"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 01 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE DARAH DARAH LAKNAT

Darah Darah Laknat

 

DARAH DARAH LAKNAT

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Pagi masih muda. Angin berhembus semi-

lir, seperti mengabarkan berita baik bagi siapa sa-

ja yang merasakan belaiannya. Matahari belum 

begitu menyengat. Mengkristalkan panah merah-

nya bersama hembusan angin.

Bukit kecil yang ditumbuhi pepohonan rin-

dang itu terletak di sebelah utara Gunung Kerinci. 

Berjarak ribuan tombak dari sana. Tempat yang

nyaman dan permai itu ternyata berpenghuni dan 

disebut Bukit Teduh. Ada sebuah bangunan yang 

tak begitu besar di sisi sebelah kirinya. Di bela-

kang rumah itu terdapat ladang jagung yang cu-

kup subur.

Di ladang jagung itu, seorang lelaki berusia 

kira-kira empat puluh lima tahun, sedang asyik 

memanen jagung. Yang sedianya dijual di pasar 

yang cukup jauh jaraknya dari sana. Tetapi lelaki 

yang berwajah cukup cakap dengan tubuh kekar 

bertelanjang dada itu, tak menghiraukan berapa 

jauhnya jarak pasar dari tempat tinggalnya.

Baginya, bertempat tinggal di bukit itu, 

sangat menyenangkan sekali. Jauh dari segala 

masalah yang membisingkan. Dia teringat bebe-

rapa kali istrinya yang berusia dua puluh tujuh 

tahun itu mengajak untuk pindah. Tetapi dengan 

sikap yang bijak si lelaki yang bernama Gamang 

Markuto selalu memberikan jawaban yang bisa 

menyenangkan istrinya. Padahal sesungguhnya, 

ada sesuatu di balik semua ini. Dan Gamang

Markuto tak ingin hal itu diketahui istrinya.

Di tepi ladang jagung yang diberi pagar dari 

kayu-kayu itu, nampak seorang anak yang beru-

sia sepuluh tahun sedang asyik bermain. Ru-

panya dia tengah membuat perahu-perahuan dari 

pelepah daun jagung.

Bocah itu bernama Dali Gunarso. Putra da-

ri Gamang Markuto dan istrinya.

Selagi Gamang Markuto asyik memanen ja-

gung sementara anaknya terus sibuk dengan ke-

giatannya, tiba-tiba terdengar seruan bocah itu.

"Ayah! Ada orang datang!"

Gamang Markuto menghentikan kegiatan-

nya sejenak. Dia berdiri tegak. Butir-butir kerin-

gat membasahi sekujur tubuhnya. Di kejauhan, 

dilihatnya tiga ekor kuda sedang menuruni bukit 

di sebelah selatan. Kegembiraannya memanen ja-

gung itu mendadak sirna. Hatinya berdebar keras 

tak menentu. Sesuatu yang selama ini dipendam 

dan dirahasiakannya, mendadak bergejolak. Sua-

sana yang nyaman itu terasa oleh Gamang Mar-

kuto sangat mencekam sekali.

"Merekakah yang datang?" desisnya panik. 

Dipicingkan matanya kembali. Sesaat perasaan-

nya makin tak menentu. "Kalau benar manusia-

manusia dajal itu yang datang, bisa berabe!" Ber-

gegas dia menghampiri putranya dan bermaksud 

mengajaknya masuk.

Tetapi sebelum dia melakukannya, tiga 

ekor kuda yang ditunggangi oleh tiga lelaki berju-

bah hitam panjang dan tergerai dipermainkan an-

gin, telah tiba di hadapannya. Berhenti pada jarak

sepuluh tindak.

Masing-masing penunggang kuda itu me-

natap tak berkedip pada Gamang Markuto yang 

mendadak menjadi tegak.

"Lama kami mengarungi tempat, menjela-

jah penjuru, tidak tahunya yang dicari bersem-

bunyi di sini," salah seorang dari ketiga laki-laki 

itu berkata sambil terbahak-bahak. Wajahnya pe-

nuh codetan. Rambutnya tergerai panjang dengan 

mata tajam yang membersitkan kelicikan. "Apa 

kabarmu, Gamang Markuto?"

Untuk sejenak Gamang Markuto menge-

rutkan kening. Dicobanya untuk mengenali wajah 

laki-laki yang berseru tadi, "Ronggo Kosworo!" se-

runya tersentak.

Orang bercodet yang dipanggil Ronggo 

Kosworo terbahak-bahak, keras hingga menggema 

ke seluruh bukit. Sumirah, istri Gamang Markuto 

yang sedang menanak di dapur rumah, bergegas 

keluar karena suara tawa itu sangat asing sekali.

Begitu melihat istrinya keluar, Gamang 

Markuto mendesah panjang. Tak mungkin seka-

rang ia bisa menahan istrinya. Sumirah mendeka-

ti anak dan suaminya. Dipegangnya tangan Dali 

Gunarso dengan erat. Wanita cantik yang memili-

ki otak cerdik itu bisa meraba apa yang terjadi. 

Karena, tak biasanya suaminya bersikap tegang 

seperti itu. Apalagi, ketika ia melihat wajah ketiga 

penunggang kuda berjubah hitam itu. Rata-rata 

menyeramkan. Dan tatapan mereka melebar begi-

tu melihat dirinya.

Ronggo Kosworo kembali terbahak-bahak.

"Kulihat hidupmu begitu nyaman, Gamang. Istri 

yang cantik dan anak yang cakap. Hmmm... tetapi 

sikapmu tadi tak mengenakanku, Gamang. Apa-

kah kau sudah tidak mengenali kami lagi, hah?"

Gamang Markuto terdiam. Pandangannya 

tak berkedip menatap Ronggo Kosworo yang ma-

sih terbahak-bahak. Perasaan Gamang Markuto 

tidak tenang lagi. Tetapi sikapnya yang jantan 

membuatnya berusaha untuk tenang.

"Sekarang, kita tak lagi mempunyai uru-

san. Semua sudah selesai. Lebih baik, pergi dari 

sini!" suaranya gagah, mengandung tekanan.

"Kakang Ronggo...," kata yang menunggang 

kuda di sebelah kiri lelaki bercodet itu. Matanya 

sebelah picak. Ada daging yang tercacah di sana, 

namun sudah lama mengering. "Manusia ini ter-

nyata masih punya nyali, tak pengecut seperti du-

lu. Dia mengusir kita. Apakah pantas kedatangan 

kita yang sudah tiga bulan mencari manusia ke-

parat itu harus menerima perlakuan buruk sema-

cam ini?"

Ronggo Kosworo mengalihkan pandangan-

nya lagi pada Gamang Markuto.

"Kau dengar itu, Gamang? Kami datang se-

bagai tamu, tak layaknya kau sebagai tuan ru-

mah memperlakukan kami seperti ini, bukan?"

"Lima belas tahun yang lalu, semua masih 

jadi urusanku! Tetapi sekarang, hidupku sudah 

tenang! Jangan ganggu kehidupan yang kuban-

gun dengan susah payah ini!" seru Gamang Mar-

kuto.

Ronggo Kosworo meradang. "Manusia ke

parat! Bila kau tidak mengatakan di mana per-

sembunyian kita waktu itu, tak mungkin hidup 

kami harus berakhir di penjara kadipaten! Apa-

kah kau pikir selama lima belas tahun hidup ka-

mi enak dan penuh kelayakan? Codet di wajahku 

ini, picak di mata Gonggo Sirat dan pincangnya 

kaki kiri Jombrang, ini adalah hasil siksaan ma-

nusia-manusia laknat di kadipaten! Sementara 

kami terkena siksaan yang sangat pedih, kau 

enak-enakan hidup bahagia! Menggeluti istrimu 

yang cantik dan mempunyai anak yang cakap! 

Memiliki rumah yang bagus, dan lading jagung 

yang subur! Apakah kami akan diam saja untuk 

tidak membalas perlakuan busukmu itu, hah?!"

Gamang Markuto terdiam. Ingatannya 

kembali pada peristiwa lima belas tahun yang la-

lu. Dulu, ketiga orang berjubah hitam itu adalah 

konco-konconya. Rencana perampokan di rumah 

seorang saudagar kaya datang dari Ronggo Kos-

woro. Gamang Markuto saat itu menolak untuk 

ikut serta. Meskipun ketiganya adalah sahabat-

nya, namun ia tak mau melakukan perbuatan 

makar.

Tetapi ketiga temannya justru mengancam 

akan membunuhnya bila ia tak mau ikut serta. 

Dengan terpaksa, Gamang Markuto ikut serta da-

lam aksi perampokan itu. Tiga korban melayang 

jiwanya. Saudagar kaya itu luka parah, sementara 

istrinya diperkosa beramai-ramai. Gamang Mar-

kuto yang tidak mau ikut saat memperkosa istri 

saudagar kaya itu, dengan berat hati mau tak 

mau melakukannya karena golok di tangan Ronggo Kosworo sudah menempel di lehernya.

Dengan membawa hasil jarahan yang me-

limpah, mereka melarikan diri ke Gua Arca. Sebu-

lan lamanya mereka di sana dan sesekali keluar 

untuk melihat keadaan. Aksi perampokan yang 

disertai dengan kekerasan itu, sangat santer se-

kali pada waktu itu. Hingga Adipati Gaung Surya 

yang menguasai Kadipaten Harum Raksa pun tu-

run tangan, karena saudagar itu juga termasuk 

familinya. Pencarian besar-besaran pun dilaku-

kan.

Gamang Markuto yang pada dasarnya me-

nolak aksi kejahatan itu, memutuskan untuk ke-

luar dan menyerah. Ia tak sanggup berdiam diri 

lebih lama di Gua Arca dengan membayangkan 

bagaimana pedih dan sakitnya hati orang-orang 

yang telah terbunuh dan istri saudagar kaya itu 

yang mereka perkosa.

Sudah tentu Ronggo Kosworo marah besar 

dengan usulnya. Ia ditempeleng habis-habisan 

disertai cacian yang menyakitkan. Namun agak-

nya, pelarian mereka memang harus berakhir. 

Prajurit kadipaten berhasil menemukan jejak me-

reka dan laporan seorang tua pemancing yang 

merasa heran karena Gua Arca kini dihuni.

Para prajurit kadipaten pun melacak ke 

sana. Bertepatan saat itu, Gamang Markuto se-

dang mandi di sungai. Alangkah terkejutnya ia 

ketika kembali ke Gua Arca, dilihatnya ketiga te-

mannya dalam keadaan terikat diseret oleh tiga 

ekor kuda. Padahal yang diketahuinya, ketiga te-

mannya itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Namun keadaan itu tidak begitu menghe-

rankan, karena di samping jumlah prajurit Kadi-

paten yang sangat banyak, juga penangkapan itu 

dipimpin oleh Panglima Darta Sena, tangan kanan 

Adipati Gaung Surya yang memiliki ilmu tinggi. 

Tetapi, andaikata Panglima Darta Sena seorang 

diri, dia pun tak akan mampu menangkap keti-

ganya. Jangankan menangkap, mengalahkannya 

saja belum tentu.

Masih didengarnya makian Ronggo Koswo-

ro, "Ini ulah Gamang Markuto! Ia yang melapor-

kan kita berada di sini! Aku bersumpah, akan me-

lakukan pembalasan pada pengkhianat itu!!"

Gamang Markuto menjadi ketakutan luar 

biasa. Di samping khawatir, ia akan ditangkap 

pula, juga ketakutan karena ancaman Ronggo 

Kosworo yang sebenarnya salah paham. Gamang 

Markuto tak pernah melakukan hal itu. Meskipun 

ia tak mau melakukan semua ini sebelumnya, 

namun ia tak memiliki jiwa pengkhianat!

Ia bersembunyi di dalam sungai ketika pa-

ra prajurit kadipaten mencari-carinya. Dari kete-

rangan Ronggo Kosworo yang sangat geram pada 

Gamang Markuto, para prajurit itu tahu kalau 

masih ada seorang lagi buronan yang belum ter-

tangkap.

Menyelami sungai Gamang Markuto me-

nyeberang dan berlari sejauh mungkin. Tiba di 

satu tempat ia menarik napas panjang. Tiba-tiba 

ia teringat akan harta hasil jarahan mereka. Tak 

dilihatnya sebelumnya para prajurit kadipaten 

membawa hasil jarahan itu. Sudah tentu mereka

tak akan menemukannya. Karena hasil jarahan 

itu diletakkan di bawah batu yang cukup besar 

setelah dibuat lubang di dalamnya.

Setelah seminggu menunggu keadaan 

aman, barulah Gamang Markuto mendatangi lagi 

Gua Arca. Sekuat tenaga ia mendorong batu itu 

dengan bantuan sebatang kayu besar sebagai 

pengungkit. Digalinya lubang di bawah batu itu

dan ia pun kabur dengan hasil jarahan mereka.

Namun, tak sekali pun Gamang Markuto 

mempergunakan hasil jarahan itu. Ia memu-

tuskan untuk bekerja di pasar yang terdapat di 

kotapraja. Di sanalah ia bertemu dengan istrinya 

yang rela meninggalkan rumah dan menghuni ta-

nah di sekitar Bukit Teduh itu.

Dan sekarang, manusia-manusia itu mun-

cul kembali. Gamang Markuto menghela napas 

panjang.

"Ronggo... yang kau katakan itu salah be-

sar. Aku tak pernah mengkhianati kalian. Tak 

pernah memberitahukan di mana kita bersem-

bunyi!"

"Setan keparat! Sejak dulu kau pandai ber-

silat lidah!"

"Dengar Ronggo, bila yang kau inginkan 

adalah hasil jarahan kita waktu itu... aku masih 

menyimpannya," kata Gamang Markuto merasa 

hal itu lebih baik. Ia melirik istrinya yang terke-

siap dan seketika menoleh padanya dengan ken-

ing berkerut dan pandangan yang menyipit. Ga-

mang Markuto tak mempedulikan soal itu terlalu 

lama. Istrinya harus tahu rahasia apa yang di

pendanmnya selama ini.

"Di mana harta itu?"

"Berjanjilah... setelah kalian mendapatkan 

hasil jarahan itu... segera pergi dari sini dan jan-

gan mengganggu kehidupanku lagi!"

Jawaban dari Ronggo Kosworo hanya ter-

bahak-bahak saja. Gamang Markuto berpaling 

pada istrinya, "Maafkan aku, Sumirah...."

"Kang Gamang... mengapa semua ini terja-

di?" tanya Sumirah dengan rasa penasaran dan 

sedih yang makin meraja.

Gamang Markuto memegang bahu istrinya 

sambil menarik napas panjang.

"Setelah kuberikan hasil jarahan itu, aku 

akan menceritakan semuanya padamu." Lalu 

dengan sikap gagah, ia menoleh pada Ronggo 

Kosworo. "Kita berangkat sekarang!"

"Naik di belakangku!"

Gamang Markuto melangkah dan melom-

pat naik ke punggung kuda Ronggo Kosworo. 

Ronggo Kosworo menggebrak kudanya. Menyusul 

Gonggo Sirat dan Jombrang.

Sementara itu Sumirah mendekap erat-erat 

Dali Gunarso. Perasaannya tidak tenang seka-

rang. Ia berdoa banyak-banyak agar tidak terjadi 

hal-hal yang tak diinginkannya pada suaminya. 

Sementara bocah kecil dalam dekapannya, hanya 

memandang terbengong pada kepergian ayahnya. 

Ia heran, karena biasanya ayahnya selalu menga-

jaknya serta bila bepergian. Tetapi sekarang men-

gapa tidak?

***

Matahari sudah sampai di tengah luasnya 

cakrawala. Sinarnya menyengat cukup panas ke-

tika mereka tiba di sebuah hutan kecil yang cu-

kup jauh dari bukit di mana Sumirah dan pu-

tranya menunggu harap-harap cemas kepulangan 

suaminya.

"Berhenti di sana!" seru Gamang Markuto 

sambil menunjuk dua buah pohon yang berjarak 

satu meter.

Ronggo Kosworo mengarahkan kudanya ke 

sana, begitu pula dengan dua temannya. Di tem-

pat yang ditunjuk Gamang Markuto mereka 

menghentikan langkah kuda.

Gamang Markuto melompat turun. Tanpa 

mempedulikan mereka, ia berjalan lurus ke arah 

timur. Ketiganya segera menambatkan kuda dan 

mengikuti langkah Gamang Markuto.

Sambil melangkah, Jombrang yang pincang 

kaki kirinya berbisik, "Apakah setelah menda-

patkan harta itu kita bunuh manusia keparat ini, 

Kakang?"

Ronggo Kosworo menggelengkan kepalanya 

sambil tersenyum licik.

"Tidak, Aku mempunyai rencana lain un-

tuknya. Penderitaan jasad yang cacat hanya 

membuat sakit hati seberapa. Namun penderitaan 

batin yang dalam, tak akan pernah terlupakan. 

Seperti yang kita alami. Dan manusia keparat itu 

harus menerima hal yang sama. Bahkan lebih 

menyakitkan."

Jombrang hanya mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Sementara Gonggo Sirat menyeringai

lebar. Ia seolah menangkap apa rencana yang ada 

di benak Ronggo Kosworo.

Di hadapan mereka, Gamang Markuto te-

rus melangkah. Hingga akhirnya terbentang se-

buah sungai yang mengalirkan air cukup deras.

Di tepi sungai di mana sejak tadi Gamang 

Markuto melangkah lurus dari dua batang pohon 

yang berdekatan, laki-laki itu membungkuk. Di-

ambilnya sebatang kayu yang tergeletak di si-

sinya. Ditancapkannya kayu itu pada tanah gem-

bur di tepi sungai. Setelah terdiam dan meneleng-

kan kepalanya seolah menentukan di mana harta 

jarahan mereka lima belas tahun lalu disembu-

nyikan, mulailah Gamang Markuto melangkah tu-

run ke sungai.

Tak menggulung celananya. Setelah bebe-

rapa langkah dan air sungai sudah membasahi 

pinggangnya, ia menyelam.

Cukup lama juga Gamang Markuto berada 

di dalam sungai itu, hingga membuat ketiga ma-

nusia berjubah hitam menjadi tak sabar. Tetapi 

mereka tak sempat bertindak apa-apa, karena 

Gamang Markuto sudah muncul kembali dengan 

tubuh basah kuyup. Melangkah terseret dan tan-

gannya menarik sesuatu dari dalam sungai itu.

Ronggo Kosworo menyeringai ketika dili-

hatnya apa yang ditarik oleh Gamang Markuto. 

Sebuah kain kusam.

"Di dalam kain itu ada sebuah peti kecil! Di 

peti itulah hasil jarahan itu kusimpan!"

Ronggo Kosworo memberikan isyarat pada 

Gonggo Sirat dengan menggerakkan dagunya.

Yang diberikan isyarat tahu kalau ia harus meme-

riksa hasil jarahan mereka. Segera lelaki itu 

membungkuk. Membuka kain itu dan mencongkel 

paksa peti di dalamnya dengan golok besar yang 

tersampir di pinggangnya.

Trak!

Peti itu terbuka. Seketika terdengar suara 

Gonggo Sirat sambil terbahak-bahak, "Inilah ke-

kayaan kita, Kakang! Kita kaya, Kakang!!"

Ronggo Kosworo membungkuk.

"Hmm... tak kurang satu pun juga. Aku in-

gat hasil jarahan itu," katanya setelah memeriksa.

Gamang Markuto yang sejak tadi mengge-

ram, berkata dingin, "Kalian sudah mendapatkan 

apa yang kalian cari. Kuminta, kalian memenuhi 

janji untuk tidak lagi mengganggu kehidupanku!"

Bagai bersahabat Ronggo Kosworo mene-

puk-nepuk punggung Gamang Markuto yang ter-

diam sambil menahan gejolak kemarahan di da-

danya.

"Sudah tentu kami tidak akan mengingkari 

janji, Gamang," katanya bernada kepuasan. "Kau 

ternyata memang kawan yang baik. Tidak mema-

kan hasil jarahan ini. O ya, berapa banyak yang 

kau minta?"

Gamang Markuto menggelengkan kepa-

lanya.

"Sedikit pun tidak! Aku hanya ingin kete-

nangan dan mendapatkan janji kalian!"

Sambil terbahak-bahak penuh kelicikan 

dan kemenangan, Ronggo Kosworo berkata, "Su-

dah tentu! Gonggo, bawa harta itu!" Lalu ia berkata lagi pada Gamang Markuto, "Kerja sama ini 

sangat kuhargai! Sampai jumpa!"

Ketiga orang berjubah hitam dengan golok 

besar di pinggang itu melangkah meninggalkan 

Gamang Markuto yang menghela napas panjang 

sambil terbahak-bahak.

Laki-laki yang masih bertelanjang dada itu 

mendesis, "Kuharap... peristiwa ini tidak panjang 

lagi dan hidupku lebih tenang bersama anak dan 

istriku...."

Dialihkan kepalanya ke atas. Matahari mu-

lai melangkah pada tiga perempat perjalanannya. 

Sebentar lagi senja. Gamang Markuto bergegas 

melangkah ketika didengarnya suara derap lang-

kah kuda di kejauhan.

Gamang Markuto tak mau anak dan is-

trinya terlalu lama menunggu dalam kecemasan. 

Ia pun tak mau sampai di rumah saat malam su-

dah berjalan.

Ditinggalkannya hutan kecil itu dengan ha-

ti agak lapang, karena menurutnya, segala per-

soalan yang selama lima belas tahun dipendam-

nya, kini telah berakhir. 

***

2


Tepat matahari terbenam dan sinar rembu-

lan mulai merambah perlahan, Gamang Markuto 

tiba di sisi bukit sebelah kiri. Dia tersenyum menyadari kebebasan yang telah didapatkannya. Di-

bayangkannya kehidupan yang lebih layak, aman, 

dan terjamin bersama istri dan anaknya.

Terbayang pula dia akan mendapatkan 

rangkulan hangat dari istri dan anaknya karena 

kembali tanpa kurang suatu apa. Lalu dengan ra-

sa ingin segera bertemu pada anak dan istrinya, 

bergegas Gamang Markuto berlari menuruni bukit 

untuk tiba di lereng bukit itu, di mana rumahnya 

berdiri dan istri serta anaknya yang diyakinnya 

telah menunggu.

Tetapi, langkahnya mendadak terhenti da-

lam jarak lima tombak dengan rumahnya. Ke-

ningnya berkerut melihat keadaan rumah yang 

gelap. Baru disadarinya di kejauhan tadi dia tidak 

melihat adanya tanda-tanda kehidupan.

Mengapa istrinya belum menghidupkan 

lampu sentir? Batinnya. Perasaannya makin geli-

sah ketika ia menangkap satu gelagat yang tidak 

menguntungkan. Tetapi ditahannya perasaan itu 

saat ia berlari mendekati rumahnya. 

"Sumirah! Sumirah!" dari jarak dua tombak 

ia sudah berseru-seru.

Tak ada sahutan apa-apa, Tak ada yang 

keluar dari rumah itu. Hati Gamang Markuto tadi 

sudah gembira karena kehidupan yang baik akan 

berlangsung di depan matanya, berubah menjadi 

galau dan semakin tak menentu.

Kegelisahan mulai menjalari perasaannya 

hingga membuatnya tegang sekaligus cemas bu-

kan main.

Diketuknya pintu berkali-kali disertai

panggilan pada anak dan istrinya. Tetapi tak ada 

sahutan yang bisa membuatnya merasa lega. Ada 

apakah ini? Pikirnya bertambah galau.

Lebih mengejutkan lagi ketika ia tahu ter-

nyata pintu tidak terkunci. Sejak kapan istrinya

melupakan hal ini? Batinnya galau. Bergegas ia 

masuk dengan hati risau dan bertanya-tanya. Ia 

memanggil kembali.

"Sumirah! Dali! Di mana kahan?" serunya 

dan dihidupkannya lampu sentir di dalam rumah. 

Dengan membawa lampu sentir itu, dia berjalan 

ke kamar.

Dibukanya pintu kamarnya dengan seruan

memanggil, "Sumirah! Dali!"

Kamar yang gelap tadi kini menjadi agak 

terang. Dan dia tak perlu menunggu terlalu lama 

untuk mengetahui apa yang terjadi. Di atas dipan 

di mana ia biasa tidur bersama istrinya, istrinya 

tergolek dengan leher putus. Pakaiannya acak-

acakan. Terutama baju di bagian dada dan kain 

yang menutupi bagian bawah. Dilihatnya ada ber-

cak darah yang telah mengering di kedua paha is-

trinya.

"Sumiraaahhh!!" jeritnya menggelegar. 

Lampu sentir cepat diletakkan di atas meja kecil 

yang kusam. Lalu ditubruknya tubuh istrinya 

yang telah menjadi mayat dengan hati hancur di 

balai-balai. Dibelainya wajah yang telah kaku dan 

lemah itu dengan tangan gemetar. "Sumirah... 

maafkan aku.... Oh, Tuhan... inikah hukuman 

atas kesalahanku lima belas tahun yang lalu.... 

Tetapi mengapa harus istriku? Mengapa?" Tiba

tiba, bagai disentak setan, Gamang Markuto ber-

diri tegak dan berseru dengan kalap seraya keluar 

dari kamar itu, "Dali! Di mana kau Dali!"

Dicarinya putranya itu dengan hati ber-

tambah tak karuan. Diperiksanya setiap sudut 

kamar. Tetapi bocah itu tak ditemukannya. Ketika 

matanya melihat pintu belakang terbuka, hatinya 

bertambah kacau. 

Bergegas Gamang Markuto melesat keluar 

melalui pintu belakang. Dan seketika terdengar 

jeritannya yang sangat keras, melolong bagai seri-

gala lapar ketika pandangannya tertumbuk pada 

sesuatu yang tergantung di pohon.

Putranya! Dali Gunarso yang tergantung di 

pohon itu!

Dengan hati hancur, Gamang Markuto ber-

gegas naik ke pohon itu dan menurunkan pu-

tranya yang telah menjadi mayat. Didekapnya pu-

tranya dengan kepedihan yang teramat sangat.

"Dali... Dali... mengapa harus engkau dan 

ibumu yang mengalami semua ini.... Maafkan 

Ayah, Dali... maafkan Ayah...," desisnya pilu. Ia 

menjerit lagi. Lebih keras dari yang pertama. Ia 

tahu, siapa yang melakukan semua ini. Siapa lagi 

kalau bukan bekas teman-temannya yang mem-

bawa sejuta dendam padanya. "Manusia-manusia 

keparat! Kalian harus menerima balasan dari se-

mua ini!"

Gamang Markuto menangis lemah dengan 

tubuh yang bagai kehilangan tenaga. Dibayang-

kannya bagaimana manusia-manusia durjana itu 

setelah meninggalkannya kembali ke rumahnya.

Sudah tentu istri dan anaknya menjadi ketaku-

tan. Namun apalah daya istrinya yang lemah dan 

anaknya yang masih bocah.

Gamang Markuto tak sanggup mem-

bayangkan penderitaan istrinya, yang sudah ten-

tu diperkosa lebih dulu sebelum dibunuh. Dan ia 

tak sanggup membayangkan bagaimana jerit ke-

sakitan dari putranya yang digantung sedemikian 

kejam.

Selagi ia berada dalam kesedihan yang da-

lam, mendadak di kejauhan terdengar suara tawa 

yang sangat keras sekali. Bertalu-talu.

Sambil membopong putranya yang telah 

menjadi mayat, Gamang Markuto berlari ke de-

pan.

"Manusia-manusia biadab! Kalian akan 

menerima balasan dari semua ini!!"

"Begitulah penderitaan yang kami alami, 

Gamang! Dan kau pun harus merasakannya!" 

terdengar seruan yang sangat keras.

Gamang Markuto tahu kalau Ronggo Kos-

woro yang berteriak.

"Ronggooo! Akan kuhancurkan kepalamu!" 

"Hahaha... terima kasih, Gamang. Kuu-

capkan terima kasih! Kau mau menunjukkan di 

mana harta hasil jarahan kita lima belas tahun 

lalu! Dan kau mau berbagi kenikmatan pada kami 

untuk menikmati tubuh indah milik istrimu!"

"Keparaaattt! Hayo! Keluar kalian semua! 

Kita bertarung sampai mampus!"

"Tantangan yang menyenangkan! Tetapi, 

kami tak ingin membuatmu lebih berduka lagi!"

Gamang Markuto masih berteriak-teriak 

keras. Tiba-tiba teriakannya terhenti. Berubah 

menjadi jeritan. Dua buah anak panah menancap 

di bahu dan kakinya. Tubuhnya menjadi limbung 

dan ia ambruk ke tanah. Mayat putranya menin-

dihnya.

"Keparaaattt!" makinya sambil menahan 

sakit. Dengan susah payah dan menahan pende-

ritaan yang dialaminya, Gamang Markuto menca-

but anak panah dibahunya.

"Aaakkkh!" seruan kesakitan terdengar ke-

tika ia berhasil mencabut anak panah itu. Darah 

segera menyembur. Menyusul ia mencabut anak 

panah yang menancap di kakinya. Darah semakin 

banyak yang keluar.

Dalam waktu yang singkat, wajah Gamang 

Markuto menjadi pucat pasi. Namun belum lagi ia 

tahu apa yang terjadi, pandangannya yang mulai 

nanar melihat lima buah bola api menderu ke 

arah rumahnya. Rupanya anak panah yang 

ujungnya telah diberi buntalan kain dan dibakar. 

Kelimanya menancap tepat di atas rumahnya.

Atap yang terbuat dari rumbia itu seketika 

terbakar. Api menyala dengan cepat dan membuat 

tempat itu menjadi sedikit terang.

Hati Gamang Markuto menjadi kalap. Den-

gan menahan rasa sakit dan tubuh limbung den-

gan langkah terpincang, dikerahkan sisa-sisa te-

naganya untuk masuk ke dalam rumah yang ter-

bakar dengan cepat itu.

Susah payah ia menyambar tubuh istrinya 

yang telah menjadi mayat. Lalu ia bermaksud untuk segera keluar. Tetapi sebuah balok di bagian 

atas yang mulai terbakar, mendadak runtuh. 

Hampir saja menimpa tubuhnya.

Panas dari api yang menguar itu sangat 

menyengat sekali. Dirasakan bagai telah memba-

kar sekujur tubuhnya. Dan penderitaan ini san-

gat menyiksanya apalagi dengan darah yang terus 

mengucur dan tubuh yang semakin melemah.

Dengan panik ia berusaha menerobos api. 

Tetapi kakinya tersandung balok yang jatuh tadi. 

Tubuhnya tersungkur ke depan. Kepalanya 

menghantam sebuah meja. Sangat keras dan 

membuatnya pusing bukan main.

Masih dicobanya untuk bangkit. Akan te-

tapi, tenaganya sudah sangat lemah sekali dan 

tak mampu ia untuk bangkit menyelamatkan diri. 

Sayup-sayup didengarnya suara tawa yang berta-

lu-talu. Keras dan mengerikan.

Ia hanya sempat berdoa sekali mohon kese-

lamatan Yang Maha Kuasa, sebelum di detik lain 

ia sudah tergolek pingsan.

Agaknya kematian sudah sangat dekat se-

kali dengan laki-laki malang itu....

***

3


Namun agaknya Yang Maha Kuasa meng-

hendaki lain. Di saat api tengah mengurung Ga-

mang Markuto yang dalam keadaan tak sadarkan

diri, mendadak terdengar dengungan bagai suara 

ribuan tawon yang sedang marah. Menyusul satu 

angin deras bergemuruh ke arah rumah yang ter-

bakar itu.

Dengungan seperti ribuan tawon marah 

dan dahsyatnya angin yang meluncur itu ternyata 

berasal dari sebuah kain bercorak catur yang di-

kibaskan oleh satu bayangan hijau, menghampar 

ke arah rumah.

Brrr!

Atap rumbia pada rumah yang terbakar itu 

terbang terseret angin deras tadi. Api di bagian 

atas rumah itu seketika padam. Sesaat bayangan 

hijau yang mengibaskan kain bercorak catur dan 

menimbulkan suara keras itu menerobos masuk 

ke dalam rumah yang terbakar. Gerakannya 

sungguh sangat luar biasa cepatnya, bagai kilat 

yang menyambar. Kain bercorak catur yang jelas 

merupakan sebuah senjata dahsyat, telah disam-

pirkan di bahunya, di mana memang di sanalah 

bayangan hijau itu meletakkan senjatanya yang 

berupa kain bercorak catur.

Sosok bayangan hijau itu tersentak ketika 

melihat dua sosok tubuh yang tergolek di lantai 

dan di atasnya balok-balok yang terbakar tengah 

siap menimpa keduanya. Menimbulkan suara ke-

retek yang mencekam.

Tanpa mengurangi kecepatannya, bayan-

gan hijau itu menyambar dua sosok yang tergo-

lek. Sangat cepat dan terlatih, hingga dalam seka-

li sambar saja, tubuh kedua sosok itu telah dibo-

pongnya. Lalu dengan gerakan yang sama, dia

mencelat melalui pintu belakang rumah. Bersa-

maan dengan itu rumah yang terbakar tadi am-

bruk. Menimbulkan suara berkeretek, berderak, 

dan bergemuruh. Asap keluar dari sana, cukup 

tebal.

Bayangan hijau tadi, yang sudah mengam-

bil jarak lima tombak dari rumah yang terbakar 

itu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ru-

mah yang terbakar itu ambruk.

"Gila! Manusia mana yang tega membakar 

rumah itu beserta isinya! Untungnya dari atas 

bukit sebelah tenggara aku sempat melihat api 

yang menjilat-jilat. Kalau kambing yang dibakar 

masih enak! Orang yang dibakar apa enaknya? O 

ya, tadi sempat kulihat seorang anak kecil yang 

terkapar. Lebih baik aku membawa dua manusia 

ini ke sana. Tetapi, aku yakin, sosok yang perem-

puan ini telah menjadi mayat. Agaknya bukan ka-

rena terbakar. Entah karena apa. Kutu monyet!"

Memikir sampai di sana, pemuda berbaju 

hijau pupus itu mencelat ke depan. Diletakkan-

nya kedua manusia dalam bopongannya tadi di 

hadapan bocah kecil yang terkapar.

Lalu ia membungkuk.

"Sadis! Bocah ini pun telah tewas. Di le-

hernya terdapat guratan yang cukup dalam me-

nembus daging. Seperti habis digantung. Keparat! 

Siapa yang melakukan perbuatan hina ini!" si 

pemuda memaki-maki dengan hati panas dan 

tangan terkepal. Lalu ia membalikkan tubuh pada 

tubuh Sumirah. "Wanita ini mengalami siksaan 

yang lebih sadis. Jelas ia dihina dan dipermain

kan lebih dulu sebelum dibunuh." Kemudian si 

pemuda beralih pada Gamang Markuto. Diperik-

sanya tubuh lelaki malang itu. "Masih hidup. 

Meskipun detak jantungnya lemah. Untungnya, 

aku tadi mengecek ke dalam rumah yang terbakar 

ini. Bila tidak, manusia ini akan jadi daging pang-

gang."

Dialirkannya tenaga dalamnya sedikit, se-

kadar menjaga suhu tubuh Gamang Markuto. 

Pemuda berbaju hijau pupus dengan sehelai kain 

bercorak catur di lehernya itu memutuskan untuk 

segera menguburkan dua mayat di dekatnya.

Dengan mempergunakan tenaga dalamnya, 

dalam waktu singkat kedua mayat itu telah diku-

burkan.

"Hmmm... aku tak yakin bila kebakaran ini 

terjadi karena keteledoran orang-orang ini yang 

kuyakini sebagai penghuni rumah itu. Pasti ada 

yang telah membakarnya dengan sengaja. Apalagi 

bila melihat kondisi wanita yang kuyakini istri da-

ri laki-laki yang pingsan ini dan bocah kecil yang 

tentunya putra mereka, yang nampak habis me-

nerima siksaan pedih. Monyet pitak! Siapa manu-

sia-manusia yang tega melakukan semua ini? 

Akan kujitak kepalanya sampai benjol tujuh biji!"

Si pemuda memutuskan untuk menunggu 

sampai lelaki itu siuman dari pingsannya. Diba-

wanya tubuh yang pingsan itu ke bawah pohon, 

sekadar melindungi dari udara dingin.

***

Si pemuda langsung terbangun dari tidur-

nya begitu telinganya yang tajam dan terlatih 

mendengar kokok ayam jantan di kejauhan. Pagi 

masih sangat muda. Udara masih dingin dengan 

butiran embun di dedaunan.

Diliriknya lelaki yang masih tergolek lemah 

di sisinya. Digaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal dengan rasa penasaran yang mulai menggi-

git hatinya. Dia tak pernah suka menerima kenya-

taan pahit di depan matanya, bila ada manusia 

yang menurunkan kekerasan pada manusia lain.

Si pemuda teringat sebelum dituruninya 

bukit bagian tenggara semalam, dilihatnya ada 

mata air di sana. Cepat dia berkelebat untuk se-

gera mandi. Dibersihkan tubuhnya yang terasa 

lengket. Setelah itu, dia bergegas kembali ke tem-

pat semula.

Namun alangkah terkejutnya dia, ketika 

tak melihat sosok lelaki yang pingsan itu.

"Celaka! Ke mana orang itu? Sudah mau 

mampus masih menghilang juga! Kujewer ku-

pingnya kalau ketemu! Tetapi, apakah dia...," si 

pemuda memutuskan selorohan yang bercampur 

kejengkelannya, ketika didengarnya suara teria-

kan keras yang memilukan berasal dari dua ma-

kam yang baru saja dikuburkannya.

Cepat dia berkelebat ke sana dan melihat 

lelaki malang itu sedang menangis di depan dua 

makam yang baru saja dibuatnya semalam.

Ditahan keinginannya untuk segera me-

manggil. Menurutnya, biarlah lelaki itu mele-

paskan semua kegundahan dan kesedihan yang

meraja dalam hatinya.

Setelah beberapa saat, lelaki itu berlutut 

dan terpaku di hadapan dua makam. Tubuhnya 

agak bergetar sedikit.

"Sumirah.... Dali Gunarso... siapa pun yang 

telah menolongku dan menguburkan kalian... aku 

sangat berterima kasih. Maafkanlah diriku yang 

telah membuat hidup kalian mengalami kejadian 

tragis seperti ini...."

""Hehehe... kalau mau tahu orangnya sih 

gampang saja! Maaf, ya... sebelumnya aku tak 

meminta izin darimu. Akulah yang telah mengu-

burkan mayat istri dan anakmu...," suara di bela-

kangnya, halus tetapi diiringi ketawa membuyar-

kan kesedihannya dan membuat lelaki itu meno-

leh.

Dilihatnya pandangan mata lelaki itu mele-

bar. Bukan dalam arti terkejut, namun keheranan 

karena dia tak mendengar suara pemuda itu da-

tang tadi.

Tetapi, Gamang Markuto yang telah merasa 

bersyukur karena ada yang menyelamatkannya 

tak mempedulikan lebih lama lagi soal kehera-

nannya tadi. Dia segera berdiri. Berkata pelan, 

agak bergetar, dan suaranya tersekat di tenggoro-

kan, "Kuaturkan banyak terima kasih atas perto-

longanmu Tuan...."

"Andika. Nama yang keren! Sekeren orang-

nya! Hmmm... siapakah namamu, Kakang?" 

"Namaku Gamang Markuto."

"Maafkan kelancanganku, karena telah 

menguburkan mayat istri dan putramu tanpa seizinmu."

"Justru aku sangat berterima kasih pada-

mu. Karena aku tahu, engkaulah yang tentunya 

telah menyelamatkanku."

"Wah urusan terima kasih-terima kasihan 

sudah lewat! Sekarang, bolehkah aku tahu apa 

yang telah terjadi?"

Gamang Markuto membuang napas masy-

gul, seolah mencoba membuang segala kegelisa-

han, kemarahan, dan kesedihan di hatinya. Keti-

ka dia siuman dari pingsannya tadi, yang perta-

ma-tama diingatnya adalah keadaan istri dan pu-

tranya.

Dengan kepala pening dan tubuh yang le-

lah luar biasa, dibawa langkahnya dengan terse-

ret-seret menuju rumahnya. Dilihatnya rumahnya 

sudah ambruk, menjadi puing dan debu. Sisa-

sisa api masih nampak di sana-sini.

Hatinya galau bukan main menyadari 

mayat istrinya yang masih berada di dalam ru-

mah itu. Tetapi, rasa galaunya berubah menjadi 

keheranan yang dalam, ketika diingatnya kalau 

dirinya berada cukup jauh dari rumah itu dalam 

keadaan tak kurang suatu apa pun. Padahal yang 

diingatnya sebelum dia jatuh pingsan, tubuhnya 

tergolek tak berdaya di dalam rumah yang terba-

kar.

Menyadari hal itu, Gamang Markuto men-

jadi yakin, kalau seseorang yang baik hati telah 

menyelamatkannya. Dengan kata lain, berarti 

memindahkan pula mayat istrinya. Diingatnya 

pula mayat Dali Gunarso.

Segera Gamang Markuto mencari mayat 

putranya. Dan yang ditemukan justru dua buah 

gundukan tanah. Yang satu agak panjang dan 

yang lainnya lebih kecil. Keyakinan Gamang Mar-

kuto makin menjadi-jadi kalau ada seseorang 

yang telah menolong mereka dan menguburkan 

mayat kedua orang yang dikasihinya. Dan seka-

rang, si penolong yang mengaku bernama Andika 

telah berdiri di hadapannya.

Dengan mencoba menahan kepedihan ha-

tinya, Gamang Markuto menceritakan apa yang 

terjadi. Si pemuda yang memang Andika alias 

Pendekar Slebor hanya mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Dia maklum, kalau Gamang Markuto 

masih terbawa arus kesedihan dan emosi dari 

malapetaka yang menimpa diri dan keluarganya.

Ditunggunya sampai lelaki itu kelihatan 

agak lebih tegar. Setelah itu barulah Andika ber-

kata, "Gamang... apakah kau mempunyai famili?"

Gamang Markuto mengangkat kepalanya, 

menatap lurus pada Andika, "Bagaimana mak-

sudmu, Andika?"

"Bila kau mempunyai famili, lebih baik kau 

tinggal bersama mereka untuk sementara. Kau 

bisa tidur nyenyak dan makan enak! Kan sedap, 

tuh!"

"Tidak! Aku harus membalas semua perla-

kuan manusia-manusia biadab itu!" seru Gamang 

Markuto dengan wajah membesi dan rahang ter-

katup rapat.

Andika menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Keras kepala juga nih orang! Batinnya. Lalu dia

berkata sambil menatap lelaki yang tengah tegang 

itu,

"Gamang... dari penjelasanmu tadi, aku 

yakin sesungguhnya engkau bukanlah orang yang 

memiliki jiwa sejalan dengan ketiga manusia dur-

jana itu. Pertama, sebelumnya kau menolak aja-

kan sesat manusia-manusia itu. Tetapi karena 

ancaman mereka, kau terpaksa melakukannya 

juga. Kedua, meskipun kau tidak mau ikut den-

gan mereka, tetapi kau masih memandang tinggi 

persahabatan hingga tidak membocorkan rahasia 

di mana kalian bersembunyi. Ketiga, kau tidak 

menikmati hasil jarahan itu selama lima belas ta-

hun. Bulat keyakinanku kalau kau sebenarnya 

berada dalam jalur kebimbangan. Lebih baik, kau 

urungkan niat manusia-manusia sesat itu. Biar-

lah aku yang mengurus mereka dan mengembali-

kan mereka pada kadipaten untuk menerima hu-

kuman kembali."

Gamang Markuto tetap menggeleng-

gelengkan kepala.

"Mereka telah menghancurkan hidupku. 

Masa depanku. Dan membunuh dua orang yang 

sangat kusayangi yang akhirnya hanya menjadi 

tumbal dari segala kesalahanku lima belas tahun 

yang lalu. Tak akan kubiarkan manusia-manusia 

itu hidup lebih lama lagi. Meskipun aku yakin tak 

akan mampu menandingi mereka, tetapi... aku 

akan mencobanya!"

Andika sadar, kekeraskepalaan lelaki ini 

lebih banyak disebabkan karena rasa bersalah 

pada anak dan istrinya yang menjadi korban atas

ulahnya lima belas tahun lalu. Tetapi dia men-

dumal juga dalam hati, "Ingin kujitak kepala 

orang ini! Apa benar-benar keras?" Kembali dia 

berkata sambil tarik napas panjang,

"Dendam hanya akan membawa petaka... 

lebih baik...."

"Lagi pula Andika," potong Gamang Marku-

to, "Aku tak mempunyai famili lagi. Hidupku seo-

rang diri sekarang. Orang dekat pada belahan ji-

waku, hanyalah istri dan anakku. Mereka mati 

mengenaskan karena ulahku dulu! Apakah aku 

akan berpangku tangan saja, hah?"

Andika tersenyum. Mencoba mengerti akan 

kemarahan dan rasa bersalah Gamang Markuto. 

Tetapi, dia tetap tak menghendaki lelaki itu mela-

kukan apa yang diinginkannya sekarang.

"Sudahlah... lebih baik pembicaraan ini ki-

ta sudahi dulu. Sekarang, pergilah mandi untuk 

membersihkan tubuhmu. Barangkali air dingin 

akan menyejukan jiwa dan ragamu. Sementara 

kau mandi... aku akan mengambil jagung dari la-

dang yang tentunya kau punyai. Kita akan sara-

pan jagung bakar. Eh, berapa banyak yang bisa 

kau makan? Lagi pula, kau marah tidak nih, ja-

gung-jagung itu kuambil?"

Gamang Markuto hanya mengangguk-

anggukkan kepalanya. Lalu tanpa berkata apa-

apa, lelaki itu melangkah menuju mata air.

Andika berseru, "Cepat kembali lagi ke sini! 

Aku khawatir, kau tak akan kebagian! Soalnya, 

aku juga sudah kelaparan nih!"

Memang pada akhirnya Gamang Markuto

tidak kebagian jagung bakar itu. Karena setelah 

delapan jagung bakar telah matang dibakar Andi-

ka dan Andika tidak bermaksud untuk segera 

memakannya, karena dia ingin menikmati jagung 

itu bersama Gamang Markuto, lelaki itu tak per-

nah muncul.

Andika mencoba menunggu. Tetapi karena 

lelaki itu tak muncul juga, penasaran Andika ber-

kelebat ke mata air. Tak dilihatnya lelaki itu bera-

da di sana.

Sadarlah Andika, kalau sebenarnya Ga-

mang Markuto tidak pernah mendatangi tempat 

itu. Mungkin, dia telah pergi selagi Andika sibuk 

membakar jagung.

"Kampret! Manusia itu benar-benar keras 

kepala! Aku jadi ingin menjitaknya sampai benjol! 

Hhh! Aku harus menemukannya secepatnya! Bisa 

berabe kalau begini. Jangan-jangan, justru lelaki 

itulah yang akan celaka!" Andika hendak berkele-

bat tetapi urung. Jelas wajahnya kelihatan bim-

bang. Bukan karena apa, melainkan.... "Brengsek! 

Aku belum sempat menikmati jagung bakar yang 

lezat itu! Tetapi sudahlah, keselamatan Gamang 

Markuto lebih penting sekarang! Karena, tak 

mustahil ia justru termakan dendamnya sendiri."

Tetapi lain kalimat yang keluar, lain pula 

perbuatannya. Terburu-buru pemuda urakan itu 

mengambil dua buah jagung bakar. Sambil meng-

gigit dan memakan jagung bakar, Andika berkele-

bat ke arah tenggara, setelah mengira-ngira ke 

mana perginya Gamang Markuto.

Ke manakah Gamang Markuto pergi? Yang

diperkirakan Andika tadi memang benar. Karena, 

lelaki itu tak pernah mendatangi mata air. Ketika 

dilihatnya Andika mulai sibuk memetik jagung 

dari ladangnya, Gamang Markuto melangkah ke 

kanan, lalu bergegas memutar tubuh ke arah ti-

mur.

Dia tak mau menunggu terlalu lama. Tak 

dipedulikan keadaan dirinya yang sebenarnya pe-

nat, lapar, dan lelah bukan main. Yang terpenting 

sekarang, dia harus mencari manusia-manusia 

dajal yang telah membasmi kedua orang yang di-

cintainya dan melukai jiwanya yang paling dalam.

Sedikit banyaknya dia mengucapkan teri-

ma kasih atas pertolongan Andika, yang telah 

menyelamatkan dirinya hingga tak menjadi kor-

ban karena ulah manusia-manusia dajal itu. Se-

benarnya, dia pun ingin sekali mengikuti saran 

Andika, agar tidak perlu membalas dendamnya.

Namun, hal itu tak bisa dia tahan begitu 

saja. Gamang Markuto merasa tak akan mampu 

melakukan saran Andika. Yang terbaik, dia me-

mang harus mencari manusia-manusia keparat 

yang telah menghina istrinya sebelum dibunuh 

dan mengantung putranya dengan sadis.

Rasa bersalah pada anak dan istrinya telah 

mengikat jiwanya. Baginya tak ada jalan lain lagi 

kecuali mencoba mencari manusia-manusia kepa-

rat itu.

Tak tahu apa yang akan terjadi, Gamang 

Markuto terus mengikuti arah langkah dan pera-

saan bersalahnya....


4


Waktu terus berlalu. Tiga hari telah terle-

wati sejak Andika pertama kali mencari Gamang 

Markuto. Matahari terus beranjak. Dan kini si-

narnya telah tiba pada perjalanan menuju senja, 

ketika Andika alias Pendekar Slebor tiba di se-

buah dusun.

Mencari Gamang Markuto, bukanlah hal 

yang mudah. Karena sangat mustahil bila dia ta-

hu kata hati Gamang Markuto. Jalan yang terbaik 

menurut Andika, sambil mencari jejak Gamang 

Markuto, dia pun merasa harus mencari manu-

sia-manusia sesat itu. Yang terpenting lagi, dia 

harus mengetahui latar belakang manusia-

manusia itu. Apalagi, sampai sekarang dia belum 

juga mendapati jejak yang berarti dari Gamang 

Markuto.

Andika memasuki sebuah kedai yang cu-

kup ramai di dusun Bojong Kenanga. Orang-

orang yang berada di sana, tak mempedulikan 

kehadirannya. Karena, sebagai orang yang sedang 

makan di kedai itu pun kebanyakan pendatang 

yang kebetulan singgah untuk mengisi perut. Jadi 

menurut mereka, pemuda berbaju hijau pupus 

dengan rambut gondrong dan wajah keren itu, 

hanyalah seorang pendatang yang kebetulan ten-

gah kelaparan.

Tanpa memikirkan kehadirannya membuat 

orang-orang di sana menjadi keheranan atau ti-

dak, Andika duduk di sudut kedai setelah memesan nasi kebuli dan sekendi air putih. Diedarkan 

pandangannya ke sekeliling kedai, barangkali saja 

dia melihat manusia-manusia berjubah hitam itu. 

Atau kalau dia beruntung, bisa menemukan Ga-

mang Markuto berada di antara orang-orang yang 

sedang sibuk mengisi perut.

Tetapi yang dicarinya tidak ada di sana. 

Saat pesanannya dihidangkan Andika bertanya, 

"Bapak... tahukah Bapak jalan mana yang harus 

kutempuh untuk menuju ke Kadipaten Harum 

Raksa? Kalau tidak tahu ya sudah, aku tidak ma-

rah, kok!"

Pelayan setengah baya dengan blangkon 

kusam dan kumis agak memutih menyahut sam-

bil tersenyum geli, "Masih jauh dari sini, Den. 

Aden harus menuju ke arah barat. Dan itu mem-

butuhkan waktu sekitar lima hari perjalanan."

"Cukup jauh Gamang Markuto membawa 

istri dan anaknya bersembunyi dari manusia-

manusia sesat itu," batin Andika. Lalu bertanya 

lagi, "Pernahkah Bapak melihat tiga orang laki-

laki berjubah hitam dengan menunggang kuda? 

Dan aku yakin pasti tampang ketiga orang itu je-

lek-jelek!"

Si pelayan terdiam sejenak seolah mengin-

gat-ingat. Andika menunggu dengan sabar. Tetapi 

jawaban si pelayan itu membuatnya mendesah 

pendek, "Tidak, Den... rasanya tidak pernah."

Andika mengejar lagi pertanyaannya, "Ka-

lau seseorang yang bernama Gamang Markuto?" 

"Juga tidak. Den."

Karena si pelayan jelas tak bisa memberi

kan keterangan yang dibutuhkannya kecuali Ka-

dipaten Harum Raksa, Andika merasa tak ada lagi 

yang perlu ditanyakan.

"Terima kasih atas jawabannya, Bapak. 

Nah, menyingkir deh! Aku sudah kelaparan nih!"

Pelayan itu hanya tersenyum geli. Baru kali 

ini dia bertemu pemuda urakan seperti itu

Setelah pelayan itu berlalu, Andika menik-

mati pesanannya. Dasar kebluk! Cara makannya 

seperti berhari-hari belum ketemu nasi! Seorang 

gadis berbaju jingga dengan celana pangsi ber-

warna hitam yang duduk tak jauh darinya men-

dengarkan percakapan itu.

Wajah si gadis yang cantik dengan rambut 

panjang dikuncir ekor kuda berkerut ketika men-

dengar pertanyaan-pertanyaan Andika tadi.

"Hmmm... siapa dia? Bila mendengar per-

tanyaan keduanya tentang manusia-manusia ber-

jubah hitam, apakah bukan Tiga Iblis Golok Setan 

yang akhir-akhir ini membuat keonaran? Aku ha-

rus tahu darinya, karena ketiga manusia itu pun 

tengah aku cari."

Ketika dilihatnya pemuda berbaju hijau 

pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang 

melilit di lehernya bangkit dan keluar dari kedai, 

si gadis pun mengikutinya.

Dilihatnya si pemuda dengan langkah san-

tai berjalan menuju ke arah barat. Si gadis terin-

gat akan pertanyaan pertama dari si pemuda pa-

da pelayan kedai tadi.

"Mau apa dia menuju Kadipaten Harum 

Raksa? Dan lagi, kalau memang Tiga Iblis Golok

Setan yang dicarinya, ada hubungan apa dia den-

gan manusia-manusia durjana itu? Kambratnya 

atau kaki tangannya?"

Masih dengan pikiran-pikiran yang ada di 

benaknya, si gadis terus mengikuti langkah Andi-

ka yang sepertinya tak sadar kalau seseorang 

membuntutinya.

Hal ini membuat si gadis kelihatan senang, 

karena tak terlalu sulit untuk mencari tahu dari 

pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya. 

Dia tahu, dalam jarak dua puluh tombak ke mu-

ka, membentang sebuah sungai dan sekelilingnya 

ada tanah yang cukup lapang dengan beberapa 

pepohonan besar. Si gadis memutuskan untuk 

menghentikan langkah si pemuda dan bertanya 

untuk memenuhi keingintahuannya.

Tetapi, justru gadis berbaju jingga dengan 

sebilah pedang berwarangka hitam di punggung-

nya yang terperangah. Karena, entah bagaimana

mulanya, tubuh pemuda yang diikutinya lenyap 

begitu saja.

"Hei! Ke mana pemuda itu?" serunya sam-

bil celingukan. Suara derasnya air sungai yang 

ada di hadapannya berjarak tiga langkah, sangat 

keras sekali. Si gadis masih memutar-mutar tu-

buhnya. "Tak mungkin pemuda itu bisa menghi-

lang begitu saja dari pandanganku!" desis si gadis 

antara percaya atau tidak. Tetapi sesuatu me-

nyentil perasaannya, "Kalau dia memang bisa le-

nyap begitu saja, menandakan betapa tinggi ilmu 

meringankan tubuhnya. Siapa dia sebenarnya?"

Selagi si gadis celingukan penuh kehera

nan, terdengar suara tawa yang keras, "Yang jelas 

sih, aku bukan tuyul! Masa' sih ada tuyul yang 

keren kayak begini!"

Si gadis memutar tubuhnya ke kiri dan 

pandangannya lurus ke depan. Dilihatnya si pe-

muda yang tadi diikutinya berdiri tegak di seba-

tang ranting kecil!

"Hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya!" 

batin si gadis berkata. "Ranting kecil itu tak ber-

goyang menahan berat tubuhnya. Bahkan dia 

berdiri dengan seenaknya saja tanpa berpegangan 

apa pun dalam keseimbangan badan yang utuh!"

Si gadis berkata, "Maafkan sikapku yang 

telah mengikutimu," katanya yang kini diyakini 

kalau si pemuda mengetahui kalau dirinya dibun-

tuti.

"Nah! Kalau begitu katakan, apa sebabnya 

kau membuntutiku? Kalau mau kenalan boleh 

saja! Memang, orang sekeren aku ini pasti banyak 

yang ingin mengenal!" kata Andika masih tegak 

berdiri di ranting kecil itu sambil nyengir. Otak 

nakalnya berdesis, "Cantik sekali gadis itu! Siapa 

sih dia sebenarnya? Untuk menjadi pacarnya aku 

mau barang satu-dua hari... hahaha...."

Tak tahu apa yang dipikirkan Andika, si 

gadis berkata, "Namaku Wening! Aku berasal dari 

dusun Karimata! Tak ada maksud jahat membun-

tutimu, kecuali ingin mengetahui siapakah orang-

orang yang kau tanyakan di kedai tadi?"

Andika yang sejak semula tahu kalau dia 

dibuntuti gadis berbaju jingga yang sedang ma-

kan pula di kedai, melompat turun dengan ringannya bagai segumpal kapas belaka.

"Apa urusannya denganmu itu? Jangan-

jangan, mereka kekasihmu, ya? Busyet!"

Tak menghiraukan selorohan Andika, gadis 

yang bernama Wening itu menjawab,

"Karena... aku pun tengah mencari manu-

sia-manusia yang kau maksudkan," sikap si gadis 

kali ini agak berhati-hati. Karena, bila pemuda 

yang di hadapannya bermaksud jahat dan ternya-

ta kambrat atau kaki tangan dari Tiga Iblis Golok 

Setan yang dicarinya, dia bisa bersiaga.

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah 

Kutukan itu tak segera menjawab pertanyaan 

Wening. Dia justru bertanya, "Nah, kau sendiri, 

siapa yang kau maksudkan dengan orang-orang 

yang kucari tadi dan sedang kau cari juga?"

Wening terdiam sesaat. Dia tak segera 

menjawab. Otaknya berpikir keras menentukan 

siapakah pemuda di hadapannya ini, yang bersi-

kap kocak?

Tetapi untuk mendapatkan kejelasan ak-

hirnya Wening berkata, "Di tempat tinggalku, dua 

hari yang lalu, kedatangan manusia-manusia ber-

jubah hitam yang mengaku berjuluk Tiga Iblis Go-

lok Setan. Kedatangan mereka dengan maksud 

jahat. Mereka merampok dan membunuh. Bah-

kan para tiga perawan dari desaku dibawa serta 

setelah selesai melakukan aksi kejahatannya. En-

tah dibawa ke mana. Setelah kejadian itu berlalu, 

aku baru tiba ke dusunku dari mengunjungi gu-

ruku di Gua Mata Air. Sudah tentu hatiku marah 

mendapati desaku yang telah porak poranda. Setelah mendapatkan keterangan dari para pendu-

duk desa yang terluka, aku pun segera mening-

galkan desa, bermaksud mencari manusia-

manusia dajal itu. Hatiku sakit sekali melihat ke-

dua orangtua ku terluka akibat ulah mereka. Dan 

perlu kau ketahui, salah seorang dari perawan 

yang dibawa manusia-manusia keparat itu, ada-

lah Harti, adikku satu-satunya!"

Andika terdiam setelah mendengarkan ceri-

ta Wening. Hatinya menjadi marah bukan main. 

Lagi-lagi keangkaramurkaan yang terjadi. Tetapi 

dasar urakan, sifat slebornya tidak surut juga.

"Pasti kau tidak tahu siapa orang-orang 

itu, kan?"

"Mereka menyebutkan diri Tiga Iblis Golok 

Setan. Tetapi menurut ayahku, salah seorang di-

panggil dengan sebutan Gonggo Sirat, saat ayah-

ku tak berdaya dihajar oleh salah seorang yang 

bercodet di wajahnya."

Andika terkesiap mendengar nama itu. 

Gonggo Sirat, salah seorang yang disebutkan Ga-

mang Markuto! Kini sadarlah Andika siapa Tiga 

Iblis Golok Setan yang dimaksudkan oleh Wening.

Lalu katanya, "Kalau begitu, kita pun 

punya kepentingan yang sama. Manusia-manusia 

itulah yang sedang kucari karena telah membuat 

seorang kawan baruku mengalami musibah yang 

tragis."

Kali ini Wening mendesah lega. Kalau begi-

tu, pemuda di hadapannya bukanlah lawan.

"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu?" 

Andika menyeringai. "Jelas saja boleh, siapa tahu

kita berjodoh! Dan aku yakin kau ingin mengeta-

hui namaku lebih banyak disebabkan kau tertarik 

padaku, kan? Namaku Andika, orang-orang rimba 

persilatan menjuluki Pendekar Slebor."

Kedua mata Wening melebar dengan mulut 

terbuka. Bukan karena mendengar selorohan An-

dika tadi, melainkan terkejut karena mendengar 

julukan yang disebutkan si pemuda. Dia jadi te-

ringat akan cerita gurunya tentang sepak terjang 

seorang pemuda dari Lembah Kutukan yang ber-

juluk Pendekar Slebor yang selalu membela kebe-

naran dan akhir-akhir ini menjadi momok bagi 

orang-orang golongan hitam. Sementara, menjadi 

pujian bagi orang-orang golongan putih, terutama 

orang-orang yang pernah mendapatkan pertolon-

gan darinya. Dan sekarang, pemuda yang diceri-

takan gurunya itulah yang berdiri di hadapannya 

dalam jarak dua tombak.

Masih dengan rasa terkejut Wening berka-

ta, dalam nada suaranya tersirat kekaguman dan 

kebanggaan yang tak bisa ditutupi, "Tak kusang-

ka, kalau aku bertemu dengan seorang pendekar 

besar sekarang ini."

"Hei! Aku bukan raksasa!" kata Andika ter-

tawa. "Coba kau lihat, wujudku sama dengan 

manusia kebanyakan, bukan? Cuma bedanya, 

aku lebih keren!"

Mendengar selorohan itu, mau tak mau 

Wening tersenyum.

"Sekarang, hendak ke manakah Kang An-

dika melangkah?"

"Aku hendak ke Kadipaten Harum Raksa.

Karena menurut kawanku itu, manusia-manusia 

dajal yang kau sebutkan Tiga Iblis Golok Setan itu 

dulunya adalah tawanan Kadipaten Harum Rak-

sa. Kau sendiri hendak ke mana?"

Mendapati pertanyaan seperti itu, sebenar-

nya Wening ingin ikut serta. Tetapi dia malu men-

gutarakannya. Karena, bila dia berjalan bersama 

seorang pemuda, berarti itu pengalaman baru ba-

ginya, karena selama ini dia tak pernah pergi ber-

dua-duaan dengan seorang lawan jenisnya. Lagi 

pula, dia pun bermaksud untuk segera mencari 

manusia-manusia itu. Dikhawatirkannya, kalau 

manusia-manusia keparat itu melakukan perbua-

tan makar lebih lanjut.

Dan yang terpenting sekarang, Pendekar 

Slebor berada pada jalur yang sama dengannya.

Lalu katanya, "Aku akan meneruskan per-

jalanan mencari Tiga Iblis Golok Setan."

"Sudahkah kau menemukan di mana me-

reka berada?"

Wening menggelengkan kepalanya.

"Belum. Entah di mana mereka akan kuca-

ri. Tetapi, aku tak akan kembali sebelum mene-

mukan dan menangkap mereka!"

Diam-diam Andika memuji keberanian dan 

sikap tegas yang dimiliki Wening.

"Kalau begitu... terpaksa kita berpisah di 

sini. Soalnya... hehehe... kau tahu, kan... apa ja-

dinya seorang pemuda dan seorang gadis jalan 

berduaan?" seloroh Andika sambil tersenyum 

nakal

Wening cuma tersenyum saja.

"Berhati-hati, kudengar manusia-manusia 

itu memiliki ilmu yang tinggi."

Wening menganggukkan kepala. Dan keti-

ka diangkatnya lagi kepalanya, sosok Pendekar 

Slebor sudah lenyap dari pandangannya. Tersen-

tak dan celingukan dia mencari. Yang didengar-

nya suara dari kejauhan, "Hati-hati, Wening! Dan

perlu kau ingat, kau seorang gadis yang cantik!"

Kali ini Wening tersipu dan dia segera 

mengubah sikapnya menjadi biasa kembali. Kare-

na rasa malu mengapa dia menjadi tersipu. Lagi 

pula, pujian itu diucapkan dari jauh. Namun en-

tah mengapa dalam pertemuannya yang pertama 

dengan Pendekar Slebor dia merasa seakan telah 

lama mengenalnya. Dan begitu dekat sekali den-

gan hatinya.

Wening cepat-cepat membuang perasaan 

yang tiba-tiba datang itu. Lalu berkelebat ke arah 

kiri untuk mencari Tiga Iblis Golok Setan yang te-

lah membawa Harti, adiknya.

Entah apa yang dialami adiknya sekarang 

ini. Yang pasti, Wening merasa sesuatu yang tak 

enak telah terjadi pada adiknya. Kalau begitu, dia 

harus secepatnya menemukan di mana Tiga Iblis 

Golok Setan berada.


5


Lembah Tirai, sebuah lembah yang sangat 

menyeramkan sebenarnya. Lembah yang dipenuhi 

dengan pepohonan besar. Konon, tak seorang pun

yang mendiami lembah itu. Karena, di samping 

jalan yang sangat susah dan bisa membuat orang 

tak berdaya bila sudah tergelincir, juga karena 

banyaknya ular-ular yang hidup di sana. Dari 

permukaan lembah sejauh mata memandang, 

yang nampak di pelupuk mata hanya kengerian 

belaka.

Akan tetapi, di pagi ini, terdengar suara 

tawa keras yang bersahut-sahutan dari Lembah 

Tirai. Bila mata memandang dari atas sisi lembah 

itu, tak akan tertangkap oleh mata karena ting-

ginya pepohonan. Akan tetapi, di lembah itu ter-

nyata ada sebuah bangunan yang cukup besar, 

meskipun sudah agak doyong ke kiri. Dari ban-

gunan itulah asal suara yang terjadi tadi. Entah 

bagaimana mulanya bangunan itu berasal di sa-

na. Orang-orang yang pernah mendiami Lembah 

Tirai dulu, hanya mengatakan kalau tiga puluh 

tahun yang lalu, di Lembah Tirai bagian tengah, 

hidup sepasang suami istri yang sekarang tak di-

ketahui rimbanya.

Pagi yang cerah, penuh selubung kabut 

yang mulai menipis, tetapi tawa yang keras itu 

tak juga berhenti.

"Jombrang! Kau tak puas-puasnya mengge-

luti gadis itu, hah? Bukankah kita masih bisa 

mendapatkan lebih banyak lagi?" terdengar satu 

suara yang keras begitu si empunya suara meli-

hat kawannya keluar dari salah satu kamar di 

bangunan itu.

"Kakang Ronggo... kau perlu tahu, kalau 

aku sudah jatuh cinta dengan gadis ini...," sahutan itu terdengar.

Ronggo Kosworo terbahak-bahak menden-

gar sahutan temannya. Dituangnya tuak merah 

dari kendi, langsung ke mulutnya. Terdengar sua-

ra menggelegak berkali-kali. Setelah puas, di-

usapnya bibirnya dengan punggung tangan kiri.

"Kalau kau memang menginginkan gadis 

itu terus-menerus, tak mengapa. Tetapi, kau tak 

boleh iri bila dua gadis yang kita culik baru-baru 

itu kami nikmati berdua."

"Tak jadi masalah, Kakang. Gadis yang 

bernama Harti ini telah memikat hatiku," sahut 

Jombrang sambil melangkah mendekati Ronggo 

Kosworo dan Gonggo Sirat yang sedang menikma-

ti tuak merah. Dia duduk di salah satu kursi yang 

ada di sana. Diraihnya kendi tuak yang memang 

untuknya. Diminumnya dengan cara yang sama 

yang dilakukan Ronggo Kosworo tadi.

Ronggo Kosworo terbahak-bahak.

"Kalau begitu, setelah kau habiskan tuak 

dalam kendimu itu, seperti biasa kau lakukan tu-

gasmu."

"Hahaha... soal itu beres, Kakang. Baru 

kali ini, selama lima belas tahun lamanya mende-

kam dalam penjara, kudapati kebebasan yang le-

bih nikmat dan membahagiakan sebelumnya. Ter-

lebih lagi kau yang sejak lama mengatur hidupku, 

Kakang.... Hingga rasanya, aku dan Gonggo Sirat 

tak keberatan menyebutmu 'Kakang'."

"Bagus, bagus!"

Gonggo Sirat berkata, "Yang sebenarnya 

ingin kunikmati apa? Melihat bagaimana sakit hatinya Gamang Markuto mengetahui anak dan is-

trinya telah mampus. Hhh! Sayangnya, kesempa-

tan itu tak pernah ada! Tetapi aku bisa mem-

bayangkannya."

"Membayangkannya pun telah menyenang-

kan, bukan? Lagi pula, kutaksir manusia sialan 

itu sudah mampus termakan api bila dia bermak-

sud menyelamatkan mayat istrinya. Bila pun dia 

masih hidup sekarang, tentunya berada dalam 

keterombang-ambingan yang sangat dalam. Tak 

ubahnya bagai orang dungu belaka. Jombrang... 

kau lakukan tugasmu.... Sudah semalaman 

mayat-mayat itu ada di belakang rumah belum 

dikuburkan."

Jombrang melakukannya sambil tertawa-

tawa. Dia melangkah ke belakang rumah, berja-

rak dua puluh tombak dari sana, dia menghenti-

kan langkahnya. Tiga mayat wanita dalam kea-

daan telanjang tergolek mulai membusuk. Me-

mang, setelah mempermainkan wanita-wanita itu, 

mereka tak segan-segannya membunuh. Diba-

wanya mayat-mayat itu satu persatu ke tempat 

yang agak terbuka di sekitar Lembah Tirai.

Di sana sudah terdapat dua gundukan ta-

nah. Kini menjadi lima buah. Setelah menyelesai-

kan tugasnya, Jombrang kembali ke bangunan 

besar itu. Tak lagi dilihatnya Ronggo Kosworo dan 

Gonggo Sirat di tempatnya. Jombrang yakin, ke-

duanya mempermainkan dua gadis yang mereka 

culik semalam di kamar masing-masing.

Karena merasa tak enak sendiri, Jombrang 

memasuki kamarnya. Di kamar itu, Harti yang

tak lain adalah adiknya Wening langsung bering-

sut agak menjauh begitu melihat kemunculan 

Jombrang.

Sungguh mati, Jombrang sebenarnya san-

gat sedih melihat sikap Harti yang ketakutan se-

tiap kali mendekat. Pertama kali mendapatkan 

Harti, Jombrang memang memaksakan kehen-

daknya. Tetapi ketika dilihatnya baik-baik wajah 

Harti, Jombrang jadi teringat akan kekasihnya 

dulu, Swasti. Wajah Harti tak jauh berbeda dari 

Swasti yang kini telah tenang di sisi Sang Pencip-

ta.

Sebelum mengenal Ronggo Kosworo dan 

Gonggo Sirat, Jombrang memang mempunyai ke-

kasih. Tetapi, wabah kolera yang menyerang du-

sunnya, tak mau peduli siapakah Swasti. Swasti 

meninggal direnggut wabah kolera. Sementara 

dengan hati pedih, Jombrang meninggalkan du-

sunnya. Mencoba melupakan kenangan atas 

Swasti dan menghindari wabah kolera.

Dalam perjalanan meninggalkan dusunnya, 

bertemulah dia dengan Ronggo Kosworo dan 

Gonggo Sirat, dua pemuda begundal dari sebuah 

desa yang memiliki ilmu bela diri yang tinggi. 

Bahkan, mereka pun memiliki ilmu tenaga dalam 

dan meringankan tubuh. Jombrang tidak pernah 

bertanya dari siapa keduanya mempelajari ilmu 

yang sangat dahsyat. Bahkan Ronggo Kosworo 

dapat menghancurkan batu sebesar kambing 

dengan sekali pukul. Dari keduanyalah, Jom-

brang yang semasa tinggal di desanya memiliki 

dasar-dasar ilmu silat, diajarkan ilmu yang keduanya miliki. Bersahabat dengan keduanya, mem-

buat Jombrang seolah bisa melupakan semua ke-

pedihannya. Tak pernah diceritakannya soal 

Swasti, yang dikatakan tentang dirinya, dia pergi 

dari desa karena wabah kolera menyerang.

Lama kelamaan, keduanya tak ubahnya 

bagai saudara belaka. Apa pun yang dilakukan 

mereka, pasti diikutinya. Sampai kemudian dia 

dikenalkan dengan pemuda yang bernama Ga-

mang Markuto. Kenakalan yang mereka lakukan 

mulai menjalar menjadi kejahatan. Pencurian. Pe-

rampasan dan bentuk-bentuk yang masih kecil 

kadarnya. Hingga Ronggo Kosworo mengusulkan 

untuk melakukan aksi perampokan. Kalau sela-

ma ini mereka sering melukai orang lain tanpa 

membunuh, Ronggo Kosworo berpikiran lain. Sia-

pa yang menghalangi sepak terjangnya, akan di-

bunuh.

Lalu gadis yang di hadapannya ini, yang 

menatapnya penuh kepucatan dan ketakutan tak 

jauh berbeda wajahnya dengan Swasti. Itulah 

yang menyebabkan Jombrang bersikeras memper-

tahankan Harti agar jangan dibunuh, seperti dua 

gadis lainnya yang sama-sama mereka culik dari 

dusun Karimata.

"Harti...," desisnya pelan, malah berkesan 

lembut. Jombrang memang sudah tahu nama ga-

dis itu, karena dia memaksa agar gadis itu me-

nyebutkan namanya. Dan sebenarnya, apa yang 

diduga oleh Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat ka-

lau dia habis mempermainkan gadis itu tadi, sa-

lah besar. Karena, Jombrang tak akan mau memaksakan kehendaknya lagi. Di hadapannya, ga-

dis ini tak lebih dari Swasti yang pernah dan ma-

sih dicintainya.

"Pergi! Pergi!" seru Harti dengan wajah se-

makin memucat. Ketakutan mencekam dan men-

cengkeram jantungnya. Di hadapannya, meski-

pun lelaki pincang ini bersikap laksana seorang 

dewa, dia tetap tak akan pernah tertarik. Teruta-

ma bila mengingat harga dirinya telah direnggut 

lelaki pincang ini.

Jombrang merasa sedih. Dalam bayangan-

nya, Swastilah yang tengah mengusirnya.

"Jangan berkata seperti itu, Harti...." 

"Keparat! Pergi jauh-jauh dari sini! Pergi!" 

seru gadis itu sambil mengibas-ngibaskan tan-

gannya dengan kalap. 

"Dengarlah, berulangkali aku minta maaf 

atas perbuatanku itu... aku...."

"Pergi! Jangan ganggu aku lagi! Pergiii!" se-

ru Harti dengan kemuakan yang menjadi-jadi.

Sebelum Jombrang berkata untuk mene-

nangkan Harti, terdengar teriakan Ronggo Koswo-

ro di luar kamar.

"Jombrang! Sekali lagi gadis itu berteriak 

dan memusingkan kepalaku, akan kubunuh dia! 

Peduli kau mencintainya atau tidak!"

Jombrang menyahut, "Akan kutenangkan 

dia, Kakang."

Ronggo Kosworo masuk lagi ke kamarnya.

Jombrang berkata pada Harti, "Kau dengar 

itu, Harti.... Kakangku tak akan segan-segan 

membunuh.... Dan aku yakin itu bukan ucapan

di mulut saja...."

"Aku tidak peduli! Aku tidak peduliii! Pergi 

kau dari sini! Pergi!"

Kali ini Jombrang kelihatan terdiam. Dita-

riknya napas berkali-kali. Dia merasa Ronggo 

Kosworo akan muncul lagi dan menjalankan niat-

nya. Makanya diputuskan untuk meninggalkan 

Harti seorang diri di kamarnya.

"Baik... aku berada di luar dan kau...." 

"Pergiii!" 

Terburu-buru karena tak mau Ronggo 

Kosworo menurunkan tangan telengasnya pada 

Harti, Jombrang buru-buru keluar. Dia melang-

kah terpincang ke halaman depan bangunan itu. 

Dipandanginya seantero Lembah Tirai yang men-

gerikan.

Entah mengapa, suatu yang baru disada-

rinya datang, kalau dia telah melangkah terlalu 

jauh mengikuti kemauan Ronggo Kosworo. Dita-

riknya napas berkali-kali dan ditatapnya kejau-

han tanpa tahu apa yang ditatapnya.

Sementara itu, sepeninggal Jombrang, Har-

ti menangis tersedu-sedu. Dia teringat akan ke-

dua orang-tua, Wening, dan teman-temannya. 

Disesali mengapa dirinya yang menjadi sasaran 

kebiadaban manusia-manusia itu. Pikiran nekat 

sudah tiba di benaknya.

Harti merasa dua temannya lebih berun-

tung karena tak lagi terus menerus berada dalam 

cengkeraman manusia-manusia biadab itu. Mere-

ka telah terkubur dengan sejuta kepedihan yang 

tak dirasakan kembali.

Sedangkan dirinya? Harti tak bisa mem-

bayangkan apa yang akan menimpanya lagi, ke-

cuali kenistaan demi kenistaan yang akan berlan-

jut....

Harti terus menangis menyesali keadaan 

yang menimpanya.

***

"Jombrang!" panggilan keras itu terdengar 

dari ambang pintu. Jombrang berdiri, tubuhnya 

agak miring ke kiri. Dilihatnya Ronggo Kosworo 

menyeringai di ambang pintu.

"Ada apa, Kakang?"

"Yakinkah kau tak ingin menikmati...."

"Tidak, Kakang!" potong Jombrang yakin. 

Justru kalimat yang diucapkannya lebih cepat da-

ri biasanya itu membuat kening Ronggo Kosworo 

berkerut.

Tetapi sejurus kemudian dia terbahak-

bahak.

"Kalau kau tidak mau, bunuh gadis itu! 

Dan kuburkan seperti biasa! Gadis itu sedang 

pingsan sekarang! Kurasa, Gonggo Sirat pun telah 

selesai!"

Tanpa banyak cakap, Jombrang berjalan ke 

kamar Ronggo Kosworo. Untuk pertama kali se-

lama mengikuti aksi kejahatan Ronggo Kosworo 

hati Jombrang trenyuh melihat keadaan gadis 

malang yang tergolek lemah dengan tubuh tak 

berdaya dan pakaian acak-acakan.

Dengan menahan kepedihan yang menda

dak muncul itu, Jombrang merapikan pakaian si 

gadis. Lalu dibopongnya keluar, bertepatan den-

gan Gonggo Sirat keluar dari kamarnya.

"Hahaha... bagus, bagus! Gadis di dalam 

kamarku sudah tidak kubutuhkan!"

Untuk kedua kalinya Jombrang merasakan 

kepedihan itu. Kini, dua gadis malang yang baru 

saja dipermainkan kedua temannya berada dalam 

bopongannya. Pingsan, dan Jombrang diharuskan 

untuk membunuh keduanya dan menguburkan-

nya di tempat biasa.

Tubuh kedua gadis yang pingsan itu pun 

dibawa ke tempat biasa dia menguburkan mayat-

mayat gadis lainnya. Diletakkannya kedua gadis 

itu di tanah. Sejenak keraguan membaluri ha-

tinya. Apakah dia akan melakukan lagi tugas 

yang diberikan Ronggo Kosworo, atau menolak-

nya? Punyakah dia keberanian untuk menolak

perintah Ronggo Kosworo?

Kegalauan menyelimuti hati lelaki pincang 

itu hingga untuk beberapa jenak dia masih berdiri 

kaku. Tidak mencabut goloknya dan menebas ke-

pala dua gadis pingsan itu. Lalu menguburkan-

nya seperti biasa.

Dan tiba-tiba saja, Jombrang menolehkan 

kepalanya ke arah bangunan besar. Satu pikiran 

baru muncul di benaknya. Dengan gerakan yang 

terlatih, digalinya tanah seukuran dua gadis yang 

pingsan itu.

Mengandalkan ilmu meringankan tubuh-

nya, Jombrang berkelebat dan kembali lagi den-

gan membawa potongan kayu yang banyak berserakan di sana. Dimasukkannya ranting, dahan, 

dan kayu kering ke dalam tanah yang digalinya. 

Setelah itu ditimbun lagi tanah ke dalam dua lu-

bang itu, hingga membentuk sebuah makam.

Setelah selesai, Jombrang membopong dua 

gadis itu. Berkelebat cepat ke arah timur. Berada 

di atas Lembah Tirai, Jombrang terus berkelebat 

cepat. Jauh sudah dia berada sekarang, dan dile-

takkannya dua gadis yang pingsan itu di sebuah 

hutan kecil.

Setelah itu Jombrang kembali ke tempat 

semula. Baginya, inilah yang terbaik. Sungguh, 

hatinya trenyuh karena perasaan cintanya tiba-

tiba saja tumbuh pada Harti yang masih diang-

gapnya sebagai jelmaan dari kekasihnya yang te-

lah meninggal.

Ketika dia tiba di bangunan besar itu, 

Ronggo Kosworo menyambutnya dengan benta-

kan, "Gila! Mengapa begitu lama kau melakukan-

nya, hah?"

Untuk sesaat Jombrang gelagapan ditem-

bak' langsung seperti itu. Tetapi, dia sudah mem-

persiapkan jawabannya, "Maafkan aku, Kakang... 

sehabis membunuh dan menguburkan dua mayat 

gadis itu, aku duduk-duduk di sana."

"Apa yang kau perbuat, hah?"

"Membayangkan kata-kata Gonggo Sirat 

tadi. Aku juga ingin melihat apa yang dialami oleh 

Gamang Markuto setelah anak dan istrinya kita 

bunuh. Hhhh! Mungkin lebih menyedihkan dari-

pada nasib kita yang masuk penjara selama lima 

belas tahun!"

Jawaban itu memang masuk akal, hingga 

Ronggo Kosworo terbahak-bahak.

"Manusia itu pasti telah mampus membu-

nuh diri!"

Gonggo Sirat menimpali, "Kini, tinggal kita 

yang menikmati seluruh apa yang kita cita-

citakan dulu."

Ketiganya terbahak-bahak. Dan untuk per-

tama kalinya, Jombrang merasakan tawanya 

sumbang.

"Kita bersiap sekarang," kata Ronggo Kos-

woro di sela-sela tawa mereka. "Kita akan mela-

kukan lagi aksi perampokan! Hahaha... akan kita 

dapatkan lagi gadis-gadis jelita yang mengasyik-

kan, dan harta kekayaan yang kita miliki akan 

semakin banyak."

Lalu diiringi tawa Gonggo Sirat dan Jom-

brang, ketiganya terbahak-bahak. Menggema ke-

ras di seantero Lembah Tirai.

Tak lama kemudian, tiga ekor kuda yang 

ditambatkan di belakang bangunan besar itu di-

gebrak kencang oleh tiga penunggangnya yang 

mengenakan jubah hitam.


6



Pada masa itu, kejayaan Kadipaten Harum 

Raksa, tengah berada di puncaknya. Dipimpin 

oleh Adipati Gaung Surya yang membawahi ber-

puluh dusun terdekat maupun terjauh. Kebijak-

sanaan Adipati Gaung Surya sangat dirasakan

oleh masyarakat sekitarnya. Dia selalu adil dalam 

bersikap, lembut dalam bertutur. Yang salah, sia-

pa pun orangnya, akan mendapat hukuman. Be-

gitu pula sebaliknya.

Dan di pagi yang cerah ini, dia kedatangan 

tamu seorang pemuda berbaju hijau pupus. Siapa 

lagi kalau bukan Pendekar Slebor? Di lantai di 

mana pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu 

duduk bersila, duduk pula Panglima Darta Sena. 

Seorang panglima yang menjadi tangan kanan da-

ri Sang Adipati.

Setelah mengatakan maksud kedatangan-

nya, Pendekar Slebor menjura sekali lagi, "Maaf-

kan atas kelancangan saya datang ke sini dan in-

gin tahu tentang tiga tawanan kadipaten lima be-

las tahun yang lalu."

Adipati Gaung Surya yang juga sudah 

mendengar nama besar Pendekar Slebor, terse-

nyum. Meskipun usianya sudah memasuki kepala 

lima, wajahnya masih menyiratkan sisa-sisa ke-

tampanannya. Adipati Gaung Surya mengenakan 

pakaian kebesaran berwarna biru, penuh dengan 

pernik yang menakjubkan.

"Kalau kau ingin mendapatkan keterangan 

lebih jelas lagi, kau bisa menanyakan pada Darta 

Sena. Bukan begitu, Darta?" kata Adipati masih 

tersenyum.

Darta Sena menganggukkan kepalanya.

"Daulat, Adipati."

"Agar kalian bisa berbicara lebih akrab lagi, 

aku akan meninggalkan ruang pertemuan ini."

"Terima kasih atas kebijaksanaan Adipati,"

kata Pendekar Slebor, namun dia menangkap ka-

lau Adipati Gaung Surya dalam rundung duka.

Lalu Adipati Gaung Surya segera bangkit 

dari tempat duduknya, diantar oleh dua penga-

walnya yang sejak tadi berdiri di sisi kanan dan 

kirinya.

Setelah Adipati Gaung Surya meninggalkan 

tempat itu, Panglima Darta Sena membalikkan 

tubuh pada Andika. Andika pun berbuat yang 

sama, hingga kini keduanya saling berhadapan.

"Lebih baik, segera kujelaskan siapa orang-

orang yang kau maksud itu, Andika," kata Darta 

Sena yang mengenakan pakaian berwarna hitam 

menyala. Di ikat pinggangnya yang berwarna me-

rah keemasan, terdapat sebilah keris berlekuk 

sembilan. Matanya yang jernih dengan hidung 

yang mancung, menatap Andika.

Andika menganggukkan kepalanya.

Setelah Darta Sena menjelaskan siapakah 

orang-orang yang ingin diketahui oleh Andika, pe-

muda sakti bersenjata kain bercorak catur men-

gangguk-anggukkan kepalanya. Sampai sejauh 

itu, Andika merasa cerita yang disampaikan oleh 

Darta Sena, tak banyak berbeda dengan yang di-

jelaskan Gamang Markuto.

"Seorang buronan lagi yang bernama Ga-

mang Markuto, tak pernah kami temukan. Meski-

pun pencarian masih dilakukan, namun manusia 

itu lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Pernah 

sekali waktu, beberapa orang anak buahku me-

nyirap kabar kalau Gamang Markuto bersem-

bunyi di sebuah bukit. Tetapi, ketika sampai di

sana, kami tak mendapatkan keterangan lebih 

banyak tentang Gamang Markuto."

"Bukit apakah yang Panglima maksud?"

"Bukit Teduh. Oya Andika, jangan me-

manggilku dengan sebutan 'Panglima'. Rasanya, 

bila yang menyebutkan sebutan itu dirimu, aku 

merasa tidak enak. Karena, kaulah pendekar be-

sar yang banyak dipuji orang."

Andika tak menghiraukan kata-kata Pan-

glima Darta Sena. Justru mendengar nama bukit 

itu disebutkan seketika dikerutkan kening.

"Bukit Teduh?" ulangnya tanpa dapat me-

nyembunyikan keheranannya.

Panglima Darta Sena menangkap nada ke-

heranan dalam suara Andika.

"Mengapa kau seperti merasa aneh, Andi-

ka?"

"Tidak, tidak," kata Andika menyembunyi-

kan sesuatu dalam hatinya. "Lalu, siapakah 

orang-orang yang dimaksudkan anak buahmu itu 

yang mendiami Bukit Teduh?"

"Hanya ada seorang kakek tua."

"Seorang kakek tua?" desis Andika bertam-

bah heran. Diingat-ingatnya tentang keadaan Bu-

kit Teduh, di mana Gamang Markuto dan istri 

serta anaknya mendiami tempat itu. Seingatnya, 

Andika tidak melihat ada rumah lain di sana 

ataupun orang lain yang menghuni Bukit Teduh.

"Ya."

"Jadi... berita yang dikabarkan oleh anak 

buahmu itu tidak terbukti?"

"Tidak. Bahkan siratan kabar yang ter

tangkap oleh telingaku, buronan yang bernama 

Gamang Markuto itu masih hidup, beserta anak 

dan istrinya."

"Sudahkah kau mengecek ke sana sebe-

lumnya?"

"Lima bulan yang lalu, aku sendiri yang da-

tang ke sana. Justru yang kutemukan, seorang 

kakek yang bernama Rawung Menggolo."

Andika terdiam. Ini suatu kabar baru yang 

bisa ditangkapnya. Mengapa Panglima Darta Sena 

beserta anak buahnya, tak berhasil menemukan 

di mana Gamang Markuto, istri, dan anaknya be-

rada di sana? Yang terlintas dalam pikiran Andika 

saat ini, kalau mereka sebelumnya sudah ber-

sembunyi dan seorang kakek tua kebetulan mau 

menghuni rumah itu sementara, selagi orang-

orang kadipaten datang menyelidik. Lalu di mana 

kakek yang bernama Rawung Menggolo itu seka-

rang?

Andika mencoba tak menghiraukan lagi ja-

lan pikirannya karena dilihatnya tatapan Darta 

Sena penuh kecurigaan. Guna mengatasi masalah 

itu, dia berkata, "Kita kembali ke soal bekas tiga 

tawanan kadipaten. Setelah mereka dilepaskan, 

apakah tak ada yang mengikuti dari kadipaten?"

"Kalau para prajurit yang kau maksudkan, 

sudah kami lakukan. Bahkan lima orang praju-

ritku tewas mengerikan, sementara ketiga bekas 

tawanan itu menghilang entah ke mana. Itu se-

mua atas rencanaku. Karena, sampai sejauh ini, 

harta hasil jarahan mereka di rumah saudagar 

kaya yang masih famili dari Adipati, tak berhasil

ditemukan."

Andika terdiam. Ternyata apa yang didapa-

tinya ini begitu banyak perkembangannya. Bah-

kan ada terselip teka-teki yang nyasar ke otak 

cerdiknya.

Selagi Andika terdiam, Darta Sena berkata 

lagi, "Andika... sekarang ini aku pun mengudap 

kabar, kalau ada tiga manusia dajal yang menju-

luki diri Tiga Iblis Golok Setan sedang melakukan 

aksi kejamnya. Mereka tak segan-segan membu-

nuh siapa saja yang menghalangi sepak terjang 

mereka. Dan kekejaman mereka tak ada tandin-

gannya saat ini."

"Tahukah Panglima, siapakah mereka?"

"Kabar yang makin santer kudengar, mere-

ka hanyalah orang-orang yang kejam. Tetapi, fira-

satku mengatakan kalau mereka adalah tiga ma-

nusia keparat yang pernah menghuni penjara ba-

wah tanah kadipaten."

"Apa yang Panglima lakukan saat ini?"

"Aku sudah mengirim mata-mata untuk 

melacak jejak mereka. Dan aku akan membawa 

mereka kembali. Bahkan Andika, dua hari lagi, 

setelah tak mendapatkan kabar dari mata-mata 

yang kusebarkan, aku akan keluar dari kadipaten 

ini untuk mencari manusia-manusia itu."

Andika cuma menganggukkan kepalanya. 

Panglima Darta Sena bertanya, "Bersediakah kau 

ikut serta denganku, Andika?" 

"Sebenarnya, aku ingin sekali melakukan-

nya. Tetapi, aku masih mempunyai urusan yang 

harus kuselesaikan," kata Andika yang kini mulai

menangkap keanehan dari peristiwa yang sedang 

dihadapinya. Dan ketika dilihatnya tatapan pe-

nuh harap dari Panglima Darta Sena, Andika bisa 

menangkap kalau sesungguhnya lelaki gagah itu 

tengah memikirkan suatu masalah yang meng-

ganggunya. Andika yakin, ini sama sekali tidak 

berhubungan dengan Tiga Iblis Golok Setan. Lalu 

dia berkata dengan hati-hati, "Adakah sesuatu 

yang merisaukanmu, Panglima?"

Panglima Darta Sena terkejut mendengar 

pertanyaan itu. Dan keterkejutannya tak luput 

dari mata tajam Pendekar Slebor. Dilihatnya lelaki 

gagah itu menarik napas berkali-kali

"Yah... memang ada sesuatu yang merisau-

kanku, Andika. Sebenarnya, bukan hanya aku 

yang merisaukan hal ini, juga Adipati Gaung 

Surya."

Andika memutuskan untuk tidak segera 

berlalu. Dia bertanya lagi, "Bolehkah aku menge-

tahui hal apakah itu, Panglima?"

Panglima Darta Sena menatap lurus-lurus 

pada dua bola mata Andika. Ada kerisauan yang 

jelas di sana, batin Andika dan bisa merasakan 

kegalauan di hati sang Panglima. Biar bagaima-

napun juga, kedudukannya sebagai kepala pasu-

kan dan sekaligus kepala keamanan di Kadipaten 

Harum Raksa, peristiwa hilangnya keris Gagak 

Biru itu dapat menjatuhkan namanya. Paling ti-

dak, membuatnya merasa tak berdaya mengha-

dapi kejadian itu.

"Andika... ini adalah berita yang memalu-

kan bagi Kadipaten Harum Raksa."

"Kalau begitu... tutup muka saja biar tidak 

malu."

Panglima Darta Sena tersenyum menden-

gar kata-kata Andika.

"Tiga hari yang lalu, aku dipanggil oleh 

Yang Mulia Adipati. Kupikir, panggilannya itu ha-

nyalah bersifat laporan rutin yang biasa kulaku-

kan. Tetapi, ternyata jauh dari dugaanku semu-

la." Panglima Darta Sena membuang napas, seo-

lah menyingkirkan kegalauan di hatinya. "Sang 

Adipati... kehilangan keris pusaka Gagak Biru. 

Sebuah keris bertuah warisan dari ayahnya yang 

dulunya menguasai pula Kadipaten Harum Raksa 

ini. Meskipun demikian, Adipati Gaung Surya ti-

dak mudah mendapatkan keris itu. Dia bertarung 

mati-matian menghadapi para prajurit kerajaan 

sebagai pengetesan. Juga, menghadapi orang-

orang kepercayaan Raja. Keris itu sebuah keris 

yang lain jauh dari keris-keris biasa. Keris itu be-

reluk tiga belas. Dan merupakan senjata yang 

tangguh. Ilmu kebal macam apa pun yang dimiliki 

lawan, akan bisa ditembus oleh keris itu. Keris 

bertuah Gagak Biru itulah yang menjadikan keri-

sauan ini, Andika."

"Bagaimana keris pusaka Gagak Biru itu 

bisa hilang?" tanya Andika pelan. Mungkin ini se-

bab adipati kelihatan berduka.

"Menurut Sang Adipati... seperti biasa, ke-

ris itu disimpan di sebuah peti di ruang simpan, 

bersama senjata bertuah lainnya. Dan ketika 

Sang Adipati melihatnya, keris itu tidak ada di 

tempat. Hanya keris itu saja yang hilang. Sementara golok pusaka, tombak, dan panah pusaka, 

masih tetap ada di tempatnya. Pencuri itu sangat 

hebat sekali, Andika. Dia bisa masuk ke ruang 

simpan tanpa merusak kunci pintu maupun atap. 

Dan sepertinya si pencuri tahu kalau keris itulah 

yang paling ampuh dari pusaka lainnya yang ada 

di ruang simpan."

"Siapakah yang memiliki kunci ruang sim-

pan Panglima?" tanya Andika lain.

"Hanya aku dan Sang Adipati," kata Pan-

glima Darta Sena sambil menatap Andika.

"Apakah ada yang mengetahui tentang ke-

ris pusaka itu?"

Panglima Darta Sena menggelengkan kepa-

lanya.

"Hanya aku dan Sang Adipati."

"Hmm... pencuri itu pasti memiliki kesak-

tian yang sangat tinggi. Sejauh ini, adakah berita 

tentang keris Gagak Biru itu?"

"Tidak. Rupanya si pencuri hendak ber-

sembunyi dulu. Itulah sebabnya Andika, mengapa 

aku menginginkan kau untuk ikut bersamaku. Di 

samping aku ingin mengembalikan Tiga Iblis Go-

lok Setan ke penjara bawah tanah, aku juga ingin 

menghajar pencuri keparat itu."

Andika terdiam. Persoalan ini ternyata ma-

kin bertambah. Diangkat kepalanya lagi, ditatap-

nya Panglima Darta Sena yang nampak murung 

kali ini.

"Panglima... bukankah lebih baik kita ber-

jalan masing-masing? Aku memang masih ada 

urusan yang harus kuselesaikan, tetapi sambil la

lu, akan kucari si pencuri itu."

"Maafkan aku karena telah merepotkan

mu." 

"Jangan bertindak sungkan seperti itu." La-

lu perlahan-lahan pemuda sakti dari Lembah Ku-

tukan itu berdiri, "Terima kasih atas jawaban 

yang diberikan Panglima."

"Kuminta, jangan mengatakan tentang hi-

langnya keris Gagak Biru pada siapa pun juga, 

Andika. Karena, ini merupakan aib bagi Kadipa-

ten Harum Raksa. Dan kau perlu tahu satu raha-

sia yang sangat rahasia, Andika," kata Panglima 

Darta Sena sambil berdiri pula.

"Apa itu, Panglima?"

"Barang siapa yang memegang keris Gagak 

Biru sebagai lambang kekuasaan Kadipaten Ha-

rum Raksa, maka secara tidak langsung, dialah 

yang berkuasa di kadipaten ini. Peduli apa pun 

dia mendapatkannya dengan cara mencuri, me-

nemukan atau diberikan sekalipun juga. Di mata 

Raja, orang itulah yang berhak. Karena berarti di-

alah yang menguasai lambang kekuasaan Kadipa-

ten Harum Raksa. Di samping itu, kekuasaan 

Adipati yang sebelumnya dalam hal ini Yang Mu-

lia Adipati Gaung Surya akan meluntur. Karena, 

dia tak mampu menjaga keris pusaka Gaung 

Raksa itu."

"Persoalan keris Gagak Biru?"

"Bukan. Mengapa kau sangat tertarik un-

tuk mengetahui latar belakang manusia-manusia 

itu, Andika?"

Bukan Andika kalau tidak bisa menjawab

cerdik, "Aku pun mengudap kabar tentang Tiga 

Iblis Golok Setan, yang kuyakini sangat erat hu-

bungannya dengan tiga orang bekas tawanan di 

kadipaten. Dan tak akan kubiarkan manusia-

manusia itu lebih lama lagi merajalela melakukan 

aksi kejahatannya." 

Panglima Darta Sena mengangguk puas. 

Masih menyiratkan kepuasan, Panglima Darta 

Sena mengantar Andika sampai ke pintu gerbang.

Sebelum Andika berlalu dia berkata, "Aku 

bersyukur, karena pernah bertemu dengan pen-

dekar besar yang berjuluk Pendekar Slebor."

"Aku pun beruntung bertemu panglima be-

sar yang bernama Panglima Darta Sena," balas 

Andika yang membuat panglima itu tertawa. Ti-

dak menjadi semakin bangga atau menyombong-

kan kedudukannya. Andika berkata lagi, "Aku 

permisi. Sampaikan salam takzimku untuk Adipa-

ti."

"Akan kusampaikan."

Lalu mulailah Andika melangkah mening-

galkan kadipaten, diiringi dengan pancaran mata 

Panglima Darta Sena.


7



Pagi telah berlalu, siang menjelang. Tak 

lama kemudian siang pun berganti senja. Sinar 

matahari tak lagi panas menyengat. Langkah An-

dika yang perlahan itu kini membawanya ke se-

buah sungai yang terdapat pohon rindang. Di bawah pohon itu Andika duduk bersandar. Ada satu 

pikiran yang membuatnya merasa harus mere-

nungkannya lebih dulu.

"Keterangan dari Panglima Darta Sena san-

gat lengkap sekali. Dan aku yakin, lima prajurit 

yang ditemukan tewas itu adalah ulah kejam dari 

manusia-manusia dajal yang kini menjuluki diri 

Tiga Iblis Golok Setan. Tetapi yang masih meng-

herankan aku, adalah keterangan tentang tak di-

temukannya Gamang Markuto beserta istri dan 

anaknya di Bukit Teduh. Mungkin dia telah mem-

bawa anak dan istrinya pergi dari sana, dan 

menggantikan kedudukannya dengan seorang ka-

kek yang bernama Rawung Menggolo. Kalau begi-

tu, di manakah si kakek berada sekarang? Atau... 

ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua 

ini?"

Andika mencoba menemukan langkah yang 

terbaik dari pikirannya yang mulai bercabang.

"Apakah sebaiknya aku kembali ke Bukit 

Teduh untuk mencari si orang tua yang bernama 

Rawung Menggolo itu? Hmm... secara tidak lang-

sung, aku pun telah mengemban tugas dari Kadi-

paten Harum Raksa untuk mencari keris pusaka 

Gagak Biru. Bila mendengar cerita dari Panglima 

Darta Sena... aku yakin pencuri itu memiliki ilmu 

yang sangat tinggi. Hmm... siapakah pencuri itu?"

Pikiran Andika kini bercabang. Persoalan 

mencari Tiga Iblis Golok Setan dan mencari keris 

pusaka Gagak Biru.

"Biar bagaimanapun juga, kedua masalah 

itu akan kutuntaskan. Lebih baik aku... heiiittt!"

Andika memutuskan kata-katanya dan mencelat 

dengan satu lompatan indah dan ringan ke atas 

pohon. Telinganya yang terlatih menangkap suara 

sesuatu muncul dari dalam sungai.

Dari balik rimbunnya dedaunan, Andika 

mengintip ke asal suara itu. Dan segera dipejam-

kan kedua matanya dengan tubuh yang menda-

dak gemetar. Pandangannya tadi sekilas melihat 

satu sosok tubuh indah dalam keadaan polos se-

dang keluar dari dalam sungai. Dan sempat dili-

hatnya, tubuh yang tentunya milik seorang gadis 

itu, begitu menakjubkan.

"Gila! Siapa gadis itu?" desisnya masih 

memejamkan matanya. "Tidak, aku tidak boleh 

melihatnya," katanya melawan perasaannya yang 

mulai menggigit. Sejenak tubuhnya makin berge-

tar. Apa yang dilihatnya itu memang merayapi 

semua perasaan kelaki-lakiannya. Tetapi dasar 

urakan dia berkata, "Ah, begitu bodohnya kalau 

aku tidak menikmatinya lagi. Mumpung masih 

ada kesempatan." Lalu dengan hati-hati dibu-

kanya kedua matanya lagi, disibakkan rimbunnya 

dedaunan. Tetapi dia kecele, karena gadis itu su-

dah keluar dari sungai dan telah mengenakan se-

luruh pakaiannya. Gadis itu sedang duduk sambil 

mengeringkan rambutnya dengan kedua tangan-

nya, membelakangi pohon di mana Andika bera-

da. "Ya... rugi deh. Tetapi baguslah, aku jadi tidak 

buat dosa," kata Andika disusul tawanya sendiri, 

"Kalau mengintip beginian kan, dosanya cuma 

sedikit... hehehe...."

Tetapi sebelum Andika melompat, terden

gar teriakan ketakutan diiringi dengan gebahan 

kuda dan teriak-teriakan keras berbalur tawa.

Dari atas pohon, dilihatnya si gadis berbaju 

jingga dengan sebilah pedang di punggungnya 

berdiri dan menoleh.

"Wening!" desis Andika pelan setelah meli-

hat wajah gadis itu yang sedang menghadap ke 

kiri. "Wah, jadi tubuh Wening yang kulihat tadi? 

Kacau, kacau! Tetapi... siapakah yang berteriak 

ketakutan itu? Seperti suara perempuan. Dan su-

ara kuda itu berjumlah tiga ekor!"

Bukan hanya Andika yang memikirkan hal 

itu, Wening pun memikirkan yang sama. Baik 

Andika maupun Wening tak lagi terlalu lama me-

nunggu jawabannya, karena satu sosok tubuh 

dengan tubuh lemah dan penuh keringat telah ti-

ba di sana. Berlari, jatuh bangun dan berusaha 

bangkit untuk berlari lagi.

Melihat gelagat yang tidak menguntung-

kan, Wening bertindak cepat. Dihampirinya gadis 

yang bukan main pias wajahnya.

"Ada apa?" tanya Wening, kebiasaannya 

yang bersikap tegas membuatnya tak banyak ber-

basa-basi.

Gadis itu terengah-engah, lalu dengan pe-

nuh ketegangan dia berkata terputus-putus, 

"Aku... aku... dikejar manusia-manusia iblis itu.... 

Tolong aku, Nyi... tolong aku...."

Wening sendiri tidak perlu memikirkan sia-

pakah yang tengah mengejar gadis ini. Karena de-

rap langkah kuda yang semakin mendekat itu te-

lah berhenti di hadapan Wening, berjarak tiga

tombak. Tali kekang yang ditarik tadi membuat 

kaki-kaki kuda itu terangkat dan meringkik ke-

ras.

Tiga ekor kuda dengan masing-masing pe-

nunggangnya! Masing-masing mengenakan jubah 

hitam panjang! 

Melihat keadaan itu, Andika yang sejak ta-

di bermaksud untuk melompat, tetapi ditahannya 

dulu karena didengarnya Wening sudah memben-

tak, "Apakah kalian yang berjuluk Tiga Iblis Golok 

Setan?"

Orang-orang itu berpandangan. Lalu terta-

wa satu sama lain seolah mengecilkan Wening.

"Kau benar, Cah Ayu! Nah, apakah kau 

bersedia menemani kami bersenang-senang? Ke-

betulan sekali, kami hanya mengejar seorang ga-

dis. Dan bila kau bersedia, kita berlima akan le-

bih banyak mendapatkan kesenangan, bukan?"

Wajah Wening membesi dengan tubuh ber-

getar karena marah. Di balik punggungnya, dira-

sakan pegangan tangan gemetar yang dilakukan 

oleh gadis berwajah pucat dengan peluh yang ber-

tambah banyak mengalir.

"Setan alas! Di mana adikku kalian sem-

bunyikan?" bentak Wening seketika.

"Adikmu? Hahaha... kau tak perlu iri meli-

hat keberuntungan adikmu itu! Perlu kau keta-

hui, namaku Ronggo Kosworo. Yang picak itu 

bernama Gonggo Sirat, dan yang pincang berna-

ma Jombrang! Siapakah di antara kami yang ber-

kenan di hatimu? Atau... kau bermaksud melaya-

ni kami sekaligus?"

Wajah Wening bertambah mengeras. Kejeli-

taannya sirna seketika berubah menjadi kekera-

san. Amarahnya tak bisa dibendung lagi. Dengan 

gerak yang cepat diloloskan pedangnya dari wa-

rangkanya. Suara 'srak' terdengar.

Lalu dia berbisik pada gadis di belakang-

nya, "Selagi aku melabrak mereka, kau agak me-

nyingkir. Cari batang kayu, untuk mempertahan-

kan diri." Setelah mendapati gadis itu mengang-

gukkan kepala, Wening kembali menatap manu-

sia-manusia jubah hitam di hadapannya. "Manu-

sia-manusia dajal! Kalian harus mampus!" seha-

bis berkata begitu, Wening langsung menerjang. 

Jurus 'Pedang Papas Kumbang' telah diperguna-

kannya. Satu rangkaian jurus pedang yang me-

nakjubkan sekaligus mengerikan.

Begitu pedangnya bergerak, yang dituju 

adalah Ronggo Kosworo yang berkata melecehkan. 

Tetapi pedang yang dikibaskannya itu lolos dari 

sasaran, karena Ronggo Kosworo sudah melompat 

dan mencabut golok besarnya.

Wening membabat ke kiri, bersamaan 

Ronggo Kosworo menangkis.

Trang! 

Benturan antara pedang dan golok itu cu-

kup keras terdengar, menimbulkan percikan api 

sejenak.

Wening tak mau membuang waktu, dia te-

rus mencecar penuh amarah. Ronggo Kosworo be-

rusaha menghindar dan membalas. Dalam dua 

jurus berikutnya dia bagai anak ayam kehilangan 

induk. Untuk meloloskan diri dari kejaran pedang

Wening tak mungkin bisa dilakukan.

Di saat yang genting itu, dua kawannya da-

tang membantu. Langsung menyabetkan golok di 

tangan masing-masing, membuat Wening mau 

tak mau menghentikan serangannya pada Ronggo 

Kosworo ketika merasakan angin menyambar di 

belakangnya.

Di atas pohon, Andika mendesis, "Keheba-

tan Wening patut dipuji. Meskipun dikeroyok se-

perti itu, Wening kelihatannya akan tetap berada 

di atas angin. Tetapi, hei!" Andika tersentak. Ma-

tanya yang tajam dan terlatih menangkap satu 

keanehan. Diperhatikannya dengan seksama ja-

lannya pertarungan itu. Tiba-tiba dia mendesis, 

"Kurang ajar! Ternyata ada orang yang ingin men-

gambil keuntungan! Baiknya, kulihat saja du-

lu...."

Di bawah, pertarungan itu bertambah sen-

git. Apa yang diperkirakan Andika memang benar, 

Wening berhasil mengatasi lawan-lawannya. Bah-

kan Jombrang sudah tergores lengan kanannya, 

dan menyusul satu tendangan kaki kiri yang telah 

menghantam dadanya. Lelaki itu tersuruk tiga 

tombak ke belakang dan jatuh pingsan.

Menyusul Gonggo Sirat yang terkena ten-

dangan telak di kepalanya. Keseimbangannya hi-

lang seketika dan dia pun ambruk jatuh pingsan.

Menghadapi Ronggo Kosworo yang diduga 

Wening adalah pimpinan dari begundal-begundal 

itu, agaknya Wening menurunkan tangan lebih 

keras. Berkali-kali pedangnya berkelebat. Paha ki-

ri Ronggo Kosworo telah tersayat dan mengalirkan

darah.

Sementara jubah hitamnya telah koyak-

moyak terkena sabetan pedang Wening. Darah 

yang mengalir, membuat lelaki bercodet di wajah-

nya itu tak mampu menguasai keseimbangannya 

lagi. Tetapi, pada dasarnya dia memang telah 

berhasil dikuasai Wening.

Dalam satu jurus berikutnya, Ronggo Kos-

woro sudah terkapar di tanah. Dengan amarah 

yang telah membludak, terutama mencemaskan 

keadaan adiknya, Wening menginjak dada lelaki 

yang terkapar itu dengan kaki kanannya, membe-

rikan tekanan hingga mata lelaki itu terbeliak. 

Sementara ujung pedangnya ditempelkan pada 

tenggorokan Ronggo Kosworo yang menjadi pias. 

Kegarangannya yang jelas-jelas diperlihatkan tadi, 

kini lenyap bagai menggantung antara langit dan 

bumi.

"Ampun... ampuni aku...." serunya mengi-

ba.

Wening menyeringai.

"Apakah kau mengampuni orang-orang 

yang hendak kau bunuh, hah?" 

"Aku... aku...."

"Setan alas!" Kaki Wening menekan dada 

Ronggo Kosworo yang merasakan dadanya bagai 

melesak ke dalam. Dia melengak dengan kedua 

mata melebar. Ludah menyembur dari mulutnya 

begitu dadanya ditekan. "Katakan, di mana adik-

ku dan dua gadis dusunku yang kau culik?"

"Aku... aku...."

"Apakah kau hanya bisa menjawab 'aku...

aku...' saja, hah?" bentak Wening dengan hati pa-

nas. Apalagi bila membayangkan bagaimana na-

sib adiknya sekarang ini? Apakah dia dalam kea-

daan tak kurang suatu apa, apakah sudah berada 

dalam titik kehancuran? Wening lebih percaya 

pada pikirannya yang kedua, dan hal itu semakin 

membuatnya bertambah gusar. "Bila kau tidak 

mengatakannya, ujung golokku ini akan menem-

bus hingga tulang lehermu bagian belakang."

"Aku... aku...."

"Keparat!" Wening siap menusukkan ujung 

pedangnya, tetapi satu suara di belakangnya 

mengurungkan niatnya dan membuatnya meno-

leh tanpa hilang kewaspadaannya pada Ronggo 

Kosworo yang sudah tidak berdaya.

"Dia tak tahu apa-apa, Wening. Dia hanya 

mengambil kesempatan saja. Orang-orang jelek 

yang usil!"

"Kang Andika!" seru Wening. Gadis itu 

gembira sekali bisa bertemu lagi dengan Pendekar 

Slebor. Tetapi, kata-kata Andika barusan mem-

buat keningnya berkerut. Bernada keheranan dia 

bertanya, "Apa maksud ucapan, Kang Andika?" 

Andika menyeringai

"Karena... mereka bukanlah Tiga Iblis Go-

lok Setan." 

***

"Oh!" Wening terperanjat bukan main men-

dengar kata-kata yang diucapkan dengan nada 

meyakinkan itu. Lain halnya dengan si gadis yang

bersembunyi di balik pohon. Siapa pun ketiga 

orang itu, tetaplah orang-orang yang mengedar-

kan hatinya. Sementara Wening tengah menatap 

lurus pada Andika balas menatap sambil men-

ganggukkan kepala.

Anggukan kepala Andika sebenarnya su-

dah menjelaskan apa yang dikatakannya itu me-

mang benar, tetapi Wening masih belum puas 

dengan kata-kata Andika. Makanya dia bermak-

sud bertanya, "Bagaimana...."

"Ya, ya... pemuda itu benar! Kami bukan 

Tiga Iblis Golok Setan!" kalimat Wening terpotong 

oleh orang yang sedang diinjaknya. Suaranya 

mengandung pengharapan sekali agar dibebaskan 

dari injakan dan tusukan pedang Wening.

Wening tak mempedulikan seruan itu, dia 

berkata lagi pada Andika, "Bagaimana ini bisa ter-

jadi? Dan bagaimana Kang Andika bisa menduga 

seperti itu?"

Bukannya menjawab, Andika menghampiri 

Jombrang yang pingsan. Sambil berlutut dia ber-

kata, ""Nih! Kau perhatikan Wening! Sejak perke-

lahianmu tadi, aku sudah berada di sini dan 

memperhatikan. Manusia inilah yang membuatku 

yakin kalau, mereka bukanlah Tiga Iblis Golok 

Setan. Kau lihat, Wening...." Andika meluruskan 

kaki kiri Jombrang. "Kau lihatlah, tak ada bekas 

patah tulang atau cacat bawaan yang bisa mem-

buatnya pincang. Kakinya normal seperti kaki ki-

ta. Tetapi untuk melengkapi penyamarannya se-

bagai salah seorang Tiga Iblis Golok Setan, dia 

membuat langkahnya terpincang. Manusia inilah

yang pertama kali membuatku yakin kalau dia ti-

dak pincang. Gerakan pertamanya saat meng-

gempur mu, memang masih memperlihatkan dia 

pincang. Tetapi setelah itu, lenyap sama sekali. 

Bahkan gerakannya lebih mirip kaki orang nor-

mal. Bukannya sombong nih! Aku terlatih dalam 

hal begituan, dan aku bisa menduga kalau manu-

sia-manusia ini bukanlah Tiga Iblis Golok Setan."

Wening yang masih terheran-heran hanya 

menatap Andika dengan mulut terbuka. Dilihat-

nya Andika tengah mendekati Gonggo Sirat yang 

juga pingsan.

"Gonggo Sirat si begundal itu menurut ka-

bar yang kuketahui, matanya sebelah kanan me-

mang picak. Tetapi, tidak ditutupi dengan kain hi-

tam yang mengikat dari belakang kepala. Kau li-

hat, Wening...." Andika membuka kain hitam kecil 

yang mirip bajak laut itu.

Wening terbelalak. Dilihatnya mata itu 

normal, tak ada tanda-tanda rusak. Rasa kesal-

nya makin menjalar ketika tahu dipermainkan.

Dengan amarah membludak dia berbalik 

pada Ronggo Kosworo, "Manusia kurang ajar! Kau 

berani-berani menipuku, hah?"

"Tidak... maaf, maafkan aku... aku dan ke-

dua temanku itu... memang sengaja menyamar 

sebagai Tiga Iblis Golok Setan, karena aku tahu 

kalau tiga manusia itu sangat ditakuti...."

"Apa maksudmu melakukan semua ini, 

hah?"

"Kami... kami butuh makan, sementara tak 

ada pekerjaan untuk kami.... Dengan menyamar

sebagai Tiga Iblis Golok Setan kami bisa menda-

patkan makan, uang, dan harta. Karena orang-

orang yang kami datangi sangat ketakutan...."

"Kurang ajar!" maki Wening sambil menye-

pak kepala Ronggo Kosworo palsu itu hingga 

pingsan. Dadanya naik turun menahan geram 

dan gemas. Andika mendiamkan saja gadis itu 

berbuat seperti tadi. Karena, manusia semacam 

Ronggo Kosworo palsu itu memang harus diberi 

pelajaran.

"Eit! Jangan galak begitu dong! Kau jelek 

kalau galak-galak! Manusia-manusia itu sudah 

mendapat ganjarannya, dan aku yakin mereka 

tak akan berani lagi melakukan perbuatan itu 

kembali! Apalagi kalau berhadapan denganmu 

yang tahu-tahu jadi galak begitu!"

Wening berbalik pada Andika, "Justru aku 

mencemaskan keadaan adikku, Kang Andika...." 

Andika mengangkat sepasang alis legamnya. "Aku 

mengerti...."

Wening menatap lagi tiga sosok tubuh yang 

pingsan itu. Bila dituruti kata hatinya, ingin di-

lampiaskan rasa kesal dan marahnya karena me-

rasa dipermainkan oleh ketiga orang ini. Tetapi, 

seperti yang dikatakan Andika tadi, ketiga orang 

itu jelas tidak akan berani lagi melakukan pe-

nyamaran sebagai Tiga Iblis Golok Setan.

Diangkat lagi kepalanya, dan ditatapnya 

Andika dengan perasaan tak menentu. Kesal, ma-

rah, sedih, galau, dan malu menjadi satu. Entah 

bagaimana mulanya, tiba-tiba saja Wening me-

langkah menghampiri Andika. Tiba di hadapan

Andika, dia mendongak, menatap wajah tampan 

di hadapannya yang sedang tersenyum. Lalu per-

lahan-lahan direbahkan kepalanya ke dada Andi-

ka, yang untuk sejenak melengak, karena tak 

menyangka gadis itu akan berbuat seperti ini, 

sangat di luar dugaannya.

Tetapi kemudian Andika sadar, biar bagai-

manapun juga, Wening hanyalah seorang gadis. 

Meskipun ketegarannya sangat menakjubkan, dia 

masih membutuhkan pula orang lain sebagai 

tempat berbagi kekesalan dan kesedihannya.

Berpikir demikian, perlahan-lahan Andika 

merangkul gadis itu. Lembut dan penuh penger-

tian. Tak ada nafsu birahi sedikit pun yang mem-

balut tubuh Andika. Rangkulan itu dilakukan 

semata guna menenangkan si gadis berbaju jing-

ga itu. Perlahan-lahan dirasakan dadanya basah, 

yang tentunya air itu berasal dari mata Wening.

"Aku cemas memikirkan adikku, Kang...."

"Sudahlah... kita akan mencari adikmu 

itu...," kata Andika menenangkan padahal dalam 

hati dia berkata, "Hehehe... mau nih seumur hi-

dup begini terus!"

Tanpa disadari keduanya, gadis jelita yang 

ditolong Wening tadi menarik napas panjang. Dia 

teringat kekasihnya telah tewas di ujung golok 

manusia-manusia itu karena menyelamatkannya. 

Dan malam pun mulai turun, menyelimuti tanah 

di sekitar sungai itu.

***

8


Lelaki setengah baya dengan tubuh kurus 

dan wajah penuh keriput itu keluar dari dusun 

Karang Batu. Dibawa langkahnya satu-satu den-

gan tubuh yang sepertinya lelah sekali ke arah 

timur. Pakaiannya yang berwarna putih kusam 

tersibak dipermainkan angin, padahal sudah ter-

tutup rapat. Rambutnya panjang hingga bahu, 

beriap-riap bagai berlomba mengikuti arus angin. 

Mata tuanya nampak menyiratkan kedukaan.

Langkah perlahannya dihentikan di sebuah 

hutan kecil di hadapannya. Diperhatikan sekelil-

ing tempat di mana dia berdiri. Dia tak mau men-

dapati satu musibah karena kurang berhati-hati. 

Setelah dirasanya cukup aman, dia duduk di ba-

wah sebuah pohon rindang dan mulailah dibuka 

nasi bungkus yang dibelinya di dusun yang dila-

luinya tadi. Dalam waktu yang singkat, nasi itu 

telah habis dimakan.

Dan tanpa disadarinya, dua pasang mata 

memperhatikannya dari atas pohon di mana laki-

laki tua itu duduk menikmati nasi bungkusnya. 

Dua orang di atas pohon itu tak mengeluarkan 

kata sama sekali, terus memperhatikan si lelaki 

tua itu.

Padahal, yang seorang, yang mengenakan 

pakaian berwarna jingga berkeinginan untuk tu-

run karena pikirnya, lelaki tua itu tidak berba-

haya. Tetapi kawannya yang berambut gondrong 

dan mengenakan pakaian warna hijau pupus

menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti ada sa-

tu pikiran di benaknya, yang harus dilepaskan.

Si lelaki tua masih asyik bersandar. Perut-

nya telah kenyang. Lelahnya sedikit terbayar.

Tiba-tiba terdengar gumamannya, 

"Hmmm... ke mana lagi harus kucari manusia-

manusia biadab itu. Tak akan pernah kubiarkan 

mereka hidup lebih lama setelah membunuh Su-

mirah dan Dali Gunarso...."

Si pengintip yang berbaju hijau pupus 

mengerutkan kening. Sumirah dan Dali Gunarso? 

Bukankah itu nama istri dan anaknya Gamang 

Markuto? Dugaannya semakin kuat saja, kalau 

dia bisa menebak siapa lelaki tua ini.

Memikir sampai di sana, diberinya isyarat 

melalui anggukan kepala pada gadis di sebelah-

nya. Melompat ke arah yang berlawanan, lalu 

mendatangi lelaki tua itu seolah belum melihat 

sebelumnya.

Si gadis menganggukkan kepala. Tak lama 

kemudian, keduanya melangkah mendekati si tua 

yang masih duduk bersandar. Begitu melihat ada 

yang datang si tua itu langsung berdiri. Kening-

nya berkerut memperhatikan keduanya.

"Siapa kalian?"

Si pemuda yang mengenakan pakaian hijau 

pupus tersenyum. Tetapi pada dasarnya si pemu-

da memiliki sifat yang urakan dan kocak, se-

nyumnya jadi jelek bukan main. 

"Maafkan, kalau kami mengganggu istira-

hatmu, Bapak. Namaku Andika dan gadis ini sa-

habatku, namanya Wening. Siapakah Bapak

adanya? Pasti Bapak punya nama, kan?"

Lelaki tua itu memperhatikan keduanya sa-

tu persatu. Lalu perlahan-lahan dia berujar, "Na-

maku Rawung Menggolo."

Andika menarik napas lega. Tak salah du-

gaanku, batinnya. Memang, sebelumnya Andika 

dan Wening tiba pula di dusun Karang Batu sete-

lah mengantar gadis yang bernama Marni ke de-

sanya. Membantu penduduk di sana merapikan 

keadaan yang agak porak poranda. Mereka sara-

pan di sebuah kedai. Saat sarapan itulah, si lelaki 

tua ini muncul. Didengarnya lelaki itu menanya-

kan tentang Tiga Iblis Golok Setan pada pemilik 

kedai, yang dijawab dengan menggelengkan kepa-

la. Setelah si tua keluar kembali dengan membeli 

nasi bungkus, Andika memberikan isyarat pada 

Wening untuk menyelesaikan sarapannya lebih 

cepat.

Hatinya mengatakan ada sesuatu yang se-

lama ini mulai tergambar di benaknya. Dibuntu-

tinya lelaki tua itu dan dengan ilmu meringankan 

tubuh yang keduanya miliki, mereka berhasil 

dengan mudah melakukannya. Bahkan melompat 

ringan ke pohon di mana si lelaki tua itu duduk 

menikmati nasi yang baru dibelinya tadi.

Andika menatap lurus pada lelaki tua itu.

"Kalau memang Bapak bernama Rawung 

Menggolo, tentunya Bapak mengenal Gamang 

Markuto, bukan?"

Lelaki tua itu tak segera menjawab. Kalau 

tadi tatapannya sudah membiaskan rasa persa-

habatan, kali ini tatapannya menyelidik.

"Siapa yang kau maksudkan, Anak Muda?" 

Andika sadar, kalau Rawung Menggolo 

agaknya mencurigainya. Lalu diceritakan siapa 

dirinya dan bagaimana pertemuannya dengan 

Gamang Markuto. Juga, bagaimana Gamang 

Markuto melarikan diri darinya.

Setelah beberapa saat terdiam, Rawung 

Menggolo barulah menjawab, "Yah... aku men-

genal lelaki yang kau maksudkan itu, Anak Mu-

da."

Lagi-lagi Andika tersenyum yang jeleknya 

bukan main. Untuk melanjutkan pembicaraan, 

diajaknya Rawung Menggolo dan Wening duduk. 

Di bawah kerindangan pohon yang ditemani oleh 

burung-burung bernyanyi, percakapan itu dilan-

jutkan.

"Bapak Rawung... aku ingin tahu tentang 

Gamang Markuto," kata Andika santai. "Ceritakan 

deh! Mumpung aku berada di sini!"

Lelaki tua itu menarik napas panjang. Pan-

caran matanya menyiratkan keengganan dan ke-

dukaan dalam. Dan yang diceritakan kemudian 

oleh Rawung Menggolo, sama seperti yang diceri-

takan Gamang Markuto sendiri dan Panglima 

Darta Sena.

Andika bertanya lembut, "Aku menyirap 

kabar, kalau prajurit Kadipaten Harum Raksa be-

berapa bulan lalu mencari Gamang Markuto yang 

dinyatakan sebagai buronan karena dialah yang 

belum tertangkap dari empat bajingan yang mela-

kukan tindak kejahatan pada seorang saudagar. 

Bahkan berkali-kali mendatangi Bukit Teduh.

Hanya yang mengherankan, mengapa Gamang 

Markuto tidak ditemukan oleh mereka?"

Rawung Menggolo menarik napas pendek.

"Yah... itu dikarenakan, setiap kali para 

prajurit kadipaten datang, Gamang Markuto 

mendatangiku bersama istri dan anaknya. Lalu, 

aku menggantikan kedudukan mereka sebagai 

pemilik rumah. Bila prajurit-prajurit itu bertanya, 

kujawab aku telah lama mendiami tempat itu dan 

tak mengenal orang lain di sana. Terutama, yang 

mereka cari."

"Jauhkah tempat tinggal Bapak dari ke-

diaman Gamang Markuto?" tanya Andika pula.

"Lumayan. Membutuhkan waktu dua kali 

penanakan nasi. Aku tinggal di sebelah timur dari 

Bukit Teduh, di sebuah hutan kecil yang sunyi 

namun nyaman. Tetapi, beberapa hari yang lalu, 

ketika aku bertandang ke rumahnya, rumahnya 

telah hangus dan rata dengan tanah. Kecemasan-

ku datang, terutama ketika kulihat ada dua buah 

gundukan tanah yang masih baru. Melihat uku-

rannya, aku yakin itu adalah makam Dali Gunar-

so dan Sumirah. Lalu, di mana makam Gamang 

Markuto? Setelah kucari beberapa saat, tak ku-

temukan di mana makamnya. Dugaanku hanya 

satu, dia telah tewas di satu tempat, ataukah pa-

ra prajurit itu berhasil menemukannya. Tetapi, 

keyakinanku kalau bukan para prajurit yang me-

lakukannya mulai timbul, ketika mempertim-

bangkan tak akan mungkin para prajurit kadipa-

ten membunuh anak dan istrinya. Dan kemudian 

aku ingat, tentang teman-temannya yang pernah

mengancamnya dulu untuk melakukan tindak ke-

jahatan. Apakah tidak mungkin kalau mereka 

yang melakukannya? Akhirnya kuputuskan un-

tuk mencari kebenaran dugaanku itu. Kusirap 

kabar, kalau sekarang tengah terjadi tindak telen-

gas dari Tiga Iblis Golok Setan. Dugaanku, tiga 

manusia itulah yang menjuluki diri Tiga Iblis Go-

lok Setan, karena aku juga mendengar kalau me-

reka telah keluar dari tahanan. Ah... malang nian 

nasib yang dialami Gamang Markuto."

Andika diam-diam memuji kecerdikan 

orang tua ini, sekaligus rasa persaudaraan yang 

ada di hatinya. Didengarnya lagi si orang tua ber-

kata, "Anak muda... aku yakin, Gamang Markuto 

tak bersalah sedikit pun. Berkali-kali sudah ku-

katakan, sebaiknya menyerahkan diri saja pada 

kadipaten. Tetapi ditolaknya, karena baginya ma-

sih ada yang lebih penting lagi. Soal anak dan is-

trinya. Sampai akhir hayatnya, mungkin istri dan 

anaknya tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya."

"Adakah dugaan ke mana Gamang Markuto 

pergi?" tanya Andika kemudian. "Karena, ketika 

kusuruh untuk membersihkan badan dan aku 

menyiapkan jagung bakar untuk sarapan, dia su-

dah menghilang begitu saja."

Rawung Menggolo menggelengkan kepa-

lanya.

"Tidak. Aku tidak punya dugaan dia pergi 

ke mana. Karena yang kutahu, Gamang Markuto 

tak mempunyai sanak famili lagi. Kalaupun dia 

pergi sekarang, mungkin dia tengah mencari ma-

nusia-manusia keji yang telah membunuh istri

dan anaknya. Ah, aku bersyukur sekarang dan 

perasaanku jauh lebih tenang dari sebelumnya, 

karena dari kata-katamu tadi, aku yakin Gamang 

Markuto masih hidup."

Andika menarik napas panjang. Masih ba-

nyak teka-teki yang ada di benaknya. Ke mana 

Gamang Markuto pergi? Di mana Tiga Iblis Golok 

Setan bersembunyi? Juga, beberapa pertanyaan 

yang masih tersimpan di benaknya.

Karena tak ada lagi keterangan yang bisa 

didapatinya, dia berdiri. Wening yang sejak tadi 

hanya mendengarkan, berbuat yang sama. Ra-

wung Menggolo pun berdiri pula.

"Bapak... terima kasih atas penjelasan Ba-

pak. Sekarang, Bapak hendak ke manakah?" 

"Aku tak akan kembali ke tempat tinggalku 

sebelum kujumpai Gamang Markuto."

Andika bisa merasakan kekerasan hati si 

orang tua.

"Kalau begitu, berhati-hatilah...."

"Aku bisa menjaga diri, Anak Muda. Lagi 

pula, meskipun aku merasa terlibat dalam urusan 

ini, Tiga Iblis Golok Setan tak mengenalku dan 

tahu siapa aku."

Andika tersenyum.

"Berhati-hatilah...."

Andika mengajak Wening meninggalkan 

Rawung Menggolo yang telah meneruskan lang-

kahnya. Diam-diam, ada sesuatu yang menggang-

gu Andika. Tetapi lagi-lagi untuk saat ini dia tak 

tahu pikiran apa yang membingungkannya.

Namun di benaknya, ada sebuah rencana

yang akan dilakukannya.

***

Kedatangan tiga lelaki penunggang kuda 

dan mengenakan jubah hitam ke tempat pelacu-

ran Mawar Hitam, disambut dengan sikap manja, 

centil dan penuh rangsangan dari para pelacur 

yang mendiami tempat itu. Kuda-kuda hitam me-

reka yang ditambatkan di depan pintu tempat pe-

lacuran itu, bagai mendapat perlakuan yang isti-

mewa.

Beberapa pekerja di sana segera mengurus 

kuda-kuda itu. Dengan cepat memandikan, mem-

beri makan dan minum.

Seorang germo bertubuh gemuk dengan 

rambut disanggul mengajak ketiganya ke ruang 

dalam. Germo yang bernama Nyai Idah Merah 

memang sudah mengenal siapa yang datang, tiga 

langganannya yang royal. Sebenarnya, sambutan 

Nyai Idah Merah pada ketiga manusia yang tak 

lain adalah Tiga Iblis Golok Setan, bukan dikare-

nakan keroyalan mereka, tetapi karena dia per-

nah mendengar kabar tentang sepak terjang Tiga 

Iblis Golok Setan yang selalu menurunkan tangan 

telengas. Di samping itu, Nyai Idah Merah sendiri 

telah mengenal mereka sebelum ketiganya dipen-

jara.

"Nah, kalau Kangmas menginginkan yang 

baru, kami memang baru mendapatkannya. Ini 

istimewa lho. Tak seorang pun langgananku yang 

kusuguhkan gadis-gadis itu," kata Nyai Idah Merah sambil mengerling genit. Dandanannya sangat 

medok, penuh dengan pupur di sana-sini. Bibir-

nya dipoles sangat merah. Pakaiannya yang kun-

ing keemasan sebenarnya sangat indah sekali. Te-

tapi karena dikenakan oleh perempuan yang ber-

tubuh gemuk dengan buah dada besar dan wajah 

penuh pupur, justru jadi jelek sekali. Penampilan 

Nyai Idah Merah sebenarnya tak lebih dari badut-

badut di kotapraja.

Ronggo Kosworo terbahak-bahak.

"Bagus, bagus sekali, Nyai. Kau tahu saja 

keinginan kami. Tetapi, bagaimana dengan perin-

tahku waktu itu? Sudahkah kau mendengar ka-

bar tentang Gamang Markuto?"

"Belum, Kangmas. Tak ada anak buahku 

yang pernah mendengar namanya," kata Nyai 

Idah Merah sambil mengerling genit. "Padahal, 

aku juga heran dulu biasanya kalian berempat te-

tapi mengapa sekarang bertiga?"

"Kau tak perlu tahu soal itu!" bentak Rong-

go Kosworo.

Lelaki setengah baya berbaju putih kusam 

masuk ke ruangan itu. Nyai Idah Merah seketika 

melotot gusar. Dia bangkit dari duduknya dan 

berdiri berkacak pinggang di hadapan lelaki itu.

"Ruangan ini untuk tamu-tamu istimewa-

ku, Orang Tua!!"

Si orang tua hanya tersenyum saja. Menge-

luarkan kantong kecil dari balik pakaiannya. Di-

keluarkannya isinya ke telapak tangannya.

"Kau lihat, Nyai... aku mempunyai uang 

perak yang cukup banyak, bukan? Lima belas gadis-gadismu pun sanggup kubayar malam ini."

Wajah Nyai Idah Merah yang tadi sengit ki-

ni menjadi cerah. Tetapi ketika dia melirik Ronggo 

Kosworo yang menekuk wajah, terburu-buru dia 

berkata, "Apakah kau sudah mendapatkan salah 

seorang gadisku?"

Orang tua itu menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, silakan kau bersenang-

senang."

"Aku sudah melakukannya," kata si orang 

tua berbohong. "Selagi aku ingin meninggalkan 

tempat ini, aku mendengar tentang nama seseo-

rang disebutkan."

Nyai Idah Merah hendak membuka mulut, 

tetapi Ronggo Kosworo sudah memotong, "Mak-

sudmu... Gamang Markuto?"

Orang tua itu menganggukkan kepalanya.

"Benar. Gamang Markuto."

Ronggo Kosworo menatap tajam pada orang 

tua yang nampaknya tenang-tenang saja.

"Siapakah kau sebenarnya, Orang Tua?"

"Namaku Rawung Menggolo. Aku tinggal di 

daerah pesisir barat," kata orang tua itu berbo-

hong kembali.

"Apa yang kau ketahui tentang Gamang 

Markuto?"

"Perjumpaanku dengan lelaki yang berna-

ma Gamang Markuto terjadi tiga hari yang lalu, di 

hutan sebelah timur dari sini. Lelaki itu bertanya 

padaku tentang Tiga Iblis Golok Setan. Dan meli-

hat penampilan kalian, aku yakin kalianlah yang 

dimaksudkan olehnya."

Ronggo Kosworo mendesis dingin.

"Ya, kamilah yang berjuluk Tiga Iblis Golok 

Setan. Apa yang kau katakan padanya?"

"Dia mencari kalian karena kalian telah 

membunuh anak dan istrinya."

Secara bersamaan, tiga lelaki berjubah hi-

tam itu terbahak-bahak. Begitu kerasnya hingga 

dua orang tukang pukul di tempat pelacuran itu 

masuk dan melongok. Tetapi setelah melihat isya-

rat dari Nyai Idah Merah melalui gerakan dagunya 

yang gemuk, keduanya keluar kembali.

Sementara Nyai Idah Merah diam-diam me-

rasa ngeri mendengar keterangan itu.

"Bagus! Bagus sekali! Sekarang... kau ikut 

dengan kami untuk mencari manusia keparat 

itu!"

"Aku tidak tahu lagi di mana dia berada."

"Kita akan mengeceknya ke hutan yang 

kau maksudkan. Karena kau yang mengetahui 

tempat itu, kau harus menunjukkan tempat itu. 

Ingat, jangan sekali-sekali berlaku dusta kepada 

kami bila kau masih sayang dengan nyawa bu-

sukmu!"

Wajah Rawung Menggolo menyipit.

Lalu katanya dengan suara tegar, "Baik! Ki-

ta pergi sekarang!"

"Usul yang menyenangkan!" Ronggo Koswo-

ro berkata pada Nyai Idah Merah. "Jaga ketiga ga-

dis yang kau katakan pada kami tadi. Setelah 

manusia keparat yang bernama Gamang Markuto 

itu mampus, kami akan kembali lagi!"

"Ronggo Kosworo...," kata Rawung Menggo

lo. "Jangan salahkan aku bila kita tak menjumpai 

lelaki yang bernama Gamang Markuto itu di sa-

na."

Sepasang mata Ronggo Kosworo menyipit.

"Berarti... lehermulah sebagai jaminannya!"

Wajah Rawung Menggolo tiba-tiba menjadi 

pias. Tubuhnya agak bergetar dan dia tak bisa 

melakukan apa-apa kecuali mengikuti ketiganya 

ketika dengan enaknya dan seolah menganggap-

nya sebuah bungkusan, tubuhnya didorong oleh 

Ronggo Kosworo keluar dari tempat pelacuran itu.

***

9


Bukit yang ditunjukkan Rawung Menggolo 

ternyata sebuah bukit kapur yang dikelilingi oleh 

pegunungan karang. Lelaki tua yang mempunyai 

maksud tertentu di benaknya itu tiba di sana ber-

sama Tiga Iblis Golok Setan, tepat ketika ratu ma-

lam bersinar terang di atas kepala.

"Mana manusia laknat itu?" bentak Ronggo 

Kosworo sambil melompat dari kudanya. Mata 

liarnya memperhatikan sekitar. Ketika tak dite-

mukannya orang lain di sana, gusar ditariknya 

leher baju Rawung Menggolo yang mengikutinya 

setengah terhuyung. Kembali diedarkan mata ta-

jamnya mengelilingi bukit itu.

Gonggo Sirat dan Jombrang pun berbuat

yang sama. Mereka berdiri di dekat Ronggo Kos-

woro yang sedang menendang Rawung Menggolo 

hingga tersungkur.

"Di mana manusia itu?!"

Rawung Menggolo mengusap wajahnya 

yang terkena debu-debu kapur. Tatapannya me-

micing nyalang. Perlahan-lahan dia berdiri den-

gan kegusaran yang kentara.

"Manusia keparat!" dengusnya dengan ke-

dua tangan terkepal. "Bukankah sudah kukata-

kan tadi, aku tidak menjanjikan akan menemu-

kan Gamang Markuto di sini! Tetapi kau lancang 

memaksaku untuk datang!"

"Setan! Berani bicara kurang ajar pada 

tuan besarmu ini, hah?! Mau mencari mampus!" 

Ronggo Kosworo mengibaskan tangan kanannya. 

Serangkum angin dingin mendesir keras ke arah 

Rawung Menggolo.

Akan tetapi, rupanya lelaki tua itu tak se-

lemah dugaan Ronggo Kosworo. Gerakan yang 

sangat cepat diperlihatkan dan dia berdiri tegak 

berjarak lima tombak dengan tatapan gusar. Se-

mentara tanah di mana tadi Rawung Menggolo 

terjatuh, kini membentuk sebuah lubang yang 

cukup besar, akibat hantaman pukulan jarak 

jauh Ronggo Kosworo. Debu-debu kapur muncrat 

sejenak dan luruh kembali ke bumi.

Tertawa Ronggo Kosworo membedah sean-

tero tempat. Namun nada gusar dalam suaranya 

tak bisa disembunyikan.

"Hebat! Sangat hebat sekali yang kau perli-

hatkan itu, Setan! Rupanya kau memiliki kepan

daian yang cukup lumayan! Hhh! Sayangnya, ke-

pandaian semacam itu hanya pantas dipakai un-

tuk menakut-nakuti tikus! Kalaupun tak kujum-

pai Gamang Markuto, nyawa tuamulah sebagai 

penggantinya! Gonggo Sirat habisi lelaki tua itu!"

Usai mendengar perintah, Gonggo Sirat 

melompat tiga tindak dengan gerakan ringan. Ma-

tanya yang picak sebelah menatap dingin pada 

Rawung Menggolo.

"Tak tahu diuntung! Nyawa tua di badan 

siap dilempar ke neraka!"

"Manusia-manusia keparat yang membu-

nuh Sumirah dan Dali Gunarso, tak akan pernah 

diampuni! Yang Kuasa pun setuju bila nyawa bu-

suk kalian kucabut!" balas Rawung Menggolo 

dengan suara tak kalah angker.

"Anjing tua geladak! Siapa kau sebenar-

nya?!" membentak Gonggo Sirat dengan kedua 

tangan terkepal.

"Peduli setan siapa pun aku! Kecuali da-

tang untuk menghabisi nyawa busuk kahan!!" 

"Geladak!" menjerit murka Gonggo Sirat. 

Dengan pencalan satu kaki, tubuhnya sudah me-

lesat ke arah Rawung Menggolo dengan dua joto-

san yang siap dilepaskan.

Akan tetapi, jotosan penuh tenaga yang di-

arahkan pada kepala dan dada lelaki tua itu, ber-

hasil dielakkan dengan hanya melompat ke samp-

ing kanan. Bahkan sambil mengelak, Rawung 

Menggolo mengirimkan satu tendangan balasan 

melalui gerakan memutar yang sangat cepat.

Wusss!

Bila saja Gonggo Sirat tidak cepat menarik 

kepalanya beberapa centi, bisa diduga kalau ke-

palanya akan terkepruk tendangan penuh tenaga 

itu. Apa yang dilakukan oleh Rawung Menggolo 

tadi membuat kemarahan lelaki picak itu menjadi 

bertambah membludak.

Dengan gerengan keras seperti serigala lu-

ka, dia kirimkan serangan beruntun. Serangan 

yang mengandalkan kecepatan tangan itu, seje-

nak membuat Rawung Menggolo gelagapan. Sebi-

sanya dengan mengandalkan ilmu meringankan 

tubuhnya, lelaki tua itu menghindar. Namun tak 

urung satu tendangan menghantam dadanya 

dengan telak.

Mendapati lawan telah tergedor tendangan 

kaki kanannya, Gonggo Sirat tak mau membuang 

tempo. Gebrakannya dilanjutkan kembali. Satu 

jotosan tangan kanannya siap menghantam dada 

lawan kembali.

Tetapi kali ini, Rawung Menggolo tak mau 

mendapati kesialan macam tadi. Bergegas dia 

membuang tubuhnya ke kanan, menghindari ser-

gapan jotosan lawan. Akan tetapi, karena keseim-

bangannya belum sempurna, tubuhnya jadi agak 

sempoyongan dan jatuh berguling. Namun kem-

bali dia bergerak cepat, menghindari serangan la-

wan yang menyusul. Tak menghiraukan betapa 

sekujur tubuh dan wajahnya dipenuhi debu-debu 

kapur. Bila saja saat ini siang hari, tak mustahil 

Rawung Menggolo merasakan debu-debu kapur 

itu bagai batu bara!

Bukan buatan gusarnya Gonggo Sirat. Ka

rena dalam keadaan hilang keseimbangan, lawan 

masih bisa menghindar. Dia berdiri tegak dalam 

jarak tiga tombak di hadapan Rawung Menggolo 

yang sedang bangkit.

"Tak kuampuni nyawa busukmu!" geram 

Gonggo Sirat. Dan dia telah bergerak cepat den-

gan melipatgandakan tenaga dalamnya. Gebra-

kannya kali ini lebih berbahaya dari semula.

Akan tetapi, Rawung Menggolo yang mera-

sa tak mampu menghadapi lawannya, mengan-

dalkan taktik lama yang saat ini berguna sekali.

Begitu tubuh lawan menderu ke arahnya, 

cepat-cepat dia membungkuk. Diambilnya dua 

genggam debu kapur dengan kedua tangannya, 

bersamaan dengan itu dia tegak kembali dan me-

nebarkan debu-debu kapur itu ke arah Gonggo 

Sirat.

Bukan buatan terkejutnya Gonggo Sirat 

melihat lawan menyerangnya dengan debu-debu 

kapur. Cepat dia menutupi mata kanannya den-

gan tangan dan memutar tubuh menghindari de-

bu-debu kapur itu.

Justru Rawung Menggolo melihat satu se-

rangan kosong sekarang. Di saat lawannya tengah 

berusaha menghindari debu-debu kapur itu, dia 

meluruk masuk dengan satu jotosan ke dada 

Gonggo Sirat.

"Heaaa!"

Akan tetapi.....

Plak!

Des!

Ronggo Kosworo sudah menderu maju,

memotong serangan Rawung Menggolo pada 

kambratnya. Jotosan Rawung Menggolo dipapas-

nya dengan tendangan kaki kanan, dan kaki ki-

rinya dengan gerak yang luar biasa cepat meng-

hantam dada Rawung Menggolo, hingga terguling 

ke belakang lima tombak.

Berdiri dengan wajah semakin dingin 

Ronggo Kosworo.

"Kelicikanmu boleh juga! Tetapi, nyawamu 

sudah ada dalam genggamanku!"

Dalam keadaan terdesak dan maut yang 

siap menjemput, Rawung Menggolo masih berani 

membuka mulut, "Manusia-manusia iblis! Biar-

pun kau cabut nyawaku saat ini juga, masih ba-

nyak orang lain yang menghendaki kalian binasa!"

"Berarti, hanya mencari penyakit! Bersiap-

lah untuk kujemput bersama maut!"

Habis berkata begitu, Ronggo Kosworo 

menggeram. Tubuhnya mencelat ke arah Rawung 

Menggolo yang merasakan dadanya sakit luar bi-

asa. Dia berusaha untuk bangkit. Tetapi, tulang 

dadanya bagai remuk dan membuat dia tak 

mampu menyangga bobot tubuhnya sendiri.

Yang dilakukannya kemudian, hanya me-

rentangkan kedua matanya lebar-lebar, siap me-

nyambut kematian yang akan dikirimkan melalui 

jotosan Ronggo Kosworo.

Namun belum lagi dirasakan hebatnya jo-

tosan itu, tiba-tiba saja satu bayangan hijau ber-

kelebat dari arah kiri. Menarik tubuhnya dan kaki 

kanannya menyepak jotosan Ronggo Kosworo 

yang memekik terkejut. Bukan karena kecepatan

bayangan hijau itu yang menolong Rawung Meng-

golo, melainkan sambaran kaki si bayangan hijau 

yang menghantam tangannya.

Dia cepat mundur tiga langkah dengan wa-

jah pucat. Tangan kanannya dirasakan ngilu bu-

kan main tersambar kaki si bayangan hijau. Ke-

marahannya makin membesar dengan dada turun 

naik menandakan kegusaran yang membludak.

Bentakannya seketika menggema keras, 

"Manusia lancang! Berani menghalangi keinginan 

Tiga Iblis Golok Setan, berarti mampuslah jawa-

bannya!"

"Ah, masa' sih? Mampus itu anak mana 

ya? Kok kucari di gang senggol tidak ada tuh 

anak!" selorohan itu terdengar bersamaan si 

bayangan hijau menurunkan tubuh Rawung 

Menggolo ke tanah. Memijat dada lelaki tua itu 

sebentar. Setelah itu, "Tidak apa-apa. Cuma re-

muk sedikit. Paling-paling juga bertambah sakit," 

katanya santai.

Rawung Menggolo melotot pada si peno-

longnya. Dia sudah mengenal pemuda tampan 

berbaju hijau pupus itu. Siapa lagi orangnya yang 

suka berucap asal saja selain Andika alias Pende-

kar Slebor?

Andika nyengir kuda. Rawung Menggolo 

duduk di tanah. Dia tahu kalau dirinya sebenar-

nya tak terlalu parah. Karena bila dadanya remuk 

seperti yang diselorohkan Andika, masa' iya pe-

muda sakti itu tidak menolongnya?

Kegusaran Ronggo Kosworo merayap naik. 

Kedua matanya membuka lebar menatap pemuda

di hadapannya yang sedang cengar-cengir. Jom-

brang yang telah menolong Gonggo Sirat pun tak 

berkesip menatap pemuda yang baru saja menye-

lamatkan Rawung Menggolo dari kematian. Ke-

sempatan itu dipergunakan oleh Gonggo Sirat un-

tuk membuang debu-debu yang dilemparkan oleh 

Rawung Menggolo di matanya. Hebat apa yang di-

perlihatkan Gonggo Sirat. Mengalirkan tenaga da-

lamnya pada urat di bagian bawah matanya, de-

bu-debu itu meluncur keluar. Matanya memerah 

mengeluarkan air.

Geram lelaki bermata picak itu menatap ke 

arah Rawung Menggolo yang membalas dengan 

mengangkat kedua alisnya, menambah kegusaran 

lelaki picak itu.

Tetapi, ketika dia hendak langsung menye-

rang. Ronggo Kosworo merentangkan tangan ka-

nannya, yang secara tidak langsung mengisya-

ratkan pada Gonggo Sirat untuk tidak menyerang.

Gonggo Sirat menelan kegusarannya bulat-

bulat. Helaan napasnya bagai suara dari dalam 

liang kubur.

"Anak muda!" membentak Ronggo Kosworo. 

"Siapakah kau adanya, hah? Kau telah lancang 

menghalangi maksud kami! Berarti...."

"Mampuslah jawabannya...," potong Andika 

sambil menyeringai jelek bukan main mengulangi 

kata-kata Ronggo Kosworo tadi. "Huh! Kalimat 

yang sering diucapkan oleh badut-badut kayak 

kalian sih aku sudah tahu!"

"Setan alas! Kau memang mencari mam-

pus!"

"Sudah kukatakan tadi, si Mampus itu 

anak mana sih? Kok, kau getol amat menye-

butkannya? Dia anakmu, ya?"

"Orang muda, kau berani-berani bercakap 

kurang ajar! Apakah kau sudah siap dijemput aj-

al?"

Sebelum Andika berkata-kata, terdengar 

satu suara dari sebuah pohon, "Kang Andika... 

mengapa masih berlama-lama? Apakah kau akan 

membiarkan manusia itu lebih lama hidup? Ba-

gaimana nasib adikku?"

Andika mendongak, "Hehehe... ingat Wen-

ing, bukankah tadi kita berjanji, kalau tiga manu-

sia jelek ini bagianku? Apakah kau sudi tangan-

mu yang mulus berbenturan dengan tangan-

tangan kasar penuh penyakit?!"

Kalau tadi kemarahan Ronggo Kosworo 

siap meledak, kali ini begitu melihat siapa yang 

berucap tadi, dia terbahak-bahak.

"Cah Ayu... kau tahu saja kakangmu bera-

da di sini. Ayo, turunlah... kita bisa bersenang-

senang sekarang...."

Bila menuruti kata hatinya, Wening sudah 

tak bisa mengendalikan diri lagi untuk menabok 

hancur mulut kurang ajar itu. Tetapi dia ingat 

akan janjinya pada Andika tadi sebelum Andika 

memutuskan menolong Rawung Menggolo.

Diam-diam gadis berbaju jingga itu kagum 

pada kecerdikan Pendekar Slebor. Kalaupun me-

reka bisa berada di tempat ini sekarang, itu se-

mua karena keenceran otak Pendekar Slebor. Se-

telah bertemu dengan Rawung Menggolo, Pende

kar Slebor yang masih mempunyai sebuah teka-

teki di benaknya, memutuskan untuk mengikuti 

Rawung Menggolo. Semula Wening menolak usul 

Andika itu, tetapi dia teringat pula akan kecerdi-

kan Pendekar Slebor yang bisa menebak kalau ti-

ga orang berjubah hitam yang bertarung sebe-

lumnya dengannya adalah Tiga Iblis Golok Setan. 

Akhirnya, dia pun turun serta dengan Pendekar 

Slebor.

Dan semuanya terbukti sekarang. Rawung 

Menggolo berhasil bertemu dengan Tiga Iblis Go-

lok Setan. Saat itu, kemarahan Wening naik ke 

ubun-ubun mengingat kalau ketiga manusia itu-

lah yang telah melarikan adiknya, tetapi Andika 

melarangnya untuk menurunkan tangan. Bahkan 

Andika memaksanya berjanji untuk tidak ikut 

campur dalam urusan ini. Bila Wening tidak mau 

menurut, Andika akan menahannya dan mem-

biarkan ketiga lelaki berjubah hitam itu lolos.

Semua itu dilakukan Andika, sehubungan 

sebuah teka-teki yang belum terpecahkan di 

otaknya. Bahkan dia menangkap sesuatu yang 

mulai tergambar sebenarnya, mengingat bagai te-

lah direncanakan pertemuan antara Rawung 

Menggolo dengan Tiga Iblis Golok Setan. Ini me-

rupakan salah sebuah teka-teki baru yang mun-

cul di benak Andika, dan menguatkan pikiran se-

belumnya.

Melihat wajah Wening membesi, Andika 

maju satu langkah, kini berjarak tiga tombak 

dengan tiga lelaki berjubah hitam itu.

"Wah, wah... mana mau dia dengan kau

yang jelek begitu, Ronggo! Denganku yang lebih 

tampan kayak pangeran saja dia tidak mau! Pikir 

dong pakai otak, jangan pakai pantat!"

Ronggo Kosworo alihkan pandangannya 

pada Andika kembali.

"Kurobek mulutmu, Orang Muda!"

"Yeee... kurobek nanti jubah jelekmu itu!" 

Tak kuasa menahan kemarahannya lebih lama, 

dikawal dengan teriakan dan angin menderu ke-

ras, tubuh Ronggo Kosworo sudah mencelat ke 

arah Andika. Tenaga dalamnya langsung dilipat-

gandakan. Dia ingin sekali jotos saja lawan sudah 

dibuat tak berdaya.

Tetapi dengan masih sempat-sempatnya 

berseloroh, Andika menghindar, "Wah! Benar-

benar mau kujitak kepalamu, ya? Ayo sinikan ke-

palamu yang benjol itu!"

Wusss!

Serangan mematikan dari Ronggo Kosworo 

lewat di sisi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-

bah Kutukan itu. Namun tak urung dirasakan 

Andika, hawa panas yang menguar dari sisi tu-

buhnya. Luput serangan pertama, Ronggo Koswo-

ro menyusulkan serangan kedua.

Kali ini Andika tak mau menghindar lagi. 

Dia memutar tubuh dan memapaki serangan itu 

dengan pergelangan tangannya.

Plak!

Benturan, kuat itu terjadi. Ronggo Kosworo 

langsung menarik pulang tangannya yang terasa 

mau patah, sementara Andika sendiri terlongoh-

longoh merasakan hebatnya tenaga dalam lawan.

"Luar biasa! Hanya dua tingkat di bawah-

ku! Kalau dua temannya membantu bisa berabe!"

Dan dugaan Andika jadi kenyataan. Jom-

brang yang sejak tadi hanya memperhatikan, 

langsung menderu. Menyusul Gonggo Sirat yang 

sudah pulih pandangannya.

"Yeee... main keroyok, nih?"

Andika cepat membuang tubuh seraya 

mengirimkan serangan balasan melalui tangan 

kanan dan kiri.

Des! Des!

Benturan itu kembali terjadi. Karena dua 

tenaga lawan menjadi satu, mau tak mau tubuh 

Andika terhuyung ke belakang menerima gempu-

ran hebat itu. Ronggo Kosworo yang sudah me-

mulihkan getaran pada tangannya, menderu pula.

Tiga gempuran dahsyat mengarah pada 

Andika.

Lima jurus pun berlalu dan Andika hanya 

bisa menghindar tanpa mendapatkan celah untuk 

menyerang. Setiap kali dia bergerak, masing-

masing lawannya yang datang, dari tiga penjuru 

langsung mengurung. Begitu terus menerus hing-

ga sekarang Andika bagai anak ayam yang terpe-

rangkap terkaman musang.

Tetapi bukan Andika yang memiliki sejuta 

kecerdikan masih tak mampu meloloskan diri dari 

tiga sergapan beruntun itu. Mendadak saja dia 

menggebah dengan mengalirkan tenaga dalam 

pada suaranya. Gebahannya itu tak ubahnya sa-

lakan halilintar. Cukup membuat tiga lawannya 

terkejut, hingga pormasi mereka jadi merenggang.

Lalu dengan enaknya Andika bergulingan 

keluar dari kepungan itu.

"Nah! Kenapa kalian jadi pias begitu? Ka-

gum dengan suaraku, ya?" selorohnya yang mem-

buat ketiga lawannya berpandangan dan bagai 

dikomando langsung mengurung kembali.

Kali ini Andika tak mau lagi terperangkap 

pada tiga serangan susul menyusul itu. Begitu 

Ronggo Kosworo menyerang disusul dengan 

Gonggo Sirat dan Jombrang, Andika justru meng-

hantam pada Jombrang yang menjadi terkejut 

melihatnya.

Cepat lelaki pincang itu berguling dan ber-

tepatan dengan itu, Andika menderu ke arah 

Ronggo Kosworo yang siap melancarkan serangan 

berikut. Lawannya terkejut pula dan menghindar, 

bersamaan dengan itu Gonggo Sirat yang mende-

ru ke arah Andika pun mau tak mau bergulingan 

pula.

Serangan yang dilakukan Andika merupa-

kan rangkaian gerak susul-hindar yang dilakukan 

asal saja. Merupakan rangkaian kecerdikan yang 

dimiliki yang dapat melihat kelemahan serangan 

tiga lawannya.

Dan begitulah yang dilakukannya terus 

menerus. Akan tetapi, tenaga 'inti petir' sekarang 

telah dirangkum di tangannya. Hingga setiap kali 

dia menjotos, memukul, dan menghantam, suara 

bagai salakan petir terdengar.

Tiga lawannya kali ini menjadi kebingun-

gan. Karena setiap kali mereka menyerang, Andi-

ka tak menghindar, justru menghantam serangan

itu secara acak. Ini memusingkan sebenarnya.

"Bingung, kan? Bingung, kan? Bunuh diri 

saja kalau bingung!" seru Andika tertawa.

Ronggo Kosworo menggeram gusar.

"Merapat! Jangan beri kelonggaran lagi!" 

serunya dan seketika dua kambratnya mendeka-

tinya. Bersamaan, dipadu, ketiganya menyerang.

Andika melenting, melompati ketiganya dan 

kakinya menendang keras.

Prak!

"Waduh! Maaf nih!" serunya sambil melent-

ing ke belakang.

Tulang iga bagian kanan Gonggo Sirat pa-

tah menyusul tubuhnya ambruk dengan lolongan 

tinggi. Bukan buatan gusarnya Ronggo Kosworo. 

Dia berbalik dan siap menyerang, tetapi suara 

Jombrang menghentikan niatnya,

"Tahan, Kakang!"

"Apa-apaan kau ini, hah?" bentak Ronggo 

Kosworo dengan mata melebar.

"Kakang... bukankah sebaiknya kita henti-

kan saja semua ini...."

"Demi iblis gentayangan! Apa maksudmu, 

Jombrang? Mengapa kau menjadi pengecut seper-

ti itu, hah?"

"Tidak, Kakang... aku sama sekali tidak be-

rubah. Hanya saja, perbuatan kita telah banyak 

menimbulkan dosa... kita...."

"Keparat! Kucabut nyawamu, Jombrang!"

Tetapi Jombrang tetap berdiri, tak memper-

lihatkan ketakutannya. Sesuatu yang telah dis-

adarinya semenjak dia jatuh hati pada Harti, telah melentingkan kesadarannya. Pada dasarnya 

Jombrang memang melakukan semua itu karena 

pelampiasan sedih atas meninggalnya Swasti, di 

samping itu dia juga merasa ngeri pada Ronggo 

Kosworo. Hanya saja sekarang, kesadarannya 

makin melambung dan menindih kengeriannya.

"Kakang... banyak sudah kita menurunkan 

tangan kejam. Tidak sadarkah Kakang kalau cu-

kup lama kita mendekam di penjara? Apakah kita 

akan menghabiskan sisa hidup kita di...."

"Setan alas!!" Ronggo Kosworo sudah mele-

paskan tendangan kaki kanannya pada kepala 

Jombrang. Di luar dugaannya, Jombrang berkelit 

mundur. "Kau?!" dengusnya terbelalak.

"Maafkan aku, Kakang... selama ini aku tak 

pernah membantah perintah Kakang. Tetapi kali 

ini... kita sudahilah semua perbuatan kita. Harta 

yang telah dikumpulkan, sangat banyak jumlah-

nya, Kakang. Apakah kita masih harus menurun-

kan tangan telengas dan membunuh orang?"

"Wah, wah! Jangan pada bertengkar sendiri 

dong! Aku masih sanggup bikin kepala kalian 

benjol, kok!" seru Andika yang membuat kemara-

han Ronggo Kosworo pada Jombrang makin men-

jadi-jadi.

"Bangsat berotak kerdil! Aku tahu, gara-

gara perempuan sialan itu kau berubah, hah? 

Akan kubunuh perempuan itu!"

"Tidak!" seru Jombrang keras. "Jangan Ka-

kang lakukan hal itu pada Harti! Aku mencin-

tainya!"

Mendengar nama adiknya disebutkan,

Wening menegakkan kepala. Seketika dia melom-

pat turun,

"Lelaki pincang hati busuk! Siapa yang kau 

maksudkan dengan Harti?"

Jombrang menoleh pada Wening yang 

membuka kedua kaki agak lebar, tanda bersiaga.

"Gadis itu kuculik dari dusun Karimata 

bersama dua orang gadis lainnya. Dia...."

"Setan pincang! Kucabik-cabik tubuhmu!" 

geram Wening dan dengan kecepatan penuh dia 

menerjang ke arah Jombrang.

Tetapi sambaran tangan Andika membuat 

gadis itu mau tak mau menghentikan serangan-

nya. Sekarang melolot gusar pada Andika.

"Apa-apaan ini? Lepaskan tanganku, Kang 

Andika!"

"Tenang, Wening...," kata Andika lembut. 

"Aku menangkap sesuatu yang akan terjadi di an-

tara mereka. Sekali-sekali jadi penonton kan tidak 

apa-apa? Lebih baik menunggu apa yang terjadi." 

Tetapi, mereka tak terlalu lama menunggu. Kare-

na Ronggo Kosworo sudah meloloskan goloknya 

siap memenggal leher Jombrang. Bila saja si kaki 

pincang itu tak berkelit, kepalanya akan pisah se-

lama-lamanya dari badan. Dan dengan gerakan 

yang tak kalah gesitnya, dia juga meloloskan go-

loknya.

Pertarungan dua lelaki yang menjadi saha-

bat sebelumnya itu sangat sengit. Benturan golok 

yang terjadi menimbulkan suara keras dan me-

mercikkan bunga api.

Tetapi tiga jurus kemudian, Ronggo Koswo

ro berhasil memapas lengan kanan Jombrang 

hingga putus. Jeritan tak ubahnya lolongan seri-

gala terdengar. Darah menyiprat, membasahi 

bumi.

"Itulah upah atas kepengecutanmu, Jom-

brang!" Gonggo Sirat yang berseru. Dia tak mam-

pu menggerakkan tubuhnya karena tulang iganya 

remuk.

"Kau...," desis Jombrang pada Ronggo 

Kosworo yang menyipitkan mata dengan tatapan 

dingin. Sakit tak tertahankan rasanya. "Seluruh 

setan penghuni jagat ini... akan mengutuk perbu-

atan busukmu, Ronggo!"

"Manusia sundal bernyali tikus! Kau tak 

lebih dari seonggok sampah di selokan! Tanpamu, 

semuanya masih bisa kulakukan, Jombrang! Ku-

bunuh gadis itu!"

Sehabis berkata begitu, tubuh Ronggo 

Kosworo melesat meninggalkan tempat itu. Yang 

hadir disana tercekat, termasuk Pendekar Slebor. 

Namun, Pendekar Slebor tak bermaksud mengejar 

karena menurutnya Jombrang membutuhkan 

pertolongan.

Dengan cepat ditotoknya urat saraf pada 

bagian bawah lengan kanan Jombrang. Darah se-

ketika berhenti mengalir. Lalu dibebatnya lengan 

yang buntung itu dengan jubah Jombrang yang 

disobeknya. Lalu dibaringkannya tubuh lelaki 

pincang itu hingga menatap ke atas.

"Jombrang... aku terpaksa tak menghenti-

kan pertarungan itu tadi, karena kau harus men-

dapatkan ganjaran dari perbuatanmu selama ini,"

kata Andika. Jombrang mendesis pelan. Senyu-

mannya pedih. "Aku mengerti. Tolong... sela-

matkan gadis yang kucintai...," suaranya lirih, 

terputus-putus. 

"Di mana gadis itu berada?" 

"Lembah.... Tirai...," habis berkata begitu, 

lelaki pincang itu jatuh pingsan.

Andika mendesah. Lalu katanya pada Wen-

ing, "Tunggui lelaki ini! Jangan membantah! Uru-

san adikmu biar aku yang menyelesaikan! Dan 

kau Rawung... hei!"

Andika terperanjat karena tak melihat Ra-

wung Menggolo di sana. "Busyet! Ke mana orang 

tua jelek itu?" 

Tetapi sesaat kemudian tak dihiraukannya. 

Andika mendekati Gonggo Sirat yang kini diketa-

hui telah tewas.

"Lelaki celaka ini memilih jalan membunuh 

diri dengan menggigit bibirnya sendiri. Hhh! Ma-

nusia-manusia tak punya otak!" geramnya jeng-

kel. Lalu ditolehkan kepala pada Wening yang 

tengah menatapnya. "Wening... aku harus sece-

patnya ke Lembah Tirai! Ingat pesanku itu!"

Lalu tanpa menunggu jawaban Wening, 

Andika berkelebat cepat. Tinggal Wening yang 

mendumal panjang pendek. Dia ingin sekali men-

jumpai adiknya. Tetapi dia yakin, Andika pasti 

akan menyelamatkan adiknya. 

***

10


Siang sudah menanjak ketika Ronggo Kos-

woro tiba di Lembah Tirai. Dengan kegeraman 

luar biasa mendapati tingkah konyol dari Jom-

brang, dia langsung menuju ke kamar di mana 

gadis yang diculik dan dicintai Jombrang berada. 

Dia yakin, gara-gara gadis itulah Jombrang beru-

bah pikiran.

Disesalinya mengapa dia tidak memaksa 

Jombrang untuk membunuh gadis itu. Atau, dia 

sendiri yang melakukannya mengingat sekarang, 

Jombrang bersikap menghalangi sepak terjang-

nya. Akan dilampiaskan seluruh kekesalannya 

pada gadis itu.

Bagi Ronggo Kosworo, membunuh kawan 

sendiri bukanlah suatu hal yang menakutkan. 

Malah, dia akan tertawa-tawa melakukannya. 

Hanya saja, dalam keadaan kritis Jombrang be-

rubah arah. Apalagi mengingat keadaan Gonggo 

Sirat sekarang. Hatinya makin lebur dalam kema-

rahan.

Brak!

Pintu langsung jebol ditendang keras.

Harti yang tengah terkulai dengan tubuh 

lemas hanya menatap tak bergairah pada lelaki 

yang tengah gusar itu. Sepanjang malam dia me-

nangis. Dan kini, gadis malang itu merasa tak ada 

gunanya untuk hidup lagi.

Ronggo Kosworo langsung menjambak 

rambut gadis itu mencengkeramnya kuat-kuat.

Tak ada suara kesakitan, tak ada wajah ketaku-

tan. Yang terlihat di wajah Harti hanya sebuah 

kebekuan belaka. Bahkan gadis itu seperti tak 

merasakan apa yang dialaminya ini.

Plak!

Kasar Ronggo Kosworo menamparnya. Ke-

pala Harti bergoyang. Bibirnya pecah, mengelua-

rkan darah. Tubuhnya ambruk di tempat tidur.

"Gadis busuk! Gara-gara kaulah lelaki pin-

cang celaka itu membelot dariku!" makinya gusar 

dan kembali menamparnya. Tetapi Harti jelas-

jelas sudah kehilangan jati dirinya. Penderitaan 

yang dialaminya tak kuat ditahannya. Membuat 

seluruh pikiran sehat di otak gadis itu menguap 

entah ke mana.

Menyadari gadis itu sudah berubah menja-

di dungu, keberingasan Ronggo Kosworo makin 

menjadi-jadi. Dengan gusarnya dipukulinya seku-

jur tubuh gadis itu. Tetapi lagi-lagi Harti bagai tak 

merasakannya sama sekali. Kecuali tubuhnya se-

sekali menggeliat setiap kali pukulan lelaki berco-

det itu mampir di tubuhnya.

"Gadis keparat!" geram Ronggo Kosworo. 

Dia ingin sekali mendengar jeritan kesakitan dan 

lolongan minta ampun dari mulut gadis itu.

Apa yang dilihatnya sekarang, justru mem-

buatnya bertambah gusar. Dicabut goloknya dan 

diacung-acungkannya di depan Harti.

"Kau lihat ini, Gadis Pelacur?! Kepalamu 

akan kupenggal dan tubuhmu akan kucacah!" 

suaranya keras, seolah hendak meruntuhkan 

atap di kamar itu.

Gadis itu tetap terdiam dalam keadaan le-

mah dan terkulai. Tatapannya makin kosong. Ka-

laupun terdengar suaranya, hanya tawa kecil 

yang seakan mengejek.

Gusar Ronggo Kosworo siap mengayunkan 

goloknya.

"Heaaa!" Akan tetapi... 

Trak!

Sebatang ranting meluncur menghalangi 

goloknya yang siap membelah kepala Harti. Ge-

ram lelaki berwajah codet itu menoleh. Dilihatnya 

Rawung Menggolo telah berdiri di ambang pintu 

dengan tatapan menyipit!

"Orang tua mau cari mampus? Berani be-

nar kau memberikan nyawamu ke sini!" bentak 

Ronggo Kosworo dengan kegeraman berantai.

Rawung Menggolo menyeringai dingin.

"Aku datang justru ingin mencabut nya-

wamu, Manusia Laknat! Kini tiba saatnya kau 

mampus!"

"Setan!" dengan bengis Ronggo Kosworo 

melompat, mengalihkan serangannya pada lelaki 

tua yang berdiri di hadapannya. Goloknya sudah 

diayunkan.

Sebelum golok lawan mengenai sasaran-

nya, Rawung Menggolo cepat melompat keluar.

"Tempat ini terlalu kecil untuk bersenang-

senang! Kulayani kau di luar!"

"Keparaaattt!" Ronggo Kosworo langsung 

melenting ke muka dengan kegeraman yang ma-

kin menjadi-jadi. Berdiri tegak dengan sepasang 

mata terbuka lebar tak berkedip menatap Rawung

Menggolo yang berdiri dalam jarak dua tombak di 

hadapannya. "Kucincang tubuhmu, Orang Tua!"

"Nyawamu yang akan kukirim ke neraka 

sebagai pengganti nyawa Sumirah dan Dali Gu-

narso!" seru Rawung Menggolo gagah. Tatapannya 

pun tak kalah sengit dalam kesiagaan besar. Na-

mun tak urung dadanya berdebar pula. Ada sesu-

atu yang membuatnya menjadi kecut, namun di-

usahakan agar tak diperlihatkan.

"Ingin kulihat apa kau bisa membuktikan 

bacotmu itu!" tak mau membuang tempo, Ronggo 

Kosworo sudah menderu laksana angin. Goloknya 

mengibas dengan kecepatan tinggi.

Wuuut! Wuttt!

Rawung Menggolo kelihatan tersentak 

mendapati serangan golok yang bersambungan, 

bagai mematikan ruang geraknya. Tetapi orang 

tua yang sarat dengan kemarahan di dada, cepat 

menyambar sebatang kayu di dekatnya. Dengan 

kayu sebagai alat pertahanan, dia berhasil men-

gimbangi cecaran golok Ronggo Kosworo.

Hanya sesaat, karena golok di tangan la-

wan sudah memapas buntung batang kayu yang 

dipegangnya.

Crak!

Bila lelaki tua itu tidak buru-buru mundur, 

tak mustahil kepalanya akan tercacak pula.

"Gila! Dengan tangan kosong saja aku be-

lum tentu berhasil mengalahkannya, apalagi se-

karang manusia laknat itu mempergunakan go-

lok!" dengus Rawung Menggolo dengan wajah 

pias. Dan kembali harus menghindari cecaran golok yang datang beruntun itu. Baju putih kusam-

nya tercacak, menyerempet kulitnya yang terasa 

perih. Melihat goresan di bagian dada lawan, 

Ronggo Kosworo semakin beringas.

Bertubi-tubi goloknya diayunkan.

Wuuut! Wuuuttt!

Dan semakin tunggang-langgang lelaki tua 

itu dibuatnya. Celana di bagian paha kanannya 

kembali tergores, kali ini bukan hanya menggores 

kulitnya pula, bahkan daging di pahanya terca-

cah.

"Aaakhhh!!"

Lelaki tua itu jatuh terduduk. Darah men-

galir dari pahanya yang terluka.

"Mampuslah kau, Orang Tua hinaaa!" te-

riakan mengguntur mengudara, menyusul kilatan 

golok terterpa sinar matahari mengarah pada ke-

pala Rawung Menggolo.

Rawung Menggolo seakan tak mampu lagi 

menahan gempuran mematikan itu. Namun, satu 

bentakan keras mengurungkan niat Ronggo Kos-

woro.

"Tahaaannn!"

Satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam 

dengan wajah diselubungi kain hitam muncul di 

sana. Di punggung lelaki yang tak kelihatan wa-

jahnya terdapat sebilah pedang.

"Tuan!" seruan Ronggo Kosworo terdengar 

dan orangnya sudah menjatuhkan diri. Sementa-

ra Rawung Menggolo menoleh dengan kening ber-

kerut menatap sosok hitam-hitam yang baru da-

tang yang berdiri tegak dengan melipat kedua

tangannya.

"Mana keris pusaka Gagak Biru, Ronggo?" 

suara berat dan dingin terdengar.

"Oh! Ada, Tuan... ada...."

"Ambil cepat!"

Kalau tadi Ronggo Kosworo berada dalam 

kemarahan dan kekejamannya, nampak sekali 

sekarang dia ketakutan menghadapi lelaki yang 

baru datang ini. Terburu-buru dia masuk kembali 

ke dalam bangunan besar itu menuju ke kamar-

nya. Salah satu tegel yang ada di kamar itu di ba-

gian sudut kiri, dibukanya. Diambilnya satu 

bungkusan kain kusam di bawahnya. Bergegas 

dia kembali lagi ke depan.

Membungkuk dia memberikan bungkusan 

itu pada lelaki bertopeng hitam yang mengambil-

nya. Sementara Ronggo Kosworo mundur lima 

tindak, lelaki bertopeng hitam itu membuka 

bungkusan. Dan terdengar tawanya yang keras. 

Di tangannya terdapat sebuah keris yang luar bi-

asa bagusnya. Ketika ditarik, cahaya biru berpen-

dar menyilaukan mata.

"Hahaha... dengan keris pusaka ini, aku 

akan menuju ke kerajaan. Dan tentunya, tak la-

ma lagi aku akan menguasai Kadipaten Harum 

Raksa!" Lelaki bertopeng hitam memasukkan lagi 

keris pusaka Gagak Biru ke warangkanya. Lalu 

berkata pada Ronggo, "Di mana Gonggo Sirat dan 

Jombrang?"

"Maaf, Tuan.... Gonggo Sirat terluka, se-

mentara Jombrang telah mampus."

"Gila! Apa yang terjadi?" bentak lelaki ber

topeng hitam. Dari balik topengnya, kedua ma-

tanya memancarkan kegusaran tinggi.

Ronggo Kosworo bagai menemukan satu 

tempat mengadu. Diceritakan apa yang terjadi.

"Setan alas! Pendekar Slebor! Ingin kuke-

tahui apakah dia mampu menghadapi kesaktian 

keris pusaka ini!" geram lelaki bertopeng hitam. 

Tiba-tiba dia meloncat dan keris Gagak Biru di 

tangannya ditusukkan pada sebatang pohon.

Clep!

Pohon yang tertusuk oleh keris Gagak Biru, 

mendadak saja bergetar. Ketika dicabut keris itu, 

mendadak pohon yang tadinya segar kini melayu. 

Daun-daunnya berguguran. Dalam waktu singkat 

rontok seluruhnya.

Bukan hanya Ronggo Kosworo yang terpe-

ranjat, Rawung Menggolo pun menjadi pucat. Se-

suatu yang makin dirasakan mengerikan, sema-

kin kuat mengikat tubuhnya.

Sementara lelaki bertopeng hitam itu me-

masukkan lagi keris pusaka Gagak Biru ke wa-

rangkanya kembali. Tawanya mengumandang ke-

ras.

"Luar biasa! Sekian lama aku mendamba-

kan keris pusaka ini dan sekarang telah berada di 

tanganku! Kau menjaganya dengan baik, Ronggo!"

Ronggo Kosworo tersenyum.

"Karena, Tuanlah yang membebaskan aku 

dan kedua temanku dari penjara kadipaten!"

"Rasa terima kasihmu kuterima. Masa hu-

kumanmu seharusnya masih lima tahun lagi, 

Ronggo!"

"Aku mengerti, Tuan."

"Mata jeliku tak sia-sia melihat kau dan 

kedua temanmu akan menjadi kaki tanganku un-

tuk mencapai apa yang selama ini kucita-citakan! 

Sudahkah kau mengumpulkan harta yang kumin-

ta?"

"Ya, ya... Tuan, jumlahnya sangat banyak 

sekali."

"Bagus! Dengan harta itu aku akan men-

gumpulkan para pemuda untuk menjadi para 

prajurit. Bila Raja tidak menerima keinginanku 

untuk menjadi adipati di Kadipaten Harum Rak-

sa, dengan pemuda-pemuda yang kubujuk men-

jadi prajurit itu akan kubawa untuk melakukan 

aksi pemberontakan."

"Rencana yang sempurna, Tuan...," kata 

Ronggo Kosworo semakin menjilat, Sementara 

Rawung Menggolo makin merasa getaran kema-

tian yang mengikat dirinya.

Dan dia melangkah ketika mendengar ben-

takan keras dari lelaki bertopeng hitam itu pada 

Ronggo Kosworo, "Habisi lelaki tua hina itu!"

"Pencuri kurang ajar! Rupanya engkaulah 

yang melakukan tindakan busuk di dalam kadi-

paten!" terdengar seruan itu sebelum Ronggo 

Kosworo melakukan perintah yang sangat menye-

nangkannya. Serentak yang berada di sana meno-

leh. Dan melihat satu sosok tubuh berbaju hijau 

pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang 

melilit di lehernya, sedang duduk menguncang 

kaki di sebuah ranting pohon, di bibirnya tergigit 

sebatang alang-alang. "Ayo lepas selubung kepala

jelekmu itu! Aku ingin lihat tampang kayak mo-

nyetkah yang ada di balik selubung itu?! Atau, 

genderuwo kesiangan yang lagi menyamar?"

Menggigil tubuh lelaki bertopeng hitam 

mendengar kata-kata itu. Lebih menggigil lagi sa-

rat dengan kemarahan ketika melihat siapa yang 

berada di ranting pohon itu.

"Sejak kemunculanmu ke Kadipaten Ha-

rum Raksa, aku tahu kau akan menjadi duri dari 

segala cita-citaku ini, Pendekar Slebor!"

Andika menyeringai. Membuang alang-

alang yang diisapnya. "Pahit!" desisnya lalu meng-

garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu se-

perti berkata pada alang-alang yang barusan di-

buangnya dia berkata tak acuh, "Ada orang bodoh 

yang mengatakan aku ini duri! Padahalkan rum-

put ya... hahaha!"

Sikapnya yang tak acuh itu diartikan men-

gejek oleh lelaki bertopeng hitam. Di balik topeng, 

wajah lelaki itu memerah. Darahnya mendidih.

"Setan keparat!" geramnya tinggi.

Andika mengangkat kepalanya. Lalu seperti 

orang dungu pemuda urakan itu celingukan dan 

seolah tak menemukan apa yang dicarinya, dia 

kembali menatap pada lelaki bertopeng hitam 

yang sedang menatapnya marah.

"Siapa sih yang kau maksudkan dengan se-

tan keparat? Jangan-jangan, kau memelihara se-

tan, ya? Pantas, perbuatan mencuri itu cuma di-

lakukan oleh setan belaka!"

Ronggo Kosworo yang merasa bisa men-

gambil perhatian lelaki bertopeng hitam itu, melompat lima tindak ke muka. Tatapannya dingin 

mengarah pada Andika yang masih bersikap san-

tai.

"Pemuda yang selalu ingin mencampuri 

urusan orang lain! Lembah Tirai akan menjadi 

kuburanmu, Pendekar Slebor!"

"Nah! Bagus itu! Jadinya aku tidak mere-

potkan orang lain, bukan? Tetapi, aku masih 

doyan makan nasi kebuli! Bagaimana bila kau du-

lu yang mampus? Dan nasi kebuli yang siap kau 

makan buatku?"

Gerengan keras dan kemarahan yang siap 

tumpah tak bisa dibendung lagi. Dengan mem-

pergunakan kekuatan kedua kakinya, lelaki ber-

codet itu menderu ke arah Pendekar Slebor.

Golok tajamnya diayunkan.

Wuuuttt! 

Crak!

Ranting yang diduduki Andika terpapas 

menjadi dua. Tetapi, pemuda yang mendudukinya 

tak ada di tempat. Geram Ronggo Kosworo men-

ginjakkan kedua kakinya lagi di tanah. Dia celin-

gukan seperti anak ayam kehilangan induk men-

cari Andika.

Tahu-tahu dirasakan bahunya ditepuk se-

seorang dari belakang. Cepat dia menoleh dan....

Tak!

Jidatnya dijitak oleh orang yang menepuk 

bahunya tadi, yang tak lain Pendekar Slebor.

"Kena deh!" seringai Pendekar Slebor.

Jitakan yang dilakukan itu bukan jitakan 

sembarangan. Tetapi jitakan penuh tenaga. Maka

tak urung lelaki bercodet itu kelojotan dan jidat-

nya menonjol seperti telur sambil memegang jidat 

nonongnya.

"Nah! Aku masih baik kan? Coba kalau aku 

jahat! Telur di jidatmu ada tiga biji! Dan kalau 

aku jahat lagi, kantong menyanmu yang akan ku-

bikin jadi besar!"

Sementara Ronggo Kosworo menjerit kesa-

kitan dan Rawung Menggolo hanya memperhati-

kan dengan tegang, lelaki bertopeng hitam sudah 

maju tiga tindak. Bola mata di balik topeng hi-

tamnya membesar.

"Kuperingatkan kepadamu, Pendekar Sle-

bor! Jangan campuri urusan ini bila tidak ingin 

mampus!" suaranya dingin, penuh hawa kema-

tian.

"Campur telur bebek atau telur ayam, nih?" 

seloroh pemuda urakan masih bersikap santai. 

Bahkan dengan santainya, dia menyatukan dua 

tangannya ke belakang dan melangkah dua tin-

dak. Sikap berdirinya agak doyong. 

"Kau membuka jalan kematianmu sendiri, 

Pendekar Slebor!" bentak lelaki bertopeng hitam 

sengit.

"Nah, lewat kanan atau kiri? Atau... kau 

sendiri yang telah tahu jalan kematianmu itu? Le-

laki jelek, lebih baik ikut aku ke kadipaten untuk 

diadili karena perbuatan busukmu itu! Mana pan-

tas sih, lelaki busuk seperti kau menjadi adipati. 

Ini kan lucu? Mengalahkan badut-badut di kota-

praja!"

"Setan keparat! Terimalah kematianmu,

Pendekar Slebor!" dikawal angin keras, tubuh le-

laki bertopeng hitam sudah meluncur. Pedang di 

punggungnya sudah diloloskan.

***

11


Mendapati serangan berkekuatan tinggi, 

pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu memi-

ringkan tubuhnya. Dan ketika dia hendak susul-

kan satu jotosan, pedang di tangan lawan mene-

kuk dan menusuk dari bawah. 

"Wiiihhh!! Hebat juga kau, Jelek!" dengus-

nya sambil melenting ke belakang. "Kenapa tidak 

jadi penggembala kambing saja, sih?"

Tetapi lawan tak mau menghentikan se-

rangannya. Lelaki bertopeng hitam itu pun sadar 

kalau lawan bukanlah orang sembarangan. Jurus 

‘Pedang Membelah Langit’ segera dipergunakan. 

Mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. 

Setiap kali pedang dikibaskan, suara angin ber-

gemuruh terdengar hebat.

Sesaat Andika pun kehilangan bentuk pe-

nyerangannya. Yang dilakukan hanyalah berusa-

ha menghindar dari setiap sabetan pedang. Sete-

lah beberapa kali hal itu terjadi, otaknya yang 

encer bisa menangkap kelemahan jurus pedang 

yang dimainkan lawan.

Berulang kali pedang lawan selalu menga-

rah pada bagian-bagian yang mematikan. Bahkan

tangan dan kaki Andika seolah tak diinginkan se-

bagai sasaran. Selain itu, setiap kali lawan me-

nyerang, Andika melihat bagian kanan di mana 

lawan memegang pedangnyalah sebagai bagian 

terlemah.

Berpikir begitu, ketika lelaki bertopeng hi-

tam itu mengarahkan pedang ke arah tenggoro-

kan, Andika tidak lagi menghindar seperti tadi. 

Tetapi seakan membiarkan saja lehernya menjadi 

sasaran senjata lawan.

Hal itu membuat lawan makin bernafsu. 

Namun ketika beberapa centi saja pedangnya siap 

menusuk lehernya, Andika cepat memiringkan 

kepalanya ke kanan dan tangan kanannya berge-

rak. Bukan memukul bagian kiri lawan yang ter-

buka, melainkan menghantam pangkal lengan la-

wan bagian kanan!

Buk!

Aliran darah di tangan lelaki bertopeng hi-

tam itu bagai membeku. Tak sadar dia mengelua-

rkan seruan kecil, bersamaan tubuhnya yang ter-

huyung ke belakang. Kalau Andika ingin segera 

menghabisinya, dengan satu gebrakan lawan pas-

ti sudah meregang nyawa. 

Tetapi, jeritan yang terdengar tadi, meski-

pun hanya sebentar, telah menggugah satu piki-

ran lain di otaknya yang encer. Andika merasa 

mengenali suara itu. Kalau sejak semula, lelaki 

bertopeng hitam bersuara berat, namun jeritan-

nya yang tak sengaja tadi telah menunjukkan su-

ara aslinya. Berarti, suara berat itu bukan suara 

aslinya!

tangan dan kaki Andika seolah tak diinginkan se-

bagai sasaran. Selain itu, setiap kali lawan me-

nyerang, Andika melihat bagian kanan di mana 

lawan memegang pedangnyalah sebagai bagian 

terlemah.

Berpikir begitu, ketika lelaki bertopeng hi-

tam itu mengarahkan pedang ke arah tenggoro-

kan, Andika tidak lagi menghindar seperti tadi. 

Tetapi seakan membiarkan saja lehernya menjadi 

sasaran senjata lawan.

Hal itu membuat lawan makin bernafsu. 

Namun ketika beberapa centi saja pedangnya siap 

menusuk lehernya, Andika cepat memiringkan 

kepalanya ke kanan dan tangan kanannya berge-

rak. Bukan memukul bagian kiri lawan yang ter-

buka, melainkan menghantam pangkal lengan la-

wan bagian kanan!

Buk!

Aliran darah di tangan lelaki bertopeng hi-

tam itu bagai membeku. Tak sadar dia mengelua-

rkan seruan kecil, bersamaan tubuhnya yang ter-

huyung ke belakang. Kalau Andika ingin segera 

menghabisinya, dengan satu gebrakan lawan pas-

ti sudah meregang nyawa. 

Tetapi, jeritan yang terdengar tadi, meski-

pun hanya sebentar, telah menggugah satu piki-

ran lain di otaknya yang encer. Andika merasa 

mengenali suara itu. Kalau sejak semula, lelaki 

bertopeng hitam bersuara berat, namun jeritan-

nya yang tak sengaja tadi telah menunjukkan su-

ara aslinya. Berarti, suara berat itu bukan suara 

aslinya!

Namun belum lagi Andika berhasil menge-

nali siapa pemilik suara itu, Ronggo Kosworo yang 

kini di jidatnya ada sebuah benjolan, menyerang 

dengan goloknya.

Wuuuttt!

"Fuih!" dengus Andika dan sekali memutar 

tubuh, kakinya sudah mendarat telak di kepala 

lelaki bercodet itu. Terhuyung dan hilang keseim-

bangan, lelaki bercodet itu ambruk jatuh pingsan. 

"Tuh akibatnya kalau berani membokong!"

"Heaaa!" seruan keras itu membahana, 

bersamaan lelaki bertopeng hitam sudah menye-

rang lagi, memupuskan pikiran Andika kembali.

Namun kali ini, Andika yang telah berhasil 

memecahkan kelemahan jurus lawan tanpa ba-

nyak kesulitan kembali menggedor tangan kanan 

lawan. Kali ini rasa linu menjalari tubuh lelaki 

bertopeng hitam.

Dia segera mundur dan buru-buru menga-

lirkan tenaga dalamnya, menghentikan linu yang 

tak terkira.

"Kini terbuka mataku tentang siapa kau 

sebenarnya, Pendekar Slebor! Tetapi, bersiaplah 

menerima kematian!!" sehabis berkata begitu, le-

laki bertopeng hitam membuang pedangnya dan 

mencabut keris pusaka Gagak Biru yang tadi dis-

elipkan di pinggangnya.

Andika yang sebelumnya sempat melihat 

cahaya biru menyilaukan keluar dari keris pusa-

ka itu, diam-diam mengaguminya. Sebenarnya 

ketika Ronggo Kosworo tadi hendak menghabisi 

Rawung Menggolo yang terduduk tak berdaya,

Andika sudah tiba di sana. Ketika dia hendak 

menolong lelaki tua yang lemah itu, mendadak 

sudut matanya menangkap kelebatan bayangan 

hitam ke arah keduanya. Segera Andika mengu-

rungkan niatnya ketika mendengar orang yang 

muncul itu berteriak menahan serangan Ronggo 

Kosworo pada Rawung Menggolo. Dan kini di-

sadarinya kalau lenyapnya Rawung Menggolo di-

karenakan lelaki tua itu mengikuti ke mana per-

ginya Ronggo Kosworo. Di hati Andika, teka-teki 

yang membentang di kepalanya makin membesar. 

Hanya sekarang, siapakah lelaki bertopeng hitam 

itu?

"Tak pantas lelaki hina semacam kau me-

megang keris pusaka itu!" serunya dengan tata-

pan menyipit. Kali ini kemarahan mulai menjalari 

hatinya. "Bukan hanya manusia yang akan men-

gutuk perbuatan busuk itu, alam pun akan ma-

rah padamu!"

Lelaki bertopeng hitam terbahak-bahak.

"Peduli setan dengan ucapanmu! Kau be-

runtung, Pendekar Slebor. Karena begitu pertama 

kali melihat pusaka ini, kau sudah akan merasa-

kan kehebatannya."

"Omonganmu cukup mengedarkan sapi 

ompong! Sayangnya aku bukan sapi dan tidak 

ompong!"

"Laknat! Lihat serangan!"

Usai berkata begitu, tubuh lelaki bertopeng 

hitam sudah menderu. Dalam jarak tiga tombak, 

Andika sudah merasakan hawa panas menderu 

ke arahnya. Rasa panas yang menjalar itu, mendadak bagai membuat sekujur tubuhnya terbakar 

ketika keris pusaka Gagak Biru mengibas ke 

arahnya.

Cepat dia bergulingan dan merasakan bulu 

kuduknya meremang. Belum lagi dia tegak berdi-

ri, serangan berikutnya menyusul. Hawa panas 

yang luar biasa menyambar-nyambar mengeri-

kan. Dirasakan oleh Andika kalau saat ini mata-

hari begitu dekat dengan ubun-ubunnya.

"Monyet pitak! Bagaimana caraku untuk 

menerobos serangannya? Bila aku mencoba men-

dekat, panas yang menjalar itu terasa membakar 

tubuhku. Sulit bagiku untuk menahannya. Bila 

aku terus menerus berlompatan kayak monyet 

kebakar buntutnya, bisa-bisa tenagaku yang ter-

kuras. Apakah bila kualirkan tenaga 'Inti Petir' di 

sekujur tubuhku, panas itu bisa dikalahkan?"

Memikir sampai di situ, masih dalam kea-

daan bersalto, Andika mengalirkan tenaga 'Inti 

Petir'. Tenaga yang mengalir setelah dia memakan 

buah 'Inti Petir'. (Untuk mengetahui hal itu, sila-

kan baca episode pertama dari serial Pendekar 

Slebor: "Lembah Kutukan")

Bertepatan dengan itu lawan sedang melu-

ruk ke arahnya. Pancaran panas dari keris pusa-

ka Gagak Biru, membuat Andika tercekat. Lebih 

kaget lagi menyadari aliran panas dalam tubuh-

nya menjadi kacau. Seketika Andika melompat 

menjauh seraya menurunkan tenaga 'Inti Petir'.

"Kura-kura bau! Keris itu benar-benar sen-

jata yang ampuh! Panas pengaruh tenaga 'Inti Pe-

tir' justru merupakan satu paduan yang kontras!

Bisa-bisa aku yang terbakar!"

Kembali sambil menghindari serbuan be-

runtun itu, Andika memikirkan cara untuk melo-

loskan diri sekaligus membalas. Mendadak dia 

berteriak keras dan memutar tubuh, bersamaan 

dengan itu, suara dengungan laksana ribuan ta-

won marah menggemuruh.

Wusss!

Lelaki bertopeng hitam tercekat. Cepat dia 

melompat bila tak mau tersambar kain bercorak 

catur yang telah dikebutkan Andika. Wajah di ba-

lik selubung hitam itu pias. Namun tak mengu-

rangi niatnya untuk menghabisi Pendekar Slebor.

Akan tetapi, dalam sekali gebrak saja, An-

dika tahu kalau kekuatan kain pusaka warisan Ki 

Saptacakra yang merupakan sebuah senjata sakti 

mengerikan, mampu mengimbangi keris pusaka 

Gagak Biru.

Makanya, ketika lawan menyerbunya kem-

bali, dengan pencalan satu kaki Andika pun me-

luruk seraya mengibaskan kain bercorak catur-

nya lagi.

Ngngng!!

Dengungan dahsyat membedah Lembah Ti-

rai, dedaunan berguguran. Tubuh lelaki berto-

peng hitam terdorong dua tombak terkena samba-

ran angin kain bercorak catur. Tubuhnya geme-

tar. Namun kemarahannya makin meninggi.

Andika yang sekarang menemukan bentuk 

penyerangannya, tak mau bertindak ayal. Yang 

terpenting sekarang, keris pusaka Gagak Biru ha-

rus berpindah tangan.

"Maaf, ya? Aku menyerang nih!"

Dengan satu sentakan kuat, dikibaskan 

kembali kain bercorak catur di saat lawan tengah 

berdiri dengan gamang. Di saat lawan menghin-

dar, dengan satu totokan tajam, Andika menotok 

pangkal lengan kanan lawan. Keris yang dipe-

gangnya jatuh. Cepat Andika menyambarnya dan 

berdiri mundur tiga tombak.

Ditatap penuh kekaguman keris di tangan-

nya.

"Bukan main! Senjata pusaka di tangan 

manusia biadab ini akan banyak menimbulkan 

korban. Dan keris ini salah satu tanda seseorang 

menguasai Kadipaten Harum Raksa," batinnya. 

"Pemuda lancang! Kembalikan keris itu ke-

padaku!" bentakan itu terdengar, tidak lagi ber-

suara berat.

Andika mengerutkan keningnya. Kali ini 

dia yakin, mengenali orang di balik topeng itu. Ke-

tika lawan menyerang, dia bergerak cepat. Mema-

paki dua jotosan sekaligus, melenting ke atas 

tangan-tangannya menyambar selubung hitam di 

wajah lawan.

Sebelum dia hinggap di tanah, seruannya 

terdengar, "Panglima Darta Sena keparat! Seluruh 

permainanmu telah usai!"

Orang dibalik selubung hitam itu tergagap, 

menoleh dengan kemarahan tinggi.

Andika berbalik, "Tepat dugaanku."

"Setan alas! Kucincang tubuhmu!" dalam 

keadaan kalap, orang di balik selubung hitam 

yang ternyata Panglima Darta Sena menerjang

dengan kekuatan tinggi.

Namun kali ini Andika tak bertindak ayal. 

Disongsongnya serangan itu dan dihantamnya 

dada Panglima Darta Sena yang terhuyung ke be-

lakang. Muntah darah sambil mendekap dadanya 

kuat-kuat.

"Teka-teki telah terbuka sekarang," desis 

Andika. "Panglima... dari kata-katamu sebelum-

nya pada Ronggo Kosworo tadi aku yakin, kalau 

engkaulah yang telah membujuk Adipati untuk 

membebaskan mereka. Dikarenakan kau mem-

punyai rencana lain di balik semua ini. Kau yang 

memiliki kunci ruang simpan dalam Kadipaten 

Harum Raksa, tak sulit untuk masuk ke sana. 

Dan mengambil keris pusaka Gagak Biru yang 

kemudian kau serahkan pada Tiga Iblis Golok Se-

tan yang tentunya menurut perintahmu karena 

mereka berhutang budi padamu!"

Panglima Darta Sena meringis. Sesung-

guhnya, kedatangannya ke Lembah Tirai selain 

untuk meminta keris pusaka Gagak Biru yang di-

titipkan pada Tiga Iblis Golok Setan, juga untuk 

mengambil harta jarahan tiga manusia laknat itu. 

Yang tak disangkanya, dia justru bertemu dengan 

Pendekar Slebor.

"Andika... topeng telah terbuka, jalan ma-

kin membara. Kuakui, semua ini memang renca-

naku. Aku bosan menjadi panglima terus mene-

rus. Hingga kuputuskan untuk merencanakan 

semua ini. Kubujuk Adipati untuk melepaskan ti-

ga bajingan tengik itu. Dengan kunci yang kumi-

liki, kucuri pusaka Gagak Biru. Rencanaku selan

jutnya, membiarkan Tiga Iblis Golok Setan menja-

rah penduduk, sesuai dengan keinginanku. Harta 

telah terkumpul, dan siap untuk menghadap Raja 

dan melakukan pemberontakan pada Kadipaten 

Harum Raksa."

"Dan aku yakin, engkaulah yang mengata-

kan kepada tiga begundal itu di mana Gamang 

Markuto bersembunyi."

"Kau tak salah, Andika. Otakmu sangat 

cerdik. Aku yakin, ketiganya sangat mendendam 

pada Gamang Markuto. Biarlah mereka yang 

membunuh lelaki itu. Sementara aku tetap bersi-

kap sebagai seorang panglima, yang memerintah-

kan untuk menjaga keselamatan kadipaten dan 

menangkap kembali Tiga Iblis Golok Setan."

"Pantas tak ada yang berhasil menemukan 

di mana manusia-manusia itu berada. Tentunya, 

kau telah menyesatkan langkah anak buahmu 

sendiri. Sekarang aku yakin, mengapa kau men-

gatakan tentang hilangnya keris pusaka Gagak 

Biru kepadaku. Karena, kau ingin menutupi be-

langmu, sehingga sepak terjangmu tak akan ke-

tahuan siapa pun juga."

"Dan kau sangat cerdik berhasil memecah-

kan semua ini. Selamat tinggal, Pendekar Slebor!" 

dengan gerak cepat, Panglima Darta Sena me-

nyambar pedangnya yang dibuangnya tadi. Lalu 

ditusukkan ke dadanya.

Andika tercekat, tetapi dia telah terlambat.

"Sayang sekali... kau dibutakan oleh keku-

asaan, Panglima." 

Keheningan melanda tempat itu. Burung

burung elang meneriakkan suara mengerikan di 

angkasa.

Keheningan dipecahkan oleh suara Rawung 

Menggolo, "Terima kasih atas bantuanmu, Andi-

ka. Bila kau tidak muncul, nyawa tuaku akan me-

layang...."

Andika cuma tersenyum.

"Mengapa harus berpura-pura lagi, Ga-

mang Markuto?"

Lelaki tua itu melengak. Tetapi detik ke-

mudian dia menarik napas panjang dan men-

gangguk-angguk.

"Yah, kau sangat cerdik, Andika...," terden-

gar suara itu, lebih rendah dari suara Rawung 

Menggolo. Lalu tangan kanan lelaki tua itu men-

gusap wajahnya. Ketika tangannya diturunkan, 

nampaklah wajah Gamang Markuto!

"Banyak sekali teka-teki yang kuhadapi 

saat ini," batin Andika. "Dendammu sudah terba-

las, Gamang Markuto. Meskipun aku tak menyu-

kai dendammu itu, namun semuanya telah terja-

di."

"Bagaimana kau bisa menebak semua ini, 

Andika?"

Andika tersenyum.

"Pertanyaan mudah. Pertama, aku men-

dengar satu keanehan dari cerita Panglima Darta 

Sena ketika aku datang ke kadipaten dan masih 

menyangkanya orang baik-baik. Menurut Pangli-

ma, setiap kali mereka mendatangi kediamanmu, 

selalu tak menjumpai kau, istri, dan anakmu. Ke-

herananku makin berlanjut ketika kusadari tak

satu rumah pun berada di sana. Tak seorang pun 

mendiami tempat itu kecuali kau, istri, dan 

anakmu. Kedua, pertama kali bertemu denganmu 

sebagai Rawung Menggolo kau mengatakan tem-

pat tinggalmu membutuhkan dua kali penanakan 

nasi dari Bukit Teduh. Bagaimana bisa Gamang 

Markuto mengatakan semua itu bila tiba-tiba di-

lihatnya prajurit kadipaten datang? Ketiga, kau 

dengan mudahnya bisa tahu tempat pelacuran di 

mana Tiga Iblis Golok Setan datang. Dan bagai di-

rencanakan kau bisa bertemu mereka. Kesimpu-

lanku, kau memang tahu tempat itu, karena kau 

sendiri sering datang ke sana."

Gamang Markuto mengangguk-anggukkan 

kepalanya.

"Heran aku jadinya! Apa yang menyebab-

kan kau menyamar seperti itu, sih? Tidak usah 

menyamar wajahmu juga sudah jelek!"

"Karena aku tahu, kau pasti akan mengha-

langi niatku untuk membalas dendam."

"Dari mana kau pelajari cara menyamar 

itu?"

"Kebisaan yang kudapatkan begitu saja. 

Karena, sebelum aku menikah aku menjadi seo-

rang buronan yang berpindah dari satu tempat ke 

tempat lain. Lalu kucoba untuk menyamar dan 

berhasil mengelabui orang-orang, hingga kebisaan 

ini pun melekat padaku."

"Di mana kau sembunyikan anak dan is-

trimu bila prajurit kadipaten datang dan kau me-

nyamar sebagai Rawung Menggolo? Tentunya kau 

tidak menelan mereka dalam perutmu kemudian

kau muntahkan lagi, kan?"

"Di kamarku, telah kugali sebuah lubang 

besar yang kututupi dengan kayu-kayu. Di sana-

lah kusembunyikan anak dan istriku yang seka-

rang telah tiada...."

Andika mendesah pendek.

"Gamang... semuanya sudah selesai. Lebih 

baik, kau ikut aku ke kadipaten. Katakan, kaulah 

yang menangkap begundal-begundal ini sekaligus 

menemukan jejak siapa pencuri keris pusaka Ga-

gak Biru. Mudah-mudahan... Adipati mau men-

gampuni segala kesalahanmu...."

Gamang Markuto tak menjawab. Namun, 

perasaannya membenarkan kata-kata Andika.

Perlahan-lahan dianggukkan kepalanya.

Andika teringat akan adik Wening. Cepat 

dia berkelebat ke dalam dan melihat seorang ga-

dis tengah pingsan. Rupanya, meskipun tak me-

rasakan sakit akibat pukulan Ronggo Kosworo, 

Harti tak kuasa juga bertahan.

Diperiksanya tubuh gadis malang itu. Sete-

lah dialirkan tenaga dalam dan diberi pil penghi-

lang rasa sakit, Andika membopong tubuh Pan-

glima Darta Sena.

Bersama Gamang Markuto yang membo-

pong tubuh pingsan Ronggo Kosworo, Andika 

berkelebat untuk menjumpai Wening. Untuk se-

lanjutnya menyerahkan begundal-begundal itu 

pada Adipati Gaung Surya.

Hanya sesuatu yang pedih mengaliri pera-

saannya. Dibayangkan bagaimana sikap Wening 

nanti bila mengetahui keadaan adiknya.

"Ah... mudah-mudahan gadis itu tabah 

menerimanya."


                              SELESAI



Segera terbit!!

Serial Pendekar Slebor dalam episode:

GOA TERKUTUK






















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive