika tentu saja jadi sewot.
“Orang tua! Kau jangan bertingkah seperti
penguasa, mengatur-ngatur mulut orang seenaknya.
Orang berbicara ini tidak boleh, itu tidak boleh,
tertawa tidak boleh! Apa kau mau aku menangis?!
Seperti penguasa lalim yang lebih senang, membuat
rakyat menangis daripada tertawa?!” khotbah
Pendekar Slebor menggebu-gebu.
“Huaaa... ha... ha!” Entah kenapa Pendekar Dungu
tertawa mendengar semprotan kata-kata dari mulut
Andika.
“Jangan tertawa!” hardik Andika, ikut-ikutan
tingkah Lelaki Berbulu Hitam padanya tadi.
“Kau terlalu banyak mulut, Anak Muda. Apa
susahnya kau katakan pada kami, kalau kau adalah
murid Hakim Tanpa Wajah?” desak Lelaki Berbulu
Hitam.
“Kenapa aku harus mengaku?”
“Ya, harus! Kalau tidak, tahu sendiri!”
“Meski aku mengakui sesuatu yang tidak benar?”
“Kau mau bilang, kalau kau bukan murid Hakim
Tanpa Wajah?”
“Aku memang bukan muridnya....”
“Jangan mungkir. Sebelum tiba di tempat ini, aku
sudah melihat dari jauh bekas pukulan di dinding
cadas itu!”
Lelaki Berbulu Hitam menunjuk ke salah satu
bekas pukulan di dinding cadas.
“Aku tahu pemilik pukulan itu! Kalau ada orang
yang memiliki pukulan ganas itu, tentu dia adalah
muridnya!” lanjut Lelaki Berbulu Hitam
“Hakim Tanpa Wajah?”
“Nah, buktinya kau kenal dia!” sergah Lelaki
Berbulu Hitam.
“Tentu saja aku tahu nama itu, bukankah kau
sudah menyebutnya beberapa kali tadi!” balas
Andika.
“O, iya. Aku lupa....” Lelaki Berbulu Hitam
mengangguk-angguk sebentar. “Kenapa aku jadi
ketularan penyakitnya si Dungu? Sialan!”
Selagi Lelaki Berbulu Hitam sibuk dengan dirinya
sendiri, Andika mempergunakan kesempatan itu
untuk melesat pergi. Segenap kemampuan larinya
segera dikerahkan, biar bisa cepat enyah dari dua
manusia sinting yang bisa membuatnya jadi ikut
sinting.
“Hey, jangan lari!” tahan Lelaki Berbulu Hitam
gusar.
“Hey, lari saja!” teriak Pendekar Dungu, tanpa tahu
apa-apa.
Sambil mencaci maki habis Pendekar Dungu,
Lelaki Berbulu Hitam lari secepat kilat mengejar
Andika. Di belakangnya, Pendekar Dungu mengekori
sambil terus bertanya-tanya sendiri.
“Apa salahku, ya...? Apa salahku...?”
***
DELAPAN
Hakim Tanpa Wajah dengan murid ajaibnya, Manusia
Dari Pusat Bumi kian unjuk taring. Seperti mengulang
kejadian delapan puluh tahun yang lalu, satu demi
satu tokoh persilatan diculik. Mereka menghilang
tanpa jejak, seakan ditelan bumi. Tak jarang di antara
mereka mati di tempat kejadian, karena berusaha
melawan.
Dunia persilatan golongan putih gempar.
Sementara, kaun hitam geger. Mereka tak habis pikir,
bagaimana orang-orang andalan bisa menghilang tak
tahu rimbanya atau mati mengenaskan. Selama ini,
tak pernah terjadi tokoh-tokoh berilmu tinggi bisa
rontok satu persatu dalam waktu begitu cepat.
Beberapa orang saksi yang sempat melihat
kejadian penculikan atau pembantaian, tak punya
kesempatan untuk menyimpan nyawa lagi. Mereka
mati mengenaskan, sama dengan korban yang
bersikeras melawan.
Seorang saksi mata yang sempat menyaksikan
kejadian dengan mata kepala sendiri beruntung bisa
pulang selamat. Entah kenapa, Hakim Tanpa Wajah
dan Manusia Dari Pusat Bumi tidak mengetahui saat
orang itu bersembunyi di atas sebuah pohon besar.
Padahal, kedua manusia itu memiliki telinga yang
amat tajam. Atau mungkin, orang itu sengaja
dibiarkan hidup agar berita kemunculan mereka
berdua dapat diketahui oleh seantero warga
persilatan.
“Aku tahu. siapa yang menculik tokoh-tokoh
persilatan!” teriak orang itu. Dia memang melihat
peristiwa penculikan seorang tokoh golongan hitam di
pinggiran hutan.
Mendengar teriakan itu, orang-orang di sebuah
dermaga kecil langsung mengerubungi. Sudah sejak
lama mereka ingin mengetahui kabar seperti ini.
Mereka penasaran, tapi tak pernah ada yang tahu.
Berita yang dibawa orang ini membuat rasa
penasaran meledak saat itu juga.
“Apa yang kau bilang tadi?” tanya seseorang di
antara kerumunan.
“Aku tahu, siapa yang menculik tokoh-tokoh
persilatan belakangan ini!” ulang si Pembawa Berita
berkobar-kobar.
“Siapa?!”
“Ya, siapa?”
“Ah! Kau jangan coba-coba ngibul, ya!”
Si Pembawa Berita mulai bercerita.
“Sewaktu aku sedang tidur-tiduran di batang
pohon, kudengar suara orang bertengkar. Suara
mereka keras dan lantang. Tak lama kemudian,
disusul suara perkelahian seru. Wih! Baru kali ini
kulihat pertempuran yang begitu hebat. Bayangkan
saja....”
“Jangan bertele-tele, Goblok!” sentak salah
seorang pendengar, merasa kesal.
“Iya-iya! Ketika aku melihat siapa yang berkelahi,
ternyata seorang pemuda berperawakan menyeram-
kan. Apalagi, wajahnya. Iiih.... Dia sedang merangsek
orang tokoh yang bernama Iblis Mata Darah. Kalian
tentu tahu Iblis Mata Darah, bukan? Nah, pada saat
itulah si Iblis Mata Darah bertanya siapa pemuda itu
sesungguhnya. Juga, orang tua yang sedang
menonton pertarungan. Kalau yang tua mengaku
sebagai Hakim Tanpa Wajah. Sedangkan yang muda
berjuluk Manusia Dari Pusat Bumi. Kemudian kata
mereka lagi, semua tokoh persilatan akan diadili di
Pengadilan Perut Bumi. Gila tidak?! Gila tidak?!”
“Kau yang gila!”
“E, tidak percaya dengan ceritaku?!”
“Bukan! Kau cerita terlalu seru, sampai ludahmu
muncrat ke mukaku. Slompret, kau!”
Lalu desas-desus pun membentang ke segenap
penjuru angin. Berita tentang Hakim Tanpa Wajah
dengan Manusia Dari Pusat Bumi dengan cepat
menjadi bahan perguncingan yang tak pernah basi.
Orang-orang dunia persilatan yang sadar kalau
bisa jadi korban berikutnya, mulai hati-hati
melangkah. Beberapa orang bahkan mulai membuat
kelompok-kelompok tertentu, agar bila suatu saat
kedua manusia menggemparkan itu muncul, bisa
dihadapi bersama-sama.
Namun begitu, dari hari ke hari, korban tetap saja
bertambah. Sudah hampir empat belas orang jajaran
berilmu tinggi telah menerima giliran. Siapa lagi yang
akan menyusul, tak ada seorang pun tahu. Hakim
Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi muncul
tanpa pernah diduga. Setiap saat dan di setiap
tempat, keduanya tiba-tiba saja menampakkan diri
seperti hantu.
Maka, jadilah keduanya momok yang paling
menakutkan bagi dunia persilatan belakangan ini.
Seperti juga pernah terjadi delapan puluh tahun yang
lalu. Peristiwa lama yang sudah dilupakan orang.
***
“Sudah kubilang pemuda sialan itu lewat sini!”
Di dekat sebuah bangunan tua tak terurus, Lelaki
Berbulu Hitam menghardik Pendekar Dungu.
Setengah harian keduanya terus mengejar Pendekar
Slebor. Kejar mengejar seperti kucing-kucingan
terjadi. Bagi orang biasa atau berkepandaian
tanggung, bila terus berlari selama itu tanpa henti
akan membuat mereka sekarat kehabisan napas.
Namun, tidak bagi Pendekar Slebor dan dua
pengejarnya.
Andika atau Pendekar Slebor sesungguhnya
memiliki ilmu lari cepat yang sulit dicari tandingan
pada masa ini. Kecepatannya sering disebut-sebut
sebagai kecepatan setan. Tapi mau bilang apa, kalau
kenyataannya si Pengejar ternyata sanggup meng-
imbangi kehebatannya?
Pendekar Slebor pun makin yakin kalau kedua
orang ganjil itu bukan tokoh sembarangan. Meski
sampai saat ini belum juga bisa diketahui, siapa
sesungguhnya mereka.
Di tempat tersembunyi dalam bangunan tak
terurus berupa kuil kecil, Andika hati-hati sekali
mengawasi Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar
Dungu. Rasanya dia menahan napas supaya tidak
terdengar telinga dua manusia aneh itu, setelah
menyadari kalau bukan orang sembarangan.
“Ini semua karena salahmu! Kalau saja tadi kau
tak menunjuk ke arah lain!” gerutu Pendekar Dungu
dengan wajah bersungut-sungut jengkel.
“Tapi, tunggu dulu,” sergah Lelaki Berbulu Hitam
cepat-cepat. Tubuhnya diam tak bergerak. Begitu juga
sepasang bola mata besarnya. Perhatiannya sedang
dipusatkan ke arah bangunan tua tempat ber-
sembunyi Pendekar Slebor.
“Kau mendengar sesuatu?” tanya Pendekar
Dungu.
“Aku tidak dengar apa-apa. Pemuda sialan itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang boleh juga.
Tapi aku tahu, dia ada di dalam bangunan tua itu!”
“Ah! Bagaimana kau yakin?”
“Sudah jangan banyak mulut! Pokoknya, aku tahu
dia ada di sana. Titik!” Lelaki Berbulu Hitam sewot.
Di dalam kuil tua, Andika memaki-maki dalam hati.
Sulit dimengerti, bagaimana lelaki berbulu itu tahu
kalau dirinya ada di tempat tersebut? Terlihat olehnya
tidak. Terdengar pun tidak.
“Apa dia punya semacam indera keenam?” bisik
Andika, bertanya pada diri sendiri.
Entah karena kesal atau apa, Andika akhirnya
keluar dari persembunyian.
“Kalian ini sebenarnya mau apa, hah?!” hardik
Andika mulai tak bisa menahan kedongkolan.
Pendekar Slebor muncul cepat tepat di belakang
kedua lelaki aneh itu dengan mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu lari cepatnya.
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu
menoleh. Dari sikap, bisa dilihat kalau mereka sudah
tahu kehadiran Pendekar Slebor yang tiba-tiba itu.
Mana mudah orang-orang seperti mereka
dipecundangi dengan cara begitu.
“Sudah, jangan berpura-pura lagi! Ayo mengaku
kalau kau murid si Hakim Tanpa Wajah!” balas Lelaki
Berbulu Hitam, tak kalah menghardik.
“Aduuuh!” gerutu Andika langsung menepak-nepak
kepala dengan telapak tangan berkali-kali. “Aku
sudah bilang, kalau bukan murid orang itu!”
“Kalau kau bukan muridnya, kenapa bersembunyi
dari kami?!” desak Lelaki Berbulu Hitam.
“Itu karena aku tidak berurusan apa-apa dengan
kalian!”
“Ngibul! Apa bukan karena kau takut pada kami?
Ilmu gurumu itu, tak sanggup menandingi kehebatan
kami berdua, bukan?”
“Wah, Gusti.... Gusti! Kalian ini manusia macam
apa? Kenapa senang sekali memaksakan kehendak!
Sumpah mati tertabrak nyamuk, aku bukan murid
orang yang kau sebutkan!”
“Begini saja. Untuk mengetahui kalau kau murid
Hakim Tanpa Wajah atau bukan, kau harus
membuktikannya pada kami....”
“Bagaimana caranya?”
“Bertarung dengan kami!”
“Lebih sinting lagi! Mana aku bisa bertarung
sungguh-sungguh kalau tak punya urusan apa-apa
pada kalian?!”
“Takut?”
Andika menaikkan hidung, hingga pangkalnya
berlipat. Alis hitamnya menyatu. Hatinya mengkelap
dengan ejekan lelaki itu. Sifat kerasnya timbul ke
permukaan. Dia paling dongkol kalau disebut
pengecut.
“Baik..., baik!” putus Pendekar Slebor cepat.
“Nah, begitu lebih baik....”
“Aaah, sudah! Tunggu apa lagi?!” tantang Andika
kalap.
“Hiaaa!”
Teriakan mengguntur Lelaki Berbulu Hitam
terlempar ke angkasa. Kekesalannya selama ini pada
kedunguan Pendekar Dungu, seperti mendapat
kesempatan untuk dilampiaskan pada anak muda
berpakaian hijau-hijau itu.
Andika mulai dirangsek. Jarak yang cukup dekat,
dimanfaatkan Lelaki Berbulu Hitam untuk langsung
menyambar leher Pendekar Slebor.
Wuk! Wuk!
Dua sambaran cakar kiri dan kanan merobek
udara, Pendekar Slebor dengan sigap mengangkat
kedua tangannya. Secepat gerakan geledek, tangan
kanannya menahan tangan kiri Lelaki Berbulu Hitam.
Sementara, tangan kirinya menjegal tangan kanan.
Tak! Tak!
Karena sama-sama menyalurkan kekuatan,
sepasang tangan mereka terpaku di tempat dalam
usaha menahan tenaga dalam masing-masing lawan.
Beberapa saat lamanya, otot-otot kedua orang itu
mengejang, menyebabkan bulir-bulir keringat sebesar
biji jagung menyembul dari lubang kulit. Gigi mereka
pun bergemelutuk, pertanda sama-sama ingin
menjadi pemenang dalam adu tenaga ini.
Dan saat itulah Lelaki Berbulu Hitam menyaksikan
jelas-jelas tanda lahir berbentuk bintang berwarna
hijau kebiruan di tangan kanan Andika. Matanya
kontan membesar. Maka dia pun lupa dengan adu
kekuatan. Tanpa sengaja, penyaluran tenaga dalam
ke tangannya dihentikan secara mendadak.
Akibatnya....
Buhgh!
Hidung Lelaki Berbulu Hitam langsung saja terjotos
punggung tangan Pendekar Slebor. Untung saja
hanya terserempet. Kalau tidak, dia akan kehilangan
hidung untuk selamanya. Meski begitu, tak urung
tubuhnya melintir-lintir menahan sakit. Didekapnya
hidung yang mengeluarkan darah.
“Dhungu, watauuu!”
“Astaga! Kenapa kau sekarang jadi begitu
lamban?!” seru Pendekar Dungu yang hanya menjadi
penonton sejak tadi. “Hidungmu masih utuh? Kasihan
sekali kalau kau kehilangan hidung. Pasti kau tambah
jelek saja....”
“Thiam khauuu!”
“Apa?!”
Lelaki Berbulu Hitam melepas pegangan pada
hidungnya.
“Kubilang, diam kau!”
“Ooo...!” Pendekar Dungu mengangguk-angguk
tolol.
“Anak muda inilah yang kita cari. Dungu!” sambung
Lelaki Berbulu Hitam. “Dialah 'Sang Penolong' agar
kita bisa menyelesaikan masalah kita!”
Pendekar Dungu tak menanggapi ucapan Lelaki
Berbulu Hitam. Mulutnya bungkam seribu bahasa.
Tak hanya itu. Dia bahkan tak bergeming sedikit pun
seperti patung pesakitan! Rupanya, dia benar-benar
diam seperti perintah Lelaki Berbulu Hitam.
“Hey?! Apa kau tuli, Dungu! Anak muda itu yang
kita cari-cari selama ini!”
Pendekar Dungu tetap bungkam dam diam.
“Dasar otak kerbau! Aku bukan menyuruhmu diam
seperti itu! Aku hanya menyuruhmu tutup mulut!”
ralat Lelaki Berbulu Hitam, setelah sadar ketololan
kawannya.
Melihat kejadian itu, Andika tak bisa menahan
kegelian yang berontak dalam tubuhnya. Pendekar
Slebor pun tergelak ramai.
“Anak muda!” tegur Lelaki Berbulu Hitam,
memenggal tawa meriah Pendekar Slebor. Mimik
wajahnya berubah ramah. “Kau tentu pemuda berhati
mulya, bukan? Kau pasti sudi menolong kami, bukan?
Kau tentu tahu, kalau kami butuh bantuanmu,
bukan? Bukan?”
“Bukan!” sentak Andika.
“Lho?! Jangan begitu, aaah...! Wangsit yang datang
pada kami berdua tak mungkin bohong. Kaulah orang
yang bisa menolong kami untuk menyelesaikan
masalah diri kami.... Iya, kan Dungu?”
“Bukan!” jawab Pendekar Dungu, melatahi
jawaban Andika.
“Lho?!” Wajah Lelaki Berbulu Hitam mulai berang
lagi.
“Eh, iya maksudku!” ralat Pendekar Dungu, seraya
memamerkan tiga butir giginya.
“Nah! Kau dengar sendiri pengakuan kawanku itu,
bukan?” lanjut Lelaki Berbulu Hitam pada Andika.
“Kalian ini betul-betul tak bisa kumengerti. Mula-
mula menuduhku murid orang yang tak kukenal.
Sekarang, kalian malah merayu-rayuku untuk
kutolong. Dan terus terang saja, sampai saat ini pun
aku belum mengerti maksud kalian...,” tolak Andika
bersungguh-sungguh, setelah melihat kesungguhan di
wajah Lelaki Berbulu Hitam.
Baru saja kalimat Andika selesai, si Lelaki
Berperawakan Buruk itu menubruk kaki Pendekar
Slebor, lalu mendekapnya kuat-kuat.
“Aduh! Jangan begitu pada kami, 'Tuan Penolong'.
Aku tadi memang berbuat salah. Untuk itu, ampunilah
aku. Ya. 'Tuan Penolong', ya? Ya, bukan?” ratap Lelaki
Berbulu Hitam, memelas pada Andika. Sayang,
wajahnya tetap tak meyakinkan layaknya orang
memelas. Malah terlihat seperti orang menakut-
nakuti!
Andika meringis serba salah. Bukan apa-apa.
'Perkutut' di sarang rahasia miliknya tergesek-gesek
bulu di kening Lelaki Berbulu Hitam.
“Aku rasa, kalian meminta tolong pada orang
keliru,” tutur Andika. “Aku bukan orang yang pantas
untuk dimintai pertolongan oleh orang-orang sehebat
kalian.”
“Wuaaa, waaau... wauuu!”
Pendekar Dungu yang sudah terlihat bangkotan
ikut menubruk kaki Andika. Kalau Lelaki Berbulu
Hitam dari depan, orang tua ini dari belakang. Dengan
membenamkan wajah dalam-dalam di selangkangan
Andika, orang tua peot itu meraung-raung seperti
anak kecil.
Andika kian serba salah.
“Baik..., baiklah. Aku akan mencoba menolong
kalian,” putus Andika akhirnya. “Tapi kuminta kalian
mau menceritakan dulu masalah sebenarnya....”
Kontan saja dua orang aneh itu mendongakkan
wajah cerah. Seterusnya mereka bangkit, lalu
menandak-nandak riang, menari kian kemari melebihi
lincahnya penari jaipong!
“Nang... ning-ning-nang-ning-kung....”
Berkali-kali Andika meringis-ringis tak karuan. Mau
tertawa salah. Mau terharu, juga salah.
“O, Gusti.... Dosa apa yang telah kuperbuat,
sehingga Kau mengirim manusia-manusia sinting ini
padaku,” keluh Pendekar Slebor.
***
SEMBILAN
Matahari berwarna Jingga menyaput pagi, merayap
perlahan dalam bentangan kaki langit sebelah timur.
Ayam-ayam jantan berlomba memperdengarkan
kokoknya yang lantang. Angin dingin sisa udara
malam merambati bumi lamat-lamat. Suasana baru
lengkap tercip-ta.
Seorang pemuda berambut gondrong dalam pagi
sejuk ini tampak bermandi keringat. Dia berjalan agak
lunglai, di antara jajaran alang-alang jangkung. Baju
hijaunya sudah basah kuyup. Napasnya pun
berhembus cepat tak teratur.
Pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar
Slebor, semalaman suntuk memang habis berlari
habis-habisan. Seluruh kemampuan ilmu meringan-
kan tubuhnya dikuras habis. Seperti juga sebelumnya.
Pendekar Slebor kini berusaha melepaskan diri dari
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu yang
dianggap sinting.
Kemarin siang, setelah diminta untuk men-
ceritakan masalah masing-masing, kedua laki-laki
aneh itu mengatakan kalau Andika adalah orang yang
bisa menolong. Pendekar Slebor diminta untuk
menghilangkan kekurangan dari masing-masing,
terutama sifat-sifat mereka.
Selesai mendengar semuanya, Andika jadi
kebingungan sendiri. Bagaimana mungkin Pendekar
Slebor bisa menghilangkan sifat berangasan Lelaki
Berbulu Hitam, dan membantu Pendekar Dungu agar
bisa menilai mana orang baik dan orang jahat?
Semula Andika mengira masalah yang dihadapi biasa
saja. Mungkin mereka butuh tenaga untuk meng-
hadapi sekelompok manusia bejad, atau membantu
mencari seseorang. Maka kalau untuk masalah yang
mereka utarakan, Andika benar-benar angkat tangan
tinggi-tinggi.
Meski Andika sudah mengatakan kalau tidak bisa
membantu, mereka tetap saja ngotot. Andika yang
dikenal urakan, tetap saja dia dibuat kalang kabut
oleh sikap kelewatan dua manusia aneh itu.
Akhirnya, dengan sedikit akal-akalan, Andika akhir-
nya bisa meloloskan diri. Sayangnya, Lelaki Berbulu
Hitam dan Pendekar Dungu langsung mengejar. Maka
kejar-kejaran pun terjadi lagi. Pendekar Slebor terus
berlari karena tak ingin berurusan dengan orang yang
dianggap kurang waras. Mengurusi mereka hanya
membuang-buang waktu, begitu pertimbangannya. Di
lain pihak, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu
terus mengejar. Karena mereka yakin, Andika-lah
orang yang dimaksud dalam wangsit.
Setelah nyaris kehabisan napas, barulah Pendekar
Slebor bisa melepaskan diri dari kejaran.
“Mereka betul-betul sinting,” keluh Andika dalam
helaan napas memburu. Dia terduduk lemas di
bawah alang-alang.
“Ya.... Mereka memang orang-orang sinting. Tapi
mereka patut dikasihi....”
Mendadak terdengar sahutan yang mengelak
ucapan Andika dari belakang. Tatkala Andika
menoleh, tampaklah orang tua yang kini dikenal
sebagai Raja Penyamar sedang bersila tenang di
pucuk sebatang ilalang. Lelaki berumur lanjut ini
memang tak kalah aneh dengan dua orang yang
mengejar-ngejar Andika.
“Kau lagi. Apa maumu sebenarnya? Kenapa kau
dulu menipuku dengan menyamar sebagai
perempuan brengsek?” cecar Andika, setelah
terlonjak bangkit bersungut-sungut.
“Aaah, sudahlah. Kenapa soal kecil itu jadi dibesar-
besarkan!” sergah Raja Penyamar.
Orang tua itu langsung menatap Pendekar Slebor.
Tampak sinar mata Andika menyala-nyala seperti
mendesak menginginkan jawaban.
“Ya, ya. Aku memang ada maksud tertentu
padamu. Sewaktu menyamar dulu, aku hanya ingin
membuktikan apakah kau benar-benar Pendekar
Slebor, si Pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan.
Sengaja kau kupancing, agar mengakui sendiri kalau
kau memiliki tanda bintang di tangan kananmu...,”
papar Raja Penyamar mantap dan berkesan penuh
wibawa.
“Tapi kenapa harus menyamar menjadi wanita
cantik?” desak Andika, tak puas mendengar jawaban
si Raja Penyamar barusan.
Lelaki tua berwajah alim itu melepas tawa kecil
yang terdengar sejuk di telinga Andika.
“Karena kalau bukan keturunan Pendekar Lembah
Kutukan, maka pasti kau sudah tergoda,” jelas Raja
Penyamar. “Selama kukenal, keturunan pendekar
agung itu tak gampang kena bujuk rayu. Bahkan dari
bidadari sekali pun....”
Andika jadi besar kepala. Dia merasa tersanjung
dengan penuturan Raja Penyamar. “Jadi, apa
maksudmu denganku?”
“Sebelum kujawab, aku ingin mengajukan
pertanyaan padamu, Anak Muda.”
“Silakan....”
“Apakah kau ingin mengetahui peristiwa besar
yang akan terjadi pada zamanmu, yang menyangkut
peristiwa di bukit cadas tempat kau menemukan
lelaki berpakaian kumuh?”
Andika tak berusaha menanggapi. Ditunggunya
ucapan Raja Penyamar lebih lanjut.
“Aku tahu, kau pasti ingin mengetahuinya,” simpul.
Raja Penyamar, menilik mimik wajah pemuda di
dekatnya. “Kalau kau ingin tahu, pergilah ke
Kampung Kelelawar di sebelah selatan. Kau harus
menemui seseorang di sana....”
Andika ingin bertanya. Tapi, si Raja Penyamar
menahan gerak bibir pemuda itu hanya dengan
mengacungkan jari telunjuknya.
“Ini,” sambung orang tua itu sambil melempar
sebuah kitab tebal bersampul yang terlihat sudah
amat tua ke pangkuan Andika. “Kitab itu mungkin
berguna buatmu kelak. Pelajari isinya....”
Selesai berpesan, Raja Penyamar menghilang
seperti sebelumnya. Tubuhnya berpindah dari satu
pucuk ilalang ke pucuk lain yang jauh, tanpa
menggerakkan bagian tubuhnya sedikit pun.
Sehingga dia tampak seperti orang bersila yang
melayang cepat.
***
Desa Bangbung bersebelahan dengan Kampung
Kelelawar. Kedua desa itu memang terletak di lereng
gunung berapi. Jalan pintas satu-satunya yang paling
dekat untuk menuju Kampung Kelelawar, memang
hanya melewati Desa Bangbung. Setiap beberapa
tahun sekali, gunung berapi itu memuntahkan lahar
panas. Dan belakangan ini, sang Raksasa Alam itu
tampak tenang dengan kepulan asap putih tipis di
puncaknya.
Siang ini di sebuah warung kopi kecil di Desa
Bangbung, beberapan penduduk tampak tengah
menikmati obrolan santai yang begitu lepas. Seolah-
olah mereka tak pernah dibebani masalah. Dua orang
di antaranya mengangkat kaki ke bangku panjang di
depan meja. Di belakang meja, seorang gadis manis
sedang mengaduk-aduk kopi di cangkir tanah liat.
Di tengah obrolan mereka, datang seorang lelaki
gembrot berkumis baplang. Pipinya yang tebal seperti
bantal, berwarna agak kemerahan tersengat
matahari. Dengan perut buncit seperti orang hamil,
baju biru tuanya tampak kesempitan. Rambutnya
yang sepanjang pinggang, dikuncir buntut kuda.
Buntalan kain hitam diikatkan di bahunya.
“Minta kopinya, Cah Ayu,” pinta lelaki gembrot itu,
begitu duduk di ujung bangku panjang. Matanya yang
cacat bekas luka benda tajam, melirik nakal pada
gadis pemilik warung.
“Kakang ini sepertinya orang baru, ya?” sapa
seorang pemuda di sebelah laki-laki gembrot itu,
ramah. Adat sopan-santun dan ramah tamah di desa
itu memang masing mengakar kuat.
“Betul,” jawab lelaki bertubuh boros, singkat.
“Tujuannya hendak ke mana?” lanjut pemuda tadi.
Laki-laki gembrot pendatang ini melempar
pandangan ke gunung berapi yang menjulang angkuh
di kejauhan.
“Kampung Kelelewar,” jawab si Gembrot datar.
“Astaga! Apa Kakang tahu, tempat macam apa
itu?”
Lelaki lain ikut nimbrung. Paras mukanya berubah
ketakutan, seperti juga tiga lelaki di sana.
“Kenapa dengan tempat itu?” tanya si Gembrot,
terpancing melihat perubahan wajah mereka.
“Kalau kau ingin tahu soal tempat itu, kau mesti
bertanya padaku!” serobot orang lain yang baru
datang.
Lelaki itu tampak angkuh. Perawakannya besar
dan kekar dengan brewok lebat. Kepalanya botak
polos, memantul cahaya matahari yang menimpanya.
Melihat lagaknya, tentu dia seorang jawara yang
ditakuti di desa ini. Sambil menyingkap jubah
hitamnya, kakinya diangkat ke atas bangku.
“Akulah orang satu-satunya di sekitar wilayah ini
yang paling tahu tempat itu. Karena, hanya aku yang
berani datang ke sana,” jelas laki-laki brewokan itu,
sesumbar.
“Seberapa banyak kau tahu tempat itu?” tanya
lelaki gembrot.
“Banyaaak! Kau ingin tahu?”
Si Gembrot mengangguk tanpa menatapnya.
“Tapi, kau harus membayarku....”
“Berapa?”
“Tak banyak. Asal cukup untuk membayar gadis
warung ini, ha ha ha!”
Si Gembrot segera mengeluarkan dua keping uang
perak. Dijentiknya dua keping uang itu dengan jari,
hingga melayang berputar-putar. Dan seketika itu
pula, lelaki brewok itu menyambarnya.
“Hanya dua keping?” tanya si Brewok dengan bibir
mencibir.
Tiba-tiba saja si Brewok melempar uang logam di
tangannya ke kayu penyangga warung. Sing...jep!
Benda logam itu pun kontan menancap hampir
setengahnya.
“Kau pikir, aku ini siapa, heh?! Berani benar kau
membayar keteranganku dengan dua keping perak?!”
bentak si Brewok kasar pada si Gembrot.
Namun orang yang dibentak tak menggubris.
Malah tenang-tenang saja. kopi panasnya diseruput
sedikit demi sedikit. Sikapnya ini memancing
kemarahan si Botak. Dengan lagak penuh
keangkuhan, si Brewok menggebrak kursi dengan
kakinya.
Brak!
Bangku kayu itu kontan hancur terbelah dua. Dua
lelaki desa yang duduk bersama si Gembrot kontan
jatuh, dengan pantat menghantam tanah. Sementara
mereka meringis-ringis menahan sakit, si Lelaki
berbadan gembrot masih tetap santai dalam keadaan
duduk mengangkat sebelah kaki. Padahal, sudah tak
ada bangku lagi!
“Heh?! Permainan anak kecil yang mengandalkan
otot kaki,” ejek lelaki brewok. Didekatinya si Gembrot
dengan wajah sarat ancaman.
“Hih!”
Begitu cepat kaki si Brewok menyapu kaki lelaki
berbadan boros yang sedang menopang tubuhnya.
Namun, si Gembrot lebih cepat lagi mengangkat
kakinya. Niat si Brewok untuk menggulingkan tubuh
besar itu gagal. Bahkan dengan gerakan seringan
kapas si Gembrot menaikkan kedua kakinya ke
udara. Tubuh besarnya kini melayang seperti
gelembung udara di atas pecahan papan bangku
yang menjorok ke atas. Padahal, pecahan papan itu
sangat lancip setipis mata pisau!
Sampai di situ, si Jawara Brewok mulai sadar kalau
orang yang sedang berurusan dengannya tidak bisa
dianggap enteng. Hanya tokoh jajaran atas yang bisa
melakukannya. Tiga puluh tahun lagi, dia melatih ilmu
meringankan tubuh, belum tentu bisa melakukannya.
Pikir punya pikir, si Brewok angkuh itu akhirnya
menyingkir takut-takut, kemudian menghambur
keluar dari kedai kopi itu.
Sepeninggalannya, terdengar tepukan berirama
santai dari jarak dua puluh tombak dari kedai.
Asalnya dari dua lelaki. Masing-masing bertubuh
tinggi besar dan berbulu, dan satu lagi bertubuh
ringkih seperti orang tua penyakitan. Mereka adalah
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu.
Sesaat si Gembrot menoleh. Selanjutnya, kopinya
diseruput kembali. Sikapnya seperti seorang yang
sedang berpura-pura.
“Kenapa harus bertepuk tangan? Bukankah hal
seperti itu amat mudah dilakukan?” tanya Pendekar
Dungu, ketika keduanya menghampiri kedai kopi ini.
“Jangan banyak tanya dulu!” tahan Lelaki Berbulu
Hitam.
Laki-laki berbulu itu, tak mau Pendekar Dungu
lebih banyak bertanya lagi. Dari wajahnya yang biasa
berang, terlihat pancaran rasa senang. Entah kenapa,
sifatnya jadi demikian. Padahal, itu sangat jarang
terjadi pada dirinya.
“Akhirnya kau ditemukan di sini, 'Tuan Penolong'!”
sapa Lelaki Berbulu Hitam begitu tiba di depan lelaki
gembrot tadi, cukup ramah. Lagi-lagi hal yang amat
jarang muncul dalam dirinya.
Si Gembrot menoleh sejenak seperti sebelumnya.
Lalu dia mulai acuh lagi.
“Aku tak tahu, siapa yang kau maksud,” ucap si
Gembrot datar.
“Aaah! Jangan begitu, 'Tuan Penolong'. Meski kau
menyamar menjadi seekor katak sekalipun,
penciuman serigalaku tak akan dapat tertipu....”
“Apa maksudmu? Aku tak mengerti?”
“Sudahlah. Apa kau tak tahu, kalau aku adalah
manusia berdarah serigala? Aku memiliki penciuman
yang amat tajam seperti serigala. Sehingga, aku
dapat membedakan bau tubuh seseorang....”
Si Gembrot menampakkan kekecewaan pada
wajahnya. Dihelanya napas beberapa kali.
“Baiklah. Aku menyerah,” desah si Gembrot.
Segera laki-laki bertubuh subur ini menanggalkan
penambal wajahnya yang ternyata terbuat dari getah
suatu pohon. Dari getah itu bisa dibentuk dan
diwarnai sedemikian rupa, sehingga mirip pipi
manusia. Tubuhnya yang dibuntal kain yang cukup
banyak, mulai dilolosi. Sehingga dia tak lagi nampak
gembrot. Rambut palsu yang panjang pun ikut
ditanggalkan. Kini terlihatlah wajah tampan aslinya.
Wajah seorang pemuda yang lebih dikenal sebagai
Pendekar Slebor.
Sesungguhnya, kitab tua yang diberikan Raja
Penyamar pada Andika beberapa hari lalu, adalah
kitab pelajaran ilmu menyamar yang begitu
sempurna. Jika hanya dengan mata dan telinga,
orang akan tertipu. Sebab dari kitab itu bisa dipelajari
bagaimana seseorang bisa mengubah wajah dan
penampilan, sekaligus suara.
Kecerdasan dan kemauan kuat Andika, mem-
bantunya menyelesaikan kitab itu hanya dalam
beberapa hari. Sebelumnya, Andika tak begitu
tertarik. Baginya, ilmu itu seperti merupakan perisai
orang-orang pengecut yang ingin bersembunyi di balik
topeng. Atau, orang-orang bejad yang ingin lari dari
tanggung jawab. Namun Pendekar Slebor butuh
pendukung agar tak lagi dikuntit oleh Lelaki Berbulu
Hitam dan Pendekar Dungu, akhirnya kitab itu
dipelajari juga. Andika memang tidak mau urusannya
diganggu kedua orang itu. Lagi pula, tak ada salahnya
mempelajari satu ilmu. Toh, baik buruknya satu ilmu,
tergantung manusia yang mempelajarinya.
Harapannya untuk bisa mengelabui dua penguntit
tadi, kini hancur seketika ketika dengan mudah lelaki
seram yang mengaku sebagai keturunan serigala ini
mengetahui penyamarannya.
“Bagaimana, Tuan Penolong'? Apakah kau sudah
bersedia membantu masalah kami?” desak Lelaki
Berbulu Hitam.
Andika membayar kopi serta kerusakan bangku
pada si Gadis pemilik warung. Kalau tadi matanya
melirik nakal pada gadis itu, sekarang giliran mata
gadis itu yang melirik nakal padanya. Meskipun pada
saat ini, gadis itu masih belum percaya kalau
penampilan buruk Andika tadi sekadar penyamaran.
Dengan kedongkolan menggelantung di teng-
gorokan, Andika memasukkan alat-alat menyamarnya
ke dalam buntalan kain. Termasuk baju besar berisi
kain-kain yang dilapisi kapuk. Dia harus mencari akal
lain agar bisa meloloskan diri dari dua manusia
merepotkan ini. Belum sempat Andika menemui akal,
mendadak saja....
“Pengadilan menanti!”
Tiba-tiba terdengar satu teriakan menggelegar
merambah angkasa. Mendengar teriakan tadi, Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu menoleh paling
cepat di antara pengunjung lainnya. Keduanya begitu
terkejut, begitu mengenali jenis suara dan kata-kata
tadi, sebuah teriakan yang ditakuti oleh orang-orang
persilatan delapan puluhan tahun lampau.
“Hakim Tanpa Wajah?” desis lelaki Berbulu Hitam
nyaris tak percaya.
Mata laki-laki berbulu itu menatap lurus ke asal
suara, di mana dua orang berbeda usia berdiri
mengancam. Yang satu adalah si Hakim Tanpa
Wajah. Sedang yang lain tentu saja Manusia Dari
Pusat Bumi.
“Hakim Tanpa Wajah,” bisik Pendekar Dungu, tolol
sekali.
“Jadi si Manusia Sialan itu benar-benar masih
hidup seperti kita juga?” tanya Lelaki Berbulu Hitam
“Jadi manusia sialan itu benar-benar masih hidup,
ya?” ulang Pendekar Dungu. Padahal, justru dia yang
tadi ditanya oleh Lelaki Berbulu Hitam.
“Dungu! Apakah kau percaya kalau manusia itu
akan bertingkah lagi mengadili orang-orang
persilatan?” susul Lelaki Berbulu Hitam, bertanya lagi
pada Pendekar Dungu.
“Ya! Apakah aku percaya?” Sementara dua lelaki
aneh itu berdiri tegang, menatap dua titik yang mulai
bergerak ke arah mereka dikejauhan, Andika sudah
tidak ada lagi di tempatnya. Sewaktu Lelaki Berbulu
Hitam dan Pendekar Dungu lengah karena men-
dengar teriakan Hakim Tanpa Wajah, Pendekar
Slebor langsung memanfaatkan kesempatan untuk
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya.
Dalam sekejap, dia sudah jauh dari warung kopi.
Tujuannya jelas, ke Kampung Kelelawar seperti pesan
Raja Penyamar. Sayang, kalau saja pemuda sakti itu
bisa sedikit lama tinggal, tentu akan mendengar
Lelaki Berbulu Hitam menyebutkan nama Hakim
Tanpa Wajah, orang yang sedang dicarinya karena
berhubungan dengan peristiwa di Bukit Cadas. Di
mana si Lelaki Pincang dari Lima Gembel Busuk
pernah menyebut-nyebut namanya, sebelum tewas.
***
SEPULUH
Pertarungan besar sepanjang abad ini siap terjadi.
Bagaimana tidak? Dua tokoh tua tak tertandingi
delapan puluh tahun yang lalu akan berbaku jurus
dengan seorang tokoh tua tak tertandingi pula pada
zamannya, didukung oleh pemuda keturunan
siluman!
Kesaktian mereka tak diragukan lagi, dan pasti
akan segera memporak-porandakan tempat sekitar-
nya. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu, dan
Hakim Tanpa Wajah pasti menggunakan ilmu-ilmu
puncaknya. Belum lagi kesaktian milik si Pemuda
Keturunan Siluman yang selama ini belum diper-
lihatkan seluruhnya pada sang Guru.
Di kedai kopi saat ini juga telah ditinggali
pengunjung maupun pemiliknya. Mereka semua tahu
gelagat bahwa akan ada sebuah bentrokan dahsyat,
yang bisa saja menjadikan nyawa melayang.
Manakala angin dingin dari kaki gunung merayapi
tanah lapang dekat warung kopi, empat orang lelaki
yang siap bertarung berdiri tegang tanpa gerak. Dua
orang pada satu sisi, sedang dua orang lain delapan
tombak pada sisi lain. Rambut dan pakaian mereka
tampak bergeletar diusuk angin, seolah menjadi panji
yang menandai dimulainya pertarungan maut!
Lama mereka saling menusuk dengan tatapan.
Sampai akhirnya, terdengar ledakan suara melompat
dari mulut salah seorang. Suara itu begitu melengking
menjotos langit, bagai tetabuhan dalam upacara para
siluman sesat. Dari rongga mulut siapa lagi jenis
teriakan itu tercipta, kalau bukan milik Manusia Dari
Pusat Bumi....
“Eaaa...!”
Manusia Dari Pusat Bumi membuka jurus awal.
Serangan pembuka yang langsung masuk ke satu
dari sekian jurus pamungkas, 'Tenaga Sakti Pembelah
Bumi'. Tak ada perintah dari Hakim Tanpa Wajah
padanya untuk langsung mengerahkan jurus ini.
Tindakannya semata didorong oleh naluri makhluk
halus dalam dirinya yang memberitakan bahwa lawan
tidak bisa dihadapi dengan jurus-jurus tanggung.
Menyambut gerakan pemuda Manusia Dari Pusat
Bumi, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu
tidak mau diam. Mereka cepat pula membuka jurus,
memainkan kembangan jurus-jurus tangguh masing-
masing.
Deb, deb, wuk, zes!
Laksana tiga pusat gelombang samudera, gerak
ketiga orang itu menciptakan terpaan kekuatan ke
segenap penjuru mata angin. Debu langsung
menghambur tinggi-tinggi, kerikil terhempas deras-
deras, bebatuan berguliran kencang, dan bumi pun
bagai diamuk badai!
“Heaaa!”
Manusia Dari Pusat Bumi memulai serangan.
Diterjangnya dua lawan dengan hentakan-hentakan
kaki berdebam ke bumi.
Blam, blam, blam!
Pada jarak tiga depa dari kedua lawan, pemuda
keturunan siluman itu cepat mengangsurkan
sepasang kepalannya ke kepala masing-masing
sasaran. Seketika terdengar bunyi menderu, mem-
barengi hantaman dahsyat yang siap meremukkan.
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu tentu
saja tak sudi membiarkan kepala mereka dijadikan
sasaran empuk. Mereka langsung berkelit ber-
barengan ke samping kanan, sehingga luput dari
hantaman. Sambil tetap memiringkan tubuh, Lelaki
Berbulu Hitam mendepak perut Manusia Dari Pusat
Bumi. Sedangkan Pendekar Dungu melepas tusukan
jari tangan ke dada.
Namun, serangan balasan mereka dengan mudah
dimentahkan. Manusia Dari Pusat Bumi dengan
mengangkat satu kaki tinggi-tinggi dan menekuknya
di depan dada dan perut. Alhasil, depakan dan
tusukan kedua lawan hanya sempat memakan
kakinya yang memang sudah dipersiapkan untuk
membentengi.
Sebagai tokoh tua yang sudah terlalu kenyang
makan asam garam, serangan yang mudah
dimentahkan itu sebenarnya hanya siasat. Tak
mungkin serangan bersama itu dibuat, sehingga
begitu mudah diduga lawan.
Maka pada saat yang demikian tipis dari serangan
pertama, dua tokoh bangkotan itu membuat satu
gerakan tak terduga. Lelaki Berbulu Hitam menanduk
Manusia Dari Pusat Bumi dengan kepalanya. Di lain
pihak, Pendekar Dungu menjatuhkan diri lantas
menyapu kaki pemuda siluman itu demikian cepat.
Dak! Sret!
Berbarengan dengan mendaratnya kepala Lelaki
Berbulu Hitam ke kening pemuda itu, kaki Pendekar
Dungu pun berhasil mengait kuda-kuda Manusia Dari
Pusat Bumi yang hanya mengandalkan satu kaki.
Maka tak dapat ditahan lagi, Manusia Dari Pusat
Bumi terlempar deras ke belakang.
Begitu dahsyat penggabungan serangan dua tokoh
tua itu, sehingga Manusia Dari Pusat Bumi terpental
bagai kerikil sembilan belas tombak jauhnya! Tubuh
kekar berotot menonjol pemuda siluman itu pun
meninju tanah berbatu. Siapa pun manusia yang
menerima hantaman keras dari kepalan Lelaki
Berbulu Hitam sudah bisa dipastikan akan terlempar
ke neraka. Jangan lagi kening, lempeng baja setebal
dua jengkal saja, bisa mencekung dalam. Tapi,
Manusia Dari Pusat Bumi bukan sekadar manusia.
Dia adalah gabungan keturunan antara manusia
dengan siluman!
Tanpa luka berarti, pemuda menyeramkan itu
bangkit. Bibirnya menyeringai penuh ejekan. Matanya
berbinar, membersitkan cahaya haus darah....
Sementara itu, jauh di balik gunung berapi,
Pendekar Slebor telah memasuki wilayah Kampung
Kelelawar. Seperti namanya, kampung itu memang
menjadi tempat bersemayamnya jutaan kelelawar
sebesar kera. Mereka menggelantung di pohon dan
atap-atap rumah terbengkalai.
Seratus dua puluh tahun yang lalu, desa itu pernah
dihuni para penduduk asli. Namun sewaktu jutaan
kelelawar menyerbu, banyak di antara mereka yang
mati terisap darahnya. Dan hanya segelintir orang
saja yang sanggup menyelamatkan diri.
Betapa bergidik Andika, menyaksikan ratusan
tubuh hitam memenuhi sebatang pohon tua besar.
Mereka bagai buah-buahan dari neraka, menjijikkan
dan membuat bulu kuduk merinding.
Kedatangan Pendekar Slebor tampak tak
mengusik kenyenyakan tidur mereka. Namun
sewaktu kaki pemuda itu melintasi satu garis dari
bercak-bercak darah, mata mengancam makhluk-
makhluk itu mulai terbuka. Ratusan pasang mata
bersinar merah muncul di sana-sini. Makin lama
makin banyak. Di dahan-dahan kering merangas, di
puncak-puncak atap rumah tua, di atas daun pintu, di
daun jendela, di tiang-tiang kayu, juga di nisan-nisan
batu besar.
Kini tampaklah pemandangan berjuta pasang bola
merah menyala mengawasi si Pendatang, bagai para
pemakan bangkai menatapi hidangan mayat.
Pada saatnya, satu kelelawar memperdengarkan
jeritan menyayat.
“Kiiikkk!”
Seekor di antaranya mulai mengepakkan sayap
kuat-kuat, lalu terbang menuju Andika. Seperti
mendapat aba-aba, ratusan kelelawar lain mengikuti!
Maka terciptalah tumpang-tindih bunyi kepakan
sayap mengerikan.
Sekujur otot di tubuh Pendekar Slebor kini
menegang. Tak pernah diduga akan menghadapi
lawan macam ini. Ratusan kelelawar pengisap darah
besar yang. kemudian menjadi ribuan, siap mem-
perebutkan darah Pendekar Slebor!
Langit mendadak seperti diselubungi warna-warni
gelap dari tubuh para kelelawar. Dari utara hingga
selatan, dari barat hingga timur. Mereka menjerit-jerit
memekakkan, dalam serbuan besar-besaran.
“Gila!” desis Andika. Sebelum sempat memaki lagi,
beberapa sambaran menukik dari belakang.
“Kiiikkk!”
Secepat kilat Pendekar Slebor menjatuhkan badan
ke tanah. Maka sambaran-sambaran berbau maut
itupun hanya sempat menderu di atasnya. Selagi di
tanah, tanpa sengaja Andika dihadapkan pada
tumpukan kerangka manusia, korban para makhluk
haus darah!
“Mereka benar-benar hewan dari dasar neraka!”
rutuk Andika. “Aku harus berbuat sesuatu kalau tak
ingin bernasib sama dengan kerangka-kerangka ini.”
Andika pun segera melepas kain bercorak catur
dengan hati-hati. Dia tahu, gerakan kecil tubuhnya
akan segera memancing ratusan kelelawar lain untuk
menyambar dari udara.
Ketika kain pusakanya sudah tergenggam kuat di
tangan, Pendekar Slebor menghentakkan kakinya
dengan tenaga penuh. Sekejap berikut, tubuhnya
sudah bangkit kembali dengan kuda-kuda siap
menanti serbuan. Benar saja dugaan Andika,
gerakannya tadi ternyata langsung membuat para
kelelawar merangseknya. Dari udara, kuku-kuku
tajam mereka mengancam setiap bagian tubuh
Pendekar Slebor.
“Kiiikkk!”
Puluhan kelelawar datang. Tubuh-tubuh mereka
menukik tajam.
Wuk! Wuk! Ctar! Ctar!
Pendekar Slebor langsung menyambut mereka
dengan hadiah perkenalan. Sabetan tajam kain
pusakanya, membabat belasan ekor kelelawar,
membuat kepala binatang itu hancur. Bahkan ada
pula yang sayapnya tersayat lebar. Tubuh mereka
yang terluka parah, langsung berjatuhan meninju
tanah bergantian. Sebagian di antaranya kehilangan
nyawa saat itu juga. Sementara, yang lain meng-
gelepar-gelepar hebat.
Kejadian yang tak kalah menggidikkan pun terjadi.
Kelelawar-kelelawar yang tak terluka di atasnya,
menyerbu tubuh kawan mereka sendiri yang terjatuh
di tanah. Satu kelelawar luka dirubungi puluhan
kelelawar lain. Daging dan kulit mereka dikoyak-koyak
tanpa ampun. Kelelawar-kelelawar yang mendapat
keratan daging atau isi perut kawannya, langsung
melayang kembali ke angkasa. Seolah mereka
gembira dan bangga dengan apa yang didapatnya. Di
luar itu, yang paling diincar adalah darah kawan naas
mereka. Dalam waktu tak begitu lama, mereka
sanggup mengeringkan darah satu ekor kelelawar!
Meski memperhatikan dengan bergidik, Andika tak
kehilangan akal sehatnya sedikit pun. Kini, Pendekar
Slebor punya cara menghadapi kelelawar-kelelawar
buas itu, tanpa harus menguras tenaga. Sejenak
dikerahkannya tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan pada sepasang telapak tangan.
Lalu....
“Hiaaa!”
Teriakan mengguntur Pendekar Slebor mengejut-
kan puluhan kelelawar yang sedang berpestapora
menikam tubuh kawannya. Mereka hendak
mengepak sayap untuk melesat ke angkasa, tapi
sudah terlambat. Pukulan jarak jauh Andika sudah
berpentalan gencar dari sepasang telapak tangannya.
Deb! Deb! Prak-prak!
Kerumunan kelelawar itu buyar. Tubuh mereka
berpentalan terhantam pukulan jarak jauh Pendekar
Slebor. Tanah pun makin diramaikan oleh geleparan
tubuh-tubuh hitam. Kala itulah, kelelawar-kelelawar
lain di angkasa menyambut gembira dengan teriakan
kema-tian. Semuanya menyerbu ke bawah, bagai
hujan bongkahan benda hitam!
Kesempatan bagus itu dipergunakan Andika untuk
segera melesat ke rumah-rumah yang terbengkalai.
Menurut perkiraannya, tentu orang yang dimaksud si
Raja Penyamar bisa ditemukan. Satu demi satu,
rumah kotor dan keropos itu diperiksa dengan
perasaan was-was. Andika khawatir, makhluk
makhluk buas di luar selesai dengan pestanya,
sementara dia sendiri belum selesai meneliti seluruh
rumah.
Pada salah satu rumah paling besar seperti istana
kecil dengan tembok kusam penuh lumut, Andika
menemukan juga manusia di sana. Tampak seorang
lelaki tua tengah duduk bersila di satu sudut ruangan
dengan wajah tenang serta sejuk. Bajunya putih,
seperti pakaian para biksu. Di sekitar badan lelaki tua
itu merangas sarang laba-laba tebal.
Yang membuat Andika agak terkejut, ternyata
wajah lelaki tua itu milik si Raja Penyamar!
“Raja Penyamar...,” tegur Andika sambil men-
dekatinya.
Tak ada jawaban. Si Tua itu tetap diam, seperti
arca.
“Sebenarnya apa yang kau rencanakan padaku,
Raja Penyamar?” lanjut Andika, penasaran. Tapi tetap
tak ada sahutan meski Andika sudah tetap bersimpuh
di depannya.
“Percuma kau menegurnya, Anak Muda....”
Tiba-tiba terdengar sahutan dari orang lain, di
belakang Andika. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba
saja orang itu muncul. Telinga Andika yang terlatih
pun, bahkan tak menangkap suara kedatangannya.
Andika cepat menoleh, dan hampir saja terlonjak
manakala menangkap siapa orang yang baru saja
datang. Ternyata, orang itu Raja Penyamar juga!
“Apa-apaan ini?” tanya Andika tak mengerti.
Wajah Pendekar Slebor kontan tertekuk. Dia
merasa telah dipermainkan Raja Penyamar.
“O, aku tahu! Lelaki yang duduk ini tentu bukan
kau. Dia hanya kau dandani hingga mirip denganmu,
begitu bukan?” sodor Andika, mengajukan
kesimpulan.
“Kau salah,” sahut Raja Penyamar yang baru
datang, sambil menggeleng.
“Salah? Salah bagaimana? Aku jadi bingung,”
gerutu Andika sambil menepak kening.
“Yang duduk itu memang aku....”
“Apa maksudmu?! Apa kau sudah ikut-ikutan
sinting seperti lelaki yang terus menguntitku?!”
Raja Penyamar yang baru datang hanya meng-
geleng lambat. Senyumnya yang sejuk tersembul,
menawarkan keramahan.
“Yang di dekatmu itu adalah jasadku, Anak Muda,”
jalas Raja Penyamar.
“Jadi?” Andika terbengong. “Kau telah mati?”
“Ya.... Empat puluh tahun yang lalu.”
“Apa?!”
Kali ini Andika benar-benar terlonjak. Tubuhnya
bangkit dengan wajah sulit dijabarkan. Dihampirinya
lelaki yang baru tiba.
“Kau tidak sedang bergurau, bukan?!” desak
Andika sungguh-sungguh.
Sekali lagi, Raja Penyamar menggeleng. Tetap
perlahan dan tetap dengan senyum sejuk.
“Jadi yang selama ini kutemui adalah rohmu?”
susul Andika, tak percaya.
“Benar. Tak seperti tiga orang seangkatanku yang
beruntung memiliki umur panjang hingga hari ini, aku
justru lebih dulu mati. Aku dulu mengidap penyakit
yang tak ada obatnya. Aku tak menyesal, karena itu
adalah kehendak Yang Maha Esa. Namun tugasku
dari-Nya, rupanya belum selesai. Maka meski aku
sudah mati, tapi masih diberi kesempatan untuk
menitipkan amanat....”
“Amanat?”
“Ya! Amanat pada seorang berjiwa ksatria, berhati
sekeras baja dan sebening pualam, berakal seterang
kilau berlian. Seorang yang hanya bisa menyelamat-
kan dunia persilatan dari tangan lalim manusia
jelmaan siluman....”
“Siapa orang itu?”
“Manusia Dari Pusat Bumi.”
“Bukan.... Maksudmu, siapa orang yang akan
diberi amanat itu?”
“Kau....”
***
Bagaimana Andika bisa menerima amanat itu?
Apakah demikian berbahayanya Manusia Dari Pusat
Bumi, sehingga roh Raja Penyamar pun belum juga
kembali ke alam terakhirnya? Lalu, bagaimana pula
nasib Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu
menghadapi Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari
Pusat Bumi?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode :
PENGADILAN PERUT BUMI
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar