DARAH DARAH LAKNAT
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Pagi masih muda. Angin berhembus semi-
lir, seperti mengabarkan berita baik bagi siapa sa-
ja yang merasakan belaiannya. Matahari belum
begitu menyengat. Mengkristalkan panah merah-
nya bersama hembusan angin.
Bukit kecil yang ditumbuhi pepohonan rin-
dang itu terletak di sebelah utara Gunung Kerinci.
Berjarak ribuan tombak dari sana. Tempat yang
nyaman dan permai itu ternyata berpenghuni dan
disebut Bukit Teduh. Ada sebuah bangunan yang
tak begitu besar di sisi sebelah kirinya. Di bela-
kang rumah itu terdapat ladang jagung yang cu-
kup subur.
Di ladang jagung itu, seorang lelaki berusia
kira-kira empat puluh lima tahun, sedang asyik
memanen jagung. Yang sedianya dijual di pasar
yang cukup jauh jaraknya dari sana. Tetapi lelaki
yang berwajah cukup cakap dengan tubuh kekar
bertelanjang dada itu, tak menghiraukan berapa
jauhnya jarak pasar dari tempat tinggalnya.
Baginya, bertempat tinggal di bukit itu,
sangat menyenangkan sekali. Jauh dari segala
masalah yang membisingkan. Dia teringat bebe-
rapa kali istrinya yang berusia dua puluh tujuh
tahun itu mengajak untuk pindah. Tetapi dengan
sikap yang bijak si lelaki yang bernama Gamang
Markuto selalu memberikan jawaban yang bisa
menyenangkan istrinya. Padahal sesungguhnya,
ada sesuatu di balik semua ini. Dan Gamang
Markuto tak ingin hal itu diketahui istrinya.
Di tepi ladang jagung yang diberi pagar dari
kayu-kayu itu, nampak seorang anak yang beru-
sia sepuluh tahun sedang asyik bermain. Ru-
panya dia tengah membuat perahu-perahuan dari
pelepah daun jagung.
Bocah itu bernama Dali Gunarso. Putra da-
ri Gamang Markuto dan istrinya.
Selagi Gamang Markuto asyik memanen ja-
gung sementara anaknya terus sibuk dengan ke-
giatannya, tiba-tiba terdengar seruan bocah itu.
"Ayah! Ada orang datang!"
Gamang Markuto menghentikan kegiatan-
nya sejenak. Dia berdiri tegak. Butir-butir kerin-
gat membasahi sekujur tubuhnya. Di kejauhan,
dilihatnya tiga ekor kuda sedang menuruni bukit
di sebelah selatan. Kegembiraannya memanen ja-
gung itu mendadak sirna. Hatinya berdebar keras
tak menentu. Sesuatu yang selama ini dipendam
dan dirahasiakannya, mendadak bergejolak. Sua-
sana yang nyaman itu terasa oleh Gamang Mar-
kuto sangat mencekam sekali.
"Merekakah yang datang?" desisnya panik.
Dipicingkan matanya kembali. Sesaat perasaan-
nya makin tak menentu. "Kalau benar manusia-
manusia dajal itu yang datang, bisa berabe!" Ber-
gegas dia menghampiri putranya dan bermaksud
mengajaknya masuk.
Tetapi sebelum dia melakukannya, tiga
ekor kuda yang ditunggangi oleh tiga lelaki berju-
bah hitam panjang dan tergerai dipermainkan an-
gin, telah tiba di hadapannya. Berhenti pada jarak
sepuluh tindak.
Masing-masing penunggang kuda itu me-
natap tak berkedip pada Gamang Markuto yang
mendadak menjadi tegak.
"Lama kami mengarungi tempat, menjela-
jah penjuru, tidak tahunya yang dicari bersem-
bunyi di sini," salah seorang dari ketiga laki-laki
itu berkata sambil terbahak-bahak. Wajahnya pe-
nuh codetan. Rambutnya tergerai panjang dengan
mata tajam yang membersitkan kelicikan. "Apa
kabarmu, Gamang Markuto?"
Untuk sejenak Gamang Markuto menge-
rutkan kening. Dicobanya untuk mengenali wajah
laki-laki yang berseru tadi, "Ronggo Kosworo!" se-
runya tersentak.
Orang bercodet yang dipanggil Ronggo
Kosworo terbahak-bahak, keras hingga menggema
ke seluruh bukit. Sumirah, istri Gamang Markuto
yang sedang menanak di dapur rumah, bergegas
keluar karena suara tawa itu sangat asing sekali.
Begitu melihat istrinya keluar, Gamang
Markuto mendesah panjang. Tak mungkin seka-
rang ia bisa menahan istrinya. Sumirah mendeka-
ti anak dan suaminya. Dipegangnya tangan Dali
Gunarso dengan erat. Wanita cantik yang memili-
ki otak cerdik itu bisa meraba apa yang terjadi.
Karena, tak biasanya suaminya bersikap tegang
seperti itu. Apalagi, ketika ia melihat wajah ketiga
penunggang kuda berjubah hitam itu. Rata-rata
menyeramkan. Dan tatapan mereka melebar begi-
tu melihat dirinya.
Ronggo Kosworo kembali terbahak-bahak.
"Kulihat hidupmu begitu nyaman, Gamang. Istri
yang cantik dan anak yang cakap. Hmmm... tetapi
sikapmu tadi tak mengenakanku, Gamang. Apa-
kah kau sudah tidak mengenali kami lagi, hah?"
Gamang Markuto terdiam. Pandangannya
tak berkedip menatap Ronggo Kosworo yang ma-
sih terbahak-bahak. Perasaan Gamang Markuto
tidak tenang lagi. Tetapi sikapnya yang jantan
membuatnya berusaha untuk tenang.
"Sekarang, kita tak lagi mempunyai uru-
san. Semua sudah selesai. Lebih baik, pergi dari
sini!" suaranya gagah, mengandung tekanan.
"Kakang Ronggo...," kata yang menunggang
kuda di sebelah kiri lelaki bercodet itu. Matanya
sebelah picak. Ada daging yang tercacah di sana,
namun sudah lama mengering. "Manusia ini ter-
nyata masih punya nyali, tak pengecut seperti du-
lu. Dia mengusir kita. Apakah pantas kedatangan
kita yang sudah tiga bulan mencari manusia ke-
parat itu harus menerima perlakuan buruk sema-
cam ini?"
Ronggo Kosworo mengalihkan pandangan-
nya lagi pada Gamang Markuto.
"Kau dengar itu, Gamang? Kami datang se-
bagai tamu, tak layaknya kau sebagai tuan ru-
mah memperlakukan kami seperti ini, bukan?"
"Lima belas tahun yang lalu, semua masih
jadi urusanku! Tetapi sekarang, hidupku sudah
tenang! Jangan ganggu kehidupan yang kuban-
gun dengan susah payah ini!" seru Gamang Mar-
kuto.
Ronggo Kosworo meradang. "Manusia ke
parat! Bila kau tidak mengatakan di mana per-
sembunyian kita waktu itu, tak mungkin hidup
kami harus berakhir di penjara kadipaten! Apa-
kah kau pikir selama lima belas tahun hidup ka-
mi enak dan penuh kelayakan? Codet di wajahku
ini, picak di mata Gonggo Sirat dan pincangnya
kaki kiri Jombrang, ini adalah hasil siksaan ma-
nusia-manusia laknat di kadipaten! Sementara
kami terkena siksaan yang sangat pedih, kau
enak-enakan hidup bahagia! Menggeluti istrimu
yang cantik dan mempunyai anak yang cakap!
Memiliki rumah yang bagus, dan lading jagung
yang subur! Apakah kami akan diam saja untuk
tidak membalas perlakuan busukmu itu, hah?!"
Gamang Markuto terdiam. Ingatannya
kembali pada peristiwa lima belas tahun yang la-
lu. Dulu, ketiga orang berjubah hitam itu adalah
konco-konconya. Rencana perampokan di rumah
seorang saudagar kaya datang dari Ronggo Kos-
woro. Gamang Markuto saat itu menolak untuk
ikut serta. Meskipun ketiganya adalah sahabat-
nya, namun ia tak mau melakukan perbuatan
makar.
Tetapi ketiga temannya justru mengancam
akan membunuhnya bila ia tak mau ikut serta.
Dengan terpaksa, Gamang Markuto ikut serta da-
lam aksi perampokan itu. Tiga korban melayang
jiwanya. Saudagar kaya itu luka parah, sementara
istrinya diperkosa beramai-ramai. Gamang Mar-
kuto yang tidak mau ikut saat memperkosa istri
saudagar kaya itu, dengan berat hati mau tak
mau melakukannya karena golok di tangan Ronggo Kosworo sudah menempel di lehernya.
Dengan membawa hasil jarahan yang me-
limpah, mereka melarikan diri ke Gua Arca. Sebu-
lan lamanya mereka di sana dan sesekali keluar
untuk melihat keadaan. Aksi perampokan yang
disertai dengan kekerasan itu, sangat santer se-
kali pada waktu itu. Hingga Adipati Gaung Surya
yang menguasai Kadipaten Harum Raksa pun tu-
run tangan, karena saudagar itu juga termasuk
familinya. Pencarian besar-besaran pun dilaku-
kan.
Gamang Markuto yang pada dasarnya me-
nolak aksi kejahatan itu, memutuskan untuk ke-
luar dan menyerah. Ia tak sanggup berdiam diri
lebih lama di Gua Arca dengan membayangkan
bagaimana pedih dan sakitnya hati orang-orang
yang telah terbunuh dan istri saudagar kaya itu
yang mereka perkosa.
Sudah tentu Ronggo Kosworo marah besar
dengan usulnya. Ia ditempeleng habis-habisan
disertai cacian yang menyakitkan. Namun agak-
nya, pelarian mereka memang harus berakhir.
Prajurit kadipaten berhasil menemukan jejak me-
reka dan laporan seorang tua pemancing yang
merasa heran karena Gua Arca kini dihuni.
Para prajurit kadipaten pun melacak ke
sana. Bertepatan saat itu, Gamang Markuto se-
dang mandi di sungai. Alangkah terkejutnya ia
ketika kembali ke Gua Arca, dilihatnya ketiga te-
mannya dalam keadaan terikat diseret oleh tiga
ekor kuda. Padahal yang diketahuinya, ketiga te-
mannya itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Namun keadaan itu tidak begitu menghe-
rankan, karena di samping jumlah prajurit Kadi-
paten yang sangat banyak, juga penangkapan itu
dipimpin oleh Panglima Darta Sena, tangan kanan
Adipati Gaung Surya yang memiliki ilmu tinggi.
Tetapi, andaikata Panglima Darta Sena seorang
diri, dia pun tak akan mampu menangkap keti-
ganya. Jangankan menangkap, mengalahkannya
saja belum tentu.
Masih didengarnya makian Ronggo Koswo-
ro, "Ini ulah Gamang Markuto! Ia yang melapor-
kan kita berada di sini! Aku bersumpah, akan me-
lakukan pembalasan pada pengkhianat itu!!"
Gamang Markuto menjadi ketakutan luar
biasa. Di samping khawatir, ia akan ditangkap
pula, juga ketakutan karena ancaman Ronggo
Kosworo yang sebenarnya salah paham. Gamang
Markuto tak pernah melakukan hal itu. Meskipun
ia tak mau melakukan semua ini sebelumnya,
namun ia tak memiliki jiwa pengkhianat!
Ia bersembunyi di dalam sungai ketika pa-
ra prajurit kadipaten mencari-carinya. Dari kete-
rangan Ronggo Kosworo yang sangat geram pada
Gamang Markuto, para prajurit itu tahu kalau
masih ada seorang lagi buronan yang belum ter-
tangkap.
Menyelami sungai Gamang Markuto me-
nyeberang dan berlari sejauh mungkin. Tiba di
satu tempat ia menarik napas panjang. Tiba-tiba
ia teringat akan harta hasil jarahan mereka. Tak
dilihatnya sebelumnya para prajurit kadipaten
membawa hasil jarahan itu. Sudah tentu mereka
tak akan menemukannya. Karena hasil jarahan
itu diletakkan di bawah batu yang cukup besar
setelah dibuat lubang di dalamnya.
Setelah seminggu menunggu keadaan
aman, barulah Gamang Markuto mendatangi lagi
Gua Arca. Sekuat tenaga ia mendorong batu itu
dengan bantuan sebatang kayu besar sebagai
pengungkit. Digalinya lubang di bawah batu itu
dan ia pun kabur dengan hasil jarahan mereka.
Namun, tak sekali pun Gamang Markuto
mempergunakan hasil jarahan itu. Ia memu-
tuskan untuk bekerja di pasar yang terdapat di
kotapraja. Di sanalah ia bertemu dengan istrinya
yang rela meninggalkan rumah dan menghuni ta-
nah di sekitar Bukit Teduh itu.
Dan sekarang, manusia-manusia itu mun-
cul kembali. Gamang Markuto menghela napas
panjang.
"Ronggo... yang kau katakan itu salah be-
sar. Aku tak pernah mengkhianati kalian. Tak
pernah memberitahukan di mana kita bersem-
bunyi!"
"Setan keparat! Sejak dulu kau pandai ber-
silat lidah!"
"Dengar Ronggo, bila yang kau inginkan
adalah hasil jarahan kita waktu itu... aku masih
menyimpannya," kata Gamang Markuto merasa
hal itu lebih baik. Ia melirik istrinya yang terke-
siap dan seketika menoleh padanya dengan ken-
ing berkerut dan pandangan yang menyipit. Ga-
mang Markuto tak mempedulikan soal itu terlalu
lama. Istrinya harus tahu rahasia apa yang di
pendanmnya selama ini.
"Di mana harta itu?"
"Berjanjilah... setelah kalian mendapatkan
hasil jarahan itu... segera pergi dari sini dan jan-
gan mengganggu kehidupanku lagi!"
Jawaban dari Ronggo Kosworo hanya ter-
bahak-bahak saja. Gamang Markuto berpaling
pada istrinya, "Maafkan aku, Sumirah...."
"Kang Gamang... mengapa semua ini terja-
di?" tanya Sumirah dengan rasa penasaran dan
sedih yang makin meraja.
Gamang Markuto memegang bahu istrinya
sambil menarik napas panjang.
"Setelah kuberikan hasil jarahan itu, aku
akan menceritakan semuanya padamu." Lalu
dengan sikap gagah, ia menoleh pada Ronggo
Kosworo. "Kita berangkat sekarang!"
"Naik di belakangku!"
Gamang Markuto melangkah dan melom-
pat naik ke punggung kuda Ronggo Kosworo.
Ronggo Kosworo menggebrak kudanya. Menyusul
Gonggo Sirat dan Jombrang.
Sementara itu Sumirah mendekap erat-erat
Dali Gunarso. Perasaannya tidak tenang seka-
rang. Ia berdoa banyak-banyak agar tidak terjadi
hal-hal yang tak diinginkannya pada suaminya.
Sementara bocah kecil dalam dekapannya, hanya
memandang terbengong pada kepergian ayahnya.
Ia heran, karena biasanya ayahnya selalu menga-
jaknya serta bila bepergian. Tetapi sekarang men-
gapa tidak?
***
Matahari sudah sampai di tengah luasnya
cakrawala. Sinarnya menyengat cukup panas ke-
tika mereka tiba di sebuah hutan kecil yang cu-
kup jauh dari bukit di mana Sumirah dan pu-
tranya menunggu harap-harap cemas kepulangan
suaminya.
"Berhenti di sana!" seru Gamang Markuto
sambil menunjuk dua buah pohon yang berjarak
satu meter.
Ronggo Kosworo mengarahkan kudanya ke
sana, begitu pula dengan dua temannya. Di tem-
pat yang ditunjuk Gamang Markuto mereka
menghentikan langkah kuda.
Gamang Markuto melompat turun. Tanpa
mempedulikan mereka, ia berjalan lurus ke arah
timur. Ketiganya segera menambatkan kuda dan
mengikuti langkah Gamang Markuto.
Sambil melangkah, Jombrang yang pincang
kaki kirinya berbisik, "Apakah setelah menda-
patkan harta itu kita bunuh manusia keparat ini,
Kakang?"
Ronggo Kosworo menggelengkan kepalanya
sambil tersenyum licik.
"Tidak, Aku mempunyai rencana lain un-
tuknya. Penderitaan jasad yang cacat hanya
membuat sakit hati seberapa. Namun penderitaan
batin yang dalam, tak akan pernah terlupakan.
Seperti yang kita alami. Dan manusia keparat itu
harus menerima hal yang sama. Bahkan lebih
menyakitkan."
Jombrang hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara Gonggo Sirat menyeringai
lebar. Ia seolah menangkap apa rencana yang ada
di benak Ronggo Kosworo.
Di hadapan mereka, Gamang Markuto te-
rus melangkah. Hingga akhirnya terbentang se-
buah sungai yang mengalirkan air cukup deras.
Di tepi sungai di mana sejak tadi Gamang
Markuto melangkah lurus dari dua batang pohon
yang berdekatan, laki-laki itu membungkuk. Di-
ambilnya sebatang kayu yang tergeletak di si-
sinya. Ditancapkannya kayu itu pada tanah gem-
bur di tepi sungai. Setelah terdiam dan meneleng-
kan kepalanya seolah menentukan di mana harta
jarahan mereka lima belas tahun lalu disembu-
nyikan, mulailah Gamang Markuto melangkah tu-
run ke sungai.
Tak menggulung celananya. Setelah bebe-
rapa langkah dan air sungai sudah membasahi
pinggangnya, ia menyelam.
Cukup lama juga Gamang Markuto berada
di dalam sungai itu, hingga membuat ketiga ma-
nusia berjubah hitam menjadi tak sabar. Tetapi
mereka tak sempat bertindak apa-apa, karena
Gamang Markuto sudah muncul kembali dengan
tubuh basah kuyup. Melangkah terseret dan tan-
gannya menarik sesuatu dari dalam sungai itu.
Ronggo Kosworo menyeringai ketika dili-
hatnya apa yang ditarik oleh Gamang Markuto.
Sebuah kain kusam.
"Di dalam kain itu ada sebuah peti kecil! Di
peti itulah hasil jarahan itu kusimpan!"
Ronggo Kosworo memberikan isyarat pada
Gonggo Sirat dengan menggerakkan dagunya.
Yang diberikan isyarat tahu kalau ia harus meme-
riksa hasil jarahan mereka. Segera lelaki itu
membungkuk. Membuka kain itu dan mencongkel
paksa peti di dalamnya dengan golok besar yang
tersampir di pinggangnya.
Trak!
Peti itu terbuka. Seketika terdengar suara
Gonggo Sirat sambil terbahak-bahak, "Inilah ke-
kayaan kita, Kakang! Kita kaya, Kakang!!"
Ronggo Kosworo membungkuk.
"Hmm... tak kurang satu pun juga. Aku in-
gat hasil jarahan itu," katanya setelah memeriksa.
Gamang Markuto yang sejak tadi mengge-
ram, berkata dingin, "Kalian sudah mendapatkan
apa yang kalian cari. Kuminta, kalian memenuhi
janji untuk tidak lagi mengganggu kehidupanku!"
Bagai bersahabat Ronggo Kosworo mene-
puk-nepuk punggung Gamang Markuto yang ter-
diam sambil menahan gejolak kemarahan di da-
danya.
"Sudah tentu kami tidak akan mengingkari
janji, Gamang," katanya bernada kepuasan. "Kau
ternyata memang kawan yang baik. Tidak mema-
kan hasil jarahan ini. O ya, berapa banyak yang
kau minta?"
Gamang Markuto menggelengkan kepa-
lanya.
"Sedikit pun tidak! Aku hanya ingin kete-
nangan dan mendapatkan janji kalian!"
Sambil terbahak-bahak penuh kelicikan
dan kemenangan, Ronggo Kosworo berkata, "Su-
dah tentu! Gonggo, bawa harta itu!" Lalu ia berkata lagi pada Gamang Markuto, "Kerja sama ini
sangat kuhargai! Sampai jumpa!"
Ketiga orang berjubah hitam dengan golok
besar di pinggang itu melangkah meninggalkan
Gamang Markuto yang menghela napas panjang
sambil terbahak-bahak.
Laki-laki yang masih bertelanjang dada itu
mendesis, "Kuharap... peristiwa ini tidak panjang
lagi dan hidupku lebih tenang bersama anak dan
istriku...."
Dialihkan kepalanya ke atas. Matahari mu-
lai melangkah pada tiga perempat perjalanannya.
Sebentar lagi senja. Gamang Markuto bergegas
melangkah ketika didengarnya suara derap lang-
kah kuda di kejauhan.
Gamang Markuto tak mau anak dan is-
trinya terlalu lama menunggu dalam kecemasan.
Ia pun tak mau sampai di rumah saat malam su-
dah berjalan.
Ditinggalkannya hutan kecil itu dengan ha-
ti agak lapang, karena menurutnya, segala per-
soalan yang selama lima belas tahun dipendam-
nya, kini telah berakhir.
***
2
Tepat matahari terbenam dan sinar rembu-
lan mulai merambah perlahan, Gamang Markuto
tiba di sisi bukit sebelah kiri. Dia tersenyum menyadari kebebasan yang telah didapatkannya. Di-
bayangkannya kehidupan yang lebih layak, aman,
dan terjamin bersama istri dan anaknya.
Terbayang pula dia akan mendapatkan
rangkulan hangat dari istri dan anaknya karena
kembali tanpa kurang suatu apa. Lalu dengan ra-
sa ingin segera bertemu pada anak dan istrinya,
bergegas Gamang Markuto berlari menuruni bukit
untuk tiba di lereng bukit itu, di mana rumahnya
berdiri dan istri serta anaknya yang diyakinnya
telah menunggu.
Tetapi, langkahnya mendadak terhenti da-
lam jarak lima tombak dengan rumahnya. Ke-
ningnya berkerut melihat keadaan rumah yang
gelap. Baru disadarinya di kejauhan tadi dia tidak
melihat adanya tanda-tanda kehidupan.
Mengapa istrinya belum menghidupkan
lampu sentir? Batinnya. Perasaannya makin geli-
sah ketika ia menangkap satu gelagat yang tidak
menguntungkan. Tetapi ditahannya perasaan itu
saat ia berlari mendekati rumahnya.
"Sumirah! Sumirah!" dari jarak dua tombak
ia sudah berseru-seru.
Tak ada sahutan apa-apa, Tak ada yang
keluar dari rumah itu. Hati Gamang Markuto tadi
sudah gembira karena kehidupan yang baik akan
berlangsung di depan matanya, berubah menjadi
galau dan semakin tak menentu.
Kegelisahan mulai menjalari perasaannya
hingga membuatnya tegang sekaligus cemas bu-
kan main.
Diketuknya pintu berkali-kali disertai
panggilan pada anak dan istrinya. Tetapi tak ada
sahutan yang bisa membuatnya merasa lega. Ada
apakah ini? Pikirnya bertambah galau.
Lebih mengejutkan lagi ketika ia tahu ter-
nyata pintu tidak terkunci. Sejak kapan istrinya
melupakan hal ini? Batinnya galau. Bergegas ia
masuk dengan hati risau dan bertanya-tanya. Ia
memanggil kembali.
"Sumirah! Dali! Di mana kahan?" serunya
dan dihidupkannya lampu sentir di dalam rumah.
Dengan membawa lampu sentir itu, dia berjalan
ke kamar.
Dibukanya pintu kamarnya dengan seruan
memanggil, "Sumirah! Dali!"
Kamar yang gelap tadi kini menjadi agak
terang. Dan dia tak perlu menunggu terlalu lama
untuk mengetahui apa yang terjadi. Di atas dipan
di mana ia biasa tidur bersama istrinya, istrinya
tergolek dengan leher putus. Pakaiannya acak-
acakan. Terutama baju di bagian dada dan kain
yang menutupi bagian bawah. Dilihatnya ada ber-
cak darah yang telah mengering di kedua paha is-
trinya.
"Sumiraaahhh!!" jeritnya menggelegar.
Lampu sentir cepat diletakkan di atas meja kecil
yang kusam. Lalu ditubruknya tubuh istrinya
yang telah menjadi mayat dengan hati hancur di
balai-balai. Dibelainya wajah yang telah kaku dan
lemah itu dengan tangan gemetar. "Sumirah...
maafkan aku.... Oh, Tuhan... inikah hukuman
atas kesalahanku lima belas tahun yang lalu....
Tetapi mengapa harus istriku? Mengapa?" Tiba
tiba, bagai disentak setan, Gamang Markuto ber-
diri tegak dan berseru dengan kalap seraya keluar
dari kamar itu, "Dali! Di mana kau Dali!"
Dicarinya putranya itu dengan hati ber-
tambah tak karuan. Diperiksanya setiap sudut
kamar. Tetapi bocah itu tak ditemukannya. Ketika
matanya melihat pintu belakang terbuka, hatinya
bertambah kacau.
Bergegas Gamang Markuto melesat keluar
melalui pintu belakang. Dan seketika terdengar
jeritannya yang sangat keras, melolong bagai seri-
gala lapar ketika pandangannya tertumbuk pada
sesuatu yang tergantung di pohon.
Putranya! Dali Gunarso yang tergantung di
pohon itu!
Dengan hati hancur, Gamang Markuto ber-
gegas naik ke pohon itu dan menurunkan pu-
tranya yang telah menjadi mayat. Didekapnya pu-
tranya dengan kepedihan yang teramat sangat.
"Dali... Dali... mengapa harus engkau dan
ibumu yang mengalami semua ini.... Maafkan
Ayah, Dali... maafkan Ayah...," desisnya pilu. Ia
menjerit lagi. Lebih keras dari yang pertama. Ia
tahu, siapa yang melakukan semua ini. Siapa lagi
kalau bukan bekas teman-temannya yang mem-
bawa sejuta dendam padanya. "Manusia-manusia
keparat! Kalian harus menerima balasan dari se-
mua ini!"
Gamang Markuto menangis lemah dengan
tubuh yang bagai kehilangan tenaga. Dibayang-
kannya bagaimana manusia-manusia durjana itu
setelah meninggalkannya kembali ke rumahnya.
Sudah tentu istri dan anaknya menjadi ketaku-
tan. Namun apalah daya istrinya yang lemah dan
anaknya yang masih bocah.
Gamang Markuto tak sanggup mem-
bayangkan penderitaan istrinya, yang sudah ten-
tu diperkosa lebih dulu sebelum dibunuh. Dan ia
tak sanggup membayangkan bagaimana jerit ke-
sakitan dari putranya yang digantung sedemikian
kejam.
Selagi ia berada dalam kesedihan yang da-
lam, mendadak di kejauhan terdengar suara tawa
yang sangat keras sekali. Bertalu-talu.
Sambil membopong putranya yang telah
menjadi mayat, Gamang Markuto berlari ke de-
pan.
"Manusia-manusia biadab! Kalian akan
menerima balasan dari semua ini!!"
"Begitulah penderitaan yang kami alami,
Gamang! Dan kau pun harus merasakannya!"
terdengar seruan yang sangat keras.
Gamang Markuto tahu kalau Ronggo Kos-
woro yang berteriak.
"Ronggooo! Akan kuhancurkan kepalamu!"
"Hahaha... terima kasih, Gamang. Kuu-
capkan terima kasih! Kau mau menunjukkan di
mana harta hasil jarahan kita lima belas tahun
lalu! Dan kau mau berbagi kenikmatan pada kami
untuk menikmati tubuh indah milik istrimu!"
"Keparaaattt! Hayo! Keluar kalian semua!
Kita bertarung sampai mampus!"
"Tantangan yang menyenangkan! Tetapi,
kami tak ingin membuatmu lebih berduka lagi!"
Gamang Markuto masih berteriak-teriak
keras. Tiba-tiba teriakannya terhenti. Berubah
menjadi jeritan. Dua buah anak panah menancap
di bahu dan kakinya. Tubuhnya menjadi limbung
dan ia ambruk ke tanah. Mayat putranya menin-
dihnya.
"Keparaaattt!" makinya sambil menahan
sakit. Dengan susah payah dan menahan pende-
ritaan yang dialaminya, Gamang Markuto menca-
but anak panah dibahunya.
"Aaakkkh!" seruan kesakitan terdengar ke-
tika ia berhasil mencabut anak panah itu. Darah
segera menyembur. Menyusul ia mencabut anak
panah yang menancap di kakinya. Darah semakin
banyak yang keluar.
Dalam waktu yang singkat, wajah Gamang
Markuto menjadi pucat pasi. Namun belum lagi ia
tahu apa yang terjadi, pandangannya yang mulai
nanar melihat lima buah bola api menderu ke
arah rumahnya. Rupanya anak panah yang
ujungnya telah diberi buntalan kain dan dibakar.
Kelimanya menancap tepat di atas rumahnya.
Atap yang terbuat dari rumbia itu seketika
terbakar. Api menyala dengan cepat dan membuat
tempat itu menjadi sedikit terang.
Hati Gamang Markuto menjadi kalap. Den-
gan menahan rasa sakit dan tubuh limbung den-
gan langkah terpincang, dikerahkan sisa-sisa te-
naganya untuk masuk ke dalam rumah yang ter-
bakar dengan cepat itu.
Susah payah ia menyambar tubuh istrinya
yang telah menjadi mayat. Lalu ia bermaksud untuk segera keluar. Tetapi sebuah balok di bagian
atas yang mulai terbakar, mendadak runtuh.
Hampir saja menimpa tubuhnya.
Panas dari api yang menguar itu sangat
menyengat sekali. Dirasakan bagai telah memba-
kar sekujur tubuhnya. Dan penderitaan ini san-
gat menyiksanya apalagi dengan darah yang terus
mengucur dan tubuh yang semakin melemah.
Dengan panik ia berusaha menerobos api.
Tetapi kakinya tersandung balok yang jatuh tadi.
Tubuhnya tersungkur ke depan. Kepalanya
menghantam sebuah meja. Sangat keras dan
membuatnya pusing bukan main.
Masih dicobanya untuk bangkit. Akan te-
tapi, tenaganya sudah sangat lemah sekali dan
tak mampu ia untuk bangkit menyelamatkan diri.
Sayup-sayup didengarnya suara tawa yang berta-
lu-talu. Keras dan mengerikan.
Ia hanya sempat berdoa sekali mohon kese-
lamatan Yang Maha Kuasa, sebelum di detik lain
ia sudah tergolek pingsan.
Agaknya kematian sudah sangat dekat se-
kali dengan laki-laki malang itu....
***
3
Namun agaknya Yang Maha Kuasa meng-
hendaki lain. Di saat api tengah mengurung Ga-
mang Markuto yang dalam keadaan tak sadarkan
diri, mendadak terdengar dengungan bagai suara
ribuan tawon yang sedang marah. Menyusul satu
angin deras bergemuruh ke arah rumah yang ter-
bakar itu.
Dengungan seperti ribuan tawon marah
dan dahsyatnya angin yang meluncur itu ternyata
berasal dari sebuah kain bercorak catur yang di-
kibaskan oleh satu bayangan hijau, menghampar
ke arah rumah.
Brrr!
Atap rumbia pada rumah yang terbakar itu
terbang terseret angin deras tadi. Api di bagian
atas rumah itu seketika padam. Sesaat bayangan
hijau yang mengibaskan kain bercorak catur dan
menimbulkan suara keras itu menerobos masuk
ke dalam rumah yang terbakar. Gerakannya
sungguh sangat luar biasa cepatnya, bagai kilat
yang menyambar. Kain bercorak catur yang jelas
merupakan sebuah senjata dahsyat, telah disam-
pirkan di bahunya, di mana memang di sanalah
bayangan hijau itu meletakkan senjatanya yang
berupa kain bercorak catur.
Sosok bayangan hijau itu tersentak ketika
melihat dua sosok tubuh yang tergolek di lantai
dan di atasnya balok-balok yang terbakar tengah
siap menimpa keduanya. Menimbulkan suara ke-
retek yang mencekam.
Tanpa mengurangi kecepatannya, bayan-
gan hijau itu menyambar dua sosok yang tergo-
lek. Sangat cepat dan terlatih, hingga dalam seka-
li sambar saja, tubuh kedua sosok itu telah dibo-
pongnya. Lalu dengan gerakan yang sama, dia
mencelat melalui pintu belakang rumah. Bersa-
maan dengan itu rumah yang terbakar tadi am-
bruk. Menimbulkan suara berkeretek, berderak,
dan bergemuruh. Asap keluar dari sana, cukup
tebal.
Bayangan hijau tadi, yang sudah mengam-
bil jarak lima tombak dari rumah yang terbakar
itu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ru-
mah yang terbakar itu ambruk.
"Gila! Manusia mana yang tega membakar
rumah itu beserta isinya! Untungnya dari atas
bukit sebelah tenggara aku sempat melihat api
yang menjilat-jilat. Kalau kambing yang dibakar
masih enak! Orang yang dibakar apa enaknya? O
ya, tadi sempat kulihat seorang anak kecil yang
terkapar. Lebih baik aku membawa dua manusia
ini ke sana. Tetapi, aku yakin, sosok yang perem-
puan ini telah menjadi mayat. Agaknya bukan ka-
rena terbakar. Entah karena apa. Kutu monyet!"
Memikir sampai di sana, pemuda berbaju
hijau pupus itu mencelat ke depan. Diletakkan-
nya kedua manusia dalam bopongannya tadi di
hadapan bocah kecil yang terkapar.
Lalu ia membungkuk.
"Sadis! Bocah ini pun telah tewas. Di le-
hernya terdapat guratan yang cukup dalam me-
nembus daging. Seperti habis digantung. Keparat!
Siapa yang melakukan perbuatan hina ini!" si
pemuda memaki-maki dengan hati panas dan
tangan terkepal. Lalu ia membalikkan tubuh pada
tubuh Sumirah. "Wanita ini mengalami siksaan
yang lebih sadis. Jelas ia dihina dan dipermain
kan lebih dulu sebelum dibunuh." Kemudian si
pemuda beralih pada Gamang Markuto. Diperik-
sanya tubuh lelaki malang itu. "Masih hidup.
Meskipun detak jantungnya lemah. Untungnya,
aku tadi mengecek ke dalam rumah yang terbakar
ini. Bila tidak, manusia ini akan jadi daging pang-
gang."
Dialirkannya tenaga dalamnya sedikit, se-
kadar menjaga suhu tubuh Gamang Markuto.
Pemuda berbaju hijau pupus dengan sehelai kain
bercorak catur di lehernya itu memutuskan untuk
segera menguburkan dua mayat di dekatnya.
Dengan mempergunakan tenaga dalamnya,
dalam waktu singkat kedua mayat itu telah diku-
burkan.
"Hmmm... aku tak yakin bila kebakaran ini
terjadi karena keteledoran orang-orang ini yang
kuyakini sebagai penghuni rumah itu. Pasti ada
yang telah membakarnya dengan sengaja. Apalagi
bila melihat kondisi wanita yang kuyakini istri da-
ri laki-laki yang pingsan ini dan bocah kecil yang
tentunya putra mereka, yang nampak habis me-
nerima siksaan pedih. Monyet pitak! Siapa manu-
sia-manusia yang tega melakukan semua ini?
Akan kujitak kepalanya sampai benjol tujuh biji!"
Si pemuda memutuskan untuk menunggu
sampai lelaki itu siuman dari pingsannya. Diba-
wanya tubuh yang pingsan itu ke bawah pohon,
sekadar melindungi dari udara dingin.
***
Si pemuda langsung terbangun dari tidur-
nya begitu telinganya yang tajam dan terlatih
mendengar kokok ayam jantan di kejauhan. Pagi
masih sangat muda. Udara masih dingin dengan
butiran embun di dedaunan.
Diliriknya lelaki yang masih tergolek lemah
di sisinya. Digaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal dengan rasa penasaran yang mulai menggi-
git hatinya. Dia tak pernah suka menerima kenya-
taan pahit di depan matanya, bila ada manusia
yang menurunkan kekerasan pada manusia lain.
Si pemuda teringat sebelum dituruninya
bukit bagian tenggara semalam, dilihatnya ada
mata air di sana. Cepat dia berkelebat untuk se-
gera mandi. Dibersihkan tubuhnya yang terasa
lengket. Setelah itu, dia bergegas kembali ke tem-
pat semula.
Namun alangkah terkejutnya dia, ketika
tak melihat sosok lelaki yang pingsan itu.
"Celaka! Ke mana orang itu? Sudah mau
mampus masih menghilang juga! Kujewer ku-
pingnya kalau ketemu! Tetapi, apakah dia...," si
pemuda memutuskan selorohan yang bercampur
kejengkelannya, ketika didengarnya suara teria-
kan keras yang memilukan berasal dari dua ma-
kam yang baru saja dikuburkannya.
Cepat dia berkelebat ke sana dan melihat
lelaki malang itu sedang menangis di depan dua
makam yang baru saja dibuatnya semalam.
Ditahan keinginannya untuk segera me-
manggil. Menurutnya, biarlah lelaki itu mele-
paskan semua kegundahan dan kesedihan yang
meraja dalam hatinya.
Setelah beberapa saat, lelaki itu berlutut
dan terpaku di hadapan dua makam. Tubuhnya
agak bergetar sedikit.
"Sumirah.... Dali Gunarso... siapa pun yang
telah menolongku dan menguburkan kalian... aku
sangat berterima kasih. Maafkanlah diriku yang
telah membuat hidup kalian mengalami kejadian
tragis seperti ini...."
""Hehehe... kalau mau tahu orangnya sih
gampang saja! Maaf, ya... sebelumnya aku tak
meminta izin darimu. Akulah yang telah mengu-
burkan mayat istri dan anakmu...," suara di bela-
kangnya, halus tetapi diiringi ketawa membuyar-
kan kesedihannya dan membuat lelaki itu meno-
leh.
Dilihatnya pandangan mata lelaki itu mele-
bar. Bukan dalam arti terkejut, namun keheranan
karena dia tak mendengar suara pemuda itu da-
tang tadi.
Tetapi, Gamang Markuto yang telah merasa
bersyukur karena ada yang menyelamatkannya
tak mempedulikan lebih lama lagi soal kehera-
nannya tadi. Dia segera berdiri. Berkata pelan,
agak bergetar, dan suaranya tersekat di tenggoro-
kan, "Kuaturkan banyak terima kasih atas perto-
longanmu Tuan...."
"Andika. Nama yang keren! Sekeren orang-
nya! Hmmm... siapakah namamu, Kakang?"
"Namaku Gamang Markuto."
"Maafkan kelancanganku, karena telah
menguburkan mayat istri dan putramu tanpa seizinmu."
"Justru aku sangat berterima kasih pada-
mu. Karena aku tahu, engkaulah yang tentunya
telah menyelamatkanku."
"Wah urusan terima kasih-terima kasihan
sudah lewat! Sekarang, bolehkah aku tahu apa
yang telah terjadi?"
Gamang Markuto membuang napas masy-
gul, seolah mencoba membuang segala kegelisa-
han, kemarahan, dan kesedihan di hatinya. Keti-
ka dia siuman dari pingsannya tadi, yang perta-
ma-tama diingatnya adalah keadaan istri dan pu-
tranya.
Dengan kepala pening dan tubuh yang le-
lah luar biasa, dibawa langkahnya dengan terse-
ret-seret menuju rumahnya. Dilihatnya rumahnya
sudah ambruk, menjadi puing dan debu. Sisa-
sisa api masih nampak di sana-sini.
Hatinya galau bukan main menyadari
mayat istrinya yang masih berada di dalam ru-
mah itu. Tetapi, rasa galaunya berubah menjadi
keheranan yang dalam, ketika diingatnya kalau
dirinya berada cukup jauh dari rumah itu dalam
keadaan tak kurang suatu apa pun. Padahal yang
diingatnya sebelum dia jatuh pingsan, tubuhnya
tergolek tak berdaya di dalam rumah yang terba-
kar.
Menyadari hal itu, Gamang Markuto men-
jadi yakin, kalau seseorang yang baik hati telah
menyelamatkannya. Dengan kata lain, berarti
memindahkan pula mayat istrinya. Diingatnya
pula mayat Dali Gunarso.
Segera Gamang Markuto mencari mayat
putranya. Dan yang ditemukan justru dua buah
gundukan tanah. Yang satu agak panjang dan
yang lainnya lebih kecil. Keyakinan Gamang Mar-
kuto makin menjadi-jadi kalau ada seseorang
yang telah menolong mereka dan menguburkan
mayat kedua orang yang dikasihinya. Dan seka-
rang, si penolong yang mengaku bernama Andika
telah berdiri di hadapannya.
Dengan mencoba menahan kepedihan ha-
tinya, Gamang Markuto menceritakan apa yang
terjadi. Si pemuda yang memang Andika alias
Pendekar Slebor hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia maklum, kalau Gamang Markuto
masih terbawa arus kesedihan dan emosi dari
malapetaka yang menimpa diri dan keluarganya.
Ditunggunya sampai lelaki itu kelihatan
agak lebih tegar. Setelah itu barulah Andika ber-
kata, "Gamang... apakah kau mempunyai famili?"
Gamang Markuto mengangkat kepalanya,
menatap lurus pada Andika, "Bagaimana mak-
sudmu, Andika?"
"Bila kau mempunyai famili, lebih baik kau
tinggal bersama mereka untuk sementara. Kau
bisa tidur nyenyak dan makan enak! Kan sedap,
tuh!"
"Tidak! Aku harus membalas semua perla-
kuan manusia-manusia biadab itu!" seru Gamang
Markuto dengan wajah membesi dan rahang ter-
katup rapat.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
Keras kepala juga nih orang! Batinnya. Lalu dia
berkata sambil menatap lelaki yang tengah tegang
itu,
"Gamang... dari penjelasanmu tadi, aku
yakin sesungguhnya engkau bukanlah orang yang
memiliki jiwa sejalan dengan ketiga manusia dur-
jana itu. Pertama, sebelumnya kau menolak aja-
kan sesat manusia-manusia itu. Tetapi karena
ancaman mereka, kau terpaksa melakukannya
juga. Kedua, meskipun kau tidak mau ikut den-
gan mereka, tetapi kau masih memandang tinggi
persahabatan hingga tidak membocorkan rahasia
di mana kalian bersembunyi. Ketiga, kau tidak
menikmati hasil jarahan itu selama lima belas ta-
hun. Bulat keyakinanku kalau kau sebenarnya
berada dalam jalur kebimbangan. Lebih baik, kau
urungkan niat manusia-manusia sesat itu. Biar-
lah aku yang mengurus mereka dan mengembali-
kan mereka pada kadipaten untuk menerima hu-
kuman kembali."
Gamang Markuto tetap menggeleng-
gelengkan kepala.
"Mereka telah menghancurkan hidupku.
Masa depanku. Dan membunuh dua orang yang
sangat kusayangi yang akhirnya hanya menjadi
tumbal dari segala kesalahanku lima belas tahun
yang lalu. Tak akan kubiarkan manusia-manusia
itu hidup lebih lama lagi. Meskipun aku yakin tak
akan mampu menandingi mereka, tetapi... aku
akan mencobanya!"
Andika sadar, kekeraskepalaan lelaki ini
lebih banyak disebabkan karena rasa bersalah
pada anak dan istrinya yang menjadi korban atas
ulahnya lima belas tahun lalu. Tetapi dia men-
dumal juga dalam hati, "Ingin kujitak kepala
orang ini! Apa benar-benar keras?" Kembali dia
berkata sambil tarik napas panjang,
"Dendam hanya akan membawa petaka...
lebih baik...."
"Lagi pula Andika," potong Gamang Marku-
to, "Aku tak mempunyai famili lagi. Hidupku seo-
rang diri sekarang. Orang dekat pada belahan ji-
waku, hanyalah istri dan anakku. Mereka mati
mengenaskan karena ulahku dulu! Apakah aku
akan berpangku tangan saja, hah?"
Andika tersenyum. Mencoba mengerti akan
kemarahan dan rasa bersalah Gamang Markuto.
Tetapi, dia tetap tak menghendaki lelaki itu mela-
kukan apa yang diinginkannya sekarang.
"Sudahlah... lebih baik pembicaraan ini ki-
ta sudahi dulu. Sekarang, pergilah mandi untuk
membersihkan tubuhmu. Barangkali air dingin
akan menyejukan jiwa dan ragamu. Sementara
kau mandi... aku akan mengambil jagung dari la-
dang yang tentunya kau punyai. Kita akan sara-
pan jagung bakar. Eh, berapa banyak yang bisa
kau makan? Lagi pula, kau marah tidak nih, ja-
gung-jagung itu kuambil?"
Gamang Markuto hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya. Lalu tanpa berkata apa-
apa, lelaki itu melangkah menuju mata air.
Andika berseru, "Cepat kembali lagi ke sini!
Aku khawatir, kau tak akan kebagian! Soalnya,
aku juga sudah kelaparan nih!"
Memang pada akhirnya Gamang Markuto
tidak kebagian jagung bakar itu. Karena setelah
delapan jagung bakar telah matang dibakar Andi-
ka dan Andika tidak bermaksud untuk segera
memakannya, karena dia ingin menikmati jagung
itu bersama Gamang Markuto, lelaki itu tak per-
nah muncul.
Andika mencoba menunggu. Tetapi karena
lelaki itu tak muncul juga, penasaran Andika ber-
kelebat ke mata air. Tak dilihatnya lelaki itu bera-
da di sana.
Sadarlah Andika, kalau sebenarnya Ga-
mang Markuto tidak pernah mendatangi tempat
itu. Mungkin, dia telah pergi selagi Andika sibuk
membakar jagung.
"Kampret! Manusia itu benar-benar keras
kepala! Aku jadi ingin menjitaknya sampai benjol!
Hhh! Aku harus menemukannya secepatnya! Bisa
berabe kalau begini. Jangan-jangan, justru lelaki
itulah yang akan celaka!" Andika hendak berkele-
bat tetapi urung. Jelas wajahnya kelihatan bim-
bang. Bukan karena apa, melainkan.... "Brengsek!
Aku belum sempat menikmati jagung bakar yang
lezat itu! Tetapi sudahlah, keselamatan Gamang
Markuto lebih penting sekarang! Karena, tak
mustahil ia justru termakan dendamnya sendiri."
Tetapi lain kalimat yang keluar, lain pula
perbuatannya. Terburu-buru pemuda urakan itu
mengambil dua buah jagung bakar. Sambil meng-
gigit dan memakan jagung bakar, Andika berkele-
bat ke arah tenggara, setelah mengira-ngira ke
mana perginya Gamang Markuto.
Ke manakah Gamang Markuto pergi? Yang
diperkirakan Andika tadi memang benar. Karena,
lelaki itu tak pernah mendatangi mata air. Ketika
dilihatnya Andika mulai sibuk memetik jagung
dari ladangnya, Gamang Markuto melangkah ke
kanan, lalu bergegas memutar tubuh ke arah ti-
mur.
Dia tak mau menunggu terlalu lama. Tak
dipedulikan keadaan dirinya yang sebenarnya pe-
nat, lapar, dan lelah bukan main. Yang terpenting
sekarang, dia harus mencari manusia-manusia
dajal yang telah membasmi kedua orang yang di-
cintainya dan melukai jiwanya yang paling dalam.
Sedikit banyaknya dia mengucapkan teri-
ma kasih atas pertolongan Andika, yang telah
menyelamatkan dirinya hingga tak menjadi kor-
ban karena ulah manusia-manusia dajal itu. Se-
benarnya, dia pun ingin sekali mengikuti saran
Andika, agar tidak perlu membalas dendamnya.
Namun, hal itu tak bisa dia tahan begitu
saja. Gamang Markuto merasa tak akan mampu
melakukan saran Andika. Yang terbaik, dia me-
mang harus mencari manusia-manusia keparat
yang telah menghina istrinya sebelum dibunuh
dan mengantung putranya dengan sadis.
Rasa bersalah pada anak dan istrinya telah
mengikat jiwanya. Baginya tak ada jalan lain lagi
kecuali mencoba mencari manusia-manusia kepa-
rat itu.
Tak tahu apa yang akan terjadi, Gamang
Markuto terus mengikuti arah langkah dan pera-
saan bersalahnya....
4
Waktu terus berlalu. Tiga hari telah terle-
wati sejak Andika pertama kali mencari Gamang
Markuto. Matahari terus beranjak. Dan kini si-
narnya telah tiba pada perjalanan menuju senja,
ketika Andika alias Pendekar Slebor tiba di se-
buah dusun.
Mencari Gamang Markuto, bukanlah hal
yang mudah. Karena sangat mustahil bila dia ta-
hu kata hati Gamang Markuto. Jalan yang terbaik
menurut Andika, sambil mencari jejak Gamang
Markuto, dia pun merasa harus mencari manu-
sia-manusia sesat itu. Yang terpenting lagi, dia
harus mengetahui latar belakang manusia-
manusia itu. Apalagi, sampai sekarang dia belum
juga mendapati jejak yang berarti dari Gamang
Markuto.
Andika memasuki sebuah kedai yang cu-
kup ramai di dusun Bojong Kenanga. Orang-
orang yang berada di sana, tak mempedulikan
kehadirannya. Karena, sebagai orang yang sedang
makan di kedai itu pun kebanyakan pendatang
yang kebetulan singgah untuk mengisi perut. Jadi
menurut mereka, pemuda berbaju hijau pupus
dengan rambut gondrong dan wajah keren itu,
hanyalah seorang pendatang yang kebetulan ten-
gah kelaparan.
Tanpa memikirkan kehadirannya membuat
orang-orang di sana menjadi keheranan atau ti-
dak, Andika duduk di sudut kedai setelah memesan nasi kebuli dan sekendi air putih. Diedarkan
pandangannya ke sekeliling kedai, barangkali saja
dia melihat manusia-manusia berjubah hitam itu.
Atau kalau dia beruntung, bisa menemukan Ga-
mang Markuto berada di antara orang-orang yang
sedang sibuk mengisi perut.
Tetapi yang dicarinya tidak ada di sana.
Saat pesanannya dihidangkan Andika bertanya,
"Bapak... tahukah Bapak jalan mana yang harus
kutempuh untuk menuju ke Kadipaten Harum
Raksa? Kalau tidak tahu ya sudah, aku tidak ma-
rah, kok!"
Pelayan setengah baya dengan blangkon
kusam dan kumis agak memutih menyahut sam-
bil tersenyum geli, "Masih jauh dari sini, Den.
Aden harus menuju ke arah barat. Dan itu mem-
butuhkan waktu sekitar lima hari perjalanan."
"Cukup jauh Gamang Markuto membawa
istri dan anaknya bersembunyi dari manusia-
manusia sesat itu," batin Andika. Lalu bertanya
lagi, "Pernahkah Bapak melihat tiga orang laki-
laki berjubah hitam dengan menunggang kuda?
Dan aku yakin pasti tampang ketiga orang itu je-
lek-jelek!"
Si pelayan terdiam sejenak seolah mengin-
gat-ingat. Andika menunggu dengan sabar. Tetapi
jawaban si pelayan itu membuatnya mendesah
pendek, "Tidak, Den... rasanya tidak pernah."
Andika mengejar lagi pertanyaannya, "Ka-
lau seseorang yang bernama Gamang Markuto?"
"Juga tidak. Den."
Karena si pelayan jelas tak bisa memberi
kan keterangan yang dibutuhkannya kecuali Ka-
dipaten Harum Raksa, Andika merasa tak ada lagi
yang perlu ditanyakan.
"Terima kasih atas jawabannya, Bapak.
Nah, menyingkir deh! Aku sudah kelaparan nih!"
Pelayan itu hanya tersenyum geli. Baru kali
ini dia bertemu pemuda urakan seperti itu
Setelah pelayan itu berlalu, Andika menik-
mati pesanannya. Dasar kebluk! Cara makannya
seperti berhari-hari belum ketemu nasi! Seorang
gadis berbaju jingga dengan celana pangsi ber-
warna hitam yang duduk tak jauh darinya men-
dengarkan percakapan itu.
Wajah si gadis yang cantik dengan rambut
panjang dikuncir ekor kuda berkerut ketika men-
dengar pertanyaan-pertanyaan Andika tadi.
"Hmmm... siapa dia? Bila mendengar per-
tanyaan keduanya tentang manusia-manusia ber-
jubah hitam, apakah bukan Tiga Iblis Golok Setan
yang akhir-akhir ini membuat keonaran? Aku ha-
rus tahu darinya, karena ketiga manusia itu pun
tengah aku cari."
Ketika dilihatnya pemuda berbaju hijau
pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang
melilit di lehernya bangkit dan keluar dari kedai,
si gadis pun mengikutinya.
Dilihatnya si pemuda dengan langkah san-
tai berjalan menuju ke arah barat. Si gadis terin-
gat akan pertanyaan pertama dari si pemuda pa-
da pelayan kedai tadi.
"Mau apa dia menuju Kadipaten Harum
Raksa? Dan lagi, kalau memang Tiga Iblis Golok
Setan yang dicarinya, ada hubungan apa dia den-
gan manusia-manusia durjana itu? Kambratnya
atau kaki tangannya?"
Masih dengan pikiran-pikiran yang ada di
benaknya, si gadis terus mengikuti langkah Andi-
ka yang sepertinya tak sadar kalau seseorang
membuntutinya.
Hal ini membuat si gadis kelihatan senang,
karena tak terlalu sulit untuk mencari tahu dari
pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya.
Dia tahu, dalam jarak dua puluh tombak ke mu-
ka, membentang sebuah sungai dan sekelilingnya
ada tanah yang cukup lapang dengan beberapa
pepohonan besar. Si gadis memutuskan untuk
menghentikan langkah si pemuda dan bertanya
untuk memenuhi keingintahuannya.
Tetapi, justru gadis berbaju jingga dengan
sebilah pedang berwarangka hitam di punggung-
nya yang terperangah. Karena, entah bagaimana
mulanya, tubuh pemuda yang diikutinya lenyap
begitu saja.
"Hei! Ke mana pemuda itu?" serunya sam-
bil celingukan. Suara derasnya air sungai yang
ada di hadapannya berjarak tiga langkah, sangat
keras sekali. Si gadis masih memutar-mutar tu-
buhnya. "Tak mungkin pemuda itu bisa menghi-
lang begitu saja dari pandanganku!" desis si gadis
antara percaya atau tidak. Tetapi sesuatu me-
nyentil perasaannya, "Kalau dia memang bisa le-
nyap begitu saja, menandakan betapa tinggi ilmu
meringankan tubuhnya. Siapa dia sebenarnya?"
Selagi si gadis celingukan penuh kehera
nan, terdengar suara tawa yang keras, "Yang jelas
sih, aku bukan tuyul! Masa' sih ada tuyul yang
keren kayak begini!"
Si gadis memutar tubuhnya ke kiri dan
pandangannya lurus ke depan. Dilihatnya si pe-
muda yang tadi diikutinya berdiri tegak di seba-
tang ranting kecil!
"Hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya!"
batin si gadis berkata. "Ranting kecil itu tak ber-
goyang menahan berat tubuhnya. Bahkan dia
berdiri dengan seenaknya saja tanpa berpegangan
apa pun dalam keseimbangan badan yang utuh!"
Si gadis berkata, "Maafkan sikapku yang
telah mengikutimu," katanya yang kini diyakini
kalau si pemuda mengetahui kalau dirinya dibun-
tuti.
"Nah! Kalau begitu katakan, apa sebabnya
kau membuntutiku? Kalau mau kenalan boleh
saja! Memang, orang sekeren aku ini pasti banyak
yang ingin mengenal!" kata Andika masih tegak
berdiri di ranting kecil itu sambil nyengir. Otak
nakalnya berdesis, "Cantik sekali gadis itu! Siapa
sih dia sebenarnya? Untuk menjadi pacarnya aku
mau barang satu-dua hari... hahaha...."
Tak tahu apa yang dipikirkan Andika, si
gadis berkata, "Namaku Wening! Aku berasal dari
dusun Karimata! Tak ada maksud jahat membun-
tutimu, kecuali ingin mengetahui siapakah orang-
orang yang kau tanyakan di kedai tadi?"
Andika yang sejak semula tahu kalau dia
dibuntuti gadis berbaju jingga yang sedang ma-
kan pula di kedai, melompat turun dengan ringannya bagai segumpal kapas belaka.
"Apa urusannya denganmu itu? Jangan-
jangan, mereka kekasihmu, ya? Busyet!"
Tak menghiraukan selorohan Andika, gadis
yang bernama Wening itu menjawab,
"Karena... aku pun tengah mencari manu-
sia-manusia yang kau maksudkan," sikap si gadis
kali ini agak berhati-hati. Karena, bila pemuda
yang di hadapannya bermaksud jahat dan ternya-
ta kambrat atau kaki tangan dari Tiga Iblis Golok
Setan yang dicarinya, dia bisa bersiaga.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu tak segera menjawab pertanyaan
Wening. Dia justru bertanya, "Nah, kau sendiri,
siapa yang kau maksudkan dengan orang-orang
yang kucari tadi dan sedang kau cari juga?"
Wening terdiam sesaat. Dia tak segera
menjawab. Otaknya berpikir keras menentukan
siapakah pemuda di hadapannya ini, yang bersi-
kap kocak?
Tetapi untuk mendapatkan kejelasan ak-
hirnya Wening berkata, "Di tempat tinggalku, dua
hari yang lalu, kedatangan manusia-manusia ber-
jubah hitam yang mengaku berjuluk Tiga Iblis Go-
lok Setan. Kedatangan mereka dengan maksud
jahat. Mereka merampok dan membunuh. Bah-
kan para tiga perawan dari desaku dibawa serta
setelah selesai melakukan aksi kejahatannya. En-
tah dibawa ke mana. Setelah kejadian itu berlalu,
aku baru tiba ke dusunku dari mengunjungi gu-
ruku di Gua Mata Air. Sudah tentu hatiku marah
mendapati desaku yang telah porak poranda. Setelah mendapatkan keterangan dari para pendu-
duk desa yang terluka, aku pun segera mening-
galkan desa, bermaksud mencari manusia-
manusia dajal itu. Hatiku sakit sekali melihat ke-
dua orangtua ku terluka akibat ulah mereka. Dan
perlu kau ketahui, salah seorang dari perawan
yang dibawa manusia-manusia keparat itu, ada-
lah Harti, adikku satu-satunya!"
Andika terdiam setelah mendengarkan ceri-
ta Wening. Hatinya menjadi marah bukan main.
Lagi-lagi keangkaramurkaan yang terjadi. Tetapi
dasar urakan, sifat slebornya tidak surut juga.
"Pasti kau tidak tahu siapa orang-orang
itu, kan?"
"Mereka menyebutkan diri Tiga Iblis Golok
Setan. Tetapi menurut ayahku, salah seorang di-
panggil dengan sebutan Gonggo Sirat, saat ayah-
ku tak berdaya dihajar oleh salah seorang yang
bercodet di wajahnya."
Andika terkesiap mendengar nama itu.
Gonggo Sirat, salah seorang yang disebutkan Ga-
mang Markuto! Kini sadarlah Andika siapa Tiga
Iblis Golok Setan yang dimaksudkan oleh Wening.
Lalu katanya, "Kalau begitu, kita pun
punya kepentingan yang sama. Manusia-manusia
itulah yang sedang kucari karena telah membuat
seorang kawan baruku mengalami musibah yang
tragis."
Kali ini Wening mendesah lega. Kalau begi-
tu, pemuda di hadapannya bukanlah lawan.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu?"
Andika menyeringai. "Jelas saja boleh, siapa tahu
kita berjodoh! Dan aku yakin kau ingin mengeta-
hui namaku lebih banyak disebabkan kau tertarik
padaku, kan? Namaku Andika, orang-orang rimba
persilatan menjuluki Pendekar Slebor."
Kedua mata Wening melebar dengan mulut
terbuka. Bukan karena mendengar selorohan An-
dika tadi, melainkan terkejut karena mendengar
julukan yang disebutkan si pemuda. Dia jadi te-
ringat akan cerita gurunya tentang sepak terjang
seorang pemuda dari Lembah Kutukan yang ber-
juluk Pendekar Slebor yang selalu membela kebe-
naran dan akhir-akhir ini menjadi momok bagi
orang-orang golongan hitam. Sementara, menjadi
pujian bagi orang-orang golongan putih, terutama
orang-orang yang pernah mendapatkan pertolon-
gan darinya. Dan sekarang, pemuda yang diceri-
takan gurunya itulah yang berdiri di hadapannya
dalam jarak dua tombak.
Masih dengan rasa terkejut Wening berka-
ta, dalam nada suaranya tersirat kekaguman dan
kebanggaan yang tak bisa ditutupi, "Tak kusang-
ka, kalau aku bertemu dengan seorang pendekar
besar sekarang ini."
"Hei! Aku bukan raksasa!" kata Andika ter-
tawa. "Coba kau lihat, wujudku sama dengan
manusia kebanyakan, bukan? Cuma bedanya,
aku lebih keren!"
Mendengar selorohan itu, mau tak mau
Wening tersenyum.
"Sekarang, hendak ke manakah Kang An-
dika melangkah?"
"Aku hendak ke Kadipaten Harum Raksa.
Karena menurut kawanku itu, manusia-manusia
dajal yang kau sebutkan Tiga Iblis Golok Setan itu
dulunya adalah tawanan Kadipaten Harum Rak-
sa. Kau sendiri hendak ke mana?"
Mendapati pertanyaan seperti itu, sebenar-
nya Wening ingin ikut serta. Tetapi dia malu men-
gutarakannya. Karena, bila dia berjalan bersama
seorang pemuda, berarti itu pengalaman baru ba-
ginya, karena selama ini dia tak pernah pergi ber-
dua-duaan dengan seorang lawan jenisnya. Lagi
pula, dia pun bermaksud untuk segera mencari
manusia-manusia itu. Dikhawatirkannya, kalau
manusia-manusia keparat itu melakukan perbua-
tan makar lebih lanjut.
Dan yang terpenting sekarang, Pendekar
Slebor berada pada jalur yang sama dengannya.
Lalu katanya, "Aku akan meneruskan per-
jalanan mencari Tiga Iblis Golok Setan."
"Sudahkah kau menemukan di mana me-
reka berada?"
Wening menggelengkan kepalanya.
"Belum. Entah di mana mereka akan kuca-
ri. Tetapi, aku tak akan kembali sebelum mene-
mukan dan menangkap mereka!"
Diam-diam Andika memuji keberanian dan
sikap tegas yang dimiliki Wening.
"Kalau begitu... terpaksa kita berpisah di
sini. Soalnya... hehehe... kau tahu, kan... apa ja-
dinya seorang pemuda dan seorang gadis jalan
berduaan?" seloroh Andika sambil tersenyum
nakal
Wening cuma tersenyum saja.
"Berhati-hati, kudengar manusia-manusia
itu memiliki ilmu yang tinggi."
Wening menganggukkan kepala. Dan keti-
ka diangkatnya lagi kepalanya, sosok Pendekar
Slebor sudah lenyap dari pandangannya. Tersen-
tak dan celingukan dia mencari. Yang didengar-
nya suara dari kejauhan, "Hati-hati, Wening! Dan
perlu kau ingat, kau seorang gadis yang cantik!"
Kali ini Wening tersipu dan dia segera
mengubah sikapnya menjadi biasa kembali. Kare-
na rasa malu mengapa dia menjadi tersipu. Lagi
pula, pujian itu diucapkan dari jauh. Namun en-
tah mengapa dalam pertemuannya yang pertama
dengan Pendekar Slebor dia merasa seakan telah
lama mengenalnya. Dan begitu dekat sekali den-
gan hatinya.
Wening cepat-cepat membuang perasaan
yang tiba-tiba datang itu. Lalu berkelebat ke arah
kiri untuk mencari Tiga Iblis Golok Setan yang te-
lah membawa Harti, adiknya.
Entah apa yang dialami adiknya sekarang
ini. Yang pasti, Wening merasa sesuatu yang tak
enak telah terjadi pada adiknya. Kalau begitu, dia
harus secepatnya menemukan di mana Tiga Iblis
Golok Setan berada.
5
Lembah Tirai, sebuah lembah yang sangat
menyeramkan sebenarnya. Lembah yang dipenuhi
dengan pepohonan besar. Konon, tak seorang pun
yang mendiami lembah itu. Karena, di samping
jalan yang sangat susah dan bisa membuat orang
tak berdaya bila sudah tergelincir, juga karena
banyaknya ular-ular yang hidup di sana. Dari
permukaan lembah sejauh mata memandang,
yang nampak di pelupuk mata hanya kengerian
belaka.
Akan tetapi, di pagi ini, terdengar suara
tawa keras yang bersahut-sahutan dari Lembah
Tirai. Bila mata memandang dari atas sisi lembah
itu, tak akan tertangkap oleh mata karena ting-
ginya pepohonan. Akan tetapi, di lembah itu ter-
nyata ada sebuah bangunan yang cukup besar,
meskipun sudah agak doyong ke kiri. Dari ban-
gunan itulah asal suara yang terjadi tadi. Entah
bagaimana mulanya bangunan itu berasal di sa-
na. Orang-orang yang pernah mendiami Lembah
Tirai dulu, hanya mengatakan kalau tiga puluh
tahun yang lalu, di Lembah Tirai bagian tengah,
hidup sepasang suami istri yang sekarang tak di-
ketahui rimbanya.
Pagi yang cerah, penuh selubung kabut
yang mulai menipis, tetapi tawa yang keras itu
tak juga berhenti.
"Jombrang! Kau tak puas-puasnya mengge-
luti gadis itu, hah? Bukankah kita masih bisa
mendapatkan lebih banyak lagi?" terdengar satu
suara yang keras begitu si empunya suara meli-
hat kawannya keluar dari salah satu kamar di
bangunan itu.
"Kakang Ronggo... kau perlu tahu, kalau
aku sudah jatuh cinta dengan gadis ini...," sahutan itu terdengar.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak menden-
gar sahutan temannya. Dituangnya tuak merah
dari kendi, langsung ke mulutnya. Terdengar sua-
ra menggelegak berkali-kali. Setelah puas, di-
usapnya bibirnya dengan punggung tangan kiri.
"Kalau kau memang menginginkan gadis
itu terus-menerus, tak mengapa. Tetapi, kau tak
boleh iri bila dua gadis yang kita culik baru-baru
itu kami nikmati berdua."
"Tak jadi masalah, Kakang. Gadis yang
bernama Harti ini telah memikat hatiku," sahut
Jombrang sambil melangkah mendekati Ronggo
Kosworo dan Gonggo Sirat yang sedang menikma-
ti tuak merah. Dia duduk di salah satu kursi yang
ada di sana. Diraihnya kendi tuak yang memang
untuknya. Diminumnya dengan cara yang sama
yang dilakukan Ronggo Kosworo tadi.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Kalau begitu, setelah kau habiskan tuak
dalam kendimu itu, seperti biasa kau lakukan tu-
gasmu."
"Hahaha... soal itu beres, Kakang. Baru
kali ini, selama lima belas tahun lamanya mende-
kam dalam penjara, kudapati kebebasan yang le-
bih nikmat dan membahagiakan sebelumnya. Ter-
lebih lagi kau yang sejak lama mengatur hidupku,
Kakang.... Hingga rasanya, aku dan Gonggo Sirat
tak keberatan menyebutmu 'Kakang'."
"Bagus, bagus!"
Gonggo Sirat berkata, "Yang sebenarnya
ingin kunikmati apa? Melihat bagaimana sakit hatinya Gamang Markuto mengetahui anak dan is-
trinya telah mampus. Hhh! Sayangnya, kesempa-
tan itu tak pernah ada! Tetapi aku bisa mem-
bayangkannya."
"Membayangkannya pun telah menyenang-
kan, bukan? Lagi pula, kutaksir manusia sialan
itu sudah mampus termakan api bila dia bermak-
sud menyelamatkan mayat istrinya. Bila pun dia
masih hidup sekarang, tentunya berada dalam
keterombang-ambingan yang sangat dalam. Tak
ubahnya bagai orang dungu belaka. Jombrang...
kau lakukan tugasmu.... Sudah semalaman
mayat-mayat itu ada di belakang rumah belum
dikuburkan."
Jombrang melakukannya sambil tertawa-
tawa. Dia melangkah ke belakang rumah, berja-
rak dua puluh tombak dari sana, dia menghenti-
kan langkahnya. Tiga mayat wanita dalam kea-
daan telanjang tergolek mulai membusuk. Me-
mang, setelah mempermainkan wanita-wanita itu,
mereka tak segan-segannya membunuh. Diba-
wanya mayat-mayat itu satu persatu ke tempat
yang agak terbuka di sekitar Lembah Tirai.
Di sana sudah terdapat dua gundukan ta-
nah. Kini menjadi lima buah. Setelah menyelesai-
kan tugasnya, Jombrang kembali ke bangunan
besar itu. Tak lagi dilihatnya Ronggo Kosworo dan
Gonggo Sirat di tempatnya. Jombrang yakin, ke-
duanya mempermainkan dua gadis yang mereka
culik semalam di kamar masing-masing.
Karena merasa tak enak sendiri, Jombrang
memasuki kamarnya. Di kamar itu, Harti yang
tak lain adalah adiknya Wening langsung bering-
sut agak menjauh begitu melihat kemunculan
Jombrang.
Sungguh mati, Jombrang sebenarnya san-
gat sedih melihat sikap Harti yang ketakutan se-
tiap kali mendekat. Pertama kali mendapatkan
Harti, Jombrang memang memaksakan kehen-
daknya. Tetapi ketika dilihatnya baik-baik wajah
Harti, Jombrang jadi teringat akan kekasihnya
dulu, Swasti. Wajah Harti tak jauh berbeda dari
Swasti yang kini telah tenang di sisi Sang Pencip-
ta.
Sebelum mengenal Ronggo Kosworo dan
Gonggo Sirat, Jombrang memang mempunyai ke-
kasih. Tetapi, wabah kolera yang menyerang du-
sunnya, tak mau peduli siapakah Swasti. Swasti
meninggal direnggut wabah kolera. Sementara
dengan hati pedih, Jombrang meninggalkan du-
sunnya. Mencoba melupakan kenangan atas
Swasti dan menghindari wabah kolera.
Dalam perjalanan meninggalkan dusunnya,
bertemulah dia dengan Ronggo Kosworo dan
Gonggo Sirat, dua pemuda begundal dari sebuah
desa yang memiliki ilmu bela diri yang tinggi.
Bahkan, mereka pun memiliki ilmu tenaga dalam
dan meringankan tubuh. Jombrang tidak pernah
bertanya dari siapa keduanya mempelajari ilmu
yang sangat dahsyat. Bahkan Ronggo Kosworo
dapat menghancurkan batu sebesar kambing
dengan sekali pukul. Dari keduanyalah, Jom-
brang yang semasa tinggal di desanya memiliki
dasar-dasar ilmu silat, diajarkan ilmu yang keduanya miliki. Bersahabat dengan keduanya, mem-
buat Jombrang seolah bisa melupakan semua ke-
pedihannya. Tak pernah diceritakannya soal
Swasti, yang dikatakan tentang dirinya, dia pergi
dari desa karena wabah kolera menyerang.
Lama kelamaan, keduanya tak ubahnya
bagai saudara belaka. Apa pun yang dilakukan
mereka, pasti diikutinya. Sampai kemudian dia
dikenalkan dengan pemuda yang bernama Ga-
mang Markuto. Kenakalan yang mereka lakukan
mulai menjalar menjadi kejahatan. Pencurian. Pe-
rampasan dan bentuk-bentuk yang masih kecil
kadarnya. Hingga Ronggo Kosworo mengusulkan
untuk melakukan aksi perampokan. Kalau sela-
ma ini mereka sering melukai orang lain tanpa
membunuh, Ronggo Kosworo berpikiran lain. Sia-
pa yang menghalangi sepak terjangnya, akan di-
bunuh.
Lalu gadis yang di hadapannya ini, yang
menatapnya penuh kepucatan dan ketakutan tak
jauh berbeda wajahnya dengan Swasti. Itulah
yang menyebabkan Jombrang bersikeras memper-
tahankan Harti agar jangan dibunuh, seperti dua
gadis lainnya yang sama-sama mereka culik dari
dusun Karimata.
"Harti...," desisnya pelan, malah berkesan
lembut. Jombrang memang sudah tahu nama ga-
dis itu, karena dia memaksa agar gadis itu me-
nyebutkan namanya. Dan sebenarnya, apa yang
diduga oleh Ronggo Kosworo dan Gonggo Sirat ka-
lau dia habis mempermainkan gadis itu tadi, sa-
lah besar. Karena, Jombrang tak akan mau memaksakan kehendaknya lagi. Di hadapannya, ga-
dis ini tak lebih dari Swasti yang pernah dan ma-
sih dicintainya.
"Pergi! Pergi!" seru Harti dengan wajah se-
makin memucat. Ketakutan mencekam dan men-
cengkeram jantungnya. Di hadapannya, meski-
pun lelaki pincang ini bersikap laksana seorang
dewa, dia tetap tak akan pernah tertarik. Teruta-
ma bila mengingat harga dirinya telah direnggut
lelaki pincang ini.
Jombrang merasa sedih. Dalam bayangan-
nya, Swastilah yang tengah mengusirnya.
"Jangan berkata seperti itu, Harti...."
"Keparat! Pergi jauh-jauh dari sini! Pergi!"
seru gadis itu sambil mengibas-ngibaskan tan-
gannya dengan kalap.
"Dengarlah, berulangkali aku minta maaf
atas perbuatanku itu... aku...."
"Pergi! Jangan ganggu aku lagi! Pergiii!" se-
ru Harti dengan kemuakan yang menjadi-jadi.
Sebelum Jombrang berkata untuk mene-
nangkan Harti, terdengar teriakan Ronggo Koswo-
ro di luar kamar.
"Jombrang! Sekali lagi gadis itu berteriak
dan memusingkan kepalaku, akan kubunuh dia!
Peduli kau mencintainya atau tidak!"
Jombrang menyahut, "Akan kutenangkan
dia, Kakang."
Ronggo Kosworo masuk lagi ke kamarnya.
Jombrang berkata pada Harti, "Kau dengar
itu, Harti.... Kakangku tak akan segan-segan
membunuh.... Dan aku yakin itu bukan ucapan
di mulut saja...."
"Aku tidak peduli! Aku tidak peduliii! Pergi
kau dari sini! Pergi!"
Kali ini Jombrang kelihatan terdiam. Dita-
riknya napas berkali-kali. Dia merasa Ronggo
Kosworo akan muncul lagi dan menjalankan niat-
nya. Makanya diputuskan untuk meninggalkan
Harti seorang diri di kamarnya.
"Baik... aku berada di luar dan kau...."
"Pergiii!"
Terburu-buru karena tak mau Ronggo
Kosworo menurunkan tangan telengasnya pada
Harti, Jombrang buru-buru keluar. Dia melang-
kah terpincang ke halaman depan bangunan itu.
Dipandanginya seantero Lembah Tirai yang men-
gerikan.
Entah mengapa, suatu yang baru disada-
rinya datang, kalau dia telah melangkah terlalu
jauh mengikuti kemauan Ronggo Kosworo. Dita-
riknya napas berkali-kali dan ditatapnya kejau-
han tanpa tahu apa yang ditatapnya.
Sementara itu, sepeninggal Jombrang, Har-
ti menangis tersedu-sedu. Dia teringat akan ke-
dua orang-tua, Wening, dan teman-temannya.
Disesali mengapa dirinya yang menjadi sasaran
kebiadaban manusia-manusia itu. Pikiran nekat
sudah tiba di benaknya.
Harti merasa dua temannya lebih berun-
tung karena tak lagi terus menerus berada dalam
cengkeraman manusia-manusia biadab itu. Mere-
ka telah terkubur dengan sejuta kepedihan yang
tak dirasakan kembali.
Sedangkan dirinya? Harti tak bisa mem-
bayangkan apa yang akan menimpanya lagi, ke-
cuali kenistaan demi kenistaan yang akan berlan-
jut....
Harti terus menangis menyesali keadaan
yang menimpanya.
***
"Jombrang!" panggilan keras itu terdengar
dari ambang pintu. Jombrang berdiri, tubuhnya
agak miring ke kiri. Dilihatnya Ronggo Kosworo
menyeringai di ambang pintu.
"Ada apa, Kakang?"
"Yakinkah kau tak ingin menikmati...."
"Tidak, Kakang!" potong Jombrang yakin.
Justru kalimat yang diucapkannya lebih cepat da-
ri biasanya itu membuat kening Ronggo Kosworo
berkerut.
Tetapi sejurus kemudian dia terbahak-
bahak.
"Kalau kau tidak mau, bunuh gadis itu!
Dan kuburkan seperti biasa! Gadis itu sedang
pingsan sekarang! Kurasa, Gonggo Sirat pun telah
selesai!"
Tanpa banyak cakap, Jombrang berjalan ke
kamar Ronggo Kosworo. Untuk pertama kali se-
lama mengikuti aksi kejahatan Ronggo Kosworo
hati Jombrang trenyuh melihat keadaan gadis
malang yang tergolek lemah dengan tubuh tak
berdaya dan pakaian acak-acakan.
Dengan menahan kepedihan yang menda
dak muncul itu, Jombrang merapikan pakaian si
gadis. Lalu dibopongnya keluar, bertepatan den-
gan Gonggo Sirat keluar dari kamarnya.
"Hahaha... bagus, bagus! Gadis di dalam
kamarku sudah tidak kubutuhkan!"
Untuk kedua kalinya Jombrang merasakan
kepedihan itu. Kini, dua gadis malang yang baru
saja dipermainkan kedua temannya berada dalam
bopongannya. Pingsan, dan Jombrang diharuskan
untuk membunuh keduanya dan menguburkan-
nya di tempat biasa.
Tubuh kedua gadis yang pingsan itu pun
dibawa ke tempat biasa dia menguburkan mayat-
mayat gadis lainnya. Diletakkannya kedua gadis
itu di tanah. Sejenak keraguan membaluri ha-
tinya. Apakah dia akan melakukan lagi tugas
yang diberikan Ronggo Kosworo, atau menolak-
nya? Punyakah dia keberanian untuk menolak
perintah Ronggo Kosworo?
Kegalauan menyelimuti hati lelaki pincang
itu hingga untuk beberapa jenak dia masih berdiri
kaku. Tidak mencabut goloknya dan menebas ke-
pala dua gadis pingsan itu. Lalu menguburkan-
nya seperti biasa.
Dan tiba-tiba saja, Jombrang menolehkan
kepalanya ke arah bangunan besar. Satu pikiran
baru muncul di benaknya. Dengan gerakan yang
terlatih, digalinya tanah seukuran dua gadis yang
pingsan itu.
Mengandalkan ilmu meringankan tubuh-
nya, Jombrang berkelebat dan kembali lagi den-
gan membawa potongan kayu yang banyak berserakan di sana. Dimasukkannya ranting, dahan,
dan kayu kering ke dalam tanah yang digalinya.
Setelah itu ditimbun lagi tanah ke dalam dua lu-
bang itu, hingga membentuk sebuah makam.
Setelah selesai, Jombrang membopong dua
gadis itu. Berkelebat cepat ke arah timur. Berada
di atas Lembah Tirai, Jombrang terus berkelebat
cepat. Jauh sudah dia berada sekarang, dan dile-
takkannya dua gadis yang pingsan itu di sebuah
hutan kecil.
Setelah itu Jombrang kembali ke tempat
semula. Baginya, inilah yang terbaik. Sungguh,
hatinya trenyuh karena perasaan cintanya tiba-
tiba saja tumbuh pada Harti yang masih diang-
gapnya sebagai jelmaan dari kekasihnya yang te-
lah meninggal.
Ketika dia tiba di bangunan besar itu,
Ronggo Kosworo menyambutnya dengan benta-
kan, "Gila! Mengapa begitu lama kau melakukan-
nya, hah?"
Untuk sesaat Jombrang gelagapan ditem-
bak' langsung seperti itu. Tetapi, dia sudah mem-
persiapkan jawabannya, "Maafkan aku, Kakang...
sehabis membunuh dan menguburkan dua mayat
gadis itu, aku duduk-duduk di sana."
"Apa yang kau perbuat, hah?"
"Membayangkan kata-kata Gonggo Sirat
tadi. Aku juga ingin melihat apa yang dialami oleh
Gamang Markuto setelah anak dan istrinya kita
bunuh. Hhhh! Mungkin lebih menyedihkan dari-
pada nasib kita yang masuk penjara selama lima
belas tahun!"
Jawaban itu memang masuk akal, hingga
Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Manusia itu pasti telah mampus membu-
nuh diri!"
Gonggo Sirat menimpali, "Kini, tinggal kita
yang menikmati seluruh apa yang kita cita-
citakan dulu."
Ketiganya terbahak-bahak. Dan untuk per-
tama kalinya, Jombrang merasakan tawanya
sumbang.
"Kita bersiap sekarang," kata Ronggo Kos-
woro di sela-sela tawa mereka. "Kita akan mela-
kukan lagi aksi perampokan! Hahaha... akan kita
dapatkan lagi gadis-gadis jelita yang mengasyik-
kan, dan harta kekayaan yang kita miliki akan
semakin banyak."
Lalu diiringi tawa Gonggo Sirat dan Jom-
brang, ketiganya terbahak-bahak. Menggema ke-
ras di seantero Lembah Tirai.
Tak lama kemudian, tiga ekor kuda yang
ditambatkan di belakang bangunan besar itu di-
gebrak kencang oleh tiga penunggangnya yang
mengenakan jubah hitam.
6
Pada masa itu, kejayaan Kadipaten Harum
Raksa, tengah berada di puncaknya. Dipimpin
oleh Adipati Gaung Surya yang membawahi ber-
puluh dusun terdekat maupun terjauh. Kebijak-
sanaan Adipati Gaung Surya sangat dirasakan
oleh masyarakat sekitarnya. Dia selalu adil dalam
bersikap, lembut dalam bertutur. Yang salah, sia-
pa pun orangnya, akan mendapat hukuman. Be-
gitu pula sebaliknya.
Dan di pagi yang cerah ini, dia kedatangan
tamu seorang pemuda berbaju hijau pupus. Siapa
lagi kalau bukan Pendekar Slebor? Di lantai di
mana pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu
duduk bersila, duduk pula Panglima Darta Sena.
Seorang panglima yang menjadi tangan kanan da-
ri Sang Adipati.
Setelah mengatakan maksud kedatangan-
nya, Pendekar Slebor menjura sekali lagi, "Maaf-
kan atas kelancangan saya datang ke sini dan in-
gin tahu tentang tiga tawanan kadipaten lima be-
las tahun yang lalu."
Adipati Gaung Surya yang juga sudah
mendengar nama besar Pendekar Slebor, terse-
nyum. Meskipun usianya sudah memasuki kepala
lima, wajahnya masih menyiratkan sisa-sisa ke-
tampanannya. Adipati Gaung Surya mengenakan
pakaian kebesaran berwarna biru, penuh dengan
pernik yang menakjubkan.
"Kalau kau ingin mendapatkan keterangan
lebih jelas lagi, kau bisa menanyakan pada Darta
Sena. Bukan begitu, Darta?" kata Adipati masih
tersenyum.
Darta Sena menganggukkan kepalanya.
"Daulat, Adipati."
"Agar kalian bisa berbicara lebih akrab lagi,
aku akan meninggalkan ruang pertemuan ini."
"Terima kasih atas kebijaksanaan Adipati,"
kata Pendekar Slebor, namun dia menangkap ka-
lau Adipati Gaung Surya dalam rundung duka.
Lalu Adipati Gaung Surya segera bangkit
dari tempat duduknya, diantar oleh dua penga-
walnya yang sejak tadi berdiri di sisi kanan dan
kirinya.
Setelah Adipati Gaung Surya meninggalkan
tempat itu, Panglima Darta Sena membalikkan
tubuh pada Andika. Andika pun berbuat yang
sama, hingga kini keduanya saling berhadapan.
"Lebih baik, segera kujelaskan siapa orang-
orang yang kau maksud itu, Andika," kata Darta
Sena yang mengenakan pakaian berwarna hitam
menyala. Di ikat pinggangnya yang berwarna me-
rah keemasan, terdapat sebilah keris berlekuk
sembilan. Matanya yang jernih dengan hidung
yang mancung, menatap Andika.
Andika menganggukkan kepalanya.
Setelah Darta Sena menjelaskan siapakah
orang-orang yang ingin diketahui oleh Andika, pe-
muda sakti bersenjata kain bercorak catur men-
gangguk-anggukkan kepalanya. Sampai sejauh
itu, Andika merasa cerita yang disampaikan oleh
Darta Sena, tak banyak berbeda dengan yang di-
jelaskan Gamang Markuto.
"Seorang buronan lagi yang bernama Ga-
mang Markuto, tak pernah kami temukan. Meski-
pun pencarian masih dilakukan, namun manusia
itu lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Pernah
sekali waktu, beberapa orang anak buahku me-
nyirap kabar kalau Gamang Markuto bersem-
bunyi di sebuah bukit. Tetapi, ketika sampai di
sana, kami tak mendapatkan keterangan lebih
banyak tentang Gamang Markuto."
"Bukit apakah yang Panglima maksud?"
"Bukit Teduh. Oya Andika, jangan me-
manggilku dengan sebutan 'Panglima'. Rasanya,
bila yang menyebutkan sebutan itu dirimu, aku
merasa tidak enak. Karena, kaulah pendekar be-
sar yang banyak dipuji orang."
Andika tak menghiraukan kata-kata Pan-
glima Darta Sena. Justru mendengar nama bukit
itu disebutkan seketika dikerutkan kening.
"Bukit Teduh?" ulangnya tanpa dapat me-
nyembunyikan keheranannya.
Panglima Darta Sena menangkap nada ke-
heranan dalam suara Andika.
"Mengapa kau seperti merasa aneh, Andi-
ka?"
"Tidak, tidak," kata Andika menyembunyi-
kan sesuatu dalam hatinya. "Lalu, siapakah
orang-orang yang dimaksudkan anak buahmu itu
yang mendiami Bukit Teduh?"
"Hanya ada seorang kakek tua."
"Seorang kakek tua?" desis Andika bertam-
bah heran. Diingat-ingatnya tentang keadaan Bu-
kit Teduh, di mana Gamang Markuto dan istri
serta anaknya mendiami tempat itu. Seingatnya,
Andika tidak melihat ada rumah lain di sana
ataupun orang lain yang menghuni Bukit Teduh.
"Ya."
"Jadi... berita yang dikabarkan oleh anak
buahmu itu tidak terbukti?"
"Tidak. Bahkan siratan kabar yang ter
tangkap oleh telingaku, buronan yang bernama
Gamang Markuto itu masih hidup, beserta anak
dan istrinya."
"Sudahkah kau mengecek ke sana sebe-
lumnya?"
"Lima bulan yang lalu, aku sendiri yang da-
tang ke sana. Justru yang kutemukan, seorang
kakek yang bernama Rawung Menggolo."
Andika terdiam. Ini suatu kabar baru yang
bisa ditangkapnya. Mengapa Panglima Darta Sena
beserta anak buahnya, tak berhasil menemukan
di mana Gamang Markuto, istri, dan anaknya be-
rada di sana? Yang terlintas dalam pikiran Andika
saat ini, kalau mereka sebelumnya sudah ber-
sembunyi dan seorang kakek tua kebetulan mau
menghuni rumah itu sementara, selagi orang-
orang kadipaten datang menyelidik. Lalu di mana
kakek yang bernama Rawung Menggolo itu seka-
rang?
Andika mencoba tak menghiraukan lagi ja-
lan pikirannya karena dilihatnya tatapan Darta
Sena penuh kecurigaan. Guna mengatasi masalah
itu, dia berkata, "Kita kembali ke soal bekas tiga
tawanan kadipaten. Setelah mereka dilepaskan,
apakah tak ada yang mengikuti dari kadipaten?"
"Kalau para prajurit yang kau maksudkan,
sudah kami lakukan. Bahkan lima orang praju-
ritku tewas mengerikan, sementara ketiga bekas
tawanan itu menghilang entah ke mana. Itu se-
mua atas rencanaku. Karena, sampai sejauh ini,
harta hasil jarahan mereka di rumah saudagar
kaya yang masih famili dari Adipati, tak berhasil
ditemukan."
Andika terdiam. Ternyata apa yang didapa-
tinya ini begitu banyak perkembangannya. Bah-
kan ada terselip teka-teki yang nyasar ke otak
cerdiknya.
Selagi Andika terdiam, Darta Sena berkata
lagi, "Andika... sekarang ini aku pun mengudap
kabar, kalau ada tiga manusia dajal yang menju-
luki diri Tiga Iblis Golok Setan sedang melakukan
aksi kejamnya. Mereka tak segan-segan membu-
nuh siapa saja yang menghalangi sepak terjang
mereka. Dan kekejaman mereka tak ada tandin-
gannya saat ini."
"Tahukah Panglima, siapakah mereka?"
"Kabar yang makin santer kudengar, mere-
ka hanyalah orang-orang yang kejam. Tetapi, fira-
satku mengatakan kalau mereka adalah tiga ma-
nusia keparat yang pernah menghuni penjara ba-
wah tanah kadipaten."
"Apa yang Panglima lakukan saat ini?"
"Aku sudah mengirim mata-mata untuk
melacak jejak mereka. Dan aku akan membawa
mereka kembali. Bahkan Andika, dua hari lagi,
setelah tak mendapatkan kabar dari mata-mata
yang kusebarkan, aku akan keluar dari kadipaten
ini untuk mencari manusia-manusia itu."
Andika cuma menganggukkan kepalanya.
Panglima Darta Sena bertanya, "Bersediakah kau
ikut serta denganku, Andika?"
"Sebenarnya, aku ingin sekali melakukan-
nya. Tetapi, aku masih mempunyai urusan yang
harus kuselesaikan," kata Andika yang kini mulai
menangkap keanehan dari peristiwa yang sedang
dihadapinya. Dan ketika dilihatnya tatapan pe-
nuh harap dari Panglima Darta Sena, Andika bisa
menangkap kalau sesungguhnya lelaki gagah itu
tengah memikirkan suatu masalah yang meng-
ganggunya. Andika yakin, ini sama sekali tidak
berhubungan dengan Tiga Iblis Golok Setan. Lalu
dia berkata dengan hati-hati, "Adakah sesuatu
yang merisaukanmu, Panglima?"
Panglima Darta Sena terkejut mendengar
pertanyaan itu. Dan keterkejutannya tak luput
dari mata tajam Pendekar Slebor. Dilihatnya lelaki
gagah itu menarik napas berkali-kali
"Yah... memang ada sesuatu yang merisau-
kanku, Andika. Sebenarnya, bukan hanya aku
yang merisaukan hal ini, juga Adipati Gaung
Surya."
Andika memutuskan untuk tidak segera
berlalu. Dia bertanya lagi, "Bolehkah aku menge-
tahui hal apakah itu, Panglima?"
Panglima Darta Sena menatap lurus-lurus
pada dua bola mata Andika. Ada kerisauan yang
jelas di sana, batin Andika dan bisa merasakan
kegalauan di hati sang Panglima. Biar bagaima-
napun juga, kedudukannya sebagai kepala pasu-
kan dan sekaligus kepala keamanan di Kadipaten
Harum Raksa, peristiwa hilangnya keris Gagak
Biru itu dapat menjatuhkan namanya. Paling ti-
dak, membuatnya merasa tak berdaya mengha-
dapi kejadian itu.
"Andika... ini adalah berita yang memalu-
kan bagi Kadipaten Harum Raksa."
"Kalau begitu... tutup muka saja biar tidak
malu."
Panglima Darta Sena tersenyum menden-
gar kata-kata Andika.
"Tiga hari yang lalu, aku dipanggil oleh
Yang Mulia Adipati. Kupikir, panggilannya itu ha-
nyalah bersifat laporan rutin yang biasa kulaku-
kan. Tetapi, ternyata jauh dari dugaanku semu-
la." Panglima Darta Sena membuang napas, seo-
lah menyingkirkan kegalauan di hatinya. "Sang
Adipati... kehilangan keris pusaka Gagak Biru.
Sebuah keris bertuah warisan dari ayahnya yang
dulunya menguasai pula Kadipaten Harum Raksa
ini. Meskipun demikian, Adipati Gaung Surya ti-
dak mudah mendapatkan keris itu. Dia bertarung
mati-matian menghadapi para prajurit kerajaan
sebagai pengetesan. Juga, menghadapi orang-
orang kepercayaan Raja. Keris itu sebuah keris
yang lain jauh dari keris-keris biasa. Keris itu be-
reluk tiga belas. Dan merupakan senjata yang
tangguh. Ilmu kebal macam apa pun yang dimiliki
lawan, akan bisa ditembus oleh keris itu. Keris
bertuah Gagak Biru itulah yang menjadikan keri-
sauan ini, Andika."
"Bagaimana keris pusaka Gagak Biru itu
bisa hilang?" tanya Andika pelan. Mungkin ini se-
bab adipati kelihatan berduka.
"Menurut Sang Adipati... seperti biasa, ke-
ris itu disimpan di sebuah peti di ruang simpan,
bersama senjata bertuah lainnya. Dan ketika
Sang Adipati melihatnya, keris itu tidak ada di
tempat. Hanya keris itu saja yang hilang. Sementara golok pusaka, tombak, dan panah pusaka,
masih tetap ada di tempatnya. Pencuri itu sangat
hebat sekali, Andika. Dia bisa masuk ke ruang
simpan tanpa merusak kunci pintu maupun atap.
Dan sepertinya si pencuri tahu kalau keris itulah
yang paling ampuh dari pusaka lainnya yang ada
di ruang simpan."
"Siapakah yang memiliki kunci ruang sim-
pan Panglima?" tanya Andika lain.
"Hanya aku dan Sang Adipati," kata Pan-
glima Darta Sena sambil menatap Andika.
"Apakah ada yang mengetahui tentang ke-
ris pusaka itu?"
Panglima Darta Sena menggelengkan kepa-
lanya.
"Hanya aku dan Sang Adipati."
"Hmm... pencuri itu pasti memiliki kesak-
tian yang sangat tinggi. Sejauh ini, adakah berita
tentang keris Gagak Biru itu?"
"Tidak. Rupanya si pencuri hendak ber-
sembunyi dulu. Itulah sebabnya Andika, mengapa
aku menginginkan kau untuk ikut bersamaku. Di
samping aku ingin mengembalikan Tiga Iblis Go-
lok Setan ke penjara bawah tanah, aku juga ingin
menghajar pencuri keparat itu."
Andika terdiam. Persoalan ini ternyata ma-
kin bertambah. Diangkat kepalanya lagi, ditatap-
nya Panglima Darta Sena yang nampak murung
kali ini.
"Panglima... bukankah lebih baik kita ber-
jalan masing-masing? Aku memang masih ada
urusan yang harus kuselesaikan, tetapi sambil la
lu, akan kucari si pencuri itu."
"Maafkan aku karena telah merepotkan
mu."
"Jangan bertindak sungkan seperti itu." La-
lu perlahan-lahan pemuda sakti dari Lembah Ku-
tukan itu berdiri, "Terima kasih atas jawaban
yang diberikan Panglima."
"Kuminta, jangan mengatakan tentang hi-
langnya keris Gagak Biru pada siapa pun juga,
Andika. Karena, ini merupakan aib bagi Kadipa-
ten Harum Raksa. Dan kau perlu tahu satu raha-
sia yang sangat rahasia, Andika," kata Panglima
Darta Sena sambil berdiri pula.
"Apa itu, Panglima?"
"Barang siapa yang memegang keris Gagak
Biru sebagai lambang kekuasaan Kadipaten Ha-
rum Raksa, maka secara tidak langsung, dialah
yang berkuasa di kadipaten ini. Peduli apa pun
dia mendapatkannya dengan cara mencuri, me-
nemukan atau diberikan sekalipun juga. Di mata
Raja, orang itulah yang berhak. Karena berarti di-
alah yang menguasai lambang kekuasaan Kadipa-
ten Harum Raksa. Di samping itu, kekuasaan
Adipati yang sebelumnya dalam hal ini Yang Mu-
lia Adipati Gaung Surya akan meluntur. Karena,
dia tak mampu menjaga keris pusaka Gaung
Raksa itu."
"Persoalan keris Gagak Biru?"
"Bukan. Mengapa kau sangat tertarik un-
tuk mengetahui latar belakang manusia-manusia
itu, Andika?"
Bukan Andika kalau tidak bisa menjawab
cerdik, "Aku pun mengudap kabar tentang Tiga
Iblis Golok Setan, yang kuyakini sangat erat hu-
bungannya dengan tiga orang bekas tawanan di
kadipaten. Dan tak akan kubiarkan manusia-
manusia itu lebih lama lagi merajalela melakukan
aksi kejahatannya."
Panglima Darta Sena mengangguk puas.
Masih menyiratkan kepuasan, Panglima Darta
Sena mengantar Andika sampai ke pintu gerbang.
Sebelum Andika berlalu dia berkata, "Aku
bersyukur, karena pernah bertemu dengan pen-
dekar besar yang berjuluk Pendekar Slebor."
"Aku pun beruntung bertemu panglima be-
sar yang bernama Panglima Darta Sena," balas
Andika yang membuat panglima itu tertawa. Ti-
dak menjadi semakin bangga atau menyombong-
kan kedudukannya. Andika berkata lagi, "Aku
permisi. Sampaikan salam takzimku untuk Adipa-
ti."
"Akan kusampaikan."
Lalu mulailah Andika melangkah mening-
galkan kadipaten, diiringi dengan pancaran mata
Panglima Darta Sena.
7
Pagi telah berlalu, siang menjelang. Tak
lama kemudian siang pun berganti senja. Sinar
matahari tak lagi panas menyengat. Langkah An-
dika yang perlahan itu kini membawanya ke se-
buah sungai yang terdapat pohon rindang. Di bawah pohon itu Andika duduk bersandar. Ada satu
pikiran yang membuatnya merasa harus mere-
nungkannya lebih dulu.
"Keterangan dari Panglima Darta Sena san-
gat lengkap sekali. Dan aku yakin, lima prajurit
yang ditemukan tewas itu adalah ulah kejam dari
manusia-manusia dajal yang kini menjuluki diri
Tiga Iblis Golok Setan. Tetapi yang masih meng-
herankan aku, adalah keterangan tentang tak di-
temukannya Gamang Markuto beserta istri dan
anaknya di Bukit Teduh. Mungkin dia telah mem-
bawa anak dan istrinya pergi dari sana, dan
menggantikan kedudukannya dengan seorang ka-
kek yang bernama Rawung Menggolo. Kalau begi-
tu, di manakah si kakek berada sekarang? Atau...
ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua
ini?"
Andika mencoba menemukan langkah yang
terbaik dari pikirannya yang mulai bercabang.
"Apakah sebaiknya aku kembali ke Bukit
Teduh untuk mencari si orang tua yang bernama
Rawung Menggolo itu? Hmm... secara tidak lang-
sung, aku pun telah mengemban tugas dari Kadi-
paten Harum Raksa untuk mencari keris pusaka
Gagak Biru. Bila mendengar cerita dari Panglima
Darta Sena... aku yakin pencuri itu memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Hmm... siapakah pencuri itu?"
Pikiran Andika kini bercabang. Persoalan
mencari Tiga Iblis Golok Setan dan mencari keris
pusaka Gagak Biru.
"Biar bagaimanapun juga, kedua masalah
itu akan kutuntaskan. Lebih baik aku... heiiittt!"
Andika memutuskan kata-katanya dan mencelat
dengan satu lompatan indah dan ringan ke atas
pohon. Telinganya yang terlatih menangkap suara
sesuatu muncul dari dalam sungai.
Dari balik rimbunnya dedaunan, Andika
mengintip ke asal suara itu. Dan segera dipejam-
kan kedua matanya dengan tubuh yang menda-
dak gemetar. Pandangannya tadi sekilas melihat
satu sosok tubuh indah dalam keadaan polos se-
dang keluar dari dalam sungai. Dan sempat dili-
hatnya, tubuh yang tentunya milik seorang gadis
itu, begitu menakjubkan.
"Gila! Siapa gadis itu?" desisnya masih
memejamkan matanya. "Tidak, aku tidak boleh
melihatnya," katanya melawan perasaannya yang
mulai menggigit. Sejenak tubuhnya makin berge-
tar. Apa yang dilihatnya itu memang merayapi
semua perasaan kelaki-lakiannya. Tetapi dasar
urakan dia berkata, "Ah, begitu bodohnya kalau
aku tidak menikmatinya lagi. Mumpung masih
ada kesempatan." Lalu dengan hati-hati dibu-
kanya kedua matanya lagi, disibakkan rimbunnya
dedaunan. Tetapi dia kecele, karena gadis itu su-
dah keluar dari sungai dan telah mengenakan se-
luruh pakaiannya. Gadis itu sedang duduk sambil
mengeringkan rambutnya dengan kedua tangan-
nya, membelakangi pohon di mana Andika bera-
da. "Ya... rugi deh. Tetapi baguslah, aku jadi tidak
buat dosa," kata Andika disusul tawanya sendiri,
"Kalau mengintip beginian kan, dosanya cuma
sedikit... hehehe...."
Tetapi sebelum Andika melompat, terden
gar teriakan ketakutan diiringi dengan gebahan
kuda dan teriak-teriakan keras berbalur tawa.
Dari atas pohon, dilihatnya si gadis berbaju
jingga dengan sebilah pedang di punggungnya
berdiri dan menoleh.
"Wening!" desis Andika pelan setelah meli-
hat wajah gadis itu yang sedang menghadap ke
kiri. "Wah, jadi tubuh Wening yang kulihat tadi?
Kacau, kacau! Tetapi... siapakah yang berteriak
ketakutan itu? Seperti suara perempuan. Dan su-
ara kuda itu berjumlah tiga ekor!"
Bukan hanya Andika yang memikirkan hal
itu, Wening pun memikirkan yang sama. Baik
Andika maupun Wening tak lagi terlalu lama me-
nunggu jawabannya, karena satu sosok tubuh
dengan tubuh lemah dan penuh keringat telah ti-
ba di sana. Berlari, jatuh bangun dan berusaha
bangkit untuk berlari lagi.
Melihat gelagat yang tidak menguntung-
kan, Wening bertindak cepat. Dihampirinya gadis
yang bukan main pias wajahnya.
"Ada apa?" tanya Wening, kebiasaannya
yang bersikap tegas membuatnya tak banyak ber-
basa-basi.
Gadis itu terengah-engah, lalu dengan pe-
nuh ketegangan dia berkata terputus-putus,
"Aku... aku... dikejar manusia-manusia iblis itu....
Tolong aku, Nyi... tolong aku...."
Wening sendiri tidak perlu memikirkan sia-
pakah yang tengah mengejar gadis ini. Karena de-
rap langkah kuda yang semakin mendekat itu te-
lah berhenti di hadapan Wening, berjarak tiga
tombak. Tali kekang yang ditarik tadi membuat
kaki-kaki kuda itu terangkat dan meringkik ke-
ras.
Tiga ekor kuda dengan masing-masing pe-
nunggangnya! Masing-masing mengenakan jubah
hitam panjang!
Melihat keadaan itu, Andika yang sejak ta-
di bermaksud untuk melompat, tetapi ditahannya
dulu karena didengarnya Wening sudah memben-
tak, "Apakah kalian yang berjuluk Tiga Iblis Golok
Setan?"
Orang-orang itu berpandangan. Lalu terta-
wa satu sama lain seolah mengecilkan Wening.
"Kau benar, Cah Ayu! Nah, apakah kau
bersedia menemani kami bersenang-senang? Ke-
betulan sekali, kami hanya mengejar seorang ga-
dis. Dan bila kau bersedia, kita berlima akan le-
bih banyak mendapatkan kesenangan, bukan?"
Wajah Wening membesi dengan tubuh ber-
getar karena marah. Di balik punggungnya, dira-
sakan pegangan tangan gemetar yang dilakukan
oleh gadis berwajah pucat dengan peluh yang ber-
tambah banyak mengalir.
"Setan alas! Di mana adikku kalian sem-
bunyikan?" bentak Wening seketika.
"Adikmu? Hahaha... kau tak perlu iri meli-
hat keberuntungan adikmu itu! Perlu kau keta-
hui, namaku Ronggo Kosworo. Yang picak itu
bernama Gonggo Sirat, dan yang pincang berna-
ma Jombrang! Siapakah di antara kami yang ber-
kenan di hatimu? Atau... kau bermaksud melaya-
ni kami sekaligus?"
Wajah Wening bertambah mengeras. Kejeli-
taannya sirna seketika berubah menjadi kekera-
san. Amarahnya tak bisa dibendung lagi. Dengan
gerak yang cepat diloloskan pedangnya dari wa-
rangkanya. Suara 'srak' terdengar.
Lalu dia berbisik pada gadis di belakang-
nya, "Selagi aku melabrak mereka, kau agak me-
nyingkir. Cari batang kayu, untuk mempertahan-
kan diri." Setelah mendapati gadis itu mengang-
gukkan kepala, Wening kembali menatap manu-
sia-manusia jubah hitam di hadapannya. "Manu-
sia-manusia dajal! Kalian harus mampus!" seha-
bis berkata begitu, Wening langsung menerjang.
Jurus 'Pedang Papas Kumbang' telah diperguna-
kannya. Satu rangkaian jurus pedang yang me-
nakjubkan sekaligus mengerikan.
Begitu pedangnya bergerak, yang dituju
adalah Ronggo Kosworo yang berkata melecehkan.
Tetapi pedang yang dikibaskannya itu lolos dari
sasaran, karena Ronggo Kosworo sudah melompat
dan mencabut golok besarnya.
Wening membabat ke kiri, bersamaan
Ronggo Kosworo menangkis.
Trang!
Benturan antara pedang dan golok itu cu-
kup keras terdengar, menimbulkan percikan api
sejenak.
Wening tak mau membuang waktu, dia te-
rus mencecar penuh amarah. Ronggo Kosworo be-
rusaha menghindar dan membalas. Dalam dua
jurus berikutnya dia bagai anak ayam kehilangan
induk. Untuk meloloskan diri dari kejaran pedang
Wening tak mungkin bisa dilakukan.
Di saat yang genting itu, dua kawannya da-
tang membantu. Langsung menyabetkan golok di
tangan masing-masing, membuat Wening mau
tak mau menghentikan serangannya pada Ronggo
Kosworo ketika merasakan angin menyambar di
belakangnya.
Di atas pohon, Andika mendesis, "Keheba-
tan Wening patut dipuji. Meskipun dikeroyok se-
perti itu, Wening kelihatannya akan tetap berada
di atas angin. Tetapi, hei!" Andika tersentak. Ma-
tanya yang tajam dan terlatih menangkap satu
keanehan. Diperhatikannya dengan seksama ja-
lannya pertarungan itu. Tiba-tiba dia mendesis,
"Kurang ajar! Ternyata ada orang yang ingin men-
gambil keuntungan! Baiknya, kulihat saja du-
lu...."
Di bawah, pertarungan itu bertambah sen-
git. Apa yang diperkirakan Andika memang benar,
Wening berhasil mengatasi lawan-lawannya. Bah-
kan Jombrang sudah tergores lengan kanannya,
dan menyusul satu tendangan kaki kiri yang telah
menghantam dadanya. Lelaki itu tersuruk tiga
tombak ke belakang dan jatuh pingsan.
Menyusul Gonggo Sirat yang terkena ten-
dangan telak di kepalanya. Keseimbangannya hi-
lang seketika dan dia pun ambruk jatuh pingsan.
Menghadapi Ronggo Kosworo yang diduga
Wening adalah pimpinan dari begundal-begundal
itu, agaknya Wening menurunkan tangan lebih
keras. Berkali-kali pedangnya berkelebat. Paha ki-
ri Ronggo Kosworo telah tersayat dan mengalirkan
darah.
Sementara jubah hitamnya telah koyak-
moyak terkena sabetan pedang Wening. Darah
yang mengalir, membuat lelaki bercodet di wajah-
nya itu tak mampu menguasai keseimbangannya
lagi. Tetapi, pada dasarnya dia memang telah
berhasil dikuasai Wening.
Dalam satu jurus berikutnya, Ronggo Kos-
woro sudah terkapar di tanah. Dengan amarah
yang telah membludak, terutama mencemaskan
keadaan adiknya, Wening menginjak dada lelaki
yang terkapar itu dengan kaki kanannya, membe-
rikan tekanan hingga mata lelaki itu terbeliak.
Sementara ujung pedangnya ditempelkan pada
tenggorokan Ronggo Kosworo yang menjadi pias.
Kegarangannya yang jelas-jelas diperlihatkan tadi,
kini lenyap bagai menggantung antara langit dan
bumi.
"Ampun... ampuni aku...." serunya mengi-
ba.
Wening menyeringai.
"Apakah kau mengampuni orang-orang
yang hendak kau bunuh, hah?"
"Aku... aku...."
"Setan alas!" Kaki Wening menekan dada
Ronggo Kosworo yang merasakan dadanya bagai
melesak ke dalam. Dia melengak dengan kedua
mata melebar. Ludah menyembur dari mulutnya
begitu dadanya ditekan. "Katakan, di mana adik-
ku dan dua gadis dusunku yang kau culik?"
"Aku... aku...."
"Apakah kau hanya bisa menjawab 'aku...
aku...' saja, hah?" bentak Wening dengan hati pa-
nas. Apalagi bila membayangkan bagaimana na-
sib adiknya sekarang ini? Apakah dia dalam kea-
daan tak kurang suatu apa, apakah sudah berada
dalam titik kehancuran? Wening lebih percaya
pada pikirannya yang kedua, dan hal itu semakin
membuatnya bertambah gusar. "Bila kau tidak
mengatakannya, ujung golokku ini akan menem-
bus hingga tulang lehermu bagian belakang."
"Aku... aku...."
"Keparat!" Wening siap menusukkan ujung
pedangnya, tetapi satu suara di belakangnya
mengurungkan niatnya dan membuatnya meno-
leh tanpa hilang kewaspadaannya pada Ronggo
Kosworo yang sudah tidak berdaya.
"Dia tak tahu apa-apa, Wening. Dia hanya
mengambil kesempatan saja. Orang-orang jelek
yang usil!"
"Kang Andika!" seru Wening. Gadis itu
gembira sekali bisa bertemu lagi dengan Pendekar
Slebor. Tetapi, kata-kata Andika barusan mem-
buat keningnya berkerut. Bernada keheranan dia
bertanya, "Apa maksud ucapan, Kang Andika?"
Andika menyeringai
"Karena... mereka bukanlah Tiga Iblis Go-
lok Setan."
***
"Oh!" Wening terperanjat bukan main men-
dengar kata-kata yang diucapkan dengan nada
meyakinkan itu. Lain halnya dengan si gadis yang
bersembunyi di balik pohon. Siapa pun ketiga
orang itu, tetaplah orang-orang yang mengedar-
kan hatinya. Sementara Wening tengah menatap
lurus pada Andika balas menatap sambil men-
ganggukkan kepala.
Anggukan kepala Andika sebenarnya su-
dah menjelaskan apa yang dikatakannya itu me-
mang benar, tetapi Wening masih belum puas
dengan kata-kata Andika. Makanya dia bermak-
sud bertanya, "Bagaimana...."
"Ya, ya... pemuda itu benar! Kami bukan
Tiga Iblis Golok Setan!" kalimat Wening terpotong
oleh orang yang sedang diinjaknya. Suaranya
mengandung pengharapan sekali agar dibebaskan
dari injakan dan tusukan pedang Wening.
Wening tak mempedulikan seruan itu, dia
berkata lagi pada Andika, "Bagaimana ini bisa ter-
jadi? Dan bagaimana Kang Andika bisa menduga
seperti itu?"
Bukannya menjawab, Andika menghampiri
Jombrang yang pingsan. Sambil berlutut dia ber-
kata, ""Nih! Kau perhatikan Wening! Sejak perke-
lahianmu tadi, aku sudah berada di sini dan
memperhatikan. Manusia inilah yang membuatku
yakin kalau, mereka bukanlah Tiga Iblis Golok
Setan. Kau lihat, Wening...." Andika meluruskan
kaki kiri Jombrang. "Kau lihatlah, tak ada bekas
patah tulang atau cacat bawaan yang bisa mem-
buatnya pincang. Kakinya normal seperti kaki ki-
ta. Tetapi untuk melengkapi penyamarannya se-
bagai salah seorang Tiga Iblis Golok Setan, dia
membuat langkahnya terpincang. Manusia inilah
yang pertama kali membuatku yakin kalau dia ti-
dak pincang. Gerakan pertamanya saat meng-
gempur mu, memang masih memperlihatkan dia
pincang. Tetapi setelah itu, lenyap sama sekali.
Bahkan gerakannya lebih mirip kaki orang nor-
mal. Bukannya sombong nih! Aku terlatih dalam
hal begituan, dan aku bisa menduga kalau manu-
sia-manusia ini bukanlah Tiga Iblis Golok Setan."
Wening yang masih terheran-heran hanya
menatap Andika dengan mulut terbuka. Dilihat-
nya Andika tengah mendekati Gonggo Sirat yang
juga pingsan.
"Gonggo Sirat si begundal itu menurut ka-
bar yang kuketahui, matanya sebelah kanan me-
mang picak. Tetapi, tidak ditutupi dengan kain hi-
tam yang mengikat dari belakang kepala. Kau li-
hat, Wening...." Andika membuka kain hitam kecil
yang mirip bajak laut itu.
Wening terbelalak. Dilihatnya mata itu
normal, tak ada tanda-tanda rusak. Rasa kesal-
nya makin menjalar ketika tahu dipermainkan.
Dengan amarah membludak dia berbalik
pada Ronggo Kosworo, "Manusia kurang ajar! Kau
berani-berani menipuku, hah?"
"Tidak... maaf, maafkan aku... aku dan ke-
dua temanku itu... memang sengaja menyamar
sebagai Tiga Iblis Golok Setan, karena aku tahu
kalau tiga manusia itu sangat ditakuti...."
"Apa maksudmu melakukan semua ini,
hah?"
"Kami... kami butuh makan, sementara tak
ada pekerjaan untuk kami.... Dengan menyamar
sebagai Tiga Iblis Golok Setan kami bisa menda-
patkan makan, uang, dan harta. Karena orang-
orang yang kami datangi sangat ketakutan...."
"Kurang ajar!" maki Wening sambil menye-
pak kepala Ronggo Kosworo palsu itu hingga
pingsan. Dadanya naik turun menahan geram
dan gemas. Andika mendiamkan saja gadis itu
berbuat seperti tadi. Karena, manusia semacam
Ronggo Kosworo palsu itu memang harus diberi
pelajaran.
"Eit! Jangan galak begitu dong! Kau jelek
kalau galak-galak! Manusia-manusia itu sudah
mendapat ganjarannya, dan aku yakin mereka
tak akan berani lagi melakukan perbuatan itu
kembali! Apalagi kalau berhadapan denganmu
yang tahu-tahu jadi galak begitu!"
Wening berbalik pada Andika, "Justru aku
mencemaskan keadaan adikku, Kang Andika...."
Andika mengangkat sepasang alis legamnya. "Aku
mengerti...."
Wening menatap lagi tiga sosok tubuh yang
pingsan itu. Bila dituruti kata hatinya, ingin di-
lampiaskan rasa kesal dan marahnya karena me-
rasa dipermainkan oleh ketiga orang ini. Tetapi,
seperti yang dikatakan Andika tadi, ketiga orang
itu jelas tidak akan berani lagi melakukan pe-
nyamaran sebagai Tiga Iblis Golok Setan.
Diangkat lagi kepalanya, dan ditatapnya
Andika dengan perasaan tak menentu. Kesal, ma-
rah, sedih, galau, dan malu menjadi satu. Entah
bagaimana mulanya, tiba-tiba saja Wening me-
langkah menghampiri Andika. Tiba di hadapan
Andika, dia mendongak, menatap wajah tampan
di hadapannya yang sedang tersenyum. Lalu per-
lahan-lahan direbahkan kepalanya ke dada Andi-
ka, yang untuk sejenak melengak, karena tak
menyangka gadis itu akan berbuat seperti ini,
sangat di luar dugaannya.
Tetapi kemudian Andika sadar, biar bagai-
manapun juga, Wening hanyalah seorang gadis.
Meskipun ketegarannya sangat menakjubkan, dia
masih membutuhkan pula orang lain sebagai
tempat berbagi kekesalan dan kesedihannya.
Berpikir demikian, perlahan-lahan Andika
merangkul gadis itu. Lembut dan penuh penger-
tian. Tak ada nafsu birahi sedikit pun yang mem-
balut tubuh Andika. Rangkulan itu dilakukan
semata guna menenangkan si gadis berbaju jing-
ga itu. Perlahan-lahan dirasakan dadanya basah,
yang tentunya air itu berasal dari mata Wening.
"Aku cemas memikirkan adikku, Kang...."
"Sudahlah... kita akan mencari adikmu
itu...," kata Andika menenangkan padahal dalam
hati dia berkata, "Hehehe... mau nih seumur hi-
dup begini terus!"
Tanpa disadari keduanya, gadis jelita yang
ditolong Wening tadi menarik napas panjang. Dia
teringat kekasihnya telah tewas di ujung golok
manusia-manusia itu karena menyelamatkannya.
Dan malam pun mulai turun, menyelimuti tanah
di sekitar sungai itu.
***
8
Lelaki setengah baya dengan tubuh kurus
dan wajah penuh keriput itu keluar dari dusun
Karang Batu. Dibawa langkahnya satu-satu den-
gan tubuh yang sepertinya lelah sekali ke arah
timur. Pakaiannya yang berwarna putih kusam
tersibak dipermainkan angin, padahal sudah ter-
tutup rapat. Rambutnya panjang hingga bahu,
beriap-riap bagai berlomba mengikuti arus angin.
Mata tuanya nampak menyiratkan kedukaan.
Langkah perlahannya dihentikan di sebuah
hutan kecil di hadapannya. Diperhatikan sekelil-
ing tempat di mana dia berdiri. Dia tak mau men-
dapati satu musibah karena kurang berhati-hati.
Setelah dirasanya cukup aman, dia duduk di ba-
wah sebuah pohon rindang dan mulailah dibuka
nasi bungkus yang dibelinya di dusun yang dila-
luinya tadi. Dalam waktu yang singkat, nasi itu
telah habis dimakan.
Dan tanpa disadarinya, dua pasang mata
memperhatikannya dari atas pohon di mana laki-
laki tua itu duduk menikmati nasi bungkusnya.
Dua orang di atas pohon itu tak mengeluarkan
kata sama sekali, terus memperhatikan si lelaki
tua itu.
Padahal, yang seorang, yang mengenakan
pakaian berwarna jingga berkeinginan untuk tu-
run karena pikirnya, lelaki tua itu tidak berba-
haya. Tetapi kawannya yang berambut gondrong
dan mengenakan pakaian warna hijau pupus
menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti ada sa-
tu pikiran di benaknya, yang harus dilepaskan.
Si lelaki tua masih asyik bersandar. Perut-
nya telah kenyang. Lelahnya sedikit terbayar.
Tiba-tiba terdengar gumamannya,
"Hmmm... ke mana lagi harus kucari manusia-
manusia biadab itu. Tak akan pernah kubiarkan
mereka hidup lebih lama setelah membunuh Su-
mirah dan Dali Gunarso...."
Si pengintip yang berbaju hijau pupus
mengerutkan kening. Sumirah dan Dali Gunarso?
Bukankah itu nama istri dan anaknya Gamang
Markuto? Dugaannya semakin kuat saja, kalau
dia bisa menebak siapa lelaki tua ini.
Memikir sampai di sana, diberinya isyarat
melalui anggukan kepala pada gadis di sebelah-
nya. Melompat ke arah yang berlawanan, lalu
mendatangi lelaki tua itu seolah belum melihat
sebelumnya.
Si gadis menganggukkan kepala. Tak lama
kemudian, keduanya melangkah mendekati si tua
yang masih duduk bersandar. Begitu melihat ada
yang datang si tua itu langsung berdiri. Kening-
nya berkerut memperhatikan keduanya.
"Siapa kalian?"
Si pemuda yang mengenakan pakaian hijau
pupus tersenyum. Tetapi pada dasarnya si pemu-
da memiliki sifat yang urakan dan kocak, se-
nyumnya jadi jelek bukan main.
"Maafkan, kalau kami mengganggu istira-
hatmu, Bapak. Namaku Andika dan gadis ini sa-
habatku, namanya Wening. Siapakah Bapak
adanya? Pasti Bapak punya nama, kan?"
Lelaki tua itu memperhatikan keduanya sa-
tu persatu. Lalu perlahan-lahan dia berujar, "Na-
maku Rawung Menggolo."
Andika menarik napas lega. Tak salah du-
gaanku, batinnya. Memang, sebelumnya Andika
dan Wening tiba pula di dusun Karang Batu sete-
lah mengantar gadis yang bernama Marni ke de-
sanya. Membantu penduduk di sana merapikan
keadaan yang agak porak poranda. Mereka sara-
pan di sebuah kedai. Saat sarapan itulah, si lelaki
tua ini muncul. Didengarnya lelaki itu menanya-
kan tentang Tiga Iblis Golok Setan pada pemilik
kedai, yang dijawab dengan menggelengkan kepa-
la. Setelah si tua keluar kembali dengan membeli
nasi bungkus, Andika memberikan isyarat pada
Wening untuk menyelesaikan sarapannya lebih
cepat.
Hatinya mengatakan ada sesuatu yang se-
lama ini mulai tergambar di benaknya. Dibuntu-
tinya lelaki tua itu dan dengan ilmu meringankan
tubuh yang keduanya miliki, mereka berhasil
dengan mudah melakukannya. Bahkan melompat
ringan ke pohon di mana si lelaki tua itu duduk
menikmati nasi yang baru dibelinya tadi.
Andika menatap lurus pada lelaki tua itu.
"Kalau memang Bapak bernama Rawung
Menggolo, tentunya Bapak mengenal Gamang
Markuto, bukan?"
Lelaki tua itu tak segera menjawab. Kalau
tadi tatapannya sudah membiaskan rasa persa-
habatan, kali ini tatapannya menyelidik.
"Siapa yang kau maksudkan, Anak Muda?"
Andika sadar, kalau Rawung Menggolo
agaknya mencurigainya. Lalu diceritakan siapa
dirinya dan bagaimana pertemuannya dengan
Gamang Markuto. Juga, bagaimana Gamang
Markuto melarikan diri darinya.
Setelah beberapa saat terdiam, Rawung
Menggolo barulah menjawab, "Yah... aku men-
genal lelaki yang kau maksudkan itu, Anak Mu-
da."
Lagi-lagi Andika tersenyum yang jeleknya
bukan main. Untuk melanjutkan pembicaraan,
diajaknya Rawung Menggolo dan Wening duduk.
Di bawah kerindangan pohon yang ditemani oleh
burung-burung bernyanyi, percakapan itu dilan-
jutkan.
"Bapak Rawung... aku ingin tahu tentang
Gamang Markuto," kata Andika santai. "Ceritakan
deh! Mumpung aku berada di sini!"
Lelaki tua itu menarik napas panjang. Pan-
caran matanya menyiratkan keengganan dan ke-
dukaan dalam. Dan yang diceritakan kemudian
oleh Rawung Menggolo, sama seperti yang diceri-
takan Gamang Markuto sendiri dan Panglima
Darta Sena.
Andika bertanya lembut, "Aku menyirap
kabar, kalau prajurit Kadipaten Harum Raksa be-
berapa bulan lalu mencari Gamang Markuto yang
dinyatakan sebagai buronan karena dialah yang
belum tertangkap dari empat bajingan yang mela-
kukan tindak kejahatan pada seorang saudagar.
Bahkan berkali-kali mendatangi Bukit Teduh.
Hanya yang mengherankan, mengapa Gamang
Markuto tidak ditemukan oleh mereka?"
Rawung Menggolo menarik napas pendek.
"Yah... itu dikarenakan, setiap kali para
prajurit kadipaten datang, Gamang Markuto
mendatangiku bersama istri dan anaknya. Lalu,
aku menggantikan kedudukan mereka sebagai
pemilik rumah. Bila prajurit-prajurit itu bertanya,
kujawab aku telah lama mendiami tempat itu dan
tak mengenal orang lain di sana. Terutama, yang
mereka cari."
"Jauhkah tempat tinggal Bapak dari ke-
diaman Gamang Markuto?" tanya Andika pula.
"Lumayan. Membutuhkan waktu dua kali
penanakan nasi. Aku tinggal di sebelah timur dari
Bukit Teduh, di sebuah hutan kecil yang sunyi
namun nyaman. Tetapi, beberapa hari yang lalu,
ketika aku bertandang ke rumahnya, rumahnya
telah hangus dan rata dengan tanah. Kecemasan-
ku datang, terutama ketika kulihat ada dua buah
gundukan tanah yang masih baru. Melihat uku-
rannya, aku yakin itu adalah makam Dali Gunar-
so dan Sumirah. Lalu, di mana makam Gamang
Markuto? Setelah kucari beberapa saat, tak ku-
temukan di mana makamnya. Dugaanku hanya
satu, dia telah tewas di satu tempat, ataukah pa-
ra prajurit itu berhasil menemukannya. Tetapi,
keyakinanku kalau bukan para prajurit yang me-
lakukannya mulai timbul, ketika mempertim-
bangkan tak akan mungkin para prajurit kadipa-
ten membunuh anak dan istrinya. Dan kemudian
aku ingat, tentang teman-temannya yang pernah
mengancamnya dulu untuk melakukan tindak ke-
jahatan. Apakah tidak mungkin kalau mereka
yang melakukannya? Akhirnya kuputuskan un-
tuk mencari kebenaran dugaanku itu. Kusirap
kabar, kalau sekarang tengah terjadi tindak telen-
gas dari Tiga Iblis Golok Setan. Dugaanku, tiga
manusia itulah yang menjuluki diri Tiga Iblis Go-
lok Setan, karena aku juga mendengar kalau me-
reka telah keluar dari tahanan. Ah... malang nian
nasib yang dialami Gamang Markuto."
Andika diam-diam memuji kecerdikan
orang tua ini, sekaligus rasa persaudaraan yang
ada di hatinya. Didengarnya lagi si orang tua ber-
kata, "Anak muda... aku yakin, Gamang Markuto
tak bersalah sedikit pun. Berkali-kali sudah ku-
katakan, sebaiknya menyerahkan diri saja pada
kadipaten. Tetapi ditolaknya, karena baginya ma-
sih ada yang lebih penting lagi. Soal anak dan is-
trinya. Sampai akhir hayatnya, mungkin istri dan
anaknya tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya."
"Adakah dugaan ke mana Gamang Markuto
pergi?" tanya Andika kemudian. "Karena, ketika
kusuruh untuk membersihkan badan dan aku
menyiapkan jagung bakar untuk sarapan, dia su-
dah menghilang begitu saja."
Rawung Menggolo menggelengkan kepa-
lanya.
"Tidak. Aku tidak punya dugaan dia pergi
ke mana. Karena yang kutahu, Gamang Markuto
tak mempunyai sanak famili lagi. Kalaupun dia
pergi sekarang, mungkin dia tengah mencari ma-
nusia-manusia keji yang telah membunuh istri
dan anaknya. Ah, aku bersyukur sekarang dan
perasaanku jauh lebih tenang dari sebelumnya,
karena dari kata-katamu tadi, aku yakin Gamang
Markuto masih hidup."
Andika menarik napas panjang. Masih ba-
nyak teka-teki yang ada di benaknya. Ke mana
Gamang Markuto pergi? Di mana Tiga Iblis Golok
Setan bersembunyi? Juga, beberapa pertanyaan
yang masih tersimpan di benaknya.
Karena tak ada lagi keterangan yang bisa
didapatinya, dia berdiri. Wening yang sejak tadi
hanya mendengarkan, berbuat yang sama. Ra-
wung Menggolo pun berdiri pula.
"Bapak... terima kasih atas penjelasan Ba-
pak. Sekarang, Bapak hendak ke manakah?"
"Aku tak akan kembali ke tempat tinggalku
sebelum kujumpai Gamang Markuto."
Andika bisa merasakan kekerasan hati si
orang tua.
"Kalau begitu, berhati-hatilah...."
"Aku bisa menjaga diri, Anak Muda. Lagi
pula, meskipun aku merasa terlibat dalam urusan
ini, Tiga Iblis Golok Setan tak mengenalku dan
tahu siapa aku."
Andika tersenyum.
"Berhati-hatilah...."
Andika mengajak Wening meninggalkan
Rawung Menggolo yang telah meneruskan lang-
kahnya. Diam-diam, ada sesuatu yang menggang-
gu Andika. Tetapi lagi-lagi untuk saat ini dia tak
tahu pikiran apa yang membingungkannya.
Namun di benaknya, ada sebuah rencana
yang akan dilakukannya.
***
Kedatangan tiga lelaki penunggang kuda
dan mengenakan jubah hitam ke tempat pelacu-
ran Mawar Hitam, disambut dengan sikap manja,
centil dan penuh rangsangan dari para pelacur
yang mendiami tempat itu. Kuda-kuda hitam me-
reka yang ditambatkan di depan pintu tempat pe-
lacuran itu, bagai mendapat perlakuan yang isti-
mewa.
Beberapa pekerja di sana segera mengurus
kuda-kuda itu. Dengan cepat memandikan, mem-
beri makan dan minum.
Seorang germo bertubuh gemuk dengan
rambut disanggul mengajak ketiganya ke ruang
dalam. Germo yang bernama Nyai Idah Merah
memang sudah mengenal siapa yang datang, tiga
langganannya yang royal. Sebenarnya, sambutan
Nyai Idah Merah pada ketiga manusia yang tak
lain adalah Tiga Iblis Golok Setan, bukan dikare-
nakan keroyalan mereka, tetapi karena dia per-
nah mendengar kabar tentang sepak terjang Tiga
Iblis Golok Setan yang selalu menurunkan tangan
telengas. Di samping itu, Nyai Idah Merah sendiri
telah mengenal mereka sebelum ketiganya dipen-
jara.
"Nah, kalau Kangmas menginginkan yang
baru, kami memang baru mendapatkannya. Ini
istimewa lho. Tak seorang pun langgananku yang
kusuguhkan gadis-gadis itu," kata Nyai Idah Merah sambil mengerling genit. Dandanannya sangat
medok, penuh dengan pupur di sana-sini. Bibir-
nya dipoles sangat merah. Pakaiannya yang kun-
ing keemasan sebenarnya sangat indah sekali. Te-
tapi karena dikenakan oleh perempuan yang ber-
tubuh gemuk dengan buah dada besar dan wajah
penuh pupur, justru jadi jelek sekali. Penampilan
Nyai Idah Merah sebenarnya tak lebih dari badut-
badut di kotapraja.
Ronggo Kosworo terbahak-bahak.
"Bagus, bagus sekali, Nyai. Kau tahu saja
keinginan kami. Tetapi, bagaimana dengan perin-
tahku waktu itu? Sudahkah kau mendengar ka-
bar tentang Gamang Markuto?"
"Belum, Kangmas. Tak ada anak buahku
yang pernah mendengar namanya," kata Nyai
Idah Merah sambil mengerling genit. "Padahal,
aku juga heran dulu biasanya kalian berempat te-
tapi mengapa sekarang bertiga?"
"Kau tak perlu tahu soal itu!" bentak Rong-
go Kosworo.
Lelaki setengah baya berbaju putih kusam
masuk ke ruangan itu. Nyai Idah Merah seketika
melotot gusar. Dia bangkit dari duduknya dan
berdiri berkacak pinggang di hadapan lelaki itu.
"Ruangan ini untuk tamu-tamu istimewa-
ku, Orang Tua!!"
Si orang tua hanya tersenyum saja. Menge-
luarkan kantong kecil dari balik pakaiannya. Di-
keluarkannya isinya ke telapak tangannya.
"Kau lihat, Nyai... aku mempunyai uang
perak yang cukup banyak, bukan? Lima belas gadis-gadismu pun sanggup kubayar malam ini."
Wajah Nyai Idah Merah yang tadi sengit ki-
ni menjadi cerah. Tetapi ketika dia melirik Ronggo
Kosworo yang menekuk wajah, terburu-buru dia
berkata, "Apakah kau sudah mendapatkan salah
seorang gadisku?"
Orang tua itu menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, silakan kau bersenang-
senang."
"Aku sudah melakukannya," kata si orang
tua berbohong. "Selagi aku ingin meninggalkan
tempat ini, aku mendengar tentang nama seseo-
rang disebutkan."
Nyai Idah Merah hendak membuka mulut,
tetapi Ronggo Kosworo sudah memotong, "Mak-
sudmu... Gamang Markuto?"
Orang tua itu menganggukkan kepalanya.
"Benar. Gamang Markuto."
Ronggo Kosworo menatap tajam pada orang
tua yang nampaknya tenang-tenang saja.
"Siapakah kau sebenarnya, Orang Tua?"
"Namaku Rawung Menggolo. Aku tinggal di
daerah pesisir barat," kata orang tua itu berbo-
hong kembali.
"Apa yang kau ketahui tentang Gamang
Markuto?"
"Perjumpaanku dengan lelaki yang berna-
ma Gamang Markuto terjadi tiga hari yang lalu, di
hutan sebelah timur dari sini. Lelaki itu bertanya
padaku tentang Tiga Iblis Golok Setan. Dan meli-
hat penampilan kalian, aku yakin kalianlah yang
dimaksudkan olehnya."
Ronggo Kosworo mendesis dingin.
"Ya, kamilah yang berjuluk Tiga Iblis Golok
Setan. Apa yang kau katakan padanya?"
"Dia mencari kalian karena kalian telah
membunuh anak dan istrinya."
Secara bersamaan, tiga lelaki berjubah hi-
tam itu terbahak-bahak. Begitu kerasnya hingga
dua orang tukang pukul di tempat pelacuran itu
masuk dan melongok. Tetapi setelah melihat isya-
rat dari Nyai Idah Merah melalui gerakan dagunya
yang gemuk, keduanya keluar kembali.
Sementara Nyai Idah Merah diam-diam me-
rasa ngeri mendengar keterangan itu.
"Bagus! Bagus sekali! Sekarang... kau ikut
dengan kami untuk mencari manusia keparat
itu!"
"Aku tidak tahu lagi di mana dia berada."
"Kita akan mengeceknya ke hutan yang
kau maksudkan. Karena kau yang mengetahui
tempat itu, kau harus menunjukkan tempat itu.
Ingat, jangan sekali-sekali berlaku dusta kepada
kami bila kau masih sayang dengan nyawa bu-
sukmu!"
Wajah Rawung Menggolo menyipit.
Lalu katanya dengan suara tegar, "Baik! Ki-
ta pergi sekarang!"
"Usul yang menyenangkan!" Ronggo Koswo-
ro berkata pada Nyai Idah Merah. "Jaga ketiga ga-
dis yang kau katakan pada kami tadi. Setelah
manusia keparat yang bernama Gamang Markuto
itu mampus, kami akan kembali lagi!"
"Ronggo Kosworo...," kata Rawung Menggo
lo. "Jangan salahkan aku bila kita tak menjumpai
lelaki yang bernama Gamang Markuto itu di sa-
na."
Sepasang mata Ronggo Kosworo menyipit.
"Berarti... lehermulah sebagai jaminannya!"
Wajah Rawung Menggolo tiba-tiba menjadi
pias. Tubuhnya agak bergetar dan dia tak bisa
melakukan apa-apa kecuali mengikuti ketiganya
ketika dengan enaknya dan seolah menganggap-
nya sebuah bungkusan, tubuhnya didorong oleh
Ronggo Kosworo keluar dari tempat pelacuran itu.
***
9
Bukit yang ditunjukkan Rawung Menggolo
ternyata sebuah bukit kapur yang dikelilingi oleh
pegunungan karang. Lelaki tua yang mempunyai
maksud tertentu di benaknya itu tiba di sana ber-
sama Tiga Iblis Golok Setan, tepat ketika ratu ma-
lam bersinar terang di atas kepala.
"Mana manusia laknat itu?" bentak Ronggo
Kosworo sambil melompat dari kudanya. Mata
liarnya memperhatikan sekitar. Ketika tak dite-
mukannya orang lain di sana, gusar ditariknya
leher baju Rawung Menggolo yang mengikutinya
setengah terhuyung. Kembali diedarkan mata ta-
jamnya mengelilingi bukit itu.
Gonggo Sirat dan Jombrang pun berbuat
yang sama. Mereka berdiri di dekat Ronggo Kos-
woro yang sedang menendang Rawung Menggolo
hingga tersungkur.
"Di mana manusia itu?!"
Rawung Menggolo mengusap wajahnya
yang terkena debu-debu kapur. Tatapannya me-
micing nyalang. Perlahan-lahan dia berdiri den-
gan kegusaran yang kentara.
"Manusia keparat!" dengusnya dengan ke-
dua tangan terkepal. "Bukankah sudah kukata-
kan tadi, aku tidak menjanjikan akan menemu-
kan Gamang Markuto di sini! Tetapi kau lancang
memaksaku untuk datang!"
"Setan! Berani bicara kurang ajar pada
tuan besarmu ini, hah?! Mau mencari mampus!"
Ronggo Kosworo mengibaskan tangan kanannya.
Serangkum angin dingin mendesir keras ke arah
Rawung Menggolo.
Akan tetapi, rupanya lelaki tua itu tak se-
lemah dugaan Ronggo Kosworo. Gerakan yang
sangat cepat diperlihatkan dan dia berdiri tegak
berjarak lima tombak dengan tatapan gusar. Se-
mentara tanah di mana tadi Rawung Menggolo
terjatuh, kini membentuk sebuah lubang yang
cukup besar, akibat hantaman pukulan jarak
jauh Ronggo Kosworo. Debu-debu kapur muncrat
sejenak dan luruh kembali ke bumi.
Tertawa Ronggo Kosworo membedah sean-
tero tempat. Namun nada gusar dalam suaranya
tak bisa disembunyikan.
"Hebat! Sangat hebat sekali yang kau perli-
hatkan itu, Setan! Rupanya kau memiliki kepan
daian yang cukup lumayan! Hhh! Sayangnya, ke-
pandaian semacam itu hanya pantas dipakai un-
tuk menakut-nakuti tikus! Kalaupun tak kujum-
pai Gamang Markuto, nyawa tuamulah sebagai
penggantinya! Gonggo Sirat habisi lelaki tua itu!"
Usai mendengar perintah, Gonggo Sirat
melompat tiga tindak dengan gerakan ringan. Ma-
tanya yang picak sebelah menatap dingin pada
Rawung Menggolo.
"Tak tahu diuntung! Nyawa tua di badan
siap dilempar ke neraka!"
"Manusia-manusia keparat yang membu-
nuh Sumirah dan Dali Gunarso, tak akan pernah
diampuni! Yang Kuasa pun setuju bila nyawa bu-
suk kalian kucabut!" balas Rawung Menggolo
dengan suara tak kalah angker.
"Anjing tua geladak! Siapa kau sebenar-
nya?!" membentak Gonggo Sirat dengan kedua
tangan terkepal.
"Peduli setan siapa pun aku! Kecuali da-
tang untuk menghabisi nyawa busuk kahan!!"
"Geladak!" menjerit murka Gonggo Sirat.
Dengan pencalan satu kaki, tubuhnya sudah me-
lesat ke arah Rawung Menggolo dengan dua joto-
san yang siap dilepaskan.
Akan tetapi, jotosan penuh tenaga yang di-
arahkan pada kepala dan dada lelaki tua itu, ber-
hasil dielakkan dengan hanya melompat ke samp-
ing kanan. Bahkan sambil mengelak, Rawung
Menggolo mengirimkan satu tendangan balasan
melalui gerakan memutar yang sangat cepat.
Wusss!
Bila saja Gonggo Sirat tidak cepat menarik
kepalanya beberapa centi, bisa diduga kalau ke-
palanya akan terkepruk tendangan penuh tenaga
itu. Apa yang dilakukan oleh Rawung Menggolo
tadi membuat kemarahan lelaki picak itu menjadi
bertambah membludak.
Dengan gerengan keras seperti serigala lu-
ka, dia kirimkan serangan beruntun. Serangan
yang mengandalkan kecepatan tangan itu, seje-
nak membuat Rawung Menggolo gelagapan. Sebi-
sanya dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuhnya, lelaki tua itu menghindar. Namun tak
urung satu tendangan menghantam dadanya
dengan telak.
Mendapati lawan telah tergedor tendangan
kaki kanannya, Gonggo Sirat tak mau membuang
tempo. Gebrakannya dilanjutkan kembali. Satu
jotosan tangan kanannya siap menghantam dada
lawan kembali.
Tetapi kali ini, Rawung Menggolo tak mau
mendapati kesialan macam tadi. Bergegas dia
membuang tubuhnya ke kanan, menghindari ser-
gapan jotosan lawan. Akan tetapi, karena keseim-
bangannya belum sempurna, tubuhnya jadi agak
sempoyongan dan jatuh berguling. Namun kem-
bali dia bergerak cepat, menghindari serangan la-
wan yang menyusul. Tak menghiraukan betapa
sekujur tubuh dan wajahnya dipenuhi debu-debu
kapur. Bila saja saat ini siang hari, tak mustahil
Rawung Menggolo merasakan debu-debu kapur
itu bagai batu bara!
Bukan buatan gusarnya Gonggo Sirat. Ka
rena dalam keadaan hilang keseimbangan, lawan
masih bisa menghindar. Dia berdiri tegak dalam
jarak tiga tombak di hadapan Rawung Menggolo
yang sedang bangkit.
"Tak kuampuni nyawa busukmu!" geram
Gonggo Sirat. Dan dia telah bergerak cepat den-
gan melipatgandakan tenaga dalamnya. Gebra-
kannya kali ini lebih berbahaya dari semula.
Akan tetapi, Rawung Menggolo yang mera-
sa tak mampu menghadapi lawannya, mengan-
dalkan taktik lama yang saat ini berguna sekali.
Begitu tubuh lawan menderu ke arahnya,
cepat-cepat dia membungkuk. Diambilnya dua
genggam debu kapur dengan kedua tangannya,
bersamaan dengan itu dia tegak kembali dan me-
nebarkan debu-debu kapur itu ke arah Gonggo
Sirat.
Bukan buatan terkejutnya Gonggo Sirat
melihat lawan menyerangnya dengan debu-debu
kapur. Cepat dia menutupi mata kanannya den-
gan tangan dan memutar tubuh menghindari de-
bu-debu kapur itu.
Justru Rawung Menggolo melihat satu se-
rangan kosong sekarang. Di saat lawannya tengah
berusaha menghindari debu-debu kapur itu, dia
meluruk masuk dengan satu jotosan ke dada
Gonggo Sirat.
"Heaaa!"
Akan tetapi.....
Plak!
Des!
Ronggo Kosworo sudah menderu maju,
memotong serangan Rawung Menggolo pada
kambratnya. Jotosan Rawung Menggolo dipapas-
nya dengan tendangan kaki kanan, dan kaki ki-
rinya dengan gerak yang luar biasa cepat meng-
hantam dada Rawung Menggolo, hingga terguling
ke belakang lima tombak.
Berdiri dengan wajah semakin dingin
Ronggo Kosworo.
"Kelicikanmu boleh juga! Tetapi, nyawamu
sudah ada dalam genggamanku!"
Dalam keadaan terdesak dan maut yang
siap menjemput, Rawung Menggolo masih berani
membuka mulut, "Manusia-manusia iblis! Biar-
pun kau cabut nyawaku saat ini juga, masih ba-
nyak orang lain yang menghendaki kalian binasa!"
"Berarti, hanya mencari penyakit! Bersiap-
lah untuk kujemput bersama maut!"
Habis berkata begitu, Ronggo Kosworo
menggeram. Tubuhnya mencelat ke arah Rawung
Menggolo yang merasakan dadanya sakit luar bi-
asa. Dia berusaha untuk bangkit. Tetapi, tulang
dadanya bagai remuk dan membuat dia tak
mampu menyangga bobot tubuhnya sendiri.
Yang dilakukannya kemudian, hanya me-
rentangkan kedua matanya lebar-lebar, siap me-
nyambut kematian yang akan dikirimkan melalui
jotosan Ronggo Kosworo.
Namun belum lagi dirasakan hebatnya jo-
tosan itu, tiba-tiba saja satu bayangan hijau ber-
kelebat dari arah kiri. Menarik tubuhnya dan kaki
kanannya menyepak jotosan Ronggo Kosworo
yang memekik terkejut. Bukan karena kecepatan
bayangan hijau itu yang menolong Rawung Meng-
golo, melainkan sambaran kaki si bayangan hijau
yang menghantam tangannya.
Dia cepat mundur tiga langkah dengan wa-
jah pucat. Tangan kanannya dirasakan ngilu bu-
kan main tersambar kaki si bayangan hijau. Ke-
marahannya makin membesar dengan dada turun
naik menandakan kegusaran yang membludak.
Bentakannya seketika menggema keras,
"Manusia lancang! Berani menghalangi keinginan
Tiga Iblis Golok Setan, berarti mampuslah jawa-
bannya!"
"Ah, masa' sih? Mampus itu anak mana
ya? Kok kucari di gang senggol tidak ada tuh
anak!" selorohan itu terdengar bersamaan si
bayangan hijau menurunkan tubuh Rawung
Menggolo ke tanah. Memijat dada lelaki tua itu
sebentar. Setelah itu, "Tidak apa-apa. Cuma re-
muk sedikit. Paling-paling juga bertambah sakit,"
katanya santai.
Rawung Menggolo melotot pada si peno-
longnya. Dia sudah mengenal pemuda tampan
berbaju hijau pupus itu. Siapa lagi orangnya yang
suka berucap asal saja selain Andika alias Pende-
kar Slebor?
Andika nyengir kuda. Rawung Menggolo
duduk di tanah. Dia tahu kalau dirinya sebenar-
nya tak terlalu parah. Karena bila dadanya remuk
seperti yang diselorohkan Andika, masa' iya pe-
muda sakti itu tidak menolongnya?
Kegusaran Ronggo Kosworo merayap naik.
Kedua matanya membuka lebar menatap pemuda
di hadapannya yang sedang cengar-cengir. Jom-
brang yang telah menolong Gonggo Sirat pun tak
berkesip menatap pemuda yang baru saja menye-
lamatkan Rawung Menggolo dari kematian. Ke-
sempatan itu dipergunakan oleh Gonggo Sirat un-
tuk membuang debu-debu yang dilemparkan oleh
Rawung Menggolo di matanya. Hebat apa yang di-
perlihatkan Gonggo Sirat. Mengalirkan tenaga da-
lamnya pada urat di bagian bawah matanya, de-
bu-debu itu meluncur keluar. Matanya memerah
mengeluarkan air.
Geram lelaki bermata picak itu menatap ke
arah Rawung Menggolo yang membalas dengan
mengangkat kedua alisnya, menambah kegusaran
lelaki picak itu.
Tetapi, ketika dia hendak langsung menye-
rang. Ronggo Kosworo merentangkan tangan ka-
nannya, yang secara tidak langsung mengisya-
ratkan pada Gonggo Sirat untuk tidak menyerang.
Gonggo Sirat menelan kegusarannya bulat-
bulat. Helaan napasnya bagai suara dari dalam
liang kubur.
"Anak muda!" membentak Ronggo Kosworo.
"Siapakah kau adanya, hah? Kau telah lancang
menghalangi maksud kami! Berarti...."
"Mampuslah jawabannya...," potong Andika
sambil menyeringai jelek bukan main mengulangi
kata-kata Ronggo Kosworo tadi. "Huh! Kalimat
yang sering diucapkan oleh badut-badut kayak
kalian sih aku sudah tahu!"
"Setan alas! Kau memang mencari mam-
pus!"
"Sudah kukatakan tadi, si Mampus itu
anak mana sih? Kok, kau getol amat menye-
butkannya? Dia anakmu, ya?"
"Orang muda, kau berani-berani bercakap
kurang ajar! Apakah kau sudah siap dijemput aj-
al?"
Sebelum Andika berkata-kata, terdengar
satu suara dari sebuah pohon, "Kang Andika...
mengapa masih berlama-lama? Apakah kau akan
membiarkan manusia itu lebih lama hidup? Ba-
gaimana nasib adikku?"
Andika mendongak, "Hehehe... ingat Wen-
ing, bukankah tadi kita berjanji, kalau tiga manu-
sia jelek ini bagianku? Apakah kau sudi tangan-
mu yang mulus berbenturan dengan tangan-
tangan kasar penuh penyakit?!"
Kalau tadi kemarahan Ronggo Kosworo
siap meledak, kali ini begitu melihat siapa yang
berucap tadi, dia terbahak-bahak.
"Cah Ayu... kau tahu saja kakangmu bera-
da di sini. Ayo, turunlah... kita bisa bersenang-
senang sekarang...."
Bila menuruti kata hatinya, Wening sudah
tak bisa mengendalikan diri lagi untuk menabok
hancur mulut kurang ajar itu. Tetapi dia ingat
akan janjinya pada Andika tadi sebelum Andika
memutuskan menolong Rawung Menggolo.
Diam-diam gadis berbaju jingga itu kagum
pada kecerdikan Pendekar Slebor. Kalaupun me-
reka bisa berada di tempat ini sekarang, itu se-
mua karena keenceran otak Pendekar Slebor. Se-
telah bertemu dengan Rawung Menggolo, Pende
kar Slebor yang masih mempunyai sebuah teka-
teki di benaknya, memutuskan untuk mengikuti
Rawung Menggolo. Semula Wening menolak usul
Andika itu, tetapi dia teringat pula akan kecerdi-
kan Pendekar Slebor yang bisa menebak kalau ti-
ga orang berjubah hitam yang bertarung sebe-
lumnya dengannya adalah Tiga Iblis Golok Setan.
Akhirnya, dia pun turun serta dengan Pendekar
Slebor.
Dan semuanya terbukti sekarang. Rawung
Menggolo berhasil bertemu dengan Tiga Iblis Go-
lok Setan. Saat itu, kemarahan Wening naik ke
ubun-ubun mengingat kalau ketiga manusia itu-
lah yang telah melarikan adiknya, tetapi Andika
melarangnya untuk menurunkan tangan. Bahkan
Andika memaksanya berjanji untuk tidak ikut
campur dalam urusan ini. Bila Wening tidak mau
menurut, Andika akan menahannya dan mem-
biarkan ketiga lelaki berjubah hitam itu lolos.
Semua itu dilakukan Andika, sehubungan
sebuah teka-teki yang belum terpecahkan di
otaknya. Bahkan dia menangkap sesuatu yang
mulai tergambar sebenarnya, mengingat bagai te-
lah direncanakan pertemuan antara Rawung
Menggolo dengan Tiga Iblis Golok Setan. Ini me-
rupakan salah sebuah teka-teki baru yang mun-
cul di benak Andika, dan menguatkan pikiran se-
belumnya.
Melihat wajah Wening membesi, Andika
maju satu langkah, kini berjarak tiga tombak
dengan tiga lelaki berjubah hitam itu.
"Wah, wah... mana mau dia dengan kau
yang jelek begitu, Ronggo! Denganku yang lebih
tampan kayak pangeran saja dia tidak mau! Pikir
dong pakai otak, jangan pakai pantat!"
Ronggo Kosworo alihkan pandangannya
pada Andika kembali.
"Kurobek mulutmu, Orang Muda!"
"Yeee... kurobek nanti jubah jelekmu itu!"
Tak kuasa menahan kemarahannya lebih lama,
dikawal dengan teriakan dan angin menderu ke-
ras, tubuh Ronggo Kosworo sudah mencelat ke
arah Andika. Tenaga dalamnya langsung dilipat-
gandakan. Dia ingin sekali jotos saja lawan sudah
dibuat tak berdaya.
Tetapi dengan masih sempat-sempatnya
berseloroh, Andika menghindar, "Wah! Benar-
benar mau kujitak kepalamu, ya? Ayo sinikan ke-
palamu yang benjol itu!"
Wusss!
Serangan mematikan dari Ronggo Kosworo
lewat di sisi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan itu. Namun tak urung dirasakan
Andika, hawa panas yang menguar dari sisi tu-
buhnya. Luput serangan pertama, Ronggo Koswo-
ro menyusulkan serangan kedua.
Kali ini Andika tak mau menghindar lagi.
Dia memutar tubuh dan memapaki serangan itu
dengan pergelangan tangannya.
Plak!
Benturan, kuat itu terjadi. Ronggo Kosworo
langsung menarik pulang tangannya yang terasa
mau patah, sementara Andika sendiri terlongoh-
longoh merasakan hebatnya tenaga dalam lawan.
"Luar biasa! Hanya dua tingkat di bawah-
ku! Kalau dua temannya membantu bisa berabe!"
Dan dugaan Andika jadi kenyataan. Jom-
brang yang sejak tadi hanya memperhatikan,
langsung menderu. Menyusul Gonggo Sirat yang
sudah pulih pandangannya.
"Yeee... main keroyok, nih?"
Andika cepat membuang tubuh seraya
mengirimkan serangan balasan melalui tangan
kanan dan kiri.
Des! Des!
Benturan itu kembali terjadi. Karena dua
tenaga lawan menjadi satu, mau tak mau tubuh
Andika terhuyung ke belakang menerima gempu-
ran hebat itu. Ronggo Kosworo yang sudah me-
mulihkan getaran pada tangannya, menderu pula.
Tiga gempuran dahsyat mengarah pada
Andika.
Lima jurus pun berlalu dan Andika hanya
bisa menghindar tanpa mendapatkan celah untuk
menyerang. Setiap kali dia bergerak, masing-
masing lawannya yang datang, dari tiga penjuru
langsung mengurung. Begitu terus menerus hing-
ga sekarang Andika bagai anak ayam yang terpe-
rangkap terkaman musang.
Tetapi bukan Andika yang memiliki sejuta
kecerdikan masih tak mampu meloloskan diri dari
tiga sergapan beruntun itu. Mendadak saja dia
menggebah dengan mengalirkan tenaga dalam
pada suaranya. Gebahannya itu tak ubahnya sa-
lakan halilintar. Cukup membuat tiga lawannya
terkejut, hingga pormasi mereka jadi merenggang.
Lalu dengan enaknya Andika bergulingan
keluar dari kepungan itu.
"Nah! Kenapa kalian jadi pias begitu? Ka-
gum dengan suaraku, ya?" selorohnya yang mem-
buat ketiga lawannya berpandangan dan bagai
dikomando langsung mengurung kembali.
Kali ini Andika tak mau lagi terperangkap
pada tiga serangan susul menyusul itu. Begitu
Ronggo Kosworo menyerang disusul dengan
Gonggo Sirat dan Jombrang, Andika justru meng-
hantam pada Jombrang yang menjadi terkejut
melihatnya.
Cepat lelaki pincang itu berguling dan ber-
tepatan dengan itu, Andika menderu ke arah
Ronggo Kosworo yang siap melancarkan serangan
berikut. Lawannya terkejut pula dan menghindar,
bersamaan dengan itu Gonggo Sirat yang mende-
ru ke arah Andika pun mau tak mau bergulingan
pula.
Serangan yang dilakukan Andika merupa-
kan rangkaian gerak susul-hindar yang dilakukan
asal saja. Merupakan rangkaian kecerdikan yang
dimiliki yang dapat melihat kelemahan serangan
tiga lawannya.
Dan begitulah yang dilakukannya terus
menerus. Akan tetapi, tenaga 'inti petir' sekarang
telah dirangkum di tangannya. Hingga setiap kali
dia menjotos, memukul, dan menghantam, suara
bagai salakan petir terdengar.
Tiga lawannya kali ini menjadi kebingun-
gan. Karena setiap kali mereka menyerang, Andi-
ka tak menghindar, justru menghantam serangan
itu secara acak. Ini memusingkan sebenarnya.
"Bingung, kan? Bingung, kan? Bunuh diri
saja kalau bingung!" seru Andika tertawa.
Ronggo Kosworo menggeram gusar.
"Merapat! Jangan beri kelonggaran lagi!"
serunya dan seketika dua kambratnya mendeka-
tinya. Bersamaan, dipadu, ketiganya menyerang.
Andika melenting, melompati ketiganya dan
kakinya menendang keras.
Prak!
"Waduh! Maaf nih!" serunya sambil melent-
ing ke belakang.
Tulang iga bagian kanan Gonggo Sirat pa-
tah menyusul tubuhnya ambruk dengan lolongan
tinggi. Bukan buatan gusarnya Ronggo Kosworo.
Dia berbalik dan siap menyerang, tetapi suara
Jombrang menghentikan niatnya,
"Tahan, Kakang!"
"Apa-apaan kau ini, hah?" bentak Ronggo
Kosworo dengan mata melebar.
"Kakang... bukankah sebaiknya kita henti-
kan saja semua ini...."
"Demi iblis gentayangan! Apa maksudmu,
Jombrang? Mengapa kau menjadi pengecut seper-
ti itu, hah?"
"Tidak, Kakang... aku sama sekali tidak be-
rubah. Hanya saja, perbuatan kita telah banyak
menimbulkan dosa... kita...."
"Keparat! Kucabut nyawamu, Jombrang!"
Tetapi Jombrang tetap berdiri, tak memper-
lihatkan ketakutannya. Sesuatu yang telah dis-
adarinya semenjak dia jatuh hati pada Harti, telah melentingkan kesadarannya. Pada dasarnya
Jombrang memang melakukan semua itu karena
pelampiasan sedih atas meninggalnya Swasti, di
samping itu dia juga merasa ngeri pada Ronggo
Kosworo. Hanya saja sekarang, kesadarannya
makin melambung dan menindih kengeriannya.
"Kakang... banyak sudah kita menurunkan
tangan kejam. Tidak sadarkah Kakang kalau cu-
kup lama kita mendekam di penjara? Apakah kita
akan menghabiskan sisa hidup kita di...."
"Setan alas!!" Ronggo Kosworo sudah mele-
paskan tendangan kaki kanannya pada kepala
Jombrang. Di luar dugaannya, Jombrang berkelit
mundur. "Kau?!" dengusnya terbelalak.
"Maafkan aku, Kakang... selama ini aku tak
pernah membantah perintah Kakang. Tetapi kali
ini... kita sudahilah semua perbuatan kita. Harta
yang telah dikumpulkan, sangat banyak jumlah-
nya, Kakang. Apakah kita masih harus menurun-
kan tangan telengas dan membunuh orang?"
"Wah, wah! Jangan pada bertengkar sendiri
dong! Aku masih sanggup bikin kepala kalian
benjol, kok!" seru Andika yang membuat kemara-
han Ronggo Kosworo pada Jombrang makin men-
jadi-jadi.
"Bangsat berotak kerdil! Aku tahu, gara-
gara perempuan sialan itu kau berubah, hah?
Akan kubunuh perempuan itu!"
"Tidak!" seru Jombrang keras. "Jangan Ka-
kang lakukan hal itu pada Harti! Aku mencin-
tainya!"
Mendengar nama adiknya disebutkan,
Wening menegakkan kepala. Seketika dia melom-
pat turun,
"Lelaki pincang hati busuk! Siapa yang kau
maksudkan dengan Harti?"
Jombrang menoleh pada Wening yang
membuka kedua kaki agak lebar, tanda bersiaga.
"Gadis itu kuculik dari dusun Karimata
bersama dua orang gadis lainnya. Dia...."
"Setan pincang! Kucabik-cabik tubuhmu!"
geram Wening dan dengan kecepatan penuh dia
menerjang ke arah Jombrang.
Tetapi sambaran tangan Andika membuat
gadis itu mau tak mau menghentikan serangan-
nya. Sekarang melolot gusar pada Andika.
"Apa-apaan ini? Lepaskan tanganku, Kang
Andika!"
"Tenang, Wening...," kata Andika lembut.
"Aku menangkap sesuatu yang akan terjadi di an-
tara mereka. Sekali-sekali jadi penonton kan tidak
apa-apa? Lebih baik menunggu apa yang terjadi."
Tetapi, mereka tak terlalu lama menunggu. Kare-
na Ronggo Kosworo sudah meloloskan goloknya
siap memenggal leher Jombrang. Bila saja si kaki
pincang itu tak berkelit, kepalanya akan pisah se-
lama-lamanya dari badan. Dan dengan gerakan
yang tak kalah gesitnya, dia juga meloloskan go-
loknya.
Pertarungan dua lelaki yang menjadi saha-
bat sebelumnya itu sangat sengit. Benturan golok
yang terjadi menimbulkan suara keras dan me-
mercikkan bunga api.
Tetapi tiga jurus kemudian, Ronggo Koswo
ro berhasil memapas lengan kanan Jombrang
hingga putus. Jeritan tak ubahnya lolongan seri-
gala terdengar. Darah menyiprat, membasahi
bumi.
"Itulah upah atas kepengecutanmu, Jom-
brang!" Gonggo Sirat yang berseru. Dia tak mam-
pu menggerakkan tubuhnya karena tulang iganya
remuk.
"Kau...," desis Jombrang pada Ronggo
Kosworo yang menyipitkan mata dengan tatapan
dingin. Sakit tak tertahankan rasanya. "Seluruh
setan penghuni jagat ini... akan mengutuk perbu-
atan busukmu, Ronggo!"
"Manusia sundal bernyali tikus! Kau tak
lebih dari seonggok sampah di selokan! Tanpamu,
semuanya masih bisa kulakukan, Jombrang! Ku-
bunuh gadis itu!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Ronggo
Kosworo melesat meninggalkan tempat itu. Yang
hadir disana tercekat, termasuk Pendekar Slebor.
Namun, Pendekar Slebor tak bermaksud mengejar
karena menurutnya Jombrang membutuhkan
pertolongan.
Dengan cepat ditotoknya urat saraf pada
bagian bawah lengan kanan Jombrang. Darah se-
ketika berhenti mengalir. Lalu dibebatnya lengan
yang buntung itu dengan jubah Jombrang yang
disobeknya. Lalu dibaringkannya tubuh lelaki
pincang itu hingga menatap ke atas.
"Jombrang... aku terpaksa tak menghenti-
kan pertarungan itu tadi, karena kau harus men-
dapatkan ganjaran dari perbuatanmu selama ini,"
kata Andika. Jombrang mendesis pelan. Senyu-
mannya pedih. "Aku mengerti. Tolong... sela-
matkan gadis yang kucintai...," suaranya lirih,
terputus-putus.
"Di mana gadis itu berada?"
"Lembah.... Tirai...," habis berkata begitu,
lelaki pincang itu jatuh pingsan.
Andika mendesah. Lalu katanya pada Wen-
ing, "Tunggui lelaki ini! Jangan membantah! Uru-
san adikmu biar aku yang menyelesaikan! Dan
kau Rawung... hei!"
Andika terperanjat karena tak melihat Ra-
wung Menggolo di sana. "Busyet! Ke mana orang
tua jelek itu?"
Tetapi sesaat kemudian tak dihiraukannya.
Andika mendekati Gonggo Sirat yang kini diketa-
hui telah tewas.
"Lelaki celaka ini memilih jalan membunuh
diri dengan menggigit bibirnya sendiri. Hhh! Ma-
nusia-manusia tak punya otak!" geramnya jeng-
kel. Lalu ditolehkan kepala pada Wening yang
tengah menatapnya. "Wening... aku harus sece-
patnya ke Lembah Tirai! Ingat pesanku itu!"
Lalu tanpa menunggu jawaban Wening,
Andika berkelebat cepat. Tinggal Wening yang
mendumal panjang pendek. Dia ingin sekali men-
jumpai adiknya. Tetapi dia yakin, Andika pasti
akan menyelamatkan adiknya.
***
10
Siang sudah menanjak ketika Ronggo Kos-
woro tiba di Lembah Tirai. Dengan kegeraman
luar biasa mendapati tingkah konyol dari Jom-
brang, dia langsung menuju ke kamar di mana
gadis yang diculik dan dicintai Jombrang berada.
Dia yakin, gara-gara gadis itulah Jombrang beru-
bah pikiran.
Disesalinya mengapa dia tidak memaksa
Jombrang untuk membunuh gadis itu. Atau, dia
sendiri yang melakukannya mengingat sekarang,
Jombrang bersikap menghalangi sepak terjang-
nya. Akan dilampiaskan seluruh kekesalannya
pada gadis itu.
Bagi Ronggo Kosworo, membunuh kawan
sendiri bukanlah suatu hal yang menakutkan.
Malah, dia akan tertawa-tawa melakukannya.
Hanya saja, dalam keadaan kritis Jombrang be-
rubah arah. Apalagi mengingat keadaan Gonggo
Sirat sekarang. Hatinya makin lebur dalam kema-
rahan.
Brak!
Pintu langsung jebol ditendang keras.
Harti yang tengah terkulai dengan tubuh
lemas hanya menatap tak bergairah pada lelaki
yang tengah gusar itu. Sepanjang malam dia me-
nangis. Dan kini, gadis malang itu merasa tak ada
gunanya untuk hidup lagi.
Ronggo Kosworo langsung menjambak
rambut gadis itu mencengkeramnya kuat-kuat.
Tak ada suara kesakitan, tak ada wajah ketaku-
tan. Yang terlihat di wajah Harti hanya sebuah
kebekuan belaka. Bahkan gadis itu seperti tak
merasakan apa yang dialaminya ini.
Plak!
Kasar Ronggo Kosworo menamparnya. Ke-
pala Harti bergoyang. Bibirnya pecah, mengelua-
rkan darah. Tubuhnya ambruk di tempat tidur.
"Gadis busuk! Gara-gara kaulah lelaki pin-
cang celaka itu membelot dariku!" makinya gusar
dan kembali menamparnya. Tetapi Harti jelas-
jelas sudah kehilangan jati dirinya. Penderitaan
yang dialaminya tak kuat ditahannya. Membuat
seluruh pikiran sehat di otak gadis itu menguap
entah ke mana.
Menyadari gadis itu sudah berubah menja-
di dungu, keberingasan Ronggo Kosworo makin
menjadi-jadi. Dengan gusarnya dipukulinya seku-
jur tubuh gadis itu. Tetapi lagi-lagi Harti bagai tak
merasakannya sama sekali. Kecuali tubuhnya se-
sekali menggeliat setiap kali pukulan lelaki berco-
det itu mampir di tubuhnya.
"Gadis keparat!" geram Ronggo Kosworo.
Dia ingin sekali mendengar jeritan kesakitan dan
lolongan minta ampun dari mulut gadis itu.
Apa yang dilihatnya sekarang, justru mem-
buatnya bertambah gusar. Dicabut goloknya dan
diacung-acungkannya di depan Harti.
"Kau lihat ini, Gadis Pelacur?! Kepalamu
akan kupenggal dan tubuhmu akan kucacah!"
suaranya keras, seolah hendak meruntuhkan
atap di kamar itu.
Gadis itu tetap terdiam dalam keadaan le-
mah dan terkulai. Tatapannya makin kosong. Ka-
laupun terdengar suaranya, hanya tawa kecil
yang seakan mengejek.
Gusar Ronggo Kosworo siap mengayunkan
goloknya.
"Heaaa!" Akan tetapi...
Trak!
Sebatang ranting meluncur menghalangi
goloknya yang siap membelah kepala Harti. Ge-
ram lelaki berwajah codet itu menoleh. Dilihatnya
Rawung Menggolo telah berdiri di ambang pintu
dengan tatapan menyipit!
"Orang tua mau cari mampus? Berani be-
nar kau memberikan nyawamu ke sini!" bentak
Ronggo Kosworo dengan kegeraman berantai.
Rawung Menggolo menyeringai dingin.
"Aku datang justru ingin mencabut nya-
wamu, Manusia Laknat! Kini tiba saatnya kau
mampus!"
"Setan!" dengan bengis Ronggo Kosworo
melompat, mengalihkan serangannya pada lelaki
tua yang berdiri di hadapannya. Goloknya sudah
diayunkan.
Sebelum golok lawan mengenai sasaran-
nya, Rawung Menggolo cepat melompat keluar.
"Tempat ini terlalu kecil untuk bersenang-
senang! Kulayani kau di luar!"
"Keparaaattt!" Ronggo Kosworo langsung
melenting ke muka dengan kegeraman yang ma-
kin menjadi-jadi. Berdiri tegak dengan sepasang
mata terbuka lebar tak berkedip menatap Rawung
Menggolo yang berdiri dalam jarak dua tombak di
hadapannya. "Kucincang tubuhmu, Orang Tua!"
"Nyawamu yang akan kukirim ke neraka
sebagai pengganti nyawa Sumirah dan Dali Gu-
narso!" seru Rawung Menggolo gagah. Tatapannya
pun tak kalah sengit dalam kesiagaan besar. Na-
mun tak urung dadanya berdebar pula. Ada sesu-
atu yang membuatnya menjadi kecut, namun di-
usahakan agar tak diperlihatkan.
"Ingin kulihat apa kau bisa membuktikan
bacotmu itu!" tak mau membuang tempo, Ronggo
Kosworo sudah menderu laksana angin. Goloknya
mengibas dengan kecepatan tinggi.
Wuuut! Wuttt!
Rawung Menggolo kelihatan tersentak
mendapati serangan golok yang bersambungan,
bagai mematikan ruang geraknya. Tetapi orang
tua yang sarat dengan kemarahan di dada, cepat
menyambar sebatang kayu di dekatnya. Dengan
kayu sebagai alat pertahanan, dia berhasil men-
gimbangi cecaran golok Ronggo Kosworo.
Hanya sesaat, karena golok di tangan la-
wan sudah memapas buntung batang kayu yang
dipegangnya.
Crak!
Bila lelaki tua itu tidak buru-buru mundur,
tak mustahil kepalanya akan tercacak pula.
"Gila! Dengan tangan kosong saja aku be-
lum tentu berhasil mengalahkannya, apalagi se-
karang manusia laknat itu mempergunakan go-
lok!" dengus Rawung Menggolo dengan wajah
pias. Dan kembali harus menghindari cecaran golok yang datang beruntun itu. Baju putih kusam-
nya tercacak, menyerempet kulitnya yang terasa
perih. Melihat goresan di bagian dada lawan,
Ronggo Kosworo semakin beringas.
Bertubi-tubi goloknya diayunkan.
Wuuut! Wuuuttt!
Dan semakin tunggang-langgang lelaki tua
itu dibuatnya. Celana di bagian paha kanannya
kembali tergores, kali ini bukan hanya menggores
kulitnya pula, bahkan daging di pahanya terca-
cah.
"Aaakhhh!!"
Lelaki tua itu jatuh terduduk. Darah men-
galir dari pahanya yang terluka.
"Mampuslah kau, Orang Tua hinaaa!" te-
riakan mengguntur mengudara, menyusul kilatan
golok terterpa sinar matahari mengarah pada ke-
pala Rawung Menggolo.
Rawung Menggolo seakan tak mampu lagi
menahan gempuran mematikan itu. Namun, satu
bentakan keras mengurungkan niat Ronggo Kos-
woro.
"Tahaaannn!"
Satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam
dengan wajah diselubungi kain hitam muncul di
sana. Di punggung lelaki yang tak kelihatan wa-
jahnya terdapat sebilah pedang.
"Tuan!" seruan Ronggo Kosworo terdengar
dan orangnya sudah menjatuhkan diri. Sementa-
ra Rawung Menggolo menoleh dengan kening ber-
kerut menatap sosok hitam-hitam yang baru da-
tang yang berdiri tegak dengan melipat kedua
tangannya.
"Mana keris pusaka Gagak Biru, Ronggo?"
suara berat dan dingin terdengar.
"Oh! Ada, Tuan... ada...."
"Ambil cepat!"
Kalau tadi Ronggo Kosworo berada dalam
kemarahan dan kekejamannya, nampak sekali
sekarang dia ketakutan menghadapi lelaki yang
baru datang ini. Terburu-buru dia masuk kembali
ke dalam bangunan besar itu menuju ke kamar-
nya. Salah satu tegel yang ada di kamar itu di ba-
gian sudut kiri, dibukanya. Diambilnya satu
bungkusan kain kusam di bawahnya. Bergegas
dia kembali lagi ke depan.
Membungkuk dia memberikan bungkusan
itu pada lelaki bertopeng hitam yang mengambil-
nya. Sementara Ronggo Kosworo mundur lima
tindak, lelaki bertopeng hitam itu membuka
bungkusan. Dan terdengar tawanya yang keras.
Di tangannya terdapat sebuah keris yang luar bi-
asa bagusnya. Ketika ditarik, cahaya biru berpen-
dar menyilaukan mata.
"Hahaha... dengan keris pusaka ini, aku
akan menuju ke kerajaan. Dan tentunya, tak la-
ma lagi aku akan menguasai Kadipaten Harum
Raksa!" Lelaki bertopeng hitam memasukkan lagi
keris pusaka Gagak Biru ke warangkanya. Lalu
berkata pada Ronggo, "Di mana Gonggo Sirat dan
Jombrang?"
"Maaf, Tuan.... Gonggo Sirat terluka, se-
mentara Jombrang telah mampus."
"Gila! Apa yang terjadi?" bentak lelaki ber
topeng hitam. Dari balik topengnya, kedua ma-
tanya memancarkan kegusaran tinggi.
Ronggo Kosworo bagai menemukan satu
tempat mengadu. Diceritakan apa yang terjadi.
"Setan alas! Pendekar Slebor! Ingin kuke-
tahui apakah dia mampu menghadapi kesaktian
keris pusaka ini!" geram lelaki bertopeng hitam.
Tiba-tiba dia meloncat dan keris Gagak Biru di
tangannya ditusukkan pada sebatang pohon.
Clep!
Pohon yang tertusuk oleh keris Gagak Biru,
mendadak saja bergetar. Ketika dicabut keris itu,
mendadak pohon yang tadinya segar kini melayu.
Daun-daunnya berguguran. Dalam waktu singkat
rontok seluruhnya.
Bukan hanya Ronggo Kosworo yang terpe-
ranjat, Rawung Menggolo pun menjadi pucat. Se-
suatu yang makin dirasakan mengerikan, sema-
kin kuat mengikat tubuhnya.
Sementara lelaki bertopeng hitam itu me-
masukkan lagi keris pusaka Gagak Biru ke wa-
rangkanya kembali. Tawanya mengumandang ke-
ras.
"Luar biasa! Sekian lama aku mendamba-
kan keris pusaka ini dan sekarang telah berada di
tanganku! Kau menjaganya dengan baik, Ronggo!"
Ronggo Kosworo tersenyum.
"Karena, Tuanlah yang membebaskan aku
dan kedua temanku dari penjara kadipaten!"
"Rasa terima kasihmu kuterima. Masa hu-
kumanmu seharusnya masih lima tahun lagi,
Ronggo!"
"Aku mengerti, Tuan."
"Mata jeliku tak sia-sia melihat kau dan
kedua temanmu akan menjadi kaki tanganku un-
tuk mencapai apa yang selama ini kucita-citakan!
Sudahkah kau mengumpulkan harta yang kumin-
ta?"
"Ya, ya... Tuan, jumlahnya sangat banyak
sekali."
"Bagus! Dengan harta itu aku akan men-
gumpulkan para pemuda untuk menjadi para
prajurit. Bila Raja tidak menerima keinginanku
untuk menjadi adipati di Kadipaten Harum Rak-
sa, dengan pemuda-pemuda yang kubujuk men-
jadi prajurit itu akan kubawa untuk melakukan
aksi pemberontakan."
"Rencana yang sempurna, Tuan...," kata
Ronggo Kosworo semakin menjilat, Sementara
Rawung Menggolo makin merasa getaran kema-
tian yang mengikat dirinya.
Dan dia melangkah ketika mendengar ben-
takan keras dari lelaki bertopeng hitam itu pada
Ronggo Kosworo, "Habisi lelaki tua hina itu!"
"Pencuri kurang ajar! Rupanya engkaulah
yang melakukan tindakan busuk di dalam kadi-
paten!" terdengar seruan itu sebelum Ronggo
Kosworo melakukan perintah yang sangat menye-
nangkannya. Serentak yang berada di sana meno-
leh. Dan melihat satu sosok tubuh berbaju hijau
pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang
melilit di lehernya, sedang duduk menguncang
kaki di sebuah ranting pohon, di bibirnya tergigit
sebatang alang-alang. "Ayo lepas selubung kepala
jelekmu itu! Aku ingin lihat tampang kayak mo-
nyetkah yang ada di balik selubung itu?! Atau,
genderuwo kesiangan yang lagi menyamar?"
Menggigil tubuh lelaki bertopeng hitam
mendengar kata-kata itu. Lebih menggigil lagi sa-
rat dengan kemarahan ketika melihat siapa yang
berada di ranting pohon itu.
"Sejak kemunculanmu ke Kadipaten Ha-
rum Raksa, aku tahu kau akan menjadi duri dari
segala cita-citaku ini, Pendekar Slebor!"
Andika menyeringai. Membuang alang-
alang yang diisapnya. "Pahit!" desisnya lalu meng-
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu se-
perti berkata pada alang-alang yang barusan di-
buangnya dia berkata tak acuh, "Ada orang bodoh
yang mengatakan aku ini duri! Padahalkan rum-
put ya... hahaha!"
Sikapnya yang tak acuh itu diartikan men-
gejek oleh lelaki bertopeng hitam. Di balik topeng,
wajah lelaki itu memerah. Darahnya mendidih.
"Setan keparat!" geramnya tinggi.
Andika mengangkat kepalanya. Lalu seperti
orang dungu pemuda urakan itu celingukan dan
seolah tak menemukan apa yang dicarinya, dia
kembali menatap pada lelaki bertopeng hitam
yang sedang menatapnya marah.
"Siapa sih yang kau maksudkan dengan se-
tan keparat? Jangan-jangan, kau memelihara se-
tan, ya? Pantas, perbuatan mencuri itu cuma di-
lakukan oleh setan belaka!"
Ronggo Kosworo yang merasa bisa men-
gambil perhatian lelaki bertopeng hitam itu, melompat lima tindak ke muka. Tatapannya dingin
mengarah pada Andika yang masih bersikap san-
tai.
"Pemuda yang selalu ingin mencampuri
urusan orang lain! Lembah Tirai akan menjadi
kuburanmu, Pendekar Slebor!"
"Nah! Bagus itu! Jadinya aku tidak mere-
potkan orang lain, bukan? Tetapi, aku masih
doyan makan nasi kebuli! Bagaimana bila kau du-
lu yang mampus? Dan nasi kebuli yang siap kau
makan buatku?"
Gerengan keras dan kemarahan yang siap
tumpah tak bisa dibendung lagi. Dengan mem-
pergunakan kekuatan kedua kakinya, lelaki ber-
codet itu menderu ke arah Pendekar Slebor.
Golok tajamnya diayunkan.
Wuuuttt!
Crak!
Ranting yang diduduki Andika terpapas
menjadi dua. Tetapi, pemuda yang mendudukinya
tak ada di tempat. Geram Ronggo Kosworo men-
ginjakkan kedua kakinya lagi di tanah. Dia celin-
gukan seperti anak ayam kehilangan induk men-
cari Andika.
Tahu-tahu dirasakan bahunya ditepuk se-
seorang dari belakang. Cepat dia menoleh dan....
Tak!
Jidatnya dijitak oleh orang yang menepuk
bahunya tadi, yang tak lain Pendekar Slebor.
"Kena deh!" seringai Pendekar Slebor.
Jitakan yang dilakukan itu bukan jitakan
sembarangan. Tetapi jitakan penuh tenaga. Maka
tak urung lelaki bercodet itu kelojotan dan jidat-
nya menonjol seperti telur sambil memegang jidat
nonongnya.
"Nah! Aku masih baik kan? Coba kalau aku
jahat! Telur di jidatmu ada tiga biji! Dan kalau
aku jahat lagi, kantong menyanmu yang akan ku-
bikin jadi besar!"
Sementara Ronggo Kosworo menjerit kesa-
kitan dan Rawung Menggolo hanya memperhati-
kan dengan tegang, lelaki bertopeng hitam sudah
maju tiga tindak. Bola mata di balik topeng hi-
tamnya membesar.
"Kuperingatkan kepadamu, Pendekar Sle-
bor! Jangan campuri urusan ini bila tidak ingin
mampus!" suaranya dingin, penuh hawa kema-
tian.
"Campur telur bebek atau telur ayam, nih?"
seloroh pemuda urakan masih bersikap santai.
Bahkan dengan santainya, dia menyatukan dua
tangannya ke belakang dan melangkah dua tin-
dak. Sikap berdirinya agak doyong.
"Kau membuka jalan kematianmu sendiri,
Pendekar Slebor!" bentak lelaki bertopeng hitam
sengit.
"Nah, lewat kanan atau kiri? Atau... kau
sendiri yang telah tahu jalan kematianmu itu? Le-
laki jelek, lebih baik ikut aku ke kadipaten untuk
diadili karena perbuatan busukmu itu! Mana pan-
tas sih, lelaki busuk seperti kau menjadi adipati.
Ini kan lucu? Mengalahkan badut-badut di kota-
praja!"
"Setan keparat! Terimalah kematianmu,
Pendekar Slebor!" dikawal angin keras, tubuh le-
laki bertopeng hitam sudah meluncur. Pedang di
punggungnya sudah diloloskan.
***
11
Mendapati serangan berkekuatan tinggi,
pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu memi-
ringkan tubuhnya. Dan ketika dia hendak susul-
kan satu jotosan, pedang di tangan lawan mene-
kuk dan menusuk dari bawah.
"Wiiihhh!! Hebat juga kau, Jelek!" dengus-
nya sambil melenting ke belakang. "Kenapa tidak
jadi penggembala kambing saja, sih?"
Tetapi lawan tak mau menghentikan se-
rangannya. Lelaki bertopeng hitam itu pun sadar
kalau lawan bukanlah orang sembarangan. Jurus
‘Pedang Membelah Langit’ segera dipergunakan.
Mengarah pada bagian-bagian yang mematikan.
Setiap kali pedang dikibaskan, suara angin ber-
gemuruh terdengar hebat.
Sesaat Andika pun kehilangan bentuk pe-
nyerangannya. Yang dilakukan hanyalah berusa-
ha menghindar dari setiap sabetan pedang. Sete-
lah beberapa kali hal itu terjadi, otaknya yang
encer bisa menangkap kelemahan jurus pedang
yang dimainkan lawan.
Berulang kali pedang lawan selalu menga-
rah pada bagian-bagian yang mematikan. Bahkan
tangan dan kaki Andika seolah tak diinginkan se-
bagai sasaran. Selain itu, setiap kali lawan me-
nyerang, Andika melihat bagian kanan di mana
lawan memegang pedangnyalah sebagai bagian
terlemah.
Berpikir begitu, ketika lelaki bertopeng hi-
tam itu mengarahkan pedang ke arah tenggoro-
kan, Andika tidak lagi menghindar seperti tadi.
Tetapi seakan membiarkan saja lehernya menjadi
sasaran senjata lawan.
Hal itu membuat lawan makin bernafsu.
Namun ketika beberapa centi saja pedangnya siap
menusuk lehernya, Andika cepat memiringkan
kepalanya ke kanan dan tangan kanannya berge-
rak. Bukan memukul bagian kiri lawan yang ter-
buka, melainkan menghantam pangkal lengan la-
wan bagian kanan!
Buk!
Aliran darah di tangan lelaki bertopeng hi-
tam itu bagai membeku. Tak sadar dia mengelua-
rkan seruan kecil, bersamaan tubuhnya yang ter-
huyung ke belakang. Kalau Andika ingin segera
menghabisinya, dengan satu gebrakan lawan pas-
ti sudah meregang nyawa.
Tetapi, jeritan yang terdengar tadi, meski-
pun hanya sebentar, telah menggugah satu piki-
ran lain di otaknya yang encer. Andika merasa
mengenali suara itu. Kalau sejak semula, lelaki
bertopeng hitam bersuara berat, namun jeritan-
nya yang tak sengaja tadi telah menunjukkan su-
ara aslinya. Berarti, suara berat itu bukan suara
aslinya!
tangan dan kaki Andika seolah tak diinginkan se-
bagai sasaran. Selain itu, setiap kali lawan me-
nyerang, Andika melihat bagian kanan di mana
lawan memegang pedangnyalah sebagai bagian
terlemah.
Berpikir begitu, ketika lelaki bertopeng hi-
tam itu mengarahkan pedang ke arah tenggoro-
kan, Andika tidak lagi menghindar seperti tadi.
Tetapi seakan membiarkan saja lehernya menjadi
sasaran senjata lawan.
Hal itu membuat lawan makin bernafsu.
Namun ketika beberapa centi saja pedangnya siap
menusuk lehernya, Andika cepat memiringkan
kepalanya ke kanan dan tangan kanannya berge-
rak. Bukan memukul bagian kiri lawan yang ter-
buka, melainkan menghantam pangkal lengan la-
wan bagian kanan!
Buk!
Aliran darah di tangan lelaki bertopeng hi-
tam itu bagai membeku. Tak sadar dia mengelua-
rkan seruan kecil, bersamaan tubuhnya yang ter-
huyung ke belakang. Kalau Andika ingin segera
menghabisinya, dengan satu gebrakan lawan pas-
ti sudah meregang nyawa.
Tetapi, jeritan yang terdengar tadi, meski-
pun hanya sebentar, telah menggugah satu piki-
ran lain di otaknya yang encer. Andika merasa
mengenali suara itu. Kalau sejak semula, lelaki
bertopeng hitam bersuara berat, namun jeritan-
nya yang tak sengaja tadi telah menunjukkan su-
ara aslinya. Berarti, suara berat itu bukan suara
aslinya!
Namun belum lagi Andika berhasil menge-
nali siapa pemilik suara itu, Ronggo Kosworo yang
kini di jidatnya ada sebuah benjolan, menyerang
dengan goloknya.
Wuuuttt!
"Fuih!" dengus Andika dan sekali memutar
tubuh, kakinya sudah mendarat telak di kepala
lelaki bercodet itu. Terhuyung dan hilang keseim-
bangan, lelaki bercodet itu ambruk jatuh pingsan.
"Tuh akibatnya kalau berani membokong!"
"Heaaa!" seruan keras itu membahana,
bersamaan lelaki bertopeng hitam sudah menye-
rang lagi, memupuskan pikiran Andika kembali.
Namun kali ini, Andika yang telah berhasil
memecahkan kelemahan jurus lawan tanpa ba-
nyak kesulitan kembali menggedor tangan kanan
lawan. Kali ini rasa linu menjalari tubuh lelaki
bertopeng hitam.
Dia segera mundur dan buru-buru menga-
lirkan tenaga dalamnya, menghentikan linu yang
tak terkira.
"Kini terbuka mataku tentang siapa kau
sebenarnya, Pendekar Slebor! Tetapi, bersiaplah
menerima kematian!!" sehabis berkata begitu, le-
laki bertopeng hitam membuang pedangnya dan
mencabut keris pusaka Gagak Biru yang tadi dis-
elipkan di pinggangnya.
Andika yang sebelumnya sempat melihat
cahaya biru menyilaukan keluar dari keris pusa-
ka itu, diam-diam mengaguminya. Sebenarnya
ketika Ronggo Kosworo tadi hendak menghabisi
Rawung Menggolo yang terduduk tak berdaya,
Andika sudah tiba di sana. Ketika dia hendak
menolong lelaki tua yang lemah itu, mendadak
sudut matanya menangkap kelebatan bayangan
hitam ke arah keduanya. Segera Andika mengu-
rungkan niatnya ketika mendengar orang yang
muncul itu berteriak menahan serangan Ronggo
Kosworo pada Rawung Menggolo. Dan kini di-
sadarinya kalau lenyapnya Rawung Menggolo di-
karenakan lelaki tua itu mengikuti ke mana per-
ginya Ronggo Kosworo. Di hati Andika, teka-teki
yang membentang di kepalanya makin membesar.
Hanya sekarang, siapakah lelaki bertopeng hitam
itu?
"Tak pantas lelaki hina semacam kau me-
megang keris pusaka itu!" serunya dengan tata-
pan menyipit. Kali ini kemarahan mulai menjalari
hatinya. "Bukan hanya manusia yang akan men-
gutuk perbuatan busuk itu, alam pun akan ma-
rah padamu!"
Lelaki bertopeng hitam terbahak-bahak.
"Peduli setan dengan ucapanmu! Kau be-
runtung, Pendekar Slebor. Karena begitu pertama
kali melihat pusaka ini, kau sudah akan merasa-
kan kehebatannya."
"Omonganmu cukup mengedarkan sapi
ompong! Sayangnya aku bukan sapi dan tidak
ompong!"
"Laknat! Lihat serangan!"
Usai berkata begitu, tubuh lelaki bertopeng
hitam sudah menderu. Dalam jarak tiga tombak,
Andika sudah merasakan hawa panas menderu
ke arahnya. Rasa panas yang menjalar itu, mendadak bagai membuat sekujur tubuhnya terbakar
ketika keris pusaka Gagak Biru mengibas ke
arahnya.
Cepat dia bergulingan dan merasakan bulu
kuduknya meremang. Belum lagi dia tegak berdi-
ri, serangan berikutnya menyusul. Hawa panas
yang luar biasa menyambar-nyambar mengeri-
kan. Dirasakan oleh Andika kalau saat ini mata-
hari begitu dekat dengan ubun-ubunnya.
"Monyet pitak! Bagaimana caraku untuk
menerobos serangannya? Bila aku mencoba men-
dekat, panas yang menjalar itu terasa membakar
tubuhku. Sulit bagiku untuk menahannya. Bila
aku terus menerus berlompatan kayak monyet
kebakar buntutnya, bisa-bisa tenagaku yang ter-
kuras. Apakah bila kualirkan tenaga 'Inti Petir' di
sekujur tubuhku, panas itu bisa dikalahkan?"
Memikir sampai di situ, masih dalam kea-
daan bersalto, Andika mengalirkan tenaga 'Inti
Petir'. Tenaga yang mengalir setelah dia memakan
buah 'Inti Petir'. (Untuk mengetahui hal itu, sila-
kan baca episode pertama dari serial Pendekar
Slebor: "Lembah Kutukan")
Bertepatan dengan itu lawan sedang melu-
ruk ke arahnya. Pancaran panas dari keris pusa-
ka Gagak Biru, membuat Andika tercekat. Lebih
kaget lagi menyadari aliran panas dalam tubuh-
nya menjadi kacau. Seketika Andika melompat
menjauh seraya menurunkan tenaga 'Inti Petir'.
"Kura-kura bau! Keris itu benar-benar sen-
jata yang ampuh! Panas pengaruh tenaga 'Inti Pe-
tir' justru merupakan satu paduan yang kontras!
Bisa-bisa aku yang terbakar!"
Kembali sambil menghindari serbuan be-
runtun itu, Andika memikirkan cara untuk melo-
loskan diri sekaligus membalas. Mendadak dia
berteriak keras dan memutar tubuh, bersamaan
dengan itu, suara dengungan laksana ribuan ta-
won marah menggemuruh.
Wusss!
Lelaki bertopeng hitam tercekat. Cepat dia
melompat bila tak mau tersambar kain bercorak
catur yang telah dikebutkan Andika. Wajah di ba-
lik selubung hitam itu pias. Namun tak mengu-
rangi niatnya untuk menghabisi Pendekar Slebor.
Akan tetapi, dalam sekali gebrak saja, An-
dika tahu kalau kekuatan kain pusaka warisan Ki
Saptacakra yang merupakan sebuah senjata sakti
mengerikan, mampu mengimbangi keris pusaka
Gagak Biru.
Makanya, ketika lawan menyerbunya kem-
bali, dengan pencalan satu kaki Andika pun me-
luruk seraya mengibaskan kain bercorak catur-
nya lagi.
Ngngng!!
Dengungan dahsyat membedah Lembah Ti-
rai, dedaunan berguguran. Tubuh lelaki berto-
peng hitam terdorong dua tombak terkena samba-
ran angin kain bercorak catur. Tubuhnya geme-
tar. Namun kemarahannya makin meninggi.
Andika yang sekarang menemukan bentuk
penyerangannya, tak mau bertindak ayal. Yang
terpenting sekarang, keris pusaka Gagak Biru ha-
rus berpindah tangan.
"Maaf, ya? Aku menyerang nih!"
Dengan satu sentakan kuat, dikibaskan
kembali kain bercorak catur di saat lawan tengah
berdiri dengan gamang. Di saat lawan menghin-
dar, dengan satu totokan tajam, Andika menotok
pangkal lengan kanan lawan. Keris yang dipe-
gangnya jatuh. Cepat Andika menyambarnya dan
berdiri mundur tiga tombak.
Ditatap penuh kekaguman keris di tangan-
nya.
"Bukan main! Senjata pusaka di tangan
manusia biadab ini akan banyak menimbulkan
korban. Dan keris ini salah satu tanda seseorang
menguasai Kadipaten Harum Raksa," batinnya.
"Pemuda lancang! Kembalikan keris itu ke-
padaku!" bentakan itu terdengar, tidak lagi ber-
suara berat.
Andika mengerutkan keningnya. Kali ini
dia yakin, mengenali orang di balik topeng itu. Ke-
tika lawan menyerang, dia bergerak cepat. Mema-
paki dua jotosan sekaligus, melenting ke atas
tangan-tangannya menyambar selubung hitam di
wajah lawan.
Sebelum dia hinggap di tanah, seruannya
terdengar, "Panglima Darta Sena keparat! Seluruh
permainanmu telah usai!"
Orang dibalik selubung hitam itu tergagap,
menoleh dengan kemarahan tinggi.
Andika berbalik, "Tepat dugaanku."
"Setan alas! Kucincang tubuhmu!" dalam
keadaan kalap, orang di balik selubung hitam
yang ternyata Panglima Darta Sena menerjang
dengan kekuatan tinggi.
Namun kali ini Andika tak bertindak ayal.
Disongsongnya serangan itu dan dihantamnya
dada Panglima Darta Sena yang terhuyung ke be-
lakang. Muntah darah sambil mendekap dadanya
kuat-kuat.
"Teka-teki telah terbuka sekarang," desis
Andika. "Panglima... dari kata-katamu sebelum-
nya pada Ronggo Kosworo tadi aku yakin, kalau
engkaulah yang telah membujuk Adipati untuk
membebaskan mereka. Dikarenakan kau mem-
punyai rencana lain di balik semua ini. Kau yang
memiliki kunci ruang simpan dalam Kadipaten
Harum Raksa, tak sulit untuk masuk ke sana.
Dan mengambil keris pusaka Gagak Biru yang
kemudian kau serahkan pada Tiga Iblis Golok Se-
tan yang tentunya menurut perintahmu karena
mereka berhutang budi padamu!"
Panglima Darta Sena meringis. Sesung-
guhnya, kedatangannya ke Lembah Tirai selain
untuk meminta keris pusaka Gagak Biru yang di-
titipkan pada Tiga Iblis Golok Setan, juga untuk
mengambil harta jarahan tiga manusia laknat itu.
Yang tak disangkanya, dia justru bertemu dengan
Pendekar Slebor.
"Andika... topeng telah terbuka, jalan ma-
kin membara. Kuakui, semua ini memang renca-
naku. Aku bosan menjadi panglima terus mene-
rus. Hingga kuputuskan untuk merencanakan
semua ini. Kubujuk Adipati untuk melepaskan ti-
ga bajingan tengik itu. Dengan kunci yang kumi-
liki, kucuri pusaka Gagak Biru. Rencanaku selan
jutnya, membiarkan Tiga Iblis Golok Setan menja-
rah penduduk, sesuai dengan keinginanku. Harta
telah terkumpul, dan siap untuk menghadap Raja
dan melakukan pemberontakan pada Kadipaten
Harum Raksa."
"Dan aku yakin, engkaulah yang mengata-
kan kepada tiga begundal itu di mana Gamang
Markuto bersembunyi."
"Kau tak salah, Andika. Otakmu sangat
cerdik. Aku yakin, ketiganya sangat mendendam
pada Gamang Markuto. Biarlah mereka yang
membunuh lelaki itu. Sementara aku tetap bersi-
kap sebagai seorang panglima, yang memerintah-
kan untuk menjaga keselamatan kadipaten dan
menangkap kembali Tiga Iblis Golok Setan."
"Pantas tak ada yang berhasil menemukan
di mana manusia-manusia itu berada. Tentunya,
kau telah menyesatkan langkah anak buahmu
sendiri. Sekarang aku yakin, mengapa kau men-
gatakan tentang hilangnya keris pusaka Gagak
Biru kepadaku. Karena, kau ingin menutupi be-
langmu, sehingga sepak terjangmu tak akan ke-
tahuan siapa pun juga."
"Dan kau sangat cerdik berhasil memecah-
kan semua ini. Selamat tinggal, Pendekar Slebor!"
dengan gerak cepat, Panglima Darta Sena me-
nyambar pedangnya yang dibuangnya tadi. Lalu
ditusukkan ke dadanya.
Andika tercekat, tetapi dia telah terlambat.
"Sayang sekali... kau dibutakan oleh keku-
asaan, Panglima."
Keheningan melanda tempat itu. Burung
burung elang meneriakkan suara mengerikan di
angkasa.
Keheningan dipecahkan oleh suara Rawung
Menggolo, "Terima kasih atas bantuanmu, Andi-
ka. Bila kau tidak muncul, nyawa tuaku akan me-
layang...."
Andika cuma tersenyum.
"Mengapa harus berpura-pura lagi, Ga-
mang Markuto?"
Lelaki tua itu melengak. Tetapi detik ke-
mudian dia menarik napas panjang dan men-
gangguk-angguk.
"Yah, kau sangat cerdik, Andika...," terden-
gar suara itu, lebih rendah dari suara Rawung
Menggolo. Lalu tangan kanan lelaki tua itu men-
gusap wajahnya. Ketika tangannya diturunkan,
nampaklah wajah Gamang Markuto!
"Banyak sekali teka-teki yang kuhadapi
saat ini," batin Andika. "Dendammu sudah terba-
las, Gamang Markuto. Meskipun aku tak menyu-
kai dendammu itu, namun semuanya telah terja-
di."
"Bagaimana kau bisa menebak semua ini,
Andika?"
Andika tersenyum.
"Pertanyaan mudah. Pertama, aku men-
dengar satu keanehan dari cerita Panglima Darta
Sena ketika aku datang ke kadipaten dan masih
menyangkanya orang baik-baik. Menurut Pangli-
ma, setiap kali mereka mendatangi kediamanmu,
selalu tak menjumpai kau, istri, dan anakmu. Ke-
herananku makin berlanjut ketika kusadari tak
satu rumah pun berada di sana. Tak seorang pun
mendiami tempat itu kecuali kau, istri, dan
anakmu. Kedua, pertama kali bertemu denganmu
sebagai Rawung Menggolo kau mengatakan tem-
pat tinggalmu membutuhkan dua kali penanakan
nasi dari Bukit Teduh. Bagaimana bisa Gamang
Markuto mengatakan semua itu bila tiba-tiba di-
lihatnya prajurit kadipaten datang? Ketiga, kau
dengan mudahnya bisa tahu tempat pelacuran di
mana Tiga Iblis Golok Setan datang. Dan bagai di-
rencanakan kau bisa bertemu mereka. Kesimpu-
lanku, kau memang tahu tempat itu, karena kau
sendiri sering datang ke sana."
Gamang Markuto mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Heran aku jadinya! Apa yang menyebab-
kan kau menyamar seperti itu, sih? Tidak usah
menyamar wajahmu juga sudah jelek!"
"Karena aku tahu, kau pasti akan mengha-
langi niatku untuk membalas dendam."
"Dari mana kau pelajari cara menyamar
itu?"
"Kebisaan yang kudapatkan begitu saja.
Karena, sebelum aku menikah aku menjadi seo-
rang buronan yang berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Lalu kucoba untuk menyamar dan
berhasil mengelabui orang-orang, hingga kebisaan
ini pun melekat padaku."
"Di mana kau sembunyikan anak dan is-
trimu bila prajurit kadipaten datang dan kau me-
nyamar sebagai Rawung Menggolo? Tentunya kau
tidak menelan mereka dalam perutmu kemudian
kau muntahkan lagi, kan?"
"Di kamarku, telah kugali sebuah lubang
besar yang kututupi dengan kayu-kayu. Di sana-
lah kusembunyikan anak dan istriku yang seka-
rang telah tiada...."
Andika mendesah pendek.
"Gamang... semuanya sudah selesai. Lebih
baik, kau ikut aku ke kadipaten. Katakan, kaulah
yang menangkap begundal-begundal ini sekaligus
menemukan jejak siapa pencuri keris pusaka Ga-
gak Biru. Mudah-mudahan... Adipati mau men-
gampuni segala kesalahanmu...."
Gamang Markuto tak menjawab. Namun,
perasaannya membenarkan kata-kata Andika.
Perlahan-lahan dianggukkan kepalanya.
Andika teringat akan adik Wening. Cepat
dia berkelebat ke dalam dan melihat seorang ga-
dis tengah pingsan. Rupanya, meskipun tak me-
rasakan sakit akibat pukulan Ronggo Kosworo,
Harti tak kuasa juga bertahan.
Diperiksanya tubuh gadis malang itu. Sete-
lah dialirkan tenaga dalam dan diberi pil penghi-
lang rasa sakit, Andika membopong tubuh Pan-
glima Darta Sena.
Bersama Gamang Markuto yang membo-
pong tubuh pingsan Ronggo Kosworo, Andika
berkelebat untuk menjumpai Wening. Untuk se-
lanjutnya menyerahkan begundal-begundal itu
pada Adipati Gaung Surya.
Hanya sesuatu yang pedih mengaliri pera-
saannya. Dibayangkan bagaimana sikap Wening
nanti bila mengetahui keadaan adiknya.
"Ah... mudah-mudahan gadis itu tabah
menerimanya."
SELESAI
Segera terbit!!
Serial Pendekar Slebor dalam episode:
GOA TERKUTUK
0 comments:
Posting Komentar